Backup Data MC-01 Pelebaran Jl Tanjung2

May 31, 2016 | Author: Faysa Anugrah | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Konstruksi...

Description

TERBENTUKNYA KOTA TIMIKA Pada tahun 1967, wilayah dimana kota Timika sekarang berada tidak terdapat apapun selain hutan belantara. Kota Timika yang sekarang (Distrik Mimika Baru) sampai dengan tahun 2005 memiliki jumlah penduduk sebesar 150.753 jiwa itu semula hanyalah sebuah desa kecil. Daerah pantai Selatan Papua baru terbentuk pada 50.000 tahun yang lalu, yakni dalam zaman es terakhir pada waktu glesyer secara besar-besaran mengerus pegunungan dan hujan deras membawa material hasil erosi melalui sungai-sungai menuju pantai. Di daerah sebelah Selatan pegunungan sudirman, para ahli gleyser yakin bahwa sejak saat itu, garis pantai Selatan telah bertambah hingga 50 (limapuluh) kilometer untuk mencapai posisi sekarang. karena material yang terbawa pada umumnya hasil gerusan batuan kapur, maka daerah pantai tidak mempunyai tanah yang mengandung hara. Daerah ini panas, berawa dan penuh malaria. Penduduk khususnya Papua baik itu suku Amungme maupun Kamoro di tempat ini tidak pernah menetap. Mereka hanya mengembara di daerah ini untuk berburu, berdagang atau untuk berperang. Iklim dan keadaan hidup di pantai maupun di daerah pegunungan lebih baik. Kalau kita terbang melintasi daerah di luar Timika, dapat kita saksikan daerah datar aluvial ratusan kilometer sepanjang pantai, tanpa terlihat adanya tanda-tanda permukiman. Timika lahir pada akhir tahun 1960-an, pada waktu Freeport mengambil keputusan untuk membuka tambang Ertsberg. Pusat operasi pemboran yang bertujuan mencari kelanjutan deposit Ertsberg, di tempatkan di desa kecil suku Kamoro dekat pantai yang bernama Timuka (dalam peta Belanda dieja dengan Timoeka). mengingat kebutuhan yang lebih besar guna menunjang persiapan pembukaan tambang, diperlukan pusat perbekalan yang lebih sesuai dan permanen. Akhirnya lokasi ditentukan, yaitu suatu tempat yang berjarak kurang lebih 40 Km kearah pedalaman di tepi sungai Aikwa, yang kemudian di beri nama Timika, sedikit perubahan dari Timuka. DesaTimuka sendiri masih ada, yakni desa kecil yang terletak di tepi pantai sekitar 25

Km dari muara sungai Tipuka arah Tenggara. Desa ini kemudian diberi nama Timika Pantai atau Timika lama. Bechtel, adalah sebuah perusahaan besar Amerika yang dikontrak PT FI untuk membangun jalan utama dari batas akhir ketinggian air sungai Jaramaya (Pad XI di atas sungai Jaramaya) kearah pegunungan, tetapi hanya dalam batas area pertambangan saja. Pembangunan jalan ini dimulai tahun 1970, kearah Utara dan melewati tempat yang sekarang di sebut kota Timika. yang berdekatan denga airport. Beberapa karyawan harian orang Papua mendirikan rumah-rumah mereka di area tersebut. pemindahan terbesar pertama terjadi pada tahun 1972 pada saat 38 keluarga dari Agimuga datang dan menempati suatu area yang sekarang ini disebut Kwamki Lama. mereka berpindah dari pegunungan ke Agimuga hanya dalam kurun waktu 10 tahun, tetapi area tersebut tidak memberikan keuntungan seperti yang dijanjikan. Di Kwamki Lama banyak orang yang menderita sakit Malaria karena sebagian besar orang dari daratan tinggi yang memiliki kekebalan tubuh yang baik seperti juga pada area pinggiran pantai yaitu suku Kamoro. Orang-orang yang pindah ke Kwamki lama membuka dan hutan untuk berkebun melangsungkan kehidupan mereka. Mereka adalah orang-orang pertama di Timika. Pada tahun1977 terjadi konflik antara GPK dan Militer Konflik ini mengakibatkan banyak orang menyingkir dari rumah mereka. Kebanyakan suku Amungme dari Kwamki Lama melarikan diri kembali ke perkampungan mereka di gunung. Pada tahun 1980, mereka kembali dan tinggal di tempat yangs sekarang disebut Kwamki Baru, di beberapa tempat, termasuk area Timika Indah saat ini. Tahun 1981 PT Freeport Indonesia membeli semua hasil kebun mereka terutama sayur-sayuran. Suku Kamoro yang tinggal di perkampungan tengah Naegeripi dan Waonaripi, kemudian berada di sebelah timur area proyek sungai Minajerwi menyingkir ke pinggiran pantai yang bernama Pasir Hitam. Antara tahun 1981-1982 pemerintah merelokasikan mereka, bersama-sama dengan penduduk lainnya ke Koperapoka dan Sempan Barat. Sekarang merupakan Bagian Tengah dan Selatan Kota Timika.

Pertengahan tahun 1980-an terlihat perkembangan Timika dalam skala besar dengan masuknya warga Non-Papua yang berimigrasi dan migrasi melalui program transmigrasi. Diantara adalah para transmigran dari pulau jawa yang tiba pada tahun 1985 atas program Pemerintahan Pusat dan dibiayai oleh Bank Dunia. Sekarang ini “secara spontan” terjadi juga transmigrasi (tanpa bantuan Pemerintah) antara lain penduduk dari kepulauan Kei, Sulawesi Selatan, kelompok etnis Bugis juga etnis Toraja serta suku-suku lain yang mulai berdatangan ke Timika. Pada tahun 1971, Bandar Udara dan pusat perbengkalan selesai dibangun dan sejak awal tahun 1970-an lambat laun daerah disekitarnya berkembang menjadi suatu kota. Pada waktu mulai membangun jalan akses ke tambang tahun 1969, Freeport memperkerjakan orang-orang Amungme. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Moses Kilangin, dalam waktu setahun, 250 orang suku Amungme di pekerjakan oleh Freeport di Camp II dan di Mile 50. Dalam 2 (dua) tahun para pekerja dan kelurganya telah menetap di daerah sebelah utara Bandar udara. Daerah ini merupakan daerah ujung paling Selatan dari daerah Amungme. Kesimpulan ini diambil oleh suku Amungme karena penduduk daerah pegunungan beranggapan bahwa jeram deras pada sungai Aikwa yang berketinggian sama dengan bandar udara, merupakan daerah pembatasan antara tanah adat mereka dan tanah adat suku Kamoro yang tinggal di pantai. Namun menurut suku Kamoro daerah ini adalah hak ulayat mereka, dibuktikan dengan pembayaran hak ulayat di Mile 32 (termasuk kota Kuala Kencana) oleh PT Freeport Indonesia yang menerima adalah masyarakat suku Kamoro. Orang Amungme membersihkan daerah Bandar udara dan membuka kebun di sekitarnya. Mereka dengan cepat memasuki lahan-lahan yang tadinya di buka untuk keperluan industri yang kemudian di tinggalkan, seperti lahan-lahan perbekalan sementara dan lahan-lahan persiapan konstruksi. Mereka tidak tahan melihat lahan kosong yang tidak dimanfaatkan. hingga sekarang, kebun-kebun yang dibangun di lahan-lahan di sekitar bandar udara yang memang dibiarkan terbuka sesuai peraturan penerbangan, merupakan sumber konflik. Pada tahun 1973, permukiman yang terletak di Sebelah Utara Bandar udara sudah sedemikian besar dan luas, sehingga orang-orang Amungme menjadikan desa

dengan nama Kwamki, yang berarti “Burung Surga”. Nama ini sesuai dengan kenyataan karena “Burung Cendrawasih” memang masih banyak terdapat disekitar daerah Timika. Penghuni desa kemudian memilih kepala desa mereka yang pertama bernama Paulus Magal. Pada tahun yang sama PT Freeport menuju desa kecil tersebut. Jalan ini kemudian menjadi jalan yang melintasi pasar serta menuju daerah yang bernama Cendrawasih. Freeport juga membantu menyiapkan lahan untuk perumahan dan kebun. Tidak lama setelah Kwamki di bangun, Pemerintah menempatkan sebuah kantor di Mapurujaya sekitar 17 Km sebelah Selatan Bandar udara. Pemerintah mengganti nama Kwamki dengan Harapan, tetapi penduduk lebih senang dengan nama Kwamki. Setelah tambang Ertsberg berproduksi pada tahun1972, perusahan mulai menghadapi masalah dengan para penduduk yang bermukim di sekitar Tembagapura. Sebagian besar bukan hanya Suku Amungme tetapi orang-orang Dani, Moni dan Ekari yang ingin mendapatkan pekerjaan di PT Freeport Indonesia, tetapi tidak memiliki latar belakang pendidikan dan ketrampilan yang makin meluas tidak saja mengganggu pemandangan, tetapi juga mengadung resiko kesehatan karena tidak adanya sarana sanitasi. Penebangan hutan juga menyebabkan bahaya tanah longsor. Permukiman liar ini juga tidak disetujiu oleh Pemerintah karena lokasinya tidak memungkinkan pemerintah untuk dapat membangun sarana kebutuhan hidup. Pada pertengahan tahun 1970-an pemerintah bersama PT Freeport mulai menyadarkan para pendatang baru untuk pindah ke Kwamki, dimana tersedia lahan untuk membangun rumah dan sarana yang layak. Orang-orang Amungme yang bermukim di masing-masing daerah juga dianjurkan untuk pindah, sedangkan perumahan bagi kedua kelompok tersebiut akan disediakan di sepanjang jalan Cendrawasi di Kwamki. Sebanyak 50 unit rumah yang dibangun telah dihuni oleh orang-orang Dani meskipunada beberapa orang Amungme yang akhirnya bersedia pindah juga. Orang-orang Amungme adalah kelompok pertama yang bermukim di daerah Timika yang kemudian di ikuti oleh kelompok pendatang dari berbagai daerah lain di Indonesia. Sebagian besar dari para pendatang adalah orang-orang Bugis dari Sulawsi,

sedang sebagian lagi adalah pendatang dari kepulauan Kei, dimana masyarakat dari kepulauan Kei ini lebih dulu berdatangan dari sejak misionaris masuk ke Tanah Papua. Orang-orang Bugis, selain terkenal sebagai pedagang yang pandai, juga sebagai pelaut ulung, dengan perahu pernah berlayar mencapai Australia, lama sebelum orang-orang Eropa sampai di sana. Orang-orang Bugis ini merantau jauh dari kampung halamannya yang terletak di bagian tengah kepulauan Nusantara, mencari teripang, rumput laut, mutiara dan kerang untuk diperdagangkan ke Negeri Cina. Setelah tahun 1970-an, beberapa perumahan mulai dibangun di daerah sebelah Selatan Bandar udara, yang kemudian menjadi kota Timika. Munculnya permukiman ini dapat di katakan secara spontan. Dari waktu ke waktu, rumah-rumah baru muncul dan tidak lama kemudian menjadi sebuah permukiman. Kelompok orang-orang yang pertama kali datang ke Timika pada umumnya adalah pendatang musiman, sehingga catatan tentang mereka tidak banyak tersedia. Dengan berjalannya waktu, para pendatang mulai membawa keluarganya untuk bermukim bersama pada rumah-rumah yang mereka bangun. Pada tahap awal di daerah rendah sekitar Timika tidak ada ketertiban dan keamanan. Secara bertahap permukiman di Kwamki terus bertambah sehingga secara keseluruhan berjumlah 200 rumah. Inti dari pembangunan Kwamki adalah menyediakan perumahan sehat bagi orang-orang di pegunungan. Selain juga bertujuan untuk memusatkan sarana layanan masyarakat seperti sekolah dan rumah sakit, karena menyediakan sarana demikian di pegunungan bagi suku Amungme yang tersebar dalam kelompok-kelompok kecil adalah sangat tidak praktis. Dalam keresahan politik yang terjadi pada tahun 1977, penghuni Kwamki yang pada umumnya beragama Katolik melarikan diri, menghindari konfrontasi antara pihak militer dan Gerakan Papua Merdeka. Mereka baru kembali setelah satu sampai dua tahun kemudian dan mendapatkan sebagian besar rumah mereka dalam keadaan hancur. Para penghuni Kwamki pindah ke daerah sebelah selatan Bandar udara yang merupakan bagian kota Timika, yang kemudian dinamakan Kwamki Baru.Karena ada yang baru, maka pemukiman yang pertama dinamakan Kwamki Lama. Orang-orang Amungme yang beragama Katolik di Kwamki Baru hidup rukun dengan para penghuni dari kepulauan Kei yang juga beragama Katolik.

Pada tahun 1981 dan 1982, penduduk Timika berkembang setelah pemerintahan merelokasi tiga desa dari daerah pantai ke daerah sekitar TImika. Penduduk dari ketiga desa ini dimukimkan dalam dua lokasi, yaitu di Koperapoka Baru yang berasal dari nama desa Kamoro dan di Sempan Barat. Sempan Barat diperuntukan bagi orangorang Sempan, yakni orang-orang dari kelompok Kamoro yang hidup di sepanjang pantai disebelah Timur Sungai Inauga, serta menggunakan bahasa di kawasan Timika yang sudah meluas ini, sekarang disebut Koperapoka dan Inauga. Tidak seperti orang-orang Amungme, maka orang-orang yang berasal dari daerah pantai ini sudah mendapat pendidikan dari sekolah Katolik serta mampu berbahasa Indonesi. Orang-orang Kamoro dan orang Sempan berjuang untuk hidup di Timika dengan berdagang ikan dan sagu, baik secara langsung maupun melalui perantara orang-orang Bugis. Orang-rang Bugis yang lebih dinamis, merupakan kelompok pendatang terbesar di Timika dan sebagian sebagai pedagang perantara mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Mereka membuka toko atau kios di Timika. Kontraktor yang mendapat pekerjaan dari Freeport maupun dari pemerintah juga mendapat posisi yang baik. Para kontraktor ini menggunakan tenaga kerja penduduk asli yang dibayar dengan upah yang relatif murah. Pada tahun 1985, Freeport membeli lahan pertanian orang Amungme untuk dikembangkan menjadi permukiman bagi karyawan Freeport, yang dinamakan Timika Indah. Pada awalnya Freeport meragukan apakah para karyawan akan tertarik untuk membeli rumah atau menetap dengan keluarganya di Timika. Ternyata terdapat minat yang besar di antara karyawan untuk memiliki rumah di Timika. Lima puluh rumah yang dibangun pertama kali ternyata tidak dapat memenuhi permintaan peminat. Mungkin jumlah empat kali dari itupun akan habis terjual, sedang ukuran dan rancang bangun rumah dapat memenuhi keinginan pembeli. Setelah melihat pertumbuhan penduduk dan makin lengkapnya prasarana di daerah Timika, Maka Pemerintah Indonesia mendirikan pemukiman transmigrasi resmi di pinggir kota. Pada tahun 1985 rombongan transmigrasi pertama yang tiba kebanyakan dari pulau Jawa. Program transmigrasi di Papua di mulai pada tahun 1970, dan sejak itu telah 50.000 jiwa di pindahkan dari daerah-daerah Indonesia yang

berpenduduk padat. Penduduk Papua sendiri kurang dari 2 jua jiwa, sedang pulau Jawa yang berukuran kurang dari seperempat ukuran Provinsi Papua, berpenduduk lebih dari 120 juta. Program Transmigrasi di Indonesia menjadi masalah kontroversial. Program transmigrasi

pada

awalnya

dilaksanakan

oleh

Pemerintah

Belanda

dengan

memindahkan para petani dari Jawa ke Sumatra Selatan dan Kalimantan. setelah Kemerdekaan, program dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia, yang pada awalnya disponsori oleh Bank Dunia. Pada tahap awal, pemilihan lahan transmigrasi dilakukan kurang selektif. Para petani kecewa karena gagal bertani/gagal panen pada lahan yang tidak subur dan kalaupun berhasil, maka hasilnya tidak dapat dijual karena tidak tersedianya jalan menuju pasar. Lahan transmigrasi seiring di tetapkan pada daerah berburu atau penggarapan penduduk asli, sehingga pertentangan penduduk asli dengan transmigran tidak dapat dielakan. Pada dewasa ini program transmigrasi dilaksanakan lebih baik, karena para pejabat lebih selektif dalam menetapkan lahan transmigrasi, sehingga tidak tumpang tindih dengan penggunaan lahan tradisional oleh penduduk setempat. Di daerah Timika sekitar tahun 1995 sebelum menjadi kabupaten terdapat 15.794 jiwa transmigran. Mereka bermukim di 13 Satuan Pemukiman (SP). Satuan pemukiman tersebut merupakan pemukiman yang teratur dari sisi tata ruangnya dan sudah berstatus desa. Sektor ekonomi yang dimiliki Freeport dalam hal ini potensi peluang kerja yang ditawarkan perusahan dan prasarana yang dibangun oleh Freeport, secara langsung atau tidak langsung merupakan salah satu faktor keberhasilan program transmigrasi. Kota Timika yang mudah dicapai dari pemukiman transmigrasi merupakan peluang bagi para transmigran untuk mendapatkan pekerjaan sambilan sebagai tambahan pendapatan mereka dari sektor pertanian. Selain itu, Kota Timika juga merupakan pusat pasar untuk menjual hasil pertanian. Dengan demikian pertanian berpola irigasi merupakan hal yang telah dimiliki oleh petani yang berasal dari pulau Papua, kurang dapat dikembangkan. Sayur mayur dapat tumbuh dengan baik, sehingga pasokan

sayur-mayur kepada Freeport dan pada pasar di Timika mampu meningkatkan penghasilan para transmigran dalam jumlah yang cukup. Kegiatan ekonomi oleh para transmigran kemudian dibina pemerintah, mengakibatkan kota Timika berkembang dengan sangat pesat. Pada awal tahun 1996 Kota Timika pusat terdiri dari dua wilayah, yaitu Kwamki Baru di Utara dan Koperapoka di Selatan, masing-masing dengan penduduk sampai dengan saat itu sekitar 17.316 jiwa. Pusat kota Timika adalah Pasar Raya yang semula disebut Pasar Swadaya Murni. Pasar Raya beserta terminal untuk bus dan taksi, gedung bioskop, toko-toko kecil, Bank dan perkantoran, merupakan pusat bisnis yang ramai. kawasan bisnis ini terus berkembang, tingkat tiga akan segera rampung dibangun (gedung Pajak Bumi dan bangunan). Dalam ukurannya, Timika sama halnya dengan kota-kota lain di Indonesia, terkecuali tidak terdapat pengusaha etnis Cina dan tidak terdapat banyak pedagang kaki lima. Kota Timika menyediakan pelayanan masyarakat cukup lengkap, antara lain Sekolah Menengah Atas, pelayanan jasa telekomunikasi, layanan kartu kredit yang dapat menjangkau seluruh dunia, kantor pos, pembangunan hotel termasuk diantaranya salah satu berbintang empat, yaitu Sheraton, 7 (tujuh) apotik, 5 (lima) Bank, beberapa organisasi gereja dan Masjid dan beberapa rumah makan. Industri kecil terus berkembang, antara lain pembuatan mebel, pabrik batako, genteng dan berbagai bahan bangunan. Para wirausahawan juga mencoba memanfaatkan kehadiran wisatawan asing yang semakin banyak dengan menjual cenderamata berupa benda-benda tradisional dan kerajinan asli Papua. Pada tahun 1993, dengan potensi Grasberg yang lebih jelas dan dengan berbagai program ekspansi yang terus berlangsung, maka kota Tembagapura terasa makin sempit. Dengan keadaan demikian, Freeport mulai merintis perluasan di daerah rendah, dengan memindahkan beberapa sarana industri ke wilayah Timika. Selain itu meneruskan program yang sudah dirintis pada tahun sebelumnya, yaitu membangun perumahan untuk dijual kepada karyawan Freeport, para kontraktor dan masyarakat

umum. Sudah ada keputusan bahwa dalam jangka panjang, seluruh kegiatan yang tidak diperlukan di Tembagapura, segera dipindahkan ke daerah dataran rendah, termasuk semua staf dan manejer senior yang tidak diperlukan secara langsung dalam kegiatan tambang. Untuk mewujudkan keputusan tersebut, Freeport membangun “Kota Baru”.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF