Brown Tumor

November 5, 2017 | Author: Fikri Putro | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

tumor coklat...

Description

Brown tumor merupakan lesi jinak pada tulang yang terdiri atas jaringan fibrosa, osteoklas dan darah. Kandungan hemosiderin, memberikan warna coklat yang khas, memberikan nama pada tumor ini. Brown Tumor merupakan penyakit tulang yang terjadi akibat komplikasi hiperparatiroid kronis. Keadaan ini dapat timbul pada hiperparatiroid primer, namun dapat pula terlihat pada hiperparatiroid sekunder akibat gagal ginjal kronik sebagai kelanjutan dari renal osteodistrofi yang tidak tertangani dengan baik. Pengobatan Brown tumor ditujukan pada pengontrolan kadar paratiroid sesuai dengan penyebab hiperparatiroid. Pada gagal ginjal, brown tumor dapat ditatalaksana secara medikamentosa melalui pembatasan asupan fosfor, pemberian pengikat fosfor, pemberian supplement vitamin D, dan hemodialisa untuk kasus gagal ginjal berat. Umumnya brown tumor dapat hilang dengan pengontrolan tersebut, sehingga tidak diperlukan tindakan operasi. Pada kasus yang berat, dimana telah terbentuk massa kistik, terkadang diperlukan tindakan operasi untuk mencegah terjadi fraktur patologis dan deformitas. Oleh karena itu, proses screening, diagnosis dini dan tatalaksana awal yang optimal pada hiperparatiroid sekunder akibat gagal ginjal kronis penting, baik untuk mencegah terjadinya brown tumor maupun dalam penanganan brown tumor sehingga tidak menimbulkan komplikasi. Dalam makalah ini, penulis mencoba mengulas mengenai definisi, patogenesis hiperparatiroid sekunder pada gagal ginjal, patogenesis brown tumor, gambaran klinis serta pemeriksaan penunjang dalam rangka penegakan diagnosis. Dalam makalah ini, penulis juga mencoba mengulas secara singkat mengenai tatalaksana medikamentosa dan pembedahan pada kasus brown tumor dan hiperparatiroid sekunder. Fulltext Brown Tumor pada Gagal Ginjal Kronik Brown tumor merupakan suatu lesi litik pada tulang sebagai akibat keadaan hiperparatiroid kronis. Lesi litik yang terjadi disebabkan oleh peningkatan aktivitas osteoklas dan pembentukan fibrosis peritrabekular. Lesi ini berupa akumulasi lokal dari jaringan fibrosa dan sel raksasa multinuklear. Pada keadaan lanjut dapat mengalami nekrosis, sehingga menghasilkan gambaran seperti kista. Proses ini lebih mengarah pada suatu proses reparasi sel dari pada suatu proses neoplasia. Istilah Tumor Brown pertama kali digunakan untuk menerangkan lesi yang terjadi pada hiperparatiroid primer.[i] Baru pada tahun 1963, istilah ini digunakan pada lesi yang terjadi akibat hiperparathiroid sekunder, yang dapat terjadi pada gagal ginjal kronis, terutama yang telah lama menjalani hemodialisis [ii] Brown tumor pada pasien gagal ginjal merupakan kelanjutan dari renal osteodistrofi yang tidak tertangani dengan baik[iii]. Tumor ini umumnya terjadi

pada tulang panjang, iga dan pelvis, namun dapat terjadi pada tulang lain seperti pada rahang, dan vertebra3. Epidemiologi Brown tumor lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria. Insidennya meningkat seiring dengan peningkatan usia. Dilaporkan insiden brown tumor berkisar 1,5 sampai 13% pada gagal ginjal kronis [iv]. Pathogenesis Brown tumor merupakan kelainan tulang pada sekresi hormon paratiroid yang berlebih dalam jangka panjang. Keadaan ini disebut sebagai hiperparatiroid. Hiperparatiroid dapat terjadi primer dan sekunder. Hiperparatiroid primer dapat ditemukan pada adenoma paratiroid, hyperpalasia parathyorid dan carcinoma paratiroid. Hiperparatiroid sekunder secara umum terjadi sebagai reaksi tubuh terhadap penurunan kadar kalsium dalam darah dalam jangka panjang. Keadaan ini umumnya dapat ditemukan pada gagal ginjal kronis, terutama pada pasien yang tergantung pada dialisis [v],[vi]. Hiperparatiroid sekunder juga dapat ditemukan pada keadaan kekurangan asupan kalsium dan kekurangan asupan vitamin D5. Beberapa faktor yang berperan terhadap timbulnya hiperparatiroid pada gagal ginjal meliputi peningkatan retensi fosfat, resistensi tulang terhadap hormon paratiroid, malabsorbsi kalsium di saluran cerna dan inhibisi produksi 1,25(OH)2D5,[vii].

Gangguan pengeluaran fosfat yang terjadi pada penyakit gagal ginjal kronik, mengakibatkan peningkatan kadar fosfat dalam darah. Peningkatan ini menyebabkan penurunan kalsium bebas dalam darah5. Selain itu, pada gagal ginjal kronis juga terjadi gangguan produksi 1,25(OH)2D3 (bentuk aktif dari vitamin D) yang kemudian mengakibatkan penurunan absorpsi kalsium pada saluran cerna. Kombinasi keadaan ini memperberat keadaan hipakalsemia yang ada, sehingga terjadi mekanisme kompensasi tubuh dengan meningkatkan produksi hormon paratiroid7. Hormon paratiroid berperan penting dalam metabolisme kalsium. Hormon ini dihasilkan oleh kelenjar paratiroid. Pada tulang, hormon paratiroid merangsang pelepasan kalsium, sedangkan pada ginjal, hormon paratiorid merangsang reabsorpsi kalsium dan menghambat reabsorpsi fosfat. Selain itu, hormon paratiroid juga merangsang produksi 1α-hirdoksilase oleh ginjal, sehingga terjadi peningkatan absorpsi kalsium di usus. Hasil dari semua aksi hormo paratiroid ini adalah peningkatan kadar kalsium didarah darah dan penurunan kadar fosfat di dalam darah. Mekanisme kerja hormon paratiroid pada tulang yaitu dengan cara meningkatkan pengambilan kalsium pada proses turn-over tulang, yang melibatkan pengaturan

aktivitas osteoklas dan osteoblas. Pada keadaan hiperparatiroid, terjadi peningkatan aktivitas osteoklas sehingga mengakibatkan abnormalitas pada tulang. Abnormalitas tulang yang terjadi pada hiperparatiroid sekunder lebih ringan dibanding pada hiperparatiroid primer.

Peningkatan proses turn-over tulang, yang terjadi pada hiperparatiorid, ditandai dengan peningkatan resorpsi tulang, melalui peningkatan aktivitas osteoklas, sehingga menyebabkan penipisan korteks. Pada saat yang bersamaan, juga terjadi akumulasi jaringan ikat fibrosa dan sel raksasa multinuklear serta penumpukan osteoid yang membentuk fibrosis peritrabekular. Bila keadaan ini dibiarkan, dapat terjadi nekrosis sentral dan pembentukan kista4. Keadaan fibrosis peritrabekular ini disebut sebagai osteitis fibros cystic5. Adanya mikro-fraktur, sebagai akibat dari penipisan korteks, mengakibatkan perdarahan sekunder dan penumpukan hemosiderin sehingga membuat tampilan makroskopik massa tersebut berwarna kecoklatan. Massa inilah yang kemudian dinamakan brown tumor.[i] Bila proses ini terus berlanjut, maka dapat menimbulkan fraktur patologis[ii],[iii] Tampilan makroskopis brown tumor terlihat sebagai massa rapuh berwarna coklat kemerahan yang menggantikan struktur normal tulang 5,[iv] seperti yang dapat dilihat pada gambar 1. Gambar 1. potongan tumor brown pada iga memperlihatkan gambaran lesi multilokular, meluas dan hemoragik11 Gejala klinis Secara klinis, hiperparatiroid tampil sebagai “stones, bones and groans”. Stones mengacu pada batu ginjal berulang. Bone mengacu pada lesi pada tulang yang terjadi pada kasus yang berat dan lama. Groans menggambarkan gejala gastrointestinal seperti mual, muntah, ulkus peptikum dan pankreatitis.7 Brown tumor ditemukan lebih sering pada wanita di bandingkan pria. Insiden kejadian meningkat sesuai dengan umur. Pada wanita usia diatas 50 tahun, insidennya tiga kali lebih sering dibandingkan pria. Gejala klinis yang terjadi tergantung pada ukuran dan lokasi tumor. Brown tumor umumnya bersifat asimtomatik dan tidak memerlukan pengobatan.2 Pada kasus tertentu, dapat timbul gejala berupa nyeri, kaku, edema, dan deformitas. Brown tumor dapat mengenai semua tulang, timbul sebagai massa lembut dan elastis pada palpasi. Lokasi terbanyak terjadi pada metafisis dan diafisis tulang panjang, pelvis. Pada beberapa literatur juga dilaporkan timbul pada rahang, iga, tangan dan pada vertebra.[i],[ii] Brown tumor pada wajah dapat tumbuh progresif sehingga menimbulkan kecacatan berat, gangguan mengunyah, sampai dengan gangguan nafas.12

Dilaporkan pula, brown tumor pada vertebra dapat mengakibatkan kompresi saraf bahkan sampai fraktur kompresi5. Pemeriksaan penunjang Laboratorium Pemeriksaan laboratorium yang dibutuh pada kasus brown tumor meliputi pemeriksaan kadar kalsium, fosfor, dan hormon paratiroid. Pemeriksaan tersebut dilakukan dalam rangka penegakan diagnosis dan evaluasi tatalaksana Dalam darah, kalsium terdapat dalam bentuk ion bebas, dan berikatan dengan albumin. Sekresi hormon paratiroid dipengaruhi oleh bentuk bebas kalsium. Oleh karena itu, hasil diperlukan penyesuaian nilai hasil pemeriksaan kalsium dengan rumus ((0.8x(4-albumin)+ Ca yang terukur). Pada hiperparatiroid sekunder, umumnya didapatkan peningkatan kadar kalsium darah sebagai hasil dari peningkatan hormon paratiroid. Tetapi pada beberapa kasus, kadar kalsium plasma dapat normal. Karena itu, kadar kalsium darah tidak dapat digunakan sepenuhnya penegakan diagnosa. Kadar fosfor darah pada kasus hiperparatiroid meningkat oleh karena resistensi fosfor yang terjadi. Pemeriksaan ini penting dalam pengawasan pengobatan. Kadar hormon paratiroid penting dalam penegakan diagnosa dan evaluasi pengobatan brown tumor. Pada pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis, direkomendasikan untuk mempertahankan kadar hormon paratiroid pada tingkat 150-300 pg/ml level.[i] Radiologis Secara radiologis, brown tumor terlihat sebagai lesi litik berbatas tegas dengan bagian bersepta-septa didalamnya dan dapat timbul pada tulang manapun. Gambaran korteks pada tumor menipis dan terjadi perluasan. Pada stadium yang lanjut, dapat terjadi gambaran sklerosis. Pada kasus yang mengenai vertebrae, secara radiologis sulit membedakan batas dari suatu tumor brown oleh karena bayangan yang tumpang tindih. Sehingga diperlukan pemeriksaan CT scan. Gambaran CT scan brown tumor didasarkan pada perbedaan nilai attenuasi yang berada antar darah dan jaringan fibrosa2. Pemeriksaan bone scan pada Brown tumors jarang dilakukan. Pada bone scan, tumor ini umumnya hipervaskular, terlihat peningkatan aktivitas menyeluruh dengan uptake radionuklida yang menonjol pada fase immediate blood flow. Pada bone scan 3 fase, penyagatan dapat terjadi pada ke-3 fase, menandakan adanya perfusi regional, dan pembentukan osteoid [i], Pada MRI, gambaran brown tumor terlihat sebagai lesi dengan intensitas rendah dengan fokus intensitas yang meningkat2. Fokus tersebut berkaitan dengan spot perdarahan (hemosiderin).

Mikroskopis Biopsi pada brown tumor cukup dengan menggunakan tru-cut needle. Pada hiperparatiroid primer, tindakan biopsi diperlukan karena brown tumor dapat menjadi manifestasi awal dari penyakit. Brown tumor pada gagal ginjal kronis tidak diperlukan biopsi karena perjalanan klinis dari hiperparatiroid sekunder dan pemeriksaan laboratorium sudah cukup untuk menegakkan diagnosis. Secara histologi, brown tumor terdiri atas jaringan ikat fibrosa dengan kelompok sel mononuklear, sel raksasa mulinuklear dan peningkatan jumlah serta aktifitas osteoklas pada permukaan tulang serta fokus-fokus hemosiderin 5,[ii]. Gambar 4. terlihat gambaran hiperselular sumsum tulang dengan fokus area fibrosis (kiri); perdarahan lokal dan sel raksasa yang berkelompok merupakan gambaran khas brown tumor (H&E x 25 obj) (kanan) Gambaran histologis tersebut mirip dengan tumor sel raksasa, granuloma sel raksasa dan kista tulang aneurismal karena sama sama menampilkan gambaran makrofag multinuklear dengan pertumbuhan jaringan ikat fibrosa sekunder [i], [ii]. Oleh karena itu, kadar hormon paratiroid menentukan dalam penegakan diagnosis. Pemeriksaan sitologi pada kasus brown tumor tidak dapat digunakan dalam penegakan diagnosis. Pemeriksaan ini dapat menolong membedakan lesi ganas dan lesi jinak .[iii] Diagnosis Banding Pada brown tumor, Gambaran lokal resopsi tulang juga didapatkan pada penyakit neoplasia lain seperti pada tumor sel raksasa (true giant cell tumors, giant cell granulomas) dan kista tulang aneurismal Pada tumor sel raksasa, sel spindel lebih bengkak, dan sel raksasa multinuklear (makrofag) terdistribusi lebih merata dan cenderung tidak aggregates, juga tidak didapatkan perdarahan intertitial 8. Kista tulang aneurismal, lebih utama pada wanita, terjadi pada usia 10 sampai 20 tahun. Pada pemeriksaan MRI, kelainan ini terdiri atas gambaran kista multilokular dengan adanya fluid level. Dikarenakan terdapat kesamaan dalam gambaran radiologi dan histologi antara brown tumor, dengan giant cell tumor (true giant cell tumors, giant cell granulomas) dan kista tulang aneurismal, maka diagnosis brown tumour bergantung pada adanya keadaan hiperparatiroid.14 Tatalaksana Tatalaksana brown tumor ditujukan untuk mengkoreksi kadar hormon paratiroid yang dicapai dengan menggunakan medikamentosa atau dengan

paratiroidektomi. Hiperparatiorid primer diperlukan tindakan operasi untuk mengangkat neoplasma paratiroid. Sedangkan pada hiperparatiroid sekunder, seperti yang terjadi pada gagal ginjal kronis, umumnya dapat ditatalaksana medikamentosa. Pada gagal ginjal kronik, brown tumor ditatalaksana dengan mengontrol kadar hormon paratiroid, calcium dan fosfor yang dapat dicapai dengan hemodialisa, restriksi fosfat, dan pemberian 1,25(OH)2D atau dengan transplantasi ginjal. Tujuan dari tatalaksana ini ialah untuk mengembalikan kelainan tulang yang ada dan mencegah penumpukan kalsium fosfat ekstra skeletal5 Rekomendasi target kadar kalsium, fosfor dan hormon paratiroid pada pasien gagal ginjal dapat dilihat pada tabel 1 Parameter Gagal ginjal stadium 3 Gagal ginjal stadium 4 Gagal ginjal stadium 5 Ca* 8,4-10,5 8,4-10,5 8,4-9,5 P 2,7-4,6 2,7-4,6 3,5-5,5 iPTH 35-70 70-110 150-300 *Coreccted Ca = [0.8x(4-albumin)] + Ca yang terukur Tabel 1. Rekomendasi target pengobatan pada gagal ginjal kronik Medikamentosa

Tatalaksana medikamentosa pada kasus hiperparatirod sekunder yang menjalani hemodialisis mencakup modifikasi diet dengan suplementasi kalsium dan restriksi fosfat, pemberian pengikat fosfat, supplementasi vitamin D. Pada hiperparatiroid sekunder, kadar fosfor serum harus dikendalikan dengan diet rendah fosfor (terutama daging dan susu). Asupan fosfor harian dianjurkan sebesar 400-900ml/hari. Sedangkan asupan kalsium dari makanan dianjurkan sebesar 1000-1400mg/hari. Penurunan kadar fosfor dapat meningkatkan konsentrasi 1,25(OH)2D dan penurunkan kadar hormon paratiroid melalui mekanisme umpan balik yang ada. Pada gagal ginjal terminal (GGK stage 5), dengan Laju Filtrasi Glomerulus < style=""> diperlukan pemberian pengikat fosfor. Pengikat fosfor ini bekerja dengan mengikat fosfor makanan pada saluran cerna sehingga terjadi penurunan absorpsi fosfat. Pengikat fosfat biasanya diminum 5-10 menit sebelum atau sesaat setelah makan. Pengikat fosfor dapat dikategorikan dalam beberapa tipe yaitu: pengikat fosfor berbasis kalsium, pengikat fosfor bebas-aluminium dan bebas kalsium, pengikat fosfor berbasis aluminium dan pengikat fosfor berbasis magnesium. Pengikat fosfor berbasis kalsium digunakan untuk menggantikan pengikat fosfor berbasis aluminium. Obat ini juga dapat berfungsi sebagai suplemen kalsium. Terdapat dua jenis pengikat fosfat berbasis kalsium yang beredar. Kalsium asetat dan Kalsium karbonat. Kadar kalsium harus dipantau dalam penggunaan pengikat fosfor jenis ini. Kalsium dari kedua bahan pengikat tersebut dapat masuk ke dalam aliran darah menyebabkan kerusakan organ. Pengikat fosfor bebas-aluminium, bebas-kalsium merupakan jenis pengikat fosfat yang terbaru yang efektif dalam mengontrol kadar fosfat karena tidak mengandung kadar aluminium dan kalsium. Pengikat fosfor berbasis aluminium merupakan pengikat fosfat yang pertama kali digunakan. Obat ini terbukti memiliki efek samping toxic yang menyebabkan risiko terjadinya demensia, efek samping gastro intestinal, dan perubahan mineral tulang. Obat ini sudah sangat jarang diberikan. Obat ini biasanya digunakan untuk jangka pendek, bila obat pengikat fosfor lain tidak efektif. Pengikat fosfor berbasis magnesium dapat digunakan sebagai alternatif pengikat fosfat dimana diperlukan restriksi asupan kalsium. Pengikat fosfat ini cocok untuk pasien dengan dialisis peritoneal (PD), yang cenderung memiliki kadar magnesium yang rendah. Asupan vitamin DTambahan asupan vitamin D diperlukan untuk mengatasi penurunan produksi 1,25(OH)2 vitamin D di ginjal, sehingga dapat meningkatkan absrobsi kalsium pada saluran cerna. Vitamin D ini juga dapat menekan produksi hormon paratiroid. Beberapa literatur melaporkan pemberian vitamin D dosis tinggi dapat mengobati brown tumor.2,[iv]

Meskipun suplementasi vitamin D memberikan hasil yang baik pada banyak kasus, beberapa pasien memperlihatkan hiperparatiroid yang persisten ( paratiroid hormon lebih dari 800 to 1000 pg/mL). Mekenisme yang berperan dalam penurunan respon vitamin D disebabkan oleh timbulnya hiperplasi kelenjar paratiorid. Pada pasien dengan hiperpalasi kelenjar paratiroid, didapatkan penurunan yang bermakna dari reseptor vitamin D dan reseptor pegontrol kalsium (Calcium sensing Receptor). Oleh karena itu, pada awal stadium gagal ginjal, dapat diberikan vitamin D dalam dosis kecil guna mencegah hiperplasia tersebut. Terapi medikamentosa lain yaitu pemberian calcimimetik, zat yang dapat meniru efek kalsium ekstra selular. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan sensitifitas reseptor kalsium sehingga menyebabkan penurunan kadar paratiroid hormon yang cepat dalam beberapa jam. Dibandingkan dengan penggunaan supplementasi kalsium dan vitamin D saja, penambahan calcimimetik dapat mengurangi efek samping yang terjadi. Pembedahan Saat kadar hormon paratiroid dan gangguan metabolisme terkontrol, brown tumor dapat menghilang. Pada beberapa kasus, terutama kasus yang berat atau yang telah terjadi degenerasi kistik, tumor tidak hilang sempurna11. Sehingga perlu dilakukan reseksi tumor untuk menangani defek yang timbul. Pada kasus tertentu, reseksi tumor terkadang dilakukan sebelum tindakan medikametosa, seperti pada kasus kompresi spinal cord oleh tumor brown pada tulang belakang. Sehingga membutuhkan tindakan dekompresi segera [v]. Begitu pula pada kasus brown tumor pada wajah dengan gangguan nafas. Hiperparatiroid sekunder akibat gagal ginjal yang tidak respon terhadap pengobatan atau pada kasus dengan tingkat kepatuhan yang rendah, dimana telah terjadi hiperplasi kelenjar paratiroid ( hiperparatiroid tersier), dapat dilakukan paratidektomi subtotal atau total untuk menurunkan kadar paratiroid hormon.5,[vi],[vii] Pada kasus dengan fraktur patologis, diperlukan pengontrolan yang ketat pada keseimbangan mineral tulang (kadar fosfat, kalsium, hormon paratiroid) guna mendukung proses penyembuhan tulang. Dilaporkan, terjadi gangguan penyembuhan fraktur pada kasus hiperparatiroid yang disebabkan oleh gagal ginjal dengan gangguan metabolisme mineral tulang5. Evaluasi Berkala Evaluasi berkala terhadap hiperparatiroid penting dalam pencegahan dan tatalaksana Brown tumor. Pada gagal ginjal kronis, evaluasi dilakukan melalui pemeriksaan kadar kalsium, kadar fosfat dan kadar hormon paratiroid. Rekomendasi pemeriksaan berkala terhadap ketiga parameter tersebut dapat dilihat pada tabel 2.

Parameter Laboratorium Gagal Ginjal Stadium 3 Gagal Ginjal stadium 4 Gagal Ginjal stadium 5 Ca Setiap 12 bulan Setiap 3 bulan Setiap bulan P Setiap 12 bulan Setiap 3 bulan Setiap bulan iPTH Setiap 12 bulan Setiap 3 bulan Setiap 3 bulan Tabel 2. Rekomendasi frekuensi pemeriksaan berkala pada gagal ginjal kronis Pada kasus hiperparatiroid pada gagal ginjal kronik, yang tidak respon terhadap pengobatan atau dengan kepatuhan pasien yang rendah, diperlukan pemeriksaan USG paratiroid untuk melihat ada tidaknya hiperplasi kelenjar paratiroid[viii].

[i] Burns Dennis K, Kumar Vinay. The musculoskeletal system in: basic pathology 6th ed. Philadelphia, wb saunders 1992. Pg 670-3

[ii] Stevens alan, lowe james. Metabolic bone disease in: Phatology second ed. Mosby london 2000 pg 512-6.

- [iii] Pavlovic Sasha, Nagy Valyi tibor, Profirovic Jasmina, David Odile. Fine-needle aspiration of brown tumor of bone: Cytologic feature with radiologic and histologic correlation. Diagnostic Cytopathology 2009 (37): pg 136-9

[iv] Francisco AL. Secondary hyperparathyroidism: review of the disease and its treatment. Clin Ther 2004;26:1976-93.

[v] Bohlman M, Kim YC, Eagan J: Brown tumor in secondary hyperparathyroidism causing acute paraplegia. Am J Med 81:545–547, 1996.

[vi] Barlow IW, Archer IA: Brown tumor of the cervical spine. Spine 18:936–937, 1993.

[vii] Daniele Di Nicola, Condo Stefano, Ferrannini Michele, Bertoli Marta, Rovella Valentina, Renzo Di Laura, Lorenzo De Antonino. Brown tumor in a Pation with secondary hyperparathyroidism resistant to medical therapy: Case report on successful treatment after subtotal parathyroidectomy. International Journal of Endocrinology .2009

[viii] Schlosser K, Zielke A, Rothmund M. Medical and surgical treatment for secondary and tertiary hyperparathyroidism. Scan J Surg 2004 93 288-97

[i] Jordan KG, Telepak RJ, Syaeth J: Detection of hypervascular brown tumors on three–phase bone scan. J Nucl Med 34:2188–2190, 1993.

[ii] Cotran R, Kumar V, Robbins SL: Robbins Pathologic Basis of Disease. Philadelphia: WB Saunders, 1989.

[i] Yalcin Mehmet Burak, Hiz Murat, unlu mehmet can, dervisoglu sergulen, kenberoglu kaya, bilge ilmay, ercan oya. A case of brown tumor mimicking fibrous dysplasia in a patient with chronic renal failure. Acta Orthop Traumatol Turc 2008 42(4) 296-301

[i] Pinar Sumer A, Arik N, Sumer M, Karagoz F. A rare complication of secondary hyperparathyroidism. Brown tumor of the maxilla and mandible. Saudi Med J 2004;25:2010-20.

[ii] Peces R, Gil F, Gonzalez F, Ablanedo P. Multiple brown tumors in female hemodialyzed patient with severe secondary hyperparathyroidism. Nefrologia 2002;22:79-82.

[i] Balon pecovnik breda, kavalar rajko. Brown tumor in associated with secondary hyperparathyroidism. Am j nephrol 1998:18:460-463

[ii] Marx SJ. Hyperparathyroid and hypoparathyroid disorders. N Eng J Med 2000; 343: 1863-1875

[iii] Kalathas Theodoros, Kalatha Thalia, Boultoukas Evaggelos. Brown tumors: a possible pitfall in diagnosing metastattic disease. Hell J Nucl Med 2010; 13(1) 157

[iv] Chew Felix S, Hellinger Frank Huang. Brown tumor. AJR 1993. 160: pg 752

[i] Brown Thomas W, Genant Harry K, Hattner Robert S, Orloff Sheldon, Potter Donald E. Multiple Brown tumors in patient with chronic renal failure and secondary Hyperparathyroidism. Am J Roentgenol 1977 128 : pg 131-4

[ii] Leal Christianne TS et al. Surgical approach anf clinical outcome of deforming brown tumor at the maxilla in a patient with secondary hyperparathyroidism due to chronic renal failure. Arq Bras Endocrinol Metab. 2006 . 50. Pg 963-7

[iii] Pinto correa marlene et al, brown tumor in a patient with hyperparathyroidism secondary to chronic renal failure. Braz J otorhinolaryngol.2010 76(3)pg 404

[iv] Zuluaga german campuzano, perez william velasco, zuluaga juan ignacio marin. A g0-year-old man with chronic renal failure and a costal mass : a case report and review of the literature. J Med Case Reports 2009. 3 pg 7285-91

[v] Fineman igor, johnson Patrick, Patre Pier luigi, Sandhu Harvinder. Chronic Renal failure causing brown tumors and myelopathy. Journal of neurosurgery 90(2). 1999

[vi] Marini M, Vidiri A, Guerrisi R: Progress of brown tumors in patients with chronic renal insufficiency undergoing dialysis. Eur J Radiol 14:67–71, 1992.

[vii] Slatopolsky Eduardo, Brown Alex, Dusso Adriana. Pathogenesis of secondary hyperparathyoridism. Kidney int 1999: 56(S 73) pg S14-19

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF