ASMA GINA 2016
August 16, 2017 | Author: Dzicky Rifqi Fuady | Category: N/A
Short Description
GINA 2016...
Description
PRESENTASI KASUS BESAR (REFERAT) ASMA BRONKIAL (BERDASARKAN GUIDELINE GINA 2016)
Pembimbing: dr. Tiara Paramita Poernomo, Sp. PD
Disusun oleh : Dzicky Rifqi Fuady
G4A015100
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO PURWOKERTO
2017
1
LEMBAR PENGESAHAN
ASMA BRONKIAL (BERDASARKAN GUIDELINE GINA 2016)
Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto telah disetujui dan dipresentasikan pada tanggal Maret 2017
Disusun oleh: Dzicky Rifqi Fuady
G4A015100
Purwokerto, Maret 2017 Pembimbing,
dr. Tiara Paramita Poernomo, Sp. PD
2
I.
PENDAHULUAN
Asma merupakan masalah kesehatan dunia yang tidak hanya menjadi masalah di negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan dari Global Initiatif for Asthma (GINA) pada tahun 2012 dinyatakan bahwa perkiraan jumlah penderita asma
seluruh dunia adalah
tiga ratus juta
orang, dengan jumlah kematian yang terus meningkat hingga 180.000 orang per tahun (GINA, 2012). Data
World Health Organization (WHO) juga
menunjukkan data yang serupa bahwa prevalensi asma terus meningkat dalam tiga puluh tahun terakhir terutama di negara maju. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya (Rengganis, 2008). Penyakit asma masuk dalam sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia. Pada tahun 2005 Survei Kesehatan Rumah Tangga mencatat 225.000 orang meninggal karena asma. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) nasional tahun 2007, penyakit asma ditemukan sebesar 4% dari 222.000.000 total populasi nasional (Depkes RI. 2007). Sementara itu, menurut RISKESDAS tahun 2013, asma merupakan penyakit tidak menular (PTM) nomor satu di Indonesia (Depkes RI, 2007). Melihat epidemiologi asma saat ini, tenaga kesehatan perlu mempelajari lebih dalam lagi tentang penyakit ini sesuai panduan terbaru.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi jalan nafas kronik. Asma ditandai dengan riwayat gejala saluran pernapasan seperti wheezing, dispneu, dada terasa berat, dan batuk yang bervariasi diantara waktu dan intensitas, berasa dengan hambatan jalan nafas ekspirasi yang bervariasi. Variasi yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor misalnya olahraga, papatan alergen atau iritan, perubahan cuaca, atau infeksi viral pernapasan (GINA, 2016). Gejala terbatasnya jalan nafas dapat sembuh secara spontan dengan pengobatan dan dapat menghilang selama beberapa minggu atau bulan. Di sisi lain, pasien juga dapat mengalami beberapa periode serangan (eksaserbasi) asma yang dapat mengancam nyawa dan dapat memberikan beban yang signifikan bagi pasien dan komunitas. Asma biasanya dikaitkan dengan hiperesponsivitas jalan napas karena stimulus langsung dan tidak langsung, dan dengan inflamasi jalan nafas kronik. Karakteristik tersebut biasanya selalu ada, walapun tidak ada gejala dan fungsi paru normal, dan akan membaik dengan terapi (GINA, 2016). B. Klasifikasi Asma adalah penyakit yang heterogen dengan berbagai proses penyebab. Karakteristik demografis, klinis atau patofisiologis disebut sebagai fenotipe asma. Berikut ini adalah beberapa fenotipe asma (Bel, 2004; Moore, 2010; Wenzel, 2012): 1. Asma alergika Asma ini adalah asma yang paling mudah dikenali, yang biasanya muncul pada anak-anak dengan riwayat alergi sebelumnya misalnya rhinitis alergi, eczema atau alergi makanan. Pemeriksaan sputum pada pasien tersebut sebelum terapi kadang menemukan inflamasi jalan nafas eosinofilik. Pasien dengan asma tipe ini biasanya berespon baik terhadap terapi kortikosteroid inhalasi. 2. Asma non-alergika
4
Asma ini terjadi pada sebagian orang dewasa dengan ciri sputumnya dapat ditemui neutrophil, eosinophil, atau hanya mengandung beberapa sel inflamasi. Asma jenis ini tidak berespon baik terhadap kortikosteroid inhalasi. 3. Asma onset lambat Beberapa orang dewasa, terutama wanita, mengalami asma pertama kali pada saat dewasa, biasanya non alergika, dan membutuhkan dosis kortikosteroid inhalasi yang lebih tinggi 4. Asma dengan hambatan jalan nafas paten Asma ini disebabkan diduga karena remodeling jalan nafas 5. Asma dengan obesitas Beberapa pasien obesitas dengan asma memiliki gejala pernapasan yang sangat menonjol dan sedikit inflamasi jalan nafas eosinofilik C. Faktor Risiko Berikut ini adalah faktor resiko asma yang dapat dimodifikasi (GINA, 2016): 1. Pasien dengan minimal 1 faktor risiko eksaserbasi 2. Minimal 1 periode eksaserbasi berat di tahun terakhir 3. Paparan tembakau dan rokok 4. Penurunan FEV1, terutama kurang dari 1 kali, saat FEV1 rendah (normal >0.75 – 0.80 pada dewasa sehat dan >0.90 pada anak)
Uji reversibilitas bronkus Dewasa : peningkatan FEV1 >12% dan positif >200mL dari nilai awal, 10-15 menit setelah pemberian 200-400 mcg albuterol atau setara; anak: peningkatan >12% prediksi) Variabilitas pengukuran Dewasa: rata-rata variabilitas harian PEF PEF 2x/hari selama 2 diurnal > 10% minggu Anak: > 13% Kenaikan fungsi paru Dewasa: peningkatan FEV1 > 12% dan setelah terapi anti-inflamasi 200 mgl (atau PEF > 200 ml) selama 4 minggu Uji ‘excersice challenge” Dewasa: tidak mencapai FEV1>10% dan 200 ml Anak : tidak mencapai FEV1>12% predicted/ PEF >15% Uji ‘bronchial challenge’ Tidak mencapai FEV1 >20% (umumnya hanya dilakukan (methacholine, histamine); 15% pada dewasa) (mannitol atau lainnya) Variasi fungsi paru di antara Dewasa: variasi FEV1 >12% dan > 200 kunjungan-kunjungan ke ml dokter (kurang reliable) Anak: variasi FEV1 >12% 2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan pada pasien asma seringkali normal. Abnormalitas yang paling sering adalah wheezing ekspiratorik (ronkhi) pada auskultasi, tapi kadang tidak terdengar atau hanya terdengar pada ekspirasi kuat yang dipaksa. Wheezing juga bisa tidak ditemukan pada asma eksaserbasi berat, karena penurunan aluran udara yang sangat hebat (silent chest), akan tetapi biasanya tanda-tanda patologis lain muncul. Wheezing juga bisa ditemukan pada disfungsi jalan nafas atas, misalnya pada PPOK, infeksi saluran nafas, trakeomalasia, atau corpus alienum. Crackles atau wheezing inspiratorik bukan karakteristik asma. Perlu juga dilakukan pemeriksaan hidung untuk menemukan adanya rinitis alergi atau polip nasal (GINA, 2016). 3. Pemeriksaan Penunjang a. Spirometri
15
Fungsi normal paru diukur dengan spirometri. Forced expiratory volume in on 1 second (FEV1) lebih dipercaya daripada peak expiratory flow (PEF). Jika PEF dilakukan, maka alat yang sama harus digunakan tiap saat pemeriksaan, karena perbedaan sebesar 20% bisa terjadi jika dilakukan perubahan ukuran atau alat (GINA, 2016). Penurunan FEV1 dapat juga ditemukan pada penyakit paru lain, atau pengguaan spirometri yang tidak tepat, akan tetapi penurunan rasio FEV1/FVC menandakan adanya hambatan aliran jalan nafas. Rasio FEV1/FVC normal adalah 0.75-0.80 dan kadang 0.90 pada anak-anak, dan nilai di bawah batas normal tersebut menandakan hambatan aliran udara (GINA, 2016). Variabilitas adalah perbaikan atau perbukurukan gejala dan fugnsi paru. Variabilitas berlebihan dapat ditemukan dari waktu ke waktu dalam satu hari (variasi diurnal), dari hari ke hari, musiman, atau dari sebuah tes reversibilitas. Reversibilitas adalah perbaikan FEV1 atau PEF secara cepat setelah penggunaan bronkodilator kerja cepat seperti 200-400 mikrogram salbutamol, atau peningkatan yang konsisten hari ke hari sampai minggu ke minggu setelah diberikan terapi kendali asma misanya dengan intranasal corticosteroid (ICS). Peningkatan atau penurunan FEV1 >12% dan >200 mL dari batas dasar, atau jika spirometri tidak ada, perubahan PEF minimal sebesar 20% dapat diterima sebagai asma. Akan tetapi, jika FEV1 tetap dalam batas normal
saat
pasien
sedang
mengalami
gejala
asma,
maka
kemungkinannya kecil bahwa kemungkinan penyakitnya adalah asma. Pengukuran FEV dan PEF dilakukan sebelum terapi dengan bronkodilator (GINA, 2016). b. Tes provokasi bronkus Pemeriksaan ini dilakukan untuk memeriksa hiperesponsivitas jalan nafas. Pemeriksaan ini dilakukan dengan latihan inhalasi metakolin dan histamin, hiperventilasi eukapnik volunter atau manitol inhalasi. Tes ini cukup sensitif untuk diagnosis asma tapi kurang spesifik, karena bisa terjadi karena penyakit lain, misalnya rinitis alergika, fibrosis kistik, displasia bronkopulmoner, dan PPOK. Jadi, hasil negatif pada pasien yang tidak mengonsumsi ICS dapat 16
mengeksklusi asma, akan tetapi hasil positif tidak selalu menandakan bahwa penyakit tersebut adalah asma, sehingga anamnesis perlu diperhatikan (GINA, 2016). c. Tes alergi Riwayat atopi meningkatkan probabilitas pasien dengan gejala pernapasan menderita asma alergika tapi hal ini tidak spesifik. Riwayat atopik dapat diperiksa dengan skin prick test dan pengukuran serum IgE. Skin prick test dengan bahan yang mudah ditemui di lingkungan sekitar adalah tes yang cepat, murah, dan sensitif jika dikerjakan secara standar. Pengukuran sIgE tidak lebih sensitif dari skin prick test tapi lebih mahal dan digunakan untuk pasien dengan pasien tidak kooperatif. Akan tetapi, jika skin prick test dan pengukuran sIgE positif, hal ini tidak selalu menghasilkan gejala, karena itu perlu anamnesis yang cermat (GINA, 2016). d. Ekshalasi Nitrit Oksida Fractional concentration of Exhaled Nitric Oxide (FENO) dapat diperiksa di beberapa tempat. FENO dapat meningkat pada asma eosinofilik dan pada keadaan non asma misalnya rinits alergi, dan belum dipastikan bermanfaat untuk diagnosis asma. FENO menurun pada perokok dan saat terjadi bronkokonstriksi, dan meningkata jika terjadi infeksi pernafasan viral. Kadar FENO > 50 ppb terkait dengan respons jangka waktu singkat terhadap ICS. Saat ini pemeriksaan FENO belum bisa direkomendasikan (GINA, 2016). F. Penegakkan Diagnosis Pada Kondisi Khusus 1. Pasien hanya dengan gejala batuk Pada kondisi ini, perlu dipikirkan cough variant asthma, batuk yang diinduksi terapi ACEI, GERD, chronic upper airway cough syndrome, sinusitis kronik dan disfungsi pita suara. Pasien dengan cough variant asthma memiliki gejala utama batuk kronik, jika tidak, mungkin gejala tersebut terkait dengan hiperresponsivitas. Hal ini paling sering terjadi pada anak-anak dan memberat saat malam hari dengan fungsi paru normal. Untuk pasien ini, penting untuk dicatat variablitis fungsi paru. Penyakit cough variant asthma harus dibedakan dengan bronkitis eosinofilik pada
17
pasien yang batuk, hasil pemeriksaan sputum didapatkan eosinophil akan tetapi fungsi paru dan responsitivitas jalan nafas normal (GINA, 2016). 2. Asma terkait pekerjaan Asma jenis ini seringkali terlewat. Asma jenis ini diinduksi dan diperberat oleh adanya paparan alergen atau agen sensitizer di lingkungan kerja, kadang paparan bersifat tunggal, kadang masif. Rhinitis okupasional biasanya mendahului asma beberapa tahun sebelum asma, dan paparan yang berlanjut terkait dengan prognosis yang lebih buruk (GINA, 2016). Asma dengan onset pada usia dewasa memerlukan anamnesis yang cermat pada riwayat pekerjaan, paparan allergen, termasuk hobi. Perlu ditanyakan tentang apakah keluhan membaik jika pasien saati tidak bekerja. Pertanyaan tersebut penting dan mengarahkan kepada anjuran agar pasien mengganti tempat kerja atau pekerjaannya, yang tentunya akan berpengaruh pada aspek sosioekonomis pasien. Pada kondisi ini perujukan ke dokter spesialis penting, dan monitoring PEF di tempat kerja dan jauh dari tempat kerja perlu dilakukan (GINA, 2016). 3. Atlet Diagnosis pada atlet harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan fungsi paru, biasanya dengan uji provokasi bronkus. Kondisi yang mirip dengan asma, misalnya rhinitis, penyakit laring (misal: disfungsi pita suara), gangguan pernafasan, gangguan jantung dan over-training harus disingkirkan (GINA, 2016). 4. Wanita hamil Wanita hamil atau wanita yang merencanakan hamil harus ditanyai mengenai riwayat asma dan diberikan edukasi tentang asma. Jika pemeriksaan objektif perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis, tidak dianjurkan untuk melakukan uji provokasi bronkus atau untuk menurunkan terapi controller sampai selesai persalinan (GINA, 2016). 5. Orang berusia tua Asma seringkali tidak terdiagnosis pada orang tua, karena persepsi orang tua tentang keterbatasan jalan nafas yang berkurang, anggapan bahwa sesak nafas adalah hal yang wajar, jarang olahraga dan kurang nya aktivitas. Keberadaan penyakit penyerta juga turut mempersulit diagnosis. Keluhan mengi, sesak nafas, dan batuk yang memberat dengan olahraga atau memberat saat malam juga bisa disebabkan oleh adanya penyakit
18
jantung atau kegagalan ventrikel kiri. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat, ditambah dengna pemeriksaan EKG dan foto thorax dapat membantu diagnosis. Pemeriksaan brain natriuretic polypeptide (BNP) dan pemeriksaan fungsi jantung dengan ekokardiografi juga dapat membantu. Pada orang tua dengan riwayat merokok atau paparan bahan bakar fosil, PPOK dan Asthma–COPD overlap syndrome (ACOS) perlu disingkikan (GINA, 2016). 6. Perokok dan bekas perokok Asma dan PPOK sangat sulit untuk diberdakan, terutama pada orang berusia tua, pada perokok atau bekas perokok, dan keduanya dapat saling bertumpang tindih (Asthma–COPD overlap syndrome (ACOS)). The Global Strategy for Diagnosis, Management and Prevention of COPD (GOLD) mendefinisikan PPOK berdasarkan gejala respiratorik kronik, paparan terhadap faktor risiko seperti merokok, dan FEV1/FVC paska bronkodilator 12% dan >200 ml) dapat ditemukan dalam PPOK. Kapasitas difusi yang rendah biasanya ditemukan pada Asma. Riwayat penyakit dan pola gejala di masa lalu bisa membantu diagnosis. Ketidakpastian diagnosis membuat pasien dengan kondisi ini perlu dirujuk karena terkait dengan prognosis yang lebih buruk (GINA, 2016). 7. Pasien yang pernah menjalani terapi controller Jika diagnosis asma belum ditegakkan, konfirmasi diagnosis perlu dilakukan. Sekitar 25-35% pasien dengan diagnosis asma di fasilitas kesehatan tingkat 1 tidak bisa terkonfirmasi diagnosis asma. Konfirmasi diagnosis asma tergantung pada gejala dan fungsi paru. Pada beberapa pasien, bisa disertakan percobaan untuk menurunkan atau menaikkan dosis controller. Jika diagnosis tetap tidak bisa ditegakkan, maka perlu dilakukan rujukan ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi (GINA, 2016). 8. Pasien obesitas Asma lebih sering ditemukan pada pasien dengan obesitas, gejala respiratorik yang terkait dengan obesitas dapat menyerupai asma. Pada pasien obes dengan adanya dispneu saat aktivitas, perlu dikonfirmasi diagnosis dengan pemeriksaan objektif untuk menemukan adanay hambatan jalan nafas (GINA, 2016). 9. Kondisi sumber daya kurang 19
Pada kondisi sumber daya kurang, perlu dipertajam lagi proses penggalian gejala. Perlu ditanyakan durasi gejala, demam, batuk, menggigil, penurunan berat badan, nyeri saat bernafas dan adanya batuk darah yang membedakannya dengan infeksi kronik paru seberti TBC, HIV/AIDS dan infeksi parasite atau jamur. Variabilitas jalan nafas dapat dikonfirmasi dengan PEF meter dan perlu diperiksa sebelum diberikan terapi SABA atau ICS, atau bisa dilakukan bersamaan dengan pemberian 1 minggu kortikosteroid oral (GINA, 2016).
20
G. Diagnosis Banding Berikut ini adalah diagnosis banding asma beserta gejala dan kategori usianya (GINA, 2016): 1. Usia 6-11 tahun a. Sindrom batuk kronik saluran nafas atas b. Inhalasi benda asing c. Bronkiektasis d. Diskinesia silier primer e. Penyakit jantung kongenital f. Displasia bronkopulmoner g. Kistik fibrosis 2. Usia 12-39 tahun a. Sindrom batuk kronik saluran nafas atas b. Disfungsi pita suara c. Hiperventilasi, pernafasan disfungsional d. Bronkiektasis e. Kistik fibrosis f. Penyakit jantung kongenital g. Defisiensi alfa-1 antitripsin h. Inhalasi benda asing 3. Usia 40 tahun ke atas a. Disfungsi pita suara b. Hiperventilasi, pernafasan disfungsional c. PPOK d. Bronkiektasis e. Gagal jantung f. Batuk terkait obat g. Penyakit parenkim paru h. Embolisme pulmonary i. Obstruksi saluran nafas sentral
H. Penilaian Asma Penilaian asma seharusnya seharusnya menilai pula pengendalian asma (pengendalian gejala dan risiko efek samping di masa depan), masalah terapi terutama dalam hal teknik inhaler dan kepatuhan, serta komorbid yang dapat berkontribusi terhadap keparahan gejala dan kualitas hidup yang buruk. Untuk memprediksi risiko di masa depan, fungsi paru, terutama FEV1 perlu dinilai. Penilaian asma meliputi pengendalian gejala asma serta penilaian faktor risiko untuk eksaserbasi dan prognosis yang buruk. Tabel 3. Penilaian Kendali Asma dan Risiko Prognosis Buruk Asma (GINA, 2016)
21
A. Kontrol Gejala
Tingkat Kontrol Gejala Asma Tidak Terkontrol Terkontrol Terkontro Penuh Sebagian l
Dalam 4 minggu terkakhir apakah pasien memiliki :
1. Gejala asma Ya (1 poin) harian lebih dari Tidak ( 0 dua kali dalam 1 poin) minggu 2. Terbangun di Ya (1 poin) malam hari Tidak ( 0 karena asma poin) Tidak Terdapat 3. Penggunaaan terdapat Terdapat 13-4 obat pelega satupun 2 kriteria Ya (1 poin) kriteria untuk mengatasi kriteria Tidak ( 0 gejala* lebih dari poin) dari dua kali dalam 1 minggu 4. Keterbatasan Ya (1 poin) aktifitas fisik Tidak ( 0 karena asma poin) * Penggunaan obat pelega sebelum ‘exercise’ tidak termasuk, oleh karena banyak pasien menggunakannya secara rutin B. Faktor-faktor resiko untuk outcome asma yang buruk • Nilai faktor resiko saat penegakkan diagnosis dan secara berkala • Pengukuran FEV1 pada saat mulai penggunaan obat, setelah 3 - 6 bulan penggunaan obat, kemudian secara berkala untuk penilaian faktor risiko yang sedang dimiliki oleh pasien Penilaian faktor risiko meliputi: • Risiko eksaserbasi • Keterbatasan aliran udara yang menetap • Efek samping obat
22
Faktor risiko independen terjadinya eksaserbasi yang dapat dimodifikasi: • Asma yang tidak terkontrol • Penggunaan SABA yang tinggi (angka kematian meningkat jika >1x200 dosis canister/month) • Penggunaan ICS yang tidak memadai : tidak mendapat Bila terdapat 1 ICS, kepatuhan yang kurang, teknik penggunaan inhaler atau lebih yang tidak tepat faktor risiko • Rendahnya FEV1, terutama jika < 60% prediksi maka risiko • Masalah fisiologis atau sosioekonomi mayor eksaserbasi akan • Paparan: merokok, paparan allergen meningkat • Ko-morbiditas: obesitas, rhinosinusitis, alergi walaupun makanan gejala asma • Eosinophilia sputum atau darah terkontrol • Kehamilan Faktor risiko independen lain terjadinya eksaserbasi • Pernah diintubasi atau dirawat di ICU oleh karena asma • > 1 eksaserbasi berat dalam kurun waktu 12 bulan terakhir Faktor risiko terjadinya keterbatasan aliran udara yang menetap • Terapi ICS yang tidak memadai • Paparan : tembakau, zat kimia berbahaya, paparan terkait pekerjaaan • FEV1 awal yang rendah, hipersekresi mucus kronik, eosinophilia sputum atau darah Faktor risiko efek samping obat • Sistemik : penggunaan OCS yang sering, jangka panjang, ICS dosis tinggi dan/atau potent; menggunakan inhibitor P450 • Lokal : ICS dosis tinggi dan/atau poten, teknik inhalasi yang tidak tepat
I. Tatalaksana 1. Nonfarmakologis (GINA, 2016) a. Penghentian kebiasaan merokok dan paparan alergen b. Aktivitas fisik c. Penghindaran paparan alergen kerja d. Penghindaran obat-obatan yang dapat memicu asma e. Penghindaran alergen dalam ruangan f. Latihan bernafas g. Diet sehat dan Penurunan Berat badan h. Vaksinasi i. Bronkial termoplasti j. Kontrol stress emosional k. Imunoterapi alergen l. Penghindaran alergen dan polutan di luar ruangan m. Penghindaran makanan alergen dan makanan berkimiawi 2. Tatalaksana Farmakologis (GINA, 2016)
23
Obat-obatan untuk terapi asma secara umum dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu: a. Controller medication, yaitu obat yang digunakan untuk pemeliharaan asma secara reguler. Obat ini menurunkan inflamasi jalan nafas, mengendalikan gejala dan menurunkan risiko eksaserbasi dan penurunan fungsi paru. Tabel 4. Obat Controller asma Nama generik Nama dagang Sediaan Keterangan Golongan anti-inflamasi non-steroid Kromoglikat MDI Tidak tersedia lagi Nedokromil MDI Tidak tersedia lagi Golongan anti-inflamasi–steroid Budesonid Pulmicort MDI, inflammide Turbuhaler Flutikason Flixotide MDI Tidak tersedia lagi Beklometason Becotide MDI Golongan β-agonis kerja panjang Prokaterol Meptin Sirup tablet, MDI* Bambuterol Bambec Tablet Salmeterol Serevent MDI Klenbuterol Spiropent Sirup, tablet Golongan obat lepas lambat / lepas terkendali Terbutalin Kapsul Salbutamol Volmax Tablet Teofilin Tablet salut Golongan antileukotrin Zafirlukas Accolade Tablet -ada montelukas - belum ada Golongan kombinasi steroid + LABA Budesonid + Symbicort Turbuhaler form oterol seretide MDI Flukason + salme terol b. Reliever (rescue) medication, yaitu obat yang digunakan untuk meredakan gejala asma, misalnya saat perburukan atau eksaserbasi, atau saat terjadi brokonstriksi terkait olahraga.
24
Nama generik Terbutalin
Salbutamol Orsiprenalin Heksorenali n Fenoterol
Tabel 5. Obat Reliever asma Nama Sediaan Keterangan dagang Golongan β-agonis (kerja pendek) Bricasma Sirup, tablet, 0,05-0,1 Nairet turbuhaler sirup, mg/kgBB/kali Forasma tablet, ampul sirup, tablet Ventolin Sirup, tablet, MDI 0,05-0,1 mg/kgBB/kali Alupent Sirup, tablet, MDI Tablet Berotec
Teofilin c. Add-on
therapy
untuk
MDI Golongan santin Sirup, tablet pasien
dengan
asma
berat,
mulai
dipertimbangkan jika pasien mengalami gejala persisten dan eksaserbasi yang terus menerus walaupun sudah diberikan terapi secara optimal. 3. Terapi pemeliharaan asma awal (GINA, 2016) Untuk hasil yang lebih baik, terapi pemeliharaan asma harian harus dimulai secepat mungkin setelah diagnosis asma dibuat, berdasarkan bukti klinis adalah sebagai berikut: a. Pemberian ICS dosis rendah dini pada pasien asma akan meningkatkan fungsi paru lebih baik dibandingkan jika pemberiannya dilakukan sudah muncul gejala selama 2-4 tahun. Jika telah berlangsung dalam waktu tersebut, dosis ICS lebih tinggi dibutuhkan, sedangkan fungsi paru sudah sangat lebih menurun. b. Pasien yang tidak mengonsumsi ICS dan mengalami eksaserbasi akan mengalami penurunan fungsi paru yang lebih hebat daripada pasien yang telah mulai menggunakan ICS c. Pada pasien dengan asma akibat pekerjaan, penghindaran dari agen iritan dan terapi dini dapat meningkatkan kemungkinan untuk sembuh.
25
Gambar 4. Tatalaksana Farmakologis Asma Bronkial (GINA, 2016)
4. Tatalaksana Lainnya a. Imunoterapi Alergen (GINA, 2016) Terapi alergen spesifik dapat menjadi pilihan jika alergi memerankan peran utama dalam asma, misalnya pada asma dengan rinokonjungtivitis alergika. Terdapat dua pendekatan utama, yaitu: 1) subcutaneous immunotherapy (SCIT) dan 2) sublingual immunotherapy (SLIT). Studi saat ini kebanyakan dilakukan pada asma ringan, dan sebagian lainnya. SCIT: pada pasien dengan sensitisasi alergi, SCIT terkait dengan penurunan
gejala
dan
kebutuhan
pengobatan,
dan
penurunan
responsivitas terhadap alergen. Efek samping dari terapi ini adalah reaksi anafilaksis yang dapat mengancam jiwa. SLIT: Metode ini sangat bermanfaat pada dewasa dan anak-anak. Sebuah setudi SLIT pada rumah dengan tungau debu pada pasien dengan asma dan rinitis alergi menunjukan penurunan bermakna penggunaan ICS pada SLIT dosis tinggi. Efek samping yang terjadi akibat metode ini antara lain adalah gejala oral dan gastrointestinal ringan. b. Vaksinasi (GINA, 2016)
26
Influenza berkontribusi terhadap terjadinya eksaserbasi akut asma, dan pasien dengan asma sedang-berat disarankan untuk mendapatkan vaksinasi influenza setiap tahun. Akan tetapi, vaksinasi ini tidak dapat menurunkan frekuensi atau keparahan serangan asma. c. Termoplasti Bronkial (GINA, 2016) Terapi ini menjadi terapi potensial pada pasien dewasa dengan asma yang tetap tidak terkontrol walaupun dengan regimen terapi yang optimal. Terapi ini dilakukan melalui tiga bronkoskopi terpisah dengan gelombang radiofrekuensi lokal. Pada follow up jangka waktu sedang memang pasien yang diterapi dengan metode ini akan mengalami penurunan jumlah eksaserbasi. Akan tetapi, butuh studi yang lebih lama lagi untuk menjadi dasar bukti rekomendasi metode ini. d. Vitamin D (GINA, 2016) Beberapa studi cross-sectional telah memperlihatkan bahwa kadar serum vitamin D rendah terkait dengan penurunan fungsi paru, peningkatan
frekuensi
eksaserbasi
dan
penurunan
respons
kortikosteroid. Akan tetapi, sampai saat ini suplementasi vitamin D belum bisa dikaitkan secara kuat dengan peningkatan kontrol asma atau penurunan eksaserbasi. Indikasi merujuk ke fasilitas kesehatan lebih lanjut: 1) Kesulitan mengonfirmasi diagnosis asma 2) Curiga asma okupasional 3) Asma persisten tidak terkontrol dan eksaserbasi frekuent 4) Adanya faktor risiko asma yang mengancam nyawa 5) Bukti yang besar adanya risiko atau efek samping terapi 6) Adanya gejala yang menunjukkan komplikasi dari subtipe asma 7) Ragu tentang diagnosis asma 8) Gejala eksaserbasi tidak terkontrol walaupun dengan ICS dosis sedang dengan teknik yang benar dan kepatuhan yang cukup 9) Curiga efek samping terapi 10) Asma dan alergi makanan terkonfirmasi J. Spirometri 1. Definisi Spirometri merupakan suatu pemeriksaan yang menilai fungsi terintegrasi mekanik paru, dinding dada dan otot-otot pernapasan dengan mengukur jumlah volume udara yang dihembuskan dari kapasitas paru total (TLC) ke volume residu (Uyainah, 2014).
27
Gambar 5. Pemeriksaan Spirometri 2. Indikasi (Uyainah, 2014) a. Diagnostik: evaluasi individu yang mempunyai gejala, tanda, atau hasil laboratorium yang abnormal; skrining individu yang mempunyai risiko penyakit paru; mengukur efek fungsi paru pada individu yang mempunyai penyakit paru; menilai risiko preoperasi; menentukan prognosis penyakit yang berkaitan dengan respirasi dan menilai status kesehatan sebelum memulai program latihan. b. Monitoring: menilai intervensi terapeutik, memantau perkembangan penyakit yang mempengaruhi fungsi paru, monitoring individu yang terpajan agen berisiko terhadap fungsi paru dan efek samping obat yang mempunyai toksisitas pada paru. c. Evaluasi kecacatan / kelumpuhan:
menentukan
pasien
yang
membutuhkan program rehabilitasi, kepentingan asuransi dan hukum. d. Kesehatan masyarakat: survei epidemiologis (skrining penyakit obstruktif dan restriktif) menetapkan standar nilai normal dan penelitian klinis. 3. Kontraindikasi (Uyainah, 2014) a. Asbsolut: Peningkatan tekanan intrakranial, space occupying lesion (SOL) pada otak, ablasio retina, dan lain-lain. b. Relatif: hemoptisis yang tidak diketahui penyebabnya, pneumotoraks, angina pektoris tidak stabil, hernia skrotalis, hernia inguinalis, hernia umbilikalis, Hernia Nucleous Pulposus (HNP) tergantung derajat keparahan, dan lain-lain. 4. Persiapan pemeriksaan (Uyainah, 2014)
28
a. Operator, harus memiliki pengetahuan yang memadai, tahu tujuan pemeriksaan dan mampu melakukan instruksi kepada subjek dengan manuver yang benar b. Persiapan alat, spirometer harus telah dikalibrasi untuk volume dan arus udara minimal 1 kali seminggu c. Persiapan subjek, selama pemeriksaan subjek harus merasa nyaman. Sebelum pemeriksaan subjek sudah tahu tentang tujuan pemeriksaan dan manuver yang akan dilakukan. d. Subjek bebas rokok minimal 2 jam sebelumnya, tidak makan terlalu kenyang, tidak berpakaian terlalu ketat, penggunaan obat pelega napas terakhir 8 jam sebelumnya untuk aksi singkat dan 24 jam untuk aksi panjang. e. Kondisi lingkungan, ruang pemeriksaan harus mempunyai sistem ventilasi yang baik dan suhu udara berkisar antara 17 – 40 0C 5. Manuver pemeriksaan spirometri (Uyainah, 2014) a. Manuver Kapasitas Vital (KV), subjek menghirup udara sebanyak mungkin dan kemudian udara dikeluarkan sebanyak mungkin tanpa manuver paksa. b. Manuver Kapasitas Vital Paksa (KVP), subjek menghirup udara sebanyak
mungkin
dan
kemudian
udara
dikeluarkan
dengan
dihentakkan serta melanjutkannya sampai ekspirasi maksimal. Apabila subjek merasa pusing maka manuver segera dihentikan karena dapat menyebabkan subjek pingsan. Keadaan ini disebabkan oleh gangguan venous return ke rongga dada. b. Manuver VEP1 (volume ekspirasi paksa detik pertama). Nilai VEP1 adalah volume udara yang dikeluarkan selama 1 detik pertama pemeriksaan KVP. Manuver VEP1 seperti manuver KVP. c. Manuver APE (arus puncak ekspirasi). APE adalah kecepatan arus ekpirasi maksimal yang dapat dicapai saat ekspirasi paksa. Tarik napas semaksimal mungkin, hembuskan dengan kekuatan maksimal segera setelah kedua bibir dirapatkan pada mouthpiece. d. Manuver MVV (maximum voluntary ventilation). MVV adalah volume udara maksimal yang dapat dihirup subjek. Subjek bernapas melalui spirometri dengan sangat cepat, kuat dan sedalam mungkin selama minimal 10-15 detik. 6. Hasil yang dapat diterima (Uyainah, 2014)
29
a. Inspirasi penuh sebelum pemeriksaan dimulai b. Memenuhi syarat awal ekspirasi yaitu dengan usaha maksimal dan tidak ragu-ragu c. Tidak batuk atau glottis menutup selama detik pertama d. Memenuhi lama pemeriksaan yaitu minimal 6 detik atau sampai 15 detik pada subjek dengan kelainan obstruksi e. Tidak terjadi kebocoran f. Tidak terjadi obstruksi pada mouthpiece 7. Variabel yang diukur dalam pemeriksaan spirometri a. Volume dinamis (Uyainah, 2014) 1) Kapasitas Vital Paksa/Force Vital Capacity (FVC): Pengukuran yang diperoleh dari ekspirasi yang dilakukan secepat dan sekuat mungkin. 2) Kapasitas Vital Lambat/ Slow Vital Capacity (SVC): Volume gas yang diukur pada ekspirasi lengkap yang dilakukan secara perlahan setelah atau sebelum inspirasi maksimal. 3) Volume Ekspirasi Paksa pada Detik Pertama/ Force Expiration Volume (FEV1): Jumlah udara yang dikeluarkan sebanyakbanyaknya dalam 1 detik pertama pada waktu ekspirasi maksimal setelah inspirasi maksimal (volume udara yang dapat diekspirasi dalam waktu standar selama pengukuran kapasitas vital paksa). 4) Maximal Voluntary Ventilation (MVV): Jumlah udara yang bisa dikeluarkan sebanyakbanyaknya dalam 2 menit dengan bernapas cepat dan dalam secara maksimal. b. Volume statik (Uyainah, 2014) Tabel 6. Volume Statik
30
K. Asma Eksaserbasi Akut Berikut ini adalah beberapa hal yang menjadi poin-poin penting tentang asma eksaserbasi akut: 1. Eksaserbasi adalah perburukan akut atau subakut dalam hal gejala dan fungsi paru dari keadaan pasien biasanya, dan dalam beberapa kasus, gejala klinis pertama dari asma. Istilah “episode”, “serangan”, atau “asma berat akut” sering digunakan, tapi pengertiannya berbeda.
31
2. Pasien dengan peningkatan risiko kematian terkait asma seharusnya dikenali, dan diperhatikan lebih dalam. Berikut ini adalah ciri-ciri pasien dengan risiko kematian akibat asma: a. Pernah mengalami asma berat yang hampir fatal dan membutuhkan intubasi dan ventilasi b. Pernah dirawat inap atau perawatan IGD akibat asma dalam waktu 12 bulan terakhir c. Sedang tidak menggunakan ICS, kepatuhan rendah dengan ICS d. Saat ini menggunakan atau baru saja menghentikan oral kortikosteroid e. Penggunaan SABA yang berlebihan, terutama jika menggunakan lebih dari 1 canister/bulan f. Kurangnya rencana penanganan asma yang dibuat g. Pernah mengalami penyakit psikiatrik atau masalah psikososial h. Pasien asma dengan alergi makanan 3. Tatalaksana perburukan dan eksaserbasi asma adalah bagian dari tatalaksana mandiri dan berkelanjutan dari pasien dengan sebuah rencana tertulis, melalui tatalaksana dari gejala yang lebih berat dalam fasilitas kesehatan tingkat awal, instalasi gawat darurat dan dalam rumah sakit (GINA, 2016). 4. Semua pasien seharusnya diberikan tatalaksana tertulis sesuai dengan derajat asma sehingga dapat memudahkan mengenali dan menangani asma (GINA, 2016). a) Rencana tatalaksana seharusnya termasuk kapan dan bagaimana mengganti obat controller dan reliever, penggunaan kortikosteroid oral, dan akses ke perawatan medis jika gejala tidak berespons dengan terapi. b) Pasien yang mengalami perburukan cepat seharusnya diarahkan untuk pergi ke instalasi medis akur atau untuk berobat ke dokter segera, c) Rencana tatalaksana dapat berdasar pada perubahan gejala atau PEF (pada dewasa). 5. Pada pasien dengan gejala eksaserbasi akut pada fasilitas kesehatan tingkat pertama, berikut adalah tatalaksananya (GINA, 2016): a) Penilaian keparahan eksaserbasi seharusnya berdasarkan pada derajat sesak nafas, laju pernafasan, denyut nadi, saturasi oksigen dan fungsi paru, sambal memulai terapi short-acting beta2 agonist (SABA) dan terapi oksigen b) Pemindahan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan akut jika ditemuai adanya tanda tanda eksaserbasi, atau ke ICU jika terdapat penurunan kesadaran atau silent chest. Saat pemindahan pasien, inhalasi SABA,
32
ipratropium bromide, terapi oksigen terkendali dan kortikosteroid sistemik jika diperlukan c) Terapi seharusnya dimulai dengan pemberian SABA berulang (dengan MDI atau spacer), atau pemberian dini kortikosteroid oral, dan pemberian oksigen terkendali jika tersedia. Penilaian ulang respons gejala terhadap terapi, saturasi oksigen dan fungsi paru harus dilakukan tiap 1 jam d) Ipratropium bromide direkomendasikan hanya jika terdapat eksaserbasi berat e) Pemberian MgSO4 intravena seharusnya dipertimbangkan pada pasien dengan eksaserbasi berat yang tidak berespons terhadap terapi awal f) Foto thorax tidak direkomendasikan secara rutin g) Keputusan mengenai hospitalisasi seharusnya berdasarkan atas status klinis, fungsi paru, respons terhadap terapi, riwayat eksaserbasi dan kemampuan untuk mengendalikan asma di rumah h) Sebelum pasien dipulangkan, harus direncanakan
tatalaksana
selanjutnya, termasuk pemulaian terapi controller atau penaikan dosis dari terapi controller untuk 2-4 minggu, dan penurunan reliever sesuai penggunaan sebutuhnya. i) Antibiotik seharusnya tidak secara rutin diberikan pada eksaserbasi asma
33
Gambar 6. Tatalaksana Asma Eksaserbasi Akut di Fasilitas Kesehatan Pertama (GINA, 2016)
34
Gambar 7. Tatalaksana Asma Eksaserbasi Akut di Fasilitas Medis Akut (IGD) (GINA, 2016) 6. Rancanakan pemantauan segera setelah setiap eksaserbasi meliputi (GINA, 2016): a) Penilaian ulang pengendalian gejala, faktor risiko untuk eksaserbasi selanjutnya b) Untuk banyak pasien, berikan terapi controller regular untuk menurunkan
risiko
untuk
eksaserbasi
lebih
peningkatan dosis controller untuk 2-4 minggu c) Pantau terus teknik inhalasi dan kepatuhan III.
KESIMPULAN
35
lanjut.
Lanjutkan
1. Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi jalan nafas kronik 2. Asma diklasifikasikan menjadi asma alergika, asma non alergika, asma onset lambat, asma dengan hambatan jalan nafas paten, dan asma dengan obesitas 3. Patogenesis dan patofisiologi asma secara umum kompleks yang menyebabkan inflamasi jalan nafas yang kronik 4. Diagnosis asma dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang 5. Tatalaksana asma meliputi tatalaksana nonfarmakologis, farmakologis, tatalaksana merujuk serta tatalaksana lainnya
36
DAFTAR PUSTAKA
Alan, R. 1999. Immunobiology of Asthma and Rhinitis : Pathogenic Factors and Therapeutic Options. Am J Respir Crit Care Med: 160: 1778–87 Alfven, T. 2006. A, et al. Allergic diseases and atopic sensitization in children related to farming and anthroposophic lifestyle – the PARSIFAL study. Allergy 2006; 61: 414–21. Bel, E.H. 2004.. Clinical phenotypes of asthma. Curr Opin Pulm Med;10:44-50. Busse, W.W. 2001. Advances in Immunology. N Engl J Med 2001; 344: 350-62. Demoly, P. 2008. Links between allergic rhinitis and asthma still reinforced. Allergy; 63: 251–4. Depkes RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Depkes RI. Depkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Depkes RI. Flood PT. Role of eosinophil and asthma airway remodeling. Am J Respir Crit Care Med; 167: 199-204. Global Initiative for Asthma (GINA). 2012. At-A-Glance Asthma Management Reference. Available at: www.ginasthma.org Global Initiative for Asthma (GINA). 2016. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. Available at: www.ginasthma.org Jay, W.H. 2000. Eosinophil-dependent bromination in the pathogenesis of asthma. J Clinic Invest; 105: 1331-2. Karnen, G.B. 2006. Imunologi dasar. Jakarta : Balai penerbit UI. Kips, J. 2001. Cytokines in asthma. Eur Respir J; 18: 24–33. Kroegel C. 1998. Pulmonary immune cells in health and disease: the eosinophil leukocyte. Eur Respir J; 7: 519–43. Moore, W.C. 2010.. Identification of asthma phenotypes using cluster analysis in the Severe Asthma Research Program. Am J Respir Crit Care Med. 181:31523. Peter, H. 1998. ABC of allergies of pathogenic mechanisms: a rational basis for treatment. BMJ; 316: 758-61. 37
Price, D. 2005. Effect of a concomitant diagnosis of allergic rhinitis on asthma related health care use by adults. Clin Exp Allergy; 35: 282– Rengganis, I. 2008. Diagnosa dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah Kedokteran Indonesia Edisi November 2008. Sohn, S.W. 2008. . Evaluation of cytokine mRNA in induced sputum from patients with allergic rhinitis: relationship to airway hyperresponsivenes. Allergy; 63: 268–73. Uyainah, A. 2014. Spirometri. Ina J Chest Crit and Emerg Med. 1(1): 35-38. Wenzel, S.E. 2012. Asthma phenotypes: the evolution from clinical to molecular approaches. Nat Med;18:716-25.
38
View more...
Comments