Biografi Dan Pemikiran Fazlur Rahman
September 27, 2017 | Author: Subki Ali | Category: N/A
Short Description
Download Biografi Dan Pemikiran Fazlur Rahman...
Description
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN Fazlur Rahman dilahirkan pada tanggal 21 September 1919 di Hazara, suatu daerah di Anak Benua Indo-Pakistan yang sekarang terletak di barat laut Pakistan. Wilayah Anak Benua Indo-Pakistan sudah tidak diragukan lagi telah melahirkan banyak pemikir Islam yang cukup berpengaruh dalam perkembangan pemikiran Islam, seperti Syah Wali Allah, Sir Sayyid Ahmad Khan, hingga Sir Muhammad Iqbal. Nama keluarga Fazlur Rahman adalah Malak, namun nama keluarga Malak ini tidak pernah digunakan dalam daftar referensi baik di Barat ataupun di Timur. Fazlur Rahman dilahirkan dalam suatu keluarga Muslim yang sangat religius. Kerelegiusan ini dinyatakan oleh Fazlur Rahman sendiri yang mengatakan bahwa ia mempraktekan ibadah-ibadah keisalaman seperti shalat, puasa, dan lainnya, tanpa meninggalkannya sekalipun (1992: 59). Dengan latar belakang kehidupan keagamaan yang demikian, maka menjadi wajar ketika berumur sepuluh tahun ia sudah dapat menghafal Alquran. Adapun mazhab yang dianut oleh keluarganya ialah mazhab Hanafi. Walaupun hidup ditengah-tengah keluarga mazhab Sunni, Fazlur Rahman mampu melepaskan diri dari sekat-sekat yang membatasi perkembangan intelektualitasnya dan keyakinan-keyakinannya. Dengan demikian, Fazlur Rahman dapat mengekspresikan gagasan-gagasannya secara terbuka dan bebas. Seperti pendapat mengenai wajibnya shalat tiga waktu yang dijalani oleh penganut mazhab Syi’ah, Fazlur Rahman beranggapan bahwa praktek tersebut dibenarkan secara historis karena Muhammad saw. pernah melakukannya tanpa sesuatu alasan (Rahman, 2003: 41). Orang tua Fazlur Rahman sangat mempengaruhi pembentukan watak dan keyakinan awal keagamaannya. Melalui ibunya, Fazlur Rahman memperoleh pelajaran berupa nilai-nilai kebenaran, kasih saying, kesetiaan, dan cinta. Ayah Fazlur Rahman merupakan penganut mazhab Hanafi yang sangat kuat, namun beliau tidak menutup diri dari pendidikan modern. Tidak seperti penganut mazhab Hanafi fanatik lainnya ketika itu, Ayahnya berkeyakinan bahwa Islam harus memandang modernitas sebagai tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan. Pandangan ayahnya inilah yang kemudian mempengaruhi pemikiran dan keyakinan Fazlur Rahman (Rahman, 1992: 59). Selain itu, melalui tempaan ayahnya, Fazlur Rahman pada kemudian hari menjadi seorang yang bersosok cukup tekun dalam mendapatkan pengetahuan dari pelbagai sumber, dan melalui ibunyalah kemudian ia sangat tegar dan tabah dalam mengembangkan keyakinan dan pembaruan Islam (A’la, 2003: 34). Pada tahun 1933, Fazlur Rahman melanjutkan pendidikannya di sebuah sekolah modern di Lahore. Selain mengenyam pendidikan formal, Fazlur Rahman pun mendapatkan pendidikan atau pengajaran tradisinonal dalam kajian-kajian keislaman dari ayahnya, Maulana Syahab al Din. Materi pengajaran yang diberikan ayahnya ini merupakan materi yang ia dapat ketika menempuh pendidikan di Darul Ulum Deoband, di wilayah utara India. Ketika berumur empat belas tahun, Fazlur Rahman sudah mulai mempelajari filsafat, bahasa Arab, teologi atau kalam, hadis dan tafsir (A’la, 2003: 34). Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, Fazlur Rahman kemudian melanjutkan pendidikannya dengan mengambil bahasa Arab sebagai kosentrasi studinya dan pada tahun 1940 ia berhasil mendapatkan gelar Bachelor of Art. Dua tahun kemudian, tokoh utama gerakan neomodernis Islam ini berhasil menyelesaikan studinya di universitas yang sama dan mendapatkan gelar Master dalam bahasa Arab. Menurut Amal (1996: 80), ketika telah menyelesaikan studi Masternya dan tengah belajar untuk menempuh program Doktoral di Lahore, Fazlur Rahman pernah diajak oleh Abul A’la Mauwdudi, yang kelak menjadi “musuh” intelektualitasnya, untuk bergabung di Jama’at al Islami dengan syarat meninggalkan pendidikannya. Pada tahun 1946, Fazlur Rahman berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya di Oxford University. Keputusannya untuk melanjutkan studinya di Inggris dikarenakan oleh mutu pendidikan di India ketika itu sangat rendah. Dibawah bimbingan Profesor S. Van den Berg dan H A R Gibb, Fazlur Rahman berhasil menyelesaikan studinya tersebut dan memperoleh gelar Ph. D pada tahun 1949 dengan disertasi tentang Ibnu Sina. Disertasi Fazlur Rahman ini kemudian diterbitkan oleh Oxford University Press dengan judul Avicenna’s Psychology.
Selama menempuh pendidikan di Barat, Fazlur Rahman menyempatkan diri untuk belajar pelbagai bahasa asing. Bahasa-bahasa yang berhasil dikuasai olehnya diantaranya ialah Latin, Yunani, Inggris, Jerman, Turki, Arab dan Urdu (Sutrisno, 2006: 62). Penguasaan pelbagai bahasa ini membantu Fazlur Rahman dalam memperdalam dan memperluas cakrawala keilmuannya (khususnya studi keislaman) melalui penelusuran pelbagai literatur. Setelah menyelesaikan studinya di Oxford University, Fazlur Rahman tidak langsung ke negeri asalnya Pakistan (ketika itu sudah melepaskan diri dari India), ia memutuskan untuk tinggal beberapa saat disana. Ketika tinggal di tinggal di Inggris, Fazlur Rahman sempat mengajar di Durham University. Kemudian pindah mengajar ke Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada, dan menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy sampai awal tahun 1960. Menurut pengakuan Fazlur Rahman, ketika menempuh studi pascasarjana di Oxford University dan mengajar di Durham University, konflik antara pendidikan modern yang diperolehnya di Barat dengan pendidikan Islam tradisional yang didapatkan ketika di negeri asalnya mulai menyeruak. Konflik ini kemudian membawanya pada skeptisisme yang cukup dalam, yang diakibatkan studinya dalam bidang filsafat (Rahman, 1992: 60). Setelah tiga tahun mengajar di McGill University, akhirnya pada awal tahun 1960 Fazlur Rahman kembali ke Pakistan setelah sebelumnya diminta bantunnya oleh Ayyub Khan untuk membangun negeri asalnya, Pakistan. Menurut Moosa (2000: 2), permintaan Ayyub Khan kepada Fazlur Rahman ialah bertujuan untuk membawa Pakistan pada khittah berupa negara yang bervisi Islam Selanjutnya pada tahun 1962, Fazlur Rahman diminta oleh Ayyub Khan untuk memimpin Lembaga Riset Islam (Islamic Research Institute) dan menjadi anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam (The Advisory Council of Islamic Ideology). Motivasi Fazlur Rahman untuk menerima tawaran dari Ayyub Khan dapat dilacak pada keinginannya untuk membangkitkan kembali visi Alquran yang dinilainya telah terkubur dalam puing-puing sejarah (Rahman, 1992: 63). Kursi panas yang diduduki oleh Fazlur Rahman akhirnya menuai pelbagai reaksi. Para ulama tradisional menolak jika Fazlur Rahman mendudukinya, ini disebabkan oleh latar belakang pendidikannya yang ditempuh di Barat. Penentangan atas Fazlur Rahman akhirnya mencapai klimaksnya ketika jurnal Fikr-o-Nazar menerbitkan tulisannya yang kemudian menjadi dua bab pertama bukunya yang berjudul Islam. Pada tulisan tersebut, Fazlur Rahman mengemukakan pikiran kontroversialnya mengenai hakikat wahyu dan hubungannya dengan Muhammad saw. Menurut Fazlur Rahman, Alquran sepenuhnya adalah kalam atau perkataan Allah swt, namun dalam arti biasa, Alquran juga merupakan perkataan Muhammad saw. (Rahman, 2003: 33). Akibat pernyataan-pernyataannya tersebut, Fazlur Rahman dinyatakan sebagai munkir-i-Quran (orang yang tidak percaya Alquran). Menurut Amal (1994: 14-15), kontroversi dalam media masa Pakistan mengenai pemikiran Fazlur Rahman tersebut berlalu hingga kurang lebih satu tahun, yang pada akhirnya kontroversi ini membawa pada gelombang demonstrasi massa dan mogok total di beberapa daerah Pakistan pada September 1968. Menurut hampir seluruh pengkaji pemikiran Fazlur Rahman berpendapat bahwa penolakan atasnya bukanlah ditujukan kepada Fazlur Rahman tetapi untuk menentang Ayyub Khan. Hingga akhirya pada 5 September 1968 permintaan Fazlur Rahman untuk mengundurkan diri dari pimpinan Lembaga Riset Islam dikabulkan oleh Ayyub Khan. Pada akhir tahun 1969 Fazlur Rahaman meninggalkan Pakistan untuk memenuhi tawaran Universitas California, Los Angeles, dan langsung diangkat menjadi Guru Besar Pemikiran Islam di universitas yang sama. Mata kuliah yang ia ajarkan meliputi pemahaman Alquran, filsafat Islam, tasawuf, hukum Islam, pemikiran politik Islam, modernism Islam, kajian tentang al Ghazali, Shah Wali Allah, Muhammad Iqbal, dan lain-lain. Salah satu alasan yang menjadikan Rahman memutuskan untuk mengajar di Barat disebabkan oleh keyakinan bahwa gagasangagasan yang ditawarkannya tidak akan menemukan lahan subur di Pakistan. Selain itu, Rahman menginginkan adanya keterbukaan atas pelbagai gagasan dan suasana perdebatan yang sehat, yang tidak ia temukan di Pakistan (A’la, 2003: 40). Selama di Chicago, Fazlur Rahman mencurahkan seluruh kehidupannya pada dunia keilmuan dan Islam. Kehidupannya banyak dihabiskan di perpustakaan pribadinya di basement rumahnya, yang terletak di Naperville, kurang lebih 70 kilometer dari Universitas Chicago. Rahman sendiri menggambarkan aktitivitas dirinya tersebut laiknya ikan yang naik ke atas hanya untuk mendapatkan udara (Wan Daud, 1991: 108). Dari konsistensinya dan kesungguhannya terhadap dunia keilmuan akhirnya Rahman mendapatkan pengakuan lembaga keilmuan berskala
internasional. Pengakuan tersebut salah satunya ialah pada tahun 1983 ia menerima Giorgio Levi Della Vida dari Gustave E von Grunebaum Center for Near Eastern Studies, Universitas California, Los Angeles. Pada pertengahan dekade 80-an, kesehatan tokoh utama neomodernisme Islam tersebut mulai terganggu, dintaranya ia mengidap penyakit kencing manis dan jantung. Konsistensi Rahman untuk terus berkarya pun ditandai oleh lahirnya karya yang berjudul Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism. Walaupun baru diterbitkan setelah beliau wafat, namun pengerjaannya dilakukan ketika sakit beliau makin parah dengan dibantu oleh puteranya. Akhirnya, pada 26 Juli 1988 profesor pemikiran Islam di Univesitas Chicago itu pun tutup usia pada usia 69 tahun setelah beberapa lama sebelumnya dirawat di rumah sakit Chicago. Perkembangan Pemikiran dan Karya-Karya Pemikiran Fazlur Rahman dapat dibagi menjadi tiga fase atau periode, yakni periode awal, periode Pakistan, dan periode Chicago. Periode pertama belangsung sekitar dekade 50-an dan pada periode ini Rahman hanya menghasilkan karya-karya yang besifat historis, seperti Avicenna’s Psycology (1952), Avicenna’s De Anima, dan Propecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy (1958). Melalui ketiga buku Rahman ini akan terlihat jelas concern pemikirannya, yakni kajian historis murni. Namun demikian, kajian yang dilakukan Rahman pada buku yang disebut terakhir mempengaruhi pandangannya tentang proses pewahyuan kepada nabi Muhammad saw (Amal, 1996: 116). Periode Pakistan merupakan tahapan kedua dari perkembangan pemikiran Rahman yang berlangsung sekitar dekade 60-an. Berbeda dengan periode pertama yang cenderung pada kajian historis dari pemikiran Islam, concern Rahman pada periode ini mengalami perubahan yang radikal, yakni pada kajian-kajian Islam normatif. Adapun faktor-faktor yang melatarbelakangi perubahan concern pemikiran Rahman ini ialah. 1. Adanya kontroversi yang akut di Pakistan antara kalngan modernis disatu pihak dan kalangan tradisionalis dan fundamentalis di lain pihak. Kontroversi ini bermuara pada definisi Islam untuk negeri Pakistan ketika itu, 2. Kontak yang intens dengan Barat ketika menetap di sana, sangat berarti dalam penyadaran dirinya pada hakikat tantangan Islam pada periode modern, 3. Posisi penting sebagai Direktur Lembaga Riset Islam dan anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam Pemerintah Pakistan, yang kemudeian mendorong Rahman untuk turut aktif dalam meberikan definisi Islam bagi Pakistan dari kalangan modernis (Sutrisno, 2006: 71-72). Walaupun belum ditopang oleh metodologi yang sistematis, pada periode ini Rahman sudah mulai melakukan kajian Islam normatif dan terlibat dalam arus pemikiran Islam (Sibawaihi, 2007: 21). Selain itu, Rahman terlibat pula secara intens dalam upaya-upaya menjawab tantangan-tantangan serta kebutuhan-kebutuhan masyarakat Muslim kontemporer dengan cara merumuskan kembali Islam. Adapun pada periode ini, pemikiran Rahman dicurahkan dalam memenuhi tugasnya dalam merumuskan ajaran Islam yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Pakistan. Keterlibatan Rahman dalam arus pemikiran Islam dapat ditandai oleh beberapa artikel yang ia tulis pada jurnal Islamic Studies pada bulan Maret 1962 hingga Juni 1963. Menurut Açikgenç (dalam Saleh 2007: 27), sebenarnya pada periode kedua ini Rahman sudah berkeinginan mengembangkan metodologi yang menyerukan umat Islam untuk kembali kepada Alquran dan Hadis. Mutiara-mutiara pemikiran yang berhasil dihasilkan oleh Rahman pada periode ini diantaranya Islamic Methodology in History (1965), dan Islam (1966). Buku yang disebut pertama merupakan kumpulan dari beberapa tulisannya yang dipublikasikan di jurnal Islamic Studies. Artikel-artikel dalam buku ini ditulis dengan bertujuan untuk memperlihatkan, pertama, evolusi historis dari aplikasi keempat prinisp pokok pemikiran Islam, yakni Alquran, Sunnah, ijtihad, ijma’. Kedua, perranan aktual dari prinsip-prinsip tersebut bagi perkembangan Islam (Rahman, 1995: ix).
Buku kedua Rahman yang lahir pada peridoe kedua ini ialah berjudul Islam. Buku ini memaparkan perkembangan umum agama Islam selama empat belas abad, oleh karena itu menjadi wajar ketika buku ini menjadi dasar pengantar umum tentang studia Islam. Dua buah artikel pertama yang tersusun dalam buku ini , yakni artikel yang berjudul Muhammad dan Alquran, ketika dipublikasikan di Pakistan sempat menuai pelbagai kontroversi. Kontroversi terjadi berkenaan padangan Rahman mengenai hakikat Alquran dan proses pewahyuannya kepada Muhammad saw. Rahman memandang bahwa Alquran secara keseluruhannya adalah kalam Allah swt. dan dalam artian biasa merupakan perkataan Muhammad saw (Rahman, 2003: 33). Adapaun tulisan-tulisan Rahman yang difokuskan untuk memberi definisi Islam di Pakistan diantaranya ialah Some Reflection on the Reconstruction of Muslim Society in Pakistan, Implementation of the Islamic Concept of State in the Pakistan Milieu, dan The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problems. Perkembangan dan periode pemikiran Fazlur Rahman berikutnya ialah periode Chicago yang terhitung dari kepindahannya ke Chicago. Seluruh karya Rahman yang dihasilkan pada periode ini mencakup kajian Islam historis dan normatif. Adapun karya-karya yang berhasil ia hasilkan pada periode ini diantaranya The Philosophy of Mulla Shadra, Major Themes of The Qur’an, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, dan Health and Medicine in Islamic Tradition. Buku yang pertama penulis sebut di atas murni merupakan karya yang bertemakan Islam historis dan tidak memiliki hubungan dalam kajian-kajian Islam normatif. Sedangkan buku kedua karya Rahman pada periode kedua ini membahas mengenai delapan tema pokok Alquran, yakni Tuhan, Manusia sebagai Individu, Manusia Anggota Masyarakat, Alam Semesta, Kenabian dan Wahyu, Eskatologi, Setan dan Kejahatan, serta Lahirnya Masyarakat Muslim. Buku yang kerap kali disebut sebagai magum opus Fazlur Rahman ini mengkaji pelbagai ayat-ayat Alquran yang berhubungan dengan tema-tema yang telah disebut sebelumnya dan kemudian ditafsirkan dengan cara menghubungkan ayat-ayat tersebut. Selain itu, buku karya Rahman ini merupakan sikap atau tanggapannya atas pelabagai buku atau tulisan yang dibuat oleh para orientalis (seperti Richard Bell, Montgomery Watt, John Wansbrough, dal lain sebagainya) yang kerap kali menghubungkan atau beranggapan bahwa Alquran merupakan kelanjutan atau terpengaruh oleh ajaran-ajaran yang pernah ada sebelumya (seperti Yahudi dan Nasrani). Melalui karya ini, Rahman berhasil membangun landasan filosofis yang terga untuk perenungan kembali makna dan pesan Alquran bagi kaum Muslim kontemporer. Buku berikutnya yang Rahman hasilkan pada periode Chicago ini ialah Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition. Buku ini sangat jelas memperlihatkan intensitas Rahman dalam menata masa depan Islam dan umatnya. Dengan demikian, buku ini tidak melulu membahas Islam historis yang tidak memberikan solusi kongkrit bagi pembangunan umat Islam dan bekal untuk umat Islam dalam menghadapi periode modern. Berikutnya ialah buku yang berjudul Helath and Medicine in Islamic Tradition, buku ini berusaha menangkap kaitan organis antara Islam sebagai sebuah sistem kepercayaan dan Islam sebagai sebuah tradisi pengobatan manusia. Setelah mengkaji perkembangan pemikiran Rahman yang didasarkan pada buku-buku yang ia hasilkan sepanjang karir intelektualitasnya, maka dapat dikatakan bahwa Rahman mengalami perubahan concern pemikiran serta kajiannya. Perubahan yang cukup signifikan ini disebabkan oleh kesadaran Rahman bahwa Islam dewasa ini tengah menghadapi krisis yang sebagian akarnya terdapat dalam Islam sejarah, pengaruh-pengaruh Barat dengan tantangan-tantangan modernitasnya, kemudian membuatnya berupaya membuat atau merumuskan soluai terhadap krisis tersebut (Amal, 1996: 148-149). Secara keseluruhan buku-buku yang Rahman hasilkan berjumlah sepuluh buah. Namun demikian, bukan berarti bahwa Fazlur Rahman hanya menghasilkan buku-buku an sich. Sepanjang karir intelektualitasnya, doctor lulusan Oxford University tersebut menulis pelbagai artikel di beberapa jurnal ilmiah dan sebagian dari artikel-artikel tersebut dikumpulkan menjadi beberapa buku. Adapun buku-buku yang dihasilkan olehnya ialah sebagai berikut. 1. Avicenna’s Psycology 2. Propecy in Islam: Philosophy and Ortodoxy 3. Avicennas’s De Anima, being the Psycological Part of Kitab al Shifa
4. The Philosophy of Mulla Shadra 5. Islamic Methodology in History 6. Islam 7. Major Times of the Qur’an 8. Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition 9. Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism 10. Health and Medicine in Islamic Tradition
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN Fazlur Rahman lahir pada tanggal 21 September 1919 yang letaknya di Hazara sebelum terpecahnya India, kini merupakan bagian dari Pakistan.[1] Fazlur Rahman di besarkan dalam madzhab Hanafi. Madzhab Hanafi merupakan madzhab yang didasari al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi cara berfikirnya lebih rasional. Dengan demikian tidak dapat di pungkiri Fazlur Rahman juga rasional di dalam berfikirnya, meskipun ia mendasarkan pemikirannya pada al-Qur’an dan sunnah. Fazlur Rahman dilahirkan dari keluarga miskin yang taat pada agama. Ketika hendak mencapai usia 10 tahun ia sudah hafal al-Qur’an walaupun ia di besarkan dalam keluarga yang mempunyai pemikiran tradisional akan tetapi ia tidak seperti pemikir tradisional yang menolak pemikiran modern, bahkan Ayahnya berkeyakinan bahwa islam harus memandang modernitas sebagai tantangan dan kesempurnaan. [2] Ayahnya Maulana Shihabudin adalah alumni dari sekolah menengah terkemuka di India, Darul Ulum Deoband . Meskipun Fazlur Rahman tidak belajar di Daril Ulum, ia menguasai kurikulum Dares Nijami yang di tawarkan di lembaga tersebut dalam kajian privat dengan Ayahnya, ini melengkapi latar belakangnya dalam memahami islam tradisional dengan perhatian khusus pada fikih, Ilmu kalam, Hadits, Tafsir, Mantiq, dan Filsafat. Setelah mempelajari ilmu-ilmu dasar ini, ia melanjutkan ke Punjab University di Lahore dimana ia lulus dengan penghargaan untuk bahasa Arabnya dan di sana juga ia mendapatkan gelar MA-nya. Pada tahun 1946 ia pergi ke Oxford dengan mempersiapkan disertasi dengan Psikologi Ibnu Sina di bawah pengawasan professor Simon Van Den Berg. Disertasi itu merupakan terjemah kritikan dan kritikan pada bagian dari kitab An-Najt, milik filosof muslim kenamaan abad ke-7, setelah di Oxford ia mengajar bahasa Persia dan Filsafat Islam di Durham University Kanada dari tahun 1950-1958. ia meninggalkan Inggris untuk menjadi Associate Professor pada kajian Islam di Institute Of Islamic Studies Mc. Gill University Kanada di Montreal. [3] Dimana dia menjabat sebagai Associate Professor Of Philosophy. Pada awal tahun 60 an Fazlur Rahman kembali ke Pakistan. Pada bulan Agustus 1946 Fazlur Rahman di tunjuk sebagai Direktur Riset Islam, setelah sebelumnya menjabat sebagai staf lembaga tersebut. Selain menjabat sebagai Direktur Lembaga Riset Islam, pada tahun 1964 ia di tunjuk sebagai anggota dewan penasehat Ideologi Pemerintah Pakistan. Namun usaha Fazlur Rahman sebagai seorang pemikir modern di tentang keras oleh para ulama tradisional-findamentalis. Puncak dari segala kontroversialnya memuncak ketika 2 bab karya momumentalnya, Islam ( 1966 ) di tentang keras karena pernyataan Fazlur Rahman dalam buku tesebut “ Bahwa Al-Qur’an itu secara keseluruhan adalah kalam Allah dan dalam pengertian biasa juga seluruhnya merupakan perkataan Muhammad “ sehingga Fazlur Rahman di anggap orang yang memungkiri Al-Qur’an kemudian pada 5 September 1986 ia mengundurkan diri dari jabatan Direktur lembaga Riset Islam yang langsung di kabulkan oleh Ayyub Khan.
Tidak kurang dari 18 tahun lamanya Fazlur Rahman menetap di Chicago dan mengkomunikasikan gagasangagasannya baik lewat lisan maupun tulisan sampai akhir tahun memanggilnya pulang pada tahun 26 juli 1988 jauh sebelum ia sudah terkena penyakit diabetes yang kronis dan serangan jantung sehingga ia harus di operasi. Operasi ini berhasil se tidak-tidaknya untuk beberapa minggu hingga ajal menjemputnya. Kepergian beliau merupakan suatu kehilangan bagi dunia Intelektual Islam.[4] B. Karya-karya Fazlur Rahman a. am Is l996. b. Islamic Methodology in History 1965. c. Prophecy in Islam. d. Major Themes of The Qur’an ( 1980 ). e. The Philosophy of Mulasadra. f. Islam and Modernity Transformative of on Intelektual Tradition ( 1982 ). Artikel Fazlur Rahman : a. Some Islamic Issues In the Ayyub Khan Era. b. Islamic Challenges and Opportunist. c. Forwards Reformulating The Methodology of Islamic Law : Syaikh Yamani on Public Interest in Islamic Low. d. Islam Legacy and Contemporary Challenges e. Islam in The Contemporary World f. Root of Islamic Neo Fundamentalism. g. Change and The Muslim World. h. The Impact of Modernity on Islam. i. Islamic Modernism It’s Scope, Method and Alternative. j. Divines Revelation and The Prophet. k. Interpreting the Qur’an. l. The Qur’anic Concept of God, the Universe and Man. m. Some Key Ethical Concept of the Qur’an.[5] C. Pemikiran Fazlur Rahman Fazlur Rahman dengan segala kemampuan intelektualnya sudah tentu tidak bebas dari kekurangan dan kelemahan. Maka adalah hak kita untuk menerima, menyetujui atau menolak seluruh atau sebagian hasil pemikirannya untuk semua pada posisi penerimaan atau penolakan, seorang intelektual pencari kebenaran sudah
tentu akan mengumpulkan berbagai informasi yang berkaitan dengan pendapat dan pemikiran yang di kemukakan untuk menilai pendapat Fazlur Rahman, orang harus memahami al-Qur’an sebagai sebuah ajaran yang utuh lebih dulu, di samping Sunnah, Sejarah Islam dan lain-lain. Di antara pemikiran Fazlur Rahman antara lain : a. Ia menegaskan bahwa al-Qur’an bukanlah suatu karya misterius atau karya sulit yang memerlukan manusia berlatih secara teknis untuk memahami dan menafsirkan perintah-perintahnya, di sini di jelaskan pula prosedur yang benar untuk memahami al-Qur’an. b. Seseorang harus mempelajari al-Qur’an dalam Ordo Histories untuk mengapresiasikan tema-tema dan gagasan-gagasannya. c. Seseorang harus mengkajikan dalam konteks latar belakang social historisnya, hal ini tidak hanya berlaku untuk ayat-ayatnya secara individual tapi juga untuk al-Qur’an secara keseluruhan. Tanpa memahami latar belakang mikro dan makronya secara memadai. Menurut Fazlur Rahman, besar kemungkinan seseorang akan salah tangkap terhadap élan dan maksud al-Qur’an aktifitas Nabi baik di Mekkah atau di Madinah. d. Dalam karyanya Islam and Modernity 1982 Fazlur Rahman menekankan, akan mutlak perlunya mensistematiskan materi ajaran al-Qur’an. Tanpa usaha ini bisa terjadi penerapan ayat-ayatnya secara individual dan terpisah berbagai situasi akan menyesatkan.[6] ANALISIS Fazlur Rahman adalah sosok pemikir intelektual yang tinggi di mana ia dapat menghasilkan karya-karyanya yang begitu banyak dan bermanfaat penting bagi ilmu pengetahuan kita. Hasil karyanya yang begitu banyak dapat memperluas pengetahuan tentang tasawuf dan juga filsafat. Dengan berbagai cara dan jalan yang di tempuh beliau untuk menyampaikan gagasannya yang bernilai sangat tinggi sebagai suatu gerakan Islam. Dalam pengembangan agamanya adalah perjuangan beliau selama hidup. Karya-karya yang begitu banyak mengajarkan kita segala ilmu pengetahuan tentang islam yang pertama kali di ajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana cara Fazlur Rahman menjelaskan tentang wahyu dan perjalanan Nabi Muhammad dalam menyebarkan islam. Fazlur Rahman juga menjelaskan apa itu al-Qur’an dan segala bentuk ajaran agama Islam. Serta asal-usul perkembangan tradisi sampai perkembangan modern juga tentang filsafatnya telah banyak di sampaikan. KESIMPULAN
Segala bentuk pemikiran filsafat Fazlur Rahman sangatlah penting dan menjadi suatu arahan pengetahuan yang mengajarkan tentang islam, filsafat, Muhammad al-Qur’an dan sebagainya yang bermanfaat bagi kita semua. PENUTUP Fazlur Rahman adalah seorang intelektual yang tinggi, ia banyak memberikan warisan yang bermanfaat bagi manusia dari zaman ke zaman. Ia juga meninggalkan sejarah kehidupan pribadinya yang dapat menjadi suatu dokumen penting bagi kita. DAFTAR PUSTAKA Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1999 Fazlur Rahman Dalam Islam, PT. Raja Grafindo, Persada, 2001, Gelombang Perubahan Ali Safyan, Skripsi Kritik Fazlur Rahman Terhadap Uzlah, Semarang, Fakulatas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang,2001 Fatah Rosihan Affandi, Skripsi Study Analisis Fazlur Rahman Tentang Manusia, Semarang, Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, 2002 [1] Fazlur
Rahaman, Gelombang Perubahan Dalam Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001, hal.1-
2 [2] Ali Safyan, Skripsi Kritik Fazlur Rahman Terhadap Uzlah, Semarang : Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, 2001 [3] Fazlur [4] Ali
Rahman, op. cit, hal.1-2
Shofyan, op. cit. hal.43-44
Fatah Rosihan Affandi, Skripsi Study Analisis Fazlur Rahman Tentang Manusia. Semarang : Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, 2002, hal.33-34 [5]
[6] Fazlur
Rahman, Islam, Bandung, Pustaka, 1994, hal: vi-ix
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN A. Potret Seorang Intelektual Neomodernis 1. Latar Belakang sosial dan Intelektual Fazlur Rahman dilahirkan pada tahun 1919 di daerah barat laut Pakistan. Ia dibesarkan dalam keluarga yang bermadzhab Hanafi, suatu madzhab fiqih yang dikenal paling rasional di antara madzhab sunni lainnya. Ketika itu anak benua Indo-Pakistan belum terpecah ke dalam dua negara merdeka, yakni India dan Pakistan. Anak benua ini terkenal dengan para pemikir islam liberalnya, seperti Syah Wali Allah, Sir Sayyid Ali dan Iqbal. Sejak kecil sampai umur belasan tahun, selain mengenyam pendidikan formal, Rahman juga menimba banyak ilmu tradisional dari ayahnya--seorang kyai yang mengajar di madrasah tradisional paling bergengsi di anak benua IndoPakistan. [1] Menurut Rahman sendiri, ia dilahirkan dalam keluarga muslim yang amat religius. Ketika menginjak usia yang kesepuluh, ia sudah bisa membaca Al-Qur’an di luar kepala. [2] Ia juga menerima ilmu hadis dan ilmu syariah lainnya. Menurut Rahman, berbeda dengan kalangan tradisional pada umumnya, ayahnya adalah seorang kyai tradisional yang memandang modernitas sebagai tantangan yang perlu disikapi, bukannya dihindari. Ia apresiatif terhadap pendidikan modern. Karena itu, keluarga Rahman selain kondusif bagi perkenalannya dengan ilmu-ilmu dasar tradisional, juga bagi kelanjutan karier pendidikannya. Selain itu, latar sosial anak benua Indo-Pakistan yang telah melahirkan sejumlah pemikir Islam liberal, seperti disinggung di atas, juga merupakan benih-benih dari mana pikiran liberal Rahman dan skeptisisme Rahman tumbuh. Misalnya, Rahman sangat apresiatif terhadap pemikiran pendahulunya. Bahkan dalam pembahasannya mengenai wahyu ilahi dan nabi, ia secara eksplisit mengakui bahwa pemikirannya merupakan kelanjutan dari pemikiran pendahulunya, yakni Sah Wali Allah dan Muhammad Iqbal: Dengan demikian, argumen saya tentang kemapanan karakter wahyu Al-Qur’an terdiri dari dua bagian. Dalam bagian Pertama, saya telah menyetujui—dan tidak berbuat lebih lagi terhadap—pernyataan-pernyataan syah wali Allah dan Muhammad Iqbal yang menerangkan proses psikologis wahyu.[3] 2. Latar Belakang Pendidikan dan Pengalaman Setelah menamatkan sekolah menengah, Rahman mengambil studi bidang sastra arab di Departeman Ketimuran pada Universitas Punjab. Pada tahun 1942, ia berhasil menyelesaikan studinya di Universitas tersebut dan menggondol gelar M. A dalam sastra Arab. Merasa tidak puas dengan pendidikan di tanah airnya, pada 1946, Rahman melanjutkan studi doktoralnya ke Oxford University, dan berhasil meraih gelar doktor filsafat pada tahun 1951. Pada masa ini seorang Rahman giat mempelajari bahasa-bahasa Barat, sehinga ia menguasai banyak bahasa. Paling tidak ia menguasai bahasa Latin, Yunani, Inggris, Perancis, Jerman, Turki, Persia, Arab dan Urdu.[4] Ia mengajar beberapa saat di Durham University, Inggris, kemudian menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy di Islamic Studies, McGill University, Kanada. Sekembalinya ke tanah air, Pakistan, pada Agustus 1962, ia diangkat sebagai direktur pada Institute of Islamic Research. Belakangan, ia juga diangkat sebagai anggota Advisory Council of Islamic Ideology Pemerintah Pakistan, tahun 1964. Lembaga Islam tersebut bertujuan untuk menafsirkan islam dalam term-term rasional dan ilmiah dalam rangka menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern yang progresif. Sedangkan Dewan Penasehat Ideologi Islam bertugas meninjau seluruh hukum baik yang sudah maupun belum ditetapkan, dengan tujuan menyelaraskannya dengan “Al-Qur’an dan Sunnah”. Kedua lembaga ini memiliki hubungan kerja yang erat, karena Dewan Penasehat bisa meminta lembaga riset untuk mengumpulkan bahan-bahan dan mengajukan saran mengenai rancangan undang-undang.[5] Karena tugas yang diemban oleh kedua lembaga inilah Rahman intens dalam usaha-usaha menafsirkan kembali Islam untuk menjawab tantangan-tantangan masa itu. Tentu saja gagasan-gagasan liberal Rahman, yang merepresentasikan kaum modernis, selalu mendapatkan serangan dari kalangan ulama tradisionalis dan fundamentalis di Pakistan. Ide-idenya di seputar riba dan bunga bank, sunnah dan hadis, zakat, proses turunnya wahyu Al-Qur’an, fatwa mengenai kehalalan binatang yang disembelih secara mekanis, dan lainnya, telah meledakkan kontroversi-kontroversi berskala nasional yang berkepanjangan. Bahkan pernyataan Rahman dalam karya magnum opusnya, Islam, bahwa “Al-Qur’an itu secara keseluruhannya adalah kalam Allah dan—dalam pengertian biasa—juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad”, telah menghebohkan media massa selama kurang lebih setahun. Banyak media yang menyudutkannya. Al-Bayyinat, media kaum fundamentalis, misalnya, menetapkan Rahman sebagai munkir al-Quran. Puncak kontroversi ini adalah demonstrasi massa dan aksi mogok total, yang menyatakan protes terhadap buku tersebut. Akhirnya, Rahman pun mengajukan pengunduran dirinya
dari jabatan Direktur Lembaga Riset Islam pada 5 September 1968. Jabatan selaku anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam juga dilepaskannya pada 1969. Akhirnya, Rahman memutuskan hijrah ke Chicago untuk menjabat sebagai guru besar dalam kajian Islam dalam segala aspeknya pada Departement of Near Eastern Languages and Civilization, University of Chicago. Bagi Rahman, tampaknya tanah airnya belum siap menyediakan lingkungan kebebasan intelektual yang bertanggungjawab. 3. Perkembangan Pemikiran dan Karya-karyanya Dari selintas perjalanan hidup Fazlur Rahman di atas, Taufik Adnan Amal membagi perkembangan pemikirannya ke dalam tiga babakan utama, yang di dasarkan pada perbedaan karakteristik karya-karyanya: (I) periode awal (dekade 50-an); periode Pakistan (dekade 60-an); dan periode Chicago (dekade 70-an dan seterusnya).[6] Ada tiga karya besar yang disusun Rahman pada periode awal: Avicenna’s Psychology (1952); Avicenna’s De Anima (1959); dan Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy (1958). Dua yang pertama merupakan terjemahan dan suntingan karya Ibn Sina (Avisena). Sementara yang terakhir mengupas perbedaan doktrin kenabian antara yang dianut oleh para filosof dengan yang dianut oleh ortodoksi. Untuk melacak pandangan filosof, Rahman mengambil sampel dua filosof ternama, Al-Farabi (870-950) dan Ibn Sina (980-1037). Secara berturut-turut, dikemukakan pandangan kedua filosof tersebut tentang wahyu kenabian pada tingkat intelektual, proses psikologis wahyu tehnis atau imaninatif, doktrin mukjizat dan konsep dakwah dan syariah. Untuk mewakili pandangan ortodoksi, Rahman menyimak pemikiran Ibn Hazm, Al-Ghazali, Al-Syahrastani, Ibn Taymiyah dan Ibn Khaldun. Hasilnya adalah kesepekatan aliran ortodoks dalam menolak pendekatan intelektualis-murni para filosof terhadap fenomena kenabian. Memang, Kalangan mutakallimun tidak begitu keberatan menerima kesempurnaan intelektual nabi. Tapi mereka lebih menekankan nilai-nilai syariah ketimbang intelektual. Rahman sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara posisi filosofis dan ortodoksi. Sebab, perbedaan ada sejauh pada tingkat penekanan saja. Menurut para filosof, nabi menerima wahyu dengan mengidentifikasikan dirinya dengan Intelek Aktif; sementara menurut ortodoksi nabi menerima wahyu dengan mengidentifikasikan dirinya dengan malaikat. Sementara para filosof lebih menekankan kapasitas alami nabi sehingga menjadi “nabi-manusia”, ortodoksi lebih suka meraup karakter ilahiah dari mukjziat wahyu ini. Kelak, pandangan ini cukup mempunyai pengaruh terhadap pandangan Rahman tentang proses “psikologis” nabi menerima wahyu. Seperti halnya teori para filosof dan kaum ortodoks, Rahman berteori bahwa Nabi mengidentifikasikan dirinya dengan hukum moral.[7] Pada periode kedua (Pakistan), ia menulis buku yang berjudul: Islamic Methodology in History (1965). Penyusunan buku ini bertujuan untuk memperlihatkan: (I) evolusi historis perkembangan empat prinsip dasar (sumber pokok) pemikiran Islam—Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’; dan (ii) peran aktual prinsip-prinsip ini dalam perkembangan sejarah Islam itu sendiri. Buku kedua yang ditulis Rahman pada periode kedua ini adalah Islam, yang menyuguhkan—meminjam istilah Amin Abdullah—rekontruksi sistemik terhadap perkembangan Islam selama empat belas abad. Buku ini boleh dibilang sebagai advanced introduction tentang Islam. Pada periode Chicago, Rahman menyusun: The Philosophy of Mulla Sadra (1975), Major Theme of the Qur’an (1980); dan Islam and Modernity:Transformatioan of an intellektual tradition (1982). Kalau karya-karya Rahman pada periode pertama boleh dikata bersifat kajian historis, pada periode kedua bersifat hitoris sekaligus interpretatif (normatif), maka karya-karya pada periode ketiga ini lebih bersifat normatif murni. Pada periode awal dan kedua, Rahman belum secara terang-terangan mengaku terlibat langsung dalam arus pembaruan pemikiran Islam. Baru pada periode ketiga Rahman mengakui dirinya, setelah mebagi babakan pembaruan dalam dunia Islam, sebagai juru bicara neomodernis. B. Proyek Membuka Pintu Ijtihad Temuan historis Rahman mengenai evolusi perkembangan empat prinsip dasar (Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’), dalam bukunya Islamic Methodology in History (1965), yang dilatari oleh pergumulannya dalam upayaupaya pembaruan (hukum) Islam di Pakistan, pada gilirannya telah mengantarkannya pada agenda yang lebih penting lagi: perumusan kembali penafsiran Al-Qur’an yang merupakan jantung ijtihadnya. Dalam kajian historisnya ini, Rahman menemukan adanya hubungan organis antara sunnah ideal Nabi SAW dan aktivitas ijtihad-ijma’. Bagi Rahman, sunnah kaum muslim awal merupakan hasil ijtihad personal, melalui instrumen qiyas, terhadap sunnah ideal nabi SAW yang kemudian menjelma menjadi ijma’ atau sunnah yang hidup. Di sini, secara tegas Rahman menarik garis yang membedakan antara sunnah ideal nabi SAW di satu sisi,
dengan sunnah hidup kaum muslim awal atau ijma’ sahabat di sisi lain. Dengan demikian, ijma’ pada asalnya tidaklah statis, melainkan berkembang secara demokratis, kreatif dan berorientasi ke depan.[8] Namun demikian, karena keberhasilan gerakan penulisan hadis secara besar-besaran yang dikampanyekan Al-syafi’I untuk menggantikan proses sunah-ijtihad-ijma’ tersebut, proses ijtihad-ijma’ terjungkirbalikkan menjadi ijma’-ijtihad. Akibatnya, ijma’ yang tadinya berorientasi ke depan menjadi statis dan mundur ke belakang: mengunci rapat kesepakan-kesepakatan muslim masa lampau. Puncak dari proses reifikasi ini adalah tertutupnya pintu ijtihad, sekitar abad ke empat Hijrah atau sepuluh masehi.[9] Berpijak pada temuan historis ini, Rahman secara blak-blakan menolak doktrin tertutupnya pintu ijtihad, ataupun pemilahannya ke dalam ijtihad muthlaq, ijtihad fil masail, dan ijtihad fil madzhab. Rahman mendobrak doktrin ini dengan beberapa langkah: Pertama (1), menegaskan bahwa ijtihad bukanlah hak privilise eksklusif golongan tertentu dalam masyarakat muslim; Kedua (2), menolak kualifikasi ganjil mengenai ilmu gaib misterius sebagai syarat ijtihad; dan Ketiga (3), memperluas cakupan ranah ijtihad klasik. Hasilnya adalah satu kesimpulan Rahman: ijtihad baik secara teoritis maupun secara praktis senantiasa terbuka dan tidak pernah tertutup.[10] Tetapi, Rahman pun tampaknya tidak ingin daerah teritorial kebebasan ijtihad yang telah dibukanya—sebagai hasil dari liberalisasinya terhadap konsep ijtihad—menjadi tempat persemaian dan pertumbuhan ijtihad yang liar, sewenangwenang, serampangan dan tidak bertanggung jawab. Ijtihad yang diinginkan Rahman adalah upaya sistematis, komprehensif dan berjangka panjang. Untuk mencegah ijtihad yang sewenag-wenang dan merealisasikan ijtihad yang bertanggung jawab itulah, Rahman mengajukan metodologi tafsirnya, yang disusun belakangan pada periode Chicago. Dan dalam konteks inilah metodologi tafsir Rahman yang dipandangnya sebagai “the correct prosedure for understanding the Qur’an” atau “ the correct methode of Interpreteting The Qur’an” [11] memainkan peran sentral dalam seluruh bangunan pemikirannya. Metodologi tafsir Rahman merupakan jantung ijtihadnya sendiri. Hal ini selain didasarkan pada fakta bahwa Al-Qur’an sebagai sumber pokok ijtihad, juga yang lebih penting lagi adalah didasarkan pada pandangannya bahwa seluruh bangunan syariah harus diperiksa dibawah sinaran bukti AlQur’an: Seluruh kandungan syari’ah mesti menjadi sasaran penilikan yang segar dalam sinaran bukti Al-Qur’an. Suatu penafsiran Al-Qur’an yang sistematis dan berani harus dilakukan. [12] Akan tetapi, justru persoalannya terletak pada kemampuan kaum muslim untuk mengkonsepsi Al-Qur’an secara benar. Rahman menegaskan: bukan hanya kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah sebagai mana yang dilakukan pada masa lalu, tetapi suatu pemahaman terhadap keduanyalah yang akan memberikan pimpinan kepada kita dewasa ini. Kembali ke masa lampau secara sederhana, tentu saja kembali keliang kubur. Dan ketika kita kembali kepada generasi muslim awal ,pasti kita temui pemahaman yang hidup terhadap Al-Qur’an dan sunnah.[13] C. Apa itu Al-Qur’an dan Apa Tujuan Metodologi Tafsir Pandangan Rahman mengenai Al-Qur’an merupakan landasan bagi perumusan metodologi tafsirnya. Bahwa AlQur’an itu adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW, menurut Rahman, merupakan kepercayaan pokok. Tanpa kepercayaan ini, tidak seorang pun yang bahkan dapat menjadi muslim nominal (hanya nama saja). Karena itu, Rahman memberikan argumen yang sangat kokoh untuk menegaskan kemapanan karakter wahyu dari Al-Qur’an ini. Rahman mengutip kembali apa yang telah ditulisnya dalam Islam: Bagi Al-Qur’an sendiri, dan konsekwensinya juga bagi kaum muslimin, Al-Qur’an adalah kalam Allah. Muhammad juga dengan tegas meyakinai bahwa ia adalah penerima risalah dari Tuhan, yang sepenuhnya lain, demikian hebatnya, hingga ia menolak—atas dasar kuatnya keyakinan ini—beberapa klaim mendasar dari tradisi Yudeo-Kristiani mengenai Ibrahim dan nabi-nabi lainnya.[14] Konsepsinya mengenai Al-Qur’an secara sederhana dapat dijabarkan ke dalam nuktah-nuktah sebagai berikut: 1. Al-Qur’an secara keseluruhannya adalah kalam Allah, dan dalam pengertian biasa, juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad.[15] 2. Al-Qur’an adalah respon ilahi, melalui ingatan dan pikiran nabi, terhadap situasi moral-sosial arab pada masa nabi, khususnya kepada masalah-masalah masyarakat dagang makkah pada waktu itu. [16]
3. Karenanya, semangat atau elan vital Al-Qur’an adalah semangat moral, darimana ia menekankan monoteisme dan keadilan sosial. Hukum moral adalah abadi, ia adalah hukum Allah. [17] Al-Qur’an terutama sekali adalah sebuah prinsip-prinsip dan seruan-seruan keagamaan serta moral, bukan sebuah dokumen legal. karenanya, keabadian kandungan legal spesifik Al-Qur’an terletak pada prinsip-prinsip moral yang menasarinya, bukan pada ketentuan-ketentuan harfiahnya. 4. Al-Quran merupakan sosok ajaran yang koheren dan kohesif. Kepastian pemahaman tidaklah terletak pada arti dari ayat-ayat individual Al-Qur’an, tetapi terdapat pada Al-Qur,an secara keseluruhan, yakni suatu satu set prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang koheren di mana keseluruhan ajarannya bertumpu. 5. Al-Qur’an adalah dokumen untuk manusia, bukan risalah mengenai Tuhan. Perhatian utama Al-Qur’an adalah perilaku manusia.[18] Karenanya ia lebih berorientasi pada aksi moral ketimbang spekulasi intelektual. 6. Tetapi, di atas segalanya, dalam kenyataannya, Al-Qur’an itu laksana puncak gunung es yang terapung: sembilan sepersepuluh darinya terendam di bawah permukaan air sejarah dan hanya sepersepuluh darinya yang tampak ke permukaan. Tidak satupun dari orang-orang yang telah serius berupaya memahami al-Qur’an dapat menolak kenyataan bahwa sebagian besar Al-Qur’an mensyaratkan pengetahuan mengenai situasi-situasi kesejarahan yang baginya pernyataan-pernyataan Al-Qur’an memberikan solusi-solusi, komentar-komentar dan respon. [19] Sampai pada titik ini, Rahman menandaskan bahwa tujuan ideal-moral Al-Qur’an yang merupakan elan vitalnya itu telah terkubur dalam endapan geologis sebagai akibat dari proses reifikasi yang begitu panjang. Hal ini merupakan harga yang harus dibayar (cost) dari perluasan wilayah islam yang terlalu cepat, tanpa diimbangi infrastruktur tingkat pemahaman keagamaan yang memadai. Karena itu, metodologi yang diharapkan adalah metodologi yang, tentu saja, bisa menembus endapan sejarah tersebut sampai lapisan terdalam. Dengan demikian, dapat pahami bahwa tujuan metodologi tafsir bagi Rahman adalah untuk menangkap kembali pesan moral universal Al-Qur’an yang obyektif itu, dengan cara membiarkan Al-Qur’an berbicara sendiri, tanpa ada paksaan dari luar dirinya, untuk kemudian diterapkan pada realitas kekinian. Misalnya, dalam masalah hukum, bagi Rahman, tujuan tafsirnya adalah untuk menangkap resiones logis yang berada di balik pernyataan formal Qur’an. Untuk inilah Rahman sering menyebut-nyebut kasus ijtihad Umar bin Khaththab yang dinilainya sebagai preseden baik (uswah) untuk mengeneralisasikan prinsip-prinsip dan nilai-niali umum yang berada di bawah permukaan Sunah dan bahkan teks Al-Qur’an. D. Metodologi Tafsir Rahman Metodologi tafsir Rahman tidak bisa lepas dari agenda pembaruan sebelumnya. Karenanya, ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu pandangannya mengenai dialektika perkembangan pembaruan yang muncul dalam dunia Islam. Rahman membagi gerakan pembaruan ke dalam empat gerakan. Gerakan pertama adalah revivalisme pra modernis yang lahir pada abad ke 18 dan 19 di Arabia, India dan Afrika. Gerakan ini muncul secara orisinal dari dunia Islam, bukan merupakan reaksi terhadap barat. Gerakan ini secara sederhana mempunyai ciri-ciri umum: (a) keprihatinan yang mendalam terhadap degenarasi sosio-moral umat Islam; (b) imbauan untuk kembali kepada Islam yang sebenarnya, dengan memberantas takhayul-takhayul dan dengan membuka dan melaksanakan ijtihad; (c) imbauan untuk membuang sikap fatalisme; dan (d) imbauan untuk melaksanakan pembaruan ini lewat jihad jika diperlukan. Menurut Rahman, dasar pembaruan revivalisme pramodernis ini kemudian dikembangkan oleh gerakan kedua, modernisme klasik, yang muncul pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 di bawah pengaruh ide-ide barat. Pengembangannya terletak pada usaha gerakan ini untuk memperluas isi ijtihad—dan juga agenda gerakan— seperti isu tentang hubungan akal dan wahyu, pembaruan sosial terutama pada bidang pendidikan dan status wanita, pembaruan politik untuk membetuk pemerintahan yang representatif dan konstitusional. Jasa modernisme klasik ini adalah usahanya untuk menciptakan hubungan harmonis antara pranata-pranata barat dengan tradisi Islam dalam kacamata Al-Qur’an dan sunnah. Hanya saja, penafsiran mereka terhadap Qur’an dan sunnah ini tidak ditopang dengan metodologi yang memadai. Mereka lebih banyak mengadopsi isu-isu dari barat dan membungkusnya dengan bahasa “Qur’an”. Akibatnya, gerakan ini samasekali tidak bisa lepas dari kesan barat
sentris, atau bahkan dari tuduhan sebagai gerakan antek-antek barat yang ingin merusak Islam, bak kanker, dari dalam dunia Islam sendiri. Reaksi terhadap modernisme klasik ini adalah gerakan ketiga, yakni neorevivalisme atau revivalisme pascamodernis, yang memandang bahwa Islam itu mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik individual maupun kelompok. Pandangan ini mirip dengan basis pemikiran modernisme klasik. Namun karena sifatnya yang reaksioner, ingin membedakan dirinya dengan barat, gerakan ini cenderung menutup diri, apologetis dan tidak otentik. Di sela-sela pengaruh neorevivalisme inilah gerakan neomodernis muncul, dan Rahman mengaku dirinya sebagai juru bicara gerakan ini. Bagi Rahman, ada dua kelemahan mendasar modrnisme klasik ini yang menyebabkan timbulnya reaksi dari neorevivalisme. Pertama, karena sifatnya yang kontroversialis-apologetis terhadap barat, gerakan ini tidak mampu melakukan interpretasi yang sistematis dan menyeluruh terhadap Islam. Akibatnya, penafsiran mereka terhadap Al-Qur’an lebih bersifat ad hoc dan parsial. Kedua, isu-isu yang mereka angkat berasal dari dan dalam dunia barat sehingga ada kesa kuat bahwa mereka terbaratkan atau agen westernisasi. Menurut Rahman, neomodernisme harus mengembangkan sikap kritis baik terhadap barat maupun terhadap khazanah klasik warisan Islam. Dalam konteks inilah ia mengatakan bahwa tugas yang paling mendasar dari kalangan neomodernisme ini adalah mengembangkan suatu metodologi yang tepat dan logis untuk mempelajari alQur’an guna mendapatkan petunjuk bagi masa depannya. Dengan metodologi ini Rahman menjanjikan bahwa metodologi yang ditawarkannya dapat menghindari pertumbuhan ijtihad yang liar dan sewenang-wenang, sebagaimana yang terjadi sebelumnya.[20] Metodologi tafsir Fazlur Rahman merupakan gerakan ganda (bolak-balik). Yang pertama dari dua gerakan ini terdiri dari dua langkah. Pertama, memahami arti atau makna suatu pernyataan Al-Qur’an, dengan mengkaji situasi atau problem historis dari mana jawaban dan respon Al-Qur’an muncul. Mengetahui makna spesifik dalam sinaran latar belakang spesifiknya, tentu saja, menurut Rahman juga harus ditopang dengan suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan agama, masyarakat, adat-istiadat dan lembaga-lembaga, serta mengenai kehidupan menyeluruh Arab pada saat Islam datang. Langkah kedua dari gerakan pertama ini adalah menggeneralisasikan dari jawaban-jawaban spesifik, pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum, yang dapat disarikan dari ayat-ayat spesifik dengan sinaran latar belakang historis dan rationes logis yang juga kerap dinyatakan oleh ayat sendiri. Yang harus diperhatikan selama langkah ini adalah ajaran Al-Qur’an sebagai keseluruhan, sehingga setiap arti yang ditarik, setiap hukum yang disimpulkan dan setiap tujuan yang dirumuskan koheren satu sama lain. Ini sesuai dengan klaim Al-Qur’an sendiri bahwa ajarannya tidak mengandung kontradiksidalam dan koheren secara keseluruhan. Langkah ini juga bisa dan selayaknya dibantu oleh pelacakan terhadap pandangan-pandangan kaum muslim awal. Menurut Rahman, sampai sekarang sedikit sekali usaha yang dilakukan untuk memahami Al-Qur’an secara keseluruhan. Bila gerakan yang pertama mulai dari hal-hal yang spesifik lalu ditarik menjadi prinsip-prinsip umum dan nilainilai moral jangka panjang, maka gerakan kedua ditempuh dari prinsip umum ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan ke dalam kehidupan sekarang. Gerakan kedua ini mengandaikan adanya kajian yang cermat atas situasi sekarang sehingga situasi sekarang bisa dinilai dan dirubah sesuai dengan priortitas-prioritas moral tersebut. Apabila kedua momen gerakan ini ditempuh secara mulus, maka perintah Al-Qur’an akan menjadi hidup dan efektif kembali. Bila yang pertama merupakan tugas para ahli sejarah, maka dalam pelaksanan gerakan kedua, instrumentalis sosial muthlak diperlukan, meskipun kerja rekayasa etis yang sebenarnya dalah kerja ahli etika. Momen gerakan kedua ini juga berfungsi sebagai alat koreksi terhadap momen pertama, yakni terhadap hasil-hasil dari penafsiran. Apabila hasil-hasil pemahaman gagal diaplikasikan sekarang, maka tentunya telah terjadi kegagalan baik dalam memahami Al-Qur’an maupun dalam memahami situasi sekarang.[21] Sebab, tidak mungkin bahwa sesuatu yang dulunya bisa dan sungguh-sungguh telah direalisasikan ke dalam tatanan spesifik di masa lampau, dalam konteks sekarang tidak bisa. Gerakan ganda ini, digambarkan oleh Taufik Andnan Amal dengan tiga langkah metodologis utama: (a) pendekatan historis untuk menemukan makna teks al-Quran dalam bentangan karir dan perjuangan nabi; (b) pembedaan antara ketetakpan legal dan tujuan Al-Quran; (c) pemahaman dan penetapan sasaran Al-Qur’an dengan memperhatikan sepenuhnya latar sosiologis. Berkaitan dengan butir pertama, Rahman mengungkapkan: Suatu pendekatan historis yang serius dan jujur harus digunakan untuk menemukan makna teks Al-Qur’an… Pertama-tama, Al-Qur’an harus dipelajari dalam tatanan historisnya. Mengawali dengan pemeriksaan terhadap bagian-bagian wahyu paling awal akan memberikan suatu persepsi yang cukup akurat mengenai dorongan dasar
gerakan Islam, sebagaimana dibedakan dari pranata-pranata yang dibangun belakangan. Dan demikianlah, seseorang harus mengikuti bentangan Al-Qur’an sepanjang karir dan perjuangan nabi…Metode ini akan menunjukkan secara jelas makna keseluruhan Al-Quran dalam suatu cara yang sistematis dan koheren. Mengenai pembedaan antara ketetapan legal dan tujuan moral Al-Qur’an, Rahman menulis: Kemudian seseorang telah siap untuk membedakan antara ketetapan legal dan sasaran Al-Qur’an, dimana hukum diharapkan mengabdi kepadanya. Di sekali lagi seseorang berhadapan dengan bahaya subyektivitas, tetapi hal ini dapat direduksi seminimum mungkin dengan menggunakan Al-Qur’an itu sendiri. Sudah terlalu sering diabaikan baik oleh kalangan non-muslim maupun muslim sendiri bahwa Al-Quran biasanya memberikan alasan-alasan bagi pernyataan-pernyataan legal spesifiknya. Mengenai butir ketiga, Rahman menulis: Sasaran Al-Qur’an harus dipahami dan ditetapkan, dengan tetap memberi perhatian sepenuhnya terhadap latar sosiologis—yakni lingkungan dimana nabi bekerja dan bergerak. Metodologi tafsir Rahman ini bisa dilihat dalam bagan sebagai KEBERANIAN mengungkapkan prinsip kebenaran yang dilandasi ketajaman berpikir, ingatan luar biasa, dan kemampuan unik menyatukan berbagai persoalan kompleks dalam gaya cerita yang koheren, telah mengantar Fazlur Rahman pada jajaran pemikir-pemikir Islam kontemporer ternama abad ke-20. Fazlur Rahman-lahir tahun 1919 di Pakistan dan meninggal tahun 1988 di Chicago-sebagaimana para pemikir muslim abad ke-20 lainnya, mengarahkan perhatian pada fenomena modernisasi dan perubahan dunia yang dipahami dalam dunia Islam sebagai janus-faced (berwajah ganda, seperti wajah Dewa Janus). Di satu sisi ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manfaat, tetapi di sisi lain berpengaruh besar pada nilai-nilai etis kebudayaan transenden. Yang terakhir ini merupakan alasan kaum tradisional-konservatif muslim untuk menolak perubahan yang dihasilkan modernisasi budaya dan intelektual. Fazlur Rahman dan lain-lain yang sealiran menganggap, penolakan itu sebagai langkah "membabi-buta" yang hanya akan merugikan, di mana masyarakat muslim akan semakin tertinggal di belakang masyarakat kontemporer lain yang telah menjadi penguasa di bidang ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan. Fazlur mengagumi tradisi intelektual sophiscated yang diwariskan ulama masa lalu, dan mengeluh pada realitas ulama masa kini (pasca-Al Gazali) yang cenderung membuang nilai-nilai kritis dan pembaharuan dari peninggalan tersebut. Berdasarkan pokok pikiran tersebut (kata pengantar oleh Ibrahim Moosa) melalui buku ini Fazlur mencoba menggali kembali wacana telaah historis gelombang perubahan yang dihasilkan para pemikir Islam masa lalu. Walaupun nuansa sejarah terlihat sedikit kental, tetapi tidak menghalanginya untuk mengangkat sebuah pemikiran kritis tentang gelombang perubahan tersebut. Secara khusus Fazlur mengupas paham Irja' (paham penundaan segala keputusan dan dikembalikan kepada otoritas Tuhan) sebagai cikal-bakal kelahiran dua aliran Islam terbesar saat ini (Sunni dan Syi'ah). Irja' lahir dari reaksi terhadap gerakan Khawarij yang men-"cap" Ali, Utsman, dan Muawiyah, sebagai kafir. Menurut pemahaman mereka, segala keputusan ada dalam kekuasaan Tuhan. Maka mereka meyakini diam adalah pilihan terbaik dalam menyikapi dilematika kehidupan. Walaupun selanjutnya muncul reaksi dari golongan Qadariyah dan Mu'tazilah yang berpaham free will (kebebasan berkehendak) yaitu bahwa Tuhan tidak punya otoritas apa-apa dalam menentukan nasib seorang manusia, namun kenyataannya Irja' semakin berkembang dan menjadi "ruh" kelahiran Sunni dan Syi'ah. Dalam pandangan Fazlur Rahman, Irja' merupakan penyebab utama kelesuan moral dan spiritual masyarakat Islam, yang bukan hanya mempengaruhi karakter teologi, tetapi juga ajaran-ajaran predeterminisme yang mempengaruhi sikap konkret (hal 138). Dua penganut Irja' di atas tidak mampu mengetahui jiwa yang resah yang menuntut ruang untuk kreativitas, khususnya moral dan spritual, dan kemungkinan pembaharuan politis struktur sosial, serta tidak mengakomodasi radikalisme. Islam Sunni tidak tahan terhadap sesuatu yang mungkin menganggu salah satu hati dan pikirannya. Semua pikiran, menurut ajaran ini, tertuju kepada kesuksesan menjaga komunitas. Persoalan apakah itu mundur dari Al Quran, tak jadi masalah. Bahkan benar-benar tanpa kesadaran terhadap hal tersebut dan berpegang (taqlid, ketundukan total) ke masa lalu, yang nyata artifisial. Ini terangkum dalam julukan ahl as-sunnah wa-aljamaah (penganut tradisi asli (Sunnah) dan solidaritas ummat (jamaah).
Sedangkan masyarakat Syi'ah, khususnya Syi'ah 12, keberadaannya tidak lebih baik dari masyarakat Sunni. Imam Syi'ah tidak ada yang memiliki - bahkan tidak bisa memiliki - pengaruh terhadap ahli-ahli hukum dan teologi Syi'ah. Selama berabad-abad Syi'ah memberikan penghargaan yang sedikit kepada Alquran, meskipun menghasilkan banyak komentar dan penafsiran yang luar biasa penuh kiasan. Syi'ah telah menempatkan Al Quran ke dalam pelupaan sistematis dan bergantung kepada imam, tapi ketika imam dihilangkan, yang tertinggal hanya kekeringan hukum dan teologi kalam (hal 135). *** TIDAK ketinggalan buku ini juga membahas perjalanan tasawuf yang-sebagaimana Asy'ariyah - mengecilkan akal vis a vis wahyu. Ketika para sufi mengecilkan akal, mereka mengangkat intuisi (rasa) sebagai pengetahuan yang dinyatakan bebas dari kesalahan karena tidak tertutup (kasyf), (hal 147). Namun demikian, Ibnu Taimiyah memberikan penilaian pahit dengan menyatakan bahwa ketika seorang sufi melepas pikirannya untuk mencurahkan dirinya secara utuh kepada Tuhan, maka setan datang mendiami kekosongan pikirannya dan bebas melalukan tugasnya di sana (hal. 150). Walaupun para sufi tidak bisa disebut murji'ah dalam arti teknis, tetapi pengaruh keseluruhan mereka pada kehidupan moral masyarakat sangat terasa, bahkan lebih berbahaya daripada Irja' (hal. 150). Buku itu dalam dua bab terakhir mengulas gejolak pembaharuan akhir abad petengahan yang dimotori Ibnu Taimiyah serta pemikiran pembaharuan India oleh Syekh Ahmad Sirhindi dan Syekh Wali Allah. Karya terakhir Fazlur Rahman ini merupakan cerminan kepribadiannya yang merepresentasikan rasionalitas ArabIslam dan pencerahan pemikiran Barat. Uraiannya memang menguatkan bahwa ia memang guru besar wacana Islam dengan tekanan pada pemikiran, ide, dan perenungan. Ia tidak begitu saja menerima istilah-istilah komoderenan, pembaharuan, dan kemajuan, kecuali di dalamnya terdapat teologi rasional. Akhirnya, penghargaan tinggi patut ditujukan kepada pemikir satu ini, sebab harus diakui-terlepas dari pro-kontra terhadapnya Fazlur Rahman telah melengkapi khasanah intelektual Islam dengan satu sikap pasti terhadap pembaharuan ke arah yang lebih baik. * Pada periode modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Tetapi, untuk menghindari kemungkinan terjadinya salah tafsir terhadap sumber-sumber Islam, Iqbal menyetujui masuknya ulama ke dalam majelis untuk membantu dan memimpin perbincangan-perbincangan bebas tentang masalah yang bertalian dengan Islam. Melanjutkan alur pemikiran Iqbal, sarjana pemikir neo-modernis asal pakistan, Fazlur Rahman mengungkapkan kemungkinan baru ijma’ dalam masyarakat kontemporer. Baginya, ijtihad yang dihasilkan individu atau kelompok kerja akan mengkristal ke dalam ijma’ setelah melalui interaksi ide yang ketat. Dengan demikian, ijma’ – yang merupakan konsensus mayoritas masyarakat – lebih bersifat dinamis, berorientasi ke depan, dan tidak monolitik. Golongan minoritas yang merasa ijtihad-nya lebih mendekati kebenaran, terbuka sepenuhnya untuk meyakinkan masyarakat akan kebenaran gagasannya. Apabila masyarakat telah menerima gagasan minoritas secara mayoritas, opini itu membentuk ijma’ baru dan menggantikan ijma’ lama. Aktivitas untuk menggalang konsensus masyarakat ini, menurut Rahman, dirujuk al-Quran dengan terma syura. Pada level negara, ijma’ masyarakat akan ditempa atau dirumuskan ke dalam bentuk hukum dan perundangundangan oleh lembaga legislatif, yang disebut Rahman sebagai lembaga syura-ijma’. Dalam pandangan Rahman, majelis ini dipilih oleh rakyat tanpa kualifikasi teknis apapun. Dalam masalah-masalah pelik, majelis dapat meminta advis kepada para ahli. Undang-undang atau hukun yang ditetapkan majelis bisa saja benar atau keliru. Tetapi, sepanjang hukum tersebut mencerminkan kehendak masyarakat, ia tetap bersifat islami dan demokratis karena merepresentasikan ijma’ masyarakat. Selain itu, ada kemungkinan untuk mengubah konsensus tersebut, karena secara potensial selalu terdapat kemungkinan bagi pandangan minoritas untuk menjadi mayoritas melalui proses perdebatan. Rahman bahkan mengelaborasi konsepnya tentang lembaga syura-ijma’ ini ke dalam suatu majelis internasional yang beranggotakan majelis legislatif negeri-negeri Muslim. Tugasnya adalah memberi advis yang selanjutnya
akan dirumuskan ke dalam undang undang oleh majelis nasional negeri-negeri Muslim berdasarkan sinaran perbedaan regional dan situasi social masing-masing negeri Survei singkat di atas memperlihatkan bahwa ijma’ bisa memberikan pijakan yang efektif untuk menerima kekuasaan mayoritas (majority rule). Sejalan dengan ini, Louay M. Safi juga mengemukakan bahwa legitimasi negara tergantung pada sampai sejauh mana organisasi dan kekuasaan negara merefleksikan kehendak masyarakat, karena – seperti ditegaskan para yuris klasik – legitimasi institusi negara tidak terambil dari sumber-sumber tekstual, tetapi didasarkan terutama pada prinsip ijma’. Dengan kata lain, ijma’ bisa memberi kemungkinan legitimasi demokrasi bagi kaum Muslimin dan menawarkan format institusi dan prosedur untuk menjalankannya. Mekanisme ijma’ yang telah diuraikan juga memberikan kemungkinan deliberasi dan perdebatan publik, sehingga berbagai sudut pandang yang berkembang dan dikembangkan secara individual ataupun kolektif mendapat kesempatan untuk didengar sebelum masyarakat akhirnya secara konsensus atau mayoritas memilih yang dianggap laik. Ketika putusan mayoritas tercapai, seluruh anggota masyarakat – baik Muslim ataupun non Muslim – harus berupaya mengejawantahkannya ke dalam praktik. Penggagas, pengikut atau yang menyetujui pandangan minoritas juga harus menerima keputusan mayoritas dan berupaya mengimplementasikannya sebagai suatu konsensus. Mekanisme ijma’ semacam ini menggagaskan keterlibatan seluruh anggota masyarakat, termasuk bukan muslim, dalam proses pengambilan keputusan. Tidak ada yang aneh dalam hal ini. Hasan al-Banna, dalam risalah Nahwa an-Nur (1936), mensinyalir ada orang menganggap bahwa dengan menjadikan Islam sebagai landasan kehidupan, maka hal ini berarti minoritas nonmuslim tidak dapat hidup di lingkungan umat Islam dan persatuan di antara berbagai unsur masyarakat tidak mungkin tercapai. Menurut al-Banna, anggapan semacam itu berseberangan dengan prinsip persamaan dan pengakuan Islam terhadap minoritas nonmuslim. Agama Islam, menurutnya, mengkuduskan kesatuan kemanusiaan umum (al-wahdah al-insaniyyah al-’ammah), kesatuan keagamaan umum (al-wahdah al-diniyyah al-’ammah), dan kesatuan keagamaan khusus umat Islam (al-wahdah al-diniyyah alkhassah). Implementasi prinsip-prinsip ini, menurut al-Banna, tidak akan menimbulkan perpecahan, malahan menjadikan persatuan berdimensi sakral dan religius. Senada dengan itu, Fazlur Rahman menekankan sikap anti-eksklusivisme Islam sehubungan dengan komunitaskomunitas keagamaan lainnya, berdasarkan sejumlah ayat al-Quran (2:62 dan 5:69), yang – menurut tafsiran Rahman – mengungkapkan siapa pun yang percaya kepada monoteisme dan hari akhirat, serta melakukan perbuatan baik akan selamat. Dalam negara modern, seluruh warga negara harus dipandang setara satu sama lain, tanpa diskriminasi antara sesama warga, baik Muslim atau bukan Muslim. Pandangan-pandangan kesarjanaan Muslim yang dikemukakan di atas dengan jelas menyepakati kesetaraan warga negara – baik Muslim atau nonmuslim – serta persamaan hak dan kewajibannya, termasuk dalam proses pencapaian konsensus. Karena itu, ketika suatu ijma’ mengkristal atau berhasil dicapai dalam komunitas tersebut, berdasarkan prinsip mayoritas, ia mengikat seluruh anggotanya tanpa kecuali. Sebagaimana disinggung di atas, konsensus atau ijma’ masyarakat inilah yang kemudian diundangkan oleh lembaga perwakilan rakyat di tingkat lokal atau nasional. Majelis semacam ini –yang dibentuk misalnya lewat pemilihan umum– tentunya merupakan representasi masyarakat yang menerjemahkan kepentingan masyarakat ke dalam kebijakan-kebijakan yang koheren dan konsisten (preference representation). Tetapi, sebagai himpunan orang terpilih, majelis ini juga bisa mempengaruhi preferensi publik (preference formation), jika suatu masalah dinilai laik untuk dirumuskan ke dalam kebijakan. Untuk pembentukan preferensi ini, deliberasi, advokasi, pengajuan rancangan undang-undang, serta cara-cara lainnya yang melibatkan masyarakat, penting dilakukan majelis. Aktivitas semacam inilah yang dimaknai Rahman dengan istilah syura. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk membentuk konsensus masyarakat atau untuk menakar kesepakatan masyarakat mengenai suatu hal adalah melalui referendum. Ijma’, berdasarkan alur logika yang telah dikemukakan, jelas bisa mengambil bentuk referendum. Partisipasi masyarakat yang luas dalam penentuan suatu kebijakan sangat bisa diharapkan dalam implementasi ijma’-referendum ini Pada level regional atau internasional, konvensi-konvensi yang telah dirativikasi suatu negara muslim juga merupakan bentuk lain dari perluasan konsep ijma’. Dengan merativikasi konvensi semacam itu, negara muslim tersebut terikat kesepakatan atau ber-ijma’ untuk melaksanakannya.
PENDIDIKAN PERSPEKTIF FAZLU RAHMAN BAB I PENDAHULUAN Bukan rahasia lagi bahwa pendidikan Islam masih menghadapi berbagai persoalan, baik yang bersifat teoritis konseptual maupun praktis. Di antara masalah teoretis konseptual yang paling memerlukan pemikiran lebih mendalam adalah persoalan epistemologi. Fazlur Rahman, seorang pembaharu yang paling bertanggung jawab pada abad ke-20 yang berpengaruh besar dipakistan, Malaysia, Indonesia dan Negara-negara lain (di dunia Islam), serta di Chicago Amerika (di dunia barat) memiliki berbagai pemikiran yang terkait dengan persoalan tersebut. Ia berhasil bersikap kritis baik terhadap warisan Islam sendiri maupun terhadap tradisi barat. Ia berhasil mengembangkan suatu metode yang dapat memberi solusi alternatif atas problem-problem umat Islam kontemporer. Tinjauan Pustaka Ahmad Syafi’i Maarif menulis dengan judul ”Mengenal Fazlur Rahman dan Pemikirannya tentang Islam” di dalam tulisannya, Maarif mengategorikan Rahman sebagai salah seorang yang bertanggung jawab dalam masalah pembaharuan pemikiran Islam secara total dan tuntas. Tulisan Maarif yang kedua adalah ”Fazlur Rahman, al-Qur’an dan Pemikiran Islam”. Menurut Ma’arif seseorang baru mampu membaca membaca posisi pemikiran Rahman secara tepat dan jujur dalam mata rantai revolusi intelektual dunia Islam setelah seseorang memahami al-Qur’an sebagai sebuah ajaran yang utuh disamping asSunnah, sejarah Islam, terutama periode awal, dan dunia modern. Tulisan Ma’arif yang ketiga berjudul ”Fazlur Rahman” yang dimuat dalam bukunya Islam Kekuatan Doktrindan Kegamangan Umat. Dalam tulisan tersebut Ma’arif bermaksud menganalisis wawancara antara Fazlur Rahman dan profesor Hamid Algar dari Universitas California, tentang berbagai persoalan Islam kontemporer. Sampai di sini dapat diketahui bahwa menurut Ma’arif, Rahman dalam memahami Islam dan al-Qur’an selalu mengaitkan dengan bingkai peradaban masa depan. Yang paling penting untuk selalu dipegangi adalah bahwa alQur’an mengajarkan doktrin kesatuan kehidupan dan kesatuan ilmu pengetahuan. Nurcholish Madjid menulis dengan judul ”Fazlur Rahman dan Rekonstruksi Etika al-Qur’an”. Ia menilai bahwa Rahman sangat kritis terhadap pemikiran Islam yang tidak berakar dalam sejarah dan tidak relevan bagi perkrmbangan masyarakat. Seluruh karya Rahman menurut Nurcholish dialirkan untuk bermuara kepada penyingkapan kandungan kitab suci. Selain itu juga dapat dipandang sebagai sari pati penyimpulan yang dibuatnya berdasarkan pengetahuannya yang mendalam dan luas tentang pemikiran Islam. Ebrahim Moosa menjadi editor dan pemberi kata pengantar pada karya Rahman yang berjudul ”Revival and Refrom in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism” inti dari kata pengantar ini adalah bahwa Rahman sangat antusias untuk mendaptkan kembali al-Qur’an. Oleh karena itu buku tersebut harus dipandang sebagai kelanjutan dari proyek pengembangan hermeneutika al-Qur’an oleh Rahman. Moosa memandang bahwa pemikir-pemikir modern seperti Fazlur Rahman sangat penting karena mengartikan wahyu dalam term sejarah. Metode Penulisan Buku Pada buku ini terdapat dua sumber data, yaitu sumber data primer, yaitu karya-karya atau tulisan-tulisan yang ditulis sendiri oleh Fzlur Rahman yang relevan dengan tulisan ini, dan sumber data sekundernya adalah karya-
karya orang lain mengenai pemikiran Fazlur Rahman, terutama dalam diskursus epistemologi, metodologi, dan pendidikan Islam. Dalam pengumpulan data digunakan metode dokumentasi. Sumber-sumber data yang sudah terkumpul baik sumber primer maupun sumber sekunder dijadikan sebagai dokumen. Dokumen-dokumen tersebut kemudian dibaca dan setelah itu diklasifikasikan. Selanjutnya data yang sudah tersistematisasi dianalisis dengan analisis bahasa, hermeneutika, dan koherensi internal. Kerangka Teori Kerangka teori atau kerangka konseptual di sini berisi pengertian, deskripsi teori, konsep dan metode yang terkait dengan judul buku ini, dan sekaligus berfungsi sebagai alat analisis terhadap metodologi, epistemologi, dan pendidikan Fazlur Rahman. Sistematika penulisan buku Keseluruhan buku ini terdiri atas lima bab dan setiap bab terbagi atas beberapa subbab. Kelima bab yang masingmasingnya terbagi menjadi beberapa subbab ini merupakan satu kasatuan yang bulat dan utuh. Bab pertama dalah pendahuluan, yang memberikan gambaran secara singkat mengenai keseluruhan buku ini dan memberikan ramburambu untuk masuk pada bab-bab seanjutnya. Bab kedua membahas biografi Fazlur Rahman yang merupakan titik sentral dari pembahasan buku ini. Bab ketiga membahas epistemologi dan metodologi Fazlur Rahman. Pembahasan ini didasarkan pada temuan struktur dasar dari tiga sistem epistemologi Islam yang terdapat pada bab 1. pada bab empat dengan judul neomodernisme dalam pendidikan Islam. Tema ini dipilih karena tema tersebut telah lama melekat pada diri Fazlur Rahman. Penulisan buku ini diakhiri pada bab lima yang berisi kesimpulan dan saran-saran. Subbab kesimpulan berisi berbagai temuan dalam penulisan buku ini, yang tidak hanya berupa rumusan epistemologi dan metodologi pemikiran Fazlur Rahman, tetapi juga berupa konsep atau teori-teori pendidikan Islam yang dapat diaplikasikan di Indonesia. BAB II BIOGRAFI FAZLUR RAHMAN Penulisan biografi Rahman ini meliputi pendidikan, perkembangan pemikiran dan karya-karyanya. Pendidikan Fazlur Rahman Rahman lahir pada tanggal 21 september 1919 didaerah Hazara, (anak benua india) yang sekarang terletak disebelah barat laut Pakistan. Pertama-tama ia dididik dalam sebuah keluarga muslim yang taat beragama. Ayahnya, Maulana Sahab al-din adalah seorang alim terkenal lulusan Deoband. Rahman kecil beruntung memiliki seorang ayah yang betul-betul memperhatikan pendidikannya. Ayahnya memperhatikan Rahman dalam hal mengaji dan menghafak al-Qur’an. Sehingga, pada usia sepuluh tahun, rahman telah hafal al-Qur’an seluruhnya. Pendidikan dalam keluarganya benar-benar efektif dalam membentuk watak dan kepribadiannya untuk dapat menghadapi kehidupan nyata. Menurut Rahman, ada beberapa factor yang telah membentuk karakter dan kedalaman dalam beragama. Diantara factor-faktor tersebut yang penting adalah ketekunan ayahnya dalam mengajarkan agama padanya dirumah dengan disiplin tinggi sehingga dia mampu menghadapi berbagai macam peradaban dan tantangan dialam modern, disamping pengajaran dari ibunya, terutama tentang kejujuran, kasih sayang, serta kecintaan sepenuh hati darinya. Hal penting lainnya bahwa ia dididik dalam sebuah keluarga dengan tradisi madzhab Hanafi. Kemudian, pada tahun 1933, Rahman melanjutka studinya ke Lahore dan memasuki sekolah modern. Pada tahun 1940, dia menyelesaikan B.A.-nya dalam bidang bahasa arab pada Universitas Punjab. Kemudian dua tahun berikutnya, ia berhasil menyelesaikan masternya dalam bidang yang sama pada Universitas yang sama pula.
Empat tahun kemudian Rahman berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya di Universitas Oxford. Rahman menyelesaikan program Ph.D.-nya pada tahun 1949, dengan disertasi tentang Ibn Sina. Ketika kuliah di Universitas Oxford Rahman mempunyai kesempatan mempelajari bahasa-bahasa barat seperti bahasa Ltin, Yunani, Inggris, Jerman, Turki, Arab, dan Urdu. Penguasaan bahasa yang bagus sangat membantunya dalam memperdalam dan memperluas keilmuannya. Setelah selesai kuliah di Oxford ia tidak langsung pulang kenegerinya, tetapi Rahman mengajar selama beberapa tahun di Durham University, Inggris, dan selanjutnya di Institute of Islamic Studies, McGill University Canada. Pada awal tahun 1960-an, Rahman pulang kenegerinya, Pakistan. Kemudian dua tahun berikutnya, ia ditunjuk sebagai Direktur Lembaga Riset Islam setelah sebelumnya ia menjabat sebagai staf di lembaga tersebut selama beberapa saat. Selama kepemimpinannya, lembaga ini berhasil menerbitkan dua jurnal ilmiah, yaitu Islamic Studies dan Fikru-Nazhr (berbahasa Urdu). Selain menjabat sebagai Direktur Lembaga Riset Islam, pada tahun 1964 Rahman ditunjuk sebagai anggota Dewan Penasehat Ideology Islam pemerintah Pakistan. Setelah melepas kedua jabatannya di Pakistan, Rahman hijrah kebarat. Ketika itu, ia diterima sebagai tenaga pengajar di Universitas California, Los Angeles, Amerika. Kemudian, pada tahun 1969, ia mulai menjabat sebagai Guru Besar kajian Islam dalam berbagai aspeknya di Departement of Near Eastern Languages and Civilization, University of Chicago. Ia menetap di Chicago kurang lebih selama 18 tahun, sampai akhirnya tuhan memanggilnya pulang pada tanggal 26 Juli 1988. Perkembangan pemikiran dan Karya-Karya Fazlur Rahman Perkembanga pemikiran dan karya-karya Rahman dapat diklasifikasikan kedalan tiga periode, yaitu periode pembentukan (formasi), periode perkembangan, dan periode kematangan. 1. 1. i. 1. Periode pertama (Periode Pembentukan) Periode pertama disebut periode pembentukan karena pada periode ini Rahman mulai meletakkan dasar-dasar pemikirannya dan mulai berkarya. Periode ini dimulai sejak Fazlur Rahman belajar sampai dengan menjelang kepulangan kenegerinya, Pakistan, setelah mengajar selama beberapa saat di Universitas Durham, Inggris. Secara epistemologis, pemikiran dan karya-karya Rahman pada periode ini didominasi oleh pendekatan historis. Pada periode ini, Rahman berhasil menulis tiga karya intelektualnya, yaitu: (1) Avecinna’s Psychology, berisi kajian dari pemikiran Ibn Sina yang terdapat pada kitab al-Najat; (2) Avecinna’s De Anima, being the psychology part of kitab al-Shifa’ merupakan suntingan dari kitab al-Nafs yang merupakan bagian dari kitab al-Shifa’;(3) Prophecy in Islam: Philoshophy and Orthodoxy, merupakan karya orisinil Rahman yang paling penting dalam periode ini. Karya ini dilandasi oleh rasa keprihatinannya atas kenyataan bahwa sarjana-sarjana muslim modern kurang menaruh minat dan perhatian terhadap doktrin-doktrin kenabian. 1. 1. i. 1. Periode kedua (Periode Perkembangan) Periode kedua disebut periode perkembangan karena pada periode ini Rahman mengalami proses menjadi, yaitu proses berkembang dari pertumbuhan menuju ke kematangan. Periode ini dimulai sejak kepulangan Rahman dari Inggris ke Pakistan sampai dengan menjelang keberangkatannya ke Amerika. Pada periode ini Rahman disibukkan oleh kedudukannya sebagai direktur lembaga riset Islam dan sebagai anggota dewan penasehat ideology Islam pemerintah Pakistan. Dengan dua kedudukan tersebut, Rahman terdorong untuk mendefinisikan Islam kembali
bagi Pakistan. Secara epistemologis, pemikiran dan karya-karya Rahman pada periode ini mulai beranjak dari pendekata historis menuju kependekatan normatif. Periode ini ditandai oleh sesuatu perubahan yang radikal. Dalam periode pertama, Rahman tidak memprlihatkan minatnya untuk memahami kajian-kajian islam normatif. Disamping itu, karya-karya yang ditelurkannya lebih menampakkan dirinya sebagai orientalis muslim yang cukup berkualitas. Maka, pada periode kedua ini, ia terlibat secara intens dalam upaya-upaya untuk merumuskan kembali islam dalam rangka menjawab tantangan-tantangan dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat muslim kontemporer, bagi Pakistan khususnya. Keterlibatan Rahman dalam arus pemikiran islam ditandai dengan dipublikasikannya serangkaian artikel-artikelnya dalam jurnal Islamic Studies mulai bulan maret 1962 hingga Juni 1963. rangkaian artikel ini, dengan tambahan bab “Ijtihad pada abad-abad kemudian”, belakang diterbitkan dalam bentuk buku yang berjudul Islamic Methodology in History, Central Istitute of Islamic Research, Karachi, 1965. buku ini disusun dengan tujuan untuk memperlihatkan (a) evolusi historis perkembangan empat prinsip dasar pemikiran islam yang memberi kerangka bagi seluruh pemikiran islam yaitu al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan ijma’, dan (b) peran actual prinsip-prinsip tersebut terhadap perkembangan islam itu sendiri. Buku kedua yang dihasilkan oleh Rahman dalam periode ini adalah berjudul Islam. Buku ini merupakan upaya Rahman dalam menyajikan sejarah perkembangan islam secara umum, yaitu kira-kira selama empat belas abad keberadaan islam. Dalam buku ini, Rahman lebih dominan mengemukakan kritik historis, disampinh sedikit memberikan harapan dan saran-saran. 1. 1. i. 1. Periode ketiga (Periode Kematangan) Karya-karya intelektual Rahman sejak kepindahannya ke Chicago (19670) mencakup hamper seluruh kajian islam normatif maupun historis. Ia banyak menulis artikel dalam berbagai jurnal internasional dan ensiklopedia. Dalam periode ini ia berhasil menyelesaikan beberapa buku; pertama, Philosophy of Mulla Sadra Shirazi. Buku ini merupakan kajian histories Rahman terhadap pemikiran Shdr al-Din al-Syrazi (Mulla Shadra). Kalau dalam buku islam ia menyanggah bahwa tradisi filsafat islam telah mati setelah diserang bertubi-tubi oleh al-Ghazali pada abad ke 12, dalam buku ini, tesis tersebut kembali diungkapkan untuk membantah pandangan para sarjana barat modern yang keliru tentangnya. Buku kedua adalah Major Themes of the Qur’an. Buku ini berisi delapan tema pokok al-Qur’an, yatu: Tuhan, manusia sebagai individu, manusia sebagai anggota masyarakat, alam semesta, kenabian dan wahyu, eskatologi, setan dan kejahatan, serta lahirnya masyarakat muslim. Tujuan penulisan buku ini adalah untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak akan sebuah pengantar tentang tema-tema pokok al-Qur’an. Metode yang digunakan Rahman dalam buku ini mensintesiskan berbagai tema secara logis ketimbang kronologis dan membiarkan alQur’an berbicara mengenai dirinya sendiri. Sementara itu, penafsiran hanya digunakan untuk “merangkaikan ideide”. Buku ketiga yang ditulis Rahman pada periode ini adalah Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Isi buku ini merupakan hasil dari sebuah proyek riset yang dilaksanakan di Universitas Chicago dan di biayai oleh ford Foundation dalam “Islamic Education”, yang pada mulanya merupakan bagian dari sebuah proyek lain yang lebih besar yang bernama “Islam and Social Change”. Penelitian itu melibatkan selusin sarjana-sarjana berusia muda yang diketahui Rahman dan Leonard Binder. Penulisan buku inidmulai pada tahun 1977 dan selesai pada tahun 1978. setelah itu masih banyak dilakukan perbaikan-perbaikan. Pada mulanya, buku ini diberi judul Islamic Education and Modernity oleh penulisnya, karena ia memeng berbicara tentang pendidikan islam dalam perspektif sejarah dengan al-Qur’an sebagai kriterium penilai. Oleh pihak penerbit, the University of Chicago Press, judul buku tersebut diubah menjadi Islam and Modernity. Pengubahan ini menerut A. Syafi’i Ma’arif mungkin didasarkan pada pertimbangan pemasaran. Bila perkataan “pendidikan” tetap bertengger pada judulnya,
mungkin akan menimbulkan kesan bahwa karya ini terlalu terbatas lingkup bahasannya, yaitu melulu soal pendidikan dalam artian yang sempit. Dengan menghilangkan perkataan pendidikan, karya ini akan lebih mengesankan sebagai karya yang berlingkup luas sekalipun ia bertolak dari masalah pendidikan islam. Buku terakhir yang dihasilkan Rahman adalah Health and Medicine in Islamic Tradition. Buku ini berusaha memotret kaitan organis antara islam sebagai sebuah system kepercayaan dan islam sebagai sebuah tradisi pengobatan manusia. BAB III EPISTEMOLOGI DAN METODOLOGI FAZLUR RAHMAN Dari penulisan terhadap karya-karya rahman dapat diketahui keterlibatannya dalam epistemologi dan metodologi. Dengan membaca artikelnya yang berjudul ”The Qur’anic Solution Of Pakistan’s Educational Problems” disana dijelaskan berbagai hal yang terkait dengan epistemologi seperti sumber, karakter dan kebenaran pengetahuan menurut al-Qur’an Epistemologi Fazlur Rahman 1. 1. Pengertian Pengetahuan Kata ”pengetahuan ” (dalam bahasa inggris knowledge) adalah kata benda yang berasal dari kata kerja ”tahu” (to know) yang semakna dengan ”mengetahui”. Sementara itu, kata ”ilmu” berasal dari bahasa arab”alima-ya’lamui’lam” yang juga berarti ”tahu” atau ”mengetahui”.menurut bahasa kata pengetahuan bisa bermakna sama dengan ilmu. Dalam buku yang berjudul Islamic Methodologi in History, fazlur Rahman menjelaskan konsep pengetahuan kaum muslimin (the muslim’s concept of knowledge). Didalamnya Rahman menjelaskan konsep pengetahuan kaum muslimin dan perkembangannya. Menurut Rahman al-Qur’an berkali-kali menggunakan istilah ”ilm”.yang secara umum bermakna pengetahuan. Pada masa nabi muhammad saw,.ilmu(pengetahuan) dimaknai seperti itu. Kemudian setelah masa sahabat, islam berkembang menjadi suatu tradisi. Pada masa itu, kata ilmu mulai digunakan dengan pengertian pengetahuan yang diperoleh melalui proses belajar. Proses memahami dan memikirkan materi-materi tradisional itu disebut fiqh. Akan tetapi, setelah sistem hukum muncul, istilah fiqh diterapkan padanya. Selanjutnya, istilah tersebut tidak banyak lagi digunakan sebagai proses untuk memahami masalah-masalah hukum, melainkan sebagai pengetahuan tersendiri , yaitu hasil-hasil dari proses berpikir tentang hukum. Selanjutnya, Rahman menjelaskan bahwa istilah ilmu itu, pada awalnya, lebih diterima tradisionalis dari pada rasional., terutama dalam sejarah islam. Sehubungan dengan itu, arti kata ilm ini mengarah pada sabda nabi”talabul ’ilmi”, atau menuntut ilmu. Kemudian dizaman sesudah islam (terutama pada zaman modern ini), perkataan tersebut dipergunakan secara umum, secara historis tidak dapat diragukan bahwa perkatan tersebut lahir dari kalangan tradisionalis dengan makna sebagaimana telah disebutkan tadi. talabul ’ilmi berarti proses perjalanan yang lama dan sukar dari suatu tempat ketempat lain, dari suatu negeri ke negeri lain duduk takzim menghadap seorang guru tradisional dan menerima tradisi dari sang guru. Selanjutnya penggunaan istilah ”pengetahuan”semakin meluas. Misalnya terdapat ungkapan yang terkenal, seperti”ada dua macam pengetahuan, yaitu pengetahuan mengenai agama dan pengetahuan mengenai tubuh manusia (selanjutnya terkenal dengan ilmu kedokteran).” 1. 1. Karakteristik Pengetahuan
Kata ”Karakteristik” berasal dari bahasa inggris ”characteristic(kata sifat)”yang berarti sifat yang khas. Kata bendanya adalah ”karakter” yang berarti watak, karakter sifat, peran, huruf. Yang dimaksud disini adalah sifat yang khas atau sifat dasar dari pengetahuan. Mengenai karakter pengetahuan , Fazlur Rahman menjelaskan dalam artikelnya yang berjudul ” The Qur’anic Solution Of Pakistan’s Educational Problems” bahwa semua pengetahuan (pertama) diperoleh melalui observasi dan Eksperimen. Kedua, selalu berkembang dan dinamis. Pengetahua tidak pernah berhenti dan stagnasi. Stagnasi dan pengulangan merupakan tanda dari matinya pengetahuan. Semua pengetahuan, baik induktif maupun deduktif, selalu didasarkan pada yang mendahuluinya, dan merupakan suatu proses kreatif yang tidak pernah mengenal akhir. Fazlur Rahman menempatkan indera dan akal pada posisi sentral dalam memperoleh dan mengembangkan pengetahuan. Pengetahuan yang dimaksudkan oleh Rahman itu bersifat empiris dan rasional. pengetahuan itu mempunyai sifat selalu berkembang, dinamis dan berkelanjutan. Salah satu buktinya adalah bahwa pengembangan pengetahuan selalu didasarkan pada pengetahuan yang telah ada dan selalu terkait dengan temuan berikutnya. Pengembangan pengetahuan tidak pernah berangkat dari ruang hampa (kosong), tetapi selalu didasarkan pada pengetahuan yang sudah ada. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa Rahman sangat menekankan pada betapa pentingnya mempelajari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak mungkin dapat berkembang tanpa ilmu pengetahuan yang telah ada, dikuasai. Penguasaan terhadap ilmu pengetahuan yang telah ada akan menemukan ilmu-ilmu pengetahuan baru. Selanjutnya, menurut Rahman, pengembangan pengetahuan tidak pernah mengenal akhir. Berakhirnya pengembangan pengetahuan sama dengan matinya ilmu pengetahuan. Dan jika ilmu pengetahuan mati, akan berakibat mati atau mundurnya peradaban. Dengan dasar pemahaman bahwa pengetahuan itu selalu berkembang, nabi muhammad saw. Diperintahkan untuk selalu memohon ditambah ilmu pengetahuan. Nabi Muhammad saw. Yang menurut keyakinan orang islam, adalah orang yang paling tinggi ilmunya, masih diperintahkan untuk memohon agar ditambah ilmu pengetahuan, apalagi umatnya. Umat islam harus selalu berdoa kepada Allah SWT. agar ditambahkan ilmu pengetahuan dan harus selalu disertai dengan upaya mempelajari dan mengembangkannya. Setinggi-tinggi ilmu pengetahuan yang diketahui oleh seseorang, masih ada orang yang lebih mengetaui. Dari orang yang paling tinggi ilmunya masih ada yang Maha lebih mengetahui, yaitu Allah SWT. Oleh karena itu setinggi apapun ilmu yang dimiliki, seseorang tidak boleh sombong. Sombong mengakibatkan orang mati karena orang yang sombong merasa bahwa dirinya yang paling tahu, tidak ada lagi orang yang lebih tahu. Sehingga ia tidak mau lagi belajar dan mengembangkan ilmu yang telah dimilikinya. Akibatnya ilmu yang dimiliki akan mengalami stagnasi. 1. 1. Klasifikasi Pengetahuan Kata ”klasifikasi” berasal dari bahasa inggris classification yang berarti penggolongan (menurut jenis), klasifikasi, atau pembagian. Klasifikasi adalah penyusunan bersistem dalam kelompok atau golongan menurut kaidah atau standar yang ditetapkan. Yang dimaksudkan disini adalah penggolongan jenis pengetahuan menurut Fazlur Rahman. Dengan mendasarkan pada al-Qur’an, Fazlur Rahman cenderung mengklasifikasikan pengetahuan manusia kepada tiga jenis, yaitu pengetahuan tentang alam, pengetahuan tentang sejarah, dan pengetahuan tentang manusia. Secara jelasnya, al-Qur’an tampaknya cenderung pada tiga jenis pengetahuan bagi manusia. Pertama adalah pengetahuan tentang alam yang telah diciptakan untuk manusia, seperti pengetahuan fisik. Kedua, jenis yang krusial yaitu pengetahuan tentang sejarah (dan geografi). Al-Qur’an mendorong manusia untuk mengadakan perjalanan dimika bumi dan menelaah apa yang telah terjadi pada peradaban masa lalu dan mengapa mereka bangkit kemudian jatuh. Ketiga adalah pengetahuan tentang manusia sendiri. Al-Qur’an menyebutkan, ”kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami disegenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka
al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah tuhanmu tidak cukup bagimu bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” 1. 1. Sumber dan Proses Memperoleh Pengetahuan Sumber yang dimaksud disini adalah asal pengetahuan diperoleh atau dikembangkan. Kata ”proses”dapat berarti runtutan perubahan dalam perkembangan sesuatu, rangkaian tindakan, pembuatan, atau pengolahan yang menghasilkan produk, atau perkara dalam pengadilan. Yang dimaksud disini adalah rangkaian tindakan yang dapat menghasilkan atau memperoleh pengetahuan. Semua pengetahuan didasarkan pada tiga sumber, yaitu pertama adalah physical universe. Fenomene-fenomena alam harus dipelajaridan penginvestigasian ini secara alami tidak pernah berhenti. Dengan mendasarkan pada datadata ini, hukum-hukum yang mengatur kerja alam dapat ditemukan dan diintegrasikan untuk menciptakan gambaran alam semesta secara total. Sumber yang kedua dijelaskan sebagai berikut.”manusia (constitution of the human mind) harus diteliti dengan intensitas yang memadai. Al-Qur’an menekankan pada studi inner world, seperti jiwa manusia (al-anfus). Data-data yang diperoleh melalui penelitian ini terkait dengan kerja manusia dan motivasinya, moral juga jiwa harus digunakan untuk mengatasi ketidakseimbangan, kejahatan, dan untuk membentuk standar moral umat manusia. Ia (data penelitian) banyak membantu dalam membentuk standar moral individual dan masyarakat serta mengurangi kecenderungan tindak kriminal pada manusia. Tujuan utama dari pengetahuan ini adalah untuk menciptakan kepribadian manusia yang seimbang, sehat, percaya diri, dan kreatif”. Mengenai sumber yang ketiga Fazlur Rahman menjelaskan berikut ”al-Qur’an memberikan penekanan yang sama pada historical study of societies. Apresiasi secara benar pada budaya, masyarakat, dan agama lain (tentunya) dapat menghasilkan berbagai arah yang positif. Hal ini akan memperluas cakrawala umat manusia dan mengurangikefanatikan dan berpikiran sempit.hal ini juga memungkinkan agar manusia tidak hanya menghakimi orang lain dengan sebutan berhasil atau gagal, tetapi juga melihat kebaikan manusia sebagai kebaikan dan kejahatan manusia sebagai kejahatan. Jika dikaji dengan jernih dan serius, subjek sejarah betul-betul mengarahkan padastudi komparatif atas masyarakat tertentu dengan masyarakat lain dan berfungsi sebagai instrumen penting untuk kritik dan penilaian atas diri sendiri. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwasejarah menghasilkan sosiologi” 1. 1. Kebenaran Pengetahuan Kata ”kebenaran”adalah kata benda yang berasal dari kata sifat ”benar”. Kata ini merupakan terjemahan dari kata inggris true (adjective), truth (noun). Kata ”benar” bisa bermakna sesuai sebagaimana adanya, betul, tidak salah, tidak berat sebelah, adil, lurus (hati), dapat dipecaya, tidak bohong, dll. Kata ”kebenaran” bisa bermakna keadaan yang cocok dengan keadaan yang sesungguhnya, sesuatu yang sungguh-sungguh, kelurusan hati, kejujuran, azin, persetujuan, perkenan. Kebenaran yang dimaksud disini adalah sesuatu yang sesuai dengan sesuatu yang sebenarnya. Dan yang dimaksud sesuatu disini adalah pengetahuan. Jadi maksudnya adalah pengetahuan yang sesuai dengan pengetahuan yang sebenarnya. Dalam diskursus epistemologi pemikiran islam, pembahasan kebenaran biasanya terkait dengan kebenaran wahyu dan kebenaran akal (rasio).menurut alfarabi, dalam mencari kebenaran ia berangkat dari pembahasan mengenai hubungan antara wahyu, intelek dan akal. Salah satu pilar dasar keimanan islam adalah percaya kepada wahyu Illahi. Manusia penerima wahyu dikenal sebagai nabi atau Rasul Allah. Kaum muslim percaya bahwa para Nabi dan Rasul adalah makhluk Allah yang terbaikdan termulia. Orang awam cukup puas menerima kebenaran ajaran agamanya pada dataran iman, sedangkan para filosof mencoba memahami realitas wahyu Illahi sebagai suatu kebenaran filosofis. Ada tiga macam intelek dalam hubungannya dengan wahyu, yaitu pertama, intelek aktif, yakni entitas kosmik yang bertindak sebagai perantara transenden antara Tuhan dan manusia. Kedua adalah intelek perolehan, yakni intelek yang diperoleh nabi hanya jika jiwanya bersatu dengan intelek aktif. Dalam persenyawaan ini intelek perolehan menerima pengetahuan transenden dari intelek aktif. Ketiga adalah intelek pasif, yaitu merujuk pada intelek penerimaan aktual Nabi secara umum. Intelek perolehan adalah kekuatan memahami (intelektif) khusus yang merasuk kedalam alam pikiran Nabi sebagai hasil persenyawaannya dengan intelek aktif.
Dalam diskursus epistemologi yang berkembang sampai sekarang, pembahasan mengenai kebenaran pengetahuan biasanya dikaitkan dengan teori kebenaran korespondensi, koherensi, pragmatis dan dogmatis atau skeptis. Metodologi Fazlur Rahman Berikut adalah tiga metodologi yang dikembangkan oleh Rahman, yaitu: 1. Metode Kritik Sejarah (The Critical Histori Method) William Montgomeri Watt menggunakan istilah The Critical Histori Method yang merupakan pendekatan kesejarahan yang pada prinsipnya bertujuan menemukan fakta-fakta objektifsecara utuh dan mencari nilai-nilai tertentu yang terkandung didalamnya. Metode kritik sejarah, sebagaimana yang dimaksudkan Fazlur Rahman, telah banyak diterapkan dalam penelitian sejarah islam oleh para Orientalis seperti David S. Margoliouth, Ignaz Goldziher, Henry Lamen, Joseph Schact dll. Penelitian dari para orientalis tersebut menghasilkan berbagai tesis yang menghebohkan terutama bagi kalangan muslim tradisional. Hal inilah sebenarnya, menurut Rahman, yang menyebabkan metode kritik sejarah tidak dapat berkembang dengan baik dikalangan pemikir muslim sampai pertengahan abad ke-20 M. Rahman banyak menerapkan metode kritik sejarah dalam melakukan penelitian terhadap pendidikan didunia islam. Metode kritik sejarah yang diterapkan oleh Rahman tidak menekankan pada kronologi berjalannya pendidikan didunia islam, tetapi menekankan pada nilai-nilai yang terkandung dalam data-data sejarah pendidikan didunia islam. Secara spesifik metode ini diterapkan dengan cara mendiskripsikan nilai-nilai sejarah pendidikan umat islam terutama yang terjadi di Turki, Mesir, Iran, Pakistan, dan Indonesia, kemudian sesekali Rahman melakukan komparasi diantara pendidikan di negara-negara tersebut. 1. Metode Penafsiran Sistematis (The Sistematic interpretation method) Metode kritik sejarah yang telah lama diaplikasikan dalam menuliskan pikiran-pikirannya yang tajam dan kritis, kemudian dikembangkan menjadi metode yang lebih sistematis, yang disebut dengan The Sistematic interpretation method. Menurut Rahman, jika orang-orang islam dengan keras dan gigih berbicara tentang kelangsungan hidup islam sebagai sistem doktrin dan praktek didunia dewasa ini sungguh-sungguh sejati (suatu pertanyaan yang jawabnya tidak mudah), kelihatan dengan jelas bahwa mereka harus memulai sekali lagi dari tingkat intelektual. Mereka harus mendiskusikan dengan ikhlas dan tanpa menahan diri tentang apa yang mereka inginkan terhadap islam dewasa ini. Seluruh kandunga syari’ah harus diarahkan menjadi sasaran pengujian yang segar dalam sinaran bukti al-Qur’an. Suatu penafsiran secara sistematis dan berani terhadap al-Qur’an harus dilakukan. Resiko terbesar dalam pemahaman ini tentu akan menjadi proyeksi dari ide subyektif kedalam al-Qur’an dan menjadikannya sebagai objek penanganan secara arbitrer. Akan tetapi, walaupun ini mungkin sangat membahayakan tidaklah dapat dihindarkan. Metodologi yang tepat untuk memahami dan menafsirkan al-Qur’an harus diterapkan. Fazlur Rahman menjelaskan metode ini terdiri atas tiga langkah utama, yaitu: pertama, pendekatan historis untuk menemukan makna teks al-Qur’an dalam bentangan karier dan perjuangan nabi. Kedua adalah membedakan antara ketetapan legal dan sasaran serta tujuan al-Qur’an. Ketiga adalah memahami dan menetapkan sasaran alQur’an dengan memperhatikan secara penuh latar belakang sosiologisnya. 1. Metode Suatu Gerakan Ganda (a Double Movement) Metode ini bisa dilakukan dengan (1) membawa problem- problem umat (sosial) untuk dicarikan solusinya pada alQur’an atau (2) memaknai al-Qur’an dalam konteksnya dan memproyeksikannya kepada situasi sekarang. Lebih lanjut Fazlur Rahman menawarkan metode berfikir yang terdiri atas dua gerakan, yaitu: pertama, metode berpikir dari yang khusus kepada yang umum (induktif), dan kedua, metode berpikir dari yang umum kepada yang khusus (deduktif). Sehubungan dengan metode berpikir pertama, gerakan pertama melibatkan pemahaman
terhadap prinsip al-Qur’an dengan mana Sunnah merupakan bagian organisnya. Sektor sosial perintah-perintah alQur’an memiliki suatu latar belakang situasional, sebagaimana pewahyuan al-Qur’an sendiri yang memiliki latar belakang religio-sosial yang amat konkret dalam politeisme dan disekuilibrium sosio-ekonomi masyarakat Makkah pada awal islam; perintah-perintah al-Qur’an muncul tidak dalam suatu kevakuman, tetapi selalu turun sebagai solusi terhadap masalah-masalah aktual. Latar belakang situasional ini, yang disebut ”sebab-sebab pewahyuan”. Gerakan pemikiran kedua adalah metode berpikir dari yang umum kepada yang khusus. Kumpulan prinsip yang diperoleh dari al-Qur’an lewat cara yang dicandera diatas (yakni dalam gerakan pemikiran pertama), harus diterapkan terhadap masyarakat muslim dalam konteks dewasa ini. Sebagaimana dengan latar belakang ajaran alQur’an yang harus dikaji untuk memperoleh prinsip-prinsip umum al-Qur’an, maka situasi kontemporer juga harus dikaji untuk diambil darinya prinsip-prinsip tentang penerapan hukum terhadap situasi tersebut. Kemudian untuk mengoprasikan metode ini, Rahman menerapkan tiga tahapan, yaitu: pertama, merumuskan world-view (pandangan dunia) al-Qur’an, kedua mensistematisasikan etika al-Qur’an, dan ketiga menumbuhkan etika al-Qur’an pada konteks masa kini. Contoh penerapan metide Fazlur Rahman ini dapat dilihat dari berbagai pemikirannya seperti dalam masalah konsep Sunnah yang hidup, riba dan bunga bank, distribusi zakat, perbudakan dalam islam dan dalam bidang pendidikan. BAB IV APLIKASI PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM Pendidikan islam menurut Fazlur Rahman, kritis dan kreatif dalam pendidikan islam, dan aplikasi pemikiran Fazlur Rahman pada pendidikan islam di Indonesia. Pendidikan Islam dalam perspektif sejarah menurut Fazlur Rahman Menurut Rahman, pendidikan islam ketika masa Rasulullah menerapkan metode membaca dan menulis, tetapi yang paling lazim adalah menghafal al-Qur’an dan al-Hadis. Namun ada juga kelompok kecil yang berusaha mengembangkan kemampuan intelektual. Kemudian pada masa abbasiyah, khalifah-khalifah tertentu, sepaerti Harun al- Rayid dan al-Makmun menekankan adu pendapat diantara para pelajar diistana mengenai persoalan logika, hukum, gramatika, dan sebagainya. Selanjutnya yang dihadapi oleh institusi ini adalah masalah sumberdaya manusia. Selama dipimpin oleh fazlur Rahman (1962-1968) strategi yang dicoba diterapkan untuk mengatasi permasalahan ini adalah: mengangkat beberapa lulusan madrasah yang mempunyai pengetahuan bahasa inggris, memberikan mereka pelatihan teknik penelitian modern, merekrut sarjana yunior lulusan unuversitas jurusan filsafat atau ilmu-ilmu sosial, dan memberikan mereka pengetahuan bahasa arab dan disiplin ilmu islam klasik yang penting seperti Hadia dan Hukum islam. Disamping usaha-usaha itu, dilakukan juga dengan cara mengirim beberapa orang keluar negeri untuk memperoleh pelatihan dan gelar dalam studi islam, baik dinegara barat maupun timur. Fazlur Rahman juga berusaha mengundang doktor-doktor dari barat untuk menjalin kerjasama dan mengawasi riset yang dilakukan oleh para mahasiswa. Namun, usahanya gagal karena tidak adanya doktor yang seperti itu. Secara mendasar, pembaharuan pendidikan islam, menurut Rahman, dapat dilakukan dengan menerima pendidikan sekuler modern, kemudian berusaha memasukinya dengan konsep-konsep islam. Secara detail menurut Rahman, pembaharuan pendidikan umat islam mendesak untuk segera dilakukan dengan cara: Pertama, membangkitkan idiologi umat islam tentang pentingnya belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan . kedua, berusaha mengikis dualisme sistem pendidikan umat islam. Pada satu sisi lain, ada pendidikan modern (sekuler). Kedua sistem pendidikan ini sama-sama tidak beresnya. Karena itu, perlu ada upaya untuk mengintegrasikan keduanya. Ketiga, menyadari betapa pentingnya bahasa dalam pendidikan dan sebagai alat untuk
mengeluarkan pendapat-pendapat yang orisinil. Menurut Rahman umat islam lemah dibidang bahasa. Bahkan ia katakan umat islam adalah masyarakat tanpa bahasa. Keempat, pembaharuan dibidang metode pendidikan islam, yaitu beralih dari metode mengulang-ulang dan menghafal pelajaran ke metode memahami dan menganalisis. Pendidikan Islan menurut Fazlur Rahman Pendidikan islam menurut Fazlur Rahman bukan sekedar perlengkapan dan peralatan fisik atau kuasi fisik pengajaran seperti buku-buku yang diajarkan ataupun struktur eksternal pendidikan, melainkan sebagai intelektualisme islam karena baginya hal inilah yang dimaksud dengan esensi pendidikan tinggi islam. Hal ini merupakan pertumbuhan suatu pemikiran islam yang asli dan memedai, dan yang harus memberikan kriteria untuk menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah sistem pendidikan islam. Pendidikan islam dapat mencakup dua pengertian besar. Pertama, pendidikan islam dalam pengertian praktis, yaitu pendidikan yang dilaksanakan didunia islam seperti yang diselenggarakan dipakistan, Mesir, Sudan, Saudi, Iran, Turki, Maroko, dan sebagainya, mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Untuk konteks Indonesia, meliputi pendidikan dipesantren, di madrasah (mulai dari ibtidaiyah sampai aliyah), dan diperguruan tinggi islam, bahkan bisa juga pendidikan agama islam disekolah (sejak dari dasar sampai lajutan atas) dan pendidikan agama islam diperguruan tinggi umum. Kedua, pendidikan tinggi islam yang disebut dengan intelektualisme islam. Lebih dari itu, pendidikan islam menurut Rahman dapat juga dipahami sebagai proses untuk menghasilkan manusia (ilmuwan) integratif, yang padanya terkumpul sifay-sifat seperti kritis, kreatif, dinamis, inovatif, progresif, adil, jujur, dan sebagainya. Dengan mendasarkan pada al-Qur’an, tujuan pendidikan menurut Fazlur Rahman adalah untuk mengembangkan manusia sedemikian rupa sehingga semua pengetahuan yang diperolehnya akan menjadi organ pada keseluruhan pribadi yang kreatif, yang memungkinkan manusia untuk memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan umat manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan, dan keteraturan dunia. Kritis dan Kreatif dalam Pendidikan Islam Sifat kritis merupakan karakter utama Rahman. Sifat kritis ini ditujukan oleh Rahman baik pada warisan islam sendiri maupun pada peradaban barat. Kritis terhadap peradaban barat menjadi penting karena peradaban ini telah mendominasi peradaban dunia selama beberapa abad terahir. Dengan domonasinya, peradaban barat sangat besar pengaruhnya pada peradaban umat islam sekarang. Oleh karena itu, para pemikir muslim harus betul-betul kritis terhadap peradaban tersebut. Disamping kritis pada diri Fazlur Rahman juga selalu mengalir sifat kreatif. Kemampuam memecahkan masalah terkait erat dengan kemampuan kritis dan kreatif. Bahakan, dapat dikatakan bahwa menumbuhkembangkan kemampuan memecahkan masalah juga menumbuhkembangkan sifat kritis dan kreatif. Memecahkan masalah tidak hanya dalam konteks ilmu pengetahuan, tetapi dalam semua aspek kehidupan. Pemecahan masalah bergerak dari masalah sederhana yang hanya menggunakan akal sehat sampai pada pemecahan masalah muskil yang menuntut prosedur berpikir yang lebih kompleks. Proses berpikir untuk memecahkan masalah berlangsung dalam empat tahap, yaitu: (1) tahap persiapan dimana masalah diselidiki dari segala arah sehingga semua informasi tentang masalah ditemukan. Kemudian masalah dianalisis dan didefinisikan. Proses ini menyangkut klasifikasi dan penilaian masalah. (2) tahap inkubasi dimana masalah seakan-akan terbawa tidur, tidak terpikirkan secara sadar dan dinamis, tetapi masalah itu merasuk kealam pikir yang nantinya akan mengalir keluar dalam wujud iluminasi kreatif. Tahap (3) disebut tahap ilmunisasi dimana ide atau kesimpulan baru muncul tidak terduga. (4) akhirnya suatu usaha sadar dilakukan untuk mencoba menentukan keshahihan dari kesimpulan yang didapat tadi sesuai dengan kriteria atau aturan-aturan ilmiah, baik dengan menggunakan langkah-langkah logika maupun eksperimen. Pada awalnya sifat kritis dan kreatif yang diperlukan adalah yang memungkinkan peserta didik berani dan memiliki rasa percaya diri untuk memahami wahyu secara langsung. Mereka tidak lagi menganggap bahwa hasil pemahaman ulama terhadap wahyu pada masa lalu merupakan hasil yang sudah fnal. Hasil-hasil ijtihad ulama
masa lalu yang cocok untuk mengatasi persoalan pada waktu itu, belum tentu cocok untuk mengatasi persoalan sekarang dan masa mendatang. Oleh karena itu, mereka harus senantiasa melakukan ijtihad, guna untuk mengatasi persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Tujuan dikembangkannya daya kritis dan kreatif dalam pendidikan islam adalah untuk menghasilkan output yang kritis dan kreatif. Atau dengan kata lain, pendidikan islam harus dapat mengembangkan anak didik yang kritis dan kreatif. anak didik yang kritis dan kreatif paling tidak mempunyai tiga ciri yang menonjol, yaitu: (1) mempunyai pemikiran asli atau orisinil (originality). (2) mempunyai keluwesan (flixibility), (3) menunjukkan kelancaran proses berfikir (fluency). Diantara kegiatan pembelajara yang dapat mengembangkan daya kritis dan kreatif subyek didik adalah kegiatan yang meminta mereka, misalnya, mengubah warna, bentuk, disain, atau model, dan sebagainya. Dapat juga dikembangkan dengan cara mengarang. Misalnya, mereka disuruh membuat karangan bebas. Melalui karangan bebas, guru dapat dengan mudah mengetahui tingkat kekritisan dan kreatifitas mereka. Apakah mereka cenderung mencontoh karangan atau model yang sudah ada ataukah menciptakan sesuatu yang lain, menunjukkan kritis dan kreatif, atau tidaknya mereka. Metode lain yang tidak kalah penting adalah metode diskusi. Sebaiknya, metode diskusi dilakukan dengan terbuka, dalam arti bahwa subyek didik bisa secara leluasa mengadakan diskusi, baik dengan guru maupun sesama temanteman mereka, tanpa ada rasa takut dan batasan untuk mengemukakan gagasan-gagasan mereka. Guru hendaknya bertugas membuat kondisi semacam itu. Aplikasi pemikiran Fazlur Rahman pada Pendidikan Islam di Indonesia Pendidikan islam di Indonesia dapat dibedakan kedalam dua tingkatan, yaitu pendidikan dasar-menengah islam, dan pendidikan tinggi islam. Kemudian pendidikan dasar-menengah islam di Indonesia dapat dibedakan lagi kedalam tiga jenis, yaitu pesantren, sekolah, dan madrasah. Masing-masing dari ketiganya memiliki keunggulan, disamping kelemahan. Pada umumnya pesantren unggul dibidang ilmu-ilmu agama, tetapi lemah dibidang ilmuilmu umum, sebaliknya sekolah lemah dibidang ilmu-ilmu agama tetapi unggul dibidang ilmu-ilmu umum. Madrasah didirikan untuk menampung keunggulan pesantren dan sekolah, disamping untuk menghilangkan kelemahan dari keduanya. Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia, menurut Zamrani, masih merupakan impian belaka. Pendidikan islam dalam realitas, baru merupakan: (a) pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga islam, (b) pendidikan agama Islam yang disampaikan di perguruan tinggi, dan (c) perguruan tinggi yang bertujuan menghasilkan sarjana dibidang ilmu-ilmu agama Islam. Perguruan tinggi Islam jumlahnya sangat banyak, tetapi dalam peta perguruan tinggi di Indonesia, kebanyakan menempati posisi dipinggiran. Untuk meningkatkan kedudukannya, dalam jangka pendek, perguruan tinggi Islam harus mampu memperbarui kurikulumnya secara mendasar. Pendidikan tinggi Islam harus memiliki tipe ideal manusia seutuhnya. Sosok manusia seutuhnya, menurut islam, adalah al- insan alkamil. Pendidikan tinggi Islam, menurut Fazlur Rahman, sangat strategis untuk mengurai benang kusut krisis pemikiran dalam Islam yang berdampak pada stagnasi dan kemunduran peradaban umat islam, yang darinya dapat diharapkan berbagai alternatif solusi atas problem-problem yang dihadapi umat manusia. Bahkan, menurut Rahman, pembaharuan islam dalam bentuk apapun yang berorientasi pada kemajuan, harus bermula dari pendidikan. Hal itu hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Mastuhu. Menurut Mastuhu, IAIN merupakan lembaga pendidikan tinggi Islam yang strategis untuk mengembangkan tradisi ilmiah umat Islam yang peduli terhadap persoalanpersoalan besar bangsa. Perguruan tinggi Islam didirikan sesuai dengan kondisi waktu lembaga itu didirikan. Dalam era globalisasi, dalam dunia yang terbuka paradigma-paradigma yang mendasari lahirnya perguruan tinggi Islam perlu ditinjau kembali. Paradigma-paradigma yang mendasari perguruan tinggi Islam dewasa ini sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan pembangunan nasional. Paradigma-paradigma perguruan tinggi
Islam itu sanagat sektoral dan mempunyai visi dan misi sangat terbatas. Paradigma yang sektoral tersebut menganut paham dualisme yang membedakan ilmu agama dari lmu pengetahuan umum. Bahkan, mendikotomikan keduanya. Dikotomi tersebut (pada akhirnya) menghasilkan alumni-alumni yang ketinggalan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, visis dan misi perguruan tinggi Islam menjadi sangat sempit dan terbatas. Barangkali hanya dapat memenuhi satu sektor tertentu saja didalam kebutuhan manusia Indonesia modern. Fazlur Rahman lebih cenderung mengembangkan ilmuwan-ilmuwan muslim dari pada Islamisasi ilmu pengetahuan. Cara ini dilakukan oleh Rahman dengan memilih ahli-ahli islam muda yang potensial dengan mengajarkannya kepada mereka metodologi barat modern. Cara yang ditempuh Rahman ini, tampaknya efektif untuk mencetak sumber daya manusia muslim yang handal. Peguruan tinggi Islam dimasa depan perlu diarahkan untuk memberikan solusi atas berbagai problem yang dihadapi umat manusia. Karena problem iti tidak selamanya berasal dari bidang agama, baik bidang agama maupun bidang-bidang lain., dalam kehidupan ini, perlu dikembangkan diperguruan tinggi Islam secara integratif. Karena itu, diperguruan tinggi Islam tidak perlu didikotomikan antara ilmu tradisional dan ilmu modern;antara ilmu agama dan ilmu sekuler, yang kedua-duanya dikembangkan secara bersama-sama dan terpadu. Secara khusus, cara pembaharuan pendidikan yang disarankan Rahman terhadap pendidikan di Pakistan dapat diaplikasikan pada pendidikan tinggi Islam di Indonesia, dengan cara: pertama, membangkitkan kembali idiologi keharusan belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Kedua, mengintegrasikan ilmu (antara ilmu agama dan ilmu umum) kedalam pendidikan tinggi Islam di Indonesia untuk kemaslahatan umat manusia. Ketiga, menyadari akan pentingnya bahasa, kemudian mengembangkannya sebagai alat komunikasi, baik secara lisan maupun tulisan. Keempat, mengganti metode pendidikan secara mengulang-ulang dan menghafal dengan metode memahami dan menganalisis. Hal ini terkait erat dengan inti neomodernisme yang menekankan sifat kritis dan kreatif. BAB V
PENUTUP Kesimpulan Melalui penulisan buku ini dapat dihasilkan temuan-temuan sebagai berikut. 1. 1. Pemikiran Fazlur Rahman jika dilihat dari prosesnya, dapat dibedakan kedalam tiga periode, yaitu periode pertumbuhan, perkembangan dan kematangan. 2. pemikiran Fazlur Rahman, jika dilihat dari struktur dasar epistemologinya, dapat ditemukan bahwa pengetahuan itu bersumber pada teks dan realitas, alat yang digunakan adalah akal dan indra, pendekatannya historis-filosofis, metodenya observasi dan eksperimen, dll. 3. metodologi Fazlur Rahman dapat dikelompokkan kedalam tiga macam yaitu metode kritik sejarah, metode penafsiran secara sistematis, dan metode suatu gerakan ganda. 4. metode suatu gerakan ganda Fazlur Rahman dapat diterapkan untuk memberi alternatif solusi atas problem-problem umat, termasuk problem pendidikan. 5. sifat kritis dan kreatif Fazlur Rahman didasarkan pada pandangan ontologinya tentang kebebasan berkehendak mnusia yang setelah dilacak lebih lanjut ternyata berangkat dari teori besarnya mengenai pandangan dunia al-Qur’an , yaitu tuhan, manusia, dan alam semesta. 6. epistemologi-metodologi pemikiran Fazlur Rahman jika diterapkan pada pendidikan islam, maka motivasi umat islam terhadap pengembangan ilmu akan semakin kuat, dikotomi ilmu dikalangan umat islam akan semakin terkikis, yang diikuti oleh semakin pudarnya dualisme dalam sistem pendidikan umat islam. Saran-saran
Berdasarkan pada temuan-temuan sebagai mana tersebut diatas, selanjutnya disarankan kepada: 1. pemerhati epistemologi agar dapat mengkritisi lebih lanjut mengenai konsep epistemologi Fazlur Rahman terutama tentang sumber, jenis, cara memperoleh, dan validitas kebenaran pengetahuan. 2. konseptor pendidikan islam disarankan dapat menyempurnakan pemikiran Fazlur Rahman tentang konsep pendidikan islam yang dapat menghasilkan alumni yang kritis dan kreatif. 3. pemegang kebijakan pendidikan islam agar dapat menentukan kebijakan yang memungkinkan dapat dihasilkan alumni dari pendidikan islam yang lebih kritis dan kreatif, sehingga mereka dapat menyelesaikan problem-problem mereka sendiri bahakan problem umat islam secara umum. 4. praktisi pendidikan islam agar dapat mengupayakan langkah-langkah yang memungkinkan terjadinya integrasi ilmu dalam islam serta integrasi dalam sistem pendidikan umat islam dalam rangka dapat menghasilkan alumni yang berkualitas tinggi. 5. konseptor pemegang kebijakan, dan praktisi pendidikan islam agar dapat mengarahkan pendidikan umat islam untuk memperbaiki peradaban mereka secara mendasar dan menyeluruh.
SEJARAH DAN PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN A. Biografi fazlur rahman Rahman lahir pada tgl 21 september 1919 didaerah hazarah ,(anak benua india)yang sekarang terletak di sebelah barat Pakistan.ayahnya maulana sahib al- din ,adalah seorang alim terkenal lulusan deoband e.ayahnya memperhatikan rahman dalam hal mengaji dan menghafal alquran.sehingga ,pada usaia 10 tahun rahman telah hafal alquran seluruhnya .pendidikan dalam keluarganya benar –benar efektif dalam membentuk watak dan kepribadiannya untuk dapat alam menghadapi kehidupan nyata . Hal penting yang telah mempengaruhi keagamaan rahman adalah bahwa ia dididk dalam sebuah keluarga dengan tradisi madzab hanafi;sebuah madzab sunni yang lebih banyak menggunakan rasio dibandingkan dengan madzab sunni lainnya.kemudian pada tahun 1933 ,rahman melanjutkan studinya ke lahore dan memasuki dunia modern,pada tahun 1940,dia menyelesaikan gelar BA nya dalam bidang bahasa arab pada Universitas Punjab.pada tahun 1942 dia berhasil menyelesaikan materinya dalam bidang yang sama di universitas yang sama. Pada tahun 1946 Rahman berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya di Universitas Oxford dibawah bimbingan Es Fande Bergh dan H.A.R.Gibb,Rahman menyelesaikan program phdnya pada tahun 1949 dengan disertasi tentang ibnu sina. Dua tahun berikutnya disertasi tersebut diterbitkan oleh oxford unevesity press dengan judul avicinna’s psychology pada tahun 1959 karya suntingan rohman dari kitab annafs karya ibnu sina diterbitkan oleh penerbit yang sama dengan judul avecinna’s de anima. Setelah tamat dari oxford university, dia tidak langsung pulang ke negrinya tetapi mengajak durkhem university, inggris; kemudian di institute of Islamic studies mc gill university kanada dan menjabat sebagai associate professor of philoshiphy. Selama kuliah di barat, ia belajar bahasa latin yunani, inggris, jerman, turki, arab dan ordo. Pada saat mengajar di durkhem university rahman menyelesaikan karya originalnya yang berjudul probheji in islam : philoshophy and ordoksi.pada tahun 1960 rahman pulang ke negrinya, Pakistan kemudian dua tahun berikutnya dia di tunjuk sebagai direktur lembaga riset islam setelah sebelumnya dia menjabat sebagai staf di lembaga tersebut selama beberapa saat selam kepemimpinan rahman lembaga ini berhasil menerbitkan dua jurnal ilmiah, yaitu Islamic studies dan fiqrun nazr berbahasa ordo. Selama jabatannya menjadi direktur rahman menjalankan dua strategi ganda yaitu mengangkat beberapa lulusan madrasah yang menguasai bahasa inggris bagi staf junior dan mencoba melatih mereka dalam teknik-teknik riset modern dan sebaliknya merekrut staf-staf senior dari kalangan lulusan universitas di
bidang filsafat atau ilmu social dan member mereka pelajaran bahasa arab serta disiplin-disiplin islam klasik yang utama seperti hadits dan ushul fiqh dia juga mengirim beberapa orang ke luar negri untuk mendapatkan training dan jika memungkinkan gelar-gelar dalam kajian keislaman baik di uneversitas barat maupun timur Pada tahun 1964 rahman ditunjuk sebagai dewan ideology islam pemerintahan islam, pemerintah Pakistan setelah beberapa saat melepas jabatannya di lembaga research. Pada tahun 1969 ia pergi ke Amerika sebagai tenaga pengajar di universitas California Los Angeles, disamping itu ia juga menjadi guru besar kajian Islam di Departemen of Near Eastern Languages and Civilization, Univercity of Chicago. Ia ngajar selama 18 tahun di Chicago akhirnya ia kembali ke pangkuan Illahi Robi pada tanggal 26 Juli 1988. B. Prestasi fazlur rahman 1. Karya-karya yang berupa buku : 1. Avecinna’s psychology 2. Prophecy in islam : philosophy and orthodoxy 3. Avecinna’s de Anima, being the psychological part of kitab al-shifa 4. Philosophy of mulla sadra shirazi 5. Islamic methodology in history 6. Islam; 7. Major themes of the qur’an 8. Islam and modernity : transformation of an intellectual tradition 9. Health and medicine in Islamic tradition 2. karya yang berupa artikel : a. ‘some Islamic issue in the ayyub khan era’ b. Islamic : challenges and opportunities c. Toward reformulating the methology of Islamic law : syaikh yamnai on “public interest” in Islamic law
d. Islam : legacy and contemporary challenge. e. Islam in the contemporary world f. Roots of islamics neo fundamentalism g. Change and the muslim world h. The impact of modernity on islam i. Islamic modernism : its scope, method and alternatives j. Divine revelation and the prophet k. Interpreting the qur’an l. The qur’anic consept of god, the universe and man m. Some key etical concept of the qur’an PEMBAHASAN A. Corak Pemikiran Rahman Dalam Pendidikan Pendidikan islam menurut rahman bukan sekedar perlengkapan dan perlalatan fisik atau kuasi fisik pengajaran seperti buku-buku yang di ajarkan ataupun stuktur eksternal pendidikan, melainkan sebagai intelektualisme islam karena baginya hal inilah yang dimaksud dengan esensi pendidikan tingi islam. Hal ini merupakan pertumbuhan suatu pemikiran islam yang asli dan memadai, dan yang harus memberikan kriteria untuk menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah system pendidikan islam. Pendidikan islam dapat mencakup dua pengertian, yaitu pertama, pendidikan islam dalam pendidikan praktis yaitu pendidikan yang dilaksanakan di dunia islam seperti yang di selenggarakan di Pakistan, sudan, Saudi, iran, maroko dan sebagainya, mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Untuk Indonesia, meliputi pendidikan di pesantren, di madrasah, dan di perguruan tinggi islam, bajhkan bisa juga pendidikan agama islam di sekolah dan pendidikan agama islam di perguruan tinggi umum. Kedua, pendidukan islam yang di sebut dengan intelektual islam. Lebih dari itu, pendidikan islam menurut rahman dapat juga di pahami sebagai proses untuk menghasilkan manusia integrative, yang padanya terkumpul sifat-sifat seperti kritis, kreatif, dinamis, inovatif, progresif, adil, jujur dan sebagainya.
Berdasarkan Al-qur’an, tujuan pendidikan menurut rahman adalah untuk mengembanngkan manusia sedemikian rupa sehigga semua pengetahuan yang di perolehnya akan menjadi organ pada keseluruhan pribadi yang kreatif, yang memungkinkan manusia untuk memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan umat manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan dan keteraturan dunia. Tanggung jawab pendidik yang pertama adalah menanamkan pada pikiran-pikiran peserta didik dengan nilai moral. Pendidikan islam didasrkan pada ideology islam karena itu pada hakikatnya pendidikan islam tidak dapat meninggalkan keterlibatannya pada persepsi benar dan salah. Al-qur’an sering kali berbicara tentang dunia dan akhirat. Dunia bernilai lebih rendah, materialis serta hasil yang tidak memuaskan. Akhirat bernilai lebih tinggi, lebih baik dan menjadi tujuan dari kehidupan. Al-qur’an menyuruh manusia mempelajari bumi seisinya dengan cermat dan mendalam serta mengambil pelajaran darinya agar dapat menggunakan pengetahuanya dengan tepat dan tidak berbuat kerusakan. Karena itu, tujuan utama drai pendidikan adalah untuk menyelamatkan manusia dari dirin sendiri, oleh diri sendiri dan untuk diri sendiri. Fazlur Rahman memiliki berbagai pemikiran yang terkait dengan pengan pendidikan umat Islam. Ia berhasil mengembangkan suatu metode yang dapat member alternative, solusi atas problem-problem pendidikan umat Islam kontemporer. Semula ia mengembangkan metode kritik sejarah, kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi metode penafsiran sistematis (the systematic interpretation method), dan akhirnya disempurnakan menjadi metode gerakan ganda (a doble movement). Tujuan pendidikan Islam menurut Fazlur Rahaman untuk memenuhi kewajiban terhadap Allah dan Rasul-Nya serta tercapainya kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Materi pendidikan menurut Fazlur Rahman meliputi mebaca dan menulis, berhitung, Al-Qur’an, al-hadits, komentar dan superkomentar, fiqih, Illahiyah, adab, thobi’iyah, dan astronomi. Metode pembelajaran abad pertengahan: membaca dan mengulang-ulang sampai hafal. Metode demikian ini menurut Fazlur Rahman dikenal dengan metode belajar secara mekanis, padasaat itu sekolah tidak melaksanakan ujian akhir tahun tetapi peserta didik bias naik ke tingkat yang lebih tinggi dengan rekomendasi guru-gurunya. Dalam berbagai bentuk menurut Fazlurr Rahman pendidiken Islam ketika jaman pertengahan menerapkan metode membaca dan menulis, tetapi yang paling lazim adalah menghafal Al-Qur;an dan Al-hadits, namun ada juga kelompok kecil yang berusaha mengembangkan kemamp[uan intelektual. Evaluasi pendidikan digunakan untuk mengetahui seberapa jauh tujuan pendidikan telah tercapai. Tujuan pendidikan menurut Fazlur Rahman adalah untuk mengembangkan manusia sedemikian rupa sehingga
pengetahuan ynag diperolenhya akan menjadi pribadi yang kritis dan kreatif yang memungkinkannya pemanfaatan sumber-sumber alam untuk kebaikan, untuk manusia dan untuk menciptakan keadilan dan kemajuan dunia. Untuk mengetahui seberapa jauh tujuan pendidikan itu telah tercapai, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap performance peserta didik terutama dalam memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan manusia dan dari segi keberhaasilan menciptakan keadilan, kemajuan serta keteraturan dunia. Secara mendasar pembaharuan pendidikan Islam menurut Fazlur Rahman dapat dilakukan dengan menerima pendidikan, kemudian berusaha memasukinya dengan konsep-konsep Islam. Menurut Fazlur Rahman, pembaharuan dilakukan dengan cara: 1. Membangkitkan ideologi umat Islam tentang pentingnya belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan. 2. Berusaha mengikis dualism system pendidikan tradisional (agama), dan pada sisi lain ada pendidikan modern (sekuler). Kedua system ini sama-sama tidak beresnya. Karena itu perlu ada upaya mengintegrasikan keduanya. 3. Menyadari betapa pentingnya bahasa dalam pendidikan dan sebgai alat untuk mengeluarkan pendapat-pendapat yang orisinil. Menurut Rahman umat Islam adalah masyarakat tanpa bahasa karena lemah di bidang bahasa. 4. Pembaharuan di bidang metode pendidikan Islam yaitu dari metode mengulang-ulang dan menghafal pelajaran ke metode memahami dan menganalisis. B.Relevansi pemikiran pendidikan Fazlur rahman dengan pendidikan islam sekarang Pendidikan tinggi Islam menurut Fazlur Rahman sangat strategis untuk megurangi benang kusut krisis pemikiran dalam islam yang berdampak pada stagnasi dan kemunduran peradaban islam,yang darinya dapat diharapkan berbagai alternative atas problem-problem yang dihadapi umat manusia.bahkan,menurut fazlur rahman pembaharuan islam dalam bentuk apapun yang berorientasi pada kemajuan,harus bermula dari pendidikan.hal itu hampir sama dengan yang dikemukakan oleh matuhu.menurut Mastuhu,IAIN merupakan lembaga pendidikan tinggi Islam yang strategis untuk mengembangkan tradisi ilmiah umat islam yang peduli terhadap persoalanpersoalan besar bangsa. Menurut Fazlur rahman ,problem pendidikan Islam yang paling mendasar dewasa ini adalah problem ideology.umat islam tidak dapat secara efektif pentingnya pengetahuan dengan orientasi ideologinya.akibatnya adalah mereka tidak terdorong untuk belajar.bahkan mereka tidak sadar kalau berada di bawah perintah moral kewajiban islam untuk menuntut ilmu pengetahuan.Problem yang sangat pelik adalah timbulnya dualism dalam system pendidikan ini dikarenakan karena adanya dikotomi ilmuhal ini dapat diperhatikan secara seksama pendidikan islam yang berbentuk lembaga mulai dari tingkat MI sampai Perguruan tinggi hanya bias ncetak para generasi yang tahu nilai nilai agama islam ,tapi tidak dapat menghadapi tantangan kehidupan modern.Sesuatu yang
berkebalikan juga terjadi pendidikan umum dari tingkat SD sampai perguruan tinggi umum hanya bias mencetak orang yang sanggup bersaing didunia modern tapi gersang dengan nilai nilai agama islam.akibatnya tidak pelik orang yang mengalami stess ,bunuh diri,dan tindakan amoral lainnya merkipun sudah berpendidikan.padahal kita tahu sendiri bahwa di sumber agama islam di Kitab sucinya Alqur’an selalu tidak memisahkan antara ilmu agama dan umum.kalau pendidikan islam diteruskan seperti ini dapat diprediksi beberapa tahun kemudian pendidikan islam akan menjadi pendidikan yang ketinggalan dan tidak diminti oleh masyarakat (stakeholder) Menurut rahman untuk memenuhi target yang telah didambakan oleh masyarakat.Serta fungsi rahmatan lil alamin dapat meluas pendidikan islam haruslah melakukan teori gerak ganda sebelum menentukan target atau tujuan dari pendirian lembaga pendidikan tersebut.Gerak ganda atau Doble movement yang dimaksud rahman yakni ada dua tempat yang harus di perhatikan yakni sumber yang dalam kategori rahman adalah al-quran dan assunnah sementara tempat yang kedua yakni realitas social atau social cultural masyarakat setempat.langkah yang harus ditempuh dalam pendidikan yakni selaku pihak yang ingin mendirikan lembaga pendidikan islam haruslah dapat melihat realitas,kebutuhan masyarakat,tantangan kedepan.Kemudian pelaku lembaga pendidikan harus menarik problem tersebut kedalam daerah sumber .Dalam wilayah ini pelaku pendidikan melakukan proses perenungan yang mendalam agar lembaga pendidikan dapat memadukan hal tersebut .dan hasilnya dari proses tersebut baru dibuat dasar dalam pendirian dan pengembangan pendidikan islam. Walaupun gagasan rahman disini hanya bersifat teoritis dan belum selesai tapi para ilmuwan berikutnya berhasil mengembangkan konsep Rahman tersebut dengan adanya berbagai pendekatan keilmuan pendidikan islam mulai dari islamisasi ilmusampai intergarasi dan interkoneksi.Ini dalam bidang keilmuan .dalam bidang menajemen pendidikan islam juga harus bersifat terbuka terhadap menajemen yang baru dan bersifat efektif . PENUTUP KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan Fazlur Rahman di atas maka dapat disimpulkan bahwa Pendidikan tinggi Islam sangat strategis untuk megurangi benang kusut krisis pemikiran dalam islam yang berdampak pada stagnasi dan kemunduran peradaban islam,yang darinya dapat diharapkan berbagai alternative atas problem-problem yang dihadapi umat manusia, bahkan pembaharuan islam dalam bentuk apapun yang berorientasi pada kemajuan.oleh sebab itu fazlur rahman memberikan beberapa alternative yang sangat bagus baik melalui karya –karyanya maupun teorinya yakni double movement. Pendidikan islam menurut rahman bukan sekedar perlengkapan dan perlalatan fisik atau kuasi fisik pengajaran seperti buku-buku yang di ajarkan ataupun stuktur eksternal pendidikan, melainkan sebagai intelektualisme islam karena baginya hal inilah yang dimaksud dengan esensi pendidikan tingi islam. Hal ini
merupakan pertumbuhan suatu pemikiran islam yang asli dan memadai, dan yang harus memberikan kriteria untuk menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah system pendidikan islam. DAFTAR PUSTAKA Sutrisno, Fazlur Rahman Kajian Terhadap Metode, Epistemology dan System Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar:2006 Rahman, Fazlur , Islam and Modernity: Transformation of an Intellctual Tradition, the University of Chichago Press, America, 1982 Sutrisno, Pendidikan Islam yang menghidupkan,(Yogyakarta: Kota Kembang, 2006) Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellctual Tradition, the University of Chichago Press, America, 1982.hal 35-37. Sutrisno, Pendidikan Islam yang menghidupkan,(Yogyakarta: Kota Kembang, 2006), hal. 18. +++++ Sutrisno, op.cit., hal. 106-107. Sutrisno, Fazlur Rahman Kajian Terhadap Metode, Epistemology dan System Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar:2006), hal. 167.
PEMBAGARUAN PEMIKIRAN HUKUM ISLAM ( BELAJAR DARI FAZLUR RAHMAN )
PEMBARUAN PEMIKIRAN HUKUM ISLAM: BELAJAR DARI FAZLUR RAHMAN I. PENDAHULUAN Secara natural dan historis, hukum Islam telah membuktikan diri sebagai bagian dari kehidupan muslim yang inovatif. Meskipun sebagian umat merasa cemas dengan kehadiran modernitas, hukum Islam selalu dapat didesain untuk mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi. Karena itulah Aziz Al-Azmeh berkomentar, “islamic law is a repertoire of precedents, cases and general principles, along with a body of well developer hermeneutical and paralogical techniques.”[1] Bukti kompetensi dialektika wahyu dengan realitas adalah warisan ushul fiqh dan fiqh yang kaya dalam sejarah Islam. Namun sebagaimana zaman yang tidak tetap dan dinamis, orientasi hukum Islam perlu selalu diarahkan pada kemajuan (the idea of progress). Kecenderungan ini telah dimiliki oleh para pemikir kontemporer setelah berhasil mematahkan mitos tentang ketertutupan pintu ijtihad (‘insidad bab al-ijtihad) dan mengeliminir taklid.[2] Salah satu dari pemikir itu adalah Fazlur Rahman yang disebut-sebut sebagai tokoh neomodernis yang penting. Rahman dianggap berhasil melaksanakan rekonstruksi dan dekonstruksi dalam metodologi studi hukum Islam.[3] II. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana pembaruan pemikiran hukum Islam Fazlur Rahman? 2. Bagaimana relevansi pemikiran Fazlur Rahman dalam konteks zaman ini? III. PEMBAHASAN 1. Biografi dan Karya-karya Fazlur Rahman Pada 21 September 1919 Fazlur Rahman dilahirkan dari keluarga muslim religius di Hazara, sebuah daerah di Anak Benua Indo Pakistan. Selain Rahman, dari wilayah yang sekarang terletak di barat laut Pakistan ini telah melahirkan tokoh-tokoh sekaliber Sayyid Ahmad Khan, Syekh Waliyullah, dan Muhammad Iqbal. Rahman kecil hidup dalam tradisi Hanafi yang kuat dan praktis ritualitas keagamaan ia laksanakan dengan penuh ketaatan. Meskipun demikian dialektika pemikiran Rahman tidak hanya dalam tradisi sunni tetapi juga syi’i. Latar belakang keluarga Rahman yang terbuka membuat ia tidak kesulitan untuk memperoleh pengetahuan baru dan pendidikan modern. Dari sang ayah, Maulana Syahab al-Dien, Rahman menerima pendidikan tradisional di samping pendidikan modern di Lahore yang mulai dijalani sejak 1933. Setelah lulus dari pendidikan menengahnya, Rahman melanjutkan pendidikan dengan konsentrasi bahasa Arab di Lahore dan memperoleh gelar Bachelor of Art pada 1940 dan menyelesaikan studi masternya dua tahun berikutnya. Pada tahun 1946 Fazlur Rahman berangkat ke Inggris untuk belajar di Universitas Oxford yang kemudian mendapatkan bimbingan dari Prof. S. Van Den Berg dan HAR. Gibb. Pendidikan doktor Rahman ini selesai pada 1949 dengan disertasi berjudul Avicenna’s Psychology yang kemudian diterbitkan oleh universitas tertua di Eropa itu. Selama belajar di Oxford, Rahman mengajar di Universitas Durham yang semakin memperlihatkan kepadanya distingsi pendidikan modern di Barat dan Islam tradisional di negerinya, Pakistan. Pada awal 1960-an Rahman kembali ke negerinya setelah 3 tahun mengajar di Universitas McGill, Kanada. Kembalinya Rahman ini karena permintaan Ayyub Khan yang kemudian pada 1962 menyerahinya tanggungjawab sebagai pemimpin Islamic Research Institute dan The Advisory Council of Islamic Ideology. Kedudukan Rahman ini mendapatkan banyak kritik dari para ulama tradisional Pakistan terlebih latar belakang pendidikannya dari Barat. Lebih-lebih pada periode ini Rahman menulis di sebuah jurnal bernama Fikr al-Nadzar yang menggugat
eksistensi wahyu dalam pandangan tradisional. Tulisan di jurnal ini kemudian menjadi dua bab pertama dalam buku Islam.[4] Pakistan, di masa Rahman hidup masih didominasi oleh kalangan tradisional yang kokoh dalam penafsiran tekstualis atas al-Qur’an. Bahkan sentimen atas Barat cukup kuat, bukan hanya karena kebudayaan dan pemikirannya, tetapi juga aspek politiknya. Gelombang protes terhadap Rahman mencapai puncak ketika terjadi pemogokan massal pada September 1968 di beberapa daerah yang membuatnya berpikir ulang tentang masa depan pemikirannya di Pakistan. Tetapi banyak pengamat menilai sesungguhnya kritik dan demonstrasi itu bukan ditujukan kepada Rahman, tetapi untuk menentang Ayyub Khan. Pada 5 September 1968 akhirnya Rahman mengundurkan diri dari Islamic Research Institute dan setahun berikutnya, pada akhir tahun 1969 Rahman berangkat ke Amerika menuju Universitas California, Los Angeles, dan diangkat sebagai guru besar pemikiran Islam di universitas tersebut. Rahman kemudian pindah ke Chicago dan menghabiskan banyak waktu di sana untuk menuliskan karya-karyanya. Pada periode ini beberapa karya yang lahir antara lain The Philoshophy of Mulla Sadra, Major Themes of The Qur’an, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, dan Health and Medicine in Islamic Tradition. Sebagai guru besar di UCLA dan Chicago, Rahman mendapat pengakuan secara internasional dengan salah satunya menerima penghargaan prestisius Giorgio Levi Della Vida dari Gustave E. Von Grunebaum Center for Near Eastern Studies dari UCLA yang hingga saat ini dirinyalah sebagai satu-satunya muslim yang menerima award itu.[5] Pada pertengahan dekade 1980-an Rahman mulai menunjukkan penurunan kesehatan meskipun masih bersemangat dalam berkarya. Sebuah buku yang terbit setelah ia wafat adalah Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism. Setelah beberapa saat memperoleh perawatan medis di Chicago, Rahman menutup usianya pada 16 Juli 1988 saat berusia 69 tahun. 1. Pemikiran Hukum Islam Fazlur Rahman Melalui sekilas biografi Rahman tertangkap pergeseran pemikiran dari satu masa ke masa lain yang dipengaruhi oleh gejolak kehidupannya. Karya-karya masa awal Rahman dipenuhi dengan kajian-kajian historis murni. Avicenna Psycology, Avicenna’s de Anima, dan Prophecy in Islam merupakan karya-karya historis secara umum. Ini berbeda dengan periode 1960-an ketika Rahman telah kembali ke Pakistan yang meskipun masih beraroma historis dalam kajiannya, namun secara khusus tertuju pada pemikiran Islam dan Islam normatif. Dalam periode ini dapat dilihat pada karya Islamic Methodology in History dan Islam. Sementara itu pada periode terakhir Rahman di Chicago semakin memberikan ruang yang luas bagi pemikiran Islam, dan tercakup di dalamnya hukum Islam sebagaimana karya-karya periode ini dalam uraian biografi di atas. Karena itulah diskusi mengenai pemikiran hukum Islam akan lebih banyak merujuk pada karya-karya Rahman periode kedua dan ketiga meskipun sebagai sebuah pemikiran seseorang secara keseluruhan, karya-karya yang lain tetap penting untuk diketahui dan dianalisis. Sebagaimana para intelektual progresif yang lain, Rahman merasakan kekhawatiran atas kondisi umat Islam kontemporer yang terpuruk sebagai akibat kejumudan berpikir. Mengenai hal ini Rahman menguraikan dua problem utama umat Islam; pertama, umat Islam kurang menghayati relevansi al-Qur’an untuk masa kini sehingga tidak mampu memberikan jawaban bagi masalah-masalah baru, dan kedua, umat Islam sendiri memendam kekhawatiran jika al-Qur’an disajikan dengan cara di atas akan menyimpang dari pemahaman-pemahaman tradisional.[6] Tawaran Rahman mengenai kontekstualisasi ini secara terus menerus disuarakan melalui karyakaryanya. Meskipun demikian Rahman sebetulnya tidak pernah lepas dari teks (beyond the text) sehingga pengembangan tafsirnya dianggap merupakan rekonstruksi atas pola tafsir bi al-ma’tsur[7] yang akan terlihat dalam penggunaan beberapa contohnya nanti. Rahman memulai keberangkatan pemikirannya pada apa yang disebut para sarjana sebagai “metode kritik sejarah” (critical historical method) dan kemudian lebih detail diurai dalam konsep double movement. Metode kritik sejarah, pertama-tama menjadi landasan bagi konsepsi mengenai teks yang tidak terlepas dari konteksnya. Sebagaimana diketahui, setiap teks selalu berangkat dari sebab-sebab eksternal dan kemudian mengakumulasi keadaan itu dalam “uraian” teks. Dalam konteks inilah, Nashr Hamd Abu Zayd menyebut ilmu asbab an-nuzul sebagai sebuah ilmu yang digunakan untuk memahami hubungan teks (nash, al-Qur’an) dan realitas tersebut.[8] Namun meskipun demikian sejumlah ayat memang diturunkan tidak dalam kondisi merespon lingkungan yang
eksternal yang jumlahnya sangat sedikit. Sehingga penting di sini untuk menegaskan berartinya pengetahuan akan sebuah realitas yang memproduksi teks guna menemukan makna dari sebuah teks.[9] Dari sepintas eksplorasi di atas, sangat tampak sebenarnya Rahman menjadikan al-Qur’an sebagai sentral penelitian untuk merekonstruksi pemikiran Islam. Rekonstruksi epistemologi Rahman berangkat dari penggunaan tradisi berpikir yang post-positivistik. Rahman sendiri tidak mencukupkan diri pada tradisi berpikir positivistik karena dianggap melahirkan dehumanisasi meskipun telah berjasa membuat peradaban Barat berkembang dan maju. Selain itu juga menolak epistemologi model Immanuel Kant yang justru usianya lebih tua dibandingkan positivisme. Karena alasan inilah Rahman lebih memilih post-positivistik yang memfokuskan diri pada fenomena sosial tanpa mengabaikan peran sentral subjek manusia, dan kemudian ia memilih hermeneutika sebagai kerangka utama dalam membangun ilmu-ilmu keislaman.[10] Hermenetika sendiri menjadi semacam klarifikasi karya “melalui pengembangan makna internalnya dan hubungan bagian-bagian dalamnya dengan masing-masing yang lain dan dengan spirit masa secara lebih luas”.[11] Friedrich Ast, yang karya-karyanya dirujuk oleh tokoh hermeneutika Schleirmacher, membagi tugas ini ke dalam tiga bagian atau pemahaman; (1) “historis”; sebuah pemahaman yang terkait dengan isi sebuah karya, yang dapat berupa artistik, saintis, atau umum, (2) “gramatis”; sebuah pemahaman yang dikaitkan dengan aspek kebahasaan, dan (3) “geistige”; pemahaman atas karya yang dikaitkan dengan pengetahuan utuh dari pengarang dan pandangan utuhnya (Geist) pada masa itu.[12] Khazanah keislaman yang mengakomodir gaya seperti ini dikategorikan al-Jabiri ke dalam “sistem burhani” yang memang langka ditemukan di dalam sejarah Islam.[13] Meskipun Islam sangat terinspirasi dari perkembangan filsafat terutama Yunani, baik dari aliran –mengutip Syahrastani– “filosof generasi awal” maupun “filosof generasi belakangan”, tetapi pada perkembangan berikutnya, penafsiran “hermeneutika” (seperti digunakan oleh Mu’tazilah) tidak sedahsyat penggunaan penafsiran tekstual (burhani) ataupun irfani.[14] Pilihan Rahman atas hermeneutika adalah karena ia lebih dekat dengan ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften) yang objeknya adalah ekspresi kehidupan (Lebensaeusserung), dibandingkan ilmu-ilmu kealaman yang cenderung mencari penjelasan atas hubungan kausalitas (erklaren). Sebagai salah satu metode dari “memahami” (verstehen), tugas dari hermeneutika adalah bagaimana memahami teks maupun realitas sosial di masa lampau yang asing sama sekali menjadi milik orang yang hidup di zaman ini yang secara kultur jelas berbeda. Dengan cara inilah Rahman melaksanakan fungsi ijtihad pada al-Qur’an agar kontekstual dan fungsional untuk masa ini.[15] Kontekstualisasi al-Qur’an dengan menggunakan prinsip-prinsip hermeneutika digunakan Rahman untuk tidak hanya membaca “teks horisontal” (ruang dan waktu manusia) tetapi juga “teks vertikal” (memahami kehendak Tuhan). Dengan cara ini akan ditemukan ideal law (hukum ideal) yang berbeda dari aturan-aturan hukum (legal law) karena berisi prinsip-prinsip etika atau prinsip-prinsip umum (ratio legis). Untuk menemukan ideal law inilah maka Rahman menawarkan double movement itu untuk mendeteksi maksud wahyu dan menjalankan fungsi tersebut di masa ini. Mengenai proses double movement, penulis akan mengutipnya di bawah ini[16]: “first, one must understand the import or meaning of a given statement by studying the historical situation or problem to which it was the answer. Of course, before coming to the study of specific text in the light of specific situation, a general study of the macrosituation in term society, religion, customs, and institution, indeed, of life as a whole in Arabia on the eve of Islam and particularly in and around Mecca – not excluding the Perso-Byzantine wars- will have to the made. The first step of the first movement, then, consists of understanding the meaning of the qur’an as a while as well as in term of the specific tenets that constitute responses to specific situation. The second step is to generalize those specific answers and enunciate them as statements of general moral-social objectives that can be “distilled” from specific text in light of sociohitorical back ground and the often-stated rationes legis.”
Pergerakan pertama double movement dimaksudkan untuk menarik prinsip-prinsip umum dan nilai-nilai, sementara gerakan kedua untuk memformulasikan dan merealisasikan “general view to the spesific view”.[17] Dengan demikian, gerakan pertama membutuhkan keahlian para sejarawan untuk menggali keadaan spesifik turunnya ayat maupun keadaan secara keseluruhan Mekah dan Arabia di masa itu, sementara gerakan kedua dibutuhkan keahlian social scientist untuk memformulasikan “the social-moral objective” untuk kondisi saat ini.[18] Sebagaimana telah sedikit disinggung, metodologi Rahman sangat membutuhkan kekayaan khasanah Islam klasik seperti ilmu asbab an-nuzul meskipun dengan perluasan paradigma. Bahkan sebetulnya ini bukanlah hal baru karena sebelumnya telah dipikirkan oleh Imam asy-Syatibi dalam al-Muwafaqat fi ushul al-shari’ah. Bahwa tidak cukup memahami “maksud Syari’” hanya dengan melihat “konteks mikro” ayat al-Qur’an, tetapi perlu memahami “konteks makro” sebuah ayat. Hal lain dari Rahman yang juga dipengaruhi oleh asy-Syatibi adalah pandangannya mengenai apa yang populer disebut “idea moral”. Jika di dalam sebuah ayat terkandung yang legal spesific dan moral idea, maka seharusnya idea moral itulah yang dijadikan sandaran untuk “menghukumi” perbuatan hukum saat ini. Moral idea inilah yang merupakan pemikiran kembali (rethinking) atas konsep asy-Syatibi yang dengan brilian mengeksplorasi tentang “the moral religious bases of the law –‘the objective of the law (maqashid asysyar’) or ‘the intentions of the Shari’a obligations’ (asrar al-taklif)”.[19] Pemahaman Rahman di atas menjadi bagian penting dalam keinginannya untuk; pertama, memaksimalkan kreativitas manusia, dan kedua, tetap menjaga kreativitas itu pada jalan moral yang benar.[20] Untuk menjaga “jalan moral” inilah dianggap penting untuk merujuk pada nilai-nilai yang etis atas apa yang diwahyukan oleh Tuhan. Dua contoh yang di antaranya diajukan oleh Rahman adalah ayat tentang poligami dan hukum potong tangan sebagaimana penjelasan sebagai berikut: ÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? ’Îû 4‘uK»tGu‹ø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/â‘ur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9ω÷ès? ¸oy‰Ïnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #’oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisa’: 3) Ayat di atas memang menunjukkan kebolehan pernikahan hingga 4 orang wanita dan telah dipraktikkan oleh masyarakat Arab sebelum ayat ini turun. Tetapi bagi Rahman ayat ini perlu dipahami dalam nuansa etisnya secara komprehensif dengan melihat kondisi sosio kultural Arab dan sebab-sebab ayat ini turun. Pemahaman (kebolehan 4 istri) ini tidak lagi sesuai dengan kedudukan antara laki-laki dan perempuan yang sama. Selain itu, adil tidak mungkin dipenuhi oleh laki-laki. Karena itulah menurut Rahman pesan terdalam yang hendak diutarakan oleh alQur’an bahwa pernikahan itu berasas monogami.[21] ä-Í‘$¡¡9$#ur èps%Í‘$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ‰÷ƒr& Lä!#t“y_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª! $#ur ͕tã ÒOŠÅ3ym ÇÌÑÈ Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-Maidah: 38). Idea moral dari ayat ini adalah memotong kemampuan pencuri agar tidak mencuri lagi. Dalam sejarah Arab, mencuri menurut kebudayaan adalah kejahatan ekonomi dan kejahatan melawan nilai-nilai dan harga diri manusia. Tetapi di era ini mencuri hanyalah kejahatan ekonomi sehingga bentuk hukumannya harus berubah. Yang paling penting adalah bagaimana cara mengamputasi segala kemungkinan yang membuat seseorang mengulangi perbuatannya itu dan menghargai kepemilikan pribadi seseorang. Karena itulah hukuman potong tangan merupakan budaya Arab, bukan hukum Islam.[22]
Lalu bagaimana cara mencapai “idea moral” itu? Dalam hal ini Rahman mencontohkannya dengan larangan meminum khamr yang diekspos oleh wahyu secara bertahap. Pada awalnya, al-Qur’an menganggap minuman yang memabukkan dari anggur itu sebagai “kebesaran Tuhan”.[23] Dari QS. an-Nahl ayat 66 hingga 69 akan dikutip di sini salah satunya, yaitu ayat 66 dimana Tuhan awalnya tidak mempermasalahkan a’nab (anggur): ¨bÎ)ur ö/ä3s9 ’Îû ÉO»yè÷RF{$# ZouŽö9Ïès9 ( /ä3‹É)ó¡ン S $®ÿÊeE ’Îû ¾ÏmÏRqäÜç/ .`ÏB Èû÷üt/ 7^ö ヘ sù 5QyŠur $·Yt7©9 $TÁÏ9%s{ $Zóͬ!$y™ tûüÎ/Ì ヘ»¤±=Ïj9 ÇÏÏÈ Artinya: “Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan” (QS. an-Nahl: 66). Keadaan kemudian berubah saat muslim mulai berpindah ke Medinah, dan beberapa sahabat mendorong Nabi saw untuk melarang alkohol. Sebagai konsekuensinya maka diturunkanlah QS. al-Baqarah ayat 219: * y7tRqè=t«ó¡o„ ÇÆtã Ì ヘ ôJy‚ø9$# ÎŽÅ£÷マ yJø9$#ur ( ö@è% !$yJÎgŠÏù ÖNøOÎ) ׎ ヘ Î7Ÿ2 ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çŽt9ò2r& `ÏB $yJÎgÏèøÿ¯R 3 š チ tRqè=t«ó¡o„ur #sŒ$tB tbqà)ÏÿZムÈ@è% uqøÿyèø9$# 3 š チ Ï9ºx‹x. ßûÎiüt7ムª!$# ãNä3s9 ÏM»tƒFy$# öNà6¯=yès9 tbrã ヘ©3xÿtFs? ÇËÊÒÈ Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.’ Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan.’ Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.” Setelah ayat di atas, terdapat sebuah kejadian dimana salah satu sahabat Anshar meminum khamr dan mabuk sehingga ia salah dalam membaca al-Qur’an. Lalu turun kemudian ayat di bawah ini: $pkš‰r’¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qç/t ヘ ø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3“t ヘ»s3ß™ 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s? Ÿwur $·7ãYã_ žwÎ) “Ì ヘ Î/$tã @@‹Î6y™ 4Ó®Lym (#qè=Å¡tFøós? 4 bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó ミ£D ÷rr& 4’n?tã @ヘ xÿy™ ÷rr& uä!$y_ Ó‰tnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$| ¡ÏiY9$# öNn=sù (#r߉ÅgrB [ä!$tB (#qßJ£Ju‹tFsù #Y‰‹Ïè|¹ $Y7ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNä3Ïdqã_âqÎ/ öNä3ƒÏ ‰÷ƒr&ur 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. #‚qàÿtã #·‘qàÿxî ÇÍÌÈ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun” (QS. an-Nisa: 43). Akhirnya untuk mengenang sebuah peristiwa para sahabat Nabi saw. mengadakan “pesta minum” yang kemudian terjadi percekcokan dan perselisihan hebat di antara mereka karena mabuk. Lalu turunlah ayat terakhir mengenai khamr itu[24]: $pkš‰r’¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ã ヘ ôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9ø—F{$#ur Ó§ô_Í‘ ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø‹¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ $yJ¯RÎ) ߉ƒÌ ヘ ムß`»sÜø‹¤±9$# br& yìÏ%qムãNä3uZ÷マ t/ nourºy‰yèø9$# uä!$ŸÒøót7ø9$#ur ’Îû Ì ヘ÷Ksƒø:$# ÎŽÅ£÷マ yJø9$#ur öNä.£‰ÝÁtƒur `tã Ì ヘ ø.ÏŒ «!$# Ç`tãur Ío4qn=¢Á9$# ( ö@ygsù LäêRr& tbqåktJZ•B ÇÒÊÈ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan
kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)” (QS. al-Maidah: 90-91). Demikianlah bahwa memang al-Qur’an menurunkan hukum-hukumnya itu sebagai “pentahapan” untuk menuju sesuatu yang ideal. Bahwa asas pernikahan memang monogami dan pidana pencurian adalah “membuat jera”. Inilah yang merupakan prinsip-prinsip umum (the general principles) yang seharusnya direkomendasi dalam setiap formulasi hukum Islam. Selain itu, sebagaimana yang sedikit disinggung di permulaan uraian, Rahman tetap menggunakan “ayat-ayat al-Qur’an” yang lain dan sumber-sumber periwayatan dalam penafsiran hukumnya sehingga dapat dikategorikan sebagai pengembangan atas tafsir bi al-ma’tsur. Dengan metodologi baru yang ditawarkan oleh Rahman ini ia agaknya sedang berusaha menjauhkan umat Islam dari fanatisme-fanatisme tekstual yang menjatuhkan siapapun ke dalam “bibiolatri” sebagai sebuah sikap yang “memberhalakan” teks tanpa melihat faktor-faktor eksternal yang membentuknya. Di sinilah universalitas hukum Islam itu sebenarnya akan ditemukan untuk merespon kenyataan-kenyataan baru dalam modernitas. 1. Relevansi Pemikiran Fazlur Rahman Kategorisasi Rahman sebagai seorang neo modernis sebenarnya lebih memperlihatkan ciri pemikirannya sebagai seorang “reformer metodologis”, bukan “reformer paradigmatik”. Hal ini berbeda dengan pemikiran-pemikiran yang ditawarkan oleh Muhammad Syahrur ataupun Mahmud Muhammad Taha yang dalam batas-batas tertentu “melewati” arus paradigma Islam klasik. Selain itu tawaran metodologis Rahman merupakan perpaduan antara akar tradisional keilmuan muslim dengan keilmuan Barat (hermeneutika). Sehingga dengan “kritik sejarah” itu paradigma Islam sedang mencoba digeser dari wilayah yang teologis-metafisik ke dalam wilayah etis antropologis, selain menemukan “idea moral” sebagai tujuan utama pewahyuan. Di dalam konteks modern pemikiran Rahman bagi penulis cukup relevan meskipun kontekstualisasi pemikiran Islam telah banyak digelorakan. Tawaran Rahman yang terkesan “moderat” membuat banyak kalangan merasa ditemukan dengan revitalisasi yang tidak “ekstrim” sehingga dapat diterima oleh cukup banyak kalangan. Apalagi pemikiran Rahman, sebagaimana eksplorasi sebelumnya, telah ditemukan akarnya dari pemikiran as-Syatibi. Di Pakistan sendiri, apakah terdapat pengaruh dari pemikiran Rahman atau tidak, tetapi ketika Ayub Khan –yang secara emosional dekat dengan Rahman– menjadi presiden kedua Pakistan, pernah memperkenalkan hukum keluarga Islam (the Muslim Family Laws) melalui sebuah ordonansi pada tanggal 2 Maret 1961, sebuah waktu yang relatif dekat dengan kepulangan Rahman pada tahun 1960-an ke Pakistan dari McGill. Berdasarkan ordonansi ini di Pakistan dibentuk Dewan-dewan arbitrase yang menangani masalah-masalah seperti memberikan sanksi kepada seseorang yang poligami, merekonsiliasi percekcokan rumah tangga, serta memberikan perlindungan terhadap wanita dan anak-anak.[25] Pengaruh Rahman sendiri dalam dunia modern muslim cukup luas. Bukan saja karena tawaran metodologinya yang reformatif, tetapi Rahman di sisi lain juga seorang muslim yang cukup keras mengritik tokoh-tokoh orientalis yang dianggapnya tidak tepat dalam menjelaskan pemikiran Islam. Apalagi pemikiran Rahman cukup luas dan meliputi berbagai bidang keilmuan; kalam, hadits, tafsir, tasawuf, pendidikan dan kajian-kajian modern keislaman. Misalnya saja, bersama Muhammad Mustafa A’dzami, Rahman merupakan salah satu tokoh yang cukup keras mengritik uraian-uraian konsep hadits yang diekspolorasi oleh Joseph Schact dan Ignaz Goldziher yang terkesan “mendiskreditkan” dan “meragukan” otentisitas hadits sebagai salah satu formula dalam hukum Islam. Pemikiran Rahman didasari atas pembacaan literatur, baik literatur Islam maupun Barat-modern sehingga kritikkritiknya meliputi kedua-duanya. “Perpaduan” ini membuat wajah pemikiran Rahman “eklektik” sehingga Wael B. Hallaq mengkategorikan dirinya dalam kelompok “religious liberalism” bersama Said al-Asymawi dan Muhammad Syahrur.[26] Mengenai kelompok liberalis ini Hallaq menguraikan di awal-awal penjelasan, “the main thrust of the liberalist approach consists of understanding revelation as both text and context. The connection between the revealed text and modern society does not turn upon a literalist hermeneutic, but rather upon an interpretation of the spirit and broad intention behind the spesific language of the texts.”[27]
Kelompok “religious liberalism” ini sendiri berbeda dengan kelompok “religious utilitarianism” yang diisi oleh tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Abdul Wahab Khallaf dan tokoh revolusioner dari Sudan, Hasan Turabi. Kelompok ini cukup kuat dalam memegang teks-teks hukum dan terkesan “deduktif” sehingga dialektika dengan modernitas kurang begitu mendapatkan tempat meskipun batu pertama tesis utilitarianis adalah maslaha, yang telah diketahui menjadi perdebatan sejak lama oleh para ulama Islam klasik. Karena itu Hallaq mengritik pandangan-pandangan kelompok ini karena pada akhirnya akan jatuh pada subjektivitas dan relativitas. [28] Dalam kehidupan kontemporer ini, tawaran Rahman cukup baik untuk diimplementasikan terutama tentang berpikir secara etis. Meskipun begitu, Rahman melalui “metode kritik sejarah” dan “double movement” ibarat memberikan wadah sementara isi dan hasilnya menjadi tugas para pemikir berikutnya. Karena wawasan etis alQur’an, terutama yang terkait dengan hukum-hukumnya, perlu sebuah upaya “pembumian” sehingga dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari muslim. Di sisi lain, penggunaan hermeneutika oleh Rahman ternyata tidak selalu memberikan dampak buruk sebagaimana yang selama ini dikhawatirkan oleh sebagian umat Islam. Apalagi sejatinya hermeneutika yang lahir dari peradaban Barat (Gereja) awalnya tidak dimaksudkan untuk “mendesakralisasi” Tuhan dan ayat-ayatnya dalam Bibel tetapi melakukan “reinterpretasi” atas Bibel sebagai upaya mendialektikan “suara Tuhan” dengan “suara manusia modern” yang sangat berbeda karakteristik dari respon-respon radikal-ekstrim seperti yang digelorakan oleh Karl Marx dan Nietzsche. Pemikiran Rahman, karena didasarkan pada nilai-nilai yang universal, maka tidak akan terjebak pada formalisme sehingga dalam kehidupan masyarakat modern yang plural seperti di Indonesia, hukum yang tercipta diharapkan mampu dikembangkan sesuai semangat zaman ini; semangat keadilan, kesetaraan gender, hak asasi manusia, demokrasi, dan sebagainya. Meskipun demikian, Rahman memang belum tuntas dalam memperbincangkan konsepnya mengenai “idea moral” misalnya, dari setiap ayat al-Qur’an. Selain dibutuhkan kajian yang cukup berat, sebagai manusia memiliki keterbatasan waktu. Tetapi visi Rahman mengenai “kontekstualisasi” atau “pembumian” patut disambut baik –dan terbukti pemikirannya telah menginspirasi dan diperkenalkan oleh banyak pemikir sesudahnya– karena melihat aspek-aspek teologis ayat al-Qur’an tidak hanya dari sisi aspek hukumnya saja, tetapi juga etika.
IV. KESIMPULAN Dari uraian pada makalah ini maka dapat disimpulkan dua hal utama; pertama, pembaruan pemikiran hukum Islam Fazlur Rahman didasarkan pemahamannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an secara hermeneutis melalui “metode kritik sejarah” dan konsep “double movement”. Upaya ini dilakukan untuk menemukan prinsip-prinsip umum atas wahyu Tuhan yang dieksplisitkan dalam teks al-Qur’an sehingga dialektika dengan problem baru tidak terputus. Kedua, pemikiran Rahman dapat dipandang relevan dengan zaman ini yang telah “mengglobal” dimana pluralitas merupakan kenyataan dimana-mana. Penanaman “idea moral” akan menjadikan umat Islam lebih terbuka dan tidak formalis tanpa harus menanggalkan semangat ketuhanan dan keislaman. V. PENUTUP Demikian makalah ini telah penulis susun dengan sebaik-baiknya. Namun begitu terasa cukup banyak kekurangan terutama terkait dengan ketersediaan referensi yang tidak mampu dihadirkan secara komplit, tentu saja di samping ketidaksempurnaan pada aspek-aspek yang lain. Karena itulah saran dan kritik selalu terbuka bagi siapapun, terutama dari Bapak Dr. Muhyar Fanani, M.Ag selaku dosen pemikiran hukum Islam dan teman-teman pascasarjana IAIN Walisongo, demi sebuah karya yang memang layak diperiksa ulang. [1] Aziz Al-Azmeh, Islams and Modernities, London & New York: Verso, 1993, hlm. 11-12.
[2] Ijtihad baru tidak berarti sebagai upaya menafikan rumusan lama dalam pemikiran hukum Islam, tetapi mengevaluasi kembali dan mendialogkan rumusan-rumusan itu dan atau mengembangkannya dengan semangat zaman ini. Baca Wael B. Hallaq, Was the Gate of Ijtihad Closed?, dalam International Journal of Middle East Studies of Cambridge University, vol. 16, No. 1 (Mar., 1984), hlm. 33-34. [3] Istilah neo modernisme sendiri sebenarnya diutarakan oleh Rahman saat membedakan gerakan pembaruan Islam selama dua abad terakhir, selain istilah lain revivalisme dan neo-revivalisme serta modernisme Islam. Neo modernisme, termasuk Rahman sendiri, memiliki karakteristik sintesis progresif dari rasionalitas modernis dengan ijtihad dan tradisi klasik. Revivalisme direpresentasikan oleh Wahabiyah (Arab), Sanusiyah (Afrika Utara), dan Fulaniyah (Afrika Barat). Neo-revivalisme diwakili oleh al-Maududi dengan Jama’at e Islami di Pakistan. Sedangkan modernisme diwakili oleh Ahmad Khan (India), al-Afghani (Timteng), dan Abduh (Mesir). Uraian ini dikutip dari Greg Barton oleh M. Atho Mudzhar, Gerakan Islam Liberal di Indonesia, makalah seminar internasional Tajdid Pemikiran Islam oleh Yayasan Dakwah Malaysia Indonesia dan UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 21 Oktober 2009, hlm. 1-2. [4] Fazlur Rahman, Islam, Chicago and London: University of Chicago Press, 1979. [5] Baca M. Yahya Birt, The Massage of Fazlur Rahman, dalam http://www.freerepublic.com/focus/fr/531762/posts (diakses tanggal 21/05/2010). [6] Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur’an, terj. Anas Mahyuddin, “Tema Pokok al-Qur’an”, Bandung: Penerbit Pustaka, 1983, hlm. xi. [7] Baca lebih lanjut mengenai tafsir bi al-ma’tsur, bi al-ra’yi, dan bi al-isyari dalam Ali Asy-Shabuni, at-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Alam al-Kutub, 1985, hlm. 67. [8] Nashr Hamd Abu Zayd, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta: LKIS, 2001, hlm. 125-126. [9] Nashr Hamd Abu Zayd, Ibid. [10] Ilyas Supena, Epistemologi Hukum Islam dalam Pandangan Hermeneutika Fazlur Rahman, dalam Jurnal Asy-Syir’ah, vol. 42 No. II, 2009, hlm. 247-248. Baca juga Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, London and Chicago: Chicago University Press, 1982, hlm. 2-3. Penolakan Rahman terhadap positivisme ini hampir mirip dengan penolakan yang dilakukan oleh Abduh, Ali Syari’ati, dan Ziauddin Sardar yang meragukan seluruh epistemologi Barat dapat digunakan untuk memajukan umat muslim. Karena itulah ketiga tokoh ini justru menginginkan adanya pembaruan Islam dari “dalam” yang berakar pada tradisi keislaman itu sendiri. [11] Richard E. Palmer, Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, terj. Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed, “Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 87. [12] Richard E. Palmer, Ibid. [13] Baca Muhammad Abed al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, terj. Imam Khoiri, “Formasi Nalar Arab: Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius”, Yogyakarta: Ircisod, 2003. [14] Muhammad Abed al-Jabiri, Ibid. [15] Ilyas Supena, Op. Cit., hlm. 248-249. [16] Fazlur Rahman, Islam and Modernity…Op. Cit., hlm. 6.
[17] Fazlur Rahman, Islam and Modernity…, Ibid, hlm. 7. [18] Baca, Fazlur Rahman, Islam and Modernity…, Ibid. [19] Fazlur Rahman, Islam, Op.Cit., hlm. 115. Selain itu Rahman juga membahas Ibn Taimiyyah yang menguraikan persoalan sentral dalam filsafat hukum Islam adalah bagaimana kewajiban moral itu berkaitan dengan Divine Omnipotence dan Will serta bagaimana kebutuhan saat ini mampu dipenuhi oleh (warisan) masa lalu. [20] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965, hlm. 97. [21] http://jeryronggo.wordpress.com/2008/12/01/hermeneutika-al-qur%E2%80%99an-fazlur-rahman/ (diakses tanggal 21 Mei 2005). Ayat-ayat ini dapat diperbandingkan dengan 4:2, 4: 126, dan 4: 127. [22] Ibid. [23] Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh, Cambridge: Cambridge University Press, 1997, hlm. 242. [24] Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories…, Ibid. [25] http://en.wikipedia.org/wiki/Ayub_Khan (diakses pada 21 Mei 2010). [26] Baca Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories…, Op. Cit., hlm. 231-253. [27] Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories…, Ibid., hlm. 231.
View more...
Comments