April 9, 2018 | Author: _indriastuti_ | Category: N/A
Belajar dan Mengajar Matematika Anak Usia Dini1 Oleh Tatag Yuli Eko Siswono (
[email protected]) Universitas Negeri Surabaya Kampus Ketintang Surabaya 61231
Pendahuluan Matematika merupakan bagian penting dari kehidupan manusia. Disadari maupun tidak sebenarnya seseorang tidak lepas dengan matematika. Ketika bangun tidur, dilihatnya jam dinding, seseorang telah melihat angka demi angka, simbol bilangan dalam matematika. Jarum jam pendek maupun panjang menunjuk pada ukuran waktu pada saat itu. Bila jarum panjang tepat pada angka 3 dan jarum pendek mendekati lebih sedikit 7, maka waktu menunjukkan pukul 7.15. Ada kesepakatan angka-angka dan aturan-aturan yang tersembunyi pada angka-angka pada jam itu. Kegiatan lain pada jual beli maupun perdagangan, matematika mutlak digunakan. Misalkan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih dari Rp250.000,00 dengan modal sebesar 1 juta rupiah, seorang pedagang akan merencanakan membeli dagangan-dagangan tertentu yang memungkinkan mendapatkan laba sebesar yang diinginkan. Di sini bergerak imajinasi matematisnya, menghitung harga dan jenis barang yang akan dijual. Bilangan-bilangan matematis menggambarkan sebuah harga maupun banyak suatu barang. Contoh-contoh ini merupakan bagian kecil dari matematika yang luas dan tidak sekedar bilangan saja. Matematika merambah pada semua segi kehidupan, sehingga dipandang penting mengenalkan dan mengajarkan matematika sejak dini. Meskipun banyak yang memahami akan penting dan manfaat matematika, kenyataannya matematika masih dianggap momok yang mengerikan. Matematika dianggap sulit, matematika kaku, hanya satu jawaban yang benar, dan memasung pemikiran seseorang, sehingga tidak kreatif karena hanya satu jawaban yang pasti. Pandangan-pandangan tersebut sebenarnya menyesatkan. Matematika memang bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi dengan penanganan yang benar dan cara-cara mengenalkan serta belajar yang menarik, akan mendorong anak menyukai dan tidak takut dengan kecantikan matematika. Anak sejak dini perlu belajar matematika, bergelut, dan merasakan matematika sebagai bagian kehidupannya. Interaksi dan aktifitasnya bekerja menggunakan matematika harus menantang, menarik, dan menjadi kebutuhannya, bukan karena dipaksa atau terpaksa. Dengan demikian, perlu cara-cara dan strategi yang benar sesuai dengan karakteristik anak maupun matematika itu sendiri. Jangan sampai belajar anak yang masih pada usia dini hanya menfotokopi cara belajar orang dewasa atau seperti kebutuhan anak yang memiliki tingkat kematangan berpikir yang tinggi. Mengajarkan matematika melalui pendekatan psikologi anak dan karakter berpikir anak merupakan cara yang efektif dan pilihan masuk akal bagi guru-guru pra TK maupun TK. Untuk lebih memberikan gambaran bagaimana seharusnya belajar dan mengajarkan matematika bagi anak usia dini, maka pada tulisan ini akan dibahas tentang apa sebenarnya matematika, bagaimana karakteristik anak dalam konteks kemampuan matematis, bagaimana anak usia dini belajar matematika yang seharusnya, dan bagaimana belajar dan mengajar bilangan. 1
Seminar Pendidikan Anak Usia Dini di Sidoarjo, 18 Pebruari 2012, Kerjasama Guru PAUD se-kabupaten Sidoarjo 1
Materi bilangan sebagai fokus pembahasan karena pada tingkat pra TK, TK sampai SD muatan kompetensi yang harus diberikan dan menjadi dasar matematika selanjutnya adalah bilangan. Hakekat Matematika Matematika sebagai ilmu memiliki banyak pengertian dan tidak ada kesepakatan tunggal dari ahli tentang definisinya. Soedjadi (2000) menyajikan beberapa definisi menurut ahli-ahli bahwa matematika adalah (1) cabang ilmu pengetahuan eksak dan terorganisir secara sistematik, (2) pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi, (3) pengetahuan tentang penalaran logik dan berhubungan dengan bilangan, (4) pengetahuan tentang fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang ruang dan bentuk, (5) pengetahuan tentang struktur yang logik, dan (6) pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat. Pandangan terhadap arti matematika itu lebih dipengaruhi oleh bidangbidang kajian matematikawan yang terkait keahliannya, seperti logika, geometri, analisis, atau terapan. The (1999) juga mencatat kumpulan pengertian matematika yang dibuat oleh ahli-ahli pada tahun 1940-an sampai dengan 1970-an. Pengertian matematika dikelompokkan: (1) matematika sebagai ilmu tentang bilangan dan ruang, (2) matematika sebagai ilmu tentang besaran (kuantitas), (3) matematika sebagai ilmu tentang bilangan, ruang, besaran, dan keluasan, (4) matematika sebagai ilmu tentang hubungan (relasi), (5) matematika sebagai ilmu tentang bentuk yang abstrak, dan (6) matematika sebagai ilmu yang bersifat deduktif. Perbedaan pengertian ini juga dipengaruhi terhadap objek-objek keahlian dari matematikawan sendiri. Di Indonesia sering digunakan kata “ilmu pasti” untuk padanan matematika, sehingga memberikan kesan bahwa pelajaran matematika berisi perhitungan-perhitungan yang memberikan hasil pasti dan tunggal, padahal sebenarnya tidak. Misalkan 2 + 2 = ... Hasilnya bisa 4, 0, atau 1 tergantung pada basis bilangan yang digunakan. Bila basisnya lebih dari 4, jawaban 4 benar. Jika basisnya 4, maka 2+2 = 0, dan jika basisnya 3, maka 2 + 2 = 1. Pandangan ini masih banyak dianut dan diyakini oleh guru-guru matematika. Sebagai bukti, guru masih mengajarkan matematika dengan cara menjelaskan langsung dan menuangkan informasi kepada anak, karena ilmu yang pasti dan mekanistis itu hanya diberikan saja tanpa harus memberikan kesempatan berpikir. Karena berpikir menjadi tidak berguna jika jawaban atau caranya hanya satu. Anak hanya perlu berlatih mengingat cara-cara mendapatkan hasilnya. Meskipun kesepakatan pengertian tidak bisa dicapai, tetapi ciri-ciri dari matematika itu dapat ditemukenali. Matematika memiliki ciri-ciri, seperti dikatakan Soedjadi (2000), yaitu: (1) memiliki objek yang abstrak, (2) bertumpu pada kesepakatan, (3) berpola pikir deduktif, (4) memiliki simbol-simbol yang kosong arti, (5) memperhatikan semesta pembicaraan, (6) konsisten dalam sistemnya. Objek matematika adalah objek mental yang tidak dapat diindera, seperti dilihat, disentuh, atau dirasakan. Objek dasar matematika yang meliputi fakta, konsep, operasi/relasi, dan prinsip hanya ada dalam pikiran manusia. Bilangan tiga, yang ditulis/diangkakan “3” merupakan fakta yang abstrak. Konsep yang merupakan ide abstrak yang digunakan untuk mengklasifikasikan sekumpulan objek juga merupakan sesuatu yang ada dalam pikiran manusia. Contoh konsep bilangan, segitiga, atau fungsi. Operasi adalah pengerjaan hitung, pengerjaan aljabar, atau pengerjaan matematika lainnya, seperti penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian, atau irisan. Prinsip adalah objek matematika yang mengaitkan fakta, konsep-konsep, dan operasioperas/relasi. Contohnya aksioma atau teorema. Ciri-ciri matematika yang dijelaskan tersebut menyiratkan bahwa matematika itu suatu pelajaran yang tidak mudah. Professor Keith Devlin, seorang matematikawan (dalam Pound, 2008) 2
mengatakan bahwa matematika itu sulit. Manusia meskipun mempunyai kemampuan instinktif untuk menggunakan pemahaman matematisnya pada dunia nyata, tetapi pikiran seseorang perlu (1) menerapkan pemahamannya pada penalaran terhadap dunia imajinasi atau dunia yang abstrak, dan sebaliknya., (2) mengembangkan pemikiran yang logis dan pembuktian yang ketat. Ketika anak akan menyeberang jalan, atau memasak makanan, sebenarnya menggunakan konsep matematika seperti berapa kecepatan untuk menyeberang, berapa banyak air, atau perbandingan beras dan airnya. Hal itu tampak mudah karena objek dilihat langsung dan tidak perlu bukti atau alasan logis, tetapi ketika belajar matematika yang abstrak, anak akan mengalami banyak kesulitan. Misalkan apakah lima lebih dari tiga dibanding delapan, apakah 2 ditambah 3 lebih dari 3 ditambah 1, atau seberapa jauh 150 kilometer itu? Karena matematika itu sulit, bagaimana menjadikan mudah? Caranya menurut Pound (2008) adalah (1) mengajarkan matematika sejak dini atau melahirkan anak yang matematis, (2) menggunakan lagu-lagu atau rima, atau puisi-puisi yang menarik, (3) membuatnya nyata, atau berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Anak sejak dini perlu dibekali kemampuan: (1) membedakan berbagai objek-objek visual dengan sebutan (verbal)-nya, menggunakan simbol noktah-noktah, atau lainnya, (2) membuat hubungan antara sejumlah bunyi-bunyian dengan sejumlah objek nyata, (3) mengenali tanda-tanda bilangan yang diambil dari sekelompok himpunan, (4) mendemonstrasikan kemampuan membedakan antara dimensi dua, seperti segitiga, persegi, dan lingkaran, (5) menunjukkan pemecahan masalah yang menarik, konsentrasikan untuk menyelesaikan masalah yang sederhana, (6) mulai dengan kategorisasi benda-benda, dan menginvestigasi sebab akibatnya, (7) mencari dan menemukan pola yang ada. Pengertian matematika yang lebih fleksibel dan digunakan pada pembelajaran adalah matematika itu sebagai sebuah ilmu tentang pola keteraturan dan urutan yang logis (Van de Walle, 2007). Pandangan ini akan lebih memberi makna terhadap pengerjaan-pengerjaan matematika baik pada tingkat dasar maupun tinggi. Contohnya bilangan dua merupakan representasi dari bendabenda yang banyaknya dua. Keteraturan dari anggota suatu himpunan yang banyaknya dua merupakan pola dan urutan yang logis. Contoh hasil belajar siswa TK dalam merepresentasikan lima (Gambar 1).
Gambar 1: Siswa TK menunjukkan pemikirannya tentang bilangan 5 Sumber: Van De Walle ( 2007:44)
Karakteristik Anak Belajar Matematika Karakteristik anak dalam belajar matematika dipengaruhi tingkat perkembangan kognitifnya. Tingkat tersebut didasarkan pada kematangan individu yang salah satunya dipengaruhi faktor usia. 3
Tingkat perkembangan kognitif individu menurut Piaget (Suherman, dkk., 2001) diurutkan sesuai usianya, yaitu (1) tahap sensori motor (dari lahir sampai umur sekitar 2 tahun), (2) tahap pra-operasi (usia 2-7 tahun), (3) tahap operasi konkrit (usia 7-11 tahun), dan (4) operasi formal (usia lebih dari 11 tahun). Pada tahap sensori motor, anak mendapatkan pengalaman melalui perbuatan fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indera). Pada awalnya pengalaman itu bersatu dengan dirinya. Dia melihat adanya suatu objek ketika ada pada penglihatannya. Perkembangan selanjutnya, anak berusaha mencari objek yang asalnya terlihat kemudian menghilang dari pandangannya, asalkan perpindahannya terlihat. Akhir dari tahap ini, anak mulai mencari objek yang hilang meskipun tidak diketahui perpindahannya. Objek mulai terpisah dari dirinya, sehingga konsep objek dalam struktur kognitifnya mula matang. Anak mulai mampu mengenali objek-objek fisik dengan simbol-simbol seperti mulai bisa berbicara meniru suara hewan. Anak usia dini termasuk pada tahap pra-operasi karena umurnya sekitar 4-6 tahun (pra TK sampai TK). Tahap ini ditandai dengan kemampuan mengklasifikasikan suatu objek, menata letak benda-benda menurut urutan tertentu (seriation), dan membilang. Pada tahap ini pemikiran anak lebih berdasarkan pada pengalaman konkrit daripada pemikiran logis, sehingga jika melihat objekobjek yang kelihatannya berbeda, maka dikatakan berbeda. Misalkan, ia mengatakan lebih banyak kelereng yang diletakkan berjauhan daripada yang berdekatan meskipun banyak sebenarnya sama. Anak belum memahami konsep kekekalan (conservation), yaitu kekekalan banyak, kekekalan materi, kekekalan panjang, kekekalan luas, dan kekekalan volum. Anak-anak itu juga belum memahami operasi reversible (berpikir kebalikan), belum dapat memikirkan dua aspek atau lebih secara bersamaan, dan belum memahami operasi transformasi. Anak SD berada pada tahap operasi konkrit, sehingga dapat mengdentifikasi konsep kekekalan, yaitu kekekalan banyak (6-7 tahun), kekekalan materi (7-8 tahun), kekekalan panjang (7-8 tahun), kekekalan luas (8-9 tahun), kekekalan berat (9-10 tahun), dan kekekalan volum (11-12 tahun). Pada tahap ini anak memahami konsep ekuivalensi dan klasifikasi. Percobaan Piaget dengan memberikan 20 bola kayu, dan diantara bola kayu itu 15 bola berwarna merah. Pertanyaannya adalah manakah yang lebih banyak bola kayu atau bola berwarna merah? Jawaban anak pada tahap pra operasional adalah bola merah, sedangkan anak pada tahap operasi konkrit menjawab bola kayu. Tahap selanjutnya adalah tahap operasi formal dialami anak usia SMP (lebih dari 11 tahun). Tahap ini penggunaan benda-benda konkrit tidak diperlukan lagi. Anak sudah dapat melakukan penalaran tanpa berhadapan dengan objek langsung. Penalarannya menggunakan simbol-simbol, ide-ide, abstraksi, dan generalisasi. Perbedaan karakteristik anak pada tingkat tersebut perlu menjadi perhatian dalam mengenalkan matematika sesuai tingkat kognitifnya. Siswa pra TK sampai TK tidak perlu dipaksakan dapat menjumlahkan bilangan 7 ditambah 8, apalagi dengan metode menyimpan. Hal tersebut karena kemampuan kekekalan banyak belum dikuasai. Demikian juga dengan mengatakan bahwa 5 dikurangi 3, itu sama dengan 3 ditambah berapa yang sama dengan 5. Karena kemampuan reversible belum dipahami. Kemampuan yang bisa dilakukan anak pada tingkat itu adalah membilang, mengklasifikasikan benda-benda sesuai banyaknya, atau menghitung untuk mendekati kemampuan kekekalan banyak, materi, atau panjang. Paund (1999) menjelaskan karakteristik perkembangan matematis anak mulai 0 sampai 5 tahun. Tingkatan umur menurutnya hanya sebagai petunjuk perkembangan matematis, hal yang kuat adalah pengaruh budaya ketika mereka tumbuh. Anak-anak umumnya sangat memperhatikan aspek-aspek budaya yang dikenalkan orang-orang dalam kehidupannya. Anak-anak belajar matematika tidak secara linear, belajar satu hal kemudian hal lainnya. Proses belajarnya merupakan 4
hal yang kompleks. Perkembangan berpikir anak umur 0 sampai 3 tahun diawali dengan kemampuan merasakan adanya dunia sekitar. Mereka belajar tentang kuantitas suatu objek yang sama dengan jari-jarinya dan menyadari akhirnya suatu objek bisa lebih dari yang ada di tangannya. Dia sudah dapat menentukan apakah menyukai dua atau tiga wortel yang manis. Dia juga menyadari ada satu atau dua lagu yang harus didengarkan sebelum tidur. Pemahaman ini tumbuh sepanjang pengalamannya dalam dunia nyata. Anak jarang berpikir untuk menghitung sesuatu, tetapi konsep itu tumbuh sebagaimana dia mendengarkan bahasa sekitarnya tentang bilangan. Menghitung merupakan suatu ritual yang diucapkan saja sebagaimana lagu-lagu yang tidak dipahami maknanya. Anak menunjukkan kemampuan subitizing. Mereka dapat mengenali suatu kelompok lebih dari tiga, menunjukkan keheranan ketika objek-objek itu ditambahkan atau dikurangkan dari kelompokkelompok itu. Doman & Doman (dalam Paund, 1999) mengklaim bahwa anak-anak dapat dilatih sejak baru lahir mengenal kelompok-kelompok noktah-noktah dalam duabelasan, limabelasan, dan bahkan tujuhbelasan. Anak-anak kurang dari enam bulan dapat memasangkan dua atau tiga kotak-kotak pada bilangan yang sama dan mereka sudah dapat menandai operasi sederhana kelompokkelompok lebih dari tiga objek tetapi hasilnya belum benar. Mereka belajar waktu dan pola seperti menyadari perubahan hari, ritme, dan lagu. Anak juga belajar tentang jarak, mereka berusaha menjangkau objek-objek yang dekat maupun jauh. Anak juga menyadari ukuran dan bentuk dari objek-objek di sekitarnya. Anak pada tahap ini menunjukkan aktivitas yang terkait dengan bendabenda fisik, dikatakan Bruner sebagai enaktif atau sensorimotor menurut Piaget. Anak pada tahap representasi simboliknya ini menggambarkan suatu objek, misalkan truk dengan suara “duk dudk..”. Simboliknya masih digambarkan sebagai tindakan fisik. Perkembangan berpikir matematis anak dari 3 sampai 5 tahun ditandai dengan anak-anak berusaha merepresentasikan pemahaman matematisnya melalui simbol-simbol yang didasarkan pada gabungan simbol-simbol yang ditemukan sendiri dan yang didapat dari refleksi budaya sekitarnya. Anak sudah dapat membedakan antara bilangan-bilangan dan huruf, meskipun mereka tidak yakin mana label yang benar. Anak sudah memiliki kemampuan untuk menciptakan suatu simbol untuk membantu mereka mengingat bilangan-bilangan. Anak dapat mengingat bilangan dalam situasi yang bermakna. Anak bahkan sudah dapat merepresentasikan nol yang sebenarnya relatif terakhir untuk bilangan. Anak mulai menyadari relasi matematis, meskipun ukuran dan kuantitasnya bersifat personal dan idenya subjektif. Ketika menggambarkan keluarganya, dia diidentifikasi yang lebih kecil daripada ukuran anggota keluarga lainnya. Anak umur 4 tahun mulai menghitung segala hal. Anak mulai mengidentifikasi sesuatu berdasar banyaknya. Menghitung memerlukan kemampuan yang lebih dan tiap anak tidak sama perkembangannya. Kadang anak tidak memiliki nama untuk suatu kelompok sesuatu, dia hanya mengatakan “banyak” bukan “tiga” atau lainnya. Anak masih memiliki keterbatasan untuk melakukan operasi bilangan yang sederhana. Pada tahap ini seharusnya diberikan pengalaman yang berkaitan dengan kemampuan matematis, karena anak-anak yang berbakat matematis di sekolah adalah mereka berasal dari keluarga yang terbiasa dengan menggunakan simbol-simbol matematis seperti penggunaan kalender, kalkulator, atau waktu. Perkembangan anak pada umur 5 tahun sudah berminat menyajikan ide-ide dan objek-objek melalui berbagai media. Anak pada masa itu sudah mulai kesiapannya menggunakan simbol-simbol untuk mewakili simbol lainnya. Anak pada saat ini juga mulai kehilangan antusiasnya untuk belajar matematika karena memasuki masa sekolah. Hal tersebut terjadi jika di sekolah mulai diajarkan
5
matematika yang semi formal dan prosedural. Untuk itu kegembiraan anak ketika belajar perlu tetap dijaga, agar mereka tetap menyukai matematika dan belajar terus menerus.
Belajar Matematika Anak Usia Dini Pola belajar anak usia dini sebenarnya mengikuti karakteristik dari anak itu sendiri. Schwartz (2005:3) menjelaskan bahwa anak dalam belajar matematika memiliki ciri, yaitu (1) anak-anak dapat menggunakan pengetahuannya, tetapi tidak dapat mengungkapkan pengetahuan tersebut, dan (2) anak mendapatkan pengetahuan dari konteks sosial dan interaksinya dengan orang lain. Ciri pertama sebenarnya dialami hampir semua tingkat perkembangan kognitif anak, tetapi porsi terbesar oleh anak pada pra konkrit dan konkrit. Anak-anak tersebut sudah cukup memiliki pengetahuan dan dapat mengaplikasikan, tetapi sulit mengartikulasikan. Anak juga mendapatkan pengetahuan lebih karena interaksi dengan konteks sosial yang berbeda-beda. Pandangan ini dipengaruhi oleh Vygotsky sebagai tokoh konstruktivisme sosial. Schwartz (2005) menekankan bahwa bermain untuk melatih pemahaman dan keterampilan siswa, meskipun permainan atau aktivitas bermain merupakan aktivitas yang dapat berfungsi untuk pengembangan dan belajar aspek lain. Mooney, et.al (2008) menjelaskan bahwa anak belajar matematika melalui permainan dan eksplorasi seperti bercerita, mendengarkan cerita, dan membuat cerita, bernyanyi, permainan imajinatif, maupun bermain peran. Kegiatan-kegiatan tersebut lebih menarik dan menyenangkan siswa terlibat dalam aktifitas-aktifitas yang mencakup dunianya. Schwartz (2005) memberikan petunjuk/aturan tentang pembelajaran matematika untuk anak, yaitu (1) anak belajar dari konkrit menuju yang representasional, hingga pemikiran abstrak, (2) pemahaman awal anak terhadap matematika tumbuh melalui pengalaman-pengalaman dalam membuat kumpulan objek-objek konkrit, (3) kemajuan awal anak dimulai dari yang sudah diketahui menuju yang tidak diketahui, (4) anak belajar matematika dari pengetahuan yang sederhana menuju pengetahuan dan keterampilan yang kompleks. Rambu-rambu ini mengarahkan pada pembelajaran matematika bagi siswa pra TK maupun TK yang bermakna sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik perkembangan kognitifnya. Belajar dan Mengajar Bilangan Bilangan merupakan materi yang esensial dan menempati porsi terbesar bagi siswa pra-TK, TK, maupun SD. Bilangan menjadi dasar dan fondasi konsep matematika selanjutnya. Oleh karena itu, sangat perlu mendapat perhatian agar di awal usia belajar matematika dapat mengubah sikap siswa menjadi mencintai matematika. Van de Walle (2007) menjelaskan bahwa standar profesional dalam pengajaran matematika yang diperlukan agar siswa dapat mengembangkan kemampuan matematikanya, adalah guru perlu: (1) mengubah kelas dari sekedar kumpulan siswa menjadi komunitas matematika, (2) menjadikan logika dan bukti matematika sebagai alat pembenaran dan menjauhkan otoritas guru untuk memutuskan suatu kebenaran, (3) mementingkan pemahaman daripada hanya mengingat prosedur, (4) mementingkan memberi dugaan, penemuan, dan pemecahan masalah dan menjauhkan penemuan yang secara mekanistis, dan (5) mengaitkan matematika, ide-ide, dan aplikasinya, dan tidak memperlakukan matematika sebagai kumpulan konsep dan prosedur yang terasingkan. Kewajiban guru matematika termasuk guru pra-TK, TK, dan SD mengubah kondisi dan situasi pembelajaran matematika yang lebih profesional memenuhi tuntutan masa depan. 6
Schwartz (2005:62) menjelaskan ada dua macam pemahaman yang diperlukan anak untuk dapat “membilang” yang rasional, yaitu pemahaman tentang konsep himpunan (kelompok objek), dan keterampilan menggunakan proses pembilangan yang rasional atau pembilangan banyaknya suatu anggota himpunan. Dalam pelajaran membilang menurut Schwartz (2005) berkembang 5 kemampuan, yaitu (1) kepekaan terhadap himpunan (a sense of set), (2) kesadaran terhadap kuantitas numerik tanpa menggunakan bilangan, (3) keakraban dengan urutan penyebutan kata pembilangan, (4) korespondensi satu-satu antara dua himpunan benda yang konkrit, dan (5) kemampuan mengorganisasikan dan mengikuti Gambar 2: Anak membilang dengan aturan secara mental. jemarinya Membilang bagi orang dewasa merupakan aktivitas yang dilakukan otomatis tanpa berpikir, tetapi bagi anak merupakan aktivitas yang tidak mudah. Mooney, et.al (2008) menjelaskan prasyarat dalam membilang maupun menghitung adalah anak sudah (1) mengetahui nama-nama bilangan berurutan, (2) memahami pemasangan satu-satu atau korespondensi satu-satu, dan (3) mengetahui nama bilangan terakhir sebagai banyaknya anggota himpunan. Tidak semua anak dapat stabil membilang suatu kumpulan objek, sehingga perlu dilatihkan dengan bernyanyi atau aktivitas berirama lainnya. Penutup Mengajarkan matematika bagi anak usia dini bukanlah perkara yang mudah, terutama mengenai bilangan. Saya memberikan rasa hormat dan penghargaan bagi bapak-ibu guru yang mengabdikan diri untuk tugas tersebut. Ibarat kanvas lukisan, mereka masih kosong dan mungkin hanya beberapa goresan cat yang sederhana di dalamnya. Bila garis-garis yang dibuat itu tepat dan sesuai dengan warna maupun tekstur kanvasnya, maka akan indah dipandang dan menjadi cantiklah lukisan itu. Namun, bila kesalahan sedikit menggores kanvas, maka akan menjadi ketakutan dan kemuraman lukisan yang dihasilkan. Dengan demikian perlu ketepatan, perhatian, dan berbagai pertimbangan mengajarkan konsep-konsep matematika pada anak usia dini, sehingga anak nantinya termotivasi, lebih memahami, tidak bertentangan dengan pengetahuan yang akan dipelajari, dan anak akan menyukai matematika. Semoga bermanfaat dan menjadi bahan diskusi selanjutnya. Tidak ada gading yang tak retak. Mohon maaf, jika terjadi kekhilafan dan kesalahan.
7
Daftar Pustaka Mooney, Claire., Briggs, Mary., Fletcher, Mike., Hansen, Alice., McCullouch, Judith. 2009. Primary Mathematics: Teaching, Teory, and Practice. Exeter: Learning Matters Pound, Linda. 2008. Thinking and Learning about Maths in the Early Years. New York: Routledge Pound, L. 1999. Mathematics at Home and at School. In: Supporting Mathematical Development in the Early Years. Buckingham: Open University Press, pp 1-15 Schwartz, Sydney L. 2005. Teaching Young Children Mathematics. Westport, CT: Praeger Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia: Konstatasi Keadaan Masa Kini Menuju Harapan Masa depan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Suherman, Erman, dkk. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICAUniversitas Pendidikan Indonesia (UPI) The Liang Gie. 1999. Filsafat Matematika: Epistemologi Matematika. Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguna Van de Walle, John A. 2007. Matematika Sekolah Dasar dan Menengah: Pengembangan Pengajaran (Terjemahan oleh Suyono dari Elementary and Middle School Mathematics. Sixth edition). Jakarta: Erlangga Van de Walle, John A., Karp., Karen S., Bay Williams, Jennifer M. 2010. Elementary and middle school mathematics: teaching developmentally. Seventh edition. Boston: Allyn and Bacon
Contoh Aktivitas Belajar Matematika Sebuah batangan seperti gambar di bawah.
Batangan tersebut dapat dipotong menjadi dua bagian seperti gambar berikut.
Berapa banyak cara kamu dapat membaginya menjadi 2 bagian itu?
8
Hitunglah banyak persegi berikut.
9