Askep Albino, Vitiligo Dan Melasma

April 9, 2019 | Author: Moh Halim Mukhlasin | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

PENYAKIT PADA MANUSIA...

Description

������� ��������� �����������

�������� ������ �����������

(����� ������, �������� ��� �������)

����

� � �.� �� �� �� �� �� �� �.� � �� � �� �� .� � �

ALBINISME Definisi

Gambar 1. Albinisme Albinisme (dari Bahasa Latin albus, "putih"; atau dalam Bahasa Indonesia: Bulai), merupakan salah satu bentuk kelainan bawaan hipopigmentasi yang dikarakterisasikan oleh kurangnya ataupun tidak adanya

pigmen

melanin

pada

mata,

kulit,

dan

rambut.

(http://id.wikipedia.org) Albinisme merupakan suatu penyakit keturunan yang jarang ditemukan dimana tubuh tidak dapat membentuk melanin. Orang yang menderita albinisme disebut albino. Albino timbul dari perpaduan gen resesif. Diturunkan dari orang tua, walaupun dalam kasus-kasus yang jarang dapat diturunkan dari ayah/ibu saja. Ada mutasi genetik lain yang dikaitkan dengan albino, terkait perubahan dari produksi produksi melanin.

���.������ ��������.� �������� .���

���� 2

WOC

-Herediter

Mutasi genetik

Perubahan produksi melanin dalam tubuh

Pengaruh tirosinase negatif

Pengaruh tirosinase positif

Produksi tirosinase tidak ada

Enzim tirosinase sedikit

Non fungsional

Melanosit tidak mampu produksi ALBINISME

Tidak adanya melanin

Kulit terpapar radiasi sinar uv

Warna kulit dan rambut abnormal

Mudah terbakar

Warna putih susu/ abu-abu

nystagmus

Gangguan integritas kulit

Klien merasa tidak tidak erca erca a diri diri

Susah melihat secara spontan

Pergerakan bola mata irreguler cepat

Gangguan citra diri ���.������ ��������.� �������� .���

Gangguan sensori penglihatan ���� 3

Etiologi

Albino adalah kelainan genetik, bukan penyakit infeksi dan tidak dapat ditransmisi melalui kontak, tranfusi darah, dsb. Gen albino menyebabkan tubuh tidak dapat membuat pigmen melanin. Sebagian besar bentuk albino adalah hasil dari kelainan biologi dari gen-gen resesif yang diturunkan dari orang tua, walaupun dalam kasus-kasus yang jarang dapat diturunkan dari ayah/ibu saja. Ada mutasi genetik lain yang dikaitkan dengan albino, tetapi semuanya menuju pada perubahan dari produksi melanin dalam tubuh. Albino tidak terpengaruh gender, kecuali ocular albino (terkait dengan kromosom X), sehingga pria lebih sering terkena ocular albino. Karena penderita albino tidak mempunyai pigmen melanin (berfungsi melindungi kulit dari radiasi ultraviolet yang datang dari matahari), mereka menderita karena sengatan sinar matahari, yang bukan merupakan masalah bagi orang biasa. Manifestasi Klinis

A. Klasifikasi Albino 1) Albino tirosinase-positif, enzim tirosinase ada, namun melanosit (sel pigmen) tidak mampu untuk memproduksi melanin karena alasan tertentu yang secara tidak langsung melibatkan enzim tirosinase. 2) Albino tirosinase negatif, enzim tirosinase tidak diproduksi atau versi nonfungsional diproduksi. B. Tipe Albino 1) Oculocutaneous albinism (berarti albino pada mata dan kulit), kehilangan pigmen pada mata, kulit, dan rambut.

���.������ ��������.� �������� .���

���� 4

Gambar 2. Oculocutaneous Albinism 2) Ocular albinism, hanya kehilangan pigmen pada mata. Or ang-orang dengan oculocutaneous albinism bisa tidak mempunyai pigmen dimana saja sampai ke tingkat hampir normal. Orang-orang dengan ocular albinism mempunyai warna rambut dan kulit yang normal, dan banyak dari mereka mempunyai penampilan mata yang normal.

Gambar 3. Ocular Albinism C. Tanda dan Gejala 1) Hilangnya pigmen melanin pada mata, kulit, dan rambut (atau lebih  jarang hanya pada mata). 2) Kulit dan rambut secara abnormal putih susu atau putih pucat dan memiliki iris merah muda atau biru dengan pupil merah. 3) Kulit

terlalu sensitif pada cahaya matahari, sehingga mudah

terbakar. 4) Nystagmus, pergerakan bola mata yang irregular dan rapid dalam pola melingkar 5) Strabismus (“crossed eyes” or “lazy eye”). 6) Kesalahan

dalam

refraksi

seperti

miopi,

hipertropi,

dan

astigmatisma. 7) Fotofobia, hipersensitivitas terhadap cahaya 8) Hipoplasi foveal, kurang berkembangnya fovea (bagian tengah dari retina) 9) Hipoplasi nervus optikus – kurang berkembangnya nervus optikus. 10) Abnormal decussation (crossing) dari fiber nervus optikus pada chiasma optikus.

���.������ ��������.� �������� .���

���� 5

11) Ambliopia, penurunan akuisitas dari satu atau kedua mata karena buruknya transmisi ke otak, sering karena kondisi lain seperti strabismus. Penatalaksanaan

A. Perlindungan Sinar Matahari Penderita albino diharuskan menggunakan sunscreen ketika terkena cahaya matahari untuk melindungi kulit prematur atau kanker kulit. Baju penahan atau pelindung kulit dari cahaya matahari yang berlebihan. B. Bantuan Daya Lihat Beberapa penderita albino sangat cocok menggunakan bifocals (dengan lensa yang kuat untuk membaca), sementara yang lain lebih cocok menggunakan kacamata baca. Penderita pun dapat memakai lensa kontak berwarna untuk menghalangi tranmisi cahaya melalui iris. Beberapa menggunakan bioptik, kacamata yang mempunyai teleskop kecil di atas atau belakang lensa biasa, sehingga mereka lebih dapat melihat sekeliling dibandingkan menggunakan lensa biasa atau teleskop. C. Pembedahan Pada Mata Pembedahan mungkin untuk otot mata untuk menurunkan nystagmus, strabis mus, dan kesalahan refraksi seperti astigmatisma. Pembedahan strabismus mungkin mengubah penampilan mata. Pembedahan nistagmus mungkin dapat mengurangi perputaran bola mata yang berlebihan. Efektifitas dari semua prosedur ini bervariasi masingmasing individu. Namun harus diketahui, pembedahan tidak akan mengembalikan fovea ke kondisi normal dan tidak memperbaiki daya lihat binocu lar. Dalam kasus esotropia (bentuk “crossed eyes” dari strabismus), pembedahan mungkin membantu daya lihat dengan memperbesar lapang pandang (area yang tertangkap oleh mata ketika mata melihat hanya pada satu titik).

���.������ ��������.� �������� .���

���� 6

VITILIGO Definisi

Gambar 4. Vitiligo Vitiligo adalah kelainan pigmentasi kulit, seringkali bersifat progresif dan familial yang ditandai oleh makula hipopigmentasi pada kulit yang asimtomatik. Kata vitiligo berasa dan bahasa lain vitellus yang berarti anak sapi, karena kulit penderita berwarna putih seperti kulit anak sapi yang berbercak putih. Istilah vitiligo mulai diperkenalkan oleh Celsus, seorang dokter Romawi pada abad ke-2. (Djunaedi Hidayat) Penyakit dapat terjadi sejak lahir sampai usia lanjut dengan frekuensi tertinggi pada usia 10-30 tahun. Menurut statistik di Amerika Serikat 50% dan penderita vitiligo mulai timbul pada usia sebelum 20 tahun dan 25% pada usia di bawah 8 tahun.

���.������ ��������.� �������� .���

���� 7

WOC

Hipotesis Autositoksik

Hipotesis Neurohumoral

Hipotesis imunologik

Melanosit tidak dapat

Asetilkolin, epinefrin,

penyakit kelenjar

memproteksi

dan norepinefrin ↑

tiroid, alopesia

monofenol/polifenol

areata, anemia Merusak melanosit

pernisiosa, anemia hemolitik autoimun,

Monofenol/polifenol ↑

Merusak melanosit

VITILIGO VITILIGO

Terdapat lesi berupa

Rasa panas pada lesi

makula yang MK: Kerusakan MK: Gangguan body

integritas kulit

image

Masih sedikit yang diketahui tentang patogenesis vitiligo, sehingga patofisiologi penyakit ini masih menjadi teka-teki. Sampai saat ini terdapat 3 hipotesis klasik patofisiologi vitiligo yang dianut, yang masing-masing mempunyai kekuatan dan kelemahan yaitu: a. Hipotesis autositoksik

Hipotesis ini berdasarkan biokimiawi melanin dan prekursornya. Dikemukakan bahwa terdapat produk antara dari biosintesis melanin yaitu monofenol atau polifenol. Sintesis produk antara yang berlebihan tersebut akan bersifat toksik terhadap melanosit. Lerner (1959) mengemukakan bahwa melanosit normal mempunyai proteksi

���.������ ��������.� �������� .���

���� 8

terhadap

proses

tersebut,

sedangkan

pada

penderita

vitiligo

mekanisme proteksi ini labil, sehingga bila ada gangguan, produk antara tersebut akan merusak melanosit dan akibatnya terjadi vitiligo. Hal ini secara klinis dapat terlihat lesi banyak dijumpai pada daerah kulit yang mengandung pigmen lebih banyak (berwarna lebih gelap). Juga hal ini dapat terjadi pada pekerja-pekerja industri karet, plastik dan bahan perekat karena banyak berkontak dengan bahan fenol dan katekol. b. Hipotesis neurohumoral

Hipotesis ini mengatakan bahwa mediator neurokimiawi seperti asetilkolin, epinefrin dan norepinefrin yang dilepaskan oleh ujungujung saraf perifer merupakan bahan neurotoksik yang dapat merusak melanosit ataupun menghambat produksi melanin. Bila zat-zat tersebut diproduksi berlebihan, maka sel melanosit di dekatnya akan rusak. Secara klinis dapat terlihat pada vitiligo segmental satu atau dua dermatom, dan seringkali timbul pada daerah dengan gangguan saraf seperti pada daerah paraplegia, penderita polineuritis berat. c. Hipotesis imunologik

Vitiligo merupakan suatu penyakit autoimun; pada penderita dapat ditemukan autoantibodi terhadap antigen sistem melanogenik, yaitu autoantibodi anti melanosit yang bersifat toksik terhadap melanosit. Dari hasil-hasil penelitian terakhir, tampaknya hipotesis imunologik yang banyak dianut oleh banyak ahli. Hal ini disokong dengan kenyataan bahwa insidens vitiligo meningkat pada penderita penyakit autoimun, yaitu antara lain : penyakit kelenjar tiroid, alopesia areata, anemia pernisiosa, anemia hemolitik autoimun, skleroderma, artritis rheumatoid. Etiologi

Penyebab vitiligo yang pasti belum diketahui, diduga suatu penyakit herediter yang diturunkan secara autosomal dominan. Dari penyelidikannya, Lerner (1959) melaporkan 38% penderita vitiligo

���.������ ��������.� �������� .���

���� 9

mempunyai keluarga yang menderita vitiligo, sedangkan Eli -Mofty (1968) menyebut angka 35%. Beberapa faktor pencetus terjadinya vitiligo antara lain: A. Faktor Mekanis Pada 10-70% penderita vitiligo timbul lesi setelah trauma fisik, misalnya setelah tindakan bedah atau pada tempat bekas trauma fisik dan kimiawi. B. Faktor sinar matahari atau penyinaran ultra violet A Pada 7-15% penderita vitiligo timbul lesi setelah terpajan sinar matahari atau UV A dan ternyata 70% lesi pertama kali timbul pada bagian kulit yang terpajan. C. Faktor emosi/psikis Dikatakan bahwa kira-kira 20% penderita vitiligo berkembang setelah mendapat gangguan emosi, trauma atau stres psikis yang berat. D. Faktor hormonal Diduga vitiligo memburuk selama kehamilan atau pada penggunaan kontrasepsi oral. Tetapi pendapat tersebut masih diragukan. Manifestasi Klinis A. KLASIFIKASI

Bermacam-macam klasifikasi dikemukakan oleh beberapa ahli. 1. Koga (1977) membagi vitiligo dalam 2 golongan yaitu: a. Vitiligo dengan distribusi sesuai dermatom. b. Vitiligo dengan distribusi tidak sesuai dermatom. 2. Berdasarkan lokalisasi dan distribusinya, Mosher (1987) membagi menjadi: a. Tipe lokalisata, yang terdiri atas: 1) Bentuk fokal : terdapat satu atau lebih makula pada satu daerah dan tidak segmental. 2) Bentuk segmental : terdapat satu atau lebih makula dalam satu atau lebih daerah dermatom dan selalu unilateral. 3) Bentuk mukosal : lesi hanya terdapat pada selaput lendir (genital dan mulut).

���.������ ��������.� �������� .���

���� 10

b. Tipe generalisata, yang terdiri atas: 1) Bentuk akrofasial : lesi terdapat pada bagian distal ekstremitas dan muka. 2) Bentuk vulgaris : lesi tersebar tanpa pola khusus. 3) Bentuk universalis : lesi yang luas meliputi seluruh atau hampir seluruh tubuh. Dapat pula terjadi bentuk-bentuk campuran atau bentuk-bentuk peralihan, misalnya dari bentuk lokalisata menjadi bentuk generalisata. B. MANIFESTASI/GAMBARAN KLINIS

Makula hipopigmentasi yang khas pada vitiligo berupa bercak putih seperti susu, berdiameter beberapa milimeter sampai sentimeter, berbentuk bulat, lonjong, ataupun tak beraturan, dan berbatas tegas. Selain hipopigmentasi tidak dijumpai kelainan lain pada kulit. Kadang-kadang rambut pada kulit yang terkena ikut menjadi putih. Pada lesi awal kehilangan pigmen tersebut hanya sebagian, tetapi makin lama seluruh pigmen melanin hilang. Lesi vitiligo umumnya mempunyai distribusi yang khas. Lesi terutama terdapat pada daerah terpajan (muka, dada, bagian atas, punggung tangan), daerah intertriginosa (aksila, lipat paha), daerah sekitar orifisium (sekitan mulut, hidung, mata dan anus), pada bagian ekstensor permukaan tulang yang menonjol (jari-jari, lutut, siku), daerah tibia anterior, daerah sekitar puting susu dan umbiliku. Daerah mukosa yang sering terkena terutama genital, bibir, dan gusi. Di samping itu dapatpula ditemukan bentuk-bentuk lain dari lesi vitiligo, antara lain: 1. Trichome vitiligo : vitiligo yang terdiri atas lesi berwarna coklat, coklat muda dan putih. 2. Vitiligo inflamatoar: lesi dengan tepi yang meninggi eritematosa dan gatal. 3. Lesi linear. Penatalaksanaan A. PEMERIKSAAN

���.������ ��������.� �������� .���

���� 11

Diagnosis ditegakkan terutama berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis, dan ditunjang oleh pemeriksaan histopatologik serta pemeriksaan dengan lampu Wood. Pemeriksaan histopatologi lesi vitiligo menunjukkan tidak dijumpainya melanosit dan granul melanin di epidermis; pewarnaan perak atau reaksi dopa, memberi hasil negatif. Pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron terlihat hilangnya melanosit, sedangkan pada tepi lesi sering dijumpai melanosit yang besar dengan prosesus dendritikus yang panjang; beberapa penulis menjumpai infiltrat limfositik di dermis. Pada lesi awal atau tepi lesi masih dapat dijumpai beberapa melanosit dan granul melanin. Pada pemeriksaan dengan lampu Wood, lesi vitiligo tampak putih berkilau dan hal ini berbeda dengan kelainan hipopigmentasi lainnya. B. PENGOBATAN

Karena penyebab dan patogenesisnya masih banyak yang belum diketahui, sampai sekarang pengobatan vitiligo masih bersifat nonspesifik.

Pernah

pula

dilaporkan

regresi

spontan,

tetapi

persentasinya sangat kecil. Beberapa cara dan usaha yang dilakukan untuk mengatasinya, yaitu: 1. Psoralen dan UVA

Fotokemoterapi dengan psoralen dan radiasi ultraviolet natural atau artifisial masih dianggap sebagai pengobatan dengan hasil yang cukup baik. Psoralen untuk mengobati vitiligo sudah dipakai sejak zaman Mesir kuno dan India. Psoralen yang sering dipakai adalah 8-metoksipsoralen atau trimetil psoralen; hasilnya sangat bervariasi. Hal ini disebabkan oleh variasi absorpsi obat yang besar pada tiap individu. Psoralen dapat dipakai secara topikal atau sistemik. Bila lesi meliputi daerah yang luas (lebih dari 20-25% luas permukaan kulit tubuh), psoralen sistemik dapat dipakai; metode ini dianggap memberi

harapan

untuk

timbulnya

repigmentasi.

Bila

���.������ ��������.� �������� .���

8-

���� 12

metoksipsoralen yang dipakai, dosisnya 0,3 mg per kilogram berat badan. Obat dimakan 2 jam sebelum dijemur sinar mata hari. Pajanan sinar matahani dapat dimulai dengan lama 5 menit dan dapat diperpanjang 5 menit tiap kali pengobatan. Sebaiknya jangan dijemur lebih dari 30 menit per tempat. Umumnya repigmentasi dimulai setelah 30 sampai 50 kali pengobatan.

Repigmentasi

dimulai sebagai bintik-bintik sekitar folikel rambut dan meluas secara perlahan dan berkonfluensi. Pada pemakaian psoralen secara topikal, penderita harus diperingatkan untuk mencuci obat setelah pemakaian dan selanjutnya melindungi kulit dan pajanan sinar matahari. Mekanisme kerja obat ini masih belum diketahui dengan pasti. Menurut Ortonne (19769) psoralen dan sinar ultraviolet A akan merangsang mitosis melanosit pada folikel rambut dan melanosit tersebut akan bermigrasi ke daerah lesi. Sedangkan Nordlund (1982) mengatakan bahwa psoralen tidak secara langsung merangsang pertumbuhan sel-sel melanosit, tetapi merusak beberapa

bahan

penghambat

atau

sel

di

epidermis

yang

bertanggung jawab terhadap pemusnahan sel-sel melanosit. Honigsmann (1987) mengatakan bahwa repigmentasi timbul karena

stimulasi

peningkatan

jumlah

melanosit

fungsional,

hipertrofi melanosit, aktivitas tirosinase dan mempercepat migrasi melanosit dan adneksa kulit. Pengobatan tersebut digunakan secara terus menerus selama memberi hasil yang cukup baik, yaitu timbulnya repigmentasi yang dimulai dan folikel rambut yang makin lama makin melebar dan berkonfluensi. Pada pengobatan dengan PUVA, penderita harus sanggup menjalani 100 sampai 300 kali pengobatan. Pengobatan sebaiknya

dihentikan

bila

selama

3

bulan

tidak

terjadi

repigmentasi. 2. Kortikosteroid

���.������ ��������.� �������� .���

���� 13

Pemakaian kortikosteroid topikal pada vitiligo berdasarkan pada hipotesis autoimun. Kumani (1984) menggunakan klobetasol propionat 0,05% dengan hasil yang cukup baik. Pernah pula dilaporkan penggunaan triamsionolon asetonid 0,1% intralesi atau betametason 17 valerat 0,1% secara topikal. Pada kasus yang dini pemberian kortikosteroid intralesi efektif pada 50% penderita dan penggunaan kortikosteroid topmkal dapat mencegah perkembangan lebih lanjut. Biasanya diperlukan terapi yang lama dan adanya efek samping akibat pemakaian steroid yang lama menyebabkan pemakaiannya terbatas. 3. Fluorourasil

Untuk menimbulkan pigmentasi pada lesi, dapat dipakai fluorourasil secana topikal. Pemakaian fluorourasil tersebut dilakukan secara tertutup di atas kulit yang telah diepidermabrasi. Pada kulit yang erosif tersebut dioleskan krim fluorourasil 5% dan ditutup dengan bahan polietilen untuk jangka waktu 24 jam. Cara pengobatan ini dihentikan setelah aplikasi sebanyak 7-10 kali. Salah

satu

hipotesis

mengatakan

bahwa

fluorourasil

juga

mengakibatkan kolonisasi melanosit di epidermis yang kemudian bermigrasi ke daerah lesi sewaktu proses epitelisasi. 4. Zat warna

Karena vitiligo mengganggu penampilan seseorang maka dapat dipakai zat wanna topikal sebagai kamuflase. Beberapa kosmetik kamuflase dapat dipakai dan yang banyak terdapat di Indonesia antara lain  Dermablend Cover cream, Derma Color Cover Cream, Covermark Cover Cream  dan lain-lain. C. PENGOBATAN Lain-lain

1. Tehnik bedah: a) tandur kulit/epidermis b) invitro cultured epidermal auto graft bearing melanocytes 2. Akupunktur

���.������ ��������.� �������� .���

���� 14

Diperkirakan akupunktur memberikan efek stimulasi terhadap melanosit, perbaikan mikrosirkulasi, peningkatan respons imunitas dan efek regulasi fungsi organ. 3. Monobenzil hidrokuinon adalah bahan pemutih yang memberikan efek samping vitiligo. Obat ini dapat menyebabkan kerusakan melanosit dan biasanya dipakai pada vitiligo yang sangat luas, sehingga sisa kulit yang normal diputihkan seluruhnya. Biasanya dipakai dalam bentuk krim dengan konsentrasi 2-4% Cara pengobatan di atas memang memerlukan waktu yang lama, pengobatan biasanya memerlukan waktu 18 bulan sampai 2 tahun. Selain itu setiap penderita vitiligo perlu menggunakan tabir cahaya, karena dosis eritematosa minimal (MED) kulit penderita vitiligo lebih rendah dari orang normal. Biasanya dipakai tabir cahaya dengan sun protective factor (SPF) 15. Efek psikososial vitiligo juga tidak boleh dilupakan. Tiap penderita memerlukan dukungan psikologis, lebih-lebih bila terdapat hambatan sosial atau psikis. Vitiligo bukan penyakit yang membahayakan kehidupan, tetapi prognosisnya masih meragukan dan bergantung pula pada kesabaran dan kepatuhan pen derita terhadap pengobatan yang diberikan.

MELASMA Definisi

Gambar 5. Melasma Melasma adalah hipermelanosis yang simetris berupa makula yang berwarna coklat muda sampai coklat tua dan yang terdapat pada daerah-

���.������ ��������.� �������� .���

���� 15

daerah kulit yang terbuka. Faktor penyebab yang banyak dari melasma adalah pengaruh genetik, sinar ultra violet, dan hormon sex wanita. Lesi pada melasma berupa makula berwarna coklat muda atau coklat tua berbatas tegas dengan tepi tidak teratur. Sering pada pipi dan hidung (pola malar) terdapat pada dagu (pola mandibula) dipelipis, dahi, alis dan bibir atas (pola sentrofasia). Sebagai terapi dapat digunakan antara lain; Tabir surya untuk mencegah paparan sinar matahari, Topikal (Hidrokinon, Asam retinoat, Asam azeleat), Sistemik ( Vitamin C, Glutation ) dan Tindakan Khusus ( Pengelupasan kimiawi, Bedah laser ). Melasma dapat mengenai semua ras terutama penduduk yang tinggal di daerah tropis. Melasma terutama dijumpai pada wanita, meskipun didapat pula pada pria (10 %). Terutama tampak pada wanita usia subur dengan riwayat langsung terkena pajanan sinar matahari. Kelainan ini dapat mengenai wanita hamil, wanita yang mengkonsumsi pil kontrasepsi, pemakai kosmetik, pemakai obat, dan lain-lain. (1, 5, 6) Melasma sering dijumpai pada banyak wanita khususnya hispanik dan orang Asia. Pada ras kulit hitam yang hidup di India, Pakistan dan Timur Tengah cenderung mengalami melasma pada saat pubertas atau masa dewasa.

���.������ ��������.� �������� .���

���� 16

WOC

������ ���������

����� ��

������� ����� ����������

�������� ����� ���������� ����� ���

��������

������ ��������

����

�������

������

�������

���������

���������

���������

������� ����

������� ����

��������

�������������

�������������

�������

�������������

�������

�������

������ ����� ������ �������� ������ �� �����

����� ������ ����

������ ��������

�������� ������ ����

�������

��������

���������

���.������ ��������.� �������� .���

���� 17

Proses terjadinya melasma masih belum diketahui secara pasti namun saat ini banyak faktor yang terlibat dalam patogenesis melasma. Faktor-faktor yang dimaksud, yang paling penting adalah predisposisi genetik dan pancaran sinar ultraviolet, selain itu ada juga penggunaan kontrasepsi

oral,

kehamilan

dan

kosmetik.

Pasien

yang

telah

menyelesaikan pengobatan mereka sering mengalami kekambuhan kembali setelah terpapar sinar matahari lagi. Penelitian terbaru menunjukkan tingginya kadar Alfa- MSH pada lesi keratinosit melasma memainkan peranan penting dalam hiperpigmentasi kulit melasma. Kemungkinan ada faktor genetik yang membuat seseorang memiliki kecenderungan untuk menderita melasma. Selain dari fakta bahwa penyakit ini menjadi lebih sering muncul pada beberapa kelompok ras tertentu, terdapat banyak kasus melasma yang diturunkan dalam sebuah keluarga namun melasma bukan penyakit keturunan.

Etiologi

Etiologi melasma sampai saat ini belum diketahui pasti. Faktor kausatif yang dianggap berperan pada patogenesis melasma adalah: a. Sinar ultra violet. Spektrum sinar matahari ini merusak gugus sulfhidril di epidermis yang merupakan penghambat enzim tirosinase dengan cara mengikat ion Cu dari enzim tersebut. Sinar ultra violet menyebabkan enzim tirosinase

tidak

dihambat

lagi

sehingga

memacu

proses

melanogenesis. b. Hormon. Misalnya estrogen, progesteron, dan MSH (Melanin Stimulating Hormone) berperan pada terjadinya melasma. Pada kehamilan, melasma biasanya meluas pada trimester ke 3. Pada pemakai pil

���.������ ��������.� �������� .���

���� 18

kontrasepsi, melasma tampak dalam 1 bulan sampai 2 tahun setelah dimulai pemakaian pil tersebut. c. Obat. Misalnya difenil hidantoin, mesantoin, klorpromasin, sitostatik, dan minosiklin dapat menyebabkan timbulnya melasma. Obat ini ditimbun di lapisan dermis bagian atas dan secara kumulatif dapat merangsang melanogenesis. d. Genetik. Dilaporkan adanya kasus keluarga sekitar 20-70%. e. Ras. Melasma banyak dijumpai pada golongan Hispanik dan golongan kulit berwarna gelap. f. Kosmetika. Pemakaian kosmetika yang mengandung parfum, zat pewarna, atau bahan-bahan tertentu dapat menyebabkan fotosensitivitas yang dapat mengakibatkan timbulnya hiperpigmentasi pada wajah, jika terpajan sinar matahari.

Manifestasi Klinis

Lesi melasma berupa makula berwarna coklat, abu-abu atau dapat  juga biru menyatu membentuk bercak-bercak dan tepi yang irreguler. Berdasarkan gambaran klinis, bentuk melasma terbagi dalam tiga bentuk mayor yaitu, pola sentro-fasial, pola malar dan pola mandibular. Pola sentro-fasial adalah yang paling sering ditemukan dan muncul pada kira-kira dua pertiga penderita melasma. Bentuk ini meliputi daerah dahi, hidung, pipi bagian medial dan dagu. Pola malar pula didapatkan pada kira-kira 20% kasus; lesi-lesinya terbatas bagian pipi dan hidung. Kirakira 15% penderita melasma datang dengan pola mandibular yang meliputi kulit sekitar mandibula. Daerah-daerah lain yang terpajan dengan sinar matahari misalnya di lengan dapat juga terjadi melasma dengan bentuk yang berbagai dari tiga jenis pola ini.

���.������ ��������.� �������� .���

���� 19

Penatalaksanaan

A. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Secara Kasat Mata Dengan sinar, melasma dibedakan atas : a. Tipe epidermal : lesi terlihat berwarna coklat muda. b. Tipe dermal : lesi terlihat berwarna abu-abu atau abu-abu kebiruan. c. Tipe campuran : lesi terlihat berwarna coklat gelap. 2. Pemeriksaan dengan Lampu Wood / Wood Lamp a. Tipe epidermal : melasma tampak lebih jelas dengan lampu wood dibandingkan dengan secara kasat mata. b. Tipe dermal : dengan lampu wood tak tampak warna kontras dibandingkan dengan secara kasat mata. c.

Tipe campuran : tampak beberapa lokasi lebih jelas sedang lainnya tidak jelas.

3. Pemeriksaan Histopatologik. Secara histopatologik terdapat dua tipe hipermelanosis: a. Tipe epidermal: melanin terutama terdapat di lapisan basal dan suprabasal, kadang-kadang di seluruh stratum spinosum sampai stratum korneum; sel-sel yang padat mengandung melanin adalah melanosit, sel-sel lapisan basal, dan suprabasal, juga terdapat pada keratinosit dan sel-sel stratum korneum. b. Tipe dermal: terdapat makrofag bermelanin di sekitar pembuluh darah dalam dermis bagian atas terdapat fokus-fokus infil trat. 4. Pemeriksaan Mikroskop Elektron Gambaran ultrastruktur melanosit dalam lapisan basal memberi kesan aktivitas melanosit meningkat. B. DIAGNOSIS Diagnosis

melasma

dapat

ditegakkan

berdasarkan

Anamnesa,

pemeriksaan fisis dan gambaran klinis. Untuk menentukan tipe melasma

dilakukan

pemeriksaan

lampu

Wood,

sedangkan

���.������ ��������.� �������� .���

���� 20

pemeriksaan histopatologik hanya dilakukan pada kasus-kasus tertentu. C. PENATALAKSANAAN Pengobatan melasma memerlukan waktu cukup lama, kontrol yang teratur serta kerja sama yang baik antara penderita dan dokter yang menanganinya. Kebanyakan penderita berobat untuk alasan kosmetik. Pengobatan dan perawatan kulit harus dilakukan secara teratur dan sempurna karena melasma bersifat kronik residif. Pengobatan yang sempurna adalah pengobatan yang kausal, maka penting dicari etiologinya. 1. Pencegahan a. Mengatasi peran sinar matahari sebagai salah satu faktor etiologi dan eksaserbasi yang sangat penting yaitu : 1) Penderita diharuskan menghindari pajanan langsung sinar ultra violet terutama antara pukul 09.00-15.00. 2) Bila keluar rumah menggunakan payung atau topi yang lebar. 3) Memberikan pertimbangan/alternatif mengenai pekerjaan, kegiatan sehari-hari atau olahraga baik mengenai waktu atau kondisi lingkungan. 4) Melindungi kulit dengan memakai tabir surya yang tepat, baik mengenai bahan maupun cara pemakaiannya. Tanpa pemakaian tabir surya setiap hari pengobatan sulit berhasil. b. Menghilangkan

faktor

yang

merupakan

penyebab

atau

predisposisi melasma misalnya: 1) Menghentikan pemakaian pil kontrasepsi dan mengganti dengan kontrasepsi lain yang bukan hormonal. 2) Menghentikan pemakaian kosmetika yang berwarna atau mengandung

parfum

yang

dapat

menyebabkan

hiperpigmentasi.

���.������ ��������.� �������� .���

���� 21

3) Mencegah pemberian obat-obatan yang dapat merangsang hiperpigmentasi,

contohnya

hidantoin,

sitostatika,

obat

antimalaria, dan minosiklin. 2. Pengobatan a. Pengobatan topikal 1) Hidrokinon Sampai saat ini hidrokinon merupakan bahan pemutih yang paling banyak dipakai untuk pengobatan melasma dan relatif aman serta efektif. Cara kerja dari hidrokinon adalah menghambat

konversi

dopa

menjadi

melanin

dengan

menghambat enzim tirosinase. Hidrokinon dipakai dengan konsentrasi 2-5 %. Krim tersebut dipakai pada malam hari disertai pemakaian tabir surya pada siang hari. Umumnya tampak perbaikan dalam 6-8 minggu dan dilanjutkan sampai 6 bulan. Efek samping pemakaian hidrokuinon meliputi komplikasi akut dan kronik. Komplikasi akut misalnya dermatitis kontak alergi dan iritan, dan hiperpigmentasi pasca inflamasi. Pemakaian hidrokuinon juga dapat menyebabkan hipopigmentasi dan depigmentasi pada kulit yang diobati maupun kulit normal disekitarnya tetapi sifatnya sementara dan akan menghilang bila obat dihentikan. Pemakaian hidrokuinon konsentrasi tinggi (hidrokuinon > 3 %) yang dipakai dalam jangka waktu lama dapat meyebabkan kerusakan kulit yang berat dan menetap berupa okronosis. Setelah penghentian penggunaan hidrokinon sering terjadi kekambuhan. 2) Asam retinoat (retinoic acid / tretinoin) Asam retinoat mempunyai efek keratolitik yang mengurangi pigmentasi. Asam retinoat 0,1 % terutama digunakan sebagai terapi tambahan atau terapi kombinasi. Krim tersebut juga dipakai pada malam hari, karena pada siang hari dapat terjadi fotodegradasi.

Kini

asam

retinoat

dipakai

���.������ ��������.� �������� .���

sebagai

���� 22

monoterapi,

dan

didapatkan

perbaikan

klinis

secara

bermakna, meskipun berlangsung agak lambat. Efek samping berupa eritema, deskuamasi, dan pada daerah yang diolesi, sering

berhubungan

dengan

dermatitis

yang

dapat

menyebabkan hiperpigmentasi. 3) Asam azeleat (Azeleic acid) Asam azeleat merupakan obat aman untuk dipakai. Asam azeleat

bertindak

sebagai

kompetitif

inhibitor

enzim

tirosinase, yaitu suatu enzim yang paling berperan pada proses melanogenesis. Selanjutnya terbukti pula bahwa golongan

ini

tidak

mempunyai

efek

toksik

ataupun

kemampuan depigmentasi terhadap kulit normal. Pengobatan dengan asam azeleat 20 % selama 6 bulan memberikan hasil yang baik. Efek sampingnya rasa panas dan gatal. b. Pengobatan sistemik  1) Asam askorbat / Vitamin C Vitamin C merupakan antioksidan pada cairan ekstrasel dan aktifitas sel pada umumnya. Vitamin C mempunyai efek merubah melanin bentuk oksidasi menjadi melanin bentuk reduksi

yang

berwarna

lebih

cerah

dan

mencegah

pembentukan melanin dengan mengubah DOPA kinon menjadi DOPA. 2) Glutation Glutation bentuk reduksi adalah senyawa sulfhidril (SH) yang berpotensi menghambat pembentukan melanin dengan jalan bergabung dengan Cuprum dari tirosinase. c. Tindakan khusus 1) Pengelupasan Kimiawi atau Peeling Pengelupasan kimiawi dapat membantu pengobatan kelainan hiperpigmentasi. Bedah kimia superfisial, medium dan dalam sering dipakai untuk pengobatan melasma pada orang kulit putih. Bahan-bahan yang dipakai dapat berupa fenol, asam

���.������ ��������.� �������� .���

���� 23

trikloroasetat, pasta resorsinol dan asam alfa hidroksi yang memberikan hasil beragam. Pada orang dengan kulit gelap, ada kecenderungan untuk menjadi hipopigmentasi atau hiperpigmentasi

setelah

dilakukan

bedah

kimia.

Pengelupasan kimiawi dilakukan dengan mengoleskan asam glikolat 50-70 % selama 4 sampai 6 menit dilakukan setiap 3 minggu selama 6 kali. Sebelum dilakukan pengelupasan kimiawi diberikan krim asam glikolat 10 % selama 14 hari. 2) Bedah laser Tersedianya

jenis

laser

baru

yang

memakai

konsep

fototermolisis selektif dan mempunyai panjang gelombang yang dapat menembus sampai ke dermis bagian bawah, memberi harapan besar bagi keberhasilan pengobatan melasma tipe dermal. Bedah laser tersebut bekerja secara selektif dengan menghancurkan melanin dikulit, tampa menimbulkan kerusakan pada sel atau jaringan sekitarnya. Bedah laser dengan menggunakan laser Q – Switched Ruby dan laser Argon. Bedah laser masih terbatas perangnya selain harganya yang cukup mahal, juga risiko hiperpikmentasi paska infelamasi yang ditimbulkan, selaing itu kekambuhan  juga dapat terjadi.

PIGMENTASI PASCA INFLAMASI Hiperpigmentasi Pasca Inflamasi Definisi

Hiperpigmentasi post inflamasi (HPI) adalah kelainan pigmen yang didapat akibat terakumulasi pigmen setelah terjadinya proses peradangan

akut

atau

kronik.

Keadaan

ini

disebabkan

oleh

meningkatnya sintesis melanin sebagai respons peradangan dan inkontinensia pigmenti yaitu terperangkapnya pigmen melanin di dalam makrofag di bagian atas dermis. semua tipe kulit terutama tipe kulit gelap baik pria maupun wanita segala usia dapat mengalami HPI.

���.������ ��������.� �������� .���

���� 24

kelainan ini ditandai dengan timbul bercak kecoklatan-hitam yang asimptomatik, berbatas tidak tegas dan sedikit berbulu. ada tipe epidermal dan dermal yang dapat dibedakan dengan pemeriksaan lampu wood. penatalaksanaan yang utama adalah mengobati penyebab peradangan, edukasi pasien menghindari pemakaian kosmetik rias dan sinar matahari dengan tabir surya dan dapat digunakan pengobatan topikal agen pencerah kulit yang efektif tetapi memberikan efek samping ringan.

WOC

Penyakit inflamasi

Terpapar sinar UV, bahan kimia dan

acne excoriée, lichen planus,

reaksi alergi, infeksi, trauma, erupsi fototoksik

systemic lupus erythematosus

(SLE), dermatitis kronis, dan cutaneous T-cell lymphoma,

tetracycline, bleomycin, doxorubicin, 5-

terutama varian

Respon melanosis

Pelepasan dan oksidasi asam arakidonat

���.������ ��������.� �������� .���

���� 25

Prostaglandin, leukotrien, dan produk lainnya

Menstimulasi melanosit

↑sintesis melanin

↑ transfer pigmen

↑stimulasi dan transfer

granul melanin

HIPERPIGMENT ASI KULIT

MK : Kerusakan integritas kulit

Membutuhkan

Klien merasa malu

perawatan khusus

akan kondisinya

MK : Kurang

MK : Gangguan

pengetahuan

body image

Hiperpigmentasi post inflamasi disebabkan oleh salah satu dari proses melanosis epidermis ataupun melanosis dermis. Respon inflamasi epidermis menyebabkan pelepasan dan kemudian oksidasi dari asam arakidonat menjadi prostaglandin, leukotrien dan produk

���.������ ��������.� �������� .���

���� 26

lainnya. Produk inflamasi ini merubah aktivitas dari sel imun dan melanosit. Spesifiknya, produk inflamasi ini menstimulasi melanosit epidermal, menyebabkan peningkatan sintesis melanin dan kemudian meningkatkan

transfer

pigmen

untuk

mengelilingi

keratinosit.

Demikian, meningkatkan stimulasi dan transfer granul melanin menghasilkan hipermelanosis epidermal. Sebaliknya,

melanosis

dermal

terjadi

ketika

inflamasi

mengganggu lapisan sel basal, menyebabkan pigmen melanin terlepas dan kemudian terperangkap oleh sel imun besar yang dikenal sebagai makrofag pada papilla dermis. Etiologi

Hiperpigmentasi post inflamasi dapat terjadi pada berbagai proses yang mengenai kulit. Proses tersebut melibatkan reaksi alergi, infeksi, trauma, erupsi fototoksik. Penyakit

inflamasi

yang

sering

yang

mengakibatkan

hiperpigmentasi post inflamasi antara lain acne excoriée, lichen  planus, systemic lupus erythematosus  (SLE), dermatitis kronis, dan cutaneous T-cell lymphoma, terutama varian erythrodermic.

Terpapar sinar UV, bahan kimia dan tindakan medikasi (tetracycline, bleomycin, doxorubicin, 5-fluorouracil, dll) Manifestasi Klinis

Warna lesi berkisar antara coklat terang-hitam. Gambaran coklat terang jika pigmennya terjadi di epidermis dan gambaran hitam jika lesi mengandung melanin dermis. Hiperpigmentasi post inflamasi merupakan respon kulit pada inflamasi yang sering ditemukan . Walaupun dapat mengenai semua orang, perkembangannya lebih sering pada orang yang berkulit gelap dan dapat mengenai semua umur. Insiden dari hiperpigmentasi post inflamasi pada laki-laki dan perempuan adalah sama, atau tidak ada predileksi jenis kelamin.

���.������ ��������.� �������� .���

���� 27

Penatalaksanaan

Penanganan hiperpigmentasi post inflamasi (PIH) cenderung susah dan membutuhkan proses yang lama yaitu sering membutuhkan 6-12 bulan agar mencapai hasil yang diinginkan untuk depigmentasi. Setiap pilihan pengobatan berpotensi memperbaiki hipermelanosis epidermal, tetapi tidak menjamin efektif untuk hipermelanosis dermal. Saat ini penggunaan broad-spectrum sunscreen   adalah bagian yang penting untuk melakukan terapi. Berbagai penanganan topikal telah digunakan untuk mengobati hiperpigmentasi epidermal, dengan beragam tingkat keberhasilan. Agen-agen

tersebut

adalah

hydroquinone,

tretinoin

cream,

kortikosteroid, glycolic acid   (GA), dan azelaic acid . Kombinasi dari krim topikal dan gel, chemical peel, dan sun screens  dapat menjadi sangat dibutuhkan untuk perbaikan yang berarti. Kombinasi tersebut hanya efektif untuk hiperpigmentasi epidermal. Topikal tretinoin 0,1% telah efektif untuk orang Afro-Amerika. GA peel  dikombinasikan dengan tretinoin  dan hydroquinone  adalah

penanganan efektif untuk hiperpigmentasi post inflamasi untuk orang yang bercorak kulit gelap.  Aqueous gel retinoic acid   0,1-0,4% digunakan bersamaan dengan hydroquinon-zalf lactic acid   untuk memutihkan. Setelah perbaikan cukup pada hiperpigmentasi di capai, kortikosteroid dapat digunakan secara topikal dengan hydroquinon untuk mendukung penyembuhan. Kombinasi dari beragam agen terapi topikal telah memperlihatkan keuntungan, terutama pada wajah.

Hipopigmentasi Pasca Inflamasi Definisi

Hipopigmentasi pasca inflamasi adalah hilangnya warna kulit (pigmentasi)

setelah

kulit

mengalami

cedera.

Pigmen

yang

memproduksi sel (melanosit) rusak atau hancur dalam proses penyembuhan.

���.������ ��������.� �������� .���

���� 28

WOC

Obat-obatan dan zat-zat kimia dapat menyebabkan hilangnya pigmen kulit. Hal ini dapat terjadi akibat zat-zat yang digunakan dalam pekerjaan, tetapi yang paling sering menjadi penyebab adalah krim pemutih kulit, yang dijual terutama di masyarakat Afro-Karibia dan Asia. Kandungan yang aktif biasanya adalah hidrokuinon, yang dapat digunakan untuk terapi. Banyak kelainan kulit dengan peradangan menyebabkan timbulnya hipopigmentasi sekunder atau pascaperadangan, akibat adanya gangguan pada keutuhan epidermis dan sistem produksi melain (missal eksema dan psoriasis). Kelainan kulit tersebut dapat meninggalkan bekas berupa hipopigmentasi temporer. Akan tetapi, peradangan dapat menghancurkan semua melanosit (missal pada  jaringan parut, sesudah terjadi luka bakar, dan pasca tindakan krioterapi). Berbagai proses inflamasi pada penyakit kulit dapat pula menyebabkan hipopigmentasi misalnya lupus eritematosus discoid, dermatitis atopic, psoriasis, parapsoriasis gutata kronis, dan lain-lain. Predileksi dan bentuk kelainan hipopigmentasi yang terjadi sesuai dengan lesi primernya. Hal ini khas pada kelainan hipopigmentasi yang terjadi sesudah menderita psoriasis. Hipomelanosis terjadi segera setelah resolusi penyakit primer dan mulai menghilang setelah beberapa minggu hingga beberapa bulan terutama pada area yang terpapar matahari. Pathogenesis proses ini dianggap sebagai hasil dan ganguan transfer melanosom dari melanosit ke keratinosit. Pada dermatitis hipopigmentasi mungkin merupakan akibat dari edema sedangkan pada psoriasis mungkin akibat meningkatnya epidermal turnover. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit yang berhubungan sebelumnya. Jika diagnosis belum berhasil ditegakkan

���.������ ��������.� �������� .���

���� 29

maka biopsi pada lesi hipomelanosis akan menunjukkan gambaran penyakit kulit primernya. Terapi biasanya sesuai dengan penyakit dasarnya. Setelah proses inflamasi menyembuh maka warna kulit asli akan perlahan kembali. Hal ini mungkin dapat dipercepat dengan paparan sinar matahari. Etiologi

Siapapun bisa mengalami kehilangan pigmen, tetapi lebih sering terjadi pada orang berkulit hitam, karena mereka ingin memutihkan wajah dengan menggunakan kosmetik pemutih. Hal ini dapat terjadi setelah cedera kulit seperti luka bakar, operasi, jerawat, eksim, cacar air, dermatitis seboroik, dan lain sebagainya. Beberapa obat dapat menyebabkan hipopigmentasi pada orang yang berkulit gelap (misalnya, krim kortison atau benzoyl peroxide). Manifestasi Klinis

a. Satu atau lebih area putih atau lebih terang dari kulit. b. Ukuran, bentuk, dan area yang terpengaruh bergantung pada penyebabnya. Penatalaksanaan

a. Menghentikan

konsumsi

krim

kortison

atau

lotion

yang

mengandung benzoyl peroxide. b. Jika daerah yang mengalami hipopigmentasi hanya sedikit dan tidak memiliki masalah kulit yang mendasari, tidak memerlukan perawatan khusus. c. Jika daerah hipopigmentasi memiliki riwayat cedera kulit sebelumnya atau mengalami mati rasa pada daerah tersebut, segera cari pertolongan medis.

���.������ ��������.� �������� .���

���� 30

ASUHAN KEPERAWATAN Identitas Pasien Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku/bangsa, agama, status perkawinan. Keluhan Ketidaknyamanan dgn perubahan kondisi kulit/ proses ggn (malu dst) Riwayat penyakit Gangguan pd keluarga. Kelainan yang berhubungan dgn gangguan endokrin dan metabolik. gangguan hormonal, kosmetik yang bahan dasarnya dari minyak, faktor genetik , ras, sinar ultra violet, kelembaban udara, temperatur, psikis,infeksi bakteri . anamnesa pola kebiasaan Nutrisi Kebersihan diri Istirahat Tidur Aktifitas Koping- management stress Pemeriksaan Pemeriksaan kulit dilakukan di ruangan dgn pencahayaan yg baik . Pemeriksaan meliputi : Warna & kondisi kulit – adanya kelainan/deformitas, termasuk jari, kuku, rambut. Palpasi kulit – turgor- elastisitas kulit Pemeriksaan berhubungan dgn

sistem yg lain : Kondisi gangguan luas &

kompleks ( B1-B6).

MK •

Gangguan gambaran diri ( Body Image)



Gangguan rasa nyaman ( nyeri, panas)



Gangguan integritas jaringan /kulit.



Koping individu tidak adaptif

���.������ ��������.� �������� .���

���� 31



Cemas/ ansietas



Penatalaksanaan

terapi

yang

tidak

���.������ ��������.� �������� .���

efektif

���� 32

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF