[Asal] Qowaid Dakwah - Hamam Said - Bahasa Indonesia

January 16, 2017 | Author: adeebmoonymoon | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download [Asal] Qowaid Dakwah - Hamam Said - Bahasa Indonesia...

Description

KATA PENGANTAR Sesungguhnya berdakwah kepada Allah adalah aktifitas yang paling mulia dan ibadah yang paling tinggi, dakwah adalah karakteristik yang paling khas bagi para Rasul dan kepedulian yang paling ditonjolkan oleh para wali dari para hambaNYA yang tulus ikhlas. Seseorang akan senantiasa mendakwahkan satu fikrah bila Ia telah benar-benar menguasainya dan berinteraksi dengan segala permasalahannya, seoarang da’i akan selalu hidup dengan dakwahnya dan dakwahnya pun senantiasa hidup bersamanya, dakwah selalu mengevaluasi dirinya sebagaimana dirinya juga selalu mengevaluasi kegiatan dakwahnya. Sesungguhnya Allah telah menghendaki terbukanya jalan dakwah islamiyah di zaman sekarang ini ke seluruh pelosok negeri, sehingga dakwah menjadi buah bibir dan sumber pelajaran di setiap negeri. Dakwah masuk ke seluruh segmen masyarakat yang beraneka ragam, dakwah tidak hanya terbatas pada orang-orang yang mendapat tugas resmi saja atau kepada orang yang menyandang predikat sebagai pemipin syiar agama, akan tetapi siapa saja dapat terlibat dalam dakwah, laki-laki, wanita, anak-anak, remaja, orang dewasa, dan para spesialis ilmu dan humaniora. Inilah fenomena yang kita dapati di beberapa universitas di dunia Islam maupun di dunia barat. Akan tetapi kemajuan dakwah islam hingga sekarang ini masih menyisakan banyak kendala dan hambatan baik internal maupun eksternal. Di antara hambatan dan kendala adalah : Pertama, sedikitnya jumlah murabbi dan muwajjihin yang mumpuni bila dikaitkan dengan daya tarik dan tingginya respon. Tampaknya fenomena ini menjadi permasalahan yang cukup serius dan harus segera diatasi, karena sebagian besar manusia hidup di lingkungan yang tidak baik yang bertentangan dengan pembentukan dan pembanguanan jiwa mereka, sementara di sisi lain banyak da’i yang tidak menguasai dalam memainkan peran tarbiyah dan takwin, juga dalam memberikan pandangan-pandangan terkait dengan beberapa permasalahan pelik. Kedua, Sebagian da’i juga kurang efisien dan efektif dalam menyiapkan program sesuai dengan level mad’u dan kebutuhan yang berbeda satu dengan yang lain, bahkan kekurangan semakin tampak pada aspek-aspek ushul dan kaidah. Menjadi persoalan yang sangat penting dan mendesak dakwah harus disampaikan dalam persepsi yang utuh dan menyeluruh dari awal hingga akhir, dibarengi dengan penguasaan menyeluruh dan mengetahui perioritas-perioritasnya. Ketiga, Usia produktif yang telah lewat. Sesungguhnya waktu yang dugunakan sebelum seseorang sampai kepada fase produktif adalah rentang waktu yang panjang, hal itu diawali dengan sebaran pengetahuan, informasi dan luasnya bahan bacaan dan pengalaman. Kembali kepada asholah adalah salah satu cara yang dapat membantu akselerasi ke fase produktif, dan dengan mengetahui kaidah-kaidah yang tepat kita tidak akan banyak membutuhkan hal-hal yang furu, dan kita bisa mensingkronkan antara luasnya medan dakwah dan terbatasnya waktu untuk pembentukan (takwin)

Keempat, Gigihnya penentangan terhadap dakwah. Yaitu segala daya upaya yang beraneka macam dengan peluang-peluangnya yang besar dalam menghambat jalan dakwah. Musuh-musuh dakwah memiliki pengalaman yang luas dalam menghambat orang dari jalan Allah. Meskipun pertikaian tajam terjadi antara komunisme dan kapitalisme, juga anatara eksisitensialisme dan nasionalisme dan faham-faham sesat lainnya, tetapi mereka dapat duduk satu meja ketika berbicara bagaimana memerang Islam dan dakwahnya. Upaya tersebut menghadirkan tantangan besar bagi para du’at di mana mereka harus mengetahui langkah-langkah para musuh dan membentengi manusia dari keburukan mereka dengan pendekatan preventif dan penyembuhan ( ‫ﺍاﺻﻠﻮﺏب ﺍاﻟﻮﻗﺎﻳﯾﺔ‬ ‫)ﻭوﺍاﻟﻌﻼﺝج‬. Sesungguhnya daya tarik dunia gemerlap (dugem) dan kesibukannya serta ikatanikatannya adalah rintangan di jalan dakwah bagi para da’i, karenanya para du’at harus memahami dinamika kehidupan dan orang-orangnya, hendaknya mereka didekati dengan jiwa kemanusiaan, metode yang menyentuh jiwanya dan bebrbagai sarana yang dapat membersihkan hatinya. Semoga fenomena yang menarik perhatian tentang kemajuan dakwah dikalangan ekonomi elit, di mana mereka hidup dalam gemerlap peradaban barat tetapi mereka menentang pengaruh jahiliyah moderen. Fenomen ini cukup membantu dalam membentuk imunitas dan daya tahan dalam menghadapi godaan dunia. Seorang da’i juga akan mendapatkan dirinya di hadapan gelombang pemikiran yang etrus bergerak dengan cepat, dan gelombang itu akan menerjang manusia di mana saja. Sebagai da’i dituntut untuk tegar dan konsisten dalam menghadapinya. Ketegaran dan konsisitensinya selalu terbangun di atas ilmu dan penguasaan topik permaslahannya. Beban tersebut di atas dan beban-beban lainnya mendesak kita untuk segera mengalihkan dakwah dari medan seremonial, emosional, orasi dan verbalisasi ke medan planning, program, spesialisasi dan fundamentalisasi. Tidaklah aneh bila kebutuhan-kebutuhan tersebut direalisasikan di era sekarang ini, karena dakwah terus meluas, bercabang dan banyak fokus, juga pengalaman dan gaya pendekatannya. Perluasan dan bercabangnya dakwah ini tidak akan efektif kecuali bila hal-hal yang prinsip dan mendasar telah dipahami dengan baik. Permasalahan dakwah bukanlah hal yang baru di anatara permasalahan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Umat Islam telah menikmati hadits-hadits Rasulullah SAW baik melalui jalru riwayah maupun dirayah, sehingga mereka dapati diri mereka membutuhkan ilmu ushul hadits dan istilah-istilah yang baku di dalamnya. Begitupula halnya dalam ilmu nahwu, sharaf, aqidah, tafsir, tarikh, fiqih. Sesungguhnya pokokpokok ilmu pengetahuan dan kaidah-kaidahnya datang pada periode mutakhir. Pada masa di mana seluruh ilmu pengetahuan diarahkan kepada asholah dan kaidah , maka ilmu dakwah adalah sekumpulan kata-kata yang membekas dan . Ilmu dakwah bukanlah ilmu dalam pengertian yang sebenarnya, karena sesungguhnya awal munculnya ilmu pengetahuan bila ada kebutuhan terhadapnya, tidak pernah terjadi masyarakat Islam menjadi terasing dan aneh, melainkan tetap eksis, mengamalakan nilai-

nilai Islam dan antusias menjalankannya, sebagian besar individunya terus berdakwah sebagaimana mereka hidup, makan dan minum, ketika daulah Islam mulai surut dan ikatan iman mulai terlepas, individu muslim mendapatkan dirinya asing di tengah masyarakat, masyarakat kembali dilanda buta akidah, fikroh dan keteraturan, sebagaimana yang terjadi pada masa jahiliyah pertama. Oleh karena itu sebagian dari para da’i mulai merintis (menta’sis) kembali dan memprogram tempat dan wadah untuk memunculkan kembali kehidupan yang islami dan merajut cita setelah didera putus asa. Para da’i mulai bergerak di timur dan barat, oleh bangsa arab maupun non arab. Para Ulama mulai belajar dari pengalaman dakwahnya dan menyingkap aspek-aspek positifnegatifnya. Meskipun nilai-nilai positif telah ditegaskan oleh gerakan dakwah di berbagai negeri, tetapi tetap membutuhkan penambahan distribusi potensi dan peluang dan mengerahkan segala upaya dalam proseskonstruksinya. Pendistribusian ini tidak akan efektif bila tidak disiapkan pribadi-pribadi yang produktif yang akan mengayomi level (mustawa) di bawahnya. Kemudian hendaknya masing-masing tugas dakwah harus disiapkan secara khusus dan waktu yang relevan, semua ini tidak akan terealisasi bila tidak menjalankan metode pengaturan tarbawy (nidzhom tarbawy) dengan perencanaan yang terarah dan jelas batasannya, disandarkan pada kaidah dan topik universal tanpa terjebak dalam arus pembahasan mengenai detil dan rincian. Dalam konteks inilah seorang da’i mengajukan ikhtisar yang difokuskan dalam pentarbiyahan, pembentukan, kepemimpinan, pengorganisasian, perencanaan dan evaluasi. Kitab ini saya persembahkan kepada seluruh ikhwan sebagai upaya untuk memantapkan dakwah dan meneguhkan orisinalitasnya, dengan beberapa model kaidah, sebagian tertuang dalam jabaran persepsi (tashawwurat) dan sebagian lainnya dalam beberapa pendekatan gaya dan cara (asalib) dan beberapa pendekatan sarana (wasail), dalam buku ini terdapat beberapa arahan teoritis yang saya kemukakan untuk dipelajari dan dikoreksi, Insya Allah tulisan ini hanyalah permulaan, bukan akhir segalanya. Allah di balik semua maksud da tujuan.

Humam Abdurrahim Said

KATA PENGANTAR CET II Ba,da tahmid dan sholawat. Cetakan terbaru ini dari kitab “qawaid dakwah ilallah” mengalami penambahan setelah 15 tahun dari cetakan sebelumnya. Cetakan pertama memuat 15 kaidah. Cetakan kedua ini merupakan penyempurnaan dengan penambahan enam kaidah lainnya. Dalam keenam kaidah ini ditekankan tentang perlunya kembali ke landasan orisinalitas syar’i dalam beberapa akspek aktifitas keislaman, seperti landasan orisinalitas untuk sebuah jamaah yang telah banyak menjadi pembicaraan tentang program, substansi dan karakteristiknya. Dan kaedah in telah menguji sikap kita trhadap berbagai fitnah terhadap dakwah.

Seperti halnya tambahan dalam cetakan kedua ini telah mencakup dua kaedah pokok dalam hal pemahaman. Pertama, orisinalisasi pemahaman (‫)ﺗﺄﺻﻴﯿﻞ ﺍاﻟﻔﻬﮭﻢ‬, urgensinya, patokan-patokannya, rukun-rukunnya, pengaruhnya dalam misi keislaman scara umum. Kedua, diskursus pemahaman yang mendalam dalam menghadapi pemahaman yang wajib. Juga mencakup dua kaidah utama lainnya tenatang amar ma’ruf Nahi munkar. Pertama, mengorisinalkan rukun yang mendasar ini bahagian dari rukun-rukun da’wah Islam. Kedua, diskursus tentang sebagian orientasi yang menyimpang dalam memahami al-Qur’an, hal ini harus dimunculkan untuk mendorong orientasi pergerakan yang positif dalam menghadapi pergerakan negatif yang diikuti oleh sbagaian umat Islam. Sesungguhnya tamabahan pada cetakan yang kedua ini telah mendatangkan nilai kesungguhan, nilai yang mencerminkan keunggulan hati sebelum keunggulan pena, jika saya benar maka hal itu dari Allah, jika saya salah maka hal itu berasal dari diri saya sendiri dan dari syaitan. Aku senantiasa berdo,a kepada Allah agar tidak menghalangiku dari pemberi wejangan dan nasehat. Segala puji bagi Allah Rabb sekalian alam. Dr Humam Abdurrahim Said Amman, 4 jumadil ula 1419 H 26 Agustus 1998 Kaidah pertama Da’wah kepada Allah adalah jalan keselamatan di dunia dan akherat. Seorang da’i hendaknya mengetahui bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia untuk tunduk kepada-NYA, sebagaimana firman-NYA :

ُ ‫َﻭو َﻣﺎ َﺧﻠَ ْﻘ‬ (56)‫ُﻭوﻥن‬ َ ‫ﺍاﻹ ْﻧ‬ ِ ‫ﺲ ﺇإِ ﱠﻻ ﻟِﻴﯿَ ْﻌﺒُﺪ‬ ِ ْ ‫ﺖ ْﺍاﻟ ِﺠ ﱠﻦ َﻭو‬ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS.Al-dzariyat (51) : 56 ). Ibadah hanya benar dilakukan bila didasari pengetahuan yang jelas, pengetahuan yang jelas tidak akan terwujud kecuali mengacu kepad manhaj yang telah digariskan oleh Allah SWT yang telah mengutus para rasul dan para nabinya. Mereka para Rasul dan para nabi adalah penyeru (du’at) yang menunjukan kepada kebnaran. Demikianlah kesibukan mereka dalam rangka merealisasikan kehendak Allah yang telah manjadikan Adam alaihissalam sebagai Khalifah di muka bumi, memutuskan perkara dengan ketetapan Allah dan melaksanakan segala perintah-NYA. Allah berfirman :

(30) ً‫ﺽض َﺧﻠِﻴﯿﻔَﺔ‬ َ ‫َﻭوﺇإِ ْﺫذ ﻗَﺎ َﻝل َﺭرﺑﱡ‬ ِ ْ‫ﻚ ﻟِ ْﻠ َﻤ َﻼﺋِ َﻜ ِﺔ ﺇإِﻧﱢﻲ َﺟﺎ ِﻋ ٌﻞ ﻓِﻲ ْﺍاﻷَﺭر‬

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". (QS. Al-baqarah : 30), maka dari itu tujuan Allah menciptakan manusia agar dirinya sibuk dengan perintah-NYA. Imam Ar-Razy berkata : “Ibadah yang bagaiamanakah yang menjadi sebab diciptakannya jin dan manusia?”. Kami tegaskan : “Ibadah yang dimaksud adalah mengagungkan perintah Allah dan menyayangi ciptaannya”. (Tafsir Ar-Razy : 28/453) Kemudia ArRazy berkata : “Mengagungkan Allah menuntut konsekwensi keharusan mengikuti syariat-NYA dan mentaati sabda rasul-NYA, Allah telah memberikan kenikmatan kepada hamba-hamba-NYA dengan mengutus para Rasul dan menjelaskan berbagai jalan dalam merealisasikan kedua bentuk ibadah tersebut di atas. Pembagian ini terkait dengan tugas ibadah adalah pembagian yang mutlak dan menyeluruh. Dakwah kepada Allah SWT adalah fenomena keagungan Allah SWT yang paling tinggi, dan seorang da’i yang menyerukan kepada fikrah atau sasaran tertentu dengan mengarahkan segala kesungguhan di jalannya, sesungguhnya hal itu dilakukan agar Ia dapat memnuhi pencapaian sasaran dan fikrahnya. Barangsiapa yang menyerukan kepada fikrah maka ia akan dievaluasi atas fikrahnya, sebagaimana fikrahnya juga akan dievaluasi berkenaan dengan dirinya. Dalam berdakwah kepada Allah terdapat bukti kasih sayang kepada Hamba-hamba-NYA, karena seorang da’i ingin mengeluarkan manusia dari jurang kehancuran dan perpecahan di bawah kungkungan penguasa lokal menuju keluasan Islam dan cakrawalanya yang menyejukan, serta aturannya yang mengarahkan kepada kebahagiaan manusia. Juga mengeluarkan mereka dari lobang api neraka menuju taman surga. Inilah dua sasaran ibadah, juga sekaligus menjadi sasaran dakwah, keselamatan ada pada capaian kedua sasaran tersebut. Para nabi Allah dan rasul-NYA telah berkomitmen dengan perintah Allah dal berdakwah kepada-NYA dan memelihara tujuan penciptaanNYA. Setiap rasul yang mulia selalu berobsesi dalam menyerukan manusia kepada keselamatan. Al-Qur’an telah menceritakan tentang pertarungan para nabi dengan kaumnya, selalu dipastikan bahwa pertarungan itu berakhir dengan kemenangan para du’at dan binasanya kaum penzalim penentang dakwah. Pada kisah nabi Nuh AS bersama kaumnya berakhir dengan :

ُ‫ﻓَ َﻜ ﱠﺬﺑُﻮﻩهُ ﻓَﻨَ ﱠﺠ ْﻴﯿﻨَﺎﻩهُ َﻭو َﻣ ْﻦ َﻣ َﻌﻪﮫُ ﻓِﻲ ْﺍاﻟﻔُ ْﻠ ِﻚ َﻭو َﺟ َﻌ ْﻠﻨَﺎﻫﮬﮪھُ ْﻢ َﺧ َﻼﺋِﻒَ َﻭوﺃأَ ْﻏ َﺮ ْﻗﻨَﺎ ﺍاﻟﱠ ِﺬﻳﯾﻦَ َﻛ ﱠﺬﺑُﻮﺍا ﺑِﺂﻳﯾَﺎﺗِﻨَﺎ ﻓَﺎ ْﻧﻈُﺮْ َﻛ ْﻴﯿﻒَ َﻛﺎﻥنَ ﻋَﺎﻗِﺒَﺔ‬ (73) َ‫ْﺍاﻟ ُﻤ ْﻨ َﺬ ِﺭرﻳﯾﻦ‬ Lalu mereka mendustakan Nuh, maka Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan mereka itu pemegang kekuasaan dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu.(QS. Yunus (10) : 73) Dalam kisah Hud AS bersama kaumnya juga berakhir dengan :

(58)‫ﻴﯿﻆ‬ ٍ ِ‫ﺏب َﻏﻠ‬ ٍ ‫َﻭوﻟَ ﱠﻤﺎ َﺟﺎ َء ﺃأَ ْﻣ ُﺮﻧَﺎ ﻧَ ﱠﺠ ْﻴﯿﻨَﺎ ﻫﮬﮪھُﻮﺩدًﺍا َﻭوﺍاﻟﱠ ِﺬﻳﯾﻦَ َءﺍا َﻣﻨُﻮﺍا َﻣ َﻌﻪﮫُ ﺑِ َﺮﺣْ َﻤ ٍﺔ ِﻣﻨﱠﺎ َﻭوﻧَ ﱠﺠ ْﻴﯿﻨَﺎﻫﮬﮪھُ ْﻢ ِﻣ ْﻦ َﻋ َﺬﺍا‬ Dan tatkala datang `azab Kami, Kami selamatkan Huud dan orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami; dan Kami selamatkan (pula) mereka (di akhirat) dari `azab yang berat.(QS. Hud (11) : 58) Sedangkan dalam kisah Nabi Saleh AS bersama kaumnya, hasilnya adalah :

‫ﻚ ﻫﮬﮪھُ َﻮ‬ َ ‫ﻱي ﻳﯾَﻮْ ِﻣﺌِ ٍﺬ ﺇإِ ﱠﻥن َﺭرﺑﱠ‬ َ ‫ﻓَﻠَ ﱠﻤﺎ َﺟﺎ َء ﺃأَ ْﻣ ُﺮﻧَﺎ ﻧَ ﱠﺠ ْﻴﯿﻨَﺎ‬ ِ ‫ﺻﺎﻟِﺤًﺎ َﻭوﺍاﻟﱠ ِﺬﻳﯾﻦَ َءﺍا َﻣﻨُﻮﺍا َﻣ َﻌﻪﮫُ ﺑِ َﺮﺣْ َﻤ ٍﺔ ِﻣﻨﱠﺎ َﻭو ِﻣ ْﻦ ِﺧ ْﺰ‬ (66)‫ْﺍاﻟﻘَ ِﻮﻱيﱡ ْﺍاﻟ َﻌ ِﺰﻳﯾ ُﺰ‬ Maka tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Shaleh beserta orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami dan (Kami selamatkan) dari kehinaan di hari itu. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa (QS. Hud : 66) Dalam kisah nabi Luth AS dakwahnya berhasil dengan : “Para utusan (malaikat) berkata :

ْ ِ‫ﻚ ﺑِﻘ‬ ْ ِ‫ﻄ ٍﻊ ِﻣﻦَ ﺍاﻟﻠﱠﻴﯿ ِْﻞ َﻭو َﻻ ﻳﯾَ ْﻠﺘَﻔ‬ ‫ﻚ‬ َ َ‫ﺖ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ ﺃأَ َﺣ ٌﺪ ﺇإِ ﱠﻻ ﺍا ْﻣ َﺮﺃأَﺗ‬ َ ِ‫ْﺮ ﺑِﺄ َ ْﻫﮬﮪھﻠ‬ َ ‫ﺼﻠُﻮﺍا ﺇإِﻟَ ْﻴﯿ‬ َ ‫ﻗَﺎﻟُﻮﺍا ﻳﯾَﺎﻟُﻮﻁطُ ﺇإِﻧﱠﺎ ُﺭر ُﺳ ُﻞ َﺭرﺑﱢ‬ ِ َ‫ﻚ ﻟَ ْﻦ ﻳﯾ‬ ِ ‫ﻚ ﻓَﺄَﺳ‬ ‫(ﻓَﻠَ ﱠﻤﺎ َﺟﺎ َء ﺃأَ ْﻣ ُﺮﻧَﺎ َﺟ َﻌ ْﻠﻨَﺎ ﻋَﺎﻟِﻴﯿَﻬﮭَﺎ‬81)‫ﺐ‬ ٍ ‫ْﺲ ﺍاﻟﺼﱡ ْﺒ ُﺢ ﺑِﻘَ ِﺮﻳﯾ‬ َ ‫ﺻﺎﺑَﻬﮭُ ْﻢ ﺇإِ ﱠﻥن َﻣﻮْ ِﻋ َﺪﻫﮬﮪھُ ُﻢ ﺍاﻟﺼﱡ ْﺒ ُﺢ ﺃأَﻟَﻴﯿ‬ َ َ‫ﺼﻴﯿﺒُﻬﮭَﺎ َﻣﺎ ﺃأ‬ ِ ‫ﺇإِﻧﱠﻪﮫُ ُﻣ‬ (82)‫ﻴﯿﻞ َﻣ ْﻨﻀُﻮ ٍﺩد‬ ٍ ‫َﺳﺎﻓِﻠَﻬﮭَﺎ َﻭوﺃأَ ْﻣﻄَﺮْ ﻧَﺎ َﻋﻠَ ْﻴﯿﻬﮭَﺎ ِﺣ َﺠﺎ َﺭرﺓةً ِﻣ ْﻦ ِﺳﺠﱢ‬ “Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu perhilah dengan membawa keluarga dan pengikutpengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorang di anataramu yang tertinggal, kecuali isterimu. Sesungguhnya mereka akan ditimpa adzab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya adzab kepada mereka ialah di waktu subuh, bukankah subuh itu sudah dekat?. Maka tatkala telah datang adzab kami, kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (kami balikkan), dan kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi (QS. Hud : 81-82). Kisah dakwah nabi Syuaib berakhir dengan :

‫ﺼ ْﻴﯿ َﺤﺔُ ﻓَﺄَﺻْ ﺒَﺤُﻮﺍا ﻓِﻲ‬ ‫ﺕت ﺍاﻟﱠ ِﺬﻳﯾﻦَ ﻅظَﻠَ ُﻤﻮﺍا ﺍاﻟ ﱠ‬ ِ ‫َﻭوﻟَ ﱠﻤﺎ َﺟﺎ َء ﺃأَ ْﻣ ُﺮﻧَﺎ ﻧَ ﱠﺠ ْﻴﯿﻨَﺎ ُﺷ َﻌ ْﻴﯿﺒًﺎ َﻭوﺍاﻟﱠ ِﺬﻳﯾﻦَ َءﺍا َﻣﻨُﻮﺍا َﻣ َﻌﻪﮫُ ﺑِ َﺮﺣْ َﻤ ٍﺔ ِﻣﻨﱠﺎ َﻭوﺃأَ َﺧ َﺬ‬ 94ْ) َ‫ﺎﺭر ِﻫﮬﮪھ ْﻢ َﺟﺎﺛِ ِﻤﻴﯿﻦ‬ ِ َ‫ِﺩدﻳﯾ‬ “Dan tatkala datang adzab kami, kami selamatkan Syuaib dan orang-orang yang beriman bersamanya dengan rahmat dari kami, dan orang-orang yang dzhalim dibinasakan oleh suatu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpangan di rumahnya”. (QS. Hud : 94) Dalam kisah Nabi Musa AS bersama Fir’aun dan kaumnya berakhir dengan hasil sebagai beikut :

‫( َﻭوﺃأَﻭوْ َﺭر ْﺛﻨَﺎ ْﺍاﻟﻘَﻮْ َﻡم ﺍاﻟﱠ ِﺬﻳﯾﻦَ َﻛﺎﻧُﻮﺍا‬136) َ‫ﻓَﺎ ْﻧﺘَﻘَ ْﻤﻨَﺎ ِﻣ ْﻨﻬﮭُ ْﻢ ﻓَﺄ َ ْﻏ َﺮ ْﻗﻨَﺎﻫﮬﮪھُ ْﻢ ﻓِﻲ ْﺍاﻟﻴﯿَ ﱢﻢ ﺑِﺄَﻧﱠﻬﮭُ ْﻢ َﻛ ﱠﺬﺑُﻮﺍا ﺑِﺂﻳﯾَﺎﺗِﻨَﺎ َﻭو َﻛﺎﻧُﻮﺍا َﻋ ْﻨﻬﮭَﺎ ﻏَﺎﻓِﻠِﻴﯿﻦ‬ ْ ‫َﺎﺭرﺑَﻬﮭَﺎ ﺍاﻟﱠﺘِﻲ ﺑَﺎ َﺭر ْﻛﻨَﺎ ﻓِﻴﯿﻬﮭَﺎ َﻭوﺗَ ﱠﻤ‬ ‫ﻚ ْﺍاﻟ ُﺤ ْﺴﻨَﻰ َﻋﻠَﻰ ﺑَﻨِﻲ ﺇإِ ْﺳ َﺮﺍاﺋِﻴﯿ َﻞ‬ َ ‫ﺖ َﻛﻠِ َﻤﺔُ َﺭرﺑﱢ‬ َ ‫ﺎﺭر‬ ِ ‫ﺽض َﻭو َﻣﻐ‬ ِ ‫ﻳﯾُ ْﺴﺘَﻀْ َﻌﻔُﻮﻥنَ َﻣ َﺸ‬ ِ ْ‫ﻕق ْﺍاﻷَﺭر‬ (137) َ‫ْﺮ ُﺷﻮﻥن‬ َ ‫ﺑِ َﻤﺎ‬ ِ ‫ﺻﺒَﺮُﻭوﺍا َﻭو َﺩد ﱠﻣﺮْ ﻧَﺎ َﻣﺎ َﻛﺎﻥنَ ﻳﯾَﺼْ ﻨَ ُﻊ ﻓِﺮْ ﻋَﻮْ ﻥنُ َﻭوﻗَﻮْ ُﻣﻪﮫُ َﻭو َﻣﺎ َﻛﺎﻧُﻮﺍا ﻳﯾَﻌ‬ Kemudian Kami menghukum mereka, maka Kami tenggelamkan mereka di laut disebabkan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka adalah orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami itu. Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya. Dan telah sempurnalah perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir`aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka (QS. Al-A’raf : 136137) Demikian pula halnya dengan sebuah desa tepi pantai :

‫ﺲ ﺑِ َﻤﺎ َﻛﺎﻧُﻮﺍا‬ ٍ ‫ﻓَﻠَ ﱠﻤﺎ ﻧَﺴُﻮﺍا َﻣﺎ ُﺫذ ﱢﻛﺮُﻭوﺍا ﺑِ ِﻪﮫ ﺃأَ ْﻧ َﺠ ْﻴﯿﻨَﺎ ﺍاﻟﱠ ِﺬﻳﯾﻦَ ﻳﯾَ ْﻨﻬﮭَﻮْ ﻥنَ ﻋ َِﻦ ﺍاﻟﺴﱡﻮ ِء َﻭوﺃأَ َﺧ ْﺬﻧَﺎ ﺍاﻟﱠ ِﺬﻳﯾﻦَ ﻅظَﻠَ ُﻤﻮﺍا ﺑِ َﻌ َﺬﺍا‬ ٍ ‫ﺏب ﺑَﺌِﻴﯿ‬ (165) َ‫ﻳﯾَ ْﻔ ُﺴﻘُﻮﻥن‬

Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. (QS. Al-A’raf : 165). Ayat-ayat tersebut di atas menguatkan bahwa keselamatan bagi dakwah kepada Allah, dan inilah janji Allah kepada orang-orang beriman :

ً َ ِ‫ﺛُ ﱠﻢ ﻧُﻨَﺠﱢ ﻲ ُﺭر ُﺳﻠَﻨَﺎ َﻭوﺍاﻟﱠ ِﺬﻳﯾﻦَ َءﺍاﻣﻨُﻮﺍا َﻛ َﺬﻟ‬ (103) َ‫ﺞ ْﺍاﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨِﻴﯿﻦ‬ َ ِ ‫ﻚ َﺣﻘّﺎ َﻋﻠَ ْﻴﯿﻨَﺎ ﻧُ ْﻨ‬ Kemudian Kami selamatkan rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman, demikianlah menjadi kewajiban atas Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman. (QS. Yunus : 103) Kemenangan orang orang mu’min adalah kemenangan para du’at ilallah “terbukti karena janji dan keputusan (Allah)”. Berkata Sayyid Qutub Rahimahullah : “Inilah garis yang telah ditetapkan Allah (sunnatullah) di muka bumi ini, inilah janji untuk para penolongNYA. Apabila terkadang perjalanan terasa panjang bagi bagi para du’at maka harus difahami seperti inilah jalannya. Hendaknya para du’at tetap yakin kemenenagan dan pergantian kekuasaan akan menjadi milik orang-orang beriman. Juga hendaknya para du’at jangan tergesa-gesa terhadap janji Allah, hal itu pasti akan terjadi di tengah perjalanan, Allah tidak akan menipudaya para penolong-NYA, dan tidak akan lemah untuk menolong mereka dengan kekuatan-NYA dan tidak akan menyerahkan mereka kepada musuh-musuh-NYA, bahkan allah akan selelau mengajarkan mereka, menambah pengetahuan mereka dan membekali mereka – dalam cobaan dan penderitaan – dengan bekalan perjalanan.

TIDAK ADA RUGINYA BERDAKWAH Kegiatan dakwah tidak seperti yang dianggap oleh kebanyakan orang, penuh dengan rasa letih, penderitaan, kepenatan dan kesengsaraan. Sesungguhnya kegiatan dakwah meskipun tidak terlepas dari kelelahan dan kepenatan, tetapi ia seperti makanan yang lezat, dan memuliakan hati. Oleh karena itu para aktifis dakwah selalu tetap berada di jalannya dengan nilai-nilai yang mahal dan berharga, melipur lara dan mendapatkan kematian adalah kehidupan yang sesungguhnya demi kepantingan dakwah. Mereka adalah orang yang paling bahagia bila di banding dengan yang lainnya (yang tidak berdakwah). Adapun akhir dari perjaunagn dakwah adalah kemenangan dan kekekalan, selain dari itu adalah kehancuran dan kebinasaan. DAKWAH MUHAMMAD : PERLINDUNGAN BAGI KEMANUSIAAN Bila diamati beberapa ayat yang menjelaskan tentang pertarungan para nabi dengan kaumnya, maka dapat disimpulkan bahwasanya mereka seluruhnya dimusnahkan oleh adzab Allah SWT, sehingga tidak ada lagi tersisa manusia berkeliaran, dan tidak luput seorangpun dari mereka. Dengan datangnya Nabi Muhammad tidak ada lagi pemusnahan massal, baik dengan topan, halilintar dan badai. Hal ini merupakan penghormatan bagi umat ini yang tidak pernah sunyi dari oranng yang berjuang untuk Allah dengan hujjah yang nyata dan kelompok yang terus eksis di atas perintah Allah (Dakwah), sampai tiba keputusan-NYA, kelompok tersebut adalah para da’i (du’at). Lantaran mereka Allah menetapkan keselamatan bagi umat ini dari kebinasaan secara masal. Akan tetapi ketika di bumi ini tidak ada lagi golongan mulia disisi Allah (Du’at), maka kiamat akan segera tiba, sebagaimana tertuang dalam beberapa Hadits, Rasulullah SAW bersabda :“Tidak terjadi kiamat kecuali bila seluruh manusia berbuat keburukan”. “Tidak akan terjadi kiamat bila measih ada orang yang menyebut “Allah Allah”, dalam riwayat yang lain, “sampai tidak ada yang berkata lagi di muka bumi ini : “Allah Allah”. “Diwafatkan orang-orang yang saleh dari generasi pertama hingga generasi berikutnya, seperti buah kurma dan biji gandum, yang tersisa kemudian hanya yang jelek-jeleknya saja, Allah tidak terbebani sedikitpun oleh keadaan mereka” Hadits-hadits tersebut di atas menunjukan bahwa terjadinya kiamat berkaitandengan hilangnya dawah dan para da’inya, saya tidak bermaksud bahwa kaitan ini kaitan sebab akibat, tetapi yang saya maksud adalah Allah senantiasa menghargai kemanusiaan dengan dakwah dan para da’inya. Sesungguhnya selama dakwah dan para da’inya terus berlan jut, maka tujuan penciptaan di muka bumi ini masih terus berlangsung. Akan tetapi bila dakwah dan para da’inya lenyap maka manusia telah rugi karena alasan kebaikan keberadaannya di muka bumi ini pun menjadi hilang dan tidak berlaku lagi. Demikianlah, sesungguhnya manusia berada dia antara dua titik, titik permulaan atau titik penghabisan. Titik permulaan diisyaratkan dalam firman Allah : “dan ketika berkata Tuhan mu kepada malaikat sesungguhnya aku menjadikan di muka bumi ini seorang khalifah”. Sedangkan titik penghabisan diisyaratkan dalm hadits rasulullah SAW : “ Sesungguhnya Allah akan mengirim aroma wewangian dari Yaman yang lebih lembut dari sutra, tidaklah engkau meninggalkan seseorang padanya keimanan seberat biji sawi, melainkan engkau telah menangkapnya (menyelamatkannya)

Imama Muslim telah mengeluarkan hadits dari abdurrahman bin Syamasah RA. : “Ketika aku bersama Maslamah bin Makhlad dan bersamanya Abdullah bin Amr bin Ash, berkata Abdullah : “Tidak akan terjadi kiamat kecuali kepada manusia durjana, bahkan merka lebih durjana dari kaum jahiliyah, do’a mereka ditolak oleh Allah. Tiba-tiba datanglah Uqbah bin Amir, maka berkata maslamah : “Hai Uqbah dengarlah apa yang diucapkan Abdullah”. Uqbah menjawab : “Dia lebih tahu, sedangkan saya pernah mendengar rasulullah SAW bersabda : Tidaklah sekelompok dari umatku berperang atas perintah Allah, mendesak musuh-musuh mereka, tidak membahayakan mereka orang-orang yang menentang mereka, sampai datangnya kiamat, sementara mereka tetap seperti itu”. Abdullah berkata : “kemudian Allah mengirim aroma seperti aroma kasturi, sentuhannya seperti sentuhan sutra, maka tidaklah engkau tinggalkan seseorang di dalam hatinya terdapat keimanan seberat biji sawi melainkan engkau menangkapnya, kemudia yang tersisa hanyalah manusia durjana, karena merekalah terjadi kiamat”. Dapat disimpulkan dari riwayat tersebut di atas satu petunjuk bahwa ada korelasi antara kelompok orang beriman dengan datangnya kiamat dan datangnya kiamat karena kedurjanaan manusia, pengertian dari korelasi yang dimaksud adaah semakin dekatnya kiamat, sebagaimana pendapat Imam Nawawi ketika menjelaskan hadits ini. Sedangkan hadits lain yang menyatakan : “Tidaklah sekelompok umatku terus eksis di atas kebenaran hingga hari kiamat”, tidak bertentangan, karena makna hadits mereka senantias di atas kebenaran, yaitu kebenaran mereka memperoleh aroma kasturi. Manakala seorang da’i telah mencanagkan dirinya untuk berjihad dan mendorong dirinya untuk berkorban di jalan Allah, dan memasuki satu celah untuk menghadapi musuhmusuh Islam, maka keahlian seperti itu akan menjadikan dirinya lebih mampu bermanuver, dan ia dengan idzin Allah akan menang dan selamat, sementara musuhnya akan hina binasa. Keselamatan yang dimaksud bukanlah keselamatan individu dari penyakit dan penderitaan, tetapi yang dimaksud adalah keselamatan jama,ah dan fikrah pada akhir perjuangan. Adapaun di akherat nanti gambaran keselamatan adalah kenikmatan permanen dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, di dalamnya terdapat sesuatu di mana mata (ketika di dunia) tidak pernah melihatnya, telinga tidak pernah mendengarkannya dan tidak pernah terlintas dalam hati siapapun. KAIDAH KEDUA (Seseorang mendapat hidayah Allah melalui engkau, maka hal itu lebih baik bagimu dari seekor unta merah) Itulah yang pernah disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada Ali bin Abi Thalib RA ketika beliau menyerahkan bendera kepadanya pada saat perang Khaibar. Kemudian ali berkata : “Atas dasar apa kita memerangi manusia, kita memeranginya sampai mereka seperti kita ?”. Rasul bersabda : Sabar, sampai engkau memasuki wilayah mereka, lalu dakwahkan mereka kepada Islam, dan sampaikan kepada mereka kewajibankewajibannya, maka demi Allah seseorang mendapatkan hidayah melalui engkau, hal itu lebih baik bagimu dari pada seekor unta merah”. Kenapa demikian?, karena hidayah Allah adalah petunjuk, tidakada setelah petunjuk kecuali kesesatan. Ketika Allah

memeberikan petunjuk kepada seurang da’i maka Allah akan sediakan orang uang ajan menerima dakwahnya, karena sesungguhnya nilai-nilai penerimaan dakwah itu sangat agung dan mulia, kita sebut saja diantaranya : 1. Berdakwah berarti menyelamatkan orang yang mendapat petunjuk dari api neraka, menlindungi dari panas dan gejolaknya, dijauhkannya seseorang dari api neraka disamping karunia dari Allah juga disebabkan oleh kesungguhan da’i dan pertolongannya, digantikan yang semula tempatnya kekal di dalam neraka menjadi kekal di dalam surga, ini adalah perkara yang tidak bisa dibandingkan dengan ketegori kebaikan apapun, tidak ada yang dapat menyamai tingkatannya, setinggi apapun tingkat kebaikan dan kedermawanan. Maka seorang da’i mempersembahkan surga sebagai hadiah untuk manusia di sekelilingnya, menenunjuki mereka tempat kebahagiaan, maka pahala yang seperti apa yang akan dicatat untuk para da’i di sisi Rabbnya kecuali pahala yang kadarnya sesuai dengan keagungan pemberinya. 2. Sesungguhnya setiap gerak dan diamnya orang yang mendapat hidayah, tasbih dan takbir yang terucap dari keduabelah bibirnya, setiap rakaat dan sujud yang dikerjakannya dan setiap kebaiakan yang digerakan allah melalui tangannya, itu semua disebabkan oleh peran dan usaha seorang da’i yang telah menunjukan jalan ke arah kebaikan, karenanya pahala bagi da’i seperti pahala orang yang mengerjakannya, sebagaimana sabda Nabi : “Yang menunjuki ke arah kebaikan seperti orang yang mengerjakannya”. Juga Nabi bersabda : “Barang siapa yang menerapkan kebiasaan yang baik dalam Islam maka baginya pahala dan pahala orang yang mengerjakannya tanpa dikurangi sedikitpun pahalanya”. Ini dari sisi pahala yang tak ada habisnya, Ia terus bertambah dari hari ke hari. Sesungguhnya kesungguhan Abu Bakar As-siddiq, Bilal, Ammar, Khadijah, Asma dan para sahabat dan sahabiyat lainnya, adalah modal yang paling utama dalam penerimaan manusia terhadap Allah hingga hari kiamat, dan sesungguhnya kesungguhan Nabi Muhammad SAW adalah titik awal dari setiap kesungguhan yang ditunjukan oleh setiap muslim, oleh karena itu bagi Rasulullah SAW – setelah Allah SWT- segala kemuliaan di atas kepala setiap orang Islam. 3. Bahwasanya yang memperoleh hidayah melalui tangan seorang da’i menjadi mitra baginya dalam menunaikan misinya, berpadulah kesungguhannya dengan kesungguhna da’inya. Demikianlah dkwah tidak akan bertambah melainkan dengan jalan dakwah itu Sendiri, dan tidak semakin menjadi kokoh kecuali dengan masuknya unsur-unsur baru yang mengikutinya. Tidaklah berubah keadaan kaum muslimin dari sembunyi-sembunyi menuju terang-terangan, kecuali setelah masuknya Umar dan hamzah ke dalam agama Allah Azza wa jalla. 4. Sesungguhnya wahai para da’i, siapa saja yang memperoleh hidayah melelui keduabelah tanganmu, maka itu berarti sebuah batu bata yang dicopot dari bangunan jahiliyah lalu diletakkan pada bangunan Islam. Hal ini dari sisi kekufuran dan kesesatan adalah sebuah kekalahan bagi Syaitan dan para pembantunya, dan kemenangan bagi Allah dan para penolongnya. Oleh karena setiap kali ada orang yang mendapat hidayah berkat dakwah, maka runtuhlah satu demi satu pilar-pilar bangunan jahiliyah. Begitulah problematika jahiliyah di kota Mekkah, setiap pagi menjadi bahan pembicaraan di

kalangan mereka. Orang-orang kafir berbicara tentang kaum yang mengikuti agama baru, memisahkan diri dan keluar dari masyarakatnya. Sementara kaum muslimin bergembira dengan semakin banyaknya orang-orang yang mendapat hidayah, seakan-akan saya membayangkan ad di bangunan kufur berproses setiap hari dan beruntuhan sedikit demi sedikit sehingga lahan dakwah menjadi lebih terbuka. KAIDAH KETIGA Pahala diberikan karena dakwahnya tidak tergantung dengan penerimaannya. 1. Kaidah tersebut menjawab kesalah kaprahan anggapan banyak orang, bahwa pahala bergantung dengan hasil duniawi yang kasat mata. Bila seperti itu, maka kebanyakan para Nabi tervonis gagal dalam dakwahnya, sebutan yang tidak pantas bagi para nabi Allah. Meskipun Nabi Nuh sangat sedikit pengikutnya dari kalangan orang-orang beriman, tetapi Ia telah mendakwahkan kaumnya dan menetap bersama mereka 950 tahun lamanya. Sebagaimana firman Allah :

‫ﺚ ﻓِﻴﯿ ِﻬﮭ ْﻢ ﺃأَ ْﻟﻒَ َﺳﻨَ ٍﺔ ﺇإِ ﱠﻻ َﺧ ْﻤ ِﺴﻴﯿﻦَ ﻋَﺎ ًﻣﺎ ﻓَﺄ َ َﺧ َﺬﻫﮬﮪھُ ُﻢ ﱡ‬ َ ِ‫َﻭوﻟَﻘَ ْﺪ ﺃأَﺭرْ َﺳ ْﻠﻨَﺎ ﻧُﻮﺣًﺎ ﺇإِﻟَﻰ ﻗَﻮْ ِﻣ ِﻪﮫ ﻓَﻠَﺒ‬ َ‫ﺍاﻟﻄﻮﻓَﺎﻥنُ َﻭوﻫﮬﮪھُ ْﻢ ﻅظَﺎﻟِ ُﻤﻮﻥن‬ Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Ankabut : 14) Zahir ayat tersebut – menurut Ibnu katsir – menerangkan bahwasanya nabi Nuh tinggal bersama kaumnya dan senantiasa mendakwahkan mereka kepada allah selama 950 tahun. Walaupun Nabi Nuh tinggal bersama kaumnya cukup lama, tetapi yang beriman kepadanya hanya sedikit saja. Firman Allah Ta’ala :

‫ﻚ ﺇإِ ﱠﻻ َﻣ ْﻦ‬ َ َ‫َﺣﺘﱠﻰ ﺇإِ َﺫذﺍا َﺟﺎ َء ﺃأَ ْﻣ ُﺮﻧَﺎ َﻭوﻓَﺎ َﺭر ﺍاﻟﺘﱠﻨﱡﻮ ُﺭر ﻗُ ْﻠﻨَﺎ ﺍاﺣْ ِﻤﻞْ ﻓِﻴﯿﻬﮭَﺎ ِﻣ ْﻦ ُﻛﻞﱟ َﺯزﻭوْ َﺟﻴﯿ ِْﻦ ْﺍاﺛﻨَﻴﯿ ِْﻦ َﻭوﺃأَ ْﻫﮬﮪھﻠ‬ ‫ﻖ َﻋﻠَ ْﻴﯿ ِﻪﮫ ْﺍاﻟﻘَﻮْ ُﻝل َﻭو َﻣ ْﻦ َءﺍا َﻣﻦَ َﻭو َﻣﺎ َءﺍا َﻣﻦَ َﻣ َﻌﻪﮫُ ﺇإِ ﱠﻻ ﻗَﻠِﻴﯿ ٌﻞ‬ َ َ‫َﺳﺒ‬ Hingga apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman: "Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman." Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit. (QS. Hud : 40) Bila diperhatikan pengecualian pada ayat ( ‫ ) ﻭوﻣﻦ ﺁآﻣﻦ‬sehingga tidak dapat dipahami bahwa jumlah orang berimannya banyak, oleh karenanya Allah memperjelas dengan ayat berikutnya .( ‫) ﻭوﻣﺎ ﺁآﻣﻦ ﻣﻌﻪﮫ ﺇإﻻ ﻗﻠﻴﯿﻞ‬ Begitulah permasalahan dakwah yang dihadapi kebanyakan para Nabi, mereka nanti akan dkumpulkan pada hari kiamat, sebagian mereka ada yang mempunyai pengikut satu dua tiga orang saja, sebagian mereka bahkan sama sekali tidak ada seorangpun orng beriman yang menjadi pengikutnya, Imam tirmidzi mentakhrij dari

jalur Ibnu Abbas Semoga Allah meridhoi keduanya seraya berkata : “Tatkala Nabi diisra’kan Nabi melewati beberap Nabi bersamanya pengikut yang banyak, beberapa Nabi lainnya sedikit jumlah pengikutnya dan beberapa nabi lagi tidak mempunyai satu orang pengikutpun. Karena itu Allah telah mengarahakan Rasul-NYA Muhammad SAW kepada pengertian tersebut di atas, ketika beliau diperintahkan berdakwah dan menyampaikan risalah, Allah tidak menuntut hasilnya. Allah berfirman :

ُ ‫ﻚ ﺇإِ ﱠﻻ ْﺍاﻟﺒَ َﻼ‬ ‫ﺍاﻹ ْﻧ َﺴﺎﻥنَ ِﻣﻨﱠﺎ َﺭرﺣْ َﻤﺔً ﻓَ ِﺮ َﺡح‬ َ ‫ﻙك َﻋﻠَ ْﻴﯿ ِﻬﮭ ْﻢ َﺣﻔِﻴﯿﻈًﺎ ﺇإِ ْﻥن َﻋﻠَ ْﻴﯿ‬ َ ‫ﻓَﺈِ ْﻥن ﺃأَ ْﻋ َﺮﺿُﻮﺍا ﻓَ َﻤﺎ ﺃأَﺭرْ َﺳ ْﻠﻨَﺎ‬ ِ ْ ‫ﻍغ َﻭوﺇإِﻧﱠﺎ ﺇإِ َﺫذﺍا ﺃأَ َﺫذ ْﻗﻨَﺎ‬ ْ ‫ﺼ ْﺒﻬﮭُ ْﻢ َﺳﻴﯿﱢﺌَﺔٌ ﺑِ َﻤﺎ ﻗَ ﱠﺪ َﻣ‬ ‫ﺍاﻹ ْﻧ َﺴﺎﻥنَ َﻛﻔُﻮ ٌﺭر‬ ِ ُ‫ﺑِﻬﮭَﺎ َﻭوﺇإِ ْﻥن ﺗ‬ ِ ْ ‫ﺖ ﺃأَ ْﻳﯾ ِﺪﻳﯾ ِﻬﮭ ْﻢ ﻓَﺈِ ﱠﻥن‬ Jika mereka berpaling maka Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah). Sesungguhnya apabila Kami merasakan kepada manusia sesuatu rahmat dari Kami dia bergembira ria karena rahmat itu. Dan jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar) karena sesungguhnya manusia itu amat ingkar (kepada ni`mat). (QS. Syura : 48)

ُ ‫ﻓَﻬﮭَﻞْ َﻋﻠَﻰ ﺍاﻟﺮﱡ ﺳ ُِﻞ ﺇإِ ﱠﻻ ْﺍاﻟﺒَ َﻼ‬ ‫ﻍغ ْﺍاﻟ ُﻤﺒِﻴﯿﻦ‬ maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. (QS. An-nahl : 35)

ُ ‫ﻮﻝل ﺇإِ ﱠﻻ ْﺍاﻟﺒَ َﻼ‬ ‫ﻍغ ْﺍاﻟ ُﻤﺒِﻴﯿﻦ‬ ِ ‫َﻭو َﻣﺎ َﻋﻠَﻰ ﺍاﻟ ﱠﺮ ُﺳ‬ . Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang." (QS. An-Nur : 54) Adapun urusan hidayah sepenuhnya ada di tangan Allah. Sebagaimana firman-NYA :

‫ﻚ َﻻ ﺗَ ْﻬﮭ ِﺪﻱي َﻣ ْﻦ ﺃأَﺣْ ﺒَﺒْﺖَ َﻭوﻟَ ِﻜ ﱠﻦ ﱠ‬ َ‫ﷲَ ﻳﯾَ ْﻬﮭ ِﺪﻱي َﻣ ْﻦ ﻳﯾَ َﺸﺎ ُء َﻭوﻫﮬﮪھُ َﻮ ﺃأَ ْﻋﻠَ ُﻢ ﺑِ ْﺎﻟ ُﻤ ْﻬﮭﺘَ ِﺪﻳﯾﻦ‬ َ ‫ﺇإِﻧﱠ‬ Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS. Al-Qashash : 56) 2. Esensi kaidah ini menjelaskan bahwasanya seorang da’i tidak boleh terjadi pada dirinya putus asa dan stress, akibat penentangan manusia dan ketiadaan respon mereka. Allah telah mengurangi beban kesulitan Nabi-NYA dan tidak membebani di luar kemampuannya, Allah berfirman :

‫ﻚ ﻫﮬﮪھُﺪَﺍاﻫﮬﮪھُ ْﻢ‬ َ ‫ْﺲ َﻋﻠَ ْﻴﯿ‬ َ ‫ﻟَﻴﯿ‬ Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk (QS. Al-Baqarah : 272)

‫ﺃأَﻓَ َﻤ ْﻦ ُﺯزﻳﯾﱢﻦَ ﻟَﻪﮫُ ﺳُﻮ ُء َﻋ َﻤﻠِ ِﻪﮫ ﻓَ َﺮﺁآﻩهُ َﺣ َﺴﻨًﺎ ﻓَﺈِ ﱠﻥن ﱠ‬ ‫ﻚ َﻋﻠَ ْﻴﯿ ِﻬﮭ ْﻢ‬ َ ‫ُﻀﻞﱡ َﻣ ْﻦ ﻳﯾَ َﺸﺎ ُء َﻭوﻳﯾَ ْﻬﮭ ِﺪﻱي َﻣ ْﻦ ﻳﯾَ َﺸﺎ ُء ﻓَ َﻼ ﺗ َْﺬﻫﮬﮪھَﺐْ ﻧَ ْﻔ ُﺴ‬ ِ ‫ﷲَ ﻳﯾ‬ ‫ﺕت ﺇإِ ﱠﻥن ﱠ‬ َ‫ﷲَ َﻋﻠِﻴﯿ ٌﻢ ﺑِ َﻤﺎ ﻳﯾَﺼْ ﻨَﻌُﻮﻥن‬ ٍ ‫َﺣ َﺴ َﺮﺍا‬ Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan)? maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. (QS. Fathir : 8)

‫ﻙك ﺇإِ ﱠﻻ ﺑِ ﱠ‬ ُ َ‫ِ َﻭو َﻻ ﺗَﺤْ َﺰ ْﻥن َﻋﻠَ ْﻴﯿ ِﻬﮭ ْﻢ َﻭو َﻻ ﺗ‬#‫ﺎ‬ َ‫ﻖ ِﻣ ﱠﻤﺎ ﻳﯾَ ْﻤ ُﻜﺮُﻭوﻥن‬ َ ‫ﺻ ْﺒ ُﺮ‬ َ ‫ﻚ ﻓِﻲ‬ َ ‫َﻭوﺍاﺻْ ﺒِﺮْ َﻭو َﻣﺎ‬ ٍ ‫ﺿ ْﻴﯿ‬ Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. (QS. AnNahl : 127) Ayat-ayat tersebut merupakan hiburan bagi Rasulullah, sebenarnya beliau sudah sangat berambisi untuk mentransfer kebaikan dan hidayah kepada mereka tetapi merekalah yang buta dan tuli. Hati yang remah terasa diiris-iris ketika melihat manusia bertumpukan di dalam api neraka seperti tumpukan kasur, seperti itulah keadaan rasulullah SAW. Lalu datanglah arahan dari Allah :

‫ﺚ ﺃأَ َﺳﻔًﺎ‬ َ ‫ﺎﺧ ٌﻊ ﻧَ ْﻔ َﺴ‬ َ ‫ﻓَﻠَ َﻌﻠﱠ‬ ِ ‫ﺎﺭر ِﻫﮬﮪھ ْﻢ ﺇإِ ْﻥن ﻟَ ْﻢ ﻳﯾ ُْﺆ ِﻣﻨُﻮﺍا ﺑِﻬﮭَ َﺬﺍا ْﺍاﻟ َﺤ ِﺪﻳﯾ‬ ِ َ‫ﻚ ﺑ‬ ِ َ‫ﻚ َﻋﻠَﻰ َءﺍاﺛ‬ Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al Qur'an). (QS. Al-Kahfi : 6) Dengan kata lain ayat tersebut menegaskan bahwa : “Apakah barangkali kamu (Ya Muhammad) akan membinasakan dirimu karena putus asa dan ngenaskrena mereka tidak mau beriman kepada Al-Qur’an. Imam Qatadah berkata : barangkali kamu ingin membunuh dirimu karena marah dan sedih terhadap sikap mreka. Sedangkan Mujahid mengatakan : jangalah engkau putus asa (ya! Muhammad) sampaikan terus risalah Allah, barang siapa yang mendapat petunjuk maka ha itu untuk dirinya, tapi barang siapa yang sesat, sesungguhnya kesesatan itu juga akan menimpa dirinya. Demikianlah tidak menjadi dosa bagi para da’i dari umat Muhammad, bila manusia tetap tidak menginginkan petunjuk dan tidak merespon mereka setelah memaksimalkan kesungguhan dalam mendakwahkan mereka, karena sesungguhnya Allah tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. 3. Kaidah ini akan mengobati penyakit para da’i yang emosional yang hanya menunggu hasil duniawi yang kasat mata, dan menjadikannya sarat keberlangsungan di jalan dakwah. Pandangan seperti itu ini hanyalah

kesalahpahaman di satu sisi dan secara jelas menyalahi kaidah-kaidah dakwah dalam Al-Qur’an dan sunnah. Al-Qur’an telah menegaskan bahwa tidak ada keterkaitan yang harus antara dakwah dan responnya (Istijabah), terkadang seorang Da’i teleh sedemikian antusiasnya, tetapi disikapi objek dakwah (mad’u) dengan sikap dingin bahkan melakukan penentangan. Sesungguhnya Al-Qur’an menjadikan antara dakwah dan istijabah adalah tahap yang sangat penting, sebagaimana firman Allah SWT:

‫َﺲ ﺍاﻟﺮﱡ ُﺳ ُﻞ َﻭوﻅظَﻨﱡﻮﺍا ﺃأَﻧﱠﻬﮭُ ْﻢ ﻗَ ْﺪ ُﻛ ِﺬﺑُﻮﺍا َﺟﺎ َءﻫﮬﮪھُ ْﻢ ﻧَﺼْ ُﺮﻧَﺎ ﻓَﻨُﺠﱢ َﻲ َﻣ ْﻦ ﻧَ َﺸﺎ ُء َﻭو َﻻ ﻳﯾُ َﺮ ﱡﺩد‬ َ ‫َﺣﺘﱠﻰ ﺇإِ َﺫذﺍا ﺍا ْﺳﺘَ ْﻴﯿﺌ‬ َ‫ﺑَﺄْ ُﺳﻨَﺎ ﻋ َِﻦ ْﺍاﻟﻘَﻮْ ِﻡم ْﺍاﻟ ُﻤﺠْ ِﺮ ِﻣﻴﯿﻦ‬

Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan mereka) dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada para rasul itu pertolongan Kami, lalu diselamatkan orang-orang yang Kami kehendaki. Dan tidak dapat ditolak siksa Kami daripada orang-orang yang berdosa. (QS. Yusuf : 110).

‫ ﺣﺘﻰ ﺇإﺫذﺍا ﺍاﺳﺘﻴﯿﺄﺱس ﺍاﻟﺮُﺳﻞ‬adalah fase ‫ ﻭوﻅظﻨﻮﺍا ﺃأﻧﻬﮭﻢ ﻗﺪ ُﻛﺬﺑﻮﺍا‬dan titik fase ini adalah pertengahan antara dakwah dan fase berikutnya ‫ ﺟﺎءﻫﮬﮪھﻢ ﻧﺼﺮﻧﺎ‬. Berkata Ibnu Katsir : “Allah mengingatkan bahwa pertolongannya akan diberikan kepada para Rasul-NYA dari situasi kritis dan penantian kemenangan dari Allah pada saat-saat yang sangat dibutuhkan. Allah befirman :

‫ﻀﺮﱠﺍا ُء َﻭو ُﺯز ْﻟ ِﺰﻟُﻮﺍا‬ ‫ﺃأَ ْﻡم َﺣ ِﺴ ْﺒﺘُ ْﻢ ﺃأَ ْﻥن ﺗَ ْﺪ ُﺧﻠُﻮﺍا ْﺍاﻟ َﺠﻨﱠﺔَ َﻭوﻟَ ﱠﻤﺎ ﻳﯾَﺄْﺗِ ُﻜ ْﻢ َﻣﺜَ ُﻞ ﺍاﻟﱠ ِﺬﻳﯾﻦَ َﺧﻠَﻮْ ﺍا ِﻣ ْﻦ ﻗَ ْﺒﻠِ ُﻜ ْﻢ َﻣ ﱠﺴ ْﺘﻬﮭُ ُﻢ ْﺍاﻟﺒَﺄْ َﺳﺎ ُء َﻭوﺍاﻟ ﱠ‬ ‫ﷲِ ﺃأَ َﻻ ﺇإِ ﱠﻥن ﻧَﺼْ َﺮ ﱠ‬ ‫َﺣﺘﱠﻰ ﻳﯾَﻘُﻮ َﻝل ﺍاﻟ ﱠﺮﺳُﻮ ُﻝل َﻭوﺍاﻟﱠ ِﺬﻳﯾﻦَ َءﺍا َﻣﻨُﻮﺍا َﻣ َﻌﻪﮫُ َﻣﺘَﻰ ﻧَﺼْ ُﺮ ﱠ‬ (214) ٌ‫ﷲِ ﻗَ ِﺮﻳﯾﺐ‬ Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.(QS. Al-Baqarah : 214) Sesunguhnya Aisyah RA berpendapat bahwa prasangka yang dimaksud pada ayat tersebut di atas adalah prasangka pengikutnya bukan prasangka Nabi kepada orang-orang yang didakwahinya. Aisya berpendapat seperti ini ketika Urwah bin Zubair RA berkata kepadanya bahwa sesungguhnya mereka meyakini kaum mereka telah mendustakan mereka, jadi itu bukan prasangka. Lalu Aisyah berkata : “ Ya, sungguh mereka memang meyakininya”, “lalu bagaimana dengan sangkaan bahwa mreka telah didustakan? Tanya Urwah. Aisyah menjawab : Allah tempat berlindung (ma’aadzallah) para Rasul tidak akan menyangka demikian kepada Rabb mereka. “lalu apa maksud ayat tersebut”? tanya Urwah lagi, Aisyah mengatakan : “Yang menyangka seperti itu adalah para pengikutnya yang telah beriman kepada Allah dan membenarkan-NYA, lalu mereka diuji dengan kesengsaraan dalam waktu yang cukup lama, sehingga kemenangan belum kunjung tiba, sampai para Rasul tidak punya harapan lagi terhadap kaum yang telah mendustakan

mereka, dan mereka para Rasul juga mengira bahwa pengikut-pengikutnya telah didustakan oleh kaumnya. Pendapat ini didasarkan pada bacaan Aisyah ‫ ُﻛﺬﺑﻮﺍا‬, sehingga subjeknya pengikut bukan para Rasul. Penyampaian ini sesuai dengan kedudukan Rasul yang mulia. Apabila kita jadikan dhamir itu kembali kepada para Rasul maka sangkaan mereka waktu itu adalah kaum mereka telah mendustakan mereka. Dan tidak menjadi masalah bila digabungkan antara kaum yang mendustakan para Rasul dan orang-orang yang emosional yang berprasngka buruk kepada Allah. 4. Hal tersebut di atas bukan berarti bahwa da’i tidak dituntut harus mengerahkan seluruh kesungguhannya, dan memanfaatkan sarana dan pendekatan yang terbaik, dan mengenai hal ini akan kami jelaskan dalam kaidah berikutnya. KAIDAH KEEMPAT Seorang Da’i harus sampai pada tingkatan penyampaian yang optimal dan selalu berusaha memberikan penyampaian yang menyentuh (balagh) Berdakwah tidak jauh berbeda dengan mempromosikan sautu barang. Kita yakin si pemilik barang akan menggunaka sarana, gaya dan pendekatan yang paling optimal dan yang paling luas pengaruhnya demi memenuhi kepuasan publik dengan barangnya. Bahkan jalan yang ditempuh untuk mengefektifkan promosinya digunakan komentar, gambar dan hadiah serta sarana-sarana lainnya. Dan Allah telah menjadikan penyampaian yang menyentuh (balagh) sebagai misi para Rasul dan Nabinya

ُ ‫ﻓَﻬﮭَﻞْ َﻋﻠَﻰ ﺍاﻟﺮﱡ ﺳ ُِﻞ ﺇإِ ﱠﻻ ْﺍاﻟﺒَ َﻼ‬ (35) ُ‫ﻍغ ْﺍاﻟ ُﻤﺒِﻴﯿﻦ‬ maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. (QS. An-nahl : 35) Allah mensifati ‫( ﺍاﻟﺒﻼﻍغ‬penyampaian) dengan ‫( ﺍاﻟﻤﺒﻴﯿﻦ‬terang) Juga Allah berfirman :

‫ﷲَ َﻭو َﻛﻔَﻰ ﺑِ ﱠ‬ ‫ﷲِ َﻭوﻳﯾَ ْﺨ َﺸﻮْ ﻧَﻪﮫُ َﻭو َﻻ ﻳﯾَ ْﺨ َﺸﻮْ ﻥنَ ﺃأَ َﺣﺪًﺍا ﺇإِ ﱠﻻ ﱠ‬ ‫ﺕت ﱠ‬ 39َ)‫ﺎ*ِ َﺣ ِﺴﻴﯿﺒًﺎ‬ ِ ‫ﺍاﻟﱠ ِﺬﻳﯾﻦَ ﻳﯾُﺒَﻠﱢ ُﻐﻮﻥنَ ِﺭر َﺳ َﺎﻻ‬ (yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan. (QS. Al-Ahzab : 39) Dan ketika manusia berpaling dari keimanan disitulah ditegaskan bahwa para nabi telah sampai kepada tingkat penyampaian yang optimal. Allah berfirman :

ُ ْ‫ﺼﺤ‬ (79) َ‫ﺻ ِﺤﻴﯿﻦ‬ َ َ‫ﻓَﺘَ َﻮﻟﱠﻰ َﻋ ْﻨﻬﮭُ ْﻢ َﻭوﻗَﺎ َﻝل ﻳﯾَﺎﻗَﻮْ ِﻡم ﻟَﻘَ ْﺪ ﺃأَ ْﺑﻠَ ْﻐﺘُ ُﻜ ْﻢ ِﺭر َﺳﺎﻟَﺔَ َﺭرﺑﱢﻲ َﻭوﻧ‬ ِ ‫ﺖ ﻟَ ُﻜ ْﻢ َﻭوﻟَ ِﻜ ْﻦ َﻻ ﺗُ ِﺤﺒﱡﻮﻥنَ ﺍاﻟﻨﱠﺎ‬ Maka Shaleh meninggalkan mereka seraya berkata: "Hai kaumku sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, dan aku telah memberi nasehat

kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat".(QS. AlA’raf : 79) Kalimat ‫ ﺑَﻠَ َﻎ‬bermakna ‫ﻭوﺻﻞ ﺃأﻭو ﻗﺎﺭرﺏب ﻋﻠﻰ ﺍاﻟﻮﺻﻮﻝل‬, sampai atau hampir mengenai sasaran. Berkata Ibnu Faris : ‫ ﺑَﻠَ َﻎ‬adalah ‫ﺍاﻟﻮﺻﻮﻝل ﺇإﻟﻰ ﺍاﻟﺸﻲء‬, sampai kepada sesuatu, contoh : ‫ﺑﻠﻐﺖ‬, ‫ﺍاﻟﻤﻜﺎﻥن ﺇإﺫذﺍا ﻭوﺻﻠﺖ ﺍاﻟﻴﯿﻪﮫ‬, demikianlah penyampaian yang bagus karena kefasihan lisan, sehingga tepat mengenai sasaran yang diinginkan. Berkat Al-Azhary : “Orang Arab mengatakan untuk satu pemberitaan yang disampaikanoleh seseorang kepada orang lain Lalu orang itu tidak merespon dan menindaklanjutinya, maka hal ini sikap tersebut ْ ‫ ﺳﻤ ُﻊ ﻻ‬atau ‫ﺳﻤﻌﺎ ً ﻻ ﺑﻠﻐﺎ‬, mendengar tapi tak sampai, dianggap jelek dengan istilah ‫ﺑﻠ ُﻎ‬ atau mendengarkannya tapi tidak sampai mengenai sasaran. Itulah bukti penggunaan kalimat yang efektif dan menyentuh yang memiliki karakter ‫ﺍاﻟﻮﺻﻮﻝل ﻭوﺍاﻻﻧﺘﻬﮭﺎء‬, sampai dan optimal. 1. Tidak mengapa bagi seorang da,i bila terus menerus dalam penyampaian efektif dan menyentuh, seseungguhnya Allah telah memperingatkan Nabinya untuk senantiasa melakukan hal itu, sebagaimana firman-NYA :

‫ﺎﺱس ﺇإِ ﱠﻥن ﱠ‬ ‫ﻚ َﻭوﺇإِ ْﻥن ﻟَ ْﻢ ﺗَ ْﻔ َﻌﻞْ ﻓَ َﻤﺎ ﺑَﻠﱠ ْﻐﺖَ ِﺭر َﺳﺎﻟَﺘَﻪﮫُ َﻭو ﱠ‬ َ ‫ْﺼ ُﻤ‬ َ ‫ﻚ ِﻣ ْﻦ َﺭرﺑﱢ‬ َ ‫ﻳﯾَﺎﺃأَﻳﯾﱡﻬﮭَﺎ ﺍاﻟ ﱠﺮﺳُﻮ ُﻝل ﺑَﻠﱢ ْﻎ َﻣﺎ ﺃأُ ْﻧ ِﺰ َﻝل ﺇإِﻟَ ْﻴﯿ‬ ِ ‫ﷲُ ﻳﯾَﻌ‬ َ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻚ ِﻣﻦَ ﺍاﻟﻨﱠ‬ (67) َ‫َﻻ ﻳﯾَ ْﻬﮭ ِﺪﻱي ْﺍاﻟﻘَﻮْ َﻡم ْﺍاﻟ َﻜﺎﻓِ ِﺮﻳﯾﻦ‬ Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanatNya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah : 67) Berkata Imam Qurtuby : “Hal itu adalah pengajaran untuk Nabi dalam mengemban ilmu pengetahuan untuk umatnya, agar tidak menyembunyikan sedikitpun dari syariat Allah SWT”. Karena bukanlah yang dimaksud dengan penyampaian/ ‫ ﺍاﻟﺒﻼﻍغ‬itu dengan pemberitahuan dan pemberitaan, tetapi maksudnya adalah sampai risalah-NYA kepada manusia. 2. Di antara tuntutan penyampaian adalah kesadaran da’i tentang apa yang disampaikannya, karena tidak ada penyampaian tanpa dibarengi kesadaran, sebagaiman sabda Nabi SAW :

‫ ﺛﻼﺙث‬،٬ ‫ ﻭوﻓ َﺮﺏبﱠ ﺣﺎﻣﻞ ﻓﻘﻪﮫ ﺇإﻟﻰ ﻣﻦ ﻫﮬﮪھﻮ ﺃأﻓﻘﻪﮫ ﻣﻨﻪﮫ‬،٬‫ﻀ َﺮ ﷲ ﺍاﻣﺮءﺍاً ﺳﻤﻊ ﻣﻘﺎﻟﺘﻲ ﻓﻮﻋﺎﻫﮬﮪھﺎ ﻭوﺣﻔﻈﻬﮭﺎ ﻭوﺑﻠﱠﻐﻬﮭﺎ‬ ‫" ﻧَ ﱠ‬ ‫ ﻓﺈﻥن‬،٬ ‫ ﻭوﻟﺰﻭوﻡم ﺟﻤﺎﻋﺘﻬﮭﻢ‬،٬ ‫ ﻭوﻣﻨﺎﺻﺤﺔ ﺃأﺋﻤﺔ ﺍاﻟﻤﺴﻠﻤﻴﯿﻦ‬،٬ < ‫ ﺇإﺧﻼﺹص ﺍاﻟﻌﻤﻞ‬: ‫ﻻ ﻳﯾُ َﻐ ّﻞ ﻋﻠﻴﯿﻬﮭﻦ ﻗﻠﺐ ﻣﺴﻠﻢ‬ .(1)"‫ﺍاﻟﺪﻋﻮﺓة ﺗﺤﻴﯿﻂ ﻣﻦ ﻭوﺭرﺍاءﻫﮬﮪھﻢ‬

‫ ﻭوﺃأﺧﺮﺟﻪﮫ ﺍاﻹﻣﺎﻡم‬،٬1015/2 ،٬ 84/1 ‫ ﻭوﺃأﺧﺮﺟﻪﮫ ﺍاﺑﻦ ﻣﺎﺟﺔ ﻛﺬﻟﻚ‬،٬ 34/5 ‫ﺃأﺧﺮﺟﻪﮫ ﺍاﻟﺘﺮﻣﺬﻱي ﻣﻦ ﺭرﻭوﺍاﻳﯾﺎﺕت ﻋﺪﻳﯾﺪﺓة‬ .24 :‫ ﻭوﺃأﺧﺮﺟﻪﮫ ﺍاﻟﺪﺍاﺭرﻣﻲ ﻓﻲ ﺍاﻟﻤﻘﺪﻣﺔ‬،٬ 183/5 ،٬ 82 ،٬ 80/4 ،٬ 225/3 ،٬ 437/1 ‫ﺃأﺣﻤﺪ ﻣﻦ ﻋﺪﺓة ﺭرﻭوﺍاﻳﯾﺎﺕت‬

( )

“Allah telah memberi kenikmatan wajah yang berseri-seri kepada sesorang yang mendengar sabdaku lalu Ia menyadarinya, menghafalnya dan menyampaikannya, dan telah dekat orang yang mendalami ilmu kepada yang lebih mendalaminya. Ada tiga hal yang tidak boleh terhalang dari hati Seorang muslim : Ikhlas berama karena Allah, menasehati pemimpi-pemimpin kaum Muslimin, dan komitmen dengan jamaah mereka, karena dakwah senantias membentang di belakang mereka. Berkata Al-Khitaby dalam syarah hadits ini : “‫ﻧَﻀﱠﺮ ﷲ‬, artinya Allah mendoakannya dengan “nadharah”, yaitu kenikmatan dan wajah yang berseri-seri, “nadharah” ini merupakan pengaruh dari penyampaian seorang da’i, maka para penyampai dakwah adalah : ‫ﺃأﺻﺤﺎﺏب ﺍاﻟﻮﺟﻮﻩه ﺍاﻟﻨﺎﺿﺮﺓة ﻓﻲ ﺍاﻟﺪﻧﻴﯿﺎ ﻭوﺍاﻵﺧﺮﺓة‬, pemilik wajah nan cerah di dunia dan di akhirat. Al-Khitaby mengambil faidah pelajaran dari hadits ini karena khawatir bagi orang yang kurang mendalaminya akan menyedehanakan hadits ini, karena itu ma’na menyadari dalm hadits tersebut adalah menghafal teksnya dan melaksanaknnya seperti apa yang disabdakan. Hendaknya seseorang yang mendalaminy harus menguasai makna-makna hadots yang dapat diambil faidah pelajarannya. Isyarat pada hadits tersebut menyangkut periwayatannya dan matan atau isinya berupa mengetahuan dan penjelasannya. 3. Penyampaian menuntut perkataan yang berbekas / ‫ﺍاﻟﺒﻼﻏﺔ‬ Keindahan untaian kata dijelasakan oleh Allah SWT dalm firmann-NYA :

ْ ‫ﷲُ َﻣﺎ ﻓِﻲ ﻗُﻠُﻮﺑِ ِﻬﮭ ْﻢ ﻓَﺄ َ ْﻋ ِﺮﺽضْ َﻋ ْﻨﻬﮭُ ْﻢ َﻭو ِﻋ‬ ‫ﻚ ﺍاﻟﱠ ِﺬﻳﯾﻦَ ﻳﯾَ ْﻌﻠَ ُﻢ ﱠ‬ ‫( َﻭو َﻣﺎ‬63)‫ﻈﻬﮭُ ْﻢ َﻭوﻗُﻞْ ﻟَﻬﮭُ ْﻢ ﻓِﻲ ﺃأَ ْﻧﻔُ ِﺴ ِﻬﮭ ْﻢ ﻗَﻮْ ًﻻ ﺑَﻠِﻴﯿ ًﻐﺎ‬ َ ِ‫ﺃأُﻭوﻟَﺌ‬ ْ ‫ﷲُ َﻣﺎ ﻓِﻲ ﻗُﻠُﻮﺑِ ِﻬﮭ ْﻢ ﻓَﺄ َ ْﻋ ِﺮﺽضْ َﻋ ْﻨﻬﮭُ ْﻢ َﻭو ِﻋ‬ ‫ﻚ ﺍاﻟﱠ ِﺬﻳﯾﻦَ ﻳﯾَ ْﻌﻠَ ُﻢ ﱠ‬ ‫ﻈﻬﮭُ ْﻢ َﻭوﻗُﻞْ ﻟَﻬﮭُ ْﻢ ﻓِﻲ ﺃأَ ْﻧﻔُ ِﺴ ِﻬﮭ ْﻢ ﻗَﻮْ ًﻻ‬ َ ِ‫ﺃأَﺭرْ َﺳ ْﻠﻨَﺎ ِﻣ ْﻦ ﺃأُﻭوﻟَﺌ‬ (63)‫ﺑَﻠِﻴﯿ ًﻐﺎ‬

Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. (QS. Ann-Nisa : 63)

Hendaknya seorang da’i menyampaikan kata-katanya dengn lafadz yang baik dengan makna yang indah, mencakup‫ ﺍاﻟﺘﺮﻏﻴﯿﺐ ﻭوﺍاﻟﺘﺮﻫﮬﮪھﻴﯿﺐ ﻭوﺍاﻟﺘﺤﺬﻳﯾﺮ ﻭوﺍاﻹﻧﺬﺍاﺭر ﻭوﺍاﻟﺜﻮﺍاﺏب ﻭوﺍاﻟﻌﻘﺎﺏب‬, katakata yang menyenangkan, menakutkan, memperingatkan, mengingatkan, motivasi pahala dan ancaman siksa. Karena kata-kata bila disampaikan dengan “balaghah”, akan besar pengaruhnya menghunjam ke dalam hati, tapi bila kata-katanya terlalu ringkas, tekanannya lemah dan maknanya kering, tidak akan berpengaruh pada hati sama sekali. Di dalam kitab Al-Lisan dijelaskan bahwa yang disebut ‫ ﺭرﺟﻞ ﺑﻠﻴﯿﻎ‬: adalah orang yang memiliki keindahan kata dan kefasihannya, apa yang disampaikannya itulah yang ada dalam hatinya. Karena itu “balaghah” bukan berarti menyampaikan kata-kata yang sulit dimengerti, pendekatan bahasa yang rumit dan jelimet, karena itu seorang da’i dalam menyampaikan dakwahnya harus mengetahui bahasa arab dan gaya bahasanya agar dapat

memberikan penyampaian yang berbekas. Semua itu menuntut kemauan untuk mengkaji dan menelaah bahsa arab, meliputi ilmu, bacaan, penulisan maupun percakapannya, serta melihat sastranya . baik puisi dan syairnya, dalam struktur ayat Al-Qur’an ada yang maknanya hanya satu pengertian ada juga yang dapat diartikan dengan beberapa makna. Oleh karena itu para da,i sekarang ini sangat perlu menguasai bahasa arab, dan tidak ada alasan untuk mengurangi perhatiannya terhadap hal ini. 4. Al-Qur,an menekankan kefasihan dan kelancaran berbicara Sebagaimana yang telah difirmankan Allah kepada nabi Musa AS. :

(28)‫(ﻳﯾَ ْﻔﻘَﻬﮭُﻮﺍا ﻗَﻮْ ﻟِﻲ‬27)‫َﻭوﺍاﺣْ ﻠُﻞْ ُﻋ ْﻘ َﺪﺓةً ِﻣ ْﻦ ﻟِ َﺴﺎﻧِﻲ‬ dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku, (QS. Thaha : 27-28) Nabi Musa AS telah menyadari bahwa kelancaran berbicara dan kefasihannya menjadi salah satu sebab membekasnya penyampaian dan kokohnya argumentasi. Berkata imam Ar-Razy : “Ulama berbeda pendapat dalam hal Nabi Musa meminta agar dilepaskan kekakuan lidahnya dalam beberapa versi”. Versi pertama : Agar tidak mengalami kesalahan fatal dalam menyampaikan risalah, versi kedua : untuk menghindari agar orang tidak lari, karena kekakuan dalam berbicara akan menyebabkan audien meremehkan pembicara dan tidak fokus memperhatikan pembicaraannya. Versi ketiga : meminta kemudahan dalam berbicara, karena menghadapi Firaun yang arogan dan sombong bisa jadi sangat menyulitkan pembicaraan, sebab kalau bicara sudah kesulitan sejak awal biasnya akan terus berlanjut hingga ajhirnya, karena itulah Musa As memohon kepada Allah diberikan kemudahn dan keringanan dalam berbicara. Faedah pelajaran yang dapat dipetik dari kaidah tersebut adalah bahwasanya da’i harus membiasakan dirinya berbicara tepat dan benar, kalau ternyata dirinya kaku dan kelu dalam berbicar bisa meminta bantuan kepada yang lebih fasih dan membantu kelancaran misi dakwahnya. Hal ini agar dakwahnya sampai kepada kualitas yang lebih berbekas dan jelas. Inilah pula yang diminta lagi oleh Nabi Musa kepada allah SWT :

(32)‫( َﻭوﺃأَ ْﺷ ِﺮ ْﻛﻪﮫُ ﻓِﻲ ﺃأَ ْﻣ ِﺮﻱي‬31)‫(ﺍا ْﺷ ُﺪ ْﺩد ﺑِ ِﻪﮫ ﺃأَ ْﺯز ِﺭرﻱي‬30)‫ﻫﮬﮪھَﺎﺭرُﻭوﻥنَ ﺃأَ ِﺧﻲ‬ (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, (QS. Thaha : 30-32)

(34)‫ُﻮﻥن‬ َ ُ‫ﺼ ُﺢ ِﻣﻨﱢﻲ ﻟِ َﺴﺎﻧًﺎ ﻓَﺄَﺭرْ ِﺳ ْﻠﻪﮫُ َﻣ ِﻌ َﻲ ِﺭر ْﺩد ًءﺍا ﻳﯾ‬ َ ‫َﻭوﺃأَ ِﺧﻲ ﻫﮬﮪھَﺎ ُﺭرﻭوﻥنُ ﻫﮬﮪھُ َﻮ ﺃأَ ْﻓ‬ ِ ‫ﺼ ﱢﺪﻗُﻨِﻲ ﺇإِﻧﱢﻲ ﺃأَ َﺧﺎﻑفُ ﺃأَ ْﻥن ﻳﯾُ َﻜ ﱢﺬﺑ‬

Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan) ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku". (QS. Al-Qashash : 34) Kata-kata ‫ﺭر ْﺩد ًءﺍا‬ ِ adalah sebutan untuk apa saja yang dpat dimintakan bantuannya. Sedangkan Imam Ar-Razy dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengertian ‫ ﻳﯾُﺼﺪﻗﻨﻲ‬bukan berarti bila Nabi Harun cukup mengatakan kepada nabi Musa : ‫ﺻﺪﻗﺖ‬, engkau benar!, atau orang akan mengatakan : “‫ “ ﺻﺪﻕق ﻣﻮﺳﻰ‬, benar apa yang dikatakan Musa. Akan tetapi yang dimaksud adalah Nabi Harun membantu dengan lisannya yang fasih mengemukakan beberapa argumentasi, menjawab hal-hal rumit dan sulit dimengerti, serta untuk mengcounter apa yang ُ yaitu dikemukakan oleh orang-orang kafir. Inilah yang dimaksud dengan ‫◌ﺻﺪﻗﻨﻲ‬ ‫ ﺍاﻟﺘﺼﺪﻳﯾﻖ ﺍاﻟﻤﻔﻴﯿﺪ‬pembenaran yang membawa faedah, bukan hanya mengatakan engkau benar, kalau hanya itu kefasihan nabi harun tidak terlalu dibutuhkan. 5. Di antara yang dapat membantu seorang da’i dalam menjelaskan dan menyampaikan dakwahnya, maka perlu didampingi oleh ikhwah lainnya, karena karena pendampingan mereka akan menguatkan dirinya dan memberikan rasa tenang di sisi yang lain. Akan tetapi hal ini diperlukan hanya untuk menghadapi objek dakwah yang besar, karena bila objek dakwah melihat bahwa sang da’i tidak sendiri tetapi disertai dengan para pendamping dan penolongnya, maka mereka akan memperhitungkan bahwa dakwah ini begitu besar pengaruhnya di masyarakat, dan menunjukan begitu kuatnya fikroh yang terdapat dalam dakwah ini. Allah SWT berfirman :

‫ﻚ‬ ُ ‫ﻗَﺎ َﻝل َﺳﻨَ ُﺸ ﱡﺪ َﻋ‬ َ ‫ﻙك ﺑِﺄ َ ِﺧﻴﯿ‬ َ ‫ﻀ َﺪ‬ Allah berfirman: "Kami akan membantumu dengan saudaramu (QS. Al-Qashash : 35) Allah juga berfirman melalui lisan Nabi Musa :

(32)‫( َﻭوﺃأَ ْﺷ ِﺮ ْﻛﻪﮫُ ﻓِﻲ ﺃأَ ْﻣ ِﺮﻱي‬31)‫(ﺍا ْﺷ ُﺪ ْﺩد ﺑِ ِﻪﮫ ﺃأَ ْﺯز ِﺭرﻱي‬30)‫(ﻫﮬﮪھَﺎﺭرُﻭوﻥنَ ﺃأَ ِﺧﻲ‬29)‫َﻭوﺍاﺟْ َﻌﻞْ ﻟِﻲ َﻭو ِﺯزﻳﯾﺮًﺍا ِﻣ ْﻦ ﺃأَ ْﻫﮬﮪھﻠِﻲ‬ dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, (QS. Thaha : 29-32) Mengenai ayat ini Imam Ar-Razy berkata dalam tafsirnya : “Ketahuilah bahwa meminta pendamping dengan alasan apakah karena seseorang khawatir dengan kelemahan dirinya untuk melaksanakan tugas dakwah atau semata-mata memenadang bahwa saling tolong menolong dalam hal agama dan upaya memperjuangkannya, dibarengi dengan cinta yang ikhlas dan menghilangkan prasangka, adalah keistimewaan yang mulia dalam urusan da’wah kepada Allah. Karena itulah Nabi Isa berkata :

‫ﺼﺎ ُﺭر ﱠ‬ ‫ﺎﺭرﻱي ﺇإِﻟَﻰ ﱠ‬ َ ‫ﺍاﺭرﻳﯾﱡﻮﻥنَ ﻧَﺤْ ﻦُ ﺃأَ ْﻧ‬ َ ‫َﻣ ْﻦ ﺃأَ ْﻧ‬ ِ‫ﷲ‬ ِ ‫ﷲِ ﻗَﺎ َﻝل ْﺍاﻟ َﺤ َﻮ‬ ِ ‫ﺼ‬ "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?" Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: "Kamilah penolong-penolong agama Allah", (QS. As-Shaf : 14) Dan Allah juga berfirman kepada Nabi Muhammad :

‫ﺣﺴﺒﻚ ﷲ ﻭوﻣﻦ ﺍاﺗﺒﻌﻚ ﻣﻦ ﺍاﻟﻤﺆﻣﻨﻨﻲ‬ “Cukuplah Allah bagimu (Muhammad) dan orang-orang yang mengikutimu”. (QS. Agar supaya seorang da’i sampai ke tingkat penyampaian yang berbekas, .5 hendaknya Ia menggunakan berbagai sarana yang tersedia sesuai maksud dan tujuan dakwah, inilah yang disebut dengan sarana presentasi dan sarana-sarana yang membantu lainnya. Seorang da’i hendaknya berbicara dengan audien dengan bantuan gambar, film, peta, skema, power point, out door, kisah, senandung, makhluk-makhluk Allah dan keajaiban penciptaannya. Nabi sendiri membutuhkan bantuan sarana presentasi, sebagaimana sabdanya :

‫ ﺇإﻥن‬: ‫ﻓﻘﺎﻝل‬

(2)

‫ ﻓﺄﺗﻰ ﺑ ُﺠ َﻤﺎﺭر‬ρ ‫ " ﻛﻨﺎ ﻋﻨﺪ ﺍاﻟﻨﺒﻲ‬: ‫ﺃأﺧﺮﺝج ﺍاﻟﺒﺨﺎﺭرﻱي ﻋﻦ ﺍاﺑﻦ ﻋﻤﺮ ـ ﺭرﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﻬﮭﻤﺎ ـ ﻗﺎﻝل‬ ،٬ ‫ ﻫﮬﮪھﻲ ﺍاﻟﻨﺨﻠﺔ ﻓﺈﺫذﺍا ﺃأﻧﺎ ﺃأﺻﻐﺮ ﺍاﻟﻘﻮﻡم‬:‫ ﻓﺄﺭرﺩدﺕت ﺃأﻥن ﺃأﻗﻮﻝل‬،٬‫ﻓﻲ ﺍاﻟﺸﺠﺮ ﺷﺠﺮﺓة َﻣﺜَﻠُﻬﮭﺎ ﻛﻤﺜﻞ ﺍاﻟﻤﺴﻠﻢ‬ ُ .(3) ‫ ﻫﮬﮪھﻲ ﺍاﻟﻨﺨﻠﺔ‬: ρ ‫ ﻓﻘﺎﻝل ﺍاﻟﻨﺒﻲ‬،٬ ‫ﻓﺴﻜﺖ‬

Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Umar RA, Ia berkata : “Kami pernah bersama Nabi, lalu beliau datang dengan membawa Jammar (yang terdapat di atas pucuk batang kurma, rasanya manis dan baik untuk dikonsumsi), Lalu Rasul bersabda : Sesungguhnya di dalam pohon terdapat pohon serupa seperti seorang muslim”, kemudian aku berkata : “Apakah itu pohon kurma?, kalau begitu aku adalah orang yang paling muda usia, Nabi terdiam, kemudian beliau bersabda : “Ya, itu adalah pohon kurma”. Demikianlah Nabi bertanya tentang pohon yang menyerupai seorang muslim dan seorang muslim yang men yerupainya, ketika bertanya, beliau sambil makan jammar. Berkata Ibnu Hajar : “Tatkala Nabi mengemukakan satu pertanyaan sambil memperlihatkan jammar, barulah Ibnu Umar paham bahwa yang ditanyakan itu adalah tentang pohon kurma”. NABI IBRAHIM AS MENGGUNAKAN SARANA PRESENTASI Al-Qur’an menceritakan kepada kita bagaimana Ibrahim AS menggunakan sarana Bantu presentasi ketika hendak mendakwahkan kaumnya untuk beribadah kepada Allah dan mengalihkan mereka dari menyembah bintang dan bulan. Allah berfirman :

.‫ ﻭوﻁطﻌﻪﮫ ﺣﻠﻮ ﻁطﻴﯿﺐ‬،٬‫ﺍاﻟ ُﺠ ﱠﻤﺎﺯز ﻣﺎ ﻓﻲ ﺭرﺃأﺱس ﺍاﻟﻨﺨﻠﺔ ﻣﻦ ﺍاﻟﻠﺐ‬ .‫ ﻣﻊ ﻓﺘﺢ ﺍاﻟﺒﺎﺭرﻱي‬165/1 ‫ﺃأﺧﺮﺟﻪﮫ ﺍاﻟﺒﺨﺎﺭرﻱي‬

() () 2

3

‫(ﻓَﻠَ ﱠﻤﺎ َﺭرﺃأَﻯى ْﺍاﻟﻘَ َﻤ َﺮ ﻓَﻠَ ﱠﻤﺎ ﺃأَﻓَ َﻞ‬76) َ‫ﻓَﻠَ ﱠﻤﺎ َﺟ ﱠﻦ َﻋﻠَ ْﻴﯿ ِﻪﮫ ﺍاﻟﻠﱠ ْﻴﯿ ُﻞ َﺭرﺃأَﻯى َﻛﻮْ َﻛﺒًﺎ ﻗَﺎ َﻝل ﻫﮬﮪھَ َﺬﺍا َﺭرﺑﱢﻲ ﻓَﻠَ ﱠﻤﺎ ﺃأَﻓَ َﻞ ﻗَﺎ َﻝل َﻻ ﺃأُ ِﺣﺐﱡ ْﺍاﻵﻓِﻠِﻴﯿﻦ‬ ‫ﺎﺯز َﻏﺔً ﻗَﺎ َﻝل‬ َ ‫(ﻓَﻠَ ﱠﻤﺎ َﺭرﺃأَﻯى ﺍاﻟ ﱠﺸ ْﻤ‬77) َ‫ﺎﺯز ًﻏﺎ ﻗَﺎ َﻝل ﻫﮬﮪھَ َﺬﺍا َﺭرﺑﱢﻲ َﺭرﺑﱢﻲ َﻷَ ُﻛﻮﻧ ﱠَﻦ ِﻣﻦَ ْﺍاﻟﻘَﻮْ ِﻡم ﺍاﻟﻀﱠﺎﻟﱢﻴﯿﻦ‬ ِ َ‫ﺲ ﺑ‬ ِ َ‫ﻗَﺎ َﻝل ﻟَﺌِ ْﻦ ﻟَ ْﻢ ﻳﯾَ ْﻬﮭ ِﺪﻧِﻲ ﺑ‬ ْ َ‫ﻫﮬﮪھَ َﺬﺍا َﺭرﺑﱢﻲ ﻫﮬﮪھَ َﺬﺍا ﺃأَ ْﻛﺒَ ُﺮ ﻓَﻠَ ﱠﻤﺎ ﺃأَﻓَﻠ‬ ُ ‫(ﺇإِﻧﱢﻲ َﻭو ﱠﺟﻬﮭ‬78) َ‫ﺖ ﻗَﺎ َﻝل ﻳﯾَﺎﻗَﻮْ ِﻡم ﺇإِﻧﱢﻲ ﺑَ ِﺮﻱي ٌء ِﻣ ﱠﻤﺎ ﺗُ ْﺸ ِﺮ ُﻛﻮﻥن‬ ‫ْﺖ َﻭوﺟْ ِﻬﮭ َﻲ‬ (79) َ‫ﺽض َﺣﻨِﻴﯿﻔًﺎ َﻭو َﻣﺎ ﺃأَﻧَﺎ ِﻣﻦَ ْﺍاﻟ ُﻤ ْﺸ ِﺮ ِﻛﻴﯿﻦ‬ َ ْ‫ﺕت َﻭو ْﺍاﻷَﺭر‬ ِ ‫ﻟِﻠﱠ ِﺬﻱي ﻓَﻄَ َﺮ ﺍاﻟ ﱠﺴ َﻤ َﻮﺍا‬ Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar", maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (QS. AlAn’am : 76 – 79) Itulah gaya berdialag dengan objek dakwah secara bertahap, sehingga dapat meruntuhkan keyakinan dan ideologinya dan mengokohkan argumentasi terhadapnya. Berlindung kepada Allah bahwa semua itu tidak menggambarkan keyakinan Nabi Ibrahim. B erkata Ar-Razy dalam tafsirnya : “Peristiwa tersebut terjadi karena pengamatan Nabi ibrahim terhadap kaumnya”, hal ini dibuktikan dalam firman Allah :

(83)‫ﻚ َﺣ ِﻜﻴﯿ ٌﻢ َﻋﻠِﻴﯿ ٌﻢ‬ َ ‫ﺕت َﻣ ْﻦ ﻧَ َﺸﺎ ُء ﺇإِ ﱠﻥن َﺭرﺑﱠ‬ َ ‫َﻭوﺗِ ْﻠ‬ ٍ ‫ﻚ ُﺣ ﱠﺠﺘُﻨَﺎ َءﺍاﺗَ ْﻴﯿﻨَﺎﻫﮬﮪھَﺎ ﺇإِ ْﺑ َﺮﺍا ِﻫﮬﮪھﻴﯿ َﻢ َﻋﻠَﻰ ﻗَﻮْ ِﻣ ِﻪﮫ ﻧَﺮْ ﻓَ ُﻊ َﺩد َﺭر َﺟﺎ‬ Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-An’am : 83) Oleh karena itu Allah mengatakan ‫ ﻋﻠﻰ ﻗﻮﻣﻪﮫ‬bukan ‫ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻪﮫ‬, Allah maha Tahu bahwa diskursus yang berlangsung denga kaumnya tersebut, hanya bertujuan untuk mengarahan dan menunjukan mereka kepada Iman dan Tauhid. Adapun ketika dalam dialog tersebut Nabi Ibrahim mengatakan ‫ﻫﮬﮪھﺬﺍا ﺭرﺑﻲ‬, maksudnya menjelaskan kebiasaan pengakuan dan keyakinan kaumnya, bukan keyakinan dirinya, sama halnya seperti Nabi Musa AS, ketika berkata kepada Samiri :

(97)‫ﻚ ﺍاﻟﱠ ِﺬﻱي ﻅظَ ْﻠﺖَ َﻋﻠَ ْﻴﯿ ِﻪﮫ ﻋَﺎ ِﻛﻔًﺎ ﻟَﻨُ َﺤﺮﱢ ﻗَﻨﱠﻪﮫُ ﺛُ ﱠﻢ ﻟَﻨَ ْﻨ ِﺴﻔَﻨﱠﻪﮫُ ﻓِﻲ ْﺍاﻟﻴﯿَ ﱢﻢ ﻧَ ْﺴﻔًﺎ‬ َ ‫َﻭوﺍا ْﻧﻈُﺮْ ﺇإِﻟَﻰ ﺇإِﻟَ ِﻬﮭ‬ dan lihatlah tuhanmu itu yang kamu tetap menyembahnya. Sesungguhnya kami akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan) (QS. Thaha : 97) Sesungguhnya Nabi Musa tidak sedikitpun menjustifikasi keyakinan mereka, tapi menceritakan pengakuan dan keyakinannya, juga ketika Allah berfirman :

(62) َ‫َﻭوﻳﯾَﻮْ َﻡم ﻳﯾُﻨَﺎ ِﺩدﻳﯾ ِﻬﮭ ْﻢ ﻓَﻴﯿَﻘُﻮ ُﻝل ﺃأَ ْﻳﯾﻦَ ُﺷ َﺮ َﻛﺎﺋِ َﻲ ﺍاﻟﱠ ِﺬﻳﯾﻦَ ُﻛ ْﻨﺘُ ْﻢ ﺗ َْﺰ ُﻋ ُﻤﻮﻥن‬ Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka seraya berkata: "Dimanakah sekutu-sekutu-Ku yang dahulu kamu katakan?" (QS. Al-Qashash : 62) Sekutu-sekutu yang dimaksud pada ayat tersebut adalah sebatas pengakuan orang-orang musyrik dan keyakinan mereka, bukan berarti Allah menyatakan adanya sekutu-sekutu baginya. Deikian pula nabi Ibrahim menghancurkan akidah mereka dalam gambaran ibadah yang berubah-rubah, setelah itu ditetapkan dan dikukuhkan pada Ibadah kepada Allah Yang Maha Esa dan Maha Kekal, yang tidak terdapat pada-NYA kekurangan dan perubahan. Contoh lain terdapat dalam firman Allah :

ً‫(ﺃأَﺋِ ْﻔ ًﻜﺎ َءﺍاﻟِﻬﮭَﺔ‬85) َ‫(ﺇإِ ْﺫذ ﻗَﺎ َﻝل ِﻷَﺑِﻴﯿ ِﻪﮫ َﻭوﻗَﻮْ ِﻣ ِﻪﮫ َﻣﺎ َﺫذﺍا ﺗَ ْﻌﺒُ ُﺪﻭوﻥن‬84)‫ﺐ َﺳﻠِ ٍﻴﯿﻢ‬ ٍ ‫(ﺇإِ ْﺫذ َﺟﺎ َء َﺭرﺑﱠﻪﮫُ ﺑِﻘَ ْﻠ‬83)‫َﻭو ِﻣ ْﻦ ِﺷﻨِﻴﯿ َﻌﺘِ ِﻪﮫ َ ِﻹ ْﺑ َﺮﺍا ِﻫﮬﮪھﻴﯿ َﻢ‬ ْ ‫(ﻓَﻨَﻈَ َﺮ ﻧ‬87) َ‫(ﻓَ َﻤﺎ ﻅظَﻨﱡ ُﻜ ْﻢ ﺑِ َﺮﺏبﱢ ْﺍاﻟ َﻌﺎﻟَ ِﻤﻴﯿﻦ‬86) َ‫ﷲِ ﺗُ ِﺮﻳﯾ ُﺪﻭوﻥن‬ ‫ُﺩدﻭوﻥنَ ﱠ‬ (89)‫(ﻓَﻘَﺎ َﻝل ﺇإِﻧﱢﻲ َﺳﻘِﻴﯿ ٌﻢ‬88)‫ُﻮﻡم‬ ِ ‫َﻈ َﺮﺓةً ﻓِﻲ ﺍاﻟﻨﱡﺠ‬ ْ ‫( ﻓَ َﺮﺍا َﻍغ َﻋﻠَ ْﻴﯿ ِﻬﮭ ْﻢ‬92) َ‫ َﻣﺎ ﻟَ ُﻜ ْﻢ َﻻ ﺗَ ْﻨ ِﻄﻘُﻮﻥن‬91) َ‫(ﻓَ َﺮﺍا َﻍغ ﺇإِﻟَﻰ َءﺍاﻟِﻬﮭَﺘِ ِﻬﮭ ْﻢ ﻓَﻘَﺎ َﻝل ﺃأَ َﻻ ﺗَﺄ ُﻛﻠُﻮﻥن‬90) َ‫ﻓَﺘَ َﻮﻟﱠﻮْ ﺍا َﻋ ْﻨﻪﮫُ ُﻣ ْﺪﺑِ ِﺮﻳﯾﻦ‬ 93‫ﺿﺮْ ﺑًﺎ ﺑِ ْﺎﻟﻴﯿَ ِﻤﻴﯿﻦ‬ َ Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh). (Ingatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci. (Ingatlah) ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Apakah yang kamu sembah itu? Apakah kamu menghendaki sembahan-sembahan selain Allah dengan jalan berbohong? Maka apakah anggapanmu terhadap Tuhan semesta alam?" Lalu ia memandang sekali pandang ke bintang-bintang. Kemudian ia berkata: "Sesungguhnya aku sakit".Lalu mereka berpaling daripadanya dengan membelakang. Kemudian ia pergi dengan diam-diam kepada berhala-berhala mereka; lalu ia berkata: "Apakah kamu tidak makan”? Kenapa kamu tidak menjawab?" Lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya dengan tangan kanannya (dengan kuat). (QS. Asshaffat : 83 – 91) Kita juga dapat menyimpilkam bahwasanya Nabi Ibrahim AS telah menggunakan cara, sehubungan dengan cara mereka yang selalu merawat inap orang yang sakit di samping berhala dengan harapan mendapat kesembuhan. Lihatlah bagaimana Ibrahim kemudian menghancurkan patung-patung yang kecil sementara membiarkan sebuah patung besar. Hali bertujuan agar mereka kembali kepada patung besarnya. Nabi Ibrahim ingin membuat kesan bahwa yang melakukan penghancuran berhala-berhala lainnya adalah patung yang paling besar, untuk menguatkan hal itu sengaja Ibrahim AS mengalungkan kapak di kepalanya, kisah ini tergambar jelas dalam firman Allah :

َ‫ﺽض ﺍاﻟﱠ ِﺬﻱي ﻓَﻄَ َﺮﻫﮬﮪھُ ﱠﻦ َﻭوﺃأَﻧَﺎ َﻋﻠَﻰ َﺫذﻟِ ُﻜ ْﻢ ِﻣﻦ‬ ِ ‫ﻗَﺎ َﻝل ﺑَﻞ َﺭرﺑﱡ ُﻜ ْﻢ َﺭرﺏبﱡ ﺍاﻟ ﱠﺴ َﻤ َﻮﺍا‬ ِ ْ‫ﺕت َﻭو ْﺍاﻷَﺭر‬ ‫( َﻭوﺗ ﱠ‬56) َ‫ﺍاﻟ ﱠﺸﺎ ِﻫﮬﮪھ ِﺪﻳﯾﻦ‬ ‫(ﻓَ َﺠ َﻌﻠَﻬﮭُ ْﻢ ُﺟ َﺬﺍا ًﺫذﺍا ﺇإِ ﱠﻻ َﻛﺒِﻴﯿﺮًﺍا‬57) َ‫َﺎ
View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF