BAB 1-3
March 10, 2019 | Author: Asiyah Nida Khafiyya | Category: N/A
Short Description
tes...
Description
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdarahan uterus abnormal merupakan masalah yang sering dijumpai pada wanita usia reproduksi. Siklus menstruasi regular merupakan hasil yang seimbang dari endometrium dan faktor-faktor regulasi. Adanya gangguan pada mekanisme regulasi dari axis hypothalamus-hipofisis-ovarium maupun penyakit-penyakit ginekologis lainnya dapat menyebabkan terjadinya perdarahan uterus abnormal (Sedhai dan Shrestha, 2012). Perdarahan uterus abnormal dapat menyebabkan nyeri dan rasa tidak nyaman sehingga dapat mengganggu kualitas hidup seseorang (Kriplani et al ., ., 2016). Perdarahan uterus abnormal (PUA) dikatakan terjadi pada 9-14 % wanita usia subur. Prevalensinya bervariasi pada masing-masing negara. Di India, prevalensi PUA didapatkan sebesar 17,9% (Kriplani et al ., ., 2016). Di Nepal, sebanyak 4.7% kasus ginekologi yang datang ke poliklinik merupakan kasus PUA dan sebanyak 57.3% penderita berada pada usia reproduktif. Penyebab terbanyak dari PUA adalah Disfungsi Ovulasi (50.5%). Sebanyak 84 dari 101 kasus PUA dapat ditangani dengan terapi hormon sedangkan sebnayak 7 kasus ditangani dengan histerektomi (Sedhai dan Shrestha, 2012). Karena kasus perdarahan uterus abnormal sering dijumpai pada wanita usia reproduksi, penegakan diagnosis dan tatalaksana yang tepat mengenai kasus ini penting untuk diketahui.
1.2 Tujuan 1.2.1
Tujuan umum Untuk mengetahui tentang perdarahan uterus abnormal akibat disfungsi ovulasi
1.2.2
Tujuan khusus 1. Untuk mengetahui definisi perdarahan uterus abnormal 2. Untuk mengetahui etiologi perdarahan uterus abnormal 3. Untuk mengetahui fisiologi haid
1
2
4. Untuk mengetahui definisi disfungsi ovulasi 5. Untuk mengetahui etiologi disfungsi ovulasi 6. Untuk mengetahui patofisiologi disfungsi ovulasi 7. Untuk mengetahui diagnosis disfungsi ovulasi 8. Untuk mengetahui tatalaksana disfungsi ovulasi 9. Untuk mengetahui komplikasi disfungsi ovulasi
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perdarahan Uterus Abnormal 2.1.1 Definisi Perdarahan abnormal uterus merupakan perdarahan yang ditandai dengan adanya perubahan siklus menstruasi normal, baik dari interval atau panjang siklus, durasi, maupun jumlah perdarahan. Menorrahgia adalah siklus menstruasi yang memanjang atau jumlah perdarahan menstruasi yang meningkat. Seseorang dikatakan menorrhagia apabila menstruasi berjalan lebih dari 7 hari atau jumlah perdarahan melebihi 80 ml. Metorrahgia dapat dideskripsikan dengan dengan perdarahan intermenstrual. Seorang wanita umumnya mengalami kedua kondisi tersebut sehingga disebut menometrorrhagia. Siklus menstruasi normal berlangsung sekitar 28 ± 7 hari, sedangkan siklus yang lebih pendek disebut dengan hipomenorrhea.
Siklus
menstruasi
lebih
dari
35
hari
disebut
dengan
oligomenorrhea (Hoffman, B.L., et al , 2012).
2.1.2 Klasifikasi Klasifikasi penyebab AUB sangatlah bervariasi sesuai literatur yang dipakai, FIGO (International Federation of Gynecology and Obstetrics) mengklasifikasikan Penyebab AUB sembilan poin yang bisa disingkat menjadi PALM COEIN (Polyp, Adenomyosis, Leiomyoma, Malignancy and hyperplasia, Coagulopathy, Ovulatory dysfunction, Endometrial, Iatrogenic, dan Not yet classified), Berikut penjelasannya: 1. Polyp (PUA-P) Klasifikasi yang pertama hingga keempat menunjukan penyebab AUB berdasarkan struktur anatomi, Polyp sendiri merupakan pertumbuhan lesi lunak pada lapisan endometrium uterus, baik bertangkai maupun tidak, berupa pertumbuhan berlebih dari stroma dan kelenjar endometrium dan dilapisi oleh
3
4
epitel endometrium. Gejala yang muncul bisa Asimptomatik, tetapi dapat pula menyebabkan PUA. Umumnya jinak, namun sebagian kecil atipik atau ganas. Diagnostik PUA-P bisa menggunakan USG dan atau histeroskopi, dengan atau tanpa hasil histopatologi. Histopatologi pertumbuhan eksesif lokal dari kelenjar dan stroma endometrium yang memiliki vaskularisasi dan dilapisi oleh epitel endometrium 2. Adenomyosis (PUA-A) Dijumpai jaringan stroma dan kelenjar endometrium ektopik pada lapisan myometrium, Gejala yang muncul adalah nyeri haid, nyeri saat senggama, nyeri menjelang atau sesudah haid, nyeri saat buang air besar, atau nyeri pelvik kronik disertai dengan perdarahan uterus abnormal. Diagnostik PUA-A menggunakan pemeriksaan Histopatologi, MRI, dan USG, Hasil USG menunjukkan jaringan endometrium heterotopik pada miometrium dan sebagian berhubungan dengan adanya hipertrofi miometrium. Hasil histopatologi menunjukkan dijumpainya kelenjar dan stroma endometrium ektopik pada jaringan miometrium. 3. Leiomyoma (PUA-L) Leiomyoma adalah pertumbuhan jinak otot polos uterus pada lapisan myometrium. Gejala yang muncul berupa perdarahan uterus abnormal dan penekanan terhadap organ sekitar uterus, atau ben jolan dinding abdomen. Mioma uteri umumnya tidak memberikan gejala dan biasanya bukan penyebab tunggal PUA, pertimbangan dalam membuat sistem klasifikasi mioma uteri yakni hubungan mioma uteri dengan endometrium dan serosa lokasi, ukuran, serta jumlah mioma uteri. 4. Malignancy and hyperplasia (PUA-M) Pertumbuhan
hiperplastik
atau
pertumbuhan
ganas
dari
lapisan
endometrium juga bisa menyebabkan PUA-M. Meskipun jarang ditemukan, namun hiperplasia atipik dan keganasan merupakan penyebab penting PUA.
5
5. Coagulopathy (PUA-C) Gangguan hemostatis sistemik yang berdampak terhadap perdarahan uterus. Terminologi koagulopati digunakan untuk kelainan hemostatis sistemik yang terkait dengan PUA. Tiga belas persen perempuan dengan perdarahan haid banyak memiliki kelainan hemostatis sistemik, dan yang paling sering ditemukan adalah penyakit von Willebrand. 6. Ovulatory dysfunction (PUA-O) Gangguan ovulasi merupakan salah satu penyebab PUA dengan manifestasi perdarahan yang sulit diramalkan dan jumlah darah yang bervariasi. Gejala bervariasi mulai dari amenorea, perdarahan ringan dan jarang, hingga perdarahan haid banyak. AUP-O akan dibahas lebih lanjut. 7. Endometrial (PUA-E) Perdarahan uterus abnormal yang terjadi pada perempuan dengan siklus haid teratur. Penyebab perdarahan pada kelompok ini adalah gangguan hemostatis lokal endometrium. Adanya penurunan produksi faktor yang terkait vasokonstriksi seperti endothelin-1 dan prostaglandin F2α serta peningkatan aktifitas fibrinolitik. Gejala lain kelompok ini adalah perdarahan tengah atau perdarahan yang berlanjut akibat gangguan hemostasis lokal endometrium Diagnosis PUA-E ditegakkan setelah menyingkirkan gangguan lain pada siklus haid yang berovulasi. 8. Iatrogenic (PUA-I) Perdarahan terjadi karena rendahnya konsentrasi estrogen dalam sirkulasi yang disebabkan pasien lupa atau terlambat minum pil kontrasepsi atau pemakaian obat tertentu seperti rifampisin. 9. Not yet classified (PUA-N) Kategori ini dibuat untuk penyebab lain yang jarang atau sulit dimasukkan dalam klasifikasi. (Munro M. G et al , 2011)
6
2.2. Fisiologi Haid Haid adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium. Sekarang diketahui bahwa dalam proses ovulasi, yang memegang peranan penting adalah hubungan hipotalamus, hipofisis, dan ovarium (hypothalamic-pituitary-ovarium axis). Menurut teori neurohumoral yang dianut sekarang, hipotalamus mengawasi sekresi hormon gonadotropin oleh adenohipofisis
melalui
sekresi
neurohormon
yang
disalurkan
ke
sel-sel
adenohipofisis lewat sirkulasi portal yang khusus. Hipotalamus menghasilkan faktor yang telah dapat diisolasi dan disebut Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) karena dapat merangsang pelepasan Lutenizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dari hipofisis. Penyelidikan pada hewan menunjukkan bahwa pada hipotalamus terdapat dua pusat, yaitu pusat tonik dibagian belakang hipotalamus di daerah nukleus arkuatus, dan pusat siklik di bagian depan hipotalamus di daerah suprakiasmatik. Pusat siklik mengawasi lonjakan LH (LH-surge) pada pertengahan siklus haid yang menyebabkan terjadinya ovulasi. Mekanisme kerjanya juga belum jelas benar Siklus haid normal dapat dipahami dengan baik dengan membaginya atas dua fase dan satu saat, yaitu fase folikuler, saat ovulasi, dan fase luteal. Perubahan perubahan kadar hormon sepanjang siklus haid disebabkan oleh mekanisme umpan balik (feedback) antara hormon steroid dan hormon gonadotropin. Estrogen menyebabkan umpan balik negatif terhadap FSH, sedangkan terhadap LH, estrogen menyebabkan umpan balik negatif jika kadarnya rendah, dan umpan balik positif jika kadarnya tinggi. Tempat utama umpan balik terhadap hormon gonadotropin ini mungkin pada hipotalamus Tidak lama setelah haid mulai, pada fase folikular dini, beberapa folikel berkembang oleh pengaruh FSH yang meningkat. Meningkatnya FSH ini disebabkan oleh regresi korpus luteum, sehingga hormon steroid berkurang. Dengan berkembangnya folikel, produksi estrogen meningkat, dan ini menekan produksi FSH; folikel yang akan berovulasi melindungi dirinya sendiri terhadap atresia, sedangkan folikel-folikel lain mengalami atresia. Pada waktu ini LH juga
7
meningkat, namun peranannya pada tingkat ini hanya membantu pembuatan estrogen dalam folikel. Perkembangan folikel yang cepat pada fase folikel akhir ketika FSH mulai menurun, menunjukkan bahwa folikel yang telah masak itu bertambah peka terhadap FSH. Perkembangan folikel berakhir setelah kadar estrogen dalam plasma jelas meninggi. Estrogen pada mulanya meninggi secara berangsur-angsur, kemudian dengan cepat mencapai puncaknya. Ini memberikan umpan balik positif terhadap pusat siklik, dan dengan lonjakan LH (LH-surge) pada pertengahan siklus, mengakibatkan terjadinya ovulasi. LH yang meninggi itu menetap kira-kira 24 jam dan menurun pada fase luteal. Mekanisme turunnya LH tersebut belum jelas. Dalam beberapa jam setelah LH meningkat, estrogen menurun dan mungkin inilah yang menyebabkan LH itu menurun. Menurunnya estrogen mungkin disebabkan oleh perubahan morfologik pada folikel. Mungkin pula menurunnya LH itu disebabkan oleh umpan balik negatif yang pendek dari LH terhadap hipotalamus. Lonjakan LH yang cukup saja tidak menjamin terjadinya ovulasi; folikel hendaknya pada tingkat yang matang, agar ia dapat dirangsang untuk berovulasi. Pecahnya folikel terjadi 16 – 24 jam setelah lonjakan LH. Pada manusia biasanya hanya satu folikel yang matang. Mekanisme terjadinya ovulasi agaknya bukan oleh karena meningkatnya tekanan dalam folikel, tetapi oleh perubahan-perubahan degeneratif kolagen pada dinding folikel, sehingga ia menjadi tipis. Mungkin juga prostaglandin F2 memegang peranan dalam peristiwa itu Pada fase luteal, setelah ovulasi, sel-sel granulose membesar, membentuk vakuola dan bertumpuk pigmen kuning (lutein); folikel menjadi korpus luteum. Vaskularisasi dalam lapisan granulosa juga bertambah dan mencapai puncaknya pada 8 – 9 hari setelah ovulasi.4 Luteinized granulose cell dalam korpus luteum itu membuat progesteron banyak, dan luteinized theca cell membuat pula estrogen yang banyak, sehingga kedua hormon itu meningkat tinggi pada fase luteal. Mulai 10 – 12 hari setelah ovulasi, korpus luteum mengalami regresi berangsur-angsur disertai dengan berkurangnya kapiler-kapiler dan diikuti oleh menurunnya sekresi progesteron dan estrogen. Masa hidup korpus luteum pada manusia tidak bergantung pada hormon gonadotropin, dan sekali terbentuk ia berfungsi sendiri
8
(autonom). Namun, akhir-akhir ini diketahui untuk berfungsinya korpus luteum, diperlukan sedikit LH terus-menerus. Steroidegenesis pada ovarium tidak mungkin tanpa LH. Mekanisme degenerasi korpus luteum jika tidak terjadi kehamilan belum diketahui. Empat belas hari sesudah ovulasi, terjadi haid. Pada siklus haid normal umumnya terjadi variasi dalam panjangnya siklus disebabkan oleh variasi dalam fase folikular Pada kehamilan, hidupnya korpus luteum diperpanjang oleh adanya rangsangan dari Human Chorionic Gonadothropin (HCG), yang dibuat oleh sinsisiotrofoblas. Rangsangan ini dimulai pada puncak perkembangan korpus luteum (8 hari pasca ovulasi), waktu yang tepat untuk mencegah terjadinya regresi luteal. HCG memelihara steroidogenesis pada korpus luteum hingga 9 – 10 minggu kehamilan. Kemudian, fungsi itu diambil alih oleh plasenta.
Gambar 2.1 Fisiologi Haid Sumber: Williams Gynecology. 2nd ed. Dari uraian di atas jelaslah bahwa kunci siklus haid tergantung dari perubahan-perubahan kadar estrogen, pada permulaan siklus haid meningkatnya FSH disebabkan oleh menurunnya estrogen pada fase luteal sebelumnya. Berhasilnya perkembangan folikel tanpa terjadinya atresia tergantung pada
9
cukupnya produksi estrogen oleh folikel yang berkembang. Ovulasi terjadi oleh cepatnya estrogen meningkat pada pertengahan siklus yang menyebabkan lonjakan LH. Hidupnya korpus luteum tergantung pula pada kadar minimum LH yang terusmenerus. Jadi, hubungan antara folikel dan hipotalamus bergantung pada fungsi estrogen, yang menyampaikan pesan-pesan berupa umpan balik positif atau negatif. Segala keadaan yang menghambat produksi estrogen dengan sendirinya akan mempengaruhi siklus reproduksi. 2.3 Disfungsi Ovulatori 2.3.1 Definisi Ovulatory dysfunction atau disfungsi ovulatori merupakan suatu kegagalan ovulasi yang menyebabkan terjadinya perdarahan uterus. Kegagalan ovulasi tersebut menyebabkan ovulasi tidak teratur (mens ≤ 9 kali dalam setahun) atau tidak ovulasi sama sekali. Biasanya gejala yang ditimbulkan merupakan gejala gangguan pola jumlah perdarahan, seperti amenore sampai spotting, hingga episode Heavy Menstrual Bleeding (HMB) ekstrim.
2.3.2 Etiologi Kelainan ovulatori pada keadaan normal dapat dijumpai sebagai akibat dari ketidakseimbangan hormonal yang ada dalam tubuh. Pada remaja, aksis hipotalamus-pituitari-ovarium
memerlukan
waktu
untuk
matang
setelah
menarke, sehingga dapat menyebabkan anovulasi. Diperkirakan 95% perdarahan uterus disfungsional pada remaja disebabkan oleh anovulasi (Strickland dan Wall, 2003). Meskipun kebanyakan kelainan ovulatori tidak memiliki etiologi yang jelas, namun banyak yang beranggapan hal tersebut dikarenakan endokrinopati, misalnya sindrom polikistik ovari, hipotiroidism, hiperprolaktinemia, stress mental, obesitas, anoreksia, penurunan berat badan atau latihan ekstrim yang berhubungan dengan latihan atletik. Ada juga yang beranggapan bahwa penyebab kelainan ini adalah iatrogenic, yakni disebabkan oleh penggunaan
10
steroid
atau
obat
yang
mempengaruhi
metabolism
dopamine,
seperti
phenothiazine dan anti depresan trisiklik. Sedangkan menurut World Health Organization (WHO), WHO membagi kelainan ovulasi menjadi 3 kelompok, yaitu: 1. Grup I: Kelainan ovulasi pada grup ini disebabkan karena kegagalan hypothalamic pituitary. Biasanya muncul pada kondisi hypothalamic amenorrhea dan hypogonadotrophic hypogonadism. Karena rendahnya gonadotropin dan defisiensi dari estrogen menyebabkan terjadinya amenorrhoea primer maupun sekunder (10% wanita termasuk kelainan ovulasi grup I). Terapi yang dapat diberikan adalah melalui perubahan gaya hidup (menaikkan berat badan dan olahraga), medikamentosa (Pulsatile gonadotrophin-releasing hormone), ataupun pembedahan (Barlow et al ., 2013). 2. Grup II: Kelainan ovulasi yang disebabkan karena disfungsi dari aksis hyptothalamic-pituitary-ovarium. Contohnya terdapat pada kondisi sindrom polikistik ovari dan hyperprolactinemia amenorrhea. Sekitar 85% wanita mengalami kelainan ovulasi grup II. Terapi yang dapat diberikan yakni melalui perubahan gaya hidup (menurunkan berat badan), medikamentosa (anti-estrogen oral), ataupun pembedahan (Barlow et al ., 2013). 3. Grup III: Kelainan ovulasi yang disebabkan oleh kegagalan ovarium untuk memproduksi ovum. Sekitar 5 % wanita mengalami kelainan Grup III ini. Terapi yang bisa dilakukan adalah dengan donasi ovum dan IVF (In vitro fertilization) (Barlow et al ., 2013). Melalui pembagian kelompok kelainan ovulasi di atas dapat membantu memudahkan kita untuk menentukan terapi yang tepat.
2.3.3 Patofisiologi Secara garis besar, selama siklus anovulasi, korpus luteum tidak terbentuk. Dengan demikian, sekresi siklus progesteron normal tidak terjadi, dan estrogen merangsang penebalan endometrium. Tanpa progesteron, endometrium terus berproliferasi, akhirnya tumbuh melebihi suplai darahnya. Kemudian
11
endometrium meluruh tidak sempurna dan berdarah tidak teratur dan kadangkadang deras atau untuk waktu yang lama. Bila proses abnormal ini terjadi berulang kali, endometrium bisa menjadi hiperplastik, ka dang dengan sel atipikal atau kanker (Munro, 2008). Pada pendarahan uterus abnormal ovulasi, terjadi sekresi progesteron berkepanjangan; penumpukan endometrium yang tidak beraturan mungkin disebabkan karena kadar estrogen tetap rendah, mendekati ambang batas untuk pendarahan (seperti yang terjadi pada menstruasi). Pada wanita gemuk, perdarahan uterus abnormal ovulasi dapat terjadi jika kadar estrogen tinggi. Hal tersebut mengakibatkan amenore bergantian dengan perdarahan tidak teratur atau perdarahan berkepanjangan (Munro, 2008). Sindrom poliskistik ovari merupakan salah satu etiologi dan yang paling sering menyebabkan disfungsi ovulatori. Kelainan ini disebabkan oleh peningkatan androgen (dari ovarium maupun kelenjar adrenal) diikuti perubahan menjadi estrogen dalam jaringan lemak. Peningkatan estrogen memacu hipofisis untuk meningkatkan LH dan menekan FSH yang menyebabkan penyimpangan perkembangan folikel, anovulasi, dan peningkatan produksi androgen ovarium. Hal tersebut disebabkan oleh pengiriman sinyal yang tidak seharusnya ke hipotalamus dan hipofisis (Munro, 2008).
2.3.3 Diagnosis Pada perdarahan uterus abnormal, tujuan diagnosis adalah menyingkirkan kemungkinan kehamilan dan keganasan, serta mengidentifikasi penyebab untuk dapat dilakukan terapi yang optimal (Hoffman et al , 2012). Dari anamnesis, bila mencurigai suatu PUA-O, perlu dicari apakah pasien mengalami keluhan perdarahan uterus abnormal/oligo-amenore, infertilitas, tanda hipo/hiper tiroid, tanda-tanda hiperandrogen (hirsutisme, akne), apakah pasien kemungkinan sedang hamil, adakah riwayat keluarga dengan perdarahan uterus abnormal (Behera, 2017).
12
Dari pemeriksaan fisik, yang perlu dicari adalah BMI (obesitas), pembesaran kelenjar tiroid, tanda hiprerandrogen, galaktore, gangguan lapang pandang (akibat adenoma hipofisis), faktor resiko keganasan endometrium (obesitas, nuligravida, hipertensi, diabetes mellitus, riwayat keluarga, PCO). Selain
itu,
dari
pemeriksaan
fisik
perlu
disingkirkan
adanya
kehamilan/KET/abortus, servisitis, polip, myoma uteri, keganasan serviks dan uterus, hiperplasia endometrium, gangguan pembekuan darah (POGI, 2007). Dari pemeriksaan penunjang, yang perlu dilakukan adalah laboratorium (Hb, tes kehamilan, darah lengkap, faal hemostasis, hormon prolaktin, hormon tiroid), USG (transabdominal, transvaginal), penilaian endometrium (mikrokuret, histeroskopi), serta penilaian serviks (IVA, pap smear, kolposkopi) (POGI, 2007). Dalam mendiagnosis pasien dengan perdarahan uterus abnormal, langkah yang pertama adalah menyingkirkan kemungkinan kehamilan (abortus, KET, mola
hidatidosa).
Kemudian,
apabila
kemungkinan
kehamilan
telah
tersingkirkan, perlu dicari penyebab iatrogenik (obat golongan antikoagulan, sitostatika,
hormon,
antipsikotik,
dan
suplemen).
Apabila
kemungkinan
penyebab iatrogenik tidak didapatkan, maka perlu dilakukan evaluasi kelainan sistemik (tiroid, faal hemostasis, fungsi hepar, prolaktin). Apabila tidak didapatkan kelainan sistemik, maka perlu dicari adanya kemungkinan kelainan anatomis (servicitis, endometriosis, polip, myomauteri, keganasan serviks dan uterus, hiperplasia endometrium). Bila tidak ditemukan pula kelainan anatomis, maka perdarahan uterus abnormal tersebit didigolongkan sebagai perdarahan uterus disfungsional (POGI, 2007). 2.3.4 Tatalaksana 2.3.5 Komplikasi
13
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan Perdarahan abnormal uterus merupakan perdarahan yang ditandai dengan adanya perubahan siklus menstruasi normal, baik dari interval atau panjang siklus, durasi, maupun jumlah perdarahan. Disfungsi ovulatori merupakan salah satu penyebab abnormal uterus akibat kegagalan ovulasi yang menyebabkan terjadinya perdarahan uterus. Kegagalan ovulasi tersebut menyebabkan ovulasi tidak teratur atau tidak ovulasi sama sekali. Dalam mendiagnosis disfungsi ovulatori, perlu disingkirkan adanya kemungkinan kehamilan dan gangguan pada kehamilan, kelainan sistemik, kelainan anatomis, dan penyakit ginekologis lain. Tatalaksana kasus disfungsi ovulatori pada umumnya berupa medikamentosa.
14
DAFTAR PUSTAKA
Barlow, D et al. 2013. Fertility: Assessment and Treatment for People with Fertility Problems [Online]. Diakses dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK327781/ [8 Januari 2018] Behera, M.A., 2017. Abnormal (Dysfunctional) Uterine Bleeding Clinical Presentation. [Online].
(Updated
27
October
2017).
Diakses
dari
https://emedicine.medscape.com/article/257007-clinical#b4 [8 Januari 2018]. Hoffman, B.L., et al, 2012. Williams Gynecology. 2nd ed. New York: McGraw-Hill Companies. Hal 219-240. Kriplani, A., et al, 2016. Management of Abnormal Uterine Bleeding in Reproductive Period
[Online].
Diakses
dari
http://www.fogsi.org/wp-
content/uploads/2016/02/gcpr-on-aub.pdf [8 Januari 2018] Munro M.G et al.,
2011. FIGO Classification System (PALM-COEIN) for causes of
abnormal uterine bleeding in nongravid women of reproductive age. International Journal of Gynecology and Obstetrics 113; 3-13 [Online] Diakses dari https://www.yourperiod.ca/wp-content/themes/su2016/assets/doc/AUBClassification.pdf [8 Januari 2018] Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2007. Panduan Tata Laksana Perdarahan Uterus Disfungsional (PUD). Bandung: Himpunan EndokrinologiReproduksi dan Fertilitas Indonesia Hal 1-8 Sedhai L.B., Shrestha A, 2012. Abnormal Uterine Bleeding; Its Prevalence, Causes And Management In Chitwan. Journal of Chitwan Medical College, 1(2); 36-38 [Online] Diakses
dari
http://www.cmc.edu.np/images/gallery/Original%20Articles/uVLsn9.pdf [8 Januari 2018] Strickland JL, Wall JW. 2003Abnormal uterine bleeding in adolescents. Obstet Gynecol Clin North Am.(30):321-5.
14
View more...
Comments