Bahasa Dan Aksara Simalungun

September 15, 2021 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Bahasa Dan Aksara Simalungun...

Description

BAHASA DAN AKSARA SIMALUNGUN Suku Simalungun menggunakan Bahasa Simalungun (bahasa simalungun: hata/sahap Simalungun) sebagai bahasa Ibu. Derasnya pengaruh dari suku-suku di sekitarnya mengakibatkan beberapa bagian Suku Simalungun menggunakan bahasa Melayu, Karo, Batak, dan sebagainya. Penggunaan Bahasa Batak (bahasa batak toba) sebagian besar disebabkan penggunaan bahasa ini sebagai bahasa pengantar oleh penginjil RMG yang menyebarkan agama Kristen pada Suku Simalungun. Bahasa Batak Simalungun yang lebih lazim disebut "Bahasa Simalungun" termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia, cabang terbesar dalam rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Simalungun termasuk salah satu bahasa Batak. Oleh P. Voorhoeve, seorang ahli bahasa yang pada tahun 1930-an menjabat sebagai taalambtenaar (pegawai bahasa) di Simalungun menyatakan bahwa bahasa Simalungun berada pada posisi menengah antara rumpun Batak Utara dan rumpun Batak Selatan. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh A. Adelaar menunjukkan bahwa bahasa Simalungun sesungguhnya merupakan cabang dari rumpun Batak Selatan yang terpisah dari bahasa-bahasa Batak Selatan sebelum terbentuknya bahasa Toba atau Mandailing yang sekarang. Hal itu sering diinterpretasikan seolah-olah bahasa Simalungun "lebih tua" daripada bahasa Toba atau Mandailing namun pandangan itu keliru. Beberapa kata dalam bahasa Simalungun memang memiliki persamaan dengan bahasa Toba atau Karo yang ada di sekitar wilayah tinggalnya suku Simalungun, namun menurut Pdt. Djaulung Wismar Saragih banyak kata yang penulisannya sama dalam bahasa Simalungun dan Toba namun memiliki makna yang berlainan. Henry Guntur Tarigan membedakan dialek bahasa Simalungun ke dalam 4 macam dialek: 1. Silimakuta. 2. Raya. 3. Topi Pasir (Horisan). 4. Jahe-jahe (pesisir pantai timur) Aksara yang digunakan suku Simalungun merupakan salah satu varian aksara Batak yang di Simalungun disebut surat sampuluh siah. Aksara Simalungun diteliti oleh Profesor Dr. Uli Kozok yang juga menciptakan aksara komputer yang dapat digunakan untuk mencetak aksara Simalungun. Profesor Dr. Uli Kozok sendiri adalah Professor di University of Hawaii, Manoa, yang belajar di Leiden University dan saat ini tinggal di Honolulu, Hawaii. Dan beliau sering dimintakan untuk menerjemahkan aksara-aksara kuno Simalungun oleh para kalangan/praktisi sejarah dari Indonesia dan bahkan oleh masyarakat Simalungun sendiri, senang rasanya bahwa dunia international tertarik dengan sejarah, budaya dan keberagaman Simalungun, tetapi juga sebuah ironi yang menyesakkan dada, mengapa orang simalungun asli bertanya pada seorang non-simalungun, apakah selama ini sejarawan dan tokoh-tokoh suku simalungun tidak mewariskan kepada anak cucu sendiri tentang budayanya sendiri ? KEPERCAYAAN Bila diselidiki lebih dalam suku Simalungun memiliki berbagai kepercayaan yang berhubungan dengan pemakaian mantera-mantera dari "Datu" (dukun).

Miniatur Rumah Adat Suku Batak Simalungun Dengan 3 Warna Naibata Merah, Putih dan Hitam. Photo Milik Saudara Rudin Herbert Purba

Disertai persembahan kepada roh-roh nenek moyang yang selalu didahului panggilan kepada Tiga Dewa yang disebut Naibata, yaitu : 

Naibata di atas, dilambangkan dengan warna Putih,



Naibata di tengah, dilambangkan dengan warna Merah, dan



Naibata di bawah, dilambangkan dengan warna Hitam.

3/tiga warna yang mewakili Dewa-Dewa tersebut (Putih, Merah dan Hitam) mendominasi berbagai ornamen suku Simalungun dari pakaian sampai hiasan rumahnya.

Patung Sang Budha menunggang Gajah koleksi Museum Simalungun, yang menunjukkan pengaruh ajaran Budha pada Masyarakat Simalungun Orang Simalungun percaya bahwa manusia dikirim ke dunia oleh Naibata dan dilengkapi dengan Sinumbah yang dapat juga menetap di dalam berbagai benda, seperti alat-alat dapur dan sebagainya, sehingga benda-benda tersebut harus disembah. Orang Simalungun menyebut roh orang mati sebagai Simagot. Baik Sinumbah maupun Simagot harus diberikan korban-korban pujaan sehingga mereka akan memperoleh berbagai keuntungan dari kedua sesembahan tersebut. Ajaran Hindu dan Budha juga pernah memengaruhi kehidupan di Simalungun, hal ini terbukti dengan peninggalan berbagai patung dan arca yang ditemukan di beberapa tempat di Simalungun yang menggambarkan makna Trimurti (Hindu) dan Sang Buddha yang menunggangi Gajah (Budha). Patung peninggalan budaya dari daerah Simalungun yang memperlihatkan pengaruh ajaran Budha di daerah ini pada zaman dahulu, walau belum ada perkiraan waktu dibuatnya Patung. Patung menggambarkan wujud sang Budha yang mengendarai seekor Gajah. Patung ini adalah bagian dari koleksi Museum Simalungun dan dipajang di halaman Museum tersebut di Jalan Jendral Sudirman, Pematang Siantar, Simalungun, Sumatera Utara. MARGA SUKU BATAK SIMALUNGUN Marga Simalungun merujuk kepada nama keluarga atau marga yang dipakai di belakang nama depan masyarakat Simalungun yang berasal dari daerah Kabupaten Simalungun. Ada 4 marga asli dari Simalungun: Damanik, Purba, Saragih dan Sinaga. Keempat marga tersebut berasal dari marga raja-raja di Simalungun yang bermufakat untuk tidak saling menyerang. Beberapa marga dari luar Simalungun

kemudian menganggap dirinya sebagai bagian dari 4 marga tersebut ketika mereka menetap di Simalungun. Sebagai suku yang menganut Paterilinear, marga pada suku Simalungun diturunkan melalui garis Ayah, oleh karena itu orang yang memiliki marga yang sama dianggap sebagai kakak-adik sehingga tidak diperbolehkan untuk saling menikah. Sejarah asal-usul dari marga-marga yang ada di dalam suku Simalungun sangatlah minim, namun beberapa sumber tertulis menyatakan bahwa ada 4 marga asli dalam Suku Simalungun yang biasa diberi akronim SISADAPUR. Beberapa sumber juga menyatakan bahwa 4 marga tersebut berasal dari “Harungguan Bolon” (permusyawaratan besar) antara 4 raja besar untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan (dalam bahasa simalungun yaitu: marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh). Keempat raja itu adalah : Raja Nagur Bermarga Damanik Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), dalam bahasa Simalungun, Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas). Raja ini berasal dari kaum bangsawan India Selatan dari Kerajaan Nagore. Pada abad ke-12, keturunan raja Nagur ini mendapat serangan dari Raja Rajendra Chola dari India, yang mengakibatkan terusirnya mereka dari Pamatang Nagur di daerah Pulau Pandan hingga terbagi menjadi 3 bagian sesuai dengan jumlah puteranya: 

Marah Silau (yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja Jumorlang, Raja Sipolha, Raja Siantar, Tuan Raja Sidamanik dan Tuan Raja Bandar)



Soro Tilu (yang menurunkan marga raja Nagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik Nagur, Bayu, Hajangan, Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan, Sola)



Timo Raya (yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya Damanik Tomok)

Selain itu datang marga keturunan Silau Raja, Ambarita Raja, Gurning Raja, Malau Raja, Limbong, Manik Raja yang berasal dari Pulau Samosir dan mengaku Damanik di Simalungun. Marga-marga perbauran Damanik 

Malau



Limbong



Sagala



Gurning



Manikraja



Tambak

Raja Banua Sobou Bermarga Saragih Saragih dalam bahasa Simalungun berarti Simada Ragih, yang mana Ragih berarti atur, susun, tata, sehingga simada ragih berarti Pemilik aturan atau pengatur, penyusun atau pemegang undang-undang. Keturunannya adalah: 

Saragih Garingging yang pernah merantau ke Ajinembah dan kembali ke Raya.



Saragih Sumbayak keturunan Tuan Raya Tongah, Pamajuhi, dan Bona ni Gonrang.

Saragih Garingging kemudian pecah menjadi 2, yaitu: 

Dasalak, menjadi raja di Padang Badagei



Dajawak, merantau ke Rakutbesi dan Tanah Karo dan menjadi marga Ginting Jawak.

Walaupun jelas terlihat bahwa hanya ada 2 keturunan Raja Banua Sobou, pada zaman Tuan Rondahaim terdapat beberapa marga yang mengaku dirinya sebagai bagian dari Saragih (berafiliasi), yaitu: Turnip, Sidauruk, Simarmata, Sitanggang, Munthe, Sijabat, Sidabalok, Sidabukke, Simanihuruk. Ada satu lagi marga yang mengaku sebagai bagian dari Saragih yaitu Pardalan Tapian, marga ini berasal dari daerah Samosir. Marga-marga perbauran Saragih : 

Munthe



Siadari



Sidabutar



Sidabalok



Sidauruk



Simarmata



Simanihuruk



Sijabat

Raja Banua Purba Bermarga Purba Purba menurut bahasa berasal dari bahasa Sanskerta yaitu Purwa yang berarti timur, gelagat masa datang, pegatur, pemegang Undang-undang, tenungan pengetahuan, cendekiawan/sarjana. Keturunannya adalah: Tambak, Sigumonrong, Tua, Sidasuha (Sidadolog, Sidagambir). Kemudian ada lagi Purba Siborom Tanjung, Pakpak, Girsang, Tondang, Sihala, Raya. Pada abad ke-18 ada beberapa marga Simamora dari Bakkara melalui Samosir untuk kemudian menetap di Haranggaol dan mengaku dirinya Purba. Purba keturunan Simamora ini kemudian menjadi Purba Manorsa dan tinggal di Tangga Batu dan Purbasaribu. Marga-marga perbauran Purba : 

Manorsa



Simamora



Sigulang Batu



Parhorbo



Sitorus



Pantomhobon



Sigumonrong



Pak-pak



Manalu

Raja Saniang Naga Bermarga Sinaga

Sinaga berarti Simada Naga, dimana Naga dalam mitologi dewa dikenal sebagai penebab Gempa dan Tanah Longsor. Keturunannya adalah marga Sinaga di Kerajaan Tanah Jawa, Batangiou di Asahan. Saat kerajaan Majapahit melakukan ekspansi di Sumatera pada abad ke-14, pasukan dari Jambi yang dipimpin Panglima Bungkuk melarikan diri ke kerajaan Batangiou dan mengaku bahwa dirinya adalah Sinaga. Menurut Taralamsyah Saragih, nenek moyang mereka ini kemudian menjadi raja Tanoh Djawa dengan marga Sinaga Dadihoyong setelah ia mengalahkan Tuan Raya Si Tonggang marga Sinaga dari kerajaan Batangiou dalam suatu ritual adu sumpah (Sibijaon). [Catatan J, Tideman, 1922] Beberapa Sumber mengatakan bahwa Sinaga keturunan raja Tanoh Djawa berasal dari India, salah satunya adalah menrurut Tuan Gindo Sinaga keturunan dari Tuan Djorlang Hatara. Beberapa keluarga besar Partongah Raja Tanoh Djawa menghubungkannya dengan daerah Nagaland (Tanah Naga) di India Timur yang berbatasan dengan Myanmar yang memang memiliki banyak persamaan dengan adat kebiasaan, postur wajah dan anatomi tubuh serta bahasa dengan suku Simalungun dan Batak lainnya. Marga-marga perbauran Sinaga : 

Sipayung



Sihaloho



Sinurat



Sitopu

PERKERABATAN SUKU BATAK SIMALUNGUN (PARTUTURAN) Partuturan adalah cara suku Simalungun menentukan perkerabatan atau keteraturan yang merupakan bagian dari hubungan keluarga (pardihadihaon) dalam kehidupan sosialnya sehari-hari terutama dalam acara adat. Awalnya orang Simalungun tidak terlalu mementingkan soal “silsilah” karena penentu partuturan di Simalungun adalah “hasusuran” (tempat asal nenek moyang) dan "tibalni parhundul" (kedudukan/peran) dalam "horja-horja adat" (acara-acara adat). Hal ini dapat dilihat pada pertanyaan yang diajukan oleh seorang Simalungun di saat orang mereka saling bertemu, dimana bukan langsung bertanya “aha marga ni ham?” (apa marga anda) tetapi “hunja do hasusuran ni ham (dari mana asal-usul anda)?" Hal ini dipertegas lagi oleh pepatah Simalungun : “Sin Raya, sini Purba, sin Dolog, sini Panei. Na ija pe lang na mubah, asal ma marholong ni atei” (dari Raya, Purba, Dolog, Panei. Yang manapun tak berarti, asal penuh kasih). Sebagian sumber menuliskan bahwa hal tersebut disebabkan karena seluruh marga raja-raja Simalungun itu diikat oleh persekutuan adat yang erat oleh karena konsep perkawinan antara raja dengan “puang bolon” (permaisuri) yang adalah puteri raja tetangganya. Seperti raja Tanoh Djawa dengan puang bolon dari Kerajaan Siantar (Damanik), raja Siantar yang puang bolonnya dari Partuanan Silappuyang, Raja Panei dari Putri Raja Siantar, Raja Silau dari Putri Raja Raya, Raja Purba dari Putri Raja Siantar dan Silimakuta dari Putri Raja Raya atau Tongging. Setelah marga-marga dalam suku Simalungun semakin membaur, partuturan semakin ditentukan oleh partongah-jabuan (pernikahan), yang mengakibatkan pembentukan hubungan perkerabatan antara keluarga-keluarga Simalungun. Partuturan dalam suku Simalungun di bagi ke dalam 3 kategori menurut kedekatan hubungan seseorang, Di Tulis dari BUKU ADAT NI SIMALUNGUN na isusun PRESIDIUM PARTUHA MAUJANA SIMALUNGUN thn 2002. yaitu ; Tutur Manorus (langsung) Perkerabatan yang langsung terkait dengan diri sendiri. 

Ompung: orang tua ayah atau ibu, saudara (kakak/adik) dari orang tua ayah atau ibu



Bapa/Amang: ayah



Inang: ibu



Abang: saudara lelaki yang lahir lebih dulu dari kita.



Anggi: adik lelaki; saudara lelaki yang lahir setelah kita.



Botou: saudara perempuan (baik lebih tua atau lebih muda).



Amboru: saudara perempuan ayah; saudara perempuan pariban ayah; saudara perempuan mangkela. Bagi wanita: orang tua dari suami kita; amboru dari suami kita; atau mertua dari saudara ipar perempuan kita.



Mangkela: suami dari saudara perempuan dari ayah



Tulang: saudara lelaki ibu; saudara lelaki pariban ibu; ayah dari besan



Anturang: istri dari tulang; ibu dari besan



Parmaen: istri dari anak; istri dari keponakan; anak perempuan dari saudara perempuan istri; amboru dan mangkela kita memanggil istri kita parmaen



Nasibesan: istri dari saudara (Ipar) lelaki dari istri kita atau saudara istri kita



Hela: suami dari puteri kita; suami dari puteri dari kakak/adik kita



Gawei: hubungan wanita dengan istri saudara lelakinya



Lawei: hubungan laki-laki dengan suami dari saudara perempuannya; panggilan laki-laki terhadap putera amboru; hubungan laki-laki dengan suami dari puteri amboru (botoubanua).



Botoubanua: puteri amboru; bagi wanita: putera tulang



Pahompu: cucu; anak dari botoubanua; anak pariban



Nono: pahompu dari anak (lelaki).



Nini: cucu dari boru.



Sima-sima: anak dari Nono/Nini



Siminik: cucu dari Nono/Nini

Sebagian orang mengartikan nono sebagai cucu dari putera/puteri kita, hal ini karena walaupun sudah tua, tapi nenek/kakek buyut tersebut masih dapat melihat (bahasa simalungun: Manonoi)si Nono. Sebagian orang mengartikan nini sebagai cucu dari cucu kita, hal ini karena walaupun sudah tua, tapi nenek/kakek buyut tersebut hanya dapat mendengar apa yang dikatakan (bahasa simalungun: nini) si Nini. Tutur Holmouan (kelompok) Melalui tutur Holmouan ini bisa terlihat bagaimana berjalannya adat Simalungun 

Ompung Nini: ayah dari ompung



Ompung Martinodohon: saudara (kakak/adik) dengan ompung



Ompung Doli: ayah kandung dari ayah, kalau nenek perempuan disebut inang tutua



Bapa Tua: saudara lelaki paling tua dari ayah



Bapa Godang: saudara lelaki yang lebih tua dari ayah, di beberapa tempat biasa juga disebut bapa tua



Inang Godang: istri dari bapa godang



Bapa Tongah: saudara lelaki ayah yang lahir dipertengahan (bukan paling tua, bukan paling muda)



Inang Tongah: istri dari bapa tongah



Bapa Gian / Bapa Anggi: saudara lelaki ayah yang lahir paling belakang



Inang Gian / Inang Anggi: istri dari bapa gian/Anggi



Sanina / Sapanganonkon: saudara satu ayah/ibu



Pariban: sebutan bagi orang yang dapat kita jadikan pasangan (suami atau istri) atau adik/kakaknya



Tondong Bolon: pambuatan (orang tua atau saudara laki dari istri/suami) kita



Tondong Pamupus: pambuatan ayah kandung kita



Tondong Mata ni Ari: pambuatan ompung kita



Tondong Mangihut



Anakborujabu: sebagai pimpinan dari semua boru, anakborujabu dituakan karena bertanggung jawab pada tiap acara suka/duka Cita.



Panogolan: anak laki/perempuan dari saudara perempuan



Boru Ampuan: hela kandung yang menikahi anak perempuan kandung kita



Anakborumintori: istri/suami dari panogolan



Anakborumangihut: lawei dari botou



Anakborusanina :

PAKAIAN ADAT SUKU BATAK SIMALUNGUN. Sama seperti suku-suku lain di sekitarnya, pakaian adat suku Simalungun tidak terlepas dari penggunaan kain Ulos (disebut Uis di suku Karo). Kekhasan pada suku Simalungun adalah pada kain khas serupa Ulos yang disebut Hiou dengan berbagai ornamennya. Ulos pada mulanya identik dengan ajimat, dipercaya mengandung "kekuatan" yang bersifat religius magis dan dianggap keramat serta memiliki daya istimewa untuk memberikan perlindungan. Menurut beberapa penelitian penggunaan ulos oleh suku bangsa Batak, memperlihatkan kemiripan dengan bangsa Karen di perbatasan Myanmar, Muangthai dan Laos, khususnya pada ikat kepala, kain dan ulosnya. Secara legenda ulos dianggap sebagai salah satu dari 3 sumber kehangatan bagi manusia (selain Api dan Matahari), namun dipandang sebagai sumber kehangatan yang paling nyaman karena bisa digunakan kapan saja (tidak seperti matahari, dan tidak dapat membakar (seperti api). Seperti suku lain di rumpun Batak, Simalungun memiliki kebiasaan "mambere hiou" (memberikan ulos)/Mangulosi yang salah satunya melambangkan pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada penerima Hiou. Hiou dapat

dikenakan dalam berbagai bentuk, sebagai kain penutup kepala, penutup badan bagian bawah, penutup badan bagian atas, penutup punggung dan lain-lain. Hiou dalam berbagai bentuk dan corak/motif memiliki nama dan jenis yang berbeda-beda, misalnya Hiou penutup kepala wanita disebut suri-suri, Hiou penutup badan bagian bawah bagi wanita misalnya ragipanei, atau yang digunakan sebagai pakaian sehari-hari yang disebut jabit. Hiou dalam pakaian penganti Simalungun juga melambangkan kekerabatan Simalungun yang disebut tolu sahundulan, yang terdiri dari tutup kepala (ikat kepala), tutup dada (pakaian) dan tutup bagian bawah (abit). Menurut Muhar Omtatok, Budayawan Simalungun, awalnya Gotong (Penutup Kepala Pria Simalungun) berbentuk destar dari bahan kain gelap ( Berwarna putih untuk upacara kemalangan, disebut Gotong Porsa), namun kemudian Tuan Bandaralam Purba Tambak dari Dolog Silou juga menggemari trend penutup kepala ala melayu berbentuk tengkuluk dari bahan batik, dari kegemaran pemegang Pustaha Bandar Hanopan inilah, kemudian Orang Simalungun dewasa ini suka memakai Gotong berbentuk Tengkuluk Batik.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF