Arsitektur Bali - Konsepsi Sanga Mandala dan Tri Mandala
October 1, 2017 | Author: Zenit Arimbhawa | Category: N/A
Short Description
Review materi konsepsi sanga mandala dan tri mandala...
Description
PRAKATA Terima kasih dan syukur kami panjatkan kehadapan tuhan yang maha esa sehingga makalah tentang “Konsepsi Tri Mandala dan Sanga Mandala” dapat terselesaikan tepat pada waktunya. di saat semua orang mulai melupakan konsepsi tata ruang arsitektur tradisional bali dan di saat banyak orang ingin mulai mendalami tentang konsepsi tata ruang arsitektur tradisional Bali makalah ini dapat digunakan sebagai acuan. materi di dalam makalah ini didapat dari berbagai sumber baik itu buku dan media lainnya. Makalah ini memiliki informasi tentang penerapan konsepsi tri mandala dan sanga mandala baik itu dalam ruang lingkup makro ( Desa Adat ) Messo ( Pura ) Mikro ( Pekarangan Rumah ) yang biasa kita jumpai di dalam kehidupan sehari - hari.
DAFTAR ISI COVER PRAKATA DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR BAB 1 PENDAHULUAN A. Filosofi Arsitektur Tradisional Bali B. Konsepsi-Konsepsi Arsitektur Tradisional Bali BAB 2 PEMBAHASAAN A. Pengertian Tri Mandala B. Wujud Penerapan Pada Bidang Tata Ruang Makro C. Wujud Penerapan Pada Bidang Tata Ruang Meso D. Wujud Penerapan Pada Bidang Tata Ruang Mikro E. Wujud Penerapan Pada Bidang Tata Ruang Ragam Hias PENUTUP Kesimpulan DAFTAR PUSTAKA
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB 1 PENDAHULUAN A. Filosofi Arsitektur Tradisional Bali Dalam tatanan budaya Hindu Bali dikenal adanya filosofi utama utama yang pada intinya meyakini adanya hubungan yang selaras antara alam semesta sebagai makro kosmos dan tubuh manusia sebagai mikro kosmos. Filosofi tentang adanya keselarasan makro kosmos dan mikro kosmos ini lebih dikenal di Bali sebagai filosofi Bhuwana Agung-Bhuwana Alit. Filosofi ini kemudian berperan sebagai pondasi utama dalam tatanan budaya tradisional Bali. Semua konsepsi yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Bali adalah berakar dari ajaran filosofis fundamental ini. Bhuwana Alit diyakini memiliki kesamaan sifat, kesamaan elemen pembentuk, dan kesamaan siklus kehidupan dengan Bhuwana Agung. Pemikiran semacam ini didasarkan pada pemahaman prinsipal dalam pandangan Hindu Bali bahwa Bhuwana Alit (tubuh manusia) adalah merupakan sebuah bagian kecil dari Bhuwana Agung (alam semesta). Kesetaraan yang dimiliki keduanya merupakan wujud dari mahakarya Ida Sang Hyang Widhi / Tuhan Yang Maha Esa. Dalam bidang arsitektur filosofi kesetaraan Bhuwana Agung-Bhuwana Alit ini dijadikan sebagai dasar acuan bagi segala perwujudan bangunan dan tata ruang yang bernafaskan nilai-nilai tradisional Bali secara turun temurun. Masyarakat Hindu Bali, sangat meyakini bahwa tata arsitektur merupakan perwujudan ruang binaan manusia yang berada di antara Bhuwana Agung (dunia atau alam semesta) dan Bhuwana Alit (tubuh manusia). Arsitektur dirancang dan dibangun di atas lahan yang diwadahi oleh alam semesta. Sementara itu di sisi lain ruang sebagai inti arsitektur juga memiliki peran mewadahi berbagai aktivitas manusia (Bhuwana Alit). Dalam konteks dan posisinya semacam ini tata arsitektur dapat dimaknai sebagai Bhuwana Madya yang diposisikan antara Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit. Ketiga bhuwana ini harus dikelola sedemikian rupa sehingga memiliki sifat yang setara, saling mendukung , memiliki elemen-elemen pembentuk yang sama, dan mengalami siklus kehidupan yang sejalan pula. Adanya kesetaraan antara ketiga tingkatan alam ini diyakini akan memberikan dampak positif bagi kehidupan di alam semesta.
B. Konsepsi-Konsepsi Arsitektur Bali A. Konsepsi Asal Dari filosofi diatas muncul konsepsi-konsepsi asal yaitu : • Tri Hita Karana • Panca Maha Bhuta • Tri Loka • Rwa Bhineda
B. Konsepsi Terapan Merupakan Filosofi turunan dari konsepsi asal : • Sanga Mandala • DLL
BAB 2 PEMBAHASAN A. Pengertian Tri Mandala dan Sanga Mandala
Tri Mandala Pengertian kata Tri Mandala berasal dari kata Tri yang berarti tiga dan Mandala berarti wilayah. Jadi Tri Mandala adalah 3(tiga) wilayah/daerah yang dimiliki oleh setiap pekarangan dan antara mandala yang satu dengan mandala yang lain dibatasi oleh tembok atau pintu masuk yang khas.
Sanga Mandala Penggabungan konsep sumbu bumi (Kaja-Kelod) dengan konsep sumbu ritual menghasilkan konsep Sanga Mandala. Konsep tata ruang Sanga Mandala juga merupakan konsep yang lahir dari sembilan manifestasi Tuhan, yaitu Dewata Nawa Sanga yang menyebar di delapan arah mata angin ditambah satu di tengah dalam menjaga keseimbangan alam semesta. Konsep Sanga Mandala ini menjadi pertimbangan dalam penzoningan kegiatan dan tata letak bangunan pada Arsitektur Tradisional Bali. Kegiatan utama atau yang memerlukan ketenangan diletakan di daerah Utamaning Utama, dan Kegiatan yang diaggap kotor diletakan di daerah Nistaning Nista, Sedangkan kegiatan di antaranya diletakan di tengah atau yang kita kenal dengan pola Natah.
B. Wujud Penerapan Pada Bidang Tata Ruang Makro Tri Mandala Dalam Skala Perumahan (Desa) Dalam lingkup desa, konsep Tri Mandala, menempatkan kegiatan yang bersifat sacral di daerah utama, kegiatan yang bersifat keduniawian (sosial, ekonomi, dan perumahan) pada madya, dan kegiatan yang dipandang kotor mengandung limbah di daerah nista. Ini tercermin dari perumahan yang memiliki pola linier. Konsep tata ruang yang lebih bersifat fisik mempunyai berbagai variasi, namun demikian pada dasarnya mempunyai kesamaan sebagai berikut : • Keseimbangan Kosmologis (Tri Hita Karana) • Hirarki Tata Nilai • Orientasi kosmologis (Sanga Mandala) • Konsep ruang terbuka (Natah) • Proporsi dan skala • Kronologis dan prosesi pembangunan • Kejujuran struktur • Kejujuran pemakaian material Utama Mandala Dari kondisi fisik orientasinya adalah utara selatan (dalam bahasa Bali berarti Kaja Klod) atau lebih sederhana lagi tinggi rendah (ulu teben). Dari konsep itulah, maka di paling utara desa yaitu sebuah tempat suci yaitu Pura Bale Agung (Penataran) yang merupakan konsep utama mandala yang terletak di sebelah utara sebagai kiblat umat Hindu. Madya Mandala Pada Madya Mandala terdapat perumahan warga, balai banjar, serta kegiatan yang bersifat keduniawian (sosial, ekonomi, dan perumahan) dan Balai Wantilan yang berfungsi sebagai tempat menyiapkan segala keperluan upakara dalam rangka upacara (Pujawali). Wantilan juga berfungsi sebagai tempat pertunjukan berbagai tarian baik tari sakral yang berkaitan dengan upacara atau tari profan yang relevan dengan upacara Pujawali yang bersifat hiburan. Kadangkala di Wantilan ini juga diselenggarakan Dharma Tula. Nista Mandala Sedangkan bagian ketiga adalah nista mandala tempatnya bagian paling rendah yaitu lokasi yang dipakai untuk kuburan atau orang Bali menyebutnya sebagai setra.
Sanga Mandala Dalam Skala Perumahan (Desa) Dalam Skala Perumahan konsep Sanga Mandala, menempatkan kegiatan yang bersifat suci (Pura Desa) pada daerah utamaning utama (kaja-kangin), letak Pura Dalem dan kuburan pada daerah nistaning nista (klod-kauh), dan permukiman pada daerah madya. Ini terutama terlihat pada perumahan yang memiliki pola Perempatan (Catus Patha).Tata nilai berdasarkan sumbu bumi (kaja/gunung-kelod/laut), memberikan nilai utama pada arah kaja (gunung) dan nista pada arah kelod (laut), sedangkan berdasarkan sumbu matahari, nilai utama pada arah matahari terbit dan nista pada arah matahari terbenam. Jika kedua sistem tata nilai ini digabungkan, secara imajiner akan terbentuk pola Sanga Mandala, yang membagi ruang menjadi sembilan segmen. Konsep tata ruang Sanga Mandala juga lahir dari sembilan manifestasi Tuhan dalam menjaga keseimbangan alam menuju kehidupan harmonis yang disebut Dewata Nawa Sanga, lihat Gambar 2.
C. Wujud Penerapan Pada Bidang Tata Ruang Meso Penerapan Konsep Tri Mandala dan Sanga Mandala dalam Ruang Lingkup Mesokosmos ( Pura)
Penerapan konsep Tri Mandala pada ruang lingkup mesokosmos dapat dilihat dari tata ruang penempatan kawasan utama mandala, madya mandala dan nista mandala. Mula dari kawasan nista mandala yang disebut juga jaba sisi yakni kawasan paling teben/hilir kawasan ini merupakan areal Pura paling luar yang masih menjadi satu kesatuan dengan Pura. Biasanya di nista mandala terdapat beberapa bangunan seperti candi bentar, pelinggih dwarapala dll. Lalu setelah Nista mandala masuk ke kawasan Madya mandala yang di pura biasa di sebut dengan jaba tengah di zona ini tempat aktivitas umat dan fasilitas pendukung. Pada zona ini biasanya terdapat Bale Kulkul, Bale Gong (Bale gamelan), Wantilan (Bale pertemuan), Bale Pesandekan, dan Perantenan. Utama mandala disebut juga Jeroan yang merupakan zona paling suci di dalam pura. Di dalam zona tersuci ini terdapat Padmasana, Pelinggih Meru, Bale Piyasan, Bale Pepelik, Bale Panggungan, Bale Pawedan, Bale Murda, dan Gedong Penyimpenan. Contoh Penerapan Tri Mandala dan Sangan Mandala Pada bangunan Pura :
D. Wujud Penerapan Pada Bidang Tata Ruang Mikro Sanga Mandala
Konsepsi sanga mandala menentukan sembilan tingkatan nilai ruang pada sembilan zone bumi atau tata zoning tapak. Sembilan zona ini lahir berdasarkan pengembangan konsepsi Tri Angga dari pola linier ke pola sektoral yang berpedoman pula dengan pengertian arah dari konsepsi catuspatha.
Tata nilai konsep Tri Angga yakni utama, madya dan nista, tata nilai ke arah sumbu religi kangin-kauh/ timur-barat sebagai arah terbit-terbenamnya matahari; dan ke arah sumbu bumi kaja-kelod/gunung-laut, bila dirangkai akan terbentuk sembilan zona dengan tingkatan nilainya masing-masing. Yakni : utamaning utama arah kaja- kangin, madyaning madya arah tengah, nistaning nista arah kelod-kauh, utamaning madya arah kaja, madyaning utama arah kangin, nistaning madya arah kelod, madyaning nista arah kauh, utamaning nista arah kaja-kauh, dan nistaning utma arah kelod-kangin. Konsep sangamandala dapat juga dikatakan lahir dari pengembangan konsep catuspatha dengan pusat persilangan zona tengah dan empat zona lainnya adalah zona kaja, zona kangin, zona kelod dan zona kauh. Zona berikutnya adalah karang tuang yakni empat sudut dari pempatan agung: kaja-kangin, kelodkangin, kelod-kauh, dan kaja-kauh. Sehingga seluruhnya terdapat sembilan zona dengan pemberian tata nilai padanya masing-masing akan terbentuk sangamandala juga.
Konsep Sangamandala pada rumah tinggal tradisional Bali berpengaruh pada pola kedudukan masa bangunannya. Areal parahyangan atau tempat suci menduduki nilai ‘utama‟ dalam zone utamaning utama, areal tempat tinggal atau pawongan menduduki nilai ‘madya‟ sedangkan areal pelayanan atau palemahan (service area) menduduki nilai ‘nista‟. Arah yang jelas di tengah kosmos, kangin-kauh (sumbu ritual) dan kaja-kelod (sumbu bumi) merupakan pedoman dasar orientasi tradisional pada halaman, bangunan, pekarangan, dan lingkungan. Nama-nama bangunan pada zone madya : Bale Daja, Bale Dangin, Bale Delod, Dale Dauh adalah nama-nama yang menunjukan letaknya pada orientasi tertentu. Sedangkan fungsifungsinya : Bale Daja/Meten letaknya di arah kaja untuk tempat tidur; Bale Dangin/Semangen untuk ruang upacara dan serbaguna; Bale Delod sebagai ruang tidur; Bale Dauh sebagai ruang tidur yang letaknya di sisi kauh. Paon/dapur dan jineng/lumbung padi merupakan bangunan yang berfungsi untuk pelayanan menduduki zone yang bernilai ‘nista‟ sebagai service area.
Ruang dalam rumah tradisional Bali berdiri sebagai sebuah massa tersendiri. Selain mengikuti filosofi dasar dan konsepsi-konsepsi, pola penataan ruang juga dipengaruhi oleh unsur-unsur panca mahabutha ( lima unsur alam: matahari, angina, air, tanah, api).
Pola tataletak masa bangunan di puri (istana kerajaan) pada umumnya juga mengikuti pola “sanga mandala”, yakni berpetak sembilan dengan mengambil ukuran pada tingkatan utama, terdiri atas: 1. Ancak Saji, merupakan halaman pertama puri dan berfungsi untuk mempersiapkan diri bagi orang-orang yang akan menghadap raja, 2. Semanggen, tempat jenazah dan upacara kematian, 3. Pewaregan, tempat dapur dan perbekalan, 4. Saren Kangin sebagai tempat tinggal raja, 5. Paseban, tempat persidangan, 6. Rangki, tempat penghadapan, 7. Jaba Sisi Pemerajan Agung, 8. Jaba Tengah Pemerajan Agung 9. Jeroan Pemerajan Agung, tempat pemujaan Tuhan dan leluhur. Kesembilan petak tersebut dikelilingi oleh tembok tebal seperti sebuah benteng dan antara petak satu dengan lainnya masing-masing dihubungi oleh sebuah pintu.
Dari falsafah dan konsep berarsitektur tersebut melahirkan pola ruang yang memiliki hirarki dan berkesinambungan dalam susunan utama, madya dan nista. Dalam hal ini manusia sebagai pengguna diharapkan untuk hidup berbudaya, untuk melangkah terstruktur, namun bertahap, yakni dari lapis yang rendah ke yang tinggi, dari yang profan luar ke yang sakral suci. Pola ruang ini menunjukan, kaserasian dialektik antara hubungan vertikal ke Tuhan dengan yang horizontal ke manusia dan lingkungannya. Demikian pula prinsip-prinsip ukuran tata letak dan dimensi bangunan merupakan refleksi dari naluri masyarakat Bali untuk menjaga keharmonisan dan keseimbangan antara manusia dengan alam buatannya. Dalam hal ini manusia tidak hanya ditempatkan sebagai isi, melainkan pula sebagai unsur di dalam wadah buatan tersebut. Ini terbukti dengan kehadiran gegulak sebagai sistem proporsi tradisional yang diturunkan dari ukuran anggota tubuh kepala keluarga pemilik rumah, seperti: depa, asta, tapak, guli, sidema, musti dan lain-lain. Melalui gegulak ditentukan ukuran setiap dimensi rumah tinggal mulai dari ukuran pekarangan, tata letak masa bangunan, hingga pada elemen bangunan yang kecil, seperti: dimensi tiang, panjang usuk (iga-iga), tinggi permukaan lantai, dan lain sebagainya. Dalam pengoperasionalan dan penginterpretasiannya jumlah masing-masing satuan ukur tersebut dihitung berdasarkan pada kelipatan wewaran yang memiliki makna simbolis. Salah satu contohnya adalah dalam menentukan jumlah tapak untuk letak masing-masing masa bangunan di hitung berdasarkan kelipatan wewaran dari astawara (Sri, Indra, Guru, Yama, Ludra, Brahma, Kala, Uma), misalnya: kelipatan Sri baik untuk letak lumbung/ tempat padi karena padi sebagai simbul Dewi Sri; kelipatan Brahma baik untuk jarak paon (dapur) karena api sebagai saktinya Dewa Brahma. Ukuran yang tercipta masih harus ditambahkan ukuran pengurip agar rumah tinggal yang di bangun menjadi ‘hidup’, sehingga nyaman untuk ditinggali oleh seluruh penghuninya. Prinsip-prinsip gegulak memiliki pertimbangan yang sama dengan sistem „modulor‟ dalam estetika Barat, yakni sama-sama mempertimbangkan antropometri atau ukuran anggota tubuh manusia dalam membangun rumah tinggal. Ini menegaskan bahwa nilai-nilai ergonomi menjadi pertimbangan utama dalam menentukan proporsi bangunan rumah tinggal yang ideal, hanya saja gegulak yang lahir berdasarkan pertimbangan ukuran anggota tubuh pemiliknya menghadirkan wujud arsitektur rumah tinggal dengan proporsi yang sangat bervariasi, dan sangat melekat terhadap penggunanya. Sistem modulor merupakan standarisasi ukuran yang diberlakukan secara universal sehingga melahirkan nilai pengukuran yang relatif sama di semua tempat (homogen). Dalam operasionalnya gegulak diartikulasikan tidak langsung melalui ilmu ukur sebagaimana dalam modulor, melainkan melalui makna. Dalam penjelasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa masing-masing makna yang terkandung dalam wewaran di percaya memberikan kebaikan dan keselamatan bagi penghuninya.
E. Wujud Penerapan Pada Bidang Ragam Hias Masyarakat bali mayoritas merupakan penganut agama hindu sehingga pada desain arsitekturnya jelas memperlihatkan pengaruh agama hindu yang kuat. Pernyataan ini didukung bahwa kebanyakan pada rumah tradisional Bali selalu juga dipakai sebagai upacara adat kebudayaan maupun agama, sehingga faktor agama merupakan pertimbangan utama dalam membangun rumah tradisional. Kasta tersebut membedakan Arsitektur tradisional bali (rumah tempat tinggalnya) setidaknya menjadi 5 bagian yaitu: Geria: adalah adealah rumah untuk tempat tinggal kasta para brahmana. Puri: adalah rumah tempat tinggal kasta para ksatria yang memegang tampuk pemerintahan Jero: adalah rumah tempat tinggal kasta para ksatria yang tidak memegang pemerintahan secara langsung, bangunannya lebih sederhana dibandingkan puri. Umah: adalah tempat tinggal dari kasta waisya yang atau mereka yang bukan dari kasta brahmana maupun ksatria. Kubu: adalah rumah tempat tinggal diluar pusat pemukiman, diladang maupun dalam perkebunan. Bagian-bagian tersebut memperlihatkan bahwa rumah adat tradisional Bali merupakan sebuah identitas dalam diri penghuninya yang ingin diperlihatkan pada masyarakat yang lainnya. Faktor lain yang mempengaruhi hal tersebut juga menjelaskan bahwa rumah tidak hanya sebatas pada tempat tinggal saja, namun dapat dijadikan pusat ibadah dalam agama Hindu. seperti pintu gerbang (kori) yang merupakan pintu masuk pekarangan rumah adat bali, memiliki beberapa macam jenis yang tergantung pada rumah rumah kasta yang menempatinya. Arsitektur tradisional Bali juga merupakan semacam simbol yang menggabungkan beberapa mitos dalam agama hindu. hal tersebut Nampak pada pemakaian ornamen yang mengelilingi penuh dalam setiap bangunan dari rumah tersebut. pemberian sebuah motif ornamen dalam bangunan tertentu juga tidak hanya sebatas hiasan semata, ornamen selalu ditempatkan pada tempat yang sama dalam setiap rumah adat Tradisional Bali yang menjelaskan bahwa dalam pemberian ragam hias tersebut mengandung nilai filosofi. Apalagi dalam agama Hindu banyak diperkenalkan tentang bermacam motif ornamen, baik transformasi dari flora, fauna, maupun wujud mitologi yang menjadikan arsitektur tradisional Bali kaya akan motif yang variatif. Pemberian Ornamen pada bagian bangunan terlihat semakin menambah unsur nilai filosofis keagamaan yang kuat dalam bangunannya, hal ini Nampak berbeda dengan rumah yang memperlihatkan unsur modern yang hanya sebatas sebagai tempat tinggal saja tanpa mengandung nilai seni filosofis tertentu. Seperti yang dijelaskan oleh Aryo sunaryo yang menjelaskan bahwa: “kehadiran sebuah ornamen tidak semata sebagai pengisi bagian kosong dan tanpa arti, lebih-kebih karyakarya ornamen masa lalu. Bermacam bentuk ornamen sesungguhnya memiliki beberapa fungsi, yakni fungsi murni estetis, fungsi simbolis dan fungsi teknid konstruktif”[2]. Aryo sunaryo memberikan penjelaskan kepada kita bahwa dalam pembentukan objek sebuah ragam hias selalu memiliki asumsi dasar jika ditarik secara mitologi sebuah kepercayaan maupun lainnya. Seperti motif yang terdapat dalam batik misalnya, motif yang diterapkan tidak hanya sebagai motif hias saja, tetapi lebih pada nilai simbolis dan identitas sosial. Motif binatang atau fauna juga merupakan motif yang sering menjadi semacam representasi dalam setiap kebudayaan, terutama pada kebudayaan Bali. Binatang dalam sebuah motif di transformasikan menjadi binatang khayalan dalam mitologi agama Hindu. hal ini lah yang secara khusus mampu menjadi identitas utama dalam Arsitektur Tradisional agama Hindu. Seperti motif karang misalnya, motif tersebut selalu mampu dijumpai dalam Arsitektur Tradisional Bali yang secara khusus menjadi identitas kebudayaan Bali yang telah mengalami akulturasi yang identik dengan agama hindu. motif karang yang bervariasi juga menandakan kreatifitas dengan memiliki makna simbolis tersendiri yang mampu menjadikan unsur sakral dalam Arsitektur Tradisional Bali. A. RAGAM HIAS Arsitektur Tradisional Bali merupakan perwujudan keindahan manusia dan alamnya yang mengeras kedalam bentuk-bentuk dan bangunan dengan identitas Ragam hiasnya. Bentuk-bentuk yang memiliki variasi yang menjadikan ciri kebudayaan bali, karena ragam hias juga merupakan sebuah hasil dari sebuah
kebudayaan yang menjadi ciri khas dari masyarakatnya. Oleh karena itu, masyarakat bali yang mayoritas menganut agama Hindu memiliki ciri khas yang berbeda dengan kebudayaan lain yang memiliki kepercayaan mayoritas yang juga berbeda. Bentuk-bentuk dari tananan motif yang diterapkan dalam Arsitektur Tradisional Bali merupakan sebuah transformasi bentuk dari alam dan juga mitologi dalam agama hindu, secara estetika bentuk-bentuk tersebut sudah mengalami semacam gubahan yang menonjokan estetika dan serta maksud-maksud tertentu yang disesuaikan dengan penempatannya nanti. Ciri khas utama dari Ornamen Arsitektur Tradisional Bali secara visual mengalami batasan yang signifikan dalam bagiannya. Bagian tersebut Nampak pada ornamen yang dikhususkan pada keindahan saja namun terdapat pula yang merepresentasikan sebuah kepercayaannya tersendiri. 1. B. JENIS RAGAM HIAS KEKARANGAN Binatang merupakan makhluk yang hidup sejajar dan bersamaan dengan aktifitas manusia, binatang terkadang merupakan makhluk yang mampu membantu aktifitas manusia namun ada juga yang justru mampu membahayakan manusia itu sendiri. Paradigma tersebut yang menjadikan berbagai motif dalam ornamen dengan mentransformasikan bentuk binatang tersebut dengan sifat atau makna simbolis yang sama dengan keadaan binatang itu sendiri. Agama Hindu merupakan kepercayaan yang merepresentasikan makhluk tersebut dalam dinding-dinding relief candi, sehingga motif tersebut mampu menjadi identitas agama Hindu dengan tema cerita maupun legenda. Fauna dalam kaitannya dengan Arsitektur Tradisional Bali selain sebagai hiasan juga mampu sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan dalam bentuk patung yang disebut Pratima. Hal ini yang menjadikan bahwa motif fauna sebagai pelengkap atau identitas dalam kepercayaan agama Hindu. Kekarangan memiliki bentuk yang ekspresionis, selalu meninggalkan bentuk sebenarnya dari fauna yang di ekspresikan dalam bentuk abstrak. Kekarangan yang mengambil bentuk gajah atau asti, burung Goak dan binatang-binatang khayalan. Karang boma Benrbentuk kepala raksasa yang dilukiskan dari leher keatas lengkap dengan hiasan dan mahkota[8]. Karang boma diturunkan dari cerita Baomantaka yang memiliki tangan lengkap maupun tanpa tangan. Karang boma ditempatkan sebagai hiasan diatas lubang pintu dari Kori Agung yaitu pintu penghubung Madya mandala dengan Utama Mandala
Karang Sae Berbentuk kepala kelelawar raksasa seakan bertanduk dengan gigi-gigi runcing. Karang Sae umumnya dilengkapi dengan tangan-tangan seperti pada karang Boma. Hiasan ini biasanya ditempatkan pada atas pintu Kori atau pintu rumah tinggal. Karang Asti Sering disebut pula sebagai Karang Gajah karena Asti adalah gajah. Bentuknya mengambil bentuk gajah yang diekspresikan dengan bentuk kekarangan. Karang asti berbentuk kepala gajah dengan belalai dan taring gading dengan mata bulat. Hiasan ini biasanya ditempatkan sebagai hiasan sudut-sudut bebaturan dibagian bawah.
Karang Goak Bentuknya menyerupai kepala burung gagak atau goak atau sering disebut sebagai karang manuk karena serupa dengan kepala ayam dengan penekanan pada paruhnya. Hiasan ini ditempatkan pada sudut-sudut bebaturan dibagian atas. Karang goak dilengkapi dengan hiasan patra punggel yang umumnya disatukan dengan karang simbar.
Karang Tapel Serupa dengan Karang Boma dalam bentuk yang lebih kecil hanya dengan bibir atas gigi datar memiliki taring runcing dengan mata bulat dan hidung kedepan lidah menjulur. Hiasan ini ditempatkan pada peralihan bidang dibagian tengah,
Karang Bentulu Bentuknya serupa dengan Karang Tapel namun lebih kecil dan lebih sederhana. Umumnya ditempatkan pada bagian peralihan bidang tengah. Bentuk karang bentulu terkesan abstrak dengan bibir berada di atas gigi datar dengan taring runcing dan lidah menjulur. Hanya memiliki satu mata ditengah dengan tanpa hidung. Bentuk-bentuk lainnya yang tidak semua dapat dijelaskan disini adalah karang Simbar, Karang batu, Karang Bunga.
1. C. MAKNA SIMBOLIS MOTIF KEKARANGAN Ornamen merupakan seni terapan yang memiliki nilai estetika sendiri walaupun hanya sebatas sebagai hiasan. Dalam pembuatannya ornamen tidak akan terlepas dalam maksud dan tujuannya. Walaupun sebenarnya fungsi murni estetis merupakan fungsi Ornamen untuk memperindah penampilan bentuk produk maupun objek yang dihiasi sehingga menjadi sebuah karya seni. Fungsi simbolis ornamen pada umumnya dijumpai pada produk produk atau benda upacara atau benda-benda pusaka yang bersifat keagamaan atau kepercayaan yang menyertai nilai estetisnya[9]. Ini membuktikan bahwa
motif yang terdapat dalam Arsitektur Tradisional Bali memiliki maksud dan arti baik secara estetis maupun keindahan. Hal ini terlihat dalam sifat masyarakat Bali yang masih sangat melekat dengan tradisi dan kepercayaan hindunya sehingga pada bangunan tradisionalnya pun mengandung banyak makna. 1. Kekarangan sebagai hiasan estetis Berbicara tentang keindahan, ornamen memang ditujukan untuk menjadikan sebuah objek seni menjadi lebih memiliki nilai estetis lebih. Ir. I Nyoman Gelebet[10] juga memberikan pernyataan yang sama bahwa: “penempatan hiasan jenis-jenis fauna pada bangunan peralatan,
perlengkapan dan elemen-elemen penghias ruang menonjolkan bentuk-bentuk keindahan yang disempurnakan ataupun di abstraksikan”. Sesuai dengan hal diatas menjelaskan bahwa penempatan hiasan Ornamen dalam Arsitektur Tradisional Bali mempunyai nilai estetis sendiri kemudian menjadi identitas dari kebudayaan bali. Nilai estetis tersebut kemudian memiliki pakem tersendiri dan menjadikan penempatannya selalu sama. Seperti yang terlihat dalam motif kekarangan pada Arsitektur Tradisional Bali, penempatan-
nya selalu menjadikan bangunan tersebut terlihat memiliki keindahan tersendiri walaupun dalam penempatannya selalu sama. Hal ini didari pada bentuk pada ornamen yang telah disesuaikan dengan tempat yang telah disediakan. Pepatraan (motif flora) menjadikan moting kekarangan pada umumnya semakin memiliki nilai estetis, keduanya seakan menonjolkan keselarasan dalam Arsitektur Tradisional Bali. Secara interpretatif, pepatraan memiliki kesan atau ekspresi lembut,halus, dan kalem, dipadukan dengan motif kekarangan yang terkesan galak, seram dan angker menjadikan keduanya saling mengisi satu sama lain. 1. Kekarangan sebagai simbol kepercayaan. Agama Hindu selalu identik dengan penampilan mitologi-mitologi makhluk khayalan dalam merepresentasikan ketuhanan mereka. Makhlu khayalan tersebut biasanya selalu dikaitkan dengan alam maupun binatang dengan sifat yang dianggap cocok untuk menjadi simbol dari yang diinginkan. Arsitektur Tradisional Bali memiliki fungsi sebagai tempat ibadah keagamaan dari pemiliknya, hal ini terlihat dari adanya pura didalamnya, inilah yang menjadikan bangunan di Bali tersebut tidak hanya sebagai tempat tinggal saja. Dalam kepercayaan masyarakat bali Maksud dipilihnya karang gajah sebagai hiasan pada bagian bebatuan dibagian dasar bangunan adalah karena gajah mempunyai kekuatan fisik yang tinggi, ia mampu mengokohkan keutuhan bangunan dengan kekuatan otot badannya. Dalam cerita pewayangan dijelaskan juga bahwa gajah dilambangkan juga sebagai Dewa yang mempunyai sifat pandai, bijaksana, dan bersikap hati-hati dalam segala usahanya. Ia dikenal dengan berbagai nama, seperti Gajanana, Gajawadana, Gajawadana Karimuka (berwajah gajah) dan Lambakara (berkuping Gajah) dan kesemuanya itu bisa terlihat dalam sosok Genesha. Penampilannya dalam hubungan dengan fungsifungsi ritual merupakan simbol-simbol filosofi yang dijadikan landasan jalan pikiran[11]. Jadi dalam penempatan motif dari bagian Arsitektur Tradisional Bali disesuaikan dengan sifat filosofis dari ornamen tersebut kemudian diletakkan pada tempat yang dirasa memiliki hubungan. Seperti pada karang gajah yang telah dijelaskan diatas tersebut memperlihatkan bahwa penghuni rumah tersebut percaya bahwa motif karang gajah tersebut mampu mengkokohkan keutuhan bangunannya karena sifat gajah yang mempunyai kekuatan fisik. Karang boma merupakan simbul dari kepala bhuta kala. Bhutakala artinya ruang dan waktu. Setiap dari kita yang menatap karang Boma diharapkan menya-
dari bahwa dirinya terbatas oleh ruang dan waktu. Bahwa sangat terbatas waktu kita untuk meningkatkan kehidupan rohani, sehingga diharapkan jangan lagi menunda-nunda untuk berbuat baik. Di dalam kitab Sarasamuscaya disebutkan: Iking tang janma wwang, ksanikabhawa ta ya, tan pahi lawan kedapning kilat, durlaba towi, matangyan pongakena ya ri kagawayanning dharma sadhana, sakaranangin manasanang sangsara, swargaphala kunang[12]. Terjemahan: Kelahiran menjadi manusia pendek dan cepat keadaannya itu, tak tak ubahnya dengan gerlapan kilat, dan amat sukar pula untuk diperoleh; oleh karenanya itu, gunakanlah sebaik-baiknya kesempatan menjadi manusia ini untuk melakukan penunaian dharma, yang menyebabkan musnahnya proses lahir dan mati, sehingga berhasil mencapi sorga. Karang Boma juga mengingatkan kita pada kisah Bomantaka, yang terlahir dari pertemuan Waraha Awatara (Wisnu) dan Dewi Pertiwi, atau dengan kata lain pertemuan antara tanah dan air yang menyebabkan terjadinya kehidupan. Karang tapel menandakan bahwa badan kita sesungguhnya sesuatu yang tidak kekal. Janganlah kecantikan, ketampanan masa muda menghalangi tujuan manusia yang sesungguhnya. Namun demikian bukan berarti kita mengabaikan badan ini tetapi bersukurlah bahwa melalui badan ini manusia mampu mengetahui baik dan buruk. Sarasamuscaya sloka 2 menyebutkan: Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wwang juga wenang gumawayaken ikang subhasubhakarma, kuneng panentasakena ring subhakarma ikang asubhakarma, phalaning dadi wwang[13]. Terjemahan: Diantara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah, yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk, leburlah kedalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu; demikianlah gunanya menjadi manusia. Dari penjelasan diatas menjelaskan bahwa dalam pemberian motif kekarangan memiliki maksud dan tujuan, baik berupa pesan kepada penghuninya, konstruksi, naupun mampu sebagai identitas sosial dari penghuninya, walaupun pembahasan makna motif kekarangan tidak semua dilengkapi namun hal diatas setidaknya mampu memberikan gambaran yang sama dengan yang lainnya.
KESIMPULAN Budaya tradisional Bali yang dilandasi agama Hindu, dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan Tatwa, Susila, dan Upacara untuk mecapai tujuan (Dharma), yaitu “Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma”, dimana harus tercapai hubungan yang harmonis antara alam semesta yang merupakan Bhuana agung (makro kosmos) dengan manusia sebagai Bhuana alit (Mikro kosmos). Dalam hal ini, perumahan (Bhuana agung) sedangkan manusia (Bhuana alit) yang mendirikan dan menempati wadah tersebut. Hubungan antara Bhuana agung dengan Bhuana alit yang harmonis dapat tercapai melalui unsur-unsur kehidupan yang sama yatu “ Tri Hita Karana”. Perumahan tradisional Bali sebagai wadah yang memiliki landasan Tatwa; yaitu lima kepercayaan agama Hindu (Panca Srada), Susila; etika dalam mencapai hubungan yang harmonis, dan Upacara; pelaksanaan lima macam persembahan (Panca Yadnya). Rumah tradisional Bali selain menampung aktivitas kebutuhan hidup sehari-hari, juga untuk menampung kegiatan upacara agama Hindu dan adat, memiliki landasan filosofi hubungan yang harmonis antara Bhuana agung dengan Bhuana alit, konsepsi Manik Ring Cucupu, Tri Hita Karana, hirarkhi tata nilai Tri Angga, HuluTeben, sampai melahirkan konsep Sanga Mandala yang membagi ruang menjadi sembilan segmen berdasarkan tingkat nilai ke -Utamaannya. Konsepsi-konsepsi ini juga berlaku untuk perumahan tradisional.
DAFTAR ISI http://ojs.unud.ac.id/index.php/natah/article/download/2926/2088 http://sutresnaone.files.wordpress.com/2011/07/tata-ruang2.docx Astika, Sudhana Ketut, dkk. 1986. Peranan Banjar pada Masyarakat Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Gelebet, I Nyoman. dkk. 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&cad=rja&ved=0CEsQFjAD&url= http%3A%2F%2Fcore.kmi.open.ac.uk%2Fdownload%2Fpdf%2F12237823&ei=VUVWUsfPFcujrQftx4D4 CA&usg=AFQjCNEImvc2oB5xYCxEV-z0KrC3tP_MYA&sig2=2HoDb3IQPnTWfNYeNMHvzQ&bvm=bv .53899372,d.bmk
View more...
Comments