Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi2 2008
April 13, 2017 | Author: Niswati Rindang Lestari | Category: N/A
Short Description
Download Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi2 2008...
Description
i
1 I'
1
!\
1
I-
!
1
I
Buku Ajar lnfeksi & Pediatri Tropis Edisi Kedua
,.
Penyun ting Sumarmo S. Poorwo Soedarmo Herry Garna Sri Rezeki S. Hadinegoro . Hindra Irawan Satari
Ikatan Dokter Anak Indonesia 2008
Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara dan dalam bentuk apapun tanpa seijin penulis dan penerbit. Diterbitkan pertama kali oleh : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI Jakarta, 2002
Percetakan buku ini dikelola oleh : Badan Penerbit IDAI, Iakarta
ISBN: 979-8421-14-0
+l
j
Sarrrbutan Ketua Umum Pengurus Pusat lkatan Dokter Anak lndonesia Assnlnmualikurn ui~rahmatullahwabarakatuh, Sejawat Yth,
Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT karena dengan rahmat-Nya buku ajar Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI ini dapat diterbitkan. Buku ini merupakan hasil karya anggota Unit Kerja Koordhasi InFeksi dan Pediatri Tropis IDAI dan diharapkan dapat dipakai sebagai acuan bagi dokter dalam bidang bidang infeksi dan pediatri tropis. Dalam buku ajar ini dimuat materi-materi yang mengkuti perkembangan ilmu kedokteran di bidang infeksi pediatri tropis, dituangkan secara singkat tetapi cukup untuk dapat menangani masalah-masalah penyakit infeksi anak yang lazim dijumpai. Berisi aspek patogenesis dan teori yang mendasari, langkah-langkah untuk membuat diagnosis serta penanganan mutakhir yang sesuai dengan mengikuti perkembangan ilmu penyakit infeksi anak. Materi yang tersaji pun mudah untuk dibaca dan dipahami, dengan berbagai perbaikan dan tambahan materi-materi dalam edisi pertama. Dengan terbitnya buku ajar Infeksi dan Pediatrik Tropis, maka UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI turut menambah daftar buku-buku yang sudah diterbitkan IDAI yang dapat menjadi bahan rujukan sebagai acuan nasional bagi dokter anak di Indonesia dalam menghadapi masalah kesehatan anak Indonesia. Selain itu, buku ini juga menambah khazanah keilmuan dalam rangka pendidikan kedokteran berkelanjutan untuk meningkatkan profesionalisme dalam menghadapi masa yang akan datang. Atas nama seluruh jajaran Pengurus Pusat IDAI saya menyampaikan selamat dan penghargaan kepada pengurus UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI yang telah berhasil menerbitkan buku ajar edisi kedua ini. Diharaukan UKK Infeksi d m Pediatri Troois IDAI di masa yang akan datang dapat terus menerbitkan beberapa buku yang mengulas penyakit infeksi sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ilmu kesehatan anak. Harapan karni mudah-mudahan buku ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan bagi anak-an& Indonesia. Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh Jakarta, Juni 2008 Dr. Sukman T. Putra, SpA(K)., FACC., FESC. Ketua Umum ' Pengurus Pusat lkatan Dokter Anak lndonesia 2005-2008
Kata Pengantar Edisi Pertama
Assalarnu'alaikurn wr. wb. Sepantasnyalah kami mengucap puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, bahwa unit Keja Koordinasi Infeksi dan Pediatri Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia (UKK Infeksi & Pediatri Tropis IDAI) telah berhasil menghimpun karya tulis para staf pengajar dari Pusat Pendidikan Dokter Spesialis Anak di seluruh Indonesia, dalam bentuk buku ajar. Buku ajar ini disusun dengan tujuan menyamakan materi pembelajaran bagi dokter spesialis di seluruh tanah air. Diharapkan buku ajar ini merupakan materi wajib yang harus dikuassi oleh para calon dokter spesialis anak. Namun dapat juga dipergunakan sebagai bahan acuan dari rnahasiswa Fakultas Kedokteran atau mahasiswa lain yang memerlukan bahan rujukan. Mengingat kemajuan ilmu kedokteran khususnya penyakit infeksl anak serta waktu penyusunan materi buku ajar yang memerlukan waktu cukup lama, kami merasa bahwa buku ajar ini akan segera rnemerlukan revisi atau penambahan materi dalam waktu dekat. Untuk ha1 tersebut, editor mengharapkan saran dan kritik dari pembaca untuk kelengkapan buku ini. Kepada para kontributor yang telah meluangkan waktu dan aktif dalam penyusunan buku ajar ini, sebagai ketua UKK Infeksi & Pediatri Tropis IDAI saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya. Tanpa rasa kebersamaan yang mendalam di antara para anggota UKK Infeksi & Pediatri Tropis IDAI serta tanggung-jawab kepada anak didik, mustahil buku ajar ini dapat diterbitkan. Demikian pula kepada para editor yang telah berupaya menyusun dan mengolah sehingga buku ajar ini layak untuk dibaca
Wassalarnu'alaikum wr.zub. Ketua UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDA1 Ketua Editor
Prof. DR. Sri Rezelu S. Hadinegoro, Dr., Sp.A(K)
,
Kata Pengantar Ketua UKK Infeksi dan Penyakit Tropis lkatan Dokter Anak Indonesia
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas berkah dan karunia-Nya hingga berhasil terbitnya kembali Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis edisi kedua ini. Habisnya persediaan buku edisi pertama dalam tempo yang singkat menunjukkan antusias masyarakat yang meningkat, menunjukkan t i n g p y a minat dan kebutuhan kalangan kedokteran, baik mahasiswa, perawat, dokter umum maupun dokter spesialis anak terhadap pembelajaran dan perkembangan ilmu infeksi pediatri tropis yang kian pesat. Menyadari akan pentingnya ha1 tersebut, maka dalam edisi kedua ini selain revisi terhadap sebagian besar bab-bab terdahulu dengan referensi-referensi terbaru, kami juga memasukkan dua bab baru mengenai topik yang sedang berkembang dalam dunia infeksitropis, yakni mengenai SARS dan virus nipah, serta melibatkan penulis-penulis baru. Walaupun demikian, kami menyadari bahwa edisi kedua ini masihlah jauh dari sempurna dan dengan demikian kami mohon masukan-masukan, kritik dan saran yang membangun dari segenap pembaca. Tak lupa kepada segenap penulis dan pihak-pihak yang sudah bekerja keras demi terbitnya edisi ini, atas nama UKK Infeksi dan Pediatri Tropis kami ucapkan banyak terimakasih. Semoga dengan penerbitan edisi kedua in maka khasanah Ilmu Pediatrik Tropis akan semakin meresap dan meluas ke seluruh persada Indonesia, dan bermanfaat demi kemajuan dan kesehatan generasi penerus bangsa. Akhir kata, kami ucapkan selamat membaca!
H. Hindra Irawan Satari, dr., Sp.A(K).MTropPaed. Ketua UKK Infeksi dan Pediatri Tropis
Daftar Kontributor
Abbas Merdjani., Dr., Sp.A(K), Bagian llmu Kesehatan Anak FK. Universitas Sriwijaya, Palembang Abdul Azis Syoeib., Dr., Sp.A(K) Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. Universitas Andalas, Sumatera Barat Alan R-Tumbelaka., Dr., Sp.A(K) Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. Universitas Indonesia, Jakarta Prof. Alex Chairulfatah., Dr., Sp.A(K) Bagian llmu Kesehatan Anak FK. Universitas Padjadjaran, Bandung Anggoro D.B Sachro., Dr., Sp.A(K) Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. Universitas Diponegoro, Semarang Bagus Ngurah Putu Arhana, Dr., Sp.A(K) Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. Universitas Udayana, Denpasar Prof. Chairuddin P.Lubis, DTMH., Dr., Sp.A(K) Bagian llmu Kesehatan Anak FK. Universitas Sumatra Utara, Medan Djatnika Setiabudi, Dr., Sp.A(K) Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. Universitas Padjadjaran, Bandung Prof. Faried Kaspan., Dr., Sp.A(K) Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. Universitas Airlangga, Surabaya
Prof. Moch.Hardjono Abdoerrachman., Dr., Sp.A(K) Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. Universitas Indonesia, Jakarta Herawati Yuslam, Dr., Sp.A Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. Universitas Diponegoro, Semarang Prof. Herry Garna Ph.D., Dr.,Sp.A(K) Bagian llmu Kesehatan Anak FK. Universitas Padjadjaran, Bandung Hindra Irawan Satari MMTrop.Paed., Dr., SP.A(K) Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. Universitas Indonesia, Jakarta Ida Safitri, Dr., Sp.A(K) Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta I Komang Kari., Dr., Sp.A(K) Bagian llmu Kesehatan Anak FK. Universitas Udayana, Denpasar Prof. DR. Ismoedijanto P., Dr., Sp.A(K) Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. Universitas Airlangga, Surabaya Prof. M.Z. Azhali., Dr., Sp.A(K) Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. Universitas Padjadjaran, Bandung MMDEAH Hapsari, Dr., Sp.A(K) Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. Universitas Diponegoro, Semarang
.
Mulya Rahma Karyanti, Dr., Sp.A Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. Universitas Indonesia, Jakarta Narain Punjabi, Dr., Sp.A, Ph.D NAMRU-2 Prof. Parwati Setiono B., Dr., Sp.A(K) Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. Universitas Airlangga, Surabaya Putu Suwendra., Dr., Sp.A(K) Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. Universitas Udayana, Denpasar Prof. DR. Soegeng Soegijanto., Dr., SP.A(K) Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. Universitas Airlangga, Surabaya Soemakto, Dr., Sp.A(K) Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. Universitas Brawijaya, Malang
Prof. DR. Sri Rezeki S. Hadinegoro., Dr., Sp.A(K) Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. Universitas Indonesia, Jakarta Prof. DR. Sumarmo S.Poorwo Soedarmo., Dr., Sp.A(K) Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. Universitas Indonesia, Jakarta Prof. DR. Syahril Pasaribu DTMH., Dr., Sp.A(K) Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. Universitas Sumatra Utara, Medan Prof. T.H. Rampengan., Dr., Sp.A(K) Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. Universitas Sam Ratulangi, Manado Widodo Darmowandoyo., Dr., Sp.A(K) Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. Universitas Airlangga, Surabaya Prof. Zarkasih Anwar., Dr., Sp.A(K) Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. Universitas Sriwijaya, Palembang
vii
Daftar Isi
---. . Sambutan Ketua Pengurus Pusat IDA1 .................................................................. Sambutan Kolegium IDA1 ........................................................................................ Kata Pengantar Edisi Pertama ................................................................................. Kata Pengantar ........................................................................................................... Daftar Kontributor .....................................................................................................
iii iv v vi vii
Dasar Penyakit Infeksi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Patogenesis Penyakit Meksi ........................................................................... Respons Imun Penyakit Infeksi ............................ .......................................... Demam: Patogenesis dan Pengobatan ........................................................... Demam Tanpa Kausa Jelas (Fever of unknown origin) ................................... Standard Precaution ......................................................................................... Pemakaian Antimikroba di Bidang Pediatri ................................................. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis ................................................................ Nilai Normal ......................................................................................................
Penyakit Infeksi Virus 9. 10. 11. 12.
viii
Pendekatan Diagnostik Penyakit Eksantema Akut ..................................... Campak .............................................................................................................. Rubella ................................................................................................................ Eksantema Subitum .......................................................................................... Varisela ............................................................................................................... Herpes Simpleks ............................................................................................... Meksi Virus Dengue ........................................................................................ Poliomyelitis ...................................................................................................... Parotitis Epidemika .......................................................................................... Epstein Barr Virus (Mononukleosis Infeksiosa) ................................................ Rabies .................................................................................................................. Demam Chikungunya ...................................................................................... Influenza ............................................................................................................. Human Immunodeficiency Virus ........................................................................ Japanese Encephalitis ........................................................................................... Sitomegalovirus ................................................................................................. Virus Nipah ........................................................................................................ Virus Hanta ........................................................................................................
1 13 21 47
56 66 83 90
Penyakit Infeksi Bakteri 27. Difteria ................................................................................................................ 312 28. Tetanus .............................................................................................................. 322 29 . Pertusis ............................................................................................................... 331 30. Demam Tifoid ................................................................................................... 338 31. Infeksi Streptokokus Grup A .......................................................................... 347 32. InfeksiStafilokokus .......................................................................................... 353 33. Sepsis dan Syok Septik ..................................................................................... 358 34. Leptospirosis .................................................................................................... 364
.
Penyakit Infeksi Parasit 35. Askariasis (Meksi Cacing Gelang) ................................................................ 36. Trichuriasis (Infeksi Cacing Cambuk) ........................................................... 37. Ankilostomiasis (Infeksi Cacing Tambang) .................................................. 38. Oxyuriasis (Infeksi Cacing Kremi) ................................................................. 39. Taeniasis Saginata dan Solium ....................................................................... 40. Hymenolepiasis Nana ...................................................................................... 41. Filariasis ............................................................................................................. 42. Malaria pada Anak ........................................................................................... 43. Amubiasis .......................................................................................................... 44. Giardiasis ........................................................................................................... 45. Toxoplasmosis ...................................................................................................
370 376 380 385 389 397 400 408 438 449 458
Penyakit Infeksi Jamur 46. Kandidiasis ........................................................................................................ 47. Histoplasmosis ..................................................................................................
466 475
Lain-lain 48. Infeksi Nosokomial ........................................................................................... 478 49. Keracunan Pada Anak ..................................................................................... 497 50. Severe Acute Respiratory Syndrome-Coronavirus (SARS-CoV) ....................... 515
Patogenesis Penyakit Infeksi
D
-
alam istilah biologi umum, bentuk asosiasi antara dua organisme yang berbeda dapat diklasifikasikan menjadi asoslasi parasitik atau slmbiotik (mutualistik). Terdapat kategori antara yang disebut komensalisme dimana organisme yang satu mendapat keuntungan tanpa menirnbulkan kerusakan pada yang lain. Klaslfikasi seperti diatas dapat diterapkan pada asosiasi antara mikroorganisme dengan vertebrata. Meksi generalisata seperti campak, tuberkulosis, atau demam tifoid jelas merupakan contoh bentuk parasitik. Bakteri yang hidup pada kulit manusia dan beradaptasi secara khusus pada kulit, sesaat mungkin dianggap sebagai komensal. Mereka menikrnatiperlindungan dan makanan (lemak, peluh dsb) dan dalam keadaan normal tidak merugkan. Bakteri kulit yang tidak berbahaya, keberadaannya menghambat pertumbuhan bakteri yang lebih patogen. Sekali lagi menunjukan keuntungan bagi hospes dan diklasifikasi bersifat simbiotik. Kemampuan mikroba bermultifikasi jelas sangat penting, mikroba dikatakan mati atau tidak dapat hidup bila tidak bereflikasi. Yang sama pentingnya adalah kemampuan menyebar dari hospes ke hospes lain. Pada suatu spesies, penyebarannya mungkin horisontal, satu individu mengmfeksi individu lain secara kontak, melalui vektor insekta. Penyebaran mungkin vertikal pada suatu spesies, orang tua menpfeksi anaknya melalui sperma, telur, plasenta, air susu ibu atau secara kontak. Jelas bila mikroba tidak menyebar dari orang keorang, kuman akan mati bersama hospesnya dan tidak dapat lestari di alam. Hanya sebagian kecil mikroorganisme saja (yang berhubungan dengan manusia) yang mampu mengakibatkan perubahan patologi atau menyebabkan penyakit.
Cara Mikroorganisme Masuk ke Dalam Tubuh Pada dasarnya, tubuh dilintasi suatu tabung, saluran cerna, dengan divertikula buntu yaitu saluran nafas, dan saluran urogenital. Permukaan tubuh tertutup kulit tanduk. Hal ini memberikan suatu isolasi dari dunia luar, struktur kulit mengilustrasi keadaan kompromi antara keperluan melindungi tubuh dan pada saat yang sama mempertahankan komunikasi sensori dengan dunia luar, memberi mobilitas mekanis dan terutama pada manusia, berfungsi sebagai organ termoregulator yang penting.
Kulit yang kering dan bersifat melindungi tidak menutupi semua permukaan tubuh. Dimata, kulit diganti oleh suatu lapis sel hidup yang transparan, konjungtiva. Bahan makanan harus dimakan dan produk digestinya diabsorpsi dan karena itu pada saluran cema, kontak dengan dunia luar harus dipermudah, lapisannya terdiri dari 1 atau lebih' lapisan sel hidup. Diperlukan juga adanya diskontinuitas kulit yang lain pada saluran urogenital, dimana urine dan produk sex disekresi dan dikeluarkan ke dunia luar. Sel permukaan di daerah tersebut tertutupi suatu "film" yang cair. Dalam saluran cerna, sel pelapis tak terelakkan terpapar kerusakan mekanis oleh bahan makanan dan sel-sel tersebut diganti secara kontinyu. Konjunghva, saluran cerna, saluran nafas, dan saluran urogenital merupakan "jalan masuk" infeksi mikroorganisme. Penetrasi melaluinya lebih mudah daripada melalui kulit. Selama proses evolusi terbentuklah upaya-upaya bersifat anti mikroba untuk menghadapi bahaya tersebut, juga sistem pembersihan yang menjaga tetap bersihnya konjungtiva dan saluran nafas sehingga dapat bekerja sesuai dengan fungsinya. Agar dapat mengadakan kolonisasi atau penetrasi, mula-mula mikroorganisme harus mengadakan penempelan. Penyakit-penyakit infeksi yang dikenal, hampir semuanya melalui saluran nafas dan saluran cema.
Infeksi dibagi dalam 3 kelompok Infeksi dimana mikroorganisme mempunyai mekanisme khusus untuk menempel pada permukaan tubuh dan kadang-kadang mengadakan penetrasi pada hospes sehat dan normal. 2. Mikroorganismememasuki tubuh hospes sehat melalui gigitan artropoda (malaria dll), mikroorganisme ini mempunyai mekanisme khusus untuk menpfeksi artropoda dan tergantung artropodanya untuk memasuki tubuh hospes. 3. Meliputi lnfeksi dimana mikroorganismenya sendiri tidak mampu menginfeksi pejamu. Harus terjadi kerusakan dahulu d m . menurunnya pertahanan permukaan tubuh, seperti luka kulit, "kerusakan" saluran nafas akibat mikroba kelompok 1, atau terdapat abnormalitas saluran kemih yang mengganggu fungsi urine membilasi dan membersihkan (infeksi oportunistik). Terdapat juga mikroorganismeyang mampu menimbulkanpenyakit tanpa melakukan penetrasi permukaan tubuh dan mencapai jaringan tubuh. Vibrio Kolera mengsekresi bahan toksik yang bekerja lokal dan menyebabkan penyakit. Kuman "melakukan" patogenisitasnyawalaupun tetap berada dalam lumen usus. Ada kuman lain, yang menetap di permukaan tubuh dan melepaskan toksin yang menyebabkan penyakit sistemik setelah toksin terabsorpsi (difteria).
1.
Flora Mikroba Normal Individu normal mempunyai bakteri pada kulitnya, dalam mulutnya dan saluran usus. Sebagian besar daripadanya adalah bakteri sangat khusus, menggunakan makanan yang ada, sering dengan mekanisme untuk menempel pada permukaan tubuh, dan sepertinya mereka mengalami adaptasi secara evolusi terhadap hospes khusus Giardia lamblia adalah
2
Buku Ajar Infeksi don Pediafri Tropis
protosoa berflagella yang hidup di usus halus atas manusia, menempel pada mukosa melalui diskus penghisap. Distribusinya mendunia, infeksi, biasanya tanpa gejala dan kista yang resisten dikeluarkan dari tubuh dalam tinja.
Apakah tlora normal berarti ? Efek menguntungkan dan paling penting untuk manusia adalah ke-cendrungannya mencegah mikroorganisme lain. Bakteri usus seperti E.coli misalnya, gaga1 memantapkan dirinya pada mulut dan tenggorok normal, dan gangguan flora normal terjadi karena penggunaan antibiotik yang lama, dapat menimbulkan pertumbuhan berlebih Candida albicans dalam mulut, atau stafilokokus dalam usus. Komposisi flora usus manusia sangat kompleks, tetapi hanya sejumlah kecil tipe bakteri yang dorninan. Gambarannya sangat dipengaruhi diit. Karena jumlahnya, bakteri usus mempunyai potensi metabolik cukup besar (dikatakan sarna dengan potensi hepar) dan produk metabolisme dapat diabsorpsi. Bakteri usus misalnya, penting dalam pemecahan asarn empedu. Produk metabolisme kadang-kadang menyebabkan masalah. Bakteri yang resisten sangat teradaptasi dengan kehidupan komensal, dan pada keadaan normal hanya sedikit menimbulkan kerusakan. Mereka ada selama hidup dan tidak menimbulkan respons inflamasi maupun respons imun. Pada individu normal, mikroorganismeyang dapat memantapkan dirinya adalah, per definisi, infeksius. Kadangkadang mikroorganisme ini menyebabkan penyakit dan pelan-pelan dieliminasi. Dengan kata lain, bila permukaan tubuh tidak tercegah terkolonisasi mikroorganisme, dapat dianggap beruntung bila yang mengkolonisasi adalah komensal khusus yang nonpatogen.
lnfeksi Oportunistik Ada suatu konsekuensi penting karena adanya flora mikroba normal. Mikroorganisme tersebut berada sebagai komensal yang tidak berbahaya, kebutuhan makan dan bermultiplikasi sudah terpenuhi berkaitan dengan resistensi hospes terhadap invasi dan kerusakan. Bila pada individu tertentu, keseimbanganini terganggu dan terjadi penurunan tingkat resistensi, umurnnya bakteri komensal ini yang pertarna memanfaatkannya. Kerusakan saluran nafas menggangu keseimbangan dan memungkinkan bakteri penghuni yang biasanya tidak berbahaya; tumbuh dan menyebabkan sinusitis atau pneumonia. Bakteri'tinja normal menginfeksi saluran kemih bila masuk melalui kateter. Kecendrungan bakteri komensal memanfaatkan kesempatan bila ada, dan melakukan invasi pada hospes ini bersifat universal. Karena itu infeksi-infeksitersebut disebut infeksi oportunistik. Disamping bakteri komensal yang biasa ada patogen oportunistik lain. Misalnya Pseudomonas aeruginosa, merupakan spesies bakteri yang hidup bebas, kadang-kadang terdapat dalam saluran usus. Di Rumah Sakit kuman ini sekarang menjadi sumber infeksi oportunistik utama. Hal ini karena kuman ini resisten terhadap banyak antibiotik baku dan desinfektan, karena kebutuhan untuk tumbuhnya sangat sederhana, dan karena terdapat tersebar di lingkungan rumahsakit. Kuman ini dapat bermultifikasi dalam tetes mata, desinfektan lemah, gabus, dalam reservoar air sekitar kran dan tempat cuci piring, bahkan dalam vas bunga. Ps. aeruginosa menyebabkaninfeksi terutama pada luka bakar, di saluran kemih sesudah instrumentasi. Bila resistensi sangat lemah, kuman dapat menyebar secara
Patogenesis Penyakit lnfeksi
3
sistemik keseluruh tubuh. Virus juga dapat menjadi patogen oportunistik. Kebanyakan orang sering terinfeksi secara persisten oleh virus sitomegalo, virus herpes simpleks, virus varicella-zoster dl1 dan virus-virus ini sering menyebabkan penyakit pada individu yang sistem imunologinya tertekan. Pneumonitis cranii, suatu parasit protosoa sangat sering menjadi penghuni manusia, biasanya patogenesitasnya hampir nol, tetapi dapat berperan dalam timbulnya pnemoni pada individu yang sistem imunnya tertekan.
Cara rnikroorgansirne keluar dari tubuh Hampir semua mikroorganisme dikeluarkan dari permukaan tubuh. Transmisibilitas suatu organisme dari satu ke lain hospes tergantung pada tingkat pelepasan, pada stabilitas dan sifat-sifat lain. Sifat yang meningkat-kan transmisibilitas tidaklah sama dengan sifat yang menentukan pato-genisitas. Ada yang virulen, tetapi transrnisinya tidak efektif. Transmisibilitas merupakan atribut genetik virus yang terpisah. Juga untuk mikroorganisme lain, seperti stafilokok dan streptokok, transmisibilitas dapat bervariasi tak tergantung pada patogeninitas. Pada infeksi yang ditransmisi melalui route respirator, pengeluaran tergantung pada produksi aerosol yang mengandung mikroorganisme. Erbsol tersebut di produksi dalam farings, mulut dan tenggorok waktu berbicara dan bernafas. Waktu batuk efisiensinya jauh lebih besar, dan pengeluaran dari tubuh akan terjamin bila terdapat peningkatan sekresi mukus dan dapat ditimbulkan refleks batuk. Kuman tuberkel dalam paru yang dipindah ke tenggorok bagian belakang, sebagian besar ditelan dan batuk akan mengeluarkan bakteri ke udara. Pengeluaran dari cavum nasi secara efisien tergantung pada peningkatan sekret hidung dan pada ditimbulkannya gerakan bersin. Pengeluaran bakteri kulit komensal terjadi secara efektif. Bakteri yang dikeluarkan menempel pada scale kulit yang mengelupas, kecepatan pengeluarannya sangat tinggi tergantung aktivitas fisik. Debu putih halus yang terkumpul di Iantai bangsal rumah sakit sebagian besar terdiri dari scales kulit. Semua rnikroorganisme yang menginfeksi saluran cerna dikeluarkan bersama tinja, dikeluarkan ke empedu, seperti Salmonella &hi pada karier tifoid, juga terdapat pada tinja. Mikroorganisme yang ditelan dapat juga berada dalam tinja, tetapi sebagian besar mikroorganisme tersebut tidak resisten terhadap asam, empedu dan bahan usus lain sehingga terinaktivasi. Tinja merupakan kontribusi tubuh paling besar pada lingkungan, dan walaupun hampir semua bersifat komensal tinja merupakan sumber mikroorganisme yang kurang berbahaya tapi penting. Saat terinfeksi, isi usus sering disegerakan dikeluarkan dan tinja menjadi cair. Tidak ada ekuivalensi yang tepat dengan bersin, tetapi diare jelas menyebabkan peningkatan pencemaran lingkungan (oleh tinja)dan penyebaran kepada individu lain. Pada masyarakat primitif, terdapat daur ulang tinja kembali ke mulut. Pencemaran makanan, air dan tempat pemukiman memungkinkan ha1 tersebut, dan efisiensi "gerakan" faeco-oral ini dibuktikan dengan adanya berbagai mikroba dan parasit yang menyebar dari satu ke individu lain dengan route tsb. Bila mikroorganisme yang dikeluarkan resisten terhadap kekeringan dan keadaan lingkungan yang lain, kuman tetap infeksius untuk waktu yang lama. Tanah banyak mengandung spora tetanus, spora
4
Buku Ajar lnieksi don Pediatri Tropis
+
, I
I
ini dapat menpfeksi luka dan menimbulkan tetanus. Virus mempunyai resistensi yang bervariasi terhadap inaktivasi karena suhu dan kekeringan. Virus polio misalnya segera terinaktivasi dengan pengeringan. Urine dapat mencemari makanan, minuman dan ruang hidup; ha1 yang sama dapat berlaku seperti yang diceritakan tentang tinja. Urine dalam kandung seni biasanya steril, hanya tercemar bakteri saat dikeluarkan. Patogen yang biasa terdapat dalam urine adalah dari kelompok khusus yakni yang dapat menyebar keseluruh tubuh dan mengrnfeksi ginjal dan kandung seni. Karier tifoid menderita infeksi persisten dalam kandung seni, temtama bila kandung seni mempunyai parut karena parasit Schistosoma, dan kuman tifoid dikeluarkan dalam urin. Mikroorganisme yang keluar dari uretra transmisinya tergantung pada kontak mukosa dengan individu rentan. Gonokokus mengrnfeksi mata bayi dengan cara tersebut. Mikroorganisme yang ditransmisi oleh artropoda penghisap datah harus ada dalam darah. Mikroorganisme yang dimaksud meliputi virus, malaria, dan penyebabinfeksi lain. Pada penyakit-penyakit tersebut transmisinya secara biologi. Mikroorganisme masuk bersama makanan (darah), bermultiplikasi dalam artropoda dan kemudian dikeluarkan melalui kelenjar ludah atau saluran usus artropoda dan mengmfeksi hospes baru. Agar dapat mengmfeksi vektor (artropoda) darah pejamu (vertebrata)harus mengandung cukup penyebab infeksi. Dikatakan bahwa mikroorganisme dikeluarkan kedalam darah. Mikroorganisme jarang terdapat dalam (air) mani, yang tidak dirancang untuk mengeluarkan ke lingkungan. Mungkin karena kesempatan yang sudah baik dengan penyebaran melalui mukosa saat berhubungan kelamin sehingga mikroorganisme tidak memanfaatkan mani sebagai sarana transmisi. Sebaliknya, susu merupakan sarana (cukup penting) untuk transmisi. Virus parotitis dan sitomegalo dikeluarkan ke dalam ASI, walaupun mungkin tidak ditransmisi secara demikian.Susu sapi yang mengandung Brucelln abortus, kuman tuberkulosis atau Rickettsia,Q fever merupakan sumber infeksi manusia. Kadang-kadang transmisi te jadi tanpa pengeluaran mikroorganisme secara spesifik ke dunia luar. Anthrax misalnya menginfeksi dan mematikan binatang yang rentan, bangkainya mencemari lingkungan. Spora terdapat pada bangkai yang terinfeksi dan tetap infeksius dalam tanah untuk kurun waktu yang sangat lama. Rupanya spora hanya terbentuk pada tahap penyakit terminal sehingga perlu terjadi kematian hospes untuk terjadinya transmisi mikroorganisme yang tidak biasa ini. Mikroorganisme tertentu menyebar dari orang tua kepada anaknya secara langsung denganmenpfeksi telur atau embrio yang sedang berkembang. Semua keturunanindividu yang terinfeksi juga terinfeksi dan tidak perlu te jadi pengeluaranke dunia luar. Peristiwa yang terjadi segera setelah masuknya mikroorganisme
Pertumbuhan Dalam Sel Epitel Beberapa mikroorganisme yang paling sukses, bermultiplikasi dalam per-mukaan epitel pada tempat masuknya mikroorganisme, menyebabkan infeksi yang menyebar dalam epitel dan dikeluarkan langsung ke dunia lux. Hal tersebut adalah bentuk parasitisme
Patogenesis Penyokit lnfeksi
5
mikrobial yang paling sedarhana dan paling langsung. Bila infeksi berkembang dengan cepat, dan "keturunan" mikroba dikeluarkan ke dunia luar dalam beberapa hari, seluruh proses mungkin sudah selesai sebelum respons imun sempat mempengaruhi perjalanan peristiwa. Paling tidak, perlu beberapa hari baru terbentuk antibodi atau sel imun (dalam jurnlah yang cukup) dan berada di tempat infeksi. Begitulal~yang terjadi pada berbagai lnfeksi virus respiratoar. Sel epitel mungkin rusak dan timbul respons inflamasi tetapi tidaklhanya sedikit terjadi invasi virus ke jaringan di bawahnya. Infeksi terhenti oleh faktor resistensi nonimunologik dan karena sebagian besar sel lokal telah terinfeksi. Interferon adalah faktor resistensi non-imunologik yang penting. Interferon terbentuk beberapa jam setelah hfeksi sel epitel pertama di tempat dimana diperlukan, tanpa menunggu respons imun yang tertunda timbulnya. Apakah ada cara mencegahnya menpvasi jaringan subepitel dan menyebar secarasisternik dalam hospes. Sejurnlah virus, termasuk campak, secara tidak mencolok menpfeksi melalui saluran nafas, kemudian menyebar secara sistemik ke seluruh tubuh, baru timbul lagi dan menyebabkan lnfeksi respiratorius yang luasdan dikeluarkan ke dunia luar sesudah masa tunas yang memanjang. Banyak infeksi bakteri (kurang lebih) terbatas pada permukaan epitel. Demikianlah gambaran infeksi tenggorok karena difteri dan streptokok, infeksi konjungtiva atau uretra karena gonokok dan kebanyakan infeksi salmonella pada usus. Hal ini terutama karena kekuatan antibakteri hospes, menghentikan invasi (jaringan) lebih lanjut. Bakteri seperti gonokokus dan streptokokus mempunyai kemampuan melawan pertahanan tubuh, dan terjadi penyebaran subepitel. Gonokokus menyebabkan infeksi epitel kuboid uretra lakilaki, mencapai jaringan subepitel 3 - 4 hari setelah infeksi, sekret kuningnya terdiri dari sel epitel yang di deskuaminasi, eksudat inflamasi, leukosit dan gonokokus. Penyebaran subepitel ini dapat mernindahkan infeksi ke bagian uretra lain dan ke kelenjar lokal. Kebanyakan bakteri gram negatif, mempunyai kemampuan yang terbatas untuk menpvasi hospes. Pada manusia E.coli dan Ps.aeruginosa hanya mampu menginvasi bila pertahanan terganggu atau bila bakteri masuk secara tidak sengaja ke tempat dalarn tubuh yang sesuai. Kuman-kuman tersebut menyebabkan infeksi sistemik pada penderita yang debil, malnutrisi atau mengalami supresi imun, menyebabkan sepsis uteri pasca keguguran dan bila masuk tubuh melalui alat intravaskular atau kateter. Bakteri gram negatif tertentu melakukan panetrasi ke epitel usus tetapi tidak ke tempat lebih dalam seperti Shigella disentriae dan Salmonellosis non tifoid.Satu atau 2 bakteri gram negatif khusus, mengadakan penetrasi pada epitel usus, memasuki saluran limfe dan menyebar sistemik ke seluruh tubuh dan menyebabkan demam enterik atau demam tifoid. (Salmonella typhi dan paratphi). Beberapa bakteri mengalami hambatan berhubungan dengan suhu (virus rhino), yang mencegah penyebaran lebih lanjut dan terbatas berupa penyebaran lokal. Mycobacterium tertentu (M. ulcerans dan M. murium), masuk kulit manusia melalui abrasi superfisial, terutama di negara beriklim panas, dan menyebabkan ulkus kulit kronik. Infeksi tetap terbatas di kulit karena bakteri tersebut mempunyai suhu tumbuh optimum 30-33°C. Jamur dari kelompok dermatophyta (ringworm, athletesfoot) menginfeksi kulit, kuku dan rambut, tetapi terbatas pada lapisan epitel mati dan terkeratinisasi. Antigen jamur diabsorbsi dari tempat infeksi dan menimbulkan respons imun. Mengapa gaga1 menginvasi jaringan hidup belum jelas, tetapi faktor yang rawan panas dan dapat didialisis yang
6
Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis
-
terdapat pada serum normal menghambat pertumbuhan jamur tersebut dan menimbaan resistensi jaringan.
Mikroorganisme lntrasel dan Penyebaran ke Seluruh Tubuh Ada satu perbedaan penting antara rmkroorganisme intrasel dan ekstrasel. Agar suatu mikroba intrasel obligat dapat menyebar secara sistemik dari permukaan tubuh, mula-mula hams memasuki darah atau M e . Ini berarti mendapat jalan ke lumen pembuluh limfeldarah subepitel, baik sebagai mikroorganisme bebas atau masuk sel yang mobil (leukosit) yang akan membawanya ke bagian tubuh yang lain. Mikroorganisme tidak dapat bereplikasi sampai ia mencapaisel rentan dan tidak adanyalkurangnya jumlah sel sedemikian (kecuali di permukaan tubuh) akan mencegah atau sangat menghalangi penyebarannya ke seluruh tubuh. Karena itu virus influenza dan virus rhino, hanya bereplikasi pada permukaan epitel, tetapi tidak dapat mengmfeksilekosit dan tidaklah mungkin bertemu sel rentan dimanapun dalarn tubuh kita bila memasuki pembuluh darah limfe. Virus tertentu (yellowfever, virus polio) menyebar ke seluruh tubuh mencapai organ target yang rentan (hepar, SSP) setelah partikel virus bebas masuk pembuluh di bawah kulit/epitel usus. Virus campak dan kuman tuberkulosis menpfeksi lekosit yang membawanya ke seluruh tubuh ke organ seperti hepar, limpa, kulit dan paru. Sebaliknya, bila mikroba dapat bereplikasi di luar sel dan tidak perlu menemukan sel rentan, secara prinsip kuman dapat bermultiplikasi secara lokal, dalam darah dan limfe dan di bagian tubuh apapun yang ditemui. Tetapi, replikasi ekstrasel sendiri mempunyai kerugian besar, karenamikroorganismeselamanya" telanjang" dan terpapar terhadap semua kekuatan antimikroba yang dapat dikumpulkan. Sebenarnya, bakteri dan rnikroorganisme lain yang mampu mengadakan replikasi ekstrasel melepaskan berbagai produk ke dalam cairan sekitarnya, banyak diantaranya menyebabkaninflamasi. Karena itu pembuluh darah mengalami dilatasi, dint sesudah terdapatnya bakteri dalam jaringan dan ini membawa bahan antibakteri seperti globulin imun dan lekosit ke tempat infeksi. Pembuluh limfe juga mengalami dilatasi dan membawa mikroorganisme yang meng~nfeksike kelenjar limfe agar terpapar lebih lanjut terhadap kekuatan antibakteri dan kekuatan imun. Sebaliknya, mikroorganisme intrasel, walaupun terpapar terhadap mekanisme pertahanan sel yang terinfeksi, langsung terpapar terhadap pertahanan tubuh umum hanya selama transit dari satu sel yang terinfeksi ke sel lain. Tetapi, bila sel terinfeksi dikenal seperti apa adanya oleh pertahanan umum, selnya dapat dihancurkan. Sejumlah bakteri, seperti Mycobacterium tuberculosis, Salmonella typhiatau Brucella abortus, melakukan sebagian besar multiplikasinya di dalam makrofag yang "memakannya". Walaupun bakteri tersebut bukan parasit intrasel obligat, medan pertempuran diteruskan antara pejamu dan mikroba bergeser ke dalam sel. Pertempuran diteruskan dalam makrofag yang terinfeksi, kekuatan antimikroba d m partisipasinya dalam pelaksanaan pertahanan imun menjadi sangat penting.
lnvasi Subepitel Setelah melintasi lapisan sel epitel, mikroorganisme menghadapi membrana basalis. Membrana basalis ini bekerja sebagai penapis dan agak meng-hentikan infeksi tetapi integrasinya segera rusak karena inflamasi dan kerusakan sel epitel.
Pologenesir Penyokit lnfeksi
Mikroorganisme yang mengadakan invasi mencapai jaringan sub-epitel dan terpapar pada 3 sistem pertahanan pejamu penting yaitu cairan jaringan, sistem limfe (yang mengarah ke kelenjar M e ) dan sel fagosit. Ketiga mekanisme pertahanan ini sangatlah penting dan mulai bekerja di bagian mana saja dalam tubuh yang terinfeksi. Masing-masing mekanisme tergantung pada respons inflamasi, karena respons ini yang mengarahkan fagosit dan faktor serum ketempat infeksi dan melancarkan sistem pengaliran (drainage) dari tempat tersebut oleh sistem limfatik. Beberapa mikroorganisme terus menyebar ke seluruh tubuh walaupun terdapat faktor antimikroba.
Respons inflamasi Pembuluh kapiler yang mensuplai suatu jaringan, membawa oksigen dan bahan dengan berat molekul kecil ke sel, dan mengambil C0 2 dan produk metabolisme dan produk sekresi. Terdapat juga secara konstan, pasase proteln plasma dan lekosit (hampir semuanya limfosit) dari kapiler ke jaringan (normal), protein dan lekosit ini kembali ke darah melalui sistem limfatik setelah memasuki kapiler limfatik. LimFosit ini meninggalkan kapiler darah secara aktif melewati sel endotel. Setelah berkelana dan melaksanakan tugasnya dalam jaringan, limfosit menerobos kapiler limfatik danmasuk ke cairan limfe. Cairan limfe dengan kandungannya berupa protein dan sel, kemudian melewati kelenjar limFe lokal dan pada umumnya akan melewati paling sedikit satu kelenjar limfe lagi sebelum me masuki duktus toraksikus dan ke vena dalam toraks dan abdomen. Limfosit darah juga langsung masuk ke kelenjar limfe dan melalui venula pasca kapiler (dalam jumlah lebih besar). Gerakan limfosit yang beredar, sebagian besar berkaitan dengan CMI dan di dalam perjalanannya, limfosit berpeluang bertemu setiap antigen mikroba yang mungkin ada. Terdapat suatu sistem monitoring yang teratur terhadap jaringan oleh limfosit, immune surveillance. Berbagai protein plasma timbul di jaringan, jumlahnya sama dengan yang di plasma, konsentrasi aktualnya tergantung struktur capillary bed. Sebagaimana diukur dari konsentrasinya dalarn saluran limfe lokal, sinusoid hepar (yang bocor) membiarkan keluar 80-90% protein plasma dsb. Dengan demikian, globulin imun, unsur komplemen dl1 selalu ada dalam jaringan normal (kadamya lebih rendah dibanding kadamya dalam darah). Ada diskrirninasi terhadap molekul sangat besar, karena globulin imun terbesar (IgM) tidak dapat keluar dari pembuluh darah dan tidak terdeteksi dalam saluran limfe aferen. Segera terjadi perubahan besar dalam sirkulasi-mikro bila terjadi kerusakan jaringan atau terinfeksi. Pembuluh mengalami dilatasi dan permeabilitasnya meningkat sehingga timbul kebocoran cairan yang kaya protein dan darah, jumlah imunoglobulin dan protein lain dalam jaringan meningkat, dan fibrinogen misalnya, dapat berubah menjadi fibrin dan terjadi jaringan fibril yang Iuas. Endotel vaskular menjadi sticky (kenapa, belum diketahui) yang memudahkan melekat~~ya leukosit yang beredar, kemudian disusul dengan d~apedesis (pasase akhf) leukosit melewati endotel, kedalam jaringan. Daerah yang bersangkutan menunjukkan tanda-tanda inflamasi (merah, hangat karena vasodilatasi, bengkak karena vasodilatasi dan terjadi eksudasi sel dan cairan, dan nyeri karena keregangan jaringan dan adanya mediator yang menlmbulkan rasa nyeri)
Buku Ajar lnfeksi don Pediatri Tropis
Kapilerlimfatikjugamengalamidlatasi, mengambilcairaninflamasidanmembawanya ke kelenjar limfe lokal. Terdapat peningkatan turn-over unsur plasmadalam jaringan yang mengalami keradangan. Mula-mula sel yang dominan adalah polimorph, suatu refleksi keadaan dalam darah tetapi umur polimorph hanya sehari dua dalam jaringan, bila keadaan radang akut surut, sel mononuklear lebih dominan khususnya makrofag, yang memfagositosis polimorph yang mati dan debris jaringan. Apapun sifat cedera (insult) jaringan, fase awal respons radang kurang lebih sama, karena terdapat hanya sejumlah kecil mediator radang, termasuk histamin, 5-hidroksitriptamin dan kinin. Beberapa jenis kinin sangat aktif dan seperti kallidin, suatu decapeptida yang terbentuk dari kallidinogen (suatu alfa-2 globulin) kurang lebih 15 kah lebih aktif daripada histamin dalam menyebabkan keradangan. Sebagian besar bakteri membentuk bahan inflamasi selama tumbuh di jaringan. Belum banyak yang diketahui tentang cara pengendalian dan dihentikannya respons inflamasi, yang diperkirakan berperan adalah prostaglandin E dan F. Bila inflamasi disebabkan infeksi oleh salah satu bakteri pyogen dan infeksinya berlanjut, suplai inflamasi (yang juga kontinyu) dan produk kemotaktik dari bakteri yang bermultiplikasi (lihat selanjutnya) memper-tahankan keadaan vasodilatasi dan aliran polimorph ke daerah yang terkena (eksudat polimorf).Terdapat peningkatan jumlah polimorf yang beredar karena meningkatnya kecepatan pelepasan dari surnsurn tulang. Sumsum tulang mempunyai cadangan suplai yang banyak, polimorf jumlahnya 20 kali jumlah dalam darah. Bila permintaan jaringan berlanjut, kecepatan produksi dalam surnsum tulang meningkat, polimorph yang beredar jumlahnya tetap meningkat pada infeksi bakteri yang persisten seperti pada SBE. Mekanisme yang mengatur produksi polirnorph dalam sumsum tulang belum diketahui secara tuntas, akan timbul masalah yang gawat bila terjadi sesuatu dan suplainya habis. Menurunnya jumlah polirnorph yang beredar (neutropeni) saat menderita infeksi bakteri merupakan suatu kesialan. Virus memproduksi produk inflamasi dalam jaringan berbentuk bahan sel hospes yang nekrotik atau kompleks antigen-antibodi, produk ini kurang poten dibanding produk bakteri dan respons inflamasi akut berlangsung lebih pendek, polimorf diganti sel mononuklear. Infiltrat mononuklear juga diuntungkan pada infeksi virus, karena jaringan terinfeksinya sendiri sering menjadi salah satu tempat bagi respons irnun, dengan infiltrat mononuklear dan perbelahan (division) sel. Setelah melakukan ekstravasasi dari pembuluh darah, lekosit tidak secara otomatis bergerak ke tempat infeksi secara tepat. Polimorf bergerak secara acak dalam jaringan dan bergerak terarah (kemotaksis) sebagai respons terhadap gradien kimiawi yang diproduksi oleh bahan kemotaktik.Monosit tidak bergerak secara acak, tetapi mengadakan juga respons terhadap bahan kemotaktik. Banyak bakteri seperti S.aureus atau S.typhi membentuk bahan kemotaktik dan dengan demikian (secara otomatis) mengecohkan kehadlrannya dan tidak menarik sel fagosit. Suatu keuntungan bagi kuman penyebab infeksi bila tidak terbentuk produk inflamasi/kemotaktik, tetapi untuk hampir scmua rnikroorganisme besar (bakteri, jamur, protozoa), produk tersebut merupakan sesuatu yang tak terelakkan akibat pertumbuhan dan metabolisme mikroba. Terdapat juga berbagai produk inflamasi/ kemotaktik pada reaksi imunologik yang terjadi dengan sernua bentuk mikroba atau antigen mikroba dan produk-produk tersebut juga menarik leukosit ke tempat tersebut.
Patogenesis Penyakit lnfeksi
Respons inflamasi, tahap awal terutama, mempunyai efek protektif yang penting terhadap mikroorganisme. Pada infeksi kulit stafilokokus secara percobaan misalnya, bila respons inflamasi awal dihambat dengan adrenalin, dengan demikian, kedatangan (awal) faktor plasma dan lekosit ke tempat infeksi akan berkurang, multiplikasi bakteri menjadi lebih cepat dan menyebabkan lesi yang lebih berat. Staphyllococcus aureus galur virulen mengeluarkan suatu faktor yang sulit dicirikan, yang menekan udema inflamasi dini dan dengan demikian menambah/ meningkatkanlesi. Suatu faktor yang terkait menghambat kemotaksis polimorph. Relevansi faktor tersebut inviva belum jelas. Yang sudah jelas adalah bila infeksi dapat ditingkatkan secara demikian, faktor-faktor tersebut tadi datangnya harus dari mikroba patogen. Mikroorganisme yang invasif dan infeksius dan infeksinya "menemukan" dan memanfaatkan setiap "senjata" yang dimungkinkan dan kuat. Saluran limfatik dan kelenjar limfe. Jaringan limfatik yang kompleks terletak di bawah lapisan epitel pada permukaan tubuh. Semua macam partikel asing termasuk mikroorganisme, setelah sampai dalam jaringan subepitel, dengan cepat masuk ke kapiler limfatik setelah terambil oleh atau mengadakan pasase melalui celah-celah sel endotel limfatik. Dalam lapisan kulit dan dinding usus terdapat sangat banyak pleksus limfatik superfisial. Mikroorganisme yang masuk kulit, deng& garukan atau disuntikan, segera memasuki saluran limfe. Limfatik usus selain mengambil mikroorganismeyang menerobos permukaan epitel, juga mengambil lemak berbentuk khilomikron. Mikroorganisme dalam limfatik perifer secara cepat dibawa ke kelenjar limfe lokal yang ditempatkan secara strategis untuk mengelola aliran limfe sebelum kembali ke darah. Kecepatan aliran limfe sangat meningkat selama inflamasi, bila ada peningkatan eksudasi cairan dari pembuluh darah lokal dan saluran limfatik mengalami dilatasi. Mikroorganisme yang terbawa dalam limfe ke kelenjar limfe terpapar pada makrofag yang melapisi sinus marpalis dan sel-sel tersebut mengarnbil semua jenis partikel dari limfe dan dengan demikian menyaring limfe. Efisiensi penyaringan tergantung pada sifat partikel, status fisiologi makrofag dan juga pada konsentrasi partikel atau kecepatan aliran, efisiensi berkt~rangpada konsentrasi partikel atau kecepatan aliran yang tinggi. Semua mikro organisme yang m e n w e k s i diperlakukan sama dan dibawa melalui limfatik ke kelenjar lokal. Bila sudah terjadi multiplikasi kuman pada tempat infeksi awal, jumlah yang dibawa ke kelenjar sangat besar. Efisiensi kelenjar sebagai pos pertahanan tergantung kemampuannya untuk menahan dan membasmi kuman d m tidak memberi kesempatan untuk bereplikasi lebih lanjut di dalam kelenjar, dan menyebar ke seluruh tubuh. Kekuatan antimikrobanya berupa makrofag kelenjar, polimorph dan faktor serum yang terkumpul selama inflamasi dan respons imun yang bermula di dalam kelenjar. Dalam keadaan normal, saat aliran pertama mikroorganisme mencapai kelenjar, kejadian utama adalah pertemuannya dengan makrofag dalarn sinus marginalis. Mikroorganisme yang tidak terfagositasi masuk ke sinus intermediate dimana mikroorganisme berhadapan dengan sel makrofag lain sebelum meninggalkan kelenjar. Bila terdapat reaksi inflamasi di dalam kelenjar, adanya migrasi polimorph ke dalam sinus yang sangat besar meningkatkan kekuatan fogositosis dan dengan demikian meningkatkan juga efisiensi penyaringan. Biasanya terdapat kelenjar lain yang harus dilalui sebelum limfe memaski sistem vena.
Buku
Ajar lnfeksi don Pediafri Tropis
*
Tentu saja selain berfungsi sebagai penyaring, kelenjar lirnfe juga menjadi. tempat dimana respons irnun mulai bekerja. Sistem limfatik mengambil mikroorganisme yang datang, langsung membawanya ke sel fagosit dan ke sistem imun. Segera setelah tejadi infeksi, sejak produk inflamasi sampai di dalam kelenjar, akan terjadi pembengkakan dan inflamasi. Antigen kuman menimbulkan respons imun, terjadi pembengkakan kelenjar karena perbelahan sel dan tambahan sel limfosid dikerahkan dari darah ke kelenjar.
Sel fagosit Sel fagosit-spesialis terbagi dalam 2 kelompok utama: Makrofag yang tersebar dalarn semua kompartemen tubuh yang penting dan neutrofil granulosit yang beredar bolimorf atau mikrofag). Mikroba dalam jaringan subepitel terpapar pada sel fagosit yakni makrofag lokal Wstiosit) (juga sel-sel yang datang dari pembuluh darah kecil selama inflamasi).Sel fagosit ini terdiri dari monosit darah yang menjadi makrofag setelah ekstravasasi dan polimorf. Sejak Elis Metchnikoff (zoologist Rusia) menjelaskan tentang fago-sitosis pada tahun 1883 telah diterima bahwa fagosit penting dalam pertahanan tubuh terhadap kuman penyakit, dan bahwa lekosit berfungsi ganda sebagai pemulung dan polisi, membersihkan debris, partikel asing dan mikroorganisme. Tetapi sejak tahun 1920-an, para peneliti mengabaikan (peran) fagosit tersebut, setelah penelitian pionir, sangat sedikit tambahan ilmu baru. Pada tahun-tahun terakhir ini, seperti terjadi penemuan kembali tentang fagosit sebagai fenomenasentral dan relevan dalam penyakit infeksi. Hal ini menggugah kembali minat peneliti dan teknologi biokimia, imunologi dan ultrastruktur yang modern, diterapkan pada topik fagositosis. Pertemuan antara mikroba dengan Sel Fagosit Fagosit merupakan bagian hospes yang paling kuat dan paling penting. Fagosit segera beke j a terhadap kuman yang menyerang setelah menerobos permukaan epitel. Terdapat 2 macam sel fagosit spesialis; makrofag dan lekosit PMN. Dalam jaringan subepitel terdapat makrofag penghuni lokal (histiosit), dan segera sesudah tersulut respons inflamasi, lekosit PMN berdatangan dalam jumlah besar setelah melalui dinding pembuluh darah kecil. Sel inflamasi meliputi juga monositdan llrnfosit. Lekosit PMN berasal dari sumsum tulang dan terus menerus dikeluarkan dan masuk ke dalam darah dalam jumlah yang besar. Monosit merupakan cikal bakal makrofag yang beredar. Monosit berasal dari stemcell dalam sumsum tulang dan segera setelah meninggalkansirkulasi dan mulai melaksanakan tugas fagositiknya di dalam jaringan, monosit berubah menjadi makrofag. Makrofag terdapat tersebar di seluruh tubuh, tetapi tidak sebanyak polimorf dan cadangannya dalam jaringan tidak besar. Makrofag yang terikat, melapisi sinusoid pembuluh darah pada hepar (sel Kupffer), limpa, sumsum tulang, adrenal, dan memonitor darah terhadap adanya sel tua, mikroorganisme atau partikel asing lainnya. Makrofag yang melapisi sinus dalam kelenjar limfe memonitor lirnfe, dan makrofag alveoli dalam paru memonitor isi alveoli. Kavum peritoneum dan cavum pleura juga mengandung makrofag dalam jumlah besar. Dalam fakta, makrofag "ditempatkan" secara strategis di seluruh tubuh untuk melawan mikroorganisme yang menyerang. Makrofag alveoli mengelola mikro-organisme yang
Potogenesis Penyokit Infeksi
11
masuk paru saat diendapkan dalam alveolus di luar jangkauan pertahanan mukosilia. Makrofag di subepitel kulit, USUS dl1 "bertemu" mikroorganisme yang menyerang segera saat permukaan epitelnya rusak dan makrofag yang melapisi saluran limfe dan sinusoid berfungsi bila terjadi penyebaran infeksi melalui limfe atau darah. Makrofag dalam cavum peritoneum dan cavum pleura merupakan pertahanan terdepan pada cavum yang rawan ini. Limfosit mempunyai fungsi imunologi. Bila limfosit bertemu antigen, terhadap mana limfosit tersensitisasi baik secara alami maupun karena pernah bertemu sebelumnya, akan mengalami perubahan besar. Sel limfosit-B terangsang untuk berdiferensiasi menjadi sel yang memproduksi antibodi (sel plasma) dan sel limfosit-T berdiferensiasi menjadi limfoblast, membagi diri dan melepaskan limfokin dalam proses melakukan respons imun cell mediated. Limfosit menyulut perubahan-perubahan idamatoar atau imunologik lebih lanjut dan sangat mempengaruhi fungsi makrofag, mengaktifkannya, melancarkan akumulasinya dalarn jaringan khususnya mernfokuskan makrofag ke tempat infeksi. Fagositosis merupakan fungsi dasar semua sel, bukan terbatas fungsi makrofag dan polimorph. Sel epidermis kulit "mengambil" partikel karbon yang disuntikan.
Daftar Bacaan Stites DP, Ten: AL, Parslow TG. Medical Immunology; Edisi ke-9. Connecticut: Appleton & Lange, 1997. 2. Davies, Halablab, Clarke. Infection and Immunity. Edisi pertama. London: Taylor and Francis, 1999. 3. Janeway CA, Travers P, Walport M, Capra JD. Immunobiology: The immune system in Health and Disease. Edisi ke-4. London: Elsevier Science Ltd. 1999. 4. Leder P. Exploring the biomedical revolution Edisi pertama. Baltimore: Howard Hughes Medical Institute, 1999.
1.
Buku Ajar lnfeksi d o n Pediotri Tropis
Respons lmun Penyakit Infeksi
T
ubuh (manusia) rawan terhadap infeksi oleh berbagai macam mikroorganisme patogen. Agar dapat menyebabkan infeksi, mula-mula mikroorganisme harus mengadakan kontak dengan hospes dan kemudian membentuk fokus infeksi. Mikroorganisme patogen mempunyai pola hidup dan cara patogenesis yang berbedabeda, sehingga memerlukan respons pertahanan tubuh yang berbeda-beda pula. Tubuh mempertahankan diri terhadap infeksi terhadap mikroorganismepatogen melalui beberapa cara. Fungsi fisiologik sistem imun adalah melindungi tubuh terhadap mikroorganisme patogen. Evolusi penyakit infeksi pada seseorang melibatkan serangkaian interaksi antara mikroorganismedengan tubuh antara lain masuknya mikroorganisme,invasi dan kolonisasi dalam jaringan tubuh, proses hindar dari imunitas tubuh dan proses penyembuhan luka. Beberapa gambaran urnum tentang imunitas terhadap mikroorganisme, antara lain adalah 1. Pertahanan tubuh terhadap rnikroorganisme dilakukan oleh imunitas alami (nonspesifik/bawaan) dan imunitas spesifik (adaptifldidapat) 2. Mikroorganisme yang berbeda merangsang respons (lidosit) yang berbeda pula 3. Survzval dan patogenitas mikroorganisme di dalam tubuh dipengaruhi oleh kemampuannya menghindu atau melindungi diri dari imunitas tubuh 4. Kerusakan jaringan dan akibat infeksi lebih disebabkan oleh respons tubuh terhadap mikroorganisme dan produk yang dihasilkan daripada oleh mikroorganisme itu sendiri. Mekanisme alami dan mekanisme adaptif, secara bersama membentuk sistem imun. Komponen pertama yang dihadapi mikroorganisme (yang berhasil mengadakan penetrasi melintasi barrier epitel) adalah sel dan molekul sistem imun alami. Reaksi alami meliputi fagositosis oleh makrofag, pemicuan kaskade komplemen jalur altematif, proses mematikan sel terinfeksi oleh NKcell (natural killer). Pengenalan dilakukan oleh reseptor yang berjurnlah banyak dan respons terjadi segera setelah mikroorganisme masuk. Sebagian besar mikroorganisme yang melakukan penetrasi dikenal dan dimatikan dalam kurun waktu beberapa jam. Imunitas alami, merupakan mekanisme yang sudah ada dan siap bekerja setiap saat. Epitel permukaan tubuh merupakan baris pertahanan pertama.
Banyak virus dan bakteri baru dapat masuk melalui interaksi khusus dengan permukaan sel. Imunitas alami meliputi mekanisme efektor, bekerja segera setelah ada kontak dengan mikroorganisme patogen, kemampuannya tidak berubah saat melawan tantangan berikutnya. Mikroorganisme yang berhasil menerobos epitel akan dieliminasi oleh reaksi pertahanan tubuh. Reaksi pertahanan yang teraktivasi sebagai respons terhadap kerusakan epitel adalah, Koagulasi darah Terjadi aktivasi kaskade fibrinogen yang berusaha menghentikan perdarahan dan menangkap serta mencegah penyebaran kuman. Inflamasi Inflamasi terpicu langsung oleh mikroorganisme menyebabkan peningkatan aliran darah dan peningkatan permeabilitas kapiler di sekitar lokasi infeksi. Hal tersebut memungkinkan sel dan cairan meninggalkan kapiler dan memasuki tempat infeksi, sehingga menirnbulkan gejala radang: yaitu bengkak, kemerahan, demam, dan nyeri. Fungsi inflamasi terdiri dari unsur sel dan humoral. Sistem imun mengadakan infiltrasi ke lokasi untuk membantu membersihkan mikroorganismeyang menginfeksi, sel yang mengadakan infiltrasi membantu memperbaiki kerusakan jaringan. Mikroorganisme menjadi sasaran serangan humoral karena komplemen jalur altematif teraktivasi. Komplemen (dalam plasma) menjadi aktif secara spontan, mengopsonisasi dan menghancurkan mikroorganisme. Mikroorganisme ditelan/ dimakan oleh makrofag melalui reseptor. Sistem imun Fungsi sistem imun adalah mematikan atau menetralisasi kuman dan membentuk memori sehingga pertemuan berikutnya akan memberi respons spesifik yang jauh lebih cepat. Respons yang terinduksi dini dan non-adaptif meliputi mekanisme efektor tertuju pada mikroorganisme.Respons tersebut dipicu oleh reseptor tetapi responsnya tidak memberi imunitas tahan lama atau menimbulkan memori. Beberapa respons terinduksi sitokin yang dilepas oleh makrofag, sebagai respons terhadap infeksi bakteri, mempunyai 3 efek utama. Pertama, respons menginduksi produksi protein fase akut oleh hepar, protein ini berikatan dengan molekul-permukaan-bakteri dan mengaktivasi komplemen atau makrofag. Kedua, beberapa respons dapat menaikkan suhu tubuh yang diduga merugikan mikroorganisme tetapi meningkatkan respons imun (kedua efek tersebut dipicu oleh IL-1 dan TL-6). Ketiga, sitokin menginduksi inflamasi, sehingga sifat permukaan dan permeabilitaspembuluh darah berubah, mengerahkansel dan molekul imun ke lokasi infeksi. Respons dini-nonadaptif penting dalam mengendalikan infeksi dan menahannya sampai respons irnun adaptif terbentuk. Hanya bila mikroorganisme mengungguli baris pertahanan alami ini, barulah terjadi mobilisasi respons adaptif. Imunitas adaptif butuh waktu beberapa hari untuk berkembang karena limfosit T dan B harus bertemu antigenspesifiknya, berproliferasi dan berdiferensiasi. Setelah teqadi respons imun adaptif, infeksinya biasanya akan terkendali atau dapat di-eliminasi dan terjadi keadaan imunitas protektif. Respons ini dapat mengeliminasi mikroorganisme yang menglnfeksi dan memberi imunitas protektif terhadap re-infeksi oleh rnikroorganismeyang sama. 14
Buku Ajor lnfeksi dan Pediatri Tropis
Imunitas adaptif dimediasi oleh limfosit yang mempunyai reseptor antigeh yang spesifik. Limfosit mengadakan respons terhadap antigen rnikroorganisme perlu sinyal kostimulatori. Limfosit baru teraktivasi setelah bertemu dengan antigen spesifik dan mengadakan diferensiasi menjadi sel efektor. Sistem adaptif berevolusi dari sistem imun alami dan terdapat saling ketergantungan. Antigen (asing) belum cukup untuk mernicu respons adaptif, perlu sitokin stimulatori dan mediator lain yang mula-mula timbul karena inflamasi dan oleh sel dan molekul sistem imun alami. Limfosit terdiri dari sel B dan sel T. Setelah proses aktivasi, sel B berdiferensiasi menjadi sel plasma yang memproduksi reseptor antigen larut yang disebut antibodi. Sel T mempunyai subkelas menurut ekspresi koreseptor nya yakni CD4 dan CD8. Sel yang mempunyai CD8 berdiferensiasi menjadi lirnfosit T sitotoksik (sel Tc) yang mempunyai fungsi mematikan sel pejamu terinfeksi mikroorganisme.Sebaliknya, sel T yang mempunyai CD4 berdiferensiasi melalui jalur yang berbeda, yang ditentukan oleh rangkaian sitokin yang disekresi. Hasil diferensiasi sel T CD4 adalah sel TH1dan sel T,2. Sel T,1 menjadi pembantu perkembangan imunitas yang dimediasi sel. Sel TH2membantu perkembangan imunitas humoral. Jenis mekanisme efektor yang berkembang dari sistem i m u alami dan adaptif utamanya ditentukan apakah kuman berada intraselular atau ekstraselular.
Respons imun terhadap bakteri ekstraselular Bakteri ekstraselular adalah bakteri yang bereplikasi di luar sel tubuh, di dalam sirkulasi, di jaringan ikat ekstraselular dan di berbagai ruang di antara jaringan seperti pada saluran napas dan lumen intestinal. Kuman patogen ekstraselular meliputi semua jamur dan cacing, serta sebagian besar bakteri. Termasuk juga kuman patogen yang normalnya intraselular seperti virus, beberapa spesies bakteri dan protozoa, dalam tahap siklus hidupnya sebelum mengadakan invasi sel hospes. Bakteri ekstraselular menyebabkan penyakit melalui dua mekanisme dasar: pertama, menginduksi inflamasi yang mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan di sekitar tempat infeksi dan kedua memproduksi toksin patologik. Respons imun terhadap bakteri ekstraselular bertujuan untuk mengeliminasi bakteri dan menetralisasi efek toksinnya.
Respons imun alami terhadap bakteri ekstraselular Bakteri ekstraselular mudah dimatikan oleh fagosit, maka mekanisme utama imunitas alami terhadap kuman tersebut dilakukan oleh neutrofil, monosit dan makrofag. Aktivasi sistem komplemen (melalui jalur alternatf) juga berperan penting dalam proses eliminasi kuman. Aktivasi komplemen tersebut menghasilkan MAC (membrane attack complex) yang dapat melisis bakteri, menghasilkanfragmen komplemen kemoatraktan yang mengerahkan leukosit ke lokasi infeksi atau inflamasi juga menghasilkan fragmen komplemen lain yang mengikat bakteri sehingga lebih cepat difagositosis melalui cara opsonisasi. 1. Komplemen Banyak produk pemecahan (yang dibentuk oleh kedua jalur) yang membantu membersihkankuman. Hal yang penting adalah faktor kemotaktik dan opsonin. Faktor kemotaktik menuntun fagosit (makrofagdan neutrofil) ke lokasi infeksi dan memakan
Respon lrnun Penyokit lnfeksi
15
2.
kuman. Opsonin adalah bahan yang berikatan dengan permukaan kuman sehingga fagosit dapat mengikat dan memakan kuman lebih efisien. Setelah itu kedua jalur menyatu (converge) menjadi jalur litik yang sama yang menghasilkan MAC. Membrane attack complex membuat pori pada membran sel dan merusak kuman patogen Fagositosis dan pemicuan inflamasi Fagosit utama adalah makrofag jaringan dan neutrofil. Makrofag menjelajahi jaringan ikat, mengingesti debris ekstraselular dan sel mati. Makrofag terbentuk (terus menerus) dari monosit darah. Monosit memasuki jaringan, setelah rnigrasi melalui kapiler pembuluh darah. Makrofag juga ditarik oleh faktor kemotaktik yang dilepas oleh mastcell sebagai respons terhadap kerusakan jaringan. Makrofag berpartisipasi dalam proses ingesti kuman. Pada proses tersebut makrofag terangsang dan melepas sitokin (IL-1, IL-6 dan TNF-a) yang mempunyai sifat inflamasi. Sitokin tersebut mempunyai 2 dampak. Dampak lokal meliputi aktivasi endotel vaskular. Hal tersebut meningkatkan permeabilitas vaskular dan memungkinkan komplemen dan kemudian antibodi memasuki lokasi infeksi dan meningkatkan drainase cairan dan sel ke kelenjar limfe. Interleukin-1 dan TNF-a juga meningkatkan ekspresi molekul adesi pada endotel vaskular dan menyebabkan endotel menjadi lebih adesif bagi netrofil dan kemudian limfosit T yang teraktivasi. Pada efek sistemik, sitokin-sitokin tersebut mempengaruhi hipotalamus dan menyebabkan demam untuk menghambat pertumbuhan kuman dan menyebabkan produksi protein fase akut oleh hepatosit. Selama proses fagositosis, makrofag juga melepas IL-8, sitokin kemotaktik (kemokin) bagi neutrofil dan komplemen yang membantu menghilangkan kuman dan melancarkan proses inflamasi. Dalam keadaan normal neutrofil terdapat dalarn darah tetapi selama fase akut (dini) inflamasi neutrofil ditarik oleh sitokin yang dikeluarkan makrofag. Pada tahap inflamasi lanjut monosit juga menphltrasi lokasi mflarnasi, di situ monosit berdiferensiasi menjadi makrofag jaringan. Banyak kuman patogen dikenal secara langsung ole11 fagosit karena fagosit mempunyai reseptor seperti CR3 (complement receptor), dan reseptor mannosa, keduanya dapat berikatan secara langsung dengan (permukaan) luman. Cara pengambilan (up take) lebih efisien bila mikroba diopsonisasi lebih dahulu, yang meningkatkan aviditas interaksi antara kuman (yang diopsonisasi) dengan fagosit (yang mempunyai reseptor opsonin yang sesuai). Setelah kurnan terikat pada fagosit, kuman dikelilingi oleh membran sel dan dikurung (enclosed) di dalam fagosom.Setelah proses fagositosis, fagosom mengadakan fusi dengan lisosom membentuk fagolisosom. Lisosom berisi ensim mematikan dan peptida bersifat mematikan dan rnenghancurkan isi fagolisosom. Fagolisosom rnenjadi bersifat lebih asam. Asidifikasi tersebut membantu mematikan kuman yang teringesti dan memberi suasana pH optimal bagi aktivitas ensim. Proses fagositosis oleh neutrofil dan makrofag merangsang proses metabolik yang disebut respiratoy burst, terbentuk produk-samping metabolisme oksigen dan nitogen yang bersifat toksik, yang membantu proses rnematikan. Di samping itu sitokin tersebut menpduksi sintesis protein fase akut juga merangsang limfosit T maupun limfosit B yang akan bekerja dalam mekanisme respons imun spesifik (didapat). Endotoksin seperti LPS menstimulasi produksi sitokin oleh Buku Ajor lnfeksi d o n Pediofri Tropis
.
makrofag atau sel endotel vaskular, diantaranya TNF, IL-1, IL-6 dan kemokin. Berbagai sitokin tersebut menginduksi adesi neutrofil dan monosit dengan endotel vaskular di tempat tejadinya inflamasi, sehingga mempercepat terjadinya proses inflamasi dan mempercepat pengerahan sel-sel ~nflamasike tempat terjadinya infeksi/ inflamasi, akibatnya eliminasi mikroba dapat dipercepat.
Respons imun spesifik terhadap bakteri ekstraselular Prinsip perlindungan dari respons imun spesifik terhadap bakteri ekstraselular adalah imunitas humoral. Komponen imunogenik dinding sel atau kapsul kuman, polisakarida, merangsang limfosit B menghasilkan respons IgM spesifik. Respons limfosit T terhadap bakteri ekstraselular terutama dilakukan oleh limfosit Thelper ( 6 ~ 4 )Bakteri . ekstrasel&r dan antigen yang larut difagositosis oleh APC (antigen presentingcells) seperti monosit/makrofag,sel dendritik,sel Langerhans dan sel B, selanjutnya akan dimatikan, dihancurkan secara ensimatik menjadi fragmen peptida, diikat oleh molekul MHC kelas I1selanjutnya diekspresikan bersama dengan molekul MHC kelas 11di permukaan sel. Kompleks molekul MHC kelas 11-peptida yang diekspresikan tersebut dikenali oleh limfosit T-helper (CD4) melalui TCR (T-cell receptor), akibatnya akan mengaktivasi limfosit T-helper tersebut untuk mengsekresi berbagai lirnfokin.Limfokin yang disekresi oleh h f o s i t T-helper 1 (Thl) (IL-2, TNF-a,FN-)Idan IL-12), berhubungan dengan respons imun selular, sedangkan yang disekresi oleh limfosit T-helper 2 (Th2) (IL4, IL-5, IL-10, IL-13) berhubungan dengan respons imun humoral. Kerjasama antara sel T dan sel B, melalui respons imun humoral, menghasilkan antibodi spesifik terhadap antigen bakteri ekstraselular tersebut, baik dari kelas IgM maupun IgG. Kedua kelas antibodi spesifik tersebut merniliki3 macam mekansime efektor dalam menghadapi bakteri ekstraselular yaitu: 1. Mengopsonisasi bakteri dan meningkatkan fagositosis, dengan cara berikatan dengan reseitor Fcy pada monosit, makrofag dm-neutrofil. (I&); mengaktivasi sistem komplenen jalur klasik dan menghasilkan fragmen C3b dan iC3b yang dapat berikatan dengan reseptor komplemen spesifik tipe1 d m tipe 3, selanjutnya mempromosi proses fagositosis (IgG dan IgM). 2. Menetralisasi toksin bakteri dan mencegah untuk berikatan dengan sel target. Contoh, imunisasi pasif terhadap toksin tetanus dan antibodi kelas IgA dalam lumen usus dan saluran napas menetralisasi toksin dan mencegah kolonisasi bakteri (IgG dan IgM). 3. Mengaktivasi sistem komplemen menghasilkan MAC yang melisis bakteri (IgG dan IgM)
Respons imun terhadap bakteri intraselular Sejurnlah bakteri ( d m semua virus) hidup dan bereplikasi di dalam sel tubuh. Bakteri tersebut terhindar dari atau tidak terjangkau oleh respons antibodi maupun komplemen sehingga memerlukan mekanisme yang lain untuk mengeliminasinya.
Respons imun alami terhadap bakteri intraselular Mekanisme prinsip imunitas alami terhadap bakteri intraselular adalah fagositosis. Bakteri intraselular relatif resisten terhadap proses degradasi di dalarn sel fagosit mononuklear, Respon lrnun Penyakit lnfeksi
17
sehingga imunitas alami sangat tidak efektif mengendalikan kolonisasi dan penyebaran kuman intraselular. Resistensi terhadap fagositosis tersebut yang menyebabkan infeksi bakteri intraselular selalu kronis, dan mudah menimbulkan rekurensi serta sukar dieradikasi. Bakteri intraselular rnengaktivasi NKcell. Aktivasi dapat langsung atau dengan cara merangsang makrofag memproduksi IL-12. Interleukin-12 merupakan sitokin pengaktivasi NKcell yang sangat poten. Naturnl Killer cell yang aktif akan memproduksi IFN-11 yang mengaktivasi makrofag dan meningkatkan proses mematikan bakteri yang difagositosis. Nnturnl Killer cell merupakan pertahanan awal terhadap bakteri intraselular sebelum imunitas spesifik berkembang.
Respons imun spesifik terhadap bakteri intraselular Respons imun protektif utama terhadap bakteri intraselular adalah imunitas selular. Imunitas selular terdiri dari 2 tipe reaksi; pertama, proses mematikan kuman yang difagositosis rnelalui aktivasi oleh sitokin yang dilepas oleh sel T terutama IFN-y. Kedua, lisis sel yang terinfeksi oleh limfosit T-sitotoksik (CD8).Antigen bakteri intraselular dapat merangsang limfosit T-helper (CD4)maupun limfosit T-sitotoksik (CD8). Antigen dari bakteri Mycobacterium tuberculosis (PPD, purified protein derivative) merupakan inducer poten bagi diferensiasi sel T-helper (CD4) rnenjadi sel T-helper 1 (Thl). Antigen PPD merangsang NKcell untuk memproduksi IFN-y dan merangsang makrofag untuk memproduksi IL-12, kedua sitokin tersebut merangsang diferensiasi sel Thelper menjadi Thl. Thl mengsekresi IFN-y yang merangsang makrofag kembali untuk memproduksi oksigen reaktif dan ensirn guna mematikan bakteri yang difagositosis. Sel T-helper-1 juga mengsekresi TNF yang menginduksi inflamasi lokal sehingga tejadi pengerahan sel-sel inflamasi ke tempat terjadinya infeksi. Guna mengeradikasi bakteri intraselular, terjadi kerjasama antara makrofag dan limfosit T-sitotoksik (CD8).Bakteri di dalam fagosom makrofag, sebagian masuk ke dalam sitoplasma dan sebagian lagi dihancurkan oleh ensim berasal dari lisosom. Bakteri dipecah menjadi fragrnen peptida. Peptida dalam sitoplasma akan diekspresikan bersama molekul MHC kelas I. Kompleks MHC kelas I-peptida dikenali oleh sel T-sitotoksik (CD8) yang melisis sel yang terinfeksi tersebut. Peptida dalam fagolisosom di-ekspresikan bersama molekul MHC kelas I1 dan dikenali oleh limfosit T-helper (CD4) Kompleks MHC kelas IIpeptida dengan TCR-sel T-helper menyebabkan sel T-helper teraktivasi dan mengsekresi berbagai sitokin, diantaranya adalah IFNy yang mengaktivasi makrofag guna rnemproduksi oksigen reaktif dan ensim yang mematikan bakteri intraselular di dalarnnya.
Respons imun terhadap virus Virus adalah mikroorganisme intraselular-mutlak yang bereplikasi di dalam sel dan seringkali menggunakan mesin sintetik protein dan asam nukleat milik sel tubuh pejamu (Izospes).Virus rnasuk ke dalam tubuh melalui reseptor yang terdapat di permukaan sel tertentu dalam tubuh. Setelah masuk ke dalam sel, virus menyebabkan kerusakan jaringan dan penyakit melalui beberapa mekanisme, replikasi virus mempengaruhi fungsi dan sintesis protein selular, mengakibatkan terjadinya injuy d m kematian sel. Virus semacam
18
Buku Ajar hfeksi don Pediotri Tropis
.
ini dikenal sebagai virus sitopatik dan infeksi yang terjadi dinamakan litik karena sel yang terinfeksi mengalami lisis. Sedangkan virus non-sitopatik menyebabkan infeksi laten, virus tetap berada di dalam sel tubuh dan memproduksi protein yang dianggap asing oleh tubuh sehingga menstimulasi imunitas spesifik. Apabila protein virus tersebut diekspresikan bersama molekul MHC kelas I di permukaan sel yang terinfeksi maka akan dikenali oleh limfosit T-sitotoksik (CD8) dan menjadi aktif hingga mampu melisis sel yang terinfeksi tersebut.
Respons imun alami terhadap virus Dikenal ada 2 macam mekanisme prinsip imunitas alami terhadap virus. 1. Infeksi virus secara langsung merangsang sel terinfeksi memproduksi IFN tipe I. Fungsi IFN tipe I adalah menghambat replikasi virus dan merangsang pelepasan sitokin yang mengakibatkan terjadinya antiviral state sel di sekitarnya. 2. NK-cell melisis sel yang terinfeksi virus. Diperkirakan NKcell merupakan salah satu mekanisme prinsip imunitas alami terhadap virus yang bekerja paling awal sebelum respons imun spesifik berkembang. Interferon tipe I dapat meningkatkan aktivitas sitotoksisitas NKcell dalam melisis sel terinfeksi virus. Setelah sel terinfeksi virus mengalami lisis berarti virus berada dalam ekstraselular yang akan diatasi oleh sistem komplemen dan sistem fagosit.
Respons imun spesifik terhadap virus Imunitas spesifik terhadap infeksi virus dilaksanakan oleh gabungan mekanisme imun hurnoral dan selular. Antibodi spesifik merupakan komponen terpenting dalarn pertahanan tubuh terhadap virus di awal terjadinya infeksi: antibodi neutralisasi berikatan dengan protein envelope atau kapsul guna mencegah perlekatan dan masuknya virus ke dalam sel tubuh antibodi opsonisasi meningkatkan clearance partikel virus. Beberapa hal perlu diperhatikan sehubungan dengan peran respons imun humoral spesihk terhadap infeksi virus. Antibodi hanya efektif pada saat sebelum virus memasuki sel atau mencegah penyebaran dari sel ke sel Pada umumnya sangat sulit untuk mentransfer imunitas antiviral ke hewan percobaan nafve dengan antibodi murni Kapasitas netralisasi dari antibodi in vitro seringkali korelasinya rendah, bahkan tidak ada korelasi sama sekali dengan kapasitas protektif in vivo Antibodi merupakan komponen terpenting dalam mekanisme proteksi terhadap infeksi virus, tetapi belum cukup untuk mengeliminasi infeksi virus secara keseluruhan. Mekanisme dasar dari imunitas spesifik terhadap infeksi virus yang telah berkembang (established) adalah limfosit T-sitotoksik (CD8).Limfosit T-sitotoksik hanya akan mengenali antigen virus yang disintesis secara endogenus dan dipresentasikan bersama molekul MHC kelas I oleh berbagai macam tipe sel yang terinfeksi virus, oleh karenanya sel CD8
Respon lrnun Penyokit lnleksi
19
dikenal sebagai class I MHC molecule restricted. Efek antiviral dari CD8 disebabkan oleh lisis dari sel yang terinfeksi, sehingga virus akan menjadi ekstraselular atau masuk ke dalam sirkulasi yang selanjutnya akan dieliminasi oleh mekanisme fagosit atau aktivitas sistem komplemen. Namun ada pula yang membuktikan bahwa sel CD8 dapat menstimulasi ensim intraselular untuk mendegradasi genom virus dan mensekresi sitokin yang memiliki aktivitas seperti interferon.
Daftar Bacaan 1.
2. 3. 4.
Davies, Halablab, Clarke dkk. Infection and Immunity. Taylor & Francis Ltd:London 1999.h.132 Janeway CA, Travers P, Walport M, Capra JD. The Immune System in Health and Disease. Dalarn Irnmunobiology. Edisi ke-4. Elsevier Science Ltd/Garland Publishing. 1999. h.362-415 Suprapto Ma'at. Ekstrak Phyllanthus nirun' L sebagai imunomodulator pada iideksi anak Disampaikan pada Forum Komunikasi Ilmiah Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fak. Kedokteran UNAIR/RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2001.h.10-7.
Buku Ajor lnfeksi don Pediafri Tropis
Demam: Patogenesis don Pengobatan
P
ara peneliti beranggapan bahwa masalah demam berawal dari suatu hipotesis yang menyatakan bahwa demam merupakan suatu proses alamiah yang timbul sebagai suatu stimulus. Ahli dari Mesir beranggapan bahwa demam diakibatkan oleh inflamasi lokal. Billroth (1868) menyuntikkan pus pada binatang untuk membuktikan pendapat tersebut, ternyata demam yang teqadi sebagai akibat adanya endotoksin, yaitu produk bakteri Gram-negatif yang mengkontaminasi bahan suntikan. Pada tahun 1943, Menkin melakukan penelitian yang sama dan berhasil mengisolasi bahan penyebab demam yang disebut pyrexin. Hasil percobaannya juga tercemar oleh endotoksin; karena sifatnya yang stabil terhadap pemanasan maka disebut sebagai endotoxin-induced fever. Beeson (1948) menggunakan teknik antiseptik untuk menghindari endotoksin d m berhasil mengisolasi fever-inducing substance yang berasal dari leukosit pejamu, yang disebut pirogen endogen. Selanjutnya, Gery dan Waksman berhasil mengidentifikasi Interleukin-1 (IL-1) dikenal sebagai sitokin yang terbukti identik dengan pirogen endogen.
Definisi Demam (pireksia)adalah keadaarisuhu tubuh di atas normal sebagai akibatpeningkatanpusat pengatur suhu di hipotalamus yang dipengaruhi oleh IL-1. Pengaturan suhu pada keadaan sehat atau demam merupakan keseimbangan antara produksi dan pelepasan panas. Hipertermia adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diatur, disebabkan ketidakseimbanganantara produksi dan pembatasan panas. Interleukin-1pada keadaan ini tidak terlibat, oleh karena itu pusat pengaturan suhu di hipotalamus berada dalam keadaan normal. Pirogen adalah suatu zat yang menyebabkan demam, terdapat dua jenis pirogen yaitu pirogen eksogen dan endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh dan berkemampuan untuk merangsang IL-1, sedangkan pirogen endogen berasal dari dalam tubuh dan mempunyai kemampuan untuk merangsang demam dengan mempengaruhi pusat pengaturan suhu di hipotalamus. Interleukin-1, tumor necrosis factor (TNF), dan interferon (INF)adalah pirogen endogen.
Pirogen Eksogen Pirogen eksogen biasanya merangsang demam dalam 2 jam setelah terpapar. Umumnya, pirogen berinteraksi dengan sel fagosit, makrofag atau monosit, untuk merangsang sintesis IL-1. Mekanisme lain yang mungkin berperan sebagai pirogen eksogen (misalnya endotoksin) bekerja langsung pada hipotalamus untuk mengubah pengatur suhu. Radiasi, racun DDT, dan racun kalajengking dapat pula menghasilkan demam dengan efek langsung pada hipotalamus.
Pirogen Mikrobial Bakteri Gram-negatif Pirogenitas bakteri Gram-negatif (misalnya Escherichi coli, Salmonela) disebabkan adanya lzeat-stable factor yaitu endoktosin, suatu pirogen eksogen yang pertama kali ditemukan. Komponen aktif endotoksin berupa lapisan luar bakteri yaitu lipopolisakarida. Endotoksin menyebabkan peningkatan suhu yang progresif tergantung dari dosis (dose-related). Endotoksin Gram-negatif tidak selalu merangsang terjadinya demam; pada bayi dan anak . infeksi Gram-negatif akan mengalami hipotermia. Bakteri Gram-positif Pirogen utama bakteri Gram-positif (misalnya Stafilokokus) adalah peptidoglikan dinding sel. Per unit berat, endotoksin lebih aktif daripada peptidoglikan. Hal ini menerangkan perbedaan prognosis lebih buruk berhubungan dengan infeksi bakI116sampai 11512maka ada imunitas terhadap infeksi rubella. Suatu penelitian jangka panjang dengan pemeriksaan ELISA di Hawai dengan menggunakan 3 jenis vaksin rubella menunjukkan bahwa imunitas pasca vaksinasi rubella menetap setelah 16 tahun dengan angka seropositif 98% untuk vaksin HPV-77 DK 12 dan 88,8% untuk vaksin Cendehill. Sedangkan hasil penelitian di Eropa memperlihatkan menetapnya antibodi pada 87-89% individu selama 8-18 tahun pasca vaksinasi.
Profilaksis Makin dini terjadi ideksi rubella pada kehamilan, makin besar bahaya terjadinya embriopati. Dari 212 wanita hamil dengan abortus diperiksa antibodi IgM dan IgG spesifik rubella dengan cara enzyme immunoassay dan temyata seropositif 39 (18%) dan 80 (38%) berturut-turut untuk IgM dan IgG. Sedangkan dari 143 wanita hamil dengan kelahiran normal sebanyak 7 (5%)d m 23 (16%)seropositif untuk IgM dan IgG. Karenanya pemeriksaan status imun terhadap infeksi rubella seharusnya merupakan bagian rutin dari pemeriksaan antenatal pada wanita harnil. Seharusnya setiap wanita pada masa reproduksi memeriksakan titer antibodi rubella. Bila dengan tes HAI titer antibodi kurang atau sebesar 1/16 maka dianggap rentan terhadap infeksi. Perlu dilakukan vaksinasi pada wanita pasca pubertas dengan seronegatif untuk mengurangi morbiditas.
Daftar Bacaan 1. 2.
Chery JD. Rubella. Dalam: Feigin RD, Cherry JD (penyunting). Textbook of pediatric infections disease, edisi ke-1. Philadelphia: WB Saunders Co, 1981; 1370-400. Phillip CP. Rubella (german for three day measles). Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM (penyunting). Nelson textbook of pediatric, edisi ke-12. Philadelphia: WB Saunders Co, 1982.h.658-60.
Rubella
Eksantema Subitum
E
ksantema subitum adalah penyakit virus pada bayi dan anak kecil yang bersifat akut, biasanya terjadi secara sporadik dan dapat menimbulkan epiderni.Hal yang unik dari eksantema subitum ialah r u m dan perbaikan klinis yang tejadi hampir simultan. Eksantema subitum sudah lama dikenal sebagai penyakit eksantematus yang sering terjadi pada anak. Beberapa nama lain dari penyakit ini adalah roseola infanturn, sixth disease, the rose rash of infants dan pseudorubella. Awalnya penyakit ini tidak diketahui penyebabnya, sampai pada tahun 1988, Yamanishi dkk menemukan human herpesvirus 6 (HHV-6) dalam darah 4 anak yang menderita eksantema subitum. Penyakit ini ditandai dengan periode panas tinggi yang berlangsung 1-5 hari (biasanya 3-4 hari). Setelah panas turun akan timbul ruam yang timbul pada tubuh, menyebar ke arah leher, wajah dan ekstremitas. Selain HHV-6, infeksi primer human herpesvirus 7 (HHV-7) yang mirip dengan HHV-6 juga dapat menyebabkan eksantema subitum dengan demam yang tinggi.
Epidemiologi Eksantema subitumcenderung hmbul di musim semi dan musim gugur pada negara dengan 4 musim. Angka kejadian penyakit ini pada anak laki-laki dan perempuan sama besar. Secara geografis, angka kejadian eksantema subitum tidak berbeda bermakna. Eksantema subitum diperkirakan memiliki periode inkubasi selama 7-17 hari. Pada suatu penelitian dengan tes imunofluoresens, secara langsung telah dibuktikan adanya antibodi terhadap HHV-6 pada awal penyakit. Sebagian besar bayi mempunyai antibodi maternal untuk beberapa bulan pertama kehidupan. Pada umur 4 bulan hanya 25% didapatkan antibodi. Persentase ini meninggi sampai 76% pada waktu berumur 11 bulan, 90% pada umur 5 tahun, dan 98% pada waktu berumur 17 tahun. Sebagian besar kasus klinik terjadi antara usia 6 dan 18 bulan. Didapatkannya virus pada saliva orang dewasa asimtomatik dapat merupakan sumber infeksi. Berbagai penelitian serologi menggambarkanbahwa infeksi HHV-6 terdapat pada setiap negara yang diteliti, seperti di Jepang dan Amerika Serikat. Infeksi primer HHV-6 didapat pada usia 6-18 bulan, dimana rata-rata usia adalah 9 bulan. Semua bayi atenn memiliki antibodi maternal sejak lahir dan menurun pada usia 4 bulan. Titer ini akan meningkat kembali karena adanya infeksi primer
dari HHV-6. Hal ini menggambarkan bahwa hampir semua anak terkena KHV-6-dalam usia 6 bulan pertama. Di Amerika Serikat, hampir semua tes serologi infeksi HHV-6 hasilnya positif. Pada penelitian yang lain juga menunjukkan variasi dalam prevalensi penyebaran. Seperti diketahui terdapat asosiasi kuat antara HHV-6A pada anak di Zambia dengan demam yang tejadi pada daerah endemik. Pada kejadian infeksi HHV-6 tidak mengenai ras tertentu saja. Penelitian seroepidemiologi menyatakan bahwa lnfeksi HHV-7 terjadi pada anak dengan usia yang lebih lanjut bila dibandingkan dengan infeksi HHV-6. Juga dikatakan antibodi HHV-7 tidak terdeteksi pada anak usia di bawah 2 tahun.
Etiologi
.
Pada tahun 1986 HHV-6 telah diisolasi dari penderita dengan penyakit limfoproliferatif. Dua tahun kemudian (1988) Yamanishi, dkk mengisolasi virus yang sama dari darah 4 bayi dengan eksantema subitum. Dilaporkan juga bahwa virus yang diisolasi berasal dari penderita AIDS. HHV-6 merupakan anggota genus Roseolovirus, subfamili Beta- herpesvirus. Seperti pada virus herpes lainnya, HHV-6 memiliki karakteristik electron-dense core dan kapsid ikosahedral, dikelilingi oleh tegurnen dan lapisan luar yang merupakan lokasi dari glikoprotein yang penting dan membran protein. Kapsid HHV-6 dengan diameter 90-110 mrn, dirangkai dalam nukleus, dimana terdapat pula tegumen. Kapsid tegurnen berdiameter 165 nrn melepaskan diri masuk ke sitoplasma, kemudian kapsid menjadi envelope dengan membuat tunas ke dalam vesikel sitoplasma. Virion luar memiliki diameter sekitar 200 nm. Telah diketahui bahwa HHV-6 menpfeksi dan bereplikasi dalam lirnfosit dari sel T. Terdapat 2 jenis HHV-6, yaitu jenis HHV-6A dan HHV-6B. Kedua varian ini sangat mirip, tetapi dapat dibedakan berdasarkan selular, karakteristik biologi moluker, epidemiologi dan asosiasi klinik. Genom DNA HHV-6 sekitar 162-170 kb, dengan panjang segmen sekitar 141-143 kb Pada saliva, lebih banyak terdapat jenis HHV-6B. Meksi primer penyakit eksantema subitum disebabkan oleh HHV-6B. Transmisi yang mungkin terjadi adalah saat intrauterin atau perinatal, dirnana dapat ditemukan genom HHV-6 pada sel mononuklear di darah tepi neonatus sehat dan sekret dari senriks wanita hamil. Isolasi HHV-6 diikuti dengan identifikasi dari 2 herpesvirus yang lain yang dapat menpfeksi manusia, yaitu HHV-7 dan human herpes virus-8 (HHV-8) atau Kaposi's sarcoma-associated herpesvirus (KSHV). HHV-6 dan HHV-7 merupakan subfamili beta herpesvirus. HHV-6A dan HHV-6B memiliki hubungan yang erat dengan HHV-7. Meksi primer HHV-7 yang rnirip dengan HHV-6 dapat menyebabkan eksantema subitum dengan demam yang tinggi. HHV-7 diisolasi pada tahun 1990 dari CD4+ limfosit T individu yang sehat. Transmisi dari HHV-7 belum ditentukan secara pasti, tetapi dilaporkan bahwa virus dapat diisolasi dari saliva orang dewasa.
Patogenesis Transrnisi infeksi HHV-6 dan HHV-7 pada anak belum jelas. Umumnya infeksi virus yang terjadi pada masa bayi bersumber secara horizontal dari orang yang tinggal dekat dengan
Eksonterna Subifurn
129
bayi tersebut. Seperti orangtua, dokter, perawat saat membantu melahirkan, atau terjadi infeksi transplasental. DNA HHV-6 dapat ditemukan pada saliva dan sel mononuklear darah tepi dari 90% individu yang sehat. Pada individu yang sehat dapat ditemukan 1004000 DNA genom virus HHV-6 untuk satu juta sel mononuklear pada darah tepi. Walaupun dernikian individu yang sehat dapat mentolerir jurnlah virus tersebut, atau bahkan yang lebih banyak lagi, tanpa timbul gejala penyakit. Adanya DNA HHV-6 dalam saliva dan kelenjar liur menyebabkan HHV-6 dapat diisolasi dari saliva dan kelenjar liur tersebut, yang berarti virus dapat rnenyebar secara horizontal dari satu individu ke individu yang lain melalui sekret oral. Walaupun jarang, virus ini diduga juga dapat menyebar secara vertikal dari ibu ke bayi, dengan ditemukannya virus DNA HHV-6 dalam sekret sewiks uteri. Infeksi primer dari HHV-7, diduga berasal dari virus yang hidup di saliva orang dewasa karena ditemukannya DNA HHV-7 pada kelenjar liur dari dewasa yang sehat. Transmisi yang mungkin terjadi berasal dari orangtua ke anak melalui kontak dekat. Penelitian serologis pada hubungan infeksi HHV-6 dengan eksantema subitum telah dilaporkan di Jepang. Sampel serum pasien pada fase akut dan konvalesen diperiksa melalui antibodi imunoglobulin G (I$) dan imunoglobulin M (IgM). Antibodi IgM dideteksi pada hari ke-5 dan marnpu bertahan selama 3 rninggu, tetapi tidak dapat dideteksi setelah 1 bulan. Antibodi I$ dideteksi pada hari ke-7, dan meningkat sampai 3 minggu serta bertahan selama 2 bulan. Ditemukan ha1 yang menarik bahwa titer antibodi terhadap HHV-6 menjadi lebih tinggi saat terjadi infeksi virus lain seperti HHV-7. Pada penderita transplantasi sumsum tulang, infeksi HHV dapat mengakibatkan fungsi surnsum tulang menjadi tersupresi. Hal ini terjadi pada infeksi HHV-6, sedangkan infeksi HHV-7 tidak merniliki efek terhadap formasi koloni hematopoietik.
Manifestasi KlinCk Eksanterna subitum rnerupakan infeksi primer HHV-6B. Eksantema subitum merupakan penyakit yang umum, disertai panas yang akut pada anak. Meskipun manifestasi klinik dari bayi atau anak yang menderita eksantema subitum bewariasi, tetapi memiliki karakteristik khas yaitu tirnbul demam mendadak tinggi sampai 39,4" C- 41,2 C. Panas akan berlangsung 3-6 hari. Pada periode demam ini berhubungan dengan terdapatnya virus dalam darah. Saat periode demam selama 3-6 hari, anak menjadi rewel, tetapi bila demam sudah menurun, anak menjadi tampak normal. Umumnya terjadi lirnfadenopati sewikal, tetapi karakteristik yang paling utama adalah timbulnya limfadenopati di oksipital posterior pada 3 hari pertama infeksi, disertai eksantema (Nagayana's spots) pada palatum molle dan uvula. Setelah panas turun, kemudian timbul ruam pada tubuh, menyebar ke arah leher, wajah dan ekstremitas. Lesi yang timbul berbentuk morbilifom atau rubella-like dengan makular, lesi benvama merah muda, u k u h dengan diameter 1-3 mrn. Dapat ditemukan juga ubun-ubun besar yang menonjol namun akan sembuh secara spontan. Infeksi primer ini dapat asimtomatik, tetapi juga dapat menimbulkan m d e s t a s i klinik yang lain dari eksantema subiturn yang klasik. Pada beberapa kasus, eksantema subitum dapat disertai gejala-gejala yang lain seperti otitis media sampai infeksi saluan pernapasan atas dan
130
Buku Alor lnfeks~ don Pedrotr~Trop~s
j :
i
'1 1 1
;,
gastroenteritis. Eksantema subitum yang disebabkan oleh lnfeksi HHV-7 memiliki.gejala yang sama dengan HHV-6, yaitu adanya demam tinggi.
Diagnosis Diagnosis eksantema subitum ditegakkan berdasarkan manifestasi klinik dan pemeriksaan penunjang. Demam menurun pada hari ke-3-4. Saat temperatur kembali normal, timbul erupsi makula dan makulopapular di seluruh tubuh, dimulai pada dada yang menyebar ke lengan dan leher serta sedikit mengenai muka dan kaki. Ruam kemudian menghilang, jarang menetap selama 24 jam. Jarang terjadi deskuamasi atau menimbulkan pigmentasi. Kadang-kadang kelenjar limfe membesar, terutama di daerah servikal. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan laboratoriurn. Pemeriksaan darah rutin seperti jumlah leukosit, dirnana dapat dijumpai leukositosis. Selama 24-36 jam pertama panas, jumlah lekosit dapat mencapai 16000-20000/mm3 dengan peninggian neutrofil. Pada hari ke-2 dapat timbul leukopenia (3000-5000/mm3) biasanya pada hari ke 3-4 panas. Dapat terdapat neutropenia absolut dengan limfositosis relatif (90%).Kadang-kadang dapat timbul monosit dalarn jurnlah besar. Selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan serologis, seperti pemeriksaan terhadap irnunoglobulin M terhadap antibodi penderita, d m dapat dilakukan pemeriksaan polymerase c h i n reaction (PCR)untuk mendeteksi DNA HHV-6 pada saliva dan kelenjar liur.Pemeriksaan secara pasti untuk menentukan infeksi primer dari HHV-6 sangat sulit. Meskipun terdapat berbagai macam tes serologi tetapi tetap tidak akurat. Adanya antibodi maternal pada bayi dengan peningkatan 4 kali pada titer serologi, dapat menandakan reaktivasi atau dapat pula berhubungan dengan infeksi yang lain. Pemeriksaan serologis HHV-6 dan HHV-7 dapat menunjukkan adanya reaksi silang, sehingga menyebabkan hasil positif palsu. Antibodi IgM terhadap HHV-6 umumnya dapat terdeteksi 5-7 hari pertama setelah infeksi primer. Deteksi DNA HHV-6 pada darah dan saliva, dengan polymerase c h i n reaction tidak dapat membedakan suatu infeksi persisten atau infeksi primer. HHV-6 yang persisten pada sel mononuklear darah tepi umumnya terdapat pada anak setelah infeksi primer. '
: I
i
Diagnosis Banding
:
Secaraumumuntukmendiagnosis banding penyakiteksantematousakut, dapatberdasarkan beberapa ha1 seperti ini yaitu riwayat dan pejalanan penyakit dari infeksi tersebut dan imunisasi, tipe dari periode prodormal, bentuk dari ruamnya, adanya tanda patognomonis atau tanda diagnostik lainnya, dan tes laboratorium. Pada penyakit eksantema subitum dengan ruam makulopapular terdapat banyak diagnosis banding, seperti morbili, rubela, demam skarlet, drug eruptions, dan rniliaria.
i
Terapi
1
Tidak ada terapi spesifik yang direkomendasikan untuk infeksi primer dari HHV-6, karena pada umumnya anak dengan eksantema subitum dapat sembuh sempurna hanya dengan pengobatan simptomatik saja.
I
I
' I
i
Penyulit Penderita dengan eksantema subitum memiliki komplikasi-komplikasi yang umumnya terjadi pada susunan saraf pusat. Komplikasi yang jarang terjadi adalah meningoensefalitis atau ensefalitis, dan hemiplegia. Kejang demam merupakan komplikasi yang paling serjng terjadi saat infeksi akut dan timbul pada anak dengan infeksi primer dengan usia antara 12-15 bulan. HHV-6 dapat bertahan dalam cairan serebrospinal setelah infeksi primer pada anak sehat. Hal ini berhubungan dengan kejadian kejang demam berulang pada anak. Predileksi yang sering adalah pada lobus temporal dan lobus frontal. HHV-6 seperti telah dijelaskan dapat menginvasi otak secara langsung dan sel-sel neural, baik pada individu yang sehat maupun pada penderita yang imunokompromis.
Prognosis Prognosis pada penderita eksantema subitum adalah baik. Hal ini disebabkan karena perjalanan penyakit eksantema subitum adalah akut dan ringan. Penyakit ini dapat sembuh secara sempurna. Erupsi yang terjadi pada kulit dapat hilang dan kembali normal tanpa adanya bekas. Pada penderita imunokompromis yang 'menderita eksantema subitum, dapat terjadi infeksi kronis hingga menyebabkan kematian.
Daftar Bacaan Yamanishi K. Human herpesvirus 6 and human herpesvirus 7. Dalam: Knipe DM, Howley PM, editor. Virology. 4" ed. Philade1phia:Lippincott Williams&Wilkins,2001. p.2785-2795. Hall CB, Caserta MT. Exanthem subitum (eksantema subitum). HERPES 1999; 6(3):64-67. Hall CB. Human herpesvirus 6,7, and 8. Dalarn: Katz SL, Gershon AA, Hotez PJ, editor. Krugrnan's infectious diseases of children. St Louis:CV Mosby-Yearbook Inc, 1998. p.204-210. Berhman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan VC. Exanthem subitum. Dalam: Nelson textbook of pediatrics.141hed. Philadelphia: WB Sanders Company, 1992. p.769-797. Grose H. Human herpesviruses 6,7, and 8. Dalam: Feigin RD, Cheny JD,DemrnlerGJ, KaplanSL, editor. Textbook of pediatric infectious diseases. 5'hed. Philadelphia: WB Sanders Company, 2004. p.1957-1962. Schleiss h4R, Bernstein DI. Human herpesvirus6. Dalam: Rudolph CD, RudolphAM. Rudolph's pediatrics. 21" ed. The McGraw-Hill companies, 2002. p.1039-1041. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Jawetz, melnick, & adelberg's medical microbiology. 2Pded. Boston:The McGraw-Hill Companies,Inc, 2004. p.429-446. Lewis LS. Pediatrics, eksantema subitum. Emergency medicine. (diakses tanggal 8 Februari topic400.htm. 2005) Didapat dari:URL: http:/ /www.emedicine.com/emer~c/ Dewhurst S, Skricosky D, van Loon N. Human herpesvirus 6. Expert reviews in molecular medicine. (diakses tanggal 7 Januari1998) Didapat dari:URL: http:/ /www-ermm.cbcu.cam.
ac.uk. 10. Sandstrom E, Whitley RJ. The increasing importance of cytomegalovirus,epstein-barr virus and the human herpesvirus types 6,7 and 8. Recommendation from the International herpes management forum-managemktstrategies workshop and Pdannual meeting 1995.' 11. Carnpadelli-Fiurne G, Mirandola P, Menotti L. Human herpesvirus 6: an emerging pathogen. Emerging infectious diseases 1999; 5(3):353-366.
132
Buku Ajor lnfeksi dan Pediatfi Tropis
'
'
12. Dewhurst S, Skricosky D, van Loon N. Human herpesvirus 7. Expert reviews in molecular medicine. (diakses tanggal 7 Januari 1998) Didapat dari:URL: http: / /www-ennm.cbcu.cam.
ac.uk. 13. Freitas RB, Freitas MR, Oliveira CS, Linhares AC. Human herpesvirus-7 as a cause of exanthematous illnesses in Belen, Para, Brazil. Rev Inst Med trop S.Paulo.2004;46(3);1348-52. 14. Krugman S. Diagnosis of acute exanthematous disesases. Dalarn: Katz SL, Gershon AA, Hotez PJ, editor. Krugman's infectious diseases of children. St Louis:CV Mosby-Yearbook Inc, 1998. p.706-706-713. 15. Ansari A, Li S, Abzug MJ, Welnberg A. Human Herpesvirus 6 and 7 and centralnervous system infection in children Emerging Infectious Diseases 2004; 10(8).1450-54. 16. Irving WL, Chang J, Raymond DR, Dunstan R, Grattan-Smith P, Cunningham AL. Eksantema subitum and other syndromes associated with acute HHV-6 infection. Arch Disc Child 1990; 65,1297-300. 17 Pickering LK, Peter G, Baker CJ, Gerber MA, MacDonald NE, Orenstein WA, et al. Human Herpesvirus 6 (including roseola) and 7. Dalam: Pickering LK, Peter G, Baker CJ, Gerber MA, MacDonald NE, Orenstein WA, et al. Editors. Red Book: Report of the committee on infechous diseases. 25Lhed. Elk Grove Village, 1L.American academy of pediatrics;2003. p.322-24.
Eksonterno Subiturn
Varisela
v
arisela disebabkan oleh virus Herpes varicella atau disebut juga varicella-zoster virus (VZV). Varisela terkenal dengan nama chickenpox atau cacar air adalah penyakit primer VZV, yang pada umumnya menyerang anak. Sedangkan herpes zoster atau shingles merupakan suatu reaktivitasi infeksi endogen pada periode laten VZV, umumnya menyerang orang dewasa atau anak yang menderita defisiensi imun. Varisela sebagai penyakit virus pada anak sangat menular, lebih menular daripada parotitis, tetapi kurang menular blla dibandingkan dengan campak. Gejala klinis varisela bila mengenai anak sehat pada umumnya tidak berat dan sangat sedikit yang menderita penyulit. Walaupun demikian, berdasarkan penelitian di Amerika bila anak menderita varisela, anak akan mangkir dari sekolah rata-rata 5,6 hari; dan akan diikuti oleh teman sekelasnya yang lain oleh karena penularan varisela terjadi sejak sebelum ruam keluar sampai terjadi keropeng @a-kira 7 hari). Di lain pihak, anak dengan status imunitas menurun (misalnya anak yang sedang menderita leukemia, anemia aplastik, atau anak yang sedang mendapat pengobatan imunosupresan), akan mudah menderita penyulit dan kematian.
Epidemiologi Di negara Barat, kejadian varisela tergantung dari musim (musim dingin dan awal musim semi). Di Indonesia walaupun belum pernah dilakukan penelitian, agaknya penyakit virus menyerang pada musim peralihan antara musim panas ke musim hujan atau sebaliknya. Angka kejadian di negara kita belum pemah diteliti, tetapi di Amerika dikatakan kira-kira 3,l-3,5 juta kasus dilaporkan tiap tahun. Varisela sangat mudah menular terutama melalui kontak langsung, droplet atau aerosol dari lesi vesikuler di kulit ataupun melalui sekret saluran nafas, dan jarang melalui kontak tidak langsung. Varisela dapat menyerang semua golongan umur termasuk neonatus, 90% kasus berumur 10 tahun dan terbanyak umur 5-9 tahun. Viremia terjadi pada masa prodromal sehingga transmisi virus dapat terjadi pada fetus intrauterin atau melalui transfusi darah. Pasien dapat menularkan penyakit selama 24-48 jam sebelum lesi kulit timbul, sampai semua lesi timbul krusta/keropeng, biasanya 7-8 hari. Seumur hidup seseorang hanya satu kali menderita varisela. Serangan kedua mungkin berupa penyebaran ke kulit pdda herpes zoster. 134
I
1 I
i
1 1
1 j
II
i -1!
Tabel1 di bawah ini memperlihatkan angka kejadian varisela pada anak yang berobat jalan di Poliklinik bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM Jakarta. Tampak varisela terutama terjadi pada kelompok urnur balita dan urnur sekolah, sedangkan data pasien yang berobat ke poliklinik Bagian Kulit di berbagai rumah sakit (Tabel 2), angka kejadian makin meningkat sesuai dengan umur sampai umur 40-an. Tabel I . Angka Kejadian Varisela Poliklinik Bagian llmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta, 1990-1995 Tahun
Kelompok Umur (tahun)
View more...
Comments