Bab 3. Metodologi ketahanan pangan

April 3, 2018 | Author: Ambar Wati | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Bab 3. Metodologi ketahanan pangan...

Description

3.1.

ARTI PENTING KETAHANAN PANGAN

Ketahanan pangan secara umum diartikan sebagai adanya jaminan bahwa setiap penduduk (siapa saja) di suatu negara (dimana saja, kapan saja) tercukupi kebutuhan pangan dan gizinya sebagai syarat utama untuk mencapai derajat kesehatan dan kesejahteraan (Soekirman, 1996). Menurut Hardiansyah, dkk (1998), ketahanan pangan dapat diamati dari tiga dimensi yaitu: (1) dimensi sasaran (nasional, daerah, rumah tangga dan individu), (2) dimensi waktu atau musim dan (3) dimensi sosial ekonomi rumah tangga.

Simatupang

(1999)

berpendapat

bahwa

ketahanan

pangan

merupakan serangkaian sistem hierarki dari ketahanan pangan global, nasional, regional, masyarakat sampai ketahanan pangan tingkat individu. Menurut Beddu Amang (1995), pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang cukup mendasar dan strategis serta sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional dan bahkan politis. Terpenuhinya pangan secara kuantitas dan kualitas merupakan hal yang sangat penting sebagai landasan bagi pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dalam jangka panjang. Dalam usaha pemenuhan kebutuhan pangan, pemerintah Indonesia telah berupaya secara maksimal agar kebutuhan pangan masyarakat dapat terpenuhi. Keseriusan itu diwujudkan dalam bentuk cita-cita bersarnya yaitu mampu mencapai swasembada pangan, yang akhirnya tercapai pada tahun 1984 dengan swasembada beras, walaupun sebenarnya swasembada beras ditargetkan tercapai pada tahun 1974 (Rahardjo, 1993). Kajian Implementasi Kualitas Konsumsi melalui Pemanfaatan Pekarangan di Jawa Barat

| III-1

Laporan Akhir

Di Indonesia, beras telah dijadikan komoditas politik dan strategis, sehingga kebijakan pangan yang ditetapkan oleh pemerintah bias pada beras. Pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan pangan yang berkaitan dengan

perbesaran

baik

mulai

dari

penelitian

dan

pengembangan,

kelembagaan penyuluh, maupun pengembangan industrinya. Sehingga pertumbuhan produksi beras terus meningkat dan beras dapat dijumpai dimana-mana dengan harga terjangkau. Kebijakan yang bias pada beras ini berdampak pada pergeseran konsumsi pangan pokok, dari jagung atau umbi-umbian ke beras. Berdasarkan data Susenas tahun 1979, jumlah proinsi di Kawasan Timur Indonesia yang mempunyai pola makanan pokok tunggal beras hanya satu privinsi, maka tahun 1996 sudah menjadi 6 provinsi (PAE, 1979; Rachman.HPS, 2001). Beras merupakan pangan pokok yang banyak disenangi oleh masyarakat atau konsumen Indonesia. Kecenderungan tersebut tidak hanya terjadi pada masyarakat kota tetapi masyarakat desa dan tidak hanya masyarakat kaya tetapi juga masyarakat miskin. Bahan pangan pokok lain seperti ubi kayu dan jagung tidak sepopuler seperti beras. Tingkat partisipasi kedua pangan tersebut tidak sampai 50 persen bahkan untuk jagung hanya 15 persen. Selama 20 tahun terakhir, tingkat partisipasi ubi kayu dan jagung terus menurun bahkan pada kelompok pendapatan tinggi, penurunannya sangat tinggi. Upaya untuk meningkatkan partisipasi konsumsi pangan lokal ini dengan peningkatan inovasi teknologi industri pengolahan pangan, sehingga produk yang dihasilkan berdaya saing tinggi dengan produk lain seperti beras. Wilayah Jawa tingkat partisipasi konsumsi beras pada tahun 1990 bervariasi antar provinsi dan dalam suatu provinsi bervariasi menurut daerah perkotaan dan pedesaan. Provinsi-provinsi di wilayah Jawa dimana tingkat partisipasi konsumsi beras baik di daerah perkotaan maupun pedesaan telah mencapai 100 persen adalah DKI Jakarta, Jawa Barat dan D.I. Yogyakarta. Di Jawa Kajian Implementasi Kualitas Konsumsi melalui Pemanfaatan Pekarangan di Jawa Barat

| III-2

Laporan Akhir

Tengah dan Jawa Timur tingkat partisipasi konsumsi beras di daerah perkotaan dan pedesaan masing-masing sebesar 95,1 persen dan 97,4 persen.

Data ini menunjukkan bahwa pada tahun 1990 di provinsi Jawa

Tengah ada sebagian kecil rumah tangga yang menjadikan komoditas bukan beras sebagai sumber utama karbohidrat. Hasil analisis terhadap data Susenas 2002 ternyata kondisi tingkat konsumsi pangan aktual masyarakat secara nasional sebesar 1.986 kkal/kapita/hari (Badan Bimas Ketahanan Pangan, 2003). Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan aktual tingkat nasional baru mencapai 90,27% dan konsumsi pangan aktual Provinsi Jawa Barat 92,45% dari angka kecukupan konsumsi energi yang ditetapkan yaitu sebesar 2.200 kkal/kapita/hari (Hardiansyah, dkk., 2003). Di lain pihak dalam produksi pangan, terutama padi, sangat tergantung pada musim. Dengan dukungan sistem irigasi gravitasi yang ada, dimungkinkan bagi petani untuk menanam padi secara serentak pada hamparan yang luas. Pada gilirannya para petani tersebut akan panen padi secara serentak pada hamparan yang luas pula. Yang terjadi adalah pasokan gabah di pasar akan meningkat secara tajam dalam waktu yang singkat.

Karena daya serap

pasar gabah yang terbatas, maka yang terjadi adalah harga gabah akan turun secara tajam. Penurunan harga produksi pangan yang tajam sebenarnya dapat dicegah, jika seandainya para petani secara individu atau kelompok dapat menunda penjualannya sampai pada tingkat harga yang wajar. yang umumnya dihadapi petani

Permasalahan teknis

untuk menunda penjualan

antara lain

adalah: (1) produk pangan bersifat cepat ruksak (perishable), (2) produk pangan bersifat memakan tempat (bulky), (3) petani kurang akses terhadap sarana

dan teknologi penyimpanan.

Adapun petani juga menghadapi

masalah ekonomis, seperti (1) petani mengalami kesulitan dalam mengelola Kajian Implementasi Kualitas Konsumsi melalui Pemanfaatan Pekarangan di Jawa Barat

| III-3

Laporan Akhir

cash flow

dari

usahataninya, (2) petani kurang akses terhadap sumber

permodalan, dan (3) belum berkembangnya kelembagaan hedging. 3.1.1

Konseptual Kualitas Pangan Masyarakat

Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu: 1. kecukupan ketersediaan pangan; 2. stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun. 3. aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta 4. kualitas/keamanan pangan Keempat komponen tersebut akan digunakan untuk mengukur ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dalam studi ini. Keempat indikator ini merupakan indikator utama untuk mendapatkan indeks ketahanan pangan. Ukuran ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dihitung bertahap dengan cara menggabungkan keempat komponen indikator ketahanan pangan tersebut, untuk mendapatkan satu indeks ketahanan pangan. 3.1.2

Kecukupan Ketersediaan Pangan

Ketersediaan pangan dalam rumah tangga yang dipakai dalam pengukuran mengacu pada pangan yang cukup dan tersedia dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Penentuan jangka waktu ketersediaan makanan pokok di pedesaan (seperti daerah penelitian) biasanya dilihat dengan mempertimbangkan jarak antara musim tanam dengan musim tanam berikutnya (Suharjo dkk, 1985:45). Perbedaan jenis makanan pokok yang dikomsumsi antara dua daerah membawa implikasi pada penggunaan ukuran yang berbeda, seperti cotoh berikut ini.

Kajian Implementasi Kualitas Konsumsi melalui Pemanfaatan Pekarangan di Jawa Barat

| III-4

Laporan Akhir

(a) Di daerah dimana penduduknya mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok digunakan cutting point 240 hari sebagai batas untuk menentukan apakah suatu rumah tangga memiliki persediaan makanan pokok cukup/tidak cukup. Penetapan cutting point ini didasarkan pada panen padi yang dapat dilakukan selama 3 kali dalam 2 tahun. Pada musim kemarau, dengan asumsi ada pengairan, penduduk dapat musim tanam gadu, yang berarti dapat panen 2 kali dalam setahun. Tahun2 berikutnya, berarti musim tanam rendeng, dimana penduduk hanya panen 1 kali setahun karena pergantian giliran pengairan. Demikian berselang satu tahun penduduk dapat panen padi 2 kali setahun sehingga rata-rata dalam 2 tahun penduduk panen padi sebanyak 3 kali. (b) Di daerah dengan jenis makanan pokok jagung digunakan batas waktu selama 365 hari sebagai ukuran untuk menentukan apakan rumah tangga

mempunyai

ketersediaan

pangan

cukup/tidak

cukup.

Ini

didasarkan pada masa panen jagung di daerah penelitian yang hanya dapat

dipanen

satu

kali

dalam

tahun.

Disadari

bahwa ukuran

ketersediaan pangan yang mengacu pada jarak waktu antara satu musim panen dengan musim panen berikutnya hanya berlaku pada rumah

tangga

dengan

sektor

pertanian

sebagai

sumber

mata

pencaharian pokok. Dengan kata lain, ukuran ketersediaan makanan pokok tersebut memiliki kelemahan jika diterapkan pada rumah tangga yang memiliki sumber penghasilan dari sektor non-pertanian. Dengan demikian kondisi ketersediaan pangan dapat diukur sebagai berikut: Untuk provinsi dengan beras sebagai makanan pokok: • Jika persediaan pangan rumah tangga >/= 240 hari, berarti pesediaan pangan rumah tangga cukup • Jika persediaan pangan rumah tangga antara 1-239hari, berarti pesediaan pangan rumah tangga kurang cukup

Kajian Implementasi Kualitas Konsumsi melalui Pemanfaatan Pekarangan di Jawa Barat

| III-5

Laporan Akhir

• Jika rumah tangga tidak punya persediaan pangan, berarti pesediaan pangan rumah tangga tidak cukup. Untuk Provinsi dengan jagung sebagai makanan pokok: • Jika persediaan pangan rumah tangga >/= 365 hari, berarti pesediaan pangan rumah tangga cukup • Jika persediaan pangan rumah tangga antara 1-364hari, berarti pesediaan pangan rumah tangga kurang cukup • Jika rumah tangga tidak punya persediaan pangan, berarti pesediaan pangan rumah tangga tidak cukup 3.1.3

Stabilitas Ketersediaan

Stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga diukur berdasarkan kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan anggota rumah tangga dalam sehari. Satu rumah tangga dikatakan memiliki stabilitas ketersediaan pangan jika mempunyai persediaan pangan diatas cutting point (240 hari untuk Provinsi beras sebagai bahan pokok dan 360 hari untuk Provinsijagung sebagai bahan pokok) dan anggota rumah tangga 3 dapat makan 3 (tiga) kali sehari sesuai dengan kebiasaan makan penduduk di daerah tersebut. Dengan asumsi bahwa di daerah tertentu masyarakat mempunyai kebiasaan makan

3

(tiga)

kali

sehari,

frekuensi

makan

sebenarnya

dapat

menggambarkan keberlanjutan ketersediaan pangan dalam rumah tangga. Dalam satu rumah tangga, salah satu cara untuk mempertahankan ketersediaan

pangan

dalam

jangka

waktu

tertentu

adalah

dengan

mengurangi frekuensi makan atau mengkombinasikan bahan makanan pokok (misal beras dengan ubi kayu). Penelitian yang dilakukan PPK-LIPI di beberapa daerah di Jawa Barat juga menemukan bahwa mengurangi frekuensi makan merupakan salah satu strategi rumah tangga untuk memperpanjang ketahanan pangan mereka Kajian Implementasi Kualitas Konsumsi melalui Pemanfaatan Pekarangan di Jawa Barat

| III-6

Laporan Akhir

(Raharto, 1999; Romdiati, 1999). Penggunaan frekuensi makan sebanyak 3 kali atau lebih sebagai indicator kecukupan makan didasarkan pada kondisi nyata di desa-desa (berdasarkanpenelitian PPK-LIPI), dimana rumah tangga yang memiliki persediaan makanan pokok „cukup‟ pada umumnya makan sebanyak 3 kali per hari. Jika mayoritas rumah tangga di satu desa, misalnya, hanya makan dua kali per hari, kondisi ini semata-mata merupakan suatu strategi rumah tangga agar persediaan makanan pokok mereka tidak segera habis, karena dengan frekuensi makan tiga kali sehari, kebanyakan rumah tangga tidak bisa bertahan untuk tetap memiliki persediaan makanan pokok hingga panen berikutnya. 3.1.4

Aksesibilitas atau Keterjangkauan Terhadap Pangan

Indikator aksesibilitas/keterjangkauan dalam pengukuran ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dilihat dari kemudahan rumahtangga memperoleh pangan,yang diukur dari pemilikan lahan (missal sawah untuk provinsi Lampung dan ladang untuk provinsi NTT) serta cara rumah tangga untuk memperoleh pangan.

Akses yang diukur berdasarkan pemilikan lahan

dikelompokkan dalam 2 (dua) kategori: • Akses langsung (direct access), jika rumah tangga memiliki lahan sawah/ladang • Akses tidak langsung (indirect access) jika rumah tangga tidak memiliki lahan sawah/ladang. Cara rumah tangga memperoleh pangan juga dikelompokkan dalam 2 (dua) kategori yaitu: (1) produksi sendiri dan (2) membeli. Dari pengukuran indikator aksesibilitas ini kemudian diukur indikator stabilitas ketersedian pangan yang merupaan penggabungan dari stabilitas ketersediaan pangan dan aksesibilitas terhadap pangan. Indikator stabilitas ketersediaanpangan ini menunjukkan suatu rumah tangga apakah:

Kajian Implementasi Kualitas Konsumsi melalui Pemanfaatan Pekarangan di Jawa Barat

| III-7

Laporan Akhir

• Mempunyai persediaan pangan cukup • Konsumsi rumah tanga normal dan • Mempunyai akses langsung tarhadappangtau 3.1.5

Kualitas atau Keamanan Pangan

Kualitas atau keamanan jenis pangan yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan gizi. Ukuran kualitas pangan seperti ini sangat sulit dilakukan karena melibatkan berbagai macam jenis makanan dengan kandungan gizi yang berbeda-beda., sehingga ukuran keamanan pangan hanya dilihat dari „ada‟ atau „tidak‟nya bahan makanan yang mengandung protein hewani dan/atau nabati yang dikonsumsi dalam rumah tangga. Karena itu, ukuran kualitas pangan dilihat dari data pengeluaran untuk konsumsi makanan (lauk-pauk) sehari-hari yang mengandung protein hewani dan/atau nabati. Berdasarkan kriteria ini rumah tangga dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu: 1. Rumah tangga dengan kualitas pangan baik adalah rumah tangga yang memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein hewani dan nabati atau protein hewani saja. 2. Rumah tangga dengan kualitas pangan kurang baik adalah rumah tangga yang memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein nabati saja. 3. Rumah tangga dengan kualitas pangan tidak baik adalah rumah tangga yang tidak memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein baik hewani maupun nabati. Ukuran kualitas pangan ini tidak mempertimbangkan jenis makanan pokok. Alasan yang mendasari adalah karena kandungan energi dan karbohidrat antara beras, jagung dan ubi kayu/tiwul sebagai makanan pokok di desadesa penelitian tidak berbeda secara signifikan. Kajian Implementasi Kualitas Konsumsi melalui Pemanfaatan Pekarangan di Jawa Barat

| III-8

Laporan Akhir

3.1.6

Indeks Ketahanan Pangan

Indeks ketahanan pangan dihitung dengan cara mengkombinasikan keempat indikator ketahanan pangan (ketersediaan pangan, stabilitas ketersediaan pangan, keberlanjutan dan kualitas/keamanan pangan) Kombinasi antara kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan memberikan indicator 6 stabilitas ketersediaan pangan. Selanjutnya kombinasi antara stabilitas ketersediaan pangan dengan akses terhadap pangan memberikan indicator kontinyuitas

ketersediaan

pangan.

Indeks

ketahanan

pangan

diukur

berdasarkan gabungan antara indikator kontinyuitas ketersediaan pangan dengan kualitas/keamanan pangan. Berdasarkan matrik tersebut, maka rumah tangga dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: 1.

Rumah tangga tahan pangan adalah rumah tangga yang memiliki persedian pangan/makanan pokok secara kontinyu (diukur dari persediaan makan selama jangka masa satu panen dengan panen berikutnya dengan frekuensi makan 3 kali atau lebih per hari serta akses langsung) dan memiliki pengeluaran untuk protein hewani dan nabati atau protein hewani saja.

2.

Rumah tangga kurang tahan pangan adalah rumah tangga yang memiliki: -

Kontyuitas

pangan/makanan

pokok

kontinyu

tetapi

hanya

mempunyai pengeluaran untuk protein nabati saja -

Kontinuitas ketersdiaan pangan/makanan kurang kontinyu dan mempunyai pengeluaran untuk protein hewani dan nabati

3.

Rumah tangga tidak tahan pangan adalah rumah tangga yang dicirikan oleh:

Kajian Implementasi Kualitas Konsumsi melalui Pemanfaatan Pekarangan di Jawa Barat

| III-9

Laporan Akhir

-

Kontinyuitas ketersediaan pangan kontinyu, tetapi tidak memiliki pengeluaran untuk protein hewani maupun nabati.

-

Kontinyuitas keterrsediaan pangan kontinyu kurang kontinyu dan hanya memiliki pengeluaran untuk protein hewani atau nabati, atau tidak untuk kedua-duanya.

-

Kontinyuitas keterrsediaan pangan

tidak

kontinyu walaupun

memiliki pengeluaran untuk protein hewani dan nabati -

Kontinyuitas keterrsediaan pangan tidak kontinyu dan hanya memiliki pengeluaran untuk protein nabati saja, atau tidak untuk kedua-duanya.

3.2

PENGEMBANGAN

DAN

PELAKSANAAN

MODEL

PEMANFAATAN

PEKARANGAN

3.2.1

Metode Pengembangan

Pengembagan

pekarangan

dilaksanakan

dalam

suatu

model

dengan

menggunakan metode PRA. PRA digunakan untuk menyertakan anggota masyarakat, para tokoh masyarakat, petugas terkait dan tokoh-tokoh formal pedesaan untuk menentukan secara bersama-sama lokasi dan calon warga binaan yang akan melaksanakan pengembangan pemanfaatan pekarangan. Pelaksanaan kajian dengan teknik-teknik PRA bisa dilakukan perorangan (misalnya oleh petugas lapangan dalam menjalankan kegiatannya) maupun secara khusus oleh sebuah tim dimana keanggotaannya mempunyai keragaman latar belakang baik segi pendidikan, pengalaman maupun keterampilannya. Prinsip-prinsip dasar PRA yaitu: 1) mengutamakan yang terbaik, 2) pemberdayaan masyarakat, 3) masyarakat sebagai pelaku, orang luar sebagai fasilitator, 4) saling belajar dan menghargai perbedaan, 5) santai Kajian Implementasi Kualitas Konsumsi melalui Pemanfaatan Pekarangan di Jawa Barat

| III-10

Laporan Akhir

dan informal, 6) cek dan re-cek informasi, 7) mengoptimalkan hasil, 8) orientasi praktis, 9) keberlanjutan dan selang waktu, 10) belajar dari kesalahan dan 11) tertulis. 3.2.2

Model Pengembangan

Pengembangan

pemanfaatan

pekarangan

dimulai

dari

penumbuhan

kelompok wanita-tani-nelayan dengan memperhatikan keteladan kelompok wanita tani-nelayan sebelumnya dan diikuti pergiliran modal. Model pengembangan pemanfaatan pekarangan terdiri dari pemberdayaan, pendampingan dan penguatan modal. a. Pemberdayaan Upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kelompok wanita

tani-nelayan

yang

dilaksanakan

melalui

pelatihan

sesuai

kebutuhannya. b. Pendampingan Adalah pembinaan petugas kepada kelompok wanita tani-nelayan mengenai pengelolaan pekarangan dimulai dari penangan

sarana

produksi sampai dengan pengelolaan pasca panen dan pemasrannya. c. Penguatan Modal Diberikan BLM kepada kelompok wanita tani-nelayan sesuai kebutuhan kelompoknya, berdasarkan hasil kesepakatan kelompok. 3.3

Metode Kajian

Kajian ini dibagi dalam 3 tahapan utama, yaitu: (1) Melakukan identifikasi kepada masyarakat Desa Rawan Pangan, Desa Basis Industri, Desa Basis Pantai, Desa Basis Pertanian Dan Desa Daerah Pantura di ke-4 wilayah Jawa Barat mengenai pemanfaatan pekarangan secara optimal sebagai alternative memperoleh sumber bahan pangan maupun sumber pendapatan keluarga, (2) Melakukan identifikasi kepada masyarakat di Desa Rawan Pangan, Desa Kajian Implementasi Kualitas Konsumsi melalui Pemanfaatan Pekarangan di Jawa Barat

| III-11

Laporan Akhir

Basis Industri, Desa Basis Pantai, Desa Basis Pertanian Dan Desa Daerah Pantura di ke-4 wilayah Jawa Barat mengenai budaya atau kebiasaan masyarakat dalam memanfaatkan lahan pekarangan untuk usaha produktif pertanian, (3) Menyusun model ideal pemanfaatan lahan pekarangan ke depan untuk mendukung terwujudnya ketahanan pangan di setiap rumah tangga. Secara umum metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode deskriptif dengan teknik survey, metode dan teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari lapangan dengan wawancara terhadap masyarakat di Desa Rawan Pangan, Desa Basis Industri, Desa Basis Pantai, Desa Basis Pertanian Dan Desa Daerah Pantura di ke-4 wilayah Jawa Barat dan aparat dari dinas, badan dan lembaga terkait yang dijadikan sampel, serta observasi. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait. Selanjutnya data primer dan data sekunder yang diperoleh diolah, dianalisis dan dijabarkan secara deskriptif. Secara keseluruhan pelaksanaan kegiatan kajian implementasi kualitas konsumsi melalui pemanfaatan pekarangan yang dilakukan pada Desa Rawan Pangan, Desa Basis Industri, Desa Basis Pantai, Desa Basis Pertanian Dan Desa Daerah Pantura di ke-4 wilayah Jawa Barat dan Desa Berhasil Pekarangan di Jawa Barat terdiri dari empat tahapan pelaksanaan, yaitu (1) tahap persiapan, (2) tahap pelaksanaan survey, (3) tahap analisis data, dan (4) tahap pembuatan laporan. 3.3.1

Tahap Persiapan

Pada tahap persiapan ini dilaksanakan beberapa jenis kegiatan untuk mempersiapkan berbagai keperluan dalam rangka pelaksanaan kegiatan, yaitu :

Kajian Implementasi Kualitas Konsumsi melalui Pemanfaatan Pekarangan di Jawa Barat

| III-12

Laporan Akhir

1.

Pengumpulan data sekunder, literatur dan dokumen yang berkaitan dengan tujuan kegiatan.

2.

Pembuatan rencana kerja operasional untuk pelaksanaan seluruh tahapan kegiatan kajian pemilihan jenis bidang usaha.

3.

Pembuatan instrumen pengumpulan data dan analisis data berupa tabel, bagan dan petunjuk tertulis untuk pelaksanaan inventarisasi dan pedoman wawancara.

4.

Mengadakan kontak dan konsultasi dengan instansi terkait di pemerintah daerah untuk mempersiapkan pelaksanaan kegiatan.

5.

Merencanakan workshop ditingkat kabupaten dengan para stakeholder.

3.3.2

Tahap Pelaksanaan Survey

a. Teknik Pengumpulan Data Sesuai dengan tujuan kegiatan, maka kajian implementasi kualitas konsumsi melalui pemanfaatan pekarangan di Desa Rawan Pangan, Desa Basis Industri, Desa Basis Pantai, Desa Basis Pertanian Dan Desa Daerah Pantura di ke-4 wilayah Jawa Barat akan dilakukan dengan menggunakan teknik : kajian literatur, observasi dan wawancara. Pelaksanaan

kegiatan

dilakukan

di

desa

rawan

pangan

dengan

kharakteristik kualitas sumberdaya masyarakat rendah, terbatasnya sumber daya modal, akses teknologi, dan infrastruktur pedesaan. Proses pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui pelatihan, pendampingan dan peningkatan akses untuk meningkatkan partisipasi, demokratisasi, pengembangan kapasitas, pengembangan ekonomi dan pengembangan individu. Desa Rawan Pangan adalah desa dengan kategori prosentase masyarakat miskin lebih besar hal ini dikaitkan dengan tingkat rawan pangan yang akan dihadapi oleh masyarakat desa tersebut. Kajian Implementasi Kualitas Konsumsi melalui Pemanfaatan Pekarangan di Jawa Barat

| III-13

Laporan Akhir

Tolok ukur masyarakat miskin di desa tersebut akan dilakukan berdasarkan penyetaraan masyarakat penerima BLT (Bantuan Langsung Tunai) dari pemerintah serta Keluarga penerima Raskin di Masing-masing desa yang dijadikan obyek kajian kegiatan dimaksud. Dalam teknik pengumpulan data yang akan dilakukan yang bersumber dari data desa Rawan Pangan kemudian dikelompokan berdasarkan Basis wilayah kemudian diambil sampel secara purposive sebagai berikut lihat Tabel III.1 Tabel III.1 Wilayah Kajian Implementasi Kualitas Konsumsi Melalui Pemanfaatan Pekarangan No

Daerah (Basis)

Kabupaten

1

Industri

Purwakarta

Kecamatan Tegalwaru

Desa Batunumpang Warung Jeruk

2

3

Pertanian

Pantai

Majalengka

Garut

Dawuan

Pasirmalati

Banjaran

Banjaran

Cikelet

Cigadog

Cibatu

Sukalilah

4

Pantura

Subang

Pamanukan

Sukasari

5

Perkotaan

Depok

Pancoran Mas

Kelurahan Cipayung Jaya

Dalam menentukan rumahtangga di Desa Rawan Pangan, Desa Basis Industri, Desa Basis Pantai, Desa Basis Pertanian Dan Desa Daerah Pantura yang akan dijadikan sampel dalam kegiatan ini dilakukan dengan cara mengambil 10 % dari populasi rumahtangga yang terdapat di Desa Rawan Pangan, Desa Basis Industri, Desa Basis Pantai, Desa Basis Pertanian Dan Desa Daerah Pantura yang menjadi sasaran kegiatan ini. 1. Kegiatan Literatur Kajian literatur dalam kegiatan ini merupakan penelaahan terhadap hasil-hasil kegiatan yang telah dilakukan di wilayah studi dan Kajian Implementasi Kualitas Konsumsi melalui Pemanfaatan Pekarangan di Jawa Barat

| III-14

Laporan Akhir

penelaahan

terhadap

literatur-literatur

yang

berkaitan

dengan

kegiatan kajian implementasi kualitas konsumsi melalui pemanfaatan pekarangan. Literatur yang mendukung dapat diperoleh dari seluruh dinas yang ada di lingkungan pemerintah Kabupaten/kota, terutama dan laporan BPS baik tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional, serta buku-buku dan tulisan ilmiah. 2. Observasi Observasi dalam hal ini adalah pengamatan secara langsung pada wilayah kajian dengan tujuan untuk mengetahui kondisi fisik pekarangan yang diusahakan masyarakat, kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat dalam memanfaatkan pekarangan serta kondisi fisik lingkungan. 3. Wawancara Wawancara dalam kegiatan ini adalah bentuk wawancara mendalam (indepth interview) yang dilakukan langsung oleh tenaga ahli untuk mendapatkan informasi tentang sejarah keberadaan pemanfaatan pekarangan yang diusahakan, produktivitas, nilai ekonomi, komoditi yang diusahakan, dan prospek pengusahaannya. Dalam pelaksanaan wawancara

ini,

menggunakan

disamping

panduan

dibantu

kuesioner

oleh dan

para

alat

asisten,

perekam

juga

apabila

diperlukan. b.

Ragam dan Sumber Data Mengenai jenis-jenis dan sumber data dalam kegiatan kajian pemilihan jenis bidang usaha dapat dilihat pada uraian di bawah ini :

Kajian Implementasi Kualitas Konsumsi melalui Pemanfaatan Pekarangan di Jawa Barat

| III-15

Laporan Akhir

1.

Data Primer Data primer adalah data-data yang dikumpulkan secara langsung dari lokasi kegiatan usaha dengan menggunakan metode observasi dan wawancara.

2.

Data Sekunder Data-data dari hasil kegiatan desk studi (kajian kepustakaan) dan informasi dari dinas/instansi terkait.

3.

Sumber Data Sumber data dan informasi dalam kegiatan kajian ini meliputi:  Masyarakat  Aparat pemerintah desa dan kecamatan  Tokoh informasi desa  Instansi dinas terkait di Kabupaten/kota di Jawa Barat  Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan (DKP) Kabupaten/Kota di Jawa Barat  Tim Sistem Kewaspadaan Pangan dan Giji (SKPG)  BPS

3.3.3 a.

Tahap Analisis Data Mengkaji Implementasi Masyarakat

Kualitas

Konsumsi

Pangan

Untuk mengkaji kualitas konsumsi suatu masyarakat dapat dilihat dari tingkat diversifikasi pangan dan tingkat kecukupan pangan baik sumber karbohidrat maupun pangan sumber protein. Untuk mengetahui diversifikasi konsumsi pangan dilakukan dengan analisis deskripsi yang meliputi jenis, jumlah dan kandungan gizi bahan pangan. Untuk mengetahui jumlah kalori pangan ditentukan berdasarkan rumus berikut : Kajian Implementasi Kualitas Konsumsi melalui Pemanfaatan Pekarangan di Jawa Barat

| III-16

Laporan Akhir

 kg konsumsi pangan  kandungan gizi bahan pangan 100 gram

Untuk mengetahui tingkat kecukupan konsumsi pangan baik pangan sumber karbohidrat maupun pangan sumber protein pada rumah tangga digunakan perhitungan skor mutu PPH (Pola Pangan Harapan) menurut FAO – RAPA (1989) sebagai berikut: n

SPPH   E  B i 1

Dimana : SPPH

= Skor Mutu PPH

E

= prosentase konsumsi energi pangan i terhadap total konsumsi energi

B

= Bobot dari kelompok pangan i

i1-n

= Jumlah kelompok pangan

Setiap kombinasi tingkat capaian konsumsi energi dan protein menghasilkan tiga keadaan ketahanan pangan suatu rumah tangga, seperti yang telah digunakan oleh Sukandar, dkk., (2001) dengan menggunakan kriteria ketahanan pangan rumah tangga seperti pada Tabel III.2.

Kajian Implementasi Kualitas Konsumsi melalui Pemanfaatan Pekarangan di Jawa Barat

| III-17

Laporan Akhir

Tabel III.2. Kriteria Penentuan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Tingkat

Capaian

Tingkat Capaian Konsumsi Energi

Konsumsi Protein

<

75

%

Dari

Angka

< 75 % Dari

< 75-100 % Dari

> 100 % Dari

Angka Kecukupan

Angka

Angka

Konsumsi Energi

Kecukupan

Kecukupan

Konsumsi Energi

Konsumsi Energi

Rumah Tangga Tidak

Rumah Tangga

Rumah Tangga

Tahan Pangan

Tidak Tahan

Tidak Tahan

Pangan

Pangan

Rumah Tangga Tidak

Rumah Tangga

Rumah Tangga

Tahan Pangan

Tahan Pangan

Tahan Pangan

Rumah Tangga Tidak

Rumah Tangga

Rumah Tangga

Tahan Pangan

Tahan Pangan

Tahan Pangan

Kecukupan Konsumsi Protein < 75-100 % Dari Angka Kecukupan Konsumsi Protein > 100 % Dari Angka Kecukupan Konsumsi Protein

b. Untuk

Mengidentifikasi Pemanfaatan Pekarangan oleh Masyarakat mengidentifikasi pemanfaatan pekarangan, gambaran budaya atau

kebiasaan masyarakat dalam memanfaatkan lahan pekarangan untuk usaha produktif pertanian dapat dianalisis secara deskriptif dengan melihat keragaan pemanfaatan lahan pekarangan serta menghitung pendapatan yang diperoleh masyarakat dari pemanfaatan pekarangan tersebut. Keragaan usaha dalam pemanfaatan lahan pekarangan

adalah gambaran

yang dimulai dari persiapan lahan, persiapan/pemilihan tanaman, perlakuan

Kajian Implementasi Kualitas Konsumsi melalui Pemanfaatan Pekarangan di Jawa Barat

| III-18

Laporan Akhir

usahataninya, pemeliharaan, pemanenan dan perlaakuan pasca panen yang dilakukan oleh mayarakat. Pendapatan

rumah tangga dari pemanfaatan lahan pekarangan adalah

penerimaan

dari hasil pemanfaatan lahan pekarangannya dikurangi biaya

produksi dihitung dalam satuan waktu rupiah per musim. Rumus pendapatan rumahtangga dari pemanfaatan pekarangan adalah sebagai berikut:

Pendapatan (Income) = Penerimaan (Revenue) – Biaya Produksi (Cost)

Rumus penerimaan dari pemanfaatan pekarangan adalah sebagai berikut: Penerimaan (Revenue) = Jumlah komoditas yang terjual x Harga Komoditas

c.

Menyusun Model Ideal Pemanfaatan Lahan Pekarangan Ke depan untuk Mendukung Terwujudnya Ketahanan Pangan di Setiap Rumah Tangga.

Dalam menyusun model ideal pemanfaatan lahan pekarangan ke depan untuk mendukung terwujudnya ketahanan pangan di setiap rumah tangga, Yaitu dengan cara mengevaluasi hasil wawancara dengan masyarakat, stake holder yang berkaitan dengan pemanfaatan pekarangan. Kesimpulan hasil wawancara akan diperoleh dengan menggunakan metode PRA (Participation

Rural Appraisal). Dengan metode PRA akan diperoleh gambaran terhadap objek yang diteliti.

Kelebihan dari metode ini selain gambaran umum

tentang objek juga setiap pelaku yang terlibat dalam pemanfaatan pekarangan dapat lebih memahami keadaan pemanfaatan pekarangan yang dilakukan kita saat ini, melalui rembukan atau diskusi yang melibatkan seluruh pelaku yang terlibat dalam pemanfaatan pekarangan. Untuk lebih Kajian Implementasi Kualitas Konsumsi melalui Pemanfaatan Pekarangan di Jawa Barat

| III-19

Laporan Akhir

memudahkan penjelasan akan ditampilkan dalam bentuk tabel, grafik dan gambar. PRA adalah

sekumpulan

pendekatan

dan

metode

yang mendorong

masyarakat pedesaan untuk turut serta meningkatkan dan menganalisis pengetahuan mereka mengenai hidup dan kondisi mereka sendiri, agar mereka dapat membuat rencana dan tindakan. Di Indonesia, PRA dikembangkan oleh Studio Driya Media di berbagai wilayah terutama di NTB dan NTT. Tujuan kegiatan PRA yang paling utama adalah untuk menghasilkan rancangan program yang relevan dengan hasrat dan keadaan masyarakat. Tetapi lebih dari itu tujuan yang mendasar adalah tujuan kependidikan yakni pengembangan

kemampuan

masyarakat

dalam

menganalisa

keadaan

mereka sendiri dan melakukan perencanaan serta kegiatan aksi. PRA dalam penafsiran secara lebih luas, bisa diartikan sebagai "pendekatan dan teknikteknik

pelibatan

masyarakat".

Pelibatan

masyarakat

secara

nyata

dikembangkan dalam proses-proses pemikiran yang berlangsung selama kegiatan-kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan masyarakat. PRA berkembang dan berbagai tradisi yang telah ada. Metode ini mengambil sikap pragmatis dan secara leluasa "mengadopsi" teknik dan metode-metode yang lain. Menurut Robert Chambers (1992), terdapat lima aliran utama atau tradisi yang mewarnai prinsip-prinsip metode PRA, yaitu: 

Riset Partisipatif oleh Aktivis (Activist Participatory Research). Gerakan yang lahir dan diwarnai oleh gagasan Paulo Freire ini menyatakan bahwa orang-orang miskin dapat dan memiliki kemungkinan untuk melakukan analisa atas kenyataan dan keberadaan diri mereka sendiri.

Kajian Implementasi Kualitas Konsumsi melalui Pemanfaatan Pekarangan di Jawa Barat

| III-20

Laporan Akhir



Analisa Agroekosistem (Agro-ecosystem Analysis). Berfikir secara sistematis

dan

ekologis,

mendorong

Analisa

Agroekosistem

mengkombinasikan analisa sistem dan sistem kepemilikan dengan analisa pola ruang, waktu, alur dan hubungan, nilai relatif serta pengambilan keputusan. 

Antropologi Antropologi

Terapan umum

(Applied yang

Anthropology).

lebih

menekankan

Bidang

pada

ilmu

pemahaman

masyarakat, menilai kemampuan dan validitas pengetahuan masyarakat pedesaan, dan juga mampu membedakan kerangka kejiwaan orang luar ('etic‟) dan kerangka kejiwaan orang dalam ('emic'). 

Riset Lapangan pada Sistem Pertanian (Field Research on Farming System). Disadari bahwa petani sebagai pelaku utama dalam pertanian.Petani adalah orang yang berpengalaman dan memiliki caranya sendiri untuk mempertahankan kelangsungan sistem tersebut. Akhirnya disadari kembali bahwa para petani seharusnya memainkan peranan yang lebih besar dalam riset tentang pertanian.



Pengenalan Pedesaan dalam Waktu Singkat (Rapid Rural Appraisal / RRA).

Pendekatan

lainnya

yang

cukup

terkenal

memberikan sumbangan terbesar kepada PRA adalah RRA, yang berkembang akibat ketidakpuasan terhadap bias anti kemiskinan dan bias dari "Wisata Pembangunan Desa" serta kekecewaan terhadap metode survey yang konvensional. Teknik-teknik RRA yang diadopsi oleh PRA digunakan secara lebih partisipatif, dan untuk pelibatan masyarakat dalam proses pengembangan program.

Kajian Implementasi Kualitas Konsumsi melalui Pemanfaatan Pekarangan di Jawa Barat

| III-21

Laporan Akhir

d. Prinsip-Prinsip Pra 1. Belajar dari Masyarakat Prinsip yang paling mendasar dalam PRA adalah prinsip bahwa PRA adalah dari, oleh, dan untuk masyarakat. Ini berarti bahwa PRA dibangun pada pengakuan serta kepercayaan akan nilai dan relevansi pengetahuan tradisional masyarakat serta kemampuan masyarakat untuk memecahkan masalah-masalahnya sendiri. Prinsip ini juga memberi

arti

bahwa

PRA

merupakan

pembalikan

dan

metode

pembelajaran konvensional yang bersifat 'mengajari' masyarakat. 2. Orang Luar Sebagai Fasilitator, Masyarakat Sebagai Pelaku Konsekuensi dari prinsip pertama adalah perlunya para "orang luar" menyadari perannya sebagai "fasilitator" dan bukannya sebagai Pelaku, Guru, Penyuluh atau Peneliti. Untuk itu perlu sikap fasilitator yang rendah hati serta kesediaan untuk belajar dari masyarakat dan menempatkan warga masyarakat sebagai narasumber utama dalam memahami keadaan masyarakat itu. 3.

Saling Belajar, Saling Berbagi Pengalaman Kenyataan objektif telah membuktikan bahwa dalam banyak hal perkembangan pengalaman dan pengetahuan tradisional masyarakat tidak sempat mengejar perubahan-perubahan yang terjadi dan tidak lagi dapat

memecahkan

masalah-masalah

yang

berkembang.

Namun

sebaliknya, telah terbukti pula bahwa pengetahuan modern yang diperkenalkan oleh "orang luar" tidak juga memecahkan masalah mereka. Bahkan dalam banyak hal, malah menciptakan masalah yang lebih besar lagi. Karenanya harus dilihat bahwa pengalaman dan pengetahuan masyarakat dan pengetahuan orang luar saling melengkapi dan sama bernilainya.

Kajian Implementasi Kualitas Konsumsi melalui Pemanfaatan Pekarangan di Jawa Barat

| III-22

Laporan Akhir

4. Keterlibatan Semua Kelompok Masyarakat Masyarakat bukanlah suatu kumpulan orang-orang yang homogen, tetapi terdiri dan berbagai kelompok yang mempunyai masalah dan kepentingannya

sendiri.

Kekeliruan

yang

sering

dibuat

adalah

menganggap bahwa pimpinan formal, tokoh-tokoh masyarakat, atau kelompok

tertentu

dalam

masyarakat,

dapat

mewakili

seluruh

masyarakat. Golongan yang paling harus diperhatikan justru mereka yang paling sedikit memiliki akses dalam kehidupan sosial komunitasnya ; golongan paling miskin, kasta terendah, perempuan, dan anak-anak. 5. Santai dan Informal Kegiatan PRA diselenggarakan dalam suasana yang bersifat luwes, terbuka, tidak memaksa, dan informal.

Situasi yang santai ini akan

menimbulkan hubungan akrab, karena orang luar akan berproses masuk sebagai

anggota

memanfaatkan

kelompok

peluang-peluang

diskusi. dalam

Fasilitator kegiatan

harus setempat

dapat untuk

membuka dialog yang penuh kekeluargaan dengan masyarakat. 6. Menghargai Perbedaan Masyarakat yang heterogen terdiri dari orang-orang yang akan memiliki pandangan pribadi atau yang merupakan pandangan golongannya sendiri. Oleh karena itu, ada semangat yang harus dibina dalam melakukan kegiatan PRA, yaitu semangat saling menghargai. Inti dan kegiatan PRA sendiri adalah mencoba melihat sejumlah variasi informasi dan masalah, bukan memberikan rata-rata hasil dari perhitungan statistik.

Kajian Implementasi Kualitas Konsumsi melalui Pemanfaatan Pekarangan di Jawa Barat

| III-23

Laporan Akhir

7. Triangulasi PRA dapat mengumpulkan dan menganalisa data secara sistematis bersama masyarakat. Usaha itu akan memanfaatkan berbagai sumber informasi yang ada. Namun tidak semua sumber informasi itu bisa dipercaya

ketepatannya.

Untuk

mendapatkan

informasi

yang

kedalamannya bisa diandalkan, dapat menggunakan triangulasi yang merupakan bentuk "pemeriksaan dan pemeriksaan ulang" (check and recheck). Triangulasi dilakukan antara lain melalui penganekaragaman keanggotaan tim (keragaman disiplin ilmu), penganekaragaman sumber informasi (keragaman latar belakang golongan masyarakat, keragaman tempat), dan variasi teknik. 8. Mengoptimalkan Hasil Pelaksanaan kegiatan PRA memerlukan waktu dan tenaga narasumber, pelaksana yang terampil, dan partisipasi warga masyarakat, yang keseluruhannya berkaitan dengan dana atau uang. Oleh karena itu pilihan

pelaksanaan

sumberdaya

PRA

terhadap

harus

kuantitas

dan

mengoptimalkan kualitas

penggunaan

informasi.

Hal

ini

berhubungan dengan apa yang disebut dengan "ketidaktahuan optimal” (optimal ignorance) yakni membatasi usaha untuk mengetahul hal-hal yang dianggap paling penting secara memadai (bukan maksimal) dan "ketidakpersisan yang tepat-guna" (appropriate impercission) yakni kesimpulan yang barangkali belum 100% benar tetapi cenderung mendekati kebenaran. 9. Belajar dari Kesalahan PRA bukanlah suatu perangkat teknik tunggal yang telah selesai, sempurna, dan pasti benar. Diharapkan bahwa teknik-teknik PRA senantiasa bisa dikembangkan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Melakukan kesalahan dalam PRA adalah sesuatu yang wajar, Kajian Implementasi Kualitas Konsumsi melalui Pemanfaatan Pekarangan di Jawa Barat

| III-24

Laporan Akhir

dan yang penting adalah penerapan PRA dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemapuan yang ada dan kemudian belajar dari kekurangan / kesalahan yang terjadl agar pada kegiatan berikutnya menjadi Iebih baik. Satu hal yang paling penting di-ingat adalah kegiatan PRA bukanlah kegiatan "coba-coba" (trial and error) yang tanpa perhitungan kritis untuk meminimalkan kesalahan. 10. Orientasi Praktis PRA berorientasi praktis, yaitu pemecahan masalah dan pengembangan program. Untuk itu dibutuhkan informasi yang relevan dan memadai, dan bukannya semua informasi yang bisa diperoleh tentang suatu hal. Informasi yang diperlukan adalah pengetahuan yang optimal. Tidak semua informasi perlu dicari dan digali dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain perkiraan yang tepat akan lebih baik daripada kesimpulan yang pasti tetapi salah; atau, lebih baik mencapai perkiraan yang hampir salah daripada kesimpulan yang hampir benar. 11. Keberlanjutan dan Selang Waktu Kepentingan-kepentingan dan masalah-masalah masyarakat tidaklah tetap, tetapi

berubah dan bergeser menurut waktu sesuai dengan

berbagai perubahan dan perkembangan baru dalam masyarakat itu sendiri. Oleh Karena itu pengenalan masyarakat bukanlah suatu usaha yang sekali dilakukan kemudian selesai, namun merupakan suatu usaha berlanjut. Metode PRA bukanlah sebuah “paket kegiatan PRA”

yang

selesai setelah kegiatan penggalian informasi dianggap cukup. PRA merupakan jiwa yang harus dihayati oleh lembaga dan para pelaksana di lapangan, agar program yang dikembangkan secara terus-menerus melandaskan diri dari prinsip dasar PRA yang mencoba menggerakkan potensi masyarakat.

Kajian Implementasi Kualitas Konsumsi melalui Pemanfaatan Pekarangan di Jawa Barat

| III-25

Laporan Akhir

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF