Buku Bedah Plastik VII.pdf

November 11, 2017 | Author: Ray Yankees | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Buku Bedah Plastik VII.pdf...

Description

Kelainan Badan, Genitalia, dan Ekstremitas

99

27 Definisi

Epidemiologi

Potensi Penyebab

Hipospadia Suatu kelainan bawaan di mana meatus uretra eksternus terletak di permukaan ventral penis dan lebih proksimal dari tempatnya yang normal pada ujung penis. Hipospadia biasanya disertai bentuk abnormal penis yang disebabkan adanya chordee dan adanya kulit di bagian dorsal penis yang relatif berlebih dan bagian ventral yang kurang. Di AS terjadi pada setiap 300-350 kelahiran bayi laki-laki hidup. Makin proksimal letak meatus, makin berat kelainannya dan makin jarang frekuensinya. A. Produksi androgen abnormal B. Perbedaan sensitivitas terhadap hormon androgen pada jaringan yang berhubungan, misalnya tuberkulum genital C. Estrogen dari lingkungan

Patofisiologi

A. Lipatan uretra bisanya bergabung pada raphe di garis tengah, dari perineum hingga glans. Hipospadia terjadi karena lipatan uretra gagal menyatu secara lengkap. B. Perkembangan dipengaruhi testosteron yang menginduksi virilisasi genitalia eksterna.

Klasifikasi Sesuai posisi meatus uretra eksterna A. Anterior: Glanular, koronal, subkoronal B. Tengah: distal penile, midshaft, proximal penile C. Posterior: penoskrotal, skrotal, perineal

GS

GS

GS

Gambar 47. Kiri: Hipospadia tipe glanular. Tengah: Tipe penile. Kanan: Tipe penoskrotal.

101

Diagnosis

Tanda/ gejala Hipospadia yang khas: - Glans penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal di bagian ventral menyerupai meatus uretra eksternus - Preputium tidak ada dibagian ventral, menumpuk di bagian dorsal - Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan membentang ke distal sampai basis glans penis, teraba lebih keras dari jaringan sekitar - Kulit penis di bagian ventral, distal dari meatus sangat tipis. - Tunika dartos, fasia Buch dan korpus spongiosum tidak ada - Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada basis dari glans penis - Chordee dapat timbul tanpa hipospadia sehingga penis menjadi bengkok - Sering disertai undescended testis - Kadang disertai kelainan kongenital pada ginjal

Kelainan Penyerta

1. Tidak ada yang spesifik, harus dicari misalnya atresia ani 2. Pembesaran prostatic utricle (10-15%). Hal ini menyulitkan kateterisasi 3. Intersex (9%), genitalia meragukan antara pria atau wanita 4. Undescended testis

Manajemen

Tujuan operasi pada hipospadia adalah agar pasien dapat berkemih dengan normal, bentuk penis normal, dan memungkinkan fungsi seksual yang normal. Hasil pembedahan yang diharapkan adalah penis yang lurus, simetris, dan memiliki meatus uretra eksternus pada tempat yang seharusnya, yaitu di ujung penis. Ada banyak variasi teknik, yang populer adalah tunneling Sidiq-Chaula, Thiersch-Duplay, Dennis Brown, Cecil Culp. A. Teknik tunneling Sidiq-Chaula dilakukan operasi 2 tahap. 1. Tahap pertama eksisi dari chordee dan bisa sekaligus dibuatkan terowongan yang berepitel pada glans penis.  Dilakukan pada usia 1 ½ -2 tahun.  Penis diharapkan lurus, tapi meatus masih pada tempat yang abnormal  Penutupan luka operasi menggunakan preputium bagian dorsal dan kulit penis

102

2. Tahap kedua dilakukan uretroplasti, 6 bulan pasca operasi, saat parut sudah lunak.  Dibuat insisi paralel pada tiap sisi uretra sampai ke glans, lalu dibuat pipa dari kulit dibagian tengah  Setelah uretra terbentuk, luka ditutup dengan flap dari kulit preputium dibagian lateral yang ditarik ke ventral dan dipertemukan pada garis median  Dikerjakan 6 bulan setelah tahap pertama dengan harapan bekas luka operasi I telah matang. B. Teknik Horton dan Devine, dilakukan 1 tahap, dilakukan pada anak lebih besar dengan penis yang sudah cukup besar dan dengan kelainan hipospadi jenis distal. Uretra dibuat dari flap mukosa dan kulit bagian dorsal dan distal penis dengan pedikel kemudian ditransfer ke ventral.

Komplikasi

1. Fistula uretrocutaneous 2. Stenosis uretra 3. Striktur uretra 4. Twisted penis

103

28

Ulkus Dekubitalis

Definisi

Nekrosis atau ulserasi akibat tekanan yang lama, biasanya terjadi pada pasien yang mengalami imobilisasi.

Epidemiologi

Data di Amerika tahun 1994, ulkus dekubitalis terjadi pada kurang lebih 10% pasien yang dirawat, di mana 60% di antaranya berusia di atas 70 tahun.

Etiologi

A. Etiologi utama 1. Tekanan a. Tekanan kapiler normal 12-32 mmHg, bila tekanan jaringan lebih dari 32 mmHg, sirkulasi menurun dan terjadi iskemi b. Saat terlentang tekanan pada tumit dan sakrum mencapai 40-60 mmHg, sedangkan saat duduk tekanan pada iskium dapat mencapai 100 mmHg c. Semakin tinggi tekanan, semakin singkat waktu yang diperlukan untuk terjadi iskemi d. Meski tekanan melebihi tekanan kapiler, terjadinya ulkus dekubitalis dapat dicegah dengan menghilangkan tekanan secara periodik (ubah posisi setiap 2 jam) 2. Regangan: meregangkan pembuluh darah, menyebabkan trombosis dan iskemi 3. Gesekan: trauma mekanik pada epidermis saat pemindahan posisi pasien 4. Kelembaban: menyebabkan maserasi, dapat terjadi akibat inkontinensia atau infeksi, dan selanjutnya menjadi ulkus B. Etiologi tambahan 1. Malnutrisi 2. Gangguan saraf sensoris 3. Infeksi pada luka 4. Usia 5. Imobilisasi

Klasifikasi

6. Penyakit sistemik: diabetes mellitus, merokok, penyakit pembuluh darah Klasifikasi ulkus sesuai National Pressure Ulcer Advisory Panel system di Amerika Stage I: Eritema yang bertahan lebih dari 1 jam setelah tekanan dihilangkan, kulit utuh Stage II: Kehilangan kulit partial thickness Stage III: Kehilangan kulit full thickness hingga subkutan tapi

104

belum mencapai fascia Stage IV: Kerusakan melewati fascia mengenai otot, tulang, tendon, atau persendian

Diagnosis

Terdapat kemerahan atau ulserasi pada pasien yang mengalami imobilisasi. Pada posisi terlentang biasanya terdapat di sakrum dan tumit, pada pasien posisi duduk sering terdapat di iskium dan trokanter

GS

Gambar 48. Lokasi ulkus dekubitalis yang paling sering. Kiri pada posisi supinasi (terlentang), kanan pada pasien dengan posisi duduk

Manajemen

A. Pencegahan: 1. Mengatasi faktor risiko utama a. Hilangkan tekanan: pasien terlentang berubah posisi setiap 2 jam, pasien duduk diangkat setiap 10 menit selama lebih dari 10 detik b. Minimalkan kelembaban dengan sering mengganti pakaian dan seprai c. Minimalkan regangan dengan penempatan posisi yang nyaman dan sesuai d. Minimalkan gesekan dengan cara pemindahan yang hatihati 2. Mengatasi faktor risiko sekunder a. Obati infeksi b. Perbaiki nutrisi, usahakan optimal

105

c. Hentikan rokok d. Kendali gula darah pada pasien diabetes mellitus e. Obati penyakit vaskular yang mungkin ada B. Penanganan ulkus dekubitalis 1. Pastikan ada yang mengubah posisi pasien secara berkala setiap 2 jam 2. Ulkus dekubitalis partial thickness a. Atasi semua etiologi b. Penutup luka, bisa ditambah dengan silver sulfadiazin c. Biasanya sembuh dalam 2-3 minggu secara konservatif 3. Ulkus dekubitalis full thickness a. Atasi semua etiologi b. Debridement untuk membuang semua jaringan mati c. Penutup luka lembab-basah, antibiotik bila infeksi, penutup oklusif untuk luka pasca-debridement tidak terinfeksi, mengobati infeksi jaringan lunak (debridement, drainase, antibiotik), mengobati bila terjadi osteomielitis (debridement agresif, antibiotik sistemik), atau penggunaan vacuum assisted closure pada luka decubitus tertentu d. Jaringan yang terbuka dapat ditutup dengan flap, atau pada kasus sederhana bisa dengan graft

GS

Gambar 49. Ulkus dekubitalis pada punggung dan sakrum-iskium. Kiri: praoperasi. Kanan: Pasca skin graft pada daerah sakrum-iskium kanan. Pasien tidak mengalami gangguan sensibilitas permanen.

106

GS

GS GS

Gambar 50. Ulkus dekubitalis pada sakrum-iskium. Kiri: Pra-operasi. Kanan: Pasca operasi dengan flap V-W advancement gluteus maksimus pada daerah sakrum.

107

19 Definisi

Lesi Kuku: Ingrowing Toenail Luka kronik pada jari kaki akibat adanya kuku yang tumbuh berlebih dan melukai tepi jari.

Epidemiologi

Ingrowing toenail sering ditemukan terutama pada jempol kaki, akan tetapi angka kejadiannya tidak diketahui pasti jumlahnya.

Etiologi

Faktor genetik atau sistemik yang menyebabkan nail plate tumbuh lebih lebar dari nail bed

Faktor Risiko

1. Memotong kuku yang tidak baik sehingga tepinya melukai jaringan lunak waktu berdiri 2. Hiperhidrosis, suasana lembab dalam sepatu menyebabkan mudahnya tumbuh bakteri dan kulit mudah maserasi 3. Sepatu yang terlalu sempit 4. Kebersihan kaki yang buruk 5. Pergerakan kaki yang salah 6. Deformitas di kaki

Patofisiologi

1. Kuku yang relatif melebihi yang normal tumbuh melukai sisi lateral nail groove, kemudian bakteri dan jamur dapat masuk. Kuku juga dapat dianggap tubuh sebagai benda asing dan menghambat penyembuhan luka. 2. Adanya hipertrofi pada nail fold distal menyebabkan pasien tidak dapat memotong seluruh kukunya dan menyisakan sisa kuku yang berbentuk seperti duri yang disebut “fishhook nail”. Keadaan tersebut menyebabkan ingrowing toenail bertambah parah.

GS

GS

Gambar 51. Ingrowing toenail pada jari I kaki kiri bagian medial, sampai ke bagian proksimal. Perlu dilakukan operasi “nail plasty.” Perhatikan pada gambar kiri, daerah yang mengalami inflamasi. Tampak depan: penonjolan jaringan lunak tepi kuku akibat proses peradangan.

108

Manajemen

Luka kronik pada jari kaki akibat adanya kuku yang tumbuh berlebih dan melukai tepi jari. Ingrowing toenail sering ditemukan terutama pada jempol kaki, akan tetapi angka kejadiannya tidak diketahui pasti jumlahnya. Faktor genetik atau sistemik yang menyebabkan nail plate tumbuh lebih lebar dari nail bed 1. Memotong kuku yang tidak baik sehingga tepinya melukai jaringan lunak waktu berdiri 2. Hiperhidrosis, suasana lembab dalam sepatu menyebabkan mudahnya tumbuh bakteri dan kulit mudah maserasi 3. Sepatu yang terlalu sempit 4. Kebersihan kaki yang buruk 5. Pergerakan kaki yang salah 6. Deformitas di kaki 1. Kuku yang relatif melebihi yang normal tumbuh melukai sisi lateral nail groove, kemudian bakteri dan jamur dapat masuk. Kuku juga dapat dianggap tubuh sebagai benda asing dan menghambat penyembuhan luka. 2. Adanya hipertrofi pada nail fold distal menyebabkan pasien tidak dapat memotong seluruh kukunya dan menyisakan sisa kuku yang berbentuk seperti duri yang disebut “fishhook nail”. Keadaan tersebut menyebabkan ingrowing toenail bertambah parah. 1. Prinsip manajemen adalah menghilangkan dan mencegah adanya kuku yang melukai sisi lateral nail groove 2. Bila ingrowing toenail pada bagian distal saja, maka dapat dilakukan manajemen konservatif, diantaranya: a. Mengganjal batas kuku dan lateral nail groove menggunakan kapas yang diberi pelembab b. Splinting menggunakan potongan selang infus yang diletakkan antara kuku dan lateral nail groove, dipertahankan selama 3-4 minggu c. Abrasi untuk menipiskan permukaan kuku (kecuali bagian tepi) dapat membuat kuku lebih fleksibel d. Menarik lateral nail groove ke arah plantar dengan menggunakan perekat kulit/ plester 3. Pada ingrowing toenail terjadi sampai bagian proksimal, maka dapat dilakukan pembedahan. Manajemen ingrowing

109

Luka kronik pada jari kaki akibat adanya kuku yang tumbuh berlebih dan melukai tepi jari. Ingrowing toenail sering ditemukan terutama pada jempol kaki, akan tetapi angka kejadiannya tidak diketahui pasti jumlahnya.

Komplikasi Faktor genetik atau sistemik yang menyebabkan nail plate

GS

GS

GS

GS

Gambar 52. Nail plasty. Kiri atas: Setelah anestesi blok dan torniquet menggunakan kasa yang dipelintir, 3mm kuku dipotong menanjang sampai dengan nail fold. Kanan atas: kuku patologis diambil. Kiri bawah: Penjahitan kuku dan kulit secara “through and through.” Kanan bawah: Luka diberi antibiotik topikal dan ditutup perban ketat melingkar.

110

Kepustakaan Anatomi Kulit Sammer D. Tissue Injury and Repair: Skin Structure. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 1-2 Penyembuhan Luka Sammer D. Tissue Injury and Repair. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 1-8. Keloid dan Parut hipertrofik 1. Darzi A, Chowdri A, Kaul K, et.al. Evaluation of various methods of treating keloids and Hypertrophic Scars: a 10year follow up study. Br J Plast Surg. 1992; 45:374-9. 2. Reiken R, Wolfort F, et.al. Control Hypertrophic Scar growth using Selectively Photo Thermolysis. Lasers Surg Med. 1997; 21:7-12. 3. Rockwell WB, Cohen K, Ehrlich HP. Keloid and Hypertrophic Scars: A Comprehensive Review. Plas Recons Surg. 1989; 84:827-37. 4. Ketchum LD, Robinson DW, et.al. Follow up on treatment of Hypertrophic Scars and Keloids with Triamcinolone. Plas Recons Surg. 1971;48:256-9. 5. Blackburn WR, Cosman B. Histologic Basis of Keloid and Hypertrophic Scar differentiation. Clinicopathologic Correlation. Arch Pathol. 1966;82:65-71. 6. Cosman B, Cricklair GF, et.al. The Surgical Treatment of Keloids. Plas Recons Surg. 1961; 27:335-9. 7. Hudson U. Keloid and Hypertrophic Scar Compared. (Online). Dapat diakses di: www.phudson.com/scar/ keloidvhyper.html 8. Keloid and Hypertrophic Scars. AOCD. (Online). Dapat diakses di: www.aocd.org/skin/dermatologic_diseases/ keloid_and_hypert.html 9. Kantor J. Keloid. (Online). 2004. Dapat diakses di: www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000849.htm 10. Manuskratti, W., Fitzpatrick, R. Treatment of Hypertrophic Scars and Keloid: A Multifaceted Approach. (Online). Dapat diakses di: www.thaicosderm.org/ med.topik/keloidRX.htm

113

Teknik Dasar Pembedahan Trussler AP. Surgical Tecnoques and Wound Management. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 9-15. Anestesi Lokal Thorne AC. Local Anesthetics. Dalam Aston SJ, Beasley RW, Thorne CH, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Edisi 5. Lippincott-Raven. Philadelphia: 1997. Hal 99-103 Skin Graft dan Flap 1. Chang E. Grafts. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 16-20. 2. Lynch J. Flaps. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 22-30. 3. Spector J, Levine J. Cutaneous Defects: Flap, Grafts, and Expansion. Current Therapy in Plastic Surgery. Saunders, Philadelphia. 2006. Hal 11-20. 4. Perdanakusuma D. Skin Grafting. Airlangga University Press. Surabaya. 1998. Hal 7-27. 5. Smith JD, Pribaz JJ. Flaps. Dalam Achauer BM, Eriksson E, Guyuron B, Coleman III JJ, Russell RC, VanderKolk CA. Plastic Surgery: Indications, Operations, and Outcomes. Mosby. St. Louis: 2000. Hal 261-290. 6. Matheus J, Foad N. Text book of application of Flap. 2nd ed. CV. Mosby Company, St. Louis. 1998. Hal 585-609. 7. Grande D. Skin Grafting. (Online). Sept 2006. Dapat diakses di: www.emedicine.com/derm/topic867.htm 8. Hart JP. Skin Graft. (Online). 6 Okt 2005. Dapat diakses di: www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/ 002982.htm Bedah Mikro 1. Borschel GH. Microsurgery. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 38-43 2. Shenaq SM, Sharma SK. Principles of Microvascular Surgery. Dalam Aston SJ, Beasley RW, Thorne CH, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Edisi 5. LippincottRaven. Philadelphia: 1997. Hal 73-77

114

Neurofibroma 1. Petro A. Benign Skin Lesions: Neurofibroma. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 78. 2. Zarem HA, Lowe NJ. Benign Growth and generalized skin Disorders. Dalam Aston SJ, Beasley RW, Thorne CH, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Edisi 5. LippincottRaven. Philadelphia: 1997. Hal 150-1. 3. Alphen, HAM. Tumor Susunan Saraf. Onkologi. Edisi 5. Panitia Kanker RSUP dr. Sardjito. Yogyakarta.1999. Hal 565-87. 4. Neurofibroma. (Online). Dapat diakses di: www.usc.edu/ hsc/dental/opath/cards/neurofibroma.html 5. Neurofibroma. (Online). Sept 2006. Dapat diakses di: http://en.wikipedia.org/wiki/neurofibroma 6. Neurofibroma. Chilren's Hospital Boston. (Online). Dapat diakses di: www.childrenshospital.org/az/site1085/ printerfriendlypageS1085PO.html 7. Neurofibroma. (Online). Dapat diakses di: www.maxillofacialcenter.com/bondbook/softtissue/neurofib. html Nevus Netscher D, Spira M, Cohen V. Benign and Premalignant Skin Lesion: Tumors of Melanocyte System. Dalam Achauer BM, Eriksson E, Guyuron B, Coleman III JJ, Russell RC, VanderKolk CA. Plastic Surgery: Indications, Operations, and Outcomes. Mosby. St. Louis: 2000. Hal 305-7 Lipoma 1. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 2. American Family Pysician. Lipoma Excision. (Online). 1 Mar 2002. Dapat diakses di: http://www.aafp.org/afp/ 20020301/901.html 3. Lipoma. (Online). Dapat diakses di: http:// www.maxillofacialcenter.com/BondBook/softtissue/ lipoma.html 4. Lipoma--Topic Overview. (Online). Dapat diakses di: http:// www.webmd.com/hw/skin_and_beauty/tp21226.asp 5. Lipoma. (Online). Dapat diakses di: http:// www.mayoclinic.com /health/lipoma/DS00634

115

Fibroma Cather JC. Papule on the dorsal foot. Proc (Bayl Univ Med Cent). 2006;19:151–152 Kista Ateroma Pieter J, Prasetyono TOH, Bisono, Halimun M. Kista. Dalam Sjamsuhidajat, De Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC. Jakarta: 2005. Hal 321 Karsinoma Sel Basal 1. Casson P. Basal Cell Carcinoma. Clin Plast Surg. 1980; 7:301-311. 2. Neering H, Kroon B. Tumor Kulit. Onkologi. Panitia Kanker RSUP dr Sardjito. Yokyakarta. 1996. h. 448-452. 3. Flemming ID, Amonette R, Monaghan T, et.al. Principles of management of basal and Squamous Cell Carcinoma of the Skin. Cancer. 1995. 75:699-704. 4. Richmond JD, Davie RM. The Significance of Incomplex excision in Patients with Basal Cell Carcinoma. Br J Plast Surg. 1987. 40:63-67 5. Riefkohl R, Pollack, et.al. A rationale for the Treatment of Difficult Basal Cell and Squamous Cell Carcinoma of Skin. Ann Plast Surg. 1985. 15:99-104 6. Wilkinson J, Shaw S, et.al. Tumour (Basal Cell Carcinoma). Dermatology in Focus. Elsevier Churchill Livingstone. Edinburg. 2005.p.130. 7. Breuninger K, Dietz. Prediction of Subclinical Tumor Infiltration in Basal Cell Carcinoma. J Dermatol Surg Oncol. 1991. 17:574-57 Karsinoma Sel Skuamosa Hedrick MH, Lorenz HP, Miller TA. Malignant Skin Conditions. Dalam Achauer BM, Eriksson E, Guyuron B, Coleman III JJ, Russell RC, VanderKolk CA. Plastic Surgery: Indications, Operations, and Outcomes. Mosby. St. Louis: 2000. Hal 31524 Melanoma 1. Janiga TA. Malignant Skin and Soft Tissue Lesions. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 61-73

116

2. Mecht SD. Melanoma. Dalam Achauer BM, Eriksson E, Guyuron B, Coleman III JJ, Russell RC, VanderKolk CA. Plastic Surgery: Indications, Operations, and Outcomes. Mosby. St. Louis: 2000. Hal 325-55 Hemangioma 1. Cavaliere CM. Vascular Anomalies. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 80-1. 2. Mulliken JB. Vascular Anomalies. Dalam Aston SJ, Beasley RW, Thorne CH, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Edisi 5. Lippincott-Raven. Philadelphia: 1997. Hal 191-196 3. Dufresne CR. The Management of Hemangiomas and Vascular Malformations of the Head and Neck. Plastic Surgery: Indications, Operations, and Outcomes. Mosby. St.Louis. 2000. Hal 973-995 4. Kantor J. Hemangioma. University of Maryland Medical Centre. (Online). 2004. Dapat diakses di: www.umm.edu/ ency/article/001459.htm Ingrowing Toenail Krull EA. Toenail Surgery. Dalam Krull EA, Zook EG, Baran R, Haneke E, editor. Nail Surgery, A Text and Atlas. Philadelphia: Lippincott-Williams&Wilkins; 2001. Hal 135-61 Rekonstruksi Kelainan di Muka Brown DL, Borschel GH. Facial Reconstruction (Section). Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 109-34 Noma 1. Enwonwu CO, Falkler WA Jr, Idigbe EO, Afolabi BM, Ibrahim M, Onwujekwe D, dkk. Pathogenesis of Cancrum Oris (Noma): Confounding Interactions of Malnutrition with Infection. Am. J. Trop. Med. Hyg., 60(2), 1999, hal. 223–232 2. Bourgeois DM, Diallo B, Frieh C, Leclercq MH. Epidemiology of the incidence of oro-facial noma: a study of cases. Am. J. Trop. Med. Hyg., 61(6), 1999, pp. 909–913 3. Devi SR, Gogoi M. Aesthetic restoration of facial defect caused by cancrum oris: A case report. Indian Journal of Plastic Surgery, Vol. 36, No. 2, Dec, 2003, pp. 131-133

117

Bibir Sumbing 1. Jeffers LC. Cleft Lip. Dalam: Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Philadelphia: LippincottWilliams&Wilkins; 2004. Hal 151-9. 2. LaRossa D. Unilateral Cleft Lip Repair. Dalam: Achauer BM, Erikkson E, Guyuron B, Coleman JJ, Russell RC, VanderKolk CA, editor. Plastic Surgery: Indications, Operations, and Outcomes. St.Louis: Mosby; 2000. Hal 755-67. 3. Afifi GY, Hardesty RA. Bilateral Cleft Lip. Dalam: Achauer BM, Erikkson E, Guyuron B, Coleman JJ, Russell RC, VanderKolk CA, editor. Plastic Surgery: Indications, Operations, and Outcomes. St.Louis: Mosby; 2000. Hal 769-97. 4. Grayson BH, Santiago P. Presurgical Orthopedics for Cleft Lip and Palate. Dalam: Aston SJ, Beasley RW, Thorne CHM, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Ed. 5. New York: Lippincott-Raven; 1997. Hal 237-44. 5. Byrd, HS. Unilateral Cleft Lip. Dalam: Aston SJ, Beasley RW, Thorne CHM, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Ed. 5. New York: Lippincott-Raven; 1997. Hal 245-53. 6. Cutting CB. Primary Bilateral Cleft Lip and Nose Repair. Dalam: Aston SJ, Beasley RW, Thorne CHM, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Ed. 5. New York: LippincottRaven; 1997. Hal 255-63. 7. Behrman. Nelson Pediatrics. 2000. p: 1111-12 8. Kirschner. Otolaryngol. Clin north Am. 2000. p.33:1191-215 9. Weintraub. Otolaryngol. Clin north Am. 2000. p.33:1171-89 10. Cleft Lip Cleft Palate. (Online). Dapat diakses di: www.fpnotebook.com/NIC7.htm Muka Sumbing 1. Cavaliere CM. Craniosynostosis and Craniofacial Syndromes. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 165-173. 2. Kawamoto Jr HK. Craniofacial Cleft. Dalam Aston SJ, Beasley RW, Thorne CH, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Edisi 5. Lippincott-Raven. Philadelphia: 1997. Hal 349-363. 3. Argenta LC, David LR. Craniofacial Clefts and Other Related Deformities. Dalam Achauer BM, Eriksson E, Guyuron B, Coleman III JJ, Russell RC, VanderKolk CA. Plastic Surgery: Indications, Operations, and Outcomes. Mosby. St. Louis: 2000. Hal 741-754.

118

Fraktur Tulang Muka 1. Manson PN. Facial Fractures. Dalam Aston SJ, Beasley RW, Thorne CH, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Edisi 5. Lippincott-Raven. Philadelphia: 1997. Hal 383-406 2. Edward SP. Facial Trauma. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 174. 3. Mas'ud AF, Sudjatmiko G, Prasetyono T, Susanto I. Association beetwen Facial Bone Fracture and Traumatic Bone Injury. Makalah PIT Bali 2006. Divisi Bedah Plastik RSCM. Jakarta. 2006 4. Richardson ML. Facial and Mandibular Fractures. University of Washington School of Medical. (Online). 2000. Dapat diakses di: www.rad.washington.edu/mskbook/facialfx.html 5. Darmadiputra, Bisono, et.al. Fraktur Tulang Wajah. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed.2. EGC. Jakarta. 2003. Hal 337-339. 6. Setiamihardja S. Trauma/Fraktur Tulang Muka. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. FKUI Bag. Ilmu Bedah RSCM. 1995: Hal 425-7. 7. Dolan KD, Jacoby CG, et.al. The Radiology of Facial Fractures Radiographics. 1984;4:575-663. 8. Facial Fracture Symptoms. (Online). Dapat diakses di: www.emedicinehealth.com/facial_fracture/page3_em.htm 9. Harris, Troetscher. Face and Mandible. (Online). Dapat diakses di: www.uth.tmc.edu/radiology/test/er_primer/ face/facetxt.html 10. Mitchell, B. Maxillofacial Trauma. Gale Encyclopedia of Medicine. (Online). Des 2002. Dapat diakses di: www.lifesteps.com/gm/atoz/ency/maxillofacial_trauma.jsp 11. Facial Bone Fracture. (Online). Dapat diakses di: www.health_care_clinic.org/injuries/facial-bonefracture.htm Luka Bakar 1. Pacella, S. Acute Burns. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 380-386 2. Setiamihardja S. Luka bakar. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. FKUI. Jakarta. 1995. Hal 435-40. 3. About Burn Injuries. (Online). Dapat diakses di: www.burn_recovery.org/injuries.htm

119

4. Burns management. (Online). Dapat diakses di: www.health.nsw.gov.au/public_health/burns/burnsmgt.pdf 7. Www.bmj.bmjjournals.com/cgi/content/full/329/7460/ 274?etoc. 8. Massachusetts Burn Injury Reporting System. 2001 Annual Report. (Online). Dapat diakses di: www.mass.gov/dfs/ osfm/firedata/mbirs/mbirs_2001ar.pdf 9. www.medscape.com/viewarticle/535519?rss 10. www.burnsupportonline.com/pic.asp?icat=6&ipic=7 Kontraktur 1. Barret JP. Burn Reconstruction. British Medical Journals. 31 July 2004; 329; 274-276. 2. Wolter KG. Burn Reconstruction. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 390-6 3. Burn Reconstruction. (Online). Dapat diakses di: www.btinternet.com/~bmphilp/eburns/burn_reconstruction. html Hipospadia 1. Coleman DJ, Banwell PE. Hypospadias. In Mathes SJ, editor, Plastic Surgery. 2nd ed. Saunders Elsevier. Philadelphia. 2006. Hal 1259-1279. 2. Hollenbeck BK. Nelson CP. Hypospadias. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 372-4. 3. Horton Sr CE, Horton Jr CE, Devine CJ Jr. Hypospadias, Epispadias and Exstrophy of the Bladder. Dalam Aston SJ, Beasley RW, Thorne CH, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Edisi 5. Lippincott-Raven. Philadelphia: 1997. Hal 1101-8. 4. Baskin, LS. Hypospadias. Anatomy, Embryology and Reconstructive Techniques. University of California. USA. (Online) 2000. Dapat diakses di: www.brazjurol.com.br/ novembro/baskin_621_629.htm 5. Sastrasupena, H. Hipospadia. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. FKUI. Jakarta. 1995. h. 428-34. 6. Soomro, NA., Neal, DE. Treatment of Hypospadias: an Update of Current Practice. Hosp Med. 1998; 59:553-556. 7. Hypospadias. Www.surgicaltutor.org.uk/defaulthome.htm? System/hnep/hypospadias.htm~right. 8. www.pennhealth.com/.../hypospadiasrepair_4.html

120

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF