Bab II Tinjauan Pustaka Membran

April 23, 2018 | Author: Sya'roni Imam | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Bab II Tinjauan Pustaka Membran...

Description

TINJAUAN PUSTAKA

Membran 1. Definisi Membran

Membran adalah suatu lapisan tipis bersifat semipermeabel yang dapat menahan dan melewatkan pergerakan bahan tertentu (Scot dan Hughes, 1996). Teknologi pemisahan menggunakan membran merupakan teknik pemisahan komponen dengan cara yang sangat spesifik, yaitu menahan dan melewatkan salah satu komponen komponen lebih cepat dari komponen penyusun lainnya. Membran dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok yaitu berdasarkan morfologi,  bahan pembuat, dan proses pemisahannya. Berdasarkan morfologi, membran dibagi menjadi dua golongan, yaitu membran simetrik dan membran asimetrik. Struktur yang dihasilkan membran simetrik dapat bersifat berpori ( porous)  porous) atau tidak-berpori (nonporous (nonporous). ). Sedangkan struktur yang dihasilkan membran asimetrik bersifat berpori dengan pori pada lapisan atas lebih rapat dibandingkan  pori pada lapisan bagian bawah. Membran jenis proses ultrafiltrasi lebih bersifat asimetrik dibandingkan membran dengan jenis proses mikrofiltrasi (Scot dan Hughes, 1996). Berdasarkan bahan pembuat, membran terbagi atas membran organik dan membran anorganik. Membran organik dibuat menggunakan bahan polimer. Pada dasarnya semua polimer dapat digunakan sebagai bahan membran, tetapi karena karakteristik kimia dan fisika sangat bervariasi, sehingga hanya beberapa jenis  polimer yang digunakan sebagai bahan membran. Jenis polimer yang banyak digunakan untuk membuat membran antara lain selulosa beserta turunannya,  polisulfan, poliamida, poliakrilonitril, polieter sulfon (Wenten, 1999). Polimer untuk membran berpori sangat berbeda dengan polimer membran tidak berpori. Untuk membran berpori, pilihan polimer ditentukan oleh metode pembuatan membran yang digunakan dan polimer menentukan stabilitas membran. Sedangkan untuk membran tidak berpori, pilihan polimer ditentukan oleh selektivitas dan fluks yang diinginkan (Mulder, 1996). Membran anorganik adalah membran yang berasal dari material anorganik. Material anorganik memilki stabilitas kimia dan stabilitas thermal lebih baik ba ik dibandingkan bahan polimer. Ada

empat tipe membran anorganik yang sering digunakan, yaitu membran keramik, gelas, metal (termasuk karbon), dan zeolit. Berdasarkan ukuran partikel atau bobot molekul bahan yang dipisahkan, maka pemisahan membran dikelompokkan atas mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, nanofiltrasi, osmosis balik, dialisis, dan pervaporasi (Cheryan, 1998). Membran 3

6

ultrafiltrasi (UF) mempunyai ukuran pori berkisar 10-1000 A atau sekitar 10 -10

MWCO, dan dapat memisahkan bahan berukuran lebih besar dari 0,005 µm atau  partikel dengan berat molekul lebih besar dari 1000 Da (Osada dan Nakagawa, 1992). Membran ultrafiltrasi memiliki struktur asimetrik dengan permukaan atas yang lebih rapat atau dense (ukuran pori permukaan atas lebih kecil dan porositas  permukaan lebih rendah). Pembuatan membran dapat dilakukan dengan beberapa teknik antara lain: (1) pemanasan ( sintering ), ), (2) peregangan ( streching ), ), (3) track-etching, (4) template leaching, (5) fasa balik ( phase inversion) inversion) ,  , (6)  pelumasan (coating  ( coating ). ). Teknik yang dipilih didasari oleh jenis material dan struktur membran yang akan dibuat.

2. Proses Pemisahan dengan Membran

Filtrasi

membran

merupakan

proses

pemisahan

material

dengan

mengalirkan umpan melalui suatu membran. Pemisahan terjadi akibat perbedaan ukuran partikel/molekul dengan ukuran pori membran dimana fluks dan rejeksi sangat ditentukan dari perbedaan ukuran tersebut. Pemisahan juga juga dapat terjadi  berdasarkan perbedaan sifat laju kelarutan/diffusivitas material yang akan dipisahkan terhadap material membran yang digunakan. Tingkat kelarutan dan diffusivitas ditentukan oleh sifat intrinsik bahan membran. Ini berarti bahwa sifat intrinsik dari material menentukan tingkat permeabilitas dan selektifitas. Dalam operasi membran dikenal dua jenis aliran umpan, yaitu aliran cross-flow dan aliran dead-end, dimana perubahan fluks terhadap waktu dapat digambarkan seperti pada Gambar 1. 1.

empat tipe membran anorganik yang sering digunakan, yaitu membran keramik, gelas, metal (termasuk karbon), dan zeolit. Berdasarkan ukuran partikel atau bobot molekul bahan yang dipisahkan, maka pemisahan membran dikelompokkan atas mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, nanofiltrasi, osmosis balik, dialisis, dan pervaporasi (Cheryan, 1998). Membran 3

6

ultrafiltrasi (UF) mempunyai ukuran pori berkisar 10-1000 A atau sekitar 10 -10

MWCO, dan dapat memisahkan bahan berukuran lebih besar dari 0,005 µm atau  partikel dengan berat molekul lebih besar dari 1000 Da (Osada dan Nakagawa, 1992). Membran ultrafiltrasi memiliki struktur asimetrik dengan permukaan atas yang lebih rapat atau dense (ukuran pori permukaan atas lebih kecil dan porositas  permukaan lebih rendah). Pembuatan membran dapat dilakukan dengan beberapa teknik antara lain: (1) pemanasan ( sintering ), ), (2) peregangan ( streching ), ), (3) track-etching, (4) template leaching, (5) fasa balik ( phase inversion) inversion) ,  , (6)  pelumasan (coating  ( coating ). ). Teknik yang dipilih didasari oleh jenis material dan struktur membran yang akan dibuat.

2. Proses Pemisahan dengan Membran

Filtrasi

membran

merupakan

proses

pemisahan

material

dengan

mengalirkan umpan melalui suatu membran. Pemisahan terjadi akibat perbedaan ukuran partikel/molekul dengan ukuran pori membran dimana fluks dan rejeksi sangat ditentukan dari perbedaan ukuran tersebut. Pemisahan juga juga dapat terjadi  berdasarkan perbedaan sifat laju kelarutan/diffusivitas material yang akan dipisahkan terhadap material membran yang digunakan. Tingkat kelarutan dan diffusivitas ditentukan oleh sifat intrinsik bahan membran. Ini berarti bahwa sifat intrinsik dari material menentukan tingkat permeabilitas dan selektifitas. Dalam operasi membran dikenal dua jenis aliran umpan, yaitu aliran cross-flow dan aliran dead-end, dimana perubahan fluks terhadap waktu dapat digambarkan seperti pada Gambar 1. 1.

fluks 2 (L/m  jam)

fluks 2 (L/m  jam)

Waktu

Waktu

Gambar 1. Grafik hubungan fluks terhadap waktu untuk aliarn  Dead-end dan Crossflow Crossflow

Aliran filtrasi dead-end , yaitu keseluruhan dari fluida (aliran umpan) melewati membran dan partikel tertahan pada membran. Fluida yang terus mengalir sebagai umpan akan mengalir melalui tahanan penumpukan partikel dan tahanan membran pada permukaan membran sehingga mudah tersumbat akibat terbentuknya suatu lapisan pada permukaan membran. membran .  Pengaliran secara crossflow  crossflow  dilakukan dengan cara mengalirkan umpan sejajar melalui suatu membran dengan hanya sebagian saja yang melewati pori membran untuk memproduksi permeat. Aliran pelarut atau cairan pembawa akan melewati  permukaan membran sehingga sehingga larutan, koloid, dan padatan tersuspensi yang tertahan oleh membran akan terus terbawa menjadi aliran balik atau retentat. Partikel atau padatan tersuspensi pada permukaan membran akan tersapu oleh kecepatan aliran umpan. Aliran ini dapat digunakan untuk menghindari terbentuk lapisan pada permukaan membran berupa cake, fouling , polarisasi konsebtrasi, dan adsorpsi. adsorpsi.

3. Karakterisasi Membran

Menurut Mulder (1996), karakterisasi membran dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) membran berpori ( porous ( porous membrane), membrane ), (2) membran tidak berpori (nonporous membrane). membrane ). Pada membran berpori, pemisahan terjadi akibat  perbedaan ukuran antara partikel/molekul dan pori membran dibantu dengan adanya tekanan transmembran sebagai driving force. force. Selektivitas akan tinggi, jika ukuran partikel lebih besar daripada ukuran pori membran. Mikrofiltrasi (MF) dan ultrafiltrasi (UF) merupakan jenis membran berpori. Di sisi lain untuk membran tidak berpori, seperti pervaporasi (PV), separasi gas (GS), dan dialisis, pemisahan

terjadi akibat perbedaan laju kelarutan ( solubility) dan/atau perbedaan diffusivitas (diffusivity). Tingkat kelarutan dan diffusivitas ditentukan oleh sifat intrinsik  bahan membran. Terdapat beberapa metoda yang dapat digunakan untuk mengkarakterisasi membran berpori, yaitu mikroskop elektron, metode gelembung udara ( bubble  point ), dan pengukuran permeasi (Scott et al., 1996). Scanning Electron  Microscope (SEM) dan Tramsmission Electron Microscope (TEM) adalah alat mikroskop yang dapat digunakan untuk pengamatan langsung. Perbedaan mendasar dari TEM dan SEM adalah pada cara bagaimana elektron yang ditembakkan oleh pistol elektron mengenai sampel. Pada TEM, sampel yang disiapkan sangat tipis sehingga elektron dapat menembusnya kemudian hasil dari tembusan elektron tersebut yang diolah menjadi gambar. Kelemahan yang dihadapi adalah karena sampel yang diperlukan sangat tipis, maka memerlukan waktu yang lama untuk preprasi dan dikhawatirkan terjadi kerusakan struktur sampel. Sedangkan pada SEM sampel tidak ditembus oleh elektron sehingga hanya pendaran hasil dari tumbukan elektron dengan sampel yang ditangkap oleh detektor dan diolah. Penggunaan SEM lebih mudah karena sampel yang diperlukan tidak setipis sampel yang digunakan pada TEM. Sifat mekanik dan struktur pori termasuk parameter dalam penentuan karakteristik membran. Sifat fisik mekanik dan struktur pori sangat dipengaruhi oleh jenis bahan pembuat dan proses pembuatan membran. Sedangkan kinerja membran pada saat pengoperasian terutama ditentukan oleh distribusi dan ukuran  pori membran (Mallevialle et al ., 1996). Sebelum uji fluks air, terlebih dahulu dilakukan kompaksi terhadap membran yang akan diuji dengan mengalirkan air melewati membran hingga diperoleh fluks air konstan. Kompaksi juga dapat membuat membuat pori membran menjadi lebih seragam, lembaran membran menjadi lebih kaku, dan juga untuk memperoleh harga fluks air yang konstan  pada tekanan operasional yang diberikan (Mahendran et al.,2004). Kinerja atau effisiensi proses membran ditentukan oleh dua parameter, yaitu selektivitas dan fluks/laju permeasi (L/m2.jam atau kg/m 2.jam atau 2

2

mol/m .jam) atau koefisien permeabilitas (L/m .jam.bar). Fluks adalah jumlah  permeat yang dihasilkan pada operasi membran per satuan luas permukaan

membran dan persatuan waktu. Fluks dapat dinyatakan sebagai berikut (Mulder, 1996):

Jv = V / (A.t) Dimana :

(1)

Jv = fluks volume (L/m².jam)

t = waktu (jam)

A = luas permukaan membran (m²)

V = volume permeat (lt)

Fluks merupakan salah satu parameter kinerja membran yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu (i) parameter operasi seperti konsentrasi umpan, suhu, laju alir, dan tekanan, (ii) sifat-sifat fisik larutan umpan, dan (iii) faktor desain. Kenaikan konsentrasi umpan menyebabkan fluks akan turun. Perubahan konsentrasi umpan akan merubah harga viskositas, densitas, dan diffusifitas larutan umpan. Demikian juga, peningkatan suhu dapat menaikkan fluks baik  pada daerah yang dikendalikan oleh tekanan atau yang dikendalikan oleh  perpindahan massa. Fluks dapat juga dinyatakan sebagai koefisien permeabilitas.  Nilai permeabilitas membran menunjukkan kemampuan membran dalam melewatkan pelarut. Koefisien permeabilitas untuk membran jenis proses ultrafiltrasi berada pada kisaran 0,5 m3/m2.hari.bar (20 L/m 2.jam.bar)  –  5 m3/m2.hari.bar (200 L/m2.jam.bar) (Wenten, 1999). Selektivitas suatu membran merupakan ukuran kemampuan suatu membran menahan atau melewatkan suatu molekul. Selektivitas membran tergantung pada interaksi antar permukaan dengan molekul, ukuran molekul, dan ukuran pori membran. Selektivitas umumnya dinyatakan oleh satu dari dua  parameter, yaitu retensi/rejeksi (R) atau faktor pemisahan (α). Menurut Mulder (1996) nilai rejeksi suatu zat padat terlarut ( solute) dinyatakan sebagai berikut:

C permeat R (%) = ( 1 - ————— ) x 100% C umpan Dimana :

R

= persentasi tahanan

C permeat

= konsentrasi partikel dalam permeat

Cumpan

= konsentrasi partikel dalam umpan

(2)

 Nilai R bervariasi antara 0  –   100%, dimana R 100% artinya terjadi pemisahan sempurna, dalam hal ini membran semipermeabel ideal sedangkan nilai R 0%  berarti partikel semua lolos dari membran. Suatu fenomena umum yang sering ditemukan dalam suatu proses pemisahan dengan membran, yaitu apabila fluks membran besar maka rejeksi akan rendah, demikian pula sebaliknya jika rejeksi tinggi maka fluks juga akan rendah. Biasanya membran yang baik memiliki  porositas permukaan yang tinggi (fraksi pori/luas permukaan) dan distribusi ukuran pori yang sesempit mungkin sehingga perlu dilakukan suatu optimasi terhadap perlakuan membran untuk mendapatkan fluks dan rejeksi yang tinggi (Mulder, 1996). Porometer membran dapat ditentukan berdasarkan nilai rejeksi suatu zat  padat terlarut yang diketahui berat molekulnya. Berat molekul mempunyai hubungan linier dengan jari-jari atau ukuran pori membran Pengukuran rejeksi  padatan (Solute Rejection Measurments) biasanya dinyatakan sebagai  Molecular Weight Cut Off (MWCO) dan banyak digunakan untuk mengkarakterisasi membran ultrafiltrasi. MWCO didefinisikan sebagai bobot molekul suatu zat terlarut yang 80%-90% dapat direjeksi oleh membran. (Scott dan Hughes, 1996; Mahendran et al., 2004).

Membran Ultrafiltrasi Selulosa Asetat 1. Bahan Baku

Membran selulosa asetat digolongkan sebagai membran organik yang aman terhadap lingkungan karena berasal dari sumber yang dapat diperbaharui (renewable)  seperti selulosa dari pulp (tandan kosong sawit, abaka, jerami) dan selulosa

mikrobial.

Membran

selulosa

asetat

bersifat

semikristalin

dan

memberikan kekuatan mekanik yang baik, bersifat termoplastik, serta pembuatan relatif mudah. Selain sifat baik tersebut, membran selulosa asetat sangat sensitif terhadap pengrusakan thermal, kimia, dan biologis. Sebagai usaha untuk mempertahankan

membran

dari

kerusakan

maka

pH

dipertahankan pada pH 4 sampai 6,5 pada temperatur kamar.

operasi

biasanya

Pada dasarnya semua polimer dapat digunakan untuk pembuatan membran, tetapi karena karakteristik kimia dan fisika bahan bervariasi, maka hanya beberapa jenis polimer yang cocok sebagai polimer membran (Mulder, 1996; Goosen et al ., 2004). Selulosa asetat merupakan polimer alami yang banyak digunakan sebagai bahan membran dan dapat diperoleh melalui proses asetilasi terhadap selulosa. Namun sebaiknya bahan selulosa yang digunakan memiliki tingkat kemurnian α-selulosa relatif tinggi untuk mendapatkan hasil akhir yang  baik pada aplikasi. Bahan baku pembuatan selul osa asetat secara komersial adalah selulosa yang berasal dari kayu (hardwoods, dan  softwoods), kapas, dan serat tanaman non-kayu berkualitas tinggi (Kuo dan Borgan, 1997).

1. 1. Selulosa

Selulosa adalah polimer alam yang paling banyak terdapat dan tersebar di alam serta merupakan unsur struktural komponen utama dinding sel dari pohon dan tanaman tinggi lainnya. Selulosa mendominasi karbohidrat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan karena selulosa merupakan bagian yang terpenting dari dinding sel tumbuh-tumbuhan. Sumber utama selulosa ialah kayu. Kira-kira 40-45%  bahan kering dalam kebanyakan spesies kayu adalah selulosa, terutama terdapat dalam dinding sel (Achmadi, 1990). Senyawa ini juga dijumpai dalam tumbuhan rendah seperti paku, lumut, ganggang, dan jamur. Serat alami yang paling murni ialah serat kapas, yang terdiri dari sekitar 98% selulosa (Nopianto, 2009). Struktur selulosa dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur Selulosa (Nevell dan Zeronian, 1985)

Selulosa adalah polimer tak bercabang dari glukosa yang dihubungkan melalui ikatan β-1,4 glikosida. Glukosa mempunyai rumus molekul C 6H12O6, sementara molekul selulosa ialah (C 6H10O5)n  dan n dapat berupa angka ribuan. Berat

molekulnya bervariasi dari 500.000 sampai 1.500.000 dengan jumlah

segmen antara 3.000 sampai 9.000 segmen. Karena struktur rantai yang linier, selulosa bersifat kristalin. Keteraturan struktur tersebut juga menimbulkan ikatan +

-)

hidrogen secara intra dan intermolekul. Ikatan kimia hidrogen (H ke OH antara molekul selulosa yang membentuk mikrofibril sebagian berupa daerah kristalin (teratur) dan diselubungi daerah amorf (kurang teratur). Proporsi daerah kristal dan amorf dari selulosa sangat bervariasi, tergantung pada asalnya. Beberapa mikrofibril membentuk fibril yang akhirnya menjadi serat selulosa dengan diameter 2 - 20 nm dam panjang 100 - 40000 nm (Nopianto, 2009). Selulosa memiliki sifat kuat tarik yang tinggi, tidak larut dalam kebanyakan pelarut, dan  bersifat sangat hidrofilik namun tidak dapat larut dalam air. Hal ini disebabkan karena sifat kristalin selulosa yang tinggi dan tingginya gaya antar rantai akibat ikatan hidrogen antara gugus hidroksil pada rantai yang berdekatan (Cowd, 1991). Ukuran panjang rantai molekul selulosa dinyatakan sebagai derajat polimerisasi (DP) (Fengel dan Wegener, 1984). Derajat polimerisasi dihitung dengan cara membagi bobot molekul selulosa dengan bobot molekul satu unit glukosa. Perlakuan fisik dan kimia yang intensif dapat menurunkan derajat polimerisasi selulosa (Sjohstrom, 1981). Derajat polimerisasi selulosa dari beberapa sumber selulosa dapat dilihat pada Tabel 1. Dapat dilihat pada tabel tersebut bahwa selulosa yang berasal dari kayu memiliki derajat polimerisasi yang tinggi. Panja ng rantai molekul polimer merupakan parameter penting yang berpengaruh terhadap sifat polimer. Derajat polimerisasi tinggi akan memberi kekuatan mekanik yang  baik terhadap polimer tersebut. Tabel 1. Derajat polimerisasi selulosa dari beberapa sumber selulosa SUMBER Kapas Kayu Flax Hamp bast fiber

DERAJAT POLIERISASI 6.500 –  7.000 8.000 2.900 3.270

* Han. (1998); Pahkala. (2001); RISO.( 2002)

*

Derajat kristalinitas suatu polimer berpengaruh juga terhadap sifat  polimer. Umumnya derajat kristalinitas selulosa kayu lebih kecil dibandingkan dengan selulosa mikrobial. Derajat kristalinitas yang terdapat pada selulosa kayu secara umum berkisar 30%-38% (Yoshinaga et al., 1997 & Sanjaya, 2001). Walaupun memiliki komposisi kimia yang sama dengan selulosa tanaman, White dan Brown (1998) menyatakan bahwa selulosa mikrobial lebih bersifat kristal, dengan derajat kristalinitas lebih besar dari 60%. Derajat polimerisasi selulosa mikrobial berkisar antar 2.000-6.000 (Krystynowicz et al ., 2001). Setiap monomer glukosa memilki tiga gugus hidroksil. Faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam reaksi selulosa adalah aksesibilitas yaitu kemudahan gugus hidroksil dicapai oleh pereaksi. Gugus-gugus hidroksil yang terdapat pada daerah amorf lebih mudah dicapai dan bereaksi dengan pereaksi dibandingkan gugus hidroksil yang terdapat pada daerah kristalin (Achmadi, 1990). Reaktifitas selulosa juga dipengaruhi oleh struktur selulosa. Kondisi  pengeringan yang terlalu tinggi juga dapat mengurangi aksesibilitas selulosa (Sjohstrom, 1981). Swelling (penggelembungan) selulosa merupakan tahapan yang dilakukan untuk meningkatkan reaktifitas selulosa akibat dari penyerapan air atau pelarut. Penggelembungan selulosa dapat mempermudah pereaksi mencapai daerah kristalin pada proses esterifikasi selulosa. Kecepatan asetilasi pada selulosa yang telah mengalami penggelembungan meningkat sekitar tiga kali lebih cepat daripada selulosa yang tidak mengalami penggelembungan (Michie, 1996 di dalam Fengel dan Wagener, 1984). Melihat banyaknya potensi sumber daya yang terkandung di Indonesia, terdapat beberapa alternatif pilihan dari sumber-sumber penghasil selulosa yang  berkualitas tinggi.

1.1.1. Dasar Pemilihan Sumber Selulosa

Selulosa pulp dapat digunakan sebagai dasar pembuatan selulosa asetat. Sumber utama yang sering digunakan untuk mendapatkan pulp berasal dari jenis kayu. Pada Tabel 2 dan Tabel 3 dapat dilihat hasil penelitian proses delegnifikasi yang telah dilakukan dari beberapa jenis kayu dengan parameter yang terkait.

Tabel 2. Hasil delegnifikasi dari beberapa jenis kayu* Jenis Kayu Sengon Gmelina Kapur Meranti

Rendemen Total Pulp % 51,32 54,59 52,91 50,68

Rendemen Tersaring Pulp % 49,98 49,15 40,20 31,55

Bilangan Kappa 22,71 20,70 30,60 30,75

Kadar Lignin Pulp % 3,34 3,04 4,50 4,52

Struktur Lignin Pulp S/V ratio 0,24 0,89 0,36 1,37

*

Rahmawati. (1999)

Tabel 3. Sifat-sifat fisika pulp dari beberapa jenis kayu * Sifat-sifat Fisika Pulp Gramature, gram Thickness, mm  Bulky, cc/g Tear Resistance, gf Tear factor , kg/15 mm  Breaking Length, km

Sengon 61,13 0,09 1,47 61,18 5,09 5,55

Jenis Kayu Gmelina Kapur 57,23 61,55 0,1 0,22 1,75 3,57 35,35 9,79 2,29 0,33 2,67 0,36

Meranti 61,08 0,22 3,60 9,61 0,24 0,26

*

 Rahmawati. (1999).

Sebaiknya

selulosa

asetat

dihasilkan

dari

sumber

selulosa

yang

mempunyai tingkat kemurnian α-selulosa relatif tinggi untuk mendapatkan hasil akhir yang baik pada aplikasi (Kuo et al ., 1997). Berdasarkan hasil-hasil yang terdapat pada Tabel 2 dan 3, selulosa pulp yang berasal dari kayu sengon mempunyai harapan yang sangat baik untuk digunakan sebagai pembuatan selulosa asetat. Indikator utama yang menunjukkan kemurnian selulosa yang dihasilkan dari pulp adalah dari bilangan Kappa. Bilangan Kappa yang rendah dalam pulp menunjukkan banyak lignin yang sudah diputuskan, sehingga lignin yang tertinggal dalam pulp tinggal sedikit. Semakin cepat penurunan bilangan Kappa, laju delignifikasi semakin cepat. Kayu sengon ( Paraserianthes falcataria) merupakan tanaman yang mudah tumbuh diberbagai iklim dan keadaan, sehingga perolehan bahan baku tersebut mudah didapat secara kontinyu dengan harga yang dapat dijangkau. Komponen kimia kayu sengon yang berumur 5 tahun adalah α-selulosa 46,62%; pentosan 16,52%; lignin 29,16%; silika 0,50%; abu 0,64%, dan air 5,28% (Pari, 1996). Kandungan selulosa menjadi bertambah seiring dengan bertambahnya umur kayu

dan dengan kandungan lignin yang rendah menguntungkan dalam proses delegnifikasi. Dengan mengetahui sifat kimia kayu maka dapat diketahui penggunaan yang sesuai dari suatu jenis kayu. Prosentase selulosa yang tinggi dari kayu sengon menyebabkan kayu ini cukup potensial dijadikan bahan baku pulp dan  produk selulosa lainnya. Penggunaan terbesar selulosa di dalam industri adalah  berupa serat kayu dalam industri kertas dan produk kertas serta karton. Penggunaan lainnya adalah sebagai serat tekstil yang bersaing dengan serat sintetis. Untuk aplikasi lebih luas, selulosa dapat diturunkan menjadi beberapa  produk, antara lain  Microcrystalline Cellulose, Carboxymethyl Cellulose, Methyl Cellulose

dan  Hydroxypropyl

Methyl

Cellulose.

Produk-produk

tersebut

dimanfaatkan antara lain sebagai bahan antigumpal, emulsifier, stabilizer, dispersing agent, pengental, dan sebagai gelling agent (Nopianto, 2009).

1.1.2. Selulosa Pulp Kayu Sengon ( Paraser ianth es falcatari a  )

Pulp merupakan salah satu sumber penghasil selulosa sebagai dasar  pembuatan selulosa asetat. Proses  pulping  diartikan sebagai proses pelarutan lignin (delegnifikasi), sehingga lignin terpisah dari serat-serat selulosa. Menurut Sjohstrom (1995) selama berlangsungnya proses  pulping   tidak hanya lignin yang terpisah dari serat-serat selulosa, tetapi juga komponen-komponen lainnya, seperti  polisakarida dan sedikit hemiselulosa. Proses pulping /delegnifikasi dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu proses mekanik, kimia, dan proses semi kimia. Untuk memperoleh hasil pemisahan lignin secara sempurna dilakukan dengan cara kimia, yaitu dengan menambahkan sejumlah bahan kimia ke dalam tempat pemasakan (digester ). Pemasakan dengan cara kimia dimaksudkan untuk memisahkan lignin dari serat selulosa. Bahan kimia yang digunakan dapat berupa asam atau alkali. Beberapa proses  pulping secara kimia yang sudah dikenal adalah proses soda, proses sulfat (kraft), proses sulfit netral, serta proses organosolv. Salah satu penghasil selulosa diantaranya adalah pulp yang dihasilkan dari kayu sengon ( Paraserianthes falcataria).  Di pulau Jawa kayu ini dikenal juga dengan nama kayu jinjing dan termasuk dalam famili  Leguminose. Tinggi pohon

ini dapat mencapai 40 m dengan panjang batang bebas cabang 10-30 m dan diameter batangnya dapat mencapai 80 cm. Bobot jenis kayu 0,33. Pada umur 5 tahun kayu sengon sudah dapat digunakan sebagai bahan baku pulp tetapi nilai ekonomisnya masih rendah, sedangkan pada umur 8 tahun jumlah kayu yang dapat digunakan menjadi hampir 3 kali lipat daripada umur 5 tahun, sehingga nilai ekonomisnya juga menjadi lebih tinggi (Rahmawati, 1999). Adapun komposisi dari analisis kimia pulp kayu sengon adalah α-selulosa 92,15%; β + δ  selulosa 5,86%; pentosan 1,48%; abu 0,23%; sari 0,02% (Pari, 1996). Selulosa adalah bahan baku yang dapat digunakan untuk berbagai produk. Gugus hidroksil yang terkandung pada selulosa dapat dimodifikasi dengan  pereaksi-pereaksi yang biasa bereaksi dengan alkohol. Misalnya reaksi selulosa dengan anhidrida asetat menghasilkan selulosa asetat.

1. 2. Selulosa Asetat

Akhir-akhir ini, perkembangan proses teknologi yang mengarah ke  penggunaan bahan baku ramah lingkungan lebih sering digunakan. Hal ini dilakukan untuk meminimalkan penggunaan bahan bakar fosil sebagai bahan  penghasil polimer membran. Bahan bakar fosil memiliki persamaan sifat polimer dengan selulosa biomassa. Salah satu polimer yang banyak digunakan adalah selulosa diasetat. Perbandingan sifat fisik selulosa diasetat dengan beberapa  polimer lainnya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Sifat-sifat fisika selulosa asetat dan beberapa polimer * Properti Tensile strenght, Mpa  Flexural modulus, Gpa Titik leleh, O C Strain at yield , %

Selulosa Asetat 30 1,7 170-240 3,9

Polyvinyl Chloride 20 0,03 170-190 -

Polystyrene 42 2,5 210-260 2,4

LDPE 10 0,25 220-260 19,0

* Harrison et al. (2004).

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa selulosa asetat memiliki nilai kuat tarik yang termasuk tinggi dibandingkan beberapa polimer dari bahan bakar fosil. Kuat tarik tersebut sangat ditentukan oleh struktur selulosa diasetat yang bersifat semikristalin sehingga memberikan kekuatan mekanik yang baik. Sifat mekanik yang baik ini sangat diperlukan bagi selulosa diasetat bila digunakan sebagai

 polimer membran karena proses pemisahan menggunakan membran memerlukan tekanan dalam memindahkan satu komponen dari campurannya. Apabila dilihat dari sifat-sifat fisika yang dimiliki maka selulosa asetat yang bersifat ramah lingkungan dapat menggantikan polimer yang berasal dari bahan bakar fosil. Ditinjau dari proses produksi, polimer selulosa asetat lebih ramah lingkungan dibandingkan produksi polimer yang berasal dari bahan bakar fosil. Sebagai contoh, buangan CO 2  selama produksi dari 1 kg  polyethelene (PE)/  polypropelene  (PP) diperkirakan sebesar 1,8 kg. Untuk produksi selulosa asetat, emisi kotor CO2 diperkirakan nihil, karena produk dihasilkan dari biomassa, yang mana mengkonsumsi CO 2  selama pertumbuhan (Harrison et al ., 2004). Selama ini, Indonesia masih mengimpor selulosa asetat. Kebutuhan akan selulosa asetat di Indonesia bertambah untuk setiap tahunnya mulai 10.327 ton pada tahun 2000 menjadi 15.897 ton pada tahun 2006 (BPS Sumut, 2007). Selulosa asetat digolongkan sebagai polimer ester organik dan memiliki sifat atau kualitas yang unik, meliputi: tingkat kejernihan yang bagus, kasar,  bersifat alami, berkilau, bersifat hidrofilik, tetapi sangat rentan terhadap mikroorganisme (biodegradibilitas). Sifat-sifat ini menjadikan

selulosa asetat

 banyak digunakan untuk penyaringan tembakau, pembuatan serat tekstil,  photografi dan kemasan lapisan, pemakaian di bidang medis, dan pemanfaatan sebagai membran (Yamakawa et al., 2003). Sifat teknis selulosa asetat komersial yang penting adalah derajat subsitusi (DS) dan derajat polimerisasi (DP). Derajat subsitusi dan kadar asetil suatu selulosa asetat menunjukkan kemampuan larut dalam jenis pelarut tertentu (Fengel dan Wegener, 1984). Hubungan antara derajat subsitusi, kadar asetil, serta  pelarut yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 5. Pemilihan pelarut yang tepat akan memberi hasil yang baik pada hasil aplikasi. Pada pembuatan membran,  polimer selulosa asetat dilarutkan dalam suatu pelarut dengan kelarutan yang tinggi. Jenis pelarut yang digunakan sangat menentukan struktur membran yang terbentuk. Untuk mendapatkan membran selulosa diasetat berpori, maka pelarut yang digunakan adalah dimetilformamida (DMF) karena mempunyai daya afinitas yang tinggi terhadap air sebagai bukan-pelarut. *

Tabel 5. Hubungan antara derajat substitus, kadar asetil, pelarut, dan aplikasinya

Derajat Substitusi 0,6 – 0,9 1,2 – 1,8 2,2 – 2,7

Kadar Asetil (%) 13 – 18,6 22,2 – 32,2 36,5 – 42,2

2,3 –  2,8

≥43,0

Larut di dalam Air 2-metoksi etanol Aseton, Dimetilformamida Kloroform, Diklorometan

Tidak larut di dalam Aseton Aseton Diklorometan Aseton

Aplikasi Plastik, pernis Serat , film Serat lembaran

* Fengel dan Wegener. (1984). Sifat-sifat mekanik dan kinerja produk selulosa asetat sangat ditentukan oleh derajat polimerisasi selulosa asetat. Sementara itu, derajat polimerisasi selulosa asetat dipengaruhi oleh derajat polimerisasi selulosa serta kondisi yang dialami selama proses pembuatan selulosa asetat. Penggunaan α-selulosa dengan kemurnian rendah akan menghasilkan selulosa asetat dengan viskositas intrinsik dan berat molekul yang rendah sehingga kinerja selulosa asetat menjadi kurang  baik (Kuo et al., 1997). Proses asetilasi selulosa merupakan reaksi heterogen dan reaksi dikendalikan berdasarkan kecepatan difusi reagent  ke dalam serat selulosa. Oleh karena itu, karakteristik/sifat kimia dan fisika selulosa sangat penting dalam  proses asetilasi dan kualitas produk akhir (Bydson, 1995). Secara komersial, selulosa asetat dihasilkan dari reaksi selulosa dengan anhidrida asetat menggunakan katalis dan asam asetat sebagai pelarut. Senyawasenyawa yang dapat digunakan sebagai katalis adalah asam sulfat, asam perklorat, dan asam sulfonat (Kuo et al ., 1997). Asam sulfat merupakan katalis yang paling umum digunakan, sementara katalis lain jarang digunakan karena tidak efektif, tidak praktis, atau sangat berbahaya untuk dilakukan pada skala industri (Kuo et al., 1997). Dalam menentukan selulosa yang digunakan untuk proses asetilasi terdapat dua hal penting, yaitu kemampuan selulosa untuk menghasilkan asetilasi yang seragam dan kualitas produk yang dihasilkan (Steven, 2001). Kemampuan selulosa tidak hanya ditentukan oleh komposisi kimia. Perlakuan awal sebelum  proses asetilasi dilakukan seperti proses aktivasi juga menjadi faktor yang terpenting dalam menentukan sifat fisik. Menurut Ott et al. (1954) dan Nevell dan Zeronian (1985), tahapan pembuatan selulosa asetat terdiri atas empat proses, yaitu: (1) praperlakuan/aktivasi ( pretreatment ), (2) asetilasi (acetylation), (3)

hidrolisis (hydrolisis), dan (4) pemurnian ( purification). Tahapan proses yang dilakukan adalah:

1.2.1. Perlakuan awal/aktivasi

Proses aktivasi (tahap praperlakuan) sangat diperlukan agar reaksi esterifikasi dapat berlangsung dengan baik. Pada tahap ini serat-serat selulosa mengembang sehingga permukaan selulosa membesar dan ikatan intramolekuler hidrogen menjadi putus, dan memudahkan diffusi reagent ke dalam serat. Bahan aktivasi yang biasa digunakan adalah air atau asam asetat. Perlakuan awal selulosa umumnya dilakukan pada suhu berkisar antara 20 oC hingga 118 oC, tetapi o

sebaiknya dilakukan sampai dengan suhu 50 C untuk mencegah penguapan  pelarut (Ott et al., 1954). Nevell dan Zeronian (1985) menyatakan aktivasi selulosa pulp kayu umumnya dilakukan selama 1-2 jam. Aktivasi terhadap selulosa pulp kayu yang telah dilakukan oleh Kuo et al . (1997) berlangsung pada o

o

suhu sekitar 25 C-50 C selama 30 menit-60 menit. Sementara itu, Saka et al . (1998) telah memperoleh waktu aktivasi terhadap pulp kayu selama satu jam. Selanjutnya, aktivasi dari campuran selulosa pulp kayu dengan kapas yang telah dilakukan oleh Yamakawa et al . (2003) diperoleh pada kisaran suhu 20 oC-80oC selama 0,5-4 jam. Harrison et al . (2004) telah mendapatkan waktu aktivasi terhadap selulosa jerami selama 2-3 jam pada suhu kamar dengan perbandingan selulosa terhadap asam asetat 1:1 (bk/v). Selain itu, aktivasi selulosa mikrobial yang telah dilakukan oleh Desiyarni et al.  (2006) diperoleh kondisi proses pada suhu 50 oC selama enam jam dan pada suhu kamar selama 16 jam dengan  perbandingan selulosa terhadap asam asetat 1:8 (bk/v). Dapat dilihat dari beberapa uraian di atas, aktivasi berjalan rata-rata pada suhu 50 oC dan terlihat perbedaan waktu aktivasi yang dihasilkan. Keadaan tersebut dikarenakan sumber selulosa yang digunakan berbeda sehingga terdapat perbedaan sifat dari selulosa tersebut. Menurut Kuo et al.  (1997) waktu aktivasi yang dibutuhkan bergantung pada kondisi selulosa yang digunakan. Daerah kristalin mempunyai sifat reaktifitas yang rendah karena tingginya gaya antar-rantai akibat ikatan hidrogen antargugus hidroksil pada rantai yang berdekatan menyebabkan kekakuan pada rantai

sehingga ikatan antar rantai menjadi lebih erat, dan sukar terjadi reaksi asetilasi dibandingkan bagian amorf (Cowd, 1991).

1.2.2. Asetilasi

Asetilasi dilakukan bertujuan untuk menggantikan sebagian atau semua gugus hidroksil pada molekul selulosa dengan gugus asetil dari reaktan anhidrida asetat, sehingga membentuk selulosa triasetat (Fengel dan Wegener, 1984). Pelarut asam asetat dan katalis asam sulfat merupakan senyawa kimia yang umum digunakan pada proses asetilasi (Kuo et al., 1997). Lama asetilasi  berlangsung dapat dilihat sampai materi terlarut sempurna dalam campuran asetilasi dan derajat substitusi antara 2,35-2,40. Pemakaian suhu terlalu tinggi di atas 85oC  pada proses ini dapat mengakibatkan depolimerisasi sehingga menghasilkan selulosa asetat dengan viskositas intrinsik yang rendah (Kuo et al., 1997). Oleh karena itu, suhu dijaga dalam kisaran kurang dari 50ºC. Asetilasi yang telah dilakukan oleh Yamakawa et al . (2003) terhadap campuran selulosa kayu dengan kapas berlangsung selama 20 sampai 60 menit pada kisaran suhu 50oC-80oC. Sementara itu, Amin (2000) telah melakukan asetilasi terhadap selulosa dari Tandan Kosong Sawit (TKS) selama 15 menit pada suhu 30 oC -45oC dengan perolehan kadar asetil sekitar 39-41%. Jumlah pemakaian asam sulfat berlebihan juga dapat mempercepat depolimerisasi selulosa. Pada skala industri, pemakaian katalis asam sulfat digunakan sekitar 6%-20% berdasarkan berat kering selulosa pulp. Katalis  berfungsi dalam menyeragamkan asetilasi selulosa dan menghasilkan selulosa triasetat dengan kelarutan yang baik dalam asam asetat. Pemakaian katalis asam sulfat digunakan pada kisaran 0,1%-2% untuk kandungan α-selulosa yang tinggi sedangkan untuk kandungan α-selulosa yang rendah digunakan katalis asam sulfat sekitar 2%-20%. Kuo et al. (1997) menyatakan pemakaian katalis dalam jumlah  besar akan menghasilkan selulosa triasetat yang bersifat tidak stabil terhadap  panas. Campbell (1960) menggunakan katalis asam sulfat dalam jumlah kurang dari 1% dari berat kering selulosa dan reaksi berjalan pada suhu 50 oC. Sementara itu, Yabune (1984) telah melakukan asetilasi terhadap selulosa pulp menggunakan katalis asam sulfat sebesar 0,5-5 berat bagian per 100 berat bagian selulosa kering

o

o

 pada suhu 50 C - 85 C. Proses asetilasi yang telah dilakukan oleh Harrison et al. (2004) menggunakan reagents dengan perbandingan terhadap berat pulp jerami yaitu anhidrida asetat (3:1), asam asetat (6/7:1), asam sulfat (0,05-0,1:1) selama 2 o

 jam pada suhu 30 C. Tingkat kemurnian selulosa yang digunakan juga sangat menentukan lama asetilasi berlangsung. Asetilasi dari limbah serbuk gergaji kayu yang telah dilakukan oleh Suyati (2008) berlangsung selama 20 jam dengan kadar asetil 44,32% dan 42 jam dengan kadar asetil 40,92%. Hal ini disebabkan selulosa yang terkandung dalam serbuk gergaji tersebut berasal dari berbagai sumber selulosa dengan karakter yang berbeda sehingga mempengaruhi kondisi proses. Mekanisme reaksi asetilasi selulosa menjadi selulosa asetat dapat dilihat pada Gambar 3

Selulosa

Selulosa Tri Asetat

Anhirida Asetat

Asam Asetat

Gambar 3. Mekanisme reaksi asetilasi selulosa menjadi selulosa triasetat ( Report Description- Nexant , 2004).

Kondisi operasi optimum dari proses asetilasi selulosa mikrobial juga telah didapat oleh Desiyarni et al.  (2006) dengan menguji 4 variabel, yaitu: (1) rasio anhidrida asetat terhadap selulosa, (2) konsentrasi katalias asam sulfat, (3) waktu reaksi, dan (4) suhu asetilasi. Variabel respon yang diamati adalah perolehan kadar asetil dari selulosa triasetat yang dihasilkan dan hasil menunjukkan bahwa faktor rasio anhidirda asetat dengan selulosa berpengaruh secara nyata terhadap  perolehan selulosa triasetat, sedangkan faktor waktu asetilasi berpengaruh nyata terhadap perolehan selulosa triasetat. Konsentrasi asam sulfat dan suhu asetilasi

tidak berpengaruh nyata terhadap perolehan selulosa triasetat. Asetilasi selulosa mikrobial tersebut diperoleh pada suhu 50 oC dan berlangsung selama enam jam menggunakan anhidrida asetat 3,35 bagian, asam asetat 8 bagian, dan katalis asam sulfat sebesar 1,5% dari setiap satu bagian berat kering selulosa yang digunakan. Berdasarkan kondisi optimum yang telah dihasilkan oleh Desiyarni (2006), maka rasio anhidrida asetat terhadap selulosa pulp kayu sengon (3,35:1; 4:1; 5:1; dan 6:1) dan waktu asetilasi (30, 60, 90, dan 120 menit) digunakan sebagai variabel bebas pada penelitian. Konsentarsi katalis asam sulfat (1,5% dari o

selulosa) dan suhu asetilasi (50 C) dipertahankan konstan.

1.2.3. Hidrolisis

Tujuan hidrolisis adalah mensubtitusikan gugus asetil dari selulosa triasetat dengan gugus hidroksil dari air sehingga kandungan gugus asetil dari selulosa triasetat berkurang dan didapat selulosa diasetat dengan berbagai kadar asetil yang diinginkan. Selulosa triasetat mempunyai tiga gugus asetil yang terdiri dari dua gugus asetil sekunder dan satu gugus asetil primer. Reaksi subsitusi gugus asetil oleh gugus hidroksil berlangsung secara bertahap, pada tahap awal akan terjadi subsitusi pada gugus asetil primer selanjutnya terjadi subsitusi pada gugus asetil sekunder. Faktor yang sangat menentukan pada proses ini adalah o

suhu. Reaksi hidrolisis dapat dilakukan mulai suhu 38 C pada kondisi tanpa tekanan sampai 229 oC pada reaksi bertekanan (Kirk dan Othmer, 1993). Suhu yang biasa dipakai pada proses hidrolisis selulosa asetat antara 60 oC - 90 oC (Kuo et al ., 1995). Kuo et al. (1997) menyatakan bahwa suhu hidrolisis berlangsung tinggi (125 oC -175 oC) bila kandungan α-selulosa yang digunakan rendah. Pemakian suhu tinggi untuk kandungan α-selulosa tinggi akan menghasilkan selulosa diasetat dengan kelarutan yang rendah dalam pelarut organik dan menghasilkan selulosa diasetat dengan warna kekuningan atau kecoklatan serta viskosistas intrinsik rendah. Lama proses hidrolisis selulosa triasetat berbasis selulosa pulp dapat mencapai beberapa hari jika dilakukan pada suhu kamar, tetapi dapat juga dilakukan beberapa jam dengan suhu 40 oC - 80 oC (Bydson, 1995). Reaksi hidrolisis yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 4 .

Selulosa Tri Asetat

Selulosa Di Asetat

Asam Asetat

Gambar 4. Reaksi hidrolisis selulosa triasetat  (Report Description-Nexant , 2004). Semakin lama proses hidrolisis dilakukan maka semakin banyak terjadi reaksi subsitusi gugus asetil oleh gugus hidroksil. Hal ini akan menurunkan kadar asetil selulosa asetat yang dihasilkan (Desiyarni, 2006). Hasil proses hidrolisis yang telah dilakukan oleh Desiyarni (2006) menunjukkan bahwa rasio air terhadap selulosa merupakan faktor yang paling kecil pengaruhnya terhadap kadar asetil selulosa diasetat. Penambahan air dalam jumlah berlebihan bertujuan untuk merusak kelebihan anhidrida asetat dari proses asetilasi. Air akan bereaksi dengan anhidrida asetat sehingga menghasilkan asam asetat. Kelebihan air tersebut diperlukan untuk reaksi hidrolisis. Reaksi hidrolisis baru segera dimulai jika anhidrida asetat telah bereaksi semua dengan air. Penambahan air dalam jumlah  berlebihan juga bertujuan untuk menurunkan kandungan asam sulfat yang terdapat dalam selulosa triasetat dengan cara melarutkan air terlebih dahulu dalam asam asetat dan penambahan larutan tersebut dilakukan secara perlahan sambil diaduk

untuk

menghindari

terjadinya

penggumpalan

selulosa

triasetat.

Peningkatan jumlah air yang ditambahkan hingga batas optimum akan menyebabkan penurunan kadar asetil selulosa asetat. Rasio air optimum yang dihasilkan oleh Desiyarni (2006) adalah 1,066. Masih menurut Desiyarni (2006), konsentrasi katalis asam sulfat  berpengaruh relatif kecil terhadap kadar asetil selulosa asetat dibandingkan  pengaruh suhu dan waktu hidrolisis. Konsentrasi asam sulfat berpengaruh negatif terhadap kadar asetil. Penambahan asam sulfat pada konsentrasi tinggi dapat

menghasilkan selulosa asetat yang bersifat mudah rapuh (Shelton et al ., 2004), sehingga penambahan asam sulfat dilakukan relatif kecil dan didapat pada kondisi optimum sebesar 1,5% dari selulosa yang digunakan. Selain itu, peningkatan suhu hidrolisis

dapat

meningkatkan

laju

rekasi

hidrolisis.

Reaksi

hidrolisis

menyebabkan berkurangnya gugus asetil yang terdapat pada molekul selulosa triasetat dan suhu termasuk salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya  penurunan kadar asetil selulosa diasetat yang dihasilkan. Pengendalian suhu  proses hidrolisis selulosa triasetat harus dilakukan dengan baik dan suhu optimum yang telah dihasilkan oleh Desiyarni (2006) adalah pada suhu 50 oC. Variabel lain yang cukup berpengaruh terhadap penurunan kadar asetil selulosa triasetat selama  proses hidrolisis adalah waktu. Semakin lama proses berlangsung semakin menurun kadar asetil selulosa asetat yang dihasilkan. Lama hidrolisis berlangsung tergantung dari kadar asetil yang diinginkan. Ketika derajat substitusi yang diinginkan telah tercapai, reaksi dihentikan dengan netralisasi menggunakan katalis garam magnesium, kalsium atau sodium yang dilarutkan dalam asetat encer (Kirk dan Othmer, 1993). Kadar asetil yang telah didapat oleh Desiyarni (2006) berkisar 37-42% dengan waktu hidrolisis berlangsung antara 120 menit sampai 1080 menit.

1.2.4. Pemurnian

Untuk mendapatkan produk selulosa asetat, tahap akhir yang dilakukan adalah pengendapan yang selanjutnya dicuci dan dikeringkan. Produk yang diinginkan bisa dalam bentuk serpihan ( flakes), atau bubuk ( powder ). Endapan selulosa ester yang terbentuk dipisahkan dari larutan dan dicuci guna menghilangkan sisa asam asetat (Ott et al ., 1954).

1.3. Polietilen Glikol (PEG)

Penambahan bahan aditif pada membran berguna untuk meningkatkan atau memodifikasi sifat-sifat mekanik, kimia, dan fisik membran (Kim et al ., 1989). Polietilen glikol (PEG) merupakan salah satu diantara zat a ditif yang sering ditambahkan pada pembuatan membran yang berfungsi sebagai porogen untuk

meningkatkan keteraturan bentuk pori-pori pada membran sehingga struktur pori lebih rapat dan membran yang dihasilkan semakin bagus. Polietilen glikol (PEG) adalah senyawa hasil kondensasi dari oksietilen dan air dengan rumus molekul H(OCH 2CH2)nOH, dimana n merupakan bilangan (jumlah) rata-rata pengulangan grup oksietilen mulai dari 4 sampai 180. Bilangan yang mengiringi dibelakang PEG menunjukkan berat molekul rata-rata daripada PEG, seperti PEG dengan n = 80 akan mempunyai berat molekul rata-rata sekitar 3500 Dalton dan dicantumkan sebagai PEG 3500. Sedangkan senyawa dengan  berat molekul rendah terdiri dari n = 2 sampai n = 4 seperti diethylene glycol, triethylene glycol, dan tetraethylene glycol , merupakan senyawa-senyawa murni. Senyawa dengan berat molekul rendah sampai 700 bersifat cairan kental, tidak berwarna, tidak berbau dengan titik beku -10 ºC ( diethylene glycol ), sementara senyawa-senyawa hasil polimerisasi dengan berat molekul yang lebih tinggi yaitu sampai 1000 berbentuk padat seperti lilin dengan titik didih mencapai 67 ºC untuk n = 180. Sifat-sifat fisika PEG dapat dilihat pada Tabel 6 (Wikipedia, 2007). Keistimewaan dari PEG adalah senyawa tersebut bersifat larut dalam air (Chou et al., 2007). PEG juga larut dalam berbagai pelarut organik dari golongan hidrokarbon aromatik, seperti metanol, benzen, dichlorometane  dan tidak larut dalam dietil eter dan heksan. Sifat-sifat lain daripada PEG adalah merupakan senyawa yang tidak beracun, netral, tidak mudah menguap dan tidak iritasi. Pelarut PEG banyak digunakan sebagai emulsifier dan detergen, humectants, dan  pada bidang farmasi (Wikipedia, 2007). Tabel 6. Sifat-sifat fisika dan kimia polietilen glikol (PEG) * Polietilen glikol

 Nama kimia Rumus kimia Berat molekul Bilangan CAS Densitas Titik leleh Titik didih Titik api a

Sumber: Wikipedia, Encyclopedia (2007)

Polietilen glikol C2nH4n+2On+1 44 n + 18 g/mol [25322-68-3] 1,1 –  1,2 g/cm bervariasi xx.xoC 182 –  287 oC

2. Proses Pembuatan Membran

Penggunaan membran berbahan baku selulosa diasetat di industri terus meningkat, dan berdampak pada peningkatan kebutuhan selulosa diasetat. Membran ini digunakan oleh industri selain pada proses produksi juga untuk  pengolahan limbah (Benziger et al ., 1999; Shibata, 2004). Membran yang diproduksi umumnya dalam bentuk datar  , meskipun terdapat bentuk-bentuk lain seperti bentuk tubular dan serat berlubang (hollow fiber ). Tujuan pembuatan membran adalah memodifikasi material/polimer dengan teknik yang sesuai sehingga didapatkan membran yang memiliki morfologi/struktur untuk tujuan separasi tertentu. Hal ini menunjukkan material membran membatasi teknik pembuatan membran. Misal : teknik  sintering  digunakan untuk pembuatan membran keramik, teknik inversi fasa untuk membran polimer organik yang larut dalam pelarut dan teknik leaching untuk membran gelas (Scott dan Hughes, 1996). Membran selulosa diasetat sebagian  besar dibuat dengan teknik inversi fasa meliputi empat tahap yaitu pembuatan larutan cetak yang homogen, pencetakan, penguapan sebagian pelarut atau koagulasi parsial, dan pengendapan polimer dalam koagulan atau bukan-pelarut (Mulder, 1996; Radiman dan Eka, 2007). Inversif asa merupakan proses  perubahan polimer secara terkendali dari fasa cair ke fasa padat melalui fasa transisi. Pada tahap tertentu selama proses pemisahan, salah satu fasa cair akan memadat membentuk matriks padatan. Pengendalian tahap awal fasa transisi akan menentukan morfologi membran yang dihasilkan. Secara umum pembuatan membran secara inversi fasa melibatkan tiga komponen utama, yaitu: polimer, pelarut, dan bukan pelarut. Selain menggunakan  bahan dasar tersebut, biasanya ditambahkan bahan aditif lain untuk meningkatkan sifat permukaan membran. Kekentalan larutan dari campuran komponen tersebut tergantung pada berat molekul dan kosentrasi polimer, jenis pelarut, dan aditif. Pada Tabel 7 dapat dilihat berbagai hasil penelitian pembuatan membran selulosa diasetat yang telah dilakukan secara inversi fasa.

Tabel 7. Hasil pembuatan membran selulosa asetat secara inversi fasa  No.

Peneliti / Judul

Polimer Membran

Jenis Membran / Keterangan

1.

Idris, A. et al . (2001) /  Effect of Methanol Concentration on the Performance of Asymetric Cellulose Acetate Reverse Osmosis Membranes Using  Dry/Wet Phase Inversion  Rechnique.

- Selulosa diasetat komersial (kadar asetil 39,8%) - konsentrasi polimer: 25%, 27%.

2.

Darwis et al.  (2003)/ Pembuatan Membran Filtrasi dari Selulosa Mikrobial.

Selulosa asetat dari selulosa mikrobial (nata de coco) dengan kadar asetil 43,1747,99%.

3.

Mahendran, R. et al. (2004) / Cellulose Acetate and  Polyethersulfone Blend Ultrafiltration Membranes.  Part I: Preparation and Characterizations

- Selulosa asetat komersial (kadar asetil 39,99%) + Polietersulfon - Konstrasi total polimer 17,5% dengan berbagai  perbandingan

4.

Idris, A. et al . (2005) / The  Effect of Curing Temperature on the Performance of Thin  Film Composite Membrane.

- Selulosa asetat komersial (kadar asetil 39,8%) dengan konsentrasi 25% - Polisulfon (15%)

5.

Desiyarni (2006) / Perancangan Proses Pembuatan Selulosa Asetat dari Selulosa Mikrobial untuk Membran Ultrafiltrasi.

6.

Chou, W. L. et al. (2007) /  Effect of Molecular Weight and Concentration of PEG  Additives on Morphology and  Permeation Performance of Cellulose Acetate Hollow  Fiber. Radiman, C.L. dan Eka, I. (2007) / Pengaruh Jenis dan Temperatur Koagulan terhadap Morfologi dan Karakteristik Membran Celulosa Asetatat.

- Selulosa asetat dari mikrobial (nata de coco) dengan kadar asetil: 37,21%; 38,11%; 39,19%; 40,22% - Konsentrasi SA: 12%, 14%, 16%, 18%, 20%. - Selulosa asetat komersial (kadar asetil 39,8%) dengan konsentrasi 25%

- Reverse Osmosis / - Pelarut: Aseton (37%; 36,5%; 31,5%) - Bukan-pelarut: Metanol (13%, 10%) - Swelling agent: Formamide (37,5%; 31,5%; 24%; 36,5%) - Koagulasi: 4 oC, 24 jam - Mikrofiltrasi / - Pelarut: Formamida - Bukan-pelarut: Air - Aditif: PEG - Koagulasi: suhu kamar - Ultrafiltrasi (membran komposit) / - Pelarut: DMF - Bukan-pelarut: Air - Aditif: PEG 600 Da - Larutan cetak: 40 oC, 3-4 jam - Koagulasi: suhu kamar, 1-2  jam - Ultrafiltrasi (membran komposit) - Pelarut SA: Aseton (45%) Formamida (30%) - Pelarut PS: PVP (18%),  NMP (67%) - Bukan-pelarut: Air - Koagulasi: 2-3oC - Ultrafiltrasi (membran datar) - Pelarut: DMF - Bukan-pelarut: Air - Larutan cetak: suhu kamar, 24 jam - Koagulasi: 2 oC, 10oC, 18oC 26oC (24 jam) - Ultrafiltrasi (membran hollow fiber) / - Pelarut: DMF (75%) - Bukan-pelarut: Air - Aditif: PEG (1, 10, 40 kDa) - Larutan cetak: suhu kamar - Koagulasi: 25 oC, 50oC, 75oC - Mikrofiltrasi / - Pelarut: Formamida (10%) dan Aseton (80%) - Bukan-pelarut: Air dan 2- Propanol o o - Koagulasi: 5 C, 15 C, o 25 C (beberapa jam)

7.

- Selulosa asetat komersial (kadar asetil 39,8%) - konsentrasi polimer: 10%

Lanjutan Tabel 7. Hasil pembuatan membran selulosa asetat secara inversi fasa 8.

9.

10.

11.

Cerqueira, D.A. et al. (2008) / Characterization of Cellulose Triacetate Membranes,  Produced from Sugarcane  Bagasse, using PEG 600  Additive. Bhongsuwan, D. dan Bhongsuwan, T. (2008) / Preparation of Cellulose Acetate Membranes for Ultra Nano-Filtration.

- Selulosa asetat dari selulosa ampas tebu

- Aditif: PEG 600 Da

- Selulosa asetat komersial dengan konsentrasi 20%

Vidya, S. et al . (2008). / Effect of Additive Concentration on Cellulose Acetae Blend Membranes Preparation, Characterization and Application Studies. Saljoughi, E. et al . (2010). / Effect of PEG additive and coagulation bath temperature on the morphology,  permeability and thermal/chemical stability of asymetric CA membranes.

- Selulosa asetat komersial

- Ultra-Nano-Filtration / - Pelarut: Formamida (33%) dan Aseton (47%) - Bukan-pelarut: Air o - Koagulasi: 2-3 C, 30 menit - Evaporasi: 20,30,60 detik - Pelarut: DMF - Bukan-pelarut: Air - Aditif: PEG 200, PVP

- Selulosa asetat komersial

- Pelarut: NMP - Bukan-pelarut: Air - Aditif: NMP (0%, 5%, 10%) o o - Koagulasi: 0 , 25 C

Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa pembuatan membran jenis proses mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, dan reverse osmosis  dengan polimer selulosa asetat dapat dilakukan secara inversi fasa. Terdapat beberapa parameter yang mempengaruhi struktur membran, seperti: pemilihan polimer, pemilihan pelarut dan bukan-pelarut, komposisi larutan cetak, suhu larutan cetak, suhu koagulasi, dan aditif. Konsentrasi polimer juga mempengaruhi morfologi dan kinerja membran. Penelitian yang telah dilakukan Desiyarni (2006), kenaikan konsentrasi selulosa asetat berbasis selulosa mikrobial dari 12% hingga 20% menghasilkan fluks yang semakin menurun. Kenaikan konsentrasi polimer awal dalam larutan cetak akan membuat konsentrasi polimer pada antarpermukaan lapisan membran lebih tinggi. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa fraksi volume polimer naik sehingga  porositas lebih rendah

dan lapisan bagian atas membran menjadi lebih rapat

membuat fluks yang dihasilkan lebih rendah (Mulder, 1996; Mustaffar et al ., 2005). Sementara itu, kadar asetil selulosa asetat menentukan selektifitas membran. Kadar asetil yang tinggi akan menghasilkan rejeksi yang tinggi dengan

fluks yang rendah dan sebaliknya (Shibata, 2004). Hasil penelitian Desiyarni (2006) memperlihatkan bahwa permukaan membran selulosa diasetat (SDA) pada kadar asetil 40,22% terlihat lebih rapat dibandingkan dengan permukaan membran SDA pada kadar asetil 37,21% sehingga fluks air, dekstran, dan albumin yang dihasilkan cenderung meningkat. Bobot molekul selulosa diasetat cenderung meningkat dengan semakin tinggi kadar asetil selulosa diasetat. Bobot molekul SDA pada kadar asetil 40,22% adalah 36.965, sementara bobot molekul SDA  pada kadar asetil 37,22% adalah 35.875. Secara umum, membran inversi fasa dapat dibuat dari berbagai polimer.  Namun persyaratan utama bagi polimer yang digunakan adalah dapat larut pada  pelarut yang sesuai atau campuran pelarut. Pelarut yang banyak digunakan adalah dimetilformamida (DMF). Pemilihan pelarut tersebut juga didasari oleh struktur morfologi membran yang diinginkan, yaitu berpori atau tidak berpori. Air banyak digunakan sebagai bukan-pelarut karena dapat mempercepat proses inversi fasa dibandingkan aseton mau pun etanol (Young dan Chen, 1991). Pelarut DMF mempunyai kelarutan dan affinitas yang tinggi dalam air dibandingkan aseton dan etanol sehingga menghasilkan membran berpori. Penambahan bahan aditif pada larutan cetak dapat dilakukankan dalam  pembuatan membran yang berfungsi sebagai porogen. Terdapatnya aditif tersebut akan mempengaruhi morfologi dan kinerja membran karena dapat menaikkan viskositas larutan polimer, menambah sifat hidrofilik, membentuk pori membran, dan menekan pembentukan makrovoid sehingga diperoleh fluks air yang tinggi. Zat aditif yang sering ditambahkan yaitu Polietilen glikol (PEG), Polivinil  pirolidon (PVP), dan alkohol (Chou et al ., 2007; Javiya et al ., 2008; Saleh et al., 2008; Aroon et al., 2010). Terdapat banyaknya parameter yang mempengaruhi karakteristik membran yang dihasilkan, sehingga kondisi pembuatan membran masih menarik untuk diteliti sampai saat ini.

3. Mekanisme Pembentukan Membran Berpori

Terdapat beberapa faktor penting yang berpengaruh terhadap morfologi membran pada pembuatan membran secara inversi fasa. Struktur, porositas, dan selektivitas membran yang ingin dihasilkan dapat ditentukan melalui pengaturan

komposisi larutan polimer, jenis pelarut dan bukan-pelarut (nonsolvent ), konsentrasi polimer, komposisi cairan dalam bak koagulasi, komposisi larutan cetak, suhu larutan polimer, dan suhu koagulasi (Schwarz, 1989; Young dan Chen, 1995; membran

Shibata, 2004). Pelarut yang sering digunakan pada pembuatan

selulosa

dimetilasetamida

asetat

(DMAc),

antara

lain

dioksan,

adalah

aseton,

dimetilformamida tetrahidrofuran

(DMF),

(THF),

dan

dimetilsulfoksida (DMSO). Air merupakan bukan-pelarut yang umum digunakan  pada proses pembuatan membran secara inversi fasa (Mulder, 1996; Cheryan, 1998; Solvay, 2008). Menurut Cheryan (1998), terdapat dua tipe morfologi membran dari hasil  proses

demixing ,

yaitu:

instantaneous

demixing

dan

delayed demixing.

 Instantaneous demixing  berarti bahwa struktur membran terbentuk segaera setelah lapisan film dicelupkan ke dalam bukan-pelarut. Sebaliknya delayed demixing  diperlukan beberapa selang waktu sebelum terbentuk struktur membran. Bila liquid-liquid demixing   terjadi secara instantaneous, maka akan terbentuk membran dengan lapisan atas yang berpori. Hasil mekanisme demixing ini terjadi dalam pembentukan membran berpori (tipe mikrofiltrasi/ultrafiltrasi). Namun,  bila liquid-liquid demixing   terjadi beberapa selang waktu sebelum terbentuk membran maka akan dihasilkan membran dengan lapisan atas yang dense (rapat) yang dikenal dengan mekanisme delayed demixing . Hasil mekanisme demixing ini terjadi dalam pembentukan membran rapat (pemisahan gas/pervaporasi). Menurut Mulder (1996), apabila larutan polimer terdiri dari polimer selulosa asetat dengan pelarut DMF atau DMSO serta bukan-pelarut berupa air, maka

pembentukan

morfologi

membran

akan

mengikuti

mekanisme

instantaneous demixing . Sebaliknya, apabila larutan polimer terdiri dari polimer dengan THF atau aseton sebagai pelarut dan air sebagai bukan-pelarut maka  pembentukan morfologi membran akan mengikuti mekanisme delayed demixing. Mekanisme  pembentukan pori diawali dengan terjadinya pemisahan fasa, yaitu fasa kaya akan polimer dan fasa miskin polimer. Fasa kaya akan polimer akan membentuk padatan, sementara fasa miskin akan polimer akan larut dan meninggalkan pori. Proses pemadatan lebih cepat dibandingkan proses pelarutan. Lapisan atas membran terbentuk pertama sekali pada saat larutan cetak dicelupkan

 pada bak koagulasi berisi air sebagai koagulan. Pelarut dan aditif yang terdapat  pada larutan cetak dengan cepat berdiffusi dalam larut ke air, sedangkan molekulmolekul polimer dengan cepat beragregasi untuk membentuk padatan. Oleh karena padatan yang terbentuk belum sempurna, maka pori yang ditinggalkan  pada padatan membran dari hasil proses pelarutan pelarut dan aditif pada bak koagulasi sangat kecil. Proses pelarutan pelarut dan aditif pada lapisan bagian  bawah lebih lambat dibandingkan pada lapisan bagian atas. Ketika molekul  pelarut dan aditif larut, proses pemadatan sudah terjadi sempurna dan molekul meninggalkan meninggalkan jejak sebesar dimensi molekul tersebut dan pori yang dihasilkan lebih besar dibandingkan pada bagian atas (Young dan Chen, 1995 ; Javiya et al , 2008).

Pemanfaatan dan Peluang Teknologi Membran

Teknologi membran hingga sekarang sudah dikembangkan di berbagai negara dan memiliki peran penting di industri. Teknologi membran tidak hanya  berhasil menggantikan teknik pemisahan konvensional pada berbagai industri, namun juga telah terbukti berhasil menghasilkan effluen pada pengolahan limbah industri dengan kualitas di atas standar baku mutu sehingga memungkinkan effluent tersebut digunakan kembali sebagai air proses. Pemanfaatan itu menghasilkan keuntungan dari segi biaya operasional. Selain itu konsumsi energi teknologi ini sangat rendah karena pemisahan menggunakan membran tidak memerlukan perubahan fasa sehingga dapat dilakukan pada suhu kamar (suhu rendah) dan pengaruh ini berdampak terhadap biaya produksi. Penggunaan suhu rendah dapat mencegah terjadinya kerusakan pada unsur-unsur yang rentan terhadap panas dan tingkat kemurnian produk yang dihasilkan lebih tinggi dengan kualitas yang lebih baik ramah lingkungan. Indonesia merupakan salah satu  bagian dari negara di Asia Tenggara yang berpotensi untuk mengembangkan aplikasi membran. Dari setiap sumber daya alam yang ada juga dapat dijadikan membran untuk dijadikan suatu produk yang dapat dijual (marketable). Membran ultrafiltrasi mampu menolak semua padatan terlarut, partikel koloid, senyawa terlarut dengan berat molekul tinggi seperti polisakarida, warna,

 protein, jamur, dan bakteri. Sementara gula, garam-garam mineral, dan air lolos melewati pori membran. Aplikasi yang sangat luas dibidang bioteknologi (proses  pemisahan produk : enzim, vitamin), biomedikal (pencucian darah dengan ginjal  buatan), industri makanan dan minuman (produk agroindustri), serta pengolahan limbah cair (Bahan Berbahaya Beracun, B3) dari alkohol, pabrik kertas, pabrik  penyamakan kulit telah banyak dilakukan (Benziger, 1989 ; Shibata, 2004). Dalam industri minyak atsiri, alternatif metode pemisahan dam pemurnian dapat dilakukan dengan menggunakan membran filtrasi (LIPI, 2007). Kombinasi proses ekstraksi minyak atsiri dengan super kritikal CO 2  dan pemisahan dengan membran telah dilakukan untuk pemisahan pelarut dengan minyak tanpa memerlukan kondisi ektraksi dengan variasi yang besar (Sarmento et al ., 2004). Pada Tabel 8 dapat dilihat berbagai hasil penelitian dengan memanfaatkan membran selulosa asetat. Tabel 8. Pemanfaatan membran selulosa diasetat  No. 1. 2.

3.

4. 5. 6.

7. 8.

Peneliti Judul Penelitian Hiratsuko, N. et al .  Rapid and Highly Sensitive Colloidal Silver Staining on Cellulose (1996).  Acetate Membrane for Analysis of Urinary Proteins. Iijima, S. et al . Silmutaneous Analysis of Microheterogeneity of Immonuglobulins (1997). and Serum Protein Fraction Using High-Voltage Isoelectric  Focusing on Six Celluoce Acetate Membrane. Rahayu, I. et al . Synthesis and Characterization of Cellulose Acetae Hollow Fiber (2000) Membrane and With Additive Variation for Clarification of Guava Juice. Darmo, H. K. et al. Upaya Penanganan Membran Fouling pada pengolahan Limbah (2003). Textil Notodarmojo, S. Pengolahan Limbah Cair Emulsi Minyak dengan Proses Membran et al . (2004a). Ultrafiltrasi Dua-Tahap Aliran Cross-Flow. Notodarmojo, S. et Penurunan Zat Organik dan Teknologi Membran Ultrafiltrasi al . (2004b) dengan Sistem Aliran  Dead-End.  Kekeruhan menggunakan(Studi kasus: Waduk Saguling, Padalarang) Juansah, J. et.al. Peningkatan Mutu Sari Buah Nanas dengan Memanfaatkan Sistem (2009). Filtrasi Aliran Dead-End  dari Membran Seluloa Asetat. Aripad. (2009). Pemurnian Virgen Coconout Oil (VCO) dengan Menggunakan Membran Celulosa Asetat secara Ultrafiltrasi.

Komoditi pertanian di Indonesia sangat beragam, termasuk minyak atsiri.  Nilam merupakan salah satu dari sejumlah besar jenis minyak atsiri yang telah  berhasil disuling di Indonesia. Minyak ini banyak digunakan dalam industri  parfum, sabun, deterjen, dan kosmetika. Industri nilam merupakan penyumbang devisa terbesar di antara ekspor minyak atsiri yang dihasilkan Indonesia. Ekspor

minyak nilam Indonesia pada tahun 2001 adalah ± 1.88 ton, dan pada tahun 2006 meningkat sebesar empat kali lipat (± 4.984 ton) (BPS, 2006). Sebagai produsen nilam terbesar di dunia, Indonesia memasok 80% kebutuhan minyak nilam Amerika. Sisanya yang 20% diimpor oleh Amerika dari Spanyol, Singapura, Belanda, dan Perancis (Anonymous, 2009). Nanggroe Aceh Darussalam adalah salah satu sentra produksi minyak nilam di Indonesia. Nahar (2009) dalam survai yang telah dilakukan pada bulan Mei tahun 2009 ke salah satu daerah pengolahan minyak nilam di daerah Aceh, tepatnya di Kabupaten Aceh Utara, diperoleh keterangan dari petani pembuat minyak nilam, bahwa produksi mereka hanya dihargai Rp. 250.000 –  300.000/Kg oleh petani pengumpul. Kadar  Patchouli Alkohol (PA) merupakan salah satu parameter yang menentukan mutu minyak nilam. Standar mutu minyak nilam terbaik adalah mempunyai kadar PA minimal 31% menurut SNI 06-2385-2006, tetapi untuk standar mutu minyak nilam dalam pasar ekspor internasional yaitu minimal 38% (Essential Oil Association of USA, 1975 ). Tuntutan pasar saat ini tentang kualitas cenderung meningkat, dan industri minyak nilam di Indonesia harus mampu mengikuti keinginan pasar tersebut. Jadi penyulingan yang dilakukan tidak hanya terbatas untuk menghasilkan minyak nilam semata, tetapi juga membuat minyak seperti yang diinginkan oleh pasar. Beberapa pengamatan yang dilakukan oleh  peneliti terhadap rendemen minyak nilam yang dihasilkan petani, diperoleh hasil yang kurang memuaskan karena kandungan  patchouli alcohol masih dibawah 30%, sedangkan kebutuhan pasar kandungan  patchouli alcohol minimal 31%. Permasalahan yang seperti ini sering dihadapi oleh petani minyak nilam karena  produk yang dihasilkan tidak memenuhi standar kualitas sehingga mengakibatkan rendahnya daya jual. Oleh sebab itu memperbaiki mutu minyak nilam dalam hal  peningkatan kadar  patchouli alcohol   akan sangat membantu memecahkan masalah diatas dengan cara melakukan penelitian sehingga didapat kualitas minyak nilam yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI 06-23852006). Peningkatan  patchouli alcohol   telah dilakukan dengan metoda distilasi uap, distilasi aerasi, dan fraksinasi vakum dengan kandungan patchouli alcohol dalam minyak nilam sekitarr 40% - 76% (Yudistira et al ., 2010). Hanya saja pada

metode-metode tersebut operasi bekerja pada suhu tinggi, sehingga memerlukan sejumlah energi. Membran selulosa asetat bersifat hidrofilik dan mempunyai sisi aktif yang  bersifat polar, sehingga memiliki peluang untuk dapat berinteraksi dengan gugus yang bersifat polar pada komponen yang akan dipisahkan. Interaksi antara molekul/senyawa dengan membran dapat terjadi melalui ikatan kimia, yaitu ikatan hidrogen. Breaken et al . (2005) menyatakan bahwa hidrofobisitas merupakan  parameter penting yang mempengaruhi retensi untuk molekul-molekul dengan  berat molekul di bawah Molecular Weight Cut Off (MWCO) membran. Patchouli alkohol merupakan salah satu komponen penyusun minyak nilam yang lebih  bersifat polar dibandingkan komponen penyusun lainnya karena memilki gugus hidroksil (-OH) Oleh karena antara membran selulosa asetat dan patchouli alkohol  bersifat polar, dan berat molekul masing-masing komponen penyusun mimyak nilam relatif sama, maka peningkatan patchouli alkohol diduga dapat dilakukan  berdasarkan mekanisme perbedaan hidrofobisitas. Komponen utama serta sifat fisika yang terdapat dalam minyak nilam tercantum pada Tabel 9.

Tabel 9. Komponen utama dalam minyak nilam *  No.

Komponen

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

ß - patchoulene α - gurjunene α - guaiene ß - caryophyllene α - patchoulene Seychellene α - bulnesene ß - guaienepoxide α - bulnesenepoxide norpatchoulenol Patchoulol Pogostol

Komposisi (%) 1,7 – 4,8 0,0 –  5,0 9,9 –  15,2 2,0 – 3,9 8,5 – 12,7 5,9 – 9,4 13,2 – 17,2 0,1 –  0,2 0,2 –  0,4 0,5 – 0,6 31,2 – 46,0 1,9 – 2,7

Berat Molekul 204,35

Titik Didih o ( C) 248,83

204,36 204,35 218,38 190,32

110 245,23 259,09 242,26

208,34 222,37 208,34

268,88 280,37 274,43

*Maryadhi (2007); Dung et al. (1989)

Selain itu, seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan produk pangan yang lebih berkualitas diperlukan suatu peran teknologi dengan proses pemisahan

yang bersifat tidak merusak komponen dan pemakaian energi yang rendah. Proses  pemisahan yang umum dilakukan menggunakan tambahan bahan kimia ( filter aid ) sehingga menghasilkan limbah yang menimbulkan biaya pengolahan lingkungan lebih tinggi. Gula merupakan salah satu dari sembilan bahan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Diharapkan Indonesia dapat mencapai swasembada gula  pada tahun 2014 dan diperkirakan untuk swasembada nasional dibutuhkan sekitar 5,7 ton gula. Usaha untuk mencapai target tersebut dibutuhkan penambahan lahan seluas 500 ribu hektare (Putri, 2010). Namun untuk memenuhi kebutuhan serta mencapai target swasembada gula pada tahun 2014 tidak mungkin hanya mengandalkan dari luas lahan yang ada. Sampai dengan 2009 luas lahan  perkebunan tebu di Indonesia 473 ribu ha atau naik 2,9% dibanding 460 ribu ha  pada 2008 (Market Intelligence, 2010). Disamping teknik penanaman bibit dengan kualitas baik dan meningkatkan pemupukan, teknik proses pemurnian nira mentah merupakan salah satu faktor untuk mendapatkan gula kristal dengan mutu yang baik dan jumlah yang meningkat. Sebelum menjadi gula, tebu harus melewati beberapa tahapan proses. Pada proses produksi gula hampir semua tahapan proses merupakan proses pemisahan. Sebagian besar pabrik gula di Indonesia menggunakan cara sulfitasi, defekasi, dan karbonatasi pada proses  penjernihan nira mentah. Tahapan pada proses penjernihan nira merupakan tahapan untuk menghilangkan kontaminasi non sukrosa dari nira mentah. Selanjutnya nira jernih masuk ke tahap kristalisasi dengan terlebih dahulu dipekatkan dengan mengurangi kadar airnya. Pemurnian dengan metode ini masih dihadapkan pada tingginya impuritas dalam produk dan besarnya kehilangan sukrosa. Usaha untuk meningkatkan dan memperbaiki kualitas kristal gula, maka sistem membran dengan teknik ultrafiltrasi dapat menggantikan proses konvensional tersebut untuk memisahkan zat warna. Dengan demikian, untuk memecahkan beberapa masalah terutama kualitas produk dan pemakaian energi, diharapkan

teknologi

membran

mampu

diterapkan

di

bidang

pangan

menggantikan sebagian teknologi konvensional. Implemantasi teknologi membran akan semakin luas apabila terjadi  pengembangan yang sangat pesat dalam hal material membran, proses produksi

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF