Buku Demokrasi, Negara Hukum, Dan Konstitusi.pdf

January 26, 2019 | Author: El Mudi | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Buku Demokrasi, Negara Hukum, Dan Konstitusi.pdf...

Description

1

1 DEMOKRASI

Menurut asal katanya, istilah demokrasi berarti “rakyat berkuasa” atau government atau  government or rule by the people. people . Kata Yunani demos berarti demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa 1 . The Lexicon Webster Dictionary memberikan definisi, democracy is a form of  government in which the supreme power is vested in the  people and exercised by them or their elected egents 2 . Dengan ter-jemahan bebas, demokrasi yaitu Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Politik, Gramedia,  Jakarta, 1982, hal. 50. 2The Lexicon Webster Dictionary, Dictionary, “The English-Language Instituste of America, Inc.”, 1978, hal. 265. 1 

2

pemerintahan oleh rakyat di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dilaksanakan secara langsung oleh rakyat melalui wakil-wakilnya yang dipilih melalui pemilih-an umum.   Dalam Kamus Hukum Edisi Lengkap, demokrasi, kerakyatan – bahasa Belanda democratie; democratie; bahasa Inggris democracy  democracy  – yaitu bentuk pemerintahan atau kekuasaan negara yang tertinggi di mana sumber kekuasaan tertinggi adalah kekuasaan (ke)rakyat(an) yang terhimpun melalui suatu majelis yang dinamakan Majelis Permusyawaratan Rakyat (die ( die gesamte 3 staatsgewalt liegt allein bei der majelis) majelis ) . Pada peresmian makam nasional Gettysburg, di tengah kecamuk perang saudara besar-besaran demi mempertahankan keutuhan Amerika Serikat sebagai sebuah negara, Presiden Abraham Lincoln dalam pidatonya memberi kesimpulan yang bergema dan kuat tentang definisi terbaik demokrasi dalam sejarah Amerika. Dinyatakan, bahwa demokrasi pada intinya yaitu “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” 4 . Lincoln telah menjabarkan unsur paling hakiki dari pemerintahan demokratis yang bisa diterapkan untuk semua bangsa yang mengharapkan kehidupan demokratis. Pramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap, Lengkap , Aneka, Semarang, hal. 295. 4Demokrasi, Demokrasi , “Office of International Information Programs U.S. Department of State, 2001, hal. 2. 3Yan

2

pemerintahan oleh rakyat di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dilaksanakan secara langsung oleh rakyat melalui wakil-wakilnya yang dipilih melalui pemilih-an umum.   Dalam Kamus Hukum Edisi Lengkap, demokrasi, kerakyatan – bahasa Belanda democratie; democratie; bahasa Inggris democracy  democracy  – yaitu bentuk pemerintahan atau kekuasaan negara yang tertinggi di mana sumber kekuasaan tertinggi adalah kekuasaan (ke)rakyat(an) yang terhimpun melalui suatu majelis yang dinamakan Majelis Permusyawaratan Rakyat (die ( die gesamte 3 staatsgewalt liegt allein bei der majelis) majelis ) . Pada peresmian makam nasional Gettysburg, di tengah kecamuk perang saudara besar-besaran demi mempertahankan keutuhan Amerika Serikat sebagai sebuah negara, Presiden Abraham Lincoln dalam pidatonya memberi kesimpulan yang bergema dan kuat tentang definisi terbaik demokrasi dalam sejarah Amerika. Dinyatakan, bahwa demokrasi pada intinya yaitu “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” 4 . Lincoln telah menjabarkan unsur paling hakiki dari pemerintahan demokratis yang bisa diterapkan untuk semua bangsa yang mengharapkan kehidupan demokratis. Pramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap, Lengkap , Aneka, Semarang, hal. 295. 4Demokrasi, Demokrasi , “Office of International Information Programs U.S. Department of State, 2001, hal. 2. 3Yan

3

Demokrasi dalam pengertian ini tidak dapat dilepaskan dari negara hukum, kontrol terhadap kekuasaan, serta transparansi atau keterbukaan. Tidak mengherankan -- dengan pemahaman seperti itu – demokrasi seringkali dikaitkan dengan sistim pemerintahan dan kekuasaan. Sesungguhnya, demokrasi tidak hanya terkait dengan sistem pemerintahan, hukum, dan kekuasaan; atau yang biasa dikenal dengan demokrasi prosedural. Lebih dari itu, demokrasi juga terkait dengan seperangkat gagasan, prinsip dan nilai-nilai atau yang lebih dipahami dengan sebutan demokrasi substansial. Di dalamnya terkandung nilai-nilai dan prinsip-prinsip seperti kebebasan, partisipasi, kesetaraan, keadilan, toleransi, anti kekerasan, perlindungan terhadap hakhak sipil dan politik, serta hak asasi manusia. Demokratis atau tidaknya suatu negara tidak hanya ditentukan oleh terselenggaranya pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala, bebas, aktif dan adil, tetapi juga ditentukan oleh penerimaan, pelembagaan, dan penerapan nilai-nilai demokrasi dalam hidup keseharian masyarakatnya 5 . Menurut Sobirin Malian, demokrasi terbagi dalam dua katagori dasar, langsung dan perwakilan. Dalam demokrasi langsung, semua warga, tanpa et. al.,  al.,  Demokrasi dan Civil Society, Society , Institute for Research and Empowerment, Yogyakarta, tanpa tahun, hal. 7. 5Bramantyo,

4

melalui pejabat yang dipilih atau diangkat, dapat ikut dalam pembuatan keputusan negara. Sistem seperti ini  jelas hanya cocok untuk relatif sejumlah kecil orang – dalam organisasi kemasyarakatan atau dewan suku, misalnya, atau unit lokal serikat sekerja, di mana para anggotanya dapat bertemu di satu ruangan untuk membahas berbagai masalah dan mengambil keputusan melalui musyawarah atau suara terbanyak. Di zaman Athena kuno, demokrasi pertama di dunia, mampu menjalankan demokrasi langsung dengan suatu majelis yang mungkin terdiri 5.000 sampai 6.000 orang – barangkali jumlah maksimum yang dapat secara fisik berkumpul di satu tempat dan menjalankan demokrasi langsung 6 . Masyarakat modern -- besar dan serba kompleks -- menawarkan sedikit kesempatan untuk demokrasi langsung. Bahkan di Amerika Serikat bagian timur laut, di mana rapat kota di New England merupakan tradisi yang keramat. Kebanyakan masyarakat warganya telah tumbuh begitu besar untuk dapat berkumpul dalam satu tempat dan memberikan suara langsung mengenai masalah yang mempengaruhi hidup mereka. Kini mereka tengah bimbang masih perlukah demokrasi langsung itu, kendati “ritual” itu dianggap sakral 7 . Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2001, hal. 44-45. 7Ibid., hal. 45. 6Sobirin

5

Moh. Mahfud MD. dalam bukunya Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia memberikan uraian, demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya, sebab dengan demokrasi ini hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi negara dijamin. Oleh sebab itu hampir semua pengertian yang diberikan untuk istilah demokrasi ini selalu memberikan posisi penting bagi rakyat kendatipun secara operasional implikasinya di berbagai negara tidak sama 8 . Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara memberi pengertian bahwa pada tingkat terakhir, rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok yang mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijaksanaan negara, oleh karena kebijaksanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat. Jadi negara demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat, atau  jika ditinjau dari sudut organisasi ia berarti suatu pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada di tangan rakyat 9 . Dalam kaitan ini patut pula dikemukakan, bahwa Henry B. Mayo dalam bukunya  An Introduction to Mahfud MD., Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hal. 19. 9Ibid. 8Moh.

6

Democratic Theory memberikan pengertian sebagai berikut:  A democratic political system is one in which public  policies are made on a majority basis, by representatives subject to effective popular control at periodic elections which are conducted on the principle of  political equality and under conditions of political  freedom 10 . Dengan terjemahan bebas: Sistem politik demokratis adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebi jakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Memasuki abad XXI ini konsep dan pelaksanaan demokrasi memang tengah diuji secara luar biasa keefektivitasannya. Sebagian besar pakar politik tetap berkeyakinan nilai-nilai demokrasi itu masih memiliki arti penting. Untuk melihat nilai apa saja yang dapat diidentifikasi itu, perlu dicoba mengikuti alur pikir Henry B. Mayo 11 . Dipertanyakan oleh Mayo, adakah sistem politik yang hasilnya netral? Dalam hal ini keraguan yang pada mulanya timbul tentang kenetralan 10Henry

B. Mayo,  An Introduction to Demokratic Theory, Oxford University Press, New York, 1960, hal. 70. 11Ibid., hal. 213-243.

7

demokrasi, sebagai berikut: dapatkah suatu sistem pembuat kebijaksanaan politik itu benar-benar netral dan hanya bersifat alat saja? Dalam pengertian teknis murni, kita dapat mengatakan bahwa alat merupakan alat, dan dapat dipergunakan untuk maksud apa saja. Di sini karena ada alat yang lebih terspesialisasi dari yang lain – tidak semua alat dapat dipergunakan untuk semua tujuan. Tentu saja demokrasi walaupun “hanya satu motode” hanya dapat digolongkan kepada alat-alat yang dapat dipergunakan untuk maksud-maksud tertentu saja. Lagipula, tidak dapat dibantah bahwa alat yang dipergunakan itu jarang sekali dapat seluruhnya dipisahkan dari hasil-hasil nyata yang ditimbulkannya, atau dari hasil yang dimaksudkan untuk ditimbulkannya. Antara alat dan tujuan seringkali atau mungkin selalu, terjadi saling mempengaruhi, dan sudah jelas bahwa suatu sistem politik yang rumit seperti demokrasi ini, pasti mempunyai pengaruh besar terhadap jenis hasil umum yang dicapainya atau yang ditujunya. Memperhatikan prosedur seringkali pada hakikatnya memperhtikan substansinya sendiri, karena prosedur seringkali menentukan hasilnya. Misalnya, memberikan suara secara tertutup dengan secara terbuka sering memberikan hasil yang berbeda dan banyak contoh lain. Intinya bahwa dalam semua kasus itu metode dan isi tidak dapat dipisahkan. Persoalan berikutnya menurut Sobirin Malian, kalau usaha-usaha yang kelihatan netral seperti me-

8

tode ilmiah -- contoh sistem ekonomi Pancasila -“penuh nilai”, sudah tentu banyak nilai yang terkandung dalam sistem politik yang rumit seperti demokrasi dan implikasi atau hasil yang ditimbulkannya terutama tujuan yang dicitakannya. Montesquieu mengatakan, bahwa setiap jenis pemerintahan mempunyai ciri khasnya sendiri. Ciri khas depotisme yaitu ketakutan; ciri khas monarchi yaitu kemegahan; ciri khas republik yaitu sifat kerakyatannya 12 . Dalam hal ini, yang perlu diidentifiasi yaitu “sifat kerakyatan” dalam sistem demokrasi, dan melihat bagaimanakah pengaruh sifat ini terhadap tujuan yang akan dicapai. Dalam teori demokrasi, suatu negara dianggap sebagai negara demokrasi apabila dalam negara itu ada pemilihan umum, ada pemerintah yang bertanggung jawab atau responsible government, ada kebebasan berserikat, ada kebebasan menyatakan pendapat dan ada peradilan yang bebas dan tidak memihak. 13  Agar penyelenggaraan kekuasaan negara dilakukan berdasarkan konstitusi dan untuk kesejahteraan atau kepentingan rakyat, maka kemandirian masing-masing kekuasaan negara perlu dikembangkan secara opti-

Malian, op. cit., hal. 46. Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hal. 16. 12Sobirin 13A.

9

mal. 14   Artinya, masing-masing bekerja secara aktif sesuai tugas dan fungsinya, tetapi ketiga-tiganya tetap secara bersama-sama menunjang penyelenggaraan kekuasaan negara. Selanjutnya, penyelenggaraan kekuasaan negara, bukan saja memerlukan semangat dan sikap yang benar dari para penyelenggaranya, tetapi juga keberanian moral dan politik para pelaku politik dalam masyarakat untuk menegakkan hukum. Kepentingan masyarakat harus didahulukan di atas segala-galanya, sebab kesejahteraan masyarakat harus dijunjung tinggi. Para pendiri Republik Indonesia, meskipun semula berbeda pendapat tetapi akhirnya mereka sepakat dalam satu pendapat dan keyakinan, bahwa Republik Indonesia harus berdasarkan kedaulatan rakyat. Demokrasi diterima sebulat-bulatnya sebagai dasar negara Republik Indonesia. Hal ini telah merupakan konsensus yang kuat. 15 Pernyataan untuk membentuk pemerintahan yang demokratis dijabarkan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yang menentukan: Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh Soepiadhy, Salus Populi Suprema Lex, dalam Majalah DOR No. 11 Tahun 1, 05 Desember-20 Desember 2001, hal 19. 15Frans Magnis Suseno SJ.,  Mencari Sosok Demokrasi, Sebuah Studi Telaah Filosofis, Gramedia, Jakarta, 1995, hal. 9-10. 14Soetanto

10

tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Re publik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatauan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/  perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, sehubungan dengan beberapa pandangan tentang demokrasi, menurut hemat saya terdapat “unsur atau ciri secara umum” tentang demokrasi, yaitu adanya “partisipasi rakyat”.

11

1.

Kerakyatan yang dipimpin oleh kikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan “Partisipasi rakyat” dapat ditemukan dalam sila keempat Pancasila, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan” Sejalan dengan pembahasan tersebut, perlu dikemukakan beberapa masalah yang perlu di jabarkan terlebih dahulu, yaitu: pertama, makna kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan; kedua, kebijaksanaan atau kebijakan; dan ketiga, permusyawaratan/perwakilan.

a.

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan Istilah “kerakyatan” mempunyai arti, yang berdaulat atau yang berkuasa adalah rakyat. Istilah lain “kerakyatan” disebut juga demokrasi -- berasal dari kata Yunani demos berarti rakyat dan kratos berarti pemerintahan – seperti diuraikan sebelumnya. Sejalan dengan pemikiran tentang “kerakyaran yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan”, unsur “partisipasi rakyat” akan ditemukan dalam hukum adat. Sunoto dalam “Mengenal Filsafat Pancasila”, memaparkan bukti kerakyaan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan sebagai berikut: Di Bali ada desa kuno yang syarat-syaratnya antara lain adanya Balai Agung dan Dewan Orang-orang Tua. Balai menunjukkan adanya suatu tempat untuk mengadakan pertemuan oleh masyarakat adat untuk bermusyawarah.

12

Dewan menunjukkan adanya suatu kumpulan orang-orang yang mempunyai tugas tertentu dengan cara mengadakan musyawarah. Di Minangkau ada yang dinamakan Nagari. Syarat-syarat Nagari ini antara lain harus ada Balai, pimpinannya berada di tangan Ketua Nagari yang dibantu oleh Dewan Nagari. Sama halnya dengan yang terjadi di Bali, maka sebenarnya masyarakat Minangkabau sudah mempunyai kebiasaan menyelenggarakan suatu lembaga yang kini lazimnya dinamakan demokrasi. Di Jawa: desa-desa di Jawa mempunyai Balai Desa. Jika ada hal-hal yang perlu dirembuk desa diadakan pertemuan di Balai Desa 16 . Dardji Darmodihardjo dalam “Pancasila Suatu Orientasi Singkat” menjelaskan, “hikmat kebijaksanaan” berarti penggunaan atau rasio yang sehat dengan selalu mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat dan dilaksanakan dengan sadar, jujur dan bertanggung jawab serta didorong itikat baik sesuai dengan hati nurani 17 .

 Mengenal Filsafat Pancasila, Pendekatan Melaui: Sejarah dan Pelaksanaannya, Hanindita Graha Widya, Yogyakarta, 1988, hal. 6. 17Dardji Darmodihardjo, Pancasila Suatu Orientasi Singkat, Aries Lima, Jakarta, 1984, hal. 59-60. 16Sunoto,

13

Uraian di atas menurut hemat saya: “partisipasi rakyat” dalam melaksanakan demokrasi harus berdasar pada kebijaksanaan melalui putusan lembaga atau institusi. b. Kebijaksanaan atau kebijakan Kamus Umum Bahasa Indonesia menjelaskan, “kebijaksanaan” berarti: (1) hal bijaksana; kepandaian menggunakan akal budinya, pengalamannya dan pengetahuannya; (2) pimpinan dan cara bertindak, mengenai pemerintahan, perkumpulan; (3) kecakapan bertindak bila menghadapi orang lain 18 . Di lain pihak, “kebijakan” berarti: kepandaian, kemahiran 19 . Istilah “kebijakan” dalam hukum, sering diapakai pada politik hukum. Moh. Mahfud MD. menjelaskan, bahwa politik hukum dapat dirumuskan sebagai kebijakan hukum atau legal policy  yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum 20 . Menurut hemat saya kebijak-sanaan atau kebijakan, yaitu penggunaan

Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hal. 138. 19Ibid. 20Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, LP3ES,  Jakarta, 2001, hal. 1. 18W.J.S.

14

pikiran yang sehat dengan mempertimbangkan persatuan dan kesa-tuan bangsa. c. Permusyawaratan/perwakilan Permusyawaratan adalah suatu tata cara khas kepribadian Indonesia untuk merumuskan dan atau memutuskan suatu hal berdasarkan kehendak rakyat, hingga tercapai keputusan yang berdasarkan kebulatan pendapat atau mufakat 21 . Di lain pihak, perwakilan adalah suatu sistem dalam arti tata cara mengusahakan turut sertanya rakyat mengambul bagian dalam kehidupan bernegara, antara lain dilakukan melalui lembaga-lembaga atau badan-badan perwakilan22 . Dengan demikian, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksana dalam permusyawaratan/ perwakilan” berarti, rakyat dalam menjalankan kekuasaannya melalui sistem perwakilan. Keputusankeputusan yang diambil dengan jalan musyawarah yang dipimpin oleh pikiran yang sehat serta penuh tanggung jawab, baik kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun kepada rakyat yang diwakilinya 23 . Berdasarkan uraian tentang “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, menurut hemat saya terdapat 21Dardji Darmodihardjo, 22Ibid. 23Ibid.

op. cit., hal. 59.

15

“unsur atau ciri secara umum” tentang demokrasi, yaitu adanya “partisipasi rakyat”. Partisipasi rakyat sebagai ciri kedaulatan rakyat, kekuasaannya dijalankan melalui sistem perwakilan. Keputusan-keputusan yang diambil dengan jalan musyawarah yang dipimpin oleh pikiran yang sehat serta penuh tanggung  jawab, baik kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun kepada rakyat yang diwakilinya Sebagai negara demokrasi maka di Indonesia harus ada lembaga kekuasaan kehakiman yang merdeka, yang bertugas untuk menegakkan hukum dan keadilan serta mengawal demokrasi berdasarkan hukum yang demokratis 24 . Apa yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, seperti dikutip oleh Achmad Roestandi dalam bukunya Pendidikan Pancasila, bahwa suatu negara disebut negara demokrasi bila prinsip-prinsip demokratis yang paling menentukan dalam organisasi-organisasinya, dan suatu negara dinamakan negara otokrasi jika prinsip-prinsip otokratis yang menentukan 25 . Sedikit sekali pemimpin-pemimpin negara yang secara terus terang berani menyatakan bahwa mereka tidak menerima sistem demokrasi. Hampir setiap ne24A.

Mukti Arto, op cit.., hal. 17. Roestandi, et. al., Pendidikan Pancasila, Armico, Bandung, 1988, hal. 120. 25Achmad

16

gara, bagaimanapun sistem politiknya, menegaskan bahwa sistemnya demokratis. Untuk membuktikan apakah sistem demokrasi itu sesungguhnya terdapat dalam bentuk pemerintahannya, perlu diteliti organisasi pemerintahannya. Bagaimana hubungann antara alat perlengkapan negaranya? Sangat tepat apabila dirujuk pada UUD 1945. Dalam perkembangan ketatanegaraan di Indonesia, selama menggunakan UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis ternyata Indonesia tidak pernah demokratis. Meskipun prinsip yang mendasari UUD itu sendiri menganut paham demokrasi dengan adanya pernyataan eksplisit tentang “kedaulatan adalah di tangan rakyat” atau “kerakyatan” dan meskipun para pendiri negara telah menegaskan pilihannya atas sistem demokrasi, namun dalam sepanjang berlakunya UUD 1945 pemerintahan yang tampil selalu otoriter. Beberapa alasan, menurut Alfian yang dapat dikemukakan terhadap pemerintahan yang bersifat otoritarian, yaitu: Pertama, masalah belum begitu berfungsinya DPR, dan oleh karena itu menimbulkan semacam kesenjangan dengan lembaga kepresidenan yang dinilai sudah sangat berfungsi; Kedua, masalah masih lemahnya lembaga-lembaga politik di infra-struktur, seperti orpol, sehingga menimbulkan kesenjangan dengan lembaga-lembaga di supra-struktur;

17

Ketiga, masalah sistem dan penyelenggaraan pemilu yang dianggap secara substantif masih belum begitu selaras dengan makna kedaulatan rakyat, dalam arti pemilih hanya memilih tanda gambar parpol, bukan orang sebagai tokoh politik; Keempat, masalah kesulitan dalam mencari sumber daya manusia dan menyiapkan pemimpinpemimpin politik yang berbobot di kalangan generasi penerus; Kelima, masalah dwifungsi ABRI 26 . Kalangan ilmuwan politik, setelah mengamati praktek demokrasi di berbagai negara merumuskan, demokrasi secara empirik dengan menggunakan indikator tertentu, yaitu: Pertama, akuntabilitas. Dalam demokrasi, setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuhnya. Tidak hanya itu, ia juga harus dapat mempertanggungjawabkan ucapan atau kata-katanya. Yang tidak kalah pentingnya adalah perilaku dalam 26Alfian,

“Perspektif Pembangunan Politik Indonesia”, Makalah untuk Seminar Sistem Politik dan Kehidupan Organisasi Politik di Masa Mendatang, Lembaga Pengkajian Strategis Indonesia (LPSI/ISSI), Jakarta, 26-27 September 1990.

18

kehidupan yang pernah, sedang, bahkan akan dijalaninya. Pertanggungjawaban tersebut tidak hanya menyangkut dirinya, tetapi juga menyangkut keluarganya dalam arti luas. Yaitu, perilaku anak dan isterinya, juga sanak keluarganaya, terutama yang berkaitan dengan jabatannya. Dalam konteks ini, si pemegang jabatan harus bersedia menghadapi apa yang disebut  public scrutiny  -- penyelidikan tentang kebenaran hasil pemungutan suara -- terutama yang dilakukan oleh media massa yang ada. Kedua, rotasi kekuasaan. Dalam demokrasi, peluang akan terjadi rotasi kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur dan damai. Jadi, tidak hanya satu orang yang selalu memegang jabatan, sementara peluang orang lain tertutup sama sekali. Biasanya, partai-partai politik yang menang pada suatu Pemilu akan diberi kesempatan untuk membentuk eksekutif yang mengendalikan pemerintahan sampai pada pemilihan berikutnya. Dalam suatu negara yang tingkat demokrasinya masih rendah, rotasi kekuasaan biasanya rendah pula. Bahkan peluang untuk itu sangat terbatas. Kalaupun ada hal itu hanya akan dilakukan dalam lingkungan yang terbatas di kalangan elit politik saja. Ketiga, rekruitment politik yang terbuka. Untuk memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan, diperlukan suatu sistem rekruitment politik yang terbuka. Artinya, setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik yang dipilih oleh

19

rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut. Dalam negara yang tidak demokratis, rekruitmen politik biasanya dilakukan secara tertutup. Artinya, peluang untuk mengisi jabatan politik hanya dimiliki oleh beberapa gelintir orang saja. Keempat, pemilihan umum. Dalam suatu negara demokrasi, Pemilu dilaksanakan secara teratur. Setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih dan dipilih dan bebas menggunakan haknya tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Dia bebas untuk menentukan partai atau calon mana yang akan didukungnya, tanpa ada rasa takut atau paksaan dari orang lain. Pemilih juga bebas mengikuti segala macam aktivitas pemilihan, termasuk di dalamnya kegiatan kampanye dan menyaksikan perhitungan suara. Kelima, menikmati hak-hak dasar. Dalam suatu negara demokratis, setiap warga masyarakat dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas, termasuk di dalamnya adalah hak untuk menyatakan pendapat atau  freedom of expression, hak untuk berkumpul dan berserikat atau  freedom of assembly, dan hak untuk menikmati pers yang bebas atau  freedom of the press. Hak untuk menyatakan pendapat dapat digunakan untuk menentukan preferensi politiknya, tentang suatu masalah, terutama yang menyangkut dirinya dan masyarakat sekitarnya. Hak untuk berkumpul dan berserikat ditandai dengan

20

kebebasan untuk menentukan lembaga, atau organisasi mana yang ingin dia bentuk atau dia pilih 27 . Indikator atau elemen-elemen dasar dari demokrasi ini merupakan elemen yang umum dikenal di dalam ilmu pengetahuan, terutama ilmu politik. Dengan elemen ini dapat dihindari terjadinya etnosentrisme. Yang harus dipahami pula, seperti telah disinggung di atas, tentu saja dapat diamati seberapa besar interaksi antara nilai universal demokrasi dengan nilai-nilai lokal dapat saling menopang satu sama lain. Dalam konsteks Indonesia, memang masih terdapat pengamat yang pesimis terhadap demokrasi di Indonesia, di antaranya Harould Crouch. Menurut Sobirin Malian, demokrasi di Indonesia akan semakin berkembang di masa datang, terbukti Pemilu 1999 dan 2004 lalu disinyalir sangat demokratis. Persoalan yang berkembang, seberapa konsisten dijalankannya demokrasi tetapi tetap dalam bingkai rule of law. Artinya, pelaksanaan demokrasi senantiasa menjunjung tinggi supremasi hukum 28 . Dalam konteks tersebut, dapat dilihat penggalpenggal waktu berlakunya UUD 1945 yang terdiri atas tiga periode, yaitu periode 1945-1959: sistem Demokrasi Parlementer, periode 1959-1966: sistem

Gaffar, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hal. 7-8. 28Sobirin Malian, op. cit., hal. 49. 27Afan

21

Demokrasi Terpimpin, dan periode Orde Baru: sistem “Demokrasi Pancasila”. Sistem Demokrasi Parlementer Sistem parlementer yang mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan dan kemudian diperkuat dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 ternyata kurang cocok untuk Indonesia, meskipun dapat berjalan secara memuaskan dalam beberapa negara Asia lain. Persatuan yang dapat digalang selama menghadapi musuh bersama menjadi kendor dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan tercapai. Karena lemahnya benih-benih demokrasi sistem parlementer memberi peluang untuk dominasi partai-partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat 29 . Pada waktu sistem ini berjalan, terdapat stabilitas politik, akan tetapi ekonomi tidak stabil, sehingga segera terlihat keadaan sedemikian itu mengancam stabilitas Nasional, di mana keadaan negara semakin kacau. Berlakunya suatu peraturan kepartaian yang tidak secara tegas mengaturnya hingga menyebabkan menculnya partai-partai baru di masa itu. Akibatnya koalisi sebagai resiko dari frakmentasi pada partai politik pada setiap kabinet

29Miriam

Budiardjo, op. cit., hal. 69.

22

yang berkisar pada satu atau dua partai besar dengan beberapa partai kecil ternyata kurang mantap. Adanya keretakan koalisi partai-partai tidak segan-segan untuk menarik dukungannya sewaktu-waktu sehingga kabinet seringkali jatuh karena keretakan dalam koalisi. Dilihat dari segi waktu umur kabinet sebelum pemilihan umum tahun 1955 rata-rata hanya delapan bulan, perkembangan ekonomi dan politik terhambat, karena pemerintah tak sempat melaksanakan programnya 30 . Hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa, dan bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Dengan pertimbangan, pertama, Konstituante tidak berhasil membuat UUD yang tetap, dan kedua, Konstituante tidak berhasil menetapkan UUD 1945 sebagai UUD yang tetap. Dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan Presiden sendiri, Presiden menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi. Berdasarkan alasan tersebut Presiden Soekarno menetapkan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 75 Tahun 1959 tentang Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 150 Tahun 1959 mengenai Harris Soche, Supremasi Hukum dan Prinsip Demokrasi di Indonesia, Hanindita, Yogyakarta, 1985, hal. 26. 30H.

23

Dekrit Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tentang Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945. Dalam dekritnya – tanggal 5 Juli 1959 -- mengambil tindakan hukum;  pertama, menetapkan pembubaran Konstituante; kedua, menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi; dan ketiga, pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara. Menurut Charles Himawan, sekurang-kurangnya terdapat tiga dasar pertimbangan secara yuridis yang dapat mengesahkan tindakan Presiden Soekarno: Pertama, berdasarkan Hukum Tata Negara Darurat atau staatnoodrecht yang tidak tertulis, tindakan tersebut adalah sah. Ajaran ini dikembangkan di antaranya oleh Djokosoetono, di mana Presiden Soekarno berkonsultasi dengan dia sebelum Dekrit dikeluarkan. Kedua, para ahli real politic  dapat menerima kesah-an tindakan Presiden Soekarno, karena didukung oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Presiden Soekarno menandatangani Dekrit tersebut, selain selaku Presiden dan atas nama rakyat Indonesia, juga selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang. Presiden Soekarno and the army had together amassed power to establish an alternative to constitutional democrazy. Ketiga, ditinjau dari segi filsafat hukum, yaitu hukum dapat dilihat di luar batas hukum tertulis belaka, Dekrit Presiden Soekarno sah, karena diterima

24

oleh rakyat. Ini sesuai denagan ajaran yang dikembangkan oleh ahli filsafat hukum Inggris, H. L. A. Hart. Apabila UUD 1945 dapat dikualifikasi sebagai  primary rule of obligation, dan Dekrit Presiden Soekarno dapat dikualifikasi sebagai secondary rule of recognition, maka ke-sah-an tindakan Presiden Soekarno adalah sebagai berikut: karena rakyat menerima (accept) “pengakuan” (recognition) Presiden Soekarno mengenai berlaku kembalinya UUD 1945, maka Dekrit Presiden Soekarno, 5 Juli 1959 adalah sah. Seminggu kemudian, tepatnya 11 Juli 1959, Ketua Mahkamah Agung, Wirjono mengajukan legal opinion  bahwa Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dapat dibenarkan atas dasar staatnoodrecht atau Hukum Tata Negara Darurat. Pada 22 Juli 1959, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 1955, secara aklamasi menerima secara baik Dekrit Presiden 5 Juli 1959 31 . Menurut Bagir Manan, memberlakukan kembali UUD 1945 ternyata tidak menyelesaikan persoalan. Secara hukum ada beberapa persoalan: Pertama, Dekrit sebagai cara memberlakukan UUD 1945 dan menyatakan UUDS 1950 tidak berlaku merupakan tindakan inkonstitusional. Presiden menurut sistem UUDS 1950 adalah Presiden yang tidak bertanggung jawab atas jalannya putusan negara. Himawan, Hukum sebagai Panglima, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003, hal. 206. 31Charles

25

Yang bertanggung jawab adalah kabinet. Kalaupun akan ada tindakan semacam itu, bukanlah dalam bentuk “Keputusan Presiden” (dinamakan dekrit). Yang bertindak mestinya Pemerintah (Kabinet), atau sekurang-kurangnya harus ada contraseign dari Pemerintah. Selanjutnya wewenang menetapkan undangundang dasar ada pada Konstituante bukan pada Presiden. Dekrit pada dasarnya suatu coup d’etat, karena memberlakukan UUD 1945, Presiden mengambil alih wewenang Konstituante dan mengambil alih pula kekuasaan pemerintah dari Kabinet. Tetapi tidak berarti tidak ada dasar yang membenarkan. Dekrit ditetapkan atas dasar keadaan darurat negara dan demi keselamatan bangsa dan negara dari ancaman disintegrasi dan lain sebagainya. Jadi semacam pembentukan hukum secara tidak normal (abnormale rechtsvorming). Patut dipertanyakan: “Apakah benar UUDS 1950 menjadi penyebab perpecahan bangsa? Apakah benar UUD 1945 akan menjamin kesatuan bangsa?” Sebagai suatu pembenaran yang riil dari Dekrit, karena kekuatan politik yang dominan mempunyai daya tekan yang kuat melaksanakan kehendak memberlakukan kembali UUD 1945. Kedua, status UUD 1945 ada yang berpendapat, bahwa UUD 1945 hingga saat ini masih bersifat sementara. Menurut UUD 1945, yang berwenang menetapkan undang-undang dasar adalah MPR. Hingga saat ini, MPR belum pernah menetapkan UUD 1945 atau undang-undang dasar lain sebagai undang-

26

undang dasar yang tetap. Lebih-lebih lagi mengingat Soekarno pada tahun 1945 dengan tegas menyatakan UUD 1945 bersifat sementara 32 . Sistem Demokrasi Terpimpin Setelah diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno antara lain telah memberikan berbagai definisi tentang Demokrasi Terpimpin, sebagai berikut: 1. Demokrasi Terpimpin yaitu demokrasi, atau menurut istilah Undang-Undang Dasar 1945 “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”; 2. Demokrasi Terpimpin bukanlah diktator, berlainan dengan demokrasi sentralisme, dan berbeda pula dengan demokrasi liberal yang kita praktekkan selama ini; 3. Demokrasi Terpimpin merupakan demokrasi yang cocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia; 4. Demokrasi Terpimpin merupakan demokrasi di segala bidang kenegaraan dan kemasyarakatan, yang meliputi bidang-bidang politik, ekonomi dan sosial;

Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2004, hal. 8-9. 32Bagir

27

5. Inti dari pimpinan dalam Demokrasi Terpimpin yaitu permusyawaratan, tetapi suatu permusyawaratan yang “dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan”, bukan oleh “perdebatan dan penyiasatan yang diakhiri dengan pengaduan kekuatan dan perhitungan suara pro dan kontra”. Hasil “permusyawaratan/perwakilan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan” itu kemudian diserahkan kepada seorang “Presiden, yang dipilih oleh “permusyawaratan” itu pula, guna dilaksanakan. Dalam melaksanakan hasil permusyawaratan tersebut, Presiden menunjuk tenaga-tenaga yang baik dan cakap sebagai pembantu-pembantunya, tetapi Presiden tetap secara individual (tidak secara kolektif bersama-sama dengan pembantu-pembantunya) bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat itu. Selanjutnya, dalam menjalankan sehari-hari haluan negara (menurut garisgaris yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat) Presiden harus bekerja bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat, yang dilakukan pula dengan “permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan”, tidak dengan mengutamakan perbedaan dan pernyiasatan yang dapat mengakibatkan pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat dan penyerahan kembali mandat seluruh Kabinet, hal-hal mana tidak dimungkinkan menurut Undang-Undang Dasar 1945;

28

6. Oposisi dalam arti melahirkan pendapat yang sehat dan yang membangun diharuskan dalam alam Demokrasi Terpimpin, yang penting ialah cara bermusyawarah dalam permusyawaratan perwakilan yang harus dipimpin dengan hikmat kebijaksanaan; 7. Demokrasi Terpimpin adalah alat, bukan tujuan; 8. Tujuan melaksanakan Demokrasi Terpimpin ialah mencapai suatu masyarakat yang adil dan makmur, yang penuh dengan kebahagiaan materiil dan spirituil, sesuai dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945; 9. Sebagai alat, maka Demokrasi Terpimpin mengenal  juga kebebasan berpikir dan berbicara, tetapi dalam batas-batas tertentu, yakni batas keselamatan Negara, batas kepentingan rakyat banyak, batas kepribadian bangsa, batas kesusilaan dan batas pertanggungan jawab kepada Tuhan; 10. Masyarakat adil dan makmur tidak dapat lain daripada suatu masyarakat teratur dan terpimpin, yang teriakat pada batas-batas tuntutan keadilan dan kemakmuran dan yang mengenal ekonomi terpimpin; dalam melaksanakan Pasal 33 UndangUndang Dasar 1945 dalam rangka ekonomi terpimpin masih tersedia sektor-sektor perekonomian bagi pengusaha partikelir; 11. Untuk menyelenggarakan masyarakat adil dan makmur diperlukan suatu pola, yang disiapkan oleh Dewan Perancang Nasional, yang dibentuk

29

berdasarkan Undang-Undang No. 80 Tahun 1958, dan untuk menyelenggarakan pola tersebut harus dipergunakan Demokrasi Terpimpin, sehingga dengan demikian Demokrasi Terpimpin pada hakekatnya adalah demokrasi penyelenggaraan atau demokrasi karya (werk-democratie); 12. Konsekuensi dari prinsip Demokrasi Terpimpin yaitu: a. Penertiban dan pengaturan menurut wajarnya kehidupan kepartaian sebagai alat perjuangan dan pelaksana cita-cita bangsa Indonesia dalam suatu Undang-Undang Kepartaian Rakyat Indonesia, sebagaimana diputuskan oleh Musyawarah Nasional pada bulan September 1957 – dengan jalan yang demikian itu dapat dicegah pula adanya sistem multipartai yang pada hakekatnya mempunyai pengaruh tidak baik terhadap stabilitas politik negara kita; b. Menyalurkan golongan-golongan fungsional, yaitu kekuatan-kekuatan potensi nasional dalam masyarakat kita, yang tumbuh dan bergerak secara dinamis, secara efektif dalam perwakilan guna kelancaran roda pemerintahan dan stabilitas politik; c. Keharusan adanya sistem yang lebih menjamin kontinuitas dari Pemerintah, yang sanggup be-

30

kerja melaksanakan programnya, yang sebagian besar dimuat dalam pola pembangunan semesta 33 . Sejalan dengan uraian di atas, pelaksanaan Demokrasi Terpimpin tidaklah sesuai dengan apa yang telah digariskan sebagaimana definisi yang telah terurai di atas. Yang terjadi adalah pemusatan kekuasaan di tangan presiden sebagai badan eksekutif, dalam hal ini mulai adanya penyimpangan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Dengan ditetapkannya Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963 yang isinya menetapkan untuk mengangkat Presiden Soekarno sebagai Presiden seumur hidup 34 , yang merupakan penyimpangan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Tindakan lain yang juga dilakukan adalah mengangkat dan memberi kedudukan ketua-ketua lembaga tertinggi dan tinggi negara sebagai menteri, padahal kedudukan Presiden sendiri adalah sejajar dengan lembaga-lembaga tinggi negara Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif , Aksara Baru,  Jakarta, 1986, hal. 193-196. Lihat Res Publica! Sekali Lagi Res Publica!, Amanat Presiden pada Sidang Pleno Konstituante, Bandung, 22 April 1959, Penerbitan Khusus 51, Jakarta, Kementerian Penerangan RI, hal. 20-22. 34Lihat Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup, ditinjau kembali oleh Ketetapan MPRS Nomor XVIII/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963. 33Ismail

31

lainnya dan lebih rendah dari lembaga tertinggi negara; juga membentuk suatu wadah/lembaga yang diberi nama “Front Nasional”. Tindakan-tindakan tersebut secara prinsip adalah inkonstitusional dan menghilangkan demokrasi. 35 Menurut Sri Soemantri M., bahwa MPR sebagai “pemegang kedaulatan” tidak mengandung arti bahwa kedaulatan yang berada di tangan rakyat berpindah ke tangan MPR. Artinya, bahwa MPR sebagai lembaga tertinggi negara sebagai the  political sovereignty  atau kedaulatan politik, sedangkan DPR dan Presiden sebagai lembaga tinggi negara sebagai the legal sovereignty atau kedaulatan hukum 36 . Terbukti bahwa gagasan demokrasi Terpimpin dalam praktek pelaksanaannya telah menyimpang  jauh dari teorinya. Dekrit Presiden yang telah memberikan jalan lempang bagi pelaksanaan Demokrasi Terpimpin -- dengan dikuatkan oleh Ketetapan MPRS Nomor VIII/MPRS/1965 tentang Prinsip-prinsip Musyawarah untuk Mufakat dalam Demokrasi Terpimpin sebagai Pedoman bagi Lembaga-lembaga Permusyawaratan/Perwakilan -- yang dalam realitasnya tidak demokratis. Harris Soche, op. cit., hal. 28. Soemantri M., “Masalah Kedaulatan Rakyat Berdasarkan UUD 1945”, dalam Padmo Wahjono,  Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal. 70. 35H.

36Sri

32

Dengan adanya beberapa penyimpangan ketatanegaraan, telah mengakibatkan sistem yang ditetapkan dalam ketentuan UUD 1945 tidak berjalan. Keadaan politik dan keamanan memburuk, yang mencapai puncaknya dengan pemberontakan Gerakan 30 September 1965/Partai Komunis Insonesia.

Sistem Demokrasi Pancasila Letnan Jenderal Soeharto tampil menjadi Presiden Republik Indonesia kedua, melewati prosedur Surat Perintah 11 Maret 1966, yang dikenal dengan Supersemar, melalui Ketetapan MPRS Nomor IX/ MPRS/1966 tentang Surat Perintah Presiden/ Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Ma jelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia. Pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, sistem demokrasi yang dijalankan adalah Demokrasi Pancasila. Konsep Demokrasi Pancasila juga mengutamakan musyawarah untuk mufakat, tetapi pemimpin tidak diberi hak untuk mengambil keputusan sendiri dalam hal “mufakat bulat” tidak tercapai. Bagi Demokrasi Pancasila sesuai Ketetapan MPRS Nomor XXXVII/

33

MPR/1968 37  untuk mengatasi kemacetan karena tidak dapat di-capainya “mufakat bulat” maka jalan voting atau pemungutan suara dapat ditempuh sesuai dengan prosedur yang dikehendaki Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Perumusan Demokrasi Pancasila, diatur ketetapan MPRS Nomor XXXVII/ MPRS/1968 yang sekedar mengatur teknis musyawarah ini pada tahun 1973 kembali dicabut dengan Ketetapan MPR Nomor V/MPR/1973 38   bersama dengan pencabutan terhadap beberapa produk MPR lainnya yang di-anggap tidak dapat dipakai lagi sebagai peraturan perundang-undangan. 39 Dari sudut hubungan antar lembaga-lembaga negara atau antar aparatur demokrasi terlihat bahwa Demokrasi Pancasila, seperti diatur dalam UUD 1945 memberikan kekuasaan yang besar kepada Presiden. 37Ketetapan

MPRS Nomor XXXVII/MPRS/1968 tentang Pencabutan Ketetapan MPRS Nomor VIII/MPRS/1965 tentang Pedoman Pelaksanaan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Ketetapan MPR Nomor V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-produk yang Berupa Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara RI. 38Lihat Ketetapan MPR Nomor V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-produk yang Berupa Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia. 39Moh. Mahfud M.D. “Demokrasi”, op. cit., hal. 43.

34

Presiden dipilih dan diangkat oleh MPR yang separuh anggotanya yaitu anggota-anggota DPR. Kekuasaan Presiden ini besar karena ia tidak bisa dijatuhkan oleh DPR. Memang DPR dapat mengusulkan sidang istimewa MPR untuk meminta pertanggungjawaban Presiden sebagai mandataris MPR jika Presiden dianggap sungguh-sungguh melanggar haluan negara, tetapi prosedur atau persyaratan untuk ini tidaklah mudah, karena harus melalui tahap-tahap memorandum tertentu. Jika seseorang Presiden telah dipilh dan diangkat oleh MPR maka ia memegang kekuasaan yang besar untuk terus memerintah sampai habis masa jabatannya. Pada pihak lain, DPR sebenarnya mempunyai pengaruh dalam sistem politik karena seharusnya dewan ini menyalurkan aspirasi dan tuntutan-tuntutan rakyat. Presiden tidak dapat membubarkan DPR, sebaliknya DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden; dan untuk itu Presiden perlu memperhatikan suara-suara anggota DPR. Secara tidak langsung Demokrasi Pancasila menghendaki terjadinya hubungan yang harmonis antar eksekutif dan legislatif melalui proses konsensus sehingga keseimbangan yang wajar antara konsensus dan konflik akan tercipta. 40 Sama halnya dengan pemerintahan Orde Lama, maka pemerintahan Orde Baru dibawah kepemimpin40Ibid.,

hal. 44.

35

an Presiden Soeharto telah melakukan penyimpangan terhadap UUD 1945. Akhirnya gerakan Reformasi yang dimotori oleh para mahasiswa, sudah timbul pada waktu Jenderal (Purn) Soeharto dipilih menjadi Presiden untuk ketujuh kalinya. Pada saat tuntutan reformasi berlangsung, Presiden Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden pada tanggal 21 Mei 1998, setelah menteri-menteri dalam Kabinet sebelumnya tidak bersedia duduk dalam Kabinet Reformasi yang disusun pada tanggal 20 Mei 1998 bersama mantan Wakil Presiden Soedharmono. Sejak Presiden Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden, selanjutnya digantikan oleh Wakil Presiden B.J. Habibie. Salah satu tuntutan reformasi yaiu agar diadakan perubahan terhadap UUD 1945. Pada era Orde Baru membicarakan kelemahan, apalagi gagasan perubahan, hampir-hampir tak mungkin dilakukan karena telah dilakukan sakralisasi atasnya sebagai upaya menyelubungi korupsi politik yang dilakukan oleh pemerintah. Pada era reformasi semua argumen untuk mengubah UUD 1945 dapat dikemukakan dengan bebas sehingga usul dilakukannya perubahan tidak dapat ditolak. Berdasarkan uraian tentang sistem Demokrasi Parlementer, sistem Demokrasi Terpimpin, dan sistem Demokrasi Pancasila, menurut hemat saya terdapat “unsur atau ciri secara umum” tentang demokrasi, yaitu adanya “partisipasi rakyat”. Rakyat yang memegang kekuasaan. Pemerintah memperoleh kekuasaan

36

dari rakyat. Kekuasaan itu, oleh rakyat tidak diberikan kepada Pemerintah, melainkan dide-legasikan dan harus dipertanggungjawabkan. Untuk mengimbangi kekuasaan Pemerintah, perlu dikemuka-kan civil society  sebagai masyarakat yang terdiri dari lembagalembaga otonom. 2. “Civil Society” Bramantyo dalam buku “Demokrasi dan Civil Society” menjelaskan, civil sociey  yang disepadankan oleh ilmuwan sosial politik di Indonesia sebagai “masyarakat sipil”, berasal dari bahasa Latin, civitas dei atau “kota Illahi”. Dari kata ini, kemudian dikenal istilah civilization  atau peradaban; sehingga secara harafiah, civil society diartikan sebagai masyarakat yang beradab. Istilah civil society pertama kali diperkenalkan oleh Adam Ferguson, filsuf Skotlandia pada tahun 1767. Dalam bukunya  An Essay on the History of Civil Society, Ferguson menggambarkan civil society sebagai sebuah masyarakat yang terdiri dari lembaga-lembaga otonom yang mampu mengimbangi kekuasaan negara 41 . Hal yang sama, juga dikutip oleh Bramantyo dari Larry Diamond dalam bukunya Developing Democracy toward Consolidation, yang mendefinisikan civil society  sebagai lingkup kehidupan sosial terorga41Bramantyo

et. al., op. cit., hal. 7-8.

37

nisir yang terbuka, sukarela, timbul dengan sendirinya atau self-generating, setidaknya berswadaya, otonom dari negara, dan terkait oleh suatu tatanan hukum atau seperangkat nilai-nilai bersama. Ia melibatkan warga yang bertindak secara kolektif dalam sebuah lingkup publik untuk mengekspresikan kepentingankepentingan, hasyrat, preferensi, dan ide-ide mereka, untuk bertukar informasi, untuk mencapai sasaran kolektif, untuk mengajukan tuntutan pada negara, untuk memperbaiki struktur dan perfungsian negara, dan untuk menuntut akuntabilitas pejabat negara 42 . Istilah civil society, yang kini sering diterjemahkan dengan “masyarakat kewargaan” atau “ masyarakat madani”, tampaknya semakin mendapat tempat di dalam wacana politik di Indonesia 43 . Harus diakui, bahwa pemahaman atas terminologi tersebut masih akan terus berkembang dan karenanya persilangan pendapat menjadi tidak terelakkan. Sangatlah wajar, mengingat hal serupa juga terjadi di negara-negara yang sudah lebih lama mengenal dan menggunakan terminologi tersebut, baik dalam wacana ilmiah maupun keseharian. Berbagai keragaman pemahaman dan gagasan-gagasan orisinal diharapkan muncul, sehing-

42Ibid.,

hal. 8.

AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, Pustaka LP3ES, Jakarta, 1999, hal. 1. 43Muhammad

38

ga dapat menyumbangkan pemahaman yang lebih baik untuk konteks Indonesia. Menurut Muhammad AS Hikam, sebagai sebuah konsep, civil society  berasal dari proses sejarah masyarakat Barat. Akar perkembangannya dapat dirunut mulai Cicero dan bahkan, lebih ke belakang sampai Aristoteles. Yang jelas, Cicero lah yang memulai menggunakan istilah societes civilis  dalam filsafat politiknya. Dalam tradisi Eropa sampai abad ke 18, pengertian civil society  dianggap sama dengan pengertian negara atau the state, yakni suatu kelompok atau kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat yang lain. Jadi istilah-istilah seperti koninonia politike, societas civilis, societe civile, buergerliche  gesellschaft, civil society, dan societa civile dipakai secara bergantian dengan  polis, civitas, etat, staat, state, dan stato. Pada saat J.J. Rousseau menggunakan istilah societas civile, dipahaminya sebagai negara yang salah satu fungsinya menjamin hak milik, kehidupan, dan kebebasan para anggotanya 44 . Dalam buku “Demokrasi dan Civil Society”, Bramantyo mengutip pendapat Eisenstadt, menyebutkan bahwa civil society  meliputi empat komponen, yaitu: Pertama, otonom dari negara. Otonom dari negara berarti, civil society  adalah masyarakat yang terlepas sama sekali dari pengaruh 44Ibid.

39

negara. Sifat otonom dari civil society  ini seringkali dipahami secara keliru, bahwa civil society merupakan lawan dari negara. “Otonom” di sini berarti civil society merupakan arena bagi masyarakat untuk mengekspresikan kepentingan dan aspirasinya tanpa ada tekanan dan tidak berada di bawah pengaruh negara. Tegasnya, civil society  untuk mengimbangi kekuasaan negara dan bukan sebagai lawan. Kedua, akses masyarakat terhadap negara. Setiap individu dapat dengan bebas menyalurkan aspirasi mereka, baik kepada pejabat maupun lembaga-lembaga negara. Ketiga, tumbuhnya arena publik yang bersifat otonom. Bersamaan dengan tumbuhnya arena publik yang bersifat otonom, menjadikan berbagai macam organisasi sosial dapat berkembang dan mengatur diri mereka sendiri. Arena publik ini merupakan ruang yang tersedia, sehingga warga negara dapat mengembangkan dirinya secara maksimal dalam berbagai aspek kehidupan. Keempat, tersedianya arena publik yang terbuka bagi semua lapisan masyarakat. Arena tersebut harus dapat diakses secara terbuka, tidak eksklusif, dan tidak dijalankan secara rahasia 45 . Sejalan dengan pemikiran di atas, Muhammad AS Hikam memberikan pengertian tentang civil society. 45Bramantyo,

et. al., op. cit., hal. 8.

40

Menurut Hikam, civil society dapat didefinisikan sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan, antara lain: kesukarelaan atau voluntary, keswasembadaan atau self-generating dan keswadayaan atau self-supporting, kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya 46 . Sebagai ruang publik, civil society merupakan suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan materiil, dan tidak terserap di dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Di dalamnya tersirat pentingnya suatu ruang publik yang bebas, tempat di mana transaksi komunikasi yang bebas dan dapat dilakukan oleh warga masyarakat. Berdasarkan uraian tentang pengertian civil society  di atas, maka civil society  terwujud dalam berbagai organisasi atau asosiasi yang dibuat oleh masyarakat di luar pengaruh negara. Lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial dan keagamaan, dan kelompok-kelompok kepentingan atau interest groups merupakan pengejawantahan atau manifestasi kelembagaan civil society. David Beetham dan Kevin Boyle dalam bukunya “Demokrasi: 80 Tanya Jawab” menerangkan, un46Muhammad

AS Hikam, op. cit., hal 3.

41

sur utama civil society, society, yaitu: ekonomi pasar; media komunikasi yang independen; faktor-faktor keahlian dalam semua aspek kebijakan pemerintah yang independen dari pengaruh negara. Yang terpenting,  jaringan kelompok-kelompok sukarela yang berkembang secara leluasa pada semua bidang kehidupan sosial, dengan kewajiban orang-orang menangani urusan-urusan mereka sendiri. Pada saat dan tempat yang berlainan, kelompok-kelompok atau perkumpulan-perkumpulan tersebut memiliki arti penting tersendiri bagi pembelaan dan peningkatan kehidupan demokrasi. Apakah mereka termasuk dalam serikatserikat buruh, organisasi-organisasi profesional, kelompok-kelompok wanita, organisasi-organisasi hakhak asasi manusia dan pembangunan, lembagalembaga keagamaan, atau segala macam organisasi kemasyarakatan “akar-rumput” atau  grass-roots.  grass-roots. Dalam lingkungan yang diwarnai kebebasan berekspresi dan berserikat, kelompok-kelompok seperti itu akan berkembang secara spontan, sebab orang-orang merasakan adanya kebutuhan akan tindakan kolektif untuk mengatur urusan-urusan mereka atau untuk membela dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka. Selain itu, kelompok-kelompok tersebut dapat juga didorong oleh pengakuan publik, misalnya pengakuan pada peranan konsultatif mereka dalam bidang-bi-

42

dang penting menyangkut kebijakan pemerintah 47 . Bagi Indonesia, menurut Cornelis Lay, relevansi konsep ini tidak terbantahkan. Basis bagi tindakan kolektif, tersedia cukup memadai dalam masyarakat kita. Asosiasi ketetanggaan yang independen dari negara. Organisasi-organisasi non kelas yang berbasis lokal, universitas, pesantren, masjid, gereja, pura, dan sebagainya memiliki akar yang dalam di masyarakat kita. Demikian pula dengan aneka raut permukaan lainnya dari civil society yang society yang merupakan hasil temuan yang lebih baru, lembaga swadaya masyarakat misalnya, sudah cukup meluas dalam masyarakat kita. Kesemuanya merupakan komponen-komponen dasar yang dapat membentuk civil society 48 . Sekalipun demikian, secara bertahap dapat disaksikan satu demi satu organ-organ kolektif di tingkat masyarakat yang membentuk civil society mulai society mulai memudar dikooptasi oleh negara atau terserap ke dalam bentuk-bentuk organisasi modern yang berada di bawah kendali negara. Akibatnya dapat disaksikan inisiatif yang bersifat lokal dan bersumber dari masyarakat menjadi peristiwa langka. Bahkan, warga masyarakat hampir-hampir kehilangan kemampuan 47David

Beetham dan Kevin Boyle, Demokrasi: 80 Tanya  Jawab,  Jawab, Terjemahan Bern. Hidayat dari “Introducing Democracy: 80 Questions and Answers”, Kanisius, Yogyakarta, 2000, hal. 158. 48Cornelis Lay, Presiden, Civil Society, dan HAM , Pensil324, Jakarta, 2004, hal. 63.

43

untuk menyelesaikan berbagai tantangan yang dihadapinya 49 . Kondisi civil society  society  mencapai titik yang paling parah di bawah Orde Lama, yang ditopang oleh upaya penguatan negara dilakukan dengan dukungan elite kekuasaan yang baru. Di bawah sistem Demokrasi Terpimpin, politik Indonesia didominasi oleh penggunaan mobilisasi massa sebagai alat legitimasi politik. Akibatnya, setiap usaha yang dilakukan oleh anggota masyarakat untuk mencapai kemandirian beresiko dicurigai sebagai kontra revolusi. Menguatnya kecenderungan ideologisasi politik telah mempertajam polarisasi politk, sehingga sehingga merapuhkan kohesi sosial sosial 50 . Pada era Orde Baru, melanjutkan upaya sebelumnya untuk memperkuat posisi negara di segala bidang. Hal ini tentu saja harus dibayar dengan merosotnya kemandirian dan partisipasi politik anggota masyarakat. Penetrasi negara yang kuat dan  jauh, terutama lewat jaringan birokrasi b irokrasi dan aparat keamanan, telah mengakibatkan semakin menyempitnya ruang-ruang bebas yang dulu pernah ada. Akibatnya, kondisi civil society  society  dan pertumbuhannya di bawah Orde Baru menampilkan berbagai paradoks. Misalnya, semakin berkembangnya kelas menengah, yang seharusnya bertambah mandiri sebagai penyeimbang 49Ibid. 50Muhammad

AS Hikam, op. cit., cit., hal 4-5.

44

kekuatan negara, seperti yang terjadi di negara-negara Barat. Kenyataannya, kelas menengah yang tumbuh ternyata memiliki ciri yang berbeda dengan yang tumbuh di Barat akibat proses modernisasi, yaitu adanya ketergantungan yang sangat tinggi terhadap negara 51 . Uraian di atas menunjukkan, betapa pentingnya keberadaan civil society  yang dianggap sebagai syarat kemungkinan pembangunan demokrasi akan muncul. Ciri-ciri yang perlu diperhatikan dalam usaha perwujudan kehidupan demokratis di Indonesia, yaitu terwujudnya civil society  sebagai “partisipasi rakyat” yang merupakan cita-cita demokrasi. Sejalan dengan pemikiran “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, maka demokrasi yang dicita-citakan yaitu demokrasi bersifat partisipatoris atau  participatory democracy. Menurut David Held dalam bukunya  Models of Democracy seperti dikutip oleh Aidul Fitriciada Azhari menjelaskan, bahwa model participatory democracy dijabarkan sebagai berikut: Pertama, prinsip-prinsip justifikasi. Hak yang sama pada kebebasan dan pengembangan diri hanya dapat dicapai dalam suatu “masyarakat partisipatif”, suatu masyarakat yang memelihara perhatian pada masalah-masalah kolektif dan mem51

 Ibid.,

hal. 5.

45

berikan kontribusi pada pembentukan pengetahuan yang luas bagi rakyat dalam memelihara kepentingan yang berkelanjutan dalam proses pemerintahan. Kedua, ciri-ciri umum. 1). Partisipasi rakyat secara langsung dalam regulasi lembaga-lembaga sosial yang penting, termasuk tempat kerja dan komunitas lokal. 2) Reorganisasi sistem kepartaian dengan menciptakan pejabat partai yang bertanggung jawab langsung pada anggota partai. 3) Bekerjanya “partai partisipatif” dalam struktur parlemen atau kongresional, memelihara sistem kelembagaan yang terbuka untuk mendorong kemungkinan bagi eksperimentasi bentuk-bentuk politik yang baru. Ketiga, kondisi umum. 1) Perbaikan langsung basis sumber daya orang-orang miskin dalam berbagai kelompok sosial melalui redistribusi sumber daya mineral. 2) Minimilisasi – penghapusan, bila dimungkinkan – kekuatan birokrasi yang tidak akuntabel di dalam kehidupan publik maupun pribadi. 3) Suatu sistem informasi yang terbuka untuk menjamin keputusan-keputusan yang relevan dan dibutuhkan. 4) Pengujian kembali aturan-aturan pemeliharaan anak-anak sehingga perempuan maupun laki-laki memilki peluang untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik 52 . Fitriciada Azhari,  Menemukan Demokrasi, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2005, hal. 84-85. 52Aidul

46

Berdasarkan uraian di atas,  participatory democracy  pada dasarnya merupakan demokrasi konstitusional yang bertumpu aturan mayoritas melalui perluasan partisipasi rakyat secara bebas melalui kekuatan-kekuatan kolektif yang terdapat di tengan civil society. 3. Gagasan Demokrasi Indonesia Menurut Mohammad Hatta seperti dikutip Aidul Fitriciada Azhari, demokrasi seharusnya tidak hanya meliputi demokrasi politik, tetapi juga meliputi demokrasi ekomomi, yakni “segala penghasilan yang mengenai penghidupan orang banyak harus berlaku di bawah tanggungan orang banyak juga”. Model demokrasi seperti ini tidak berdasar pada individualisme, tetapi pada “rasa bersama, kolektivitet”. Dalam pandangan Hatta, inilah kedaulatan rakyat yang sesungguhnya, “Rakyat harus diberi hak untuk menentukan nasibnya dalam pengertian yang seluasluasnya, yakni berhak menyusun pemerintahan sendiri dan mengatur ekonomi sendiri” 53 . Model demokrasi seperti inilah yang dipandang sesuai untuk negara dan rakyat Indonesia. Model tersebut sudah terdapat dasar-dasarnya dalam demokrasi asli di pedesaan, yang disebut Hatta sebagai “desa-

53Ibid.,

hal. 96.

47

demokrasi”. Di dalam demokrasi desa segala hal menjadi urusan bersama. Dalam pandangan Hatta, terdapat tiga sifat utama demokrasi asli di desa-desa yang dapat dijadikan dasar bagi Indonesia merdeka, yaitu: Pertama, cita-cita rapat. Rapat ialah tempat rakyat atau utusan rakyat bermusyawarah dan mufakat tentang segala urusan yang bersangkutan dengan persekutuan hidup dan keperluan bersama. Di sini tampaklah dasar demokrasi, yakni adanya pemerintahan rakyat. Kedua, cita-cita massa protes. Hak rakyat untuk membantah dengan cara umum segala peraturan negeri yang dipandang tidak adil. Hak ini besar artinya dalam menghadapi pemerintahan despotik atau otokrasi. Demokrasi tidak dapat berlaku kalau tidak ada hak rakyat untuk melakukan protes. Hak untuk protes ini mencakup pula hak rakyat untuk berkumpul dan menyatakan pendapat. Ketiga, cita-cita tolong-menolong. Kehidupan rakyat Indonesia selalu dipenuhi rasa bersama atau kolektivitas. Dalam segala urusan rakyat Indonesia selalu menyelesaikannya secara bersama-sama dan saling tolong menolong. Inilah dasar persekutuan asli di Indonesia, yakni kolektivitas. Tetapi bukan kolektivitas yang bersifat sentralistik, melainkan kolektivitas yang bersifat desentralistik, yakni tiap-tiap bagian berhak menentukan nasibnya

48

sendiri. Bukti ini terlihat dalam sifat hak ulayat atas tanah. Hak kolektif atas tanah dalam hak ulayat tidak dimiliki oleh seluruh negeri, melainkan oleh masingmasing desa 54 . Berdasarkan demokrasi asli tersebut, rumusan konsepsi demokrasi Indonesia adalah kedaulatan rakyat berdasarkan kolektivitas yang bersifat desentralistik 55 . Dalam bidang politik, kedaulatan rakyat tersebut dijalankan melalui badan-badan perwakilan atau melalui referendum. Tiap-tiap individu ataupun golongan menyampaikan kehendaknya melalui badan perwakilan atau melalui referendum. Sementara dalam lapangan ekonomi, kedaulatan rakyat dilakukan oleh koperasi-koperasi yang merupakan badan ekonomi kolektif yang bekerja bersama-sama untuk membela kebutuhan rakyat semuanya dan keperluan umum 56 . Pemikiran yang serupa dengan Hatta tampak pula dalam pemikiran Soekarno. Dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 yang sangat terkenal, di depan BPUPK dalam acara pembicaraan tentang Dasar Negara Indonesia (lanjutan), Soekarno mengatakan: “Saudara-saudara, saya usulkan: kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demo54Mohammad

Hatta, “Ke Arah Indonesia Merdeka”, dalam Miriam Budiardjo,  Masalah Kenegaraan, Gramedia, Jakarta, 1975, hal. 42-43. 55Ibid., hal. 44-45. 56Aidul Fitriciada Azhari, “Menemukan”, op. cit., hal. 98.

49

krasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni  politiek-economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial. … jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, menyintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid  ini, yaitu bukan saja persamaan  politiek, saudara-saudara, tetapi di atas lapangan ekonomi, kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya” 57 . “… demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi  politiek-economische democratie, yaitu  politieke-demokratie  dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, … Inilah yang dulu saya namakan socio-demokratie58 . Dari kutipan di atas, Soekarno menamakan konsepsi demokrasi sebagai socio-demokratie, yakni demokrasi politik dengan keadilan sosial atau demokrasi dengan kesejahteraan. Lebih lanjut Soekarno menjelaskan: “… kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! … maka dapatlah 57Risalah

Sidang BPUPK-PPKI, 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1998, hal. 100. 58Ibid., hal. 102.

50

saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong” 59 . Dengan mengaitkan sebagai socio-demokratie dengan tradisi bangsa Indonesia, Soekarno menyebutnya sebagai “perkataan Indonesia yang tulen”, yaitu gotong royong, negara Indonesia adalah negara gotong royong, yang mengandung arti negara “semua buat semua”, “satu buat semua”, “semua buat satu”. Uraian di atas memberikan gambaran, bahwa demokrasi yang dikehendaki oleh Soekarno dan Hatta, yakni: Pertama, demokrasi yang berakar pada kolektivitas masyarakat Indonesia, tetapi kolektivitas yang dimaksud bukanlah yang bersifat totaliter dan sentralistik – sebagaimana dianut oleh komunisme dan fasisme – melainkan kolektivitas yang bersifat plural dan kompetitif. Pemikiran mereka lebih merupakan penyesuaian gagasan demokrasi modern dengan tradisi demokrasi yang berkembang di Indonesia sehingga dapat menghasilkan konsepsi demokrasi yang dipandang sesuai dengan karakter kebudayaan Indonesia. Posisi ini diperjelas dengan sikap kritis mereka terhadap model demokrasi Barat yang bersifat individualistik – yang sesungguhnya adalah demokrasi yang dipraktikkan pada abad ke-19 -- yang 59Ibid.,

hal. 103.

51

dinilai tak sesuai dengan tradisi bangsa Indonesia, tetapi tetap menerima institusi pokok demokrasi modern, yaitu badan perwakilan rakyat beserta kebebasan politik di dalamnya. Sikap ini akan memperjelas posisi gagasan kedua tokoh tersebut dalam perumusan konsepsi demokrasi dalam UUD 1945 yang menganut sistem demokrasi modern. Kedua, pandangan yang melihat demokrasi Indonesia sebagai bentuk demokrasi yang khas dan berbeda sama sekali dengan demokrasi Barat. Pandangan seperti ini umumnya mengacu pada prinsip harmoni sosial – diistilahkan sebagai keselarasan dan keseimbangan – dalam kehidupan komunal masyarakat adat di pedesaan. Pandangan ini menyebutkan ciri demokrasi asli bukan terletak pada kebebasan dan kompetisi dalam suasana kolektif yang plural – sebagaimana diungkap Soekarno dan Hatta -- tetapi pada proses pengambilan keputusan dengan cara mufakat atau sepakat. Dalam kaitan dengan hukum ketatanegaraan, pemikiran demokrasi asli seperti ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran mengenai hukum adat yang memperoleh banyak perhatian dan simpati dari penganjur gagasan demokrasi asli 60 . Secara teoretik, pemikiran demokrasi asli seperti itu sesungguhnya lebih merupakan rekonstruksi atas 60Aidul

102.

Fitriciada Azhari, “Menemukan”, op. cit., hal. 100-

52

tradisi patrimonialisme yang telah berkembang pada masyarakat Indonesia. Rekonstruksi tersebut menjadi bentuk patrimonialisme baru atau neopatrimonialisme yang telah berkembang sejak era kolonial seiring dengan tumbuhnya birokrasi modern yang menggunakan otoritas tradisional sebagai pegawai administrasi lokal. Kecenderungan patrimonialisme itu sendiri umumnya merupakan tanggapan terhadap tiga elemen yang saling berhubungan di tengah masyarakat, yakni kelanjutan dari suatu konseptualisasi kekuasaan yang berkembang pada kerajaan-kerajaan Jawa prakolonial, kelanjutan dari jaringan patron-klien sebagai basis hubungan-hubungan sosial tradisional, dan kelanjutan dari suatu “budaya hormat” (culture of deference) yang dominan pada masyarakat pedesaan. Tendensi patrimonialisme ini mendasari tumbuhnya konsepsi neopatrimonialisme dalam pemikiran negara Indonesia modern 61 . Berdasarkan kedua macam pemikiran mengenai demokrasi Indonesia yang berbasis pada demokrasi asli tersebut dapat disimpulkan, bahwa pemikiran pertama lebih menekankan pada aspek universal dalam tradisi demokrasi asli yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi modern, sedangkan pemikiran yang kedua lebih menekankan pada aspek parikular yang terdapat dalam demokrasi asli, sehingga dipandang berbeda secara esensial dengan 61Ibid.,

hal. 107-108.

53

demokrasi Barat. Berdasarkan model demokrasi yang dipergunakan, pemikiran demokrasi Indonesia pada dasarnya merupakan model  participatory democracy atau demokrasi parisipatoris Pada akhirnya, menurut hemat saya, syarat pemerintah yang demokratis, yaitu: 1. Adanya “partisipasi rakyat” di dalam proses pembentukan Undang-Undang Dasar; 2. Pemerintah harus menjamin civil society yang mempunyai akses untuk turut membentuk opini publik melalui alat komunikasi; dan 3. Pemerintah yang memperoleh pelimpahan kekuasaan dari rakyat harus dipertanggungjawabkan.

54

55

2 NEGARA HUKUM Untuk menjelaskan negara hukum, secara berturut-turut diuraikan tentang: pemikiran negara hukum, dan konsep negara hukum yang diuraikan atas konsep rechtsstaat, konsep rule of law, konsep socialist legality, serta konsep negara hukum di Indonesia.

1. Pemikiran Negara Hukum

Cita-cita negara hukum telah muncul sejak abad ke 17 di negara-negara Barat, istilahnya sendiri baru mengemuka pada abad ke 19. Walau tak seorang pun

56

yang sanggup memberikan “definisi yang memuaskan” mengenai hukum, tetapi orang mengerti apa yang dimaksud dengan istilah tersebut 62 . Secara sederhana, yang dimaksud dengan hukum dapat dirumuskan sebagai seperangkat aturan tingkah laku yang dapat tertulis dan tidak tertulis, serta dibedakan sebagai hukum publik dan hukum privaat 63 . Demikian pula halnya dengan negara, yang pengertiannya lebih kompleks daripada hukum, karena negara merupakan fenomena dengan banyak segi: yuridis, historis, ekonomis, politik, dan sebagainya. Dengan mengesampingkan definisi tersebut dapat dilihat, bahwa dalam suatu negara hukum terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan. Negara tidak maha kuasa dan negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang 64 . Hubungan antara negara dan hukum harus dilihat sebagai hubungan timbal balik. Krisna Harahap yang mengutip pernyataan  J.W.M. Engels dalam bukunya Rechtsstaat en Staatsrecht menjelaskan, bahwa kekuasaan negara tanpa hukum, tidak memiliki kewibawaan, sedangkan hukum tanpa Harahap, Konstitusi Republik Indonesia Sejak Proklamasi Hingga Reformasi, Grafiti Budi Utami, Bandung, 2004, hal. 10. 63Sri Soemantri M., Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, hal. 33. 64Sudargo Gautama, Pengertian tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1983, hal. 3. 62Krisna

57

dukungan sanksi, sulit ditegakkan. Dalam hubungan tersebut, hukum melegitimasi negara, sedangkan negara mempositifkan – mencipta, menegaskan, dan memberlakukan – dan menegakkan hukum 65 . Artinya, yang menjadi ciri khas negara hukum, yaitu hubungan antara negara dan hukum. Keduanya saling terkait dan saling mengisi. Pemikiran tentang negara hukum, seperti dikemukakan Sobirin Malian, sebenarnya sudah sangat tua, jauh lebih tua dari usia Ilmu Negara ataupun Ilmu Ketetanegaraan itu sendiri 66 . Plato (428-347 Sebelum Masehi), untuk pertama kali mengemukakan tentang cita negara hukum, dan kemudian dipertegas oleh Aristoteles. Plato dikenal karena produktivitas dan radikalitas pemikirannya. Dari sejumlah karya ilmiahnya, paling tidak ada tiga buah karyanya yang sangat relevan dengan masalah kenegaraan, yaitu Politea atau The Republica ditulisnya ketika masih berusia sangat muda; kedua, Politicos atau The Stateman; dan ketiga, Nomoi atau The Law. 67 Politea, buku pertama yang ia tulis lahir atas keprihatinannya menyaksikan kondisi negaranya yang saat itu represif. Ia melihat betapa penguasa saat itu sangat tiranik, haus dan gila kekuasaan, sewenang65 Krisna 66Sobirin 67Ibid.

Harahap, op. cit., hal. 11. Malian, op. cit., hal. 25.

58

wenang dan tidak memperhatikan nasib rakyat. Politea bisa disebut sebagai buku kritis yang mengoreksi dan menghendaki para penguasa berlaku sebaliknya. Plato seolah menyampaikan pesan moral agar negara – di bawah sebuah rezim – hendaknya berbuat adil menghadapi kesusilaan, bijaksana, berpengetahuan luas, dan memperhatikan nasib rakyatnya. Seorang pemimpin bagi Plato haruslah bebas dari kepentingan berkuasa atau tiranik, karena itu hanya para filosoflah yang dapat berbuat demikian , dan layak menjadi pemimpin. Dengan diserahkannya kekuasaan kepada filosof, kekhawatiran akan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau a buse of power   dapat dieliminir, bahkan dihilangkan. Itulah inti pokok Politea 68 . Sayangnya, cita negara ideal ploto ini tidak pernah dapat terwujud karena hampir tidak mungkin mencari manusia yang bebas dari hawa nafsu dan kepentingan pribadi di dalam kekuasaan. Hal ini pula yang mendasari perubahan pemikiran Plato, kemudian melalui karya keduanya Politicos, ia kembali berusaha memberi acuan agar negara perlu disertai dengan hukum atau rule of the game, untuk mengatur warga negara. Tetapi, sifat hukum ini tidak mengikat para penguasa, karena hal yang dibuat oleh penguasa tidak harus berlaku bagi pembuatnya. Pemikiran inipun ternyata belum memuaskannya, karena di dalam ide-ide dasarnya itu terbuka peluang para 68Ibid.,

hal. 25-26.

59

penguasalah yang sering bertindak mengangkangi hukum. Karena itu ia berusaha mengubah pikiran dan pendiriannya dengan lebih memberi porsi “terhormat” kepada hukum. Hukum seperti tertuang dalam buku ketiganya Nomoi, menekankan para penyelenggara negarapun hendaknya diatur oleh hukum. Sayang ideidenya berhenti sampai di situ. Ia meninggal diusia delapan puluh dua tahun 69 . Cita-cita Plato diteruskan oleh muridnya Aristoteles (384-322 Sebelum Masehi). Ide dasar dalam Nomoi dikembangkan lebih luas oleh Aristoteles dalam karyanya Politica. Pengertian negara hukum menurut Aristoteles dikaitkan dengan arti negara dalam perumusannya yang masih terkait dengan polis. Pendapat Aristoteles tentang pengertian negara hukum timbul dari  polis  yang mempunyai wilayah negara kecil, seperti kota yang berpenduduk sedikit, tidak seperti negara-negara sekarang ini yang mempunyai wilayah luas dengan penduduk banyak. Dalam  polis  segala urusan negara dilakukan dengan musyawarah, di mana seluruh warga turut serta dalam urusan penyelenggaraan negara. Yang dimaksud negera hukum menurut Aristoteles, seperti dikutip oleh Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, yaitu negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya 69Ibid.,

hal. 26.

60

kebahagiaan hidup untuk warga negaranya. Sebagai dasar dari keadilan perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula aturan hukum yang sebenarnya hanya ada kalau peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya. Bagi Aristoteles, yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan pikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya memegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan menentukan baik dan tidaknya suatu peraturan perundang-undangan, dan membuat undang-undang adalah sebagaian dari kecakapan menjalankan pemerintahan negara. Kata Aristoteles, yang terpenting yaitu mendidik manusia menjadi warga negara yang baik, karena dari sikap yang adil akan terjamin kebahagiaan hidup warga negaranya 70 . Berangkat dari pemikiran tersebut, Aristoteles berpendapat bahwa suatu negara yang baik, yaitu negara yang diperintah oleh konstitusi. Menurutnya, ada tiga unsur pemerintahan berkonstitusi, yaitu: Pertama, pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum;

Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1981, hal. 153154. 70Muh.

61

Kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasar ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi; dan Ketiga, pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintah yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan dan tekanan 71 . Dalam bukunya Politica, Aristoteles mengatakan: “Konstitusi merupakan penyusunan jabatan dalam suatu negara, dan menentukan apa yang dimaksudkan dengan badan pemerintahan, dan apa akhir dari setiap masyarakat, konstitusi merupakan aturanaturan, dan penguasa harus mengatur negara menurut aturan tersebut” 72 Pemikiran-pemikiran Aristoteles merupakan pengembangan dari gagasan Plato. Bahkan, dalam beberapa hal nampak Aristoteles lebih kritis dan lebih tajam dalam melihat kondisi saat itu. Hukum bagi Aristoteles saatnya berperan, dan hukum haruslah bukan paksaan dari penguasa. Yang diharapkan dengan hukum itu, akan tercapai keadilan dan kesejahteraan. Menyimak gagasan dan pandangan Aristoteles ini sebenarnya ide konstitusionalisme telah

Harahap, op. cit., hal. 12. Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuiridsis Normatif tentang Unsur-unsurnya, UI Press, 1995, hal. 20-21 71Krisna

72Azhari,

62

pula lahir sejak saat itu, hanya saja cakupan dan terminologinya baru berkembang pada abad ke 19. Ajaran Aristoteles ini sampai sekarang masih menjadi idaman bagi para negarawan untuk menciptakan suatu negara hukum. 2. Konsep Negara Hukum Pemikiran tentang negara hukum akan dibagi menjadi empat konsep negara hukum, yaitu: Pertama, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechtsstaat. Model negara hukum ini diterapkan misalnya di Belanda, Jerman, dan Perancis 73 . Kedua,  konsep rule of law yang diterapkan di negara-negaraAnglo-Saxon, antara lain Inggris dan Amerika Serikat 74 . Ketiga, suatu konsep yang disebut socialist legality yang diterapkan, antara lain di Uni Soviet sebagai negara komunis 75 . Keempat, konsep negara hukum di Indonesia 76 . Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini , Prenada Media, Jakarta, 2003, hal. 83-84. 74Ibid., hal. 84. 75Ibid. Komunisme sudah ambruk dan negara Uni Soviet telah dinyatakan bubar pada akhir tahun 1991. 76Padmo Wahjono, et. al., Kerangka Landasan Pembangunan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1989, hal. 17. 73Muhammad

63

Sebelum melangkah pada uraian tentang konsep negara hukum, perlu kiranya dikemukakan, bahwa pemikiran negara hukum di Barat dimulai sejak Plato dengan konsepnya, bahwa “penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan hukum yang baik”, disebutnya dengan istilah Nomoi. Selanjutnya ide tentang negara hukum mulai populer kembali pada abad ke 17 sebagai akibat dari situasi sosial politik di Eropa yang didominasi oleh absolutisme. Golongan yang pandai dan kaya ditindas oleh kaum Bangsawan dan Gereja. Yang menumbuhkan konsep etatisme atau l’etat cets moi menginginkan suatu perombakan struktur sosial politik yang tidak menguntungkan. Mereka mendambakan suatu negara hukum yang liberal agar setiap orang dapat dengan aman dan bebas mencari penghidupan dan kehidupan masing-masing 77 . Suatu negara hukum dapat diartikan sebagai negara apabila tindakan pemerintah maupun rakyatnya didasarkan atas hukum, untuk mencegah adanya tindakan sewenang-wenang dari pihak pemerintah atau penguasa dan tindakan rakyat yang dilakukan menurut kehendaknya sendiri. 78  Secara umum, karena cukup banyak rumusan 79   yang diberikan terhadap 77Muhammad 78Sobirin 79Ibid.

Tahir Azary, op. cit., hal. 88-89. Malian, op. cit., hal. 36.

64

pengertian negara hukum, tetapi sulit untuk mencari rumusan yang sama, baik itu disebabkan perbedaan asas negara hukum yang dianut maupun karena kondisi masyarakat dan zaman saat perumusan negara hukum dicetuskan. a. Konsep “Rechtsstaat” Dua orang sarjana Barat yang berjasa dalam pemikiran negara hukum, yaitu Immanuel Kant dan Friedrich Julius Stahl telah mengemukakan buah pikiran mereka. Kant memahami negara hukum sebagai nachtwaker staat  atau nachtwachterstaat  atau “negara penjaga malam” yang tugasnya menjamin ketertiban dan keamanan masyarakat. Gagasan hukum menurut konsep Kant dinamakan negara hukum liberal 80 . Konsep rechtsstaat  menurut Freidrich Julius Stahl dalam bukunya Constitutional Government and Democracy: Theory and Practice in Europe and America , seperti dikutip oleh Miriam Budiardjo, ditandai dengan empat unsur, yaitu adanya: a. hak-hak asasi manusia; b. pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak asasi manusia itu yang biasa dikenal sebagai Trias Politika;

Wahjono, Konsep Yuridis Indonesia, makalah, September 1998, hal. 2. 80Padmo

Negara

Hukum

65

c. pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur ); dan d. peradilan administrasi dalam perselisihan 81 . Gagasan rechtsstaat  yang berasal dari Stahl ini dinamakan negara hukum formil, karena lebih menekankan pada suatu pemerintahan yang berdasarkan undang-undang. Dalam perkembangannya, pemerintahan yang berdasarkan undang-undang dianggap “lamban”, karena itu diganti pemerintahan yang berdasarkan hukum atau prinsip rechtmatig bestuur . Selanjutnya, negara hukum formil menjadi negara hukum materiil dengan ciri rechtmatig bestuur . Kemudian lahirlah konsep-konsep yang merupakan variant dari rechtsstaat itu, antara lain welvaarstaat  dan verzorgingsstaat sebagai negara kemakmuran 82 . Menurut Scheltema, seperti dikutip oleh Muhammad Tahir Azhary, unsur-unsur rechtsstaat yaitu: 1. kepastian hukum; 2. persamaan; 3. demokrasi; dan 4. pemerintahan yang melayani kepentingan umum 83 .

Budiardjo, op. cit., hal. 57-58. Wahyono, “Konsep”, op. cit., hal. 2-3. 83Muhammad Tahir Azhary, op. cit., hal. 90. 81Miriam 82Padmo

66

Konsep rechtsstaat  di Eropa Kontinental sejak semula didasarkan pada filsafat liberal yang individualistik, maka ciri individualistik itu sangat menonjol dalam pemikiran negara hukum menurut Eropa Kontinental 84 . b. Konsep “Rule of Law” Di negara-negara Anglo-Saxon berkembang pula suatu konsep negara hukum yang semula dipelopori oleh A.V. Diecy dari Inggris, dengan sebutan rule of law. Konsep rule of law  menurut A.V. Diecy dalam bukunya Introduction to the Law   of the Constitution, seperti dikutip oleh Miriam Budiardjo, ditandai dengan tiga unsur, yaitu adanya: a. supremasi hukum (supremacy of law); tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary   power ), dalam arti bahwa seseorang hanya dapat dihukum kalau melanggar hukum; b. kedudukan yang sama d i depan hukum (equality before the law), baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat; dan

84Padmo

Wahjono, “Konsep”, op. cit., hal. 3.

67

c. terjaminnya hak-hak manusia oleh undangundang dan keputusan-keputusan pengadilan 85 . Perbedaan yang menonjol antara konsep rechtsstaat  dan rule of law, yaitu pada peradilan administrasi negara, merupakan suatu sarana yang sangat penting dan sekaligus pula ciri yang menonjol pada rechtsstaat. Sebaliknya, pada konsep rule of law, peradilan administrasi tidak diterapkan, karena kepercayaan masyarakat yang demikian besar kepada peradilan umum. Ciri yang menonjol pada konsep rule of law, yaitu ditegakkannya hukum yang adil dan tepat atau  just law 86 . Karena semua orang m empunyai kedudukan hukum yang sam a di hadapan hukum, maka ordinary court  dianggap cukup untuk mengadili semua perkara, termasuk perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah. c. Konsep “Socialist Legality” Socialist legality  yaitu konsep yang dianut di negara-negara komunis atau sosialis, tampaknya hendak mengimbangi konsep rule of law  yang dipelopori oleh negara-negara Anglo-Saxon. Ada latar belakang politis dalam hubungan dengan dunia intyernasional, 85Miriam

Budiardjo, op. cit., hal. 58.

86Padmo

Wahjono, “Konsep”, op. cit., hal. 3.

68

antara lain dengan penyelenggaraan Warsawa Colleqium pada tahun 1958 yang dihadiri oleh sarjana-sarjana dari negara-negara sosialis 87 . Dapat dipahami, bahwa inti dari socialist legality berbeda dengan konsep Barat, karena dalam socialist legality  hukum ditempatkan di ba wah sosialisme. Selaras dengan itu, perlu dikemukakan pendapat  Jaroszinky, seperti dikutip oleh Oemar Seno Adji, yaitu: “Hak perseorangan dapat disalurkan kepada prinsip-prinsip sosialisme, meskipun hak tersebut patut mendapat perlindungan” 88 . Terdapat hal yang penting dalam kaitannya dengan penelitian ini, yaitu dalam socialist legality ada suatu jaminan konstitusional tentang propaganda anti agama. Propaganda tersebut memang merupakan watak dari negara komunis atau sosialis dengan doktrinnya, agama sebagai candu bagi rakyat. Semua pihak mengetahui, bahwa komunisme mengajarkan sikap anti Tuhan. Konsep socialist legality  sulit dapat dikatakan sebagai suatu konsep negara hukum yang bersifat universal. Konsep ini dilihat dari segi kepentingan negara-negara komunis atau sosialis merupakan konsep yang dipandang sesuai dengan doktrin komunisme atau sosialisme. D ibandingkan dengan Tahir Azhary, op. cit., hal. 91. Seno Adji, Peradialan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1980, hal. 18. 87Muhammad 88Oemar

69

konsep Barat yang bertujuan untuk melindungi individu sebagai manusia yang bermartabat terhadap tindakan yang sewenang-wenang dari pemerintah, maka dalam socialist legality  yang terpenting yaitu realisasi sosialisme itu sendiri 89 . d. Konsep Negara Hukum di Indonesia Sebelum dibahas “Konsep Negara Hukum Indonesia”, perlu dikemukakan pendapat Scheltema, seperti yang dikutip oleh B. Arief Sidharta, bahwa unsur-unsur dan asas-asas dasar n egara hukum, sebagai berikut: 1. Pengakuan, Penghormatan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia yang Berakar dalam Penghormatan atas Martabat Manusia (Human Dignity); 2. Asas Kepastian Hukum Negara hukum bertujuan untuk menjamin bahwa kepastian hukum terwujud dalam masyarakat. Hukum bertujuan untuk mewujudkan kepastian dalam hubungan antarmanusia, yakni menjamin prediktabilitas dan juga bertujuan untuk mencegah bahw a hak yang terkuat yang berlaku, beberapa asas yang terkandung dalam asas kepastian hukum adalah:

89Ibid.,

hal. 25.

70

a. Asas legalitas, konstitusionalitas, dan supremasi hukum; b. Asas undang-undang menetapka n berbagai perangkat aturan tentang cara pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan pemerintahan; c. Asas non-retroaktif perundang-undangan: sebelum mengikat, undang-undang harus diumumkan secara layak; d. Asas peradilan bebas: obyektif-imparsial dan adil-manusiawi; e. Asas non-liquet: hakim tidak boleh menolak perkara yang dihadapkan kepadanya dengan alasan undang-undang tidak jelas atau tidak ada; f. Hak asasi manusia harus dirumuskan dan dijamin perlindungannya dalam undang-undang atau Undang-Undang Dasar. 3. Asas Similia Similibus atau Asas Persamaan. Dalam negara hukum, pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang tertentu, harus non-diskriminatif. Aturan hukum berlaku sama untuk setiap or ang, karena itu harus dirumuskan secara umum dan abstrak. Dua hal penting y ang terkandung dalam asas ini adalah:

71

a. Persamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan; b. Tuntutan perlakuan yang sama bagi semua warga negara. 4. Asas Demokrasi. Asas demokrasi memberikan suatu cara atau metode pengambilan keputusan. Asas ini menuntut bahwa tiap orang harus mempunyai kesempatan yang sama untuk mempengaruhi tindakan pemerintahan. Asas ini diwujudkan lewat sistem representasi atau perwakilan rakyat yang mempunyai peranan dalam pembentukan undang-undang dan kontrol terhadap pemerintah. Beberapa hal pentin g dalam asas demokrasi: a. Pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil; b. Pemerintah bertanggung jawab dan dapat dimintai pertanggung-jawaban oleh badan perwakilan rakyat; c. Semua warga negara memiliki kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses pen gambilan putusan politik dan mengontrol pemerintah;

72

d. Semua tindakan pemerintahan terbuka bagi kritik dan kajian rasional semua pihak; e. Kebebasan berpendapat atau berkeyakinan dan menyatakan pendapat; f. Kebebasan pers dan lalu lintas informasi; g. Rancangan undang-undang harus dipublikasikan untuk memungkinkan partisipasi rakyat secara efektif. 5. Pemerintah dan Pejabat Pemerintah Mengemban Fungsi Pelayanan Masyarakat. Pemerintah mengemban tugas untuk mema jukan kepentingan warga negara, semua kegiatan pemerintahan harus terarah kese jahteraan umum. Beberapa hal yang terdapat pada asas ini: a. Asas asas umum pemerintahan yang layak; b. Syarat-syarat fundamental bagi keberadaan manusia yang bermartabat manusiawi dijamin dan dirumuskan dalam aturan perundang-undangan, khususnya dalam konstitusi; c. Pemerintah harus secara rasional menata tiap tindakannya, memiliki tujuan yang

73

 jelas dan berhasil-guna atau doelmatig,  jadi harus efisien dan efektif 90 . Untuk membandingkan, apakah unsur-unsur atau asas-asas dasar negara hukum di atas dengan “Konsep Negara Hukum di Indonesia”, dapat diuraikan sebagai berikut. Unsur pertama, dapat ditemukan di dalam materi muatan Bab XA UUD 1945, mengatur tentang Hak Asasi Manusia, yang dijabarkan dalam ketentuan Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28 F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, dan P asal 28J. Rumusan hak asasi manusia yang terdapat dalam UUD 1945 dapat dibagi dalam beberapa aspek: 1. hak asasi manusia berkaitan dengan hidup dan kehidupan; 2. hak asasi manusia berkaitan dengan keluarga; 3. hak asasi manusia berkaitan dengan pekerjaan; 4. hak asasi manusia berkaitan dengan kebebasan beragama dan meyakini kepercayaan; 5. hak asasi manusia berkaitan dengan kebebasan bersikap, berpendapat, dan berserikat; 90B.

Arief Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, dalam Rule of Law, Jentera Jurnal Hukum, Jakarta, Edisi 3-Tahun II, November 2004, hal. 124-125.

74

6. hak asasi manusia berkaitan dengan informasi dan komunikasi; 7. hak asasi manusia berkaitan dengan rasa aman dan perlindungan dari perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia; 8. hak asasi manusia berkaitan dengan kesejahteraan sosial; 9. hak asasi manusia berkaitan dengan persamaan dan keadilan; 10. hak asasi manusia berkewajiban menghargai hak orang dan pihak lain. Unsur kedua, ditemukan di dalam materi muatan Bab IX UUD 1945, mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman, yang dijabarkan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (1), menjelaskan: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” Ketentuan kekuasaan kehakiman ini telah diatur dalam berbagai un dangundang, seperti UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 2004; juga UU No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dan ditambah, terakhir oleh UU No. 5 Tahun 2004. Unsur ketiga, ditemukan di dalam materi muatan Bab X UUD 1945, mengatur tentang Warga Negara dan Penduduk, yang dijabarkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1), menjelaskan: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum

75

dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Unsur keempat, ditemukan di dalam: (a) Sila keempat Pancasila, yang berbunyi: “Kerakyaran yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; (b) Alinea keempat Pembukaan UUD 1945: … Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat …, dan (c) di dalam materi muatan Bab I UUD 1945, yang dijabarkan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2), menjelaskan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Unsur kelima, ditemukan di dalam materi muatan Bab XIV UUD 1945, mengatur tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, yang dijabarkan dalam ketentuan Pasal 33, dan khususnya ketentuan Pasa l 34 ayat (2), menjelaskan: “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai deng an martabat kemanusiaan.” Rechtsstaat  atau rule of law  di Indonesia diterjemahkan dengan “negara hukum” ini, pada masa abad ke-19 sampai dengan abad ke-20 disebut sebagai negara hukum formal dengan ciri-cirinya sendiri. Unsur-unsur utama negara hukum suatu negara dapat berbeda dengan negara lain. Penyebab perbedaan itu

76

adalah latar belakang sejarah suatu bangsa, terutama sejarah negara hukumnya. Sri Soemantri lebih mempertegas lagi mengenai unsur-unsur yang terpenting dalam negara hukum yang dirinci menjadi empat unsur, yaitu: a. bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan; b. adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara; c. adanya pembagian kekuasaan dalam negara; dan d. adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (Rechterlijke Controle) 91 . Sejalan dengan unsur-unsur negara hukum, apabila dihubungkan dengan negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dapat ditemukan unsur-unsur negara hukum, yaitu: a. adanya pengakuan terhadap jaminan hakhak asasi manusia dan warga negara; b. adanya pembagian kekuasaan;

Soemantri M., Bunga Rampai Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1992, hal. 29-30. 91Sri

77

c. dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, pemerintah harus selalu berdasar atas hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis; dan d. adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya bersifat merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah maupun kekuasaan lainnya 92 . Sebagai negara yang lahir pada abad modern, Indonesia juga menyatakan diri sebagai negara hukum. Asas negara hukum yang dianut, banyak dipengaruhi oleh paham Eropa Konstinental, dan hal itu memang sangat dimengerti mengingat Indonesia merupakan negara jajahan Belanda. Ketentuan bahwa Indonesia merupakan negara hukum menurut Dahlan Thaib, dapat dilihat mulai dari Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan UUD 1945: a. Pembukaan UUD 1945 memuat dalam alinea pertama kata “perikeadilan”; dalam alinea kedua istilah “adil”; serta dalam alinea keempat perkataan: “keadilan sosial” dan “kemanusiaan yang adil”. Semua istilah ini mengindikasikan kepada pengertian negara hukum, karena bukankah salah

92A.

Mukti Arto, op. cit., hal. 18-19.

78

satu tujuan negara hukum itu untuk mencapai keadilan 93 . b. Dalam Batang Tubuh UUD 1945 rumusan mengenai negara hukum ini dimuat sangat singkat yaitu: “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machsstaat).” Tetapi dari rumusan yang singkat ini telah tercermin bahwa negara Indonesia menganut prinsip-prinsip negara hukum yang umum berlaku seperti dikemukakan Syahran Basah dengan mengatakan: “Arti negara hukum tidak terpisahkan dari pilarnya itu sendiri, yaitu paham kedaulatan hukum. Paham itu adalah ajaran yang menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi terletak pada hukum atau tiada kekuasaan lain apapun, terkecuali kekuasaan hukum semata yang dalam hal ini bersumber pada Pancasila selaku sumber dari segala sumber hukum ... kemudian, hal di atas itu dikontradiksikan dan dipisahkan secara tegas antara negara hukum pada satu pihak dan negara kekuasaan pada pihak lain yang dapat menjelma seperti dalam bentuk diktator, atau bentuk lainnya semacam

Thaib, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Konstitusi, Liberty, Yogyakarta, 2000, hal. 25-26. 93Dahlan

79

itu, yang tidak dikehendaki apabila dilaksanakan di persada pertiwi ini” 94 . Dari uraian ini jelas bahwa secara prinsip Indonesia suatu negara yang berdasar atas hukum, dan untuk itu dapat dikemukakan dua pemikiran: Pertama, bahwa kekuasaan tertinggi di dalam negara Indonesia ialah hukum yang dibuat oleh rakyat melalui wakil-wakilnya di lembaga legislatif. Jadi, suatu kedaulatan hukum sebagai penjelmaan lebih lanjut dari paham kedaulatan rakyat (Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes). Pemikiran kedua, ialah bahwa sistem pemerintahan negara atau cara-cara pengendalian negara memerlukan kekuasaan ( power/ macht) namun tidak ada suatu kekuasaan pun di Indonesia yang tidak berdasarkan atas hukum 95 . Dalam konteks inilah seharusnya hukum di Indonesia itu bersifat supreme.

Basah, Perlindungan Hukum terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Unpad, Bandung, 1986, hal. 3. 95Padmo Wahjono, Negara Rerpublik Indonesia, Rajawali,  Jakarta, 1982, hal. 17. 94Syahran

80

81

3 KONSTITUSI Untuk menjelaskan konstitusi, secara berturutturut diuraikan tentang: pengertian konstitusi; kedudukan, sifat, dan fungsi konstitusi; model konstitusi; serta materi muatan konstitusi. 1.

Pengertian Konstitusi Sudah menjadi kenyataan, apabila orang mencoba mencari akar suatu faham modern yang tumbuh dan berkembang di dunia Barat, orang memulainya dengan menengok sejarah Yunani Purba. Orang Yunani Purba rupanya telah mengenal beberapa kumpulan hukum, semacam kitab hukum. Semasa

82

kejayaannya, antara tahun 624-404 S.M., Athena pernah mempunyai tidak kurang dari sebelas buah “konstitusi”. Aristoteles pernah mempunyai koleksi yang terdiri atas seratus lima puluh delapan buah “konstitusi”. Adapun yang dimaksud dengan “konstitusi” pada masa itu sebenarnya hanyalah berupa kumpulan dari peraturan serta adat kebiasaan sematamata 96 . Di Roma pengertian konstitusi (constitutiones) mempunyai arti sebagai suatu kumpulan ketentuan serta peraturan yang dibuat oleh para kaisar. Termasuk di dalamnya, yaitu pernyataan-pernyataan pendapat dari para ahli hukum ataupun para negarawan, serta adat kebiasaan setempat, di samping undang-undang 97 . Konstitusi Roma ini berpengaruh besar, bahkan sampai ke abad pertengahan. Konsep tentang kekuasaan tertinggi (ultimate power ) dari para Kaisar Roma kelak menjelma ke dalam l’etat general  dari Perancis 98 . Seperti diuraikan dalam kerangka teoretis, bahwa konstitusi berasal dari bahasa Perancis, constituer , berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksud, yaitu pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara. 96Koerniatmanto

Soetoprawiro, “Konstitusi: Pengertian dan Perkembangannya”, dalam Pro Justitia, Nomor 2 Tahun V, Mei 1987, hal. 22-23. 97Ibid., hal. 23. 98Ibid.

83

Istilah undang-undang dasar merupakan terjemahan dari bahasa Belanda  grondwet. Perkataan wet diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia “undangundang” 99 , dan grond berarti “tanah atau dasar” 100 . Dalam bahasa Latin, kata konstitusi merupakan gabungan dari dua kata, yaitu cume dan statuere. Cume yaitu sebuah preposisi yang berarti “bersama dengan”, sedangkan statuere  berasal dari kata sta  yang membentuk kata kerja stare  yang berarti “berdiri”. Atas dasar itu, kata statuere  mempunyai arti “membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan/menetapkan”. Dengan demikian, bentuk tunggal, constitutio, berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama; dan bentuk  jamak, constitusiones, berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan 101 . Dalam bab sebelumnya telah dikemukakan, bahwa undang-undang dasar ( grondwet) berbeda dengan konstitusi (constitution). Undang-undang dasar merupakan bagian tertulis dari sutu konstitusi, sedangkan konstitusi memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis. Di dalam penelitian ini diartikan, bahwa konstitusi sama dengan undangundang dasar.

Tair dan H. van der Tas, Kamus Belanda, Timun Mas, Jakarta, 1972, hal. 394. 100Ibid., hal. 111. 101Koerniatmanto Soetoprawiro, op. cit., hal 28-29. 99M.A.

84

Penyamaan konstitusi dengan undang-undang dasar, sebenarnya sudah dimulai sejak Oliver Cromwell -- Lord Protector   Republik Inggris 1649-1660 – yang menamakan undang-undang dasar sebagai instrument of government, yakni undang-undang dasar dibuat sebagai pegangan untuk memerintah, dan di sinilah timbul identifikasi dari pengertian konstitusi dan undang-undang dasar 102 . Mereka yang memandang negara dari sudut kekuasaan dan menganggapnya sebagai organisasi kekuasaan, maka undang-undang dasar dapat dipandang sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan dibagi antara beberapa lembaga kenegaraan, misalnya antara badan legislatif, eksekutif, dan yudisial. Undang-undang dasar menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasaan ini bekerja sama dan menyesuaikan diri satu sama lain. Undang-undang dasar merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu negara 103 . Penganut faham yang membedakan pengertian konstitusi dengan undang-undang dasar, antara lain Herman Heller dan F. Lassalle. Herman Heller membagi pengertian konstitusi menjadi tiga, yaitu: 1. Die Politische Verfassung als gesellschaftlich wirklichkeit.

Thaib et. al., op cit., hal. 9. hal. 10.

102Dahlan 103Ibid.,

85

Konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan. Jadi mengandung pengertian politis dan sosiologis. 2. Die Verselbstandigte rechtsverfassung. Konstitusi merupakan suatu kesatuan norma yang hidup dalam masyarakat. Jadi mengandung pengertian yurudis. 3. Die geshereiben Verfassung. Konstitusi yang tertulis dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi, berlaku dalam suatu negara 104 . Berdasarkan kutipan di atas, dapat disimpulkan  jikalau pengertian undang-undang harus dihubungkan dengan pengertian konstitusi, maka artinya undang-undang dasar itu merupakan sebagian dari konstitusi, yaitu konstitusi tertulis saja. Di samping itu, konstitusi tidak hanya bersifat yuridis semata-mata, tetapi mengandung pengertian logis dan politis. F. Lassalle dalam bukunya Uber Verfassungswesen, membagi konstitusi dalam dua pengertian, yaitu: Sosiologische atau politische begrip (pengertian sosiologis atau politis). Konstitusi adalah sintesis faktor-faktor kekuatan yang nyata dalam masyarakat. Jadi 104Moh.

Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, op. cit., hal. 65.

86

konstitusi digambarkan hubungan antara kekuasaan-kekuasaan yang terdapat dengan nyata dalam suatu negara. Kekuasaan tersebut di antaranya: raja, parlemen, kabinet,  pressure groups, partai politik, dan lain-lain; itulah yang sesungguhnya konstitusi. Yuridische begrip (pengertian yuridis). Konstitusi adalah suatu naskah yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan 105 . Berdasarkan kutipan di atas, ternyata Lassalle menganut faham, bahwa konstitusi sesungguhnya mengandung pengertian yang lebih luas dari undangundang dasar. Dalam pengertian yuridis, Lassalle terpengaruh pula oleh faham kodifikasi yang menyamakan konstitusi dengan undang-undang dasar. Menurut Dahlan Thaib et. al., penyusun UUD 1945 menganut pemikiran sosiologis di atas, sebab dalam penjelasan UUD 1945 dinyatakan: “UndangUndang Dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari hukum dasar negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang di samping Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh,  Asas-asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1991, hal. 73. 105Abu

87

timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis” 106 . Di pihak lain, penganut faham modern yang tegas-tegas menyamakan pengertian konstitusi dengan undang-undang dasar, yaitu James Bryce dan C.F. Strong. Pendapat James Bryce seperti dikutip C.F. Strong dalam bukunya  Modern Political Constitutions menyatakan konstitusi adalah:  A frame of political society, organized through and by law, that is to say on in which law has established permanent institutions with recognised functions definite rights 107 . Berdasarkan definisi di atas, pengertian konstitusi dapat disederhanakan rumusannya, sebagai kerangka negara yang diorganisasi dengan dan melalui hukum, yang menetapkan: Pertama, pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang permanen. Kedua, fungsi alat-alat perlengkapan. Ketiga, hak-hak tertentu yang telah ditetapkan 108 . C.F. Strong melengkapi pendapat tersebut dengan pendapatnya sendiri sebagai berikut: Constitution is a collection of principles according to which the power of Thaib et. al., op. cit., hal. 12. Strong,  Modern Political Constitutions, Sidgwick &  Jackson Limited, London, 1966, hal. 11. 108Dahlan Thaib et. al., op cit., hal. 13. 106Dahlan 107C.F.

88

the government, the rights of the governed, and the relations between the two are ajusted. Berdasarkan pendapat Strong di atas, konstitusi dapat juga dikatakan sebagai suatu kumpulan asasasas yang menyelenggarakan: Pertama, kekuasaan pemerinthan (dalam arti luas). Kedua, hak-hak yang diperintah. Ketiga, hubungan antara pemerintah dan yang diperintah, menyangkut di dalamnya masalah hak asasi manusia 109 . Pengertian konstitusi seperti dikenal dalam berbagai literatur dapat diartikan secara sempit dan secara luas. Contextualist theory  beranggapan, bahwa konstitusi bukan merupakan kesepakatan antar-unsur bangsa, melainkan sebagai sarana pembatasan kekuasaan. Norma yang terkenal dari penganut teori ini menyatakan, bahwa the main purpose of constitutions is to limit government power, including the authority of elected official motivation, and anxiety to protect individual liberties should all be the watchwords of constitutional construction. 110 Sejalan dengan pengertian di atas K.C. Wheare dalam bukunya Modern Constitutions menjelaskan ten109Ibid, 110Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Naskah Akademik Kajian Komprehensif Komisi Konstitusi tentang Perubahan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 , Jakarta, 2004, hal. 6.

89

tang the narrower sense of ‘constitution’  dan the wider meaning of ‘constitution’. Konstitusi dalam arti sempit menyangkut aspek hukum saja, sedangkan konstitusi dalam arti luas tidak hanya sebagai aspek hukum melainkan juga “non-hukum” 111 . Bolingbroke manga jukan pengertian konstitusi dalam arti luas, dalam esainya On Parties seperti dikutip oleh Wheare, men jelaskan: By Constitution, we mean, whenever we speak with propriety and exactness, that assemblage of laws, institutions and customs, derived from certain fixed  principles of reason … that compose the general system, according to which the community halt agreed to be  governed 112 . Dari kutipan di atas dapat diterjemahkan secara bebas: Yang dimaksud dengan Konstitusi – dalam arti luas --, kalau kita ingin berbicara secara tepat dan pasti, merupakan kumpulan hukum, institusi, dan adat kebiasaan, yang ditarik prinsip-prinsip rasio tertentu … yang membentuk sistem umum atau asas hukum umum, di mana masyarakat setuju untuk diperintah. Berdasarkan pengertian tersebut Bolingbroke menegaskan, bahwa konstitusi merupakan bentuk pengaturan tentang berbagai aspek yang mendasar dalam sebuah negara, baik aspek hukum maupun aspek lainnya yang merupakan kesepakatan Wheare,  Modern Constitutions, Oxford University Press, London, 1980, hal. 2. 112Ibid. 111K.C.

90

masyarakat untuk diatur. Aspek lain dalam pemahaman Bolingbroke dapat berupa aspek sosial maupun aspek filisofis dalam arti asas-asas yang didasarkan pada alasan-alasan tertentu. Dengan merujuk pada Dennis C. Mueller dalam buku Constitutional Democracy, Komisi Konstitusi memberikan pengertian konstitusi dalam arti statik dan arti dinamik. Konstitusi dalam arti “statik” terkait dengan wujudnya sebagai ketentuan konstitusional yang bersifat normatif. Konstitusi tersebut berkualifikasi sebagai konsep seperti diinginkan oleh suatu bangsa untuk diwujudkan sebagai perjanjian sosial atau social contract, yaitu: a constitution as a form of social contract joining the citizens of the state and defining the state itself. A contract is an agreement among two or more individuals specifying certain duties, obligation, and rights of each individual, and penalties for complying or violating the terms of the contract 113 . Pengertian konstitusi dalam arti “dinamik” dikaitkan dengan asumsi, bahwa suatu konstitusi agar tidak sekedar berisi rumusan yuridis-normatif, melainkan harus bersifat praktikal serta menunjukkan adanya interaksi antar-komponen. Dalam pengertian ini, constitutionalism in practice is largely a process of interpretation conducted within a community whose members share political power and jointly seek to determine 113Majelis

hal. 7.

Permusyawaratan Rakyat, “Naskah”, op. cit.,

91

what a constitution permits or requires in specific interest 114 . Uraian di atas dapat dipahami, bahwa UUD 1945 merupakan konstitusi dalam arti luas. Konstitusi itu bukan hanya dokumen hukum, melainkan juga mengandung aspek “non-hukum”, seperti pandangan hidup, cita-cita moral, dasar filsafati, keyakinan religius, dan paham politik suatu bangsa. UUD 1945 juga merupakan konstitusi dalam arti dinamik, yang tidak sekadar berisi tentang pembatasan kekuasaan, melainkan juga tersedianya pengaturan interaktif antar-unsur bangsa secara bersama-sama guna menentukan persoalan-persoalan ketatanegaraan yang ingin diwujudkan. 2.

Kedudukan, Sifat, dan Fungsi Konstitusi Kedudukan, sifat dan fungsi konstitusi dalam negara berubah dari zaman ke zaman. Pada masa peralihan dari negara feodal monarkhi atau oligarki dengan kekuasaan mutlak penguasa ke negara nasional demokrasi; konstitusi berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat dan penguasa. Kemudian secara berangsur-angsur mempunyai fungsi sebagai alat rakyat dalam perjuangan kekuasaan melawan golongan penguasa. Sejak itu, setelah perjuangan dimenangkan oleh rakyat, konstitusi bergeser kedudukan dan perannya. Dari sekedar pen114

Ibid.

92

 jaga keamanan dan kepentingan hidup rakyat terhadap kezaliman golongan penguasa, menjadi senjata pamungkas rakyat untuk mengakhiri kekuasaan sepihak satu golongan dalam sistem monarkhi dan oligarki, serta untuk membangun tata kehidupan baru atas dasar landasan kepentingan bersama rakyat dengan menggunakan berbagai ideologi seperti; individualisme, liberalisme, universalisme, demokrasi, dan sebagainya. Selanjutnya kedudukan dan fungsi konstitusi ditentukan oleh ideologi yang melandasi negara 115 . Dalam sejarahnya di dunia Barat, konstitusi dimaksudkan untuk menentukan batas wewenang penguasa menjamin hak rakyat dan mengatur jalannya pemerintahan. Dengan kebangkitan faham kebangsaan sebagai kekuatan pemersatu, serta dengan kelahiran demokrasi sebagai faham politik yang progresif dan militan; konstitusi menjamin alat rakyat untuk konsolidasi kedudukan hukum dan politik, untuk mengatur kehidupan bersama dan untuk mencapai cita-citanya dalam bentuk negara. Berhubung dengan itu, konstitusi di zaman modern tidak hanya memuat atauran-aturan hukum, tetapi juga merumuskan atau menyimpulkan prinsip-prinsip hukum, haluan negara

115Dahlan

Thaib et. al., op. cit., hal. 20.

93

dan patokan kebijaksanaan, yang kesemuanya mengikat penguasa 116 . Seperti diuraikan sebelumnya, di dalam negaranegara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, undang-undang dasar mempunyai fungsi yang khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintahan sedemikian rupa, sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian, diharapkan hak-hak warga negara akan lebih terlindungi. Gagasan ini dinamakan konstitusionalisme. Carl J. Freidrich dalam bukunya Constitutional Government and Democracy, seperti dikutip oleh Dahlan Thaib et. al., konstitusionalisme yaitu: “gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah” 117 . Pembatasan yang dianggap paling efektif ialah dengan jalan membagi kekuasaan. Freidrich mengatakan, bahwa dengan jalan membagi kekuasaan, konstitusionalisme menyelenggarakan sua116Ibid 117Ibid.,

hal. 22.

94

tu sistem pembatasan yang efektif atas tindakan-tindakan pemerintah. Pembatasan-pembatasan ini tercermin dalam undang-undang dasar atau konstitusi. Jadi dalam anggapan ini, konstitusi mempunyai fungsi yang khusus dan merupakan perwujudan atau manifestasi dari hukum yang tertinggi atau supremation of law yang harus ditaati, bukan hanya oleh rakyat tetapi oleh pemerintah serta penguasa sekalipun 118 . Menurut penelitian Henc van Maarseveen dan Ger van der Tang dalam sebuah studinya terhadap konstitusi-konstitusi di dunia, yang dituangkan dalam sebuah buku Written Constitutions, dikatakan antara lain bahwa: 1) constitution as a national document, sebagai dokumen nasional; dan 2) constitution as a birth certificate, sebagai piagam kelahiran negara 119 . Konstitusi sebagai dokumen nasional mempunyai fungsi: 1) having a constitution to show to the outside world, mempunyai konstitusi itu untuk menunjukkan eksistensinya kepada dunia luar;

Budiardjo, op. cit., hal. 97. Soemantri M., “Fungsi Konstitusi dalam Pembatasan Kekuasaan”, dalam Hukum dan Kekuasaan  , FH UII, 1998, hal. 93. 118Miriam 119Sri

95

2) to emphasize the state’s own identity, untuk menun jukkan identitas suatu negara; 3) constitution as a means of forming the state’s own political and legal system, konstitusi sebagai alat untuk membentuk sistem politik dan sistem hukum suatu negara 120 . Konstitusi sebagai piagam kelahiran negara mempunyai fungsi: 1) constitution as a sign of adulhood and independent, konstitusi sebagai tanda kedewasaan dan kemerdekaan suatu bangsa; 2) constitution as a politico and legal document, konstitusi sebagai dokumen politik dan dokumen hukum 121 . Uraian di atas menjelaskan, bahwa konstitusi diartikan sebagai dokumen hukum dan dokumen sosial politik atau social and political document, resmi kedudukannya sangat istimewa atau a special legal sanctity dan luhur dalam sistem hukum suatu negara, terdiri dari peraturan-peraturan dasar atau basic law diperoleh melalui kesepakatan-kesepakatan tentang prinsip-prinsip pokok kekuasaan negara, maksud dan tujuan negara, organisasi kekuasaan negara, hak dan kewajiban, wewenang dan tanggung jawab, pembatasan terhadap kekuasaan negara, mengatur hubungan

120Ibid. 121Ibid.

96

antar lembaga negara, termasuk jaminan atas perlindungan hak-hak asasi manusia dan warga negara 122 . Dilihat dari aspek politik dan historik, konstitusi merupakan perjanjian luhur dan kedudukannya sebagai sumber hukum tertinggi suatu negara, merupakan piagam kelahiran suatu negara baru atau a birth certificate, inspirasi dan pandangan hidup atau inspiration and world view, yang berfungsi sebagai pendorong cita-cita bangsa. Sehubungan dengan itu, kedudukan dan sifat konstitusi dalam suatu negara sangat kuat dan tidak dapat dikalahkan oleh peraturan hukum lainnya. Blaustin menyebut konstitusi sebagai the queen of legal document yang berbeda materi muatan dan proses pembuatan dan perubahannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya. 123  Perbedaan tersebut terutama, ditentukan oleh kedudukan konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi, sifatnya yang simpel atau tidak rinci, karena memuat hal-hal pokok dan sangat penting. Konstitusi juga berfungsi sebagai pengendali peraturan hukum yang ada dibawahnya. Baik C.F. Strong, K.C. Wheare, M. Rosenfeld, Henc van Maarseveen, Lawrence Beer, Sri Soemantri 122Majelis

hal. 8. 123Ibid.

Permusyawaratan Rakyat, “Naskah”, op. cit.,

97

M., dan Juimly Asshiddiqie memperlihatkan pandangan yang satu sama lain bertautan. Dari berbagai pandangan tersebut kedudukan dan dungsi konstitusi, sebagai berikut: 1) Konstitusi berfungsi sebagai dokumen nasional atau national document  yang mengandung perjanjian luhur, berisi kesepakatan-kesepakatan tentang politik, hukum, pendidikan, kebudayaan, ekonomi, kesejahteraan, dan aspek fundamental yang menjadi tujuan negara. 2) Konstitusi sebagai piagam kelahiran negara baru atau a birth certificate of a new state. Hal ini juga merupakan bukti adanya pengakuan masyarakat internasional, termasuk untuk menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, karena itu sikap kepatuhan suatu negara terhadap hukum internasional ditandai dengan adanya ratifikasi terhadap perjanjian-perjanjian internasional. 3) Konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi. Konstitusi mengatur maksud dan tujuan terbentuknya suatu negara dengan sistem administrasinya melalui adanya kepastian hukum yang terkandung dalam pasal-pasalnya, unifikasi hukum nasional, social control, memberikan legitimasi atas berdirinya lembaga-lembaga negara termasuk pengaturan tentang pembagian dan pemisahan kekuasaan antara organ legislatif, eksekutif, dan yudisial. Konstitusi sebagai sumber hukum tidak saja berfungsi sebagai a tool of social engineering and

98

4) Konstitusi sebagai identitas nasional dan lambang persatuan. Konstitusi menjadi suatu sarana untuk memperlihatkan berbagai nilai dan norma suatu bangsa dan negara, misalnya simbol demokrasi, keadilan, kemerdekaan, negara hukum, yang dijadikan sandaran untuk mencapai kemajuan dan keberhasilan tujuan negara. Konstitusi suatu negara diharapkan dapat menyatakan persepsi masyarakat dan pemerintah, sehingga memperlihatkan adanya nilai identitas kebangsaan, persatuan dan kesatuan, perasaan bangga dan kehormatan sebagai bangsa yang bermartabat. Konstitusi dapat memberikan pemenuhan atas harapan-harapan sosial, ekonomi dan kepentingan politik. Konstitusi tidak saja mengatur pembagian dan pemisahan kekuasaan dalam lembaga-lembaga politik seperti legislatif, eksekutif, dan yudisial; akan tetapi juga mengatur tentang penciptaan keseimbangan hubungan atau checks and balances  antara aparat pemerintah di pusat dan di daerah. 5) Konstitusi sebagai alat untuk membatasi kekuasaan. Konstitusi dapat berfungsi untuk membatasi kekuasaan, mengendalikan perkembangan dan situasi politik yang selalu berubah, serta berupaya untuk menghindarkan adanya penyalahgunaan kekuasaan. Berdasarkan alasan tersebut, menjadi sangat penting diperhatikan seberapa jauh formulasi

99

pasal-pasal dalam konstitusi mengakomodasikan materi muatan pokok dan penting, sehingga dapat mencegah timbulnya penafsiran yang beraneka ragam. 6) Konstitusi sebagai pelindung HAM dan kebebasan warga negara. Konstitusi memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan hak-hak kebebasan warga negara. Hal ini merupakan pengejawantahan suatu negara hukum dengan ciriciri equality before the law, non-diskriminatif, dan keadilan hukum atau legal justice  dan keadilan moralitas atau social and moral justice. 124 3.

Model Konstitusi Dalam kenyataan, tidak ada konstitusi ideal yang dapat diterapkan pada semua negara. Masyarakat negara-negara modern mengakui, bahwa suatu konstitusi harus mengandung beberapa unsur fundamental, yaitu: Pertama, konstitusi bukan sekadar memuat aturan hukum, melainkan juga gagasan-gagasan tentang sistem nilai masyarakatnya. Karena itu, konstitusi selalu berisi landasan filosofis, historis, politik, yuridis dan sosiologis. Dalam tradisi Barat konstitusi harus mendefinisikan secara tugas pemisahan antara negara dengan agama. Hal ini tentu berbeda dari tradisi kons124Ibid.,

hal. 12-13.

100

titusi yang berkembang di masyarakat Asia Tenggara. Sistem hukum yang berlangsung dalam suatu masyarakat tidak dapat dilepaskan dari tradisi keagamaannya. Sebagai contoh dapat dikemukakan peran agama Hindu, Budha, Islam, dan juga Konghucu di negara-negara Asia. Kedua, konstitusi akan legitimate  dan memperoleh pengakuan dari masyarakat, apabila proses pembentukannya tidak saja melibatkan institusi-institusi yang kompeten sesuai ketentuan yang ada, melainkan  juga melibatkan partisipasi masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam proses pembentukan atau perubahan konstitusi secara langsung atau tidak, sangat menentukan tingkat legitimasi konstitusi. Hal ini diakui oleh banyak pakar hukum tata negara. Kelebihan konstitusi Afrika Serlatan pasca-rezim apartheid  ditandai oleh proses pembentukannya yang partisipatif dan komprehensif. Komisi Konstitusi di Afrika Selatan tidak saja berperan menyediakan sumber-sumber materi muatan konstitusi, melainkan  juga memfasilitasi atau menawarkan gagasan-gagasan alternatif kepada masyarakat, atau sebaliknya mengakomodasikan gagasan masyarakat yang relevan ke dalam materi muatan konstitusi. Terakomodasinya nilai-nilai universal dan nilai-nilai lokal ke dalam suatu konstitusi diharapkan dapat menjadikan konstitusi responsif terhadap perkembangan segala zaman atau living constitution. Oleh karena itu, suatu konstitusi tidak akan pernah kehilangan jati diri

101

keasliannya dan juga sangat responsif terhadap perkembangannya. Masyarakat selalu berorientasi pada masa lalu atau in the past, masa kini atau in the present, dan juga masa yang akan datang atau in the future. Dalam bahasa Belanda: In het heden ligt het verleden, in het nu wat komen zal. Ketiga, kecenderungan konstitusi di negara-negara yang berbentuk kesatuan berbeda dengan negaranegara yang berbentuk federal. Konstitusi negaranegara kesatuan pada umumnya sederhana, fleksibel dan pendek, sedangkan konstitusi negara-negara berbentuk federal pada umumnya lebih rinci 125 . 4. Materi Muatan Konstitusi C.F. Strong mengemukakan, bahwa konstitusi mengatur tiga materi muatan pokok, a constitution may be said to be a collection of principles according to which the  power of the government, the rights of the governed, and the relations between the two are adjusted 126 . Kumpulan asas yang mengatur tiga materi muatan pokok suatu konstitusi, yaitu: 1) kekuasaan pemerintahan (dalam arti luas); 2) hak-hak yang diperintah (hak-hak asasi); dan 3) hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah. 125Ibid., 126C.F.

hal. 14-15. Strong, op. cit., hal 11.

102

Henc van Maarseveen dan Ger van der Tang dalam bukunya Written Constitutions  menjelaskan, bahwa konstitusi harus dapat menjawab berbagai pokok persoalan, antara lain: 1) a constitution is the basic law of a state atau konstitusi merupakan hukum dasar suatu negara; 2) a constitution is the basic collection of rules establishing the principal institutions of a state atau kostitusi merupakan sekumpulan aturan dasar yang menempatkan lembaga-lembaga yang penting dalam negara; 3) a constitution regulates the most important of the state’s institutions, their powers and their mutual relations atau konstitusi melakukan pengaturan kekuasaan dan hubungan keterkaitannya; 4) a constitution regulates the fundamental rights and duties of the citizens and the government, both separately and as regards one another   atau konstitusi mengatur hak-hak adasar dan kewajiban warga negara dan pemerintah, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama; 5) a constitution regulates and limits the power of the state and its institution  atau konstitusi mengatur dan membatasi kekuasaan negara dan lembaga-lembaganya; 6) a constitution establishes the ideology of the existing  power elite in rules atau konstitusi merupakan ideologi elite penguasa;

103

7) a constitution determines the material relations of state and society  atau konstitusi menentukan hubungan materiil antara negara dengan masyarakat 127 . Sejalan dengan uraian di atas, Sri Soemantri M. menjelaskan, sebagai fundamental law, setiap konstitusi harus mempunyai materi muatan: 1) adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara; 2) ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental; dan 3) adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental 128 . Menurut Miriam Budiardjo, setiap undang-undang dasar memuat ketentuan-ketentuan mengenai: 1) Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan yudisial; pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian; prosedur menyelesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintahan dan sebagainya. 2) Hak-hak asasi manusia. 3) Prosedur mengubah undang-undang dasar. van Maarseveen dan Ger van der Tang, Written Constitutions, A Computerized Comparative Study, Oceana Publications, Inc., Dobbs Ferry, New York, 1978, hal. 232. 128Sri Soemantri M., Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1987, hal. 51. 127Henc

104

4) Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari undang-undang dasar 129 . Kedua pendapat, antara Sri Soemantri M. dan Miriam Budiardjo apabila dibandingkan, maka pendapat Miriam lebih luas cakupannya, yakni menyangkat adanya perubahan undang-undang dasar. 5. Klasifikasi Konstitusi Pengklasifikasian konstitusi yang dilakukan oleh pakar konstitusi, baik yang dikatagorikan sebagai pendekatan tradisional – Bryce, Wheare – maupun pendekatan baru – Wolf & Phillips – sesungguhnya  juga terkait dengan persoalan perubahan konstitusi yang menyangkut prosedur dan substansi 130 . K.C. Wheare dalam bukunya  Modern Constitutions  mengemukakan enam klasifikasi konstitusi yang diikuti oleh Bryce, seperti dikutip oleh Abdul Mukthie Fadjar, yakni:

Budiardjo, op. cit., hal. 101. Mukthie Fadjar, “Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi Paradigmatik”’ Pengantar dalam Konstitusi Baru melalui Komisi Konstitusi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002, hal. XXXVII. 129Miriam 130Abdul

105

1) 2) 3) 4) 5) 6)

written and unwritten;  flexible and rigid; supreme and subordinate;  federal and unitary; separated powers and fused powers; republican and monarchial; tiga yang pertama lebih terkait dengan “prosedur”, sedangkan tiga yang terakhir lebih terkait dengan “substansi” 131 . Di pihak lain, Wolf-Phillips mengemukakan tiga belas klasifikasi konstitusi, seperti yang dikutip oleh Abdul Mukthie Fadjar, yakni: 1) codified and uncodified; 2) conditional and unconditional; 3) superior and subordinate; 4)  flexible and rigid; 5) indigenous and adventitious; 6) manifes and latent; 7)  presidential executive and parlementary executive; 8) republican and monarchial; 9) bicameral and unicameral; 10) competitive and consolidatory; 11)  programmatic and confirmatory; 12)  justiciable and nugatory;

131Ibid

.

106

13)  federal and unitary; empat pertama lebih terkait dengan “prosedur”, sedangkan sembilan berikutnya lebih terkait dengan “substansi” 132 . Terhadap klasifikasi konstitusi K.C. Wheare dan Wolf-Phillips di atas, yang perlu dicermati – sehubungan dengan prospek perkembangan demokrasi -dalam hal ini adalah flexible and rigid constitution, yang lebih terkait dengan “prosedur”; serta  presidential executive and parlementary executive constitution, yang lebih terkait dengan “substansi”.  Flexible and rigid constitution  James Bryce dalam bukunya Studies in History and Jurisprudence, seperti dikutip oleh Sri Soemantri M., membicarakan  flexible constitution (konstitusi fleksibel) dan rigid constitution (konstitusi rijid) secara luas. Yang dimaksud dengan konstitusi fleksibel, yaitu suatu konstitusi yang mengandung ciri-ciri pokok sebagai berikut: a) elastis, oleh karena dapat menyesuaikan dirinya dengan mudah; b) diumumkan dan diubah dengan cara yang sama seperti undang-undang 133 . Telah diketahui, untuk mengubah suatu undang-undang hanya diperlukan syarat lebih dari se132

 Ibid.

133Sri

Soemantri M., “Prosedur”, op. cit., hal. 69.

107

tengah jumlah anggota badan perwakilan rakyat yang hadir menyetujui. Jadi, apabila anggota badan perwakilan rakyat berjumlah 500 orang, dan yang hadir 400 orang anggota; perubahan undang-undang dasar tersebut sah, apabila disetujui oleh sekurang-kurangnya 201 orang anggota. Selain itu, badan perwakilan tersebut juga mempunyai kekuasaan menetapkan undang-undang dasar. Sebaliknya konstitusi rijid mempunyai ciri-ciri pokok sebagai berikut: a) mempunyai kedudukan dan derajad yang lebih tinggi dari peraturan perundang-undangan yang lain; b) hanya dapat diubah dengan cara yang khusus atau istimewa 134 . Kedua ciri konstitsi rijid di atas, mempunyai hubungan satu dengan yang lain. Konstitusi rijid tersebut mempunyai kedudukan dan derajat yang lebih tinggi dari peraturan perundang-undangan yang lain, konstitusi itu dinamakan pula hukum dasar atau  fundamental law. Sebagai contoh, Konstitusi Amerika Serikat yang mempunyai kedudukan serta derajat yang lebih tinggi dalam tata hukum tersebut. Selain ciri tersebut konstitusi rijid hanya dapat diubah melalui persyaratan yang berat, jauh lebih berat dari konstitusi fleksibel 135 . 134Ibid., 135Ibid.

hal. 70.

108

Konstitusi fleksibel dapat diubah jikalau lebih dari setengah jumlah anggota badan perwakilan rakyat yang hadir setuju, sedangkan konstitusi rijid hanya dapat diubah jikalau misalnya dua pertiga dari jumlah anggota yang hadir setuju. Perubahan Konstitusi Indonesia (UUD 1945) terdapat pada Bab XVI tentang Perubahan UndangUndang Dasar, dalam ketentuan Pasal 37 UUD 1945. Pembahasan tentang perubahan UUD 1945 akan dibahas pada Bab V, dalam sub-bab Perubahan Konstitusi.  Presidential executive and parlementary executive constitution C.F. Strong dalam bukunya  Modern Political Constitutions, seperti dikutip oleh Sri Soemantri M., mengemukakan bahwa negara-negara di dunia ini terdapat dua macam sistem pemerintahan, yaitu  presidential executive constitution  (konstitusi sistem pemerintahan presidensial), dan  parlementary executive constitution  (konstitusi sistem pemerintahan parlementer). Dalam sistem pemerintahan presidential terdapat ciri-ciri pokok, sebagai berikut: a) Di samping mempunyai kekuasaan nominal (sebagai Kepala Negara) Presiden juga berkedudukan sebagai Kepala Pemerintahan. Sebagai Kepala Pemerintahan, dia mempunyai kekuasaan yang besar;

109

b) Presiden tidak dipilih oleh pemegang kekuasaan legislatif, akan tetapi dipilih langsung oleh rakyat atau oleh dewan pemilih seperti berlaku di Amerika Serikat; c) Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif; d) Presiden tidak dapat membubarkan pemegang kekuasaan legislatif dan tidak dapat memerintahkan diadakan pemilihan umum. Biasanya Presiden dan pemegang kekuasaan legislatif dipilih untuk masa  jabatan yang tetap 136 . Konstitusi yang di dalamnya memuat ciri-ciri tersebut di atas diklasifikasikan sebagai konstitusi sistem pemerintahan presidensial. Sebaliknya, sistem pemerintahan parlementer mempunyai ciri-ciri pokok sebagai berikut: a) Kabinet yang dipilih oleh Perdana Menteri dibentuk oleh atau berdasarkan kekuatan-kekuatan yang menguasai parlemen ; b) Para anggota kabinet mungkin seluruhnya, mungkin sebagian adalah anggota parlemen; c) Perdana Menteri bersama kabinet bertanggung jawab kepada parlemen; d) Kepala Negara dengan saran atau nasihat Perdana Menteri dapat membubarkan parlemen dan memerintahkan diadakannya pemilihan umum 137 . 136Ibid., 137Ibid.

hal. 65-66.

110

Konstitusi yang di dalamnya memuat ciri-ciri tersebut di atas diklasifikasikan sebagai konstitusi sistem pemerintahan parlementer. Berdasarkan klasifikasi konstitusi di atas, UUD 1945 termasuk dalam klasifikasi konstitusi yang rijid, dan konstitusi yang menganut sistem pemerintahan campuran. Yang dimaksud sistem pemerintahan campuran, karena UUD 1945 di samping mengatur ciri-ciri pemerintahan presidensial, juga mengatur beberapa ciri sistem pemerintahan parlementer. Di sinilah keunikan negara Indonesia, berdasarkan UUD 1945.

111

DAFTAR BACAAN

Adji, Oemar Seno, Peradilan Bebas Negara Hukum, Hukum , Erlangga, Jakarta, 1980. Alfian, ”Perspektif Pembangunan Politik Indonesia”, Makalah untuk Seminar Sistem Politik dan Kehidupan Organisasi Politik di Masa Mendatang, Lembaga Pengkajian Strategis Indonesia (LPSI/ISSI), Jakarta, 26-27 September 1990. Arto, A. Mukti, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Agung , Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001. Azhari, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya Unsur-unsurnya , UI Press, 1995. Azhari, Aidul Fitriciada,  Menemukan Demokrasi, Demokrasi, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2005, Basah, Syahran,  Syahran,  Perlindungan Hukum terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Unpad, Bandung, 1986.

112

Beetham, David, dan Boyle, Kevin, Demokrasi: 80 Tanya-Jawab, Tanya-Jawab, Terjemahan dari Introducing Democracy: 80 Questions and Answers  Answers   oleh Bern. Hidayat, Kanisius, Yogyakarta, 2000. Bramantyo, et. al., Demokrasi dan Civil Society, Society , “Institute for Research and Empowerment”, Yogyakarta, tanpa tahun. Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Politik , Gramedia,  Jakarta, 1982. ----------, Masalah Kenegaraan, Gramedia, Jakarta, 1975. Busroh, Abu Daud, dan Busroh, Abu Bakar,  Asas-asas Hukum Tata Negara, Negara , Ghalia Indonesia, Jakarta, 1991. Darmodihardjo, Dardji,  Dardji,  Pancasila Suatu Orientasi Singkat, Aries Singkat, Aries Lima, Jakarta, 1984. Fadjar, Abdul Mukthie, ”Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi Paradigmatik”, Pengantar dalam Konstitusi Baru melalui Komisi Konstutusi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002. Gaffar, Afan, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000. Gautama, Sudargo, Pengertian tentang Negara Hukum, Hukum , Alumni, Bandung, 1983.

113

Harahap, Krisna, Konstitusi Republik Indonesia Sejak Proklamasi hingga Reformasi, Grafiti Budi Utami, Bandung, 2004. Hikam, Muhammad AS., Demokrasi dan Civil Society, LP3ES, Jakarta, 1996. Himawan, Charles, Hukum sebagai Panglima, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003. Kusnardi, Moh. dan Ibrahim, Harmaily, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1981. Lay, Cornelis, Presiden, Civil Society, dan HAM , Pensil324, Jakarta, 2004. Maarseveen, Henc van dan der Tang, Ger van, Written Constitutions, Oceana Publications, Inc., Dobbs Ferry, New York, 1978. Mahfud M.D., Moh., Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2000. ----------, Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES,  Jakarta, 1998.

114

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Naska Akademik Kajian Komprehensif Komisi Konstitusi tentang Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta, 2004. Malian, Sobirin, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2001. Manan, Bagir, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2004. Martosoewignjo, Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1992. ----------, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi , Alumni, Bandung, 1987. ----------, ”Fungsi Konstitusi dalam Pembatasan Kekuasaan”, dalam Hukum dan Kekuasaan, FH UII, 1988. Mayo, Henry B.,  An Introduction to Democratic Theory, Oxford University Press, New York, 1960. Roestandi, Achmad, et. al., Pendidikan Pancasila, Armico, Bandung, 1988.

115

Sekretariat Negara Republik Indonesia, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Jakarta, 1998. Sidharta, B. Arief, ”Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, dalam Rule of Law,  Jentera Jurnal Hukum, Edisi 3-Tahun II, Nopember 2004. Soche, H., Harris, Supremasi Hukum dan Prinsip Demokrasi di Indonesia, Hanindita, Yogyakarta, 1985. Soepiadhy, Soetanto, Salus Populi Superma Lex, dalam Majalah DOR No. 11 Tahun 1, 05 Desember-20 Desember 2001. Soetoprawiro, Koerniatmanto, ”Konstutusi: Pengertian dan Perkembangannya”, dalam Pro Justisia, Nomor 2 Tahun V, Mei 1987. Strong, C.F.,  Modern Political Constitutions, Sidgwick &  Jackson Limited, London, 1966. Sunoto,  Mengenal Filsafat Pancasila, Pendekatan  Melalui:Sejarah dan Pelaksanaannya,  Hanindita Graha Widya, Yogyakarta, 1988. Suny, Ismail, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif , Aksara Baru, Jakarta, 1986.

116

Suseno SJ, Feans Magnis,  Mencari Sosok Demokrasi, Sebuah Telaah Filosofis, Gramedia, Jakarta, 1995. Thaib, Dahlan, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Konstitusi, Liberti, Yogyakarta, 2000. Thaib, Dahlan, et. al., Teori dan Hukum Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001. Wahjono, Padmo,  Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Ghalia, Indonesia, Jakarta, 1985. ----------, Negara Republik Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1986. ----------, Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia, Makalah, September, 1998. Wahjono, Padmo, et. al., Kerangka Landasan Pembangunan Hukum, Pustaka Sinar Harapan,  Jakarta, 1989. Wheare, K.C.,  Modern Constitutions, Oxford University Press, London, 1980.

117

ARTIKEL DI MEDIA DR. Soetanto Soepiadhy, SH., MH.

118

119

 Negara Hukum yang  Demokratis Soetanto Soepiadhy

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono, sekembalinya dari Korea Selatan, akan membangun komunikasi dengan berbagai pihak, sebagai tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengizinkan calon perseorangan atau independen ikut dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Seperti tertuang dalam keputusan MK atas uji materiil Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, merupakan sebuah terobosan atas proses demokratisasi di Indonesia. Dalam kutipan putusan MK Nomor 5/PUU-V/2007 menyebutkan, ”… adalah wajar apabila dibuka partisipasi dengan mekanisme lain di luar parpol untuk penyelenggaraan demokrasi, yaitu dengan membuka  pencalonan secara perseorangan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.” “Kita ingin supaya yang kita lakukan terkait pemilu, pilkada, dan kegiatan politik apa pun itu betul-betul tidak menimbulkan persoalan baru, tetapi memberikan solusi dan kebaikan, termasuk fairness dalam kehidupan berdemokrasi,” ujar Presiden. (Kompas, 26 Juli 2007, hal. 1). Terhadap putusan MK tersebut terdapat pro dan kontra. Yang kontra bahkan memberikan tanggapan, mengapa demokrasi tidak sejalan dengan negara hukum? Seakan-akan demokrasi dan hukum sebagai gagasan yang

120

seolah-olah berseberangan; di mana demokrasi adalah satu hal, dan hukum adalah hal lain. Pada tataran teoritis, demokrasi dan hukum tidak dipahami sebagai dua entitas yang contradictio in terminis. Keduanya bisa berada dalam suasana hidup berdampingan secara damai, tanpa salah satunya lebih diunggulkan daripada yang lain karena semuanya penting dalam kerangka negara modern. Itulah kohesivitas demokrasi dan hukum. (A. Ahsin Thohari, 2003). “Democracy” dan “Nomocracy” Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat . Dalam Kamus Hukum Edisi Lengkap, demokrasi, kerakyatan – bahasa Belanda democratie; bahasa Inggris democracy  – yaitu bentuk pemerintahan atau kekuasaan yang tertinggi di mana sumber kekuasaan tertinggi adalah kekuasaan (ke)rakyat(an). Pelaksanaan kedaulatan rakyat tersebut diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (Perubahan Ketiga) dijelaskan bahwa, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Selain itu, Indonesia juga menganut paham kedaulatan hukum – bahasa Belanda nomocratie; bahasa Inggris nomocracy  yang dibentuk melalui cara-cara yang demokratis. (Jimly Asshiddiqie, 1994). Demokrasi harus dijalankan dengan rambu-rambu hukum. Jika konsep demokrasi dijalankan tanpa dibingkai rambu-rambu hukum, maka yang terjadi anarkisme. Sebaliknya, jika hukum – peraturan perundang-undangan –

121

ditetapkan tanpa melalui prosedur demokratis, maka yang terjadi adalah praktek represif dan koersif kekuasaan yang diabsahkan hukum.  Jadi paham negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) sekaligus paham negara demokrasi yang berdasar atas hukum ( constitutional democracy). Hal ini mempunyai arti demokrasi dan nomokrasi merupakan dua sisi dari sekeping mata uang yang sama. Keterlibatan Masyarakat Setelah mengkaji proses-proses demokrasi yang ter jadi di sejumlah negara di penjuru dunia, Majalah  Asiaweek, Hongkong, Agustus 1994, memuat formula tentang langkah-langkah yang harus ditempuh oleh negara yang akan menuju demokrasi sebagai pelajaran. (Kacung Mari jan, 1994). Meskipun pikiran  Asiaweek  menunjukkan cara pandang yang linier, perlu diungkapkan. Enam pelajaran tentang demokrasi tersebut, antara lain memberi kesempatan pada masyarakat untuk lebih terlibat dalam prosesproses politik ( get more people involved in the political process). Ini merupakan salah satu esensi demokrasi, yang  jelas-jelas membedakan dari yang otoriter atau yang totaliter. Di samping agar keputusan-keputusan yang dibuat itu merupakan refleksi dari masyarakat juga untuk mengimplementasikan konsep checks and balances. Keenam pelajaran tentang demokrasi di atas, yakni pertama, sebelum membuka keran politik terlebih dahulu harus memperkuat bangunan ekonomi; kedua, harus siap menghadapi masalah separatis; ketiga, memberi jalan keluar bagi penguasa -- termasuk keluarganya – sebelumnya; keempat, adanya sebuah bentuk pemerintahan yang

122

kuat; kelima, memberi kesempatan pada masyarakat untuk lebih terlibat dalam proses-proses politik; dan yang terkhir, pada dasarnya demokrasi itu bukan sekadar bentuk pemerintahan, melainkan suatu cara hidup. “Participatory Democracy” Betapa pentingnya keberadaan masyarakat warga, masyarakat madani, atau civil society yang dianggap sebagai syarat kemungkinan pembangunan demokrasi akan muncul. Ciri-ciri yang perlu diperhatikan dalam usaha perwujudan kehidupan demokrasi di Indonesia, yaitu terwujudnya civil society  sebagai “partisipasi rakyat” yang merupakan cita-cita demokrasi. Sejalan dengan pemikiran “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, maka demokrasi yang dicita-citakan yaitu demokrasi yang bersifat partisipatoris atau  participatory democracy. Menurut David Held dalam bukunya  Models of Democracy, bahwa model  participatory democracy dijabarkan sebagai berikut: Pertama, prinsip-prinsip justifikasi. Hak yang sama pada kebebasan dan pengembangan diri hanya dapat dicapai dalam suatu “masyarakat partisipatif”, suatu masyarakat yang memelihara perhatian pada masalah-masalah kolektif dan memberikan kontribusi pada pembentukan pengetahuan yang luas bagi rakyat dalam memelihara kepentingan yang berkelanjutan dalam proses pemerintahan. Kedua, ciri-ciri umum. Antara lain, 1) Partisipasi rakyat secara langsung dalam regulasi lembaga-lembaga sosial yang penting, termasuk tempat kerja dan komunitas

123

local. 2) Reorganisasi sistem kepartaian dengan menciptakan pejabat partai yang bertanggung jawab langsung pada anggota partai. 3) Bekerjanya “partai partisipatif” dalam struktur parlemen atau kongresional, memelihara sistem kelembagaan yang terbuka untuk mendorong kemungkinan bagi eksperimentasi bentuk-bentuk politik yang baru. Ketiga, kondisi umum. Antara lain, 1) Perbaikan langsung basis sumber daya orang-orang miskin dalam berbagai kelompok sosial melaui redistribusi sumber daya mineral. 2) Minimilisasi – penghapusan, bila dimungkinkan – kekuatan birokrasi yang tidak akuntabel di dalam kehidupan publik maupun pribadi. 3) Suatu sistem informasi yang terbuka untuk menjamin keputusankeputusan yang relevan dan dibutuhkan. 4) Pengujian kembali aturan-aturan pemeliharaan anak-anak hingga perempuan maupun laki-laki memiliki peluang untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik. Akhirnya,  participatory democracy  pada dasarnya merupakan demokrasi konstitusional atau paham negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy) yang bertumpu aturan mayoritas melalui perluasan partisipasi rakyat secara bebas melalui kekuatankekuatan kolektif yang terdapat di tangan civil society.*** Surabaya, 14 September 2007

124

125

Cabut Mandat Presiden dan Wakil Presiden Soetanto Soepiadhy

“JADI Saudara Presiden jangan enak-enak saja.  Jangan dikira setelah mendapat mandat kemudian tidak bisa digugat. Jelas, kita kecewa dengan pemerintahan ini, Cuma wacana-wacana saja. Persetan ini dibilang makar. Makar pakai apa? Ndak benar itu. Jika ada kekacauan, saya yang bertanggung jawab,” tegas Hariman Siregar (Surya, Sabtu, 13 Januari 2007, hal. 2). Tokoh peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974) ini tidak peduli dituding melakukan makar terkait rencana aksi Pawai Cabut Mandat  di depan Istana pada Senin, 15 Januari 2007. Ia menegaskan, aksi ini sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintahan SBY JK, dan akan diikuti sedikitnya 1.000 massa dari berbagai elemen yang tergabung dalam Indemo. Mencabut mandat presiden dan wakil presiden sama halnya memberhentikan presiden dan wakil presiden. Dalam rangka menjunjung tinggi supremasi hukum, maka pegangan kita adalah konstitusi (baca: Undang-Undang Dasar 1945 yang telah mengalami empat kali perubahan). Pasal 7A UUD 1945 menentukan, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran berupa pengkhianatan terhadap

126

negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Ketentuan pasal tersebut mengatur tentang tata cara pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya. Presiden dan/atau wakil presiden hanya dapat diberhentikan karena alasan hukum belaka ( Bagir  Manan, 2004). Dalam hal ini, melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat hukum sebagai presiden dan/atau wakil presiden terdapat dalam materi muatan “pengkhianatan terhadap bangsa dan negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Karena atas dasar alasan hukum, maka pemberhentian hanya dapat dilakukan melalui tata cara dan bukti-bukti menurut hukum.” Forum yang akan’mengadili’ presiden dan/atau wakil presiden adalah MPR sebagai lembaga politik. Untuk menghindari masuknya pertimbangan politik atau pertimbangan nonyuridis, maka selain tata cara dan bukti hukum, keputusan harus juga diambil atas dasar buktibukti yang meyakinkan, artinya bukti bersalah dan meyakinkan. Selanjutnya, wewenang dan mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden diatur dalam ketentuan Pasal 7B UUD 1945 yang intinya: (a) DPR memeriksa dan menilai pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden; (b) Hasil pemeriksaan dan penilaian, bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melanggar salah satu dasar sebagaimana tersebut dalam

127

ketentuan Pasal 7A, diteruskan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dengan dukungan sekurangnya dua pertiga anggota yang hadir dalam siding paripurna yang harus dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga jumlah anggota; (c) Apabila MK sependapat dengan DPR, maka DPR mengajukan usul untuk memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil Presiden kepada MPR; (d) MPR memutuskan usul DPR tersebut dalam rapat paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya tiga perempat jumlah anggota, dan disetujui sekurang-kurangnya dua pertiga anggota yang hadir. Agar gerakan pencabutan mandat presiden dan/ atau wakil presiden tidak disebut inkonstitusional, maka harus diarahkan pada perwujudan materi muatan ketentuan pasal-pasal tersebut di atas. Hal ini juga, untuk menghindari akan adanya DPR jalanan. Mengapa demikian? Karena dasar hukum yang mengatur kewenangan untuk mengusulkan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden adalah DPR – ketentuan Pasal 7B ayat (2) – yaitu dalam rangka fungsi pengawasan atau kontrol. Kaca Spion Mobil Kalau melihat wujud nyata, secara empiris, masih banyak masyarakat yang tidak bisa membeli beras, sehingga makan nasi aking; mereka yang kehilangan pekerjaan alias menganggur; butuh pendidikan dan kese jahteraan. Dan dalam rangka menanggulangi kemiskinan mereka memang tidak diperlukan wacana, tetapi karya nyata. Tidak salah, kalau seorang tokoh Malari menga-

128

takan, bahwa sekarang tidak ada karya nyata untuk rakyat. Rakyat hanya dijadikan obyek. Ada sebersit pembenaran terhadap pernyataan tersebut, bahwa kemiskinan akan membuahkan kebodohan, yang pada akhirnya akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan negara. Tetapi yang perlu dipertanyakan, haruskah dengan DPR jalanan? Memang prinsip konstitusionalisme, yakni adanya perlindungan hak asasi manusia, perlu ditegakkan. Di dalam negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, undang-undang dasar mempunyai fungsi khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa, sehingga penyelenggaraan organisasi kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian, hakhak warga negara akan terlindungi. Dalam hal ini, pemerintah hendaknya melindungi hak-hak warga negara. Untuk itulah, pemberantasan kemiskinan menjadi taruhannya, condition sine qua non. Diharapkan pemerintah tidak lagi melihat kemiskinan di negeri ini dengan menggunakan ‘kaca spion mobil kepresidenan’, tetapi presiden beserta para pembantunya turun ke bawah dan melihat kenyataan secara langsung. Demokrasi Partisipatoris Sebagai sebuah harapan, bahwa betapa pentingnya keberadaan civil society  (masyarakat madani, masyarakat warga) yang diangap sebagai syarat kemungkinan pembangunan demokrasi, akan tumbuh berkembang. Ciri-ciri yang perlu diperhatikan dalam usaha perwujudan kehidupan demokratisasi di Indonesia, yaitu terwujudnya civil society sebagai ‘partisipasi rakyat’ yang merupakan cita-cita

129

demokrasi. Sejalan dengan pemikiran ‘dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’, maka demokrasi yang dicitacitakan yaitu demokrasi partisipatoris ( participatory democracy). Demokrasi partisipatoris pada dasarnya merupakan demokrasi konstitusional yang bertumpu aturan mayoritas melalui perluasan partisipasi rakyat secara bebas melalui kekuatan-kekuatan kolektif yang terdapat di tangan civil society. Sejak dekade terakhir ini, produk hukum yang dibuat oleh pemerintah merupakan produk hukum yang represif (elitis), menghancurkan civil society. Padahal rakyat membutuhkan produk hukum yang responsif (populis), artinya produk hukum yang mempunyai materi muatan berpihak pada rakyat. Harapan kita sebagai bagian dari rakyat yang mempunyai kedaulatan, pemerintah wajib menjunjung tinggi ‘daulat rakyat’ sebagai manifestasi terwujudnya kese jahteraan rakyat, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.*** Surabaya, 17 Januari 2007

130

131

 Menyoal Demokrasi dan Etika  Politik Soetanto Soepiadhy

RAPIMNAS III dan HUT ke 43 Partai Golkar telah usai. Sebagai partai besar, patutlah memperoleh sorotan dan perhatian masyarakat secara luas. Sebab, apa yang diputuskan Rapimnas itu, akan sangat mempengaruhi pentas politik nasional. Ada sepuluh pernyataan politik yang telah dikeluarkan, dan itu semua sudah diketahui secara terbuka dan meluas. Satu point yang menarik dari sepuluh pernyataan politik itu, yaitu komitmen Golkar yang tetap akan mendukung pemerintahan SBY-Kalla sampai 2009. Secara obyektif, pernyataan ini sangat melegakan. Namun sayang, kelegaan itu menjadi sirna karena ada dua pernyataan dalam kaitan acara penutupan Rapimnas itu yang kontroversi. Justru karena yang satu adalah pernyataan Jusuf Kalla, dan satunya lagi pernyataannya SBY. Demokrasi  Jusuf Kalla menyatakan -- sebagai kesimpulan Rapimnas III Golkar -- bahwa demokrasi hanyalah cara, alat, atau proses dan bukan tujuan. Karena itu, demokrasi bisa dinomorduakan di bawah tujuan utama peningkatan dan pencapaian kesejahteraan rakyat. Tentu ini pernyataan mengejutkan sekaligus kontroversi. Menyatakan, bahwa demokrasi menjadi nomor dua --

132

yang bisa saja itu berarti demokrasi bukan sesuatu yang menjadi penting dan tidak harus dipakai -- adalah pernyataan melawan arus. Karena menerabas nilai-nilai demokrasi yang secara umum dipahami masyarakat, bahwa demokrasi itu selain sebagai alat juga harus terus diperjuangkan dan diperkokoh keberadaannya dalam usaha menyejahterakan bangsa. Ada 4 pilar demokrasi yang harus diperkokoh, yaitu, masyarakat, lembaga politik, lembaga bisnis dan para politisi. Keempat pilar demokrasi ini, di era desentralisasi, menjadi sangat penting untuk terus dimantapkan di segala lini dan tingkatan. Pilar demokrasi yang diusahakan semakin kokoh ini, harus mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sebab, lewat pilar demokrasi yang terus diperkokoh ini, maka diyakini usaha meningkatkan kese jahteraan rakyat akan terwujud tanpa adanya kekerasan. “Terwujud tanpa adanya kekerasan”, inilah yang menjadi taruhan dan jaminan adanya ketentraman bagi masyarakat secara keseluruhan yang harus bisa diberikan oleh pemerintah. Kalau tidak, maka bangsa ini bisa terjebak dan masuk kembali ke dalam area yang warganya berprinsip: tujuan menghalalkan segala cara. Sebagai bangsa, kita pernah mengalami. Dengan menomorduakan demokrasi, muncul pertanyaan, apakah pemerintah mampu menjamin secara pasti tidak akan terjadi kekerasan (baca: kekacauan) dalam usahanya mewujudkan kesejahteraan rakyat? Padahal, saat ini saja, dengan menomorsatukan demokrasi, sudah terjadi kekerasan dalam tingkat yang tinggi, maka apatah lagi kalau dinomorduakan.

133

Etika Politik Dalam Rapimnas Golkar itu, SBY juga sempat membuat pernyataan kontroversi hampir sama dengan Jusuf Kalla. SBY meminta para calon presiden menjaga etika politik agar persatuan dan kesatuan negara terjaga sehingga rakyat tetap harmonis. Dari pernyataannya ini, tersirat jelas, SBY sangat mengapresiasi etika politik dalam proses berdemokrasi ini. Tapi di sisi lain, ada pernyataan Jusuf Kalla yang menomorduakan demokrasi asal kesejahteraan tercapai, terkesan menafikan etika politik. Di sini SBY menjunjung etika politik, Jusuf Kalla menafikan etika politik. Bukankah ini sangat memrihatinkan bagi bangsa besar ini, kalau kedua tokoh pimpinannya saling berseberangan di dalam kerangka berpikirnya? Permintaan SBY itu menjadi kontroversi ketika dihadapkan realitas politik yang tidak mendukung. Terlebih lagi, kenyataan nilai penghormatan terhadap etika politik yang terus merosot di tengah realitas politik kita saat ini yang tidak lagi merupakan bangunan ideal, tidak tunduk pada apa yang semestinya. Etika politik sudah jadi barang mahal, bahkan membicarakan etika politik ibarat berteriak di padang pasir yang luas dan kosong. Akhirnya, etika politik cuma sekedar menjadi omongan nggedabrus, omongan omong kosong! Kondisi semacam ini telah melahirkan politisi-politisi yang tidak jujur, tidak santun, tidak punya integritas moral yang tinggi. Karena itu, di pentas politik nasional kita saat ini, sangat susah untuk menemukan satu saja tokoh politik kita yang benar-benar menjalankan praksis etika politik yang mencerminkan negarawan yang memiliki keutamaan-keutamaan moral.

134

Sekali lagi, bukankah permintaan SBY itu sebuah teriakan di padang gurun? Karena diteriakkan di tempat yang kebanyakan moralitas politisinya sangat korup. Betapa ironis, ketika rakyat berteriak keras berjihad melawan korupsi, ternyata di lembaga wakil rakyat, partai politik dan aparat penegak hukum yang diharapkan bersih, malah menjadi gudangnya korupsi dan sarangnya koruptor. Bagaimana dualisme semacam itu masih tetap saja dibiarkan berjalan bebas seolah tidak pernah mengusik nurani bangsa ini? Salahkah kalau kita persepsi ajakan SBY itu cuma sekedar retorika? Mungkin SBY masih memandang bahwa etika politik itu adalah perwujudan sikap dan perilaku jujur, santun, memiliki integritas, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum dan tidak mementingkan golongan. Padahal yang terjadi di pentas politik nasional kita, etika politik telah berwujud lain. Etika politik itu tidak direfleksikan oleh para politisi kita secara  jernih yang kemudian dikembangkan murni untuk kesejahteraan rakyat, melainkan disempitkan hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Dilihat dari perspektif hukum ketatanegaraan, dua pernyataan kontroversi dan saling berseberangan dari SBY dan JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden itu, tentu saja merugikan bagi bangunan ke depan ketatanegaraan kita yang sangat menjunjung demokrasi. Karena itulah, harus lebih ditekankan kepada seluruh warga bangsa ini, bahwa demokrasi -- dalam kondisi apa pun -- harus tetap ditegakkan dan tidak malah dinafikan eksistensinya!*** Surabaya, 28 November 2007

135

Bersaing Memihak Rakyat  Soetanto Soepiadhy

TARUHAN utama keberhasilan seorang pemimpin untuk Indonesia adalah, membuat rakyat sejahtera. Artinya, rakyat harus sejahtera. Bisa dikatakan sejahtera, kalau mereka telah bisa menikmati beras yang murah, pendidikan yang murah, juga kesehatan yang murah. Dan jangan berbicara yang lain-lain dulu, sebelum terwujud ketiganya itu. Apa itu gampang untuk mewujudkannya? Kan tidak semudah membalik tangan. Apalagi, kita ini sudah terlanjur terpuruk berdarah-darah akibat salah urus dan mewabahnya penyakit korupsi yang sangat kronis. Ada yang bilang, untuk mengakhiri keterpurukan itu dan bisa mewujudkan kesejahteraan rakyat, tak ada  jalan lain kecuali “bangunan” negeri ini dihancurkan dulu. Ibarat sebuah rumah, dirobohkan rata dengan tanah, lalu dibangun baru dengan tampilan yang bersih dan indah. Naudzubillah! Ongkos yang dibayar kok terlalu mahal begitu. Ada lagi yang bilang, untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat itu, tak ada jalan lain kecuali tegas melawan korupsi. Mereka yang terbukti korupsi di atas satu milyar rupiah, secara tegas divonis hukuman mati atau seumur hidup. Tak ada salahnya kita meniru langkah tegas RRC melawan korupsi dengan menghukum gantung dan menembak mati para koruptor. Sehingga orang akan berpikir seribu kali untuk melakukan korupsi. Hasilnya, kini RRC menjadi negeri maju dan sangat makmur dalam tempo relatif cepat. Melihat keberhasilan itu, rasanya kok

136

wajib kita meniru langkah RRC dalam melawan korupsi, meski mereka itu negeri berazas komunis yang berbeda secara diametral dengan kita sebagai negeri muslim. Kita harus berani meniru hal-hal yang baik tanpa perlu harus cerewet terhadap azas yang mereka anut. Kita harus terbuka dan luas dalam cara pandang kita. Kalau memang baik, kenapa tidak. Begitu seharusnya. Dan kita bisa belajar dari pengalaman negara-negara maju yang sekuler itu sebagai “hikmah yang hilang yang perlu dipungut, dari manapun munculnya”. Barangkali dua arus pemikiran di atas mewakili arus radikal  dan moderat. Meski berbeda, namun ada kesamaan kuat di antara keduanya, yaitu adanya sikap memihak rakyat yang kuat. Penulis tidak berada dalam arus radikal atau moderat, tetapi mencoba berdiri di antara kedua arus itu. Artinya, bisa mengambil posisi, di mana suatu saat seseorang harus bisa bersikap tegas, di saat yang lain ia pun harus bisa bersikap lembut. Tidak bisa harus bersikap tegas terus, atau lembut terus. Semuanya disesuaikan dengan kepentingannya. Setidaknya, seperti kata-kata bijak para orang tua kita. Yaitu, seseorang, atau terlebih lagi kalau ia seorang pimpinan dan penyelenggara negara, mutlak harus memiliki tiga unsur. Pinter, Bener , dan Banter . Salah satu tidak dimiliki, maka kepemimpinannya akan gagal total. Seorang presiden, kalau hanya memiliki dua saja dari tiga unsur itu di dalam dirinya, ia akan gagal dan berakibat tambah menyengsarakan rakyatnya. Dan, ironisnya, negeri kita, saat ini, mengalami hal seperti itu. Di mana Presiden kita ternyata hanya memiliki dua unsur saja, tidak memiliki unsur Banter , yang artinya berani bergerak cepat dan tegas.

137

Karena tidak Banter   itulah, maka menjadi tidak tampak, dubius, kabur pemihakannya kepada rakyat. Selalu kalah cepat dengan gerakan-gerakan yang melindas nasib rakyat. Yaitu, gerakan-gerakan dari mereka yang berorientasi kekuasaan dan bisnis bagi kepentingan partai serta golongannya sendiri. Memihak Rakyat Sistem ketatanegaraan yang dikatakan demokratis itu, selalu ditandai dengan pemihakannya yang kuat kepada rakyat. Sistem itu dibangun memang untuk membela kepentingan rakyat dari segala macam tindakan yang melawan rakyat. Pendeknya, demokrasi itu harus memihak rakyat. Kalau tidak memihak rakyat, berarti ada yang salah di situ. Maka, harus cepat dibenahi. Lalu, siapa yang salah? Yang salah adalah, mereka para penyelenggara negara. Karena itu, kalau ada penyelenggara negara yang menyalahkan rakyat, perlu dipertanyakan kualitas kepemimpinannya. Harus diingat, rakyat tidak pernah salah, karena rakyat adalah kebenaran itu sendiri, atau Vox populi vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Dengan demikian, jelas sebagai pemimpin ia tidak memahami arti demokrasi. Pejabat yang seperti ini wajib hukumnya untuk diturunkan, atau segera dicopot saja. Karena ia tidak bisa mengikuti irama demokrasi. Pemimpin yang tidak memiliki unsur Banter itu, pasti tidak ada sedikitpun semangat dalam dirinya untuk mau berlomba atau bersaing memihak rakyat. Alih-alih untuk bersaing, sekedar memihak rakyat saja kurang tampak, lemah. Padahal, taruhannya ada pada semangat

138

bersaing memihak rakyat itulah yang bisa berhasil mewu judkan kesejahteraan rakyat. Ketika seorang pemimpin yang di dalam dirinya terpateri untuk memihak rakyat, maka setiap detik, menit,  jam dan setiap hari, dirinya merasa harus berlomba, berpacu dengan waktu untuk sesegera mungkin bisa mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Dia akan bekerja dengan cerdas, memenej waktunya secara efisien. Baginya, tiada hari tanpa lepas dari langkah, kebijakan dan keberpihakannya kepada rakyat. Di benaknya terus menerus yang ada adalah: Rakyat Harus Sejahtera! Sementara hatinya akan bahagia kalau ia bisa menyejahterakan rakyatnya. Siapapun tahu, kalau negeri ini terkena prahara nasional, akibat “salah urus”. Memang, “salah urus” adalah kata kunci dari segala penderitaan rakyat dengan segala kemelutnya. Di mana kemelut politik ekonomi yang mendera rakyat hingga kini, berakar dari ketidakmampuan kita untuk meletakkan sesuatu pada tempatnya. Yang semestinya diurus dengan manajemen publik, malah diprivatisasi. Yang seyogyanya diprivatisasi, lha kok  malah ditangani secara publik. Kacau ‘kan? Lihat saja, para elite politik yang menjadikan partai politik sebagai institusi publik yang tertawan oleh bisnis perseorangan. Dalam praktik politik seperti itu, maka publik hampir dianggap tidak ada, tak berwajah, tak menjadi perhitungan dan pertimbangan, utamanya ketika harus mengambil keputusan. Padahal keputusan itu selalu diambil untuk dan atas nama rakyat. Tetapi rakyat tidak merasakan manfaatnya, justru menjadi sengsara. Itu karena, politik adalah sekedar kekuasaan demi kekuasaan. Kita bisa

139

melihat belakangan ini, seperti pemaksaan kebijakan konversi dari minyak tanah ke gas, dan kenaikan tarif tol secara sepihak itu. Semuanya jelas jauh dari semangat memihak rakyat. Apalagi berharap para penyelenggara negara kita mau bersaing memihak rakyat. Aah, mimpi ‘kali ye ..! Surabaya, 10 September 2007

140

141

Terjadi Involusi dalam  Demokrasi Kita Soetanto Soepiadhy

KINI telah diputuskan, DPR “akan” merevisi secara terbatas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang redaksi beberapa pasalnya telah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Memang dijan jikan oleh DPR dan Presiden, akhir tahun 2007 ini, revisi itu bisa selesai. Tetapi, yang jadi pertanyaan, setelah selesai revisi itu, bagaimana dengan aturan pelaksanaannya yang harus ada? Karena sebuah Undang-Undang, tidak bisa diberlakukan kalau belum ada Peraturan Pelaksanaan yang berupa PP. Padahal, membuat PP itu – menurut kebiasaannya -- bisa setahun, dua tahun, atau terserah kemauan Presiden. Ini kan masih membutuhkan waktu lama pula. Yang pasti, perjalanan memang masih panjang sekali, dan masih lama bagi Calon Independen (CI) untuk bisa terlibat penuh dalam pentas politik nasional. Jangan berharap semuanya akan berjalan mulus dan memuaskan bagi CI untuk benar-benar bisa berperan aktif dalam pentas politik di negerinya ini. Mereka harus memiliki urat kesabaran yang kuat di sini. Karena, nasibnya itu, sepenuhnya berada di tangan lembaga yang justru tidak menyukai keberadaannya. CI faktanya berada dalam cengkeraman para partisan.

142

Bola panas Yang jelas, saat ini, ketika “bola panas” untuk merevisi sebagian pasal UU No. 32/2004 – Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 59 ayat (1) – berada di tangan Presiden dan DPR, agaknya perlu dicermati dan dikawal terus proses pembuatannya. Ini penting, karena kedua lembaga itu terdiri dari mereka para partisan yang tampak kurang menyukai keberadaan CI. Baik itu, para anggota DPR, juga Presiden, apalagi Wakil Presidennya, yang semuanya adalah para partisan. Yaitu, orang partai yang selalu menjadikan setiap proses pembicaraan dan pembahasan sebagai wahana untuk menampilkan, mengedepankan kepentingan masingmasing. Mereka sering tidak mendahulukan kepentingan rakyat dan bangsanya, tapi golongannya, partainya, dan tak  jarang pula produk yang dihasilkan berupa undangundang itu malah menimbulkan berbagai konflik. Dalam terminologi hukum, terdapat adagium contradictio in terminis. Dalam kaitannya dengan UU No. 32/2004 ini, maka seharusnya, ketika UU No. 32/2004 ini berada dalam masa revisi, tidaklah tepat apabila partai politik (Parpol) masih diperbolehkan untuk melakukan pilkada, sementara CI harus menunggu sampai selesai dan tuntasnya revisi itu. Kenyataan ini menunjukkan dasar hukum yang dipakai oleh Parpol melakukan pilkada tidaklah tepat menggunakan UU No. 32/2004 selama undang-undang tersebut masih dalam keadaan “diperbaiki”. Sebagai sebuah perumpamaan, ketika sebuah rumah yang direnovasi terdapat di dalamnya 2 tiang penyangga, maka tidak bisa lagi salah satunya saja yang menyangga. Artinya, kedua

143

tiang penyangga itu harus dinyatakan tak mampu berfungsi. Di dalam UU No. 32/2004 itu, setelah keputusan MK, kini ada 2 subyek hukumnya. Yaitu, Parpol dan CI. Tetapi, ternyata salah satunya memperoleh atau diberi  privilege  sementara yang satunya lagi tercampakkan. Apakah tidak seyogyanya menunggu sampai rumah tersebut selesai direnovasi? Atau lebih elok dan fair , apabila Parpol melakukan moratorium -- penangguhan, penundaan - pelaksanaan pilkada. Kiranya ini sangat penting kalau kita semua masih ingin demokrasi yang kita bangun berjalan di atas prinsip keadilan dan kebenaran. Kalau Parpol dengan “menutup mata” tetap menggunakan UU No. 32/2004 itu terus melakukan pilkada, itu artinya, Parpol telah menyalahi konsep negara hukum. Selain itu juga, para anggota DPR dan Presiden tidak melaksanakan ide konstitusionalisme yang diamanatkan oleh Konstitusi kita. Khususnya, Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang menentukan segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Selanjutnya ketentuan Pasal 28 men jelaskan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya, ditetapkan dengan Undang-Undang (Baca: undangundangnya belum jadi, masih direvisi – Pen.) Ini semua membuktikan bahwa ada logika yang salah terhadap pemberlakuan Parpol bisa melangsungkan pilkada sementara CI menunggu selesainya revisi undangundang No. 32/2004. Padahal, belum tentu pula ketika undang-undang yang direvisi tadi selesai (akhir 2007)

144

lantas bisa disosialisasikan. Karena masih harus menunggu Peraturan Pelaksanaan yang berupa PP. Pembuatan PP yang dibuat oleh Presiden sebagai ekskutif itu bisa saja selesai dalam setahun, dua tahun, atau terserah Presiden dan pembantunya, cq Menhuk HAM, Andi Mattalatta sebagai tokoh partisan. Fantastis!  Jungkirbalik Muncul pertanyaan, sejauh manakah pemikiran atau konsep para legislator yang konon sebagai “puteraputera bangsa terbaik” itu mampu melihat suasana atau keadaan ini yang nyatanya menimbulkan resistensi antar kedua kubu (Parpol dan CI). Hal itu jelas akan menjungkirbalikkan suatu adagium equality before the law  – persamaan di depan hukum. Bahwa kedudukan calon Parpol lebih tinggi dari calon perorangan/calon independen (CI). Adilkah ini? Dilihat dari prospek perkembangan demokrasi maka kini terdapat involusi  (kemandegan) pada tataran pola pikir menuju konsep negara demokrasi. Sebab, pembelengguan terhadap salah satu unsur merupakan pengingkaran dari proses jalannya demokrasi. Ironisnya, tidak ada ketegasan dari Presiden SBY bahwa setelah revisi UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah itu yang lantas segera dikeluarkan peraturan pelaksanaannya berupa PP. Lagi-lagi, kita semua bisa dibuat menggantung mengingat kebiasaan yang dilakukan Presiden untuk selalu bersikap lamban. Ingat, sekedar contoh aktual, di mana bisa terjadi, Departemen Dalam Negeri yang begitu teramat strategis itu toh  bisa dibiarkan

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF