BAB3 Problem Pemboran Dan Kerusakan Formasi

December 5, 2017 | Author: Deni Bhakti Adiyaksa | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Problem Pemboran Dan Kerusakan Formasi...

Description

BAB III PROBLEM PEMBORAN DAN KERUSAKAN FORMASI 3.1. Problem Pemboran Operasi Pemboran yang telah direncanakan dengan matang tidak selalu berjalan dengan baik, terkadang dijumpai hambatan dalam operasi pemboran. Ada beberapa problem yang menghambat operasi pemboran tersebut. Problem-problem yang berhubungan dengan pemboran biasanya disebabkan karena ganggauan terhadap tegangan tanah (earth stress) di sekitar lubang bor yang disebabkan oleh pembuatan lubang itu sendiri dan adanya interaksi antara lumpur pemboran dengan formasi yang ditembus.Problem pemboran tersebut harus ditangani dengan cermat. Problem pemboran dapat diklasifikasikan dalam empat bagian dasar, yaitu (1) Problem Shale, (2) hilang Lumpur, (3) Pipa Terjepit dan (4) Well Kick 3.1.1. Shale Problem Shale (serpih) adalah batuan sedimen yang terbentuk oleh deposisi dan kompaksi sedimen untuk jangka waktu yang sangat lama. Serpih ini komposisi utamanya adalah lempung (clay), lanau (silt), air dan sejumlah kecil quart dan feldspar. Berdasarkan kandungan airnya, serpih dapat berupa batuan yang kompak atau batuan yang lunak dan tidak kompak, yang biasanya disebut serpih lempung atau serpih lumpur. Serpih ini juga dapat berada dalam bentuk metamorpihic seperti slate, phylite, mica schust. Dalam pemboran, ada dua jenis serpih yang biasa dijumpai, yaitu serpih yang tidak kompak (sering disebut lempung) dan serpih yang kompak Pemboran yang menembus formasi shale tersebut akan menemui permasalahan, terutama pemboran yang menembus formasi yang tidak kompak. Problem tersebut adalah runtuhnya formasi shale ke dalam lubang bor. Formasi yang runtuh dapat menyebabkan : lubang bor membesar, pipa bor terjepit, penyemenan yang kurang sempurna, bertambahnya kebutuhan lumpur dan kesulitan logging. Shale yang tidak kompak, adalah batuan sedimen yang terjadi pada endapanendapan lempung (clay).Pengembangan mineral clay sebagai akibat terjadinya invasi

fasa cair dari lumpur kedalam formasi yang mengandung clay. Lempung (clay) merupakan batuan sedimen klastik yang berasal dari pelapukan batuan beku atau metamorf. Reaksi clay pada cairan terutama tergantung dari jenis clay, ion-ion yang ada dan keadaan fisik yang bersangkutan. Karena clay merupakan material yang reaktif, maka ion-ion yang ditambahkan pada reaksi kimia clay dan air sangat berpengaruh terhadap sifat reaktifnya. Ion yang berubah dapat berupa ion positif maupun negatif. Dalam hal ini dispertion clay karena thinner, adalah tambahan anion pada permukaan clay (partikel clay). Misal Na+ dan Ca++, kedua ion ini saling tukar tempat dan penukarannya tergantung dari jenis kation yang ada dan konsentrasi relatif kationnya. Misalnya kation-kation akan menggantikan tempat satu dengan yang lainnya dalam konsentrasi yang sama sebagai berikut: Al+++ > Ba++ > Mg++ > Ca++ > H+ > K+ > Na+ Ca lebih mudah mengambil tempat Na daripada sebaliknya. Penukaran ion-ion tergantung dari pH, temperatur dan kapasitas materialnya. Dalam hal ini monmorollite, makin cepat penukarannya, tetapi makin tinggi pH-nya, kelarutan Ca ++ mengecil, maka demikian pula penukarannya diperlambat, dalam hal ini : Ca++ + NaOH

Ca(OH)2 + Na+ + OH –

Terlihat bahwa penambahan NaOH menaikan pH dan sebagian Ca ++ akan mengendap karenanya. Shale disusun oleh sejumlah fraksi clay dalam bermacam-macam komposisi. Clay paling sensitif terhadap air adalah monmorollite. Reaksi pengantian ion-ion ini terjadi didalam media air dan akan diikuti dengan pengembangan clay (swelling). Terjadinya kontak antara permukaan clay dengan air, dan bila dianggap bahwa satu plate clay terpisah dari matriknya, maka kation akan meninggalkan plate tersebut. Molekul air adalah polar, maka air akan tertarik oleh kation yang terlepas maupun oleh plate clay, demikian seterusnya sehingga clay akan mengembang (Gb. 3.1)

Gb. 3.1. Struktur dua dimensi mineral kaolinite, Monmorollite dan illite24) Ketidakstabilan lubang bor pada formasi umumnya disebabkan oleh dua hal, yaitu imbibisi dengan konsekwensi swelling dan penutupan lubang bor, sedangkan penyebab kedua adalah faktor mekanisme yang disebabkan oleh rotasi drilstring dan aliran fluida pemboran di annulus yang akan menggerus dinding lubang bor, sehingga akan mengganggu kestabilan lubang bor. Imbibisi air adalah hal yang paling umum, dan hal ini terjadi akibat adanya Crystalin Hydrational Force dan Osmotic Hydrational Force. Crystalin Hydrational Force adalah gaya-gaya yang berasal dari substitusi elemen dilapisan tengah clay,

gaya ini sangat sulit diatasi, karena air diekstrasikan dimuka plate yang sama besarnya dengan yang diekstrasikan disisi plate. Osmotic Hydrational Force terjadi bila terdapat perbedaan konsentrasi ion antara formasi denagan fluida pemboran, dimana air akan tertarik dari lumpur ke formasi. Gejala yang timbul bila sedang mengalami masalah shale: 

Tekanan pompa naik



Serbuk bor bertambah



Air filtrasi bertambah banyak



Ada banyak endapan serbuk bor di dalam lubang bor



Terjadi gumpalan pada pahat (bit balling)



Terjadi perubahan sifat-sifat lumpur, antara lain : berat lumpur bertambah, viscositas lumpur naik, dan bertambahnya air tapisan.

Beberapa Jenis Shale Problem : Shale biasanya merupakan hasil endapan marine basin, terutama dari lumpur, silts dan clays. Dalam bentuknya yang lunak, biasanya disebut clay, bila makin dalam, maka karena tekanan dan temperatur yang tinggi endapan ini akan mengalami perubahan bentuk (consolidation), dan disebut sebagai shale, karena perubahan bentuk proses metamorfosis disebut slate, phylite atau mica schist. Shale banyak mengandung pasir disebut arenaceous shale, sedang yang banyak mengandung organik material disebut carbonaceous shale. Adapun jenis-jenis shale adalah sebagai berikut : 1. Pressure Shale Shale merupakan batuan endapan, yang biasanya terdapat pada daerah yang luas. Adanya proses geologi, terjadi penekanan batuan tersebut oleh lapisan-lapisan yang mengendap berikutnya (overburden pressure). Pada proses compaction atau pemadatan ini, maka cairan-cairan yang berada di dalam batuan tersebut tertekan keluar dan masuk ke dalam batuan yang porous dan permeabel, biasanya pasir, akibatnya cairan terperangkap dan tertekan di dalam pasir dan tekanan dapat mencapai tekanan yang relatif tinggi, bahkan dapat menyamai tekanan overburden itu sendiri.

Ketika lapisan tersebut dibor, bisa terjadi tekanan lumpur lebih kecil daripada tekanan formasi. Perbedaan tekanan ini dapat mengakibatkan runtuhnya dinding lubang bor pada waktu pemboran sedang berlangsung. 2. Swelling Clay Terjadi pada saat pemboran menembus lapisan shale yang sangat reaktif terhadap air. Shale yang berbentuk lempengan terhidrasi (menghisap air), menyebabkan diameter menjadi besar, yang disebut swelling. 3. Sloughing Berhubungan dengan sifat fisik dan mekanik, dimana sifat shale tidak bersifat reaktif terhadap air tetapi terdapat pada retakan, dan mudah runtuh karena tekanan pada lapisan shale tinggi, sehingga terdapat Phidrostatik < Pformasi. Dari sloughing dapat terjadi heaving. 4. Heaving Adalah terbongkarnya shale dari formasi. Shale bersifat lunak dan agak keras, dan terbentuk dari terjadinya sloughing. 5. Tigth Hole Akibat terjadinya clay koloid pada lapisan shale, yang mempunyai hidrasi yang relatif besar, sehingga akan mengakibatkan pemuaian pada shale (umumnya shale bentonite) dan akan membuat penyempitan lubang sumur. 3.1.1.1. Jenis-jenis shale berdasarkan sifat dan kandungan pada lapisan shale a. Gas bearing shale Lapisan shale yang mengandung lensa pasir, mempunyai tekanan gas yang tinggi. Lapisan ini bila di bor dengan lumpur yang tekanan hidrostatisnya lebih kecil dari tekanan formasi, maka akan terjadi longsoran (sloughing) dan runtuhan. Penanggulangan terhadap problem ini adalah menaikan berat jenis lumpur, sehingga tekanan hidrostatisnya meningkat, dengan meningkatnya tekanan hidrostatis maka kemungkinan terjadinya longsoran dan runtuhan akan dapat dihindari. b. Bentonic shale Shale jenis ini mengandung coloidal clay yang kemampuan hidrasinya menyerupai bentonic. Hidrasi ini akan menyebabkan bentonic shale memuai kedalam

lubang bor, sehingga menimbulkan bagian yang sempit (tight spot). Hal ini ditandai dengan kenaikan torsi, drag dan bit balling. c. Fractured Brittle Shale Shale jenis ini sangat rapuh, serta mempunyai rekahan (Fractured) yang miring. Lapisan ini mudah runtuh kedalam lubang bor. Penanggulangan problem ini dengan cara menurunkan water loss dan bila mungkin menaikan tekanan hidrostatis lumpur pemborannya. 3.1.1.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Problem Shale Problem shale yang terjadi biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor, faktor tersebut dapat dibagi menjadi tiga bagian : a) Faktor Mekanis b) Faktor Hidrasi c) Faktor-faktor selain mekanis dan hidrasi 3.1.1.2.1. Faktor Mekanis Penyebab masalah shale ini dapat dikelompokan dari segi lumpur maupun dari segi drilling practice atau mekanis. Beberapa penyebab dari kelompok mekanis antara lain : 

Erosi, karena kecepatan lumpur di annulus yang terlalu tinggi.



Gesekan pipa bor terhadap dinding lubang bor.



Adanya penekanan (pressure surge) atau penyedotan (swabbing) pada waktu cabut dan masuk pahat (tripping).



Adanya tekanan dari dalam formasi.



Adanya air filtrasi atau lumpur yang masuk ke dalam formasi.

3.1.1.2.2. Faktor Hidrasi Sejumlah faktor berpengaruh di dalam hidrasi serpih. Untuk tujuan praktis, gaya hidrasi serpih dan hidrasi osmosis dapat ditandai dan ditentukan secara kuantutatif. Gaya hidrasi serpih berhubungan dengan kompaksi pada lapisan serpih.

Hidrasi osmosis berhubungan dengan dengan perbedaan salinitas antara lumpur pemboran dan air formasi pada lapisan serpih. Selama sedimentasi, lapisan serpih terkompaksi secara progresif oleh berat overbuden. Gaya kompaksi ini akan mengeluarkan sejumlah besar air yang terserap dan air dari dalam pori batuan serpih. Gaya kompaksi ini sama dengan matrik stress (tekanan overbuden – tekanan pori). Pemboran lapisan serpih melepaskan gaya kompaksi pada sekitar lubang bor dan sebagai hasilnya akan timbul gaya hidrasi serpih. Gaya hidrasi serpih besarnya kira-kira sama dengan matrik stress. Hidrasi osmosis terjadi jika salinitas air formasi lebih besar daripada salinitas lumpur pemboran. Pada lumpur berbahan dasar air, permukaan serpih bertindak sebagai membran semi permiable dimana hidrasi osmosis terjadi. Pada lumpur yang berbahan dasar minyak, membran semi permiable-nya adalah oil film (lapisan tipis minyak) dan lapisan emulsifer di sekitar water droplet. Karena hidrasi osmosis tergantung kepada perbedaan salinitas antara air formasi lapisan serpih dan lumpur pemboran, proses ini dapat menghasilkan gaya adsorbsi maupun desorbsi. Gaya adsorbsi timbul jika salinitas air formasi pada lapisan serpih lebih besar daripada salinitas lumpur pemboran dan demikian sebaliknya. Adsorbsi air oleh serpih biasanya akan menghasilkan dispersi dan swelling. Dispersi terjadi jika serpih terbagi-bagi menjadi partikel-partikel kecil dan masuk ke lumpur pemboran sebagai padatan (solids). Swelling terjadi akibat peningkatan ukuran dari mineral silika yang menyusun struktur lempung dan jika tekanan swelling yang timbul ini meningkatkan hoop stress disekitar lubang bor menjadi lebih besar daripada yield strength serpih, maka destabilisasi lubang bor akan terjadi. Destabilisasi lubang bor ini bentuknya adalah caving. 3.1.1.2.3. Faktor-faktor Selain Mekanis dan Hidrasi Shale problem telah dihubungkan dengan berbagai macam faktor yang mempercepat runtuhnya serpih ke dalam lubang bor. Lapisan serpih yang miring terbukti lebih mempunyai kecenderungan untuk runtuh dibandingkan lapisan serpih horizontal. Hal ini dikarenakan selama adsorpsi air, ekspansi serpih terjadi pada arah

yang tegak lurus terhadap bedding plane, yang pada akhirnya akan menghasilkan runtuhan serpih yang lebih besar jika bagian ini miring dengan sudut yang tinggi. Proses runtuhan pada brittle shale (serpih getas) yang tidak mengandung lempung aktif dijelaskan dengan adanya penembusan antara bedding plane dan microfissure dari serpih. Hal ini akan menghasilkan tekanan swelling yang tinggi yang memecahkan gaya kohesi diantara rekahan di permukaan yang menyebabkan serpih ini akan terjatuh. Pada serpih yang abnormal atau geopressure, kandungan air batuan lebih tinggi dibandingkan dengan normal. Sebagai tambahan, plastisitas serpih menjadi tidak noramal (tinggi) sebanding dengan berat overburden. Oleh karena itu, jika pemboran menembus lapisan serpih yang abnormal, serpih ini akan masuk ke dalam lubang sebagai akibat adanya perbedaan antara tekanan formasi dan tekanan hidrostatik lumpur. 3.1.1.3. Pencegahan Problem Shale Problem shale, dalam hal ini adalah Sloughing shale berhubungan langsung dengan adsorbsi air dari lumpur pemboran, maka perubahan dalam jenis atau komposisi kimia lumpur akan memberikan pemecahan untuk masalah ini. Penggunaan oil base mud telah terbukti berhasil mengurangi terjadinya sloughing shale. Keberhasilan ini berdasarkan fakta bahwa fasa minyak memberikan adanya membran di sekitar lubang yang mencegah adanya kontak antara air dan serpih. Fasa air pada oil base mud dapat juga mempersiapkan sedemikian hingga konsentrasi garamnya sesuai dengan lapisan yang ditembus.Dalam hal ini, gaya osmosis atau dehidrasi sama dengan gaya hidrasi serpih dan tekanannya, yang menyebabkan air mengalir diantara lumpur dan serpih adalah nol. Lumpur potassium chlorude polymer juga telah terbukti berhasil mencegah terjadinya sloughing shale. Lumpur jenis ini mengurangi swelling serpih yang diakibatkan penggantian ion sodium, Na+ (dengan kation exchange) oleh ion potassium (K+) yang memungkinkan lembaran-lembaran lempung menjadi terikat lebih kuat. Dispersi juga dikurangi sebagai akibat diperbaikinya tepian serpih yang rusak oleh polymer. Jenis lumpur lain yang terbukti berhasil untuk mengurangi masalah ini diantara lain adalah : lime-

mud, gyp-mud, calcium choride dan silicate mud, surfactant mud, polymer mud, lignosulphonate mud dan lain-lain. Cara pencegahan yang lain termasuk peminimalan waktu dibiarkannnya lubang yang mengandung serpih tidak dicasing. Sudut kemiringan lubang harus dikurangi (diusahakan lurus) dan swab serta surge effect harus dikurangi untuk menghindari terjadinya rekahan pada bagian lubang terbuka. Kecepatan fluida yang tinggi di annulus harus dihindari untuk mengurangi terjadinya erosi lubang dan sloughing shale secara mekanis.

3.1.2. Pipa Terjepit (Pipe Stuck) Definisi pipa terjepit adalah keadaan dimana bagian dari pipa bor atau setang bor (drill collar) terjepit (stuck) di dalam lubang bor. Dalam kenyataannya operasi pemboran tidak selalu berjalan dengan lancar, seringkali pipa bor terjepit. Penyebab terjepitnya rangkaian pipa bor pada sumur pemboran adalah karena adanya differential sticking maupun mechanical sticking, jika hal ini terjadi, maka gerakan pipa akan terhambat dan pada gilirannya dapat mengganggu kelancaran operasi. Masalah pipa terjepit ini biasanya diklasifikasikan sebagai berikut : 3.1.2.1. Differential Pipe Sticking Jenis jepitan ini terjadi oleh karena beberapa faktor. Faktor-faktor yang menyebabkan differential pipe sticking adalah : 1. Beda tekanan hidrostatik dari kolom lumpur melebihi tekanan dari formasi yang permeable. 2. Luas kontak antara rangkaian pipa dasar lubang bor dengan dinding lubang. Bertambahnya ukuran rangkaian pipa dasar akan meningkatkan luas kontak. Meningkatnya ketebalan mud cake akan meningkatkan luas kontak, jika luas kontak bertambah maka semakin memperkuat jepitan karena beda tekanan ini juga bertambah. Gambar 3.1, menunujukkan gambaran skematis mengenai Differential Pipe Sticking. Dari Gambar 3.1, didapat persamaan untuk menghitung differential force, yaitu : DF = (Hs - Pf) x kontak area x faktor gesekan …………........................ (3-1) dimana : DF

= Differential Force

Hs

= tekanan hidrostatik lumpur pemboran

Pf

= tekanan formasi

Kontak area (area of contact) merupakan hasil perkalian antara ketebalan zone permeable dengan ketebalan mud cake, atau seringkali dinyatakan sebagai : Kontak area = h x t ………………………………………...................... (3-2)

Faktor gesekan (friction faktor) dinotasikan f, besarnya bervariasi dimana salah satu faktor yang mempengaruhi adalah komposisi mud cake, dengan mensubstitusikan persamaan (3-2) ke dalam persamaan (3-1) didapatkan : DF = (Hs – Ps) x (h x t) x f ……………………………........................... (3-3)

Gambar 3.1. Differential Pipe Sticking 32) Dalam satuan lapangan persamaan (3-3) menjadi : DF = (Hs – Pf) psi x h(ft x 12 in/ft) x t (in) x f DF = 12 (Hs – Pf) x h x t x f ……………………………........................ (3-4) Besarnya gaya differensial sangat sensitif untuk berubah terutama pada nilai kontak area dan faktor gesekan, yang keduanya (kontak area dan faktor gesekan) merupakan fungsi waktu. Semakin lama pipa dibiarkan berada dalam keadaan statis, tebal mud

cake akan meningkat. Demikian halnya dengan faktor gesekan yang akan meningkat dengan semakin banyaknya air yang ditapiskan dari mud cake.

Gambar 3.2. Perkembangan Differential Sticking Menurut Waktu (a). kondisi awal; (b). setelah beberapa jam.32) Gaya differensial ini juga sangat sensitif untuk berubah dalam hal besarnya perbedaan tekan (Hs – Pf). Dalam operasi pemboran yang normal diusahakan terdapat overbalance pressure antara 100 sampai dengan 200 psi (6.8 – 13.6 bar). Kenaikan overbalance pressure yang tinggi dapat ditimbulkan oleh hal-hal sebagai berikut : a). Kenaikan tiba-tiba dari berat lumpur pemboran yang akan meningkatkan tekanan hidrostatik lumpur dan pada akhirnya akan meningkatkan besarnya overbalance pressure. b). Pemboran yang melalui reservoir yang terdeplesi dan adanya regresi tekanan. Regresi tekanan terjadi pada operasi pemboran pada saat gradien tekanan formasi menurun sementara gradien tekanan lumpur pemboran tetap untuk menahan tekanan formasi pada formasi batuan yang berada diatasnya. Gambar 3.2. menunjukkan gambaran tentang keadaan yang mungkin terjadi pada saat awal terjadinya differential sticking dan beberapa jam sesudahnya. 3.1.2.2. Mechanical Sticking (Jepitan Mekanis)

Pipa dapat terjepit secara mekanis bila : 1. Keratan bor atau formasi yang mengalami sloughing menyumbat annulus disekitar rangkaian bor. 2. Rangkaian bor diturunkan terlalu cepat sehingga menghantam bridge atau tight spot atau dasar lubang. 3. Ditarik masuk ke dalam lubang kunci (key seat). Tight spot dapat terjadi pada pemboran yang undergauge (ukuran lubang lebih kecil daripada ukuran bit menerut program) sebagai akibat digunakannya bit yang sudah aus atau digunakannya diamond corinnnng bit yang undersized. Tight spot ini ditandai sebagai kenaikan overpull selama operasi trippng out (beban yang terjadi sebagai akibat naiknya buoyant weight dari rangkaian). Untuk mencegah terjadinya jepitan mekanis ini, tight spot harus di-reaming sebelum melakukan pemboran bagian (section) lubang yang baru. Metode yang biasanya dilakukan untuk membebaskan pipa yang terjepit secara mekanis adalah dengan usaha menggerakkan pipa baik diputar ataupun ditarik atau dengan mengaktifkan jar, apabila rangkaian pipa dilengkapi dengan jar. Jika metode ini gagal, biasanya disemprotkan fluida organik dan kemudian prosedur yang telah disebutkan tadi diulangi. 3.1.2.3. Key Seating Di dalam lubang yang mempunyai dog leg (perubahan sudut kemiringan lubang secara mendadak dan berada pada formasi yang lunak, tool joint drill pipe membuat lubang tambahan yang merupakan perluasan dari lubang utama yang dibuat oleh bit., seperti ditunjukkan pada Gambar 3.3 Selama operasi pemboran berlangsung, berat pada pahat yang diberikan melalui pipa bor mempunyai gaya tegang (tension), untuk mendapatkan kondisi rangkaian pipa bor menjadi tetap lurus atau vertikal. Selama pemboran, drill pipe selalu dijaga berada dalam keadaan tension (tertarik) dan pada saat memasuki bagian dog leg, drill pipe berusaha untuk menjadi lurus, sehingga menimbulkan gaya lateral seperti ditunjukkan pada Gambar 3.3. Gaya lateral ini mengakibatkan sambungan drill pipe (tool joint) menggerus formasi yang berada pada busur dog leg, dan

menimbulkan lubang baru sebagai akibat diputarnya rangkaian pemboran. Lubang ini disebut sebagai “Key Seat”. Key-set ini hanya dapat terbentuk jika formasi yang ditembus lunak dan berat yang tergantung dibawah dog leg cukup besar untuk menimbulkan gaya lateral. Untuk mengatasi key-set, lubang harus di-reaming dan jika digunakan jar, maka dilakukan mengurangi

jar up (ke atas). Fluida organik dapat disemprotkan untuk

gesekan sekitar key-set sehingga memungkinkan usaha untuk

menggerakkan pipa.

Gambar 3.3. Perkembangan Key Seat.32) 3.1.3. Hilang Lumpur (Lost Circulation) Hilang lumpur adalah peristiwa hilangnya lumpur pemboran masuk ke dalam formasi. Hilang lumpur ini merupakan problem lama di dalam pemboran, yang

meskipun telah banyak penelitian, tetapi masih banyak terjadi dimana-mana, serta kedalaman yang berbeda-beda. Hilang lumpur tejadi karena dua faktor, yakni : faktor mekanis dan faktor formasi. 3.1.3.1. Sebab-Sebab Hilang Lumpur 3.1.3.1.1. Faktor Mekanis Hilang lumpur terjadi jika tekanan hidrostatik lumpur naik hingga melebihi tekanan rekah formasi, yang akan mengakibatkan adanya crack (rekahan) yang memungkinkan lumpur (fluida) mengalir ke dalamnya. Hilang lumpur ini terjadi jika besar lubang pori lebih besar daripada ukuran partikel lumpur pemboran. Pada prakteknya, ukuran lubang pori yang didapat mengakibatkan terjadinya hilang lumpur berada pada kisaran 0.1 - 1.00 mm. Pada lubang bagian permukaan, hilang lumpur atau hilang sirkulasi dapat menyebabkan washout yang besar, yang dapat menyebabkan rig pemboran yang digunakan menjadi ambles. Laju penembusan yang tinggi akan menghasilkan keratan bor yang banyak dan bila tidak terangkat dengan cepat akan menyebabkan kenaikan densitas lumpur yang pada akhirnya akan menaikkan tekanan hidrostatik. Kebanyakan perusahaan minyak membatasi laju penembusan di lubang permukaan untuk mengurangi equivalent circulating density di annulus yang pada akhirnya akan membatasi tekanan dinamis pada formasi yang ditembus. Oleh karena itu, diperlukan pengamatan sifat-sifat lumpur pemboran yang teliti untuk mendeteksi adanya kenaikan densitas lumpur yang tiba-tiba. Hilang lumpur juga terjadi sebagai akibat kenaikan tiba-tiba dari tekanan hidrostatik lumpur yang disebabkan kenaikan berat lumpur yang mendadak atau gerakan pipa. Penurunan pipa yang cepat akan menyebabkan fluida memberikan tekanan tambahan (surging) pada annulus. Tekanan total sebagai akibat surge effect dan tekanan hidrostatik lumpur dalam keadaan tertentu akan menjadi cukup tinggi untuk merekahkan formasi yang belum dicasing. Pada lubang intermediate, kebanyakan kasus hilang lumpur disebabkan karen memasuki zone deplesi dimana tekanan reservoirnya lebih kecil daripada formasi diatasnya, kenaikan tiba-tiba dari tekanan hidrostatik lumpur sebagai akibat surging effect dapat merekahkan formasi yang lemah dan akan menyebabkan terjadinya hilang sirkulasi.

3.1.3.1.2. Faktor Formasi Ditinjau dari segi formasinya, maka hilang lumpur dapat disebabkan oleh : 

Coarseley permeable formation.



Cavernous formation.



Fissure, fracture, faults.

1. Coarseley Permeable Formation Contoh dari jenis formasi ini adalah pasir dan gravel. Namun tidak semua jenis formasi ini menyerap lumpur. Untuk dapat menyerap lumpur perlu keadaan, antara lain tekanan hidrostatis lumpur harus lebih besar daripada tekanan formasi, formasi harus permeabel, disamping ada pengertian bahwa lumpur mampu masuk ke dalam formasi bila diameter lubang atau pori-pori sedikitnya tiga kali lebih besar dari diameter butiran atau partikel padat dari lumpur. Jadi kalau lumpur sampai dapat masuk ke dalam formasi, berarti lubang atau celah-celah cukup besar. 2. Cavernous Formation Hilang lumpur ke dalam reef, gravel ataupun formasi yang mengandung banyak gua-gua sudah dapat diduga sebelumnya. Gua-gua ini banyak terdapat pada formasi batu kapur (limestone dan dolomite). 3. Fissures, Fracture, Faults Ini merupakan celah-celah atau rekahan dalam formasi. Bila hilang lumpur tidak terjadi pada formasi permeabel ataupun batuan kapur, biasanya ini terjadi karena celah-celah atau retakan tersebut. Fracture ini dapat terjadi alamiah tetapi dapat juga terjadi karena sebab-sebab mekanis (induced fractures). Hal ini dapat terjadi misalnya karena penekanan (pressure surge) pada waktu masuk pahat, ataupun kenaikan tekanan karena drilling practice yang tidak benar, misalnya tekanan pompa yang terlalu tinggi, lumpur terlalu kental, gel strength terlalu besar. Dapat juga karena perlakuan yang kurang sesuai, misalnya menjalankan pompa secara mengejut, tekanan pompa yang terlalu tinggi, lumpur terlalu kental, gel strength terlalu besar. Dapat juga karena perlakuan yang kurang sesuai, misalnya menjalankan pompa secara mengejut.

3.1.3.2. Penentuan Tempat Hilang lumpur Biasanya jika terjadi hilang lumpur selama dilakukan operasi pemboran, lost ciculation material (LCM) akan disemprotkan sepanjang zona yang diduga menjadi tempat hilang lumpur untuk mengatasinya. Akan tetapi, pada kasus hilang lumpur yang parah, penentuan letak zone hilang lumpur atau sering disebut “thief” harus ditentukan agar cara mengatasinya lebih efektif. Ada beberapa metode yang telah terbukti berhasil digunakan dalam hal ini antara lain: 3.1.3.2.1. Temperatur Survey Alat perekam suhu diturunkan ke dalam lubang dengan menggunakan wire line untuk memberikan data suhu pada kedalaman tertentu. Pada kondisi normal, kenaikan temperatur akan berbanding lurus dengan kenaikan kedalaman. Trend (Gambar 3.4.) direkam pada keadaan statis untuk mendapatkan base log (log dasar). Sejumlah lumpur dingin kemudian dipompakan ke dalam lubang dan dilakukan survey yang lain. Lumpur dingin ini akan menyebabkan peralatan survey merekam temperatur yang lebih rendah daripada sebelumnya, sampai pada “thief” dimana terjadi hilang lumpur. Di bawah “thief” level lumpurnya statis dan suhunya lebih tinggi bila dibandingkan dengan “thef”. Dari keterangan diatas menunjukan bahwa log suhu yang baru akan menunjukkan anomali sepanjang “thef” dan letak zone ini dapat ditentukan dari pembacaan kedalaman dimana terjadi perubahan garis pada gradiennya.

Gambar 3.4. Prinsip Temperatur Survey.32) 3.1.3.2.2.Radioactive Tracer Survey Pertama kali gamma ray log dijalankan untuk mendapatkan radioaktivitas formasi normal dan bertindak sebagai dasar untuk perbandingan. Kemudian sejumlah kecil bahan radioactive dimasukkan ke dalam lubang disekitar daerah dimana kemungkinan terdapat “thief". Gamma Ray Log yang kedua kemudian dijalankan dan dibandingkan dengan log dasar (gamma ray pertama). Titik (kedalaman) terjadinya hilang lumpur ditunjukan dengan penurunan radioaktivitas log kedua yang disebabkan karena bahan radioaktif yang kedua hilang (masuk) ke formasi.

3.1.3.2.3. Spinner Survey Kumparan yang dipasang pada ujung kabel diturunkan ke dalam lubang untuk menentukan kemungkinan letak zone hilang lumpur. Kumparan ini akan berputar

karena adanya gerakan vertikal lumpur yang kemungkinan terjadi karena di dekat “thief”. Kecepatan rotor direkam dalam sebuah film sebagai rangkaian titik dan spasi. Metode ini terbukti tidak efektif jika digunakan sejumlah besar LCM dalam lumpur. 3.1.3.3. Klasifikasi Zona Hilang Lumpur Zona hilang lumpur dapat diklasifikasikan menjadi : Seepage Loss, Partial Loss, Complete Loss 3.1.3.3.1. Seepage Loss Seepage loss adalah apabila hilang lumpur dalam jumlah relatif kecil, kurang dari 15 bbl/jam (40 lpm) dapat terjadi pada setiap jenis formasi yang terdiri dari pasir porous dan gravel, rekah alami (natural fracture) dan pada formasi yang terdapat rekahan (batu gamping) serta induced fracture (rekah bukan secara alami. 3.1.3.3.2. Partial Loss Partial loss adalah hilang lumpur dalam jumlah yang relatif besar, lebih besar dari 15 bbl/jam atau sekitar 15 – 500 bbl/jam (40 – 1325 lpm). Dapat terjadi umumnya pada jenis formasi yang terdiri dari pasir porous dan gravel, serta kadangkadang terjadi pada batuan yang mengandung rekahan (natural fracture dan fracture induced). 3.1.3.3.3. Complete Loss Complete loss adalah lumpur tidak keluar kembali dari lubang bor. Dapat terjadi pada formasi batupasir gravel, rekah secara alami (natural fracture) dan pada formasi yang banyak terjadi rekahan.

3.1.3.4. Tindakan Pencegahan Pengamatan menunjukkan bahwa sekitar 50% dari hilang lumpur terjadi karena induced fracture. Dalam hal ini hilang lumpur dapat terjadi di mana-mana.

Dengan demikian pencegahan lebih murah daripada mengatasi hilangn lumpur bila sudah terjadi. Hal yang perlu diingat untuk pencegahan antara lain : -

Berat lumpur. Berat lumpur perlu dijaga agar tetap minimum, sekedar mampu mengimbangi tekanan formasi. Serbuk bor yang ada di annulus juga mengakibatkan penambahan berat lumpur. Jadi pembersihan lubang bor memegang peranan penting.

-

Viscosity dan gel strength. Gel strength juga dijaga agar tetap kecil. Gel strength yang besar memerlukan tenaga yang besar pula untuk memecah gel tersebut, yang dapat mengakibatkan pecahnya formasi. Disarankan agar meja putar digerakkan dulu sebelum menjalankan pompa, dan menjalankan pompa jangan mengejut.

-

Pada waktu masuk pahat, agar dihindari terjadinya “pressure surge” untuk mencegah pecahnya formasi. Juga pada saat mencabut pahat agar dihindari terjadinya swab.

-

Agar dipakai lumpur yang baik, stabil. Hal ini dapat mengurangi pengaruh negatif lumpur, seperti caving, sloughing, bridging.

-

Bila diperkirakan akan terjadi hilang lumpur, lumpur dapat ditambah dulu dengan bahan penyumbat (Lost Circulating Material, LCM) yang lembut, misalnya 5 lbs/bbl walnut shells, mica. Bahan penyumbat yang lembut ini dapat disirkulasikan dengan lumpur dan dapat lewat mud screen.

-

Pemakaian casing protector dapat menambah pressure loss di annulus, jadi menambah tekanan pada dasar lubang bor (Dynamic BHP). Jadi agar diperiksa bahwa casing protector dalam keadaan baik.

3.1.4. Kick Dan Semburan Liar Pemboran sumur merupakan suatu kegiatan yang padat modal dan berteknologi tinggi, serta mempunyai resiko yang besar. Salah satu resiko adalah

apabila pemboran tidak menghasilkan atau “dry hole”, meskipun secara teknis pemboran berjalan dengan lancar. Namun ada kalanya hambatan terjadi pada proses pemboran itu sendiri. Hambatan yang paling merugikan apabila terjadi semburan liar, yang sering diikuti dengan terbakarnya seluruh instalasi pemboran. Semburan liar atau “Blow Out” ini adalah peristiwa mengalirnya cairan formasi dari dalam sumur secara tidak terkendali. Kejadian ini dimulai dengan masuknya sedikit cairan formasi ke dalam lubang bor, yang biasanya disebut well kick. Bila well kick tidak bisa diatasi secara baik maka dapat terjadi semburan liar. 3.1.4.1. Sebab-Sebab Terjadinya Well Kick Well kick adalah suatu kejadian dimana cairan formasi masuk ke dalam lubang bor. Bila well kick ini tidak segera ditangani secara benar akan dapat mengakibatkan semburan liar. Sebab- sebab terjadinya kick, secara garis besar adalah bila tekanan hidrostatik lumpur lebih kecil daripada tekanan formasi. Dalam melakukan pemboran dan aktivitas lain dalam operasi pemboran, maka tekan hidrostatis lumpur harus lebih besar daripada tekanan formasi supaya tidak terjadi kick. Adapun sebab-sebab tekanan hidrostaik lumpur tidak dapat mengimbangi tekanan formasi adalah : 1. Berat jenis Lumpur pemboran turun. Dalam hal ini tekanan hidrotatis lumpur lebih kecil daripada tekanan formasi. Ph = 0.052 x D x w …………………………….......................................…(3-5) Dimana : Ph

= tekanan hidrotatis lumpur, psi

D

= kedalaman lubang bor, ft

W

= berat lumpur, lbs/gal

Berat jenis lumpur turun diakibatkan bercampurnya fluida formasi dengan lumpur bor. Masuknya fluida formasi ke dalam lubang bor akan menyebabkan berat lumpur turun. Masuknya fluida lumpur pemboran dapat disebabkan karena : a. Swabbing effect.

Swab effect terjadi apabila pencabutan rangkaian peralatan pemboran terlalu cepat, sehingga antara rangkaian peralatan pemboran dan dinding lubang bor laksana piston. Ruang dibawah pahat yang ditinggalkan oleh drill string menjadi kosong dan fluida formasi akan terhisap ke dalam lubang sumur. Ditambah lagi dengan viscositas lumpur yang besar (lumpur kental), maka gerakan lumpur yang ada di atas pahat terlambat mengisi ruangan di bawah pahat. Akibat masuknya fluida formasi ke dalam lubang dan bercampur dengan lumpur bor, menyebabkan berat jenis lumpur akan turun hal ini dapat menurunkan tekanan hidrostatik lumpur bor. b. Menembus formasi gas. Pada waktu menembus formasi gas, cutting yang dihasilkan mengandung gas, walaupun pada mulanya tekanan hidrostatik lumpur dapat membendung gas supaya tidak masuk ke dalam lubang sumur, tetapi gas dapat masuk ke dalam lubang bersama cutting. Gas keluar dari cutting masuk ke dalam lumpur, makin lama gas makin banyak sehingga dapat menurunkan berat jenis dari lumpur bor. Kalau hal ini terjadi, maka tekanan hidrostatik lumpur tidak dapat lagi membendung masuknya gas ke dalam sumur secara lebih besar. 2. Tinggi kolom lumpur turun. Bila formasi pecah atau ada celah-celah atau rekah-rekah pada lapisan di dalam lubang, maka lumpur bor akan masuk ke dalam lapisan yang pecah atau bercelah tersebut. Akibat turunnya tinggi kolom di annulus tersebut, maka tekanan hidrostatik lumpur juga akan turun pula. Adapun yang menyebabkan lumpur bor masuk ke dalam formasi yaitu: a. Squeeze effect. Jika sewaktu menurunkan rangkaian peralatan pemboran (drill string) terlalu cepat, maka lumpur yang berada di bawah rangkaian (bit) terlambat naik ke annulus diatas bit. Ini menyebabkan lumpur di bawah bit tertekan ke formasi, karena kondisi antara rangkaian bor dengan lubang bor seperti sebuah piston. Squeeze effect dapat mengakibatkan pecahnya formasi dan lumpur bor akan masuk ke dalam formasi.

b. Berat jenis lumpur yang tinggi. Karena berat jenis lumpur yang digunakan tinggi, maka tekanan hidrostatik lumpur menjadi besar. Bila menemui lapisan yang tekanan rekahnya kecil, maka formasi akan rekah sehingga lumpur dapat masuk ke dalam formasi. c. Viskositas lumpur yang tinggi. Bila viskositas lumpur tinggi, maka disaat sirkulasi pressure loss di annulus cukup tinggi. Hal ini dapat mengakibatkan formasi pecah bila formasinya tidak kuat. d. Gel strength lumpur yang tinggi. Gel strength sangat penting disaat tidak ada sirkulasi, karena dapat menahan cutting dan menjaga material pembawa lumpur tidak menumpuk di dasar lubang. Jika gel strength terlalu tinggi, untuk memulai sirkulasi kembali setelah berhenti memerlukan tenaga pompa yang cukup besar. Bila formasi tidak sanggup menahan tekanan pompa yang besar, maka formasi akan pecah. e. Pemompaan yang mengejut. Pemompaan yang mengejut akan dapat menyebabkan formasi pecah, bila formasi tidak kuat. Disaat bit menembus formasi yang telah rekah akibat pemompaan yang mengejut, maka lumpur akan mengisi rekahan dan celah tersebut, sehingga jika lumpur masuk ke formasi cukup besar, permukaan lumpur di annulus akan turun dan selanjutnya tekanan hidrostatik akan turun. 3. Hilang lumpur. Hilang lumpur pada saat tertentu terlalu besar, sehingga permukaan lumpur dalam lubang bor turun, dan tekanan hidrotatis lumpur dapat menjadi lebih kecil daripada tekanan formasi. Hilang lumpur ini dapat terjadi karena porositas formasi terlalu besar, formasi yang bergua (cavernous), mungkin pula karena ada celah-celah atau rekahan di dalam formasi. 4. Abnormal pressure. Adakalanya pemboran menembus formasi dengan tekanan sangat tinggi, dan melebihi tekanan hidrotatis lumpur.

3.1.4.2. Peralatan Deteksi Well Kick Peralatan standard : 1. Pit level indikator, dipakai level-measiring transducer pada setiap tangki lumpur, sehingga volume lumpur di tangki selalu dapat di catat. 2. Pump stroke counter, alat penghitung jumlah langkah pompa ini sangat perlu untuk pengendalian kick atau semburan liar. 3. Flow indicator, pada flow line untuk mengamati adanya atau besarnya aliran pada flow line. 4. Trip tank, untuk mengamati jumlah lumpur yang keluar atau masuk lubang bor pada waktu operasi cabut atau masuk pahat. 5. Gas chromatograph, untuk menganalisa gas. Dalam hal inilah peralatan semburan liar akan berfungsi untuk mengatasi kick dan semburan. Untuk itu diperlukan peralatan yang baik dan mempunyai tekanan kerja yang sesuai. 3.2. Kerusakan Formasi pada saat pemboran Kerusakan formasi ditentukan oleh mineralogi batuan yang sensitif dan fluida-fluida yang berhubungan langsung dengannya. Reaksi-reaksi yang terjadi baik antara fluida-fluida maupun fluida-mineral dalam kesetimbangan kimianya dapat menghasilkan suatu potensi kerusakan formasi. Proses tersebut dapat mempengaruhi komposisi mineral batuan sehingga menyebabkan termigrasinya fines dari mineralnya atau reaksi-reaksi yang dapat menghasilkan suatu mineral turunan akibat presipitasi dari mineral dan fluida yang ada dan menyumbat pori-pori batuan. Penyebab utama timbulnya kerusakan formasi pada sumur adalah adanya kontak antara formasi dengan fluida dari luar, dimana fluida ini dapat berupa : fluida injeksi, lumpur pemboran, fluida kerja ulang, fluida untuk proses stimulasi (treatment fluid), atau juga fluida formasi itu sendiri jika ternyata karakteristik reservoir tesebut telah berubah. Dalam bagian ini formation damage atau kerusakan formasi yang dibahas adalah kerusakan formasi yang disebabkan karena kontak antara formasi dan fluida pemboran dalam operasi pemboran.

3.2.1. Invasi Lumpur Pemboran Kerusakan formasi oleh penyumbatan padatan lumpur dapat disebabkan oleh padatan dan atau dari interaksi fluida dengan fluida dan fluida dengan batuan. Banyaknya fluida yang masuk kedalam lubang bor selama berbagai operasi sumur, biasanya mengandung atau membawa padatan yang berguna untuk menaikkan berat fluida sumur bor (kolom fluida sumur) yang diharapkan untuk mengontrol tekanan formasi. Pori-pori formasi dan pori-pori yang langsung berhubungan dekat sumur bor sangat mudah tersumbat/terhalang oleh padatan-padatan ini. Invasi padatan kedalam pori-pori reservoir dapat terjadi bila distribusi ukuran partikel padatan fluida sumur bor tidak seimbang dengan distribusi ukuran pori batuan reservoir. 3.2.1.1. Mekanisme Invasi Filtrat Fluida Pemboran Invasi filtrat yang terjadi berasal dari fluida yang digunakan pada operasi seperti pemboran. Sebab-sebab invasi cairan : Kelemahan dari formasi tertentu untuk terjadinya kerusakan oleh fluida asing besarnya tergantung pada kandungan material solid/ padatan di dalamnya, terutama kandungan claynya. Sebagai contoh formasi “dirty sand” yang mempunyai kandungan clay tinggi pada umumnya bersifat sangat sensitif terhadap adanya filtrat dari fresh water base yang digunakan pada saat operasi pemboran sehingga timbul hidrasi dan swelling pada partikel-partikel clay. Adanya invasi fluida asing juga akan mengendapkan padatan-padatan sepertigaram-garam yang tidak dapat larut, aspalth atau lilin (wax). Proses invasi filtrat dalam pemboran terjadi dalam dua fase, yaitu : a. Filtrasi Dinamik Yaitu proses invasi filtrat yang terjadi pada kondisi dinamik di mana terdapat sirkulasi fluida pemboran dan rotasi rangkaian pipa. Filtrasi pada kondisi ini paling besar yaitu 70%-90% volume filtratnya, karena pembentukan kerak lumpur (mud cake) akan hilang akibat adanya erosi dari aliran sirkulasi fluida. Faktor-faktor yang mempengaruhi filtrasi dinamik antara lain : 

Kecepatan filtrasi



Jenis lumpur pemboran



Tekanan filtrasi



Viskositas dan temperatur lumpur Saat permukaan batuan terlihat untuk pertama kalinya, laju filtrasi akan

sangat tinggi dan kerak lumpur terbentuk dengan cepat. Setelah beberapa waktu setelah kerak lumpur cukup tebal, filtrasi semakin berkurang dan pembentukan kerak lumpur berikutnya akan konstan. b. Filtrasi Statik Proses filtrasi terjadi dalam kondisi static di mana tidak terdapat sirkulasi fluida pemboran dan rotasi rangkaian pipa bor. Faktor yang mempengarihi filtrasi statik adalah : 

Jenis lumpur pemboran



Tekanan flitrasi



Viskositas dan temperatur lumpur Pada kondisi ini kerak lumpur terbentuk sempurna, sehingga invasi filtrat

berikutnya menjadi lebih sedikit. Filtrasi yang dihasilkan pada kondisi statik relatif lebih kecil dibandingkan pada kondisi dinamik. Untuk menentukan jumlah volume invasi filtrat lumpur pada kondisi statik dapat idtentukan dengan : V  CT 1/2 ................................................................................................(3-6 )

Dari persamaan diatas dapat diubah menjadi besaran yang berlaku untuk filtrat lumpur dinamik, yaitu :

Vo  V   C  T  To  ...............................................................................(3-7 ) dimana : V = Volume filtrat, ml/in2 Vo= Volume filtrat dinamik/statik awal, ml/in2 To= Waktu filtrasi selama Vo, ml/in2

Terinvasinya mud filtrat ke dalam formasi aalah suatu permulaan dimana mud cake belum terbentuk, peristiwa ini disebut surge loss.

Gambar 3.5. Besarnya Surge Loss untuk Berbagai Ukuran Partikel Lumpur 16) Filtrat fluida yang terinvasi ke dalam formasi dapat menimbulkan pengaruh negatif yang merugikan antara lain: 

Pengembangan lempung (clay swelling) Invasi filtrat kedalam formasi menyebabkan lempung yang ada di formasi

mengembang

beberapa

kali

lipat

volumenya,

sehingga

menimbulkan

penyumbatan pori-pori batuan disekitar sumur. 

Water Block Invasi filtrat yang terus terjadi sebelum tahap produksi akan menyebabkan

harga saturasi air di sekitar lubang sumur meningkat. Setelah memasuki tahap produksi kondisi ini akan menyebabkan aliran minyak ke lubang sumur terhalang. 

Emulsi Emulsi antara lain terbentuk karena bertemunya dua macam fluida yang

dalam kondisi normal tidak dapat bercampur, dalam hal ini minyak dengan filtrat fluida. Dengan bertambahnya filtrat akan mendorong emulsi yang sudah ada

semakin jauh dari lubang sumur, sehingga memasuki tahap produksi dapat menghalangi aliran minyak ke lubang sumur. 

Perubahan sifat kebasahan (wettabilitas) batuan. Kandungan bahan-bahan kimiawi yang ada dalam fluida filtrat seperti

surfactant, dapat menyebabkan terjadinya perubahan sifat kebasahan batuan. Perubahan sifat kebasahan ini menyebabkan aliran air menjadi lebih mudah dan sebaliknya minyak menjadi lebih sulit sehingga pada akhirnya akan menyebabkan produksi air akan meningkat. 

Pembentukan endapan scale Sebelum tahap produksi, endapan scale cendrung terbentuk akibat

bertemunya dua jenis air yang mempunyai kandungan ion yang berbeda. Ion-ion ini akan bereaksi dan membentuk endapan scale 3.2.1.2. Pengaruh Komposisi Kimia Lumpur Pemboran Zat kimia merupakan bagian dari sistem yang digunakan untuk mengontrol sifat-sifat lumpur, misalnya dalam dispersion (penyebaran partikel clay) dan flocullation (penggumpalan partikel clay). Zat kimia yang digunakan untuk mengontrol sifat fisik lumpur akan bereaksi dan mempengaruhi lingkungan sistem lumpur tersebut. Dalam operasi pemboran akan selalu terjadi invasi lumpur kedalam lapisan yang porous. Filtrat yang masuk ini akan mempengaruhi pori-pori dan permeabilitas batuan. Karena umumnya batuan formasi mengandung lempung yang sangat reaktif terhadap air tawar, maka bila memakai water base mud , maka lempung akan bereaksi sehingga terjadi pengembangan, hidrasi dan dispersi. Lempung yang mengembang terhidrasi dan terdispersi pada formasi batuan disebut dengan clay blocking. Lempung (clay) merupakan material tanah dengan ukuran koloid yang kan mengembang apabila basah, mempunyai sifat mengaborbsi air. Lempung yang mengabsorbsi air disebut hidrophilitic. Bentuk partikel-partikel lempung adalah merupakan timbunan dari plat-plat tipis, yang bentuknya menyerupai mika. Plat-plat ini terdiri dari lapisan molekul yang terikat satu diatas lainnya. Kisi-kisinya terikat dengan kuat satu dengan lainnya, dimana ini adalah ikatan kovalen yang sulit untuk

dipisahkan.Untuk berbagai kation yaitu sodium atau calsium atau ion-ion lainnya terikat dengan tidak erat diantara plat-plat tersebut (Gambar 3.6.). Ikatan yang terjadi adalah karena gaya coloumb, jadi tergantung pada muatan kation yang ada. Gaya ikatan antara plat-plat adalah gaya Van der Wall yang begitu lemah dan mudah terputus sehingga menyebabkan molekul-molekul air masuk kedalam diantara platplat ini. Hal-hal ini yang menyebabkan partikel-partikel lempung akan terdispersi bila bertemu dengan air.

Gambar 3.6. Hidrasi Air Pada Plat-plat Montmorillonite 24) 3.2.1.3. Pengaruh Partikel Padatan Lumpur Pemboran Adanya partikel-partikel padatan dalam lumpur dapat menimbulkan penyumbatan dalam poi-pori batuan, dan sangat mempengaruhi permeabilitasnya. Dilihat

dari

cara

terinvasinya

partikel-partikel

dikelompokkan menjadi tiga cara, yaitu :

padatan

ini,

maka

dapat

1.

Partikel dengan ukuran cukup kecil masuk melalui celah-celah pori batuan. Jumlahnya akan terus bertambah sehingga menyumbat pori-pori batuan

2.

Padatan dengan ukuran cukup besar, sebutir padatan sudah cukup untuk menyumbat pori-pori batuan.

3.

Padatan yang mempunyai ukuran besar sehingga tidak dapat masuk kedalam pori-pori batuan. Padatan ini akan bertambah pada permukaan formasi membentuk filter cake. Ketiga cara diatas menyebabkan penguranagn permeabilitas, yang pada

akhirnya akan mengurangi laju alir hidrokarbon dari formasi kedalam lubang bor. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan penyumbatan saluran pori batuan adalah : 

Ukuran pori-pori batuan formasi



Distribusi ukuran partikel padatan lumpur



Kecenderungan partikel padatan untuk mengmpul



Kehadiran sejumlah minyak, grease atau bahan kimia pembentuk selaput yang dapat mengikat atau merakatkan partikel. Sistem lumpur serta pemboran yang baik tidak menyebabkan invasi padatan

kedalam formasi lebih dari 1-2 inch. Pada formasi rekah alami invasi dalam jumlah besar dapat terjadi, sehingga untuk menguranginya harus ditambah dengan LCM (material pencegah kehilangan lumpur karena sirkulasi). Tekanan overbalance dapat menyebabkan terjadinya retakan atau memperbesar ukuran rekah alami. Lumpur pemboran harus didesain agar invasi partikel padatan lumpur terjadi hanya beberapa inchi kedalam formasi dan terbatas pada jarak tembus perforasi. Semakin jauh dari lubang sumur, invasi dan pengaruhnya akan semakin mengecil dan permeabilitas akan semakin membesar dan kembali sama dengan permeabilitas alami formasi. Kriteria lumpur pemboran yang baik antara lain : 

Lumpur harus mengandung berbagai ukuran partikel (dengan distribusi yang cukup lebar).



Memungkinkan invasi terkendali.



Pembentukan mud/filter cake cepat dan baik dalam pengertian berfungsi sebagai filter secara bertahap pada berbagai kondisi permeabilitas dan ukuran pori.

3.2.2. Adanya Clay dalam Formasi Clay adalah mineral unconsolidated yang terdiri dari butiran-butiran yang mempunyai ukuran partikel yang lebih kecil dari dua mikron dan hampir ada di semua batuan formasi. Partikel tersebut dapat berupa lapisan tebal atau tipis atau berselang-seling dengan lapisan batu pasir atau karbonat, atau juga dapat tersebar dalam batupasir sebagai butiran-butiran. Macam-macam clay yang sering dijumpai dilapangan adalah : 1. Montmorillonite   OH  4 Al 4 Si8 O20 .nH 2 O  Montmorillonite atau yang lebih dikenal dengan nama bentonite dan banyak dipakai dalam lumpur pemboran. Lempung ini memiliki sifat strongly swelling clay. Swelling pada lempung merupakan akibat dari pengabsorpsian molekul air pada basal plane-nya, karena panggantian kation yang ada diantara kristal lempung dengan molekul air. Dari semua jenis clay, hanya bentonite yang memiliki kemampuan mengembang jika kontak dengan air, khususnya fresh water. Bentonite terbagi menjadi dua jenis, yaitu Na-Bentonite (smectite) dan Ca-Bentonite. Na-Bentonite atau Sodium Bentonite jauh lebih baik dibandingkan dengan Ca Bentonite dalam hal pengembangan, karena mampu mengembang delapan kali bila dicampur dengan air.Bila ion-ion diantara lempeng kristal bentonite tersebut bervalensi dua seperti Ca dan Mg maka sifat mengembangnya akan hilang. 2. Illite

  OH 

4

KyAl 4 Fe4 Mg 6   Si8  yAly O20 

Illite mempunyai sifat yang berbeda dengan bentonite karena illite tidak swelling akibat dari ikatan antar layernya yang kuat, sehingga air tidak bisa masuk diantaranya. Illite dapat membentuk fiber yang melintang pada pori batuan dan menimbulkan bridging, hal ini dapat mengurangi permeabilitas dan porositas batuan. 3. Chlorite

  AlMgFe 3  OH  2   AlSi  4 O10  Mg 3  OH  6 

Pada chlorite yang telah mengalami gradasi mengakibatkan timbulnya sifat swelling pada chlorite tersebut. Lempung kristal chlorite tumbuh ke arah tepitepinya, sehingga dapatv mengurangi ukuran pori batuan. 4. Kaolite   OH  8 Al 4 Si 4 O10  Kaolite tidak mempunyai sifat swelling sseperti pada lempung-lempung lainnya. Selain lempung-lempung diatas, dikenal juga mineral lempung berlapiw campuran atau Mixed Layer Clay. Lempung campuran ini mudah terdispersi didalam air. Kombinasi yang biasa adalah kombinasi dari unit layer bentonite, illite dan chlorite. Berdasarkan sifat menyerap air atau sifat tidak menyerap air, maka mineral clay dapat diklasifikasikan sebagai : 1. Expandable Clay Clay jenis ini dibedakan antara smetite dan vermiculite. Perbedaan diantara keduanya adalah bahwa smetite terus mengembang selama menyerap air. Pada golongan ini mineralnya adalah montmorillonite, saponite, hectonite, dan bidelite. Sedangkan vermiculite tingkat pengembangannnya terbatas dan mineralnya adalah illite, chlorite dan kaolite. 2. Non Expandable Clay Pada dasarnya clay ini dapat menyerap air tetapi karena jumlahnya yang sedikit sekali, sehingga dianggap tidak menyebabkan swelling. Termasuk jenis ini adalah illite, chlorite dan kaolite.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF