Avm Fix Print fk uns
February 8, 2021 | Author: Anonymous | Category: N/A
Short Description
Download Avm Fix Print fk uns ...
Description
REFRAT RADIOLOGI
ARTERI VENA MALFORMASI
Oleh: Maya Diyaswari
G99112094
Endika Rachmawati
G99112063
Cholifatur Ravita
G99112037
Dea Alberta Setiawati
G99112041
Pembimbing: dr. Sulistyani Kusumaningrum, M.Sc, Sp.Rad
KEPANITERAAN KLINIK RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2013
BAB I PENDAHULUAN Malformasi arterio-vena merupakan kelainan intrakranial yang relatif jarang tetapi lesi ini semakin sering ditemukan. Umumnya, lesi yang terjadi akibat kelainan kongenital ini muncul dan dikenali setelah terdapat perdarahan. Akan tetapi, seiring dengan berkembangnya teknologi kedokteran, lesi malformasi arterio- vena (AVM) semakin sering ditemukan(Krapf et al, 2001). Arterio-Venous Malformation (AVM) atau malformasi pada pembuluh darah arteri dan vena dengan banyak pirau yang saling berhubungan tanpa pembuluh darah kapiler sehingga rentan terjadi penyumbatan di otak. AVM merupakan kelainan kongenital atau bawaan lahir yang jarang terjadi namun berpotensial memberikan gejala neurologi yang serius apabila terjadi pada vaskularisasi otak dan bahkan berisiko menimbulkan kematian (Nekooei et al, 2006). Penyakit AVM umumnya adalah penyakit yang tidak menunjukkan gejala apapun dan baru diketahui setelah terjadi perdarahan intrakranial atau subarahnoid. Penyakit ini biasanya memberikan gejala berupa sakit kepala dan kejang tanpa sebab(Jung et al, 2007). AVM dapat dideteksi dengan pemeriksaan penunjang yang canggih seperti angiografi. Angiografi adalah teknik pemeriksaan pencitraan pembuluh darah. Angiografi dapat dilakukan dengan tiga metode yaitu dengan kateterisasi dengan x- ray, CT scan dan yang terakhir adalah dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Semakin canggih teknologi yang dipakai semakin aman dan tidak invasive dan lebih sensitif. Teknik angiografi dengan alat MRI dikenal dengan MRA yaitu magnetic Resonance Angiography. Teknik ini menggunakan medan magnet untuk menggambarkan pembuluh darah dan dapat dilakukan tanpa menggunakan kontras(Geibprasert et al, 2010).
BAB II ARTERIOVENOUS MALFORMATION A.
Definisi Arteriovenous Malformation
adalah kelainan kongenital dimana
arteri dan vena pada permukaan otak atau di parenkim saling berhubungan secara langsung tanpa melalui pembuluh kapiler. Lesi terdiri atas tiga komponen, feeding arteries, nidus dan draining vein. Nidus menggantikan arteriole dan kapiler normal dengan pembuluh darah yang resistensinya rendah tapi alirannya tinggi. Malformasi arterivena biasanya terjadi di otak, tetapi kadang dapat terjadi di medulla spinalis dan lapisan dura. Tekanan dari darah yang melalui arteri menjadi terlalu tinggi untuk diterima oleh vena dan ini menyebabkan vena mengembang . Pengembangan ini mampu menyebabkan vena itu pecah dan berdarah (Rutherford, 2001). B. Insiden Insidensi dan prevalensi malformasi vaskular tidak diketahui secara pasti, berdasarkan studi antara tahun 1980 dan 1990, insidens malformasi vaskular pertahunnya sekitar 1.1 hingga 2.1 kasus dalam 100 000 populasi. Jumlah malformasi arterio-vena (AVM) hampir 90% lebih jarang dibandingkan dengan insidens aneurisma intrakranial. Malformasi arterivena merupakan 11 % malformasi serebrovaskuler, angioma adalah jenis malformasi yang lebih sering terjadi (Krapf et al, 2001). C. Klasifikasi Berdasarkan
alirannya,
MV
digolongkan
menjadi
dua
kelompok
(Rutherford, 2005) :
High flow malformation: apabila MV terjadi pada arteri dan arterivena
Low flow malformation: apabila MV terjadi pada vena, kapiler, atau limfe
Selain itu MV juga dikelompokkan berdasarkan lokasi pembuluh yang mengalami kelainan seperti dalam Hamburg Classification of Vascular Anomalies and Malformations. Tabel 1. Hamburg Classification of Vascular Anomalies and Malformations MAIN CLASS Arterial
SUBCLASS Truncular Extratruncular
Venous
Truncular Extratruncular
Arteriovenous
Truncular Extratruncular
Combined, mixed
Truncular Extratruncular
SUBGROUP Obstructive Dilating Diffuse Limited (localized) Obstructive Dilating Diffuse Limited/localized Deep Superficial Diffuse/infiltrating Limited/localized Venous and arterial Hemolymphatic Diffuse Limited/localized
Tabel 2. Klasifikasi AVM berdasarkan kriteria Schobinger I (quiescence) II (expansion)
III (destruction)
IV (decompensation)
Lesi berwarna pink, hangat, dan terdapat shunt arteriovaskular Sama dengan stadium I, ditambah pembesaran, pulsasi, thrill, bruit, dan vena yang berkelokkelok Sama dengan stadium II, ditambah perubahan distrofik pada kulit, ulserasi, perdarahan, nyeri persisten, atau nekrosis jaringan Sama dengan stadium III, ditambah gagal jantung
D. Patofisiologi AVM umumnya terbentuk akibat malfungsi diferensiasi pembuluh darah primitive pada embrio berusia 3 minggu, dapat terbentuk di bagian
otak manapun dan melibatkan regio permukaan otak dengan substansia alba. Pada gestasi minggu ke-3, mulai tampak sistem vaskuler yang terdiri dari jaringan yang menjalin ruang-ruang darah pada mesenkim primitif. Saat ini darah belum bersirkulasi dan pembuluh arteri dan vena belum dapat diidentifikasi.(Rutherford et al, 2005) Selanjutnya sistem vaskuler berkembang secara bertahap dengan proses penggabungan dan diferensiasi seluler dan sebagai klimaks terjadi pemisahan arteri-vena. Menurut Wallard (1922) proses ini terjadi melalui tiga tahapan: 1. Undifferentiated Stage (Stage I) Ruang-ruang darah yang ada pada mesenkim primitif bergabung menjadi jaringan kapiler yang lebih terorganisir. Arteri dan vena belum bisa dikenali. 2. Retiform Stage (Stage II) Jaringan kapiler yang terbentuk pada Undifferentiated Stage bergabung menjadi struktur jalinan atau pleksus yang lebih besar yang menjadi progenitor dari arteri dan vena. 3. Maturation Stage (Stage III) Struktur vaskuler tampak matur secara histologis, dan batang utama arteri telah tampak. Jaringan kaplier yang ada bertahan hingga saat dewasa diperkirakan berasal dari sisa-sisa ruang darah pada Undifferentiated Stage. Berdasarkan teori Wallard, dapat disimpulkan pada Stage I terjadi malformasi kapiler dan vena perifer, sedangkan Stage II terjadi mikrofistula malformasi arteri vena (AVM) dan vena embrional, dan Stage III terjadi makrofistula AVM beserta cabang-cabangnya, aneurisma v. poplitea, dan kelainan persisten sciatic artery ( Rutherford, 2005).
Capillary malformation
Microfistulous AV malformation
Macrofistulous AV malformation
Gambar 1. Malformasi kapiler, mikrofistul malformasi arteri vena, dan makrofistul arteri vena AVM terdiri atas tiga bagian yaitu feeding arterti, nidus dan draining vein. Nidus disebut juga sarang karena tampak seperti pembuluh darah yang berbelit – belit. Feeding artery memiliki lapisan otot yang tidak adekuat dan draining vein cenderung mengalami dilatasi karena kecepatan aliran darah yang melaluinya. Beberapa orang lahir dengan nidus yang seiring dengan waktu cenderung melebar karena tekanan yang besar pada pembuluh arteri tidak dapat dikendalikan oleh vena yang mengalirkannya. Mengakibatkan kumpulan pembuluh darah besar yang tampak seperti cacing dapat mengalami perdarahan di masa yang akan dating (Menon et al, 2005).
Gambar 2. Perbedaan antara aliran darah pada AVM dan yang normal
Gambar 3. Nidus, draining vein, feeding arteries AVM mengakibatkan disfungsi neurologis melalui 3 mekanisme utama. Yang pertama, perdarahan terjadi di ruang subarahnoid, ruang intraventrikular atau yang paling sering pada parenkim otak. Jika ruptur atau pendarahan terjadi, darah mungkin berpenetrasi ke jaringan otak (cerebral hemorrhage) atau ruang subarachnoid (subarachnoid hemorrhage) yang terletak di antara meninges yang menyelaputi otak. Sekali pendarahan AVM terjadi, kemungkinan terjadinya pendarahan berulang menjadi lebih besar. Perdarahan umumnya muncul pada usia 55 tahun. Kira-kira 40% kasus dengan AVM cerebral diketahui melalui gejala pendarahan yang mengarah ke kerapuhan struktur pembuluh darah yang abnormal di dalam otak. Kedua, pada pasien yang tidak mengalami perdarahan mungkin akan mengalami kejang. Sekitar 15-40 % pasien mengalami kejang. AVM yang tidak mengalami pendarahan menyebabkan gejala langsung dengan
menekan jaringan otak atau menurunkan aliran darah ke jaringan sekitar (iskemia). Faktor mekanik maupun iskemik dapat menyebabkan kerusakan sel saraf (neuron) secara permanen(Geibprasert et al, 2010). Kejang pada AVM mungkin terbagi atas 3 mekanisme, yaitu : 1. Iskemia jaringan korteks. 2. Astroglia berlebihan pada jaringan otak yang rusak di sekeliling daerah AVM karena perdarahan subklinis sebelumnya atau karena deposit hemosiderin, mungkin terjadi karena hilangnya bentuk karakteristik secara progresif (apeidosis) melalui kapiler yang terdilatasi. 3. Kemungkinan peranan epileptogenesis sekunder, yang letaknya agak jauh dari daerah AVM primer( Krapf et al, 2001) Namun, beberapa penderita juga ada yang asimtomatik atau hanya merasakan keluhan minor akibat kekusutan pembuluh darah lokal. Defisit neurologis progresif dapat muncul pada 6-12 %. Defisit neurologis yang lambat ini dikaitkan dengan tersedotnya aliran darah menjauh dari jaringan otak (the "steal phenomenon"). Defisit ini juga terjadi dikarenakan efek masa dari AVM yang membesar dan hipertensi vena pada draining veins (Rutherford, 2001). E. Manifestasi Klinik AVM bisa saja tidak menimbulkan gejala sama sekali. Namun masalah yang paling banyak dikeluhkan penderita AVM adalah nyeri kepala dan serangan kejang mendadak. Defisit neurologis dapat berupa lemah, mati rasa, gangguan penglihatan dan bicara.
Masalah yang paling banyak
dikeluhkan penderita AVM adalah nyeri kepala dan serangan kejang mendadak.. Secara umum, nyeri kepala yang hebat yang bersamaan dengan kejang atau hilang kesadaran, merupakan indikasi pertama adanya AVM pada daerah cerebral(Geibprasert et al, 2010). AVM dapat terjadi di banyak area di otak dan mungkin berukuran kecil ataupun besar. Ketika terjadi perdarahan, umumnya mengeluarkan darah dalam jumlah terbatas. Defisit neurologis tergantung dari lokasi dan
jumlah perdarahan. Kebanyakan pasien memiliki perdarahan kecil dan multiple. Pendarahan
intrakranial
tersebut
dapat
menyebabkan
hilang
kesadaran, nyeri kepala hebat yang mendadak, mual, muntah, ekskresi yang tidak dapat dikendalikan misalnya defekasi atau urinasi, dan penglihatan kabur. Kaku leher dapat terjadi dikarenakan peningkatan tekanan antara tengkorak dengan selaput otak (meninges) yang menyebabkan iritasi. Dan mirip dengan gejala kerusakan serebrovaskuler yang lain seperti stroke perbaikan pada jaringan otak lokal yang pendarahan mungkin saja terjadi, termasuk kejang, kelemahan otot yang mengenai satu sisi tubuh (hemiparesis), kehilangan sensasi sentuh pada satu sisi tubuh, maupun defisit kemampuan dalam menproses bahasa (aphasia) ( Al-Shahi, 2001). Pada anak – anak yang diketahui mengalami AVM yang besar ditemukan juga gagal jantung karena beban kerja jantung yang meningkat akibat malformasi. Jika AVM terjadi pada lokasi kritis maka AVM dapat menyebabkan sirkulasi cairan otak terhambat, yang dapat menyebabkan akumulasi cairan di dalam tengkorak yang beresiko hidrosefalus(Krapf et al, 2001). F.
Penegakan Diagnosis Insidens diagnosis unruptured AVM meningkat seiring dengan perkembangan teknologi kedokteran sebagai alat penunjang diagnostik. Sebelumnya, diagnosis AVM umumnya ditegakkan setelah adanya perdarahan intraserebral akibat ruptur AVM atau aneurisma terkait-AVM. Pemeriksaan CT scan dan MRI otak sebagai alat diagnostik unruptured AVM merupakan salah satu pemeriksaan pilihan. Namun, pemeriksaan CT scan tanpa kontras memiliki sensitivitas yang rendah. Pemeriksaan ini memberikan
gambaran
lesi,
anatomisnya(Rutherford, 2005).
perkiraan
jenis
lesi,
dan
lokasi
Pemeriksaan
yang
dapat
membantu
diagnosis
AVM
adalah
pemeriksaan radiologis berupa angiogram, CT scan dan MRI (Geibprasert et al, 2010). 1. Angiogram Angiogram (arteriogram) adalah baku emas untuk diagnosis kelainan pada pembuluh darah karena paling komprehensif, spesifik dan sensistif. Akan tetapi pemeriksaan ini mahal dan invasive. Pemeriksaan ini membutuhkan waktu selama kurang lebih 2 jam. pada pemeriksaan angiografi dibutuhkan kontras yang dimasukin melaui arteri femoralis atau secara langsung pada daerah arteri karotis komunis. Kontras yang digunakan adalah renografin, conray 60, urografin, angiografin (Krapf et al, 2001). Arteriografi merupakan standar penting untuk menggambarkan anatomi arteri dan vena, sebagai tambahan, angiografi yang sangat selektif dapat memberi data penting mengenai fungsi dan fisiologi untuk analisis klinis tindakan. CT scan dengan kontras dan didapatkan gambaran malformasi arteri vena pada daerah parietal kiri, kemudian untuk mengetahui anatominya dilakukan angiografi. Angiografi kateter masih menjadi criteria standar untuk menggambarkan AVM pada otak dan medulla spinalis. Angiografi adalah penilaian real time yang tidak hanya menunjukan keberadaan AVM, tetapi juga menunjukan vascular transit time. Angiografi juga dapat menentukan asal dari AVM apakah dari pial, dural ataupun keduanya. Angiografi dapat digunakan untuk menentukan ukuran AVM dan menilai kepadatan nidus. Angiografi juga dapat menggambarak faktor resiko untuk peradarahan seperti aneurisma dan stenosis vena (Krapf et al, 2001).
Gambar 4. Angiogram pada AVM, (a) tampak bagian – bagian dari AVM, (b) penampang lateral Kekurangan dari Angiografi Angiografi adalah prosedur yang invasif dan memiliki resiko saat penempatan kateter, pemberian kontras dan injeksinya.
Resiko
neurangiografi seperti stroke, diseksi arteri, reaksi terhadap bahan kontras, dan gagal ginjal. Resiko yang mungkin terjadi •
Resiko yang timbul akibat angiogram sangat kecil untuk terjadi. Pada kebanyakan kasus, maslah muncul 2 jam setelah tes dilakukan saat berada di ruanag pemulihan dan jika terjadi masalah selama angiogram maka pemeriksaan dihentikan dan mungkin dibutuhkan pengobatan segera bahakan pembedahan.
•
Ada kemungkinan kecil bahwa kateter merusak pembuluh darah atau melepaskan darah yang membeku atau lemak dari dinding pembuluh darah. Bekuan darah (clot) atau lemak dapat memblokir aliran darah.
•
Perdarahan dapat terjadi karena jarum. Bahkan bekuan darah dapat terbentuk di tempat kateter dimasukkan sehingga dapat menggangu aliran darah ke kaki atau lengan.
•
Penggunaan iodine dapat menyebabkan hilangnya air atau bahkan langsung merusak ginjal, terutama pada pasien dengan gannguan ginjal, diabetes atau yang dehidrasi.
•
Selalu ada kemungkinan kecil kerusakan sel atau jaringan dari pajanan radiasi, bahkan pada tingkat rendah seperti pada pemeriksaan ini (Jusi HD, 2008).
2. CT Scan CT scan adalah metode yang sangat baik untuk mendeteksi perdarahan pada otak atau rongga berisi cairan di sekeliling otak. Pemeriksaan pada otak dapat dilakukan baik menggunakan kontras ataupun tidak. Dengan CT scan kita bisa melihat malformasi arterivena di otak, terutama setelah pemberian kontras. Deteksi perdarahan lobar mengindikasikan adanya masa atau AVM. CT scanning digunakan untuk mengidentifikasi area perdarahan akut, dan hasilnya dapat member kesan adanya malformasi vaskuler, lebih jelas jika menggunakan kontras. Selain itu, CT scanning dapat menggambarkan
kalsifikasi
vaskuler
yang berhubungan dengan AVM (Geibprasert et al, 2010).
Gambar 5. CT scan kepala menunjukan malformasi arterivena pada lobus
oksipital
terkalsifikasi channels.
dan
kiri dan
dengan banyak
multiple
flebolit
hiperatenuasi
yang
vaskular
Gambar 6. Arteriovenous malformasi (AVM) dari otak. CT scan fossa posterior menunjukkan pendarahan pada ventrikel keempat, dengan ekstensi ke cerebellum kiri.
Gambar 7. CT scan awal menunjukkan lesi berukuran 1,5 cm yang berlobulasi dan kalsifikasi di sentral yang dikelilingi substansi hipoatenuasi.
Gambar 8. Classic deep type AVM pada wanita 19 tahun dengan nyeri kepala mendadak yang diikuti dengan kehilangan kesadaran. Pada pemeriksaan terdapat palsi nervus VI bilateral (a) potongan axial. Dan (b) CT scan dengan kontras . CT scan menunjukkan struktur vascular yang meningkat pada thalamus kiri. Meskipun tidak terbukti adanya perdarahan di CT Scan, secara klinis dicurigai terdapat ruptur.
Gambar 9. AVM cerebri pada wanita 27 tahun dengan riwayat 6 tahun kejang dan nyeri kepala. CT scan potongan axial dengan kontras menunjukkan terdapat
lesi vascular lobus frontal
parasagital kiri, dengan area focal internal isoatenuasi yang menunjukkan parenkim otak yang normal diselingi dengan nidus.
Gambar 10. AVM Cerebri
pada anak perempuan 10 tahun riwayat
hemiparesis kanan progresif, kemosis dan proptosis mata kiri. (a) CT scan kontras potongan axial setinggi orbita dan (b) cerebri menunjukkan adanya peningkatan lesi vaskuler ganglia basalis kiri. Masa lesi yang mendesak ventrikel lateral kiri.
Gambar 11. AVM temporal cerebri pada anak 15 tahun dengan nyeri kepala mendadak yang diikuti dengan kejang. CT scan axial menunjukkan lesi hiperatenuasi pada lobus temporal sesuai dengan hematom intraparenkim (Geibprasert, et al. 2010). Kekurangan CT • CT Scan hanya dapat mengidentifikasi AVM yang besar,karena AVM relative isoatenuasi dengan parenkim normal sehingga bisa saja terabaikan apalagi tanpa penggunaan kontras.
• Pada CT scan, AVM muncul sebagai masa nonkalsifikasi atau masa kalsifikasi dan masa fokal yang hiperatenuasi sehingga sulit dibedakan dengan tuberous sclerosis, kista koloid, neoplasma ,dan aneurisma. 3. Magnetic Resonance Imaging Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat membantu mengidentifikasi dan menggambarkan AVM pada sistem saraf pusat yaitu pada otak dan medulla spinalis tanpa radiasi ataupun teknik yang invasif. MRI biasanya mengikuti CT scan pada pasien neurologi saat terjadi kelainan pada vaskuler seperti AVM yang dicurigai. MRI dapat menunjukan area parenkim yang terkena AVM, menunjukan dilatasi pada arteri dan vena. MRI adalah pemeriksaan pilihan untuk mendeteksi malformasi pembuluh darah dari medulla spinalis dan otak. Resonansi magnetik (MRI) sangat sensitif, menunjukkan hilangnya sinyal pada area korteks, umumnya dengan hemosiderin yang menujukkan
adanya
perdarahan
sebelumnya.
MRI
juga
dapat
memberikan informasi penting mengenai lokalisasi dan topografi dari AVM bila intervensi akan dilakukan.
Gambar 12. Gambaran Malformasi arterivena pada otak dengan metode MRI.
Pemeriksaan MRI dapat melihat keadaan pembuluh darah dengan lebih efektif yaitu menggunakan MR angiografi (MRA). Pemeriksaan MRA juga dapat dilakukan untuk mengetahui gangguan secara non-invasif, tetapi tidak memberikan informasi mengenai berbagai faktor secara rinci seperti adanya aneurisma intranidal atau aneurisma pada feeding artery, pola drainage vena, atau karakteristik nidus. Gambaran dari MRA mengenai keadaan AVM sangat baik. Lesi tersembunyi dari angiogram konvensional dapat diidentifikasi oleh MRI karena kemampuan untuk menggambarkan hemosiderin atau bukti lain pecahnya darah. Produk – produk pecahnya darah tampak beberapa waktu setelah perdarahan intracranial(Krapf et al, 2001). Kekurangan MRI adalah pemeriksaan yang sangat sesuai untuk menunjukan nidus dan aliran darah abnormal akan tetapi pada perdarahan serebral akut AVM yang terkompresi tidak menunjukan alirannya dan tidak terlihat. Pada keadaan
ini
dibutuhkan
MRI
serial
untuk
mencari
penyebab
perdarahan.MRI dapat menyebabkan beberapa arteri feeding tidak terdeteksi.MRI memiliki sensistifitas yang rendah untuk mendeteksi malformasi dural(Jusi HD. 2008). G. Diagnosis Banding 1. Cerebral Amyloid Angiopathy Gambar 13. Seorang pria 77 tahun dengan sakit kepala berat dan kesulitan berjalan didapatkan axial nonenhanced CT scan menunjukkan
terdapat
ICH
besar
dengan batas tidak teratur di lokasi kortikal
parietal
posterior
kanan.
Terdapat perdarahan kecil di sisi kanan parafalcine subdural posterior (panah).
CAA ditegakkan dengan pemeriksaan histologist (Chao et al, 2006). 2. Cerebral Aneurysm
Gambar 14. Panah kuning menunjukkan lokasi
aneurisma
(Grajkowska et al, 2010).
Gambar 15. Panah kuning menunjukkan lokasi giant aneurysm yang ruptur
disertai
dengan
trombus yang berada di dalam kantong aneurisma. Panah hijau menujukkan perdarahan yang meluas ke ruang subarachnoid(Inci et al, 2000). .
3. Tuberous Sklerosis
Gambar 16. Seorang wanita dengan riwayat tuberous sklerosis dan retardasi
mental
sedang,
kesadaran
dan
pneumonia.
datang Dari
dengan CT
penurunan
scan,
tampak
hamartoma kalsifikasi di lobus frontalis kanan dan kalsifikasi nodul subependymal multipel (Grajkowska, 2010). 4. Kista Koloid Gambar 17. Massa hiperatenuasi berbatas tegas di
ventrikel
ke-3 anterior. Hydrocephalu (Jarquin-Valdivia et al, 2005) 5. Cerebral Venous Thrombosis
Gambar 18. Noncontrast CT scan menunjukkan hiperdensitas pada sinus transversus kanan (Saposnik et al,2011)
H. Penatalaksanaan Berikut ini adalah skema manajemen diagnostik MV secara umum yang biasanya datang dengan keluhan tanda lahir (birth mark).
Gambar 18. Manajemen tatalaksana malformasi vaskuler (Rutherford, 2001) 1.
Farmakologis Pengobatan farmakologis dilakukan untuk mengatasi gejala yang dialami pasien seperti sakit kepala atau kejang. Terapi ini juga diberikan
pada pasien yang tidak dapat melakukan terapi operatif karena resiko yang terlalu besar. Fenitoin dapat diberikan untuk mengontrol kejang. 2.
Non Farmakologis 2.1.
Operasi Reseksi Tindakan operatif sebaiknya dilakukan pada AVM yang ruptur dan diperkirakan dibandingkan
memberikan dengan
hasil
unruptured
yang
sedikit
AVM.
lebih
Intervensi
baik bedah
merupakan terapi definitif pada AVM. Ukuran, lokasi, perlekatan dengan daerah sekitarnya, serta konfigurasi vaskular menentukan pertimbangan perlunya intervensi bedah. Skala Spetzler Martin digunakan sebagai pertimbangan risiko dan manfaat operasi. Skala Spetzler Martin yang terdiri atas tiga parameter yaitu ukuran nidus, drainase vena dan kelancaran berbicara (eloquence). Derajat rendah bila grade 1,2. Derajat tinggi grade 4,5 dan inoperable grade 6 (Benndorf et al, 2001). Tabel 3. Kalsifikasi AVM berdasarkan Spetzler Martin Parameter Ukuran nidus < 3 cm 3.6 Cm >6 cm Drainase Vena Superficial Profunda Kelancaran berbicara Tidak lancer Lancar
Skor 1 2 3 0 1 0 1
2.2. Embolisasi Untuk menghindari pendarahan, vasodilatasi lokal (aneurisma) harus dihilangkan. Embolisasi merupakan penyumbatan pembuluh darah yang AVM. Dengan x-ray, kateter dikendalikan dari arteri femoralis di daerah paha atas ke daerah AVM yang diobati. Lalu setelah daerah AVM dicapai, semacam lem atau kadang gulungan
kabel ditempatkan untuk memblok area tersebut. Namun, embolisasi sendiri juga jarang dengan sempurna memblok aliran darah ke daerah AVM ( Nekooei et al, 2006 ) 2.3.
Radiosurgery Radiosurgery dilakukan dengan mengunakan alat yang disebut dengan gamma-knife, efektif pada AVM yang berukuran < 2 cm, sedangkan pada lesi yang lebih besar terapi ini kurang responsif. Paling tidak, malformasi dapat hilang selama dua tahun(Nekooei et al, 2006).
I.
Prognosis •
Semua AVM di otak sangat berbahaya -
Resiko terjadinya hemoragi pertama adalah seumur hidup, meningkat sesuai usia (2-4% per tahun, kumulatif)
•
Sebagian besar akan menimbulkan gejala seumur hidup pasien
Sembuh spontan sangat jarang terjadi (< 1% kasus) -
75 % merupakan lesi kecil (< 3cm) aliran vena tunggal
-
75 % memiliki ‘spontanneous’ ICH (Al-Shahi, 2001).
BAB III PENUTUP Malformasi arterio-vena merupakan kelainan intrakranial yang relatif jarang tetapi lesi ini semakin sering ditemukan.Umumnya, lesi yang terjadi akibat kelainan kongenital ini muncul dan dikenali setelah terdapat perdarahan. Akan tetapi, seiring dengan berkembangnya teknologi kedokteran, lesi unrupterd AVM semakin sering ditemukan. Insidens dan prevalensi malformasi vaskular tidak diketahui secara pasti; berdasarkan studi antara tahun 1980 dan 1990, insidens malformasi vaskular pertahunnya sekitar 1.1 hingga 2.1 kasus dalam 100 000 populasi. Jumlah malformasi arterio-vena (AVM) hampir 90% lebih jarang dibandingkan dengan insidens aneurisma intrakranial. Pemeriksaan CT scan dan MRI otak sebagai alat diagnostik unruptured AVM merupakan salah satu pemeriksaan pilihan. Namun, pemeriksaan CT scan tanpa kontras memiliki sensitivitas yang rendah. Pemeriksaan ini memberikan gambaran lesi, perkiraan jenis lesi, dan lokasi anatomisnya. Pemeriksaan MRA juga dapat dilakukan untuk mengetahui gangguan secara non-invasif, tetapi tidak memberikan informasi mengenai berbagai faktor secara rinci seperti adanya aneurisma intranidal atau aneurisma pada feeding artery, pola drainage vena, atau karakteristik nidus. Pemeriksaan yang memiliki standar baku untuk menentukan anatomi vaskular, baik arteri maupun vena, adalah angiografi. Masalah yang paling banyak dikeluhkan penderita AVM adalah nyeri kepala dan serangan kejang mendadak. Dan jika AVM terjadi pada lokasi kritis maka AVM dapat menyebabkan sirkulasi cairan otak terhambat, yang dapat menyebabkan akumulasi cairan di dalam tengkorak yang beresiko hidrosefalus. Pilihan terapi untuk pasien harus mempertimbangkan risiko yang akan terjadi pada setiap pilihan terapi.
DAFTAR PUSTAKA Al-Shahi, Rustam. 2001. The Prognosis for Adults with Arteriovenous Malformations of the Brain. A Systematic Review of the Literature. Neurointerventionist Vol 3 No 1.Edinburgh. Diunduh pada tanggal 23 Juli 2013 Benndorf G, Campi A, Hell B, et al. 2001. Case report endovascular management of a bleeding mandibular arteriovenous malformation by transfemoral venous embolization with nbca. AJNR Am J Neuroradiol 22:359-62. Diunduh pada tanggal 22 Juli 2013 Chao, et al. 2006.Cerebral Amyloid Angiopathy: CT and MR Imaging Findings. Rad. Vol.26 no.5: 1517-1531. Diunduh tanggal 24 Juli 2013 Geibprasert S, Pongpech S, Jiarakongmun P, Shroff MM, Armstrong DC, Krings T. 2010.Radiologic Assessment of Brain Arteriovenous Malformations: What Clinicians Need to Know. RadioGraphics 2010; 30; 483-501. Rsna.org. Diunduh pada tanggal 23 Juli 2013
Grajkowska W, Kotulska K, Jurkiewicz E, Matyja E. 2010. Brain lesions in tuberous sclerosis complex. Review. Folia Neuropathol;48:13949. Inci S, Spetzler RF. 2000. Intracranial aneurysms and arterial hypertension: a review and hypothesis. Surg Neurol.pp :53(6):53040; discussion 540-2. Diunduh tanggal 24 Juli 2013 Jarquin-Valdivia AA, Rich AT, Yarbrough JL, Thompson RC. 2005.Intraventricular colloid cyst, hydrocephalus and neurogenic stunned myocardium. Clin Neurol Neurosurg;107(5):361-5. Jung MS, Ryu DM, Kim EJ, et al. 2007.A treatment of arteriovenous malformation on mandible. J Kor. Oral Maxillofac. Surg. Vol 33 No.1. Diunduh pada tanggal 22 Juli 2013. Jusi HD. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Bedah Vaskuler. Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUi; hal. 18-20, 25-7
Krapf, H, Siekmann, R, et al. 2001.Spontaneous Occlusion of a Cerebral Ateriovenous Malformation: Angiography ang MR Imaging Follow up and Review of Literature.Germany.p: 1556-1560. Diunduh pada tanggal 22 Juli 2013. Menon S, Chowdhurry R, Mohan C.2005. Arteriovenous malformation in mandible. MJAFI. pp; 61:295-6. Diunduh pada tanggal 22 Juli 2013. Nekooei S, Husseini M, Narzemi S, et al. 2006.Case Report Embolisation of Arteriovenous Malformation of the maxilla. Diunduh dari http://dmfr.birjournals.org. pada tanggal 22 Juli 2013 Rutherford, RB. 2001. Congenital Vascular Malformation. In Cronenwett JL, Rutherford RB [eds]: Decision Making in Vascular Surgery. Philadelphia: WB Saunders. Diunduh pada tanggal 23 Juli 2013. Rutherford, RB. 2005. Arteriovenous Fistulas, Vascular Malformations, and Vascular Tumors. In: Rutherford RB: Vascular Surgery 6th edition. Philadelphia: Elsevier sanders. pp: 1597-1601. Diunduh pada tanggal 23 Juli 2013. Saposnik G, Brown RD, Cucchiara B, Ferro J. 2011. Diagnosis and Management of Cerebral Venous Thrombosis. A Statement for Healthcare
Professionals
From
the
American
Heart
Association/American Stroke Association. Stroke. 2011;42:11581192.
View more...
Comments