Bab Ii Laporan Kasus

July 8, 2019 | Author: defina | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Bab Ii Laporan Kasus...

Description

BAB II LAPORAN KASUS

2.1 

Anamnesis Identitas :

 Nama

: Ny. R

Umur

: 57 Tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

TTL

: 11 Juli 1960

Agama

: Islam

Suku

: Madura

Alamat

: Desa Banyubunih Kec. Galis Kab. Bangkalan

Pekerjaan

: IRT

Pendidikan terakhir: SD Status Pernikahan Pernikahan : Sudah Menikah Jumlah anak

: 2 orang

 No. RM

: 165078

MRS

: Kamis, 28 Desember 2017



Keluhan utama: Bercak merah



Riwayat penyakit sekarang:

Pasien datang ke RS Syamrabu atas dasar rujukan dari puskesmas setempat. Pasien mengeluh adanya bercak merah di tangan kiri dan punggung. Bercak merah di punggung muncul sejak 4 bulan yang lalu, kemudian diikuti munculnya bercak merah di tangan kiri sejak ±3 hari yang lalu. Bercak merah di punggung semakin hari semakin luas sedangkan bercak merah di tangan  bertambah jumlahnya dan semakin lebar setiap harinya. Pasien juga mengeluhkan adanya rasa baal pada lesi dan kesemutan di kedua tangan dan kaki. Kesemutan di kedua tangan dan kaki dirasakan hilang timbul. Pasien tidak mengeluhkan adanya gatal maupun nyeri pada lesi. Selain itu, pasien juga merasa lemas dan sesak nafas sejak ±2 hari yang lalu. Sesak nafas dirasakan terus menerus, terutama saat beraktivitas, terasa seperti tertekan. Sesak nafas  berkurang ketika istirahat dan berbaring dalam posisi setengah duduk. Pasien

sulit beraktifitas karena lemas dan sesak nafas. Pasien juga mengeluhkan susah tidur akibat sesak nafas tersebut. Selain itu, pasien juga merasakan sakit kepala sejak 4 hari yang lalu. Sakit kepala dirasakan hilang timbul, tidak berkurang ketika istirahat. Riwayat penyakit dahulu: Kolesterol (+), Asam urat (+), Edema paru (+), DM



(-), hipertensi (-) 

Riwayat pengobatan: Pasien menjalani pengobatan kolesterol dan asam urat.



Riwayat alergi: (-)



Riwayat operasi: (-)



Riwayat transfusi : (-)

2.2

Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum

: Baik

2. GCS

: 456 (compos mentis)

3. Tanda Vital a. Tekanan Darah

: tidak didapatkan data

 b.  Nadi

: tidak didapatkan data

c. RR

: tidak didapatkan data

d. Suhu

: tidak didapatkan data

4. Antropometri a. BB

: tidak didapatkan data

 b. TB

: tidak didapatkan data

c. BMI

: tidak didapatkan data

5. Status Lokalis Dermatologis : Lokasi

: regio thorakalis posterior dan ektremitas superior S

Distribusi

: asimetris

Batas

: jelas

Jumlah

: 1000 BTA rata –  rata dalam 1 LP Indeks

morfologi

(IM)

adalah

persentase

bentuk

solid

dibandingkan dengan jumlah solid dan non solid. IM= (Jumlah solid x 100 %) / (Jumlah solid + Non solid) Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, IB 1+ tidak perlu dibuat IM karena untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai IB 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan. 1 -

Pemeriksaan histopatologi Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, sel alveolar dari paru, sel glia dari otak, dan dari kulit disebut histiosit . Apabila Sistem Imunitas Seluler (SIS)nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans. Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan  M. leprae  yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan

non solid. Sedangkan pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah langsung di  bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur –  unsur tersebut.1 -

Pemeriksaan serologik Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis.1 Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Pemeriksaan serologik adalah MLPA ( Mycobacterium Leprae Particle  Aglutination), uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay) dan ML dipstick ( Mycobacterium Leprae dipstick ).1

2.6 Tatalaksana Skema Regimen MDT WHO Tabel 2.3 Obat dan dosis regimen MDT-PB

OBAT

DEWASA BB35 kg

Rifampisin

450 mg/bln (diawasi)

600 mg/bln (diawasi)

Dapson swakelola

50mg/hari(1-2mg/kgBB/hari)

100 mg/hari

OBAT

DEWASA

BB35 kg

Rifampisin

450 mg/bln (diawasi)

600 mg/bln (diawasi)

Klofazimin

300

mg/bln

diteruskan

diawasi 50

dan

mg/hari

swakelola Dapson swakelola

100 mg/hari 50mg/hari(1-2mg/kgBB/hari)

Tabel 2.4 Obat dan dosis regimen MDT-MB BAB IV PEMBAHASAN

Kusta, juga dikenal sebagai Morbus Hansen, adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh  Mycobacterium leprae di mana kerentanan terhadap mikobakteri dan manifestasi klinis dikaitkan dengan respon imun host. Meskipun  prevalensi kusta telah menurun dibeberapa daerah secara dramatis, namun jumlah kasus baru di Madura masih tinggi. Hal ini menunjukkan adanya transmisi yang aktif. Kusta adalah salah satu penyebab paling umum dari neuropati perifer nontraumatic di seluruh dunia. Proporsi pasien dengan cacat dipengaruhi oleh jenis kusta dan keterlambatan diagnosis.6 Kusta merupakan penyakit yang utamanya menyerang kulit dan sistem saraf  perifer. Namun terkadang dapat mengenai mata, tulang, kelenjar getah bening, struktur hidung, dan testis juga mungkin terlibat. Manifestasi klinis penyakit itu dibagi menjadi dua, tuberkuloid (TT) atau pausibasiler (PB) dan lepromatosa (LL) atau multibasiler (MB), dengan beberapa bentuk peralihan (indeterminate [I], tuberkuloid borderline [BT], mid borderline [BB], dan borderline lepromatosa [BL]). Klasifikasi WHO ditentukan oleh jumlah basil yang ditemukan dari  pemeriksaan  slit skin smear. Secara klinis, pasien dengan kusta lepromatosa memiliki jumlah BTA yang tinggi pada spesimen biopsi kulit (multibasiler);  beberapa lesi kulit terdiri dari makula, papula, plak, atau nodul, dan saraf perifer menebal dengan anestesi dan akhirnya dapat mengembangkan keratitis, uveitis, kehilangan rambut alis, ulserasi hidung, kerusakan tulang, kulit menyerupai lilin

karena infiltrasi oleh makrofag, limfosit, dan sel plasma. Pasien dengan kusta tuberkuloid (TT dan BT) memiliki jumlah BTA yang rendah (pausibasiler) pada spesimen biopsi kulit, dengan lesi kulit anestesi tunggal dengan atau tanpa saraf  perifer yang menebal.4 Pada kasus, didapatkan keluhan bercak merah pada punggung sejak 4 bulan yang lalu dan pada tangan kiri sejak 3 hari yang lalu . Dari hasil anamnesis didapatkan bercak yang terasa tebal, tidak ada gatal, tidak ada nyeri, ada kesemutan  pada telapak tangan dan kaki, dan badan pasien tidak panas. Pasien belum berobat sebelumnya. Status internus pasien dalam batas normal. Status venerologi lokalisasi kelainan pada punggung dan tangan kiri. Pada eflorisensi terlihat makula eritema,  bentuk oval. Diagnosis bandingnya adalah tinea versikolor, dermatitis seboroik dan  psoriasis. Berdasarkan lesi yang terlihat pada wajah dan tubuh pasien, didapatkan efloresensi berupa makula eritema, berbentuk oval, maka dapat disingkirkan  beberapa diagnosis yaitu: Pitiriasis versikolor atau tinea versikolor adalah kelainan kulit yang umum,  jinak, infeksi jamur superfisial

yang biasanya ditandai dengan makula

hipopigmentasi atau hiperpigmentasi di dada dan punggung. Kadang penderita dapat merasakan gatal yang ringan. Diagnosisnya dapat dikuatkan dengan  pemeriksaan KOH. Pada dermatitis seboroik biasanya lesinya eritema dan skuama berminyak dan agak kekuningan batasnya agak kurang tegas. Sedangkan pada psoriasis keluhan penderita biasanya sedikit gatal dan panas di samping kosmetik. Lesi kulit yang pertama kali timbul biasanya pada tempat-tempat yang mudah terkena trauma antara lain : siku, lutut, sakrum, kepala dan genitalia, berupa makula eritematus dengan batas jelas, tertutup skuama tebal dan transparan yang lepas pada bagian tepi dan lekat di bagian tengah. Pada pemeriksaan fisik, seharusnya dilakukan pemeriksaan n eurologis yang mendukung untuk gejala klinis morbus hansen yaitu pemeriksaan pembesaran saraf-saraf perifer, kekuatan motorik dan pemeriksaan sensorik. Namun  pemeriksaan yang dilakukan kali ini adalah pemeriksaan motorik dan sensorik saja. Dari hasil yang didapatkan, tidak terdapat adanya kelemahan kekuatan motorik

 pada pasien. Dilakukan juga pemeriksaan rangsang raba dengan hasil adanya hipoestesi pada lesi. Penemuan klinis ini mengarah pada diagnosis morbus hansen. Pemeriksaan yang diusulkan adalah pemeriksaan BTA cuping telinga namun hasilnya belum keluar. Pengobatan MDT untuk pausibasiler adalah dengan diberikan 6 strip obat, dimana setiap strip dihabiskan dalam 28 hari. Walaupun demikian, 6 strip tersebut dapat dihabiskan dalam kurun waktu maksimal 9 bulan. Menurut program WHO yaitu dilakukan pengobatan MH-PB dengan menggunakan blister, yaitu, hari  pertama dengan dapson 100 mg dan rifampisin 600 mg. Pada hari pertama, pasien harus meminum obat langsung didepan petugas kesehatan. Sedangkan pada hari selanjutnya, diberikan dapson 100 mg, setiap hari dari hari ke-2 hingga hari ke-28, diminum sekali sehari pada waktu dan jam yang sama. Pasien harus datang untuk mengambil obat baru setiap hari ke-29 dan mendapatkan paket blister yang sama. Pengobatan ini harus terus diulang hingga 6 bulan minimal dan maksimal 9  bulan.5,6,7 Setiap hari pertama untuk tiap bulannya, pasien terus dilakukan  pemeriksaan neurologis ulang, disamping itu juga dilakukan pemeriksaan mata,  pemeriksaan efek samping obat dan resistensi obat serta pemeriksaan reaksi kusta. Selain itu dilakukan pemeriksaan bakterioskopis setiap 3 bulan sampai selesai  pengobatan dengan memperhatikan indeks bakteri dan indeks morfologis untuk mengetahui kemungkinan resistensi. Setelah selesai pengobatan dilanjutkan masa  Release From Treatment (RFT) selama 5 tahun dengan pemeriksaan klinis dan  pemeriksaan pengobatan setiap tahun. Sebagai dokter umum juga harus sigap jika menemukan indikasi rujukan. Prognosis pasien adalah baik dengan pengobatan sesuai dengan patogen yang menjadi kausa secara cepat dan tepat. KIE yang diberikan adalah kontrol poliklinik setelah 1 bulan.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF