Bab II Dan III Kantianisme
October 13, 2022 | Author: Anonymous | Category: N/A
Short Description
Download Bab II Dan III Kantianisme...
Description
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Perkembangan Perkembangan Deontologi
Teori deontologi dicetuskan oleh Imaneuel Kant sehingga teori etika ini disebut pula sebagai teori etik Kantianisme. Imanuel Kant lahir pada tanggal 22 April 1724 dan meninggal pada 12 Februari 1804. Kant dikenal sebagai seorang filsuf besar dalam pemikiran filosofis zaman Aufklarung zaman Aufklarung Jerman Jerman menjelang abad ke 18. Pendidikan formalnya dimulai saat usianya delapan tahun di Collegium Fridericianum. Fridericianum. Pada tahun 1740, Kant mengenyam m engenyam pendidikan di universitas dan berkenalan dengan dosen yang berperan dalam pemikiran Kant, Martin Knutzen (1713-1751). Knutzen adalah seorang profesor logika dan metafisika. Kant mengembangkan ilmu yang didapatnya dengan bimbingan Knutzen hingga menghasilkan karya Allgemeine Naturgeschichte und Theorie des Himmels Himmels (Sejarah Umum tentang Alan dan Teori tentang Langit) pada tahun 1755. Karya ini membahas tentang rotasi bumi pada porosnya dan terjadinya sistem sist em tata surya yang kemudian dikembangkan oleh Laplace (17491827) sebagai teori “hipotesis nebular” atau “teori kabut asal” asal” (Logan B, 1996; Dicker G, 2004) Pada tahun 1755, Kant memperoleh gelar doktornya dengan disertasi mengenai ilmu alam berjudul Meditationum berjudul Meditationum quarundum de igne succinta s uccinta delineatio (Penggambaran delineatio (Penggambaran Singkat dari Sejumlah Pemikiran tentang Api). Kant mendapat julukan sebagai der schone magister (guru yang pintar). Pada bulan Maret 1770 Kant meraih gelar profesor logika dan metafisika dari Universitas Konigsberg. Konigsberg. Pada
tahun yang sama, Kant mengemukakan teorinya
mengenai filsafat kritis. Filsafat kritis adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan rasio dan batas-batasnya. Pada teori ini, Kant memandang manusia sebagai subjek yang berpikir. Berbeda dengan teori yang berkembang sebelumnya dimana kebenaran dinilai sebagai “pencocokan intelektual terhadap realitas” menjadi “ pencocokan realitas terhadap intelektual” dan objek y yang ang mengarahkan diri pada pada subjek untuk menjadi pengetahuan (Shell & Velkley, Velkl ey, 2012). Pada abad ke-18 ke-18 Eropa Barat mengalami zaman yang disebut “Zaman Pencerahan” (bahasa Jerman: Aufklarung Jerman: Aufklarung ; bahasa Inggris: Enlightenment Inggris: Enlightenment ). ). Zaman ini bersemboyan Sapere aude!! Arti dari semboyan tersebut aude tersebut adalah “beranilah berpikir sendiri!”. Pada zaman ini, Kant mencari prinsip-prinsip yang ada di dalam tingkah laku dan kecenderungan manusia. Selain pengaruh dari suasana zaman tersebut, teori etik dan moral dari Kant juga dilatarbelakangi oleh munculnya teori sebelumnya oleh Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) yang
merupakan pendiri filsafat akademis Prussia. Teori Libniz menyatakan bahwa sumber pengetahuan yang sejati adalah akal budi (rasio), akal budi tidak membutuhkan pengalaman. Akan tetapi pendapat lainnya yang disampaikan oleh Sir David Hume (1711-1716). Ia menolak teori Leibniz, ia menyatakan bahwa sumber pengetahuan adalah pengalaman. Pengalaman tersebut akan menghasilkan dua hal yaitu kesan dan ide. Dua teori yang bertentangan tersebut, Kant menuangkan kritiknya dalam bukunya yang berjudul Kritik der reinen vernunft (Kritik atas Budi Murni) pada tahun 1781 dan 1787 termasuk dalam karya Grundlegung yang yang secara khusus menjelaskan tentang etika (Friederich, (Frieder ich, 1949). 2.2. Teori Deontologi
Deontologi berakar dari bahasa Yunani yaitu “deon” yang berarti 'kewajiban yang mengikat' . Etika deontologis mengajarkan bahwa sebuah tindakan itu benar apabila tindakan mengikat' tersebut selaras dengan prinsip kewajiban yang relevan untuknya tanpa menganggap akibat tindakan sebagai faktor yang relevan untuk diperhatikan dalam menilai moralitas suatu tindakan (non-consequentialist theory of ethics) (Shell & Velkley, 2012). 2012). Teori Kant mengenai etika ini dituangkan dalam karyanya yaitu Grundlegung , Menurut Kant, etika berkaitan dengan hukum-hukum tindakan moral. Kant menemukan bahwa terdapat peran hakiki otonomi dalam moralitas. Moralitas adalah keyakinan dan sikap batin. Dalam teorinya, ia menyatakan bahwa kita tidak dapat mengetahui prinsip apa yang mendasari seseorang untuk bertindak begini atau begitu, akan tetapi terhadap tindakan manusia, panca indera indera kita hanya mampu menangkap apa yang terlihat dan dirasakan saja. Prinsip- prinsip prinsip yang mendasari tindakan manusia seperti “kewajiban” dan “hukum moral” tidak dapat diamati (Llewlyn, ( Llewlyn, 2000). Para penganut etika deontologis berpendapat bahwa norma moral itu mengikat secara mutlak dan tidak tergantung dari apakah ketaatan atas norma itu membawa hasil yang menguntungkan atau tidak. Misalnya norma moral "jangan berbohong" atau "bertindaklah secara adil", dimana tidak perlu dipertimbangkan terlebih dulu apakah menguntungkan bagi dirinya atau tidak, disenangi atau tidak, melainkan selalu dan di mana saja harus ditaati, entah apa pun akibatnya. Menurut Kant, manusia baru bersikap moral sungguh-sungguh apabila mematuhi kewajiban moralnya karena sikap hormat terhadap hukum moral. Dengan faham deontologi yang dianutnya, Immanuel Kant memandang bahwa perbuatan moral itu dapat diketahui dengan kata hati, melakukan kewajiban merupakan norma perbuatan baik (Logan, 1996). Hukum moral mengikat mutlak semua manusia sebagai makhluk rasional. Moralitas merupakan kesesuaian sikap dan perbuatan dengan norma atau hukum batiniah yang
dianggap Kant sebagai “kewajiban”. Moralitas Moralitas akan tercapai bila dalam menaati hukum lahiriah bukan karena takut pada dampak hukum lahiriah itu melainkan karena menyadari bahwa taat hukum itu merupakan kewajiban sehingga nilai moral baru ditemukan didalam moralitas. Ada tiga kemungkinan seseorang menjalankan kewajibannya, Pertama, ia memenuhi kewajiban karena hal itu menguntungkannya. Kedua, Ia memenuhi kewajibannya karena ia terdorong dari perasaan yang ada didalam hatinya, misalnya rasa kasihan. Keti Ketiga, ga, Ia memenuhi kewajibannya kerena kewajibannya tersebut, karena memang ia mau memenuhi kewajibannya. Tindakan yang terakhir inilah yang menurut Kant merupakan tindakan yang mencapai moralitas (Shell & Velkley, 2012). Moralitas menurut Kant merupakan implikasi dari tiga postulat yaitu kehendak bebas manusia, imortalitas jiwa dan eksistensi Tuhan. Kehendak bebas manusia merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal karena terimplikasi langsung dalam kesadaran moral. Imortalitas jiwa menyatakan bahwa kebahagiaan tertinggi manusia tidak mungkin dicapai didunia tapi dikehidupan nanti dan keberadaan Tuhan yang menjamin bahwa pelaksanaan kewajiban moral manusia akan merasakan ganjarannya dikemudian hari berupa kebahagiaan sejati. Ketiganya itu disebut Kant sebagai “postulat” yaitu suatu kenyataan yang sungguh sunggu h ada dan harus diterima, dan tidak perlu dibuktikan secara teoritis, ini merupakan hasil penyimpulan akal budi praktis atas moral manusia (Todd A, 1995). Tujuan filsafat moral menurut Kant adalah untuk menetapkan dasar yang paling dalam guna menentukan keabsahan peraturan-peraturan moral. Ia berusaha untuk menunjukkan bahwa dasar yang paling dalam ini terletak pada akal budi murni, dan bukan pada kegunaan, ke gunaan, atau nilai lain. Moralitas baginya menyediakan kerangka dasar prinsip dan peraturan yang bersifat rasional dan yang mengikat serta mengatur hidup setiap orang, lepas dari tujuantujuan dan keinginan-keinginan pribadinya. Keputusan moral itu bisa dan perlu dipertanggungjawabkan sehingga kebenarannya dapat diuji oleh orang lain. Objektivitas kesadaran moral juga dijamin oleh etika deontologis melawan arus subjektivisme dan relativisme, karena prinsip yang secara apriori diturunkan dari akal budi murni itu prinsip yang berlaku umum dan mengikat secara mutlak setiap manusia sejauh ia mahkluk yang berakal budi (rasional) (Bertens, 2004). Dalam karyanya yang berjudul Grundlegung , Kant menyatakan bahwa, “satu-satunya “satu-satunya hal yang baik tanpa pengecualian adalah kehendak/niat baik ( guter ( guter Wille)”. Wille)”. Menurutnya hanya kehendak baik yang bersifat baik secara mutlak, terlepas dari berbagai hal lain termasuk tujuan dari perilaku. Kant menyatakan tindakan seseorang dinilai baik secara moral apabila dilakukan sebagai upaya manusia tersebut dalam melakukan kewajibannya. Ia sangat
menekankan kemurnian motivasi sebagai ciri pokok tindakan moral, dan kemurnian ini nampak dari sikap mentaati kewajiban moral demi hormat terhadap hukum/norma yang mengatur tingkah lakunya, bukan demi alasan lain. Inilah faham deontologis murni. Setiap orang mesti bertindak tidak hanya sesuai dengan tugas dan kewajibannya tetapi demi tugas dan kewajiban moral (S(Shell & Velkley, 2012). Kant merumuskan pandangannya secara singkat dalam tiga prinsip, yaitu agar suatu tindakan punya nilai moral maka tindakan itu harus dijalankan berdasarkan kewajiban, nilai moral dari tindakan itu tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan itu melainkan hanya tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang melakukan tindakan itu, serta sebagai konsekuensi dari kedua prinsip di atas, kewajiban adalah hal yang niscaya dari tindakan yang dilaksanakan berdasarkan sikap hormat kepada hukum. Jadi, apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan motif lainnya, walapun perbuatan tersebut mulia, maka tidak dapat digolongkan sebagai perbuatan baik (Bertens, 2004). Dengan ketiga prinsip itulah Kant mengajukan dua perintah yang sangat populer dalam etika, yaitu perintah bersyarat (hypothetical (hypothetical imperative), imperative), dan perintah tak bersyarat (categorical imperative). imperative). Perintah bersyarat merupakan perintah yang dilaksanakan bila orang menghendaki akibatnya, atau bila akibat dari tindakan itu merupakan hal yang dikehendaki oleh orang tersebut. Sedangkan perintah tak bersyarat adalah perintah yang dilaksanakan begitu saja tanpa mengharapkan akibatnya, atau tanpa memedulikan apakah akibatnya tercapai dan berguna bagi orang tersebut atau tidak (Beauchamp, T.L. & Childress, J.F., 1994). 2.3. Kritik terhadap Teori Deontologi
Beberapa kritik pada teori ini adalah penilaian sistem moral Kant sebagai suatu etika yang kaku. Sistem ini memberikan kesan seolah-olah kita berperilaku baik jika hanya melakukannya karena kewajiban. Hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan misalnya apakah tidak mungkin seseorang dikatakan berperilaku baik karena cinta atau belas kasih atau karena senang berbuat baik, apakah orang yang ikhlas menolong anak yatim piatu juga tidak dapat digolongkan bermoral yang baik. Selain itu, Kant juga dianggap memiliki pandangan yang sempit mengenai kebebasan. Sulit untuk menerima bahwa konsekuensi perbuatan dapat diabaikan dalam menilai moralitas perbuatan kita. Misalnya menurut Kant, seseorang harus selalu mengatakan kebenaran dan tidak pernah boleh berbohong dan apabila dalam situasi seseorang mengatakan kebenaran tersebut menyebabkan orang lain menjadi korban maka hal tersebut bukan bagian tanggung jawab orang yang mengatakan kebenaran (Shell & Velkley, 2012; Bertens, 2004).
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Kasus
Pada tahun 2009 2009,, di Kuala Samboja, Kutai Kertanegata, Kaltim, seorang perawat (mantri) bernama Misran, ditangkap polisi dan dipidana 3 bulan kurungan dengan denda Rp.2.000.000. Peristiwa ini berawal ketika Misran mengambil keputusan untuk memberikan obat yang terdaftar dalam obat golongan G (Gevaarlijk (Gevaarlijk /berbahaya) /berbahaya) karena pasien harus segera mendapatkan pertolongan. Misran dituduh memberikan resep obat keras daftar G yang memiliki ciri lingkaran merah di kemasannya dengan menuliskan resep tanpa keahlian dan memberikan obat penghilang rasa sakit pada pasien gawat saat itu. Hal tersebut merupakan pelanggaran karena jenis obat yang berlabel G hanya boleh diberikan kepada pasien atas wewenang dari dokter sesuai dengan pasal 82 (1) D UU No. 26 tahun 2009 tentang Kesehatan. Di sisi lain kondisi di Kuala Samboja, jarak pusban ke puskesmas induk yang memiliki tenaga dokter sekitar 15 kilometer. Kondisi fasilitas pelayanan kesehatan di Kukar sendiri, terdapat 128 pusban yang diisi perawat tanpa ada tenaga dokter. Sementara tenaga perawat di Kukar setidaknya s etidaknya berjumlah 800-an orang. Selain bertugas di dua rumah sakit di Tenggarong dan Samboja, 382 orang di antaranya tersebar di 18 kecamatan di Kukar.
3.2 Analisis Kasus 3.2.1 Undang-Undan Undang-Undang g yang Berlaku Saat Itu
Undang-undang yang terkait adalah UU 36/2009 tentang Kesehatan pasal 82 (1) huruf D Pasal 63 (1) UU No 32/1992 tentang Kesehatan, dimana mengatur tentang praktik praktik harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, perawat Misran juga dituduh melanggar Undang-Undang (UU) 23/1992 23/1992 tentang Kesehatan pasal 82 ayat 1 huruf b pasal 63 ayat 1 dengan sangkaan menyimpan dan menyerahkan obat daftar G kepada pasien tanpa menggunakan resep dokter. dokter. 3.2.2 Persepsi Misran Terhadap Tindakannya Ti ndakannya
Misran sebagai petugas kesehatan dengan kewenangan yang sangat terbatas, dia merasa mempunyai kewajiban untuk menyelamatkan pasien dalam keadaan darurat atas dasar life saving atau atau penyelamatan hidup pasien dalam situasi yang mengancam jiwa dimana tidak ada petugas kesehatan lain terutama dokter yang dapat memberikan pelayanan terhadap pasien,
termasuk meresepkan obat keras berlabel G yang seharusnya diresepkan dokter dan memberikannya kepada pasien. 3.3 Pro-Kontra terhadap Kasus Misran
Pernyataan Kepala Dinas Kesehatan Kukar, dr.Abdurrachman yang menjadi saksi ahli, menyebutkan bahwa semua pusban tidak memiliki dokter dan perawat diberi delegasi melakukan pelayanan pengobatan. Sementara itu Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Kukar menilai, kasus Misran harus dilihat dari aspek sistemik atau bentuk penyalahgunaan kewenangan yang dibebankan kepada satu orang dimana Misran bertindak sebagai tenaga kesehatan yang ingin menolong masyarakat terutama yang mengancam kehidupan seseorang, sehingga harus disadari ada bentuk pertolongan yang tidak dilindungi oleh hukum, termasuk pelayanan di luar gedung dan jam kerja. Jika ditarik benang merahnya, kesalahan ini karena sistem yang salah dan kebijakan yang tidak disosialisasikan. Ketua PPNI Kukar, Abdul Jalal menyatakan kekhawatirannya bila kasus Misran menjadi kasus pidana, maka belum ada solusi yang baik bila ada masyarakat memerlukan pengobatan di pedesaan dengan sumber daya tenaga kesehatan dan fasilitas yang minimal. Menteri Kesehatan memang tidak secara tegas membenarkan perbuatan Misran. Namun, tenaga-tenaga kesehatan yang bertugas di pedalaman kadang-kadang harus bertindak cepat untuk keselamatan nyawa pasien mereka. Namun, ada beberapa saksi ahli yang kontra terhadap tindakan Misran ini dan mengatakan bahwa obat daftar G tidak bebas diperjualbelikan dan harus digunakan dengan resep dokter. Misran terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana karena membuka praktik kefarmasian tanpa disertai keahlian dan kewenangan serta melakukan pemberian obat tersebut kepada pasien. 3.4 Pembahas Pembahasan an Kasus Berdasarkan Teori Etik Deontologi
Berdasarkan kasus di atas, terdapat beberapa hal yang dapat kita tinjau berdasarkan Teori Deontologi / Kantitianisme, yaitu: 1. Apabila dianalisis dengan teori deontologi, perawat menggunakan teori ini dalam bertindak dan mengambil keputusan untuk menolong orang lain yang mengalami masalah kesehatan. Perawat tersebut merasakan ada kewajiban bagi dirinya sebagai tenaga kesehatan untuk bertindak terutama dalam keadaan gawat darurat yang membahayakan pasien. 2. Kant berpendapat bahwa kewajiban moral bergantung pada aturan (maxim) ( maxim) yang menentukan kehendak individu. Sebuah tindakan individu akan memiliki nilai moral apabila hanya dilakukan dengan kehendak yang baik (berdasarkan kewajiban). Ketika seseorang melakukan sesuatu atas dasar motif atau kecenderungan lain maka
tindakan tersebut tidak bernilai moral. Pada kasus di atas, perawat Misran membantu pasien agar mendapatkan pengobatan sesuai penyakitnya dan dalam keadaan emergensi. Tindakan perawat ini bernilai moral karena tindakan tersebut didasarkan pada pengakuan kewajiban yang universal. Alasan tindakan”demi kewajiban” dan tidak terdapat motif atau kecenderungan lain dalam tindakan tersebut serta tidak juga memikirkan akibat dari tindakannya tersebut. 3. Apabila tindakan perawat adalah tidak membantu pasien saat itu dengan tidak membuat peresepan obat keras dan menggunakan obat tersebut untuk pasien dikarenakan
ketakutan
terhadap
dampak
perbuatannya
semisal
melanggar
kewenangannya sebagai seorang perawat, maka perbuatannya tersebut dinilai tidak didasarkan pada kehendak yang murni. Oleh karena itu dikatakan bahwa demi kewajiban seorang perawat maka tindakan tersebut akan bernilai moral. Akan tetapi, dalam hal situasi seperti disebut diatas, apabila perawat tidak membantu pasien karena motif takut melanggar kewenangannya sebagai perawat dan akan berakibat menyalahi Undang-Undang maka tindakan tersebut benar secara aspek legalitas tetapi tidak bernilai moral. 4. Kant berpendapat bahwa kewajiban moral bergantung pada aturan (maxim) ( maxim) yang menentukan kehendak individu. Sebuah tindakan individu akan memiliki nilai moral apabila hanya dilakukan dengan kehendak yang baik (berdasarkan kewajiban). Perawat Misran melakukan sesuatu bukan hanya “menyesuaikan dengan” tetapi “demi kewajiban”. (Beauchamp, T.L. & Childress, J.F., 1994; Bertens, K., 2004). 2004). 5. Dalam teori Kant, otonomi menunjukkan kebebasan manusia. Manusia itu bebas karena mengikat dirinya sendiri pada hukum moral (Bertens, K. 2004). Pada kasus Misran tersebut, tidak adanya kecenderungan lain selain karena unsur kewajiban sebagai perawat untuk menolong pasien, juga menunjukkan bahwa tindakan tersebut dilakukan berdasarkan atas kehendak rasional yang dipilih secara otonom.
3.5 Perubahan Regulasi / UU Setelah Kasus Misran
Perkembangan kasus Misran mendapat perhatian dari banyak pihak hingga mencetuskan U 36/2009 tentang Kesehatan di tingkat Mahkamah dilakukannya uji materi terhadap U UU Konstitusi, dan didapatkan hasil dimana MK menyetujui terjadi perubahan klausul pada UU tersebut yaitu “Perawat yang melakukan tugasnya dalam keadaan darurat yang yang mengancam jiwa pasien diperlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien.” Hal ini berlaku di daerah yang tergolong terpencil dan tidak memiliki tenaga medis
sehingga dimungkinkan seorang perawat memberikan layanan kesehatan bagi masyarakat setempat. 4 Selain itu, perubahan juga terjadi pada pasal pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063) sepanjang kalimat, “… harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan” perundang-undangan” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa tenaga kesehatan tersebut adalah tenaga kefarmasian, dan dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, antara lain, dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat yang melakukan tugasnya dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa dan diperlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien. 5 Dalam hal life saving , beberapa peraturan terbaru dikeluarkan setelah kejadian ini, diantaranya Permenkes No 17 tahun 2013 Pasal 10 ayat (1) tentang Tenaga Kesehatan Perubahan atas Permenkes o.H.02.02/MENKES/148/1/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Keperawatan “Dalam keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa seseorang/pasien dan tidak ada dokter di tempat kejadian, perawat dapat melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8”. 8”.
DAFTAR PUSTAKA
Beauchamp, T.L. & Childress, J.F (1994). Principle (1994). Principle of Biomedical Ethics. Oxford: University Press. Bertens, K. 2004. Etika. 2004. Etika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Dicker, G. 2004. Kant’s 2004. Kant’s Theory of Knowledge An Knowledge An Analytical Introduction. Introduction. New York: Oxford University Press. Friederich, C., J. 1949. The The Philosophy of Kant : Immanuel Kants Moral and Political Writings.. New York: The Modern Library. Writings Morals . Harper and Row Kant, Immanuel (1964). Groundwork of the Metaphysic of Morals. Publishers, Inc. ISBN Inc. ISBN 0-06-131159-6. 0-06-131159-6. Kasus
Perawat
Misran
Akibat
Pemerintah
tak
Keluarkan
PP.
Diakses
dari
http://www.tribunnews.com/nasional/2010/05/06/kasus-perawat-misran-akibat pemerintah-tak-keluarkan-pp pemerintah-tak-keluarkan-pp Korner, S. 1955. Kant : A : A new introduction to the philosophy philosophy of one of the greatest thinkers of the modern world . USA: Penguin Penguin Books Books Inc. Inc. Lanjutan
Kisah
Perawat
Kukar
yang
Ditangkap.
Diakses
dari
https://try2bcoolnsmart.wordpress.com/2009/11/20/lanjutan-kisah-perawat-kukaryang-ditangkap/amp/ yang-ditangkap/amp/
Llewlyn, J. 2000. The HypoCritical Imagination between Kant and Levinas. London: Routledge. Logan, B. 1996. Immanuel Kants Prolegomena to Any Future Metaphysics. Metaphysics . London: Routledge. Misran,
Sang
Pahlawan
Mantri
Desa.
Diakses
https://www.kompasiana.com/abuga/misran-sang-pahlawan-mantridesa_5500f2e5a333114e75512777 desa_5500f2e5a333114e75512777
dari
MK Tentukan Nasib Misran, Mantri Desa yang Dipenjara Meski Bantu Warga. Diakses dari https://news.detik.com/berita/1669058/mk-tentukan-nasib-misran-mantri-desa-yangdipenjara-meski-bantu-warga dipenjara-meski-bantu-warga Salzmann, Todd A. 1995. Deontology and Teleology: An Investigation of the Normative Debate in Roman Catholic Catholic Moral Theology. Theology. University Press. Shell, S.M., & Velkley, R. 2012. Kant’s Observations and Remarks A Critical Guide. Guide. Cambridge: Cambridge University Press. Uji Materi UU Kesehatan Dikabulkan, Kini Legal Mantri Beri Tindakan Medis. Diakses dari http://niasonline.net/2011/06/28/uji-materi-uu-kesehatan-dikabulkan-kini-legalmantri-beri-tindakan-medis/ mantri-beri-tindakan-medis/
View more...
Comments