Bahan Ajar 2 MPKT
March 6, 2017 | Author: Akbar Hardisurya | Category: N/A
Short Description
Download Bahan Ajar 2 MPKT...
Description
BUKU AJAR II
MANUSIA, AKHLAK, BUDI PEKERTI DAN MASYARAKAT
MATA AJAR PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN TERINTEGRASI (MPKT) PROGRAM PENDIDIKAN DASAR PERGURUAN TINGGI (PDPT) UNIVERSITAS INDONESIA
OLEH:
R. ISMALA DEWI, SH.MH DR. DRS. H. ZAKKY MUBARAK, MA DRA. HUSMIATY HASYIM, M.Ag DRS. ARI HARSONO, M.M.
UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2009
1
Mata Ajar Pengembangan Kepribadian Terintegrasi
Editor : Dr. Maria Josephine K. Mantik, M.Hum
Depok, 2009
2
KATA PENGANTAR Dengan bersyukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia dan rahmat-Nya, Tim Penulis Buku Ajar “Manusia, Akhlak, Budi Pekerti dan Masyarakat” dapat menyelesaikan tugasnya, sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Buku tersebut merupakan bahan bacaan mahasiswa pada Program Dasar Pendidikan Tinggi (MPK) Terintegrasi Universitas Indonesia, yang merupakan penyempurnaan dari Modul MPK Terintegrasi yang telah disusun sejak tahun 2004. Sejak awal tersusunnya, materi buku ini terus-menerus diadakan perbaikan, berdasarkan komentar, asupan, dan kritik dari kalangan yang berkompeten. Perbaikan dilakukan dari segi teknik penulisan, bahasa, dan penyempurnaan materi, sehingga terwujudnya bahan bacaan ini. Buku Ajar II (Manusia, Akhlak, Budi Pekerti dan Masyarakat) merupakan lanjutan dari Buku Ajar I (Logika, Filsafat Ilmu, dan Pancasila) dan diteruskan dengan Buku Ajar III ( Negara Indonesia dan Lingkungan Hidup). Ketiga buku ajar ini merupakan satu kesatuan yang bersifat saling melengkapi, saling mengisi antara yang satu dan yang lainnya, serta tidak dapat diceraipisahkan. Buku Ajar II merupakan pengembangan nilai etika dan nilai Pancasila yang dijelaskan pada Buku Ajar I, yang harus dimiliki oleh manusia dalam pengembangan kepribadiannya di masyarakat. Buku Ajar III merupakan pengembangan lebih lanjut dari Buku Ajar I dan II mengenai Ideologi, Pancasila, UUD 1945, negara hukum, dan pemerintahan. Dalam kesempatan ini, Tim Penyusun Buku Ajar II MPKT 2008 mengucapkan terima kasih kepada: (1) Direktur Pendidikan Universitas Indonesia, Ibu Prof. Dr. Multamia RMT Louder, DEA, (2) Kasubdit Pengelolaan Matakuliah Universitas, Ibu Miranda D. Zarfiel, M. Psi. yang telah mendukung dan memfasilitasi penulisan Buku Ajar MPKT 2008, juga kepada: (3) Ibu Dr. Elsa Krisanti Mulia, (4) Ibu Dr.Susiani Purbaningsih, DEA., dan (5) Ibu Dr.Uswatun Hasanah, MA., yang sejak awal pembuatan Modul MPKT telah banyak memberikan kontribusi dalam memprakarsai penyusunannya dan menyampaikan arahan-arahan yang bermanfaat. Ucapan terima kasih kami sampaikan juga kepada: Bapak Slamet Soemiarno, Bapak Suharto, Bapak Zaenal Abidin Anwar, Bapak Ariya Chandra, Bapak I Wayan Suwira Satria, Bapak Mujilan, tim Sekretariat PMU/PDPT dan berbagai pihak yang telah ikut berpartisipasi dalam penyusunan buku ini.
3
Dalam menyiapkan karya tulis, baik berupa Buku, Modul, maupun Laporan Ilmiah, biasanya tidak pernah lepas dari kekurangan dan kekhilafan. Karena itu, dalam kesempatan ini, penulis mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan Buku Ajar ini dan mohon maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan.
Depok, 11 Mei 2009 Tim Penyusun
4
KATA PENGANTAR .................................................................................. 1 DAFTAR ISI ................................................................................................. 3 PENDAHULUAN ......................................................................................... 5 BAB I
MANUSIA MAKHLUK INDIVIDU, SOSIAL, DAN BUDAYA 1.1 Manusia sebagai Makhluk Individu ...................................... 9 1.2 Manusia sebagai Mahluk Sosial ......................................... 13 1.3 Manusia sebagai Mahluk Budaya ......................................... 18
BAB II
AKHLAK DAN BUDI PEKERTI 2.1 Pengertian Akhlak dan Budi Pekerti .................................... 24 2.2. Ruang Lingkup Akhlak dan Budi Pekerti ........................... 27 2.3. Sumber Akhlak dan Budi Pekerti ........................................ 33
BAB III NILAI-NILAI AKHLAK DAN BUDI PEKERTI 3.1 Nilai Spiritual .......................................................................49 3.2 Nilai Kemanusiaan ...............................................................49 BAB IV
FUNGSI AKHLAK DAN BUDI PEKERTI 4.1 Penanaman Kesadaran tentang Hak dan Kewajiban ............83 4.2 Pemantapan Kehidupan Sosial ..............................................92 4.3 Toleransi dalam Kemajemukan ............................................94 4.4 Filter dalam Interaksi Lintas Budaya ...................................95
BAB V
PENERAPAN AKHLAK DAN BUDI PEKERTI 5.1 Kehidupan Pribadi dan Sosial Budaya ..................................96 5.2 Akhlak dalam Masyarakat Majemuk dan Globalisasi .........105 5.3 Akhlak dalam Kehidupan Akademik dan Profesi ...............107 5.4 Akhlak dalam Pelestarian Lingkungan Hidup ....................111
BAB VI
NORMA SOSIAL DAN HUKUM 6.1 Norma Sosial dan Norma Hukum ........................................118 6.2 Proses Norma Sosial Menjadi Norma Hukum .....................119 6.3 Pengertian, Tujuan, dan Fungsi Hukum .............................122 6.4 Disiplin Hukum ...................................................................123 6.5 Subjek Hukum, Objek Hukum, dan Peristiwa Hukum ........126
5
BAB VII MASYARAKAT DAN MULTIKULTURALISME 7.1 Pengertian Masyarakat dan Masyarakat Majemuk ..............128 7.2 Multikulturalisme ...............................................................134 7.3 Etika Kemajemukan ............................................................148 7.4 Dampak Kemajemukan ........................................................151 7.5 Masyarakat dan Pembentukan sebuah Bangsa ....................154 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................157
6
PENDAHULUAN Manusia sebagai makhluk individu, sosial, dan budaya memiliki akhlak dan budi pekerti yang menempatkan dirinya pada kedudukan yang luhur dan terpuji, sekaligus dapat membedakannya dari makhluk-makhluk lain dalam kehidupan alam semesta. Akhlak dan budi pekerti memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk karakter manusia Indonesia, termasuk para mahasiswanya. Sebagai calon sarjana lulusan Universitas Indonesia (UI), mahasiswa diharapkan dapat memiliki akhlak yang mulia, budi pekerti yang terpuji, serta memiliki kepedulian terhadap masalah kemasyarakatan, lingkungan, bangsa, dan negara. Kepedulian yang dimiliki mahasiswa hendaknya dilandasi dengan iman dan takwa, budi pekerti yang luhur, etika akademik, dan diaplikasikan melalui keterampilan intelektual yang terus mengikuti perkembangan paling mutakhir dari sains, teknologi, dan seni. Akhlak dan budi pekerti berorientasi pada nilai-nilai spiritual, nilai-nilai kemanusiaan, dan kelestarian lingkungan hidup. Nilai-nilai itu selalu berada dan tidak pernah terpisahkan dari kehidupan manusia, karena ia merupakan makhluk yang terdiri atas dua unsur yang menyatu, yaitu fisik dan rohani. Nilai rohani merupakan nilai individual dan universal yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, sedangkan nilai kemanusiaan merupakan nilai yang berada di tengah masyarakat sebagai realisasi dari sifat sosial yang ada pada diri manusia. Kehidupan manusia di tengah masyarakatnya akan lebih bermakna apabila setiap individu memperhatikan tanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap masyarakat lingkungannya yang didasari oleh nilai-nilai akhlak dan budi pekerti. Perwujudan nilia-nilai itu harus dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat. Manusia sebagai makhluk individu, sosial, dan budaya, merupakan satu kesatuan yang utuh, yang tidak dapat diceraipisahkan. Sebagai individu, manusia memiliki sikap dan tanggung jawab serta perilaku yang baik terhadap masyarakatnya. Setiap diri manusia tidak mungkin dapat melakukan aktivitas tanpa berada dalam komunitas dan lingkungannya. Ketergantungan manusia terhadap adanya sosialisasi dan aktualisasi diri bersama individu-individu lainnya, merupakan wujud dari kenyataannya bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang tidak hidup secara terpisah dengan lingkungannya. Sebagai makhluk sosial, manusia hidup dan berada dalam sistem kehidupan masyarakat, yang berdasarkan pada aturan dan kesepakatan bersama dalam suatu lingkungan, tempat, dan ruang lingkup tertentu. Ia menjalankan kehidupan dengan memanfaatkan potensi dirinya secara optimal, baik berupa pemanfaatan dan penazaman akal, maupun pengembangan dan penazaman hati nurani, sehingga terbentuklah karakter yang kokoh dalam kehidupannya dan berkembang secara baik. Dengan demikian, akan terbentuklah sebuah budaya yang tinggi. Sebagai makhluk budaya, manusia dapat menciptakan suatu kebudayaan melalui akal pikiran, kalbu, budi pekerti yang luhur, yang
7
berkembang di lingkungannya. Dengan demikian, terbentuklah kebudayaan yang lebih berkembang dan lebih maju serta menjelma sebagai sebuah masyarakat. Kesatuan manusia sebagai makhluk individu, sosial, dan budaya, maka proses pembelajaran akhlak budi pekerti dan masyarakat tidak lepas dari tujuan untuk mengembangkan nilai-nilai spiritual, nilai kemanusiaan, dan lingkungan hidup, sehingga terciptalah apa yang diistilahkan dewasa ini: (1) learning to know; (2) learning to do; (3) learning to be; dan (4) learning to live together. Melalui materi akhlak dan budi pekerti dan materi-materi lainnya, lulusan Universitas Indonesia tidak hanya memiliki kemampuan yang tinggi di bidang sains, teknologi, dan seni, tetapi juga memiliki kepedulian dalam mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, memiliki kepedulian terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta lingkungan hidupnya. Buku Ajar “Manusia, Akhlak, Budi Pekerti, dan Masyarakat” disiapkan sebagai buku teks pembelajaran di Universitas Indonesia. Namun demikian tidak menutup referensi lain yang harus dipelajari yang berkaitan dengan akhlak dan budi pekerti. Buku Ajar merupakan buku panduan mahasiswa agar mengetahui arah dan sasaran pembelajaran MPKT pada pokok bahasan tersebut. Oleh karena itu, buku ini hanya memuat garis-garis besar dan kerangka dasar materi. Mahasiswa diharapkan mengembangkan materi ini dalam proses pembelajaran melalui sumber bacaan yang terdapat dalam buku ini, maupun melalui sumbersumber lainnya. Garis-garis besar materi “Manusia, Akhlak, Budi Pekerti, dan Masyarakat” dalam buku ini terdiri atas: 1. Manusia Makhluk Individu, Sosial, dan Budaya. Sebagai makhluk individu, manusia memiliki pribadi, sikap, motivasi, dan perilaku dalam kehidupan yang berkait dan berkelindan dengan kehidupan masyarakat, serta sebagai makhluk sosial yang melakukan interaksi antarindividu. Manusia memiliki keterkaitan antarindividu dan saling membutuhkan dalam menjalani hidup dan kehidupannya serta memerlukan ruang lingkupnya. Manusia sebagai makhluk budaya, mempunyai akal dan jiwa yang mengatur atau menentukan bagaimana seharusnya ia berperilaku. Karena manusia sebagai makhluk budaya, ia tidak dapat hidup seorang diri, dan aktivitas yang dilakukannya harus memiliki aturan-aturan yang pasti, yang perlu ditaati sebagai pedoman hidup bersama. Perilaku manusia sebagai individu dan anggota masyarakat membudaya dalam kehidupan, sebagai suatu sistem nilai masyarakat itulah yang disebut suatu kebudayaan. 2. Akhlak dan Budi Pekerti Pemahaman yang baik terhadap pengertian serta ruang lingkup akhlak dan budi pekerti diharapkan dapat berfungsi dalam menumbuhkan kesadaran antara hak dan kewajiban, sehingga kehidupan sosial akan lebih
8
mantap dan terjalin toleransi yang teguh di tengah masyarakat majemuk. Selain itu, akhlak dan budi pekerti juga berfungsi dalam menyaring budaya asing atau budaya dari dalam dengan memilih yang baik dan menolak yang buruk. Semua itu terjadi karena adanya interaksi lintas budaya. 3. Nilai-Nilai Akhlak dan Budi Pekerti Nilai yang paling fundamental dalam akhlak dan budi pekerti adalah nilai spiritual dan nilai kemanusiaan, yaitu meliputi nilai kebersamaan, keadilan, kejujuran, tanggung jawab, dan pandangan hidup yang melahirkan kestabilan dan kemaslahatan, sedangkan nilai keindahan cinta kasih, penderitaan, kegelisahan, dan harapan dapat diatur dengan baik sehingga dapat melahirkan kebahagiaan yang hakiki. Implementasi nilai-nilai tersebut akan dapat menghindarkan kehidupan manusia dari kekeringan makna dan kekosongan jiwa. Dengan demikian, hidup dan kehidupan manusia akan menjadi lebih bermakna. Hubungan antarmanusia dengan Tuhan, hubungan antarmanusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan makhluk lainnya juga makin harmonis, serasi, dan seimbang. 4. Fungsi Akhlak dan Budi Pekerti Pemahaman dan penghayatan terhadap akhlak dan budi pekerti, diharapkan dapat berfungsi dalam menumbuhkembangkan kesadaran tentang hak dan kewajiban, sehingga kehidupan sosial akan lebih mantap dan terjalin toleransi yang baik di tengah masyarakat majemuk. Akhlak dan budi pekerti juga sangat bermanfaat bagi manusia untuk beradaptasi dengan budaya asing, sekaligus membedakan antara yang baik dan buruk, memiliki kemauan dan kemampuan untuk memilih yang baik dan terpuji, serta dapat menghindari yang buruk dan tercela. 5. Penerapan Akhlak dan Budi Pekerti: Permasalahan dan Solusinya Akhlak dan budi pekerti diaplikasikan dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Pengaplikasian itu berguna bagi diri seseorang sebagai kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial, dalam kehidupan akademik dan profesi. Penerapan akhlak dan budi pekerti sangat penting dalam pengembangan iptek dan seni. Dalam penerapannya, ternyata banyak dijumpai permasalahan, seperti yang terjadi dalam kehidupan sosial budaya, akademik dan profesi, juga dalam pengembangan sains, teknologi, dan seni. Permasalahan tersebut diharapkan dapat dihindari secara maksimal atau setidaknya dapat diminimalisir melalui kesadaran individu terhadap nilai akhlak dan budi pekerti. Pembahasan mengenai akhlak dan budi pekerti diawali dengan mengangkat berbagai kasus yang muncul dalam kehidupan masyarakat dengan menawarkan berbagai alternatif untuk mengatasinya. Materi dalam
9
pembahasan ini bersifat sederhana dan hanya berfungsi sebagai contoh karena permasalahan penerapan akhlak dan budi pekerti akan didapati dalam kehidupan sehari-hari dan berkembang terus sepanjang sejarah kehidupan manusia. 6. Norma Sosial dan Norma Hukum Dalam pergaulan hidup di masyarakat, baik yang homogen maupun heterogen, pada masyarakat desa maupun kota, akan dijumpai norma-norma sosial yang mengatur kehidupan masyarakat agar menimbulkan keteraturan dalam hidup secara harmonis di tengah perbedaan masyarakat. Norma sosial akan berproses menjadi norma hukum sebagai kelembagaan berganda, yaitu nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, dilembagakan sebagai norma sosial apabila dipatuhi, dan adanya sanksi sosial. Norma sosial kemudian dilembagakan sebagai norma hukum apabila memiliki sanksi hukum. Norma sosial sebagai tingkatan yang paling awal selanjutnya menjadi sistem hukum yang berkembang di masyarakat. Dalam bab ini dibahas pengertian, tujuan, dan fungsi hukum agar mudah dipahami, terutama mereka yang baru belajar memahami norma-norma hukum. Demikian juga dikemukakan tentang disiplin ilmu hukum dan perbedaan hukum. 7.
Masyarakat dan Multikulturalisme Setelah diperkenalkan norma sosial dan norma hukum, buku ini membahas tentang pengertian masyarakat dan masyarakat majemuk yang terdiri atas berbagai macam ras, bangsa, suku, agama, keyakinan, dan pengalaman hidup yang berbeda-beda. Dengan demikian, kemajemukan akan disadari oleh setiap anggota mayarakat sebagai suatu keniscayaan dan kenyataan yang harus diterima dengan lapang dada. Pembahasan selanjutnya berkisar pada pengertian multikulturalisme, etika kemajemukan, dampak yang ditimbulkannya dalam kehidupan masyarakat, dan diakhiri dengan perkembangan suatu masyarakat dalam pembentukan suatu bangsa dan negara. Materi Buku Ajar ini telah mengakomodasi muatan liberal arts, yang terdiri atas critical thinking, academic writing, presentation skill, dan information literacy, yang tersebar dalam berbagai kajian penting. Buku ini dibuat serba singkat, sesuai dengan tujuan penyusunannya sebagai panduan dan buku teks bagi mahasiswa Universitas Indonesia. Terlaksana atau tidaknya sasaran pembelajaran akan sangat ditentukan oleh kesungguhan mahasiswa mengembangkan sendiri materi dalam Buku Ajar ini, dan mengaplikasikannya dalam kehidupan seharihari.
10
BAB I MANUSIA MAKHLUK INDIVIDU, SOSIAL, DAN BUDAYA 1.1. Manusia sebagai Mahluk Individu 1.1.1 Pengertian individu Untuk memahami manusia sebagai mahluk individu sebaiknya perlu dipahami arti kata individu itu sendiri. Kata ‘individu’ berasal dari kata latin, ‘individuum’ artinya ‘yang tidak terbagi’. Jadi, individu merupakan suatu sebutan yang dapat dipakai untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Dalam ilmu sosial, paham individu menyangkut tabiat dengan kehidupan dan jiwa yang majemuk, serta memegang peranan dalam pergaulan hidup manusia. Individu menekankan penyelidikan kepada kenyataan-kenyataan hidup yang istimewa, dan seberapa mempengaruhi kehidupan manusia (Abu Ahmadi, 1991: 23). Individu bukan berarti manusia sebagai suatu keseluruhan yang tidak dapat dibagi, melainkan sebagai kesatuan yang terbatas, yaitu sebagai manusia perseorangan. Dengan demikian, sering digunakan sebutan ‘orang-seorang’ atau ‘manusia perseorangan’. Di sini jelas bahwa individu adalah seorang manusia yang tidak hanya memiliki peranan khas di dalam lingkungan sosialnya, melainkan juga mempunyai kepribadian, serta pola tingkah laku spesifik dirinya. Persepsi terhadap individu atau hasil pengamatan manusia dengan segala maknanya merupakan suatu keutuhan ciptaan Tuhan yang mempunyai tiga aspek yang melekat pada dirinya, yaitu aspek organik jasmaniah, aspek psikis rohaniah, dan aspek sosial. Apabila terjadi kegoncangan pada salah satu aspek, maka akan membawa akibat pada aspek yang lainnya. Masih terkait dengan persoalan antara individu satu dengan individu lainnya, maka manusia menjadi lebih bermakna apabila pola tingkah lakunya hampir identik dengan tingkah laku massa yang bersangkutan. Proses yang meningkatkan ciri-ciri individualitas pada seseorang sampai pada dirinya sendiri disebut proses individualisasi atau aktualisasi diri. Dalam proses ini, individu dibebani berbagai peranan yang berasal dari kondisi kebersamaan hidup, yang akhirnya muncul suatu kelompok yang akan menentukan kemantapan satu masyarakat. Individu dalam tingkah laku menurut pola pribadinya memiliki tiga kemungkinan: pertama menyimpang dari norma kolektif kehilangan individualitasnya; kedua takluk terhadap kolektif, dan ketiga mempengaruhi masyarakat (Hartomo, 2004: 64). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa “manusia merupakan makhluk individual tidak hanya dalam arti makhluk keseluruhan jiwa-raga, melainkan juga
11
merupakan pribadi yang khas, menurut corak kepribadiannya, dan termasuk kecakapannya sendiri.” Individu mempunyai ciri-ciri memiliki suatu pikiran dan diri, tetapi keduanya dikonsepkan sebagai proses, bukan sebagai kesatuan yang statis. Orang tidak mempunyai pikiran tetapi harus dalam proses berpikir, memiliki pengertian pada kesanggupan untuk berbicara dengan dirinya dan kesanggupan memberikan rangsangan selektif dari lingkungannya. Mampu menetapkan kenyataan, interpretasi situasi, menetapkan aksi dari luar dan dari dirinya. Manusia mempunyai banyak diri, masing-masing berhubungan dan berinteraksi, tetap dalam perubahan proses interaksi. Individu tidak akan jelas identitasnya tanpa adanya suatu masyarakat yang menjadi latar belakang keberadaannya karena dari sinilah kita baru akan dapat memahami individu seseorang. Kehadiran individu dalam suatu masyarakat biasanya ditandai oleh perilaku individu yang berusaha menempatkan dirinya di hadapan individu-individu lainnya yang telah mempunyai pola-pola perilaku yang sesuai dengan norma-norma dan kebudayaan di tempat ia berada. Di sini individu berusaha mengambil jarak dan memproses dirinya untuk membentuk perilakunya yang selaras dengan keadaan dan kebiasaan yang sesuai dengan perilaku yang telah ada pada dirinya. Manusia sebagai individu selalu berada di tengah-tengah kelompok individu yang sekaligus mematangkannya untuk menjadi pribadi. Proses dari individu menjadi pribadi memerlukan lingkungan yang dapat membentuk pribadinya. Namun tidak semua lingkungan menjadi faktor pendukung pembentukan pribadi, bahkan adakalanya menjadi penghambat dalam proses pembentukan pribadi. Mengenai pendukung dan penghambat proses pembentukan individu tidak hanya didukung dan dihambat oleh kelompok sekitarnya, tetapi didukung dan dihambat juga oleh dirinya sendiri.
1.1.2. Perkembangan individu Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna di antara makhluk ciptaan Tuhan terdiri atas unsur jasmani dan rohani. Dalam rangka perkembangan individu, diperlukan suatu keterpaduan antara pertumbuhan jasmani dan rohani. Individu tidak mampu berdiri sendiri, melainkan hidup dalam hubungan antarsesama individu. Dengan demikian dalam hidup dan kehidupannya, manusia selalu mengadakan kontak dengan manusia lain. Karena itu manusia sebagai individu juga merupakan makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat. Sejak lahir sampai pada akhir hayatnya, manusia hidup di tengah-tengah kelompok sosial atau kesatuan sosial juga dalam situasi sosial yang merupakan bagian dari ruang lingkup suatu kelompok sosial. Kelompok sosial yang merupakan awal kehidupan manusia individu adalah keluarga. Dalam keluarga ada rasa saling 12
tergantung di antara sesama manusia yang membentuk individu berkembang untuk beradaptasi dengan kehidupan dalam masyarakat. Hal ini menandakan bahwa manusia sebagai individu tidak mampu hidup sendiri, tetapi diperlukan keberadaan dalam suatu kelompok (masyarakat) sehingga individu merupakan makhluk sosial. Ini berarti antara individu dan kelompok terdapat hubungan timbal balik dan hubungan yang sangat erat yang merupakan hubungan fungsional. Apabila diperhatikan, manusia pada waktu lahir tampaknya sangat lemah. Keadaan yang tampaknya lemah itu tidak berarti bahwa bayi tidak mempunyai potensi apa-apa atau tidak mampunyai kemungkinan untuk berkembang. Bayi mempunyai banyak kemungkinan untuk berkembang menjadi anak-anak, mempunyai masa muda, mempunyai masa untuk mempersiapkan diri menjadi dewasa bersama dengan lingkungan yang dekat dengannya. Bayi berproses menjadi anak, dan anak akan berkembang menjadi dewasa. Dalam fase perkembangan yang dilalui anak menuju dewasa, potensi diri yang dimiliki anak juga terus berkembang sesuai dengan tumbuhnya fisik pada anak dan interaksi sosial yang membentuk kepribadiannya. Ketika anak telah menjadi dewasa kepribadiannya akan menjadi jelas terlihat yang tampil bersama perilakunya. Pribadi menjadi ciri penampilan seseorang di tengah lingkungan sosialnya setelah melalui proses perkembangan bersama lingkungan sosial lainnya. Pada masa dewasa, manusia lebih banyak menghadapi masalah hidup yang heterogen di tengah kelompok sosial yang besar. Manusia mempunyai potensi diri dan kemampuan yang dapat berkembang ke segala arah untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang silih berganti. Manusia mempunyai berbagai pembawaan, kesadaran, perasaan, cita-cita, pikiran, dan sebagainya yang kesemuanya sangat berpengaruh terhadap kehidupan dewasa (Hartomo, 2004: 65). Prinsip-prinsip perkembangan pada manusia adalah sebagai berikut. 1) Perkembangan mengikuti pola-pola tertentu dan berlangsung secara teratur. Dalam hal ini perkembangan mulai dari kepala ke kaki, dari pusat ke bagian-bagian lainnya. 2) Perkembangan menuju diferensiasi dan integrasi. Dari gerakan-gerakan yang bersifat masal, bekembang menjadi gerakan-gerakan khusus (dapat makan dengan sendok, memungut benda kecil, dan lain-lain), dan terjadi koordinasi dan integrasi antara organ yang satu dan organ yang lain. 3) Pertumbuhan dan perkembangan tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi berlangsung secara berangsur-angsur, secara teratur dan terus menerus. Sebagai contoh, perkembangan anak normal akan nampak berturutturut: memiringkan badan dan telungkup, mengangkat kepala, duduk, merangkak, berjalan dengan bantuan, kemudian berjalan. Dalam berbahasa, perkembangan anak akan nampak mulai dari: meraban,
13
kemudian mengucapkan kalimat satu kata, kalimat lebih sempurna, lalu kalimat sempurna. 4) Suatu tingkat perkembangan dipengaruhi oleh sifat perkembangan sebelumnya. Terlambatnya suatu tingkat perkembangan akan menghambat pula perkembangan pada tingkat berikutnya. Sebaliknya, sukses dalam suatu tingkat perkembangan, akan sukses pula pada perkembangan berikutnya. 5) Perkembangan antara anak yang satu dan anak lain tentu berbeda, baik dalam perkembangan masing-masing organ/aspek kejiwaannya, maupun cepat atau lambatnya perkembangan tersebut (Hartomo, 2004: 69). Dengan demikian, diyakini bahwa anak mempunyai kemungkinan untuk berkembang. Pribadi anak berkembang sebagai suatu totalitas (kesatuan). Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan anak, dan perkembangan anak dipelajari berdasarkan pengalaman (empiris). Hal ini tidak akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini. Manusia dikatakan menjadi individu apabila pola tingkah lakunya sudah bersifat spesifik di dalam dirinya dan bukan lagi menuruti pola tingkah laku umum. Di dalam sebuah massa, manusia cenderung menyingkirkan individualitasnya karena tingkah lakunya hampir identik dengan tingkah laku massa yang bersangkutan. Dalam hubungan ini dapat dicirikan, apabila manusia dalam tindakan-tindakannya menjurus kepada kepentingan pribadi, maka disebut manusia sebagai makhluk individu. Sebaliknya, apabila tindakan-tindakannya merupakan hubungan dengan manusia lainnya, maka manusia itu dikatakan makhluk sosial. Pengalaman menunjukkan bahwa jika seseorang pengabdiannya kepada diri sendiri besar, maka pengabdiannya kepada masyarakat akan kecil. Sebaliknya, jika seseorang pengabdiannya kepada diri sendiri kecil, maka pengabdian kepada masyarakat akan besar. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa proses yang meningkatkan ciri-ciri individualitas pada seseorang sampai ia menjadi dirinya sendiri disebut sebagai proses individualitas, atau sering juga dinamakan proses aktualisasi diri. Selama proses perkembangan manusia menjadi individu, manusia mengalami dirinya dibebani berbagai peranan. Peranan-peranan itu terutama berasal dari kondisi kebersamaan hidup dengan sesama manusia yang disebut sebagai makhluk sosial. Tidak jarang dapat timbul konflik pada diri individu karena pola tingkah laku yang spesifik dalam dirinya dapat bercorak atau bertentangan dengan peranan yang dituntut oleh masyarakat. Jika individu tidak mau mengingkari dirinya sendiri dan tetap bertingkah laku menurut pola pribadinya, maka ia pun disebut menyimpang dari norma kolektif. Sebaliknya, jika ia takluk dan menuruti kehendak kolektif dengan cara bertingkah laku seperti diinginkan oleh lingkungan, maka disebut ia kehilangan individualitasnya. Dalam kenyataan hidup di tengah-tengah masyarakat, setiap warga masyarakat wajar untuk menyesuaikan tingkah lakunya menurut situasi aktual yang ada di hatinya dan mengadaptasikan dengan situasi lingkungan tempat ia
14
berada. Peranan yang paling tepat ialah bilamana ia mampu bertindak multi peranan, peranan silih berganti, ia harus mampu memerankan diri sebagai individu dan juga sebagai anggota masyarakat. Keberhasilan seseorang dalam mempertemukan titik optimum, yakni peran individu dan peran sosial, telah sampai pada tingkat “matang” atau “dewasa” dalam arti sosial. Matang atau dewasa dalam arti sosial tidak diukur dari tingkat usia dan tinggi besar fisik, tetapi dilihat dari “tingkat berpikir”. Pengalaman menunjukkan bahwa ada saja seseorang yang tingkat usianya sudah tinggi, tetapi cara berpikirnya sangat kekanak-kanakan. Sebaliknya, ada orang yang relatif muda, tetapi dalam cara berpikir sudah matang. Meskipun pengaruh lingkungan masyarakat terhadap individu, dan khususnya terhadap pembentukan individualitasnya adalah besar, namun sebaliknya individu pun berkemampuan untuk mempengaruhi masyarakat. Pengaruh individu yang sangat kuat atau menonjol dalam lingkungan masyarakat akan membuatnya ia menjadi seorang tokoh, pahlawan, atau bahkan menjadi seorang pengacau. Keinginan untuk menjadi seseorang yang berpengaruh, dihormati oleh orang lain, seorang yang dituakan olah rekan lainnya, dan lain-lain akan melekat di dalam diri individu masing-masing. Berhasil tidaknya mencapai sasaran tersebut adalah soal kemampuan masing-masing individu. Jadi, kemampuan individu merupakan hal yang utama dalam hubungannya dengan manusia. Sebutan baik atau tidak baik, pengaruh individu terhadap masyarakat merupakan hal yang bersifat relatif. Relativitas ini ditentukan oleh relasi individu dengan masyarakat lingkungannya. Oleh karena itu, makna individu di dalam sebuah sistem masyarakat pancasila, liberal, dan komunis adalah berbeda. Begitu pula makna individu dalam suatu musyawarah adalah lain dengan makna individu yang tengah diberi pendidikan doktrin atau ajaran-ajaran. Demikianlah akhirnya bahwa pengertian individu dapat ditinjau dari beberapa aspek atau segi sesuai dengan kepentingan masing-masing. 1.2. Manusia sebagai Makhluk Sosial Sebelumnya telah dikemukakan bahwa manusia adalah mahluk individu dan juga mahluk sosial. Sebagai mahluk individu dan sekaligus sosial, manusia tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, karena merupakan satu kesatuan utuh dalam diri manusia. Tidak mungkin manusia secara individu berkembang tanpa ada lingkungan atau tempat untuk berkembang dan berinteraksi. Manusia sejak lahir sampai mati selalu hidup dalam masarakat, tidak mungkin manusia hidup di luar masyarakat. Aristoteles mengatakan bahwa mahluk hidup yang tidak hidup dalam masyarakat dapat diumpamakan sebagai seorang malaikat atau seorang hewan (Hartomo, 2004: 75). Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebagai bahan kajian mengungkapkan bahwa manusia memang betul merupakan mahluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan lingkungan sekitar. Lingkungan dapat membentuk
15
kepribadian dan perilaku manusia dalam perkembangan dirinya. Hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 1828 mengungkapkan kisah ditemukannya seorang bayi yang telah tinggal dalam sebuah gua tertutup selama 18 tahun. Setelah gua dibuka, anak tersebut sangat bingung dan terkejut melihat keadaan kota. Ia berjalan menggunakan empat kaki dan tidak dapat berbicara. Sifat anak itu tidak ubahnya seperti rusa masuk kampung. Anak tersebut bernama Casper Hauser, anak seorang petani. Di India, Mr.Singh menemukan dua orang anak yang berumur 8 tahun dan 1,5 tahun. Pada waktu bayi, anak-anak tersebut diasuh oleh serigala dalam sebuah gua. Tidak lama setelah ditemukan, anak yang kecil akhirnya meninggal. Tinggallah anak yang besar. Tetapi walaupun anak tersebut sudah dilatih hidup bermasyarakat, sifatnya masih seperti serigala. Terkadang ia meraung-raung di tengah malam, suka makan daging mentah, dan sebagainya. Ada pula kejadian di Amerika. Pada tahun 1938 seorang anak berumur 5 tahun ditemukan tinggal di atas loteng. Karena terasing dari lingkungan, meskipun berusia 5 tahun anak tersebut belum juga dapat berjalan dan bercakap-cakap. Jadi jelas bahwa manusia, meskipun mempunyai bakat dan kemampuan, namun bakat tersebut tidak dapat berkembang jika tidak ada lingkungan. Itulah sebabnya manusia dikatakan sebagai mahluk sosial (Hartomo, 200:77). Sebenarnya telah banyak penelitian dijalankan untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan “Mengapa manusia itu selalu hidup bermasyarakat?” Beberapa kesimpulan yang didapat adalah manusia itu tidak dapat hidup sendiri, misalnya hidup di gua atau di dalam hutan yang sunyi. Ia selalu tertarik untuk hidup bersama atau bermasyarakat. Hal ini disebabkan karena pada hakikatnya manusia adalah mahluk sosial yang memiliki dorongan atau hasrat, dan mempengaruhi hidup manusia dalam bergaul dengan manusia lainnya di dalam hidup bermasyarakat. Semua tingkah laku dan perbuatan manusia ditimbulkan karena ada hasrat-hasrat pada manusia. Hidup bermasyarakat bentuk dan coraknya banyak dipengaruhi oleh perbuatan dan tingkah laku manusia sebagai realisasi dari hasrat-hasrat yang ada pada manusia. Bagaimana hubungan antara hasrat-hasrat itu? Misalnya hasrat harga diri dengan hasrat hidup dengan manusia lain? Umpamanya, hasrat harga diri dengan hasrat kemasyarakatan. Kedua hasrat ini saling mengisi dan tidak dapat dilepaskan satu sama lain, sebab dalam kenyataan harga diri itu baru dapat diketahui apabila ada orang lain yang memberi harga diri. Misalnya, seseorang yang hidup sendirian, tidak mungkin harga diri ini dapat terpenuhi. Kalau dia ingin mendapatkan harga diri pasti harus hidup dengan orang lain yang dapat memberikan harga diri. Selanjutnya, hubungan antarkedua hasrat apabila dilihat sepintas nampak adanya pertentangan antara hasrat yang satu dan hasrat yang lain. Misalnya, ingin hidup dengan manusia lain (hasrat kemasyarakatan) dengan hasrat berkuasa. Mungkinkah itu? Tetapi apabila
16
direnungkan, sebenarnya semua hasrat-hasrat ini tidak terjadi pertentanganpertentangan, melainkan saling mengisi. Contoh lain, hasrat ingin berkuasa tidak mungkin terjadi apabila tidak berhubungan dengan manusia lain. Seorang manusia dapat berkuasa pasti karena ada yang dikuasai, tidak mungkin ia berkuasa sendirian. Oleh sebab itu, orang yang berada di tengah hutan sendirian, misalnya, maka hasrat kekuasaan ini tak mungkin dapat terpenuhi. Dengan demikian hasrat-hasrat yang nampaknya dari luar saling bertentangan, kalau ditinjau dari dalam, sebenarnya saling mengisi dan melengkapi. Di samping adanya hasrat-hasrat atau golongan instingtif pada manusia, masih terdapat faktor-faktor yang lain yang mendorong manusia untuk hidup bermasyarakat. Faktor-faktor itu adalah sebagai berikut. 1. Adanya dorongan seksual, yaitu dorongan manusia untuk mengembangkan keturunan atau jenisnya. 2. Adanya kenyataan bahwa manusia itu adalah “serba tidak dapat” atau “sebagai makhluk lemah”. Oleh karena itu, ia selalu mendesak atau menarik kekuatan bersama yang terdapat dalam perserikatan dengan orang lain, sehingga mereka berlindung bersama-sama, dan mengejar kebutuhan hidup sehari-hari, termasuk pula perlindungan keluarga itu sehari-hari terhadap bahaya dari luar. 3. Terjadinya “habit” pada tiap-tiap diri manusia. Manusia bermasyarakat karena ia telah biasa mendapat bantuan yang diterimanya sejak kecil dari lingkungannya. Tegasnya, manusia telah merasakan betapa manisnya hidup bermasyarakat, sehingga ia tidak mau keluar lagi dari lingkungan masyarakat yang telah memberikan bantuan yang bermanfaat baginya. 4. Adanya kesamaan keturunan, kesamaan teritorial, kesamaan nasib, kesamaan keyakinan/cita-cita, kesamaan kebudayaan dan lain-lain. Selanjutnya manusia sebagai mahluk sosial memperlihatkan sifat-sifat yang paradoks. Sifat-sifat tersebut, misalnya di satu pihak ia menjadi produk masyarakat, sedangkan di pihak lain ia juga menjadi produser masyarakat. Di satu pihak ia menjadi pengendali masyarakat, sedangkan dipihak lain ia juga menjadi objek yang dikendalikan masyarakat. Di satu pihak ia menjadi pengaman masyarakat, sedangkan di pihak lain ia juga menjadi perusak masyarakat. Di pihak yang lain, pada saat yang sama, manusia merupakan anggota dari jenisnya, menjadi mahluk sosial yang diatur oleh norma sosial yang membatasi cara berpikir, pengungkapan perasaan, dan tindakannya sesuai dengan peraturan, serta pola masyarakat. Manusia sebagai individu, bertindak dan bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, sedangkan sebagai mahluk sosial ia harus bertindak sesuai dengan pola masyarakat dan bertanggung jawab serta mempertanggung jawabkan perbuatannya kepada masyarakat.
17
Masyarakat sebagai Tempat antar-Hubungan Sosial Dalam kehidupan sehari-hari, kita menemukan kenyataan bahwa manusia sebagai makhluk sosial ada kecenderungan saling membutuhkan dan memiliki kepentingan. Dari kecenderungan ini manusia seringkali melakukan kesalahan terhadap sesama manusia. Kecenderungan yang bersifat sosial ini selalu timbul pada diri manusia. Dari kenyataan ini timbullah suatu struktur antarhubungan yang beraneka ragam. Keragaman itu berbentuk kolektivitas serta kelompok. Tiap-tiap kelompok terdiri atas kelompok-kelompok yang lebih kecil. Apabila kolektivitas-kolektivitas dan kelompok-kelompok mengadakan persekutuan dalam bentuk yang lebih besar, maka terbentuklah sebuah “masyarakat“. Pada setiap masyarakat, jumlah kelompok dan kesatuan sosial tidak hanya satu. Di samping individu, warga masyarakat juga dapat menjadi bagian dari berbagai kelompok dan kesatuan sosial yang hidup dalam masyarakat. Adanya penggolongan dalam masyarakat menyebabkan beraneka ragam bentuk dan kriteria sebuah masyarakat. Hal ini terletak pada peran dan hubungan sosial manusia di dalamnya. Dalam hubungannya dengan penggolongan-penggolongan dan tempat manusia berinteraksi sosial, maka kelompok masyarakat sangat beraneka ragam, di antaranya adalah sebagai berikut. 1) Kelompok Primer dan Sekunder Kelompok primer adalah kelompok yang ditandai ciri-ciri saling mengenal antara anggota-anggotanya, serta kerja sama erat dan bersifat pribadi. Salah satu hasil yang bersifat pribadi adalah adanya peleburan individu-individu dalam satu kelompok, sehingga tujuan individu juga menjadi tujuan kelompok. Adanya kebersamaan yang mempersatukan sifat-sifat perseorangan dan dikomunikasikan secara simpati dan empati dengan sederhana dinyatakan dalam istilah “kami” Misalnya kelompok keluarga. Kelompok sekunder adalah kelompok yang para anggotanya tidak saling mengenal antarhubungan langsung, hubungan sosial yang tidak akrab, atau hanya dengan hubungan rasional (Soerjono Soekanto, 1982). 2) Gemeinschaft dan Gesellschaft Gemeinschaft adalah bentuk kehidupan bersama. Unsur pengikatnya berupa hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah. Faktor ikatannya berupa rasa cinta dan kesatuan batin yang bersifat kodrati. Dalam hal ini Tonnies membedakan menjadi tiga tipe, yaitu: Gemeincshaft by blood, merupakan ikatan yang didasarkan pada ikatan darah atau keturunan. Contoh: keluarga, kelompok kekerabatan.
18
Gemeinschaft of place, yaitu kelompok yang terdiri atas orang-orang yang berdekatan tempat tinggal, sehingga dapat saling tolong-menolong. Contoh: Rukun Tetangga, Rukun Warga. Gemeinschaft of mind, kelompok yng tidak mempunyai hubungan darah atau tempat tinggal tidak berdekatan, tetapi mempunyai jiwa dan pikiran yang sama karena memiliki kesamaan ideologi. Gesellschaft diartikan bentuk ikatan bersama berupa ikatan lahir yang bersifat pokok dalam jangka waktu tertentu, didasarkan pada adanya kebutuhan timbal balik, seperti ikatan pedagang, serikat buruh, dan sebagainya (Soerjono Soekanto, 1982 : 86). 3). Formal Group dan Informal Group Formal Group adalah suatu kelompok sosial yang di dalamnya terdapat tata aturan yang tegas yang sengaja dibuat dalam rangka mengatur hubungan antar-anggotanya. Dalam tata aturan itu dicantumkan tentang hak, kewajiban, dan kedudukan para anggotanya. Contoh kelompok sosial seperti ini adalah ikatan kelompok professional, seperti Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI). Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), dan sebagainya. Sementara, kelompok informal (informal group) adalah kelompok sosial yang mempunyai struktur dan organisasi pasti (permanent). Kelompok semacam ini didorong oleh suatu pertemuan-pertemuan yang terjadi berulang kali untuk kepentingan-kepentingan tertentu atas dasar pengalaman yang sama. Misalnya Clique yang ditandai dengan pertemuan-pertemuan timbal balik antara para anggotanya. Seperti anggota serikat buruh (kelompok kecil tanpa struktur formal) mengadakan pertemuan-pertemuan dalam membicarakan kepentingan tertentu (Kamanto Sunarto, 1993 : 35). 4). Community Community adalah kelompok yang memperhitungkan keanggotaannya berdasarkan hubungan anggotanya dengan lingkungan setempat (lokal). Setiap usaha untuk mendefinisikan community (masyarakat) itu selalu menemui dilemma yang sama, yaitu hadirnya masyarakat (community) dalam kelompok primer maupun sekunder, dan masyarakat memiliki kriteria yang bersifat fisik dan kriteria itulah menentukan masyarakat (community). Orang hidup itu tidak pernah lepas dari masalah tempat tinggal. Mereka selalu berdiam dalam suatu tempat yang tertentu. Interaksi di antara para penghuni tempat itu dipandang lebih mudah dilakukan daripada dengan orang lain. Pada dasarnya penghuni tempat itu dapat saja berurusan dengan orang lain, tetapi tidaklah sesering dan semudah dengan penghuni lainnya. Nampaknya hubungan di antara sesama penghuni itu dapat dipergunakan untuk memperoleh kesenangan, kunjungan, pekerjaan dan hal-hal lainnya. Dengan mempergunakan alat-alat komunikasi yang sederhana mereka mengadakan hubungan yang sifatnya primer 19
dalam wilayah yang terbatas. Orang yang masuk ke dalam suatu masyarakat merasa lebih senang berhubungan dengan sesama anggota kelompok daripada dengan lain. Community merupakan kelompok territorial terkecil yang dapat menampung semua aspek kehidupan sosial yang memiliki aspek yang lengkap. Adapun rumah tangga merupakan kelompok yang lebih kecil yang memiliki ruang lingkup yang lebih tebatas. Selanjutnya community adalah kelompok lokal yang merupakan masyarakat berkat adanya institusi, status, dan minat, sehingga community itu dapat disebut sebagai sebuah masyarakat yang lengkap.
5). Masyarakat Desa dan Masyarakat Kota Salah satu perbedaan yang ada dalam masyarakat modern adalah antara desa dan kota. Hal ini karena pada umumnya desa atau dusun selalu menerima pengaruh kota. Sementara itu masyarakat primitif adalah masyarakat yang berada sepenuhnya bersifat pedesaan, dan masyarakat yang selalu merupakan masyarakat kekotaan. Selanjutnya perbedaan antara desa dan kota adalah tidak tetap, karena yang dimaksud dengan desa itu tak akan pernah memiliki sifat pedesaan secara terus-menerus. Secara sosial, kota adalah suatu cara hidup (way of life). Kekotaan atau urban memang menunjukan suatu cara hidup, berkenan dengan pengetahuan tentang barang dan orang, serta sejumlah tata krama yang timbul dalam lingkungan kosmopolitan. Orang kota harus mampu bersikap sesuai dengan lingkungan, hormat, dan sopan, serta mampu menahan suara hati. Mereka harus belajar tentang bagaimana mengendalikan perbedaan dalam situasi yang berbedabeda dan mengambil manfaat dari persahabatan. Dengan demikian, orang merupakan produk dari berbagai jenis lingkungan khusus yang berlatar belakang kekotaan (Kamanto Sunarto, 1993 : 72). 1.3. MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BUDAYA 1.3.1 Hakikat Keberadaan Manusia Sebelumnya telah dibahas bahwa manusia sebagai mahluk individu dan sosial, namun tidak ada salahnya perlu dikemukakan juga mengenai hakikat manusia itu sendiri. Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang tertinggi dan paling beradab dibandingkan dengan ciptaan Tuhan lainnya. Keberadaan manusia tersebut apabila dibandingkan dengan ciptaan Tuhan lainnya, yaitu benda mati, tumbuh-tumbuhan, dan juga binatang. Benda mati tidak dapat berbuat apaapa, kecuali ada dorongan atau tindakan dari ciptaan Tuhan lainnya sebagai makhluk hidup terhadap benda mati itu, sehingga benda mati ini seringkali dijadikan alat untuk membantu atau menopang kehidupan manusia.
20
Sebagaimana makhluk hidup, tumbuh-tumbuhan juga tumbuh dan berkembang, namun ia tidak dapat berpindah, mempunyai emosi, atau berinteraksi langsung dengan pihak lain yang memberikan suatu aksi atau tindakan pada dirinya. Misalnya tumbuh-tumbuhan tidak dapat: berjalan, berlari, marah ketika ditebang, tertawa ketika disiram atau diberi pupuk, meresponss ketika diajak berinteraksi atau berkomunikasi. Demikian pula dengan binatang, yang walaupun dapat berpindah-pindah, mempunyai emosi, dan dapat berinteraksi maupun berkomunikasi, namun apa yang dilakukannya hanya dalam lingkup dan proses belajar yang terbatas, serta lebih karena adanya dorongan nalurinya saja. Sementara itu, manusia mempunyai tingkatan lebih tinggi lagi karena selain mempunyai ciri-ciri sebagaimana makhluk hidup di atas, manusia juga mempunyai akal yang dapat memperhitungkan tindakannya yang kompleks melalui proses belajar yang terus menerus. Selain itu manusia dikatakan pula sebagai makhluk budaya. Budaya diartikan sebagai pikiran atau akal budi (Pusat Bahasa Diknas, 2001: 169), sehingga makhluk budaya dapat diartikan sebagai makhluk yang memiliki pikiran atau akal budi. Aspek yang terkait dengan hakikat manusia sebagai makhluk budaya antara lain adalah unik dan universal. Secara umum, siapapun dan di manapun manusia berada ia adalah makhluk budaya yang mempunyai akal pikiran, sehingga dalam lingkup yang lebih luas sebagai bagian dari kumpulan/kelompok manusia atau masyarakat akan mempunyai kebudayaan yang beragam karena mereka berpikir atau mengalami proses belajar dalam berinteraksi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan kebutuhannya masing-masing. Sedangkan dalam konteks individual, manusia adalah makhluk budaya yang unik. Unik karena antara makhluk hidup yang satu dan lainnya berbeda, dalam berperilaku, menciptakan dan mengekspresikan simbol-simbol. Oleh karena itu, manusia juga dikatakan sebagai animal simbolikum yang mempunyai dorongan untuk mencipta simbolsimbol tersebut. Dalam hubungannya dengan manusia dikatakan juga sebagai makhluk budaya maka manusia diartikan juga sebagai makhluk yang dengan kegiatan akalnya dapat mengubah dan bahkan dapat menciptakan realitas melalui simbolsimbol atau sistem perlambangan. Contoh dari sistem perlambangan di sini adalah bahasa, yang melambangkan sesuatu berdasarkan sistem pola hubungan antara benda, tindakan, dan sebagainya dengan yang apa yang dilambangkan. Bahasa di sini tidak hanya yang verbal tapi juga berupa tulisan, lukisan, tanda-tanda, atau isyarat-isyarat. Selain bahasa, sistem perlambangan digunakan manusia sebagai makhluk budaya dalam segala bidang dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan manusia atau makhluk lainnya. Dengan demikian sebagai animal simbolikum manusia adalah unik karena tiap manusia mempunyai kebutuhan dan kemampuan menciptakan atau mengekspresikan segala sesuatu dengan lambang atau simbol-simbol itu secara berbeda-beda. Sementara sebagai makhluk budaya manusia adalah universal
21
karena setiap manusia dianugerahi Tuhan akal yang dapat berkembang terus melalui proses belajar kebudayaan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Secara universal, perilaku manusia sebagai makhluk budaya merupakan gabungan dari adanya unsur fisik/raga dan mental/kepribadiannya. Sehingga yang berkembang dalam diri manusia adalah tidak hanya raganya namun juga ia berkembang secara emosional dan intelektual. 1.3.2. Manusia Budaya dan Nilai Budaya Kehidupan manusia dapat dilihat dari sisi dirinya sebagai individu (pribadi) dan sebagai makhluk sosial. Sebagai individu, ia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang bagian dirinya terdiri atas tubuh biologis yang secara kasat mata dapat kita amati. Selain itu, sebagai manusia budaya iapun mempunyai akal dan jiwa yang mengatur atau menentukan bagaimana berperilaku. Tiap orang secara individu mempunyai kekhasan perilaku dan pembawaan sifat atau karakter yang berbeda satu sama lain yang disebut sebagai kepribadian. Keberadaan keduanya, yaitu tubuh biologis dan kepribadian, merupakan satu kesatuan dalam diri manusia yang tidak terpisahkan satu sama lain. Dengan adanya kepribadian, sebagaimana telah dikemukakan di atas, perilaku manusia satu dengan lainnya secara individual maupun berkelompok mempunyai pola-pola yang beragam. Hal itu pula yang membedakan perilaku manusia dengan hewan, karena perilakunya tidak hanya ditentukan oleh sistem organik biologisnya saja, melainkan dipengaruhi juga oleh akal dan jiwanya atau yang disebut kepribadian. Dalam bahasa populer, kepribadian diartikan sebagai ciri-ciri watak seorang individu yang konsisten, yang memberikan kepadanya suatu identitas sebagai individu yang khusus. Dalam keseharian, kadang kita mendengar istilah “ia seorang yang berkepribadian”, maka yang dimaksudkan adalah orang tersebut mempunyai ciri watak yang diperlihatkannya secara lahir, konsisten, dan konsekuen dalam tingkah lakunya sehingga tampak bahwa individu tersebut memiliki identitas khusus yang berbeda dari individu-individu lainnya. Isi dari kepribadian manusia terdiri atas 1) pengetahuan ; 2)perasaan, dan; 3) dorongan naluri. Pengetahuan merupakan unsur-unsur atau segala sesuatu yang mengisi akal dan alam jiwa seorang manusia yang sadar, secara nyata terkandung di dalam otak manusia melalui penerimaan pancaindranya serta alat penerima atau reseptor organismanya yang lain (Koentjaraningrat, 1986: 101-111). Selain oleh pengetahuan, alam kesadaran manusia juga diisi oleh perasaannya. Yang dimaksudkan dengan perasaan di sini adalah suatu keadaan dalam kesadaran manusia yang karena pengaruh pengetahuannya dinilai sebagai keadaan positif atau negatif. Misalnya, seorang dari daerah Jawa menyukai tari Gambyong yang lemah lembut, atau bagi orang dari Bali menyukai tari Kecak yang dinamis. Semua perasaan suka atau positif itu dipengaruhi oleh
22
pengetahuannya yang sudah disosialisasikan terhadap dirinya melalui proses belajar kebudayaan. Sebaliknya, seseorang tidak menyukai makanan tertentu atau bau tertentu, sebagai perasaan negatif, disebabkan oleh pengetahuan atau pengalaman dirinya melalui proses belajar tadi. Sehingga suatu perasaan selalu bersifat subjektif karena adanya unsur penilaian tadi. Dari perasaan ini kemudian dapat berkembang menjadi suatu kehendak untuk mencapainya atau sebaliknya menghindari sesuatu itu, tergantung dari perasaannya apakah sebagai perasaan yang positif atau negatif terhadap sesuatu hal. Kalau unsur perasaan di atas muncul karena dipengaruhi oleh pengetahuan manusia, maka kesadaran manusia yang tidak ditimbulkan oleh pengaruh pengetahuan manusia melainkan karena sudah terkandung dalam organismanya disebut sebagai naluri. Sehubungan dengan naluri tersebut, kemauan yang sudah merupakan naluri pada tiap manusia disebut sebagai “dorongan” (drive), maka disebut juga sebagai dorongan naluri. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Macam-macam dorongan naluri manusia, antara lain adalah: dorongan untuk mempertahankan hidup; dorongan seks; dorongan untuk usaha mencari makan; dorongan untuk bergaul atau berinteraksi dengan sesama manusia; dorongan untuk meniru tingkah laku sesamanya; dorongan untuk berbakti; dorongan akan keindahan, dalam arti keindahan bentuk, warna, suara, atau gerak (Koentjaraningrat, 1986 : 109-111).
Dorongan-dorongan naluriah tersebut kemudian berkembang menjadi kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya yang disesuaikan dengan keadaan lingkungan maupun status dirinya dalam konteks makhluk sosial. Selain itu tinjauan kebutuhan hidup inipun berkaitan erat dengan keberadaan manusia yang mempunyai ragam hubungan, yaitu dengan pencipta alam, manusia lain (sebagai makhluk sosial), dan dengan diri sendiri. Dalam pemenuhan kebutuhan hidup tadi, sebagai suatu permasalahan, manusia memerlukan penyelesaian atau penyaluran. Mengingat manusia tidak hidup seseorang diri, dan mengingat pula keberadaan dirinya sebagai manusia budaya yang berakal budi, maka tindakan-tindakan yang dilakukannya harus memiliki aturan-aturan yang perlu ditaati sebagai acuan atau pedoman hidup bersama. Aturan-aturan perilaku hidup bersama tadi dijiwai oleh suatu nilai yang dianggap tinggi, penting dan berharga oleh suatu masyarakat yang dinamakan sebagai nilai budaya. Nilai-nilai budaya yang mewarnai pola-pola kehidupan bersama di dalam mayarakat yang satu akan berbeda dengan nilai budaya masyarakat di wilayah atau negara lain. Perbedaan-perbedaan itu terjadi karena cara pandang yang berbeda, tergantung bagaimana masyarakat tersebut memandang suatu acuan hidup itu bernilai atau tidak, yang ditunjukkan dengan penundukkan diri pada nilai budaya itu.
23
Dengan demikian di tiap masyarakat mempunyai nilai budaya tertentu yang berbeda-beda. Sebagai contoh, pada masyarakat Indonesia yang agraris mempunyai nilai budaya kebersamaan atau komunalistik. Wujud dari nilai ini melahirkan suatu nilai gotong royong, musyawarah untuk mufakat, dan lain-lain. Nilai budaya ini berbeda dengan masyarakat di Eropa atau Amerika Serikat sebagai negara industri yang mempunyai nilai kemandirian yang individualistik. Nilai-nilai budaya ini ada atau berkembang di suatu wilayah atau negara karena masyarakatnya menganggap hal itulah yang paling bernilai atau sesuai dengan kondisi atau kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, pada tahap selanjutnya nilai-nilai budaya yang bersifat abstrak dan berada dalam alam pikiran warga masyarakat ini akan menjiwai atau menjadi inti dari aturan-aturan atau norma-norma berperilaku lainnya yang lebih konkret untuk diterapkan. Nilainilai budaya tersebut adalah suatu sistem nilai budaya masyarakat. Dikatakan sebagai sistem karena merupakan himpunan nilai yang tidak terdiri atas satuan gagasan yang masing-masing berdiri sendiri, melainkan suatu kesatuan yang berkaitan erat satu sama lain. Sebagaimana telah disebutkan di atas, sistem nilai budaya sebagai inti yang menjiwai semua pedoman yang mengatur tingkah laku warga masyarakat yang bersangkutan. Pedoman tingkah laku itu adalah adat istiadatnya, sistem normanya, aturan etikanya/moralnya, aturan sopan santunnya, pandangan hidup, ideologi pribadi, ideologi nasionalnya, dan sebagainya. Sebagai inti, sistem nilai budaya berbeda dengan pedoman-pedoman tingkah laku itu sendiri. Pedoman tingkah laku menyangkut soal-soal yang terbatas ruang lingkupnya, dapat didefinisikan dengan ketat dan bersifat rasional, serta dapat diubah apabila perlu, misalnya aturan adat perkawinan, aturan sopan santun, dan sebagainya. Sedangkan sistem nilai budaya bersifat umum, sangat luas ruang lingkupnya, bersifat kabur dan sangat sulit didefinisikan, dihinggapi rasa emosional dan sangat sulit diubah, misalnya nilai gotong royong. Dengan demikian sistem nilai budaya dikatakan juga sebagai bagian dari suatu kebudayaan yang paling abstrak, paling “dalam”, dan paling sulit diubah. Oleh karena itu, mengubah orientasi nilai budaya suatu masyarakat sangat sulit dilakukan, dan memerlukan waktu relatif lama. Sistem nilai budaya dan pedoman tingkah laku lainnya merupakan wujud ideal dari kebudayaan. Secara lebih khusus wujud ideal tersebut dibagi dalam empat tingkatan, yaitu: 1. tingkat nilai budaya, bersifat paling abstrak yang berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia, contoh: nilai gotong royong; 2. tingkat norma, bersifat abstrak; 3. tingkat sistem hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, bersifat agak konkrit, contoh: undang-undang; 4. tingkat aturan-aturan khusus, bersifat konkrit, contoh: aturan-aturan pelaksanaan dari suatu undang-undang.
24
1.3.3. Orientasi Nilai Budaya Nilai-nilai yang hidup dalam suatu kehidupan manusia mempunyai bentuk yang tergantung pada ragam hubungan dalam keberadaan manusia. Berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhannya, maka nilai-nilai yang ditaati adalah nilai-nilai yang sesuai dengan keyakinannya atau disebut sebagai nilai agama atau nilai spiritual. Dalam konteks diri manusia sebagai makhluk sosial, maka nilai yang dianutnya adalah nilai-nilai yang hidup dan didukung oleh sebagian besar warga masyarakatnya sebagai nilai budaya. Sebagai suatu sistem nilai, nilai budaya dari warga masyarakat ini juga dipengaruhi oleh nilai-nilai agama atau spiritual tadi. Kemudian telah dikemukakan juga bahwa tiap masyarakat mempunyai nilai budaya yang berbeda satu sama lain. Perbedaan nilai budaya suatu masyarakat atau warga masyarakat ini dikarenakan adanya pengaruh dari orientasi nilai budayanya. Bentuk-bentuk orientasi nilai budaya yang ada dalam berbagai masyarakat dapat kita lihat dalam bagan berikut ini. Kerangka Kluckhohn mengenai Lima Masalah Dasar Dalam Hidup yang Menentukan Orientasi Nilai Budaya Manusia Masalah Dasar Dalam Hidup Hakikat Hidup (MH)
Orientasi Nilai Budaya Hidup itu buruk
Hidup itu baik
Hakikat karya (MK)
Karya itu untuk nafkah hidup
Persepsi manusia tentang waktu (MW) Pandangan manusia terhadap alam (MA) Hakikat hubungan antara manusia dengan sesamanya (MM)
Orientasi ke masa kini
Karya itu untuk kedudukan, kehormatan, dan sebagainya. Orientasi ke masa lalu
Manusia tunduk kepada alam yang dasyat
Manusia berusaha menjaga keselarasan dengan alam
Manusia berhasrat menguasai alam
Orientasi vertikal, rasa ketergantungan kepada tokoh-tokoh atasan dan berpangkat
Individualisme, menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri
Orientasi kolateral (horizontal), rasa ketergantungan kepada sesamanya (berjiwa gotong royong) (Sumber: Koentjaraningrat, 1986: 194)
Hidup itu buruk tetapi manusia wajib berikhtiar supaya hidup itu menjadi baik Karya itu untuk menambah karya Orientasi ke masa depan
25
BAB II AKHLAK DAN BUDI PEKERTI 2.1. Pengertian Akhlak dan Budi Pekerti 2.1.1 Pengertian Akhlak Kata ’akhlak’ merupakan bentuk jamak (plural) dari kata ’khuluk’, berasal dari bahasa Arab yang berarti ”perangai”, ”tingkah laku”, atau ”tabiat”. Secara terminologi, ’akhlak’ berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik. Tiga pakar di bidang akhlak, yaitu Ibnu Miskawaih, Al Gazali, dan Ahmad Amin menyatakan bahwa akhlak adalah perangai yang melekat pada diri seseorang yang dapat memunculkan perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu (Rahmat Djatnika, 1992 : 27) Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai kata akhlak, moral, dan etika yang ketiganya merupakan tingkah laku manusia, hampir sama, namun jika dilihat dari sumbernya, ketiga kata tersebut akan berbeda. Akhlak bersumber dari agama wahyu. Moral bersumber dari adat istiadat masyarakat. Sementara etika bersumber dari filsafat moral dan akal pikiran Jika dikaji lebih mendalam dan dihubungkan dengan konteks kalimat, kata moral, etika, dan akhlak memiliki pengertian yang berbeda. Moral artinya ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti. Moral adalah istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas suatu sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang layak dikatakan benar, salah, baik, buruk. Yang dimaksud penilaian benar atau salah dalam moral, adalah masyarakat secara umum. Sedangkan akhlak, tingkah laku baik, buruk, salah benar adalah penilaian dipandang dari sudut hukum yang ada dalam ajaran agama. Dalam Ensiklopedi Pendidikan (1976) Sugarda Purbakawatja menyebutkan, sesuai dengan makna aslinya moral dalam bahasa latin disebut mos, artinya adalah adat istiadat yang menjadi dasar untuk mengukur apakah perbuatan seseorang baik atau buruk. Oleh karena itu, apabila untuk mengukur tingkah laku manusia, baik atau buruk dapat dilihat apakah perbuatan itu sesuai dengan adat istiadat yang umum diterima kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Karena itu dapat dikatakan baik buruk suatu perbuatan secara moral, bersifat lokal (Daud Ali,1998 : 354). Perbedaannya dengan “etika” dalam Kamus Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) edisi ke-3 (2001), etika dimengerti sebagai ilmu tentang etik. Jadi etika, yaitu ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral. Etika merupakan cabang dari filsafat yang mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai perbuatan baik dan buruk, ukuran yang dipergunakannya adalah akal pikiran. Akallah yang 26
menentukan apakah perbuatan manusia itu baik atau buruk. Jika diperbandingkan ketiga kata tersebut, maka etika adalah ilmu, moral adalah ajaran, akhlak adalah tingkah laku manusia (sikap etis). Kata “akhlak” dapat diartikan sebagai perangai. Kata tersebut memiliki arti yang lebih mendalam karena telah menjadi sifat dan watak yang dimiliki seseorang. Sifat dan watak yang telah melekat pada diri pribadi akan menjadi kepribadian. Dapat juga dikatakan bahwa perangai adalah sifat dan watak yang merupakan bawaan seseorang. Pembentukan perangai ke arah baik atau buruk, ditentukan oleh faktor dari dalam diri sendiri maupun dari luar, yaitu lingkungannya. Keluarga merupakan lingkungan pertama dan terdekat bagi seseorang. Melalui keluarga dapat terbentuk kepribadian. Perangai dalam penerapannya mungkin menimbulkan penilaian positif atau negatif tergantung pada perilaku orang yang melakukan. Kata akhlak apabila diartikan sebagai tingkah laku, maka tingkah laku itu harus dilakukan secara berulang-ulang tidak cukup hanya sekali melakukan perbuatan baik, atau hanya sewaktu-waktu saja. Seperti halnya orang berbuat sosial dengan memberikan uang pada orang miskin atau memberikan bantuan pada korban bencana alam, hanya sekali dia melakukan tidak dapat disebut berakhlak, ia hanya dikatakan sebagai seorang dermawan. Apabila terus menerus melakukan kebaikan dan memperlihatkan tingkah laku yang baik maka seseorang disebut berakhlak. Selanjutnya orang dapat dikatakan berakhlak jika timbul dengan sendirinya didorong oleh motivasi dari dalam diri dan dilakukan tanpa banyak pertimbangan pemikiran apalagi pertimbangan yang sering diulang-ulang, sehingga terkesan sebagai keterpaksaan untuk berbuat. Jika perbuatan itu terpaksa bukanlah pencerminan akhlak (Ensiklopedi Islam, I, 1993, 102). Dengan demikian, seseorang dikatakan berahklak jika memenuhi empat hal. Pertama perbuatan yang baik atau buruk; kedua kemampuan melakukan perbuatan; ketiga kesadaran akan perbuatan itu; dan keempat kondisi jiwa yang membuat cenderung melakukan perbuatan baik atau buruk. Dalam Encyclopedia Brittanica, akhlak disebut sebagai ilmu akhlak, yaitu studi yang sistematik tentang tabiat dari pengertian nilai baik, buruk, seharusnya benar, salah dan sebagainya tentang prinsip umum dan dapat diterapkan terhadap sesuatu, selanjutnya dapat disebut juga sebagai filsafat moral (Ensyclopaedi of Britannica, “Etics”, jilid VIII: 752)
2.1.2 Pengertian Budi Pekerti Budi pekerti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan kata majemuk dari kata “budi” dan “pekerti”. Budi berarti yang sadar atau yang menyadarkan atau alat kesadaran. Pekerti berarti kelakuan. Secara terminologi, kata ‘budi’ ialah yang ada pada manusia, berhubungan dengan kesadaran, yang didorong oleh pemikiran, rasio disebut karakter. Pekerti ialah apa yang terlihat pada manusia, karena didorong oleh perasaan hati, yang disebut behavior. Jadi budi pekerti adalah perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang bermenifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia (Rahmat Djatnika, 1992 : 25)
27
Kata budi pekerti dalam kamus Bahasa Indonesia ialah tingkah laku, perangai, akhlak. Budi pekerti mengandung makna perilaku yang baik, bijaksana dan manusiawi. Di dalam perkataan itu tercermin sifat, watak seseorang dalam perbuatan sehari hari. Budi pekerti sendiri mengandung pengertian positif. Namun penggunaan atau pelaksanaannya yang mungkin negatif. Penerapannya tergantung pada manusia. Karena itu, apabila orang mengatakan budi pekerti si Badu baik kata-kata itu menunjukkan penilaian positif yang diberikan orang lain pada pribadi si Badu. Sebaliknya kalau orang mengatakan budi pekerti si Badu buruk, perkataan itu menunjukkan penilaian negatif terhadap pribadi si Badu. Apabila dihubungkan dengan akhlak yang berarti perangai adalah sama mengandung pengertian tingkah laku manusia. Budi pekerti didorong oleh kekuatan rohani manusia, yaitu rasio, rasa, dan karsa yang akhirnya muncul menjadi perilaku yang dapat terukur dan menjadi kenyataan dalam kehidupan. Ratio mempunyai tabiat kecenderungan kepada ingin tahu dan mau menerima yang logis, yang masuk akal dan sebaliknya tidak mau menerima yang anlogis, yang tidak masuk akal. Untuk mengisi kebutuhan rasio dengan memberi pengetahuan dan mengisinya dengan hal yang masuk akal. Manusia diberi kesempatan berpikir dan mengembangkan, serta membimbing akal ke arah yang benar. Oleh karena itu, belajar menuntut ilmu merupakan pemenuhan kebutuhan rasio. Dalam hal ini yang terpenting adalah ilmu pengetahuan tentang benar dan salah atau tentang baik dan buruk. Di samping unsur rasio, manusia mempunyai unsur rasa. Perasaan manusia selalu berhubungan dengan pengalaman, pendidikan, pengetahuan dan suasana lingkungan. Demikian pula perasaan manusia dipengaruhi oleh keyakinan yang diyakini tentang kebenaran dan kebaikan. Rasa mempunyai tabiat kecenderungan pada keindahan. Letak keindahan adalah pada keharmonisan susunan sesuatu, harmonis antara unsur jasmani dengan rohani, harmonis antara cipta, rasa, dan karsa, harmonis antara mental dan tingkah laku, harmonis antara individu dengan masyarakat, harmonis susunan keluarga, harmonis hubungan antara keluarga. Keharmonisan akan menimbulkan rasa nyaman dalam kalbu dan tenteram dalam hati. Jika tidak ada keharmonisan akan timbul gejolak dalam hati, timbul keresahan dan kegelisahan yang mengganggu ketenteraman dan kenyamanan dalam hati. Rasa manusia tidak terlepas dari hubungan dengan rasio dan keyakinannya. Rasa yang berhubungan dengan kesadaran adalah perasan hati nurani murni yang keluar dari lubuk hati dan merupakan sesuatu kekuatan, pelita hati, yang menyinari hidupnya. Perasaan hati itu sering disebut “hati kecil” atau disebut “suara kata hati”, lebih umum lagi disebut hati nurani. Suara hati selalu mendorong untuk berbuat baik dan yang bersifat keutamaan serta memperingatkan perbuatan yang buruk dan berusaha mencegah perbuatan yang bersifat buruk dan hina. Setiap orang mempunyai suara hati, walaupun suara hati
28
masing-masing kadang berbeda. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan keyakinan, perbedaan pengalaman, perbedaan lingkungan, perbedaan pendidikan dan sebagainya. Namun suara hati mempunyai kesamaan, yaitu keinginan mencapai kebahagiaan dan keutamaan kebaikan yang tertinggi sebagai tujuan hidup. Manusia memiliki karsa berhubungan dengan rasio dan rasa. Karsa disebut kemauan atau kehendak. Hal ini berbeda dengan keinginan. Keinginan lebih mendekati pada senang atau cinta yang kadang-kadang berlawanan antara satu keinginan dengan keinginan lainnya dari seseorang pada suatu waktu yang sama, keinginan belum menuju pada pelaksanaan. Kehendak atau kemauan adalah keinginan yang dipilih di antara keinginan-keinginan yang banyak untuk dilaksanakan. Dengan kata lain, kehendak adalah keinginan yang dimenangkan di antara keinginan-keinginan yang banyak setelah mengalami kebimbangan. Adapun kehendak muncul melalui sebuah proses sebagai berikut. 1) Ada stimulan ke dalam panca indra. 2) Timbul keinginan-keinginan. 3) Timbul kebimbangan, proses memilih. 4) Menentukan pilhan kepada salah satu keinginan. 5) Keinginan yang dipilih menjadi salah satu kemauan, selanjutnya akan dilaksanakan (Rahmat Djatnika, 1992 : 167). Dalam kehidupan manusia, ada perbuatan yang dilaksanakan dengan kehendak dan ada pula perbuatan yang dilaksanakan tanpa kehendak. Perbuatan yang dilaksanakan dengan kesadaran dan dengan kehendak inilah yang disebut perbuatan budi pekerti. 2.2 Ruang Lingkup Ahklak dan Budi Pekerti Sebagaimana telah dikemukakan di atas, akhlak merupakan tingkah laku manusia yang identik dengan perkataan budi pekerti, maka mempunyai ruang lingkup yang sesuai dengan aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari. Manusia sebagai mahluk individu dan sekaligus mahluk sosial ciptaan Tuhan, dalam kehidupannya senantiasa berhubungan dengan Tuhan dan berhubungan dengan sesama manusia lain dan alam sekitar. Oleh karena itu, akhlak tidak semata-mata kelakuan manusia yang nampak, tetapi banyak aspek yang berkaitan dengan sikap batin maupun pikiran. Ketika manusia ingin melakukan komunikasi dengan Tuhan, ia membutuhkan norma-norma yang mengatur bagaimana pola bertingkah laku kepada Tuhan, agar perbuatannya dinilai baik untuk menghadap kepada penciptanya. Selanjutnya sebagai mahluk sosial, manusia berperilaku untuk memelihara diri sendiri, berkomunikasi dengan sesama manusia lain dalam kehidupan keluarga dalam bertetangga, bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Selain dengan manusia sebagai mahluk hidup, manusia juga hidup dalam lingkungan alam sekitar, baik hidup maupun mati (benda tak bergerak), meliputi 29
tumbuhan, hewan, batu-batuan, sungai, gunung, hasil seni budaya, peninggalan peninggalan budaya, hasil temuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sebagainya. Semua hal tersebut memerlukan keteraturan yang membuat manusia dapat berbuat baik dan benar. Dengan demikian ruang lingkup akhlak meliputi hal-hal berikut ini. 2.2.1 Akhlak terhadap Tuhan Yang Mahaesa Tuhan adalah pelindung dan memberi makna dalam setiap kehidupan manusia, terutama bagi manusia yang beragama, karena inti agama adalah Tuhan. Agama tanpa kepercayaan kepada Tuhan tidak disebut agama. Dalam agamaagama wahyu, Tuhan dapat dilihat dari aspek eksistensi Tuhan. Agama Yahudi menekankan pada Tuhan yang hidup (The Living God). Agama Kristen menyebut Tuhan dengan tripersonal, yaitu Tuhan Bapak, Anak, dan Roh Kudus. Menurut agama Kristen, tiga person merupakan satu kesatuan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah Satu dalam Tiga dan Tiga dalam Satu (Amsal Bahtiar, 1999 : 203). Dalam agama Islam Tuhan adalah maha pencipta, maha pemberi kehidupan, maha tinggi. Oleh karena itu, Tuhan berdimensi serba maha jika dibandingkan dengan manusia. Semua pemeluk agama selalu memberikan penghormatan dan kedudukan yang tertinggi kepada Tuhan. Sebagai wujud dari penghormatan dan kedudukan yang tinggi, ummat dari masing-masing agama memanjatkan dan memohon doa kepada Tuhan untuk memperoleh perlindungan serta mohon keselamatan dalam kehidupannya. Untuk itu, perilaku terhadap Tuhan perlu diatur berdasarkan pada norma-norma yang berlaku bagi agama masing-masing. Berakhlak kepada Tuhan merupakan pengembangan kehidupan kerohanian bagi pribadi manusia. Dengan memelihara kehidupan rohani manusia akan merasa hidup tenang, tenteram di bawah lindungan Tuhan. Akhlak yang baik terhadap Tuhan adalah berkata-kata dan bertingkah laku yang terpuji, baik melalui penyembahan langsung maupun melalui perilakuperilaku tertentu yang mencerminkan komunikasi dengan Tuhan di luar penyembahan sebagai wujud penghormatan kepada Tuhan. 2.2.2 Akhlak Terhadap Manusia 2.2.2.1 Akhlak terhadap Rasul utusan Allah, karena Rasul adalah manusia pilihan Allah yang juga memiliki sifat sifat kemanusiaan sebagaimana manusia pada umumnya. Bedanya Rasul adalah perilakunya senantiasa dijaga agar tidak berbuat yang salah dan jelek. Adapun akhlak terhadap Rasul adalah meneladani Rasul dalam setiap perilakunya. Dalam hal ini Rasul sebagai pembawa ajaran Tuhan agar dapat sampai pada manusia dan dapat dimengerti oleh manusia sebagai penganut agama Wahyu yang diturunkan oleh Tuhan. 2.2.2.2 Akhlak terhadap diri sendiri. Akhlak kepada diri sendiri adalah menyayangi diri sendiri dengan menjaga diri dari perbuatan buruk. Berakhlak pada diri sendiri di antaranya melakukan perbuatan berikut ini. 30
1) Menjaga dan memelihara hati agar memiliki hati yang bersih dan jernih, selalu berbicara sesuai dengan hati nuraninya sendiri. Membersihkan hati berupa menahan dan mengendalikan keinginan-keinginan atau dorongan-dorongan hati yang membawa kearah tidak baik. Hati yang bersih akan melahirkan ucapan ucapan dan perilaku yang baik yang merupakan gambaran akhlak yang mulia. Ucapan yang baik digambarkan dalam tutur kata yang sopan dan dapat menempatkan orang lain lebih tinggi dari dirinya sendiri. Jika hati bersih dan sehat pikiranpun dapat menjadi cerdas, karena tidak ada waktu untuk berpikir licik, dengki, atau keingnan untuk menjatuhkan orang lain. Kebencian terhadap orang lain memakan waktu produktivitas dan kebahagiaan. Akibat hati dan pikiran bersih akan memilki akses data yang tinggi, akses informasi yang berlimpah. Akses ilmu yang benar-benar meluas yang akhirnya akan mampu mengambil ide-ide yang cemerlang dan gagasan yang baru. Wajah akan memancarkan kecerahan dan penuh keramahan, murah senyum. 2) Menata keikhlasan hati merupakan hakikat diri seseorang, perbuatan apa pun akan sia-sia tanpa ada keikhlasan hati. Ikhlas berarti bersih dari segala maksud maksud pribadi yang buruk, bersih dari pamrih, dan riya. Manusia yang ikhlas berkarakter kuat dan tidak mengenal lelah. Perilakunya sama sekali tidak dipengaruhi oleh ada atau tidaknya kedudukan maupun penghargaan. Orientasi hidupnya jelas dan tegas, langkahnya pasti dan penuh harapan, tidak ada kata frustasi dalam hidupnya, tidak ada putus asa dalam usahanya. Orang yang paling menikmati hidupnya adalah orang yang bersungguh-sungguh menjaga keikhlasannya. Orang yang ikhlas hanya memiliki dua kewajiban, yaitu pertama meluruskan niat dan kedua menyempurnakan ikhtiar 3) Menjadikan diri mau bersyukur (berterima kasih). Terima kasih disampaikan kepada semua orang yang telah memberikan kenikmatan hidup, baik berupa harta kedudukan, kesejahteraan, maupun kebahagiaan. Berterima kasih kepada orang yang lebih tinggi sering dilakukan orang, tetapi berterima kasih pada orang rendah dan kecil sulit dilakukan, sekalipun telah memberikan kenikmatan hidup. Seperti kepada orang yang menjadi tukang sapu, membuang sampah, menjadi pembantu rumah tangga. 4) Melatih diri menjadi penyabar. Sabar dapat diartikan sebagai upaya manusia secara sungguh-sungguh untuk dapat terus berada di jalan Allah. Salah satu jenis kesabaran adalah sabar menghadapi rasa sakit. Jadikanlah sabar sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar. Sabar menghadapi kenyataan-kenyataan hidup, seperti menemui kemacetan, harus antri panjang berurusan dengan bank, harus menunggu giliran, berobat ke dokter harus menunggu panggilan, dan sebagainya. 5) Melatih pola hidup bersih. Kesungguhan untuk senantiasa hidup bersih merupakan salah satu cara untuk meraih kesuksesan dan kemuliaan hidup. 31
Langkah menuju hidup bersih sangat tergantung pada keseriusan dan tekad diri sendiri. Mulailah berlatih hidup bersih dari hati, lisan, sikap, dan tindakan 6) Memaksa diri mau berbuat taat terhadap peraturan-peraturan. Ucapan mau berbuat taat biasa dilakukan dengan mengucapkan, “ yah, saya dapat” atau “baik akan saya lakukan”. Ucapan ini harus disertai tanggung jawab, sebab tanpa tanggung jawab ketaatan terhadap apa yang pernah diucapkan tidak akan terlaksana. Perilaku mau berbuat taat adalah berdisiplin terhadap waktu, menepati janji, mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2.2.2.3 Akhlak kepada orang tua. Berakhlak kepada orang tua dengan meletakkan kedudukan orang tua sebagai orang yang melahirkan, membesarkan, memberi makan, membimbing, mendidik, menyayangi, melindungi dan menjaga dari bahaya yang merusak lahir maupun batin. Akhlak melalui ucapan dengan berkata lemah lembut dengan tutur kata yang sopan santun, tidak keras ataupun menghardik orang tua, memanggil orang tua dengan panggilan yang menyenangkan. Akhlak melalui perbuatan dengan cara sebagai berikut. 1) Memelihara orang tua apabila telah lanjut usia dan kembali memiliki sifat kekanak-kanakan, dengan sabar menghadapai keinginan-keinginan yang perlu dipenuhi. Memelihara orang tua ketika menderita sakit, baik ringan maupun berat, setidaknya menjenguknya setiap saat untuk menghibur hatinya. 2) Mendoakan keselamatan dan ampunan bagi orang tua meskipun telah meninggal dunia dengan tujuan untuk mengenang jasa-jasanya terhadap kita. 3) Berkomunikasi dengan menjenguk di tempat kediamannya serta menggunakan kata-kata yang tidak menyinggung perasaannya dan senantiasa menghargainya setiap saat. 2.2.2.4 Akhlak terhadap keluarga. Manusia sebagai mahluk individu dan juga sebagai mahluk sosial membutuhkan adanya ikatan antara individu dengan individu dan antara individu dengan masyarakat. Dalam hubungan keterikatan itu manusia membangun sebuah keluarga yang menjalin perbedaan karakter dan kepribadian menjadi satu kesepakatan bersama untuk saling memberikan pengertian, saling memberikan perhatian, saling memberikan pengorbanan antara yang satu dengan yang lainnya sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh. Oleh karena itu, keluarga disebut sebagai institusi sosial yang di dalamnya terdapat banyak norma-norma yang mengatur kehidupan bersama. Keberadaan norma atau aturan yang menjadi kesepakatan bersama menjadi satu keharusan untuk menjaga keutuhan dan keharmonisan kehidupan dalam keluarga. Di antara akhlak terhadap keluarga dengan berperilaku: a) menjaga nama baik keluarga; b) saling membina rasa cinta dan kasih sayang dalam kehidupan keluarga; c) saling menunaikan kewajiban untuk memperoleh hak; d) berbakti kepada ibu bapak; e)
32
mendidik anak-anak dengan kasih sayang; f) memelihara hubungan silaturahmi dan melanjutkan silaturahmi yang dibina orang tua yang telah meninggal dunia. 2.2.2.5 Akhlak terhadap tetangga. Dalam kajian sosiologi, tetangga adalah kelompok sosial yang terdiri atas beberapa keluarga, hidup berdampingan antara keluarga satu dengan keluarga lainnya, memiliki latar belakang kehidupan keluarga yang berbeda, berada dalam satu wadah yang disebut rukun tetangga. Untuk menjaga hubungan baik dalam kehidupan warga rukun tetangga, antara lain ditunjukkan dengan berperilaku: a) saling mengunjungi; b) saling membantu di waktu senang, terlebih lagi di kala sedang susah; c) saling memberi; d) saling menghormati; e) saling menghindari permusuhan dan pertengkaran. 2.2.2.6. Akhlak terhadap masyarakat. Masyarakat merupakan suatu komunitas yang lebih luas dari sebuah keluarga. Dalam masyarakat terdapat keanekaragaman karakter budaya, ideologi, keyakinan, dan sebagainya. Yang perlu dilakukan dalam kehidupan di masyarakat adalah bagaimana menjalin kehidupan bersama yang lebih harmonis dan saling menghormati perbedaan-perbedaan yang ada. Perilaku yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat adalah saling menghargai, menahan diri, lapang dada mengingatkan untuk kebaikan, mengedepankan kebersamaan, membela jika salah satunya teraniaya, berbuat baik untuk bersama, berniat suci untuk kebaikan, menghormati perbedaan, merasa bersaudara, saling mencintai, menolong dalam kebaikan, mendukung keputusan bersama, berjuang menegakkan keputusan bersama, saling memaafkan, dan saling mendoakan. Dalam masyarakat Indonesia diperlukan kehidupan bersama di tengah kemajemukan yang ada. Secara spesifik, dalam tataran masyarakat yang majemuk, perlu dibangun kesadaran bersama bahwa dalam berperilaku sehari-hari dan sekaligus berinteraksi antaranggota masyarakat harus menunjung tinggi dan menghormati perbedaan perbedaan yang muncul. Dalam rangka mewujudkan kesadaran kolektif tersebut, yakni membangun masyarakat untuk menegakkan etika kemajemukan, ada hal-hal yang harus dilakukan secara bersama-sama, ada hal-hal yang tidak perlu dilakukan, dan ada pula hal-hal yang harus dihormati. Adapun hal-hal yang harus dilakukan adalah sebagai berikut. Pertama, mewujudkan kemauan bersama untuk perdamaian dengan menggalang kesadaran kolektif. Kedua, merumuskan solusi solusi terbaik untuk menciptakan perdamaian dengan mengedepankan kepentingan bersama daripada kepentingan golongan atau kelompok. Ketiga, bersama menahan dri untuk terlibat dalam konflik kepentingan yang mengarah pada konfrontasi fisik secara massal. Keempat, mengedepankan persaudaraan bersama dalam mencari upaya untuk menciptakan kesadaran kolektif, tanpa ada kepentingan pribadi. Tentang hal-hal yang tidak diperlukan bersama adalah melebur kebenaran masing-masing, memaksa pada pihak lain yang berbeda pandangan dan ideologi,
33
menggeneralisasikan setiap perbedaan dan lain sebagainya dengan dalih ingin hidup bersama dalam perdamaian. Di samping itu, hal-hal yang harus dihormati adalah penghargaan terhadap kebenaran agama, ideologi, perbedaan budaya masing-masing tanpa harus mengungkapkan kekurangan ataupun kelemahan yang bernada menghina atau melecehkan. Oleh karena itu, pokok-pokok ajaran agama yang universal, seperti kejujuran, keadilan, tolong-menolong, saling kasih-mengasihi, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia harus lebih dikedepankan daripada hal-hal yang parsial, ekslusif, dan pandangan yang sempit (Prayitno, 2003: 290-291). Selanjutnya yang termasuk dalam akhlak terhadap masyarakat adalah akhlak terhadap hasil karya manusia, baik berupa Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Seni, dan Budaya. Hasil karya manusia merupakan barang yang paling berharga bagi manusia itu sendiri. Tidak mudah untuk menghasilkan sebuah karya. Oleh karena itu, menghargai dan menghormati karya orang lain merupakan wujud dari sebuah akhlak terhadap sesama manusia. 2.2.3 Akhlak terhadap Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berdaulat, merdeka, terdiri atas beberapa kepulauan Nusantara. Kemerdekaan dan kedaulatan berwujud negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 45 tegak sebagai hasil perjuangan, pengorbanan, dan pengabdian seluruh rakyat di bawah kepeloporan dan kepemimpinan para pahlawan bangsa. Dengan modal dasar kemerdekaan dan kedaulatan bangsa, rakyat Indonesia sebagai bangsa dan negara berjuang meraih cita-cita nasional melalui pembangunan nasional dan wawasan nasional dengan sistem kenegaraannya sebagai negara kesatuan Republik Indoesia. Sebagai rakyat dan bangsa Indonesia sudah tentu harus berperilaku sebagai bangsa Indonesia yang mencintai negrinya dengan menjadi warga negara yang baik taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara ini. Bersama-sama mempertahankan negara kesatuan yang berdasarkan pancasila merupakan perwujudan dari akhlak terhadap negara. 2.2.4 Akhlak terhadap Alam Alam diciptakan untuk kepentingan manusia. Oleh karena itu, alam harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dengan penuh rasa tanggung jawab tanpa merusaknya. Pemanfaatan alam harus diiringi dengan tanggung jawab, termasuk di dalamnya pemeliharaan alam dan lingkungannya, agar terjadi kelestarian alam, sehingga dapat dinikmati oleh semua generasi, dan membantunya untuk mempercepat pemulihan kembali jika terjadi kerusakan pada alam. Berakhlak pada alam berarti menyikapi alam dengan cara memelihara kelestariannya, dengan mengimbau pada manusia untuk mengendalikan dirinya dalam mengeksploitasi alam, sebab alam yang rusak akan dapat merugikan bahkan menghancurkan manusia sendiri.
34
Untuk menjaga keutuhan dan keindahan alam sebaiknya hindari hal-hal yang dapat mencemarkan lingkungan dan alam, seperti membuangan limbah rumah tangga dan limbah industri ke sungai yang akhirnya bermuara ke laut dan dapat merusak ekosistem yang ada. Pengambilan pasir dari sungai maupun dari laut yang melampaui batas, mengambil batu gunung dengan menggunakan bahanbahan peledak yang bebas merupakan perbuatan yang tidak berakhlak pada alam sekitarnya. 2.3 Sumber, Akhlak, dan Budi Pekerti 2.3.1. Agama Dilihat dari asal katanya, ‘agama’ berasal dari bahasa sanskerta ‘a’ yang berarti ‘tidak’ dan ‘gam’ berarti ‘kacau’. Jadi, agama = tidak kacau. Ada juga yang mengartikan a = tidak; gam = pergi, mengandung arti tidak pergi, tetap di tempat atau diwarisi turun-temurun. Kemudian dalam bahasa Arab agama disebut ad-Din. Kata ini mengandung arti ‘menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan’ (Jalaluddin Rahmat, 2001: 12). Berdasarkan pengertian dari akar kata tersebut, maka intinya adalah ikatan yang berasal dari sesuatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia sebagai kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindra, namun mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kehiduapan manusia sehari-hari. Secara terminologi, maka agama dapat diungkapkan dalam pengertian: 1) kepercayaan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan mempengaruhi perbuatanperbuatan manusia; 2) kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu. 3) suatu sistem tingkah laku yang berasal dari sesuatu kekuatan gaib; 4) pengakuan terhadap adanya kewajiban kewajiban yang diyakini bersumber pada kekuatan gaib; 5) pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia; 6) ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul. (Jalaluddin Rahmat, 2001 : 13) Dalam perspektif sosiologis, agama dapat didefinisikan sebagai suatu sistem kehidupan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasikan dan memberi respons terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. Secara mendasar dan umum agama sering diartikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, serta manusia dengan lingkungannya.
35
Agama sebagai suatu sistem keyakinan, berbeda dengan sistem-sistem keyakinan atau isme-isme lainnya, karena landasan keyakinan keagamaan adalah pada konsep sakral dan profan atau dibedakan dari supranatural dengan yang natural. Selain itu ajaran-ajaran agama selalu bersumber pada wahyu yang berisikan petunjuk-petunjuk Tuhan yang diturunkan kepada Nabi atau Rasul-Nya. Melalui Nabi ajaran-ajaran tersebut diajarkan kepada sahabat-sahabatnya yang merupakan kelompok pertama dan utama sebagai penganut agama tersebut dan kepada orang orang lainnya (Roland Robertson, 1988: vi). Dalam agama-agama besar atau Samawi, ajaran agama yang diturunkan melalui wahyu tersebut dibukukan sebagai kitab suci, dan begitu juga ajaran para Nabi, sedangkan agama lokal atau primitif, ajaran-ajarannya tidak dibukukan dalam bentuk tertulis, tetapi dalam bentuk lisan sebagaimana terwujud dalam tradisi-tradisi atau upacara upacara. Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat dunia dan akhirat sebagai manusia yang takwa kepada Tuhan, beradab dan manusiawi, yang berbeda dengan cara cara hidup hewan atau mahluk mahluk gaib yang jahat dan berdosa. Agama sebagai sistem keyakinan dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong dan penggerak, serta pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut agar tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran ajaran agamanya. Pengaruh ajaran agama itu sangat kuat terhadap sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan masyarakat bersangkutan. Sistem-sistem nilai dari kebudayaan tersebut terwujud sebagai simbol-simbol suci yang maknanya bersumber pada ajaran-ajaran agama yang menjadi acuannya. Dalam keadaan demikian, secara langsung atau tidak langsung, etos yang menjadi pedoman dari eksistensi dan kegiatan berbagai pranata yang ada dalam masyarakat (keluarga, ekonomi, politik, pendidikan dan sebagainya), dipengaruhi, digerakkan, dan diarahkan oleh berbagai sistem nilai yang sumbernya adalah pada agama yang dianutnya; dan terwujud dalam kegiatan-kegiatan para warga masyarakatnya sebagai tindakan-tindakan dan karya-karya yang diselimuti oleh simbol-simbol suci (Parsudi Suparlan, 1988: 7). Agama sebagai ajaran dari yang Maha Tinggi merupakan sistem kehidupan yang berisikan ajaran dan petunjuk bagi para penganutnya supaya selamat dalam kehidupan dunia dan selamat (dari api neraka) dalam kehidupan setelah mati. Oleh karena itu, keyakinan keagamaan berorientasi pada masa yang akan datang. Dengan cara mengikuti kewajiban-kewajiban keagamaan dalam kehidupan sehari hari, sesuai dengan agama yang dianut dan diyakininya. Dalam praktik hidup sehari-hari, motivasi yang terpenting dan terkuat bagi manusia terutama bagi para pelaku moral dan berakhlak adalah agama. Hampir semua jawaban tertumpu pada agama jika diberikan sebuah pertanyaan “mengapa perbuatan ini dilakukan atau perbuatan ini tidak boleh dilakukan?” Setiap agama
36
mengandung ajaran moral yang menjadi pegangan bagi perilaku para penganutnya. Mengapa ajaran moral dari satu agama dianggap penting? Karena ajaran itu berasal dari Tuhan yang dianggap mempunyai kedudukan yang tinggi, yang lebih dari dirinya. Mengagungkan Tuhan merupakan kewajiban agama. Ajaran tentang akhlak, moral, maupun budi pekerti itu diterima berdasarkan keimanan dan keyakinan terhadap agamanya, tanpa memiliki rasionalitas, seperti makan daging babi haram dalam ajaran Islam. Ada juga yang secara umum memiliki alasan-alasan yang rasional untuk menerima aturan-aturan agama, seperti jangan berdusta, jangan membunuh, jangan menyakiti orang (K.Bertens, 2002 : 37). Apabila agama berbicara tentang topik-topik etis, pada umumnya ia memberi informasi dan berusaha memberi motivasi agar umatnya mematuhi nilainlai dan norma-norma yang sudah diterimanya berdasarkan iman, sedangkan filsafat berusaha memperlihatkan perbuatan tertentu dianggap baik atau buruk dengan menunjukkan alasan-alasan yang rasional. Demikian juga, ada perbedaan tentang kesalahan moral. Dalam konteks agama, kesalahan moral adalah dosa, karena melanggar perintahnya. Dari sudut filsafat moral, kesalahan moral dianggap pelanggaran prinsip etis yang seharusnya dipatuhi. Oleh karena itu, kesalahan moral pada dasarnya merupakan sebuah inkonsekuensi rasional (K.Bertens, 2002 : 38). Meskipun agama dan filsafat berbeda sudut pandang tentang hal-hal etis, namun tidak berarti bahwa dalam bidang etis tidak ada hubungan erat antara agama dan filsafat. Hubungan ini dapat didekati dari segi falsafat maupun agama. Dipandang dari segi filsafat, para filosof yang beragama mau tak mau akan dipengaruhi oleh keyakinan religiusnya. Keyakinan yang dianutnya sebagai manusia beragama memberikan corak pemikiran yang mendasari alur pikirnya seperti yang dikenal dalam filosof Islam Al-Farabi, Al-Kindi, Ibn Sina, dan Ibn Miskawaih, serta Immanuel Kant dan sebagainya. Tidak mengherankan apabila seorang beriman, misalnya, percaya bahwa Tuhan telah menciptakan dunia dan manusia agar kehidupan ini penuh kesucian dan dalam diri manusia terdapat unsur-unsur suci dan bersih. Dipandang dari segi agama, agama yang membahas masalah-masalah etis seringkali akan menggunakan argumentasi-argumentasi yang pada dasarnya bersifat filosofis, terutama kalau masalah-masalah itu baru dan diakibatkan oleh perkembangan ilmiah yang modern. Sebab dalam hal ini agama hanya memiliki pedoman-pedoman prinsip etis secara umum, yang dapat diterima oleh semua orang pada semua zaman. Dalam menghadapi masalah aktual, agama seringkali menggunakan argumentasi-argumentari rasional, menerapkan prinsip-prinsip umum bersangkutan, seperti masalah aborsi, kloning, eutanasia. Bagi orang beragama, Tuhan merupakan dasar dan jaminan bagi berlakunya tatanan moral dan tempat pertanggung jawaban manusia atas perbuatannya. Bagi orang yang
37
tidak beragama, rasio menjadi sumber moral yang mempunyai tanggung jawab pada diri sendiri, tanggung jawab terakhir dianggap kurang penting. Salah satu ciri yang mencolok dalam agama, yang berbeda dengan ismeisme lainnya, adalah penyerahan diri secara total kepada Tuhan. Penyerahan ini tidak terwujud dalam bentuk ucapan, melainkan dalam tidakan-tindakan keagamaan sehari-hari.Tidak ada satu agama pun yang tidak menuntut adanya penyerahan diri secara total dari para penganut atau pemeluknya termasuk juga agama-agama lokal yang digolongkan sebagai kepercayaan. Dari ciri ini agama dinilai secara pribadi yang melibatkan emosi dan pemikiran-pemikiran yang sifatnya pribadi yang diwujudkan dalam tindakan-tindakan keagamaan (upacara, ibadat, amal ibadah) yang sifatnya individual, kelompok ataupun sosial yang melibatkan sebagian atau pun seluruh masyarakat. Walaupun di sisi lain agama mempunyai sifat-sifat secara umum untuk dimiliki bersama orang banyak atau kelompok. Dalam kelompok atau kebersamaan yang dilandasi oleh ajaran agama, keyakinan keagamaan dari anggota-anggota kelompok menjadi kuat dan mantap.Tidak ada kesimpang-siuran dalam pemahaman mengenai pedoman dan landasan yang menentukan arah keyakinan keagamaan yang telah ditentukan dalam kitab suci agamanya. Dalam kelompok atau kebersamaan itulah keteraturan dimantapkan berdasarkan atas norma-norma yang berlaku dalam kehidupan kelompok apa pun dan di mana pun yang bukan kelompok keagamaan. Yang dimaksud dengan berdasarkan atas norma-norma adalah bagaimana para anggota kelompok diharapkan bertindak dan berkeyakinan, bagaimana mereka diharapkan menginterpretasi serta menghasilkan benda-benda dan mewujudkan kegiatankegiatan sesuai keyakinan keagamaan dari kelompok tersebut. Dalam kehidupan berkelompok dan bermasyarakat inilah tradisi-tradisi keagamaan yang dimiliki individu menjad bersifat kumulatif dan kohesif, yang menyatukan keanekaragaman interpretasi-interpretasi dan sistem-sistem keyakinan keagamaan. Penyatuan keanekaragaman itu terjadi karena pada hakikatnya dalam setiap kehidupan berkelompok terdapat pola-pola interaksi tertentu yang melibatkan dua orang atau lebih, dari pola tersebut para anggotanya secara bersama-sama memiliki satu tujuan utama untuk diwujudkan sebagai tindakan tindakan berpola. Itu dimungkinkan karena kegiatan-kegiatan kelompok tersebut terarah atau terpimpin berdasarkan atas norma-norma yang disepakati bersama yang terwujud dari kehidupan berkelompok (Parsudi Suparlan, 1988:8). Secara struktural fungsional, agama melayani kebutuhan-kebutuhan manusia untuk mencari kebenaran dan mengatasi serta menetralkan berbagai hal buruk dalam kehidupan. Semua agama menyajikan formula-formula tersebut yang pada hakikatnya bersifat mendasar dan umum berkenaan eksistensi dan perjalanan hidup manusia, yang masuk akal dan rasional sesuai dengan keyakian keagamaannya, mendalam serta penuh dengan muatan-muatan emosi dan perasaan yang manusiawi (Greetz, 1966: 1-46). Hal-hal buruk yang dihadapi
38
manusia selalu membayangi kehidupannya. Agama dapat menyajikan penjelasanpenjelasan yang dapat masuk akal dan cara-cara yang mendasar dan umum untuk menetralkan atau mengatasi bayangan-bayangan buruk tersebut. Oleh sebab itu, agama tetap lestari dalam kehidupan manusia, sepanjang zaman selama manusia itu ada. Kelestarian agama dalam struktur kehidupan manusia juga disebabkan antara lain oleh hakikat kehidupan dan kegiatan-kegiatan kelompok keagamaan. Setiap kelompok keagaman, kelompok apa pun dan di mana pun serta kapan pun, selalu menaruh perhatian pada peremajaan atau regenerasi bagi kelangsungan kelompok keagamaan tersebut, secara langsung ataupun tidak langsung tertarik melakukan kegiatan-kegiatan untuk melestarikan sistem keyakinan agama pada anak-anak dan remaja. Kelompok keagamaan menjadikan pendidikan agama bagi para anggota baru melalui pendidikan formal maupun melalui sosialisasi yang dilakukan oleh para orang tua (yang menjadi anggota kelompok). Kelompok-kelompok keagamaan juga tidak hanya melakukan kegiatankegiatan peribadatan dan pendidikan saja, tetapi melaksanakan kegiatan sosial dan derma bagi masyarakat pada umumnya dan memproduksi benda-benda yang berguna dalam kehidupan manusia. Juga memberikan jasa-jasa pelayanan keagamaan yang berguna bagi kebutuhan para anggotanya. Melalui kegiatan kelompok tersebut ditanamkan semacam keterikatan dan solidaritas sosial dan kemasyarakatan yang terpusat pada simbol-simbol utama dan suci dari agama yang dianut, gereja, totem, masjid atau lainnya (Durkheim 1965: 167). Melalui kegiatan-kegiatan kelompok keagamaan tersebut, maka agama dari zaman ke zaman tetap ada dalam struktur kehidupan manusia. Agama tidak mengalami perubahan-perubahan (Greetz 1971), tetapi yang berubah adalah tradisi-tradisi keagamaan atau sistem-sistem keyakinan keagamaan, sedangkan teks suci atau doktrin agama itu sendiri, sebagaimana tertuang dalam kitab suci, tetap tidak berubah. Jadi agama tidak akan hilang dan digantikan dengan sistem kehidupan sekuler. Roland Robertson mengatakan perubahan keyakinan keagamaan, antara lain disebabkan oleh adanya perbedaanperbedaan interpretasi oleh para penganut agama dan oleh situasi-situasi yang berubah yang dilihat dari interpretasi-interpretasi oleh para penganut agama tersebut secara berlainan (Roland Robertson 1988: 3). Jika agama dikaitkan dengan masyarakat, setidak tidaknya ada empat tipe tingkat keagamaan, yaitu: 1) tingkat rahasia, yakni seseorang memegang ajaran agama yang dianut dan diyakininya itu untuk diriya sendiri dan tidak untuk didiskusikan atau dinyatakan kepada orang lain; 2) tingkat privat atau pribadi, yakni dia mendiskusikan atau menambah dan menyebarkan pengetahuan dan keyakinan keagamaannya dari dan kepada
39
sejumlah orang tertentu yang digolongkan sebagai orang yang secara pribadi dekat hubungannya dengan dirinya; 3) tingkat denominasi, yakni individu mempunyai keyakinan keagamaan yang sama dengan yang dipunyai individu-individu lainnya dalam satu kelompok besar, karena itu bukan merupakan sesuatu yang rahasia atau privat; 4) tingkat masyarakat, yakni individu memiliki keyakinan keagamaan dari warga masyarakat tersebut (J.P. Williams, 1962). Melihat pada tingkat keagamaan yang ada dalam masyarakat tersebut di atas, maka perilaku keagamaan yang sudah mengakar pada masyarakat tidak mungkin hilang atau lenyap begitu saja, atau paling tidak membutuhkan waktu lama untuk melakukan sebuah perubahan pada masyarakat. Pada akhirnya, baik agama maupun perilaku keagamaan seringkali dijadikan sumber dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Berdasarkan pemaparan agama di atas, dapat dipahami bahwa perilaku manusia, baik individu, kehidupan dalam kelompok terkecil maupun kelompok luas masyarakat dan lingkungan, didasari oleh keyakinan agama yang kemudian membudaya dalam diri dan lahir menjadi tradisi. Keyakinan yang melekat pada manusia terhadap sesuatu seringkali dijadikan titik tolak untuk berbuat, bahkan dijadikan sebagai pandangan hidup. Dengan demikian agama dan falsafah hidup dijadikan sebagai sumber dalam berperilaku. 2.3.2 Falsafah Hidup Falsafah hidup merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yang diyakini kebenarannya, ketepatan, dan kemanfaatannya yang kemudian menimbulkan tekad untuk mewujudkannya dalam bentuk sikap, tingkah laku, dan perbuatan. Sedangkan nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan (Hans Jonas, 1992: 36). Nilai pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Sesuatu itu dikatakan mengandung nilai, artinya, ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu itu. Misalnya alam itu indah dan perbuatan itu susila. Indah dan susila adalah sifat atau kualitas yang melekat pada alam dan perbuatan. Maka nilai itu ada, suatu kenyataan yang tersembunyi di balik kenyataan-kenyataan lainnya (Kaelan 2001). Beranjak dari pengertian di atas, maka suatu aliran atau keyakinan yang dianggap memiliki nilai, apakah nilai itu universal atau praktis, yang diyakini kebenarannya, maka ia dijadikan sebagai pandangan hidup. Dalam praktiknya, menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan ini merupakan keputusan nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik. Keputusan nilai yang dilakukan oleh subjek penilai tentu berhubungan 40
dengan unsur-unsur yang ada pada diri manusia sebagai subjek penilai, yakni unsur-unsur jasmani, akal, rasa dan karsa, serta keyakinan. Dengan demikian sesuatu dianggap bernilai apabila itu berharga, berguna, benar, indah, baik dan sebagainya. Dalam kehidupan masyarakat terdapat banyak nilai yang diyakini kebenarannya kemudian dijadikan falsafah hidup dipakai sebagai sumber dalam berperilaku. Misalnya yang terdapat dalam masyarakat Batak yang dianggap mempunyai nilai kebaikan adalah kekayaan, keturunan dan kehormatan. Nilai ini esensinya adalah pemilikan status dan kekuasaan. Mereka menolak agama Kristen hanya apabila agama itu memberikan kehormatan, kekayaan dan kekuasaan yang lebih tinggi dari yang diberikan oleh agama nenek moyangnya (BA. Simanjuntak, 2002). Dalam kehidupan masyarakat Aceh, besarnya pengaruh Hikayat Perang Sabil, nilai kepentingan bersama lebih didahulukan dari kepentingan pribadi, sikap rela mengorbankan harta demi kepentingan negara. Dari nilai ini orang mempunyai filsafat hidup yang menegaskan bahwa setiap orang harus mau berkurban harta benda untuk berjuang dijalanTuhan (Alfian, 1977: 36). Dalam masyarakat Jawa dikenal adanya istilah “kejawen” yang diidentikkan dengan pandangan hidup atau falsafah hidup Jawa, walaupun tidak berarti bahwa setiap orang yang tergolong etnik Jawa pasti mempunyai pandangan hidup demikian. Menurut Sujamto, istilah kejawen mewadahi seluruh pengertian yang tercakup dalam pandangan hidup Jawa atau wawasan budaya Jawa. Ia juga tak jauh berbeda dengan istilah falsafah Jawa yang dipergunakan oleh dr. Abdullah Ciptoprawiro, yang kristalisasi atau inti dasarnya adalah tantularisme (faham tentang ajaran Empu Tantular yang menegakkan bangunan religiositas Jawa, yang toleran, nonsektarian, akomodatif, rukun dan universal) (Sujamto, 2000 26). Kejawen bukan merupakan pandangan hidup seluruh etnis Jawa sebagaimana batasan yang buat oleh Clyde Kluckhohn. Kebudayaan adalah suatu pola hidup eksplisit dan implisit yang merupakan suatu sistem yang terbentuk oleh sejarah, yang cenderung diikuti oleh seluruh atau sebagaian khusus dari suatu kelompok (Clyde Kluckhohn dan William H. Kelly, 1968: 188). Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Clifford Geertz bahwa tidak semua masyarakat Jawa memiliki pandangan hidup kejawen karena masyarakatnya terdiri tiga golongan, yaitu Abangan, Santri dan Priyayi. Dalam falsafat kejawen, persepsi tentang Tuhan dilukiskan dengan katakata Tan kena kinaya ngapa (tak dapat dilukiskan dan tak dapat dibayangkan). Menyadari kenyataan seperti itu, maka kelompok kejawen tidak suka memperdebatkan keyakinannya tentang Tuhan dan tidak pernah menganggap keyakinannya adalah yang paling benar dan yang lain salah. Sikap batin inilah yang menimbulkan toleransi Jawa yang amat longgar, baik di bidang kehidupan beragama maupun di bidang-bidang lainnya (Sujamto, 2000: 50).
41
Dalam kehidupan masyarakat, pandangan hidup Jawa banyak didasarkan pada etika pewayangan Jawa. Dalam etika Jawa, sikap dan tindakan seseorang dinilai tidak secara hitam-putih. Semua sikap dan tindakan tidak hanya dilihat dari wujudnya saja tetapi juga yang terutama dari niat yang mendasarinya (Clifford Geertz, 1973: 127). Masyarakat Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa dan masing masing bangsa sesuai dengan geografisnya masing-masing memiliki falsafat hidup tersendiri yang dapat mempengaruhi pola hidup dan perilaku manusianya. Hal ini membuat perlu diangkatnya nilai-nilai yang bersifat pluralistik, yang mencerminkan kesatuan Indonesia dalam kemajemukan. Selama ini nilai-nilai persatuan, kemanusiaan, keadilan, kebersamaan telah menjadi nilai yang diyakini kebenarannya dan dijadikan sebagai falsafat hidup bangsa dalam bermasyarakat dan bernegara (Prayitno 2003: 249) Selain itu masyarakat liberal menganut paham empirisme, yang mendasarkan pada kebenaran pengalaman. Tokohnya David Hume menegaskan bahwa pengalaman lebih membuat keyakinan dibanding kesimpulan logika atau kemestian sebab akibat. Akal tidak dapat bekerja tanpa bantuan pengalaman. Positivisme adalah lanjutan dari empirisme. Bagi positivisme pengalaman perlu untuk mengumpulkan data sebanyak mngkin agar akal mendapatkan suatu hukum yang bersifat uiversal, tetapi menerima pengalaman terbatas pada objektif saja. Segala uraian yang di luar fakta atau kenyataan dikesampingkan. Karena itu metafisika ditolak. Materialisme yang mendasarkan atas hakikat materi, keyakinan kebenarannya terletak pada sesuatu yang mempunyai materi. Tokohnya adalah Karl Marx yang menganggap bahwa agama adalah hasil proyeksi pikiran dan keinginan manusia. Gagasan tentang agama adalah hasil suatu bentuk masyarakat tertentu. Negara dan masyarakat inilah yang menghasilkan agama (Amsal Bahtiar,1999: 120-18) Dalam paham ini terdapat nilai yang menjadi falsafat hidupnya dan menjadi dasar untuk berperilaku. Dengan demikian falsafat atau pandangan hidup bukan timbul seketika atau dalam waktu yang singkat saja, melainkan melalui proses waktu yang lama dan terus menerus, sehingga hasil pemikiran itu dapat teruji kebenarannya. Atas dasar ini manusia menerima hasil pemikiran itu sebagai pegangan, pedoman atau petunjuk yang disebut falsafat atau pandangan hidup. Apabila pandangan hidup diterima oleh sekelompok orang sebagai pendukung organisasi, maka ia disebut ideologi. 2.3.3 Tradisi dan Budaya 2.3.3.1.Tradisi Dalam kehidupan di masyarakat dikenal adanya tradisi sebagai suatu gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dilaksanakan secara turun-temurun dimulai dari nenek moyang. Tradisi sama
42
dengan adat kebiasaan yang dimunculkan oleh kehendak atau perbuatan sadar yang telah menjadi kebiasaan sekelompok orang. Ada dua faktor penting yang melahirkan adat kebiasaan: 1) adanya kecenderungan hati kepada perbuatan itu, dia merasa senang untuk melakukannya, dengan kata lain dia tertarik oleh sikap dan perbuatan tersebut; 2) diikutinya kecenderungan hati itu dengan praktik yang diulang ulang sehingga menjadi biasa. Di antara dua faktor itu yang kedua itulah yang sangat menentukan, sebab walaupun ada kecenderungan hati untuk melakukannya, tetapi apabila tidak ada kesempatan untuk memunculkan perbuatan, umpamanya ada pencegahan, ada halangan maka kecenderungan hati itu tidak terealisir. Sebaliknya mungkin mulanya tidak ada kecenderungan hati utuk berbuat tetapi selalu dihadapkan pada keharusan untuk berbuat, maka pertama kali ada unsur keterpaksaan untuk berbuat, sedikit demi sedikit mengenalnya dan apabila dilakukan terus menerus kebiasaan itu akan memberi pengaruh juga pada perasaan hatinya karena terbiasa (Rahmat Djatmika, 1985:50) Membiasakan hal-hal baik dianjurkan dalam agama, walaupun tadinya kurang rasa tertarik hatinya untuk berbuat, apabila terusmenerus dibiasakan akan mempengaruhi sikap batinnya juga. Perbuatan terusmenerus yang memang diawali oleh agama membawa dampak positif karena tidak ada ajaran agama yang akan menjerumuskan umatnya. Kadang-kadang tradisi yang terjadi di masyarakat justru berlainan dengan ajaran agama. Hal ini dilakukan karena menurut kehendak hati perbuatan ini harus terjadi. Yang menjadi ukuran penilaian baik dan buruk terhadap perbuatan tersebut adalah kesepakatan bersama masyarakat setempat. Karena itu, tradisi sangat bervariasi sifatnya. Misalnya tradisi masyarakat Betawi berbeda dengan tradisi masyarakat Jawa. Begitu juga masyarakat Sunda, Bugis, Minang, Batak dan sebagainya. Tradisi yang telah membudaya menjadi sumber dalam berakhlak dan berbudi pekerti seseorang. Manusia dalam berbuat akan melihat realitas lingkungan sekitarnya sebagai upaya dari sebuah adaptasi walaupun sebenarnya dia telah mempunyai motivasi berperilaku yang sesuai dengan tradisi yang ada pada diriya. Sebagai contoh, perilaku masyarakat Jawa dan Madura di Jakarta, menunjukkan bahwa tradisi Jawa masih sangat melekat dalam perilakunya dengan berbagai tata krama dan adat istiadat yang dilakukan, walupun ia telah berada pada masyarakat metropolitan. Tradisi lain dari masyarakat Madura adalah semangat kerja keras dan membuat serta mempererat jaringan kesukuannya lebih menonjol jika dibandingkan dengan masyarakat Jakarta itu sendiri Begitu juga yang nampak dalam masyarakat Batak, Bugis Bali, Minang, Aceh, masing-masing tradisinya sangat mendominasi dalam melatar belakangi perilaku kesehariannya. Oleh karena itu, jika masing-masing suku bangsa mempertahankan tradisi masing-masing yang begitu ketat sebagai sumber dari perilakunya, maka hal ini
43
sangat rentan terhadap timbulnya konflik-konflik sosial yang disebabkan oleh masig-masing etnis. Seperti yang dikatakan oleh Cliffod Geertz (1992), masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam subsistemsubsistem yang kurang lebih berdiri sendiri sendiri, ketika masing masing subsistem terikat ke dalam oleh ikatan-ikatan yang bersifat primordial (Prayitno, 2003: 99). Manusia secara pribadi dalam melakukan tindakannya atau berperilaku selalu mengidetifikasikan dirinya dengan orang lain. Dalam proses identifikasi diri ini, yang terdekat dengan dirinya adalah keluarga atau lingkungan tempat ia berada. Maka gambaran kehidupan yang berlangsung lama secara turun-temurun dari nenek moyangnya yang telah menjadi tradisi diidentifikasi sehingga menjadi perilaku diriya. Dari perilaku sendiri lama-kelamaan menjadi perilaku kelompok atau masyarakat. 2.3.3.2 Budaya Budaya dapat didefinisikan secara sempit dan secara luas. Definisi secara sempit mencakup kesenian dengan semua cabang-cabangnya dan definisi budaya secara luas mencakup semua aspek kehidupan manusia. Menurut Sutan Takdir Alisyahbana, budaya dalam arti sempit adalah adat istiadat, kepercayaan, seni. Budaya dalam arti luas, melingkupi segala perbuatan manusia, hasil budi manusia, kehidupan manusia sehari-hari (Maurits Simatupang, 2002: 139-140). Budaya berkenaan dengan cara hidup manusia. Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai, dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegatan-kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya. Ada orang-orang yang berbahasa Tagalog, memakan ular, menghindari minuman keras yang terbuat dari anggur, menguburkan orang-orang yag mati, berbicara melalui telepon atau meluncurka roket ke bulan, ini semua karena mereka telah dilahirkan atau sekurang-kurangnya dibesarkan dalam suatu budaya yang mengadung unsur-unsur tersebut. Apa yang orang-orang lakukan, bagaimana mereka bertindak, bagaimana mereka hidup dalam berkomunikasi, merupakan respons-respons dan fungsi-fungsi dari budaya mereka. Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai sikap, makna, hierarki agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-obek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya menampakkan diri dalam pola-pola bahasa dan dalam bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model-model bagi tindakan tindakan penyesuaian diri yang memungkinkan orang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan
44
geografis tertentu pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada suatu sasat tertentu. Budaya juga berkenaan dengan sifat-sifat dari objek-objek materi yang memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Objek-objek seperti rumah, mesin yang digunakan dalam industri dan pertanian, jenis-jenis transportasi, menyediakan suatu landasan utama bagi kehidupan sosial budaya berkesinambungan dan hadir di mana-mana. Budaya meliputi semua peneguhan perilaku yang diterima selama satu priode kehidupan. Budaya juga berkenaan dengan bentuk dan struktur fisik serta lingkungan sosial yang mempegaruhi hidup kita. Sebagian besar pengaruh budaya terhadap kehidupan kita tidak disadari. Mungkin suatu cara untuk memahami pengaruh budaya adalah dengan membandingkannya dengan komputer elektronik: kita memprogram komputer agar melakukan sesuatu, budaya kita pun memprogram kita agar melakukan sesuatu dan menjadikan kita apa adananya. Budaya secara pasti mempengaruhi kita sejak dalam kandungan hingga mati. Bahkan setelah mati pun kita dikuburkan dengan cara-cara yang sesuai dengan budaya kita. Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku kita sangat bergantung pada budaya tempat kita dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan perilaku dan komunikasi. Apabila budaya yang ada beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik perilaku dan komunikasi. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosiobudaya ini tersebar dan mempengaruhi banyak hal dalam kegiatan sosial manusia.Unsur budaya ini tidak dapat langsung dilihat, misalnya norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam budaya. Gagasan-gagasan pun adalah sesuatu yang tidak mudah dilihat dan dipahami. Makin tinggi perkembangan kebudayaan, makin kompleks pula gagasan-gagasan maupun wawasan-wawasan kebudayaan yang bersangkutan. Walaupun budaya-budaya itu berbeda-beda, namun ia dapat dilihat dari unsur-unsur yang membedakannya. Semua budaya juga banyak memiliki persamaannya dalam unsur universal. Kenyataan bahwa bangsa Indonesia suatu bangsa yang pluralistik, terdapat aneka budaya etnis yang terlihat dalam motto yang tercantum pada lambang negara Bhinneka Tunggal Ika, perlu diakui dan dihormati. Karena itu, kebudayaan bangsa Indonesia adalah kebudayaan yang timbul sebagai suatu usaha budi daya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah seluruh Indonesia terhitung kebudayaan bangsa. Usaha kebudayan bangsa harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan dan memperkaya kebudayaan sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
45
Jika melihat budaya sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya, maka fungsi budaya sebagai sumber akhlak dan budi pekerti dapat dilihat dari modelmodel perilaku dan komunikasi manusia dalam masyarakat pada tempat dan kurun waktu tertentu. Pengaruh budaya seringkali berproses tanpa disadari oleh yang dipengaruhinya. Sebagai contoh, bandingkan cara berbicara atau berkomunikasi antara suku Jawa, Sunda, Batak, Betawi, Bugis, Maluku, Irian, Eceh, Padang dan Banjar. 2.3.4 Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni 2.3.4.1 Ilmu Pengetahuan Ilmu Pengetahuan pertama kali muncul dari rasa ingin tahu akan keterangan mengapa sesuatu hal yang terjadi, yang kemudian dikait-kaitkan dan digolong-golongkan sehingga hal yang tersendiri itu dianggap sebagai mewakili suatu peristiwa yang berlaku lebih umum. Itulah akhirnya yang membangkitkan sains atau ilmu pengetahuan. Sasaran sains adalah mengadakan penataan dan penggolongan pengetahuan atas dasar azas-azas yang dapat menerangkan terjadinya pegetahuan itu. Mohr (1977) mendefinisikan sains secara operasional sebagai suatu usaha akal manusia yang teratur dan taat azas menuju penemuan keterangan tentang pengetahuan yang benar. Pengetahuan ilmiah yang benar diucapkan dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang benar. Data atau fakta yang ditemukan dengan cara-cara tertentu dengan menggunakan metode ilmiah (Andi Hakim Nasution, 1988: 25). Di kalangan ilmuwan ada keseragaman pendapat bahwa ilmu itu selalu tersusun dari pengetahuan secara teratur, yang diperoleh dengan objek tertentu dengan sistematis metodis, rasional/logis, empiris umum dan akumulatif. Untuk membuktikan apakah isi pengetahuan itu benar, perlu berpangkal pada teori-teori kebenaran pengetahuan. Teori pertama bertitik tolak pada adanya hubungan dalil, di mana pengetahuan dianggap benar apabila dalil (proposisi) itu mempunyai hubungan dengan dalil (propisisi) yang terdahulu. Kedua, pengetahuan itu benar apabila ada kesesuaian dengan kenyataan. Teori ketiga menyatakan bahwa pengetahuan itu benar apabila mempunyai konsekuensi praktis dalam diri dan mempunyai pengetahuan itu. Untuk mencapai suatu pengetahuan yang ilmiah dan objektif diperlukan sikap yang bersifat ilmiah. Bukan membahas tujuan ilmu, melainkan mendukung dalam mencapai tujuan ilmu itu sendiri, sehingga benar-benar objektif, terlepas dari prasangka pribadi yang bersifat subjektif. Sikap yang bersifat ilmiah itu meliputi empat hal: 1) tidak ada perasaan yang bersifat pamrih sehingga mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif; 2) selektif, artinya mengadakan pemilihan terhadap problema yang dihadapi supaya didukung oleh fakta atau gejala, dan mengadakan pemilihan terhadap hipotesis yang ada;
46
3) kepercayaan yang layak terhadap kenyataan yang tak dapat diubah mupun terhadap alat indera dan budi yang digunakan untuk mencapai ilmu; 4) merasa pasti bahwa setiap pendapat, teori, maupun aksioma terdahulu telah mencapai kepastian, namun masih terbuka untuk dibuktikan kembali. Permasalahan ilmu pengetahuan meliputi arti sumber, kebenaran pengetahuan, serta sikap ilmuwan itu sendiri sebagai dasar untuk tingkah laku selanjutnya. Sehubungan dengan proses perolehan ilmu pengetahuan dengan metode yang benar dan teruji kebenarannya secara ilmiah, maka ilmu pengetahuan dijadikan sumber yang memberikan motivasi untuk melakukan sebuah perbuatan baik dan berbudi pekerti luhur. Kebenaran pengetahuan tentang adanya hukum alam yang pasti membuat orang bertingkah laku taat terhadap hukum-hukum alam, tidak ada keberanian untuk menentang hukum alam, karena penentangan terhadap hukum alam merupakan keniscayaan belaka. Para ilmuwan maupun para profesionalis berbuat berdasarkan pada pengetahuan yang dimilikinya, seperti seorang dokter bedah syaraf, ia mau melakukan pembedahan terhadap kepala seseorang karena mempunyai ilmu yang berkenaan dengan syaraf. Dokter ini tidak bersedia untuk melakukan pembangunan suatu gedung bertingkat, karena ia tidak memiliki pengetahuan tentang pembangunan gedung. Begitu juga seorang tukang jahit pakaian menjahit baju karena pengetahuan yang dimilikinya. Tidak dapat kepandaian menjahit baju dipakai untuk menjahit kulit kepala atau menjahit kulit manusia bekas luka. Berbagai contoh lain dapat ditemukan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, yaitu manusia berbuat sesuai dengan bidang pengetahuan yang dimilikinya. Pengamalan ilmu yang sesuai dengan disiplin ilmu pengetahuan maupun teknologi yang dimiliki inilah yang disebut profesional. 2.3.4.2 Teknologi Dalam konsep yang pragmatis dan berlaku secara akademis dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan (body of knowledge) dan teknologi sebagai suatu seni (state of art) yang mengandung pengertian berhubugan dengan proses produksi; menyangkut cara bagaimana berbagai sumber, tanah, modal, tenaga kerja dan keterampilan dikombinasikan untuk merealisasi tujuan produksi. Secara konvensional ia mencakup penguasaan dunia fisik dan biologis, tetapi secara luas juga meliputi teknologi sosial sehingga teknologi itu adalah metode sistematis untuk mencapai setiap tujuan insani (Eugene Staley, 1970). Jacques Ellul dalam tulisannya berjudul The Technological Society (1964) tidak menggunakan istilah teknologi, tetapi teknik, meskipun arti atau maksudnya 47
sama. Menurut Ellul, istilah teknik tidak hanya berlaku untuk mesin, teknologi atau prosedur untuk memperoleh hasilnya, melainkan totalitas metode yang dicapai secara rasional dan mempunyai efisiensi (untuk memberikan tingkat perkembangan) dalam setiap bidang aktivitas manusia. Jadi teknik menurut Ellul adalah berbagai usaha, metode, dan cara untuk memperoleh hasil yang sudah distandardisasi dan diperhitungkan sebelumnya. Teknologi yang berkembang dengan pesat meliputi berbagai bidang kehidupan manusia. Masa sekarang tampaknya sulit memisahkan kehidupan manusia dengan teknologi, bahkan sudah merupakan kebutuhan manusia. Awal perkembangan teknik yang sebelumnya bagian dari ilmu atau bergantung dari ilmu, sekarang ilmu dapat juga bergantung dari teknik. Contohnya dengan berkembang pesatnya teknologi komputer dan teknologi satelit ruang angkasa, maka diperoleh pengetahuan baru dari hasil kerja kedua produk teknologi tersebut. Luasnya bidang teknik digambarkan oleh Ellul sebagai berikut. 1) Teknik meliputi bidang ekonomi, artinya teknik mampu menghasilkan barang industri. Dengan teknik manusia mampu mengkonsentrasikan kapital sehingga terjadi sentralisasi ekonomi. Bahkan ilmu ekonomi sendiri terserap oleh teknik barang. 2) Teknik meliputi bidang organisasional, seperti administrasi, pemerintahan, manajemen, hukum, dan militer. 3) Teknik meliputi bidang manusiawi, seperti pendidikan, kerja, olah raga, hiburan, obat-obatan. Teknik telah menguasai seluruh sektor kehidupan manusia. Manusia makin harus beradaptasi dengan dunia teknik dan tidak ada lagi unsur pribadi manusia yang bebas dari pengaruh teknik. Pada masyarakat teknologi, ada tendensi bahwa kemajuan adalah suatu proses dehumanisasi secara perlahan-lahan sampai akhirnya manusia takluk pada teknik. Teknik-teknik manusiawi yang dirasakan pada masyarakat teknologi, terlihat dari kondisi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia pada saat ini telah begitu jauh dipengaruhi oleh teknik. Adapun Alvin Tofler (1970) mengupamakan “teknologi” itu sebagai mesin yang besar atau sebuah akselerator yang dahsyat dan ilmu pengetahuan sebagai bahan bakarnya. Dengan meningkatkan ilmu pengetahuan secara kuantitatif dan kualitatif, maka kian meningkat pula proses akselerasi yang ditimbulkan oleh mesin pengubah, lebih-lebih teknologi mampu menghasilkan teknologi yang lebih banyak dan lebih baik lagi. Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan bagianbagian yang dapat dibeda-bedakan, tetapi tidak dapat dipisah-pisahkan dari suatu sistem yang berinteraksi dengan sistem-sistem lain dalam kerangka nasional. Selanjutnya Alvin mengatakan ilmu pengetahuan dan teknologi erat hubungannya dengan nilai dan moral. Ia menganjurkan agar nilai dan moral dijadikan filter dalam mengendalikan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebab kurangnya kendali akan menimbulkan konsekuensi yang jauh lebih buruk.
48
Lain halnya dengan E.F Scumacher (1979). Ia berpendapat bahwa pandangan sebelumnya terhadap teknologi adalah anarki teknologi yang memandang teknologi serba baik. Pandangan ini kemudian bergeser menjadi cinta akan teknologi dengan mengembangkan apa yang disebut “teknologi tepat guna.” Teknologi tepat guna merupakan pengembangan teknologi yang sesuai dengan situasi budaya dan geografis masyarakat, penentuan teknologi sendiri sebagai suatu identitas budaya setempat serta menggunakan teknologi dalam proses produksi untuk menghasilkan barang-barang kebutuhan dasar dan bukan barangbarang objek ketamakan. 2.3.4.3 Seni Seni merupakan persoalan nilai dan penilaian. Karena itu, batasan seni adalah batasan nilai tentang apa yang disebut seni. Ketika seni diberi batasan secara deskriptif, yang muncul adalah batasan tanpa nilai. Upaya untuk membuat sebuah batasan memang diperlukan untuk membedakan seni dengan ilmu, seni dengan teknologi dan seni dengan filsafat. Terdapat perbedaan-perbedaan pendapat di antara batasan-batasan yang ada, seperti Jecques Maritain menyebutkan bahwa seni adalah ekspresi intelektual, sedangkan Santayana menyebutnya rasa senang seniman, Croce menyebutnya intuisi yang diekspresikan, Freud menyebutnya hasrat bawah sadar manusia yang diekspresikan dan Bosanquet menyebutnya jiwa keseluruhan (Jakob Sumardjo, 2000: 51-52). Jika seni dikaitkan dengan objek, maka seni memberikan informasi mengenai kenyataan kualitas objek tersebut. Jadi seni bertujuan memberi pemahamam secara empirik, pengalaman, penghayatan perwujudan kualitas objek. Contoh: Jika kita melihat lukisan ‘Ibu’ karya Affandi, yang kita lihat bukan potret ibu yang tua saja, tetapi juga perasaan yang ditimbulkannya melalui garisgaris mukanya. Garis-garis itu sendiri dibuat dengan begitu terampil sehingga memberikan kepuasan keindahan tersendiri yang seiring dengan muatan perasaan yang ingin disampaikan pelukisnya. Pada lukisan yang paling abstrak sekali pun, semua aneka bentuk, warna, garis, pola penyusunan dan teknik saputan kuas memberikan kualitas rasa tertentu, meskipun objeknya tak jelas. Kaitannya dengan ekspresi gagasan dan perasaan dari suatu objek, seperti ketika kita menyaksikan keindahan matahari terbenam di pantai, atau menyaksikan bentuk awan senja, derasnya air terjun, gemuruhnya suara ombak di laut. Seni selalu membawa makna tertentu dalam dirinya dan usaha komunkasi seni dengan orang lain. Gagasan dan perasaan dari sebuah objek itu dikomunikasikan dengan orang lain, maka menjadi karya seni. Kebenaran tidak selamanya timbul dari teori pengetahuan, tetapi ada juga yang muncul dari perasaan seni, perasaan keindahan dan ekspresi kejiwaan yang mendalam. Menurut Quraish Shihab, seni adalah keindahan. Ia merupakan
49
ekspresi ruh dan budaya manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Ia lahir dari sisi terdalam manusia didorong oleh kecenderungan seniman kepada yang indah, apa pun jenis keindahan itu. Dorongan tersebut merupakan naluri manusia, atau fitrah yang dianugerahkan Tuhan kepada hambahambanya. Kemampuan berseni merupakan salah satu perbedaan manusia dengan mahluk lain. Agama mendukung kesenian selama penampilannya lahir dan mendukung firah manusia yang suci, dan karena itu pula agama bertemu dengan seni dalam jiwa manusia (M.Quraish Shihab, 2001: 388-390). Selanjutnya seni dikaitkan dengan keindahan, dan kata keindahan berasal dari kata ‘indah’, artinya bagus, permai, cantik, elok, molek dan sebagainya. Benda yang mempunyai sifat indah ialah segala hasil seni, pemandangan alam, manusia, rumah, tatanan, perabot rumah tangga, suara, warna. Kawasan keindahan bagi manusia sangat luas, seluas keanekaragaman manusia dan sesuai pula dengan perkembangan peradaban teknologi, sosial dan budaya. Karena itu keindahan merupakan bagian dari kehidupan manusia. Keindahan identik dengan kebenaran. Keindahan adalah kebenaran dan kebenaran adalah keindahan. Hal ini bukan kebenaran ilmu, melainkan kebenaran menurut konsep seni. Seni berusaha memberikan makna sepenuh-penuhnya mengenai objek yang diungkapkan. Keindahan juga bersifat universal. Artinya tidak terikat oleh selera perseorangan, waktu dan tempat, selera mode kedaerahan atau lokal (Widyo Nugroho, 1996: 84) Seni atau keindahan termasuk sumber dalam berakhlak dan berbudi pekerti. Keindahan alam melahirkan para pelukis atau seniman termasuk juga para musisi. Suara gemercik air, suara gesekan pohon bambu, suara deru ombak, suara senandung burung berkicau atau ayam berkokok, memberikan inspirasi orang untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik. Dalam kenyataan, alam di lingkungan kita banyak yang mengandung seni seperti apa yang terdapat pada sebuah pohon yang sedang berbuah. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah, dan perhatikan pulalah kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman. Selanjutnya Imam al-Ghazali menulis dalam Ihya ‘Ulumuddin bahwa: “Siapa yang tidak terkesan hatinya di musim bunga dengan kembang-kembangnya, atau oleh alat musik dan getaran nadanya, maka fitrahnya telah mengidap penyakit parah yang sulit diobati.” (Quraish Shihab, 2001: 288289).
50
BAB III NILAI-NILAI AKHLAK DAN BUDI PEKERTI 3.1. Nilai Spiritual Setiap orang mempunyai kebutuhan fundamental sesuai dengan fitrahnya yang memiliki jasmani dan rohani. Apabila dikaitkan dengan berbagai ragam hubungan manusia dalam kehidupannya, di setiap hubungan tersebut ada hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam, manusia dengan manusia lain/masyarakat, dan manusia dengan dirinya sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan rohaninya manusia melaksanakan nilai spiritual dalam kehidupannya. Nilai spiritual memiliki hubungan dengan sesuatu yang dianggap mempunyai kekuatan sakral suci dan agung, karena itu termasuk nilai kerohanian, yang terletak dalam hati (bukan arti fisik), hati batiniyah mengatur psikis. Hati adalah hakikat spiritual batiniyah, inspirasi, kreativitas dan belas kasih. Mata dan telinga hati merasakan lebih dalam realitas-realitas batiniyah yang tersembunyi di balik dunia material yang komplek. Itulah pengetahuan spiritual. Pemahaman spiritual adalah cahaya yang dipancarkan Tuhan ke dalam hati, bagaikan lampu yang membantu kita untuk melihat (Robert Frager 2002: 70). Apabila dilihat tinggi rendahnya nilai-nilai yang ada, nilai spiritual merupakan nilai tertinggi dan bersifat mutlak karena bersumber pada Tuhan Yang Maha Esa (Notonagoro, 1980). Dalam kehidupan sosial-budaya keterkaitan seseorang dihubungkan dengan pandangan hidup suatu masyarakat atau kehidupan beragama. Setiap orang akan selalu memiliki pandangan atau persepsi akan sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuatan yang melebihi manusia, dalam pandangan orang beragama disebut sebagai Yang Maha Kuasa, Allah, Sang Hyang Widi, Tuhan, God, Yang Maha Pencipta, dan sebagainya. Manusia sangat tergantung dan hormat pada kekuatan yang ada di luar dirinya, bahkan memujanya untuk melindungi dirinya dan apabila perlu rela mengorbankan apasaja harta, jiwa sebagai bukti kepatuhan dan ketundukan terhadap yang mempunyai kekuatan tersebut. Begitu kuatnya keyakinan terhadap kekuatan spiritual sehingga ia dianggap sebagai kendali dalam memilih kehidupan yang baik dan buruk. Bahkan menjadi penuntun bagi seseorang melaksanakan perilaku dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 3.2 Nilai Kemanusiaan Dalam menjalani kehidupannya, manusia dihadapkan pada berbagai macam permasalahan yang merupakan hakikat dari kehidupan itu sendiri. Selama manusia itu hidup, maka permasalahan hidup ini tidak akan pernah lepas dari kehidupannya.
51
Yang dimaksudkan dengan permasalahan hidup di sini adalah segala sesuatu yang perlu diatasi ataupun suatu kebutuhan yang harus dipenuhi. Berikut ini adalah beberapa permasalahan hidup manusia yang bersifat universal, yaitu dimanapun manusia itu ada maka permasalahan hidup ini akan selalu ada. Bagaimana cara manusia itu mengatasi permasalahan tersebut, misalnya dengan mengambil hikmah, atau upaya yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya itu, akan menunjukkan kualitas dari diri manusia sebagai sisi nilai kemanusiaannya. 3.2.1. Cinta Kasih Cinta kasih merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Setiap orang membutuhkan untuk mencintai dan dicintai, sebagai kebutuhan yang fundamental. Apabila dikaitkan dengan berbagai ragam hubungan manusia dalam kehidupannya, disetiap hubungan terdapat aspek cinta. Ragam hubungan tersebut adalah antara manusia dengan Pencipta (Tuhan), manusia dengan alam, manusia dengan manusia lain/masyarakat, dan manusia dengan dirinya sendiri. Sulit merumuskan cinta kasih secara utuh karena lebih mengandung arti psikologis yang dalam. Cinta kasih lebih melibatkan perasaan. Beberapa ilmuwan hanya memberikan unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian cinta kasih. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan cinta adalah perasaan simpati yang melibatkan emosi yang mendalam dan terjadi antara manusia dengan Sang Pencipta, manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan alam dan manusia dengan dirinya sendiri. Di dalam pengertian simpati terkandung unsur pengenalan/knowledge, dan di dalam emosi terkandung unsur tanggung jawab, pengorbanan, perhatian, saling menghormati, dan kasih sayang. Menurut Erich Fromm, ada empat syarat utama yang harus dipenuhi untuk mewujudkan cinta kasih, yaitu: 1. knowledge (pengenalan), dengan demikian yang bersangkutan akan menerima sebagaimana adanya; 2. responssibility (tanggung jawab), yaitu masing-masing pihak mempunyai tanggung jawab yang sama; 3. care (pengasuhan, perhatian, perlindungan, saling peduli) 4. respect (saling menghormati) Iapun mengatakan bahwa cinta itu suatu tindakan yang aktif, bukan perasaan yang pasif. Sifat aktif cinta dapat dilukiskan dengan menekankan bahwa cinta itu mengutamakan memberi bukan menerima (Widyosiswoyo, 1996: 50-52). Cinta bukanlah hanya mengutamakan hubungan antara manusia dengan manusia tertentu. Cinta adalah sikap, suatu orientasi watak yang menentukan hubungan pribadi dengan dunia keseluruhan. Jika seseorang hanya mencintai seseorang namun tidak mempedulikan orang atau hal lainnya, maka cintanya itu bukanlah cinta kasih yang sesungguhnya/mulia.
52
Sebagaimana telah dikemukakan, cinta kasih merupakan kebutuhan manusia yang mendasar dan universal, setiap manusia berusaha mendapatkannya. Cinta kasih yang sudah ada tentunya harus selalu dijaga agar dapat dipertahankan keindahannya.Segala sesuatu agar mendapatkan hasil yang diharapkan memerlukan suatu proses. Demikian pula halnya dengan cinta kasih, agar dapat mencintai/dicintai atau mempertahankan cinta kasih yang sudah ada, kita perlu melakukan suatu tindakan atau perbuatan-perbuatan baik yang akan menghasilkan sesuatu yang kita harapkan. Walaupun sebagai manusia seringkali kita juga belum tentu mendapatkannya, namun proses ihktiar itu yang menunjukkan kualitas kita sebagai manusia. Cinta kasih dapat dipahami dari beragam hubungan yang dijalin oleh subjeksubjek yang mengadakan hubungan tersebut, yaitu: 1. manusia dengan Sang Pencipta, disebut Agape. Bentuknya berupa: pengabdian, pemujaan disertai kepasrahan. 2. manusia dengan manusia lain, yang disebut: a. Philia, jika bentuknya cinta persaudaraan atau persahabatan; b. Eros, jika cintanya menyangkut aspek ragawi; c. Amor, dalam aspek psikologis dan emosional. 3. manusia dengan alam sekitar/lingkungan. Bentuk cinta kasihnya diwujudkan dengan menjaga/ melestarikan lingkungan, dengan menciptakan keserasian, keselarasan, keseimbangan dengan alam/lingkungan, sehingga dapat diupayakan suatu kehidupan yang menyenangkan, bahagia, dan sentosa. Untuk memperjelas uraian tentang cinta kasih, berikut ini adalah bentukbentuk cinta kasih yang antara lain adalah: 1. 2. 3. 4. 5.
cinta terhadap Tuhan cinta persaudaraan cinta keibuan cinta erotis cinta diri sendiri (Mustopo, 1989: 77-80)
1. Cinta terhadap Tuhan Manusia makhluk ciptaan Tuhan. Bagaimana perwujudan rasa cinta yang ditujukan kepada Tuhan, sebenarnya telah dikemukakan dalam kitab suci yang memuat ajaran-ajaran yang bersifat religius. Salah satu bentuk yang diajarkan adalah bagaimana kita menjalankan apa yang Tuhan peritahkan dan menjauhkan apa yang dilarang-Nya, sebagaimana yang dimuat dalam kitab suci tersebut. Rasa cinta manusia kepada Tuhan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Oleh karena itu pemujaan kepada Tuhan dalam bentuk ibadah kepada-Nya dengan suatu ikhtiar yang disertai kepasrahan merupakan inti dari kehidupan manusia. Mengapa hal itu dikatakan demikian? Karena Tuhan adalah pencipta alam semesta, manusia adalah bagian dari alam semesta yang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kekuasaan Tuhan. 53
Selain itu kehidupan dunia adalah tidak abadi. Untuk mencapai kehidupan yang kekal di akhirat dengan bahagia, tentunya manusia harus mempersiapkan dirinya dahulu di dunia. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, yaitu dengan menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya. Salah satu yang diperintahkan Tuhan adalah memberikan cinta kasih terhadap sesama manusia termasuk dirinya sendiri dan juga terhadap alam semesta. Uraian di bawah ini antara lain merupakan bentuk-bentuk cinta kasih antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan alam lingkungannya. 2. Cinta Persaudaraan Manusia adalah makhluk sosial, ia tidak dapat hidup sendiri di dunia ini tanpa bantuan manusia atau makhluk lainnya. Selain itu manusia juga mempunyai kebutuhan-kebutuhan hidup naluriah yang perlu dipenuhi. Kebutuhan-kebutuhan mendasar tersebut antara lain sebagai berikut. 1. Dorongan untuk mempertahankan hidup. Sebagai suatu kekuatan biologi yang ada pada semua makhluk di dunia dan yang menyebabkan mampu mempertahankan hidupnya di muka bumi. 2. Dorongan seksual. Dorongan yang timbul pada tiap individu normal tanpa pengaruh pengetahuan, dan sebagai landasan biologi yang mendorong manusia meneruskan keturunannya. 3. Dorongan untuk usaha mencari makan. Dorongan ini tidak perlu dipelajari, dan sejak bayipun manusia sudah menunjukkan dorongan untuk mencari makan, yaitu dengan mencari susu ibunya atau botol susunya tanpa dipengaruhi oleh pengetahuan. 4. Dorongan untuk bergaul atau berinteraksi dengan manusia lain. Sebagai landasan biologi dari kehidupan masyarakat manusia sebagai makhluk kolektif. 5. Dorongan untuk meniru tingkah laku sesamanya. Dorongan ini merupakan sumber dari adanya beraneka ragam kebudayaan manusia. Dengan adanya dorongan ini, manusia mengembangkan adat yang memaksanya membuat kesepakatan-kesepakatan dengan manusia di sekitarnya. 6. Dorongan untuk berbakti. Dorongan ini ada dalam naluri manusia karena manusia adalah makhluk yang hidupnya kolektif. Sehingga untuk dapat hidup bersama dengan manusia lain secara serasi, ia perlu landasan biologi untuk mengembangkan rasa altruistik, rasa simpati, rasa cinta dan sebagainya, yang (mendukung) memungkinkannya hidup bersama tersebut. Kalau dorongan ini diekstensikan dari dorongan untuk berbakti pada sesama manusia, kepada kekuatan-kekuatan yang oleh perasaannya dianggap berada di luar kemampuan dirinya, maka akan timbul religi. 7. Dorongan akan keindahan, dalam arti keindahan bentuk, warna, warna, suara, atau gerak. Pada seorang bayi dorongan ini sudah tampak pada gejala tertariknya seorang bayi kepada bentuk-bentuk dan warna-warna tertentu. Dorongan naluri ini merupakan landasan dari suatu unsur penting dalam kebudayaan manusia yaitu kesenian (Koentjaraningrat, 1990: 109111).
54
Kebutuhan-kebutuhan tersebut di atas tidak dapat dipenuhi oleh dirinya sendiri. Oleh karena itu, ia membutuhkan orang lain untuk memenuhinya. Artinya ia perlu bekerja sama dan menjalin hubungan yang baik dengan orang lain. Bagaimana agar dapat bekerja sama dan terjalin hubungan yang baik, tentunya harus ditumbuhkan sikap altruisme yang memperlihatkan rasa cinta kasih antara sesama manusia yang saling membutuhkan itu, dan bukan sikap yang sebaliknya. 3. Cinta Keibuan Pada hakikatnya cinta keibuan merupakan cinta antara dua pihak yang tidak setara, yaitu antara yang memerlukan dan yang memberikan bantuan. Seorang anak sangat memerlukan bantuan ibu karena ia secara fisik maupun psikis memerlukan pertolongan agar terpenuhi kebutuhan dasar naluriahnya. Di sisi lain seorang ibu pada umumnya mempunyai kemampuan secara kodrati untuk memenuhi kebutuhan itu. Ciri utama dari cinta keibuan adalah altruistis dan tidak mementingkan dirinya sendiri dengan rela berkorban demi anaknya. Cinta ini dipandang sebagai cinta paling suci, melingkupi ikatan emosional yang dalam. Biasanya seseorang dalam hal ini bersifat “nursisistis”, ingin menguasai, ingin memiliki, berhasil menjadi ibu yang mencintai/menyayangi selama anak itu masih kecil. Besar dan tulusnya cinta keibuan, digambarkan dengan peribahasa bahwa “cinta ibu sepanjang jalan, cinta anak sepanjang penggalan”. Artinya cinta ibu seperti panjang suatu jalan yang tidak berbatas, sedangkan cita anak adalah sebaliknya. Dalam cinta keibuan, seorang ibu berperan sebagai agen sosialisasi yang primer. Ia mensosialisasi nilai-nilai kehidupan bagi anaknya untuk dapat mempersiapkan menghadapi kehidupan di dalam masyarakat. Apabila cinta keibuan yang diberikan berlebih-lebihan atau sebaliknya maka akan berdampak pada penanaman atau sosialisasi nilai pada dirinya. Tidak tertutup kemungkinan anak ini akan mengalami masalah sosial di kemudian hari. 4. Cinta Erotis Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa salah satu dorongan naluri manusia adalah dorongan seksual. Sebagai dorongan yang merupakan landasan biologi manusia untuk meneruskan keturunannya. Cinta antara sepasang manusia dikatakan sebagai cinta erotis karena didasarkan pada dorongan seksual, yang bersifat eksklusif (tidak universal). Cinta kasih yang ada adalah upaya “meleburkan” diri dari dua orang yang berbeda secara fisik maupun kepribadiannya. Kualitas cinta ini akan tergantung bagaimana kedua belah pihak menjaga jalinan hubungan atau komunikasi. Yang perlu diingat di sini adalah batasan moral dalam melakukan hubungan atau menyalurkan hasrat seksual tersebut. Mengingat manusia hidup tidak sendiri, ia dilingkupi oleh nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakatnya. Sebagai makhluk hidup yang berbudaya, tentunya dalam menyalurkan dorongan
55
seksual tersebut akan memperhatikan dan melaksanakan nilai-nilai yang menjadi pedoman hidupnya. Beragam nilai yang yang hidup dalam suatu masyarakat atau dikatakan juga sebagai norma akan memberikan arahan mengenai berbagai hal termasuk dalam kaitannya dengan penyaluran hasrat seksual. Contohnya adalah dengan sebelumnya melakukan perkawinan. Dengan pranata/lembaga perkawinan ini maka penyaluran hasrat ini akan menjadi sah, terjaga, dan tidak melanggar normanorma, baik norma agama, norma hukum maupun norma sosial (berkaitan dengan kesusilaan), sehingga dapat dihindari suatu pergaulan hidup/seks yang bebas namun tidak bertanggung jawab dan tidak berbudaya, suatu perbuatan yang tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh hewan. 5. Cinta Diri sendiri Telah dikemukakan bahwa cinta merupakan kebutuhan hidup manusia, termasuk mencintai diri sendiri. Mencintai diri sendiri tidak sama dengan mementingkan diri sendiri, bahkan keduanya bertolak belakang. Mementingkan diri sendiri adalah suatu sifat tamak yang hanya memikirkan atau mementingkan diri sendiri tanpa memikirkan orang lain yang pemenuhannya tidak terpuaskan. Sedangkan cinta diri sendiri merupakan suatu langkah yang juga harus ada dalam kita mencintai orang lain, namun dalam konteks tidak menjadi mementingkan diri sendiri. Dengan mencintai diri sendiri, kita menyadari keberadaan kita, dan apa yang seharusnya kita lakukan. Kita memperhatikan diri kita, karena kita juga merupakan amanah dari Tuhan yang harus dipelihara dengan baik termasuk juga memelihara dan menjaga harga diri. Mencintai diri sendiri artinya kita menyadari bahwa hidup tidak dapat sendiri. Konsekuensi logisnya adalah kitapun harus mencintai sesama manusia dan juga lingkungan di sekitar yang menopang kehidupan kita. Bentuk-bentuk cinta kasih di atas merupakan gambaran cinta kasih yang dilakukan oleh manusia. Rasa cinta antara manusia dengan sesamanya maupun dengan makhluk hidup lainnya, atau suatu sikap altruisme perlu selalu dijaga. Perasaan cinta kasih merupakan suatu kebutuhan bagi seluruh umat manusia selama ia masih memiliki hati atau nurani. Dalam pergaulan hidup dengan sesama manusia, kita tidak hanya dituntut untuk mempunyai rasa simpati tetapi juga mempunyai rasa empati terhadap suatu keadaan atau penderitaan yang dialami orang lain. Kata ‘simpati’ berasal dari kata Yunani yang berarti ‘merasa dengan’, sedangkan ‘empati’, yang juga berasal dari kata Yunani mempunyai arti ‘merasa di dalam’. Sehingga pengertian dari kata simpati menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebagai rasa kasih atau keikutsertaan merasakan perasaan orang lain. Kemudian empati diartikan sebagai keadaan mental yang membuat seseorang
56
merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain, termasuk di sini suatu penderitaan yang dialami orang lain. Hal ini dapat dicontohkan bagaimana seluruh bangsa Indonesia, bahkan umat di dunia saling bahu-membahu dalam mengatasi bencana Tsunami di Aceh dan Sumatera Utara, yang telah menelan banyak korban pada tanggal 26 Desember 2004 yang telah lalu. Tindakan yang telah dilakukan banyak pihak ini menunjukkan suatu sikap tidak hanya simpati, tetapi juga empati terhadap para korban musibah ini. 3.2.2. Penderitaan dan Kegelisahan 1. Penderitaan Ciri kehidupan di dunia ditandai oleh tawa dan tangis yang mencerminkan keadaan yang fana. Pada suatu saat kita temukan kebahagiaan, yang pada umumnya diungkapkan dengan tawa ria. Pada saat lain kita mengalami penderitaan, kesakitan, kesusahan, yang biasanya diungkapkan dengan tangis. Kata penderitaan yang berkata dasar ‘derita’ berasal dari kata ‘dhra’ dari bahasa sanskerta yang artinya menahan, menanggung/merasai sesuatu yang tidak menyenangkan (Pusat Bahasa Depdiknas, 2001: 255.). Penderitaan merupakan pengalaman pahit yang tidak didambakan oleh setiap manusia. Hakikat penderitaan adalah: a) dikhotomis, yaitu kita melihat sesuatu sebagai dua kutub yang berdekatan namun berlawanan, penderitaan dan kebahagiaan. Tidak ada penderitaan kalau kita tidak mengenal kebahagiaan, dan sebaliknya. b) universal namun unik/spesifik. Secara universal setiap orang tahu/mengenal/merasakan arti penderitaan, namun secara unik/spesifik berat ringannya penderitaan dipersepsikan secara individual yang dipengaruhi oleh latar belakang sosial budayanya. c) kontradiktif, yaitu ditemukan pola menyimpang, yang dirasakan aneh bagi orang lain. Pola tersebut antara lain, dalam penderitaan badaniah terdapat suatu “kebebasan”/kebahagiaan rohaniah; penderitaan seseorang untuk kebahagiaan orang lain, misalnya: Pahlawan bangsa, seorang ibu yang berkorban bekerja keras demi kebahagiaan anaknya; Menjalani penderitaan di dunia untuk kebahagiaan di akhirat. Sumber penderitaan ada yang berasal dari a) Sang pencipta, melalui alam misalnya: gunung meletus, gempa bumi, Tsunami, dan sebagainya. b) Lingkungan hidup manusia sendiri yang berasal dari masyarakat, kelompok atau orang lain secara individual, bentuknya dapat berupa perang, pengucilan, dan sebagainya. c) Diri sendiri, misalnya tidak lulus ujian karena tidak belajar, terjatuh karena tidak hati-hati, dan sebagainya. Ketiga penderitaan yang berasal dari sumber yang berbeda dapat muncul bersamaan dalam satu waktu. Bentuk dari penderitaan, dapat berupa penderitaan lahir/fisik maupun penderitaan bathin/psikis. Dalam kedua penderitaan tersebut dapat saling mempengaruhi, yaitu suatu penderitaan fisik dapat menyebabkan penderitaan psikis, misalnya: seseorang yang menderita sakit parah dan sulit untuk
57
disembuhkan dapat menyebabkan gangguan kejiwaan atau mengalami stress. Sebaliknya, seseorang yang sedang mengalami kesedihan yang mendalam, misalnya karena ditinggal mati orang yang sangat dicintainya, atau ketakutan yang sangat, misalnya phobia tertentu, dapat mengalami gangguan kesehatan fisik. Dalam menerima suatu penderitaan adalah subjektif bagi tiap individu. Hal ini tergantung pada tinggi rendahnya toleransi individual, sehingga mengandung gradasi dalam penghayatannya. Hal-hal yang dapat membuat seseorang menderita antara lain adalah siksaan dan kekalutan mental. Bentuk-bentuk siksaan secara psikis adalah kebimbangan, kesepian dan ketakutan. Kebimbangan dialami seseorang apabila ia pada suatu saat tidak dapat menentukan pilihan mana yang akan diambil. Kesepian adalah suatu rasa sepi dalam dirinya atau jiwanya walaupun ia di lingkungan yang ramai. Ketakutan merupakan bentuk lain yang dapat menyebabkan seseorang mengalami siksaan bathin. Apabila rasa takut itu dibesarbesarkan dengan tidak pada tempatnya, disebut sebagai phobia. Bentuk-bentuk phobia antara lain, claustrophobia (di ruang tertutup), agora phobia (di tempat terbuka), gamang (di tempat tinggi), kegelapan, kesakitan, kegagalan, dan sebagainya. Kekalutan mental merupakan gangguan kejiwaan akibat ketidakmampuan seseorang menghadapi persoalan yang harus diatasi sehingga yang bersangkutan bertingkah secara kurang wajar. Hal ini dapat terjadi karena seseorang mempunyai kepribadian yang lemah, terjadinya konflik sosial budaya, atau cara pematangan bathin (pendewasaan) yang salah dengan memberikan reaksi yang berlebihan terhadap kehidupan sosial (a.l. over acting, over compensatie, emotional, under acting). Penderita kekalutan mental banyak terdapat di kota-kota besar, anak-anak muda, wanita, orang yang tidak beragama, orang yang terlalu mengejar materi/kekuasaan (Widyosiswono, 1992: 96-104). Apabila seseorang mengalami kekalutan mental ada yang memberikan reaksi secara positif dan ada yang negatif. Untuk yang positif adalah “dijawab” secara baik untuk dapat tetap survive, sedangkan yang negatif adalah menjadi frustrasi. Untuk dapat menghindarkan diri dari frustrasi antara lain dapat dilakukan dengan memelihara kebersihan jiwa, melatih berpikir dan berbuat wajar, berani mengatasi kesulitan, dan berkomunikasi. Akhirnya, secara umum manusia ingin bebas dari penderitaan, karena itu selalu berupaya untuk “melepaskan diri” dari keadaan-keadaan yang memberikan pengalaman tersebut, dalam bentuk-bentuk: a. Perilaku nyata, yaitu menghindar atau menjauhkan diri dari keadaan-keadaan yang disadari dapat memberi pengalaman tersebut (mengandung antisipasi); b. “Mencairkan” makna penderitaan, meyakini bahwa setiap pengalaman yang tidak dikehendaki memuat hikmah tertentu. Yang dimaksud di sini adalah penderitaan diterima sebagai kenyataan tetapi
58
diperkecil nilai bebannya, atau diterima sebagai kenyataan tetapi ditafsirkan sebagai sesuatu yang bernilai di kemudian hari. c. Menolak kenyataan sebagai mekanisme pertahanan diri (defence mechanism; escape mechanism) 2. Kegelisahan Kegelisahan adalah suatu rasa tidak tenteram, tidak tenang, tidak sabar, rasa khawatir/cemas pada manusia. Jadi gelisah merupakan suatu rasa (-) yang berkembang dalam diri manusia, sifatnya psikologis/kejiwaan. Kegelisahan merupakan gejala universal yang ada pada manusia manapun. Namun kegelisahan hanya dapat diketahui dari gejala tingkah laku atau gerak-gerik seseorang dalam situasi tertentu. Jadi merupakan sesuatu yang unik, sebagai manifestasi dari perasaan tidak tenteram, khawatir/cemas, dan sebagainya. Mengapa manusia gelisah? Hal ini terjadi karena adanya keterbatasan manusia untuk dapat mengetahui hal-hal yang akan datang atau yang belum terjadi. Hal ini terjadi misalnya karena adanya suatu harapan atau suasana ketidakpastian, rasa terasing (keterasingan), rasa kesepian, atau adanya ancaman. Sedangkan sumber dari kegelisahan ada yang berasal dari dalam diri manusia (internal), misalnya rasa lapar, haus, rasa sepi, dan sebagainya, dan dari luar diri manusia, misalnya: kegelisahan karena diancam seseorang. Kegelisahan menunjuk pada suasana negatif, tetapi di sisi lain tetap mempunyai harapan, sehingga antara kegelisahan dan harapan seolah-olah merupakan saudara kembar. Muncul ketenangan apabila ada keseimbangan antara kegelisahan dan harapan. Menurut Sigmund Freud, ada tiga macam kegelisahan, yaitu sebagai berikut. a. Kecemasan objektif (tentang kenyataan), yang bersumber dari sesuatu kekuatan yang ada di luar diri manusia. Hal ini muncul dari antisipasi seseorang berdasarkan pada pengalaman perasaannya. Misalnya: kegelisahan masyarakat setelah ada pengumuman kenaikan BBM. b. Kecemasan neurotik (syaraf), ditimbulkan oleh suatu pengamatan tentang bahaya dari naluriah. Misalnya: kegelisahan siswa SMP maupun SMU menunggu hasil Ujian Nasional; kegelisahan seorang suami yang menunggu istrinya melahirkan anak pertama. c. Kecemasan moral, muncul dari emosi sendiri yang merupakan perasaan bersalah atau malu dalam ego, yang ditimbulkan oleh suatu pengamatan bahaya dari hati nurani (Widyosiswono, 1992: 142-145). Misalnya, setelah terungkap permasalahan korupsi di tubuh Komisi Pemilihan Umum, DPR, Kejaksaan atau lembaga-lembaga lainnya, banyak pihak terkait yang merasa gelisah. Mengingat kegelisahan juga merupakan perasaan negatif atau yang tidak menyenangkan bagi setiap manusia maka dirasakan perlu suatu upaya untuk mengatasinya. Hal-hal yang dapat dilakukan antara lain adalah pertama-tama
59
haruslah menyadari adanya kegelisahan diri, kemudian introspeksi diri, melakukan tindakan nyata, mengambil hikmah/beauty dari suatu pengalaman, dan tidak lupa untuk berdoa dan pasrah/ikhlas, menyerahkan diri pada Tuhan YME. 3.2.3. Kebersamaan Secara kodrati, kebersamaan merupakan suatu kata yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Konon, manusia pertama pun, Adam, sejak diciptakan telah memiliki kecenderungan tidak mampu hidup sendiri, sehingga diciptakan manusia kedua, Hawa, sebagai teman hidupnya. Demikian pula kehidupan manusia dari generasi lampau sampai sekarang, ia tidak dapat hidup sendirian. Manusia menghadapi tantangan dari alam, dari sesama, juga dari dirinya sendiri. Hanya melalui kerja sama dengan pihak lain, tantangan itu dapat lebih mudah dan lebih ringan dihadapi. Ketika tantangan hidup manusia makin kompleks, disadari perlunya pembagian tugas atau kerja yang spesifik. Setiap orang mengambil peranan yang unik sesuai dengan apa yang dapat dilakukan. Semua bentuk kerja sama itu pada hakikatnya adalah mengelola sumber daya (alam dan manusia) semaksimal dan seefisien mungkin sehingga menjadi produk yang bermanfaat. Ketika suatu produk yang sama telah diproduksi oleh orang yang berbeda dan sumber daya alam yang tersedia makin menipis, kompetisipun tak terelakkan (Panuju, Redi, 1996: 15). Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa dalam hidup manusia, ia mempunyai tantangan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Beragam kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya naluri/kodrati maupun kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya merupakan pengembangan dari kebutuhan kodrati tadi. Kebutuhan tersebut dapat dilihat secara fisik maupun psikis. Contoh kebutuhan dari segi fisik, antara lain makan, minum, kebutuhan seksual, dan lain-lain, sedangkan dari segi psikis contohnya antara lain, kebutuhan akan cinta, kasih sayang, perhatian, rasa aman, dan lainlain. Di sisi lain sebagai manusia, ia mempunyai keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan tersebut, oleh karena itu ia memerlukan kerja sama dengan orang lain untuk memenuhinya. Secara Antropologis, manusia adalah makhluk sosial atau sebagai makhluk kolektif yang mempunyai ciri-ciri yang umum sebagai berikut: 1) pembagian kerja yang tetap antara berbagai macam sub kesatuan atau golongan individu dalam kolektif untuk melaksanakan berbagai macam fungsi hidup; 2) ketergantungan individu kepada individu lain dalam kolektif sebagai akibat dari pembagian kerja tadi; 3) kerja sama antar individu yang disebabkan ketergantungan tadi; 4) komunikasi antar individu yang diperlukan guna melaksanakan kerja sama tadi; 5) diskriminasi yang diadakan antara individuindividu warga kolektif dan individu-individu dari luarnya (Koentjaraningrat, 1996: 136).
60
Azas-azas yang mengemuka ketika membicarakan pergaulan dalam kehidupan kolektif tersebut adalah azas egoisme dan azas altruisme. Azas egoisme atau azas mendahulukan kepentingan diri sendiri di atas kepentingan di atas kepentingan orang lain. Azas egoisme di sini adalah dalam konteks upaya mempertahankan diri kehidupan kolektifnya terhadap kolektif lainnya di dalam alam yang kejam (survive). Sikap egois memungkinkan “the survival of the fittest”. Sebaliknya, azas altruisme adalah hidup berbakti untuk kepentingan yang lain sebagai lawan dari azas egoisme, yang juga digunakan untuk dapat bertahan dalam proses seleksi alam yang kejam. Dengan altruisme maka makhluk kolektif itu mampu mengembangkan suatu hubungan bantu membantu, dan kerja sama yang serasi sehingga sebagai kolektif mereka menjadi kuat menghadapi tantangan alam yang keras (Koentjaraningrat, 1996: 137). Bagaimana menyikapi penerapan azas-azas ini dalam kehidupan kolektif manusia? Lingkup kehidupan kolektif manusia beragam, dari yang kecil seperti keluarga, small group, peer group, suku bangsa sampai masyarakat suatu bangsa atau negara bahkan dunia. Dalam kehidupan kelompoknya itulah terdapat tatanan nilai yang mengatur bagaimana seseorang itu diharapkan bertingkah laku. Berbeda dengan kelompok/kolektif hewan, manusia dengan akalnya mempunyai aturan-aturan yang beragam dalam interaksinya di setiap tempat, itulah sebabnya manusia disebut makhluk yang berbudaya sebagai pendukung suatu kebudayaan. Manusia dalam hidupnya dapat dilihat dari dua sisi yaitu dari sisi dirinya sebagai individu, yang tingkah lakunya dipengaruhi oleh unsur genetisnya/fisiologis dan unsur kepribadian yang beretik otonom. Kemudian sisi dirinya sebagai bagian/anggota dari suatu masyarakat yang beretik heteronom. Etik otonom pribadi berpusat pada kata hati tiap-tiap orang, sedangkan etik masyarakat yang heteronom terjelma dalam adat istiadat, kebiasaan maupun undang-undang. Adat istiadat, kebiasaan dan undang-undang inilah yang merupakan norma-norma yang menentukan kelakuan individu-individu sebagai anggota suatu masyarakat (Takdir Alisyahbana, 1982: 8-16). Sebagai bagian dari suatu kolektif manusia, yaitu masyarakat Indonesia, kita menyadari bahwa Indonesia adalah masyarakat majemuk yang keheterogenitasnya dapat dilihat dari jumlah suku bangsa yang beragam, bahasa, agama yang dianut, demografi, jenis pekerjaan dan sebagainya. Dengan semboyan Bhineka tunggal ika kita berupaya selalu menjaga persatuan bangsa. Namun dalam perjalanan hidup kebersamaan bangsa Indonesia, kita mengalami berbagai masalah serius terutama masalah disintegrasi bangsa yang ekskalasinya meningkat akhir-akhir ini. Permasalahan disintegrasi bangsa tersebut antara lain berkaitan dengan masalah hubungan antara aneka warna suku bangsa, hubungan mayoritas minoritas, hubungan antar umat beragama, daerah-daerah yang masih terbelakang, separatisme, dan sebagainya.
61
Dalam menyikapi hal ini perlu dilakukan suatu upaya-upaya yang melibatkan seluruh bangsa Indonesia. Upaya-upaya tersebut antara lain sebagai berikut. a. Sosialisasi Nilai-Nilai Kebaikan/Moral Dalam pola berinteraksi antar sesama manusia, kita melihat ada dua sisi yang bersebelahan yaitu suatu keharusan untuk bekerja sama dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan suatu tuntutan berkompetisi dengan orang lain karena keterbatasan sumber daya alam yang ada. Untuk itulah sebagai manusia tentunya kita tidak melakukannya dengan menghalalkan segala cara guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup tersebut. Manusia perlu suatu landasan moral dalam mengelola sumber daya yang ada (manusia dan alam), yaitu dengan mengedepankan nilai-nilai dalam berinteraksi dengan sesama manusia, seperti nilai keadilan, tanggung jawab, cinta kasih, dan lain-lain. Bagaimana nilai-nilai tersebut dapat dilaksanakan adalah tergantung pada pola asuhan atau sosialisasi yang diterima oleh seseorang, yaitu dalam sosialisasi primer sebagai penanaman nilai-nilai yang pertama dan utama di dalam keluarga oleh agen sosialisasi seperti orang tua atau anggota keluarga lain. Kemudian juga sosialisasi sekunder, yang berasal dari luar lingkungan keluarga, seperti guru, teman, atau anggota masyarakat lain. Penanaman nilai-nilai di dalam keluarga adalah yang paling mendasar karena sosialisasi ini merupakan upaya untuk mempersiapkan anggota keluarga untuk masuk dalam kehidupan bersama di dalam masyarakat. Penanaman nilai yang berkaitan dengan semangat kebersamaan di Indonesia tentunya harus disesuaikan pula dengan kultur bangsa Indonesia yang pada hakikatnya merupakan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai budaya yang bukan individualis melainkan komunal/kolektivisme, seperti gotong royong, musyawarah untuk mufakat, dan lain-lain. Sehingga munculnya permasalahanpermasalahan integrasi bangsa yang berkaitan dengan kebersamaan bangsa ini perlu ditelaah lebih jauh apa penyebabnya. Apakah nilai-nilai budaya kebersamaan yang disosialisasikan di dalam keluarga atau lingkungan sudah makin berkurang atau kalah bersaing dengan nilai-nilai luar karena adanya arus globalisasi? Atau ada penyebab lainnya?
62
Perbedaan karakteristik pada masyarakat yang kolektivisme dan individualisme menurut Hofstede Individualisme
Kolektivisme
Otonomi individual
Kesatuan kelompok dan harmoni
Orientasi pada diri sendiri
Orientasi pada kelompok
Mengutamakan kepentingan individu
Mengutamakan kepentingan kelompok
Unik dan bebas
Peduli terhadap ketergantungan sesama
Mengutamakan kehormatan individu
Pemilikan kelompok
Keluarga inti
Keluarga luas
Pemberian ganjaran kepada individu Berdasarkan kesamaan hak (equity)
Distribusi ganjaran mengutamakan keseimbangan
Persaingan
Kerja sama
(Leliweri, 2002: 126) b. Komunikasi Antar Budaya Perlunya dilakukan suatu komunikasi antar budaya baik secara teoritis maupun praktis antara lain adalah untuk 1) membuka diri dan memperluas pergaulan; 2) meningkatkan kesadaran diri; 3) etika/etis; 4) mendorong perdamaian dan meredam konflik; 5) demografis; 6) ekonomi; 7) menghadapi teknologi komunikasi; 8) menghadapi era globalisasi ( Leliweri, 2002: 32-33). Manfaat dari komunikasi antar budaya tersebut yang paling berkaitan dengan permasalahan kebersamaan dalam kebhinekaan bangsa Indonesia dan juga berkaitan dengan kebersamaan dalam kehidupan masyarakat dunia adalah pada butir 4) mendorong perdamaian dan meredam konflik; dan 8) menghadapi era globalisasi. Lembaga Conflict Research Consortium, University of Colorado, USA, dalam uraian bertema Peace, Culture and Society (Elise Boulding, Clovis Brigagao, dan Kevin Clements, 1991) mengemukakan betapa pentingnya peranan komunikasi untuk membatasi atau mengurangi kesalahpahaman. Komunikasi dapat mengurangi eskalasi konflik sosial dan pembenaran aspirasi politik dalam proses perdamaian antar manusia, antar kelompok, antar etnik, antar ras, bahkan antar bangsa. Kunci untuk perdamaian, kebudayaan, dan masyarakat (menciptakan budaya perdamaian dalam masyarakat) sangat ditentukan oleh dialog intensif dan
63
terus menerus, dengan kata lain, melaksanakan komunikasi secara lateral, mengadakan dialog dan memecahkan masalah bersama melalui konsensus (Leliweri, 2002: 38) Dalam komunikasi antar budaya kita berusaha untuk membuka diri dengan menjawab beberapa pertanyaan berikut. 1. Bagaimana saya melihat diri sendiri ? (untuk seterusnya, “saya” di sini dapat dianalogikan dengan “suku saya” atau “bangsa saya”, dst.) 2. Bagaimana saya melihat anda? (untuk seterusnya, “anda” di sini dapat dianalogikan dengan “suku anda” atau “ bangsa anda”, dst.) 3. Bagaimana Anda berpikir tatkala Anda melihat saya? 4. Bagaimana Anda melihat diri Anda? 5. Bagaimana Anda melihat diri saya? dan Bagaimana Anda berpikir tatkala saya melihat Anda (Hybells and Weaver II, 1992 hlm. 26). ( Leliweri, 2002: 32-33) c. Kebudayaan Nasional Indonesia Permasalahan kebudayaan nasional Indonesia merupakan masalah kebudayaan semua orang Indonesia warga satu nasion yang dalam kenyataannya terdiri atas banyak suku bangsa dengan beraneka ragam kebudayaan, bahasa dan agama. Perlunya suatu upaya pengembangan dan sosialisasi kebudayaan nasional Indonesia dalam upaya menjaga integrasi bangsa adalah mengingat adanya dua fungsi yang pada umumnya ada pada tiap kebudayaan nasional di seluruh dunia, yaitu 1) fungsi memperkuat jati diri nasional, dan 2) fungsi memperkuat solidaritas nasional. Unsur-unsur kebudayaan nasional yang dapat memenuhi fungsi pertama adalah unsur kebudayaan nasional yang merupakan puncak kebudayaan daerah yang diakui oleh dunia internasional. Hal ini dapat memberikan perasaan bangga dalam diri orang Indonesia yang tidak memahami maknanya sekalipun. Kebanggaan terhadap suatu karya biasanya menimbulkan keinginan seseorang untuk mengidentifikasikan dirinya dengan karya yang bernilai tinggi itu, dan dengan demikian ia memperkuat jati dirinya, sedangkan unsur-unsur kebudayaan nasional yang dapat memenuhi fungsi kedua adalah unsur-unsur kebudayaan nasional yang dipahami seluruh bangsa, dan dapat dikomunikasikan kepada warga suku bangsa lainnya sehingga dapat memperkuat solidaritas nasional. Dengan demikian isi kebudayaan nasional Indonesia adalah karya-karya kebudayaan putra-putri Indonesia yang dapat dibanggakan untuk memperkuat jati diri nasionalnya, dan karya-karya kebudayaan yang bersifat komunikatif untuk memperkuat solidaritas nasionalnya. Unsur-unsur kebudayaan yang paling berperan dalam menguatkan jati diri dan solidaritas nasional adalah bahasa dan kesenian. Unsur-unsur itu merupakan unsur-unsur oleh karena menempati urutan atas dari unsur-unsur yang lain.
64
Unsur bahasa misalnya adalah bahasa daerah atau bahasa suku bangsa, dan unsur-unsur kesenian adalah semua unsur kesenian tradisional yang berasal dari kebudayaan daerah. Oleh karena itu oleh konsepsi Ki Hajar Dewantara unsurunsur itu disebut sebagai “puncak-puncak” kebudayaan daerah. Di samping itu masih ada sejumlah unsur yang kiranya perlu diperhatikan sebagai unsur-unsur kebudayaan nasional yaitu sains dan teknologi. Unsur-unsur itu umumnya berasal dari peradaban dunia masa kini, dan perlu kita jadikan bagian integral dari kebudayaan nasional kita Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam upaya mengembangkan kebudayaan nasional Indonesia adalah unsur-unsur kebudayaan yang akan menjadi kebudayaan nasional Indonesia harus memiliki watak khas atau kepribadian sebagai kebudayan nasional Indonesia. Watak itu dalam ilmu-ilmu sosial disebut sistem atau orientasi nilai budaya. Nilai budaya adalah suatu gagasan, suatu hasrat, atau suatu perilaku yang dinilai tinggi dan sudah dibudayakan sejak usia dini dalam jiwa warga suatu kebudayaan. Oleh karenanya nilai ini sulit diubah dalam hanya satu generasi saja. Sebagai contoh misalnya adat gotong royong dalam kebudayaan berbagai suku bangsa di seluruh Nusantara, adat merantau dalam kebudayaan Minangkabau, hasrat untuk bersaing dalam kebudayaan Batak (diambil hanya dalam konteks yang positif), dan sebagainya. Jiwa kebudayaan nasional Indonesia pada hakikatnya memang terdiri atas nilai-nilai budaya yang memberi watak dari kepribadiannya dari kebudayaan suku bangsa. Untuk itu perlu dilakukan seleksi dan pengembangan terhadap nilai-nilai budaya tersebut dengan cara antara lain: 1. mengembangkan sikap hidup yang positif dan mengurangi sikap menggantungkan diri pada nasib; 2. mengembangkan sikap yang menilai tinggi disiplin, kesinambungan, dan mutu hasil kerja; 3. mengukuhkan kembali sikap hidup selaras dengan alam; 4. lebih banyak mengembangkan orientasi hidup ke masa depan daripada mengagungkan masa kejayaan bangsa Indonesia di masa lalu, mengembangkan sikap tepat waktu dalam aktivitas sehari-hari, suatu orientasi hidup yang erat kaitannya dengan orientasi ke masa depan, dan kebiasaan hidup berhemat; 5. mengukuhkan nilai gotong royong dengan mengurangi aspek-aspek negatifnya seperti sikap kurang mandiri, kurang bertanggung jawab; mengurangi sikap ketergantungan kepada orang-orang yang lebih “tinggi”; dan meningkatkan disiplin nasional sesuai dengan aturan-aturan yang ada (Koentjaraningrat, Kompas, 14 Januari 1991) . d. Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam yang Berkeadilan Masalah yang berkaitan dengan rasa keadilan dari pembagian dan pemanfaatan sumber daya alam dari masyarakat Indonesia di berbagai daerah ini begitu mengemuka akhir-akhir ini sehingga memunculkan berbagai gejolak di beberapa daerah yang sangat berpotensi pada disintegrasi bangsa. Untuk
65
mengatasi hal ini antara lain telah dikeluarkan Ketetapan MPR-Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Dengan ketentuan ini maka diberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya alam yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. Di samping itu, penyelenggaraan Otonomi Daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah (Indonesia, Penjelasan Undang-Undang RI No. 22 Th 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah digantikan oleh Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). 3.2.4. Keadilan Begitu sering kita mendengar kata keadilan dikemukakan orang, namun apakah sebenarnya yang dimaksud dengan keadilan yang begitu kita dambakan ini. Keadilan yang berasal dari kata adil, dapat diartikan sebagai suatu keadaan seimbang, tidak berat sebelah atau tidak memihak. Sehingga keadilan lebih jauh dapat diartikan sebagai suatu tuntutan sikap yang seimbang antara hak dan kewajiban. Pemberian hak dimaksud adalah kepada siapa saja yang memang menjadi haknya. Dengan demikian kewajiban adalah kita memberikan apa yang menjadi kewajiban kita kepada orang yang seharusnya mendapatkannya. Selain itu kata keadilanpun dapat diartikan sebagai memberikan perlakuan yang sama kepada setiap orang dalam situasi yang sama. Hal ini karena pada hakikatnya setiap manusia itu mempunyai nilai yang sama sebagai manusia. Namun pada kasuskasus atau situasi tertentu perlu suatu perlakukan yang tidak sama untuk mencapai apa yang dikatakan sebagai keadilan, jadi harus ada alasan khusus yang dapat membenarkan sikap/perlakuan tersebut. Sebagai contoh, ketentuan membunuh adalah suatu tindakan atau perbuatan jahat yang melawan hukum yang akan mendapat hukuman yang berat menurut KUHP. Ketentuan ini menurut azas keadilan adalah diperlakukan sama pada setiap orang yang melakukannya. Namun ketika proses di pengadilan, seorang hakim akan menelaah lebih jauh perbuatan membunuh dari seseorang tersebut. Hal ini karena dapat saja seseorang itu membunuh karena ia membela diri karena ia akan diperkosa misalnya. Di lain kasus, dapat saja membunuhnya seseorang itu karena tuntutan pekerjaan seperti seorang polisi yang membunuh penjahat yang melarikan diri atau membahayakan masyarakat lain, jadi tindakannya itu ada alasan pembenarnya. Mengingat keadilan merupakan suatu hak yang asasi dari manusia dimanapun dan dimasa manapun ia berada, sehingga merupakan hak yang bersifat universal maka banyak pendapat yang mengemukakan hakikat dari keadilan ini disesuaikan dengan zamannya. Ungkapan-ungkapan keadilan tersebut antara lain yaitu pada zaman Romawi Kuno ada ungkapan Tribuere Suun Cuiqe yang artinya betapa pentingnya memberikan hak-hak apa yang ada pada setiap orang, apa yang dimilikinya harus diberikan kepadanya tanpa kecuali. Pada zaman Yunani purba,
66
Dewa Zeus dianggap sebagai penegak hukum dan keadilan yang menguasai jagad raya. Selain itu beberapa pendapat para ilmuwan/filsuf berkaitan dengan keadilan antara lain adalah pendapat dari Socrates yang menitikberatkan keadilan pada pemerintahan yaitu bilamana pemerintah dengan rakyatnya terdapat saling pengertian yang baik. Kemudian apabila penguasa mematuhi dan mempraktikkan ketentuan hukum serta pimpinan negara bersikap bijaksana. Aristoteles mengemukakan bahwa keadilan adalah kelayakan dalam tindakan manusia (Faierner in human action). Plato pada zaman Yunani Kuno memberi nilai keadilan sebagai “Kebajikan Tertinggi dalam Kehidupan Negara Yang Baik” (The Supreme Virtue of The Good State) dan orang yang adil adalah “orang yang mengendalikan diri, yang perasaannya dikendalikan oleh akal” (the discipline man whose passion are controlled by reason). John Lock mengaitkan keadilan dengan beberapa hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup, hak untuk berkeluarga, hak untuk memperoleh pendidikan, hak untuk berpendapat dan hak untuk tidak boleh dihukum sebelum ada petunjuk atau bukti sah (Mustopo, 1992: 157-159). Sebagaimana dikemukakan di atas sebagian dari pandangan-pandangan manusia tentang keadilan yang beragam. Sebagaimana manusia yang mempunyai berbagai pendapat, seringkali menimbulkan bias dalam menilai suatu keadilan menurut cara pandangnya yang disesuaikan dengan keadaan dirinya. Itulah sebabnya keadilan manusia dalam praktiknya seolah-olah menjadi variatif. Misalnya menurut pengusaha, keadilan adalah apabila keuntungan terbesar jatuh pada pihak pedagang. Menurut buruh, adil apabila upah dibayar pada waktunya dan keuntungan perusahaan dibagi secara wajar. Begitulah keadilan manusia yang nampak relatif, yang berbeda dengan keadilan Tuhan. Relatifnya keadilan manusia karena cenderung subjektif. Sedangkan keadilan Tuhan adalah keadilan mutlak yang terkadang manusia melihatnya sebagai ketidakadilan dengan ukuran manusia yang serba terbatas. Setiap manusia pasti pernah mengalami perlakuan adil dan tidak adil. Hal ini berhubungan erat dengan hak-hak alamiah (hak asasi manusia) yang antara lain adalah: 1) hak untuk hidup; 2) hak untuk kemerdekaan hidup; 3) hak untuk memiliki sesuatu; 4) hak untuk mendapatkan perlindungan hukum; 5) hak untuk memperoleh nama baik; 6) hak untuk berpikir dan mengeluarkan pendapat; 7) hak untuk menganut agama dan kepercayaan; 8) hak untuk mendapat pendidikan dan pengajaran; 9) hak untuk memperoleh pekerjaan. Yang dimaksudkan dengan hak di sini antara lain adalah suatu kekuasaan yang secara sah dimiliki seseorang, baik atas diri pribadi, atas orang lain maupun atas harta atau benda yang berada di luar dirinya. Sehubungan dengan hak-hak tersebut, orang merasa diperlakukan adil apabila dapat mempertahankan/membela hak-haknya, sedangkan jika dihubungkan antara hak dan kewajiban, dalam masalah keadilan seringkali dibicarakan mengenai sejauh mana individu dapat memperoleh hak-haknya sesuai dengan kewajiban yang telah dipenuhinya. Kewajiban di sini meliputi dalam arti yang subjektif yaitu keharusan moral untuk melakukan sesuatu atau
67
meninggalkannya, dan kewajiban dalam arti objektif yaitu sesuatu yang harus dilakukan atau ditinggalkan. Jadi mendapatkan suatu hak harus diimbangi pula oleh suatu kewajiban. Dalam kenyataan seringkali sulit untuk dilaksanakan, sehingga rasa ketidakadilan menjadi sering mengemuka. Bagaikan dua sisi mata uang yang saling bersebelahan demikianlah gambaran antara keadilan dan ketidakadilan. Kita dapat mengatakan sesuatu itu tidak adil karena kita mempunyai suatu acuan yang mana keadilan itu, demikian pula sebaliknya. Banyak rasa ketidakadilan yang kita rasakan dalam kehidupan ini. Dari apa yang diuraikan di atas, nampak bahwa keadilan bersifat universal dan unik. Universal artinya, rasa keadilan itu adalah kebutuhan atau bagian hidup manusia dimanapun dan pada masa apapun manusia berada. Keadilan merupakan kebutuhan mutlak bagi manusia. Ia tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia karena keadilan merupakan proses kejiwaan yang dibawa semenjak manusia lahir. Sedangkan yang dimaksudkan dengan unik adalah tiap manusia atau manusia pada tiap zamannya mempunyai ukuran keadilan yang relatif. Suatu sifat keadilan yang berbeda dengan keadilan Tuhan yang bersifat mutlak. Secara teoritis, azas untuk menentukan apakah sesuatu hal itu adil atau tidak adalah: 1. azas persamaan, yaitu setiap orang mendapatkan bagian secara merata; 2. azas kebutuhan, yaitu setiap orang mendapat bagian sesuai dengan kebutuhan/keperluannya; 3. azas kualifikasi, yaitu keadilan yang didasarkan pada kenyataan bahwa yang bersangkutan akan dapat mengerjakan tugas yang diberikan padanya; 4. azas prestasi objektif, yaitu apa yang menjadi bagian seseorang didasarkan pada syarat-syarat objektif , misalnya: kemampuan/keahlian seseorang; 5. azas subjektif, yaitu keadilan yang didasarkan pada syarat-syarat subjektif misalnya ketekunan, kerajinan, dan sebagainya. Dalam bidang hukum beberapa azas keadilan antara lain adalah: 1. azas equality before the law, yaitu azas yang menyatakan adanya persamaan hak dan derajat di muka hukum bagi setiap orang; 2. azas equal protection on the law, yaitu azas yang menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapat perlindungan yang sama oleh hukum; 3. azas equal Justice under the law, yaitu azas yang menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapat perlakuan yang sama di bawah hukum. Di dalam penegakkan hukum, suatu keadilan dilambangkan sebagai seorang perempuan yang memegang timbangan dan sebilah pedang dengan mata yang tertutup. Hal ini melambangkan suatu penegakkan hukum yang diharapkan dilakukan dengan seadil-adilnya dilambangkan dengan timbangan, penuh ketegasan bagi yang melanggar dilambangkan dengan sebilah pedang dan tidak
68
pandang bulu/pilih kasih dalam penerapannya dilambangkan dengan mata yang tertutup. Bagaimana seseorang itu bertingkah laku tergantung pada bagaimana norma-norma yang mengatur berbagai interaksi yang berkaitan dengan keadilan tersebut dipatuhi. Berbagai norma-norma yang menjadi prinsip dasar keadilan adalah norma yang mengatur bagaimana hubungan/interaksi antara manusia dengan manusia lainnya, norma hubungan antara manusia dengan benda/lingkungan, dan norma yang terkait dengan hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Bentuk-bentuk keadilan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat antara lain adalah: 1. keadilan seharga atau timbal balik dalam pertukaran (Justitia Commutativa) 2. keadilan pembagian/penyebaran (Justitia Distributiva) 3. keadilan berdasarkan undang-undang (Justitia Legalis) 4. keadilan sosial (Justitia Socialis) Penggolongan secara umum dari bentuk keadilan ini adalah keadilan formal dan keadilan material. Keadilan formal dapat diartikan sebagai keadilan yang mengacu pada ketentuan-ketentuan formal, seperti undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya, sedangkan keadilan materil adalah keadilan yang tidak hanya mengacu pada ketentuan-ketentuan formal tetapi melihat secara keseluruhan terjadinya suatu kasus atau permasalahan, seperti hal-hal yang melatarbelakanginya. Sebagai contoh, suatu kasus penganiayaan, jika hanya mengacu pada ketentuan undang-undang (formal) maka akan langsung dikenakan hukuman pasal tentang penganiayaan tersebut di pengadilan. Sedangkan jika dilihat secara material maka akan dilihat secara keseluruhan, mungkin saja penganiayaan dilakukan karena membela diri, yang dapat dijadikan sebagai hal yang akan meringankan hukuman bahkan dapat membebaskannya. Jadi yang harus dilihat juga itikad dari si pelaku. Dalam konteks yang lebih luas, tinjauan keadilan secara material terhadap pelanggaran-pelanggaran atas ketidakpatuhan masyarakat terhadap suatu ketentuan formal, harus dilihat secara keseluruhan, antara lain dengan tinjauan sosiologis, antropologis bahkan psikologis mengenai suatu permasalahan. Misalnya, mengapa banyak warga yang tidak menggunakan jembatan penyebrangan, ada kemungkinan hal ini disebabkan karena lokasinya yang tidak strategis, masalah keamanan, dan sebagainya. Berbicara mengenai keadilan, tidak akan pernah ada habisnya sebagai suatu hal yang sangat diidamkan oleh semua orang. Namun hendaknya dalam mencapai keadilan harus selalu diingat bahwa kita tidak hidup sendiri, pencapaian rasa keadilan kita tidak harus dengan menghalalkan segala cara yang malah akan menimbulkan ketidakadilan baru bagi orang lain, sehingga tiap “langkah” kita harus kita lakukan dengan memperhatikan nilai-nilai lainnya. Berikut ini adalah uraian mengenai nilai kejujuran yang sangat terkait erat, bahkan merupakan
69
bagian dari nilai keadilan, yang meliputi kejujuran terhadap diri sendiri maupun dengan orang lain. Jika nilai kejujuran tidak dapat ditegakkan, maka dapat dikatakan sama dengan kita tidak melakukan tindakan yang adil. 3.2.5. Kejujuran Ada pepatah mengatakan bahwa kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimana-mana, yang artinya antara lain bahwa kejujuran itu adalah nilai kebaikan sebagai sifat positif yang akan diterima oleh semua orang dimanapun dan kapanpun ia berada. Jadi nilai kejujuran ini adalah nilai kebaikan yang bersifat universal. Pengertian kejujuran itu sendiri yang akar katanya jujur, dalam Kamus Bahasa Indonesia berarti lurus hati; tidak berbohong; tidak curang; tulus; ikhlas. Sehingga kejujuran diartikan sebagai sifat (keadaan) jujur; ketulusan hati atau kelurusan hati (Pusat Bahasa Depdiknas, 2001: 479). Berbicara mengenai kejujuran berarti kita berbicara mengenai sikap moral. Sikap moral yang sebenarnya diistilahkan sebagai moralitas. Yang dimaksudkan dengan moralitas di sini adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul dilakukan tanpa pamrih. Suatu perbuatan baik yang dilakukan dengan kesadaran bahwa perbuatan itu memang baik yang berasal dari hati nurani. Mengapa kita perlu mengedepankan masalah kejujuran? Banyak permasalahan kita dimanapun dan pada masa apapun , baik di Indonesia maupun negara-negara lain, yang sesungguhnya berpangkal dari masalah kejujuran. Ironisnya justru dalam kenyataannya kini seringkali kejujuran menjadi “barang” yang makin langka. Majalah Time (25 Mei 1987) memaparkan pengumpulan pendapat pada bulan Pebruari 1987 oleh US News dan CNN, yang memperlihatkan bahwa lebih dari setengah peserta survei yakin bahwa orangorang sekarang lebih kurang jujur dibandingkan sepuluh tahun lalu. Time melaporkan bahwa lebih dari 100 anggota pemerintahan Reagen pernah mendapatkan tuduhan atas pelanggaran etika dan hukum yang diajukan terhadap mereka. Jumlah itu belum pernah terjadi sebelumnya. Menurut Time banyak bagian etis nasional yang telah sangat merosot, dari Gedung Putih hingga gerejagereja,sekolah-sekolah, industri, pusat-pusat kesehatan, lembaga hukum, dan pasar saham (Leliweri, 2002: 35-36). Bagaimana dengan di Indonesia? Kita dapat merasakan seberapa parahnya kondisi moral bangsa ini dengan melihat permasalahan yang sangat terkait dengan masalah kejujuran, misalnya korupsi. Sumber daya alam yang melimpah di bumi Indonesia seakan tidak ada artinya melihat sebagian besar masyarakat kita yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Pendapatan negara tidak dapat menutupi kemiskinan atau meningkatkan taraf hidup rakyat karena sudah begitu banyak terjadi kebocoran pada anggaran negara akibat korupsi, yang akan dikemukakan lebih lanjut pada uraian mengenai korupsi. Jika kita telaah lebih jauh nilai kejujuran maka dari nilai kebaikan ini dapat kita lihat dari beberapa bentuk, yaitu antara lain: a) kejujuran terhadap diri sendiri, dan b) kejujuran terhadap orang lain. Bentuk ini hanya merupakan telaah tentang kejujuran yang dikaitkan dengan interaksi seseorang, dalam arti sikap 70
jujur atau tidak jujurnya seseorang dalam kondisi ada atau tidaknya interaksi dengan orang lain. Kejujuran terhadap diri sendiri adalah suatu sikap yang lurus dari seseorang ketika dia dihadapkan pada beberapa pilihan sikap yang baik dan tidak baik, yang orang lain tidak mengetahuinya. Dengan kata lain sikap ini merupakan sikap dari seseorang yang berusaha menjadi dirinya sendiri. Sebagai contoh, Seorang mahasiswa yang ditugaskan membuat karya tulis. Walaupun tugas itu dirasakan sulit untuk ia lakukan karena keterbatasan kemampuannya, walaupun ia mempunyai kesempatan untuk mencontek karya orang lain atau temannya dan kalaupun ia mencontek tidak ada yang mengetahuinya, namun ia tetap tidak melakukannya dan melakukannya tugasnya itu sendiri sebatas kemampuannya. Sedangkan kejujuran terhadap orang lain sebagaimana telah dikemukakan di atas adalah suatu sikap lurus seseorang dalam hal ia berinteraksi/berkomunikasi dengan orang lain. Contohnya, seorang developer/pengembang yang mempromosikan perumahan di suatu kawasan. Diiklankan bahwa daerah itu bebas banjir dan tersedia fasilitas umum. Apabila ia pengembang yang jujur maka apa yang dipromosikan akan sesuai dengan kenyataannya. Sebaliknya apabila ia adalah pengembang yang tidak jujur maka hal yang dijanjikannya itu hanya ada di iklan saja agar perumahannya banyak diminati orang. Hal ini sebagai contoh kasus yang banyak ditemui dalam praktik belakangan ini. Lebih jauh, bersikap jujur terhadap orang lain berarti dua, yaitu: 1. Sikap terbuka Yang dimaksudkan dengan sikap terbuka di sini bukan berarti terbuka dalam segala-galanya sehingga kita tidak mempunyai rahasia pribadi/privacy lagi. Yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana kita dapat bersikap sebagai apa adanya kita. Kita tidak menipu diri atau orang lain dengan bersikap seolah-olah menjadi orang lain. Melainkan berusaha menampilkan diri kita yang sesungguhnya dengan apa adanya. 2. Sikap wajar Bersikap objektif, dengan memperlakukan orang berdasarkan ukuranukuran standar bagaimana seseorang itu menghargai hak orang lain sebagaimana mestinya dan tidak bertentangan dengan hati nurani (Frans Magnis Suseno, 1987: 131-132). Dalam kehidupan sehari-hari nilai kejujuran banyak dikaitkan dengan beberapa permasalahan yang ada di dalam masyarakat. Berikut ini adalah beberapa contoh permasalahan dalam masyarakat yang berkaitan dengan masalah kejujuran. a. Masalah Korupsi Masalah korupsi merupakan masalah besar yang dihadapi oleh bangsa ini, yang menyebabkan rusaknya kehidupan sosial ekonomi maupun tatanan nilai budaya masyarakat. Menjelang tutup tahun 2003, Indonesia tercatat sebagai negara terkorup ke-6 di dunia. Data korupsi tahun 2003 yang diungkapkan 71
Transparency International (TI) ini juga menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di kawasan Asia Tenggara dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) mencapai 1,9 dari rentang angka 0-10. Lima negara tetangga seperti malaysia mendapat IPK 5,2, Philipina 2,5, Vietnam 2,4, dan papua Nugini 2,1. IPK Indonesia tahun ini sama persis dengan posisi dua tahun sebelumnya. Artinya, selama tiga tahun terakhir, pemerintah atau masyarakat Indonesia tidak mampu memerangi atau sekurang-kurangnya menurunkan tingkat korupsi yang ada. Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Bangladesh, Myanmar, Nigeria, dan Kamerun. Negara Asia yang dinilai paling rendah IPK-nya adalah Singapura dengan nilai 9,4. Sedangkan negara paling bersih dari 133 negara yang disurvei TI adalah Finlandia dengan IPK 9,7.( Suara Publik edisi Oktober 2003) Begitu seriusnya masalah ini sehingga banyak wacana atau pendapat yang mengulas masalah korupsi ini sebagai masalah yang menyebabkan bangsa Indonesia yang mempunyai kekayaan alam yang melimpah dapat terpuruk sedemikian memprihatinkan. Tingkat korupsi sudah demikian tinggi dan meluas, dalam arti pelaku adalah meliputi hampir semua kalangan, dari korupsi tingkat tinggi seperti kasus-kasus dana perbankan, reboisasi, bulog sampai kasus-kasus penyalahgunaan jabatan di level-level bawah seperti di kelurahan dalam pembuatan KTP, PBB, IMB dan sebagainya. Ada juga sebagian masyarakat mengartikan istilah “korupsi” dalam arti luas, yaitu melihat nilai kejujuran tidak hanya dikaitkan dengan penyalahgunaan jabatan. Sebagai contoh di sini adalah korupsi waktu, artinya adalah suatu tindakan dimana seseorang tidak amanah dalam menjalankan tugas sebagaimana waktu dan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Sebagai contoh, seseorang yang pulang kerja sebelum waktunya atau mencari “objekan” di tempat lain dalam waktu kerja atau di kantor hanya membuang-buang waktu dengan kegiatan yang tidak produktif, seperti mengobrol/menggosip atau bermain game komputer. b. Masalah Plagiat Hakikat dari Ilmu pengetahuan adalah kejujuran. Hal ini terlihat dari bagaimana proses terjadinya suatu ilmu pengetahuan, yang berasal dari kumpulan pengetahuan yang disusun secara sistematis yang dapat diuji kebenarannya. Oleh karena dapat diuji kebenarannya ini dengan suatu pembuktian, maka kejujuran menjadi suatu hal mendasar dalam ilmu pengetahuan. Jika tidak ada kejujuran dalam diri seorang ilmuwan dalam mendalami suatu ilmu pengetahuan maka ia tidak dapat dikatakan sebagai seorang ilmuwan sejati. Oleh karena itu, di kalangan akademisi, masalah plagiat merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian karena merupakan pelanggaran terhadap kejujuran ilmiah. Kata ’plagiat’ yang dalam bahasa Belanda disebut plagiaat dan dalam bahasa Inggris yaitu plagiarism/plagiary, menurut kamus bahasa Indonesia ’plagiat’ diartikan sebagai ’pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya)
72
sendiri’. Sebagai contoh, menerbitkan karya tulis orang lain atas namanya sendiri atau jiplakan. Masalah plagiat yang sudah sangat memprihatinkan ini, di samping dikarenakan kurangnya pengawasan, yang lebih penting lagi adalah kesadaran akan kejujuran untuk menjadi diri sendiri yang makin kurang. Hal lain yang ikut memperparah permasalahan ini adalah penyalahguanaan teknologi komunikasi dan informasi yang makin maju dan adanya “budaya instan”. Banyak orang yang ingin cepat menyelesaikan tugas atau mendapatkan gelar sehingga ia tidak ingin repot-repot membuat karya ilmiah melainkan menjiplak dari karya orang lain sebagai karyanya sendiri tanpa menyebutkan sumbernya. Masalah sanksi bagi pelanggar lebih banyak pada sanksi administrasi, misalnya dibatalkan gelar akademis seseorang yang sudah diraih, apabila terbukti ia telah melakukan plagiat pada karya-karya ilmiahnya. Dalam hal yang lebih luas, dengan mengamalkan nilai kejujuran maka artinya kita dapat menempatkan sesuatu hak dan kewajiban dengan semestinya sesuai dengan kedudukan dan peranannya masing-masing. Sebagai contoh seorang aparat pemerintah yang bersikap jujur akan melaksanakan kewajibannya sebagaimana peranan yang menjadi kewe-nangannya. Kemudian ia akan mendapatkan/mengambil haknya sesuai dengan hak sebagai seorang aparat pemerintah. Sebaliknya ia misalnya tidak sering-sering meninggalkan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, atau menyalahgunakan jabatannya dengan mengambil/mengutip uang yang bukan menjadi miliknya. Jika kita renungkan, banyak permasalahan besar bangsa ini sebenarnya berpangkal dari masalah kejujuran. Semestinya diri kita masing-masing bertanya “apakah hati nurani kita yang masih dapat “tersentuh” dengan yang namanya kejujuran sebagai salah satu diantara nilai-nilai kebaikan lain yang selalu harus kita junjung tinggi dan diamalkan oleh setiap lapisan masyarakat Indonesia?” Sehingga berbicara mengenai nilai kejujuran ini pada akhirnya akan sangat terkait dengan nilai kebaikan yang lainnya seperti nilai tanggung jawab yang akan diuraikan berikut ini. 3.2.6. Tanggung Jawab Tanggung jawab mempunyai beberapa pengertian yang antara lain adalah: a. kewajiban dalam melakukan tugas tertentu. Tanggung jawab timbul karena telah diterimanya suatu wewenang, sehingga membentuk hubungan tertentu antara pemberi wewenang dan penerima wewenang. b. sesuatu yang menjadikan kewajiban (keharusan) untuk dilaksanakan, dibalas dan sebagainya. Jika terjadi sesuatu maka orang yang dibebani bertanggung jawab menanggung segala sesuatunya. c. kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya, berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.
73
Dalam menjalani kehidupannya, manusia mempunyai berbagai tanggung jawab yang tergantung pada status dan peranannya. Status atau kedudukan dapat diartikan sebagai suatu peringkat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok, atau posisi suatu kelompok dalam hubungannya dengan kelompok lainnya. Status berkaitan erat dengan hak dan kewajiban yang melekat pada seseorang, sehingga sifatnya adalah statis. Seseorang yang mempunyai status tertentu diharapkan melakukan pemeranan dari perangkat hak dan kewajibannya. Di sini peran (role) dapat didefinisikan sebagai perilaku yang diharapkan dari seseorang yang mempunyai status, atau dapat pula dikatakan sebagai aspek dinamis dari status. Koentjaraningrat mengartikan peranan sosial sebagai tingkah laku individu yang mementaskan suatu kedudukan tertentu (Koentjaraningrat, 1986: 169). Setiap orang mempunyai berbagai status sehingga melahirkan peranan-peranan yang berbeda, sebagai tingkah laku yang diharapkan menjadi tanggung jawabnya. Sebagai contoh, seseorang di rumah mempunyai status sebagai anak, adik, kakak dan sebagainya dengan peranannya yang tertentu, kemudian ketika ke luar rumah ia mungkin mempunyai status sebagai mahasiswa, teman, penumpang bus, pejalan kaki, warga masyarakat komunitas tertentu dan sebagainya yang mempunyai peranan tertentu pula. Dengan berbagai status yang disandangnya itu, manusia mempunyai berbagai macam tanggung jawab yang yang dapat dikelompokkan dalam: 1. Tanggung jawab terhadap diri sendiri Masing-masing individu dituntut adanya tanggung jawab sebagai pengisi rentang waktu kehidupannya. Intinya adalah dengan bertanggung jawab terhadap diri sendiri maka ia menunjukkan keberadaannya sebagai manusia, melangsungkan kehidupannya agar mempunyai arti sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Contoh: manusia makan, minum, belajar, bekerja dan sebagainya karena bertanggung jawab untuk melangsungkan hidupnya. 2. Tanggung jawab terhadap keluarga Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang merupakan suatu lembaga dimana berbagai kebutuhan manusia dapat dipenuhi, seperti mendapatkan kasih sayang, meneruskan keturunan, keamanan, ekonomi, dan sebagainya. Oleh sebab itu setiap anggota keluarga mempunyai tanggung jawab tertentu terhadap keluarganya sebagaimana statusnya di dalam keluarga. Contoh: seseorang mencari nafkah, belajar, bersikap baik, dan sebagainya sebagai pemebuhan rasa tanggung jawabnya terhadap keluarga, agar keluarganya dapat bertahan hidup bahkan meningkat taraf kehidupannya secara ekonomi maupun sosial. 3. Tanggung jawab terhadap masyarakat Manusia sebagai makhluk sosial, hidup dalam suatu masyarakat yang diantara para anggotanya saling mempunyai ketergantungan satu sama lain. Sehingga interaksi yang terjadi diantara para anggota masyarakat tersebut melahirkan suatu hak dan kewajiban, yang artinya setiap manusia akan
74
mempunyai tanggung jawab-tanggung jawab tertentu dalam kehidupan bermasyarakatnya. Contoh: menjaga lingkungan tetap bersih merupakan salah satu wujud tanggung jawab manusia terhadap masyarakat. 4. Tanggung jawab terhadap Tuhan YME Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, manusia mempunyai kebutuhan akan adanya aturan-aturan yang berasal dari Sang Pencipta untuk menjalani kehidupannya. Dengan demikian manusia bertanggung jawab untuk mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan Tuhan. Manusia ingin hidupnya di dunia berarti dan mempunyai kehidupan yang lebih baik di akhirat yang kekal, oleh karena itu setiap tindakannya berkaitan dengan tanggung jawab manusia sebagai upaya pencapaian tujuan tersebut.(Mustopo, 1989: 192-194) Beberapa hal yang terkait erat dengan pengertian tanggung jawab diantaranya adalah hak dan kewajiban, pengabdian, pengorbanan, dan norma sosial. Menurut Austin Fagothey yang dimaksudkan dengan hak adalah wewenang moral untuk mengerjakan, meninggalkan, memiliki, mempergunakan atau menuntut sesuatu. Hak ini dapat dilihat dari segi hak objektif dan hak subjektif. Hak objektif adalah jika seseorang memiliki hak atas sesuatu, maka yang menjadi tumpuan/pangkal tolaknya adalah sesuatunya itu, misalnya materi yang menjadi hak kita. Hak subjektif adalah wewenang moralnya sendiri, yaitu sehubungan contoh tersebut adalah kewenangan untuk memiliki materi tersebut. Unsur-unsur penting dalam meninjau keadaan hak adalah sebagai berikut. a. Subjek hukum bukan hanya seorang tapi golongan-golongan yang dapat merupakan badan hukum seperti perseroan, perkumpulan, masyarakat, dan sebagainya. c. Yang bersangkutan dengan hak timbul karena tiap manusia akan menimbulkan kewajiban orang lain untuk memenuhinya, sehingga orang itu akan terkait dengan hak tersebut. d. Materi hak adalah yang menjadi tujuan atau objek hak manusia. e. Asas hak atau alasan untuk hak konkrit adalah suatu hak yang terbawa sejak lahir secara kodrati atau suatu hak yang diperoleh karena suatu peristiwa tertentu. Hak-hak yang didapat manusia berasal dari beberapa sumber, antara lain: negara, kontrak atau perjanjian, kebebasan, dan kebiasaan. 3.2.7. Pandangan Hidup Dalam hidup ini seringkali manusia merenung berkaitan dengan kehidupan yang dijalaninya. Sehingga muncul berbagai pertanyaan seperti: Siapa aku? Apa arti hidup ini bagiku? Apa yang telah aku lakukan untuk mengisi dan memberi arti bagi hidupku? Untuk apa aku berusaha menjadi sesuatu atau mencapai posisi tertentu? Apa sebenarnya yang aku dambakan dalam hidup ini? Bagaimana cara untuk mendapatkannya?
75
Di sisi lain, perjalanan hidup manusia ditandai oleh beragam pengalaman yang berkisar sekitar dimensi-dimensi: penderitaan-kebahagiaan, kegelisahanharapan, kebencian/prasangka-cinta kasih, ketidakadilan-keadilan, dan lain-lain. Sehingga hal ini menumbuhkan kesadaran akan keberadaannya yang berhadapan dengan kenyataan-kenyataan yang tidak terelakan, suatu dikhotomi asasi kehidupan manusia dalam setiap ragam hubungan yang terbentuk, serta berbagai kemungkinan untuk dipilih dalam menetapkan arah dalam melangkah dan menjadi landasan untuk berpijak. Pengalaman dan pengetahuan manusia tentang pengenalan alam yang mengitari dirinya, kehidupan budaya yang melingkupi diri, serta dirinya sendiri, melahirkan suatu pemikiran, gambaran dan gagasan tentang kesemestaan dunia dan kedudukan manusia di dalamnya. Inti dari pemikiran/gambaran/gagasan tersebut adalah membentuk pendirian dan keyakinan manusia tentang arti hidup ini, tugas dan tanggung jawabnya sebagai manusia. Hal ini terwujud dalam suatu sikap atau pandangan hidup yang menuntunnya ke arah perbuatan-perbuatan tertentu dalam hubungannya dengan Tuhan, alam sekitar, masyarakat, sesama manusia, dan dengan dirinya sendiri. Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan pandangan hidup di sini adalah bagaimana manusia memandang kehidupannya, atau bagaimana manusia memiliki konsepsi tentang kehidupan ini. Sehingga pandangan hidup dapat dijadikan pedoman yang digunakan oleh manusia untuk dapat mencapai kehidupan yang diharapkan/didambakan di dunia maupun di akhirat. Dalam suatu tinjauan kehidupan manusia, ia adalah makhluk yg dpt ditinjau secara biologis, sosiologi, psikologis maupun budaya. Berkaitan dengan pandangan hidup manusia, maka tinjauannya tidak terlepas dari masalah nilai (budaya) manusia. Sebagai gambaran dapat kita lihat lima masalah pokok orientasi nilai budaya manusia yang dikemukakan oleh C. Kluckhohn yaitu: 1. Masalah hakikat dari hidup manusia(MH) 2. Masalah hakikat dari karya manusia(MK) 3. Masalah hakikat manusia dengan waktu (MW) 4. Masalah hakikat manusia dengan alam (MA) 5. Masalah hakikat manusia dengan sesama (MM) (Koentjaraningrat, 1985: 28- 31) Suatu orientasi nilai budaya adalah berbeda-beda pada tiap manusia/kelompok manusia sesuai dengan kebudayaannya. Selanjutnya ini akan memberi arah atau orientasi pada karakter/ mentalitas manusia yang terkait dengan pandangan hidupnya. Hakikat dari pandangan hidup adalah: a. Inti pemikiran, gambaran, gagasan manusia tentang kesemestaan dunia/alam dan kedudukan manusia di dalamnya (mengandung makna filosofis).
76
b. Dikhotomi, yaitu di satu sisi universal, jika dilihat dari segi kebudayaan (ad. orientasi nilai budaya dari Kluckhonn). Kemudian di sisi lain adalah sesuatu yang unik jika di lihat secara subjektif, seperti adanya perbedaanperbedaan antar bangsa, masyarakat, kelompok maupun individual (sosialpsikologis). c. Merupakan perpaduan antara cita-cita dan kebajikan. Kedua aspek ini seyogyanya tidak dilepaskan satu dengan lainnya. Cita-cita tanpa kebajikan dapat menimbulkan penderitaan, ketidakadilan, dan sebagainya. d. Menunjukkan “kematangan”/ “kedewasaan” diri manusia. Pandangan hidup memberi arah dan landasan dalam kehidupan manusia, sehingga tanpa pandangan hidup yang jelas dan mantap, manusia akan terombang-ambing, tidak memiliki daya menghadapi “cobaan”/ tantangan hidupnya. e. Merupakan kristalisasi nilai-nilai yg luhur yang diyakini kebenarannya, dapat menumbuhkan sikap/semangat dalam menjalani kehidupan dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Klasifikasi pandangan hidup berdasarkan asalnya, terdiri atas 3 macam: 1. Yang berasal dari agama, yang mutlak kebenarannya; 2. Berupa ideologi, yang disesuaikan dengan kebudayaan dan norma yang terdapat pada suatu negara tertentu; 3. Hasil renungan, yang relatif kebenarannya. Pentingnya suatu pandangan hidup adalah karena: 1. Pandangan hidup merupakan wawasan tentang hidup dan kehidupan dalam arti luas, mengandung makna tujuan hidup manusia (sense of purpose). 2. Memberi arah dan sekaligus landasan berpijak dalam menempuh perjalanan hidup. 3. Mencerminkan tatanan nilai yang integral pada diri manusia (kristalisasi nilai-nilai, sikap-sikap, dan keyakinan-keyakinan). 4. Bagi suatu bangsa memiliki pandangan hidup sendiri adalah sebagai: identitas/kepribadian bangsa, tolok ukur “pemecahan masalah”; pemersatu bangsa; tidak mudah terombang- ambing. Pandangan hidup suatu bangsa adalah sebagai ideologi, apabila sistimatis/logis, merupakan cita-cita bangsa; ada upaya pencapaian atau operasionalnya, berusaha diwujudkan dalam kehidupan nyata. (idea= cita-cita /gagasan/nilai, logos=ilmu). Bagi bangsa Indonesia, kita memahami pandangan hidup bangsa yang sangat terkait dengan kondisi budaya bangsa Indonesia yang masyarakatnya pluralistik dengan aneka perbedaan, yang terdiri atas bermacam suku bangsa, bahasa daerah, adat istiadat, agama, dan sebagainya. Sebagai catatan akhir, pada tingkat individu dalam kehidupan sehari-hari manusia, pandangan hidupnya akan tercermin sebagai kepribadian diri. Kemudian, suatu pandangan hidup yang berbeda dan dipertentangkan dapat menimbulkan dampak yang negatif bahkan destruktif. Oleh karena itu menyadari
77
bahwa pandangan hidup adalah sesuatu yang positif, sehingga akan mencapai tujuan yang positif pula.
3.2.8. Keindahan Berbagai sebutan dikenakan pada manusia, selain ia dikatakan sebagai makhluk yang berpikir (homo sapiens), makhluk sosial, makhluk budaya, dan sebagainya., manusia secara kodrati juga diberikan indera untuk menangkap/merasakan berbagai hal di luar dirinya. Dari berbagai hal yang ia rasakan tersebut diantaranya adalah suatu rasa terhadap keindahan, sebagai rasa yang pada umumnya disukai dan dibutuhkan orang karena keindahan merupakan rasa yang menyenangkan/menggembirakan, menimbulkan rasa puas dan bernilai positif. Keindahan berasal dari kata indah, artinya bagus, permai, cantik, elok, molek dan sebagainya. Benda yang mempunyai sifat indah adalah segala hasil seni (meskipun tidak semua hasil seni indah), pemandangan alam/lingkungan manusia, manusia itu sendiri, dan sebagainya. Kawasan keindahan bagi manusia sangat luas, seluas keanekaragaman manusia dan sesuai pula dengan perkembangan peradaban teknologi, sosial dan budaya. Karena itu dapat dikatakan bahwa keindahan merupakan bagian hidup manusia. Keindahan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Dimanapun, kapanpun, dan siapa saja dapat menikmati keindahan (Widagdo, 1994: 60). Mengenai definisi keindahan sampai sekarang belum ada kata sepakat tentang pengertian keindahan yang objektif, karena keindahan terkait dengan perasaan seseorang. Pada umumnya definisi keindahan dibagi dalam dua kelompok, yaitu: a) definisi-definisi yang bertumpu pada objek (keindahan yang objektif); b) definisi-definisi yang bertumpu pada subjek (keindahan yang subjektif). Keindahan objektif adalah keindahan yang memang ada pada objeknya, yang harus diterima sebagaimana mestinya. Sedangkan yang dimaksud dengan keindahan subjektif adalah keindahan yang ditinjau dari subjek yang menghayatinya. Dalam hal ini keindahan adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan rasa senang pada diri si penghayat tanpa diiringi keinginankeinginan terhadap segala sesuatu yang praktis untuk kebutuhan-kebutuhan pribadi (Mustopo, 1989: 98-99). Berdasarkan pengelompokan tersebut melahirkan berbagai definisi tentang keindahan, yang antara lain dikemukakan oleh: 1. Hebert Read Keindahan adalah suatu kesatuan hubungan-hubungan formal dari pengamatan yang dapat menimbulkan rasa senang (Beauty is unity of formal relation among our sence perceptions). Keindahan itu merangsang timbulnya rasa senang tanpa pamrih pada subjek yang melihatnya, dan bertumpu pada ciriciri yang terdapat pada objek yang sesuai dengan rasa senang itu. 78
2. Leo Tolstoy (Rusia) Keindahan adalah sesuatu yang mendatangkan rasa yang menyenangkan bagi yang melihat. 3. Alexander Baumgarten (Jerman) Keindahan adalah keseluruhan yang merupakan susunan yang teratur dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain, atau dengan keseluruhan itu sendiri. 4. Sulzer Yang indah itu hanyalah yang baik. Jika belum baik, ciptaan itu belum indah. Keindahan harus dapat memupuk perasaan moral. Jadi ciptaan amoral adalah tidak indah karena tidak dapat digunakan untuk memupuk moral. 5. Shaftesbury (Jerman) Yang indah adalah yang memiliki proporsi yang harmonis. 6. Hume (Inggris) Keindahan adalah sesuatu yang mendatangkan rasa senang. 7. Hemsterhuis (Belanda) Yang indah adalah yang paling banyak mendatangkan rasa senang, dan itu adalah yang dalam waktu sesingkat-singkatnya paling banyak memberikan pengamatan-pengamatan yang menyenangkan itu. 8. Emmanuel Kant Meninjau keindahan dari 2 (dua) segi. Pertama dari segi arti yang subjektif, dan kedua dan kedua dari segi yang objektif. Yang subjektif adalah sesuatu yang tanpa direnungkan dan tanpa sangkut paut dengan kegunaan praktis, tetapi mendatangkan rasa senang pada si penghayat. Yang objektif adalah keserasian dari suatu abjek terhadap tujuan yang dikandungnya, sejauh objek ini tidak ditinjau dari segi gunanya. 9. Al- Ghazzali Keindahan suatu benda terletak di dalam perwujudannya yang sempurna, yang dapat dikenali kembali dan sesuai dengan sifat benda itu. Ia menambahkan bahwa yang dapat merasakan keindahan dalam dunia yang lebih dalam (inner world) adalah nilai-nilai spiritual, moral dan agama. Menurut luasnya, pengertian keindahan dapat dibedakan dalam: 1. Keindahan dalam arti luas; 2. Keindahan dalam arti estetik murni; 3. Keindahan dalam arti terbatas dalam hubungannya dengan penglihatan. Ad.1) Keindahan dalam arti luas mengandung pengertian ide kebaikan. Misalnya Plato menyebut watak yang indah dan hukum yang indah, sedangkan Aristoteles merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang baik dan juga menyenangkan. Plotinus mengatakan tentang ilmu yang indah dan kebajikan yang indah. Orang Yunani berbicara pula mengenai buah pikiran yang indah dan adat kebiasaan yang indah,di samping keindahan dalam arti estetik yang disebutnya “symmetria” yaitu keindahan berdasarkan penglihatan (misalnya pada seni pahat dan arsitektur) dan “harmonia” untuk keindahan berdasarkan pendengaran (musik). Jadi pengertian yang seluas-luasnya meliputi: a) keindahan seni; b) keindahan alam; c) keindahan moral; dan d) keindahan intelektual.
79
Ad.2) Keindahan dalam arti estetik murni menyangkut pengalaman estetik seseorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang diserapnya. Ad.3) Keindahan dalam arti yang terbatas, mempunyai arti yang lebih disempitkan sehingga hanya menyangkut benda-benda yang dapat diserap dengan penglihatan, yakni berupa keindahan bentuk dan warna. Prinsip keindahan atau cirri-ciri keindahan, berkaitan dengan kualitas hakiki dari segala benda yang mengandung: a) Keseimbangan(balance): menyangkut unsur-unsur yang berbeda, yang ditata sedemikian rupa sehingga seimbang; b) Keselarasan (harmoni): menyangkut unsur-unsur yang sama/mirip, ditata menjadi selaras (misalnya keselarasan warna). c) Kepaduan/kesatuan (unity): menyangkut keterkaitan unsur-unsur karya seni yang membentuk suatu sistem yang utuh. d) Kesetangkupan (symetry); dan e) Pertentangan (contrast) Kelima prinsip keindahan tersebut dalam hubungannya dengan garis, warna, bentuk, nada dan kata-kata. (Widagdo, 1994: 65) Keindahan ada di sekitar kita namun ada orang yang sulit menangkap atau tidak merasa ada keindahan. Hal ini dikarenakan nilai keindahan dapat kita peroleh melalui proses belajar atau proses sosialisasi. Indah atau tidak indahnya sesuatu itu tergantung pada: a) kepedulian/kepekaan individu terhadap suatu objek; b) tata nilai individu yang bersangkutan. Oleh karena itu hakikat dari keindahan adalah relatif dan unik pada setiap orang karena mempunyai sudut pandang yang berbeda tiap orangnya. Di samping itu hakikat dari keindahan adalah juga universal, yaitu rasa keindahan adalah suatu kebutuhan/perasaan yang ada pada semua orang dimanapun ia berada. Keindahan yang ditangkap manusia, dapat merupakan keindahan yang bukan ciptaan manusia dan keindahan sebagai ciptaan manusia. Keindahan yang bukan merupakan ciptaan manusia adalah keindahan alam sebagai ciptaan Tuhan Y.M.E. Sedangkan keindahan yang diciptakan manusia dikatakan sebagai keindahan seni (keindahan artistik). Namun seni tidak terbatas pada keindahan saja, tetapi meliputi juga hal-hal yang “tidak indah”, karena seni merupakan sarana pengungkapan perasaan manusia, yaitu perasaan yang bernilai. Misalnya dalam bidang seni sering kita jumpai seni yang sublim (agung), seni tragis (menyedihkan), seni komis (lucu), seni magis (gaib), seni religius (seni yang terkait dengan kepercayaan) dan sebagainya. Jadi, seni merupakan pengutaraan dari isi kesadaran jiwa atau kehidupan perasaan penciptanya dalam segala aspek. Isi kesadaran jiwa dan perasaan manusia itu diliputi berbagai perasaan yang kesemuanya mempunyai hak untuk diungkapkan melalui manifestasi seni. (Mustopo, 1989: 105). Ada pula yang mengartikan seni sebagai produk daya inspirasi dan daya cipta manusia yang bebas dari cengraman atau belenggu berbagai ikatan. Seni
80
mendekripsikan sebuah gejala (objek) dengan sepenuh-penuhnya makna melalui berbagai kemampuan: pikiran, emosi dan panca indra. Seni mempunyai sifat yang individual dan personal. Pada umumnya karya seni merupakan ciptaan yang komunikatif agar pesan yang ingin disampaikan dapat ditangkap. Sifat pesan tersebut antara lain berisi pesan moral atau estetik, sebagai suatu gagasan pemikiran, imbauan kepada manusia yang diharapkan dapat mempengaruhi sikap dan perilaku. Teori tentang keindahan dan seni dikembangkan dari pengertian estetika. Pada mulanya estetika diartikan sebagai “teori tentang ilmu pengindraan,” yang sesuai dengan pengertian etimologisnya, tetapi kemudian diberi pengertian yang diterima lebih luas yaitu “teori tentang keindahan dan seni.” Dahulu estetika dianggap sebagai suatu cabang filsafat, sehingga memiliki atau diberi pengertian sebagai sinonim dari “filsafat seni.” Tetapi sejak abad 19, terlebih akhir-akhir ini ada suatu gejala yang menekankan sifat-sifat empiris, dengan menganggap sebagai “ilmu pengetahuan tentang seni.” Dalam sejarah peradaban manusia di berbagai bangsa, perhatian pada estetika demikian menonjol dan berpengaruh, langsung atau tidak langsung kepada berbagai aspek kehidupan masyarakatnya. Yang mana pada bangsa Indonesia hal ini telah diperlihatkan sejak sebelum kedatangan orang-orang Hindu di Indonesia. Menurut Prof. H. Muhammad Yamin dalam bukunya “6000 Tahun Sang merah Putih,” yang dikutip dari pendapat Kern bahwa bangsa Indonesia sebelum datangnya orang-orang Hindu di Indonesia telah memiliki tujuh kepandaian Austronesia, yaitu: a) pandai bersawah berladang; b) pandai berternak dan menyalurkan air; c) pandai berlayar dan melihat bintang; d) berkepercayaan sakti yang teratur; e) berkesenian rupa, pahat dan logam; f) persatuan masyarakat dan tata negara; dan g) berpenghormatan sang Merah Putih. Bukti yang menunjukkan hal itu pada masa sekarang antara lain adalah adanya Warugu. Warugu adalah kuburan batu yang terdapat di Gunung Kidul di sebelah selatan Yogyakarta, yang usianya diperkirakan lebih tua dari zaman perunggu di Indonesia. Di antara Warugu itu ada yang menyimpan lukisan berwarna-warna. Satu diantaranya melukiskan bendera merah putih yang berkibar di belakang seorang perwira yang menunggang kerbau, seperti yang berasal dari kaki gunung Dompu.(Mustopo, 1989: 102-103). Mengapa manusia menciptakan dan membutuhkan karya seni? Keindahan pada dasarnya adalah sesuatu yang alamiah, sama alamiahnya dengan manusia yang merupakan ciptaan Tuhan YME. Manusia mempunyai sifat dan kebutuhankebutuhan yang sifatnya naluriah. Dihubungkan dengan sifatnya yang alamiah untuk mencipta, maka manusia dikatakan sebagai “animal simbolikum” yaitu makhluk yang menciptakan atau mengekspresikan segala sesuatunya dengan lambang-lambang. Dari sini kita akan dapat menelaah lebih jauh hubunganhubungan antara karya seni dengan manusia, atau keindahan dalam arti luas dengan manusia sebagai hal yang kodrati.
81
3.2.9. Harapan Dalam hidup manusia ia mempunyai berbagai kebutuhan, baik yang bersifat kodrati maupun yang tidak. Untuk dapat melangsungkan hidupnya, kebutuhan-kebutuhan tersebut harus atau diupayakan untuk dipenuhi, hal inilah yang menyebabkan manusia mempunyai harapan-harapan. Harapan yang berasal dari kata harap ini adalah suatu keinginan supaya sesuatu itu terjadi. Jadi dua hal yang mendorong manusia mempunyai harapan adalah dorongan kodrat dan dorongan kebutuhan hidup. Hal ini mengingat selain manusia merupakan makhluk yang mempunyai kebutuhan-kebutuhan naluriah, ia juga adalah makhluk sosial yang dalam hidupnya terdapat banyak tuntutan hidup untuk dapat dipenuhi. Dorongan kodrat merupakan sifat, keadaan atau pembawaan alamiah yang sudah terjelma dalam diri manusia sejak manusia itu diciptakan oleh Tuhan YME, misalnya: menangis, gembira, berpikir, bercinta, mempunyai keturunan, dan sebagainya. Sedangkan dorongan kebutuhan hidup adalah perkembangan lebih lanjut dari dorongan kodrat akibat dari interaksi sosial manusia dalam kehidupannya sebagai makhluk sosial. Kebutuhan hidup ini secara garis besar dibedakan dalam kebutuhan jasmaniah dan rohaniah, dan juga dapat dibedakan dalam kebutuhan primer dan sekunder. Abraham Maslow membagi kebutuhan manusia sebagaimana kodratnya, yaitu: a. kelangsungan hidup (survival); b. keamanan (safety); c. mencintai dan dicintai (beloving and love); d. aktualisasi diri (self actualization); e. diakui lingkungan (status). Ada pepatah yang mengatakan “bagai pungguk merindukan bulan”, “bayang-bayang setinggi badan” atau “katak ingin menjadi kerbau” yang mengajarkan pada kita bahwa dalam mempunyai suatu harapan juga harus realistis untuk dapat dicapai. Sehingga suatu harapan biasanya akan sesuai antara lain dengan: pengetahuan, pengalaman, lingkungan hidup dan kemampuan. Tercapai atau tidaknya suatu harapan tergantung pada usaha, kepercayaan (pada pertolongan Tuhan, kemampuan diri sendiri, maupun pertolongan orang lain), dan faktor lainnya (faktor X). Bagaimanapun suatu harapan tidaklah selalu akan tercapai, adakalanya kita akan mengalami kegagalan. Reaksi atas kegagalan ini akan beragam, apabila ditanggapi secara negatif maka akan menjadikan keadaan diri kita juga negatif seperti frustrasi, stress, apatis, dan sebagainya. Sedangkan apabila ditanggapi secara positif, maka hal ini akan menjadi pengalaman yang berharga (sebagai acuan evaluasi diri), menganggap sebagai keberhasilan yang tertunda, ada hikmah di balik kegagalan, akan mendapatkan sesuatu yang lebih baik di kemudian hari, atau sebagai proses untuk pendewasaan diri. 82
BAB IV FUNGSI AKHLAK DAN BUDI PEKERTI Menyambut abad post modern, yang merupakan kelanjutan dari abad modern, dibarengi dengan abad globalisasi dan informasi teknologi dalam segala lini kehidupan, menimbulkan perubahan-perubahan yang sangat signifikan dalam perkembangan masyarakat. Perubahan-perubahan tersebut dapat mengarah pada kehidupan yang lebih baik dan bersifat positif, dapat juga mengarah pada kehidupan yang bersifat negatif. Semua berjalan begitu cepat, sehingga berbagai efek yang ditimbulkannyapun langsung berimbas ke seluruh lapisan dari tatanan masyarakat. Kita telah menyadari bahwa pengaruh yang ditimbulkan oleh globalisasi dan informasi teknologi, tentu tidak seluruhnya baik dan bermanfaat, tetapi ada pengaruh-pengaruh yang bersifat tidak terpuji dan tercela, yang harus ditepis dan dijauhkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita selalu berprinsip bahwa segala sesuatu yang terpuji, dari manapun datangnya, dari Barat atau Timur, kita terima. Sebaliknya segala yang bersifat buruk, dari manapun datangnya harus ditolak, termasuk yang datang dari dalam lingkungan masyarakat kita sendiri. Sebagian dampak negatif dari era globalisasi dan era teknologi informasi adalah kemerosotan akhlak dan budi pekerti yang terus menggerogoti sebagian besar anggota masyarakat kita, dari kalangan anak-anak muda sampai kalangan orang dewasa, bahkan di kalangan manula. Kemerosotan akhlak dan budi pekerti merupakan gejala yang terus berkembang dalam kehidupan masyarakat, bagaikan berputarnya bola salju (snow ball) yang terus-menerus makin membesar. Berbagai tindakan amoral dan tindakan tidak terpuji terkuak dalam berbagai kalangan, baik yang terungkap secara fakta ataupun yang tidak terungkap. Bahkan menurut pengamatan yang kritis, perbuatan amoral dan perbuatan tidak terpuji itu, dapat dikategorikan sebagai suatu gejala yang nampaknya kecil dipermukaan, sebetulnya yang tersembunyi, yang belum terungkap atau yang tidak mungkin dapat diungkapkan lebih besar, seperti gumpalan es yang terapung di atas permukaan air laut. Sungguh banyak anggota masyarakat kita yang telah tercampakkan dalam kehidupan yang tidak bermakna, nyaris kering dari nilai-nilai luhur ajaran agama dan nilai luhur dalam kehidupan yang dikembangkan oleh masyarakat, bangsa dan negara. Mereka telah jauh terpisah dari nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Sebagian dari anggota masyarakat telah menukar nilai-nilai yang luhur dan terpuji itu dengan nilai-nilai rendah yang seakan-akan indah dalam pandangan mata, nikmat dan dirasakan menyenangkan, namun sesungguhnya telah jauh dari nilai-nilai kemanusiaan yang terpuji dan sesungguhnya telah tercampakkan dalam kehidupan yang hina. Sebagian umat manusia telah mengalami degradasi dari nilai kemanusiaan yang luhur dan terjerumus dalam lumpur kehinaan dan kenistaan. Mereka berkubang dengan kesadaran atau tidak disadarinya, dalam lumpur kenistaan yang mungkin akan mengantarkan mereka
83
pada derajat yang lebih rendah, menuju pada perilaku hewan atau bahkan lebih rendah lagi. Memperhatikan kenyataan di atas, maka dapat ditarik suatu konklusi yang sangat mudah bahwa peranan akhlak dan budi pekerti menjadi sangat penting dan amat menentukan dalam pembentukan masyarakat beradab dan berkebudayaan tinggi, masyarakat dengan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, masyarakat yang adil dan bermartabat. Penghayatan dan pengamalan akhlak dan budi pekerti bahkan menjadi sangat mendesak, pada saat masyarakat kita mengalami kegalauan yang dahsyat tentang carut marutnya nilai-nilai moral di tengah-tengah kehidupan sehari-hari. Selain mereka menjumpai dan selalu berpedoman pada nilai-nilai yang telah mendarah daging dalam kehidupan sehari-hari, mereka juga dihadapkan dengan nilai-nilai baru yang datang dari berbagai penjuru dunia, melalui informasi yang sangat cepat dan terbuka. Suasana keraguan dan kebibimbangan dengan cepat melanda mereka, mana yang harus dipakai, mana yang harus jadi pedoman. Apakah tetap berpedoman pada nilai lama atau segera berganti dengan nilai yang baru dan meninggalkan nilai yang selama ini mendarah daging dalam kehidupan mereka. Nilai-nilai lama yang berkembang pada masyarakat, sering hanya menyebutkan baik dan buruk, sopan dan tidak sopan, tanpa menjelaskan alasan dan argumen yang memuaskan, apalagi apabila ditanyakan darimana sumbernya? Seiring dengan perjalanan waktu, maka pergeseran nilaipun terjadi, nilai yang sudah mendarah daging sedikit demi sedikit digantikan oleh nilai-nilai baru yang ditunjang oleh kekuatan akal dan logika. Nilai-nilai lama sering dianggap sebagai takhayul atau tradisi nenek moyang yang tidak perlu dilestarikan, bahkan dianggap sebagai suatu kebiasaan yang tidak dapat dicerna oleh nalar. Muncullah berbagai macam teori tentang nilai-nilai kehidupan yang beraneka macam, satu nilai dengan nilai lainya saling mempengaruhi, ada yang dapat beradaptasi, ada juga yang menimbulkan pertentangan-pertentangan yang sangat tajam, yang tidak mungkin dapat dikompromikan, ada juga yang menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat.. Dalam rangka mengantisipasi permasalahan di atas dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab yang tinggi, kita berupaya mengembalikan dan menetapkan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, kemanusiaan yang adil dan beradab. Masyarakat harus kembali menjalankan nilai-nilai luhur yang berlandaskan agama dan tradisi yang baik yang telah melembaga dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu semua perlu penalaran yang baik terhadap nilainilai luhur yang kita kembangkan dengan menjelaskannya secara filosofis dan berpegang pada argumen yang rasional. Konsep-konsep yang luhur itu perlu dilakukan aktualisasi pemahaman, dari pemahaman tekstual, kontekstual, konseptual dan sampai ke operasional. Hal ini dapat dilakukan dengan metode aktualisasi pemahaman terhadap ajaran agama dan nilai luhur yang berkembang pada masyarakat. Demikian juga dengan mengadakan pendekatan yang simpatik dengan pola suri tauladan dalam masyarakat, bukan hanya diungkapkan dalam perkataan atau tulisan. Kita harus mengembangkan pandangan yang universal 84
tentang nilai-nilai kemanusiaan yang baik dan terpuji, secara terbuka. Kita menerima nilai-nilai yang baik itu, dari manapun datangnya termasuk yang datang dari masyarakat kita, dan menolak perilaku tercela, baik yang datangnya dari dalam ataupun dari luar. Dengan demikian, akhlak dan budi pekerti sangat dominan dalam pembetukan masyarakat beradab yang menjunjung tinggi nilainilai kemanusiaan yang luhur. 4.1. Penanaman Kesadaran tentang Hak dan Kewajiban Sebagai makhluk sosial manusia tidak mungkin hidup dengan dirinya sendiri, tetapi terkait dan berkelindan dengan kehidupan manusia lain. Makin tinggi kedudukan dan peranan sesorang dalam masyarakat, makin banyak bergantung pada orang lain di luar dirinya. Mengenai hal ini dapat dikemukakan contoh yang sederhana. Seorang yang menjabat menjadi kepala sekolah, tidak mungkin terjadi tanpa adanya murid, guru-guru, pegawai sekolah, masyarakat dan sebagainya. Dapat dibayangkan bagaimana besarnya ketergantungan seorang bupati, gubernur, kepala negara dan sebagainya pada orang lain di luar dirinya. Ketergantungan dan keterkaitan antara sesama umat manusia, akan makin dirasakan manfaatnya, apabila masing-masing perseorangan atau kelompok saling memamahami kelebihan dan kekurangannya. Manusia diciptakan dalam berbagai perbedaan, dan perbedaan itu apabila di manage dengan baik akan mendatangkan kebahagiaan dan kebaikan serta persaudaraan yang sangat kokoh. Menghadapi kenyataan ini maka setiap diri manusia harus menyadari secara utuh, dengan penuh keinsyafan tentang hak dan kewajiban yang harus dilakukan dengan anggota masyarakat lain. Manusia hanya sering memperhatikan haknya yang dapat diperoleh dari masyarakat, sebaliknya kewajiban sering diabaikan. Orang sering mempertanyakan pada dirinya, apa yang dapat diperoleh dari orang lain atau masyarakat pada umumnya, hanya sedikit dari mereka yang mempertanyakan apa yang dapat diberikan pada orang lain atau pada masyarakatnya. Dalam ajaran akhlak dan budi pekerti, setiap diri manusia harus dapat mengatur keseimbangan yang sangat tajam antara hak dan kewajibannya, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Setiap anggota masyarakat harus mampu menjalin hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan serta memberi manfaat terhadap sesama anggotanya. 4.1.1. Pengertian Hak dan Kewajiban Istilah hak, berasal dari bahasa Arab al-Haqq yang artinya menurut bahasa adalah sesuatu yang dimiliki seseorang secara layak, pantas dan patut. (alMunawir, 1984 : 305). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hak diartikan milik, kepunyaan, kewenangan, kebenaran dan sebagainya, (KBBI:335), pengertian selanjutnya tergantung pada susunan kalimat. Pengertiannya secara terminologis, hak adalah merupakan klaim yang dibuat oleh orang atau kelompok yang satu terhadap yang lain atau terhadap masyarakat. Orang yang mempunyai hak dapat menuntut, bukan hanya mengharap atau menganjurkan bahwa orang lain akan
85
memenuhi dan menghormati hak itu. Pengertian seperti ini terjadi sebagai suatu klaim, atau hak yang sah atau klaim yang dapat dibenarkan. (Bertens : 178) Kata kewajiban juga berasal dari bahasa Arab, dari kata al-wajib, yang artinya sesuatu yang mesti, yang tidak dapat dielakkan. (al-Munawir, 1984 : 1641). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, wajib adalah harus melakukan, tidak boleh tidak dilaksanakan. (KBBI:1123). Misalnya dicontohkan dalam suatu kalimat: “Setiap pemeluk agama, wajib mentaati ajaran agamanya”. Dengan demikian, pengertian kewajiban adalah sesuatu yang harus dilaksanakan seseorang, yang biasanya selalu berkaitan dengan hak yang dimilikinya. Pengertian diatas, mengantarkan pada suatu pemahaman yang bersifat pasti bahwa setiap ada hak pasti dibarengi dengan kewajiban. Sebaliknya, setiap ada kewajiban pasti dibarengi dengan hak, baik terjadi antar individu, maupun masyarakat. 1.1.2.
Keseimbangan Antara Hak dan Kewajiban
Dalam sejarah peradaban manusia, dijumpai perbedaan-perbedaan yang beraneka ragam mengenai hak dan kewajiban. Ada sebagian masyarakat yang sering menonjolkan hak, sementara kewajiban-kewajibannya disembunyikan. Sebaliknya ada diantara mereka, yang lebih banyak menonjolkan kewajibankewajiban sedangkan hak-haknya tidak diberikan secara wajar dan memadai. Sesungguhnya sikap yang terbaik, adalah menjaga keseimbangan yang harmonis antara hak dan kewajiban baik secara individu maupun masyarakat. Manusia diarahkan agar melaksanakan kewajiban-kewajiban yang diberikan kepada mereka, dan hak-hak merekapun harus diberikan secara sempurna. Mengenai hak dan kewajiban yang berkaitan dengan kepentingan individu dan masyarakat, juga harus diberikan porsi secara seimbang. Dalam perkembangan peradaban umat manusia, dijumpai ada tiga kelompok besar yang berbeda menanggapi hal ini. Kelompok pertama adalah pola ideologi liberal kapitalisme yang sangat kuat membela kebebasan, membela hak-hak dan kehormatan pribadi, sehingga sering terjadi tindakan-tindakan yang melewati batas, dilakukan individu-individu dengan mengabaikan kepentingan masyarakat. Kelompok kedua adalah ideologi sosialisme, yang memusatkan usahanya untuk kepentingan masyarakat, dengan mengabaikan kepentingan individu dan tidak mengakui kebebasan perorangan untuk menikmati hasil jerih payahnya sendiri. Hak-hak perorangan dilucuti, demikian juga hak-hak asasinya. Kedua pola pemikiran tersebut menimbulkan disharmony (ketidakseimbangan) dalam tata kehidupan manusia. Pola pemikiran liberalisme terlalu mementingkan pribadi manusia sehingga mengabaikan kepentingan masyarakat. Sedangkan pola pemikiran sosialisme terlalu mementingkan aspek sosial ekonomi masyarakat dan mengabaikan hak-hak asasi manusia (M. Daud Ali, 1986 :292) Kelompok yang ketiga (yang menjadi pilihan kita) adalah pola pemikiran yang mengambil jalan tengah diantara kedua pemikiran diatas, yaitu pemikiran yang menempatkan kepentingan perorangan dan kepentingan masyarakat secara 86
berkaitan satu dengan lainnya, timbal balik dan berimbang. Kelompok ini mendahulukan dan mengutamakan kewajiban-kewajiban perorangan dan kewajiban masyarakat. Setiap individu, sebagai anggota masyarakat berkewajiban melayani kepentingan masyarakat, sesuai dengan bakat dan keahliannya dan sekaligus menjadi kewajiban masyarakat untuk mengarahkan setiap orang tidak mengabaikan tugasnya masing-masing terhadap masyarakat. (M. Daud Ali, 1986 : 293). 1.1.3.
Mengaplikasikan Kewajiban
Mengaplikasikan kewajiban setiap individu, dapat dilakukan sebagai berikut: (1) kewajiban kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan jalan mentaati dan mematuhi peraturan-peraturan-Nya dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya (2) Kewajiban terhadap diri sendiri, (3) kewajiban terhadap keluarga. (4) Kewajiban terhadap tetangga (5) kewajiban terhadap masyarakat. (6) kewajiban terhadap pegawai (7) Kewajiban terhadap harta (8) kewajiban terhadap negara (9) Kewajiban terhadap lingkungan hidup. Dengan melaksanakan kewajibankewajiban tersebut, dengan sendirinya setiap anggota masyarakat akan memperoleh hak-haknya secara seimbang. Kewajiban terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dilakukan dengan jalan beribadah secara berkesinambungan, dengan ketulusan dan keikhlasan. Dilanjutkan dengan melakukan perbuatan baik dan terpuji, melaksanakan segala perintah-Nya dan menghindari segala larangan-Nya. Sebagai makhluk yang paling sempurna, manusia ditugasi amanah agar mewujudkan kesejahteraan bagi semua makhluk. Kewajiban pada diri sendiri, misalnya setiap diri manusia harus menjaga kesucian diri dan tidak mengotori jiwanya, senantiasa berbuat baik dan menghindari perbuatan yang tercela. Ia harus pandai menjaga diri agar tidak melanggar hukum, perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum. Kewajiban terhadap keluarga, dilakukan dengan melaksanakan hal-hal yang patut dan layak bagi keluarga. Seorang suami berkewajiban memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan perumahan bagi istri dan anak-anaknya. Masingmasing anggota keluarga harus menjaga kesopanan dan budipekerti yang luhur, bersikap adil dan seimbang. Seorang istri berkewajiban mengurus rumah tangga suaminya, mendidik anak-anaknya dan mengantarkan mereka menjadi generasi penerus yang berkualitas. Kewajiban terhadap tetangga diwujudkan dengan saling menghormati, bergotong royong, saling memberikan pertolongan, saling berwasiat tentang ketabahan dan kesabaran dan saling mengunjungi. Kewajiban terhadap masyarakat dibuktikan dengan adanya kerja sama yang baik dan saling berpartisipasi dalam mewujudkan kebaikan, menjaga keamanan dan ketertiban lingkungan, mewujudkan keperdulian sosial dan menyampaikan kritik yang membangun apabila dijumpai beberapa hal yang dianggap tidak baik. Kritik merupakan salah satu cara untuk mengevaluasi dan mengontrol perkembagan yang terjadi di masyarakat. Kewajiban terhadap pegawai, maksudnya adalah kewajiban timbal balik, antara pemilik perusahaan 87
dan karyawannya. Pimpinan perusahaan wajib memberikan upah yang layak, sebaliknya para karyawan harus bekerja dengan baik untuk mengkelola perusahaan tempat mereka bekerja. Kewajiban terhadap harta, misalnya setiap orang harus memelihara dan menjaga harta kekayaannya sebagai amanah Tuhan yang disampaikan kepadanya. Karena itu ia wajib menggunakan hartanya sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku, dilarang menghambur-hamburkan kekayaan dan harus melakukan penghematan sebaik mungkin, demi mendatangkan manfaat yang lebih besar. Pemilik harta akan dimintai pertanggung jawaban terhadap yang mengamanahkan harta tersebut yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu manusia diarahkan agar mencari rizki yang halal dan memanfaatkannya untuk kebaikan. Selain yang telah disebutkan diatas, pemilik harta diharuskan untuk menyiapkan dana sosial, baik berupa zakat, pemberian, infaq, ataupun sedekah kepada fakir miskin yang membutuhkannya, termasuk kewajiban membayar pajak. Kewajiban seorang warga negara terhadap negaranya ada kaitannya dengan kewajiban terhadap penyelenggara negara. Seorang warga negara harus mentaati aturan-aturan yang ditetapkan oleh konstitusi negara, Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Sebaliknya penyelenggara negara berkewajiban melindungi, menjunjung martabat warga negara dan berlaku adil terhadap mereka. Terhadap lingkungan hidup, manusia diwajibkan agar menjaga kelestariannya dan tidak berbuat kerusakan. Manusia harus mewujudkan, kedamaian dan keamanan serta memanfaatkan alam semesta, bukan hanya bagi kesejahteraan umat manusia tetapi juga bagi kesejahteraan dan kelestarian makhluk-makhluk lainnya. Pada saat seseorang atau kelompok melaksanakan kewajibankewajibannya dengan beberapa contoh yang disebutkan di atas, orang itu akan memperoleh hak-haknya secara sempurna. Seseorang yang melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan, ia akan memperoleh hak-haknya, seperti memperoleh keridhaan Tuhan, memperoleh kehidupan yang bahagia secara lahir dan batin, baik di dunia maupun di akhirat. Seorang suami yang melaksanakan kewajibankewajibannya terhadap keluarga, sekaligus akan memperoleh hak-haknya juga, seperti penghormatan dan kasih sayang dari istrinya, anak-anaknya dan anggota keluarga yang lain. Seterusnya dapat dikembangkan seperti uraian di atas tentang hak dan kewajiban. 1.1.4. Dimulai dari Niat Yang Suci Menanamkan kesadaran akan hak dan kewajiban dimulai dari dalam diri kita. Dimulai dari niat yang suci yang kemudian diwujudkan dalam aktivitas yang baik dan terpuji. Berdasarkan niat yang ditanamkan dalam batinnya, perbuatan manusia akan dinilai apakah ia berbuat kebaikan atau berbuat buruk.(Al-Jaziri, 2003: 15). Selanjutnya terpuji atau tercelanya perilaku seseorang ditentukan oleh pekerjaan atau amal yang dilakukannya. Apabila ia melakukan kebaikan dan
88
menghindari kejahatan, ia menjadi manusia yang terpuji, sebaliknya apabila ia bergelimang dalam perbuatan buruk, menjadi manusia yang tercela. Niat yang ditanamkan dalam batin seseorang, dapat menentukan perbuatan baik atau buruk. Sesungguhnya amal perbuatan seseorang itu tergantung pada niatnya dan setiap orang bergantung pada apa yang ia niatkan. Dalam keterangan yang bersumber dari ajaran agama disebutkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak melihat apa yang ada pada bentuk lahiriyah dari manusia, seperti kekayaan, kedudukan atau bentuk rupa yang dimilikinya, tetapi melihat pada motivasi dan perilakunya. Tuhan Yang Maha Esa melihat batin manusia, berarti menilai niat seseorang, sebagai penggerak dan pendorong terjadinya suatu perbutan. Karena itu orang yang sungguh-sungguh berniat akan melakukan suatu perbuatan yang baik, namun ia belum dapat melaksanakannya karena suatu halangan, maka dicatat sebagai suatu kebajikan baginya. Dengan kesungguhan niat yang ia tetapkan dalam dirinya dan mempertimbangkan bahwa setiap perbuatan baik harus dilakukan dengan cara yang baik pula, maka iapun memperoleh balasan kebajikan yang serupa. Dijelaskan bahwa manusia pada umumnya dapat dibagi menjadi empat golongan : (1) manusia yang diberi oleh Tuhan berupa ilmu dan kekayaan, dan ia menggunakan kekayaannya sesuai dengan ilmunya. (2) manusia yang berkata : “Seandainya Tuhan memberinya hal yang sama seperti manusia pertama, maka ia akan melakukan hal yang sama pula”. Maka balasan bagi keduanyapun sama. (3) manusia yang diberi oleh Tuhan dengan kekayaan tetapi tidak diberi pengetahuan, maka ia menghabiskan kekayaannya untuk mengikuti hawa nafsunya. (4) manusia yang diberikan hal yang sama seperti orang ketiga dan iapun melakukan perbuatan yang sama, maka keduanya akan memperoleh dosa yang sama. (AlJaziri, 2003:17) Pada peristiwa peperangan dalam rangka membela kebenaran, diinformasikan. Sesungguhnya, di dalam kota (tinggal di rumah masing-masing) ada sekelompok orang yang tidak ikut dalam rombongan ini (tidak ikut berperang), tidak ikut melakukan sesuatu, tidak ikut naik dan turun gunung, tapi mereka ada beserta orang-orang yang berjuang di medan peperangan. Sebagian dari mereka bertanya: Mana mungkin orang yang tidak ikut beserta kami dinyatakan ada diantara kami. Pertanyaan itu dijawab : Mereka memang tidak ada beserta kami disebabkan karena ada halangan. Mereka disebutkan bersama kami karena mereka mempunyai niat baik yang sama dengan niat yang kami tetapkan. Masih mengenai niat yang baik ataupun buruk dapat mempengaruhi baik atau buruknya amal perbuatan seseorang, dijelaskan dalam pesan-pesan yang suci : “Jika ada dua orang bertemu dan berkelahi masing-masing dengan pedangnya, maka orang yang membunuh ataupun yang terbunuh, keduanya masuk neraka. Seorang bertanya : “Adalah wajar orang yang membunuh itu
89
masuk neraka, bagaimana dengan orang yang terbunuh”. Pertanyaan itu dijawab: “Karena orang itu juga ingin membunuh lawannya” (Al-Jaziri, 2003: 18). Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa setiap diri manusia harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh mengenai sangat penting dan seriusnya makna niat. Seluruh perbuatan yang dilakukannya harus disesuaikan dengan niat yang suci. Niat merupakan spirit dari amal perbuatan yang mempunyai nilai. Amal perbuatan akan menjadi baik jika disertai dengan niat yang baik dan amal perbuatan akan menjadi buruk jika disertai niat yang buruk. Barang siapa yang berbuat suatu amal tanpa disertai dengan niat yang suci maka perbuatannya menjadi sia-sia. Lebih halus dan mendalam pada pandangan kaum sufi, akhlak dan budipekerti tidak saja dikembangkan antar umat manusia, tetapi juga menyangkut hubungan dengan makhluk-makhluk lain seperti benda mati, flora dan fauna. Sebagian ahli sufi membagi makhluk kedalam beberapa jiwa, dengan tingkatantingkatan yang berbeda, seperti jiwa mineral, jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa hewan, jiwa pribadi, jiwa insani dan sebagainya (Robert Freger, dkk, 1999: 139). Terhadap jiwa-jiwa itu ada akhlak dan budipekerti yang harus ditegakkan, sesuai dengan tingkatannya masing-masing. Terhadap jiwa mineral misalnya, tidak diperbolehkan merusak, demikian juga terhadap jiwa tumbuh-tumbuhan, tidak boleh menyiksa dan menyakiti hewan dan juga tidak diperkenankan merusak lingkungan. Mengenai kewajiban terhadap Tuhan, selain yang disebutkan diatas, manusia hendaknya mensyukuri nikmat dan karunia Tuhan, menerima dengan tulus segala kepastian dan ketetapan Tuhan yang diberikan kepada kita dengan berusaha semaksimal mungkin, agar dapat beramal yang terpuji. Setiap diri manusia hendaknya menyadari betapa banyaknya nikmat dan karunia Tuhan yang disampaikan kepadanya. Nikmat diciptakannya menjadi makhluk yang terbaik, nikmat keimanan, nikmat kesehatan, nikmat memiliki fisik yang sempurna, nikmat memiliki akal pikiran yang sehat dan berbagai nikmat lain yang tidak mungkin dapat dihitung jumlahnya. Segala kenikmatan yang ada pada kita, baik lahir maupun batin adalah berasal dari karunia Tuhan Y.M.E. Barang siapa yang ingat pada Tuhan, maka Tuhan akan mengingatnya, karena itu bersyukurlah padaNya dan jangan mengingkari-Nya. 1.1.5. Perwujudan Akhlak dan Budi Pekerti Setiap orang yang berakhlak dan berbudi pekerti, pasti berpikir tentang ilmu-ilmu Tuhan yang maha luas dan dalam, ia selalu menyadari bahwa Tuhan senantiasa memperhatikan gerak-geriknya pada setiap keadaan. Hati setiap orang yang beriman pasti akan dipenuhi dengan perasaan kagum, hormat dan mensucikan Tuhannya. Sesungguhnya tidaklah layak jika seorang manusia tidak mentaati Tuhannya, dengan cara mengingkari, berbuat jahat dan membangkang, sementara Tuhan Yang Maha Esa senantiasa menyaksikan dan memperhatikannya. Mengapa kita semua tidak meletakkan harapan dan keinginan 90
kita untuk kebajikan dan kesabaran pada-Nya, padahal Dia telah menciptakan semua makhluk dalam berbagai tingkatan. Manusia beriman, senantiasa menyadari akan kekuasaan dan pengawasan Tuhan atas dirinya, ia tidak mungkin lari dan menghindari hal itu, maka setiap orang yang sadar, pasti akan kembali menuju jalan Tuhannya. Tinggalkan segala keraguan dan tetapkan segala keyakinan dan kepercayaan hanya kepada-Nya semata. Kita tidak berada dalam suatu keadaan apapun dan tidak membaca suatu bacaan apapun dan tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Tuhan menjadi saksi atas semua makhluknya di waktu kita mengerjakannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhan meskipun sekecil dzarrah (atom), di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) lebih besar dari semua itu, melainkan tercatat dalam pengetahuan Tuhan Yang Maha Kuasa. Seorang yang beragama akan menyadari dengan sesungguhnya segala kasih sayang dan kemurahan Tuhan yang dikaruniakan kepadanya dalam segala keadaan. Ia berupaya untuk memperoleh karunia dan ridha-Nya, dengan jalan merendahkan diri dan bersikap rendah hati serta berdoa dengan ikhlas. Ia akan terus berusaha untuk mendekatkan diri kepadanya dengan melakukan amal perbuatan yang baik. Demikianlah akhlak dan budipekerti manusia terhadap Tuhannya. Rahmat Tuhan meliputi segala sesuatu, Ia Maha Lembut dan Halus terhadap semua makhluk-Nya. Karena itu manusia tidak boleh berputus asa dari rahmat dan karunia-Nya. Sebagai kelanjutan melaksanakan kewajiban kepada Tuhan, manusia diharuskan melaksanakan kewajiban kepada Nabi dan Rasul. Ketentuan di atas, diantaranya berpedoman pada uraian-uraian berikut ini. Tuhan Yang Maha Memberi Karunia telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan, agar bersikap baik dan menghormati para Nabi dan Rasul serta mengikuti perintah dan menjauhi larangannya. Manusia beriman hendaklah menghormati Nabi dan Rasul dengan jalan merendahkan suaranya apabila menyebutkan nama beliau. Orang-orang yang beriman, tidaklah mengeraskan suaranya melebihi suara nabi, dan janganlah kita berkata kepada orang-orang yang dihormati dengan suara keras, sebagaimana kerasnya (suara) sebagian dari diri kita terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak terhapus pahala amal kebajikan, sedangkan kita semua tidak menyadarinya. Dalam menyebutkan nama Nabi dan Rasul hendaklah dilakukan dengan sopan, jangan disamakan dengan menyebut nama seorang yang biasa kita kenal. Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantaramu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian yang lain dengan tanpa sopan santun yang terpuji. Sebagai manusia beriman, diarahkan selalu bekerja sama menghadapi berbagai permasalahan dan mengambil contoh dari penyelesaian yang dilakukan oleh para Nabi dan Rasul. Dalam hal ini kita dapat melakukan aktualisasi pemahaman dari contoh-contoh tersebut sehingga menjadi relevan dengan kehidupan kita. Sesungguhnya yang sebenar-benar orang yang beriman ialah orang-orang yang beriman kepada Tuhan dan para Rasulnya, dan apabila mereka berada bersama91
sama dalam sesuatu urusan yang memerlukan penyelesaian, mereka tidak meninggalkan bimbingan mereka, dengan penuh ketaatan. Sesungguhnya orangorang yang mengikuti petunjuk para nabi, mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Tuhan dengan iman yang sempurna. Tuhan Yang Maha Memberi Karunia mengarahkan umat manusia agar mentaati dan mematuhi terhadap Nabi dan Rasul, serta mencintainya dengan penuh kasih sayang. Orang-orang yang beriman, diperintahkan agar mentaati Tuhan, mentaati Rasul-Nya dan para pemimpin ditengah-tengah masyarakat kita. Apabila kita berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia untuk mencari petunjuk Tuhan dan Rasul-Nya, jika kita ingin dikelompokkan bersama orang yang benar-benar beriman kepada Tuhan dan hari kemudian. Mereka yang menyalahi perintah para Nabi atau yang membangkang padanya akan ditimpa oleh ujian-ujian yang berat atau dikenai azab yang menyakitkan. Oleh karena itu, semua perintah para Nabi dan Rasul hendaknya dilaksanakan dengan keinsafan dan kesadaran dan sebaliknya segala yang dilarangnya harus dijauhi dan ditinggalkan dengan penuh kesungguhan. Barang siapa yang mencintai Tuhan dengan sungguh-sungguh, pasti ia akan mengikuti bimbingan para Nabi dan Rasul dalam meniti jalan kehidupannya di dunia dan di akhirat. Tuhan sebagai pembimbing, pemimpin dan menghukumi manusia secara adil. Sebagai Tuhan yang membimbing semua makhluk-Nya dengan penuh kasih sayang, Ia juga menjadi hakim yang adil bagi semua umat manusia. Manusia beriman diperintahkan agar menghakimi atau menetapkan keadilan berdasarkan petunjuk dari Tuhan dan menghindarkan diri dari hawa nafsu yang senantiasa menjerumuskan umat manusia. Kita hendaklah memutuskan perkara diantara mereka menurut ketentuan Tuhan, dan janganlah mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak berada dalam jalan yang benar, agar mereka tidak menyesatkan kaum beriman dari jalan Tuhan yang benar dan lurus. 1.1.6. Kedisiplinan dalam Ketaatan Merupakan kewajiban terhadap diri sendiri, setiap orang beragama meyakini bahwa ketenangan dan kebahagiaannya baik di dunia maupun di akhirat ditentukan oleh kemampuannya dalam melatih dan mendisiplinkan dirinya. Menjaga dirinya supaya tetap baik serta menyempurnakan dan mensucikan jiwanya. Sebaliknya kerugian yang besar dan penyesalan yang dialami manusia, adalah disebabkan kejahatan dan ketidakpatuhan terhadap ajaran agamanya, dengan cara mengotori jiwanya sendiri. Sungguh berbahagia dan beruntung orang-orang yang mensucikan jiwanya dan celakalah orang-orang yang mengotori jiwanya sendiri, sehingga menjadi kotor dan ternoda. Orang-orang yang mengotori jiwanya, mendustakan ayat-ayat Tuhan dan bersikap angkuh terhadap-Nya, akan ditimpa kesulitan dalam kehidupan di dunia dan memperoleh azab yang menyakitkan di akhirat. Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Tuhan dan menyombongkan diri terhadap-Nya, 92
sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu kebahagiaan baik di dunia maupun akhirat, sehingga mereka akan menjumpai kesulitan dalam berbagai kehidupannya. Manusia beragama yang tidak lagi mampu menjaga dirinya dari perbuatan yang tercela, maka jiwanya menjadi kotor, titik-titik noda akan menutup kalbunya sehingga menjadi hitam pekat. Kalbu itu yang diumpamakan sebagai cermin tidak lagi mampu menyerap cahaya kebenaran dari Tuhan Yang Maha Memberi Petunjuk. Hatinya menjadi gelap dan mati. Sesungguhnya seorang manusia apabila berbuat dosa maka akan menimbulkan titik hitam dalam hatinya. Apabila ia meninggalkan perbuatan dosanya dan tidak mengulanginya lagi, maka hatinya akan bersih dari noda tersebut. Namun jika dia terus-menerus berbuat dosa, maka seluruh hatinya akan tertutup kegelapan. Apabila manusia terlanjur berbuat dosa dan kesalahan, hendaklah ia cepat bertaubat, dengan cara menyesali perbuatan tersebut dan tidak mengulanginya di masa yang akan datang. Kemudian perbuatan yang tidak baik itu hendaklah diikuti dengan perbuatan-perbuatan yang baik, karena perbuatan baik itu akan menghapuskan kesalahan dan dosa. Bertakwalah kamu kepada Tuhan, dimana saja kamu berada dan susullah perbuatan yang buruk dengan perbuatan yang baik, karena perbuatan yang baik itu akan menghapuskan keburukan serta bergaulah sesama manusia dengan akhlak yang baik. Salah satu kewajiban yang sangat penting terhadap keluarga adalah berbakti terhadap orang tua. Setiap orang pasti merasakan dan menyadari betapa besarnya kasih sayang ayah dan ibunya. Orang tuanya memelihara dan mendidiknya dengan penuh kesabaran dan keikhlasan, kesulitan demi kesulitan dihadapinya dengan tabah, dan semua orang tua selalu berharap dan berusaha agar anak-anaknya lebih mulia dari dirinya sendiri. Berdasarkan kenyataan inilah, maka berbakti kepada kedua orang tua merupakan bakti kedua, setelah kita berbakti kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tuhan Yang Maha Esa telah memerintahkan supaya umat manusia jangan menyembah kecuali pada-Nya dan hendaklah berbakti pada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaan anaknya, maka sekali-kali janganlah anak-anaknya mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”, dan jangan pula membentak mereka sebaliknya harus mengucapkan kepada mereka perkataan yang mulia. Rendahkanlah diri kita terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan hendaknya kita bedoa : “Wahai Tuhanku kasihanilah mereka berdua, sebagaimana mereka telah mengasihani aku di waktu kecil”. Rasul, pernah ditanya salah seorang sahabatnya yang masih muda mengenai siapakah orang yang paling berhak dikasihi, nabi menjawab ibumu. Anak muda itu bertanya kembali, kemudian siapa, nabi menjawab ibumu. Hal itu terus berlangsung sampai tiga kali kemudian nabi menjawab : ayahmu. Dari keterangan ini terlihat dengan jelas betapa besarnya bakti anak kepada kedua orang tuanya, apalagi kepada ibunya yang mengandung, melahirkan, menyusui 93
dan memeliharanya dengan penuh kasih sayang, sampai seorang anak memasuki usia dewasa (Fathurrahman, 1996:158). Durhaka kepada kedua orang tua merupakan perbuatan dosa yang sangat berat yang harus ditanggung dalam kehidupan dunia maupun di akhirat. Anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya akan tercampakkan dalam lembah kehinaan dan kenistaan. Dosa seperti itu digolongkan dalam dosa-dosa terbesar dari segala dosa. Maukah di beritakan kepadamu tentang dosa yang paling besar dari dosa yang terbesar? “Pertama menyekutukan (syirik) kepada Tuhan, kedua durhaka kepada kedua orang tua, bersumpah palsu dan bersaksi palsu (Fathurrahman, 1966: 171). Secara umum berbakti kepada kedua orang tua dapat dilakukan dengan mentaati dan mengasihinya, mendoakan dan memohonkan ampunan kepada Allah, memenuhi dan melaksanakan rencana-rencananya yang baik, menghormati teman-teman dekat mereka dan melanjutkan hubungan silaturahim. Seorang anak harus patuh kepada kedua orang tuanya dalam segala hal yang sesuai dengan tuntunan agama, baik berupa mentaati perintah-perintahnya ataupun menghindari larangan-larangannya. Anak harus menghormati dan memuliakan kedua orang tua mereka dalam berbagai keadaan, baik dalam tutur kata maupun tindakannya. Jangan membuat mereka kesal dan marah, jangan bersuara lebih keras dari suara mereka, jangan melebihkan perhatian kepada suami atau istri dan anak-anak melebihi mereka. Tidak memanggil keduanya dengan sebutan nama yang tidak terpuji dan selalu menyapanya dengan penuh hormat dan kasih. Anak-anak harus melakukan tugas yang terbaik bagi mereka dan memberikan sesuatu yang terpuji bagi kedua orang tua mereka, termasuk menyantuni mereka untuk kebutuhan makanan, pakaian, perawatan, perlindungan, dan kasih sayang. Setelah kewajiban terhadap negara, dilanjutkan dengan kewajiban terhadap hubungan antar bangsa, antara lain : mengembangkan politik luar negeri yang bebas dan aktif, menegakkan perdamaian dunia, menjunjung tinggi persaudaraan antar bangsa, tidak mencampuri urusan dalam negeri masingmasing dan memanfaatkan kekayaan alam dunia untuk kesejahteraan secara umum. 4.2. Pemantapan Kehidupan Sosial Interaksi sosial atau proses-proses sosial berkembang dalam kehidupan masyarakat secara alamiah. Ia merupakan kuci semua kehidupan sosial, tanpa interaksi sosial, tidak mungkin ada kehidupan bersama. Bertemunya orangperorang secara fisik saja, tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Pergaulan hidup baru akan terjadi apabila orang-perorang, atau kelompok perkelompok manusia bekerja sama, saling berbicara, saling bergaul dan seterusnya untuk mencapai suatu tujuan bersama, mengadakan persaingan yang positif, mengantisipasi pertikaian dan sebagainya. Karena itu, interaksi sosial adalah merupakan dasar-dasar dari proses sosial yang mengantarkan pada berbagai hubungan sosial yang dinamis. Bentuk umum dari proses-proses sosial, 94
atau disebut juga dengan interaksi sosial adalah merupakan syarat utama terjadinya berbagai aktivitas kemasyarakatan. Selanjutnya bentuk lain dari proses sosial hanya merupakan bentuk-bentuk khusus dari interaksi sosial. Ia merupakan hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antar orang-perorang, antar kelompok-perkelompok manusia, maupun antar orang dengan perkelompok. Apabila dua orang saling bertemu, maka interaksi sosial telah dimulai; pada saat itu mereka saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan saling bermusuhan. Kegiatan seperti itu merupakan perwujudan dari bentuk-bentuk interaksi sosial. Sungguhpun mereka yang bertemu muka itu tidak saling berbicara, atau tidak saling menukar simbol-simbol, interaksi sosial sebenarnya telah terjadi. Masing-masing dari mereka telah menyadari adanya pihak lain yang menyebakan perubahan-perubahan dalam perasaan ataupun image dari mereka yang bersangkutan, disebabkan karena interaksi tersebut. Peristiwa itu pasti menimbulkan kesan dalam pikiran seseorang yang kemudian menentukan tindakan apa yang akan dilakukannya (Soerjono Soekanto, 1986:51). Interaksi sosial dalam kelompok-kelompok manusia terjadi antara kelompok-kelompok tersebut sebagai satu kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi anggota-anggotanya, sebagai contoh dapat dikemukakan, ketika terjadi tawuran antara dua desa, sehingga menimbulkan kerusuhan dan korban yang amat merugikan kedua belah pihak, ternyata salah satu anggotanya bernama Tono dari suatu desa dan salah seorang dari anggota lain bernama Toni dari desa yang lain, sebenarnya mereka berdua adalah teman satu kelas di sebuah SMA di kotanya. Keduanya sebenarnya tidak saling bermusuhan, mereka berdua merupakan sahabat dalam satu kelas. Pada saat mereka berdua bertemu di kantor Kecamatan, mereka saling memeluk. Ternyata Tono dan Toni sebenarnya tidak bermusuhan, yang bermusuhan adalah kelompok, yaitu dua desa tersebut di atas. Dengan demikian interaksi sosial antara kelompok-kelompok sosial, seperti dua desa tersebut di atas tidak bersifat pribadi. Interaksi sosial antara kelompokkelompok manusia terjadi antara kelompok lazim, juga terjadi dalam masyarakat. Interaksi tersebut terjadi secara lebih mencolok, apabila terjadi pertentangan antara kepentingan-kepentingan orang-perorang dengan kepentingan-kepentingan kelompok. Interaksi sosial dalam kehidupan bermasyarakat, terjadi saling mempengaruhi antar orang-perorang, antar orang perkelompok, dan antar kelompok perkelompok. Dari interaksi itu, dapat menimbulkan suatu kompromi yang saling menguntungkan, menguntungkan sebagian kelompok dan merugikan kelompok yang lain, atau sama-sama terjadi kerugian antara kelompok-kelompok tersebut. Dalam kehidupan masyarakat awam, interaksi yang terjadi tersebut sering membingungkan dan menyulitkan mereka. Kehidupan sosial yang selalu berkembang dan berubah pada setiap saat, akan menjadi kendala yang menyulitkan bagi hidup dan kehidupan mereka. Karena itu diperlukan adanya stabilisator yang dapat menetralisir berbagai perkembangan dan perubahan, yang serba cepat dan terus menerus mengusik ketenangan serta ketenteraman
95
masyarakat. Ajaran tentang akhlak dan budipekerti serta aplikasinya dalam amal perbuatan dapat berfungsi sebagai stabilisator dalam kehidupan sosial dan budaya. Dengan berpedoman pada nilai-nilai luhur yang tercermin dalam akhlak dan budipekerti yang terpuji, setiap orang akan dapat menjalani kehidupannya dengan petunjuk yang jelas dan pedoman yang kokoh. Perumpamaan mereka, seperti seorang yang menempuh jalan untuk suatu tujuan yang mulia, dilengkapi dengan petunjuk jalan yang komplit dan sarana yang memadai. Dengan demikian ia tidak akan ditimpa keraguan dan kebimbangan, serta terhindar dari kegalauan. Selanjutnya kehidupan sosial menjadi stabil dan dapat membentuk masyarakat yang diharapkan, terhindar dari kehancuran dan perasaan chaos, yang sering melanda masyarakat, yang dikacaukan oleh kegoncangan dan ketidakpastian. 4.3. Toleransi dalam Kemajemukan Toleransi dipahami secara sederhana berarti bersikap atau bersifat menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri (Depdiknas, 1999). Secara ringkas, toleransi berarti sikap seseorang yang tidak merasa keberatan dengan perbedaanperbedaan orang lain yang tidak sesuai dengan keyakinan atau pendapatnya sendiri. Istilah toleransi dalam bahasa Indonesia sering juga disebut dengan kata tasamuh, berasal dari bahasa Arab yang artinya sikap yang baik dan berlapang dada terhadap perbedaan-perbedaan dengan orang lain yang tidak sesuai dengan pendirian dan keyakinannya. Ibn Manzhur (1992: 489) Secara realitas, manusia diciptakan dalam berbagai golongan bangsa, ras, suku, bahasa, warna kulit, adat, kebudayaan dan agama yang berbeda. Menghadapi kenyataan ini, hendaklah manusia bersikap toleran atau tasamuh, sebagai salah satu bukti dari pengamalan akhlak dan budi pekerti. Setiap diri manusia harus berlapang dada dan memahami secara baik terhadap segala perbedaan yang dijumpai. Dengan demikian setiap orang meyakini agama, falsafah hidup, adat istiadatnya sendiri dan tidak merasa keberatan sedikitpun terhadap agama, adat istiadat dan filsafat hidup orang lain. Masing-masing anggota masyarakat harus saling memahami, mengenal dan bertenggang rasa terhadap agama, keyakinan dan filsafat hidup orang lain. Dengan sikap toleransi dan tasamuh yang luas dan terbuka, maka akan terbentuk suatu masyarakat yang saling menghargai, saling tenggang rasa, dan terjalinlah kehidupan yang harmonis antar anggota masyarakat, bangsa maupun negara. Kehidupan yang harmonis yang dapat ditumbuh kembangkan dalam kehidupan suatu masyarakat atau suatu bangsa, akan menimbulkan kemampuan dan kemajuan yang luar biasa. Kemuliaan dan kehebatan suatu bangsa atau masyarakat hanya dapat diwujudkan dengan ketenangan, keamanan, keserasian yang dirajut dalam suasana yang harmonis. Karya-karya besar yang spektakuler yang bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan, akan terwujud dari masyarakat yang memiliki kriteria tersebut di atas. 96
4.4. Filter dalam Interaksi Lintas Budaya Perkembangan yang sangat bebas dan tanpa batas, sebagai akibat dari interaksi lintas budaya, mengakibatkan tercampuraduknya berbagai macam nilainilai kehidupan, antara yang baik atau buruk, antara yang terpuji atau tercela. Hal seperti ini pasti akan membingungkan umat manusia. Akhlak dan budipekerti yang baik, yang telah menyatu dan mendarah daging dalam kehidupan masyarakat, akan berfungsi sebagai filter yang dapat menyaring dan sekaligus membedakan antara nilai-nilai yang baik dan luhur dari nilai-nilai buruk dan tercela. Manusia yang baik dan berkualitas, adalah mereka yang mampu meyerap informasi sebanyak-banyaknya, kemudian ia memiliki kemampuan untuk memilah dan memilih yang terbaik daripadanya serta meninggalkan yang buruk dan tercela. Kita tidak mungkin membendung arus informasi yang sangat kuat itu dan mengisolasi masyarakat dari interaksi lintas budaya. Cara yang terbaik adalah membekali masyarakat agar memiliki kemampuan untuk membedakan yang baik dari yang buruk. Sekaligus membentuk mereka agar memiliki kemampuan dan kemauan untuk melaksanakan kebaikan itu, serta memiliki kemampuan untuk menghindari berbagai macam keburukan dan sifat tercela lainnya. Memiliki kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk atau yang terpuji dan tercela, merupakan kemampuan yang sangat potensial untuk memfilter berbagai macam informasi dalam interaksi lintas budaya. Dalam kehidupan masyarakat, banyak dijumpai orang-orang yang terjerumus dalam perbuatan yang tercela, disebabkan mereka belum memahami secara baik bahwa perbuatan itu dapat mencelakakan dirinya dan orang lain. Setelah mereka memahami dengan baik, mereka pasti akan menghindari perbuatan tercela tersebut, kecuali mereka yang dengan sengaja akan mendzalimi dirinya sendiri. Kita dapat mengambil pelajaran dari da’wah yang dilakukan oleh para Nabi dan Rasul, pada awal mulanya, sebelum umatnya memahami ajaran Nabi tersebut mereka menolak dengan keras, bahkan sebagian dari mereka ada yang berencana untuk membunuh dan membinasakan Nabi tersebut. Setelah mereka mengetahui bahwa yang dibawa oleh Nabi itu adalah suatu kebenaran yang akan mengantarkan mereka kepada kebahagiaan masa kini dan masa depan, secara beramai-ramai mereka menerimanya. Dalam suatu peristiwa, ketika seorang Rasul berda’wah dengan penuh kasih sayang dan kebijaksanaan yang sangat mendalam, karena ketidakmengertian kaumnya. Dalam arti mereka tidak memiliki kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk, yang terpuji dan tercela, mereka melempari Nabi itu dengan batubatu dan kerikil yang tajam, sehingga darah mengucur dari kakinya. Menhadapi kenyataan ini, justru Rasul itu berdoa: “Wahai Tuhanku, tunjukilah kaumku, karena sesungguhnya mereka belum mengerti dan memahami”. Dari kenyataan ini dapat ditarik pengertian yang sangat mudah bahwa kemampuan memahami mana yang baik dan mana yang buruk merupakan sesuatu yang sangat penting sebagai filter dalam interaksi lintas budaya.
97
BAB V PENERAPAN AKHLAK DAN BUDI PEKERTI Kehidupan Pribadi dan Sosial Budaya Sebagai makhluk pribadi dan sosial, manusia memiliki peran yang bersifat multidimensional. Ia merupakan makhluk budaya, makhluk berperadaban, dan sekaligus sebagai makhluk beragama, serta berbagai dimensi lainnya. Sebagai makhluk pribadi, manusia terikat dengan aturan-aturan yang diterapkan dalam diri pribadinya, termasuk penerapan nilai akhlak dan budi pekerti. Aturan-aturan yang menyangkut diri manusia, seperti juga berkaitan dengan kehidupan sosialnya, memiliki hak dan kewajiban. Aplikasi nilai akhlak dan budi pekerti dalam diri manusia sama pentingnya pasa saat ia berinteraksi dengan masyarakat di luar dirinya. Aplikasi nilai akhlak dan budi pekerti dalam diri manusia berupa hak dan kewajiban yang diterapkan dalam diri pribadinya. Misalnya, badan kita memiliki hak untuk beristirahat, karena itu, kita tidak boleh melanggar hak tubuh kita untuk beristirahat tersebut. Mata yang ada pada kita memiliki hak untuk tidur, karena itu kita tidak boleh melanggar hak tersebut. Kita mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak-hak yang dimiliki oleh tubuh kita. Selain dua contoh tersebut di atas, dapat dikembangkan dengan contohcontoh lain yang lebih luas, yang terjadi dalam diri kita. Sebagian dari penerapan akhlak dan budi pekerti dalam diri sendiri, kita tidak boleh menganiaya diri sendiri, dengan mogok makan misalnya, atau menolak untuk berobat, berputus asa, bersikap pengecut, angkuh, melakukan perbuatan yang tercela dan merusak diri sendiri, misalnya meminum-minuman keras, mengkonsumsi obat-obat terlarang, dan berbagai perbuatan buruk lainnya. Secara ringkas hak dan kewajiban pada diri pribadi manusia harus dilaksanakan, norma-norma kehidupan pribadi harus dihormati, menyia-nyiakan hak dan kewajiban serta melanggar norma-norma tersebut, merupakan suatu kesalahan yang akan merugikan diri sendiri. Penerapan nilai akhlak dan budi pekerti dalam kehidupan pribadi, antara lain terdiri atas: 5.1.1. Pengembangan Kehidupan Kerohanian Sebagi makhluk sempurna yang dilengkapi dengan akal, pikiran, dan kalbu, manusia pasti akan menyadari status dirinya sebagai makhluk yang diberi amanah oleh Yang Maha Pencipta, yang menciptakan alam semesta dengan segala isinya dan peristiwa-peristiwanya yang menakjubkan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Manusia yang merupakan bagian dari alam semesta adalah makhluk ciptaan Allah yang paling luhur apabila dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Wajarlah, apabila manusia diberi amanah untuk mengelola alam semesta ini bagi kesejahteraan semua makhluk-Nya. Kesadaran terhadap wujud Tuhan Yang Maha Esa, yang menciptakan dan memelihara alam semesta, menimbulkan keyakinan kepada manusia dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa disebut juga dengan iman, yang menjadi landasan 98
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, dan segala firman-Nya yang terangkum dalam kitab suci. Pengejawantahan iman dalam kehidupan sehari-hari, dengan mengamalkan perintah-perintah Tuhan dan menjauhi larangan-larangan-Nya akan mengantarkan seseorang menjadi manusia yang bertakwa. Manusia yang beriman dan bertakwa merupakan perwujudan dari manusia paripurna, yang memiliki keseimbangan dalam kehidupan lahir dan batin, dunia dan akhirat. Kehidupan manusia yang dilandasi dengan kehidupan iman dan takwa, merupakan kehidupan bersifat religius atau bersifat spiritual. Dalam perkembangan selanjutnya, kehidupan yang bersifat religius dan spiritual itu akan berkembang di tengah masyarakat menurut keyakinan agama dan kepercayaan yang berbeda-beda. Masing-masing pemeluk agama, mengembangkan kehidupan spiritualnya menurut ajaran agama yang dipeluknya dan sesuai dengan bimbingan dari kitab suci yang diyakininya. Keyakinan dan kepercayaan yang dimiliki manusia, pasti terdapat persamaan-persamaan di samping perbedaan antara satu kelompok dengan kelompok lain, bahkan antara pribadi dengan pribadi lainnya. Perbedaan diantara mereka tidak saja terjadi di kalangan mereka yang berbeda agama, tetapi juga terjadi perbedaan-perbedaan itu meskipun dalam satu agama, bahkan dalam satu madzhab agama. Keadaan seperti itu, merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari. Karena itu, dengan akhlak dan budi pekerti, manusia akan diarahkan untuk mengambil persamaan-persamaan dan memahami terhadap perbedaan-perbedaan yang dijumpainya, satu dengan lainnya bersifat toleran, saling mengerti dan saling bertenggang rasa. Dengan sikap demikian, maka akan terjalinlah suatu masyarakat yang saling menghormati, saling mengasihi dan mengembangkan kehidupan spritual, sesuai dengan agama dan keyakinannya masing-masing. 5.1.2. Menghargai Kehidupan Kehidupan dan kematian merupakan dua peristiwa yang pasti dialami oleh semua makhluk hidup, berdasarkan ketentuan hukum alam yang ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan, Dia-pulalah yang melindungi dan memberikan rizki kepada semua makhluk-Nya. Kehidupan yang dikaruniakan Tuhan kepada kita, merupakan suatu anugerah yang sangat luhur, karena itu, harus memperoleh penghargaan yang tinggi dari setiap diri manusia. Menghargai kehidupan, dilakukan dengan memanfaatkan hidup atau usia yang kita miliki untuk melahirkan karya-karya besar yang spektakuler yang bermanfaat bagi manusia secara umum dan bermanfaat bagi alam semesta. Setiap diri manusia harus memanfaatkan waktu-waktu yang dimilikinya untuk beribadah, menuntut ilmu, bekerja keras secara terprogram dan melakukan berbagai aktifitas yang berguna. Sebagian dari langkah yang sangat baik dalam menghargai kehidupan dapat diwujudkan dalam hal berikut ini: (1) mensyukuri karunia Tuhan, yang
99
dianugerahkan kepada kita, kedua orang tua, para pendahulu kita, dan kepada bangsa dan negara. Karunia dan nikmat Tuhan yang diberikan kepda makhlukNya amat banyak tidak mungkin dapat dihitung secara matematis. Bahkan apabila Anda mencoba menghitung nikmat itu, pasti tidak mampu menghitungnya, meskipun menggunakan mesin-mesin hitung yang sangat canggih. Karunia dan nikmat Tuhan selalu dirasakan dalam segala aspek dari kehidupan manusia, sejak ia lahir, dibesarkan oleh orang tuanya dengan penuh kasih sayang, kemudian memasuki masa balita, kanak-kanak, remaja, sampai usia dewasa. Sampai nanti pada saat manusia kembali menghadap Khaliknya ia memperoleh karunia yang tidak henti-hentinya. Karunia dan nikmat Tuhan, dirasakan oleh manusia secara lahir dan batin, nikmat yang besar dan agung, demikian juga nikmat-Nya yang lembut dan halus. Langkah berikutnya, (2) bekerja keras secara baik dan terprogram, agar dapat melahirkan karya-karya besar yang bermanfaat bagi sesama umat manusia dan makhluk lain. Kerja keras itu, terdiri atas terus menerus mencari ilmu dan menambah pengetahuan sehingga terwujud life long education atau pendidikan seumur hidup, karena dengan ilmu pengetahuan itulah manusia akan menuju langkah yang benar dalam melaksanakan aktifitasnya. Bekerja secara profesional, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, sehingga pekerjaan yang ditekuninya akan dapat ditangani dengan baik, sesuai dengan profesinya. Harus dihindari sistem bekerja yang amburadul, seperti digambarkan seorang nenek tua yang siang harinya bekerja menenun kain, setelah tenunan itu teguh, malam harinya diuraikan kembali, benangnya satu persatu, sehingga pekerjaannya tidak pernah selesai. Agar meraih kesuksesan yang maksimal dalam bekerja keras yang terpola itu, hendaknya dibarengi dengan rasa tanggung jawab yang kuat, sehingga dapat melahirkan hasil yang diharapkan. Pekerjaan yang tidak disertai dengan tanggung jawab akan mengalami kegagalan bahkan kerusakan. Pekerjaan harus dilakukan dengan tidak mengenal menyerah atau putus asa, meskipun menghadapi berbagai rintangan yang amat menyulitkan, atau bahkan menjumpai kegagalan. Kegagalan jangan diangap sebagai suatu yang menghalangi usaha kita, justru harus diterapkan bahwa kegagalan itu sesungguhnya merupakan awal kesuksesan apabila dikelola dengan cara yang baik. Tantangan dan rintangan disadari sebagai suatu hal yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Karena itu, harus disikapi sebagai suatu pendorong untuk bekerja lebih keras dan sungguh-sungguh, sehingga mencapai hasil yang maksimal. Menjalin komunikasi dengan relasi dan para nasabahnya dengan akhlak yang luhur dan pendekatan yang simpatik akan mengantarkan seseorang pada kesuksesan dalam mengembangkan usaha dan profesinya. Termasuk dalam hal ini adalah bagaimana kemampuan seseorang untuk memperkenalkan hasil produksinya, memasyarakatkan company profile dari perusahaannya dan keuntungan-keuntungan yang diperoleh oleh karyawan dan nasabahnya. Dengan mengembangkan citra perusahaan yang professional dan mendatangkan manfaat
100
bagi sesama, akan memperoleh dukungan yang besar dan perhatian yang simpatik dari masyarakat. 5.1.3. Membangun Citra Diri Citra diri seseorang ditegakkan dan ditentukan oleh kualitas pribadinya, sikapnya, kepribadiannya, seperti kejujuran, keadilan, rajin, tanggung jawab, disiplin, dan sikap santun, serta toleran. Setiap orang perlu juga melihat kapasitas, kemampuan dan bakat dirinya, sehingga ia dapat memilih profesi yang tepat dengan bakat dan kemampuannya. Bekerja di luar bakat dan kemampuannya akan mengalami kesulitan, bahkan kegagalan. Karena itu, manusia terlebih dahulu harus mengenali dirinya secara baik, apa kelebihan-kelebihan yang dimilikinya, apapula kekurangannya. Setelah pengenalan diri dikuasai dengan baik, maka ia melanjutkan aktifitasnya dengan memilih profesi yang tepat dengan kapasitas, kemampuan dan bakatnya. Sebagai seorang professional, ia harus meneliti dan mengamati secara tajam, dalam kehidupan masyarakatnya, betapa banyaknya kegagalan yang dialami seseorang, disebabkan ia tidak mengenali dirinya sendiri secara baik. Nilai citra diri seseorang memiliki pengaruh yang signifikan dalam kehidupan sosial dan aktifitas masyarakat. Relasi dan mitra usahanya akan menilai secara teliti terhadap citra yang dimiliki oleh rekannya. Apabila citranya baik, maka mitra usahanya akan memberikan kepercayaan yang penuh dan akan selalu berusaha untuk bekerja sama dengannya. Sebaliknya apabila citra dirinya buruk, maka akan dipandang oleh mitranya dengan sebelah mata, sehingga usahanya tidak akan meraih kesuksesan. 5.1.4. Kehidupan Sosial Budaya Selain berfungsi sebagai makhluk pribadi, manusia juga berfungsi sebagai makhluk sosial dan budaya, hal ini ditandai dengan suatu kenyataan bahwa manusia selalu membutuhkan orang lain untuk melakukan interaksi dalam hidup dan kehidupannya. Keadaan seperti ini merupakan fitrah manusia yang dianugerahkan oleh Tuhan, yang telah disiapkan dalam kehidupan alam semesta. Dalam berinteraksi dengan sesamanya, terjadi antara dua orang atau lebih, masing-masing pihak memiliki kepentingan, ada yang sama, ada pula yang berbeda. Interaksi sosial akan terjalin secara baik dan seimbang, serta saling menguntungkan, apabila masing-masing pihak saling mengerti dan memahami serta bertenggang rasa di antara sesama mereka. Akhlak dan budi pekerti memiliki peran yang sangat penting dalam mengatur kehidupan sosial budaya yang terjalin di tengah masyarakat, akhlak dan budi pekerti berisi nilai-nilai yang harus menjadi pedoman bagi setiap anggota masyarakat, seperti nilai kebersamaan, tolong-menolong, keadilan, kejujuran, keindahan, dan sebagainya. Secara naluri yang murni, setiap orang mencintai nilai-nilai kebaikan, keindahan, dan nilai-nilai lain yang terpuji, sebagaimana disebutkan di atas. Bagaimana bersikap terhadap orang lain, ukurannya adalah diri kita sendiri. Apabila kita merasa senang
101
terhadap kebaikan orang lain, maka orang lainpun merasa senang terhadap kebaikan yang kita lakukan. Sesuatu yang tidak menyenangkan bagi kita, pasti tidak menyenangkan juga bagi orang lain. Nilai-nilai kebaikan itu, dalam kehidupan sosial budaya, direalisasikan dalam kehidupan yang nyata. 5.1.5. Kehidupan Keluarga Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang saling terikat dengan perkawinan dan keturunan, ia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Wujud masyarakat, baik kecil maupun besar terdiri atas kumpulan antara keluarga satu dengan keluarga lainnya. Karena itu, peranan keluarga sangat menentukan dalam pembentukan suatu masyarakat yang berperadaban. Apabila keluarga-keluarga dalam masyarakat itu baik, maka otomatis masyarakat itupun akan menjadi baik. Interaksi dalam kehidupan keluarga sangat intensif, apabila dibandingkan dengan interaksi sosial budaya secara umum. Hal ini adalah wajar, karena keluarga lingkungannya sangat terbatas, waktu beradaptasi dalam mengatur hubungan keluarga juga berlangsung cukup lama, dan masing-masing anggota keluarga memiliki hubungan yang sangat erat, karena disatukan oleh hubungan pernikahan dan pertalian darah. Ayah dan ibu sebagai kepala keluarga memiliki hak dan kewajiban serta pertanggungan jawab untuk membentuk keluarga yang sejahtera. Orang tua merupakan nara sumber bagi pengetahuan untuk anak-anaknya dan sekaligus sebagai memberikan pendidikan yang pertama kali kepada anak mereka. Kehidupan orang tua dalam berinteraksi dengan anakanaknya maupun dengan keluarga yang lain, membentuk budaya komunikasi yang intensif dalam suatu keluarga. Berjalan secara baik atau mugkin terjadi kemandekan dalam berkomunikasi, akan sangat ditentukan oleh contoh dan teladan dari kedua orang tua tersebut. Dalam perkembangan lebih jauh, anak dari keluarga itu akan berinteraksi dengan pihak luar, baik melalui pergaulan dengan teman-temannya, melalui media komunikasi baik cetak maupun elektronik, sehingga mereka memperoleh pengalaman dan pengetahuan baru yang lebih luas. Pengetahuan dan pengalam yang baru yang telah dimiliki anak-anak itu akan beradaptasi dengan pengalaman dan pengetahuan yang mereka peroleh dari kehidupan keluarga. Tentu mereka akan menjumpai persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan antara kehidupan keluarga dan kehidupan maysrakat di luar keluarganya sendiri. Di sini, peran orang tua sangat menentukan untuk dapat membimbing mereka dengan baik, berlaku bijaksana, berlatih untuk dapat membedakan yang baik dan yang buruk sekaligus diarahkan agar anak-anak itu dapat mewujudkan kebaikan tersebut dan menghindari perbuatan yang buruk dan tercela. Keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat, menjadi media yang sangat signifikan dalam membudayakan nilai-nilai akhlak dan budi pekerti yang terpuji. Perilaku orang tua yang bersikap jujur, adil terhadap anak-anaknya, amanah, bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, dan berusaha menciptakan keharmonisan, akan sangat berpengaruh dalam pembentukan perilaku anak dan keteladanan dalam berkeluarga. Anggota keluarga akan selalu
102
menjadikan orang tuanya sebagai panutan dan contoh dalam hidup dan kehidupannya. Dalam kehidupan keluarga tentu tidak selamanya mulus, mungkin ada kekeliruan dan kesalahan, baik yang dilakukan oleh orang tua maupun anakanaknya. Dalam menghadapi hal ini, orang tua harus bersifat fair, demikian juga anak-anaknya dilanjutkan dengan suatu kebiasaan untuk saling mengingatkan, agar tidak terjerumus dalam kesalahan-kesalahan di masa yang akan datang. 5.1.6. Kehidupan Masyarakat Masyarakat baik besar maupun kecil, merupakan kumpulan keluargakeluarga yang satu dengan yang lainnya saling terikat. Intensif atau tidaknya hubungan dalam suatu masyarakat, sangat bergantung pada masing-masing kepentingan dari anggotanya. Masyarakat perkotaan memiliki hubungan yang berbeda dengan masyarakat pedesaan, karena kepentingan masing-masing mereka berbeda. Ada sebagian masyarakat yang nampak kehidupannya lebih bersifat individualistik, padahal sebetulnya tidak demikian, mereka tidak individualistik, itu dibuktikan dengan kepedulian mereka teradap masyarakat pada umumnya. Terlihat individualistik hanya karena mereka memiliki kesibukan yang lebih padat dari masyarakat yang tinggal di pedesaan ataupun masyarakat kota yang tidak memiliki banyak kesibukan. Baik masyarakat perkotaan, masyarakat elit maupun masyarakat pedesaan, pada dasarnya memiliki kepentingan untuk melakukan interaksi dengan sesamanya, karena satu sama lain saling membutuhkan. Karena itu, betapapun sibuknya anggota masyarakat, hendaklah ia menyediakan sebagian waktunya untuk dapat bergaul dengan lingkungan masyarakatnya dan mengambil bagian-bagian tertentu untuk mengembangkan solidaritas sosial dan kemanusiaan. Hubungan dan solidaritas sosial merupakan sarana untuk menjalin hubungan yang harmonis antara sesama anggota masyarakat. Saling mengerti dan memahami tentang perbedaan kesibukan, perbedaan profesi dan perbedaan pendidikan dan kemampuan, merupakan hal yang sangat penting untuk menjalin kehidupan bermasyarakat. Dengan saling memahami dan mengerti tentang status dan kedudukan masing-masing pribadi, akan berdampak pada timbulnya tenggang rasa yang tinggi, sehingga persatuan dan persaudaraan akan terujud secara alami dalam kehidupan mereka. 5.1.6.1. Hubungan Baik antarTetangga Hubungan baik antar tetangga sering disebut dengan istilah silaturrahim. Istilah ini berasal dari dua suku kata, yaitu shilah yang artinya hubungan dan rahim, yang artinya kasih sayang. Dengan demikian, silaturrahim mengandung makna hubungan kasih sayang yang terjalin berkelindan, antar tetangga dan antar anggota masyarakat. Tetangga merupakan kelompok yang paling penting dalam kehidupan masyarakat, karena merekalah yang paling dekat dengan lingkungan kita. Segala hal yang terjadi dalam lingkungan kita, baik yang menyenangkan ataupun yang menyedihkan, selalu meminta bantuan kepada tetangga. Kita mungkin punya saudara yang tinggal di tempat yang jauh, saudara kita itu tidak mungkin dapat dimintai bantuan secara cepat dan mendadak. Melihat kenyataan
103
ini, maka hubungan kasih sayang sesama tetangga dalam suatu msyarakat menjadi sangat penting. Dalam kehidupan modern yang disebut tetangga, tidak saja orang-orang yang tinggal dekat dengan rumah kita, seperti konsep tetangga pada masa lalu, tetapi konsep tetangga sekarang menjadi makin luas. Hal ini disebabkan terjadi kemajuan yang luar biasa di bidang teknolgi informasi, transportasi, hubungan profesi dan sebagainya. Tetangga kita dapat juga berupa teman-teman kantor kita, meskipun tinggalnya berjauhan. Termasuk dalam kategori tetangga ini adalah teman-teman seprofesi, teman dalam suatu organisasi, teman dalam berolah raga, dan teman sejawat. Silaturrahmi antar tetangga tidak hanya dilakukan dengan saling berkunjung, tetapi juga dilakukan dengan sikap yang ramah dan simpati, memberi perhatian dan bantuan kepada tetangga pada saat mereka menghadapi kesulitan, saling berpesan tentang kebaikan dan kesabaran, saling ingat mengingatkan agar tidak terjerumus dalam perbuatan yang tercela. 5.1.6.2. Kepedulian Sosial Setiap diri manusia pada dasarnya memiliki kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangannya. Ada diantara mereka yang memiliki kelebihan di bidang materi, tetapi memiliki kekurangan di bidang lainnya. Ada diantara mereka yang tidak memilki kelebihan materi, tetapi memiliki kelebihan dalam mental dan spiritual. Berdasarkan kenyataan ini, sesama umat manusia harus memiliki kepedulian sosial yang tinggi dalam rangka memberikan sesuatu yang dimiliknya kepada orang lain dan sekaligus ia pun memperoleh sesuatu yang tidak dimilikinya dari orang lain yang memilikinya. Orang-orang fakir miskin tidak memiliki kekuatan ekonomi, tetapi ia memiliki banyak waktu dan tenaga yang dapat diberikan kepada orang lain yang membutuhkannya. Dengan kepedulian sosial, akan terjalin suatu masyarakat yang penuh rahmat dan berkah, ditandai dengan hilangnya atau makin mengecilnya jurang pemisah antara kaum kaya (the have), dan kaum miskin (the have not). Terbentuklah suatu masyarakat yang sangat harmonis, mereka yang kuat dan kaya melindungi yang lemah dan miskin, mereka yang miskin dan lemah menghormati yang kuat dan kaya, saling mewujudkan kebaikan dan kemashlahatan, saling mencegah segala macam perbuatan keji dan tercela. Kepedulian sosial merupakan aktifitas yang bersifat suka rela, yang tidak dapat dipaksakan, akan tetapi tumbuh dan berkembang dari kesadaran yang tulus untuk memberikan sebagian yang dimilikinya kepada orang lain yang amat membutuhkan. Wujud kepedulian itu dapat berupa bantuan ekonomi, keuangan, berbagi ilmu dan pengetahuan, berbagi pengalaman dan memberikan nasehat-nasehat yang diperlukan oleh masyarakat. 5.1.6.3. Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Dalam perkembangan selanjutnya, masyarkat yang terdiri atas kumpulankumpulan keluarga, tumbuh makin luas menjadi suatu bangsa. Bangsa merupakan kumpulan dari masyarkat yang bersatu dalam rangka melindungi kepentingankepentingannya yang tidak mungkin dapat di atasi oleh suatu kelompok saja.
104
Manusia yang merupakan bagian dari masyarakat, tidak dapat terlepas dari kondisi wilayah yang didiaminya. Tata cara kehidupan manusia, seperti cara berpikir, cara bergaul dan cara hidupnya, akan selalu dipengauruhi oleh konstalasi eilayah, seperti bentuk, letak, iklim, dan sumber daya alam yang ada. Bangsa dan negara melindungi warga dengan berbagai budaya, adat, kebiasaan, agama, karakter dan sebagainya. Selain untuk mewujudkan kepentingan bersama dari warga negara, bangsa juga menetapkan suatu identitas nasional yang mempersatukan perbedaanperbedaan yang terjadi diantara warganya. Setiap warga negara harus memperoleh keadilan dan persamaan hak untuk memerankan dirinya dalam komunitas nasional. Perbedaan-perbedaan dengan segala macam dan coraknya yang berada dalam Negara Indonesia, yang dihuni oleh ratusan juta penduduk, ribuan pulau dan suku memiliki potensi, baik potensi yang menguntungkan ataupun potensi yang merugikan. Potensi yang menguntungkan, misalnya apabila kemampuankemampuan yang dimiliki rakyat dapat dipersatukan dan digalang sedemikian rupa, sehingga menghasilkan karya-karya besar yang bermanfaat bagi warga negara dan bangsa-bangsa lain. Potensi yang tidak menguntungkan dapat terjadi dengan perbedaan suku bangsa wilayah, ras, adat, agama, apabila tidak dapat dimanage dengan baik, dapat menimbulkan konflik kepentingan yang dapat menjurus pada kerusuhan sosial. Spirit persaudaraan dan persatuan merupakan modal dasar yang sangat potensial bagi bangsa dan Negara Indonesia agar terjamin eksistensi dan keutuhan wilayahnya. Semangat itu telah dirintis sejak masa perjuangan sebelum Indonesia mencapai masa kemerdekaan sampai menjelang kemerdekaan dan sesudahnya. The Founding Father atau para pendiri negara kita, yang telah berjuang dengan penuh semangat dan ketulusan yang maksimal dan kemampuan yang luar biasa, mereka telah merumuskan bentuk negara, dasar negara, serta arah dan tujuan yang harus dicapai. Rumusan itu tel;ah disipakan selama ratusan tahun dengan melalui berbagai pertemuan, permusyawaratan, konggres, muktamar, sampai menjelang detik-detik waktu datangnya kemerdekaan bangsa kita. Berdasarkan perjuangan yang sungguh-sungguh dan kegiatan yang sangat tabah, dengan mengakomodasi kearifan lokal dan kearifan internasional, terbentuklah Negara kesatuan Indonesia dengan dasar Negara Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Pondasi untuk mewujudkan Negara Indonesia modern yang akan meraih kemajuan di mas yang akan datang, telah ditegakkan oleh para petinggi negara. Namun demikian, nasib bangsa kita di masa depan akan ditentukan oleh generasi penerusnya. Apabila generasi penerus itu merupakan generasi berkualitas, memahami dan memperjuangkan apa yang telah dicetuskan oleh para pendiri negara, maka negara yang tercinta ini akan mencapai kemajuan yang gemilang, sejajar dengan negara-negara lain telah meraih kemajuan. Sebaliknya, apabila generasi penerus kita, menjadi generasi yang lemah dan tidak berkualitas, dan hanya menjadi generasi hasil generasi sebelumnya, maka bangsa negara kita
105
memiliki masa depan yang suram yang akan menjadi makanan negara-negara lain dan menjadi bahan tertawaan mereka. Agar mencapai kesatuan dan persatuan bangsa dan Negara Indonesia, diperlukan kesadaran bagi setiap warga negara untuk berpikir dan melihat masa depan, dengan memenage perbedaan-perbedaan yang ada sebagai suatu kekuatan, dan memanfaatkan potensi yang dimiliki negara untuk kejayaan dan kesejahteraan rakyat. Negara telah memfasilitasi seluruh lapisan masyarakat melalui berbagai sarana seperti dasar negara Pancasila, bahasa nasional (Bahasa Indonesia), dan hukum nasional yang memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada warga negara. Pancasila sebagai dasar negara, sekaligus sebagai ideologi dan falsafah hidup Bangsa Indonesia mengandung ajaran yang sangat luhur, yang dapat menciptakan kehidupan sosial yang harmonis. Kesadaran dan kesungguhan setiap warga negara dalam mengaplikasikan nilai-nilai luhur yang digali dari budaya kita tersebut, merupakan modal dasar bagi terbentuknya bangsa dan negara yang dicita-citakan. Sebagai bangsa dan negara yang terbuka, serta terletak di posisi yang strategis di tengah percaturan dunia, maka tantangan yang dihadapi tidak hanya datang dari dalam, tetapi juga datang dari luar. Arus informasi dan komunikasi global yang berkembang melalui media cetak dan elektronik, terus menyerbu segala aspek dari kehidupan bangsa dan negara. Telah disadari secara seksama bahwa pengaruh dari luar itu tidak semuanya baik, tetapi juga banyak pengaruhnya yang tidak baik. Untuk menghadapi kenyataan ini, setiap diri Bangsa Indonesia harus dapat membekali dirinya dengan suatu kemampuan yang sangat cerdas untuk dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang terpuji dan mana yang tercela, sekaligus dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Budaya dan peradaban terus berkembang dengan pesat baik perkembangan dari dalam maupun dari luar, termasuk yang menimbulkan ekses negative, karena itu diperlukan upaya secara sadar dan terpola dengan baik agar perkembangan kebudayaan dan peradaban bangsa tetap menjunjung tinggi nilai etika dan estetika yang diajarkan oleh akhlak yang terpuji. Meningkatnya kasus-kasus kejahatan di tengah masyarakat dengan berbagai jenisnya hendaknya dijadikan pelajaran untuk melakukan antisipasi yang tepat bagi perkembangan masa depan, dengan demikian kejahatan-kejahatan itu tidak terulang kembali. Masyarakat umum dan rakyat kecil, pada umumnya selalu mengambil contoh dari perilaku para elit politik dan para pemimpinnya. Apa yang dilakukan mereka, secara cepat langsung ditiru oleh rakyatnya. Pada saat pemimpinpemimpin mereka mengenakan baju batik atau mengendarai sepeda, penggunaan baju batik dan bersepeda langsung berkembang di masyarakat kecil. Demikian juga, apabila para pemimpinnya memamerkan kehidupan yang serba glamour dan mengarah kepada hedonisme dan konsumtivisme, maka pasti akan ditiru oleh rakyatnya. Memperhatikan kenyataan itu, maka para elit politik dan para
106
pemimpin memiliki peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi dan membentuk perkembangan dan peradaban bangsa. Keteladanan para pemimpin merupakan wujud yang nyata bagi pembentukan masyarakat yang baik dan berperadaban yang tinggi. 5.2. Akhlak dalam Masyarakat Majemuk dan Global 5.2.1. Menggalang Potensi dan Memanage Perbedaan Masyarakat di Indonesia seperti juga masyarakat lain di seluruh dunia, merupakan masyarakat majemuk dan global, terdiri atas berbagai macam ras, suku, agama, golongan, adat istiadat yang berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan dari sumber kepercayaan, keyakinan, ajaran, adat istiadat, etika, dan moral. Perbedaan itu seharusnya diarahkan untuk mendatangkan manfaat yang besar, misalnya: (1) berlomba untuk mewujudkan kebaikan, (2) mengembangkan saling pengertian, (3) mengembangkan pemahaman terhadap kelompok lain, (4) mengembangkan toleransi, (5) mengembangkan kelapangan dada dalam menghadapi perbedaanperbedaan yang terjadi. Setiap kelompok dan golongan serta para pemeluk agama hendaknya tidak mempersoalkan perbedaan diantara mereka, tetapi justru diarahkan agar saling belomba untuk berbuat kebajikan antara sesama. Misalnya, membantu para fakir miskin, mengusahakan tempat-tempat pendidikan bagi rakyat miskin, menyantuni dan mengelola anak-anak yatim-piatu, melakukan pengelolaan pendidikan suku terasing, dan berbagai kebajikan lain. Mengembangkan saling pengertian, dilakukan dengan memahami secara baik terhadap filsafat kehidupan dari kelompok atau sukunya, memahami agamanya dengan baik, dan mengerti keyakinan yang dimiliki orang lain. Hal ini dikembangkan juga untuk menumbuhkan saling pengertian di dalam kelompok dan agamanya masingmasing. Karena, konflik yang sering terjadi bukan saja disebabkan oleh antar suku atau antar agama tetapi juga terjadi dalam suku dan agama yang sama. Misalnya, permusuhan antar golongan dan sekte dalam satu agama. Mengembangkan pemahaman terhadap kelompok lain maksudnya, kita saling menyadari bahwa kita memiliki kepercayaan yang kita yakini dan orang lain pun memiliki kepercayaan yang diyakininya juga. Apabila keyakinan kita tidak mau diusik orang lain maka kita pun tidak boleh mengusik keyakinan orang lain, biarkan keyakinan itu berkembang secara alami dan berkembang menurut tuntunan yang diyakininya. Mengembangakan toleransi (tasamuh), hendaknya kita tidak merasa keberatan dengan pandangan orang lain yang berbeda dengan kita. Dengan demikian, tidak terjadi saling memaksa antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, dalam hal keyakinan dan kepercayaan. Mengembangkan kelapangan dada, dilakukan dengan sikap toleransi yang sangat luas sehingga dada kita selalu lapang dan tidak sempit dalam menyikapi berbagai perbedaan, baik berupa keyakinan, kepercayaan, adat istiadat dan filsafat hidup.
107
Sesungguhnya dalam perbedaan-perbedaan yang disebutkan di atas banyak dijumpai persamaan-persamaan, bahkan perbedaannya amat sangat sedikit. Akhlak dan budi pekerti terpuji, misalnya bersifat universal dan banyak persamaan-persamaan bukan saja dalam suatu bangsa, bahkan persamaan itu banyak dijumpai juga dalam bangsa-bangsa lain. Berbakti kepada orang tua misalnya, berbuat baik kepada sesama, menegakkan sopan santun, pergaulan yang ramah, penerimaan yang simpatik, dan lain sebagainya merupakan suatu contoh akhlak yang bersifat universal yang diakui oleh berbagai lapisan masyarakat. Secara umum, akhlak yang harus diterapkan dan diaplikasikan dalam masyarakat global adalah selalu memperhatikan sikap terhadap orang lain sebagaiman sikap terhadap kita sendiri. Tidaklah beriman salah satu diantara kita, sehingga kita mencintai orang lain sebagaimana mencintai diri kita sendiri. Yang amat perlu diwaspadai dalam kehidupan masyarakat adalah menonjolnya kepentingan politik pribadi, kepentingan ekonomi dan memperebutkan kedudukan dengan mengatasnamakan agama atau suku tertentu. Hal ini sering dilakukan oleh oknum-oknum tertentu dengan tujuan supaya mendapat dukungan yang luas. Dengan demikian, oknum itu telah menyalahgunakan agama atau suku tertentu untuk kepentingan dirinya, dalam rangka memperoleh kedudukan, meraih kehidupan ekonomi dan kemewahan duniawi. Berbagai pertikaian terjadi di tanah air kita dan di seluruh dunia, yang mengatasnamakan agama, sebenarnya adalah berdasarkan pada kepentingan pribadi. Tidak ada konflik dan kerusuhan yang disebabkan secara murni oleh ajaran agama. Yang ada oknum-oknum tertentu atau kelompok tertentu yang menggunakan sentimen agama untuk kepentingan dirinya dan kelompoknya. Semua agama mengajarkan pemeluknya agar berbuat baik antar sesama, menegakkan keadilan, dan menjunjung tinggi kemanusiaan. Mengapa orang-orang dan kelompok tertentu sering mengkambinghitamkan agama untuk melakukan tindakan makar, hal ini dilakukan dengan tujuan supaya perjuangannya yang di dasarkan pada kepentingan pribadi dan golongan supaya mendapat dukungan yang luas. Apabila ia berjuang, si A misalnya, dengan mengatasnamakan dirinya sendiri siapa yang akan mendukungnya. Tetapi begitu mengatasnamakan agama, dengan segera mendapat dukungan yang luas dan bersifat fanatik. Masyarakat dunia harus cepat disadarkan mengenai perilaku menyimpang ini, agar tidak tertipu oleh orangorang yang berkecenderungan merusak peradaban yang luhur. Penerapan akhlak dan budi pekerti dalam masyarakat majemuk dan global merupakan tanggung jawab yang harus ditegakkan oleh setiap diri manusia yang menghendaki kedamaian dan kemuliaan dalam masyarakat global.
108
5.3. Akhlak dalam Kehidupan Akademik dan Profesi 5.3.1. Akhlak dalam Kehidupan Akademik Akademik menurut pengertian sederhana adalah suatu yang berhubungan dengan kegiatan ilmiah; bersifat ilmu pengetahuan; bersifat teori. (KBBI, 2002: 16). Dengan demikian, kehidupan akademik menunjukkan ciri-ciri kehidupan tertentu dalam berpikir dan bersikap. Ciri pemikiran tersebut bersifat kritis, sistematis, kreatif, dan objektif yang didasarkan pada sikap rasional dan filosofis. Dalam kehidupan akademik akhlak dan budi pekerti mewarnai nuansa keilmuan dan istilah yang biasa dipergunakan adalah etika keilmuan. Etika keilmuan menurut Irmayanti M. Budiyanto, etika keilmuan memiliki prinsip etis yang berlandaskan pada apa yang harus dilakukan dalam ilmu pengetahuan dan apa yang secara normatif harus dilakukan seorang ilmuwan. Dalam etika keilmuan tersebut, keharusan moral merupakan persoalan pokok yang mengacu pada elemen kaidah moral, yaitu (1) hati nurani, (2) kebebasan dan tanggung jawab, (3) nilai dan norma yang bersifat kegunaan. (Munjilan, 2007: 107). Perilaku manusia baik yang nampak maupun yang tersembunyi semuanya bersumber pada hati nuraninya. Apabila hati nuraninya baik dan jernih akan memancarkan kebaikan dan perilaku yang terpuji, sebaliknya apabila hati nuraninya ternoda akan memancarkan perbuatan yang buruk dan tercela. Karena itu, hati nurani merupakan penentu bagi perilaku seseorang. Hati nurani diibaratkan seperti cermin, sebagai cermin ia dapat menjadi sangat kotor sehingga orang yang bercermin padanya tidak dapat melihat raut mukanya dengan jelas. Sebaliknya apabila cermin itu sangat bersih, hingga orang yang bercemin kepadanya sangat jelas. Jernih atau keruhnya cermin tersebut sangat ditentukan oleh pemiliknya (manusia), apakah ia rajin membersihkannya atau membiarkannya kotor dan ternoda. Hati nurani selalu berkaitan dengan kesadara manusia dan terkait dengan perilakunya. Dengan hati nurani manusia dapat mengenali dirinya dan mengenali orang lain dengan baik. Seorang ilmuwan dalam melakukan aktifitas ilmiahnya harus dapat menghayati dan sekaligus membedakan antara yang baik dan terpuji atau yang buruk dan tercela, merealisasikan yang terpuji itu, serta menolak yang buruk atau tercela. Seorang ilmuwan memiliki kebebasan dalam menggunakan paradigma yang diingininya, bebas melakukan objek penelitian, demikian juga metodologinya. Namun demikian, kebebasan itu selalu terbatas karena ditentukan oleh beberapa faktor, misalnya aturan-aturan dalam suatu institusi, sumber dana, dan kemampuan intelektual yang terbatas. Ilmuwan harus pandai memilah dan memilih agar kebebasan yang dimilikinya menjadi sangat bermakna. Kebebasannya juga akan dikaitkan dengan tanggung jawabnya, kebebasan dan tanggung jawab merupakan dua hal yang tidak dapat diceraipisahkan. Kaidah berikutnya yang dimiliki para ilmuwan adalah nilai dan norma moral, nilai moral akan muncul dan beradaptasi dalam perilaku seseorang dengan nilai-nilai lain, seperti nilai agama, hukum, dan nilai budaya. Nilai moral selalu berkaitan dengan tanggunjawab seseorang dan sangat menentukan apakah seorang ilmuwan berlaku
109
baik atau buruk dari segi etis. Ilmu pengetahuan yang baik adalah ilmu yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat dan dapat mendatangkan kemaslahatan secara menyeluruh. 5.3.2. Kehidupan Profesi Pengembangan profesi yang dimiliki seseorang, merupakan suatu kegiatan yang terus menerus dilakukan dan berkesinambungan. Dalam pengembangan profesi yang dimiliki seseorang ditentukan juga oleh etika profesi. Etika ini akan sangat menentukan hasil dari profesi yang di kembangkan seseorang, apakah akan mendatangkan hasil yang baik atau kurang baik. Di samping ditentukan oleh SDM yang berkualitas, terampil dalam mengolah dan menguasai teknologi, tetap memerlukan pijakan dalam mengarahkan dan mengembangkan profesinya yang berkaitan dengan pengembangan moral dan sikap yang tepat serta bijaksana. Etika profesi merupakan bagian etika secara umum yang membahas secara khusus tentang etika yang berkaitan dengan profesi tertentu, misalnya profesi wartawan, insinyur, dokter, ahli sastra, ahli hukum, dan sebagainya. Dari profesi tersebut, sebagai suatu pekerjaan yang tetap, akan menghasilkan keuangan yang digunakan untuk kepentingannya dalam kehidupan sehari-hari. Tenaga professional selalu terkait dengan pemakai jasa dari aktifitas professionalitasnya, karena itu, ia layak memperoleh honor atau pembayaran yang seimbang dengan pekerjaannya. Keterkaitan seseorang professional dengan pemakai jasa atau klien, berdasarkan Surat Perjanjian Kerja (SPK) atau kontrak kerja yang telah disepakati bersama. Karena itu, tenaga professional harus melindungi kepentingan pemakai jasa atau kliennya. Selain terkait dengan kontrak kerja kedua belah pihak juga harus mempertimbangkan aspek-aspek moral dan perkembangan etis yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Kegiatan professional harus berdasarkan kepada kepentingan umum dan kepentingan pribadi. Kepentingan umum maksudnya bahwa aktifitas profesional itu tidaklah semata-mata sebatas sesuai dengan pembayaran, tetapi juga memiliki misi luhur yang bersifat pengabdian kepada masyarakat. Kepentingan pribadi maksudnya bahwa para pelaku profesional itu berhak memperoleh upah atau bayaran yang layak untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Pemenuhan kepentingan pribadi dan keluarga harus selalu diimbangi dengan kepentingan masyarakat yang lebih luas. Karena itu, seorang professional harus bersifat peka terhadap perkembangan dan kebutuhan yang tumbuh dalam masyarakat. Pengembangan selanjutnya, dari etika profesi adalah dirumuskanya mengenai kode etik profesi, sebagai kelanjutan etika profesi yang berlaku pada komunitas tertentu yang memiliki keahlian yang sama. Misalnya: kode etik kedokteran, kode etik jurnalistik, kode etik guru dan dosen, dan sebagainya. Kode etik profesi merupakan aturan-aturan yang jelas dan detail yang berkaitan dengan nilai dan norma yang diterapkan dalam profesi itu, termasuk persyaratan dan keterikatan yang bersifaat etis, yang harus ditaati oleh anggotanya. Apabila terjadi pelanggaran terhadap kode etik profesi, maka pelanggarnya dikenakan sanksi
110
sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam kode etik itu. Pengenaan sanksi terhadap para pelanggar kode etik, merupakan penegakkan disiplin dan pertanggung jawaban moral dalam dunia profesinya. Etika profesi menetapkan beberapa tujuan, diantaranya: (1) memberikan bimbingan pada anggota dalam suatu profesi tentang hal-hal yang baik, yang harus dilakukan dan hal-hal buruk yang harus ditinggalkan. (2) mengarahkan tumbuhnya kepedulian etis yang mendalam dan luas tentang perkembangan manusia yang terus berhadapan dengaan kemajuan ilmu dan teknologi. (3) memperluas wawasan para tenaga professional yang terikat pada profesi itu dalam pengambilan keputusan dan memperluas layanan umum, sesuai dengan profesi yang dikembangkannya. 5.3.3. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Tidak dapat disangkal bahwa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, telah memberikan manfaat yang besar dalam hidup dan kehidupan manusia. Manfaat itu berupa kemajuan dalam berbagai bidang seperti ekonomi, transportsi, akomodasi, informasi, komunikasi dan sebagainya. Sesuatu yang dulunya dianggap sulit, dengan sentuhan ilmu dan teknologi menjadi makin mudah. Jarak perjalanan yang mestinya ditempuh dengan waktu yang lama dapat ditempuh dengan waktu yang sangat singkat. Ketersediaan tempat tinggal yang mewah, kendaraan yang memadai, bahan makanan dan pakaian yang melebihi kecukupan, merupakan wujud dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun demikian, kemajaun sains dan teknologi juga mendatangkan efek samping yang merugikan manusia, seperti pencemaran udara, penggundulan hutan, kerusakan di darat dan laut, meningkatnya kemerosotan akhlak dan tingginya angka kriminalitas, serta berbagai efek samping lainnya. Untuk mengantisipasi dampak negatif dari ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan secara simultan dan bekesinambungan oleh seluruh kalangan secara bersungguhsungguh, dan harus selalu melakukan upaya untuk menegakkan akhlak dan budi pekerti yang luhur. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dan diterapkan secara bersungguh-sungguh adalah: 5.3.4.1 Kejujuran dalam Berbagai Aspek Kejujuran merupakan sikap terpuji yang harus dimiliki oleh setiap orang yang ingin meraih kesuksesan, baik pada masa kini maupun masa depan, termasuk para pelaku professional. Dengan demikian tidak akan terjadi hal-hal yang merugikan antara satu dengan yang lainnya. Antara para profesional dan kliennya, antara sesama anggota organisasinya dan berbagai pihak yang bersentuhan langsung dengan profesionalitas yang dikembangkan. Dengan sikap itu, tidak akan terjadi manipulasi data, pelanggaran hak intelektual, plagiat, komersialisasi kedudukan, penekanan terhadap para pekerja secara berlebihan dan tidak mungkin terjadi adanya pemaksaan dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Kejujuran amat dibutuhkan dalam segala aspek kehidupan manusia, apalagi yang bersentuhan dengan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Ilmu pengetahuanm, teknologi dan seni apabila tidak dikelola dengan kejujuran maka
111
akan menimbulkan dampak negatif dan bahaya yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, penyalahgunaan zat kimia untuk pemusnahan manusia secara masal (genosida), ekploitasi tenaga kerja secara berlebihan untuk kepentingan pemilik perusahaan, pemanfaatan kekayaan alam secara berlebihan dan tidak dibarengi dengan usaha pelestariannya kembali. 5.3.4.2. Kemashlahatan Umum Salah satu tujuan dari pengembangan sains, teknologi, dan seni adalah untuk mendatangkan kemashlahatan bersama dan kelestarian kehidupan alam semesta. Dengan cara ini, maka sains, teknologi, dan seni dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan yang diberi amanat untuk mengkelola alam semesta bagi semua makhluk. Peradaban yang luhur, akan dapat dilahirkan dari masyarakat yang menjunjung tinggi kemashlahatan umum serta melestarikan nilai-nilai luhur manusia. Kemaslahatan umum dapat terwujud dari ketaatan pada nilai-nilai etika dan kode etik profesi. Kepentingan berbagai pihak, termasuk kepentingan antara pelaku dan pengguna jasa harus diletakkan secara professional dan komprehensif, sehingga tidak bersifat setengah-setengah, yang baik untuk sebagian kelompok tetapi buruk untuk kelompok lain. Karena tujuan dari pengembangan sains, teknologi, dan seni adalah kemaslahatan umum, maka segala hal yang mengarah pada sesuatu yang membahayakan harus dihilangkan dan dihindari. 5.3.4.3. Berpikir Rasional dan Filosofis Salah satu cirri berpikir filosofis adalah berpikir secara kritis dan argumentatif. Berpikir kritis adalah suatu usaha berpikir yang sengaja dilakukan secara aktif, sistematis, argumentatif, mengikuti prinsip-prinsip logika serta mempertimbangkan sudut pandang untuk dapat memahami apakah sesuatu itu dapat diterima atau ditolak. Dengan berpikir rasional dan filosofis, akan mengantarkan seseorang bersikap arif, dan memiliki wawasan yang luas terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi manusia. Seseorang diharapkan mampu memecahkan permasalahan tersebut dengan cara mengidentifikasinya agar memperoleh jawaban-jawaban yang diusahakannya secara mudah. Selanjutnya berpikir filosofis juga dapat membentuk pengalaman kehidupan seseorang secara lebih kritis atas pandangan hidup, ide-ide yang muncul karena keinginannya. Berpikir rasional dan filosofis sangat diperlukan agar produk-produk pemikirannya benar-benar tepat, dapat dipertanggung jawabkan dan memberikan manfaat yang luas. 5.3.4.4. Bersikap Objektif Sikap objektif merupakan salah satu ciri dari sikap kalangan professional, karena itu pengembangan sains, teknologi dan seni harus diarahkan kepada kondisi yang objektif secara maksimal. Setiap kegiatan para professional itu harus dilakukan seobjektif mungkin, sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih menyelururh. Seorang dosen harus menilai mahasiswanya dengan objektif sesuai dengan kemampuaan mereka, tidak boleh mempertimbangkan karena kedekatan
112
mahasiswa dengna dosennya, karena hubungan kedaerahan atau (karena sikap subjektif lainnya). Seorang dokter, pada saat ia menuliskan resep untuk pasiennya harus bersikap objektif dalam menentukan obat, sesuai dengan kegunaannya, jangan mempertimbangkan tawaran dari peerusahaan-perusahaan obat tertentu yang menawarkan imbalan materi. Seorang Hakim harus menetapkan hukum secara objektif tidak boleh menetapkan hukum dengan cara subjektif sehingga keputusannya tidak adil, dan tidak diperkenankan juga untuk mengambil imbalan materi yang tidak halal dari aktifitas profesinya. 5.4. Akhlak dalam Pelestarian Lingkungan Hidup Akhlak dan budi pekerti mengantarkan manusia agar memahami secara sungguh-sungguh terhadap alam semesta dengan segala peristiwanya yang menakjubkan. Semua benda-benda alam tidak terpisah secara sendiri-sendiri, tetapi saling terkait dan berkelindan serta memiliki hubungan yang sangat erat. Pergerakan dan perkembangan alam terjadi secara beraturan dan bersifat seimbang. Melalui pendekatan akhlak dan budi pekerti alam dapat dibagi secara garis besarnya dalam lima tingkatan, yaitu: (1) alam mineral, (2) alam tumbuhtumbuhan (flora), (3) alam hewani (fauna), (4) alam insani (manusia), (5) alam ruhani. Masing-masing bagian dari alam tersebut memiliki kedinamisan, kebutuhan, dan kekuatan sendiri-sendiri dalam suatu tatanan yang sangat harmonis, satu dengan yang lainnya saling berhubungan. Sebagai gambaran dari keharmonisan hubungan antara benda-benda alam tersebut, dilukiskan oleh Rumi dalam suatu puisinya. Aku mati sebagai mineral dan menjelma tumbuh-tumbuhan Aku mati sebagai tumbuhan dan terlahir hewan Aku mati sebagai hewan dan kini menjadi manusia Suatu hari nanti, aku akan mati sebagai manusia, dan melambung bersama para malaikat.... (Robert Freger, 2003: 137) Dari puisi di atas, terungkap dengan jelas mengapa dan bagaimana hubungan antara benda-benda alam yang bersifat serasi dan seimbang. Kerena itu, dalam bimbingan akhlak, manusia diarahkan agar menjaga kelestarian alam secara sungguh-sungguh dan selalu berusaha untuk menghindari kerusakan dan pencemarannya. Akhlak dan budi pekerti diterapakan secara sungguh-sungguh terhadap lima kelompok alam tersebut. Dengan penerpan akhlak dan budi pekerti maka kelestarian alam dan lingkungan itu akan terjaga dengan baik. Manusia harus memiliki akhlak yang luhur terhadap alam tersebut dengan sikap yang santun serta melindungi, termasuk terhadap alam mineral sekalipun. Hindari suatu pandangan yang menganggap alam hanya semata-mata sebagai objek dari ambisi manusia modern melalui sains dan teknologinya. Mereka mendominasi dan mengeksploitasi alam secara tidak beradab untuk memenuhi tuntutan hawa nafsu yang terus meningkat dan tidak pernah merasa puas. Pandangan seperti itu akan merusak kelestarian alam, yang mengakibatkan dan menimbulkan keganasan
113
alamiah, dan alam itu sendiri menjadi hilang kemampuannya untuk memberikan sumber dayanya yang dermawan dan kaya dalam rangka mempertahankan keseimbangan ekologisnya. Demikian tingginya perhatian dan penghormatan orang yang memiliki akhlak yang luhur dan budi pekerti yang terpuji, yang sering disebut sebagai kaum sufi, mereka menempatkan alam dengan segala tingkatannya seperti dikemukakan di atas dengan sebutan jiwa (al-nafs). Mereka menyebutnya dengan jiwa mineral, jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa hewani, jiwa insani atau manusia dan jiwa ruhani. 5.4.1. Alam Mineral Semua alam mineral, baik padat, cair maupun gas, merupakan tingkatan alam yang lebih sederhana apabila dibandingkan dengan alam-alam lain yang memiliki daya yang lebih banyak seperti flora atau fauna. Alam mineral atau alam jamadi terdiri atas benda-benda mati dalam berbagai bentuk dan jenisnya, seperti benda padat, benda cair, dan gas. Sikap akhlak terhadap alam ini, hendaklah manusia memanfaatkannya dengan baik dan tidak merusak. Termasuk sikap akhlak kita terhadap benda mati hendaklah menempatkan benda itu pada proporsi yang sebenarnya, sesuai dengan fungsinya masing-masing. Manusia tidak boleh mengeksploitasi benda alam tersebut secara berlebihan dan menyimpang dari keserasian dan keteraturannya. Sikap manusia terhadap alam ini akan menimbulkan dampak yang baik atau buruk, tergantung perlakuan manusia terhadapnya. Apabila manusia berlaku baik, maka alam tersebut akan mendatangkan kebaikan. Sebaliknya apabila manusia melakukan kerusakan terhadapnya, maka akan membahayakan manusia itu sendiri. Ketidak seimbangan dalam alam mineral dapat membentuk dan menimbulkan keganasan secara alamiah. 5.4.2. Alam Nabati Alam nabati atau jiwa tumbuh-tumbuhan memiliki daya setingkat di atas alam mineral, yaitu daya makan, tumbuh, dan berkembang biak. Alam ini menjaga keseimbangan benda-benda alam lain secara keseluruhan. Manusia memanfaatkan alam ini untuk nutrisi, seperti makanan pokok, sayuran, buah dengan aneka macam jenis dan ragamnya. Kayunya dimanfaatkan untuk bahan bakar, bahan bangunan, mebeler, bahan untuk kapal laut dan pesawat terbang, serbuk kayu jenis tertentu dijadikan sebagai makanan pokok, seperti sagu dan aren. Sebagian jenis kayunya dapat menghasilkan minyak, seperti minyak kayu putih, minyak wangi yang diambil dari kayu cendana dan gaharu. Sebagian buahnya dapat dijadikan bahan energi, seperti jarak, dan tumbuhan lainya yang menghasilkan biodiesel, dijadikan minyak goreng (palem oil) seperti, kelapa dan kelapa sawit, serta aneka macam tumbuhan lain dari berbagai jenis tumbuhtumbuhan yang ada pada alam semesta. Penerapan akhlak terhadap tumbuh-tumbuhan, diarahkan agar manusia bersikap ramah terhadap alam tersebut, boleh memanfaatkannya dengan baik dan menjaga kelestariannya, seperti pelestarian hutan, pengembangan hutan bakau,
114
reboisasi, dan berbagai aktifitas lain yang dapat menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Bersikap ramah dan bersahabat bersama alam, termasuk alam tumbuh-tumbuhan dan alam mineral adalah dengan pemahaman yang baik, seolah-olah kita bersikap terhadap makhluk yang bernyawa. Manusia dituntut untuk menghormati proses-proses yang sedang tumbuh dan terhadap segala apa saja yang ada dalam alam. Akhlak kepada alam, mengantarkan manusia untuk memiliki tanggung jawab yang tinggi sehingga ia tidak melakukan perusakan terhadap alam. Atau dengan istilah lain "setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan terhadapan dirinya sendiri". Dengan demikian manusia yang berakhlak pasti tidak sejalan dengan pandangan sementara kelompok yang menganggap alam hanya semata-mata sebagai alat untuk kepentingan manusia belaka. Manusia harus membatasi diri dalam pemanfaatan alam dan tumbuh-tumbuhan dan tidak terjerumus dalam pemborosan yang berlebihan. Tidak ada kebaikan dalam pemborosan dan tidak ada pemborosan dalam kebaikan, gunakan segala sesuatu secukupnya. Salah satu bagian dari sikap akhlak terhadap alam tumbuh-tumbuhan adalah menghilangkan praktik penebangan hutan secara liar, yang lazim disebut illegal loging, menggalakkaan reboisasi dan pemeliharaan tumbuh-tumbuhan dengan baik. Karena itu, setiap orang yang menanam pohon merupakan sesuatu perbuatan yang terpuji dan mulia, karena pohon itu bermanfaat untuk oran lain, juga termasuk untuk hewan ternak dan bangsa burung. Betapa pentingnya pelestarian terhadap tumbuh-tumbuhan, sehingga agamapun sangat memperhatikannya. Dalam suatu riwayat dikisahkan ada seorang pengikut Nabi yang sangat setia, yang sangat rajin melakukan reboisasi dan menanam berbagai jenis tanaman. Di tengah-tengah kesibukan melakukan reboisasi, ia ditegur oleh beberapa orang dengan nada yang sinis: "Andakan seorang sahabat Nabi, mengapa Anda bersikap rakus dengan menanam berbagai tanaman, padahal seharusnya bersikap sederhana". Sahabat itu menjawab: "Janganlah kalian terburu-buru menyalahkan aku. Aku melakukan hal ini hanya mengikuti tuntunan Nabi: " Barangsiapa yang menanam tanaman lalu buahnya dimakan oleh manusia dan oleh makhluk lain, maka hal itu merupakan sedekah baginya". (al-Qardlawi, 1997: 178). Uraian di atas menginformasikan mengenai seorang yang salah memahami suatu kegiatan reboisasi dan bercocok tanam yang dilakukan oleh seorang sahabat Nabi, seolah-olah sahabat itu bersikap rakus terhadap kehidupan dunia, hingga ia mengatakan: "Mengapa kamu lakukan kegiatan rebosasi, padahal engkau seorang sahabat Nabi, seharusnya tidak bersifat rakus terhadap kekayaan dunia". Padahal sahabat yang melakukan kegiatan itu adalah seorang sahabat Nabi yang sangat sederhana tidak rakus terhadap kehidupan dunia. Menjawab pertanyaan yang disebutkan di atas, sahabat itu berusaha meluruskan pemahaman yang sangat keliru dari beberapa orang yang menegurnya. Bahwa sesungguhnya, ia melakukan kegiatan itu, tidak ada hubungannya dengan kerakusan terhadap kehidupan dunia, akan tetapi hanya melaksanakan suatu tuntunan agar setiap orang berusaha
115
melakukan reboisasi dan bercocok tanam, yang manfaatnya akan dirasakan oleh manusia dan makhluk lain. Merubah tanah yang tandus menjadi tanah yang subur, menghutankan gunung-gunung dan tanah gersang yang gundul, memperbaiki tatanan kehidupan dalam alam lingkungannya, merupakan suatu usaha yang sangat terpuji yang dapat mendatangkan manfaat yang besar bagi sesama makhluk. Masih berkaitan dengan akhlak terhadap tumbuh-tumbuhan dan alam mineral, adalah menjaga lingkungan dan kebersihan, dengan tidak membuang kotoran, buang air besar atau kecil dalam air yang tergenang atu air yang mengalir. Larangan membuang kotoran air seni dan sampah di jalan-jalan umum, atau di bawah pohon tempat peristirahatan di tempat-tempat berteduh dan di sumber-sumber air yang bersih. Hubungan antara manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan sesamanya bukanlah merupakan hubungan antara seoranga penakluk dan yang ditaklukkan, atau seorang majikan dengan budaknya, akan tetapi merupakan hubungan kebersamaan dan kemitraan. Karena itu, manusia yang bertugas untuk mengelola alam semesta harus melakukan interaksi dengan sesamanya dan dengan alam lingkungannya harus bersikap harmonis dan serasi. Inilah prinsip dasar yang harus dijadikan landasan dalam berinteraksi antarsesama manusia dan keharmonisan hubungan itu pulalah yang menjadi tujuan dari akhlak dan budi pekerti. 5.4.3. Alam Hewani Dalam tinjauan akhlak, alam hewani memiliki potensi yang lebih lengkap dari alam mineral maupun alam nabati. Selain memiliki potensi yang ada pada kedua alam tersebut, alam hewani melengkapi dirinya dengan daya penggerak dan daya pengindera. Potensi penggerak dibagi dua, yaitu pendorong dan pelaku gerakan. Pelaku gerakan adalah potensi yang dikerahkan melalui urat saraf dan otot, melalui urat nadi dan jaringan yang berhubungan dengan urat saraf. Proses ini digunakan untuk melakukan suatu gerakan. Adapun yang dimaksud dengan pendorong adalah potensi yang menimbulkan suatu gerakan, baik dengan cara memunculkan gambaran sesuatu yang diinginkan di dalam khayal maupun tanpa hal tersebut. Potensi pendorong ini dibagi menjadi dua, pertama dinamakan nafsu, yang menimbulkan gerakan ke arah syahwat. Kedua, dinamai amarah, yang merupakan potensi yang menimbulkan gerakan untuk menolak sesuatu yang dianggap membahayakan dan merusak, sehingga berusaha menguasainya. Daya pengindera yang ada dalam alam hewani terdapat dua bagian; (1) yang tampak (lahir); (2) yang tidak tampak (batin). Indera yang bersifat lahir berupa pancaindera (indera peraba, penciuman, perasa, penglihatan, dan pendengaran). Sedangkan indera yang tidak nampak diantaranya adalah kemampuan berimajinasi dan menyimpannya. Meskipun alam hewani memiliki potensipotensi yang disebutkan di atas, namun kemampuan dan kadarnya berbeda antara satu jenis hewan dengan jenis lainnya. Apabila penerapan akhlak manusia terhadap alam nabati saja harus dianggap seolah-olah sebagai makhluk hidup, maka terhadap alam hewani harus lebih meningkat lagi. Karena, alam hewani telah memiliki berbagai daya yang
116
mendekati daya manusia, seperti: panca indera, daya khayal, daya menyimpan khlayalan dan sebagainya. Manusia boleh memanfaatkan alam hewani untuk kepentingan yang bermanfaat, seperti memanfaatkan dagingnya, kulitnya, lemak, tulang, dan berbagai hal yang dapat dimanfaatkan. Selain itu, hewan dapat juga dimanfaatkan sebagai hiasan, sebagai hewan peliharaaan dan dipelihara sebagai hobi dan kesenangan. Semua hal yang diperlakukan terhadap hewan tersebut tidak boleh bersifat menyiksa atau menyakiti, misalnya dalam hal memotong hewan disyaratkan menggunakan pisua atau alat potong yang tajam, sehingga tidak menyiksa. Apabila memelihara harus dilakukan dengan baik, memberi makanan yang cukup dan mengurusnya sesuai dengan yang dibutuhkan oleh hewan peliharaannya. Dalam kajian agama misalnya, kita jumpai betapa tingginya perhatiannya, agar manusia mengakkann akahlaknya yang baik terhadap alam hewani, tergambar dalam uraian beikut. Disebutkan dalam sabda Nabi, terdapat dua hal yang sangat kontras; (1) disebutkan ada seorang wanita yang memasuki alam akhiratnya sangat menderita, masuk dalam neraka, karena pada waktu hidup di dunia ia pernah mengurung seekor kucing dalam kamarnya, sehingga kucing itu mati kelaparan, karena tidak diberi makan dan tidak dilepas (Bukhari: 3223, Muslim: 4160). (2) dikisahkan ada seorang wanita jalang yang sering berbuat keji, pada suatu saat ia mengadakan perjalanan di tengah padang pasir. Pada saat ia kehausan, ia berusaha mencari perigi atau oase untuk segera ia meminum airnya, agar menghilangkan dahaganya yang sangat mencekam. Setelah ia berusaha dengan susah payah untuk mencari air itu, ia jumpai sebuah oase yang di keliling bukit-bukit berbatu berada di dalam tanah yang cukup jauh dan menyulitkan. Akhirnya dengan sangat berhati-hati ia menuruni oase itu kemudian ia meminum airnya sepuas-puasnya. Setelah itu, ia pun naik kembali ke atas. Baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba ia jumpai seekor anjing yang menjulurkan lidahnya dan mengibas-ibaskan ekornya. Wanita jalang itu menyadari dan memahami bahwa anjing tersebut sedang ditimpa kehausan yang dahsyat. Memperhatikan kenyataan seperti itu timbul pada dirinya belas kasihan, maka iapun kembali ke oase itu dan menuruninya untuk mengambil air bagi anjing tersebut. Waktu ia mengambil air itu tidak ada alat untuk membawanya, maka ia gunakan sepatunya untuk membawa air itu, karena naiknya susah,sepatu itu ia bawa digigit dengan mulutnya. Sampai di atas, air tersebut diberikan pada anjing yang kehausan tadi. Wanita jalang yang banyak melakukan perbuatan keji itu, karena ia mengasihani hewan, meskipun wujudnya anjing, di akhirat ia memperoleh balasan yang baik dan masuk surga (Bukhari: 2190, Muslim: 4162). Dalam versi lain disebutkan bahwa waktu Nabi menginformasikan hal itu, banyak sahabat bertanya, apakah dengan mengasihi seekor hewan akan mendapat balasan kebaikan. Nabi menjawab: "pada setiap makhluk hidup (sekecil apapun), terdapat kesempatan untuk berbuat baik" (Bukhari: 3268, Muslim: 4164). Dari uraian di atas, kita dapat mengambil pemahaman yang sangat jelas bahwa penerapan akhlak terhadap alam hewani merupakan suatu keharusan dan
117
sikap seseorang terhadap alam hewani akan menentukan kualitas akhlak dan budi pekerti dari orang tersebut. 5.4.4. Alam Insani Alam insani atau manusia memiliki daya-daya yang ada pada alam mineral, alam nabati, dan alam hewani serta dilengkapi dengan daya-daya lain yang mengantarkan dirinya pada kesempurnaan yang maksimal. Daya-daya yang dimiliki manusia dan tidak dimiliki oleh makhluk nyata lainnya, adalah tiga potensi yang sangat signifikan yaitu; (1) akal, (2) pikiran dan (3) kalbu. Sebagai makhluk yang paling sempurna, manusia memiliki keistimewaan-keistimewaan dan kelebihan-kelebihan yang luar biasa, apabila dibandingkan dengan makhlukmakhluk lain. Keistimewaan yang dimilikinya bukan saja terletak pada kejadian fisiknya (jasmaniah), tetapi juga pada kejadian ruhaniahnya. Kesempurnaan dan kelebihan manusia pada bentuk fisik telah banyak dikaji dan dijelaskan oleh disiplin ilmu, dalam berbagai uraian yang membandingkannya dengan makhluk lain. Psikologi dan akhlak (tasawuf) adalah dua disiplin ilmu yang biasa digunakan untuk membaca struktur kerohanian manusia. Khusus pada kejadian ruhaniahnya, manusia juga memiliki kelebihan-kelebihan yang luar biasa yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lainnya. Salah satu kesempurnaan manusia adalah sebagai makhluk yang berakal. Akal merupakan substansi dan esensi untuk memahami segala sesuatu secara rasional. Sedangkan kalbu merupakan penentu kualitas manusia. Ia memiliki kedudukan yang sangat menentukan dalam sistem-sistem kehidupan manusia. Kalbu menentukan diri seseorang untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Oleh karenannya, kalbu diberi beban pertanggung jawaban terhadap apa yang diputuskannya. Dalam prespektif akhlak dan budi pekerti, akal dan kalbu merupakan anugerah yang agung dan luhur, yang dapat membedakan manusia dengan makhluk lain. Oleh karena kepemilikan akal dan kalbu, maka manusia diberi amanah untuk mengelola alam semesta bagi kesejahteraan semua makhluk. Manusia dijadikan sebagai pemimpin dari seluruh alam, dan ditugaskan untuk mengelola alam semesta dengan menjaga keutuhan dan kelestariaannya. Dengan amanah yang agung itu mengantarkan manusia menjadi makhluk yang bertanggung jawab atas segala aktifitas dan perbuatannya. Mengenai akhlak terhadap manusia secara garis besar, tergambar dalam ungkapan berikut ini; tidaklah beriman salah seorang diantaramu sehingga ia mengasihi orang lain sebagaimana mengasihi dirinya sendiri. Para nabi dan rasul, serta pembawa agama-agama besar dunia dibangkitkan untuk melengkapi kesempurnaan akhlak. Akhlak terhadap alam insani dapat digambarkan secara singkat bahwa kehidupan manusia dunia ini bagaikan keluarga besar. Semua orang tua yang ada diantara kita adalah orang tua kita sendiri, orang-orang yang sebaya dengan kita adalah saudara kita, mereka yang sebaya dengan adik-adik kita adalah adik kita sendiri. Semua orang yang sebaya dengan anak-anak kita, mereka adalah anak-anak kita juga. Kesimpulan ringkasnya, kita bersikap kepada orang
118
lain, sebagaimana kita bersikap terhadap diri kita sendiri. Mengenai uraian terperinci dari akhlak terhadap alam insani telah diuraikan pada kajian yang lalu. 5.4.5. Alam Rohani Akhlak terhadap alam ruhani berkaitan dengan pendekatan spritual bahwa dalam pandangan akhlak dan budi pekerti selain makhluk-makhluk nyata terdapat makhluk ghaib yang tidak dapat diinderai dengan indera manusia. Terhadap makhluk ghaibpun kita memiliki sikap akhlak, misalnya akhlak terhadap malaikat. Informasi mengenai ini kita terima berdasarkan wahyu Tuhan Pencipta alam semesta melalui para nabi dan rasul-Nya yang tercantum dalam kitab suci.
119
BAB VI NORMA SOSIAL DAN NORMA HUKUM Sebagai makhluk budaya dan sosial, manusia memerlukan pedoman atau acuan dalam bertingkah laku. Oleh karena itu di dalam melakukan tindakantindakan atau berperilaku dalam kehidupannya, manusia dilingkupi oleh sistem nilai atau himpunan nilai-nilai. Sistem nilai ini merupakan wujud ideal dari kebudayaan yang memberikan acuan bagi manusia dalam berperilaku. Apabila dikaji lebih jauh maka nilai-nilai tersebut seolah mempunyai tingkatan atau gradasi dalam kedudukannya. Sistem nilai budaya yang telah dibahas sebelumnya, merupakan inti yang menjiwai semua pedoman yang mengatur tingkah laku warga masyarakat yang bersangkutan. Pedoman tingkah laku yang dimaksudkan tersebut di antaranya adalah norma-norma yang hidup di masyarakat atau dikatakan juga sebagai norma sosial. Secara umum pengertian norma adalah segala aturan-aturan atau pola-pola tindakan, yang normatif, yang menjadi pedoman hidup bagi orang untuk bersikap tindak di dalam kehidupannya, baik dalam hidupnya sendiri maupun dalam pergaulan hidup bersama. Norma-norma tersebut diyakini oleh warga masyarakat yang bersangkutan sebagai milik bersama. Bagaimana suatu masyarakat meyakini suatu norma sebagai milik bersama nampak dalam tingkah lakunya, bagaimana mereka menundukkan diri atau mematuhi norma-norma tersebut. Beraneka ragamnya norma yang hidup di masyarakat dikarenakan normanorma tersebut sudah mengacu pada peranan-peranan manusia dalam kedudukannya di masyarakat. Selain itu apabila dilihat dari sudut daya paksa atau sanksi untuk kepatuhan terhadap suatu norma terdapat perbedaan-perbedaan pula. Ada norma yang lemah atau tidak keras dengan sanksinya, atau dikatakan sebagai sanksi sosial saja. Sebaliknya ada pula yang mempunyai sanksi kuat yang dinamakan sebagai sanksi hukum, sehingga norma tersebut dinamakan sebagai norma hukum. Berikut ini merupakan uraian tentang: norma-norma yang hidup dalam masyarakat yaitu norma hukum dan norma sosial lainnya, kemudian mengenai proses terjadinya norma hukum yang berasal dari norma sosial, dan pembahasan mengenai hal-hal pokok tentang hukum sebagai suatu norma yang penting dalam mengatur kehidupan manusia. 6.1. Norma Hukum dan Norma Sosial Lainnya Norma-norma yang ada dalam masyarakat bermacam-macam, atau disebut juga sebagai kaedah atau norma sosial. Macam kaedah atau norma tersebut tergantung dari dua macam aspek hidup manusia yaitu 1) aspek hidup pribadi, dan 2) aspek hidup antar pribadi. Yang termasuk kelompok aspek hidup pribadi meliputi:
120
a. kaedah-kaedah atau norma-norma kepercayaan, untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau kehidupan beriman; b. kaedah-kaedah kesusilaan (sittlichkeit atau moral/etika dalam arti sempit) yang tertuju pada kebaikan hidup pribadi atau kebersihan hati nurani dan akhlak (kehidupan dengan geweten) Dengan kaedah-kaedah atau norma-norma dalam aspek pribadi itu akan menjadi pedoman hidup pribadi sehingga menjadikan kepribadian (personality) seseorang menjadi kuat dan seimbang. Sedangkan yang termasuk kelompok aspek hidup antar pribadi meliputi: a. Kaedah-kaedah atau norma-norma sopan santun (sitte) yang bertujuan agar tercapai kenyamanan hidup bersama (pleasant living together). b. Kaedah-kaedah atau norma-norma hukum yang bertujuan agar tercapai kedamaian hidup bersama (peacefull living together) (Purbacaraka, 1982: 11-16) Mengingat dalam masyarakat ada beraneka norma yang dihayati oleh warga masyarakat yang bersangkutan sebagai pedoman berlaku, dan tatanan sosial terwujud berkat pedoman-pedoman tersebut. Selain itu hukum perundangundangan tidak dapat mengatur semua segi kehidupan manusia. Sehingga kehidupan manusia perlu dilengkapi oleh pedoman hidup yaitu norma-norma sosial lainnya. Telaah terhadap hukum dari segi kaedahnya atau normanya tidak terlepas dari norma-norma lain yang hidup dalam masyarakat. Terbentuknya norma hukum, ada yang berasal dari norma-norma sosial tersebut dan ada yang karena kebutuhan-kebutuhan hidup manusia yang memerlukan aturan-aturan hukum sebagaimana uraian berikut ini. 6.2. Proses Norma Sosial menjadi Norma Hukum Dalam bab. terdahulu telah dikemukakan bahwa kehidupan manusia dapat dilihat dari sisi dirinya sebagai individu (pribadi) dan sebagai makhluk sosial. Sebagai individu, ia merupakan makhluk ciptaan tuhan yang bagian dirinya terdiri atas tubuh biologisnya yang secara kasat mata dapat kita amati. Selain itu, manusiapun mempunyai akal dan jiwa yang disebut sebagai kepribadian. Keduanya berada merupakan satu kesatuan dalam diri manusia yang tidak terpisahkan satu sama lain. Dalam konteks diri manusia sebagai makhluk sosial, maka tujuan hidup bersama yang ingin dicapai adalah kedamaian dan keteraturan hidup antar manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan suatu patokan atau pedoman yang mengatur bagaimana manusia dapat berperilaku pantas dan semestinya di dalam masyarakat. Patokan atau pedoman berperilaku pantas tersebut adalah dalam ukuran yang sesuai dengan masyarakat yang bersangkutan. Mengingat setiap manusia tentu mempunyai ukuran pantas atau semestinya yang berbedabeda dengan manusia lainnya, sehingga sebagai makluk sosial kehidupan
121
sosialnyapun perlu diatur oleh suatu pedoman, patokan atau standard yang disepakati bersama, yang disebut dengan kaedah atau norma. Proses bagaimana terjadinya kaedah atau norma itu dapat dijelaskan berkaitan dengan manusia sebagai makhluk budaya. Sebagai makhluk budaya, manusia diberikan kemampuan berpikir, ia diberi Tuhan akal untuk menjalani kehidupannya. Perilaku yang ia lakukan setiap hari adalah hasil dari proses belajar dari generasi sebelumnya dan juga lingkungan hidupnya. Pola hidup dengan norma-norma yang ada sebagai pedoman atau patokan hidup itu muncul karena adanya suatu kebutuhan hidup manusia yang harus dipenuhi. Menurut A.H. Maslow, manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar dalam menjalani hidupnya yaitu: 1. food, shelter, clothing, 2. safety of self and property 3. self-esteem; 4. self-actualization; 5. love (Purbacaraka, 1982: 13) Sebagai kebutuhan dasar maka hal tersebut harus dipenuhi, namun pemenuhan kebutuhan itu tidak serta merta begitu saja dapat dilakukan. Seseorang memerlukan makanan, tapi tidak dapat ia begitu saja mengambil atau memakan makanan milik orang lain. Contoh lainnya, manusia memerlukan pemenuhan kebutuhan seksual, selain sebagai kebutuhan biologis hal ini juga untuk meneruskan keturunannya, namun tidak begitu saja dapat dilakukannya. Sebagai makhluk budaya ia memerlukan suatu lembaga perkawinan dulu untuk memenuhi hasratnya itu. Di samping itu dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut, sebagai makhluk sosial manusia berinteraksi dan membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya tersebut. Di dalam lembaga-lembaga atau istilah lainnya pranata-pranata yang ada dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia tersebut, diperlukan suatu aturan-aturan atau pedoman sebagai suatu norma. Dengan demikian kebutuhan manusia dapat terpenuhi namun tetap tercipta kehidupan antar manusia yang berada dalam koridor keteraturan dan kedamaian. Di sisi lain, norma-norma yang ada dalam masyarakat juga diciptakan apabila dalam pola kehidupan masyarakat yang ada pada suatu waktu dirasakan perlu dirubah dalam pola perilaku yang dianggap lebih baik atau lebih sesuai dengan keadaan pada waktu itu sebagai norma-norma sosial. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa norma sosial merupakan suatu peraturan yang memuat rincian pedoman untuk rentang kelakuan yang pantas dan dapat diterapkan pada situasi-situasi sosial tertentu. Selain itu norma sosial juga dikatakan sebagai suatu aturan atau ukuran baku mengenai perilaku yang dianggap dapat diterima secara sosial. Hal mana ditentukan oleh harapan-harapan orang tentang perilaku yang bersangkutan. Apabila dikaitkan dengan nilai-nilai
122
budaya, maka norma adalah nilai-nilai budaya yang sudah terkait dengan perananperanan tertentu dari status atau kedudukan manusia, sehingga perumusannya menjadi lebih jelas, tegas dan lebih terinci. Sehubungan dengan norma di atas, antara Peranan dan status saling terkait satu sama lain. Status ((status) merupakan suatu peringkat atau posisi seseorang dalam kelompok atau masyarakat, atau posisi suatu kelompok dalam hubungannya dengan kelompok lain. Status berkaitan juga dengan hak dan kewajiban yang melekat pada seseorang, jadi sifatnya statis. Sedangkan peranan (role) adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang mempunyai status, atau peranan merupakan aspek dinamis dari status. Koentjaraningrat mengartikan peranan sosial sebagai tingkah laku individu yang mementaskan suatu kedudukan tertentu. (Koentjaraningrat, 1986, hal. 169). Jadi terkait dengan kewajibankewajiban seseorang berkenaan dengan peranan-peranan yang harus dijalankannya, dirumuskan dalam norma-norma sosial tertentu. Dalam penerapan norma-norma yang “disepakati” bersama tersebut, apabila terjadi pelanggaran atas suatu norma sosial maka akan ada sanksi sosial, misalnya dikucilkan, dicemooh, dan lain-lain. Apabila suatu norma sosial diberlakukan dengan paksaan suatu sanksi maka norma sosial tersebut menjadi norma hukum. Menurut E. Adamson Hoebel, suatu norma sosial adalah hukum apabila pelanggarannya atau tindakan tidak mengindahkannya secara teratur ditindak, yaitu tindakan fisik, secara ancaman atau secara nyata-nyata, oleh seseorang atau suatu kelompok orang, yang mempunyai wewenang bertindak yang secara sosial diakui (T.O.Ihromi, 1986: 5). Jadi perbedaan norma hukum dan norma sosial adalah dalam norma hukum, hukum dapat menerapkan penggunaan kekuatan yang ada pada masyarakat yang terorganisasi untuk menghindari atau menghukum pelanggaran terhadap norma sosial. Jadi dalam suatu masyarakat terdapat gagasan yang berisi nilai-nilai sebagai norma sosial untuk mengatur pola tingkah laku masyarakatnya. Gagasan dari norma itu tercermin dalam sebagian pola berlaku sebagai norma hukum. Dalam arti sebagian dari norma sosial tadi diperkuat menjadi norma hukum sebagai pelembagaan berganda, contohnya: hukum waris. Yang dimaksudkan dengan pelembagaan berganda di sini adalah nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dilembagakan sebagai norma sosial apabila dipatuhi dan ada sanksi sosial, ini sebagai pelembagaan pertama. Kemudian, sebagian dari norma-norma sosial di masyarakat tadi dilembagakan kembali sebagai norma hukum apabila mempunyai sanksi hukum, sebagai pelembagaan kedua. Dua kali pelembagaan inilah yang menyebabkan dikatakan bahwa suatu norma dapat berubah menjadi norma hukum melalui suatu pelembagaan berganda. Dengan demikian nampak setelah tingkat norma, yaitu norma pada situasi sosial tertentu sebagai norma sosial, tingkat selanjutnya adalah tingkat sistem hukum, baik hukum tertulis sebagai perundang-undangan maupun tidak tertulis
123
sebagai hukum adat. Jadi sistem hukum tersebut bersandar pada norma-norma yang hidup dalam masyarakat. Sebagai negara hukum, maka penyelenggaraan organisasi negara yang berkaitan dengan pemerintahan maupun seluruh rakyatnya diatur oleh hukum, baik hukum tertulis dan tidak tertulis (hukum Adat). Hukum yang tertulis yang dibuat oleh lembaga legislatif atas usulan Pemerintah, mempunyai kedudukan yang penting dalam pengaturan penyelenggaraan Negara. Di sisi lain normanorma sosial lainnya atau norma-norma bukan hukum tidak dapat diabaikan peranannya dalam usaha mewujudkan kenyamanan, kedamaian dan ketertiban hidup manusia dalam suatu masyarakat. 6.3.
Pengertian, Tujuan dan Fungsi Hukum Hukum mempunyai pengertian yang beraneka, dari segi macam, aspek dan ruang lingkup yang luas sekali cakupannya. Kebanyakan para ahli hukum mengatakan tidak mungkin membuat suatu definisi tentang apa sebenarnya hukum itu. Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh van apeldoorn yang mengatakan bahwa hukum itu banyak seginya dan demikian luasnya sehingga tidak mungkin menyatakannya dalam satu rumusan yang memuaskan. (Apeldoorn, 1982: 13) Oleh sebab itu menurut Purnadi Purbacaraka, pengertian hukum antara lain dapat dilihat dari cara-cara merealisasikan hukum tersebut dan bagaimana pengertian masyarakat terhadap hukum, yang antara lain adalah sebagai berikut. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Hukum sebagai ilmu pengetahuan Hukum sebagai disiplin Hukum sebagai kaedah Hukum sebagai tata hukum Hukum sebagai petugas (hukum) Hukum sebagai keputusan penguasa Hukum sebagai proses pemerintahan Hukum sebagai perikelakuan yang ajeg atau sikap tindak yang teratur Hukum sebagai jalinan nilai nilai (Purbacaraka,1982: 12)
Dikemukakannya pengertian dari hukum sangat penting agar tidak terjadi kesimpangsiuran atau kesalahpahaman dalam melakukan telaah terhadap hukum tersebut. Sebagai bagian dari kebudayaan, dan manusia atau masyarakat adalah pendukung dari kebudayaan tersebut, maka hukum selalu ada dimana masyarakat itu berada (ubi societas ibi ius). Keberadaan hukum tersebut, baik pada masyarakat yang modern atau masyarakat primitif atau yang masih sederhana menunjukkan bahwa hukum mempunyai kedudukan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Tujuan dari adanya hukum itu sendiri, sebagaimana definisi dari hukum yang beraneka, para ahli hukum mempunyai pendapat yang berbeda-beda pula.
124
Menurut pendapat yang mengacu pada teori etis (etische theorie), hukum hanya semata-mata bertujuan mewujudkan keadilan. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh filsuf Yunani, Aristoteles, dalam karyanya Ethica Nicomachea dan Rhetorika, yang menyatakan bahwa hukum mempunyai tugas yang suci, yaitu memberi kepada setiap orang sesuatu yang ia berhak menerimanya.(Ridwan Syahrani, 1988: 23-27) Namun dalam kenyataannya kebutuhan manusia akan hukum tidak hanya untuk mencapai keadilan tetapi juga untuk mengatur dirinya, misalnya aturan tentang berlalu lintas, yang bertujuan agar lalu lintas di jalan menjadi lancar, tertib, dan menghindari seminimal mungkin terjadinya kecelakaan. Beberapa pendapat ahli hukum kemudian lebih melengkapi pendapat bahwa tujuan dari hukum adalah keadilan semata, melainkan menempatkan hukum untuk mengatur kehidupan manusia mewujudkan hal-hal yang bermanfaat. Sehingga tujuan hukum adalah untuk mencapai pergaulan hidup secara damai. Kedamaian yang dimaksudkan di sini meliputi dua hal yaitu ketertiban/keamanan dan ketenteraman/ ketenangan. Ketertiban tertuju pada hubungan lahiriah antar pribadi dalam masyarakat. Sedangkan ketenteraman tertuju pada keadaan batin masing-masing pribadi dalam masyarakat. Beberapa istilah kemudian juga dikemukakan untuk menjelaskan tujuan hukum di atas. Salah satunya adalah dari Utrecht yang mengatakan bahwa hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan hidup manusia. Kepastian hukum di sini diartikan sebagai harus menjamin keadilan serta hukum tetap berguna, yang kemudian tersirat tugas lainnya yaitu agar hukum dapat menjaga agar dalam masyarakat tidak terjadi main hakim sendiri. Di samping tujuan hukum, fungsi hukum dalam kehidupan manusia terus berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat dimana hukum itu berada. Namun secara garis besar, fungsi hukum dapat dilihat sebagai sarana pengendalian sosial yaitu fungsi hukum yang menjalankan tugas untuk mempertahankan ketertiban atau pola kehidupan yang ada. Di sini hukum menjaga agar setiap orang menjalankan peranannya sebagaimana yang telah ditentukan. Fungsi hukum lainnya adalah melakukan social engineering, yaitu hukum digunakan sebagai sarana untuk melakukan perubahan-perubahan atau rekayasa sosial di dalam masyarakat. Sebagai contoh, dengan dibentuknya undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang diantaranya mengatur mengenai batas usia perkawinan, maka warga masyarakat yang banyak melakukan perkawinan dalam usia yang sangat muda diarahkan untuk melakukan perkawinan sebagaimana batas usia yang telah ditentukan. Walaupun dalam praktik di lapangan masih banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan. 6.4. Disiplin Hukum Disiplin hukum atau yang disebut juga sistem ajaran tentang hukum, merupakan disiplin yang preskriptif yaitu sistem ajaran yang menentukan apakah yang seyogianya atau yang seharusnya dilakukan di dalam menghadapi
125
kenyataan-kenyataan tertentu. Sebagaimana disiplin hukum, filsafat juga merupakan disiplin yang preskriptif. Hal ini berbeda misalnya dengan bidangbidang sosiologi, antropologi, psikhologi, ekonomi yang merupakan disiplin analitis, yaitu sistem ajaran yang menganalisa, memahami serta menjelaskan gejala-gejala yang dihadapi. Sebagai suatu disiplin, hukum mempunyai lingkup kajian yang salah satunya adalah ilmu hukum. Di samping ilmu hukum, termasuk cakupan di dalamnya juga politik hukum dan filsafat hukum. Jadi disiplin hukum berisi: 1. ilmu-ilmu tentang hukum; 2. politik hukum; dan 3. filsafat hukum. Yang dimaksudkan dengan ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan yang khusus megajarkan pada kita hal-hal mengenai hukum dan segala seluk beluk yang berkaitan di dalamnya, seperti sumber-sumbernya, wujudnya, pembagian macamnya, sifatnya, sistemnya, faktor-faktor yang mempengaruhinya secara langsung maupun tidak langsung, dan sebagainya. Ilmu-ilmu hukum ini merupakan kumpulan dari berbagai cabang ilmu pengetahuan yang antara lain meliputi: 1) ilmu tentang kaedah; 2) ilmu pengertian; dan 3) ilmu tentang kenyataan (Purbacarka,1982: 10-11). Ilmu tentang kaedah atau normwissenchaft atau sollenwissenchaft merupakan ilmu yang menelaah hukum sebagai kaedah/norma atau sistem kaedah-kaedah/norma-norma. Yang dimaksudkan dengan ilmu pengertian adalah ilmu tentang pengertian-pengertian pokok dalam hukum, misalnya subjek hukum, objek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, dan hubungan hukum. Sedangkan ilmu tentang kenyataan atau tatsachenwissenschaft atau seinwissenschaft adalah ilmu yang menyoroti hukum sebagai perilaku atau sikap tindak yang antara lain mencakup: Sosiologi hukum, Antropologi hukum, Psikhologi hukum, Perbandingan hukum, dan Sejarah hukum (Purbacaraka, 1982: 10-11) dengan uraian sebagai berikut. a. Sosiologi hukum, merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan analitis mempelajari hubungan timbal balik antara hukum sebagai gejala sosial dengan gejala-gejala sosial lainnya. b. Antropologi hukum, merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan, ilmu hukum dan antropologi budaya, yang hendak memahami bagaimana masyarakat mempertahankan nilai-nilai yang berlaku, yang dijunjung tinggi, melalui proses pengendalian sosial dan dalam hal itu hukum diperhatikan sebagai salah satu metode dari pengendalian sosial. Wawasan antropologi hukum tidak hanya memperhatikan hukum di Indonesia saja melainkan bersifat komparatif, sehingga hukum ditinjau sebagai gejala yang bersifat lintas budaya (T.O.Ihromi, 2000: 24). c. Psikhologi hukum, suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan dari perkembangan jiwa manusia. d. Perbandingan hukum, cabang ilmu pengetahuan yang memperbandingkan sistem-
126
sistem hukum yang berlaku di dalam satu atau beberapa masyarakat. e. Sejarah hukum, mempelajari perkembangan dan asal usul dari sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu. Demikian lingkup muatan dari ilmu-ilmu hukum. Selanjutnya sebagai bagian dari disiplin hukum yang lain, cakupan politik hukum meliputi kegiatankegiatan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai. Dalam filsafat hukum dilakukan perenungan dan perumusan nilai-nilai. Selain itu, filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai, misalnya: penyerasian antara ketertiban dengan ketenteraman, antara kebendaan dengan keakhlakan, dan antara kelanggengan dengan pembaharuan. 6.5. Pembedaan Hukum Pembedaan hukum menjadikan hukum terlihat bermacam-macam tergantung dari sisi mana kita memandangnya. Sebagaimana misalnya kita melihat seekor gajah, apabila dilihat dari sisi muka akan berbeda bentuknya dibandingkan dengan misalnya dilihat dari belakang atau samping, dan walaupun yang terlihat itu berbeda namun sesungguhnya gajah tersebut tetap satu gajah yang sama. Demikian pula dengan hukum, apabila dilihat dari sudut yang berbeda-beda, maka akan terlihat bentuk yang berbeda-beda pula sebagaimana uraian berikut ini, yaitu jika dilihat dari: 1. Sumber tempat acuan hukum berada, hukum dibedakan atas: a. Hukum undang-undang, yaitu hukum yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan; b. Hukum kebiasaan/hukum adat, yaitu hukum yang terdapat dalam kebiasaan atau adat istiadat; c. Hukum Traktat, yaitu hukum yang ditetapkan oleh dua atau beberapa negara yang mengadakan perjanjian bilateral atau multilateral; d. Hukum Yurisprudensi, yaitu hukum yang terbentuk karena putusan pengadilan; e. Hukum ilmu (doktrin), yaitu hukum yang terdapat dalam pandangan ahli-ahli hukum yang terkenal dan sangat berpengaruh 2.
Isinya, hukum dibedakan atas: a. Hukum publik, yaitu hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum yang menyangkut kepentingan umum, misalnya hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum pidana, hukum acara pidana. b. Hukum privat, yaitu hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum yang menyangkut kepentingan pribadi, misalnya hukum perdata, hukum dagang. 3. Kekuatan mengikatnya atau sifatnya, hukum dibedakan atas: a. Hukum pelengkap atau hukum yang mengatur (hukum fakultatif, aanvullend recht), yaitu peraturan hukum yang boleh dikesampingkan oleh orang-orang yang berkepentingan. Peraturan ini digunakan apabila
127
orang-orang yang berkepentingan tidak mengatur sendiri kepentingannya tersebut. b. Hukum memaksa (hukum imperatif, dwingend recht), yaitu peraturan hukum yang tidak boleh dikesampingkan oleh orang-orang yang berkepentingan. Peraturan ini harus ditaati oleh orang-orang yang berkepentingan. 4. Dasar pemeliharaan atau cara mempertahankannya, hukum dibedakan atas: a. Hukum material, yaitu hukum yang mengatur isi hubungan-hubungan hukum (rechtsverhouding, rechtsbetrekking) dalam masyarakat. b. Hukum formal, yaitu hukum yang megatur tentang bagaimana caranya mempertahankan atau menegakkan hukum material. Hukum formal ini dapat juga disebut sebagai hukum acara, yaitu hukum acara perdata, hukum acara pidana, dan hukum acara tata usaha negara. 5. Wujudnya, hukum dibedakan atas: a. Hukum objektif, yaitu segala macam hukum yang ada dalam suatu negara yang berlaku umum, tanpa mengistimewakan orang tertentu atau golongan tertentu. b. Hukum subjektif, yaitu peraturan hukum (hukum objektif) yang berlaku terhadap seseorang atau beberapa orang tertentu saja, yang menimbulkan hak dan kewajiban. 6. Tempat berlakunya, hukum dibedakan atas: a. Hukum nasional, yaitu hukum yang berlaku di wilayah satu negara saja. b. Hukum internasional, yaitu hukum yang berlaku di wilayah berbagai negara. 7. Waktu berlakunya, hukum dibedakan atas: a. Ius constitutum (hukum positif), yaitu hukum yang berlaku dalam suatu negara pada saat sekarang. b. Ius constituendum, yaitu hukum yang diharapkan atau dicita-citakan berlaku pada waktu yang akan datang. 8. Bentuknya, hukum dibedakan atas: a. Hukum tertulis (geschreven recht), yaitu hukum yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan. b. Hukum tidak tertulis (ongeschreven recht), yaitu hukum yang hidup dalam masyarakat, meskipun tidak tertulis tetapi ditaati dalam pergaulan hukum di masyarakat. (Syahrani , 1988: 64-68). 6.6. Subjek, Objek, dan Peristiwa Hukum Dalam suatu permasalahan hukum terdapat tiga hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain yaitu subjek hukum (subject van een recht), objek hukum dan peristiwa hukum. Yang dimaksud dengan subjek hukum adalah manusia (person) dan badan hukum (rechtperson) yang berhak, berkehendak dan
128
melakukan perbuatan hukum. Badan hukum adalah perkumpulan atau organisasi yang didirikan dan dapat bertindak sebagai subjek hukum, misalnya dalam pengalihan hak, perjanjian, dan sebagainya. Sedangkan perbuatan hukum adalah perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum, misalnya jual beli, perkawinan, dan sebagainya. (Sudarsono, 2004: 275-279) Dengan adanya subjek hukum dalam suatu hubungan hukum, maka tentu ada objek hukumnya. Yang dimaksud dengan objek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subjek hukum dan yang dapat menjadi pokok (objek) suatu hubungan hukum, yang dapat juga disebut sebagai hak, karena merupakan sesuatu yang dapat dikuasai oleh subjek hukum. Jadi yang dimaksudkan sebagai objek hukum di sini tidak hanya benda dalam pengertian yang umum melainkan juga benda dalam arti yang luas. Bedasarkan Pasal 503 KUHPerdata yang dimaksudkan dengan benda adalah benda yang berwujud dan tidak berwujud. Benda yang berwujud adalah segala sesuatu yang dapat diraba oleh pancaindra, misalnya rumah, mobil, tanah, kursi, dan sebagainya. Sedangkan benda yang tidak berwujud adalah segala hak. Kemudian dalam Pasal 504 KUHPerdata dikemukakan pula pembagian benda yang bergerak dan tidak bergerak. Dikatakan sebagai benda yang bergerak maupun tidak bergerak, menurut Pasal 506, 507 dan 508 KUHPerdata, apabila sifatnya sendiri menempatkannya ke dalam golongan itu, misalnya tanah, rumah, pohon adalah benda tidak bergerak. Sedangkan mobil atau perabotan rumah tangga misalnya, merupakan benda bergerak. Selanjutnya mengenai peristiwa hukum perlu dikemukakan mengingat sebagai makhluk sosial, interaksi yang terjadi antarsesama manusia tidak dapat dihindarkan. Hubungan-hubungan ini merupakan suatu peristiwa, yang apabila menimbulkan pengaturan hukum atau akibat hukum maka dikatakan sebagai peristiwa hukum. Sebagaimana juga yang dikemukakan oleh Soedjono D bahwa peristiwa hukum adalah semua peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan akibat hukum antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan hukum (Sudarsono, 2004: 275-279). Beberapa contoh dari peristiwa hukum adalah perkawinan, jual beli, sewa rumah, kematian, dan sebagainya yang karena dilakukannya pebuatan itu menimbulkan akibat hukum.
129
BAB VII MASYARAKAT DAN MULTIKULTURALISME 7.1.
Pengertian Masyarakat dan Masyarakat Majemuk Masyarkat merupakan, sekelompok orang yang hidup bersama dalam suatu tempat dengan ikatan-ikatan dan aturan yang tertentu, atau sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama (KBBI, 2002: 720). Dalam masyarakat tempat manusia bergaul kesehariannya akan menemukan berbagai karakter manusia dari kelompokkelompok yang awalnya tidak saling mengenal, bukan karena adanya ikatan darah, tetapi juga mungkin hanya karena adanya batasan geografi atau teritorial saja. Hal ini membuat manusia harus tunduk pada aturan-aturan yang disepakati bersama. Tunduk pada aturan-aturan yang disepakati bersama itulah yang dinamakan berakhlak dan berbudi pekerti. Untuk memahami labih jauh tentang masyarakat dan karakteristiknya, ada baiknya pengertian masyarakat juga dikemukakan disini, sebagaimana yang telah ditulis oleh para ahli sosiologi maupun antropologi, seperti : 1. Linton, mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sekelompok manusia, yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama, sehingga mereka dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu. 2. M.J. Heskovits menulis bahwa masyarakat adalah kelompok individu yang mengorganisasikan dan mengikuti satu cara hidup tertentu. 3. J.L Gillin J.P. Gillin mengatakan bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang terbesar mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama. Masyarakat yang terbesar disebut diatas, meliputi pengelompokan-pengelompokan yang kecil. 4. S.R. Steinmetz memberikan batasan tentang masyarakat sebagai kelompok manusia yang terbesar meliputi pengelompokan-pengelompokan manusia yang lebih kecil yang mempunyai perhubungan erat dan teratur. 5. Agak lebih terperinci adalah definisi Mack Ever yang berbunyi, masyarakat adalah suatu sistem dari cara kerja dan prosedur, otoritas dan saling bantumembantu yang meliputi kelompok-kelompok dan pembagian-pembagian sosial, sistem pengawasan tingkah laku manusia dan kebebasan. Sistem yang kompleks dan selalu berubah dari relasi sosial (Munandar Sulaiman,1995) Dalam arti luas yang dimaksud masyarakat adalah keseluruhan dari semua hubungan dalam hidup bersama dengan tidak dibatasi oleh lingkungan, bangsa dan lain-lain. Dalam arti sempit masyarakat merupakan sekelompok manusia yang dibatasi oleh aspek-aspek tertentu, umpamanya : teritorial, bangsa, golongan dan sebagainya, maka ada masyarakat Jawa, masyarakat Sunda, masyarakat Minang dan lain-lain.
130
Berdasar arti tersebut diatas dapat kita tarik satu kesimpulan sebagai berikut. Masyarakat adalah kelompok manusia yang telah lama bertempat tinggal disuatu daerah yang tertentu dan mempunyai aturan (undang-undang) yang mengatur tata hidup mereka, untuk mencapai tujuan yang sama. Jadi yang menjadi unsur masyarakat adalah: 1. harus ada kelompok (pengumpulan) manusia, dan harus banyak jumlahnya; 2. telah berjalan dalam waktu yang lama dan bertempat tinggal dalam daerah yang tertentu; 3. adanya aturan (undang-undang) yang mengatur mereka bersama, untuk maju kepada satu cita-cita yang sama (Hartomo, 2004). Dari sudut pandang antropologi, masyarakat didefinisikan sebagai berikut. “Masyarakat adalah kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia yang terikat oleh suatu sistem adat istiadat tertentu“ Seperti yang kita jumpai pada masyarakat yang terikat oleh geografi dan teritorial dikenal dengan istilah suku tertentu yaitu masyarakat Sunda, Jawa, Bugis, Aceh, Betawi, Madura dan sebagainya Dalam hal ini ahli antropologi berpendapat Masyarakat, merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat 1980). Masyarakat adalah kelompok orang yang memiliki kebudayaan yang sama, dan merasa pada diri mereka sebagai suatu kesatuan dan entitas yang berbeda dengan kelompok lainnya (Marshall 1996). Dengan demikian masyarakat mempunyai dua tipe karakteristik masyarakat. 1. Pertama, suatu masyarakat kecil yang belum begitu kompleks yang belum mengenal pembagian kerja, belum mengenal tulisan, dan teknologinya relatif sederhana; satu masyarakat yang struktur dan aspek-aspek yang masih dapat dipelajari sebagai satu kesatuan berdasarkan adat istiadat. 2. Kedua, masyarakat yang sudah kompleks, yang sudah jauh menjalankan spesialisasai dalam segala bidang, karena ilmu pengetahuan, teknologi, sudah maju, sudah mengenal tulisan; satu masyarakat yang sukar dilihat sekaligus segi-segi kegiatannya, sehingga dapat diselidiki dengan baik dan didekati hanya sebagian saja. Dari kedua tipe ini memberikan kemungkinan masyarakat dapat diteliti melalui kajian antropologi untuk masyarakat kecil dan kajian sosiologi bagi masyarakat yang komplek.
131
Pada dasarnya pengertian tentang masyarakat mengacu pada kumpulan orang, namun tidak semua kumpulan orang dengan sendirinya merupakan masyarakat. Terdapat empat kriteria yang harus dipenuhi agar suatu kumpulan atau kelompok orang dapat disebut masyarakat, yaitu (1) memiliki kemampuan bertahan melebihi masa hidup (seorang) individu; (2) rekrutmen seluruh anggotanya melalui reproduksi; (3) kesetiaan pada suatu sistem tindakan utama bersama; dan (4) adanya sistem tindakan utama yang bersifat swasembada (Marion Levy). Konsekuensi dari kriteria tersebut ialah bahwa suatu kelompok dapat disebut masyarakat apabila kelompok itu memenuhi keempat kriteria tersebut; atau apabila kelompok itu dapat bertahan stabil untuk beberapa generasi walaupun sama sekali tidak ada orang atau kelompok lain di luar kelompok tersebut. (Sunarto 1993) Berdasarkan kriteria tersebut, kumpulan orang yang sedang menonton sepak bola, misalnya, tidak dapat disebut sebagai masyarakat karena kumpulan itu bersifat sementara yang bubar ketika permainan bola usai; kumpulan itu tidak melakukan reproduksi untuk menambah jumlah anggotanya; tidak ada suatu kesetiaan pada sistem tindakan utama bersama; dan tidak melakukan tindakan untuk menghasilkan kebutuhan sendiri seperti sandang dan pangan. Kumpulan penonton sepak bola itu lebih tepat disebut kerumunan atau crowd (Park 1972). Untuk lebih memperjelas perbedaan masyarakat dengan kerumunan, patut diperhatikan ciri-ciri yang membuat suatu kesatuan manusia menjadi masyarakat. Pertama, adanya pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupannya dalam batas kesatuan itu. Pola tingkah laku itu harus bersifat mantap dan kontinyu, atau dengan kata lain sudah menjadi adat istiadat yang khas. Kedua, adanya rasa identitas di antara warga atau anggotanya bahwa mereka memang merupakan suatu kesatuan khusus yang berbeda dengan kesatuan manusia lain-nya (Koentjaraningrat 1980). Dalam kenyataannya, pemahaman orang mengenai “masyarakat Indonesia” bersifat terbatas, yakni meliputi manusia di sekitarnya, atau manusia Indonesia di suatu lokasi tertentu, atau dalam suatu ikatan tertentu. Demikianlah, misalnya, masyarakat Indonesia dibayangkan sebagai warga suatu kelompok kekerabatan seperti marga atau suku. Di sini, pengertian tentang masyarakat menjadi sempit dan konkret, yang lazim disebut komunitas. Komunitas meliputi seluruh kesatuan manusia yang menempati suatu wilayah tertentu yang nyata, dan yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat serta terikat oleh identitas komunitas (Koentjaraningrat 1980; juga Jha 2003). Dengan demikian, seakan-akan terjadi tumpang tindih pengertian antara masyarakat dan komunitas. Agar tidak terjadi kerancuan, ditegaskan di sini bahwa apabila masyarakat mengacu pada pengertian yang luas mengenai kesatuan hidup manusia, abstrak dan umum, maka komunitas menunjuk pada
132
arti khusus dari kesatuan tersebut. Menurut MacIver (dalam Jha 2003), terdapat dua dasar untuk menetapkan komunitas, yaitu (a) lokalitas (geografi, bahasa, pakaian, kebiasaan makanan, dan sebagainya.), dan (b) sentimen-sentimen komunitas (cara berpikir, alam pikir-an, ideologi, aktivitas bersama, dan sebagainya.) Sebelumnya kita pahami bahwa masyarakat dalam arti luas dipahami sebagai kesatuan hidup manusia, sehingga kesatuan atau kelompok manusia yang hidup dalam ruang lingkup Indonesia disebut masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk. Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terbagi dalam kelompok persatuan yang sering memiliki budaya yang berbeda (Depdiknas, 2002) Dalam kamus sosiologi modern masyarakat majemuk yaitu kemajemukan budaya, dengan kelompok etnik dan minoritas serta terpelihara idetitasnya dalam suatu masyarakat (Soekanto, 2001). Dalam ilmu sosial masyarakat majemuk adalah suatu keadaan di mana setiap kelompok kebudayaan mempunyai lembaga-lembaga yang berkaitan dengan setiap bidang kehidupan kecuali bidang politik, dimana lembaga-lembaga dari suatu kelompok kebudayaan tertentu memegang kekuasaan dalam masyarakat yang bersangkutan. Selanjutanya atas dasar faktor-faktor tersebut, dibedakan bentuk masyarakat majemuk kedalam katagori sebagai berikut. 1. Bentuk masyarakat majemuk dimana dominasi politik dipegang oleh suatu kelompok tertentu. Tingkat kemajemukannya adalah kemajemukan struktural yang mencakup kemajemukan budaya sosial. 2. Bentuk masyarakat majemuk ketika dijumpai suatu keadaan terdapat di dalamnya hak dan kewajiban-kewajiban tersaebar secara merata diantara kelompok sosial yang ada, walau pun dijumpai pula keanaka ragaman lembaga-lembaga sosial. Tingkat kemajemukannya adalah tingakat kemajemukan sosial, karena pembagian masyarakat kedalam kelompokkelompok sosial bersifat tertutup dan tajam. 3. Untuk masyarakat majemuk, warga masyarakat dimasukan ke dalam suatu wadah yang bersifat publik tetapi tanpa memperhatikan pola identifikasi yang ideal maupun yang nyata. Taraf kemajemukannya adalah kemajemukan budaya Dalam kontek politik, kemajemukan adalah suatu sistem yang memungkinkan semua kepentingan dalam masyarakat bersaing secara bebas untuk mempengaruhi proses politik, sehingga terhindar dari terjadinya suatu kelompok mendominasi kelompok lain. Sistem ini senantiasa beranggapan bahwa keputusan politik yang penting lebih dapat dipengaruhi secara efektif melalui kelompok yang teroganisasi secara baik.
133
Dalam konteks ilmu politik, kemajemukan mengharuskan adanya berbagai asosiasi yang bersaing yang tidak disponsori atau dimanipulasikan oleh pemerintah. Pemerintah harus tanggap terhadap berbagai kepentingan yang berbeda-beda dalam masyarakat. Karena politik pada dasarnya merupakan persaingan kelompok-kelompok kepentingan untuk memperjuangkan agar kebijakan yang mereka kehendaki dapat dijadikan sebagai keputusan politik oleh pemerintah. Dilihat dari sudut kepentingan masyarakat majemuk memiliki beberapa karakteristik 1. Setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan yang sama karena kesamaan suku, ras, agama maupun kesamaan profesi, okupasi dan kegemaran berhak membentuk asosiasi yang dikehendaki tanpa campur tangan pemerintah atau kelompok lain. Suatu jenis kepentingan dapat saja diperjuangkan oleh lebih dari asosiasi. 2 Keaggotaan asosiasi bersifat sukarela dan seseorang dapat saja menjadi anggota dari berbagai asosiasi kepentingan. 3 Pemerintah tidak berhak mencampuri urusan kelompok kepentingan, melainkan bertindak sebagi wasit untuk memelihara permainan yang sehat bagi persaingan di antara kelompok kepentingan dan bersikap tanggap terhadapnya. 4 Para anggota asosiasi berwenang menentukan pemimpinnya dan merumuskan kepentingan yang hendak diperjuangkan kepada pemerintah. 5 Keputusan di dalam organisasi dan dalam berinteraksi dengan organisasi lain dicapai dengan perundingan, tawar-menawar dan kompromi (Ramlan surbakti,1992) Dalam hal ini Indonesia sebagai sebuah wilayah, dimana hidup berbagai suku bangsa dan bahasa, maka apabila dilihat dari keragamannya termasuk masyarakat majemuk. Di Indonesia telah teridentifikasi sekitar 500 suku bangsa (Suparlan 2001). Masing-masing suku bangsa menempati wilayah geografis tertentu sebagai wilayah budayanya. Kelompok suku-suku bangsa itu merasa memilliki kebudayaan yang sama sebagai acuan identitasnya untuk membedakan diri masing-masing. Di dalam satu kesatuan suku bangsa juga sering ditemukan sub-sub suku bangsa yang memiliki sub-sub kebudayaan yang berbeda pula. Demikian pula apabila dilihat dari segi ras (yang mengacu pada kesamaan fisik) ditemukan keragaman yang cukup banyak. Selain keragaman dalam suku bangsa juga keragaman dalam agama di Indonesia tampak pada berkembangnya agama-agama besar, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu-Budha, dan Konghuchu. Dari asal-usulnya, agama-agama besar itu datang dari luar seiring masuknya kebudayaan asing di Indonesia dalam kurun waktu yang berbeda-beda. Di samping itu, jelas pula bahwa di Indonesia berkembang berbagai kepercayaan setempat yang lazim dikaitkan dengan paham animisme. Betapapun, berbagai kepercayaan tersebut merupakan bentuk-bentuk
134
religi lama yang telah hidup dan berkembang jauh sebe-lum datangnya agamaagama besar. Bahkan ketika agama-agama baru bermunculan, berbagai kepercayaan itu tidak hilang begitu saja melainkan berinteraksi dengan agamaagama penda-tang tersebut. Unsur lain yang juga membentuk sifat majemuk masyarakat Indonesia adalah kondisi geografis. Secara geografis, wilayah Indonesia bukanlah wilayah yang berbentuk terpadu (compact) seperti Kamboja misalnya, melainkan kepulauan terpisah-pisah (besar dan kecil) yang membentang ribuan mil ataupun kilometer. Wilayah perairan (selat dan laut) berfungsi menyatukan kepulauan yang tersebar itu. Sebaran wilayah itu diperumit oleh keragaman topografi yang berbeda-beda; ada wilayah yang bergunung-gunung, dataran, padang tandus, perairan (sungai, rawa), dan pantai. Perbedaan topografi itu secara alamiah berkaitan dengan berbagai kekayaan sumber daya alam yang apabila dieksploitasi akan berakibat pada pendapatan ekonomi daerah yang berbeda-beda pula. Perbedaan wilayah geografis juga menjadi faktor penting dalam pembentukan kesatuan masyarakat di Indonesia; ada yang “hanya” menjadi masyarakat pedesaan, dan ada yang berkembang menjadi masyarakat perkotaan. Dengan demikian terjadi polarisasi masyarakat desa dan masyarakat kota. Dari hasil penelitian ahli antropologi, Hildred Geertz (1963), diketahui bahwa ada tiga tipe umum dan satu tipe khusus masyarakat Indonesia. Pertama, masyarakat petani yang menanam padi sebagai mata pencarian utamanya. Sistem pertanian yang mereka kembangkan merupakan cara produksi pertanian yang intensif pada lahan basah atau sawah. Kaum tani ini bermukim di desa-desa pedalaman di sebagian besar wilayah Pulau Jawa, Madura bagian barat, Bali bagian selatan, Lombok Barat, sekitar Danau Toba, dataran tinggi bagian barat Sumatera, bagian barat daya Sulawesi dan Sulawesi Selatan. Kelompok masyarakat itu mendapat pengaruh kebudayaan luar dari Hindu (terutama di Bali dan sebagian Jawa) dan Islam. Umumnya masyarakat petani sawah ini mewarisi kebudayaan besar kerajaan-kerajaan tempo dulu, dan melalui sistem kolonial mereka mulai mengenal dan menjadi bagian dari sistem pemerintahan negara modern. Tipe kedua, masyarakat pantai yang kuat keislamannya seperti orangorang Melayu di Sumatera dan Kalimantan, Bugis, Makassar, dan Aceh. Mereka terlibat dalam perdagangan rem-pah-rempah dan komoditi internasional sejak berabad-abad lam-pau. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila kelompok masyarakat itu sangat beragam dan banyak berinteraksi dengan pedagang asing seperti orang-orang India Islam, Arab, Portugis, Inggris, Belanda, Cina, dan lainlain. Kombinasi kelompok ma-syarakat pedagang di pantai ini adalah nelayan, perajin, petani kelapa dan petani sawah yang tinggal di pedalaman atau kota-kota kecil dekat pantai.
135
Kelompok kesukuan merupakan tipe ketiga masyarakat Indonesia. Mereka antara lain sebagian penduduk Halmahera, orang-orang Toraja, Dayak, Seram dan pulau-pulau Nusa Teng-gara Timur, orang Gayo, Rejang, dan Lampung. Sebagian di antaranya masih terpencil dan mengembangkan pola hidup yang khas. Tidak terkena pengaruh kebudayaan Hindu ataupun Islam tetapi mendapatkan sentuhan budaya dari misi Kristen sejak zaman kolonial. Kebanyakan kelompok masyarakat kesukuan ini merupakan petani ladang yang berpindah-pindah. Sebagian hasil ladangnya dijual. Selain ketiga tipe umum masyarakat Indonesia tersebut, Geertz menjelaskan adanya jaringan kota dan masyarakat nasional. Secara struktural, kota dibedakan atas kota besar kosmopolitan dan kota pusat perdagangan yang lebih kecil, yakni kota metropolitan dan kota provinsi. Kedua jenis kota ini memiliki fungsi yang sama sebagai mata rantai yang menghubungkan masyarakat Indonesia dengan masyarakat lain di dunia; juga sebagai pusat yang mengintegrasikan kehidupan ekonomi, politik dan intelektual. . Beberapa kota provinsi, terutama di luar Jawa, kadang-kadang menunjukkan perkembangan “kurang maju” apabila dibanding kota metropolitan. Masyarakatnya juga menunjukkan keragaman meskipun intensitasnya berbeda dengan kota yang lebih besar. Makin kecil status kota, seperti kota kabupaten yang lebih kecil dari kota provinsi, makin kurang pula kompleksitas struktur masyarakatnya.
7.2. Multikulturalisme Di dalam kamus, “multi” berarti banyak, lebih dari satu, dan berbeda-beda (heterogen), sedangkan “kultur” berarti kebudayaan dan kulturalisme adalah pandangan atau faham tentang kebudayaan. Pengertian awal yang segera timbul dari gabungan dua kata ini adalah pandangan atau pemikiran mendalam tentang perihal kebudayaan-yang-banyak. Bukan pandangan tentang satu kebudayaan saja (monokultural) yang homogen ataupun monokulturalisme yang majemuk. Namun, banyak dalam multikulturalisme tidak seperti plural (majemuk). Di dalamnya terdapat pengertian banyak dan berbeda tetapi sekaligus dengan pengakuan yang sama. Secara geografis, tempat beradanya kebudayaan pada umumnya berwujud negara, dapat pula menyebar di sejumlah negara. Sedangkan secara sosiologis, satu atau beberapa kebudayaan hidup dan berkembang di dalam suatu masyarakat
136
atau bangsa maupun antarbangsa. Dalam masyarakat atau bangsa yang beragam suku bangsa (multietnik) seperti Indonesia– yang juga makin tak terhindar dari fenomena dan pengaruh eksternal global– interaksi dan hubungan antarbudaya yang berbeda-beda itu merupakan keniscayaan. Interaksi masing-masing kebudayaan, dengan intensitas dan arah tertentu, membentuk pola-pola hubungan antarbudaya. Pola hubungan antarbudaya tersebut dapat positif atau negatif, menguntungkan atau merugikan, bagi salah satu, beberapa atau seluruh kebudayaan dan masyarakat pemiliknya di suatu negara. Di dalam interaksi sering terjadi kebudayaan tertentu lebih kuat dan dominan atas kebudayaan lainnya. Dominasi budaya sering kali muncul bersama diskriminasi budaya atau ras tertentu, atau berkembang menjadi bias budaya, hegemoni budaya dan imperialisme budaya. Masyarakat pemilik kebudayaan yang lemah dan “terkorbankan” merasakan adanya ketidakadilan budaya. Di sinilah interaksi atau hubungan antarbudaya, dalam situasi masyarakat plural/majemuk, menjadi bermasalah. Untuk mengatasi masalah tersebut digagas suatu pandangan atau aliran pemikiran
(“isme”
ataupun
ideologi)
yang
dapat
menyerasikan
atau
mengharmoniskan interaksi dari seluruh kebudayaan yang berbeda-beda, yakni “multikulturalisme”. Multikulturalisme dipandang sebagai konsep tentang hubungan antarbudaya yang positif (pada umumnya) yang dapat mengatasi masalah dalam masyarakat plural tersebut. Oleh karena itu, multikulturalisme dianggap perlu disosialisasikan dan lalu dikaji secara kritis dalam proses pendidikan, yang juga diupayakan “berkurikulum” multikulturalisme. Kajian kritis
memungkinkan
modifikasi,
pengembangan,
dan
penerapan
jenis
multikulturalisme yang paling tepat dan kontekstual bagi suatu masyarakat. Melalui sosialiasi dan kajian tersebut diharapkan terjadi internalisasi nilai dan sikap multikultural dalam diri para pembelajar. Selanjutnya kelak hal ini akan terwujud dalam perilaku dan tatanan
harmonis yang membentuk masyarakat
multikultural. Dalam situasi multibudaya ini, interaksi antarbudaya ditandai dengan usaha mencapai saling pengertian, saling penerimaan keberagaman,
137
suasana inklusif, suasana dialogis, kepentingn bersama, hidup berdampingan, kesetaraan atau kesederajatan, pengayaan, harmoni, saling keterkaitan, dan saling hormat di antara para pemangku atau pendukung masing-masing budaya. 7.2.1 Definisi dan Pengertian Multikulturalisme Seperti istilah maupun konsep lainnya dalam ilmu sosial dan kemanusiaan, multikulturalisme juga mempunyai definisi yang ‘multi’. Multikulturalisme merupakan istilah yang isi konsep atau pengertiannya sangat luas, kompleks, dan tinggi tingkat abstraksinya; tidak seperti “pensil”, “handphone”, “urbanisasi”, “sosialisasi”, dan sebagainya. Lebih dari itu, karena berhubungan dengan kebudayaan-kebudayaan, di dalam pengertian (konsep) multikulturalisme terkandung beragam nilai maupun sistem nilai. Maka, dapat dimengerti apabila batasan atau definisi tentang multikulturalisme juga beragam dan bermuatan nilai atau memiliki kepentingan tertentu (value laden). Sebuah definisi pada umumnya dibuat dengan tujuan atau kepentingan tertentu. Ada definisi yang dibuat dengan maksud dapat digunakan secara luas atau umum. Ada pula yang sebaliknya, definisi dibuat untuk tujuan yang khusus. Berikut ini beberapa definisi tentang multikulturalisme. 1. “Multikulturalisme” pada dasarnya adalah pandangan dunia –yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan– yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam “politics of recognition” (Azyumardi Azra, 2007). 2. “A multicultural society, then, is one that includes several cultural communities with their overlapping but none the less distinct conceptions of the world, systems of meaning, values, forms of social organization, histories, customs and practices” (Parekh, 1997:167 yang dikutip Azra, 2007).
138
3. Multikulturalisme
mencakup
suatu
pemahaman,
penghargaan
dan
penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain (Lawrence Blum, dikutip Lubis, 2006: 174). 4. Sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan” (Suparlan, 2002, merangkum Fay 1996, Jary dan Jary 1991, Watson 2000). 5.
Multikulturalisme
mencakup
gagasan,
cara
pandang,
kebijakan,
penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggaan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut (A.Rivai Harahap, 2007, mengutip M. Atho’ Muzhar). Dengan pengertian yang beragam dan kecenderungan perkembangan konsep
dan
praktik
multikulturalisme,
Bhikhu
Parekh
(1997:183-185)
membedakan lima macam multikulturalisme (Azra, 2007, meringkas uraian Parekh). Perbedaan masing-masing, perlu dicamkan, bukanlah perbedaan yang terpisah sama sekali. Pertama, “multikulturalisme isolasionis” yang mengacu kepada masyarakat di mana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain. Contoh-contoh kelompok ini adalah seperti masyarakat yang ada pada sistem “millet” di Turki Usmani atau masyarakat Amish di AS. Kelompok ini menerima keragaman, tetapi pada saat yang sama berusaha mempertahankan budaya mereka secara terpisah dari masyarakat lain umumnya. Kedua, “multikulturalisme akomodatif”, yakni masyarakat plural yang memiliki kultur dominan, yang membuat penyesuaian dan akomodasiakomodasi tertentu bagi kebutuhan kultural kaum minoritas. Masyarakat multikultural akomodatif merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka; sebaliknya kaum minoritas
139
tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme akomodatif ini dapat ditemukan di Inggris, Prancis, dan beberapa negara Eropa lain. Ketiga, “multikulturalisme otonomis”, yakni masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif dapat diterima. Concern pokok kelompok-kelompok kultural terakhir ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok kultural dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat di mana semua kelompok dapat eksis sebagai mitra sejajar. Jenis multikulturalisme ini didukung misalnya oleh kelompok Quebecois di Kanada, dan kelompokkelompok Muslim imigran di Eropa, yang menuntut untuk dapat menerapkan syari`ah, mendidik anak-anak mereka pada sekolah Islam, dan sebagainya. Keempat, “multikulturalisme kritikal” atau “interaktif”, yakni masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu concern dengan kehidupan kultural otonom; tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka. Kelompok budaya dominan tentu saja cenderung menolak tuntutan ini, dan bahkan berusaha secara paksa untuk menerapkan budaya dominan mereka dengan mengorbankan budaya kelompok-kelompok minoritas. Karena itulah kelompok-kelompok minoritas menantang kelompok kultur dominan, baik secara intelektual maupun politis, dengan tujuan menciptakan iklim yang kondusif bagi penciptaan secara bersama-sama sebuah kultur kolektif baru yang egaliter secara genuine. Jenis multikulturalisme ini, sebagai contoh, diperjuangkan masyarakat Hitam di Amerika Serikat, Inggris dan lain-lain. Kelima, “multikulturalisme kosmopolitan”, yang berusaha menghapuskan batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat dan committed kepada budaya tertentu dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam eksperimeneksperimen interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing. Para pendukung multikulturalisme jenis ini— yang sebagian besar adalah intelektual diasporik dan kelompok-kelompok liberal yang memiliki kecenderungan postmodernist—memandang seluruh budaya sebagai resources yang dapat mereka pilih dan ambil secara bebas. Azra (2007) juga menambahkan apa yang disebutnya “multikulturalisme demokratis”, yang menekankan “kepercayaan” pada normalitas keberagaman dan penerimaan atas keberagaman itu. Konsep seperti ini, menurut Azra, dapat dipandang sebagai titik tolak dan fondasi bagi kewarganegaraan yang 140
berkeadaban maupun sebagai landasan budaya (cultural basis) bagi kewargaan, kewarganegaraan, dan pendidikan. “Multi-kulturalisme demokratis sebagai landasan budaya, lebih jauh lagi, terkait erat dengan pencapaian civility (keadaban) yang sangat esensial bagi demokrasi yang berkeadaban dan keadaban yang demokratis (democratic civility).” Konsep tentang multikulturalisme, sebagaimana konsep ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan yang tidak (pernah) bebas nilai (value free), tidak luput dari pengayaan maupun penyesuaian ketika dikaji untuk diterapkan. Demikian pula ketika konsep ini masuk ke Indonesia, yang dikenal dengan sosok positif keberagamaannya. Muncul konsep multikulturalisme yang dikaitkan dengan agama, yakni “multikulturalisme religius” yang menekankan tidak terpisahnya agama dari negara, tidak mentolerir adanya faham, budaya, dan orang-orang yang atheis (anti-agama/anti-Tuhan) (Harahap, 2008). Dalam konsteks ini, multikulturalisme dipandang sebagai pengayaan terhadap konsep kerukunan umat beragama yang dikembangkan secara nasional. 7.2.2 Beberapa Isu dalam Multikulturalisme Dalam tataran konseptual, perbedaan definisi dan pengertian tentang multikulturalisme tidak terhindarkan akan memunculkan problem jika dijabarkan dalam kebijakan publik di suatu masyarakat majemuk. Dalam masyarakat majemuk, perbedaan kebudayaan muncul dalam beraneka wujud dan aspeknya sementara itu multikulturalisme menghendaki adanya pengakuan (recognition) yang sama atas keberagaman. Tuntutan akan pengakuan (juga perlakuan dan penerimaan) yang sama inilah, di tengah-tengah adanya keanekaragaman budaya, yang memunculkan banyak isu multikulturalisme. Tuntutan ini sesungguhnya tidak dapat diberlakukan secara mutlak sebab kehidupan selalu memilki batasbatas, atau paling tidak ada kekecualian. Batas itu antara lain berupa kaidah atau prinsip tidak merugikan pihak lain maupun kepentingan umum. Secara faktual beberapa isu besar multikulturalisme antara lain berupa kemajemukan (vs ketunggalan) identitas/afiliasi/asosiasi individu dan kelompok,
141
kebebasan dalam berbudaya (gaya hidup), salah paham dan kekerasan antarbudaya serta perbedaan perwujudan nilai dalam kebudayaan dan agama. Seiring perkembangan psikologis dan sosialnya setiap diri individu dalam masyarakat memiliki berbagai macam identitas, afiliasi, asosiasi, atau kategori keanggotaan sehingga menjadi makhluk multidimensi. Selain sebagai manusia ciptaan Tuhan, makhluk sosial, makhluk individual, seseorang misalnya dapat dilekati berbagai identitas sekaligus seperti seorang keturunan Jawa-Toraja, lulusan UI, seseorang yang meminati filsafat, musik jazz, klasik, keroncong, gamelan, seorang feminis yang heteroseksual, seorang yang religius, humanis dan puritan, seorang yang bebas dan aktif dalam berpikir dan berilmu, seorang yang olah raganya senam di rumah, seorang yang tidak merokok dan jarang minum kopi, seorang yang berpolitik di luar partai politik dan LSM, seorang yang mengekang diri dalam kebutuhan harta, tahta maupun wanita, seorang yang mengindahkan homo homini socius. Semua keragaman identitas yang dimiliki sekaligus oleh seseorang atau kelompok tersebut dapat saja tinggal satu
yakni bilamana terjadi konflik
antarbudaya (antar-subbudaya), antarperadaban, atau antaretnis. Terjadinya konflik seringkali berpangkal pada rasa iri atau perebutan akan harta, tahta (pengaruh, reputasi), dan cinta asmara (sesekali) di antara individu maupun kelompok. Penyebab lainnya adalah ketiadaan pengetahuan yang memadai (utuhmenyeluruh-mewujud) pada diri individu, kelompok, maupun sistem yang lebih besar tempat mereka hidup. Untuk mendapatkan dukungan dalam menghadapi konflik, untuk unggul atau memulihkan ketertinggalan harta dan tahta), senjata yang paling mudah digunakan adalah mereduksi keragaman identitas lawan atau musuh menjadi identitas tunggal. Identitas tunggal ini tentu saja sengaja dipilih yang berbeda atau bahkan bertentangan dari identitas kelompok sendiri serta yang diberi arti buruk dan bersalah. Dengan menunggalkan identitas seperti ini pada pihak ‘lawan’ yang berkonflik, hasutan mengobarkan permusuhan serta tipu daya untuk memperoleh dukungan menjadi lebih mudah dilakukan. Kekerasan fisik pun mudah merebak menyusulnya.
142
Dalam tataran yang lebih terbatas, keragaman identitas seseorang dapat saja lebih sederhana. Misalnya sekelompok orang memiliki identitas warga RT, mempunyai ‘gaya hidup’ (sebagai wujud budaya atau subbudaya) penyuka musik dangdut dengan volume suara yang terdengar sampai di ujung gang, suka main gaple, merokok, dan keramaian malam hari. Kelompok ini dapat saja berkonflik dengan seseorang atau sekelompok orang lainnya yang masih satu RT tetapi berseberangan gang oleh karena memiliki subbudaya atau kebiasaan yang berbeda. Misalnya mereka lebih menyukai ketenangan, memiliki kegiatan rohani, tidak merokok sehingga dapat menyisihkan untuk berkorban, mendengarkan musik dengan volume suara yang cukup terdengar di dalam rumah sendiri saja. Kelompok ini
boleh jadi akan merasa terganggu ketenangannya sementara
kelompok lainnya merasa berhak melakukan apa saja dengan alasan apa pun dapat dilakukan sepanjang di rumahnya sendiri. Isu yang muncul menyangkut pengakuan yang sama, misalnya, terjadi pada kelompok yang memiliki orientasi seksual pada jenis kelamin yang sama. Dalam hal tertentu seperti pendidikan, pekerjaan, dan tempat tinggal, pengakuan dan perlakuan yang sama untuk mereka mudah diberikan. Namun, untuk pengakuan yang sama dalam hal perkawinan kontroversi amat mudah timbul, bahkan banyak pihak menolaknya. Salah satu alasan yang mendasar adalah perkawinan sejenis bukanlah kelakuan spesies yang alamiah, bukan kelakuan yang sesuai dengan sunatullah.
Perkawinan
yang
alamiah
antara
lain
berfungsi
menjamin
keberlanjutan spesies (perkawinan sejenis tidak menghasilkan keturunan, jika ini dilakukan secara konsisten manusia pelakunya akan punah). Dalam hal ini alasan kebebasan, bebas memilih gaya hidup, berhadapan dengan alasan yang eksistensial. Belum lagi adanya alasan “tidak ada kebebasan yang sebebasbebasnya”. Isu serupa terjadi pada seseorang atau sekelompok orang yang membiasakan diri hidup (dapat mapan menjadi gaya hidup) dengan materi-materi porno atau cenderung pornografis. Berhadapan dengan orang lain, yang menjauhkan diri dari materi seperti itu karena alasan agama maupun etika, tidak terhindarkan muncul polemik yang dapat mengarah ke konflik. Persoalan ini
143
tampaknya berakar pada pengetahuan yang tidak memadai lagi berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar cinta-asmara (khususnya antara pria-wanita); pengetahuan yang dimaksud yakni definisi pornografi. Tentang definisi ini sudah terdapat tawaran alternatif baru pendefinisian pornografi (Harsono P, 2008) yang berbasis pada persepsi dan reaksi anak-anak dan remaja (dipilih yang relatif sedikit terpapar materi pornografi) tentang apa yang porno (membangkitkan gairah berahi atau nafsu seksual). Isu multikulturalisme yang melibatkan hubungan antaragama di Indonesia sempat muncul (dan masih dimunculkan oleh segelintir pihak) yakni menyangkut UU Sisdiknas yang ketika itu masih merupakan RUU. Yang menjadi bahan polemik saat itu adalah pasal 13 ayat 1a dan penjelasannya yang isinya yakni “setiap peserta didik pada satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”. Isu seperti ini, yang sempat menjadi polemik panjang, agar tidak terulang membutuhkan saling pemahaman tentang pengertian agama, khususnya dimensi horisontal (hubungan sesama makhluk) dan vertikalnya (hubungan makhluk dan penciptanya). Tampaknya muncul pemahaman yang kurang memperhitungkan dimensi horisontal agama; sebaliknya agama hanya dipahami sebagai kepercayaan kepada hubungan Tuhan dan manusia. Isu lain adalah budaya kepemimpinan, wujud kelakuan berpola dalam organisasi. Memang saat ini budaya kepemimpinan yang berlaku di manapun dan sangat dominan adalah gaya model, atau paradigma kepemimpinan ketua. Akan tetapi, sudah lama muncul percik-percik ketidakpuasan di antara mereka yang dipimpin maupun “pemimpin” di tingkat bawah. Sebuah kesimpulan penelitian tentang hubungan karyawan dan para pemimpinnya yakni bahwa dua dari tiga pekerja mengharapkan bos-nya keluar sebab merupakan sumber malapetaka (Tempo, 2002). Ketidakpuasan seperti ini berkembang menjadi tuntutan perubahan pola atau gaya manajemen (dan kepemimpinan) ke arah yang lebih partisipatif untuk menghindari mismanagement dan misleadership yang lebih parah. Ini berarti juga berarti sebagai tuntutan yang lebih tinggi atas budaya berdemokrasi kepada pihak-pihak yang masih mempraktikkan gaya hidup (baca:
144
wujud budaya kelakuan berpola) otoriter (membuat keputusan dengan mengandalkan otoritas/jabatan) dan feodalistis dalam kepemimpinan. Untuk mengatasi problem multikulturalisme perlu kembali disadari bahwa budaya baik atau buruk adalah hasil daya dari budi, kekuatan dan kecerdasan akal budi manusia. Maka akal budilah yang harus diasah dan ditingkatkan penggunaannya. Salah satu cara utamanya adalah berlatih menerapkan kaidahkaidah logika secara nyata dalam membuat keputusan, besar maupun kecil. Kaidah-kaidah logika harus nyata-nyata dipelajari. Banyak orang, apalagi kalau sarjana dan diberi jabatan, yang menganggap dirinya telah berpikir logis tetapi tidak pernah membuktikannya dengan mengujinya secara rinci berdasarkan kaidah-kaidah logika seperti hukum mengenai term dan hukum mengenai proposisi misalnya (Hayon, 2005:140-149). Akibatnya, alih-alih berpikir logis, mereka hanya merasa sudah berpikir logis dan malah melakukan sesat pikir (logical fallacy).
7.2.3. Perkembangan Multikulturalisme di Berbagai Negara Awal perkembangan multikulturalisme di mulai dari negara-negara Eropa, antaralain adalah Negeri Belanda. Memasuki abad ke-20, Negeri Belanda yang dikenal sebagai negeri bunga Tulip ini, banyak dikunjungi imigran dari berbagai negara Eropa. Negeri ini memang tidak hanya memiliki satu bahasa, tetapi terdiri atas beberapa bahasa, namun demikian setiap warga negara dapat berbahasa Belanda dengan baik, sehingga orang Belanda merasa memiliki budaya yang sama. Mereka juga memiliki identitas yang sama, mengenal mitos-mitos dan pahlawan yang sama. Pada tahun 1960 mulai terjadi migrasi tenaga kerja, dan hal itu berkembang terus sampai pada tahun 1970 mencapai puncaknya dengan kedatangan para pekerja, terutama dari Maroko dan Turki. Sejak perkembangan itu, multikulturalisme menjadi konsensus ideologi di antara “kelas politik” yang resmi dari pemerintah. Prinsip mereka terlukis dalam kalimat “integratie met behound van eigen taal en cultuur.” (Okke KS Zaimar, 2007: 7). Hal ini menandakan bahwa integrasi sosial dilaksanakan, tetapi para pendatang masih boleh menggunakan bahasa dan memegang budaya mereka sendiri. Di negeri ini, dilakukan kombinasi terhadap pluralisme budaya dan konsep tentang integrasi nasional yang berlandaskan keanggotaaan sebuah komunitas. Model ini, merupakan karakteristik integrasi nasional Belanda. Sebenarnya, naiknya multikulturalisme di negeri ini, merupakan kelanjutan dari tradisi Belanda dalam hal pluralisme agama dan budaya. Setiap komunitas agama
145
diperkenankan untuk mengembangkan institusinya sendiri misalnya sekolah, organisasi, peribadatan dan lain sebagainya. Pada sekitar tahun 1980, dilakukan politik “minoritas etnis yang tujuan resminya adalah mengizinkan kaum imigran untuk memelihara identitas kultural dan tradisi mereka. Hal ini ditopang oleh berbagai tindakan, antara lain pengajaran bahasa imigran di sekolah pemerintah, dibangunnya sekolah-sekolah swasta yang disubsidi oleh pemerintah, dukungan pada asosiasi etnis dan lainlain. Tindakan ini, sejalan dengan usaha untuk menyetarakan orang asing dan warga nasional dan merupakan karakteristik-karakteristik tahun 1970-1980. Kaum imigran sering kali diperlakukan sebagai anggota blok kultural yang monolitik, dengan landasan kebangsaan. Komunitas ini berkomunikasi dengan pemerintah Belanda dalam bahasa yang dianggap sebagai bahasa mereka, bahasa Arab bagi orang Maroko. Oposisi terhadap konsensus ini secara politis bersifat marjinal. (Okke KS Zaimar, 2007: 8). Betapapun baiknya suatu teori atau gagasan, mesti terdapat kekurangankekurangannya, di samping kelebihan-kelebihan yang ada, termasuk gagasan multikulturalisme tidak dapat dilepaskan dari kekurangan-kekurangannya, karena itu konsensus kaum elit di Negeri Belanda terhadap multikulturalisme mulai diperdebatkan dan bersamaan dengan itu, kebencian terhadap kaum imigran makin meluas. Demikian juga definisi etnik tentang bangsa (nation) Belanda juga dipermasalahkan. Nasionalisme Belanda dan dukungan terhadap identitas nasional yang tradisional tak pernah memudar, hanya tidak nampak dipermukaan. Ketika faktor ini kembali diperdebatkan pada tahun 1990, hal ini turut membantu runtuhnya konsensus tersebut. Tidak aneh, apabila perkembangan di negeri Belanda ini menarik perhatian dunia internasional, karena negeri ini mulai berputar haluan dari politik multikultural yang dianut sebelumnya, menjadi politik asimilasi budaya. Kebijakan yang dianutnya ini, dikenal sebagai yang paling ekstrim di Eropa. Pada praktiknya proposi imigrasi ditentukan oleh permintaan akan tenaga kerja yang tidak memiliki keahlian dan kemudian oleh imigrasi anggota keluarga para pekerja. Dengan perkembangan ini, jumlah imigran di negeri Belanda yang bukan orang Eropa makin banyak, jumlahnya mencapai tiga juta orang. Kondisi ini merubah perbandingan jumlah penduduk Belanda antara penduduk asli dan pendatang. Jumlah imigran dan proporsi kelahiran pada komunitas mereka telah mengubah negeri Belanda sejak tahun 1950. Meskipun penduduk mayoritas masih dipegang etnis Belanda, namun pada tahun 1926, seperlima penduduk Belanda bukan lagi pribumi, tetapi para imigran, dan separuh imigran itu datang dari luar Eropa. Imigrasi telah mengubah wajah kota-kota di negeri Belanda terutama di Amsterdam. Di kota itu 55% dari anak muda bukan orang Eropa, melainkan imigran dari luar Eropa, terutama orang Turki dan Maroko. Bagi kelompok yang menentang multikulturalisme dan imigrasi, kenyataan seperti ini tidak dapat diterima. Bangsa Belanda seolah-olah
146
menghadapi masalah yang sangat mendasar, yaitu hilangnya identitas Belanda. Para pendatang ini mempersoalkan nasionalisme terhadap identitas nasional. Perdebatan terus makin tajam dan sekitar 1990 berakhir dan runtuhlah konsensus tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, di Negeri Belanda terus terjadi perdebatan antara dua kelompok yang berbeda. Kelompok pertama mendukung multikulturalisme, sedangkan kelompok kedua menolaknya, pada perkembangan terakhir kelompok-kelompok yang menentang multikulturalisme makin keras dan dilakukan secara terang-terangan. Perdebatan mengenai hal ini dan perselisihan paham yang berkaitan dengan imigrasi, monokulturalisme, atau multikulturalisme, selalu diselesaikan secara final oleh pemerintah. Multikulturalisme di Inggris. Sebagai salahsatu negara Eropa yang terus menerus didaangi para imigran, Inggris tergolong sebagai negara yang tertinggi dalam menerima imigran, apabila dibanding dengan negara-negara lain di Eropa. Para imigran di Inggris datang dari India, Karibia, dan negara-negara bekas jajahannya. Pada perkembangan terakhir, datang pula para imigran dari Eropa Timur, terutama yang berasal dari Polandia. Inggris melaksanakan cara yang berbeda dalam menangani keragaman etnis dan budaya. Konsep Inggris tentang integrasi memberikan prioritas pada individu dan bukan tidak pada organisasi institusional komunitas. Tugas integrasi juga tidak dibebankan kepada negara, melainkan dibebankan pada masyarakat sipil dan pada pasar kerja. Negeri Inggris tidak pernah menghadapi asimilasi rakyat bekas jajahannya, yang melanjutkan pemerintahan sesuai dengan aturan hukum mereka sendiri. Multikulturalisme di Inggris mulai berkembang sekitar tahun 1968, ketika pemimpin buruh Roy Jankins menyampaikan pidato yang menyampaikan pandangan mengenai imigrasi yang bukan dalam bentuk fusi, tempat imigran menjadi orang Inggris, tetapi dalam bentuk kesetaraan kesempatan dengan keragaman budaya dan dalam suasana toleransi. Di Inggris para pendukung pemerintahan partai buruh, menganggap bahwa menolong golongan minoritas untuk memelihara budaya mereka, merupakan bantuan untuk menjaga hak mereka, juga membantu partispasi mereka sebagai warga negara. Ini berarti melakukan integrasi tanpa asimilasi (Okke KS Zaimar, 2007: 12). Multikulturalisme memperoleh dukungan di Inggris, karena Inggris masih ingin melindungi bekas jajahannya, selain itu Inggris membutuhkan tenaga kerja untuk menjalankan roda ekonominya yang terus berkembang dengan pesat. Tenaga kerja berdatangan dari India, Karibia, dan negara-negara Eropa Timur. Sementara itu keadaan di negara-negara bekas jajahannya, belum mencapai kemajuan yang memadai sehingga banyak tenaga kerja yang menganggur. Program ini, masih banyak menghadapi halangan dan tantangan-tantangan, misalnya masalah rasisme masih belum dapat dihilangkan, dan tenaga kerja bekas negara jajahan yang tidak mempunyai keahlian memberikan andil bagi kegagalan program tersebut.
147
Setelah itu terjadilah perdebatan antara pihak yang menjunjung multikulturalisme dan yang menolaknya, masing-masing mengemukakan alasan yang cukup kuat. Pihak pemerintah yang mendukung multikulturalisme mengemukakan bahwa multikulturalisme berarti mengakui keberadaan budaya pendatang. Dengan demikian, pemerintah membantu golongan minoritas untuk memelihara budaya mereka, pengakuan ini juga merupakan bantuan untuk menjaga hak mereka, selain membantu partisipasi mereka membantu negara. Dalam perkembangan terakhir, multikulturalisme di Inggris tidak jauh berbeda dengan di Negeri Belanda, yaitu terus berkembang perbedaan antara yang pro dan yang kontra. Perbedaannya, di Negeri Belanda kelompok yang menentang multikulturalisme bersikap lebih keras, sedangkan di Inggris berjalan lebih lunak. Multikulturalisme di Prancis, keadaannya sama dengan Inggris. Prancis telah lama menerima para pendatang, bahkan sejak satu abad yang lalu. Banyak alasan yang dikemukakan imigran untuk memasuki Prancis, diantaranya untuk mencari pekerjaan, mencari suaka politik, sedangkan bagi para imigran dari bekas negara jajahan merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Selain alasan di atas, letak geografis negeri ini yang amat strategis yang merupakan jalan persimpangan, menambah banyak jumlah imigran yang ingin menetap di Prancis. Pada saat ini, statistik menunjukkan bahwa imigran mencapai 3,6 juta. 1,5 juta berasal dari negara-negara Eropa, 1,4 juta dari Afrika Utara, 425.000 dari Asia Tenggara, dan 240.000 dari sub Sahara Afrika, padahal jumlah penduduk Prancis secara keseluruhan 59 juta orang (Wiarda, Howard J., 2001: 107, sebagaimana dikutip KS Zaimar). Dalam menghadapi keragaman etnis dan keragaman budaya pendatang, pada awal abad ke-20 ditetapkan kebijakan publik terhadap kaum imigran dengan istilah yang disebut asimilasi. Strategi ini berdasarkan pada suatu keyakinan bahwa budaya Prancis yang dominan,lebih tinggi daripada budaya lain, dan budaya para imigran harus berasimilasi dengan budaya yang superior itu. Namun demikian, dalam perkembangan berikutnya, tradisi yang menekankan pada asimilasi itu mulai ditinggalkan, hal ini disebabkan: pertama, di awal tahun 1960an para imigran yang datang bukan dari Eropa saja (seperti dari Italia, Spanyol, atau Portugis), melainkan dari negara-negara bekas jajahan Prancis, dari sub Sahara dan Afrika Utara, di antara mereka berbeda agama dan berkulit hitam. Maka “cultural shock” pun tidak dapat dihindari. Kedua, faktor yang juga telah membuka perdebatan terhadap asimilasi ini adalah serangan terhadap mitos-mitos Prancis yang menampilkan identitas nasional. Gerakan kedaerahan meminta agar bahasa dan budaya mereka diakui (Wiarda, Howard J., 2001: 107, sebagaimana dikutip KS Zaimar). Pada tahun 1998, Prancis menempatkan dirinya sebagai negeri yang dihuni oleh banyak ragam sosial, budaya, dan etnis. Mungkin tidak bijaksana apabila memperdebatkan masyarakat mana yang lebih pluralis. Usaha untuk menuju masyarakat pluraslis terus diusahakan dari waktu ke waktu, namun demikian jalan ke arah itu tidak selalu rata, banyak pertentangan dan halangan yang
148
menghadang. Hal itu dapat disaksikan bahwa tantangan dari bawah hanya akan bersifat sementara dan hal itu akan segera hilang, ketika pemerintah menyetujui gerakan pluralisme kultural. Prancis ingin menjadi negeri yang terbuka, reputasinya sebagai negeri kebebasan sejak munculnya revolusi Prancis, menyebabkan banyak yang mencari suaka politik yang datang ke sana, selain mereka yang mencari kerja. Masalahnya menjadi makin rumit ketika datang juga ke sana para imigran yang datang, tidak memiliki pendidikan yang memadai dan tidak memiliki ketrampilan, sehingga menyulitkan keadaan. Kaum politisi konservatif banyak yang menentang kebijakan pemerintah dalam politik “pintu terbuka.” Menghadapi kenyataan yang serba menyulitkan itu, diantaranya karena para imigran menyandang budaya yang sangat jauh berbeda, asimilasi tidak mungkin dilakukan. Usaha untuk menjalankan integrasi juga kurang berhasil. Akhirnya Prancis menganut pluralisme budaya saja, yang memberikan ruang gerak cukup leluasa, baik para pendatang maupun “tuan rumah”. Dalam kebijakan ini, para imigran dapat dengan bebas melaksanakan tradisi budayanya hanya sebatas tempat tinggalnya. Apabila mereka keluar, misalnya belajar di sekolah Prancis, mereka harus memakai budaya Prancis yaitu bahasa dan tradisi Prancis. Oleh karena itu, sekarang di Paris banyak dijumpai ghetto masingmasing menurut asal pendatang. Misalnya, komunitas Cina tinggal di ghettonya, demikian pula komunitas Arab, Afrika dan sebagainya. (Okke KS Zaimar, 2007: 17). Demikian, latar belakang tumbuhnya multikulturalisme dan perkembangannya pada beberapa negara, sebagai contoh untuk melihat latar belakang tumbuhnya multikulturalisme di negara-negara lain. Contoh tersebut merupakan pola-pola yang mendasari paham itu di negara-negara lain. 7.2.4
Multikulturalisme di Indonesia Indonesia adalah salahsatu negara multikultural terbesar di dunia, hal ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Sekarang ini, jumlah pulau yang ada di Indonesia mencapai sekitar 13.000 pulau, besar dan kecil. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari 210 juta jiwa, terdiri atas 300 suku yang menggunakan lebih kurang 200 bahasa yang berbeda. Penduduk Indonesia juga menganut agama dan kepercayaan yang berbeda-beda, seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Konghucu, serta berbagai macam aliran kepercayaan yang bersifat lokal. (‘Ainul Yaqin, 2007: 4). Yang disebutkan di atas hanya merupakan salahsatu dari sekian banyak wajah multikultural, lebih detail lagi apabila dilihat dari cara pandang, tindakan dan wawasan setiap individu atau kelompok yang ada, terhadap berbagai macam fenomena sosial, budaya, ekonomi, politik, dan berbagai hal lainnya, tidak dapat disangkal, mereka mempunyai pandangan yang beraneka ragam. Latar belakang yang berbeda itu misalnya dapat dilihat dari segi pendidikan, etnis, agama, kelas sosial, ekonomi, kedudukan, tindakan dan pandangan yang berbeda, tentang fenomena sosial seperti, kesetaraan jender, demokrasi, hak asasi manusia, dan terhadap hal-hal lainnya.
149
Keragaman yang demikian banyak, seperti yang disebutkan di atas, diakui atau tidak, akan dapat menimbulkan berbagai persoalan seperti yang sekarang dihadapi bangsa kita korupsi, kolusi, nepotisme, premanisme, perseteruan antarpolitk, kekerasan, separatisme, perusakan lingkungan, pelanggaran terhadap hak asasi adalah merupakan bentuk nyata sebagai dampak yang buruk dari masyarakat multikultural, di samping dampak yang baik dan mengutungkan. Seperti juga bangsa-bangsa di Eropa dan Amerika, bangsa Indonesia juga mengalami masa-masa pahit dan mengerikan, yang terjadi dari masa ke masa, sejak zaman Kerajaan Singosari, Sriwijaya, Majapahit, Mataram, zaman penjajahan, sampai zaman setelah merdeka. Pengalaman pahit itu dialami bangsa kita, dengan terjadinya peperangan antarkerajaan, perebutan kekuasaan antarkeluarga raja, pemerasan dan penganiayaan di zaman penjajahan dan peristiwa-peristiwa lain sebagaimana disebutkan di atas. Pengalaman pahit yang dialami bangsa kita, terasa lebih berat apabila dibandingkan dengan bangsabangsa lain, karena peristiwa seperti itu terjadi selama berabad-abad. Mengambil pelajaran dari kenyataan pahit yang memilukan sebagaimana disebutkan di atas, perlu dicari strategi yang tepat dalam rangka memecahkan persoalan tersebut, melalui berbagai bidang; sosial, politik, budaya, ekonomi, pendidikan, dan pengajaran. Berkaitan dengan hal itu, perlu ditawarkan suatu alternatif melalui penerapan pendidikan multikulturalisme (diambil yang positifnya) yang berbasis pada pemanfaatan peotensi keragaman yang ada pada masyarakat. Berbagai keragaman dengan aneka macamnya yang terjadi pada bangsa kita agar dimanage untuk mendatangkan hal-hal yang bermanfaat dan menguntungkan. Pendidikan multikulturalisme ini tidak hanya diberikan di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi, tetapi juga diterapkan dalam semua aktifitas kemasyarakatan. Dengan cara ini, kesadaran mengenai pentingnya toleransi, pluralisme, dan demokrasi akan makin tumbuh dalam kehidupan masyarakat, sehingga dapat menghindari konflik. Perbedaan-perbedaan yang ada apabila dikelola secara baik justru akan mendatangkan manfaat, bukan saja bagi umat manusia tetapi juga bagi alam semesta secara keseluruhan. Kita dapat mengambil pelajaran dari perbedaan-perbedaan keahlian yang ada pada kita, masing-masing kita memiliki kemampuan dan keahlian yang berbeda. Justru perbedaan-perbedaan itu menguntungkan kita semua, ada di antara kita yang mempunyai keahlian sebagai seorang dokter, insinyur, ahli hukum, ilmuwan, agamawan, dan sebagainya. Bayangkan jika setiap manusia hanya memiliki keahlian yang sama semua, misalnya dokter semua atau insinyur semua, tentu hubungan sosial kita tidak akan berjalan dengan baik. 7.3. Etika Kemajemukan Etika dalam hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh K.Bertens sebagai norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur perilakunya. Bagaimana kita merencanakan perilaku 150
ditengah masyarakat yang majemuk dari sudut budaya, etnis dan agama. Dengan melihat potret kehidupan sosial dalam masyarakat Indonesia masa yang akan datang perlu dirangkai kehidupan bersama yang lebih harmonis. Secara spesifik, dalam tataran masyarakat yang majemuk, perlu dibangun kesadaran bersama bahwa dalam berperilaku sehari-hari dan sekaligus berinteraksi antara menghormati perbedaan-perbedaan yang muncul. Dalam rangka mewujudkan kesadaran kolektif tersebut yakni membangun kesadaran masayarakat untuk mingkatkan etika kemajemukan, ada hal-hal yang harus dilakukan secara bersama sama. Ada hal-hal yang tidak perlu dilakukan dan adap ula hal-hal yang perlu dihormati. Adapun hal-hal yang harus dilakukan sebagai berikut : 1. mewujudkan kemauan bersama untuk mewujudkan perdamaian dengan menggalang kesadaran kolektif. 2. duduk bersama merumuskan solusi-solusi terbaik untuk menciptakan perdamaian dengan mengedepankan kepentingan bersama dari pada kepentingan golongan atau kelompok. 3. bersama menahan diri untuk terlibat dalam konflik kepentingan yang mengareah kepada konfrontasi fisik secra masal 4. mengedapankan kesaudaraan bersama dalam mencari upaya untuk menciptakan kesadaran kolektif, tanpa asa kepentingan pribadi (vested interest) Hal-hal yang tidak perlu dilakukan bersama adalah melebur kebenaran masing-masing, memaksa pada pihak lain yang berbeda pandangan dan ideologi, menggeneralisasi setiap perbedaan dan lain sebagainya ingin hidup bersama dalam perdamaian.Hal-hal yang harus dihormati adalah penghargaan terhadap kebenaran agama, ideologi, perbedaaan budaya masing-masing tanpa harus mengungkapkan kekurangan ataupun kekurangan yang bernada melecehkan. Jika hal tersebut dapat diwujudkan dan dilaksanakan, maka selanjutnya bagaimana menyebarluaskan dalam masyarakat luas. Artinya masyarakat luas harus diajak bersama untuk mewujudkan kesadaran kolektif tersebut yang dinilai dari kelompok-kelompok kecil sampai komunitas-komunitas besar seperti beda agama. Katakanlah ajakan untuk mewujudkan kesadaran kolektif itu dimulai dari keluarga, pergaulan dengan tetangga sampai kepada masyarakat. Ketika pada masyarakat diperlukan etika kemajemukan yang solid yaitu lebih mengedepankan kebersamaan daripada mempermasalahkan perbedaan-perbedaan. Sehubungan dengan ini, nilai moral universal seperti kejujuran, keadilan, tolong-menolong, saling kasih mengasihi dan perlindungan terhadap hak asasi manusia harus lebih dikedepankan daripada hal-hal yang parsial dan ekslusif. Juga kesamaan-kesamaan budaya bahwa kita satu nenek moyang dan mengalami sikap yang sama dan tergantung dan membutuhkan satu dengan yang lainnya harus menjadi pedoman dalam menjalin hubungan dengan etis lain. Untuk itu kita perlu memiliki komitmen bersama terhadap hal-hal sebagai berikut :
151
1. Saling menghargai, menahan diri, lapang dada, mengingatkan untuk kebaikan, berniat suci untuk kebaikan menolong dalam kebaikan memaafkan dan mendoakan 2. Saling mengedepankan kebersamaan, saling berbuat baik untuk bersama, membela jika salah satunya teraniaya, merasa bersaudara, mendukung keputusan bersama, berjuang menegakkan keputusan bersama, mengalah apabila tidak mencapai sepakat. 3. Berperilaku saling beradab (beretika) tidak terprovokasi saling mencintai, saling bersahabat secara akrab, saling menolong dalam kebaikan. Komitmen-komitmen diatas mengingatkan kita untuk tidak berbuat bebas dari aturan yang telah disepakati bersama. Karena itu membangun (menciptakan) kesadaran kolektif pasti mendapat tantangan maka komitmen dapat membuat kita lebih solid untuk melangkah dan menatap hari esok yang lebih cemerlang dan beretika.Agar semua dapat terlaksana maka kita semua perlu berperilaku : jujur, adil, kerja sama, tanggung jawab, sopan, disiplin dan peduli. Etik pergaulan penting yang harus dijaga dalam bergaul dengan saling mengenal dan kerja sama pada masyarakat majemuk. 1. Bergaulah dengan siapa saja tanpa memandang agama, suku bangsa, pandangan politik dengan saling menghargai sifat masing-masing. 2. Hiasilah pergaulan dengan berperilaku sopan (berakhlak dan budi pekerti), pergunakan bahasa yang sopan raut wajah yang sopan dan sebagainya sungguhpun anda berbeda pendapat dan ideologi dengan mereka. 3. Jangan menjadikan pertemuan itu sebagai ajang membuat strategi untuk merusak kebenaran dan melesatarikan permusuhan. 4. Materi pembicaraan dalam pertemuan jangan sampai mengarah pada sikap caci maki, membicarakan aib, dan merencanakan langkah-langkah untuk menjatuhkan orang, agama, atau etnis lain. 5. Kerja sama dalam pergaulan supaya diarahkan untuk kebaikan bersama (konstruktif) bukan untuk lkepentingan kelompok atau golongan yang bersifat destruktif. 6. Jangan memanfaatkan kerja sama yang sudah terbina hanya untuk mencari kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan lain. 7. Akhirilah setiap pertemuan dan dialog dengan saling minta maaf dan membuat janji serta membangun komitmen untu meneruskan persahabatan yang sudah terjalin. 8. Berilah teladan dan contoh perilaku dan ucapan yang baik, terutama dalam pergaulan bersama supaya teman bergaul menjadi simpati dan jangan mengobral janji yang belum tentu ditepati apalagi tidak ditepati. Dengan melaksanakan kedelapan pedoman tersebut berarti telah dilaksanakan prinsip-prinsip pergaulan dalam etika kemajemukan dan telah
152
menangkap filosofi bergaul serta mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. 7. 4. Dampak Kemajemukan
Indonesia penduduknya terdiri atas berbagai suku bangsa, bahasa dan budaya yang sangat majemuk. Implikasi dari kemajemukan masyarakat dan kebudayaan di Indonesia ialah beragamnya pula sistem budaya dalam masyarakat, dan munculnya masalah kritikal. Yang dimaksud dengan sistem budaya adalah kepercayaan, nilai-nilai, dan norma-norma untuk mengatur hubungan sosial dalam masyarakat. Sistem budaya itu hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Oleh karena itu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman bagi tingkah laku manusia dalam kehidupan sosialnya. Secara garis besar terdapat empat macam sistem budaya di Indonesia yang jelas berbeda satu sama lain (Bachtiar 1987). Masing-masing sistem budaya ini praktis mengatur seluruh aspek kehidupan orang-orang yang dianggap penting, atau yang lebih penting lagi menganggap dirinya sendiri, sebagai pemilik sistem itu. Pertama adalah sistem budaya dari berbagai kelompok etnik di Indonesia. Masing-masing kelompok etnik itu beranggapan bahwa kebudayaan mereka diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang yang hidup di “zaman dongeng.” Masing-masing budaya kelompok etnik itu mempunyai tanah asal, wilayah tempat para nenek moyang pertama kali menetap, asal dari masyarakat etnik yang kemudian makin meluas. Sistem budaya ini biasanya disebut sebagai sistem adat. Pada mulanya, inti dari sistem budaya etnik adalah kepercayaan religi yang masuk ke dalam keseluruhan sistem budaya. Termasuk di dalamnya mitosmitos mengenai asal-usul nenek moyang dan biasanya merupakan suatu kosmologi yang rumit. Kepercayaan itu memberi batasan tentang apa itu masyarakat yang baik. Pada kebanyakan masyarakat pedesaan, kehidupan sosialnya terutama dikendalikan oleh suatu sistem budaya etnik. Sedangkan di kota-kota besar mungkin dijumpai aneka ragam kelompok etnik yang berbedabeda. Oleh karena itu kota-kota besar biasanya menampakkan aneka ragam sistem budaya etnik. Kedua, sistem budaya yang terdiri atas sistem-sistem budaya agama besar yang tanpa kecuali, berasal dari luar kepualuan Indonesia. Tidak satu pun dari sistem budaya yang berdasarkan agama ini mempunyai tanah asal di Indonesia, dan semua sistem budaya ini mempunyai banyak pengikut di luar Indonesia. Hal itulah yang merupakan pembeda terpenting antara sistem budaya yang berdasar agama dengan sistem budaya yang berdasar pada kelompok etnik. Seiring dengan
153
perkembangan waktu, berbagai kelompok etnik (yang semula animistik) beralih atau menyesuaikan diri kepada agama-agama pendatang itu. Masing-masing agama di dunia menyatakan dirinya mempunyai kewajiban moral untuk mengatur semua aspek kehidupan, setidak-tidaknya kehidupan masyarakat penganut agama itu. Pada kenyataannya, tidak semua penganut suatu agama benar-benar menjalankan perintah agama yang dianut-nya. Bahkan yang paling fanatik pun cenderung untuk memilih apa yang sebaiknya diterima dan apa yang sebaiknya ditolak. Lebih lanjut, kebanyakan orang tetap beranggapan diri mereka sebagai anggota masyarakat etniknya masing-masing, dan karena itu merasa bertanggung jawab atas sistem budaya masyarakat sendiri. Ketiga, sistem budaya Indonesia, yang merupakan sistem termuda di antara semua sistem budaya yang ada di Indonesia. Dilihat dari fungsinya dalam pengintegrasian masyarakat Indonesia secara total, kedudukan sistem budaya baru itu sangatlah penting. Semua penduduk pribumi dan nonpribumi dapat dianggap sebagai anggota sistem budaya ini. Unsur-unsur sistem budaya ini telah terbentuknya setidaknya sejak sekitar awal abad XX yang kemudian secara bertahap tumbuh menjadi suatu sistem yang mandiri. Bahasa Indonesia, misalnya, mengalami “pemisahan” dari bahasa Melayu, dan berkembang sebagai alat komunikasi baru yang menggantikan bahasa penguasa kolonial Belanda. Sistem budaya Indonesia juga mengembangkan sistem normatif dan nilainilai dasarnya sendiri, yang tidak berakar secara utuh pada salah satu budaya masyarakat etnik atau tradisi keagamaan melainkan berakar pada semua sistem budaya yang ada. Nilai-nilai dasarnya telah dirumuskan menjadi ideologi negara yakni Pancasila. Unsur pokok sistem normatif bangsa Indonesia adalah UndangUndang Dasar Negara. Sedangkan unsur-unsur penting lainnya dari sistem normatif itu adalah semua norma hukum resmi yang diharapkan diterapkan dan dipatuhi seluruh anggota masyarakat dalam kegiatan mereka sebagai warga negara Republik Indonesia. Norma-norma itu mengatur hak dan kewajiban semua warga negara Indonesia dan siapa saja selama mereka tinggal di wilayah ini. Keempat, adalah sistem budaya yang terdiri atas sistem-sistem budaya asing. Masuknya sistem-sistem budaya asing itu pada awalnya dapat dilihat bersamaan masuknya agama-agama besar ke kepulauan Indonesia sejak berabadabad yang lalu. Sistem-sistem budaya agama besar itu berhasil mengakar secara kuat di kalangan penduduk sehingga sedikit-banyak mempengaruhi pikiran, sikap dan tindakan sebagian warga masyarakat di Indonesia. Sebaliknya pula, sistemsistem budaya agama itu dalam tingkat tertentu telah kehilangan identifikasinya sebagai sistem budaya asing meskipun tidak hilang sama sekali. Misalnya dalam sistem budaya agama Islam masih digunakan bahasa Arab sebagai ungkapan komunikasi keagamaan; demikian juga sistem budaya agama Katolik masih berkaitan dengan Roma, sistem budaya agama Protestan masih berhubungan
154
dengan negara-negara Protestan di Barat, dan sistem budaya Hindu dan Budha masih berasosiasi dengan India. Sementara itu, sebagian sistem budaya keduniawian asing juga berhasil masuk ke Indonesia, baik dari Eropa, Ame-rika maupun dari Asia seperti India, Cina dan Jepang. Bagaimanapun, sistem-sistem budaya itu tetap dikenal sebagai sistem-sistem budaya asing dan kemungkinan besar akan tetap begitu. Demikian pula sebagian besar unsur-unsurnya akan tetap dianggap asing sehingga ada yang mengalami kesulitan untuk berkembang. Namun ada pula unsur sistem budaya itu yang telah menjadi bagian dari sistem budaya nasional Indonesia, misalnya pengetahuan ilmiah, teknologi, sistem ekonomi dan sistem politik. Meskipun berasal dari sistem budaya asing, unsur-unsur budaya tersebut telah dimasukkan menjadi bagian dari sistem budaya nasional atau setidak-tidaknya dianggap begitu. Sebagai masyarakat Indonesia yang memiliki keragaman nilai-nilai budaya sebagai dasar dalam berperilaku, dan telah menjadi sistim budaya, maka telah menjadi keharusan dalam kehidupan masyarakatnya terdapat norma-norma yang mengatur gerak langkah manusianya sebagi anggota masyarakat. Sebagai makhluk budaya, perilaku manusia memerlukan pedoman atau acuan dalam bertingkah laku. Oleh karena itu, di dalam melakukan tindakantindakan atau perilaku dalam kehidupannya, manusia dilingkupi oleh sistem nilai atau himpunan nilai-nilai. Sebagai wujud ideal kebudayaan yang memberi acuan manusia dalam berperilaku, nilai-nilai tersebut seolah-olah mempunyai tingkatantingkatan atau gradasi dalam kedudukannya. Pembahasan mengenai sistem nilai budaya terdahulu, merupakan inti yang menjiwai semua pedoman yang mengatur tingkah laku warga masyarakat yang bersangkutan. Pedoman tingkah laku yang dimaksudkan itu di antaranya adalah norma-norma yang hidup di masyarakat atau dikatakan juga sebagai norma sosial. Secara umum pengertian norma adalah segala aturan-aturan atau pola-pola tindakan, yang normatif, yang menjadi pedoman hidup bagi orang untuk bersikap tindak di dalam kehidupannya, baik dalam hidupnya sendiri maupun dalam pergaulan hidup bersama. Norma-norma tersebut diyakini oleh warga masyarakat yang bersangkutan sebagai milik bersama. Bagaimana suatu masyarakat meyakini suatu norma sebagai milik bersama nampak dalam tingkah lakunya, bagaimana mereka menundukkan diri atau mematuhi norma-norma tersebut. Beraneka ragamnya norma-norma yang hidup di masyarakat dikarenakan norma-norma tersebut sudah mengacu pada peranan-peranan manusia dalam kedudukannya di masyarakat. Selain itu apabila di lihat dari sudut daya paksa atau sanksi untuk kepatuhan terhadap suatu norma terdapat perbedaan-perbedaan pula. Ada norma yang lemah atau tidak keras dengan sanksinya, atau dikatakan sebagai sanksi sosial saja. Sebaliknya ada pula yang mempunyai sanksi kuat yang
155
dinamakan sebagai sanksi hukum, sehingga norma tersebut dinamakan sebagai norma hukum. Dalam bab sebelumnya telah diuraikan tentang: norma-norma yang hidup dalam masyarakat yaitu norma hukum dan norma sosial lainnya, kemudian mengenai proses terjadinya norma hukum yang berasal dari norma sosial, dan pembahasan mengenai hal-hal pokok tentang hukum sebagai suatu norma yang penting dalam mengatur kehidupan manusia. 7. 5. Masyarakat dan Terbentuknya Sebuah Bangsa Masyarakat pada dasarnya adalah kumpulan orang, namun tidak semua kumpulan orang dengan sendirinya merupakan masyarakat. Terdapat empat kriteria yang harus dipenuhi agar suatu kumpulan atau kelompok orang dapat disebut masyarakat, yaitu (1) memiliki kemampuan bertahan melebihi masa hidup (seorang) individu; (2) rekrutmen seluruh anggotanya melalui reproduksi; (3) kesetiaan pada suatu sistem tindakan utama bersama; dan (4) adanya sistem tindakan utama yang bersifat swasembada (Marion Levy). Konsekuensi dari kriteria tersebut ialah bahwa suatu kelompok dapat disebut masyarakat apabila kelompok itu memenuhi keempat kriteria tersebut; atau apabila kelompok itu dapat bertahan stabil untuk beberapa generasi walaupun sama sekali tidak ada orang atau kelompok lain di luar kelompok tersebut (Sunarto 1993). Berdasarkan kriteria tersebut, kumpulan orang yang berada di malla tau pasar, misalnya, tidak dapat disebut sebagai masyarakat karena kumpulan itu bersifat sementara yang bubar ketika tujuannya selesai; kumpulan itu tidak melakukan reproduksi untuk menambah jumlah anggotanya; tidak ada suatu kesetiaan pada sistem tindakan utama bersama; dan tidak melakukan tindakan untuk menghasilkan kebutuhan sendiri seperti sandang dan pangan. Kumpulan orang dipasar lebih tepat disebut kerumunan atau crowd (Park 1972). Memahami pengertian masyarakat tersebut, sudah barang tentu terbentuknya masyarakat diawali dengan individu. Individu berinteraksi dengan individu menjadi keluarga, dan keluarga berinteraksi dengan keluarga lain menjadi sebuah masyarakat. Dalam masyarakat yang terjadi bukan satu keluarga berinteraksi dengan satu keluarga tetapi persatuan beberapa keluarga yang jumlahnya besar berinteraksi, komunulasi dan sepakat membuat satu kepentingan bersama menjadi sebuah masyarakat. Setelah manusia membentuk masyarakat dengan ragam budayanya dan agar tetap eksis dan sejahtera, manusia membentuk masyarakat yang lebih besar dan menamainya dengan bangsa. Timbul beberapa pengertian bangsa dan kebangsaan yang berkembang sejak akhir abad XIX dan kini menjadi bahan acuan dalam pembahasan tentang bangsa dan kebangsaan. Dua pengertian tentang bangsa (nation) dan kebangsaan yang berkembang. Menurut Hans Kohn (Kaelan, 2002: 213): bangsa terbentuk persamaan bahasa, ras, agama, peradaban, wilayah, negara dan kewarganegaraan. Teori Kohn ini nampaknya berdasarkan perkembangan pengertian bangsa (nation)
156
di Eropa kontinental. Bangsa di Eropa kontinental bangkit karena revolusi leksikografi bahwa bahasa milik pribadi-pribadi kelompok khas (Anderson, 2001: 126). Eropah daratan dikuasai oleh Dinasti Habsburg di sebagian Eropa tengah dan Timur, dinasti Romanov di Eropa, Rusia dan Asia Barat hingga Siberia dan dinasti Usmania (Ottoman) di Balkan, sedangkan di wilayah Eropah Barat lebih indevenden setelah jatuhnya dinasti Bourbon. Bangsawan (penguasa lokal diharuskan mampu berbahasa latin sebagai bahasa resmi. Persoalan timbul bahwa yang mampu menguasai bahasa resmi hanya sedikit. Ini berdampak bahwa percetakan tidak hanya menerbitkan karya tulis secara luas sehingga akan menimbulkan kerugian. Sebagai tindak lanjutnya, para penerbit lebih banyak menggunakan bahasa lokal agar masyarakat yang mampu baca tulis lebih banyak. Akibat lanjutnya adalah tumbuhnya faham egalitarisme di kalangan masyarakat. Faham egalitarisme merupakan awal pertumbuhan demokrasi dan nasionalisme. Rupanya faktor inilah menjadikan Hans Kohn membuat definisi seperti ini. Bagi Negara yang dikuasai ras lain, nasinalisme tumbuh seperti dari Ernes Renan, yang pada hakikatnya juga merupakan pemberontakan terhadap penguasa yang ingin memaksakan penggunaan bahasa dan budaya penguasa. Oleh karena itu, Ernes Renan (kini menjadi suatu acuan oleh para pemimpin nasional di dunia ketiga/Negara sedang berkembang) masyarakat : bahwa bangsa adalah, bukan suatu ras, bukan orang-orang yang mempunyai kepentingan yang sama, bukan pula dibatasi oleh batas-batas geografis atau batas alamiah. Nation (bangsa) adalah suatu solidaritas, suatu jiwa, suatu asas spiritual, suatu asas solidaritas yang dapat tercipta oleh perasaan pengorbanan yang telah lampau dan bersedia dibuat dimasa yang akan dating. Nation tidak terkait oleh negara, karena berdasarkan hukum. Menurutnya wilayah dan ras bukan penyebab timbulnya bangsa. Berbeda bangsa dalam konsep Pancasila, (Kaelan, 2002:213) Dikatakan bangsa karena adanya unsur masyarakat yang membentuk bangsa, yaitu : berbagai suku, adat istiadat, kebudayaan, agama serta berdiam suatu wilayah yang terdiri atas beribu-ribu pulau. Bangsa juga mempunyai kepentingan yang sama dengan individu, keluarga maupun masyarakat yaitu tetap eksis dan sejahtera. Salah satu persoalan yang timbul dari bangsa adalah ancaman disintegrasi, dan yang menjadi penyebab utama biasanya perbedaan persepsi pada upaya masyarakat yang ingin “merekatkan diri lebih ke dalam”, yaitu ingin mempertahankan pola. Oleh karena itu, pada bangsa yang baru merdeka atau berdiri diupayakan memiliki alat perekat yang beasal dari budaya masyarakat. Pada perkembangannya alat perekat itu dikenal sebagai ideologi yang hendak dipahami oleh bangsa itu sendiri. Kebangkitan bangsa pada masyarakat terjajah sebenarnya tidak saja dimulai dengan upaya membangkitkan semangat egaliter oleh para pemimpin pergerakan tetapi oleh para pemimpin dinasti yang memaksakan masyarakat menggunakan budaya para penguasa. Menyadari hal tersebut para pemimpin pergerakan mengupayakan perlawanan terhadap dominasi ras Eropa dengan membangun sekolah agar masyarakat nusantara mampu membaca dan menulis huruf Latin. Para raja di nusantara ikut membantu pasif. Kemampuan membaca dan menulis, ditindak
157
lanjuti dengan cukup memadai penerbitan kita dan penggalian filsafat masyarakat nusantara maupun Eropa. Masyarakat nusantara mulai gemar membaca dan menulis serta berusaha menerjemahkan kata asing ke dalamm bahasa Melayu dan Jawa. Karya-karya itu akhirnya membangkitkan semangat egaliter dan selanjutnya membangkitkan semangat kebangsaan. Kebangsaan diartikan sebagai ciri-ciri yang menandai bangsa (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002: 102). Sebagian orang Belanda yakin bahwa terbentuknya bangsa Indonesia sebagai hasil rekayasa J.P. Coen, yang telah berhasil mendirikan dan membangun benteng Batavia (Simbolon, 1995:372). Namun yang jelas kebangkitan ras Melayu menjadi bangsa Indonesia didahului dengan kebangkitan semangat egaliter, yang diwujudkan melalui tiga jalur, yaitu: kebudayaan, ekonomi dan administrasi politik. Sumpah Pemuda yang menyatakan Satu Nusa, satu bangsa dan satu bahasa, yaitu bahasa Indonesia, pada tanggal 28 Oktober 1928 merupakan gambaran terbentuknya bangsa Indonesia sebagai bagian dari “nation state” dengan bahsa Indonesia sebagai bahasa kesatuan. Tujuh belas tahun kemudian terwujud Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu unsur negara yang harus ada rakyat atau penduduk yang mendiami wilayah dan penduduk itu hendaknya mayoritasnya adalah warganegara, sedangkan pendududuk negara Indonesia (sebelum merdeka) terdiri atas tiga golongan, yang tentunya tidak setiap golongan akan setia pada negara baru. Dari ketiga penduduk ini kemudian ditetapkan siapa-siapa yang menjadi warga negara Indonesia.
158
DAFTAR PUSTAKA
Buku: Alisjahbana, Sutan Takdir, Sejarah dan Kebudayaan Indonesia: Di lihat dari Segi Nilai-nilai. Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1982. Apeldoorn, Van, 1982, Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan Inleiding tot de studie van het Nederlandse Recht oleh Mr. Oestarid Sadino. Jakarta: Noordhoff-halff N.V., 1982. Bakhtiar, Amsal, Filsafat Agama. Jakarta: Logos, 1987. Ball, Gran T., Civics, New Revisied Edition. Chicago III: Follet Publishing Co., 1973. Bertens, K, Etika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993. Cassese, Antonio, Hak Asasi Manusia di Dunia yang Berubah, Yayasan Obor, Jakarta, 1994. Deddy Mulyana, et.al, Komunikasi Antarbudaya, Bandung: PT Rosda Karya, 2006. Departemen Agama RI, Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama, Jakarta: Depag RI, 1980. Departemen Luar Negeri, Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut, Jakarta: Direktorat Perjanian Internasional Deparlu, 1983. Djatmika, Rahmat, Sistem Etika Islam, Surabaya: Pustaka Islam, 1985. Finoza, Lamuddin, Komposisi Bahasa Indonesia, Jakarta: Diksi Insan Mulia, 2008. Freger, Robert, Hati, Diri, dan Jiwa, Psikologi Sufi untuk Transformasi. Jakarta: Serambi, 2002. Hayon, Y.P. Logika, Prinsip-prinsip Bernalar Tepat, Lurus, dan Teratur. Jakarta: ISTN, 2005.
159
Hirts, Paul, War and Power I The 21 Century (terjemahan), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Huntington, Samuel, P.,The Class Of the Civilazation and The Remarking of The Word Order. United Kingdom: Cox and Wyman, 1996. Ihromi, TO, Antropologi dan Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000. ______, Biang Lala Hukum Indonesia. Bandung: Tarsito, 1986. Jalaluddin, Rahmat, Psikologi Agama, Jakarta: ,1996. Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Jakarta: Pascasarjana, Universitas Indonesia, 2008. Kaelan, M. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia, 1985. Koentjaraningrat, Kendala Sosial Budaya Dalam Pengamalan Pancasila, Kompas, 14 Januari 1991 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta, 1990. Liliweri, Alo, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: LkiS, 2002. Lubis, Akhyar Yusuf, Dekonstruksi Epistemologi Modern. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2006. Mubarak, Zakky, Menjadi Cendekiawan Muslim. Jakarta: Yayasan Ukhuwah Insaniah, 2007. Mustopo, M Habib. Ilmu Budaya Dasar, Kumpulan Essay- Manusia dan Budaya. Surabaya: Usaha Nasional, 1989. Panuju, Redi, Ilmu Budaya Dasar dan Kebudayaan. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 1996. Purbacaraka, Perihal Kaedah Hukum. Bandung: Alumni, 1982. Sen, Amartya, Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas. Serpong: Marjin Kiri, 2007. Shihab, Quraish, Membumikan Al-Qur'an. Bandung: Mizan,1992.
160
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Suseno, Franz Magnis, Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius, 1987. Syahrani, Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Banjarmasin: Pustaka Kartini, 1988. Widagdho, Djoko, Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara, 1994. Yaqin, M. Ainul, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pilar Media, 2007. Koran: Harsono P, Ari. “Duri Definisi dalam UU Pornografi”, Media Indonesia, 19 November 2008 Tempo, rubrik Klik TEMPO Interaktif, 18-24 Februari 2002: 6 Peraturan-Peraturan: Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 No. 125. Tambahan Lembaran Negara No.4437 ) ________, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Kamus dan Ensiklopedia: Hagoo, John APeace of Westphalia, Encyclopedia Americana vol 28). New York, NY: American Corp, 1977. Holborn, Hajo, William II, Encyclopedia Americana vol 28). New York, NY: Americana Corp, 1977. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, 2001. Rujukan Internet: Azra, Azyumardi, 2007 “Identitas dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme Indonesia”, http://www.kongresbud.budpar.go.id/58%20azyumardi%20azra.htm, 18 November 2007
161
Harahap, Ahmad Rivai, “Multikulturalisme dan Penerapannya dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama”, http://lpkub.org/Jurnal %20KUB/edisi2/teori%20multikulturalisme.htm , 2004 Suara Publik, http://www.suarapublik.org/Cetak/ Edisi_16 /Page _13.htm, Edisi Oktober 2003. Suparlan, Parsudi, “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”, Simposium Internasional Bali ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002, http://www.duniaesai.com/antro/antro3.html
162
TENTANG PENULIS
R. Ismala dewi, adalah tenaga pengajar tetap di Fakultas Hukum Universitas Indonesia untuk Mata Kuliah Antropologi Budaya, Antropologi Hukum dan Ilmu Budaya Dasar. Kemudian sebagai Koordinator Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi (MPKT) - PDPT UI di FHUI, serta fasilitator MPKT di lingkungan Universitas Indonesia. Latar belakang pendidikan adalah S1 Fakultas Hukum UI, S2 Program Pascasarjana UI Fakultas Hukum, dan Kandidat Doktor pada Program S3 Studi Hukum di Universitas Indonesia. Selain sebagai tenaga pengajar di UI, aktif dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan disiplin ilmu hukum, dan kegiatan pengabdian pada masyarakat, antara lain Pembimbing Mahasiswa dalam kegiatan Kuliah Kerja Nyata (K2N) Mahasiswa Universitas Indonesia. Zakky Mubarak, adalah tenaga pengajar tetap Universitas Indonesia, fasilitator PDPT UI – MPKT, MPK Agama dan dosen di pascasarjana KTTI di lingkungan Universitas Indonesia. Latar belakang pendidikannya adalah S1 Fakultas Ushuluddin (Theologi) UIN Jakarta, S2 Program Pascasarjana UIN Jakarta bekerja sama dengan UI, dengan Tesis "Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan dan Manfaatnya bagi Pendidikan Agama di Perguran Tinggi Umum", Program S3 Studi Pemikiran Islam di UIN Jakarta lulus awal tahun 2006 dengan Disertasi "Akal dan Kalbu dalam Pandangan al-Ghazali." Selain tenaga pengajar di UI aktif dalam berbagai kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan studi Hadis, Filsafat, dan Tasawuf. Husmiaty Hasyim, adalah tenaga pengajar tetap Universitas Indonesia, fasilitator PDPT UI – MPKT, dan MPK Agama, dosen Ekonomi Syari'ah di FE, Pasca sarjana KTTI di lingkungan Universitas Indonesia. Latar belakang pendidikannya adalah S1 Fakultas Tarbiyah UIN Jakarta, S2 Program Kajian Islam Pascasarjana UIN Jakarta. Selain sebagai tenaga pengajar, juga aktif dalam berbagai kegiatan ilmiah, seperti penulisan jurnal ilmiah, Entry Encyclopedi Islam, kegiatan kemasyarakatan dan kegiatan dalam berbagai organisasi keagamaan, serta organisasi kewanitaan. Ari Harsono, adalah Dosen tetap Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, fasilitator PDPT UI – MPKT di Universitas Indonesia. Memberikan kuliah Etika dan Filsafat Komunikasi, Psikologi, Komunikasi, Ilmu Sosial Dasar, dan Seminar Masalah Komunikasi. Latar belakang pendidikan S1 FISIP UI. S2 STIE IPWIJA, dengan Tesis "Paradigma Kepemimpinan Pendapat" Selain sebagai tenaga pengajar, ia menaruh perhatian pada kajian tentang kepemimpinan berbasis uji kejujuran dan uji logika dalam masyarakat komunikatif; juga metode pembelajaran analisis, akar masalah dan solusinya.
163
View more...
Comments