Biografi Buya Hamka

June 22, 2018 | Author: abinya faiz | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Biografi Buya Hamka...

Description

Biografi Buya Hamka, Ulama dan Sastrawan Indonesia

Buya Hamka lahir pada tahun 1908 di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat, HAMKA sendiri merupakan singkatan dari nama beliau yakni Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Hamka merupakan putra dari Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yg  juga merupakan merupakan ulama di tanah minang, diawali bekerja sebagai sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958.

Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Buya Hamka merupakan sosok otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman, beliau juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang andal.

Hamka aktif dalam Muhammadiyah, terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada

tahun 1946. Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya mengundurkan diri pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

beliau juga wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka  juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Masyarakat, Panji Masyarakat, Masyarakat, dan Gema Islam. Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli.

tahun 1946. Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya mengundurkan diri pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

beliau juga wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka  juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Masyarakat, Panji Masyarakat, Masyarakat, dan Gema Islam. Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli.

karya- karya buya HAMKA                              

Khatibul Ummah, Jilid 1-3. Ditulis dalam huruf Arab. Si Sabariah. (1928) Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq),1929. Adat Minangkabau dan agama Islam (1929). Ringkasan tarikh Ummat Islam (1929). Kepentingan melakukan tabligh (1929). Hikmat Isra' dan Mikraj. Arkanul Islam (1932) di Makassar. Laila Majnun (1932) Balai Pustaka. Majallah 'Tentera' (4 nomor) 1932, di Makassar. Majallah Al-Mahdi (9 nomor) 1932 di Makassar. Mati mengandung malu (Salinan Al-Manfaluthi) 1934. Di Bawah Lindungan Ka'bah (1936) Pedoman Masyarakat,Balai Pustaka. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka. Di Dalam Lembah Kehidupan 1939, Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka. Merantau ke Deli (1940), Pedoman Masyarakat, Toko Buku Syarkawi. Margaretta Gauthier (terjemahan) 1940. Tuan Direktur 1939. Dijemput mamaknya,1939. Keadilan Ilahy 1939. Tashawwuf Modern 1939. Falsafah Hidup 1939. Lembaga Hidup 1940. Lembaga Budi 1940. Majallah 'SEMANGAT ISLAM' (Zaman Jepang 1943). Majallah 'MENARA' (Terbit di Padang Panjang), sesudah revolusi 1946. Negara Islam (1946). Islam dan Demokrasi,1946. Revolusi Pikiran,1946. Revolusi Agama,1946.

                           

 

             

Adat Minangkabau menghadapi Revolusi,1946. Dibantingkan ombak masyarakat,1946. Didalam Lembah cita-cita,1946. Sesudah naskah Renville,1947. Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret,1947. Menunggu Beduk berbunyi,1949 di Bukittinggi,Sedang Konperansi Meja Bundar. Ayahku,1950 di Jakarta. Mandi Cahaya di Tanah Suci. 1950. Mengembara Dilembah Nyl. 1950. Ditepi Sungai Dajlah. 1950. Kenangan-kenangan hidup 1,autobiografi sejak lahir 1908 sampai pd tahun 1950. Kenangan-kenangan hidup 2. Kenangan-kenangan hidup 3. Kenangan-kenangan hidup 4. Sejarah Ummat Islam Jilid 1,ditulis tahun 1938 diangsur sampai 1950. Sejarah Ummat Islam Jilid 2. Sejarah Ummat Islam Jilid 3. Sejarah Ummat Islam Jilid 4. Pedoman Mubaligh Islam,Cetakan 1 1937 ; Cetakan ke 2 tahun 1950. Pribadi,1950. Agama dan perempuan,1939. Muhammadiyah melalui 3 zaman,1946,di Padang Panjang. 1001 Soal Hidup (Kumpulan karangan dr Pedoman Masyarakat, dibukukan 1950). Pelajaran Agama Islam,1956. Perkembangan Tashawwuf dr abad ke abad,1952. Empat bulan di Amerika,1953 Jilid 1. Empat bulan di Amerika Jilid 2. Pengaruh ajaran Muhammad Abduh di Indonesia (Pidato di Kairo 1958), utk Doktor Honoris Causa. Soal jawab 1960, disalin dari karangan-karangan Majalah GEMA ISLAM. Dari Perbendaharaan Lama, 1963 dicetak oleh M. Arbie, Medan; dan 1982 oleh Pustaka Panjimas, Jakarta. Lembaga Hikmat,1953 oleh Bulan Bintang, Jakarta. Islam dan Kebatinan,1972; Bulan Bintang. Fakta dan Khayal Tuanku Rao, 1970. Sayid Jamaluddin Al-Afhany 1965, Bulan Bintang. Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri), 1963, Bulan Bintang. Hak Asasi Manusia dipandang dari segi Islam 1968. Falsafah Ideologi Islam 1950(sekembali dr Mekkah). Keadilan Sosial dalam Islam 1950 (sekembali dr Mekkah). Cita-cita kenegaraan dalam ajaran Islam (Kuliah umum) di Universiti Keristan 1970. Studi Islam 1973, diterbitkan oleh Panji Masyarakat. Himpunan Khutbah-khutbah. Urat Tunggang Pancasila. Doa-doa Rasulullah S.A.W,1974. Sejarah Islam di Sumatera.

 

 

Bohong di Dunia. Muhammadiyah di Minangkabau 1975,(Menyambut Kongres Muhammadiyah di Padang). Pandangan Hidup Muslim,1960. Kedudukan perempuan dalam Islam,1973.

Referensi : - http://www.kaskus.us/showthread.php?t=11384959

Haji Abdul Malik Bin Haji Abdul Karim Amarullah ( HAMKA). Pengenalan Tokoh dari tanah seberang ini sengaja dipilih untuk disisipkan dalam koleksi ini kerana  Almarhum Haji Abdul Malik Bin Haji Abdul Karim Amarullah atau dikenali sebagai Prof. Dr Hamka adalah ulama besar Nusantara yang sangat terkenal. Lebih-lebih lagi beliau berasal dari tanah Minangkabau yang mempunyai pertalian dengan masyarakat adat perpatih di Negeri Sembilan. Setiap orang di negara ini yang pernah melihat dan mendengar kuliah agama yang disampaikan oleh tokoh ini pastinya merasai kerinduan yang mendalam terhadap nastolgia lampau. Penyusun sendiri tanpa sedar boleh menitiskan airmata apabila tokoh „idola‟ ini tersedu dalam ceramah dakwahnya di kaca TV kira-kira awal tahun 1970an dahulu. Gayanya yang tersendiri dalam berdakwah amat memukau sekali bagai magnet yang boleh menyentuh hati setiap insan yang mendengar. Latar Belakang Ulama Haji Abdul Malik Karim Amrullah (atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA, yakni singkatan namanya), lahir tahun 1908, di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, dan meninggal di Jakarta 24 Juli 1981, adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, dan aktivis politik. Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati. HAMKA (1908-1981), adalah lebih terkenal daripada nama sebenar. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Beliau lahir pada 14 Muharram 1326H bersamaan 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, yang tersohor dan dianggap pula pembawa reformasi Islam (

kaum muda). Menariknya pula, datuk beliau adalah ulama tarekat yang bersuluk terkenal. Tuan Kisa-i ( datuk Hamka) tetap mengamal Thariqat Naqsyabandiyah, istiqamah mengikut Mazhab Syafie. Pemahaman Islam Tuan Kisa-i sama dengan pegangan „Kaum Tua‟, tetapi pada zaman beliau istilah „Kaum Tua‟ dan „Kaum Muda‟ belum tersebar luas. Anak beliau, Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah, adalah seorang pelopor dan termasuk tokoh besar d alam perjuangan „Kaum Muda‟. Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah menolak amalan Thariqat Naqsyabandiyah, sekali gus menolak ikatan „taqlid‟, tetapi lebih cenderung kepada pemikiran Syeikh Muhammad Abduh. Manakala ibunya pula bernama Siti Safiyah Binti Gelanggar yang bergelar Bagindo nan Batuah. sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906. Menurut sejarahnya, bapa beliau pernah dibuang daerah oleh penjajah Belanda ke Sukabumi dalam tahun 1941 lantaran fatwa beliau yang dianggap membahayakan penjajah dan keselamatan umum. Haji Abdul Karim adalah tuan guru kepada Sheikh Haji Ahmad Jelebu[1] yang riwayat hidupnya turut disajikan dalam koleksi ini. Beliau meninggal dunia pada 21 Jun 1945. Hamka mendapat didikan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar  di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa alManfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud,  Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal. Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950. Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak  jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia. Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam. Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novelnovelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli. Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar  Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia. Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah  jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai. Pendidikan Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo. Masa kecilnya, seperti kanak-kanak lain beliau juga dikatakan lasak dan nakal. Ini diceritakan sendiri oleh Sheikh Haji Ahmad

Jelebu bahawa Hamka pernah menyimbah air kepada penuntut lain semasa mengambil wuduk. Selepas itu beliau berguru pula kepada Sheikh Ibrahim Musa di Bukit Tinggi. Dalam tahun 1924, Hamka berhijrah ke Jawa sempat menuntut pula kepada pemimpin gerakan Islam Indonesia seperti Haji Omar Said Chakraminoto. Lain-lain gurunya ialah Haji Fakharudin, Ki Bagus, Hadi Kesumo dan iparnya sendiri Rashid Sultan Mansur. Kerjaya Hidup Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang panjang pada tahun 1929. Hamka bergiat aktif bagi menentang gejala khurafat, bidaah dan kebatinan sesat di sana. Beliau menubuhkan Madrasah Mubalighin pada 1929 dan dua berikutnya, Pak Hamka berpindah pula ke Kota Makasar, Sulawesi untuk menjadi pimpinan Muhamadiah. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padangpanjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Keilmuan dan ketokohan yang ada pada beliau mendorong beberapa buah universiti mengambilnya sebagai pensyarah dalam bidang agama dan falsafah. Antara universiti itu ialah Universiti Islam Jakarta, Universiti Mohamadiah Sumatera Barat, Universiti Islam Pemerintah di Jogjakarta dan Universiti Islam Makasar. Bagi mengiktiraf  keilmuannya, Universiti Al Azhar, Mesir telah menganugerahkan Doktor Kehormat dalam tahun 1958 dan beliau turut menerima ijazah Doktor Persuratan UKM pada 7 Jun 1974. Karya Buya Hamka Keistimewaan Pak Hamka ialah kebolehannya menulis novel dan menghasilkan kitabkitab agama yang terkenal. Berikut ialah beberapa buah buku karangan tersebut: 1. Khatibul Ummah, Jilid 1-3. Ditulis dalam huruf Arab. 2. Si Sabariah. (1928) 3. Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq),1929. 4. Adat Minangkabau dan agama Islam (1929). 5. Ringkasan tarikh Ummat Islam (1929). 6. Kepentingan melakukan tabligh (1929).

7. Hikmat Isra‟ dan Mikraj.

8. Arkanul Islam (1932) di Makassar. 9. Laila Majnun (1932) Balai Pustaka. 10. Majallah „Tentera‟ (4 nomor) 1932, di Makassar.

11. Majallah Al-Mahdi (9 nomor) 1932 di Makassar. 12. Mati mengandung malu (Salinan Al-Manfaluthi) 1934. 13. Di Bawah Lindungan Ka‟bah (1936) Pedoman Masyarakat,Balai Pustaka.

14. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka. 15. Di Dalam Lembah Kehidupan 1939, Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka. 16. Merantau ke Deli (1940), Pedoman Masyarakat, Toko Buku Syarkawi. 17. Margaretta Gauthier (terjemahan) 1940. 18. Tuan Direktur 1939. 19. Dijemput mamaknya,1939. 20. Keadilan Ilahy 1939. 21. Tashawwuf Modern 1939. 22. Falsafah Hidup 1939. 23. Lembaga Hidup 1940. 24. Lembaga Budi 1940. 25. Majallah „SEMANGAT ISLAM‟ (Zaman Jepun 1943). 26. Majallah „MENARA‟ (Terbit di Padang Panjang), sesudah revolusi 1946.

27. Negara Islam (1946). 28. Islam dan Demokrasi,1946. 29. Revolusi Pikiran,1946.

30. Revolusi Agama,1946. 31. Adat Minangkabau menghadapi Revolusi,1946. 32. Dibantingkan ombak masyarakat,1946. 33. Didalam Lembah cita-cita,1946. 34. Sesudah naskah Renville,1947. 35. Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret,1947. 36. Menunggu Beduk berbunyi,1949 di Bukittinggi,Sedang Konperansi Meja Bundar. 37. Ayahku,1950 di Jakarta. 38. Mandi Cahaya di Tanah Suci. 1950. 39. Mengembara Dilembah Nyl. 1950. 40. Ditepi Sungai Dajlah. 1950. 41. Kenangan-kenangan hidup 1,autobiografi sejak lahir 1908 sampai pd tahun 1950. 42. Kenangan-kenangan hidup 2. 43. Kenangan-kenangan hidup 3. 44. Kenangan-kenangan hidup 4. 45. Sejarah Ummat Islam Jilid 1,ditulis tahun 1938 diangsur sampai 1950. 46. Sejarah Ummat Islam Jilid 2. 47. Sejarah Ummat Islam Jilid 3. 48. Sejarah Ummat Islam Jilid 4. 49. Pedoman Mubaligh Islam,Cetakan 1 1937 ; Cetakan ke 2 tahun 1950. 50. Pribadi,1950. 51. Agama dan perempuan,1939. 52. Muhammadiyah melalui 3 zaman,1946,di Padang Panjang.

53. 1001 Soal Hidup (Kumpulan karangan dr Pedoman Masyarakat, dibukukan 1950). 54. Pelajaran Agama Islam,1956. 55. Perkembangan Tashawwuf dr abad ke abad,1952. 56. Empat bulan di Amerika,1953 Jilid 1. 57. Empat bulan di Amerika Jilid 2. 58. Pengaruh ajaran Muhammad Abduh di Indonesia (Pidato di Kairo 1958), utk Doktor  Honoris Causa. 59. Soal jawab 1960, disalin dari karangan-karangan Majalah GEMA ISLAM. 60. Dari Perbendaharaan Lama, 1963 dicetak oleh M. Arbie, Medan; dan 1982 oleh Pustaka Panjimas, Jakarta. 61. Lembaga Hikmat,1953 oleh Bulan Bintang, Jakarta. 62. Islam dan Kebatinan,1972; Bulan Bintang. 63. Fakta dan Khayal Tuanku Rao, 1970. 64. Sayid Jamaluddin Al-Afhany 1965, Bulan Bintang. 65. Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri), 1963, Bulan Bintang. 66. Hak Asasi Manusia dipandang dari segi Islam 1968. 67. Falsafah Ideologi Islam 1950(sekembali dr Mekkah). 68. Keadilan Sosial dalam Islam 1950 (sekembali dr Mekkah). 69. Cita-cita kenegaraan dalam ajaran Islam (Kuliah umum) di Universiti Keristan 1970. 70. Studi Islam 1973, diterbitkan oleh Panji Masyarakat. 71. Himpunan Khutbah-khutbah. 72. Urat Tunggang Pancasila. 73. Doa-doa Rasulullah S.A.W,1974. 74. Sejarah Islam di Sumatera.

75. Bohong di Dunia. 76. Muhammadiyah di Minangkabau 1975,(Menyambut Kongres Muhammadiyah di Padang). 77. Pandangan Hidup Muslim,1960. 78. Kedudukan perempuan dalam Islam,1973. 79. Tafsir Al- Azhar Juzu‟ 1 -30, ditulis pada masa beliau dipenjara oleh Sukarno. Majalah * Kemahuan Zaman ( 1929) * Al Mahdi ( 1933) * Pendoman Masyarakat ( 1936  – 1942) * Semangat Islam ( 1944- 1948) * Menara ( 1946-1948) * Panji Masyarakat ( 1959) Hasil tulisan beliau ini banyak memberi petunjuk dan ilham kepada para pembacanya. Malah karya-karya Almarhum Pak Hamka mampu membangkit semangat perjuangan seperti karya-karyanya dalam majalah selepas perang. Majalah Panji Masyarakat sendiri telah telah diharamkan oleh pemerintahan Sukarno dalam tahun 1960 iaitu setahun selepas penerbitannya. Bagaimanapun, majalah ini diterbitkan semula dalam pemerintahan order baru Suharto tahun 1966. Pak Hamka pernah dipenjarakan awal tahun 1960an. Zaman pemerintahan Sukarno dan ketika kominis bermaharajalela, selain ditangkap buku-buku Almarhum ada yang dibakar. Di dalam penjara inilah, beliau melahirkan kitab Tafsir Al Azhar yang menjadi bacaan ummah sekarang. Penahanan batang tubuhnya dalam sangkar besi itu tidak dapat membunuh semangatnya untuk beribadah kepada Tuhannya. Penyusun pernah membaca kisah riwayat Presiden Sukarno yang penuh kontroversi itu. Dinyatakan apabila bekas Presiden itu meninggal dunia, Pak Hamka telah dijemput dan dirayu supaya mengimami sholat jenazah Sukarno. Peringkat awalnya, Almarhum agak keberatan menunaikannya kerana sikap Sukarno masa hidupnya amat dipertikaikan. Namun apabila teringat tentang sifat Allah yang Maha Pengampun untuk mengampun dosa-dosa hambaNya. Buya Hamka maju juga ke hadapan untuk mengetuai sholat jenazah itu, dikatakan saat akhir hidupnya Sukarno mulai kembali kepada fitrah mengingati penciptanya.

Berdakwah Penyusun amat bersetuju dengan pandangan bahawa Pak Hamka adalah tokoh Ulama besar dan pendakwah tersohor yang pernah dilahirkan untuk abad kedua puluh di Nusantara ini. Kewalian dan sifat karamah maknawiyah yang dimilikinya, mampu menyentuh hati dhamir ribuan insan yang mendengar kata bicaranya yang lunak dan menyegarkan. Penyusun ingin mengutip tulisan Saudara Abdul Ghani Said,[2] penyusun buku “ 7 wali Melayu” bahawa Keistimewaan karamah maknawiyah antara lain ialah kata-katanya memberi kesan pada hati pendengar hingga mendorong orang membuat perubahan pada jalan kebaikan..” Kekuatan minda dan kefasihan lidahnya untuk berdakwah dengan susun kata yang memukau jarang dimiliki oleh kebanyakan pendakwah. Kalau ada kisah tentang burung boleh berhenti terbang di udara apabila mendengar kemerduan bacaan Kitab Zabur  oleh Nabi Daud A.S, maka Buya Hamka juga mempunyai magnet yang boleh meruntun  jiwa pendengarnya untuk melabuhkan punggung mendengar sebentar ceramah dakwahnya. Hati yang keras bisa terlunak dan terpegun. Memang Allah memberi keistimewaan besar kepadanya iaitu senjata sulit berdakwah dengan lidahnya. Di Negara kita, Pak Hamka sering juga berkunjung dan memenuhi undangan untuk berceramah termasuk di kaca TV hingga awal tahun 1980an. Beliau sering diundang menyertai muktamar Islam peringkat antarabangsa dan pernah berdakwah hingga ke Benua Eropah dan Amerika Syarikat. Kata Dr H. Ibnu Sutowo, hampir kesemua perjalanan hidupnya di dunia ini dimaksudkan untuk agama. Kembali Ke Rahmatullah Ulama istimewa ini kembali menemui Al Khaliqnya sewaktu berusia 72 tahun pada 24 Julai 1981 jam 11.10 pagi waktu Malaysia. Almarhum dipercayai mengalami serangan penyakit jantung. Penyusun berharap agar paparan kisah hidup tokoh nusantara yang agong ini dapat mengimbau kembali kenangan kita terhadap Pak Hamka yang dikasihi dan kita tidak rugi apabila mengingati orang-orang yang soleh kerana ia boleh mendatangkan rahmah. Rasulullah sendiri pernah bersabda yang bermaksud “ Sesungguhnya perbandingan ulama di bumi sepertilah bintang - bintang di langit yang boleh dijadikan panduan di dalam kegelapan di bumi dan di laut..”

Golongan yang cuba mengelak diri dari mendampingi ulama atau memusuhi mereka yang ikhlas untuk memandu kita di dunia ini perlulah berwaspada. Ingatlah, peringatan  Allah SWT dalam Hadith Qudsi :“ Barang siapa memusuhi waliKu ( ulama), maka Aku akan mengisytiharkan perang terhadapnya” ( Riwayat Al Bukhari). [1] Maklumat dari Haji Mahmud Fasih. [2] Muka surat 11, buku “ 7 Wali Melayu”.

# Kenangan-kenangan 70 tahun Buya Hamka, terbitan Yayasan Nurul Islam, cetakan kedua 1979. Walaupun bukan orang yang berasal dari Sumatera Barat, saya mengerti bahasa Minang dengan cukup baik. Petikan lagu Minang yang diperuntukkan bagi Buya HAMKA di atas artinya kirakira begini: (Merasa) gamang kampung dan bangsa (Merasa) kehilangan umat seagama (Islam) (Gunung) Marapi dan Singgalang pun menagis mengenang  Danau Maninjau (daerah tempat lahir HAMKA – pen.) telah ditinggalkan Buya-nya (maksudnya, ditinggalkan karena meninggal dunia – pen.) (Dulu) sewaktu Buya bercerita/berceramah/memberikan petuah  Menangislah yang muda-muda/para anak muda (mendengarkannya)  Baik itu (berupa) petuah agama yang menyentuh rasa/hati (Maka) berangsur menjadi lurus/benar apa yang salah (di masyarakat) selama ini.

Sosoknya bersahaja, pandangan matanya tajam tapi teduh, bahasanya satun dan nyaman didengar, bak air mengalir. Saya tidak pernah bertemu dengan beliau, tapi begitulah pengakuan setiap orang yang pernah berjumpa dengannya. Saya hanya mengenal beliau melalui bukubukunya, melalui rekaman-rekaman ceramahnya. Ia dipanggil dengan sebutan Buya HAMKA. Buya dalam sebutan orang Minang atau Melayu berasal dari bahasa Arab, yakni  Abi atau Abuya, yang berarti Bapak Kami atau orang tua yang dihormati. Sedangkan HAMKA adalah singkatan dari Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Hari ini, tanggal 17 Februari, adalah tanggal lahirnya di tahun 1908 yang lalu. Tujuh puluh tiga tahun setelah itu, tepatnya 24 Juli 1981, ia telah berpulang ke rahmatullah. Maka, tulisan ini, adalah tulisan untuk mengenangnya.

Pesonanya, menjelaskan siapa Buya HAMKA

1. HAMKA ulama yang santun, bersahaja, dan mudah didekati Mbak Linda, seorang wartawati senior sebuah surat kabar, menuliskan kesan pertamanya saat berjumpa Buya HAMKA: ―Tahun 1977…, seorang gadis remaja baru mulai belajar menjadi wartawan. Datanglah ia ke rumah Buya HAMKA, di depan mesjid Al-Azhar, Kebayoran Baru. Berbagai pertanyaan yang dilontarkan secara hati-hati, dijawab oleh bapak tua ini dengan ramah. Sorot mata yang teduh, jalan pikiran yang bersahaja, bening, dan bahasa tubuh yang santun, menjadi kenangan gadis remaja itu sampai sekarang. Andaikan Buya berusia panjang, tentu gadis remaja itu akan minta terus kepada pemimpin redaksinya di kantor, untuk sering-sering memperoleh penugasan mewawancarainya lagi. Gadis remaja yang terkesima kepada Buya HAMKA puluhan tahun lalu itu, adalah saya.‖

 2. Ulama modern yang berpendidikan formal rendah, tapi berilmu sangat banyak dan luas

Pendidikan formal Buya HAMKA hanya Sekolah Dasar di Maninjau dan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Selebihnya, ia belajar otodidak tentang filsafat, sastra, sejarah, sosiologi, dan politik. Ia tak hanya membaca kitab-kitab agama dan kesusasteraan Arab. Ia juga membaca karya-karya penulis barat; seperti Karl Marx, Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, dan Pierre Loti. Fondasi ilmu agama yang kuat dan bacaannya yang banyak itu, membuat ia menjadi seorang ulama yang berpikiran modern dan siap bertukar pikiran dengan siapa saja.  3. Ulama yang memanfaatkan banyak media untuk dakwah Ia tak hanya berceramah di mimbar, di televisi, dan di radio. Ia juga menyampaikan pesan-pesan agama melalui sastra. Ia pun tak hanya menjelaskan hukum tentang suatu perkara, tapi ia juga menyentuh kedalaman perasaan dan jiwa. Lihatlah petikan tulisannya dalam novel karangan beliau, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck : ―Maafkan saya Hayati, jika saya berbicara ter us terang, supaya jangan hatiku menaruh dosa walaupun sebesar zarah terhadapmu. Cinta yang sejati, adikku, tidaklah bersifat munafik, pepat di luar pancung di dalam. Akan saya katakan perasaan hati terus terang, walaupun lantaran itu saya akan kau bunuh mi salnya, bahagialah saya lantaran tanganmu.‖ ―Hayati!… Apa yang saya lihat kemarin? Mengapa telah berubah pakaianmu, telah berubah gayamu? Mana baju kurungmu? Bukankah Adinda orang dusun! Saya bukan mencela bentuk  pakaian orang kini, yang saya cela ialah cara yang telah berlebih-lebihan, dibungkus perbuatan ‗terlalu‘ dengan nama ‗mode‘. Kemarin, Adinda pakai baju yang sejarang-jarangnya, hampir separuh dada Adinda kelihatan, sempit pula gunting lengannya, dan pakaian itu yang dibawa ke tengah-tengah ramai…‖  4. Ulama yang berani dan teguh dalam pendirian, namun tak meninggalkan kesantunannya Ia pernah dipenjarakan oleh Presiden Soekarno (1964-1966) karena dituduh pro Malaysia. Ia meletakkan jabatannya sebagai Ketua Umum MUI (1981) karena nasihatnya tak diindahkan oleh pemerintah. ―Kalau memdalami tokoh-tokoh masa lalu, seakan bertanya kepada diri, siapkah menulis sejarah sebagaimana yang dituliskan Buya HAMKA, menjadi pelaku sejarah bukan pengamat sejarah, pendirian yang teguh di tengah tentangan arus yang melenakan. Itulah sejatinya Buya HAMKA,

mampu mempertahankan apa yang diyakininya benar, apapun resikonya…‖ tulis Irsupardi di Kompasiana.  5. Mashur bukan hanya di Indonesia, tapi juga di Asia Tenggara HAMKA adalah ulama yang produktif dalam menulis, juga aktif dalam berbagai kegiatan agama, sosial, bahkan politik. Sebagai ulama ataupun sastrawan, HAMKA tak hanya dikenal dan diterima di Indonesia saja. Jasanya pun di kenang orang di Malaysia dan Singapura. Bahasa dalam tulisannya halus dan menyentuh, tak lekang dari generasi ke generasi. Penggambarannya tentang seuatu pun jelas dan mudah dipahami. ―Jikalau dia melukiskan cinta, sebenar-benar cintalah yang digambarkannya. Kekecewaan hati, keremukan pikiran, pikiran yang sedang buntu nasib seorang yang hidup sebatang kara, semuanya itu digambarkannya dalam karangannya, dengan wajah yang sejelas-jelasnya. Karena orang yang menangis tak dapat menceritakan gelak orang yang tertawa; orang yang bergirang tak  dapat melukiskan tangis orang yang bersedih,‖ tulis Buya HAMKA dalam sebuah novelnya. Saya sudah berusaha untuk tidak membuat tulisan ini menjadi panjang. Tapi, keinginan saya itu tak bisa diwujudkan, tulisan ini panjang jua akhirnya. Namun demikian, tulisan ini belumlah mampu mewakili seluruh pesona yang dimiliki Buya HAMKA. Selebihnya, hanya do‘a yang senantiasa dipanjatkan untuk Buya: ―Selamat jalan, Buya. Semoga rahmat dan ridha Allah selalu bersamamu di seluruh alam. A min…‖

Nasehat Buya Hamka untuk Penulis Pemula OPINI | 08 November 2011 | 20:40 498

78

4 dari 9 Kompasianer menilai inspiratif 

Sastrawan Indonesia Satu hal yang tidak pernah H Ridwan Saidi Tokoh Masyarakat Betawi lupakan adalah ketika pada satu hari ulama besar itu memanggilnya. Buya Hamka sebelumnya telah membaca tulisan nya yang dimuat di surat kabar lokal. ” Kamu pintar menulis, tapi kamu punya tulisan belum ada tuahnya.” Dari nasihat itu, Ridwan yang saat ini sering muncul di acara dialog salah satu stasiun TV itu menangkap bahwa Buya menghendakinya untuk menulis dengan hati nurani dan kritis menangkap persoalan di tengah masyarakat. Rasanya malu sekali diri ini ditengah keributan mempertentangkan sastra di kompasiana, ketika menyaksikan peng anugerah an gelar Pahlawan Nasional untuk Buya Hamka. Kita belum begitu memahami seluk beluk menulis dengan benar tetapi telah bertengkar tak tentu arah. Nasehat Buya sangat tepat sekali, tuah atau roh tulisan itulah yang belum kita dapat. Sebagai penulis pemula pantaslah rasa penuh hormat disampaikan kepada Sastrawan Indonesia yang telah menulis begitu banyak karya sastra yang menjadi bacaan wajib pecinta sastra. Ya, Alhamdulillah akhirnya Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Prof Dr Abdul Malik  Karim Amrullah (Buya Hamka) (Alm) Tokoh Pejuang dari Sumatera Barat sebagai Pahlawan Nasional.

Seperti banyak ditulis di media, Buya Hamka adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis yang karyanya telah memperkaya khasanah pemikiran Indonesia. Karya sastra pria kelahiran Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 itu telah diangkat ke layar lebar. Yakni, novel “Di Bawah Lindungan Kabah” yang ditulisnya pada 1936. Buya Hamka wafat di Jakarta pada 24 Juli 1981, meninggalkan 11 anak. Buya Hamka juga telah menulis novel Tenggelamnya Kapal van der Wijk , Si  Sabariah, Dijemput Mamaknya, Merantau ke Deli , dan kumpulan cerpen Di Dalam Lembah Kehidupan. Diantara buku tersebut, terakhir saya menemukan buku Di dalam lembah kehidupan ditengah buku buku bekas, sungguh sangat menyedihkan.

Buya Hamka adalah seorang ulama dan ia pengarang. Novel novel lebih banyak ditulis ketika masih berusia muda. Setelah itu Beliau kosentrasi di pembinaan umat, namun ditengah kesibukannya Buya Hanya tetap menulis. Karya momumental beliau adalah, ketika menulis Tafsir Al Qur‘an 30 Juz, yang diberinya judul dengan nama masjid yang di imaminya dan dicintainya, Tafsir Al Azhar. Saya dapat membayangkan ditengah keterbatasan fasilitas tulis menulis di zaman nya, Buya tetap produktif melahirkan karya sastra gemilang. Hanya bermodalkan mesin ketik biasa beliau gigih melampiaskan rasa hati nya, sungguh sangat luar biasa dan mengagumkan. Mungkin seandainya Buya dilahirkan sezaman dengan kita dengan fasilitas komputer, internet, fotocopy, email dan segala macam teknologi termodern, entah berapa banyak lagi karya sastra yang bisa Buya lahirkan. Nah, penulis di zaman teknologi modern saat ini, mungkin yang diperlukan adalah mengumpulkan simpul simpul semangat dalam menulis. Kemudian dengan ‖ sepenuh hati ‖ menuangkan inspirasi hasil olah pikirnya untuk menghasilkan karya karya yang memiliki ruh seperti yang di nasehatkan Buya Hamka. Kemudahan teknologi hanya berisyarat instan ketika menyajikan (posting) tulisan, namun sejujurnyan tulisan itu sejatinya telah melalui proses panjang sebelum menekan tuts publish. Tulisan adalah gambaran sebenarnya dari kepribdian seseorang, siapa yang mau kepribadiannya di nilai tidak elok oleh para penggemar sastra, katanya.

Menulis ala Buya Hamka OPINI | 04 September 2011 | 22:02 272

32

2 dari 3 Kompasianer menilai bermanfaat

Dibawah Lindungan Ka'bah Siapa yang tidak mengenal Buya Hamka. Saat ini di banyak Teater 21 sedang diputar film besutan sutradara Hanny R. Saputra, ―Dibawah Lindungan Ka‘bah‖ yang dibintangi Herjunot Ali dan Laudia Cynthia Bella, judul sama yang diangkat dari roman karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (disingkat HAMKA). Beliau lahir di Kampung Molek Maninjau, Sumatera Barat, pada Tahun 1908 dan berpulang di Jakarta dalam usia 73 tahun pada tanggal 24 Juli 1981. Penulis dan Pengarang yang pernah menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesa (MUI) era Menteri Agama Mukti Ali pernah berkata, “Saya Menulis dengan Ilham”. Ketika akan menulis, beliau akan langsung duduk di depan mesin ketik, dan langsung mengetik apa saja yang ada dalam hati dan pikirannya. Jari tangannya bergerak menekan tuts mesin ketik mengikuti kata hati dan pikirannya dan membiarkan ide

dan gagasannya mengalir begitu saja, terus menerus apa adanya seperti air yang mengalir dari hulu ke hilir. Sejarah kemudian mencatat betapa produktifnya beliau menulis dan Tulisan  – tulisannya mendapatkan penerimaan yang baik bagi kalangan pembacanya, bahkan hingga kini masih sering bukubukunya mengalami cetak ulang.

Buya Hamka, menulis dengan ilham. (foto : google) Kenapa Buya Hamka begitu lancar menumpahkan segala buah pikiran dan hatinya dalam sebuah tulisannya. Tentunya jejak rekamnya sebagai pencinta ilmu membantunya menemukan kosa kata dan deretan kalimat menarik serta bernas dalam tulisannya. Akan sangat mudah menulis dengan lancer jika kita focus dan komitmen pada apa yang paling kita ketahui. Buya Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahirannya berbahasa arab, Buya Hamka menyelidiki karya ulama dan pujangga besar Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Beliau juga mendalami karya sarjana barat seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.

Buya Hamka juga seorang aktivis politik di masa hidupnya. Perkenalan dan persahabatannya dengan beberapa tokoh sejarah penting seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo membuatnya dapat menganalisis dan kritis ketika menulis tentang sosial politik dalam negeri, disamping memupuk dirinya sebagai orator yang handal. Menulis ala Buya Hamka adalah menuliskan apa yang dipikirkan dan dialaminya. Dan ketika semua pikiran dan pengalaman tersebut akan dituliskan, cukup duduk di depan mesin ketik dan langsung mengetik apa saja yang terbersit dalam pikiran dan hati. Tidak perlu memaksakan diri untuk mengetik apa yang telah ditulis atau mengomentari tulisan orang lain, tapi membebaskan diri menulis apa saja yang ada dalam hati dan pikiran, dan itu berarti kita telah menjadi diri kita seperti yang kita mau. Di saat semua fasilitas menulis sudah lengkap dan menggunakan komputer, kita seharusnya malu jika tak sanggup menelorkan karya apa – apa. Dengan ratusan tulisannya diberbagai bidang tersebut, Hamka boleh dibilang pribadi yang lengkap. Beliau adalah Wartawan (aktif sekitar Tahun 1920-an di Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah), Editor (aktif di Majalah Kemajuan Masyarakat pada tahun 1928), Pemimpin Penerbitan / Pemimpin Redaksi (Menerbitkan Majalah al-Mahdi di Makassar, Pedoman Masyarakat pada tahun 1936 - 1942, Mimbar Agama Majalah Departemen Agama pada Tahun 1950  – 1953, Panji Masyarakat dari tahun 1956, dan Gema Islam), Sastrawan (Beberapa karya romannya yang diterbitkan Balai Pustaka : Laila Majnun (1932), Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936), Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Di Dalam Lembah Kehidupan (1939), dan Merantau ke Deli (1940).

Prof Dr Hamka. Ulama Penulis Ratusan Buku Agama, Sejarah dan Sastra. (alazhar.co.id)

Yang tak kalah pentingnya, Beliau adalah seorang ulama yang mencerdaskan umat dengan pengajaran, ceramah dan tulisan – tulisannya. Buya Hamka juga seorang politisi islam yang disegani. Ia pernah menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi orator utama dalam Pemilihan Umum Tahun 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1960 dan Buya Hamka dipenjarakan oleh Rezim Soekarno (1964 – 1966). Selama beliau dipenjara, Buya Hamka menelorkan karya terbesarnya, ―Tafsir al -Azhar‖ yang terdiri atas puluhan jilid itu. Sungguh luar biasa. Kreatifitasnya dalam menulis tidaklah ikut terkungkung, pikirannya tetap merdeka dan yakin akan kebenaran yang diperjuangkannya meski fisiknya terpenjara. Keluar dari penjara, Beliau tetap dihormati dan disegani sebagai Ulama, Pelaku Sejarah dan Budayawan, Sastrawan dan Akademisi. Kharisma keilmuan dan tulisan-tulisannya diakui di dalam maupun di luar negeri. (*) -----

Hal lain yang menarik adalah sosok Buya Hamka sendiri sebagai penulis di mata putranya. Pak Afif  bercerita bahwa beliau juga membaca dan mempertanyakan jalannya cerita yang ditulis sang ayah. Kenapa selalu berakhir sedih, seperti kisah cinta Zaenab dan Hamid yang tak pernah sampai dan akhirnya sama-sama dibawa mati. Alm. Buya Hamka menjawab kritikan putranya dengan cerdas. ―Ah kamu  bisanya mengkritik saja, kalau mau jalan cerita yang berbeda, tulis sendiri ceritamu,‖ begitu kira -kira ujar beliau. Di antara 9 putra Alm. Buya Hamka, ada 3 orang yang terjun ke dunia kepenulisan. Pak Afif sendiri adalah mantan wartawan Panji Masyarakat. Namun yang pak Afif harus akui, menjadi penulis membawa  barokah, bahkan ketika si penulisnya sendiri sudah wafat. Dalam bahasa beliau, ‗kami sekeluar ga besar masih mendapatkan uang saku dari ayah sampai sekarang, dari royalti buku-buku dan novel-novel beliau yang diajarkan di negara jiran, misalnya.‖ (Tidakkah menyedihkan sebenarnya ketika di anak  -anak kita sendiri tidak mengenal karya sastra terbaik dari bangsa sendiri). Novel Tenggelamnya Kapal Van der Wyk kabarnya juga akan difilmkan. Kata pak Afif, ―sebagian royaltinya sudah masuk ke saku kami.‖ Menulis memang membebaskan. Itu yang saya tangkap dari cerita pak Afif Hamka. Buya Hamka yang ulama bisa menulis kisah cinta yang indah, meski banyak orang pada jaman beliau mempertanyakan ini, ‗kok ulama menulis cerita roman?‖ Dalam salah satu dialog di novel antara Rosna dan Zaenab, Buya Hamka ‗memberikan‘ jawabannya. ―cinta itu adalah perasaan yang mesti a da tiap-tiap diri manusia, ia laksana setitis embun yang turun dari langit, bersih dan suci, Cuma tanahnya lah yang berlainan menerimanya. Jika ia jatuh ke tanah yang tandus t umbuhlah oleh kerana embun itu kedurjanaan, kedustaan, penipuan, langkah serong dan lain-lain perangai yang tercela. Tetapi kalau ia jatuh ke tanah yang subur, di sana akan tumbuh kesucian hati, keikhlasan, setia, budipekerti yang tinggi dan lain-lain  perangai yang terpuji.‖ -----

Buya Hamka dan Tuduhan Plagiat Itu by Sastra Dan Cerita on Saturday, November 27, 2010 at 2:55am

oleh Asep Sambodja

Tahun 1962 adalah tahun yang berat bagi Buya Hamka. Sebab, pada September 1962, Abdullah Said Patmadji menuduh Hamka sebagai plagiat. Ini adalah tuduhan yang sangat menyakitkan.

Abdullah S.P. menilai Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka (1939) merupakan plagiat dari novel  Al Majdulin karya sastrawan Mesir, Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi. Novel  Al  Majdulin atau Magdalaine atau Magdalena dalam edisi bahasa Indonesia itu merupakan novel saduran dari novel Sous les Tilleuls (‗Di Bawah Pohon Tilia‘) karya sastrawan Prancis, Alphonse Karr. Untuk memperkuat tuduhannya itu, Abdullah S.P. membuat idea strip berikut:

A: MagdalaineB: Tenggelamnya Kapal Van der Wijck 

1) A. Magdalaine menyurati Suzanne tentang kedatangan pemudaStevens (hlm. 3-4)B. Hayati menyurati Khadijah tentang kedatangan pemudaZainuddin (hlm. 35)2) A. Stevens tinggal di kamar atas rumah orangtua Magdalaine yangsedianya kosong (hlm. 3-4)B. Zainuddin tinggal di rumah bakonya yang tidak jauh dari rumahorangtua Hayati (hlm. 35)3) A. Perikatan janji  prasetia antara Magdailaine dan Stevens ―dibawah naungan bunga tilia‖ disusul dengan adegan asmara didanau (hlm. 37-40)B. Pertemuan di waktu hujan ―di bawah sebuah payung‖ disusuldengan perikatan janji prasetia di sebuah danau (hlm. 47-51)4) A. Hubungan asmara antara Magdalaine dan Stevens tidak disetujuiorangtua Magdalaine karena pemuda Stevens miskin dan diusir(hlm. 52-56)B. Hubungan asmara antara Hayati dan Zainuddin tidak  disetujuiorangtua Hayati karena Zainuddin melarat dan diusir(hlm. 52- 56)…6) A. Suzanne mengecoh Magdalaine sehingga membenci Stevens(hlm. 115-117)B. Khadijah mengecoh Hayati sehingga membenci Zainuddin(hlm. 83- 86)…11) A. Perkawinan Magdailaine dengan Edward (hlm. 180-190)B. Perkawinan Hayati dengan Aziz (hlm. 123- 131)…14) A. Edward bunuh diri di sebuah hotel di Chicago (hlm. 241-243)B. Aziz bunuh diri di sebuah hotel di Banyuwangi (hlm. 175-176)15) A. Magdalaine mati bunuh diri tenggelam di sebuah sungai(hlm. 245-254)B. Hayati mati karena kecelakaan tenggelam di laut bersama kapalVan der Wijck (hlm. 177-180)16) A. Stevens mati mendadak di atas kursi di depan pianonya(hlm. 280-284)B. Zainuddin mati mendadak di atas kursi di depan meja tulisnya(hlm. 198-200)+) A. Stevens dikubur di samping Magdalaine berdasarkan wasiatStevens.B. Zainuddin dikubur di samping Hayati berdasarkan wasiatZainuddin.

Berdasarkan ―temuannya‖ itulah Abdullah S.P. menuduh Hamka sebagai plagiat. Pramoedya Ananta Toer sebagai redaktur lembaran ―Lentera‖ di harian Bintang Timur pun menuduh Hamka telah melakukan jiplakan mentah-mentah. Pramoedya menganjurkan agar Hamka meminta maaf  kepada masyarakat pembaca Indonesia. Sejak Februari 1962 itulah Hamka menjadi bulanbulanan Bintang Timur, terlebih latar belakang politik Hamka adalah sebagai anggota Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) — sebuah partai politik yang bersama Partai Sosialis Indonesia (PSI) dilarang Presiden Soekarno pada Agustus 1960, karena elite kedua partai itu selalu bermusuhan dengan Soekarno selama bertahun-tahun; oposisi mereka terhadap Demokrasi Terpimpin dan keterlibatan mereka dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) — menjadikan persoalan ini bukan saja persoalan sastra, melainkan juga persoalan politik.

Kritikus sastra H.B. Jassin menolak tuduhan itu. Menurut Jassin (dalam Pradopo, 2002), yang disebut ―plagiat‖ itu adalah pengambilan karangan orang lain sebagian atau seluruhnya dan membubuhkan nama sendiri seolah- olah kepunyaannya. Di samping ―plagiat‖, ada saduran, yaitu karangan yang jalan ceritanya dan bahan-bahannya diambil dari suatu karangan lain, misalnya cerita luar negeri disesuaikan dengan alam sendiri (Indonesia) dengan mengubah nama-nama dan suasananya. Saduran itu pun harus disebutkan nama pengarang aslinya. Selain ―plagiat‖ dan ―saduran‖, ada juga ―pengaruh‖, yakni hasil ciptaan pengarang sendiri mendapat pengaruh pikiran atau filsafat pengarang lain, baik disengaja maupun tidak.

Dalam hal roman Hamka itu, H.B. Jassin mengatakan bahwa karya itu bukan plagiat atau  jiplakan, karena Hamka tidak hanya menerjemahkan dan membubuhkan nama sendiri dalam terjemahan itu, melainkan ia menciptakan karya dengan ―seluruh kepribadiannya‖.

Vicente Cantarino (dalam Pradopo, 2002) mengatakan bahwa dalam sastra ada tradisi mentransformasikan karya-karya sebelumnya ke dalam karya sendiri dengan bentuk yang baru. Hal ini bukan merupakan jiplakan, sebab ide dan konsepnya milik sendiri, sementara karya sebelumnya sebagai ―bahan‖. Dalam hal ini, menurut Rachmat Djoko Pradopo (2002) dalam buku Kritik Sastra Indonesia Modern, Hamka membuat transformasi dari karya Manfaluthi yang merupakan hipogramnya, dengan memasukkan pikiran-pikiran keislaman di dalamnya, mengubah jalan ceritanya, dengan penambahan-penambahan, semuanya disesuaikan dengan situasi Indonesia, Minangkabau khususnya, untuk menampilkan masalah adat, khususnya adat kawin paksa, dengan memasukkan pikiran-pikiran baru sesuai dengan ajaran Islam.

Hamka sendiri sebenarnya banyak diamnya. Ia menyerahkan persoalan itu kepada ahlinya. Kepada wartawan  Berita Minggu (30 September 1962), Hamka mengakui bahwa memang ia terpengaruh dengan Manfaluthi. Dalam Gema Islam (1 Oktober 1962), Hamka mengatakan bahwa caci-maki dan tuduhan plagiat itu tidak akan menjatuhkan dia dan persoalan belum selesai. Ia mengharapkan agar Tenggelamnya Kapal Van der Wijck diteliti secara ilmiah oleh ahli sastra untuk menentukan apakah itu hasil curian, saduran, atau asli secara pasti. Hamka berharap dibentuk Panitia Kesusastraan yang bersifat ilmiah di bawah Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan ia bersedia memberikan keterangan (Pradopo, 2002).

H.B. Jassin dan Junus Amir Hamzah (1963) telah membukukan polemik itu dalam buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dalam Polemik . Setelah membaca tulisan-tulisan yang menuduh Hamka sebagai plagiat maupun yang menolaknya, Umar Junus (dalam Hamzah, 1963) menyimpulkan bahwa pertama, Hamka menggunakan pola dan plot yang ada dalam karya

Manfaluthi, tetapi ia mengisi tema dan idenya sendiri. Kedua, Hamka sangat terpengaruh Manfaluthi sehingga menyenangi dan menggunakan hal-hal yang sama dengan Manfaluthi, termasuk cara pengucapannya. Hal ini mungkin karena keaslian pengucapan belum menjadi mode pada masanya.

Dalam disertasinya, Rachmat Djoko Pradopo menilai bahwa persoalan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck bukanlah persoalan plagiat atau jiplakan, melainkan masalah intertekstual, yakni transformasi dari satu teks ke teks yang baru.

Hamka sendiri bisa mengambil ―hikmah‖ dari polemik itu. Bagaimanapun sebuah buku yang selalu menjadi bahan pembicaraan atau pergunjingan, pujian atau makian, akan selalu diburu orang. Pemberian cap ―dahsyat‖ sebagaimana ucapan Sapardi Djoko Damono terhadap Saman maupun cap ―plagiat‖ sebagaimana tulisan Abdullah S.P. terhadap novel Hamka, sama-sama membawa berkah bagi penerbit buku itu. Terkadang berkah bagi pengarang juga. Novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck merupakan salah satu karya sastra Indonesia yang terbilang laku di pasaran. Hamka sendiri mengakui dalam cetakan keempat buku itu, bahwa belum berapa lama diterbitkan, buku itu sudah ludes. ―Belum berapa lama tersiar, dia pun habis,‖ tulis Hamka. Saya sendiri membeli buku itu pada 1999 — yang sudah merupakan cetakan ke-23. Kelarisan buku ini dapat disejajarkan dengan  Layar Terkembang Sutan Takdir Alisjahbana dan Saman Ayu Utami.

“Karena demikian nasib tiap-tiap orang yang bercita-cita tinggi, kesenangannya buat orang lain. Buat dirinya sendiri tidak. Sesudah dia menutup mata, barulah orang akan insaf siapa  sebetulnya dia…” (Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, hlm. 212-213).***

Citayam, 8 Oktober 2009 Sumber: Blog Bp. Asep Sambodja Dia Hanya Seorang Pengarang Minggu, 29 November 2009 01:08 Oleh Ahan Syahrul ''Mengarang, pada awalnya. Dan, pada akhirnya.'' Hanya kalimat itulah yang terucap dari Hamka ketika dipuja tentang kebesarannya. Dia mengatakan hanya seorang biasa saja, seorang pengarang tepatnya. Padahal, kita tahu bahwa Hamka adalah pejuang kemerdekaan, penulis,

ulama, agamawan, wartawan Pedoman Masyarakat, serta pemimpin redaksi majalah Panji Masyarakat dan Gema Islam. Dia juga tercatat sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Padang Panjang. Bahkan, Hamka pernah menjabat rektor Universitas Moestopo Jakarta dan Universitas Islam Jakarta. Seorang besar, tetapi dalam hidupnya tidak pernah merasakan tamat dari SD, apalagi diwisuda layaknya sarjana. Seorang yang kebingungan mencari pekerjaan sesaat setelah prosesi seremonial penerimaan ijazah diterima. Gugup menghadapi zaman, bingung mempertautkan nasib, tak tahu arah apa yang harus dilakukan setelah lulus. Hal yang tidak pernah ada dalam kamus hidupnya, meskipun dia berpendidikan rendah. Mozaik manusia tercerahkan itu wajib kita tiru jejak langkahnya. Berpendidikan formal hanya sampai kelas dua SD. Tetapi, selama hidupnya dia mampu menulis 113 buku. Menafsirkan Alquran dalam penjara saat dituduh kontra terhadap pemerintahan Soekarno. Buku karya Hamka yang terkenal itu berjudul Tafsir Al Azhar. Buku itu diakui sebagai karya terbaiknya. Tercipta saat kesunyiaan di balik terali besi, diselesaikan dalam keterbatasan. Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck mencuatkan namanya tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negeri seberang, Malaysia. Di negeri jiran tersebut buku itu sampai dicetak  sembilan kali. Di Indonesia, roman berwajah kearifan adat yang dibumbui cinta kasih tersebut naik cetak hingga 14 kali. Namun, buku itu menjadi kontroversi setelah Buya Hamka meninggal. Dia dituduh plagiat. Sebab, karya tersebut mempunyai kemiripan cerita dengan karya sastrawan Prancis Alphonse Karr yang disadur dalam bahasa Arab oleh pengarang Mesir bernama Musthafa Luthfi Al Manfaluthi. Benarkah seorang yang berani menolak keinginan penguasa Soekarno menjadi pegawai negeri dengan lebih memilih kebebasan hati nuraninya, melakukan hal yang remeh-temeh, bahkan mencuri karya orang lain? Dia adalah seorang genius negeri yang membaca karya Marx, Freud, Toynbee, Sarte, dan Camus bukan dalam bahasa Indonesia, tetapi bahasa Arab. Seorang yang menulis tentang nilai-nilai agama, filsafat, dan moralitas. Seorang yang dengan tekun menimba ilmu kepada HOS Tjokrominoto, Ki Bagus Hadikusumo, A.R. Fachrudin, RM Soerjopranoto, ataupun kepada A.R. Mansur. Akankah dia melakukan hal memalukan itu? Apakah hal tersebut merupakan pengejawantahan dan penerusan kenakalannya semasa kecil, saat dia lebih senang menjadi wasit sepak bola, menjadi jockey, atau pendekar silat daripada belajar agama walaupun dia dititipkan ayahnya kepada ulama besar di Bukit Tinggi? Sungguh hal yang patut dipertanyakan. Mempertanyakan pula bagaimana seorang yang tidak  lulus SD, tetapi mampu membaca karya-karya besar cendekiawan masa Renaisans, pembawa masa gelap Eropa kepada terang pengetahuan, tidak dalam bahasa ibunya, tetapi dalam bahasa Arab. Bagaimana dia belajar keras menempa dirinya? Di manakah dia menemukan spirit menyala dan berkobar tak pernah padam untuk terus berkarya? Spirit pembelajaran itulah yang kiranya perlu kita bidik, kita teladani. Dalam masa hidupnya yang relatif panjang, 73 tahun, 113 buku bukan merupakan karya yang sedikit. Fenomena Buya Hamka adalah realitas sejarah yang harus mendapat apresiasi. Karya-karyanya menunjukkan bagaimana etos kerjanya yang tiada pantang menyerah. Buku-buku karangannya adalah kesejatian dirinya, fosil yang terus hidup sampai akhir zaman. Prasasti kehidupan yang patut kita tiru. Wujud 113 buku menandakan bagaimana dia teguh menulis di tengah kesibukannya beraktivitas sebagai politikus, dosen, ulama, sastrawan, maupun akademisi. Jarang kita temui tokoh yang bisa hidup dalam kesunyiaan dunia tulis-menulis, tetapi bisa hidup berdampingan dengan ramainya

kehidupan. Apalagi, sebagai seorang aktivis politik, Buya seakan tidak terpengaruh untuk terus menulis dan menulis. Kebesarannya cukup diungkapkan dengan kata-kata sederhana bahwa dia hanyalah seorang pengarang. (*)

“kalau menulis dengan hati, maka sampainya juga di hati. tapi kalau menulis dengan jari, maka sampainya di mata, untuk menidurkan pembaca”  (Buya Hamka di Buku Falsafah Hidup)

Kapan Ada Buya Lagi? "Dasar kepengaran saya adalah cinta."  (Buya Hamka)

Suatu hari rumah Buya Hamka kedatangan tamu. Kali ini tamunya sepasang muda-mudi. Si perempuan lantas mengenalkan diri sebagai putri dari Pramoedya Ananta Toer. Mengetahui itu, Buya ramah bertanya, "Oh, anak Pram. Apa kabar bapakmu sekarang?" Perempuan itu menjawab, "Sudah bebas, Buya." Lalu mengalir dari mulut Buya pujian untuk karya-karya Pramoedya seperti Keluarga Gerilya, Subuh, dan lain-lain. Lepas bincang soal Pramoedya, Buya bertanya maksud kedatangan sepasang tamunya itu. Dijelaskan: mereka hendak menikah, masalahnya, si calon mempelai pria, kekasih putri Pram, belum memeluk Islam dan hendak  meminta Buya untuk meng-Islam-kannya. Dari sastrawan, Buya kembali tampil menjadi guru agama. Mengajarkan beberapa dasar agama Islam. Setelah itu dua anak muda itu pamit. "Sampaikan salam untuk ayahmu," kata Buya ramah. Anak Pram menangis. Buya juga nyaris menangis. Cerita semacam itu bisa kita baca dari Pribadi dan Martabat, sebuah buku catatan Rusydi Hamka, putra Buya Hamka, yang terbit pertama kali pada 1981. Rusydi, yang menyaksikan pertemuan itu dari awal hingga akhir sedikit protes kepada ayahnya. "Lupakah ayah siapa Pramoedya itu?" tanya Rusydi. "Tidak," jawab Buya. "Betapapun dia membenci kita, kita tak berhak  menghukumnya." Jagat sastra tanah air tentu tak pernah melupakan polemik besar-besaran di akhir era pemerintahan Orde Lama. Di mana kekisruhan politik merembes hampir di tiap lapangan kehidupan bangsa, termasuk kesusastraan. Lembaga Kebudayaan Rakyat lewat berbagai media yang dimilikinya, menjadikan Buya Hamka bulan-bulanan dengan mengatakan novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck sebagai hasil plagiasi. Ramai-ramai orang menyorot Buya Hamka. Caci maki tak henti berbulan-bulan lamanya. *** Namanya Abdul Malik. Lahir pada 17 Februari 1908 di Minangkabau. Ayahnya tokoh agama,

Syeikh Abdulkarim Amrullah. Di tahun 1918, Syeikh Abdulkarim mendirikan pondok pesantren, Sumatera Thawalib. Pada masa-masa itu, perdebatan-perdebatan agama antara kaum tua dan kaum muda sedang marak. Syeikh Abdulkarim termasuk salah seorang tokoh kaum muda yang menonjol. Dalam suasana perdebatan-perdebatan seperti inilah Abdul Malik dibesarkan. Sebagaimana kebiasaan yang terjadi, Abdul Malik merantau dari tanah kelahirannya. Awalnya ke Yogyakarta, di mana ia banyak belajar pada tokoh-tokoh pergerakan Islam semacam H.O.S. Tjokroaminoto, Kibagus Hadikusumo, dan lain-lain. Usianya pada saat itu baru 16 tahun. Lepas dari Yogyakarta, dia kembali ke Sumatera menjadi aktivis Muhammadiyah, mengiringi A.R. Sutan Mansur, tokoh Muhammadiyah yang juga kakak iparnya. Lalu Abdul Malik menetap di Medan. Dari Medan inilah, pada tahun 1925, berusia 19 tahun, ia bertolak ke Mekah, menunaikan ibadah haji dan bekerja pada sebuah percetakan di sana. Sepulang haji, ia kembali ke Medan dan menjadi guru agama di sebuah perkebunan. Lepas dari itu, sampai akhir hayatnya, seolah hidupnya diserahkan sepenuhnya pada perkembangan Islam di tanah air. Di Medan, selain tetap konsern pada kegiatan keagamaan, HAMKA (akronim dari namanya, Haji Abdul Malik Karim Amrullah) menggeluti dunia kesusastraan. Pada dekade 30-an sampai 40-an, Medan dapat dikatakan sebagai salah satu kota yang menonjol dalam bidang literasi selain Jakarta. Penulis-penulis berkomunitas dan terbitan-terbitan marak. Sebagian penerbit menerbitkan buku-buku agama, sebagian lain menerbitkan roman-roman. A Teeuw, pengamat Sastra Indonesia, menempatkan Hamka sebagai seorang pengarang terkemuka di antara pengarang-pengarang Medan lainnya. Buya Hamka memang penulis produktif. Sejak usia 17 tahun dia telah menerbitkan bukunya, Khatibul Ummat, sebuah buku agama tiga jilid yang beredar di Padang Panjang. Roman awal yang ditulis berjudul Si Sabariyah, berbahasa Minangkabau dan menggunakan aksara Arab Melayu. Roman ini sempat mengalami tiga kali naik cetak, yang mana kemudian honornya ia gunakan untuk biaya pernikahannya dengan Siti Raham pada tahun 1929. Selanjutnya, seperti tak henti tangannya menggerakan pena atau mengetik di mesin tulis (dan memang inilah kebiasannya: mengetuk-ngetukan jari-jarinya di meja seolah sedang mengetik) melahirkan karya-karyanya, baik dalam bidang agama atau dalam bidang kesusastraan seperti Di Bawah Lindungan Kabah, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Terusir, termasuk karya terjemahan Margaretta Gauthier, dan lain-lainnya. Yang paling fenomenal, tentu saja Tafsir Al Azhar. Selasai menulis lengkap tafisri tersebut, Buya Hamka berkata bahwa kini tugasnya selesai, matipun rela. Sepanjang hidupnya, tercatat 115 lebih buku berhasil ia tulis. Sebagai seorang jurnalis, bisa dibilang majalah Panji Masyarakat tentu tak akan pernah bisa lepas dari nama Buya Hamka sendiri. Dia mendirikan dan mengasuh majalah itu. Hingga kemudian kekisruhan politik era Orde Lama menyebabkan majalah tersebut dibredel (bersamaan dengan pembredelan beberapa majalah lainnya) dan Buya Hamka ditahan. Namun agaknya Buya memang sosok yang patut dijadikan contoh. Ditahan nyaris tiga tahun raganya dan diperlakukan tak terhormat dalam rangkaian pemeriksaan mengenai tuduhan yang mengada-ada tentang upaya kudeta dan pembunuhan Soekarno, tak membuat dirinya merasa harus membenci Soekarno. Mendengar Soekarno sakit dan wafat, air matanya tumpah. Lebih dari itu, ia mengimami Sholat Jenazah Soekarno. Tak peduli banyak orang yang mengkritik dan

menyayangkan sikap Buya Hamka tersebut. Mengenai Pramoedya, pada tahun 1969 di Taman Ismail Marzuki, Buya Hamka menyatakan ketidaksetujuannya pada pelarangan karya-karya Pram. "Janganlah buku itu dilarang. Tetapi tandingi dengan tulisan," ujar Buya. Sikap-sikap seperti inilah yang mungkin membuat kita agaknya merasa perlu merindukan sosok  seperti Buya Hamka. Agamawan ramah yang menampilkan agama yang ramah. Agamawan yang tak hanya pandai di atas mimbar, tapi juga bisa menghanyutkan lewat rangkaian aksara indah. printed version: Pikiran Rakyat

HAMKA adalah ulama Indonesia yang reputasinya diakui Universitas Al-Azhar, Kairo  – Mesir, dengan menganugerahinya gelar Doctor HC. Dia pernah menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dia melahirkan karya tulis lebih dari 115 judul dalam berbagai bidang seperti sastra, sejarah, dan agama. Tafsir Al-Azhar adalah karya paling utamanya. Sekitar awal 1964 HAMKA ditahan rezim Orde Lama dengan tuduhan subversi, sebuah tuduhan yang sampai dia bebas dua tahun empat bulan kemudian tak pernah bisa dibuktikan secara hukum. HAMKA berkisah tentang pengalamannya di hari- hari pertama dia ditahan: ―Kalau saya bawa bermenung saja kesulitan dan perampasan kemerdekaan saya itu, maulah rasanya diri ini gila. Tetapi, akal terus berjalan, maka ilham Allah datang. Cepat-cepat saya baca Al- Qur‘an, sehingga pada lima hari penahanan yang pertama saja, tiga kali Al- Qur‘an khatam dibaca‖. Lalu, HAMKA atur jam-jam buat membaca dan menulis Tafsir Al- Qur‘an Al-Azhar. Maka, menyusul kekacauan politik yang disebabkan Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia, pada Mei 1966 HAMKA dibebaskan. Saat itu, dia telah mengkhatamkan Al- Qur‘an 150 kali, dan selesai pula tafsir 28 juz. Sementara, yang dua juz yaitu juz 18 dan 19 telah diselesaikannya sebelum dia ditahan. Pada 1968, HAMKA beserta istri dan seorang anaknya berhaji. Lebih dari separo biaya berhaji mereka berasal dari royalti Tafsir Al-Azhar juz 1. Maka, berdasar pengalaman pribadinya itu, HAMKA – yang meninggal pada 1980-an- berhak menasihati kita, bahwa hendaknya kita ―Jangan gentar menghadapi kesukaran, karena dalam kesukaran itu pasti ada kemudahan, asal kita mempergunakan otak buat memecahkannya. Sungguh, Allah tidak akan mengecewakan orang-orang yang bertawakkal kepada- Nya.‖

 Allah SWT berf irman: “Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain dan hanya kepada Tuhanmu-lah hendaknya engkau Insyiraah: 5-8]. berharap.” [TQS.a-

Marilah kita bercermin pada kisah Alm.Buya Hamka yang ia nukilkan pada tafsirnya ‘al - Azhar’: -Pada bulan Januari 1964, saya ditangkap oleh rezim orde lama selama dua tahun empat bulan dengan kezaliman dan sewenang-wenang. Itu adalah kesulitan! Kalaulah saya bawa bermenung saja, kesulitan dan perampasan kemerdekaanku itu, maulah diri ini gila. Tapi akal terus berjalan, maka hidayah Allah datang. Cepat-cepat saya baca al-Quran, sehingga pada 5 hari penahanan yang  pertama saja, 3 kali a- Quran khatam dibaca. Lalu saya atur waktu untuk membaca al-Quran dan waktu untuk mengarang tafsir al-Quran yang saya baca itu. Demikianlah hari berjalan terus dengan tidak mengetahui dan tidak banyak memikirkan kapan akan keluar. Akhirnya terjadilah kekacauan politik 30 September 1965 dan di bulan Mei 1966 saya dibebaskan. Saya telah selesai membaca al-Quran sampai khatam lebih dari 150 kali dan saya telah selesai pula menulis tafsir al-Quran sebanyak 28 Juz dalam masa penahanan saya itu. Dua juz lainnya  yaitu juz 18 dan 19 telah saya tafsirkan sebelum tertangkap dalam masa dua tahun. Hal yang luar biasa terjadi adalah, pada tahun 1968, saya dan almarhumah istri dapat naik haji. Kami membawa pula anak kami yang kelima, Irfan. Lebih dari separuh biaya perjalanan kami bertiga adalah dari hasil royalty tafsir al-Azhar Juz 1. -Dapatkah kita membayangkan, bahwa jika tidak ada penjara, apakah Buya Hamka dapat  menyelesaikan tafsir al-Azhar yang terkenal itu? Sebuah tafsir yang selalu menjadi rujukan bagi kita dan menjadi amal shaleh Alm.Buya Hamka yang terus mengalir sampai akhir jaman. Tidakkah kita dapat mengambil pelajaran? 

Cukup Allah sebagai Pelindung: Kisah Hamka di Penjara Sukabumi Sabtu, 26 November 2011 06:07 WIB

Oleh Prof Dr Yunahar Ilyas

Setelah Pemilihan Umum Pertama (1955), Hamka terpilih menjadi anggota Dewan Konstituante dari Masyumi mewakili Jawa Tengah. Setelah Konstituante dan Masyumi dibubarkan, Hamka memusatkan kegiatannya pada dakwah Islamiah dan memimpin jamaah Masjid Agung AlAzhar, di samping tetap aktif di Muhammadiyah. Dari ceramah-ceramah di Masjid Agung itu lah lahir sebagian dari karya monumental Hamka, Tafsir Al-Azhar.

Zaman demokrasi terpimpin, Hamka pernah ditahan dengan tuduhan melanggar Penpres AntiSubversif. Dia berada di tahanan Orde Lama itu selama dua tahun (1964-1966). Dalam tahanan itulah Hamka menyelesaikan penulisan Tafsir Al-Azhar. Waktu menulis Tafsir Al-Azhar, Hamka memasukkan beberapa pengalamannya saat berada di tahanan. Salah satunya berhubungan de ngan ayat 36 Surah az- Zumar, ―Bukan kah Allah cukup sebagai Pelindung hamba- Nya...‖. Pangkal ayat ini menjadi perisai bagi hamba Allah yang beriman dan Allah jadi pelindung sejati. Sehubungan dengan maksud ayat di atas, Hamka menceritakan pengalaman beliau dalam tahanan di Sukabumi, akhir Maret 1964. Berikut kutipan lengkapnya. ―Inspektur polisi yang memeriksa sambil memaksa agar saya mengakui suatu kesalahan yang difitnahkan ke atas diri, padahal saya tidak pernah berbuatnya. Inspektur itu masuk kembali ke dalam bilik tahanan saya membawa sebuah bungkusan, yang saya pandang sepintas lalu saya menyangka bahwa itu adalah sebuah tape recorder  buat menyadap pengakuan saya.‖ ―Dia masuk dengan muka garang sebagai kebiasaan selama ini. Dan, saya menunggu dengan penuh tawakal kepada Tuhan dan memohon kekuatan kepada-Nya semata-mata. Setelah mata yang garang itu melihat saya dan saya sambut dengan sikap tenang pula, tiba-tiba kegarangan itu mulai menurun.‖ ―Setelah menanyakan apakah saya sudah makan malam, apakah saya sudah sembahyang, dan pertanyaan lain tentang penyelenggaraan makan minum saya, tiba-tiba dilihatnya arlojinya dan dia berkata, Biar besok saja dilanjutkan pertanyaan. Saudara istirahatlah dahulu malam ini, ujarnya dan dia pun keluar membawa bungkusan itu kembali. Setelah dia agak jauh, masuklah polisi muda (agen polisi) yang ditugaskan menjaga saya, yang usianya baru kira-kira 25 tahun. Dia melihat terlebih dahulu kiri kanan. Setelah jelas tidak ada orang yang melihat, dia bersalam dengan saya sambil menangis, diciumnya tangan saya, lalu dia berkata, Alhamdulillah bapak selamat! Alhamdulillah! Mengapa, tanya saya. Bungkusan yang dibawa oleh Inspektur M itu adalah setrum. Kalau dikontakkan ke badan bapak, bapak bisa pingsan dan kalau sampai maksimum bisa mati. Demikian jawaban polisi muda yang ditugaskan menjaga saya itu dengan berlinang air mata. Bapak sangka tape recorder, jawabku sedikit tersirap, tetapi saya bertambah ingat kepada Tuhan. Moga-moga Allah memelihara diri Bapak. Ah! Bapak orang baik, kata anak itu. Dalam menghadapi paksaan, hinaan, dan hardikan di dalam tahanan, Hamka selalu berserah diri kepada Allah SWT. Termasuk ketika Inspektur M datang membawa bungkusan malam itu, Hamka tetap dengan pendirian. Bukankah Allah cukup sebagai pelindung hamba-Nya. Redaktur: Siwi Tri Puji B

Buya Hamka: Jejak Pemikiran dan Teladan Posted on 22. Jan, 2009 by ave in Opini, Tokoh BUYA Hamka adalah sosok cendekiawan Indonesia yang memiliki pemikiran membumi dan bervisi masa depan. Pemikirannya tidak hanya berlaku di zamannya, naman masih sangat kontekstual di masa kini. Produktivitas gagasannya di masa lalu sering menjadi inspirasi dan rujukan gagasan-gagasan kehidupan di masa kini. Hamka mewakili sosok kepribadian yang cemerlang. Ratusan karya tulis dilahirkannya dari ketajaman memotret berbagai aspek kehidupan kemasyarakatan. Tidak mengherankan bila dalam Oxford History of Islam (2000), John L Esposito pun menyandingkannya dengan pemikir besar Muslim terkemuka. Menafsirkan berbagai karya Hamka di masa lalu yang masih aktual di masa kini bisa didapatkan kesimpulan bahwa diri dan pemikirannya mewakili sosok cendekiawan yang, meminjam Idi Subandy Ibrahim dalam Hamka, Jembatan Dua Dunia (Pikiran Rakyat 2008), humanis-religius. ‖Di Bawah Lindungan Ka`bah‖, ‖Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck‖, ‖Falsafah Hidup‖, ‖Islam dan Demokrasi‖, ‖Keadilan Sosial dalam Islam‖, dan lainnya menunjukkan kecintaannya yang mendalam akan nilai-nilai keadilan dalam bermasyarakat dan kepekaannya terhadap realitas sosial. Karya-karya tersebut menjadi penunjuk atas keluasan cakrawala berpikir seorang Buya Hamka. Pemikiran Buya Hamka relevan di tengah-tengah masalah keberagamaan bangsa ini yang pasang surut di tengah tarik-menarik antara konflik dan kekerasan. Keberagamaan yang tidak  kontekstual dan hanya mementingkan tata cara keberagamaan formal sebagai ‖substansi‖  beragama dan ‖satu-satunya‖ cara terbaik beragama justru seringkali menyeret seseorang ke dalam pemikiran yang sempit. Seolah-olah kehidupan ini dihuni oleh segolongan orang yang memiliki cara beriman dan beragama yang sama persis. Secara kontekstual, kehidupan beragama seperti adanya inilah yang menjadi fakta masyarakat. Kekerasan dan konflik kerap dipicu oleh sentimen yang dibangun melalui sempitnya cara memandang hidup dan kehidupan. Pluralitas adalah kenyataan kehidupan. Dalam konteks ini dibutuhkan pemikiran yang bisa mengayomi semua dimensi kehidupan. Penghargaan dan sikap toleran atas perbedaan jauh lebih penting dikemukakan untuk menciptakan tata kehidupan yang damai. Tafsir atas pemikiran Buya Hamka memang beragam. Namun perbedaan tafsir di dalamnya seharusnya dikokohkan dalam kerangka memperkaya khasanah keberagamaan dari sudut pandang substansinya. Ini akan sejalan dengan semangat pemikiran Buya Hamka sebagai intelektual yang mencintai keadilan dan memandang perbedaan sebagai suatu kenyataan hidup. Untuk mendapatkan contohnya, sosok pemikiran Buya Hamka seperti di atas dapat dijumpai dalam jejak-jejak pengaruhnya kepada, misalnya, pemikiran dan kepribadian Buya Syafii Maarif, salah seorang mantan Ketua PP Muhammadiyah yang mengaku pembentukan kepribadiannya banyak dipengaruhi olehnya. Kecintaan atas keadilan dan

kemanusiaan menjadi semangat untuk memperbaiki kehidupan yang lebih damai di tengah realitas sosial yang beragam. Pribadi tangguh yang dilahirkan dari tanah Minang ini memberikan teladan untuk bersikap dewasa dan menghargai pluralisme serta mengakui perbedaan. Perbedaan keyakinan bukan jalan atau peluang untuk saling bermusuhan. Hemat penulis, karakteristik keberimanan yang otentik seperti ini bila tidak dikembangkan justru berpeluang melahirkan keberimanan yang sempit yang menjadi jalan untuk melihat the others selalu sebagai sosok yang harus dilawan dan dimusuhi. Keberpihakannya pada keadilan tercermin dari persahabatan antara Buya dengan Kardinal Justinus Darmoyuwono. Kedua tokoh agama tersebut bersatu menentang kekuasaan Soeharto pada tahun 1970an yang sudah mulai menampakkan tanda-tanda otoriterismenya. Buya Hamka dan Kardinal Darmoyuwono memiliki perbedaan prinsip keagamaan tetapi justru memiliki hubungan yang sangat baik. Pada saat menyangkut masalah kebangsaan mereka bersatu menentang kekuasaan pemerintahan yang zalim. Hal itulah yang saat ini sudah minimal, saat Indonesia kehilangan tokoh-tokoh yang peduli pada masalah kebangsaan. Saat ini tokoh-tokoh masyarakat dan elite politik kehilangan roh kerakyatan seperti yang dimiliki Buya Hamka. Beliau adalah seseorang yang terbuka terhadap keyakinan orang lain. Selain itu, memiliki sikap bahwa manusia harus hidup berdampingan secara toleran, menghormati perbedaan, menjaga keyakinan dan menjunjung tinggi kebebasan. Pergaulan Buya melintas batas suku, bangsa, agama dan keturunan. Kepribadiannya dicerminkan dari sikapnya yang terbuka. Buya juga membaca karya-karya sarjana Prancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud dan sebagainya. Ia seorang Muslim yang tidak harus antibarat hanya karena melihat barat dianggap terlalu banyak yang tidak sesuai dengan sikap keberagamaannya. Ketegaran dan ketangguhan seorang cendekiawan seperti Buya Hamka inilah yang semakin  jarang ditemui di tengah dunia yang instan, pragmatis dan simplifikatif. Buya adalah seorang yang berpendirian teguh memperjuangkan keadilan. Ia berani melawan kekuasaan yang zalim sehingga ia dipenjara berkali-kali. Keberaniannya sungguh-sungguh ditegakkan atas nama kebenaran dan pembelaan atas ketidakadilan. Sikap keberagamaan yang memerankan kepedulian pada realitas sosial akan melahirkan cara beriman yang lebih terbuka dan menghargai perbedaan. Kemajemukan adalah fakta sosial yang tak bisa diingkari. Pemikiran yang sempit akan berkecenderungan untuk membela dirinya sendiri dengan kepedulian yang sangat kecil, bahkan musnah, terhadap orang lain. Bahkan dalam segolongan sekalipun, sikap seperti ini bisa membayakan perdamaian karena apapun yang terlihat berbeda selalui disikapi sebagai musuh. Sebagai musuh, tak ada cara lain selain ditundukkan, karena ia dianggap mengganggu. Buya Hamka sudah menyelami realitas sosial seperti ini dalam khasanah kebangaan Indonesia di masa lalu. Keterbukaannya terhadap perbedaan sekaligus meletakkan sikap dasar toleransi

adalah jalan yang paling baik daripada menutup semua peluang dialog dan hidup berdampingan. Indonesia adalah bangsa yang dibangun atas dasar kesamaan nasib, bukan semata-mata kesamaan berkeimanan. Sudah selayaknya bangsa ini diolah dan dibangun dengan cara pandang yang terbuka pula. Adapun keimanan bersifat membantu mendorong tumbuhnya semangat penghargaan ini. Apapun  jenis keimanan ini sifatnya lebih individualistik dan diharapkan memberikan semangat untuk  lebih arif terhadap realitas sosial yang ada. Keimanan bukan untuk melahirkan permusuhan, melainkan untuk meretas persaudaraan setiap saat. Perbedaan bukan jalan menuju peperangan, melainkan jalan menuju kedamaian yang sesungguhnya. Dan untuk itu pula perbedaan itu ada. Buya Hamka memberikan banyak teladan kepada Indonesia sebagai bangsa di tengah-tengah realitas perbedaan yang ada. Sosok yang tangguh dan mau bersahabat dengan siapa saja yang memiliki kemanusiaan perlu dicontoh bukan hanya oleh mereka yang Muslim, melainkan siapa saja yang mengaku sebagai manusia Indonesia. Sumbangsih pemikiran yang otentik dan kontekstual untuk kehidupan kebangsaan yang sehat itulah yang perlu digali dari sosok Buya Hamka. Menelusuri jejak-jejak pemikiran seharusnya memupuk keteladanan berpikir, bertindak dan berperilaku. Para elit politik, sosial, dan agama yang masih mengedepankan cara berpikir ‖segolongan‖ seharusnya lebih banyak menimba pemikiran Buya Hamka. Bangsa ini merindukan lahirnya buya-buya baru yang berani belajar dari kegagalan masa lampau dan menatap masa depan dengan landasan utama: kemanusiaan dan keadilan.  BENNY SUSETYO, adalah Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan (HAK) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Dewan Pembina Averroes Community

Teladan HAMKA Selasa, 22 November 2011 06:00 Inspirasi

Oleh: Anwar Djaelani

Inpasonline.com, 22/11/11 HAMKA ulama besar. Tafsir Al-Azhar adalah karya terbaiknya di antara lebih dari seratus karya tulisnya. November 2011, Pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional. Hal itu, semakin memberi alasan bahwa kita patut meneladaninya. Alim dan Santun

Di situs www.muhammadiyah.or.id 1/6/2011 ada biografi ringkasnya. Nama HAMKA adalah akronim dari Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Dia tokoh Muhammadiyah. Lelaki –yang lahir 17/2/1908– ini mulai aktif 

di Muhammadiyah pada 1925 dan pada 1928 mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada 1929 HAMKA mendirikan Pusat Latihan Pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian menjadi Konsul Muhammadiyah di Makassar. Lalu, menjadi Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat pada 1946. Pada 1953, HAMKA menjadi Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sekalipun pendidikan formalnya tak tinggi, dua universitas terkemuka tak ragu untuk memberikan gelar Doktor Honoris Causa kepada HAMKA. Itu disampaikan Universitas Al-Azhar Mesir pada 1958 dan Universitas Kebangsaan Malaysia pada 1974. Reputasi keulamaan dari tokoh yang wafat pada 24/71981 itu diakui kalangan luas. Pengaruhnya terasa hingga kini, bukan saja di Indonesia, melainkan juga di Malaysia dan Singapura. Sekarang, kita lihat HAMKA di satu aspek saja, yaitu bagaimana sikap dia menghadapi persoalan furu’iyah (bersifat cabang, bukan yang pokok). Ini penting, sebab perselisihan di aspek ini sesekali masih terjadi. Sekadar menyebut dua contoh, baca qunut di shalat subuh itu perlukah? Adzan shalat Jum‟at, sekali atau dua kalikah? Mari kita kenang dua fragmen menarik. Ini fragmen pertama. Suatu ketika HAMKA shalat subuh berjamaah bersama KH Idham Chalid (Ketua Umum PB NU 1956-1984, Ketua MPR/DPR 1971-1977, dan mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al -Azhar-Mesir). HAMKA yang mengimami. Pada rakaat kedua, HAMKA membaca doa qunut (Sabili 21/2/2008). Ini menarik, sebab membaca qunut tak biasa dilakukan HAMKA. Artinya, kisah “qunut HAMKA” bisa memberi pelajaran yang dalam bagi kita. Menarik pula, HAMKA dan Idham Chalid ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada waktu yang bersamaan, yaitu 8/11/2011. Lalu, ini fragmen kedua, dipetik dari www.ustsarwat.com. Di sebuah Jum‟at, KH Abdullah Syafii mengunjungi HAMKA di Masjid Al-Azhar Jakarta Selatan (catatan: HAMKA memimpin pelaksanaan ibadah seharihari dan pengajian di masjid tersebut sejak kali pertama digunakan, 1958). Hari itu seharusnya HAMKA yang menjadi khatib. Tapi, sebagai penghormatan kepada sahabat dan sekaligus tamunya, HAMKA dengan santun meminta Abdullah Syafii menjadi khatib. Hal menarik terjadi. Saat itu, adzan Juma‟t dikumandangkan dua kali. Padahal, siapapun tahu, di masjid itu adzan Jum‟at selalu hanya satu kali. Rupanya, HAMKA menghormati Abdullah Syafii sebab melaksanakan adzan dua kali pada shalat Jum‟at adalah pendapa t yang dipegang oleh sang sahabat. Siapa Abdullah Syafii? Mari kita „berkenalan‟ dengan tokoh yang memiliki „latar -belakang‟ berbeda dengan HAMKA itu. Situs www.majalah-alkisah.com 12/10/2011 menurunkan judul “KH Abdullah Syafii, Penjaga Benteng Moral Umat”. Berikut ini petikannya.

Dia ulama kelahiran Kampung Bali Matraman, Jakarta 10/8/1910 dan wafat pada 3/9/1985. Sedari kecil, telah memelajari Islam kepada sejumlah ulama di Jakarta. Dia juga pernah mengenyam pendidikan di Mekkah. Abdullah Syafi‟i mengabdikan hidupnya untuk pendidikan umat. Saat usianya beranjak 17 tahun, Abdullah Syafii telah terjun ke masyarakat, mengajarkan agama. Selain itu dia juga kerap mengisi ta‟lim dan ceramah di berbagai tempat. Gaya ceramahnya yang lantang, tegas, dan berapi- api membuatnya dikenal sebagai “Macan Betawi”.

Pada masa penjajahan, sebagian besar warga pribumi tidak mendapatkan pemahaman agama dengan baik. Maka, semangat dakwah Abdullah Syafii kian tidak terbendung. Dia merasa begitu terpanggil mensyiarkan Islam (antara lain dengan jalan memberantas buta huruf Al- Qur‟an). Berbagai keterbatasan dan kendala tidak membuatnya patah semangat. Dia rela mengorbankan tenaga, pikiran, dan harta. Abdullah Syafii memulai kegiatan ta‟limnya dengan sarana sangat sederhana. Beberapa tahun kemudian dia mendirikan lembaga pendidikan agama yang diberi nama “Madrasah Islamiyah Ibtidaiyah”. Puluhan tahun kemudian madrasah itu berganti nama menjadi “Asy -Syafi‟iyah” dan berkembang pesat, mulai dari TK hingga

Perguruan Tinggi Agama Islam. Ada juga pesantren tradisional putra dan putri serta pesantren khusus yatim. Lokasinya tak hanya di Jakarta, tapi juga di Jatiwaringin, Pondok Gede, Bekasi. Ada sekitar 33 lembaga pendidikan, 19 lembaga dakwah, dan 11 lembaga sosial yang telah didirikannya. Abdullah Syafii tercatat sebagai salah satu pendiri Majelis Ulama Indonesia (MUI). Selain pernah menjabat Wakil Ketua MUI Pusat, dia juga pernah menjadi Ketua Umum MUI DKI Jakarta. Banyak jasa Abdullah Syafii. Peran dan perj uangannya dalam mendidik umat sangat bisa dirasakan. Maka, wajar, jika dia lalu mendapat penghargaan dari Pemerintah Indonesia berupa Bintang Maha Karya Putra Utama. Sementara, Pemerintah DKI Jakarta memberikan penghargaan dengan menamai salah satu jalan di Jakarta Selatan dengan nama Jalan KH Abdullah Syafii (www.ummatonline.net 1/8/2010). Dari uraian di atas, tampak bahwa HAMKA, Idham Chalid, dan Abdullah Syafii berilmu tinggi. HAMKA punya Tafsir Al-Azhar dan Perguruan Al-Azhar. Idham Chalid memimpin PB NU dalam waktu yang sangat lama. Abdullah Syafii memiliki Pesantren Asy-Syafi‟iyah dan banyak alumnusnya yang juga sukses mengikuti jejak sang guru. Terlihat, mereka berinteraksi secara indah karena berprinsip saling menghormati. HAMKA –misalnyadengan keluasan ilmunya, bisa „menyesuaikan diri‟ dengan praktik ibadah yang berbeda dari saudara Muslim lainnya. Pelihara, Ayo!

HAMKA –ketua MUI 1977 sampai 1981- telah memberi teladan yang elok. Maka, masihkah akan ada di antara kita yang suka menyoal hal-hal furu’iyah ? Mari, belajar ke pada HAMKA, ulama yang tidak kita ragukan lagi ketinggian ilmunya, InsyaAllah, antara lain dengan cara itu, ukhuwah Islamiyah dapat kita pelihara. []

Mengenal Buya Hamka

Oleh: Yanto, S.Pd, M.Ed Pada

tanggal

8

November

2011

yang

lalu

Presiden

Susilo

Bambang

Yudhoyono

menganugrahkan gelar pahlawan kepada Prof. Dr. Hamka. Seorang tokoh besar Indonesia abad ini. Namun generasi internet saat ini barangkali banyak yang tidak begitu mengenal beliau. Untuk itu penulis ingin membagi sedikit pengetahuan penulis mengenai beliau karena sempat melakukan penelitian mengenai sosok istimewa ini. Profesor Doktor Hamka atau Haji Abdul Malik Karim Amrullah lahir pada tanggal 8 Februari 1908 di Maninjau, Sumatra Barat. Ayah beliau Haji Abdul Karim Amrullah adalah ulama berpengaruh di Sumatra Barat. Meski bergelar profesor doktor, namun sekolahnya hanya sampai kelas 5 SD. Gelar Profesor beliau dapat dari Universitas Mustopo Jakarta, sedangkan gelar Doktor Honoris Kausa beliau peroleh dari dua universitas besar yakni Universitas Al Azhar Kairo, Mesir dan Universitas Kebangsaan Malaysia. Ketiga gelar kehormatan tersebut

memperlihatkan betapa keilmuan beliau diakui oleh dunia meski hanya mengenyam bangku sekolah formal tidak lebih dari lima tahun saja. Namun panggilan populer beliau adalah “Buya” yang di Minangkabau berarti orang yang dianggap ilmu agamanya tinggi. Sosok buya Hamka menjadi sangat istimewa karena peranannya dalam sejarah Indonesia yang begitu penting. Uniknya adalah beliau tidak saja dikenal sebagai seorang ulama, namun juga sastrawan, sejarawan, orator, wartawan dan bahkan politisi. Di semua peran yang beliau mainkan dalam sejarah Indonesia, beliau menjadi aktor utamanya. Sebagai Sastrawan

Buya Hamka adalah penulis produktif di zamannya. Tidak kurang 113 buku telah beliau tulis semasa hidupnya. Karya beliau banyak digemari oleh masyarakat karena gaya penulisannya yang memikat. Tidak hanya di Indonesia, di Malaysia pun karya-karyanya sangat di sukai. Beberapa novel karya buya Hamka menjadi best seller . Sebut saja Di bawah Lindungan Ka’bah (1936), Tenggelamnya Kapal Van Der Wich (1937), Merantau ke Deli (1940) serta ratusan karya yang lainnya. Bahkan Di bawah Lindungan Ka’bah saat ini telah diangkat ke layar lebar. Keistimewaan Buya Hamka sebagai seorang sastrawan adalah produktivitas beliau dalam menulis. Seperti diketahui generasi sastra Indonesia dapat digolongkan kepada empat angkatan yakni Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 45 dan Angkatan 66. Biasanya seorang penulis sastra Indonesia hanya bisa di golongkan kepada era sastra tertentu saja. Misalnya Khairil Anwar termasuk Angkatan 45, Taufik Ismail Angkatan 66. Namun Buya Hamka masuk ke dalam semua angkatan karena beliau sudah produktif menulis sejak berusia 17 tahun. Tulisannya tidak saja dalam bentuk novel populer namun juga berupa buku sejarah Islam terutama sejarah perkembangan Islam di Indonesia. Misalnya karya beliau yang berjudul “Sejarah Umat Islam” yang diterbitkan hingga empat edisi. Topik mengenai Islam mendominasi semua tulisan beliau karena tampaknya beliau menjadikan bacaan sebagai media dakwah yang memang sangat efektif ketika itu. Beliau juga dikenal sebagai seorang wartawan yang membidani lahirnya majalah Islam “Panji Masyarakat”.

Sebagai Politisi

Setelah kemerdekaan Buya Hamka ikut berpolitik guna memperjuangkan aspirasi umat Islam. Beliau bergabung dengan partai Masyumi. Namun partai ini pada tahun 1960 dinyatakan sebagai partai terlarang tanpa sebab yang jelas oleh pemerintahan Sukarno. Namun ini tentu saja berkaitan dengan penentangan Masyumi terhadap komunis di Indonesia. Sementara pemerintahan Sukarno ketika itu sangat dipengaruhi oleh orang-orang PKI. Pada tahun 19641966 Buya Hamka dijebloskan ke penjara dengan tuduhan pro Malaysia ketika terjadi konfrontasi Indonesia-Malaysia. Padahal semua orang tahu bahwa ini lebih disebabkan karena beliau adalah salah satu orang yang paling keras menentang komunis di Indonesia. Hebatnya, buya Hamka menerima dengan penuh keikhlasan keputusan presiden Sukarno yang memenjarakan dirinya. Tidak ada rasa dendam dan sakit hati sedikit pun dari beliau kepada Sukarno. Bahkan ketika presiden Sukarno wafat, beliau mengabulkan permintaan banyak orang agar beliau bersedia menjadi imam dalam shalat jenazah. Sungguh sebuah pelajaran berharga bagi bangsa ini. Meski di penjara, buya Hamka tidak pernah berhenti menulis. Bahkan karya terbesar beliau yakni “tafsir Al Azhar” diselesaikan ketika beliau dipenjara. Tafsir Al Azhar merupakan tafsir Al Quran 30 juz yang sangat berpengaruh dalam sejarah penafsiran Al Quran di Indonesia hingga kini. Sebagai Ulama

Kiprah Buya Hamka sebagai seorang ulama adalah ketika beliau dipilih sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1975. Namun jauh sebelum itu beliau sudah terbiasa memberikan ceramah agama dengan pendekatan yang mudah dipahami. Kata-katanya menyejukkan dan menggugah. Pada tahun 80an ceramah beliau sering ditayangkan di TVRI dalam acara Mimbar Agama Islam. Yang patut ditiru dari beliau adalah satunya kata dan perbuatan. Beliau hidup sederhana meski seorang ulama besar. Beliau juga sangat berani terhadap penguasa. Tidak saja di era Sukarno, di

zaman Suharto pun beliau juga menunjukkan keberaniannya. Ini terjadi ketika MUI mengeluarkan fatwa tidak dibolehkannya seorang muslim merayakan Natal bersama. Fatwa ini tidak sesuai dengan kepentingan penguasa sehingga MUI diminta merevisinya. Namun, buya Hamka bergeming. Beliau lebih memilih mengundurkan diri menjadi ketua umum MUI daripada harus mengikuti kemauan penguasa orde baru. Satu lagi pelajaran dari akhlak beliau untuk bangsa ini. Buya Hamka wafat pada tanggal 17 Juli 1981 di usia 73 tahun. Kepergian beliau merupakan sebuah kehilangan besar bagi bangsa ini karena sangat sulit mencari tokoh sekaliber beliau. Keteladanan yang beliau tunjukkan menjadi barang langka bahkan nyaris punah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Entah kapan lagi kita memiliki tokoh yang berakhlak mulia seperti Buya Hamka. Semoga penganugrahan gelar pahlawan kepada beliau mengingatkan kembali kepada sosok beliau yang patut diteladani.

Diposkan oleh M.Iqbal Dawami | Senin, November 14, 2011

Judul: Aku Mendakwa Hamka Plagiat; Skandal Sastra Indonesia 1962-1964 Penulis: Muhidin M Dahlan Penerbit: Scripta Manent Cetakan: I, September 2011 Tebal: 238 hlm. Buku ini diakui oleh penulisnya, Muhidin M Dahlan, sebagai pengantar untuk niat Pramoedya

Ananta Toer dan kawan-kawan ―Lentera‖ membukukan polemik berkepan jangan perihal plagiasi yang dilakukan Hamka, sastrawan cum ulama. Bahkan bagi saya yang tidak menyaksikan polemik itu lantaran hidup pada masa kini, bukan hanya pengantar, tapi juga penyambung lidah Pram untuk mengangkat isu skandal tersebut ke masa kini. Semua bermula dari esei Pram yang dimuat di Bintang Timur pada Jumat 10 Oktober 1962  berjudul ―Yang Harus Dibabat dan Harus Dibangun‖. Dari situ terus bermunculan tulisan-tulisan lainnya yang ditulis para penulis lain, namun isunya cuma satu bahwa roman Tenggelamnya Kapal van Der Wijck (TKvDW) adalah plagiasi dari roman yang ditulis pengarang Prancis Aplhonse Karr, Sous less Tilleuls. Ditengarai para pendakwa, Hamka mengambilnya dari hasil saduran penyair Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi (1876-1942) berjudul Al-Majdulin (Magdalena). Abdullah Sp, di antara salah satu penulis yang turut mengkritisi novel TKvDW. Ia mengirimkan satu resensi-esei dengan judul ―Sekali lagi membaca buah tangan Hamka: Benarkah Dia Manfaluthi Indonesia?‖ Dalam esei pertama itu, mula-mula Abdullah Sp menceritakan  pengalamannya sewaktu jadi santri di ―santri asrama‖, Majalengka, Jawa Barat, dan menemukan roman karya Hamka. ―Karya Hamka itu (cetakan pertama, th 1938), entah, sudah tujuh kali kubaca, kutelentangtelungkupkan, kutelentang-bukakan lagi, kubaca lagi, tak jemu2nya laksana surat Al-Fatihah. Begitu asik aku dipukau HAMKA. Ia telah mengetuk gerbang hatiku, pernah pula pada suatu hari — sesudah membacanya —menangis sendirian di sudut sunyi…!‖ (hlm. 30-31) Namun kekagumannya kepada Hamka itu berubah menjadi rasa muak setelah Abdullah tahu dalam salah satu film yang diadaptasi dari karya Al-Manfaluthi yang ditontonnya suatu hari ―mirip‖ dengan karya Hamka. Film itu berjudul: Dumu el- Hub (Airmata Cinta) (hlm. 31). Dan dia menyimpulkan bahwa Hamka melakukan plagiasi secara mentah-mentah. Sepekan kemudian Abdullah Sp mengirim tulisan lagi, dimana kali ini dia membandingkan di antara kedua karya tersebut (karya Hamka dan karya Al-Manfaluthi). Klimaks tulisannya adalah pemuatan yang ketiga, yakni dua pekan kemudian di Bintang Timur. Judul tulisannya langsung menohok, ―Aku Mendakwa Hamka Plagiat!‖ Ia menguraikan dan membandingkan bagaimana novel Hamka TKvDW dijiplak dari karya Manfaluthi berjudul Magdalena. Dari sinilah kemudian para pegiat sastra terbelalak. Reaksi bermunculan, baik yang pro maupun kontra. Dari kubu yang kontra dengan mazhab Pram yakni yang diimami HB Jassin tak jelas sikapnya, apakah karya Hamka plagiat, jiplakan, saduran, atau terjemahan? Jassin hanya mengatakan bahwa novel tersebut adalah pengalaman khas Hamka. Abdullah Sp langsung menjawab bahwa ―khas Hamka‖ itu ditimba dari pengalaman Karr/Manfaluthi. Lantas, bagaimana sikap Hamka? Hamka tidak melayani tuduhan tersebut. Hamka hanya menjawab bahwa itu adalah tugas ―Panitia Kesusasteraan‖ untuk menyelidikinya. Pramoedya sebenarnya waktu itu sudah menyiapkan buku berjudul Hamka Plagiator. Tapi, sampai saat ini tidak ada yang tahu kemana rimbanya. Penulis hanya mendapatkan sepotong

guntingan koran di Bintang T imur/‖Lentera‖ yang menandaskan bahwa tentara di bawah korps Peperda (Penguasa Perang Daerah) Jakarta Raya melarang diteruskannya usaha ―Lentera‖ membersihkan ―daki2 sastra Indonesia‖. Hingga saat ini persoalan ―Hamka Plagiat‖ anti-klimaks. Buku ini memang tidak mengkritisi halihwal soal itu, tapi hanya mengajak pembaca untuk membuka kembali suatu peristiwa penting dalam sejarah sastra Indonesia, sebuah polemik yang berkepanjangan. Jadi, paparannya deskriptif semata. Namun, buku ini sangat penting dibaca dan menjadi khazanah berharga bagi generasi muda, terlebih bagi yang concern dengan sejarah Kesusastraan Indonesia. Layak  dibaca.[] M. Iqbal Dawami, penikmat sastra.

Pemikiran Hamka Berpengaruh Kuat di Malaysia

 Jakarta-

Pemikiran Buya Hamka (alm), ulama dan penulis Islam Indonesia modern yang produktif, berpengaruh kuat di Malaysia melalui berbagai karyanya yang tersebar luas di negara jiran tersebut. "Karyanya berpengaruh dalam bidang pendidikan, etika, dan dakwah di Malaysia. Banyak tokoh di Malaysia yang mengaku sebagai murid dari (pemikiran) Hamka," kata Dr Muhammad Uthman ElMuhammady dari ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization) Malaysia dalam Dialog Terbuka "100 Tahun Buya Hamka" di Masjid al-Azhar, di Jakarta, Senin (7/4). Muhammad Uthman mengatakan, sejumlah tokoh yang terpikat oleh pemikiran Buya Hamka antara lain sastrawan Malaysia S Othman Kelantan dan Mufti Penang Dato Hassan Ahmad. Menurut Uthman, S Othman menilai karya sastra Hamka seperti novel Di Bawah Lindungan Ka`bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijht memiliki nilai estetika yang tinggi.

Sedangkan Hassan Ahmad, ujar Uthman, menilai Hamka adalah penjelmaan masa kini dari salah satu pemikir besar Islam dari abad ke-11, Imam al-Ghazali. "Sosok lainnya yang mengagumi Hamka di Malaysia adalah Ismail Hussein (budayawan dari Universiti Malaya)," katanya. Menurut Uthman, Tafsir Al-Azhar  karya Buya Hamka merupakan tafsir al-Qur`an terbesar yang pernah ditulis dalam rumpun bahasa Melayu yang bukan bersifat terjemahan. Ia mengutarakan, Hamka dapat digolongkan sebagai pemikir Islam yang moderat dan sangat toleran serta tidak terjebak dalam pemikiran posmodernis Barat yang dipenuhi dengan konsep relativisme moral. Uthman juga mengemukakan, Hamka adalah tokoh yang berpegang teguh pada pendapat yang diyakininya tetapi selalu mengutarakan argumennya dengan gaya yang elegan. "Dalam berbeda pendapat, Hamka sangat beradab dalam menanggapinya dan tidak menjadi `intellectual cowboy `," katanya. Hamka merupakan kepanjangan Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Ulama itu pernah mengundurkan diri dari MUI pada 1981 karena berbeda pendapat dengan pemerintah Orde Baru. Hamka dilahirkan di Sungai Batang, Sumatra Barat, pada 16 Februari 1908. Dia wafat pada 24 Juli 1981. Kegiatan lainnya di lingkungan al-Azhar untuk memperingati seabad Buya Hamka antara lain festival budaya, pemutaran film Buya Hamka, peluncuran buku 100 Tahun Buya Hamka dan situs www.buyahamka.com. Sumber : www.waspada.co.id 

Sisi Seksualitas Buya Hamka

Rate This

Oleh H. Marjohan

Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), dikukuhkan negara—melalui Pemerintah sebagai Pahlawan Nasional. Masyarakat Sumbar secara propinsial, dan Minangkabau secara kultural, tentu mengapresiasi penganugerahan gelar Pahlawan Nasional k epada Putra sulung Dr. Haji Abdul Karim Amrullah (Dr. Haka) tersebut. Soalnya, selain dijuluki ulama kharismatik dan substansialistik ( faqihun wa al-hakimun), Hamka  juga dikenal sebagai sastrawan, budayawan, pujangga, dan sejarawan. Tidak saja di Indonesia, nama besar dan pengaruh beliau bahkan menjamah sampai ke Malaysia, Singapura dan Thailand. Dalam kancah transformasi Islam, kiat-kiat yang dihidangkan beliau tidaklah meledak-ledak—seperti segelintir pemuka agama ( rijalu ad-da’wah) di alam kontemporer yang kian merangkak maju kini. Melainkan sarat informatif, persuasif, edukatif dan argumentatif (bi al-hikmah, wa al- maui’zhah

wa al -mujadalah/ QS.

An-nahal ayat 125). Dan, bila tokoh yang lahir

pada 17 Februari 1908 itu, menyuarakan dimensi dakwah berupa tanzhir (khabar pertakut), tanpa tergelicik pada pola-pola eufemisme dibalutnya dengan bahasa santun, sejuk, bersahabat, dan gampang dimengerti. Selain aktif dalam ad-da’wahu

bi al -lisan,

Hamka tercatat sebagai pengarang gigih lagi produktif. Sejak menulis

pada 1928 sampai menjelang ajal menjemput (1981), Hamka telah menelurkan tak kurang dari 118 judul buku. Dan, jumlah sebanyak itu, belum termasuk “ sagarobak tulak  tulisan panjang yang belum, dan patut dibukukan. Sebut saja Pandangan Hidup Muslim; Dari Hati ke Hati; Dakwah Islamiyah; dan banyak lagi yang lain Dan, yang membuat banyak orang berdecak-kagum, ketika Hamka mendekam di penjara semasa rezim Soekarno (1964-1969) dengan tuduhan melanggar Perpres Nomor 11 Tahun 1963, tokoh yang terbilang sukses menakhodai Majalah Panjimas (1936-1943) ini, justru berhasil secara spektakuler merampungkan 30 Juz karya monumentalnya: Tafsir Al Azhar. Tak jauh beda dengan buku-buku lain, Tafsir Al Azhar (diambil dari nama Universitas Al Azhar Mesir yang menobatkanya sebagai Doktor HC, 1959) diminati banyak orang. Mulai dari kalangan awam sampai elit, sepertinya bangga membaca dan mengepit Tafsir Al Azhar. Tak heran, buah tangan ulama otodidak tersebut, mengalami cetak ulang berpuluh-puluh kali. “Selaku keluarga besar Hamka, kami amat bahagia, ternyata buku -buku ayah dicari bahkan diterbit ulang oleh masyarakat”. Begitu dilontarkan Ruysdi Hamka pada penulis di penghujung Mei 2008 lalu. Yaitu ketika memproses izin ahli waris ihwal penerbit an kembali buku: Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao” (Hamka 1971) atas kerja sama Pemkab Pasaman dengan Penerbit Suara Muhammadiyah Yogyakarta (2008). Jangankan yang setali darah dengan Hamka, Sejarawan Taufik Abdullah (1979) saja, justru berselera mengutak-atik/meneliti seluruh karangan Hamka. Hasilnya? “Sejak mencacahkan kalam, di akhir 1927 bertajuk:

“Si Sabariah”  (cerita

roman, huruf Arab,

bahasa Minang, 1928) sampai pada konsep buku: Pandangan Hidup Muslim, Dari Hati ke Hati, dan Dakwah Islamiyah tadi (1979), Hamka menulis rata-rata 4 halaman buku —sekitar 10 alinea tiap hari”. Sebuah prestasi dan produktifitas memukau memang!

Buya Hamka seorang ulama, politisi dan sastrawan besar yang tersohor dan dihormati di kawasan Asia hingga Timur Tengah. Berkat pengabdian dan sumbangannya dalam membangun kesadaran umat Islam dan cita-cita bangsa, pemerintah Indonesia menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2011.

Hamka lahir pada 17 Februari 1908 di Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, dari pasangan Dr. H. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan Siti Safiyah Binti Gelanggar yang bergelar Bagindo nan Batuah. Hamka mewarisi darah ulama dan pejuang yang kokoh pada pendirian dari ayahnya yang dikenal sebagai ulama pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau serta salah satu tokoh utama dari gerakan pembaharuan yang membawa reformasi Islam (kaum muda).

Nama Hamka sendiri merupakan akronim dari namanya, Haji Abdul Malik Karim Amrullah, sedangkan sebutan Buya adalah panggilan khas untuk orang Minangkabau. Kata Buya sebenarnya berasal dari kata abi, atau abuya dalam bahasa Arab yang berarti ayahku atau orang yang dihormati. Jika banyak tokoh berpengaruh yang bertahun-tahun menimba ilmu di sekolah formal, tidak  demikian halnya dengan Hamka. Pendidikan formal yang ditempuhnya hanya sampai kelas dua Sekolah Dasar Maninjau. Setelah itu, saat usianya menginjak 10 tahun, Hamka lebih memilih untuk mendalami ilmu agama di Sumatera Thawalib di Padang Panjang, sekolah Islam yang didirikan ayahnya sekembalinya dari Makkah sekitar tahun 1906. Di sela kegiatannya sebagai jurnalis, Hamka memulai kiprahnya di dunia politik dengan menjadi anggota partai Sarekat Islam pada tahun 1925. Di waktu yang hampir bersamaan, ia ikut mendirikan Muhammadiyah untuk menentang khurafat, bidaah dan kebatinan sesat di  Padang Panjang. Selanjutnya Hamka terlibat dalam kepengurusan organisasi Islam tersebut  dari tahun 1928 hingga 1953.

Di sekolah itu, Hamka mulai serius mempelajari agama Islam serta bahasa Arab. Sejak kecil Hamka memang dikenal sebagai anak yang haus akan ilmu. Selain di sekolah, ia juga menambah wawasannya di surau dan masjid dari sejumlah ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo. Pada tahun 1924, Hamka yang ketika itu masih remaja sempat berkunjung ke Pulau Jawa. Di sana ia banyak menimba ilmu pada pemimpin gerakan Islam Indonesia diantaranya Haji Omar

Said Chakraminoto, Haji Fakharudin, Hadi Kesumo bahkan pada Rashid Sultan Mansur yang merupakan saudara iparnya sendiri. Selanjutnya pada 1927, berbekal ilmu agama yang didapatnya dari berbagai tokoh Islam berpengaruh tadi, Hamka memulai karirnya sebagai Guru Agama di Perkebunan Tebingtinggi, Medan. Dua tahun kemudian, ia mengabdi di Padang masih sebagai Guru Agama. Masih di tahun yang sama, Hamka mendirikan Madrasah Mubalighin. Bukan hanya dalam hal ilmu keagamaan, Hamka juga menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik. Yang menarik, semua ilmu tadi dipelajarinya secara otodidak tanpa melalui pendidikan khusus. John L. Espito dalam Oxford History of Islam bahkan menyejajarkan sosok Hamka dengan Sir Muhammad Iqbal, Sayid Ahmad Khan dan Muhammad Asad. Hamka juga pernah menekuni bidang jurnalistik dengan berkarir sebagai wartawan, penulis, editor dan penerbit sejak awal tahun 1920an. Ia tercatat pernah menjadi wartawan berbagai surat kabar, yakni Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Bersama dengan KH Fakih Usman (menteri agama dalam Kabinet Wilopo 1952), Hamka menerbitkan majalah tengah bulanan Panji Masyarakat pada Juli 1959. Majalah ini menitikberatkan soal-soal kebudayaan dan pengetahuan agama Islam. Majalah ini kemudian dibredel pada 17 Agustus 1960 dengan alasan memuat karangan Dr Muhammad Hatta berjudul ‗Demokrasi Kita‘, yang isinya mengkr itik tajam konsep Demokrasi Terpimpin. Majalah ini baru terbit kembali setelah Orde Lama tumbang, tepatnya pada 1967. Hamka sendiri dipercaya sebagai pimpinan umum majalah Panji Masyarakat hingga akhir hayatnya. Hamka juga pernah menjadi editor di majalah Pedoman Masyarakat dan Gema Islam. Pada tahun 1928 hingga 1932, Hamka pernah menjadi editor sekaligus penerbit dari dua media yang berbeda, yakni majalah Kemajuan Masyarakat yang terbit hanya beberapa nomor serta majalah al-Mahdi di Makasar. Di sela kegiatannya sebagai jurnalis, Hamka memulai kiprahnya di dunia politik dengan menjadi anggota partai Sarekat Islam pada tahun 1925. Di waktu yang hampir bersamaan, ia ikut mendirikan Muhammadiyah untuk menentang khurafat, bidaah dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Selanjutnya Hamka terlibat dalam kepengurusan organisasi Islam tersebut dari tahun 1928 hingga 1953. Mulai tahun 1928, ia mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Setahun kemudian, ia mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah. Pada 1931, ia menjabat sebagai konsul Muhammadiyah di Makassar. Lima tahun berselang, usai menjabat sebagai Konsul Muhammadiyah, Hamka pindah ke Medan. Kemudian di tahun 1945, ia kembali ke kampung halamannya di Sumatera Barat. Saat itulah, bakatnya sebagai pengarang mulai tumbuh. Buku pertama yang dikarangnya berjudul Khathibul Ummah, yang kemudian disusul dengan sederet judul lain yakni Revolusi Fikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Negara Islam, Sesudah Naskah Renville, Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman, Dari Lembah Cita-Cita, Merdeka, Islam dan Demokrasi, Dilamun Ombak Masyarakat, dan Menunggu Beduk Berbunyi.

Saat perang revolusi, Hamka juga turut berjuang mengusir penjajah. Lewat pidato, ia mengobarkan semangat para pejuang untuk merebut kedaulatan negara. Dalam kisah perjuangannya, Hamka juga pernah ikut serta menentang kembalinya Belanda ke Indonesia dengan bergerilya di dalam hutan di Medan. Selain didorong rasa cinta pada Tanah Air yang demikian besar, semangat perjuangan Hamka juga senantiasa berkobar tiap kali mengingat pesan ayahnya yang diucapkan ketika Muktamar Muhammadiyah tahun 1930 di Bukittinggi, ―Ulama harus tampil ke muka masyarakat, memimpinnya menuju kebenaran.‖ Pasca kemerdekaan, Konferensi Muhammadiyah memilih Hamka untuk menduduki posisi ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto di tahun 1946. Lalu pada 1947, ia menjabat sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional yang beranggotakan Chatib Sulaeman, Udin, Rangkayo Rasuna Said dan Karim Halim. Hamka juga mendapat amanat dari Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk menjabat sebagai sekretaris Front Pertahanan Nasional. Pada tahun 1953, Hamka terpilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada tahun 1951-1960, Hamka mendapat mandat dari Menteri Agama Indonesia untuk duduk sebagai Pejabat Tinggi Agama. Namun belakangan, ia lebih memilih untuk mengundurkan diri sebab pada waktu itu Presiden Soekarno memintanya memilih antara menjadi pegawai negeri atau berkiprah di dunia politik. Pada tahun 1955, Hamka memang tercatat sebagai anggota konstituante Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan berpidato dalam Pemilu Raya di tahun yang sama. Meskipun pada akhirnya, partai yang didirikan di Yogyakarta pada 7 November 1945 itu dibubarkan Presiden Soekarno di awal tahun 1960. Pada dekade 1950- an, politik seakan menjadi ―panglima‖, menyikapi kenyataan tersebut, Hamka pernah menyampaikan pernyataannya yang melukiskan martabat sebagai pemimpin umat, ―Kursi-kursi banyak, dan orang yang ingin pun banyak. Tetapi kursiku adalah buatanku sendiri,‖ kata Hamka seperti dikutip dari situs Republika.co.id Hamka kembali ke dunia pendidikan pada tahun 1957 setelah resmi diangkat menjadi dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang. Karirnya sebagai pendidik terus menanjak, setelah ia terpilih sebagai rektor pada Perguruan Tinggi Islam, Jakarta, kemudian dikukuhkan sebagai guru besar di Universitas Moestopo, Jakarta, dan Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Di samping sering memberi kuliah di berbagai perguruan tinggi, Hamka juga menyampaikan dakwahnya melalui Kuliah Subuh RRI Jakarta dan Mimbar Agama Islam TVRI yang diminati jutaan masyarakat Indonesia di masa itu. Menjelang tumbangnya rezim Orde Lama, persisnya tahun 1964, Hamka pernah mendekam di penjara selama dua tahun karena dituduh pro-Malaysia. Meski secara fisik ia terkurung, Hamka terus berkarya. Jika kebanyakan orang usai menjalani hukuman sebagai tahanan politik lebih memilih untuk mengeluarkan buku kecaman terhadap rezim penguasa, tak demikian halnya dengan Hamka. Ia justru menghasilkan mahakarya yang membuat namanya tersohor hingga ke mancanegara, yakni tafsir Al Quran yang diberi nama Tafsir Al-Azhar, sesuai dengan nama masjid tempat Hamka selalu memberikan kuliah subuh. Tafsir Al-Azhar yang berisi terjemahan Al-Quran sebanyak 30 juz lengkap itu merupakan satu- satunya Tafsir Al Qur‘an yang ditulis oleh ulama melayu dengan gaya bahasa yang khas dan mudah dicerna. Diantara ratusan judul

buku mengenai agama, sastra, filsafat, tasauf, politik, sejarah dan kebudayaan yang melegenda hingga hari ini, bisa dibilang Tafsir Al-Azhar adalah karya Hamka yang paling fenomenal. Di samping dikenal sebagai ulama dan politisi berpengaruh, sejarah juga mencatat Hamka sebagai seorang sastrawan yang cerdas. Dengan kemampuan bahasa Arabnya yang mumpuni, ia dapat mendalami karya para ulama dan pujangga besar asal Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Tak hanya itu, ia juga dapat meneliti karya sarjana Barat seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga banyak menyampaikan pemikirannya tentang Islam lewat sejumlah bukunya yang antara lain berjudul Agama dan Perempuan, Pembela Islam, Adat Minangkabau dan Agama Islam, Kepentingan Tabligh, Ayat- Ayat Mi‘raj, dan masih banyak lagi. Sementara dalam hal agama dan filsafat, Hamka juga mengarang beberapa buku yang diberi judul Tasauf Moderen, Falsafat Hidup, Lembaga Hidup, Lembaga Budi, Pedoman Muballigh Islam, dan lain-lain. Tak hanya piawai menghasilkan karya yang bernafaskan Islam, Hamka juga cukup produktif  menghasilkan beberapa karya sastra kreatif seperti novel, diantaranya Tenggelamnya Kapal Van Der Wickj , Merantau ke Deli, serta novel terbitan tahun 1936, Di Bawah Lindungan Ka‘bah, yang telah dua kali diangkat dalam film layar lebar. Karya-karya Hamka bahkan tidak hanya dipublikasikan oleh penerbit nasional sekelas Balai Pustaka dan Pustaka Bulan Bintang melainkan juga diterbitkan di beberapa negara Asia Tenggara bahkan dirilis di berbagai situs, blog dan media informasi lainnya. Hebatnya lagi, hasil karya Hamka menjadi buku teks sastra di luar negeri seperti Malaysia dan Singapura. Banyak warga Malaysia yang mengagumi karakter, pemikiran dan perjuangan Buya Hamka bahkan menjadikannya sebagai salah satu soko guru agama Islam di tanah Melayu.Pada tahun 1974, Hamka menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia dari pemerintah Malaysia melalui Perdana Menteri Tun Abdul Razak sebagai bentuk  penghargaan atas pemikiran dan sumbangsihnya dalam memajukan perkembangan agama Islam, serta kegigihannya dalam berdakwah terutama di tanah Melayu. Karena dedikasinya di bidang dakwah, gelar yang sama juga pernah diberikan Universitas Al Azhar pada Hamka yang membawakan pidato ilmiah berjudul ―Pengaruh Ajaran dan Pikiran Syekh Mohammad Abduh di Indonesia‖. Pemerintah Indonesia sendiri pernah memberinya gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno. Tak hanya lewat tulisan, Hamka juga menunjukkan akhlak mulia dan suri tauladan bagi para pengikutnya, salah satunya secara terbuka memaafkan semua orang yang pernah menyakitinya. Misalnya pada 21 Juni 1970 ketika Presiden RI pertama Ir. Soekarno wafat, ia bertindak sebagai imam shalat jenazahnya. Tak ada sedikit pun rasa dendam atau sakit hati dalam dirinya, bahkan konon Hamka sempat menitikkan airmata begitu mendengar berita kepergian Sang Proklamator. Setelah sholat jenazah, ia berkata kepada jena zah Soekarno, ―Aku telah doakan engkau dalam sholatku supaya Allah memberi ampun atas dosamu. Aku bergantung kepada janji Allah bahwa walaupun sampai ke lawang langit timbunan dosa, asal memohon ampun dengan tulus, akan diampuni- Nya‖.

Pada awal dekade 70-an, Hamka mengingatkan umat Islam terhadap tantangan al-ghazwul fikri (penjajahan alam pikiran). Menurut Hamka, penjajahan alam pikiran beriringan dengan penghancuran akhlak dan kebudayaan di negeri-negeri Islam. Sekularisasi atau sekularisme adalah setali tiga uang dengan ghazwul fikr yang dilancarkan dunia Barat untuk menaklukkan dunia Islam, setelah kolonialisme politik dalam berbagai bentuk, gagal. Cap sebagai mantan narapidana juga tak membuat kharisma seorang Hamka luntur begitu saja. Usai menjalani hukuman, ia masih mendapat kepercayaan untuk mengemban sejumlah jabatan, diantaranya menjadi anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama RI Prof. Dr. Mukti Ali mempercayakan jabatan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Hamka. Berbagai pihak waktu itu sempat ragu apakah Hamka mampu menghadapi intervensi kebijakan pemerintah Orde Baru kepada umat Islam yang saat itu berlangsung dengan sangat massif. Hamka rupanya berhasil menepis keraguan itu dengan memilih masjid Al-Azhar sebagai pusat kegiatan MUI ketimbang harus berkantor di Masjid Istiqlal. Istilahnya yang terkenal waktu itu adalah kalau tidak hati-hati nasib ulama itu akan seperti kue bika , yakni bila MUI terpanggang dari atas (pemerintah) dan bawah (masyarakat) terlalu panas, maka situasinya akan menjadi sulit. Bahkan bukan tidak mungkin, MUI bisa mengalami kemunduran serius. Usaha Hamka untuk mewujudkan MUI sebagai lembaga yang independen kian terasa kental pada awal dekade 80-an. Lembaga ini berani melawan arus dengan mengeluarkan fatwa mengenai persoalan perayaan Natal bersama. Buya Hamka menyatakan haram bila ada umat Islam mengikuti perayaan keagamaan itu. Adanya fatwa tersebut kontan membuat publik geger. Terlebih ketika itu pemerintah tengah gencar mendengungkan isu toleransi. Berbagai instansi waktu itu ramai mengadakan perayaan natal. Bila ada orang Islam yang tidak  bersedia ikut merayakan natal maka mereka dianggap orang berbahaya, fundamentalis, dan anti Pancasila. Umat Islam pun merasa resah, keadaan itulah yang kemudian memaksa MUI mengeluarkan fatwa. Fatwa tersebut bukan tanpa risiko. Sebagai orang yang dianggap paling bertanggung jawab atas keluarnya fatwa tersebut, Buya Hamka pun menuai kecaman dari berbagai pihak tak terkecuali pemerintah. MUI ditekan dengan gencar melalui berbagai pendapat di media massa yang menyatakan bahwa keputusan itu hanya akan mengancam persatuan negara. Akhirnya pada 21 Mei 1981, Hamka meletakkan jabatan sebagai Ketua MUI daripada harus mencabut fatwa tersebut. Sebagai pengawal akidah umat, Hamka menyampaikan masukan kepada Presiden Soeharto mengenai persoalan Kristenisasi. Sikap Soeharto pun sejalan dengan pandangan MUI bahwa jika hendak menciptakan kerukunan beragama, maka orang yang sudah beragama jangan dijadikan sasaran untuk propaganda agama yang lain. Namun tak dipungkiri, keteguhan Hamka dalam mempertahankan prinsipnya, berhasil membangun citra MUI sebagai lembaga yang mewakili suara umat Islam. Seperti yang pernah disampaikan Mantan Menteri Agama H.A. Mukti Ali seperti dikutip dari situs Republika.co.id,

―Berdirinya MUI adalah jasa Hamka terhadap bangsa dan negara. Tanpa Buya, lembaga itu tak  akan mampu berdiri.‖ Dua bulan setelah pengunduran dirinya itu, Hamka dilarikan ke rumah sakit karena komplikasi penyakit kencing manis, gangguan jantung, radang paru-paru, dan gangguan pada pembuluh darah yang dideritanya. Setelah tiga hari menjalani perawatan di ruang (ICU) RS Pusat Pertamina, Hamka akhirnya menghadap Sang Khalik di usia 73 tahun pada hari Jumat, 24 Juli 1981 pukul 10.41. Setelah disholatkan di Masjid Al-Azhar, jenazahnya kemudian dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta. Atas jasa-jasanya pada negara, Presiden Soeharto menganugerahkannya Bintang Mahaputera Utama pada tahun 1993. Kemudian di tahun 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi gelar Pahlawan Nasional pada Hamka berdasarkan surat Keputusan Presiden Nomor 113/TK/2011. Pemberian gelar tersebut disambut dengan rasa bangga oleh pihak keluarga Hamka, "Kami, keluarga mengucapkan terima kasih kepada pemerintah dan beliau itu sejak awal sudah jadi pahlawan bagi kami," kata anak kesepuluh Buya Hamka, Afif Hamka kepada wartawan. Ulama cerdas nan kharismatik itu memang telah berpulang ke rahmatullah, namun pengabdian dan sumbangannya dalam membangun kesadaran umat Islam dan cita-cita bangsa tetap dikenang dan menjadi inspirasi bagi generasi masa kini. Cendekiawan sekaligus budayawan, Dr. Nurcholish Madjid dalam buku 70 Tahun Buya Hamka (1978) mencatat peranan dan ketokohan Hamka sebagai figur sentral yang telah berhasil ikut mendorong terjadinya mobilitas vertikal atau gerakan ke atas agama Islam di Indonesia, dari suatu agama yang ―berharga‖ hanya untuk  kaum sarungan dan pemakai bakiyak di zaman kolonial menjadi agama yang semakin diterima dan dipeluk dengan sungguh-sungguh sungguh- sungguh oleh ―kaum atas‖ Indonesia merdeka. Hamka berhasil merubah postur kumal seorang kiai atau ulama Islam menjadi postur yang patut menimbulkan rasa hormat dan respek. Cak Nur lebih lanjut mengutarakan, melihat keadaan lahiriah yang ada sekarang, sulit membayangkan bahwa di bumi Indonesia akan lahir lagi seorang imam dan ulama yang menyamai Buya Hamka. Sayangnya, banyak generasi muda yang tak mengenal sosoknya apalagi mengkaji ketokohannya. Nama besar Hamka justru lebih dihormati negara tetangga. Hal itu bisa dilihat dari kunjungan masyarakat ke Museum Buya Hamka yang lebih didominasi wisatawan Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam ketimbang wisatawan lokal. Memang amat disayangkan, entah karena kurangnya promosi, museum yang terletak di tepi Danau Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatra Barat dan diresmikan pada 11 November 2001 oleh H. Zainal Bakar, Gubernur Sumatera Barat masa itu, ternyata tak begitu menarik hati masyarakat Indonesia. Sebagai bukti penghargaan yang tinggi dalam bidang keilmuan, Muhammadiyah mengabadikan namanya menjadi nama sebuah perguruan tinggi yang berada di Yogyakarta dan Jakarta, yakni Universitas Hamka (UHAMKA). Akhir tahun 2007, sebuah panitia yang dibentuk oleh Universitas Prof Dr Hamka Jakarta telah menyelenggarakan beberapa kegiatan penting dalam rangka 100 tahun Buya Hamka di Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru Jakarta Selatan, salah satunya adalah meluncurkan buku 100 tahun Buya Hamka.

sumber : http://www.tokohindonesia.com

Read more: Politisi, Ulama dan Sastrawan Besar | Berita http://keranjangbesar.com/Berita/politisiulama-dan-sastrawan-besar.html#ixzz1iSKn3a1J

Modernitas dalam Novel Hamka “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk” (Resensi Diskusi di komunitas Sasaka novel Hamka “Tenggelamnya Kapal Van der Wijk”) 06 December 2011 | 20:36 Oleh Asep Gunawan Dalam dunia kesusastraan Indonesia pra kemderdekaan semua tentunya mengenal novel ―Tenggelamnya Kapal Van der Wijk‖ karya seorang intelektual Hamka. Novel tersebut dicetak  sekitaran 1936, tentunya ini termasuk karya sastra klasik yang begitu dahsyat. Yang termaktub dalam khazanah kesusastraan Indonesia sampai saat ini. Ketika kita membaca karya Hamka yang satu ini, praktis imaji kita akan dibawa pada romantisme kondisi Indonesia pra merdeka. Setting yang diambil pada karyanya yang satu ini bercerita tentang tanah Minang, tanah yang sangat kental akan lokalitas budayanya, terutama paham matriarki yang dianutnya. Dan Hamka sedikitnya mengambil titik pijak narasinya dengan adat ini, terbukti ketika di awal cerita kita akan disuguhkan mengenai konflik antara Sutan Pandekar dengan Mamaknya Yang berujung dengan diusir dan dipenjaranya Sutan Pandekar di Cilacap setelah dengan tidak sengaja membunuh Mamaknya. Selain landsekap tanah Minang, Hamka juga cukup pandai dalam mendeskripsikan tanah Mengkasar, yang jadi tanah pijakan kedua bagi Sutan Pandekar, sampai dia menikah dan memiliki anak di sana. Zainudin, si anak campuran darah mengkasar dan Minang itu, mesti menerima kenyataan pahit bahwasannya leluhur ayahnya di Minang tidak pernah mengakui dirinya sebagai seorang keturunan Minang. Karena adat dan tradisi di sana yang beranggapan bahwa orang Minang haruslah beristrikan orang lokal. Selain juga budaya matriarki yang dipegang kuat di padang Panjang ini. Hingga membuat kisah cinta Zainudin dengan Hayati tak  kesampain lantaran adat yang menjadi tembok pemisah keduanya. selain pada akhirnya, lagi  –  lagi zainudin harus menelan pil pahit, mengingat Hayati lebih memilih untuk menikah dengan Aziz yang secara ekonomi lebih mapan dibanding Zainudin. Wacana modernitas Kelahiran suatu karya memang pada dasarnya dibidani oleh keadaan social pengarangnya. Di mana banyak phenomena – phenomena yang melatarbelakangi kelahiran karya sastra dan sedikit banyaknya direflesikan oleh sang pengarang dalam karyanya. Karena pada dasarnya karya sastra merupakn pencerminan keadaan masyarakat pada saat tertentu. (Ian Watt dalam Faruk: 2010)

Begitupun Hamka, yang mendeskripsikan adanya gejala  – gejala modernitas yang merasuk pada tatanan pranata social pada orang  – orang Indonesia. Paling tidak ada dua aspek yang cukup terlihat pada ceritanya yang satu ini. Yang pertama mungkin, semakin lunturnya nilai  – nilai moral dan religious yang menjadi pondasi kuat bangsa Indonesia, terutama Minang. Dan yang kedua, munculnya sikap materialism pada setiap individu, yang dengan mudahnya menanggap bahwa materilah yang menjadi kebutuhan mendasar bagi setiap orang.(I. Bambang Sugiharto: 1996). Kedua gejala tersebut cukup berhasil direfresentasikan pada kedua tokohnya, Aziz dan Hayati. Aziz yang notabene, berasal dari keluarga elit yang telah bersinggungan dengan modernitas, yang dicirikan dengan pola hidupnya yang cenderung matrealistis dan menjurus pada kehidupan hedonis, hingga berakhir tragis. Sedang, Hayati tentunya tak lepas dari judgment yang sama, keputusannya untuk memilih menikah dengan Aziz selain dorongan dari kelurganya, materi pulalah yang dijadikan pertimbangan olehnya, menginga t Aziz merupakan orang yang ―ada‖. Modernitas, memang salah satu unsur yang diperkenalkan oleh bangsa Barat yang secara melalui kolonialismenya. Melalui modernitas seolah bangsa kita diajak untuk lebih berfikir maju dan logis, sehingga kadang melupakan budaya primordial kita. Namun lagi – lagi ketidaksiapan mental Indonesia dalam memaknai modernitas, nampaknya menjadi boomerang bagi kita. Karena memang, bangsa Indonesia bisa dibilang saat itu, sedang mengalami masa transisi dari pola hidup tradisional menuju pola hidup modern.

Budaya local tentu saja akan selalu menjadi lawan bagi budaya global yang masuk. Namun mungkin Hamka ingin memberikan gambaran akan sebuah ketidaksiapan mental jika memang terlalu terbuka menyerap semua unsur modernitas yang diterapkan barat pada Indonesia khusunya, akan berakhir dengan sebuah ketragisan. Tak mengherankan, mindset seperti ini memang sudah menjadi wacana global bagi semua negara  – negara pasca kolonial untuk meniru si penjajah atau kalau meminjam istilah Homi. K. Bhaha, Mimikri. Semua produk Barat baik  sikap, pemikiran atau life style, akan menjadi bahan acuan bagi bangsa terjajah hingga bermuara pada sebuah wujud peniruan, yang salah satunya tentang modernitas. Namun Hamka, dengan pandai membungkusnya dengan model narasi yang tidak terlalu fulgar menceritakan wacana itu, hingga yakni tema cintalah yang seolah muncul ke permukaan. Tentunya, hamka tidak serta merta memberikan gambaran itu jika tidak merujuk pada phenomena sosial yang sedang terjadi kala itu. Persentuhan Barat dan local melahirkan perubahan paradigma yang kadang mengancam budaya local hingga bisa mengakibatkan tercerabutnya nilai lokalitas yang sejak dulu tertanam. Peran Akar Primordial Di dalam sebuah karya tentunya mengandung ideology pengarang. Ideology  – ideology yang ingin disampaikan terhadap para pembacanya. Jika melirik background Hamka yang seorang Buya, atau seorang tokoh Islam, tentunya nilai  – nila islamilah yang ingin dia sampaikan, namun tidak terlepas dari akar primordial bangsa Indonesia. Paling tidak kedua hal itulah yang harus dijadikan pijakan utama bagi bangsa Indonesia dalam memaknai modernitas atau globalitas secara umum.

Pada kontek kekinians, modernitas semakin buas terlihat dan tanpa ampun menghempaskan nilai lokalitas bangsa kita. Nilai moral dan religious semakin berbanding terbalik dengan pola pikir ke-Baratan yang semakin menguat. Walhasil, sikap hidup yang selalu diorientasikan pada materilah yang laku bagi setiap pendirian seseorang. Hingga setiap orang harus selalu bersaing satu sama lain dalam meraih materi, walaupun harus ada yang ―dikorbankan‖, sebuah sikap masyarkat yang cenderung tidak manusiawi, hingga tidak aneh kalau krisis multi dimensi di Indonesia tak pernah menemui titik akhirnya. Paling tidak secara implisit Hamka ingin mengutarakan bahwa globalitas apapun itu bentuknya tak harus membuat kita tercerabut dari nilai  – nilai local yang kita anut. Karena hal itulah yang menjadi satu – satunya identitas di dalam dunia global yang semakin menghapus batasan  –  batasan budaya antar bangsa. Baiknya secara bijak kita menyambut modernitas itu dengan penuh pertimbangan, bukan malah dengan tangan terbuka hingga menyerap dan menerapkannya secara total dalam kehidupan kita. untuk itu sikap kritis sangatlah dibutuhkan agar bangsa kita tidak  menjadi bangsa yang tergerus budaya global. Dan tentunya dengan tetap menjaga citra sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai religious dan akar primordial kita. Penulis, Mahasiswa Sastra Inggris UIN Bandung, bergiat di Komunitas Sasaka ------

Jika tulisan sudah sukses dimulai dan tuntas ditulis namun kita masih merasa tulisan itu kering atau kaku, barangkali kita dapat berkaca pada pengalaman seorang murid Buya Hamka yang beberapa puluh tahun lalu juga mengalami problem yang sama. Ketika sang murid mengkonsultasikan masalah tersebut kepada sang sastrawan kelahiran Maninjau yang juga ulama besar Indonesia ini, Hamka — akronim dari nama lengkapnya yakni Haji Abdul Malik Karim Amrullah — menanyakan bagaimana proses kreatif sang murid dalam menyelesaikan tulisannya. ―Tentu saja saya memulai dengan menuliskan berdasarkan data yang sudah terkumpul terlebih dulu, Buya,‖ jawab sang murid dengan tersenyum karena merasa itu pertanyaan yang terlalu sepele. ―Engkau salah,‖ kata Hamka tersenyum bijak. ―Cobalah tulis dari hatimu dahulu. Tangkap ide yang berkelebat agar tak segera lenyap. Alirkan apa saja emosi dan pikiran yang ada di benak  dan hatimu. Biarkan ia mengalir sebebas-bebasnya hingga mencapai keutuhan dan garis besar tulisan. Setelah itu barulah kumpulkan serta sisipkan data-data pendukung dalam tulisanmu agar ia lebih berbobot dan argumentatif.‖

Ya, itu dia. Selama ini kita mungkin terlalu terfokus untuk menulis melulu berdasarkan data yang terkumpul sehingga lalai menangkap ide-ide yang berkelebat cepat. Sehingga ketika data terkumpul, ide itu sudah menguap, kehilangan kesegarannya. Hingga yang berbicara adalah tumpukan data yang kering dan kaku. Yang sama sekali tidak menyentuh apalagi mencerahkan. Hamka sendiri sudah membuktikan keampuhan kiatnya tersebut dengan karya-karyanya mulai dari buku Tasawuf Modern, Tafsir Al-Azhar  hingga roman  Di Bawah Lindungan Kabah atau Tenggelamnya Kapal Van der Wijck  yang tak kehilangan daya argumentasi namun juga

menghanyutkan perasaan serta mencerahkan. Nah, setelah tulisan sudah tuntas ditulis dengan mengindahkan kiat- kiat di atas, ―tinggalkan saja  barang dua minggu, bersantailah dengan bermain voli dengan tetangga‖, pesan guru kita yang ketiga, Mohammad Diponegoro dalam bukunya Yuk Nulis Cerpen Yuk! ----

Sejak zaman masih sekolah di Padang saya adalah penggemar roman yang ditulis Hamka, antara lain Tenggelamnya Kapal Van der Wijck , Di Bawah Lindungan Ka’bah, Merantau ke Deli, dan lain-lain. Sebagian besar roman karya Hamka bercerita tentang cinta kasih yang terhalang oleh perbedaan budaya (Minang – Makassar pada Tenggelamnya Kapal Van der Wijck), atau  perbedaan strata sosial (Di Bawah Lindungan Ka‘bah). Meskipun novel karya Hamka bercerita tentang cinta antara dua anak manusia, namun jalan cerita dibawakan dengan santun. Pergaulan antara tokoh pria dan wanita di novel itu masih tetap berada dalam bingkai syariat agama. Tokoh pria dan wanitanya tidak pernah berdua-duaan di tempat sepi, tahu benar Hamka bahwa berdua-duaan antara lawan jenis itu bisa menimbulkan hal yang tidak baik (zina). Bahkan, untuk mengutarakan isi hati tokoh pria kepada wanita (atau sebaliknya) Hamka tidak selalu menceritakannya secara langsung, tetapi melalui media surat, seakan-akan berterus terang tentang rasa mencintai itu masih tabu untuk dibicarakan. Misalnya pada penggalan kisah Zainuddin dan Hayati di bawah ini di dalam novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck: Tiba-tiba, pada suatu hari, di waktu matahari hendak terbenam ke barat, di waktu perempuan perempuan telah pulang dari pancuran mengisi parian betungnya, Hayati bertemu dengan  Zainuddin di liku jalan. ” Ai… Tuan Zainuddin di sini.” ” Ya, disini menunggumu!” “Menunggu saya?” Tanya Hayati, sedang dadanya mulai berdebar. ” Apakah maksudnya, lekaslah terangkan, supaya saya segera pulang.” ” Saya pun takut pula akan mengganggu perjalananmu. Engkau saya tunggu hanya sekadar 

hendak memberikan ini”. Lalu dikeluarnya sepucuk surat dari sakunya, diberikannya ketangan  Hayati. Ketika memberikan itu jari-jemarinya kelihatan gementar. Tengah Hayati masih bingung sendiri, memegang buli-buli yang ada dalam tangannya,  Zainuddin berangkat dari tempat itu secepat-cepatnya. Hayati segera pulang. Sehabis sembahyang dan makan malam, segera dia naik ke atas anjung ketidurannya, membaca di dekat  sebuah lampu dinding!

Kang Abik yang alumni Al Azhar Kairo pun begitu dalam setiap novelnya. Ia tahu batasan muhrim antara lelaki dan perempuan. Tokoh-tokoh pria dan wanita di dalam novelnya tidak  pernah digambarkan berdua-duaan di tempat sepi, tidak pernah saling berpegangan dan bergandengan tangan. Tahu betul Kang Abik tentang syariat agama yang melarang pria dan wanita bukan muhrim berkhalwat di tempat yang sepi, tidak seperti pergaulan wanita dan pria zaman sekarang yang begitu bebas dan jauh dari nilai-nilai agama. Gaya bahasa antara Kang Abik dan Hamka memiliki kemiripan, yaitu sama-sama melankolik. Cerita mengalir begitu saja dengan alamiah. Perbedaannya, gaya bahasa Hamka kental dengan warna Melayu yang sarat dengan perlambang, sedangkan Kang Abik yang dibesarkan di Jawa tentu mempunyai ciri berbeda untuk menggambarkan simbolisme. Begini penggalan karya Hamka untuk menggambarkan gaya bahasanya: Surat itu rupanya diperbuat dengan jiwa, bukan dengan tangan. Apa yang bergelora didalam sanubari, ditumpahkan di kertas. Dan bagi yang membaca, tentu jiwanya pula yang kena. Gemetar kedua belah tangan Hayati membaca surat yang demikian. Dibacanya, tiba-tiba dengan tidak disadarinya, air mata telah mengalir di atas pipinya membasahi bantal kalanghulunya. Terbayanglah di hadapannya wajah Zainuddin yang muram, keluh yang sentiasa mengandung rahasia dalam. Yakinlah dia bahawa gerak dan bisik jantungnya bilamana melihat   Zainuddin selama ini rupanya bukanlah gerak sembarang, tetapi adalah gerak ilham, gerak jiwa  yang bertali dengan jiwa, gerak batin yang bertali dengan batin.  Demikianlah, hampir seluruh malam Hayati karam di dalam permohonan nya kepada Tuhan, supaya Tuhan memberi perlindungan dan tujuan di dalam hidupnya, sebab sangat sekali surat   Zainuddin mempengaruhi jiwanya. la merasa dirinya dalam gelap, dia meminta cah aya.  Bermacam-¬macam perasaan yang bergelora hebat semalam itu dalam jiwanya, ganjil, beraneka warna; bercampur di antara cinta dan takut, kesenangan fikiran dan kesedihan, bertempur. Di antara pengharapan yang besar dan cita-cita yang rasakan patah. Dalam dia menangis, tiba-tiba berganti dengan tersenyum. Dalam senyum dia kembali mengeluh panjang.  Mengapa dia menangis? Entahlah, dia sendiri pun masih rag u. Apa sebab dia tersenyum? Padahal biasanya senyuman dengan air mata itu adalah dua yang bermusuh yang tak mahu berdamai. Mengapa sekali ini dia damai? Jam di ruang tengah telah berbunyi dua kali, hanya detikan dan bunyi cengkerik di sudut rumah yang memecahkan kesunyian malam. Dalam keadaan yang demikian, Hayati tertidur.  Adapun yang berkirim surat, Zainuddin, lain pula halnya. Meskipun anak-anak muda di surau tempatnya tidur telah berlayar dalam lautan mimpi yang enak, bahkan kadang-kadang kesepian

itu dipecahkan oleh dengkur dua atau tiga orang anak-anak, dia masih bermenung melihatkan bulan terang benderang, bulan di antara tanggal 15 dengan 16, muram dan damai. Bermenung di beranda surau seorang dirinya,tidak merasai takut dan gentar. Diperhatikannya langit yang  jernih itu, seakan-akan dia mengajak bulan bercakap. Mengajak bintang berceng-kerama.Dia ajak alam besar itu bertutur, percakapan jiwanya sendiri, seakan-akan mengadukan nasibnya  yang malang, yang patut alam itu ikut meratapinya, atau seakan-akan m emberitakan bahawa hatinya tidak sesedih dahulu lagi, sebab Tuhan telah memberinya nikmat yang paling besar, iaitu nikmat cinta. Bertahun-tahun dia laksana seorang yang kehilangan sekarang barang yang dicari itu telah dapat kembali. Barang yang hilang itu paling mahal, dan berharga, ialah “hati”  yang hilang separuh seketika bondanya mati, habis separuh lagi setelah ayahnya meninggal. Sekarang “hati” itu telah kembali, sebab … mencintai Hayati! Tiba-tiba, timbul pulalah seruan dari jiwanya kepada Tuhan yang melindungi seluruh alam, diserukannya pada waktu tengah malam demikian, pada waktu segala doa makbul. “Pujianku tetaplah pada-Mu, ya Ilahi! Saya telah beroleh hidup, hidup yang saya kenang-kenangkan.

~~~~~~~~~~ http://rinaldimunir.wordpress.com/2009/06/05/antara-hamka-dan-kang-abik-menanti-film-kcb/

Dalam Kenangan : Buya Hamka Posted:

Maret

21,

2011

in

Biografi

Tag:Di Bawah Lindungan Ka'bah , Hamka, Partai Masyumi, Tafsir Al Azhar, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

1

 Mengenang 30 tahun wafatnya Buya Hamka. Jika kita merunut daftar nama ulama Indonesia yang paling populer, maka akan muncul nama Buya Hamka di peringkat pertama. Siapa yang tak kenal dengan beliau, salah satu dari sedikit orang Indonesia yang memiliki talenta beraneka ragam. Pandai berorasi, pintar berceramah, jago berorganisasi, serta luwes dalam pergaulan. Dalam setiap profesi yang ia tekuni, entah itu sebagai ulama, sastrawan, wartawan, ataupun politisi, namanya selalu berkibar. Kepandaiannya berpidato, mampu memikat hati jutaan pendengar. Jika orang berpidato berjela-jela, yang semula enak jadi

membosankan. Sedangkan Buya selagi asyik kita merenungkan uraiannya, tak terasa sudah berada di penghujung kalam. Itulah Hamka, pandai menakar dan bisa menempatkan sesuatu sesuai dengan porsinya. Sedikit yang diberikan, namun memiliki kesan cukup mendalam. Hamka juga salah seorang yang mahir dalam menulis. Kehebatannya menorehkan tinta, setara dengan kemampuannya berpidato. Beliau termasuk salah seorang penulis yang cukup produktif. Pada tahun 1928 disaat usianya baru menginjak 20 tahun, dia telah menerbitkan buku. Sejak masa itu hingga akhir hayatnya, Hamka telah menulis lebih dari 100 judul buku. Belum lagi artikel yang terbit di berbagai media cetak nasional maupun asing, tak terbilang jumlahnya. Karya-karya tulisnya sungguh mengagumkan. Hampir semuanya menjadi best seller , dan selalu dicetak ulang oleh penerbit. Melalui magnum opus-nya : Tafsir Al-Azhar, Hamka merupakan sedikit dari orang Indonesia yang mampu menguraikan isi Al-Quran secara gamblang. Karya tafsirnya bisa disejajarkan dengan tafsir lainnya yang lahir di abad ke-20, seperti Al-Manar (karya Rasyid Ridha) dan Fi Zhilalil Quran (Sayyid Quthb).

Hamka di tengah-tengah keluarga Melalui buku-bukunya, Hamka sering pula memberikan kajian tasauf. Yang paling terkenal adalah Tashawwuf Modern, yang terbit pada tahun 1939. Dalam buku ini Hamka menguraikan tentang konsep hidup zuhud, yang tidak demam kepada kemegahan, pangkat, dan harta benda. Selain itu Hamka banyak pula menulis buku-buku pencerahan, seperti : Falsafah Hidup, Lembaga Hidup, Kenang-kenangan Hidup, dan Ayahku. Buku ini banyak berkisah tentang riwayat hidup serta pandangannya mengenai way of life. Dan tema kajian semacam ini sering pula disampaikannya dalam ceramah agama on-air , melalui stasiun RRI ataupun TVRI. Sehingga dari materi-materi inilah kemudian, sosok beliau melekat di hati masyarakat luas. Di samping buku-buku agama, Hamka juga banyak menulis karya sastra. Lewat novel, Hamka memberikan pencerahan sekaligus kritik terhadap adat yang dianggapnya usang. Poligami, kawin sesuku, serta budaya matrilineal yang berkembang di Minangkabau, menjadi sumber cerita dan kritik Hamka. Tiga novelnya yang cukup terkenal yaitu : Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936), Tenggelamnya

Kapal Van Der Wijck (1937), dan Merantau Ke Deli (1940). Ketiganya bermula dari cerita bersambung yang diterbitkan oleh majalah Pedoman Masyarakat, Medan. Namun melihat animo masyarakat yang begitu luas, penerbit Balai Pustaka menyunting cerita tersebut dan menjadikannya novel. Dari buah karyanya itu, Hamka kemudian tampil sebagai sastrawan terkemuka. Novelnya yang paling laris Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, telah dicetak sebanyak 32 kali. Dan popularitas Di Bawah Lindungan Ka’bah, menarik minat Asrul Sani untuk mengangkatnya ke layar lebar. Meski kedua novel tersebut mendapat apresiasi cukup besar, namun pada novel Merantau Ke Deli-lah Hamka merasakan kepuasannya sebagai seorang pengarang. Kehebatan Hamka dalam bercerita, disebabkan luasnya pergaulan dan jauhnya perjalanan beliau. Semasa muda Hamka seorang yang pelalar. Ke hilir ke mudik, berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya. Pergaulannya dengan tukang-tukang kaba, memberikannya pengetahuan tentang seni bercerita dan mengolah kata-kata. Dari sinilah kemudian dia berkreasi, menuangkan apa-apa yang dilihat dan dipikirkannya. Kontribusi Hamka dalam memperkaya Bahasa Indonesia tak terbantahkan lagi. Melalui novel-novelnya, beliau sering mencomot kosa kata dan istilah Minangkabau untuk kemudian diindonesiakan. Seperti halnya sastrawan yang lahir di ranah Minang, pantun dan petatah-petitih menjadi bumbu dalam penulisan karya-karyanya.

Satu set Tafsir Al Azhar Tahun 1955, Hamka terpilih sebagai anggota Konstituante mewakili Partai Masyumi. Bersama Mohammad Natsir, Mohammad Roem, dan Isa Anshari, beliau menjadi pihak yang paling konsisten memperjuangkan syariah Islam menjadi dasar negara Indonesia. Namun segala usahanya itu kandas, setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisi pembubaran Dewan Konstituante. Pada tahun 1964, tanpa melalui persidangan umum, Hamka dijebloskan ke dalam pe njara. Tuduhannya : rencana pembunuhan terhadap Presiden Soekarno. Suatu perkara yang dibuat-buat orang komunis, untuk menyingkirkannya dari pentas politik tanah air. Meski dizalimi pihak penguasa, namun Hamka tetap ikhlas dan bersyukur. Lantaran masuk penjara itulah kemudian beliau bisa menyelesaikan karya terbesarnya, Tafsir Al-Azhar. Hamka memang seorang pujangga tulen. Di tengah gelora pidato Natsir dalam sidang Dewan Konstituante, dia sempat menggoreskan penanya. Berikut puisi gubahan Hamka yang diberi judul : Kepada Saudaraku M. Natsir. “Meskipun bersilang keris di leher / Berkilat pedang di hadapan matamu / Namun yang benar kau sebut juga benar / Cita Muhammad biarlah lahir / Bongkar apinya sampai bertemu / Hidangkan di atas persada nusa / Jibril berdiri sebelah kanan-mu / Mikail berdiri sebelah kiri / Lindungan Ilahi memberimu tenaga / Suka dan duka kita hadapi / Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu / Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi / Ini berjuta kawan sepaham / Hidup dan mati bersama-sama / Untuk menuntut Ridha Ilahi / Dan aku pun masukkan / Dalam daftarmu …….!” Begitulah gaya bahasa Hamka, efisien namun penuh makna.

Sebagai wartawan prestasinya-pun cukup mengkilap. Di usianya yang masih belia, Hamka telah menjadi wartawan di beberapa surat kabar, seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau ditunjuk menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Dan empat tahun kemudian, menerbitkan majalah Al-Mahdi di Makassar. Pada tahun 1936 ia kembali ke Sumatera, untuk menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam. Meskipun pendidikan formal hanya ditempuhnya hingga kelas dua Sekolah Dasar, namun predikit Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar (1958) dan Universitas Kebangsaan Malaysia (1974), telah mengangkat derajatnya melebihi para sarjana yang memperoleh gelar melalui bangku sekolah.

Hamka saat berpidato di tengah-tengah umat Pada tahun 1975 pemerintah mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan dua tahun kemudian Hamka ditunjuk sebagai ketua umumnya. Meskipun beliau berada di dalam badan pemerintahan, pendiriannya yang teguh tak menghalanginya untuk bersuara lantang. Pada tahun 1981, beliau mengundurkan diri sebagai ketua umum MUI. Cara ini sebagai bentuk ketidaksetujuannya atas penyelenggaraan Natal bersama di kalangan umat muslim. Tidak lama setelah itu, Hamka berpulang ke rahmatullah. Untuk mengenang dan menghormati jasa-jasanya, namanya diabadikan dalam sebuah universitas milik perserikatan Muhammadiyah : Universitas Muhammadiyah Buya Hamka (Uhamka). 30 tahun sudah Hamka wafat, namun belum ada seorang-pun yang mampu menggantikan peran dan figurnya. Peran dan figur yang didambakan kehadirannya. Terlebih di saat bangsa ini mengalami krisis moral yang cukup serius. http://afandriadya.com/2011/03/21/hamka/

Tidak belajar di sekolah resmi, SD ia tak tamat, tapi beliau dapat gelar Doktor dan professor. Salah satu Mahakarya buya adalah Tafsir Al-Azhar (dijual di rumah depan yang aku datangi tadi, tapi tak sempat aku beli). Karya tersebut dihargai dengan gelar Professor dari Universitas Al-Azhar di Mesir. Tafsir Al-Azhar adalah mahakarya, karena menafisrkan 30 juz isi Al- Qur‘an tetapi dengan bahasa yang ringan, sehingga mudah dipahami. Perlu diingat, ini tafsir , bukan terjemahan. Ironisnya, beliau menyelesaikan karya itu di dalam penjara. Dipenjara oleh sahabatnya sendiri, Bung Karno ketika ia tidak setuju dengan pemikiran asas Nasakom Soekarno. Menurut Buya, agama tidak dapat dicampur dengan komunis. Namun ketika Bung Karno meninggal, beliau yang menjadi imam shalat jenazah alm. Kemudian ada yang bertanya,

“kenapa buya mau menyolatkan orang yang sudah memenjarakan buya‖? Beliau menjawab, “karena Bung Karno sahabat saya”. *saya semakin kagum dengan kebesaran hati beliau. Setelah berakhirnya zaman orde lama, maka berganti dengan Presiden yang baru di orde yang baru, Soeharto. Pemerintah berusaha mendekat dengan Buya. Buya diberi kesempatan berceramah setiap subuh dan disiarkan langsung melalui RRI, ceramah rutin di TVRI dan beberapa kali diundang berceramah di Istana. Kemudian pemerintah membentuk lembaga Mejelis Ulama Indonesia (MUI) yang tujuannya untuk menjembatani antara pemerintah dan rakyat dalam bidang agama. Pada tahun 1975, beliau ditawarkan menjadi Ketua MUI. Banyak  orang yang meragukan keputusan buya menerima jabatan itu, karena walaupun jabatan agama, sekaligus jabatan itu dekat dengan kepentingan politik. Tetapi buya dapat menjalankan keindependen-an lembaga yang dipimpinnya. Beliau lebih memilih berkantor di Masjid Al-Azhar dari pada di Masjid Istiqlal. Beliau juga menolah menerima gaji sebagai Ketua MUI. Ke-independen-an MUI semakin terlihat pada awal 1980-an, seiring dengan semakin seringnya buya tampil berceramah. Puncaknya saat itu MUI melawan kebijakan pemerintah, instansi dan masyarakat diajak untuk mengikuti kegiatan Natal bersama untuk mendukung semangat toleransi dan Pancasila. Karena banyak umat Islam yang kebingungan, maka MUI mengeluarkan fatwa haram mengikuti Natal bersama. Sekali lagi, beliau melawan presiden. Menurut buya, hubungan antar umat beragama adalah keharusan, tapi ada batasannya. Ketika masuk ke wilayah ibadah, satu sama lain tidak bisa digabungkan. Toleransi antar umat beragama cukup pada tahap tidak  mengganggu satu sama lain saat ibadah.

Tidak lama setelah mengeluarkan fatwa itu, Buya dapat tekanan dari pemerintah. Namun Buya tak takut pada pemerintah, apalagi saat itu beliau menolak menerima gaji dari Negara sebagai Ketua MUI. Setelah peristiwa itu, buya mengundurkan diri dari jabatan Ketua MUI pada 21 Mei 1981 dan memilih fokus untuk berdakwah. Tidak lama setelah mengundurkan diri, beliau meninggal dunia pada tanggal 24 Juli 1981, tepat hari Jum‘at. Seluruh umat bersedih, tokoh lintas agama, muda, tua, banyak prang merasa kehilangan, tokoh besar yang jadi panutan. Rasanya wajar jika sejarah hidup beliau di museumkan.

Di Bawah Lindungan Ka'bah HAMKA : ” Novel Ta'limi, Imajinatif dan Berakidah" Oleh : Drs. Yulizal Yunus, M.Si (Dosen Sastra Arab FIBA/Kapuslit IAIN Padang)

Skh. Haluan menurunkan novel ―Di Bawah Lindungan Ka‘bah‖ sebagai cerbung setiap hari mulai selasa ini, patut diberi apresiasi. Setidaknya ada tiga hal yang paling mendasar. Pertama penting bagi penikmat sastra di kalangan muda. Fakta ilmiah, Tim Universitas Insaniah Kedah kerjasama Puslit IAIN Imam Bonjol, meneliti Hamka 2010, ditemukan anak muda Malaysia dan Indonesia nyaris tak kenal lagi Hamka sebagai seorang sastrawan, karena di sekolah tidak muncul lagi ada kajian karya sastranya, guru dan pelajaran bahasa Indonesia tidak  berpihak lagi kepada sastra lama, Bahasa Indonesia hanya untuk UN saja.

Kedua penting bagi sastrawan muda. Secara faktual dewasa ini, hampir karya sastra termasuk  yang disinetronkan di tv terkesan tidak at home di negeri sendiri, konflik panjang-panjang menghilangkan kesan natural dan tak berakar pada budaya sebagai roh dan identitas bangsa sendiri. Ketiga, penting bagi ulama sekarang. Hamka sebagai seorang ulama memandang sastra, sangat intens dan fenomenal. Beda dengan ulama sekarang nyaris meninggalkan sastra dan dunia imajinasi, padahal sastra tak lepas dari kehidupan umat dan sering menyulut akidah. Hamka seperti juga ulama legendaries Minangkabau sampai abad ke-20, justru mereka sudah menciptakan tradisi menulis sastra sekaligus menemukan sistem sastra klasik meminjam istilah Braginsky (1998) sebagai sistem antropomorfik untuk membentuk manusia menjadi makhluk  rohani. Hamka dengan novelnya ‖Di Bawah Lindungan Ka‘bah‖ mengesankan betapa seorang ulama mentradisikan menulis sastra untuk mengikat kuat pertalian imajinasi dengan akidah dan membuat orang punya nurani, halus dan santun. Sepertinya tidak mau terulang fenomena Panjikusmin dalam berimajinasi menyulut akidah dan membuat heboh umat. Hamka dalam novel agungnya ini dan sudah difilmkam, mampu mempertautkan imajinasi dengan basis akidah yang kuat, tanpa disadari novel dit ulisnya untuk aghradh (misi tema) meminjam istilah Emil Ya‘qub (1987) sebagai al-adab al-ta‘limiy (sastra didaktik) mentransformasikan fakta pengetahuan empiris dengan teknik bersastra dan ‖ta‘lim‖ (pengajaran) serta karakter prilaku akhlak Islam yang kukuh akidah dan syari‘ahnya. Kepiawaian Hamka dalam menjalin unsur sasta Islami: pengajaran yang indah, hikmah dan irsyadah (panduan ke jalan yang benar) plus unsur estetika, erotika yang tidak terlepas dari kontrol etika, tidak kurang membuat cerita dua kekasih Hamid  –  Zainab ini dapat yuhadhid sami‘ (membuai penikmat sastra), terempati, hanyut berlinang air  mata dalam alur cerita. Pasalnya Hamka pandai benar menceritakan bagaimana Hamid  – Zainab terhalang menyatukan kasihnya bukan karena norm adat, tetapi terkekang prilaku orang/ mamak  minang dalam sistem penjodohan. Zainab sakit-sakitan menahan rindu sampai mati dalam pingitan. Hamid sedih dan sakit, karena sayup, kekasihnya duluan wafat, saat ia sudah bertekad dari Mekah pulang menemui kekasihnya ini. Konvensasi Hamid teguh pada sikap muslimnya menyempurnakan ibadah haji di Baitullah. Namun juga tak tercapai oleh nafasnya, sehabis wuquf di Arafah besama temannya Saleh suami dari Rosna teman akrab Zainab, menjelang ke Mina ia terjatuh, digendong seorang Badui ke Ka‘bah. Dalam lidahnya bermunajat kepada Allah yang maha pengasih maha penyayang, suaranya tertelan, ia wafat saat memegang kain kiswah  penutup ka‘bah. Novel ini imajinatif antara dimensi cinta – prilaku tokoh adat – akidah, yang mengajarkan berimajinasi perlu kuat akidah dalam prilaku.

Buya Hamka : Karismatik dan Sederhana

Sepanjang hayat, Hamka memang mengedepankan integritas. Keberaniannya tersebut, juga didasarkan atas persoalan paling penting dalam hidup, yakni integritas itu tadi. Ketika integritas sudah diabaikan dan berganti dengan ketidakadilan dan kewenang-wenangan, Hamka pun melawan. Dia tidak peduli, meski untuk itu dia harus menerima ganjaran jeruji besi oleh Pemerintahan Soekarno. Ketika itu, dia dijebloskan ke penjara dengan tudingan makar dan ikut Gerakan Anti Soekarno (GAS). Selepas dari penjara, 1966, Hamka tetap ulama yang juga politikus. Hamka, kemudian terpilih sebagai ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada 1975 oleh pemerintahan Orde Baru. Dan, pada periode berikutnya, dia pun terpilih kembali. Namun itu tadi, kesediaannya menjadi Ketua MUI tidak dilakukan tanpa syarat, namun disertai dengan komitmen tinggi untuk menjaga integritas. Pantang baginya disuap, untuk kepentingan siapapun, bahkan kepentingan penguasa sekalipun. "Kalau saya diminta menjadi ketua Majelis Ulama, saya terima. Akan tetapi ketahuilah, saya sebagai ulama tidak dapat dibeli," ujarnya kala itu. Begitulah Hamka, yang kharismatik, berintegritas tinggi, dan sederhana. Sikap tersebut, seakan menjadi identitas penulis buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Dalam Lindungan Ka'bah, yang juga pernah menjadi wartawan beberapa surat kabar, termasuk Panji Masyarakat ini. Apa buktinya? Banyak. Salah satunya, bahwa sikap tersebut ternyata juga diperlihatkan Hamka kepada lingkungan terkecilnya. Pria berdarah Minang itu, selalu menanamkan nilai-nilai kesederhanaan dan integritas kepada anak dan istrinya. Alhasil, keluarga Hamka pun menjadi keluarga sederhana yang selalu mensyukuri apa yang diberikan Sang Khaliq. Ada satu cerita mengenai kesederhanaan keluarga Hamka. Saat itu, ketika mereka sedang berkumpul di rumah, tiba-tiba hujan deras mengguyur. Saking derasnya, terjadilah kebocoran di beberapa bagian rumah yang memang kurang layak itu. Mereka pun panik dan berusaha mencari beberapa wadah untuk menampung air yang bocor.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF