BAB 13 Konjugasi Pada Bakteri

April 27, 2017 | Author: Ruy Hyorin | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download BAB 13 Konjugasi Pada Bakteri...

Description

BAB 13 KONJUGASI PADA BAKTERI Konjugasi adalah suatu proses transfer informasi genetik satu arah yang terjadi melalui kontak sel langsung antara suatu sel bakteri donor dan suatu sel bakteri resipien (Russel, 1992). Di alin pihak, konjugasi juga diartikan sebagi fusi temporer dua organisme sel tunggal dalam rangka transfer seksual materi genetik (Klug dan Cummings, 2000). Konjugasi memang merupakan satu peristiwa, selain transformasi dan transduksi, yang menyebabkan terjadinya rekombinasi pada bakteri. Gambaran selengkapnya tentang persamaan dan perbedaan antara rekombinasi ynag terjadi melalui transformasi, transduksi, dan konjugasi ditunjukkan pada tabel 13.1. Tabel 13.1 Persamaan dan perbedaan rekombinasi yang terjadi melalui transformasi, transduksi, dan konjugasi pad bakteri (Gardner, dkk., 1991). Proses rekombinasi

Kriteria Dibutuhkan kontak sel

Sensitif terhadap DNase

Transformasi

Tidak

Ya

Transduksi

Tidak

Tidak

Konjugasi

Ya

Tidak

Konjugasi pertama kali ditemukan oleh J. Lederberg dan E.L. Tatum pada 1946 (Gardner, dkk., 1991; Russel, 1992; Klug dan Cummings, 2000). Peristiwa konjugasi itu ditemukan pada E. coli. Lederberg dan Tatum mempelajari dua strain E. coli yang berbeda kebutuhan nutrisinya, yaitu strain A dan B (Russel, 1992; Klug dan Cummings, 2000). Strain A bergenotip met- bio- thr+ leu+ thi+, sedangkan strain B bergenotip met+ bio+ thr- leu- thi-. Strain yang memiliki gen mutan membutuhkan tambahn tambahan nutrisiterkait dalam medium pertumbuhannya agar dapt hidup; sedangkan strain yang memiliki genetik wild-type tidak membutuhkan tambahan nutrisi terkait dalam medium pertumbuhannya berupa asam amino metionin dan vitamin biotin; sedangkan strain B membutuhkan tambahan nutrisi asam amino treonin dan leusin, serta vitamin tiamin. Strain yang membutuhkan tambahan nutrisi dalam medium pertumbuhannya agar dapt hidup disebut auxotroph. Di lain pihaksuatu strain yang tergolong wild-type untuk seluruh gen yang bersangkut paut dengan kebutuhan nutrisi disebut prototroph. Jelaslah bahwa suatu bakteri prototroph tidak membutuhkan nutrisi tambahan dalam mediumnya; bakteri semacam itu dapat hidup pada medium minimal.

Gambar 13.1 Bagan percobaan Lederberg dan Tatum yang akhirnya membuktikan bahwa rekombinasi seksual terjadi antara sel-sel E. coli (Klug dan Cummings, 2000).

Bagan percobaan Ledenberg dan Tatum ditunjukkan pada gambar 13.3. pada percobaan itu strain A dan B dicampur dan ditumbuhkan pada cawan yang berisi medium minimal. Sebagai kontrol kedua strain ditumbuhkan pada medium minimal terpisah; sebaliknya pada media tempat kultur campuran A dan B, ternyata beberapa koloni dapat tumbuh. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa koloni-koloni itu mampu membuat/ mensintesis sendiri nutrisi tertentu yang kurang atau bahkan tidak tersedia dalam medium minimal. Bahwa pada perlakuan campuran strain A dan B yang ditumbuhkan bersama pada medium minimal. Beberap koloni terbukti dapat tumbuh, hal itu diartikan sebagai akibat suatu pertukaran genetik yang bukan tergolong mutasi. Jelaslah bahwa peristiwa rekombinasi inilah yang menyebabkan pada perlakuan campuran strain A dan B, sebagian sel auxotroph berubah menjadi prototroph. Pada percobaan yang dilakukan oleh Lederberg dan Tatum, laju perubahan sel auxotroph menjadi sel prototroph sebenarnya sangat rendah, yaitu satu di dalam 10 juta atau 106 (Russel, 1992; Klug dan Cummings, 2000). Bahwa rekombinasi yang telah terjadi itu disebabkan karena konjugasi, hal itu dibuktikan oleh Bernard Davis melalui percobaannya yang menggunakan suatu perangkat tabung U (gambar 13.2). pada percobaan itu strain A dan B diletakkan dalam medium cair yang terpisah satu sama lain oleh suatu filter berpori sangat halus yang tidak dapt dilewati oleh sel-sel bakteri. Pori halus itu dapat dilewati oleh medium cair. Setelah beberap jam dibiarkan berada dalam keadaan terpisah semacam itu, sel-sel itu ditumbuhkan pada suatu

medium minimal; terbukti bahwa tidak ada satu koloni pun ynag tumbuh. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa tidak ada koloni prototrofik yang terbentuk; dan disimpulkan bahwa kontak antar sel memang dibutuhkan agar terjadi suatu perubahan genetik sebagaimana yang dilaporkan Lederberg dan Tatum. Konugasi inilah sebenarnya yang telah menyebabkan terjadinya rekombinasi sebagaimana yang dilaporkan Lederberg dan Tatum.

Gambar 13.2 Bagan percobaan tabung U Davis ynag menunjukkan bahwa kontak fisik antar kedua strain bakteri pada percobaan Lederberg dan Tatum memang dibutuhkan agar terjadi pertukaran genetik (Klug dan Cummings,2000).

Dewasa ini sudah umum diketahui bahwa selama konugasi berlangsung, terjadi transfer DNA dari suatu sel donor ke sebuah sel resipien melewati suatu penghubung antar sel khusus, ynag disebut tabung konjugasi (Gardner, 1991). Dalam hal ini tabung konjugasi itu memang terbentuk antar sel-sel bakteri (Gambar 13.3) Sel-sel bakteri yang berkemampuan menjadi donor selama proses konjugasi, memiliki karakteristik pembeda berupa adanya juluran tambahan serupa rambut di permukaan sel yang disebut sebagai F pili (Gardner, 1991). Pembentukan F. Pili berada di bawah kontrol beberapa gen yang terletak pada suatu molekul DNA sirkuler kecil yang disebut juga sebagai kromosom mini (Gardner, 1991). Di dalam sel bakteri, F factor atau faktor F dapat terintegrasi dengan kromosom inang atau bebas tidak terintegrasi. Jika terintegrasi dengan kromosom inang, maka faktor F itu bereplikasi bersama dengan bagian bagian kromosom ianng yang lain.

Bakteri F+, F-, dan Hfr Suatu sel donor yang mengandung faktor F yang otonom tidak terintegrasi disebut sebagai sel F+; sebaliknya sel yang tidak mengandung faktor F disebut sel F- (sel resipien). Dewasa ini selain sel F+ dan sel F-, sudah umum diketahui adanya sel Hfr (High frequency recombination). Pada 1950, Cavalli-Sforza memberi perlakuan dengan mustard nitrogen terhadap suatu strain F+ E. coli K12 (Klug dan Cummings,2000). Dari sel-sel yang mendapatkan perlakuan itu, diperoleh suatu strain bakteri bakteri donor ynag mempunyai laju atau frekuensi rekombinasi yang sangat tinggi, yaitu satu di dalam 10 juta; atau 1000 kali lebih tinggi dibanding laju atau frekuensi rekombinasi pada strain F+ yang dilaporkan mulamula. Dari pengkajian lebih lanjut terungkap bahwa strain-strain Hfr terbentuk melalui suatu peristiwa pindah silang tunggal yang berdampak terintegrasinya faktor F ke dalam kromosom bakteri (Russel,1992). Dalam keadaan terintegrasi dengan kromosom inang, faktor F tidak bereplikasi secara bebas, tetapi justru bereplikasi bersama bagian-bagian kromosom inang yang DNA resipien unting ganda pula. Dalam hal ini kroomosom rekombinan sel resipien diwariskan kepada sel-sel turunan melalui replikasi, sedangkan fragmen DNA linear yang tersisa mengalami degradasi. Di samping laju atau frekuensi rekombinan yang sangat tinggi pada strain bakteri Hfr, perbedaan lain antara strain Hfr dan strain F+ adalah bahwa setelah rekombinasi sel F-hampir tidak pernah berubah menjadi sel F+ataupun sel Hfr. Bahwa pada konnjugasi antara sel Hfr, hal itu bersangkut paut dengan keutuhan faktor F yang ditransfer. Dalam hal ini agar supaya suatu sel resipien menjadi sel F+, sel resipien tersebut harus menerima transfer faktor F utuh. Telah dikemukakan bahwa transfer materi genetik selama proses konjugasi bersangkut paut dengan replikasi yang didahului oleh terputusnya salah satu unting DNA faktor F. Dalam hubungan ini diyakini bahwa transfer materi genetik itu dimulai dengan faktor F pada suatu celah yang terbentuk oleh enzim endonuklease.

Gambar 13.4 Konversi suatu sel F- menjadi sel Hfr melalui integrasi otonom faktor F ke dalam kromosom inang. Integrasi itu didahului oleh satu pindah silang tunggal pada tapak khusus. Dalam hal ini faktor F diinsersi secara kovalen ke dalam kromosom inang oleh suatu rekombinasi tapak spesifik semacam yang terjadi pada integrasi kromosom fag λ. Integrasi faktor F tersebut tampaknya diperantarai oleh elemen transposabel Is (Gardner, dkk., 1991).

Faktor F1 Kadang-kadang terlepasnya faktor F dari kromosom inang berlangsung tidak teliti atau tidak tepat sesuai dengan ukurannya pada saat terintegrasi. Sebagai akibatnya adalah bahwa faktor F yang terlapas itu dapat mengandung sebagian kecil kromosom inang, ynag letaknya berdekatan dengan faktor F di saat berlangsungnya integrasi. Faktor F1 adalah faktor F yang mengandung sebagian kromosom bakteri, atau yang mengandung gen-gen bakteri (Russel, 1992). Perhatikan Gambar 13.6. Seperti dketauhi daerah lac+ mengandung gen-gen yang dibutuhkan pada metabolisme pembongkaran laktose. Jika pada proses pemisahan faktor F kromosom bakteri itu melipat dan melengkung keluar tidak tepat, maka gen-gen di aerah lac+ yang berdekatan letaknya dapat ikut tercakup dalam lengkungan itu. Sel yang memiliki faktor F1 masih tetap dapat berkonjugasi dengan sel F-. Hal itu disebabkan karena seluruh fungsi faktor F tetap ada (Russel, 1992). Pada saat berlangsungnya konjugasi, satu salinan faktor F1 ditransfer ke sel F-, yang mengakibatkan secara fenotip sel itu menjadi sel F+. Selain itu resipien juga menerima suatu salinan gen bakteri yang ikut terbawa oleh faktor F. Oleh karena itu sel resipien dapat berubah menjadi sel yang diploid parsial, jika setelah menerima gen bakteri, ternyata memiliki dua salinan dari satu atau beberapa gen; gen-gen lain yang dimiliki sel sel resipien itu tetap berupa satu salinan.

Percobaan Konjugasi yang Terputus dari E. Wollman dan F. Jacob Di akhir tahun 1950 E. Wollman dan F. Jacob mempelajari proses transfer gen melalui konjugasi antara strain E. coli Hfr H- dan F-. Salah satu strain Hfr H yang digunakan adalah: str+ thr+ leu+ azi+ ton+ lac+ gal+, sedangakan alternatif genotip strain F adalah str+ trh leu azi+ ton+ lac+ gal+, sedangkan alternatif genotip strain F- adalah str+ trh leu azi+ ton+ lac gal (Russel, 1992). Gen trh dan leu masing-masing bertanggungjawab terhadap sintesis asam amino threoni dan leusin. Pasangan alela azi3/azi1, ton3/ton1, dan str3/str1 amsing-masing mengontrol sensitivitas atau resistensi terhadap sodium azida, fag T1, serta antibiotik streptomisin. Pasangan alela lac1/ lac dan gal1/gal masing-masing benrtanggung jawab terhadap pemanfaatan laktose dan galktose sebagi sumber karbon. Pada berbagai waktu setelah sel-sel dari kedua strain itu dicampur dalm medium pertumbuhan pad suhu 37o C dan mulai melakukan konjugasi, sampel-sampel diambil dan diaduk kuat dalam sebuah blender untuk memutuskan tabung konjugasi serta memisahkan sel-sel. Sel-sel yang terpisah diletakkan pad medium yang mengandung antibiotiok streptomisin, tetapi tidak mengandung asam amino threonin dan leusin. Medium-medium khusus lain akan digunakan lebih lanjut untuk menguji/ mendeteksi gen-gen penanda lain ynag sudah berhasil ditransfer. Medium-medium khusus yang digunakan lebih lanjut adalah yang mengandung sodium azida, fag T1, laktose dan galaktose. Hasil pengujian ynag menggunakan medium-medium khusus lain itu menunjukkan bahwa sekitar 9 menit setelah percampuran sel-sel Hfr dan F-, gen azi ditransfer ke sel resipien (Strickberger, 1985; Russel, 1992). Gen ton+ ditransfer ke resipien sekitar 10 menit setelah pencampuran sel-sel Hfr H dan F-; gen lac+ dan gal+ masing-masing ditransfer sekitar 17 menit dan 25 menit setelah pencampuran (Russel, 1992). Bagn percobaan konjugasi terputus itu ditunjukkan pada Gambar 13.7

Gambar 13.7 Bagan percobaan konjugasi terputus dari E. Wollman dan F. Jacob. Genotip Hfr H adalah str+ thr+ leu+ azi+ ton+ lac+ gal+. Genotip F- adalah rekombinasi terjadi melalui peristiwa pindah silang ganda natara fragmen kromosom donor dan kromosom resipien pada daerah homolog (Russel, 1992).

Hasil percobaan menunjukkan data waktu kapan gen-gen penanda ditransfer masuk ke sel resipien ditunjukkan pada gambar 13.8

Gambar 13.8 Grafik yang memperlihatkan munculnya penanda genetik donor (rekombinan) yangmerupakan bukti transfer sebagai suatu fungsi waktu, setelah penanda gen trh+ dan leu+ ditransfer masuk ke sel resipien (Russel, 1992).

Pengkajian lebih lanjut terhadap konjugasi terputus yang menggunakan strain-strain induk Hfr maupun F- yang lain, memperlihatkan urut-urutan transfer yang serupa, sekalipun tiap strain Hfr memulai transfer dari tapak yang berlainan (Gardner, dkk., 1991). Tapak-tapak integrasi faktor F serta arah transfer kromosom pada konjugasi beberapa strain Hfr ditunjukkan pada liongkaran dalam (Gambar 13.9)

Gambar 13.9 Peta kromosom sirkuler E. coli stain K12. Pada peta ini terlihat hanya 52 dari 1027 lokus E. coli K12 ynag pernah diungkap pada 1983 (Gardner, dkk., 1991).

Pemetaan Kromosom E. coli atas Dasar Hasil Percobaan konjugasi Terputus Data tentang transfer gen-gen penanda pada percobaan konjugasi terputus seperti yang telah dikemukakan memperlihatkan bahwa transfer kromosom Hfr ke dalam sel Fberlangsung dalam pola linear (Gardner, dkk., 1991; Russel, 1992). Berkenaan dengan kenyataan bahwa interval waktu kemunculan tipe rekombinan antar suatu gen penanda dengan yang lainnya dapat digunakan untuk memperkirakan jarak fisik antara gen terkait,

sudah dibuktikan juga bahwa satuan waktu menit cukup sesuai digunakan sebagai satuan standar pengukuran jarak fisik antar gen pada kromosom E. coli. Pada saat melakukan berbagai percobaan konjugasi terputus lain yang menggunakan strain-strain induk Hfr maupun F yang lain, Wollman dan Jacob memperoleh hasil yang serupa, sebagaimana yang telah dikemukakan secara umum sebelumnya.

Wollman mengajukan postulat bahwa data ynag terungkap pada gambar 13.10 semacam itu disebabkan oleh wujud kromosom E. coli yang bersifat sirkuler (Klug dan Cummings, 2000). Dalam hubungan ini dinyatakan bahwa jika awal O berbeda-beda antar strain, maka urutan gen yang akan ditransfer berbeda pula. Diduga bahwa pada berbagai strain Hfr faktor F berintegrasi ke dalam kromosom pada titik-titik ynag berbeda, dan posisi titik itu menentukan tapak O.

Gambar 13.11 Konversi sel F menjadi Hfr terjadi melalui integrasi faktor F ke dalam kromosom inang. Titik integrasi menentukan tapak awal transfer (O). Selama konjugasi faktor F yang terintegrasi pada kromosom inang terpotong oleh suatu enzim ynag berakibat transfer kromosom bermula pada titik itu. Konjugasi biasanya terputus/ terhenti sebelum seluruh kromosom ditransfer. Pada gambar ini hanya gen A dan gen B yang ditransfer (Klug dan Cummings, 2000).

Pada gambar 13.11, pada tahap 1 ditunjukkan satu contoh integrasi faktor F ke dalam kromosom inang sehingga menyebabkan sel F+ berubah menjadi sci Hfr. Selama konjugasi antara sel Hfr dan sel F-, posisi faktor F menentukan titik awal transfer (tahap 2 dan 3). Gengen yang letaknya dekat dngan tapak O pertama kali ditransfer, dna faktor F ditransfer paling akhir (tahap 4); jarang terjadi konjugasi berlangsung dalam waktu cukup lama sehingga seluruh kromosom ditransfer (tahap 5). Inilah alasannya bahwa setiap kali sel Hfr berkonjugasi dengan sel F-, sel resipien tetap tergolong sel F.

Pemetaan Kromosom E.coli atas dasar Percobaan Konjugasi yang Tidak Terputus Pada bagian sebelumnya telah dikemukakan cara pemetaan kromosom E. coli ynag memnafaatkan percobaan konjugasi yang terputus-putus. Sebenarnya percobaan kojugasi yang tidak terputus, dapt juga digunakan untuk melakukan pemetaan kromosom E.coli (Gardner, dkk., 1991). Dalam hal ini frekuensi penanda rekombinan menurun sebagi suatu fungsi jaraknya dari penanda rekombinan patokan trh+ leu+; semakin jauh jaraknya dari penanda patokan trh+ leu+, frekuensi tiap penanda rekombinan lain juga berkurang. Pada kenyataannya frekuensi tiap penanda rekombinan lain, identik dengan gambaran frekuensi penanda-penanda itu, yang terungkap pada percobaan konjugasi terputus. Bahwa frekuensi penanda-penanda rekombinan lainitu semakin berkurang setiap kali jaraknya dari penanda patokan thr+ leu+ makin jauh, hal itu bersangkut paut dengan dua sebab utama yang akan dikemukakan lebih lanjut. Pertama, putusnya tabung konjugasi maupun kromosom per satuan waktu mempunyai peluang yang hampir tetap; dan kedua, tiap dua penanda donor diintegrasikan ke dalam kromosom resipien melalui sepasang kejadian rekombinasi mempunyai peluang yang rendah, karena integrasi suatu fragmen donor ke dalam sebuah kromosom resipien selalu membeutuhkan du akejadian rekombinasi (Gardner, dkk., 1991). Sekalipun pemetaan kromosom E coli dapat dilakukan denganb percobaan konjugasi tidak terputus, tetapi harus diakui bahwa pemetaan kromosom yang memanfaatkan percobaan konjugasi terputus sebenarnya lebih sederhana dan lebih langsung. Oleh karena itu jika sesuatu mutan baru (pada E. coli) hendak diidentifikasi, biasanya pertama kali orang memanfaatkan percobaan konjugasi terputus untuk menaksir lokasinya; lokasi pasti mutan tersebut biasanya kemudian ditentukan melalui pemetaan yang memanfaatkan transduksi.

Pertanyaan 1. Manakah yang paling efektif antara konjugasi terputus atau konjugasi yang tidak terputus yang lebih efektik untuk digunakan pada pemetaan kromosom? Jelaskan! Jawab: konjugasi terputus lebih efektif untuk pemetaan kromosom karena konjugasi terputus sebenarnya lebih sederhana dan lebih langsung. Oleh karena itu jika sesuatu mutan baru (pada E. coli) hendak diidentifikasi, biasanya pertama kali orang memanfaatkan percobaan konjugasi terputus untuk menaksir lokasinya; lokasi pasti mutan tersebut biasanya kemudian ditentukan melalui pemetaan yang memanfaatkan transduksi. 2.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF