Buku Ajar Gastroenterologi
May 1, 2017 | Author: ﺳﻮﺘﻴﺎﺳﻴﻪ | Category: N/A
Short Description
Buku Ajar Gastroenterologi...
Description
BUKU AJAR GASTROENTEROLOGIHEPATOLOGI JILID 1
UKK- GASTROENTEROLOGI-HEPATOLOGI IDAI 2009
Sambutan ketua UKK-Gastroenterologi-Hepatologi IDAI
Teman sejawat yang terhormat, Setelah menunggu sekian lama maka akhirnya terbitlah buku ajar gastroenterologi-hepatologi yang kita tunggu tunggu. Mari kita bersama mengucapkan syukur kepada yang maha kuasa, atas berkah dan rahmatnya sehingga kerja para kontributor dan editor menjadi lancar dan sukses. Buku ajar ini merupakan buku rujukan ilmu gastroenterologi dan hepatologi anak yang nantinya akan dipakai oleh peserta didik spesialis satu dan dua, dokter spesialis anak di Indonesia serta tentunya semua dokter atau siapapun yang membutuhkannya. Buku ajar ini disusun sesuai kesepakatan bersama masyarakat gastroenterologi dan hepatologi anak Indonesia yang terangkum dalam bermacam judul dan berasal dari bermacam macam referensi terbaru baik dari jurnal maupun text book, sehingga keberadaannya merupakan representasi ilmu ilmu gastroenterologi dan hepatologi anak masa kini. Saya sebagai ketua UKK GH 2008-2011 memberikan ucapan selamat dan penghargaan yang setinggi tingginya kepada para kontributor dan editor dengan diterbitkannya buku ajar ini, semoga buku ini bisa dimanfaatkan sebesar besarnya oleh para pengguna. Buku ini tentunya masih jauh dari sempurna, ibarat peribahasa” tiada gading yang tak retak”, tapi saya mengajak kepada teman sejawat sekalian untuk ikut serta memberi saran agar buku ini lebih baik di masa yang akan datang Sekali lagi saya ucapkan selamat atas terbitnya buju ajar ini dan selamat mempergunakan buku ajar ini kepada masyarakat gastroenterologi-hepatologi dan kepada semua dokter anak di Indonesia
Salam, Dr. Mohammad Juffrie, SpAK, Ph.D Ketua UKK-GH IDAI (2008-2011)
Pengantar
Setelah menunggu sekian lama, hampir 6 tahun akhirnya terkumpul 21 naskah topik buku ajar gastroenterologi-hepatologi IDAI. Editor telah bekerja keras selama ini mengumpulkan, menyusun, menyunting, dan syukur Alhamdulillah pada akhir tahun 2009 ini bisa diselesaikan buku ajar gastroenterologi-hepatologi jilid pertama. Pada awalnya direncanakan 26 topik, tetapi sampai saat saat terakhir yang mengumpulkan naskah jumlahnya 21. Kekurangan 5 naskah akan diterbitkan dalam buku ajar gastroenterologi-hepatologi jilid 2. Dalam proses penyuntingan terdapat banyak kendala karena beberapa penulis tidak merujuk ke Term Of Reference sehingga formatnya harus disamakan, demikian juga narasi yang harus disesuaikan dengan bahasa Indonesia yang benar. Gambar gambar banyak yang masih dalam bahasa aslinya sehingga harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Karena pengumpulan dan penyuntingan ini berjalan cukup lama maka ada sebagian topic yang sudah harus diubah disesuaikan dengan ilmu2 dan penanganan kasus yang terbaru. Pada kesempatan ini editor ingin menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada para kontributor atau penulis naskah atas jerih payah, waktu yang diluangkan untuk menyusun naskah dan partisipasinya mengirimkan naskahnya ke editor. Selanjutnya editor mohon maaf jika yang tertulis di buku ajar tidak sesuai dengan aslinya dikarenakan penyesuaian dengan hal hal baru, penyesuaian format dari penerbit dan suntingan bahasa. Editor ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr Hardiono Pusponegoro, SpAK ( ketua PP IDAI 2002-2005), Dr Sukman Tulus Putra SpAK, FACC, FESC ( ketua PP IDAI 2005-2008) Dr Badriul Hegar, SpAK (ketua PP IDAI 2008-2011), Prof Dr Yati Soenarto, SpAK, Ph.D (ketua UKK Gastroenterologi-Hepatologi 2002-2005), Prof DR Dr Subijanto MS, SpAK (ketua UKK Gastroenterologi-Hepatologi 2005-2008), Dr Mohammad Juffrie, SpAK, Ph.D (ketua UKK Gastro-Hepatologi 2008-2011) atas ide dan saran sarannya sehingga tercetak buku ajar ini. Editor juga mengucapkan terima kasih kepada tim dr Budi Hartomo dkk yang telah membantu menyempurnakan suntingan bahasa dan format sesuai permintaan penerbit. Editor menyadari bahwa buku ajar ini jauh dari sempurna, tetapi kontributor tentunya sudah berusaha keras untuk membuat sesuai kebutuhan para peserta PPDS maupun teman sejawat dokter spesialis anak. Oleh karena itu editor membuka pintu selebar lebarnya untuk kritik dan saran agar buku ini akan jauh lebih sempurna pada edisi berikutnya. Akhirnya editor mengucapkan terima kasih kepada seluruh pengurus UKK GH 2008-2011 yang telah mendorong editor untuk bekerja lebih giat sehingga buku ajar jilid 1 ini bisa terbit.
Editor, Dr. Mohammad Juffrie, SpAK, Ph.D
Daftar isi Bab Judul 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Keseimbangan cairan dan elektrolit Kegawatdaruratan gastrointestinal Disfagia Anoreksia pada anak Gagal tumbuh pada penyakit gastrointestinal Diare akut Diare kronis dan diare persisten Muntah Sakit perut pada anak Kembung Allergi makanan Konstipasi Inflamatory Bowel Diseases Pankreatitis pada anak Ikterus Hepatitis virus Drug induce hepatitis Penyakit sistemis yang berpengaruh pada hati Hepatitis kronis pada anak Kolestasis intrahepatik pada bayi dan anak Hipertensi porta
halaman
Kontributor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Dr. Mohammad Juffrie, SpAK, Ph.D Prof DR dr. Pitono Soeparto DR Dr. Reza Ranuh SpAK Dr. Yorva Sayoeti, SpAK Prof DR Dr. I Sudigbia, SpAK Prof Dr. Rusdi Ismail, SpAK Prof DR Dr. Bambang Subagyo, SpAK Dr. Nurtjahjo Budi Santoso, SpAK Prof Dr. Sri Supar Yati Soenarto, SpAK, Ph.D Dr. Badriul Hegar, SpAK Dr. Aswitha Boediarso, SpAK DR Dr.Pramita G. Dwipoerwantoro, SpAK Dr. Liek Djuprie, SpAK Prof DR Dr. Agus Firmansyah, SpAK Dr. Dwi Prasetyo, SpAK Dr. Budi Santosa, SpAK Dr. Iesje Martiza, SpAK Dr. Sjamsul Arief, SpAK,MARS Dr. Ina Rosalina, SpAK, MKes, MHKes Prof Dr. Atan Baas Sinuhaji, SpAK Dr. Nenny Sri Mulyani, SpAK Dr. Julfina Bisanto, SpAK DR Dr. Hanifah Oswari, SpAK
BAB I KESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT Mohammad Juffrie
Ilustrasi Kasus Seorang anak laki laki berumur 3 tahun masuk di unit gawat darurat dengan keluhan diare cair akut, muntah-muntah, dan panas. Tiga jam sebelum masuk rumah sakit anak tersebut mengalami kejang-kejang selama 5 menit. Kesadaran agak menurun. Dari riwayat yang diceritakan oleh neneknya yang mengantar anak tersebut ditemukan bahwa di rumah anak tersebut sudah menderita diare selama 3 hari, cair, warna kuning, tidak berdarah dan berlendir. Anak tersebut di rumah telah diberi larutan oralit selama diare. Neneknya mencampur 1 bungkus oralit dengan setengah gelas kecil untuk mempermudah memasukkan oralitnya.
Larutan Tubuh Larutan tubuh terbagi menjadi larutan intraselular (CIS) dan larutan ekstraselular (CES). Volume CIS tidak dapat diukur langsung, akan tetapi dapat diukur dengan mengurangkan volume CES dari volume air tubuh total. Jumlah CIS sebanyak 30%-40% dari berat badan. CIS merupakan representasi dari jumlah larutan dari berbagai macam sel di seluruh tubuh, yang tersebar dan mempunyai fungsi yang berbeda-beda serta mempunyai komposisi yang berbeda. Larutan ekstraselluler. Volume larutan ekstraselluler lebih besar dibanding volume larutan intraselluler pada fetus, tetapi rasio CES dan CIS ini akan berubah setelah umur 9 bulan. CES berkurang secara relatif disebabkan karena pertumbuhan sel jaringan lebih cepat dibanding pertumbuhan jaringan kolagen menjadi jaringan otot. Setelah itu jumlah CES akan bertambah berhubungan dengan bertambahnya berat badan. Pada keadaan hidrasi normal jumlah CES pada anak adalah 20%-25% berat badan yang terbagi dalam larutan plasma 5% berat badan, larutan interstisiel 15% berat badan dan larutan transelluler 1%-3% berat badan. Larutan transelluler terdiri dari larutan di saluran gastrointestinal dan larutan serebrospinal, intraokular, pleural, peritoneal dan larutan sinovial.1,2,3
Komposisi Larutan Tubuh CIS terdiri dari air dan elektrolit yaitu protein ditambah dengan K +, PO4--, Na+, Mg++, HCO3-, dan HHCO3. Elektrolit yang terbanyak adalah K+. Plasma darah terdiri dari protein, Na+, Cl-, HCO3-, K+, Ca++, Mg++, SO4--, HPO4--, HHCO3 dan non-elektrolit. Larutan interstisial terdiri dari Na+, Cl-, HCO3-, K+, Mg++, Ca++, SO4--, HPO4--, HHCO3 dan nonelektrolit. Elektrolit yang terbanyak adalah Na+. Membran sel berfungsi sebagai barrier primer perpindahan zat-zat antara CES dan CIS. Zat-zat yang larut dalam lemak seperti gas (oksigen dan karbon dioksida) bisa langsung memintas membran. Ion-ion seperti Na+ dan K+ berpindah melalui mekanisme transport seperti pompa Na+/K+ yang berlokasi di membran sel. Elektrolit dalam larutan tubuh adalah substansi yang terurai dalam bentuk partikel atau ion misalnya NaCl akan terurai menjadi ion positif Na+, atau ion negatif yaitu Cl-. Karena kekuatan berikatan, keduanya selalu akan bersatu. Distribusi elektrolit di antara kompartemen tubuh dipengaruhi oleh potential listriknya. Walaupun begitu satu kation dapat diganti dengan yang lain, misalnya H+ diganti dengan K+ dan ikatannya HCO3- diganti dengan Cl-.1,2,3,4
Difusi dan Osmosis Difusi adalah pergerakan partikel bermuatan atau tidak bermuatan di sepanjang gradien konsentrasinya. Semua molekul dan ion termasuk air dan larutannya dalam keadaan konstan. Pergerakan partikel ini dipengaruhi oleh energi masing masing yang diperoleh dari konsentrasinya, sehingga akan terjadi gerakan dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Osmosis adalah gerakan air melewati membran semi permeabel. Air akan bergerak dari tempat yang sedikit mengandung partikel ke tempat yang banyak partikelnya. Perpindahan air ini membutuhkan tekanan yang disebut tekanan osmotik. Aktifitas osmotik ini diukur dengan ukuran yang disebut osmol. Aktifitas osmosik larutan diekspresikan dalam bentuk osmolaritas dan osmolalitas. Osmolaritas adalah konsentrasi osmolar dalam 1 liter larutan (mOsm/L), sedangkan osmolalitas adalah konsentrasi osmolar dalam 1 kg air. Osmolaritas biasa dipakai untuk larutan yang berada di luar tubuh, sedangkan osmolalitas untuk menjelaskan larutan di dalam tubuh. Osmolalitas serum yang ditentukan oleh natrium dan anion yang mengikatnya (klorida dan bikarbonat) mempunyai angka berkisar antara 275 dan 295 mOsm/kg. Tonisitas. Perubahan kandungan air menyebabkan sel menjadi membengkak atau mengkerut. Pengertian tonisitas adalah tekanan atau efek dari tekanan osmotik efektif dari larutan dengan zat terlarut yang tidak permeabel terhadap ukuran sel karena perpindahan air melalui membran sel. Jadi tonisitas diukur dengan zat terlarut yang tidak bisa melalui membran sel misalnya glukosa menyebabkan kekuatan osmotik yang menekan air masuk atau keluar dari sel dan menyebabkan perubahan ukuran sel. Larutan dimana sel-sel tubuh berada didalamnya dapat dibagi menjadi tiga macam jenis osmotiknya yaitu isotonik, hipotonik dan hipertonik tergantung pada apakah dia menyebabkan
sel membengkak atau mengkerut. Sel yang berada pada larutan isotonis apabila larutan itu mempunyai osmolalitas sama seperti CIS (280 mOsm/l) tidak akan membengkak atau mengkerut. Sebagai contoh larutan isotonik adalah larutan NaCl 0,9%. Jika sel berada dalam larutan hipotonik jika larutan itu mempunyai osmolalitas efektif lebih rendah dari CIS, sel akan membengkak karena air masuk ke dalam sel. Apabila sel berada di larutan hipertonis dimana osmolalitas efektif nya lebih besar dari CIS sel akan mengkerut karena air keluar dari sel.1,2,3,4,5
1.
Pertukaran larutan dalam kapiler dan jaringan interstisial. Pertukaran larutan dari vaskular ke interstisial terjadi di semua tingkatan kapiler. Ada 4 kekuatan yang mengatur pertukaran ini yaitu 1) tekanan filtrasi kapiler, yang mendorong air keluar dari kapiler menuju jaringan interstisial; 2) tekanan osmotik koloid kapiler, yang mendorong air kembali ke dalam kapiler; 3) tekanan hidrostatik interstisial sebagai kebalikan gerakan air keluar kapiler; dan 4) tekanan osmotik koloid jaringan yang mendorong menarik air keluar dari kapiler ke jaringan interstisiel. Pada keadaan normal semua air akan bergerak oleh 4 kekuatan tersebut, hanya dalam jumlah sedikit yang tersisa di jaringan interstisial dan akan masuk ke sistem limfatik yang nantinya masuk ke siskulasi darah. Filtrasi kapiler dimaksudkan gerakan air melalui pori-pori kapiler karena faktor mekanis, bukan karena tenaga osmotik. Tekanan filtrasi kapiler kadang disebut juga tekanan hidrostatik kapiler yaitu tekanan yang mendorong air keluar dari kapiler ke dalam jaringan interstisial. Hal tersebut menggambarkan tekanan arteri atau vena, yaitu tahanan prekapiler (arteriol) dan post kapiler (venula). Kenaikan tekanan arteri atau vena menaikkan tekanan kapiler. Penurunan tahanan arteri atau kenaikan tahanan vena akan menaikkan tekanan kapiler dan suatu kenaikan tahanan arteri atau penurunan tahanan vena akan menurunkan tekanan kapiler. Gaya gravitasi meningkatkan tekanan kapiler pada posisi tertentu. Pada orang yang berdiri tegak maka berat darah di sepanjang pembuluh darah menyebabkan kenaikan 1 mmHg untuk setiap 13,6 mm jaraknya dari jantung. Tekanan ini hasil dari berat air oleh karenanya disebut tekanan hidrostatik. Pada orang dewasa yang berdiri tegak, tekanan di vena kaki bisa mencapai 90 mmHg. Tekanan ini kemudian dialihkan ke kapiler. Tekanan osmotik koloid kapiler adalah tekanan osmotik yang berasal dari protein plasma yang terlalu besar melewati pori-pori dinding kapiler. Tekanan osmotik ini berbeda pengertiannya dari tekanan osmotik di membran sel karena elektrolit dan non-elektrolit. Karena protein plasma normal tidak bisa melalui pori-pori kapiler dan konsentrasinya lebih besar di plasma daripada di jaringan interstisial maka inilah yang menarik air kembali ke kapiler. Tekanan larutan interstisiel dan tekanan osmotik koloid jaringan mempengaruhi gerakan air dari dan ke jaringan interstisial.1,2,3,6
2. Edema Adalah bengkak yang disebabkan karena ekspansi volume larutan interstisial. Edema tidak akan tampak sebelum volume mencapai 2,5 l atau 3 l. Mekanisme fisiologi edema adalah: 1)
kenaikan tekanan filtrasi kapiler, 2) penurunan tekanan osmotik koloid kapiler, 3) kenaikan permeabilitas kapiler, 4) obstruksi saluran limfe.1,2
Kenaikan tekanan filtrasi kapiler Jika tekanan filtrasi kapiler naik maka perpindahan larutan vaskular ke dalam jaringan interstisial naik. Faktor-faktor yang menaikkan tekanan kapiler adalah: 1) penurunan tahanan aliran melalui sfingter prekapiler; 2) kenaikan tekanan vena atau tahanan aliran keluar pada sfingter postkapiler, dan distensi kapiler karena meningkatnya volume vaskular.1,2
Penurunan tekanan osmotik koloid kapiler Protein plasma mengeluarkan kekuatan osmotik yang dibutuhkan untuk menarik kembali cairan ke dalam kapiler dari jaringan interstisial. Protein plasma terdiri dari albumin, globulin dan fibrinogen. Karena bobot molekul albumin paling rendah maka konsentrasi albumin paling tinggi. Edema disebabkan oleh penurunan tekanan osmotik koloid kapiler sebagai akibat produksi yang tidak adekuat atau kehilangan tidak normal protein plasma terutama albumin. Protein plasma disintesis di hati. Pada penderita penyakit hati yang berat kegagalan sintesis albumin menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid. Pada kelaparan dan malnutrisi edema terjadi karena ada kebocoran kebutuhan asam amino dalam sintesis protein plasma. Kebocoran protein plasma yang paling sering melalui ginjal seperti pada sindroma nefrotik, kapiler glomerular menjadi permeabel terhadap protein plasma terutama albumin. Kebocoran lain terjadi jika ada kerusakan kulit, sehingga edema terjadi pada fase awal luka bakar akibat cedera kapiler dan kehilangan protein plasma. Karena protein plasma terdapat di seluruh tubuh dan tidak tergantung oleh gravitasi maka edema bisa terjadi dimanamana.1,2
Kenaikan permeabilitas kapiler Jika pori-pori kapiler melebar atau integritas dinding kapiler rusak maka permeabilitas kapiler akan naik. Apabila ini terjadi protein plasma dan partikel aktif osmotik bocor ke dalam jaringan interstisial meningkatkan tekanan osmotik koloid jaringan dan menyebabkan akumulasi larutan interstisiel. Keadaan ini disebabkan oleh luka bakar, bendungan kapiler, radang dan respon immun.1,2
Sumbatan aliran limfe Protein plasma aktif osmotik dan partikel lain yang berat molekulnya besar yang tidak bisa melalui pori-pori membran kapiler maka akan diresorpsi lewat saluran limfe dan masuk ke sirkulasi. Edema yang disebabkan oleh kegagalan aliran limfe disebut limfedema.1,2
3. Akumulasi di tempat ketiga Yang dimaksud dengan hal ini adalah hilangnya atau terjebaknya CES di ruang transelular. Ruang-ruang serous adalah ruang traseluler yang terletak di tempat strategis dimana ada gerakan-gerakan kontinu dari bentuk tubuh, seperti saccum perikardial, cavum peritoneal, dan pleura. Perubahan CES antarkapiler, ruang interstisial dan transelular melalui cara sama di manapun di seluruh tubuh. Cavum serosa sangat dekat dengan sistem drainase limfe.1,2
Kesimbangan Air dan Natrium Perpindahan larutan tubuh antara CES dan CIS terjadi pada membran sel dan tergantung pada pengaturan air dan natrium. Air merupakan 90% sampai 93% dari pelarut CES. Dalam keadaan normal perubahan keseimbangan natrium dan air sering terjadi, dan volume serta osmolalitasnya dipertahankan normal. Konsentrasi Na+ yang mengatur osmolalitas CES, perubahan Na+ biasanya diikuti oleh perubahan secara proporsional volume air. Gangguan keseimbangan Na+ dan air dibagi menjadi 2 kategori: 1) kontraksi isotonis atau ekspansi volume CES dan 2) dilusi hipotonis (hiponatremia) atau konsentrasi hipertonis (hipernatremia) dari natrium yang membawa perubahan pada CES. Kelainan isotonis biasanya dimaksudkan kontraksi produksi kompartemen CES ( defisit volume larutan) atau ekspansi (kelebihan volume larutan) dari larutan vaskular dan interstisial. Kelainan konsentrasi natrium menyebabkan perubahan osmolalitas CES dengan gerakan air dari kompartemen CES ke dalam kompartemen CIS (hiponatrium) atau dari kompartemen CIS ke dalam kompartemen CES (hipernatremia).2,7,8,9
Pengaturan Keseimbangan Natrium dan Larutan 1.
Pengaturan keseimbangan Na+ Na+ adalah kation yang paling rumit dalam tubuh, rata-rata kurang lebih 60 meq/kgBB. Kebanyakan dari Na+ tubuh ada dalam CES (135-145 mEq/l) dan hanya sedikit dalam CES (10-14 mEq/l). Fungsi Na+ terutama mengatur volume CES termasuk kompartemen vaskular. Sebagai kation yang paling banyak dalam CES Na+ dan anion pasangannya (Cl- dan HCO3-) mengatur sebagian besar aktifitas osmotik dalam CES. Karena Na+ adalah bagian dari molekul NaHCO3 maka penting dalam pengaturan keseimbangan asam basa.1,2,9
2. Masuk dan hilangnya Na+ Na+ secara normal masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan. Pemasukan Na+ didapat dari makanan, atau infus natrium atau infus yang lain. Na+ keluar dari tubuh melalui ginjal, saluran cerna dan kulit. Sebagian besar Na+ keluar lewat ginjal. Dengan
fungsi ekskresi dan reabsorpsi Na+ maka kadar Na+ dalam tubuh dipertahankan. Hanya 10% Na+ keluar lewat saluran pencernaan dan kulit.1,2,9
3. Mekanisme regulasi Na+ Ginjal adalah regulator utama Na+. Ginjal akan menyesuaikan terhadap tekanan arteri; jika tekanan arteri turun maka Na+ akan ditingkatkan, jika tekanan arteri naik maka Na+ akan dibuang. Pengaturannya dibawah kendali saraf simpatis dan sistem renin-angitensinaldosteron. Saraf simpatis bertanggung jawab terhadap tekanan arteri dan volume darah dengan cara mengatur filtrasi glomerulus dan Na+. Saraf simpatis juga mengatur reabsorpsi tubular dari Na+ dan pelepasan renin. Sedangkan sistem renin-angitensin-aldosteron beraksi melalui angiotensin II dan aldosteron. Angiotensin II menyebabkan meningkatnya reabsorpsi Na+ dan pembuangan K+.1,2,9
4. Pengaturan larutan Total larutan tubuh bervariasi tergantung jenis kelamin dan berat badan. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan lemak tubuh. Pada laki-laki larutan tubuh sekitar 60% berat badan pada dewasa muda dan akan turun menjadi 50% setelah dewasa. Pada wanita muda jumlah larutan tubuh 50% berat badan dan akan turun menjadi 40% setelah dewasa. Pada orang gemuk akan terjadi penurunan jumlah larutan tubuh sampai 30%-40% berat badan. Pada bayi larutan tubuh 75%-80% berat badan. Pada bayi prematur lebih besar lagi. Jumlah larutan CES pada bayi relatif lebih banyak dibanding dewasa. Lebih dari separuh larutan tubuh bayi berada di CES. CES yang lebih banyak ini disebabkan metabolisme yang lebih tinggi, area permukaan tubuh yang lebih luas dan struktur ginjal yang belum matur. Karena CES lebih mudah hilang maka bayi lebih mudah hilang larutannya dibanding dewasa.1,2,4
5.
Masuk dan hilangnya larutan Tanpa melihat umur, semua orang sehat membutuhkan 100 cc air setiap 100 kalori untuk proses metabolisme dan membuang sisa-sisa metabolisme. Dengan kata lain jika seseorang mengeluarkan kalori 1800 maka dibutuhkan 1800 cc air untuk keperluan metabolisme. Laju metabolisme (metabolic rate) akan meningkat jika terjadi peningkatan suhu. Setiap kenaikan suhu sebesar 10 C, laju metabolisme akan meningkat sebesar 12%. Sumber air tubuh yang utama adalah dari pemasukan lewat oral dan metabolisme nutrien. Air (termasuk dari larutan dan makanan solid) diabsorbsi dari saluran cerna. Proses metabolisme juga menghasilkan air. Jumlah air dari proses ini bervariasi antara 150 cc 300 cc. Pada umumnya kehilangan larutan yang paling banyak adalah lewat ginjal, kemudian lewat kulit, lewat paru-paru, dan saluran pencernaan. Walaupun pemasukan oral atau parenteral sedikit ginjal tetap memproduksi urin sebagai hasil metabolisme tubuh. Urin yang
bertujuan membuang sisa metabolisme ini disebut output urin obligatori. Kehilangan larutan lewat urin obligatori ini sekitar 300-500 cc/hari. Kehilangan larutan lewat kulit dan paru-paru disebut kehilangan larutan insensibel.1,2,4
6. Mekanisme pengaturan Terdapat 2 mekanisme fisiologis yang mengatur larutan tubuh: haus dan hormon antidiuretik (ADH). Rasa haus terutama mengatur pemasukan larutan, sedangkan ADH mengatur larutan keluar. Kedua mekanisme ini bertanggung jawab terhadap perubahan osmolalitas ekstraselular dan volume.1,2,4
Rasa haus Rasa haus dikendalikan oleh pusat rasa haus di hipotalamus. Terdapat 2 stimuli untuk rasa haus karena benar-benar membutuhkan larutan: 1) dehidrasi selular yang disebabkan oleh kenaikan osmolalitas ekstraselular dan 2) penurunan volume darah yang bisa atau tidak ada hubungannya dengan penurunan serum osmolalitas. Neuron pensensor yang disebut osmoreseptor bertempat di atau dekat pusat haus di hipotalamus. Osmoreseptor berespon terhadap perubahan pada osmolalitas ekstraselular dengan cara memacu sensasi haus. Rasa haus normal muncul jika ada sedikit saja perubahan 1% atau 2% pada osmolalitas serum. Reseptor pada kapiler sangat sensitif terhadap perubahan tekanan darah arteri dan volume darah sentral juga membantu dalam pengaturan rasa haus. Stimulus yang penting ketiga untuk rasa haus adalah angitensin II, yang mana meningkat karena respon terhadap volume aliran darah dan tekanan aliran darah. Mulut kering menyebabkan sensasi rasa haus. Sensasi rasa haus terjadi juga pada orangorang yang bernafas dengan mulut misalnya perokok dan penderita dengan penyakit saluran pernafasan kronis atau sindrom hiperventilasi. Hipodipsia. Hipodipsia menggambarkan penurunan kemampuan rasa haus. Terdapat bukti bahwa haus adalah penurunan pemasukan air, selain kadar osmolalitas dan Na+ yang tinggi. Ketidakmampuan menerima dan berespon terhadap rasa haus biasanya terjadi pada pasien stroke atau gangguan sensorik. Polidipsia. Polidipsia dibagi dalam 3 jenis yaitu: 1) simtomatik atau rasa haus sejati, 2) rasa haus yang tidak tepat atau rasa haus yang salah yang terjadi dimana jumlah larutan tubuh dan osmolalitas serum normal, 3) minum larutan kompulsif. Simtomatik haus muncul jika ada kehilangan larutan tubuh. Diantara penyebab rasa haus yang paling banyak adalah kehilangan larutan akibat diare, muntah, diabetes melitus, dan diabetes insipidus. Haus yang tidak tepat terjadi jika ada gagal ginjal, dan gagal jantung kongestif. Walaupun penyebab rasa haus pada kelompok ini tak jelas tetapi mungkin karena peningkatan kadar angiotensin. Haus dirasakan juga pada orang yang mengalami penurunan aktivitas kelenjar air ludah karena pengaruh obat-obatan misalnya antikolinergik (termasuk atropin).
Polidipsi psikogenik. Poldipsia psikogenik biasanya dialami oleh penderita gangguan jiwa. Keadaan ini disebabkan oleh pemakaian obat antipsikosis yang efeknya meningkatkan kadar ADH.1,2,4
Hormon antidiuretik (ADH) Reabsorpsi air oleh ginjal diatur oleh ADH yang juga dikenal dengan vasopressin. ADH disintesis oleh sel di nukleus supraoptikus dan nukleus paraventrikularis hipotalamus. ADH diangkut di sepanjang akson saraf ke neurohipofisis kemudian dilepas ke sirkulasi. Dengan rasa haus, kadar ADH terkontrol oleh volume dan osmolalitas ekstraselular. Osmoreseptor di hipotalamus merasakan perubahan osmolalitas ekstraselular dan merangsang produksi serta melepas ADH. Sedikit kenaikan osmolalitas serum (1%) sudah cukup untuk melepas ADH. Baroreseptor sensitif terhadap perubahan tekanan darah dan volume darah sentral untuk membantu pengaturan pelepasan ADH. Penurunan volume darah 5%-10% akan menyebabkan kadar ADH maksimal. Seperti mekanisme homeostatis lainnya keadaan akut menyebabkan perubahan yang besar terhadap kadar ADH dibanding keadaan yang kronis. Perubahan dalam waktu yang lama tidak akan mempengaruhi kadar ADH. Keadaan tidak normal akan meningkatkan sintesis dan pelepasan ADH seperti pada nyeri yang hebat, mual, trauma, operasi, zat anestesi dan beberapa narkotik (morfin dan meperidin). Mual adalah rangsangan yang poten untuk sekresi ADH, sehingga menyebabkan kenaikan kadar ADH 10-1000 kali. Nikotin merangsang pelepasan ADH sedangkan alkohol menghambatnya. Dua keadaan yang mengganggu kadar ADH yaitu diabetes insipidus dan sekresi ADH yang tidak tepat. Diabetes insipidus adalah keadaan dimana terjadi defisiensi atau penurunan respon terhadap ADH. Sindrom ADH tidak tepat (syndrome of inappropriate ADH/ SIADH) adalah akibat kegagalan sistem umpan balik negatif yang mengatur pelepasan dan penghambatan ADH.1,2,4,10
7.
Gangguan volume larutan isotonik Gangguan volume larutan isotonik adalah penambahan atau kehilangan CES dengan perubahan perbandingan air dan Na+ yang proporsional.11
Defisit volume larutan isotonik Defisit volume larutan isotonik ditandai dengan penurunan CES, termasuk volume darah sirkulasi. Istilah ini dipakai untuk membedakan defisit larutan dengan perubahan perbandingan air dan Na+ yang tidak proporsional. Keadaan dimana terjadi penurunan volume darah sirkulasi maka disebut hipovolemia.
Penyebab: Defisit volume larutan isotonik apabila air dan elektrolit hilang dengan proporsi isotonik. Keadaan ini hampir selalu terjadi pada keadaan kehilangan larutan tubuh yang disertai penurunan pemasukan larutan. Biasanya terjadi pada kehilangan lewat saluran cerna, poliuria, berkeringat karena panas dan aktifitas fisik. Setiap hari 8-10 liter CES dikeluarkan ke saluran cerna. Sebagian besar diserap kembali di ileum dan kolon proksimal, hanya 150-200 cc setiap hari dikeluarkan bersama feses. Muntah dan diare mengganggu proses reabsorpsi dan pada beberapa keadaan menyebabkan kenaikan sekresi larutan ke dalam saluran cerna. Kehilangan air dan Na+ dapat juga terjadi lewat ginjal. Beberapa penyakit ginjal ditandai dengan pembuangan Na+ karena kegagalan reabsorpsi Na+. Defisit volume larutan juga disebabkan sebagai hasil dari diuresis osmotik atau pemakaian obat-obat diuretik. Glukosa dalam urin mencegah reabsorpsi air di tubulus ginjal menyebabkan hilangnya Na+ dan air. Pada penyakit Addison terjadi kehilangan Na+ dalam urin yang tidak teratur yang menyebabkan kehilangan CES. Kulit sebagai permukaan tempat perubahan panas dan barrier evaporasi mencegah air hilang dari tubuh. Kehilangan air dan Na+ dari permukaan tubuh meningkat pada saat keringat berlebihan atau sebagian besar permukaan kulit rusak. Udara panas dan badan panas meningkatkan pengeluaran keringat. Frekuensi pernafasan dan keringat biasanya meningkat jika suhu tubuh meningkat. Kebakaran juga menyebabkan kehilangan larutan. Defisit volume larutan berdampak pada penurunan volume CES. Manifestasi defisit volume larutan adalah sebagai berikut. Kehilangan berat badan (% berat badan); defisit volume larutan ringan (2%); defisit volume larutan sedang (5%); defisit volume larutan berat (>8%). Tanda tanda mekanisme kompensasinya adalah: meningkatnya rasa haus, meningkatnya ADH: oligouri dan tingginya berat jenis urin. Volume larutan interstisial turun: Turgor jaringan dan kulit turun, membran mukosa kering, mata cekung dan lembek, pada bayi ubun-ubunnya cekung. Volume vaskular turun: Hipotensi postural, nadi lemah dan cepat, isi darah vena menurun, hipotensi dan syok. Penanganan defisit volume larutan adalah mengganti larutan. Biasanya larutan elektrolit isotonik dipakai untuk mengganti larutan. Hipovolemia akut dan syok hipovolemik menyebabkan kerusakan ginjal, oleh karena itu menentukan derajat defisit larutan secara cepat dan adekuat sangat penting untuk penanganan penyebab utama.1,2,4,11
Kelebihan volume larutan isotonik Kelebihan volume larutan adalah perluasan CES isotonik dengan meningkatnya volume vaskular dan interstisial. Walaupun peningkatan volume larutan biasanya hasil dari kondisi penyakit, sebenarnya tidak seluruhnya benar. Misalnya kompensasi cuaca yang panas akan terjadi peningkatan volume CES sebagai mekanisme pengeluaran panas tubuh. Penyebab kelebihan volume larutan isotonik hampir selalu akibat dari meningkatnya kadar Na+ tubuh total yang diikuti oleh peningkatan larutan tubuh secara proporsional. Hal ini bisa terjadi karena pemasukan Na+ yang berlebihan atau pengeluaran Na+ dan air lewat
ginjal yang berkurang, misalnya pada penyakit ginjal, gagal jantung, gagal hati, dan kelebihan kortikosteroid. Gagal jantung akan menyebabkan aliran darah ke ginjal berkurang sehingga dikompensasi dengan peningkatan retensi air dan Na+. Pada gagal hati terjadi gangguan metabolisme aldosteron, gangguan perfusi ginjal, menyebabkan meningkatnya retensi air dan Na+. Kortikosteroid meningkatkan reabsorpsi Na+ oleh ginjal. Manifestasi kelebihan volume larutan isotonik ditandai oleh meningkatnya larutan vaskular dan interstisial. Berat badan akan naik dalam periode waktu yang pendek. Kelebihan volume larutan ringan menyebabkan kenaikan berat badan 2%. Kelebihan volume larutan sedang menyebabkan kenaikan berat badan 5%. Sedangkan kelebihan volume larutan berat menyebabkan kenaikan berat badan >8%. Edema akan terjadi di seluruh tubuh. Nadi akan penuh, vena distensi, dan edema paru disertai nafas pendek, sesak dan batuk. Penanganan kelebihan larutan biasanya dengan membatasi Na+, dan jika perlu diberikan diuretika.1,2,4,11
8. Gangguan keseimbangan konsentrasi Na+ Dalam keadaan normal konsentrasi Na+ berkisar antara 135 sampai 145 mEq/l (135 sampai 145 mmol/l). Nilai Na+ serum ditentukan dengan mEq/l yang berarti konsentrasi atau dilusi dari Na+ dalam air. Karena Na+ adalah anion CES (90%-95%) maka perubahan konsentrasi Na+ serum umumnya diikuti oleh perubahan osmolalitas serum.7,8
Hiponatremia Hiponatremia terjadi apabila konsentrasi Na+ kurang dari 135 mEq/l. Karena efek partikel aktif lainnya terhadap osmolalitas CES seperti glukosa, maka hiponatremia berhubungan dengan tinggi rendahnya tonisitas. Hiponatremia hipertonik (translokasional) adalah keadaan sebagai akibat suatu peralihan osmotik air dari CIS ke CES seperti yang terjadi pada hiperglikemia. Pada keadaan ini Na + di CES menjadi lebih encer karena air pindah keluar dari sel sebagai respon terhadap tekanan osmotik karena hiperglikemia. Hipotonik sejauh ini merupakan keadaan yang sering pada hiponatremia. Ini terjadi karena retensi air dan ditandai dengan penurunan osmolalitas serum. Hiponatremia dilusi bisa terjadi pada keadaan hipervolemik, euvolemik atau hipovolemik. Hiponatremia hipervolemik terjadi jika CES meningkat dan ini terjadi jika diikuti dengan edema seperti pada gagal jantung , sirosis, dan penyakit ginjal berat. Hiponatremia euvolemik terjadi apabila ada retensi air sehingga konsentrasi Na+ turun tetapi tidak disertai peningkatan volume CES. Ini terjadi pada keadaan rasa haus yang tak tepat (SIADH).
Hiponatremia hipovolemik terjadi jika air hilang disertai Na tetapi jumlah Na+ lebih banyak yang hilang, ini terjadi pada keadaan banyak berkeringat pada cuaca panas, muntah dan diare. Penyebab hiponatremia dilusi, pada dewasa adalah karena obat-obatan (diuretika, sehingga kadar ADH naik), penggantian larutan yang tak tepat setelah latihan dan cuaca panas, SIADH, polidipsi pada pasien skizofrenia. Diantara penyebab hiponatremia hipovolemia adalah banyak berkeringat pada cuaca panas, setelah latihan, hiponatremia karena minum lebih banyak air yang tidak mengandung cukup elektrolit. Lavemen juga menyebabkan keadaan di atas. Manifestasi dari hiponatremia hipotonik yaitu: Hasil laboratorium: Na+ serum 145 mEq/l, dan osmolalitas lebih besar 295 mOsm/kg. Karena Na+ ini fungsinya sebagai larutan impermeabel maka ia berperan dalam tonisitas dan gerakan air menembus sel membran. Hipernatremia ditandai dengan hipertonisitas dari CES dan hampir selalu menyebabkan dehidrasi selular. Hipernatremia terjadi karena defisit air dibanding dengan kadar Na+ tubuh. Hal ini disebabkan oleh jumlah bersih Na+ atau jumlah bersih air yang hilang. Pemberian Na+ secara cepat tanpa disesuaikan jumlah air yang masuk akan menyebabkan hipernatremia. Hipernatremia juga bisa terjadi apabila timbul kehilangan air lebih banyak dibanding jumlah kehilanagn Na+. Hal ini terjadi pada keadaan peningkatan kehilangan lewat respirasi pada keadaan panas atau latihan yang berat, diare cair, atau saat pemberian makanan lewat pipa lambung dengan sedikit air. Pada keadaan normal defisit larutan akan memacu rasa haus sehinga meningkatkan pemasukan air. Pada hipernatremia terjadi pada bayi atau anak yang rasa hausnya kurang peka sehingga akan kurang minum air. Pada keadaan hipodipsi atau rasa haus yang lemah kebutuhan larutan tidak merangsang pusat haus. Manifestasi klinis yang terjadi adalah kehilangan larutan CES dan terjadi dehidrasi selular. Gejala dan tanda lebih berat jika ada kenaikan konsentrasi Na+ serum yang tinggi dan terjadi dalam waktu yang cepat. Berat badan akan turun sesuai dengan jumlah air yang hilang. Karena plasma darah 90%-93% air maka konsentrasi sel darah, hematokrit, BUN, akan naik sesuai penurunan air di CES. Rasa haus adalah gejala yang pertama kali muncul, terjadi jika air hilang setara dengan 0.5% air tubuh. Output urin turun dan osmolalitas meningkat karena mekanisme absorpsi air di ginjal. Suhu tubuh sering meningkat dan kulit
menjadi hangat dan memerah. Karena volume vaskular turun maka nadi menjadi cepat dan lemah, tekanan darah turun. Hipernatremia menyebabkan peningkatan osmolalitas serum dan akibatnya air akan keluar dari dalam sel, sehingga kulit dan mukosa menjadi kering, saliva dan air mata menjadi kurang. Mulut menjadi kering dan keras, lidah menjadi tebal dan luka, sulit menelan. Jaringan subkutan memerah. Jika air banyak keluar dari sel saraf maka akan terjadi penurunan refleks, agitasi, sakit kepala, gelisah. Koma dan kejang terjadi pada hipernatremia yang berat. Penanganan hipernatremia terutama ditujukan pada penyebabnya, yaitu penggantian kehilangan larutan (dehidrasi). Penggantian larutan ini bisa oral atau intravena atau duaduanya. Larutan, glukosa dan elektrolit merupakan pilihan yang tepat. Pada dehidrasi berat penggantian larutan diberikan sesuai dengan protokol WHO.7,8,9
Keseimbangan Kalium Kalium adalah kation yang terbanyak kedua di dalam tubuh dan jumlah terbesar di dalam CIS. Kurang lebih 98% kalium tersebut berada di dalam sel-sel tubuh dengan konsentrasi didalam intraseluler 140 sampai 150 mEq/l. Kandungan kalium di dalam CES (3.5 sampai 5.0 mEq/l) sangat rendah. Karena kalium merupakan ion intraselular, maka jumlah penyimpanan kalium berhubungan dengan ukuran tubuh dan massa otot. Sekitar 65% sampai 70% dari kalium berada di dalam otot. Sehingga total kalium di dalam tubuh turun bersamaan dengan perubahan umur terutama sebagai hasil dari berkurangnya massa otot. Sebagai kation intraselular utama, kalium penting untuk beberapa fungsi tubuh. Kalium berkaitan dengan beberapa fungsi tubuh, termasuk menjaga kesempurnaan osmosis sel, keseimbangan asam basa dan kemampuan ginjal untuk memproduksi urin. Kalium diperlukan untuk pertumbuhan dan memberi reaksi kimia yang mengubah karbohidrat menjadi energi, glukosa menjadi glikogen dan asam amino menjadi protein. Kalium juga berperan penting dalam mengatur denyut nadi dan kemampuan untuk merangsang tulang rangka, bagian jantung dan otot halus dengan cara mengatur: (1) selaput potensial yang tidak aktif, (2) keluarnya natrium untuk mengendalikan aliran arus potensial, dan (3) tingkatan repolarisasi. Perubahan kemampuan di saraf dan otot pada umumnya penting untuk jantung, dimana perubahan pada kalium serum dapat menghasilkan ketidakharmonisan yang serius dan kerusakan konduksi. Perubahan konsentrasi kalium serum juga mempengaruhi otot tulang rangka dan otot halus pembuluh darah dan saluran pencernaan. Selaput potensial yang tidak aktif ditentukan dari rasio kalium intraselular terhadap ekstraselular. Penurunan konsentrasi kalium serum mengakibatkan selaput potensial tersebut menjadi lebih bermuatan negatif (hyperpolarization) bergerak menjauhi nilai ambang kejutan. Maka dari itu, diperlukan stimulasi yang besar untuk mencapai nilai ambang dan membuka saluran natrium yang bertanggung jawab atas aktivitas potensial. Kenaikan konsentrasi kalium serum mempunyai efek yang berlawanan, mengakibatkan selaput potensial yang tidak aktif menjadi lebih bermuatan positif (hypopolarized), bergerak mendekati nilai ambang. Ini menyebabkan kenaikan awal kemampuan rangsangan. Aktifitas pembukaan saluran natrium yang mengatur aliran arus saat aktivitas yang efektif juga dipengaruhi oleh
kadar kalium kemudian menyebabkan turunnya rangsangan. Pada hiperkalemia yang berat, saluran natrium menjadi tidak aktif mengakibatkan penurunan rangsangan. Tingkatan repolarisasi juga beragam sesuai dengan kadar kalium serum. Tingkatan repolarisasi lebih cepat pada keadaan hiperkalemia dan lebih lambat pada hipokalemia. Tingkatan repolarisasi tersebut secara klinis sangat penting karena merupakan predisposisi untuk terjadinya defek konduksi dan disritmia jantung.1,2,12,13,14
1.
Pengaturan keseimbangan kalium Pemasukan kalium berasal dari makanan. Pada orang yang sehat, keseimbangan kalium biasanya terpenuhi dari makanan kira-kira 50 sampai 100 mEq setiap hari. Kalium tambahan juga dibutuhkan pada keadaan trauma dan stress. Kehilangan kalium yang paling banyak adalah melalui ginjal. Sekitar 80% sampai 90% dari kalium yang hilang adalah melalui urine, sedangkan yang lainnya hilang melalui feses dan keringat.2,12
2. Mekanisme pengaturan Dalam kondisi normal, konsentrasi kalium di CES berkisar 4,2 mEq/ml. Dibutuhkan pengaturan yang tepat karena banyak fungsi sel sensitif terhadap perubahan yang sangat kecil dari kadar kalium CES. Kenaikan kadar kalium serum sekitar 0,32 sampai 0,4 mEq/l saja bisa menyebabkan disritmia jantung dan kematian. Kadar kalium serum pada dasarnya diatur melalui dua mekanisme: 1) mekanisme ginjal yang mengabsorpsi dan membuang kalium, dan 2) pergeseran transelular kalium antara kompartemen CIS dan CES. Umumnya hal ini berlangsung 6 sampai 8 jam untuk membuang 50% pemasukan kalium. Untuk menghindari kenaikan kadar kalium ekstraselular selama berlangsungnya hal tersebut, kelebihan kalium sementara dipindah ke eritrosit dan sel lain seperti otot, hati, dan tulang.12,13,14
Pengaturan di ginjal Ginjal merupakan rute utama dalam pembuangan kalium. Kalium pertama-tama difiltrasi di dalam glomerulus, diserap lagi di dalam tubulus proksimal bersama dengan air dan natrium dan bersama dengan natrium dan klorida di dalam ansa Henle asenden, kemudian dikeluarkan ke dalam tubulus kortikal untuk dibuang bersama urin. Mekanisme tersebut berfungsi sebagai pengatur kadar kalium di dalam CES. Aldosteron perperan utama dalam pengaturan pembuangan kalium oleh ginjal. Dengan adanya aldosteron, kalium kembali ke aliran darah dan kalium dikeluarkan tubulus untuk dibuang lewat urin. Ada juga sistem pertukaran kalium-hidrogen di dalam tubulus kolektivus ginjal. Ketika kadar kalium serum naik, kalium dibuang ke dalam urin dan hidrogen diserap kembali ke dalam darah, yang kemudian menyebabkan penurunan pH dan terjadi asidosis metabolik. Sebaliknya, jika kadar kalium rendah, kalium diserap kembali dan hidrogen dibuang ke dalam urin menyebabkan alkalosis metabolik.1,2,12,13,14
Pergeseran ekstraselular-intraselular Pergerakan kalium dari CES ke CIS dan sebaliknya, memungkinkan kalium bergerak ke sel tubuh ketika kadarnya dalam serum tinggi, dan bergerak keluar ketika kadar dalam serum rendah. Beberapa faktor yang mengubah distribusi kalium antara CES dan CIS adalah: insulin, stimulus ß-adrenergik, osmolalitas serum dan ketidakteraturan asam basa. Kedua faktor insulin dan ß-adrenergik katekholamin (misalnya adrenalin) meningkatkan masuknya kalium selular. Insulin menaikkan pemasukan kalium selular setelah makan. Kandungan kalium setiap kali makan kurang lebih sebesar 50 mEq, kerja insulin mencegah peningkatan kadar kalium serum ke tingkat yang mengancam kehidupan. Katekholamin, terutama adrenalin, memfasilitasi pergerakan kalium kedalam jaringan otot pada saat stres fisik. Osmolalitas ekstraselular dan pH juga mempengaruhi pergerakan dari kalium antara CIS dan CES. Peningkatan yang tajam osmolalitas serum mengakibatkan kalium bergerak keluar dari sel-sel. Ketika osmolalitas serum naik akibat adanya larutan impermeabel seperti glukosa (tanpa insulin), air meninggalkan sel. Hilangnya air dalam sel menyebabkan kenaikan konsentrasi kalium intraselular yang menyebabkan kalium intraselular keluar dari sel ke dalam CES. Kelainan asam-basa sering diikuti oleh perubahan konsentrasi kalium serum. Hidrogen dan kalium bermuatan positif, dan kedua ion tersebut bergerak secara bebas diantara CIS dan CES. Pada asidosis metabolik, ion hidrogen bergerak ke dalam sel tubuh untuk buffer, hal ini menyebabkan konsentrasi kalium keluar dari sel dan bergerak ke dalam CES. Alkalosis metabolik mempunyai pengaruh yang berlawanan. Olahraga juga dapat menyebabkan pergeseran kalium. Kontraksi otot yang berulang melepaskan kalium ke dalam CES. Walaupun peningkatan biasanya kecil sesuai keadaan latihan. Bahkan pada saat mengepalkan tangan yang mengencang dan mengendor yang berulang-ulang pada saat pengambilan darah dapat menyebabkan kalium keluar dari sel dan meningkatkan kadar kalium serum. 1,2,12,13,14
3. Hipokalemia Hipokalemia apabila kadar kalium serum kurang dari 3.5 mEq/l (3.5 mmol/l). Akibat dari pergeseran transelular, perubahan sementara pada konsentrasi K+ serum kemungkinan terjadi karena pergerakan dari CIS dan CES.15,16 Penyebab Penyebab kekurangan kalium bisa dikelompokkan menjadi 3 kategori: (1) pemasukan kurang, (2) kehilangan melalui ginjal, kulit dan saluran cerna, dan (3) penyebaran kembali antara CIS dan CES. Konsumsi yang tidak mencukupi sering menjadi penyebab hipokalemia. Pemasukan 10 sampai 30 mEq/hari diperlukan untuk mengkompensasi pengeluaran lewat ginjal. Seseorang yang sedang diet kalium akan kehilangan sekitar 5 sampai 15 mEq setiap harinya. Kegagalan pemasukan kalium disebabkan karena kesulitan makan, karena diet, atau makanan yang sedikit mengandung kalium. Kehilangan kalium yang berlebihan dari ginjal terjadi karena diuretika, alkalosis metabolik, penurunan kadar
magnesium , trauma atau stress, dan peningkatan kadar aldosteron. Terapi diuretika, kecuali diuretika dengan kalium adalah penyebab utama hipokalemia. Derajat hipokalemia berhubungan secara langsung dengan dosis diuretika dan lebih tinggi saat banyak mengkonsumsi natrium. Penekanan magnesium menyebabkan pengeluaran kalium melalui ginjal. Defisiensi magnesium sering muncul bersamaan dengan penekanan kalium misalnya pada penyakit diare. Perlu diperhatikan bahwa mengoreksi kekurangan kalium akan gagal pada saat terjadi defisiensi magnesium. Ginjal tidak mempunyai mekanisme homeostatik yang diperlukan untuk mempertahankan kalium pada saat stress atau konsumsi yang tidak mencukupi. Setelah situasi trauma dan stres, kehilangan kalium dalam urin meningkat, terkadang mendekati kadar 150 sampai 200 mEq/l. Ginjal kehilangan kalium dipengaruhi oleh aldosteron dan kortisol. Trauma dan operasi menyebabkan hormon-hormon tersebut meningkat. Aldosteronisme primer, yang disebabkan oleh tumor yang memacu aldosteron pada korteks adrenal, dapat menghasilkan kehilangan banyak kalium dalam urin. Kortisol mengikat reseptor aldosteron dan berefek menyerupai aldosteron untuk mengeluarkan kalium. Meskipun kehilangan kalium dari saluran cerna dan kulit biasanya sedikit, kehilangan ini bisa meningkat saat kondisi tertentu. Saluran cerna merupakan salah satu tempat yang sering menjadi tempat kehilangan kalium akut. Muntah-muntah dan aspirasi saluran cerna memacu terjadinya hipokalemia, sebagian disebabkan oleh kehilangan kalium dan juga karena kehilangan di ginjal yang berhubungan dengan alkalosis metabolik. Diare dan aspirasi gastrointestinal juga menyebabkan kehilangan kalium yang banyak. Evaporasi lewat kulit dan keringat yang banyak akan menyebabkan kehilangan kalium yang banyak juga. Luka bakar dan jenis luka kulit lain meningkatkan hilangnya kalium. Kehilangan yang disebabkan oleh keringat pada seseorang yang sensitif cuaca panas, sebagian dikarenakan oleh pengeluaraan aldosteron yang meningkat saat meningkatnya panas meningkatkan hilangnya kalium lewat urin dan keringat. Karena rasio kalium CIS dan CES tinggi maka aliran kalium dari CES ke CIS mengakibatkan turunnya konsentrasi di serum. Salah satu penyebabnya adalah insulin. Karena insulin meningkatkan gerakan glukosa dan kalium ke dalam sel, pengurangan kalium sering terjadi saat pengobatan ketoasidosis diabetes. Obat agonis reseptor ßadrenergik, seperti pseudoefedrin dan albuterol, memiliki efek yang sama terhadap distribusi kalium.12,13,15,16 Manifestasi Manifestasi hipokalemia adalah efek gangguan potensial membran pada sistem kardiovaskular, neuro-muskular dan gastrointestinal. Tanda dan gejala dari kekurangan kalium jarang terjadi jika kadar serum kalium kurang dari 3.0 mEq/l. Biasanya gejala datang pelan-pelan sehingga sulit terdeteksi. Akibat dari hipokalemia yang paling serius adalah gangguan fungsi kardiovaskular. Hipotensi postural sering terjadi. Kebanyakan orang dengan kadar kalium serum kurang dari 3.0 mEq/l mengalami perubahan elektrokardiografi (EKG), ini sangat spesifik untuk hipokalemia. Perubahan ini meliputi pemanjangan gelombang PR, depresi dari segmen ST, gelombang T yang datar dan tampak gelombang U yang nyata. Meskipun perubahan EKG ini biasanya tidak serius, tetapi ini menyebabkan sinus bradikardi dan disritmia ektopik
ventrikular. Keracunan digitalis dapat terjadi pada orang yang sedang memakai obat ini dan akan menaikkan risiko disritmia ventrikular, khususnya pada orang dengan dasar penyakit jantung. Kalium dan senyawa digitalis akan berikatan dengan pompa Na+/K+ ATPase. Hipokalemia sedang sering terjadi pada kelemasan, kecapekan dan kram otot, khususnya saat olahraga sebagai moderate hypokalemia (konsentrasi kalium serum 3.0 sampai 2.5 mEq/l) yang umum. Paralisis otot pernafasan bisa terjadi pada hipokalemia berat (konsentrasi kalium serum 5 -10 mg/dL). Bingung dan koma bisa terjadi pada hipermagnesemia yang berat (> 10 mg/dL). Pada hipermagnesemia sangat berat (> 15 mg/dL) bisa menyebabkan cardiac arrest. Pengobatan hipermagnesemia dilakukan dengan mengurangi pemasukan magnesium. Pemberian kalsium intravena sebagai antagonis magnesium sangat berguna untuk menurunkan hipermagnesemia. Dialisis peritoneal atau hemodialisis bisa dilakukan jika perlu. 11,17,18,19
Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
20.
Berne R.M., Levy M. Principles of physiology: 2000 (3rd ed., p. 438). St. Louis: Mosby. Cogan M.G. Fluid and Electrolyte: 1991 (pp. 1, 43, 80-84, 100-111, 112-123,125-130,242-245) Norwalk, CT:Appleton & Lange. Guyton A., Hall J.E. Textbook of medical physiology. 2000 (10th ed., pp. 157-171, 264-278, 322-345, 346-363, 820-826). Philadelphia: W.B.Saunders. Krieger J.N, Sherrad D.J. Practical fluid and electrolytes :1991. (pp. 104-105). Norwalk, CT: Appleton & lange. Stearns R.H., Spital A., Clark E.C. Disorders of water balance. In Kokkp J., Tannen R.L., (Eds). Fluid and Electrolytes: 1996 (3rd ed., pp. 65, 69, 95) Philadelphia: W.B. Saunders. Rose B.D., Post T.W. Clinical physiology of acid-base and electrolyte disorders: 2001 (5th ed., pp. 168-178, 822, 835, 858, 909). New York: McGraw-Hill. Fried L.F., Palevsky P.M. Hyponatremia and hypernatremia. Medical Clinics of North America: 1997,81, 585606. Kugler J.P., Hustead T. Hyponatremia and hypernatremia in erderly. American Family Physician: 2000.61, 3623-3630 Oh M.S., Carroll H.J. Disorders of sodium metabolism: Hypernatremia and hyponatremia. Critical Care Medicine :1992,20, 94-103. Batchell J. Syndrome of inappropriate antidiuretic hormone. Critical Care Clinics of North America: 1994,69, 687-691. Behrman R.E., Kliegman R.M.., Jenson H.B. (). Nelson textbook of pediatrics: 2000, (16th ed., pp. 215-218). Philadelphia: W.B. Saunders. Braxmeyer D.L., Keyes J.L. The pathophysiology of potassium balance. Critical Care Nurse :1996,16 (5), 59-71. Tannen R.L. Potassium disorders. In Kokko J., Tannen R.L. (Eds.), Fluid and electrolytes: 1996, (3rd ed., pp. 116-118). Philadelphia: W.B. Saunders. Whang G., Whang G.G., Ryan M.P. Refractory potassium repletion: A consequence of magnesium deficiency. Archives of Internal Medicine :1992,152 (1), 40-45. Gennari F.J. Hypokalemia. New England Journal of Medicine: 1998,339, 451-458 Zaloga G.F. Hypocalcemia in critically ill patients. Critical Care Medicine:1992,20: 251-261. Swain R., Kaplan-Machlis B. Magnesium for the next millennium. Southern Medical Journal: 1999, 92, 10401046. Toto K., Yucha C.B. Magnesium: Homeostasis, imbalances, and therapeutic uses. Critical Care Nursing Clinicw of North America :1994, 6, 767-778. Workman L. Magnesium and phosphorus: The negelected electrolytes. AACN Clinical Issues :1992, 3, 655-663. Yucha C.B., Toto K.H. Calcium and phosphorous derangement. Critical Care Clinics of North America: 1994,6, 747-765.
BAB II KEGAWATDARURATAN GASTROINTESTINAL Pitono Soeparto & Reza Ranuh
Ilustrasi Kasus Seorang anak perempuan umur 7 tahun dibawa ke UGD karena mengeluh sakit perut yang amat sangat, dan anak tidak bisa berhenti menangis karena sakitnya. Sakit dirasakan pertama kali 1 jam yang lalu dan belum mereda. Saat sakit di rumah sempat BAB 1x, nyeri dan keluar sedikit kotoran campur darah. Dari pemeriksaan fisik anak tampak kesakitan, dinding perut tidak kaku, dan disebelah kiri atas umbilicus dapat diraba massa yang panjang seperti pisang.
Pendahuluan Kegawatdaruratan merupakan hal yang sering terjadi dalam praktik klinis, dan dapat dibagi dalam 2 kelompok utama: bedah dan non bedah.1 1. Kelompok non bedah a. Dehidrasi b. Perdarahan saluran gastrointestinal - Penyakit peptik - Demam berdarah - Demam tifoid - Hipertensi portal - Polip c. Muntah akut d. Nyeri abdominal akut e. Distensi abdomen akut f. Disfagia akut 2. Kelompok bedah a. Obstruksi intestinal - Atresia duodenal - Malrotasi dan volvulus - Anus imperforata - Atresia esofagus dengan atau tanpa fistula b. Defek dinding abdominal - Eksomfalus - Gastroskisis c. Abdomen akut - Apendisitis akut
- Adenitis mesenterik
Dehidrasi Tabel 2.1. Klasifikasi dehidrasi sesuai defisit cairan
Dehidrasi ringan Dehidrasi sedang Dehidrasi berat
% Kehilangan berat badan Bayi Anak besar 5 % ( 50 ml/kg ) 3 % ( 30 ml/kg ) 5 – 10 % ( 50 – 100 ml/kg ) 6 % ( 60 ml/kg ) 10 – 15 % ( 100 – 150 ml/kg ) 9 % ( 90 ml/kg )
Sumber: Huang2
Tabel 2.2. Pemeriksaan laboratorium pada gangguan keseimbangan asam-basa Gangguan Tunggal - Asidosis metabolik - Alkalosis metabolik - Asidosis respiratorik - Alkalosis respiratorik Gangguan Campuran - Asidosis metabolik + asidosis respiratorik - Alkalosis metabolik + asidosis respiratorik - Asidosis metabolik + alkalosis respiratorik - Alkalosis metabolik + alkalosis respiratorik
pH
PCO2
Bikarbonat
, N,
, N,
, N,
, N,
, N,
, N,
Sumber: Quak1
Prinsip Terapi Cairan Pemberian terapi cairan pada gangguan cairan dan elektrolit ditujukan untuk memberikan pada penderita: (1) kebutuhan akan rumatan (maintenance) dari cairan dan elektrolit, (2) mengganti kehilangan yang terjadi, dan (3) mencukupi kehilangan abnomal dari cairan yang sedang berlangsung (on going abnormal losses). Perencanaan terapi ketiga komponen ini perlu ditujukan secara individual sehingga tidak ada kebutuhan dasar yang terlewati. Selain itu pemberian terapi cairan perlu dibagi menjadi beberapa tahap yang berurutan yaitu: (1) menjaga perfusi yang cukup, (2) memperbaiki defisit cairan & elektrolit sekaligus memperbaiki gangguan asam-basa, dan (3) mencukupi kebutuhan nutrisi. Pemberian cairan pada penderita dengan dehidrasi berat atau dalam keadaan syok merupakan tindakan kedaruratan medis. Penderita dapat dinilai secara lengkap apabila pemberian cairan sudah dimulai dan penderita dalam keadaan stabil. Dalam perencanaan pemberian terapi cairan, yang penting dipertimbangkan adalah defisit Na+ dan air, perubahan kualitatif dari susunan tubuh yang terjadi akibat hilangnya elektrolit yang terkait dengan air, dan keseimbangan ion kalium dan hidrogen.1,2,3
Pemberian Terapi Cairan1,2,3 Pemberian terapi cairan meliputi pemberian cairan yang ditujukan untuk: Memperbaiki dinamika sirkulasi (bila ada syok). Mengganti defisit yang terjadi. Rumatan (maintenance)/ untuk mengganti kehilangan cairan dan elektrolit yang sedang berlangsung (on going losses). Pelaksanaan pemberian terapi cairan dapat dilakukan secara oral atau parenteral. 1. 2. 3.
Dehidrasi berat Penderita dengan dehidrasi berat, yaitu dehidrasi lebih dari 10% untuk bayi dan lebih dari 9% untuk anak besar serta menunjukkan gangguan organ vital tubuh (somnolen-koma, pernafasan Kussmaul, gangguan dinamika sirkulasi) memerlukan pemberian cairan dan elektrolit secara parenteral.1,2,3 Terapi rehidrasi parenteral memerlukan 3 tahap: a. Terapi awal (initial therapy) yang bertujuan untuk memperbaiki dinamika sirkulasi dan fungsi ginjal dengan cara re-ekspansi dengan cepat volume cairan ekstraselular. b. Terapi lanjutan yang ditujukan untuk mengganti defisit air dan elektrolit pada kecepatan yang lebih rendah dengan mengganti Na+ mendahului K+. c. Terapi akhir yang ditujukan untuk menjaga/memulihkan status gizi penderita. Terapi awal Tahap ini dimaksudkan untuk mencegah atau mengobati renjatan (syok) dengan secara cepat mengembangkan volume cairan ekstraselular, terutama plasma. Idealnya adalah bahwa seluruh cairan yang diberikan hendaknya tetap berada dalam ruang vaskular.1,2,3 Terapi lanjutan Begitu sirkulasi dapat dipulihkan kembali, terapi cairan berikutnya ditujukan untuk mengoreksi secara menyeluruh sisa defisit air dan Na+ dan mengganti kehilangan abnormal dari cairan yang sedang berjalan (on going losses) serta kehilangan obligatorik. Walaupun pemberian K+ sudah dapat dimulai, namun hal ini tidak esensial, dan biasanya tidak diberikan sebelum 24 jam. Perkecualian dalam hal ini adalah bila didapatkan hipokalemia yang berat dan nyata. Pada saat tercapainya tahap ini, kadang perlu diketahui nilai elektrolit serum sehingga terapi cairan dapat dimodifikasi sesuai dengan kadar Na+ yang ada (isonatremia, hiponatremia, hipernatremia).1,2,3 Terapi akhir (koreksi dari defisiensi nutrisi) Walaupun pada diare terapi cairan parenteral tidak cukup bagi kebutuhan kalori penderita, namun hal ini tidaklah menjadi masalah besar karena hanya menyangkut waktu yang pendek. Apabila penderita telah kembali diberi diet sebagaimana biasanya, segala kekurangan tubuh akan lemak dan protein dapat segera terpenuhi. Itulah mengapa pada pemberian terapi cairan, bila memungkinkan diusahakan agar penderita cepat mendapatkan makanan/ minuman sebagaimana biasanya. Bahkan pada dehidrasi
ringan sedang yang tidak memerlukan terapi cairan parenteral, makan dan minum tetap dapat dilanjutkan (continued feeding).1,2,3 Tabel 2.3. Terapi cairan standar (Iso-hiponatremia) Derajat Dehidrasi Berat 10 % Gagal sirkulasi (Plan C) Sedang 6-9 %
Ringan 5 % (Plan B) Tanpa dehidrasi (Plan A)
Kebutuhan Cairan ± 30 ml/kg/1 jam (±10 tt/kg/menit) ±70 ml/kg/ 3 jam (±5 tt/kg/menit )
±50 ml/kg/ 3 jam (±3-4 tt/kg/menit) ±10-20 ml/kg setiap kali diare
Jenis Cairan Na Cl 0.9% Ringer laktat Asering Na Cl 0.9% Ringer laktat 1/2 darrow KAEN 3 B (>3bln) KAEN 4 B (persentil 10), panjang badan 74 cm (>persentil 25), lingkar kepala 46 cm (pada persentil 25), dengan berat badan untuk tinggi > persentil 25) dan anak telah kuat merangkak.
Pendahuluan Tumbuh kembang merupakan proses penumbuhan (dimensi fisik) dan pengembangan (dimensi fungsi) potensi genetik menjadi potensi dewasa. Ada tiga kelompok faktor penentu keberhasilan: (1) kecukupan dan keselarasan pasokan nutrien, sebagai bahan baku dan bahan bakar, (2) stimulasi dan interaksi fisik dan psikososial sebagai pemicu dan pemacu spektrum dan arah tumbuh kembang, (3) penyakit yang dapat mengganggu dan merusak struktur dan fungsi, baik secara temporer maupun permanen. Gangguan pada kedua faktor penentu pertama dan dampak buruk faktor penentu ketiga dapat memperlambat atau menghambat proses tumbuh kembang. Jika intensitasnya telah mencapai kriteria tertentu, dinamakan anak menderita gagal tumbuh (GT). Pengaruh ketiga faktor ini lazimnya saling terkait. Misalnya kecukupan gizi mempengaruhi prevalensi penyakit; tingkat rasa aman dan stabilitas emosi mempengaruhi nafsu dan kapasitas makan; dan penyakit tertentu dapat mengubah pola perilaku anak. Dapat dimengerti bahwa penyakit gastrointestinal dapat menimbulkan GT. Di lain pihak setiap GT, apapun penyebabnya, dapat menimbulkan kelainan struktur dan fungsi saluran pencernaan. Lebih dari itu rehabilitasi gizi lazimnya merupakan pintu masuk dalam
menanggulangi GT. Sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh GT memiliki dimensi gastroenterologi.1,2,3
Definisi GT adalah terhenti atau melambatnya pertumbuhan dan perkembangan secara signifikan. Ada tiga pengertian dalam bahasa Inggris yang bermanfaat untuk dipahami terkait dengan GT (failure to thrive): (1) wasting (diterjemahkan menjadi "kerempeng") mengacu pada keadaan sewaktu, (2) stunting (diterjemahkan menjadi "kerdil") mengacu pada hasil akhir, (3) catching up (diterjemahkan menjadi "kejar tumbuh") mengacu pada pencapaian upaya rehabilitasi. Kaitan ketiga pengertian ini tercermin dalam keadaan berikut: saat GT terjadi anak dapat terlihat "kerempeng". Meski kecepatan tumbuh kembang dapat dipacu kembali menjadi normal, jika "kejar tumbuh" tidak terjadi, anak akan tumbuh menjadi manusia dewasa yang potensinya lebih rendah dari potensi genetiknya dan dalam keadaan ekstrim dapat dikelompokkan sebagai "kerdil". Batasan operasional GT adalah nilai indikator tumbuh kembang yang dipakai berada dalam persentil ketiga atau menurun lebih dari satu kuartil berturut-turut selama dua bulan pada anak usia kurang dari 6 bulan dan tiga bulan pada anak berusia 6 bulan keatas.1,2,3
Kejadian Data kejadian GT, khususnya di Indonesia, sangat terbatas. Kompilasi data yang dilakukan tim WHO menunjukkan bahwa di negara berkembang sekitar 10-80% anak usia 3 tahun dapat dikategorikan kerdil, sedangkan di negara maju hanya di bawah 3% (tabel 10.1).
Tabel 5.1. Prevalensi stunting pada usia 3 tahun Negara
Tahun
Persentase
Etiopia
1982
42
Zambia
1972
44
Nigeria
1980
28
Bolivia
1981
60
Peru
1985
52
Jamaika
1970
9
Bangladesh
1983
79
Indonesia
1977
79
Mesir
1978
37
Pakistan
1984
14
Palestina
1984
17
Filipina
1982
43
1970
57
Papua Guinea
New
Sumber: WHO4
Sebagian besar anak yang kerdil ini nantinya setelah dewasa tidak kelihatan sakit. Ada yang memakai istilah small but healthy. Beberapa studi memperlihatkan disamping lebih pendek, anak yang kerdil kemampuan fisiknya lebih rendah, IQ rata-ratanya lebih rendah, serta kemampuan imunitasnya terbatas. Kinerja mereka juga lebih rendah. Angka kematian mereka jauh lebih tinggi. Jelas bahwa pencapaian potensi dewasa mereka tidak sesuai dengan potensi genetiknya. Satyanarayana dari India menyimpulkan telah terjadi suatu adaptasi biologis sehingga mereka tetap kelihatan sehat tetapi semuanya bergerak dalam skala yang lebih rendah.4,5 Data pada tabel 10.1 menunjukkan 79% anak Indonesia pada usia 3 tahun pada tahun 1977 dikategorikan kerdil. Prosentase ini mungkin terlalu tinggi, antara lain karena standar yang dipakai berdasar data NCHS, yang mungkin terlalu tinggi untuk anak Indonesia. Bagaimanapun kita yakin permasalahan yang dihadapi dunia berkembang sebagaimana diuraikan di atas kita temukan pula di Indonesia. Data dari beberapa negara (gambar 5-1) menunjukkan terdapatnya perbedaan tinggi sekitar 10 cm pada anak usia 7 tahun antara anak dari keluarga mampu dan keluarga miskin. Pada awal milenium ketiga ini sekitar 20% penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan.5
Gambar 5.1. Tinggi rata-rata anak usia 7 tahun golongan sosial ekonomi tinggi() dan rendah() Brazil
Kostarika Guatemala Haiti
Jamaika Nigeria
India Hongkong
cm 123 50 - persentil 122
119 25 117
115 10 113 5 111
109
Etiologi GT hanyalah kumpulan gejala. Spektrum penyebabnya sangat luas dan saling berinteraksi. Lazimnya dikelompokkan menjadi dua, kelompok non-organik dan kelompok organik. Kelompok non-organik umumnya muncul berupa penyimpangan pola asuh dan/atau interaksi ibu dan anak yang bermuara pada kurangnya pasokan gizi dan penyimpangan stimulasi fisik dan psikososial. Berbagai kelainan pada semua organ dan sistem dapat menimbulkan GT (kelompok penyebab organik), termasuk kelainan gastrointestinal. Untuk membantu sistematika pendekatan diagnostik, kelainan gastrointestinal dapat dipilah mejadi: 1. Kelainan organik atau fungsional yang mengganggu fungsi motorik saluran pencernaan, yang mengakibatkan gangguan pasase makanan. Kelainan ini dapat terjadi pada semua tingkatan saluran pencernaan, mulai dari palato-gnato skhisis, striktura esofagus, khalasia/akhalasia, refluks, pseudoobstruksi, penyakit Hirsprung, termasuk sindroma usus iritabel dan lain sebagainya. 2. Kelainan organik/fungsional yang menimbulkan gangguan fungsi sekresi dan digesti. Lazimnya berupa kelainan kongenital atau berupa gangguan metabolisme bawaan lahir. Misalnya akhlorhidria, gangguan glikosilasi kongenital, hipobetalipoproteinemia kongenital, dan lain sebagainya. 3. Inflamasi non-infektif dan infeksi spesifik saluran pencernaan. Termasuk penyakit Crohn, penyakit inflamasi kolon, serta infeksi Helicobacter pylori. 4. Lingkaran setan kompleks diare-MEP (malnutrisi energi protein)-infeksi. Di negara maju sebagian besar GT disebabkan kelainan non-organik. Di negara berkembang sebagian besar GT disebabkan oleh kompleks diare-MEP-infeksi. Jauh lebih tingginya kejadian GT/kerdil di negara berkembang, disamping disebabkan besarnya peranan kompleks diareMEP-infeksi, juga disebabkan terlambat dan kurang adekuatnya penanggulangan penyakit organik, misalnya terlambatnya tindakan koreksi pada kelainan jantung bawaan.1,3,6
Patogenesis Baik pada kelainan non-organik maupun pada kelainan organik, kurangnya pasokan gizi dibandingkan dengan kebutuhan merupakan mekanisme utama munculnya GT. Terdapat interaksi timbal balik antara hubungan ibu dan anak. Ibu harus reseptif dan responsif terhadap berbagai bentuk komunikasi anak (tawa, tangis, mimik, celotehan, dsb), termasuk ungkapan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis anak yang mencakup kebutuhan akan makanan, tidur, lingkungan yang higienis dan hangat, proteksi terhadap rasa sakit, trauma dan penyakit. Ibu juga harus reseptif dan responsif dalam berinteraksi secara psikis dan emosional dengan anak agar anak senang dan puas. Kegagalan interaksi ini dapat dalam bentuk kuantitas, sehingga kebutuhan fisiologis dan atau psikologis anak tidak terpenuhi. Dalam kondisi yang ekstrim dinamakan terjadi deprivasi pada anak. Tetapi kegagalan juga dapat terjadi pada ketidakserasian pola kepribadian/perilaku anak dengan perilaku/ekspektasi ibu. Kegagalan interaksi ini dapat menimbulkan anoreksia, rasa tidak aman, ansietas, depresi, menarik diri dan lain sebagainya pada anak. Gangguan proses interaksi dan pola asuh ini dapat menimbulkan berkurangnya pasokan nutrien serta gangguan pola stimulasi yang dapat bermuara pada GT. Kelainan atau penyakit dapat menimbulkan kurangnya makanan yang disediakan, anoreksia, gangguan digesti dan absorpsi, kehilangan nutrien serta meningkatnya kebutuhan. Lebih dari itu defisit dan gangguan stimulasi, baik fisik maupun psikososial tidak hanya berpengaruh pada pola perkembangan fungsi tetapi juga dapat menghambat pertumbuhan fisik. Pada kelainan organik tertentu, meskipun pasokan gizi dan stimulasi cukup, GT dapat muncul. Misalnya akibat defisiensi enzim atau kelainan hormonal. Kelainan enzim atau hormon ini tetap mempunyai dimensi gizi, karena patogenesisnya mencakup gangguan pendayagunaan nutrien tertentu.2,3,7 Penyakit gastrointestinal dapat menimbulkan: (1) gangguan fungsi motorik, baik berupa obstruksi, gangguan propulsi, maupun menurunnya kapasitas tampung, dan (2) gangguan digesti dan absorpsi; yang akhirnya bermuara pada berkurangnya absorpsi nutrien. Patogenesis kompleks diare-MEP-infeksi tercermin dalam konsep yang dikembangkan kelompok kerja Lebenthal (gambar 10.2), dimana kerusakan/atrofi mukosa usus dianggap merupakan titik sentral dari lingkaran setan keadaan patologis yang ditimbulkan diare yang mencakup malabsorpsi, gangguan hormonal, infeksi berulang, tumbuh ganda, absorpsi protein asing yang menimbulkan reaksi alergi, dan gangguan regenerasi vili. Semuanya dapat bermuara pada semakin beratnya MEP. Jika berlanjut dapat berakhir dalam bentuk GT.
Gambar 5-2. Lingkaran setan kompleks diare–MEP–infeksi. Malabsorpsi nutrien
Infeksi dan tumbuh ganda
Malnutrisi energi protein Kerusakan mukosa usus berlanjut
Gangguan regenerasi vili
Insufisiensi hormon enterik Absorpsi protein asing
Lazimnya munculnya kompleks diare-MEP-infeksi dipicu oleh munculnya diare atau infeksi tertentu, misalnya morbili. Sebagian besar GT menimbulkan kurang gizi, sehingga apapun etiologinya, khususnya di negara berkembang, GT yang disebabkan kelainan organik atau non-organik dapat diperberat oleh kompleks diare-MEP-infeksi.2,3,7
Manifestasi Klinis Anak kelihatan lebih "kecil" dari semestinya. Melalui pengukuran antropometrik dan diplot pada grafik tumbuh kembang yang sesuai, anak yang kelihatan kecil ini dapat dipilah menjadi MEP, pendek atau dismorfi. Temuan MEP mungkin disertai gejala terkait, misalnya: edema, rambut jarang mudah dicabut, lemak subkutan menipis, distrofi otot, dan lain sebagainya. MEP tentu dapat disertai dengan gejala spesifik defisiensi mikronutien, misalnya gejala avitaminosis. Lebih lanjut manifestasi MEP dapat disertai dengan gejala yang terkait dengan kompleks diare-MEP-infeksi. Pendek atau dismorfi dapat ditemukan pada kelainan metabolik/neuroendokrin. Tentu dapat pula ditemukan kelainan lain sesuai faktor penyebab. Anak dapat kelihatan gelisah, iritabel dan banyak menangis, atau sebaliknya pasif dan diam. Temuan ini lazimnya berkaitan dengan latar belakang psikososial ibu yang tercermin dalam pola asuh serta pola interaksi ibu dan anak. Gejala penyebab organik bervariasi sesuai jenisnya. Gejala yang terkait kelainan gastrointestinal dapat didentifikasi secara sistematis melalui penelusuran gejala terkait yaitu makan/menelan, defekasi, muntah, diare, sakit perut dan lain sebagainya.1,7
Diagnosis
Petunjuk atau kecurigaan klinis bahwa kita mungkin berhadapan dengan GT adalah anak kelihatan lebih "kecil" dari semestinya. Sebagai tindak lanjut ada tiga aspek diagnostik yang harus ditegakkan. Pertama, menetapkan apakah telah terjadi GT, untuk memacu kita melakukan langkah penanggulangan dan pencegahan agar "kejar tumbuh" dapat menjadi maksimal dan risiko terjadinya "kerdil" menjadi minimal. Kedua, mengelaborasi permasalahan klinis yang dihadapi anak sehingga langkah pemulihan dan rehabilitasi dapat direncanakan. Ketiga, menetapkan faktor penyebab sehingga disamping terapi kausal, langkah pencegahan dan promotif dapat direncanakan.8 Diagnosis GT ditegakkan berdasarkan pengukuran antropometrik. Indikator utama yang dipakai adalah umur, berat dan panjang/tinggi. Dengan membandingkannya dengan nilai standar (lazim dipakai data NCHS) diterjemahkan menjadi tiga indikator: berat untuk umur, tinggi untuk umur dan berat untuk tinggi. Indikator berat untuk tinggi lebih mencerminkan keadaan patologis sewaktu, sehingga lebih lazim dipakai sebagai dasar diagnosis GT. Nilai yang didapat diplot dalam grafik pertumbuhan. Ada dua cara membuat acuan kurva baku pertumbuhan: (1) berdasarkan simpangan dari mean, kurva baku atas = mean + 2SD, diikuti mean + 1SD, mean, mean - 1SD dan kurva paling bawah mean - 2SD, (2) berdasarkan persentil dimana kurve paling atas = sentil 97, diikuti sentil 75, sentil 50, sentil 25 dan sentil 3. Anak dengan kurva pertumbuhan berdasarkan berat untuk tinggi, berada di bawah sentil 3 atau mean - 2SD, atau kurva pertumbuhannya turun melewati dua garis baku kurva pertumbuhan berturut-turut selama dua bulan pada anak berusia kurang dari 6 bulan, atau berturut-turut 3 bulan pada anak usia 6 bulan atau lebih dianggap telah menderita GT. Berdasarkan kriteria di atas diagnosis GT membutuhkan pengamatan longitudinal. Tetapi secara klinis kita dapat menegakkan diagnosis GT berdasarkan riwayat sehingga berdasarkan pengamatan retrospektif dapat diperkirakan telah terjadi hambatan pertumbuhan yang telah berlangsung lama, sehingga dapat diperkirakan telah memenuhi kriteria diagnostik di atas. Indikator tinggi untuk umur dan berat untuk umur tetap bermanfaat untuk dianalisis untuk lebih memahami proses gangguan pertumbuhan yang terjadi serta faktor penyebabnya. Pemahaman akan lebih rinci jika dibantu dengan pengukuran lingkar kepala, tebal lemak subkutan, serta proporsi bagian tubuh. Indikator perkembangan fungsi, meskipun tidak dipakai untuk menegakkan diagnosis GT karena lebih bersifat kualitatif tetap harus dinilai, misalnya dengan memakai standar DDST. Keberhasilan penanggulangan dinilai tidak hanya melalui perbaikan indikator antropometrik, tetapi juga melalui indikator fungsi.6,8 Kondisi klinis anak sangat tergantung pada faktor penyebab dan penyakit penyerta yang harus dielaborasi gejalanya dan ditegakkan permasalahan yang ditimbulkannya. Kita harus mengelaborasi sampai di mana telah terjadi gangguan fungsi vital serta muncul keadaan yang membahayakan kehidupan seperti hipoglikema atau hipotermia sehingga langkah resusitasi dan stabilisasi dapat segera dilakukan. Nafsu makan, kemampuan makan dan kemampuan pencernaan anak harus dinilai sehingga langkah rehabilitasi gizi dapat dimulai. Kedaruratan serta gangguan makan ini umumnya terkait dengan kompleks diare-MEP-infeksi. Bagi kita di negara berkembang penting untuk mengelaborasi sampai di mana kompleks diare-MEP-infeksi
telah berkembang, termasuk sampai di mana manifestasi defisiensi mikronutrien menjadi masalah. Lebih lanjut perlu ditelusuri penyakit penyerta yang masih aktif serta permasalahan klinis yang ditimbulkannya. Kemungkinan gangguan pola asuh dan interaksi ibu dan anak sebagai penyebab GT dapat diduga melalui perilaku anak; kita dapat berhadapan dengan anak yang gelisah, iritabel dan banyak menangis, atau sebaliknya pasif dan diam. Berdasarkan pengalaman di negara maju, deskripsi dan kepastian terjadinya deprivasi, pengacuhan dan penyimpangan pola asuh anak, sulit untuk dielaborasi dan ditegakkan diagnosisnya melalui wawancara/pengamatan di tempat praktik dokter anak. Peranan faktor ini dapat dibuktikan secara eks-juvantifus dengan merawat anak di rumah sakit, dalam arti kata mengalihkan pengasuhan anak dari ibu ke petugas kesehatan. Melalui langkah rehabilitasi gizi intensif disertai dengan asuhan yang atentif dan hangat, biasanya pemulihan dengan cepat terjadi. Diagnosis penyimpangan perilaku ibu lazimnya membutuhkan penilaian psikologis oleh ahlinya.8,9 Faktor penyebab organik non-gastrointestinal ada yang dengan mudah diidentifikasi misalnya kelainan jantung bawaan, tetapi ada juga yang membutuhkan kejelian karena jarang ditemukan serta membutuhkan pemeriksaan yang lebih rumit misalnya kelainan endokrin atau penyakit metabolik. Diagnosis kelainan organik gastrointestinal dapat dikenal melalui penelusuran gejala utama kelainan gastrointestinal seperti gangguan menelan, muntah, nyeri abdomen, diare serta konstipasi. Temuan gejala menjuruskan kita untuk memikirkan sampai di mana terjadi kelainan fungsi motorik, fungsi digesti dan/atau fungsi absorpsi. Kepastian diagnosis fungsional, serta kelainan struktur yang mendasarinya tentu harus didukung dengan pemeriksaan penunjang yang sesuai. Lebih lanjut ditelusuri diagnosis kausal kelainan yang ditemukan. Referensi pelaksanaan rangkaian proses ini tentu harus mengacu pada keseluruhan isi buku ajar ini.6,8
Terapi Spektrum terapi GT sangat bervariasi sesuai perbedaan penyebab, keberadaan penyakit penyerta, spektrum keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan yang berlangsung, derajat MEP, serta gangguan pola asuh dan interaksi ibu-anak. Tetapi secara umum rehabilitasi gizi merupakan langkah awal terapi yang dapat dijadikan pintu masuk untuk melaksanakan penanggulangan secara menyeluruh.10 Pola penanggulangan MEP yang telah dikembangkan dapat dijadikan sebagai acuan perencanaan rehabilitasi gizi, melalui pendekatan 4 tahap: fase penyelamatan, fase penyesuaian, fase pemulihan dan fase pembinaan. Pada fase penyelamatan dilaksanakan resusitasi dan stabilisasi gangguan fungsi vital misalnya mengatasi syok/dehidrasi berat serta menanggulangi komplikasi misalnya hipotermia atau hipoglikemia. Pada fase penyesuaian, melalui pemberian makanan bertahap jumlah dan komposisinya, kita membiasakan kembali anak untuk makan dalam jumlah dan volume yang besar serta memilih makanan secara selektif sesuai dengan kapasitas pencernaan anak. Pada fase
penyesuaian kita juga harus memulai penanganan terfokus terhadap defisiensi mikronutrien serta mengobati penyakit penyerta. Terapi kausal juga dapat dimulai atau dapat menunggu sampai keadaan umum anak lebih baik yaitu pada fase berikutnya. Penyakit penyerta dan penyakit yang mendasari GT tentu harus ditanggulangi sesuai dengan standar yang berlaku. Pada fase pemulihan kita memberikan makanan berimbang dengan prosentase kalori 120% - 200% dari perhitungan kebutuhan berdasarkan berat badan. Sasaran kita adalah mengupayakan kejar tumbuh maksimal. Langkah penyelamatan dan penyesuaian lazimnya dilakukan di rumah sakit. Fase pemulihan dan pembinaan dilakukan melalui rawat jalan. Kita harus memberikan nasihat gizi yang operasional, yang secara wajar diperkirakan dapat dilaksanakan ibu di rumah. Misalnya bagi keluarga mampu kita dapat menganjurkan pemakaian formula nutrisi lengkap dengan kalori 1 kkal/ml. Sebagai alternatif bagi yang kurang mampu kita dapat menerapkan konsep "multi-mixed" dari Cameron, di mana berdasarkan ketersediaan dan keterjangkauan bahan makanan lokal, ibu diajarkan untuk menyusun menu berdasarkan kombinasi bahan yang ada, berdasarkan pengayaan bahan pokok (beras) dengan pilihan cerdik sumber protein lokal disertai pemanfaatan minyak untuk meningkatkan kalori. Pada fase pembinaan dilaksanaan langkah promotif dan preventif agar GT tidak muncul kembali. Telah dibuktikan, peningkatan stimulasi fisik dan psiko sosial akan meningkatkan keberhasilan upaya promotif secara keseluruhan.7,8,10 Keberhasilan rehabilitasi gizi membuka peluang bagi penyaji untuk memberikan konseling pada ibu. Jika dilaksanakan secara bijak tanpa sikap menuding dan menggurui, lazimnya dapat memperbaiki pola asuh anak serta peningkatan interaksi ibu dan anak.
Prognosis Perkembangan longitudinal indikator antropometrik seorang anak dinyatakan dalam persentil terhadap nilai standar, lazimnya berada pada track tertentu. Anak yang menderita GT track pertumbuhannya akan menurun. Meskipun GT berhasil ditanggulangi, jika GT berlangsung lama atau berat, track pertumbuhan anak dapat menetap pada jalur yang lebih rendah. Penurunan permanen track ini hanya terjadi pada GT usia muda, di bawah usia 5 tahun. Untuk itu kita harus memberikan perhatian khusus agar GT pada usia muda ini dapat dicegah atau ditanggulangi sedini dan seadekuat mungkin. Jika track menetap pada jalur di bawah 3 persentil (mean-2SD) anak akan menjadi dewasa sebagai orang kerdil. Secara umum dapat dikatakan, jika terjadi penurunan track pertumbuhan secara permanen, berarti proses penumbuh-kembangan potensi genetik menjadi potensi dewasa kurang berhasil.11 Sepenuhnya disadari, penurunan track pertumbuhan, akan disertai penurunan optimasi perkembangan, baik fisiologis maupun psikososial. Penurunan kedua dimensi tumbuh kembang ini akan menurunkan pula kesempatan anak nantinya untuk hidup secara produktif dan kompetitif setelah dewasa. Telah diketahui pertumbuhan dan perkembangan normal suatu organ dan sistemnya yang terkait tidak berlangsung secara linier. Terdapat waktu puncak (sesuai umur anak) tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda untuk berbagai organ dan sistem organ. GT
yang terjadi pada saat suatu organ atau sistem organ sedang berada pada puncak pertumbuhan dan perkembangan akan menimbulkan gangguan dan defisit yang lebih menonjol pada organ atau sistem organ tersebut. Sehingga sesuai dengan waktu puncak tumbuh kembang otak, GT yang lazimnya muncul pada usia bayi akan sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang otak serta potensi intelektual anak nantinya setelah dewasa.2,10,11 Keberhasilan kejar tumbuh disamping ditentukan oleh kedinian dan intensitas penanggulangan GT, tentu juga ditentukan sampai di mana faktor penyebab dapat di sembuhkan. GT yang datang dengan kelainan fungsi vital apalagi kalau disertai gangguan pencernaan yang berat dengan angka kematian kasus yang cukup tinggi, pada masa dahulu dapat mencapai 30% - 50%. Tetapi dengan acuan penanganan MEP berat yang dikembangkan WHO yang juga telah diadopsi di Indonesia, dimana melalui pemahaman tentang gangguan keseimbangan elektrolit, gangguan sistem kardivaskuler, serta berbagai dimensi defisiensi nutrien, telah disusun langkah stabilisasi dan pemulihan yang sesuai sehingga angka kematian kasus dapat ditekan mendekati 10%. GT yang telah mencapai fase pemulihan lazimnya angka kematian kasusnya sangat rendah.2,3
Pencegahan Untuk kita di negara berkembang, dimana sebagian besar GT muncul dalam bentuk kompleks diare-MEP-infeksi, langkah pencegahannya sejalan dengan upaya pencegahan diare. Di samping menekan kejadian diare, kita harus melaksanakan penanggulangan tepat guna agar diare tidak berlanjut dan dampak gizinya dapat ditekan menjadi seminimal mungkin. Identifikasi faktor risiko dan gejala dini deprivasi, pengacuhan anak dan penyimpangan interaksi ibu dan anak dilanjutkan dengan pembinaan yang tepat dapat menekan kejadian GT non-organik. Meskipun penanggulangannya secara tuntas membutuhkan disiplin lain, permasalahan harus diidentifikasi oleh dokter anak. Langkah lain yang layak untuk dilaksanakan adalah mengidentifikasi penyakit organik termasuk kelainan gastrointestinal sedini mungkin, melakukan langkah korektif dan penanggulangan lainnya seadekuat mungkin, disertai dengan bimbingan gizi dan pola asuh yang baik agar kemungkinan munculnya GT dapat ditekan menjadi seminimal mungkin.3,11
Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4.
American Academy of Pediatrics. Failure to thrive (pediatric undernutrition). In: Kleinman RE, ed. Pediatric Nutrition Handbook. 5th ed. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics. 2003: 443-457. Frank DA, Zeisel SH. Failure to thrive. Pediatr Clin North Am. Dec 1988; 35(6): 1187-206. Zenel JA Jr. Failure to thrive: a general pediatrician's perspective. Pediatr Rev. 1997; 18: 371-378. Sherry B. Epidemiology of inadequate growth. In: Kessler DB, Dawson P, eds. Failure to thrive and pediatric undernutrition: a transdisciplinary approach. Baltimore: Brookes. 1999: 19-36.
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
WHO. Failure To Thrive : a manual for physicians and other senior health workers Child Health / WHO. CDR 95 (2005). Levy Y, Levy A, Zangen T, et al. Diagnostic clues for identification of nonorganic vs organic causes of food refusal and poor feeding. J Pediatr Gastroenterol Nutr. Mar 2009; 48(3): 355-62. Wright CM. Identification and management of failure to thrive: a community perspective. Arch Dis Child. 2000; 82: 5-9. Hay WW. Current pediatric diagnosis and treatment. 15th ed. Norwalk, Conn.: Appleton & Lange. 2001: 250. Sills RH. Failure to thrive. The role of clinical and laboratory evaluation. Am J Dis Child. Oct 1978; 132(10): 9679. Maggioni A, Lifshitz F. Nutritional management of failure to thrive. Pediatr Clin North Am. Aug 1995; 42(4): 791-810. Reif S, Beler B, Villa Y. Long-term follow-up and outcome of infants with non-organic failure to thrive. Isr J Med Sci. Aug 1995; 31(8): 483-9.
BAB VI DIARE AKUT Bambang Subagyo & Nurtjahjo Budi Santoso
Ilustrasi Kasus Seorang anak berumur 4 tahun diperiksa ke poliklinik karena mencret sejak dua hari yang lalu. BAB sehari 6 kali cair, tak ada darah, tak ada lendir, dan muntah 1 kali. Saat dilakukan pemeriksaan fisik anak tampak rewel, lahap ketika diberi minum. Mata tampak cekung, turgor kulit lemah. Di rumah diberi minum biasa ditambah sup asam, tanpa diberi obat.
Pendahuluan Diare akut masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak di negara berkembang. Terdapat banyak penyebab diare akut pada anak. Pada sebagian besar kasus penyebabnya adalah infeksi akut intestinum yang disebabkan oleh virus, bakteri atau parasit, akan tetapi berbagai penyakit lain juga dapat menyebabkan diare akut, termasuk sindroma malabsorpsi. Diare karena virus umumnya bersifat self limiting, sehingga aspek terpenting yang harus diperhatikan adalah mencegah terjadinya dehidrasi yang menjadi penyebab utama kematian dan menjamin asupan nutrisi untuk mencegah gangguan pertumbuhan akibat diare. Diare menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektolit dan sering disertai dengan asidosis metabolik karena kehilangan basa.1,2,3 Di Indonesia penyakit diare menjadi beban ekonomi yang tinggi disektor kesehatan oleh karena rata – rata sekitar 30 % dari jumlah tempat tidur yang ada di rumah sakit ditempati oleh bayi dan anak dengan penyakit diare selain itu juga di pelayanan kesehatan primer, diare masih menempati urutan kedua dalam urutan 10 penyakit terbanyak dipopulasi.4 Diare juga erat hubungannya dengan kejadian kurang gizi. Setiap episod diare dapat menyebabkan kekurangan gizi oleh karena adanya anoreksia dan berkurangnya kemampuan menyerap sari makanan, sehingga apabila episodnya berkepanjangan akan berdampak terhadap pertumbuhan dan kesehatan anak.5
Definisi
Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali perhari, disertai perubahan konsistensi tinja mejadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah yang berlangsung kurang dari satu minggu. Pada bayi yang minum ASI sering frekuensi buang air besarnya lebih dari 3 – 4 kali per hari, keadaan ini tidak dapat disebut diare, tetapi masih bersifat fisiologis atau normal. Selama berat badan bayi meningkat normal, hal tersebut tidak tergolong diare, tetapi merupakan intoleransi laktosa sementara akibat belum sempurnanya perkembangan saluran cerna. Untuk bayi yang minum ASI secara eksklusif definisi diare yang praktis adalah meningkatnya frekuensi buang air besar atau konsistensinya menjadi cair yang menurut ibunya abnormal atau tidak seperti biasanya. Kadang – kadang pada seorang anak buang air besar kurang dari 3 kali perhari, tetapi konsistensinya cair, keadaan ini sudah dapat disebut diare.6,7,8
Epidemiologi Diare masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang termasuk di Indonesia dan merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan tertinggi pada anak, terutama usia di bawah 5 tahun. Di dunia, sebanyak 6 juta anak meninggal tiap tahunnya karena diare dan sebagian besar kejadian tersebut terjadi di negara berkembang. Sebagai gambaran 17% kematian anak di dunia disebabkan oleh diare sedangkan di Indonesia, hasil Riskesdas 2007 diperoleh bahwa diare masih merupakan penyebab kematian bayi yang terbanyak yaitu 42% dibanding pneumonia 24%, untuk golongan 1-4 tahun penyebab kematian karena diare 25,2% dibanding pneumonia 15,5%.2,5,9
Cara Penularan dan Faktor Risiko Cara penularan diare pada umumnya melalui cara fekal – oral yaitu melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh enteropatogen, atau kontak langsung tangan dengan penderita atau barang-barang yang telah tercemar tinja penderita atau tidak langsung melalui lalat. ( melalui 4 F = finger, flies, fluid, field).10,11,12 Faktor resiko yang dapat meningkatkan penularan enteropatogen antara lain : tidak memberikan ASI secara penuh untuk 4 – 6 bulan pertama kehidupan bayi, tidak memadainya penyediaan air bersih, pencemaran air oleh tinja, kurangnya sarana kebersihan (MCK), kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk, penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak higienis dan cara penyapihan yang tidak baik. Selain hal-hal tersebut, beberapa faktor pada penderita dapat meningkatkan kecenderungan untuk dijangkiti diare antara lain : gizi buruk, imunodefisiensi, berkurangnya keasaman lambung, menurunnya motilitas usus, menderita campak dalam 4 minggu terakhir dan faktor genetik.8,11,13
1.
Faktor umur Sebagian besar episode diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan. Insidensi tertinggi terjadi pada kelompok umur 6 – 11 bulan pada saat diberikan makanan pendamping ASI. Pola ini menggambarkan kombinasi efek penurunan kadar antibodi ibu, kurangnya
kekebalan aktif bayi, pengenalan makanan yang mungkin terkontaminasi bakteri tinja dan kontak langsung dengan tinja manusia atau binatang pada saat bayi mulai merangkak. Kebanyakan enteropatogen merangsang paling tidak sebagian kekebalan melawan infeksi atau penyakit yang berulang, yang membantu menjelaskan menurunnya insiden penyakit pada anak yang lebih besar dan pada orang dewasa.1,4,14
2. Infeksi asimtomatik Sebagian besar infeksi usus bersifat asimtomatik dan proporsi asimtomatik ini meningkat setelah umur 2 tahun dikarenakan pembentukan imunitas aktif. Pada infeksi asimtomatik yang mungkin berlangsung beberapa hari atau minggu, tinja penderita mengandung virus, bakteri atau kista protozoa yang infeksius. Orang dengan infeksi asimtomatik berperan penting dalam penyebaran banyak enteropatogen terutama bila mereka tidak menyadari adanya infeksi, tidak menjaga kebersihan dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain.7,14,15
3. Faktor musim Variasi pola musiman diare dapat terjadi menurut letak geografis. Didaerah sub tropik, diare karena bakteri lebih sering terjadi pada musim panas, sedangkan diare karena virus terutama rotavirus puncaknya terjadi pada musim dingin. Didaerah tropik (termasuk Indonesia), diare yang disebabkan oleh rotavirus dapat terjadi sepanjang tahun dengan peningkatan sepanjang musim kemarau, sedangkan diare karena bakteri cenderung meningkat pada musim hujan.3,14,16
4. Epidemi dan pandemi Vibrio cholera 0.1 dan Shigella dysentriae 1 dapat menyebabkan epidemi dan pandemi yang mengakibatkan tingginya angka kesakitan dan kematian pada semua golongan usia. Sejak tahun 1961, kolera yang disebabkan oleh V. Cholera 0.1 biotipe Eltor telah menyebar ke negara-negara di Afrika, Amerika Latin, Asia, Timur Tengah dan di beberapa daerah di Amerika Utara dan Eropa. Dalam kurun waktu yang sama Shigella dysentriae tipe 1 menjadi penyebab wabah yang besar di Amerika Tengah dan terakhir di Afrika Tengah dan Asia Selatan. Pada akhir tahun 1992, di kenal strain baru Vibrio cholera 0139 yang menyebabkan epidemi di Asia dan lebih dari 11 negara mengalami wabah.2,14,17
Etiologi Pada saat ini, dengan kemajuan di bidang teknik laboratorium kuman-kuman patogen telah dapat diidentifikasikan dari penderita diare sekitar 80 % pada kasus yang datang disarana
kesehatan dan sekitar 50 % kasus ringan di masyarakat. Pada saat ini telah dapat diidentifikasi tidak kurang dari 25 jenis mikroorganisme yang dapat menyebabkan diare pada anak dan bayi. Penyebab infeksi utama timbulnya diare umumnya adalah golongan virus, bakteri dan parasit. Dua tipe dasar dari diare akut oleh karena infeksi adalah non inflammatory dan inflammatory.1,2,8 Enteropatogen menimbulkan non inflammatory diare melalui produksi enterotoksin oleh bakteri, destruksi sel permukaan villi oleh virus, perlekatan oleh parasit, perlekatan dan / atau translokasi dari bakteri. Sebaliknya inflammatory diare biasanya disebabkan oleh bakteri yang menginvasi usus secara langsung atau memproduksi sitotoksin.3,4,18 Beberapa penyebab diare akut yang dapat menyebabkan diare pada manusia adalah sebagai berikut :
Golongan Bakteri : 1. Aeromonas 2. Bacillus cereus 3. Campylobacter jejuni 4. Clostridium perfringens 5. Clostridium defficile 6. Escherichia coli 7. Plesiomonas shigeloides Golongan Virus :
8. Salmonella 9. Shigella 10. Staphylococcus aureus 11. Vibrio cholera 12. Vibrio parahaemolyticus 13. Yersinia enterocolitica
1. Astrovirus 2. Calcivirus (Norovirus, Sapovirus) 3. Enteric adenovirus 4. Coronavirus Golongan Parasit :
5. 6. 7. 8.
1. 2. 3. 4.
Balantidium coli Blastocystis homonis Cryptosporidium parvum Entamoeba histolytica
Rotavirus Norwalk virus Herpes simplex virus * Cytomegalovirus *
5. Giardia lamblia 6. Isospora belli 7. Strongyloides stercoralis 8. Trichuris trichiura
Sumber = Nelson Textbook of Pediatric3
* umumnya berhubungan dengan diare hanya pada penderita imunocompromised
Di negara berkembang kuman patogen penyebab penting diare akut pada anak-anak yaitu: Rotavirus, Escherichia coli enterotoksigenik, Shigella, Campylobacter jejuni dan Cryptosporidium. Patogenesis terjadinya diare yang disebabkan virus yaitu virus yang menyebabkan diare pada manusia secara selektif menginfeksi dan menghancurkan sel-sel ujung-ujung villus pada
usus halus. Biopsi usus halus menunjukkan berbagai tingkat penumpulan villus dan infiltrasi sel bundar pada lamina propria. Perubahan-perubahan patologis yang diamati tidak berkorelasi dengan keparahan gejala-gejala klinis dan biasanya sembuh sebelum penyembuhan diare. Mukosa lambung tidak terkena walaupun biasanya digunakan istilah “gastroenteritis”, walaupun pengosongan lambung tertunda telah didokumentasi selama infeksi virus Norwalk. Virus akan menginfeksi lapisan epithelium di usus halus dan menyerang villus di usus halus. Hal ini menyebabkan fungsi absorbsi usus halus terganggu. Sel-sel epitel usus halus yang rusak diganti oleh enterosit yang baru, berbentuk kuboid yang belum matang sehingga fungsinya belum baik. Villus mengalami atrofi dan tidak dapat mengabsorbsi cairan dan makanan dengan baik. Selanjutnya, cairan dan makanan yang tidak terserap/tercerna akan meningkatkan tekanan koloid osmotik usus dan terjadi hiperperistaltik usus sehingga cairan beserta makanan yang tidak terserap terdorong keluar usus melalui anus, menimbulkan diare osmotik dari penyerapan air dan nutrien yang tidak sempurna. Pada usus halus, enterosit villus sebelah atas adalah sel-sel yang terdiferensiasi, yang mempunyai fungsi pencernaan seperti hidrolisis disakharida dan fungsi penyerapan seperti transport air dan elektrolit melalui pengangkut bersama (kotransporter) glukosa dan asam amino. Enterosit kripta merupakan sel yang tidak terdiferensiasi, yang tidak mempunyai enzim hidrofilik tepi bersilia dan merupakan pensekresi (sekretor) air dan elektrolit. Dengan demikian infeksi virus selektif sel-sel ujung villus usus menyebabkan (1) ketidakseimbangan rasio penyerapan cairan usus terhadap sekresi, dan (2) malabsorbsi karbohidrat kompleks, terutama laktosa. Pada hospes normal, infeksi ekstra-intestinal sangat jarang, walaupun penderita terganggu imun dapat mengalami keterlibatan hati dan ginjal. Kenaikan kerentanan bayi (dibanding dengan anak yang lebih tua dan orang dewasa) sampai morbiditas berat dan mortalitas gastroenteritis virus dapat berkaitan dengan sejumlah faktor termasuk penurunan fungsi cadangan usus, tidak ada imunitas spesifik, dan penurunan mekanisme pertahanan hospes nonspesifik seperti asam lambung dan mukus. Enteritis virus sangat memperbesar permeabilitas usus terhadap makromolekul lumen dan telah dirumuskan menaikkan risiko alergi makanan.6,8,10,13 Diare karena bakteri terjadi melalui salah satu mekanisme yang berhubungan dengan pengaturan transpor ion dalam sel-sel usus cAMP,cGMP, dan Ca dependen. Patogenesis terjadinya diare oleh salmonella, shigella, E coli agak berbeda dengan patogenesis diare oleh virus, tetapi prinsipnya hampir sama. Bedanya bakteri ini dapat menembus (invasi) sel mukosa usus halus sehingga depat menyebakan reaksi sistemik.Toksin shigella juga dapat masuk ke dalam serabut saraf otak sehingga menimbulkan kejang. Diare oleh kedua bakteri ini dapat menyebabkan adanya darah dalam tinja yang disebut disentri.7, 10, 12 Disamping itu penyebab diare non infeksi yang dapat menimbulkan diare pada anak antara lain : Kesulitan makan Defek Anatomis -
Malrotasi
- Penyakit Hirchsprung - Short Bowel Syndrome - Atrofi mikrovilli - Stricture Malabsorpsi - Defisiensi disakaridase - Malabsorpsi glukosa – galaktosa - Cystic fibrosis - Cholestosis - Penyakit Celiac Endokrinopati - Thyrotoksikosis - Penyakit Addison - Sindroma Adrenogenital Keracunan makanan - Logam Berat - Mushrooms Neoplasma - Neuroblastoma - Phaeochromocytoma - Sindroma Zollinger Ellison Lain -lain : -
Infeksi non gastrointestinal Alergi susu sapi Penyakit Crohn Defisiensi imun Colitis ulserosa Gangguan motilitas usus Pellagra
Sumber : Nelson Textbook of Pediatric3
Anatomi dan Patofisiologi Diare19,20,21,22,23,24,25
Anatomi a. Gaster Sel-sel epitel di gaster adalah merupakan kelenjar gaster. Terdapat 3 tipe kelenjar yaitu : cardiac, oxyntic dan pyloric. Cardiac merupakan penghasil mukus yang terletak pada perbatasan cincin gaster sampai oesophagus. Oxyntic merupakan yang paling banyak dan didapatkan pada fundus. Tipe ketiga yaitu piloric merupakan 10% permukaan mukosa gaster, ditandai adanya pits yang dalam. Dua tipe sel yang utama adalah sel penghasil mukus dan sel penghasil gastrin. Fungsi neuromuskuler gaster meliputi penyimpanan, mencampur, menggilas dan melakukan kontrol terhadap pengeluaran makanan ke dalam duodenum. Sekresi gaster terdiri dari asam hidroklorid (HCl), gastrin, pepsinogen, faktor intrinsik, lipase dan mukus. Asam hidroklorid (HCl) Merupakan produksi sel tunggal dari berbagai spesies. HCl ini diproduksi oleh sel parietal. Pada bayi baru lahir, HCl diproduksi dengan cara mengubah-ubah bahan alkaline amnion yang ditelan hingga dapat mencapai pH lambung kurang dari 4. Konsentrasi HCl tertinggi terjadi pada hari ke-7 sampai hari ke-10 setelah lahir dan akan terus meningkat sampai mencapai kadar dewasa pada usia 60 sampai 90 hari. Pada bayi aterm 2 hari pertama setelah lahir, stimulasi sekresi tidak dapat meningkat dengan stimulasi pentagastrin, dan reaksi terhadap bahan-bahan histamin seperti betazole hidrochloride (histalog) tidak timbul sampai usia 1 bulan. Pentagastrin akan meningkatkan sekresi HCl mulai usia 1 minggu dan lebih besar pada bayi-bayi aterm daripada yang preterm. Respon stimuli makanan pada bayi aterm oleh HCl lambung terjadi setelah 2 jam. Sekresi asam lambung dikendalikan oleh sistem sekresi dan inhibisi. Sistem persarafan gaster ada dua yaitu pleksus myenteric dan pleksus mukosal. Pleksus myenteric menginervasi lapisan otot dan melakukan regulasi fungsi motorik. Sarafsaraf ini terdiri atas 80 sampai 90 % saraf afferen dan 10 sampai 20% saraf efferen. Pleksus mukosal terdiri dari neuropeptide transmiter seperti acetylcholin, serotonin, dan GABA dan transmiter peptide seperti bombesin, vasoactive intestinal peptide (VIP) dan substansi kalium. Gastrin Disintesis dan dilepaskan oleh sel endokrin G yang terletak pada antrum gaster. Sekresi sel G yaitu gastrin secara lokal dihambat oleh somatostatin yang berasal dari sel D yang letaknya berdekatan dengan sel G. Terdapat 2 bentuk gastrin yaitu G-17 dan G-34 dimana G-34 mempunyai waktu paruh lebih panjang. Peregangan ringan pada gaster terutama antrum akan mengaktifkan saraf VIP yang akan menghambat sekresi gastrin dengan cara melepaskan antral somatostatin dan prostaglandin E (PGE). Pada peregangan yang lebih besar terutama pada proksimal lambung akan menstimuli pelepasan cholinergic vagal gaster. Sebagian makanan dalam lambung dan protein duodenum terutama triptofan dan phenylalanin akan merangsang pelepasan gastrin. Hambatan pelepasan gastrin tidak hanya oleh somatostatin, tapi juga oleh sekretin, neurotensin, gastric inhibitory polypeptide (GIP) dan PGE. Sel-sel somatostatin yang tersebar hingga melewati usus bekerja sebagai hormon endokrin seperti halnya parakrin yang menghambat sekresi sel G. Lemak usus merupakan
perangsang utama pelepasan somatostatin, sehingga terjadi penurunan gastrin dan perlambatan pengosongan lambung. Sekretin terdapat nyata di usus halus proksimal dan dilepaskan karena pengasaman intraduodenal. Neurotensin disintesis di ileum untuk merespon lemak usus, menurunkan keasaman lambung. PGE seperti halnya somatostatin bekerja menurunkan produksi asam oleh sel parietal. Pepsinogen Diproduksi oleh sel kepala dan sel mukosa leher fundus, badan dan cardiac gaster. Fundus gaster memproduksi 4 proteinase acidic yaitu pepsinogen I atau A, pepsinogen II atau C, captensin D dan captensin A. Sekresi pepsinogen dipacu oleh stimuli cholinergic dan beta adrenergik. Perangsangan beta adrenergik diperantarai oleh cAMP dan dihambat dengan propanolol, tidak oleh atropin atau cimetidine. Stimuli cholinergic dihambat oleh atropin dan mengikuti perubahan Ca intrasel. Pepsinogen juga dirangsang secara langsung oleh histamin, cholesystokinin (CCK), sekretin dan VIP. CCK bekerja melalui pelepasan Ca intrasel, sedangkan sekretin dan VIP bekerja melalui cAMP. Somatostatin dan PGE menghambat sekresi pepsinogen dengan menurunkan cAMP. Faktor intrinsik Merupakan glikoprotein yang diproduksi oleh sel parietal di mukosa oxyntic badan dan fundus gaster. Faktor intrinsik didapatkan pada jaringan gaster fetus pada usia kehamilan 11 minggu. Sekresi kontinyu sedikit demi sedikit terjadi di bawah kondisi basal oleh transpor membran vesikuler. Peningkatan sekresi distimuli oleh agent penginduksi sekresi sel parietal seperti histamin, acetylcholin, dan gastrin. Puncak pelepasan terjadi 25 sampai 30 menit. Sekresi dihambat oleh H2 reseptor antagonis. Pada bayi aterm atau pretem sekresi basal ini tidak tergantung sekresi asam gestasi atau kelebihan nutrisi enteral. Disosiasi stimuli pelepasan asam dan faktor intrinsik secara baik terdapat pada usia anak mulai berjalan. Sekresi faktor ini mendekati kadar dewasa pada usia 3 bulan.
Lipase gaster Aktifitas lipase pada semua usia maksimal di badan gaster dan minimal di antrum. Meski pH optimun 5.5 tetapi lipase aktif bekerja dalam 1 jam setelah lahir, dan pelepaskan lipolytic intragaster merangsang sekresi CCK; pelepasan asam lemak rantai sedang menyebabkan absorbsi lemak langsung segera di gaster.4
Mukus gaster
Epitel gaster dan sekresi sel mukus pit merupakan gel mukus tak larut air yang membentuk lapisan kontinyu dan berfungsi protektif. Sintesis mucin dan volume total mukus meningkat dengan stimuli oleh histamin, acetylcholin dan gastrin. Mukus bekerja sebagai barier difusi terhadap pepsin luminal dan HCl. Kerusakan lapisan mukosa menyebabkan difusi kembali asam peptide dan kehilangan gradien pH bikarbonat, yang penting untuk mempertahankan integritas epitel dan pembentukan epitel yang baru.
b. Usus halus Memanjang dari pilorus hingga cecum. Pada neonatus memiliki panjang 275 cm dan tumbuh mencapai 5 sampai 6 meter pada dewasa. Epitel usus halus tersusun atas lapisan tunggal sel kolumnar disebut juga enterosit. Permukaan epitel ini menjadi 300 kali lebih luas dengan adanya vilus dan kripta. Vilus berbeda dalam bentuk dan densitas pada masing-masing regio usus halus. Di duodenum vilus tersebut lebih pendek, lebih lebar dan lebih sedikit; menyerupai bentuk jari dan lebih tinggi pada jejunum; serta menjadi lebih kecil dan lebih meruncing di ileum. Densitas terbesar didapatkan di jejunum. Di antara vilus tersebut terdapat kripta (Lieberkuhn) yang merupakan tempat proliferasi enterosit dan pembaharuan epitel. Terdapat perbedaan tight junction antara jejunum dan ileum, tight junction ini berperan penting dalam regulasi permeabilitas epitel dengan melakukan kontrol terhadap aliran air dan solut paraseluler.
Sel goblet Merupakan sel penghasil mukus yang terpolarisasi. Mukus yang disekresi sel goblet menghampar di atas glikokaliks berupa lapisan yang kontinyu, membentuk barier fisikokimia, memberi perlindungan pada epitel permukaan. Mukus ini paling banyak didapatkan pada gaster dan duodenum.
Sel kripta Sel kripta yang tidak berdiferensiasi merupakan tipe sel yang paling banyak terdapat di kripta Lieberkuhn. Merupakan prekursor sel penyerap vilus, sel paneth, sel enteroendokrine, sel goblet dan mungkin juga sel M. Sel kripta yang tidak berdiferensiasi ini mensintesis dan mengekspresikan komponen sekretori pada membran basolateral, dimana molekul ini bertindak sebagai reseptor untuk sintesis IgA oleh lamina propria sel plasma.
Sel Paneth Terdapat di basis kripte. Memiliki granula eosinophilic sitoplasma dan basophil. Granula lisosom dan zymogen didapatkan juga pada sitoplasma, meskipun fungsi sekretori sel panet
belum diketahui. Diduga berperan dalam membunuh bakteri dengan lisosom dan imunoglobulin intrasel, menjaga keseimbangan flora normal usus. Sel enteroendokrin Merupakan sekumpulan sel khusus neurosekretori, sel enteroendokrin terdapat di mukosa saluran cerna, melapisi kelenjar gaster, vilus dan kripta usus. Sel enteroendokrin mensekresi neuropeptide seperti gastrin, sekretin, motilin, neurotensin, glukagon, enteroglukagon, VIP, GIP, neurotensin, cholesistokinin dan somatostatin. Sel M Merupakan sel epitel khusus yang melapisi folikel limfoid.4,25
c.
Usus besar Terdiri atas sekum, appendik, kolon, rektum dan anus. Mukosa usus besar bertambah dengan adanya plika semilunar yang irreguler dan adanya kripta tubuler Lieberkuhn. Tidak terdapat vilus pada usus besar. Baik permukaan mukosa dan kripta dilapisi oleh sel epitel kolumnar (kolonosit) dan sel goblet yang membatasi dari jaringan mesenkim lamina propria. Kolonosit memiliki mikrovilus lebih sedikit dan lebih pendek daripada usus halus. Epitel bagian bawah kripta terdiri atas proliferasi sel kolumnar yang tidak berdiferensiasi, sel goblet dan sedikit sel endokrin. Morfologi sel goblet dan sel endokrin mirip seperti pada usus halus. Sel kolumnar penyerap berasal dari sel imatur dari bagian bawah kripta yang berdiferensiasi dan bermigrasi ke bagian atas kripta, akhirnya akan dilepaskan dari permukaan mukosa ke dalam lumen. Proses siklus pembaharuan sel ini berlangsung 3 sampai 8 hari pada manusia. Kripta dikelilingi oleh sarung fibroblas dalam lamina propria, mengalami proliferasi dan migrasi secara sinkron dengan migrasi sel epitel. Jumlah total sel terbanyak pada kripta kolon desenden, menurun secara progresif di sepanjang kolon transversum dan kolon desenden dan meningkat lagi pada sekum.
Mekanisme Diare1,4,6,7,10,11,12,13,15,18,26,27 Secara umum diare disebabkan 2 hal yaitu gangguan pada proses absorbsi atau sekresi. Terdapat beberapa pembagian diare: 1. 2.
3.
Pembagian diare menurut etiologi Pembagian diare menurut mekanismenya yaitu gangguan a. Absorbsi b. Gangguan sekresi. Pembagian diare menurut lamanya diare a. Diare akut yang berlangsung kurang dari 14 hari. b. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan etiologi non-infeksi.
c. Diare persisten yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan etiologi infeksi. Kejadian diare secara umum terjadi dari satu atau beberapa mekanisme yang saling tumpang tindih. Menurut mekanisme diare maka dikenal: Diare akibat gangguan absorpsi yaitu volume cairan yang berada di kolon lebih besar daripada kapasitas absorpsi. Disini diare dapat terjadi akibat kelainan di usus halus, mengakibatkan absorpsi menurun atau sekresi yang bertambah. Apabila fungsi usus halus normal, diare dapat terjadi akibat absorpsi di kolon menurun atau sekresi di kolon meningkat. Diare dapat juga dikaitkan dengan gangguan motilitas, inflamasi dan imunologi.
1.
Gangguan absorpsi atau diare osmotik. Secara umum terjadi penurunan fungsi absorpsi oleh berbagai sebab seperti celiac sprue, atau karena: a. b. c.
mengkonsumsi magnesium hidroksida defisiensi sukrase-isomaltase adanya laktase defisien pada anak yang lebih besar adanya bahan yang tidak diserap, menyebabkan bahan intraluminal pada usus halus bagian proksimal tersebut bersifat hipertonis dan menyebabkan hiperosmolaritas. Akibat perbedaan tekanan osmose antara lumen usus dan darah maka pada segmen usus jejenum yang bersifat permeabel, air akan mengalir ke arah lumen jejenum, sehingga air akan banyak terkumpul air dalam lumen usus. Na akan mengikuti masuk ke dalam lumen, dengan demikian akan terkumpul cairan intraluminal yang besar dengan kadar Na yang normal. Sebagian kecil cairan ini akan diabsorpsi kembali, akan tetapi lainnya akan tetap tinggal di lumen oleh karena ada bahan yang tidak dapat diserap seperti Mg, glukose, sukrose,laktose, maltose di segmen illeum dan melebihi kemampuan absorpsi kolon, sehingga terjadi diare. Bahan-bahan seperti karbohidrat dari jus buah, atau bahan yang mengandung sorbitol dalam jumlah berlebihan, akan memberikan dampak yang sama.
2. Malabsoprsi umum. Keadaan seperti short bowel syndrom, celiac, protein, peptida, tepung, asam amino dan monosakarida mempunyai peran pada gerakan osmotik pada lumen usus. Kerusakan sel (yang secara normal akan menyerap Na dan air) dapat disebabkan virus atau kuman, seperti Salmonella, Shigella atau Campylobacter. Sel tersebut juga dapat rusak karena inflammatory bowel disease idiopatik, akibat toksin atau obat-obat tertentu. Gambaran karakteristik penyakit yang menyebabkan malabsorbsi usus halus adalah atropi villi. Lebih lanjut, mikororganisme tertentu (bakteri tumbuh lampau, giardiasis, dan enteroadheren E. coli) menyebabkan malabsorbsi nutrien dengan merubah faal membran brush border tanpa merusak susunan anatomi mukosa. Maldigesti protein lengkap, karbohidrat, dan trigliserid diakibatkan insuficiensi eksokrin pankreas menyebabkan malabsorbsi yang signifikan dan mengakibatkan diare osmotik. Gangguan atau kegagalan ekskresi pankreas menyebabkan kegagalan pemecahan kompleks protein, karbohidrat, trigliserid, selanjutnya menyebabkan maldigesti, malabsorpsi dan akhirnya menyebabkan diare osmotik. Steatorrhe berbeda dengan malabsorpsi protein dan
karbohidrat dengan asam lemak rantai panjang intraluminal, tidak hanya menyebabkan diare osmotik, tetapi juga menyebabkan pacuan sekresi Cl- sehingga diare tersebut dapat disebabkan malabsorpsi karbohidrat oleh karena kerusakan difus mukosa usus, defisiensi sukrosa, isomaltosa dan defisiensi congenital laktase, pemberian obat pencahar; laktulose, pemberian Mg hydroxide (misalnya susu Mg), malabsorpsi karbohidrat yang berlebihan pada hipermotilitas pada kolon iritabel. Mendapat cairan hipertonis dalam jumlah besar dan cepat, menyebabkan kekambuhan diare. Pemberian makan/minum yang tinggi KH, setelah mengalami diare, menyebabkan kekambuhan diare. Infeksi virus yang menyebabkan kerusakan mukosa sehingga menyebabkan gangguan sekresi enzim laktase, menyebabkan gangguan absorpsi nutrisi laktose.
3. Gangguan sekresi atau diare sekretorik Hiperplasia kripta. Teoritis adanya hiperplasia kripta akibat penyakit apapun, dapat menyebabkan sekresi intestinal dan diare. Pada umumnya penyakit ini menyebabkan atrofi vili.
Luminal secretagogues Dikenal 2 bahan yang menstimulasi sekresi lumen yaitu enterotoksin bakteri dan bahan kimia yang dapat menstimulasi seperti laksansia, garam empedu bentuk dihydroxy, serta asam lemak rantai panjang. Toksin penyebab diare ini terutama bekerja dengan cara meningkatkan konsentrasi intrasel cAMP, cGMP atau Ca++ yang selanjutnya akan mengaktifkan protein kinase. Pengaktifan protein kinase akan menyebabkan fosforilasi membran protein sehingga mengakibatkan perubahan saluran ion, akan menyebabkan Cl- di kripta keluar. Di sisi lain terjadi peningkatan pompa natrium, dan natrium masuk kedalam lumen usus bersama Cl-. Bahan laksatif dapat menyebabkan bervariasi efek pada aktivitas NaK-ATPase. Beberapa diantaranya memacu peningkatan kadar cAMP intraseluler., meningkatkan permeabilitas intestinal dan sebagian menyebabkan kerusakan sel mukosa. Beberapa obat menyebabkan sekresi intestinal. Penyakit malabsorpsi seperti reseksi ileum dan penyakit Crohn dapat menyebabkan kelainan sekresi seperti menyebabkan peningkatan konsentrasi garam empedu, lemak.
Blood-Borne Secretagogues. Diare sekretorik pada anak-anak di negara berkembang, umumnya disebabkan enterotoksin E coli atau Cholera. Berbeda dengan negara berkembang, di negara maju, diare sekretorik jarang ditemukan, apabila ada kemungkinan disebabkan obat atau tumor seperti ganglioneuroma atau neuroblastoma yang menghasilkan hormon seperti VIP. Pada orang dewasa, diare sekretorik berat disebabkan neoplasma pankreas, sel non-beta yang
menghasilkan VIP, Polipeptida pankreas, hormon sekretorik lainnya (sindroma watery diarrhe hypokalemia achlorhydria (WDHA). Diare yang disebabkan tumor ini termasuk jarang.5 Semua kelainan mukosa usus, berakibat sekresi air dan mineral berlebihan pada vilus dan kripta serta semua enterosit terlibat dan dapat terjadi mukosa usus dalam keadaan normal.
4. Diare akibat gangguan peristaltik Meskipun motilitas jarang menjadi penyebab utama malabsorbsi, tetapi perubahan motilitas mempunyai pengaruh terhadap absorbsi. Baik peningkatan ataupun penurunan motilitas, keduanya dapat menyebabkan diare. Penurunan motilitas dapat mengakibatkan bakteri tumbuh lampau yang menyebabkan diare. Perlambatan transit obat-obatan atau nutrisi akan meningkatkan absorbsi. Kegagalan motilitas usus yang berat menyebabkan stasis intestinal berakibat inflamasi, dekonjugasi garam empedu dan malabsorbsi. Diare akibat hiperperistaltik pada anak jarang terjadi. Watery diare dapat disebabkan karena hipermotilitas pada kasus kolon iritable pada bayi. Gangguan motilitas mungkin merupakan penyebab diare pada thyrotoksikosis, malabsorbsi asam empedu dan berbagai penyakit lain.
5.
Diare inflamasi Proses inflamasi di usus halus dan kolon menyebabkan diare pada beberapa keadaan. Akibat kehilangan sel epitel dan kerusakan tight junction, tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah dan limphatic menyebabkan air, elektrolit, mukus, protein dan seringkali sel darah merah dan sel darah putih menumpuk dalam lumen. Biasanya diare akibat inflamasi ini berhubungan dengan tipe diare lain seperti diare osmotik dan diare sekretorik. Bakteri enteral patogen akan mempengaruhi struktur dan fungsi tight junction, menginduksi sekresi cairan dan elektrolit, dan akan mengaktiflkan kaskade inflamasi. Efek infeksi bakterial pada tight junction akan mempengaruhi susunan anatomis dan fungsi absorpsi yaitu cytoskeleton dan perubahan susunan protein. Penelitian oleh Berkes J dkk. 2003 menunjukkan bahwa peranan bakteri enteral patogen pada diare terletak pada perubahan barrier tight junction oleh toksin atau produk kuman yaitu perubahan pada cellular cytoskeleton dan spesifik tight junction. Pengaruh itu bisa pada kedua komponen tersebut atau salah satu komponen saja sehingga akan menyebabkan hipersekresi chlorida yang akan diikuti natrium dan air. Sebagai contoh C. difficile akan menginduksi kerusakan cytoskeleton maupun protein,Bacteroides fragilis menyebabkan degradasi proteolitik protein tight junction, V cholera mempengaruhi distribusi protein tight junction, sedangkan EPEC menyebabkan akumulasi protein cytoskeleton.
6. Diare terkait imunologi Diare terkait imunologi dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe I, III dan IV. Reaksi tipe I yaitu terjadi reaksi antara sel mast dengan IgE dan alergen makanan. Reaksi tipe III misalnya pada penyakit gastroenteropati, sedangkan reaksi tipe IV terdapat pada
Coeliac disease dan protein loss enteropaties. Pada reaksi tipe I, alergen yang masuk tubuh menimbulkan respon imun dengan dibentuknya IgE yang selanjutnya akan diikat oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil. Bila terjadi aktivasi akibat pajanan berulang dengan antigen yang spesifik, sel mast akan melepaskan mediator seperti histamin, ECF-A, PAF, SRA-A dan prostaglandin. Pada reaksi tipe III terjadi reaksi komplek antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah yang mengaktifkan komplemen. Komplemen yang diaktifkan kemudian melepaskan Macrophage Chemotactic Factor yang akan merangsang sel mast dan basofil melepas berbagai mediator. Pada reaksi tipe IV terjadi respon imun seluler, disini tidak terdapat peran antibodi. Antigen dari luar dipresentasikan sel APC(Antigen Presenting Cell) ke sel Th1 yang MHC-II dependen. Terjadi pelepasan berbagai sitokin seperti MIF, MAF dan IFN-γ oleh Th1. Sitokin tersebut akan mengaktifasi makrofag dan menimbulkan kerusakan jaringan. Berbagai mediator diatas akan menyebabkan luas permukaan mukosa berkurang akibat kerusakan jaringan, merangsang sekresi klorida diikuti oleh natrium dan air.
Manifestasi Klinis Infeksi usus menimbulkan tanda dan gejala gastrointestinal serta gejala lainnya bila terjadi komplikasi ekstra intestinal termasuk manifestasi neurologik. Gejala gastrointestinal bisa berupa diare, kram perut dan muntah. Sedangkan manifestasi sistemik bervariasi tergantung pada penyebabnya.1,6,9 Penderita dengan diare cair mengeluarkan tinja yang mengandung sejumlah ion natrium, klorida, dan bikarbonat. Kehilangan air dan elektrolit ini bertambah bila ada muntah dan kehilangan air juga meningkat bila ada panas. Hal ini dapat menyebabkan dehidrasi, asidosis metabolik dan hipokalemia. Dehidrasi merupakan keadaan yang paling berbahaya karena dapat menyebabkan hipovolemia, kolaps kardiovaskuler dan kematian bila tidak diobati dengan tepat. Dehidrasi yang terjadi menurut tonisitas plasma dapat berupa dehidrasi isotonik, dehidrasi hipertonik (hipernatremik) atau dehidrasi hipotonik. Menurut derajat dehidrasinya bisa tanpa dehidrasi, dehidrasi ringan, dehidrasi sedang atau dehidrasi berat.4,8,11 Infeksi ekstraintestinal yang berkaitan dengan bakteri enterik patogen antara lain : vulvovaginitis, infeksi saluran kemih, endokarditis, osteomielitis, meningitis, pneumonia, hepatitis, peritonitis dan septik trombophlebitis. Gejala neurologik dari infeksi usus bisa berupa paresthesia (akibat makan ikan, kerang, monosodium glutamat) hipotoni dan kelemahan otot (C. botulinum).3,4,12 Manifestasi immun mediated ekstraintestinal biasanya terjadi setelah diarenya sembuh, contoh:
Tabel 6.1. Manifestasi immun mediated ekstraintestinal dan enteropatogen terkait Manifestasi
Enteropatogen terkait
Reactive arthritis
Salmonella, Shigella, Yersinia, Camphylobacter, Clostridium difficile
Guillain Barre Syndrome
Camphylobacter
Glomerulonephritis
Shigella, Camphylobacter, Salmonella
IgA nephropathy
Camphylobacter
Erythema nodusum
Yersinia, Camphylobacter, Salmonella
Hemolytic
Camphylobacter, Yersinia
anemia
Hemolytic Uremic Syndrome
S. dysentrie, E. coli
Sumber: Nelson Textbook of Pediatrics3
Bila terdapat panas dimungkinkan karena proses peradangan atau akibat dehidrasi. Panas badan umum terjadi pada penderita dengan inflammatory diare.. Nyeri perut yang lebih hebat dan tenesmus yang terjadi pada perut bagian bawah serta rektum menunjukkan terkenanya usus besar.14, 15, 17 Mual dan muntah adalah simptom yang non spesifik akan tetapi muntah mungkin disebabkan oleh karena organisme yang menginfeksi saluran cerna bagian atas seperti: enterik virus, bakteri yang memproduksi enterotoksin, Giardia, dan Cryptosporidium. Muntah juga sering terjadi pada non inflammatory diare. Biasanya penderita tidak panas atau hanya subfebris, nyeri perut periumbilikal tidak berat, watery diare, menunjukkan bahwa saluran cerna bagian atas yang terkena. Oleh karena pasien immunocompromise memerlukan perhatian khusus, informasi tentang adanya imunodefisiensi atau penyakit kronis sangat penting.11, 16, 18
Tabel 16.2. Gejala khas diare akut oleh berbagai penyebab Gejala klinik
Rotavirus
Shigella
Salmonella
ETEC
EIEC
Kolera
Masa tunas
17-72 jam
24-48 jam
6-72 jam
6-72 jam
6-72 jam
48-72 jam
++
-
++
-
Sering
+
-
Sering
-
Tenesmus kramp
Kramp
Panas Mual muntah Nyeri perut
+ Sering
++ Jarang
Tenesmus
Tenesmus kramp
Tenesmus kolik
-
Nyeri kepala
+ -
Lamanya sakit Sifat tinja
+
-
-
> 7 hari
3-7 hari
5-7 hari
-
Variasi 2-3 hari
3 hari
Volume Sedikit
Sedikit
Sedang
>10x/hr
Sering
Banyak
Sering
Banyak
5-10x/hr
Lembek
Lembek
Sering
Lembek
Terusmenerus
Cair
Sering
Kadang
Cair
+
Cair
-
Busuk
-
Tidak
-
Langu
Merahhijau
Kehijauan
+
Merahhijau
Amis khas
Frekuensi Konsistensi Darah Bau Warna
Leukosit
Kuning hijau
Lain-lain
Anorexia
+ Kejang
+ Sepsis
Sedikit
Tak berwarna Meteorismus
Infeksi sistemik
Seperti air cucian beras
Sumber : Sunoto 199117
Diagnosis 1.
Anamnesis Pada anamnesis perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut: lama diare, frekuensi, volume, konsistensi tinja, warna, bau, ada / tidak lendir dan darah. Bila disertai muntah: volume dan frekuensinya. Kencing: biasa, berkurang, jarang atau tidak kencing dalam 6 – 8 jam terakhir. Makanan dan minuman yang diberikan selama diare. Adakah panas atau penyakit lain yang menyertai seperti: batuk, pilek, otitis media, campak. Tindakan yang telah dilakukan ibu selama anak diare: memberi oralit, membawa berobat ke Puskesmas atau ke Rumah Sakit dan obat-obatan yang diberikan serta riwayat imunisasinya.3, 10, 12
2. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: berat badan, suhu tubuh, frekuensi denyut jantung dan pernapasan serta tekanan darah. Selanjutnya perlu dicari tanda-tanda utama dehidrasi: kesadaran, rasa haus dan turgor kulit abdomen dan tanda-tanda tambahan lainnya : ubun-
ubun besar cekung atau tidak, mata : cowong atau tidak, ada atau tidak adanya air mata, bibir, mukosa mulut dan lidah kering atau basah. Pernapasan yang cepat dan dalam indikasi adanya asidosis metabolik. Bising usus yang lemah atau tidak ada bila terdapat hipokalemi. Pemeriksaan ekstremitas perlu karena perfusi dan capillary refill dapat menentukan derajat dehidrasi yang terjadi.1, 3, 10 Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi dapat ditentukan dengan cara: obyektif yaitu dengan membandingkan berat badan sebelum dan selama diare. Subyektif dengan menggunakan kriteria WHO, Skor Maurice King, kriteria MMWR dan lain-lain dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 16.3. Penentuan derajat dehidrasi menurut MMWR 2003 Simptom
Minimal atau tanpa dehidrasi kehilangan BB < 3%
Dehidrasi Ringan Sedang, Kehilangan BB 3 % - 9 %
Kesadaran
Baik
Normal, lelah, gelisah, irritable
Apathis, letargi, tidak sadar
Denyut jantung
Normal
Normal - meningkat
Takikardi, bradikardia pada kasus berat
Kualitas nadi
Normal
Normal – melemah
Lemah, kecil, tidak teraba
Pernapasan
Normal
Normal – cepat
Dalam
Mata
Normal
Sedikit cowong
Sangat cowong
Air mata
Ada
Berkurang
Tidak ada
Basah
Kering
Sangat kering
Cubitan kulit
Segera kembali
Kembali < 2 detik
Kembali > 2 detik
Capillary refill
Normal
Memanjang
Memanjang, minimal
Extremitas
Hangat
Dingin
Dingin, mottled, sianotik
Kencing
Normal
Berkurang
Minimal
Mulut lidah
dan
Dehidrasi Berat Kehilangan BB > 9%
Sumber : adapatasi dari Duggan C, Santosham M, Glaso RI, MMWR 1992 dan WHO 1995
Tabel 16.4. Penentuan derajat dehidrasi menurut WHO 1995
Penilaian 1. Lihat : keadaan
A
umum
B
Baik, sadar
C
* Gelisah, rewel
* Lesu, lunglai atau
mata
tidak sadar
air mata mulut dan lidah rasa haus
Normal
Cekung
Ada
Tidak ada
Basah
Kering
Minum biasa tidak haus
Sangat dan
cekung
kering Sangat kering
* Haus, ingin
* Malas atau
minum banyak
minum
tidak bisa minum 2. Periksa : turgor kulit
Kembali cepat
* Kembali lambat
* Kembali sangat lambat
3. Hasil pemeriksaan :
Tanpa dehidrasi
Dehidrasi ringan / sedang Bila ada 1 tanda * ditambah 1 atau lebih tanda lain
4. Terapi :
Rencana Terapi A
Rencana Terapi B
Dehidrasi berat
Bila ada 1 tanda * ditambah 1 atau lebih tanda lain Rencana Terapi C
Sumber : adapatasi dari Duggan C, Santosham M, Glaso RI, MMWR 1992 dan WHO 1995
Tabel 16.5. Penentuan derajat dehidrasi menurut sistim pengangkaan – Maurice King (1974) Bagian tubuh yang diperiksa
Nilai untuk gejala yang ditemukan 0
1 cengeng,
2
Keadaan umum
Sehat
Gelisah, ngantuk
apatis,
Mengigau, koma atau syok
Kekenyalan kulit
Normal
Sedikit kurang
Sangat kurang
Mata
Normal
Sedikit cekung
Sangat cekung
Ubun-ubun besar
Normal
Sedikit cekung
Sangat cekung
Mulut
Normal
Kering
Kering & sianosis
Denyut mnt
nadi/
Kuat < 120
Sedang (120-140)
Lemah > 140
Sumber : Sunoto 199117
Hasil yang didapat pada penderita diberi angka 0, 1 atau 2 sesuai dengan tabel kemudian dijumlahkan. Nilai: 0 – 2 = Ringan
3 – 6 = Sedang
7 – 12 = Berat
3. Laboratorium Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut pada umumnya tidak diperlukan, hanya pada keadaan tertentu mungkin diperlukan misalnya penyebab dasarnya tidak diketahui atau ada sebab-sebab lain selain diare akut atau pada penderita dengan dehidrasi berat. Contoh : pemeriksaan darah lengkap, kultur urine dan tinja pada sepsis atau infeksi saluran kemih. Pemeriksaan laboratorium yang kadang-kadang diperlukan pada diare akut : Darah : darah lengkap, serum elektrolit, analisa gas darah, glukosa darah, kultur dan tes kepekaan terhadap antibiotika. Urine : urine lengkap, kultur dan test kepekaan terhadap antibiotika. Tinja : Pemeriksaan makroskopik: Pemeriksaan makroskopik tinja perlu dilakukan pada semua penderita dengan diare meskipun pemeriksaan laboratorium tidak dilakukan. Tinja yang watery dan tanpa mukus atau darah biasanya disebabkan oleh enterotoksin virus, protozoa atau disebabkan oleh infeksi diluar saluran gastrointestinal. Tinja yang mengandung darah atau mukus bisa disebabkan infeksi bakteri yang menghasilkan sitotoksin, bakteri enteroinvasif yang menyebabkan peradangan mukosa atau parasit usus seperti : E. histolytica, B. coli dan T. trichiura. Apabila terdapat darah biasanya bercampur dalam tinja kecuali pada infeksi dengan E. Histolytica darah sering terdapat pada permukaan tinja dan pada infeksi EHEC terdapat garis-garis darah pada tinja. Tinja yang berbau busuk didapatkan pada infeksi dengan Salmonella, Giardia, Cryptosporidium dan Strongyloides.2,7,17
Tabel 16.6. Test laboratorium tinja yang digunakan untuk mendeteksi enteropatogen Test Laboratorium
Organisme diduga / identifikasi
Mikroskopik : Lekosit pada tinja
Invasive atau bakteri yang memproduksi sitotoksin
Trophozoit, kista, oocysts, spora
G. lamblia, E. histolytika, Cryptosporidium, I. belli, Cyclospora
Rhabditiform lava
Stongyloides
Spiral atau basil gram (-) berbentuk S
Camphylobacter jejuni
Kultur tinja: Standard
E. coli, Shigella, Salmonella, Camphylobacter jejuni
Spesial
Y. enterocolitica, V. cholerae, V. parahaemolyticus, C. difficile, E. coli, O 157 : H 7
Enzym imunoassay atau latex aglutinasi
Rotavirus, G. lamblia, enteric adenovirus, C. difficile
Serotyping
E. coli, O 157 : H 7, EHEC, EPEC
Latex aglutinasi setelah broth enrichment
Salmonella, Shigella
Test yang dilakukan di laboratorium riset
Bakteri yang memproduksi toksin, EIEC, EAEC, PCR untuk genus yang virulen
Sumber: Suparto10
Pemeriksaan mikroskopik: Pemeriksaan mikroskopik untuk mencari adanya lekosit dapat memberikan informasi tentang penyebab diare, letak anatomis serta adanya proses peradangan mukosa. Lekosit dalam tinja diproduksi sebagai respon terhadap bakteri yang menyerang mukosa kolon. Lekosit yang positif pada pemeriksaan tinja menunjukkan adanya kuman invasif atau kuman yang memproduksi sitotoksin seperti Shigella, Salmonella, C. jejuni, EIEC, C. difficile, Y. enterocolitica, V. parahaemolyticus dan kemungkinan Aeromonas atau P. shigelloides. Lekosit yang ditemukan pada umumnya adalah lekosit PMN, kecuali pada S. typhii lekosit mononuklear. Tidak semua penderita kolitis terdapat lekosit pada tinjanya, pasien yang terinfeksi dengan E. histolytica pada umumnya lekosit pada tinja minimal. Parasit yang menyebabkan diare pada umumnya tidak memproduksi lekosit dalam jumlah banyak. Normalnya tidak diperlukan pemeriksaan untuk mencari telur atau parasit kecuali terdapat riwayat baru saja bepergian kedaerah resiko tinggi, kultur tinja negatif untuk enteropatogen, diare lebih dari 1 minggu atau pada pasien immunocompromised. Pasien yang dicurigai menderita diare yang disebabkan giardiasis, cryptosporidiosis, isosporiasis dan strongyloidiasis dimana pemeriksaan tinja negatif, aspirasi atau biopsi duodenum atau yeyunum bagian atas mungkin diperlukan. Karena organisme ini hidup di saluran cerna bagian atas, prosedur ini lebih tepat daripada pemeriksaan spesimen tinja. Biopsi duodenum adalah metoda yang spesifik dan sensitif untuk diagnosis giardiasis, strongylodiasis dan protozoa yang membentuk spora. E. hystolitica dapat didiagnosis
dengan pemeriksaan mikroskopik tinja segar. Trophozoit biasanya ditemukan pada tinja cair sedangkan kista ditemukan pada tinja yang berbentuk. Tehnik konsentrasi dapat membantu untuk menemukan kista amuba. Pemeriksaan serial mungkin diperlukan oleh karena ekskresi kista sering terjadi intermiten. Sejumlah tes serologis amubiasis untuk mendeteksi tipe dan konsentrasi antibodi juga tersedia. Serologis test untuk amuba hampir selalu positif pada disentri amuba akut dan amubiasis hati. Kultur tinja harus segera dilakukan bila dicurigai terdapat Hemolytic Uremic Syndrome, diare dengan tinja berdarah, bila terdapat lekosit pada tinja, KLB diare dan pada penderita immunocompromised. Oleh karena bakteri tertentu seperti : Y. enterocolitica, V. cholerae, V. Parahaemolyticus, Aeromonas, C. difficile, E. coli 0157: H7 dan Camphylobacter membutuhkan prosedur laboratorium khusus untuk identifikasinya, perlu diberi catatan pada label apabila ada salah satu dicurigai sebagai penyebab diare yang terjadi. Deteksi toksin C. difficile sangat berguna untuk diagnosis antimikrobial kolitis. Proctosigmoidoscopy mungkin membantu dalam menegakkan diagnosis pada penderita dengan simptom kolitis berat atau penyebab inflammatory enteritis syndrome tidak jelas setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium pendahuluan.9, 10, 18
Terapi Departemen Kesehatan mulai melakukan sosialisasi Panduan Tata Laksana Pengobatan Diare pada balita yang baru didukung oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia, dengan merujuk pada panduan WHO. Tata laksana ini sudah mulai diterapkan di rumah sakit-rumah sakit. Rehidrasi bukan satu-satunya strategi dalam penatalaksanaan diare.28,29,30 Memperbaiki kondisi usus dan menghentikan diare juga menjadi cara untuk mengobati pasien. Untuk itu, Departemen Kesehatan menetapkan lima pilar penatalaksanaan diare bagi semua kasus diare yang diderita anak balita baik yang dirawat di rumah maupun sedang dirawat di rumah sakit, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5.
Rehidrasi dengan menggunakan oralit baru Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut ASI dan makanan tetap diteruskan Antibiotik selektif Nasihat kepada orang tua Rehidrasi dengan oralit baru, dapat mengurangi rasa mual dan muntah. Berikan segera bila anak diare, untuk mencegah dan mengatasi dehidrasi. Oralit formula lama dikembangkan dari kejadian luar biasa diare di Asia Selatan yang terutama disebabkan karena disentri, yang menyebabkan berkurangnya lebih banyak elektrolit tubuh, terutama natrium. Sedangkan diare yang lebih banyak terjadi akhir-akhir ini dengan tingkat sanitasi yang lebih banyak terjadi akhir-akhir ini dengan tingkat sanitasi yang lebih baik adalah disebabkan oleh karena virus. Diare karena virus tersebut tidak menyebabkan kekurangan elektrolit seberat pada disentri. Karena itu, para ahli diare mengembangkan formula baru oralit dengan tingkat osmolarits yang lebih rendah. Osmolaritas larutan baru
lebih mendekati osmolaritas plasma, sehingga kurang menyebabkan risiko terjadinya hipernatremia. Oralit baru ini adalah oralit dengan osmolaritas yang rendah. Keamanan oralit ini sama dengan oralit yang selama ini digunakan, namun efektivitasnya lebih baik daripada oralit formula lama. Oralit baru dengan low osmolaritas ini juga menurunkan kebutuhan suplementasi intravena dan mampu mengurangi pengeluaran tinja hingga 20% serta mengurangi kejadian muntah hingga 30%. Selain itu, oralit baru ini juga telah direkomendasikan oleh WHO dan UNICEF untuk diare akut non-kolera pada anak.31, 32, 33
Tabel 16.7. Komposisi Oralit Baru Oralit Baru Osmolaritas Rendah
Mmol/liter
Natrium
75
Klorida
65
Glucose, anhydrous
75
Kalium
20
Sitrat
10
Total Osmolaritas
245
Sumber: WHO 200633
Ketentuan pemberian oralit formula baru: a. Beri ibu 2 bungkus oralit formula baru b. Larutkan 1 bungkus oralit formula baru dalam 1 liter air matang, untuk persediaan 24 jam. c. Berikan larutan oralit pada anak setiap kali buang air besar, dengan ketentuan sebagai berikut: Untuk anak berumur < 2 tahun : berikan 50-100 ml tiap kali BAB Untuk anak 2 tahun atau lebih : berikan 100-200 ml tiap BAB d. Jika dalam waktu 24 jam persediaan larutan oralit masih tersisa, maka sisa larutan harus dibuang. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut. Zinc mengurangi lama dan beratnya diare. Zinc juga dapat mengembalikan nafsu makan anak. Penggunaan zinc ini memang popular beberapa tahun terakhir karena memiliki evidence based yang bagus. Beberapa penelitian telah membuktikannya. Pemberian zinc yang dilakukan di awal masa diare selama 10 hari ke depan secara signifikan menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien. Lebih lanjut, ditemukan bahwa pemberian zinc pada pasien anak penderita kolera dapat menurunkan durasi dan jumlah tinja/cairan yang dikeluarkan.
Zinc termasuk mironutrien yang mutlak dibutuhkan untuk memelihara kehidupan yang optimal. Meski dalam jumlah yang sangat kecil, dari segi fisiologis, zinc berperan untuk pertumbuhan dan pembelahan sel, anti oksidan, perkembangan seksual, kekebalan seluler, adaptasi gelap, pengecapan, serta nafsu makan. Zinc juga berperan dalam sistem kekebalan tubuh dan merupakan mediator potensial pertahanan tubuh terhadap infeksi. Dasar pemikiran penggunaan zinc dalam pengobatan diare akut didasarkan pada efeknya terhadap fungsi imun atau terhadap struktur dan fungsi saluran cerna dan terhadap proses perbaikan epitel saluran cerna selama diare. Pemberian zinc pada diare dapat meningkatkan aborpsi air dan elektrolit oleh usus halus, meningkatkan kecepatan regenerasi epitel usus, meningkatkan jumlah brush border apical, dan meningkatkan respon imun yang mempercepat pembersihan patogen dari usus. Pengobatan dengan zinc cocok diterapkan di negara-negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki banyak masalah terjadinya kekurangan zinc di dalam tubuh karena tingkat kesejahteraan yang rendah dan daya imunitas yang kurang memadai. Pemberian zinc dapat menurunkan frekuensi dan volume buang air besar sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya dehidrasi pada anak. Dosis zinc untuk anak-anak: Anak di bawah umur 6 bulan : 10 mg (1/2 tablet) per hari Anak di atas umur 6 bulan
: 20 mg (1 tablet) per hari
Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut meskipun anak telah sembuh dari diare. Untuk bayi, tablet zinc dapat dilarutkan dengan air matang, ASI, atau oralit. Untuk anak-anak yang lebih besar, zinc dapat dikunyah atau dilarutkan dalam air matang atau oralit.34, 35, 36 ASI dan makanan tetap diteruskan sesuai umur anak dengan menu yang sama pada waktu anak sehat untuk mencegah kehilangan berat badan serta pengganti nutrisi yang hilang. Pada diare berdarah nafsu makan akan berkurang. Adanya perbaikan nafsu makan menandakan fase kesembuhan.37 Antibiotik jangan diberikan kecuali ada indikasi misalnya diare berdarah atau kolera. Pemberian antibiotik yang tidak rasional justru akan memperpanjang lamanya diare karena akan mengganggu keseimbangan flora usus dan Clostridium difficile yang akan tumbuh dan menyebabkan diare sulit disembuhkan. Selain itu, pemberian antibiotik yang tidak rasional akan mempercepat resistensi kuman terhadap antibiotik, serta menambah biaya pengobatan yang tidak perlu. Pada penelitian multipel ditemukan bahwa telah terjadi peningkatan resistensi terhadap antibiotik yang sering dipakai seperti ampisilin, tetrasiklin, kloramfenikol, dan trimetoprim sulfametoksazole dalam 15 tahun ini. Resistensi terhadap antibiotik terjadi melalui mekanisme berikut: inaktivasi obat melalui degradasi enzimatik oleh bakteri, perubahan struktur bakteri yang menjadi target antibiotik dan perubahan permeabilitas membrane terhadap antibiotik.38 Nasihat pada ibu atau pengasuh: Kembali segera jika demam, tinja berdarah,berulang, makan atau minum sedikit, sangat haus, diare makin sering, atau belum membaik dalam 3 hari.28, 29
Infeksi usus pada umumnya self limited, tetapi terapi non spesifik dapat membantu penyembuhan pada sebagian pasien dan terapi spesifik, dapat memperpendek lamanya sakit dan memberantas organisme penyebabnya. Dalam merawat penderita dengan diare dan dehidrasi terdapat beberapa pertimbangan terapi : 1. 2. 3. 4.
Terapi cairan dan elektrolit Terapi diit Terapi non spesifik dengan antidiare Terapi spesifik dengan antimikroba
Walaupun demikian, berdasarkan penelitian epidemiologis di Indonesia dan negara berkembang lainnya, diketahui bahwa sebagian besar penderita diare biasanya masih dalam keadaan dehidrasi ringan atau belum dehidrasi. Hanya sebagian kecil dengan dehidrasi lebih berat dan memerlukan perawatan di sarana kesehatan. Perkiraan secara kasar menunjukkan dari 1000 kasus diare yang ada di masyarakat, 900 dalam keadaan dehidrasi ringan, 90 dalam keadaan dehidrasi sedang dan 10 dalam keadaan dehidrasi berat, 1 diantaranya disertai komplikasi serta penyakit penyerta yang penatalaksanaannya cukup rumit. Berdasarkan data diatas, sesuai dengan panduan WHO, pengobatan diare akut dapat dilaksanakan secara sederhana yaitu dengan terapi cairan dan elektrolit per-oral serta melanjutkan pemberian makanan, sedangkan terapi non spesifik dengan anti diare tidak direkomendasikan dan terapi antibiotika hanya diberikan bila ada indikasi. Pemberian cairan dan elektrolit secara parenteral hanya untuk kasus dehidrasi berat.28, 29, 30
1.
Pengobatan diare tanpa dehidrasi TRO (Terapi Rehidrasi Oral) Penderita diare tanpa dehidrasi harus segera diberi cairan rumah tangga untuk mencegah dehidrasi, seperti: air tajin, larutan gula garam, kuah sayur-sayuran dan sebagainya. Pengobatan dapat dilakukan di rumah oleh keluarga penderita. Jumlah cairan yang diberikan adalah 10 ml/kgBB atau untuk anak usia < 1 tahun adalah 50 – 100 ml, 1 – 5 tahun adalah 100 – 200 ml, 5 – 12 tahun adalah 200 – 300 ml dan dewasa adalah 300 – 400 ml setiap BAB. Untuk anak dibawah umur 2 tahun cairan harus diberikan dengan sendok dengan cara 1 sendok setiap 1 sampai 2 menit. Pemberian dengan botol tidak boleh dilakukan. Anak yang lebih besar dapat minum langsung dari cangkir atau gelas dengan tegukan yang sering. Bila terjadi muntah hentikan dulu selama 10 menit kemudian mulai lagi perlahan-lahan misalnya 1 sendok setiap 2 – 3 menit. Pemberian cairan ini dilanjutkan sampai dengan diare berhenti. Selain cairan rumah tangga ASI dan makanan yang biasa dimakan tetap harus diberikan. Makanan diberikan sedikit-sedikit tetapi sering (lebih kurang 6 kali sehari) serta rendah serat. Buah-buahan diberikan terutama pisang. Makanan yang merangsang (pedas, asam, terlalu banyak lemak) jangan diberikan dulu karena dapat menyebabkan diare bertambah berat. Bila dengan cara pengobatan ini diare tetap berlangsung atau bertambah
hebat dan keadaan anak bertambah berat serta jatuh dalam keadaan dehidrasi ringansedang, obati dengan cara pengobatan dehidrasi ringan – sedang.28, 29, 30
2. Pengobatan diare dehidrasi ringan – sedang : TRO (Terapi Rehidrasi Oral) Penderita diare dengan dehidrasi ringan–sedang harus dirawat di sarana kesehatan dan segera diberikan terapi rehidrasi oral dengan oralit. Jumlah oralit yang diberikan 3 jam pertama 75 cc/kgBB. Bila berat badannya tidak diketahui, meskipun cara ini kurang tepat, perkiraan kekurangan cairan dapat ditentukan dengan menggunakan umur penderita, yaitu : untuk umur < 1 tahun adalah 300 ml, 1 – 5 tahun adalah 600 ml, > 5 tahun adalah 1200 ml dan dewasa adalah 2400 ml. Rentang nilai volume cairan ini adalah perkiraan, volume yang sesungguhnya diberikan ditentukan dengan menilai rasa haus penderita dan memantau tanda-tanda dehidrasi. Bila penderita masih haus dan masih ingin minum harus diberi lagi. Sebaliknya bila dengan volume diatas kelopak mata menjadi bengkak, pemberian oralit harus dihentikan sementara dan diberikan minum air putih atau air tawar. Bila oedem kelopak mata sudah hilang dapat diberikan lagi. Apabila oleh karena sesuatu hal pemberian oralit tidak dapat diberikan secara per-oral, oralit dapat diberikan melalui nasogastrik dengan volume yang sama dengan kecepatan 20 ml/kgBB/jam. Setelah 3 jam keadaan penderita dievaluasi, apakah membaik, tetap atau memburuk. Bila keadaan penderita membaik dan dehidrasi teratasi pengobatan dapat dilanjutkan dirumah dengan memberikan oralit dan makanan dengan cara seperti pada pengobatan diare tanpa dehidrasi. Bila memburuk dan penderita jatuh dalam keadaan dehidrasi berat, penderita tetap dirawat di sarana kesehatan dan pengobatan yang terbaik adalah pemberian cairan parenteral.28, 29, 30
3. Pengobatan diare dehidrasi berat TRP (Terapi Rehidrasi Parenteral) Penderita diare dehidrasi berat harus dirawat di puskesmas atau Rumah Sakit. Pengobatan yang terbaik adalah dengan terapi rehidrasi parenteral. Pasien yang masih dapat minum meskipun hanya sedikit harus diberi oralit sampai cairan infus terpasang. Disamping itu, semua anak harus diberi oralit selama pemberian cairan intravena ( 5 ml/kgBB/jam), apabila dapat minum dengan baik, biasanya dalam 3 – 4 jam (untuk bayi) atau 1 – 2 jam (untuk anak yang lebih besar). Pemberian tersebut dilakukan untuk memberi tambahan basa dan kalium yang mungkin tidak dapat disuplai dengan cukup dengan pemberian cairan intravena. Untuk rehidrasi parenteral digunakan cairan Ringer Laktat dengan dosis 100 ml/kgBB. Cara pemberiannya untuk < 1 tahun 1 jam
pertama 30 cc/kgBB, diLanjutkan 5 jam berikutnya 70 cc/kgBB. Diatas 1 tahun ½ jam pertama 30 cc/kgBB dilanjutkan 2 ½ jam berikutnya 70 cc/kgBB. Lakukan evaluasi tiap jam. Bila hidrasi tidak membaik, tetesan I.V. dapat dipercepat. Setelah 6 jam pada bayi atau 3 jam pada anak lebih besar, lakukan evaluasi, pilih pengobatan selanjutnya yang sesuai yaitu : pengobatan diare dengan dehidrasi ringan sedang atau pengobatan diare tanpa dehidrasi.28, 29, 30
4. Cairan Rehidrasi Oral (CRO) Pada tahun 1975 WHO dan Unicef menyetujui untuk mempromosikan CRO tunggal yang mengandung (dalam mmol/L) Natrium 90, Kalium 20, Chlorida 80, Basa 30 dan Glukosa 111 (2%). Komposisi ini dipilih untuk memungkinkan satu jenis larutan saja untuk digunakan pada pengobatan diare yang disebabkan oleh bermacam sebab bahan infeksius yang disertai dengan berbagai derajat kehilangan elektrolit. Contoh diare Rotavirus berhubungan dengan kehilangan natrium bersama tinja 30 – 40 mEq/L, ETEC 50 – 60 mEq/L dan V. cholera > 90 – 120 mEq/L. CRO – WHO (Oralit) telah terbukti selama lebih dari 25 tahun efektif baik untuk terapi maupun rumatan pada anak dan dewasa dengan semua tipe diare infeksi. Walaupun demikian, dari hasil-hasil riset klinik berikutnya, pada metaanalisa mendukung penggunaan CRO yang osmolaritasnya rendah. CRO dengan osmolaritasnya yang lebih rendah berkaitan dengan muntah lebih sedikit, keluaran tinja yang lebih sedikit, berkurangnya pemberian intravena dibandingkan dengan CRO standard, pada bayi dan anak non kolera. Pada kolera tidak ada perbedaan klinik antara penderita yang diberi CRO osmolaritas rendah dengan CRO standard kecuali angka kejadian hiponatremi. Atas dasar hasil tersebut WHO dan Unicef mengadakan konsultasi tentang penggunaan CRO dengan osmolaritas lebih rendah untuk digunakan secara global. Pada tahun 2002 WHO mengumumkan CRO formula baru yang sesuai dengan rekomendasi tersebut dengan 75 mEq/L Natrium, 75 mmol/L glucosa dan osmolaritas total 245 mOsm/L. CRO formula baru ini juga direkomendasikan untuk digunakan pada anak dan dewasa dengan kolera, meskipun post marketing surveilans sedang dilakukan untuk memastikan keamanan dan indikasinya.31, 32, 39
5.
CRO baru Resep untuk memperbaiki CRO antara lain menambahkan substrat untuk kotransport natrium (contoh : asam amino glycine, alanine dan glutamin) atau substitusi glukosa dengan komplek karbohidrat (CRO berbasis beras atau cereal). Asam amino tidak menunjukkan lebih efektif dari CRO tradisional dan lebih mahal. CRO berbasis beras dapat
direkomendasikan bila cukup latihan dan penyediaan dirumah dapat dilakukan, dan mungkin sangat efektif untuk mengobati dehidrasi karena kolera. Walaupun demikian, kemudahan dan keamanan CRO paket dinegara berkembang dan secara komersial tersedia CRO dinegara maju, maka CRO standard tetap merupakan pilihan utama dari sebagian besar klinisi. Potential aditive pada CRO termasuk mampu melepaskan SCFA (amylase resistent starch derivat dari jagung) dan partially hydrolized guar gum. Mekanisme kerja yang diharapkan adalah meningkatkan uptake natrium oleh kolon terikat pada transport SCFA. Kemungkinan lain dari perbaikan komposisi CRO masa depan adalah penambahan probiotik, prebiotik, seng dan protein polimer.3, 32, 34,
6. Seng (Zinc) Defisiensi seng sering didapatkan pada anak-anak di negara berkembang dan dihubungkan dengan menurunnya fungsi imun dan meningkatnya kejadian penyakit infeksi yang serius. Seng merupakan mikronutrien komponen berbagai enzim dalam tubuh, yang penting antara lain untuk sintesis DNA. Pada sistematik review dari 10 RCT yang semuanya dilakukan di negara berkembang pada tahun 1999 didapatkan bahwa suplementasi seng dengan dosis minimal setengah dari RDA Amerika Serikat untuk seng, ternyata dapat menurunkan insiden diare sebanyak 15% dan prevalensi diare sampai 25%, kurang lebih sama dengan hasil yang dicapai upaya preventive yang lain seperti perbaikan higiene sanitasi dan pemberian ASI. Sejak tahun 2004, WHO dan UNICEF telah menganjurkan penggunaan seng pada anak dengan diare dengan dosis 20 mg perhari selama 10 – 14 hari, dan pada bayi 0,5%,. Setelah diare berhenti, pemberian tetap dilanjutkan selama 2 hari kemudian coba kembali dengan susu atau formula biasanya diminum secara bertahap selama 2 – 3 hari. Bila anak berumur 4 bulan atau lebih dan sudah mendapatkan makanan lunak atau padat, makanan ini harus diteruskan. Paling tidak 50% dari energi diit harus berasal dari makanan dan diberikan dalam porsi kecil atau sering (6 kali atau lebih) dan anak dibujuk untuk makan. Kombinasi susu formula dengan makanan tambahan seperti serealia pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik pada anak yang telah disapih. Pada anak yang lebih besar, dapat diberikan makanan yang terdiri dari : makanan pokok setempat, misalnya nasi, kentang, gandum, roti, atau bakmi. Untuk meningkatkan kandungan energinya dapat ditambahkan 5 – 10 ml minyak nabati untuk setiap 100 ml makanan. Minyak kelapa sawit sangat bagus dikarenakan kaya akan karoten. Campur makanan pokok tersebut dengan kacang-kacangan dan sayur-sayuran, serta ditambahkan tahu, tempe, daging atau ikan. Sari buah segar atau pisang baik untuk menambah kalium. Makanan yang berlemak atau makanan yang mengandung banyak gula seperti sari buah manis yang diperdagangkan, minuman ringan, sebaiknya dihindari.43, 44, 45
8. Pemberian makanan setelah diare Meskipun anak diberi makanan sebanyak dia mau selama diare, beberapa kegagalan pertumbuhan mungkin dapat terjadi terutama bila terjadi anoreksia hebat. Oleh karena itu perlu pemberian ekstra makanan yang kaya akan zat gizi beberapa minggu setelah sembuh untuk memperbaiki kurang gizi dan untuk mencapai serta mempertahankan pertumbuhan yang normal. Berikan ekstra makanan pada saat anak merasa lapar, pada keadaan semacam ini biasanya anak dapat menghabiskan tambahan 50% atau lebih kalori dari biasanya.4, 43
9. Terapi medikamentosa29, 30, 38 Berbagai macam obat telah digunakan untuk pengobatan diare seperti: antibiotika, antidiare, adsorben, antiemetik dan obat yang mempengaruhi mikroflora usus. Beberapa obat mempunyai lebih dari satu mekanisme kerja, banyak diantaranya mempunyai efek toksik sistemik dan sebagian besar tidak direkomendasikan untuk anak umur kurang dari 2 – 3 tahun. Secara umum dikatakan bahwa obat-obat tersebut tidak diperlukan untuk pengobatan diare akut.
Antibiotik Antibiotika pada umumnya tidak diperlukan pada semua diare akut oleh karena sebagian besar diare infeksi adalah rotavirus yang sifatnya self limited dan tidak dapat dibunuh dengan antibiotika. Hanya sebagian kecil (10 – 20%) yang disebabkan oleh bakteri patogen seperti V. cholera, Shigella, Enterotoksigenik E. coli, Salmonella, Camphylobacter dan sebagainya.
Tabel 16.8. Antibiotik pada diare Penyebab Kolera
Shigella dysentery
Antibiotik Pilihan
Alternatif
Tetracycline
Erythromycin
12,5 mg/kgBB
12,5 mg/kgBB
4x sehari selama 3 hari
4x sehari selama 3 hari
Ciprofloxacin
Pivmecillinam
15 mg/kgBB
20 mg/kgBB
2x sehari selama 3 hari
4x sehari selama 5 hari Ceftriaxone 50-100 mg/kgBB 1x sehari IM selama 2-5 hari
Amoebiasis
Metronidazole 10 mg/kgBB 3x sehari selama 5 hari (10 hari pada kasus berat)
Giardiasis
Metronidazole 5 mg/kg 3x sehari selama 5 hari
Sumber : WHO 200633
Obat antidiare Obat-obat ini meskipun sering digunakan tidak mempunyai keuntungan praktis dan tidak diindikasikan untuk pengobatan diare akut pada anak. Beberapa dari obat-obat ini berbahaya. Produk yang termasuk dalam kategori ini adalah : Adsorben (Contoh: kaolin, attapulgite, smectite, activated charcoal, cholestyramine). Obat-obat ini dipromosikan untuk pengobatan diare atas dasar kemampuannya untuk mengikat dan menginaktifasi toksin bakteri atau bahan lain yang menyebabkan diare serta dikatakan mempunyai kemampuan melindungi mukosa usus. Walaupun demikian, tidak ada bukti keuntungan praktis dari penggunaan obat ini untuk pengobatan rutin diare akut pada anak.
Antimotilitas (Contoh: loperamide hydrochloride, diphenoxylate dengan atropine, tinctura opii, paregoric, codein). Obat-obatan ini dapat mengurangi frekuensi diare pada orang dewasa akan tetapi tidak mengurangi volume tinja pada anak. Lebih dari itu dapat menyebabkan ileus paralitik yang berat yang dapat fatal atau dapat memperpanjang infeksi dengan memperlambat eliminasi dari organisme penyebab. Dapat terjadi efek sedatif pada dosis normal. Tidak satu pun dari obat-obatan ini boleh diberikan pada bayi dan anak dengan diare.
Bismuth subsalicylate Bila diberikan setiap 4 jam dilaporkan dapat mengurangi keluaran tinja pada anak dengan diare akut sebanyak 30% akan tetapi, cara ini jarang digunakan.
Kombinasi obat Banyak produk kombinasi adsorben, antimikroba, antimotilitas atau bahan lain. Produsen obat mengatakan bahwa formulasi ini baik untuk digunakan pada berbagai macam diare. Kombinasi obat semacam ini tidak rasional, mahal dan lebih banyak efek samping daripada bila obat ini digunakan sendiri-sendiri. Oleh karena itu tidak ada tempat untuk menggunakan obat ini pada anak dengan diare.
Obat-obat lain : Anti muntah. Termasuk obat ini seperti prochlorperazine dan chlorpromazine yang dapat menyebabkan mengantuk sehingga mengganggu pemberian terapi rehidrasi oral. Oleh karena itu obat anti muntah tidak digunakan pada anak dengan diare, muntah karena biasanya berhenti bila penderita telah terehidrasi. Cardiac stimulan Renjatan pada diare akut disebabkan oleh karena dehidrasi dan hipovolemi. Pengobatan yang tepat adalah pemberian cairan parenteral dengan elektrolit yang seimbang. Penggunaan cardiac stimulan dan obat vasoaktif seperti adrenalin, nicotinamide, tidak pernah diindikasikan.
Darah atau plasma
Darah, plasma atau plasma expander tidak diindikasikan untuk anak dengan dehidrasi oleh karena diare. Yang dibutuhkan adalah penggantian dari kehilangan air dan elektrolit. Walaupun demikian, terapi rehidrasi tersebut dapat diberikan untuk penderita dengan hipovolemia oleh karena renjatan septik.
Steroid Tidak memberikan keuntungan dan tidak diindikasikan.
Komplikasi1,3,12,46 Beberapa masalah mungkin terjadi selama pengobatan rehidrasi. Beberapa diataranya membutuhkan pengobatan khusus. Gangguan Elektrolit Hipernatremia Penderita diare dengan natrium plasma > 150 mmol/L memerlukan pemantauan berkala yang ketat. Tujuannya adalah menurunkan kadar natrium secara perlahan-lahan. Penurunan kadar natrium plasma yang cepat sangat berbahaya oleh karena dapat menimbulkan edema otak. Rehidrasi oral atau nasogastrik menggunakan oralit adalah cara terbaik dan paling aman. Koreksi dengan rehidrasi intravena dapat dilakukan menggunakan cairan 0,45% saline – 5% dextrose selama 8 jam. Hitung kebutuhan cairan menggunakan berat badan tanpa koreksi. Periksa kadar natrium plasma setelah 8 jam. Bila normal lanjutkan dengan rumatan, bila sebaliknya lanjutkan 8 jam lagi dan periksa kembali natrium plasma setelah 8 jam. Untuk rumatan gunakan 0,18% saline - 5% dektrosa, perhitungkan untuk 24 jam. Tambahkan 10 mmol KCl pada setiap 500 ml cairan infus setelah pasien dapat kencing. Selanjutnya pemberian diet normal dapat mulai diberikan. Lanjutkan pemberian oralit 10 ml/kgBB/setiap BAB, sampai diare berhenti.
Hiponatremia Anak dengan diare yang hanya minum air putih atau cairan yang hanya mengandung sedikit garam, dapat terjadi hiponatremi (Na< 130 mol/L). Hiponatremi sering terjadi pada anak dengan Shigellosis dan pada anak malnutrisi berat dengan oedema. Oralit aman dan efektif untuk terapi dari hampir semua anak dengan hiponatremi. Bila tidak berhasil, koreksi Na dilakukan bersamaan dengan koreksi cairan rehidrasi yaitu : memakai Ringer Laktat atau Normal Saline. Kadar Na koreksi (mEq/L) = 125 – kadar Na serum yang diperiksa dikalikan 0,6 dan dikalikan berat badan. Separuh diberikan dalam 8 jam, sisanya diberikan dalam 16 jam. Peningkatan serum Na tidak boleh melebihi 2 mEq/L/jam.
Hiperkalemia Disebut hiperkalemia jika K > 5 mEq/L, koreksi dilakukan dengan pemberian kalsium glukonas 10% 0,5 – 1 ml/kgBB i.v. pelan-pelan dalam 5 – 10 menit dengan monitor detak jantung.
Hipokalemia Dikatakan hipokalemia bila K < 3.5 mEq/L, koreksi dilakukan menurut kadar K : jika kalium 2,5 – 3,5 mEq/L diberikan per-oral 75 mcg/kgBB/hr dibagi 3 dosis. Bila < 2,5 mEq/L maka diberikan secara intravena drip (tidak boleh bolus) diberikan dalam 4 jam. Dosisnya: (3,5 – kadar K terukur x BB x 0,4 + 2 mEq/kgBB/24 jam) diberikan dalam 4 jam, kemudian 20 jam berikutnya adalah (3,5 – kadar K terukur x BB x 0,4 + 1/6 x 2 mEq x BB). Hipokalemi dapat menyebabkan kelemahan otot, paralitik ileus, gangguan fungsi ginjal dan aritmia jantung. Hipokalemi dapat dicegah dan kekurangan kalium dapat dikoreksi dengan menggunakan oralit dan memberikan makanan yang kaya kalium selama diare dan sesudah diare berhenti.
Kegagalan Upaya Rehidrasi Oral Kegagalan upaya rehidrasi oral dapat terjadi pada keadaan tertentu misalnya pengeluaran tinja cair yang sering dengan volume yang banyak, muntah yang menetap, tidak dapat minum, kembung dan ileus paralitik, serta malabsorbsi glukosa. Pada keadaan-keadaan tersebut mungkin penderita harus diberikan cairan intravena.25, 30 Kejang Pada anak yang mengalami dehidrasi, walaupun tidak selalu, dapat terjadi kejang sebelum atau selama pengobatan rehidrasi. Kejang tersebut dapat disebabkan oleh karena : hipoglikemi, kebanyakan terjadi pada bayi atau anak yang gizinya buruk, hiperpireksia, kejang terjadi bila panas tinggi, misalnya melebihi 400C, hipernatremi atau hiponatremi.
Pencegahan Upaya pencegahan diare dapat dilakukan dengan cara:
1.
Mencegah penyebaran kuman patogen penyebab diare. Kuman-kuman patogen penyebab diare umumnya disebarkan secara fekal - oral. Pemutusan penyebaran kuman penyebab diare perlu difokuskan pada cara penyebaran ini. Upaya pencegahan diare yang terbukti efektif meliputi: a. b. c. d. e. f.
2.
Pemberian ASI yang benar. Memperbaiki penyiapan dan penyimpanan makanan pendamping ASI. Penggunaan air bersih yang cukup. Membudayakan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sehabis buang air besar dan sebelum makan. Penggunaan jamban yang bersih dan higienis oleh seluruh anggota keluarga. Membuang tinja bayi yang benar.
Memperbaiki daya tahan tubuh pejamu ( host ). Cara-cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh anak dan dapat mengurangi resiko diare antara lain: a. b. c.
Memberi ASI paling tidak sampai usia 2 th. Meningkatkan nilai gizi makanan pendamping ASI dan memberi makan dalam jumlah yang cukup untuk memperbaiki status gizi anak. Imunisasi campak.
Akhir-akhir ini banyak diteliti tentang peranan probiotik, prebiotik dan seng dalam pencegahan diare.47
Probiotik Probiotik diberi batas sebagai mikroorganisme hidup dalam makanan yang difermentasi yang menunjang kesehatan melalui terciptanya keseimbangan mikroflora intestinal yang lebih baik. Pencegahan diare dapat dilakukan dengan pemberian probiotik dalam waktu yang panjang terutama untuk bayi yang tidak minum ASI. Pada sistematik review yang dilakukan Komisi Nutrisi ESPGHAN (Eropean Society of Gastreoenterology Hepatology and Nutrition) pada tahun 2004, didapatkan laporan-laporan yang berkaitan dengan peran probiotik untuk pencegahan diare. Saavedra dkk tahun 1994, melaporkan pada penelitiannya bahwa susu formula yang disuplementasi dengan Bifidobacterium lactis dan Streptococcus thermophilus bila diberikan pada bayi dan anak usia 5 - 24 bulan yang dirawat di Rumah Sakit dapat menurunkan angka kejadian diare dari 31% menjadi 7%, infeksi rotavirus juga berkurang dari 39% pada kelompok placebo menjadi 10 % pada kelompok probiotik. Penelitian Phuapradit P. dkk di Thailand pada tahun 1999 menunjukan bahwa bayi yang minum susu formula yang mengandung probiotik Bifidobacterium Bb 12 dan Streptococcus thermophylus lebih jarang menderita diare oleh karena infeksi rotavirus.
Oberhelman RA dkk tahun 2002 melaporkan penggunaan Lactobacillus GG di Peru pada komunitas dengan resiko tinggi diare dapat menurunkan episode diare terutama pada anakanak usia 18 – 29 bulan dibandingkan dengan placebo (4,7 v 5,9 episod/anak/thn dengan p = 0,0005), akan tetapi penelitian yang sama di Finlandia tahun 2001 tidak menemukan adanya efek proteksi pada konsumsi jangka lama susu formula yang disuplementasi dengan probiotik. D’Souza dkk tahun 2002 melaporkan bahwa probiotik jika diberikan bersama-sama dengan antibiotika mengurangi resiko”Antibiotic Associated Diaorrhea”. Kemungkinan mekanisme efek probiotik dalam pencegahan diare melalui: perubahan lingkungan mikro lumen usus (pH, oksigen), produksi bahan anti mikroba terhadap beberapa patogen usus, kompetisi nutrien, mencegah adhesi kuman patogen pada enterosit, modifikasi toksin atau reseptor toksin efek trofik terhadap mukosa usus melalui penyediaan nutrien dan imunomodulasi. Disimpulkan bahwa beberapa probiotik potential mempunyai efek protektif terhadap diare, tetapi masih diperlukan penelitian dan evaluasi lebih lanjut termasuk efektifitas dan keamanannya, walaupun sejauh ini penggunaan probiotik pada percobaan klinis dikatakan aman. Surveilans diperlukan untuk mencari kemungkinan efek samping seperti infeksi pada kelompok resiko tinggi antara lain bayi prematur dan pasien immuno compromised.48, 49
Prebiotik Prebiotik bukan merupakan mikroorganisme akan tetapi bahan makanan. Umumnya kompleks karbohidrat yang bila dikonsumsi dapat merangsang pertumbuhan flora intestinal yang menguntungkan kesehatan. Oligosacharida yang ada didalam ASI dianggap sebagai prototipe prebiotik oleh karena dapat merangsang pertumbuhan Lactobacilli dan Bifidobacteria didalam kolon bayi yang minum ASI. Data menunjukan angka kejadian diare akut lebih rendah pada bayi yang minum ASI. Tetapi pada dua penelitian RCT di Peru th. 2003, bayi-bayi dikomunitas yang diberi cereal yang disuplementasi dengan Fruktooligosakarida ( FOS ) tidak menunjukan penurunan angka kejadian diare. Penemuan lain yang dilakukan di Yogyakarta pada tahun 1998, suatu penelitian RCT yang melibatkan 124 penderita diare dengan tanpa melihat penyebabnya menunjukkan adanya perbedaan bermakna lamanya diare, dimana pada penderita yang mendapat FOS lebih pendek masa diarenya dibanding placebo48. Rekomendasi penggunaannya untuk aspek pencegahan diare akut masih perlu menunggu penelitian-penelitian selanjutnya. 49,50
Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.
Dit. Jen PPM, PLP Dep. Kes. RI. PMPD. Buku Ajar Diare. 1996. Parashar UD, Hummelman EG, Breese JS, Miller MA, Glass RI. Global illnes and death caused by rotavirus disease in children. Emerging Infection Disease. 2006; 9:565-572. Pickering LK, Snyder JD. Gastroenteritis in Behrman, Kliegman, Jenson eds. Nelson Textbook of Pediatrics 17 ed. Saunders. 2004 :1272-6. Widayana IW, Gandi. Konsistensi pelaksanaan program serta morbiditas dan mortalitas diare di era otonomi dan krisis. Kumpulan makalah Kongres Nasional II BKGAI Bandung. 2003: 45-54. Firmansyah A. Pengaruh malnutrisi terhadap saluran cerna tikus putih: penelitian khusus pada perkembangan morfologid, biokimiawi, dan fisiologis terutama kolon. Disertasi. 1992;13-20. Rhoads JM, Powell DW. Diarrhea. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Smith JA eds. Pediatric gastrointestinal disease and pathophysiology, diagnosis and management. BC Decker Inc. 1991: 65-73. Soeparto P, Djupri LS, Sudarmo SM, Ranuh IRG. Diare. Dalam: Soeparto P, Djupri LS, Sudarmo SM, Ranuh IRG eds. Gangguan absorbsi-sekresi sindroma diare. Graha masyarakat ilmiah kedokteran FK Unair. 1999:1-36. Sunoto, Sutoto, Soeparto P, Soenarto Y, Ismail R. Pedoman Proses Belajar Mengajar Diare, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular. 1990. Hoekstra JH. Acute Gastroenteritis in industriliazed countries : compliance with guidelines for treatment. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2001; 33:531-5. Suparto P. Sumbangan dan peran kaum profesional dalam mendukung program penyakit saluran cerna di era otonomi.Kumpulan makalah Kongres Nasional II BKGAI Bandung. 2003: 17-27. Tolia V. Acute infections diarrhea in children. Current treatment option in infections diseases. 2002; 4:183-94. Vanderhoof JA. Diarrhe. Dalam: Wyllie R, Hyams JS eds. Pediatric gastrointestinal disease pathophysiology, diagnosis and management. WB Saunders Co. 1993:187-95. Pickering LK, Cleary TG. Approach to patients with gastrointestinal tract infection and food poisoning in Feigin RD. Cherry JC eds. Textbook of Pediatric infectious diseases 4 Ed WB Saunders Co. 1998; 1:567-94. Breese J, Fang, Wang BLE, Soenarto Y, Nelson EA, Tam J, Wilopo SA, Kilgore P. First report from the asian rotavirus survaillance network. Emerg Infect Dis. 2004; 10(6): 988-955. Field M. Intestinal ion transport and the pathophysiology of diarrhea. Didapat dari: http://www.jci.orig. Soenarto, Y. Rotavirus Disease Burden in Indonesia. Grand Round: Melbourne. 2007. Sunoto. Penyakit radang usus: infeksi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Balai Penerbit FKUI. 1991; I:448-66. Rahmat H. Kebijakan Nasional pemberantasan penyakit menular langsung dan oralit formula baru. Kumpulan makalah Kongres Nasional II BKGAI Bandung. 2003: 91-7. Antonsun DL. Anatomy and physiology of the small and large intestine. Dalam: Wyllie R, Hyams JS eds. Pediatric gastrointestinal disease pathophysiology, diagnosis and management. WB Saunders Co. 1993: 479-91. Berkes J, Viswanathan VK, Savkovic SD, Hecht G. Intestinal ephitel to enteric pathogens: effects on tight junction barrier, ion transport, and inflammation. Didapat dari: http://gut.bmjjournals.com/ Burke V. Mechanisms of intestinal digestion and absorption. Dalam: Gracey M, Burke V eds. Gastroenterology and hepatology 3rd. Blackwell scientific publication Inc. 1993:150-6. Desjeux JF. Transport water and ions. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Smith JA eds. Pediatric gastrointestinal disease and pathophysiology, diagnosis and management. BC Decker Inc. 1991: 312-18. Guyton AC, Hall JE. Transport ion dan molekul melalui sel. Dalam: Guyton AC, Hall JE eds. Buku ajar fisiologi kedokteran. EGC. 1997: 55-69. Lake AM. Anatomy and physiology of stomatch. Dalam: Wyllie R, Hyams JS eds. Pediatric gastrointestinal disease pathophysiology, diagnosis and management. WB Saunders Co. 1993: 405-11. Weaver LT. Anatomy and embryology. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Smith JA eds. Pediatric gastrointestinal disease and pathophysiology, diagnosis and management. BC Decker Inc. 1991: 405-11. Brueton MJ. Immunology of the gastrointestinal tract. Dalam: Gracey M, Burke V eds. Gastroenterology and hepatology 3rd. Blackwell scientific publication Inc. 1993: 224-32. Reaksi hipersensitivitas. Dalam: Baratawidjaya KG ed. Imunologi Dasar. BPFKUI, 2002;135-49. American academy of pediatric. The management of acute gastroenteritis in young children. Pediatrics. 1996; 97: 1-20. Duggan C, Santosham M, Glass RI. The management of acute diarrhea in children : oral rehydration, maintenance and nutritional therapy. MMWR. 1992; 41 (RR-16) : 1-20.
30. King CK, Glass R, Bresee JS, Duggan C. Managing acute gastroenteritis among child ; oral rehydration, maintenance and nutritional therapy. MMWR. 2003; 52 (RR16): 1-16. 31. Guarino A et al. Oral rehydration toward a real solution. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2001 ; 33 : 2 – 12. 32. Hans S et al. Reduced osmolarity oral rehydration solution for treating dehydration due to diarrhea in children : systematic review. BMJ. 2001; 325: 81-5. 33. WHO, UNICEF. Oral Rehydration Salt Production of the new ORS. Geneva. 2006. 34. Altaf Waseef MD. Zinc Supplementaion in Oral Rehydration Solution : Experimental Assesment and Mechanisms of Action. Journal of the American College of Nutrition. Orlando. 2001. 35. Baqui AH et al. Effect of zinc supplementation started during diarrhea on morbidity and mortality in Bangladeshi children : Community randomized trial. BMJ. 2002; 325:1-7. 36. Lukacik M., Ronald L. Thomas., Jacob V. Aranda. A Meta-Analysis of the effect of Oral Zinc in the Treatment of Acute and Persistent Diarrhea. 2007. 37. Sandhu BK. Practical guidelines for the management of gastroenteritis in children. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2001; 33: 36-9. 38. Dwiprahasto, I. Penggunaan Antidiare ditinjau dari Aspek Terapi Rasional. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. 2003; 9(2): 94-101. 39. Duggan C et al. Oral rehydration solution for acute diarrhea prevents subsequent unscheduled follow up visits. Pediatrics. 1999; 104 (3): 29-33. 40. Bao Bin. Zinc Modulates mRNA levels of cytokines. Am J Physiol Endocrinol Metab. Michigan. 2003. 41. Sazawal S et al. Zinc supplementation in young children with acute diarrhea in India. N Engl J Med. 1995; 333: 839-44. 42. Yamey G. Zinc supplementation prevents diarrhea and pneumonia. BMJ 1999 : 1521 – 3. 43. Brown KH and Mac Lean W.C. Nutritional management of acute diarrhea : an appraisal of the alternatives. Pediatrics. 1984; 73: 2: 119-125. 44. Sandhu BK. Rationale for early feeding in childhood gastroenteritis. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2001; 33: 136. 45. WHO. The treatment of diarrhea : a manual for physicians and other senior health workers Child Health / WHO. CDR 95 (1995). 46. WHO. Hospital Care for Children. Geneva. 2005. 47. Kandun IN. Upaya pencegahan diare ditinjau dari aspek kesehatan masyarakat. 48. Juffrie M, et al. The effect of fructooligosaccharide (FOS) in children with diarrhea. J of the Medical Sciences.2007;39:47-53. 49. Agostoni C et al. Medical position paper. Probiotic bacteria in dietetic product for infants : A commentary by ESPGHAN committee on nutrition. J Pediatr Gastroenerol Nutr 2004 : 38 : 365 – 74. 50. Szajewska H and Mrukowics JZ. Probiotic in the treatment and prevention of acute infectious diarrhea in infants and children : A systematic review of published randomized, double blind, placebo controlled trials. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2001 ; 33 : 17 – 25.
BAB VII DIARE KRONIS DAN DIARE PERSISTEN Yati Soenarto
Ilustrasi Kasus Anak perempuan usia 23 bulan dengan keluhan BAB cair kurang lebih 5 kali sehari dan sudah berlangsung selama 15 hari. Diare dimulai dengan tinja cair tanpa darah/lendir, demam, muntah 2-3X/hari, oralit yang diberikan selalu dimuntahkan, sehingga dirawat oleh karena dehidrasi berat. Pemeriksaan fisik menunjukkan suhu tubuh 37,8°C, status gizi baik, anak didiagnosis diare cair akut dengan dehidrasi berat. Anak diperbolehkan pulang setelah dirawat 2 hari, dikarenakan sudah tidak dehidrasi, tidak muntah, tidak demam, walaupun BAB masih 3-4 kali, lembek. Ibu juga sudah dapat melakukan semua penanganan yang akan dilakukan di rumah, apabila diare belum sembuh. Ibu juga sudah diberi penjelasan tentang penyakitnya dan memahaminya. Sepuluh hari kemudian, Ibu datang kembali dengan keluhan diare belum sembuh, berak lebih sering, cair, berbau asam, berbuih, sampai “berengan” kulit sekitar anus berwarna merah. Selama 10 hari di rumah setelah kunjungan pertama, setiap kali diberi minum susu, anak diare, kembung, kadang-kadang muntah. Apabila susu dihentikan, gejala-gejala membaik, oleh karena itu ibu menghentikan susu dan mengurangi makan. Pemeriksaan fisik menunjukkan anak tidak demam, tidak ada tanda-tanda dehidrasi, tetapi mata kelihatan lebih cowong. Berat badan berada di persentil 3 kurva BB//TB, padahal sebelum kena serangan diare, berat badan & tinggi badan anak normal.
Pertanyaan 1. Diagnosis apa yang paling mungkin pada anak ini? 2. Bagaimana anda mengkonfirmasi diagnosis tersebut? 3. Bagaimana tatalaksana pasien ini?
Pendahuluan Diare merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas anak di dunia yang menyebabkan 1,6-2,5 juta kematian pada anak tiap tahunnya, serta merupakan 1/5 dari seluruh penyebab kematian. Survei Kesehatan Rumah Tangga di Indonesia menunjukkan penurunan angka kematian bayi akibat diare dari 15,5% (1986) menjadi 13,95% (1995). Penurunan angka kematian akibat diare juga didapatkan pada kelompok balita berdasarkan survei serupa, yaitu 40% (1972), menjadi 16% (1986) dan 7,5% (2001).1,2
Penurunan mortalitas ini merupakan salah satu wujud keberhasilan ORS (Oral Rehydration Salt) untuk manajemen diare. Akan tetapi, penurunan angka mortalitas akibat diare tidak sebanding dengan penurunan angka morbiditasnya. Studi meta-analisis yang dilakukan oleh Kosek et al. menunjukkan bahwa angka kejadian diare akut cenderung tetap dari tahun ke tahun. Di negara berkembang setiap anak mengalami rata-rata tiga episode diare akut tiap tahunnya, sedangkan di Indonesia sebesar 1,3 kali per tahun. Berdasarkan Survei Kesehatan Nasional yang dilakukan tahun 2003-2004 dilaporkan prevalensi diare pada anak sebesar 11%.2,3 Di Indonesia penurunan angka mortalitas yang signifikan terjadi sejak tahun 1970-an saat ORS mulai dimasyarakatkan. Akan tetapi, manfaat manajemen ORS ini kurang terlihat pada diare persisten sehingga angka kematian akibat diare ini cenderung tetap.2, 4
Definisi Definisi diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih lunak atau lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali dalam 24 jam. Dalam referensi lain disebutkan bahwa definisi diare untuk bayi dan anak-anak adalah pengeluaran tinja >10 g/kg/24 jam, sedangkan rata-rata pengeluaran tinja normal pada bayi sebesar 5-10 g/kg/24 jam. Diare umumnya dibagi menjadi diare akut dan diare yang berkepanjangan (kronis dan/atau persisten). Diare kronis dan diare persisten seringkali dianggap suatu kondisi yang sama.5,6 Ghishan menyebutkan diare kronis sebagai suatu episode diare lebih dari 2 minggu, sedangkan kondisi serupa yang disertai berat badan menurun atau sukar naik oleh WalkerSmith et al. didefinisikan sebagai diare persisten.5,6 Di lain pihak, dasar etiologi diare kronis yang berbeda diungkapkan oleh Bhutta dan oleh The American Gastroenterological Association. Definisi diare kronis menurut Bhutta adalah episode diare lebih dari dua minggu, sebagian besar disebabkan diare akut berkepanjangan akibat infeksi, sedangkan definisi menurut The American Gastroenterological Association adalah episode diare yang berlangsung lebih dari 4 minggu, oleh etiologi non-infeksi serta memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.5,6 Bervariasinya definisi ini pada dasarnya disebabkan perbedaan kejadian diare kronis dan persisten di negara berkembang dan negara maju, dimana infeksi merupakan latar belakang tertinggi di negara berkembang, sedangkan penyebab non-infeksi lebih banyak didapatkan di negara maju. Demikian juga porsi serta prioritas penelitian maupun pembahasan lebih didominasi permasalahan diare non infeksi, antara lain karena dalam tatalaksananya, diare bentuk ini lebih banyak membutuhkan biaya.5 Akan sangat membantu apabila terdapat suatu definisi standar sehingga dapat dilakukan pembandingan antar studi serta pembuatan rekomendasi pengobatan. Di lingkungan masyarakat gastrohepatologi anak di Indonesia digunakan pengertian bahwa ada 2 jenis diare yang berlangsung ≥14 hari, yaitu diare persisten yang mempunyai dasar etiologi infeksi, serta diare kronis yang mempunyai dasar etiologi non-infeksi. Untuk selanjutnya batasan tersebut yang akan dipakai dalam bab Diare Kronis dan Diare Persisten ini.4,7
Kejadian
Diare persisten/kronis mencakup 3-20% dari seluruh episode diare pada balita. Insidensi diare persisten di beberapa negara berkembang berkisar antara 7-15% setiap tahun dan menyebabkan kematian sebesar 36-54% dari keseluruhan kematian akibat diare. Hal ini menunjukkan bahwa diare persisten dan kronis menjadi suatu masalah kesehatan yang mempengaruhi tingkat kematian anak di dunia. Meskipun penelitian epidemiologis mengenai diare persisten masih terbatas, sebuah studi komunitas di Bangladesh menunjukkan bahwa secara keseluruhan angka kejadian diare persisten masih belum menurun secara bermakna dalam rentang tahun 1980-1992. Di Indonesia, prevalensi diare persisten/kronis sebesar 0,1%, dengan angka kejadian tertinggi pada anak-anak berusia 6-11 bulan.2,9,10,11
Grafik 7.1. Insidensi Diare di Beberapa Negara Berkembang
hari
hari
hari
hari
Sumber: Bhutta7
Etiologi Sesuai dengan definisi yang digunakan dalam bab ini, terdapat perbedaan etiologi antara diare persisten dan diare kronis. Diare berkepanjangan dapat disebabkan berbagai macam kondisi. Di negara maju sebagian besar membahas penyebab non infeksi, umumnya meliputi intoleransi protein susu sapi/kedelai (pada anak usia 200ml/24jam), konsistensi tinja yang sangat cair, konsenstrasi Na+ dan Cl- >70mEq, dan tidak berespon terhadap penghentian makanan. Contoh penyebab diare sekretoris adalah Vibrio cholerae di mana bakteri mengeluarkan toksin yang mengaktivasi cAMP dengan mekanisme yang telah disebutkan sebelumnya.5
2. Osmotik Diare dengan mekanisme osmotik bermanifestasi ketika terjadi kegagalan proses pencernaan dan/atau penyerapan nutrien dalam usus halus sehingga zat tersebut akan langsung memasuki colon. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan osmotik di lumen usus sehingga menarik cairan ke dalam lumen usus. Absorpsi usus tidak hanya tergantung pada faktor keutuhan epitel saja, tetapi juga pada kecukupan waktu yang diperlukan dalam proses pencernaan dan kontak dengan epitel. Perubahan waktu transit usus, terutama bila disertai dengan penurunan waktu transit usus yang menyeluruh, akan menimbulkan gangguan absorbsi nutrien. Contoh klasik dari jenis diare ini adalah diare akibat intoleransi laktosa. Absennya enzim laktase karena berbagai sebab baik infeksi maupun non infeksi, yang didapat (sekunder) maupun bawaan (primer), menyebabkan laktosa terbawa ke usus besar dalam keadaan tidak terserap. Karbohidrat yang tidak terserap ini kemungkinan akan difermentasi oleh mikroflora sehingga terbentuk laktat dan asam laktat. Kondisi ini menimbulkan tanda dan gejala khas yaitu pH15 mg/dl, walaupun demikian jika kadar bilirubin >15 mg/dl, seluruh tubuh akan ikterik. Cara terbaik untuk melihat jaundice adalah dengan menekan kulit secara hati-hati dengan jari dibawah penerangan yang cukup. Setidaknya 1/3 bayi akan tampak jaundice. Kombinasi analisis pada beberapa penelitian besar yang melibatkan ribuan bayi berusia 1 minggu menunjukan bahwa moderate jaundice (kadar bilirubin 15 mg/dl) tampak pada 2% bayi yang mendapatkan ASI dan 0,3% bayi yang mendapat PASI. Terjadi pergeseran dimana lama rawat ibu setelah melahirkan lebih singkat. Dua dekade yang lalu, para ibu dan bayi dirawat di rumah sakit lebih dari 1 minggu setelah kelahiran normal tanpa komplikasi selama perawatan. Selama di rumah sakit, jaundice dinilai setiap hari oleh para dokter dan perawat sehingga dapat didiagnosis dan diterapi, sesuai dengan kegawatan tingginya kadar bilirubin baru-baru ini, dengan kenaikan biaya kesehatan yang begitu tinggi dan adanya organisasi pelayanan kesehatan untuk mengurangi biaya ini, lama perawatan menjadi 2 hari untuk kelahiran spontan dan 4 malam untuk kelahiran secara sectio caesaria. Banyak orang yakin bahwa dalam dekade berikutnya, lama perawatan akan menjadi 6-12 jam setelah melahirkan. Pada beberapa penelitian besar ditemukan bahwa bayi-bayi yang terlalu cepat dibawa pulang (12 mg/dl dalam waktu kapanpun, dan peningkatan fraksi bilirubin direk (>2mg/dl atau 30% dari bilirubin serum total), dalam waktu kapanpun.5,6
Gambar 15.5. Pendekatan klinis ikterus neonatus
IKTERUS NEONATUS DI BAWAH UMBILIKUS
TOTAL BILIRUBIN
IKTERUS PATOLOGIS
IKTERUS FISIOLOGIS
OBSERVASI BILIRUBIN DIREK
PERTIMBANGKAN PERIKSA ULANG BILIRUBIN TOTAL
HIPERBILIRUBINEMIA DIREK
CARI PENYEBAB DI
HIPERBILIRUBINEMIA INDIREK
SKRINING PENYAKIT HEMOLITIK
TEKSBOOK DAN EVALUASI
PADA BAYI BARU LAHIR (COOMB’S TEST, GOL DARAH)
COOMB’S TES NEGATIF
COOMB’S TES POSITIF
DX : ISOIMMUNISASI HEMOGLOBIN ATAU HEMATOKRIT - Rh - ABO - KELL, dll RENDAH ATAU NORMAL
TINGGI
ANGKA RETIKULOSIT
DX : POLISITEMIA - TRANSFUSI MATERNAL-FETAL - TWIN-TWIN TRANSFUSI - KETERLAMBATAN KLEM TALI PUSAT - HIPOKSIA INTRAUTERIN - TINGGAL DI TEMPAT TINGGI - PENYAKIT IBU (misal, DM) - KECIL MASA KEHAMILAN
NORMAL
MORFOLOGI SEL DARAH MERAH
TINGGI
DX : - PERDARAHAN EKTRAVASKULER DI JARINGAN TUBUH - KENAIKKAN SIRKULASI ENTERO HEPATAL
ABNORMAL
- GANGGUAN METABOLIK - PENGARUH HORMON ATAU OBAT-OBATAN
TIDAK SPESIFIK
DX : - ABNORMALITAS ERITROSIT - HEMOGLOBINOPATI
DIAGNOSTIK
DX : - SFEROSITOSIS - ELLIPTOSITOSIS
- DEFISIENSI ENZIM
- STOMATOSITOSIS
- HEMOLISIS
- PIKNOSITOSIS
- DIC
Ada sejumlah faktor epidemiologis yang berhubungan dengan neonatal jaundice yang telah diulas. Beberapa faktor yang berhubungan dengan peningkatan kadar bilirubin neonatus adalah jenis kelamin laki-laki, berat lahir rendah, prematuritas, etnis tertentu (Oriental, Indian Amerika, Yunani), obat-obatan pada ibu (misalnya oksitosin. Prometasin, obat yang mengandung Hidroklorida, ketuban pecah dini, penurunan berat badan setelah lahir yang cepat, keterlambatan pasase mekonium, pemberian ASI dan infeksi neonatus. Proses kelahiran dengan ekstraksi vakum meningkatkan resiko sefalhematom dan neonatal jaundice. Data yang ada menunjukan bahwa pankuronium berhubungan dengan peningkatan risiko hiperbilirubinemia. Ada hubungan yang jelas antara kadar bilirubin serum tali pusat dengan hiperbilirubinemia. Kadar bilirubin ibu saat melahirkan dan gradien bilirubin transplasenta juga mempunyai korelasi positif dengan konsentrasi bilirubin serum neonatus. Faktor lain yang berhubungan dengan penurunan kadar bilirubin neonatus, termasuk ibu perokok, ras kulit hitam dan obat-obat tertentu yang diberikan kepada ibu (termasuk fenobarbital).2,5,6
1.
Peningkatan produksi bilirubin Penyebab tersering jaundice dini adalah inkompabilitas golongan darah fetus - ibu dengan akibat isoimunisasi. Imunisasi ibu terjadi jika eritrosit bocor dari fetus ke sirkulasi maternal. Eritrosit fetus membawa antigen yang berbeda yang dikenal sebagai benda asing oleh sistem imun ibu yang membentuk antibodi untuk melawannya (sensitisasi ibu). Antibodi ini (IgG) melewati barier plasenta ke dalam sirkulasi fetal dan terikat ke eritrosit fetal. Pada inkompatibilitas Rh, sekuestrasi dan penghancuran eritrosit yang berlapis antibodi mengambil tempat dalam sistem retikuloendothelial fetus. Pada inkompabilitas ABO, hemolisis terjadi intravaskular, complement-mediated dan biasanya tidak seberat pada Rh disease, (misalnya Kell). Walaupun hemolisis berkaitan dengan peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi, fraksi bilirubin terkonjugasi juga dapat meningkat. Inkompabilitas Rh biasanya baru muncul pada kehamilan kedua. Pemeriksaan golongan darah sebelum kelahiran dan serial testing ibu-ibu dengan Rh negatif untuk pemeriksaan antibodi Rh memberikan informasi penting sebagai pedoman penanganan intrauterin. Jika antibodi Rh ibu timbul selama kehamilan, pengukuran-pengukuran yang dapat membantu termasuk amniosintesis serial (dengan pengukuran bilirubin), USG fetus, tranfusi intrauterin dan partus prematurus. Terapi profilaksis anti-D γ-globulin merupakan yang paling membantu untuk mencegah sensitisasi Rh. Bayi yang baru lahir dengan inkompabilitas Rh, tampak pucat, hepatosplenomegali dan cepat menjadi jaundice dalam umur beberapa jam. Jika masalahnya berat, bayi dapat lahir dengan edema generalisata (hidrops fetalis). Hasil pemeriksaan laboratoriumnya adalah retikulositosis, anemia, Coombs’s test (+) dan peningkatan kadar bilirubin serum yang cepat. Exchange transfusions merupakan terapi penting untuk bayi-bayi dengan kasus berat. Inkompabilitas ABO biasanya timbul pada kehamilan pertama. ABO hemolytic disease terbatas pada bayi dengan golongan darah A atau B yang lahir dari ibu dengan golongan
darah O. ABO hemolytic disease jarang timbul pada ibu dengan golongan darah A atau B. Jaundice yang timbul tidak secepat pada Rh disease, dan kadar bilirubin serum >12 mg/dl pada umur 3 hari adalah tipikal. Abnormalitas laboratorium termasuk retikulositosis (>10%) dan Coombs’s test yang (+) lemah, walaupun kadang-kadang (-). Antibodi anti A dan anti B dapat tampak pada serum sang bayi jika diperiksa pada umur beberapa hari sebelum antibodi ini menghilang dengan cepat, sferositosis merupakan gambaran tersering yang ditemukan pada sediaan apus darah tepi dari inkompabilitas ABO. Darah ekstravaskular di dalam tubuh dapat dimetabolisme dengan cepat menjadi bilirubin oleh makrofag jaringan. Contoh peningkatan produksi bilirubin termasuk sefal hematom, ekimosis, petechie dan hemorhagis, walaupun diagnosisnya seringkali dapat ditegakkan dengan pemeriksaan fisik. Perdarahan intrakranial, intestinal maupun pulmonal juga dapat menyebabkan hiperbilirubinemia. Hal yang serupa juga terjadi jika darah tertelan, yang akan dikonversi menjadi bilirubin oleh heme-oksigenase epitel intestinum. Tes Apt dapat digunakan untuk membedakan darah ibu atau darah fetus karena adanya perbedaan resistensi alkali antara Hb fetus dengan Hb orang dewasa. Polisitemia dapat menyebabkan hiperbilirubinemia, karena peningkatan jumlah sel darah merah absolut menyebabkan peningkatan produksi bilirubin melalui pemecahan eritrosit dengan kecepatan normal. Beberapa mekanisme dapat menyebabkan polisitemia neonatus (yang biasanya didefinisikan sebagai PCV >65%), seperti yang diulas oleh Danish. Selama pemisahan plasenta pada saat lahir, dapat terjadi perdarahan dari sirkulasi maternal kedalam sirkulasi fetal (maternal-fetal transfusion) atau karena keterlambatan penjepitan tali pusat. Twin-to-twin transfusion juga dapat menyebabkan polisitemia. Serupa juga hipoksia intrauterine dan penyakit-penyakit pada ibu seperti diabetes melitus dapat menyebabkan polisitemia neonatus. Terapi untuk polisitemia simtomatik adalah partial exchange-tranfusion, sedangkan untuk terapi polisitemia yang asimtomatik masih kontroversial. Jumlah abnormalitas spesifik yang berhubungan dengan eritrosit dapat menyebabkan neonatal jaundice, termasuk hemoglobinopati, defek membrane eritrosit dan enzim. Sferositosis herediter bukan merupakan masalah neonatal, tetapi krisis hemolitik dapat timbul dan tampak sebagai peningkatan kadar bilirubin dan penurunan hematokrit. Adanya riwayat keluarga dengan sferositosis, anemia atau penyakit batu empedu pada usia 12 mg/dl. Prolonged jaundice tampak pada sepertiga bayi dengan hipotiroidisme kongenital; serupa juga dengan itu, hipopituitarisme dan anensefali berhubungan dengan jaundice akibat tiroksin yang tidak adekuat, yang diperlukan untuk klirens bilirubin hepatik. Obat-obatan tertentu berpengaruh terhadap metabolisme bilirubin dan menyebabkan hiperbilirubinemia atau pergeseran bilirubin dari albumin. Penempatan ini meningkatkan risiko kernikterus dan dapat disebabkan oleh sulfonamid, moxalactam, dan seftriakson. Pankuronium bromida dan kloralhidrat dikatakan merupakan penyebab neonatal hiperbilirubinemia. Bayi dari ibu diabetes berisiko mempunyai kadar bilirubin yang lebih tinggi dan mempunyai risiko hiperbilirubinemia yang lebih tinggi dibandingkan neonatus normal. Pasien-pasien ini menunjukan korelasi yang yang positif antara bilirubin total dan hematokrit yang menandakan polisitemia. Alasan potensial lain untuk hiperbilirubinemia termasuk prematuritas, defisiensi glukoronidase (akibat hipoglikemia) dan perfusi hati yang buruk (baik akibat distress pernafasan, sirkulasi fetal persisten, maupun kardiomiopati). Sindroma Lucey-Driscoll ditandai dengan adanya riwayat neonatal hiperbilirubinemia dalam keluarga, dimana ada hambatan in vitro glukoronil transferase baik oleh serum ibu maupun bayi. Dikatakan bahwa hal ini disebabkan oleh hormon-hormon kehamilan. Seringkali prematuritas berhubungan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi pada masa neonatus. Aktifitas uridine difosfat glukoronil transferase hepatik jelas menurun pada bayi prematur atau naik sejak usia kehamilan 30 minggu sampai mencapai kadar dewasa pada 14 minggu setelah lahir. Sebagai tambahan, mungkin ada defisiensi uptake maupun
sekresi. Klirens bilirubin meningkat cepat setelah lahir. Hipoperfusi hati dapat menyebabkan neonatal jaundice. Perfusi hati yang inadekuat dapat mengganggu uptake dan metabolisme bilirubin hepatosit. Penyebabnya dapat berupa duktus venosus paten (misalnya dengan sindroma distres pernafasan), gagal jantung kongestif dan trombosis vena porta penyakit-penyakit hati spesifik juga dapat menyebabkan neonatal jaundice.2,5,6
3. Peningkatan produksi dan penurunan sekresi bilirubin Pada penyakit-penyakit neonatus dengan jaundice akibat peningkatan produksi dan penurunan ekskresi bilirubin, baik bilirubin terkonjugasi maupun bilirubin tak terkonjugasi dapat meningkat. Sepsis bakterialis meningkatkan produksi bilirubin dengan meyebabkan hemolisis eritrosit akibat hemolisis yang dihasilkan oleh kuman.2
4.
Toksisitas neonatal jaundice Kernikterus (kern = nucleus, icterus = kuning) merupakan temuan neuropatologis yang berhubungan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi berat dan dinamakan demikian karena timbulnya warna kuning pada beberapa tempat di otak, misalnya ganglia basalis, cerebelum, dan nuclei di dasar ventrikel ke IV. Manifestasi klinis yang berhubungan dengan kernikterus disebut bilirubin ensefalopati, termasuk gangguan refleks Moro, opistotonus, hipotonia, vomitus, high-pitch cry, hiperpireksia, kejang, setting sun sign, krisis okulogirik, dan kematian. Manifestasi jangka panjang berupa spastisitas, koreoatetosis, dan tuli sensorineural. Bentuk ringan bilirubin ensefalopati termasuk disfungsi kognitif dan gangguan belajar. Pada anak laki-laki 17 tahun mempunyai risiko IQ20 mg/dl. Walaupun periode neonatal merupakan waktu paling sering timbulnya kerusakan otak akibat bilirubin, efek neurotoksisitas bilirubin juga tampak pada sindroma Crigler-Najjar tipe I. Kadar absolut bilirubin serum bukanlah prediktor yang baik untuk menentukan risiko severe neonatal jaundice. Tetapi sudah lama diketahui bahwa kernikterus berhubungan dengan keadaan bilirubin >30 mg/dl dan jarang terjadi jika 35 mg/dl akan meninggal, menjadi cerebral palsy atau retardasi fisik. Sebaliknya tidak ada retardasi perkembangan yang ditemukan pada 129 orang bayi dengan kadar bilirubin 20 mg/dl, walaupun demikian bilirubin total serum bukan merupakan faktor terpenting yang berhubungan dengan risiko. Saat ini ada beberapa pemeriksaan ( saturasi albumin, kapasitas ikat bilirubin atau bilirubin bebas) yang lebih membantu dalam mengidentifikasi bayi-bayi yang berisiko untuk terkena bilirubin
ensefalopati. Pendekatan lain bertujuan untuk mengukur perubahan–perubahan dini pada SSP yang disebabkan oleh bilirubin bisa dinilai dengan brainstem auditory evoked potentials (BAEPs). Abnormalitas pada BAEP akan tampak pada bayi dengan jaundice dan akan membaik setelah exchange transfusion. Data menunjukan bahwa hiperbilirubinemia derajat sedang (SD = 14,3 2,8 mg/dl) mempengaruhi BAEPs. Tampak gambaran komponen spesifik Brazelton Neonatal Behavioral Assessment Scale, dan karakteristik tangisan. Data dari penelitian pada tikus Gunn menunjukkan bahwa perbedaan gelombang binaural (perbedaan antara 2 monoaural gelombang BAEP dan binaural BAEP) merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi toksisitas bilirubin. Evoked potential somatosensoris yang melalui ganglia basalis, suatu tempat yang sering terpengaruh kernikterus, juga menunjukan abnormalitas pada jaundice dan dianggap sebagai cara lain untuk mengawasi pengaruh bilirubin pada SSP. Tetapi, saat ini baik BAEP maupun evoked potential somatosensoris bukan merupakan pengukuran rutin untuk menilai potensi toksisitas bilirubin. 5.
Penanganan jaundice neonatorum Hiperbilirubinemia merupakan alasan paling sering bayi dibawa kembali ke rumah sakit pada umur beberapa minggu. Langkah paling penting penanganan jaundice adalah menentukan penyebabnya. Terlepas dari penyebabnya, peningkatan fraksi bilirubin tak terkonjugasi dalam serum dapat menyebabkan kernikterus seperti yang telah dibahas sebelumnya. Jika fraksi bilirubin tak terkonjugasi meningkat, langkah-langkah penanganan harus diambil adalah mencegah pemberian zat-zat yang mengikat albumin dan menggeser bilirubin sehingga menyebabkan kernikterus. Walupun sudah diketahui bahwa sulfonamid merupakan zat yang paling dapat menggeser bilirubin, obat-obat yang lebih baru misalnya seftriakson juga kuat menggeser bilirubin, sehingga potensial untuk menyebabkan bilirubin ensefalopati. Pilihan terapi untuk menurunkan kadar bilirubin tidak terkonjugasi antara lain fototerapi, exchange tranfusion, pemutusan sirkulasi enterohepatik dan induksi enzim. Pilihan-pilihan terapi ini masih terus diteliti. Fototerapi terdiri dari radiasi bayi jaundice dengan lampu energi foton yang berasal dari lampu akan merubah struktur molekul bilirubin dengan dua cara sehingga bilirubin diekskresi ke empedu atau urin tanpa membutuhkan glukuronidase hepatik seperti biasanya. Perubahan rotasi 18 di sekitar ikatan rangkap antara cincin A-B atau C-D, merubah konfigurasi Z yang normal menjadi konfigurasi E 4Z,15 E. Bilirubin di-reisomerisasi secara spontan menjadi bilirubin alami, lebih penting lagi struktur cincin ketujuh dapat dibentuk antara cincin A dan B dan menghasilkan hemirubin dan siklobilirubin. Sekarang terlihat bahwa pembentukan hemirubin terjadi melalui intermediate isomer 4E,15Z; kedua perubahan mempengaruhi ikatan hidrogen internal dalam bilirubin alami, dengan menambahkan kelompok asam propionat akan menjadi isomer E yang lebih polar dan hemirubin dapat langsung diekskresi ke dalam empedu. Tampaknya, hemirubin merupakan cara utama eliminasi bilirubin dengan fototerapi. Pilihan lampu yang digunakan masih diperdebatkan. Sinar biru khusus (atau biru super, tapi bukan biru biasa) tampaknya lebih baik dari sinar putih atau hijau, walaupun warna putih lebih tidak mengganggu terhadap paramedis. Saat ini sudah tersedia fototerapi baru menggunakan woven fiberoptic pads, yang efektif (dibandingkan dengan foto konvensional) dan aman. Secara umum fototerapi digunakan untuk mencegah supaya
bilirubin tidak mencapai kadar yang memerlukan exchange transfusion. Saat ini fototerapi banyak dilakukan di rumah, suatu praktek yang dianjurkan oleh American Academy of Pediatrics. Selain komplikasi yang telah diketahui, fototerapi sudah digunakan secara luas dan secara umum dianggap aman. Walaupun fototerapi memang mempengaruhi cardiac output dan aliran darah ke organ lain (misalnya, meningkatkan aliran darah ke otak), dan dapat dihubungkan dengan pembukaan duktus arteriosus, efek ini secara umum bukanlah masalah pada bayi yang ekstrim prematur (berat badan lahir kurang dari 800 gram). Prolonged fototherapy dan rendahnya kadar bilirubin serum (9,4 mg/dl) dikatakan berhubungan dengan kebutaan. Hal ini dapat berkaitan dengan efek langsung sinar pada mata imatur yang tidak dilindungi atau penurunan proteksi antioksidan akibat rendahnya kadar biliribin serum. Fototerapi sebaiknya tidak dilakukan tanpa sebelumnya dilakukan evaluasi diagnostik penyebab jaundice. Walaupun sudah dianjurkan agar posisi bayi diubah tiap 6 jam selama mendapat fototerapi, tetapi ada data dari suatu penelitian bahwa perubahan posisi tidak berpengaruh terhadap kadar bilirubin serum. Suatu penelitian yang melibatkan 164 bayi (beberapa di antaranya dengan jaundice hemolitik) yang mendapat fototerapi selama 121 jam tidak mengalami rebound hyperbilirubinemia. Hal serupa juga juga didapatkan pada 163 bayi matur dengan jaundice nonhemolitik yang mendapat fototerapi selama 54-65 jam. Bayi-bayi sehat cukup bulan, fototerapi dapat dihentikan jika kadar bilirubin serum sudah < 14-15 mg/dL, sehingga bayi dapat dipulangkan tanpa perlu mengamati “rebound”. Exchange tranfusion merupakan metode tercepat untuk menurunkan konsentrasi bilirubin serum. Indikasi exchange tranfusion beragam dan dapat berhubungan dengan adanya anemia maupun peningkatan kadar bilirubin serum. Pada penyakit hemolitik neonatal, indikasi tranfusi antara lain adalah anemia (hematokrit 4 mg/dl, peningkatan kadar bilirubin serum >1 mg/dl/jam selama lebih dari 6 jam, anemia progresif dan kecepatan peningkatan kadar bilirubin serum >0,5 mg/dl/jam. Kadang-kadang exchange tranfusion untuk kasus hemolisis dapat dihindari dengan menggunakan imunoglobulin intravena dosis tinggi. Indikasi exchange tranfusion atas hiperbilirubinemia sendiri adalah: (1) kadar bilirubin >15 mg/dl selama lebih dari 48 jam, (2) indeks saturasi salisilat >8,0 dan HABA binding 3,7, dan (4) rasio kadar bilirubin serum dibanding kadar protein total serum >0,7. Walaupun banyak risiko exchange tranfusion yang telah dijabarkan, angka mortalitasnya masih rendah (18
1440
Sumber:
1.0
2
0.6-12
Snyder19
Efikasi dan imunogenisitas dari kedua produk adalah sama walaupun titer geometrik ratarata anti-HAV pada VaqtaTM lebih tinggi. Dalam beberapa studi klinis kadar 20 mIU/l pada HavrixTM dan 10 mIU/l pada VaqtaTM mempunyai nilai protektif. Kadar protektif antibodi mencapai 88% dan 99% pada HavrixTM dan 95% dan 100% pada VaqtaTM pada bulan ke-1 dan ke-7 setelah imunisasi. Diperkirakan kemampuan proteksi bertahan antara 5-10 tahun atau lebih. Tidak ditemukan kasus infeksi hepatitis A dalam waktu 6 tahun setelah imunisasi. Walaupun jarang, kemungkinan reaksi anafilaksis harus diperhitungkan. Seperti pada vaksin HBV kemungkinan gejala sindroma demielinisasi pernah dilaporkan (sindroma GuillainBarre, transverse myelitis, dan multiple sclerosis), walaupun frekuensi kejadiannya tidak berbeda dibandingkan dengan populasi yang tidak divaksinasi. Indikasi imunisasi aktif: 1. Individu yang akan bekerja ke negara lain dengan prevalensi HAV sedang sampai tinggi. 2. Anak-anak 2 tahun keatas pada daerah dengan endemisitas tinggi atau periodic outbreak. 3. Homoseksual. 4. Pengguna obat terlarang, baik injeksi maupun noninjeksi, karena banyak golongan ini yang mengidap hepatitis C kronis. 5. Peneliti HAV. 6. Penderita dengan penyakit hati kronis, dan penderita sebelum dan sesudah transplantasi hati, karena kemungkinan mengalami hepatitis fulminan meningkat. 7. Penderita gangguan pembekuan darah (defisiensi faktor VIII dan IX. Vaksinasi aktif memberikan kekebalan terhadap infeksi sekunder dari kontak penderita, maupun pada saat timbul wabah. Efikasi mencapai 79% dan jumlah penderita yang divaksinasi untuk didapatkan satu kasus infeksi sekunder adalah 18:1. Rasio ini dipengaruhi oleh status imunologi dalam masyarakat. Kombinasi imunisasi pasif dan aktif dapat diberikan pada saat yang bersamaan tetapi berbeda tempat menyuntikkannya. Hal ini memberikan perlindungan segera tetapi dengan tingkat protektif yang lebih rendah. Oleh karena kekebalan dari infeksi primer adalah seumur hidup, dan lebih dari 70% orang dewasa telah mempunyai antibodi, maka imunisasi aktif HAV pada orang dewasa sebaiknya didahului dengan pemeriksaan serologis. Pemeriksaan kadar antibodi setelah vaksinasi tidak diperlukan karena tingginya angka serokonversi dan pemeriksaan tidak dapat mendeteksi kadar antibodi yang rendah.7,26,27,28
Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4.
Dienstag JL. Hepatitis A. In: Bircher J, Benhamou JP, Rizetto M, et al, Eds. Oxford Textbook of Clinical Hepatology 2nd ed. Oxford University Press. 1999: 1-15. Kekez AJ. Treatment of viral hepatitis in children. Acta medica Croatia. 2005. Tong MJ, El-Farra NS, and Grew MI. Clinical manifestation of hepatitis A: recent experience in community teaching hospital. J Infect Dis. 1995: S15-S18. Vallbracht A, Maier K, Stierhof YD, et al. Liver-derived cytotoxic T cell in hepatitis A virus infection. J Infect Dis. 1989; 160: 209-217. Citation.
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
Inman RD, Hodge M, Johnston ME, et al. Vasculitis and cryoglobulinemia associated with relapsing hepatitis A virus infection. Ann. Intern. Med. 1986; 105: 700-703. Citation. Kemmer NM, Mikovsky EP. Infection of the Liver, Hepatitis A. Infect Dis Clin North Am. 2000; 14: 1-11. Valbracht A, Gabriel P, Zahn J, et al. Hepatitis A virus infection and the interferon system. J Infect Dis. 1985; 152: 211-213. Citation. Weitz M, Siegl G. Structure and molecular virology of hepatitis A. In: Zuckerman AJ, Thomas HC. Viral Hepatitis scintific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1st ed. 1993: 21-34. Dentinger CM, Heinrich NL, Bell BP, et al. A prevalence study of hepatitis A virus infection in a migran community: Is hepatitis A vaccine indicated. J Pediatr. 2001; 138: 705-9. Leach CT, Koo FC, Hilsenbeck SG, Jenson HB. The epidemiology of viral hepatitis in children. J infectious disease. 1999; 180(2): 509-13. Han Y, Hillman M, Oren R, et al. Vasculitis and cryoglobulinemia associated with persisting cholestatic hepatitis A virus infection. Am J Gastroenterol. 1990; 85: 585-587. Citation. Koff R. Hepatitis A. Lancet. 2000; 341: 1643-1649. Margolis HS, Nainan OV. Identification of virus components in circulating immune complexes isolated during hepatitis A virus infection. Hepatology. 1990; 11: 31-37. Citation. Jacobson IM, Nath BJ, and Dienstag JL. Relapsing viral hepatitis type A. J Med Virol. 1985; 16: 163-169. Lemon SM, Binn LN. Serum neutralizing antibody response to hepatitis A virus. J Infect Dis. 1983; 148: 10331039. Citation. Sherlock S. Disease of the liver; 10nd ed. Oxford: Blackwell Scientific Publications. 1999: 1-15. Feinstone SM, Kapikian AZ, Purcell RH. Hepatitis A: Detection by immune electron microscopy of a virus like antigen associated with acute illness. Science. 1973; 182: 1026. Citation. Glikson M, Galin E, Oven R. Relapsing hepatitis A. Review of 14 cases and literature survey. Medicine. 1992; 71: 14-23. Abstract. Snyder JD, Pickering LK. Viral hepatitis. In Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson textbook of pediatrics, 16th ed, W.B. Saunders Co. 2000: 768-75. Sulaiman HA, Junitasari. Virus hepatitis A sampai E di Indonesia. Yayasan penerbitan IDI. 1995: 1-15. Heller S, Valencia-Mayoral P. Treatment of viral hepatitis in children. Archives of Medical Research. 2007; 38(6): 702-10. Keeffe EB. Clinical reviews: Is hepatitis A more severe in patient with chronic hepatitis B and other chronic liver diseases. Am J Gastro. 1995; 90: 201-05. Sathiyasekara M. Management of viral hepatitis in children. National conference of pediatric infectious disease. 2006. Schneider ZS, Mohan P. Treatment of Viral Hepatitis in Children. Children’s National Medical Center, Washington, DC, USA. 2009. Valbracht A, Gabriel P, Zahn J, et al. Cell-mediated cytotoxicity and hepatitis A virus infection. Hepatology. 1986; 6: 1308-1314. Abstract. Dotzauer A, Gebhardt U, Bieback K, et al. Hepatitis A Virus-Specific Immunoglobulin A Mediates Infection of Hepatocytes with Hepatitis A Virus via the Asialoglycoprotein Receptor. J Virol. 2000; 74: 10950-10957. Lemon SM. Type A Viral Hepatitis. In: Prieto J, Rodes J, Shafritz DA. Hepato Biliary Diseases. Berlin Springer Verlag. 1992: 495-510. Stapleton JT, Lange DK, LeDuc JW, et al. The role of secretory immunity in hepatitis A virus infection. J Infect Dis. 1991; 163: 7-11. Citation.
HEPATITIS B Pendahuluan Pada tahun 1965, Blumberg dan rekan-rekannya di Philadelphia menemukan antibodi pada darah penderita hemofilia yang bereaksi terhadap antigen pada serum dari orang Aborigin Australia. Antigen ini ditemukan pada penderita hepatitis virus dan dinamai antigen Australia yang sekarang telah diketahui sebagai HBsAg.
Virologi Virus hepatitis B (HBV) manusia (human HBV) termasuk golongan hepadnavirus tipe 1 dan merupakan virus hepadna yang pertama kali ditemukan. Hepadnavirus juga ditemukan pada marmut, tupai, dan bebek; tetapi virus yang menginfeksi binatang tersebut tidak dapat menular pada manusia. Selain manusia, Human HBV juga dapat menginfeksi simpanse. Virus hepatotropik ini mengandung DNA dengan cincin ganda sirkular yang terdiri dari 3200 nukleotida dengan diameter 42 nm dan dan terdiri dari 4 gen. HBV dapat ditemukan dalam 3 komponen yaitu partikel lengkap berdiameter 42 nm, partikel bulat berdiameter 22 nm, dan partikel batang dengan lebar 22 nm dengan panjang bervariasi sampai 200 nm. Pada sirkulasi, komponen terbanyak adalah bentuk bulat dan batang yang terdiri atas protein, cairan, dan karbohidrat yang membentuk hepatitis B surface antigen (HBsAg) dan antigen pre-S. Bagian dalam dari virion adalah core. Core dibentuk oleh selubung hepatitis B core antigen (HBcAg) yang membungkus DNA, DNA polimerase, transkriptase, dan protein kinase untuk replikasi virus. Komponen antigen yang terdapat dalam core adalah hepatitis B e antigen (HBeAg). Antigen ini menjadi petunjuk adanya replikasi virus yang terjadi pada limfosit, limpa, ginjal, pankreas, dan terutama hati. HBeAg merupakan petanda tak langsung derajat beratnya infeksi.1,2,3,4,5,6,7 Telah ditemukan beberapa genotip dan serotip antigen berdasar pada subdeterminan HBsAg. Grup “a” paling banyak terdapat pada semua isolat, dan antibodi terhadap determinan “a” ini memberi kekebalan terhadap semua serotipe HBV. Subdeterminan yang lain adalah d, y, w dan r sehingga 4 determinan utama mencakup adw, adr, ayw, dan ayr. Selain 4 subdeterminan tersebut, mutasi jangka lama juga menghasilkan 9 subtipe minor. Terdapat 7 genotipe yaitu A-G. Pembagian genotip dan serotip ini penting karena masing-masing mempunyai distribusi geografi tertentu; seperti genotip B dan C banyak didapat di Asia, A dan D di Eropa dan India, E di Afrika, F di Amerika Tengah dan Selatan, serta G di Prancis dan Amerika Utara. Genotip B dan C banyak terdapat di daerah dengan endemisitas tinggi seperti Asia, dimana penularan secara vertikal atau perinatal memegang peranan penting. Sebaliknya genotip A, D, E, F, dan G banyak terdapat di daerah dengan transmisi horisontal.1,2,3,4,5,6,7 Tabel 16.3. Daerah distribusi genotip dan serotip HBV. Genoti p A B C D E F G ?
Serotip
Daerah dominan
adw2, ayw1 adw2, ayw1 adw2, adrq+, adrq-, ayr ayw2, ayw3 ayw4 adw4q-, adw2, ayw4 adw2 Ayr
Eropa Utara, Amerika Serikat, Afrika Tengah Taiwan, Jepang, Indonesia, Cina, Vietnam Asia Tengah, Taiwan, Korea, Cina, Jepang, Polinesia, Vietnam Daerah Mediterania, India Afrika Barat Amerika Tengah dan Selatan, Polinesia Prancis, Amerika Serikat Kalimantan
Sumber: Magnius7
Epidemiologi WHO memperkirakan adanya 400 juta orang sebagai pengidap HBV pada tahun 2000. Pola prevalensi hepatitis B dibagi menjadi 3 golongan yaitu prevalensi rendah (HBsAg 0,2%-
0,5% dan anti-HBs 4%-6%), prevalensi sedang (HBsAg 2%-7% dan anti-HBs 20%-55%), dan prevalensi tinggi (HBsAg 7%-20% dan anti-HBs 70%-95%). Di negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat, dan negara-negara Skandinavia prevalensi HBsAg bervariasi antara 0,1%-0,2% sedangkan di Afrika dan Timur 10%-15%. Pada komunitas terisolasi seperti orang Eskimo di Alaska prevalensi dapat mencapai 45% dan Aborigin di Australia mencapai 85%. Pada daerah dengan endemisitas tinggi infeksi sering terjadi pada usia dini, ditularkan secara vertikal dari ibu ke anak maupun horisontal diantara anak kecil. Sebagai contoh di daerah pedesaan Senegal (Afrika Barat) angka infeksi mencapai 25% populasi pada umur 2 tahun, 50% pada umur 7 tahun, dan 80% pada umur 15 tahun. Sedangkan pada daerah dengan endemisitas sedang-tinggi antara 8%-20% infeksi terjadi pada umur yang lebih tua, ditularkan secara horisontal pada masa anak dengan kontak erat seperti penggunaan sikat gigi, pisau cukur atau berciuman, dan kontak seksual pada dewasa muda. Sebaliknya pada daerah dengan prevalensi rendah penularan secara horisontal terjadi oleh penyalahgunaan obat, penggunaan instrumen yang tidak steril pada klinik gigi, tusuk jarum, tindik daun telinga, dan tatu (tatoo). Di Indonesia pada penelitian terhadap donor darah di beberapa kota besar didapatkan angka prevalensi antara 2,5%-36,2%.8,9,10 Pada ibu yang melahirkan dengan HBeAg positif, bayi memiliki risiko tertular sebesar 90%, sedangkan bila hanya HBsAg yang positif maka risikonya 10% apabila tidak dilakukan tindakan imunoprofilaksis. Sembilan puluh persen bayi yang tertular akan berkembang menjadi infeksi kronis dan 25% akan meninggal karena penyakit hati kronis. Penularan vertikal dapat terjadi pada masa intrauterin maupun pada saat kelahiran dan masa perinatal. HBV tidak selalu didapatkan dalam air susu ibu, namun yang dikawatirkan adalah luka pada puting susu sehingga bayi menelan ASI yang mengandung darah dan HBV. Bayi dari ibu pengidap HBV yang mendapat ASI dan belum menerima imunoprofilaksis mempunyai risiko tertular hampir sama besar dengan bayi yang minum susu formula (PASI).8,9,10
Patogenesis Di Indonesia, jalur penularan infeksi VHB (virus hepatitis B) yang terbanyak adalah secara parenteral yaitu secara vertikal (transmisi) maternal-neonatal atau horisontal (kontak antar individu yang sangat erat dan lama, seksual, iatrogenik, penggunaan jarum suntik bersama). HBV dapat dideteksi pada semua sekret dan cairan tubuh manusia, dengan konsentrasi tertinggi terdapat pada serum. Infeksi terjadi apabila seseorang mendapat paparan terhadap cairan tubuh orang yang terinfeksi melalui kulit atau mukosa. Bayi dari ibu dengan HBsAg positif berisiko terinfeksi HBV, akan tetapi infeksi HBV paling sering terjadi pada bayi dengan ibu HBeAg positif atau menderita hepatitis B akut pada trimester ketiga kehamilan. Faktor-faktor yang berkaitan langsung dengan keadaan HBsAg positif pada bayi, antara lain : 1. Titer HBsAg ibu 2. Status HBeAg ibu (hampir 90% bayi yang lahir dari ibu dengan HBeAg positif menderita hepatitis B kronis; sedangkan bayi dari ibu dengan HBeAg negatif karier memiliki risiko sebesar 20%) 3. DNA HBV positif pada serum ibu
4. HBsAg positif pada darah plasenta 5. Saudara kandung dengan HBsAg positif 98% transmisi terjadi pada saat proses kelahiran, diduga melalui ingesti darah maternal oleh bayi pada saat proses kelahiran. Meskipun demikian, transmisi virus dapat terjadi in utero melalui kebocoran transplasenta (2%). HBeAg dapat menembus plasenta dari ibu ke fetus. Belum ditemukan bukti bahwa menyusui merupakan salah satu rute transmisi HBV. Bayi yang terinfeksi HBV dari ibu dengan HBsAg positif tidak akan menunjukkan manifestasi infeksi HBV secara serologis sampai berumur 1-3 bulan. Meskipun infeksi HBV perinatal memiliki manifestasi klinis yang minimal, akan tetapi 90% bayi dengan HBsAg positif akan menderita hepatitis kronis atau keadaan karier kronis. Hal ini diduga disebabkan karena sistem imun bayi yang belum matur. Hepatitis fulminan dapat terjadi pada transmisi perinatal ini, meskipun jarang terjadi (1-2%). Bayi yang terinfeksi juga memiliki risiko tinggi menderita hepatitis B kronis, sirosis, dan karsinoma hepatoseluler. Risiko terinfeksi HBV tidak hanya pada periode perinatal saja, namun bayi yang rentan berisiko terinfeksi HBV dari anggota keluarga yang lain. Infeksi posnatal dapat terjadi di lingkungan dimana banyak dijumpai karier HBsAg dan rendahnya vaksinasi. Virus hepatitis B merupakan virus nonsitopatik dan menyebabkan kerusakan jaringan melalui reaksi imunologis. Beratnya kerusakan jaringan hati menggambarkan derajat respons imunologis. Pada hepatosit yang terinfeksi oleh HBV melalui mekanisme imunitas selular terjadi eksposisi antigen virus, yaitu HBcAg dan HbeAg, pada permukaan sel yang bergabung dengan class I major histocompatibility complex (MHC I) dan menjadi target dari sel T sitotoksik (CTL) untuk terjadinya proses lisis. Partikel virus yang tidak utuh dan berasal dari sel yang lisis tidak menimbulkan infeksi, sedangkan virus utuh yang keluar akan dinetralisir oleh antibodi penetral (neutralizing antibody). Mekanisme imunologis juga berperan pada manifestasi ekstrahepatik. Kompleks imun yang mengandung HBsAg dapat menimbulkan poliarteritis nodosa, glomerulonefritis membranosa, polimialgia, vaskulitis, dan sindroma Guillain-Barre.11,12,13,14,15,16,17 Mekanisme timbulnya infeksi kronis mungkin disebabkan oleh gangguan imunologis; sehingga HBcAg dan MCH I tidak dapat dieksposisi pada permukaan sel, atau sel T sitotoksik tidak teraktivasi. Anak laki-laki lebih mudah mengalami infeksi kronis daripada anak perempuan. Selain itu umur timbulnya infeksi sangat berpengaruh terhadap kejadian infeksi kronis. Infeksi HBV dibawah umur 3 tahun lebih sering menimbulkan hepatitis kronis daripada infeksi diatas umur 3 tahun.11,12,13,14,15,16,17
Gejala Klinis 1.
Hepatitis akut Manifestasi klinis infeksi HBV cenderung ringan. Kondisi asimtomatis ini terbukti dari tingginya angka pengidap tanpa adanya riwayat hepatitis akut. Apabila menimbulkan gejala hepatitis, gejalanya menyerupai hepatitis virus yang lain tetapi dengan intensitas yang lebih berat. Gejala yang muncul terdiri atas gejala seperti flu dengan malaise, lelah, anoreksia, mual dan muntah, timbul kuning atau ikterus dan pembesaran hati; dan berakhir setelah 68 minggu. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan kadar ALT dan AST
sebelum timbulnya gejala klinis, yaitu 6-7 minggu setelah terinfeksi. Pada beberapa kasus dapat didahului gejala seperti serum sickness, yaitu nyeri sendi dan lesi kulit (urtikaria, purpura, makula dan makulopapular). Ikterus terdapat pada 25% penderita, biasanya mulai timbul saat 8 minggu setelah infeksi dan berlangsung selama 4 minggu. Gejala klinis ini jarang terjadi pada infeksi neonatus, 10% pada anak dibawah umur 4 tahun, dan 30% pada dewasa. Sebagian besar penderita hepatitis B simtomatis akan sembuh tetapi dapat menjadi kronis pada 10% dewasa, 25% anak, dan 80% bayi.1,2,14,15,18 2. Hepatitis kronis Definisi hepatitis kronis adalah terdapatnya peningkatan kadar aminotransferase atau HBsAg dalam serum, minimal selama 6 bulan. Sebagian besar penderita hepatitis kronis adalah asimtomatis atau bergejala ringan dan tidak spesifik. Peningkatan kadar aminotransferase serum (bervariasi mulai dari minimal sampai 20 kali nilai normal) menunjukkan adanya kerusakan jaringan hati yang berlanjut. Fluktuasi kadar aminotransferase serum mempunyai korelasi dengan respons imun terhadap HBV. Pada saat kadar aminotransferase serum meningkat dapat timbul gejala klinis hepatitis dan IgM anti-HBc. Namun gejala klinis ini tidak berhubungan langsung dengan beratnya penyakit, tingginya kadar aminotransferase serum, atau kerusakan jaringan hati pada biopsi. Pada penderita hepatitis kronis-aktif yang berat (pada pemeriksaan histopatologis didapatkan bridging necrosis), 50% diantaranya akan berkembang menjadi sirosis hati setelah 4 tahun, sedangkan penderita hepatitis kronis-aktif sedang akan menjadi sirosis setelah 6 tahun. Kecepatan terjadinya sirosis mungkin berhubungan dengan beratnya nekrosis jaringan hati yang dapat berubah dari waktu ke waktu sehingga untuk melakukan perkiraan kapan timbulnya sirosis pada individu sukar untuk ditentukan.1,14,15,18,19 3. Gagal hati fulminan Gagal hati fulminan terjadi pada tidak lebih dari 1% penderita hepatitis B akut simtomatik. Gagal hati fulminan ditandai dengan timbulnya ensefalopati hepatikum dalam beberapa minggu setelah munculnya gejala pertama hepatitis, disertai ikterus, gangguan pembekuan, dan peningkatan kadar aminotransferase serum hingga ribuan unit. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya reaksi imunologis yang berlebihan dan menyebabkan nekrosis jaringan hati yang luas.3,4,14,15,20 4. Pengidap Sehat Pada golongan ini tidak didapatkan gejala penyakit hati dan kadar aminotransferase serum berada dalam batas normal. Dalam hal ini terjadi toleransi imunologis sehingga tidak terjadi kerusakan pada jaringan hati. Kondisi ini sering terjadi pada bayi di daerah endemik yang terinfeksi secara vertikal dari ibunya. Prognosis bagi pengidap sehat adalah: (1) membaik (anti-HBe positif) sebesar 10% setiap tahun, (2) menderita sirosis pada umur diatas 30 tahun sebesar 1%, dan (3) menderita karsinoma hati kurang dari 1%.3,8,14,15,21
Diagnosis Dasar diagnosis hepatitis B adalah diagnosis klinis dan serologis. Pada saat awal infeksi HBV terjadi toleransi imunologis, dimana virus masuk ke dalam sel hati melalui aliran darah dan dapat melakukan replikasi tanpa adanya kerusakan jaringan hati dan tanpa gejala klinis. Pada saat ini DNA HBV, HBsAg, HBeAg, dan anti-HBc terdeteksi dalam serum. Keadaan ini berlangsung terus selama bertahun-tahun terutama pada neonatus dan anak yang dinamakan sebagai pengidap sehat. Pada tahap selanjutnya terjadi reaksi imunologis dengan akibat kerusakan sel hati yang terinfeksi. Pada akhirnya penderita dapat sembuh atau berkembang menjadi hepatitis kronis.3,5,13,16,21,22
Tabel 16.4. Penanda serologis infeksi HBV. Antigen
Interpretasi
Bentuk klinis
HBsAg
Sedang infeksi
Hepatitis akut, hepatitis kronis, penanda kronis
HBeAg
Proses replikasi dan sangat menular
Hepatitis akut, hepatitis kronis
Resolusi infeksi
Kekebalan
Anti-HBc total
Sedang infeksi atau pernah infeksi
Hepatitis akut, hepatitis kronis, penanda kronis, kekebalan
IgM anti-HBc
Infeksi akut atau infeksi kronis yang kambuh
Hepatitis akut, hepatitis kronis
Penurunan aktivitas replikasi
Penanda kronis, kekebalan
Infeksi HBV
Hepatitis akut, hepatitis kronis, penanda kronis
Replikasi aktif dan sangat menular
Hepatitis akut, hepatitis kronis
Antibodi Anti-HBs
Anti-Hbe Pemeriksaan Molekular PCR DNA HBV Hibridisasi DNA HBV
Sumber: Rizetto21
HBeAg
Anti-HBe
Infektif Anti-HBs Simptomatis Anti-HBc
Gambar 16.2. Pola respons terhadap infeksi akut HBV.
Pengobata n
Pada hepatitis virus akut, sebagian besar kasus akan Minggu 0 8 16 24 32 40 52 sembuh dan sebagian kecil menjadi kronis. Prinsipnya adalah suportif dan pemantauan gejala penyakit. Pasien dirawat bila ada dehidrasi berat dengan kesulitan masukan per oral, kadar SGOT-SGPT > 10 kali nilai normal, atau bila ada kecurigaan hepatitis fulminan. Namun tidak demikian pada neonatus, bayi, dan anak di bawah 3 tahun dimana infeksi HBV tidak menimbulkan gejala klinis hepatitis akut dan sebagian besar (80%) akan menjadi kronis. Pengobatan hepatitis B kronis merupakan masalah yang sulit; sampai saat ini hasilnya tidak memuaskan, terutama pada anak. Tujuan pengobatan hepatitis B kronis adalah penyembuhan total dari infeksi HBV sehingga virus tersebut dieliminasi dari tubuh dan kerusakan yang ditimbulkan oleh reaksi imunologis didalam hati terutama sirosis serta komplikasinya dapat dicegah. Hanya penderita dengan replikasi aktif (ditandai dengan HBeAg dan DNA HBV serum positif) dan hepatitis kronis dengan peningkatan kadar aminotransferase serum yang akan memberikan hasil baik terhadap pengobatan.1,13,18,22,23 HBsAg
1.
Interferon alfa Pengobatan dengan interferon-alfa-2b (IFN-2b) adalah pengobatan standar untuk penderita hepatitis B kronis dengan gejala dekompensasi hati (asites, ensefalopati, koagulopati, dan hipoalbuminemia) dengan penanda replikasi aktif (HBeAg dan DNA HBV) serta peningkatan kadar aminotransferase serum. Kontraindikasi penggunaan interferon adalah neutropenia, trombositopenia, ganguan jiwa, adiksi terhadap alkohol, dan penyalahgunaan obat. Dosis interferon adalah 3 MU/m2 secara subkutan tiga kali dalam seminggu, diberikan selama 16 minggu.18,24 Efek samping interferon dapat berupa efek sistemik, autoimun, hematologis, imunologis, nerologis, dan psikologis. Efek sistemik dapat berupa lelah, panas, nyeri kepala, nyeri otot, nyeri sendi, anoreksia, penurunan berat badan, mual, muntah, diare, nyeri perut, dan rambut rontok. Efek autoimun ditandai dengan timbulnya auto-antibodi, antibodi antiinterferon, hipertiroidisme, hipotiroidisme, diabetes, anemia hemolitik, dan purpura
trombositopenik. Efek hematologis berupa penurunan jumlah trombosit, jumlah sel darah putih dan kadar hemoglobin. Efek imunologis berupa mudah terkena infeksi bakterial seperti bronkitis, sinusitis, abses kulit, infeksi saluran kemih, peritonitis, dan sepsis. Efek nerologis berupa kesulitan konsentrasi, kurang motivasi, gangguan tidur, delirium dan disorientasi, kejang, koma, penurunan pendengaran, tinitus, vertigo, penurunan penglihatan, dan perdarahan retina. Sedangkan efek psikologis berupa gelisah, iritabel, depresi, paranoid, penurunan libido, dan usaha bunuh diri.18,24 Penderita yang mendapat pengobatan interferon harus dievaluasi secara klinis dan laboratoris (ALT dan AST, albumin, bilirubin, pemeriksaan darah tepi) setiap 4 minggu selama pengobatan. Pemeriksaan HBsAg, HBeAg, dan DNA HBV dilakukan pada saat mulai, selesai pengobatan dan 6 bulan paska pengobatan. Dosis interferon harus diturunkan atau pengobatan dihentikan apabila didapatkan gejala dekompensasi hati, depresi sumsum tulang, depresi kejiwaan berat, dan efek samping yang berat. Antara 10%40% penderita memerlukan pengurangan dosis, dan 5%-10% pengobatan harus dihentikan. Sekitar 2% timbul efek samping berat termasuk infeksi bakteri, penyakit autoimun, depresi kejiwaan berat, kejang, gagal jantung, gagal ginjal, dan pneumonia.18,24 Keberhasilan pengobatan dipengaruhi oleh tingginya kadar transaminase serum, relatif rendahnya kadar DNA HBV serum, jenis kelamin perempuan, tidak berasal dari Asia, serta adanya gambaran hepatitis kronis-aktif pada biopsi. Dari beberapa penelitian didapatkan 46% penderita yang diobati mengalami serokonversi dengan timbulnya antibodi anti-HBe dan 8% dengan timbulnya antibodi anti-HBs. Timbulnya anti-Hbe dan hilangnya DNA HBV menurunkan kejadian gagal hati dan angka kematian. Relaps terjadi pada 14% penderita pada tahun pertama setelah pengobatan.18,24 2. Analog nukleosida Lamivudin, famsiklovir, dan adefovir adalah golongan analog nukleosida yang menghambat replikasi HBV. Lamivudin efektif dan kurang menimbulkan efek samping daripada interferon. Dosisnya 3 mg/kgBB sekali sehari selama 52 minggu atau 1 tahun. Terjadi perbaikan gambaran histologis pada 52%-67% kasus, sedangkan hilangnya HBeAg dan timbulnya anti-HBe sebesar 17-18%. Penelitian pada anak menunjukkan serokonversi HBeAg menjadi anti-HBe sebesar 23%. Pada penderita dekompensasi hati, lamivudin memperbaiki skor Child-Pugh. Lamivudin adalah obat utama untuk penderita dengan replikasi aktif dan peningkatan kadar aminotransferase serum dengan spesifikasi: kontraindikasi penggunaan interferon terutama penderita yang mengalami dekompensasi hati. Penderita dengan mutasi pre-core HBV mendapat imunosupresif dalam jangka lama dan kemoterapi. Pada penderita yang mengalami kegagalan pengobatan dengan interferon dapat diberikan lamivudin. Apabila dengan pemberian lamivudin terjadi mutasi YMDD pada HBV, maka dapat diberikan adefovir atau gansiklovir. Penggunaan lamivudin pada anak selama 52 minggu dengan dosis 3 mg/kgBB memberi respons yang signifikan terhadap virus. Kombinasi terapi antara interferon dengan lamivudine tidak lebih baik dibanding pengobatan dengan lamivudine saja.25,26,27,28
Pencegahan Indonesia termasuk negara dengan endemisitas sedang-tinggi maka. Semua orang di Indonesia mempunyai kemungkinan untuk tertular. Saat ini program imunisasi masal HBV dilakukan di 130 dari 216 negara, tetapi pada negara berkembang cakupan imunisasi masih terbatas karena permasalahan dana. Vaksin pertama yang beredar sejak tahun 1981 adalah derivat plasma. Vaksin jenis ini relatif murah, diproduksi dengan cara konsentrasi, pemurnian, dan pemrosesan kimiawi HBsAg yang diisolasi dari plasma karier HBV. Vaksin ini mempunyai imunogenisitas dan efikasi perlindungan yang sangat baik. Vaksin HBV rekombinan pertama diperkenalkan pada tahun 1986 dan yang kedua pada tahun 1989. Saat ini ada 10 produk vaksin rekombinan.20,29,30 Prioritas utama vaksinasi adalah bayi, anak, kelompok berisiko tinggi (misalnya kontak erat dengan pengidap), petugas laboratorium, petugas rumah sakit (terutama unit hemodialisis), dan penderita penyakit darah. 20,29,30 Untuk pencegahan penularan secara vertikal pada masa perinatal, terhadap seorang ibu yang melahirkan dengan HBsAg positif dengan atau tanpa adanya HbeAg, maka kepada bayinya diberikan vaksinasi pasif HBIG dan vaksinasi aktif. Pemberian HBIG saja tanpa vaksinasi aktif hanya memberi perlindungan selama 6 bulan sehingga masih memungkinkan terjadinya infeksi HBV. Faktor yang berpengaruh dalam reaksi imunologis adalah dosis vaksin, umur, dan kondisi imunologis. Sebaiknya diberikan dosis sesuai dengan rekomendasi yaitu antara 5-10 mcg. Bila dosis dikurangi maka nilai titer antibodi juga turun. Lebih tua umur, serokonvensi makin berkurang. Biasanya nonresponder terdapat pada mereka yang mengalami gangguan imunitas. Kadang terjadi nonresponder palsu karena kesalahan tempat penyuntikan yaitu masuk ke subkutan bukan ke otot. 20,29,30 1.
Uji saring sebelum vaksinasi Uji saring pravaksinasi dianjurkan pada kelompok khusus berisiko tinggi termasuk pengguna obat secara intravena, homoseksual, multiple sex partner, dan kontak erat dengan penderita HBV. Hasil uji saring sangat bervariasi antara 0.1%-20% dengan antiHBc positif dan 80% dari mereka memberi respons positif terhadap vaksinasi. Hal ini menyebabkan direkomendasikannya vaksinasi hanya untuk penderita dengan anti-HBc positif. Bayi baru lahir dengan risiko rendah (ibu HBsAg negatif saat melahirkan) dan anakanak di luar Asia atau Kepulauan Pasifik tidak memerlukan uji saring, dan imunisasi dapat diselesaikan dalam waktu 6-18 bulan.31,32,33,34
2. Pemeriksaan paska vaksinasi Secara luas, dalam program vaksinasi tidak dilakukan pemeriksaan paska vaksinasi. Pemeriksaan ini biasanya hanya dilakukan pada pekerja kesehatan dengan risiko tinggi tertular melalui darah maupun cairan tubuh. Pemeriksaan paska vaksinasi dilakukan satu atau dua bulan setelah suntikan ketiga. Pada bayi dengan ibu HBsAg positif yang telah divaksinasi sebaiknya dilakukan pemeriksaan penanda infeksi HBV pada umur 12 bulan.31,32,33,34 3. Penanganan nonresponder Untuk para nonresponder dilakukan vaksinasi ulangan dengan 3 kali suntikan. Biasanya setengah dari mereka akan mencapai kadar seroprotektif. Bagi yang anti-HBs-nya tidak
muncul atau anti-HBs-nya kurang dari 10 mIU/ml, tampaknya tidak akan memberikan hasil yang memuaskan walaupun dilakukan penggantian jenis vaksin. Untuk masa mendatang, bagi para nonresponder ini dapat dilakukan: (1) pemberian vaksin yang mengandung pre-S2 HBsAg, (2) pemberian vaksin HBV bersama-sama T-helper cell peptide, (3) pemberian kombinasi HBsAg dengan HBcAg, atau (4) transfer limfosit dari responder. Untuk penderita dengan dialisis yang respon imunologisnya sangat rendah halhal tersebut diatas kurang bermanfaat. Sebaiknya para penderita penyakit ginjal diberi vaksinasi sebelum penyakitnya lanjut dan menjalani dialisis. 31,32,33,34
Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
20. 21. 22. 23. 24.
Befeler AS, Di Bisceglie AM. Infections of the liver, hepatitis B. Infect Dis Clin North Am. 2000; 14: 617-32. Blumberg BS, Alter HJ, Visnich S. A “new” antigen in leukemia sera. JAMA. 1965; 191: 541-6. Citation. Dudley FJ, Fox RA, Sherlock S. Celluler immunity and hepatitis associated, Australia antigen liver disease. Lancet. 1972; 1: 723-26. Citation. Guidotti LG, Chisari FV. Noncytolytic control of viral infection by the innate and addactive immun response. Annu Rev Immunol. 2001; 19: 65-91. Abstract. Hoofnagle JH, Di Bisceglie AM. The treatment of chronic viral hepatitis. N Engl J Med. 1997; 336: 347-56. Citation. Liu CJ, Kao JH, Chen PJ, et al. Molecular epidemiology of hepatitis B viral serotypes and genotypes in Taiwan. J Biomed Sci. 2002; 9: 166-70. Magnius LO, Norder H. Subtypes, genotypes and molecular epidemiology of the hepatitis B virus as reflected by sequence variability of the S-gen. Intervirology. 1995; 38: 24-34. Gupta S, Shafritz DA. Viral hepatitis B and D in Prieto J, Rodes J, Shafritz DA: Hepatobiliary disease. SpringerVerlag Berlin 1st ed. 1992: 528-71. Leach CT, Koo FC, Hilsenbeck SG, Jenson HB. The epidemiology of viral hepatitis in children. J infectious disease. 1999; 180(2): 509-13. Stevens CE, Toy PT, Tong MJ, et al. Perinatal hepatitis B virus transmission in the United States. Prevention by passive-active immunization. JAMA. 1985; 253: 1740-45. Abstract. Jacyna MR, Thomas HC. Pathogenesis and treatment of chronic infection in Zuckerman AJ, Thomas HC. Viral Hepatitis scintific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1st ed. 1993: 185-205. Jung MC, Paper GR. Immunology of hepatitis B infection. Lancet Infect Dis. 2002; 2: 43-50. Kao JH, Chen DS. Global control of hepatitis B virus infection. Lancet Inf Dis. 2002; 2: 395-403. Koff RS. Viral hepatitis in Walker Durie, Hamilton, Walker Smith, Watkins: Pediatric Gastrointestinal Disease. B.C. Decker Inc. Philadelphia 1st. 1991: 857-874. Koff RS. Vaccines and Hepatitis B. Clin Liver Dis. 1999; 3: 417-28. Lee WM. Medical progress: Hepatitis B virus infection. N Engl J Med. 1997; 337: 1733-45. Citation. Okamoto H, Tsuda F, Sakugawa H, et al. Typing hepatitis B virus by homology in nucleotide sequence: comparison of surface antigen subtypes. J Gen Virol. 1988; 69: 2575-83. Abstract. Margolis HS. Hepatitis B virus infection. Bull WHO. 1998; 76: 152-3. Citation. McMahon BJ, Alward WL, Hall DB, et al. Acute hepatitis B virus infection: Relation of age to the clinical expression of disease and subsequence development of the carrier state. J Infect Dis. 1985: 151: 599-603. Abstract. Miller RH. Proteolytic self cleavage of hepatitis B virus core protein may generate serum e antigen. Science. 1987; 236: 722-25. Citation. Rizzetto M. Viral hepatitis in Bircher J, Benhamou JP, McIntyre N, Rizzetto M, Rodes J: Oxford Text Book of Clinical Hepatology. Oxford Univ Press New York 2nd ed. 1999: 876-96. Sulaiman A, Julitasari. Virus hepatitis A sampai E di Indonesia. Yayasan Penerbitan IDI. Jakarta. Cetakan pertama. 1995: 19-20. Stevens CE, Neurath RA, Beasley RP, et al. HBeAg and anti-HBe detection by radioimmunoassay: correlation with vertical transmission of hepatitis B virus in Taiwan. J Med Virol. 1979; 3: 237-41. Abstract. Perrillo RP, Schiff ER, Davis GL, et al. A randomized, controlled trial of interferon alfa-2b alone and after prednisone withdrawal for the treatment of chronic hepatitis B. The Hepatitis Interventional Therapy Group. N Engl J Med. 1990; 323: 295-301. Citation.
25. Dienstag J, Schiff E, Wright T, et al. Lamivudine as initial treatment for chronic hepatitis B in the United States. N Engl J Med. 1999; 341: 1256-63. 26. Jonas NM, Kelley DA, Mizerski J, et al. Clinical trial of lamivudine in children with chronic hepatitis B. N Engl J Med. 2002; 346: 1706-1713. 27. Mutinger D, Naoumov N, Honkoop P, et al. Combination alfa-interferon and lamivudine therapy for alfainterferon resistant chronic hepatitis B infection: Results of pilot study. J Hepatol. 1998; 28: 923-29. Abstract. 28. Villeneuve J, Condreay L, Willem B, et al. Lamivudine treatment for decompensated cirrhosis resulting from chronic hepatitis B. Hepatology. 2000; 31: 207-10. 29. Fattovich G, Brollo L, Giustina G, et al. Natural history and prognostic factors for chronic hepatitis type B. Gut. 1991; 32: 294-98. Abstract. 30. Zuckerman AJ, Zuckerman JN, Harrison TJ. Prevention and control hepatitis B in Zuckerman AJ, Thomas HC. Viral Hepatitis scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1st ed. 1993: 219-26. 31. Anonymous. General recommendation on immunization. Recombination of the advisory committe on immunization practices (ACIP) and the American Academy of Family Physicians (AAFP). MMWR. 2002; 51: 135. 32. Chisari FV. Cytotoxic T cells and viral hepatitis. J Clin Invest. 1997; 99: 1472-7. Citation. 33. International Task Force on hepatitis B Immunization, Field strategies for the control of hepatitis B in areas of intermediate and high prevalence. April 1988. 34. Pilot J, Poynard T, Elias A, et al. Weak immunogenecity of the pre-S2 sequence and lack of circumventing effect on the responsiveness to the hepatitis B virus vaccine. Vaccine. 1995; 13: 289. Citation.
HEPATITIS C Pendahuluan Virus Hepatitis C (HCV), pada dekade tahun 1970-an dikenal sebagai penyebab kasus Hepatitis Non A Non B (NANB) yang merupakan sebagian besar atau lebih dari 90% kejadian Hepatitis paska transfusi. Saat ini Virus Hepatitis C merupakan salah satu penyebab utama penyakit hati kronis. Hanya sekitar 20%-30% penderita yang terinfeksi Virus hepatitis C sembuh setelah fase akut. Fase kronis penyakit HCV ini ditandai dengan gejala klinis yang minimal dan apabila timbul, gejala tersebut ringan dan tidak spesifik seperti rasa lelah, lemah, mual, nafsu makan turun, dan mialgia.1,2,3 Pada tahun 1987 Chiron Corperation Emmerville CA, USA bersama dengan Centre for Desease Control (CDC) berhasil melakukan cloning genom virus hepatitis C. Choo (1987) dan Quo (1989) berhasil menemukan teknik pemeriksaan anti–HCV, yaitu suatu uji yang sensitif dan spesifik terhadap antibodi virus pada penderita hepatitis NANB.4,5 Kemudian secara berturut-turut ditemukan susunan nukleotida yang lengkap dari genom HCV oleh Choo dkk (1991) dan Han dkk (1991), yaitu isolat HCV– dan HCV–H di Amerika Serikat. Kato dkk (1990) menemukan isolat HCV–J, Takamizawa dkk (1991) menemukan isolat HCV–BK, Okamoto dkk (1990) menemukan isolat HCV–J4 dan HCV–J6 dari Jepang, Kremsdorf dkk (1991) menemukan isolat HCV–E1 dari Perancis, Fuch dkk (1991) menemukan isolat HCV– GM 1 dan 2 dari Jerman, sedangkan Chen dkk (1991) menemukan isolat HCV–T3 dari Taiwan.6,7 Sampai saat ini telah ditemukan 6 genotip HCV. Masing-masing genotip mempunyai beberapa subtipe, dan masing-masing subtipe mempunyai banyak isolat. Aspek medis dari infeksi HCV terutama adalah resiko terjadinya sirosis hati dan keganasan oleh karena perjalanan penyakitnya adalah infeksi kronis.7,8
Virologi HCV merupakan virus RNA dengan genom positif, termasuk famili Flaviviridae dan Pestivirus karena organisasi genetikanya yang saling menyerupai. HCV berdiameter 30–60 nm, dengan panjang 9,4 kb atau 9413 nukleotida, mempunyai suatu open reading frame (ORF) dapat melakukan mengkode suatu protein yang tersusun atas 3010 asam amino.1,6,9,10,11 RNA HCV terdiri atas bagian-bagian : 1. 2. 3. 4. 5.
5’ noncoding region Gen yang mengkode core protein Gen yang mengkode envelope protein Gen yang mengkode protein nonstruktural (NS1 sampai NS5) 3’ noncoding region
Saat ini telah ditemukan 6 group HCV dengan 11 subtipe dan isolat yang sangat banyak. Pemberian tatanama HCV adalah dengan cara membandingkan persentase kesamaan nukleotida. Dikatakan adanya group atau tipe baru apabila terdapat kesamaan susunan nukleotida kurang dari 72% daripada tipe atau group yang telah diketahui. Apabila kesamaan susunan nukleotida terjadi antara 75%–86% maka yang ditemukan adalah subtipe baru. Tetapi apabila persamaan urutan nukleotida lebih dari 88%, maka yang ditemukan adalah isolat baru. Heterogenitas tersebut merupakan akibat dari mutasi selama proses replikasi, yang merupakan mekanisme untuk menghindarkan diri dari sistem kekebalan tubuh sehingga infeksi dapat terus terjadi. Ini berarti bahwa dalam tubuh seseorang penderita HCV dapat ditemukan virus-virus yang berbeda susunan nukleotidanya. 1,2,4,8,12
Akibat dari heterogenitas tersebut adalah : 1. 2. 3. 4. 5.
HCV mempunyai kemampuan untuk menghindarkan diri dari respon imunologis menyebabkan kurangnya daya proteksi dan terjadinya persistensi virus. Mempengaruhi patogenesis perjalanan penyakit, seperti genotipe I dan infeksi dengan beberapa quasispecies menyebabkan penyakit hati yang berat. Kemampuan host dalam hal respons terhadap pengobatan anti virus adalah rendah seperti pada genotipe 1 dan 4. Kesulitan menentukan region yang dipakai sebagai target dalam tes diagnosis. Kesulitan dalam pembuatan vaksin karena respons imun diduga sangat spesifik terhadap tipe.
Terdapat variasi yang signifikan secara regional dari distribusi genotip; Genotip 1, 2, dan 3 tesebar di seluruh dunia, genotipe 4 terutama ditemukan di Mesir dan Zaire, genotipe 5 di Afrika Selatan dan genotipe 6 banyak ditemukan di Asia. Subtipe HCV–1a dan HCV-1b banyak ditemukan di USA dan Jepang walaupun tipe yang lain juga ada di kedua negara tersebut. Di Belanda HCV-1b merupakan subtipe yang dominan. Di daratan Eropa pada umumnya yang dominan adalah subtipe 1a dan 1b. HCV group 3 dan group 1 banyak dijumpai di Skotlandia. Di
Surabaya subtipe 1b lebih dominan daripada subtipe yang lain diikuti subtipe 2a. Telah ditemukan subtipe baru yaitu HCV–1d yang belum pernah dijumpai sebelumnya. Di Jakarta ditemukan isolat baru yang termasuk dalam subtipe 2e dan 2f serta 10a dan 11a.2,5,10,13,14
Epidemiologi 1.
Prevalensi Survey epidemiologi memperkirakan terdapatnya 170 juta pengidap HCV kronis di seluruh dunia. Prevalensi infeksi kronis pada dewasa bervariasi antara 0,5%-25%. Di Amerika Serikat seroprevalensi infeksi HCV adalah 1,8% dari seluruh populasi. Untuk anak dibawah usia 12 tahun, seroprevalensinya adalah 0,2%, dan untuk usia 12–18 tahun seroprevalensi sebesar 0,4%. Di Jepang seroprevalensi HCV adalah 1.3% untuk seluruh populasi; sampai usia 20 tahun jumlah carrier rendah dan meningkat sesuai pertambahan umur. Sebelum skrining dengan cara pemeriksaan serologis terhadap anti HCV, insidensi hepatitis paska transfusi adalah 5%-16%; dengan pemeriksaan C100-3 assay, insidensinya turun menjadi 2%-3%.15,16,17,18 Dengan perbaikan skrining melalui penambahan pemeriksaan anti NS-3, maka 99% darah donor pengidap HCV dapat diketahui. Di Mesir prevalensi HCV pada seluruh populasi adalah 14% dan pada donor darah sebesar 14,5%; pada penelitian Abdel Azis dkk di delta sungai Nil didapat angka 25%. Di Arab Saudi, Bank Darah Ryad mendapat angka seropositif sebesar 26,2%. Di Perancis jumlah pengidap kronis antara 50.000 sampai 600.000 dari total 60.000.000 penduduk. Di Italia prevalensi anti HCV dilaporkan sebesar 3,2% untuk seluruh populasi dari umur 12-65 tahun, tetapi hanya 0,2% pada anak-anak. 15,16,17,18 Di Indonesia prevalensi HCV sangat bervariasi, sekitar 0,5% sampai 3,37%. Dari pemeriksaan darah donor di kota-kota, yaitu Jakarta sebesar 2,5%, Surabaya 2,3%, Medan 1,5%, Bandung 2,7%, Yogyakarta 1%, Bali 1,3%, Mataram 0,5%, Manado 3,0%, Makassar 1,0%, dan Banjarmasin 1,0%.18 Angka tersebut akan sangat berbeda apabila kelompok yang diteliti merupakan kelompok yang lebih khusus, misalnya: penderita yang mendapat hemodialisis berulang sebesar 76,3%, penderita hepatitis kronis sebesar 80,4%, dan penderita talasemia pada anak yang mendapat transfusi berulang sebesar 21,4%. Sedangkan penderita karsinoma hepatoselular mempunyai prevalensi anti HCV sebesar 64,7%.15,17,19 Secara umum, angka tertinggi prevalensi anti HCV didapatkan pada mereka yang sering mengalami direct percutaneous exposure seperti pada pengguna obat bius dengan suntikan dan penderita yang mendapat transfusi berulang (antara 60%–90%). Angka yang sedang didapatkan pada penderita hemodialisis (20%) dan harga yang rendah didapat pada inapparent parenteral atau paparan terhadap mukosa seperti kelakuan seksual yang berisiko tinggi, kontak seksual maupun keluarga dari penderita (1%-10%).15,17,19
2. Penularan Epidemiologi virus hepatitis C (HCV) masih belum jelas karena lebih dari separuh jumlah pengidap kronis tidak diketahui dengan jelas dari mana sumber infeksinya. Walaupun dapat mengenai seluruh golongan umur, tetapi infeksi pada anak relatif sangat jarang terjadi.
Distribusi yang berkaitan erat dengan umur ini, berhubungan erat dengan cara penularannya. Penularan melalui tranfusi darah, penggunaan obat-obatan intravena, hemodialisis, tertusuk jarum suntik, tatu, dan hubungan seksual, lebih banyak terjadi pada orang dewasa daripada anak-anak. Penularan melalui kontak keluarga adalah rendah. Transmisi vertikal saat ini merupakan cara penularan yang paling sering dijumpai pada anak.Dibawah ini diuraikan cara penularan virus hepatitis C.20,21
Pemaparan terhadap darah dan produk yang berasal dari darah. Cara penularan paling efisien adalah dengan pemaparan langsung kerusakan kulit dengan darah penderita HCV, misalnya transfusi darah yang terinfeksi HCV dan produkproduknya, transplantasi organ dari donor pengidap kronis HCV, dan pengguna obat bius dengan suntikan intravena. Di Amerika Serikat sebelum tahun 1986 kejadian hepatitis C paska transfusi berkisar 5% sampai 13%. Dari tahun 1986 sampai 1990, dengan adanya larangan bagi golongan berisiko tinggi untuk menjadi donor dan dilakukannya pemeriksaan LFT pada donor, angka tersebut turun menjadi 1,5%. Dengan adanya pemeriksaan anti HCV untuk skrining donor, angka kejadian hepatitis C paska transfusi menjadi 1,0% pada awalnya dan akhirnya menjadi 90 % anak-anak
Hati
< 5 % dewasa
Hepatitis kronis umumnya berlangsung bertahun-tahun, selama waktu tersebut penderita melewati beberapa fase dari hepatits kronis, diantaranya sebagai berikut: 1. Fase Imunotoleran Fase imunotoleran terjadi pada umur muda dan biasanya berlangsung selama 10-30 tahun setelah masa infeksi perinatal dengan status HBeAg positif, dengan kadar HBV DNA 2 x 104–2 x 108 IU/ml dan kadar ALT yang persisten normal 2. Fase imunoaktif Fase imunoaktif ditandai dengan status HBeAg positif atau negatif, status kadar HBV DNA 2 x 103–2 x 107 IU/ml, dan level ALT yang meningkat secara persisten, pada fase ini pasien bisa simtomatik. 3. Fase non-replikatif Fase non-replikatif terkait dengan karier HBsAG negatif, selama serokonversi karena proses spontan atau karena pengobatan, terjadi kondisi karier HBsAG negatif dengan status HBeAg negatif. Fase ini ditandai dengan kadar HBV DNA 1-2 kali batas atas nilai normal tes dilakukan setiap 1-3 bulan, jika ALT naik sampai >2 kali batas normal pertimbangkan untuk dilakukan biopsi hati.
- Hepatitis B kronis dengan status karier HBsAg inaktif dilakukan tes ALT setiap 6-12 bulan, jika kadar ALT >1-2 kali batas atas nilai normal tes HBV DNA dan lakukan skrining karsinoma hepatoselular pada populasi yang berisiko. Preventif Upaya preventif dilakukan dengan imunisasi aktif pada populasi yang berisiko untuk memotong jalur transmisi. Sasaran utama adalah bayi baru lahir yang divaksinasi segera setelah lahir dalam waktu 12 jam pertama kehidupan
Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
EASL International Consensus Conference on Hepatitis B. Geneva, Switzerland, Journal of Hepatology volume 38. 2002: page 533–540. Lok, Anna S. F. and McMahon, Brian J. Chronic Hepatitis B. Hepatology, Vol. 45, No. 2. 2007. Behrman, Richard E. et al. Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. Elsevier, Philadelpia. 2004. Kliegman, Robert M; Marcdante, Karen J.; Jenson Hal B.; Berhman, Richard E. Nelson Essentials of Pediatrics fifth edition, Elsevier Saunders, Philadelphia. 2006. Suchy, Frederick J, Sokol, Ronald J., Balistreri, William F. (eds.) Liver Disease in Children. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins. 2004. Perlmutter,David H. Alpha-1-antitrypsin deficiency: diagnosis and treatment. Clinical Liver Disease. 2004; (8) 839-859. Teckman, Jeffrey H.; Lindblad,Douglas. Alpha-1-Antitrypsin Deficiency: Diagnosis, Pathophysiology and Management. Current Gastroenterology Reports. 2006; 8:14-20. Ganem, Don; Prince Alfred M. Hepatitis B Virus Infection, Natural History and Clinical Consequences. New England Journal of Medicine. 2004; 350: 1118-1129. Hepatitis B. Geneva, World Health Organization, WHO. Available at http:// www.who.int/csr/disease/hepatitis/HepatitisB_whocdscsrlyo2002_2.pdf. 2002. Management of hepatitis B and HIV coinfection, Clinical Protocol for the WHO European region. Geneva, World Health Organisation, WHO. Available at www.euro.who.int/document/SHA/e90840_chapter_7.pdf. 2005. Liberek, Anna; Luczak Graeyna; Gora-Gebka Magdalena; Landowski Piotr. Management of Chronis Hepatitis B in Children. Journal of Hepatitis B Annual, volume 3. 2006; page 106-127. Medical Management of Chronis hepatitis B and Chronic Hepatitis C. IDU HIV Prevention CDC. Available at http://www.cdc.gov/idu. 2002. Jonas, Maureen M et al. Clinical Trial of lamivudine in Children with Chronic Hepatitis B. New England Journal of Medicine. 2002; 346: 1706-1713. Liberek Anna, arska-Popławska Anna Szafl, Korzon Maria, Łuczak Grażyna, Góra-Gębka Magdalena, ŁośRycharska Ewa, Bako Wanda, Czerwionka-Szafl arska Mieczysława. Lamivudine therapy for children with chronic hepatitis B. World Journal of Gastroenterology. 2006; 12(15): 2412-2416.
BAB XX KOLESTASIS INTRAHEPATIK PADA BAYI DAN ANAK Julfina Bisanto
Ilustrasi kasus K, anak laki-laki berusia 44 hari, kuning pada mata dan sklera sejak berumur 1 bulan. Panas tidak terlalu tinggi, naik turun sejak berusia 2 minggu. Air seni berwarna seperti teh, tinja kuning pucat. Berat lahir 3700 gram. Pada pemeriksaan fisik didapatkan berat badan 5,5 kg (P 75-90 NCHS) lingkar kepala 37 cm (N), tampak ikterik, hati teraba 4 cm di bawah arkus kosta dan 4 cm di bawah prosesus xipoideus (membesar), tepi tajam, konsistensi kenyal, permukaan rata. Limpa tidak teraba. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar Hb 10,5 g/dl, leukosit 12.000/ul, bilirubin direk 8,16 mg/dl, bilirubin indirek 4,04 mg/dl, ALT 201U/l (N:10-41U/l), AST 305 U/l (N:11-41U/l), GGT 129 U/l (N= 11-50 U/l), masa protrombin 12” (N), kolesterol 229 mg/dL. Urinalisis: protein (-), bilirubin (+3), leukosit 2-3/lpb. Kultur urine: Enterobacter aerogenes >105 CFU (Colony Forming Unit). USG abdomen 2 fase, didapatkan hepatomegali yang homogen, kandung empedu yang berkontraksi. Kesimpulan biopsi hati adalah suatu hepatitis neonatal dengan kemungkinan bersama atau menjadi atresia biliaris tidak dapat diabaikan karena ditemukan kolestasis intrasel dan intrakanal, duktulus agak bertambah, portal agak melebar, hematopoesis ekstramedular mencolok. Diagnosis yang ditegakkan pada anak ini adalah kolestasis intrahepatik akibat infeksi saluran kemih. Terapi yang diberikan adalah antibiotika yang sensitif, ursodeoksikolat, vitamin A, D, E, K. Fungsi hati membaik dalam 2 bulan.
Pendahuluan Kolestasis intrahepatik atau disebut juga kolestasis hepatoselular, adalah sindrom klinik yang timbul akibat hambatan sekresi dan/atau aliran empedu yang terjadi di dalam hati. Pada bayi biasanya terjadi dalam 3 bulan pertama kehidupan dan disebut pula sebagai sindrom hepatitis neonatal. Keadaan ini mengakibatkan akumulasi, retensi, serta regurgitasi bahanbahan yang merupakan komponen empedu seperti bilirubin, asam empedu serta kolesterol ke dalam plasma dan selanjutnya pada pemeriksaan histopatologis akan ditemukan penumpukan empedu di dalam sel hati dan sistem biliaris di dalam hati. Penumpukan bahan yang harus diekskresikan oleh hati tersebut akan merusak sel hati dengan berbagai tingkat gejala klinik yang mungkin terjadi serta pengaruhnya terhadap organ sistemik lainnya tergantung dari lamanya kolestasis berlangsung serta perjalanan penyakit primer yang menjadi penyebab kolestasis tersebut.1,2,3
Secara klinis, kolestasis ditandai dengan adanya ikterus, tinja berwarna pucat atau akolik, dan urin yang berwarna kuning tua seperti teh. Apabila proses berjalan lama dapat muncul berbagai manifestasi klinis lainnya misalnya pruritus, gagal tumbuh, dan lain-lain akibat dari penumpukan zat-zat yang seharusnya diangkut oleh empedu untuk dibuang melalui usus.1,4,5 Penyebab kolestasis intrahepatik pada bayi lebih beragam dibandingkan anak yang lebih besar karena hati bayi yang masih imatur. Penyebab tersebut antara lain infeksi, kelainan genetik, endokrin, metabolik, atau tumor. Penelitian mengenai patofisiologi dan patogenesis kolestasis ini pada tingkat molekular serta perubahan dalam tes diagnostik masih terus terjadi secara berkesinambungan.2,3,6 Selanjutnya akan dibahas berbagai aspek mengenai kolestasis intrahepatik pada bayi atau sindrom hepatitis neonatal dan kolestasis intrahepatik pada anak secara umum termasuk etiologi, patogenesis, manifestasi klinis dan komplikasinya, diagnosis, tatalaksana serta prognosisnya dan secara khusus pada beberapa penyakit dengan singkat.1,4,7
Faktor predisposisi terjadinya kolestasis intrahepatik pada neonatus Bayi baru lahir mengalami suatu periode kolestasis relatif (disebut juga kolestasis fisiologis) tanpa menderita sesuatu penyakit. Keadaan ini terjadi antara lain karena pada periode tersebut ukuran pool asam empedu masih kecil, ambilan serta transportasi asam empedu belum efisien (tabel 1) sehingga bayi tersebut lebih rentan untuk menderita kolestasis akibat berbagai keadaan/penyakit.5,8,9 Tabel 20.1. Faktor predisposisi neonatus untuk menderita kolestasis intrahepatik. Konsentrasi asam empedu serum basal tinggi. Ambilan asam empedu oleh hepatosit serta transportasinya belum efisien. Konjugasi, sulfatisasi, serta glukuronidasi asam empedu masih sedikit. Adanya asam empedu abnormal (atipik). Ukuran bile acid pool kecil. Sekresi asam empedu kurang. Konsentrasi asam empedu di lumen usus masih rendah. Reabsorpsi asam empedu di ileum masih sedikit. Sumber: Arce1
Patogenesis kolestasis intrahepatik10,11,12 Kolestasis intrahepatik terjadi akibat gangguan sintesis dan atau sekresi asam empedu akibat kelainan sel hati, saluran biliaris intrahepatik serta mekanisme transportasinya di dalam hati. Sekresi empedu yang normal tergantung dari fungsi beberapa transporter pada membran hepatosit dan sel epitel duktus biliaris (kolangiosit) dan pada struktur serta integritas fungsi aparatus sekresi empedu. Akibatnya, berbagai keadaan/ penyakit yang mempengaruhi fungsi normal tersebut akan menimbulkan kolestasis. Patogenesis kolestasis intrahepatik tersebut dapat dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut: 1. Gangguan transporter (Na+K+ATP-ase dan Na+ bile acid co-transporting protein- NCTP) pada membran hepatosit sehingga ambilan asam empedu pada membran tersebut akan
2. 3.
4. 5.
berkurang. Keadaan ini dapat terjadi misalnya pada penggunaan estrogen atau akibat endotoksin. Berkurangnya transport intraselular karena perubahan keseimbangan kalsium atau kelainan mikrotubulus akibat toksin atau penggunaan obat. Berkurangnya sekresi asam empedu primer atau terbentuknya asam empedu atipik di kanalikulus biliaris yang berpotensi untuk mengakibatkan kolestasis dan kerusakan sel hati. Keadaan ini dapat terjadi akibat penyakit inborn error, kerusakan mikrofilamen perikanalikulus atau berkurangnya transporter MDR 3 akibat pemakaian androgen, atau pengaruh endotoksin. Meningkatnya permeabilitas jalur paraselular sehingga terjadi regurgitasi bahan empedu akibat lesi pada tight junction, misalnya pada pemakaian estrogen. Gangguan pada saluran biliaris intrahepatik.4,5,10
Etiologi Berbagai keadaan diantaranya infeksi, kelainan genetik, metabolik, endokrin atau imunologi dapat menyebabkan kolestasis intrahepatik seperti tercantum pada tabel 2 untuk bayi dan tabel 3 untuk anak. Biasanya dalam klinik, sukar untuk membedakan bermacam-macam etiologi kolestasis intrahepatik pada bayi atau sindrom hepatitis neonatal seperti tercantum di dalam tabel 2 tersebut, sehingga akhirnya lebih dari setengahnya akan dilabel sebagai “idiopatik”. Penderita kolestasis yang diklasifikasikan sebagai idiopatik ini makin berkurang dengan kemajuan teknik pencitraan, bidang virologi serta pemeriksaan biokimia yang canggih. Untuk infeksi di Asia tampaknya CMV dan infeksi traktus urinarius merupakan penyebab yang paling sering.13,14 Tabel 20.2. Diagnosis diferensial kolestasis intrahepatik pada bayi dan upaya diagnostiknya Penyakit 1. Infeksi *Infeksi congenital - Toksoplasma - Rubella - Cytomegalovirus - Herpes simpleks - Sifilis - Human herpesvirus-6, herpes zoster - Hepatits B - Hepatitis C - Human immunodeficiency virus - Parvovirus B19 - Syncytial giant cell hepatitis * Infeksi lain - Tuberkulosis - Sepsis - Sepsis virus enterik (echoviruses, Coxsackie A dan B, adenovirus) 2. Kelainan genetik Trisomi 18 (21), cat eye syndrome Penyakit Byler 3. Kelainan endokrin - Hipopituitarism (displasia septo-optik) - Hipotiroidism
Strategi Diagnostik Utama
IgM-anti toksoplasma IgM-anti rubella Kultur virus urin, IgM-anti CMV Mikroskop elektron/ kultur virus vesikel STS, VDRL, FTA-ABS, Ro Tulang panjang Serologi HBsAg, IgM-antiHBc, HBV-DNA HCV-RNA (RT-PCR) Anti-HIV, immunoglobulin, CD4 IgM antibody Giant cell hepatitis pada biopsi hati Mantoux, radiologi toraks Kultur darah Serologik, kultur virus cairan likuor
Kariotip GGT, tes genetik Kortisol, TSH ↓, T4↓ TSH↑, T4↓, free T4↓, T3↓
4. Paucity duktus biliaris - Sindrom Alagille - Paucity duktus non sindromik 5. Kelainan struktur - Carolli disease 6. Kelainan metabolik - Def. alfa 1 antitripsin - Fibrosis kistik - Galaktosemia - Tirosinemia -
Fruktosemia herediter Glycogen storage disease tipe IV Niemann-Pick Tipe A Niemann-Pick tipe C
- Penyakit Wolman - Kel.sintesis as.empedu primer - Sindrom Zellweger 7. Imunologik - L.E. neonatal - Hepatitis neonatal dengan AHA 8. Toksik - TPN - Obat
Ekokardiogram, embriotokson “butterfly vertebrae” Paucity pada biopsi
posterior,
USG, kolangiografi Kadar alfa 1 antitripsin serum, tipe PI Sweat chloride, immunoreactive trypsin Galaktose 1-6 phospate uridyltransferase Tirosin serum, methionin, AFP, suksinilaseton urin Biopsi hati: mik.elektron, aktivitas enzim Biopsi hati Aspirasi sum –sum tulang, spingomielinase Storage cells pada aspirasi sum-sum tulang, hati; biopsi rektum Radiologi kel.adrenal As.empedu urin Gambaran very long chain fatty acid Antibodi anti-Ro (bayi dan ibu) Coombs’ test, giant cell hepatitis Riwayat TPN obat
Sumber: Chang15
Tabel 20.3. Diagnosis diferensial kolestasis intrahepatik pada anak yang lebih besar. Infeksi virus akut (terutama HVA) Kelainan yang diturunkan: penyakit Wilson, fibrosis kistik Keganasan: leukemia, limfoma, tumor hati Bahan toksik: obat/ jamur Infeksi parasit: leptospirosis, skistosomiasis Idiopatik/ lesi sekunder: hepatitis kronik, kolitis ulserativa, artritis reumatoid, Obesitas Sumber: Chang15
Angka kejadian Angka kejadian kolestasis pada bayi atau sindrom hepatitis neonatal dapat mencapai 1 dari 2500 kelahiran hidup. Mieli–Vergani dkk, (dikutip dari Suchy) melaporkan, kolestasis intrahepatik pada bayi sebanyak 675 (62%) dari 1086 bayi dengan kolestasis yang dirujuk ke RS King’s College selama 20 tahun (1970-1990). Hepatitis neonatal idiopatik merupakan penyebab tersering (49%) dengan perkiraan angka kejadian sebanyak 1 dari 5.000 kelahiran hidup. Penyebab kedua terbanyak yang dilaporkan oleh penulis yang sama adalah defisiensi -1antitripsin (28%) yang memang banyak dilaporkan pada ras kulit putih, dengan angka kejadian diperkirakan sebanyak 1 dari 20.000 kelahiran hidup. Tetapi tidak demikian halnya dengan di Asia yang dilaporkan oleh Chang, tidak ada satupun defisiensi -1-antitripsin diantara 300 kolestasis pada bayi.14,16
Di Subdivisi Hepatologi Anak FKUI/RSCM, dalam kurun waktu 2 tahun (2002-2003) telah dirawat sebanyak 119 (73,5%) kasus kolestasis intrahepatik dari 162 kasus kolestasis pada bayi.17
Manifestasi klinis dan komplikasi11,17,18,19 Tanpa memandang etiologinya yang sangat beragam, sindrom klinik yang timbul akibat kolestasis intrahepatik pada bayi atau sindrom hepatitis neonatal, maupun kolestasis intrahepatik pada anak berawal dari gejala ikterus, urin berwarna lebih gelap, dan tinja mungkin berwarna lebih pucat atau fluktuatif sampai dempul (akholik) tergantung pola minum/makan, lamanya kolestasis berlangsung, serta luasnya kerusakan hati yang sudah terjadi. Urin yang lebih gelap ini pada bayi mungkin tidak terlampau nyata karena volume urine yang relatif banyak. Ikterus pada bayi biasanya merupakan ikterus fisiologis yang melanjut, dan pada sebagian kecil timbul pada umur 5-8 minggu, bahkan pada beberapa kasus timbul pada umur bayi yang lebih lanjut. Pada sindrom hepatitis neonatal, penderita mungkin kecil untuk masa kehamilan terutama pada sindrom Alagille, kelainan metabolik serta infeksi intrauterin, mungkin mengalami gagal tumbuh dan kesukaran minum. Mungkin pula terlihat rupa dismorfik pada trisomi 18, 21, sindrom Alagille, sindrom Zellweger (sindrom serebrohepatorenal) atau infeksi kongenital. Hipoglikemia dapat ditemukan pada penyakit metabolik, hipopituitarisme atau kelainan hati yang berat. Ascites jarang ditemukan kecuali pada penyakit metabolik. Bising jantung dan kelainan neurologis dihubungkan dengan sindrom kongenital yang spesifik. Perdarahan mungkin ditemukan akibat defisiensi vitamin K atau trombositopenia. Gejala klinik serta manifestasi laboratoris lainnya adalah gejala klinik serta kelainan laboratoris penyakit yang menjadi penyebab kolestasis tersebut serta tergantung pula pada lamanya kolestasis berlangsung, dan juga luasnya kerusakan hati yang sudah terjadi. Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan hepatomegali dan pada 40%-60% kasus juga ditemukan splenomegali. Mekanisme terjadinya gejala klinik serta kelainan pemeriksaan laboratorium pada kolestasis adalah keadaan sebagai berikut: 1. Berkurangnya garam empedu yang masuk ke usus sehingga mengakibatkan malabsorpsi lemak dan vitamin yang larut di dalamnya, dan juga diare. Warna tinja menjadi lebih pucat sampai dempul, dan urobilinogen urin berkurang atau tidak ada. Perubahan warna tinja serta urobilinogen urin ini, sejalan dengan jenis serta beratnya hambatan empedu tersebut dan berkorelasi pula dengan lamanya kolestasis yang berlangsung, serta luasnya kerusakan hati yang sudah terjadi. Pada kolestasis kronis, anak akan menderita malnutrisi dan retardasi pertumbuhan serta gejala defisiensi vitamin yang larut dalam lemak yaitu defisiensi vitamin A berupa kulit menebal dan rabun senja. Defisiensi vitamin A ini terjadi pada 35%-69% kolestasis kronis. Defisiensi vitamin D yang berupa osteopenia ditemukan pada 66% kolestasis kronis bila tidak mendapat suplementasi vitamin D. Defisiensi vitamin E yang berupa degenerasi neuromuskular, dan anemia hemolitik ditemukan pada 49%-77% bila tidak mendapat suplementasi vitamin tersebut. Defisiensi vitamin K dapat terjadi pada 25% kasus yang tidak mendapat suplementasi dan dapat mengakibatkan hipoprotrombinemia yang mungkin menunjukkan gejala perdarahan. 2. Penumpukan komponen empedu dalam darah yang mengakibatkan terjadinya ikterus, pruritus, xantomatosis dan hiperkolesterolemia. Kerusakan sel hati terjadi akibat penumpukan komponen empedu terutama asam empedu primer dan sekunder, serta
mineral, misalnya cuprum (Cu/ tembaga), yang bersifat hepatotoksik. Pada kolestasis kronik, kelainan hati menjadi progresif, dan selanjutnya terjadi sirosis biliaris dengan berbagai komplikasinya. Beberapa gejala klinik lain yang dapat memberikan petunjuk penyebab kolestasis pada bayi dapat dilihat pada tabel 20.4. Tabel 20.4. Gejala klinik pada beberapa penyebab kolestasis intrahepatik pada bayi Penyebab Infeksi CMV Infeksi Toksoplasma Infeksi Rubella Infeksi Herpes Infeksi Sifilis Galaktosemia Trisomi 21,18,13 Sindrom Alagille
Gejala klinik Mikrosefali, kalsifikasi ventrikuler, tuli saraf, korioretinitis, ventrikulomegali Hidrosefalus, mikrosefali, kalsifikasi intrakranial, korioretinitis, retardasi psikomotor Katarak, petekie, tuli saraf, mikrosefali, kelainan jantung, korioretinitis Rash, keratokonjungtivitis, ensefalitis Rinitis, rash, kelainan tulang Muntah, FTT, perdarahan kulit, sepsis, katarak. Anomali kongenital multipel Dismorfik, embriotokson, kelainan jantung, vertebra
Sumber: Boyer11
Diagnosis Diagnosis kolestasis intrahepatik dibuat berdasarkan: 1. Gejala klinik Dari anamnesis mungkin terdapat riwayat kolestasis pada saudara kandung, bila penyebabnya kelainan genetik atau metabolik. Demikian pula mengenai riwayat morbiditas selama kehamilan (infeksi TORCH, hepatitis B serta infeksi lainnya) dan riwayat kelahiran (adanya infeksi intrapartum, berat lahir), morbiditas perinatal, riwayat pemberian nutrisi parenteral, tranfusi serta penggunaan obat hepatotoksik yang mungkin ada bila keadaan tersebut merupakan penyebab kolestasis pada bayi tersebut. Gejala muntah dan riwayat hipoglikemia, mungkin ada bila penyebabnya sepsis, galaktosemia, intoleransi fruktosa atau tirosinemia.9,14,20 Keadaan umum penderita kolestasis intrahepatik pada bayi biasanya tampak sakit berat terutama akibat infeksi kongenital dan mungkin disertai dengan kelainan non hepatik lain seperti katarak, kalsifikasi intrakranial, wajah dismorfik, hipotoni atau gejala perinatal lainnya.21,22 2. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan laboratorium rutin dan khusus14,23 - Kadar bilirubin direk darah meningkat 1,5 mg/dl tanpa peningkatan kadar bilirubin indirek atau peningkatan 15% bilirubin total. Dalam urin ditemukan bilirubin. - Aminotransferase serum seringkali meningkat 2-4 x nilai normal; bila lebih tinggi memberi petunjuk adanya proses infeksi. ALT dan AST merupakan tes yang paling sering dilakukan untuk mengetahui adanya kerusakan hepatoseluler karena tes ini spesifik untuk mendeteksi adanya nekrosis hepatosit, akan tetapi tidak spesifik.
-
-
-
-
-
-
-
-
Dibandingkan dengan ALT, AST lebih spesifik untuk mendeteksi adanya penyakit hati karena kadar di jaringan lain relatif lebih rendah dibandingkan kadar di hati. Fosfatase alkali mungkin normal atau agak meningkat. Bila kadarnya lebih tinggi, lebih mengarah pada atresia biliaris atau ricketsia. Peningkatan abnormal enzim ini tidak dapat membedakan kolestasis ekstrahepatik dengan intrahepatik. Gamma-glutamyl transpeptidase (GGT) mungkin meningkat. GGT merupakan enzim yang dapat ditemukan pada epitel duktuli biliaris dan hepatosit hati. Aktivitasnya dapat ditemukan pada pankreas, lien, otak, mammae dan intestinum dengan kadar tertinggi pada tubulus renal. Karena enzim ini dapat ditemukan pada banyak jaringan, peningkatannya tidak spesifik mengindikasikan adanya penyakit hati. Bila fosfatase alkali tinggi dan GGT rendah (20 mg/dl) dan false positive dan negatifnya sebesar 10%. Karena pemeriksaan ini memakan waktu yang banyak, maka tidak banyak para ahli yang menggunakannya pada evaluasi diagnostik kolestasis. Biopsi hati Biopsi hati dianggap sebagai cara yang paling dapat dipercaya untuk membuat diagnosis bayi dengan kolestasis. Akurasi diagnosis mencapai 95%-96,8% bila dibaca oleh ahli patologi yang berpengalaman.8,11,18 Pada hasil biopsi yang representatif, paling sedikit harus dapat diperlihatkan 5 portal tracts. Gambaran histopatologis hepatitis neonatal adalah perubahan arsitektur lobulus yang mencolok, nekrosis hepatoselular fokal, pembentukan pseudoroset, ada giant cells dengan balloning pada sitoplasma. Disamping itu, pada kolestasis intrahepatik ini, lebih banyak terlihat fokus hematopoesis ekstramoduler, deposit hemosiderin pada sel hati dan sel Kupffer, inflamasi intralobular dan hiperplasia sel Kupffer.7,18,27 Selanjutnya ahli patologi dapat pula menentukan apakah ada penyakit Wilson, glycogen storage disease, neonatal iron storage diseases, fibrosis hati kongenital maupun defisiensi -1-antitripsin.12 Adakalanya diperlukan biopsi ulang untuk mendapatkan informasi mengenai dinamika penyakitnya yang dapat menolong memastikan diagnosis.5,28
Beberapa Etiologi Kolestasis Intrahepatik pada Bayi 1.
Infeksi Toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, herpes simpleks (TORCH)15,29 Infeksi kongenital ini memberikan beberapa gambaran klinik yang serupa, yaitu kuning, hepatosplenomegali, pneumonitis, petekie atau purpura dan kecenderungan untuk prematur atau pertumbuhan intrauterin yang terhambat.
-
-
-
-
Toksoplasmosis: toksoplasmosis kongenital jarang terjadi. Gambaran klinik lainnya adalah kelainan yang nyata dari sistem saraf pusat berupa hidrosefalus, mikrosefalus, kalsifikasi intrakranial, kejang, nistagmus dan tanda tekanan intrakranial yang meningkat serta kelainan mata berupa korioretinitis. Gambaran biopsi hati menunjukkan hepatitis nonspesifik atau fibrosis portal dengan proliferasi duktulus biliaris. Terapi spiramisin dapat mencegah progresivitas kelainan hati dan susunan saraf pusat. Prognosis tergantung dari luasnya kelainan mata dan neurologis yang terjadi. Rubella: infeksi kongenital rubella saat ini jarang terjadi karena ada imunisasi untuk penyakit ini. Gejala klinik lainnya adalah anemia, trombositopenia, kelainan jantung kongenital (PDA atau stenosis arteri pulmonal), katarak, korioretinitis, retardasi mental dan tuli neurosensorik. Gambaran histologis hati menunjukkan hepatitis giant cells yang tipikal. Penyakit ini mungkin self limited atau berlanjut menjadi sirosis Sitomegalovirus. Sitomegalovirus adalah penyebab infeksi kongenital yang paling banyak, dan terjadi pada 1%-2% neonatus, tetapi sebagian besar asimtomatik. Yang bergejala, selain gejala yang dicantumkan di atas mungkin pula ada asites; tetapi jarang menimbulkan gagal hati akut. Gejala lainnya adalah gejala susunan saraf sentral berupa mikrosefali, kalsifikasi intrakranial dan korioretinitis. Tuli neurosensorik yang progresif serta cerebral palsy mungkin baru terlihat kemudian. Diagnosis pasti memerlukan pemeriksaan kultur virus dalam 4 minggu pertama. Pemeriksaan serologis dan klinis dapat menunjang adanya infeksi sitomegalovirus, tetapi tidak dapat membedakan antara infeksi kongenital dan infeksi postnatal dini. Pada sebagian besar anak yang terinfeksi sitomegalovirus, gejalanya ringan dan sembuh sempurna tetapi pernah dilaporkan terjadinya fibrosis, sirosis dan hipertensi portal nonsirotik. Yang menjadi problem menetap biasanya adalah kelainan perkembangan neurologis yang mungkin atau sudah terjadi. Herpes simpleks. Pada neonatus, infeksi virus ini (tipe 1 atau 2, terutama tipe 2) dapat menimbulkan kelainan multisistem yang sangat berat termasuk gejala ensefalitis, hepatitis berat atau gagal hati fulminan. Pada biopsi hati dapat dilihat area nekrosis dengan inklusi virus dalam sel hepatosit yang masih utuh. Pada kerokan lesi vesikel ditemukan virus herpes simpleks tetapi pada neonatus mungkin tidak ditemukan lesi herpes yang khas pada kulit, mulut, maupun mata.
Sifilis Sifilis kongenital saat ini jarang terjadi di negara maju. Gejala yang timbul juga mengenai multisistem termasuk retardasi perkembangan intrauterin dan selanjutnya gagal tumbuh, anemia berat dan trombositopenia, sindrom nefrotik, periostitis, nasal discharge, rash pada kulit, limfadenopati difus dan hepatomegali. Kuning mungkin sudah terlihat dalam 24 jam pertama. Pada beberapa bayi mungkin sama sekali tidak kuning, tetapi ada rash yang khas pada telapak tangan dan kaki atau hanya ada demam dengan hepatomegali yang menyolok. Gejala susunan saraf pusat terjadi pada sampai 30% kasus. Pemeriksaan histologis hati memperlihatkan Treponema pada jaringan hati. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan serologis termasuk tes VDRL dan antibodi antitreponema. Pemeriksaan radiologis tulang panjang mungkin memperlihatkan kelainan radiologis yang khas dalam 24 jam pertama dan menolong membuat diagnosis secepatnya.30,31 Varisela
Varisela mungkin terjadi pada neonatus bila ibu terinfeksi dalam 2 minggu sebelum melahirkan. Gejalanya cenderung lebih berat pada bayi prematur dan ringan pada bayi cukup bulan yang berumur lebih dari 10 hari. Manifestasi yang timbul dini serta infeksi yang terjadi selama masa kehamilan dapat berakibat fatal. Gejala klinisnya berupa kuning, kelainan kulit yang luas dan keterlibatan multisistem terutama pneumonia dan kelainan parenkim hati pada kasus yang fatal.1,15 Sepsis virus enterik (Echovirus, Coxsackie virus, Adenovirus) Virus enterik dapat mengakibatkan infeksi virus sistemik pada neonatus dengan gambaran klinis yang mencolok berupa hepatitis berat dengan gagal hati akut. Transmisi vertikal yang terjadi sesaat sebelum lahir, mengakibatkan gejala yang lebih berat pada bayi. Sebagian besar sepsis virus enterik terjadi pada umur 1-5 minggu. Bayi menjadi letargi dan kuning disertai kadar aminotransferase yang sangat tinggi, koagulopati hebat dan biasanya juga disertai meningitis. Selain Echovirus dan virus Coxsackie A atau B, Adenoviruse juga dapat menimbulkan gejala klinik yang serupa, hanya miokarditis dan gagal jantung lebih condong akibat infeksi virus Coxsackie.28 Infeksi bakteri di luar hati Gejala kuning dan meningkatnya kadar bilirubin direk darah mungkin terjadi pula pada infeksi lokal di luar hepar misalnya infeksi traktus urinarius15 atau sepsis (streptokokus, stafilokokus atau kuman Gram negatif).32 Tuberkulosis Tuberkulosis kongenital jarang terjadi, tetapi pada beberapa tahun terakhir akibat meningkatnya prevalensi tuberkulosis pada ibu usia subur, maka tuberkulosis pada bayi menjadi lebih sering terjadi. Neonatus mungkin terinfeksi melalui cairan amnion atau sekret serviks yang terinfeksi pada saat lahir. Diagnosis tuberkulosis pada neonatus dibuat, bila ada salah satu gejala berikut: lesi pada minggu pertama kehidupan, kompleks hepatik primer atau granuloma kaseosa di hati, infeksi tuberkulosis pada plasenta atau genitalia ibu, dan tidak ada infeksi postnatal. Hepatomegali sering ditemukan, tetapi kuning jarang terjadi dan bila ada merupakan tanda beratnya penyakit. Gejala lainnya yang sering adalah distres pernafasan, kesukaran minum, dan demam. Mortalitas mencapai 30%.26 2. Hepatitis neonatal idiopatik Etiologi kolestasis pada bayi yang terjadi dalam 3 bulan pertama tidak dapat ditemukan pada 25% kasus dan kelompok bayi ini disebut hepatitis neonatal idiopatik yang cenderung merupakan bayi prematur atau kecil untuk masa kehamilan yang mungkin merefleksikan kelainan genetik atau infeksi intrauterin. Pada 5%-15% kasus, lebih dari 1 anak dalam keluarga menderita penyakit yang sama. Pada biopsi hati dapat ditemukan giant cell transformation luas dengan inflamasi, tetapi duktus bilier biasanya normal.7,16,18 3. Sindrom Alagille (bile duct paucity syndrome)2,6,33 Sindrom Alagille (syndromic duct paucity, sindrom Watson-Miller, displasia arteriohepatik) adalah suatu kelainan genetik dengan transmisi dominan autosom, tetapi dengan manifestasi klinis yang sangat bervariasi. Sindrom ini dihubungkan dengan mutasi
yang terjadi pada gen Jagged-1 (JAG 1) pada kromosom 20p. Mutasi ditemukan pada 70% kasus dan diturunkan pada 30%-50% kasus. Gambaran klinis utamanya adalah: - Kolestasis yang sangat hebat hingga mengakibatkan tinja berwarna dempul dan disertai pruritus. - Raut muka khas berupa kening yang lebar, mata dalam, hipertelorism ringan, dan dagu yang lancip. Raut muka ini mungkin belum terlihat pada bulan pertama. - Kelainan tulang berupa bentuk tulang belakang yang seperti butterfly akibat kegagalan fusi bagian anterior vertebra. Mungkin pula terlihat jarak interpedikular pada daerah lumbal yang berkurang, ada spina bifida okulta, falangs distal melengkung dan ulna yang pendek. - Kelainan mata yang terjadi dapat sangat beragam. Yang paling sering dan memerlukan pemeriksaan dengan slit-light adalah embriotokson posterior dan Schwalbe’s line yang abnormal. - Kelainan jantung dapat berupa stenosis arteri pulmonal, tetralogi Fallot, stenosis katup pulmonal, stenosis aorta, dan ASD. Beratnya kelainan jantung bervariasi. - Gagal tumbuh yang dihubungkan dengan retardasi intrauterin. Malnutrisi berat ditemukan pada 50% penderita yang mungkin merupakan bagian dari sindrom Alagille atau sekunder terjadi akibat malabsorpsi atau refluks gastroesofageal. Gejala minor lain yang mungkin ada adalah: - kelainan ginjal, misalnya kelainan struktur dan defek fungsi pemekatan urin - pubertas yang terlambat atau hipogonadism - suara atau tangis abnormal - retardasi mental, kesulitan belajar, dan kelakuan antisosial - kelainan vaskular termasuk moya-moya disease - kelainan neurologis misalnya neuropati perifer akibat defisiensi vitamin E karena kolestasis kronis hebat - hipotiroidisme dan insufisiensi pankreas - infeksi paru rekuren akibat refluks gastroesofageal sekunder atau pneumonia aspirasi - xanthomata akibat hiperkolesterolemia Diagnosis dibuat berdasarkan hasil biopsi hati yang memperlihatkan paucity duktus biliaris dengan paling sedikit 3 dari kelainan utama (kelainan raut muka, mata, vertebra, ginjal dan jantung). Pada biopsi hati terlihat jumlah duktus biliaris berkurang yaitu rasionya terhadap portal-tract 0,9 (N: 0,9 – 1,8). Sindrom ini dapat berkembang menjadi sirosis biliaris pada 15% – 20% kasus. Prognosis tergantung dari organ yang terlibat. Estimasi mortalitas secara umum adalah 20% - 25% akibat kelainan jantung, infeksi berulang atau kelainan hati tahap lanjut. 4. Progressive familial intrahepatic cholestasis4,34 Penyakit Byler (PFIC-1: progressive familial intrahepatic cholestasis type 1) Pada penyakit Byler, peningkatan kadar bilirubin direk yang beragam terjadi pada 3-6 bulan pertama disertai hepatomegali, retardasi pertumbuhan, diare persisten, pankreatitis dan tanda defisiensi berat vitamin yang larut dalam lemak termasuk ricketsia. Pruritus merupakan salah satu problem yang mencolok dan refrakter terhadap sebagian besar
pengobatan. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai GGT dan kolesterol normal tetapi konsentrasi total asam empedu serum meningkat. Biopsi hati memperlihatkan inflamasi ringan dengan bile plug di kanalikulus biliaris dengan pemeriksaan rutin serta gambaran granular yang khas dengan mikroskop elektron. Mungkin pula ditemukan small duct paucity.11 Pada penyakit Byler ini terdapat mutasi di kromosom 18q21-22. PFIC- 2 Pada PFIC-2 ini, mutasi terjadi pada kromosom 2q24. Gejalanya sama dengan PFIC-1, hanya tidak ada diare serta pankreatitis. PFIC-3 PFIC-3 adalah jenis lain dari PFIC yang mempunyai kadar GGT yang meningkat. Kuning kurang mencolok dibandingkan pruritus dan sistem biliaris dalam batas normal pada pemeriksaan pencitraan. Pada semua tipe PFIC, diversi biliaris dapat menghilangkan pruritus bila dikerjakan sebelum terjadi fibrosis hati yang bermakna. 5.
Injuri (jejas) toksik Penyebab injuri toksik yang paling sering menimbulkan kolestasis pada bayi adalah nutrisi parenteral total. Kolestasis progresif yang terjadi pada bayi yang mendapat nutrisi parenteral total timbul terutama pada bayi dalam keadaan kritis dan lebih sering pada bayi prematur karena mekanisme pembentukan empedunya masih belum berkembang. Tergantung dari umur kehamilan, profil asam empedu fetal mungkin menetap yaitu lebih banyaknya asam empedu litokolat yang dibentuk daripada bayi yang lebih besar. Asam litokolat bersifat toksik. Keadaan puasa akan mengganggu sirkulasi enterohepatik, mengurangi sekresi hormon-hormon intestinal yang diperlukan untuk fungsi normal hepatobiliaris, dan mempermudah berkembangnya bakteri tumbuh lampau di usus halus yang berpotensi membentuk endotoksin atau mengubah asam empedu menjadi lebih toksik. Mungkin pula terjadi translokasi bakteri. Semua mekanisme ini dipersulit lagi oleh faktor sistemik seperti hipoksia atau hipoperfusi, infeksi lokal atau sistemik dan obat-obat yang digunakan. Defisiensi nutrisi spesifik mungkin pula berpengaruh, misalnya: tidak adanya taurin, asam lemak esensial, karnitin dan antioksidan seperti vitamin E, selenium dan glutation. Kolestasis yang terjadi mungkin sangat hebat sehingga menyerupai obstruksi traktus biliaris ekstrahepatik dengan tinja berwarna dempul dan GGT serta aminotransferase yang meningkat. Pada biopsi hati didapatkan kolestasis dengan nekrosis hepatoselular, lipofusin yang berlebihan, infiltrasi lemak, transformasi giant cells ringan, infiltrasi inflamasi daerah portal, beberapa proliferasi duktulus biliaris dengan atau tanpa fibrosis porta. Dengan mikroskop elektron, dapat diperlihatkan kristal kolesterol dalam sel hepatosit.5,27
Tatalaksana1,21 Tujuan tatalaksana kolestasis intrahepatik adalah: 1. Memperbaiki aliran empedu dengan cara: a. Mengobati etiologi kolestasis dengan medikamentosa pada kolestasis hepatoselular yang dapat diobati seperti terlihat pada tabel. 5 untuk beberapa kelainan tertentu. b. Menstimulasi aliran empedu dengan:
- Fenobarbital: bermanfaat sebagai antipruritus dan dapat mengurangi kuning. Mekanisme kerjanya yaitu meningkatkan aliran empedu dengan cara menginduksi enzim UDP-glukuronil transferase, sitokrom P-450 dan Na+K+ATP-ase. Tetapi pada bayi jarang dipakai karena efek sedasinya dan mengganggu metabolisme beberapa obat diantaranya vitamin D, sehingga dapat mengeksaserbasi ricketsia. Dosis: 3-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam dua dosis. - Asam ursodeoksikolat: asam empedu tersier yang mempunyai sifat lebih hidrofilik serta tidak hepatotoksik bila dibandingkan dengan asam empedu primer serta sekunder sehingga merupakan competitive binding terhadap asam empedu toksik. Selain itu asam ursodeoksikolat ini merupakan suplemen empedu untuk absorpsi lemak. Khasiat lainnya adalah sebagai hepatoprotektor karena antara lain dapat menstabilkan dan melindungi membran sel hati serta sebagai bile flow inducer karena meningkatkan regulasi sintesis dan aktivitas transporter pada membran sel hati. Dosis: 10-20 mg/kgBB/hari. Efek samping : diare, hepatotoksik. - Kolestiramin dapat menyerap asam empedu yang toksik sehingga juga akan menghilangkan gatal. Kolestiramin dapat mengikat asam empedu di lumen usus sehingga dapat menghalangi sirkulasi enterohepatik asam empedu serta meningkatkan ekskresinya. Selain itu, kolestiramin dapat menurunkan umpan balik negative ke hati, memacu konversi kolesterol menjadi bile acids like cholic acid yang berperan sebagai koleretik. Kolestiramin biasanya digunakan pada manajemen jangka panjang kolestasis intrahepatal dan hiperkolesterolemia. Dosis: 0,25-0,5 g/kgBB/hari. Efek samping: konstipasi, steatorrhea, asidosis metabolik hiperkloremik. - Rifampisin: dapat meningkatkan aktivitas mikrosom serta menghambat ambilan asam empedu oleh sel hati dan mengubah metabolismenya, sehingga dapat menghilangkan gatal pada 50% kasus. Efek sampingnya adalah trombositopenia dan hepatotoksisitas yang terjadi pada 5%-10% kasus. Dosis: 5 -10 mg/kgBB/hari. Tabel 20.5. Tatalaksana spesifik pada beberapa penyebab sindrom hepatitis neonatal Penyebab Infeksi - Toksoplasma - Sitomegalovirus - Herpes simpleks - Sifilis - Sepsis/infeksi bakteri lain - Tuberkulosis Toksik - Nutrisi parenteral total Sumber : Suchy26
2. Nutrisi32
Tatalaksana spesifik Spiramisin Gancyclovir, bila berat Acyclovir Penicillin Antibiotik yang sesuai OAT ( 4 jenis tanpa ethambutol) Asupan oral, ursodeoksikolat
metronidazol,
Kekurangan Energi Protein (KEP) sering terjadi sebagai akibat dari kolestasis (terjadi pada lebih dari 60% pasien). Steatorrhea sering terjadi pada bayi dengan kolestasis. Penurunan ekskresi asam empedu menyebabkan gangguan pada lipolisis intraluminal, solubilisasi dan absorbsi trigliserid rantai panjang. Maka pada bayi dengan kolestasis diperlukan kalori yang lebih tinggi dibanding bayi normal untuk mengejar pertumbuhan. Karena itu untuk menjaga tumbuh kembang bayi seoptimal mungkin dengan terapi nutrisi digunakan formula spesial dengan jumlah kalori 120%-150% dari kebutuhan normal serta vitamin, mineral dan trace element: a. Formula MCT (medium chain triglyceride) karena relatif lebih larut dalam air sehingga tidak memerlukan garam empedu untuk absorpsi dan menghindarkan makanan yang banyak mengandung cuprum (tembaga). b. Kebutuhan kalori umumnya dapat mencapai 125% kebutuhan bayi normal sesuai dengan berat badan ideal. Kebutuhan protein :2-3 gr/kgBB/ hari. c. Vitamin yang larut dalam lemak: - A : 5000-25000 U/hari - D3 : Calcitriol: 0,05 –0,2 ug/kgBB/hari - E : 25-50 IU/kgBB/hari - K : Kl 2,5-5 mg/2-7x/minggu d. Mineral dan trace element: Ca, P, Mn, Zn, Selenium, Fe. 3. Terapi komplikasi yang sudah terjadi misalnya hiperlipidema/xantelasma dengan kolestipol dan pada gagal hati serta pruritus yang tidak teratasi adalah transplantasi hati.8 4. Dukungan psikologis dan edukasi keluarga terutama untuk penderita dengan kelainan hati yang progresif yang memerlukan transplantasi hati.8
Prognosis Tergantung penyakit dasar, prognosis umumnya baik yaitu 60% sembuh pada kasus sindrom hepatitis neonatal yang sporadik, sementara pada kasus yang bersifat familial, prognosisnya buruk (60% meninggal). Prognosis hepatitis neonatal idiopatik biasanya baik dengan mortalitas sebesar 13%-25%. Prediktor untuk prognosis yang buruk adalah: kuning hebat yang berlangsung lebih dari 6 bulan, tinja dempul, riwayat penyakit dalam keluarga, hepatomegali persisten dan terdapatnya inflamasi hebat pada hasil biopsi hati.
Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6.
7.
Desmet VJ, Callea F. Cholestatic syndromes of infancy and childhood. Dalam: Zakim D, Boyer TD, penyunting. Hepatology. A Textbook of liver disease; edisi ke-2. Philadelphia: Saunders. 1990: 1355-95. Haber BA, Lake AM. Cholestatic jaundice in the newborn. Clins Perinatology 1990; 17: 483-506. Sellinger M, Boyer JL. Physiology of bile secretion and cholestasis. Dalam: Popper H, Schaffner F, penyunting. Progress in Liver Disease; Vol IX. New York: Saunders. 1990: 237-59. Mews C, Sinarta FR. Cholestasis in infancy. Pediatr Rev. 1994; 15: 233-40. Roberts EA. The jaundiced baby. Dalam: Kelly DA, penyunting. Diseases of the liver and biliary system in children, edisi ke-1. Oxford: Blackwell Science. 1999: 11-45. Moyer MS, Balistreri WF. Prolonged neonatal obstructive jaundice. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR et al, penyunting. Pediatric gastrointestinal disease. Pathophysiology, diagnosis, management; edisi ke-1. Philadelphia: Decker. 1991: 835-48. Shah HA, Spivak W. Neonatal cholestasis. New approaches to diagnostic evaluation and therapy. Pediatr Clin North Am. 1994; 41: 943-66.
8. 9. 10. 11. 12.
13. 14. 15.
16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32.
33. 34.
Arce DA, Costa H, Schwarz SM. Hepatobiliary disease in children. Clinics in Family Practice. 2000; 2: 1-36. Mowat AP. Hepatitis and cholestasis in infancy: intrahepatic disorders. Dalam: Mowat AP, penyunting. Liver disorders in childhood, edisi ke-3. Oxford: Butterworth-Heinemann. 1994: 43-78. Bolder U, Ton-Nu HT, Schteingart CD, Frick E, Hofmann AF. Hepatocyte transport of bile acids and organic anions in endotoxemic rats: Impaired uptake and secretion. Gastroenterology. 1997; 112: 214-25. Boyer JL. Bile secretion models, mechanisms, and malfunctions. A perspective on the development of modern cellular and molecular concepts of bile secretion and cholestasis. J Gastroenterol. 1996; 3: 475-81. Erlinger S. Pathophysiology of cholestasis. Dalam: Lentze M, Reichen J, penyunting. Paediatric cholestasis. Novel approaches to treatment. Proceeding of the 63th Falk Symposium. October 9-10 1991. London: Kluwer. 1992: 49-54. D’Agata ID, Balistreri WF. Evaluation of liver disease in the pediatric patient. Pediatr Rev. 1999; 20: 376- 89. Mieli-Vergani G, Howard ER, Mowat AP. Liver disease in infancy: a 20 year perspective. Gut. 1991; 8(suppl): 123-8. Chang MH. Differential diagnosis of cholestasis in infancy. Dalam: Suharyono, Firmansyah A, Syarif BH, penyunting. Asian Pan Pacific society for paediatric gastroenterology and nutrition. Coordinating Working Unit of Gastroenterology Indonesian Society of Paediatricians; December 16-19, 1996; Jakarta: IDAI. 1996: 213-24. Schwoebel A, Gennaro S. Neonatal Hyperbilirubinemia. J Perinat Neonat Nurs. 2006; 20: 103-7. Bisanto J, Jong DM, Oswari H, Purnamawati SP. Gambaran kolestasis pada bayi di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Abstrak PIT IKA II, IDAI, Batam. 12-14 Juli 2004. Karpen SJ. Mechanisms of Bile Formation and Cholestasis. In: Suchy FJ, Sokol RJ, Balisteri W, eds. Liver Disease in Children. 3rd ed. New York: Cambridge University Press. 2007. Sherlock S, Dooley J. Cholestasis. Dalam: Sherlock S, Dooley J, penyunting. Disease of the liver and biliary system; edisi ke-10. London Blackwell Science. 1997: 217-37. Trauner M, Meier PJ, Boyer JL. Molecular pathogenesis of cholestasis. N Eng J Med. 1998; 339: 1217-27. Kennedy MS, Balistreri WF. Pediatric liver disease. Hyperbilirubinemia. Dalam: Friedman LS, Keffe EB, penyunting. Handbook of liver disease, edisi ke-1. Edinburgh: Churchill Livingstone. 1998: 316-20. Sinha CK, Davenport M. Biliary Atresia. 2008; 13: 49-56. Bisanto J, Putra IA, Hadinegoro SR. Clinical and laboratory manifestations of cholestasis in infancy. In Press. Sera J, Ikeda S, Akadi M. Ultrasonographic studies for the diagnosis of infantile cholestatic disease. Dalam: Ohi R, penyunting. Proceeding of the 4th International symposium on biliary atresia. Sendai. 1986: 106-9. Venigalla S, Gourley GR. Neonatal Cholestasis. J Ar Neonat For. 2005; 2: 27-34. Suchy FJ. Approach to the infant with cholestasis. Dalam: Suchy FJ,Sokol RJ, Balistreri WF, penyunting. Liver disease in children; edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams Wilkins. 2001: 187-94. Phillips MJ, Suchy FJ. Mechanism and morphology of cholestasis. Dalam: Suchy FJ, Sokol RJ, Balistreri WF, penyunting. Liver disease in children; edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams Wilkins. 2001: 23-38. Whitington P, Emerick KM. Cholestasis. eMed J, April 11,2003. Diunduh dari http://www. emedicine.com/ped/topic 383.htm. Diakses 26 Februari 2004. Zallen, GS, Bliss DW, Curran TJ. Biliary Atresia. Pediatr in Rev. 2006; 27: 243-48. Oswari H, Harijadi, Bisanto J, Purnamawati SP. Kolestasis intrahepatik pada bayi dengan infeksi saluran kemih. Abstrak PIT IKA II, IDAI, Batam, 12-14 Juli 2004. Whitington PF. Chronic cholestasis of infancy. Pediatr Clin North Am. 1996; 43: 1-26. Feranchak AP, Ramirez RO, Sokol RJ. Medical and nutritional Management of cholestasis. Dalam: Suchy FJ,Sokol RJ, Balistreri WF, penyunting. Liver disease in children; edisi ke-2. Philadelphia: LippincottWilliams Wilkins. 200: 195-238. Piccoli DA, Spinner NB. Alagille Syndrome and the Jagged 1 Gene.Semin Liver Dis. 2001; 21: 525-34. Bull LN, Carlton,VE, Stricker NL et al. Genetic and morphological findings in progressive familial intrahepatic cholestasis (Byler disease PFIC-1 and Byler syndrome) evidence for heterogeneity. Hepatology. 1997; 26: 155-64.
BAB XXI HIPERTENSI PORTA Hanifah Oswari
Ilustrasi kasus Seorang anak lelaki, 4 tahun, dirawat untuk pertama kalinya di Departemen Ilmu Kesehatan Anak pada tanggal 18 Agustus 2003 dengan keluhan utama hematemesis dan melena sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Sejak 8 bulan sebelumnya perut terlihat membesar. Dua bulan sebelumnya pasien juga mengalami hematemesis melena 1 kali. Keluhan ini hanya berlangsung 1 hari dan menghilang tanpa diobati. Sejak 1 bulan lalu, perut pasien terlihat makin membesar dan pasien terlihat pucat. Orang tua membawa pasien berobat ke dokter spesialis anak dan dianjurkan untuk berobat ke RS. Sejak lahir pasien tidak pernah kuning, tidak ada riwayat infeksi tali pusat ataupun dirawat saat neonatus. Urin tidak pernah berwarna coklat seperti teh. Pada pemeriksaan fisik anak tampak sakit berat, kompos mentis, dan pucat, serta sklera tidak ikterik. Laju nadi, laju jantung 124 x/menit, isi cukup, teratur. Frekuensi nadi basal 90x/menit. Laju napas 24 x/menit, teratur, suhu aksila 37,8oC. Jantung dan paru tidak ditemukan kelainan. Perut membuncit, tidak terlihat venektasi. Perabaan lemas, turgor cukup, tidak terdapat nyeri tekan, hati teraba 2 cm di bawah procesus xyphoideus, 2 cm di bawah arkus aorta. Limpa teraba 3 cm di bawah arkus kosta kiri. Tidak ditemukan adanya asites. Palmar eritema juga tidak ditemukan. Pemeriksaan darah tepi menunjukkan kadar hemoglobin 4,1 g/dl, leukosit 13.300/l, trombosit 315.000/l, hitung jenis (%): basofil 0%, eosinofil 0%, batang 0%, segmen 42%, limfosit 53% dan monosit 5%. Hitung trombosit 315.000/l. Albumin 3,8 g/dl (3,5-5,5), kolesterol 145 mg% (140-250), SGOT 20 mU/ml (N:
View more...
Comments