Arsitektur Tradisional Bali

April 1, 2020 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Arsitektur Tradisional Bali...

Description

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI Permukiman/arsitektur tradisional adalah perwujudan ruang makro untuk menampung aktifitas kehidupan dengan pengulangan pola ruang dari generasi ke generasi berukutnya dengan sedikit atau tanpa perubahan, yang dilatarbelakangi oleh norma-norma agama dan dilandasi oleh adat kebiasaan setempat serta dijiwai kondisi dan potensi alam lingkungannya. Permukiman dan arsitekturnya yang berlokasi di Bali, dibangun, dihuni atau digunakan oleh penduduk Bali yang berkebudayaan Bali, kebudayaan yang berwajah natural dan berjiwa ritual. Permukiman dan arsitektur tradisional Bali, dihuni oleh masyarakat Bali/mereka yang ingin berada dalam ruang-ruang Bali yang umumnya cenderung merancang ruang-ruang yang dibangunnya dengan arsitektur tradisi dalam lingkungan binaan bermukim/permukimannya. Konsep perencanaan kawasan dan permukimannya mengadaptasi pada tempat, waktu, dan ruang serta orang/masyarakatnya. Konsep arsitekturnya yang berpedoman pada bentuk dan fungsi peruntukannya. Sistem konstruksi elemen-elemen struktur dengan menampilkan teknologi tradisional yang konstruktif-ornamental-fungsional. Juga tentang kreasi bentuk proporsi dan ragam hias yang disesuaikan dengan tipologi penyajiannya PERKEMBANGAN ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI Pola berfikir tradisional atitha, warthamana dan nagatha, sebagai landasan bahwa mengenal masa lampau dengan memprediksi kemungkinan di masa datang berpijak pada kenyataan masa sekarang, menjadikan ketidak pastian dan segala konflik, memerlukan telaah untuk pendekatan anggapan dan batasan dalam pola-pola analisis untuk suatu kesimpulan sebagai langkah penterapan. IDENTIFIKASI Keadaan alam Bali, pegunungan di tengan-tengah membujur dari barat ke timur dengan gunung-gunungnya, sehingga dataran terbelah di Bali Utara dan di Bali Selatan. Letak astronomi, letak geografi serta kondisi geologi, iklim dan keadaan alam Bali serupa itu sangat menentukan bentuik-bentuk perwujudan lingkungan binaan/arsitektur bermukim tradisionalnya (desa). KONSEP FILOSOFIS Kesinambungan alam/makrokosmos (bhuwana agung) dan manusia/mikrokosmos (bhuwana alit). Kesinambungan diatur melalui unsur-unsurnya yang disebut Panca Mahabhuta (5 unsur alam); apah, teja, bayu, akasa, pertiwi, atau air, sinar, angina, udara dan zat padat/tanah. Konsepsi perancangan arsitekturnya didasarkan pada tata nilai ruang yang dibentuk oleh 3 (tiga) sumbu, yaitu: 1) Sumbu kosmos, bhur, bhwah, swah (hidrosfir, litosfir, atmosfir); 2) Sumbu ritual, kangin-kauh terbit dan terbenamnya matahari);

3) Sumbu natural, kaja-kelod (gunung-laut). Masing-masing dengan daerah tengah yang bernilai madia. Dengan adanya pegunungan di tengah, maka untuk Bali Selatan, kaja adalah ke arah gunung di utara, kelod ke arah laut di selatan. Untuk Bali Utara, kaja adalah kea rah gunung di selatan, kelod kearah laut di utara. Kedua sumbu lainnya berlaku sama. SOSIOKULTUR Di dalam territorial desa adat penduduk di Bali juga terdiri dari beberapa tingkatan strata sosial Hindu yang disebut Kasta, yaitu brahmana, ksatrya,wesia, dan sudra. Dan dalam satu desa penduduknya ada yang terdiri dari keempat kasta, ada pula yang hanya tiga kasta, dan sering hanya terdiri dari dua yaitu wesia atau sudra saja. Dalam pekraman desa, kapling tempat tinggal warga brahmana disebut grya, ksatrya dinamakan puri/jero, wesia atau sudra disebut umah. KEKERABATAN Dalam sistem kemasyarakatan, di Bali pola kekrabatan/ikatan kekeluargaan merupakan pendekatan yang proporsional untuk mengurainya. Sebab Masyarakat Bali terikat dalam bentuk-bentuk kekrabatan (nyama, braya, soroh,warga) ikatan-ikatan upacara adat dalam satuan keturunan sebagai bentuk sistem kemasyarakatan terutama kehadiran bersama dalam upacara-upacara atau yadnya seperti manusa yadnya, pitra yadnya dan dewa yadnya (terdapat kepercayaan saling menyembah /saling sumbah) dalam batas-batas tertentu. Kesatuan wilayah merupakan bentuk dari sistem kemasyarakatan yang disebut Banjar dalam unit sub lingkungan dan Desa dalam bentuk kesatuan lingkungan. Teritorial desa merupakan satuan perangkat serta pengikat warga desa yang diatur oleh Awig-awig Desa Adat, kebiasaan dan kepercayaan (Sima/Dresta Desa, Desa Mawa Cara). Banjar dikoordinir oleh Kelihan Banjar, Kelihan Dinas untuk urusan dinas vertikal dan Kelihan Adat untuk urusan adat/horizontal warga desa POLA DESA Pola-pola permukiman tradisional yang selanjutnya disebut Desa Tradisional di Bali umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tata nilai ruang dari tata nilai ritual yang menempatkan zona ‘sakral’ dibagian kangin (timur) arah terbitnya matahari sebagai arah yang diutamakan. Berlanjut sampai pada penempatan zona ‘provan’ dibagian kauh (barat) arah terbenamnya matahari. Faktor kondisi dan potensi alam, nilai utama ada pada arah gunung dan kearah laut dinilai lebih rendah. Faktor sosioekonomi juga berpengaruh, bahwa desa nelayan menghadap ke-arah laut, desa petani menghadap kearah persawahan atau perkebunannya. Terjadi hubungan yang erat dan seimbang antara pola desanya dengan area tempat kerjanya. 

Pada kondisi lain di Bali, pola permukiman ada yang berpola Pempatan Agung yang disebut pula Nyatur Desa atau Nyatur Muka. Dua jalan utama yang menyilang Desa, Timur – Barat dan Utara – Selatan, membentuk silang perempatan sebagai pusat desa







  





(cross road). Balai Banjar sebagai pusat pelayanan sub lingkungan meneliti kearah sisi desa dengan jalan-jalan sub lingkungan sebagai cabang-cabang jalan utama. Di pempatan agung sebagai pusat lingkungan Pura Desa dan Pura Puseh atau Puri menempati zona kaja kangin, Balai Banjar atau wantilan desa ditempatkan di zone kaja kauh, lapangan desa menempati zone kelod kangin dan zone kelod kauh di tempati pasar desa. Kuburan desa dialokasikan di luar desa pada arah kelod atau arah kauh yang meru[pakan zona dengan nilai rendah. Tata letak perumahan dan bangunan-bangunan pelayanan disesuaikan dengan keadaan alam dan adat kebiasaan setempat. Beberapa desa ada yang berpola khusus, plaza di tengah (Desa TengananKarangasem), plaza dengan jalan lingkar sisi (Desa Julah-Singaraja), plaza dengan lorong-lorong dari plaza ke-arah tepi (Desa Bugbug- Karangasem) dan beberapa desa lainnya. Potensi dan kondisi alam lingkungan lokasi desa banyak mempengaruhi polapola perkampungan/desa di Bali. Desa-desa nelayan umumnya memanjang sepanjang pantai menghadap kearah laut, pola lingkungan mendekati bentuk linier dengan jalan searah garis pantai. Pola desa/perkampungan petani umumnya berorientasi kearah tengah dengan ruangruang terbuka di tengah sebagai pelayanan bersama. Desa Sukawana (Kintamani-Bangli) dan beberapa desa di pegunungan yang berlereng ke beberapa arah dengan beberapa punggung bukit orientasinya ke arah yang lebih tinggi pada zona masing-masing, atau puncak tertinggi sebagai orientasi bersama. Pola desa/perkampungan di desa-desa yang lokasinya di dataran dengan latar belakang laut atau pegunungan umumnya mendekati pola-pola tradisional yang umum berlaku. Desa-desa di pegunungan umumnya dengan pola menyebar, cenderung mendekati tempat-tempat kerja di perkebunan atau lading-ladang pertanian.

KINI Dalam perkembangan kekinian , prediksi serta proyeksi gerakan perubahan penduduk (Bali) yang umumnya merupakan gerakan yang cenderung semakin meningkat dari tahun ketahun, yang disebabkan oleh peningkatan pertambahan alamiah (kelahiran–kematian), dan pertambahan gerak perpindahan (mobilitas/migrasi – transmigrasi). Pertambahan penduduk dari tahun ketahun meningkat dan oleh karena pertambahan alamiah, ternyata pertambahan penduduk di pedesaan lebih tinggi (sepuluh tahun terakhir, rata-rata 1,5% per tahun). Di sisi lain kecenderungan terpandang ‘baru’ nmembutuhkan ruang-ruang berkatifitas atas nama aktifitas modernitas. PAWONGAN Pemikiran rasional telah mengabaikan rasa, rasa hanya dapat dirasakan secara individu dan bersifat subyektif, sedang rasio dapat membutikan kebenarannya secara ilmiah. Ketidak pahaman tersebut berdampak terhadap menurunnya keyakinan akan nilai-nilai dan makna

yang ada dibalik perwujudan fisik arsitekturnya. Akhirnya pola spasial hunian tradisional banyak ditinggalkan penghuninya berpaling ke pola spasial hunian non tradisional. Era modern pertambahan penghuni dan makin sempit/mahalnya lahan sebagai faktor pengubah pola spasial hunian tradisional. Keberadaan arsitektur tanpa Undagi dan/atau Arsitek telah memunculkan degradasi sistem nilai spasial hunian menjadi disharmonis, akhirnya hubungan antara manusia (bhuana alit) selaku isi tidak harmonis lagi dengan huniannya (bhuana agung) selaku wadahnya. Disamping secara filosofis hunian tradisional Bali hanya harmonis bila dihuni oleh satu keluarga, karena dasar pengukuran (sikut/sukat) hanya berpatokan kepada penghuni utama (anangga ayah). Keterbatasan lahan dan pertambahan penghuni (jumlah KK) telah memunculkan “rumah” di dalam “umah”, bukan “bale“ di dalam “umah”. Sikap yang paling rasional bagi setiap orang adalah mengadakan “penyesuaian sistem nilai” sedemikian rupa, sehingga sistem tersebut sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Dalam konteks ATB membulatnya jalinan antara nilai-nilai arsitektur, adat-istiadat dan agama Hindu, sangat sulit untuk memilah dan memilih nilai-nilai mana yang harus dilestarikan dan nilai-nilai mana yang dapat di ‘ubah-suaikan guna menjawab permasahan perubahan ke depan. Diperlukan strategi dan metode untuk menggelar penjelajahan ini guna mendapatkan interpretasi dan persepsi yang sama tentang nilai-nilai non-fisik (nirupa/tan-ragawi) maupun fisik (rupa/ragawi) arsitektur dalam rangka pelestarian dan pengembangan pola hunian tradisional Bali. Filasafat Dekonstruksi Derrida menawarkan pemahaman dan perspektif baru tentang arsitektur, bahwa arsitektur sebagai suatu hasil karya dapat dipandang sebagai kumpulan tanda-tanda atau sebuah teks yang mengkomunikasikan nilai-nilai, makna/arti yang ada dibalik wujud fisiknya. Kemudian dengan model Semiotik, arsitektur dibedakan menjadi dua paras yaitu: ‘paras isi’ (level of content) dan ‘paras ekspresi’ (level of expression), kemudian keduanya dibagi lagi menjadi sub ‘paras bentuk’ (form) dan ‘paras substansi’ (substance) seperti diagram sebagai berikut : •

Substance of content (substansi/kadar isi) sebagai petanda (signified) adalah mencakup ‘nilai-nilai, ide-ide/filosofi dan makna’ yang melatar belakangi konsep perwujudan hasil karya arsitektur.



Form of content (bentuk isi) sebagai petanda (signified) adalah segenap himpunan konsep-konsep perencanaan dan perancangan arsitektur yang akan ditransformasikan ke dalam wujud/ekspresi karya arsitektur.



Form of expression (bentuk ekspresi) sebagai penanda (signifier) adalah form of content yang telah diekspresikan atau ditransformasikan ke dalam bentuk/wujud fisik, baik secara utuh maupun komponennya.



Substance of expression (substansi/kadar ekspresi) sebagai penanda (signifier) adalah segenap unsur-unsur pembentuk dari form of expression wujud arsitektur.

Semiotika sebagai ilmu yang mempelajari tanda-tanda (Bonta, 1979:26, Chandler 1994:1, Eco 1976:3, Sudjiman, 1992:vii, Sukada,1992:8). Orientasi Jelajah Tata-nilai Agama Hindu sebagai Landasan Pikir Masyarakat Bali dalam Berarsitektur , yaitu : 1) Tatwa (filsafat), segala bentuk ajaran atau pelaksanaan agama di dasarkan oleh tatwa/filsafat Parisada Hindu Dharma,”Upadeca tentang Ajaran-ajaran Agama Hindu”, 2) Susila (etika), adalah sebagai ‘hati’ yang meliput ajaran tentang sikap-perilaku yang baik dan mulia selaras dengan ketentuan-ketentuan Dharma (kebenaran menurut agama) dan Yadnya (korban suci) bagi umat Hindu di dalam hidup dan penghidupannya. 3) Upacara (ritual), sebagai ‘kaki’ adalah korban suci yang wajib dilakukan oleh setiap umat Hindu yang sudah berumah tangga (grahasta), terdiri dari lima jenis upacara (Panca Yadnya) Nilai-nilai dasar agama Hindu ini sebagai landasan dan/atau faktor (substansi isi/substance of content) yang sangat berpengaruh terhadap konsep (form of content), bentuk ekspresi (form of expression) dan substansi ekspresi (substance of expression) Arsitektur Tradisional Bali (ATB), yang mencakup aspek : tata-ruang dan orientasi; tata-letak/setting massa; dan tatabangunan (sosok dan bentuk, skala dan proporsi, ornamen dan dekorasi, serta struktur dan bahan). Tata Ruang Dan Orientasi Di dalam bentuk Desa Adat sebagai form of content Tri Hita Karana terdiri atas unsur-unsur : Parhyangan/tempat suci (Jiwa), Pawongan/penduduk (Tenaga), Palemahan/ teritorial desa (Angga). Parhyangan mewujudkan hubungan antara manusia dengan Penciptanya/Tuhan, Pawongan mewujudkan hubungan antara manusia dengan manusia/leluhurnya, dan Palemahan mewujudkan hubungan anatara manusia dengan alam Secara vertikal alam Bali dibelah menjadi tiga daerah/loka: Alam atas (swah loka), alam tengah (bhuah loka) dan alam bawah (bhur loka). Buana alit dan buana agung, masingmasing memiliki susunan unsur vertikal terdiri atas Tri Angga (kepala-badan-kaki) pada buana alit dan Tri Loka (swah loka-bhuah loka-bhur loka) pada buana agung. Pembagian serba tri/tiga ini secara adab, budaya dan kesusilaan dirasakan mempunyai tingkatan nilai: utama (tinggi), madya (sedang), nista (rendah), namun ketiga bagian ini tak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, sama-sama penting sesuai dengan fungsi masing-masing. Untuk memberikan orientasi atas nilai utama, maka ditetapkan oleh para leluhur (Batara (ri), bahwa arah mata angin diberikan nilai-susila secara pasti. Yakni, hulu/huluan ataupun luan (ucapan ringkas dari huluan) merupakan arah yang dirasa bernilai tinggi (utama), sedang teben (ka-tiben=ter-tindih=bawahan) adalah arah yang rendah nilainya. Hulu dan dinilai

madya/tengah (the between). Arah tersebut adalah Timur (Kangin), yakni arah tempat terbitnya matahari, serta Kaja (ka + adi + a = yang diutamakan, arah letak gunung pada umumnya); Utara bagi Bali-Selatan, atau Selatan untuk Bali-Utara, adalah arah hulu (yang diutamakan). Sebaliknya, Barat dan Kelod (arah ke + laut) berlawanan dengan Kangin dan Kaja adalah teben yang kanista. Nilai-nilai substansi konsep (substance of content) tata-ruang pada tingkat gama adalah : Nilai-nilai/kerangka dasar agama Hindu, Tri Hita Karana sebagai unsur bhuana alit dan bhuana agung : BHUANA AGUNG

BHUANA ALIT

PALEMAHAN DESA PALEMAHAN UMAH

Paramatma

Atma

Parhyangan

Sangah/Mrajan

Prana/segenap Tenaga Alam

Prana (bayu,sabda,idep)

Pawongan/Kerama Desa

Penghuni Umah

Panca Mahabhuta

Sarira

Palemahan

Palemahan

Nilai-nilai konsep (form of content) tata-ruang pada tingkat gama adalah : nilai hulu (tengah) - teben baik arah horizontal maupun vertikal yaitu, kesetaraan Tri Loka dan Tri Angga sebagai susunan unsur Angga : NILAI

MANUSIA (BHUANA ALIT)

ALAM SEMESTA (BHUANA AGUNG)

PALEMAH AN DESA

PALEMAH AN PURA

PALEMAHAN UMAH

BANGUNAN

1. UTAMA / HULU

Kepala

Swah Loka/ Gunung/Kaja/ Kangin

Parhyangan

Jeroan

Sanggah/ Parhyangan

Atap

2. MADYA / TENGAH

Badan

Buah Loka/ Dataran/

Paumahan

Jaba Tengah

Tegak Umah/ Pawongan

Pengawak/ Badan

Setra

Jaba Pisan

Teba/Sesa

Batur

Tengah 3. NISTA/ TEBEN

Kaki

Bhur Loka/ Laut/Klod/ Kauh

Nilai-nilai ekspresi (form of expression) tata-ruang pada tingkat lokal/desa pekraman/Sima adalah : Tri Loka (tiga zona vertikal); Tri Mandala (tiga zona horizontal); Sanga Mandala (sembilan nilai zona horizontal) dan Natah sebagai ruang Inti/Pusat/centrality dan Sesa sebagai ruang tepi/marginality. Penyengker, Paduraksa dan Angkul-angkul adalah sebagai penanda Umah, sehingga Bale yang ada dalam penyengker adalah setara bilik/room. Dari ekspresi/tipologi Angkul-angkul,

Penyengker dan Paduraksa dapat pula diketahui “status warna” penghuni Jaba ataukah Tri Wangsa, lain kata sebagai penunjuk jati diri penghuni. Bale setara bilik diberi julukan/sebutan bukan karena fungsinya, namun karena letak dan nilai guna, misal Bale Dangin letaknya di bagian Timur, juga disebut Sumanggen karena digunakan kuburan sementara (Sema-anggen) sebagai tempat upacara orang mati. Bila ditelusuri lebih jauh jejak-jejak bale dan disandingkan dengan metode dan strategi rancangan dekonstruksi, maka ada kesamaan prinsip bahwa “umah” berasal dari “rumah” setalah diexplosed kemudian direkomposisi menjadilah umah. Ornamen dan Dekorasi mrupakan penghargaan atas keindahan yang telah diberikan oleh alam dan penciptaNya kepada tanah Bali. Ornamen diciptakan sebagai upaya memperkuat harmonisasi, sedang dekorasi lebih menekankan perubahan suasana yang diinginkan. Ornamen dan dekorasi bersifat kontekstual sesuai dengan tata-nilai atau karakter tema/wujud obyek yang ingin diciptakan (karang Gajah ditaruh di bawah, karang Tapel di tengah dan karang Guak ditaruh di atas). Struktur dan bahan tradisional Bali bersifat ekologis dan natural, sangat menghormati alam dan lingkungan sebagian besar bahan berasal dari kebun yang dibudi-dayakan dan dapat didaur-ulang. Penggunaan batu Cadas sebenarnya hanya diperuntukan bagi bangunan Puri dan Pura, sedang bagi paumahan hanya menggunakan Citakan atau polpolan. Bahan disusun dari bawah yang berkarakter berat makin keatas makin berkarakter ringan, hal ini sejalan dengan logika pembebanan yang meberikan tingkat keamanan bangunan yang tinggi. Penggunaan bahan organis yang memiliki umur terbatas menuntut penyelesaian kontruksi sistem knock down yang gampang dibongkar-pasang, serta penggunaan sukat sikut dewek penhuni utama (anangga ayah); mengidikasikan bahwa umah tradisional Bali hanya harmonis bila dihuni oleh “hanya satu keluarga yang beragama Hindu” dan tidak sebagai obyek warisan. Setiap keluarga baru (mulai hidup ghrahasta) wajib “Ngarangin” dan membuat bangunan yang sesuai dengan sikut antropometri dirinya. Para leluhur dan Undagi Bali jaman dahulu telah berjasa luar biasa untuk membuatkan pedoman berarsitektur yang bernama “Asta-kosala/kosali”, demikian gamblang, sangat fleksibel, supel, sangat mudah diterapkan oleh siapapun, dimanapun berada dan pasti serasi. Berpulang kepada masyarakat Bali sebagai pengguna menyikapinya, dalam hiduppenghidupan sudah diberi peluang berupa konsep operasional desa (tempat), kala (waktu) dan patra (situasi/kondisi) serta empat dasar pertimbangan : catur drasta (sastra drasta, kuna drasta, loka drasta dan desa drasta). Pertanyaan yang kini muncul, mampukah arsitek masa kini mengikuti jejak para Undhagi masa lalu menyusun suatu “pedoman arsitektural” atau yang lainnya kedepan. Arsitektur tradisional Bali (ATB) yang lahir di atas landasan agama Hindu di lingkungan adat istiadat Bali semenjak hampir satu milenium telah mampu mengemban fungsi sebagai wadah kehidupan dan penghidupan masyarakat Bali. Sebagai wujud/rupa ATB merupakan totalitas dari transformasi ide dan konsep hidup dan penghidupan masyarakat Bali.

Menyikapi fenomena tersebut secara rasional adalah melakukan proses reformasi sebagai upaya penyesuaian bentuk ( form ) dan bentukan ( formation ) nilai-nilai tradisional pada nilai-nilai kontemporer/kekinian. Melalui proses ini diharapkan terjadi keseimbangan yang mantap antara apa yang diinginkan dengan apa yang dapat dilakukan serta dapat diterima oleh masyarakat beserta lingkungannya. Bertitik tolak dari kondisi ini, mengacu ke masa lalu (attita) dan melihat ke masa datang (wartamana), untuk berbuat masa kini (nagata) melakukan reformasi. Nilai-Nilai Faktor Dan Unsur Utama a. Nilai-nilai Tata ruang dan Orientasi : - hirarki pencapaian : nista - madya - utama = publik - semi publik - private. - pola pempatan agung = pola cross road. b. Nilai-nilai Tata bangunan : - sosok dan/atau bentuk adalah Tri angga : kepala = atap, badan = dinding/kolom, kaki = batur. - proporsi : antropometri sosok manusia (wirama, wiraga, wirasa) = prinsipprinsip golden section. - struktur dan bahan : sistem struktur modern dapat mendukung wujud dan bentuk ATB. c. Tata letak/Setting Massa : - setting atas dasar skala manusia (ATB) x setting atas dasar skala urban (AMK). Masalah Atb Masa Kini Di Bali Adalah Masalah “Perkawinan/Hybrid” Dengan Amk a. ATB, terdiri atas tiga kelompok tipologi : 1. Parhyangan, bangunan/arsitektur tempat suci. 2. Pawongan, bangunan/arsitektur tempat tinggal/perumahan. 3. Palemahan, bangunan/arsitektur fasilitas umum. b. Perubahan & perkembangan sebagian terjadi pada Pawongan c. Perubahan dan perkembangan yang sangat pesat terjadi pada kelompok Palemahan / Bangunan fasilitas umum. d. Acuan/tipologi ATB untuk kelompok ini terbatas. e. Pertumbuhan dan perkembangan aktivitas baru/kontemporer. f. Fungsinya tidak terkait dengan aktivitas agama dan adat. ATB sangat menyatu dengan agama dan adat-istiadat, sehingga lingkup bahasan difokuskan pada nilai-nilai yang terkait langsung dengan arsitektur yaitu : a. Nilai-nilai nirupa ( paras isi / content / tertib langgam ) selaku faktor-faktor utama rancangan terdiri atas: ide / filosofi yang menurunkan norma, konsep dan rinsip. b. Nilai-nilai rupa ( paras ekspresi / expression / langgam ) selaku unsur-unsur utama rancangan terdiri atas : 1. Tata ruang dan Orientasi. 2. Tata letak/Setting Massa 3. Tata bangunan : a) sosok/wujud, b) bentuk,

c) skala dan proporsi, Nilai-Nilai Arsitektur Tradisional Bali

1. Nilai-nilai substansi konsep (substance of content) tata-ruang pada tingkat gama adalah : Nilai-nilai/kerangka dasar agama Hindu (tattwa, susila/etika dan upacara) dan Tri Hita Karana sebagai unsur bhuana alit dan bhuana agung :

KERANGKA DASAR HINDU

BHUANA AGUNG

PALEMAHAN DESA

PALEMAHAN UMAH

BHUANA ALIT

Tattwa/Kepala

Paramatma

Parhyangan

Sangah/Mrajan

Atma

Susila/Hati

Prana/segenap Tenaga Alam

Pawongan/Kerama Desa

Penghuni Umah

Prana (bayu,sabda,idep)

Upacara/Kaki

Panca Mahabhuta

Palemahan

Palemahan

Sarira

2. Nilai-nilai konsep (form of content) Tata-Ruang pada tingkat gama adalah : nilai hulu (tengah) - teben baik arah horizontal maupun vertikal yaitu, kesetaraan Tri Loka dan Tri Angga sebagai susunan unsur Angga : ALAM SEMESTA (BHUANA AGUNG)

PALEMAH AN DESA

PALEMAH AN PURA

1. UTAMA / HULU

Swah Loka/ Gunung/Kaja/ Kangin

Parhyangan

2. MADYA / TENGAH

Buah Loka/ Dataran/Tengah

3. NISTA/ TEBEN

Bhur Loka/ Laut/Klod/Kauh

NILAI

MANUSI A (BHUAN A ALIT)

PALEMAHAN UMAH

BANGUN AN

Jeroan

Sanggah/ Parhyangan

Atap

Kepala

Paumahan

Jaba Tengah

Tegak Umah/ Pawongan

Pengawak / Badan

Badan

Setra

Jaba Pisan

Teba/Sesa

Batur

Kaki

3. Nilai-nilai ekspresi (form of expression) Tata-Ruang pada tingkat lokal/desa pekraman/sima adalah : Tri Loka (tiga zona vertikal); Tri Mandala (tiga zona horizontal); Sanga Mandala (sembilan nilai horizontal) dan Natah sebagai ruang Inti/Pusat/centrality dan Sesa sebagai ruang tepi/marginality. 4. Penyengker, Paduraksa dan Angkul-angkul adalah sebagai penanda Umah, sehingga Bale yang ada dalam penyengker adalah setara bilik/room. Dari ekspresi/tipologi Angkul-

angkul, Penyengker dan Paduraksa dapat pula diketahui “status warna” penghuni Jaba/luar ataukah Tri Wangsa, lain kata sebagai penunjuk jati diri penghuni. 5. Bale setara bilik diberi julukan/sebutan bukan karena fungsinya, namun karena letak dan nilai guna. Bila ditelusuri lebih jauh jejak-jejak bale dan disandingkan dengan metode dan strategi rancangan dekonstruksi, maka ada kesamaan prinsip bahwa “umah” berasal dari “rumah” setelah diexplosed kemudian direkomposisi menjadilah umah. Hal ini sebagai upaya mendekatkan diri terhadap alam selama dua puluh empat jam sehari. 6. Sosok/wujud dan bentuk fisik ruang dan bangunan tradisional muncul dari upaya penyeimbangan yang harmonis antara manusia selaku isi (bhuana alit) dengan ruang dan bangunan selaku wadah (bhuana agung). Sosok dan bentuk dianalogikan sebagai proporsi fisik/angga manusia yakni Tri Angga (kepala nilai utama, badan nilai madya dan kaki nilai nista). Pembagian ini diberlakukan secara konsisten dan konskuen hingga ke bagian yang sekecil-kecilnya dari unsur-unsur sosok dan bentuk. Komponen bentuk bangunan tradisional Bali merupakan bagian-bagian ornamentalis. 7.

Skala dan proporsi ruang dan bangunan tradisional Bali menggunakan sikut dewek/antropometri dengan modul dasar “r a i” dari penghuni utama (anangga ayah), sehingga skala dan proporsi ruang dan bangunan yang didapat tidak pernah “out of human scale” dan “out of human proportion”serta akan selalu harmonis. Kebutuhan ruang yang lebih luas didapat dengan menggandakan dimensi/modul ruang, bukan memperbesar dimensi ruang dan banguna, misal Sakanem = 2 x Sakepat; Tiangsanga = 4 x Sakapat.

8.

Struktur dan bahan tradisional Bali bersifat ekologis dan natural, sangat menghormati alam dan lingkungan sebagian besar bahan berasal dari kebun yang dibudi-dayakan dan dapat didaur-ulang. Bahan disusun dari bawah yang berkarakter berat makin keatas makin berkarakter ringan, hal ini sejalan dengan logika pembebanan yang meberikan tingkat keamanan bangunan yang tinggi. Prinsip tektonika selalu diterapkan pada penyelesaian konstruksi, sehingga memiliki nilai tambah keindahan.

9. Penggunaan bahan organis yang memiliki umur terbatas menuntut penyelesaian kontruksi sistem knock down yang gampang dibongkar-pasang, serta penggunaan sukat sikut dewek penhuni utama (anangga ayah); mengidikasikan bahwa umah tradisional Bali hanya harmonis bila dihuni oleh “hanya satu keluarga yang beragama Hindu” dan tidak sebagai obyek warisan. Setiap keluarga baru (mulai hidup ghrahasta) wajib “Ngarangin” dan membuat bangunan yang sesuai dengan sikut antropometri diri dan kemampuannya. 10. Ornamen dan Dekorasi merupakan penghargaan atas keindahan yang telah diberikan oleh alam dan penciptaNya kepada tanah Bali. Ornamen diciptakan sebagai upaya memperkuat harmonisasi, sedang dekorasi lebih menekankan perubahan suasana yang diinginkan. Ornamen dan dekorasi bersifat kontekstual sesuai dengan tata-nilai atau karakter tema/wujud obyek yang ingin diciptakan (karang Gajah ditaruh di bawah, karang Tapel di tengah dan karang Guak ditaruh di atas).

Rampatan Nilai-Nilai Faktor Dan Unsur Utama Rancangan 1. Nilai-Niilai Yang Setara : a. Nilai-nilai Tata ruang dan Orientasi : - hirarki pencapaian : nista - madya - utama = publik - semi publik - private. - pola pempatan agung = pola cross road. b. Nilai-nilai Tata bangunan : - sosok dan/atau bentuk adalah Tri angga : kepala = atap, badan = dinding/ - kolom, kaki = batur. - proporsi : antropometri sosok manusia (wirama, wiraga, wirasa) = - prinsip-prinsip golden section. - struktur dan bahan : sistem struktur modern dapat mendukung wujud - dan bentuk ATB. 2. Nilai-Nilai Yang Tidak Setara : a. Nilai-nilai Tata ruang : - - hirarki sakral-profan (ATB) x nilai sekuler, penting/tidak penting (AMK) b. Nilai Orientasi / Kiblat : - kiblat kosmos dan kosmik (ATB) x diabaikan, view yang utama (AMK). - orientasi jelas dan tegas (ATB) di tengah kosmos x bebas berada di seluruh jagat - kosmos (AMK). c. Tata letak/Setting Massa : - setting atas dasar skala manusia (ATB) x setting atas dasar skala urban (AMK). d. Tata bangunan : - sosok/wujud refleksi Tri Angga (ATB) x universal (AMK) - bentuk Bali ornamentalis (ATB) x bebas, polos/puritis (AMK) - skala dan proporsi humanis, nuansa rural, poetic dan total (ATB) x nuansa urban, prosaic dan parsial (AMK) - ornamen dan dekorasi penting, sebagai harmonisasi, handicraft, sence of - beauty (ATB) x AMK tidak perlu, rasional, fungsional, materialistis, karakter - mesin

3. Nilai-Nilai Lebih : Nilai-nilai ATB sebagai agen pelestari atas dasar keselarasan buana alit buana agung (statis, intuitif, handicraft, poetic-sence dan total); AMK agen pem-baru-an dan dapat memenuhi sifat-sifat manusia yang selalu menggandrungi ke-kini-an dan didukung IPTEK (logikal, analitikal, hitech, prosaic dan partial) Pengembangan Atb Ke Depan 1.

Landasan Kebijakan Perkawinan/Persilangan [ Re-Formasi ] : Desa Kala Patra Sebagai Pertimbangan Kebijakan Penyesuaian terhadap : 1. Tempat,

2. Waktu dan 3. Situasi & Keadaan Catur Dresta Sebagai Pedoman Kebijakan 1. Kuna Dresta

- Kebiasaan/aturan yang bersifat kuna/pengalaman

2. Sastra Dresta

- Kebiasaan/aturan sastra/ilmu pengetahuan/landasan teori

3. Loka Dresta- Kebiasaan/aturan lokal/situasi & kondisi lingk. Lokasi/Site 4. Desa Dresta - Kebiasaan/aturan setempat/lokal/regional 2. Titik Tolak Pendekatan Perkawinan/Persilangan: Nilai-nilai ATB dan AMK dikelompokkan atas dasar perspektif/aspek yang sama, meliputi faktor-faktor dan unsur-unsur utama rancangan (nilai-nilai rupa dan nirupa) yakni : 1. konsep dan ekspresi tata ruang dan orientasi; 2. konsep dan ekpresi tata letak/setting massa, dan 3. konsep dan ekspresi tata bangunan : a) sosok dan/atau bentuk bangunan, b) skala dan proporsi, c) ornamen dan dekorasi, d) struktur dan bahan

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF