askep ADHD

November 12, 2017 | Author: Rochmatul Ummah | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

ADHD adalah........

Description

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Attention Deficit Hyperaktivity Disorder (ADHD) dicirikan dengan tingkat gangguan perhatian, impulsivitas dan hiperaktivitas yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan dan gangguan ini dapat terjadi disekolag maupun di rumah (Isaac, 2005). Pada kira-kira sepertiga kasus, gejala-gejala menetap sampai dengan masa dewasa (Townsend, 1998). ADHD adalah salah satu alas an dan masalah kanak-kanak uyang paling umum mengapa anak-anak dibawa untuk diperiksa oleh para professional kesehatan mental. Konsensus oendapat professional menyatakan bahwa kira-kira 305% atau sekitar 2 juta anak-anak usia sekolah mengidap ADHD (Martin, 1998). Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa 5% dari populasi usia sekolah sampai tingkat tertentu dipengaruhi oleh ADHD, yaitu sekitar 1 % sangat hiperaktif. Sekitar 30-40% dari semua anak-anak yang diacu untuk mendapatkan bantuan professional karena masalah perilaku, datang dengan keluhan yang berkaitan dengan ADHD (Baihaqi dan Sugiarmin, 2006). Dewasa ini, anak ADHD semakin banyak. Sekarang prevalensi anak ADHD di Indonesia meningkat menjadi sekitar 5% yang berarti 1 dari 20 anak menderita ADHD. Peningkatan ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti genetik ataupun pengaruh lingkungan yang lain, seperti pengaruh alkohol pada kehamilan, kekurangan omega 3, alergi terhadap suatu makanan, dan lain-lain (Verajanti, 2008). Kenyataannya ADHD ini tidak selalu disertai dengan gangguan hiperaktif. Oleh karena itu, makan istilah ADHD di Indonesia, lazimnya diterjemahkan menjadi Gangguan Pemusatan Perhatian dengan atau tanpa Hiperaktif (GPP/H). Anak yang mengalami ADHD kerap kali tumpang tindih dengan kondisi-kondisi lainnya seperti disleksia, dispraksia, gangguan menentang dan melawan. (Baihaqi, 2008).

B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu : 1. Bagaimana anatomi fisiologi Sistem Saraf ? 2. Apa pengertian dari ADHD ? 3. Apa epidemiologi dari ADHD ? 4. Apa etiologi dari ADHD ? 1

5. Apa macam – macam gangguan dari ADHD ? 6. Apa psikopatologi dari ADHD ? 7. Apa manifestasi klinis dari ADHD ? 8. Apa komplikasi dari ADHD ? 9. Apa pemeriksaan penunjang untuk ADHD ? 10. Bagaimana pencegahan dari ADHD ? 11. Bagaimana penatalaksanan medis dan perawatan pada anak dengan ADHD ? 12. Apa peran orang tua terhadapa anak dengan ADHD ? 13. Bagaimana asuhan keperawatan dengan anak ADHD ? C. Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini yaitu : 1. Untuk mengetahui anatomi fisiologi Sistem Saraf. 2. Untuk mengetahui pengertian dari ADHD. 3. Untuk mengetahui epidemiologi dari ADHD. 4. Untuk mengetahui etiologi dari ADHD. 5. Untuk mengetahui macam – macam gangguan dari ADHD. 6. Untuk mengetahui psikopatologi dari ADHD. 7. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari ADHD. 8. Untuk mengetahui komplikasi dari ADHD. 9. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang untuk ADHD. 10. Untuk mengetahui pencegahan dari ADHD. 11. Untuk mengetahui penatalaksanan medis dan perawatan pada anak dengan ADHD. 12. Untuk mengetahui peran orang tua terhadapa anak dengan ADHD. 13. Untuk mengetahui asuhan keperawatan dengan anak ADHD.

BAB 2 TINJAUAN TEORI A. Anatomi Fisiologi Sistem Saraf

2

Jaringan saraf terdiri dari : 1. Neuron (sel saraf) Merupakan unit anatomis dan fungsional sistem persarafan.

3

Bagian-bagian dari neuron yaitu a) Badan sel (inti sel terdapat didalamnya). b) Dendrit : menghantarkan impuls menuju badan sel. c) Akson : menghantarkan impuls keluar dari badan sel. Klasifikasi neuron berdasarkan bentuk yaitu 1. Neuron unipolar Terdapat satu tonjolan yang bercabang dua dekat dengan badan sel, satu cabang menuju perifer dan cabang lain menuju SSP (neuron sensorik saraf spinal). 2. Neuron bipolar Mempunyai dua tonjolan, 1 akson dan 1 dendrit. 3. Neuron multipolar Terdapat beberapa dendrit dan 1 akson yang dapat bercabangcabang banyak sekali. Sebagian besar organela sel pada neuron terdapat pada sitoplasma badan sel. Fungsi neuron : menghantarkan impuls saraf keseluruh tubuh (somatik dan viseral). Impuls neuron bersifat listrik disepanjang neuron dan bersifat kimia diantara neuron (celah sinap / cleft sinaptik) Zat kimia yang disinteis neuron dan disimpan didalam vesikel ujung akson disebut neurotransmiter

yang

dapat

menyalurkan

impuls.

Contoh

neurotransmiter : asetilcolin, norefineprin, dopamin, serotonin, gama aminobutirat (GABA). 2. Sel penyokong (Neuroglia pada SSP & sel schwann pada SST). Ada 4 neuroglia yaitu a) Mikroglia : berperan sebagai fagosit. b) Ependima : berperan dalam produksi CSF.

4

c) Astrosit : berperan menyediakan nutrisi neuron dan mempertahankan potensial Biolelektrik. d) Oligodendrosit : menghasilkan mielin pada SSP yang merupakan selubung neuron.

3. Mielin a) Komplek protein lemak berwarna putih yang menutupi tonjolan saraf (neuron). b) Menghalangi aliran ion Na & K melintasi membran neural. c) Daerah yang tidak bermielin disebut nodus ranvier. d) Transmisi impuls pada saraf bermelin lebih cepat dari pada yang tak bermelin, karena adanya loncatan impuls dari satu nodus kenodus lainnya (konduksi saltatorik) Mekanisme Penghantaran Impuls Sistem saraf terdiri atas sel-sel saraf (neuron) dan sel-sel penyokong (neuroglia dan Sel Schwann). Kedua sel tersebut demikian erat berikatan dan terintegrasi satu sama lain sehingga bersama-sama berfungsi sebagai satu unit. Sistem saraf dibagi menjadi sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan medula spinalis. Sistem saraf tepi terdiri dari neuron aferen dan eferen sistem saraf somatis dan neuron sistem saraf autonom (viseral). Otak dibagi menjadi telensefalon, diensefalon, mesensefalon, metensefalon, dan mielensefalon. Medula spinalis merupakan suatu struktur lanjutan tunggal yang memanjang dari medula oblongata melalui foramen magnum dan terus ke bawah melalui kolumna vertebralis sampai setinggi vertebra lumbal 1-2. Secara anatomis sistem saraf tepi dibagi menjadi 31 pasang saraf spinal dan 12 pasang saraf kranial. Suplai darah pada sistem saraf pusat dijamin oleh dua pasang arteria yaitu arteria vertebralis dan arteria karotis interna, yang cabang-cabangnya akan beranastomose membentuk sirkulus arteriosus serebri Wilisi. Aliran venanya melalui sinus dura matris dan kembali ke sirkulasi umum melalui vena jugularis interna. (Wilson. 2005, Budianto. 2005, Guyton. 1997) Membran

plasma

dan

selubung

sel

membentuk

membran

semipermeabel yang memungkinkan difusi ion-ion tertentu melalui membran ini, tetapi menghambat ion lainnya. Dalam keadaan istirahat 5

(keadaan tidak terstimulasi), ion-ion K+ berdifusi dari sitoplasma menuju cairan jaringan melalui membran plasma. Permeabilitas membran terhadap ion K+ jauh lebih besar daripada permeabilitas terhadap Na+ sehingga aliran keluar (efluks) pasif ion K+ jauh lebih besar daripada aliran masuk (influks) Na+. Keadaan ini memngakibatkan perbedaan potensial tetap sekitar -80mV yang dapat diukur di sepanjang membran plasma karena bagian dalam membran lebih negatif daripada bagian luar. Potensial ini dikenal sebagai potensial istirahat (resting potential). (Snell. 2007). Bila sel saraf dirangsang oleh listrik, mekanik, atau zat kimia, terjadi perubahan yang cepat pada permeabilitas membran terhadap ion Na+ dan ion Na+ berdifusi melalui membran plasma dari jaringan ke sitoplasma. Keadaan tersebut menyebabkan membran mengalami depolarisasi. Influks cepat ion Na+ yang diikuti oleh perubahan polaritas disebut potensial aksi, besarnya sekitar +40mV. Potensial aksi ini sangat singkat karena hanya berlangsung selama sekitar 5msec. Peningkatan permeabilitas membran terhadap ion Na+ segera menghilang dan diikuti oleh peningkatan permeabilitas terhadap ion K+ sehingga ion K+ mulai mengalir dari sitoplasma sel dan mengmbalikan potensial area sel setempat ke potensial istirahat. Potensial aksi akan menyebar dan dihantarkan sebagai impuls saraf. Begitu impuls menyebar di daerah plasma membran tertentu potensial aksi lain tidak dapat segera dibangkitkan. Durasi keadaan yang tidak dapat dirangsang ini disebut periode refrakter. Stimulus inhibisi diperkirakan menimbulkan efek dengan menyebabkan influks ion Cl- melalui membran plasma ke dalam neuron sehingga menimbulkan hiperpolarisasi dan mengurangi eksitasi sel. (Snell. 2007)

6

B. Definisi ADHD (Attention Deficit Hyperaktivity Disorder) ADHD adalah istilah popular, kependekan dari attention hyperactivity

disorder,

(Attention

=

perhatian,

Deficit

=

deficit

berkurang,

hyperactivity = hiperaktif, dan disorder = gangguan). Atau dalam bahasa Indonesia, ADHD berarti gangguan pemusatan perhatian disertai hiperaktif. Sebelumnya, pernah ada istilah ADD, kependekan dari attention deficit disorder

yang berarti ‘gangguan pemutusan

perhatian’.

Pada saat

ditambahkan ‘hiper-activity/hiper-aktif’ penulisan istilahnya menjadi beragam. Ada yang ditulis ADHD, AD-HD, ada pula yang menulis ADD/H. Tetapi, sebenarnya dari tiga jenis penulisan istilah itu, maksudnya adalah sama. ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) adalah gangguan neurobiologis yang ciri-cirinya sudah tampak pada anak sejak kecil. Anak ADHD mulai menunjukkan banyak masalah ketika SD karena dituntut untuk memperhatikan pelajaran dengan tenang, belajar berbagai ketrampilan akademik, dan bergaul dengan teman sebaya sesuai aturan (Ginanjar, 2009). ADHD adalah gangguan perkembangan dalam peningkatan aktifitas motorik anak-anak hingga menyebabkan aktifitas anak-anak yang tidak lazim dan cenderung berlebihan. Ditandai dengan berbagai keluhan perasaan gelisah, tidak bisa diam, tidak bisa duduk dengan tenang, dan selalu meninggalkan keadaan yang tetap seperti sedang duduk, atau sedang berdiri. Beberapa kriteria yang lain sering digunakan adalah, suka meletupletup, aktifitas berlebihan, dan suka membuat keributan (Klikdokter, 2008). ADHD adalah singkatan dari Attention Deficit Hyperactivity Disorder, suatu kondisi yang pernah dikenal sebagai Attention Deficit Disorder (Sulit

7

memusatkan perhatian), Minimal Brain Disorder (Ketidak beresan kecil di otak), Minimal Brain Damage (Kerusakan kecil pada otak), Hyperkinesis (Terlalu banyak bergerak / aktif), dan Hyperactive (Hiperaktif). Ada kira-kira 3 - 5% anak usia sekolah menderita ADHD (Permadi, 2009). Attention deficit/hyperactivity disorder (ADHD) atau gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas adalah gangguan perilaku yang timbul pada anak dengan pola gejala restless atau tidak bisa diam, inattive atau tidak dapat memusatkan perhatian pada perilaku impulsive. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) definisi gangguan telah mengalami beberapa kali perubahan sesuai dengan perubahan konsep tentang penyakit tersebut, dan sampai saat ini konsep yang tepat untuk kondisi ini masih tetap menjadi perdebatan. Definisi menurut DSM berubah dari single disorder dengan cirri utama hiperaktivitas (American Psychiatric Association, 1968) menjadi two dimensional disorder, dengan tiga subtype diagnosis (American Psychiatric Association, 1994). Tetapi demikian, berbeda dari DSM IV, menurut International Classification of Disease Edisi ke 10 (ICD-10, World Health Organization, 1993) gangguan tersebut diberi nama hyperkinetic disorder atau gangguan hiperkinetik, hanya dikenal adanya satu tipe gangguan ini. Sesuai dengan DSM IV, terdapat tiga gejala utama yaitu inattentiveness atau tidak mampu memusatkan perhatian, hiperaktivitas dan impulsivitas. Jadi, jika didefinisikan secara umum ADHD menjelaskan kondisi anakanak yang memperlihatkan symptom-symptom (cirri atau gejala) kurang konsentrasi,

hiperaktif

dan

impulsive

yag

dapat

menyebabkan

ketidakseimbangan sebagian besar aktivitas hidup mereka. Kenyataannya ADHD ini tidak selalu disertai dengan gangguan hiperaktif. Oleh karena itu, makan istilah ADHD di Indonesia, lazimnya diterjemahkan menjadi Gangguan Pemusatan Perhatian dengan atau tanpa Hiperaktif (GPP/H). Anak yang mengalami ADHD kerap kali tumpang tindih dengan kondisi-kondisi lainnya seperti disleksia, dispraksia, gangguan menentang dan melawan. C. Epidemiologi ADHD Rasio anak laki-laki berbanding perempuan adalah antara 4:1 dalam jenis dan tipe hiperaktif impulsif dan untuk kurang perhatian rasio anak laki-laki dan perempuan adalah 1:1. Gejala-gejala ini kurang jelas daripada tipe hiperaktiv impulsif yang lebih demonstratif. Gejala seperti ini diabaikan dan

8

didiagnosis dengan keliru pada banyak anak. Menurut penelitian Breton yang dilakukan pada 1999, ADHD lebih banyak dialami oleh anak laki-laki dari pada perempuan, dengan estimasi 204% untuk anak perempuan dan 69% untuk anak laki-laki usia 6-12 tahun. Anak laki-laki ADHD lebih banyak terjadi karena mereka lebih menunjukkan perilaku menantang dan agresif dibandingkan dengan anak perempuan (Baihaqi dan Sugiarmin, 2006). Bisa jadi anak perempuan dengan ADHD tidak teridentifikasi atau tidak tertangkap gejalanya karena guru-guru gagal dalam mengenali dan mencatat perilaku kurang perhatian anak perempuan ADHD, kecuali dengan cara membandingkan dengan simptom-simptom yang digunakan untuk mendiagnosis ADHD dapat pula memberi sumbangan terhadap perbedaan jenis kelamin pada umumnya (Baihaqi dan Sugiarmin, 2006). Anak ADHD perempuan cenderung lebih memperlihatkan karakteristik simptom-simptom kurang perhatian/tidak teratur dengan respons kognitif yang lambat, misalnya pelupa, lesu darah, mengantuk, cenderung daycream, semas, depresi dan cenderung berperilaku hiperverbal dibandingkan hiperaktif (Baihaqi dan Sugiarmin, 2006). Gangguan ADHD dapat merusak hidup anak, menghabiskan banyak energi, menimbulkan rasa sakit secara emosional, menurunkan harga diri dan secara serius merusak hubungan kekerabatan atau pertemaan. Banyak anak ADHD cenderung untuk mengembangkan masalah emosional sekunder, namun ADHD itu sendiri dapat berkaitan dengan faktor – faktor biologis dans ecara primer bukan gangguan emosional. Meskipun semikian, masalah emosional dan perilaku kerap kali dapat terlihat pada anak ADHD karena adanya masalah yang dihadapi anak-anak di sekolah, di rumah dan di dalam lingkungan sosial mereka (Baihaqi dan Sugiarmin, 2006). D. Etiologi ADHD Menurut Adam (2008) penyebab pasti belum diketahui. Namun papar Hardiono ada bukti bahwa faktor biologis dan genetis berperan dalam ADHD. Faktor biologis berpengaruh pada dua neurotransmitter di otak, yaitu dopamine dan norepinefrin. Dopamin merupakan zat yang bertanggung jawab pada tingkah laku dan hubungan social, serta mengontrol aktifitas fisik. Norepinefrin berkaitan dengan konsentrasi, memusatkan perhatian, dan perasaan. Faktor lainnya yang berpengaruh adalah lingkungan. Karakter dalam keluarga juga dapat berperan menimbulkan gejala ADHD. Bahkan

9

dari penelitian di beberapa rumah tahanan, sebagian besar penghuninya ternyata pernah ADHD pada masa kecilnya. Demikian juga terjadi pada pengguna narkoba. Belum diketahui apa penyebab pasti anak-anak menjadi hiperaktif. Namun menurut dunia kedokteran, itu terkait dengan faktor biologis dan genetik, serta lingkungan.

Menurut, Dr. Dwidjo Saputro, SpKJ(K) tahun 2009, etiologi dari ADHD sebagai berikut : Gangguan perilaku pada anak adalah akibat dari interaksi antara factor alami (nature), yaitu factor bawaan dan lingkungan (nurture). Factor alami meliputi faktor genetik, gangguan biologik yang telah diperoleh sejak saat anak dalam kandungan dan pada waktu lahir. Factor lingkungan adalah pengalaman psikoedukatif dan psikososial yang diperoleh setalh anak lahir, yang meliputi pola asuh, pendidikan, nutrisi,kondisi lingkungan, teman sebaya, nilai sosial dan budaya. Sejak awal sampai saat ini, perkembangan konsep diagnosis yang dibuat untuk gangguan ini menunjukkan perkembangan hipotesis penyebab ganguan

ini.

Berbagai

penelitian menunjukkan

penyebab terjadinya

gangguan ini meliputi berbagai factor yang berpengaruh terhadap fungsi otak. 1. Factor genetik Hier (1980) telah menunjukkan adanya hubungan antara faktor gentik dan penyebeb gangguan ini, yaitu pada anak laki-laki dengan kelebihan Y kromosom (XYY) menujukkan peningakatan kejadian hiperaktivitas yang menyertai kemampuan verbal dan performance rendah. Pada fragile X syndrome, yaitu nama anak untuk kondisi di mana terdapat X kromosom pada lokasi Q27 rapuh, juga dihubungkan dengan kejadian gejala ADHD, meskipun sebagian besar penderita gangguan ini mengalami retardasi mental. Masalah kesulitan memusatkan perhatian dan kesulitan belajar juga diakibatkan adanya cacat genetic. Pada anak perempuan dengan kromosom 45, XO juga menunjukkan kesulitan memusatkan perhatian dan kesulitan menulis dan menggambar ulang. Sampai saat ini belum dapat dibuktikan bahwa penyebab gangguan ini adalah adanya kromosom abnormal (Barkley, 1998). Orang tua dan saudara dari anak yang menderita ADHD lebih banyak yang menderita gangguan ini dari pada saudara dari anak yang 10

tidak mengalami gangguan ini. Resiko besar mengalami gangguan ini pada saudara anak ADHD menunjukkan adanya pembagian gen yang sama di antara mereka. Saudara pada tingkat pertama, seperti orangtua, saudara kandung, dan anak membagikan 50% gen dengan penyandang gangguan ini. Mereka memiliki resiko lebih besar mengalami gangguan ini dari pada saudara tingkat kedua yang hanya membagikan gen 25% dengan penyandang gangguan ini. Hasil penelitian oleh Cantwell (1975) dan Morrison dan Stewart (1973) melaporkan bahwa pada orangtua biologis anak ADHD lebih banyak mengalami hiperaktivitas dibandingkan dengan orangtua adopsi anak ADHD. Hal ini menunjukkan bahwa peran herediter sangat besar sebagai salah satu factor penyebab gangguan ini. Pada penelitian terhadap saudara kembar satu telur dan dua telur menunjukkan bahwa gangguan ini secara nyata dipengaruhi oleh komonen genetika, dengan heritabilitas 0,75-0,90 (Levy et al., 1997). Transmisi genetik dalam keluarga terjadi secara oligogenik dan multifaktorial, yaitu pewarisan kompleks (inheritance complex). Awal penelitian genetika molekuler ditunjukan pada gen dopamine tipe 2 yang dianggap memiliki hubungan kuat dengan terjadinya alcoholism, sindrom Tourrete dan ADHD (Cummings et al., 1991;Blum et al., 1996), tetapi hasil yang sama tidak didapatkan pada replikasi penelitian tersebut. Dari hasil penelitian berikutnya didapatkan varian gen untuk transporter dopamine (DAT 1) yang menimbulkan inaktivasi dopamin di celah prasinaptik (Cook et al., 1995 ; Gill et al., 1997), tetapi hasil yang sama tidak diperoleh pada replikasi penelitian tersebut (Swanson et al., 1997). Didapatkan juga gen untuk reseptor dopamine D4 (DRD4) pada salah satu reseptor celah pasca sinaptik yang menimbulkan aktivasi dopamin. Hasil yang sama didapatkan pada empat penelitian berikutnya yang tidak hanaya meneliti anak ADHD tetapi meneliti remaja dan orang dewasa yang menderita gangguan ini. Pada 29% sampel penderita ADHD didapatkan memiliki 7 – repeat allele, yang merupakan subkelompok fenotip yang homogeny pada populasi pederita ADHD (Sunohara et al., 1997 ; Swanson et al., 1997). 2. Faktor Neurologik dan Proses dalam Otak Factor neurologik pada ADHD yang diterima pertama kali secara luas adalah penemuan dari Laufer, Denhoff, dan Solomons (1957), yaitu didapatkan

spike

wave

pada

11

stimulasi

fotik

pada

pemeriksaan

elektroensefalografi (EEG) anak ADHD. Kondisi ini disebut sebagai over arousal yang disebabkan oleh disfungsi diensefalon. Anak ADHD dipandang memiliki kesulitan menyaring informasi secara selektif dan sensitive terhadap pemerimaan stimulasi dari lingkungan. Knobel, Wolman dan Manson (1959) berpendapat bahwa kondisi ini adalah kompensasi yang berlebiihan dari korteks otak terhadap disfungsi subkortikal. Jadi, hyperarousal korteks otak merupakan sumber terjadinya tingkah laku hiperaktif yang ditunjukkan oleh penderita gangguan ini. Douglas (1972, 1979) dan kinsbourne (1984) menolalk teori overarousal, penelitian mereka menunjukkan bahwa gangguan ini terjadi disebabkan oelh deficit sustain attention. Kondisi ini yang menyebabkan anak dengan gangguan ini menunjukkan penampilan lebih buruk dibandingkan dengan anak normal pada waktu menyelesaikan tugas yang memerlukan perhatian terus-menerus. Satterfield dan kawan-kawan mengajukan teori underarousal sebagai dasar terjadinya hiperaktivitas. Mereka berpendapat bahwa peningkatan aktivitas motorik pada ADHD adalah akibat dari bangkitan eksitasi yang rendah pada reticular activating system, dan usaha untuk meningkatkan masukan proprioseptif dan exteroseptif (Satterfield et al., 1972, 1974; Satterfield dan Dawson, 1971). Berbagai penelitian psikopatofisiologi

pada

anak

ADHD

dibandingkan dengan anak normal didapatkan hasil yang konsisten yaitu penurunan bangkitan respon saraf pada anak ADHD. Temuan yang konsisten juga didapatkan dari hasil pemeriksaan EKG kuantitatif atau QEEG dan evoked respone potential (ERP). (Barkley, 1998). Pemeriksaan ERP mengukur aktivitas otak pada saat dipengaruhi oleh rangsangan tugas (task stimuli), sebelum menghasilkan keluaran (out put) yang nyata, yaitu respon menjadi teramati. Beberapa gelombang ERP positif dan negatif telah diketahui memliki hubungan erat dengan berbagai aspek proses informasi dalam otak (Naatanen, 1992). Anak ADHD dibandingkan dengan anak normal, menunjukkan amplitude yang lebih kecil pada p3b, sebagai

respon

terhadap

rangsang

target,

bersamaan

dengan

penampilan lebih buruk pada penyelesaian tugas tersebut (Klorman Iet al., 1991). Rutter berpendapat bahwa ADHD adalah gangguan fungsi otak, oleh karena didapatkan deficit aktivasi yang disebabkan oleh adanya patologi di area prefrontal dan/atau sagital frontal pada otak dengan 12

predominansi pada korteks otak. Adanaya kerusakan otak merupakan resiko tinggi tingginya gangguan psikiatrik termasuk ADHD (Rutter, 1989). Kerusakan otak pada janin dan neonatal paling sering disebabkan oleh kondisi

hipoksia.

Keadaan

hipoksia

memiliki

kecenderungan

menyebabkan terjadinya patologi yang merata pada korteks otak yang menimbulkan gangguan fungsi integrasi koordinasi dan pengendalian kortikal. Korteks frontal dianggap memiliki peran penting dalam aktivasi dan integrasi lebih lanjut dari bagian otak lain. Oleh karena itu, patologi yang merata pada korteks otak dianggap sebagai penyebab terjadinya gejala lobus frontalis. Kondisi ini didukung oleh penemuan dari pemeriksaan computerized tomography scanning (CT scan) menunjukkan pelebaran yang merata dari ventrikel lateral kiri. Di pihak lain, kondisi hipoksia menimbulkan terjadinya edema otak yang menyebabkan peningkatan tekanan intracranial. Tekanan yang meningkat secara hipotetis akan menimbulkan tekanan yang lebih tinggi pada daerah yang sempit, yaitu permukaan medial sagital korteks otak, kondisi ini dapat menimbulkan kerusakan lebih berat pada bagian sagital dari pada daerah lateral. Terjadinya ADHD adalah akibat dari mekanisme patofisiologi tersebut, salah satu atau keduanya, atau kombinasi dengan factor genetic dan/atau kerusakan otak bagian lain (Borchgrevink, 1989). Berbagai penelitian pencitraan otak secara konsisten menunjukkan penurunan aliran darah otak pada anak dengan gangguan ini, yaitu di daerah frontal dan jarak yang menghubungkan daerah ini ke system limbic, melalui striatum, secara spesifik pada daerah anterior, yaitu nucleus caudatum (Lou et al., 1984. 1990). Pada penelitian dengan PET untuk menilai metabolisme glukosa pada otak, didapatkan penurunan metabolisme pada penderita ADHD dewasa (Zametkin et al., 1990) dan remaja perempuan (Ernst et al., 1994), tetapi hasil yang sama tidak didapatkan pada remaja laki-laki (Zametkin et al., 1993). Pada kelompok remaja

ADHD

didapatkan

korelasi

antara

penurunan

aktivitas

metabolisme pada otak di daerah frontal anterior kiridan derajat keparahan gejala penyakit (Zametkin et al., 1993). Pada kelompok anak ADHD dan kesulitan belajar didapatkan hemisfer otak daerah temporal kanan lebih kecil dibandingkan dengan anak normal (Hynd, Semrud-Clikeman, et al., 1990), juga didapatkan

13

ukuran corpus callosum lebih kecil, terutama di daerah genu, splenium dan anterior splenium (Hynd, Semrud- Clikeman, et al., 1991). Berbagai penelitian pencitraan otak pada anak ADHD yang dilakukan selama dua dekade terakhir tidak ada yang menunjukkan kerusakan struktur otak. Penemuan ini sesuai dengan hasil penelitian terdahulu yaitu kerusakan struktur otak secara nyata hanya didaptkan pada 5% anak dengan hiperaktivitas (Rutter, 1977, 1983). Kerusakan struktur otak tersebut adalah akibat dari perkembangan otak yang abnormal pada derah tersebut. Penyebab dari kondisi ini kemungkinan besar adalah pengaruh kondisi genetika (Barkley, 1998). 3. Faktor Neurotransmitter Sampai saat ini dari hasil berbagai penelitian belum dapat dipastikan bahwa ADHD secara primer disebabkan oleh gangguan pada neurokimiawi

dalam

otak,

atau

perubahan

neurotransmitter

dan

interaksinya timbul sebagai akibat perubahan tingkah laku. Namun, dari hasil beberapa penelitian genetika molekuler terakhir didaptkan genuntuk reseptor dopamine D4 (DRD 4) pada resptor di celah pascasinaptik yang menimbulkan aktivasi dopamin. Berbagai penelitian farmakologi tiga dekade yang lalu memperoleh sejumlah stimulator dopamine pada reseptor pascasinaptik (piribidel, amantadine, L-Dopa) yang memberi pengaruh secara menyeluruh pada seluruh system dopamine, tetapi ketika diberikan kepada anak ADHD tidak memberikan hasil perbaikan klinis secara bermakna. Shaywitz et al., menunjukkan pengaruh pemberian metilfenidat terhadap kadar serum prolaktin dan growth hormone, melalui pengaruh metilfenidat terhadap jaras dopaminergik hipotalamik bagian bawah. Shaywitz juga mendapat penurunan homovalinic acid (HVA) cairan serebrospinal pada penderita ADHD yang member respon terhadap pemberian metilfenidat (Shaywitz et al., 1977, 1982). Berbagai penelitian

terhadap

pengguanaan

antagonis

dopaminseperti haloperidol, tioridasin dengan dosis rendah, tidak memberikan perbaikan pada kemampuan memusatkan perhatian dan fungsi kognitifyang lain, meskipun memberikan perbaikan pada skala penilaian tingkah laku. pemberian obat trisiklik terhadap anak ADHD memberikan perbaikan tingkah laku tetapi tidak memberikan perbaikan fungsi kognitif. Dari hasil berbagai penelitian tersebut didapatkan

14

gambaran bahwa gejala aktivitas motorik yang berlebihan pada ADHD secara patofisiologi disebabkan oleh fungsi norepinefrin abnormal, sedangakan gejala lain, yaitu tidak mampu memusatkan perhatian dan penurunan vigilance disebabkan oleh fungsi dopaminerjik abnormal. Terdapat tiga penelitian yang menunjukkan peranan norepinefrin terhadap terjadinya gangguan ini, yaitu pemberian dekstroamfetamin pada anak ADHD menurunkan metabolit norepinefrin, yaitu 3-methoxy-4hydroxy-phenylglycol (MHPG) dalam ekskresi air seni (Brown et al., 1981; Shekim et al., 1977; Zhametkin et al., 1984). Hasil dari tiga penelitian ini menunjukkan

bahwa

obat

psikostimulan

berpengaruh

terhadap

metabolisme norepinefrin. Shekim et al., yang memeriksa penderita ADHD yang responsive terhadap amfetamin, menunjukkan bahwa setelah pengobatan terjadi penurunan metobolik tersebut (Shekim et al., 1979) beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa pada kelompok anak ADHD menunjukkan kadar MHPG dalam air seni 20% lebih rendah dibandingkan dengan kelompok normal dan pada anak ADHD yang responif terhadap metilfenidat kadar metabolik tersebut berkurang 20% lebih rendah lagi (Shen and Wang, 1984). Rappoport et al.,

menunjukkan

bahwa

setelah

pemberian

monoamine oksidaxe inhibitor (MAOI), Clogyline atau tranylcypromine pada penderita ADHD terjadi perbaikan tingkah laku. Kedua zat tersebut menghambat metabolism norepinefrin (Rappoport et al., 1985). Hasil berbagai penelitian farmakologi tersebut menunjukkan bahwa gangguan pada system norepinefrin berperan pada terjadinya gejala ADHD, tetapi tidak menjadi penyebab tunggal. Terjadinya ADHD disebabkan oleh beberapa system yang berbeda tetapi memiliki hubungan yang erat. System tersebut memiliki peran yang berbeda terhadap metabolism dopamin atau norepinefrin. Meskipun berbagai obat anti ADHD memiliki komposisi kimiawi berbeda, mekanisme kerja obat tersebut berbagi sama baik dopaminergik ataupun norepinefrinergik. Norepinefrin dan dopamine atalah poten agonis pada reseptor D4 dicelah paskasinaptik, gen reseptor dopamin D4 (DRD 4) sampai saat ini telah dianggap sebagai penyebab gangguan ini (Landau et al., 1997; Biederman, 200). Berbagai penelitian tersebut menunjukkan bahwa tidak ada satu gambaran patofisiologi tertentu pada ADHD, tetapi semua penelitian tersebut menunjukkan adanya disfungsi pada jarak fronto-subkortikal 15

yang berperan dalam penegendalian pemusatan perhatian dan perilaku motorik. Berbagai penelitian pencitraan otak menunjukkan adanya disfungsi pada area frontal tersebut dimana neuron dopaminergic masuk ke lobus frontalis central menuju ke korteks prefrontal dari area subkortikal. Disfungsi pada area tersebut menyebabkan terjadinya defisit kendali implus (Fungsi frontal), kesulitan memusatkan perhatian (fungsi batak otak) dan kesulitan belajar (fungsi higher kortikal (Desch, 1989; Biederman, 2000). 4. Faktor psikososial Willis dan Lovaas berpendapat bahwa perilaku hiperaktivitas disebabkan oleh buruknya rangsang pengendalian oleh perintah dari ibu, dan pengaturan perilaku yang buruk pada anak timbul dari manajemen pengasuhan orang tua yang buruk (Willis dan Lovaas, 1977). Berbagai penelitian juga menunjukkan adanya pengaruh factor lingkungan terhadap terjadinya gangguan ini seperti stimulasi berlebihan oleh orang tua pada waktu mengasuh anak dan masalah psikologis yang terjadi pada orang tua (Carlson, Jackobfitz & Sroufe, 1995; Barkle, 1998). Berbagai penelitian lain menunjukkan bahwa perintah, petunjuk dan sikap negative orangtua terhadap anak ADHD menjadi berkurang setelah anak tersebut memberikan respon terhadap pengobatan (Barkley, 1998).

Pada

berbagai

penelitian

terhadap

anak

kembar

juga

menunjukkan bahwa pengaruh dari sikap orang tua terhadap terjadinya perilaku hiperaktif sangat kecil, pengaruh tersebut hanya terdapat pada kurang dari 10% varians gejala tersebut di populasi umum (Goodman & Stevenson, 1989). Jadi, factor yang timbul dari sikap orangtua tidak merupakan kontributor yang bermakna terhadap terjadinya ADHD. 5. Faktor Lingkungan Berbagai toksin endogen pernah dianggap sebagai penyebab ADHD, seperti : keracunan timbal, aditif makanan, reaksi alergi (Feingold, 1973, 1976 ; David, 1974 ; Taylor, 1986 ; Wender, 1986 : Hazel & Schumaker, 1988). Tetapi berbagai penelitian terhadap factor tersebut tidak ada yang memberikan bukti adanaya hubungan yang bermakna antara factor tersebut dan terjadinya ADHD (Zametkin & Rapoport, 1986 ; Matson, 1993).

16

Berdasarkan temuan hasil penelitian sampai saat sekarang belum dapat diidentifikasi penyebab utama ADHD. Namun, berbagai factor berperan terhadap pathogenesis gangguan ini. Di antara berbagai factor tersebut factor biomedik memegang peranan utama, khususnya factor genetik

yang

berpengaruh

pada

patofisiologi

ADHD,

dimulai

daripatogenesis pada jenjang molekuler sampai pada defisit proses aktivasi, inhibisi, regulasi, ataupun fungsi eksekutif dari fungsi kognitif otak. Factor psikososial berpengaruh terhadap perjalanan penyakit dan prognosis atau hasil dari gangguan ini. Kondisi psikososial yang buruk berpengaruh kuat terhadap interaksi anak dan orangtua, hal ini mengakibatkan hasil dan prognosis gangguan ini menjadi buruk sehingga masalah psikososial yang timbul akibat gangguan ini makin kompleks. Kondisi psikososial di Indonesia berbeda dari kondisi psikososial di berbagai negara barat, yaitu Amerika dan Eropa, tempat penelitian longitudinal untuk mengamati hasil dan prognosis ADHD banyak dilakukan. Hal itu terjadi karena perbedaan norma dan budaya yang berpengaruh pada sikap orangtua dan guru terhadap anak yang menderita ADHD di Indonesia. Terdapat kecenderungan orangtua dan guru di Indonesia lebih menitikberatkan pada akibat atau kegagalan yang ditimbulkan oleh tingkah laku anak yang menderita ADHD, khususnya kegagalan mencapai prestasi akademik. Di Indonesia akses dan kesempatan untuk melakukan tindakan agresif, kriminal lebih sedikit dibandingkan dengan di Negara barat. Berdasarkan hal tersebut terdapat kemungkinan bahwa perjalanan penyakit, prognosis atau hasil dari gangguan ini, baik di masa remaja ataupun dewasa, kualitasnya berbeda dari hasil yang teramati pada berbagai penelitian di negara barat.

E. Tipe-Tipe Gangguan ADHD 1) Tipe ADHD Gabungan Untuk mengetahui ADHD tipe ini dapat didiagnosis atau dideteksi oleh adanya paling sedikit 6 diantara 9 kriteria untuk perhatian, ditambah paling sedikit 6 diantara 9 kriteria untuk hiperaktivitas impulsifitas. Munculnya enam gejala tersebut berkali-kali sampai dengan tingkat yang signifikan disertai adanya beberapa bukti, antara lain sebagai berikut :

17

a. Gejala-gejala tersebut tampak sebelum anak mencapai usia 7 tahun. b. Gejala-gejala diwujudkan pada paling sedikit dua seting yang berbeda. c. Gejala yang muncul menyebabkan hambatan yang signifikan dalam kemampuan akademik. d. Gangguan ini tidak dapat dijelaskan dengan lebih baik oleh kondisi psikologi atau psikiatri lainnya. 2) Tipe ADHD kurang memerhatikan dan Tipe ADHD hiperaktif impulsive Untuk mengetahui ADHD tipe ini, dapat didiagnosis oleh adanya paling sedikit 6 diantara 9 gejala untuk perhatian dan mengakui bahwa individu-individu tertentu mengalami sikap kurang memerhatikan yang mendalam tanpa hiperaktivitas atau impulsifitas. Hal ini merupakan salah satu alas an mengapa dalam beberapa buku teks, kita menemukan ADHD ditulis dengan garis –AD/HD. Hal ini membedakan bahwa ADHD kurang memerhatikan dari jenis ketiga yang dikenal dengan tipe hiperaktif impulsive. 3) Tipe ADHD hiperaktif impulsive Tipe ketiga ini menuntut paling sedikit 6 diantara 9 gejala yang terdaftar pada bagian hiperaktif impulsifitas. Tipe ADHD kurang memerhatikan ini mengacu pada anak-anak yang mengalami kesulitan lebih besar dengan memori (ingatan) mereka dan kecepatan motor perceptual (persepsi gerak), cenderung untuk melamun dan kerap kali menyendiri secara social.

F. Psikopatologi ADHD Sebagian besar profesional sekarang percaya bahwa ADHD terdiri dari tiga masalah pokok: kesulitan dalam perhatian berkelanjutan, pengendalian atau penghambatan impuls, kegiatan berlebihan. Beberapa periset, seperti Barkley, menambahkan masalah-masalah lain seperti kesulitan metauhi peraturan dan instruksi, adanya vairiabilitas berlebih dalam berespons situasi, khusunya pekerjaan sekolah. Singkatnya ADHD merupakan suatu gangguan perkembangan yang mengakibatkan ketidakmampuan mengatus perilaku, khususnya untuk mengantisipasi tindakan dan keputusan masa depan. Anak yang mengidap ADHD relative tidak mampu menahan diri untuk merespons situasi pada saat tertentu. Mereka benar-benar tidak bisa 18

menunggu. Penyebabnya diperkirakian karena mereka memiliki sumber biologis yang kuat yang ditemukan pada anak-anak dengan predisposisi keturunan (Martin, 1998). Beberapa penelitian belum dapat menyimpulkan penyebab pasti dari ADHD. Seperti halnya dengan gangguan perkembangan lainnya (autisme), beberapa faktor yang berperan dalam timbulnya ADHD adalah faktor genetik, perkembangan otak saat kehamilan, perkembangan otak saat perinatal, Tingkat kecerdasan (IQ), terjadi disfungsi metabolism, hormonal, lingkungan fisik

dan sosial

sekitar, asupan gizi,

dan orang-orang

dilingkungan sekitar termasuk keluarga. Beberapa teori yang sering dikemukakan adalah hubungan antara neurotransmitter dopamine dan epinephrine. Teori faktor genetik, beberapa penelitian dilakukan bahwa pada keluarga penderita, selalu disertai dengan penyakit yang sama setidaknya satu orang dalam keluarga dekat. Orang tua dan saudara penderita ADHD memiliki resiko hingga 2- 8 x terdapat gangguan ADHD (Klik dokter, 2008). Teori lain menyebutkan adanya gangguan disfungsi sirkuit neuron di otak yang dipengaruhi oleh berbagai gangguan neurotransmitter sebagai pengatur gerakan dan control aktifitas diri. Beberapa faktor resiko yang meningkatkan terjadinya ADHD : kurangnya deteksi dini, gangguan pada masa kehamilan (infeksi, genetic, keracuanan obat dan alkohol, rokok dan stress psikogenik), gangguan pada masa persalinan (premature, postmatur, hambatan persalinan, induksi, kelainan persalinan) (Klikdokter, 2008). Menurut Isaac (2005) anak dengan ADHD atau attention Deficit Hyperactivity Disorder mempunyai ciri-ciri anrtara lain: 1. Sulit memberikan perhatian pada hal-hal kecil. 2. Melakukan kesalahan yang ceroboh dalam pekerjaan sekolah. 3. Sulit berkonsentrasi pada satu aktivitas. 4. Berbicara terus, sekalipun pada saat yang tidak tepat. 5. Berlari-lari dengan cara yang disruptif ketika diminta untuk duduk atau diam. 6. Terus gelisah atau menggeliat. 7. Sulit menunggu giliran. 8. Mudah terdistraksi oleh hal-hal yang terjadi di sekelilingnya. 9. Secara impulasif berkata tanpa berpikir dalam menjawab pertanyaan. 10. Sering salah menempatkan tugas-tugas sekolah, buku atau mainan.

19

11. Tampak tidak mendengar, sekalipu diajak berbicara secara langsung.

Skema ADHD ( Dr. Dwidjo Saputro, 2009 ) DISFUNGSI OTAK

HIPOKSIA OTAK

GENETIK

HIPOFUNGSI SISTEM DOPAMIN DAN NOREPRIN

DISFUNGSI KORTIKO STRIATAL

20

DISFUNGSI KORTEKS PREFONTAL

DEFEK FUNGSI KOGNITIF

 

KEGAGALAN INHIBISI PERILAKU TERTUNDANYA RESPONS PERILAKU

GEJALA UTAMA ADHD YAITU INATTENTIVENESS dan IMPULSIVITAS

DIAGNOSIS ADHD

Deteksi Dini Adhd (Guru, Orang Tua) Dan Diagnosis Adhd  Akurasi

(DOKTER UMUM)

Meningkat (Dokter Umum)

G. Manifestasi Klinik Menurut Townsend (1998) ada beberapa tanda dan gejala yang dapat dapat ditemukan pada anak dengan ADHD antara lain : a. Sering kali tangan atau kaki tidak dapat diam atau duduknya mengeliatgeliat. b. Mengalami kesulitan untuk tetap duduk apabila diperlukan c. Mudah bingung oleh dorongan-dorongan asing d. Mempunyai kesulitan untuk menunggu giliran dalam suatau permainan atau keadaan di dalam suatu kelompok e. Seringkali menjawab dengan kata-kata yang tidak dipikirkan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang belum selesai disampaikan

21

f.

Mengalami kesulitan untuk mengikuti instruksi-instruksi dari orang lain

g. Mengalami kesulitan untuk tetap bertahan memperhatikan tugas-tugas atau aktivitas-aktivitas bermain h. Sering berpindah-pindah dari satu kegiatan yang belum selesai ke kegiatan lainnya i.

Mengalami kesulitan untuk bermain dengan tenang

j.

Sering berbicara secara berlebihan.

k. Sering menyela atau mengganggu orang lain l.

Sering tampaknya tidak mendengarkan terhadap apa yang sedang dikatakan kepadanya

m. Sering kehilangan barang-barang yang diperlukan untuk tugas-tugas atau

kegiatan-kegiatan

yang

berbahaya

secara

fisik

tanpa

mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan akibatnya (misalnya berlari-lari di jalan raya tanpa melihat-lihat). H. Komplikasi ADHD a. Diagnosis sekunder-gangguan

konduksi,

depresi,

dan

penyakit

ansietas . b. Pencapaian akademik kurang, gagal disekolah, sulit membaca dan mengerjakan aritmatika ( sering kali akibat abnormalitas konsentrasi ). c. Hubungan dengan teman sebaya buruk ( sering kali perilaku agresif dan kata-kata yang diungkapkan ). d. IQ rendah / kesulitan belajar ( anak tidak duduk tenang dan belajar ). e. Resiko kecelakaan ( karena impulsivitas ). f. Percaya diri rendah dan penolakan teman-teman sebaya ( perilakunya membuat anak-anak lainnya marah ). I.

Pemeriksaan Penunjang ADHD Menurut Doenges, 2007 pemeriksaan diagnostic yang dilakukan pada anak dengan ADHD antara lain : a. Pemeriksaan Tiroid : dapat menunjukkan gangguan hipertiroid atau hipotiroid yang memperberat masalah. b. Tes neurologist (misalnya EEG, CT scan) menentukan adanya gangguan otak organic. c. Tes psikologis sesuai indikasi : menyingkirkan adanya gangguan ansietas, mengidentifikasi bawaan, retardasi borderline atau anak tidak mampu belajar dan mengkaji responsivitas social dan perkembangan bahasa.

22

d. Pemeriksaan diagnostic individual bergantung pada adanya gejala fisik (misalnya ruam, penyakit saluran pernapasan atas, atau gejala alergi lain, infeksi SSP). e. Pemeriksaan darah : Ditemukan toksin dalam darah penderita ADHD. Selain itu ilakukan skrining DDTK pada anak pra sekolah dengan ADHD : Tujuannya adalah untuk mengetahui secara dini anak adnya Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) pada anak umur 36 bulan ke atas. Jadwal deteksi dini GPPH pada anak prasekolah dilakukan atas indikasi atau bila ada keluhan dari orang tua/pengasuh anak atau ada kecurigaan tenaga kesehatan, kader kesehatan, BKB, petugas PADU, pengelola TPA, dan guru TK. Keluhan tersebut dapat berupa salah satu atau lebih keadaan di bawah ini : a. Anak tidak bisa duduk tenang b. Anak selalu bergerak tanpa tujuan dan tidak mengenal lelah c. Perubahan suasan hati yang yang mendadak/impulsive Alat yang digunakan adalah formulir deteksi dini Gangguan Pemusatan Perhatian danHiperaktivitas/GPPH (Abbreviated Conners Ratting Scale) yaitu Formulir yang terdiri dari 10 pertanyaan yang ditanyakan kepada orangtua / pengasuh anak / guru TK dan pertanyaan yang perlu pengamatan pemeriksa. Cara menggunakan formulir deteksi dini GPPH : a. Ajukan pertanyaan dengan lambat, jelas dan nyaring, satu persatu perilakuyang tertulis pada formulir deteksi dini GPPH. Jelaskan kepada orangtua / pengasuh anak untuk tidak ragu-ragu atau takut menjawab. b. Lakukan pengamatan kemampuan anak sesuai dengan pertanyaan pada formulir deteksi dini GPPH. c. Keadaan yang ditanyakan/diamati ada pada anak dimanapun anak berada,misal ketika di rumah, sekolah, pasar, took, dll. Setiap saat dan ketika anak dengan siapa saja. d. Catat jawaban dan hasil pengamatan perilaku anak selama dilakukan pemeriksaan. Teliti kembali apakah semua pertanyaan telah dijawab. FORMULIR DETEKSI DINIGANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN DAN HIPERAKTIVITAS (GPPH) (Abbreviated Conners Ratting Scale) Kegiatan yang diamati 1.Tidak kenal lelah, atau aktivitas yang berlebihan

23

0

1

2

3

2.Mudah menjadi gembira, impulsive 3.Menganggu anak-anak lain 4.Gagal menyelesaikan kegiatan yang telahdimulai, rentang perhatian pendek 5.Menggerak-gerakkan anggota badan ataukepala secara terus-menerus 6.Kurang perhatian, mudah teralihkan 7.Permintaannya harus segera dipenuhi,,mudah menjadi frustasi 8.Sering dan mudah menangis 9.Suasana hatinya mudah berubah dengancepat dan drastic 10.Ledakkan kekesalan, tingkah laku eksplosif dan tak terduga. Jumlah : Nilai total : Interpretasi : a. Nilai 0 : jika keadaan tersebut tidak ditemukan pada anak. b. Nilai 1 : jika keadaan tersebut kadang-kadang ditemukan pada anak. c. Nilai 2 : jika keadaan tersebut sering ditemukan pada anak . d. Nilai3 : jika keadaan tersebut selalu ada pada anak.Beri nilai total 13 atau lebih anak kemungkinan dengan GPPH. Intervensi : a. Anak dengan kemungkinan GPPH perlu dirujuk ke Rumah Sakit yangmemiliki : fasilitas kesehatan jiwa atau tumbuh kembang anak untuk konsultasi lebih lanjut. b. Beri nilai total kurang dari 13 tetapi anda ragu-ragu, jadwalkan pemeriksaan ulang 1 bulan kemudian. Ajukan pertanyaan kepadaorangorang terdekat dengan anak (orang tua, pengasuh, nenek, guru,dsb). J. Pencegahan a. Skrining DDTK pada ADHD. b. Perawatan saat hamil ( hindari obat – obatan dan alkoholic ) untuk orang tua. c. Asupan nutrisi yang seimbang. d. Berikan rutinitas yang terstruktur ( membantu anak untuk mematuhi jadwal yang teratur). e. Manajemen perilaku (dapat mendorong anak untuk fokus pada apa yang mereka lakukan). K. Penatalaksanaan Medis dan Perawatan Pada Anak Dengan ADHD

24

A. Perawatan Menurut Baihaqi dan Sugiarmin (2006) perawatan yang dapat dilakukan orang tua terhadap anak yang menderita ADHD antara lain : a) Terapi medis : Mengendalikan simptom-simptom ADHD di sekolah dan rumah. b) Pelatihan manajemen orang tua : Mengendalikan perilaku anak yang merusak di rumah, mengurangi konflik antara orangtua dan anak serta meningkatkan pro-sosial dan perilaku regulasi diri. c) Intervensi pendidikan : Mengendalikan perilaku yang merusak di kelas, meningkatkan kemampuan akademik serta mengajarkan perilaku pro sosial dan regulasi diri. d) Merencanakan program-program bulanan : Melakukan penyesuaian di rumah dan keberhasilan ke depan di sekolah dengan mengombinasikan perlakukan tambahan dan pokok dalam program terapi. e) Melakukan konseling keluarga : Coping terhadap stres keluarga dan individu yang berkaitan dengan ADHD, termasuk kekacauan hati f)

dan permasalahan suami istri. Mencari kelompok pendukung : Menghubungkan anak dewasa dengan orang tua anak ADHD lainnya, berbagi informasi dan pengalaman

mengenai

permasalahan

umum

dan

memberi

dukungan moral. g) Melakukan konseling individu : Memberi dukungan di mana anak dapat membahas permasalahan dan curahan hati pribadinya Menurut Videbeck (2008) intervensi keperawatan yang dapat dilakukan pada anak dengan Attention Deficyt Hyperactivity Disorder (ADHD) antara lain : 1.

Memastikan keamanan anak dan keamanan orang lain dengan : a. Hentikan perilaku yang tidak aman. b. Berikan petunjuk yang jelas tentang perilaku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima. c. Berikan pengawasan yang ketat.

2.

Meningkatkan performa peran dengan cara : a. Berikan umpan balik positif saat memenuhi harapan. b. Manajemen lingkungan (misalnya tempat yang tenang dan bebas dari distraksi untuk menyelesaikan tugas).

25

3.

Menyederhanakan instruksi/perintah untuk : a. Dapatkan perhatian penuh anak. b. Bagi tugas yang kompleks menjadi tugas-tugas kecil. c. Izinkan beristirahat.

4.

Mengatur rutinitas sehari-hari a. Tetapkan jadual sehari-hari. b. Minimalkan perubahan. 5. Penyuluhan dan dukungan kepada klien atau keluarga dengan mendengarkan perasaan dan frustasi orang tua. 6. Berikan nutrisi yang adekuat pada anak yang mengalami ADHD. B.

Pengobatan Pengobatan terhadap anak dengan ADHD umumnya dilakukan dengan berbagai pendekatan termasuk program pendidikan khusus, modifikasi perilaku, pengobatan melalui obat-obatan dan konseling. Disamping pendekatan yang kontroversial antara lain melakukan diet khusus dan penggunaan obat-obatan serta vitamin-vitamin tertentu (Delphie, 2006). Menurut Videbeck (2008) obat stimulan yang sering digunakan untuk mengobati ADHD antara lain : 1) Metilfenidat (Ritalin) Dosis 10-60 dalam 2 – 4 dosis yang terbagi. Intervensi keperawatan pantau supresi nafsu makan yang turun, atau kelambatan pertumbuhan, berikan setelah makan, efek obat lengkap dalam 2 hari. 2) Dekstroamfetamin (Dexedrine) amfetamin (Adderall) Dosis 3-40 dalam 2 atau 3 dosis yang terbagi. Intervensi keperawatan, pantau adanya insomnia, berikan setelah makan untuk mengurangi efek supresi nafsu makan, efek obat lengkap dalam 2 hari. 3) Pemolin (Cylert) Dosis 37,5-112,5

dalam

satu

dosis

harian.

Intervensi

keperawatan pantay peningkatan tes fungsi hati dan supresi nafsu makan, dapat berlangsung 2 minggu untuk mencapai efek obat yang lengkap.

26

L. Peran Orang Tua Pada Anak ADHD 1. Sedini mungkin membiasakan anaknya untuk hidup dalam suatu aturan. Dengan menerapkan peraturan secara konsisten, anak dapat belajar untuk mengendalikan emosinya. 2. Sedini mungkin memberikan kepercayaan dan tanggungjawab terhadap apa yang seharusnya dapat dilakukan anak. 3. Kenali kondisi diri dan psikis anak. Dengan mengenali, orang tua tak akan memberikan tekanan yang berlebihan, yang dapat menyebabkan penolakan anak untuk melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. 4. Upayakan untuk menyediakan ruang belajar yang jauh dari gangguan televisi, mainan atau kebisingan. 5. Sedini mungkin melakukan monitoring dan evaluasi secara berkelanjutan, dan konsisten terhadap terapi yang sedang dijalankan oleh anak anda. 6. Biasakan anak untuk mengekspresikan emosinya dalam bentuk tulisan atau gambar. 7. Aturlah pola makan anak, hindari makanan dan minuman dengan kadar gula dan karbohidrat yang tinggi. 8. Ajaklah anak berekreasi ke tempat-tempat yang indah. Hal ini akan membantu anak untuk berpikiran positif. 9. Ajaklah anak untuk berlatih menenangkan diri. Misalnya dengan menarik nafas dalam-dalam dan keluarkan lewat mulut. Latihan ini bisa dilakukan berulang-ulang. M. Asuhan Keperawatan a) Pengkajian 1. Identitas Klien : ADHD terjadi pada anak usia 3 th, laki – laki cenderung memiliki kemungkinan 4x lebih besar dari perempuan untuk menderita ADHD. 2. Keluhan utama :

27

Keluarga mengatakan anaknya

tidak bisa diam, kaki atau

tangannya bergerak terus. 3. Riwayat penyakit sekarang : Orang tua atau pengasuh melihat tanda – tanda awal dari ADHD : a. Anak tidak bisa duduk tenang. b. Anak selalu bergerak tanpa tujuan dan tidak mengenal lelah. c. Perubahan suasan hati yang yang mendadak/impulsive. 4. Riwayat penyakit sebelumnya : Tanyakan kepada keluarga

apakah

anak

dulu

pernah

mengalami cedera otak. 5. Riwayat penyakit keluarga Tanyakan kepada keluarga apakah ada faktor genetic yang diduga sebagai penyebab dari gangguan hiperaktivitas pada anak. 6. Riwayat psiko,sosio, dan spiritual : Anak mengalami hambatan dalam bermain dengan teman dan membina

hubungan

dengan

teman

sebaya

nya

karena

hiperaktivitas dan impulsivitas. 7. Riwayat tumbuh kembang : a. Prenatal : Ditanyakan apakah ibu ada masalah asupan alcohol atau obat-obatan selama kehamilan. b. natal : Ditanyakan kepada ibu apakah ada penyulit selama persalinan. lahir premature, berat badan lahir rendah (BBLR). c. Postnatal : Ditanyakan apakah setelah lahir langsung diberikan imunisasi apa tidak. 8. Riwayat imunisasi Tanyakan pada keluarga apakah anak mendapat imunisasi lengkap. Usia
View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF