API Di Bukit Menoreh 2 - S H Mintardja

January 17, 2018 | Author: fafejaya13 | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Ebook bagus...

Description

Di-edit oleh Kartini dari sumber: adbmcadangan.wordpres.com

Buku 101 SEBUAH padepokan kecil akan lahir disebelah Kademangan Jati Anom. Diatas sebuah pategalan yang sudah ditumbuhi dengan berbagai macam pohon buah-buan, akan dibangun kelengkapan dari sebuah padepokan betapapun kecilnya. Sebuah rumah induk dengan pendapa dan bagian-bagian yang lain, sebuah tempat ibadah, klolam dan sebuah kandang kuda. Dibagian belakang akan terdapat beberapa buah rumah kecil yang akan dihuni oleh beberapa orang yang bersedia tinggal dipadepokan kecil itu untuk bersama-sama bekerja keras. Sebuah lumbung, dan halaman untuk menjemur padi dan hasil sawah yang lain akan dipersiapkan pula dilongkangan. Dihari-hari pertama, Untara dan Widura sudah mulai menentukan letak dan urutan bangunan yang akan dibuat. Meskipun kecil dan sederhana namun agaknya padepokan itu akan sangat menyenangkan. Sebuah gubug kecil telah dahulu dibangun untuk menyimpan bahan-bahan yang diperlukan bagi bangunan yang akan dibuat itu. Kayu yang sudah siap digarap. Bambu dan atap ijuk segera dipersiapkan pula. Ketika dua buah sumur sudah siap digali sesuai dengan tempat yang sudah direncanakan dalam keseluruhan halaman padepokan itu, maka mulailah kerja yang sebenarnya. Setiap hari beberapa buah pedati hilir mudik mengangkut batu dan keperluan-keperluan yang lain. Sementara itu beberapa orangpun mulai bekerja dengan keras untuk menyelesaikan pekerjaan yang cukup besar itu. Agung Sedayu dan Kiai Gringsing tidak ketinggalan pula. Mereka ikut bekerja keras diantara para pekerja yang lain. Bahkan Ki Waskita pun tidak mau tinggal berpangku tangan. Demikianlah hari-hari berikutnya. pategalan Karang itu telah sibuk dengan kerja. Mulai saat matahari naik, sampai saat matahari turun dibalik gunung, orang-orang yang bekerja dipadepokan itu lelah melakukan tugas mereka sebaik-baiknya. Bahkan diantara derit roda pedati, derak bambu dibelah dan bebatuan yang gemelutuk. kadang-kadang masih juga terdengar suara dendang dari seseorang yang sedang duduk dibawah sebatang pohon memintal tali ijuk. Dalam pada itu, sekali-sekali Untara sendiri datang untuk melihat-lihat kemajuan kerja orang orangnya yang membuat dinding batu mengelilingi pategalan itu. Semakin lama menjadi semakin tinggi. Diempat penjuru terdapat empat buah regol meskipun tidak sama. Regol induk dibuat lebih besar dari ketiga regol butulan. Meskipun demikian, Untara telah mempersiapkan papan-papan kayu yang tebal, sehingga keempat pintu gerbang itu akan menjadi pintu gerbang yang kuat.

Kiai Gringsing yang melihat papan-papan yang dipersiapkan untuk membuat pintu gerbang itu tersenyum didalam hati. Rencana itu dibuat oleh seorang prajurit, sehingga segi pengamanan dari padepokan itu benar benar dapat dibanggakan. Pintu gerbang itu akan menjadi pintu gerbang yang sangat sulit untuk dipecahkan meskipun dengan mempergunakan alat apapun juga. Dari hari kehari dengan berdebar-debar Agung Sedayu melihat perkembangan dari padepokannya. Dinding halaman yang menjadi semakin tinggi dan beberapa bagian rumah yang sudah berdiri. Kesibukan kerja itu ternyata telah berpengaruh pula pada kepribadian Agung Sedayu. Dalam kerja itu ia merasa telah berbuat sesuatu bagi dirinya sendiri, diatas tanahnya sendiri. Meskipun kerja itu masih diangkat oleh kakak dan pamannya, namun seolah-olah iapun ikut serta menentukan, bahwa padepokan itu benar benar akan berdiri. Ternyata bahwa Widura cukup bijaksana menanggapi perkembangan jiwa Agung Sedayu. Meskipun bentuk setiap bangunan dan letaknya sudah direncanakan, tetapi Widura memberi banyak kesempatan kepada Agung Sedayu untuk mengutarakan pendapatnya. Bahkan Widura sama sekali tidak berkeberatan, jika pada suatu saat Agung Sedayu sama sekali merubah bentuk dan letak sebuah bangunan. “Terserah kepadamu dan kepada gurumu. Agung Sedayu,“ berkata Widura, “kaulah yang akan menjadi penghuni dari padepokan ini. Kaulah yang harus menentukannya. Jika aku menyerahkan beberapa bagian dari bahan dan tenaga yang dapat aku kerahkan dari Banyu Asri dan Jati Anom, itu adalah sekedar pelaksanaannya saja. Sedang dari ujud keseluruhannya terletak kepadamu dan kepada gurumu.” Agung Sedayu kadang-kadang merasa bangga jika ia dapat menentukan sesuatu yang penting, yang kurang pada perencanaan sebelumnya. Ia benar-benar merasa telah berbuat sesuatu yang berguna bagi dirinya sendiri. Sehingga dengan demikian, Agung Sedayu mulai merasa, bahwa ia sedang bekerja keras bagi masa depannya dan kematangan kepribadiannya. Berbeda dengan Widura, agaknya Untara berpegang teguh pada rencananya. Tetapi agaknya Agung Sedayu memang tidak banyak mempunyai persoalan dengan dinding itu yang dibuat kakaknya melingkari padepokan itu. Meskipun demikian, kadang-kadang Untarapun ikut pula menentukan beberapa bagian dari isi padepokan itu. “Berilah kesempatan Agung Sedayu melakukan sesuatu,” berkata Widura kepada Untara. “Ia masih terlalu muda. Seleranya adalah selera yang cengeng,“ jawab Untara. “Biar sajalah. Nanti jika ia sudah masak akan melihat kekurangan itu dan akan merubahnya. Gurunyapun agaknya

tidak banyak berbuat sesuatu karena, sebagian besar persoalannya diserahkan kepada Agung Sedayu.” Untara tidak menjawab. Tetapi baginya. Agung Sedayu masih terlalu kanak-kanak dan kurang pengalaman. Meskipun demikian kadang-kadang Untarapun mendengarkan nasehat nasehat pamannya dan membiarkan Agung Sedayu menentukan sesuai dengan keinginannya meskipun terbatas pada persoalan yang tidak terlampau besar dari keseluruhan rencana. Dari hari kenari, padepokan itu menjadi semakin jelas. Bangunan-bangunannya mulai berdiri, sedang dindingnyapun telah cukup tinggi, sehingga pategalan itu benar-benar telah berubah menjadi sebuah padepokan kecil yang cantik. Tetapi setiap kali Untara masih berdesis, “Selera Agung Sedayu adalah selera yang cengeng.” Namun Untarapun akhirnya menuruti nasehat pamannya meskipun hatinya masih terasa belum puas. Tetapi bahwa padepokan itu semakin lama menjadi semakin berbentuk, iapun mulai agak lega pula. Dengan demikian ia telah berhasil merenggut adiknya dari Sangkal Putung. Karena dengan hadirnya Agung Sedayu di Sangkal Putung, rasa-rasanya Untara ikut direndahkan pula martabatnya sebagai seorang laki-laki. Pada saatnya, maka padepokan itupun telah dapat disiapkan. Dinding batu yang cukup tinggi telah siap mengelilingi padepokan yang ditumbuhi dengan beberapa batang pohon buah-buahan. Beberapa buah bangunan telah siap pula. Kandang kudapun telah terisi oleh dua ekor kuda yang tegar. Dihari yang telah dipilih oleh Kiai Gringsing, saat padepokan itupun resmi akan dipergunakan, beberapa orang telah diundang untuk ikut menyaksikan. Diantara mereka hadir beberapa orang dari Sangkal Putung. Ki Demang dan Swandaru dan isterinya bersama beberapa orang telah hadir pada upacara peresmian itu. Tetapi yang terasa mengganggu perasaan Agung Sedayu, bahwa justru Sekar Mirah tidak bersedia datang, meskipun Ki Demang mengemukakan beberapa alasan yang masuk akal. “Badannya tidak sehat,“ berkata Ki Demang. Tetapi Agung Sedayu tidak mempercayainya. Meskipun demikian ia hanya dapat menganggukkan kepala sambil menjawab, “Mudah-mudahan ia menjadi lekas sembuh.” Sementara itu, Swandarupun yang sudah melihat-lihat berkeliling berkata kepada Agung Sedayu, “Padepokan yang sederhana. Mudah-mudahan kau kerasan tinggal disini kakang.” “Aku akan mencobanya.“ Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi beberapa kali ia menunjukkan kekecewaannya atas padepokan yang dilihatnya itu.

“Kau masih harus banyak bekerja untuk melengkapi padepokanmu ini kakang,“ berkata Swandaru kemudian. “Aku menyadari,“ jawab Agung Sedayu. Dan selanjutnya duniamu akan terbatas oleh dinding batu itu sampai hari tuamu. Kau akan menjadi orang yang alim. yang kerjanya setiap hari menghitung amal dan dosa yang pernah kau lakukan. Mengajari para cantrik untuk bercocok tanam dan memelihara ternak. Mengumpulkan telur ayam dan itik.” “Mungkin aku harus harus berbuat demikian.” “Lalu kau akan kehilangan semua kesempatan dihari-hari yang masih terlampau pagi. Masa-masa mudamu akan hilang dibalik dinding batu yang mengurungmu disini.” “Mungkin ada usaha lain yang berguna bagi orang orang disekeliliku,” jawab Agung Sedayu. “Kakang,“ berkata Swandaru kemudian, “aku tidak menolak untuk mempelajari ilmu kejiwan, kesusasteraan dan pendekatan diri kepada Yang Maha Pencipta. Tetapi diumur yang masih muda ini tentu masih banyak yang dapat dikerjakan dari pada bertapa didalam halaman padepokan kecil yang menurut pendapatku justru setengah-setengah ini.” Agung Sedayu menarik nafas dalam dalam. “Tetapi semuanya terserah kepadamu kakang. Kaulah yang akan menjalaninya. Meskipun demikian, jika pada suatu saat kau jemu tinggal dipadepokan ini, maka ayah tentu akan bersedia menerimamu kembali tinggal di Sangkal Putung.” “Terima kasih,“ jawab Agung Sedayu, “aku akan memikirkannya kelak.” Demikianlah hari yang pertama itu telah hadir beberapa orang yang mengucapkan selamat atas lahirnya sebuah padepokan kecil itu. Adalah peristiwa yang jarang sekali dapat disaksikan, bahwa sebuah padepokan telah lahir diatas tanah pategalan seperti padepokan yang akan dihuni oleh Kiai Gringsing dan Agung Sedayu. Tetapi ternyata disamping mereka, orang pertama yang bersedia tinggal dipadepokan itu adalah Glagah Putih. Atas ijin orang tua serta kakek dan neneknya, maka ia telah menyatakan keinginannya untuk tinggal dipadepokan itu bersama Agung Sedayu. “Tetapi kita harus bekerja keras,“ berkata Agung Sedayu. “Itu menarik sekali kakang,“ jawab Glagah Putih. “Bagus. Jika kau sudah menyadari, maka kau dapat tinggal dengan senang justru karena kerja.” Sepeninggal orang-orang yang menghadiri saat-saat padepokan itu mulai dihuni, adalah pertanda

bahwa kerja keras harus dimulai. Pategalan disekitar padepokan itu harus digarap. Dan sebidang tanah yang sudah disediakan adalah sawah yang akan menghasilkan persediaan makan bagi mereka. “Diujung pategalan itu adalah sebuah lapangan perdu. Diseberang lapangan perdu terdapat sebuah hutan kecil,“ berkata Untara kepada Agung Sedayu, “kau tahu bahwa hutan itu adalah hutan terbuka meskipun terletak didalam tlatah Kademangan Jati Anom. Jika kau memerlukan maka kau dapat menghubungi Ki Demang. Mintalah izin untuk membuka tanah sesuai dengan perkembangan kebutuhanmu dan kebutuhan padepokanmu. Hutan itu tidak terlalu jauh dari pategalan yang kau buat mengjadi padepokan itu, sehingga hasil dari kerja membuka hutan itu akan dapat langsung kau rasakan.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia tahu, bahwa sawah peninggalan ayahnya tidak terlampau luas. Agaknya Untara masih belum ingin membicarakan pembagian warisan yang diterima dari ayahnya. “Bukan begitu,“ berkata Kiai Gringsing ketika Agung Sedayu menyampaikannya persoalan itu kepadanya, “bukan karena Untara merasa segan membagi warisan, tetapi ia tentu mempunyai maksud lain yang jauh lebih baik dari sekedar pamrih.” Agung Sedayu tidak menjawab. “Ia ingin melihat kau bekerja sebagai seorang laki-laki. Itulah sebabnya ia menunjukkan hutan yang masih harus dibuka itu. Kau dapat memahaminya?” Agung Sedayu mengangguk lemah. “Nah, bukankah dengan demikian, kerja berat benar benar harus kita lakukan meskipun belum sekuku ireng dibanding dengan kerja membuka Alas Mentaok?” Agung Sedayu mengangguk angguk, iapun dapat mengerti keterangan gurunya. Agaknya kakaknya benar-benar ingin melihat ia bekerja seperti orang-orang lain bagi kepentingan dirinya dikemudiau hari. Dalam kerja itu. Agung Sedayu justru dapat memahami. Apakah jadinya kelak jika ia masih saja berada di Sangkal Patung. “Aku tidak tahu apakah dengan demikian aku masih akan dapat mempertahankan martabat orang tuaku,“ berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri. Tetapi dengan kerja keras, ia masih dapat, berharap bahwa namanya akan dianggap sebagai keturunan Ki Sadewa. “Pangkat dan kedudukan bukanlah ukuran martabat seseorang,” berkata pamannya pada suatu saat. Sehingga Agung Sedayu menjadi semakin yakin, bahwa dengan kerja ia akan menemukan dirinya

sebagai anak Ki Sadewa. Demikianlah dari hari ke hari, padepokan kecil itu mulai nampak hidup dan berkembang. Halaman depan rumah induknya selalu nampak bersih dan terpelihara. Beberapa batang pohon bunga yang ditanam oleh Agung Sedayu mulai tumbuh dan berdaun hijau. Setiap pagi dan sore Glagah Putih tidak lupa menyiramnya, sehingga pepohonan itu menjadi tumbuh dengan subur. Bahkan Glagah Putih telah dengan susah payah membendung parit dan atas ijin para petani di Kademangan, ia mengalirkan sebagian kecil air parit itu untuk mengisi sebuah belumbang, yang kemudian dipergunakannya untuk memelihara ikan. Dipagi hari, jika matahari mulai memancar, cahayanya yang kuning memantul dari air belumbang yang bening membayang didedaunan yang hijau. Beberapa ekor angsa yang dibeli oleh Widura berenang dengan segarnya kian kemari tanpa lelah. Ternyata bahwa Glagah Putih adalah seorang yang rajin bekerja. Ketika Agung Sedayu dan Kiai Gringsing memutuskan untuk mulai membuka hutan bagi tanah persawahan, maka Glagah Putihpun tidak mau ketinggalan, membawa sebuah kapak pembelah kayu. “Kau merebus air saja dipinggir hutan,“ berkata Agung Sedayu, “jika air mendidih, kau mulai menanak nasi. Kita tidak usah pulang kepadepokan. Kita makan disini.” “Ah, itu kerja perempuan,” jawab Glagah Putih. “Tidak. Dipeperangan yang berlangsung lama. maka laki-lakilah yang merebus air dan menanak nasi. Juga diperjalanan yang panjang menghampiri daerah lawan.” Glagah Pulih mulai berpikir. Tetapi katanya kemudian, “Aku mau merebus air dan menanak nasi, tetapi sesudah itu, aku boleh ikut bekerja.” Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Baiklah. Tetapi tugas utamamu, menyediakan makan kami. Tanpa makan, maka semua kerja akan terbengkelai. Karena itu, jangan kau anggap kerja itu kerja yang tidak berarti.” Glagah Putih tidak membantah. Dihari berikutnya ia membawa alat-alat untuk merebus air dan menanak nasi. Dengan sungguh-sungguh Agung Sedayu dan Kiai Gringsing, dibantu oleh Glagah Putih dan Ki Waskita, telah bekerja untuk membuka hutan. Ternyata bahwa kerja mereka tidak sia-sia. Pada saatnya, maka telah terbentang tanah yang sudah siap untuk ditanami, meskipun tidak begitu luas. Atas persetujuan Ki Demang Jati Anom, maka tanah itupun kemudian menjadi milik penghuni padepokan kecil itu. Bahkan jika mereka kelak memerlukan, Ki Demang rnasih akan memberikan kesempatan kepada mereka untuk membuka hutan lebih luas lagi.

“Untuk sementara sudah cukup,“ berkata Agung Sedayu. “Tetapi bagaimana dengan kalian sebelum tanah itu menghasilkan?“ bertanya Ki Demang. “Kami masih menjadi tanggungan kakang Untara dan paman Widura,“ jawab Agung sedayu. Ki Demang mengangguk-angguk. Tetapi iapun kagum melihat kesungguhan kerja Agung Sedayu dan penghuni padepokan itu yang lain. Namun dalam pada itu, ketika sawah mereka sudah mulai mendapat air dan dapat ditanami untuk pertama kali, mulailah mereka sempat memikirkan kerja yang lain. Agung Sedayu mulai memperhatikan Glagah Putih yang dalam saat-saat yang memungkinkan selalu melatih diri dengan bekal yang baru sedikit terbatas pada tata gerak dasar dari ilmu keturunan kakeknya yang disadap dari sumber yang sama dengan ilmu ayahnya “Kiai,“ berkata Agung Sedayu kepada Kiai Gringsing dan Ki Waskita ketika mereka sudah mulai sempat beristirahat, “ilmu Glagah putih itulah yang aku katakan. Akupun sebenarnya merasa sayang, bahwa ilmu itu akan menjadi semakin susut dan bahkan kemudian hilang sama sekali.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam dalam Katanya, “Agung Sedayu. Aku termasuk salah seorang yang mengenal ayahmu dengan baik. Meskipun waktu itu aku adalah Ki Tanu Metir dari Dukuh Pakuwon. Tetapi ayahmu mengenal aku sebenarnya meskipun Untara dan kau belum mengenalku pada waktu itu. Karena itulah, akupun sebenarnya merasa sayang, jika ilmu Ki Sadewa yang disegani itu akan lenyap. Meskipun dalam beberapa hal, ilmu Ki Sadewa memiliki kelemahan karena bentuknya yang kurang tegas bersandar pada ciri-cirinya. Tetapi itu adalah karena Ki Sadewa bukan seseorang yang terbiasa menyombongkan diri dan ingin memperlihatkan kelebihannya kepada orang lain. Ia lebih senang menenggelamkan ilmu pada ciri-ciri yang umum dan banyak terdapat pada ilmu-ilmu yang lain. Tetapi disela-sela bentuknya yang kurang dapat dilihat ciri-ciri khususnya itu, sebenarnya tersembunyi unsurunsur yang sangat dahsyat.” Agung Sedayu hanya mengangguk anggukkan kepalanya saja. “Diantaranya Agung Sedayu,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “kau mewarisi, sadar atau tidak sadar, kemampuan bidik yang luar biasa, yang bahkan kurang mendapat perhatian dari Untara. Tetapi pada tingkat tertentu, muka kemampuan itu akan menjadi bekal ilmu yang sangat tinggi tingkatnya.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ia akan berhadapan dengan usaha yang cukup besar. Ternyata bahwa kemudian gurunya dan bahkan Ki Waskita telah menyatakan kesediaannya untuk mencoba melihat-lihat unsur unsur gerak dasar dari ilmu yang menjadi semakin lemah itu. Mungkin dengan demikian mereka akan dapat membantu, mengangkat kembali ilmu itu ketingkat yang sewajarnya. “Apakah aku harus mengatakannya kepadakakang Untara

?“ bertanya Agung Sedayu. “Jangan dahulu,“ jawab Kiai Gringsing, “Bukannya aku hendak mengkesampingkan Untara. Tetapi harus kau akui Agung Sedayu, bahwa bagi Untara apa yang kau lakukan, tentu akan mendapat penilaian yang khusus, karena agaknya kau belum masuk kedalam batas rencana yang dianggapnya baik bagimu.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. “Tetapi itu bukan berarti bahwa kita harus meninggalkannya untuk seterusnya. Jika pada suatu saat, keadaan sudah berkembang semakin baik, maka kita akan mengatakannya kepadanya.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu. “Tetapi sementara ini biarlah pamanmu Widura sajalah yang jika perlu menyampaikan persoalannya.” Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Aku sangat berterima kasih kepada paman Widura. Agaknya paman Widura berusaha untuk menengahi pendirian kami yang sampai saat ini masih belum sesuai.” “Ya. Pamanmu merasa bahwa ia adalah orang tuamu sekarang ini. Persoalan antara kau dan Untara adalah persoalannya.” Dengan demikian, maka Agung Sedayu dan gurunya pun mulai mempersiapkan diri, disamping memperkembangkan padepokannya, juga berusaha untuk melihat kembali ilmu yang ditinggalkan oleh cabang perguruan yang telah mulai susut itu. Namun dalam pada itu, di Sangkal Putung. Sekar Mirah mulai menjadi gelisah. Betapapun juga ia mencoba untuk mempertahankan harga dirinya, tetapi ada dorongan dihatinya untuk pada suatu kali pergi kepadepokan kecil itu. Rasa-rasanya sudah bertahun-tahun ia tidak bertemu dengan Agung Sedayu yang meskipun menurut penilaiannya anak muda itu mempunyai banyak kelemahan sikap dan pandangan hidup, namun Sekar Mirah tidak dapat ingkar, bahwa ada ikatan yang tidak dapat diurai yang membelit dihati. Karena itulah, maka ketika ia tidak dapat menahan gejolak hatinya, ia menyatakan keinginannya itu pertama-tama justru kepada gurunya. Tidak kepada ayahnya. Ki Sumangkar menarik nafas dalam dalam. Katanya, “Sekar Mirah. Sebenarnya aku sudah menunggu, kapan kau menyatakan keinginanmu untuk pergi ke padepokan itu. Tetapi kau tidak mau mendahului keinginan yang akan kau nyatakan, karena aku mengenal tabiat dan sifat-sifatmu. Tetapi apakah salahnya jika pada suatu saat kita berbicara dengan hati nurani. Tidak dengan sikap yang sudah diwarnai oleh nafsu yang betapapun bentuknya.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam dalam. Tetapi ia-pun menganggukan kepadanya meskipun ada beberapa bagian yang tidak segera dapat diserap untuk disesuaikan dengan sifat-sifatnya yang tinggi hati. “Sekar Mirah,“ berkata Ki Sumangkar kemudian, “sebaiknya kau segera menentukan, kapan kita akan pergi, dan sebaiknya kau minta ijin dahulu kepada ayah dan barangkali juga sebaiknya memberitahukan kepada kakakmu Swandaru, yang barangkali akan memberikan beberapa pesan bagi Agung Sedayu.” Ternyata Sekar Mirah sudah benar-benar didesak oleh keinginannya untuk pergi, sehingga iapun segera menemui ayahnya dan menyampaikan keinginannya itu. “Bukan saja karena aku ingin bertemu dengan kakang Agung Sedayu,“ berkata Sekar Mirah, “tetapi aku juga ingin melihat, apakah padepokan yang dibangunnya itu melampaui padepokan-padepokan yang pernah aku lihat sebelumnya.” Sumangkar yang ada pula pada saat itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Ki Demangpun tidak berkeberatan. Hanya Swandaru sajalah yang agaknya mempunyai penilaian lain. Katanya, “Kau harus menjaga dirimu Mirah. Kau adalah seorang gadis. Dan kau bukan anak orang kebanyakan yang dapat diperlakukan sekehendak hati. Jika kau ingin juga melihat padepokan itu, kau harus bersikap sewajarnya bagi seorang gadis yang berkedudukkan.” “Tentu kakang.” Jawab Sekar Mirah, “aku tidak akan pergi ngunggah-unggahi. Tetapi aku ingin melihat, apakah padepokan itu ada nilainya bagi kami.” “Ah,“ Ki Sumangkar berdesis, “nilai sesuatu ujud memang mempunyai ukuran yang dapat dihayati secara umum oleh kebanyakan orang. Tetapi kita menilainya dengan bekal dan keinginan yang lain, maka nilai itupun akan dapat berubah-ubah menurut dasar penilaian masing-masing. Mungkin padepokan itu sangat berarti bagi Agung Sedayu, tetapi sama sekali tidak bernilai bagi orang lain. Itulah sebabnya, maka kewajaran sikap yang sesuai dengan pesan angger Swandaru adalah meragukan sekali, karena yang wajar itupun kadang-kadang sama sekali tidak wajar.” Swandaru mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Kiai, apakah Sekar Mirah tidak berhak ikut berbicara tentang masa depannya sendiri? Jika kita mengakui hubungan apakah yang ada antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah, maka adalah wajar menurut penilaian yang wajar pula, bahwa Sekar Mirah ingin ikut menentukan apakah jalan akan dilaluinya bersama Agung Sedayu sudah menemukan arah yang tepat? Kitapun tidak dapat mengingkari, bahwa Sekar Mirah tentu ingin melihat kedudukan Agung Sedayu seimbang dengan kedudukan kelak. Aku adalah Demang di Sangkal Putung dan Kepala Tanah Perdikan di Menoreh atas nama isteriku. Sudah barang tentu aku tidak akan sampai hati melihat adikku satu-satunya hidup terpencil dipadepokan kecil yang tidak mempunyai arti sama sekali dalam perkembangan keseluruhan bagi Pajang atau Mataram.”

Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan. Jawabnya, “Itulah yang aku maksud. Yang wajar itupun kadang kadang menjadi tidak wajar. Juga tingkat dan taraf kehidupan seseorang. Bagiku, tingkat kehidupan yang layak terletak kepada diri kita sendiri. Jika hati kita menemukan persesuaian, maka akan tenanglah hidup kita selanjutnya.” Swandaru memandang Ki Sumangkar dengan tajamnya. Sejenak iapun termangu-mangu. Namun kemudian ia tidak dapat menahan gejolak dihatinya dan berkata, “Kiai sudah membelakangi hidup kedumawian, karena barangkali umur Kiai yang menjadi semakin tua. Mungkin Kiai merasa sudah waktunya untuk menemukan ketenangan hidup. Baik yang bersifat lahir apalagi batin. Tetapi bagi kami yang muda, maka ketenangan hidup masih harus dinilai dengan sikap kemudian kami. Justru kamilah yang seharusnya memberikan bentuk dan warna kepada keadaan disekitarnya. Bukan sekedar menyesuaikan diri menurut apa adanya. Dengan demikian maka semua usaha akan terhenti, dan kita akan tetap dalam keadaan kita seperti sekarang tanpa kemajuan apapun juga.” Ki Sumangkar menarik nafas dalam dalam, Katanya, “Sikap dan pendirian itu benar. Tetapi tidak berlebih-lebihan. Jika kita ingin berbuat sesuatu, maka kita tidak dapat mengingkari kenyataan yang ada sebagai landasan. Justru sikap itulah yang akan banyak merubah keadaan. Tetapi jika kita tidak mau melihat yang ada, maka kita akan melakukan beberapa kesalahan berturut turut, karena kita tidak beralaskan kepada kenyataan itu.“ Ki Sumangkar berhenti sejenak. Lalu. “misalnya tentang Agung Sedayu. Ia harus berjuang sekuat-kuatnya. Tetapi ia harus berlandaskan kenyataannya sekarang. Ia harus mulai dari sebuah padepokan kecil, karena memang hanya itulah yang dapat dijangkaunya. Di atas alas yang ada itulah maka ia harus berjuang untuk mencapai perubahan demi perubahan sehingga sampai pada suatu tataran yang lebih baik. Dengan menerima kenyataan yang ada, maka semuanya akan berlangsung tanpa banyak mengeluh dan menyesali keadaan.” Swandaru menegang sesaat. Tetapi meskipun demikian ia dapat melihat sepercik kebenaran pada kata-kata Ki Sumangkar. Namun, bagaimanapun juga ia menganggap bahwa sikap itu adalah sikap yang terlampau lemah dan ketua-tuaan, seolah-olah seseorang harus berbuat sesuatu menurut keadaan yang mungkin saja dilakukan seadanya agar hidupnya menjadi tenang dan tenteram. “Itu bukan perjuangan,“ berkata Swandaru didalam hatinya. Tetapi ia masih menghormati Ki Sumangkar sehingga ia tidak membantahnya lagi. Demikianlah, maka Sekar Mirahpun segera berkemas untuk pergi. Sebenarnya keinginan yang sama telah mendesak jantung Pandan Wangi. Tetapi ada sesuatu yang menahannya. Ia merasa tidak pantas sama sekali untuk menyatakan keinginannya itu kepada suaminya atau kepada siapapun juga. Karena itu, maka iapun menahan keinginannya itu didalam hatinya, betapapun beratnya. Apalagi jika ia sadar, bahwa keinginannya untuk pergi kepadepokan kecil itu bukannya sekedar ingin menilai

kelemahan Agung Sedayu dan kekerdilan usaha yang sedang dilakukan itu. Tetapi justru dengan kekaguman akan kebesaran jiwa anak muda itu. “Kakaknya adalah seorang Senopati besar yang disegani lawan dan dihormati kawan. Tetapi ia tidak segan-segan bekerja keras untuk membuka sebuah padepokan kecil yang tidak berarti. Tetapi yang dengan kemauan yang keras dibangun dengan harapan-harapan bagi masa depannya,“ berkata Pandan Wangi didalam hatinya. Tetapi ia tidak dapat mengatakannya kepada siapapun juga.Kkarena ia sadar, bahwa dengan demikian akan dapat menimbulkan salah paham. Ketika Pandan Wangi kemudian harus melepas Sekar Mirah pergi bersama gurunya dan dua orang pengawal, terasa sesuatu bergejolak didalam hatinya. Namun iapun segera sadar, bahwa ia telah diganggu oleh perasaan iri. Dan iapun sadar, bahwa nalarnya harus bekerja keras untuk menekan perasaan itu dalam-dalam. Sejenak kemudian maka Sekar Mirah diiringi oleh guru dan dua orang pengawal telah berpacu disepanjang bulak yang panjang. Merekapun kemudian menyusuri jalan ditepi hutan. Meskipun menurut pertimbangan mereka keadaan sudah berangsur baik, tetapi mereka tidak kehilangan kewaspadaan, karena meskipun hutan itu tidak terlampau lebat, tetapi didalamnya masih mungkin tersimpan bahaya yang dapat menerkam mereka setiap saat. Tetapi ternyata bahwa mereka sama sekali tidak mendapat gangguan apapun disepanjang jalan. Karena itulah maka merekapun tidak terhenti diperjalanan dan sampai kepadepokan kecil itu seperti yang direncanakan. Beberapa puluh langkah dari regol padepokan, Sekar Mirah berhenti. Dengan wajah yang tegang dipandanginya padepokan kecil itu dari jarak yang tidak begitu jauh. “Marilah Mirah,“ ajak gurunya, “kenapa kau berhenti ?” SekarMirah memandang gurunya sejenak. Tetapi gurunya yang sudah berusia agak lanjut itu segera dapat menangkap perasaannya. Kecewa. Tetapi Sekar Mirah melanjutkan juga perjalanannya menuju keregol padepokan yang terbuka itu. Agaknya Glagah Putih yang berada dihalaman depan, melihat iring-iringan yang mendekat itu. Karena itulah maka iapun segera berlari-lari memberitahukan kehadiran beberapa orang tamu kepada kakak sepupunya yang kebetulan ada dipadepokan. Agung Sedayu bersama Kiai Gringsing dan Ki Waskita pun kemudian dengan tergesa-gesa menyongsong tamunya yang datang dari Sangkal Putung itu. “Marilah Kiai,“ Agung Sedayu mempersilahkan, “marilah Mirah. Aku percaya bahwa pada suatu saat, kau akan melihat padepokanku.”

Sekar Mirah mencoba untuk tersenyum betapapun kecutnya. Dimuka regol merekapun meloncat turun dan menuntun kudanya memasuki halaman. Dibelakang regol Kiai Gringsing menyambut mereka sambil tertawa, “Selamat datang dipadepokan kecil ini.” Merekapun kemudian menyerahkan kuda mereka kepada para pengawalnya yang kemudian mengikatnya pada pohon-pohon perdu dihalaman. “Ternyata dihalaman itu perlu beberapa patok untuk mengikat kendali kuda,“ berkata Glagah Putih didalam hatinya. Dan iapun sudah merencanakan untuk menyiapkan beberapa potong bambu untuk membuat patok penambat kendali kuda. Sejenak kemudian merekapun telah duduk di pendapa. Sejenak mereka saling mengucapkan selamat sebelum mereka kemudian mulai membicarakan tentang padepokan yang baru itu. Dalam pada itu dibelakang, Glagah Putih telah sibuk merebus air untuk menyediakan hidangan bagi tamu-tamunya. Dipendapa, pembicaraan Sekar Mirah mulai merambat pada padepokan kecil yang baru selesai dibangun itu. Beberapa kali ia mengeluh, bahwa kerja semacam ini tidak akan banyak mempunyai arti, selain membuang-buang waktu saja. “Betapa kecilnya padepokan ini, tetapi untuk membangun rumah dan dinding batu itu tentu diperlukan beaya,“ berkata Sekar Mirah. “Ya, tentu.” jawab Agung Sedayu, “paman Widura dan kakang Untara telah menyediakan bagiku.” Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bukankah itu juga berati bahwa kau tidak berdiri atas hasil kerjamu sendiri? Bukankah dengan demikian berarti bahwa kau juga memerlukan pertolongan orang lain ?” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia menjawab. Ki Sumangkar telah mendahului, “Tetapi itu adalah haknya Sekar Mirah. Ki Widura adalah pamannya, sedang Untara adalah kakaknya Agung Sedayu berhak menerima apapun dari mereka. Agak berbeda dengan pemberian orang lain, meskipun dengan ikhlas. Apalagi tanah ini memang tanah Agung Sedayu sendiri.” Sekar Mirah memandang gurunya sekilas. Jika saja bukan Ki Sumangkar, maka ia masih akan membantah. Tetapi terhadap gurunya, Sekar Mirah merasa segan untuk berbantah. Sejenak kemudian, setelah mereka minum minuman panas yang dihidangkan oleh Glagah Putih, merekapun memerlukan mengitari padepokan kecil itu untuk melihat-lihat apakah yang sudah dapat

dibangun dalam waktu yang terhitung singkat itu. Tetapi tidak ada satupun yang memberikan kepuasan bagi Sekar Mirah. Semuanya serba kurang dan mengecewakan. Namun agaknya Agung Sedayu sudah mengenal sifat dan watak Sekar Mirah, sehingga iapun dapat mengerti apakah sebenarnya yang terkandung didalam hatinya. Karena itulah maka Agung Sedayu dan apalagi Kiai Gringsing, sama sekali tidak menangkis celaancelaan itu. Bahkan Agung Sedayu mencoba untuk mengangguk-angguk sambil menjawab, “Semuanya masih mungkin diperbaiki Sekar Mirah. Padepokan mi memang belum mapan.” Sekar Mirah memandang Agung Sedayu sejenak. Katanya kemudian, “Memang masih mungkin diperbaiki. Tetapi ada sesuatu yang memang sudah tidak mungkin ditingkatkan. Yang sudah sampai pada tataran puncaknya. Itulah yang harus mendapat perhatian. Tanah yang kering, tandus dan berbatu-batu. Tidak akan dapat menjadi subur dalam waktu yang singkat. Keterasingan dan tersisih seperti padepokan inipun memerlukan waktu yang lama sekali untuk mendapatkan arti bagi kehidupan luas. Kecuali sekedar bagi satu dua orang yang langsung berkepentingan.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ketika ia akan memberikan keterangan yang lebih panjang, Kiai Gringsing menggamitnya, sehingga Agung Sedayupun terdiam karenanya. Baru kemudian Kiai Gringsing berbisik, “Tidak ada gunanya. Kau hanya akan berbantah.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dan ia memang tidak ingin berbantah dengan Sekar Mirah. Karena itulah maka iapun hanya sekedar mendengarkan, dan sekali-sekali mengiakannya. Ki Sumangkar menjadi gelisah justru karena sikap Agung Sedayu. Tetapi ia sadar, bahwa memang Agung Sedayu bukannya seseorang yang senang membantah, meskipun Sumangkar tahu, bahwa ada sesuatu yang terasa bergejolak didalam hati anak muda itu. “Seperti endapan yang semakin lama semakin tebal didasar hati Agung Sedayu,“ berkata Ki Sumangkar didalam hatinya, “mungkin endapan itu akan tetap tertimbun baik-baik, tetapi apabila timbunan itu menjadi banyak, maka akan mungkin sekali menjadi penuh dan meluap seperti air yang tertahan dibendungan.” Tetapi Ki Sumangkarpun tidak mengatakan sesuatu. Ia justru ingin mencoba mengubah sikap dan tingkah laku Sekar Mirah apabila masih mungkin, khusus menghadapi Agung Sedayu, karena agaknya keduanya memang telah berniat menuju kedalam satu ikatan hidup meskipun perbedaan sifat dan watak semakin lama justru menjadi semakin jelas. Meskipun demikian, rasanya masih ada yang mengikat keduanya untuk tetap berdiri ditempat masingmasing dalam hubungan antara seorang anak muda dan seorang gadis.

Demikianlah ternyata Sekar Mirah tidak betah terlalu lama tinggal dipadepokan itu. Ia benar-benar tidak menemukan apapun juga yang dapat memberinya kepuasan, apalagi kebanggaan. Meskipun demikian Sekar Mirah masih dapat menahan hati untuk menunggu sampai Glagah Putih menghidangkan makan dan lauk pauk sejauh dapat dilakukan. “Ia adalah putera paman Widura,” berkata Agung Sedayu kepada tamu-tamunya. “Paman Widura ? “ Sekar Mirah menjadi heran. “Ya, kenapa ?” Sekar Mirah tidak menyahut. Tetapi ia benar-benar tidak mengerti, cara hidup yang ditempuh oleh keluarga Agung Sedayu. Widura adalah seorang perwira yang termasuk berpengaruh di Pajang meskipun ia sudah meletakkan jabatan keprajuritannya. Ia mampu membantu Agung Sedayu membuat padepokan itu. Tetapi kemudian anaknya dibiarkannya berada dipadepokan itu sebagai seorang cantrik kecil yang paling rendah tingkatnya. Ia harus merebus air, menanak nasi dan menghidangkan jamuan untuk tamu padepokan itu. “Cara yang paling aneh,“ gumamnya, “agaknya keluarga Agung Sedayu memang mempunyai kebiasaan hidup dalam kesulitan.” Berbeda dengan Sekar Mirah. Ki Sumangkar justru menjadi kagum melihat kesediaan Glagah Putih untuk semakin melakukan pekerjaan itu. Bahkan didalam hati Ki Sumangkar berkata, “Dengan cara itu, mereka akan menjadi orang-orang besar yang tidak akan terpisah dari rakyatnya, karena mereka mengalami kehidupan yang pahit dimasa mudanya. Tetapi mereka dengan tekun mempersiapkan diri untuk menjadi seorang pemimpin yang baik.” Selelah beristirahat sejenak, maka Sekar Mirahpun kemudian minta diri kepada Agung Sedayu dengan kesan yang buram atas pedepokan yang kecil itu. Agung Sedayu tidak dapat menahan Sekar Mirah untuk lebih lama lagi di padepokan itu. Ia dapat mengerti, perasaan apakah yang sedang bergejolak didalam hatinya. Karena itu, maka Agung Sedayupun hanya dapat mengucapkan selamat jalan dan berpesan untuk Sekar Mirah berhati-hati di perjalanan. “Aku bersama guru,“ berkata Sekar Mirah, “tidak ada yang dapat menahan kami di perjalanan.” Ki Sumangkar hanya dapat menarik napas dalam dalam. Tetapi ia tidak berkata apapun tentang perjalanan itu. Bahkan iapun kemudian segera minta diri pula. Sekar Mirah mengerutkan keningnya ketika ia melihat gurunya berbicara perlahan-lahan dengan Kiai Gringsing dan Ki Waskita yang lebih banyak melihat perkembangan keadaan daripada ikut mencampuri persoalan mereka. Bahkan Ki Waskita sejenak seolah-olah menjadi orang asing yang tidak banyak bekepentingan dengan kehadiran Sekar Mirah dan gurunya.

Sejenak kemudian maka Sekar Mirah, gurunya dan pengawalnya meninggalkan padepokan kecil yang lengang itu. Sekali Sekar Mirah masih berpaling untuk mencoba melihat padepokan itu dari kejauhan. Benar-benar sebuah padepokan kecil yang tidak berarti apa-apa. Di padepokan itu, Agung Sedayu melangkah menuju ke pendapa sambil menundukkan kepalanya. Ia merasa bahwa Sekar Mirah sama sekali tidak sependapat, bahwa ia akan tetap tinggal dipadepokan itu, karena sifat dan wataknya Sekar Mirah lebih senang tinggal di Kademangan yang besar dan dikelilingi oleh pelayan dan kawan-kawan yang menghormatinya. Setiap keinginannya seakan-akan dapat dipenuhi tanpa melakukan kerja yang berat. Jika sekali-kali bekerja didapur atau di halamanan, bahkan juga disawah, itu adalah karena ia ingin. Bukan karena terpaksa melakukannya. “Agung Sedayu,” berkata Kiai Gringsing kemudian kepada muridnya, “kau tentu sedang menghadapi salah satu ujian didalam penempaan kepribadianmu. Kita semua tahu, bahwa Sekar Mirah tidak tertarik sama sekali dengan padepokanmu. Tetapi hal ini tentu sudah kau mengerti, bahwa lebih banyak berbuat, sehingga pada suatu saat orang lain, termasuk Sekar Mirah mengakui, bahwa kau telah melakukan sesuatu.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Diluar sadarnya ia memandang Ki Waskita yang lebih banyak diam. Namun ia tidak menemukan kesan apapun juga didalam wajah orang itu. Tetapi dalam pada itu, tatapan Agung Sedayu yang sekilas itu melontarkan isyarat kepada Ki Waskita. Isyarat seperti yang dilihatnya pada Swandaru. Agaknya setelah masa perkawinannya dengan Sekar Mirah, Agung Sedayu pun masih harus menempuh jalan yang sulit dan berbatu-batu tajam. “Kenapa harus terjadi seperti itu, justru yang tidak dikehendaki oleh semua pihak? “ pertanyaan itu selalu membelit dihati Ki Waskita. Namun ia masih berusaha untuk menyembunyikan perasaannya itu. Agar tidak menambah bahan perasaan Agung Sedayu. Gurunya dan mungkin juga Widura dan Untara. Meskipun agaknya Untara tentu mempunyai tanggapan yang berbeda. Bagi Untara, kerja keras, tekad dan ketekunan adalah unsur-unsur yang ikut serta menentukan masa depan seseorang. Bagi Untara, maka jika Sekar Mirah dapat menjadi penghambat, maka ia tentu akan menganjurkan untuk melepaskannya. Ki Waskita hanya dapat manarik nafas. Ia melihat perbedaan sikap yang jauh antara kedua kakak beradik itu. Glagah Putih yang tidak tahu persoalan tentang hubungan antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah, sama sekali tidak melihat gejolak perasaan yang bagaikan mengguncang dada Agung Sedayu. Itulah sebabnya, maka ketika ia menjumpai Agung Sedayu disamping pendapa ia bertanya. “Apakah hidanganku cukup pantas?” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menepuk bau Glagah Putih sambil

tersenyum. Katanya, “cukup. Terlalu cukup.” Kakang tentu sekedar memuji. “Kakang tentu sekedar memuji.“ “Tidak. Kau memang pandai memasak.” Glagah Putih tidak bertanya lagi. Iapun kemudian mengambil sisa hidangan dan membawanya kebelakang. Kunjungan Sekar Mirah, rasa-rasanya telah melecut Agung Sedayu untuk bekerja keras. Bukan saja ditanah pekerangannya yang baru, selelah ia membuka hutan, tetapi juga dalam bidang yang lain. Dimalam-malam yang sepi, ia mulai melihat-lihat tata gerak yang dikuasai oleh Glagah Putih bersama guru-nya dan Ki Waskita. Seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, Ki Sadewa memang tidak berusaha untuk menunjukkan kekhususan yang menarik perhatian, seolah-olah dengan sombong mengatakan, “Inilah Ilmuku yang tidak ada duanya.” Tata gerak yang dilihat pada gerak-gerak dasar ilmu itu cukup sederhana. Namun sekali dan kadangkadang kurang menyakinkan. “Sulit untuk menangkap ciri-cirinya. Hampir tidak dapat disebut bahwa ilmu ini adalah ilmu khusus dari perguruan Ki Sadewa,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Tetapi belum mengatakannya. Yang dilihatnya adalah tata gerak dasar yang sangat dangkal yang dikuasai oleh Glagah Putih. “Mungkin kita memerlukan pertolongan Ki Widura,” berkata Kiai Gringsing. Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin memang demikianlah ajaran ilmu itu. Pada tingkat pertama, yang diajarkannya adalah ilmu yang sangat umum seperti yang dikuasai oleh Glagah Putih. Tetapi mungkin pada tingkat berikutnya ada ciri-ciri khusus yang dapat disadap. “Tentu ada ciri-ciri khusus itu. Aku melihat ciri-ciri itu pada Ki Widura dan anakmas Untara,“ berkata Kiai Gringsing, “tetapi terlalu samar dan mungkin justru sengaja disamarkan.” Keduanya mengangguk-angguk. Dan merekapun bersepakat untuk melakukan penelitian berikutnya bersama Ki Widura untuk menemukan kembali ilmu yang sudah menjadi sangat menurun kemampuannya itu. Dalam pada itu, ternyata usaha Agung Sedayu membuka hutan telah menumbuhkan rangsangan pada orang lain.

Ternyata beberadpa orang telah mengajukan permohonan untuk diperkenankan ikut serta membuka hutan itu. Tetapi persoalan yang dihadapi oleh orang-orang Jati Anom agak berbeda dengan orang-orang yang sedang membuka hutan di Mataram. Alas Mentaok yang lebat dan garang itu dapat dibuka oleh setiap orang yang ingin menggabungkan diri kedalam lingkungan kehidupan Mataram. Mereka dapat membuka hutan dibagian manapun yang mereka pilih. Baru kemudian mereka menyatakan diri dan menyusun lingkungan masyarakat dalam hubungan yang utuh bersama lingkunganlingkungan kecil yang lain. Sedangkan di Jati Anom, hutan yang tersisa merupakan hutan yang seolah-olah tetap dipelihara karena berbagai macam kepentingan. Meskipun kadang-kadang hutan itu mendatangkan bahaya karena binatang buas yang tersembunyi didalamnya. Namun hutan itu juga memberikan banyak kegunaan. Kadang-kadang Kademangan Jati Anom memerlukan kayu yang cukup banyak untuk membangun beberapa buah rumah, atau memerlukan hasil hutan yang lain. Tetapi hutan dilereng Gunung Merapi itu agaknya memang masih akan diperlukan untuk waktu yang lama. Bahkan Kademangan yang terletak lebih tinggi lagi dari Jati Anom masih melindungi hutan yang lebat dan pepat seperti alas Mentaok dalam hubungannya dengan penyimpanan air dan menahan runtuhnya tanah dan banjir. Karena itulah, maka pembukaan hutan di Jati Anom hanya dapat dilakukan dengan terbatas sekali. Meskipun demikian, Ki Demang di Jati Anom masih memberikan kesempatan bagi beberapa orang yang dengan sunguh-sungguh ingin membuka hutan dan bekerja bersama dengan Agung Sedayu. “Tetapi kalian harus bersungguh-sunguh,“ berkata Ki Demang, “kalian tidak boleh sekedar ingin setelah melihat tanah persawahan yang telah berhasil dibuka oleh Agung Sedayu meskipun tidak begitu luas.” “Kami bersungguh sungguh Ki Demang.” “Tetapi kalian harus bekerja dibawah bimbingan Agung Sedayu, karena membuka tanah baru bukannya sekedar menebang pohon-pohon liar dan membuat pematang diseputarnya. Membuka tanah baru harus diperhitungkan apakah kemungkinan mendapatkan air selain air hujan. Kemungkinan-kemungkinan yang mungkin masih harus dipertimbangkan.” “Kami akan berada dibawah petunjuk-petunjuknya.” “Hubungilah Agung Sedayu. Kau boleh menyampaikan kepadanya, bahwa aku telah mengijinkan. Tetapi terbatas sekali. Hanya kalian yang menyatakan keinginannya sampai hari ini. Beritahukan kapada orang- orang lain yang ingin ikut serta, bahwa aku tidak akan mengijinkan orang-orang baru untuk ikut pula. Tanah persawahan di Jati Anom aku anggap sudah cukup sampai sekarang. Sedang hutan itu masih sangat kita perlukan.”

Tetapi yang sedikit itu telah menggembirakan hati Agung Sedayu. Rasa-rasanya ia mendapatkan kawan yang mulai memperjuangkan hari depan mereka meskipun hanya dalam lingkungan kecil. Apalagi ketika pada beberapa anak muda diantara mereka yang ikut membuka hutan itu menyatakan keinginan mereka untuk tinggal dipadepokan kecil yang masih sunyi itu. “Belum sekarang,“ jawab Agung Sedayu, “pada saatnya, jika padepokan itu telah siap benar, kalian dapat tinggal bersama kami. Sekarang, kami sedang bekerja keras untuk mempersiapkannya.” “Kami akan membantu,“ berkata salah seorang dari mereka. Agung Sedayu selalu saja tersenyum sambil menjawab, “Terima kasih. Pada saatnya saja nanti aku akan memanggilmu.” Namu dalam saat itu. Agung Sedayu sedang mempersiapkan sebuah rencana yang cukup rumit bersama gurunya dan Ki Waskita untuk mengetahui dasar-dasar ilmu yang mulai kabur. Satu satunya orang yang akan dapat memberikan banyak bahan adalah Widura sendiri, karena Untara yang sibuk dengan tugasnya tentu tidak akan sempat melakukannya meskipun ilmu itu terdapat lebih lengkap padanya daripada pada Widura. Untuk kepentingan itu. Agung Sedayu telah menyiapkan sebuah ruang khusus yang akan menjadi sanggar dalam penelaahan ilmu kanuragan. Terutama dalam hubungan dengan ilmu yang masih sangat tipis pada Glagah Putih. “Kita akan mempergunakan sebagian dari waktu kita untuk berada di dalam sanggar,” berkata Agung Sedayu kepada Glagah Putih. “Apa salahnya? Aku sudah terbiasa berlatih dalam waktu yang tidak terbatas. Hampir setiap saat kakek memberi kesempatan kepadaku untuk meningkatkan ilmu,” berkata Glagah Putih. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun dengan demikian ia mengerti, bahwa tuntutan yang diberikan kepada Glagah Putihpun kurang memenuhi syarat dan urutan yang tersusun. Seakan-akan dasar ilmu itu diberikan kapan saja dan bagaimana saja yang sedang teringat oleh kakeknya. Setelah semua persiapan selesai, maka Agung Sedayu, Kiai Gringsing dan Ki Waskita benar-benar mulai dengan penyelidikannya. Mereka dengan bersungguh-sungguh telah mempersiapkan semuanya yang mungkin diperlukan. Rontal dengan penggoresnya siap pula untuk menangkap tata gerak yang menarik perhatian mereka. Widura yang pada saat-saat tertentu datang kepadepokan itu dan menyetujui semua rencana itupun telah dipersiapkan diri pula. Bahkan ketika rencana itu siap untuk dimulai, Widura menyerahkan beberapa helai rontal kepada Kiai Gringsing. “Apakah isinya?“ bertanya Kiai Gringsing. “Cobalah lihat Kiai. Mungkin akan berguna untuk melihat tata gerak dasar dari ilmu yang sedang menyusut ini.”

Kiai Gringsing mulai membuka rontal itu. Ia melihat susunan tata gerak dari limu yang sedang mereka tekuni. Meskipun kurang tersusun, namun nampaknya gambar-gambar yang tergores pada rontal itu menunjukkan usaha untuk meningkatkan ilmu yang ada pada orang yang melukiskannya diatas rontal yang masih tersimpan baik itu. “Rontal ini masih terhitung baru,“ berkata Kiai Gringsing, ”aku kira tentu bukan peninggalan Ki Sadewa.” Ki Widura menggelengkan kepalanya. Katanya, “Perlihatkan kepada Agung Sedayu, apakah ia dapat mengenalnya?” Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun rontal itupun kemudian diserahkannya kepada Agung Sedayu. Wajah Agung Sedayu menegang sejanak. Ia mencoba mengingat-ingat, dimanakah ia mengenal rontal itu. Rontal yang dilukisi oleh tata gerak yang mungkin dan bahkan yang sangat sulit dilakukan meskipun pada dasarnya ilmu itu adalah ilmu yang termurun sampai kepada Ki Widura dan Untara. Dalam ketegangan itu, Agung Sedayu melihat Ki Widura tersenyum. Bahkan kemudian katanya, “Kau tentu ingat. Darimanakah aku mendapatkannya.” Tiba-tiba saja wajah Agung Sedayu menjadi merah sesaat. Iapun kemudian teringat, bahwa ketika ia berada di Sangkal Putung, dalam cengkaman tata hidupnya yang lama, ia telah mencoba untuk memahami ilmu kanuragan. Tetapi ia tidak dapat melakukannya sesuai dengan keinginannya karena keadaan yang membatasinya saat itu. Karena itulah ia telah mempergunakan cara tersendiri. Ia mulai menghayalkan tata gerak yang dituangkannya dalam goresangoresan diatas rontal. Sambil mengangguk-angguk kecil Agung Sedayu berkata, “Aku ingat paman.” Widura tertawa. Katanya, “Kau tentu ingat, karena kaulah yang membuatnya. Kau yang waktu itu masih dikungkung oleh perasaan takut dan tanpa kepercayaan kepada diri sendiri, telah menuangkan khayal tata gerak dari perkembangan ilmumu pada rontal itu. Karena kemungkinan untuk berlatih waktu itu memang sangat sempit, maka kau pergunakan sebagian waktumu untuk berlatih didalam angan-angan. Dan agaknya kau telah berhasil. Ilmumu berkembang seperti yang kau khayalkan meskipun tidak tepat benar, karena ada unsur-unsur gerak yang tidak mungkin dilakukan dalam kenyataan gerak, tetapi dapat kau bayangkan didalam angan-angan.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia ingin memberikan beberapa penjelasan, tetapi Ki Widura sudah mendahuluinya, “Tetapi pada suatu saat kau menjadi murid Kiai Gringsing yang memiliki ilmu dasar yang berbeda, meskipun agaknya beberapa bagian dapat kau trapkan setelah kau menguasai gerak dasar dari ilmumu yang sekarang.” Kiai Gringsing tersenyum sambil memandang rontal ditangan Agung Sedayu itu. Katanya, “Kau memang cerdas. Memang lapangan untuk berlatih bukannya selalu halaman yang sunyi, atau sanggar yang luas. Tetapi angan-anganmu jauh lebih luas dari tlatah Pajang. Perhitungan dan pertimbanganmu dalam latihan khusus ini pasti jauh lebih masak daripada kau langsung dihadapkan pada tata gerak.” “Karena itu, maka latihan-latihan seperti yang kau lakukan disamping latihan-latihan yang sebenarnya adalah sangat berguna.” Agung Sedayu kemudian tesenyum pula. Katanya, “Darimana paman mendapatkannya?” “Aku mendapatkannya di Sangkal Putung. Selagi kau menjadi gemetar setiap kali Sidanti menantangmu, maka kau dengan rajin membuat lukisan-lukisan seperti ini.” Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Kiai Gringsing dan Ki Waskitapun kemudian tertawa. Terbayang didalam angan-angan mereka, seorang anak muda yang selalu ketakutan menghadapi kedaan disekitarnya yang saat itu justru sedang dibakar oleh api perselisihan antara sanak kadang di Pajang dan Jipang. “Tetapi semuanya itu kini tiggal kenangan,“ berkata Ki Waskita, “meskipun aku tidak melihat bagaimana pucatnya wajah anakmas Agung Sedayu, namun aku dapat membanyangkan, bahwa semuanya itu menjadi gambaran perkembangan jasmani dan jiwanya angger Agung Sedayu.” “Ya,“ sahut Widura, “tetapi bekas-bekasnya tentu tidak akan lenyap sama sekali.” Agung Sedayu sama sekali tidak menyahut. Dibiarkannya orang-orang itu menilai tentang dirinya. Dan iapun tidak ingkat, bahwa sifat-sifat yang dimilikinya dimasa kanak-kanak itu masih tetap membekas dihatinya, meskipun didalam pertumbuhannya mengalami perubahan-perubahan yang penting. “Nah,“ berkata Ki Widura kemudian, “maksudku dengan rontal itu adalah merupakan salah satu bahan dari usaha kita untuk mencari bentuk dan ciri-ciri dari ilmu yang sudah semakin susut itu. Aku dan Untara adalah prajurit. Dalam pada itu, tentu banyak unsur-unsur gerak yang langsung atau tidak langsung telah terbiasa dalam ilmu yang kini aku miliki, karena tempaan yang aku alami setelah aku menjadi prajurit. Didalam lingkungan keprajuritan, telah tersusun ilmu-ilmu pokok yang harus dikuasai oleh setiap prajurit, meskipun masing-masing telah memiliki bekalnya sendiri.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ternyata bahwa lukisan-lukisan didalam rontal itu akan sangat berarti meskipun lukisan-lukisannya bukanya lukisan yang baik. Pada hari-hari berikutnya maka padepokan kecil itu mulai dengan kerja yang memerlukan ketekunan. Selain memelihara padepokan itu sendiri, menggarap sawah dan pategalan bagi persediaan makan mereka, maka merekapun mulai memasuki sanggar dengan sungguh-sungguh. Yang akan menjadi bahan pengamatan mereka adalah Glagah Putih dan Ki Widura sendiri disamping rontal yang berisi goresan-goresan tangan Agung Sedayu. Pada hari-hari pertama, beberapa kali Glagah Putih harus mengulangi latihan-latihan yang pernah didapatkannya dari kakeknya. Unsur-unsur gerak yang sederhana yang justru merupakan dasar dari ilmunya. Kemudian beberapa unsur yang lain sudah merupakan perkembangan meskipun sama sekali masih kosong. Agung Sedayu, Kiai Gringsing dan Ki Waskita memperhatikannya dengan saksama. Setiap kali mereka menghentikan latihan itu, dan minta agar Glagah Pitih mengulanginya. “Kau tidak perlu mengerahkan tenaga,” berkata Kiai Gringsing, “lakukanlah unsur geraknya saja. Aku hanya ingin melihat bentuk dan sikap. Bukan kekuatannya.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Sebenarnyalah ia sudah mulai lelah. Jika ia harus mengulangi beberapa kali dengan segenap tenaganya, maka ia akan kelelahan. Tetapi Glagah Putihpun kemudian tidak perlu mengulang lebih banyak lagi. Agung Sedayu kemudian berdiri dan melakukan tata gerak seperti yang dilakukan oleh Glagah Putih. “Kau masih dapat melakukannya Agung Sedayu,“ berkata Ki Widura, “tetapi tata gerak yang kau perlihatkan sudah mempunyai isi yang berbeda, karena nafas ilmu yang kau dapatkan dari Kiai Gringsing masih tetap menjiwainya,“ berkata Ki Widura. “Kosongkanlah dirimu,“ berkata Kiai Gringsing, “Ki Widura benar. Sehingga sulit untuk mengurai batasnya karena kau memang memiliki keduanya. Jika kau mengosongkan diri, maka yang kau lakukan hanyalah menirukan. Jika yang kau lakukan bergetar pula didalam dirimu, lakukanlah terus." Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak dipandanginya gurunya dan Ki Widura bergantiganti. Kemudian Katanya, “Baiklah guru. Aku akan mencoba mengosongkan diri meskipun aku sadar, bahwa pekerjaan itu bukannya pekerjaan yang mudah.” Kiai Gringsing mengangguk. Lalu, “Mulailah. Seperti Glagah Putih. Yang ingin kami ketahui adalah tata gerak dan bentuknya, bukan kekuatannya. Karena itu, kau tidak perlu melepaskan tenaga

sedikitpun juga, selain bagi gerak itu sendiri.” Agung Sedayu mengangguk. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian iapun memusatkan nalar dan perasaannya pada dirinya, pada ujud wadagnya, sehingga yang ada padanya kemudian hanyalah tulang dan daging yang kosong terlepas dari penguasaan gerak naluriah, dan sepenuhnya diserahkan kepada bayangan yang tersisa dalam dirinya pada pengamatannya atas tata gerak yang dilakukan oleh Glagah Putih. Sebelumnya Agung Sedayu belum pernah melakukannya. Itulah sebabnya ia mengalami beberapa kesulitan. Setiap kali bayangan itu menjadi jelas setelah mengalami pemisahan dari bagian-bagian yang tidak dikehendaki. Namun setiap kali, unsur gerak naluriahnya seolah-olah telah mengaburkannya kembali. Sangat sulit baginya untuk mengendapkan ilmu yang telah dikuasainya sampai pada batas penguasaan urat dan syarafnya sehingga terlepas dari unsur-unsur yang menyentuh simpul-simpul penggerak, sehingga seakan-akan hilang dari perbendaharaan batinnya. Namun dengan tekun Agung Sedayu berusaha. Jika ia berhasil, maka itu justru merupakan suatu hal yang baru baginya, yang akan merupakan suatu kemajuan atas kekuasaannya terhadap dirinya sendiri, yang wadag maupun yang halus. Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Widura justru menjadi tegang. Mereka melihat betapa wajah Agung Sedayu menjadi pucat dan berkeringat. Namun Kiai Gringsing telah membiarkannya. Justru kesempatan itu merupakan kesempatan yang sangat berarti bagi Agung Sedayu. Ilmu yang ada pada Glagah Putih sekedar merupakan pendorong dan peraga dalam usaha pengosongan diri dan menyatukan daya pikirnya pada bayangan yang dikehendakinya, yang tersisa dalam dirinya. Glagah Putih yang ada didalam sanggar itu pula menjadi heran. Ia sama sekali tidak mengerti, apakah yang sedang dikerjakan oleh Agung Sedayu. Bahkan ia menjadi heran, bahwa Agung Sedayu mengalami kesulitan untuk menirukan tata geraknya yang menurut ayahnya, barulah tata gerak dasar yang sederhana. Dalam puncak pencapaiannya, wajah Agung Sedayu benar-benar menjadi pucat. Ternyata ia berhasil menyingkirkan semua simpanan didalam dirinya kesudut sampai pada batas penguasaan urat dan syarafnya, yang dikuasai oleh kehendak, sehingga seolah-olah ia tidak pernah memilikinya dan sama sekali tidak mempengaruhinya lagi. Mulai saat itulah, yang nampak pada penglihatannya mata hati Agung Sedayu adalah bayangan tata gerak yang dilakukan oleh Glagah Putih. Seolah-olah sekali lagi Glagah Putih melakukan dasar tata gerak ilmunya yang masih sangat sederhana itu.

Dari unsur gerak yang sama Agung Sedayu mengikuti penglihatan mata hatinya, dan melakukan tata gerak berikutnya, tepat seperti yang pernah dilihatnya. Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan Widura menarik nafas dalam-dalam. Mereka melihat keberhasilan Agung Sedayu. Bahkan kemudian Ki Waskita berkata, “Ia akan memiliki ingatan yang tajam sekali dengan keberhasilannya itu. Jika ia selanjutnya melatih diri dan menyempurnakannya, maka itu akan sangat berguna baginya. Ia akan mengenal segala ilmu yang pernah dilihatnya dan mempelajarinya, sehingga akhirnya ilmu Agung Sedayu akan menjadi ilmu yang paling lengkap.” “Tentu belum sejauh itu,“ jawab Kiai Gringsing, “tetapi bahwa yang dicapainya itu akan sangat berguna, agaknya memang demikian.” “Tetapi, tentu Agung Sedayu tidak akan dapat melakukannya, sebelum ia mendapatkan inti dari kemampuannya itu,“ berkata Ki Waskita. Lalu, “Apakah Kiai juga pernah memberikan inti dasar dari ilmu itu kepada Swandaru?” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sambil memperhatikan tata gerak Agung Sedayu yang sederhana dan merupakan unsur-unsur gerak dasar itu, ia menjawab, “Jika Swandaru memiliki ketajaman batin seperti Agung Sedayu, maka iapun tentu dapat melakukannya. Tetapi aku tidak tahu, apakah ia berhasil mengurai semua bahan yang ada padanya, untuk menemukan hubungannya sehingga terbentuklah suatu ujud.” Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, “Kiai sangat bijaksana.” Kiai Gringsing tidak menjawab. Diperhatikannya tata gerak Agung Sedayu yang melakukan tata gerak dasar itu berulang kali tanpa dipengaruhi oleh ilmu yang telah dimilikinya. Sama sekali bersih. Perlahan-lahan tetapi meyakinkan, maka orang-orang yang memperhatikan tata gerak Agung Sedayu itu melihat kebiasaan yang nampak pada tata gerak dasar. Baru kebiasaan. Dan kebiasaan itu mungkin memang terdapat pada tata gerak itu sendiri, atau lahir setelah ilmu itu menurun. Baik pada kakek Glagah Putih atau pada Glagah Putih sendiri, sehingga kebiasaan itu belum dapat dijadikan ciri bagi ilmu itu. “Setelah aku melihat, bagaimanakah tata gerak dasar Ki Widura, maka barulah akan mendapat perbandingan dibantu oleh gambar yang telah dibuat oleh Agung Sedayu tentang tata gerak yang sudah disempurnakan baru didalam angan-angan,“ berkata Kiai Gringsing didalam hatinya. Sebenarnya, bahwa dengan mengulang-ulang tata gerak dasar itu. banyak yang dapat dicapai oleh Agung Sedayu bagi dirinya sendiri dan bagi ilmu itu. Ia sudah dapat memberikan gambaran yang berulangkali dengan gerak yang tepat sama dan unsur-unsur dasar. Sepuluh kali ia mengulang, maka sepuluh kali pula setiap bagian dari gerak itu diulang.

Ketika Kiai Gringsing menganggap sudah cukup, maka iapun kemudian berkata, “Sudahlah Agung Sedayu. Untuk kali ini kita sudah cukup.” Agung Sedayu mendengar suara itu bergetar didalam hatinya. Karena itu maka iapun kemudian perlahan-lahan berusaha untuk menyalurkan kehendaknya pada wadagnya, sehingga akhirnya, iapun berhenti. Namun demikian ia berhenti, dan melepaskan diri dari ketegangan saat-saat ia mengosongkan diri, terasa tubuhnya bagaikan menjadi gemetar karena getar pada urat dan syarafnya, seolah-olah menjalar sampai kepusat syarafnya, sehingga akhirnya seolah-olah yang kosong itupun telah terisi kembali. Maka sejenak kemudian. Agung Sedayu itupun serasa telah pulih kembali menjadi Agung Sedayu sewajarnya. Karena itulah, maka jika ia masih ingin meneruskan usahanya mengulangi tata gerak Glagah Putih, maka ia tidak akan dapat melakukannya tanpa pengaruh ilmunya sendiri. Di hari itu, Kiai Gringsing rasa-rasanya telah menemukan sesuatu yang baru? Bukan saja pengenalan atas dasar-dasar pokok ilmu yang sedang mereka pelajari, tetapi ia menyaksikan, bagaimana Agung Sedayu berusaha mengosongkan dirinya, dan membuat wadagnya bagaikan terlepas dari segala ilmu yang dimilikinya. Demikianlah, setelah mereka selesai dengan ungkapan tata gerak itu, mulailah mereka duduk pada sebuah lingkaran dan sekedar berbincang. Widura yang paling banyak mengenal ilmunya dari orangorang lain yang ada mencoba untuk menjelaskan, apa yang telah mereka saksikan bersama “Memang belum ada ciri-ciri pokok yang nampak. Tetapi ada sesuatu yang dapat diingat. Gerak kaki itu terulang sampai beberapa kali pada unsur-unsur dasar yang berbeda. Langkah yang melintang siku dari garis lurus pandangan mata dan susunan telapak tangan yang tegak dimuka dada, dapat merupakan pengenalan,“ berkata Widura. Tetapi Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Katanya, “Baru merupakan bentuk-bentuk pada tata gerak. Tetapi belum langsung menyangkut watak. Karena ciri sebenarnyalah dapat dikenali sebagian terbesar pada watak ilmu itu.” “Satu hal yang dapat Kiai ingat, meskipun tidak dilakukan oleh Glagah Putih. Ketajaman bidik itu bukan sekedar bentuk. Tetapi sudah mengandung watak dari suatu ilmu.“ sahut Widura. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Ya Ketajaman bidik memang merupakan ciri dari ilmu itu. Tetapi sudah barang tentu tidak hanya ciri yang satu itulah yang kita lihat. Menilik sikap dan tata gerak dasarnya, maka akan ada kemampuan-kemampuan yang akan nampak dalam tata gerak itu.” “Aku kira ada watak yang sudah terungkap meskipun hanya permukaannya saja,” berkata Ki Waskita.

“Pertahanan yang kuat dan rapat. Hampir tidak tertembus oleh ujung jarum.“ potong Kiai Gringsing. “Ya. Dan itu tentu dapat dihubungkan dengan watak.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Ki Waskita benar. Tetapi watak yang kita lihat adalah watak yang samar-samar. Ilmu yang banyak dijiwai oleh unsur-unsur gerak pertahanan yang kuat dan rapat, menunjukkan bahwa ilmu itu lebih mementingkan keselamatan sendiri daripada mencelakai orang lain. Aku kira sesuai benar dengan Ki Sadewa. Tetapi yang akan kita cari adalah watak dalan keutuhannya. Kekasarannya, kekerasannya, bentuk dan jenis pukulan yang mematikan, yang sekedar melukai dan sebagai sarana untuk melepaskan diri dari kesulitan.” “Kita memerlukan waktu,“ berkata Widura, “namun aku sudah mulai membayangkan, jika kita dapat menemukan sebagian yang hilang, maka dengan bekal yang ada itu akan tersusunlah kembali ilmu yang dahsyat yang pernah dimiliki oleh Ki Sadewa. Lebih dahsyat dari ilmu yang pernah kita kenal pada orang-orang yang sekarang masih mempergunakannya, karena tidak ada seorangpun yang berhasil mempelajarinya sampai tuntas setelah Ki Sadewa.” “Mudah-mudahan kita berhasil. Jika tidak seluruhnya, maka jika kita mencapai sebagian besar, maka nama Ki Sadewa akan tidak terlupakan,“ berkata Kiai Gringsing. Ki Widura mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya. Mudah-mudahan demikian.” Demikianlah, penyelidikan dengan tekun dan bersungguh-sungguh atas ilmu Ki Sadewa itu sudah dimulai. Tetapi mereka semuanya tidak tergesa-gesa. Mereka tidak membatasi waktu penyelidikannya dengan dua atau tiga pekan. Tidak pula dua atau tiga bulan. Bahkan mereka tidak akan memaksa untuk segera menyelesaikannya setelah dua atau tiga tahun. Karena itulah, maka penyelidikan itu berjalan terus meskipun lambat. Namun demikian, mareka menyediakan waktu betapapun sempitnya setiap hari untuk menelaah, membicarakan atau mencari unsur-unsur gerak yang masih harus diketemukan. Dengan demikian maka kerja mereka yang lain sama sekali tidak terbengkelai. Sawah mereka yang mulai menghijau, pategalan dan kebun padepokan mendapat pemeliharaan yang teliti. Namun disamping mengenali ilmu yang sudah hampir dilupakan itu, ternyata bahwa Agung Sedayu juga tidak melupakan dirinya sendiri. Setelah ia berhasil mencoba mengosongkan dirinya, justru seolah-olah demikian saja harus dilakukan, meskipun sebenarnya bekalnya memang sudah dipersiapkan oleh gurunya didalam dirinya, maka iapun menjadi semakin tertarik kepada ilmunya sendiri. Bahkan kadang-kadang ia pergi menyendiri didalam sanggar dan menylaraknya dari dalam. Sekali-sekali ia mencoba untuk melakukannya seperti yang pernah dilakukan. Mengosongkan diri untuk memberikan kesempatan kepada wadagnya melakukan sesuatu yang dikehendaki. Bahkan pengenalannya yang sedikit terhadap keadaan disekitarnya akan dapat terungkapkan kembali dalam gerak.

“Tetapi apakah gunanya ? “ tiba-tiba saja ia bertanya kepada diri sendiri, “aku hanya dapat menirukan. Sedang aku sendiri tidak melihat apa yang aku lakukan. Dengan demikian aku akan selalu memerlukan orang lain untuk membantuku, jika aku ingin menguasai ilmu ataupun tata gerak yang pernah aku lihat dari siapapun juga.” Namun demikian, Agung Sedayu tidak mengatakan kepada gurunya. Mungkin pada suatu saat gurunya akan memberikan beberapa petunjuk lain. Jika ia memaksa bertanya sekarang, maka seolah-olah ia telah mencoba untuk mendahului rencana yang mungkin telah disusun oleh gurunya. Meskipun demikian. Agung Sedayu tidak berhenti berlatih. Kadang-kadang sendiri, kadang-kadang dengan gurunya. Tetapi untuk kepentingan itu, Glagah Putih selain dipisahkannya dengan alasan apapun juga, agar ia tidak terganggu karenanya. Jika anak yang masih terlalu muda itu melihat, dan ingin mencobanya, maka akibatnya akan kurang baik bagi anak muda itu sendiri. Apalagi mereka yang masih belum cukup mempunyai bekal dalam kedewasaan ilmunya. Dengan demikian, maka sebenarnyalah padepokan kecil itu sudah menjadi sibuk dalam kerjanya sendiri, meskipun tidak nampak oleh siapapun karena Agung Sedayu dan penghuni lainnya selalu nampak sibuk pula disawah. Namun demikian, tiba-tiba saja, Agung Sedayu menjadi sangat gelisah. Ia merasa sesuatu yang mendesaknya, justru karena ia menginginkan sesuatu pencapaian. Gurunya dan Ki Waskita adalah orang yang bijaksana. Karena itu merekapun melihat kegelisahan itu. Meskipun mereka tidak mengetahuinya dengan tepat, namun mereka dapat menduga, apa yang diinginkan oleh anak muda itu. Meskipun demikian Kiai Gringsing tidak bertanya. Ia membiarkan Agung Sedayu sampai pada suatu saat mengatakannya kepadanya. Dan yang ditunggunya itupun kemudian ternyata pula. “Guru,“ berkata Agung Sedayu, “keinginanku itu tidak dapat aku tahankan lagi!” Kiai Gringsing tersenyum. Ia memang menghendaki Agung Sedayu mengatakannya kepadanya. Jawabnya, “Agung Sedayu. Muridku bukannya kau seorang diri. Aku sudah menganggap bahwa kau dan Swandaru adalah anak-anakku. sehingga dengan demikian aku tidak dapat membedakan kalian berdua sama sekali. Juga dalam hal penyerahan ilmu. Karena itu anakku, kalian berdua yang telah dewasa, dan telah menerima bahan-bahan yang cukup sebagai bekal, aku persilahkan untuk mencarinya sendiri. Jika kemudian kalian mengalami perbedaan pertumbuhan, itu bukannya aku yang tidak adil. Tetapi kalianlah yang menentukan. Apakah kalian berhasil mengembangkan yang telah kalian capai, atau tidak.”

Agung Sedayu menundukkan kepalanya. “Karena itulah, maka aku tidak akan dapat mencegah keinginanmu untuk mencari kesempurnaan dengan bekal yang ada. Pergilah. Tetapi aku memberikan batasan waktu. Padepokan kecil ini tidak boleh terbengkelai. Karena itu, yang kau tuntut sebagai suatu cita-cita dan kenyataan hidupmu sehari-hari harus seimbang. Jika kau akan pergi menyendiri, pergilah. Tetapi tidak lebih dari satu bulan. Dari saat purnama naik, sampai kepurnama berikutnya. Biarlah selama itu, aku, Ki Waskita dan Glagah Putih menunggui padepokan ini. Sementara itu, Glagah Putih juga akan meningkatkan ilmunya, sesuai dengan dasar-dasar tata gerak yang dikuasainya. Karena aku kira Ki Widura untuk sementara dapat melakukannya.” Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, “Terima kasih guru. Aku mohon maaf bahwa akhirnya aku mementingkan diriku sendiri. Tetapi aku tidak akan melupakan Glagah Putih dan usaha paman Widura untuk mengenal ilmunya lebih dalam.” “Lakukanlah yang ingin kau lakukan. Tentang ilmu yang sedang kita kenali itu. kita tidak akan terikat dan terbatas waktu.” “Tetapi kasihan dengan Glagah Putih. Sebelum ilmu itu dapat dikenal seluruhnya, maka yang dapat dicapai adalah sekedar pangkalnya saja. Kecuali jika Glagah Putih bersedia menerima ilmu yang lain. Namun agaknya paman Widura ingin agar Glagah Putih menguasai ilmu yang sedang kita cari bentuknya itu secara utuh, dalam tingkatnya yang tinggi.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya kau benar. Tetapi ia masih sangat muda. Waktu masih cukup panjang baginya, sehingga menurut gelar lahiriah, ia masih mempunyai kesempatan meskipun masa persiapannya agak panjang.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. “Agung Sedayu, pergilah. Tetapi sebaiknya kau minta ijin juga kepada kakakmu Untara. Dalam hal seperti ini kakakmu tentu akan mengijinkanmu.” “Baik guru. Aku akan menemui kakang Untara segera.” Keinginan yang mendesak itu telah mengantarkan Agung Sedayu menemui kakaknya. Seolah-olah ia tengah dikejar oleh waktu yang tidak dapat ditunda lagi. “Kakang,“ berkata Agung Sedayu setelah ia bertemu dengan Untara, “perkenankanlah aku pergi yang menurut guru diberi batasan waktu satu bulan. Aku ingin menemukan yang selama ini rasa-rasanya selalu mengganggu dalam tata gerak ilmuku. Rasa-rasanya ada yang belum tersalur dalam arus tata gerak didalam setiap saat aku berlatih atau justru dalam penggunaan ilmu yang sebenarnya.”

Untara tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah adiknya dengan tegang sehingga Agung Sedayupun menjadi berdebar-debar. Sesaat Agung Sedayu memandang wajah kakaknya, namun kemudian wajahnya sendirilah yang menunduk dalam-dalam. “Agung Sedayu,“ berkata Untara dengan nada datar, “apakah kau sudah memikirkannya?” “Sudah kakang.” “Bukankah itu berarti bahwa akan meninggalkan padepokanmu? Padepokan yang baru saja selesai dibangun dan memerlukan pemeliharaan yang tekun, tiba-tiba saja akan kau tinggalkan untuk waktu vang lama.” “Guru. Ki Waskita dan Glagah Putih ada disana. Mereka akan memelihara padepokan itu sebaikbaiknya.” “Apakah gurumu mengijinkan kau melakukan pengenalan tentang ilmumu sendiri dan kemudian menyempurnakan? Bukankah itu maksud kepergianmu?” “Ya kakang. Guru mengijinkan.” “Dan kau sudah merasa dirinya cukup matang untuk melakukannya?” Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian ia menjawab, “Aku mohon guruku untuk memberikan penilaiannya karena aku sendiri tidak akan mampu melakukannya.” Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Dalam hal ini gurumulah yang lebih banyak menentukan. Jika gurumu mengijinkan, terserah kepadamu.” Agung Sedayu menarik nafas. Ternyata kakaknya tidak melarangnya, meskipun sikapnya masih tetap dingin. “Baiklah kakang. Aku mohon diri. Mudah-mudahan aku berhasil melakukannya dan menemukan sesuatu yang berharga, meskipun nilainya yang berharga itu kecil sekali.” Untara mengangguk. Jawabnya, “Pergilah. Tetapi tepati batasan waktu yang diberikan oleh gurumu. Jika gurumu memberimu waktu sebulan itu tentu bukannya tidak beralasan.“ Agung Sedayu termenung sejenak. Ia mencoba menangkap, bagaimanakah sebenarnya tanggapan Untara atas rencananya itu. Tetapi Agung Sedayu tidak menemukan selain sikap yang dingin. “Berhati-hatilah,“ berkata Untara kemudian, “kau masih terlalu kanak-anak. Bukan saja umurmu, tetapi juga sikap dan pandangan hidupmu, karena selama ini kau selalu dibawah asuhan gurumu dan mengikutinya kemana ia pergi. Dengan demikian maka kau sudah terbiasa menyerahkan segala

kesulitan kepada gurumu.” Agung Sedayu mengangguk lemah. Jawabnya, “Aku akan berhati-hati kakang.” “Mudah-mudahan kau selalu mendapat perlindungan.“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun minta diri untuk kembali kepadepokannya dan seterusnya untuk sebulan ia akan melakukan rencananya. Sendiri, tanpa gurunya dan tanpa saudara seperguruannya. “Kakang Untara bersikap dingin,“ berkata Agung Sedayu kepada Kiai Gringsing. “Tetapi bukankah ia tidak melarang?“ bertanya Kiai Gringsing. “Ya. Kakang tidak melarang.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Dalam pada itu. Agung Sedayupun segera mengadakan persiapan lahir dan batin. Selain ia berusaha untuk mematangkan ilmunya dibagian-bagian terpenting sebagai bekal perjalanannya, maka iapun telah mempersiapkan tekadnya, apapun yang akan dijumpainya. Menjelang purnama naik, maka Agung Sedayupun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Ia membawa beberapa pakaian sebagai bekal dan beberapa genggam beras, selain senjatanya yang melilit dipinggangnya. “Ingat,“ berkata gurunya ketika Agung Sedayu minta diri untuk berangkat, “beras itu tidak akan cukup satu bulan jika kau mempergunakannya sebagaimana sewajarnya. Karena itu kau harus mampu mengatasi kesulitan dengan caramu sendiri. Bankan bukan hanya sekedar mengenai beras, tetapi mungkin ada kesulitan-kesulitan lain yang perlu kau atasi dengan bijaksana. Bukan asal kau dapat memperlakukannya dengan kekerasan dan ilmu kanuragan.” Agung Sedayu menyimpan semua pesan. Baik dari gurunya, maupun dari Ki Waskita. “Jangan lebih dari satu bulan,“ berkata Ki Waskita, “karena pada saatnya aku harus kembali.” “Ya Kiai. Aku akan memperhitungkan waktu. Mudah-mudahan langit bersih sehingga aku dapat melihat bulan yang berkembang dilangit sampai saatnya purnama yang akan datang.” “Kau tidak usah menghiraukan apakah bulan itu nampak dilangit atau tidak. Kau dapat menghitung hari-hari yang berjumlah sekitar tigapuluh.” Agung Sedayu mengangguk. Sekali lagi ia minta diri kepada Glagah Putih untuk pergi beberapa saat. “Kakang aneh. Aku sudah meninggalkan kakek dan tinggal disini, tetapi kakang malahan pergi untuk waktu yang lama.”

“Kau akan berada dalam asuhan ayahmu dan kedua orangorang tua itu Glagah Putih. Dan aku hanya pergi sebentar untuk suatu keperluan. Tidak lebih dari satu bulan. Aku harap tanaman dihalaman depan akan menjadi bertambah subur, dan pohon-pohon itu akan mulai berbuah.” “Tetapi jangan lebih dari satu bulan. Jika kakang tidak segera kembali, aku akan asing disini. Karena kawanku hanyalah orang-orang tua saja meskipun ada ayah vang selalu datang kemari.” Demikianlah maka Agung Sedayupun meninggalkan padepokan kecilnya dengan tekad yang bulat. Ia ingin mengetahui, apakah sebenarnya yang telah terjadi pada dirinya saat-saat ia mengosongkan diri dan melihat bayangan-angan yang dikehendaki. Ia ingin melihat ilmunya sendiri dari mula sampai akhir. Dan ia ingin melihat kedirinya sendiri, apakah sebenarnya yang pernah dilakukan dan apakah yang sebaiknya dilakukan. Ketika Agung Sedayu meninggalkan padepokannya, ia sama sekali tidak usah memikirkan, kemana ia harus pergi. Sebenarnyalah ia sudah mempunyai rencana didalam hatinya. Hanya jika renacananya itu tidak memenuhi keinginannya, maka ia akan menentukan cara lain. Dengan langkah yang tetap Agung Sedayu menyusuri jalan sempit menuju kesebuah hutan kecil. Dibalik hutan itu terdapat sebuah sungai yang curam. Ditebing sungai itu terdapat sebuah goa yang dalam. Letak goa itu memang tidak terlalu jauh dari Jati Anom. Pada masa kanak-anak ia pernah bermain-main kegoa itu bersama kakaknya. Hampir saja ia hilang ditelan tikungan yang bersimpang siur didalam goa itu, sehingga ia menangis tersengal-sengal. “Sekarang aku akan melihat apakah jalan-jalan yang bersimpang siur didalam goa itu masih membingungkan,“ berkata Agung Sedayu. Perjalanan Agung Sedayu memang bukan perjalanan yang amat jauh. Karena itu, maka perjalanan itupun tidak memerlukan waktu yang sangat lama. Hutan kecil itupun tidak terlampau lebat, meskipun masih banyak terdapat berbagai macam binatang. Bahkan binatang buas. Apalagi hutan itu menjorok sampai ketepi sebuah sungai, yang merupakan syarat bagi hadirnya berbagai macam binatang, karena binatang-binatang itu dapat mendapatkan air dengan mudah. Hutan itu masih sama seperti saat Agung Sedajyu sering bermain-main disekitarnya, apabila ia mengikuti kakaknya.

Meskipun kadang-kadang ia merengek minta pulang, tetapi sekali dua kali ia pernah sampai ke seberang hutan itu. Masih teringat olehnya, kakaknya selalu marah-marah kepadanya, sehingga akhirnya ia tidak mendapat kesempatan lagi untuk ikut bersama jika kakaknya bermain-main dihutan itu atau kegoa seberang. Dalam pada itu, sepeninggal Agung Sedayu, ternyata Untara telah menemui Kiai Gringsing. Semula Kiai Gringsing menjadi cemas, bahwa Untara menganggap tindakannya itu salah. Tetapi ternyata Untara berkata, “Kiai, aku senang melihat perkembangan jiwa Agung Sedayu. Kini ia mencoba untuk mencari dengan kemampuannya sendiri. Bukankah dengan demikian berarti bahwa kepribadiannya menjadi semakin mantap, bukan sekedar menghambakan diri di Sangkal Putung?” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ternyata Untara bukannya sekedar acuh tidak acuh saja terhadap niat adiknya. Adalah sifat Untara bahwa ia sama sekali tidak ingin memuji seseorang dihadapan orang itu sendiri. Meskipun ia sebenarnya merasa bangga akan keputusan Agung Sedayu untuk membentuk dirinya sendiri, tetapi dihadapan Agung Sedayu, Untara tetap bersikap acuh tidak acuh seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu. “Anakmas,” kata Kiai Gringsing, “aku sebenarnya merasa cemas, apakah anakmas dapat menyetujui keinginan Agung Sedayu untuk pergi mencari sesuatu yang belum dapat ditentukannya sendiri.” “Aku tentu setuju. Itu lebih baik dari pada ia menunggu. Dengan kepergiannya itu, maka ia telah melakukan sesuatu usaha bagi dirinya, bukan sekedar menerima pemberian. Apakah itu petunjuk apakah itu kesempatan yang manapun juga.” “Sokurlah. Seperti angger, akupun melihat, bahwa Agung Sedayu sebenarnya memiliki pandangan yang hidup terhadap dirinya sendiri dan terhadap ilmunya. Itulah sebabnya maka ia akan mencari sesuatu yang dianggapnya belum lengkap pada dirinya. Aku sengaja membiarkannya mencari sendiri, agar seperti yang anakmas katakan, ia tidak akan sekedar menerima. Selebihnya, aku adalah seorang guru yang mempunyai lebih dari seorang murid. Aku harus adil terhadap keduanya.” Untara mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Apakah yang Kiai maksud dengan adil ?” Pertanyaan itu agak aneh bagi Kiai Gringsing. Sejenak ia merenung. Namun ia kemudian menjawab, “Anakmas. Ilmu seseorang adalah sangat terbatas. Apa yang aku punyaipun sangat terbatas. Yang terbatas itu dasar-dasarnya telah aku berikan kepada Agung Sedayu dan Swandaru. Lengkap dan sama karena memang hanya itulah yang aku punya. Jika kemudian ada sesuatu yang lebih dari yang lengkap dan sama itu, maka aku harus memberikan kepada kedua-duanya pula.” “Kiai,“ bertanya Untara, “apakah ada yang lebih dari yang sudah lengkap itu?”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Angger adalah seorang Senapati yang memiliki ilmu yang mumpuni. Aku kira angger dapat mengerti apa yang lebih dari yang lengkap bagi sebuah ilmu itu. Ilmu kanuragan bukannya sekedar mengenal tata gerak dasar dari yang pertama sampai yang terakhir. Yang lengkap adalah pengenalan semua unsur tata gerak dan hubungannya yang satu dengan yang lain. Penguasaan semua kekuatan yang ada pada diri seseorang dan pengenalan kepada kekuatan-kekuatan cadangan. Baik yang ada didalam dirinya, maupun yang tersedia didalam alam disekitarnya. Bukankah begitu? Dan aku sudah memberikannya semuanya itu kepada Agung Sedayu dan kepada Swandaru.” Untara mengangguk-angguk. Sebelum ia bertanya. Kiai Gringsing melanjutkannya. “Tetapi apakah angger Untara puas dengan ilmu yang lengkap itu? Setelah ilmu itu lengkap, masih ada yang perlu diketahui. Masih banyak sekali. Pengenalan atas hubungan ilmu satu dengan yang lain dalam pancaran penggunaannya. Angger seorang prajurit. Tentu angger tidak sekedar memiliki ilmu yang angger terima secara utuh itu. Tentu ada yang lebih dari ilmu yang pernah angger terima, karena didalam ilmu angger telah terjadi hubungan yang luluh dan mantap antara ilmu yang angger terima dari Ki Sadewa dan ilmu yang harus dikuasai setiap prajurit.” Untara mengangguk-angguk pula. Katanya, “Aku mengerti yang Kiai maksud. Kiai bermaksud agar Agung Sedayu menyampurnakan ilmunya dalam bentuk apapun diluar petunjuk Kiai. karena Kiai merasa bahwa dengan demikian Kiai sudah tidak bertindak adil terhadap kedua murid Kiai.“ ia berhenti sejenak, lalu. “Kiai, apakah yang disebut adil bagi seorang ibu terhadap kedua anaknya kakak beradik. Seorang kakak yang berumur sepuluh tahun, apakah harus menerima bagian makan yang sama dengan anaknya yang baru berumur tiga tahun? Jika Kiai berpegangan kepada pendapat bahwa yang adil itu adalah yang sama, maka malanglah anak yang tua, karena ia harus makan segenggam nasi seperti adiknya yang masih bayi.” Kiai Gringsing tersenyum. Ia senang mendengar Untara yang menyatakan pendapatnya tanpa disebunyikan. Hatinya sebagai seorang Senapati cukup terbuka dan mantap sesuai dengan sikap dan pendapatnya. “Angger benar,“ berkata Kiai Gringsing, “sedangkan saat ini, aku masih merasa mempunyai dua orang anak kembar. Itulah sebabnya aku memperlakukan keduanya sama. Memang mungkin pada suatu saat aku harus melihat, bahwa pertumbuhan keduanya mengalami perbedaan. Mungkin aku harus memberi garam kepada yang seorang dan memberikan gula kepada yang lain. Nah, dalam keadaan yang demikian, yang adil memang bukannya yang sama. Yang adil bagi kedua anak-anakku itu adalah memberikan apa yang dibutuhkan oleh masing-masing sesuai dengan garis ajaranku lahiriah dan rohaniah.”

Untara memandang Kiai Gringsing sejenak. Dengan kerut merut didahi ia bertanya, “Jadi menurut Kiai, Agung Sedayu dan Swandaru itu kali ini masih berada dalam tataran yang sama.” “Aku berpendapat demikian. Tetapi yang sama itupun memiliki tingkatannya yang dipengaruhi oleh kepribadian masing-masing, kemampuan berpikir dan menanggapi sesuatu peristiwa dan keadaan.” “Baiklah Kiai,“ berkata Untara, “Kiai ingin bertindak bijaksana, Sayang, bahwa Agung Sedayu mempunyai hubungan yang dekat dengan aku, karena aku kakaknya. Jika aku menyatakan pendapatku dengan jujur sesuai dengan kata hatiku, maka Kiai akan menganggap bahwa aku ingin berbuat sesuatu yang menguntungkan adikku.” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tetapi iapun tersenyum. Untara memang mengatakan apa saja yang tersirat. Dan iapun tepah mengatakan bahwa ia menyembunyikan sesuatu. Dan itu sangat menarik bagi Kiai Gringsing. “Angger tidak ingin disebut seorang kakak kandung yang ingin mendesakkan pendapatnya bagi keuntungan adiknya. Karena itu angger tidak mau mengatakan, bahwa sebenarnya Agung Sedayu memiliki kematangan ilmu yang lebih tinggi dari Swandaru berdasarkan bahan yang mereka terima dari aku. Begitu? Sehingga ia pantas menerima bukan hanya segenggam seperti adiknya, tetapi semangkuk.” Untara termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Aku berpendapat demikian. Tetapi pendapat yang menentukan adalah pendapat Kiai sebagai gurunya, karena Kiai mempunyai hubungan yang lebih rapat dengan keduanya.” Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Segala sesuatunya akan berjalan sewajarnya. Mudah-mudahan aku selalu mendapat petunjuk dari Yang Maha Kasih, agar aku dapat berada diantara murid-muridku dengan bijaksana.” Untara mengangguk-angguk. Iapun mengerti, bahwa Kiai Gringsing akan selalu berusaha untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan kedua muridnya yang pasti akan mempunyai beberapa perbedaan. Setelah memberikan beberapa pesan pula kepada Glagah Putih yang ada dipadepokan kecil itu pula. “Kiai,“ berkata Glagah Putih sepeninggal Untara, “kakang Untara dan kakang Agung Sedayu adalah saudara sepupuku. Tetapi keduanya berbeda bagiku. Aku lebih berani menyatakan pendapat dan sikapku kepada kakang Agung Sedayu. Sebenarnya bahwa aku agak segan terhadap kakang Untara yang nampaknya selalu bersungguh-sungguh.” Kiai Gringsing tertawa. Jawabnya, “Pembawaan keduanya memang lain. Tetapi sebenarnya kau tidak usah segan terhadap kakakmu Untara. Ia orang baik. Tetapi ia lebih berterus terang dari adiknya, Agung Sedayu. Untara akan mengatakan tidak senang bagi yang tidak disenangi dan mengatakan baik

bagi yang menurut pendapatnya. Tetapi kakakmu Agung Sedayu mungkin akan mempergunakan istilahistilah lain yang lebih rumit, yang kadang-kadang justru tidak dimengerti oleh orang lain.” Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun apun kemudian mengangguk-angguk. Dalam pada itu, Glagah Putih yang berada dipadepokan itu justru karena ajakan Agung Sedayu, merasa sepi juga. Tetapi ternyata bahwa Kiai Gringsing dan Ki Waskita banyak mengisi waktu Glagah Putih itu dengan kerja disawah atau memberikan kesempatan kepadanya untuk berlatih diri. Selebihnya, waktunya dipergunakan oleh Widura untuk memperlengkap tata gerak dasar anak muda itu sekaligus dalam usaha mereka untuk menelusuri kembali ilmu yang sudah mulai kabur itu. Sementara itu. Agung Sedayu sendiri telah berada dimulut sebuah goa ditebing sungai yang curam diseberang hutan kecil yang membujur sepanjang tepian. Jarang sekali seseorang memerlukan pergi ketempat itu, selain mereka yang sengaja ingin melihat sesuatu yang belum pernah dilihatnya atau anak-anak nakal yang tersesat atau sengaja ingin mengetahui sesuatu yang pernah didengarnya sebagai ceritera dari orang lain. Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Goa itu adalah goa yang mempunyai dongengnya tersendiri. Beberapa orang pernah mengatakan bahwa goa itu adalah goa yang terpanjang. Jika seseorang menelusuri goa itu dan menemukan jalan yang menurut jalur yang benar, maka ia akan sampai kedasar samodra. Tetapi belum ada seorangpun yang dapat mengatakan, bahwa ceritera itu memang benar. Belum ada seorangpun yang memasuki goa itu dan menyelusuri jalan sampai kedasar samodra. Untuk beberapa lamanya Agung Sedayu termangu-mangu Bahkan pada hari yang pertama ia tidak langsung memasuki jantung goa itu. Ia masih berada dimulut goa sekedar berteduh dari panas terik yang membakar jika matahari ada dipuncak langit. Ketika malam kemudian tiba, maka goa itupun menjadi sangat gelap. Dari tempatnya yang tidak terlalu dalam. Agung Sedayu dapat melihat, bahwa kegelapan malam diluar goa itu masih jauh lebih terang dari hitam kelamnya warna setiap sudut didalam goa itu. Mula-mula kulit Agung Sedayu memang meremang. Tetapi lambat laun, karena ia memang sudah dengan sengaja memasuki goa itu, hatinyapun menjadi tenang. “Apapun yang akan aku hadapi, aku tidak akan ingkar,” katanya didalam hati. Namun Agung Sedayu tidak memasuki goa itu lebih dalam lagi dimalam hari. Selain udara yang lembab dan seolah-olah pepat karena kegelapan, maka Agung Sedayupun belum mempunyai gambaran sama sekali tentang jalur-jalur jalan didalam goa itu.

Ketika matahari terbit ditimur, dipagi hari berikutnya. Agung Sedayu melangkah keluar mulut goa. Sejenak ia memandang langit yang cerah. Namun kemudian iapun memasuki goa itu kembali dan mulailah ia mengenali dinding goa itu semakin lama semakin dalam. Agung Sedayu memang sedang memerlukan suatu tempat yang terasing, ia ingin lebih banyak melihat kedalam dirinya sendiri. Jika ia minta diri kepada gurunya, memang sejak semula sama sekali tidak terlintas didalam pikirannya untuk mengadakan sebuah perjalanan, atau sebuah petualangan yang khusus. Hal itu ternyata diketahui oleh gurunya pula, meskipun tidak dikatakannya. Dan gurunya memberinya waktu sebulan. Selangkah demi selangkah Agung Sedayu memasuki goa itu semakin dalam. Ia memperhitungkan, bahwa didalam goa itu tentu ada ruangan-angan yang cukup luas yang belum diketahuinya dimasa kanak-anak untuk melakukan sesuatu. Tidak perlu terlalu dalam. Karena menurut perhitungannya, tidak akan ada orang yang sampai ketempat itu tanpa maksud seperti dirinya sendiri. Dan agaknya menilik tempat disekitar mulut goa itu, maka daerah itu sudah menjadi semakin terasing tidak tidak terjemah Langkah Agung Sedayu terhenti ketika ia melihat didalam keremangan sebuah lubang dilangit-langit goa itu. Sejenak ia ragu-ragu. Namun kemudian ia mencoba mengamati lubang itu dengan saksama. Hatinya menjadi berdebar-debar ketika terasa olehnya hembusan angin yang bertiup dari dalam lubang itu. “Lubang itu tentu mempunyai hubungan langsung dengan udara diluar goa,“ berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri. Sejenak Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian iapun mencoba meraba lubang dilangitlangit goa itu. Keinginannya tiba-tiba sangat mendesaknya untuk mengetahui isi dari lubang itu, dan hubungan yang langsung dengan udara diluar goa. Mungkin lubang itu akan muncul dipermukaan ditempat yang tidak diduganya. Setelah menimbang-nimbang sejenak, maka Agung Sedayupun kemudian menetapkan hati untuk memasuki lubang itu. Ia tidak dapat menduga, apakah yang akan dijumpainya didalam goa yang agaknya lebih sempit dari jalur goa yang dimasukinya. Sejenak kemudian, maka iapun segera meloncat, meraih bibir lubang itu dan kemudian dengan agak sulit ia mengangkat dirinya memasuki lubang kecil itu. Ketika ia sudah berada didalam, maka ia melihat sebuah batu yang cukup besar, tergolek disamping lubang itu. “Batu ini seolah-olah dipersiapkan untuk menutup lubang kecil itu,“ katanya didalam hati. Tetapi Agung Sedayu tidak berani mencobanya. Jika ia mencoba mengguncang batu itu dan kemudian berguling menyumbat lubang kecil itu, maka ia tidak tahu. apakah ada lubang lain yang dapat

dipergunakannya untuk keluar, dan apakah ia kemudian mampu menyingkirkan batu itu. Karena itu. Agung Sedayu sama sekali tidak menyentuh batu itu. Iapun kemudian merangkak menyusur lubang yang sempit dengan sangat hati-hati. Tetapi pengenalannya atas keadaan disekitarnya telah memberikan kepadanya harapan, karena nalurinya seolah-olah mengenal sesuatu yang diarapkan diujung lubang kecil itu. Untuk beberapa lamanya ia merangkak. Namun terasa bahwa lubang itu menjadi semakin lama semakin lebar. Agung Sedayu menjadi berdebar-debar ketika terasa angin yang silir menghembus dari arah yang berlawanan, sehingga dengan demikian ia menduga, bahwa memang ada lubang tembus diujung jalur yang sedang dilaluinya itu. Beberapa lama ia merangkak dalam kegelapan. Meskipun demikian, dalam keremangan itu, ia berhasil memperhatikan bentuk dinding goa itu. Dibeberapa tempat ia menjadi curiga. Bahkan ia terhenti di sebuah tikungan, karena ia melihat beberapa bagian dari dinding itu seolah-olah telah disentuh oleh tangan. “Agaknya tikungan ini semula terlalu sempit,“ berkata Agung Sedayu didalam hati, “sehingga dengan demikian, seseorang telah memperlebar lubangnya sesuai dengan lubang yang semakin lebar ini.” Agung Sedayu justru menjadi yakin, bahwa tikungan itu memang sudah mendapat perubahan dari bentuk aslinya. Ketika ia melalui tikungan itu, hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Diujung jalur kecil itu ia melihat bayangan yang semakin terang. Seolah-olah diujung itu terdapat cahaya yang lebih banyak. “Apakah ujung jalur ini benar-benar berhubungan dengan udara diluar? “ ia bertanya kepada diri sendiri. Agung Sedayu tidak merasakan pedih dilututnya oleh sentuhan batu-batu karang. Perlahan-lahan ia maju terus, sehingga dengan dada yang berdebar-debar akhirnya ia sampai kemulut lubang itu. Tetapi yang dilihatnya ternyata bukannya udara yang terang diluar goa. Lubang itu masih belum langsung berhubungan dengan alam yang terbuka. Yang dilihatnya adalah sebuah ruang yang cukup luas dan tidak terlalu gelap. Perlahan-lahan Agung Sedayu memasuki lubang yang merupakan pintu masuk kedalam ruang itu. Dengan hati-hati iapun kemudian berdiri tegak dan memandang kesegenap sudut. Ruang itu ternyata cukup luas. Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihatnya dua buah lubang yang sempit. Namun Agung Sedayupun menjadi yakin, bahwa kedua lubang yang sempit itu tentu menghubungkan ruang itu dengan udara terbuka, sehingga ruang itu terasa tidak terlalu pengab dan cahaya matahari dapat menerobos masuk meskipun tidak terlalu banyak.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia baru merasa lututnya menjadi pedih. Ketika ia mengamat-amatinya, maka lututnya itu menjadi luka dan berdarah. Ternyata Agung Sedayu cukup lama merangkak didalam lubang sempit yang berbelok-belok dengan tikungan-tikungan tajam, sehingga akhirnya ia sampai kesebuah ruang yang cukup luas. Agung Sedayu itupun kemudian duduk untuk beristirahat sejenak diatas sebuah batu padas. Sementara itu tatapan matanya yang tajam merambat disekeliling dinding ruangan itu. Dinding yang kotor dan penuh dengan jaring-jaring labah-labah yang kehitam-hitaman. Sesekali Agung Sedayu mengusap lukanya. Semakin lama terasa luka itu menjadi semakin pedih. Sehingga Agung Sedayupun kemudian menganggap perlu untuk menaburkan sedikit obat luka agar lukanya tidak menjadi semakin besar karena kotoran yang melekat dan bahkan mungkin ada sejenis racun di sepanjang lubang goa yang panjang itu. “Tempat ini cukup memadai,“ desis Agung Sedayu, “aku ingin mendapat tempat yang terasing seperti ini. agar aku sempat berbuat lebih banyak lagi bagi diriku sendiri, sebelum aku berbuat sesuatu bagi padepokan kecil itu, agar apa yang aku lakukan bukannya sekedar mainan kanak-kanak yang tidak berarti.” Sejenak Agung Sedayu membayangkan tentang dirinya sendiri. Dengan serta merta, atas perintah gurunya ia telah berhasil mengosongkan dirinya sendiri dari segala unsur yang ada. Karena itulah, maka ia berharap, bahwa ia akan dapat mengembangkannya dengan cara yang lebih baik. teratur dan terlatih, sehingga saat-saat yang diperlukan untuk melakukannya menjadi lebih cepat dan berhasil. Kemudian dengan demikian ia akan dapat menempatkan semua pengenalannya kembali dalam gambaran yang jelas dan bersih. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Diam-diam ia berdoa agar Tuhan memberikan bimbingan atas usahanya itu. Jika Tuhan berkenan, maka ia akan mempunyai ingatan yang sangat tajam terhadap seggala sesuatu yang pernah dialaminya. Bahkan ia akan dapat mengenangnya seperti ia melihatnya lagi. Tetapi yang dicari Agung Sedayu bukannya sekedar ketajaman ingatan. Ia ingin membentuk dirinya. Agaknya hidup di padepokan bagi Agung Sedayu adalah hidup yang akan dipenuhi dengan arus hubungan timbal balik. Memberi dan menerima. Meskipun bukan dalam hubungan pemerintahan dan hubungan resmi lainnya, namun padepokan akan tetap menjadi kiblat hidup jasmaniah dan rokhaniah bagi orang-orang disekitarnya. Sehingga dengan demikian, maka diperlukan bekal yang cukup memadai. Demikianlah maka Agung Sedayu merasa bahwa ia telah menemukan tempat yang dicarinya. Ia tidak perlu mengembara ketempat yang jauh dan tidak dikenal. Menyusuri lembah dan ngarai, mengitari bukit dan menembus hutan-hutan yang lebat. Ternyata tidak terlalu jauh dari padepokannya ia telah menemukan tempat yang memadai untuk melakukan rencananya. Mesu diri dalam batas yang memungkinkan sesuatu dengan kodrat hidup manusia, jasmani

dan rohani. Tetapi Agung Sedayu tidak akan mulai saat itu juga. Ia harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Bagaimanapun juga, ia tetap seorang manusia yang memerlukan kebutuhan-kebutuhan sehari-hari bagi ujud wadagnya. Ia harus makan, minum dan pemenuhan kebutuhan yang lain, meskipun dalam saat-saat tertentu dapat bergerak menurut ketentuan yang harus dibuatnya sendiri, dilakukannya sendiri dengan tertib dan penuh ketaatan. Karena ketaatan kepada diri sendiri adalah kewajiban yang paling sulit bagi seseorang. Demikianlah Agung Sedayu tidak dapat melepaskan diri dari kodrat manusiawinya. Itulah sebabnya, maka ia-pun kemudian memperhitungkan segala kerja yang harus dilakukan. Setiap hari ia harus merangkak keluar dari ruang itu, menyusuri lubang menuju kejalur goa yang lebih lebar. Ia harus menyiapkan makan dan minum, meskipun jauh dikurangi dari kebiasaannya makan dan minum. Kemudian setelah ia selesai dengan menyediakan makan dan minum bagi dirinya sendiri, ia harus merangkak kembali kedalam biliknya dan mulai dengan latihan-latihan yang berat. Pada saat ia sedang mulai, terasa betapa menjemukannya merangkak keluar dan masuk lubang kecil itu. Ada niatnya untuk membawa mangkuk yang dibawanya dari padepokan, dengan beberapa potong kayu yang dicarinya disekitar mulut goa itu kedalam biliknya. Tetapi niat itupun kemudian dibatalkannya. Merangkak jarak yang cukup panjang setiap hari menyusuri lubang sempit kekedua arah itu ternyata merupakan latihan tersendiri. Dengan merangkak ia menemukan keseimbangan yang khusus bagi tubuhnya, sehingga ia akan dapat memanfaatkan bukan saja kekuatan kaki dan tangannya, tetapi juga otot-otot perutnya yang akan berpengaruh langsung kepada ketahanan gerak kedua kakinya. Itulah sebabnya, maka Agung Sedayu justru memaksa diri untuk tetap hilir mudik setiap pagi keluar lubang kecil itu. Dari hari kehari, terasa kemajuan sedikit demi sedikit dapat dicapai oleh Agung Sedayu yang berlatih tanpa petunjuk langsung dari gurunya. Dengan unsur-unsur gerak yang telah dikuasainya, maka iapun mencoba untuk menguasai dengan pasti, penguasaan diri dan segala unsurnya. Dari hari ke hari, Agung Sedayu mendapat kemajuan yang pesat dalam latihanlatihan pengosongan diri. Bahkan beberapa saat yang terhitung pendek, Agung Sedayu sudah dapat melakukannya dengan batas waktu yang jauh lebih pendek, kemudian membangkitkan bayangan pengenalannya untuk satu pengenalan dimasa lampaunya. Tetapi Agung Sedayu tidak hanya berlatih dalam ketajaman ingatan dan pengenalan masa lampaunya. Dengan sungguh-sungguh ia berusaha menyempurnakan semua unsur penguasaan diri dari dalam dirinya. Bukan latihan-latihan jasmaniah untuk meningkatkan kecepatan bergerak, atau untuk memperkuat ayunan tangan dan kaki semata-mata. Tetapi juga pengenalan yang lebih dalam terhadap tenaga cadangan yang ada didalam dirinya dan hubungannya dengan tenaga yang ada didalam sekitarnya.

Setiap hari Agung Sedayu mencoba untuk melihat kembali semua tataran yang pernah dilaluinya. Setelah mengosongkan diri dari segala, unsur yang dimilikinya sebagai kebulatan kecil dalam tata alam yang besar, maka ia mencoba untuk menilai semua tataran dan tingkat yang pernah dijalani. Dengan demikian maka Agung Sedayu menjadi semakin memahami dirinya, ilmunya dalam hubungannya dengan perkembangan wadagnya dan halusnya, sesuai dengan pengaruh lingkungan berdasarkan kepada landasan masa-masa sebelumnya. Agung Sedayu dapat merasakan tepat seperti yang pernah dirasakannya. Betapa ketakutan mencengkam dirinya. Takut kepada setiap persoalan yang dihadapinya, apakah itu wadag, wajar, maupun halus dan yang tidak terungkapkan oleh akal. Ia dapat mengenal, betapa ketakutan mencengkam dirinya saat-saat ia melalui jalan yang gelap dimalam hari. tepat dibawah sebatang randu alas dan disarang Hantu bermata Satu. Tetapi iapun dapat merasakan kembali betapa hatinya bagaikan mekar, saat-saat ia berhadapan dengan Sindanti justru setelah ia menitikkan darah dari lukanya. Dengan mengulangi setiap unsur yang pernah dipelajarinya, maka rasa-rasanya pintu baginya semakin terbuka lebar. Seolah-olah ia mendapat petunjuk yang pasti, bahwa ia sudah berjalan menuju kesempurnaan ilmu yang sudah dikuasainya. Bahkan Agung Sedayu dapat mengenal unsur-unsur gerak ilmu orang-orang yang pernah dijumpainya, terlibat dalam perkelahian dengannya atau pernah dilihat dalam pengemukaan ilmu dimanapun juga. Agung Sedayu dapat mengingat tata gerak dari ilmu yang samar-samar sampai ilmu yang mantap dari beberapa orang yang tidak dikenalnya secara pribadi. Dengan demikian, maka Agung Sedayu telah memperkembangkan ilmunya dari luar dan dari dalam dirinya. Latihan-latihan jasmaniah dan penguasaan unsur rohaniah. Pemusatan diri dalam penggunaan tenaga cadangan merupakan unsur yang bukan saja bersifat jasmaniah, tetapi lebih condong pada kekuatan pemusatan ilmu itu sendiri dalam getaran kehendak dan penguasaannya. Namun sementara ia mesu diri, ia sama sekali tidak melepaskan hubungannya dengan sumber segala kekuatan, segala ilmu dan segala yang ada dimuka bumi. Yang kasat mata maupun yang tidak. Bahkan sumber dari hubungan alam yang besar dan alam yang kecil, kebulatan tata surya dan kebulatan dalam dirinya sendiri. Demikianlah, Agung Sedayu telah menenggelamkan diri kedalam pendalaman ilmunya berlandaskan pengetahuan yang pernah dimilikinya dengan penuh kesadaran, bahwa ia merupakan satu dari butiran debu yang tidak terhitung dalam lingkungannya, sehingga ia adalah bagian yang sangat kecil dari seluruh ciptaan Tuhan. Dalam pada itu, sementara Agung Sedayu tenggelam didalam biliknya, di Sangkal Putung.

Swandarupun merasa perlu untuk memperkuat diri. Dalam keadaannya, yang terpisah dari gurunya, Swandaru telah didorong oleh suatu keinginan untuk membuat Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh menjadi daerah yang memiliki kemampuan untuk melindungi dirinya sendiri. Tetapi untuk sementara, karena ia berada di Sangkal Putung, maka Kademangan itulah yang akan ditempanya, sebelum pada suatu saat Tanah Perdikan Menorehpun akan digarapnya pula berdasarkan pola yang akan dicobanya bagi Sangkal Putung. Namun demikian, sebelum ia mulai dengan segala-galanya, maka ia sendiri, harus mampu meningkatkan ilmu yang telah dimilikinya. “Semuanya telah aku mengerti,“ berkata Swandaru kepada diri sendiri, “menurut guru, dasar-dasar ilmunya telah aku kuasai seluruhnya. Yang harus aku lakukan adalah mengembangkannya sebaikbaiknya. Di Karang kakang Agung Sedayu dapat selalu berhubungan dengan guru dalam peningkatan ilmunya. Tetapi aku harus melakukannya sendiri.” Karena itulah, maka Swandarupun kemudian berusaha untuk melakukannya. Dibangunkannya sebuah sanggar dibagian belakang kebunnya. Didalam sanggar itulah ia melatih diri. Dimintanya isterinya untuk berlatih bersamanya, atau memberikan beberapa penilaian, karena Swandarupun sadar, bahwa Pandan Wangi memiliki kemampuan yang tinggi pula. Tetapi nampaknya Pandan Wangi tidak begitu memiliki gairah untuk berjuang meningkatkan ilmunya. Sekali-kali nampak wajahnya bagaikan kosong sama sekali. Namun demikian Pandan Wangi sendiri berusaha agar suaminya tidak menjadi kecewa, sehingga bagaimanapun juga, ia selalu berusaha untuk memenuhi keinginannya itu. Selain Pandan Wangi, maka Sekar Mirahpun tidak mau ketinggalan. Ia sadar, bahwa pada suatu saat kakaknya akan memerlukannya pula. Tetapi berbeda dengan Swandaru, Sekar Mirah masih selalu mendapat bimbingan dari gurunya, karena sebenarnyalah bahwa Sekar Mirah masih memerlukannya. Dalam saat-saat latihan yang dilakukannya dengan tekun itulah Ki Sumangkar selalu berusaha memberikan beberapa petunjuk kepada Sekar Mirah agar ia memiliki keseimbangan antara keinginan, cita-cita dan tempatnya berpijak. Namun sementara itu, Swandarulah yang ternyata memiliki gairah yang paling besar untuk meningkatkan ilmunya. Setiap hari ia berada didalam sanggarnya bersama-sama dengan beberapa orang pengawal yang diajaknya menjadi imbangan berlatih, selain kadang-kadang Pandan Wangi sendiri. Latihan yang berat yang dilakukan oleh Swandaru itu dititik beratkan kepada kemampuan jasmaninya. Sebagaimana pandangan hidup Swandaru yang lebih banyak diarahkan kepada pertumbuhan lingkungannya dari segi wadagnya, maka demikian pulalah cara yang ditempuhnya untuk meningkatkan ilmunya. Cita-citanya untuk menjadikan Sangkal Putung Kademangan yang kuat, yang unggul dalam ujud lahiriahnya dengan segala kelengkapannya, membuat Swandaru lebih terikat kepada pembinaan lahir.

Demikianlah Swandaru melatih diri dengan berbagai macam alat. Setiap hari ia berusaha memperkuat kedua belah tangannya dengan mengangkat dua buah batu dikedua tangannya diatas kepalanya turun naik sampai puluhan kali. Demikian pula dengan usahanya untuk memperkuat kakinya dan bagian-bagian tubuhnya yang lain. Swandaru berlatih dengan sepenuh hati untuk meningkatkan kecepatannya bergerak. Ia merasa bahwa tubuhnya yang gemuk itu merupakan sedikit hambatan bagi tata gerak dan kecekatannya. sehingga karena itulah maka ia memerlukan mengadakan latihan khusus untuk mempercepat tata geraknya. Pandan Wangi yang semula sekedar mengimbangi usaha suaminya, itupun ternyata mau tidak mau harus ikut serta dalam arus memperdalam ilmunya pula agar ia tidak ketinggalan jika ia harus memberikan imbangan sebagai kawan berlatih. Tetapi seperti Swandaru maka Pandan Wangipun lebih banyak dipengaruhi oleh tata gerak lahiriah. Ia pada dasarnya memang memiliki ketangkasan dan kecepatan mempermainkan senjata rangkapnya. Kakinya lincah seperti burung sikatan, dan nafasnyapun benar-benar telah terlatih hampir sempurna. Meskipun kedua suami isteri itu pada dasarnya bersumber pada ilmu yang berbeda, tetapi dengan sungguh-sungguh keduanya berusaha saling mengisi dan saling meningkatkan ilmu masing-masing. Keduanya bahkan lambat laun menemukan persesuaikan untuk menjadikan kedua ilmu dari dua sumber itu menjadi dua aliran ilmu yang dapat saling berpasangan. Sementara itu. Sekar Mirahpun mempergunakan sanggar itu untuk menempa diri bergantian waktunya dengan kakaknya suami isteri. Dibawah bimbingan dan pengawasan gurunya, Sekar Mirah ingin mengikuti jalan pikiran Swandaru, membuat Sangkal Putung menjadi Kademangan terkuat dan mampu menjaga diri sendiri. Gejolak hati Swandaru itu ternyata berpengaruh pula pada anak-anak muda di Sangkal Putung. Sebelum Swandaru terjun kedalam lingkungan para pengawal untuk membentuk mereka, maka anakanak muda sudah mulai dengan latihan atas kehendak mereka sendiri dengan cara yang pernah mereka dapatkan sebelumnya. Dalam pada itu, Kiai Gringsing yang berada dipadepokan kecilnya, pada suatu saat merasa didesak oleh kerinduannya kepada muridnya yang seorang. Itulah sebabnya maka pada suatu saat, ia minta diri kepada Ki Waskita dan Glagah Putih untuk pergi ke Sangkal Putung. “Kiai akan pergi seorang diri?“ bertanya Ki Waskita. “Demikianlah Ki Waskita. Aku justru ingin menitipkan padepokan kecil dan Glagah Putih kepada Ki Waskita. Aku hanya pergi untuk sehari. Meskipun malam hari, aku tentu akan kembali karena aku tidak akan bermalam di Sangkal Putung.” Kedatangan Kiai Gringsing di Sangkal Putung, terasa memberikan kegembiraan dan gairah yang lebih mantap bagi Swandaru. Bagaimanapun juga kehadiran gurunya menunjukkan kepadanya, bahwa gurunya tidak melupakannya.

“Usahamu memberikan kebanggaan padaku Swandaru,“ berkata Kiai Gringsing, “Karena dengan demikian ternyata bahwa kau tidak terhenti pada suatu tempat. Kau akan tetap maju dengan caramu. Seperti juga aku memberikan kesempatan bagi Agung Sedayu yang kini sedang berusaha untuk menemukan dirinya sendiri dalam ungkapan ilmunya, karena sebenarnyalah yang aku berikan hanyalah dasarnya semata-mata, yang masih harus dibentuk sesuai dengan kepribadianmu masing-masing.“ Swandaru merasa bangga atas pujian itu. Dengan demikian maka gurunya tentu merestui semua rencananya. “Guru,“ berkata Swandaru kemudian, “Anak-anak muda di Sangkal Putung ternyata bertekad untuk membuat Kademangan ini menjadi Kademangan yang kuat, yang dapat melindungi dirinya sendiri. Itulah sebabnya maka aku merasa perlu untuk menempa diri lebih dahulu, sebelum aku kemudian memberikan tuntunan sekedarnya kepada para pengawal.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Itu namanya ilmumu adalah ilmu yang hidup. Mudahmudahan kau berhasil.” “Aku berharap guru merestuinya.” “Tentu Swandaru. Aku berharap bahwa kau akan mendapatkan kemantangan ilmu yang dijiwai oleh kepribadianmu. Yang akan memancar kemudian dari ilmumu itu justru kepribadianmu. Jika kau orang yang rendah hati, maka akan nampak jelas, bahwa setiap unsur gerak dari ilmumu akan kau lambari dengan dasar kepribadianmu itu. Kau akan berhati-hati dan tidak mempergunakan kapan saja kau ingin. Kau akan menghindari perbuatan yang dilandasi oleh kekerasan. Kau akan menganggap dirimu kurang penting untuk menunjukkan ilmumu disetiap saat. Dan kau tidak akan sakit hati jika orang lain menganggap ilmumu adalah ilmu yang rendah sepanjang orang itu tidak merugikanmu.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu. “tetapi jika ilmu yang semakin masak itu dilambari dengan sifat tinggi hati, maka akan nampak jelas pula padamu. Setiap saat kau akan menunjukkan kelebihanmu dari orang lain. Kau akan mempunyai perasaan harga diri yang berlebih-lebihan, dan menganggap orang lain kurang berharga. Kau akan memaksakan kehendakmu dengan kekerasan, dan kau akan mempelihatkan betapa tinggi ilmu yang kau miliki.” Swandaru mengerutkan keningnya. Terasa sesuatu bergetar didalam dadanya. Sekilas ia memang mencoba mengamati dirinya sendiri. Tetapi karena ia masih belum berkesempatan, maka Swandaru itupun hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja tanpa menjawab. Dalam kesempatan itu. Kiai Gringsing masih memberikan banyak pesan. Semakin tinggi ilmu seseorang, maka tanggung jawabnyapun menjadi semakin berat pula. Juga perjuangan untuk mengekang diripun menjadi

semakin rumit, karena kecenderungan sifat manusia untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Swandaru mencoba mendengarkan dan mengerti arti dari segala pesan gurunya. Meskipun demikian ia masih belum sempat meneliti kedalam dirinya, apakah yang dikatakan gurunya itu sekedar pesan atau sudah merupakan suatu peringatan, karena gejala-gejala seperti yang dikatakan gurunya itu sudah mulai nampak. Waktu yang sehari itu ternyata dipergunakan oleh Kiai Gringsing dengan sebaik-baiknya. Ia sempat melihat muridnya berlatih. Ia mempergunakan sedikit waktunya untuk berbincang dengan Ki Sumangkar, untuk berbicara tentang banyak hal dengan Pandan Wangi dan Sekar Mirah, dan untuk membicarakan perkembangan Swandaru dengan Ki Demang Sangkal Putung. “Ada yang aneh dalam pengamatan Kiai,“ berkata Ki Demang, “nampaknya Swandaru selalu dikejar oleh ketidak puasan terhadap suasana disekelilingnya.” Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Itu adalah gejala yang wajar dari anak-anak muda Ki Demang. Yang penting, kita yang tua-tua, wajib memberikan arah yang sepatutnya.” “Itulah yang sulit Kiai. Anak-anak muda sekarang merasa dirinya lebih pandai dari yang tua-tua. Dan memang didalam kenyataannya, Swandaru memiliki kelebihan daripadaku. Tetapi kelebihan dalam olah kanuragan dan mungkin juga kecerdasan berpikir, bukannya merupakan kepastian ujud dari kelebihan pengabdian yang wajar dan benar.” “Kiai,“ Ki Demang melanjutkan, “aku merasa, bahwa anak-anak muda cenderung untuk melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh orang-orang tua. Mereka juga mencoba melonggarkan ikatan-ikatan yang ada. Aku tidak berkeberatan Kiai. Tetapi hendaknya anak-anak muda jangan menyimpang dari dasar tatanan hidup yang pokok. Dan dalam setiap perbedaan pandangan, maka anak-anak muda tentu menganggap orang-orang tua bersalah tanpa meneliti sebab dan akibatnya.” Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Mudah-mudahan pada suatu saat jarak antara yang tua dan yang muda itu dapat dipersempit. Jika masing-masing pihak bersedia untuk melihat kepada diri sendiri, maka akan diketemukan pendekatan-pendekatan yang mantap bagi masa depan.” Ki Demang mengangguk-angguk. Mereka masih berbicara beberapa lama lagi, sehingga kemudian datang saatnya Kiai Gringsing minta diri. “Guru tidak bermalam disini?“ bertanya Swandaru ketika Kiai Gringsing minta diri kepadanya didalam sanggarnya. “Aku akan datang setiap kali. Padepokan Karang di Jati Anom itu sama sekali tidak jauh. Aku akan datang kapan saja aku ingin. Apalagi nampaknya sekarang keadaan menjadi semakin tenang.” Kekecewaan nampak membayang diwajah Swandaru.

Bagaimanapun juga ada perasaan yang kurang mantap terhadap sikap gurunya. Bahkan kemudian terdengar ia berdesis, “Kakang Agung Sedayu mempunyai kesempatan yang lebih baik daripadaku.” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Tidak Swandaru. Agung Sedayu mempunyai kesempatan yang sama. Ia membawa bekal yang sama denganmu. Dan berdasarkan bekal itu ia telah mencari sendiri ujud dari ilmunya berdasarkan kepribadiannya. Kepribadian inilah yang mungkin akan memberikan ciri yang berbeda antara kau dan Agung Sedayu dalam perkembangan selanjutnya. Tetapi ciri-ciri tata gerak dasar kalian berdua akan tetap sama dan sejalan.” Swandaru tidak menyahut lagi. Namun justru karena itu, telah tumbuh dorongan didalam hatinya, bahwa meskipun ia tidak ditunggui oleh gurunya, namun perkembangan ilmunya tidak boleh katah dengan ilmu yang akan dicapai oleh Agung Sedayu. Itulah sebabnya, sepeninggal gurunya, Swandaru justru menjadi semakin tekun berlatih. Pandan Wangi tidak dapat ingkar lagi, bahwa iapun harus ikut serta dalam arus penyempurnaan ilmunya. Meskipun mula-mula ia hanya sekedar mengimbangi dan memancing pengerahan tenaga Swandaru, namun ternyata kemudian, bahwa Pandan Wangipun telah melakukannya peningkatan pula dengan caranya. Dalam waktu-waktu senggang, justru saat-saat sanggar itu belum dipergunakan, Pandan Wangi kadang-kadang telah mendahului. Dengan langkah-langkah yang sederhana ia mencoba mencari kesempurnaan pada ilmunya. Berbeda dengan mereka yang berlatih dengan bekal yang ada pada dirinya. Sekar Mirah masih tetap berada dalam bimbingan gurunya. Karena itulah maka ia tidak mengalami kesulitan apapun juga. Namun agaknya bahwa tingkat ilmunya memang masih belum sejajar dengan kakaknya Swandarudan kakak iparnya Pandan Wangi. Dengan demikian, maka Sangkal Putungpun kemudian telah diliputi oleh suasana peningkatan ilmu. Sesuai dengan perhatian Swandaru yang lebih banyak tertuju pada yang lahir, maka tekanan peningkatan ilmunyapun lebih banyak nampak pada yang lahiriah. Kecepatan bergerak kekuatan tangan dan kaki, serta ketahanan, tubuh. Namun karena ketekunannya, maka ternyata Swandaru yang pada dasarnya mempunyai kekuatan yang besar, telah berkembang menjadi seorang raksasa yang mengagumkan. Namun justru karena itulah, ternyata Pandan Wangi mengalami kesulitan. Menurut kodrat lahiriahnya, ia tidak akan dapat mengimbangi kekuatan jasmani Swandaru. Karena itulah, maka ia harus mencari imbangan kekuatan dari dalam dirinya. Dari kekuatan cadangan yang tersedia. Sehingga dengan demikian, ia memerlukan latihan-latihan khusus yang terpisah. Tetapi untuk menghindari salah paham, agar Swandaru tidak menyangkanya menyembunyikan suatu rahasia pada ilmunya, maka ia membiarkan Swandaru menungguinya jika ia kehendaki. “Kau hanya membuang-buang waktu saja Pandan Wangi,“

kadang-kadang Swandaru memperingatkan. “Aku tidak dapat berlatih seperti kau kakang. Tenagaku tidak sekuat tenagamu, sehingga aku memerlukan kekuatan yang lain dari kekuatan wadag.” Swandaru hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ia melihat sesuatu yang lain pada Pandan Wangi. Kekuatannya yang bagaikan berlipat meskipun hanya pada saat-saat tertentu. Tetapi Swandaru agaknya kurang tertarik. Ia menganggap bahwa dengan demikian, ia mulai kehilangan kepercayaannya kepada kekuatan wadagnya, meskipun ia sadar, bahwa dengan demikian, maka ia yang pada dasarnya memiliki kekuatan raksasa itu, akan menjadi semakin mengerikan. Meskipun demikian, bukannya berarti bahwa Swandaru mengabaikan kekuatan yang memang ada pada dirinya itu. Tetapi ia menganggap bahwa apabila ia mempunyai banyak waktu dan tidak dalam keadaan yang men desak, maka ia baru akan mulai mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Sementara itu didalam sebuah goa diseberang hutan tidak terlalu jauh dari Jati Anom, Agung Sedayupun sedang menekuni ilmunya dengan segenap hati. Perbedaan pribadi antara Swandaru dan Agung Sedayu memang melahirkan banyak perbedaan pada ungkapan ilmunya meskipun bersumber dari orang yang sama. Setiap pagi Agung Sedayu masih saja merangkak melalui lubang kecil yang melingkar-melingkar berbelok-belok turun kejalur goa. Untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, Agung Sedayu melakukan pekerjaan sewajarnya. Mencuci beras kemudian menjerangnya sampai masak. Merebus air untuk minum dan kebutuhan-kebutuhan yang lain sebagaimana kebutuhannya sehari-hari dipadepokan. Namun lutut Agung Sedayu tidak terluka lagi jika ia merangkak sepanjang lubang yang berbelok-belok itu. Bahkan dengan demikian seolah-olah ia mendapatkan kekuatan baru pada urat-urat kaki dan tangannya. Tetapi semakin tekun ia berlatih didalam bilik yang dialiri udara dari dua buah lubang sempit dibagian atasnya itu, tanpa dikehendakinya sendiri, maka iapun menjadi semakin jarang merangkak sepanjang lubang itu. Jika mula-mula ia setiap pagi sudah turun dari biliknya, maka dihari hari berikutnya Agung Sedayu sudah tidak tentu lagi waktunya keluar dari dalam ruangannya. Kadangkadang siang, dan kadang-kadang sore. Dan bahkan kemudian, seolah-olah ia mengatur jarak yang semakin panjang. Sehari, dua hari dan akhirnya tiga hari. Dari segi kepentingan wadagnya, maka Agung Sedayu mengalami kekurangan makan dan minum, sehingga ia menjadi semakin kurus karenanya. Tetapi dari segi lain, Agung Sedayu banyak menemukan rahasia yang sebelumnya belum pernah dikenalnya. Rahasia tentang kekuatan didalam dirinya sendiri. Bukan sekedar kekuatan yang nampak dalam ungkapan wadag meskipun dari saluran kekuatan cadangan didalam dirinya, tetapi juga kekuatan yang tersalur lewat inderanya yang lain.

Dihari-hari berikutnya, Agung Sedayu melatih ketajaman penglihatannya dan kekuatan yang tersirat dari sorot matanya. Ketajaman pandangan matanya seakan-akan dapat melontarkan kekuatan tersendiri yang tidak dapat diukur dengan kewadagan. Disamping penglihatannya, Agung Sedayu melatih pendengarannya. Bermalam-malam ia duduk sambil memejamkan matanya, setelah disiang hari ia menekuni latihan-latihan yang lain. Ia berusaha untuk dapat mempergunakan segenap indera yang lain jika matanya tertutup atau jika ia berada di dalam gelap yang peka. Pendengaran Agung Sedayupun menjadi semakin tajam. Disepinya malam telinganya sempat berlatih untuk membedakan setiap suara. Desir angin yang lembut dan sentuhan kaki bilalang dibatu karang diatas biliknya, atau seekor cengkering yang terperosok masuk. Bahkan sambil memejamkan matanya ia mempertajam syaraf peraba di jari-jarinya. Ia dapat membedakan benda apakah yang telah disentuhnya dengan jari-jarinya. Halusnya batu karang yang diasah oleh titik air dan halusnya batu hitam yang tergolek didalam bilik itu. Ketajaman penciumannyapun menjadi berlipat ganda. Seolah-olah ia memiliki naluri pada indera penciumannya untuk membedakan setiap benda meskipun ia tidak melihatnya. Demikianlah Agung Sedayu berlatih terus. Mengosongkan diri sudah bukan persoalan yang sulit baginya. Dan dalam beberapa hari didalam biliknya ia sudah mampu menyadap semua tata gerak yang pernah dikenalnya dan dikaji buruk baiknya bagi kemantapan ilmunya. Agung Sedayu sama sekali tidak merasa menyalahi perguruannya, karena Kiai Gringsing selalu memberikan kesempatan kepadanya untuk memperkaya ilmunya. Namun, meskipun demikian, Kiai Gringsing juga memberikan batasan, bahwa Agung Sedayu harus menyisihkan ilmu yang bersumber pada kekuatan hitam. Dan Kiai Gringsingpun telah memberikan ciri-cirinya kepadanya. Sehingga dengan demikian Agung Sedayu dapat menyingkirkan semua tata gerak yang sama sekali tidak menguntungkan bagi ilmunya dan bagi dirinya sendiri. Meskipun kedua saudara seperguruan murid Kiai Gringsing itu tidak bersepakat terlebih dahulu, namun keduanya telah bersama-sama tenggelam dalam peningkatan diri sesuai dengan kepribadian masing-masing. Di Sangkal Putung, Swandaru dengan tekad yang bergelora tengah menempa diri Kekuatan jasmaniahnya kian hari menjadi kian mapan dan bagaikan bertambah-tambah. Kadangkadang ia tidak lagi mempergunakan senjata pedangnya untuk meyakinkan kekuatannya. Tetapi Swandarupun telah membuat sebuah bindi yang berat.

Dengan senjata bindi, maka perisai sama sekali tidak akan berarti apa-apa bagi lawan-lawannya. Dengan kekuatannya yang sangat besar, maka perisai dari besipun dapat dirusakkannya dengan bindinya. Apalagi perisai yang dibuat dari kayu. Sesuai dengan cara masing-masing meningkatkan ilmunya, maka sarananyapun menjadi berbeda pula. Bahkan untuk memelihara agar tenaganya tetap utuh, Swandaru justru makan berlipat dari biasanya. Di malam hari setelah ia berlatih-latih mati-matian, maka iapun selalu mencari nasi dan lauk pauknya, sehingga Pandan Wangi yang kemudian menjadi terbiasa, tidak saja sekedar melayaninya berlatih, tetapi juga harus menyiapkan makan dan minumnya secukupnya. Didalam goa. Agung Sedayu mengalami keadaan yang agak berbeda. Ia justru telah terlibat dalam pemusatan pikiran dan indera, sehingga kadang-kadang ia lupa untuk keluar dari biliknya dan menanak nasi. Itulah sebabnya, maka makan dan minumpun justru menjadi terlantar. Tetapi Agung Sedayu tidak begitu memerlukannya. Ia tidak terlalu banyak mempergunakan tenaga wadagnya seperti Swandaru. Ia mempelajari langsung inti dari tata gerak yang akan berarti dalam pelontaran tenaga cadangannya. Dengan gerak yang sedikit, ia akan mampu melepaskan tenaga yang cukup besar. Bahkan kadang-kadang Agung Sedayu lebih banyak duduk bersila diatas sebuah batu dengan tangan bersilang. Sambil memejamkan matanya, ia mulai membayangkan dalam angan-angannya, latihan yang penuh dengan pelontaran tenaga. Semakin dalam ia tenggelam dalam pemusatan pikiran dan indera, maka latihan yang demikian menjadi semakin hidup didalam dirinya. Meskipun wadagnya tidak bergerak sama sekali, tetapi rasa-rasanya Agung Sedayu telah mematangkan setiap tata gerak dalam hubungan yang serasi dan meyakinkan. Namun demikian, meskipun Agung Sedayu hanya duduk diatas sebuah batu, namun dalam keadaan yang demikian, keringatnya mengalir diseluruh tubuhnya bagaikan sedang mandi. Dalam kesempatan yang lain. Agung Sedayu dengan sungguh-sungguh melatih ketajaman penglihatannya. Bahkan Agung Sedayu telah disentuh oleh perasaan yang lain dengan tatapan matanya. Itulah sebabnya, maka ia-pun telah mempergunakan waktu yang khusus bagi latihan matanya. Kadang-kadang ia duduk untuk waktu yang sangat lama sambil memandang sesuatu yang telah ditentukannya sendiri pada dinding bilik itu. Dalam remang-remang cahaya matahari yang masuk lewat lubang dilangit-langit bilik dalam goa itu, ia dapat melihat benda apapun juga. Bahkan dimalam hari matanya sudah mulai dapat menembus gelap pekat meskipun untuk jarak tertentu. Namun agaknya sesuatu telah terasa dalam getar sorot mata Agung Sedayu. Ia tidak saja melihat benda yang dipandanginya tanpa berkedip. Tetapi ia merasa seakan-akan ada sentuhan antara tatapan matanya dengan benda itu secara wadag. Dengan tekun Agung Sedayu memperhatikan gejala itu.

Kemudian dengan tekun pula, berdasarkan ilmu yang ada padanya, ia mencari perkembangan dari gejala yang diketemukan. Sentuhan yang bersifat wadag dari tatapan matanya itu semakin lama semakin terasa meskipun dalam hubungan yang tidak bersifat wadag. Itulah yang senantiasa dicari Agung Sedayu dalam latihanlatihannya yang semakin lama menjadi semakin berat. Namun ketika terasa sesuatu telah meyakinkannya, maka iapun kemudian meletakkan sebuah batu kecil diatas sebuah batu padas. Iapun kemudian duduk bersila sambil menyilangkan tangannya didadanya. Dengan tajam ia memandangi batu kecil itu. Semakin lama semakin tajam dan seolah-olah kemudian didunia tidak ada benda lain kecuali batu kecil itu. Agung Sedayu memusatkan segala pikiran dan inderanya kepada penglihatannya. Sentuhan yang bersifat wadag dari kekuatan yang tidak bersifat wadag itu semakin lama menjadi semakin terasa. Agung Sedayu dengan sepenuh hati mempelajari watak dari peristiwa yang dialaminya itu. Perlahan-lahan tetap yakin ia mencoba mempergunakan sentuhan yang bersifat wadag itu meskipun dengan sangat hati-hati. Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ternyata batu kecil itu mulai beringsut. Agung Sedayu menghentikan pengenalannya pada gejala baru dari ilmunya itu. Tetapi dengan demikian ia merasa, bahwa ia telah berhasil meningkatkan dasar-dasar yang pernah diterimanya dari gurunya dengan perkembangan yang agak jauh, meskipun mungkin gurunya sudah mengenalnya lebih dahulu, namun dengan sengaja tidak menunjukkanya kepadanya, agat ia mampu mencarinya sendiri. Demikianlah latihan-latihan itupun diulang-ulanginya. Batu yang digerakkannyapun semakin lama menjadi semakin besar. Bahkan kemudian Agung Sedayu menemukan gejala yang agak berbeda dalam perkembangannya. Dengan kekuatan matanya ia mampu memecahkan sebutir batu padas yang mulamula kecil saja. Tetapi semakin lama semakin besar. Karena itulah, maka Agung Sedayupun kemudian membagi waktunya sebaik-baiknya. Ia tidak melupakan latihan ketrampilan wadagnya. tetapi juga kekuatan-kekuatan yang ada didalam dirinya. Bahkan kekuatan matanya yang tidak bersifat hubungan wadag tetapi mempunyai sentuhan langsung yang bersifat wadag. Hari-hari menjadi terlalu pendek bagi Agung Sedayu. Namun sekali-sekali ia masih juga merangkak turun dan menyalakan api. Menjerang nasi dan air untuk sekedar memelihara tenaga jasmaniahnya agar tidak kehilangan keseimbangan, karena ia dalam ujudnya tidak akan dapat ingkar dari kodratnya. Bahwa untuk keutuhan jasmaninya ia harus makan dan minum. Jika didalam mengembangkan ilmunya, Agung Sedayu memilih tempat yang sepi dan tersendiri, agar pemusatan pikiran dan inderanya tidak terganggu, maka Swandaru berbuat sebaliknya. Semakin lama

sanggarnya menjadi semakin ramai. Beberapa orang yang harus membantunya menjadi bertambahtambah sejalan dengan perkembangan tenaga Swandaru yang semakin besar. Namun dalam saat-saat tertentu, Swandaru juga memerlukan keterasingan. Kadang-kadang Swandaru tidak mau diganggu oleh orang lain didalam Sanggarnya kecuali kehadiran Pandan Wangi, dan kadang-kadang Sekar Mirah bersama gurunya. Dengan demikian, maka perkembangan ilmu Swandarupun telah maju dengan pesat pula, sejajar dengan kemajuan ilmu Pandan Wangi sendiri, yang seolah-olah sekedar terdorong kuwajibannya. Tetapi dalam pada itu, Sekar Mirahpun telah berubah menjadi seorang yang semakin perkasa. Tongkatnya yang mengerikan itu, benar-benar akan mengumandangkan lagu maut ditangannya, jika ia berhadapan dengan lawan. Ternyata bahwa Ki Sumangkarpun telah menuntun satu-satunya muridnya dengan sungguh-sungguh. Ia tidak ingin cabang perguruannya menjadi pudar dan apalagi punah. Karena itu, maka muridnya, serendah-rendahnya harus memiliki kematangan ilmu seperti dirinya sendiri dalam perkembangannya nanti, sehingga bekal yang diberikannyapun haruslah mencukupi. Namun disamping tuntutan olah kanuragan, Ki Sumangkarpun selalu berusaha untuk memberikan warna yang lain pada watak dan sifat Sekar Mirah. Sedikit demi sedikit, ia berusaha untuk memberikan kesadaran kepada muridnya, bahwa yang penting didalam hidup ini, bukannya sekedar warna-warna meriah pada segi lahiriahnya saja. Itulah sebabnya seseorang kadang-kadang lebih condong mementingkan kehidupan rohaniahnya saja. “Kau tidak usah berbuat demikian,“ berkata Ki Sumangkar, “kau tidak usah mengasingkan diri untuk memusatkan segala perhatian kepada yang rohaniah. Bagimu, jika yang rohaniah dan jasmaniah itu mempunyai keseimbangan, maka agaknya sudah cukup memadai. Kau tetap hidup seperti yang kau hayati sekarang didalam ujud lahiriahnya, tetapi kau juga memelihara pendekatan diri kepada Yang Maha Kuasa, sehingga apa yang sudah kau miliki itu, kau sadari sepenuhnya, adalah kurnianya. Dengan demikian kau akan selalu mengucapkan terima kaisah dan tidak perlu didesak oleh keinginan yang tamak untuk memiliki yang bersifat lahiriah sematamata.” Jika guru memberikan petunjuk kepadanya, Sekar Mirah selalu mendengarkannya dengan sungguhsungguh. Sehari dua hari nasehat-nasehat itu selalu diingatnya. Tetapi dihari berikutnya, semuanya itu mulai kabur. Meskipun pada kesempatan lain, jika gurunya menasehatinya lagi, yang kabur itu menjadi jelas kembali. Namun ternyata bahwa watak dan sifat Sekar Mirah telah mencengkam jiwanya dengan kuat. Semua nasehat dan petunjuk, merupakan penghambat yang lemah. Meskipun ada juga pengaruhnya serba sedikit.

Tetapi Sumangkar tidak jemu-jemunya. Betapa tipisnya pengaruh kata-katanya, namun jika yang tipis itu setiap kali dipulaskannya, maka warna itu semakin lama akan menjadi semakin tebal juga. Dalam kesibukan itu, waktu terasa berjalan sangat cepat. Didalam ruang yang tertutup, didalam gelapnya malam, Agung Sedayu melihat bayangan bulan yang menyusup lewat lubang dilangit-langit. Dengan berdebar-debar Agung Sedayu mencoba melihat bulan itu, yang ternyata bahwa bulan hampir menjadi bulat. “Waktu itu terlalu cepat mendesakku,“ desisnya, “aku masih memerlukan lebih banyak lagi. Tetapi guru berpesan, agar aku kembali kepadepokan kecil itu saat purnama naik.” Bagaimanapun juga. Agung Sedayu tidak akan melanggar pesan gurunya. Meskipun jika perlu, ia akan mengulangi lagi memasuki mulut goa di tebing sungai yang curam itu. Namun, yang dilakukannya kemudian adalah memanfaatkan waktu yang sempit itu sebaik-baiknya. Dengan ketekunan yang semakin tinggi, ia berlatih terus. Kakinya menjadi semakin cepat, dan tanganyapun mampu bergerak sehingga seolah olah Agung Sedayu mempunyai sepuluh pasang tangan yang bergerak bersama-sama. Jika sepasang tangannya memegang senjata, maka yang sepasang itupun seolah-olah telah berubah menjadi sepuluh pasang senjata. Pada saat-saat terakhir. Agung Sedayu mulai dengan mempergunakan senjata ciri perguruannya. Setelah ia mampu mempergunakan apa saja yang ada sebagai senjatanya, maka latihan-latihan yang terakhir dan terberat adalah mempergunakan cambuknya. Agung Sedayu mengenal senjatanya seperti ia mengenal anggauta badannya sendiri. Ia tahu pasti, berapakah jumlah karah-karah besi baja yang melingkar pada juntai cambuknya, sehingga seolah-olah dapat menghitung, berapakah karah besi bajanya yang menyentuh tubuh lawan jika ujung cambuknya mengenai sasarannya. Dengan latihan yang hampir sempurna. Agung Sedayu mulai mencoba mempergunakan tenaga cadangannya yang tersalur lewat anggauta badannya dan bahkan lewat senjatanya, sehingga tenaga yang terlontar menjadi berlipat ganda. Bahkan dengan menyalurkan tenaga cadangannya senjatanyapun seolah-olah telah berubah pula menjadi senjata yang luar biasa kuatnya. Cambuknya yang terbuat dari janget tinatelon rangkat dengan karah-karah besi baja itu seolah-olah dapat berubah menjadi serat baja yang dianyam kuat sekali, sehingga dengan sepenuh tenaga yang tersalur, mampu membelah batu hitam. Dengan demikian, maka cambuk Agung Sedayu itupun telah mempunyai arti tersendiri. Cambuk itu bagaikan mempunyai kekuatan yang tidak dapat dijajagi. Namun dengan penuh kesabaran Agung Sedayu mengerti, bahwa bukannya cambuknya itulah yang telah berubah dan memiliki kekuatan-kekuatan tertentu yang dapat membantunya, namun kekuatan yang ada didalam cambuknya itu justru datang daripadanya. Tanpa kekuatan didalam dirinya, cambuknya adalah sekedar janget dengan karah-karah besi baja. Seperti cambuk yang sejak lama dimilikinya.

Tidak ada bedanya sama sekali. Ketika waktu semakin mendesaknya lagi. maka Agung Sedayu merasa bahwa latihan jasmaniahnya telah cukup. Yang akan dilakukannya kemudian adalah memperkuat kekuatan didalam dirinya. Juga kekuatan matanya yang mempunyai sentuhan bersifat wadag dengan kekuatan yang tidak bersifat wadag. Sejalan dengan usaha terakhir pada waktu yang sempit bagi Agung Sedayu itu. maka Swandaru yang meskipun tidak merasa dibatasi oleh waktu dan ruang, telah meningkatkan pula latihan-latihannya. Kekuatannyapun bagaikan telah berlipat. Seperti Agung Sedayu. maka setelah Swandaru mengalami mempergunakan berbagai macam senjata disaat-saat latihan, iapun akhirnya kembali kepada senjatanya sendiri. Cambuk bercincin besi baja pada juntainya. Dengan tenaga raksasa Swandaru merupakan orang yang sangat berbahaya dengan senjatanya. Rasarasanya ujung cambuknya akan merupakan buaian maut yang sulit dihindari. Namun agak berbeda dari Agung Sedayu, bahwa sentuhan ujung cambuk Swandaru adalah ayunan kekuatan tangan yang berpangkal pada tangkai cambuknya. Semakin kuat ayunan tangan Swandaru, maka semakin dahsyatlah ledakan ujung cambuk itu. Tetapi ternyata bahwa Swandaru tidak puas dengan karah-karah besi baja yang melingkar pada juntai cambuknya. Ia menganggap bahwa jarak cincin itu masih terlalu jarang. Karena itulah, maka ia telah memesan kepada seorang pandai besi yang terbaik untuk membuat karahkarah besi baja yang terbaik pula. “Sulit sekali,“ pandai besi itu menggeleng-gelengkan kepalanya, “memasang gelang-gelang kecil pada juntai cambuk itu harus bersama-sama saat membuatnya.” “Kau tentu mempunyai akal.” “Aku dapat memasang lempeng-lempeng baja yang kemudian ditempat melingkar pada juntai cambukmu,“ berkata pandai besi itu, “tetapi tentu tidak akan sekuat karah-karah baja yang merupakan cincin yang bulat.” “Terserahlah. Mungkin memang tidak sekuat karah-karah yang sudah ada.” Tetapi dengan lempeng-lempeng baja yang kau lingkarkan pada juntai cambuk itu diantara karah-karah yang terlalu jarang, maka ujung cambukku akan menjadi semakin berbahaya. Sentuhnya akan membelah kulit dan meremukkan tulang. Hanya orang-orang tertentu sajalah yang akan dapat melawan aku.” Pandai besi itu mengangguk-angguk. Dan iapun melakukannya seperti yang dikatakannya. Dibuatnya kepingan baja selebar jari. Kemudian kepingan baja itupun dilingkarkan seperti sebentuk cincin pada

juntai cambuk Swandaru meskipun tidak dapat melingkar seperti cincin karena ujung dan pangkalnya hanya sekedar berpaut dan tidak menyatu seperti karah-karah yang sudah ada yang memang berbentuk cincin. Tetapi seperti yang dikatakan oleh pandai besi itu, bahwa memasang karah-karah baja seperti itu, memang harus dilakukan pada saat cambuk itu dibuat. Demikianlah maka cambuk Swandaru menjadi lebih dahsyat lagi dengan kepingan-kepingan baja yang melingkari juntainya dibeberapa bagian diantara cincin-cincinnya. Ketika kepingan-kepingan itu telah terpasang, maka dengan serta merta Swandaru telah mencobanya. Ketika sebuah ledakan yang tidak terlalu keras terdengar dibelakang halaman pandai besi itu, maka robohlah tiga batang pisang sekaligus. Swandaru tersenyum. Katanya, “Aku hanya mengayunkan dengan sebagian kecil tanganku. Tetapi kepingan-kepingan baja itu telah membuat cambukku seakan-akan menjadi semakin tajam. Pandai besi itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia tersenyum ketika Swandaru melemparkan beberapa keping uang kepadanya. Disanggarnya Swandaru ingin mencoba mempergunakan cambuknya. Ia tidak dapat mempergunakan seorang lawan untuk meyakinkan kekuatan senjatanya, karena hal itu akan dapat membahayakan jiwanya. Karena itulah ia ingin mencoba betapa dahsyat ledakan cambuknya pada seekor binatang. “Tangkaplah seekor harimau,“ perintah Swandaru kepada para pengawal. “Bukanlah kalian dapat melakukannya dengan pasangan seperti yang sering kalian lakukan?” Para pengawalpun melakukan seperti yang diperintahkan oleh Swandaru. Dengan umpan seekor kambing, mereka menggali sebuah lubang didalam hutan. Di malam hari, mereka mendengar aum kemarahan yang menggapai-gapai dari dalam lubang yang dalam itu, sehingga merekapun yakin, bahwa mereka telah berhasil menangkap seekor harimau. “Biarlah ia tetap didalam lubang itu,” berkata Swandaru, “kita akan mengepungnya dan membiarkan ia meloncat naik.” “Maksudmu?” “Aku akan mencoba juntai cambukmu pada kulitnya yang liat itu.” Dipagi harinya, sekelompok pengawal dari Sangkal Putung telah berada didalam hutan. Atas perintah Swandaru mereka mengepung lubang perangkap itu dalam lingkaran yang agak besar. Ditangan mereka telah tergenggam senjata telanjang. Diantara para pengawal itu terdapat Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Sumangkar. “Taruhlah sebatang kayu, agar harimau itu sempat naik,“

perintah Swandaru. Beberapa orang pengawalpun kemudian memasukkan sebatang kayu yang sengaja dapat dipergunakan oleh harimau itu untuk memanjat naik. Seperti yang diharapkan, harimau itupun perlahan-lahan memanjat kayu yang tersandar pada lubang yang lelah mengurungnya semalam suntuk. Namun demikian kepalanya tersembul, maka terdengarlah aum kemarahannya karena ia melihat beberapa orang yang berdiri dalam sebuah lingkaran dengan senjata telanjang. Swandaru tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia-pun maju selangkah mendekati lubang itu. Dengan ujung cambuknya ia mengganggu harimau itu agar segera meloncat keluar dan menyerangnya. Sejenak harimau itu masih termangu-mangu. Namun gangguan juntai cambuk Swandaru membuatnya benar-benar semakin marah. Karena itulah, maka harimau itupun kemudian meloncat dengan liarnya sambil mengaum semakin keras. Swandaru meloncat surut. Iapun kemudian menyiapkan dirinya untuk melawan harimau itu dengan sungguh-sungguh. Ia ingin melihat, apakah juntai cambuknya akan mampu membelah kulit harimau itu. Harimau itu tidak menunggu lebih lama lagi. Ketika kemarahannya telah memuncak, maka iapun segera meloncat sambil menjulurkan kedua kaki depannya menerkam Swandaru yang berada dipaling dekat dihadapannya. Pada saat yang diperhitungkan itulah Swandaru meloncat kesamping. Kemudian dengan segenap kekuatannya ia mengayunkan cambuknya kearah punggung harimau yang menerkamnya itu. Terdengarlah sebuah ledakan yang dahsyat, disusul oleh aum harimau yang bagaikan membelah hutan itu.

Buku 102 ORANG-orang yang membuat lingkaran disekitar arena itu termangu-mangu sejenak. Mereka bagaikan dicengkam oleh peristiwa yang hampir diluar nalar. Ledakan cambuk Swandaru telah mengenai punggung harimau yang menerkamnya dan karah-karah besi baja dan kepingan-kepingan baja yang melingkar diantaranya ternyata telah berhasil menyobek kulit harimau itu, sehingga luka yang panjang telah menganga dipunggungnya. Ketika darah mulai mengalir dari luka itu, maka harimau itupun menjadi bagaikan gila. Perasaan sakit yang tiada taranya telah mencengkamnya. Namun agaknya ia tidak mau menyerah. Dengan garang ia menggeram, dan sekali lagi menyerang Swandaru dengan kedua kakinya yang terjulur kedepan, dengan kuku-kuku yang tajam runcing. Tetapi sekali lagi harimau itu terdorong surut. Sekali lagi cambuk Swandaru meledak, langsung mengenai kepala harimau itu. Harimau itu terjatuh dan berguling beberapa kali. Aumnya menghentak penuh kemarahan. Namun ledakan cambuk Swandaru bergema lebih keras. Dan harimau iru-pun menggeliat kesakitan. Disusul oleh ledakan sekali lagi, sekali lagi. Orang-orang Sangkal Putung berdiri mematung diseputar arena itu seperti orang yang sedang bermimpi. Mereka melihat luka yang silang melintang menyobek kulit harimau itu. Jalur-jalur yang panjang menganga sampai panjang. Mengerikan sekali desis Pandan Wangi memalingkan wajahnya ketika beberapa kali lagi Swandaru masih ingin meyakinkan kedahsyatan cambuknya. Ketika harimau itu menggeliat sekali lagi, maka Swandaru pun maju selangkah mendekatinya. Perlahan-lahan ia mengangkat cambuknya. Ia ingin meledakkan cambuknya untuk yang terakhir kali dan membunuh harimau itu sekaligus. Terdengarlah ledakan yang sangat keras bagaikan ledakan petir di langit. Dengan sepenuh tenaga cambuk Swandaru terayun dan mengakhiri perjuangannya melawan harimau itu dalam rangka menguji kemampuan tenaganya. Pada saat yang hampir bersamaan, didalam sebuah goa yarg sepi dan terpencil, telah terdengar pula ledakan yang sangat dahsyat mengguncang bagaikan gempa yang keras. Seonggok batu karang telah hancur pecah menjadi debu. Sesaat ruang didalam goa itu menjadi gelap, sehingga Agung Sedayu sendiri justru harus menutup hidungnya dengan telapak tangannya. Napasnya rasa-rasanya menjadi sesak oleh debu yang menghambur memenuhi ruangan yang diguncang oleh kedahsyatan kekuatan cambuk Agung Sedayu.

Ketika ruangan itu kemudian menjadi terang kembali, maka Agung Sedayu melihat kepingan-kepingan batu-batu padas yang berserakan berhamburan diseluruh ruangan. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam ia telah berhasil menyalurkan tenaga cadangannya sepenuhnya pada ujung senjatanya, sehingga ujung cambuknya yang lemas itu, telah mampu meremukkan seonggok batu karang yang keras. Sejenak Agung Sedayu berdiri termangu mangu kemudian satu-satu ia melangkah dan duduk diatas sebuah batu yang lain merenungi kepingan batu karang yang telah dipecahkannya. Ketika Swandaru dan pengiringnya berpacu kembali ke Sangkal Putung sambil membawa tubuh harimau yang terluka parah silang melintang itu. Agung Sedayu … … didalam biliknya. Sejenak ia masih duduk termangu-mangu. Tetapi ia sadar ... ... sudah sampai pada batas yang diberikannya … ... sebulan. Aku tinggal mempunyai waktu ... … , berkata Agung Sedayu kepada … tetapi aku kira semua yang penting sudah aku lakukan dan masih berharap bahwa aku akan mendapatkan kesempatan mematangkannya lain kali. Tetapi sekarang aku sudah berhasil membuka pintu dan memasukinya setiap saat yang aku kehendaki. Agung Sedayu mengusap keringat yang membasahi keningnya. Sejenak ia masih duduk … … sejenak kemudian iapun teringat bahwa sudah … … tidak turun dan menanak nasi. Karena itu, maka iapun perlahan-lahan … menuruni lubang sempit yang berbelok belok … … merangkak turun, ia selalu merasa seolah-olah ia sedang beristirahat barang beberapa saat dan melihat-lihat dam diU'a: lingkungan dinding goa. Ketika kemudian Agung Sedayu berada dimulut goa untuk mencari air, maka hampir diluar sadarnya ia memperhatikan cahaya matahari yang jatuh diatas dedaunan yang hijau rimbun ditebing sungai yang curam itu. Selembut angin yang berhembus menyusuri tebing sungai itu telah mengguncang dedaunan yang bergeser satu-satu diperapian cahaya matahari. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam ia sendiri kurang mengerti, kenapa ia senang sekali, memandang cahaya matahari yang jatuh didedaunan yang hijau segar. Sejenak Agung Sedayu mengambil nafas panjang sekali. Lalu melangkah kesungai membawa mangkuk yang dibuatnya dari pelepah upih. Seperti yang selalu dilakukannya, maka Agung Sedayupun kemudian menanak nasi dan menjerang air utuk minum. Agaknya kali yang terakhir karena dihari berikutnya ia harus kembali kepada gurunya di padepokan kecil yang telah dibangunnya. Agung Sedayu tiba-tiba telah dicengkam kerinduan kepada kemenakannya, Glagah Putih.

Ketika Agung Sedayu kembali kedaiam biliknya, ia masih ingin mempergunakan sisa waktu sebaikbaiknya. Setelah duduk merenung sejenak, maka mulailah ia dengan latihanlatihan terakhirnya bagi kekuatan-kekuatan yang diketemukannya didalam goa itu. Sejenak kemudian iapun telah duduk bersila diatas sebuah batu padas didalam ruangan. Kedua tangannyapun telah bersilang didadanya. Setelah mapan, maka mulailah ia memusatkan segenap pikiran, perasaan dan inderanya dalam pemusatan kekuatannya pada sorot matanya yang memiliki kemampuan sentuhan yang bersifat wadag. Beberapa saat kemudian Agung Sedayu teluh mulai dengan sentuhan-sentuhan sorot matanya meraba dinding ruangan itu. Ia sengaja tidak mempergunakan benda-benda lain, tetapi ia ingin mengetahui kekuatan rabaan sorot matanya pada dinding ruangan didalam goa itu. Sesaat kemudian nampak ketegangan telah mencengkam Agung Sedayu. Keringatnya mulai mengalir dikulitnya. Semakin lama nampak betapa ia telah tenggelam dalam pengerahan tenaga pada sorot matanya yang mempunyai sifat wadag itu. Dalam puncak kekuatannya, perlahan-lahan nampak goresan-goresan kecil pada dinding ruangan itu. Semakin lama menjadi semakin jelas. Sehingga akhirnya, goresan-goresan itu nampak sebagai retakretak yang menjalar pada dinding goa itu. Sesaat kemudian, dalam hentakkan kekuatannya. Agung Sedayu sadar, bahwa dinding goa itupun pula pecah dan sedikit demi sedikit batu-batu padas mulai berguguran. Kesadaran itulah, yang kemudian mulai menahan arus kekuatannya yang lebih dahsyat lagi. Itulah yang sebenarnya ingin diketahuinya, betapa jauhnya kekuatan matanya yang tidak bersifat wadag, tetapi mempunyai kekuatan yang bersifat wadag itu. Agung Sedayu menghentikan rabaan dan sentuhan kekuatan matanya dahsyat itu. Ia sengaja tidak menggunakan segenap kekuatannya, agar dinding, goa itu tidak menjadi rusak karenanya. Ketika ia sudah selesai dengan pemusatan kekuatannya, dan kemudian melapaskannya, terasa betapa kelelahan telah mencengkamnya. Namun perlahan-lahan ia bangkit dan berjalan mendekati guguran padas yang runtuh dari dinding goa itu. Retak-retak yang masih melekat pada dinding nampak tusukantusukan yang seolah-olah telah menghentak pada batu-batu padas itu. Perlahan-lahan Agung Sedayu pun meraba dengan tangannya. Debu yang tebalpun kemundian runtuh pula. Debu yang melekat pada dinding yang setiap saat bertambah-tambah tebal beberapa lapis. Namun, ketika tangannya meraba ditempat yang agak tinggi, pada bagian-bagian yang runtuh oleh sentuhan matanya, ketajaman alat perabanya telah menyentuh sesuatu. Itulah sebabnya, maka dengan berdebar-debar iapun mulai menghapus debu yang tebal pada dinding goa itu.

Agung Sedayu terkejut. Ia melihat beberapa buah lukisan yang lamat-lamat pada dinding goa itu, yang seakan-akan telah hilang tertutup oleh debu yang tebal. “Ilmu kanuragan,“ ia bergumam dengan wajah yang tegang. Agung Sedayu tidak sabar lagi. Ia melepas kain panjangnya yang dengan serta merta dikibas-kibaskan pada dinding goa itu untuk menghapus debu permukaan dinding goa yang luas. Dengan berdebar-debar Agung Sedayu kemudian mulai memperhatikan lukisan-lukisan itu. Dengan segera ia mengenal, ilmu itu adalah ilmu yang sedang ditekuninya di padepokannya bersama gurunya, Ki Waskita dan pamannya Widura. “Ilmu yang pernah diturunkan oleh ayah kepada kakang Untara dan yang pernah diterima oleh paman Widura,“ desisnya dengan hati yang berdebar-debar. Dengan tergesa-gesa, seolah-olah sedang dikejar oleh waktu yang semakin sempit, ia mulai menelusur ilmu itu dari permulaan. Sebagai seorang yang memiliki ilmu yang tinggi dalam tatarannya, serta orang yang serba sedikit telah pernah mengenal ilmu itu pula, maka Agung Sedayupun segera mengetahui pangkal dari pada ilmu itu. Dengan penuh gairah ia memperhatikan setiap tingkatan ilmu yang semakin lama menjadi semakin sempurna itu. “O, betapa dahsyatnya. Ilmu itu akan sampai pada unsur gerak yang paling tinggi. Dengan mengenal lukisan-lukisan ini, maka seseorang akan mendapat tuntunan unsur-unsur gerak dari ilmu itu sampai ketingkat terakhir.” berkata Agung Sedaya didalam hatinya, sementara ia melangkah terus mengelilingi dinding gua yang penuh dengan lukisan itu. Tingkat demi tingkat, dan semakin tinggi letak lukisan itu, semakin tinggi pula tingkat ilmu yang terlukis didinding goa itu. Beberapa tulisan yang terselip diantara lukisan-lukisan itu memberikan beberapa petunjuk yang semakin jelas, bahwa orang yang melukis itu dengan sengaja telah memberikan dasar-dasar ilmunya yang semakin meningkat dalam urutan yang paling wajar, sampai akhirnya tentu akan mencapai puncaknya. Akhirnya Agung Sedayu yang sudah memiliki ilmu puncak itu tidak sabar lagi. Iapun mempercepat langkahnya. Dengan bekal yang ada padanya, ia langsung dapat mengenali tingkatan ilmu yang terlukis pada dinding goa itu. Namun tiba-tiba langkahnya tertegun. Ia sudah sampai pada lukisan-lukisan yang semakin rumit. Untunglah bahwa ia pernah berusaha untuk mengenali dirinya sendiri lewat lukisan-lukisan yang pernah dibuatnya di Sangkal Putung. Dengan heran ia melihat, seolah-olah lukisan-lukisan itu telah terpancang pada dinding goa itu pula. “Secara naluriah aku mengikuti perkembangan ilmuku waktu itu dengan benar,” gumam Agung Sedayu. Dibantu dengan tangannya, ia mulai menelusur lukisan tata gerak dan sikap pemusatan tenaga dan

tenaga cadangan yang ada pada diri seseorang. Sikap puncak seperti yang baru saja dicapainya didalam goa itu. Bahkan ada satu lukisan itu menuntun seseorang kepada tingkatan yang lebih tinggi, yang seolah-olah tidak lagi dapat dicapai dengan tanpa melepaskan diri dari kewadagan. Agung Sedayu benar-benar menjadi tegang. Ia melihat arah ilmu itu pada suatu tingkatan yang paling … dan penuh rahasia. Ia melihat seseorang mulai dengan tata gerak halusnya tanpa menyertakan ujud wadagnya -i;k melakukan sesuatu yang bersifat wadag. Seperti rabaan sorot matanya. Namun lebih luas dan tinggi. Bukan saja sorot matanya, tetapi seluruh dirinya yang harus melepaskan diri dari dirinya yang bersifat wadag, meskipun untuk tujuan yang bersifat wadag pula. Agung Sedayu benar benar menjadi berdebar-debar, ia memperhatikan lukisan itu satu-satu. Namun semakin lama menjadi semakin berdebar-debar. Diujung lukisan itu, ia melihat retak-retak dinding goa yang bahkan sebagian permukaan telah dirontokkan dengan tatapan matanya. “Puncak ilmu ini ada diujung itu,“ desis Agung Sedayu yang menjadi ragu ragu. Bahkan kemudian kakinya bagaikan tidak mau melangkah lagi oleh kecemasannya sendiri. Dinding itu telah runtuh disebagian kecil oleh kekuatan sorot matanya, justru pada bagian-bagian yang terpenting dari lukisan itu. Agung Sedayu belum sempat mempelajari dengan teliti lukisan-lukisan yang ada didinding itu. Tetapi pengamatannya yang tajam telah dapat manangkap, bahwa sikap yang nampak pada lukisan didinding akan sampai pada suatu puncak ilmu yang sulit untuk dicapai, meskipun dengan dasar yang ada padanya, akan dapat dipelajarinya. Selangkah Agung Sedayu maju. Tangannya masih meraba lukisan-lukisan pada dinding goa itu. Ia mulai melihat sikap yang mapan untuk sampai pada tingkat ilmu tertinggi dari cabang perguruan ayahnya sendiri. Tetapi ketika ia maju selangkah lagi, hatinya bagaikan rontok oleh kekecewaan yang memuncak. Dinding goa itu sudah retak, dan lukisan-lukisan yang terpahat pada dinding itu telah ikut rontok pula. Justru tepat pada sikap puncak dari ilmu cabang perguruan yang sedang diamatinya, cabang perguruan ayahnya sendiri. Kekecewaan yang tajam telah menusuk jantungnya, jika saja lukisan itu masih ada, ia akan mendapat tuntunan untuk mempelajarinya lebih jauh. Meskipun ia telah sampai pada puncak ilmunya sendiri, tetapi agaknya masih ada selapis yang lebih tinggi yang dapat dipelajarinya dari lukisan-lukisan yang terdapat didinding gua itu. Tetapi kaki Agung Sedayu bagaikan menjadi tidak berdaya sama sekali. Ketika terpandang olehnya bagian-bagian dari lukisan itu yang patah dan pecah karena reruntuhan dinding goa itu. “O,” Agung Sedayu tiba-tiba saja telah terduduk dengan lemahnya, “aku telah merusak peninggalan yang tidak ternilai harganya ini.” Kekecewaan penyesalan dan berbagai macam perasaan telah bercampur-baur didalam dirinya. Ia

merasa telah kehilangan barang yang paling berharga. Yang dicarinya dan belum pernah diketemukaanya. Tetapi kemudian dengan penuh kesadaran ia melihat yang belum diketemukan itu telah hilang. Penyesalan yang menghentak dadanya itu bagaikan telah menghisap semua kekuatan tubuhnya. Ilmunya yang dahsat tidak berarti sama sekali untuk melawan kekecewaan didalam diri. Bahkan dengan geram ia menyesali diri. Betapa sombongnya aku. Kenapa aku telah mencoba memecahkan dinding padas itu? Kenapa aku tidak mempergunakan batu-batu atau sasaran lain, selain dinding goa? Kini aku telah membuat kesalahan yang tidak bisa terampuni. Agung Sedayu menutup kedua belah matanya. Yang hilang itu tidak akan dapat diketemukannya lagi. Untuk beberapa saat Agung Sedayu terduduk dengan lemahnya menyesali dirinya. Terasa matanya menjadi panas, dan seakan-akan ia telah menutup pintunya sendiri bagi ilmu yang lebih sempurna. Sekilas ia memandang dinding goa itu sekali lagi. Matanya yang tajam dapat melihat goresan-goresan halus yang tidak begitu dalam pada dinding gua itu. Memang tidak begitu jelas. Apalagi setelah tertutup debu bertahun-tahun lamanya. Lukisan itu benar-benar telah …. Agung Sedayu menemukan kembali lukisan … tertutup debu itu … setelah ia menemukan pula harapan terakhir. Bagian yang terpenting. Yang ada itu tidak berarti apa-apa lagi b il n tiba-tiba Agung Sedayu menggeram, "Aku sudah mencapai tingkat ilmu sejajar dengan ilmu tertinggi ilmu yang masih tersisa pada dinding goa itu. Meskipun dari cabang perguruan yang lain, namun aku yakin bahwa tingkat itu sudah aku capai. Tanpa peningkatan lagi, maka lukisan-lukisan itu sudah tidak akan ada artinya apa-apa lagi. Daripada ilmu itu diketemukan oleh orang lain, yang mungkin akan dapat disalah gunakan, maka sebaiknya, lukisan itu aku hancurkan saja sama sekali.” Agung Sedayu tiba-tiba saja bagaikan menemukan kembali kekuatannya. Dengan hati yang geram ia meloncat berdiri. Dengan kaki renggang dan tangan bersilang didada, ia mulai mempersiapkan diri. Ia ingin menghapus semua lukisan yang ada dengan tatapan matanya. Namun tiba-tiba saja seolah-olah ia melihat Glagah Putih melintas dihadapan matanya. Seolah-olah ia melihat anak muda itu mencoba mencegahnya dan bertanya, “Apakah aku tidak berhak ikut mewarisinya ?” Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Bayangan Glagah Putih mulai bermain diangan-angannya.

“Kasihan anak itu,“ desis Agung Sedayu, “iapun berhak mewarisi ilmu itu seperti aku dan kakang Untara. Adalah tidak adil jika aku merusak seluruhnya. Bahwa aku telah mematahkan puncak ilmu itu, adalah benar-benar suatu kecelakaan.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi dipandanginya dinding goa yang runtuh itu. Justru pada tingkat ilmu yang tertinggi. Namun tiba-tiba sorot matahari yang tersisa menerobos masuk pada lubang dilangit-langit goa itu, seolah-olah ia melihat sorot yang ajaib bagi dirinya. Ia sadar, bahwa sorot itu adalah sorot matahari. Sorot yang memancar dari benda langit yang masih tetap menjadi rahasia. Mungkin seseorang masih akan dapat mencari beberapa unsur kejelasan mengenai matahari itu sendiri. Tetapi dalam hubungan yang utuh dari seluruh isi langit, maka manusia bagaikan berhadapan dengan rahasia yang maha besar dan tidak terungkapkan. Dan kini, kesadaran itulah yang telah menikam jantung Agung Sedayu. Dalam alam yang kecil inipun ia masih harus menjumpai rahasia yang tidak terungkapkan. Batas yang diperkenankan dicapainya adalah batas yang masih ada. Seolah olah sorot matahari itu sudah memperingatkannya. bahwa memang belum waktunya baginya untuk mengetahui rahasia tertinggi dari ilmu itu Rahasia yang untuk sementara masih diselubungi oleh batasan dari Sumber segala yang ada. “Ternyata bahwa kesempatan bagiku masih selalu dibatasi oleh kekuasaanNya,” berkata Agung Sedayu. Dengan demikian ia justru merasa telah bersalah bahwa ia hampir saja kehilangan akal karena puncak ilmu yang tidak dapat dicapainya itu. Hampir saja ia melupakan keterbatasannya sebagai manusia yang tidak lebih dari debu dalam imbangan seluruh alam. “Betapa sombongnya aku,“ desisnya, “yang sudah aku capai rasa-rasanya masih selalu kurang tanpa pernyataan terima kasih sama sekali dari Sumber Kurnia ini. Seharusnya aku berlutut dan mengucapkan terima kasih bahwa aku telah mencapai sesuatu yang sangat berharga. Bukan sebaliknya mengumpati diri sendiri dengan tamaknya.” Agung Sedayupun kemudian mencoba mengendapkan hatinya, betapapun kekecewaannya kadangkadang masih terasa menyentuh perasaannya. Namun kemudian ia justru duduk sambil menyilangkan tangannya. Ia merasa wajib untuk mengucapkan sukur kepada Yang Maha Kasih, yang lelah memperkenankannya membuka pintu bagi pencapaian ilmunya yang semakin meningkat. “Bahwa aku masih belum diperkenankan mencapai tingkatan ilmu yang tertinggi, itu memang masih belum waktunya,” berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri. Dengan demikian, Agung Sedayu dapat sekedar mengobati kekecewaannya dengan pengakuannya atas kekecilan dirinya sendiri dalam hubungannya dengan alam yang besar dan apalagi dengan

penciptanya. Dengan pengakuannya itu, maka Agung Sedayu merasa bahwa yang perlu dilakukannya didalam goa itu memang sudah cukup. Tepat dalam jarak waktu yang diberikan oleh gurunya, ia dapat menyelesaikan pencapaian yang panjang dari bagian terakhir yang paling sulit. Bahkan ia telah sampai pada pencapaian yang penting, dengan kemampuannya mempergunakan tenaga yang tidak bersifat wadag dalam sentuhan yang bersifat wadag. Dalam pada itu, Swandaru Geni yang berlatih dengan gigihnya, telah mencapai tingkatan yang lebih tinggi pula dalam oleh kanuragan meskipun dalam segi yang berbeda dengan Agung Sedayu sesuai dengan perhatiannya terhadap keadaan disekitarnya. Ia menjadi seorang yang tangkas seperti kijang, tetapi kuat seperti seekor gajah. Senjatanya yang mendapat sedikit tambahan pada juntainya, merupakan senjata yang sangat berbahaya, karena setiap sentuhan akan dapat merobek kulit daging. Jangankan kulit daging seseorang, bahkan seekor harimaupun tidak dapat menahan goresan juntai cambuk yang menyobek kulitnya. Menjelang malam purnama naik, Kiai Gringsing duduk dipendapa padepokan kecilnya bersama Ki Waskita. Glagah Putih masih sibuk dibelakang menyalakan lampu yang akan dipasang diregol dan pendapa padepokan itu. “Hari ini adalah hari terakhir yang aku berikan kepada Agung Sedayu,“ berkata Kiai Gringsing. Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan Agung Sedayu tidak salah hitung atau tenggelam dalam kesibukan sehingga ia tidak ingat lagi akan waktu. Jika ia menyadari saat ini, maka ia tentu akan datang tepat pada waktunya.” Kiai Gringsing mengangguk angguk. Katanya, “Agung Sedayu adalah anak yang patuh. Aku percaya, jika tidak ada halangan apapun juga, ia akan datang hari ini, selambat-lambatnya akhir malam nanti.” Ki Waskitapun mengangguk-angguk. Agung Sedayu bukannya orang yang biasa mengabaikan perintah. Dalam pada itu, Agung Sedayu memang sudah berkemas meninggalkan bilik didalam goanya. Ketika ia menengadahkan wajahnya, maka lubang dilangit-langit bilik itu sudah menjadi buram. Perlahan-lahan Agung Sedayupun kemudian meninggalkan bilik itu dengan hati yang berat. Seolaholah ia masih ingin tinggal lebih lama lagi. Tetapi tidak dapat mengabaikan perintah gurunya, bahwa waktu yang sebulan itu sudah lalu. Sekali lagi ia merangkak keluar dari lubang yang panjang dan berkelok-kelok turun kejalur goa. Kemudian membenahi barang barang yang masih akan dibawanya kembali. Beberapa lembar pakaian. Ketika Agung Sedayu melangkah keluar dari mulut goa, terasa kakinya bagaikan menjadi lemah, seperti juga otot-ototnya yang terasa letih sekali. Ternyata selama didalam goa, Agung Sedayu telah memeras semua tenaga yang ada, sedangkan ia

hampir tidak menghiraukan makan dan minumnya. Bekal yang dibawanya, yang memang kurang mencukupi itu, ternyata justru masih tersisa. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa ketekunannya berlatih telah membuatnya kadang-kadang lupa kepada wadagnya, kepada tubuhnya, sehingga baru disaat terakhir terasa betapa sebenarnya lemahnya badannya. Tetapi ternyata bahwa kekurangan bagi tubuhnya itu tidak mempengaruhi latihan-latihan yang dilakukannya. Seolah-olah ia mendapatkan kekuatan yang lain kecuali kekuatan tubuhnya semata-mata. Dan ternyata bahwa ia telah dapat mempergunakan sebaik-baiknya. Setelah semuanya selesai, maka Agung Sedayupun kemudian bersiap-siap untuk meninggalkan goa itu. Dengan ragu-ragu ia melangkah. Namun rasa-rasanya langkahnya menjadi semakin berat. Ketika sekali lagi ia berhenti dan berpaling, maka dilihatnya wajah goa itu telah disaput oleh gelapnya malam. Namun dalam pada itu cahaya yang kekuning-kuningan mulai me … … ; Bulan yang bulat telah timbul dari balik cakrawala. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan taadpinyn yang lemah ia berjalan membawa sebungkus kecil pakaiannya menyusur tebing sungai yang curam. Dalam perjalanan kembali kepadepokan, mulailah Agung Sedayu membayangkan masa lampaunya. Ia memang heran bahwa dimasa kanak-kanak ia sudah pernah datang ketempat itu bersama kakaknya, Untara. Itu adalah sesuatu yang menimbulkan berbagai pertanyaan. “Agaknya dengan sengaja ayah menunjukkan tempat ini. Ayah dengan sengaja mendorong kakang Untara dan yang kebetulan aku waktu itu mengikutinya, pergi kemulut goa ini, karena didalamnya justru terdapat tuntunan ilmu yang mencapai tingkat tertinggi itu,“ berkata Agng Sedayu kepada diri sendiri, “tetapi kenapa ayah tidak berterus terang, sehingga sampai pada akhir hayatnya, ayah tidak sempat memberitahukan sesuatu mengenai isi goa itu?” Tetapi pertanyaan itu akan tetap menjadi pertanyaan. Bahkan Agung Sedayupun menjadi ragu-ragu, apakah ayahnya juga mengetahui bahwa didalam goa itu ada lukisan-lukisan pokok-pokok tata gerak dan sikap dari ilmu yang dimiliki oleh ayahnya itu. Agung Sedayu termangu-mangu. Rasa-rasanya lukisan-lukisan itu memang belum pernah disentuh oleh seseorang untuk waktu yang lama sekali. Menilik tataran ilmu kakaknya, maka tentu Untarapun belum pernah melihat lukisan-lukisan ilmu didalam goa itu. “Rahasia yang sulit untuk dipecahkan,“ gumam Agung Sedayu kepada diri sendiri. Karena itulah, maka untuk sementara Agung Sedayu ingin menyimpan rahasia itu di dalam hatinya,

“Mungkin pada suatu saat ia dapat menemukan jalan pemecahan yang dapat mengungkap ruang didalam goa itu.” Dalam pada itu, ketika ia mulai mendaki tebing, terasa tubuhnya manjadi letih sekali. Dengan demikian ia semakin menyadari, betapa keterbatasannya sebagai makhluk yang sangat kecil itu. Betapapun tingginya pencapaian ilmu seseorang, namun ia tetap merupakan mahkluk yang dibatasi oleh kodratnya. “Agaknya aku terlalu tekun berlatih, sehingga aku melupakan wadagku,“ desis Agung Sedayu. Demikianlah, maka iapun mulai berangkak-rangkak naik keatas tebing yang curam. Keletihannya terasa sangat mengganggunya. Meskipun karena tekadnya dan latihanlatihan yang pernah dilakukan, maka akhirnya ia dapat mengatasi kesulitan itu. Dengan bantuan cahaya bulan bulat dilangit ia melihat dengan jelas, tebing yang curam dengan batu-batu padas yang menjorok. Di bawah kakinya, nampak mengalir air yang bening memantulkan cahaya bulan yang jauh pada aliran riak yang keputih-putihan disela-sela batu-batu yang besar. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan tatapan mata yang redup, seakan-akan ia mengucapkan selamat tinggal kepada sungai, tepian dan tebing yang curam itu. Perlahan-lahan Agung Sedayupun kemudian melanjutkan perjalanannya kesebuah padepokan kecil diluar Kademangan Jati Anom. Padepokan yang belum lama dibangunnya bersama Kiai Gringsing, Glagah Putih dan dibantu oleh Ki Waskita, dengan tenaga dan bahan-bahan yang dikirim oleh kakaknya, Ki Untara dan pamannya Ki Widura. Tetapi Agung Sedayu masih harus melintasi hutan yang meskipun tidak begitu lebat, tetapi cukup memperlambat langkahnya yang kelelahan dan lemah. Untunglah bahwa didalam hutan itu ia tidak menemukan gangguan apapun juga. Seandainya ia bertemu dengan binatang buas diperjalanannya, maka ia harus mengerahkan tenaga dan kemampuannya pada saat wadagnya tidak memungkinkan. “Mungkin aku dapat melawannya,” berkata Agung Sedayu didalam hati, “tetapi aku tentu akan kehabisan tenaga sama sekali, sehingga perjalananku menjadi semakin lambat.” Namun Agung Sedayu ternyata dapat meninggalkan hutan itu tanpa rintangan apapun juga. Ia mendengar juga aum harimau dikejauhan. Tetapi agaknya harimau itu tidak mencium baunya dan tidak mengganggu perjalanannya. Agung Sedayu masih mempunyai waktu semalam untuk mencapai padepokannya, meskipun dengan demikian ia sudah melampui batas waktu meskipun hanya sedikit. Tetapi agaknya gurunyapun membatasi waktunya sampai menjelang pagi. Perjalanan Agung Sedayu bukannya perjalanan yang terlalu panjang. Karena itu, betapa letih dan lemahnya, ia masih mampu untuk menempuh perjalanan kembali kepadepokan meskipun memerlukan

waktu yang cukup lama. Semakin dekat Agung Sedayu dengan padepokannya, ia menjadi semakin berdebar-debar. Banyak yang akan dapat disampaikan, kepada gurunya, hasil dari saat-saat ia mengasingkan diri. Pencapaian tingkat ilmu yang lebih tinggi akan menggembirakan hati gurunya. Juga bentuk-bentuk yang lain dari berbagai macam sikap dan tata gerak akan menumbuhkan kemungkinan-kemungkinan yang lebih luas padanya dimasa depan. Namun hatinya masih juga berdebar-debar jika ia mengenang lukisan-lukisan pada dinding ruang didalam goa itu, yang justru telah hilang bagian yang terpenting dan tertinggi. Demikianlah, akhirnya Agung Sedayupun telah menelusuri jalan yang langsung menuju kepadepokannya. Jalan yang tidak begitu lebar dan masih terlalu sepi. Apalagi dimalam hari. “Tetapi aku tidak kembali dengan tangan hampa,“ berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri. Langkahnya terhenti sejenak, ketika dari kejauhan ia melihat lampu obor diregol padepokannya yang kecil. Padepokannya yang baru ditinggalkan tidak lebih dari satu bulan, tetapi rasa-rasanya sudah terlalu lama. Apalagi padepokan itu memang padepokan yang masih baru baginya. Langkahnya jadi semakin berat, semakin ia mendekati pintu regol. Karena itu, ketika ia telah berdiri diluar pintu, maka sekali lagi ia terhenti sejenak mengatur pernafasannya. Badannya memang terasa sangat letih dan lemah. Dengan ragu-ragu iapun kemudian mendorong pintu regol padepokannya. Ternyata pintu itu tidak diselarak, hingga iapun dengan mudah dapat membukanya. Namun ketika ia melangkah masuk, terasa dadanya menjadi berdebar-debar. Ternyata ia masih melihat dua orang duduk dipendapa, menghadapi lampu minyak yang masih menyala, mangkuk minuman dan beberapa potong makanan. “Guru masih bangun. Agaknya dengan sengaja ia menunggu kedatanganku bersama Ki Waskita, ternyata dari persediaan yang ada.” katanya didalam hati. Dalam pada itu, Kiai Gringsing yang sengaja menunggu kedatangannya bersama Ki Waskita, seperti yang diduganya, sengaja duduk dipendapa berdua sambil berbincang-bincang panjang lebar. Mulamula Glagah Putih ikut bersama mereka. Ialah yang menyediakan minuman dan makanan, karena ia sendiri ingin ikut serta. Tetapi iapun ternyata letih dan kantuk, sehingga iapun telah tertidur disudut pendapa itu juga. Ternyata gerit pintu regol itu telah didengar oleh kedua orang tua yang ada dipendapa. Ketika mereka

memperhatikan keremangan bayangan regol halaman, maka mereka sudah melihat sesosok tubuh yang perlahan-lahan memasuki halaman. Kiai Gringsing bergeser setapak, sementara Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Kedua orang tua itu memperhatikan sesosok yang berjalan tertatih-tatih melintasi cahaya bulan yang jatuh dihalaman. “Ki Waskita,” desis Kiai Gringsing. “Aku melihat kekurangan pada anak itu.” “Nampaknya ia lemah sekali,” sahut Ki Waskita. Keduanya yang semula ingin menunggu saja dipendapa, kemudian merubah niatnya. Dengan tergesagesa keduanyapun kemudian bangkit berdiri dan menyongsong turun kehalaman. “Agung Sedayu,” desis Kiai Gringsing. Agung Sedayu mencoba tersenyum. Tetapi rasa-rasanya kepalanya menjadi pening, sehingga langkahnyapun menjadi semakin lamban. “Kenapa kau? “ bertanya Kiai Gringsing sambil menangkap lengannya, sementara Ki Waskita memegang lengannya yang lain. Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ia mencoba menenangkan hatinya dan mengatur perasaannya. Tetapi Kiai Gringsing adalah orang yang cukup berpengalaman. Rabaan tangannya segera memberikan kesan kepadanya, kekurangan yang ada pada muridnya. Dan agaknya demikian juga pada Ki Waskita. Tangannya yang memegang lengan Agung Sedayu segera memberi tahukan kepadanya, bahwa tubuh Agung Sedayu menjadi sangat kurus dan lemah. Keduanyapun kemudian memapah Agung Sedayu naik kependapa dan didudukkannya diatas tikar yang putih. Kiai Gringsingpun kemudian menuangkan minuman yang sudah agak dingin pada mangkuk Glagah Putih dan kemudian memberikan kepada Agung Sedayu, “Minumlah. Kau letih sekali.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian menerima mangkuk itu. Namun rasarasanya tangannya menjadi gemetar. Dengan dibantu oleh Kiai Gringsing, maka Agung Sedayupun kemudian minum beberapa teguk. Meskipun minuman itu sudah tidak lagi cukup panas, tetapi masih memberikan kesegaran pada tubuhnya. “Makanlah,“ desis Ki Waskita sambil memberikan beberapa potong makanan kepada Agung Sedayu yang letih. Hampir diluar sadarnya, Agung Sedayupun kemudian mengambil sepotong makanan dan dengan

tangan yang gemetar, iapun segera menyuapi mulutnya yang terasa menjadi tegang. Kiai Gringsing dan Ki Waskita masih belum bertanya sesuatu. Tetapi seolah-olah mereka sudah dihadapkan pada peristiwa yang dapat diketahuinya dari ujung dan pangkalnya. Agung Sedayu tentu terlalu tekun melatih diri, sehingga ia melupakan kebutuhan jasmaniahnya. Kekurangan makan dan minum akan membuat tubuhnya menjadi lemah dan letih betapapun tinggi ilmu seseorang. Yang dapat dilakukan adalah membiasakan diri mengurangi makan dan minum. Tetapi pada batas-batas tertentu bagi kemampuan daya tahan wadagnya, karena makan dan minum adalah kebutuhan mutlak menurut kodratnya. Setelah minum beberapa teguk dan makan sepotong makanan, maka Kiai Gringsing mulai bertanya kepada muridnya tentang keselamatannya selama dalam perjalanan yang dilakukannya tepat sampai batas terakhir yang diberikan kepadanya. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Minum yang seteguk dan makanan yang sepotong, rasarasanya telah memberikan pengaruh kepada tubuhnya. Perlahan-lahan Agung Sedayu bergeser sambil mencoba menjawab pertanyaan gurunya tentang keselamatannya. “Kau kurus sekali,“ berkata Kiai Gringsing, “waktu yang sebulan telah melarutkan kulit dagingmu.” Agung Sedayu menundukkan kepalanya. “Aku dapat menebak apa yang kau lakukan. Kau tidak sempat, atau kurang memperhatikan wadagmu. Sebelum aku bertanya tentang peningkatan ilmumu selama kau dalam perjalanan, maka kesan yang aku lihat pertama-tama adalah ketidak seimbangan antara kemauanmu untuk mencapai sesuatu dengan pemeliharaan jasmanimu yang merupakan ujud dari dirimu, karena kau bukanlah Agung Sedayu tanpa wadagmu.” Agung Sedayu hanya menundukkan wajahnya saja. Ia menyadari bahwa keseimbangan itu memang kurangi dipeliharanya. “Itu bukan berarti bahwa kau harus memanjakan wadagmu semata mata. Tetapi wadagmu terdiri dari tulang dan daging yang memerlukan pemeliharaan yang cukup. Kau memang dapat menguranginya dengan latihan-latihan tersendiri, tetapi dalam lintas-lintas yang tidak akun dapat kau lampaui.” “Ya guru,” jawab Agung Sedayu, “kemudian aku menyadari. Dan aku telah mengalami akibatnya. Selanjutnya aku akan dapat selalu mengingatnya.” “Baiklah,“ berkata Kiai Gringsing, “tentu banyak yang dapat kau ceriterakan selama perjalananmu yang pendek itu. Mungkin kau hanya sekedar berjalan saja sebulan penuh.

Mungkin kau berhenti ditempat-tempat tertentu. Atau mungkin kau mengalami benturan kekerasan dengan binatang buas atau menolong orang-orang yang mengalami kesusahan. Tetapi nampaknya kau masih terlampau lemah sekarang ini. Aku tahu, bahwa kelemahanmu itu justru menunjukkan kesungguhanmu. Tetapi ketidak seimbangan itu tidak menguntungkanmu,“ Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu. “sekarang, beristirahatlah. Minumlah beberapa teguk lagi, dan makanlah satu atau dua potong makanan. Kemudian kau mencuci kaki dipakiwan dan beristirahatlah. Aku tidak tergesa-gesa untuk mendengarkan ceriteramu yang panjang.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian minum lagi beberapa teguk dan makan sepotong makanan. Ia sadar, dalam keadaan yang demikian, ia tidak boleh makan terlalu banyak, agar perutnya tidak terganggu karenanya. Seperti yang dipesankan gurunya, maka ia tidak akan menceriterakan pengalamannya saat itu. Ia memang ingin beristirahat menjelang matahari terbit. Namun dalam pada itu, Glagah Putih yang tertidur disudut pendapa ternyata telah terbangun oleh pembicaraan mereka. Karena itu, ketika ia melihat Agung Sedayu, iapun segera melompat dan dengan tergesa-gesa mendekatinya. “Jangan kau ganggu dahulu kakakmu,“ berkata Ki Waskita, “ia masih terlalu lemah.” Glagah Putih yang mula-mula tidak memperhatikan keadaan Agung Sedayu, mencoba mengamatinya. Dan iapun kemudian dapat melihat dalam cahaya lampu minyak, bahwa Agung Sedayu memang nampak kurus dan pucat. “Apakah kau sakit kakang? “ bertanya Glagah Putih. Agung Sedayu menggeleng. Katanya dalam nada datar, “Aku sehat-sehat saja.” “Tetapi kau kurus dan pucat.” Agung Sedayu mencoba tersenyum betapapun kecutnya. “Biarlah kakakmu kepakiwan,“ potong Kiai Gringsing ketika ia melihat Glagah Putih masih akan bertanya berkepanjangan. Glagah Putih menarik nafas panjang. Tetapi iapun kemudian membiarkan Agung Sedayu melangkah

perlahan-lahan menuju kepakiwan. Minuman yang diteguknya telah memberikan sedikit kesegaran pada tubuhnya, sehingga meskipun kadang-kadang ia masih harus berpegangan batang-batang perdu dikebun belakang, namun iapun sempat membersihkan diri dan kemudian memasuki ruang dalam langsung kebiliknya. Meskipun bilik itu sudah ditinggalkannya sebulan, agaknya Glagah Putih telah memeliharanya dengan rapi, sehingga ketika ia memasukinya, seolah-olah ia berada pada suasana sebelum ia meninggalkan padepokan kecilnya. Setelah berganti pakaian, maka Agung Sedayupun mencoba membaringkan dirinya dipembaringan. Terasa alangkah nikmatnya. Punggungnya yang bagaikan retak, rasa-rasanya dapat menjadi lurus dan pulih kembali. Dengan berbaring ia dapat mengatur pernafasannya dan keadaan tubuhnya yang letih sekali. Setelah beberapa lama ia berada didalam goa, duduk dan bersandar batu-batu padas yang keras, maka pembaringannya segera memberikan suasana yang lain dan nyaman. Itulah sebabnya, maka kesadarannyapun segera menjadi kabur. Sesaat kemudian Agung Sedayu itupun telah tertidur nyenyak. “Anak itu agaknya letih sekali,“ gumam Kiai Gringsing yang ternyata telah duduk dipendapa semalam suntuk bersama Ki Waskita, karena ternyata sejenak kemudian langit diujung Timurpun telah menjadi kemerah-merahan. “Aku akan mengambil air,” desis Glagah Putih. “Masih terlalu pagi.“ sahut Kiai Gringsing. “Tetapi disaat-saat begini aku tidak akan dapat tidur lagi.” Glagah Putih tidak menunggu jawaban Kiai Gringsing. Iapun segera pergi kesumur, mengambil air untuk mengisi jambangan dipakiwan dan didapur. Sementara itu. Kiai Gringsing dan Ki Waskita justru memasuki biliknya masing-masing. Meskipun mereka tidak akan tidur menjelang fajar, namun merekapun masih sempat membaringkan dirinya dipembaringan. Ketika derit senggot terdengar semakin keras, maka Kiai Gringsingpun telah bangkit pula dari pembaringannya. Seperti biasa iapun mengambil sapu lidi, dan seperti biasanya pula ia membersihkan halaman depan, sementara Ki Waskita mulai membersihkan longkangan. Padepokan kecil itu rasa-rasanya telah mulai bangun. Namun diantara penghuninya masih ada yang tidur dengan nyenyaknya, seolah-olah tidak menghiraukan orang-orang lain yang sudah mulai sibuk dengan kerjanya sehari-hari.

Tetapi Kiai Gringsing memang membiarkan Agung Sedayu tidur sepuas-puasnya. Dengan demikian maka keadaan tubuhnya akan menjadi bertambah baik setelah dengan sungguh-sungguh ia melatih diri selama sebulan. Glagah Putih yang sedang menimba air, tidak henti-hentinya bertanya kepada diri sendiri, apakah Agung Sedayu sedang menderita sakit. “Tetapi nampaknya ia memang sakit. Pucat, kurus dan lemah sekali.” Glagah Putih mencoba menjawabnya. Demikian nyenyaknya Agung Sedayu tidur, maka ia baru terbangun ketika cahaya matahari yang menyusup dinding jatuh dliwajahnya. Sambil mengedip-ngedipkan matanya, ia mencoba mengetahui waktu dengan bayangan cahaya matahari yang menyusup masuk kedalam biliknya. “O, sudah terlalu siang,“ desisnya. Perlahan lahan ia bangkit. Tubuhnya masih terasa lemah, meskipun sudah agak menjadi segar sedikit setelah beristirahat beberapa lamanya. Ketika ia keluar dari biliknya, ia mendengar kesibukan dilongkangan. Dengan ragu-ragu ia menengok lewat pintu butulan. Ternyata Ki Waskita sedang membelah kayu dengan sebuah kapak kecil. Sambil tersenyum Ki Waskita menyapa Agung Sedayu yang menggosok matanya, “Kau sudah bangun Agung Sedayu.” Agung Sedayu menarik nafas. Jawabnya, “Aku tidur terlalu nyenyak. Agaknya aku telah bangun kesiangan.” “Sekali-sekali kau boleh bangun kesiangan.” “Dimanakah Glagah Putih?” ia bertanya. “Tengoklah didapur. Baru saja ia ribut kehabisan kayu bakar. Dan aku sedang membuat kayu bakar baginya.” Agung Sedayu kemudian pergi kedapur. Dilihatnya Glagah Putih sedang sibuk menghembus api diperapian yang agaknya masih terlalu basah, sehingga nyalanya agak kurang baik. “Nafasmu akan habis,” desis Agung Sedayu. “O, marilah kakang.“ Glagah Putih tiba-tiba saja telah bangkit, “semalam Kiai Gringsing mencegah aku mengganggu kakang. Apakah kakang sedang sakit ?” “Sudah aku katakan, aku tidak apa-apa.” Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tetapi Agung Sedayulah yang kemudian berbicara lagi, “Apimu. Air itu tidak akan mendidih. Dan bahkan akan berbau asap jika apimu tidak kau nyalakan.”

“O,“ Glagah Putihpun berjongkok lagi dimuka perapian. Sekali lagi ia menghembus api itu, sehingga matanya menjadi merah karena asap. Namun akhirnya apinya itupun menyala. Agung Sedayupun kemudian duduk didekat Glagah Putih. Rasa-rasanya menyenangkan sekali duduk dimuka api dibawah periuk untuk menanak nasi. Seakanakan Agung Sedayu sedang melepaskan semua persoalannya dengan ilmunya yang membuatnya menjadi sangat letih. Namun sejenak kemudian, ketika api sudah menyala, mulailah Glagah Putih dengan pertanyaannya yang beruntun, seolah-olah pertanyaan itu sudah disusunnya sejak beberapa hari yang lalu. Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, “Aku akan berceritera tentang perjalananku. Tetapi tidak sekarang. Aku masih sangat letih.” “O,” Glagah Putih menjadi kecewa. Tetapi menilik keadaan tubuhnya. Agung Sedayu memang nampak sangat letih. “Perjalananku adalah perjalanan yang menyenangkan,” berkata Agung Sedayu, “banyak manfaat yang dapat diambil.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ternyata bahwa Agung Sedayu benar-benar belum akan menceriterakan kepadanya, meskipun hanya sebagian kecil saja. Tetapi Glagah Putih tidak memaksanya. Ia tahu bahwa Agung Sedayu benar-benar sangat letih. Sehingga karena itu, maka iapun tidak bertanya lagi tentang perjalanan Agung Sedayu dan menyimpan keinginannya sampai saatnya Agung Sedayu bersedia menceriterakan. Sebenarnyalah Agung Sedayu masih ingin minta banyak pertimbangan dari gurunya dan Ki Waskita tentang pengalamannya selama ia meninggalkan padepokan. Apakah yang dapat dilakukannya kemudian bagi dirinya dan mungkin bagi Glagah Putih. Dalam pada itu Kiai Gringsing juga sudah menunggu kesempatan untuk mendengarkan ceritera muridnya. Tetapi ia masih dapat mengerti sampai keadaan Agung Sedayu menjadi semakin baik. Setelah sehari berada dipadepokan, nampaknya ia tentu akan memerlukan beberapa hari untuk memulihkan keadaan tubuhnya yang kekurus-kurusan itu. Disore hari, setelah semua pekerjaan selesai, maka Agung Sedayupun duduk dipendapa padepokan kecilnya bersama mereka, maka Agung Sedayu berkata, “Glagah Putih. Tentu menyenangkan sekali jika kita duduk dipendapa sambil minum-minuman panas.” Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tetapi ternyata ia cukup cerdas menangkap maksud kakaknya, sehingga iapun kemudian meninggalkan pendapa dan pergi kedapur.

“Aku tidak boleh ikut mendengarkannya,“ gumamnya. Dalam pada itu, di pendapa, Agung Sedayu yang telah nampak lebih segar itupun mulai dengan ceriteranya. Sejak ia berangkat, semuanya yang telah terjadi, dan jarak jangkauannya atas peningkatan ilmunya. Kiai Gringsing dan Ki Waskita mendengarkannya dengan bersungguh-sungguh. Mereka membayangkan, apakah yang telah terjadi atas muridnya itu, seolah-olah mereka dapat melihat sendiri, apa yang sudah dilakukan oleh Agung Sedayu. “Jadi kau tidak pergi terlalu jauh Agung Sedayu,” bertanya Kiai Gringsing. “Tidak guru. Aku tidak pergi terlalu jauh.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dalam pada itu, iapun mulai membayangkan muridnya yang seorang lagi. Swandaru Geni. Meskipun Kiai Gringsing belum melihat hasil, peningkatan kedua muridnya itu atas ilmu yang diberikan kepada mereka, namun Kiai Gringsing sudah dapat membayangkan perbedaan ciri dan pribadi dari ilmu yang ada dikedua muridnya yang memang memiliki dasar kepribadian yang berbeda itu. Sambil menarik nafas dalam-dalam. Kiai Gringsing bertanya, “Agung Sedayu. Bagaimanakah mungkin kau dapat menemukan goa ditebing sungai yang curam itu.” “Sejak kecil aku pernah melihat mulut goa itu,“ jawab Agung Sedayu. “Sejak kecil? “ Kiai Gringsing menjadi heran. Agung Sedayupun kemudian menceriterakan teka-teki didalam hatinya. Apakah pada saat itu ayahnya dengan sengaja memberikan petunjuk kepada Untara agar ia datang dan memasuki goa itu. Kiai Griungsing menarik nafas dalam-dalam tetapi iapun tidak dapat menemukan jawabannya dengan pasti. “Aku kira dugaanmu mendekati kebenaran,” berkata gurunya, “tetapi selanjutnya Ki Sadewa tidak sempat memberikan petunjuk lebih jauh lagi sampai saat ajalnya.” “Jika ayah benar mengetahuinya, kenapa ayah tidak pernah berterus terang, atau setidak-tidaknya ceritera tentang goa itu? Jika ceriteranya memberikan arah meskipun serba sedikit, tentu kakang Untara akan berusaha untuk mencarinya.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Memang kita tahu apa yang sudah terjadi sebenarnya. Tetapi agaknya memang ada hubungannya bahwa pada masa kanak-kanak Untara telah menemukan mulut goa itu. tetapi yang dewasanya tidak menghiraukannya lagi.” “Dan aku sudah merusakkan pahatan lukisan pada dinding goa itu guru.” Kiai Gringsing termangu-mangu. Ia mencoba menilai apa saja yang sudah dilakukan oleh Agung

Sedayu. Pencapaiannya yang cukup banyak, tetapi juga kekecewaan, yang mencengkamnya karena ia telah merusakkan serangkaian lukisan pada dinding goa itu. Namun dalam pada itu, secara keseluruhan. Pencapaian ilmu, ternyata Agung Sedayu pesat sekali, jauh diatas dugaan gurunya. Gurunya sama sekali masih belum memperhitungkan bahwa Agung Sedayu akan dapat mengembangkan ilmunya dengan sentuhan yang tidak bersifat wadag, tetapi mempunyai akibat yang bersifat wadag dengan tatapan matanya. Tetapi ternyata bahwa Agung Sedayu telah sampai pada tataran itu. Bahkan ia agaknya sudah mulai dipengaruhi oleh lukisan yang dilihatnya, tetapi yang bagian terpentingnya telah terhapus oleh tatapan matanya itu, karena Agung Sedayu sudah mulai mempercakapkan tentang lontaran ilmu tanpa sentuhan wadag. Pelepasan diri dari ujud wadag untuk melakukan perbuatan yang bersifat wadag. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Perkembangan ilmu Agung Sedayu memang jauh bersifat kedalam. Namun dalam pada itu, perkembangan ilmu Swandaru agaknya nampak pada perkembangan keluar, pada ujud jasmaniahnya yang memang memiliki kekuatan melampaui kekuatan sewajarnya. Ki Waskita yang mendengar pula ceritera Agung Sedayu tentang dirinya selama ia berada di dalam goa itu-pun mengangguk-angguk, iapun dapat membayangkan, betapa pesatnya kemajuan yang telah dicapainya. Bahkan Agung Sedayu sudah dapat menyentuh dengan tatapan matanya atas benda-benda dengan sifat sentuhan wadag. “Ia masih terlalu muda,” berkata Ki Waskita didalam hatinya, “tetapi ia sudah menguasai ilrnu yang sangat tinggi. Untunglah bahwa sifat-sifatnya sangat menguntungkan, sehingga ilmu yang dikuasainya agaknya tidak akan disalah gunakan.” Agak berbeda dengan Kiai Gringsing, maka tanggapan Ki Waskita terhadap Agung Sedayu terasa lebih baik dari tanggapannya atas Swandaru. Kiai Gringsing yang menganggap keduanya adalah muridnya yang berhak mendapat bekal yang sama dari padanya, agaknya mempunyai tanggapan yang agak bersifat khusus. Kiai Gringsing selalu mencoba menganggap keduanya sama dalam pandangannya, tanpa membeda-bedakan. Tetapi Ki Waskita yang berdiri diluar lingkungan keluarga perguruan kecil itu, dapat melihat dengan jarak. Ia dapat membedakan sifat dan watak kedua murid Kiai Gringsing tanpa terikat oleh perasaan seorang guru terhadap kedua muridnya yang harus diperlakukan sama. Bagi Ki Waskita, Swandaru agaknya berkembang kearah yang kurang menguntungkan. Keberhasilannya selama ini dan penghormatan yang meriah disaat perkawinannya, telah mendorongnya untuk merasa dirinya terlalu besar. Dengan demikian, maka sikapnyapun agaknya telah

terpengaruh pula. Meskipun demikian, ia bukannya tidak melihat kekurangan pada Agung Sedayu. Jika secara jiwani ia kurang lapang untuk memuat ilmu yang dicapainya dalam usia yang masih terlalu muda, maka iapun akan terpengaruh olehnya. Ia akan tenggelam kedalam dunia khayalan dan angan-angan. Ia akan hanyut dalam pencapaian ilmu yang lebih tinggi, setingkat demi setingkat, tanpa menghiraukan keseimbangan perkembangan diri, jasmaniah maupun rohaniah. Sehingga apabila ia tergelincir selapis, maka syarafnya akan dapat terganggu. “Mudah-mudahan ia tidak kehilangan keseimbangan dan pengamatan dirinya,” desis Ki Waskita didalam hatinya. Dalam pada itu, agaknya Kiai Gringsing masih belum ingin memberikan tanggapan langsung kepada muridnya. Ia masih mencoba untuk mempertimbangkan lebih masak lagi apakah yang sebaiknya dilakukan. Namun sementara itu, Kiai Gringsing bukannya sama sekali tidak memberikan pesan. Katanya, “Baiklah Agung Sedayu. Masih banyak yang harus aku urai dari keteranganmu. Tetapi sementara ini, biarlah Glagah Putih mendapat tuntunan yang lebih baik. Kau adalah orang yang memiliki kemampuan itu. Kau dapat mengosongkan dirimu dari pengetahuan yang kau miliki dengan sadar, sehingga dengan bersih dari segala macam pengaruh, kau dapat menuntun Glagah Putih sesuai dengan ilmu dasar yang dipelajarinya.” “Tetapi sampai dimanakah tingkat pengetahuan dan pengenalanku atas ilmu itu guru? “ bertanya Agung Sedayu. “Memang tidak lebih dari pamanmu Widura. Tetapi jika kau berbekal penglihatanmu atas lukisan pada dinding bilik didalam goa seperti yang kau katakan, maka kau tentu dapat mencapai tingkat ilmu yang lebih tinggi dari pamanmu Widura dan kakakmu Untara.“ jawab Kiai Gringsing, “sehingga pada suatu saat, jika waktunya tiba, maka Glagah Putih akan dapat memanfaatkan lukisan-lukisan didalam goa itu sendiri dengan bekal yang sudah dimilikinya, sehingga ia akan dapat menyadap ilmu itu dengan benar dan tidak tersesat.” “Tetapi ia tidak akan pernah dapat mencapai tingkat tertinggi dari ilmunya, guru. Karena aku sudah menghapusnya dari dinding goa itu.” Tetapi Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, “Belum pasti demikian. Mungkin tingkat kecerdasan Glagah Putih memungkinkannya untuk mencapai tingkat itu dengan bahan yang sudah dimilikinya. Atau mungkin ia menemukan sumber lain yang dapat menyempurnakan ilmunya sampai tingkat tertinggi.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Semuanya masih akan berlangsung Agung Sedayu. Juga mengenai dirimu sendiri. Pada suatu saat. jika

ada waktu yang baik, aku tentu ingin melihat kenyataan dari tingkat ilmumu. Sehingga dengan demikian penilaianku atasmu menjadi pasti.” Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, “Kapan saja guru perintahkan, aku akan melakukannya.” “Kau masih harus memulihkan keadaan jasmanimu yang susut dan lemah. Pada suatu saat tubuhmu akan pulih dan kau akan dapat menunjukkan tingkat ilmumu dengan pasti dan meyakinkan.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia menyadari, bahwa dengan demikian bukan berarti bahwa kerjanya sudah selesai. Ia masih harus berada didalam sanggar bersama gurunya dan Ki Waskita untuk menilai tingkat ilmunya yang terakhir. Bukan hanya satu dua hari. Apalagi dengan kuwajibannya terhadap Glagah Putih. Sejenak kemudian, agaknya Kiai Gringsing sudah tidak ingin lagi membicarakan peningkatan ilmu Agung Sedayu. sehingga Agung Sedayupun kemudian pergi kedapur memanggil Glagah Putih. “Apakah air itu belum mendidih?” Meskipun sebenarnya air sudah lama mendidih, namun Glagah Putih yang mengerti banwa pembicaraan baru saja selesai menjawab, “Baru saja kakang.” “Nah, guru dan Ki Waskita sudah menunggu.“ Glagah Putihpun kemudian menyiapkan minuman dan kemudian membawanya ke pendapa. … … berikutnya, maka Agung Sedayupun … … seperti sediakala. Namun iapun … … dengan tuntunannya … Glagah Putih … … seperti pesan gurunya. Agung Sedayu masih belum menceriterakan tentang lukisan yang terdapat pada dinding ruang didalam goa itu, agar Glagah Putih tidak tergesagesa menguasai ilmu tertinggi, sehingga dapat menumbuhkan kejutan didalam dirinya dan ketidak seimbangan dalam urutan ilmunya itu. Dalam pada itu, yang dilakukan oleh Agung Sedayu adalah suatu kewajiban yang sulit. Tidak seperti kebanyakan orangorang yang memiliki ilmu dan ingin menurunkan ilmunya kepada muridnya, maka Agung Sedayu justru sedang mengajarkan ilmu yang tidak dikuasainya benar kepada orang lain. Tetapi Agung Sedayupun sadar, bahwa yang dilakukan itu hanyalah sekedar tataran terendah dari peningkatan ilmu Glagah Putih, karena pada suatu saat Glagah Putih akan dapat menemukan jalurnya tersendiri. Namun dalam hal itu, Agung Sedayu tidak berdiri sendiri. Pamannya, Widura selalu berusaha membantunya meskipun ia merasa bahwa ternyata Agung Sedayu

lebih banyak menguasai daripada dirinya, meskipun Agung Sedayu telah memiliki jalur tersendiri dalam cabang perguruan yang berbeda. Selain usahanya meningkatkan ilmu Glagah Putih, maka Agung Sedayupun dengan tekun melakukan pekerjaan sehari-hari. Ia tidak terlambat pergi kesawah, bergantian dengan Glagah Putih menelusur air, jika parit menjadi kering. Memelihara kebun dan pohon buah-buahan. Membersihkan rumah dan bangunan-bangunan yang ada dipadepokan itu serta memperbaiki kekurangan dan kerusakan-kerusakan kecil yang timbul kemudian. Sementara itu, disebelah menyebelah tanah persawahan Agung Sedayu, telah terbentang pula beberapa bahu sawah. Mereka adalah orang-orang yang telah mendapat ijin dari Ki Demang di Jati Anom untuk membuka tanah persawahan dibawah petunjuk Agung Sedayu disesuaikan dengan kemungkinan penggunaan air dan pemeliharaan selanjutnya. Bahkan ternyata kemudian, bahwa beberapa orang anak muda seakan-akan telah memaksa untuk ikut tinggal di padepokan kecil, karena mereka sebenarnya ingin pula mendapatkan sedikit kemampuan dalam olah kanuragan. “Kalian akan menjadi cantrik dipadepokanku? “ bertanya Agung Sedayu kepada anak-anak muda yang sebenarnya adalah kawan-kawannya bermain dimasa kanak-kanak. “Apapun yang harus kami lakukan, kami tidak akan berkeberatan,“ jawab salah seorang dari mereka. Setelah mendapat persetujuan dari gurunya, maka Agung Sedayupun dapat memilih tiga orang diantara mereka untuk tinggal bersamanya dipadepokan kecil itu. Dengan demikian, maka padepokan itu menjadi semakin ramai. Tiga orang anak muda itu ternyata dengan sungguh-sungguh ingin luluh dalam kehidupan yang berat dipadepokan kecil itu. Mereka harus memenuhi segala kebutuhan mereka sendiri. Dari menanam bahan makan mereka, sehingga menjadikan makanan itu siap untuk dimakan. Bahkan merekapun harus dapat mencukupi kebutuhan sandang dan keperluan-keperluan lain. Kebutuhan bagi rumah dan bangunan-bangunan yang adar bagi kuda mereka dan bagi semua yang diperlukan. “Kita akan segera dilepaskan oleh kakang Untara dan paman Widura,” berkata Agung Sedayu kepada anak-anak muda itu, “sehingga kita harus dapat berdiri sendiri. Makan, minum, pakaian dan semua kebutuhan harus kita usahakan dengan kemampuan yang ada pada kita sendiri.” Tetapi anak-anak muda itu sudah menyatakan tekadnya. Satu-satunya keinginan mereka adalah mendapatkan tuntunan dalam olah kanuragan. Meskipun tidak harus mencapai tingkat tertinggi, namun sekedarnyalah cukup untuk membela diri.

Dari hari kehari, maka keadaan tubuh Agung Sedayupun menjadi berangsur pulih kembali. Ia tidak lagi nampak pucat dan kurus. Justru pekerjaannya sehari-hari yang berat, selain disawah juga disanggar, telah membuatnya nampak segar dan gembira. Baru setelah Agung Sedayu menjadi pulih sama sekali, gurunya mulai ingin menilai kemampuan yang dapat dikuasainya setelah ia berusaha meningkatkan ilmunya. Meskipun dengan lesan Agung Sedayu pernah melaporkan kepada gurunya, namun Kiai Gringsing ingin melihat, apakah yang dikatakan itu sesuai benar dengan kenyataannya. Karena itulah maka ia telah menentukan waktu yang paling baik untuk mengadakan penilaian itu. Bersama Ki Waskita, maka iapun membawa Agung Sedayu kedalam sanggarnya, setelah lewat tengah malam. Setelah Glagah Putih dan para cantrik dipadepokan itu tidur nyenyak. “Agung Sedayu,“ berkata gurunya, “tiba-tiba saja timbul niatku untuk menengok Swandaru ke Sangkal Putung. Aku ingin juga mengadakan penilaian atas peningkatan ilmu yang dicapainya. Namun sebelum itu, aku ingin meyakinkan diriku, bahwa kemampuan benar-benar telah mencapai tingkat seperti yang pernah kau katakan kepadaku.” Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Jika ia harus menunjukkan kemampuannya kepada orang lain, maka ia tentu akan menjadi segan. Tetapi karena hal itu diminta oleh gurunya, serta agar gurunya dapat memberikan penilaian yang tepat, maka iapun berniat untuk menunjukkan tingkat yang sebenarnya memang sudah dicapainya. “Marilah Agung Sedayu,“ berkata Kiai Gringsing, “tunjukkan kepadaku. Terserah kepadamu, yang manakah yang menurut penilaianmu cukup mewakili kemampuanmu.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian menjawab, “Guru, apakah aku diperkenankan menunjukkan sentuhan pandangan mataku atas sesuatu benda dalam sifat wadag.” “Cobalah Agung Sedayu. Pilihkah sasaran yang dapat kau pergunakan.” Agung Sedayupun kemudian mengambil sebongkah Batu hitam dari kebun dipadepokannya, Diletakkannya batu itu diujung sanggar. Kemudian ia duduk beberapa langkah dari batu itu. Bersila sambil menyilangkan kedua tangannya didadanya. Kiai Gringsing dan Ki Waskita yang ingin menyaksikan kemampuan anak muda itupun duduk sebelah menyebelah. Merekapun menjadi tegang pula ketika mereka melihat Agung Sedayu mulai mengatur pernafasannya. Dengan hati yang berdebar-debar kedua orang tua itu menunggu. Mereka dapat mengikuti, tingkat pengetrapan ilmu Agung Sedayu. Sejak ia memusatkan inderanya dan menyalurkan kekuatan pada sorot matanya dengan sifat wadag untuk meraba batu yang menjadi sasarannya. Sejenak suasana menjadi tegang. Agung Sedayu yang memusatkan segenap, kekuatannya pada pancaran matanya yang ditrapkan dalam sifat wadag itu menjadi semakin lama semakin tegang pula,

sehingga pada suatu saat, ketika kekuatannya mulai tersalur disorot matanya dalam sifat wadag, keringatnya rasa-rasanya telah membasahi seluruh tubuhnya. Namun dalam pada itu, batu yang dipandanginya itupun mulai bergetar. Ketika Agung Sedayu seakanakan menghentakkan kekuatannya, maka tiba-tiba batu itupun menjadi retak dan pecah berkeping keping. Kiai Gringsing dan Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Mereka telah menyaksikan kemampuan ilmu Agung Sedayu. Ternyata bahwa yang sebulan itu telah membuat Agung Sedayu seorang yang benar-benar mumpuni. Seorang yang memiliki kemampuan yang luar biasa, yang jarang dimiliki oleh setiap orang. Ketika Agung Sedayu telah berhasil memecahkan batu itu, maka perlahan-lahan iapun mulai mengendapkan ilmunya kembali, sehingga sejenak kemudian maka iapun telah melepaskan pemusatan inderanya dan menarik nafas dalam-dalam. “Luar biasa Agung Sedayu,“ berkata Kiai Gringsing, “kau telah mencapai suatu tingkat diluar dugaanku. Kau telah memiliki ilmu yang sulit dicapai. Justru kau telah dapat menemukannya sendiri dalam pencapaian selama kau berada didalam goa itu.” Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Katanya dengan nada datar, “Tetapi pencapaianku inilah yang telah menghapuskan petunjuk pada puncak ilmu yang terlukis pada dinding goa itu guru.” “Itu bukan salahmu. Tentu setiap orang akan melakukan kesalahan yang serupa karena ketidak tahuannya. Siapapun tidak akan mengira bahwa pada dinding goa itu terdapat lukisan tentang ilmu yang tersusun dalam urutan yang lengkap seperti yang kau katakan itu meskipun hanya pokok-pokoknya saja.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu. “sehingga dengan demikian, maka kau telah menemukan dua hasil yang sangat penting. Peningkatan ilmumu sendiri, dan susunan ilmu Ki Sadewa yang lengkap. Bukankah dengan demikian usaha kita untuk mewujudkan kembali jalur ilmu itu menjadi jauh lebih mudah. Kita tidak usah bersusah payah mempelajarinya dari bahan-bahan yang memang sangat sedikit. Dari tata gerak dasar ilmu Glagah Putih. Dari tata gerak dan sikap Ki Widura. Kau kini dapat langsung menemukan seluruhnya meskipun tidak dengan tingkat puncaknya. Namun untuk mencapai kemampuan sampai selapis dibawah tingkat puncak itupun aku kira jarang yang akan dapat melakukannya. Mudah-mudahan Glagah Putih akan dapat menjadi pewaris yang baik dari ilmu itu, yang pada saatnya akan dapat mempelajarinya dari unsur-unsur gerak yang terpahat didinding goa itu. Tentu saja setelah bekalnya cukup lengkap.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Ki Waskita hanya menyaksikan saja pembicaraan antara guru dan murid itu. Ia sudah merasa ikut berbahagia atas pencapaian diluar dugaan itu, sehingga dengan demikian Agung Sedayu kini sudah menjadi seorang anak muda yang jarang ada bandingnya. Namun dalam pada itu, agaknya Kiai Gringsing masih ingin melengkapi pengenalannya atas muridnya setelah mencapai tingkat yang lebih tinggi itu dalam tata gerak dan olah kanuragan. Karena itu maka,

katanya, “Agung Sedayu, setelah aku melihat kemampuanmu dalam unsur yang khusus dari ilmumu, maka kini aku ingin melihat, kemampuan wadagmu. Aku ingin melihat bagaimana kau mempergunakan wadagmu dalam ungkapan ilmumu dan penggunaannya. Mungkin kau telah meningkatkan kemampuanmu pula dalam ujud jasmaniah, sehingga dalam sentuhan wadagmu yang langsung, kaupun mampu menunjukkan kekuatan yang meningkat.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia memandang isi sanggar itu. Namun ia tidak menemukan sasaran yang dapat dipergunakan untuk menunjukkan peningkatan kekuatan ilmunya yang dapat disalurkan lewat wadagnya. “Aku dapat mendengar dan melihat pada gerak dan getar ujung cambukmu.” Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Lalu Katanya, “Baiklah guru. Aku akan mencoba menunjukkannya.” Agung Sedayupun kemudian segera bersiap. Sejenak kemudian ia mulai menunjukkan kemampuan jasmaninya dengan lambaran ilmu yang sudah semakin meningkat. Ternyata bahwa ia mampu bergerak dengan kecepatan yang luar biasa. Kakinya menjadi sangat lincah dan kuat. Untuk beberapa saat Agung Sedayu meloncat-loncat seolah-olah kakinya tidak berjejak diatas tanah. Gurunya memandang sambil mengerutkan keningnya. Demikian juga Ki Waskita yang mengagumi kecepatan bergerak Agung Sedayu. Apalagi ketika kemudian Agung Sedayu meloncat keatas sebuah amben bambu. Ia masih bergerak dengan cepatnya. Namun amben bambu yang biasanya berderak-derak itu sama sekali tidak berguncang, bahkan sama sekali tidak berderit. Kedua orang tua yang menyaksikannya benar-benar menjadi kagum. Tubuh Agung Sedayu yang bergerak dengan cepatnya itu menjadi seakan-akan seringan kapuk kapas. Tanpa bobot. Sejenak kemudian Agung Sedayu telah meloncat turun dari amben bambu dan seperti pesan gurunya, ia telah mengurai senjatanya. Sejenak senjata itu berputar ditangannya. Namun kemudian dengan sepenuh kekuatannya ia mengayunkan cambuknya dan karena tidak ada sasaran lain, maka iapun telah menghantam lantai sanggar itu. Terdengarlah ledakan yang dahsyat. Disusul dengan hamburan debu yang tiba-tiba saja telah membuat ruang itu menjadi gelap. Sinar lampu minyak tidak mampu menembus lapisan debu yang berhamburan memenuhi sanggarnya. Kiai Gringsing dan Ki Waskita yang berada didalam sanggar itu benar-benar telah dicengkam oleh

kekaguman yang luar biasa. Kekuatan itu adalah kekuatan yang tidak terkirakan, dan terlebih-lebih lagi, ternyata bahwa Agung Sedayu telah mampu menyalurkan kekuatannya pada benda-benda yang digenggamnya, sehingga seolah-olah benda-benda itu, khususnya senjatanya telah menjadi bagian dari tubuhnya. Sejenak sanggar itu menjadi sepi. Agung Sedayu yang telah melepaskan segenap kekuatannya yang tersalur pada cambuknya, berdiri tegak dalam tebaran debu yang semakin lama menjadi semakin tipis. Demikian juga Kiai Gringsing dan Ki Waskita. Sambil menahan nafas mereka menunggu. Perlahanlahan debu yang memenuhi ruangan itu seakan-akan telah mengendap. Dan perlahan-lahan pula muncullah bayangan Agung sedayu yang berdiri tegak diatas kedua kakinya yang renggang sambil menggenggam cambuknya. Tangan kanannya menggenggam tangkainya, sedang tangan kirinya memegang ujung juntainya. Didepan kakinya menganga sebuah jalur yang lebar dan dalam menyilang hampir dari dinding sampai kedinding. Kiai Gringsing dan Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya Ki Waskita melangkah maju mendekati lubang yang menjadi pertanda betapa dahsyatnya kekuatan Agung Sedayu. “Luar biasa,“ desisnya didalam hati. Agung Sedayu masih berdiri termangu-mangu. Ia menunggu tanggapan gurunya atas pencapaiannya. “Duduklah Agung Sedayu,“ berkata gurunya kemudian. Ketiganyapun kemudian duduk diatas sebuah amben dipinggir sanggar itu. Perlahan-lahan udara didalam ruang itu telah menjadi bersih kembali. Namun rasa-rasanya ditubuh mereka yang berada didalam ruang itu telah melekat debu yang tebal. Terlebih-lebih karena keringat yang mengembun. “Sebenarnya aku tidak ingin memuji dihadapanmu Agung Sedayu,” berkata gurunya, “tetapi aku tidak dapat mengatakan lain kecuali kekagumanku atas tingkat yang kau capai hanya dalam waktu satu bulan. Itulah agaknya yang menyebabkan kau menjadi kurus dan pucat, bahkan hampir tidak bertenaga, karena kau telah kehilangan keseimbangan antara tekad dan batas kemampuan jasmaniahmu. Untunglah bahwa kau tidak terbenam dalam keadaan yang sulit. Kau dapat mencapai tingkat yang hampir sempurna, sementara jasmanipun masih belum terlambat untuk disegarkan kembali.” Agung Sedayu tidak menjawab. “Tetapi yang telah kau lakukan hendaknya menjadi pengalaman. Kau telah mencapai ilmu yang sangat tinggi. Kau telah mampu mempergunakan yang tidak bersifat wadag untuk perbuatan yang bersifat wadag. Kekuatan jasmaniahpun telah menjadi berlipat ganda karena kau telah mampu menguasai kekuatan cadangan didalam dirimu, dan menguasai benda-benda yang ada ditanganmu seperti tubuhmu

sendiri, juga dalam penyaluran kekuatan itu,“ Kiai Gringsing berhenti sejenak, “namun demikian, kau tidak dapat meninggalkan kodratmu. Itu adalah suatu syarat, bahwa betapapun juga, kau adalah mahluk yang tidak berarti dihadapan Yang Maha Pencipta, sehingga kau tidak akan dapat melepaskan diri dari hukum-hukumnya yang berlaku mutlak bagi setiap manusia.” Agung Sedayu masih tetap menundukkan kepalanya. Namun kata-kata itu benar-benar telah meresap didalam hatinya. Dan iapun sadar sepenuhnya, betapa kebanggan mencengkam hati karena pencapaian itu, namun ia tetap hanya sebutir debu didalam alam semesta, dan sama sekali tidak mempunyai arti khusus bagi putaran yang harus berlangsung seperti kodratnya. Karena itulah maka Agung Sedayu merasa bahwa ia harus lebih menundukkan kepalanya kepada Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan kemampuan kepadanya, lebih banyak dari kebanyakan orang. Dengan demikian maka seolah-olah Agung Sedayupun telah berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa ia akan mempergunakan kurnia itu untuk kebesaran nama-Nya dijalan yang sesuai dengan kehendak-Nya. Setelah beristirahat sejenak, dan Kiai Gringsing telah memberikan penilaian dan pesan pesan, maka merekapun kemudian meninggalkan sanggar itu dan setelah membersihkan diri dipakiwan. maka masing-masing telah kembali kedalam biliknya. Langkah Agung Sedayu tertegun ketika ia melihat dari sela-sela pintu biliknya, Glagah Putih masih duduk dipembaringannya. Bahkan seakan-akan ia sedang merenungi sesuatu yang penting baginya. Sambil mendorong piuntu kesamping Agung Sedayu menjengukkan kepalanya. Dengan nada datar ia bertanya, “Kau belum tidur?” Glagah Putih menggeleng. “Jadi kau masih duduk disitu sejak sore?” “Aku sudah tidur,“ jawabnya kemudian, “tetapi aku terbangun oleh suara cambuk kakang Agung Sedayu.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian ia-pun bertanya, “Kenapa kau tahu bahwa bunyi cambuk itu adalah cambukku? Bukan cambuk Kiai Gringsing.” “Kenapa Kiai Gringsing bermain-main dengan cambuk lewat tengah malam seperti ini jika tidak ada kepentingan apapun juga ?” “Kenapa dengan aku?” “Kakang tentu sedang berlatih. Ketika aku menjenguk, aku melihat lampu di sanggar masih menyala

terang benderang.” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kau memang cerdik. Tidurlah. Besok kau mendapat kesempatan untuk berlatih bersamaku.” Glagah Putih tidak menyahut. Namun iapun kemudian membaringkan dirinya ketika Agung Sedayu meninggalkannya sambil menutup pintu biliknya. Meskipun demikian ia masih sempat bertanya, “Kau tidur dimana kakang?” Dari balik pintu Agung Sedayu menjawab, “Aku tidur dibelakang.” “Apakah anak-anak dibelakang juga terbangun ?” “Aku tidak tahu,“ jawab Agung Sedayu. Glagah Putih tidak bertanya lagi. Sejenak ia mencoba mendengarkan desir langkah Agung Sedayu. Ketika ia tidak dapat mendengar apapun juga, maka iapun mencoba untuk memejamkan matanya. Di pagi harinya, Agung Sedayu, Glagah Putih dan tiga orang yang menyatakan dirinya menjadi cantrik dipadepokan itupun sibuk menimbun lubang yang membujur dilantai sanggar padepokan kecil itu. Dengan herannya mereka bertanya, kenapa didalam sanggar itu tiba-tiba saja telah terjadi lubang yang panjang itu. Tetapi Agung Sedayu tidak mengatakan bahwa lubang itu adalah bekas lecutan cambuknya yang didasari dengan kekuatan yang luar biasa. Dalam pada itu, Kiai Gringsing yang didesak oleh keinginannya melihat kemajuan muridnya yang seorang lagi, telah bersiap-siap. Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih kemudian selesai dengan pekerjaannya menimbuni lubang didalam sanggar itu, maka Kiai Gringsing-pun minta diri kepada mereka. “Berapa lama guru berada di Sangkal Putung? “ bertanya Agung Sedayu. “Aku pernah pergi ke Sangkal Putung dan tidak bermalam disana. Tetapi karena kini kau ada, maka aku tidak segan-segan meninggalkan Ki Waskita dan bermalam di Sangkal Putung barang satu dua malam.“ Agung Sedayu mengangguk-angguk, sementara Kiai Gringsing melanjutkan, “Aku titipkan seisi padepokan ini kepada Ki Waskita.” Ki Waskita tersenyum. Jawabnya, “Jadi aku masih belum berkesempatan untuk pulang meskipun aku sudah lama sekali meninggalkan rumah dan pekerjaanku.“ Kiai Gringsingpun tersenyum pula. Katanya, “Hanya untuk satu atau dua malam.”

Akhirnya seisi padepokan itupun mengantar Kiai Gringsing sampai kepintu gerbang dan mengikuti derap kudanya sampai hilang ditikungan dengan tatapan mata. “Marilah,” ajak Ki Waskita, “aku kira Kiai Gringsing benar-benar tidak akan lama. Sementara kita masih mempunyai kewajiban melakukan tugas kita sehari-hari disini. Membersihkan kebun dan halaman Memelihara tanaman dan pohon buah buahan, melihat air disawah, dan kerja-kerja yang lain. Kecuali itu, kita masing-masing juga berkewajiban nuntuk melatih diri dalam olah kanuragan. Terutama Glagah Putih yang akhir-akhir ini nampak semakin meningkat.” “Ah, Ki Waskita selalu memuji.” “Bukan sekedar memuji. Tetapi sebenarnyalah demikian. Perlahan-lahan kita akan menemukan urutan ilmu yang disebut ayahmu hampir punah itu.” Glagah Putih tidak menyahut. Demikianlah, sepeninggal Kiai Gringsing, penghuni padepokan kecil itupun segera tenggelam dalam kerja masing-masing seperti yang mereka lakukan setiap hari. Kehadiran tiga orang anak muda di padepokan itu rasa-rasanya agak meringankan kerja mereka masing-masing. Tetapi dengan demikian berarti bahwa mereka harus bekerja lebih keras pula untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak, karena tiga orang anak muda itu harus mendapat makan dan minumnya pula. Dalam pada itu. Kiai Gringsing yang dalam perjalanan ke Sangkal Putung seorang diri, sama sekali tidak mendapat hambatan apapun juga. Dengan selamat ia memasuki regol padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung, langsung menuju kerumah Ki Demang yang sudah dikenalnya baik-baik. Namun tiba-tiba saja ia tertegun. Ditariknya kendali kudanya, sehingga kudanyapun berhenti dengan serta-merta, dan bahkan Kiai Gringsingpun langsung meloncat turun. Dipinggir jalan padukuhan berdiri dua orang yang terhenti pula langkahnya melihat Kiai Gringsing. Dua orang yang agaknya sedang menempuh perjalanan jauh. Yang seorang masih muda sedang yang lain sudah tua. “Raden,“ bertanya Kiai Gringsing kemudian, “Apakah Raden baru saja dari Kademangan Sangkal Putung?” Anak muda itu menggeleng sambil menjawab, “Belum Kiai. Aku memang akan pergi ke Kademangan Sangkal Putung. Tetapi aku dengar Kiai dan Agung Sedayu sedang tidak ada di Kademangan. Karena itu, akupun akan langsung pergi kepadepokan kecil didekat Jati Anom itu.” Kiai Gringsing tersenyum. Jawabnya, “Bukan sebuah padepokan. Sekedar sebuah pondokan kecil

dipategalan yang sepi.” “Dan sekarang, apakah Kiai akan pergi ke Kademangan?” “Ya Raden, Aku ingin menengok muridku yang seorang. Swandaru.” Anak muda itu termangu-mangu. “Apakah Raden akan singgah sebentar di Kademangan. Akupun tidak akan lama berada di Sangkal Putung. Aku akan segera kembali ke Karang.” “Sepekan?” “O, tidak Raden. Sehari atau paling lama dua hari. Apakah Raden akan Singgah juga sehari dua hari di Sangkal Putung, kemudian bersama-sama pergi ke Karang?” Anak muda itu termangu-mangu. Dipandanginya orang yang sudah lanjut usia itu dengan pertanyaan disorot matanya. “Agaknya tidak ada jeleknya,“ berkata orang tua itu, “jika Raden ingin singgah barang satu dua hari di Sangkal Putung, kemudian satu dua hari di padepokan kecil itu.” Anak muda itupun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Kiai, aku akan singgah. Aku kini sudah tidak dalam perjalanan, tirakat seperti yang aku lakukan saat Sangkal Putung sedang dalam keramaian. Aku sudah kembali ke Mataram dan aku sudah selesai dengan saat-saat tirakatku. Aku sudah boleh singgah dan tinggal dibawah atap.” “O,“ Kiai Gringsing mengangguk-angguk, “jadi Raden sudah selesai dan bahkan sudah kembali ke Mataram?” “Ya. Aku sudah berada beberapa pekan di Mataram. Aku sudah mulai dengan berbagai macam kerja yang terbengkelai selama aku tinggalkan, meskipun pada umumnya berjalan baik.“ ia berhenti sejenak, lalu. “namun tiba-tiba saja aku telah didesak oleh keinginanku untuk bertemu dengan Kiai dan kedua murid Kiai.” “Terima kasih bahwa anak mas masih selalu ingat kepada kami.” sahut Kiai Gringsing. “Apakah alasannya bahwa aku akan melupakan Kiai dan kedua murid Kiai itu. Kiai sudah banyak berjasa kepada kami. Dan kini, Kiaipun masih sedang dalam keadaan yang memberikan harapan kepada kami atas hilangnya kedua pusaka kami dari perbendaharaan pusaka di Mataram.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya sudah lama sekali ia terpisah dari persoalan pusaka yang hilang dari Mataram, sehingga, tiba-tiba saja ia bagaikan terbangun dari tidurnya dan teringat kembali akan kedua pusaka itu. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dalam saat-saat terakhir kedua muridnya sedang disibukkan oleh persoalan sendiri. Persoalan Agung Sedayu yang sedang membentuk dirinya karena sikap kakaknya yang keras terhadapnya. Swandaru yang merasa dirinya akan bertanggung jawab atas dua daerah yang terpisah, yang sedang berusaha membentuk daerahnya menjadi daerah yang kuat dan mampu menjaga diri sendiri. Dan kini Raden Sutawijaya datang dengan persoalan yang sudah cukup lama mereka perbincangkan, “Pusaka yang hilang.” Dalam pada itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian mempersilahkan kedua orang pemimpin dari Mataram itu bersamanya menuju ke regol Kademangan. Beberapa orang yang melihat, justru memberikan hormat kepada Kiai Gringsing yang menuntun kudanya. Mereka merasa sama sekali tidak mengenal kedua orang yang berjalan bersama Kiai Gringsing. Mereka menyangka bahwa keduanya adalah orang-orang yang sedang berjalan bersama saja atau kawan-kawan Kiai Gringsing yang juga ingin pergi ke Kademangan dalam persoalan yang tidak ada hubungannya dengan orang tua itu. Ketika ketiganya memasuki regol Kademangan, maka kehadiran Kiai Gringsing itu telah menyibukkan orang-orang di Kademangan itu. Ki Demang dan Swandaru dengan tergesa-gesa telah menyongsongnya disusul oleh Ki Sumangkar. Namun merekapun terkejut pula, bahwa bersama dengan Kiai Gringsing telah datang pula dua orang dalam pakaian orang kebanyakan. Namun yang sudah mereka kenal dengan sebaik-baiknya. “Raden Sutawijaya,“ desis Ki Demang di Sangkal Putung. Raden Sutawijaya tersenyum. “Marilah Raden. Marilah Ki Juru,“ Ki Demang mempersilahkan mereka dengan tergopoh-gopoh, lalu. “Marilah Kiai. Silahkan.” Orang-orang di Kademangan Sangkal Putung itu menyambut tamunya dengan sibuknya. Mereka menyangka bahwa Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani yang datang bersama Kiai Gringsing itu telah berkunjung kepadepokan kecil di Karang, dan kemudian bersama-sama pergi ke Sangkal Putung. Namun setelah mereka duduk sejenak dan saling menanyakan keselamatan masing-masing, maka tahulah orang-orang Sangkal Putung, bahwa Kiai Gringsing bertemu dengan kedua orang itu di Sangkal Putung.

“Jadi Raden dan Ki Juru sebenarnya tidak akan singgah dirumah ini ? “ bertanya Ki Demang. “Kami memang akan pergi ke Kademangan ini Ki Demang,“ jawab Ki Juru, “adalah kebetulan saja bahwa Kiai Gringsing yang berkuda itu mendahului perjalanan kami.“ Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tetapi iapun, tersenyum dan tidak membantah keterangan Raden Sutawijaya, meskipun ia harus menahan tertawa. Sejenak kemudian maka mereka mulai berbicara tentang keadaan Kademangan itu. Tentang usaha Swandaru untuk meningkatkan kemampuan para pengawal dan sudah tentu dirinya sendiri. “Bagus sekali,“ puji Raden Sutawijaya, “kau akan menjadi seorang pemimpin yang besar. Adalah menjadi kewajibanmu untuk membentuk daerahmu menjadi daerah yang kuat.” Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Kami sedang mencoba Raden. Mudah-mudahan kami berhasil.” Dengan penuh gairah, Swandaru menyanggupi untuk memperlihatkan kemajuan Kademangannya dari beberapa segi. Gairah anak-anak muda dalam oleh kanuragan dan usaha mereka meningkatkan penghasilan sawah maupun pategalan. Juga usaha Swandaru untuk memberikan kesempatan para pande besi dan orang-orang yang membuat barang-barang keperluan sehari-hari untuk berkembang. “Menarik sekali,“ berkata Ki Juru Martani, “kami tentu akan senang sekali melihatnya.” “Setelah Ki Juru beristirahat, maka kita akan berjalan-jalan sepanjang padukuhan induk ini. Jika ada kesempatan, kita akan melihat-lihat padukuhan-padukuhan yang lain.” “Senang sekali,“ jawab Raden Sutawijaya, “tetapi aku minta bahwa kami harus tetap dalam keadaan kami seperti ini. Jangan kau perkenalkan kami sebagai orang-orang Mataram.” Swandaru mengangguk-angguk. Jawabnya, “Baiklah Raden. Aku mengerti.” Dalam pada itu, Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun sempat menemui tamu mereka meskipun hanya sebentar. Kemudian para pelayanpun menghidangkan jamuan bagi tamu-tamu mereka. Setelah beristirahat dan berbicara tentang berbagai hal, maka sampailah saatnya Swandaru ingin memperlihatkan keadaan Kademangannya kepada tamu-tamunya, dan terutama kepada gurunya. Kiai Gringsing. “Silahkan Raden,“ berkata Ki Demang, “mungkin dengan berjalan-jalan disekeliling padukuhan induk, angger tidak segera menjadi jemu berada di Sangkal Putung.”

Swandaru kemudian membawa tamu-tamunya untuk berjalan-jalan. Diregol ia berpesan kepada pengawal yang sedang duduk digardu. “Panggilah beberapa orang kawanmu. Aku memerlukan mereka setelah aku berjalan-jalan mengantarkan tamu-tamuku.” “Untuk apa? “ bertanya pengawal itu, “apakah ada sesuatu yang penting akan terjadi ?” “Tidak. Aku ingin mempertunjukkan kepada guru, bahwa kalian bukan lagi tikus-tikus sawah yang hanya dapat bersembunyi dilubang-lubang pematang.” Pengawal itu tersenyum. Kiai Gringsing, Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martanipun tersenyum pula. Demikianlah mereka berjalan menyusuri jalan padukuhan induk. Mereka memang melihat kemajuan yang pesat dipadukuhan itu. Dimulut jalan mereka melihat pande besi yang sedang sibuk bekerja dengan tiga tungku perapian dalam sebuah rumah yang khusus. “Semula mereka tidak berada ditempat itu ? “ berkata Swandaru. Kiai Gringsing yang sudah mengenal Sangkal Putung dengan baik memang belum pernah melihat pande besi ujung jalan meskipun masih didalam lingkungan regol padukuhan. “Mereka semula berada dirumah masing-masing,“ berkata Swandaru meneruskan, “tetapi kerja mereka terbatas. Kecuali peralatan yang kurang mencukupi, suara tempaan dan hiruk pikuk yang lain, kadang-kadang dapat mengganggu tetangga. Menjelang senja, meskipun ada pekerjaan yang tergesa-gesa mereka tidak dapat melanjutkannya, karena anak-anak tetangga mulai naik kepembaringan.” “Bagus sekali,“ desis Sutawijaya, “disini mereka akan mendapat bimbingan dan saling bertukar pengalaman dan pengetahuan. Juga tidak akan mengganggu tetangga-tetangga karena tetangga yang paling dekat itu-pun letaknya agak berjauhan. Selebihnya, dalam keadaan yang memaksa, mereka dapat bekerja siang dan malam.” “Ya Raden. Dipadukuhan induk ini ada tiga orang pande besi. Tetapi hampir disetiap padukuhan yang lain-pun terdapat pande besi seperti mereka, meskipun tingkat ketrampilan mereka tidak sama.” “Bagaimana dengan ketiga orang itu? “ bertanya Ki Juru Martani. “Hampir seimbang. Mereka adalah orang-orang terpercaya di Kademangan Sangkal Putung. Mereka telah dapat membuat senjata yang baik. Pedang diseluruh Sangkal Putung hampir semuanya dihasilkan oleh ketiganya. Bahkan mereka membuat pula trisula, parang dan canggah.” “Bagaimana dengan keris dan tombak?” “Tentu bukan seorang pande besi,“ jawab Swandaru, “diseluruh Sangkal Putung hanya ada seorang empu keris.

Itupun bukan empu yang terbaik meskipun hasilnya tidak terlalu jelek.” Sutawijaya mengangguk-angguk. Kiai Gringsingpun merasakan beberapa perubahan yang menggembirakan, meskipun ada yang mencemaskan. Swandaru menekankan pembinaan Kademangannya terutama kepada kekuatan jasmaniah. Meskipun ada juga segi-segi yang menguntungkan dalam keseluruhan. Karena Swandaru juga memperhatikan jalan-jalan dan parit-parit. Beberapa lama lagi mereka masih berjalan menyusuri jalan-jalan di padukuhan induk. Mereka melihat hampir, disetiap lorong terdapat gardu-gardu peronda. Kentongan terdapat hampir disetiap regol halaman. Setelah hampir seluruh lorong di Kademangan dilalui, maka merekapun memasuki jalan kembali ke Kademangan. Beberapa orang yang melihat iring-iringan kecil itu mula-mula tertarik juga untuk mengetahui. Tetapi ketika mereka melihat diantara mereka terdapat Swandaru dan Kiai Gringsing, maka merekapun tidak lagi menaruh banyak perhatian. Ketika Swandaru dan tamu-tamunya telah kembali dan duduk dipendapa Kademangan, maka mulai berdatanganlah beberapa orang pengawal yang telah dipanggil Swandaru. Mereka adalah pengawal-pengawal terbaik di Kademangan Sangkal Putung. Swandaru ingin memperlihatkan kekuatan Kademangannya kepada Kiai Gringsing dan terutama kepada Sutawijaya. “Nah, sekarang Raden, Ki Juru dan guru dapat beristirahat. Setelah lewat tengah hari, biarlah para pengawal mempertunjukkan kemampuan mereka mempertahankan Kademangannya.” Ternyata bahwa kunjungan beberapa orang di Sangkal Putung itu menjadi sangat menarik. Sutawijaya dan Ki Juru Martani tidak mengira sama sekali, bahwa mereka akan dapat melihat kemampuan dari para pengawal di Sangkal Putung. Ketika Sutawijaya, Ki Juru dan Kiai Gringsing sempat berbicara bertiga saja dipendapa, Raden Sutawijaya bertanya, “Kiai, apakah Agung Sedayu juga mengalami kemajuan seperti Swandaru?” “Mudah-mudahan Raden,“ jawab Kiai Gringsing, “tetapi aku melihat keduanya mempunyai landasan kepribadian yang berbeda. Agung Sedayu lebih banyak melihat kedirinya sendiri, sementara Swandaru, sesuai dengan keadaannya dan kedudukannya, lebih nampak keluar. Ia sempat membentuk sepasukan pengawal terpilih, menggerakkan anak-anak muda di Sangkal Putung untuk melakukan kegiatan yang bermacam-macam. Tetapi Agung Sedayu tidak mempunyai kewenangan seperti Swandaru. Ia hanya dapat berbuat bagi dirinya sendiri.”

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi dengan demikian maka Sangkal Putung benar-benar telah menjadi Kademangan yang kuat. Setidak-tidaknya untuk melindungi dirinya sendiri.“ ia berhenti sejenak, lalu. “tetapi bagaimana dengan Tanah Perdikan Menoreh? Ki Argapati adalah seorang yang kuat. Tetapi umurnya yang jauh lebih tua dari Swandaru tentu menumbuhkan perbedaan gairah perjuangan diantara mereka. Jika pada saatnya Swandaru mulai menjamah Tanah Perdikan Menoreh, maka Tanah Perdikan itu tentu akan menjadi lebih besar dari sekarang.” “Mudah-mudahan Raden. Mudah mudahan Swandaru berhasil. Bukan saja menjadikan kedua daerah itu kuat, tetapi juga mapan.” Sutawijaya mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh. Dalam pada itu, Swandaru dengan diam-diam telah mempersiapkan pengawalnya yang terbaik. Ia ingin menunjukkan kepada Sutawijaya bahwa Kademangannya adalah Kademangan yang kuat. “Ki Sumangkar,“ berkata Swandaru, “jika benar Mataram ingin membuat imbangan atas Pajang yang dikatakannya sudah tidak akan dapat berkembang lagi itu, maka Mataram harus memperhitungkan Sangkal Putung. Aku masih meragukan, apakah Mataram yang baru saja tumbuh itu akan dapat menyusun kekuatan sebesar Sangkal Putung.” “Ah,“ desah Ki Sumangkar, “kita semua sudah melihat, betapa Mataram sudah berhasil menyusun kekuatan yang besar. Beberapa kelompok prajurit tiba-tiba saja telah diketemukan berada di Mataram setelah meninggalkan Pajang meskipun mereka tidak menumbuhkan keributan. Ki Juru Martani, Ki Lurah Branjangan, dan beberapa orang, yang lain merupakan kekuatan yang besar bagi Mataram. Nama mereka mempunyai pengaruh tersendiri. Apalagi Sultan Pajang telah dengan ikhlas menyerahkan beberapa pusaka terbesar kepada Raden Sutawijaya, putera angkat yang dikasihinya seperti anak sendiri. Bahkan tombak Kangjeng Kiai Pleretpun secara resmi telah berada di Mataram.” Swandaru mengangguk-angguk. Dengan demikian iapun sadar, bahwa meskipun terselubung, tetapi sebenarnya Sultan Pajang sudah mengakui kehadiran Mataram disamping Pajang. Meskipun demikian ia menjawab, “Memang di Mataram terdapat beberapa orang prajurit yang menyatakan diri menjadi pengawal di Mataram. Namun susunan pengawal di Mataram terdiri dari orang-orang yang dapat dianggap baru dan kurang berpengalaman disamping sekelompok kecil prajurit.” “Ah, kau aneh Swandaru. Kita pernah bersama-sama melakukan pertempuran. Kita melihat kekuatan yang besar dari Mataram.” “Yang kita lihat adalah kekuatan Mataram beberapa saat yang lampau, saat Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh masih terlalu lemah, sehingga kita menyangka bahwa Mataram adalah suatu kekuatan yang tidak terkira besarnya. Tetapi sekarang, aku menganggapnya lain. Juga pimpinan tertinggi Mataram, Raden Sutawijaya, bukannya seorang anak muda yang mumpuni. Setelah aku meningkatkan ilmuku, maka aku kira, aku tidak akan kalah lagi dengan tingkat ilmunya.” “Jangan berpikir begitu Swandaru,“ berkata sumangkar,

“Raden Sutawijaya adalah murid Sultan Pajang sekaligus anaknya yang dikasihi. Setiap orang tahu, siapa Sultan Pajang, dimasa mudanya ia bernama Mas Karebet dan bergelar Jaka Tingkir, karena ia tinggal di Tingkir. Ia memiliki kemampuan yang tidak dapat dinilai. Sehingga orang mengatakan rabaan tangannya dapat menggugurkan gunung, sedang tatapan matanya dapat mengeringkan lautan. Meskipun bukan sebenarnya demikian, namun julukan itu telah dapat memberikan gambaran akan kemampuannya yang tidak terhingga.” “Tetapi itu adalah Sultan Pajang. Sultan Hadiwijaya, bukan Raden Sutawijaya.“ “Aku yakin, bahwa ilmu itu telah dimiliki oleh Raden Sutawijaya pula.” Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba saja ia berkata, “Ki Sumangkar. Sebenarnyalah bahwa aku memang harus menentukan sikap. Sangkal Putung terletak digaris lurus antara Pajang dan Mataram. Jika aku terombang-ambing diantara keduanya, maka aku tentu akan tergilas oleh keadaan. Tetapi untuk menentukan sikap, diperlukan pengamatan yang teliti.” “Kenapa kau harus menentukan sikap? Memang ada semacam persaingan antara Pajang dan Mataram. Tetapi itu bukan berarti bahwa keduanya akan berhadapan dalam benturan kekuatan.” “Tetapi kemungkinan itu dapat dilihat sekarang. Prajurit Pajang pada umumnya tidak senang melihat perkembangan Mataram. Sedang ada diantara mereka yang lari dan berpihak kepada Mataram. Bukankah itu suatu pertanda buruk? Apalah dengan hadirnya kekuatan yang menyebut dirinya pewaris yang sah dari Kerajaan Besar Majapahit. Maka keadaan tentu akan menjadi semakin gelap.” “Aku ingin menasehatkan kepadamu Swandaru,“ berkata Ki Sumangkar, “jangan terlalu bangga atas pencapaianmu. Aku tahu, pada umumnya seseorang yang baru saja menyelesaikan satu tingkat kemampuannya, cenderung untuk mencobanya.” Swandaru mengerutkan keningnya. Katanya, “Bukan maksudku sekedar mencoba kemampuanku, tetapi justru aku ingin menjajagi kemampuan Raden Sutawijaya.” Ki Sumangkar menarik nafas. Tetapi agaknya sulit baginya untuk mencegah niat Swandaru. Karena itu, maka iapun berdiam diri. Namun ada keinginannya untuk menyampaikannya kepada Kiai Gringsing jika ia nanti naik kependapa, setelah ikut menyiapkan tempat yang akan dipergunakan oleh para pengawal untuk memperlihatkan kemampuan mereka. Sebenarnyalah bahwa Ki Sumangkar menjadi agak kecewa melihat sikap Swandaru. Namun seperti yang diperhitungkannya sejak semula, agaknya Swandaru memang dipengaruhi oleh keadaan dan kedudukannya. “Mungkin ia bermaksud baik,“ Sumangkar mencoba menenangkan hatinya sendiri. Tetapi kemudian, “Namun aku tidak sependapat cara-cara yang dipergunakannya.” Dalam pada itu, para tamu yang ada dipendapapun telah mendapat hidangan makan siang. Mereka masih sempat berbicara panjang lebar tentang perkembangan Sangkal Putung dan Mataram. Dan

merekapun telah mulai berbicara tentang orang-orang yang menyebut diri mereka pewaris kerajaan Majapahit. “Pertemuan itu telah ditunda Kiai,“ berkata Raden Sutawijaya, “mungkin kematian beberapa orang pemimpin mereka di Tambak Wedi, mungkin pula kegagalan mereka merampok Swandaru saat perkawinannya, atau sebab-sebab yang lain, telah menyebabkan mereka sampai saat ini masih belum menentukan sikap mereka menghadapi Pajang dan Mataram. Tetapi aku mendapat keyakinan, bahwa pusaka-pusaka itu memang berada di tangan mereka.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya, “Maaf anakmas. Beberapa saat terakhir kami tenggelam dalam kesibukan kami sendiri. Persoalan yang menyangkut hubungan keluarga antara Agung Sedayu dan angger Untara. Antara Agung Sedayu dan Swandaru, serta kemudian keinginan Agung Sedayu untuk meningkatkan ilmunya, yang aku batasi waktu dari saat purnama sampai purnama berikutnya.” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Jika saat itu keadaan mendesak, aku kira aku sudah mencari Kiai, karena aku tahu, bahwa bersama Kiai Gringsing adalah Ki Waskita, Ki Sumangkar, kedua murid Kiai dan barangkali kekuatan di Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh dapat membantu Mataram.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi ketika kemudian Swandaru, Ki Demang dan orang-orang Sangkal Putung yang lain ikut pula dalam pembicaraan, maka pembicaraan mereka itupun telah mereka batasi. Namun dalam satu kesempatan, Ki Sumangkar telah sempat membisikkan perasaan Swandaru tentang Raden Sutawijaya yang bergelar Senopati ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram itu. “Aneh,“ desis Kiai Gringsing, “aku akan menemuinya.” “Ia sibuk dengan persiapannya,“ desis Ki Sumangkar. Kiai Gringsing termangu-mangu. Sebenarnya ia dapat mengerti, bahwa pada suatu saat, Swandaru akan melakukan sesuatu yang dianggapnya agak berlebihan. Namun, Kiai Gringsing sama sekali tidak menduga, bahwa anak muda itu akan meragukan kemampuan Raden Sutawijaya yang bergelar Senopati ing Ngalaga di Mataram. “Mungkin ia tidak meragukan kemampuan Raden Sutawijaya,“ berkata Ki Sumangkar, “tetapi ia telah didorong oleh keinginannya untuk mengetahui tingkat kemajuannya.” “Tentu ada perasaan sombong didalam dirinya,“ desis Kiai Gringsing. Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia menjawab, “Perasaan yang sama telah aku temui pula pada adiknya Sekar Mirah.” Kiat Gringsing termenung sejenak. Keraguannya tentang sikap batin Swandaru memang sudah tumbuh sejak beberapa lama. Tetapi kali ini ia benar-benar kecewa.

Karena itulah, maka iapun kemudian memerlukan menjumpai Swandaru. Dengan hati-hati telah memancing persoalan seperti yang dikatakan oleh Ki Sumangkar. “Guru,“ bertanya Swandaru, “apakah Raden Sutawijaya telah benar-benar menerima semua ilmu dari Sultan Pajang ?” “Tentu Swandaru. Bahkan menurut penilaian orang banyak, Raden Sutawijaya memiliki kelebihan dari putra Sultan sendiri. Pangeran Benawa tidak memiliki kemampuan ilmu setinggi Raden Sutawijaya.” “Tetapi apakah tidak ada orang lain yang sebaya dengan Raden Sutawijaya yang dapat menyamai ilmunya?” “Mungkin ada. Tetapi aku kira sulit untuk mengetahui. Seandainya seseorang mengetahui bahwa ilmunya setingkat dengan ilmu Raden Sutawijaya, apakah yang akan didapatkannya?” “Guru. Dalam jenjang keprajuritan, maka ketinggian ilmu tentu harus dipertimbangkan selain pengalaman dan kecerdasan. Mungkin memang ada seorang prajurit yang memiliki kemampuan mengatur pasukan dan pandangan yang tepat mengenai keadaan medan, meskipun ia sendiri secara pribadi kurang memiliki ilmu kanuragan. Dan orang yang demikian memang diperlukan. Tetapi bagi mereka yang memang memiliki ilmu yang cukup, maka apakah ia akan dapat diabaikan begitu saja?” “Aku tidak tahu maksudmu Swandaru,“ bertanya Kiai Gringsing meskipun hatinya sudah semakin berdebar-debar, “mungkin, kau sedang memperbandingkan seseorang ?” “Tegasnya Mataram dan Sangkal Putung. Bagaimanakah pendapat guru seandainya aku dapat memiliki ilmu setingkat dengan Raden Siiitawijaya? “ Kiai Gringsing menarik nafas. Katanya, “Mungkin saja seseorang memiliki tingkat kemampuan yang menyamainya. Tetapi kedudukan Raiden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga telah dikuatkan oleh pengakuan Sultan. Selebihnya, namanya sudah dikenal oleh para Adipati dari ujung Barat sampai keujung Timur wilayah Pajang dalam keseluruhan. Bukan sekedar kota Pajang.” Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi ia kemudian berkata, “Guru. Seseorang dapat menaruh hormat kepada orang lain, jika orang lain itu mempunyai kelebihan daripadanya. Bukan sekedar kelebihan derajad yang diwarisinya. Tetapi kelebihan pada diri seseorang itu sendiri.” Kiai Gringsing menegang sejenak. Lalu, “Kau terlalu ingin melihat kemajuan yang kau capai dalam

waktu terakhir Swandaru, sehingga kau ingin membuktikannya. Sayang, yang datang pertama kali di Kademangan ini adalah justru Senopati ing Ngalaga, sehingga bagiku sangat daksura seandainya kau ingin menjajagi kemampuan yang kau capai pada sasaran yang seharusnya kita hormati.” “Guru,“ jawab Swandaru, “mungkin tanggapan orang lain berbeda dengan niat dan maksudku sebenarnya. Jika aku ingin menjajagi kemampuan seseorang, adalah sekedar ingin memantapkan sikapku kepadanya. Jika aku harus menghormatinya, aku akan hormat dengan ikhlas jika orang itu memang mempunyai kelebihan daripadaku.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi kau harus dapat menimbang, siapakah yang sedang kita hadapi.” “Justru Raden Sutawijaya adalah orang yang paling tepat untuk aku jadikan sasaran sekarang ini. Jika ia memiliki kelebihan daripadaku, maka aku akan menghormatinya seperti aku menghormati Sultan Pajang, karena meskipun aku belum pernah menjajagi kemampuan Sultan Pajang, namun aku yakin, bahwa ia adalah orang yang pantas dihormati.” Tidak ada cara lagi untuk mencegah Swandaru. Tetapi sikap itu benar-benar sangat mendebarkan jantung. Jika Raden Sutawijaya yang bergelar Senopati ing Ngalaga yang juga masih muda itu salah paham, dan menganggap tindakan Swandaru itu benar-benar sebagai tantangan, maka hatinya tentu akan terluka untuk waktu yang sangat panjang. Banyak peristiwa yang dapat terjadi dimasa-masa berikutnya. Dan seribu kemungkinan akan dapat terjadi. Kiai Gringsing benar-benar menjadi cemas melihat sikap Swandaru yang didalam perkembangan pribadinya menjadi jauh berbeda dengan Agung Sedayu. Sementara itu, selagi Kiai Gringsing termangu-mangu, maka Swandarupun berkata, “Para pengawal sudah siap. Aku akan mengharap Raden Sutawijaya melihat kemajuan anak-anak muda Sangkal Putung didalam Sanggar.” Kiai Gringsing masih akan mencoba mencegah tingkah laku Swandaru, tetapi Swandaru telah mendahului, “Guru, biarlah aku mendapat pegangan atas sikapku. Jika tidak, maka aku akan selalu ragu-ragu dan tidak dapat melakukan tugas-tugasku dengan mantap.” Kiai Gringsing tidak menyahut. Tetapi iapun kemudian meninggalkan Swandaru dan kembali kependapa. Dipendapa ternyata Ki Demang telah duduk pula bersama tamu-tamunya dari Mataram dan nampaknya sedang asyik berbincang tentang kemajuan yang sudah dicapai oleh Sangkal Putung. sejak Swandaru merasa wajib untuk ikut membinanya. Ketika Kiai Gringsing naik kependapa, Ki Sumangkar memandangnya dengan gelisah. Apalagi ketika Kiai Gringsing kemudian menggelengkan kepalanya. Agaknya Ki Sumangkar langsung dapat mengetahui bahwa Kiai Gringsingpun tidak dapat mencegahnya lagi. Tetapi bagaimanapun juga, orang-orang tua itu sealu dibayangi oleh kegelisahan. Keduanya adalah

anak-anak muda yang masih mudah disentuh olah api perasaannya. Sejenak kemudian ternyata Swandary telah mempersilahkan … … untuk melihat sanggar. Beberapa orang … telah menunggu. Mereka adalah pengawal yang terbaik yang akan ditunjukkan kepada Raden Sutawijaya. Ketika para tamu telah memasuki sanggar, maka para pengawal itupun langsung dipersiapkan. “Mereka adalah sebagian kecil dari seluruh kekuatan Sangkal Putung yang besar,“ berkata Swandaru, “pengawai Kademangan ini kini telah berlipat. Jauh lebih banyak dari saat Tohpati masih berkeliaran disekitar kademangan ini. Bukan saja jumlahnya, tetapi kemampuan merekapun jauh lebih baik dari pengawal dimasa itu,“ Swandaru memberikan penjelasan bahkan … para pengawal, maka setiap anak muda di Sangkal Putung adalah pengawal. Dan mereka mempunyai kewajiban yang harus dipertanggung jawabkan meskipun tidak … at para pengawal yang sesungguhnya. Dan latihan-latihan bagi merekapun tidak seberat para pengawal yang diangkat dengan resmi.” Raden Sutawijaya mengangguk angguk. Katanya, “Baik sekali Swandaru. Jika Sangkal Putung telah selesai, kau akan meloncat ke Tanah Perdikan Menoreh.“ “Ya. Tentu,“ jawab Swandaru sambil memandang Pandan Wangi yang ada didalam sanggar itu pula, “tetapi semuanya masih tergantung kepada Pandan Wangi.” Pandan Wangi tidak menyahut. Bahkan kepalanyapun ditundukkannya dalam-dalam. Sementara itu, maka semua persiapan telah selesai. Swandarupun sudah siap memberikan aba-aba kepada para pengawal yang akan memberikan pameran kekuatan dihadapan pemimpin tertinggi Mataram. Dengan isyarat Swandarupun kemudian memberikan aba-aba agar para pengawal itu mulai. Mulamula beberapa orang yang menunjukkan unsur-unsur gerak dasar. Tetapi yang sudah mantap. Kemudian meningkat semakin sulit dan tinggi. Pada tingkat selanjutnya Swandaru telah memasang beberapa pasang pengawal yang akan menunjukkan ketangkasannya berkelahi. Seorang lawan seorang, atau sekelompok melawan sekelompok. Sejenak kemudian Sutawijaya telah terpukau. Sekali kepalanya terangguk-angguk. Bahkan kemudian desisnya, “Luar biasa.” Ia tersenyum melihat dua orang anak muda yang sedang bertempur tanpa senjata. Mereka benar-benar telah berkelahi dengan sentuhan-sentuhan lepas seperti mereka melepaskan serangan. Tetapi

nampaknya keduanya memiliki kemampuan yang setingkat, sehingga serangan demi serangan dilontarkan tanpa mencelakai pihak masing-masing. Sekali-sekali Swandaru memandang wajah Raden Sutawijaya. Ia melihat kekaguman pada wajah itu. Sesaat Swandaru menjadi bangga. Namun kemudian ia telah didorong oleh keinginannya untuk mengetahui betapa tingkat ilmu anak muda itu. “Ia bangga dan kagum melihat anak-anak yang sedang bermain-main itu,“ berkata Swandaru didalam hatinya, “apakah dengan demikian berarti bahwa tingkat ilmu Raden Sutawijaya sendiri belum jauh terpaut dari anak-anak itu? Jika demikian, maka ilmu Raden Sutawijaya masih belum melampui ilmuku.” Dengan demikian maka keinginannya bagaikan tidak tertahan lagi. Namun ia masih menahan diri. Ia ingin melihat kekaguman Raden Sutawijaya menyaksikan permainan para pengawal itu untuk latihanlatihan berikutnya. Kedua anak muda yang seakan-akan telah bertempur dengan sungguh-sungguh itu sekali-sekali mulai saling mengenai. Benar-benar mengenai lawannya sehingga lawannya menyeringai. Tetapi karena kemampuan mereka seimbang, maka seakan-akan mereka telah membagi berapa kali masing-masing harus mengenai lawannya. Ketika keduanya seakan-akan telah mandi keringat, maka Swandarupun menghentikannya. Ia kemudian memerintahkan dua orang pengawal untuk mulai dengan latihan yang lain. Keduanya akan memperlihatkan kemampuan mereka mempergunakan senjata. Sutawijaya memandang latihan-latihan itu bagaikan tanpa berkedip. Sekali-kali ia tersenyum sambil mengangguk-angguk. Bahkan seakan-akan diluar sadarnya ia telah bertepuk. Swandaru memperhatikan Raden Sutawijaya dengan saksama. Namun diluar sadarnya, gurunya dan Ki Sumangkar justru memperhatikan Swandaru dengan hati yang berdebar-debar. Ternyata bahwa Swandaru benar-benar ingin melakukan rencananya. Ketika orang-orang terakhir dari para pengawalnya telah melakukan latihan-latihan yang menegangkan, maka Swandaru telah mendekati Sutawijaya. Sambil memperhatikan orang terakhir, Swandaru berkata, “Mereka adalah para pengawal Kademangan ini Raden.” Raden Sutawijaya seakan-akan terkejut mendengar. Dengan serta-merta ia berpaling dan berkata, “Ya, ya. Bagus sekali. Mereka mempunyai kemampuan yang dapat dibanggakan. Sangkal Putung akan menjadi sebuah Kademangan yang kuat.” “Ya. Mereka mempunyai ikatan dan tanggung jawab diantara mereka dan kepada pemimpinnya. Aku

telah mengajari mereka agar mereka tunduk dan taat kepada pimpinan mereka. Juga kepadaku.” Raden Sutawijaya mengangguk. Jawabnya, “Tepat. Memang mereka harus diikat oleh satu wibawa. Semakin tinggi kemampuan mereka, maka ikatan dan tanggung jawab itu harus menjadi semakin kuat. agar mereka tidak terlepas untuk melakukan tindakan-tindakan yang kurang menguntungkan bagi mereka sendiri dan bagi kesatuan mereka. Ada satu dua saja diantara merela yang melakukan kesalahan dan apalagi tindakan tercela maka seluruh pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung akan ternoda.” Swandaru mengangguk angguk. Sekilas dilihatnya orangorang yang sedang memperhatikan latihanlatihan itu. Ia bangga karena latihan-latihan itu mendapat perhatian dari tamu-tamunya dan gurunya. Sementara itu. maka iapun berkata, “ Raden. Aku menanamkan sifat kepada para pengawal dan anakanak muda di Sangkal Putung, bahwa mereka harus patuh kepada pemimpinnya. Tetapi itupun merupakan tanggung-jawab yang besar bagi para pemimpin, karena ia harus menunjukkan, bahwa sebenarnya ia adalah pemimpin.” Sutawijaya mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak begitu memperhatikan maksud kalimat Swandaru, sehingga sambil mengangguk tanpa melepaskan perhatiannya kepada para pengawal yang sedang berlatih ia menjawab, “Itupun tepat. Seorang pemimpin harus menundukkan sikap dan perbuatan seorang pemimpin, sehingga wibawanya akan terpelihara.” Swandaru mengerutkan keningnya. Agaknya Raden Sutawijaya menganggap bahwa Swandaru hanya sekedar menyatakan pendapatnya tentang sikap seorang pemimpin. “Raden,” berkata Swandaru kemudian, “sebenarnya yang harus ditunjukkan oleh seorang pemimpin, bukannya sekedar sikap dan perbuatan.” Raden Sutawijaya masih memperhatikan latihan-latihan dengan saksama. Yang justru menjadi sangat gelisah adalah Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. “Lalu?” bertanya Raden Sutawijaya. “Seorang pemimpin harus mampu memberikan contoh yang baik.” “Ya. Ya. Itupun tepat.” “Jika ia seorang Senapati, maka ia harus menunjukkan bahwa ia memiliki kelebihan dari perwira dan apalagi prajurit-prajurit yang lain.” “Ya. Itu sebaiknya,” jawab Sutawijaya. Ia mulai merasa terganggu, karena perhatiannya kepada latihan-latihan itu harus dibagi dengan mendengarkan kata-kata Swandaru.

Tetapi Swandaru berbicara terus. “Jika seorang pemimpin tidak dapat menunjukkan kelebihannya dari orang-orang yang berada ditingkat bawahnya, maka wibawanyapun kurang diakui, apalagi jika ia sekedar bersandar kepada nama pemimpin yang lain.” “Tepat,” sahut Sutawijaya. Tetapi justru perhatiannya kepada kata-kata Swandaru semakin berkurang. Ia tidak lagi menangkap makna dari kata-kata itu, karena latihan-latihan yang dilihatnya meningkat semakin cepat. Ketika Swandaru akan berbicara lagi, Sutawijaya telah mendahului, “Berbahaya sekali. Tetapi agaknya mereka memang sudah terlatih hampir sempurna. Senjata itu sama sekali tidak menyentuh tubuh mereka.” Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia kemudian duduk semakin dekat disamping Sutawijaya. Katanya, “Mereka sudah akan sampai ke bagian terakhir dari latihannya. Tetapi Raden, aku ingin meneruskan kata-kataku. Tentang seorang pemimpin.” “O, ya?,“ desis Sutawijaya, tetapi ia tidak mau kehilangan bagian-bagian terakhir yang merupakan puncak dari latihan itu. “Bukankah sudah sewajarnya, bahwa para pengawal itu memandang aku sebagai pemimpinnya, sehingga mereka menganggap aku mempunyai kelebihan dari mereka? Tetapi aku sudah membuktikannya Raden. Aku memang mempunyai kelebihan dari mereka. Apalagi …r. 'u akulah yang menuntun mereka sampai ketingkatnya yang sekarang.“ “Bagus sekali.” “Tanpa menunjukkan dan membuktikan bahwa aku mempunyai kelebihan dari mereka, maka para pengawal itu akan mengabaikan aku, meskipun aku memang orang yang berhak memimpin mereka.” “Ya, ya.“ Kening Raden Sutawijaya mulai berkerut. Senjata ditangan para pengawal yang sedang berlatih itu semakin cepat bergerak. “Berbahaya sekali,“ desis Sutawijaya. Swandaru menjadi kecewa. Sutawijaya tidak memperhatikan kata-katanya. Tetapi Swandaru masih berusaha untuk memancing Sutawijaya agar ia dapat mengerti maksudnya. “Raden, bukankah sikap itu sikap yang wajar?” “Wajar sekali,“ Raden Sutawijaya asal menjawab. “Dan itu berlaku bagi segala tingkat?”

“Tentu,“ jawab Raden Sutawijaya. Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Iapun mulai jengkel. Sutawijaya lebih memperhatikan latihanlatihan itu daripada persoalan yang dikemukakan. Sehingga karena itu, maka ia lebih mendesak lagi dengan kata-kata yang lebih jelas. “Raden, apakah Raden juga bersikap demikian?” “Ya, akupun bersikap demikian. Pemimpin-pemimpinku harus membuktikan bahwa ia mempunyai kelebihan daripadaku. Tetapi aku sudah yakin akan hal itu.” “Apakah Raden menganggap bahwa Sultan Pajang mempunyai kelebihan dari Raden?” Pertanyaan itu mulai menarik perhatian Sutawijaya. Tetapi sebagai seorang pemimpin yang berpandangan luas, maka dalam keadaan yang masih kabur, ia tidak akan merubah tata hubungan antara Pajang dan Mataram. Maka jawabnya sambil memperhatikan bagian terakhir dari latihan itu. “Ya. Aku menganggap bahwa ayahanda Sultan mempunyai kelebihan yang jauh daripadaku.” Swandaru mengatupkan giginya. Hampir saja ia berteriak karena kejengkelan yang menyesak dadanya. Tetapi ia berusaha menahan diri. Seperti Swandaru, maka dada Kiai Gringsing dan Ki Sumangkarpun rasa-rasanya menjadi sesak meskipun dalam sudut perasaan yang berbeda. Mereka menjadi cemas, bahwa Swandaru benar-benar tidak dapat mengekang diri. Justru karena Raden Sutawijaya yang tidak menduga maksud Swandaru tidak segera dapat menangkap makna kata-katanya. Bahkan perhatiannya benar-benar tertuju kepada latihan-latihan yang semakin dahsyat dan mencapai puncaknya yang mendebarkan. Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah ia ingin membuat dadanya bertambah lapang. Tetapi ia sama sekali tidak mundur. Sejenak Swandarupun memperhatikan latihan yang berlangsung dengan serunya. Senjata kedua orang yang sedang berlatih itu menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Namun keduanya adalah pengawal yang terampil dan menguasai senjata masing-masing. “Raden,“ Swandaru seolah-olah sudah tidak sabar lagi, “ternyata bahwa akupun mempunyai sikap demikian. Aku hanya akan mengakui seorang pemimpin yang mempunyai kelebihan daripadaku.” Sutawijaya mengerutkan keningnya. Perhatinnya kepada latihan itu mulai terbagi. Namun ia masih bertanya, “Apakah kau merasa bahwa pimpinanmu tidak dapat mengimbangi kemampuanmu?” “Bukan begitu. Tetapi sekedar membuktikan.” “Siapa yang kau maksud? Ayahmu atau mertuamu?”

Pertanyaan itu benar-benar menghentak dada Swandaru. Hampir-hampir saja ia kehilangan nalar. Untunglah, sambil menarik nafas dalam-dalam ia masih sempat menahan diri. Jawabnya dengan suara gemetar, ”Raden. Bukankah kini aku berdiri disimpang jalan? Aku tahu bahhwa Pajang dan Mataram mulai berselisih jalan. Dan akupun tahu, meskipun Sultan Hadiwijaya di Pajang mempunyai kelebihan dalam olah kanuragan, tetapi ia sekarang seakan-akan sudah sampai pada puncak kemampuannya didalam pemerintahan. Ia sudah berhenti. Ia lebih senang memperhatikan kesenangan diri sendiri, sehingga Pajang sama sekali sudah tidak bergerak maju. Kemukten yang dihayatinya sekarang telah menghentikan segala gerak dan perjuangan bagi tanah ini.” Sutawijaya mengerutkan keningnya. Tetapi matanya masih tetap tertuju pada latihan yang sengit. “Raden,” Swandaru meneruskan niatnya itu, “aku mulai berkiblat kepada Mataram, aku melihat Mataram berkembang pesat. Dan aku melihat sikap kepemimpinan Raden Sutawijaya yang bergelar Senopati ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram.” Kata-kata Swandaru yang terakhir telah mengguncang dada Raden Sutawijaya. Ia mulai sadar, apakah yang dimaksud oleh Swandaru. Sekilas ia mencoba mengingat apa saja yang sudah dikatakan oleh Swandaru sejak anak muda itu mendekatinya. Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga itupun usianya masih muda. Darahnya masih mudah mendidih seperti pada umumnya anak-anak muda. Itulah sebabnya, ketika ia menyadari maksud Swandaru ia telah beringsut setapak. Tetapi disebelahnya yang lain duduk Ki Juru Martani. Meskipun tidak begitu jelas, tetapi ia mendengar kata-kata Swandaru dan justru Ki Jurulah yang lebih menangkap maksud Swandaru. Ketika Ki Juru merasakan gejolak hati Raden Sutawijaya, maka iapun telah menggamitnya. Dengan isyarat ia mengharap agar Raden Sutawijaya agak bersabar menanggapi sikap Swandaru itu. Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia melihat latihan yang benar-benar sudah mencapai pada akhirnya. Kedua orang yang sedang berlatih dengan senjata itu telah mulai mengekang diri dan kemudian merekapun berhenti sama sekali. Dengan bangga mereka memperhatikan orangorang yang berada didalam sanggar, seolah-olah ingin mengatakan sambil menepuk dada. “Inilah aku, pengawal Kademangan Sangkal Putung.” Tetapi anak-anak muda yang sedang berlatih itu tidak bersalah. Swandaru memang mengajari mereka untuk berbangga terhadap kemampuan diri, meskipun maksudnya untuk membangkitkan kepercayaan kepada diri sendiri. Dalam pada itu, nafas Raden Sutawijaya terasa menyesak dadanya, justru karena ia menahan perasaannya. Namun agaknya pengalamannya yang luas dan kedudukannya yang meyakinkan justru

membuatnya lebih tenang. Raden Sutawijaya masih sempat mengangguk ketika anak-anak muda yang akan mundur dari arena itu mengangguk kepadanya. Sementara itu Swandaru berkata, “Latihan-latihan telah selesai. Kami ingin mendapatkan penilaian dari para tamu dan Kiai Gringsing, guruku. Sementara itu, kami akan menunggu apakah Raden Sutawijaya juga akan memberikan penilaian. Bukan saja terhadap para pengawal, tetapi juga bagi pelatihnya.” Terasa debar jantung orang-orang yang mendengar kata-kata Swandaru itu terasa semakin cepat. Terutama gurunya dan Ki Sumangkar. Apalagi ketika mereka melihat wajah Raden Sutawijaya yang menjadi merah. Seolah-olah Swandaru telah menyatakan tantangan dengan terbuka. “Swandaru,“ Kiai Gringsing masih mencoba menengahi, “bagi seorang yang memiliki ketajaman penglihatan tentang olah kanuragan, maka ia akan langsung dapat melihat nilai dari seseorang lewat penanganannya terhadap orang lain. Maksudku, dengan melihat latihan-latihan ini, seseorang sudah dapat menilai juga tingkat ilmu pelatihnya, meskipun belum dapat disebut, guru.” Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Mungkin guru. Tetapi seperti yang sudah aku katakan, biarlah aku memantapkan sikapku menanggapi saat-saat terakhir dalam hubungan antara Pajang dan Mataram.” “Swandaru,“ Kiai Gringsing memotongi, ”kau belum cukup masak untuk berbicara tentang Pajang dan Mataram saat ini.” Tetapi Swandaru justru tersenyum. Katanya, “Ayah juga menganggap begitu. Aku mengerti, bahwa orang-orang tua cenderung menganggap anak-anak muda itu terlampau bodoh. Jika seumurku masih dianggap belum masak untuk mengikuti perkembangan hubungan Pajang dan Mataram, maka apakah seumur Raden Sutawijaya yang hampir tidak terpaut dari umurku itu sudah pantas diangkat menjadi Senapati ing Ngalaga dan berkedudukan di Mataram. Apalagi menerima pusaka-pusaka terpenting dari Pajang.” “Latar belakang kehidupanmu dan kehidupan Raden Sutawijaya berbeda. Aku kira Raden Sutawijaya pun masih kurang masak untuk mengetahui musim, kapan para petani mulai menanam padi, dan kapan harus menanam palawija. Raden Sutawijaya tidak akan segera mengetahui pertanda langit bahwa musim basah akan berganti dengan musim kering, sehingga para petani harus mulai mempersiapkan diri dengan tanaman yang tidak memerlukan banyak air.“ jawab Kiai Gringsing. “Dan guru menganggap bahwa anak petani tidak pantas unuk berbicara tentang pemerintahan? Guru aku pernah mendengar ceritera tentang masa muda Mas Karebet yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya.”

Dalam pada itu, Sutawijaya yang juga masih muda itupun menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu benar apa yang dimaksud oleh Swandaru. Namun sebagai seorang yang memiliki sikap dewasa, apalagi isyarat yang diberikan oleh Ki Juru Martani, maka raden Sutawijaya masih tetap menahan diri. Betapapun dadanya bergejolak oleh kemudaannya, tetapi ia sama sekali tidak menunjukkan pada sikap dan perbuatan. Bahkan ia masih sempat tersenyum dan berkata, “Sebenarnya bukan akulah yang harus menilai perkembangan Swandaru, tetapi tentu gurumu.” “Bukan sekedar menilai perkembangan ilmuku saja Raden, tetapi seperti yang aku katakan, apakah aku telah menunjukkan sikap yang benar terhadap orang-orang yang pantas aku hormati.” Raden Sutawijaya menarik nafas, sementara Kiai Gringsing berkata, “Swandaru. Sebenarnya kau harus menjaga keseimbangan perkembangan ilmu dan kedewasaan nalarmu. Ilmumu kau rasa maju sangat jauh, tetapi kau menanggapi perkembangan ilmumu dengan sikap kekanak-kanakan. Jika kau sebut Mas Karebet yang juga disebut Jaka Tingkir, maka kau harus mengerti, meskipun ia anak petani, tetapi ia sudah berada dilingkungan istana sejak ia diketemukan oleh Sultan Demak karena ia melakukan sesuatu yang menarik. Ia telah meloncati sebuah belumbang sambil berjongkok justru membelakangi belumbang itu. Sejak itu ia mulai mempelajari tata pemerintahan, meskipun kemudian ia harus keluar lagi dari istana dan mengembara ketempat yang jauh.“ ia berhenti sejenak, lalu. “apalagi masalah yang kau hadapi akan sangat berbeda dengan perkembangan yang kau katakan dalam hal penjajagan yang kau maksud.” Swandaru mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa orangorang tua tentu tidak menyetujui sikapnya. Tetapi ia sudah yakin akan sikapnya. Jika Raden Sutawijaya tidak mempunyai kelebihan daripadanya, maka apakah gunanya ia setiap kali menundukkan kepala sambil memberikan hormat setinggitingginya meskipun ia bergelar Senopati ing Ngalaga? Jika Senopati tertinggi yang berkedudukan di Mataram itu tidak mampu melampui ilmunya, maka Mataram baginya akan tidak berarti apa-apa. Karena itu maka Katanya, “Guru. Hubungan antara aku dan Raden Sutawijaya kini adalah hubungan antara seorang yang mendapat limpahan kekuasaan tertinggi dari Pajang dengan pimpinan pasukan pengawal di Sangkal Putung. Aku sama sekali tidak ingin menentang Senapati yang mendapat tanda kekuasaan dari Sultan Pajang. Yang aku lakukan adalah sekedar meyakinkan, apakah aku memang harus menganggapnya sebagai seorang pemimpin yang baik.” Kiai Gringsing masih akan mencegahnya. Tetapi justru Raden Sutawijaya sudah berdiri. Ia tertegun ketika Ki Juru menggamitnya. Namun Raden Sutawijaya itu tersenyum sambil mengangguk kecil. Sikap itu agak memberikan ketenangan sedikit Kepada Kiai Gringsing. Dengan demikian ia mengerti, bahwa Raden Sutawijaya menanggapinya dengan dada yang lapang, meskipun Kiai Gringsing tidak tahu pasti perasaan apakah yang sebenarnya bergolak didada anak muda itu.

Sementara itu, Pandan Wangi hanya dapat menundukkan kepalanya. Ia samasekali tidak sependapat dengan cara yang ditempuh suaminya untuk meyakinkan diri tentang ilmunya dan tentang hubungan antara Sangkal Putung dan Mataram dengan menjajagi kemampuan Senopati ing Ngalaga. Baginya, siapapun yang memegang pimpinan atas limpahan kekuasaan dari Sultan adalah sah, sehingga seseorang tidak perlu mempergunakan cara-cara seperti yang dilakukan oleh Swandaru. Pandan Wangi sadar, bahwa yang terpenting bagi Swandaru sebenarnya adalah ingin menjajagi kemampuan dirinya sendiri. Apakah ilmunya benar-benar telah maju. Tetapi Pandan Wangi tidak dapat mencegahnya. Betapapun ia cemas menghadapi perkembangan keadaan tetapi ia hanya dapat membeku ditempatnya. Sementara itu Sekar Mirah mengangkat wajahnya. Ia bangga dengan sikap kakaknya. Orang-orang yang mengatakan dirinya Senopati memang harus meyakinkan, apakah ia memang seseorang yang pantas memiliki gelar itu dan memang seorang yang pantas memimpin prajurit dimedan perang. Dalam pada itu Sutawijaya yang sudah berdiri itupun berjalan ketengah arena yang baru saja dipergunakan untuk berlatih. Dengan sikap dan pakaiannya yang sederhana, maka ia saat itu memang tidak pantas disebut Senopati ing Ngalaga. Tetapi jika diperhatikan betapa tajamnya sorot matanya, maka orang akan mengetahuinya, bahwa ia adalah anak muda yang mesyimpan kemantapan didalam dirinya. “Swandaru,“ berkata Raden Sutawijaya, “sebenar nya aku tidak bersedia untuk melakukan apapun juga sekarang ini. Aku kini sedang dalam perjalanan untuk melihat-lihat keadaan dan perkembangan daerah disekitar Mataram setelah aku mengembara untuk waktu yang agak lama. Tetapi jika kau memaksa, maka akupun wajib memberikan tanggapan. Bukan karena aku cemas bahwa akan kehilangan sikap hormat dari siapapun. Tetapi jika aku menghindar, maka kau tentu akan sangat kecewa.” “Raden benar,“ Swandarupun berdiri dan melangkah mendekat dengan sikap yang mantap, “dan aku harap Raden tidak marah dengan caraku ini.” “Sama sekali tidak,“ jawab Raden Sutawijaya, “aku senang bahwa kau berterus terang. Tetapi jika ada kelebihanku dari padamu, jangan dinilai sebagai sikap yang sombong. Bukankah itu yang kau kehendaki agar kau tidak ragu-ragu menganggapku sebagai Putera Sultan Hadiwijaya yang mendapat limpahan kekuasaan dengan gelar Senopati ing Ngalaga dan berkedudukan di Mataram? Dengan demikian maka kedudukankupun akan menjadi mantap. Dan karena soalnya menyangkut nama ayahanda Sultan Hadiwijaya, maka akupun akan membuktikan bahwa putra Sultan Hadiwijaya di Pajang yang dipercaya untuk membina Mataram bukan seorang yang mengecewakan, sehingga Sultan Hadiwijaya tidak dapat dipersalahkan karena mempercayai puteranya yang tidak memiliki hampir seluruh ilmunya.” Yang mendengarkan kata-kata Raden Sutawijaya itu menjadi berdebar-debar. Bahkan wajah

Swandarupun menjadi merah pula karenanya. Dalam pada itu, Ki Juru Martanipun nampaknya heran mendengar kata-kata Raden Sutawijaya. Agaknya Raden Sutawijaya tidak biasa berkata demikian tentang dirinya sendiri. Tetapi agaknya Raden Sutawijaya menangkap gerak perasaan Ki Juru Martani, sehingga karena itu maka katanya, “Paman, mungkin paman terkejut mendengar kata-kataku. Tetapi aku mencoba untuk mempergunakan cara yang dipergunakan oleh Swandaru. Swandaru mengharap agar aku tidak marah oleh sikapnya yang berterus terang. Akupun mengharap pula bahwa ia tidak akan marah jika aku berterus terang. Karena itu, mungkin aku akan berkata dengan cara yang lain jika aku berhadapan dengan Untara misalnya, atau dengan Agung Sedayu.” Hampir saja Swandaru mengumpat. Untunglah bahwa ia masih dapat menahan diri. Namun dalam pada itu, terdengar giginya gemeretak oleh getar didalam dadanya. Dalam pada itu Pandan Wangi menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sebagai seorang perempuan yang mudah tersentuh, ia merasa betapa tajamnya sindiran Raden Sutawijaya terhadap suaminya. Karena itu, terasa wajahnya yang tunduk itu menjadi panas. Sejak semula ia sama sekali tidak sependapat dengan cara yang akan ditempuh oleh suaminya untuk mengukur kemampuannya. Justru dengan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga di Mataram. Tetapi ia, seperti juga orang-orang lain sama sekali sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Kedua anak muda itu sudah berdiri ditengah-tengah sanggar. Bahkan mereka telah bersiap untuk melakukan penjajagan yang satu terhadap yang lain. Namun tiba-tiba saja Raden Sutawijaya melangkah ketepi. Ia mengambil kerisnya yang tergantung dilambungnya, dibawah ujung bajunya, dan menyerahkannya kepada Ki Juru Martani, “Aku titip paman. Dalam kelakuan orang sering melupakan pengekangan diri. Jika ada hantu yang kebetulan lewat dan hinggap ditanganku, maka keris itu dapat berbahaya.” Swandarupun mengerutkan keningnya. Ia melihat Raden Sutawijaya menyerahkan senjata yang ada padanya. Karena itu pula maka iapun mengurai cambuknya dan menyerahkannya kepada isterinya. Katanya, “Bawalah. Aku tidak memerlukannya.” Namun dalam sekilas itu, Kiai Gringsing telah melihat, bahwa ujung cambuk itu telah berubah. Ada beberapa sisipan kepingan baja pada juntai cambuk itu. Tetapi Kiai Gringsing tidak menanyakannya. Pandan Wangi menerima cambuk itu dan menggulungnya. Namun demikian hatinya masih tetap berdebar-debar menanggapi keadaan yang bakal terjadi. Sejenak kemudian kedua anak muda itu telah berdiri berhadapan. Swandaru telah bersiap untuk mulai dengan perkelahian yang diharapkannya akan dapat memantapkan sikapnya terhadap Raden

Sutawijaya. Namun sebenarnyalah bahwa yang terutama baginya adalah untuk menyatakan bahwa ilmunya telah jauh meningkat, dan bahkan mungkin telah melampui ilmu Raden Sutawijaya. Tetapi sikap Raden Sutawijaya bagi Swandaru sangat terasa menjengkelkan. Ia sama sekali tidak menjadi cemas atau ragu-ragu meskipun Raden Sutawijaya belum dapat mengetahui kemajuan ilmunya. Bahkan ia telah menjadi kagum melihat para pengawal berlatih. “Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri,“ berkata Swandaru di dalam hatinya. Tetapi yang dikatakan oleh Sutawijaya benar-benar membuat jantungnya bagaikan terbakar, “Swandaru. Sebenarnya aku sependapat dengan Kiai Gringsing bahwa dengan melihat latihan hasil tuntunan yang kau berikan, meskipun bukan sebagai sikap guru terhadap muridnya, aku sudah dapat membayangkan, sampai tingkat yang manakah ilmumu kini. Tetapi kau masih ingin membuktikannya dan barangkali, seperti yang kau katakan, kau ingin menjajagi ilmuku untuk memantapkan sikapmu. Namun dengan demikian kau seakan-akan terikat oleh janji, bahwa jika ilmuku ternyata lebih tinggi dari ilmumu, apalagi terpaut jauh, maka tidak akan ada persoalan lagi antara Mataram dan Sangkal Putung. Karena kau telah meyakinkan, bahwa aku memang pantas untuk menjadi seorang pemimpin.” Ki Juru Martani menggigit bibirnya. Raden Sutawijaya benar-benar telah bersikap lain. Namun Ki Juru vang tua itupun dapat mengerti, bahwa yang terloncat dri mulut Raden Sutawijaya itu adalah ledakan dari kemarahan yang sebenarnya tertahan-tahan didadanya. “Raden,“ berkata Swandaru yang dadanya sudah menjadi pepat, “marilah. Kita segera mulai dengan latihan yang khusus ini.” “Kaulah yang bermaksud menjajagi kemampuanku. Kaulah yang harus mulai lebih dahulu.” Swandaru mengerutkan keningnya. Namun katanya, “Baiklah Raden. Aku akan mulai lebih dahulu.” Sutawijaya berdiri tegang memandang anak muda yang gemuk itu. Tetapi ia telah benar-benar siap menghadapi serangan Swandaru.

Buku 103 ORANG-orang yang berada didalam sanggar itupun menjadi tegang. Mereka mulai membayangkan apa yang bakal terjadi. Kedua anak muda itu adalah anak-anak muda yang memiliki kemampuan yang tinggi, sehingga apabila keduanya tenggelam dalam arus perasaan yang tidak terkendali, maka akan terjadi perang tanding yang sangat dahsyat didalam sanggar itu. Tetapi didalam sanggar itu ada orang-orang tua yang tentu akan dapat bertindak apabila keadaan menjadi gawat. Didalam sangar itu ada Ki Juru Martani, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar yang tentu tidak akan tinggal diam apabila keadaan menjadi berbahaya. Demikianlah, sejenak kemudian Swandaru telah bersiap. Ia mulai mempersiapkan sebuah serangan. Dengan sengaja ia memperlihatkan kepada Sutawijaya, agar Sutawijaya bersiap menghadapinya. Sejenak kemudian Swandaru telah meloncat dengan serangan kearah dada. Meskipun ia masih belum melontarkan serangannya dengan sepenuh tenaga, namun serangan itu adalah serangan yang berbahaya. Tetapi semua orang terkejut melihat sikap Raden Sutawijaya. Ketika Swandaru meloncat menyerangnya, ia sama sekali tidak beranjak dari tempatnya bahkan bergerakpun tidak. Radien Sutawijaya ternyata telah membuat perhitungan yang sangat cermat. Ia yakin bahwa pertama yang dilontarkan dengan ragu-ragu itu tentu bukannya serangan yang menentukan. Tenaga Swandaru tentu tidak seluruhnya telah dilontarkan. Karena itulah maka Raden Sutawijaya ingin membuat kejutan untuk yang pertama kali, justru karena ia berhadapan dengan Swandaru. Dalam benturan yang pertama Raden Sutawijaya telah dengan diam-diam mengerahkan ilmunya untuk melambari daya tahan tubuhnya. Itulah sebabnya ia tetap berdiri tegak tanpa berbuat sesuatu. Swandaru sendiri terkejut melihat sikap Raden Sutawijaya. Sebenarnyalah bahwa ia memang belum mengerahkan segenap kekuatannya. Namun ia mengharap Raden Sutawijaya mengelak, sehingga dengan demikian maka ia telah memancing perkelahian selanjutnya. Tetapi kini ia melihat Raden Sutawijaya itu tetap berdiri tegak ditempatnya. Tidak menghindar, tetapi juga menangkis. Namun Swandaru sudah tidak sempat menahan serangannya. Itulah sebabnya maka serangannya itupun langsung mengenai dada Sutawijaya. Meskipun tidak dilambari dengan sepenuh kekuatan, namun setangan Swandaru adalah serangan yang kuat.

Sesaat kemudian serangan Swandaru itu telah membentur dada Raden Sutawijaya. Semua orang yang menyaksikan menahan nafasnya dengan tegang. Bahkan Ki Juru Martani yang tahu pasti kemampuan Raden Sutawijayapun menjadi berdebar-debar, karena justru ia belum tahu pasti kemampuan Swandaru dan kekuatan tenaga jasmaniahnya. Benturan yang terjadi benar-benar telah menegangkan. Pukulan Swandaru yang mengenai dada Raden Sutawijaya itu bagaikan hantaman yang akan langsung menghancurkan dada. Namun ternyata bahwa dada Raden Sutawijaya seolah-olah telah menjadi selembar besi baja, sehingga hantaman tangan Swandaru itu telah membentur kekuatan yang tidak beringsut serambutpun. Ketika benturan itu terjadi, orang-orang tua yang ada didalam Sanggar itu terkejut. Bahkan dengan sertamerta diluar sadarnya Kiai Gringsing berbisik, “Tameng Waja.” “Ya,“ desis Ki Sumangkar, “sama sekali bukan Lembu Sekilan.” Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar termangu-mangu sejenak. Yang dilihatnya adalah kemampuan yang tidak disangka-sangka. Jika semula mereka melihat sikap Raden Sutawijaya yang yakin akan dapat membebaskan diri dari serangan lawannya, mereka menduga bahwa Raden Sutawijaya tentu akan mempergunakan Aji Lembu Sekilan yang juga dimiliki oleh Sultan Hadiwijaya sehingga ia terbebas dari rencana pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa orang utusan Arya Penangsang meskipun orang-orang itu sudah berhasil langsung memasuki bilik tidurnya dan menyerang dengan keris pusaka Adipati Jipang. Tetapi kini ia melihat suatu perlindungan atas daya tahan tubuh dengan cara yang lain. Ketajaman pandangan mereka atas ilmu yang mereka saksikan langsung dapat membedakannya antara Aji Lembu Sekilan dan Aji Tameng Waja. “Hanya Sultan Trengganalah yang memiliki ilmu itu. Tetapi hampir tidak dapat dipercaya, bahwa sekarang Raden Sutawijaya telah menunjukkan kemampuannya mempergunakan Aji Tameng Waja,“ berkata Kiai Gringsing didalam hatinya. Ki Sumangkar adalah orang yang saat itu terlibat dalam pertentangan antara Pajang dan Jipang. Ia tahu benar kemampuan yang ada pada Sultan Trenggana, Pada Adipati Pajang dan Adipati Jipang. Namun tiba-tiba ia dikejutkan oleh Aji Tameng Waja yang seolah-olah dengan tiba-tiba saja telah nampak pada anak muda yang bergelar Senepati ing Ngalaga itu. Ternyata benturan itu telah menggetarkan dada Swandaru. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa tangannya seakan-akan telah membentur dinding baju yang kuat. Ia semula agak cemas bahwa ia akan mematahkan tulang iga Raden Sutawijaya. Namun yang kemudian ternyata adalah, bahwa Raden Sutawijaya itu tetap berdiri tegak. Dan bahkan sekilas nampak senyumnya yang membayang di bibirnya. Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun semula telah dicengkam oleh kecemasan, bahkan Pandan Wangi

telah memalingkan wajahnya sambil menahan nafasnya. Tetapi ia menjadi heran, bahwa Raden Sutawijaya itu bergeser-pun tidak. Tetapi kedua perempuan itu sama sekali tidak mengerti, apa yang telah terjadi sebenarnya. Yang mereka ketahui bahwa Raden Sutawijaya tentu telah menguasai suatu ilmu yang dahsyat. Tetapi mereka tidak tahu, ilmu yang manakah yang ada pada Senepati ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram itu. Namun, dalam pada itu, yang diharapkan Raden Sutawijaya adalah meleset. Swandaru yang tidak berhasil menggetarkan sikapnya, ternyata tidak mau melihat kenyataan itu. Ia merasa bahwa yang dilakukannya belumlah puncak kemampuan dan kekuatannya. Kerena itu, maka iapun segera surut selangkah dan mempersiapkan serangan berikutnya. Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Meskipun ia menguasai Aji Tameng Waja, namun ia sadar, bahwa segala macam kemampuan, dengan nama apapun, tentu ada batasnya. Juga ilmu yang dimilikinya itu tentu ada batasnya pula. Dengan demikian, maka ia tidak akan mau menanggung akibatnya, jika kekuatan Swandaru setelah ia meningkatkan diri itu melampai batas, kemampuan Aji penahan yang oleh Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar dikenal sebagai Aji Tameng Waja itu, maka ia tentu akan mengalami kesulitan. Karena itulah, maka Raden Sutawijayapun telah mengambil suatu keputusan untuk benar-benar memberikan kenyataan kepada Swandaru bahwa Raden Sutawijaya yang bergelar Senopati ing Ngalaga dan berkedudukan di Mataram memiliki bekal yang cukup untuk melakukan tugasnya. Raden Sutawijaya telah bertekad untuk memaksa Swandaru mengakui, bahwa sebenarnyalah Sangkal Putung tidak akan dapat diperbandingkan dengan Mataram yang telah tumbuh subur dan berkembang. “Anak ini harus yakin,“ berkata Raden Sutawijaya didalam hatinya. Dan iapun benar-benar ingin meyakinkan. Itulah sebabnya, maka Raden Sutawijayapun kemudian telah mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Ia tidak mau membiarkan Swandaru menghantam dadanya lagi, karena pukulan yang berikutnya tentu akan dilambarinya dengan segenap kemampuan yang ada padanya. Sejenak kemudian keduanya telah bersiap kembali. Swandaru yang merasa dirinya memiliki kemampuan cukup namun telah membentur kekuatan yang tidak diduganya itu, benar-benar telah menyiapkan segenap kekuatannya. Sejenak kemudian Swandaru telah mengulangi serangannya. Bukan lagi sekedar untuk memancing perkelahian, tetapi serangan benar-benar telah dilontarkan dengan kekuatan raksasanya. Raden Sutawijaya tidak membiarkan kekuatan Swandaru menembus ketahanan Aji Tameng Waja. Meskipun ia masih mengharap bahwa kekuatan Ajinya tidak dapat tembus oleh kekuatan Swandaru, tetapi ia tidak mau menyesal jika ia gagal.

Itulah sebabnya, maka iapun kemudian telah meloncat menghindar dan bahkan kemudian iapun telah terlibat dalam perkelahian melawan anak Demang Sangkal Putung itu. Beberapa saat Sutawijaya masih ingin menjajagi kemampuan dan kekuatan Swandaru. Ia tahu bahwa Swandaru telah melontarkan segenap kekuatannya. Karena itulah, maka ia harus berhati-hati. Mula-mula Raden Sutawijaya mulai dengan benturan-benturan kecil. Kemudian menangkis serangan Swandaru. Dan bahkan membentur kekuatan serangan anak muda itu. Namun dengan demikian Raden Sutawijaya mulai dapat menjajagi kekuatan anak muda yang gemuk itu. Kekuatan yang terlontar pada serangan-serangannya adalah kekuatan yang luar biasa. Tetapi sebagian besar masih bertumpu pada kekuatan wadagnya, meskipun Swandaru sudah melepaskan kekuatan cadangan yang dapat dikuasainya. Akhirnya Raden Sutawijayapun pasti, bahwa kekuatan Swandaru betapapun besarnya, dilambari dengan kemampuannya membangunkan kekuatan cadangan yang ada didalam dirinya, tidak akan dapat melampui daya tahan Aji Tameng Waja. Itulah sebabnya, maka Sutawijaya kembali kepada kepercayaan bahwa ia akan mampu menahan segala kekuatan yang akan dilontarkan oleh Swandaru. Selama Swandaru tidak melontarkan kekuatan ilmu yang dapat menyerap bukan saja tenaga cadangan didalam dirinya, tetapi juga hubungan kekuatan antara alam yang kecil dan alam yang besar sebagai kebulatan ujud dari diri pribadi dan lingkungannya. Tetapi ternyata Swandaru tidak melakukannya. Ia terlalu percaya kepada dirinya sendiri, dan iapun telah melatih diri dalam kepercayaan itu, sehingga Swandaru tidak lebih dan tidak kurang dari orang yang sedang bertempur dengan Raden Sutawijaya itu. Sejenak mereka masih bertempur dengan sengitnya. Namun kemudian Sutawijaya telah memantapkan Aji Tamenng Waja yang telah dikuasainya. Karena itulah, maka iapun kemudian bergeser menjauh selangkah. Kemudian berdiri tegak dengan kaki renggang dan tangan yang bertolak pinggang. Sikap itu benar-benar menyakitkan hati Swandaru. Ia melihat dada Raden Sutawijaya terbuka seutuhnya. Bahkan ia melihat seakan-akan Raden Sutawijaya dengan sengaja menunjukkan bahwa ia adalah orang yang tidak dapat disentuh oleh serangan lawannya. Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun iapun ingin membuktikan, bahwa ia memiliki tenaga raksasa. Ia dapat menghancurkan perisai besi dengan bindinya, dan ia mampu menyobek kulit harimau dengan ujung cambuknya. Karena itulah, maka iapun menyiapkan diri dengan ancang-ancang. Kemudian dengan geram ia meloncat sambil berteriak nyaring. Tangannya langsung menghantam dada anak muda yang dalam pandangan matanya adalah anak muda yang sangat sombong itu.

Sejenak kemudian terjadi benturan yang dahsyat. Benturan antara serangan Swandaru yang menghantam dada Raden Sutawijaya. Ternyata bahwa Raden Sutawijaya yang telah matek Aji Temeng Waja seutuhnya itu terdorong juga surut selangkah meskipun ia masih tetap dapat menguasai keseimbangannya, sehingga ia tidak terhuyung-huyung karenanya. Namun dalam pada itu, Swandaru yang membentur ketahanan tubuh Raden Sutawijaya justru terpental beberapa langkah surut. Rasa-rasanya kekuatannya telah membentur kekuatan yang tidak tertembus, sehingga ia justru telah terpental oleh hentakan kekuatannya sendiri. Selebihnya, terasa tangannya menjadi sakit oleh kekuatannya yang sepenuhnya dilontarkan, tetapi tertahan oleh ketahanan lawannya. Swandaru yang terhuyung-huyung itu menyeringai kesakitan. Sejenak ia berusaha melepaskan diri dari perasaan sakit. Namun kemudian ia sama sekali tidak segera mengakui bahwa lawannya telah memiliki perisai yang tidak tertembus oleh kekuatannya. Sekali lagi Swandaru ancang-ancang. Dan sekali ia meloncat melontarkan serangan. Namun seperti yang sudah terjadi, ia sama sekali tidak dapat menembus kekuatan Aji Raden Sutawijaya yang masih berdiri tegak meskipun ia terdorong sekali lagi selangkah surut. Semua orang yang menyaksikan menjadi berdebar-debar. Mereka mulai yakin, bahwa Swandaru benar benar tidak akan dapat menembus kekuatan yang ada didalam diri Raden Sutawijaya. Sejenak Swandaru termangu mangu. Dipandanginya wajah Raden Sutawijaya sejenak. Namun ketika ia melihat senyum dibibir anak muda itu, darahnya terasa telah mendidih. Karena itulah maka seolaholah ia tidak melihat kenyataan itu. Dengan wajah yang merah membara, Swandaru telah menyiapkan serangan berikutnya. Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, Pandan Wangi menjadi gelisah melihat keadaan anak muda itu. Tetapi Sekar Mirah telah menggeretakkan giginya seperti Swandaru. Katanya didalam hati, “Betapa sombongnya.” Swandaru yang kehilangan pengamatan diri itupun telah meloncat sekali lagi. Ia telah mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada untuk menghantam bukan dada, tetapi mengarah kekening. Serangan Swandaru benar-benar mengejutkan. Raden Sutawijayapun terkejut sekali. Ia tidak menduga, bahwa Swandaru akan menyerang keningnya. Bukan dadanya. Ketika tangan Swandaru membentur kening Raden Sutawijaya dengan kekuatan sepenuhnya, terasa hentakan yang kuat seolah-olah telah mengguncang isi kepala Raden Sutawijaya. Keadaan yang tibatiba itu benar-benar diluar dugaannya, sehingga ia tidak sempat lagi untuk mengelak. Meskipun Raden Sutawijaya masih dilambari kekuatan Aji yang seakan-akan menahan serangan Swandaru, namun kekuatan Swandaru yang didorong oleh kemarahan itu telah menyakiti Raden

Sutawijaya. Bahkan kepalanya terasa pening dan hentakan itu telah mendorongnya bukan saja selangkah surut, tetapi anak muda yang memiliki Aji Tameng Waja itu telah terhuyung-huyung. Sutawijaya harus berjuang untuk mempertahankan keseimbangannya. Tetapi ternyata bukan saja keseimbangan badannya, tetapi juga keseimbangan nalarnya, karena ia sadar sepenuhnya, bahwa serangan yang deksura itu seakan akan telah membakar dadanya. Dalam pertempuran yang sebenarnya, serangan yang demikian bukan menjadi pantangan. Bahkan menyerang mata sekalipun dengan ujung-ujung jari. Tetapi sekedar penjajagan yang langsung mengarah kening adalah suatu perbuatan yang dapat mengungkat kemarahan. Swandaru yang melihat Sutawijaya terhuyung-huyung, telah merasa bahwa ia mulai berhasil menembus ketahanan ilmu anak muda itu. Karena itu, ia justru menjadi semakin bernafsu. Dihadapan orang-orang yang dianggapnya berpengaruh atas dirinya, Swandaru ingin menunjukkan, bahwa ia bukan lagi anak-anak. Tetapi ia telah mampu melawan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga, sehingga dengan demikian, iapun pantas mendapat kedudukan yang setimpal dengan kemampuannya. Karena itu, maka Swandaru tidak mau kehilangan kesempatan. Iapun segera memburu dan menyerang dengan sepenuh kekuatannya pula. Raden Sutawijaya yang sedang mencari keseimbangannya itu, melihat betapa Swandaru seolah-olah telah membabi buta. Tetapi ia tidak berkesempatan untuk menghindar. Karena itu, maka iapun kemudian mempercayakan ketahanan dirinya pada kekuatan ilmunya yang telah tersalur di tubuhnya, sehingga merupakan daya tahan yang sangat kuat Sekali lagi serangan Swandaru yang dahsyat menghantam tubuh Raden Sutawijaya. Betapapun tubuh itu terlindungi oleh daya tahan yang kuat, namun dorongan serangan Swandaru telah mendesaknya sehingga sebelum ia menemukan keseimbangannya yang utuh, Raden Sutawijaya telah terdorong pula dengan kekuatan raksasa. Raden Sutawijaya benar-benar tidak dapat menguasai keseimbangannya, meskipun tubuhnya tidak menjadi cidera oleh serangan itu. Karena itulah maka Raden Sutawijaya justru menjatuhkan dirinya dan berguling beberapa kali untuk mengambil jarak. Kemudian dengan lincahnya ia melenting berdiri diatas kedua kakinya yang renggang Tetapi wajah Raden Sutawijaya telah menjadi semburat merah oleh kemarahan yang semakin menggelitik hati. Dalam pada itu, Ki Juru Martanipun menjadi berdebar-debar. Ia menjadi cemas melihat wajah Raden Sutawijaya yang membayangkan keresahan hatinya. Namun Ki Juru tidak sempat berbuat sesuatu. Ia melihat Swandaru sudah menyusul Raden Sutawijaya dengan serangan berikutnya. Tetapi kali ini Raden Sutawijaya telah bersiap. Ia tidak ingin menghindari serangan Swandaru, bahkan dengan sengaja ia telah membenturkan ilmunya dengan kekuatan raksasa Swandaru yang

menghantamnya. Benturanm itupun terjadi dengan dahsyatnya. Swandaru benar-benar tidak menyadari, bahwa ia akan dapat mengalami kesulitan dengan lontaran kekuatannya sendiri. Tertnyata dengan dorongan kekuatan Raden Sutawijaya, Swandaru itu telah terpental beberapa langkah. Bahkan Swandaru tidak mampu lagi untuk bertahan atas keseimbangannya. Dengan tanpa dapat berbuat apa-apa, Swandaru telah terbanting jatuh ditanah. Ternyata bahwa Raden Sutawijaya bukan saja menyelubungi dirinya dengan ilmunya, tetapi ia telah melawan dan mendorong kekuatan Swandaru sendiri dan telah melontarkannya tanpa dapat dielakkan. Swandaru yang terjatuh itu, darahnya benar-benar telah mendidih. Dengan tangkasnya ia meloncat berdiri. Ketika ia melihat Sutawijaya masih berdiri tegak, maka Swandaru yang menjadi mata gelap itu telah mengulangi serangannya pula dengan sekuat tenaganya. Sekali lagi Raden Sutawijaya sengaja tidak mengelak. Ia telah bersiap untuk membentur kekuatan Swandaru dan dengan kekuatan ilmunya pula melemparkan anak muda Sangkal Putung itu. Sekali lagi Swandaru terlempar dan jatuh terbanting ditanah. Lontaran yang kedua itu terasa jauh lebih pahit dari yang pertama. Punggungnya bagaikan merasa patah dan sendi-sendinya seakan-akan pecah karenanya. Sejenak Swandaru menyeringai menahan sakit. Namun iapun kemudian berusaha untuk dengan cepat berdiri dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. Tetapi ketika ia mulai bangkit, ia terkejut ketika ia melihat sepasang kaki dihadapan hidungnya. Perlahan-lahan ia mengangkat wajahnya. Dan nampaklah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga itu berdiri tegak selangkah dihadapannya. Swandaru tertegun sejenak. Tetapi ia masih tetap dicengkam oleh berbagai perasaan yang bergejolak. “Swandaru,” tiba-tiba terdengar suara Raden Sutawijaya, “aku kira aku sudah melontarkan sebagian dari kemampuanku sekedar untuk menunjukkan kepadamu, bahwa aku adalah Senapati ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram. Aku adalah pemegang pusaka tertinggi dari Pajang yang langsung diserahkan kepadaku apapun alasannya. Dan aku adalah anak muda yang telah memenuhi keinginanmu, menunjukkan kemampuanku yang ternyata berada didatas kemampuanmu sekedar untuk menentukan apakah kau bersedia menganggap aku seorang pemimpin atau bukan. Kau sudah menjajagi kemampuan Aji Tameng Waja. Baru Aji Tameng Waja, karena aku belum merasa perlu mempergunakan yang lain.” Darah Swandaru bagaikan mendidih didalam jantungnya. Perlahan-lahan ia berdiri. Kemudian tegak dihadapan Raden Sutawijaya.

Ternyata Raden Sutawijaya membiarkannya. Ia tidak menyerang saat Swandaru berusaha untuk bersikap. Dan bahkan seolah-olah Raden Sutawijaya itu sekedar menunggu apakah yang akan dilakukan oleh Swandaru. Semua orang yang ada didalam Sanggar itu menjadi tegang. Kiai Gringsing justru menahan nafasnya. Ia melihat kemarahan yang masih menyala dimata Swandaru. Tetapi iapun melihat, bahwa ada semacam pengakuan dari Swandaru, bahwa ia tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadap anak muda yang bernama Sutawijaya dan bergelar Senopati ing Ngalaga itu. Sejenak mereka termangu-mangu. Ki Jurupun menahan nafasnya, karena iapun sadar, bahwa Raden Sutawijaya yang juga masih muda itu, akan dapat kehilangan pengamatan diri pada suatu saat. Namun dalam pada itu, hampir setiap orang menarik nafas dalam-dalam ketika mereka kemudian melihat Swandaru tersenyum. Sambil membungkuk dalam-dalam ia berkata, “Raden. Aku seharusnya memang mengakui, bahwa Raden adalah sepantasnya bergelar Senopati ing Ngalaga dan berkedudukan di Mataram. Menyimpan pusaka tertinggi dan memimpin daerah yang akan berkembang mengimbangi perkembangan Pajang yang seakan-akan telah berhenti.” Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar saling berpandangan sejenak. Namun nampak mereka seakan-akan telah terlepas dari himpitan perasaan yang selama itu mencengkam jantung. Berbeda dengan orang-orang lain, maka Sekar Mirah mencibirkan bibirnya sambil berkata kepada diri sendiri, “Sombongnya. Seharusnya kakang Swandaru mengerahkan semua kekuatan yang ada pada dirinya. Ilmu kebal anak itu masih belum mampu melindungi dirinya mutlak terhadap setiap serangan.” Tetapi Sekar Mirah tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya memperhatikan saja apa yang terjadi. Raden Sutawijaya yang memperhatikan sikap Swandaru masih termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian tersenyum pula sambil menepuk bahu anak muda itu. Katanya, “Kau luar biasa. Kau pantas menjadi penggerak di Kademangan Sangkal Putung.” Suasana didalam sanggar itupun segera berubah. Semua orang yang mula-mula mengerutkan kening dengan tegang, nampak kemudian tersenyum cerah. Merekapun segera berdiri dan mengerumuni kedua orang yang sedang berdiri tegak di tengah-tengah arena. Pandan Wangipun sedang melepaskan ketegangan hatinya. Tanpa di sadarinya, setitik air mata telah mengambang dipelupuknya. Namun ketika terasa matanya menjadi hangat, maka cepat-cepat ia menghapusnya sebelum orang lain melihatnya. “Sudahlah. Marilah kita keluar dari ruang yang panas ini,“ ajak Kiai Gringsing.

Sesaat kemudian, maka orang-orang yang ada didalam sanggar itupun segera keluar dan berjalan kependapa. Beberapa orang pengawal masih berdiri termangu-mangu. Sekar Mirah yang kemudian mendekati para pengawal itupun bertanya, “Apakah kalian sangka bahwa kakang Swandaru benar-benar tidak dapat memecahkan ilmu Raden Sutawijaya?” Para pengawal itu tidak menjawab. “Kakang Swandaru masih menghormatinya. Tetapi dalam keadaan yang sesungguhnya kakang Swandaru tentu dapat memecahkan ilmu pertahanan Raden Sutawijaya, yang entah Aji apapun namanya. Kakang Agung Sedayu mempunyai kekuatan yang luar biasa, sehingga ia akan mampu menembus setiap perisai yang wadag maupun yang halus.” Para pengawal hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi mereka melihat sendiri, bahwa dalam setiap benturan, ternyata nampak bahwa Raden Sutawijaya mempunyai kelebihan dari Swandaru. Ternyata pertemuan dipendapa itupun tidak berlangsung lama. Agaknya Swandarupun telah dicengkam oleh kekalahan. Karena itulah, maka iapun segera minta diri untuk beristirahat. Meskipun ternyata kemudian bahwa Swandaru dengan jujur mengakui kelebihan Raden Sutawijaya, namun pertemuan di Kademangan itu menjadi agak lain dari saat-saat sebelumnya. Hubungan antara Raden Sutawijaya dengan keluarga Ki Demang rasa-rasanya dibatasi oleh perasaan segan dan raguragu. “Kiai,“ berkata Raden Sutawijaya, “suasana ini agak kurang menguntungkan. Baiklah aku besok pagipagi akan meninggalkan Kademangan ini dan pergi kepadepokan Agung Sedayu. Aku ingin melihat, apakah yang sudah dilakukannya dipadepokannya. Dan apakah ia ingin memperlakukan aku seperti yang telah dilakukan oleh Swandaru.” Kiai Gringsing tidak dapat mencegahnya. Itulah sebabnya, ketika Raden Sutawijaya dan Ki Juru sudah bermalam semalam, merekapun segera mohon diri. “Aku ingin segera melihat, apakah Agung Sedayu berhasil membangun sebuah padepokan.” “Padepokan kecil yang tidak berarti,“ sahut Swandaru. “Itulah yang ingin aku lihat.” Kiai Gringsing tidak melepaskan kedua pemimpin dari Mataram itu pergi sendiri. Iapun segera minta diri pula untuk mengantarkan Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani mengunjungi padepokan kecil yang dihuni oleh Agung Sedayu bersama gurunya dan beberapa orang lain.

Dalam pada itu, kekalahan Swandaru ternyata mempunyai beberapa pengaruh atas anak muda itu. Ia benar-benar tidak dapat ingkar, bahwa Raden Sutawijaya memang seorang yang memiliki ilmu yang tidak dapat diatasinya. Jika ia melawan lebih lama, itu berarti bahwa ia akan mengalami penilaian yang semakin buruk dari para pengawal dan orangorang Sangkal Putung yang lain. Namun dalam pada itu, maka keragu-raguannya terhadap kepemimpinan Raden Sutawijaya telah dapat diatasinya. Ia kemudian yakin dengan jujur bahwa Raden Sutawijaya akan dapat memimpin Mataram dengan perkembangannya. Sementara itu, Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani telah berada diperjalanan bersama Kiai Gringsing menuju ke Jati Anom. Kiai Gringsing yang sebenarnya ingin berada di Sangkal Putung lebih lama lagi, terpaksa ikut pula kembali kepadepokan kecilnya, karena padepokan itu akan dikunjungi oleh dua tamu yang pantas dihormati, meskipun kedatangan mereka kali ini seolah-olah dalam penyamaran. Ketika ketiganya lepas dari padukuhan, maka mereka pun mulai menempuh perjalanan dibulak-bulak panjang. Mereka menyusuri jalan yang dibatasi oleh hijaunya tanaman disawah, melintasi parit-parit yang menyilang jalan dibawah sakak bambu yang kuat. Tetapi perjalanan itu tidak dapat berlangsung cepat, karena Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani tidak membawa kuda tunggangan. Seperti yang mereka kehendaki sendiri, mereka lebih senang berjalan kaki sambil melihat-lihat sawah dan ladang yang luas. Puncak Gunung Merapi yang kemerah-merahan oleh cahaya matahari pagi. Ketika kemudian mereka menyusur jalan ditepi hutan, maka rasa-rasanya dedaunan yang rimbun yang seakan-akan berjuntai diatas kepala mereka, telah menahan sinar matahari yang mulai terasa panas. Kiai Gringsing yang membawa seekor kuda terpaksa menuntun kudanya dan berjalan seiring dengan Raden Sutawijaya. “Apakah Kiai akan mendahului,“ bertanya Raden Sutawijaya. “Tidak Raden. Akupun akan berjalan kaki.“ “Tetapi Kiai membawa seekor kuda.” “Itulah kebisaanku sekarang yang manja. Semula akupun orang yang selalu berjalan kaki kemanapun. Betapapun panjang jalan yang aku tempuh. Tetapi sekarang aku sudah dijangkiti penyakit ini.” Raden Sutawijaya tersenyum. Katanya, “Bukan suatu kemanjaan. Justru itulah yang wajar. Kamilah yang seolah-olah tidak mempunyai kewajiban apapun sehingga menghabiskan waktu kami disepanjang jalan.” Kiai Gringsing tertawa. Katanya, “Tetapi bagi Raden, perjalanan itu sangat bermanfaat, karena tentu ada sesuatu yang dapat disadap sepanjang perjalanan.”

Kiai Gringsing tertawa ketika ia melihat Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani yang tertawa pula. Dalam pada itu, disepanjang perjalanan. Raden Sutawijaya dengan hati-hati mulai bertanya tentang kedua murid Kiai Gringsing. Ia tidak dapat menjajaginya setelah beberapa lama terpisah. Bahkan ia tidak menyangka bahwa di Sangkal Putung ia akan menghadapi sikap Swandaru yang aneh. Pertanyaan-pertanyaan Raden Sutawijaya telah menimbulkan kegelisahan pula pada Kiai Gringsing. Bahkan Kiai Gringsing mulai ragu-ragu, apakah Sutawijaya yakin bahwa sikap Swandaru itu benar benar tumbuh dari hatinya sendiri. “Apakah Raden Sutawijaya menyangka bahwa akulah yang telah mendorong Swandaru untuk bersikap deksura?“ bertanya Kiai Gringsing kepada diri sendiri. Tetapi ia menarik nafas ketika Ki Juru berkata, “Kiai, sikap Swandaru sebenarnya sangat menarik perhatianku. Tetapi apakah sikap Agung Sedayu juga akan sama seperti sikap Swandaru? Sehingga angger Sutawijaya harus berkelahi lagi dan memamerkan kemampuannya?” Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya, “Mudah-mudahan tidak Ki Juru. Meskipun aku tidak mengerti isi hati seseorang yang sebenarnya, tetapi menurut perhitunganku, Agung Sedayu tidak akan berbuat demikian.” “Apakah ada perbedaan sikap dari kedua murid Kiai itu?“ bertanya Raden Sutawijaya. “Agaknya memang demikian. Aku memang cemas melihat perkembangan jiwa Swandaru, justru karena ia merasa berhasil,“ berkata Kiai Gringsing yang kemudian menceriterakan tentang sifat dan tingkah lakunya. Keberhasilannya membangun Sangkal Putung, membuatnya kadang-kadang seperti seorang yang kehilangan pengekangan diri. Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Itu adalah sikap yang berbahaya. Ia belum dewasa menanggapi keberhasilannya. Tetapi ada baiknya ia bertemu dengan aku dan membenturkan ilmunya dengan ilmuku.” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Bahkan Ki Jurupun berpaling memandang wajah Raden Sutawijaya. Tetapi nampaknya Raden bersungguh-sungguh. Bahkan kemudian katanya, “Murid Kiai sudah terlanjur menjajagai ilmuku. Aku akan melakukannya pula atas murid Kiai yang lain. Jika Agung Sedayu tidak ingin menjajagi ilmuku, akulah yang akan menjajagi ilmunya.” “Raden,“ potong Ki Juru Martani.

“Mungkin aku sudah menjadi gila seperti Swandaru.” Kiai Gringsing tidak segera dapat menjawab. Ia tidak tahu, apakah Raden Sutawijaya itu sekedar bergurau atau bersungguh-sungguh. Namun menilik wajah dan sikapnya, maka agaknya Raden Sutawijaya itu bersungguh-sungguh. “Kenapa Kiai menjadi heran,“ bertanya Sutawijaya, “bukankah wajar bahwa anak-anak muda bersikap ingin mengetahui sejauh-jauhnya?. Demikian pula aku. Aku juga ingin mengetahui sejauh-jauhnya, dengan siapakah aku berhadapan.” Kiai Gringsing menarik nafas. Jawabnya, “Aku tahu. bahwa Raden tidak bersungguh-sungguh. Tetapi semuanya terserah kepada Raden.” “Aku bersungguh-sungguh Kiai. Aku ingin menjajagi kemampuan Agung Sedayu. Mataram akan berkembang. Dan Mataram tentu akan memerlukan kawan sebanyak-banyaknya. Karena itu aku ingin mengetahui, apakah Agung Sedayu pantas aku jadikan kawan. Terhadap Swandaru justru aku tidak ragu-ragu lagi. Ia adalah anak yang mungkin agak sombong. Tetapi ternyata ia jujur dan terbuka seperti sifat-sifatnya yang pernah aku kenal. Ia mengakui kekalahannya dan ia tidak menjadi gila karena kekalahannya itu. Nah, aku ingin tahu, apakah Agung Sedayu juga bersikap demikian.” Kiai Gringsing termangu-mangu. Ia sadar, bahwa perlakuan Swandaru agak kurang menyenangkan Raden Sutawijaya. Tetapi kemudian Raden Sutawijaya yang muda itu-pun telah mengambil sikap yang aneh-aneh pula. “Apakah itu perlu ngger,” bertanya Ki Juru Martani. “Kenapa tidak paman?,“ jawab Sutawijaya. Ki Juru Martani menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling memandangi Kiai Gringsing. dilihatnya orang tua itu menundukkan kepalanya. Kedua tangannya berada dibelakang sambil memegangi kendali kudanya. Raden Sutawijaya seolah-olah tidak menghiraukan sikap kedua orang tua itu. Iapun kemudian justru berjalan didepan dengan kepala tengadah. Beberapa saat lamanya mereka yang berjalan beriring itupun saling berdiam diri. Kiai Gringsing yang berjalan dipaling belakang sambil menuntun kudanya masih saja memikirkan sikap Raden Sutawijaya. Agaknya sikap itu akan mengejutkan Agung Sedayu, karena Kiai Gringsing tahu pasti, bahwa sifat dan watak Agung Sedayu berbeda dengan sifat dan watak Swandaru. “Mungkin Swandaru dapat melupakan hal itu dalam waktu singkat,” berkata Kiai Gringsing didalam hatinya, “tetapi bagi Agung Sedayu hal serupa ini akan mempengaruhinya untuk waktu yang lama. Mungkin ia akan selalu bertanya-tanya, kenapa hal itu harus terjadi. Bukan kekalahan yang pasti akan

dialaminya. Tetapi kenapa seseorang harus menjajagi ilmunya. Apalagi ia tidak tahu latar belakang gejolak hati Raden Sutawijaya yang mengalami perlakuan yang kurang menyenangkan di Sangkal Putung. Perjalanan yang gelisah itupun akhirnya sampai pula pada akhirnya. Ketiga orang itupun kemudian memasuki sebuah lorong sebelum mereka sampai ke Jati Anom. Beberapa tonggak menjelang pintu gerbang Kademangan Jati Anom, ketiganya berbelok sepanjang lorong yang agak panjang. Kedatangan ketiganya ternyata telah mengejutkan seisi padepokan kecil itu. Yang pertama-tama menyongsong mereka adalah Ki Waskita yang kebetulan berada dipadepokan. “Marilah Raden, marilah Ki Juru,“ ia mempersilahkan, “kedatangan Raden Sangat mengejutkan, karena kami disini sama sekali tidak menyangka bahwa kami akan mendapat kunjungan pimpinan tertinggi di Mataram.” Raden Sutawijayapun mengangguk hormat, disusul oleh Ki Juru Martani sambil berkata, “Padepokan ini sangat menarik perhatian. Kami sudah membayangkan sejak kami berangkat dari Sangkal Putung untuk kunjungan khusus ini. Ternyata ketika kami sampai, padepokan ini lebih baik dari yang kami bayangkan.” “Ki Juru memuji,“ sahut Kiai Gringsing, “tentu padepokan ini sebenarnya hanyalah sekedar tempat berteduh.” Raden Sutawijaya tertawa. Katanya, “Aku sudah membayangkan bahwa padepokan Kiai Gringsing tentu hanya sebuah padepokan kecil. Bukan sebuah padepokan yang luas yang dilengkapi dengan sebuah barak bagi beberapa puluh orang cantrik, jejanggan dan beberapa orang putut.” “Ya Raden. Demikianlah keadaannya.” “Tetapi akupun sudah membayangkan bahwa padepokan kecil ini tentu padepokan yang asri dan terpelihara.” “Ah,“ desis Kiai Gringsing, “kami bukannya orang-orang yang mengenal tata keindahan. Kami mengatur asal saja sesuai dengan selera kami.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu. “tetapi marilah. Silahkan naik kependapa.” Raden Sutawijaya dan Ki Juru masih memperhatikan halaman itu beberapa saat. Sementara Kiai Gringsing menambatkan kudanya pada patok bambu yang sudah dibuat oleh Glagah Putih. “Apakah Agung Sedayu tidak ada dipadepokan?“ bertanya Raden Sutawijaya tiba-tiba. “Ia masih berada disawah Raden. Tetapi sebentar lagi ia tentu akan segera pulang,” jawab Ki Waskita. “Sampai menjelang senja?”

“Kadang-kadang memang demikian. Apalagi pada masa-masa tanaman padi memerlukan air dan menyiangi.” “Sendiri?” “Tidak. Dengan Glagah Putih dan beberapa orang kawan.” “Glagah Putih?” “Putera Ki Widura. Ia berada dipadepokan kecil ini pula.” Sutawijaya mengangguk-angguk. Agaknya padepokan kecil ini mempunyai nafas yang jauh berbeda dengan Kademangan Sangkal Putung, sehingga Raden Sutawijayapun dapat membayangkan, bahwa tata kehidupan dari kedua murid Kiai Gringsingpun tentu akan mengalami perbedaan yang besar yang langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi pandangan hidup mereka. Sejenak kemudian maka Raden Sutawijaya, Ki Juru dan Kiai Gringsingpun telah duduk dipendapa, sementara Ki Waskita pergi kebelakang menyalakan api perapian dan menjerang air. Pekerjaan yang tidak pernah dilakukan dirumahnya, karena ia adalah orang yang cukup berada dan mempunyai beberapa orang pelayan. Tetapi dipadepokan kecil dan terpisah itu, ia mengerjakan apa saja seperti juga Kiai Gringsing dan penghuni-penghuninya yang lain. Ketika api sudah menyala, maka ditinggalkannya air yang sedang dijerang itu untuk ikut menemui tamu-tamunya dari Mataram. “Sebentar lagi Agung Sedayu tentu akan datang,“ katanya didalam hati, “biar ia sajalah atau Glagah Putih membuat minuman untuk tamu-tamu itu jika air sudah mendidih.” Sejenak mereka saling memperbincangkan keselamatan masing-masing. Kemudian pembicaraan itupun merambat kepada persoalan-persoalan padepokan kecil itu, sejak saat-saat dibangun sampai saat terakhir, dimana dedaunan sudah menjadi hijau rimbun, dan bahkan batang pohon buah buahan yang sudah berbunga. “Tanah ini adalah tanah pategalan,“ Kiai Gringsing menerangkan, “sehingga pohon buah-buahan itu memang sudah ada sejak padepokan ini mulai dibangun.” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. “Tanah pategalan ini adalah tanah peninggalan Ki Sadewa seijin Untara. Bahkan ia menjadi berbesar hati bahwa adiknya telah mulai dengan suatu cara hidup yang baru.” Raden Sutawijaya ternyata sangat tertarik kepada isi padepokan itu. Tidak jemu-jemunya ia memandang berkeliling. Memandangi pohon buah-buahan dan rumpun pohon bunga-bungaan.

“Menyenangkan sekali,” desisnya beberapa kali. Namun kemudian ia bertanya dengan dahi berkerut, “Kapan Agung Sedayu kembali?” “Sebentar lagi,“ jawab Ki Waskita, “ia tentu sudah berada di perjalanan.” “Sampai petang?” suara Raden Sutawijaya berubah. Ki Waskita menggeleng, “Tidak Raden. Ia akan segera datang. Sebelum senja.” Wajah Kiai Gringsing menjadi tegang. Sementara Ki Waskitapun bertanya didalam hatinya akan sikap Sutawijaya yang tidak diketahui maksudnya itu. Tiba-tiba saja suasana dipendapa itu telah berubah. Raden Sutawijaya nampak gelisah dan kurang tenang. Setiap kali ia memandang regol padepokan, seolah-olah ia tidak sabar lagi menunggu kedatangan Agung Sedayu. Ki Juru Martanipun telah menjadi gelisah pula karenanya. Beberapa kali ia mencoba memancing pembicaraan untuk menarik perhatian Raden Sutawijaya. Tetapi ia tidak berhasil, karena setiap kali Sutawijaya kembali merenungi regol dengan wajah yang tegang. Kiai Grigsing yang menjadi gelisah pula tidak sempat memberitahukan kepada Ki Waskita apakah yang telah terjadi di Sangkal Putung. Karena itu, kegelisahannya itupun telah membuat Ki Waskita bertanya-tanya. Dalam pada itu, Agung Sedayu memang sedang dalam perjalanan kembali dari sawah bersama Glagah Putih dan kawan-kawannya yang lain. Wajah mereka nampak cerah secerah harapan yang membersit dihati tentang sawah dan ladang mereka. Tanaman mereka nampak hijau subur dan paritpun rasarasanya tidak akan pernah kering jika tidak terjadi kemarau yang sangat panjang sehingga arus sungai menjadi sangat kecil. “Jika masih ada orang yang membuka tanah baru, maka parit itu memerlukan perhatian,” berkata Glagah Putih. “Ya. Bendungan itu harus diperbaiki. Sampai sekarang, air dari parit itu sudah terasa cukup. Tetapi jika kebutuhan air bertambah, maka parit itu memang memerlukan tambahan air,“ jawab Agung Sedayu. Lalu. “tetapi untuk sementara Ki Demang sudah menghentikan pembukaan tanah baru karena dipandang sudah cukup. Kitapun untuk sementara tak memerlukan lagi.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi pada suatu saat jumlah penduduk akan bertambahtambah.” “Kita akan membuka tanah baru. Itulah agaknya, maka sekarang Ki Demang tidak memberikan kesempatan lagi, agar pada suatu saat kita tidak akan terjepit oleh kesempitan.” Glagah Putih tidak bertanya lagi. Tetapi sambil mengamati hutan yang masih cukup luas ia

membayangkan masa-masa mendatang, bahwa hutan itu akan menjadi semakin sempit karena tanah persawahan menjadi semakin luas. Kawan-kawannya yang lain berjalan dibelakang Agung Sedayu dan Glagah Putih sambil menjinjing gendi dan keranjang kecil tempat mereka membawa bekal makanan dan minuman kesawah. Tetapi gendi dan keranjang kecil itu telah kosong. Dalam pada itu, maka merekapun berjalan tanpa menghiraukan bahwa matahari telah menjadi semakin rendah, dan bahkan telah bertengger dipunggung Gunung. Sebentar lagi matahari itu akan terbenam, dan langitpun akan menjadi kelabu. Mereka berjalan seperti tidak ada kebutuhan lagi yang harus mereka lakukan. Seenaknya. Bukan saja karena mereka memang sudah lelah oleh kerja disawah, tetapi merekapun merasa bahwa kerja mereka sehari itu sudah selesai. Karena mereka tidak menyadari, bahwa Raden Sutawijaya menunggu dengan gelisah dipendapa padepokan kecilnya, maka Agung Sedayu dan kawan-kawannya masih sempat singgah dan turun kesebuah sungai kecil. Mereka sempat membersihkan alat-alat yang mereka bawa dan kemudian mandi disebuah pancuran dipinggir sungai itu. Pancuran yang menyalurkan air dari sebuah belik kecil di bawah sebatang pohon preh yang besar. Badan mereka yang lelah dan kehitam-hitaman disengat cahaya matahari hampir sehari penuh, telah terasa menjadi segar kembali. Wajah-wajah mereka yang memang cerah, nampak menjadi semakin cerah oleh segarnya air pancuran. Tetapi mataharipun menjadi semakin rendah. Dan langit menjadi semakin merah menjelang senja. “Ki Waskita tentu sudah menunggu,“ desis Glagah Putih. “Ya,“ jawab Agung Sedayu. Aku masih harus menanak nasi,“ desis kawannya yang lain. Merekapun kemudian naik tanggul sungai kecil itu dan berjalan semakin cepat pulang, setelah badan mereka terasa menjadi semakin segar. Dalam pada itu. Raden Sutawijaya menjadi semakin gelisah. Ia tidak lagi duduk dipendapa, tetapi ia sudah berdiri dan turun kehalaman. “Kau gelisah sekali ngger,“ desis Ki Juru perlahan-lahan, “apakah sebenarnya yang kau kehendaki?” Adalah diluar dugaan, bahwa Raden Sutawijaya menjawab dengan lantang seakan-akan dengan sengaja agar didengar oleh Kiai Gringsing dan Ki Waskita, “Aku akan menjajagi kemampuannya. Aku sudah diperlakukan demikian. Apa salahnya jika akupun berbuat demikian?” Ki Waskita mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tidak lagi menahan kegelisahannya dan bertanya kepada Kiai Gringsing, apakah yang sudah terjadi. Dengan singkat Kiai Gringsing menceriterakan sikap Swandaru yang aneh. Meskipun Swandaru

dengan jujur mengakui kekalahannya, dan nampaknya saat itu Raden Sutawijayapun memaafkannya, tetapi tiba-tiba saja sikap itu telah berubah ketika mereka berada diperjalanan. Bahkan dengan keras anak muda itu berniat untuk menjajagi kemampuan Agung Sedayu. “Aneh sekali,“ gumam Ki Waskita. Kiai Gringsing mengangkat bahunya. Tetapi seperti juga Ki Juru Martani, ia tidak akan dapat mencegah niat Raden Sutawijaya yang baginya juga aneh. “Mungkin ada semacam dendam meskipun terlalu tajam jika disebut demikian,“ desis Kiai Gringsing, “dan sasarannya adalah Agung Sedayu yang tidak tahu menahu persoalannya.” Ki Waskita mengangguk-angguk. Tetapi iapun hanya dapat berdebar-debar dan menunggu apa yang akan terjadi. Dalam kegelisahan itu, Sutawijaya berjalan hilir mudik dihalaman, sementara langit menjadi bertambah buram, karena Matahari telah berada dibalik bukit. Pada saat itulah. Agung Sedayu sampai keregol padepokannya. Dengan tanpa prasangka apapun ia melangkah memasuki regol itu bersama dengan Glagah Putih. Namun demikian ia menginjak halaman padepokannya, maka tiba-tiba saja ia terkejut. Dengan serta merta Raden Sutawijaya berkata, “Nah, ia sudah datang. Marilah, kita akan melihat, apakah kau pantas menjadi seorang sahabat Raden Sutawijaya yang bergelar Senepati ingNgalaga.” Langkah Agung Sedayu tertegun. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Namun kemudian dengan raguragu ia berkata, “Raden, kedatangan Raden benar-benar mengejutkan aku dan tentu saja kawankawanku. Kami tidak menyangka bahwa kami akan mendapat kehormatan, kunjungan Raden Sutawijaya yang bergelar Senepati ing Ngalaga dan berkedudukan di Mataram.” “Lupakanlah basa basi yang manapun juga. Aku datang untuk menjajagi ilmumu. Letakkan cangkul dan bersiaplah. Kita akan bertempur di halaman padepokan ini.“ Raden Sutawijaya menjawab lantang. Agung Sedayu menjadi bingung. Dipandanginya Ki Juru, gurunya dan Ki Waskita berganti-ganti. “Raden,“ Ki Jurulah yang kemudian bergeser mendekati Raden Sutawijaya, “anak muda itu tentu akan menjadi bingung. Ia tidak tahu menahu apa yang telah terjadi sebelumnya.” “Persetan. Aku tidak peduli apakah ia tahu atau tidak. Tapi aku ingin mengetahui tingkat ilmunya.” Sahabat Raden Sutawijaya, “haruslah orang-orang yang mumpuni seperti Swandaru Geni di Sangkal Putung.” Agung Sedayu menjadi bertambah bingung. Namun kemudian Ki Juru Martani mendekatinya sambil berkata, “Maaf Agung Sedayu. Ada sesuatu yang harus kau ketahui tentang adik seperguruanmu.”

Agung Sedayu termangu-mangu. “Jangan katakan kepadanya,“ geram Raden Sutawijaya, ”tidak ada gunanya ia mengerti persoalannya.” Ki Juru menjadi bingung. Sementara itu Raden Sutawijaya melangkah satu-satu mendekati Agung Sedayu sambil berkata lantang, “Agung Sedayu. Cepatlah. Sebelum gelap kita akan berkelahi untuk saling menjajagi ilmu kita masing-masing. Aku dengar kau sudah meningkatkan ilmumu. Karena itu, aku ingin tahu sampai dimana tingkat ilmumu sekarang, sehingga aku akan dapat mengerti apakah kau sudah pantas menjadi sahabatku dalam keadaan seperti sekarang ini.” Agung Sedayu benar-benar tidak mengerti. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Apalagi karena gurunya, Ki Waskita dan bahkan Ki Juru Martani sendiri nampaknya juga kebingungan. “Cepat, apakah kau takut?” bentak Raden Sutawijaya. “Raden,“ Agung Sedayu termangu-mangu, “aku benar-benar tidak mengerti. Apakah sebenarnya yang sudah terjadi disini ?” “Kau tentu tidak banyak berbeda dengan Swandaru. Cepat, kita akan segera mulai.” “Aku menjadi bingung Raden. Benar-benar bingung. Kedatangan Raden di padepokan ini sudah mengejutkan aku. Apalagi tingkah laku Raden sekarang ini.” “Cukup,“ bentak Raden Sutawijaya, “kau tentu sudah memiliki ilmu yang tinggi seperti Swandaru. Kau tentu ingin menunjukkan bahwa ilmumu sudah setingkat dengan ilmu Sutawijaya yang bergelar Senopati ing Ngalaga. Karena itu jangan berpura-pura. Kita akan berkelahi. Sampai seberapa kebenaran angan-anganmu tentang tingkat ilmumu dibandingkan dengan Raden Sutawijaya.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan hati-hati ia menjawab, “Aku tidak mengerti. Aku sama sekali tidak merasa bahwa ilmuku sudah meningkat. Dipadepokan ini yang aku lakukan adalah bercocok tanam. Memelihara sawah dan ladang. Dan sedikit membuka hutan.” “Nah, kau sudah mulai membuka hutan. Kau tentu tidak puas melihat perkembangan Mataram. Dan kau mencoba untuk membuka hutan sendiri dan kemudian mengembangkannya menjadi suatu negeri.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sekilas dipandanginya Kiai Gringsing, seolah-olah ia ingin mendapatkan pertimbangannya. Tetapi Raden Sutawijaya seolah-olah mengetahui isi hatinya dan berkata, “Kau tidak usah menunggu pertimbangan gurumu. Lakukanlah menurut nuranimu sendiri.” “Tetapi semua yang Raden katakan itu tidak benar. Aku membuka hutan hanya sekedar membuat tanah

persawahan bagi padepokan kecil ini dengan isinya. Dan bagaimana mungkin aku berpikir, bahwa aku akan membuka sebuah negeri? Mimpipun aku tidak akan melakukannya.” “Apa saja yang kau katakan. Tetapi cobalah menunjukkan sedikit kejantananmu. Jika kau berani berbuat sesuatu, kau tentu akan mempertanggung jawabkan.” “Apa yang harus aku pertanggung jawabkan? Aku tidak berbuat apa-apa.” “Aku tidak peduli. Tunjukkan peningkatkan ilmumu. Mungkin kau sudah dapat menggugurkan gunung atau mengeringkan lautan dengan sentuhan jari-jarimu. Tetapi ingat, bahwa Raden Sutawijaya bukannya kanak kanak yang kagum melihat gunung yang runtuh serta lautan yang menjadi kering.” “Aku tidak mengerti, sungguh tidak mengerti Raden.” “Bohong. Kau hanya berpura-pura.“ Agung Sedayu benar-benar bingung. Apalagi gurunya, Ki Waskita dan Ki Juru Martani nampaknya hanya berdiri termangu-mangu saja tanpa berbuat apa-apa. Sementara itu. Sutawijaya yang tidak sabar menunggu lagi, telah melangkah maju beberapa langkah mendekati Agung Sedayu. Wajahnya menjadi tegang dan tangannya bagaikan hendak meremasnya. “Cepat,“ Raden Sutawijaya berteriak, “aku tidak, mempunyai banyak waktu.” Tetapi Agung Sedayu yang bingung sama sekali tidak berbuat apa-apa. Ia masih berdiri termangumangu sambil memandang orang-orang yang ada dihalaman itu berganti-ganti. Ketika Raden Sutawijaya mendekat selangkah lagi, Agung Sedayu justru menjadi semakin bingung. “Agung Sedayu,“ suara Raden Sutawijaya menjadi gemetar, “kenapa kau diam saja? Apakah kau ingin menghinaku dengan sikap dinginmu itu. Kau ingin menunjukkan bahwa kau telah menjadi kebal dan tidak lagi dapat dikenai oleh serangan apapun juga.” “Raden menjadi semakin aneh,“ desis Agung Sedayu, “siapakah yang mengatakan bahwa aku kebal dan tidak dapat disentuh oleh serangan yang manapun juga. Aku masih tetap seperti ini. Aku selama ini tidak bertambah apa-apa, selain sedikit kemampuan mengerjakan sawah.” “O, kau menjadi semakin sombong. Baiklah. Jika kau tidak mau berbuat apa-apa, biarlah aku mencoba kekebalanmu. Jika kau tahan pukulanku, maka aku akan berjongkok dan menyembahmu. Aku akan menyerahkan gelar Senopatiku kepadamu dengan segala macam kebesaran yang pernah aku terima.”

“Itu tidak masuk akal,” jawab Agung Sedayu dengan serta merta. “Aku tidak peduli.” Sutawijaya nampaknya sudah tidak sabar lagi. Ia maju semakin dekat dengan sikap yang garang, sementara Agung Sedayu masih termangu-mangu kebingungan. Tiba-tiba dalam ketegangan itu, Glagah Putih yang tidak tahu siapakah anak muda itu sesungguhnya karena ia belum mengenalnya, meloncat maju sambil melemparkan cangkulnya. Dengan dada tengadah ia berteriak nyaring, “He anak muda yang belum aku kenal sebelumnya. Aku tidak mempunyai persoalan dengan kau. Tetapi sikapmu telah membakar hatiku. Aku tahu kau memiliki kesaktian. Tetapi jika kesaktianmu itu sekedar sebagai bekal untuk menyombongkan diri, aku akan melawanmu.” Agung Sedayu yang melihat Glagah Putih meloncat maju. dengan tergesa-gesa menangkap lengannya. Sambil menariknya mundur ia berdesis, “Jangan Glagah Putih. Kau belum tahu, siapakah anak muda itu.” “Aku sudah mendengar namanya dan gelarnya. Aku memang pernah mendengar tentang perkembangan atau negeri yang bernama Mataram, yang justru banyak disebut-sebut orang. Tetapi jika ternyata Mataram dipimpin oleh seorang anak muda yang sombong dan tamak, apakah artinya perkembangan Mataram itu.” “Jangan berkata begitu. Kau belum mengetahui apapun juga tentang Mataram dan tentang pimpinannya.” “Aku memang tidak banyak mengetahui tentang Mataram, tentang Pajang dan tentang pemimpinpemimpinnya. Tetapi sekarang, aku sudah mengetahuinya. Ternyata kelahiran Mataram bukannya didorong oleh cita-cita seorang yang kecewa melihat Pajang yang terhenti sekarang ini, tetapi sekedar didorong oleh nafsu ketamakan yang berlebih-lebihan.” “Glagah Putih,“ potong Agung Sedayu. Dalam pada itu, Kai Gringsingpun dengan tergesa-gesa mendekatinya sambil berkata, “Jangan kau katakan sesuatu yang tidak kau ketahui Glagah Putih.” “Kiai,“ Tiba-tiba saja Glagah Putih menengadahkan kepalanya, “aku adalah anak Ki Widura. Meskipun ayahku sekedar seorang prajurit kecil, tetapi ayahku dapat menyebut apa yang diketahuinya tentang Mataram dan Pajang. Ayahku mengajarkan kepadaku, bahwa aku harus mulai sekarang mencoba mempertajam penilaian dan tanggapan atas segala peristiwa yang aku hadapi. Aku tahu, bahwa yang aku hadapi bukannya yang aku pahami sekarang ini. Tetapi aku menjadi kecewa. Kecewa sekali melihat kenyataan ini. Ketika aku mendengar dari ayahku, seorang pemimpin muda dari Mataram yang rendah hati dan mumpuni, aku telah mengaguminya. Namun ketika tiba-tiba saja menantang dengan penuh kesombongan kakang Agung Sedayu yang ternyata terlalu sabar itu, hatiku benar-benar menjadi kecewa.

Seperti kecewanya seseorang yang menggenggam pinggan dan terlepas jatuh diatas batu hitam. Pecah menjadi berkeping-keping.” “Glagah Putih,“ suara Agung Sedayu tertahan. Namun ia berkata selanjutnya, “Dari mana kau dapat mengucapkan kata-kata itu. Kau masih terlampau muda. Dan itu adalah ciri kemudaan bahwa kau tidak dapat menahan diri.” “Apakah Raden Sutawijaya itu juga masih terlalu muda? Jika ia masih terlalu muda, kenapa ia telah dianugerahi jabatan tertinggi di Mataram.” “Tentu tidak.” “Tetapi iapun tidak dapat menahan diri. Aku kenal kakang Agung Sedayu. Dan aku yakin bahwa kakang tidak berbohong jika kakang menyatakan bahwa kakang tidak tahu menahu tentang sikap yang aneh dari pemimpin tertinggi Mataram itu. Kakang tidak pernah berbohong dalam hal ini. Dan kakang tidak berpura-pura. Tetapi anak muda itu benar-benar kehilangan kendali dan tidak tahu diri.” “Sudahlah. Sudahlah,“ Agung Sedayu hampir membentak, “tahanlah dirimu sedikit. Aku akan mohon penjelasan.” “Kakang, apakah kakang masih akan berbicara? Aku kira tidak ada gunanya. Sudah berapa kali kakang mencoba berbicara dengan rendah hati. Terlalu merendahkan diri. Tetapi sama sekali tidak dihiraukannya. Apakah itu bukan berarti suatu penghinaan?” Agung Sedayu tiba-tiba saja memeluk Glagah Putih yang masih sangat muda itu. Sambil mengusap kepalanya ia berkata, “Kau benar Glagah Putih tetapi biarlah aku menyelesaikan masalah ini dengan caraku yang barangkali berbeda dengan kata hatimu.” Agung Sedayu benar benar menjadi bingung menghadapi anak itu. Karena itulah maka iapun kemudian berkata dengan berterus terang, ”Glagah Putih, sikamu membuat aku bertambah bingung. Aku sudah hampir gila menghadapi sikap Raden Sutawijaya yang tidak aku mengerti dan terasa aneh sekali. Sekarang kau membuat aku semakin kehilangan akal.” Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun pengakuan itu ternyata telah menyentuh perasaan Glagah Putih sehingga iapun justru terdiam karenanya. “Glagah Putih,“ berkata Agung Sedayu, “aku memang sedang mencoba melihat keadaan ini dengan kewajaran. Raden Sutawijaya yang bergelar Senopati ing Ngalaga di Mataram itu memang seorang anak muda yang rendah hati. Ia bukan seorang yang sombong apalagi tamak dan dengki. Jika sekarang kau melihat sikap itu padanya, maka kau jangan bersikap kekanak-kanakan. Itulah yang sebenarnya aku maksudkan.

Kau harus menilainya dengan sedikit cermat. Ayahmu, paman Widura telah mengatakan yang sebenarnya. Namun jika ternyata terjadi sesuatu yang lain, maka kita harus mencari sebabnya. Jangan tergesa-gesa mengambil sikap.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dan Agung Sedayu meneruskan, “Demikianlah atas Raden Sutawijaya ini. Semula aku menyangka bahwa Raden Sutawijaya sekedar bergurau. Tetapi ternyata tidak. Dan karena tidak, justru ini telah menyimpang dari kemungkinan yang dapat terjadi atas seorang anak muda yang bergelar Senapati ing Ngalaga itu. Dan penyimpangan itulah yang harus kita cari.” Glagah Putih mengangguk. Namun katanya, “Tetapi sikapnya benar benar menyinggung perasaan kakang.” “Itulah yang aneh. Kenapa ia dapat melakukannya sehingga langsung menyinggung perasaan orang lain.” Glagah Putih tidak menjawab lagi. Ketika Agung Sedayu menariknya menepi, Glagah Putih tidak menolaknya lagi. Meskipun demikian sekali-sekali ia masih berpaling memandang wajah Raden Sutawijaya yang mulai disaput oleh keremangan senja. Sejenak orang-orang yang ada dihalaman itu termangu-mangu. Namun kemudian kesunyian itupun dipecahkan oleh suara Raden Sutawijaya, “Anak itu benar-benar memiliki sifat seorang prajurit. Jika ia anak paman Widura, maka ia akan menjadi seorang yang besar seperti bahkan melampaui ayahnya.” Suara Raden Sutawijaya telah berubah sama sekali. Sikapnyapun telah berubah, sehingga Agung Sedayu dan terutama Glagah Putih menjadi heran. Glagah Putih menyangka bahwa Raden Sutawijaya akan marah kepadanya dan mencincangnya, tetapi ia sama sekali tidak takut menghadapi akibat apapun. Tetapi ternyata bahwa Raden Sutawijaya tidak berbuat demikian. Ki Juru yang semula menjadi bingung dan ragu ragu menghadapi sikap anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai mengerti, apakah yang sebenarnya dihadapinya. Dalam pada itu, keragu-raguan masih meliputi halaman padepokan kecil itu meskipun sudah mulai nampak gambaran yang mapan tentang sikap Raden Sutawijaya yang aneh itu.

Glagah Putih yang keheran-heranan itu bagaikan terbangun dari sebuah mimpi. Ia melihat sesuatu yang berbeda sekali dengan nalarnya. Raden Sutawijaya itu tidak marah. Bahkan sambil tersenyum anak muda itu berkata, “Kau akan menjadi orang besar Glagah Putih. Kau sangat yakin akan sikapmu dan uraianmu tentang persoalan yang kau hadapi ternyata melamaui kedewasaan umurmu.” Glagah Putih termangu-mangu dalam keheranannya. Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing yang berdiri termangu-mangu itupun kemudian berkata. “Tetapi marilah, silahkan duduk di pendapa. Jantung tua didalam dada ini rasa-rasanya sudah akan rontok, tetapi agaknya akulah yang terlampau bodoh.” Sutawijaya tersenyum. Iapun kemudian mengikuti Kiai Gringsing dan Ki Juru Martani yang menuju kependapa dan kemudian duduk dalam satu lingkaran. “Duduklah disini Glagah Putih,“ ajak Kiai Gringsing ketika ia melihat anak muda itu termangu-mangu, “biarlah kawan-kawanmu pergi ke belakang menyiapkan segala sesuatunya. Menyalakan lampu dan barangkali semangkuk minuman.” “Aku sudah menyalakan api dan menjerang air,“ sahut Ki Waskita seakan-akan ingin pula ikut melepaskan ketegangannya, “tetapi justru karena aku terikat dihalaman, mungkin air itu belum mendidih, dan api sudah padam.” Ki Juru tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Merekapun kemudian duduk melingkar dipendapa dengan sikap yang kaku. Namun Raden Sutawijayalah yang mulai memecahkan keseganan, “Kiai, maaf jika sikapku kali ini agak berlebihlebihan. Aku memang sengaja ingin menjajagi perasaan Agung Sedayu. Aku mencoba membuatnya marah. Tetapi aku tidak berhasil.” Kiai Gringsing menarik nafas. “Ternyata ia mempunyai kelebihan daripadaku. Aku sebenarnya ingin menguji sikapku sendiri. Apakah sikapku menanggapi sikap Swandaru di Sangkal Putug itu sudah benar? Disini aku dihadapkan pada sebuah cermin. Untunglah bahwa akibatnya tidak justru meretakkan hubungan Mataram dengan Sangkal Putung, tetapi sebaliknya. Namun dihadapan Agung Sedayu aku merasa betapa kerdilnya jiwaku dihadapkan kepada kebesaran jiwanya.” “Ah,“ Agung Sedayu menjadi tersipu-sipu. “Tidak Raden,” jawab Kiai Gringsing, “aku kira sikap Raden sudah benar menghadapi Swandaru. Aku kira tidak ada sikap yang lebih tepat dari yang sudah Raden lakukan. Jika Raden bersikap lain, mungkin Swandaru justru tidak akan dapat menyadari, betapa kecilnya Sangkal Putung dibanding dengan kebesaran Mataram.”

“Tetapi sikap Agung Sedayu sangat mengagumkan. Ia benar-benar sudah dewasa.” “Bagi Raden yang sudah dewasa pula. Tetapi tidak bagi Swandaru. Aku kira pada suatu saat, Swandaru pun akan menjajagi ilmu kakak sepergurunnya ini.“ Raden Sutawijaya mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil berkata, “Tetapi aku dapat mengerti. Swandaru agaknya kurang yakin akan perkembangan ilmunya sehingga ia memerlukan perbandingan. Di Sangkal Putung ada Pandan Wangi. Tetapi karena Pandan Wangi justru telah menjadi isterinya, maka ia kurang mantap untuk membuat perbandingan dengan ilmunya. Swandaru tentu menyangka bahwa dalam beberapa hal Pandan Wangi tidak bersungguh-sungguh.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi iapun menyahut, “Tetapi aku sebenarnya menjadi sangat berdebardebar. Seharusnya bukan Radenlah yang menjadi sasaran percobaan ilmunya itu.” Raden Sutawijaya tersenyum. Yang terpandang olehnya kemudian adalah Glagah Putih yang masih keheran-heranan. Dengan singkat Kiai Gringsingpun kemudian menjelaskan kepada Glagah Putih tentang Raden Sutawijaya. Maksudnya dan juga latar belakang peristiwa yang telah terjadi di Sangkal Putung. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. “Aku minta maaf Raden,“ gumam Glagah Putih kemudian yang seolah-olah dapat didengarnya sendiri. Tetapi Raden Sutawijaya mendengarnya pula. Sambil tersenyum ia menjawab, “Kau akan menjadi seorang anak muda yang perkasa. Kau tentu telah menempa diri bersama Agung Sedayu atau Kiai Gringsing dalam jalur ilmunya.” Raden Sutawijaya menjadi heran ketika ia melihat Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak Raden. Ia tidak berada dalam jalur ilmuku seperti Agung Sedayu dan Swandaru. Tetapi ia berada dalam jalur cabang perguruan Ki Sadewa.” “He?” Raden Sutawijaya menjadi heran, “siapakah gurunya? Ki Widura atau kakang Agung Sedayu. Ki Untara?” “Bukan salah seorang dari keduanya,“ jawab kiai Gringsing. Raden Sutawijaya menjadi termangu-mangu. Jika Glagah Putih berada dibawah bimbingan ayahnya sendiri atau Ki Untara, maka ilmu Glagah Putih tentu tidak akan dapat melampui keduanya, karena yang dituangkan dari keduanya masih belum tuntas. “Siapakah gurunya ? Apakah pada saat ini masih ada seseorang yang mampu menuangkan ilmu cabang perguruan Ki Sadewa dengan sempurna?” “Tentu tidak Raden. Sejak dahulupun tidak ada seseorang yang mampu menyalurkan ilmu dengan

sempurna? “ jawab Kiai Gringsing. “O,“ Raden Sutawijaya tersenyum, “maksudku, sampai tuntas. Sempurna menurut ukuran manusiawi yang serba kekurangan.” Kiai Gringsingpun tersenyum pula. Namun katanya kemudian, “Tidak ada seorang guru yang akan dapat memberikan bahan yang cukup kepadanya dalam jalur ilmunya yang dianutnya sekarang. Tetapi kami sedang berusaha. Dan kami mengharap bahwa Glagah Putih akan dapat mencapai suatu tingkatan yang baik baginya, jika ia tekun dan bersungguh-sungguh.” Raden Sutawijaya memandang Glagah Putih yang menundukkan kepalanya. Tubuhnya yang agak kekurusan. Menurut ukuran wajahnya yang masih kekanak-kanakan ia termasuk anak yang bertubuh tinggi. Kejujuran yang memancar dari wajah yang masih sangat muda itu telah menarik perhatian Raden Sutawijaya. Dalam pada itu, beberapa orang yang dibelakang masih saja sibuk menjerang air dan menyalakan lampu. Mereka memasang lampu-lampu minyak di setiap ruangan. Salah seorang dari mereka telah membawa lampu kependapa pula. Ketika lampu sudah menyala, maka Glagah Putih menjadi semakin gelisah. Karena itu, Kiai Gringsing yang tidak ingin membuatnya bertambah gelisah lagi berkata kepadanya, “Glagah Putih, jika kau ingin kebelakang, pergilah.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia telah terbebas dari satu tugas yang sedang mengikatnya. Anak muda itupun kemudian minta diri dan dengan tergesa-gesa pergi kebelakang, seakan-akan ia ingin segera menjauhkan diri agar keputusan Kiai Gringsing itu tidak berubah dan memanggilnya kembali kependapa. Sementara itu, minuman panas dan ketela rebus yang hangat sudah dihidangkan dipendapa. Sambil berkelakar Kiai Gringsing mempersilahkan, “Inilah hasil padepokan kami Raden. Jika ada seorang tamu, maka kami telah mencabut satu dua batang pohon ketela dan langsung merebusnya.” Raden Sutawijaya tersenyum. Ki Juru Martanipun tersenyum pula. Katanya, “Dengan demikian maka lumbungmu adalah lumbung yang hidup Kiai.” Kiai Gringsingpun tertawa. Kemudian dipersilahkannya Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani untuk minum dan makan makanan yang sudah dihidangkan. Sambil mengunyah maka merekapun masih saja bercakap-cakap, yang kemudian justru merambat pada persoalan pokok yang sangat penting bagi Raden Sutawijaya. “Pertemuan antara orang-orang yang mengaku masih mempunyai darah keturunan Majapahit itu akan

segera dilakukan,“ berkata Raden Sutawijaya. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Beberapa saat terakhir kami sibuk dengan kepentingan kami sendiri Raden. Sejak perkawinan Swandaru yang hampir saja menenggelamkan Sangkal Putung dan sekaligus Tanah Perdikan Menoreh jika orang-orang itu berhasil membunuh Swandaru dan Pandan Wangi, kemudian persoalan Agung Sedayu dan padepokan kecil ini telah merampas segenap perhatian kami. Namun kamipun yakin saat itu bahwa pertemuan itu masih belum dilaksanakan karena beberapa perbedaan pendapat tentang imbangan kekuatan diantara mereka dan terutama bahwa merekapun telah saling mencurigai.” “Tetapi agaknya hal itu akan teratasi. Mereka akan melangsungkan pertemuan itu beberapa saat lagi. Kami masih selalu membayangi sesuai dengan kemampuan yang ada pada kami.” Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayu mendengarkan berita itu dengan kerut merut dikening. Sejak semula mereka telah melibatkan diri dalam persoalan pusaka yang hilang itu, sehingga mereka tidak akan dapat menarik diri justru pada saat-saat terpenting. Karena itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian berkata, “Raden. Jika saatnya tiba, maka kami tentu tidak akan ingkar. Mungkin ada sesuatu yang dapat kami lakukan. Bahkan mungkin sebelum saat pertemuan itu tiba.” “Apa yang dapat kita lakukan sebelum saat pertemuan itu tiba? Aku kira kedua pusaka itu masih belum pasti ada diantara mereka sekarang ini. Tetapi menurut perhitunganku, pada saat pembicaraan mereka itu dengan resmi diadakan, kedua pusaka itu tentu sudah ada didalam pertemuan itu sebagai bagian dari pembicaraan mereka,“ berkata Raden Sutawijaya. “Kami mengerti. Tetapi maksud kami, apa yang dapat kami lakukan sebelumnya adalah sekedar pengamatan.” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih Kiai. Tetapi barangkali yang mereka lakukan sebelumnya masih dalam usaha mereka mempersiapkan pertemuan itu di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, dan yang lebih penting adalah mempertajam persoalan yang ada antara Pajang dan Mataram. Tetapi yang membuat aku semakin prihatin sekarang ini adalah keadaan ayahanda Sultan Pajang. Menurut keterangan yang aku dengar, sepeninggalkan ayahanda Ki Gede Pemanahan yang bergelar Ki Gede Mataram, maka kesehatan ayahanda Sultan Hadiwijaya menjadi semakin buruk. Sementara itu beberapa orang yang memegang pemerintahan di Pajang menjadi semakin tamak dan mendesak kekuasaan ayahanda Sultan. Bahkan terakhir aku sudah mendengar seorang Adipati yang dengan penuh kebencian ingin menghancurkan Mataram dengan kekerasan.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dengan wajah yang buram ia bertanya, “Tetapi apakah Adipati itu mempunyai hubungan dengan orang yang menyebut dirinya keturunan Majapahit yang berhak menerima warisan atas kekuasaan itu?” “Aku tidak tahu jelas. Tetapi menurut perhitunganku, hal itu tentu dalam usaha memperebutkan pengaruh dan dukungan atas masa depan.” Kiai Gringsing memandang Agung Sedayu sekilas. Wajah anak muda itu menjadi tegang. Berbagai persoalan agaknya telah membelit dihatinya. “Raden,“ Ki Waskitapun kemudian bertanya, “apakah peristiwa itu berarti bahwa keadaan menjadi semakin rumit sekarang ini? Jika seorang Adipati telah melibatkan diri langsung, maka keadaannya tentu tidak akan menguntungkan semua pihak.” “Tentu Ki Waskita. Itulah kesulitan yang tentu akan kita hadapi nanti.” Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Sepercik keragu-raguan telah membayang diwajahnya. Agaknya ada sesuatu yang ingin dikatakannya, tetapi ia telah dicengkam oleh kebimbangan. Tetapi Ki Juru Martani melihat kebimbangan itu. Karena itu, maka iapun mendahuluinya, “Ki Waskita. Apakah ada sesuatu yang agaknya ingin kau katakan?” Ki Waskita termangu mangu. “Apakah salahnya,“ berkata Ki Juru Martani pula, “cobalah. Katakan. Setuju atau tidak setuju, kami tentu akan mempertimbangkannya sebaik-baik nya.” “Aku mohon maaf Raden,“ berkata Ki Waskita, “aku kira keadaan memang menjadi sangat gawat. Hal ini tentu bermula karena salah paham sejak ayahanda Ki Gede Pemanahan meninggalkan istana Pajang dan kembali ke Sela dalam rangka tuntutannya atas janji Sultan Pajang untuk menyerahkan Alas Mentaok. Sementara Pati yang sudah menjadi semakin ramai dan besar telah diberikan langsung kepada Ki Penjawi. Namun kesalah pahaman itu tidak sebaiknya menjadi semakin berlarut-larut. Sepeninggal ayahanda Raden, Ki Gede Pemanahan yang bergelar Ki Gede Mataram, apakah tidak sebaiknya Raden sendiri berusaha mengakhiri salah paham itu dengan datang menghadap Sultan di Pajang.” Wajah Raden Sutawijaya menjadi semburat merah. Namun Ki Juru Martanipun kemudian tersenyum sambil berkata, “Itulah yang aku prihatinkan Ki Waskita. Jika angger Sutawijaya tidak berhati sekeras batu, maka aku kira akan dapat dicari jalan untuk menghindarkan salah paham ini.” “Paman,“ Raden Sutawijaya memotong, “paman tidak pernah mendengar penghinaan atasku dan ayahanda Ki Gede Pemanahan saat kami meninggalkan istana Pajang.” “Apakah ayahanda Sultan pernah menghina Raden?“

bertanya Ki Waskita. “Bukan ayahanda Sultan Hadiwijaya. Tetapi orang-orang didekatnya. Orang-orang disekitarnya.” “Itulah barangkali yang membuat hati ayahanda Sultan sekarang ini selalu muram. Kesalahan beberapa orang disekitarnya terhadap Raden, berakibat parah sekali bagi Pajang dan Mataram. Pusaka-pusaka Pajang yang diserahkan kepada Mataram, gelar Senopati ing Ngalaga itu tentu diberikan kepada Raden bukannya tanpa maksud. Kecuali Raden memang sudah berhak atas gelar itu, namun tentu ada juga niat ayahanda Sultan untuk memanggil Raden kembali memasuki Paseban Agung di Pajang setidak-tidaknya selapan hari sekali.” “Paman,“ wajah Raden Sutawijaya menjadi semakin tegang, “aku sudah mengajukan permohonan kepada ayahanda Sultan. Aku akan menghadap ke Paseban Agung bukan saja setiap selapan hari, tetapi setiap pekan dan saat apapun jika dikehendaki, asal orang-orang yang tidak aku senangi itu diusir dari istana.” Wajah Ki Waskita menegang sejenak. Ketika dilihatnya sekilas wajah Ki Juru, maka nampaknya penyesalan membayang diwajah yang tua itu. Bahkan katanya kemudian, “Ki Waskita. Akupun pernah mengajukan permohonan serupa kepada Raden Sutawijaya. Sultan Hadiwijaya adalah seorang yang mempunyai tiga kedudukan terpenting bagi Raden Sutawijaya. Ia adalah seorang ayah yang penuh kasih, seorang guru yang cakap dan mumpuni dalam olah kanuragan dan kesusasteraan. Selebihnya ia adalah seorang Raja yang bijaksana.” Wajah Raden Sutawijaya menjadi buram. Sekilas ia memandang Ki Juru Martani. Kemudian Ki Waskita dan orangorang lain berganti-ganti. Dengan nada yang dalam ia berkata, “Aku mengerti paman. Tetapi aku tidak dapat melihat kelemahan semakin membelit hati ayahanda Sultan di Pajang. Sebenarnyalah bahwa ayahanda Sultan tidak berani melihat kenyataan meskipun ia mengetahuinya. Seharusnya ayahanda telah mengusir beberapa orang yang dengan sengaja mempersulit kedudukan dan rencana-rencana ayahanda. Bahkan syahanda mengetahui bahwa beberapa orang telah menyalah gunakan kepercayaan ayahanda untuk kepentingan-kepentingan yang tidak menguntungkan. Apakah paman Juru Martani tidak mau mengakui, bagaimana buruknya pengaruh orang-orang yang dengan sadar dan sengaja didorong oleh pamrih pribadi telah menjerumuskan ayahanda kedalam cengkeraman nafsu yang semakin dalam. Perempuan perempuan cantik merupakan noda kelemahan yang selalu dipergunakan.” “Angger,” suara Ki Juru sareh, “justru dalam keadaan serupa itu. Beberapa puluh kali aku mencoba memberikan nasehat bahwa jika angger berada diistana, maka angger akan dapat membantu ayahanda melepaskan diri dari belenggu nafsu yang seolah-olah tidak terkekang itu.” Tetapi Sutawijaya menggeleng. Jawabnya, “Uwa Mandaraka. Berpuluh kali pula aku mohon maaf, bahwa hatikulah yang tidak dapat dipaksa untuk datang menghadap ayahanda yang duduk dikitari oleh penjilat-penjilat yang dengan liciknya telah menjerumuskan ayahanda kedalam belenggu nafsu dan

kesenangan duniawi.” Ki Juru Martani yang juga bergelar Mandaraka itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. “Aku sudah menentukan sikap,“ berkata Raden Sutawijaya, “aku tetap mencintai ayahanda Sultan Hadiwijaya sebagai seorang anak yang menyadari untuk membalas budi yang tidak ternilai, yang barangkali seumurku tidak akan dapat terbalas selapis tipispun. Dan akupun tetap menghormati sebagai seorang guru yang mumpuni. Bahkan aku tetap menjunjung segala perintahnya sebagai seorang Raja yang bijaksana. Namun didalam tindakannya yang tidak aku anggap bijaksana maka aku tidak akan dapat menjunjungnya diatas kepala.” “Baiklah Raden,“ gumam Ki Juru kemudian, “aku sudah mendengar pendirian itu berpuluh kali sebanyak aku mengucapkan harapan dan nasehatku. Tetapi baiklah. Raden sudah cukup dewasa untuk mengambil sikap. Jika aku tetap berada disisi angger, barangkali didalam sikap dan tindakan angger sehari-hari masih ada yang perlu dipertimbangkan.” “Ki Juru,” berkata Raden Sutawijaya, “bagiku Ki Juru tetap seorang yang penting. Aku selalu melakukan segala nasehat Ki Juru, selain yang satu itu. Menghadap ayahanda dalam keadaan seperti sekarang.” Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Betapapun buram sorot matanya, tetapi orang tua itu benar-benar tidak berhasil merubah sikap Raden Sutawijaya dalam satu hal itu. Sementara itu Agung Sedayu mendengarkan dengan dada yang berdebar-debar. Dengan demikian Agung Sedayupun dapat mengerti, bahwa Raden Sutawijaya adalah orang yang keras hati. Apalagi ketika ia mendengar tentang beberapa orang yang berada disekitar Sultan Pajang, yang dengan cara yang licik telah melakukan usaha untuk kepentingan diri sendiri. Tetapi kenapa Raden Sutawijaya tidak berada didekat ayahandanya Sultan Pajang, justru dalam keadaan seperti itu? pertanyaan yang serupa itupun telah mengganggu hatinya. Dalam pada itu. Raden Sutawijaya berkata seterus nya. “Karena itu aku harus segera mulai. Tetapi aku tidak akan mulai dari orang-orang disekitar ayahanda Sultan di Pajang. Aku akan mulai dengan menemukan pusaka-pusaka yang hilang itu dan sekaligus menghancurkan orang-orang yang merasa dirinya pewaris kerajaan Majapahit, karena aku yakin bahwa jalurnya akan sampai juga keistana Pajang. Beberapa orang petugas sandi yang aku tugaskan khusus, telah memberikan laporan yang menurut uraian dan perhitungan, bayak orang-orang di istana Pajang yang terlibat, bahkan mungkin mereka adalah pemikir-pemikirnya.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Aku percaya bahwa Raden Sutawijaya tidak akan bertindak dengan tergesa-gesa Tetapi akupun percaya bahwa Raden Sutawijaya bukan seorang yang tidak melihat perkembangan peristiwa dan keadaan.” “Ya,” jawab Raden Sutawijaya singkat, “dan kedatanganku menemui Kiai diantaranya juga dalam usaha penyelesaian itu. Aku tidak mengatakannya di Sangkal Putung karena suasananya tidak memungkinkan. Tetapi aku yakin bahwa Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Swandaru masih akan tetap bersedia membantuku. Khususnya menghadapi orangorang yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit itu.” Kiai Gringsing mengangguk. Jawabnya, “Percayalah Raden. Untuk menghadapi mereka, aku akan berbuat sesuatu sesuai dengan kemampuanku. Mudah-mudahan yang akan kami lakukan itu cukup berarti bagi Raden.” “Tentu Kiai,“ berkata Raden Sutawijaya, “aku tidak dapat berhubungan dengan Untara, karena aku tidak mengetahui dengan pasti jalur apakah yang telah mengikatnya didalam lingkungan keprajuritan Pajang. Meskipun demikian aku tahu pasti, bahwa Untara adalah seorang yang setia akan kewajibannya. Ia adalah prajurit Pajang yang sangat baik. Tetapi justru itulah sulitlah bagiku untuk melakukan usaha yang dapat membawanya bekerja bersama dengan Mataram meskipun dalam persoalan yang khusus.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. “Karena itulah, aku mengharap bantuan Swandaru tegasnya Sangkal Putung dari arah ini, meskipun jika kita mulai, kita harus menghindari pengawasan Untara. Harapan yang sama juga akan aku sampaikan kepada Ki Gede di Menoreh. Kedua daerah itu akan merupakan kekuatan penyumbat lembah antara lereng Merbabu dan Merapi. Kamilah yang akan memasuki lembah itu dan menghancurkan mereka pada saatnya nanti. Tetapi kami harus meyakinkan diri, bahwa yang kami lakukan itu akan menguntungkan, dan menemukan kembali pusaka-pusaka yang hilang itu.” Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayu tidak menjawab. Mereka hanya menganggukanggukkan kepala. Tetapi dari sorot mata mereka, Ki Juru Martani dapat menangkap, bahwa mereka tidak berkeberatan untuk ikut membantunya. Sebenarnyalah bahwa Kiai Gringsing memang merasa wajib untuk setidak-tidaknya ikut mengetahui, siapakah yang berdiri dibelakang kegiatan yang dapat mengguncangkan sendi-sendi pemerintahan, baik Pajang maupun Mataram. Bahkan dalam keadaan yang paling parah, maka kekuatan itu benar-benar akan berhasil membenturkan Mataram atas Pajang. Sifat keras hati Raden Sutawijaya yang kurang menguntungkan bagi pendekatan antara anak muda itu dengan ayahandanya, benar-benar telah mencemaskan orang-orang tua.

“Kiai,“ berkata Raden Sutawijaya kemudian, “baiklah aku berterus terang. Tanpa Kiai, Ki Waskita dan kekuatan murid-murid Kiai beserta para pengawal Sangkal Putung. maka kami akan mengalami kesulitan. Karena itu, kami mohon Kiai dapat memberikan bantuan itu. Seperti yang aku katakan, aku mengharap agar kekuatan dari Sangkal Putung menyumbat mulut lembah itu dari arah Timur sedangkan Tanah Perdikan Menoreh dari arah Barat. Jika tidak berkeberatan, kedua kekuatan itu kami minta perlahan-lahan memasuki lembah itu semakin dalam, agar kesempatan bergerak orang-orang yang akan membicarakan bangkitnya Majapahit itu semakin sempit.” “Baiklah angger,“ berkata Kiai Gringsing, “aku harap aku dapat meyakinkan Ki Demang Sangkal Putung. Tetapi aku kira, Sangkal Putung tidak akan berkeberatan. Karena perjuangan itu bukannya sekedar perjuangan dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, tetapi juga akan sangat berpengaruh bagi perkembangan dan pertumbuhan kekuasaan diatas Tanah ini.” Raden Sutawijaya memandang wajah Ki Juru sejenak. Nampak sekilas harapan diwajah orang tua itu, seolah-olah ingin mengatakan bahwa Kiai Gringsingpun sebenarnya mempunyai kepentingan khusus dengan orang-orang yang mengaku dirinya pewaris kerajaan Majapahit itu. “Kiai,“ berkata Raden Sutawijaya, “yang aku katakan sekarang ini adalah suatu pemberitahuan, bahwa kita semuanya harus mulai mempersiapkan diri. Kami masih akan mengadakan penyelidikan lebih jauh. Seterusnya kami akan selalu berhubungan meskipun bukan aku sendiri yang akan datang kemari.” “Baiklah Raden,” jawab Kiai Gringsing, “aku akan melakukan sesuatu disini. Tetapi mungkin karena ketidak tenanganku. aku juga sekali sekali ingin melihat perkembangan langsung dilembah itu.” “Tentu saja aku akan berterima kasih Kiai. Karena yang akan Kiai lakukan itupun akan sangat menguntungkan Mataram. Mudah-mudahan kami dapat menemukan sesuatu yang berharga. PusakaPusaka itu dan orang-orang yang sampai saat ini justru telah menggoyahkan kekuasaan ayahanda di Pajang, lewat perbuatan dan tindakan-tindakan yang licik sekali, diluar kesadaran ayahanda sendiri.” Untuk beberapa saat mereka masih membicarakan persoalan persoalan yang lebih terperinci. Namun pada pokoknya, mereka akan bersama sama memecahkan persoalan pusaka yang hilang sekaligus tentang orang-orang yang merasa dirinya masih harus mewarisi kerajaan dan kejayaan Majapahit. Tetapi lebih dari itu, Sutawijaya selalu merasa terganggu oleh orang-orang yang ada disekitar ayahandanya, yang justru tidak menguntungkan sikap dan wibawanya dalam keseluruhan, tetapi justru telah menjerumuskan kedalam kesulitan. Meskipun dalam hal itu Sutawijaya yakin, bahwa ada beberapa orang Adipati yang sama sekali tidak menyetujui sikapnya. Bahkan ada yang dengan serta merta mohon ijin kepada Sultan Hadiwijaya untuk menghancurkan Mataram sebelum besar, karena ada tanda-tanda bahwa Mataram akan memberontak, yang ternyata dari sikap Raden Sutawijaya yang tidak mau menghadap dipaseban, namun Sutawijaya

sudah mempersiapkan diri. “Asal bukan Pajang sendiri langsung menyerang Mataram, maka Mataram tidak akan dapat digoyahkan,“ berkata Raden Sutawijaya. Tetapi keyakinan itu sebenarnya masih belum lengkap. Mataram masih belum memiliki jumlah pasukan yang cukup banyak meskipun secara pribadi pengawal-pengawal di Mataram memiliki kemampuan seorang prajurit pilihan. Jika dua orang Adipati bergabung dan mendapat ijin dari Sultan atas namanya mempersempit kekuasaan Mataram maka Mataram akan mengalami kesulitan. Namun keragu-raguan atas kepemimpinan Sultan Pajang yang mulai berkembang agaknya telah menyentuh hati setiap Adipati. Masih ada kesetiaan diantara mereka. Namun mereka mulai ragu-ragu bahwa Pajang tidak akan dapat lagi diharapkan dihari depannya. Para Adipati itu mengenal sikap dan pribadi Pangeran Benawa. Satu-satunya putera yang berhak mewarisi kerajaan dan pemerintahan Pajang. Tetapi nampaknya perhatian Pangeran Benawa tidak tertuju kepada pemerintahan. Ia lebih suka menyepi dan kadang-kadang berada dalam lingkungan para ulama. Nampaknya meskipun ia masih berusia muda, ia lebih senang hidup dalam ketenangan batin daripada digelitik oleh kesibukan pemerintahan yang rumit Ia seorang yang luar biasa setiap orang memujinya, dalam usia mudanya, ia telah mewarisi semua ilmu kanuragan yang ada pada ayahandanya. Bahkan ia termasuk orang yang aneh, yang dapat menyadap ilmu yang betapapun sulitnya dalam waktu yang sangat pendek. Tetapi seolah-oleh ia tidak mempunyai minat pada ilmu-ilmunya. Seolah-olah dengan terpaksa karena kewajiban seorang putera Sultan sajalah ia mempelajari ilmu ilmu itu. Namun kemudian yang didambakannya adalah ketenangan hidup yang sebenarnya. Kedamaian hati dan ketenteraman rohaniah. Karena itulah, maka seakan-akan ia tidak menghiraukan yang terjadi diistana. Seperti Raden Sutawijaya, sebenarnyalah Pangeran Benawa telah dikecewakan oleh sikap ayahnya yang terlalu mudah disentuh oleh kecantikan wajah gadis-gadis muda. Namun dalam bentuk dan ujud yang lain sesuai dengan kepribadiannya. Demikianlah, maka Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani masih berada di padepokan itu utuk sehari. Mereka telah bersepakat, dipagi harinya, mereka akan meninggalkan padepokan kecil itu kembali ke Mataram. “Kita harus segera mulai, agar kita tidak terlambat,“ berkata Raden Sutawijaya. Saat-saat yang tersisa, kemudan dipergunakan oleh Raden Sutawijaya untuk melihat-lihat padepokan itu. Bahkan iapun

berkata kepada Agung Sedayu. “Kita berjalan-jalan kesawah dan ladangmu.” Agung Sedayu tidak menolak. Merekapun kemudian berjalan-jalan menyusuri jalan ditengah-tengah daerah persawahan. Raden Sutawijaya merasa kagum juga melihat hasil kerja Agung Sedayu. Parit-parit yang membujur lintang diantara tanaman yang hijau. Lorong-lorong yang panjang dan beberapa batang pohon pelindung dipinggir jalan. Kedua anak muda itu berjalan sambil berbincang. Mula-mula tentang masa depan Mataram dan sekitarnya dalam hubungannya dengan Pajang. Namun kemudian sampai juga kepada kemampuan yang telah dicapai oleh Agung Sedayu. “Aku tidak mendapatkan kemajuan apapun juga selama ini selain kecakapan memelihara sawah dan ladang ini,“ berkata Agung Sedayu. Raden Sutawijaya yang telah mengenal sifat-sifatnya hanya tertawa saja. Anak muda yang rendah hati ini memang jauh berbeda dengan saudara seperguruannya, meskipun Raden Sutawijaya yakin bahwa Agung Sedayu telah mencapai satu tingkatan yang tidak kalah dari Swandaru. “Agung Sedayu,“ berkata Raden Sutawijaya, “di Sangkal Putung aku telah dipaksa untuk menunjukkan kelebihanku dari Swandaru. Sebenarnya aku agak malu mengingatnya. Tetapi aku tidak mempunyai cara lain untuk meyakinkan Swandaru.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. “Dan kini aku sebenarnya ingin juga melihat kemampuanmu. Aku sama sekali bukannya hendak menjajagi ilmumu atau mau mengukur apakah kau pantas atau tidak menjadi seorang Senapati atau dengan maksud-maksud lain. Aku benar-benar ingin sekedar mengetahuinya.” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Tidak banyak berarti Raden. Yang aku miliki pernah Raden ketahui. Masih seperti itu. Mungkin ada juga peningkatan. Tetapi sedikit sekali. Dan itu tidak berarti apa-apa. sehingga karena itu, maka aku kira tidak ada gunanya aku pamerkan dihadapan Raden.“ Raden Sutawijaya tersenyum pula Ia memang sudah menduga, bahwa tidak mudah memaksa Agung Sedayu untuk menunjukkan ilmunya dengan cara apapun juga. Untuk beberapa saat mereka berjalan jalan melintasi bulak-bulak yang tidak begitu panjang. Mereka melihat juga ladang yang mulai ditanami pohon buah-buahan. Bukan saja pategalan Agung Sedayu yang diterimanya dari Untara, tetapi daerah pategalan baru yang dibukanya bersama-sama tanah persawahan dari hutan yang lebat. Setelah mereka melingkari semua sudut tanah yang telah dibuka oleh Agung Sedayu, maka keduanyapun kemudian kembali kepadepokan. Raden Sutawijaya terasa sangat kecewa bahwa ia tidak dapat melihat tingkat kemajuan ilmu Agung Sedayu meskipun ia benar-benar hanya sekedar ingin

mengetahuinya. “Swandaru telah mencapai kemajuan yang pesat. Bahkan ia mampu menggoyahkan ilmuku, aji Tameng Waja. Jika Agung Sedayu tidak dapat mencapai tingkat yang sama dengan Swandaru, maka Swandaru tentu akan merasa dirinya lebih penting lagi dan bertindak kurang bijaksana atas kakak seperguruannya yang akan menjadi adik iparnya itu,“ katanya didalam hati. Tetapi Raden Sutawijaya tidak mengatakannya kepada siapapun. Juga tidak kepada Agung Sedayu. Demikianlah, maka Raden Sutawijaya masih bermalam dipadepokan itu sebelum pada pagi harinya, seperti yang direncanakannya, meninggalkan padepokan itu kembali ke Mataram. “Mudah-mudahan semuanya segera dapat aku selesaikan,“ berkata Raden Sutawijaya saat ia minta diri, “jika masalah pusaka-pusaka yang hilang dan orangorang yang mengaku keturunan Majapahit itu sudah aku selesaikan, maka aku akan dapat memusatkan perhatianku terhadap perkembangan Pajang. Keadaan ayahanda Sultan memang menjadi semakin gawat sedang adimas Pangeran Benawa agaknya tidak menghiraukannya sama sekali.” Ki Juru Martani menarik nafas. Ia kadang-kadang sulit mengerti pikiran anak-anak muda. Raden Sutawijaya dapat menyalahkan Pangeran Benawa yang kurang memperhatikan jalur pemerintahan dan keadaan ayahandanya yang dikelilingi oleh orang-orang yang sulit dibedakan antara mereka yang benar-benar setia dengan jujur, para penjilat, dan bahkan orang-orang yang dengan sengaja akan menjerumuskannya, sementara dirinya sendiri tidak langsung ikut serta membantu memecahkan kesulitan yang kurang disadari oleh Sultan Hadiwijaya itu. Demikianlah, maka Raden Sutawijaya dan KiJuru Martani pun meninggalkan padepokan itu ketika Matahari mulai memanjat langit. Sekali-sekali keduanya masih berpaling. Dengan nada datar Ki Juru berkata, “Anak yang rendah hati. Ia mulai dari permulaan sekali. Sebuah Padepokan kecil. Tetapi nampaknya padepokan itu cukup tenang dan mempunyai harapan.” “Sebenarnya padepokan itu kurang menguntungkan bagi Agung Sedayu,” sahut Raden Sutawijaya umurnya yang masih muda telah terkungkung dalam ikatan daerah yang sempit Sawah, ladang dan padepokannya itu.” ia berhenti sejenak, lalu, “sebenarnya ada jalan yang lebih baik bagi Agung Sedayu untuk mencapai sesuatu dimasa depanya. Ia memiliki ilmu yang cukup, cerdas dan memiliki tanggapan yang tajam. Namun ia lebih senang berada ditempat yang terasing.” “Itu adalah watak dan sifatnya. Agaknya sifat gurunya yang lebih senang hidup tersembunyi itu menemukan persesuaian dihati anak muda itu.” berkata Ki Juru kemudian.

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Namun dari bibirnya terloncat, “Sayang Ia menyia-nyiakan hari harinya dimasa muda.” Ki Juru Martani tidak menyahut. Ia menyadari bahwa anggapan Raden Sutawijaya itu lebih banyak tertuju kepada Agung Sedayu sesuai dengan sifat dan wataknya sendiri. Raden Sutawijaya adalah seorang yang sejak masa anak-anaknya dipengaruhi oleh lingkungannya. Ia a dalah putera angkat Sultan Hadiwijaya. sehingga ia mengenal segi-segi pemerintahan dan bahkan kemudian menjadi sebagian besar dari seluruh hidupnya. Selebihnya, karena Raden Sutawijaya menginginkan agar Agung Sedayu dengan tegas berada didalam lingkungannya. Lingkungan para pengawal di Mataram. Tetapi Raden Sutawijaya tidak dapat mengatakannya berterus terang kepada Agung Sedayu. Ia masih belum tahu pasti, apakah yang sebenarnya dikehendaki oleh anak muda itu dan gurunya. Bagi Raden Sutawijaya ternyata Swandaru lebih mudah dapat dikuasainya daripada murid Kiai Gringsing yang seorang lagi itu. Bahkan tingkat ilmu yang sebenarnyapun Raden Sutawijaya tidak berhasil mengetahuinya. Dalam pada itu, sepeninggal Raden Sutawijaya, Dibagian belakang dari padepokan itu, Glagah Putih menemui Agung Sedayu dan mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya tentang Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga dan berkedudukan di Mataram. “Ia anak muda yang baik,“ jawab Agung Sedayu. “Tetapi sikapnya saat kakang datang, benar-benar membingungkan aku.” “Ia hanya bergurau,“ Agung Sedayu tertawa. “Tentu tidak. Meskipun aku sadar, bahwa ia tidak bersungguh-sungguh. Aku menyesal akan sikapku.” “Ia tidak marah. Sikapmu adalah sikap yang wajar.” “Wajar?” “Wajar bagi anak semuda kau dan dalam luapan perasaan yang tidak terkendali. Hal itu menjadi pengalaman yang baik bagimu. Lain kali kau akan menjadi berhati-hati menanggapi peristiwaperistiwa yang masih kabur dan kurang meyakinkan. Nah, bukankah kau lihat, bahwa ia tidak berbuat apa-apa meskipun aku tidak melayaninya?” “Ya.“ namun kemudian Glagah Putih menjadi ragu-ragu, “tetapi apakah Raden Sutawijaya benar-benar memiliki ilmu yang lebih tinggi dari kakang?”

“Tentu. Tentu. Kau harus yakin seperti aku yakin.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Apakah kakang mau menceriterakan serba sedikit tentang Mataram ?” “Tentu,“ jawab Agung Sedayu yang kemudian mulai bercerita tentang Mataram, “Raden Sutawijaya dan usahanya membuka hutan yang lebat dan menjadikannya sebuah negeri yang ramai dan kuat.” “O,“ desis Glagah Putih, “jika demikian, kenapa kita tidak membuka hutan lebih luas dan menjadikannya sebuah negeri ?“ Agung Sedayu tertawa. Jawabnya, “Ada bermacam-macam unsur yang dapat menjadikan sebuah hutan yang lebar menjadi sebuah negeri. Alas Mentaok telah diberikan oleh Sultan Pajang kepada putera angkatnya itu. Dan Alas Mentaok adalah hutan yang besar dan luas. Beberapa puluh kali lebih luas dari seluruh Kademangan Jati Anom.” Glagah Putih mengangguk-angguk pula. Ia mencoba membayangkan hutan yang luas itu telah menjadi sebuah negeri. “Tentu memerlukan waktu dan tenaga yang tidak terkira,” katanya. “Ya. Usaha Raden Sutawijaya itu berlangsung untuk waktu yang lama dan tenaga yang tidak tanggungtanggung. Tetapi Raden Sutawijaya adalah putera Sultan Hadiwijaya. Apalagi sebelumnya setiap orang mengetahui, bahwa dalam perselisihan antara Pajang dan Jipang, Raden Sutawijaya seakanakan telah berhasil menentukan sikap penyelesaian dengan gugurnya Arya Penangsang. Dengan demikian, maka banyak orang yang mempercayainya dan bersedia dengan suka rela ikut serta membuka hutan dan menjadikannya sebuah negeri. Bahkan beberapa kelompok prajurit Pajang telah menyatakan keinginannya untuk mengikutinya dan langsung menjadi pengawal Tanah Mataram.” Glagah Putih mendengarkan ceritera itu dengan saksama. Namun tiba-tiba ia bertanya, “Jadi Sultan Pajang telah merestui usaha Raden Sutawijaya itu kakang?” “Ya. Benar-benar merestuinya. Bukan sedekar karena ia merasa wajib berbuat demikian. Pertanda yang pasti adalah penyerahan beberapa pusaka terpenting dari Pajang kepada Mataram.” Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi ia mulai mencoba mengerti, apakah sebenarnya yang telah terjadi. Namun kebingungannya masih memaksanya untuk bertanya, “Kakang. Tetapi kenapa beberapa orang prajurit Pajang tidak menyukai perkembangan Mataram sekarang ini?” “Siapa yang mengatakannya?”

Glagah Putih menjadi agak bingung. Namun kemudian jawabnya, “Aku hanya mendengar beberapa orang mengatakannya demikian.” “Sudahlah. Pada saatnya kau akan mendengar lebih banyak dan lebih jelas dari ayahmu dan mungkin dari kakang Untara. Tetapi kau harus mendengar pula imbangan keterangan dari orang lain. Tetapi jangan pikirkan sekarang.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak bertanya lagi tentang Mataram dan tentang Raden Sutawijaya. Sementara itu dipendapa padepokan kecil itu, Kiai Gringsing dan Ki Waskitapun sedang bercakapcakap pula. Mereka mencoba menilai sikap Raden Sutawijaya yang semakin lama menjadi semakin jelas. “Aku kurang sependapat dengan sikapnya Kiai,” berkata Ki Waskita, “seharusnya ia tidak melepaskan diri dari istana Pajang yang menurut pendapatnya sendiri sedang diamuk oleh sikap dan nafsu beberapa orang bagi kepentingan pribadi.” Kiai Gringsing menarik nafas panjang. “Aku sependapat sepenuhnya dengan Ki Juru,“ berkata Ki Waskita seterusnya, “tetapi bukan sekedar menyerahkan persoalannya kepada Raden Sutawijaya, namun Ki Juru harus menekan anak muda itu dengan segala pengaruhnya agar ia mau datang menghadap Sultan Pajang dan kemudian mengambil langkah-langkah penyelamatan diistana Pajang itu sendiri.” Kiai Gringsing memandang Ki Waskita sekilas. Kemudian dilontarkannya kekejauhan. Dengan nada yang dalam ia berkata, “Ki Juru sudah mencobanya. Tetapi Ki Juru tidak berhasil.” Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Kiai, sebenarnya aku masih belum dapat mengerti sikap dan pendapat Raden Sutawijaya menghadap Pajang. Kebenciannya kepada orang-orang yang diduganya akan dapat menggoyahkan pemerintahan telah menjauhkannya dari ayahandanya, justru saat ayahandanya sangat memerlukannya.” Ki Waskita berhenti sejenak, lalu. “Kiai. Apakah sikap itu tidak bersangkut paut dengan sikap ayahanda Raden Sutawijaya, Ki Gede Pemanahan, yang meninggalkan kedudukannya di istana Pajang sebagai tekanan agar Alas Mentaok segera diserahkan. Dimulai dari sikap itulah maka Raden Sutawijaya merasa segan untuk pada suatu saat menghadap kembali keistana. Dan itulah yang membuat ayahandanya Ki Gede Pemanahan menjadi sangat berprihatin.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya, “Itu adalah salah satu sebab. Tetapi ada beberapa sebab yang lain.”

Ki Waskitapun mengangguk-angguk pula. Ia mengerti apa yang dimaksudkan oleh Kiai Gringsing. Namun karena itu, maka ia tidak bertanya lebih lanjut. Tetepi dengan demikian Kiai Gringsing dapat meraba tanggapan Ki Waskita atas anak muda yang bernama Raden Sutawijaya dan bergelar Senopati Ing Ngalaga itu. Agaknya ia tidak senang terhadap sikapnya yang seakan-akan telah menentang ayahanda angkatnya sekaligus guru dan rajanya menurut istilah Ki Juru Martani. Namun Ki Waskita tidak dapat mengatakannya. Dalam pada itu, maka pembicaraan kedua orangtua itupun terputus ketika mereka mendengar derap kaki kuda. Sejenak kemudian mereka melihat beberapa ekor kuda muncul dihalaman. Dipaling depan dari mereka adalah Untara. “O,” Kiai Gringsing dan Ki Waskitapun segera berdiri menyongsongnya, “marilah ngger. Silahkan naik kependapa.” Untara yang telah meloncat turun dari kudanyapun mengangguk dalam. Setelah mengikat kudanya, maka ia-pun segera mengikuti Kiai Gringsing naik kependapa beserta Ki Waskita. Sementara ia memberikan isyarat kepada pengawal-pengawalnya untuk menunggu saja dihalaman. “Apakah mereka tidak dipersilahkan naik?“ bertanya Kiai Gringsing. “Biar sajalah mereka menunggu Kiai. Aku tidak akan lama disini.” “Ah. Angger Untara tidak pernah tidak tergesa-gesa. Baru saja angger datang, angger sudah menyatakan ingin pergi lagi.” Untara tersenyum. Jawabnya, “Maaf Kiai. Mungkin terbawa oleh sikapku sejak kanak-kanak. Aku tidak pernah betah tinggal terlalu lama disuatu tempat.” Merekapun kemudian duduk dipendapa. Sementara Agung Sedayu dan Glagah Putih yang mendengar derap kaki kuda itupun telah datang pula kependapa. “Kakang Untara,“ Glagah Putih berdesis dibelakang Agung Sedayu. Untara tersenyum. Sambil melambaikan tangannya ia memanggil, “Glagah Putih, kemarilah.” Tetapi Glagah Putih masih tetap saja bersembunyi dipunggung Agung Sedayu. “He,“ desis Agung Sedayu, “mendekatlah. Kakang Untara memanggilmu.” Tetapi Glagah Putih masih tetap saja berada dibelakang Agung Sedayu. “Kenapa kau memandangku seperti memandang hantu?“ bertanya Untara. Glagah Putih hanya menundukkan kepalanya saja, sementara Agung Sedayu berkata, “Anak itu jarang-

jarang bertemu dengan kakang Untara, sehingga ia nampaknya seperti seorang pemalu yang tidak pernah bertemu dengan orang lain.” Untara tertawa. Ia memang mengenal adik sepupunya itu sebagai seorang pemalu. Itulah sebabnya maka ia tidak memaksanya. Bahkan katanya. “Baiklah. Biarlah ia bersembunyi saja di punggungmu. Mudah-mudahan ia tidak selalu berbuat demikian sampai pada masanya ia bertemu dengan seorang gadis.” Yang mendengar kata-kata Untara itu tertawa. Jarang sekali Untara sempat berkelakar. Tetapi agaknya adik sepupunya itu memang menarik perhatiannya. Sementara itu, setelah mereka duduk sejenak, Untarapun mulai bertanya kepada Agung Sedayu sesuai dengan kepentingannya datang ke padepokan itu, “Sedayu, apakah Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani telah datang kepadepokan ini, atau bahkan sekarang masih berada disini?” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun ia tidak dapat ingkar. Karena itu maka jawabnya, “Ya kakang. Baru saja Raden Sutawijaya meninggalkan padepokan ini.” “Apakah ia bermalam dipadepokan ini? “ “Ya. Darimana kakang mengetahuinya?” “Seorang petugas sandi telah mendengar kabar kedatangannya. Ia mula-mula datang ke Sangkal Putung. Kemudidan ia pergi kepadepokan ini karena di Sangkal Putung kebetulan mereka bertemu dengan Kiai Gringsing.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak, sementara Kiai Gringsing menyahut, “Ya anakmas. Aku memang telah berjumpa dengan Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani di Sangkal Putung. Karena itu aku persilahkan mereka singgah barang sejenak dipadepokan ini.” Untara mengangguk-angguk. Kemudian ia bertanya lebih lanjut, “Apakah keperluannya datang ke Sangkal Putung Kiai.” “Ah. Aku kira Raden Sutawijaya hanya sekedar singgah. Seperti biasa ia sering mengadakan perjalanan jauh dalam pakaian orang kebanyakan.” “Justru kedatangannya dalam sikap orang kebanyakan hanya sekedar singgah. Seperti biasa ia sering mengadakan perjalanan jauh dalam pakaian orang kebanyakan.” “Justru kedatangannya dalam sikap orang kebanyakan itulah yang telah menimbulkan pertanyaan bagi kami. Aku masih Senopati didaerah ini. Meskipun ia sudah mendapat gelar Senopati ing Ngalaga, namun seharusnya ia menghubungi aku jika ia berada didaerah ini.” Agung Sedayu termang-mangu sejenak. Namun sebenarnyalah bahwa kakaknya adalah seorang

Senapati. Karena itu, dalam kebimbangan ia memandang gurunya sejenak, seolah-olah minta pertimbangannya. Kiai Gringsing beringsut setapak. Lalu katanya, “Anak-mas benar. Seharusnya kedatangan Raden Sutawijaya diketahui oleh anakmas. Tetapi agaknya karena Raden Sutawijaya menganggap kedatangannya sekedar dalam rangka hubungan yang telah akrab seperti saudara sendiri yang sudah lama tidak bertemu sehingga menimbulkan kerinduan sajalah, maka ia tidak memerlukan membertahukan kepada anakmas.” “Sudah aku katakan. Kedatangan yang tidak resmi seperti itulah yang justru harus mendapat perhatian. Jika ia datang dengan gelar kebesarannya diikuti oleh sepasukan pengawal maka adalah jelas bahwa ia tidak menyembunyikan sesuatu maksud. Aku sendiri akan menyongsongnya dan ikut dalam perjalanannya di daerah ini, meskipun seandainya Raden Sutawijaya belum melaporkan kepada Sultan di Pajang.” Kiai Gringsing tidak dapat membantah lagi. Sikap Untara adalah sikap yang seharusnya dilakukan sebagai seorang Senapati yang bertanggung jawab. Karena itu, maka Kiai Gringsingpun hanyalah mengangguk-anggukkan kepalanya saja. “Agung Sedayu,“ berkata Untara kemudian, “aku minta dilain kali, kau melaporkan kepadaku jika kau mendapat kunjungannya. Bukan saja Raden Sutawijaya, tetapi juga ada pemimpin-pemimpin prajurit dari Pajang atau siapapun juga.” Agung Seday mengangguk. Jawabnya, “Ya kakang Aku akan melakukannya.” Sementara itu Glagah Putih yang gelisah sekali-sekali memandang Untara dengan ragu-ragu. Agaknya ada yang ingin dikatakannya. Tetapi mulutnya masih belum sanggup mengucapkannya. Untara melihat sikap adik sepupunya yang gelisah. Tibatiba saja ia tersenyum sambil berkata, “Apakah ada yang akan kau katakan Glagah Putih?” Glagah Putih menundukkan kepalanya. Keringat dinginnya mulai membasahi Pakaiannya. “Katakanlah,“ desak Untara. Glagah Putih memandang wajah Agung Sedayu sekilas. Lalu katanya terputus-putus, “Ya kakang sebut Raden Sutawijaya tidak berbuat apa-apa disini kakang. Ia datang, melihat-lihat kemudian pergi.” “Ya. ya,“ jawab Untara, “aku kira ia memang tidak berbuat apa-apa.” Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ia heran mendengar jawaban Untara. Jika ia mengetahui bahwa Raden Sutawijaya itu tidak berbuat apa-apa, kenapa ia berkeberatan? Tetapi pertanyaan itu tidak terucapkan, karena mulutnya tiba-tiba saja terasa menjadi seolah-olah terkatup rapat-rapat.

Untara melihat keringat yang mengembun dikening adik sepupunya. Karena itu maka katanya, “Glagah Putih. Belajarlah mengenal orang lain. Aku memang seorang prajurit. Tetapi aku adalah kakakmu. Katakan apa yang ingin kau katakan. Itu akan lebih baik daripada kau simpan saja didalam hati. Benar atau salah, lepaskanlah pikiranmu jika itu kau anggap perlu, ungkin pikiranmu itu berguna bagi orang lain meskipun hanya sebagai bahan pertimbangan. Tetapi jika kau simpan saja didalam hati, maka tidak seorangpun yang dapat mengetahuinya atau mempertimbangkannya.” Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, “Tidak kakang. Aku tidak mempunyai pendapat apapun juga.” Kiai Gringsing yang melihat sikap Glagah Putih itupun tersenyum. Katanya, “Sebenarnyalah angger Glagah Putih bukannya seorang yang tidak dapat menyatakan pendapatnya. Dalam kejutan perasaan, justru semuanya akan tertumpah. Ia dengan serta merta mengatakan apa yang dirasakannya meskipun belum matang dipertimbangkan sesuai dengan umurnya.” Glagah Putih menundukkan kepalanya. Tetapi keterangan Kiai Gringsing itu telah menarik perhatian Untara, yang kemudian bertanya, “Apakah yang sudah dilakukannya?” Kiai Gringsing hanya tersenyum saja. Ia tidak mengatakan, bagaimana Glagah Putih bersikap menghadapi Raden Sutawijaya yang dengan serta merta seolah-olah telah menantangnya meskipun anak itu mengetahui bahwa ia tak akan dapat berbuat apa-apa. “Anakmas Untara,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “angger Glagah Putih masih bersikap kekanak-kanakan. Kadang-kadang ia hanyut pada arus perasaannya, sehingga ia sama sekali tidak menunjukkan kesan pemalunya. Tetapi justru terhadap anakmas Untara ia rasa-rasanya ingin selalu menyembunyikan wajahnya.” Untara tertawa. Katanya, “Ia berbuat demikian juga dirumahnya jika aku berkunjung ke Banyu Asri.” Glagah Putih sendiri tidak menyahut. Ia masih saja duduk dibelakang Agung Sedayu. Dalam pada itu, setelah seseorang menghidangkan minuman panas, maka Untarapun segera minta diri sambil berpesan, “Ingat-ingatlah Agung Sedayu, sampaikan kepadaku jika seseorang yang justru memegang pimpinan mengunjungi daerah ini dengan maksud apapun juga.” “Baik kakang.” “Lain kali aku ingin melihat, apa yang kau dapatkan selama kau mengembara.” Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, “Aku tidak mendapatan apa-apa kakang, selain pengalaman dan

penglihatanku sajalah yang bertambah.” “Itupun sudah baik. Artinya ada yang bertambah padamu. Dengan demikian kaupun menjadi bertambah dewasa untuk menangkap getar kehidupan disekitarmu saat ini, berdasarkan pengalamanmu masa lampau, sehingga kau akan dapat mengambil langkah bagi masa depanmu.” Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, ”Mudah-mudahan aku berhasil menemukan pilihan yang paling tepat bagi masa depanku.” “Paling tepat dan berarti. Bukan saja bagi dirimu sendiri. Tetapi bagi lingkunganmu dan bagi Tanah ini. Padepokan ini hendaknya hanya sekedar menjadi pancatan yang tidak akan mengikatmu disini seperti seorang kakek-kakek yang sudah kehilangan waktu untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.“ Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar, bahwa yang dimaksud kakaknya adalah bahwa tidak sebaiknya ia berada dipadepokan kecil itu untuk seterusnya. Tetapi Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara itu Untara beringsut dari tempatnya. Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayu mengantarkannya turun kehalaman, sementara Glagah Putih mengikutinya dibelakang. “Mudah-mudahan Kiai segera dapat memberikan jalan kepada Agung Sedayu,” desis Untara ketika ia sudah memegang kendali kudanya. Lalu katanya kepada Ki Waskita, “apakah yang dapat Ki Waskita lihat pada masa depan anak itu? Kesuraman atau tempurung yang tertelungkup menyelubunginya?” Ki Waskita tersenyum. Jawabnya, “Tidak ada yang jelas bagiku anakmas. Semuanya sekedar uraian atas isyarat yang kadang-kadang tidak aku mengerti maknanya sama sekali.” Untara mengangguk-angguk. Kemudian sambil menuntun kudanya diikuti oleh pengawal-pengawalnya ia berkata, “Aku akan menyusul Raden Sutawijaya. Mudah-mudahan aku dapat bertemu. Bukankah Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani hanya berjalan kaki saja?” Agung Sedayu menjadi tegang, sementara Kiai Gringsing bertanya, “Apakah ada yang penting untuk dibicarakan dengan angger Sutawijaya ?” “Tidak. Tetapi sebagai Senopati yang lebih rendah tingkatnya, aku harus menemuinya dan menghormati kedatangannya. Tapi juga mengetahui keperluannya.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sikap Untara tentu tidak akan dapat dirubahnya. Karena

itu, ia tidak bertanya lebih lanjut. Bahkan ia hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika Agung Sedayu akan bertanya sesuatu, maka Kiai Gringsing telah menggamitnya, karena persoalannya adalah persoalan Untara sebagai seorang prajurit. Sejenak kemudian maka kuda Untarapun telah berderap diikuti oleh para pengawalnya. Seperti yang dikatakannya, maka iapun berusaha menyusul Raden Sutawijaya. Tetapi justru karena Raden Sutawijaya hanya berjalan kaki, maka Untara ternyata menemui kesulitan. Ketika ia melalui jalan simpang, maka ia tidak dapat menentukan, jalan manakah yang dilalui oleh Raden Sutawijaya. “Kita tidak dapat melihat jejaknya,“ berkata Untara, “jika Raden Sutawijaya berkuda, maka jejaknya akan nampak jelas dijalan ini. Tetapi jejak kaki seseorang tidak akan dapat kita kenal diantara jejak yang lain, karena kita tidak dapat mengenal manakah jejak yang paling baru diantara jejak-jejak yang nampak. Apalagi jalan ini agaknya sudah menjadi jalan yang semakin ramai.” Pengawal-pengawalnya hanya mengangguk-angguk saja. Merekapun tidak tahu, bagaimanakah cara yang sebaik-baiknya untuk mengetahui kemanakah Raden Sutawijaya pergi. Namun dalam pada itu Untarapun berkata, “Marilah. Jalan inilah agaknya jalan yang lebih banyak mempunyai kemungkinan dilalui oleh Raden Sutawijaya.” Pengawal-pengawalpun membenarkannya. Karena itu maka Untarapun segera mempercepat langkah kudanya menyusul Raden Sutawijaya. Dalam pada itu, di padepokan kecil yang ditinggalkan Untara. Agung Sedayu bertanya kepada Kiai Gringsing, “Apakah kakang Untara berkeberatan jika Raden Sutawijaya datang kepadepokan ini?” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bukan berkeberatan. Tetapi kakakmu ingin mendapat laporan atau setidak-tidaknya diberitahukan bahwa ada seseorang penting yang datang didaerahnya.” “Kenapa kakang Untara mempersulit dirinya sendiri dengan kecurigaan semacam itu?“ bertanya Agung Sedayu. “Kakakmu benar Agung Sedayu,“ sahut Ki Waskita. “dalam keadaan yang goyah seperti ini, ia mempunyai kewajiban yang sangat berat. Terutama didaerah ini. Daerah yang benar-benar memerlukan pengamatan yang saksama.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. “Akupun menganggap bahwa Raden Sutawijaya keliru. Karena disini ada seseorang yang mendapat limpahan kekuasaan dari Sultan Demak, maka Raden Sutawijaya dalam kedudukannya harus datang atau menyuruh salah seorang pengawalnya untuk memberitahukan kehadirannya. Dengan demikian maka ia telah melakukan kewajibannya dengan tertib meskipun ia adalah Senapati ing Ngalaga.” Agung Sedayu masih mengangguk-angguk. Namun sekilas ia memandang gurunya yang menarik nafas dalam-dalam. “Agaknya Ki Waskita tidak begitu sependapat dengan Raden Sutawijaya,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Baru sejenak kemudian, maka iapun minta diri kepada gurunya untuk pergi bersama Glagah Putih menengok sawah dan ladangnya. “Pergilah,“ jawab Kiai Gringsing, “jagalah agar air diparit itu dapat mengalir ajeg.” “Ya guru,“ jawab Agung Sedayu yang kemudian bergeser meninggalkan pendapa bersama Glagah Putih. Ternyata Glagah Putih yang masih sangat muda itu telah dapat menangkap perasaan yang tersirat didalam kata-kata Ki Waskita. Karena itu maka disepanjang jalan menuju kesawah ia bertanya, “Kakang, apakah Ki Waskita tidak senang kepada Raden Sutawijaya?” “He,“ Agung Sedayu mengerutkan dahinya, “kenapa kau bertanya demikian.“ “Sikapnya dan agaknya ia selalu menyalahkan Raden Sutawijaya dalam hubungannya dengan sikap kakang Untara.” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Aku tidak tahu. Tetapi jangan kau pikirkan. Mungkin Ki Waskita mempunyai pertimbangan-angan lain. Bukan berarti tidak senang kepada Raden Sutawijaya.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi rasa-rasanya masih ada yang tersisa diperasaannya. Namun ia tidak mengatakannya. Meskipun demikian, agaknya Agung Sedayu masih dapat menangkap gejolak perasaan Glagah Putih yang tersimpan dihatinya itu. Dalam pada itu, maka Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martanipun masih dalam perjalanan menuju ke Mataram. Meskipun mereka tidak tahu, bahwa Untara akan menyusulnya, ternyata mereka telah memilih jalan

memintas, melalui pematang dan kemudian bahkan melintasi lapangan alang-alang yang cukup rapat. Mereka menyusuri jalan setapak yang sering dilalui oleh orang-orang yang sedang mencari kayu bakar kehutan atau kepentingan-kepentingan yang lain, namun jarang sekali. Karena itulah, maka Untara yang mempercepat lari kudanya, tidak dapat menemukannya. Meskipun Untara sudah melintasi jarak yang cukup jauh, namun tidak ada tanda-tanda bahwa mereka akan dapat menjumpai Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani. “Keterangan yang aku terima agak terlambat,“ desis Untara, “sehingga akupun lambat sampai kepadepokan Agung Sedayu.” “Keterangan dari Sangkal Putung itu memang baru saja datangnya. Semula orang-orang Sangkal Putung tidak mengira, bahwa orang yang berjalan beriringan dengan Kiai Gringsing itu adalah Raden Sutawijaya. Tetapi ternyata bahwa para pengawal yang khusus dipanggil oleh Swandaru meyakinkan, bahwa anak muda itu memang Raden Sutawijaya. Di Sangkal Putung ia memamerkan ilmu kebal yang dimilikinya.” Untara menarik keningnya. Namun kemudian ia menggeram, “Anak yang masih terlalu muda untuk menyimpan ilmu yang tinggi seperti dimiliki oleh Raden Sutawijaya. Itulah sebabnya, maka sekali sekali ia masih ingin menunjukkan kemampuannya dihadapan orang lain.” “Ya. Menurut keterangan itu Raden Sutawijaya sengaja memberikan kesempatan kepada Swandaru untuk memukulnya dengan kemampuannya yang sudah meningkat jauh. Tetapi ketika Raden Sutawijaya tersorong, bahkan terguling, maka iapun menjadi marah sehingga permainan itu hampir-hampir saja telah berubah menjadi arena perang tanding.” Untara mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Keteranganmu agak berbeda dengan yang aku dengar kemarin.” “Apa yang Senapati dengar?“ bertanya pengawalnya itu. “Swandarulah yang memulainya. Ia ingin meyakinkan diri, apakah sepantasnya Sutawijaya itu disembahnya sebagai seorang pemimpin.” Pengawalnya mengerutkan keningnya. Lalu, “Mungkin demikian. Tetapi yang terjadi kemudian adalah pameran kekuatan seperti yang sudah aku katakan.” “Baiklah,“ Untara memotong, “apapun alasannya, tetapi seharusnya, ia memberitahukan kepadaku, bahwa ia berada di daerahku. Apalagi jika benar-benar ia mengadakan pameran kekuatan untuk mempengaruhi mereka yang mengaguminya.” Pengawal-pengawalnya tidak menjawab. Namun nampaknya mereka sedang mencoba membayangkan, betapa tingginya ilmu Raden Sutawijaya. Bahkan ilmu anak Kademangan di Sangkal Putung itu. Sangkal Putung telah menyusun kekuatan pengawal-pengawal itu berkata kepada diri sendiri.

Keterangan tentang perkembangan Sangkal Putung dan kedatangan Raden Sutawijaya memang telah menumbuhkan berbagai pernyataan dihati para prajurit di Jati Anom. Apalagi keterangan yang simpang siur. tentang peristiwa penjajagan ilmu Raden Sutawijaya oleh Swandaru. Bahkan ada yang menarik arti, bahwa Raden Sutawijayalah yang justru menjajagi ilmu Swandaru karena ia memerlukan seorang Senapati yang akan dapat membayangi kekuatan Untara sebagai Senapati yang mendapat wewenang dari Pajang. Bukan dari Mataram. Dengan demikian maka para prajurit itupun beranggapan bahwa Sangkal Putung yang menjadi semakin kuat itupun memerlukan pengawasan yang saksama. Hubungan langsung dengan Raden Sutawijaya mungkin dapat menumbuhkan perkembangan yang lain dari Kademangan itu. Dalam pada itu, setelah Untara yakin tidak akan dapat menjumpai Raden Sutawijaya, maka diperintahkannya para pengawalnya untuk kembali saja di Jati Anom. “Sulit untuk menemukannya,” berkata Untara. “Apakah kita akan melingkar sehingga mungkin kita akan menjumpainya lewat jalan lain?“ berkata salah seorang pengawalnya. Untara berpikir sejenak. Kemudian sambil mengangguk ia menjawab, “Tidak ada buruknya. Tetapi aku kira Raden Sutawijaya tidak akan mengambil jalan yang besar. Tetapi ia akan memilih loronglorong sempit atau bahkan jalan-jalan memintas. Pematang atau tanggul-tanggul parit dan sungai.” Meskipun demikian, maka Untara telah mengambil jalan melingkar untuk kembali ke Jati Anom. Mungkin masih akan dijumpai kedua orang Mataram itu dijalan lain. Tetepi seperti yang diperhitungkan oleh Untara, mereka sama sekali tidak bertemu dengan Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani. Sampai saatnya kuda mereka memasuki regol rumah Untara. Sambil menggelengkan kepalanya Untara yang naik kependapa rumahnya berkata kepada seorang perwira bawahannya, “Aku tidak menjumpainya.” Perwira itu mengangguk-angguk. Jawabnya, “Keterangan itu datangnya memang terlambat. Jadi Raden Sutawijaya telah meninggalkan padepokan kecil itu?” “Ya. Tetapi seperti yang kita dengar, Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani memang telah datang ke Sangkal Putung dan singgah dipadepokan Agung Sedayu. Tetapi aku aku datang sesaat setelah mereka meninggalkan padepokan itu.” Perwira itu tidak memberikan tanggapan langsung menganai kedatangan Raden Sutawijaya itu. Tetapi seperti juga pada hampir setiap prajurit, maka mereka dengan hati-hati mencoba untuk menilai sikap dan tingkah laku pemimpin-pemimpin Mataram seorang demi seorang. Namun dalam pada itu Untara berkata, “Kedatangan Raden Sutawijaya kali ini tidak ada hubungannya dengan sikap Mataram. Ia adalah sahabat adikku Agung Sedayu dan adik seperguruannya Swandaru

yang sudah lama tidak saling bertemu. Hanya itu. Jangan membuat tanggapan sendiri atas kedatangannya.” Para perwira bawahannya mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak yakin akan kata-kata Untara. Mereka sadar sepenuhnya, bahwa Untara berusaha untuk tidak dikaburkan oleh tanggapan yang bersimpang siur dari prajurit-prajuritnya. Sebenarnyalah Untara sendiri memang tidak menganggap kedatangan Raden Sutawijaya sekedar ingin bertemu dengan Agung Sedayu dan Swandaru. Tetapi ia ingin mendapat tanggapan yang sama dari anak buahnya, sehingga karena itu, maka ia hanya akan berbicara sesuai dengan perhitungan dan pertimbangannya dengan beberapa orang saja, sebelum ia mengambil kesimpulan. Namun dalam pada itu, agaknya Untara sama sekali tidak tersentuh keterangan tentang orang-orang yang akan mengadakan pertemuan di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Justru karena Pajang tidak mengalami gangguan langsung dari mereka yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit yang sebagian memang berada diistana Pajang sendiri. Berbeda dengan Raden Sutawijaya yang telah diguncang oleh kehilangan pusaka terpentingnya. Bukan saja nilai dari pusaka-pusaka yang hilang itu, namun Raden Sutawijaya merasa bertanggung jawab kepada ayahanda angkatnya. Meskipun ia tidak bersedia menghadap sebelum tekadnya untuk menjadikan Mataram sebuah negeri yang ramai terpenuhi sebagai jawaban atas tantangan beberapa orang pemimpin Pajang yang tidak mempercayainya, namun sebenarnyalah bahwa ia sama sekali tidak melupakan apa yang sudah diterimanya dari ayahanda angkatnya itu. Bagi Untara, jika keadaan menjadi semakin baik dan tenang, maka sebagian tugasnya telah tertunaikan, meskipun ia tidak pernah meninggalkan kewaspadaan. Tetapi karena usahanya untuk sementara tertuju kepada ketenangan daerah pengawasannya, maka perhatiannya terbesar ditujukannya kepada ketenangan didalam rangkah. Sementara itu sepeninggal Raden Sutawijaya, maka Swandaru yang telah meyakinkan diri, bahwa Raden Sutawijaya adalah seorang anak muda yang pilih tanding, tidak mau mengingkari niatnya. Ia benar-benar bertekad untuk membantu anak muda itu bagi masa depan Mataram. Apalagi penilaiannya, gurunya Kiai Gringsing juga berdiri dipihak Mataram jika terjadi perselisihan dengan pihak yang manapun juga. Apalagi dengan orang-orang yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Mahapahit itu, meskipun banyak diantara mereka yang berada didalam lingkungan istana Pajang tanpa diketahui oleh Sultan. Bahkan Swandaru telah menarik kesimpulan bahwa Raden Sutawijaya telah menyatakan niat dan harapannya, bahwa Sangkal Putung akan bersedia membantu Mataram dalam masa pertumbuhannya. Demikian juga dengan daerah disebelah Barat Alas Mentaok. Tanah Perdikan Menoreh. Dengan demikian, maka Swandarupun mulai membicarakan dengan ayahnya, niatnya untuk semakin memperkuat kedudukan Sangkal Putung yang justru berada hampir digaris lurus antara Pajang dan Mataram dan sekaligus berhadapan dengan kekuasaan Senopati Pajang yang berkedudukan di Jati

Anom. “Swandaru,“ berkata ayahnya, “aku tidak berkeberatan. Tetapi kau jangan justru mendahului Raden Sutawijaya. Sampai saat ini Raden Sutawijaya masih tetap mengakui kekuasaan Pajang. Sultan Pajang adalah ayahanda angkatnya yang mengasihinya.” “Tetapi bukankah sikapnya sudah jelas, ayah,“ jawab Swandaru. “Kau masih harus mempelajari banyak hal tentang sikapnya. Ia tidak mau datang ke Pajang bukan karena ia ingin menentang ayahandanya. Tetapi ia ingin membuktikan semacam sumpahnya, bahwa Raden Sutawijaya tidak akan menginjak paseban Agung di Pajang sebelum Mataram menjadi sebuah negeri yang besar.” Swandaru tersenyum. Jawabnya, “Mungkin ayah benar. Tetapi bagaimanapun juga jarak itu semakin lama menjadi semakin lebar. Itulah sebabnya kita harus bersiap-siap. Jika tidak terjadi sesuatu, sukurlah. Tetapi jika terjadi ledakan antara Pajang dan Mataram, maka kita semuanya sudah siap. Ledakan apapun alasannya. Mungkin karena orang-orang dungu disekitar Sultan Pajang, tetapi mungkin juga karena orang-orang yang merasa dirinya mempunyai warisan atas Kerajaan Majapahit yang besar.” Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Jika kau sekedar ingin bersiap-siap saja, aku kira memang tidak ada buruknya. Tetapi ingat. Yang dapat kita lakukan benar-benar sekedar mempersiapkan diri. Bukan justru mendahului Raden Sutawijaya. Jika pada suatu saat, Raden Sutawijaya merasa janjinya terpenuhi, Mataram sudah menjadi negeri yang ramai, sehingga ia kemudian datang memasuki Paseban Agung dengan dada tengadah, dan bahkan kemudian menerima limpahan kekuasaan yang lebih besar lagi dari ayahanda angkatnya yang justru untuk membersihkan istana dari orang-orang yang dengki dan penuh pamrih pribadi itu, maka yang terjadi akan jauh berbeda sekali dengan gambaranmu sekarang.” “Aku sudah memperhitungkan ayah. Tetapi menurut pertimbanganku, tentu akan terjadi benturan kekuatan antara Raden Sutawijaya dengan salah satu pihak. Apakah mereka orang-orang Pajang sendiri yang harus dibersihkan, atau dengan orang-orang yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Majapahit. Nah, untuk itulah aku harus bersiap-siap. Sangkal Putung harus memilih jalan yang tegas, sehingga justru tidak akan terumbang-ambing oleh keadaan yang kabur.” Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Berhati-hatilah. Kau jangan bertindak tanpa perhitungan matang.” Swandaru masih saja tersenyum. Baginya, ayahnya adalah orang tua yang lamban dan selalu dibayangi

oleh kecemasan dan ketakutan bertindak. Sehingga karena itulah, maka setiap nasehat ayahnya bagi Swandaru seakan-akan hanyalah hambatan bagi perkembangan yang dikehendakinya. “Aku akan membuat Sangkal Putung menjadi daerah yang tidak ada duaya didaerah Selatan ini. Berapa-pun kekuatan prajurit Pajang di Jati Anom, Untara tidak akan dapat melampui kekuatan Sangkal Putung.” Tanpa sesadarnya, ternyata Swandaru telah menempatkan diri berseberangan dengan Untara. Seolaholah Swandaru telah berdiri dipihak Mataram, sedang Untara berdiri dipihak Pajang sementara Mataram dan Pajang telah berhadapan dan siap untuk bertempur. Sikap Swandaru itu semakin lama benar-benar semakin mencemaskan ayahnya dan Ki Sumangkar. Bahkan agaknya Sekar Mirahpun telah terpengaruh pula oleh sikap kakaknya. “Jika Agung Sedayu dapat mempercepat sedikit hubungannya dengan Sekar Mirah untuk segera memasuki jenjang perkawinan, maka Sekar Mirah tentu akan mendapatkan pengalaman batin yang lain,“ berkata Sumangkar kepada diri sendiri, “bagaimanapun jauh bedanya sifat kedua orang suami isteri, namun perlahan-lahan jika mereka menghendaki dengan sungguh-sungguh rumah tangganya berhasil, semakin lama tentu akan menjadi semakin dekat dan saling menyesuaikan diri. Kecuali jika mereka tidak berniat untuk bertahan lebih lama lagi.” Namun Sumangkarpun menyadari, bahwa hari-hari perkawinan Agung Sedayu dan Sekar Mirah itu tentu akan berlangsung diwaktu yang masih jauh. Agaknya Agung Sedayu sama sekali belum siap menghadapi hari-hari perkawinannya. Bahkan nampaknya apa yang dilakukan disaat terakhir sama sekali tidak menarik bagi Sekar Mirah. Tetapi betapapun gelisahnya hati Sumangkar. ia harus menyaksikan Swandaru bekerja giat untuk memperkuat Kadernangannya dengan caranya. Sekali-sekali Ki Sumangkar berbincang juga dengan Ki Demang tentang anak yang mulai menuruti keinginannya sendiri itu. Namun keduanya hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. “Anak itu sulit sekali dikendalikan,“ berkata Ki Demang. “Perkembangannya memang agak mencemaskan Ki Demang,“ sahut Sumangkar, “namun mudahmudahan ia akan menyadarinya jika ia sudah mencapai puncak kemampuannya.” Ki Demang hanya mengangguk-angguk saja. Namun kemudian ia berdesis seolah-olah kepada diri sendiri. “Bagaimanakah jika kita minta Kiai Gringsing menungguinya disini? Mungkin akan berpengaruh juga bagi perkembangan jiwanya Swandaru, karena agaknya hanya gurunyalah yang diseganinya.” Ki Sumangkar mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Mungkin juga ada hasilnya. Tetapi baiklah aku akan berbicara dengan Kiai Gringsing.” “Mudah-mudahan Kiai Gringsing bersedia tinggal di sini untuk waktu yang agak panjang. Menurut

dugaanku. Agung Sedayu mempunyai sifat dan watak yang lebih jinak dari anakku, sehingga seandainya ia ditinggalkan sendiri dipadepokan bersama beberapa orang pembantunya, tidak banyak akan mengalami perkembangan yang menyulitkan. Apalagi padepokan itu seolah-olah selalu dibawah pengawasan Untara dan Ki Widura.” Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Namun ia masih ragu-ragu, apakah Kiai Gringsing benar-benar bersedia tinggal di Kademangan Sangkal Putung justru setelah ia mempunyai padepokan kecil yang dibuatnya bersama Agung Sedayu meskipun hanya untuk waktu tertentu, dan barangkali ia tidak akan berkeberatan untuk sekali-seka li menengok padepokan yang ditinggalkannya itu. Namun Ki Sumangkar masih akan mencoba. Ia akan meyakinkan Kiai Gringsing bahwa perkembangan Swandaru agak menggelisahkan orang tuanya.

Buku 104 “Jika gelora didalam dadanya itu mendapat pengarahan yang tepat, maka gairah yang menyala-nyala didalam dada Swandaru itu akan dapat menghasilkan sesuatu yang besar bagi Kademangannya. Tetapi jika sekedar didorong keinginannya sendiri,“ berkata Sumangkar didalam hatiya. Karena itulah, maka setelah berbincang dengan Ki Demang, ia memutuskan untuk pergi ke padepokan kecil Kiai Gringsing didekat Jati Anom. “Kenapa guru pergi kepadepokan itu?” bertanya Sekar Mirah ketika Ki Sumangkar minta diri kepada muridnya. “Sekedar menengok penghuni-penghuninya. Rasa-rasanya aku sudah rindu kepada Kiai Gringsing dan Agung Sedayu. Apalagi agaknya Ki Waskita masih tetap berada dipadepokan itu.” Sekar Mirah tidak menjawab lagi. Tetapi nampaknya ia tidak menaruh minat sama sekali kepada niat gurunya itu, meskipun ia tahu, bahwa dipadepokan kecil itu tinggal Agung Sedayu. Sementara itu Swandaru seolah-olah acuh tidak acuh saja terhadap maksud Ki Sumangkar itu. Ketika Ki Sumangkar mengatakannya kepadanya, ia hanya mengangguk-angguk saja sambil menjawab singkat, “Silahkan Kiai.” Meskipun demikian, Ki Sumangkar benar-benar akan berangkat ke Jati Anom atas persetujuan Ki Demang Sangkal Putung. “Jika Kiai Gringsing tidak dapat datang ke Sangkal Putung maka pertimbangan-pertimbangannyalah yang kita perlukan. Untunglah sampai saat ini Untara yang memegang limpahan kekuasaan Sultan Pajang didaerah ini belum mencurigai perkembangan Sangkal Putung dan mengambil langkah-langkah penertiban. Jika demikian maka tentu akan timbul benturan-benturan kekuatan yang sebenarnya tidak perlu.“ desah Ki Demang menyesali keadaan. Yang menaruh perhatian atas kepergian Ki Sumangkar ke Jati Anom selain Ki Demang adalah justru Pandan Wangi. Ketika ia berdiri ditangga pendapa menjelang keberangkatan Ki Sumangkar, perempuan itu bertanya, “Apakah Ki Sumangkar akan segera kembali?” “Ya Pandan Wangi. Aku akan segera kembali.” “Salamku buat penghuni padepokan kecil itu,” Pandan Wangi menyambung. Kemudian, “Mudahmudahan Kiai Gringsing menaruh perhatian terhadap perkembangan kakang Swandaru.”

Ki sumangkar mengerutkan keningnya. Ia melihat sepercik harapan memancar dari sorot mata Pandan Wangi yang agaknya menjadi cemas pula atas perkembangan watak suminya. Sambil mengangguk Ki Sumangkar berdesis, “Aku akan berusaha Pandan Wangi. Kiai Gringsing bukannya orang yang tidak acuh terhadap murid-muridnya.” Pandan Wangi mengangguk kecil. Ia benar-benar menaruh harapan, agar Kiai Gringsing berada di Sangkal Putung untuk beberapa saat saja. Jika ia melihat sendiri perkembangan Swandaru, maka ia tentu tidak akan tinggal diam. Demikianlah Ki Sumangkarpun meninggalkan Sangkal Putung dipagi hari yang segar dan cerah. Demikian matahari mulai memancar. Ki Sumangkar telah berada dipunggung kudanya meninggalkan Kademangan Sangkal Putung. Ki Demang yang mengantarkannya sampai keregol menarik nafas dalamdalam, sementara Sekar Mirah yang ada dibelakangnya bergumam, “Perjalanan yang tidak ada gunanya.” Ki Demang berpaling. Namun Sekar Mirah telah meninggalkannya tanpa memberikan penjelasan apapun juga. Sementara Swandaru dan Pandan Wangi yang berdiri ditangga pendapa sama sekali tidak memberikan tanggapan apapun juga meskipun Ki Demang seakan-akan dapat melihat perbedaan isi didalam relung hati masing-masing. Ki Sumangkar yang meninggalkan Kademangan Sangkal Putung membiarkan kudanya berlari perlahanlahan. Ia tidak tergesa-gesa untuk sampai ke Jati Anom. Bahkan ia masih sempat memperhatikan sawah dan ladang yang hijau segar, sesegar tubuh Swandaru sendiri. Ketika terpandang olehnya parit yang mengalirkan air yang bening, rimbunnya tanaman padi dan ayunan daun kelapa dipinggir padukuhan, Ki Sumangkar tidak dapat ingkar, bahwa Swandaru agaknya akan berhasil. Apalagi dengan dentang suara pandai besi yang tidak henti-hentinya, sejak matahari terbit, sampai saatnya matahari hampir terbenam. “Namun tentu ada celanya,” desis Sumangkar dengan kecewa. Dalam pada itu, kudanyapun berlari semakin jauh dari Kademangan Sangkal Putung. Setelah ditinggalkannya padukuhan yang terakhir, maka Ki Sumangkarpun telah memasuki bulak yang panjang, sebelum ia akan sampai kepinggir padang ilalang dan hutan perdu. Namun tiba-tiba saja Sumangkar mengerutkan keningnya ketika ia melihat dikejauhan dua ekor kuda yang berlari kencang. Kecurigaannyapun kemudian tumbuh ketika ia menyadari bahwa dua ekor kuda itu tidak berlari dijalan yang lapang, tetapi menyusur menurut lorong sempit yang akan melintasi hutan. Hampir diluar sadarnya Ki Sumangkar mempercepat lari kudanya, seakan-akan hendak menyilang kedua ekor kuda bertari kencang itu. Namun jaraknya memang terlalu jauh, sehingga Ki Sumangkar

hanya dapat memandanginya saja ketika dua ekor kuda itu melintas jalan yang akan dilaluinya. “Bukan prajurit Pajang di Jati Anom,” desisnya. Menilik pakaiannya, keduanya memang bukan prajurit. Keduanya agaknya saudagar atau petani kaya yang sedang bepergian. “Nampaknya tergesa-gesa sekali,” desis Ki Sumangkar. Namun tiba-tiba perhatiannya telah terampas lagi oleh dua orang penunggang kuda yang lain. Juga tergesa-gesa seperti penunggang yang terdahulu, sedangkan ujud lahiriahnya, keduanyapun menyerupai kedua orang yang baru saja menyilang jalan. Ki Sumangkar termangu-mangu. Diluar sadarnya ia bergumam, “Siapa lagi mereka berdua itu?” Namun ia tidak dapat mencegah keinginannya untuk mengetahui serba sedikit kedua orang berkuda itu. Sehingga karena itu, maka iapun memacu kudanya kembali. Kali ini Ki Sumangkar tidak terlambat. Ia berhasil mencapai jalan kecil yang menyilang jalan yang sedang dilaluinya, dan bahkan menghentikan kudanya beberapa langkah disebelah jalan kecil itu sambil menunggu. Kedua orang yang sedang berpacu itu memandang Ki Sumangkar sekilas. Tetapi nampaknya keduanya sama sekali tidak menghiraukannya, sehingga mereka tidak mengurangi kecepatan lari kudanya. Ki Sumangkar tidak senang melihat sikap itu. Karena itu maka kudanyapun diajukannya lagi beberapa langkah sehingga kuda itu berdiri tepat dimulut lorong kecil itu. Kedua penunggang kuda itu terkejut. Dengan serta merta keduanya menarik kekang kudanya, sehingga kudanya yang terkejut itupun meringkik keras-keras sambil berdiri dikedua kaki belakangnya. “Kau gila,“ teriak salah seorang dari keduanya, “apakah kau sudah jemu melihat sinar matahari? Jika kudaku yang tegar ini melanggarmu, maka kau akan terpelanting dan mati seketika.” Ki Sumangkar mengangguk hormat sambil berdesis, ”Maaf Ki Sanak. Kudaku memang sulit dikendalikan.” “Sekarang minggir,“ teriak yang lain. Tetapi Sumangkar tetap berada ditempatnya sambil berkata, “Tetapi perkenankanlah aku memperkenalkan diriku.” “Itu tidak perlu,“ salah seorang dari keduanya berteriak lebih keras. ”Minggir.” “Jangan berteriak Ki Sanak. Jika suaramu didengar oleh orang-orang yang sedang berada disawahnya, mereka akan terkejut dan berlari ketakutan.”

Ketenangan Ki Sumangkar ternyata telah menarik perhatian mereka. Tidak banyak orang yang dapat bersikap setenang itu, jika ia bukan orang yang memiliki kepercayaan yang tebal terhadap diri sendiri. “Apakah maksudmu Ki Sanak,“ bertanya salah seorang dari mereka dengan nada menurun. Ki Sumangkar memandang keduanya berganti-ganti.Lalu iapun kemudian bertanya, “Akulah yang harus bertanya, siapakah kalian.” Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. lalu yang seorang menjawab, “Aku datang dari Kademangan Panggung menuju ke Prambanan. Nah. minggirlah.” “Nanti dulu,” jawab Sumangkar. “Siapa kau? Siapa? “ Yang seorang bertanya dengan geram. “Namaku Sumangkar. Aku adalah salah seorang pengawal dari Kademangan Macanan.” “Apa maksudmu?” “Aku hanya ingin mengetahui, apakah maksudmu sebenarnya. Perjalananmu nampak sangat tergesagesa.” Kedua orang itu menjadi tegang. Wajahnya memancarkan kemarahan yang mulai membakar jantung. Dengan suara yang gemetar salah seorang dari mereka berkata, “Ki Sanak. Apakah hakmu untuk mengetahui siapa dan apakah yang akan aku lakukan?” “Aku adalah pengawal Kademangan Macanan. Macanan sekarang sedang diganggu oleh kejahatankejahatan yang hampir merata. Karena itu, aku harus mencurigai setiap orang yang lewat didaerah Macanan.” Wajah orang itu menjadi semakin merah oleh kemarahan yang menghentak didadanya. Salah seorang dari keduanya menggeram, “Pengawal yang gila. Seandainya kau pengawal yang mumpuni dari Kademangan Macanan, dan seandainya aku seorang penjahat seperti yang kau sangka, apakah yang dapat kau lakukan sekarang?” Yang lain tiba-tiba saja menyahut, “orang dungu. Apakah kau tidak menyesal bahwa dengan demikian kau sudah menuduh kami, bahwa kami adalah dua orang penjahat yang kau maksud?” “Jangan salah paham Ki Sanak,“ Sumangkar masih tetap tenang, “aku hanya menjalankan tugasku. Semua orang asing mendapat perlakuan yang sama, sehingga sebenarnyalah aku sama sekali tidak menuduh kalian sebagai penjahat yang dimaksud mengganggu Kademangan ini. Tetapi agar jelas bagi kami, orang-orang Macanan, katakanlah, siapakah kalian, dari mana dan hendak kemana?” “Minggir orang tua gila,“ seorang dari keduanya berteriak,

“aku dapat membunuhmu dengan sekali pukul.” Sumangkar mengerutkan keningnya. Ia tahu bahwa orang itu benar-benar memiliki kemampuan. Namun kecurigaannya semakin menjadi-jadi karena sikap keduanya. “Aku mohon maaf. Jika kalian mengatakan bahwa kalian akan pergi ke Jati anom menemui Senapati didaerah ini, aku akan menyingkir, karena dengan demikian kalian adalah prajurit-prajurit Pajang dalam tugas sandi.” Tiba-tiba saja tanpa berpikir, salah seorang dari keduanya menjawab, “Ya. Kami akan menghadap Senapati Untara.” “O,“ Sumangkar mengangguk angguk, “jika demikian aku akan menyingkir untuk memberi jalan kepada kalian berdua. Dan kita akan berjalan bersama-sama ke Jati Anom. Sebenarnyalah akupun akan menghadap Ki Untara untuk melaporkan keadaan Kademangan Macanan seperti yang kami lakukan setiap sepekan sekali untuk mengetahui perkembangan keamanan didaerah kami.” “Gila,“ orang itu berteriak. Ia tidak mengira sama sekali bahwa orang tua itu akan mengikutinya. Namun dengan demikian maka kemarahan kedua orang itu sudah tidak tertahankan lagi. Salah seorang dari keduanya kemudian menggeram, “Pengawal tua. Mungkin kau mengira bahwa pengawal Kademangan akan mampu menahan kami. Ketuaanmu, ketenanganmu, memang nampaknya meyakinkan. Mungkin kau bekas seorang prajurit yang kemudian menjadi pemimpin pengawal Kademangan, atau seorang bekas penjahat ulung yang sudah tidak mampu lagi berburu dimedan yang luas, sehingga terpaksa kembali kekampung halaman dan kembali memegang tangkai cangkul sambil menebus dosa, menjadi pengawal Kademangan.“ ia berhenti sejenak, “namun jangan mimpi bahwa kau akan dapat berbuat sesuatu atas kami. Apalagi kami sekarang berdua.” Sumangkar tersenyum, katanya, “Darimana kau tahu tentang diriku Ki Sanak. Aku memang bekas seorang penjahat yang disebut Banaspati. Dan aku memang sedang menebus dosa. Karena itu, Kademangan Macanan untuk waktu yang lama tidak pernah diganggu oleh kejahatan. Jika sekarang kejahatan itu timbul, maka itu adalah suatu penghinaan kepada Sumangkar yang pernah digelari Banaspati.” Kemarahan yang sangat telah menghentak dada kedua orang berkuda itu. Demikian sesaknya dada mereka, sehingga tiba-tiba saja salah seorang tertawa menghentak untuk melepaskan kepepatan hati sambil berkata, “Apakah kau sudah bersiap untuk mati? Ternyata kau benar-benar keras kepala. Tetapi agaknya kau sudah cukup lama hidup mengalami seribu macam corak kehidupan, sehingga sekarang kau benar-benar ingin mati.” “Sudahlah Ki Sanak. Marilah, kita akan pergi ke Jati Anom.

Bukankah Ki Sanak akan menghadap Senapati Untara ?” Kedua orang yang marah itu saling berpandangan sejenak. Namun tiba-tiba salah seorang dari keduanya menggeram, “Minggir orang gila, atau aku harus membunuhmu.” Sumangkar menggeleng lemah sambil menyahut, ”Kita akan pergi bersama-sama ke Jati Anom.” Kedua orang itu sudah tidak sabar lagi menghadapi sikap Sumangkar yang menjengkelkan itu. Sehingga karena itu, maka salah seorang dari mereka langsung mengayunkan cemeti kudanya dan menghantam punggung Ki Sumangkar. Tetapi orang itu terkejut. Betapa cepat ayunan cemetinya, namun Sumangkar berhasil mengelakkan dirinya, membungkuk mendatar dipunggung kudanya. Bahkan dengan serta merta ia menggerakkan kendali kudanya dan mengatur diri menghadap kepada kedua orang itu. “Hem,“ orang yang mengayunkan cemetinya itu menggeram, “kau benar-benar bekas seorang penjahat. Tetapi perbuatanmu ini benar-benar perbuatan gila. Jangan kau sangka bahwa seorang penjahat yang ulung-pun akan mampu menahan kami. Apalagi penjahat yang masih mempergunakan nama-nama gila untuk menakut-nakuti orang. Karena penjahat yang demikian tentu justru penjahat-penjahat yang sering mencuri ternak dikandang. Untuk membesarkan namanya, ia mempergunakan sebutan-sebutan yang aneh, seperti yang kau pergunakan. Banaspati.” “Mungkin Ki Sanak. Tetapi kali ini aku benar-benar ingin berjasa terhadap kampung halaman dan kepada prajurit Pajang di Jati Anom. Karena itu aku sudah bertekad untuk mengantarkan kalian ke Jati Anom, atau menangkap kalian berdua.” Sumangkar tidak sempat menyelesaikan kata-katanya. Salah seorang dari kedua orang yang marah itu langsung menyerangnya diatas punggung kuda. Tetapi Ki Sumangkarpun sudah bersedia menghadapinya. Ketika kuda salah seorang dari keduanya menghampirinya, dan sebuah serangan langsung mengarah ke pelipisnya, Sumangkar sempat mengelak dan kudanyapun bergerak kesamping. Serangan yang gagal itu membuat orang itu semakin marah. Sesaat kemudian kudanyapun berputar dijalan menyilang lorong yang dilaluinya. Sementara kuda yang lain mulai bergerak dan siap untuk menyerangnya pula. Perkelahian diatas punggung kuda dijalan yang tidak begitu lebar memang tidak menguntungkan. Itulah sebabnya, maka Sumangkar berniat memaksa lawannya untuk turun dari kudanya.

Itulah sebabnya, maka ketika serangan berikutnya datang, maka Sumangkar telah memperhitungkannya baik-baik. Dengan cepat ia berputar dan diluar dugaan lawannya, ia tidak mengelakkan serangannya, tetapi justru membenturnya dan sekaligus menangkap tangan lawannya. Sebuah hentakan yang kuat telah menarik lawan Sumangkar itu dari kudanya. Tetapi ternyata orang itu telah berpegangan pada tangan Sumangkar pula, sehingga keduanyapun telah terloncat dari punggung kudanya dan jatuh berguling ditanah. Tetapi ternyata bahwa keduanya adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dalam olah kanuragan. Karena itulah, maka keduanya mampu menempatkan dirinya, sehingga keduanya tidak cidera karenanya. Bahkan dalam sekejap kemudian, keduanya telah meloncat berdiri dan siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Dalam pada itu, seorang lawan Sumangkar yang masih berada dipunggung kudanyapun merasa tidak banyak gunanya ia bertahan terus untuk bertempur diatas kudanya. Itulah sebabnya, maka iapun segera meloncat turun dan siap menghadapi Ki Sumangkar berpasangan. “Ternyata kau memang sedikit mempunyai kemampuan pengawal tua,” salah seorang dari keduanya menggeram, “tetapi bahwa kau sudah merasa dirimu melampaui kemampuan Untara dan berusaha menangkap kami berdua, adalah angan-angan yang gila dan tidak tahu diri. Betapapun tingginya ilmu pengawal Kademangan kecil seperti Macanan, ia tidak akan mampu menahan kami. Apalagi berdua.” Ki Sumangkar mengerutkan keningnya, ia memang harus berhati-hati. Keduanya memang bukan orangorang kebanyakan. Sehingga karena itulah maka sambil memperhatikan keduanya ia menjawab, “Aku sama sekali tidak merasa diriku melampaui kemampuan Ki Untara. Tetapi aku hanya berkeinginan untuk membawa kalian menghadap Ki Untara.” “Persetan,“ geram yang seorang, sementara yang lain maju selangkah, “bunuh saja orang ini. Kita tidak banyak mempunyai waktu.” Serangan berikutnyapun segera datang beruntun. Sumangkar berusaha untuk mengelakkan serangan-serangan itu. Dengan cepatnya ia meloncat menghindar dan bahkan iapun berusaha menyerang dengan garangnya. Agaknya kedua orang lawannya yang marah itu tidak mempunyai waktu terlalu banyak untuk bermainmain dengan pengawal Kademangan tua itu, sehingga sejenak kemudian keduanyapun telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk membinasakan Sumangkar yang telah dengan sombong menghentikan mereka. Demikianlah maka merekapun segera terlibat dalam perkelahian yang sengit. Masing-masing lelah berusaha untuk segera memenangkan pertempuran itu.

Tetapi ternyata kemudian, bahwa kedua orang yang dihentikan oleh Sumangkar itu mampu bertempur berpasangan dengan baiknya, sehingga pada suatu saat, Sumangkarpun mulai nampak kebingungan menghadapi kedua lawannya. Namun demikian, ia masih tetap bertempur mati-matian. Ia masih sempat selalu meloloskan diri dari serangan yang langsung membahayakan jiwanya. Namun demikian, semakin lama nafasnya menjadi semakin berdesakan dilubang hidungnya. “Orang tua yang gila,“ geram salah seorang dari keduanya, “kami bukan orang-orang yang baik hati dan memaafkan segala kesalahanmu. Kau sudah menghentikan langkah kami. Karena itu, kau harus menyesalinya meskipun tidak perlu terlalu lama, karena sebentar lagi kau akan kami bunuh tanpa ampun.” Sumangkar tidak menjawab. Ia berusaha untuk bertahan terus. Meskipun ia masih dapat mengelakkan setiap serangan, tetapi semakin lama ia menjadi semakin terdesak. Dengan segenap sisa tenaganya, Sumangkar masih tetap bertahan melingkar-lingkar. Ia tidak mau beranjak jauh dari tempatnya. Meskipun kadang-kadang ia harus meloncat jauh surut, tetapi ia sama sekali tidak berusaha untuk melarikan diri. Apalagi ketika lawannya berkata lantang, “Tidak ada gunanya kau melarikan diri. Kami yang sudah terlanjur turun dari kuda, akan meninggalkan mayat kalian disini.” Sumangkar tidak menjawab. Ia mencoba sekilas memandang berkeliling. “Kau mencari kawan yang sedang berada disawah atau orang lalu? Jalan ini terlalu sepi. Mungkin akan ada dua atau tiga orang prajurit yang lewat. Tetapi dua tiga orang prajurit itupun akan kami bunuh pula jika mereka ikut serta melibatkan diri. Bahkan seandainya yang datang Untara sekalipun, kami tidak akan gentar.” “Jangan terlalu sombong,“ geram Sumangkar. Tetapi ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Serangan kedua lawannya benar-benar telah mendesaknya. “Nah Ki Sanak,“ berkata salah seorang dari ke duanya, “mulailah dengan penyesalanmu.” “Tidak. Aku tidak menyesal,“ jawab Sumangkar, “aku akan menangkap kalian. Sekarang semakin kuat dugaanku, bahwa kalian berdua adalah penjahat yang selama ini sering mengganggu dan merampok Kademangan-ku.” “Gila.” “Aku akan berteriak. Orang-orang yang ada disawah itu akan berdatangan. Mereka akan membantu

aku dan jumlah mereka akan cukup banyak.” “Itu adalah suatu tindakan yang bodoh. Itu berarti bahwa kau telah membunuh kawan-kawanmu sendiri, karena aku benar-benar akan membunuh siapa saja yang terlibat dalam perkelahian ini.” Ki Sumangkar termangu-mangu sejenak. Tetapi serangan kedua orang lawannya datang seperti badai dari arah yang berbeda. Karena itulah maka ia harus berputaran seperti angin pusaran. “Jangan gembira karena kemenangan-kemenangan kecil,“ desis Sumangkar, “karena sebentar lagi orang-orang Kademangan ini akan menangkap kalian berdua.” “Daerah ini terlampau sepi. Orang-orang yang ada disawah justru telah berlarian dan bersembunyi. Apa yang akan kau katakan?” Ki Sumangkar tidak sempat menjawab. Serangan keduanya benar-benar hampir menyentuh kulitnya. Karena itulah maka Ki Sumangkar harus berloncatan menghindarinya. Sekali-sekali ia sempat menyerang. Namun sebagian besar dari tata geraknya adalah sekedar berusaha menghindari serangan lawan. Tetapi Ki Sumangkar tidak selalu berhasil. Serangan kedua orang lawannya semakin lama menjadi semakin cepat. Betapapun juga Sumangkar berusaha untuk menghindar, namun pada suatu saat, ia telah tersentuh oleh tangan lawannya. Terdengar Sumangkar menyeringai. Sentuhan itu ternyata telah membuatnya semakin terdesak. “Kau akan mati,“ geram salah seorang dari kedua lawannya. Tetapi Sumangkar masih melawan terus. Ia tidak mau meninggalkan arena. Apapun yang akan terjadi, ia akan bertempur terus. “Kau kira aku seorang pengecut,“ ia menggeram, “akupun pernah menjadi seorang yang pada suatu saat berhasil menyombongkan diri karena kemenangan-kemenangan kecil.” Sumangkar tidak sempat meneruskan kata-katanya. Sebuah serangan yang cepat dan keras telah mengenai pundaknya, sehingga ia terputar dan terbanting ditanah. Sekali ia terguling, kemudian dengan serta merta ia meloncat berdiri. Pada saat yang bersamaan, sebuah serangan kaki mendatar telah mengejarnya. Untunglah, bahwa justru keseimbangannya belum pulih kembali sehingga ia terjatuh tepat pada saat kaki lawannya hampir saja mengenai tengkuknya.

Lawannya yang tidak berhasil mengenainya itu menggeram marah. Ia masih ingin menyerangnya sekali lagi. Tetapi agaknya Sumangkar justru sudah berhasil berdiri dan meloncat jauh-jauh kebelakang. “Kau akan lari,“ bentak salah seorang dari kedua lawannya. Sumangkar tidak menyahut. Tetapi sorot matanya semakin lama seakan akan menjadi semakin redup. “Jangan menyesal,” geram lawannya. Sumangkar masih tetap berdiam diri. Tetapi ia selalu bersiaga menghadapi kedua lawannya yang memiliki ilmu yang tinggi itu. Tetapi ternyata bahwa Sumangkar benar-benar telah terjepit. Kedua orang lawannya berhasil mendesaknya kebawah sebatang pohon Randu Alas yang tumbuh dipinggir jalan itu. “Kau tidak akan dapat lari meninggalkan kami. Sekarang, katakanlah, apa yang kau kehendaki untuk yang terakhir kalinya.” “Kenapa yang terakhir?” “Kau akan mati,“ geram orang itu. Sumangkar menjadi tegang sejenak. Tetapi ia tidak dapat menyangkal. Serangan kedua orang itu semakin lama menjadi semakin garang. Dan bahkan seakan-akan telah mengurungnya dalam keadaan yang paling gawat. Dalam saat-saat terakhir dari perkelahian itu Sumangkar terdesak tanpa dapat menahan arus serangan lawannya, sehingga pada suatu saat, ia berdiri ditanggul parit dengan ragu-ragu. Sementara dari dua arah yang berbeda, kedua lawannya mendekat dengan senjata yang sudah teracu. “Saat kematian itu memang sudah mendekat,“ desis yang lain. Ki Sumangkar memandang kedua ujung senjata itu. Berganti-ganti. Dalam keadaan yang sulit ia menjawab, ”Jika keadaan yang paling pahit itu harus aku jalani, apa boleh buat. Tetapi pada saat terakhir aku sudah melihat, siapakah orang selama ini mengganggu Kademanganku. Mencuri ternak atau sekali-sekali mencuri harta milik dengan merusak dinding.” “Gila,“ geram yang satu, “kau masih saja gila.” “Kejahatan yang demikian tentu akan sampai pada batasnya. Jika prajurit Pajang menemukan kalian sedang mencuri kuda, bahkan mencuri ayam, maka kalian akan menyadari bahwa pasukan Pajang bukan terdiri dari pengawal-pengawal seperti aku.” “Tetapi anggapanmu bahwa kami adalah pencuri-pencuri itu adalah anggapan yang gila sekali. Apakah tampangku seperti pencuri ayam?”

“Aku tidak dapat membedakan tampang seseorang. Tetapi tingkah lakumu mengatakan kepadaku, bahwa kalian berdua adalah pencuri-pencuri yang selama ini sedang kami cari.” “Aku bukan pencuri. Jika kau sekali menyebut aku pencuri aku akan menyobek mulutmu.” Sumangkar termangu-mangu. Lalu dengan nada datar ia bertanya, “Jika kalian bukan pencuri ternak dan kuda, kenapa kalian takut aku hadapkan kepada Untara? Ia tidak pernah menghukum orang yang tidak bersalah.” “Aku bukan pencuri ayam. Jika ada sesuatu yang aku lakukan, maka semuanya itu aku lakukan karena cita-cita?” Sumangkar tidak menyahut. Ketika tiba-tiba saja ia meloncat surut, melewati tanggul dan parit, salah seorang dari kedua itu telah meloncat memotong arah sambil berkata, “Kau tidak akan dapat lari kemana-mana Kau akan mati.” Wajah Sumangkar menjadi tegang dan gemetar. Namun ia masih berdesis, “Penjahat yang keji. Bertaubatlah. Kemudian tebuslah dosa-dosamu dengan berbuat kebajikan.” “Aku bukan penjahat,“ salah seorang dari keduanya berteriak, “orang tua gila,“ ia menggeram, “diambang pintu maut, dengarlah kata-kataku. Sebenarnyalah aku bukan penjahat seperti yang kau maksud.” “Jadi. jadi, siapakah kau?” Sumangkar melangkah surut dan turun ditanah persawahan. Ke dua orang itu mendesak semakin ketat dari dua arah, sehingga Sumangkar menjadi semakin sulit terdesak. Bahkan rasa-rasanya kedua ujung senjata orang-orang marah itu tidak terkekang lagi memburunya. “Kami jarang sekali mempergunakan senjata kami,” berkata salah seorang dari keduanya, “tetapi karena aku sekarang sedang berhadapan dengan pengawal gila, maka aku telah mempergunakan senjataku. Tetapi jika senjata ini sudah tertarik dari sarungnya, maka senjata ini tentu akan menghisap darah korbannya.” Sumangkar tidak menyahut. Sekilas ia melihat kedua ujung senjata yang tajamnya melampaui tajam duri kemarung. Yang dapat dilakukan Sumangkar kemudian hanyalah sekedar meloncat surut. Semakin lama semakin cepat. Namun diluar penguasaan keseimbangan tubuhnya, kakinya telah menyentuh pematang, sehingga Sumangkar itupun jatuh terlentang diantara tanaman yang hijau segar. “Ajalmu telah sampai,“ geram salah seorang lawannya. “Tetapi, kau belum menjawab. Siapakah kalian sebenarnya?” “Tidak ada gunanya. Kami sudah terlanjur marah dan harus membunuhmu.”

“Sebut nama kalian sebelum aku mati.“ Sejenak keduanya ragu-ragu. Namun salah seorang kemudian berkata, “Namaku tidak ada artinya. Tetapi ketahuilah. Kami bukan penjahat kecil seperti yang kau sebut-sebut. Sebutan itu memang suatu penghinaan yang tidak termaafkan. Aku adalah orang-orang yang sedang mengemban tugas dari para pemimpin yang akan mewarisi kerajaan Agung Majapahit.” “Majapahit,” Sumangkar menjadi heran. “Kami adalah orang-orang yang sedang mengemban tugas dalam cita-cita, bukan sehina seperti yang kau sangka.” “Tetapi. Tetapi Majapahit itu sudah tidak ada lagi sekarang ini. Bahkan sudah diganti oleh kerajaan Demak beberapa keturunan, sehingga akhirnya Kerajaan kini berpusat di Pajang.” “Apa arti Jaka Tingkir anak padesan itu? Ia sama sekali tidak wenang mewarisi kejayaan Wilwatikta. Ia harus terusir dari tahta dan menyerahkan warisan kejayaan Majapahit yang dirampasnya kepada para pemimpin yang berhak.” “Siapakah yang kau maksud para pemimpin yang berhak itu?” “Kau tidak perlu tahu tikus kecil. Kau harus mati.” “O,“ Sumangkar mengangguk-angguk, “jadi kalian adalah para petugas dari Kerajaan Agung Majapahit itu?” “Ya. Kerajaan Agung Majapahit akan segera lahir.” “Dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu?” Kedua orang itu tiba-tiba menjadi tegang. Salah seorang dari keduanya menggeram bertanya, “Dari manakah kau mendengar bahwa ada sesuatu peristiwa penting dilembah Gunung Merapi dan Gunung Merbabu?” Sumangkar mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia mencoba berdiri. Tetapi salah seorang dari kedua lawannya membentak. “Jangan bergerak. Itu hanya akan mempercepat kematianmu.” “Biarlah aku berdiri. Jika ujung senjatamu benar-benar akan menghunjam dijantungku, biarlah aku mendengar keteranganmu lebih banyak lagi.” “Tidak ada yang akan aku terangkan.” “Tentang lembah itu,“ Sumangkar masih berusaha untuk berdiri. “Berdirilah. Kau akan mati sambil berdiri dan jatuh menelentang lagi dengan darah mengalir dari jantungmu yang akan aku sobek dengan senjataku. Bersiaplah. Jika kau benar-benar jantan, berdirilah dengan dada tengadah supaya aku tidak salah memilih arah jantungmu.”

“Baiklah. Aku memang tidak ada pilihan lain. Tetapi sebutlah namamu berdua.” “Orang matipun tidak perlu mendengar namaku. Berdirilah tegap seperti seorang laki-laki sejati. Dosamu sudah terlalu banyak. Kau sudah menghina utusan Kerajaan Agung Majapahit sebagai penjahat-penjahat kecil. Dan kau sudah mendengar serba sedikit tentang pertemuan dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.” “Aku memang sudah mendengar. Dilembah itu akan dibicarakan pula mengenai kedua pusaka yang hilang dari Mataram. Songsong kebesaran dan yang tak ternilai adalah pusaka terbesar Kangjeng Kiai Pleret.” “He, darimana kau tahu? “ salah seorang dari keduanya berteriak Sementara yang lain menggeram, “Cepat. Bunuh-orang ini. Ia sangat berbahaya. Kecuali jika kau dapat menyebut, bahwa kau adalah petugas diantara kami.” Tetapi Sumangkar menggeleng, “Aku bukan petugas sandi diantara kalian. Aku benar-benar seorang bekas penjahat yang kini menjadi pengawal sebuah Kademangan kecil disini. Dan aku benar ingin menangkapmu jika aku mampu dan membawamu menghadap Senepati Untara.” “Gila. Kau membenarkan keputusan kami untuk membunuhmu.” “Baiklah. Tetapi dengarlah penjelasanku tentang diriku,“ Sumangkar melanjutkan. “Apakah itu penting?“ geram lawannya yang lain. “Sebelum kau membunuh aku, kau tahu pasti, siapah aku ini.” “Katakan. Cepat kalau itu memberikan sedikit ketenangan disaat matimu.” Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah berdiri tegak. Dari dua arah ia melihat ujung senjata yang siap menghujam ketubuhnya. Ketika sekilas ia memandang wajah orang-orang yang menggenggam senjata itu, dilihatnya wajah itu seolah-olah menjadi merah membara. “Dengarlah,” berkata Sumangkar sambil melangkah surut. Tetapi kedua orang itu melangkah mendekat pula tanpa menghiraukan tanaman yang terinjak-injak kaki. “Aku adalah seorang penjahat yang paling dibenci oleh orang-orang Pajang. Itulah sebabnya aku berusaha membuat suatu jasa bagi mereka, khususnya prajurit Pajang di daerah ini.” “Cepat sebut, siapa kau.”

“Aku adalah penjahat besar dari Jipang. Aku adalah adik seperguruan Patih Mantahun. guru seorang Senepati Jipang yang masih muda, Tohpati yang terbunuh didaerah ini pula.” “Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan pada jaman itu?” “Ya. Namaku sudah aku sebut. Sumangkar.” Kedua orang itu termangu-mangu. Sebutan yang diucapkan oleh Sumangkar tentang dirinya sendiri sebagai saudara seperguruan Tohpati membuat orang itu berdebar-debar. Namun kemudian salah seorang dari keduanya berkata lantang, “Jangan mengigau orang tua. Jika kau pernah menjadi seorang penjahat kecil, aku memang percaya. Tetapi jika kau mengaku saudara seperguruan dari Patih Mantahun, agaknya syarafmu mulai terganggu disaat kau menghadapi maut.” Sumangkar memandang orang itu sejenak. Namun ia tersenyum. Katanya, “Mungkin syarafku sudah terganggu. Tetapi aku adalah Sumangkar, adik seperguruan Patih Mantahun.” “Aku tidak peduli. Sekarang, bersiaplah untuk mati. Kau tidak akan dapat memperpanjang nyawamu dengan ceritera-eeritera mimpi seperti itu.” Tetapi Sumangkar masih saja tersenyum. Katanya, “Aku sudah mengetahui tugasmu. Kau tentu dua orang diantara orang-orang yang mengaku dirinya memiliki hak untuk mewarisi Kerajaan Majapahit yang sudah tidak ada lagi itu.” “Ya. Aku tidak ingkar. Sekarang matilah dengan tenang.” “Aku masih belum ingin mati. Aku akan melanjutkan perlawananku. Aku juga mempunyai senjata yang akan dapat membantuku melepaskan diri dari ujung senjatamu.” “Gila,“ geram yang seorang. Sementara yang lain tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja ia meloncat menusuk lambung Sumangkar dengan senjatanya. Tetapi keduanya terkejut melihat perubahan sikap Sumangkar. Dengan tangkasnya ia berhasil menghindar dengan loncatan panjang. Namun lawannya yang lain tidak memberinya kesempatan. Dengan garangnya yang seorang itupun menyerang pula. Tetapi Sumangkar telah benar-benar berubah. Ia tidak lagi seorang tua yang ketakutan menghadapi maut. Namun wajahnya yang kemudian menjadi tegang, menunjukkan sikap yang sebenarnya dari adik seperguruan Patih Mantahun itu. “Maaf Ki Sanak,“ berkata Sumangkar kemudian dengan nada datar sambil menghindarkan diri dari serangan lawannya, “aku hanya ingin mendengar pengakuanmu. Menghadapi orang yang akan mati, biasanya seseorang tidak menyembunyikan sesuatu lagi. Dan aku sudah mencobanya meskipun aku tahu bahwa aku sedang bermain-main dengan maut, karena aku akan

dapat benar-benar mati.” “Persetan. Kau memang akan mati,“ teriak salah seorang dari kedua orang itu. “Aku akan mencoba bertahan. Mudah-mudahan aku berhasil.” Kedua lawannya tidak menunggu lebih lama lagi. Kemarahan yang memuncak telah mendorong mereka untuk menyerang lebih dahsyat lagi. Namun Sumangkar bukan lagi seorang pengawal tua yang menghadapi maut. Tiba-tiba saja ditangannya telah tergenggam senjatanya. Sebuah trisula berantai ditangan kanan dan pasangan trisula ditangan kiri, yang langsung digenggam pada tangkainya yang pendek. Senjata Sumangkar memang menarik perhatian kedua lawannya. Trisula kecil itu memberikan kesan tersendiri. Namun, meskipun trisula itu telah menggetarkan jantungnya, tetapi ada sesuatu yang membuat mereka berpengharapan. Ternyata senjata orang yang menyebut adik seperguruan Patih Mantahun itu tidak mempergunakan senjata yang mengerikan, ciri perguruannya. “Kau berbohong,“ geram yang seorang dari kedua lawan Sumangkar, “kau mencoba menakut-nakuti kami dengan menyebut dirimu adik seperguruan Patih Mantahun. Tetapi kau tidak menunjukkan ciri perguruanmu. Tohpati mempunyai tongkat baja dengan bentuk tengkorak berwarna kuning pada tangkainya.” Sumangkar mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Kau mengenal ciri itu?” “Setiap orang Pajang mengenalnya.” “Dan kau bagian dari Prajurit Pajang itu. Aku tahu pasti. Kau sudah mengkhianati tugasmu dan bergabung dengan orang-orang yang merasa dirinya mewarisi Kerajaan Agung Majapahit. Itulah sebabnya aku akan menangkapmu,“ Sumangkar berhenti berbicara karena serangan lawannya yang mendesak. Namun kemudian ia meneruskan, “Sedangkan tentang ciri perguruanku itu, karena sangat terbatas jumlahnya, tidak setiap orang memilikinya. Aku sudah menyerahkan senjata itu kepada muridku.” Kedua orang itu benar-benar menjadi gelisah. Serangan-serangan mereka sama sekali tidak memberikan tekanan lagi kepada Sumangkar. Dengan demikian merekapun menyadari sepenuhnya, bahwa kekalahan Sumangkar adalah sekedar sebuah pancingan agar mereka mengaku, siapakah mereka sebenarnya.

Kemarahan yang menghentak dada seakan-akan tidak tertahankan lagi. Sehingga dengan demikian, maka keduanya telah bertempur semakin cepat dan keras. Tetapi desing trisula Sumangkar yang diikatnya dengan rantai ditangan kanannya seakan-akan telah berubah menjadi sebuah perisai rapat. Putaran trisula itu sama sekali tidak dapat ditembusnya dengan ujung senjata. Bahkan kadang-kadang mereka harus menghindar dengan loncatan panjang, jika trisula Sumangkar itu tiba-tiba saja mematuknya. Perkelahian itupun menjadi semakin sengit. Bahkan mereka tidak lagi menahan diri, apalagi mempertimbangkan bahwa mereka harus menghindarkan diri dari pertumpahan darah dalam arti yang sebenarnya, karena perkelahian itu sudah dihembus oleh nafas maut. Kedua orang yang merasa terjebak oleh sikap Sumangkar itu benar-benar berusaha untuk membunuhnya dengan cara apapun juga. Sebaliknya Sumangkar yang mengetahui tugas keduanya, berusaha untuk benar-benar dapat menangkap meskipun hanya seorang saja dari keduanya. Tetapi Sumangkarpun kemudian telah didesak untuk berkelahi mati-matian karena kedua lawannya benar-benar bukan lawan yang dapat diabaikan. Ke duanya memiliki kemampuan yang harusdiperhitungkan dengan sungguh-sungguh. Apalagi setelah keduanya mengerti, bahwa lawannya bukannya orang kebanyakan. Bukan seorang bekas penjahat kecil yang menjadi pengawal sebuah Kademangau kecil seperti yang dikatakan semula. Tetapi lawannya adalah saudara seperguruan Patih Mantahun. Karena itulah maka pertempuran diantara mereka-pun menjadi semakin seru. Masing-masing berusaha untuk melumpuhkan lawannya dengan cara yang dapat dilakukan. Sementara itu, Sumangkar yang harus bertempur mati-matian, harus mempertimbangkan segala kemungkinan. Ia tidak dapat membiarkan dirinya selalu dibayangi oleh kesulitan hanya karena berusaha untuk mengalahkan lawannya dan dapat menangkap mereka hidup-hidup. “Jika terpaksa aku mengorbankan salah seorang dari keduanya, apaboleh buat. Tetapi yang seorang harus dapat ditangkap hidup-hidup untuk dapat didengar keterangannya,” berkata Ki Sumangkar didalam hati. Tetapi sebenarnyalah bahwa Ki Sumangkar tidak ingin membawanya kepada Untara. Jika ia berhasil menangkap seorang atau keduanya, maka ia akan membawanya kepadepokan Agung Sedayu. Dalam pada itu, selagi pertempuran menjadi semakin sengit, maka dikejauhan orang-orang yang sedang berada disawah dicengkam oleh kecemasan. Mereka tidak tahu sebabnya dan tidak mengenal pula kedua belah pihak. Namun perkelahian itu benar benar telah mendebarkan jantung mereka. Meskipun mereka tidak berani mendekat, tetapi dari kejauhan beberapa orang laki-laki mengawasi pertempuran yang sengit itu. Para pengawal padukuhan terdekat telah berkumpul dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. “Kita akan mendekat,” berkata salah seorang pengawal.

Tetapi pemimpinnya masih mencegahnya. Katanya, “Tunggu. Kita harus dapat melihat kemungkinan-kemungkinan yang lebih luas dari peristiwa ini. Menurut penglihatanku, mereka yang sedang bertempur itu adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Jika kita melibatkan diri, maka aku kira kita tidak akan dapat menyesuaikan diri.” Yang lain mengangguk-angguk. Namun salah seorang dari mereka berkata, “Jika perkelahian itu membuat salah satu pihak menjadi mata gelap dan tanpa sebab mengganggu padukuhan kita ?” “Kita akan mencegahnya. Jumlah kita cukup banyak meskipun mungkin tidak seorangpun dari antara kita yang memiliki kemampuan yang memadai tetapi bersama-sama kita setidak-tidaknya akan dapat, menahannya.” Para pengawal itu masih tetap termangu-mangu. Tetapi ditangan mereka telah tergenggam senjata. “Kita hanya akan mempertahankan dan mengamankan padukuhan kita. Kita tidak dapat ikut mencampuri persoalan mereka, karena mereka bukannya orang-orang kebanyakan,“ berkata pemimpinnya, “meskipun ada kewajiban kita memisah setiap perselisihan, ada atau tidak ada sangkut pautnya dengan pedukuhan kita. tetapi perselisihan yang kita hadapi sekarang adalah perselisihan antara orang-orang berilmu yang kebetulan saja terjadi didaerah ini.” Sejenak para pengawal itu termangu-mangu. Pertempuran ditengah bulak itu berlangsung semakin sengit. “Kita minta bantuan ke Sangkal Putung,“ tiba-tiba salah seorang berdesis, “mungkin para pengawal Sangkal Putung, khususnya Swandaru dapat melerai atau bahkan menangkap mereka.” “Apakah kita sempat melakukannya ?” Para pengawal itu masih saja termangu-mangu. Meskipun Sangkal Putung tidak terlalu jauh, namun perjalanan ke Sangkal Putung memerlukan waktu. Akhirnya pemimpin pengawal itu berkata, “Kita akan mengamati saja apa yang terjadi, agar padukuhan kita tidak mereka libatkan dalam perselisihan yang tidak kita ketahui ujung pangkalnya. Kawan-kawannya mengangguk. Orang-orang laki-laki yang melihat perkelahian itu dari kejauhan menjadi bertambah banyak. Tetapi merekapun tidak berani berbuat apa-apa. Sumangkar yang harus melawan dua orang yang agaknya termasuk tataran yang tinggi dikalangan orang-orang yang mengaku pewaris kerajaan Agung Majapahit itu harus memeras keringatnya. Perkelahian yang semakin lama menjadi semakin sengit itu akhirnya memang harus diakhiri tanpa mempertimbangkan kematian. Trisula Sumangkar yang berputar itu sekali-sekali mematuk lawannya. Demikian cepatnya, seolah-

olah Sumangkar tidak hanya memegang sepasang trisula. Setiap kali kedua lawannya itu terkejut, jika trisula yang hanya sepasang itu telah menyerang keduanya dalam waktu yang bersamaan. Bahkan kadang-kadang trisula yang terikat diujung rantai itu nampaknya tidak dapat diperhitungkan, karena arah patukannya. Sehingga semakin sengit mereka bertempur, trisula itu menjadi semakin membingungkan. Seolah-olah telah berubah menjadi berpasang-pasang trisula yang tidak terhitung jumlahnya. Namun dalam pada itu. Sumangkar yang mulai dijalari oleh panas didadanya itu, bertempur semakin dahsyat. Kadang-kadang iapun menjadi lupa, bahwa ia memerlukan salah seorang dari kedua lawannya. Jika ia terdesak oleh kedua pucuk senjata lawannya itu, maka iapun menjadi bertambah garang dan menyerang tanpa terkendali. Keringat yang membasahi seluruh tubuhnya seolah-olah membuatnya semakin garang. Ketika dua serangan datang dengan tiba-tiba, maka Sumangkar menggeram sambil meloncat menghindar. Namun ia tidak mau diburu oleh serangan demi serangan Karena itulah, maka loncatan berikutnya, justru ia mulai menyerang. Dengan tangkasnya ia berusaha menemukan arah serangan yang mapan. Dengan cepat ia mengambil arah diluar garis serangan keduanya, sehingga ia berhasil berdiri disatu sisi. Yang terjadi berikutnya, adalah serangannya yang tiba-tiba. Trisulanya menyambar lambung dengan gerak mendatar. Lawannya yang berdiri dihadapannya masih berhasil meloncat surut, sehingga ia terlepas dari sambaran trisula Sumangkar. Tetapi Sumangkar memang sudah memperhitungkan. Bukan orang yang pertama itulah yang menjadi sasaran serangannya. Demikian orang itu meloncat, muka trisula Sumangkarpun berputar menurut arah putaran yang lain. Triula itu berputar dalam bidang yang tegak. Tetapi hanya sesaat, karena sesaat kemudian trisula itu bagaikan meluncur mematuk lawannya dengan dahsyatnya. Bukan lawan yang berdiri terdekat, tetapi justru lawan yang berdiri pada jarak yang lebih jauh, sehingga karena itulah maka serangannya itu kurang diperhitungkan oleh sepasang lawannya. Serangan yang dilakukan oleh Sumangkar diluar perhitungan lawan-lawannya itu benar-benar telah merusak pertahanan mereka. Ketika trisula itu meluncur, kemudian mematuk lawannya yang justru berdiri ditempat yang lebih jauh, lawannya yang lain bagaikan terpukau oleh desah tertahan kawannya. Dengan mata terbelalak ia melihat darah yang memancar dari luka di pundak. Tetapi darah itu bagaikan menyadarkannya dari mimpi. Itulah sebabnya, maka lawannya yang berdiri terdekat itu dengan serta merta telah meloncat menyerang Sumangkar.

Sumangkar masih sempat menarik trisulanya, ia mencoba untuk berkisar. Namun ternyata bahwa lawannya-pun mampu bergerak cepat, sehingga senjatanya masih berhasil menyentuh tubuh Sumangkar. Sumangkarpun berdesis ketika ia menyadari bahwa lengannya telah tergores oleh ujung senjata lawannya. Namun goresan itu sama sekali tidak mempengaruhinya meskipun terasa juga perasaan pedih yang menyengat. Ketika Sumangkar mengambil jarak, ia melihat lawannya yang dapat dilukainya itu terduduk lesu. Agaknya luka dipundaknya cukup dalam dan melumpuhkan sebelah tangannya. Tetapi Sumangkar tidak dapat termangu-mangu lebih lama lagi. Iapun kemudian mulai dengan perjuangannya untuk mengalahkan yang seorang lagi. Tetapi adalah diluar dugaannya, bahwa orang yang terluka itupun kemudian masih mencoba berdiri dengan senjata ditangan kirinya. Agaknya ia tidak mau menyerah meskipun pundaknya telah terluka parah. Darah masih saja mengalir dari lukanya, apalagi jika iapun kemudian masih akan mencoba ikut dalam pertempuran. Lawannya yang seorang ternyata masih sanggup bertempur dengan sengitnya. Apalagi setelah kawannya terluka dipundak. Ia merasa bahwa tanggung jawab perlawanannya terletak pada dirinya. Dengan ragu-ragu orang yang terluka itu masih juga mendekati arena. Bahkan ternyata kemudian, bahwa ia masih sanggup membantu kawannya dengan sebelah tangannya. Pertempuran yang sengit itupun masih berlangsung. Sumangkar yang sudah tergores oleh luka itupun bertempur dengan segenap kemampuannya, karena iapun merasa perlu untuk segera mengakhiri perkelahian, sebelum darahnya sendiri terlalu banyak mengalir dari luka yang hanya segores itu. Dalam pada itu, orang-orang padukuhan dan para pengawal yang menyaksikan pertempuran itu telah dicengkam oleh ketegangan. Mereka mulai melihat darah yang mengalir dari luka. Dengan demikian maka mereka menyadari bawa perkelahian itu benar merupakan perkelahian yang mempertaruhkan nyawa. Sumangkarpun menyadari, bahwa ia harus bertempur dengan segala kemampuan. Jika ia lengah sedikit saja, maka nyawanyalah yang akan direnggut oleh kedua lawannya. Dengan demikian maka ia tidak akan berhasil mendapat keterangan apapun tentang orang-orang yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Agung Majapahit itu. Ketika pertempuran itu berlangsung sesaat lagi, orang yang terluka dipundaknya itu sama sekali sudah tidak berdaya lagi untuk ikut membantu kawannya. Darahnya yang terlalu banyak mengalir membuat tubuhnya menjadi semakin lemah, sehingga akhirnya ia tidak dapat berbuat apa-apa1 lagi. Setiap geraknya justru ba gaikan memeras lukanya dan darahpun mengalir semakin banyak.

Pada saat-saat yang semakin sulit, lawannya sempat melihat kudanya masih saja berkeliaran sambil merenggut rumput rumput hijau ditanggul parit. Kuda itu sama sekali tidak mengerti, apa yang telah terjadi disekitarnya. Ia tidak tahu bahwa penunggangnya sedang berkelahi mempertaruhkan hidup dan matinya. Tekanan Sumangkar yang tidak teratasi membuat lawannya mulai memikirkan cara lain untuk menyelamatkan diri. Tetapi jika terpandang olehnya meskipun sekilas kawannya yang terluka, maka lawannya yang seorang itu menjadi bingung. Namun dalam pada itu, agaknya orang itu tidak melihat jalan lain yang dapat ditempuhnya, kecuali mempergunakan kudanya. “Tetapi kawanku tidak akan sempat melarikan diri,“ desisnya didalam hati. Apalagi ketika terlihat olehnya kuda-kuda yang lain berada agak jauh dari arena. Meskipun demikian, maka maut yang sudah membayang itu memang perlu dihindari dengan cara apapun juga. Termasuk cara yang sudah mulai dipikirkan. Lari dari arena pertempuran yang berat itu. Orang itu tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa pertempuran yang demikian tidak akan dapat dilampauinya betapapun ia berusaha, jika masih saja dibitasi pada perlawanan kekerasan. Karena itulah, maka sejenak kemudian, iapun berteriak nyaring. Serangannya datang membadai untuk sesaat, sehingga Sumangkar yang terkejut seakan-akan terdesak surut beberapa langkah. Namun yang beberapa kejap itu ternyata telah dipergunakan oleh lawannya untuk meloncat berlari kearah kudanya. Sumangkar yang melihat lawannya melarikan diri. dengan serta merta mencoba mengejarnya meskipun ia terlambat beberapa langkah. Namun ia bertekad untuk tidak melepaskan lawannya itu. Dengan sadar pula Sumangkar tinggalkan lawannya yang lain, yang menurut penilaiannya sama sekali sudah tidak berdaya lagi. Ia mengharap akan dapat menangkap kedua-duanya. Tetapi langkah lawannya ternyata cukup cepat, sehingga sebelum Sumangkar dapat mencapainya, ia telah lebih dahulu meloncat kepunggung kudanya. Sumangkar menggeram marah. Ia masih berlari beberapa langkah saat kuda itu mulai bergerak. Tetapi ia terlambat sekejap. Kuda itu sudah meloncat ketika ia sampai ditempat itu. Namun yang mengherankan, kuda itu tidak berlari terus. Kuda itu meloncat kedalam tanah persawahan mendekati orang yang terluka. “Gila,“ teriak Sumangkar, “apakah ia sempat membawanya?”

Sumangkar tidak membiarkannya terjadi. Karena itu, maka iapun segera berlari lagi mengejar kuda yang turun kedalam lumpur. Sumangkar menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat orang yang terluka itu mencoba berdiri. Namun agaknya darah yang terlalu banyak mengalir, membuatnya sangat lemah, sehingga iapun terduduk kembali diatas tanah berlumpur. Sambil berlari sekencang-kencangnya Sumangkar mencoba menilai keadaan. Jika orang berkuda itu akan membawa kawannya, ia masih harus meloncat turun. Jika demikian, maka ia akan berkesempatan untuk mengejarnya. Tetapi jika orang itu sempat berdiri dan mampu meloncat kepunggung kuda, maka Sumangkar mungkin akan ketinggalan, sehingga ia tidak akan dapat mencegah kedua orang itu melarikan diri. Dengan sekuat-kuatnya Sumangkar berlari terus. Namun yang dilihatnya kemudian telah membuatnya menjadi berdebar-debar. Bahkan rasa-rasanya jantungnya akan pecah oleh kemarahan yang membakar dadanya Dengan sisa tenaga yang terakhir, ternyata orang yang lerluka itu masih sempat berdiri. Kemudian menghentakkan diri meloncat kepunggung kuda yang berdiri sesaat, ditolong oleh kawannya yang sudah berada dipunggung kuda. Dengan hentakan, maka orang itu berhasil naik kepunggung kuda yang dengan serta merta berlari meninggalkan Sumangkar yang hampir mencapainya. “Pengecut,“ teriak Sumangkar. Namun keduanya sama sekali tidak menghiraukannya. Semakin lama kuda itupun menjadi semakin jauh, sehingga akhirnya kuda itulah yang lebih dahulu keluar dari dalam lumpur dan berlari diatas jalan berbatu-batu. Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba untuk mengendapkan kemarahan yang bagaikan akan meledakkan dadanya. “Gila,“ geramnya, “tetapi yang seorang itu agaknya sudah terlalu parah. Lukanya sendiri tidak akan mematikannya. Tetapi darah yang mengalir ternyata terlampau banyak, sehingga sulit baginya untuk bertahan sampai daerah yang mereka anggap aman. Apalagi lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu. Sejenak Sumangkar termangu-mangu. Ia masih melihat bintik hitam yang semakin lama menjadi semakin samar, dan kemudian lenyap sama sekali. “Aku gagal mendapatkan salah seorang dari mereka yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Agung Majapahit, atau orang-orang yang berdiri dipihaknya.“ gumam Sumangkar kepada diri sendiri, “namun demikian aku mengetahui bahwa agaknya kegiatan orang-orang itu menjadi kian meningkat, seperti yang pernah disebut-sebut oleh Raden Sutawijaya.”

Sumangkarpun kemudian menyadari, bahwa dirinya telah dikotori oleh lumpur dan bahkan darah yang mengalir dari lukanya yang tidak begitu terasa meskipun ia kemudian mengambil kesimpulan untuk memamapatkan darah yang meskipun hanya beberapa titik itu. Namun dalam pada itu, Sumangkar terkejut ketika ia melihat beberapa orang laki-laki telah tersembul dari belakang regol padukuhan yang tidak terlalu jauh. Ia pun kemudian menyadari, bahwa orangorang itu tentu sudah menyaksikan, bahwa ia telah bertempur melawan dua orang yang sempat melarikan diri." Tetapi jantungnya menjadi kian berdebar-debar ketika ia melihat, bahwa orang-orang itu ternyata membawa senjata ditangannya. “Apakah yang akan mereka lakukan?“ pertanyaan itu telah mengganggunya. Namun hati Sumangkar yang telah menitikkan darah itu menjadi seakan-akan sekeras batu. “Jika mereka menggangguku, apaboleh buat,“ desisnya. Karena itulah maka Sumangkar menunggu dengan senjatanya ditangan, siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Yang terdepan dari orang-orang padukuhan itu adalah pemimpin pengawalnya. Dengan ragu-ragu pemimpin pengawal itu mendekat. Namun heberapa langkah sebelum sampai dihadapan Sumangkar ia berhenti. Orang-orang yang mengikutinyapun berhenti juga termangu-mangu. “Ki Sanak,“ bertanya pemimpin pengawal itu, “apakah sebenarnya yang telah terjadi, sehingga Ki Sanak harus bertempur melawan kedua orang itu?” Sumangkar termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Aku mencurigai mereka. Aku ingin memaksa mereka menghadap Ki Untara.” Pemimpin pengawal itu mengerutkan keningnya. Dengan nada yang meninggi ia bertanya, “Ki Untara Panglima pasukan Pajang di Jati Anom.” “Ya.” “Tetapi siapakah Ki Sanak?” “Aku adalah orang yang sering lewat jalan ini. Aku Sumangkar dari Sangkal Putung.” “Sangkal Putung? “ orang itu mengerutkan keningnya, “apakah Ki Sanak memang orang Sangkal Putung?” “Ya. Aku orang Sangkal Putung.” Pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Kemudian katanya, “Aku mengenal beberapa orang Sangkal

Putung.” “Siapa?” “Diantaranya anak Ki Demang.” “Swandaru maksudmu?“ bertanya Ki Sumangkar. Pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk. “Tentu aku mengenalnya. Swandaru dan adiknya Sekar Mirah. Aku juga mengenal Ki Demang sendiri. Ki Jagabaya, dan para bebahu. Meskipun aku bukan bebahu Kademangan Sangkal Putung. namun aku kadang-kadang mendapat kesempatan untuk berbicara dengan mereka dalam suatu pertemuan.” Pemimpin pengawal itu mengangguk angguk. Tetapi Sumangkar dapat menyebut nama putera Ki Demang dan bahkan anak perempuannya, sehingga dengan demikian, para pengawal itu mulai mempercayai bahwa Sumangkar memang orang Sangkal Putung. “Ki Sanak,“ bertanya pemimpin pengawal itu, “sekarang Ki Sanak akan pergi ke mana?” “Aku akan tetap pergi ke Jati Anom. Ada keperluan yang mendesak selain menghadap Panglima prajurit Pajang di Jati Anom.” “Dalam pakaian yang kolor bernoda lumpur dan darah?” Sumangkar mengamat-amati pakaiannya. Pakaiannya memang sangat kotor. Beberapa saat ia termangu-mangu. Tetapi ia tidak akan kembali ke Sangkal Putung, karena baginya tidak akan ada bedanya. Ke Jati Anom atau ke Sangkal Putung, pakaiannya tentu akan menarik perhatian disepanjang jalan. Orang-orang padukuhan yang berada beberapa langkah daripadanya itu agaknya dapat mengerti perasaan Ki Sumangkar. Salah seorang dari mereka berbisik kepada kawannya, “Apakah kita dapat meminjaminya pakaian?” “Kita belum tahu pasti, apakah benar-benar ia orang Sangkal Putung. Jika ia kemudian ternyata seorang pembohong, maka pakaian itu akan dibawanya lari.” jawab yang lain. Sementara itu pemimpin pengawal yang berada dipaling depan ternyata bertanya dengan ragu-ragu, “Ki Sanak. Apakah aku dapat mempercayai Ki Sanak sepenuhnya, bahwa Ki Sanak memang orang Sangal Putung.” Sumangkar mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Terserah kepada kalian. Aku tidak dapat mengatakan lebih banyak lagi tentang diriku.”

“Bagaimana jika ternyata kau bukan orang Sangkal Putung ?” Sumangkar yang masih dicengkam oleh kekecewaan atas lolosnya dua orang yang dianggapnya dapat menjadi sumber keterangan yang penting tentang orang-orang yang merasa dirinya pewaris Kerajaan Agung Majapahit itu merasa tersinggung. Karena itu jawabnya, “Aku tidak akan memaksa kalian untuk percaya.Kalian boleh tidak percaya. Dan jika kalian tidak percaya, kalian mau apa?” Pengawal itu cepat-cepat menyahut, “Bukan maksudku Ki Sanak. Kami hanya ingin sekedar meyakinkan. Jika sekiranya Ki Sanak memang orang Sangkal Putung, maka kami dapat berbuat sesuatu agar Ki Sanak tidak menjadi perhatian orang disepanjang jalan.” “Apa maksudmu?” “Kami dapat meminjami pakaian bagi Ki Sanak.” Sumangkar mengerutkan keningnya. Ternyata orang-orang itu bermaksud baik, sehingga kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Maaf Ki Sanak. Mungkin sikapku terlalu kasar. Tetapi itu agaknya terpengaruh oleh perkelahian yang baru saja terjadi.” “Kami mengerti.” jawab pengawal itu, lalu. “bagaimana mengenai tawaran kami? Apakah Ki Sanak mau memakai pakaian kami meskipun tidak baik tetapi tidak kotor oleh lumpur dan darah.” Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia mengamat-amati pakaiannya yang memang sangat kotor. Jika ia melanjutkan perjalanan dengan pakaiannya itu. tentu setiap orang akan memperhatikannya dan bahkan ada yang mencurigainya. Sejenak kemudian Sumangkarpun menyahut, “Terima kasih Ki Sanak. Jika Ki Sanak percaya kepadaku, aku akan menerima kebaikan hati itu. Nanti, pada saatnya aku akan mengembalikan pakaian itu kemari. Aku adalah Sumangkar dan justru tinggal dirumah Ki Demang Sangkal Putung.” “Dirumah Ki Demang?” “Ya. Aku adalah keluarga Ki Demang.“ Orang-orang itu termangu mangu sejenak. Namun nampaknya Sumangkar memang dapat dipercaya, sehingga pemimpin pengawal itu kemudian berkata, “Jika Ki Sanak tidak berkeberatan, marilah. Singgah dipadukuhan kami. Kami akan dapat meminjamkan sepengadeg pakaian kepada Ki Sanak.” Sumangkar ragu-ragu sejenak. Tetapi iapun melihat ketulusan hati orang-orang padukuhan itu, sehingga iapun kemudian mengangguk sambil menjawab, “Terima kasih Ki Sanak. Aku akan menerimanya dengan senang hati.” Demikianlah Sumangkarpun singgah sejenak di padepokan itu untuk berganti pakaian. Ia tidak dapat

meninggalkan pakaiannya yang kotor, karena ia harus mencucinya. Ketika ia sudah minum hidangan yang diberikan oleh orang-orang padukuhan itu dan makan beberapa potong makanan, maka iapun segera minta diri. “Berhati-hatilah. Biasanya jalan ini adalah jalan yang tenang. Tetapi agaknya nasib Ki Sanak kurang baik, sehingga Ki Sanak menjumpai persoalan disepanjang jalan ini.” Sumangkar mengangguk. Tetapi ia berkata didalam hatinya, “Akulah yang mencari persoalan. Jika aku tidak menghentikan orang-orang itu, maka tentu tidak akan terjadi sesuatu. Tetapi ternyata bahwa aku gagal menangkap salah seorang, apalagi keduanya.” Sejenak kemudian maka Sumangkarpun telah meninggalkan padukuhan itu. Beberapa orang pengawal telah berhasil menangkap kudanya, bahkan kuda orang yang melarikan diri sambil membawa kawannya yang terluka. “Bagaimanakah dengan kuda yang seekor ini?,“ bertanya pemimpin pengawal. “Biarlah kuda itu disini,“ jawab Sumangkar. “Tetapi itu akan dapat menimbulkan bencana bagi kami. Jika kuda pada suatu saat dikenal oleh pemiliknya yang ternyata mempunyai ilmu yang tinggi itu, maka mereka akan mempunyai prasangka buruk terhadap kami. Padahal kami tidak ingin terlibat dalam persoalan Ki Sanak dengan orangorang itu, yang tidak kami ketahui ujung dan pangkalnya. Apakah justru karena kejahatan, atau karena persoalan lain.” Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Orang-orang padukuhan itu memang dapat saja menganggap bahwa kudua orang itu telah menyamunnya. Tetapi juga sebaliknya, bahwa ia berusaha menyamun kedua orang itu. Tetapi Sumangkar sudah mengatakan, bahwa ia akan-menghadap Panglima prajurit Pajang di Jati Anom. Mudah-mudahan dapat menimbulkan kesan, bahwa bukan ialah yang dianggap sebagai seorang penyamun atau seseorang yang melakukan kejahatan lain. Apalagi iapun telah mengaku sebagai keluarga Ki Demang di Sangkal Putung. Dalam keragu-raguan itu pengawal itu berkata, “Bagaimanakah jika Ki Sanak sajalah yang membawa kuda itu dan menyerahkannya kepada prajurit Pajang. Mungkin kuda itu akan bermanfaat.” Sumangkar termangu-mangu sejenak. Lalu jawabnya, “Baiklah. Aku akan membawanya. Bukan karena nilai kuda itu sendiri. Tetapi semata-mata karena aku tidak ingin melibatkan kalian kedalam persoalan yang memang tidak kalian ketahui.

Tetapi yakinlah, bahwa persoalannya memang persoalan yang sangat penting sehingga aku harus mempertaruhan nyawa menghadapi orang-orang itu.” Orang-orang padukuhan itu hanya mengangguk-angguk saja. Sementara Ki Sumangkarpun segera minta diri untuk melanjutkan perjalanannya dengan pakaian yang dipinjam dari orang-orang padukuhan yang menyaksikannya bertempur melawan dua orang yang berdiri dipihak mereka yang merasa mewarisi Kerajaan Agung Majapahit. Perjalanan Ki Sumangkar kemudian merupakan perjalanan yang tergesa-gesa. Rasa-rasanya ada yang mendorongnya untuk ingin segera sampai dipadepokan kecil didekat Jati Anom. Pengenalannya atas orang-orang yang mencurigakan itu bagaikan mencambuknya untuk segera bertemu dengan Kiai Gringsing. Ternyata sisa perjalanannya itu tidak ditempuh terlalu lama. Beberapa saat kemudian, ia sudah memasuki Kademangan Jati Anom. Tetapi ia tidak berjalan lurus ke induk Kademangan menghadap Untara seperti yang dikatakannya. Tetapi iapun kemudian berbelok menuju kepadukuhan kecil yang telah dihuni oleh Kiai Gringsing dan muridnya, yang kemudian bertambah dengan beberapa orang lagi. Kedatangan Ki Sumangkar di padepokan itu menumbuhkan kegembiraan bagi Agung Sedayu dan penghuni-penghuni yang lain. Seakan-akan mereka mendapat selingan didalam tata kehidupan mereka sehari-hari. “Marilah Kiai,“ Agung Sedayu yang kebetulan ada di halaman segera menyongsongnya. Ki Sumangkar tersenyum. Diserahkannya kendali kudanya kepada Agung Sedayu yang kemudian mengikatnya pada tonggak yang sudah disediakan oleh Glagah Putih. Kiai Gringsing dan Ki Waskita yang berada dipadepokan pula segera menyambutnya pula dan mempersilahkannya naik kependapa. Sejenak mereka saling menanyakan keselamatan mereka masing-masing. Kemudian mulailah Ki Sumangkar menanyakan isi padepokan itu. “Isi padepokan ini sekarang sudah bertambah. Selain kami bertiga, Glagah Putih yang sekarang berada disawah, juga ada beberapa anak-anak muda yang ingin tinggal bersama kami. Anak-anak muda Jati Anom.” Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus sekali. Dengan demikian kalian tidak perlu menangani semua pekerjaan. Membersihkan rumah dengan segala isinya, halaman, memelihara ternak dan kuda, menggarap sawah dan pategalan.” “Ya Kiai,“ jawab Agung Sedayu, “dengan beberapa orang kawan kami dapat membagi pekerjaan.”

Sumangkar mengangguk-angguk. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Tetapi masih ada yang kurang dipadepokan kecil ini.” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Lalu iapun bertanya, “Apa yang kurang adi? Semuanya sudah mencukupi menurut ukuran hidup kami penghuni padepokan ini.” “Tidak ada seorang perempuanpun dipadepokan ini yang dapat menangani kebutuhan kalian seharihari yang berhubungan dengan rangkaian hidup kalian. Makan, minum dan sebagainya.” Kiai Gringsing tersenyum. Diluar sadarnya ia berpaling kepada Agung Sedayu yang justru menundukkan kepalanya. Ki Waskitapun tersenyum pula. Tetapi ketika ia melihat wajah Agung Sedayu yang tunduk itu menjadi kemerah merahan, ia tidak mengatakan sesutu. Apalagi ia melihat sesuatu yang agak buram dalam hubungan kedua anak-anak muda itu meskipun Ki Waskita tidak dapat menguraikan artinya dengan tepat seperti penglihatannya atas Swandaru dan Pandan Wangi. Namun menilik sifat kedua kakak beradik itu, maka diluar isyarat yang dilihatnya, maka pengenalannya sehari-hari telah memperlengkap penglihatannya bagi masa depan kedua pasang anakanak muda itu. Ternyata bahwa kedua pasang anak-anak muda itu tidak mempunyai tanggapan yang seimbang pada pasangan masing-masing menghadapi masa depannya. “Swandaru dan Sekar Mirah adalah anak-anak muda yang penuh dengan cita-cita yang bahkan kadangkadang agak terlampau jauh melambung kedepan, sementara Agung Sedayu agaknya seorang anak muda yang kadang-kadang tertinggal, oleh gejolak keadaan karena keragu-raguannya,“ berkata Ki Waskita didalam hatinya. Dengan demikian ia melihat jarak antara kedua murid Kiai Gringsing itu menjadi semakin jauh. Juga jarak antara Agung Sedayu dengan Sekar Mirah. “Tetapi sifat Agung Sedayu lebih menguntungkan,“ berkata Ki Waskita didalam hatinya, “untuk menderanya agar ia bergerak lebih cepat agaknya lebih mudah dari pada menghentikan Swandaru yang sudah terlanjur berpacu dengan keinginannya untuk membuat Sangkal Putung menjadi daerah yang melampaui daerah disekitarnya.” Ki Waskita yang tiba-tiba saja telah terseret kedalam angan-angannya itu terkejut ketika Ki Sumangkar bertanya kepadanya, “Jadi Ki Waskita sekarang juga akan menetap dipadepokan ini?” “Ah, tentu tidak,“ jawab Ki Waskita terbata-bata, “pada suatu ketika aku harus kembali kepada anak isteriku. Tetapi ternyata bahwa padepokan ini telah mengikatku untuk tinggal beberapa saat lamanya. Namun pada suatu saat, anak dan isteriku tentu menjadi gelisah karena aku telah terlalu lama pergi, meskipun isteriku sudah terbiasa dengan tingkah lakuku itu.” Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Suatu keuntungan bagi Agung Sedayu. Kehadiran Ki Waskita betapapun singkatnya akan sangat menguntungkan.”

Tetapi Ki Waskita menggeleng sambil menjawab, “Aku tidak memberikan keuntungan apa-apa selain ikut serta membantu mempercepat habisnya persediaan makan dipadepokan kecil ini.” Mereka yang mendengarnya tertawa. Juga Kiai Gringsing tertawa. “Agaknya aku juga ingin berbuat demikian. Aku akan tinggal dipadepokan ini beberapa hari. Tentu menyenangkan sekali. Aku akan mendapatkan udara yang lain dari udara Kademangan Sangkal Putung yang sedang bergejolak.” “Tetapi masa depan Sangkal Putung agaknya cukup cerah. Swandaru akan berhasil membuat Sangkal Putung menjadi daerah yang meningkat kearah yang dicitacitakannya,“ desis Ki Waskita Ki Sumangkar tidak segera menjawab. Tetapi nampak keragu-raguan membayang diwajahnya. Untuk sesaat mereka masih berbincang tentang niat Ki Sumangkar untuk tinggal beberapa hari dipadepokan kecil itu, meskipun ketika ia berangkat dari Sangkal Putung, ia hanya berniat untuk menyampaikan persoalan Swandaru kepada Kiai Gringsing dan segera kembali. Jika terpaksa bermalam, maka ia sama sekali tidak ingin bermalam lebih dari satu malam. Namun agaknya suasana padepokan itu telah menahannya meskipun ia tidak melupakan tugasnya Karena itulah maka dengan kecewa Ki Sumangkar menyadari bahwa beberapa hari baginya adalah beberapa hari yang pendek. Tetapi sejenak kemudian, maka Agung Sedayupun minta diri untuk mengerjakan pekerjaannya seharihari. “Kau akan pergi kemana Agung Sedayu?“ bertanya Ki Sumangkar. “Kebelakang Kiai. Kemudian aku akan menyusul kesawah.” Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, “Dengarlah, aku akan bercerita.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Bahkan Kiai Gringsing dan Ki Waskitapun termangu-mangu sejenak. “Jika kau keluar padepokan, maka kau akan melihat seekor kuda.” “Seekor kuda?” “Ya. Aku membawa seekor kuda. Aku sengaja tidak membawanya masuk, agar kuda tanpa penunggang tetapi sudah berpelana itu tidak mengejutkan kalian. Jika kalian melihat kuda tanpa penunggang itu, akan dapat timbul tafsiran yang salah, yang dapat menggoncangkan ketenanganmu.”

“Kuda siapa Kiai,” bertanya Agung Sedayu dengan berdebar-debar. “Tidak ada apa-apa. Jangan cemas, bahwa aku berangkat berdua dari Sangkal Putung tetapi yang seorang telah hilang diperjalanan. Sama sekali tidak. Kecemasan semacam itulah yang memaksaku untuk meninggalkan kuda itu keluar. Nah, sekarang, ambillah kuda itu dan bawalah masuk. Aku akan menceriterakan, dari mana aku mendapatkannya.” Agung Sedayu kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan pendapa dan pergi keluar padepokan. Agak jauh dari padepokan ia melihat seekor kuda yang terikat pada sebatang pohon randu dipinggir jalan. “Tentu kuda itu,“ berkatan Agung Sedavu didalam hati. Dengan tergesa-gesa ia berlari kearah kuda itu dan kemudian menungganginya kembali masuk kehalaman padepokan. “Kuda yang tegar,“ desis Kiai Gringsing dan Ki Waskita berbareng. Demikianlah ketika Agung Sedayu sudah duduk pula bersama mereka, maka Ki Sumangkarpun kemudian menceriterakan. apa yang sudah dialaminya diperjalanan. Usahanya untuk menahan kedua orang itu, atau justru salah seorang saja dari mereka telah gagal. Bahkan ia telah terluka meskipun hanya segores kecil. Kiai Gringsing. Ki Waskita dan Agung Sedayu mendengarkan penjelasan Ki Sumangkar itu dengan saksama. Seperti Ki Sumangkar sendiri merekapun kecewa bahwa tidak seorangpun diantara mereka yang dapat ditangkap dan dari padanya dapat didengar beberapa keterangan mengenai orang-orang yang merasa dirinya pewaris Kerajaan Agung Majapahit. “Aku gagal menangkap salah seorang dari mereka. Aku kira seorang yang terluka parah itu tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Tetapi ternyata kawannya cukup cerdik, dan orang yang terluka itupun mempergunakan sisa kekuatannya yang terakhir untuk meloncat kepunggung kuda, dibelakang kawannya.“ desah Sumangkar dengan nada kecewa. “Apaboleh buat,“ sahut Kiai Gringsing, “Ki Sumangkar sudah berusaha. Tetapi ada sesuatu diluar perhitungan.” “Tetapi keterangan Ki Sumangkar itu penting sekali artinya bagi kami,“ berkata Ki Waskita kemudian. “Benar. Tetapi juga sebaliknya. Yang dialami oleh kedua orang itupun merupakan bahan yang pepting sekali bagi mereka. Orang itu tentu akan melaporkan kepada pemimpin mereka, bahwa mereka telah bertemu dengan Sumangkar.” Kiai Gringsing termangu-mangu. Ia mengerti, bahwa laporan yang demikian akan dapat membawa akibat yang mungkin merugikan. Orang-orang dilembah antara Gunung Merapi dan Merbabu itu akan

berhati-hati menghadai perkembangan keadaan. Apalagi ketika mierekapun kemudian mengetahui bahwa Ki Sumangkar mempunyai hubungan yang dekat dengan Ki Untara. seperti yang dikatakan oleh Ki Sumangkar sendiri kepada keduanya. Kita perlu menyampaikannya kepada Raden Sutawijaya,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “ia sudah menyiapkan segala sesuatu yang dianggapnya penting menghadapi pertemuan besar itu.” Ki Sumangkar dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Bahkan Ki Waskita kemudian berdesis, “Mungkin mereka akan mengambil sikap lain. Mungkin pusaka-pusaka itu akan disingkirkan, atau tindakan-tindakan lain.” “Aku menyesal bahwa aku mengaku akan membawa mereka kepada Ki Untara,“ desis Sumangkar kemudian, “aku tergesa-gesa saat itu. Maksudku, aku ingin menggertak mereka agar mereka tidak terlalu banyak tingkah. Namun ternyata keduanya terlepas.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Persoalannya memang harus ditekuni lebih bersungguh-sungguh. Aku tahu dan yakin, bahwa dilingkungan mereka terdapat beberapa orang penting dari Pajang. Mungkin ada sementara pihak yang akan langsung menghubungi Untara, untuk mengetahui kebenaran keterangan Ki Sumangkar. seolah-olah Ki Sumangkar memang benar-benar sudah mengenal dan orang yang berhubungan erat dengan Untara. Bahkan mungkin diantara mereka sudah mengenal Ki Sumangkar adik seperguruan Patih Mantahun dari Jipang.” “Jadi?“ bertanya Sumangkar. “Kita akan membicarakannya lebih saksama,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi tidak tergesa-gesa. Sekarang kami persilahkan Ki Sumangkar untuk sekedar beristirahat. Ke pakiwan dan setelah menikmati hidangan padepokan ini. kita akan berbicara bersungguh-sungguh.” Ki Sumangkar tersenyum sambil mengangguk-angguk. Ia sadar bahwa Kiai Gringsing dan Ki Waskita masih memerlukan untuk menilai keadaan itu secara keseluruhan, sehingga mereka memerlukan waktu untuk sampai pada suatu kesimpulan untuk diperbincangkan bersama. Ketika kemudian Sumangkar pergi kepakiwan sebentar, Kiai Gringsing mulai berbincang dengan Ki Waskita. Mereka bersepakat, bahwa keadaan memang cukup gawat. Agar Mataram tidak salah mengambil sikap, maka hal itu perlu diberitahukan kepada Mataram. Tetapi mereka tidak mengambil kesimpulan lebih banyak lagi. Mereka benar-benar memerlukan waktu untuk berpikir.

Agung Sedayupun kemudian dibiarkannya pergi ke sawah, sementara Kiai Gringsingpun kemudian menunjukkan bilik yang akan dipergunakan oleh Ki Sumangkar. “Kiai,” berkata Ki Sumangkar disore hari ketika ia duduk bersama dengan Kiai Gringsing dan Ki Waskita, “sebelum kita sampai pada pembicaraan tentang orang-orang yang mengaku sebagai pewaris Kerajaan Agung Majapahit, mumpung Agung Sedayu tidak berada diantara kita, aku ingin menyampaikan beberapa persoalan tentang Swandaru. Hal itulah yang sebenarnya telah mendorong aku untuk datang kemari.“ Kiai Gringsing dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Sambil menarik nafas dalam-dalam, Kiai Gringsing menyahut, “Aku sudah menduga. Dan aku memang sedang memikirkannya.” “Menurut pendapat Ki Demang, jika Kiai bersedia tinggal sementara di Sangkal Putung, maka Swandaru tentu akan selalu dapat Kiai awasi. Orang yang paling berpengaruh atas dirinya kini tinggallah Kiai Sendiri. Ki Demang, ayahnya, merasa sudah tidak banyak dapat mengendalikan anak itu.” Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Adi Sumangkar telah membawa dua persoalan yang sama-sama pentingnya bagi kita. Persoalan Swandaru itu memang merupakan persoalan yang penting. Bukan saja bagi masa depannya sendiri, tetapi juga bagi Sangkal Putung. Selebihnya bagi Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi persoalan yang menyusul kemudian merupakan persoalan yang gawat pula. Persoalan yang akan menyangkut hubungan dengan Mataram dan Pajang.” Ki Sumangkar mengangguk-angguk. “Aku belum tahu, yang manakah yang harus aku lalaikan,“ desis Kiai Gringsing kemudian. “Kita harus mempertimbangkan bersama. Maksudku, kedua masalah itu harus dicari pemecahannya.“ sahut Ki Waskita, “karena keduanya akan saling bersentuhan.” Ki Sumangkar mengangguk-angguk pula. Tetapi ia tidak segera menyahut. “Adi,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “bagaimanakah halnya jika justru kita melakukan yang sebaliknya?” “Maksud Kiai ?” “Bukan aku yang pergi ke Sangkal Putung. Tetapi biarlah Swandaru untuk beberapa saat berada dipadepokan ini.” “Ah, mana mungkin,“ jawab Ki Sumangkar, “ia sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap

padepokan kecil ini.” “Bukan padepokan kecil ini. Tetapi persoalan yang menyangkut orang-orang yang merasa dirinya pewaris Kerajaan Agung Majapahit itu,“ jawab Kiai Gringsing, “kita akan mengadakan pembicaraan, kemudian tindakan untuk menghadapi mereka bersama Mataram. Tempat kecil ini akan menjadi landasan semua tindakan kita, sehingga kita semuanya harus sudah siap berada ditempat ini. Setiap saat kita akan dapat bertindak sesuai dengan rencana. Tetapi jika tempat kita terpisah-pisah, mungkin dengan demikian sikap kita akan lambat dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan keadaan.” Ki Sumangkar mengerutkan keningnya. Agaknya dalih itu agak lebih baik daripada sekedar minta Swandaru tinggal dipadepokan kecil itu. “Aku akan mencobanya,” berkata Ki Sumangkar, “aku akan menyampaikannya kepada angger Swandaru, bahwa untuk menghadapi masalah yang gawat itu, kita tidak boleh berpencaran.” “Sementara itu biarlah Pandan Wangi dan Sekar Mirah tetap berada di Sangkal Putung. Sebenarnyalah mungkin sekali terjadi sesuatu didaerah sepanjang garis lurus antara Pajang dan Mataram, sehingga terutama daerah yang subur seperti Sangkal Putung, selalu mendapat pengawasan yang baik.” berkata Kiai Gringsing. Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Jika ia berhasil dan dapat membawa Swandaru kepadepokan kecil itu dengan alasnya yang barangkali cukup menarik pula bagi Swandaru, ia akan terpisah dari dunianya selama ini. Dunia yang penuh dengan bayangan masa datang. Bayangan cita-cita yang kadang-kadang masih terlampau pagi untuk diwujudkan menilik lingkungan dan keadaannya. Namun sebuah pertanyaan telah terlontar dari mulutnya, “Tetapi apakah Swandaru bersedia meninggalkan Kademangannya yang mulai bangkit sesuai dengan seleranya.” “Kita akan mencobanya,“ berkata Kiai Gringsing, “Ki Sumangkar dapat membubuhi persoalan itu sebagai persoalan yang sangat gawat. Tidak dapat ditunda-tunda. Dan barangkali, kita memang akan mengadakan perjalanan lagi.” Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Waskita berkata, “Memang kedua persoalan itu tidak terpisahkan. Kita harus membicarakannya sekaligus. Semenara persoalan itu tentu akan menyangkut kegiatan prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Agung Sedayu harus sering datang menghadap kakaknya. Mungkin ia mendengar sesuatu jika ada hubungan langsung dengan persoalan yang kita hadapi sekarang.” Orang-orang itu mengangguk-angguk. Mereka mempunyai bayangan yang mulai mengarah. Jika persoalan Sumangkar itu sampai kepada orang-orang terpenting dilembah antara Gunung Merapi dan

Gunung Merbabu, maka petugas-petugas mereka tentu akan mencari keterangan tentang orang yang bernama Sumangkar. Sementara yang sudah mengenalnya, tentu akan mencoba mendengar, apakah Untara telah mendapat laporan daripadanya. Ternyata bahwa pembicaraan itu tidak terbatas pada masalah yang terpisah-pisah antara Swandaru dan kedua orang yang ditemui Sumangkar diperjalanan. Pembicaraan mereka menjadi semakin luluh dalam satu persoalan. Persoalan Swandaru menurut pendapat Ki Sumangkar, memang dapat dikaitkan dengan persoalan orang-orang yang mengaku pewaris Kerajaan Agung Majapahit itu. sesuai dengan pendapat Kiai Gringsing dan Ki Waskita. Bahkan peristiwa itu akan menjadi alasan, bahwa sebaiknya Swandaru untuk beberapa saat meninggalan Kademangannya. “Seperti yang sudah Kiai saksikan sendiri, hubungan antara Swandaru dan Raden Sutawijaya telah diberinya bentuk tersendiri,“ berkata Ki Sumangkar, “Swandaru yang sudah menyaksikan betapa tingginya ilmu Raden Sutawijaya, telah menempatkan dirinya dalam hubungan yang sangat berpengaruh antara Sangkal Putung dan Mataram.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Lebih daripada itu adi. Raden Sutawijaya sebenarnya memang sudah pernah mengatakan, bahwa Mataram memerlukan bantuan bukan saja kita yang tua-tua, tetapi juga kekuatan pengawal-pengawal Kademangannya. Raden Sutawijaya akan memasuki lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu dengan pasukan dari Mataram. Sementara Raden Sutawijaya minta bantuan, jika Ki Demang Sangkal Putung, atau Swandaru tidak berkeberatan, sejumlah pengawal untuk menyumbat jalan keluar di belah Timur, sementara pasukan Pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dari sebelah Barat.” Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi Raden Sutawijaya menganggap perlu untuk menutup jalan keluar dari lembah itu dengan pasukan yang kuat.” “Sebenarnyalah karena sampai saat terakhir, Mataram masih belum tahu kekuatan yang sebenarnya dari kelompok-kelompok yang ada dilembah itu. Kelompok-kelompok itu merasa diri mereka cukup kuat sebelum mereka mulai dengan gerakan kekerasan. Tetapi sebenarnyalah bahwa untuk mengatasinya masih perlu dilihat langsung kedalam lingkungan istana Pajang.” “Itulah sebenarnya yang harus dilakukan. Aku membayangkan bahwa didalam istana Pajang kini bersembunyi beberapa orang yang justru berpengaruh, yang dengan diam-diam telah menikam Sultan Hadiwijaya dari belakang,“ desis Sumangkar. “Kita berhadapan dengan bayang-bayang,“ berkata Ki Waskita kemudian, “kita dapat melihat ujudnya, tetapi kita tidak dapat menyentuhnya. Memang lebih baik kita berhadapan dengan lawan yang jelas. Meskipun kemudian Raden Sutawijaya dapat menumpas orang-orang yang berada dilembah antara Gunung Merapi dan Merbabu itu, tetapi jika sumbernya masih saja leluasa untuk mengalir, maka air itupun tidak akan dapat dikeringkannya sama sekali.” Kedua orang tua itu mengangguk-angguk. Memang jalan yang paling baik adalah memasuki istana Pajang dan melihat, apakah disekitar Sultan sendiri ada kekuatan yang perlu diperhatikan.

“Sebenarnya Raden Sutawijaya sendirilah yang harus melakukan. Tidak ada orang lain,“ desis Ki Waskita kemudian. “Kekerasan hatinya telah menutup kemungkinan yang sebenarnya akan memberikan hasil yang paling baik,“ sahut Ki Sumangkar, “namun meskipun demikian, mungkin dapat juga dicari dan diketemukan. orang-orang yang akan dapat membuka jalur hubungan itu dari bawah. Sebab kita yakin, bahwa didalam lingkungan orang-orang yang berada dilembah itu, tentu hadir orang-orang yang memiliki kedudukan didalam lingkungan pemerintahan Pajang sendiri.” Demikianlah pembicaraan mereka semakin meningkat pada segi-segi yang lebih kecil dari rencana mereka. Namun yang pada dasarnya, mereka telah bersepakat untuk memanggil. Swandaru dengan pengaruh Kiai Gringsing. Dalam waktu yang dekat, mereka memang harus menanggapi peristiwa yang mereka hadapi, berkumpulnya orang-orang yang mempunyai sikap tersendiri atas Pajang. “Jadi. yang pertama harus kita lakukan adalah memanggil Swandaru dan memberikan tugas kepada Agung Sedayu untuk selalu berhubungan dengan kakaknya, meskipun dalam sikap yang tidak memberikan kesan itu,“ berkata Kiai Gringsmg kemudian semuanya harus kita lakukan dengan segera. Kita tidak boleh terlambat.” Beberapa kesimpulan telah mereka ambil. Dan merekapun telah sepakat dengan langkah-langkah yang akan mereka lakukan. Yang pertama, adalah tugas Ki Sumangkar untuk pergi ke Sangkal Putung memanggil Swandaru atas nama gurunya Kiai Gringsing. Kemudian langkah-langkah berikutnya akan diambil. Mereka harus menghubungi Raden Sutawijaya di Mataram untuk memberikan beberapa keterangan yang barangkali perlu. Ternyata bahwa Sumangkar hanya bermalam satu malam saja di padepokan kecil itu, meskipun sebenarnya ia masih ingin tinggal. Namun ia akan segera kembali bersama Swandaru untuk melakukan beberapa kewajiban yang mungkin cukup berat baginya. “Padepokan ini tidak mau menerima aku lebih dari semalam,“ desis Ki Sumangkar. Sambit tertawa Kiai Gringsing berkata, “Lain kali Ki Sumangkar dapat tinggal disini berbulan-bulan, bahkan mungkin bersama Swandaru yang sama sekali tidak merasa tertarik kepada padepokan ini.” Agung Sedayupun kemudian mendapatkan penjelasan dari gurunya, sehingga iapun menyadari bahwa Ki Sumangkar dengan tergesa-gesa akan kembali ke Sangkal Putung. “Apakah Swandaru bersedia tinggal disini meskipun untuk sementara?“ bertanya Agung Sedayu kepada gurunya. “Aku masih akan menguji, apakah pengaruhku masih cukup kuat terhadap muridku. Dan apakah

Swandaru masih bersedia mengkaitkan diri dengan tugas-tugas yang lebih besar dari tugas pribadinya.” Dihari berikutnya, mulailah mereka dengan tugas-tugas yang mungkin akan berkepanjangan. Ki Sumangkar telah meninggalkan Padepokan kecil itu, sedang Agung Sedyu telah bersiap-siap untuk pergi mengunjungi kakaknya. Ternyata bahwa kakak iparnya menganggap Agung Sedayu bukan saja sebagai adiknya, tetapi lebih banyak memperlakukannya seperti anaknya. Meskipun Agung Sedayu sudah cukup dewasa, tetapi setiap kali ia masih saja dianggap sebagai anak-anak yang harus dimanjakannya. “Kasihan. Ia kehilangan masa kanak-kanank yang menyenangkan itu. Ia merasa sangat haus kasih sayang orang tua yang patah belum waktunya. Sementara kakaknya bersikap terlalu keras kepadanya.” Ternyata bahwa sikap kakak iparnya itu telah memberikan kesejukan batin bagi Agung Sedayu. Hidupnya yang serasa gersang itu seakan-akan tersiram oleh setitik air yang sejuk segar. Dalam saat-saat yang demikian, ia mulai mengenang Sekar Mirah. Sebenarnya ia mengharapkan kesejukan pula dari gadis itu. Tetapi ternyata hati Sekar Mirahpun merupakan hati yang tandus dan keras seperti batu kapur. Ketika Agung Sedayu minta diri. maka kakak iparnya menahannya. Rasa-rasanya adik iparnya itu belum dapat bertemu dan berbincang dalam suasana keluarga dengan kakaknya Untara. Namun agaknya Untara sangat sibuk. Menurut kakak iparnya, setiap hari Untara selalu sibuk. Tetapi hari ini ia menerima beberapa orang tamu, perwira prajurit dari Pajang. “Apakah ada persoalan yang penting?“ bertanya Agung Sedayu. “Aku tidak tahu Agung Sedayu. Karena itu, tunggu sajalah. Kau jarang sekali mengunjungi kakakmu. Sekarang, mumpung kau disini. Temuilah ia sebagai kakakmu. Meskipun kakang Untara agak kaku, tetapi sebenarnyalah ia mengasihimu.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tamu-tamu itu memang sangat menarik baginya. Agaknya Untara mendapat kesibukan baru disaat terakhir. Baru disore hari Untara mempunyai waktu untuk menemui Agung Sedayu. Sambil mengerutkan keningnya ia bertanya, “Apakah kau mempunyai keperluan penting?” “Tidak kakang. Aku hanya sekedar berkunjung. Sudah lama aku tidak mengunjungi kakang untuk memberikan gambaran perkembangan terakhir dari padepokan kecil itu.”

Namun tiba-tiba saja pertanyaan Untara sangat mengejutkan, “Apakah Ki Sumangkar ada dipadepokanmu?” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Baru kemudian ia menjawab, “Tidak kakang. Ki Sumangkar berada di Sangkal Putung.” “Aku tahu. Tetapi apakah ia tidak meninggalkan Sangkal Putung disaat-saat terakhir?” “Aku kurang tahu. Tetapi jika perlu, aku akan pergi ke Sangkal Putung untuk melihat.” “Tidak. Aku tidak memerlukan kepastian itu segera.” “Apakah ada persoalan dengan Ki Sumangkar?” Untara termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Ada seorang petugas sandi yang melihat Sumangkar meninggalkan Sangkal Putung.” “Itu mungkin saja terjadi. Tetapi kenapa dengan Ki Sumangkar?” Untara berpikir sejenak. Lalu, “Aku belum mendapat penjelasan yang terperinci. Tetapi beberapa orang perwira Pajang mulai meragukan kesetiannya kepada Pajang. Selama ini ia memang tidak berbuat apa-apa. Tetapi bahwa ia menetap di Sangkal Putung merupakan pertanyaan besar bagi para perwira di Pajang.” Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. “Agung Sedayu,“ berkata Untara kemudian kau adalah saudara seperguruan Swandaru. Aku tidak pernah berprasangka terhadap Kiai Gringsing. Tetapi bahwa sekarang Sangkal Putung memperkuat diri dari segi kepengawalan, apakah itu ada hubunganya dengan kehadiran Sumangkar di Sangkal Putung? Kau tahu, siapakah Sumangkar itu sebenarnya. Sejenak semula ia telah menentang Pajang. Ia merupakan seorang Senopati yang disegani di Jipang. Apakah demikian mudahnya ia melupakan kekalahan Jipang pada saat itu?” “Kakang,“ jawab Agung Sedayu, “menurut pengenalanku atas Ki Sumangkar, ia memang menerima kekalahan Jipang dengan ikhlas. Ia selalu berselisih paham dengan Tohpati saat Tohpati masih meneruskan perlawanannya melawan prajurit-prajurit Pajang di Sangkal Putung.” “Aku tahu, tetapi apakah hal itu bukan sekedar karena pengamatannya yang matang, bahwa saat itu tidak menguntungkan bagi Tohpati untuk melakukan perlawanan bersenjata terus-menerus.” “Menurut pertimbanganku tidak kakang, bukan sekedar perhitungan sesaat. Bahkan aku tahu benar, dengan Swandarupun jalan pikirannya tidak dapat sesuai. Hanya karena kecemasannya menghadapi kepunahan ilmunya sajalah maka ia telah mengangkat Sekar Mirah sebagai muridnya.” Untara mengerutkan keningnya. Lalu, “Aku tahu bahwa kaulah yang lebih tahu tentang Sekar Mirah daripada aku.

Tetapi cobalah ikut mengamati. Mungkin kau dapat menyampaikannya kepada Kiai Gringsing. Bukan maksudku mengambil kesimpulan bahwa Ki Sumangkar bersalah. Semuanya masih dugaan dan pertimbangan. Dan mudah-mudahan Kiai Gringsing bersedia membantuku,” Agung Sedayu termangu-mangu. Tetapi kemudian ia memberanikan diri, “Kakang, apakah kakang sudah lama mempunyai pertimbangan demikian, atau nampaknya kakang baru saja mendapat laporan bahwa Ki Sumangkar tidak ada di Sangkal Putung ?” “Aku sudah berpikir untuk waktu yang cukup lama. Tetapi keterangan terakhir memang agak menekankan kecurigaanku itu. Seorang perwira menyangka bahwa Ki Sumangkar pergi ke Jati Anom justru menjumpai aku. Tetapi ia tidak pernah datang kemari. Seorang petugas sandi yang lain melaporkan bahwa ia melihat Sumangkar telah bertempur dijalan antara Sangkal Putung dengan Jati Anom.” “Dengan siapa?“ hampir diluar sadarnya Agung Sedayu bertanya menjajagi. “Kurang jelas. Kedua orang lawannya akhirnya melarikan diri. Tetapi sayang petugas sandi itu tidak dapat memberikan laporan yang jelas tentang kedua lawannya. Tetapi menurut pendengaran orangorang dari padukuhan itu, Sumangkar mengatakan bahwa ia akan menemui aku di Jati Anom. Namun sampai sekarang ia belum memberikan laporan tentang berkelahiannya kepadaku.” Agung Sedayu menarik nafas panjang. Ia bukan seorang anak muda yang terlalu tumpul dan malas seperti yang diduga kakaknya. Tetapi dengan segera ia dapat menghubungkan persoalannya. “Ternyata orang-orang Pajang yang berada diantara mereka yang merasa dirinya pewaris Kerajaan Agung Majapahit itu bergerak cepat seperti yang diperhitungkan oleh guru,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. “Dan seperti yang sudah diperhitungkan pula. tentu ada petugas dari antara mereka yang mencari keterangan tentang Sumangkar, dan apakah ia sudah menyampaikan laporan kepada Untara secara terperinci. Untunglah bahwa kakang Untara belum mengetahui persoalannya. Jika prajurit-prajurit Pajang yang ada diantara mereka yang berada dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu mendengar bahwa Untara sudah mendapat laporan tentang kedua orang yang bertempur melawan Sumangkar, maka mungkin sekali mereka akan mengambil sikap lain. Dengan keterangan yang didengarnya dari Untara itu, maka Agung Sedayu mendapat sekedar gambaran tentang orang-orang yang mereka merasa dirinya mewarisi Kerajaan Agung Majapahit itu. Ternyata bahwa mereka mampu, bergerak cepat dan mempunyai tangan-tangan yang kuat didalam tubuh prajurit Pajang sendiri. Karena ternyata nampaknya Agung Sedayu tidak banyak mengetahui tentang Sumangkar, maka pembicaraan Untarapun kemudian berkisar. Ia mencoba untuk menasehati Agung Sedayu, agar mulai memikirkan masa depannya.

“Kau bukan seorang yang pantas mengasingkan diri dipadepokan kecil semacam itu tanpa melakukan sesuatu untuk kepentingan yang lebih besar. Apalagi aku yakin, bahwa Sekar Mirah tidak akan bersedia menerimamu dalam keadaan seperti kau sekarang. Karena itu, mulailah mengemasi diri,“ berkata Untara. Agung Sedayu hanya dapat menundukkan kepalanya. Hal itulah yang sebenarnya yang agak mengurangi gairahnya bertemu dengan kakaknya. Meskipun demikian ia menahan hati. Ia sudah mendapatkan keterangan yang berharga dengan Sumangkar dan orang-orang yang mencarinya. Namun Agung Sedayu tidak mendapat kesempatan untuk bertanya, siapakah perwira-perwira Pajang yang sedang mencari Sumangkar itu, meskipun mereka memakai dalih apapun. Meskipun mereka mengatakan bahwa mereka mendapat laporan dari petugas sandi dari Pajang. Pembicaraan selanjutnya justru menjadi kaku, ketika Untara mulai menyatakan keinginan-keinginannya atas adiknya. Namun isteri Untaralah yang kadang-kadang berhasil membelokkan pembicaraan kepada masalah-masalah yang tidak membuat pembicaraan itu memanjat semakin tegang. “Kau harus sering datang kemari Agung Sedayu,“ minta kakak iparnya. Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, “Sebenarnyalah aku ingin dapat sering datang kemari. Tetapi aku takut, bahwa aku akan mengganggu kakang Untara yang nampaknya selalu sibuk.” “Aku memang sibuk Agung Sedayu. Tetapi jika kau datang, apa salahnya! Kau tentu melihat sesuatu yang menarik bagimu disini. Kegiatan para prajurit. Sukurlah jika penglihatanmu itu segera dapat menggerakkan hatimu. Sudah berulang kali aku katakan, kau pantas menjadi seorang prajurit.” Isteri Untara menarik nafas. Setiap kali pembicaraan Untara kembali lagi kepada persoalan yang kurang menarik bagi Agung Sedayu, sehingga ia perlu mencari jalan untuk mencari bahan pembicaraan yang lain. Demikianlah, sehari penuh Agung Sedayu berada dirumah Untara. Menjelang senja barulah Agung Sedayu minta diri. “Kau tidak bermalam disini?“ bertanya Untara. “Dimalam hari kadang-kadang aku masih harus pergi ke sawah melihat air. Kadang-kadang air tidak mengalir.” Untara tidak menahannya lagi. Dilepaskannya Agung sedayu kembali ke padepokan kecil sampai dimuka regol halamannya. Ketika Agung Sedayu meninggalkannya, ia masih sempat berpesan, “Pikirkan Agung Sedayu. Apakah kau akan menenggelamkan usiamu yang panjang itu untuk tetap dalam keadaanmu sekarang? Mungkin kau menemukan ketenangan dan kedamaian hati. Tetapi hidupmu kurang berarti bagi lingkunganmu dan bagi sesama.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Jawabnya, “Aku akan memikirkannya kakang.” Isteri Untaralah yang menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Dipandanginya saja Agung Sedayu yang kemudian melangkah menyusuri jalan induk padukuhan Jati Anom. Semakin lama semakin jauh. Agung Sedayu memang hanya berjalan kaki. Rasa-rasanya memang menarik sekali berjalan dijalanjalan yang pernah diselusurinya dimasa kanak-kanak. Satu dua orang anak-anak muda sebayanya menegurnya dengan ramah. Bahkan kadang-kadang ia harus berhenti dan berbicara beberapa saat. “Aku ingin tinggal bersamamu dipadepokan kecilmu,“ berkata salah seorang kawannya. Agung Sedayu tersenyum sambil menjawab, “Sebenarnya aku senang sekali mempunyai banyak kawan. Tetapi sayang, tempatnya terlampau sempit.” Kawannya menyahut, “Aku akan tidur dipendapa padepokan.” Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Apakah aku harus membangun padepokan yang lebih besar?” Kawan-kawannya tertawa pula. Demikianlah, lepas dari pintu gerbang Kademangan Jati Anom, Agung Sedayu berjalan semakin cepat. Ternyata kehadirannya di Jati Anom telah mendapatkan hasil yang diperhitungkan. Adalah sangat diharapkan bahwa kakaknya mengatakan sesuatu tentang kedatangan prajurit-prajurit untuk menanyakan Ki Sumangkar. Kedatangan Agung Sedayu dipadepokannya dengan berita yang dibawanya, telah menumbuhkan berbagai pertimbangan. Kiai Gringsing dan Ki Waskita yang mendengar laporannya secara terperinci telah membuat uraian dengan berbagai macam kemungkinan. “Apakah mereka yakin, bahwa Untara tidak akan mendapat laporan tentang peristiwa itu?“ bertanya Kiai Gringsing, “mungkin mereka mempunyai pertimbangan, bahwa pada suatu saat, Sumangkar akan datang dan menyatakan semua persoalannya kepada Untara.” “Mungkin,“ sahut Ki Waskita, “tetapi aku yakin bahwa kini diantara perwira yang ada di sekitar Untara tentu ada yang telah menyatukan diri dengan mereka yang menginginkan bangkitnya lagi para pewaris Kerajaan Agung Majapahit itu.

Mereka akan menjadi sumber berita, apakah Sumangkar pada suatu saat datang kepada Untara atau tidak.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya, “Aku sependapat, tetapi aku masih mempunyai pertimbangan yang lebih jauh, karena persoalannya bagi meraka menyangkut masalah yang besar, maka tentu merekapun tidak akan segan-segan mengambil langkah-langkah yang berat.” Wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Maksud guru, mereka akan melakukan tindakan kekerasan terhadap Ki Sumangkar selagi Ki Sumangkar belum menyampaikan laporan itu kepada kakang Untara?” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia ragu-ragu. Namun kemudian jawabnya, “Hal itu menurut perhitunganku memang mungkin sekali terjadi. Agar mereka menjadi tenang bahwa Ki Sumangkar untuk selamanya tidak akan dapat memberikan laporannya kepada Untara, maka Ki Sumangkar harus dibungkam untuk selama-lamanya.” Agung Sedayu menjadi cemas. Orang-orang yang merasa sangat berkepentinngan itu tentu akan mencari dimana Ki Sumangkar kini sedang berada. “Guru,“ berkata Agung Sedayu dengan ragu-ragu, “bagaimanakah nasib Ki Sumangkar diperjalanan?” “Tetapi aku kira, perjalanannya ke Sangkal Putung masih belum akan mengalami gangguan.” “Maksud guru, hal itu akan mungkin terjadi saat Ki Sumangkar kembali kepadepokan ini?” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada yang dalam ia menjawab, “Memang mungkin terjadi.” Agung Sedayu menjadi bertambah tegang. Ketika ia memandang wajah Ki Waskita untuk mendapatkan perimbangan, maka Ki Waskita mengangguk sambil menjawab, “Mungkin hal itu dapat terjadi Agung Sedayu. Jika perhitungan kami sesuai dengan perhitungan orang-orang yang sedang mempersiapkan sebuah pertemuan dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu, maka Ki Sumangkar benar-benar berada dalam bahaya. Mereka tidak akan dengan suka rela menanggung akibat laporan yang mereka sangka akan segera sampai kepada Ki Untara.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ketegangan dihatinya nampak menjadi semakin nyata. Dengan gelisah anak muda itu bertanya, “Apakah kita akan berbuat sesuatu?” “Sebaiknya kita memang harus berbuat sesuatu,“ berkata Ki Waskita, “Tetapi kita tidak boleh tergesagesa sehingga yang kita lakukan bukannya justru membuat kesulitan-kesulitan baru. Terutama dalam hubungannya dengan sikap kakakmu Untara. Menurut pertimbanganku, Untarapun pada suatu saat tentu akan menjumpai Ki Sumangkar dan bertanya kepadanya, apa yang telah terjadi diperjalanan, sehingga ia terpaksa harus bertempur melawan kedua orang itu.”

“Banyak yang harus kita lakukan,“ desis Agung Sedayu. “Ternyata bahwa kita harus segera mulai. Lebih cepat dari yang kita duga semula,“ desis Kiai Gringsing. “masalah yang terjadi atas Ki Sumangkar memang harus segera diperhitungkan dengan kemungkinankemungkinan mendatang, sementara kita harus menyampaikannya kepada Raden Sutawijaya.” Orang-orang tua itupun termangu-mangu sejenak, sementara Agung Sedayu nampak berusaha untuk melihat segala kemungkinan yang dapat terjadi. Sikap orang-orang yang merasa dirinya pewaris kerajaan Majapahit dan sikap yang mungkin diambil oleh Untara. “Guru,“ tiba-tiba saja ia berkata, “sebaiknya aku akan pergi ke Sangkal Putung. Meskipun mungkin kedatanganku harus berbekal dengan hati yang beku menghadapi sikap-sikap keluarga Ki Demang, namun mungkin ada manfaatnya bagi Ki Sumangkar untuk membuat perhitungan bagi langkahlangkahnya mendatang.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Agaknya tidak hanya kau yang akan pergi Agung Sedayu. Kita bersama-sama akan pergi ke Sangkal Putung dan sekaligus ke Mataram.” “Dan padepokan ini?“ bertanya Agung Sedayu. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Agaknya keadaan serupa itulah yang membuatnya selama ini tidak telaten membangun dan tinggal disebuah padepokan. Rasa-rasanya hidup diperjalanan telah merupakan bagian dari seluruh kehidupannya. Sejenak Kiai Gringsing berpikir. Kemudian jawabnya, “Kita akan berhubungan dengan Ki Widura. Kita akan menitipkan padepokan ini kepadanya dengan sisa isinya termasuk Glagah Putih.” “Kasihan anak itu,“ diluar sadarnya Agung Sedayu berdesis. “Ia akan tinggal bersama ayahnya dan beberapa orang anak-anak muda yang akan membantunya memelihara sawah dan ladang. Memelihara padepokan ini dan barangkali juga menjaganya jika ada seseorang yang akan mengganggu.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. “Tetapi,” berkata Kiai Gringsing, “kau harus juga minta ijin kepada kakakmu.” “Apa yang harus aku katakan kepada kakang Untara, guru?” bertanya Agung Sedayu. “Katakanlah, bahwa kau akan menghubungi Ki Sumangkar untuk mendapatkan penjelasannya tentang berita yang didengar oleh para prajurit di Jati Anom.” “Dan apakah aku juga akan minta ijin bagi guru dan Ki Waskita?”

“Ya. Kau dapat mengatakan, bahwa kemungkinan yang sama akan dapat terjadi diperjalanan. Jika ada rintangan yang harus dipecahkan dengan kekerasan, maka kau memerlukan kawan. Mungkin yang akan dihadapi bukan hanya satu atau dua orang, tetapi mungkin lebih banyak lagi.” “Kakang dapat menawarkan pengawalan prajurit.” Tetapi Kiai Gringsing menjawab, “Katakan, bahwa kau tidak ingin membuat prajurit Pajang semakin sibuk. Padahal persoalannya masih belum jelas.” Agung Sedayu mengangguk-angguk, iapun merasa perlunya bahwa ia harus minta ijin kepada kakaknya agar tidak timbul salah paham, seolah-olah isi padepokan itu pergi begitu saja sekehendak hati sendiri. “Besok aku akan mengunjungi kakang Untara lagi,“ berkata Agung Sedayu. “Hati-hatilah. Mungkin ada perkembangan baru. Yang kita lakukan tidak sepenuhnya diketahui oleh Untara, terutama tentang orang-orang yang ingin mewarisi kerajaan Majapahit itu.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun mereka-reka apa yang akan dikatakannya kepada Untara. Tetapi iapun mulai menyusun kalimat yang akan diucapkannya kepada Glagah Putih bila datang saatnya ia meninggalkannya dipadepokan. “Anak itu tentu ingin ikut serta. Jika saja guru tidak berkeberatan, maka sebuah perjalanan yang pendek seperti ini akan dapat menjadi pengalaman baginya,” berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Namun agaknya ia ragu-ragu untuk menyampaikannya kepada gurunya. Meskipun demikian, hal itu agaknya selalu saja menggeletar didalam dadanya seakan-akan mendesak tanpa tertahankan. Karena itulah, maka akhirnya Agung Sedayu tidak dapat menahan diri lagi. Dengan ragu-ragu akhirnya ia menyampaikan kepada gurunya, “apakah Glagah Putih dapat dibawanya serta.” Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Memang mungkin. Tetapi selain pergi ke Sangkal Putung, kita akan pergi ke Mataram. Bahkan mungkin kita akan sampai ketempat yang belum kita pertimbangkan sekarang.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia-pun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, maka akupun harus pergi ke Banyu Asri.” “Ya. Kau harus singgah dirumah pamanmu jika kau pergi menjumpai kakakmu.” “Baiklah guru. Tetapi aku akan menemui kesulitan untuk menyampaikannya kepada Glagah Putih. Aku tidak akan sampai hati menolak jika ia menyatakan keinginannya untuk ikut serta.” “Baiklah. Biarlah aku saja yang menyampaikannya setelah kau bertemu dengan pamanmu Widura,

apakah ia dapat dalam beberapa hari berada dipadepokan ini.” “Baiklah guru. Jadi kapankah aku harus menjumpai kakang Untara dan paman Widura?” “Secepatnya. Besok pagi-pagi sekali, karena besok kita harus berangkat ke Sangkal Putung. Jika kita terlambat, maka Ki Sumangkar dan mungkin Swandarulah yang lebih dahulu sampai.” Pembicaraan itupun kemudian terputus ketika Glagah Putih melangkah mendekati mereka. Tetapi karena ia tidak melihat kesan apapun juga, maka iapun tidak menaruh curiga sama sekali bahwa ketiga orang itu akan pergi meninggalkan pedepokan untuk beberapa hari lamanya. Dihari berikutnya, pagi-pagi benar Agung Sedayu sudah pergi ke Jati Anom. Kali ini Agung Sedayu tidak sekedar berjalan kaki. Ia ingin kerjanya lekas selesai sehingga ia segera dapat berangkat ke Sangkal Putung sebelum Ki Sumangkar justru sudah berada diperjalanan. Untara terkejut melihat kedatangan Agung Sedayu dipagi pagi benar. Namun setelah ia mendengar keterangan Agung Sedayu, maka iapun menjadi agak lapang , meskipun ia bertanya seperti yang sudah diduga oleh Agung Sedayu, “Kenapa kau tergesa-gesa ingin pergi menemui Ki Sumangkar?” “Aku ingin segera mengetahui kakang, apakah yang sebenarnya telah terjadi atasnya. Dan aku ingin mendengar tentang kedua orang yang telah bertempur melawan Ki Sumangkar itu.” Untara mengangguk-angguk. Ternyata ia tidak berkeberatan, meskipun iapun bertanya pula tentang Glagah Putih. “Ia akan tinggal dipadepokan kakang, bersama paman Widura yang akan aku beritahu tentang kepergianku bersama Kiai Gringsing dan Ki Waskita untuk beberapa hari.” Untara mengangguk-angguk. Ia tidak bertanya kenapa Kiai Gringsing dan Ki Waskita akan ikut pergi pula ke Sangkal Putung, karena Untara menyadari bahwa keterangan tentang Sumangkar yang harus bertempur melawan dua orang berkuda, membuat Agung Sedayu berhati-hati. Mungkin Agung Sedayu sendiri tidak memerlukan kawan. Tetapi gurunya tentu tidak akan melepaskannya pergi sendiri dalam keadaan serupa itu. Lebih baik meninggalkan Glagah Putih dipadepokannya bersama ayahnya daripada membiarkan Agung Sedayu pergi ke Sangkal Putung dalam ketidak tenangan. Dan ternyata Untara tidak menawarkan pengawalan bagi mereka yang akan pergi ke Sangkal Putung karena Agung Sedayu sudah mengatakan bahwa ia akan pergi bersama gurunya dan Ki Waskita. “Tetapi jangan pergi terlalu lama,“ berkata Untara, “yang aku cemaskan bukan perjalananmu, tetapi jika kau sudah berada di Sangkal Putung maka kau akan melupakan padepokan kecilmu. Kau akan terikat lagi dengan Sangkal Putung meskipun kehadiranmu di Sangkal Putung itu telah merendahkan martabatmu. Martabatmu sebagai seorang laki-laki, tetapi juga martabatmu sebagai putera Ki Sadewa.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Jawabnya dengan nada dalam, “Aku tidak akan tinggal lagi di Sangkal Putung kakang. Jika perjalananku nanti ternyata lebih dari dua tiga hari, tentu aku tidak berada di Sangkal Ptrtung.” “Kau akan kemana?” Pertanyaan itu membingungkan Agung Sedayu. Tetapi iapun kemudian menjawab, “Kemana saja. Mungkin melakukan perjalanan melingkar sambil kembali kepadepokan memberi kesenangan tersendiri. Sebulan yang di berikan oleh guru beberapa waktu yang lalu, ternyata jauh dari mencukupi, sehingga menyenangkan sekali untuk menambah pengalaman perantauan itu barang sebulan lagi.” “Tetapi ingat. Dipadepokanmu ada Glagah Putih. Kaulah yang mula-mula menyebabkan anak itu ada disana. Jika ia terlalu lama kau tinggalkan, maka ia akan menjadi kecewa.” Agung Sedayu mengangguk. Sebenarnyalah ia ingin membawa Glagah Putih. Tetapi gurunya tidak sependapat karena perjalanan mereka akan sangat berbahaya. Namun akhirnya Agung Sedayupun dilepas oleh kakak dan kakak iparnya. Untara masih memberikan berbagai pesan, terutama agar ia tidak terikat lagi di Sangkal Putung. Dari rumah kakaknya, Agung Sedayu meneruskan perjalanannya ke Banyu Asri untuk menemui pamannya dan minta diri untuk beberapa saat lamanya, sekaligus menitipkan Glagah Putih kepadanya. Widura mengangguk-angguk. Ia tidak dapat mencegah kepergian Agung Sedayu bersama gurunya. Meskipun juga kepada Widura Agung Sedayu tidak mengatakan seluruh persoalannya, tetapi seperti Untara, didalam hati ia dapat melihat kecemasan Agung Sedayu dan gurunya tentang keselamatan Sumangkar. “Baiklah Agung Sedayu. Aku akan berada dipadepokanmu selama kau pergi. Mungkin aku akan mendapat kesenangan tersendiri untuk tinggal dipadepokan kecil itu,“ jawab Widura, “aku akan datang sebelum kau berangkat.” Agung Sedayupun segera kembali ke padepokannya setelah ternyata Widura sama sekali tidak berkeberatan. Namun demikian ia masih saja berdebar-debar, bagaimana ia atau gurunya akan memberitahukan kepada Glagah Putih yang tentu akan minta untuk ikut serta. “Aku akan mengatakannya, bahwa aku telah mencoba minta ijin kepada paman Widura. Tetapi paman tidak mengijinkan,” katanya kepada diri sendiri. Tetapi ketika kemudian Agung Sedayu sampai dipadepokannya dan menyampaikannya kepada Kiai Gringsing, maka gurunya berkata, “Sebaiknya kita berkata terus terang kepada Glagah Putih, bahwa kita akan menempuh perjalanan yang meskipun pendek, tetapi berbahaya. Karena itu sebaiknya ia tinggal saja dipadepokan.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi nampak keseganannya untuk mengatakannya kepada Glagah Putih. “Akulah yang akan mengatakannya,“ berkata Kiai Gringsing kemudian. Tetapi sebenarnyalah seperti yang diduga oleh Agung Sedayu. Ketika Kiai Gringsing mengatakan kepada Glagah Putih, maka anak muda itu mendesak untuk ikut serta. “Kau akan tinggal bersama ayah disini Glagah Putih. Perjalanan ini adalah perjalanan penjajagan. Jika keadaan sudah pasti, maka dikesempatan lain kau tentu akan ikut serta bersama kami.“ Kiai Gringsing menjelaskan. Nampaknya dimata anak muda itu kekecewaan yang sangat. Bahkan mata itu menjadi basah. Namun akhirnya Glagah Putih menunduk sambil berkata dengan nada yang dalam, “Baiklah Kiai. Aku akan tinggal dipadepokan.” “Bagus Glagah Putih. Bukan saja karena perjalanan ini akan berbahaya. Tetapi jika kita semuanya pergi, maka mungkin sekali sawah kita akan kurang terpelihara.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Dalam pada itu, selain kepada Glagah Putih, juga kepada anakanak muda yang lain, yang tinggal dipadepokan itu, Kiai Gringsing memberikan pesan-pesannya dengan jelas, agar mereka melakukan kewajibannya sebaik-baiknya. Demikianlah pada waktu yang sudah direncanakan, maka Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayupun telah bersiap. Ki Widura ternyata memenuhi kesanggupannya dan telah berada dipadepokan itu pula. “Kami tidak akan lama paman,“ berkata Agung Sedayu kepada pamannya. Tetapi Ki Widura tersenyum. Katanya, “Ya. Menurut rencanamu, kau tidak akan pergi terlalu lama. Tetapi jika keadaan berkembang selama dalam perjalanan, maka itu adalah diluar rencana.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam, sementara Widura meneruskan, “Bahkan kadang-kadang perkembangan keadaan itu menuntut waktu yang jauh lebih panjang dari waktu yang direncanakan.” “Mungkin sekali paman,“ desis Agung Sedayu. Tetapi gurunya menyambung, “Kami akan mencoba membatasi perjalanan kami.” Ki Widura tersenyum. Katanya, “Mudah-mudahan semuanya akan segera kembali dengan selamat.” Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayupun kemudian meninggalkan padepokannya menuju ke Sangkal Putung. Mereka memacu kudanya agak cepat, agar mereka sempat mendahului Ki Sumangkar yang akan membawa Swandaru ke padepokan kecil itu.

“Mudah-mudahan kita akan sampai lebih dahulu di Sangkal Putung, atau jika mereka sudah berangkat, kita dapat menjumpai diperjalanan,“ berkata Kiai Gringsing. Karena itulah maka mereka telah menempuh perjalanan lewat jalan yang paling sering mereka lalui dan yang paling mungkin dilalui oleh Ki Sumangkar dan Swandaru jika benar mereka telah berada diperjalanan, Ditengah-tengah bulak panjang, ketiga ekor kuda itu berpacu. Kiai Gringsing dan Ki Waskita berada didepan, sementara Agung Sedayu berada dipaling belakang. Dalam pada itu, Kiai Gringsing dan Ki Waskita masih sempat berbicara meskipun harus agak keras, “Ki Sumangkar benar-benar berada dalam bahaya menurut perhitunganku,” berkata Kiai Gringsing. Ki Waskita mengangguk-angguk. Jawabnya, “Orang-orang yang merasa terancam olehnya tentu akan berusaha untuk berbuat sesuatu. Bahkan mungkin sampai mengancam jiwanya.” “Itulah yang menurut perhitunganku justru yang paling mungkin,“ sahut Kiai Gringsing, “beberapa orang yang telah menghubungi Untara dan ternyata bahwa Ki Sumangkar belum memberikan laporan kepada Senapati itu, tentu akan berusaha untuk mencegahnya. Dan cara yang paling mudah bagi mereka, adalah membungkam Ki Sumangkar untuk selama-lamanya.” “Tetapi merekapun mengenal, siapakah Ki Sumangkar itu. Jika orang yang kebetulan bertemu diperjalanan itu belum mengenalnya, namun diantara mereka yang berada dilembah antara Gunung Merbabu dan Gunung Merapi atau diantara mereka yang berada di Pajang. tentu ada yang mengenalnya sebagai seorang yang mumpuni dan disegani sejak masa kekuasaan Jipang masih tegak,“ sahut Ki Waskita. “Akibatnya, maka untuk melakukan rencananya, mereka tentu akan mempergunakan kekuatan yang tidak tanggung-tanggung. Mereka tidak mau mengalami kegagalan lagi. Apalagi jika salah seorang dari mereka harus tertangkap,“ desis Kiai Gringsing. Ki Waskita mengangguk-angguk. Sementara Agung Sedayu yang berada dibelakang dapat juga mendengar meskipun tidak begitu jelas. Demikianlah kuda-kuda mereka itu berpacu terus. Mereka memasuki padukuhan-padukuhan kecil dan kemudian menyelusuri jalan-jalan ditengah bulak. Hampir bersamaan. Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayu menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat dua orang berkuda yang berpapasan arah. Apalagi ketika mereka melihat dibelakangnya muncul pula dua orang berkuda yang lain. Mereka tidak memacu kuda mereka cepatcepat. Tetapi nampaknya mereka sedang menikmati sejuknya udara diantara hijaunya tanaman padi di

sawah. Kiai Gringsing yang berada didepan bersama Ki Waskita itupun berpaling. Dengan isyarat ia memberitahukan kepada Agung Sedayu agar berhati-hati. Namun semakin dekat. Kiai Gringsing menjadi semakin ragu-ragu. Ternyata mereka adalah prajuritprajurit Pajang menilik dari tata pakaian mereka. “Apakah mereka peronda yang dikirim oleh Untara?“ desis Kiai Gringsing, “Namun menilik pakaian dan sikap mereka adalah perwira-perwira yang hanya pantas memimpin sekelompok prajurit peronda. Bukan mereka sekelompoklah yang harus meronda.” Ki Waskita mengerutkan keningnya. Seperti Kiai Gringsing ia menjadi curiga. Para perwira itu nampaknya sedang bepergian tanpa seorang pengawalpun. Jika mereka prajurit-prajurit Pajang yang berada di Jati Anom, agaknya mereka baru kembali dari suatu tugas yang penting atau justru dalam perjalanan pribadi mereka. Namun demikian, Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayu tidak berhenti. Bahkan mereka tetap pada kecepatan mereka, seolah-olah mereka tidak melihat sesuatu yang mereka curigai. Tetapi mereka harus menarik kekang kuda mereka, ketika para perwira itu memberi isyarat agar mereka berhenti. “Kita harus berhenti,” desis Kiai Gringsing. Ki Waskita dan Agung Sedayupun menarik kendali kudanya, sehingga beberapa langkah kemudian, ketiga orang berkuda itu telah berhenti. Agung Sedayu yang kemudian tepat berada dibelakang gurunya berbisik, “Aku belum pernah melihat mereka. Jika mereka para perwira bawahan kakang Untara, agaknya salah seorang dari mereka tentu sudah pernah aku lihat, meskipun belum mengenalnya dengan akrab.” “Mungkin mereka orang-orang baru yang menggantikan beberapa orang perwira yang mendapat tugas lain,“ desis Ki Waskita. Agung Sedayu mengangguk-angguk, meskipun ia tidak yakin akan kata-kata Ki Waskita. Sesaat kemudian, maka keempat perwira prajurit Pajang itu telah mendekat dan berhenti beberapa langkah dihadapan mereka. “Ki Sanak,“ sapa salah seorang dari mereka, “siapakah kalian bertiga ?” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Agaknya ia sedang memikirkan, apakah jawab yang paling baik diberikan. Baru sejenak kemudian ia menjawab, “Kami adalah orangorang dari padepokan Karang. Aku adalah

Ki Tanu. Kawanku ini adalah Waskita dan anak muda itu adalah anakku.” Para perwira itu memandang Kiai Gringsing dengan tajamnya. Dengan nada yang datar salah seorang dari keempat perwira itu bertanya, “Ki Sanak akan pergi kemana?” “Kami akan pergi ke Sangkal Putung.” jawab Kiai Gringsing. “Kenapa ke Sangkal Putung? Apakah ada keperluan Ki Sanak di Sangkal Putung?” “Kami akan memesan sebilah keris dan beberapa macam alat-alat pertanian.” “Kenapa ke Sangkal Putung? Bukankah di Jati Anom ada juga dua orang pande besi yang mumpuni?” “Benar Ki Sanak. Tetapi aku sudah terbiasa membuat alat-alat pertanian di Sangkal Putung. Meskipun hasilnya sama, tetapi harganya jauh lebih murah di Sangkal Putung. Apalagi pande besi di Sangkal Putung adalah kemenakanku sendiri.” Perwira itu mengangguk-angguk. Namun yang lain berkata, “Baiklah. Jika kalian terpaksa harus pergi ke Sangkal Putung, kalian harus menunda perjalanan kalian barang sebentar. Saat ini prajurit Pajang sedang mengadakan pemeriksaan dibeberapa padukuhan. Jika mereka sudah selesai Ki Sanak boleh lewat.” Kiai Gringsing termangu mangu. Kemudian iapun bertanya, “Berapa lama kami harus menunggu?” “Tidak lama. Dan bukankah keperluanmu tidak tergesa-tesa. Maksudku, kau hanya akan memesan alatalat dari besi dan baja bagi sawah dan ladangmu. Kau tidak sedang dalam perjalanan menengok keluargamu yang sakit misalnya.” Kiai Gringsing mengangguk. Tetapi ia mencoba mendesak, “Aku tidak akan mengganggu. Mungkin aku akan mencari jalan memintas. Sehingga aku tidak akan menjumpai prajurit-prajuirt yang sedang bertugas.“ “Jangan tergesa-gesa. Mereka tidak akan lama.” “Tetapi, kenapa prajurit Pajang itu mengadakan pemeriksaan dipadukuhan-padukuhan? Apakah ada sesuatu yang salah pada mereka?” “Ki Sanak. Jika kalian belum mengetahui, daerah ini di saat terakhir agaknya sering diganggu oleh kejahatan. Prajurit Pajang mencium keterangan, bahwa penjahat-penjahat itu sebenarnya bukan orang lain, tetapi orang-orang didaerah ini sendiri. Namun demikian untuk menjatuhkan tuduhan itu, diperlukan bukti-bukti yang meyakinkan.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi prajurit Pajang sedang mencari bukti kejahatan itu diantara penduduk padukuhan?” “Ya. Tetapi yang tidak bersalah tidak perlu cemas. Juga kalian bertiga tidak perlu cemas. Jika kawankawanku sudah selesai, mereka akan lewat jalan ini pula dan meneruskan tugas kami ditempat lain yang tidak dapat aku katakan sekarang.” “Ki Sanak,“ Ki Waskita mendesak, “apakah aku tidak dapat memilih jalan lain. Jika Ki Sanak memberitahukan kepada kami, jalan manakah yang saat ini tidak boleh kami lalui, maka kami akan memilih jalan lain.” “Jalan inilah yang tidak boleh dilalui saat ini,“ jawab salah seorang dari mereka dengan jengkel. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Sebaiknya kita kembali saja ke padepokan. Jalan yang akan kami lalui tidak begitu jauh. Jika kami terhenti disini setengah hari, maka yang setengah hari itu sama dengan waktu yang kami perlukan untuk seluruh keperluan kami. Berangkat, memesan dan kembali. Sedangkan kami harus berhenti di ini tanpa berbuat sesuatu.” Salah seorang perwira itu tertawa. Katanya, “Silahkan. Aku kira itu adalah suatu sikap yang bijaksana. Besok kalian dapat pergi ke Sangkal Putung tanpa gangguan apapun juga, sementara ini kalian dapat berbuat apa saja dirumah kalian.” Kiai Gringsing memandang perwira itu sejenak, lalu katanya, “Terima kasih. Lebih baik bagiku untuk tidur saja dirumah daripada menunggu disini sampai setengah hari.” Ki Waskita dan Agung Sedayu yang mendengar pendapat Kiai Gringsing itu termangu-mangu. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa ketika Kiai Gringsing mengajak mereka. “Marilah. Kita kembali saja lebih dahulu. Agaknya sedang ada persoalan disepanjang jalan yang akan kita lalui sekarang ini.” Ki Waskita dan Agung Sedayu tidak menyahut. Merekapun kemudian memutar kudanya dan kembali kearah padepokan. Kiai Gringsing yang kemudian berkuda dipaling depan, seakan-akan tidak menghiraukan kedua kawannya seperjalanan. Bahkan berpalingpun tidak. Dibelakangnya Ki Waskita dan Agung Sedayu mengikutinya tanpa mengerti maksudnya. “Kenapa begitu mudahnya Kiai Gringsing mematuhi perintah orang-orang itu,“ desis Ki Waskita perlahan-lahan. “Aku kurang mengerti,“ bisik Agung Sedayu, “tetapi kadang-kadang guru mengambil sikap yang tidak

segera dapat ditangkap maksudnya, bahkan kelihatan aneh.” Keduanya tidak berbicara lebih jauh. Mereka semakin mendekati Kiai Gringsing yang seakan-akan tidak mengacuhkannya sama sekali. Tetapi ketika jarak mereka sudah cukup jauh dari para perwira yang menghalangi perjalanan mereka, maka Kiai Gringsingpun memperlambat kudanya sambil berkata, “Mencurigakan sekali.” Agung Sedayu yang sudah lama ditekan oleh keheranan, dengan serta merta bertanya, “Tetapi tiba-tiba saja guru mengajak kami kembali.” “Tentu tidak,“ sahut Kiai Gringsing, “aku justru merasa aneh, bahwa kita tidak boleh melanjutkan perjalanan melalui jalan yang biasa kita lalui. Meskipun seandainya ada semacam penilaian terhadap padukuhan-padukuhan disepanjang jalan itu, biasanya jalan tidak ditutup sama sekali.” “Jadi apakah maksud Kiai sebenarnya? “ Ki Waskitapun bertanya. “Kita mencari jalan lain. Jalan-jalan sempit disebelah padukuhan. Mungkin kita akan menemukan sesuatu disepanjang jalan ini.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia bergumam, “Tetapi ada juga baiknya. Jika misalnya Ki Sumangkar dan Swandaru hari ini pergi ke Padepokan, maka iapun akan terhalang dan kembali ke Sangkal Putung. Dengan demikian, kita tidak akan berselisih jalan.” “Jika kita masing-masing melalui jalan itu, maka kita tidak akan berselisih jalan, karena kita tentu akan bertemu diperjalanan. Kecuali jika Swandaru mengambil jalan yang tidak biasa kita lalui yang memintas memotong jalur jalan besar itu. Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi Ki Waskitalah yang bertanya, “Kita akan menempuh jalan yang mana?” Ketiganya termangu-mangu. Agaknya Kiai Gringsing juga masih belum siap untuk memilih jalan yang akan dilaluinya. Ternyata Agung Sedayulah yang kemudian mengusulkan, “Guru, bagaimanakah jika kita melingkari padukuhan sebelah dan kemudian mengikuti jalan kecil diseberang padukuhan itu?” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. “Namun, pada suatu saat kita akan muncul pula dibulak panjang yang barangkali akan dapat dilihat oleh para prajurit, jika disepanjang jalan ini banyak terdapat prajurit-prajurit yang

seperti dikatakan oleh perwira itu sedang melakukan tugasnya.” Kita memang menghadapi suatu peristiwa yang mencurigakan. Jika benar terjadi bahwa para prajurit Pajang sedang memeriksa padukuhan-padukuhan atau rumah-rumah yang dicurigainya disepanjang jalan ini, maka kita tentu akan mengenal sebagian dari mereka, karena yang melaksanakan tugas itu tentu prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom. Bukankah daerah ini merupakan daerah kekuasaan Senopati Untara di Jati Anom?” “Jadi bagaimanakah menurut pendapat Kiai?“ bertanya Ki Waskita. “Baiklah. Kita akan menempuh jalan diseberang padukuhan ini. Jika kita muncul dibulak panjang dibalik padukuhan ini, maka kita akan memacu kuda-kuda kita. Sementara kita lebih baik menghindar daripada harus berbenturan dengan prajurit-prajurit Pajang. Sokurlah jika kita bertemu dengan prajurit atau perwira prajurit Pajang dari Jati Anom yang sudah kita kenal, yang tentunya diantara sekian banyak orang ada satu atau dua orang yang sudah mengetahui siapakah kau. Adik Untara.”

Buku 105 “JIKA tidak? Ternyata keempat orang perwira itu belum kita kenal sama sekali.“ desis Agung Sedayu. “Tentu agak aneh.” “Apakah mungkin karena sesuatu hal Pajang mengirimkan langsung prajurit-prajurit kedaerah ini?,“ bertanya Agung Sedayu. “Menurut pertimbanganku, itu tidak mungkin. Mereka tinggal memerintahkan saja kepada Untara seandainya mereka mendapat suatu keterangan tentang kejahatan atau semacamnya didaerah ini. Sebanyakbanyaknya Pajang akan mengirimkan satu dua orang untuk ikut mengatur tindakan yang akan diambil oleh Untara.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Kiai Gringsing berkata, “Marilah. Kita harus siap berpacu. Lebih baik kita berusaha melepaskan diri dari tangan mereka jika mereka mengejar kita, apabila mereka melihat kita muncul dibulak sebelah.” “Jarak cukup jauh. Kita akan mendapat kesempatan untuk menghilang diujung hutan sebelah,“ desis Ki Waskita. Ketiga orang itupun kemudian membenahi diri. Mereka mungkin harus berpacu sekencang-kencangnya dijalan kecil diseberang padukuhan jika perwira-perwira itu mengejar mereka. Sejenak kemudian merekapun mulai dengan perjalanan cepat mereka. Kuda-kuda mereka yang tegar mulai berpacu melingkari padukuhan kecil yang sepi. Orang-orang dipadukuhan itu melihat mereka dengan heran. Tetapi tidak seorangpun yang bertanya. Bahkan anak-anak kecil berlari-larian menepi ketika tiga ekor kuda berlari kencang melintasi jalanjalan dipinggir padukuhan. Seperti yang mereka rencanakan, maka merekapun berpacu melingkari padukuhan kecil, kemudian melintas melalui jalan disisi yang lain melingkar kembali menuju ke SangkalPutung. “Kita sudah hampir sampai kebulak panjang. Jika keempat orang itu masih ada ditempatnya, mereka akan melihat kita berlari disini,“ desis Kiai Gringsing. “Apaboleh buat,“ berkata Agung Sedayu. Namun dalam pada itu, mereka tiba-tiba saja terkejut ketika mereka mendengar sayup-sayup suara anak panah sendaren yang mengaum diudara mengarah ketempat para perwira yang menghentikan mereka dibalik padukuhan kecil itu. Suara panah sendaren itu benar-benar telah menimbulkan kecurigaan yang sangat dihati Kiai

Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayu. Jika panah sendaren itu diberikan bagi para perwira yang telah mereka jumpai, itu berarti persoalannya menjadi gawat. Prajurit-prajurit yang dikatakan melakukan pemeriksaan itu tentu menemukan sesuatu yang penting dan mungkin berbahaya. Tetapi mungkin juga sendaren itu diterbangkan oleh orangorang yang bersembunyi dibeberapa padukuhan, yang justru sedang dicari oleh para prajurit Pajang itu. Agaknya mereka dengan demikian ingin memberikan isyarat kepada kawan-kawannya, agar mereka menghindar jika masih ada kesempatan. Namun bagaimanapun juga, persoalannya memang sangat menarik untuk diketahui. “Kita akan memacu kuda kita lepas bulak panjang itu. Apapun yang akan terjadi, terpaksa kita lakukan. Persoalannya menjadi sangat menarik bagi kita,“ berkata Kiai Gringsing. Sejenak kemudian mereka telah melecut kuda masing-masing dan berpacu secepat-cepatnya melintasi bulak yang barangkali dapat dilihat oleh keempat prajurit yang menghentikan mereka. Ketika mereka benar-benar muncul dibulak panjang, yang pertama-tama mereka lihat adalah jalan yang semula mereka lewati. Jalan besar yang menuju ke Sangkal Putung. Sekali lagi mereka terkejut. Ternyata keempat perwira itupun sedang berpacu menuju kearah Sangkal Putung, sehingga dengan demikian mereka tidak melihat Kiai Gringsing dan kedua orang kawannya yang berpacu searah, tetapi lewat jalan yang lebih kecil. Karena mereka berada dibulak yang panjang, maka pandangan mereka sama sekali tidak terhalang. Batang padi yang tumbuh subur tidak cukup tiggi untuk menutupi derap kuda yang sedang berpacu dengan melontarkan debu yang keputih-putihan. Yang terjadi itu memang sangat menarik perhatian. Seakan-akan Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayu sedang dihadapkan pada sebuah teka-teki yang sangat menarik, tetapi juga mendebarkan hati. “Diujung bulak jalan ini akan menjadi semakin jauh dari jalan besar itu,“ berkata Kiai Gringsing. “Yang akan dapat memisahkan kita dari peristiwa yang tentu akan sangat menarik,“ sahut Ki Waskita hampir berteriak karena jarak mereka yang agak berjauhan. Kiai Gringsing termangu-mangu, sementara kudanya berlari terus. Ketika mereka melihat jalan sempit melintas, maka Kiai Gringsing tiba-tiba saja memberikan isyarat bahwa ia akan berbelok. “Jalan itu akan sampai kejalan besar itu lagi,“ teriak Agung Sedayu yang ada dipaling belakang.

Tetapi Kiai Gringsing nampaknya tidak menghiraukannya. Ketika kudanya menjadi semakin dekat dengan jalan kecil yang memintas itu, maka iapun segera bersiap-siap untuk membelok, sehingga kecepatan derap kudanya menjadi agak berkurang. Ki Waskita agaknya sependapat dengan Kiai Gringsing. Yang mereka hadapi adalah peristiwa yang menarik. Prajurit-prajurit Pajang itu telah berbuat sesuatu yang tidak seharusnya mereka lakukan menurut pertimbangannya. Karena Kiai Gringsing dan Ki Waskita sudah berbelok pada jalan sempit yang memintas itu, maka Agung Sedayupun tidak dapat berbuat lain kecuali mengikuti mereka. Namun karena jalan terlalu sempat, maka kuda mereka tidak dapat berlari terlalu kencang. Meskipun demikian keinginan mereka untuk melihat apa yang telah terjadi, memaksa mereka sekali-kali melecut kudanya pula. Sesaat kemudin maka ketiga orang itupun telah berada dijalan besar yang semula mereka lalui. Keempat perwira Pajang itu telah jauh dihadapan mereka, sehingga hanya debu yang terlontar dari kaki kuda mereka sajalah yang nampak mengepul tinggi. Dengan kecepatan penuh ketiga ekor kuda itu berlari mengikuti para perwira yang mencurigakan itu. Bulak panjang itu ternyata hanya mereka tempuh dalam waktu yang pendek. Sesaat lagi mereka akan sampai kesebuah padukuhan. Namun padukuhan itupun tidak terlalu besar sehingga kemudian mereka akan muncul lagi dibulak persawahan yang cukup panjang pula, sementara mereka akan menjadi semakin dekat dengan hutan kecil yang membujur disepanjang jalan. Kiai Gringsing yang berada dipaling depan, seakan-akan tidak sabar lagi mengikuti derap kaki kudanya. Seolah-olah ia ingin segera meloncat dengan langkah yang sangat panjang, menyusul keempat perwira yang mendahului mereka. Ketika mereka memasuki padukuhan, maka mereka terpaksa memperlambat kuda mereka, agar tidak menimbulkan persoalan dengan orang-orang padukuhan itu. Jika ada anak-anak sedang berada dipinggir jalan, atau sekelompok orang-orang yang sedang berada dimulut lorong, maka lari kuda yang terlampau kencang akan dapat menimbulkan persoalan tersendiri. Demikian mereka memasuki padukuhan, maka mereka sama sekali tidak melihat kesan-kesan yang menunjukkan, bahwa daerah itu sedang ada dibawah pengawasan sekolompok prajurit yang sedang melakukan pemeriksaan. Mereka melihat kehidupan yang wajar seperti yang terjadi sehari-hari. Bahkan karena itu, maka derap kaki kuda merekalah yang telah menarik perhatian. Apalagi orang-orang itu baru saja melihat empat

orang berpacu pula melintas jalan padukuhan mereka. Tetapi betapa terkejutnya Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayu ketika mereka muncul dimulut lorong, saat mereka meninggalkan padukuhdan itu. Ditengah-tengah bulak mereka melihat, beberapa orang berkuda sedang berkerumun melingkar. “Siapakah yang sedang berkerumun itu?“ diluar sadarnya Agung Sedayu berteriak. Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Tetapi ia memberikan isyarat agar kedua orang yang berada dibelakangnya memperlambat derap kaki kudanya. Ki Waskita yang berada dibelakang Kiai Gringsing segera bergeser kesampingnya, sementara Agung Sedayu mendesak semakin dekat. Ketiga orang itu masih maju mendekati sekelompok orang berkuda yang berkerumun ditengah bulak. Ditengah lingkaran itu terdapat dua orang berkuda pula, yang agaknya sedang dalam kebingungan. Namun ternyata bahwa orang-orang yang sedang berkerumun itu melihat kedatangan Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayu. Dengan serta merta salah seorang dari mereka berkata, ”Ada tiga orang berkuda mendekat.” Keempat orang perwira yang telah menghentikan dan menyuruh Kiai Gringsing kembali saja ke Jati Anom mengerutkan keningnya. Ternyata ia segera dapat mengenal, bahwa ketiga orang itu adalah tiga orang yang telah dihentikannya. “Gila, kenapa mereka menyusul?“ desis salah seorang dari keempat orang perwira itu. “Siapakah mereka ?“ “Aku telah menghentikan mereka dan menyuruh mereka kembali. Tetapi agaknya mereka tidak kembali, tetapi mencari jalan lain. Sekarang mereka harus terlibat dalam persoalan ini.“ “Apaboleh buat,“ sahut yang lain. “Merekapun harus kita bawa bersama kedua orang ini.” Namun orang-orang yang berkerumun itu terkejut ketika salah seorang dari dua orang yang terkurung itu berdesis, ”Kiai Gringsing.” “Yang mana kau sebut,“ salah seorang yang mengepungnya membentak. “Salah seorang dari ketiga orang itu. Yang seorang adalah Ki Waskita sedang anak muda itu adalah Agung Sedayu, adik Untara.” Wajah orang-orang yang mengepung itu menjadi tegang. Sejenak mereka saling berpandangan.

Namun semuanya sudah terlanjur. Karena itu, pemimpin kelompok itupun segera berkata mengatasi kebingungan itu, “Siapapun mereka, kita akan menangkapnya dan membawanya ke Pring Sewu.” Dengan dada yang berdebar-debar mereka melihat Kiai Gringsing semakin lama semakin dekat. Sementara Kiai Gringsing dan kawan-kawannyapun menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat, Ki Sumangkar dan Swandaru telah berada didalam kepungan para perwira itu. Namun dalam pada itu. Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayu yang cukup cerdas itupun segera dapat menilai keadaan. Agaknya yang mereka cemaskan itu akan terjadi. Seperti yang dikatakan Untara, memang ada beberapa orang yang sedang mencari Sumangkar. Dengan demikian maka Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayu justru mempercepat kudanya mendekati lingkaran orang yang berpakaian seperti sekelompok prajurit Pajang. “Gila,“ perwira yang telah menghentikan Kiai Gringsing itulah yang pertama-tama berkata, “kau berusaha menipu kami. Tetapi kau telah terjebak dan nasibmu berada ditangan kami.” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ia melihat Ki Sumangkar dan Swandaru yang mengangguk kepadanya. “Siapakah mereka Ki Sumangkar?“ bertanya Kiai Gringsing tanpa menjawab kata-kata perwira itu. Ki Sumangkar tersenyum sambil menjawab, “Aku belum mengenal mereka Kiai. Mungkin aku sudah pernah melihat satu dua orang yang sebaya dengan umurku diantara mereka, tetapi aku tidak mengenalnya lagi, apakah mereka benar-benar perwira-perwira dari keprajuritan di Pajang.” “Kami prajurit-prajurit Pajang,“ teriak salah seorang dari para perwira itu. “Setiap orang dapat mengaku dirinya prajurit. Tetapi sifat seorang prajuirtlah yang menentukan apakah benar kalian seorang prajurit atau bukan. Pakaian dan kelengkapan yang ada pada kalian sama sekali tidak berarti apa-apa, selain ciri-ciri lahiriah. Tetapi yang penting adalah watak, sikap dan perbuatan kalian.“ berkata Sumangkar. “Persetan. Kau menghina kami,“ geram salah seorang dari mereka. “Dengarlah,“ berkata Sumangkar lebih lanjut,“ aku tidak percaya bahwa kalian adalah prajuritprajurit Pajang. Kalian sama sekali tidak bersikap seperti seorang prajurit. Apalagi seorang perwira. Karena itu justru aku ingin bertanya, darimanakah kalian mendapatkan pakaian dan kelengkapan seorang perwira?” “Gila. Aku adalah perwira prajurit Pajang.”

“Mungkin kau memang seorang perwira seperti kawan-kawanmu yang lain. Tetapi jiwamu dan tingkah lakumu sama sekali bukan jiwa dan tingkah laku seorang perwira.” “Cukup,“ teriak yang lain, “kau telah berada didalam kekuasaan kami. Jangan banyak bicara. Ikutlah kami kemana saja kami perintahkan.” Ki Sumangkar termangu-mangu. Tetapi Kiai Gringsing telah mendahului, “Baiklah Ki Sanak. Kami tidak dapat mengelak. Jika saja kalian tidak berjumlah sepuluh orang, mungkin kami akan menentukan sikap lain.” “Jangan ribut. Ikutlah kami. Jangan mencoba membuat persoalan yang akan dapat memperpendek umur kalian.” “Tidak Ki Sanak. Kami tidak akan berbuat apa-apa.“ Kiai Gringsing menjawab. Kemudian iapun bertanya, “Apakah kami akan kalian bawa menghadap Ki Untara?” “Tidak.” “O, jadi kami harus pergi ke Pajang?” Perwira itu saling berpandangan sejenak. Namun salah seorang dari mereka berkata, “Jangan banyak cakap. Ikutlah kami.” Swandaru memandang Kiai Gringsing dengan tajamnya. Tetapi ia heran melihat wajah Ki Sumangkar yang kemudian justru menjadi bening. “Ikut sajalah,” desis Ki Sumangkar. Swandaru termangu-mangu. Tetapi ketika ia melihat Ki Waskita dan Agung Sedayu sama sekali tidak memberikan tanggapan apapun, maka iapun berdiam diri meskipun dengan penuh kebimbangan. “Cepatlah,“ geram pemimpin orang-orang yang menyebut dirinya prajurit Pajang itu, “kita akan menyusur jalan ini, kemudian berbelok kekanan.” “Kekanan,“ bertanya Kiai Gringsing, “apakah kita tidak akan ke Pajang?” Prajurit-prajurit itu termangu-mangu. Tetapi yang agaknya pemimpin mereka menjawab, “Kemanapun kalian akan kami bawa, kalian tidak akan dapat ingkar. Bahkan apapun yang akan kami lakukan atas kalian.” Kiai Gringsing tidak bertanya lagi. Sejenak kemudian, maka merekapun segera diperintahkan untuk mengikuti jalan yang dikehendaki oleh prajurit-prajurit itu. Seperti yang mereka katakan, mereka sama sekali tidak menuju ke Jati Anom dan tidak pula menuju ke Pajang.

Untuk tidak terlalu menarik perhatian, maka prajurit-prajurit Pajang itu telah membagi diri dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil. Mereka membagi diri dan orang-orang yang dibawanya menjadi tiga kelompok yang terpisah beberapa puluh langkah. Kiai Gringsing menjadi agak berdebar-debar. Untunglah jarak mereka tidak terlalu jauh, sehingga jika perlu teriakannya akan didengar oleh kelompok yang terpisah itu. Ternyata mereka memintas lewat jalan sempit yang akan membelah daerah yang berhutan meskipun tidak terlalu lebat, seperti hutan yang terdapat disebelah Kademangan Sangkal Putung. Namun kemudian mereka akan menyusuri daerah yang sepi, daerah padang ilalang yang belum digarap. Setelah menyusup beberapa daerah perdu yang lebat, mereka akan sampai ke ujung Alas Tambak Baya yang jarang disentuh kaki manusia, yang terpisah oleh lebatnya hutan yang buas dan liar dari jalan yang biasa dilalui menuju ke Mataram. Dengan demikian, maka Kiai Gringsing dan kawan-kawannya segera mengetahui, apakah yang akan dilakukan oleh orang-orang yang menyebut dirinya prajurit-prajurit Pajang itu. Agaknya seperti yang diperhitungkan oleh Kiai Gringsing, mereka akan menyingkirkan Sumangkar yang telah mendengar beberapa bagian dari rencana mereka dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Tetapi Kiai Gringsing sama sekali tidak berbuat sesuatu. Ia mengikuti saja dengan patuh, seakan-akan ia sama sekali tidak menyadari apa yang bakal terjadi. Di tengah-tengah padang ilalang, diseberang hutan yang tidak terlalu pepat, Kiai Gringsing melihat pemimpin kelompok itu mulai berbicara dengan sungguh-sungguh dengan beberapa orang kepercayaannya. Tetapi ternyata mereka belum menentukan sikap apapun juga. Baru ketika mereka sampai didaerah perdu yang lebat, maka Kiai Gringsing merasa perlu untuk berhati-hati. Diantara pohon-pohon perdu yang lebat, maka iring-iringan itupun kemudian berhenti. Pemimpin kelompok itupun kemudian memanggil orang-orangnya sambil berkata, ”Kita akan berbicara.” Sejenak kemudian orang-orangnyapun telah berkumpul sambil mengawasi Kiai Gringsing dan kawankawannya. “Berkumpullah diantara kami,” berkata pemimpin kelompok itu. Kiai Gringsing, Ki Waskita, Ki Sumangkar, Agung Sedayu dan Swandarupun segera berkumpul dikelilingi oleh sepuluh orang prajurit Pajang yang mengawalnya. “Aku tidak mengerti,“ berkata Kiai Gringsing, “apakah yang akan kalian lakukan atas kami. Bahwa kami menjadi curiga itu sudah sewajarnya. Bahkan kini menjadi semakin sangsi bahwa kalian benarbenar prajurit Pajang.” “Siapapun kami, itu bukan soal kalian.” “Dan kalian belum menjawab pertanyaan Ki Sumangkar, darimanakah kalian mendapatkan pakaian

prajurit itu.” “Kami memang prajurit Pajang,“ geram seorang yang berpakaian perwira. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin kau memang seorang perwira yang gagah dan apalagi masih muda. Tetapi keperwiraanmu hanyalah sekedar karena kau mengenakan pakaian seorang perwira. Tidak menyusup sampai ketulang sungsummu.” “Diam,“ bentak perwira muda itu. Lalu katanya kepada pemimpin kelompoknya, “kita akan segera mulai.” Pemimpin kelompok itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Kita akan segera mulai.” “Apakah yang akan kalian mulai?“ tiba-tiba saja Swandaru bertanya dengan curiga. “Dengarlah,“ berkata pemimpin kelompok itu, “yang memaksa kami melakukan semuanya ini adalah karena tingkah Ki Sumangkar.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tepat. Aku sudah mendengar tentang hal itu dari Ki Untara.” “Untara,“ pemimpin kelompok itu menjadi heran berbareng dengan Ki Sumangkar sendiri. “Katakanlah Agung Sedayu.“ minta Kiai Gringsing. Agung Sedayupun kemudian mengatakan, apakah yang disebut oleh kakaknya petugas-petugas sandi dari Pajang yang mengetahui persoalan yang terjadi dibulak antara Sangkal Putung dan Jati Anom. “Menurut pertimbangan kami, maka sebagian dari kalian memang benar prajurit-prajurit Pajang. Tetapi prajurit-prajurit yang sudah mulai dengan rencana pengkhianatan,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “dan menurut perhitungan kami pula, kalian tentu akan mencari dan membungkam Ki Sumangkar sebelum Ki Sumangkar benar-benar menghadap kakang Untara, karena laporan Ki Sumangkar akan mempersempit daerah gerak kalian. Apalagi jika kakang Untara memutuskan untuk ikut serta memasuki lembah itu dengan prajuritnya.” “Tutup mulutmu,“ teriak seorang perwira muda. Tetapi pemimpin kelompok itu berkata, “Teruskan sampai tuntas Aku ingin mendengar pendapatmu sebelum kami menentukan nasibmu.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Lalu, “Itulah sebabnya kami tergesa-gesa pergi ke Sangkal Putung. Maksud kami, kami harus mencegah kepergian Ki Sumangkar, karena disepanjang jalan, keadaan serupa itu mungkin sekali terjadi.”

“Dan itu sudah terjadi,“ desis pemimpin kelompok itu, “kami sudah menunggu hampir dua hari dua malam. Kami berusaha untuk dapat menjumpai Ki Sumangkar seorang diri atau saat-saat terpisah dari pengawal Sangkal Putung. Baru hari ini kami menemukan kesempatan itu. Sayang bahwa kalian telah melibatkan diri sengaja atau tidak.” Agung Sedayu mengangguk angguk. Dipandanginya Ki Sumangkar sejenak. Lalu katanya kemudian, “Dan hari ini maksud kalian itu akan kalian lakukan.” “Ya. Kami akan meyakinkan diri bahwa Untara tidak akan mendengar laporan dari Ki Sumangkar. Kami memang memperhitungkan bahwa Ki Sumangkar akan pergi menghadap Untara di Jati Anom. Itulah sebabnya kami diperintahkan untuk menunggunya sampai kapanpun. Ternyata kami tidak terlalu lama berada di hutan-hutan disekitar Sangkal Putung. Petugas rahasia kami telah melihat Ki Sumangkar meninggalkan Sangkal Putung hari ini.” “Sekarang kita sudah bertemu,“ berkata Ki Sumangkar, “memang agaknya agak berbeda dengan perhitungan kalian. Dengan sepuluh orang kalian akan dengan mudah membunuhku. Tetapi sekarang aku tidak sendiri. Disini ada Kiai Gringsing dan dua muridnya. Selebihnya ada pula Ki Waskita.” “Aku tahu bahwa dalam keadaan ini kita harus berbuat lebih banyak daripada yang kita rencanakan. Tetapi kalian berlima jangan terlampau sombong dan merasa bahwa kalian dapat melawan kami bersepuluh,“ berkata pemimpin kelompok itu, “tetapi maksud kami bukanlah untuk membunuh Ki Sumangkar. Tetapi semata-mata berbuat sesuatu agar Ki Sumangkar tidak sempat menyampaikan laporan kepada Ki Untara.” “Memang ada beberapa cara. Salah satu diantaranya adalah membunuhnya,“ berkata Kiai Gringsing, “tetapi cara yang manakah yang akan kau lakukan?” “Aku akan menawarkan cara yang terbaik bagi kalian. Kami akan membawa kalian menghadap pemimpin kami, Ialah yang akan menentukan apakah yang akan kami lakukan atas kalian. Tetapi jika kalian bersedia berada diantara kami, maka nyawa kalian tentu akan diselamatkan.” “Gila,“ Swandarulah yang tidak sabar dengan pembicaraan itu, “kau sangka kami tidak mempunyai kewajiban dan tanggung jawab di tempat kami masing-masing.” Pemimpin kelompok itu menjawab dengan tenang, “Tentu kami tidak akan mempedulikan apakah kau mempunyai kewajiban atau tidak. Yang penting bagi kami adalah pengamanan semua rencana kami.” “Akupun tidak peduli dengan rencanamu. Jika saja guru tidak memberikan isyarat kepadaku, aku tidak akan mau kalian bawa ketempat ini.” Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Aku salah. Aku kira kita akan dibawa kesuatu tempat yang dapat kita anggap penting. Tempat-tempat semacam itu akan memberikan banyak petunjuk kepada kita. Tetapi ternyata bahwa kita hanya dibawa ketengah hutan seperti ini.”

“Jangan banyak berbicara lagi Ki Sanak,” suara pemimpin kelompok itu menjadi semakin keras, “kami tidak mempunyai banyak waktu. Kami memang ingin menawarkan beberapa cara penyelesaian. Kalian boleh memilih.” “Aku akan kembali ke Kademangan Sangkal Putung,“ geram Swandaru. “Itu tidak mungkin,“ jawab pemimpin kelompok orang-orang yang mengaku sebagai prajurit Pajang itu. “Kalian sudah terlanjur terlibat dalam persoalan yang mungkin tidak kalian kehendaki. Tetapi kalian tidak dapat mengelak. Nasib kalian telah membawa kalian kemari.” “Aku tidak peduli,” Swandarupun berteriak pula. “Ki Sanak,“ pemimpin kelompok itu masih mencoba untuk menahan diri, “kalian sudah berada ditangan kami. Jika kami membawa kalian kemari, semata-mata untuk menghindari ketegangan yang akan mencengkam orang-orang dipadukuhan disekitar tempat peristiwa ini terjadi. Tetapi disini tidak seorangpun yang akan melihat apa yang terjadi. Juga seandainya kami membunuh kalian berlima dan melemparkan mayat kalian begitu saja.” “Mentertawakan sekali,“ Swandaru menjawab dengan nada tinggi, “kalian tentu sudah pernah mendengar nama Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan Ki Waskita. Apakah yang akan kalian lakukan?” “Benar. Tetapi kamipun sudah bersiap menghadapinya. Kami bukannya prajurit Pajang yang baru kemarin mengalami pendadaran. Tetapi kami sudah mendapat kepercayaan dan melangkahi jenjang keperwiraan. Selebihnya diantara kami terdapat Kiai Jambu Sirik dari pesisir Lor dan Kiai Senadarma dari kaki Gunung Wilis.” Ki Waskita yang tidak banyak berbicara itu tiba-tiba menyahut, “Rencana kalian benar-benar merupakan rencana yang besar. Aku kira kalian telah berhasil menghimpun kekuatan Pajang dan Mataram di Kota Rajanya masing-masing. Kalian berhasil mengumpulkan nama orang-orang sakti. Tetapi kalian ternyata tidak mempunyai sikap dan langkah yang dapat menguntungkan rencana kalian dalam keseluruhan. Coba bayangkan, jika saja orang-orangmu tidak mati satu persatu, maka kumpulan orang-orang sakti itu akan mengerikan sekali. Tetapi satu-satu orang-orang kalian mati. Dipinggir Kali Praga, di Jati Anom saat Untara kawin, di bekas padepokan Tambak Wedi, di Sangkal Putung dan diberbagai tempat yang lain.” “Kau benar Ki Sanak,“ seorang yang berkumis putih menyahut, “aku pun merasakan kekeliruan itu. Tetapi itu bukan berarti bahwa kami akan mengurungkan niat kami membunuh Ki Sumangkar. Kami sadar, Ki Sumangkar adalah adik seperguruan Patih Mantahun dari Jipang. Dan bahkan sekarang kami sadar, bahwa kami berhadapan dengan orang bercambuk dengan murid-muridnya. Dan satu lagi Ki Sanak yang belum kami kenal namun yang nampaknya juga memiliki kemampuan raksasa.”

“Baiklah,“ Swandaru berteriak, “mari kita saling berbunuhan. Aku tidak peduli siapakah kalian, darimana asalnya dan hubungan kalian dengan orang-orang gila yang bermimpi untuk menemukan warisan Majapahit itu. Sekarang, marilah kita mulai. Apakah kita akan bertempur diatas punggung kuda atau kita akan turun dari kuda masing-masing.” “Kau anak muda yang berani,“ jawab orang berkumis putih, “akulah yang bernama Kiai Jambu Sirik. Aku juga mempunyai seorang murid seperti kau ini.” “Cukup,“ Swandaru membentak, “kita akan ber tempur sekarang.” Pemimpin kelompok orang-orang yang berpakaian prajurit itu menjawab, “kita akan bertempur diatas kaki kita masing-masung.” Swandaru ternyata adalah orang yang paling tidak sabar. Iapun langsung meloncat turun dari kudanya. Namun ia masih sempat menambatkan kudanya pada sebatang pohon perdu. Yang lainpun segera berloncatan turun pula dan seperti Swandaru merekapun menambatkan kuda masing-masing. “Yang telah terjadi akan terulang pula kali ini,“ geram Swandaru, “kalian akan kehilangan beberapa orang terbaik. Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma adalah nama yang hanya sempat disebut beberapa kali dalam pergolakan yang akan terjadi kemudian.” Orang yang bernama Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma itupun mengerutkan keningnya. Swandaru bagi mereka adalah anak muda yang aneh. Nampaknya ia terlalu yakin akan kemampuannya, sehingga tanpa ragu-ragu sedikitpun ia akan menghadapi jumlah yang dua kali lipat. “Anak muda,“ berkata Kiai Jambu Sirik, “kau memang anak muda yang luar biasa. Ternyata kau mempunyai beberapa kelebihan dari muridku yang aku katakan itu meskipun belum tentu bahwa kemampuanmu dapat mengimbanginya.” “Aku akan melawan gurumu,“ potong Swandaru. Kiai Gringsing menarik nafas. Sekilas dilihatnya Agung Sedayu yang hanya berdiri diam meskipun ia tidak menjadi lengah karenanya. “Aku masih menawarkan sekali lagi,“ berkata pemimpin kelompok itu, ”ikutlah kami.” “Menarik sekali. Tetapi sayang sekali bahwa kalian bukanah prajurit-prajurit Pajang yang sebenarnya, yang memegang kekuasaan untuk melakukan tugas demikian.” “Aku benar-benar seorang perwira prajurit Pajang,“ jawab pemimpinnya.

“Tetapi kau tidak sedang bertugas dalam jabatanmu,“ potong Swandaru, “justru kau sedang merusak sendi-sendi ketertiban keprajuritan Pajang. Dan sudah tentu bahwa Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma itu bukannya prajurit-prajurit Pajang pula apapun jabatannya.” Pemimpin kelompok orang-orang yang menyebut dirinya prajurit Pajang itupun menjadi tegang. Katanya, “Apapun yang kau katakan, katakanlah. Kesempatan terakhir yang aku berikan telah kalian sia-siakan. Sekarang bersiaplah untuk mati. Kami sepuluh orang, akan bertempur melawan kalian berlima. Siapapun kalian, maka kami bersepuluh tentu akan segera menyelesaikan tugas kami. Kami terpaksa membunuh adik Untara pula, karena ia berada diantara kalian dan mengetahui apa yang sudah terjadi dengan Sumangkar.” “Kalian akan melakukannya berulang kali,“ potong Ki Waskita tiba-tiba, “untuk membungkam orang yang melihat kejahatanmu, maka kau harus melakukan kejahatan itu lagi. Dan itu akan berlaku terus-menerus sehingga kejahatan yang kau lakukan tidak akan berkeputusan.” “Itu sudah kami kehendaki,“ jawab pemimpin kelompok itu sambil memberikan isyarat kepada kawan-kawannya. Sejenak kemudian, maka kelima orang itupun telah berada didalam kepungan sepuluh orang yang menyebut diri mereka prajurit-prajurit Pajang itu. Wajah Swandaru yang tegang, nampak semakin membara oleh kemarahan yang bergejolak didadanya. Namun disamping kemarahan yang membakar jantung itu, sepercik kegembiraan nampak pula disorot mata anak muda itu. Karena dengan demikian ia akan sempat menjajagi kemampuannya dalam perkelahian yang sebenarnya. Bukan sekedar permainan dengan Raden Sutawijaya. Swandaru yakin bahwa tidak semua dari kesepuluh orang itu memiliki kemampuan yang setingkat. Karena itu, maka ia akan mendapat kesempatan untuk menilai ditinggkat manakah kemampuannya itu dibandingkan dengan orang-orang yang dianggap sudah mendapat kepercayaan dari lingkungan orangorang berilmu. Dalam pada itu, agaknya Kiai Gringsing sependapat dengan orang-orang tua yang ada dipihaknya meskipun mereka tidak berjanji, bahwa mereka akan bertempur dalam satu lingkaran, meskipun dalam jarak yang tidak saling berdekatan. Dengan demikian maka mereka akan dapat saling membantu apabila tidak ada keseimbangan kekuatan diantara mereka dengan lawan-lawan mereka yang berjumlah dua kali lipat. Dengan isyarat Kiai Gringsing menempatkan kedua muridnya pada kedua sisinya. Agung Sedayu disebelah kiri dan Swandaru disebelah kanan. Kemudian Ki Sumangkar dan Ki Waskita mengisi bagian lingkaran yang lain, beradu punggung dengan Kiai Gringsing. Lawan-lawannyapun kemudian mengambil tempat pula, seolah-olah merekapun telah mangatur diri.

Menurut pendapat mereka, Ki Sumangkar adalah orang yang paling berbahaya karena ia adalah saudara seperguruan Patih Mentahun. Kemudian orang bercambuk itupun telah mereka dengar pula namanya, bahwa ia memiliki kemampuan yang setingkat dengan Sumangkar. Selebihnya, Ki Waskita masih belum banyak mereka ketahui dan kedua anak muda murid Kiai Gringsing itupun masih mereka anggap anak-anak yang sedang tumbuh. Agaknya orang-orang yang telah berhadapan dalam arena perkelahian itu tidak mau membuang waktu lagi. Merekapun langsung telah menggenggam senjata masing-masing dan siap untuk dipergunakan. Tetapi ternyata semua orang yang sedang berhadapan itu terkejut, ketika tanpa diduga-duga Swandaru telah mulai dengan serangannya yang dasyat. Cambuknya tiba-tiba saja meledak bersamaan dengan sebuah loncatan maju dengan secepatnya. Terdengar seseorang mengeluh. Balum lagi pertempuran itu mulai, Swandaru telah berhasil melukai seorang lawannya meskipun tidak begitu parah, karena ia sempat mengelak. Namun betis kakinya bagaikan disentuh oleh pedang yang sangat tajam, meskipun hanya sentuhan kecil. “Anak gila,” orang itu berteriak. Namun pemimpinnya berkata, “Obatilah dahulu. Luka kecil itu dapat berbahaya bagimu. Sementara itu, kekuatan kami agaknya tidak akan berkurang.” Swandaru yang merasa berhasil, telah mulai lagi dengan ledakkan cambuknya. Tetapi ternyata semua lawannya telah bersiap-siap menghadapinya, sehingga karena itu, serangannya yang berikut sama sekali tidak mengenai lawannya. Kemarahan yang semakin panas telah membakar dada Swandaru. Kegagalannya telah mendorongnya untuk mencoba lagi, melontarkan serangan kepada lawan-lawannya yang terdekat. Namun dalam pada itu, langkahnya tertegun karena ia melihat lawannya mulai mengatur diri dalam lingkaran yang rapi. Mereka tidak lagi bergerak dengan liar tanpa hubungan yang satu dengan yang lain. Namun justru karena itulah, maka Swandaru tidak dapat lagi sekedar mencari kesempatan pada kelengahan lawannya. Ia harus benar-benar bertempur membenturkan ilmu kanuragan. Kecepatan bergerak dan ketangkas an diperlukan menghadapi lawannya yang jumlahnya berlipat itu. Apalagi diantara lawan-lawannya terdapat orang-orang yang bernama Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma. Sejenak kemudian perkelahian itupun telah menjadi semakin dahsyat. Ternyata Kiai Jambu Sirik dan

Kiai Senadarma adalah orang-orang yang benar-benar pantas untuk mendapat tugas membinasakan Sumangkar. Mereka ternyata memang memiliki kemampuan yang tinggi. Jika saja Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayu tidak tergesa-gesa berusaha menjumpai Sumangkar, maka akibatnya tentu akan sangat parah bagi Sumangkar dan Swandaru. “Untunglah,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya, “jika kami sekedar menunggu Ki Sumangkar dan Swandaru di padepokan kecil itu, maka kami untuk selamanya tidak akan dapat bertemu lagi dengan mereka.” Namun dalam pada itu, tekanan lawan-lawannya mulai terasa. Itulah sebabnya, maka Agung Sedayupun harus bersiap-siap mengerahkan ilmunya untuk menghadapi lawannya. Ternyata Agung Sedayu yang telah mesu raga didalam goa yang terpisah dari kehidupan itu telah membentuknya menjadi seseorang yang memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari masa sebelumnya. Adalah mengejutkan sekali, bahwa pada pertempuran yang sengit itu, Agung Sedayu justru dapat menilai ilmunya dengan saksama. Serangan-serangannya yang lepas dari ujung senjatanya, meskipun bagi Agung Sedayu sendiri masih merupakan penjajagan, sehingga belum dilontarkannya dengan segenap tenaga dan ilmu yang telah dikuasainya, namun Agung Sedayu sendiri merasa, betapa kemajuan yang telah dicapainya itu benar-benar suatu kurnia yang tiada taranya. “Aku telah menerima kemurahan-Nya. Karena itu, aku harus mempergunakan dijalan-Nya.” ucapan syukur itu telah melonjak didalam hati Agung Sedayu. Sementara itu pertempuran yang sengit itu menjadi semakin sengit. Namun sementara itu, selagi mereka sedang berjuang dengan mempertaruhkan nyawanya. Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan Ki Waskita seakan-akan telah mempergunakan waktunya barang sekejap untuk menilik ilmu Agung Sedayu dan Swandaru yang telah meningkat itu. Namun dalam pada itu, Swandaru dan Agung Sedayu sendiri, dengan diam-diam telah saling menjajagi, sampai dimanakah kemajuan yang telah mereka capai masing-masing. Agung Sedayu yang lebih mendalami ilmunya dari segi batinnya, tidak segera menampakkan penguasaan kemajuannya pada segi tata gerak dan lontaran-lontaran serangannya. Namun perlahanlahan tetapi pasti, bahwa ujung cambuknya semakin lama seakan-akan menjadi semakin berat dan tajam, sehingga setiap sentuhan akan mempunyai akibat yang sangat pahit bagi lawannya. Agak berbedar dengan Agung Sedayu, kekuatan Swandaru yang sudah jauh meningkat itupun segera nampak pada pertempuran yang semakin sengit itu. Ledakan-ledakan cambuknya bagaikan membakar udara diseputarnya. Ujung cambuknya yang telah dilingkari dengan beberapa karah dan ditambahnya dengan kepingan-kepingan baja, menjadikan senjatandya itu semakin berbahaya. Kemajuan kedua anak muda itu tidak terlepas dari pengamatan Kiai Gringsing. Ia bangga atas kemajuan yang telah dicapai oleh murid-muridnya. Tetapi iapun cemas menghadapi perkembangan nalar, cita-cita dan harapan masa depan Swandaru yang mulai melonjak-lonjak.

Tetapi Kiai Gringsing tidak sempat mempergunakan waktunya terlalu lama untuk menilai muridmuridnya saja. Serangan lawan-lawannya ternyata semakin lama menjadi semakin berat. Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma ternyata memusatkan serangan mereka kepada Ki Sumangkar. Agaknya keduanyalah yang telah mendapat tugas untuk membinasakan orang tua bekas seorang pemimpin yang disegani dari Jipang itu. Tetapi Sumangkar yang sadar akan bahaya yang mulai mendekatinya itu telah mengerahkan kemampuannya pula. Meskipun ia tidak lagi mempergunakan senjata perguruannya yang telah diberikan kepada Sekar Mirah, namun trisulanya telah menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Meskipun demikian, terasa, tekanan kedua orang itu semakin lama menjadi semakin berat bagi Sumangkar, sehingga iapun harus sudah memeras keringat untuk mempertahankan dirinya. Hanya karena Ki Waskita berada disisinya, maka kadang-kadang Ki Waskitapun sempat mengganggu serangan kedua orang yang memiliki ilmu yang cukup tinggi itu. Namun sementara itu, karena puncak kekuatan lawannya yang sepuluh orang dipusatkan kepada Ki Sumangkar, maka Kiai Gringsing dan kedua muridnya, kadang-kadang masih sempat mendesak lawannya dan bahkan sekali-kali mereka dapat memecahkan kepungan mereka. Namun Kiai Gringsing dan kedua muridnya segera menempatkan diri kembali kedalam lingkaran pertahanan mereka. Kesepuluh orang yang bertempur melawan lima orang itu mulai berkeringat. Bukan saja karena mereka telah mengerahkan tenaga, namun mereka mulai gelisah, bahwa mereka seakan-akan sama sekali tidak mampu menggoyahkan pertahanan lawannya. Bahkan kedua anak-anak muda itupun rasarasanya mampu menempatkan diri dalam pertempuran dilingkungan orang berilmu itu. “Mereka telah memiliki bekal yang cukup tinggi,“ desis pemimpin kelompok itu didalam hati. Namun demikian, ia sendiri justru ingin meyakinkan, apakah anak muda yang bernama Agung Sedayu dan kebetulan adalah adik Untara itu dapat bertahan lebih lama lagi. Karena itulah, maka pemimpin kelompok orang-orang yang menyebut dirinya prajurit Pajang itu memusatkan serangannya kepada Agung Sedayu yang mulai menyusun segenap kekuatannya menghadapi lawan yang sangat berat karena jumlahnya yang lipat itu. Dalam pada itu, Swandaru yang memiliki kekuatan raksasa itupun segera mengerahkan kemampuannya. Ia tidak mau membiarkan dirinya dan kawan-kawannya sekedar bertahan dari serangan-serangan yang semakin menekan. Karena itulah, maka suara cambuknyapun kemudian meledak semakin keras. Beberapa langkah ia mengambil jarak dari gurunya, agar ia dapat leluasa mempermainkan juntai cambuknya yang berkarah dan diseling oleh kepingankepingan baja yang melingkar bagaikan cincin -cincin yang tajam.

Lawan-lawannya menjadi heran melihat kecepatan dan kekuatannya. Swandaru masih terlalu muda. Namun kemampuannya benar-benar dapat dibanggakan, sehingga karena itulah, maka lawan-lawannya agak sulit untuk mendekatinya karena putaran ujung cambuk yang seakan-akan melindunginya. Diantara kedua muridnya. Kiai Gringsing sendiri bertempur sambil memperhitungkan segenap kemungkinan. Beberapa kali ia telah gagal menangkap satu dua orang diantara mereka yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit. Namun kali ini Kiai Gringsing maish harus menimbang-nimbang. Lawannya berjumlah dua kali lipat. Karena itulah ia belum berani merencanakan untuk dapat menangkap mereka hidup-hidup. Yang pertama-tama harus diperhitungkan, bagaimana ia harus mempertahankan diri melawan kekuatan yang terasa semakin menekan. Yang paling berat adalah Ki Sumangkar. Kiai Jambu Srik dan Kiai Senadarma benar-benar tidak menahan diri. Tidak ada perasaan segan sama sekali untuk langsung berusaha membunuh Ki Sumangkar yang mereka anggap sangat berbahaya. Ki Waskita merasakan tekanan yang berat pada Ki Sumangkar. Meskipun ia sendiri masih melihat kemungkinan-kemungkinan yang baik untuk menghindar dari pelukan maut, namun secara keseluruhan ia masih harus membuat pertimbangan-pertimbangan. Karena itulah, maka tiba-tiba saja Ki Waskita itu berteriak, “Jangan terkejut jika hantu-hantu Alas Mentaok ini bangkit dan membantu kami.” Tidak ada seorangpun yang tahu maksudnya dengan segera. Tetapi lambat laun, Ki Sumangkar, Kiai Gringsing dan kedua murid-muridnya mulai menduga, bahwa Ki Waskita akan bermain-main dengan ilmu semunya. Ternyata seperti yang mereka duga, sejenak kemudian terdengar derap kaki-kaki kuda mendekat. Semakin lama semakin dekat arena perkelahian yang sengit itu. Ketika kemudian muncul beberapa ekor kuda, ternyata bahwa penunggang-penunggangnya adalah pengawal-pengawal Mataram yang bertubuh tinggi kekar dengan senjata yang dahsyat ditangan masing-masing. Semuanya membawa sebuah bindi yang besar dan bergerigi seperti duri kemarung. Dengan cepat kuda-kuda itupun segera berlari melingkari arena perkelahian itu. Orang-orang yang ada dipunggungnya, mengacu-acukan senjata mereka siap untuk menghantam siapapun juga yang dihendaki. Namun Ki Waskita dan kawan-kawannya termangu-mangu ketika mereka mendengar Kiai Jambu Sirik tertawa, “Jangan bermain seperti anak-anak. Permainan semua itu tidak akan banyak berarti bagi kami semuanya.” Sementara itu pemimpin kelompok itupun menyahut, ”Ternyata ada orang yang dapat bermain-main dengan bayang-bayang. Permainan itu sendiri tidak

berhabaya bagi kami. Tetapi orang yang dapat bermain dengan bayangan semu itu tentu termasuk orang yang memiliki kemampuan yang tinggi.” Ki Waskita menggeretakkan giginya. Ia sadar, bahwa permainan semunya tidak akan memberikan pengaruh seperti yang diharapkannya. Sehingga karena itu, maka orang-orang berkuda itupun kemudian bagaikan diusirnya pergi. Satu-satu mereka meninggalkan arena dan hilang dibalik gerumbul-gerumbul perdu. Kiai Senadarma kemudian berkata, “Lebih baik kita beradu ilmu kanuragan didalam keadaan seperti ini, tanpa permainan hantu-hantunya dan semacamnya.” Tidak seorangpun yang menyahut. Ki Waskita sama sekali tidak ingin lagi membuat bentuk-bentuk semu, karena ilmu itu sama sekai tidak berarti bagi lawan-lawannya. Pertempuran selanjutnya adalah benturan antara trampilan dalam olah kanuragan. Sekali lagi setiap orang didalam kepungan itu harus melawan dua orang lawan. Dan kembali lagi yang merasa terberat diantara mereka adalah Ki Sumangkar. Tetapi seperti yang diduga oleh Swandaru, bahwa kekuatan lawan-lawannya tidak sama yang seorang dengan yang lain. Itulah sebabnya maka setelah masing-masing pihak mengerahkan segenap kemampuannya, maka lingkaran kepungan itu tidak lagi merata. Kiai Gringsing yang beradu punggung dengan Ki Sumangkar tidak akan dapat membiarkan keadaan yang sulit itu berlangsung terus. Meskipun ia tidak melihat dengan jelas, karena kedudukannya, namun ia merasa bahwa Sumangkar setiap kali telah terdesak. Beberapa kali Sumangkar bergeser semakin dekat dipunggungnya. Dengan demikian ia terpaksa berusaha menghentakkan lawannya dan mendesaknya maju. Namun ternyata bahwa lawan Kiai Gringsing bukannya lawan sekuat Kiai Jambu Sirik atau Kiai Senadarma. Sejenak kemudian, ketika cambuk Kiai Gringsing telah meledak dengan dahsyatnya, seolah-olah mengungkit nada dari dasar bumi, terasalah, bahwa ia mulai menguasai kedua lawannya. Meskipun ledakan cambuknya tidak sekeras ledakan cambuk Swandaru menurut pendengaran telinga wadag. tetapi rasa-rasanya suara cambuk Kiai Gringsing telah melontarkan nada yang langsung dapat mengiris pendengaran batin seseorang. Orang-orang yang bertempur melingkari Kiai Gringsing dan kawan-kawannya itu justru meremang. Ternyata mereka dapat merasakan, betapa dahsyatnya kekuatan yang tersimpan didalam ledakan cambuk yang suaranya justru tidak terlalu kerasa dalam pendengaran telinga wadag. Namun merekapun meremang pula jika mereka mendengar suara cambuk Swandaru yang mengguntur bagaikan memecahkan selaput telinga. Meskipun berbeda dengan sentuhan suara cambuk Kiai Gringsing, tetapi orang-orang yang mengepungnya dapat membayangkan, bahwa Swandaru memang memiliki kekuatan raksasa. Yang masih terdengar seperti ledakkan cambuk sewajarnya adalah cambuk Agung Sedayu. Ketika ia

mendengar suara cambuk gurunya dan ledakkan cambuk Swandaru, maka sadarlah anak muda itu, bahwa pertempuran itu benar-benar telah mencapai puncaknya. Karena itulah maka Agung Sedayupun tidak akan dapat bertempur sekedar mempertahankan diri. Kiai Gringsing yang bertempur disampingnya mulai memperhatikan kedua muridnya. Ledakkan cambuk Swandaru telah memberikan pertanda arah kemajuan ilmunya. Dan Swandaru sendiripun diam-diam ingin mengetahui, apakah yang sudah dicapai oleh Agung Sedayu selama waktu-waktu yang terakhir. Dalam ketegangan itu, ternyata kedua murid Kiai Gringsing itu masih sempat, seakan-akan saling memperbandingkan ilmunya. Meskipun Agung Sedayu mempunyai sifat yang berbeda dari Swandaru, tetapi ada juga perasaan ingin tahu, apakah saudara seperguruannya juga telah mencapai kemajuan. Dan ternyata bahwa Swandaru telah menunjukkan apa yang dimilikinya. Ketika pertempuran itu menjadi semakin gawat, maka Agung Sedayupun tidak dapat berbuat lain, kecuali mengerahkan ilmu yang ada padanya. Apalagi terasa pula olehnya bahwa Ki Sumangkar telah terdesak semakin berat oleh dua orang yang agaknya memiliki ilmu yang meyakinkan untuk melenyapkan saudara seperguruan Patih Mantahun, prajurit terbaik dari Jipang disamping Arya Penangsang sendiri. Sejenak kemudian ternyata bahwa Agung Sedayu telah mengejutkan lawan-lawannya pula. Ketika ia merasa bahwa saatnya telah tiba untuk mengerahkan kemampuannya, maka mulailah Agung Sedayu membangunkan kekuatannya dan menyalurkannya lewat ujung cambuknya. Itulah sebabnya, ketika kemudian cambuknya meledak, terasa bulu-bulu tengkuk lawannya semakin meremang. Ledakkan cambuk Agung Sedayu bagaikan ledakkan yang menghentak disetiap jantung yang mendengarnya. Ledakkan yang seolah-olah telah mengguncang dan merontokkan seluruh isi dada. Seperti ledakkan cambuk Kiai Gringsing, ledakkan cambuk Agung Sedayu langsung menusuk kependengaran yang lebih dalam dari telinga wadag. Hentakkan kemampuan Agung Sedayu itu memang telah mengejutkan setiap orang didalam lingkaran kepungan itu. Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma yang memiliki ilmu yang masak itupun menjadi berdebardebar. Jika ledakkan itu berasal dari cambuk Kiai Gringsing, mereka memang sudah menduga, bahwa Kiai Gringsing yang disebut orang bercambuk itu memiliki ilmu yang tinggi, yang harus dilawan bersama-sama jika mereka telah menyelesaikan Ki Sumangkar. Tetapi bahwa anak muda adik Untara itupun memiliki kedahsyatan ilmu seperti itu, adalah benar-benar diluar dugaan, karena Agung Sedayu adalah anak yang masih sangat muda menurut penilaian umur dibandingkan dengan mereka yang ada diarena pertempuran itu. Ternyata bukan lawan lawan Agung Sedayu sajalah yang terkejut. Ki Sumangkar dan Swandarupun telah terkejut pula.

Mereka baru sadar, bahwa Agung Sedayu memang bukannya Agung Sedayu yang dahulu. Seperti juga Swandaru yang meningkat dengan cepat menurut arah perkembangannya, ternyata Agung Sedayupun telah berkembang sangat pesat didalam pengolahan ilmunya. Cambuk Agung Sedayu bukan saja telah menggetarkan isi dada mereka yang mendengarnya. Tetapi rasa-rasanya udarapun telah bergetar dan pepohonan bagaikan terguncang oleh lontaran kekuatan yang saling ber pengaruh antara dunia kecil didalam diri Agung Sedayu dengan dunia yang besar yang terbentang tanpa batas. Namun keterkejutan lawan-lawannya itu ternyata telah mendorong mereka untuk bertempur lebih dahsyat lagi. Mereka tidak mau terperosok kedalam kesulitan seperti yang dialami oleh orang-orang kuat diantara mereka sebelumnya. Dengan demikian maka pertempuran itupun menjadi semakin dahsyat. Meskipun lawan mereka termasuk orangorang yang memiliki ilmu yang tinggi, namun sebenarnyalah bahwa kemampuan mereka tidak setingkat. Bahkan sejenak kemudian, Ki Waskita dapat menduga, bahwa tidak semua orang didalam lingkungan lawannya itu dapat menangkap penglihatan yang hanya semu atas penunggang penunggang kuda yang baru saja mengelilingi lingkaran pertempuran itu. Hanya karena beberapa orang kawannya meneriakkan hal itu, maka mereka menyadari apa yang sedang mereka hadapi. Swandaru yang bertenaga raksasa itupun dengan kekuatannya yang mengagumkan telah mengayunkan cambuknya dengan dahsyatnya. Beberapa kali ia berhasil mendesak lawannya yang ternyata tidak memiliki ilmu setinggi Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma. Namun yang mengejutkan mereka, adalah ketika kemudian terdengar seseorang berdesis menahan pedih, agaknya Ki Waskita yang bertempur disamping Ki Sumangkar yang terdesak terus, telah mengerahkan segenap ilmunya. Dan ternyata bahwa lawannyapun bukannya orang terkuat diantara kelompoknya. Dalam pada itu seseorang telah terdesak mundur. Dengan tergesa-gesa ia berusaha mengobati luka yang tergores dilengannya, sementara kawannya yang bertempur melawan Ki Waskita masih bertahan terus. Tetapi Ki Waskita tidak berhasil mendesaknya dan memecahkan kepungan karena Kiai Senadarma segera membantunya. Tetapi dipihak lain, Kiai Gringsing yang tidak lagi meragukan kedua muridnya, menganggap bahwa arena pertempuran yang luas dengan senjata cambuknya akan lebih menguntungkan, meskipun Ki Sumangkar masih harus selalu dibayangi karena lawan-lawannya yang sangat kuat. Itulah sebabnya, maka Kiai Gringsinglah yang kemudian mendesak semakin dahsyat dan berusaha memecahkan kepungan lawannya untuk mendapatkan arena yang lebih baik. Agung Sedayu yang menyadari sikap gurunyapun segera membantunya. Dengan mengerahkan

kemampuannya, maka iapun berhasil mendesak kedua orang lawannya. Dengan demikian maka kepungan itupun menjadi semakin longgar. Swandaru mendapat kesempatan lebih banyak untuk mengayunkan senjatanya yang seolah-olah bergerigi. Dan ternyata bahwa iapun telah mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Ki Waskita yang telah berhasil melukai seorang lawannya, mempergunakan kesempatan itu sebaikbaiknya untuk membantu Ki Sumangkar. Meskipun ia tidak dapat bergerak dengan leluasa karena lawannya yang terluka masih mencoba turun lagi ke arena, namun dalam rangkaian tata geraknya, ia selalu berusaha untuk mengurangi tekanan atas Ki Sumangkar. Namun sejenak kemudian, orang-orang yang menyebut dirinya prajurit Pajang itulah yang mulai menjadi gelisah. Ternyata jumlah mereka yang sepuluh orang itu masih terlampau sedikit untuk meyakinkan mereka, bahwa mereka akan dapat berhasil dengan tugasnya. “Tetapi perhitungan kami, jumlah itu hanyalah sekedar untuk membunuh Sumangkar,“ berkata orang yang menyebut dirinya pemimpin prajurit Pajang itu kepada diri sendiri. “Adalah diluar perhitungan bahwa kemudian datang pula orang-orang bercambuk dan muridnya, serta seorang kawannya.” Tetapi semuanya sudah terjadi. Pertempuran itu sudah menjadi semakin sengit. Ledakkan cambuk Kiai Gringsing dan Agung Sedayu ternyata telah membuat hati mereka menjadi kecut. Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma yang berusaha mempercepat tugasnya, telah dipengaruhi pula oleh tata gerak Ki Waskita. Meskipun lawannya yang terluka telah berusaha mengobati dan memampatkan darah yang mengalir, namun ia sudah tidak mampu bertempur seperti saat-saat ia mulai. Sehingga karena itulah, maka Ki Waskita sempat untuk melibatkan diri dalam arena perkelahian Ki Sumangkar. Bahkan kemudian ternyata bahwa keduanya berhasil menyatukan diri dan bertempur berpasangan. “Gila,“ geram Kiai Jambu Sirik. Namun ia sama sekali tidak dapat mencegahnya. Karena itulah maka ia mencoba melihat perkelahian itu dalam keseluruhan. Namun Kiai Jambu Sirik itu terkejut ketika ia melihat Kiai Gringsing telah menguasai kedua lawannya. Cambuknya seolah-olah telah mengurung dengan ledakkan-ledakkan yang dahsyat. Juntai cambuknya yang berputaran bagaikan segulung asap yang siap menelan kedua lawannya yang semakin terdesak. Demikian pula lawan Agung Sedayu yang masih muda itu.

Cambuknyapun mampu melontarkan serangan yang mengerikan dan menguasai kedua orang lawannya. Bahkan sekali-sekali ujung cambuk itu sudah menyentuh lawannya dengan meninggalkan sesobek luka yang memanjang. Lawan-lawannya hampir tidak percaya, bahwa sentuhan yang seolah-olah hanya sentuhan kecil saja itu telah mengiris kulit dan dagingnya. Bahkan kadang-kadang ujung cambuk itu seakan-akan begitu tajamnya, sehingga luka yang membekas ditubuhnya mula-mula sama sekali tidak terasa. Baru ketika darah sudah menetes, maka perasaan pedih mulai menggigit kulit. Swandaru bertempur lebih garang lagi. Tetapi sentuhan ujung senjatanya memang sudah meyakinkan, sehingga justru tidak mengejutkan seperti ujung cambuk Agung Sedayu. Gerak yang kuat dan kasar dari Swandaru benar-benar telah mendesak lawannya. Mereka sadar sepenuhnya, jika ujung cambuk Swandaru mengenai mereka, maka tulang mereka akan dapat diremukkannya. Dalam pertempuran yang sengit itu. Kiai Gringsing dan kedua muridnya serta Ki Waskita telah dikejutkan oleh keluhan tertahan. Ki Sumangkar yang menjadi pusat serangan lawannya, tiba-tiba terdorong surut. Dengan wajah yang merah ia melihat darah yang mulai mewarnai pakaiannya yang mengalir dari lukanya dipundak kirinya. “Gila,“ Sumangkar menggeram. Tetapi luka itu telah terasa sangat pedih dan hampir melumpuhkan tangan kirinya. Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma yang melihat luka dipundak Sumangkar itu mendesak semakin kuat. Bahkan tata gerak mereka sudah menjadi semakin kasar dan liar. Apa saja telah mereka lakukan untuk memenangkan perkelahian itu. Ki Waskita segera dapat menguasai dirinya. Ia sadar, bahwa Ki Sumangkar benar-benar dalam bahaya. Karena itulah, maka ia harus cepat mengambil sikap. Dengan hentakkan tenaganya, maka Ki Waskita mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Selagi kedua lawannya masih ikut serta menikmati kemenangan Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma, maka Ki Waskita telah langsung menyerangnya. Sekali lagi orang yang telah terluka segores itupun terlempar mundur. Lukanya yang kemudian bukanlah luka yang sekedar menimbulkan perasaan pedih dikulitnya, tetapi lambungnya bagaikan tersobek dari sisi sampai kesisi lainnya. Sementara itu. Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma berusaha mendesak terus. Sekali lagi Sumangkar terlempar dan bahkan terpaksa menjatuhkan diri sambil berguling menjauhi lawannya, ketika terasa lengannyapun telah tergores senjata. Namun pada saat yang tepat, Ki Waskita meloncat meninggalkan lawannya dan menahan serangan Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma yang hampir saja berhasil mengakhiri perlawanan Sumangkar. Meskipun demikian, agaknya keduanya bagaikan telah mempersiapkan suatu rencana penyelesaian yang matang. Kiai Senadarmalah yang kemudian usaha menghambat Ki Waskita dan disusul oleh seorang lawan Ki Waskita yang lain, sementara Kiai Jambu Sirik telah siap menyelesaikan tugasnya,

memburu Ki Sumangkar dan menusuk dadanya saat ia berusaha untuk bangkit. Tetapi pada saat itu. Kiai Gringsing berhasil melihat keadaan itu. Itulah sebabnya, maka gulungan ujung cambuknya telah mendesak kedua lawannya dengan dahsyatnya. Namun waktu terlalu sempit baginya. Karena itulah maka Kiai Gringsing tidak mempunyai pertimbangan lain. Dengan kemampuan yang ada padanya, maka iapun menyerang lawannya dengan serta merta, sehingga lawanya tidak berhasil menghindarinya. Hampir diluar pengamatannya, maka Kiai Gringsing telah menghentakkan cambuk kearah dua lawannya. Dan yang terdengar kemudian adalah teriakan nyaring yang menggetarkan setiap hati. Justru karena itulah, maka Kiai Gringsing tertegun sejenak. Kedua lawannya itupun kemudian terlempar dengan kerasnya, dan jatuh ditanah dengan darah yang bagaikan diperas diluka mereka yang menyilang dada. Tetapi waktu memang terlampau sempit. Saat itulah Kiai Jambu Sirik telah mengangkat senjata siap menghunjam di dada Ki Sumangkar yang sedang mencoba untuk meloncat bangkit. Wajah Ki Sumangkar menegang sejenak ketika ia melihat senjata Kiai Jambu Sirik. Dengan susah payah ia berusaha menggapai tangkai crisulanya dan berusaha menangkis senjata lawannya. Namun keadaan Ki Sumangkar benar-benar tidak menguntungkan. Dengan ayunan senjatanya. Kiai Jambu Sirik dapat memancing Sumangkar untuk bergeser. Dan tepat pada saatnya, Kiai Jambu Sirik meloncat kesisi sebelah kiri sambil berteriak, “Akhirnya aku berhasil menyelesaikan perlawananmu.” Sumangkar benar-benar dalam kesulitan. Tangan kirinya yang menjadi semakin lemah tidak mampu lagi untuk mengangkat senjatanya menangkis serangan yang meluncur dengan cepatnya kearah lambungnya. Tidak ada yang nampaknya sempat menolong. Kiai Gringsing baru saja menarik cambuknya dan jaraknya agak terlalu jauh. Sedangkan Agung Sedayu yang berdiri lebih dekat, masih sibuk melayani kedua orang lawannya. Tetapi agaknya Agung Sedayu tidak dapat membiarkan pembunuhan itu terjadi. Itulah sebabnya, maka dengan serta merta ia meloncat meninggalkan lawannya sambil mengayunkan cambuknya kearah pergelangan tangan Kiai Jambu Sirik. Ternyata bahwa ujung cambuk Agung Sedayu masih sempat menyentuh pergelangan tangan Kiai Jambu Sirik dari jarak yang tepat sepanjang juntai cambuknya. Pada saat Kiai Jambu Sirik memusatkan perhatian pada saat kemenangannya, ternyata bahwa ia

menjadi agak lengah. Apalagi ia sama sekali tidak menyangka, bahwa Agung Sedayu masih sempat melakukan serangan itu. Itulah sebabnya, maka ujung cambuk Agung Sedayu itu bagaikan menahan tangannya yang sedang terjulur. Tiba-tiba saja ia melihat segores luka telah menganga dipergelangan tangannya yang gagal mencapai lambung Sumangkar dengan ujung senjatanya. “Setan alas,“ ia mengumpat. Tetapi bersamaan dengan itu, terdengar Agung Sedayu mengeluh tertahan. Pada saat ia berusaha menyelamatkan Sumangkar, ternyata serangan lawannya tidak dapat dihindarinya, sehingga sebuah tusukan telah menggores punggung. Sumangkar yang terlepas dari tusukan senjata Kiai Jambu Sirik segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Meskipun ia telah terluka tidak hanya disatu tempat, tetapi ia masih mempunyai kemampuan sekedar untuk membela diri. Dalam pada itu. Agung Sedayulah yang justru dalam kesulitan. Ketika ia berusaha menjauhi lawannya, ternyata bahwa mereka telah memburunya. Dengan geram mereka bertekad untuk membunuh Agung Sedayu yang telah menggagalkan usaha Kiai Jambu Sirik untuk membunuh Ki Sumangkar. Namun pada saat itu. Kiai Gringsing telah berhasil melepaskan diri dari kedua lawannya yang sudah terbaring ditanah. Dengan loncatan panjang ia kemudian telah berada didekat muridnya yang terluka. Ketika kemudian ujung cambuknya berputar, maka kedua lawan Agung Sedayu terpaksa bergeser menjauh. Dengan demikian maka pertempuran yang sudah diwarnai dengan darah itu menjadi semakin seru. Swandarupun sudah mulai terdesak oleh kedua lawannya. Meskipun suara cambuknya bagaikan memecahkan selarut telinga, tetapi ternyata bahwa kedua lawannya memiliki kemampuan yang cukup untuk bersama-sama mendesaknya. Tetapi dalam pada itu Kiai Gringsing seakan-akan telah terlepas dari lawan-lawannya. Sesaat ia masih bertempur bersama Agung Sedayu. Namun itu tidak berlangsung terlalu lama. Sejenak kemudian lawan Agung Sedayu yang seorang itupun telah terdesak dan ledakan berikutnya, membuatnya seakanakan telah lumpuh. Ternyata Kiai Gringsing berhasil mengenainya meskipun dengan pertimbangan yang lebih baik dari saat ia menyingkirkan kedua lawannya. Agung Sedayu yang sudah terluka dipunggung itu masih sempat bertempur untuk mempertahankan diri. Lawannya yang tinggal seorang itu harus mengakui, bahwa Agung Sedayu memang seorang anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi. Meskipun demikian luka dipunggungnya terasa bagaikan menyengatnya setiap saat. Darah yang

mengalir membuat tenaganya jauh susut dari kemampuannya yang sebenarnya. Tetapi Agung Sedayu yang muda itu telah berhasil menguasai puncak ilmunya. Dan itu ternyata bahwa ia mampu bertahan melawan dua orang yang dianggap cukup berilmu didalam lingkungannya. Itulah sebabnya, bahwa dengan luka dipunggung, ia masih mampu menyalurkan kekuatannya pada ujung senjatanya, sehingga cambuknya masih merupakan senjata yang sangat berbahaya. Yang terjadi kemudian adalah penyelesaian yang semakin pasti. Kiai Gringsing dengan tanpa kesulitan telah membantu mengurangi lawan Swandaru yang bertempur semakin sulit. Ketika yang seorang dari kedua lawannya itu terpaksa melawan Kiai Gringsing, maka Swandaru mulai dengan dada yang gemuruh mendesak lawannya tanpa ampun. Dalam pada itu, Ki Sumangkar yang terluka cukup parah itupun ternyata mengalami kesulitan untuk mempertahankan diri dari serangan Kiai Jambu Sirik. Namun Kiai Gringsing tidak memerlukan waktu yang terlalu lama untuk melumpuhkan lawannya. Sebuah serangannya telah melemparkan lawannya sehingga tidak mampu lagi untuk bangkit dan apalagi bertempur. Dengan nafas terengah-engah ia berusaha untuk duduk bersandar sebatang pohon perdu. Sementara itu, Kiai Gringsing telah berada diantara arena perkelahian antara Ki Sumangkar dengan Kiai Jambu Sirik, dengan daerah perkelahian Ki Waskita melawan Kiai Senadarma dan seorang yang berpakaian seperti seorang perwira prajurit Pajang. Sedangkan dilingkaran perkelahian yang lain, Agung Sedayu yang luka itu masih mempertahankan dirinya. Pertempuran itupun agaknya telah sampai kepuncaknya. Swandaru yang bertempur dengan kemarahan yang menghentak didadanya tidak memberikan kesempatan sama sekali kepada lawannya. Dengan sengaja Swandaru ingin menilai, apakah ilmunya sudah jauh meningkat. Ternyata orang yang melawannya itu belumlah sekuat Raden Sutawijaya dari Mataram. Ternyata ia selalu terdesak dan bahkan kemudian ujung cambuk Swandaru telah mulai meraba tubuhnya. “Kau masih belum setangkas orang-orang yang pantas mengenakan pakaian seorang perwira Pajang,“ berkata Swandaru. Orang itu menggeram, tapi sebenarnyalah bahwa ia tidak mampu mengimbangi kecepatan bergerak dan kekuatan raksasa anak muda yang gemuk itu. Swandaru yang merasa lawannya menjadi semakin terdesak, sama sekali tidak memberinya kesempatan. Seperti saat-saat yang lalu, kemarahannya benar-benar tidak terkendalikan lagi. Ketika ujung cambuknya sekali lagi menyobek kulit lawannya, Swandaru justru menjadi semakin bernafsu. Dalam pada itu Agung Sedayu masih bertahan terus. Lawannya yang seorang itu justru pemimpin kelompok yang sudah menjadi semakin lemah. Namun ia

masih berhasil mendesak Agung Sedayu meskipun Agung Sedayu masih belum dapat dikuasainya. Kiai Gringsing dengan cepat berhasil mengurangi lawan Ki Waskita. Ia sengaja melakukannya lebih dahulu agar Ki Waskita dapat segera menyelesaikan lawannya yang bernama Kiai Senadarma. Sebenarnyalah orang-orang terkuat diantara mereka yang menyebut dirinya perwira Pajang itupun telah merasakan, bahwa mereka tidak akan dapat bertahan terus. Itulah sebabnya, maka mereka telah berusaha untuk melakukan sesuatu yang licik. Terutama Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma. “Aku bukan orang-orang yang bertanggung jawab atas peristiwa ini,“ berkata Kiai Senadarma didalam hatinya. Karena itulah, maka ketika menurut penilaiannya, tidak ada harapan lagi untuk dapat memenuhi tugasnya, membunuh Sumangkar dan apalagi orang-orang lain yang ada ditempat itu, maka iapun telah memilih untuk melarikan diri dari arena. Dalam pada itu, selagi Kiai Gringsing berada diarena pertempuran antara Agung Sedayu yang terluka melawan pemimpin kelompok prajurit Pajang yang telah mendapat tugas untuk membinasakan Sumangkar, Kiai Senadarma telah memberikan isyarat kepada Kiai Jambu Sirik. Dengan hentakan terakhir ia menyerang Ki Waskita dengan teriakan nyaring. Namun sebenarnyalah teriakan itu merupakan suatu pertanda bahwa ia tidak akan mampu lagi bertahan lebih lama. Sementara Ki Waskita berusaha menghindar dan mencoba mengamati apakah lawannya menentukan suatu sikap dalam perlawanannya. Kiai Senadarma telah meloncat meninggalkannya disusul oleh Kiai Jambu Sirik. Sikap itu benar-benar telah mengejutkan. Karena itu untuk sesaat Ki Waskita justru termangu-mangu, sedangkan Ki Sumangkar yang terluka itu tidak lagi mampu untuk mengejar lawannya. Namun Ki Waskita berpikir cepat. Ia tidak sempat memburu Kiai Senadarma. Namun ia justru lebih dekat dengan Kiai Jambu Sirik yang berlari meninggalkan Sumangkar. Karena itulah, maka iapun segera berlari mengejar Kiai Jambu Sirik. Kiai Jambu Sirik mengupat. Ia tidak dapat langsung menuju kekudanya, karena ia masih harus bertempur melawan Ki Waskita. Sementara itu Agung Sedayu yang bertempur melawan pemimpin kelompok orang-orang yang menyebut dirinya para perwira dari Pajang itu, segera menyerahkan lawannya kepada Kiai Gringsing. Dengan serta merta iapun segera berlari meninggalkan arena. Sejenak ia berdiri tegak dengan tangan yang bersilang didada. Ia melihat Kiai Senadarma telah meloncat kepunggung kudanya. Pada saat terakhir, Agung Sedayu telah membangunkan kekuatan yang tersalur dari tatapan matanya. Kekuatan yang tidak kasat mata tetapi mempunyai rabaan wadag. Sentuhan itu benar-benar telah mengejutkan kuda Kiai Senadarma sehingga kuda itu melonjak sambil

meringkik keras-keras. Kiai Senadarma yang tidak menyangka itupun terkejut pula. Ia tidak mengira bahwa sentuhan tatapan mata Agung Sedayu itu telah menyakiti kudanya, sehingga kuda itu bagaikan gila. Dengan sekuat tenaga Kiai Senadarma berusaha untuk menguasai kudanya. Namun tiba-tiba terasa sebuah kekuatan telah menghentakkan tangannya yang memegang kendali, sehingga justru karena kudanya yang bagaikan gila itu, Kiai Senadarma telah kehilangan keseimbangan. Dengan kerasnya Kiai Senadarma telah terlempar dari punggung kudanya dan jatuh terguling ditanah. Agung Sedayu yang telah melepaskan sentuhan tatapan matanya atas kuda Kiai Senadarma itu telah membuat kuda itu meloncat berlari tanpa mengenal arah untuk menghindari perasaan sakit yang menyengat pahanya. Kiai Senadarma adalah orang yang mumpuni dalam olah kanuragan. Itulah sebabnya, maka ketika ia terlempar jatuh, ia masih sempat menempatkan diri, sehingga lehernya tidak patah. Tetapi ketika ia kemudian meloncat berdiri, Agung Sedayu yang terluka dipunggungnya dan Ki Sumangkar yang terluka pula, telah berdiri didekatnya. “Jangan lari,“ suara Sumangkar terengah-engah. Wajahnya telah menjadi pucat karena darah yang mengalir semakin banyak. Kiai Senadarma menggeram, ia mengumpati kudanya yang tiba-tiba menjadi binal itu. Namun kemudian ia mengumpati Sumangkar, “Kau memang ingin mati. Lukamu parah dan darahmu hampir habis terperas.” “Aku masih sanggup bertempur,“ berkata Ki Sumangkar. Kiai Senadarma menggeram. Namun wajahnya menjadi tegang ketika ia melihat Swandaru bagaikan orang kesurupan, telah membunuh lawannya dengan ujung cambuknya. “Tinggalkan lawanmu,“ teriak Kiai Gringsing yang sudah menguasai lawannya pula kepada Swandaru, “kau dengar perintahku?” Swandaru memang mendengar perintah gurunya. Dengan tegang ia berdiri tegak disebelah tubuh yang terbaring diam. “Aku harus yakin, bahwa ia sudah mati,“ berkata Swandaru. Kiai Gringsing masih bertempur melawan pemimpin kelompok orang-orang yang mengaku perwira Pajang itu, yang semula telah bertempur melawan Agung Sedayu.

Bagi mereka yang pernah melihat Swandaru bertempur di ujung hutan di dekat Sangkal Putung, tibatiba saja telah terkenang pula apa yang telah terjadi, sehingga Pandan Wangi telah memeluknya untuk mencegah Swandaru berbuat lebih bengis lagi terhadap musuhnya yang sudah tidak berdaya. Dan yang terjadi itu benar-benar telah mencemaskan hati orang-orang tua. Kiai Gringsing yang tidak terlalu berat lagi menghadapi lawannya menjawab, “Kau tidak perlu membunuh lawanmu Swandaru. Jika ia sudah tidak berdaya, maka kau sudah menjadi seorang pemenang.” “Tetapi guru juga telah membunuh dua orang lawan sekaligus,” teriak Swandaru. Hampir saja senjata lawan Kiai Gringsing mengenainya, justru karena Kiai Gringsing terkejut mendengar kata-kata Swandaru. Dengan hati yang berdebar-debar ia menjawab sambil bertempur terus, “Aku tidak sengaja mel'akukannya. Hal itu terjadi justru karena aku tidak tepat mengendalikan diri oleh tekanan lawan yang kuat.” Swandaru tidak menjawab lagi. Ditinggalkannya lawannya yang sudah tidak bernyawa lagi itu. Perlahan-lahan ia mendekati Agung Sedayu dan Ki Sumangkar yang berdiri berhadapan dengan Kiai Senadarma. Ternyata, bahwa yang telah terjadi benar benar telah menggetarkan hati Kiai Senadarma yang perkasa itu. Ia melihat kemungkinan yang sudah pudar sama sekali. Apalagi ketika ia melihat Kiai Jambu Sirik. Yang mendapat tekanan yang tidak teratasi oleh Ki Waskita. Dalam keadaan yang tidak memungkinkan lagi itu, Kiai Senadarma telah mengambil keputusan yang tidak terduga. Dengan suara lantang maka iapun berkata, “Aku menyerah.” Pemimpin kelompok orang-orang yang mengaku perwira Pajang itu terkejut mendengar keputusan Kiai Senadarma itu, sehingga diluar sadarnya ia berkata, “Pengecut. Apa janjimu Kiai Senadarma ?” “Tidak ada gunanya. Aku melihat orang-orang tua dari Sangkal Putung dan Jati Anom ini bukannya orang-orang gila seperti anak muda yang gemuk itu. Aku berharap bahwa hidupku akan selamat. Mungkin aku akan diserahkan kepada Untara atau kepada siapapun juga. Tetapi aku tidak mempunyai sangkut paut sebelumnya. Apalagi aku dalam perkelahian ini masih belum membunuh seorangpun.” Pemimpin prajurit itu menggeram. Namun ia tidak mau menyerah seperti Kiai Senadarma. Dengan sisa tenaganya ia masih bertempur terus melawan Kiai Gringsing. Sementara itu Kiai Jambu Sirikpun merasa dirinya tidak akan dapat mengatasi lawannya. Karena itu maka seperti Kiai Senadarma ia berkata, “Aku juga menyerah. Perjalananku yang jauh ternyata siasia. Petugas sandi Pajang ternyata tidak mampu memberikan keterangan yang benar untuk memperhitungkan keberhasilan tugas kita. Jika bahan yang kami terima salah, maka tugas kamipun

tidak akan dapat berhasil seperti yang kita lihat sekarang.” “Gila,“ sahut pemimpin kelompok yang masih saja bertempur meskipun ia terdesak. Ki Waskita perlahan-lahan berusaha melepaskan lawannya yang menyerah. Apalagi kemudian ternyata bahwa Kiai Senadarma dan Kiai Jambu Sirik telah melemparkan senjata-senjata mereka dan berdiri tegak dengan kedua tangannya terkulai. Sejenak keduanya berdiri termangu-mangu. Swandaru memandang wajah keduanya berganti-ganti. Kemudian terdengar ia menggeram, “Pengecut. Seharusnya kalian berdua dibunuh seperti orang yang luka arang keranjang itu.” Tetapi Kiai Senadarma dan Kiai Jambu Sirik sama sekali tidak menyahut. Ia menyadari, bahwa sikap Kiai Gringsing. Ki Waskita dan orang yang ingin mereka bunuh itu akan berbeda dengan Swandaru. Dalam pada itu. Kiai Gringsing masih bertempur melawan pemimpin kelompok para perwira dari Pajang itu. Namun tidak ada yang dapat dilakukan oleh pemimpin kelompok itu. Dalam segala hal ia berada dibawah kemampuan Kiai Gringsing. Meskipun pemimpin kelompok itu dapat menembus bayangan semu yang dibuat oleh Ki Waskita, namun menghadapi ilmu kanuragan Kiai Gringsing, ia tidak berhasil mempertahankan diri. Tetapi yang terjadi benar-benar diluar dugaan. Beberapa saat orang itu masih bertahan meskipun dalam kesulitan yang pasti tidak akan teratasi. Namun diluar kemampuan Kiai Gringsing untuk mencegahnya, maka orang itu telah menarik kerisnya. Keris yang kecil saja dan terselip dilambung kiri. Agaknya keris itu merupakan senjata pusakanya yang dipergunakan dalam keadaan yang khusus, tetapi tidak mungkin dalam perang seperti yang telah terjadi. Kiai Gringsing tertegun melihat keris yang tidak lebih dari sejengkal itu. Dengan hati-hati ia telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan dengan penggunaan pusaka kecil itu. Tetapi yang terjadi benar-benar mengejutkan. Tiba-tiba saja orang itu telah menggoreskan keris itu dipergelangan tangannya sendiri sambil berteriak, “Kalian tidak akan dapat menangkap aku hiduphidup. Aku adalah orang yang bertanggung jawab atas peristiwa ini. Dan aku akan menjadi tawanan yang akan kalian peras sampai darahku kering, untuk memberitahukan segala sesuatu tentang rencana yang sudah tersusun rapi itu.” Kiai Gringsing maju setapak. Tetapi ia tidak berani segera mendekat. Ia tahu, keris itu tentu telah direndam dalam warangan yang kuat sehingga goresan kecil itu telah cukup mampu untuk membunuh. Tetapi Kiai Gringsing masih berusaha. Jika orang itu bersedia, ia mempunyai kekuatan untuk menyembuhkannya, karena iapun memiliki obat penawar racun yang kuat. “Ki Sanak. Kematianmu sia-sia. Kiai Senadarma dan Kiai Jambu Sirik akan dapat memberikan banyak keterangan. Dan agaknya ia tidak berkeberatan melakukannya. Karena itu, jika kau bersedia,

aku dapat mencoba mengobati luka racunmu itu.” Pemimpin sekelompok orang-orang yang mengaku sebagai perwira prajurit Pajang itu termangumangu sejenak. Namun iapun kemudian berdesis lambat, “Tidak. Aku akan mati. Dan itu memang aku kehendaki. Tidak seorangpun dapat mencegah kematianku, karena kematian bagiku tentu akan jauh lebih baik daripada aku jatuh ketangan Untara.” Kiai Gringsing termangu-mangu ketika ia maju selangkah, maka orang itu masih sempat mengacukan kerisnya kepadanya, “Segores kecil dari ujung kerisku, akan dapat membawamu kedalam pelukan maut.” Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya, “Tidak. Kau tidak dapat membunuhku dengan racun apapun juga. Aku adalah orang yang biasa bermain dengan racun.” Orang itu mengerutkan keningnya. Tetapi tubuhnya menjadi semakin gemetar dan wajahnya bertambah pucat. Ketika Kiai Gringsing mendekat lagi selangkah, orang itu sudah mulai terhuyung-huyung sambil berdesis “ Mendekatlah. Aku akan mendapat kawan untuk pergi kedunia lain.” Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ia maju lagi selangkah. Agaknya orang itu sudah mulai dicengkam oleh racun yang kuat di tubuhnya. Badannya mulai menjadi kejang, sehingga ia tidak lagi mampu untuk berdiri tegak. Karena itulah maka iapun kemudian jatuh pada lututnya, dan dengan nada yang patah-patah ia berkata, “Mari. Mari Ki Sanak, mendekatlah.” Kiai Gringsing memang mendekat. Namun tiba-tiba saja diluar kecepatan pengamatan seseorang, ujung cambuknya telah menggelepar dan menyangkut tangan orang itu sehingga keris itupun telah terlempar jatuh. “Gila,“ geram orang itu. Namun, demikian orang itu berusaha dengan tangan gemetar menggapai kerisnya, Kiai Gringsing telah meloncat menangkap dan mendorongnya sehingga orang itu terbaring ditanah. Ki Waskita, Ki Sumangkar yang terluka parah, Agung Sedayu yang terluka pula dan Swandaru, tidak beranjak dari tempatnya. Meskipun mereka ingin membantu Kiai Gringsing, namun orang-orang yang masih sanggup untuk melarikan diri itu memerlukan pengawasan. Sementara itu Ki Sumangkar dan Agung Sedayu sudah tidak akan mampu berbuat banyak karena lukanya. Tetapi, agaknya Kiai Gringsing sudah terlambat. Demikian ia berhasil menangkap tangan orang itu dan memeriksa luka dipergelangannya, orang itu sudah kejang seluruh tubuhnya.

Noda-noda biru seolah-olah telah tumbuh diseluruh wajah kulitnya. Bahkan kemudian nampak warnawarna merah diantara noda-noda yang kebiru-biruan. “Racun yang keras sekali,“ desisnya. Tak ada jalan untuk menolongnya, karena orang itupun kemudian telah meninggal. Sambil menarik nafas dalam-dalam Kiai Gringsing-pun kemudian berdiri. Langkahnya yang lesu telah membawanya mendekati Sumangkar. Ia sadar bahwa Ki Sumangkar dan Agung Sedayupun memerlukan pertolongannya segera. “Swandaru,“ berkata Kiai Gringsing, “awasilah kedua orang itu. Mereka sudah tidak bersenjata.” Swandaru mengangguk sambil menjawab, “Baik Guru. Aku akan mengawasinya. Siapa yang ingin mencoba melarikan diri, akan mengalami nasib yang buruk seperti seorang kawannya itu.” Tetapi dalam pada itu terdengar Kiai Senadarma berkata, “Aku tidak akan lari Ki Sanak. Aku sudah menyerah. Mungkin itu suatu sikap pengecut. Karena itu, aku tidak akan melakukan sikap serupa untuk kedua kalinya dengan melarikan diri. Apalagi aku sudah melepaskan senjataku. Aku kira demikian pula dengan Kiai Jambu Sirik. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia berkata, “Aku percaya Ki Sanak. Tetapi dalam arena seperti ini, setiap pihak harus tetap berhati-hati.” “Aku mengerti Ki Sanak. Sudahlah, silahkan mengobati luka-luka Ki Sumangkar yang parah. Aku gagal membunuhnya. Karena itu, biarlah ia segera sembuh.” Ki Sumangkar menggeram menahan gejolak hatinya. Tetapi juga menahan sakit pada luka-lukanya. Karena luka Sumangkar lebih parah dari Agung Sedayu, maka Kiai Gringsing telah mengobatinya lebih dahulu. Baru kemudian ia mengobati Agung Sedayu dan lawan-lawannya yang terluka parah. “Kita masih mempunyai tugas Swandaru,“ berkata Kiai Gringsing. “Apalagi guru?” “Menguburkan mereka yang terbunuh.” Swandaru menggeram. Kemudian katanya, “Biarlah kedua orang itu menguburkan kawan-kawannya.” “Kita tidak boleh membuang waktu,“ sahut Kiai Gringsing, “setiap saat sekarang ini sangat berharga.”

Kita harus segera berbuat sesuatu atas orang-orang yang berada di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Jika orang-orang ini tidak segera datang melaporkan hasil tugasnya pada saat yang sudah diperhitungkan, maka mereka tentu akan mengetahui, bahwa telah terjadi sesuatu atas mereka.” Swandaru mengangguk-angguk. Namun ia masih berkata, “Biarlah kedua orang itu membantu kita.” “Kami tidak berkeberatan,“ berkata Kiai Senadarma. Kiai Gringsingpun kemudian menggali beberapa buah lubang yang tidak terlalu dalam dengan pedang dan parang yang ada diarena perkelahian itu. Kemudian beberapa sosok mayat yang adapun dikuburkannya berjajar. Swandaru menjadi heran, bahwa Kiai Gringsing telah membuat sepuluh tanda seolah-olah ada sepuluh orang yang dikuburkan di hutan itu. Namun sebelum ia bertanya. Kiai Gringsing telah menjelaskan, “Aku berharap, jika ada diantara mereka yang menemukan arena ini, mereka akan mengira, bahwa sepuluh orang yang mereka tugaskan itu telah terbunuh semuanya.” “Kenapa begitu ?“ bertanya Swandaru. “Mereka akan sedikit terhibur, bahwa rahasia mereka akan ikut terkubur pula bersama orang-orang mereka yang terbunuh.” Swandaru mengerutkan keningnya. Sementara Kiai Senadarma berkata, “Tetapi orang-orang dilembah itu tidak sebodoh yang kau duga.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya dengan nada datar, “Aku mengerti Ki Sanak. Diantara mereka tentu ada orang-orang yang memiliki kemampuan berpikir yang tinggi. Tetapi semua usaha memang harus dilakukan dalam keadaan seperti sekarang ini. Kegagalan kalian membunuh Ki Sumangkar tentu merupakan persoalan yang besar bagi mereka. Mereka masih merasa segan jika Untara terlibat kedalam persoalan ini. Tetapi ketahuilah bahwa kami memang tidak ingin melibatkan Untara kedalamnya.” Kiai Senadarma menjadi heran. Tetapi ia tidak sempat bertanya karena Kiai Gringsing berkata, “Marilah, kita harus segera berbuat sesuatu.” Ki Sumangkar yang terluka itu termangu-mangu. Katanya, “Kegagalan ini tentu akan diikuti oleh tindakan-tindakan yang lain. Apakah yang dapat kita lakukan kemudian dalam waktu yang dekat?” Kiai Gringsing memandang Kiai Senadarma dan Kiai Jambu Sirik sejenak. Memang ada keseganan untuk berbicara diantara mereka. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun segera bergumam,

“Kita akan secepatnya ke Mataram.” “Mataram,“ desis Kiai Jambu Sirik. “Ya. Kita akan bertemu dengan Raden Sutawijaya. Semua persoalannya akan di selesaikan oleh Senopati muda itu.” Kiai Jambu Sirik menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Kiai Gringsingpun kemudian mempersiapkan diri. Ki Waskita melepaskan kuda-kuda yang tidak akan dipergunakan. Sementara yang lainpun telah berada di sebelah kudanya masing-masing. “Kita akan segera berangkat. Perjalanan kita mungkin akan menarik perhatian. Tetapi kita harus berusaha untuk mengurangi sejauh dapat dilakukan. Karena itu, kita harus menyembunyikan segala macam tanda-tanda luka dan sikap yang dapat menimbulkan kesan yang aneh bagi orang-orang yang akan berpapasan dengan kita,“ berkata Kiai Gringsing, lalu. “Kami masih mengajukan permintaan kepada Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma. Kami mohon jangan menimbulkan kesulitan kami diperjalanan dan kesulitan bagi diri kalian sendiri.” Kiai Senadarma tersenyum. Katanya, “Aku sudah menyerahkan nasibku kepada Senopati muda dari Mataram itu.” “Kami tidak yakin bahwa yang kau katakan itu benar-benar sampai kedasar hatimu. Kau bukan anakanak lagi. Kau tentu mempunyai perhitungan yang rumit untuk dimengerti.” Kiai Senadarma mengangguk. Katanya, “Kau benar. Tetapi ternyata aku berhadapan dengan orangorang yang lain dari dugaanku semula. Aku kira aku adalah orang yang tidak ada duanya dimuka bumi. Bahkan para Senopati dan perwira prajurit Pajang yang sebenarnya masih memerlukan aku. Tetapi ternyata disini aku bertemu dengan orang-orang yang tidak masuk akal menurut penilaianku. Karena itu, aku tidak akan berbuat apapun juga yang tentu akan sia-sia.” “Marilah,“ berkata Kiai Gringsing, “kita akan pergi ke Mataram. Biarlah kuda-kuda yang lain hilang didalam hutan dan diketemukan oleh siapapun juga disaat lain.” Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma berpandangan sejenak. Tetapi mereka tidak dapat berbuat lain kecuali mengikuti perintah-perintah orang yang telah menawannya. Mereka sadar sepenuhnya, bahwa mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Apalagi kawankawannya yang masih hidup, semuanya telah terluka. Meskipun demikian, diperjalanan itu, setiap orang berusaha menghilangkan kesan yang dapat menarik perhatian orangorang lain yang berpapasan apabila mereka masuk kejalan raya yang menuju ke Mataram. Sejenak kemudian kuda-kuda itupun telah berlari meninggalkan arena perkelahian yang merah oleh

darah. Sejenak mereka masih menyusup hutan. Namun mereka sedang menuju kejalan raya yang menghubungkan Mataram dengan daerah disekitarnya. Demikian mereka mencapai jalan raya, maka kuda-kuda merekapun berlari semakin cepat meskipun tidak berpacu seperti dikejar hantu. Kiai Gringsing masih selalu menjaga, agar perjalanan sekelompok orang-orang yang parah itu tidak menarik perhatian. Sebenarnyalah bahwa diperjalanan sekelompok orangorang berkuda itu tidak banyak menarik perhatian. Ada diantara mereka yang mengenakan pakaian perwira prajurit Pajang. Beberapa orang mengira bahwa sekelompok perwira sedang bepergian dengan kawan-kawannya menuju ke Mataram dalam hubungan yang tidak perlu mereka ketahui. Tetapi ketika iring-iringan kecil itu memasuki Mataram, maka persoalannya jadi berbeda. Para penjaga regol telah tertarik melihat beberapa orang perwira Pajang mendekatinya. Kiai Gringsing yang berada dipaling depanpun kemudian berhenti di depan regol. Ia berharap bahwa para pengawal Mataram yang bertugas itu sudah ada yang mengenalnya. Ternyata harapannya itu terjadi. Seorang pemimpin pengawal itu dengan tergopoh-gopoh mendapatkannya. “Kiai,“ orang itu menyapanya. Kiai Gringsing meloncat turun dari kudanya. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Kami akan menghadap Senepati Ing Ngalaga.” Pemimpin pengawal itu memandang, orang-orang yang datang bersama Kiai Gringsing itu seorang demi seorang. Dari sorot matanya nampak terpercik pertanyaan yang agak rumit dihatinya. Sebelum orang itu bertanya, Kiai Gringsing mendahului berbisik ditelinga pemimpin pengawal itu, “Aku membawa beberapa orang tawanan. Ki Sumangkar dan Agung Sedayu terluka.” “Apa yang terjadi Kiai? “ pemimpin itu bertanya. “Berilah kami kesempatan untuk menghadap.“ Pemimpin itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Marilah. Aku akan mengantar Kiai langsung menghadap.” Setelah minta diri dan memberikan beberapa pesan kepada kawan-kawannya maka pemimpin pengawal itu telah membawa Kiai Gringsing dan kelompok kecilnya menuju kerumah Senepati dipusat Kota Mataram yang semakin berkembang. Justru setelah mereka berada di jalan-jalan kota, mereka tidak dapat lagi berusaha menyembunyikan kenyataan.

Mereka tidak dapat berpacu cepat-cepat, sehingga beberapa orang telah memandangi mereka dengan heran. Kedatangan Kiai Gringsing bersama sekelompok kecil orang-orang berkuda itu telah mengejutkan para pemimpin di Mataram. Apalagi ketika mereka melihat, beberapa orang diantara mereka telah terluka. Senepati Ing Ngalaga yang kebetulan ada dirumahnya, dengan tergesa-gesa pula turun dari pendapa untuk menyongsong tamunya diikuti oleh Ki Juru Martani. “Kiai,“ desis Raden Sutawijaya. Kiai Gringsing dan kawan-kawannyapun menuntun kudanya memasuki halaman rumah Raden Sutawijaya, kecuali mereka yang terluka parah. Ki Sumangkar yang kemudian mencoba turun dari Kudanya pula, tiba-tiba saja telah terhuyunghuyung. Untunglah Ki Waskita cepat menangkapnya dan membantunya berjalan, sementara Agung Sedayu masih dapat berjalan sendiri. “Apa yang terjadi Kiai,“ Sutawijaya menjadi tegang. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sebelum ia mengatakan sesuatu tentang kedatangannya, yang pertama-tama diserahkan adalah para tawanan yang datang bersamanya. “Kedua orang itu adalah Kiai Senadarma dan Kiai Jambu Sirik. Dua orang yang tidak ada bandingnya. Mereka mempunyai kemampuan yang sempurna,“ berkata Kai Gringsing, “namun agaknya keduanya tidak ingin pertentangan berkelanjutan sehingga keduanya memilih menyerah daripada bertempur berkepanjangan.” Kiai Senadarma menarik nafas dalam-dalam. Cara Kiai Gringsing memperkenalkannya sangat menarik. Namun justru karena itulah maka sepercik pengakuan telah meloncat dari bibirnya, “Kami memang menyerah Raden. Tetapi bukan karena kesadaran yang tumbuh dihati kami. Tetapi kami yang disebut-sebut pilih tanding, ternyata bukan lawan yang berarti bagi Kiai Gringsing.” Ki Juru Martani yang kemudian ikut membantu Ki Sumangkar, berkata, “Marilah. Silahkan naik. Kita akan berbicara dipendapa. Agaknya luka Ki Sumangkar agak parah. Sedangkan angger Agung Sedayupun telah terluka pula.” “Silahkan Kiai,“ sahut Kiai Jambu Sirik, “tetapi kami adalah tawanan yang harus dimasukkan kedalam barak tertutup.” Raden Sutawijaya memandang Kiai Gringsing dengan termangu-mangu. Tetapi ketika Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya, maka Raden Sulawijayapun telah memerintahkan seorang pemimpin pengawal beserta beberapa orang untuk membawa para tawanan itu ketempatnya, termasuk mereka yang terluka.

Dalam pada itu, Ki Sumangkar yang dibantu oleh Ki Waskita dan Ki Juru telah berjalan naik kependapa, mendahului yang lain. Baru kemudian disusul oleh Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Swandaru. Demikian mereka duduk dipendapa, maka Kiai Gringsingpun mulai menceriterakan apa yang telah terjadi, sehingga Ki Sumangkar dan Agung Sedayu telah terluka. “Jadi keduanya adalah orang-orang yang dipercaya untuk membunuh Ki Sumangkar?“ bertanya Raden Sutawijaya. “Ya. Dan kita harus menilai peristiwa ini dalam hubungan keseluruhan.” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Namun ia melihat, bahwa segalanya harus segera mendapatkan penanganan. Ia tidak dapat menunda menunda lagi. Orang-orang yang berada dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu sudah bertindak sangat jauh. Dari Kiai Gringsing, Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani mendengar, alasan apakah yang telah mendorong orangorang dari lembah Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu berusaha membunuh Ki Sumangkar. “Kita harus segera bertindak,“ berkata Raden Sutawijaya, “mungkin Untara akan mendengarnya dan mendahului kita, tanpa mengetahui bahwa pusaka-pusaka itu ada di antara mereka.” Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Namun sebelum ia berbicara tentang pusaka-pusaka itu, ia telah berkata, “Tetapi menilik keadaan Ki Sumangkar, apakah sebaiknya Ki Sumangkar tidak berbaring saja dahulu didalam bilik di gandok? Mungkin dengan demikian, keadaan Ki Sumangkar akan segera bertambah baik.” Ki Sumangkar termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menggeleng. Katanya, “Aku sudah berangsur baik. Obat Kiai Gringsing memang obat yang sangat baik. Apalagi setelah minum seteguk. Tubuhku akan merasa segera segar kembali.” Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa Ki Sumangkar tentu ingin mendengar apa yang akan mereka bicarakan, sehingga karena itu maka Ki Juru tidak memaksanya. Setelah dihidangkan minuman dan makanan, maka mulailah mereka berbicara dengan sungguhsungguh. Mereka sadar, bahwa semuanya harus berlangsung cepat. Jika persoalan ini didengar Untara dalam sudut pandangan yang tersendiri, maka Untara tentu akan bergerak lebih cepat dari Mataram. “Aku kira pada masa-masa terakhir, Untara tentu selalu didampingi oleh orang-orang yang berada didalam pengaruh mereka yang merasa dirinya keturunan dan pewaris kerajaan Majapahit. Setidaktidaknya para perwira bawahan Untara, yang berada dibawah pengaruh orang-orang itu akan selalu mengawasi, apakah Ki Sumangkar telah datang melaporkan peristiwa itu,“ berkata Kiai Gringsing.

“Ya,“ jawab Raden Sutawijaya, “dan sekarang adalah tugas kita untuk mencari penyelesaian. Jika orang-orang yang ditugaskan membunuh Ki Sumangkar itu tidak kembali pada saatnya, maka akan segera dilakukan tindakan-tindakan yang mungkin mengejutkan kita.” “Ya Raden. Tetapi bahwa tidak seorangpun dari kesepuluh orang petugas yang berhasil lolos dan menyampaikan laporan yang sebenarnya telah terjadi, maka mereka masih harus meraba-raba dan memperhitungkan apa yang telah terjadi itu. Sementara petugas mereka akan selalu berada disisi Untara untuk melihat dan mendengar apakah Ki Sumangkar telah melaporkan semuanya ini kepada Senapati dilereng Gunung Merapi itu.” “Baiklah,“ berkata Raden Sutawijaya, “silahkan Kiai beristirahat sejenak digandok. Aku akan memanggil beberapa orang terpenting dari Mataram. Kita harus sudah mulai membicarakan tindakan selanjutnya untuk seterusnya memasuki lembah itu, sebelum mereka pergi dan mencari tempat lain yang mungkin lebih sulit kita capai.” Sesaat berikutnya, maka tamu-tamu Raden Sutawijaya itupun segera dipersilahkan beristirahat digandok. Sementera Raden Sutawijaya memerintahkan memanggil orang terpentingnya yang sangat terbatas. Digandok Kiai Gringsing masih harus melihat luka Ki Sumangkar yang memang agak parah serta luka Agung Sedayu dipunggungnya. Sementara Ki Sumangkar sendiri sempat berbaring untuk beristirahat. Dalam pada itu, Swandaru yang duduk diserambi sambil memandang pepohonan, yang diguncang angin, sampai berangan-angan diluar sadarnya ia mempunyai kebanggaan terhadap dirinya sendiri. Agung Sedayu, saudara tua seperguruannya, ternyata telah terluka didalam perkelahian itu. Luka yang jika tidak segera jatuh dalam perawatan Kiai Gringsing yang mempunyai pengetahuan cukup tentang obat-obatan, tentu merupakan luka yang berbahaya pula. “Suatu kenyataan dalam perbandingan ilmu,“ berkata Swandaru kepada diri sendiri, “ternyata aku mempunyai kelebihan dari kakang Agung Sedayu. Aku dapat membebaskan diri dari kedua lawanku. Segores lukapun tidak ada didalam tubuhku. Bahkan pakaiankupun sama sekali tidak tersentuh senjata. Tetapi kakang Agung Sedayu telah terluka di punggungnya.” Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Menurut pendapat Swandaru, ternyata bahwa Agung Sedayu masih terlalu lemah berada diantara kekuatan kekuatan raksasa termasuk dirinya. “Kakang Agung Sedayu masih harus menekuni ilmunya tiga atau empat bulan lagi dapat menempatkan diri diantara kami,“ berkata Swandaru didalam dirinya sendiri, “itupun harus dilakukannya siang dan malam tanpa melakukan tugas-tugas yang lain. Bagi Swandaru, luka-luka yang terdapat pada Ki Sumangkar adalah wajar karena kedua lawannnya yang bernama Kiai Senadama dan Kiai Jambu Sirik adalah orangorang sakti yang memang dikirim,

khusus untuk membunuhnya. Tetapi kebanggaan itu cukup disimpannya saja didalam hati. Ia tidak perlu lagi menjajagi ilmu Agung Sedayu seperti saat ia menjajagi ilmu Raden Sutawijaya. Demikianlah maka setelah beberapa orang hadir di pendapa, maka Raden Sutawijayapun memanggil tamu-tamunya yang berada digandok. Meskipun Raden Sutawijaya mempersilahkan Ki Sumangkar dan Agung Sedayu untuk beristirahat saja didalam biliknya, tetapi keduanya berkeras ingin ikut mendengarkan apa yang akan dibicarakan oleh para pemimpin Mataram bersama Kiai Gringsing dan Ki Waskita. Beberapa pendapat telah dinyatakan didalam pembicaraan itu. Namun semuanya menghendaki agar Mataram cepat bertindak. Memang Mataram dapat menyerahkannya atau bekerja bersama dengan Untara, tetapi Mataram masih harus mempertanggung jawabkan kedua pusaka yang hilang itu. “Kita tidak boleh terlambat. Jika pembicaraan mereka kemudian dipindahkan ke Nusakambangan atau tempat-tempat lain yang jauh, maka tugas kita akan bertambah sulit,“ berkata Raden Sutawijaya, “kini mereka berada di lembah itu karena menurut pertimbangan mereka tempat itu merupakan tempat yang paling baik. Mungkin mereka memperhitungkan untuk segera dapat mencapai Pajang dan merampas tahta dan istana. Atau mungkin masih ada perhitungan lain. Namun pada suatu saat, jika keadaan mereka anggap tidak menguntungkan lagi, maka mereka tentu akan meninggalkan lembah itu.” Para pemimpin Mataram itu mengangguk-angguk. Tidak ada seorangpun yang berselisih pendapat. Bahkan Ki Juru Martani. seorang penasehat yang paling bijaksana di Mataram telah mengambil kesimpulan yang sama pula. “Nah, jika demikian kita akan mulai,” berkata Raden Sutawijaya, “tetapi sudah barang tentu Mataram tidak dapat berdiri sendiri.” Kiai Gringsing, Ki Waskita, Ki Sumangkar segera menangkap maksudnya. Karena itu, mereka hanya mengangguk-angguk saja ketika Raden Sutawijaya meneruskan, “Kami di Mataram ternyata masih memerlukan bantuan kekuatan dari orang-orang terdekat. Tetapi bukan pasukan Pajang.” Swandarupun sadar, bahwa yang dimaksud tentu kekuatan dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, karena Raden Sutawijaya memang pernah mengatakannya meskipun belum bersungguhsungguh seperti saat itu. Karena itu, sebelum Sutawijaya mengatakannya, Swandaru telah memotong, “Kami akan membantu Raden. Barangkali di Sangkal Putung dan di Tanah Perdikan Menoreh cukup kekuatan untuk menyumbat lembah itu dari dua arah.” “Terima kasih,“ sahut Raden Sutawijaya. Lalu, “Soalnya sekarang, apakah hal itu segera dapat dilakukan.” “Tentu Raden,” jawab Swandaru, “aku akan kembali ke Sangkal Putung dan menyiapkan pasukan

pengawal yang kuat. Karena kini Sangkal Putung telah memiliki kekuatan yang berlipat dari saat-saat kami harus menghadapi Tohpati, yang bergelar Macam Kepatihan itu, sehingga saat itu kami masih memerlukan bantuan prajurit Pajang.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak memotong kata-kata muridnya. “Terima kasih,“ Raden Sutawijayapun sudah memahami sifat dan watak Swandaru, “aku yakin bahwa Sangkal Putung dapat digerakkan setiap saat. Tetapi bagaimana dengan Tanah Perdikan Menoreh.” “Aku kira tidak ada kesulitan apa, meskipun aku masih harus menghadap paman Argapati.” “Swandaru,“ potong Kiai Gringsing, “sebaiknya kita membagi kerja. Raden Sutawijaya akan menyiapkan pasukan pengawal Sangkal Putung. Biarlah Ki Waskita pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Ia tentu akan dapat menyelesaikan persoalannya.” Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil berkata, “Terserahlah kepada Raden Sutawijaya.” Kiai Gringsing memandang Ki Waskita sesaat, Ia memang melihat sesuatu yang agak suram diwajah orang tua itu. Tetapi Kiai Gringsing masih mempunyai keyakinan, bahwa Ki Waskita tidak akan berkeberatan. “Mudah-mudahan Ki Waskita dapat memandang masalah ini terpisah dari sisanya terhadap Radden Sutawijaya yang agak kurang mantap,“ berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. Agaknya Kiai Gringsing dapat membaca perasaan Ki Waskita dari kerut dikeningnya, meskipun tidak jelas bagi orang lain. Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Memang ada sesuatu yang sedang dipertimbangkannya didalam hati. Namun seperti yang diharapkan oleh Kiai .Gringsing, Ki Waskita ingin mencari keseimbangan perasaan menghadapi masalah itu. Sehingga karena itu maka jawabnya, “Baiklah Kiai. Aku akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk membicarakannya dengan Ki Gede.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Kita semuanya tentu akan berterima kasih kepada Ki Waskita. Dengan demikian, maka kita akan segera dapat mengatur persiapan untuk melakukannya, sebelum orang-orang dilembah itu menyadari keadaan mereka.” Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan segera pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Kapan saja aku harus berangkat, aku akan berangkat.” “Kita akan berangkat bersama-sama. Ki Waskita ke Tanah Perdikan Menoreh dan Swandaru ke Sangkal Putung. Tetapi agar perjalanan Swandaru tidak seorang diri, aku akan menyertainya,“ berkata

Kiai Gringsing. Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Terima kasih guru. Aku senang sekali guru bersedia menyertai perjalananku. Tetapi bagaimana dengan kakang Agung Sedayu ?” Biarlah ia beristirahat disini bersama Ki Sumangkar. Dengan demikian, maka luka-lukanya akan segera sembuh.” Agung Sedayu menjadi gelisah. Katanya, “Lukaku tidak seberapa parah. Aku dapat menyertai perjalanan kemanapun. Ke Sangkal Putung atau ke Tanah Perdikan Menoreh.” “Sebaiknya kau beristirahat saja ngger,“ berkata Ki Waskita, “biarlah kami melakukan tugas ini.” “Aku tidak apa-apa. Memang aku terluka. Tetapi tidak mempengaruhi perjalananku sekiranya aku ikut serta.” Ki Waskita termangu-mangu. Ternyata Agung Sedayu berkeras untuk ikut serta. Katanya, “Jika guru pergi bersama adi Swandaru, maka biarlah aku menyertai Ki Waskita ke Tanah Perdikan Menoreh. Perjalanan ke Menoreh adalah perjalanan tamasya yang menyenangkan. Lewat bulak-bulak diantara batang-batang padi yang hijau, menyusuri dataran dihadapan sederet pegunungan.” Raden Sutawijaya yang mengetahui luka ditubuh Agung Sedayu mencoba mencegahnya pula. Tetapi Agung Sedayu lebih senang duduk dipunggung kudanya dari pada menunggu dengan gelisah. “Terserahlah kepada Agung Sedayu,“ berkata gurunya kemudian, “jika badanmu merasa cukup kuat. Aku kira, tidak ada keberatannya jika kau berkeras untuk ikut ke Tanah Perdikan Menoreh bersama Ki Waskita.” Agung Sedayu memandang Ki Sumangkar sekilas. Namun Ki Sumangkar yang terluka agak parah itu berkata, “Biarlah aku saja yang tinggal, disini. Aku benar-benar ingin beristirahat. Tidur sambil merenungi diri.” Ki Juru tersenyum. Katanya, “Ki Sumangkar akan mempunyai banyak kawan disini. Jika Ki Sumangkar masih senang bermain macanan, akupun mempunyai kesenangan bermain macanan pula.” Ki Sumangkarpun tersenyum pula. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia tidak akan dapat menyertai perjalanan kemanapun juga karena luka-lukanya. Karena itu ia lebih senang tinggal di Mataram untuk memulihkan kekuatannya dan menyembuhkan luka-lukanya. Jika benar-benar akan segera terjadi benturan kekuatan, maka ia berharap bahwa luka-lukanya itu akan sudah sembuh. Demikianlah, maka telah menjadi keputusan bahwa Swandaru yang disertai oleh Kiai Gringsing akan

pergi ke Sangkal Putung, sedangkan Ki Waskita dan Agung Sedayu akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Dalam pembicaraan yang agak panjang, maka Raden Sutawijaya mengambil kesimpulan, bahwa kehadiran pasukan Sangkal Putung di mulut lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu harus dilakukan dengan hati-hati, agar tidak menyinggung wewenang Untara. “Tetapi akhirnya ia akan mengetahui juga,“ berkata Swandaru, namun kemudian, “meskipun bagiku, tidak ada keberatannya jika ia menganggap bahwa aku telah melanggar wewenangnya.” “Ah, jangan begitu Swandaru, “potong Kiai Gringsing, “memang akhirnya Untara akan mengetahuinya juga. Tetapi kita tidak akan berahasia lagi tentang hilangnya kedua pusaka itu justru apabila pusaka itu telah berada di tangan kita. Kita harus menjelaskan bahwa kita tidak dapat menghubungi Untara sebelumnya, justru karena kita menghormati wibawa Sultan Pajang. Hilangnya pusaka itu adalah pertanda yang kurang baik. Bukan pertanda bagi masa depan Mataram, tetapi Mataram tidak dapat ingkar bahwa perawatan pusaka itu masih kurang teliti. Padahal pusaka-pusaka yang hilang itu adalah pusaka yang terpenting bukan saja bagi Mataram, tetapi juga bagi Pajang.” Swandaru tidak menjawab karena yang mengucapkan kata-kata itu adalah gurunya, meskipun nampak, bahwa hatinya masih juga bergetar. “Jadi, apakah yang harus aku lakukan?“ Swandaru justru bertanya. “Sebaiknya kau bawa pasukanmu ke Mataram lebih dahulu,“ berkata Raden Sutawijaya, “itupun harus kau lakukan dalam gelombang demi gelombang. Sehingga barangkali kau memerlukan waktu yang agak panjang.” “Semalam? “ potong Swandaru. “Mungkin. Sampai orang terakhir memasuki kota Mataram. Sementara orang pertama akan berangkat setelah gelap.” Swandaru mengangguk-angguk, meskipun sebenarnya ia kurang sependapat, bahwa seolah-olah Untara benar-benar merupakan orang yang paling disegani didaerah Selatan itu. Namun ia tidak mau membantah sikap gurunya, apalagi dihadapan orang lain. Sementara itu, Mataram memutuskan, bahwa pasukan Tanah Perdikan Menoreh apabila Ki Argapati tidak berkeberatan, akan ditempatkan langsung dimulut lembah bagian Barat untuk menutup kemungkinan pusaka-pusaka yang sedang mereka cari itu dilarikan ke arah Barat. Setelah semua pembicaraan dan pesan disampaikan, maka mereka mengambil keputusan, bahwa difajar berikutnya, masing-masing akan berangkat menurut tujuannya. Swandaru dan Kiai Gringsing ke Sangkal Putung, dan Agung Sedayu akan menyertai Ki Waskita ke Tanah Perdikan Menoreh.

Namun bagi kita Ki Waskita yang akan menyampaikan pesan kepada Ki Gede Menoreh masih harus mengirimkan utusan apabila Ki Gede telah mengambil keputusan, apapun keputusan itu. Bersedia atau tidak bersedia membantu Mataram menemukan pusaka-pusaka yang hilang dan sekaligus menghancurkan sebuah gerombolan yang berbahaya bagi Pajang dan Mataram. Bagi Kiai Gringsing, maka tugas itu merupakan kewajiban bagi dirinya sendiri, kecuali kesediaannya membantu Mataram. Baginya, orang-orang yang menyebut dirinya berhak mewarisi kerajaan Majapahit itu memang menimbulkan persoalan yang khusus didalam hatinya. Demikianlah, maka sejak saat keputusan itu diambil oleh para pemimpin Mataram bersama tamutamunya yang datang dari Sangkal Putung itu, maka Mataram mulai mempersiapkan diri untuk suatu perjuangan yang berat. Raden Sutawijaya masih ingin bertemu dengan beberapa orang tawanan yang dibawa oleh Kiai Gringsing meskipun ia sadar, bahwa orangorang terpenting dari para tawanan itu tentu akan sulit untuk disadap keterangannya. Meskipun demikian Raden Sutawijaya merasa perlu untuk menobanya, “Besok, jika Kiai Gringsing dan Ki Waskita sudah ada diperjalanan, maka aku akan memanggil kedua orang itu,” berkata Raden Sutawijaya. “Mudah-mudahan keterangan yang mereka berikan akan dapat meratakan jalan menuju ke lembah itu,“ sahut Kiai Gringsing. Hampir semalam suntuk, maka rumah Raden Sutawijaya itu seakan-akan tidak tertidur sama sekali. Orang-orang tua masih saja sibuk dengan uraian dan tanggapan masing-masing. Hanya Ki Sumangkar sajalah yang merasa perlu untuk banyak beristirahat. Meskipun iapun tidak dapat tidur dengan nyenyak bukan karena sakit pada lukanya, tetapi karena kegelisahannya. Namun demikian menjelang fajar, mereka masih sempat tidur sejenak, sebelum sesaat kemudian mereka telah terbangun karena kokok ayam yang riuh dibelakang rumah. Kiai Gringsing dan kedua muridnya, Ki Waskita dan Ki Sumangkar telah terbangun pula. Mereka pergi kepakiwan dan mempersiapkan diri untuk suatu perjalanan, selain Ki Sumangkar. Setelah minum minuman panas beberapa teguk dan sedikit makanan, maka merekapun segera berangkat menuju ketujuan masing-masing. Agung Sedayu yang menyertai Ki Waskita telah dibekali dengan obat bagi lukanya. Meskipun luka itu tidak terlalu parah, namun apabila tidak mendapat perawatan yang cukup, maka luka itu akan dapat membengkak dan menimbulkan gangguan yang sungguh-sungguh bagi kesehatan Agung Sedayu. Namun demikian, agaknya Ki Waskita selalu berusaha untuk menyesuaikan diri dengan keadaan Agung Sedayu. Mereka tidak berpacu terlalu cepat. Apalagi matahari masih belum menyingsing, meskipun langit diujung Timur sudah menjadi semakin merah.

Dalam pada itu, Swandaru lebih meyakini perjalanannya bahwa ia tidak akan menjumpai kesulitan apapun. Bahkan ia menjadi gembira, bahwa dengan demikian ia akan dapat melihat kemampuan para pengawal Kademangan Sangkal Putung dalam pertempuran yang sesungguhnya. “Aku akan dapat menunjukkan, bahwa para pengawal Sangkal Putung bukan sekedar pengawal yang hanya dapat menghiasi Kademangannya dengan berdiri disebelah menyebelah regol,“ berkata Swandaru didalam hatinya. Namun ternyata bahwa Swandaru tidak dapat menahan gejolak hatinya yang tersimpan. Karena itulah maka yang dikatakan didalam hatinya itu akhirnya terlontar pula kepada gurunya. “Guru,“ katanya, “mungkin akan jatuh korban dalam pertempuran yang mungkin akan terjadi dilembah. Tetapi pertempuran itu merupakan pertempuran yang sangat menarik bagi para pengawal yang belum pernah mengalami pertempuran yang sebenarnya.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia sama sekali tidak heran atau terkejut mendengar pendapat Swandaru itu. Namun iapun menjawab, “Tetapi kali ini kita akan berhadapan dengan lawan yang kuat Swandaru. Kita tidak tahu pasti, betapa besarnya kekuatan yang ada diperut lembah itu.” “Sangkal Putung akan mengerahkan kekuatannya. Dan kekuatan Sangkal Putung tidak akan dapat diabaikan oleh kekuatan yang manapun,“ berkata Swandaru. “Aku tahu Swandaru. Tetapi para pengawal muda di Sangkal Putung itu masih belum berpengalaman menghadapi pertempuran yang sebenarnya. Karena itu, biarlah diantara mereka terdapat para pengawal yang telah banyak makan garamnya pertempuran.” “Tentu guru. Para pengawal yang pernah mengalami tekanan Tohpati akan ikut serta. Mereka merupakan otak dari pertempuran yang bakal datang. Tetapi anak-anak muda yang memiliki kemampuan yang melampaui mereka adalah tangan mereka yang kuat dan trampil mempermainkan senjata.” Kiai Gringsing mengagguk-angguk. Tetapi ada sesuatu yang agak mencemaskannya. Namun demikian, ia percaya bahwa para pengawal Sangkal Putung yang agak lebih muda dari Swandaru sendiri memiliki kemampuan oleh kanuragan melampaui mereka yang mendahuluinya berada didalam lingkungan para pengawal. “Guru,“ berkata Swandaru kemudian, “meskipun aku dapat berbangga dengan para pengawal, tetapi masih ada yang sebenarnya aku cemaskan.” “Apa yang kau cemaskan Swandaru?,“ bertanya Kiai Gringsing. Swandaru termangu-mangu sejenak. Meskipun agak ragu-ragu namun ia menjawab juga, “Kakang Agung Sedayu.”

Kiai Gringsing justru terkejut mendengar jawaban itu. Sambil berpaling memandang wajah Swandaru yang kemerah-merahan oleh cahaya pagi yang mulai memancar di Timur ia bertanya, “Kenapa dengan Agung Sedayu? Lukanya tidak begitu mencemaskan. Dalam satu dua hari, luka itu tentu tidak akan berpengaruh lagi, meskipun belum sembuh sama sekali. Jika kemudian lewat sepekan, setelah lembah itu dikepung, ia harus bertempur, luka itu tidak akan mengganggu lagi.” Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia memandang jauh kedepan. Memandang pagi yang cerah seperti cerahnya hari depannya sendiri. Baru sejenak kemudian ia berkata, “Guru. Kakang Agung Sedayu adalah saudara tua bagiku dalam perguruan ini. Meskipun jika kemudian ia benar-benar akan kawin dengan adikku, tetapi tetap suadara seperguruanku dalam urutan yang lebih tua,“ Swandaru berhenti sejenak, lalu. “tetapi agaknya kemajuannya tidak sepesat yang kita harapkan. Bagaimana juga, seharusnya kakang Agung Sedayu mempunyai beberapa kelebihan daripadaku. Dalam keadaan khusus aku wajib minta bantuan, bahkan perlindungannya. Tetapi agaknya perkembangan ilmunya sangat tersendat-sendat, sehingga dalam pertempuran yang baru saja terjadi, terpaksa kakang Agung Sedayu mengorbankan punggungnya. Untunglah bahwa aku benar-benar sudah siap menghadapi keadaan yang bagaimanapun juga, sehingga keadaanku ternyata lebih baik dari keadaan kakang Agung Sedayu.” Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar mendengar kata-kata Swandaru itu. Bahkan kemudian iapun menarik nafas panjang sekali, seakan-akan ia sedang berjuang untuk menenteramkan hatinya. Sementera Swandaru masih meneruskan, “Guru. Ketika aku bertemu dengan kakang Agung Sedayu dihari-hari pertama, aku sudah mengaguminya. Ia mampu membidik sasaran yang aku lemparkan keudara Ia berhasil melampui Sidanti yang sombong dan besar kepala saat itu. Tetapi kini, nampaknya ia justru tidak lagi berhasil meningkatkan ilmunya itu.” Kiai Gringsing kemudian mengangguk-angguk. Ia sudah menduga bahwa Swandaru pada suatu saat tentu ingin mendapat kepastian perbandingan ilmunya dengan Agung Sedayu. Karena itu, maka pertempuran yang sudah terjadi itu ada pula baiknya bagi kedua saudara seperguruan itu. Dengan demikian Swandaru tidak perlu menantang Agung Sedayu seperti yang pernah dilakukannya terhadap Raden Sutawijaya. “Tetapi,“ berkata Kiai Gringsing didalam hatinya, “Swandaru telah mendapat gambaran yang salah. Ia merasa dirinya jauh lebih baik dari Agung Sedayu. Meskipun Swandaru maju pesat, namun agaknya ia masih selapis dibawah kemampuan Agung Sedayu yang bukan saja secara wadag berhasil menguasai ilmunya, tetapi dalam hubungan antara yang wadag dan yang halus didalam dan diluar dirinya dalam lingkungan Kuasa Yang Maha Besar.”

Dalam pada itu ada semacam kegelisahan dihati Kiai Gringsing. Dalam perbandingan ilmu, seharusnya Swandaru tidak boleh mempunyai perhitungan yang keliru. Ia harus melihat kenyataan bahwa ia masih belum menyamai kakak seperguruannya. “Sebaiknya ia mengetahui, dan aku harus berkata berterus terang. Tetapi terhadap Swandaru aku harus sangat berhati-hati dan memilih waktu yang paling tepat. Jika salah paham, maka Swandaru tentu akan memaksa untuk menjajagi ilmu Agung Sedayu pada kesempatan-kesempatan yang mungkin justru merugikan.” berkata Kiai Gringsing kepada dirinya sendiri. Dan itulah sebabnya, maka Kiai Gringsing hanya menahan kegelisahan itu didalam hatinya. Dalam perjalanan selanjutnya, sekali-kali Swandaru masih menyinggung tentang kakak seperguruannya. Namun kemudian sebagian dari pembicaraannya diberatkan pada kemungkinan yang harus dilakukakannya untuk menghadapi orang-orang yang berada dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. “Kau harus menyadari, betapa besar kekuatan mereka Swandaru,“ berkata Kiai Gringsing, “untuk mencegat iring-iringan saat kau kawin, mereka sudah berhasil mengerahkan kekuatan diluar lingkungan mereka sebesar itu. Apalagi induk pasukan mereka yang dipimpin langsung oleh orangorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Dua diantara mereka sudah kita temui. Kiai Senadarma dan Kiai Jambu Sirik. Keduanya tentu bukan puncak kekuatan yang ada dilembah itu.” Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi kitapun memiliki kekuatan yang sangat besar. Selain pasukan pengawal dari Sangkal Putung, akan datang pula pa sukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh. Sementara itu kekuatan yang akan langsung memasuki lembah itu adalah pasukan Mataram sendiri.” Kiai Grinsing mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Aku tidak yakin bahwa kekuatan Mataram cukup besar menghadapi mereka.” “Jadi bagaimana pendapat guru?” “Pasukan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menorehpun harus bergerak maju memasuki lembah itu dari dua arah. Mereka tidak boleh sekedar menunggu dimulut lembah. Jika, demikian, maka apabila terjadi kesulitan dengan pasukan Mataram, Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh tidak akan dapat segera membantu.” Swandaru mengangguk-angguk. Ia memang lebih senang berbuat demikian. Jika ia ikut memasuki lembah, maka ia akan dapat langsung berhadapan dengan lawan. Dalam pertempuran itu ia dapat memamerkan kemampuan pasukan Pengawal Kademangan Sangkal Putung yang tidak akan kalah dari pasukan pengawal Mataram maupun prajurit-prajurit Pajang. “Guru,“ berkata Swandaru kemudian, “aku kira sebaiknya memang demikian. Semakin dekat dan sempit ruang gerak mereka, maka kemungkinan pusaka-pusaka itu lolos menjadi semakin kecil.” “Tepat Swandaru. Tetapi kaupun harus mempersiapkan pasukanmu sebaik-baiknya.”

Swandaru tertawa. Katanya, “Pasukan Pengawal Sangkal Putung tentu tidak akan mengecewakan. Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang sudah berpengalaman, sedang yang lain adalah anakanak muda yang memiliki kemampuan jasmaniah dan ilmu kanuragan yang tinggi.” Kini Gringsing tidak membantah. Ia memang sudah melihat, bahwa kemampuan para pengawal dari Kademangan Sangkal Putung lelah meningkat semakin jauh. Dalam pada itu, maka diarah yang lain, Ki Waskita berkuda bersama Agung Sedayu menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Mereka tidak berpacu terlalu cepat, karena punggung Agung Sedayu masih terasa pedih meskipun sudah jauh berkurang. “Tidak banyak perubahan yang terjadi disini,“ berkata Ki Waskita. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Ki Waskita melanjutkan, “memang agak berbeda dari Kademangan Sangkal Putung.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia memang melihat beberapa perbedaan meskipun baru melihat wajahnya. Di Sangkal Putung nampak betapa gejolak darah muda yang mengalir ditubuh Swandaru yang seolah-olah telah mengaliri Kademangannya pula. Sedangkan di Tanah Perdikan Menoreh nampaknya semakin lama justru menjadi semakin sepi. Ki Argapati nampaknya telah kehilangan gairahnya memerintah Tanah Perdikan Menoreh sepeninggal anak gadisnya yang kawin dengan Swandaru di Sangkal Putung. “Paman,“ berkata Agung Sedayu, “rasa-rasanya Tanah Perdikan ini menjadi semakin sepi. Mungkin sekedar perasaanku sajalah yang menjadi sepi, karena aku mengetahui, seolah-olah Ki Argapati telah hidup dalam kesunyian dirumahnya yang besar. Anak gadis satu-satunya tidak ada lagi dirumah itu.” “Mungkin rumah itu memang menjadi sepi,“ sahut Ki Waskita, “tetapi Ki Argapati sebenarnya dapat mengisi kesepiannya dengan kerja.” “Mungkin pula sebaliknya,“ sahut Agung Sedayu. Menoreh benar-benar telah berubah.” Perjalanan itu memang agak terasa lambat karena keadaan Agung Sedayu. Namun dengan demikian mereka seakanakan mendapat kesempatan untuk melihat keadaan di Tanah Perdikan Menoreh. “Mungkin pula sebaliknya,“ sahut Agung Sedayu. “Ya. Dan sebentar lagi kita akan melihat, apakah Ki Gede Menoreh benar-benar telah berubah.” Perjalanan itu memang agak terasa lambat karena keadaan Agung Sedayu. Namun dengan demikian mereka seakan-akan mendapat kesempatan untuk melihat keadaan di Tanah Perdidkan Menoreh. Selama mereka dalam perjalanan setelah mereka menyeberangi sungai Praga, mereka tidak lagi

melihat pasukan pengawal melintas di jalan-jalan diantara padukuhdan yang satu dengan padukuhan yang lain. Apalagi ketika Agung Sedayu melihat parit yang mengering diatas tanggul sebuah sungai kecil. “Benar-benar suatu kemunduran,” diluar sadarnya Agung Sedayu berguman. “Apa ngger?“ bertanya Ki Waskita. “Parit itu paman. Seharusnya parit itu tidak akan kering. Berapa kotak sawah telah kehilangan kesempatan panen dimusim kemarau.” Ki Waskita mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Di Tanah Perdikan ini ada seorang anak muda yang seharusnya dapat membakar Tanah ini seperti Swandaru di Sangkal Putung.” Agung Sedayu termangu-mangu. Namun sebelum ia bertanya, Ki Waskita sudah menyebutnya, “Apakah Prastawa tidak dapat berbuat seperti Swandaru di Sangkal Putung?” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Ada perbedaan yang barangkali menentukan paman. Prastawa adalah anak Ki Argajaya yang sekarang seakan-akan telah mengasingkan diri oleh penyesalan. Mungkin sikap dan keadaan ayahnya itu sangat berpengaruh atas Prastawa.” Ki Waskita mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Menilik sikap dan watak Prastawa, ia tidak akan banyak terikat oleh keadaan ayahnya. Tetapi agaknya Prastawa memang agak lain dari Swandaru.” Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi ia menjadi semakin resah melihat keadaan di Tanah Perdikan Menoreh yang nampak memang agak mundur. Dalam pada itu, maka perjalanan merekapun semakin lama menjadi semakin dekat dengan pedukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Namun mereka benar-benar menjadi prihatin. Tanah Perdikan Menoreh memang mengalami kemunduran. Apalagi dibanding dengan Kademangan Sangkal Putung. “Jika saatnya Swandaru memerintah Tanah Perdikan Menoreh, maka Tanah Perdikan ini tentu akan segera berubah,“ desis Ki Waskita. Keduanya menarik nafas dalam-dalam ketika mereka melihat dua ekor kuda yang terikat pada tiang sebuah gardu, sementara dua orang pengawal sedang duduk bersandar sambil terkantuk-kantuk. “Itulah mereka sekarang,“ berkata Agung Sedayu. “Perubahan ini terjadi terlalu cepat,“ berkata Ki Waskita “ mudah-mudahan tidak menyeluruh dalam tata kehidupan Tanah Perdikan ini. Menilik sawah yang hijau, agaknya para petani masih tetap rajin pada kerja mereka di sawah.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi rasa-rasanya hatinya menjadi berdebar-debar dan cemas. Sebuah pertanyaan telah melonjak didalam hatinya, “Apakah Tanah Perdikan ini masih sanggup

melakukan kerja besar menghadapi orang-orang dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu.” Kedua pengawal yang berada digardu itu sama sekali tidak menghiraukannya. Agaknya mereka adalah dua orang pengawas yang bertugas untuk meronda. Tetapi mereka lebih senang duduk terkantuk-kantuk digardu daripada berkeliling diatas punggung kuda. Agaknya ketenangan di Tanah Perdidkan Menoreh telah membantu membuat para pengawal bertambah malas. Mereka merasa tidak perlu lagi bekerja keraa, karena tidak ada persoalan-persoalan yang harus mereka pecahkan. Akhirnya, Ki Waskita dan Agung Sedayu telah memasuki padukuhan induk. Beberapa orang yang melihatnya segera menyapanya. Masih tetap ramah dan dengan wajah yang jernih. Ternyata kedatangan kedua orang itu memasuki halaman rumah Ki Gede Menoreh telah membuat para pangawal yang berada digardu didepan regol halaman, menjadi terkejut karenanya. Salah seorang dari mereka dengan serta merta segera melaporkannya kepada Ki Gede yang kebetulan ada dirumah, sementara yang lain telah mempersilahkan keduanya memasuki halaman. Seorang pengawal dengan tergopoh-gopoh telah menerima kendali kuda mereka dan membawa kesisi halaman. Berita kedatangan keduanya telah diterima oleh Ki Gede dengan perasaan yang sangat gembira. Rasarasanya sudah lama ia terpisah dari sebuah lingkungan yang tidak begitu jelas baginya. Dan kini, ada seseorang yang datang menengoknya dalam keterasingan itu. Dengan tergesa-gesa Ki Gede turun menjemput tamunya. Sebuah tawa yang riang menghias bibirnya. “Marilah. Masuklah naik kependapa. Aku senang sekali melihat Ki Waskita dan Agung Sedayu masih sudi mengunjungi tempat yang senyap ini.” Ki Waskitapun tertawa juga, sementara Agung Sedayu tersenyum meskipun terasa sesuatu bergejolak didalam hati. Rumah Ki Gede Menoreh memang memberikan kesan kesepian dan keterasingan. Kegembiraan Ki Gede nampak pada sikap, wajah dan kata-katanya. Ketika mereka sudah duduk dipendapa, maka Ki Gedepun sambil tertawa telah bertanya tentang keselamatan kedua tamunya dan keluarga yang mereka tinggalkan. “Sokurlah jika semuanya selamat,“ berkata Ki Gede kemudian. Namun katanya selanjutnya,

“meskipun demikian, kedatangan Ki Waskita hanya berdua saja dengan Agung Sedayu membuat aku agak berdebar-debar juga. Kenapa tidak bersama Kiai Gringsing dan Swandaru.” Ki Waskita tersenyum. Jawabnya, “Kami memang sudah menduga bahwa hal itu dapat membuat Ki Gede menjadi cemas. Tetapi tidak ada persoalan apapun yang perlu dicemaskan.” “Jadi, bagaimana dengan Swandaru?“ Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah Ki Gede. Sebenarnya aku ingin berceritera agak panjang. Tetapi yang terpenting sajalah yang perlu Ki Gede ketahui.” Tiba-tiba saja dahi Ki Gede berkerut. Sementara Ki Waskita langsung menceriterakan keperluannya datang ke Tanah Perdikan Menoreh. “O,“ Ki Gede mengangguk-angguk, “baiklah. Baiklah. Jika persoalannya begitu gawat, biarlah nanti setelah Ki Waskita dan Agung Sedayu beristirahat, kita akan membicarakannya.“ Dengan demikian maka Ki Gede telah menunda pembicaraan. Apalagi ketika kemudian hidangan telah disuguhkan. Ki Waskita dan Agung Sedayu masih sempat beristirahat digandok kanan. Ia masih sempat mempergunakan waktunya untuk minta agar Ki Waskita mengobati lukanya agar cepat sembuh dan pulih kembali. Apalagi Agung Sedayu sadar, bahwa sebentar lagi mereka akan menghadapi tugas yang gawat dan berat. Baru disore hari, Ki Gede Menoreh memerlukan berbicara dengan sungguh-sungguh bersama Ki Waskita dan Agung Sedayu. Namun agaknya Ki Gede sudah menduga, tugas apa yang akan disangkutkan kepadanya menghadapi perkembangan keadaan. “Aku tidak akan ingkar,“ berkata Ki Argapati, “semuanya memang harus dilakukan. Lambat atau cepat. Dan agaknya kini telah sampai waktunya untuk mulai dengan pekerjaan besar itu.” “Ya Ki Gede. Agaknya Mataram tidak akan dapat menunda lagi agar pusaka itu tidak terlepas dari tangannya.” “Baiklah. Apakah yang harus aku lakukan?” “Menyumbat mulut lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu dari arah Barat.” Ki Gede Menarik nafas dalam-dalam. Untuk tugas itu diperlukan kekuatan yang cukup. Bukan saja jumlahnya, tetapi juga kemampuan setiap orang dalam pasukan itu. Agaknya Ki Waskita melihat kebimbangan dihati Ki Gede. Bukan karena ia segan melakukannya atau bahkan mencemaskan dirinya sendiri. Tetapi ada semacam

pengakuan bahwa pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah mengalami banyak kemunduran yang cepat dalam waktu singkat. “Ki Waskita,“ berkata Ki Gede dengan nada yang datar, “aku tidak akan ingkar seperti yang aku katakan. Tetapi adalah suatu kenyataan bahwa kemampuan pengawal Tanah Perdikan Menoreh sudah mundur. Aku sudah terlalu tua untuk berbuat terlalu banyak. Apalagi kini aku hanya seorang diri.” Ki Waskita menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Tidak Ki Gede. Kemampuan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh tidak surut. Mungkin yang terjadi adalah kemunduran gairah perjuangan mereka menghadapi kehidupan. Justru karena Tanah Perdikan Menoreh menjadi semakin tenang dan tenteram.” “Mungkin Ki Waskita. Tetapi kesendirianku juga berpengaruh atas kemunduran itu.” “Bagaimana dengan Prastawa?,“ bertanya Agung Sedayu dengan serta merta. “Ia adalah anak yang baik. Tetapi ia memerlukan banyak sentuhan. Ia masih terlalu muda, sehingga masih banyak harus mendapat tuntunan dalam banyak hal.” Agung Sedayu tidak bertanya lebih banyak lagi tentang Prastawa. Ia masih belum tahu pasti, bagaimanakah sikap Ki Gede sesungguhnya terhadap anak muda yang pernah memusuhinya itu, meskipun dalam saat terakhir nampaknya ia sudah menjadi berangsur jinak. “Ki Gede,“ berkata Ki Waskita kemudian, “tugas ini harus kita laksanakan dalam waktu singkat. Jika peristiwa Ki Sumangkar itu sampai pada pimpinan orang-orang yang merasa dirinya pewaris Kerajaan Majapahit itu, maka persoalannya akan berkembang dengan cepat.” “Baiklah Ki Waskita. Aku akan mencoba bekerja dengan cepat. Tetapi aku memerlukan bantuan. Mungkin angger Agung Sedayu dapat membantuku.” “Tentu,“ jawab Ki Waskita, “jika angger Agung Sedayu setuju, biarlah ia tetap disini. Aku akan kembali ke Mataram uantuk mendapatkan perintah terakhir, karena untuk melakukan satu gerakan diperlukan satu perintah. Pasukan Kademangan Sangkal Putung akan dibawa ke Mataram lebih dahulu sebelum menuju kemulut lembah itu disebelah Timur.”

Buku 106 Ki ARGAPATI termangu-mangu. Sementara Agung Sedayu bertanya, “Tetapi Ki Waskita akan pergi seorang diri tanpa kawan diperjalanan.” Ki Waskita tersenyum. Jawabnya, “Jalan rasa-rasanya menjadi semakin aman.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa Ki Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh itu memang memerlukan seorang kawan untuk mempersiapkan pasukannya. Setelah pembicaraan itu tuntas, maka Ki Waskitapun minta diri untuk menengok keluarganya barang sehari semalam. Ia sudah berada dekat dengan rumahnya. “Tetapi sampai kapan?“ bertanya Agung Sedayu. “Aku akan berangkat sekarang. Besok siang aku sudah berada disini lagi untuk meneruskan perjalanan ke Mataram.” “Ki Waskita akan berjalan dimalam hari?“ bertanya Ki Gede. Ki Waskita tersenyum. Jawabnya, “Aku sudah terbiasa.” Ki Gede tidak dapat menahannya lagi. Dibiarkannya Ki Waskita menengok keluarganya dalam perjalanan dimalam hari. Sebenarnyalah bahwa Ki Waskita hanya ingin sekedar bertemu dengan keluarganya karena ia sudah terlalu lama pergi. Untuk menyatakan keselamatannya dan melihat keselamatan keluarganya. “Untunglah bahwa keluargaku mengenal aku sebaik-baiknya,“ berkata Ki Waskita di dalam hatinya, “sehingga mereka sama sekali tidak menyesali tingkah lakuku. Semakin tua aku justru menjadi semakin banyak bertualang lagi.” Tetapi Ki Waskita tidak dapat menghentikan keterlibatannya itu ditengah jalan. Meskipun ia orang lain sama sekali, baik bagi Pajang maupun bagi Mataram, tetapi ia merasa mempunyai ikatan yang tidak diketahuinya sendiri dengan Kiai Gringsing. Dan Ki Waskita tahu, bahwa Kiai Gringsing tidak akan dapat berdiam diri jika seseorang mulai berbicara tentang warisan Kerajaan Majapahit, karena sebenarnyalah bahwa Kiai Gringsingpun berkepentingan dengan sikap mereka. Bukan karena Kiai Gringsing dengan tamak ingin ikut serta beramai-ramai memperebutkannya, tetapi justru karena Kiai Gringsing merasa bahwa berbicara tentang warisan Kerajaan Majapahit seperti yang dilakukan oleh orang-orang dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu merupakan perbuatan yang tidak wajar karena sebenarnyalah yang mereka kehendaki adalah sekedar kemukten dan kedudukan tanpa mengenali akibat atas kewajiban yang timbul. Sepeninggal Ki Waskita, maka Ki Gede Manorehpun mulai membicarakan persiapan yang harus

dilakukan bersama Agung Sedayu. Dari mana Ki Gede harus mulai, dan siapa saja yang harus dipanggilnya. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya Ki Gede Menoreh sudah benar-benar lelah melakukan tugasnya. Ia tidak lagi nampak bergairah dan penuh gelora perjuangan menghadapi tantangan seperti itu. Tetapi seakan-akan ia harus dituntun aksara demi aksara untuk menanggapi peristiwa yang besar itu. “Ki Gede,” bertanya Agung Sedayu, “bukankah para pemimpin pengawal Tanah Perdikan masih lengkap?“ “Ya. Masih lengkap. Aku belum pernah mengadakan perubahan apapun pada pasukan pengawal dan bebahu yang lain dari Tanah Perdikan ini,” jawab Ki Gede. “Jika demikian, mereka harus diajak berbicara. Meskipun tidak dengan serta merta, perlahan-lahan mereka harus mengerti akan tugas yang akan mereka pikul bersama Mataram.” “Aku akan memanggil mereka.” “Tidak sekarang Ki Gede. Biarlah aku dan beberapa orang pengawal pergi kerumah mereka dan memanggil mereka untuk berkumpul besok pagi.” “Angger Agung Sedayu sendiri akan memanggil mereka?” “Sudah lama aku tidak berkuda dibulak-bulak panjang seperti di bulak yang mengantari padukuhanpadukuhan di Tanah Perdikan ini.” “Baru hari ini angger berkuda menyusuri bulak-bulak di Tanah Perdikan ini ketika angger datang dari Mataram.” “Aku hanya sekedar lewat. Kali ini aku akan menikmati hijaunya padi disawah dan gemerlipnya kunang-kunang didedaunan.” Ki Gede Menoreh menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil berkata, “Terserahlah kepadamu ngger.” “Trima kasih Ki Gede. Aku akan pergi bersama dua orang pengawal yang ada digardu disebelah regol halaman ini.” “Baiklah ngger. Aku akan memberitahukan kepada mereka, sementara yang lain biarlah tetap berada digardu itu.” Demikianlah sebagai yang direncanakan, maka setelah makan malam, Agung Sedayu bersama dua orang pengawal yang ada di gardu disebelah regol halaman rumah Ki Gede itupun mulai menyelusuri jalan-jalan Tanah Perdikan Menoreh yang sepi. Rasa-rasanya malam menjadi semakin gelap diatas

Tanah Perdikan yang memang menjadi terlalu lengang. Tidak banyak lagi gardu-gardu yang diisi oleh anak-anak muda seperti yang pernah dilihat oleh Agung Sedayu beberapa saat lampau. Meskipun para pengawal masih nampak pada tugasnya, tetapi mereka rasa-rasanya melakukannya dengan hati yang kosong. Kehadiran Agung Sedayu di Tanah Perdikan Menoreh memang mengejutkan beberapa orang pengawal yang pernah mengenalnya. Dengan gembira mereka menyambut kedatangannya. Hampir disetiap gardu Agung Sedayu harus berhenti dan berbicara panjang. Dari pembicaraan itu Agung Sedayu mendapat kesimpulan bahwa para pengawal merasa sudah tidak banyak lagi gunanya untuk meronda Tanah Perdikan itu seketat beberapa saat lampau. “Keadaan sudah berangsur baik. Agaknya sudah tidak ada orang yang berniat mengganggu daerah ini,” berkata salah seorang pengawal. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia masih belum memberikan tanggapan apapun juga. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu seakan-akan telah menimbulkan persoalan baru dihati anakanak muda itu. Mereka seakan-akan telah dipaksa untuk mengenang kembali, apa yang pernah terjadi di Tanah Perdikan itu pada saat Agung Sedayu berada di daerah itu bersama saudara seperguruannya Swandaru. Bahkan satu dua orang yang telah berjuang bersama anak muda itu, merasa bahwa kedatangan Agung Sedayu telah memanasi darah yang mengalir diurat nadi mereka. Pada malam itu juga, Agung Sedayu telah mengetuk pintu beberapa orang pemimpin pengawal yang tidak sedang bertugas. Pemimpin-pemimpin pengawal yang terkejut itu, membuka pintu rumahnya dengan mata setengah terpejam. “Siapa? Apakah ada berita kematian?“ Tetapi merekapun terbelalak ketika mereka melihat Agung Sedayu dihadapan mereka. “Aku sengaja datang ditengah malam,“ berkata Agung Sedayu, “aku minta maaf. Tetapi rasa-rasanya berjalan ditengah malam memberikan gairah baru.” Pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. “Marilah. Silahkan masuk,“ katanya. Tetapi Agung Sedayu selalu menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku mengundangmu untuk datang ke rumah Ki Gede Menoreh besok pagi-pagi, wayah temawon.” Pengawal itu termangu-mangu. Agung Sedayu bukannya orang Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi ia berkeliaran dimalam hari untuk mengundang para pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

Tetapi para pemimpin pengawal yang didatangi oleh Agung Sedayu pada umumnya sudah mengenalnya. Hubungannya dengan Ki Gede Menoreh dan peranan yang pernah dilakukannya dalam perkembangan Tanah Perdikan Menoreh yang panjang. Demikianlah Agung Sedayu telah menempuh hampir seluruh jalan yang menjelujur diatas Tanah Perdikan Menoreh. Ia mendatangi pedukuhan yang satu ke padukuhan yang lain, menjumpai beberapa orang pemimpin pengawal yang rumahnya berpencaran. Malam itu Agung Sedayu mendapat kesan, bahwa memang telah terjadi kemunduran diatas Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun demikian Agung Sedayu masih melihat, kemungkinan yang baik bagi bangkitnya kembali para pengawal yang seakan-akan sedang terkantuk-kantuk itu. Ketika fajar menyingsing, dan para pemimpin pengawal itu terbangun dari tidurnya, maka mereka seakan-akan telah bermimpi semalam, bahwa Agung Sedayu datang kepada mereka untuk menyampaikan perintah Ki Gede Menoreh, memanggil mereka menjelang saat pasar temawon. “Tidak,“ desis salah seorang dari mereka sambil mandi, “aku tidak bermimpi. Agung Sedayu, anak Sangkal Putung itu memang telah datang.” Karena itu, maka para pemimpin pengawal itupun segera bersiap-siap untuk pergi menghadap Ki Gede Menoreh. Sudah lama mereka tidak menerima perintah itu, sehingga dengan demikian maka para pemimpin itupun menjadi berdebar-debar. Mereka merasa bahwa sesuatu telah terjadi. Hampir semuanya diantara para pemimpin itu telah mulai meraba senjata mereka kembali. Dengan dada yang berdebar-debar mereka menarik senjata mereka dari sarungnya dan melihat, apakah senjatanya itu masih cukup tajam. Dalam pada itu, di rumah Ki Gede Menoreh, Agung Sedayu yang bangun pagi-pagi benar, telah memanggil para peronda di gardu sebelah regol halaman. Sambil menyingsingkan kain panjangnya tanpa mengenakan bajunya ia berkata, “Marilah. Kita mengurangi perasaan dingin yang menggigit tulang.” Para peronda yang masih berselimut kain panjang didalam gardu termangu-mangu. “Marilah. Kita bermain-main barang sejenak. Kita akan berkeringat dan udara yang dingin akan terasa sejuk menyegarkan.” Para peronda itu sebenarnya masih merasa segan. Tetapi mereka tidak dapat menolak. Karena itu, maka merekapun segera pergi kesebelah belakang gandok.

“Kita akan sekedar bermain-main. Aku terbiasa bangun pagi-pagi untuk sekedar membasahi tubuh dengan keringat dalam segarnya udara pagi.” Para peronda itu tidak dapat berbuat lain kecuali melepas baju mereka dan bersama-sama dengan Agung Sedayu, mereka mulai berlatih. Mula-mula para peronda itu benar-benar merasa segan. Mereka melakukan latihan karena terpaksa sehingga yang mereka lakukan adalah gerak-gerak tanpa gairah. Mereka seakan-akan sekedar memenuhi permintaan Agung Sedayu agar tamu dari Sangkal Putung itu tidak kecewa. Tetapi ketika mereka mulai melihat tata gerak Agung Sedayu yang kadang-kadang mengejutkan, bahkan sekali-sekali mereka melihat Agung Sedayu telah melakukan sesuatu yang sangat menarik, maka merekapun mulai merasa dijalari oleh darahnya yang memanas. “Lihat,“ berkata Agung Sedayu, “aku sudah berkeringat.” Para peronda itu termangu-mangu. “Kita tidak berlatih tanpa arah. Merilah kita mencoba berbuat sesuatu yang menarik. Barangkali kita dapat bermain seperti kanak-kanak sebelum kita berlatih dengan permainan orang-orang dewasa.” “Apakah yang akan kita lakukan?” “Kita akan berlatih bersama-sama bukan maksudku menunjukkan suatu kelebihan yang memang tidak aku miliki. Tetapi cobalah, sentuh dadaku.” Para peronda itu termangu-mangu. Tetapi mereka sadar bahwa Agung Sedayu ingin berlatih dengan bersungguh-sungguh. “Akupun akan menyentuh dada kalian seorang demi seorang. Yang sudah tersentuh dadanya, harus minggir dan dianggap sudah mati. Marilah. Aku berdiri disatu pihak bersama seorang dari kalian. Sedang tiga orang yang lain berdiri dipihak lain.” Para peronda itu tildak membantah. Mereka segera membagi diri. Seorang bersama Agung Sedayu, yang tiga orang berdiri sebagai lawan. Dengan demikian latihan itu menjadi semakin panas. Mereka masing-masing mencoba bertahan. Menangkis dan menghindar. Ketika keringat mulai membasahi tubuh para pengawal itu, maka merekapun justru menjadi semakin cepat bergerak sehingga latihan itu menjadi semakin hidup dan mantap.

Bahkan rasa-rasanya para peronda itu bukan saja sekedar ingin menyentuh lawan dan menghindari sentuhan, namun mereka telah melakukan latihan-latihan yang lebih jauh. Kejutan-kejutan kecil itu nampaknya mulai menumbuhkan kenangan bagi para pengawal Tanah Perdikan Menoreh terhadap kemampuan masing-masing. Para peronda itupun seakan-akan telah bangun dari kantuknya dan mulai mengenangkan masa-masa lampau, saat-saat Tanah Perdikan Menoreh menghadapi bahaya. Seperti yang diharapkan oleh Agung Sedayu, maka gairah yang demikian itu akan menjalar dari satu orang keorang yang lain. Para peronda itu kemudian tentu akan berceritera kepada kawan-kawannya dan bahkan akan mengulang permainannya dengan orang lain. “Latihan yang sebenarnya tentu masih kurang menarik,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya, sehingga seperti kanak-kanak mereka masih harus dibimbing mulai dari permainan-permainan yang menjurus. Seperti yang dikehendaki oleh Ki Gede Menoreh, maka pada wayah pasar temawon, para pemimpin pengawal telah berkumpul dipendapa rumah Ki Gede. Mereka menjadi berdebar-debar melihat beberapa orang kawan mereka yang sudah agak lama tidak berkumpul. Ketika Ki Gede kemudian hadir dipendapa itu, maka para pemimpin yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang itupun segera duduk melingkar diatas tikar pandan. Agung Sedayu telah ikut duduk pula diantara mereka. Ki Gede Menoreh minta agar Agung Sedayu menceritakan peristiwa yang mendahului keputusan Senapati Ing Ngalaga untuk melakukan tindakan langsung terhadap orang-orang yang berada dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Untuk beberapa saat Agung Sedayu telah memenuhi permintaan itu. Dengan singkat ia menceriterakan peristiwa yang langsung ditujukan kepada Ki Sumangkar. “Mereka telah merencanakan suatu pembunuhan terhadap Ki Sumangkar. Dan rencana itu sudah dilaksanakan seandainya Kiai Gringsing tidak hadir pada peristiwa itu, dan bersama-sama dengan Ki Waskita membantu Ki Sumangkar sehingga terlepas dari maut.“ Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu. “karena itulah, maka agaknya tindakan yang diambil oleh mereka yang berkumpul dilembah itu, merupakan tindakan yang sudah terlalu jauh dan tidak dapat dimaafkan lagi. Baik oleh Mataram maupun oleh Pajang. Namun ada perhitungan tertentu, bahwa Mataramlah yang akan mengambil tindakan mendahului Pajang.” “Kenapa? “ tiba-tiba saja salah seorang pemimpin itu bertanya. Agung Sedayu tidak dapat menceriterakan bahwa ada dua buah pusaka Mataram yang ada dilembah itu. Namun ia harus menjawab pertanyaan itu. Maka katanya, “Menurut penyelidikan kami, banyak perwira Pajang yang terlibat

langsung, sehingga jika Pajang yang mengambil tindakan, maka agaknya tindakan itu tidak menguntungkan. Orangorang dilembah itu akan dapat segera mengetahui dengan pasti, tindakan yang akan diambil oleh Pajang.” Para pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk. Semula memang terasa ada keseganan untuk terlibat langsung dalam pertempuran itu. Tetapi ketika Agung Sedayu memberikan beberapa penjelasan, maka merekapun mulai berpikir. “Kita harus segera mempersiapkan diri,“ berkata Ki Gede Menoreh, “Mataram dalam waktu dekat akan mengambil sikap langsung terhadap mereka yang berada dilembah itu sebelum mereka menyingkir.” “Apakah mereka akan mungkin menyingkir?“ bertanya salah seorang pemimpin pengawal itu. “Tentu. Meskipun mereka merasa kuat. Namun agaknya mereka tidak akan menemukan tempatnya sebaik sekarang. Bukan saja letaknya, tetapi juga hubungan yang mudah dengan para perwira Pajang yang berada di Kota Raja.“ jawab Ki Gede, “Tetapi, itu bukan berarti bahwa mereka akan tetap tinggal jika mereka merasa kedudukan mereka terancam.” Para pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk. “Nah. Masih ada waktu beberapa hari. Kalian masih ada kesempatan membangunkan para pengawal,“ desis Agung Sedayu. Para pemimpin itu terkejut. Bahkan Ki Gede Menoreh-pun mengerutkan keningnya. Dan Agung Sedayupun meneruskan, “Maaf Ki Gede. Agaknya selama ini Tanah Perdikan Menoreh selalu dalam keadaan tenang tanpa sentuhan sama sekali, sehingga para pengawalpun merasa tidak perlu lagi untuk bersiaga setiap saat.” “Tidak benar,“ salah seorang pemimpin pengawal itupun membantah dengan serta merta, “kami tidak pernah lengah menghadapi setiap kemungkinan.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Keingkaran itu justru menjadi pertanda yang lebih parah lagi bagi kemunduran diatas Tanah Perdikan itu. Namun pemimpin pengawal itu harus menundukkan kepalanya ketika Ki Gede Menoreh bertanya, “Apakah kau melihat tanda-tanda itu Agung Sedayu?” “Maaf Ki Gede. Semalam aku mengelilingi Tanah Perdikan Menoreh. Aku tidak melihat lagi pengawal berkuda mengelilingi Tanah Perdikan ini. Digardu-gardu para pengawal lebih senang berbaring jika tidak benar-benar tidur dengan nyenyak. Sementara para pengawal menjadi malas untuk berlatih setiap pagi atau petang hari,“ berkata Agung Sedayu meskipun dengan memaksakan diri, “Ki Gede. Maksudku semata-mata ingin mengatakan kekurangan yang ada, agar dengan segera dapat diperbaiki menjelang saat-saat yang cukup gawat.”

Para pemimpin yang tersinggung itu bergeser. Hampir berbareng merekat berkata, “Tidak. Tidak seluruhnya benar.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku minta maaf. Aku bermaksud baik. Tetapi terserahlah kepada kalian.” Ki Gede mengangguk-angguk sambil bertanya, “Apakah ada gunanya kita ingkar?” Pertanyaan itu benar-benar telah menyentuh hati para pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Sambil memandang wajah Ki Gede dan Agung Sedayu maka seakan-akan nampak pengakuan mulai membayang disorot mata mereka. “Kita harus berterima kasih, bahwa masih ada orang yang bersedia melihat dan mengatakan kekuatan kita,“ berkata Ki Gede Menoreh, “tanpa penilaian orang lain, kita akan sulit mengenal kekurangan kita sendiri.” Para pemimpin pengawal itu tidak membantah lagi. Mereka mulai melihat kedalam diri mereka dan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh pada saat-saat terakhir. Dan merekapun mulai melihat kekurangan-kekurangan dan kemunduran kemunduran itu. “Baiklah,“ berkata Ki Gede Menoreh, “kita akan segera bangkit kembali. Mulailah hari ini. Apapun yang dapat kalian lakukan untuk membangunkan yang sedang tertidur itu, lakukanlah. Kita akan berbuat sesuatu bersama dengan Mataram menghadapi keadaan yang dapat menjadi bertambah buruk didaerah ini.” Para pemimpin pengawal itu mengangguk angguk. Namun karena masih ada pertanyaan yang nampaknya tersimpan di hati mereka sehingga masih ada keseganan untuk melakukan sesuatu yang mereka anggap terlalu berat, maka Ki Gedepun berkata, “Kemenangan Mataram adalah kemenangan kita, karena kitapun merupakan daerah terbesar yang berhadapan denga mulut lembah itu. Beberapa Kademangan kecil akan tergantung kepada perkembangan keadaan tanpa dapat ikut menentukan. Tetapi kita tidak tergantung pada perkembangan keadaan. Tetapi kita harus ikut menentukan keadaan itu.” Para pemimpin pengawal itupun kemudian mulai menyadari, bahwa seperti yang dikatakan oleh Ki Gede Menoreh, Tanah Perdikan itu tidak boleh tergantung atas keadaan. Jika keadaan tenang, maka Tanah Perdikan Menoreh juga terasa tenang. Tetapi jika keadaan bergolak maka orang-orang di Tanah Perdikan Menoreh harus mulai mencari tempat persembunyian. Setiap kali terngiang kembali kata-kata Ki Gede, “Kita harus ikut menentukan keadaan.” Dalam pada itu, Ki Gede yang sudah merasa cukup setelah banyak memberikan penjelasan, telah berpesan kepada para pemimpin pengawal “ Cobalah melihat kepada diri sendiri. Apa yang sudah terjadi pada saat terakhir diatas Tanah Perdikan ini. Kemudian mulailah ber-siap--siap menghadapi tugas yang berat. Setiap orang akan mendapat bebannya masing-masing. Meskipun tidak setiap orang akan ikut serta pergi kemedan.”

Para pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk. Mereka sadar, bahwa setiap laki-laki diatas Tanah Perdikan Menoreh akan mendapat tugas. Mereka yang tidak ikut serta melakukan tugas kemulut lembah, harus mempertanggung jawabkan ketenteraman padukuhan-padukuhan diatas Tanah Perdikan Menoreh. Karena mungkin sekali ada pihak yang memanfaatkan keadaan, justru saat Tanah Perdikan Menoreh kosong. Demikianlah, setelah para pemimpin pengawal itu pulang dari rumah Ki Gede Menoreh, maka merekapun merasa, seakan-akan telah melihat diri mereka dibeningnya wajah air jembangan. Mereka melihat, betapa malasnya para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, justru saat-saat Tanah Perdikan Menoreh seakan-akan tidak lagi mempunyai persoalan apapun juga. Namun demikian, ternyata bahwa para pengawal Tanah Perdikan itu masih belum terlena sama sekali dalam mimpi yang indah. Mereka masih sempat melihat kenyataan, bahwa sebenarnyalah Tanah Perdikan Menoreh mengalami kemunduran. Seorang pemimpin pengawal yang kemudian berkuda memutari bulak disebelah padukuhan induk harus menarik nafas dalam-dalam, ketika Agung Sedayu berdesis, “Parit itu sudah tidak mengalir lagi. Meskipun parit kecil itu hanya mengairi sawah beberapa bahu, tetapi karena parit itu kering dimusim kemarau, maka tanah yang beberapa bahu itu tidak akan dapat panen setahun dua kali.” Pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar Agung Sedayu. Kita memang tidak boleh ingkar, bahwa kita mengalami kemunduran dibanyak bidang. Dibidang kesiagaan dan juga dibidang yang menyangkut tata kehidupan dan penghidupan rakyat Tanah Perdikan Menoreh.” “Untunglah, bahwa masih banyak kesempatan,“ desis Agung Sedayu. Kenyataan yang seakan-akan baru saja mereka lihat itu, ternyata telah memanasi darah mereka. Diamdiam para pemimpin pengawal itu berjanji untuk melakukan apa saja, agar tanah Perdikan Menoreh terbangun dan suasana yang malas itu. Dalam pada itu, maka para pemimpin pengawal itu-pun setelah tiba dipadukuhan masing-masing, segera mengumpulkan para pengawal yang mula-mula juga merasa, segan seperti saat para pemimpin pengawal itu mendengar persoalan yang menyangkut tanah perdikannya di rumah Ki Gede. Namun para pemimpin pengawal tidak mau mengejutkan mereka, sehingga mereka akan menjadi bingung. Yang mula-mula dilakukan oleh para pengawal itu adalah menceriterakan bahwa Agung Sedayu dari Sangkal Putung telah datang ke Tanah Perdikan Menoreh. “Aku sudah melihat “ sahut salah seorang pengawal. “Ya.“ jawab pemimpin pengawal itu, “kedatangannya telah membawa persoalan baru bagi Tanah

Perdikan kita.” Para pengawal mengerutkan keningnya. Beberapa diantara mereka berkata didalam hati, “Mudahmudahan tidak menimbulkan keributan di atas Tanah Perdikan ini.” Tetapi pemimpin pengawal itu berkata, “Selama ini kita dapat duduk dengan tenang tanpa seorangpun yang mengganggu. Tetapi ternyata bahwa diluar kesadaran kita, bahaya itu sudah mengintai. Mereka menunggu kita terlena. Kemudian dengan serta merta mereka akan menerkam kita.” Beberapa orang pengawal mengerutkan keningnya. Namun merekapun kemudian kehilangan gairah untuk mendengarkan berita kelanjutannya. Hanya satu dua orang sajalah tertarik oleh berita itu. Ada beberapa cara yang dipergunakan oleh beberapa orang pemimpin pengawal dipadukuhannya masing-masing. Tetapi pada umumnya mereka tidak tergesa-gesa memaksa kawan-kawannya untuk bangkit dan dengan penuh kesadaran mengangkat senjatanya tinggi-tinggi. Salah seorang pemimpin Tanah Perdikan Menoreh telah memancing gairah kawan kawannya dengan mengajak mereka mengenangkan masa lampau Tanah Perdikan itu. “Kita sudah memiliki segalanya. Tetapi apakah kita akan berdiam diri jika orang lain mulai memandang dengan iri perkembangan Tanah Perdikan kita? Yang mula-mula mereka lakukan adalah sekedar mengamati. Kemudian mengukur kemampuan kita yang sedang lengah. Pada suatu saat mereka akan menerkam kita,“ berkata pemimpin itu. Tetapi kata-katanya belum membangkitkan gelora dihati kawan-kawannya. Meskipun demikian ia masih berkata terus, “Yang kini sudah mulai mereka jamah adalah justru Mataram. Jika mereka menguasai Mataram, maka daerah disekitarnya akan dengan mudah mereka kuasai pula.” ”Mataram?” salah seorang dari mereka bertanya. “Ya. Mataram juga tertidur seperti kita. Dan Mataram harus menebus kelengahannya dengan penghinaan. Beberapa orang yang tidak dikenal telah berani berkeliaran di Kota yang sedang tumbuh itu. Bahkan jika kalian sempat melihat. Agung Sedayu terluka oleh orang-orang yang sama. Sangkal Putung mulai diganggu. Dan akhirnya mereka telah sesumbar, bahwa Pajang dan sekitarnya akan mereka kuasai dalam waktu dekat. Nah, terserahlah kepada kalian, apa yang dapat kalian lakukan atas Tanah Perdikan ini.” “Siapakah mereka itu?” para pengawal mulai tertarik. “Kita akan mendapat keterangan secepatnya.”

Jawaban itu sama sekali tidak memuaskan, sehingga beberapa orang pengawal telah mendesak, “Sebutkan, siapakah mereka yang akan menguasai Pajang, Mataram dan juga Tanah Perdikan Menoreh?” Pemimpin pengawal itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Kita semuanya belum mengetahui dengan pasti. Tetapi Agung Sedayu sudah mempunyai tanda-tanda yang akan dapat kita pergunakan sebagai pegangan. Kita masih belum dapat menyatakan, apa yang harus kita lakukan, agar masalahnya tidak merembes sampai ketengah mereka, karena sebenarnyalah mereka mempunyai telinga dan mata disegala tempat.” “Tetapi kami akan ikut mengambil bagian,“ berkata salah seorang pengawal. “Ya. Tetapi akupun belum tahu pasti, apa yang hrus kita lakukan. Yang aku tahu, kita akan bertempur. Sarang mereka tidak terlalu jauh dari Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan tidak mustahil, bahwa Tanah Perdikan Menoreh akan menjadi sasaran utama sebelum mereka menuju ke Mataram dan Pajang melalui Sangkal Putung.” “Maksudmu orang-orang yang berada di Gunung Tidar?” “Diantaranya,“ jawab pemimpin pengawal itu. “Mereka sudah tidak pernah menjawab Tanah Perdikan ini,“ berkata pengawal yang lain. Itulah kebodohan kita. Kita tidak mengetahui dimana mereka sekarang berada. Tetapi orang-orang Mataram dan Sangkal Putung telah menemukannya.” Para pengawal itu termangu-mangu. Mereka memang pernah mendengar meskipun hanya seperti desir angin lembut, bahwa akan terjadi sesuatu yang gawat yang berpusar dilembah antara Gunung Merapi dan Merbabu. Namun mereka tidak menanyakannya. “Nah, kita harus bersiap mulai sekarang,“ berkata pemimpin pengawal itu, “kita hanya mempunyai waktu sekitar lima hari.” “Lima hari,“ hampir berbareng para pengawal bergumam. “Ya. Dan kita membuktikan, apakah kita masih pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang dahulu.” “Yang dahulu? Kenapa?“ bertanya seorang pengawal. “Tanah Perdikan Menoreh yang dahulu dikawal oleh anak-anak muda yang trampil trengginas.” “Kami pengawal Tanah Perdikan sejak dahulu? Apakah kami pernah digantikan oleh angkatan

sesudah kami?” “Orangnya belum. Tetapi gairah perjuangannya apakah masih tetap seperti gairah perjuangan anakanak muda Tanah Perdikan Menoreh yang pernah digakumi oleh Mataram dan disegani oleh orang-orang yang bermaksud buruk atas Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh.” Para pengawal itu mulai merenung. Namun hati mereka mulai tersentuh oleh kenangan masa lampau yang belum lama terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Yang oleh ketenangan dan ketenteraman justru seolah-olah telah berkisar surut. Bukan saja dibidang keamanan, tetapi juga pada segi-segi kehidupan yang lain. “Nah, mulai sekarang bersiaplah. Hari ini Ki Waskita akan pergi ke Mataram mengabarkan, bahwa Tanah Perdikan Menoreh telah siap menghadapi segala kemungkinan.” “Apa yang akan terjadi?“ tiba-tiba saja seorang pengawal bertanya. “Mulailah membayangkan, jika liang semut itu kita siram dengan air. Maka semutnya akan buyar mencari jalannya masing-masing.” Para pengawal itupun mengangguk-angguk. Mereka justru mulai dapat membayangkan apa yang mungkin terjadi diatas Tanah Perdikan Menoreh, jika semut yang buyar itu berlari-larian diatas Tanah Perdikan mereka, menjelajahi pedukuhan-pedukuhan dan melintasi batang-batang padi muda di bulakbulak panjang. Demikianlah maka para pengawal itupun mulai mempersiapkan diri. Mereka sadar, bahwa mereka harus melanyahkan kembali tata gerak dan olah senjata. Itulah sebabnya, maka pemimpin-pemimpin mereka-pun menganjurkan, agar para pengawal itu memanfaatkan waktu yang ada untuk berlatih. “Jika kalian mulai menyadari tugas kalian menghadapi keadaan yang sebenarnya gawat ini, maka kita akan mulai dengan anak-anak muda yang lain dan setiap laki-laki yang ada diatas Tanah Perdikan ini,“ berkata para pemimpin pengawal. “Ya, setiap laki-laki memang harus mempersiapkan diri,“ desis para pengawal. Namun demikian para pemimpin pengawal masih sangat membatasi keterangan tentang rencana pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh untuk ikut serta langsung menyerang lembah diantara Gunung Merapi dan Merbabu, meskipun tugas mereka agak berbeda dengan pasukan Mataram yang akan langsung menusuk kedalam sarang mereka. Sekali-sekali para pernimpin itu hanya menyentuhnya serba sedikit. Namun masih tetap samar-samar. Pada hari itu, seperti yang dijanjikan Ki Waskita telah berada kembali di Tanah Perdikan Menoreh.

Dari Agung Sedayu ia mendengar, bahwa para pemimpin pengawal telah berhasil membangunkan Tanah Perdikan yang sedang terkantuk-kantuk itu. “Sokurlah. Mudah-mudahan mereka menemukan gairah seperti masa-masa lalu,” desis Ki Waskita, “sehingga aku akan memberikan laporan dengan mantap kepada Raden Sutawijaya di Matarami.” Yang kemudian disampaikan oleh Ki Gede Menoreh kepada Ki Waskitapun tidak berselisih dengan pendapat Agung Sedayu. Bagaimanapun juga Menoreh akan siap pada waktunya. “Aku yakin,“ berkata Ki Gede, “masa istirahat yang tenang telah lampau. Kita akan kembali dalam tugas-tugas kita untuk menegakkan tanah ini bagi masa depan dan bagi anak cucu kita.” Seperti yang direncanakan pula, Ki Waskitapun setelah beristirahat sejenak, segera mempersiapkan diri untuk pergi ke Mataram, menyampaikan berita kesiagaan Tanah Perdikan Menoreh. “Ki Waskita pergi sendiri?“ bertanya Agung Sedayu. “Ya. Bantulah membangunkan anak-anak muda diatas Tanah Perdikan ini,” jawab Ki Waskita. “Sebenarnya aku mengharap Rudita ikut bersama Ki Waskita,“ berkata Agung Sedayu. Ki Waskita mengerutkan keningnya. Sejenak ia nampak merenung. Namun kemudian katanya, ”Ia sudah menemukan dunianya sendiri. Aku tidak berani mengusiknya. Bahkan kadang-kadang aku merasa bahwa ia telah berhasil melampaui suatu masa dari orang lain meskipun padanya masih terdapat juga cacatnya.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berdesis, ”Kadang-kadang aku justru merasa iri kepada Rudita.” Ki Waskita tersenyum. Katanya, ”Mudah-mudahan ia benar benar menemukan kedamaian meskipun ia tidak pernah ingkar bahwa yang dihuninya sekarang adalah dunia yang gelap, penuh dengan segala macam nafsu yang kelam.” Agung Sedayu tidak bertanya lagi tentang Rudita. Dan agaknya Ki Waskita tidak lagi berceritera tentang dirinya. Yang dikatakan kemudian adalah ibu Rudita, ”Nyai Waskita kecewa bahwa aku hanya menjenguk keluargaku sejenak. Tetapi ia menyadari, bahwa aku tidak akan dapat melepaskan diri dari tugas ini.” “Sokurlah Ki Waskita. Mudah mudahan kita akan dapat menyelesaikannya dengan baik.” gumam Agung Sedayu. Setelah minta diri kepada Ki Gede Menoreh, maka Ki Waskitapun meneruskan perjalanannya. Sebagai orang yang jauh lebih tua, ia sudah memberikan banyak pesan kepada Agung Sedayu. Apalagi menghadapi daerah yang sedang susut seperti tanah Perdikan Menoreh. Sepeninggal Ki Waskita, maka Agung Sedayu telah minta ijin kepada Ki Gede untuk berada diantara para pengawal.

Dengan caranya, ia berusaha menggelitik, agar anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu bangkit dengan penuh gairah. Kadang-kadang ia berhasil membawa sekelompok pengawal untuk berlatih. Tetapi kadang kadang ia harus menyindir dengan tajam. Bahkan diluar kehendaknya, seorang pengawal yang masih sangat muda telah tersinggung. “Aku pernah mengenal namamu. Tetapi aku belum pernah melihat siapakah sebenarnya kau ini. Prastawa, anak muda yang perkasa itu tidak pernah menyombongkan diri. Ia adalah kemenakan Ki Gede Menoreh. Sedang kau orang asing bagi kami.” Pemimpin pengawal yang ada waktu itu terkejut mendengar kata-kata pengawal yang muda itu. Dengan serta merta ia memotong, ”Jangan marah. Kami, yang sudah cukup lama menjadi pengawal Tanah Perdikan ini mengenalnya dengan baik.” “Aku juga sudah mengenalnya. Ketika di Tanah Perdikan ini merayakan perkawinan Pandan Wangi, ia ada di sini pula.” “Dan kau belum menjadi pengawal.” “Sudah. Aku pengawal baru waktu itu.“ jawab pengawal itu, ”tetapi seandainya belum, apakah aku harus menerima sindiran yang tajam seperti ini ? Prastawa tidak pernah berbuat seperti orang asing yang sombong itu.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari, bahwa memang dapat terjadi singgungan semacam itu meskipun maksudnya sekedar membangunkan para pengawal itu dari mimpi. “Aku minta maaf,” tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis, ”bukan maksud menyinggung perasaan para pengawal. Tetapi aku ingin menunjukkan keadaan yang sebenarnya.” “Kau sangka bahwa kau lebih tahu dari kami orang-orang Tanah Perdikan Menoreh sendiri.” bertanya pengawal muda itu. “Sudah,” potong pemimpinnya, ”aku tidak menyalahkan Agung Sedayu. Jangan ribut lagi. Aku mengakui kebenaran kata-katanya. Para pengawal yang pernah mengalami masa lalu yang panjang mengakui dengan setulus hati, bahwa keadaan Tanah Perdikan ini menjadi semakin mundur. Bahkan Ki Gede Menoreh dihadapan kami, para pemimpin pengawal, mengakuinya pula.” Pengawal muda itu mengerutkan keningnya. Tetapi ketika memandang wajah pemimpinnya, secara ia berpaling, karena ternyata sorot mata pemimpinnya itu mulai menyala.

“Begitu besar pengaruhnya Agung Sedayu disini,” berkata pengawal itu didalam hatinya, ”karena itulah agaknya Prastawa tidak menyukainya. Jika ia kembali ke induk Tanah Perdikan dari rumahnya sendiri dan bertemu dengan Agung Sedayu, maka barulah Agung Sedayu menyesal.” Dalam pada itu, maka latihan-latihan pun telah menjalar sampai kesetiap padukuhan. Mula-mula sekedar para pengawal. Namun kemudian hampir setiap anak muda dan bahkan setiap laki-laki telah mempersiapkan diri meskipun mereka jelas, apa yang sedang mereka hadapi. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu dapat menangkap pembicaraan yang pendek dengan pengawal yang tersinggung itu. Dengan demikian ia mengetahui, bahwa Prastawa bukannya tidak mempunyai pengaruh diatas Tanah Perdikan Menoreh. Para pengawal yang paling muda, terutama pada angkatan yang terakhir, agaknya telah mengagumi Prastawa sebagai anak muda yang barangkali sebaya dengan mereka. “Tetapi ia sedang berada dirumahnya,“ desis Agung Sedayu. Sesuai dengan pendapat Agung Sedayu. maka Ki Gede Menoreh telah memerintahkan untuk memanggil Prastawa. Agung Sedayu berpendapat, bahwa kehadiran Prastawa di tengah-tengah para pengawalpun sangat penting artinya. Namun Ki Gede Menoreh berkata dengan nada berat, ”Aku agak kurang sesuai dengan anak itu. Meskipun ia anak yang baik, rajin dan dengan tekun berusaha meningkatkan diri, tetapi yang dilakukan sebagian terbesar adalah bagi dirinya sendiri.” Agung Sedayu menarik nafas dalam dalam. “Meskipun demikian,” Ki Gede melanjutkan, ”bukan berarti aku membencinya. Ia adalah kemenakanku. Kegagalan ayahnya merupakan pengalaman yang paling pahit bagi hidupnya, dan agaknya justru telah mengarahkan perkembangan berikutnya. Tetapi bahwa semuanya dilihat dari kepentingan diri, akan merupakan pengaruh yang kurang menguntungkan.” ia terdiam sejenak, lalu. ”tetapi aku sependapat, bahwa kali ini Prastawa akan memegang peranan. Ia harus mulai mendapat kepercayaan dalam tugas-tugas besar, sehingga ia akan dapat membantu aku dalam tugas-tugas berikutnya. Iapun harus menyadari kemunduran Tanah Perdikan ini, sehingga setelah tugas ini selesai, kemunduran itu tidak akan terulang lagi.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun seperti Ki Gede Menoreh, ada sesuatu yang kurang mapan pada dirinya dalam hubungannya dengan Prastawa. Tetapi Agung Sedayu berusaha untuk menyingkirkan segala macam prasangka dan kecurigaan. Tanah Perdikan Menoreh yang mundur itu sedang menghadapi tugas- tugas berat, sehingga semua kemampuan yang ada, memang harus dikembangkan. “Sebenarnya ia masih mempunyai waktu setengah bulan lagi,“ berkata Ki Gede kemudian, “ia berada

dirumah ayahnya untuk membantu menyelesaikan tanah garapan. Saatnya orang mulai menanam padi dan mempersiapkan sawahnya. Sawah Argajaya cukup luas, sementara ia menjadi semakin tua dan lemah, sehingga Prastawa perlu membantunya mengawasi para pekerja yang sedang membajak dan mengolah sawah.” “Tetapi bukankah Ki Argajaya masih lebih muda dari Ki Gede karena ia adalah adik Ki Gede,“ bertanya Agung Sedayu. “Kelemahan rokhaniah telah membuat wadagnya menjadi lemah pula. Ia sering sakit dan bahkan kadang-kadang sangat mengejutkan. Nafasnya tiba-tiba menjadi sesak dan didalam tidurnya seolaholah ia masih saja dikejar oleh penyesalan.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti, betapa dalam luka hatinya atas peristiwa yang pernah terjadi diatas Tanah Perdikan Menoreh itu karena tingkah lakunya. “Untuk mengurangi beban dihatinya, ia telah mengarahkan anaknya untuk menebus kesalahan yang pernah dibuatnya itu,“ berkata Ki Gede Menoreh. “Agaknya Prastawa akan berhasil memenuhi keinginan ayahnya,“ desis Agung Sedayu. “Mudah-mudahan. Aku masih ingin membuktikan,“ berkata Ki Argapati. Tatapan matanya tiba-tiba saja tersangkut dikejauhan. Agaknya ada sesuatu yang singgah didalam angan-angannya. Mungkin ingatan masa lampaunya, tetapi juga mungkin kecemasan bagi masa depan yang samar-samar. Dalam pada itu, sebelum Prastawa datang kembali keinduk padukuhan. Agung Sedayu yang selalu berada diantara para pengawal. Menjelang malam ia berusaha memancing latihan bersama parai pengawal. Bahkan kemudian dengan dua orang pengawal sempat melihat-lihat di padukuhanpadukuhan yang berpencaran. Ternyata bahwa para pemimpin pengawal telah berhasil membangunkan kawan-kawannya. Mereka mulai berlatih dengan bersungguh-sungguh. Dihalaman banjar mereka seakan-akan mencoba mengingat setiap unsur gerak yang pernah mereka kuasai. Dengan sungguh-sungguh mereka berlatih dalam kelompok-kelompok kecil. Gelapnya malam sama sekali tidak mempengaruhi hasrat mereka yang sudah mulai bangkit kembali. Dipadukuhan lain Agung Sedayu menjumpai tingkat latihan yang berbeda. Agaknya pemimpin pengawal dipadukuhan itu ingin memanaskan tubuh kawan-kawannya dengan cara yang paling ringan. Sekelompok anak-anak muda berarak-arak berjalan mengelilingi bukan saja padukuhannya, tetapi juga bulak-bulak panjang dan tanggul-tanggul. Mereka berjalan beriringan untuk waktu yang cukup lama. Baru setelah tubuh mereka berkeringat dan darah mereka menjadi hangat, maka latihan-latihan yang sebenarnya baru akan dimulai. Dalam pada itu, Prastawa yang berada dirumahnya sendiri terkejut ketika utusan Ki Gede Menoreh

datang dan menyampaikan pesan agar Prastawa segera kembali kepadukuhan induk. “Kenapa?“ bertanya Prastawa, “aku minta ijin kepada paman Argapati untuk waktu kira-kira sebulan. Bukan baru separonya lewat?” “Tetapi ada persoalan penting yang akan terjadi?“ “Apa? “ “Aku kurang pasti. Tetapi sebaiknya kau menghadap Ki Gede untuk menerima penjelasannya langsung. Disana ada anak muda dari Sangkal Putung itu.” “Swandaru ?“ bertanya Prastawa. Utusan Ki Gede itu menggeleng. Jawabnya, “Bukan Swandaru. Tetapi yang satu, Agung Sedayu.” Prastawa mengerutkan keningnya. Dengan nada tegang ia bertanya, “Apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu disana? Apakah ia sedang membujuk paman Argapati?” “Aku tidak tahu. Tetapi kedatangannya disertai oleh Ki Waskita, meskipun Ki Waskita kemudian pergi meninggalkan rumah Ki Gede. Namun ia kembali diesok harinya dan setelah beristirahat sebentar ia telah melanjutkan perjalanannya pula.” “Ki Waskita? “ Prastawa termangu-mangu. Ayahnya yang ikut mendengarkan pembicaraan itu-pun kemudian berkata, “Sudahlah. Pergilah kepada pamanmu. Biarlah pekerjaan disawah aku selesaikan.” “Ayah baru sakit.” “Tidak. Saat ini aku merasa sehat. Agaknya badanku berangsur pulih kembali.” “Seharusnya anak Sangkal Putung itulah yang datang kemari jika ia memerlukan aku. Paman terlalu memanjakannya, sedangkan menantu paman bukannya Agung Sedayu, tetapi Swandaru.” “Jangan berpikir begitu,“ desis Ki Argajaya, “seandainya kau tidak ingin menghormati tamu itu berlebih-lebihan, kau masih harus menghormati pamanmu.” Prastawa berpikir sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk sambil berkata, “Baiklah. Aku akan menghadap paman.” “Agaknya memang ada yang penting terjadi. Jika tidak, maka Ki Waskita tidak akan menjadi terlalu sibuk, dan pamanmu tidak tergesa-gesa memerintahkan memanggilmu.”

“Tetapi tentu anak Sangkal Putung itulah yang membuat persoalan. Ayah. Terus terang, aku kurang senang terhadap Agung Sedayu. Berbeda dengan Swandaru yang berhati terbuka dan bercita-cita tinggi. Agung Sedayu adalah seorang yang ragu-ragu. tanpa masa depan yang baik dan agak sombong. Ia lebih senang disapa lebih dahulu daripada menyapa orang lain. Apalagi dengan ramah tamah.” “Ah,“ sahut Ki Argajaya, “biasanya seseorang yang pendiam dan apalagi pemalu mempunyai sifatsifat demikian. Ia sama sekali tidak sombong. Tetapi ia memang mempunyai keseganan karena sifatnya itu.” Prastawa tidak membantah. Tetapi ia tidak sependapat dengan ayahnya. Agaknya ayahnya ingin mengurangi kekurangan Agung Sedayu dimatanya. “Berbahaya bagi anak-anak muda Sangkal Putung,“ berkata Prastawa didalam hatinya, “mereka akan tetap mengagumi orang yang bukan seharusnya mereka kagumi. Satu dua orang anak muda di Tanah Perdikan Menoreh memang menganggapnya sebagai seorang anak muda yang luar biasa.” Namun dalam pada itu, Prastawapun segera mempersiapkan diri. Mengemasi pakaiannya dan yang terpenting baginya, adalah senjatanya. Prastawa mulai tertarik pada sepucuk senjata yang agak lain dari jenis-jenis yang pernah dipergunakan. Diluar sadarnya, ia terpengaruh oleh jenis senjata yang pernah dikenal bentuknya dan memiliki kekhususan. Sebilah tombak yang pendek sekali dengan tajam dikedua ujungnya. “Senjata ini menarik sekali,“ berkata Prastawa kepada pengawal yang dijemputnya. Pengawal itu mengangguk-angguk. Iapun pernah mengenal senjata semacam itu. Kadang-kadang orang menyebutnya nenggala meskipun nenggala mempunyai nilai yang luar biasa karena unsur ular yang sangat tajamnya. Tetapi bentuknyalah yang memang mirip dengan nenggala. Ayahnya menarik nafas dalam-dalam melihat Prastawa mempersiapkan senjatanya. Ia tahu, dari mana Prastawa mendapatkan petunjuk untuk mempergunakan senjata itu. Bahkan ketika ia pernah bertanya tentang hal itu, maka Prastawa hanya tertawa saja sambil menjawab, “Aku mengenalnya dari angan-anganku ayah. Ketika aku melatih diri untuk meningkatkan ilmu, aku mulai mengkhayalkan berbagai jenis senjata. Diantaranya adalah sebatang tongkat besi berkepala tengkorak. Tetapi aku juga tertarik pada sebatang bindi bergerigi. Bahkan aku pernah berlatih dengan sebuah canggah bertangkai pendek. Namun akhirnya yang paling sesuai adalah senjata ini.” Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak mau terseret dalam kenangan atas masa lampaunya karena bentuk senjata anaknya itu. Demikianlah maka Prastawapun segera bersiap. Ia kemudian minta diri kepada orang tuanya untuk kembali kerumah pamannya.

“Hati-hatilah,“ pesan ayahnya, “kau harus menyesuaikan dirimu dengan keadaan dan lingkunganmu. Jangan menurutkan kata hatimu sendiri, karena lingkunganmu akan sangat berpengaruh atas diri dan kehidupan yang harus kau jalani setiap hari.” Prastawa mengangguk-angguk. Kemudian dengan nada parau ia menjawab, “Ya ayah. Aku akan berusaha sebaik-baiknya.” Namun Prastawapun tahu, bahwa ayahnya kini menjadi orang yang sangat berhati-hati. Seolah-olah ia mempertimbangkan setiap langkahnya sebelas dua belas kali sebelum dilakukannya, meskipun hanya sekedar memperbaiki parit dipinggir padukuhan. “Persetan,” geram Prastawa, “aku mempunyai cara lain untuk menunjukkan, bahwa aku dapat berguna bagi Tanah Perdikan ini. Saat itu aku masih sangat muda sehingga aku tidak tahu, kenapa aku berpihak kepada ayah.” Sejenak kemudian, maka Prastawa dan pengawal yang menjemputnya itupun telah berada diperjalanan. Pengawal itu masih sempat mengatakan apa yang telah dilakukan oleh Agung Sedayu dihari-hari pertama ia berada di Tanah Perdikan itu. “Ia memang terlalu sombong. Ia menyangka bahwa ilmunya sudah sempurna. Aku sekali-sekali ingin mencoba, apakah benar-benar Agung Sedayu mempunyai ilmu yang mantap. Agaknya Swandaru memiliki beberapa kelebihan meskipun didalam perguruan kecilnya Swandaru adalah saudara muda seperguruan dari Agung Sedayu,“ berkata Prastawa. Pengawal itu mengerutkan keningnya. Meskipun Agung Sedayu mendesak dan bahkan mengajak para pengawal berlatih bersamanya, namun bagi pengawal itu, sama sekali tidak nampak sifat-sifat sombongnya. Meskipun demikian pengawal itu tidak menjawab. Ia pun sadar, bahwa Prastawa adalah anak muda yang tentu akan ikut memegang peranan dalam perkembangan Tanah Perdikan Menoreh dimasa depan, karena Prastawa adalah anak Ki Argajaya, kemanakan Ki Argapati. Meskipun pengawal itupun tahu, apa yang pernah terjadi dengan Ki Argajaya dan Prastawa dimasa lampau. Namun agaknya mereka telah menyadari dan kesempatan yang diberikan oleh Ki Gede Menoreh telah dipergunakan sebaik-baiknya. Jarak yang mereka tempuh memang tidak begitu jauh. Mereka melintasi beberapa bulak panjang yang subur. Meskipun demikian diluar sadarnya pengawal itu berkata, “Agung Sedayu menjadi kecewa bahwa beberapa dari parit-parit kita menjadi kering.” “Apa pedulinya, he.“ tiba-tiba saja nada suara Prastawa meninggi, “Ia mulai menghina. Ia tentu akan mengatakan bahwa Tanah Perdikan Menoreh sekarang mengalami kemunduran. Bukankah begitu?”

Pengawal itu tidak menyahut. “Gila. aku benar-benar ingin melihat, apakah ilmunya benar-benar sudah mantap. Selama ini aku telah berjuang dengan tekun untuk memperdalam ilmuku. Meskipun ayah sudah sakit-sakitan dan lesu. tetapi ia masih mampu memberikan petunjuk-petunjuk yang sangat berharga, sementara aku mampu mengembangkannya sendiri dalam tata gerak. Paman Argapatipun agaknya ingin melihat aku maju dan tidak ketinggalan dari anak-anak Sangkal Putung itu, sehingga iapun telah menyisihkan waktu untuk memberikan latihan-latihan khusus bagiku. Mungkin guru anak-anak Sangkal Putung itu lebih banyak waktu untuk memberikan latihanlatihan. tetapi aku menganggap cara itu adalah cara kekanak-kanakan. Mereka masih harus dituntun dari gerak yang satu kepada gerak yang lain. Dari perkembangan jenis keperkembangan berikutnya. Dengan demikian otak mereka tidak akan berkembang. Mereka hanya dapat mempergunakan apa yang pernah mereka pelajari dari gurunya.” Pengawal itu mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja Prastawa menunjukkan sikap yang kurang senang kepada Agung Sedayu. “Tetapi mungkin Swandaru berbuat lain,“ katanya tiba-tiba, “pikirannya lebih hidup, dan cita-citanya agak lebih mantap dari kakak seperguruannya yang ragu-ragu dan sombong itu.” Pengawal yang mendapat perintah untuk memanggil Prastawa itu sama sekali tidak menjawab lagi. Ia tidak tahu apakah yang dikatakan oleh Prastawa itu benar atau tidak. Tetapi menurut pengetahuannya. Agung Sedayu memang sudah memberikan jasa kepada Tanah Perdikan Menoreh bersama saudara seperguruannya dan gurunya yang bersenjata cambuk itu. Perjalanan mereka tidak memerlukan waktu yang terlalu lama. Sejenak kemudian mereka telah mendekati pa-dukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Perjalanan mereka terhenti, ketika mereka melihat di pinggir padukuhan, sekelompok anak-anak muda yang berlatih dibawah rimbunnya sebatang pohon munggur yang besar. Prastawa berhenti didekat mereka. Anak-anak muda itupun berhenti berlatih pula. Salah seorang dari mereka sambil tersenyum mendekati Prastawa yang masih berada dipunggung kuda, “Kami sedang berlatih.” “Ya. Aku sudah melihat bahwa kalian sedang berlatih,” jawab Prastawa sambil tersenyum. Kawan-kawannyapun tertawa pula, sementara Prastawa bertanya, “Dimanakah Agung Sedayu?” “Ia tidak berada disini. Ia berada di padukuhan sebelah atau dipadukuhan lain. Bersama Ki Argapati ia melihat-lihat para pengawal yang sedang mengadakan latihan dimana mana.”

“Apakah ia memberikan petunjuk-petunjuk tentang latihanlatihan itu sendiri? “ bertanya Prastawa. Pengawal itu menggeleng, “Ia hanya memberikan beberapa keterangan. Tetapi semuanya ditangani oleh para pemimpin kami disetiap padukuhan.” “Sekarang kalian berlatih tanpa seorang pengawaspun.” “Kami mengisi waktu kami. Daripada kami duduk merenung menunggui burung tanpa berbuat sesuatu, maka kami mencoba melanyahkan tangan dan kaki kami.” Prastawa mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus. Kalian adalah kekuatan bagi Tanah Perdikan Menoreh. Lanjutkanlah. Peningkatan kemampuan setiap orang, berarti peningkatan kemampuan seluruh Tanah Perdikan ini.” Para pengawal yang sedang berlatih itupun mengangguk-angguk. Keterangan Prastawa itu membuat mereka semakin bergairah untuk meneruskan latihan mereka, setelah beberapa saat lamanya mereka seolah-olah sedang beristirahat. Sepeninggal Prastawa, para pengawal itu telah tenggelam lagi dalam latihan yang lebih bersungguhsungguh. Mereka bukan saja berlatih dengan tangan. Tetapi mereka berlatih dengan mempergunakan senjata-senjata mereka masing-masing. “Mudah-mudahan paman sudah ada dirumah,“ berkata Prastawa kepada pengawal yang menjemputnya. “Seandainya Ki Gede tidak ada, tentu para pengawal mengetahui kemana ia pergi.” “Tetapi menurut para pengawal, paman pergi berkeliling bersama Agung Sedayu.“ sahut Prastawa. Pengawal yang menyertainya tidak menjawab. Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil. Memang mungkin sekali Ki Argapati sedang berkeliling dari padukuhan yang satu kepadukuhan yang lain, setelah agak lama Ki Argapati seolah-olah telah menyepi dirumahnya. Ternyata seperti yang mereka duga, ketika mereka memasuki ha aman rumah Ki Argapati, yang ada dihalaman adalah beberapa orang pengawal yang justru sedang berlatih. Seorang pemimpin pengawal mengawasi mereka dan setiap kali memberikan petunjuk-petunjuk yang diperlukan. Ketika Prastawa datang, maka pemimpin pengawal itu menyongsongnya sambil berkata, “Marilah. Sayang sekali. Ki Gede dan Agung Sedayu sedang melihat-lihat berkeliling.” Prastawa tersenyum. Iapun kemudian turun dari kudanya dan menyerahkan kudanya kepada seorang pengawal yang membawanya kebelakang.

“Teruskanlah,” berkata Prastawa. “Apakah kau akan menyusul Ki Gede? “ bertanya pemimpin pengawal itu. “Tidak. Nanti aku justru akan berselisih jalan. Aku akan tetap disini, menunggu paman pulang. Sementara teruskanlah latihan ini. Aku akan melihat-lihat,“ jawab Prastawa. Pemimpin pengawal itu tersenyum. Nampaknya ia menjadi agak segan. Namun akhirnya iapun mengangguk. Katanya, “Baiklah. Tetapi kau sajalah yang memimpin latihan ini.” “Bukan aku. Kau,“ jawab Prastawa. Pemimpin pengawal itu tersenyum. Namun iapun kemudian melanjutkan latihan yang diikuti oleh beberapa orang pengawal. “Disore hari, latihan-latihan berjalan lebih luas,” berkata salah seorang pengawal yang tidak ikut dalam latihan itu, karena ia harus berjaga-jaga diregol. Prastawa mengangguk-angguk. Katanya, “Latihan-latihan ini akan segera menjalar kepadukuhanpadukuhan yang agak jauh dari padukuhan induk. Dipadukuhanku, latihan-latihan belum lagi mulai. Tetapi agaknya para pemimpin pengawal telah mendapat penjelasan yang sama dengan kalian.” “Ya. Kami telah mendapat penjelasan yang sama. Mungkin hari ini, atau nanti malam, latihan-latihan itu akan dimulai.” Prastawa mengangguk-angguk. Sekilas ia membayangkan, bahwa para pengawal dipadukuhan tentu mempunyai kemampuan yang lebih baik. Disaat lampau, jika ia kebetulan berada di rumah nya sendiri, ia selalu ikut memberikan latihan latihan bagi kawan-kawannya disekitarnya. Dan kini ia menyaksikan pengawal-pengawal diinduk padukuhan itu sedang berlatih. Sekali-sekali ia mengerutkan keningnya. Ia merasa ikut bertanggung jawab pula atas kemampuan mereka, sehingga akhirnya Prastawapun tidak dapat berdiam diri. Sekali-sekali iapun memberikan beberapa petunjuk dan kadang-kadang justru terlibat pula dalam latihanlatihan dengan para pengawal itu. “Kalian masih harus bekerja keras untuk dapat mencapai tingkat kemampuan yang pernah kalian miliki,“ berkata Prastawa tiaba-tiba diluar sadarnya. Para pengawal itu mengangguk-angguk. Peringatan itu berarti, Prastawapun telah mengakui, bahwa telah terjadi kemunduran diatas Tanah Perdikan Menoreh itu. Dalam pada itu, sementara Tanah Perdikan Menoreh telah dihangatkan oleh latihan-latihan disetiap padukuhan. maka Ki Waskita telah berada kembali di Mataram dengan selamat.

Dari Tanah Perdikan Menoreh ia langsung pergi menghadap Raden Sutawijaya, dan melaporkan apa yang dilihatnya di Tanah Perdikan Menoreh dan kesanggupan yang didengarnya dari Ki Argapati. “Anak anak muda di Tanah Perdikan Menoreh memang mengalami kemunduran,“ berkata Ki Waskita, “tetapi agaknya masih belum terlalu jauh. Dalam waktu yang singkat, maka semuanya akan dapat dicapai lagi sehingga Tanah Perdikan Menoreh akan menemukan dirinya kembali.” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih paman. Jika Agung Sedayu tinggal di Tanah Perdikan Menoreh, aku berharap, bahwa kehadirannya itu akan dapat ikut membantu memanaskan Tanah Perdikan itu dengan latihan-latihan. “Agaknya ia akan berusaha bersama kemanakan Ki Gede Menoreh yang masih muda dan cekatan itu.” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Kita justru menunggu Swandaru. Agaknya ia akan datang bersama pasukannya. Untuk menghindarkan pengamatan Untara yang mungkin akan tersinggung karenanya, maka pasukan Sangkal Putung akan datang dari arah Selatan dan melingkar dilambung Gunung Merapi.” Ki Waskitapun mengangguk-angguk pula Ia harus menunggu satu dua hari sebelum perintah terakhir akan jatuh dari pimpinan tertinggi Mataram yang akan mengatur semua gelar, baik yang akan memasuki lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, maupun yang akan memasang gelar dimulut lembah. Hanya akan ada satu perintah dalam gerakan yang besar itu untuk menghindarkan kesimpang-siuran. Dan perintah tertinggi itu sudah barang tentu berada ditangan Raden Sutawijaya. Sementara itu. agaknya Swandarupun menyadari bahwa pasukannya tentu sudah ditunggu, ia benarbenar berusaha untuk tidak menarik perhatian, terutama petugas-petugas sandi Untara yang mungkin saja secara kebetulan berada di alur jalan antara Sangkal Putungdan Mataram. Setelah ia berhasil mengumpulkan sepasukan yang kuat, meskipun ia tidak melupakan keamanan Sangkal Pulung sendiri sepeninggalnya, maka Swandaru dan Kiai Gringsingpun mulai mengatur keberangkatan pasukannya ke Mataram. Tetapi seperti yang sudah diperhitungkan, maka Pandan Wangi dan Sekar Mirah telah berkeras untuk ikut serta bersama pasukan itu. Betapapun Swandaru dan ayahnya mencoba mencegahnya, tetapi keduanya memaksa untuk ikut serta pergi kemedan. “Aku akan berada dibelakang garis perang. Jika tidak diperlukan, aku tidak akan mengganggu,“ berkata Pandan Wangi. “Ya. Aku akan menunggu perintah.” “Sekarang kau sudah tidak menurut perintah,“ berkata Swandaru.

Tetapi Sekar Mirah menggeleng, katanya. “Sekarang belum mulai. Aku akan menempatkan diri dibawah perintahmu setelah kita berada di lembah. Apalagi aku ingin melihat keadaan guru.” Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Adalah wajar sekali jika Sekar Mirah ingin melihat gurunya yang terluka cukup parah meskipun tidak berbahaya dan tentu sudah berangsur baik. Setelah berbicara dengan ayahnya dan Kiai Gringsing, maka akhirnya Swandaru tidak dapat menolak permintaan Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Agaknya mereka sudah mulai dihinggapi oleh kejemuan untuk tinggal dirumah saja melakukan pekerjaan mereka sehari-hari. “Baiklah,“ akhirnya Swandaru mengalah, “tetapi kalian berdua benar-benar harus menurut perintahku dimedan. Kalian tidak boleh membuat rencana sendiri yang mungkin akan berbahaya bagi kalian masingmasing.” Pandan Wangi dan Sekar Mirah mengangguk. Namun mulai nampak kegembiraan di wajah mereka. Mereka sudah lama tidak berkuda di jalan-jalan panjang sambil menggenggam senjata. Dengan keputusan itu, maka mulailah Sekar Mirah menggosok senjata yang paling dipercayainya. Tongkat pemberian gurunya, sementara Pandan Wangi mulai melihat-lihat kembali sepasang pedangnya. Dengan demikian, maka Sangkal Putungpun telah mulai mempersiapkan diri. Swandaru yang tidak dapat langsung berangkat ke Mataram, masih harus mengatur tugas para pengawal yang ditinggalkan. Bahkan tugas pengawalan Kademangan tidak hanya dibebankannya kepada pengawal yang tinggal sedikit, tetapi dibebankannya kepada setiap laki-laki. “Ayah dan Ki Jagabaya akan mengatur kalian jika kalian harus mempertahankan Kademangan ini dari gangguan siapapun,” berkata Swandaru kepada para pengawal. Setelah semuanya dianggapnya selesai, serta jalur perintah di Kademangannya sudah tersusun jika para pengawal terpilih telah meninggalkan Kademangan. maka mulailah Swandaru bersiap-siap untuk berangkat ke Mataram. Seperti yang direncanakan, maka pasukannya mulai berangkat menjelang petang. Sekelompok demi sekelompok, sehingga jika seseorang melihat atau bertemu diperjalanan. mereka tidak akan langsung tertarik perhatiannya. Apalagi Swandaru telah membagi jalan pula. Sebagian harus melalui jalan kecil dibagian Selatan. Jalan yang kurang menarik, tetapi cukup lebar dan rata. Jalan yang akan bertemu dengan jalan yang biasa dilalui dalam perjalanan ke Mataram, menjelang Alas Tambak Baya. “Mudah-mudahan pasukan ini tidak terganggu diperjalanan,“ berkata Swandaru. “Aku kira tidak Swandaru,“ sahut Kiai Gringsing,

“nampaknya daerah ini cukup tenang. Kesibukan dilembah antara Gunung Merapi dan Merbabu itu belum terasa sampai kedaerah ini, sehingga orang-orang yang melihat sekalipun tidak akan membayangkan bahwa akan terjadi sesuatu yang akan dapat menentukan masa depan daerah Selatan ini.” Swandaru mengangguk angguk. Ia sependapat dengan gurunya. Karena itu maka iapun yakin, bahwa perjalanannya akan ikut serta menentukan. Namun demikian, sekali-sekali terbersit pula diangan-angannya tentang sekelompok orang-orang yang mengaku dirinya dan berpakaian seperti para perwira prajurit Pajang. Jika tidak dibantu oleh Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayu yang melintas dijalan yang sama, meskipun berlawanan arah. maka ia dan Ki Sumangkar sudah tidak akan dapat melihat medan dilembah antara Gunung Merapi dan Merbabu itu. Ketika hal itu dinyatakan kepada gurunya Kiai Gringsing berkata, “Mereka mencari Ki Sumangkar.” “Tetapi jika orang-orang mereka itu tidak segera kembali apapun hasilnya, maka mereka tentu akan mengambil sikap lain,“ sahut Swandaru. “Itulah sebabnya Mataram tergesa-gesa mengambil keputusan sebelum mereka mengambil sikap yang lain itu.” Swandaru mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa persoalan orang-orang yang sedang berkumpul dilembah itu harus mendapat perhatian sepenuhnya. Dan untuk itulah maka ia membawa sepasukan pengawal pilihan ke Mataram. Kehadiran para pengawal dari Sangkal Putung di Mataram disambut oleh para pengawal Mataram yang memang sudah diberi tahu akan kehadiran mereka. Barak-barak telah disiapkan pula, sementara segala keperluan mereka telah disediakan. Swandaru datang ke Mataram bersama Kiai Gringsing diiringi oleh isteri dan adiknya. Namun kehadiran kedua orang perempuan itu sama sekali tidak mengejutkan Raden Sutawijaya karena ia sudah mengenal dan mengetahui, siapakah kedua perempuan itu. Sekar Mirah yang mencemaskan nasib gurunya, langsung diantar oleh Sutawijaya kegandok. tempat Ki Sumangkar beristirahat selama ia berada di Mataram. Kedatangan Sekar Mirah memberikan kegembiraan dihati Sumangkar. Bagaimanapun juga, gadis itu adalah satu-satunya muridnya. Murid yang masih akan memperpanjang jenis ilmu dari cabang perguruannya. “Aku sudah sehat,“ berkata Ki Sumangkar. “Tetapi luka-luka guru belum sembuh sama sekali.” “Luka-luka pada kulit tidak akan banyak berpengaruh.

Marilah. Aku akan menemui tamu dari Sangkal Putung dipendapa.” “Tetapi, sebaiknya Ki Sumangkar tinggal saja didalam bilik, agar luka-luka itu tidak kambuh lagi.” Ki Sumangkar tertawa. Katanya, “Aku sudah sembuh. Dan luka-lukaku tidak akan dapat kambuh lagi. Apalagi Kiai Gringsing ada disini. Ia akan dapat memberikan obat untuk luka-lukaku meskipun seandainya harus kambuh lagi.” Raden Sutawijaya dan Sekar Mirah tidak dapat mencegahnya. Ki Sumangkarpun kemudian ikut bersama mereka kependapa. menjumpai para pemimpin pengawal dari Sangkal Putung yang ikut menghadap Raden Sutawijaya di rumahnya. Raden Sutawijaya menerima pasukan pengawal Sangkal Putung itu dengan gembira. Rasa-rasanya, apa yang akan dilakukannya itu tidak akan gagal lagi. Lembah itu akan tersumbat dari kedua mulutnya, sehingga kedua pusaka itupun akan dapat diketemukannya bersama hancurnya gerombolan yang sangat berbahaya bagi Pajang dan Mataram. Sutawijaya yang dikawani oleh Ki Juru Martani dan beberapa orang pemimpin dari Mataram, masih belum membicarakan persoalan-persoalan yang langsung mengenai tugas-tugas mereka dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Tetapi mereka kemudian justru mempersilahkan para pemimpin dari Sangkal Putung dan para prajurit yang lain untuk beristirahat, setelah perjalanan mereka sekelompok demi sekelompok dimalam hari. Namun agaknya bagi Ki Waskita yang sudah lebih dahulu berada di Mataram, semuanya sudah jelas. Tugas yang besar itu akan benar-benar mereka laksanakan dalam waktu dekat. Apalagi setelah pasukan pengawal Sangkal Putung hadir di Mataram. Meskipun demikian Ki Waskita masih harus menunggu pembicaraan yang masak antara para pemimpin Mataram dan Sangkal Putung. Hasil pembicaraan itu akan dibawanya ke Menoreh dan merupakan ketentuan waktu yang harus dipegang bersama-sama. Demikianlah, setelah pasukan pengawal dari Sangkal Putung itu beristirahat, maka para pemimpin dari Mataram, Sangkal Putung dan Ki Waskita yang mewakili Tanah Perdikan Menoreh itupun segera mengadakan pembicaraan. Mereka menentukan tempat dan waktu bagi masing-masing pasukan yang akan ikut mengambil bagian dalam penyergapan di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu. “Apakah Tanah Perdikan Menoreh dapat diandalkan Ki Waskita,“ bertanya Swandaru tiba-tiba, seolah-olah ia dapat melihat apa yang telah terjadi selama masa-masa terakhir. Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Pandan Wangi sekilas. Namun kemudian jawabnya, “Tanah Perdikan Menoreh masih memiliki kekuatan dan kemampuannya seperti semula.” Swandaru mengangguk-angguk, sementara Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya

Pandan Wangi juga mencemaskan keadaan Tanah Perdikan itu. Seolah-olah ada firasat yang mengatakan kepadanya, bahwa pada masa-masa terakhir Tanah Perdikan Menoreh telah dibuai oleh kelemahan justru karena ketenangannya. “Aku sudah menyaksikan sendiri,“ berkata Ki Waskita kemudian, “di saat-saat yang sangat pendek itu, para pemimpin pengawal telah berhasil menyiapkan kekuatan yang ada diatas Tanah Perdikan Menoreh.” “Sokurlah,“ Raden Sutawijaya menyahut. Iapun sebenarnya menyimpan pertanyaan serupa. Tetapi ia tidak mengatakannya, karena ia yakin, jika ada kekurangan pada Tanah Perdikan itu, Ki Waskita tentu sudah mengatakannya. “Jika demikian,“ berkata Swandaru, “kita dapat menentukan segala-galanya sekarang. Waktu dan tempat yang akan menentukan saat dan arah kita masing-masing. Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Sekilas dipandanginya Ki Juru Martani seolah-olah hendak mempersilahkannya untuk mengambil keputusan yang akan mengikat semua pihak. Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia bergeser setapak. Ia dapat menangkap maksud yang tersirat pada tatapan mata Raden Sutawijaya. “Marilah, kita akan menentukan bersama-sama,“ berkata Ki Juru. Demikianlah, maka orang-orang terpenting yang ada dipendapa Mataram itupun segera membicarakan rencana mereka. Seperti semula, maka pembicaraan itu tetap berpangkal pada usaha menyumbat lembah itu dari dua arah, dan pasukan Mataram akan langsung menusuk masuk kedalamnya. “Kita akan menentukan waktu,“ berkata Raden Sutawijaya. “Kita harus bersiap-siap,“ sahut Swandaru, “kita harus memperhitungkan perjalanan pasukan kita kemulut lembah. Terutama disebelah Timur, karena di Jati Anom ada pasukan Pajang yang kuat, agar tidak menimbulkan salah paham apabila mereka mengetahui kehadiran pasukan kami.” “Semuanya harus diatur sebaik-baiknya,“ berkata Raden Sutawijaya, “karena itu, kita harus memperhitungkan waktu yang kita perlukan untuk mempersiapkan pasukan itu dilembah.” “Tidak banyak persoalan bagi Tanah Perdikan Menoreh,“ berkata Ki Waskita, “Tanah Perdikan Menoreh hanya memerlukan waktu sehari untuk menempatkan pasukannya dimulut lembah itu.” “Baiklah,“ berkata Raden Sutawijaya kita akan rnernerlukan waktu tujuh hari sejak saat ini. Tetapi sebelum pasukan kita semuanya siap ditempat, maka kita harus mengirimkan sekelompok petugas yang harus mengawasi keadaan mereka.

Tidak perlu memasuki lembah itu sampai kejantung. Yang penting mereka harus dapat melihat lalu lintas dimulut lembah. Mereka harus mengetahui dengan pasti, bahwa gerombolan itu masih ada dilembah dan tidak mengirimkan kedua pusaka itu keluar.” “Kita yakin bahwa pusaka-pusaka itu masih ada dilembah sekarang ini? “ bertanya Swandaru. “Ya. Menurut orang-orang yang tertangkap itu semuanya masih lengkap berada dilembah itu. Beberapa pihak yang melibatkan diri dalam usaha mereka itupun telah berkumpul pula. Mereka masing-masing dengan membawa pasukan terpercaya. Agaknya mereka memang akan berpangkal dilembah itu sebelum mereka menghantam Pajang yang menjadi semakin lemah sekarang ini.“ jawab Raden Sutawijaya. “Tetapi Pajang masih belum merupakan seonggok sampah yang dapat diperlakukan begitu saja,“ justru Ki Juru Martanilah yang menyahut, “para Adipati masih siap melakukan perintah Sultan. Dan kekuatan para Adipati itu bukanlah tida dapat ikut menentukan apa yang akan terjadi dengan Pajang.” “Benar paman. Tetapi keadaan Pajang sendiri akan mempunyai pengaruh yang besar. Tidak semua Adipati sependapat bahwa ayahanda Sultan Hadiwijayalah yang naik tahta setelah Demak kehilangan wibawanya. Tetapi karena perubahan dipusat pemerintahan itu sudah terjadi, maka yang lain dapat diselesaikan setapak demi setapak,“ jawab Raden Sutawijaya. Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Diluar sadarnya ia memandang wajah Kiai Gringsing yang buram. Namun agaknya Kiai Gringsing mempunyai persoalan tersendiri didalam hatinya mengenai orang-orang yang mengaku pewaris kerajaan Majapahit itu. Karena sebenarnyalah Kiai Gringsing berkepentingan langsung dengan mereka. Tetapi Kiai Gringsing tidak ingin berbuat sesuatu yang akan dapat menambah suasana menjadi semakin keruh. Mataram dan Pajang sudah cukup berat menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, sehingga karena itulah, maka sudah sebaiknyalah bahwa ia menempatkan diri pada pihak yang sudah mengambil sikap tertentu atas orang-orang yang berada dilembah itu. Tatapan yang sekilas itu agaknya telah mengusik hati Kiai Gringsing sehingga iapun merasa wajib untuk ikut serta menentukan rencana penyergapan itu. Bukannya sekedar menunggu keputusan dan kemudian melaksanakannya. “Raden,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “sejak saat ini, sebaiknya kita sudah mengirimkan kelompok-kelompok kecil yang akan mengawasi lembah itu seperti yang Raden katakan. Tujuh hari adalah waktu yang panjang.” “Tetapi jika pada hari ketujuh itu kita semuanya harus sudah siap ditempat kita masing-masing, maka tiga hari setelah pembicaraan ini kita harus sudah berangkat. Gelombang demi gelombang,“ sahut Raden Sutawijaya. “Benar Raden,“ jawab Kiai Gringsing, “dua atau tiga hari itu adalah perhitungan kami. Tetapi bagi

orang-orang dilembah itu, kehadiran kami tetap pada hari ketujuh. Karena itu, secepatnyalah kita meletakkan pengawasan. Juga gelombang-gelombang pasukan yang hadir dimulut lembah itu harus kita manfaatkan, selain harus menjaga diri agar pengawas-pengawas dari orang-orang itu berada dimulut lembah tidak melihat kehadiran kita. “Ya. Pengawas-pengawas mereka harus kita perhitungkan,“ desis Sutawijaya. “Kita akan berkumpul agak jauh dari mulut lembah. Kita akan hadir serentak dan bersama-sama waktunya. Kita tidak akan cemas lagi seandainya pengawas mereka melihat kehadiran kita, karena kita langsung telah mempersiapkan diri dalam gelar,“ berkata Ki Juru. Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Agaknya hal yang mereka bicarakan itulah yang harus dilakukannya. Dengan demikian, maka pembicaraan itupun menemukan pokok-pokok persoalannya. Pasukan Mataram, Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh akan hadir dilembah, pada hari ketujuh setelah pembicaraan itu. Pada hari itu akan berangkat kelompok kecil yang akan mengawasi mulut lembah, dengan pesan bahwa mereka harus menghindari pengawasan orang-orang yang ada dilembah itu. Semua keputusan itu segera dijalankan. Lima orang yang terdiri dari tiga orang pengawal Mataram dan dua orang dari Sangkal Putung akan segera berangkat. Sementara Ki Waskita dan tiga orang pengawal dari Mataram akan segera menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Tiga orang pengawal Mataram itu kemudian akan pergi bersama dengan dua orang pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh untuk mengawasi mulut lembah dibagian lain. “Ingat,“ berkata Ki Juru kemudian, “pada hari ketujuh setelah hari ini, waktu fajar menyingsing, pasukan harus sudah berada dimulut lembah dalam gelar. Sementara pasukan Mataram akan mengatur diri langsung memasuki lembah itu.” Demikianlah ketika semua persoalan sudah disepakatkan bersama dengan perincian waktu, tempat dan jarak, maka Ki Waskitapun segera minta diri. Bersama tiga orang pengawas dari Mataram yang akan bekerja bersama orang-orang Tanah Perdikan Menoreh, mereka berkuda meninggalkan Mataram. Berbareng dengan keberangkatan Ki Waskita, lima orang yang bertugas dimulut lembah disebelah Timurpun telah berangkat pula. Mereka akan menyusuri jalan memanjat kaki Gunung Merapi dari arah Selatan. Baru kemudian mereka akan melingkari lambung dan turun dimulut lembah. Sehingga dengan demikian mereka memperkecil kemungkinan untuk bertemu dengan para peronda dari Jati Anom. Sepeninggal Ki Waskita dan para pengawas, maka Raden Sutawvjaya dan Swandaru segera mempersiapkan pasukan masing-masing. Dalam dua hari semuanya harus sudah selesai. Dihari ketiga, pasukan itu akan mulai bergerak dari Mataram. Gelombang demi gelombang. Seperti yang dilakukan oleh pasukan yang datang dari Sangkal Putung, pasukan yang akan pergi kelembah itupun harus tidak menimbulkan kegelisahan mereka yang melihatnya.

Swandaru tidak banyak lagi harus mengatur diri. Sejak dari Sangkal Putung ia sudah memberikan beberapa pesan dan petunjuk. Karena itu, maka tugasnya tinggallah mengulang pesan-pesannya dan menyesuaikan diri dengan rencana keseluruhan. Beberapa orang pemimpin dari Sangkal Putung dan Mataram, dalam kesempatan yang pendek itu dapat saling menjajagi kemampuan pasukan masing-masing. Mereka masih sempat menyaksikan latihan-latihan dikedua belah pihak. Baik para pengawal dari Sangkal Putung, maupun para pengawal dari Mataram. “Guru,“ berkata Swandaru ketika ia hanya duduk berdua dengan gurunya ternyata pasukan pengawal Sangkal Putung tidak kalah bobotnya dengan para pengawal dari Mataram.” Kiai Gringsing tersenyum. Sambil mengangguk ia berkata, “Kau benar Swandaru. Melihat latihan-latihan dari kedua belah pihak pasukan pengawal yang sedang berkumpul di Mataram sekarang ini, dan siap untuk berangkat, maka keduanya mempunyai bobot yang sama.” Terasa hati Swandaru bagaikan berkembang. Gurunya, orang yang memiliki ketajaman pengamatan atas ilmu kanuragan, membenarkan pendapatnya. Sehingga dengan demikian ia menjadi semakin bangga dengan Kademangannya dan kepada dirinya sendiri. Dalam pada itu, keadaan Ki Sumangkar sudah menjadi berangsur baik. Meskipun masih belum sembuh benar namun lukanya sudah tidak banyak mengganggunya lagi. Jika luka dikulitnya itu sudah sembuh, maka hilanglah bekas-bekas luka itu tanpa bekas. “Pada saatnya pasukan ini berangkat,“ berkata Ki Sumangkar kepada Kiai Gringsing ketika mereka duduk bersama didalam biliknya, “aku sudah akan sembuh sama sekali.” “Tetapi sebaiknya Ki Sumangkar masih harus beristirahat. Meskipun luka-luka itu sudah sembuh sama sekali, namun kekuatan Ki Sumangkar tentu masih belum pulih.“ berkata Kiai Gringsing. Ki Sumangkar tersenyum. Katanya, “Jika aku sakit sehingga aku tidak mau makan dan minum, maka kekuatanku akan susut. Tetapi selama aku beristirahat di Mataram, aku justru makan dua kali lipat dari kebiasaanku, sehingga tenagaku tentu berlipat pula.” Kiai Gringsing tersenyum. Ia sadar, bahwa ia tidak akan mungkin dapat mencegah Ki Sumangkar agar tidak ikut kemedan yang tentu akan merupakan medan yang berat itu. Agaknya Sekar Mirahpun telah berusaha pula agar Ki Sumangkar tinggal di Mataram, tetapi muridnya itupun tidak berhasil. Ki Sumangkar tetap pada pendiriannya untuk ikut serta pergi kelembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.

Dalam pada itu, Ki Waskita telah melampui perjalanannya dengan tanpa gangguan diperjalanan. Ketia ia memasuki tlatah Tanah Perdikan Menoreh, hatinya terasa sejuk. Agaknya Menoreh benar-benar telah bangun. Diperjalanan Ki Waskita telah bertemu dengan tiga orang peronda berkuda yang mengelilingi padukuhan yang satu dan yang lain. “Mereka telah menemukan diri mereka kembali,“ desis Ki Waskita. Tiga orang pengawas yang dikirim oleh Mataram itu termangu-mangu. Mereka tidak begitu mengerti, apakah yang dimaksud oleh Ki Waskita. Namun merekapun menganggukkan kepalanya tanpa mengerti maknanya. Dihalaman rumah Ki Gede Menoreh, Ki Waskita melihat beberapa orang anak muda sedang berkumpul. Sebagian dari mereka adalah para pemimpin pengawal yang sedang berlatih bersama Prastawa. Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Tanah Perdikan Menoreh ingin meloncat sampai ketempatnya berpijak sebelum mengalami kemunduran yang dapat mengganggu Tanah Perdikan itu jika terjadi sesuatu. Kedatangan Ki Waskita segera disambut oleh Ki Gede Menoreh dan Agung Sedayu. sementara Prastawa melanjutkan latihan-latihannya dihalaman. Setelah beristirahat sejenak dan minum beberapa teguk, maka Ki Waskitapun langsung menceriterakan perjalanannya ke Mataram. Hasil-hasil yang telah ditetapkan dalam pembicaraan antara Mataram dan Sangkal Putung. “Aku mohon maaf Ki Gede, bahwa aku telah memberanikan diri mewakili Tanah Perdikan Menoreh dalam pembicaraan itu, karena akulah orang yang dianggap paling banyak mengetahui tentang Tanah Perdikan ini, sekaligus aku adalah utusan Ki Gede untuk menyampaikan laporan tentang Tanah Perdikan ini.” Ki Gede tersenyum. Jawabnya, “Akulah yang seharusnya mengucapkan terima kasih. Bahkan seterusnya Ki Waskita yang mendengar langsung semua yang dibicarakan di Mataram, aku harap untuk mengendalikan semua gerakan di Tanah Perdikan ini. Aku mencoba meletakkan kepercayaan kepada Prastawa. Namun sudah tentu bahwa aku tidak akan melepaskannya.” Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya Mudah-mudahan ia dapat melaksanakan dengan baik. Asal Prastawa tidak meninggalkan semua pesan dan petunjuk orang-orang tua, maka ia tentu akan berhasil.” “Mudah-mudahan sahut Ki Gede selebihnya aku minta angger Agung Sedayu untuk mendampinginya. Aku kira angger Agung Sedayu mempunyai pengalaman agak lebih banyak dari Prastawa.” Satelah berbicara beberapa saat, maka Ki Gede Menorehpun segera menunjuk dua orang pengawal terpilih untuk mengawani tiga orang pengawas dari Mataram yang akan mendahului keujung lembah disebelah Barat.

“Apakah aku sajalah yang pergi mendahului paman? “ bertanya Prastawa. Ki Gede menggeleng. Jawabnya, “kau akan membawa seluruh pasukan Tanah Perdikan Menoreh pada saatnya nanti bersama aku, Ki Waskita dan Agung Sedayu.” Prastawa mengangguk-angguk. Sepercik kebanggaan telah terbersit dihatinya. Ia mulai mendapat kepercayaan dari Ki Gede Menoreh meskipun masih dibawah pengawasan langsung pamannya. Namun jika ia berhasil dengan baik, maka kepercayaan itu lambat laun akan menjadi semakin besar. Demikianlah maka setelah beristirahat dan menyediakan bekal secukupnya, lima orang pengawas yang akan mendahului pergi ke ujung lembah itupun segera berangkat. Sepeninggal kelima orang itu, Ki Gede masih melanjutkan pembicaraan dengan Ki Waskita, Agung Sedayu dan Prastawa. Mereka sudah mulai membagi kelompok-kelompok pasukannya dalam gelar yang akan mereka pergunakan menyumbat lembah yang menghadap keBarat. “Kita masih mempunyai cukup waktu,“ berkata Ki Gede Menoreh, “bahkan menurut perhitunganku, waktu itu agak terlalu longgar.” “Ada beberapa pertimbangan Ki Gede,“ berkata Ki Waskita, “menurut orang-orang yang berhasil kita tawan dan sekarang berada di Mataram, mungkin masih ada beberapa orang penting yang akan hadir dalam pertemuan dilembah itu. Tetapi juga karena perhitungan waktu dalam persiapan terutama pasukan Mataram yang akan langsung menusuk kejantung lembah itu.” Ki Gede mengangguk-angguk. Bagi Menoreh waktu yang tujuh hari itu telah lebih dari cukup, apalagi sekedar memasang gelar untuk menahan arus lawan yang mengundurkan diri jika mereka tidak dapat menahan serangan pasukan Mataram. “Kita mengharap, dari para pengawas yang mendahului, kita akan mendapat gambaran kekuatan dari kelompok-kelompok yang sedang berkumpul dilembah itu.” berkata Ki Gede Menoreh. “Tetapi aku kira, tidak seluruh kekuatan mereka berada dilembah itu. Mereka yang berkumpul tentu beberapa orang pemimpin serta pengawal-pengawalnya yang mungkin memang agak banyak. Namun pasukan mereka pasti terbagi dalam pemusatan-pemusatan yang setiap saat dapat menghantam Pajang dari beberapa jurusan,“ sahut Ki Waskita. “Mungkin demikian. Tetapi jika kita berhasil menangkap kepalanya, maka ekornya tidak akan dapat banyak bergerak lagi.” Ki Waskita mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan Ki Gede. Dan iapun mengartikan bahwa kelompok-kelompok yang berkumpul di lembah itu hanyalah beberapa orang saja. Dari para wartawan Mataram sudah mendapat gambaran, bahwa lembah itu telah dipenuhi dengan gubug-gubug ilalang yang dihuni oleh kelompok-kelompok dari beberapa gerombolan yang berada dilembah itu.

“Mereka tinggal dilereng yang tertutup oleh hutan yang masih cukup lebat. Padukuhan dan padepokan kecil yang berada dimulut lembah bagian Timur, agaknya tidak diganggunya sama sekali, agar orangorang dipadepokan dan padukuhan kecil itu tidak menyebarkan berita kehadiran gerombolangerombolan itu.” berkata Ki Waskita. Ki Gede mengangguk-angguk. Iapun sudah membayangkan kekuatan yang besar memang sedang menyiapkan diri dilembah itu. Bahkan kekuatan yang ada itu masih juga akan bertambah-tambah. Dalam pada itu, Ki Gedepun memerintahkan kepada Prastawa untuk mengadakan persiapan sebaikbaiknya. Pengawal Tanah Perdikan Menoreh akan dibagi dalam kelompok-kelompok dibawah seorang pemimpin. Mereka harus siap menangkap dan menjalankan perintah yang disampaikan kepada mereka. “Kita masih mempunyai waktu lima hari. Dihari keenam kita sudah berada diperjalanan. Pada saat fajar menyingsing dihari ketujuh kita sudah berada dimulut lembah. Mungkin kita harus masuk agak dalam, diantara hutan yang cukup lebat. Meskipun dilembah itu memang ada jalan setapak, tetapi jika terjadi pertempuran, maka yang akan menjadi jalur jalan pasukan yang mungkin berhasil didesak oleh pasukan Mataram itu, bukannya jalan setapak itu,“ berkata Ki Gede. “Kita mempunyai beberapa orang yang telah mengenal daerah itu dengan baik,“ berkata Prastawa, “mereka akan ditempatkan pada ujung pasukan. Begitu fajar dihari ketujuh itu naik, kita akan menempatkan kelompok-kelompok pasukan kita terpencar dilembah dengan perlengkapan isyarat yang cukup.” “Kewajibanmulah untuk menyiapkan semua keperluan itu Prastawa,“ berkata Ki Gede, “Agung Sedayu akan dapat kau ajak berbicara. Ia mempunyai pengalaman yang cukup. Juga diatas Tanah Perdikan Menoreh ini. Meskipun ia bukan keluarga Tanah Perdikan Menoreh, namun ia mengenal Tanah ini seperti kalian.” Prastawa mengangguk. Tetapi terasa sesuatu melonjak dihatinya. “tanpa Agung Sedayu aku juga dapat menyelesaikan tugas ini,“ berkata Prastawa didalam hatinya. Ternyata bahwa Tanah Perdikan Menoreh telah memanfaatkan hari yang tersisa itu sebaik-baiknya. Latihanlatihan diadakan dengan teratur dan bersungguh-sungguh. Prastawa seakan-akan berada disegala tempat memberikan petunjuk-petunjuk. Sementara Agung Sedayupun mencoba membantunya meskipun sekali-sekali terasa, bahwa sikap Prastawa agak kurang pada tempatnya. Tetapi Agung Sedayu mencoba untuk tidak berprasangka. Karena itulah ia masih tetap melakukan tugas yang diberikan kepadanya. Bahkan kadang-kadang bersama Ki Gede Menoreh sendiri dan Ki Waskita.

Betapa tajamnya tanggapan Ki Gede Menoreh atas ilmu kanuragan. Meskipun Agung Sedayu sekedar memberikan beberapa bimbingan kepada para pengawal, namun sambil berbisik Ki Gede bertanya kepada Ki Waskita, “Apakah ada penyempurnaan ilmu dari angger Agung Sedayu?” Ki Waskita tersenyum. Sambil mengangguk ia menjawab, “Luar biasa. Ia menemukan inti dari ilmunya diluar pengamatan langsung gurunya.” Ki Argapati mengerutkan keningnya, Nampak keragu-raguan membayang diwajahnya. sehingga Ki Waskita merasa perlu untuk menjelaskan. Katanya, “Agung Sedayu meninggalkan gurunya untuk sebulan. Memang agak sukar dimengerti, bahwa yang sebulan itu ternyata telah membuat Agung Sedayu meloncat jauh sekali. Jauh diluar perhitungan gurunya sendiri.” Ki Argapatu mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi maksud Ki Waskita, bahwa Agung Sedayu menemukan inti dari ilmunya justru saat ia meninggalkan gurunya dalam sebulan itu?” “Ya.” Ki Argapati mengangguk-angguk pula. Sejak semula ia sudah mengagumi anak muda itu seperti juga ia mengagumi Swandaru. Karena itu ia mempercayai keterangan Ki Waskita tentang Agung Sedayu. Namun Ki Argapatipun tidak dapat menyembunyikan perasaan ingin tahunya tentang menantunya yang sudah agak lama terpisah. Karena itu, maka iapun dengan ragu-ragu bertanya pula kepada Ki Waskita. Seperti yang dilihatnya pada Swandaru. maka Ki Waskitapun menceriterakan bahwa kekuatan Swandaru yang dilambari dengan latihan-latihan yang mapan, kini merupakan kekuatan raksasa yang sulit dicari imbangannya. Ketrampilannya bermain cambuk telah meningkat jauh sekali. Bahkan iapun ternyata memiliki kemampuan yang tinggi untuk mempergunakan segala macam senjata. “Sokurlah,“ desisnya, “aku berbangga karena kelak ia akan menjadi tetua Tanah Perdikan ini disamping isterinya.” Ki Waskita tidak menyahut. Tetapi ia menyembunyikan sesuatu didasar hati. Ia tidak sampai mengatakan bahwa ada sesuatu yang lain telah berkembang di dalam jiwa anak muda yang gemuk itu. “Aku ternyata terlalu lemah,“ berkata Ki Waskita didalam hatinya. Sebenarnya ia merasa bersalah, bahwa ia tidak berterus terang tentang Swandaru yang perkembangan jiwanya agak mencemaskan. Dalam pada itu, latihan-latihan di Tanah Perdikan Menoreh itu berlangsung dengan penuh gairah. Waktu yang sempit itu mereka pergunakan sebaik-baiknya. Kehadiran Agung Sedayu dan Ki Waskita dapat memberikan warna-warna yang dapat membubuhi latihan-latihan yang diadakan oleh para pengawal. Pengalaman-pengalaman yang diceriterakan oleh Agung

Sedayu dan Ki Waskita meskipun hanya sekedar sebagai dongeng menjelang tidur, namun banyak memberikan petunjuk yang sangat berguna bagi mereka. Dengan demikian, maka rasa-rasanya Tanah Perdikan Menoreh telah bangun kembali setelah terkantuk-kantuk beberapa saat. Bukan saja dalam olah kanuragaan. Tetapi disamping peronda yang mulai berputaran diseluruh tlatah Tanah Perdikan Menoreh, maka orang-orang tua-pun mulai menyadari, bahwa seharusnya parit-parit yang kering itupun mengalirkan air yang dapat membasahi tanaman dimusim kering. Dalam pada itu. selagi Tanah Perdikan Menoreh sibuk mempersiapkan pasukan terkuat untuk ikut serta bersama Mataram dan Sangkal Putung berusaha menemukan kembali pusaka-pusaka yang hilang disamping mempersiapkan pasukan pengawal yang akan menjaga keamanan Tanah Perdikan selama tugas itu berlangsung, dari Mataram sekelompok demi sekelompok pasukan pengawaltelah mulai bergerak. Di hari ketika pasukan pengawal Sangkal Putung yang dipimin langsung oleh Swandaru telah dipersiapkan dalam kelompok-kelompok kecil yang berangkat dibarengi oleh kelompok-kelompok kecil dari Mataram mendaki kaki Gunung Merapi. Beberapa orang yang telah mengenal jalan menuju kelambung Gunung Merapi itu membawa mereka lewat jalan-jalan yang kadang-kadang merupakan jalur-jalur sempit ditengah-tengah hutan. Tetapi jalan yang demikian adalah jalan yang paling baik mereka lalui, sehingga mereka tidak akan mudah diketahui, baik oleh para pengawas yang mungkin dipasang oleh orangorang yang berada dilembah, namun mungkin juga pasukan sandi dari Pajang. Menurut perhitungan dihari kelima, pasukan Sangkal Putung dan pasukan Mataram telah berada dilambung Gunung Merapi. Mereka akan melingkari lambung itu dalam iring-iringan yang lengkap. Pasukan Sangkal Putung segera akan menempati tempat-tempat yang akan ditunjukkan oleh para pengawas yang telah mendahului, sementara pasukan Mataram dihari ketujuh, menjelang fajar, akan memasuki lembah dalam gelar perang. Setiap orang didalam pasukan Mataram dan Sangkal Putung itu sudah mulai membayangkan, apa yang akan terjadi. Mereka mulai menjadi tegang dan berdebar-debar. Mereka telah mendengar, bahwa didalam lembah itu terdapat beberapa orang yang memiliki kemampuan yang tinggi, sehingga mereka harus berhati-hati menghadapi mereka. “Ki Juru Martani akan ikut serta memasuki lembah itu,“ berkata salah seorang Senapati. “Dari siapa kau dengar?” bertanya kawannya. “Ki Lurah Branjangan. Ki Lurah akan menjadi pengapit yang sebelah lagi?” Kawannya mengangguk-angguk. Namun ini masih bertanya, “Kenapa Ki Juru tidak berada di antara pasukan Sangkal Putung yang menunggu dimulut lembah? Ki Juru sudah tua.”

“Kau lihat orang bercambuk yang bernama Kiai Gringsing itu? Iapun sudah tua setua Ki Sumangkar. Tetapi mereka masih saja hidup dalam petualangan mengalami perkelahian dan pertempuran yang satu keperkelahian dan pertempuran berikutnya. Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Namun adalah isyarat bagi setiap pengawal Mataram, Jika Ki Juru ikut serta didalam gelar, itu adalah pertanda bahwa keadaan memang benar-benar gawat. Sebenarnyalah. Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar tengah membicarakan kemungkinan yang akan mereka hadapi. Ternyata bahwa kedua orang tua itu bersepakat untuk ikut serta memasuki lembah, dan mempercayakan pasukan pengawai Sangkal Putung kepada Swandaru. Pandan wangi dan Sekar Mirah. “Tetapi kita harus memperhitungkan kekuatan Tanah Perdikan Menoreh,” berkata Ki Juru kepada Sutawijaya ketika mereka sedang berbincang tentang rencana mereka. “Jika kita mendesak dati Timur, dan lawan mundur ke Barat, apakah pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh cukup kuat untuk menahan mereka ?” “Kita tidak akan melepaskan mereka. Jika mereka mundur, berarti mereka akan membuka dua garis peperangan,” jawab Sutawijaya. Ki Juru mengangguk-angguk. Iapun mengerti, bahwa pasukan Mataram akan menekan mereka, sehingga seandainya orang-orang yang ada dilembah itu bergeser kemulut lembah, maka mereka masih akan tetap harus melawan pasukan Mataram yang mengikuti mereka. Dengan demikian maka tekanan pada pasukan Tanah Perdikan Menoreh itu tidak akan terlalu berat. Dalam pada itu, Raden Sutawijaya merasa tidak perlu lagi menugaskan penghubungnya ke Tanah Perdikan Menoreh, karena ia percaya bahwa Ki Waskita, orang yang sudah kenyang akan pengalaman itu, tidak akan salah langkah. Sebenarnyalah pada saat menjelang keberangkatan pasukan Tanah Perdikan Menoreh, Ki Waskita, Ki Gede Menoreh, Agung Sedayu dan Prastawa telah mematangkan semua rencana. Prastawa akan memimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh didampingi oleh Ki Argapati sendiri. Keduanya akan berada di ujung pasukan Sementara Agung Sedayu akan berada disebelah kanan mendampingi pimpinan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, sementara pimpinan pengawal yang ada disebelah kiri akan didampingi oleh Ki Waskita. Ketika Ki Gede Menoreh bertanya kepada Ki Waskita, apakah Agung Sedayu sudah mampu berdiri sendiri di hadapan orang-orang yang berada dilembah itu, Ki Waskita tersenyum sambil menjawab, “Itulah yang aku merasa heran.

Ketika ia sendiri didalam sebuah goa, ia telah berhasil meningkatkan ilmunya, sehingga sulit untuk membedakan lagi antara Agung Sedayu dan gurunya didalam olah kanuragan. Meskipun Agung Sedayu belum sematang Kiai Gringsing, namun ia telah memiliki segalanya yang dimiliki oleh gurunya.” Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Sulit baginya untuk mempercayainya. Tetapi Ki Waskita tentu tidak akan berbohong. Apalagi dalam keadaan gawat dimulut lembah itu. Ki Gede Menoreh mengenal beberapa orang sakti dari lingkungan mereka yang mengaku dirinya keturunan Majapahit dan merindukannya kembali. Ki Waskita agaknya dapat menangkap perasaan Ki Gede. Katanya, “Ki Gede. Seandainya Agung Sedayu kini bertemu dengan orang yang menyebut dirinya Panembahan Agung atau Penembahan Alit, maka aku tidak akan mencemaskan lagi. Setidak-tidaknya ia akan dapat bertahan untuk waktu yang lama, sementara akan datang kesempatan-kesempatan yang lain yang dapat kita berikan.” “Sukurlah,“ desis Ki Gede, “aku memang sudah menduga sejak semula, bahwa angger Agung Sedayu akan menjadi seorang yang luar biasa.“ Ki Argapati terdiam sejenak, namun kemudian, “apakah Swandaru juga memiliki kemampuan seperti itu?” “Ia memiliki kekuatan jasmaniah seperti yang pernah aku katakan. Selebihnya ia memiliki kemampuan memimpin para pengawal sehingga Sangkal Putung menjadi Kademangan yang kuat dari segala segi. Bukan saja kekuatan tempur bila terjadi sesuatu, tetapi juga kesejahteraan Kademangannya telah meningkat. Sawah ladang terpelihara baik, sementara kerja yang lain telah tumbuh pula dengan subur.” Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Ia dapat mengambil kesimpulan bahwa menurut pengamatan Ki Waskita, didalam olah kanuragan, Swandaru agak ketinggalan dari Agung Sedayu. Namun hal itu memang sudah diduga oleh Ki Gede Menoreh, bahwa Agung Sedayu agaknya mempunyai beberapa kelebihan dari menantunya yang gemuk itu. Dalam pada itu, maka semua rencana telah dapat berjalan seperti yang dikehendakinya. Pada hari yang kelima, pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh telah siap menempuh perjalanan. Jaraknya memang tidak terlalu jauh. Tetapi juga tidak terlalu dekat. Ketika matahari turun, diakhir hari kelima sejak ditentukan saat-saat maka pasukan Tanah Perdikan Menoreh itu telah berangkat kemedan. Mereka berjalan dimalam hari untuk menghindari kegelisahan yang dapat timbul jika orang-orang dipadukuhan melihat kelengkapan pasukan yang pergi kemedan itu. Sementara perjalanan dimalamhari tidak akan terasa panasnya sengatan matahari meskipun jalan menjadi samar oleh kegelapan. Ki Gede berharap bahwa pasukannya masih mempunyai kesempatan untuk sekedar beristirahat dimulut lembah sebelum fajar menyingsing dihari ketujuh. Istirahat yang akan dapat memberikan

kesegaran baru setelah menempuh perjalanan yang meskipun tidak begitu jauh, tetapi cukup melelahkan. Karena para pengawas tidak memberikan laporan apapun tentang keadaan dilembah itu, maka menurut perhitungan Ki Gede, tidak terjadi sesuatu yang akan dapat merubah rencana. Namun dalam pada itu, dilembah yang dipagari oleh Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu telah terjadi kegelisahan. Kepergian beberapa orang yang mereka tugaskan untuk melenyapkan Sumangkar, masih belum kembali. Semula mereka menganggap bahwa orang-orang itu masih belum mendapat kesempatan untuk melakukan tugasnya karena Sumangkar selalu berada di Sangkal Putung. Namun karena waktu yang telah terlalu lama itu, benar-benar telah menumbuhkan kegelisahan.Orang yang mereka tugaskan berada didekat Untara masih dapat memberikan ketenangan karena ternyata Ki Sumangkar masih belum menghadap Untara dan memberikan laporan apapun. “Agaknya Sumangkar menganggap peristiwa yang dihadapinya itu bukan peristiwa yang penting,“ berkata salah seorang dari mereka yang digelisahkan karena kelambatan kawan kawannya melenyapkan Sumangkar, “ternyata ia masih belum datang menghadap Untara dan melaporkan apa yang telah terjadi.” “Mungkin. Tetapi ada kemungkinan lain. Laporan itu tidak diberikannya kepada Untara, tetapi langsung kepada Pajang atau Mataram. Dengan demikian maka jalur perintah kepada Untara itu akan datang dari Pajang.” Kawannya tertawa. Jawabnya, “Kita mempunyai telinga dan mata di Pajang.“ namun kemudian nampak keningnya berkerut, “tetapi tidak di Mataram.” Dalam kegelisahan itu, tiba-tiba saja datang laporan dari petugas mereka yang ada di Jati Anom. Mereka memberikan laporan bahwa Kiai Gringsing dan Agung Sedayu tidak ada di padepokan mereka yang kecil. Berita itu semula tidak begitu menarik perhatian. Namun kemudian mereka mulai menghubungkan, bahwa Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar bukannya orang lain setelah keduanya berada di Sangkal Putung untuk waktu yang cukup lama. “Apakah kepergian Kiai Gringsing dan Agung Sedayu ada hubungannya dengan peristiwa yang terjadi atas Ki Sumangkar?“ pertanyaan itu mulai timbul diantara mereka yang ada dilembah itu. Ternyata bahwa orang-orang dilembah itu ingin segera mendengar jawabnya. Karena itu, maka mereka bersepakat mengirimkan beberapa orang untuk menemukan orang-orang yang telah pergi lebih dahulu untuk melenyapkan Ki Sumangkar. “Mereka berada disekitar Sangkal Putung,” pesan itulah yang dibawa oleh orang-orang yang kemudian meninggalkan lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu. Namun dalam pada itu, kepergian mereka berhasil dilihat oleh para pengawas yang telah mendahului

keberangkatan pasukan pengawal dari Mataram. Tetapi para pengawas itu sama sekali tidak mengganggunya, karena orang-orang itu tidak akan mengganggu rencana Raden Sutawijaya. Dalam pada itu, orang-orang yang langsung menuju kedaerah disekitar Sangkal Putung itu telah berusaha untuk mendengar dan mengetahui, apakah yang sebenar nya telah terjadi. Dengan berbagai macam akal, akhirnya ia mendengar dari orang-orang yang berjualan dipinggir jalan, bahwa Sumangkar kebetulan tidak ada di Sangkal Putung. “Apakah ia pergi ke Jati Anom?“ bertanya salah seorang dari mereka yang sedang berusaha mendapatkan keterangan itu. “Kami tidak tahu. Tetapi ia pergi dahulu bersama putera Ki Demang. Tetapi putera Ki Demang sudah kembali dan bahkan sudah pergi lagi.” “Kemana?” Orang-orang yang sedang berjualan itu menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak tahu. Aku hanya mendengar dari orang-orang yang berbelanja. Menantu Ki Demang, yang sering berbelanja bersama Sekar Mirah itupun sudah beberapa hari tidak nampak. Mungkin keduanya ikut pergi pula. bersama Swandaru.” Orang-orang yang datang dari lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu menjadi termangu-mangu. Tetapi mereka tidak berhenti berusaha, sehingga pada suatu kali mereka berhasil mendapat ceritera tentang iring-iringan yang meninggalkan Sangkal Putung. “Siapa dan berapa orang?“ bertanya orang-orang itu. Orang yang memberikan keterangan itu menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak melihatnya.” Berita-berita yang didengarnya ternyata membuat mereka gelisah. Ada kemungkinan bahwa Sumangkar telah binasa, karena swandaru datang kembali ke Kademangan tidak bersama Sumangkar, tetapi bersama Kiai Gringsing. Tetapil jika demikian, maka orang-orang yang berhasil membinasakan Sumangkar itu akan segera kembali. “Apakah setelah mereka berhasil membinasakan Sumangkar, mereka diketahui oleh orang-orang Sangkal Putung dan justru mereka juga dapat dibinasakan.” Berbagai pertanyaan telah tumbuh. Dengan sungguh-sungguh orang-orang itu berusaha mengurai setiap keterangan dan menghubungkannya dengan keterangan-keterangan yang lain. Baru kemudian mereka mendapat keterangan yang agak menjurus. Ketika seorang petani melihat beberapa orang yang berpakaian seperti perwira prajurit Pajang melakukan kegiatan di tengah-tengah

bulak. “Mereka membawa beberapa orang pergi,“ berkata petani itu. Yang dapat mereka berikan hanyalah sekedar petunjuk arah. Kemana orang-orang itu pergi. Dengan susah payah orang-orang yang datang dari Lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu mencoba menelusur jejak. Meskipun sudah samar-samar, tetapi jejak beberapa ekor kuda masih dapat mereka ikuti. Justru ketika mereka melihat jejak kuda yang berjumlah lebih dari sepuluh ekor itu meninggalkan jalur jalan yang banyak dilalui orang. “Jalan ini tentu jarang di lalui. Tetapi samar-samar masih nampak jejak sekelompok orang-orang berkuda,“ berkata salah seorang dari mereka. Kawan-kawannya juga melihat rerumputan yang terinjak-injak dan kadang-kadang diatas tanah yang lunak jejak itu masih jelas, karena jalan kecil itu adalah jalan simpang yang sepi. “Mereka membawa Sumangkar ketempat yang tidak banyak didatangi orang,“ berkata salah seorang dari mereka. “Agaknya demikian,“ jawab yang lain. “Jika demikian, maka Sumangkar tentu sudah terbunuh. Yang menjadi teka-teki, kenapa mereka yang ditugaskan untuk membunuh Sumangkar itu masih belum kembali.” Namun demikian mereka masih menelusuri bekas yang kadang-kadang jelas, tetapi kadang-kadang hampir lenyap, sehingga akhirnya mereka sampai kehutan perdu yang terasing. Ternyata bahwa bekas pertempuran yang terjadi ditempat itu telah mengejutkan mereka. Jika benar Sumangkar sudah mati, maka ia tentu telah melakukan perlawanan yang sengit. Tetapi mereka telah dikejutkan oleh gundukan tanah didekat tempat itu. Dengan serta merta mereka segera mengenal, bahwa gundukan tanah itu tentu tempat untuk mengubur mayat. “Sepuluh,“ seseorang hampir berteriak. “Ya. Sepuluh,“ sahut yang lain. Sejenak mereka menjadi tegang. Jumlah itu sama dengan jumlah orang yang ditugaskan untuk membinasakan Sumangkar. “Semuanya terbunuh.“ salah seorang dari mereka berdesis.

Wajah-wajah mereka menjadi tegang. Sejenak mereka justru berdiri mematung. Beberapa saat mereka telah terpukau oleh berbagai macam tanggapan tentang kenyataan yang mereka temukan itu. “Gila,“ tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak, “jadi bukan Sumangkarlah yang agaknya telah terbunuh. Tetapi orang-orang yang harus membunuhnya. Agaknya sekelompok orang-orang Sangkal Putung telah menjebak mereka dan membawa mereka ketempat ini untuk dibantai seluruhnya.” Ketegangan telah mencengkam setiap jantung. Orangorang dari lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu menyadari apa yang telah terjadi. Namun ternyata bahwa gundukan tanah itu berjajar sepuluh, agaknya justru telah mengurangi kecemasan mereka. “Semuanya terbunuh,“ desis salah seorang dari mereka. Kemudian, “Tetapi itu agaknya lebih baik daripada ada diantara mereka yang tertangkap hidup. Kematian mereka tidak akan dapat memberikan penjelasan apapun tentang lembah yang tertutup itu.” Yang lain menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang luar biasa. Ki Sumangkar seakan-akan mempunyai kekuatan ajaib pada dirinya. Sepuluh orang terpilih itu tidak berhasil membunuhnya, bahkan merekalah yang telah mati terbunuh.” “Mungkin petugas-petugas sandi dari Jati Anom tetapi juga mungkin pengawas-pengawas dari Sangkal Putung telah menemukan kesepuluh orang itu, sehingga mereka berhasil mereka jebak. Dalam pertempuran beradu dada maka sepuluh orang itu memerlukan sepasukan yang besar dari para pengawal Sangkal Putung untuk mengalahkannya,“ berkata salah seorang dari mereka. “Kita harus segera melaporkan peristiwa ini. Mungkin ada sesuatu yang harus dilakukan. Jika benar kesepuluh orang itu mati dalam pertempuran, memang agaknya tidak banyak keterangan yang telah didengar. Tetapi jika mereka berhasil menangkap satu dua orang hidup-hidup kemudian memeras keterangan mereka sebelum mereka dibantai disini, maka itu akan merupakan hal yang gawat bagi kita.” Yang lain mengangguk-angguk. Salah seorang berkata, “Kita memang harus segera melaporkan bahwa Sumangkar tentu masih hidup. Tidak ada seorangpun yang memberikan keterangan tentang kematian Sumangkar. Jika sekiranya ia terbunuh juga dalam pertempuran yang dahsyat, tentu mayatnya akan dibawa ke Sangkal Putung oleh para pengawal Kademangan Sangkal Putung.” Dengan demikian orang-orang dari lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu menyadari, bahwa mereka akan berhadapan dengan bahaya, meskipun mereka belum dapat mengatakan, apakah yang akan terjadi dilembah itu. Karena itulah maka merekapun kemudian berpacu kembali kelembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Mereka hampir pasti bahwa justru Sumangkarlah dan orang-orangnyalah yang telah membunuh kesepuluh orang yang ditugaskannya membunuhnya.

Orang-orang itu memasuki lembah tanpa kesulitan, karena para pengawas dari Mataram memang tidak mengganggunya, meskipun dari tempat yang agak tinggi, mereka sempat melihatnya. Orang-orang itu memasuki lembah lewat jalur jalan sempit diantara gerumbul-gerumbul perdu dan hilang kedalam hutan yang semakin lebat. Demikian para pengawas melihat orang-orang itu lewat, maka merekapun segera mempersiapkan diri. Saatnya sudah tiba untuk menyongsong pasukan yang tentu sudah mendekati mulut lembah itu. “Untunglah, bahwa orang-orang itu sudah memasuki lembah,” berkata salah seorang dari para pengawas. “Seandainya belum-pun tidak akan ada pengaruhnya,“ sahut yang lain. “Ya,“ gumam yang lain lagi, “mereka akan tertahan disini. sementara lembah ini sudah tersumbat.” Yang lain tidak menjawab. Tetapi menurut perhitungan mereka, sebentar lagi pasukan Mataram dan Sangkal Putung itupun akan segera berada ditempat itu. Ternyata semua rencana berjalan seperti yang diperhitungkan. Pasukan Mataram dan Sangkal Putungpun datang tepat pada waktunya, meskipun mereka tidak serentak berada ditempatnya. “Tidak ada gangguan apapun,“ lapor para pengawas. “Jadi pasukan Sangkal Putung dan Mataram sudah dapat ditempatkan? “ bertanya seorang Senepati penghubung. “Ya. Kami sudah menemukan tempat-tempat yang paling baik bagi pasukan Sangkal Putung dan arah yang benar bagi pasukan Mataram yang akan memasuki lembah dalam gelar yang sempit.“ sahut pemimpin pengawas itu. Senapati itupun kemudian kembali keinduk pasukannya dan melaporkannya kepada Raden Sutawijaya dan Swandaru. “Kita akan mempersiapkannya sekarang. Kita sudah berada dihari keenam. Kita akan beristirahat semalam. Sebelum fajar dihari ketujuh pasukan Mataram sudah akan bergerak,“ berkata Raden Sutawijaya. Demikianlah, maka pasukan Sangkal Putung yang telah berkumpul dilambung Gunung Merapi itupun segera bergerak ketempat yang ditunjukkan oleh para pengawas. Mereka segera menempatkan diri ditempat yang paling menguntungkan. Induk pasukan Sangkal Putung itu ditempatkan sebelahmenyebelah jalan setapak yang memasuki gerumbul-gerumbul dilembah itu dan langsung menusuk

kedalam hutan. Namun yang lain menebar cukup panjang. Beberapa orang berada ditempat yang agak tinggi. Mungkin orang-orang yang berusaha melepaskan diri dari sergapan orang-orang Mataram akan melarikan diri memanjat lambung Gunung yang lebih tinggi sebelum mereka melingkar. Baik disebelah Timur maupun disebelah Barat. Pada saat yang bersamaan, maka pasukan Tanah Perdikan Menorehpun telah menempatkan dirinya pula. Merekapun berharap untuk dapat beristirahat barang sejenak, dimalam hari menjelang hari ketujuh. Para pengawaspun menempatkan mereka seperti yang dilakukan oleh pasukan Sangkal Putung. Mereka sedikit memasuki lembah dan menebar ditempat yang agak panjang, sementara mereka menempatkan induk pasukan mereka ditempat yang mudah untuk bergerak. Dalam pada itu, pasukan Mataram telah mengambil sikap tersendiri. Dibawah pimpinan langsung Raden Sutawijaya mereka menyergap memasuki lembah. Mereka harus menemukan pusaka-pusaka yang hilang, yang menurut perhitungan tentu berada dilembah itu pula, sementara merekapun akan dapat berhadapan dengan orang-orang yang ingin menentukan wajah baru bagi Tanah ini dengan sebuah kenangan atas kejayaan Majapahit. “Mudah-mudahan aku dapat berbuat sesuatu,“ desis Kiai Gringsing. Seperti orang-orang tua yang berada disekitarnya. Raden Sutawijayapun mengetahui, bahwa ada sangkutpautnya antara Kiai Gringsing dengan mereka. Ketika matahari turun dihari yang keenam, maka rasa-rasanya darah ditubuh para pengawal Mataram, Sangkal Putung disebelah Timur, dan para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh di sebelah Barat, mengalir semakin cepat. Meskipun demikian, agar mereka tidak terlalu lelah, maka merekapun berusaha sejauh dapat dilakukan untuk beristirahat. Mereka berbaring diatas rerumputan kering, diatas batu-batu besar yang berserakan di lembah, atau di tempat-tempat yang lain. Sementara beberapa orang yang sedang bertugas, dengan saksama mengawasi keadaan. Beberapa orang pengawas yang memanjat tebing agak tinggi, melihat beberapa buah lampu minyak yang menyala, agak menjorok ketengah hutan. Agaknya lampu-lampu minyak didalam barak-barak yang telah dibuat oleh orang-orang yang tengah berkumpul dilembah itu. Sementara itu, para pemimpin yang sudah hadir dilembah itupun mulai tertarik kepada berita tentang hilangnya sepuluh orang yang ditugaskan membunuh Ki Sumangkar. Apalagi setelah mereka mendengar tentang gundukan tanah baru yang jumlahnya juga sepuluh.

“Sumangkar memang siluman,“ berkata salah seorang dari mereka, “ia adalah adik seperguruan Mantahun. Karena itu. maka untuk menyingkirkan orang itu, diperlukan perhitungan yang sangat teliti.” Yang lain mengangguk-angguk. Merekapun menyadari, siapakah Patih Mantahun. Orang-orang yang mendapat tugas untuk menemukan kesepuluh orang itupun segera melaporkan pula, bahwa mereka mendengar berita dari orang-orang Sangkal Putung, bahwa Sangkal Putung ternyata sedang kosong. Ki Sumangkar tidak ada di Kademangan. Bahkan kemudian Swandaru, isterinya dan Sekar Mirahpun tidak nampak pula. “Sekar Mirah adalah adik Swandaru. Ia adalah murid Ki Sumangkar,“ berkata salah seorang dari mereka. Tetapi agaknya sebagian dari mereka sudah mengetahui, sehingga tidak banyak diantara mereka yang bertanya lebih banyak lagi tentang orang-orang yang disebut. Namun yang menarik perhatian adalah bahwa orang-orang itu tidak berada di Sangkal Putung. “Tetapi orang-orang kita yang ada di Jati Anom tidak mengatakan bahwa mereka telah datang untuk menghadap Untara,“ berkata salah seorang dari mereka. “Jika demikian, maka mereka agaknya telah pergi ke Pajang untuk langsung melaporkan persoalan ini kepada Sultan,“ desis yang lain. “Tidak. Aku tidak yakin. Bahkan mungkin mereka telah pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Bukankah Pandan Wangi, isteri Swandaru itu berasal dari Tanah Perdikan Menoreh?” “Ya,“ seorang yang bibirnya seakan-akan selalu dihiasi dengan senyum menyahut, “kawanku, Gandu Demung telah terbunuh ketika ia mencoba untuk ikut mengiringkan pengantin dari Tanah Perdikan Menoreh itu.” “Kenapa?“ bertanya seorang bertubuh gemuk. Orang yang selalu tersenyum, dan pernah berada di Gunung Tidar itu berdesis, “Orang-orang Sangkal Putung-pun telah kepanjingan iblis.” Kawan-kawannya menjadi heran, sehingga salah seorang dari mereka bertanya, “Apakah kawanmu bernama Gandu Demung itu salah seorang kawan Swandaru atau siapa? Dan kenapa ia terbunuh justru saat itu mengiringkan pengantin dari Tanah Perdikan Menoreh itu?” Panganti tersenyum. Namun ternyata nada suaranya digetarkan oleh dendam yang menyala dihatinya, “Orangorang Sangkal Putung adalah orang-orang gila seperti Gandu Demung sendiri.” “Ya, tetapi apa yang telah terjadi?”

Panganti sempat menceriterakan dengan singkat, apa yang telah dialami Gandu Demung, sehingga dengan demikian, maka pun telah memperkuat dugaan, bahwa Ki Sumangkar bersama orang-orang Sangkal Putung telah membunuh sepuluh orang yang ditugaskan untuk membinasakan Ki Sumangkar itu sendiri. Sementara itu, orang-orang terpenting dilembah itupun telah mengambil keputusan untuk sekali lagi mengirimkan sekelompok orang-orang yang lebih kuat untuk menemukan Ki Sumangkar sebelum ia memberikan laporan kepada siapa pun juga. “Menurut laporan yang kami dengar sampai saat ini dari Pajang dan dari Jati Anom. Ki Sumangkar belum memberikan laporan tentang kegiatan kita. Tetapi jelas bahwa ia tidak akan dapat menghadap Sultan. Jika ia nampak di Kota Raja, maka beberapa orang perwira telah siap membunuhnya,“ berkata seorang perwira Pajang yang ada diantara mereka. Namun dalam pada itu maka pertemuan dilembah itu pun telah disiapkan pula Empu Pinang Aring yang telah berada di lembah itu pula, mendesak agar pertemuan segera berlangsung sebelum terjadi sesuatu. “Kita terlampau lamban,“ berkata Empu Pinang Aring. “Sebenarnya kita menunggu apakah usaha untuk mendapatkan keris Kangjeng Kiai Sangkelat itu dapat berhasil.” jawab seorang Perwira tinggi Pajang yang ada diantara mereka, “sementara kakang Panji akan datang sendiri menghadiri pertemuan ini.” “Kapan ia akan datang?” Perwira tinggi itu termangu-mangu. Namun katanya kemudian, “Segera. Maksudnya bahwa ia akan datang sambil membawa pusaka Kangjeng Kiai Sangkelat, sehingga kedudukan kita menjadi semakin jelas. Namun jika belum berhasil dalam waktu dekat ia akan datang tanpa Kiai Sangkelat.” “Kita sudah jauh terlambat dari gerakan orang-orang Pajang di Jati Anom, orang-orang Mataram dan orang-orang Sangkal Putung. Sementara menurut pengamatan kami, kelemahan terdapat di Tanah Perdikan Menoreh yang terkantuk kantuk sekarang ini.” Namun dalam pada itu, selagi mereka menyesali kelambanan kerja yang telah menyebabkan pertemuan dilembah itu masih harus tertunda satu dua hari, maka lembah itu telah digetarkan oleh laporan para pengawas. Dengan tegas mereka menceritakan apa yang telah mereka saksikan dimulut lembah. “Kami melihat persiapan sepasukan yang kuat dimulut lembah,“ berkata pengawas itu. Berita itu benar-benar telah memukul setiap jantung. Empu Pinang Aring yang hampir tidak telaten menunggu perundingan yang menentukan bagi kedudukan mereka itu, dengan serta merta bertanya, “Apakah kau melihat sendiri?” “Ya. Kami melihat gerakan itu. Pengamat kami kemudian mencoba mengadakan penyelidikan. Ternyata bahwa mereka telah menempatkan diri dimulut lembah, menebar dari kaki Gunung Merapi sampai kekaki Gunung Merbabu.”

“Gila,“ geram perwira Pajang yang ada diantara mereka, ”sebut, apakah mereka prajurit Pajang?” “Tidak. Menilik pakaian yang mereka kenakan. Kemungkinan terbesar mereka datang dari Mataram.“ jawab pengawas itu. mPu Pinang Aring melangkah mendekati pengawas itu dengan wajah yang merah padam. Katanya, “Mataram sudah menjawab tantangan kita. He, apakah kata Kelasa Sawit?” Semenjak orang-orang didalam ruangan itu termangu-mangu. Mereka tidak melihat Kiai Kelasa Sawit berada diantara mereka. “Ia berada dibaraknya.” “Kita harus berbicara sekarang ini. Bukan lagi tentang kedudukan dan kewajiban kita dalam kebesaran kerajaan Majapahit baru. Tetapi kita akan berbicara bagaimana kita menyediakan kuburan raksasa bagi orang-orang Mataram.” geram Empu Pinang Aring. Perwira Pajang yang ada diantara mereka itupun kemudian bergumam, “Kakang Panji masih belum ada diantara kita. Tetapi tentu kita tidak akan menunggu perintahnya jika benar-benar orang Mataram itu datang.” “Dimana Tumenggung Wanakerti. Bukankah ia diserahi pimpinan disini sebelum orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu datang?“ bertanya Ki Samparsada seorang yang bertubuh tinggi, berambut berjambang dan berkumis putih. Perwira prajurit Pajang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Kita akan berkumpul. Kakang Tumenggung harus segera dipanggil.” Perwira itupun segera memerintahkan orang-orangnya untuk memanggil orang-orang terpenting yang ada didalam barak mereka masing-masing. Kiai Kelasa Sawit, Empu Pinang Aring, Ki Samparsada, seorang bertubuh raksasa yang bernama Kiai Jagaraga dan beberapa orang lain. Mereka adalah orang-orang yang merasa dirinya memiliki warisan atas kebesaran kerajaan Majapahit. “Kita belum berbicara apa-apa disini,“ berkata orang bertubuh raksasa itu. “Tetapi kita cukup banyak mendapatkan bahan-bahan yang akan kita bicarakan dengan pihak Pajang yang akan menentukan saat-saat yang tepat untuk mengambil alih kekuasaan,“ sahut Ki Samparsada, “kehadiran kita disini tidak sia-sia. Kita sudah lebih dahulu menemukan sikap yang akan kita

hadapkan kepada kakang Panji yang masih belum juga datang.” “Dan yang kini datang, bukannya kakang Panji, tetapi pasukan Mataram yang kuat.” Tumenggung Wanakerti yang sudah berada diantara mereka itupun kemudian berkata, “Sebenarnya persoalan kita sudah selesai. Persoalan-persoalan yang ada diantara kita sudah kita pecahkan meskipun secara kasar. Jika kakang Panji datang, maka kita sudah mendapatkan pola keputusan yang harus diambilnya.“ Tumenggung Wanakerti berhenti sejenak, lalu. “jika kini pasukan Mataram datang, itu adalah menyenangkan sekali. Bukankah kita akan mengusulkan kepada kakang Panji, bahwa sebelum kita melangkah lebih jauh, maka kita akan membinasakan Mataram lebih dahulu? Kini orang-orang Mataram itu datang sendiri. Mereka tentu tidak menyadari kekuatan yang akan mereka hadapi dilembah ini. Kekuatan yang sudah kita persiapkan, bukan saja untuk menghapuskan Mataram, tetapi juga akan menelan Kota Raja.” “Jangan terlalu berbangga Ki Tumenggung,“ berkata Empu Pinang Aring, “meskipun kita sudah banyak berbicara dan mendapatkan pola penyelesaian, tetapi, yang kita bicarakan adalah masalahmasalah yang terlalu kasar. Belum sampai pada masalah-masalah yang lebih kecil dan rumit. Kita belum tahu, apakah kita akan mengumpankan pasukan pilihan yang kita persiapkan dilembah ini, atau kita harus menghindar untuk menyusun diri lebih mantap. Bukankah kita telah merencanakan, jika kakang Panji sependapat, untuk memukul Pajang dengan pasukan terpercaya ini, tetapi gerakan ditempat-tempat lain akan membantu memecah perhatian prajurit-prajurit Pajang.” “Ya. Kita tetap pada rencana itu. Dan kita tetap pada rencana untuk menghancurkan Mataram. Dan kini Mataram telah datang dengan sendirinya. Apakah salahnya jika kita mempergunakan pasukan yang telah siap ini.” Beberapa orang menjadi termangu mangu. Namun kemudian orang bertubuh raksasa itu berkata, “Kita akan mempergunakan pasukan yang ada. Aku ingin bertemu dengan orang yang bernama Raden Sutawijaya dan bergelar Senapati Ing Ngalaga.” “Memang tidak ada salahnya,“ desis Ki Samparsada, “aku juga ingin melihat Mataram binasa. Dan itu adalah kesalahan Ki Sumangkar. Jika ia lolos dari maut dan justru berhasil membinasakan sepuluh orang kepercayaan kita termasuk Kiai Jambu Sirik dan Kiai Senadarma, maka kini ia telah menyeret Mataram kedalam maut itu. Agaknya ia memang tidak melaporkan kepada Untara di Jati Anom atau kepada para perwira di Pajang. Tetapi ia lebih senang melaporkan kepada Raden Sutawijaya yang kini dengan sombong telah datang dengan pasukannya.” “Mereka yang datang dari Mataram itu mengira, bahwa kita sedang bermain-main disini. Mereka tidak tahu, apakah yang sebenarnya ada di lembah ini,“ berkata Tumenggung Wanakerti, “Jika demikian halnya, maka kitapun harus segera mempersiapkan pasukan kita masing-masing.” “Dalam sekejap pasukan sudah siap,“ berkata Empu Pinang Aring. Lalu. “Ada juga gunanya kejutan serupa ini.

Orang-orangku telah jemu menunggu Kiai Sangkelat. Jika mereka mendapat kesempatan untuk mendapatkan selingan sekarang ini, maka mereka tentu akan terbangun dan gairah perjuangan mereka akan tumbuh semakin mekar.” “Sekarang juga pasukanku siap bertempur,“ berkata Kiai Kelasa Sawit, “sebenarnya aku mengharap Untara datang. Ia telah membuat hatiku sakit. Tetapi jika yang datang Mataram, maka aku akan melepaskan dendamku kepada orang-orang Mataram yang dungu itu.” Tumenggung Wanakerti mengangguk-angguk. Ia percaya, bahwa setiap orang yang telah ikut membicarakan beberapa persoalan di lembah itu sambil menunggu kedatangan pemimpin tertinggi para perwira prajurit Pajang yang terlibat didalamnya, akan dapat mempersiapkan diri dengan cepat. Sehingga mereka tidak perlu cemas, bahwa kekuatan Mataram akan dapat melampui kekuatan mereka. Namun dalam pada itu. Tumenggung Wanakerti berkata, “Kita masih menunggu kehadiran sebuah pusaka lagi, Kangjeng Kiai Sangkelat. Karena itu, yang sudah ada pada kita harus kita pertahankan. Jika orang-orang Mataram datang dengan niat untuk merebut pusaka-pusaka itu, maka yang akan mereka temukan adalah sebuah kuburan raksasa bagi mereka.” Empu Pinang Aring mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Tetapi Ki Tumenggung. Sesudah kita menyelesaikan tugas ini, maka aku mengharap, agar persoalan kita cepat mendapat penyelesaian. Mungkin kakang Panji masih sibuk sehingga ia belum mendapatkan kesempatan mengambil pusaka Kangjeng Kiai Sangkelat dari gedong pusaka. Tetapi seharusnya ia datang dan menentukan sikap sampai kebahagian yang sekecil-kecilnya. Dengan demikian kita masing-masing akan merasa, bahwa perjuangan ini tidak sia-sia.“ Tumenggung Wanakerti tersenyum. Katanya, “Empu. Jangan cemas. Aku yakin bahwa kakang Panji akan menepati janjinya. Kerajaan Majapahit kelak akan membutuhkan beberapa orang Adipati untuk mengganti para Adipati yang ternyata tidak mampu mengendalikan daerahnya seperti sekarang ini. Tetapi semuanya itu juga dipengaruhi oleh sumber pemerintahan yang berhenti. Sultan Pajang tidak lagi mempunyai gairah perjuangan buat masa depan kita yang panjang.” Empu Pinang Aringpun tersenyum pula. Katanya, “Aku tidak akan ingkar. Aku adalah seorang yang akan menyebut diriku seorang Adipati yang mumpuni.” “Tetapi sekarang, persoalan kita adalah kedatangan orangorang Mataram.“ potong Tumenggung Wanakerti, “karena itu, siapkan sepasukan pengawal yang terkuat untuk melindungi pusaka-pusaka yang sudah ada ditangan kita.” “Jangan takut. Orang-orang Mataram tidak akan dapat menyentuh pusaka itu,“ desis Kiai Kelasa Sawit.

Dalam pada itu, maka dimalam itu juga orang-orang dilembah itupun segera menyiapkan pasukannya. Dibawah cahaya obor yang bagaikan membakar hutan, mereka bersiap di barak masing-masing. Orang-orang yang sudah mulai berbaring itu mengumpat didalam hati. Mereka rasa-rasanya malas sekali untuk berbuat sesuatu. Sudah terlalu lama mereka berada dilembah yang menjemukan itu. Tetapi sebagian dari mereka, kegawatan keadaan itu merupakan suatu selingan yang menggembirakan. Setelah sekian lamanya mereka duduk sambil menghitung peredaran bulan dilangit, mereka akan mendapatkan suatu permainan meskipun dengan taruhan nyawa. “Kita akan mencium bau darah,“ berkata salah seorang dari mereka, “dengan demikian kita akan terbangun dari mimpi yang menjemukan ini.” Orang-orang dilembah itu tidak perlu lagi merahasiakan kehadirannya, sehingga karena itu maka mereka tidak lagi segan-segan mempergunakan obor untuk mempersiapkan diri menghadapi orangorang Mataram yang akan datang kelembah itu. Dengan demikian maka lembah itupun segera digetarkan oleh hiruk pikuk pasukan yang tengah bersiap-siap untuk bertempur dengan sepenuh kekuatan. Dalam pada itu, malam dihari keenam itupun telah menjadi semakin dalam. Untuk menjajagi kekuatan lawan, Sutawijaya telah mengirimkan beberapa petugas sandinya. Mereka sejauh mungkin berusaha untuk mengetahui keadaan lawan. Jika ada hal-hal yang berbahaya, maka mereka harus segera melaporkan kepada Raden Sutawijaya. Dengan dada yang berdebar-debar para pengawas itu melihat obor yang tersebar dilembah yang ditumbuhi oleh hutan yang cukup lebat itu. Obor obor itu bagaikan suatu petunjuk, bahwa lawan yang mereka hadapi sebenarnya adalah kekuatan yang cukup gawat. Dengan hati-hati mereka berusaha mendekati perkemahan lawan. Didalam gelapnya malam dan pepatnya pepohonan, petugas sandi itu berhasil mendekat meskipun pada jarak yang tidak terlampau pendek. Namun ternyata persiapan di lembah itu telah mengejutkannya. Mereka melihat pasukan yang kuat bersiap dalam kelompok masing-masing. Mereka melihat beberapa barak yang berpencar. Dan disetiap halaman barak, mereka melihat pasukan yang telah bersiap untuk bertempur. “Jumlah mereka terlalu banyak,“ desis pengawas itu. “Ya. Pasukan Mataram tidak sebanyak itu. Jumlah mereka mungkin dua kali lipat dari pasukan kita.” Para pengawas itu termangu-mangu. Kemudian mereka memutuskan untuk segera melaporkan kepada Raden Sutawijaya.

Laporan itu telah menumbuhkan persoalan baru bagi Raden Sutawijaya. Pengenalan mereka terhadap kekuatan lawan memang agak kurang cermat. Namun semula Raden Sutawijaya tidak menyangka, bahwa dilembah itu telah berkumpul pasukan yang sedemikian banyak dan kuat. “Jadi, apa yang harus kita lakukan?“ bertanya pengawas itu. “Kita akan berbicara dahulu,“ desis Raden Sutawijaya. Dengan demikian, maka Raden Sutawijayapun segera memanggil orang-orang terpenting dipasukannya dan di pasukan para pengawal Sangkal Putung. Mereka dengan cermat mendengarkan laporan petugas sandi yang telah melihat perkembangan keadaan lawan dilembah itu. “Jumlah mereka terlalu banyak,“ desis Raden Sutawijaya. Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa rencana Mataram masih kurang matang Mereka hanya berdasarkan kepada dugaan-dugaan bertandasan keterangan beberapa orang tawanan. Tetapi setelah mereka melihat kenyataan tentang jumlah lawan, maka mereka perlu mempertimbangkannya lebih lanjut. “Jika demikian,“ Swandaru tiba-tiba saja memotong, “pasukan dari Sangkal Putung tidak perlu menunggu dimulut lembah. Bersama dengan pasukan Mataram maka jumlah kita akan berlipat.” Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya petugas sandi yang telah memasuki lembah itu. Kemudian dengan ragu ia bertanya, “Bagaimana menurut penglihatanmu?” Pengawas itu termangu-mangu sejenak. Memang pasukan Sangkal Pulung jumlahnya hampir sebanyak pasukan Mataram sendiri. Tetapi pengawas itu meragukan, apakah setiap orang didalam pasukan Sangkal Putung itu memiliki kemampuan seorang prajurit. Karena itu, maku katanya kemudian, “Dengan pasukan Sangkal Putung mungkin jumlahnya akan memadai, karena pasukan Sangkul Putung itu hampir sejumlah orang-orang didalam pasukan Mataram.“ ia berhenti sejenak. Sekilas dipandanginya wajah Swandaru. “Aku tahu,“ sahut Swandaru, “kau meragukan kemampuan secara pribadi dari orang-orangku. Baiklah aku yang bertanggung jawab, bahwa mereka tidak berada dibawah kemampuan seorang prajurit. Atau katakan, bedanya tidak terlalu banyak.” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Ia percaya keterangan Swandaru. Para pengawal Kademangan Sangkal Putung memang memiliki kemampuan yang, cukup. Seperti yang dikatakan oleh Swandaru sendiri, bedanya memang tidak terlalu banyak. Namun demikian Raden Sutawijaya masih ragu-ragu. Jika ia melibatkan langsung pasukan Sangkal Putung, maka pengorbanan Sangkal Putung akan menjadi terlampau besar bagi perjuangan tegaknya Mataram. Namun jika ia tidak membawa pasukan itu serta, maka kekuatan

pasukan Mataram masih kurang memadai. Dalam keragu-raguan itu Kiai Gringsing berkata, “Bagaimana jika kita juga menghubungkan pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh? Aku kira pasukan mereka juga cukup kuat.“ “Maksud Kiai ?” “Untuk mengurangi tekanan pasukan yang ada dilembah itu, maka biarlah pasukan Tanah Perdikan Menoreh juga memasuki lembah, sehingga pasukan yang ada dilembah itu harus membuka dua garis perang. Meskipun jumlah mereka lebih banyak dari pasukan Mataram, tetapi dengan dua garis perang, mereka tentu akan membagi diri.” “Tetapi kita tidak tahu keadaan pasukan Tanah Perdikan Menoreh dengan pasti Kiai,“ berkata Raden Sutawijaya, “selebihnya, apakah kita masih mempunyai waktu untuk menghubungi mereka.” “Kita masih mempunyai waktu semalam. Kita akan mengirimkan penghubung berkuda.” “Tetapi di dini hari mereka tentu belum sampai meskipun mereka tidak banyak beristirahat.” “Tidak perlu di dini hari Raden. Mereka secepat-cepatnya baru akan sampai tengah hari. Tetapi jika mereka mendengar pesan itu, maka mereka tentu akan langsung bergerak, sementara kita masih akan tetap bertahan dengan pasukan yang ada, karena menurut para pengawas, jumlah pasukan Mataram dan Sangkal Putung cukup memadai. Kita akan bertahan sampai tengah hari. sebelum pasukan Tanah Perdikan Menoreh bergerak.” Raden Sutawijaya berpikir sejenak. Kemudian dipandanginya Ki Juru Martani yang sedang berpikir pula. “Bagaimana pendapat paman,“ Raden Sutawijaya mendesak.

Buku 107 …………………………………………………… … … … … … … … … … jurit-prajurit Pajang yang berpengalaman. Perintah itupun segera menjalar kepada setiap pemimpin kelompok dan prajurit, meskipun mereka tidak mengetahui alasannya dengan pasti. Namun perintah itupun disusul oleh perintah Swandaru kepada pasukannya, bahwa mereka tidak hanya sekedar menunggu di mulut lembah. Mereka akan mengikuti gerak pasukan Mataram. Jika benar-benar diperlukan, maka mereka akan langsung terlibat kedalam pertempuran.“ Sementara itu, tiga orang berkuda lelah berpacu meninggalkan mulut lembah. Tetapi mereka tidak dapat melingkari lambung Gunung Merapi yang masih ditutup oleh hutan-hutan lebat meskipun dibeberapa bagian sudah terbuka. Mereka harus melingkar turun dikaki Gunung. Menyusuri jalan-jalan padukuhan, dan kadang-kadang juga masih harus melalui pinggir hutan. Tetapi diantara tiga orang itu adalah seorang yang sudah mengetahui dengan baik jalan-jalan yang melingkar dikaki Gunung Merapi. “Tetapi besok menjelang tengah hari kita baru akan sampai,“ berkata orang itu. Kawan-kawannya tidak menjawab. Mereka berusaha secepatnya dapat mencapai pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh yang dipimpin oleh Ki Gede Menoreh dan kemanakannya Prastawa bersama Ki Waskita dan Agung Sedayu. Dalam pada itu, para petugas sandi yang ada dilembah, seperti yang diperhitungkan oleh Ki Juru Martani dan para pemimpin Mataram dan Sangkal Putung, benar-benar telah mengadakan penyelidikan dimulut lembah yang lain. Dengan berdebar-debar mereka menemukan, bahwa sepasukan yang besar telah berada dimulut lembah itu. Dan para petugas itupun menduga, bahwa pasukan itu tentu pasukan Tanah Perdikan Menoreh. “Rencana Mataram cukup matang,” desis para petugas itu, “tetapi agaknya pasukan Tanah Perdikan Menoreh tidak sekuat pasukan Mataram.” Petugas sandi itu mencoba untuk meyakinkan pengamatannya. Didalam gelapnya malam mereka berhasil mencapai jarak yang tidak terlalu jauh. Meskipun pasukan Tanah Perdikan Menoreh berusaha untuk tidak menumbuhkan perhatian, tetapi diantara mereka terdapat pula perapian untuk menghangatkan air dan makanan.

“Kita akan melaporkan kepada Tumenggung Wanakerti,“ berkata salah seorang petugas itu. “Ya. Jika perlu, maka kita akan dapat memecah pertahanan dimulut lembah ini. Mereka menyangka bahwa pasukan kita hanyalah terdiri dari sekelompok kecil orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan dan dua tiga orang prajurit Pajang,” sahut yang lain. Para petugas itupun kemudian merayap kembali keperkemahan mereka. Malam itu, para pemimpin kelompok yang ada dilembah itupun telah menyusun rencana berdasarkan pengamatan para petugas sandi mereka. Mereka membuat perbandingan antara pasukan Mataram yang ada dimulut lembah sebelah Timur dan pasukan yang ada dimulut lembah sebelah Barat. “Bagaimana dengan jumlah mereka dalam keseluruhan?“ bertanya Tumenggung Wanakerti kepada petugas sandinya. “Di mulut lembah sebelah Barat, pasukan yang agaknya datang dari Tanah Perdikan Menoreh itu tidak begitu kuat. Kami melihat beberapa kelompok diantara mereka disekitar perapian. Agaknya mereka telah menebar dalam kelompok-kelompok kecil.” “Tetapi Tanah Perdikan Menoreh memiliki pengawal yang baik. Secara pribadi pengawal Tanah Perdikan Menoreh tidak kalah dari para pengawal di Mataram,“ desis Empu Pinang Aring. Yang lain mengangguk-angguk. Mereka menyadari bahwa Tanah Perdikan Menoreh yang memiliki perkembangan yang lebih dahulu dari Mataram, tentu memiliki kelebihan. Hanya karena Mataram dipimpin oleh seorang yang bernama Raden Sutawijaya, putera angkat Sultan Hadiwijaya di Pajang, serta telah mendapatkan restu atas usahanya membuka hutan yang lebat, yang disebut Alas Mentaok, maka perkembangan Mataram meloncat jauh lebih pesat dari Tanah Perdikan Menoreh dan daerahdaerah lain disekitarnya. Untuk beberapa saat orang-orang di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu berunding. Sebagian dari mereka memang berpendapat untuk memecahkan pertahanan Tanah Perdikan Menoreh dan menghindari pertempuran dengan Mataram. Tetapi sebagian besar dari mereka berpendirian lain. Kiai Kelasa Sawit berkata, “Apakah kekuatan Mataram dapat mengimbangi kekuatan kita yang kemampuannya dapat dibanggakan untuk menerobos masuk ke Pajang?” Seorang pengawas yang telah mengamati kekuatan Mataram berkata, “Jumlah mereka tidak terlalu

banyak. Aku tidak dapat mengatakan kemampuan yang ada pada pribadi masing-masing. Tetapi petugas-petugas sandi yang pernah mengamati Mataram dari dekat, dan melihat latihan-latihan keprajuritan, maka pengawal bukanlah orang-orang yang harus disegani. Memang ada diantara mereka adalah bekas-bekas prajurit Pajang yang telah minta dengan kemauan sendiri untuk pindah ke Mataram, tetapi jumlah mereka tidak terlalu banyak.” Para pemimpin yang ada dilembah itu mengangguk-angguk. Menurut perhitungan mereka, maka mereka tidak akan cemas menghadapi kekuatan Mataram, sementara kekuatan Tanah Perdikan Menoreh tidak begitu meresahkan hati. Namun demikian, mereka tidak lengah untuk memperhitungkan segala kemungkinan. Bahkan Tumenggung Wanakerti berkata, “Jika menurut pertimbangan kita berikutnya, kita lebih baik menghindari pertempuran dengan Mataram untuk menyelamatkan pusaka itu sebelum kita menentukan tempat lain, maka kita akan menghancurkan pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang dilembah itu.” Tetapi Empu Pinang Aring menyahut, “Kita berjalan seperti seekor siput. Jika kita menentukan tempat lain, maka untuk membicarakan tempat yang baik, kita memerlukan waktu tidak kurang dari setahun. Kemudian untuk menyiapkan tempat itu dan mengamankannya kita memerlukan waktu lima tahun. Jika demikian, maka pertempuran yang sebenarnya baru akan berlangsung jika anakku nanti sudah dapat mewakili aku.” Ki Tumenggung Wanakerti mengerutkan keningnya. Katanya, “Jangan lekas marah. Kita akan menentukan bersama-sama.” “Coba bayangkan. Berapa orang diantara kita yang tidak sabar menunggu telah hilang. Satu-satu kekuatan kita dilenyapkan oleh Mataram atau Pajang atau Tanah Perdikan Menoreh. Jika kita menunda pertemuan ini, maka aku cemas bahwa kita semuanya akan terbunuh seorang demi seorang.” Ki Tumenggung Wanakerti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Tetapi kita harus mengadakan pengamatan yang cermat. Dilembah ini ada dua buah pusaka yang harus dipertahankan mati-matian, selain pusakan-pusaka yang kita harapkan akan segera berada diantara kita pula.” “Kita dapat mengambil perbandingan,“ berkata Empu Pinang Aring, “Apakah kita menunggu mereka menyerang, atau kita justru menyerang mereka.” “Kita tidak menunggu di perkemahan ini, tetapi juga tidak menyerang ke mulut lembah. Kita akan maju dan menunggu mereka dalam kesiagaan yang tinggi. Menurut laporan para petugas sandi, agaknya pasukan Tanah Perdikan Menoreh tidak dipersiapkan untuk menyerang. Agaknya mereka mendapat tugas untuk menutup mulut lembah. Ternyata gelar mereka yang menebar dan terpisah dalam kelompok-kelompok kecil meskipun jaraknya tidak terlalu jauh yang satu dengan yang lain. Jika mereka siap untuk menyerang, maka mereka tidak akan terpisah-pisah dalam kelompok-kelompok kecil yang tugasnya hanyalah mengamati keadaan,” sahut Ki Tumenggung Wanakerti.

“Baiklah,“ berkata seorang yang bertubuh raksasa yang nampaknya memiliki kekuatan berlipat dari orang-orang kebanyakan, “kita akan menghancurkan mereka dimanapun.” Tumenggung Wanakerti memandang Kiai Jagarana dengan wajah yang tegang. Namun kemudian iapun tersenyum sambil berkata, “Baiklah. Kita akan menghancurkan mereka. Sekarang, kita masih akan mengatur kembali setiap orang yang ada didalam pasukan kita masingmasing. Sementara mungkin diantara kita masih akan beristirahat sejenak sampai saatnya kita akan mempertaruhkan nyawa. Pengawas-pengawas kita akan tersebar di depan mulut lembah disebelah Timur dan disebelah Barat. Jika ada gerakan lawan dimalam hari, maka mereka tentu akan memberikan isyarat.” Orang-orang terpenting dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itupun kemudian kembali kepasukan masing-masing. Tumenggung Wanakertipun kembali kedalam pasukannya, sekelompok prajurit Pajang yang memang berada diantara orang-orang dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu. Dengan jelas ia memberikan pesan bahwa menjelang fajar pasukan mereka akan bergeser menyongsong pengawal Mataram yang akan menyerang mereka dari arah Timur, karena menurut pengamatan para pengawas, pasukan Tanah Perdikan Menoreh tidak disiapkan untuk menyerang, tetapi sekedar untuk mengamati keadaan lawan. Dalam pada itu, para penghubung yang harus menuju kemulut lembah disebelah Barat, berpacu dengan sekencang-kencangnya. Mereka berusaha untuk mempercepat perjalanan. Menurut perhitungan mereka akan sampai menjelang tengah hari, sementara saat temawon Mataram mulai menggerakkan pasukannya dari sebelah Timur. Serangan itu sudah mengalami saat pengunduran waktu, karena semula direncanakan pasukan Mataram akan digerakkan menjelang fajar. Tetapi karena keterangan terakhir dari para pengawas bahwa kekuatan lawan cukup besar, maka serangan itu mengalami perubahan waktu dan mengikut sertakan pasukan pengawal dari Sangkal Putung. “Mudah-mudahan tidak ada perubahan-perubahan apa-apa lagi,“ berkata salah seorang penghubung itu disepanjang perjalanan menuju kemulut lembah disebelah Barat. “Jika karena sesuatu hal, serangan pasukan Mataram mengalami perubahan, sehingga pasukan Tanah Perdikan Menoreh sampai lebih dahulu di pemusatan pasukan dilembah itu, maka nasib para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh tentu akan buruk sekali.” Yang lain mengangguk-angguk. Katanya, “Keterangan yang samar-samar yang didapat Mataram tentang kekuatan lawan, ternyata telah menjadi pengalaman penting bagi masa mendatang. Perhitungan tentang kekuatan lawan itu agak meleset. Jumlah lawan agak terlalu banyak dibandingkan dengan perhitungan. Sementara persiapan pertempuran sudah sampai pada babak terakhir.” “Mungkin ada kesengajaan para tawanan memberikan keterangan yang kurang jelas, untuk

menjerumuskan pasukan Mataram. Tetapi mungkin pula, tawanan-tawanan itu, terutama yang terakhir ditangkap oleh Kiai Gringsing, benar-benar tidak mengetahui keadaan seluruhnya dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, meskipun hal itu tentu sangat mengherankan.” Kawannya tidak menyahut lagi. Ditatapnya jalur jalan yang samar-samar dihadapan kaki kudanya, sementara derap yang menggema dimalam hari bagaikan memecahkan kesenyapan. Jika mereka melalui padukuhun-padukuhan kecil disela-sela bulak-bulak panjang dan hutan-hutan ilalang, maka derap kaki kuda mereka itu telah mengejutkan orang-orang yang tinggal dipinggir jalan kecil itu. Mereka mengerutkan kening, sambil bertanya-tanya didalam hati, “Siapakah yang berpacu dimalam hari?” Tetapi pada umumnya mereka tidak berani keluar rumah karena kemungkinan yang mengerikan dapat terjadi, jika yang berpacu itu adalah penjahat penjahat yang lewat. Sekali-sekali para penghubung itu harus menyusup hutan-hutan kecil dan lewat dipinggir hutan-hutan lebat yang masih bertebaran dilereng Gunung Merapi. Namun diantara mereka terdapat seorang yang telah mengenal benar jalan-jalan dilambung Gunung Merapi itu. Secepat derap lari kuda-kuda itu, maka rasa-rasanya secepat itu pula waktu berjalan. Bintang-bintang menjadi semakin condong ke Barat, dan warna-warna merahpun telah membayang di ujung Timur. “Hampir fajar,“ gumam salah seorang dari para penghubung itu. Kawan-kawannya tidak menjawab. Tetapi didalam angan-angan masing-masing seolah-olah terbayang, jika tidak ada perubahan seperti yang diputuskan oleh Raden Sutawijaya, maka saatnya telah tiba bagi pasukan Mataram untuk menyerang. “Ternyata masih ada waktu sedikit,“ berkata salah seorang dari mereka kepada diri sendiri, “menjelang temawon, para pengawal itu masih sempat menyiapkan makan pagi.” Sementara itu kuda-kuda mereka berpacu semakin cepat. Mereka berharap bahwa penyerangan itu tidak akan tertunda. Karena jika demikian akan sama artinya dengan mengumpankan pasukan Tanah Perdikan Menoreh kedalam mulut kehancuran. Demikian fajar mulai membayang, maka pasukan Mataram dan Sangkal Putung telah bersiap untuk bergerak, meskipun mereka akan menunggu sampai saat temawon. Mereka berusaha mengurangi jarak waktu antara serangan mereka dengan gerakan pasukan Tanah Perdikan Menoreh, karena menurut perhitungan terakhir, ternyata bahwa dilembah itu terdapat kekuatan yang sangat besar. Sementara itu, justru pasukan dilembah itulah yang mulai bergerak. Mereka ingin bertempur tidak diperkemahan

mereka, tempat mereka menyimpan pusaka-pusaka terpenting yang telah berhasil mereka rampas dari Mataram. Namun sementara itu, sepasukan kecil yang kuat telah mereka tinggalkan dibarak itu untuk mengawal pusaka pusaka yang nilainya tidak terhingga itu. Mereka mendapat perintah untuk mempertahankan pusaka itu sampai kemampuan mereka yang terakhir. “Tidak mustahil, bahwa ada sekelompok pengawal Mataram yang dengan sengaja telah disusupkan kebelakang garis pertempuran untuk mengambil pusaka-pusaka itu. Nah, kewajiban kalianlah untuk menghancurkan mereka sampai orang terakhir.” Orang-orang yang ditugaskan untuk mengawal pusaka itu mengangguk-angguk. Mereka sadar, bahwa tugas mereka sangat berat. Tetapi jika pasukan Mataram berhasil dipukul mundur sebelum mereka menjamah perkemahan itu, maka mereka seakan-akan tidak berbuat apa-apa sama sekali dalam pertempuran itu. Tetapi jika benar ada sepasukan yang menyusup dibelakang garis perang, maka mereka memang harus bertempur sampai kemungkinan yang terakhir. Orang yang diserahi pimpinan atas sekelompok pengawal terpilih yang harus menjaga pusaka-pusaka itu adalah seorang tua yang sangat disegani. Ia adalah orang yang kecuali merasa dirinya keturunan Majapahit, juga seorang yang mengerti benar tentang jenis-jenis pusaka dan sejenisnya. “Ki Gede Telengan,“ pesan Tumenggung Wanakerti kepada orang tua yang diserahi memimpin pasukan pengawal yang menjaga pusaka itu, “aku pereaya kepada Ki Gede. Jika kita berhasil, maka Ki Gede bukan saja akan menjadi juru gedong pada gedung perbendaharaan pusaka, tetapi seperti yang pernah dikatakan oleh kakang Panji, bahwa Ki Gede adalah seorang yang paling pantas untuk menjadi seorang Tumenggung yang menguasai seluruh isi Istana Majapahit yang kelak akan dibangunkan kembali.” Tetapi orang yang bernama Ki Gede Telengan itu tertawa. Katanya, “Jangan seperti anak-anak Tumenggung Wanakerti. Apa artinya jabatan seorang Tumenggung bagiku. Dihadapanku sekarangpun ada seorang Tumenggung yang bernama Wanakerti. Tetapi apa arti kekuasaannya di Pajang sekarang ini.” Wajah Tumenggung Wanakerti menjadi merah padan. Sementara itu Ki Gede Telengan berkata terus, “Tetapi sudah barang tentu aku tidak akan merasa berhak atas Majapahit yang akan berdiri kelak. Namun demikian aku adalah orang yang berhak memerintah didalam atau diluar keraton.” Tumenggung Wanakerti menggeretakkan giginya. Jika saja pasukan Mataram belum berada dihadapan hidungnya, maka ia akan membuat perhitungan dengan orang tua itu. Namun ia sadar, bahwa dengan demikian tindakannya itu tentu tidak akan menguntungkan bagi keseluruhan.

Meskipun demikian, sikap Ki Gede Telengan itu merupakan sikap dari kebanyakan orang yang berada dilembah itu bersama pasukannya. Kiai Kelasa Sawit, Kiai Jagaraga Kiai Samparsada dan tentu juga Empu Pinang Aring dan beberapa orang pemimpin yang lain. Mereka tentu mengharapkan terlalu banyak jika mereka berhasil menjatuhkan Pajang dan menguasai tahta, meskipun hampir setiap orang yakin bahwa orang yang bernama kakang Panji itulah orang yang pertama-tama akan duduk diatas tahta. Tetapi jabatan-jabatan tertinggi lainnyalah yang tentu akan menjadi rebutan yang bahkan mungkin akan dapat menghancurkan mereka sendiri. Tetapi Tumenggung Wanakerti memutuskan untuk memperhitungkan kemudian. Yang penting, mereka harus menghancurkan Mataram lebih dahulu. Baru kemudian persoalan antara mereka akan dibicarakan. Sebab untuk menentukan kedudukan masing-masing, orang yang disebut kakang Panji tentu tidak akan dapat mengabaikan para Adipati yang berkuasa diluar rangkah yang setiap saat-saat tertentu harus menyerahkan persembahan bagi yang berkuasa di Pajang. Betapapun panas hati Tumenggung Wanakerti, namun dibiarkannya saja Ki Gede Telengan dengan sikapnya pula. Ia sadar bahwa ia harus memimpin pasukannya bergerak beberapa ratus langkah dari perkemahan, agar ajang pertempuran itu tidak akan merusakkan perkemahan mereka. Ketika para pengamat dari lembah itu melaporkan, bahwa tidak ada pasukan khusus dari Pajang yang menyertai pasukan pengawal Mataram, maka Tumenggung Wanakertipun mengerti, bahwa Mataram yang kehilangan pusaka itu telah bergerak sendiri diluar pengetahuan Pajang, sehingga dengan demikian Tumenggung Wanakerti menjadi semakin berbesar hati, bahwa ia akan dapat menghancurkan Mataram lebih dahulu. “Tetapi gerakan ke Pajangpun harus segera menyusul setelah kita berhasil membangun kembali kekuatan yang meski akan berkurang didalam pertempuran itu,“ katanya didalam hati. Dalam pada itu, maka Tumenggung Wanakerti telah menempatkan induk pasukannnya yang terdiri dari para prajurit dan perwira Pajang dipusat gelar. Disebelah menyebelah terdapat pasukan Empu Pinang Aring di sayap kanan bersama Kiai Jagaraga dan Kiai Kelasa Sawit dan Kiai Sampar ada di sayap kiri. Beberapa ratus langkah dari perkemahan, pasukan itu berhenti. Di tempat yang agak terbuka, merekapun segera menyusun pertahan. Mereka membuka pasukannya menebar, seperti juga pasukan Mataram yang akan datang menyerang. “Kita tidak tahu pasti, kapan mereka akan menyerang. Tetapi menilik persiapan mereka, maka mereka akan datang hari ini,“ berkata Tumenggung Wanakerti kepada para pemimpin pasukan yang masih belum berada dipasukan masing-masing. “Pengawas didepan kita akan mengirimkan isyarat jika mereka melihat pasukan lawan mulai bergerak,“ berkata Empu Pinang Aring.

“Ya. Kita percaya kepada para pengawas,” berkata Tumenggung Wanakerti, “mereka tidak akan lengah. Apalagi ada beberapa kelompok kecil pengawas yang mengamati pasukan lawan dari beberapa sudut.” “Tetapi aku yakin bahwa kitapun sedang diawasi,“ berkata Kiai Samparsada. Tumenggung Wanakerti tersenyum. Katanya, “Kita tidak merahasiakan pasukan kita karena kita yakin akan kekuatan kita. Kita akan bertahan disini, menghancurkan pasukan Mataram disini dan menguburkan mereka disini pula. Kasihan Raden Sutawijaya yang masih terlalu muda itu. Ia terlalu sombong dan keras kepala. Jika saja ia tidak menolak untuk datang menghadap ayahandanya Sultan Pajang, maka ia tentu tidak akan malu mohon bantuan sepasukan prajurit pilihan yang akan dapat membuat kita menjadi cemas. Tetapi kini, apa artinya pasukan pengawal Mataram meskipun mereka dengan sungguh-sungguh telah melatih diri. Mereka tentu terdiri dari anak-anak muda petani yang hanya biasa memegang cangkul dan bajak. Disamping beberapa orang bekas prajurit.” Kiai Samparsada mengangguk-angguk. Nampannya ia sependapat dengan Tumenggung Wanakerti. Bahkan dengan nada tinggi ia berkata, “Tetapi Kiai Kelasa Sawitlah yang merasa kecewa bahwa dendamnya harus dibalaskan kepada orang lain.” “Tidak ada bedanya. Jika aku dapat membunuh Raden Sutawijaya, maka dendamku kepada prajurit Pajang sudah terobati.“ jawab Kiai Kelasa Sawit. Namun dalam pada itu. Empu Pinang Aring berkata, “Tetapi kalian harus memperhatikan kemungkinan lain. Sebagian dari pengawal Mataram adalah prajurit Pajang yang telah meninggalkan tugasnya.” “Hanya sebagian kecil sekali. Mereka memang diijinkan untuk mengikuti Senopati Ing Ngalaga yang kemudian berkedudukan di Mataram,” potong Tumenggung Wanakerti. “Tetapi jangan menutup mata atas penglihatan para petugas sandi yang pernah menyaksikan latihanlatihan di Mataram,“ jawab Empu Pinang Aring, “selebihnya, Mataram mempunyai hubungan yang baik dengan Tanah Perdikan Menoreh, yang ternyata telah mengerahkan pasukannya yang cukup kuat unluk menutup mulut lembah disebelah Barat, meskipun jika kita menghendaki, maka pasukan itu akan dapat kita pecah dalam sekejap. Dan selain Tanah Perdikan Menoreh, tidak mustahil bahwa Mataram akan mendapat bantuan dari Kademangan Sangkal Putung.” “Memang mungkin sekali,” jawab Jagarana, “tetapi apa artinya sebuah Kademangan kecil seperti Sangkal Putung. Berapa orang pengawal yang dapat dipercaya untuk ikut dalam kemeriahan peralatan di lembah ini?” Empu Pinang Aring tersenyum. Jawabnya, “Belum banyak yang kau ketahui tentang daerah Selatan ini. Sangkal Putung dapat bertahan dari serangan yang kuat pasukan Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan dari Jipang.” “Itu sudah terjadi beberapa saat yang lampau,” sahut Tumenggung Wanakerti, “tetapi tumpuan kekuatan Sangkal Putung tidak pada pengawal Kademangan, karena prajurit Pajang yang dipimpin

oleh Widura dan kemudian disusul langsung oleh Untara ada di Kademangan itu, yang sekarang berada di Jati Anom.” Empu Pinang Aring menarik nafas panjang. Tentu Tumenggung Wanakerti lebih banyak mengetahui tentang tugas para prajurit. Namun demikian, ia masih berkata, “Tetapi jangan terlalu meremehkan lawan.” “Baiklah,“ jawab Tumenggung Wanakerti, “agaknya kita sudah cukup berhati-hati. Dan sekarang, kalian dapat kembali kepasukan kalian masing-masing sambil menunggu isyarat, bahwa pasukan Mataram mulai bergerak.” Para pemimpin dari kelompok-kelompok pasukan yang kuat di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu pun segera kembali kepada pasukan masing-masing. Mereka sudah benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun sampai matahari memancar diatas cakrawala pasukan Mataram masih belum bergerak, meskipun mereka telah berada dalam kesiagaan untuk melangsungkan serangan yang dahsyat, menusuk kejantung lembah diautara Gunung Merapi dan Merbabu itu. Sementara itu, pasukan Mataram yang sudah siap berada dilapis pertama, menunggu sampai saatnya mereka akan menyerang. Dibelakang gelar pasukan Mataram, para pengawal Sangkal Putung telah siap pula turun kemedan. Mereka tidak sekedar dipersiapkan untuk mencegat kemungkinan pasukan lawan yang lolos, tetapi mereka benar-benar akan ikut kedalam pertempuran, sesuai dengan keterangan beberapa orang pengawas, bahwa, pasukan lawan ternyata jumlah lebih banyak dari yang diperhitungkan oleh Mataram, yang agaknya keterangan dari para tawanan dan para pengawas yang tidak dapat mendekati perkemahan itu tidak tepat. Sementara pasukan Mataram masih menunggu, Raden Sutawijaya masih sempat berbincang dengan beberapa orang pemimpin nasukannya. Pesan-pesan terakhir telah diberikan, dan petunjuk-petunjuk untuk mengatasi kesulitan yang dapat timbulpun telah diberitahukannya. Namun sementara itu. Ki Juru Martani agaknya telah diganggu oleh perasaan aneh disaat-saat terakhir. Dengan wajah yang tegang, ia duduk diatas sebuah batu sambil memandang kemulut lembah yang ditumbuhi oleh pepohonan hutan yang cukup lebat. Kiai Gringsing yang melihatnya, mendekatinya sambil bertanya, “Apakah yang sedang Ki Juru renungkan?” Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Ketika Kiai Gringsing kemudian duduk disampingnya ia berkata, “Seperti inilah yang telah terjadi hampir di setiap tataran keturunan. Sejak jaman Mataram lama, kemudian kerajaan bergeser ke timur melalui masa pemerintahan Kediri, Singasari, Majapahit dan setelah pemerintahan kembali bergeser sampai ke Demak dan kemudian kedaerah pertanian di Pajang, tidak ada henti-hentinya, peperangan terus membakar Tanah ini.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. “Dendam yang terpendam saat surutnya pemerintahan Majapahit, kini telah diungkit lagi,” Ki Juru meneruskan, lalu. “Kiai, bukankah Kiai mempunyai ciri-ciri khusus yang dapat menempatkan Kiai kepada jalur keturunan yang berhak menerima warisan atas Majapahit? Apakah Kiai tidak dapat ikut berbicara dengan landasan sikap Kiai untuk menghindarkan cara-cara yang tidak sepantasnya bagi martabat manusia?” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ki Juru, yang nampak dihadapan kita sama sekali bukannya suatu cita-cita atau mimpi yang terputus oleh kejutan, sehingga kita telah terbangun. Tetapi yang kita hadapi sebenarnya adalah nafsu yang lerselubung. Ada atau tidak ada ciri-ciri keturunan Majapahit, mereka tentu akan bergerak. Jika mereka tidak mempergunakan kesempatan sebagai pewaris Kerajaan Agung Majapahit, maka mereka tentu akan mempergunakan dalih lain. Dan agaknya kekerasan memang sulit untuk dihindarkan.” Kiai Gringsing diam sejenak. Dipandanginya wajah Ki Juru yang dipenuhi oleh kerut merut umur yang nampak semakin dalam. Dengan suara yang dalam ia berkata, “Kau benar Kiai. Tetapi peperangan bukannya peristiwa yang menyenangkan. Kita akan melihat nanti, beberapa orang prajurit Pajang yang ada dilingkungan mereka, akan bertempur dengan prajurit Pajang yang ada di pihak Mataram. Mereka memiliki ilmu keprajuritan dari satu sumber. Tetapi mereka akan membenturkan ilmu yang mereka miliki itu yang satu dengan yang lain.” Kiai Gringsingpun kemudian memandang kekejauhan. Seolah-olah ia ingin memandang menembus rimbunnya pepohonan hutan. Dengan nada yang dalam ia berkata, “Ki Juru yang bijaksana. Selama dunia ini masih diselubungi oleh nafsu yang berlawanan, kebaikan dan kejahatan, kejujuran dan kebohongan dan ujud-ujudnya yang lain, yang digolongkan kedalam sifat-sifat baik dan buruk, maka selama itu benturan-benturan masih akan terjadi. Agaknya kali ini kitapun menghadapi dua ujung dari sifat-sifat yang bertentangan itu, sehingga dengan demikian, sulitlah bagi kita untuk menghindari bentrokan kekerasan untuk mempertahankan ujud dari sifat yang memang bertentangan itu.” Ki Juru termangu-mangu. Ia tidak mengingkari kebenaran kata-kata Kiai Gringsing. Tetapi sebuah pertanyaan telah tumbuh didalam hatinya. Kenapa kedua sifat itu tumbuh didalam persoalan yang menyangkut pimpinan pemerintahan. Tetapi Ki Juru itupun menjawab bagi dirinya sendiri, “Sifat-sifat seperti itu akan nampak dimanapun juga. Dalam hubungan pribadi seorang dengan seorang dalam hubungan perdagangan, dalam hubungan

kelompok dengan kelompok dan dalam hubungan pemerintahan.” Kesadaran itulah yang agaknya dapat sedikit memperingan beban yang rasa-rasanya memberati hati orang tua itu. Betapa sakitnya jika ia harus menyaksikan pertempuran antara prajurit Pajang melawan prajurit Pajang sendiri. Tetapi Ki Juru dan Kiai Gringsing tidak menyampaikan kegelisahan itu kepada Raden Sutawijaya yang muda. Jika ia mengetahui perasaan itu, maka tanggapannya mungkin akan dapat berbeda, sehingga akan dapat timbul persoalan didalam diri anak muda itu. Sesaat kemudian, Ki Juru menengadahkan wajahnya. Dilihatnya langit menjadi semakin cerah, dan bayangan badanpun nampaknya menjadi semakin pendek. “Hampir saatnya kita begerak,“ berkata Ki Juru kepada Kiai Gringsing. Kiai Gringsing mengangguk. “Marilah, kita akan melihat semua persiapan.“ ajak Ki Juru. Kiai Gringsing tidak menjawab. Iapun kemudian mengikuti Ki Juru berjalan mendekati Raden Sutawijaya yang masih berbincang dengan beberapa orang pemimpin beserta Ki Sumangkar. “Saatnya telah tiba,“ berkata Raden Sutawijaya mungkin orang-orang dilembah ini telah bersiap menyongsong kedatangan kita. Kita akan bergerak dalam dua susun. Gelar pasukan Mataram dan gelar pasukan pengawal dari Sangkal Putung, yang apabila perlu akan tampil pula dalam pertempuran nanti.” Para pemimpin kelompokpun segera mempersiapkan diri dipasukan masing-masing, sementara pasukan Sangkal Putungpun telah dipersiapkan pula dibawah pimpinan Swandaru beserta isteri dan adiknya. Namun demikian mereka bertiga mengerti, bahwa di gelar pasukan Mataram, terdapat Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar, yang apabila perlu tentu akan hadir ditengah-tengah pasukan Sangkal Putung. Perlahan-lahan pasukan Matarampun maju kearah pertahanan orang-orang dilembah, yang mengaku pewaris kerataan Majapahit itu. Matahari yang cerah telah memanjat langit semakin tinggi. Disela-sela derap kaki pasukan Mataram dan Sangkal Putung yang bergerak maju, terdengar angin lembah bertiup perlahan-lahan. Diantara dedaunan, burung-burung liar yang berkicau menyambut datangnya hari yang baru, sama sekali tidak mengacuhkan, bahwa dilembah itu akan terjadi pertumpahan darah yang mengerikan. Dengan petunjuk para pengawas, pasukan Mataram menuju kepertahanan lawan yang sudah bergerak

maju beberapa ratus langkah dari perkemahannya. Sementara itu, para pengawas dari pihak yang lain-pun telah melaporkan, bahwa pasukan Mataram sudah mulai bergerak. Seorang pengawas dengan kerut merut dikening melaporkan kepada Tumenggung Wanakerti, “Pasukan Mataram dibagi dalam dua susun.” Tumenggung Wanakerti mendengar laporan itu dengan saksama. Dengan tegang ia bertanya, “Apakah kau tahu maksudnya, kenapa pasukan Mataram itu dibagi menjadi dua susun?” Pengawas itu menggeleng. Tetapi ia menjawab, “Ki Tumenggung. Ada beberapa perbedaan yang nampak secara lahiriah pada kedua pasukan itu. Aku tidak tahu pasti, apakah yang menyebabkan kedua pasukan nampak berbeda.” Ki Tumenggung Wanakerti mengerutkan keningnya. Laporan itu menarik perhatiannya. Namun kemudian ia bertanya, “Apakah jumlah kedua pasukan yang bersusun itu mencemaskan ?” Pengawas itu menggeleng. Jawabnya, “Tidak. Pasukan itu tidak melampui jumlah kita semuanya. Bahkan menurut pengamatanku masih lebih kecil. Nampaknya mereka bukan prajurit.” Tumenggung Wanakerti tersenyum. Katanya, “Raden Sutawijaya telah mengerahkan anak-anak petani yang tidak tahu menahu tentang olah kanuragan, dan apalagi gelar perang. Kasihan anak-anak itu. Meskipun mereka sekedar menjadi pasukan cadangan, namun setelah kami menghancurkan induk pasukannya, pasukan cadangan itupun akan hancur pula.” Pengawas yang melaporkan itu mengangguk angguk. Namun kemudian ia bertanya, “Mungkin kita akan dapat menghancurkan mereka. Tetapi bagaimana dengan prajurit Pajang?” Tumenggung Wanakerti tertawa. Katanya, “Pimpinan prajurit Pajang ada didalam tangan kami.” “Panglima yang disegani yang berada di Jati Anom mempunyai sikap dan pendirian tersendiri. Ia tidak mudah diombang-ambingkan keadaan karena justru ia adalah seorang prajurit yang sebenarnya.” “Ia akan menjalankan perintah Panglimanya. Usaha kita adalah mempengaruhi keadaan di istana Pajang itu sendiri.” Pengawas itu mengangguk-angguk. Namun ia nampaknya masih kurang yakin. Tetapi ia tidak berhak untuk bertanya terlalu banyak. Tugasnya melaporkan penglihatannya dan pertimbanganpertimbangannya untuk memperhitungkan kekuatan dan keadaan lawan. Laporan itupun telah menggerakkan pasukan yang berada dilembah untuk bersiaga. Gerakan pasukan Mataram berarti pertanda bahwa pertumpahan darah akan segera terjadi dilembah itu.

Kiai Kalasa Sawit, Kiai Jagarana, Kiai Samparsada dan Empu Pinang Aring telah berada diantara pasukan masing-masing. Bahkan mereka telah mulai bergerak untuk menyongsong lawan. Ujung sayap pasukan yang berada dilembah itu telah maju beberapa langkah didepan induk pasukannya sehingga gelar yang menebar itu telah berbentuk Gelar Wulan Punanggal. Dalam pada itu pasukan Matarampun telah menjadi semakin dekat. Raden Sutawijaya berada langsung diujung gelar. Disamping Senopati pengapitnya di sayap pasukannya, maka Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar pun berada disebelah menyebelah, sementara Ki Juru Martani selalu berada disampingnya. Betapapun juga ada perasaan khawatir untuk melepas Raden Sutawijaya yang muda itu seorang diri di paruh gelarnya. Namun semantara itu, iapun masih juga terganggu oleh perasaannya, bahwa akan terjadi pertempuran yang sengit antara prajurit-prajurit Pajang yang berada dikedua belah pihak. “Mungkin diantara mereka terdapat dua orang kawan karib yang pernah saling menolong dimedan perang yang terdahulu. Tetapi kini mereka mungkin sekali dihadapkan sebagai lawan yang harus saling membunuh. Bahkan mungkin ada diantara mereka saudara sekandung yang berbeda pendirian, masing-masing berada dipihak yang kini akan berhadapan dengan senjata ditangan,“ desis Ki Juru Martani didalam hatinya. Sementara itu, selagi kedua pasukan yang bermusuhan didalam lembah itu saling mendekati, maka utusan yang melingkari Gunung Merapi pun masih berpacu sekencang-kencangnya. Sejak mereka berhenti sejenak, untuk memberikan kesempatan kuda mereka beristirahat dan makan rumput hijau sekedarnya dipinggir tanggul yang hijau. Namun kemudian merekapun segera berpacu lagi memasuki lembah diujung Barat. Justru pada saat yang diperhitungkan pasukan Mataram mulai bergerak, diwayah temawon, para utusan yang bertugas menjumpai Ki Gede Menoreh itu sudah memasuki mulut lembah di sebelah Barat. “Kita akan mencari pertahanannya,“ desis yang satu. “Kita harus datang dengan berhati-hati didaerah terbuka, agar tidak terjadi salah paham.” sahut yang lain. Merekapun kemudian menyusuri jalan terbuka memasuki lembah diujung Barat. “Kita datang lebih cepat dari perhitungan kita,“ berkata salah seorang dari mereka. “Ya.Masih belum lewat wayah temawon. Semalam suntuk kita berkuda. Kasihan. Kuda-kuda ini tentu merasa lelah sekali.” “Tetapi kita sudah dekat. Menurut perhitungan dan pesan dari Raden Sutawijaya, sekarang pasukan Mataram mulai bergerak.”

Kawannya menengadahkan wajahnya. Mereka melihat matahari disela-sela lambung Gunung, sudah menjadi semakin tinggi. Sementara kuda mereka masih berjalan terus menyusuri jalan setapak dilembah itu. Kedatangan utusan itu telah mengejutkan Ki Gede Menoreh. Ketika seorang pengawas melaporkan kepadanya bahwa ada petugas yang menurut keterangannya datang dari garis pertempuran disebelah Timur, maka dengan tergesa-gesa ia telah memanggilnya. Dengan tergesa-gesa pula Ki Gede bertanya ketika para utusan itu sudah menghadapnya. “Apakah ada pesan khusus dari Raden Sutawijaya?” Salah seorang dari utusan itupun segera menyampaikan pesan Raden Sutawijaya. Ternyata menurut perhitungan berdasarkan penglihatan para pengawas, pasukan yang berada dilembah itu lebih besar dari perhitungan sebelumnya yang dasarnya dari pengamatan dan dilengkapi keterangan para tawanan.” Laporan itu telah menggetarkan hati Ki Gede Menoreh. Ki Waskita dan Agung Sedayu yang mendengar pula laporan itu mengangguk-angguk betapapun hati mereka bergejolak. “Bagaimana pesan seterusnya?“ bertanya Ki Gede seolah-olah tidak sabur lagi menunggu. “Ki Gede,“ berkata utusan itu, “karena itulah maka Raden Sutawijaya telah mengadakan beberapa perubahan. Bukan saja mengenai waktu, tetapi juga mengenai gelar.” Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya. Dengan saksama ia mendengarkan keterangan dan pesan yang disampaikan oleh utusan itu dengan jelas. Ketika utusan itu selesai, maka ki Gedepun sadar, bahwa tugasnya memang telah beralih. Ia tidak hanya sekedar penunggu lembah jika ada arus pelarian ke Barat dari orangorang yang berada dilembah itu, tetapi justru sebaliknya, keadaan keseimbangan kekuatan ternyata tidak seperti yang diperhitungkan semula. “Baiklah,” berkata Ki Gede, “aku akan menyesuaikan diri. Aku akan membawa pasukanku memasuki lembah. Tetapi karena jaraknya yang tidak terlalu pendek, maka tentu setelah tengah hari, kami baru akan sampai keperkemahan itu dari arah Barat. Mudahmudahan kehadiran pasukan Tanah Perdikan Menoreh dapat menarik perhatian mereka.” “Mudah-mudahan,“ berkata utusan itu, “jika tidak, maka Mataram dan Sangkal Putung akan mengalami kesulitan.” Ki Gede Menorehpun mengangguk-angguk. Kepada para pemimpin pasukannya ia kemudian memberikan beberapa pesan dan petunjuk. “Agaknya kita harus merubah sikap,” berkata Ki Gede kepada para pemimpin kelompoknya, “siapkan pasukan dalam gelar. Kita akan bergerak maju. Tetapi dalam keadaan tergesa-gesa ini semua perlengkapan jangan ada yang tertinggal. Kita akan menyerang perkemahan dari arah Barat.”

Para pemimpin kelompok mendengarkan semua petunjuk Ki Gede dengan saksama. “Bimbing anak-anak muda yang belum berpengalaman. Jangan lepaskan mereka dalam gerakan yang berbahaya.“ pesan Ki Gede kepada para pemimpin pengawal agar mereka lebih memperhatikan ikatan gerak dalam keseluruhan. Karena ada diantara pasukan pengawal itu anak-anak muda yang sama sekali belum berpengalaman. Namun ada diantara para pengawal orang-orang yang telah kenyang makan pahit asamnya pertempuran dalam segala bentuk. Meskipun disaat terakhir nampak kemunduran di Tanah Pertikan Menoreh, namun setelah mereka mulai menyentuh medan, maka gairah yang hampir mencair itu telah mengeras kembali disetiap jantung. Mereka benar-benar telah terbangun dari mimpi yang malas. Namun dalam pada itu, didalam perjalanan pendek yang menegangkan itu, setiap pemimpin kelompok telah berusaha untuk meyakinkan anak-anak muda yang berada didalam kelompoknya, bahwa yang mereka hadapi adalah kekuatan yang tidak dapat diabaikan. “Kalian bukannya sedang bermain-main dengan seorang pencuri ayam,“ berkata seorang pemimpin kelompok kepada para pengawal, “tetapi yang kalian hadapi adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Diantara mereka terdapat prajurit-pranurit Pajang yang telah menyeberang atau mereka yang memang bermuka dua.” Anak-anak muda yang berada didalam lingkungan pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu mengangguk-angguk. Tetapi diantara mereka merasa bahwa pengalaman ini akan memberikan warna baru di dalam tugasnya sebagai seorang pengawal. Tanpa peristiwa-peristiwa semacam ini, maka seumur hidupku aku tidak akan pernah berpengalaman didalam perang yang sebenarnya,“ desis seorang pengawal muda kepada kawannya. “Ya. Tetapi aku berharap bahwa ini bukan merupakan pengalamanku yang terakhir. Karena itu, aku akan berhati-hati dan berlindung di dalam bayang-bayang yang telah lebih dahulu berpengalaman,“ jawab kawannya yang berjalan disisinya sambil membelai hulu pedangnya. Sementara itu. Dibagian Timur dari lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, pasukan Mataram telah mendekati pertahanan lawan. Raden Sutawijaya sengaja tidak tergesa-gesa, karena ia memperhitungkan gerakan pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun mungkin pasukan Tanah Perdikan Menoreh terlambat, karena perjalanan utusannya, namun mereka akan mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu pada hari itu. Pasukan Mataram harus memelihara kemampuan tempurnya dihari pertama. Jika dihari pertama pertempuran itu tertunda oleh gelapnya malam, maka dihari berikutnya pasukan Tanah Perdikan Menoreh tentu sudah dapat ikut menentukan. Ketika seorang pengawas melaporkan bahwa pasukan lawan telah berada beberapa puluh langkah dihadapannya, maka Raden Sutawijaya telah mengisyaratkan, agar pasukannya berhenti sejenak. Ia

masih memberikan pesan-pesan terakhir lewat para penghubung, kemudian juga kepada Swandaru yang memimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh dilapisan berikutnya. Mungkin pertempuran ini tidak hanya berlangsung satu hari. Mungkin setelah gelap ada isyarat untuk menunda pertempuran, tetapi mungkin sebaliknya. Orang-orang dilembah ini akan meneruskan pertempuran dimalam hari, karena mereka mempunyai kelebihan bermain senjata didalam gelap,” pesan Sutawijaya, “karena itu. kitalah yang akan mempersiapkan obor dan sebagai persiapan jasmaniah, kita jangan membiarkan pasukan kita kehabisan tenaga didalam benturan yang pertaman.” Pesan itupun kemudian telah menjalar diseluruh pasukannya. Para pengawal yang semula adalah prajurit-prajurit Pajang, segera dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang mereka hadapi. Tetapi para pengawal yang belum berpengalaman masih harus mempertimbangkan pesan itu sebaik-baiknya. Apakah tidak lebih baik bertempur mati-matian dibenturan pertama dan mengalahkan lawannya daripada memelihara kekuatannya dengan membiarkan lawannya bertahan terlalu lama. Ketika seorang pengawal muda menyampaikan hal itu kepada seorang pengawal yang lebih tua dan berpengalaman, maka pengawal tua itu menjawab, “Memang lebih baik kita menghancurkan lawan secepat cepatnya. Tetapi ingat, bahwa didalam pertempuran, bukanlah kita yang menentukan. Yang terjadi mungkin berbeda dengan keinginan kita, karena lawanpun berusaha membinasakan kita.” Pengawal muda itu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk angguk. Sementara itu matahari memanjat semakin tinggi. Lewat wayah temawon waktu rasa-rasanya berjalan cepat, karena perhatian mereka telah dirampas oleh ketegangan yang mencengkam. Namun dalam pada itu. Raden Sutawijaya terkejut ketika tiba-tiba saja dari sela-sela pepohonan hutan dihadapannya telah muncul beberapa orang bersenjata dan berhenti agak jauh dari padanya. Meskipun Raden Sutawijaya sudah berada diantara gerumbul-gerumbul perdu diujung hutan namun ia masih dapat melihat lawannya dengan jelas. “Ki Tumenggung Wanakerti,” desisnya. Yang muncul dihadapan pasukan Mataram itu memang Ki Tumenggung Wanakerti. Sambil tersenyum ia berkata, “Benar Raden. Ternyata Raden benar-benar seorang anak muda yang berani. Yang pantas mendapat gelar Senopati IngNgalaga.” “Jangan mengigau. Sebut, apakah maksudmu menemui aku diantara garis pasukan kita masing-masing. Aku sudah siap bertempur dan menghancurkan pasukanmu,“ geram Raden Sutawijaya. Tetapi Tumenggung Wanakerti tertawa. Katanya, “Bagus. Kau memang pantas memimpin gelar yang besar seperti sekarang ini. Tetapi aku ingin memperingatkan Raden, bahwa pasukanmu masih terlalu kecil untuk menjalankan tugas yang besar ini.” “Jadi apa nasehatmu?“ bertanya Raden Sutawijaya.

Tumenggung Wanakerti mengerutkan keningnya. Ia tidak menduga bahwa Raden Sutawijaya akan bertanya seperti itu. Namun kemudian ia menjawab, “Nasehatku, kau harus membunuh dirimu daripada kau jatuh ketanganku.” Raden Sutawijayalah yang tertawa. Katanya, “Aku kira kau ingin menasehatkan agar aku kembali saja sebelum pertempuran ini terjadi.” “Itu tidak mungkin. Kau tentu hanya akan berusaha menyelamatkan dirimu. Karena itu, mulailah menyesali kesombonganmu.” “Pergilah. Jangan banyak bicara lagi. Pasukanku sudah siap untuk bertempur.” Ki Tumenggung Wanakerti menebarkan pandangan matanya. Ia melihat sebagian dari gelar Raden Sutawijaya diinduk pasukan. Katanya kemudian, “Semula aku tidak percaya kepada laporan pengawasku, bahwa dengan pasukan yang sangat kecil kau berani memasuki lembah ini. Tetapi ternyata kau benar-benar dungu. Dan sekarang aku melihat induk pasukanmu, sebagai paruh gelarmu, benar-benar pasukan yang tidak berdaya sama sekali. Bukanlah cara bunuh diri yang demikian agak kurang baik bagimu. Karena itu pakailah cara lain. Bunuh diri dihadapanku.” Penghinaan itu benar-benar telah membakar jantung Raden Sutawijaya yang muda itu, sehingga hampir saja ia kehilangan nalarnya dan langsung menyerang Tumenggung Wanakerti. Untunglah bahwa Ki Juru Martani ada diantara pasukannya. Dengan tergesa-gesa Ki Juru mendekatinya dan menggamitnya sambil berdesis, “Jangan terpengaruh oleh perasaannmu saja ngger?” Raden Sutawijaya yang marah itu berpaling. Ketika ia melihat Ki Juru berdiri di belakangnya maka iapun menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan gejolak didalam dirinya. Tumenggung Wanakerti yang berdiri tidak terlalu jauh daripadanya, melihat dengan dahi yang berkerut merut. Bahkan kemudian ia berteriak, “He. Ki Juru Martani. Apa pula yang kau bisikkan ditelinga momonganmu? Kau sudah terlalu banyak membubuhkan racun di telinganya. Sekarang, apa lagi yang kau katakan. Kau jugalah yang membawa anak muda itu memasuki lembah neraka ini, dan tidak ada jalan lagi baginya untuk keluar.” Ki Juru memandang Tumenggung Wanakerti itu. Sejenak nampak ketegangan diwajahnya Seperti yang diduganya, bahwa akan datang saatnya prajurit Pajang akan saling bertempur diantara mereka, karena mereka terdapat dikedua belah pihak. Namun kata-kata Ki Tumenggung Wanakerti membuat jantungnya semakin keras berdetak, sehingga kemudian iapun menjawab, “Ki Tumenggung. Mungkin dugaanmu benar, bahwa aku telah

menjerumuskan Raden Sutawijaya kelembah neraka ini. Tetapi meskipun demikian, itu adalah kewajibannya. Kewajiban seorang Senopati besar. Karena itu, jangan marah bahwa ia telah mengganggu rencanamu.” “Sayang,“ jawab Ki Tumenggung, “ia masih terlalu muda. Ia harus mati meninggalkan perempuanperempuan yang pernah dipeluknya. Perempuan yang dicurinya meskipun ia tahu, bahwa perempuan itu adalah bakal isteri ayahanda angkatnya. Kemudian gadis dari Pegunungan Sewu itu. Masih ada lagi dari daerah Tebu Wulung.” “Cukup,“ Raden Sutawijaya berteriak. Tetapi sekali lagi Ki Juru menggamitnya sambil berbisik, “Jangan lekas murah. Pergunakanlah nalarmu baik-baik. Semakin lama ia berbiara semakin baik bagimu.” “Aku kira utusanmu telah sampai kedaerah pertahanan pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Mereka tentu sudah mulai bergerak. Selama itu, biar sajalah orang itu berbicara panjang lebar. Ia sengaja memancing kemarahanmu. Karena kau masih sangat muda dipandangan matanya.” Raden Sutawijaya menarik nafas panjang sekali. Dengan suara gemetar ia berdesis, “Aku tidak tahan, paman. Ia telah menghinaku.” “Itu sudah diperhitungkan. Dan kau jangan terpancing oleh usahanya yang licik itu.” Raden Sutawijaya mencoba untuk mengerti keterangan Ki Juru. Ia mulai membayangkan pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang bergerak masuk lembah. Namun katanya kemudian, “Tetapi jika mereka lebih dahulu terlibat dalam pertempuran, akibatnya akan menjadi buruk sekali bagi mereka.” Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Jawabnya, “Kau masih dapat membuat perhitungan dengan jernih. Karena itu jangan terlibat dalam pusaran arus perasaanmu. Jika kau menyerang atas dasar pertimbanganmu bahwa pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah mendekati kubur pertahanan lawan, maka lakukanlah. Telai jika kau menyerang karena dibakar oleh kemarahanmu saja, tundalah barang sesaat, sehingga api yang menyala dihatimu itu padam, dan kau akan dapat membuat perhitungan-perhitungan yang mapan dalam pertempuran yang besar nanti.” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk, sementara itu Ki Tumenggung Wanakerti berteriak, “He Raden. Kenapa kau termenung saja? Kau masih sempat mendengarkan kicau orang itu itu lagi?” Raden Sutawijaya menarik nafas. Desisnya kepada Ki Juru, “Aku selalu mengingat pesan paman. Aku akan mulai menyerang, karena perhitunganku mengharuskannya, agar orang orang dari Tanah Perdikan Menoreh tidak lebih dahulu terlibat dalam perang. Bukan sekedar karena aku terbakar oleh kata-katanya.”

“Lakukankah. Berikanlah aba-aba itu.” Raden Sutawijaya memandang Ki Tumenggung Wanakerti dan beberapa orang pengawalnya. Ia sadar, bahwa pasukan dilembah itu tidak jauh lagi berada dihadapan hidung mereka. Karena itu maka Raden Sutawijaya pun berkata, “Ki Tumenggung. Waktu kita sudah habis. Kita akan bertempur sejak tengah hari aku tidak tahu, apakah kau sengaja memperpanjang waktu agar kita akan bertempur sampai malam. Tetapi seandainya demikian, akupun telah mempersiapkan diri pula bertempur dimalam hari.” Ki Tumenggung Wanakerti menjadi berdebar-debar. Katanya kepada Raden Sutawijaya, “He, apakah kau sudah menyesali nasibmu dan justru pasrah terhadap keadaan? Tetapi membunuh diri bersama orang-orang yang tidak berdosa, adalah tidak bijaksana.” Rasa-rasanya darah Raden Sutawijaya telah mendidih lagi. Tetapi ia selalu ingat pesan Ki Juru. Ia tidak berdiri sendiri. Tetapi ia membawa sepasukan pengawal, sehingga tidak sebaiknya ia memimpin pasukannya dalam keadaan marah dan kehilangan akal. Raden Sutawijaya tidak ingin menjawab lagi kata-kata Tumenggung Wanakerti. Ia tidak ingin membiarkan orangorang dari Tanah Perdikan Menoreh terlibat dalam kesulitan. Katanya perlahan-lahan kepada Ki Juru, “Aku menjadi curiga, paman. Apakah dibelakang mereka, pertempuran itu benar sudah berkobar.” “Majulah ngger. Tetapi berhati-hatilah.” Raden Sutawijayapun kemudian memberikan isyarat kepada pengawalnya yang bertugas untuk melontarkan aba-aba lewat sangkakala. Karena itu, sejenak kemudian suara sangkakalapun telah bergema memenuhi daerah yang dipenuhi dengan perdu dihadapan hutan yang menjadi semakin lebat. Suara Sangkakala itu bagaikan telah menggetarkan setiap dada. Bukan saja para pengawal dari Mataram, tetapi juga orang-orang yang menunggunya dilembah itu. Aba-aba itu telah menggerakkan setiap orang untuk segera memasuki arena pertempuran yang dahsyat dilembah antara Gunung Merapi dan Merbabu. Ki Tumenggung Wanakerti telah menyadari apa yang akan terjadi. Karena itu, maka iapun segera kembali kepasukannya. Seperti Raden Sutawijaya, maka iapun segera memerintahkan seorang pengawalnya untuk memberikan aba-aba. Berbeda dengan pengawal di Mataram yang mempergunakan sangkakakala,

maka pengawal Ki Tumenggung Wanakerti telah meneriakkan aba-aba itu yang disahut berturut-turut dari induk pasukan sampai keujung sayap. Kedua pasukan telah bergerak rnaju. Mereka tidak lagi berjalan setapak demi setapak sambil memperhatikan keadaan disekilarnya. Tetapi mereka langsung maju dengan senjata teracu, karena masing-masing telah meyakini bahwa lawan merekapun sedang berjalan tergesa-gesa menyongsongnya. Baru sejenak kemudian, mereka mulai melihat lawan-lawan mereka bermunculan dibalik pepohonan. Pasukan Mataram atas isyarat Raden Sutawijaya sengaja memperlambat langkah mereka, agar mereka tidak memasuki hutan yang terlalu lebat, sehingga pertempuran akan berlangsung ditempat yang tidak terlalu padat dengan pepohonan. Seperti yang diperhitungkan, maka pasukan Ki Tumenggung Wanakertilah yang kemudian maju menyerang didaerah hutan perdu diujung hutan yang lebih lebat dengan pepohonan. Sejenak kemudian. Raden Sutawijayapun telah melihat sayap pasukannya mulai terlibat kedalam pertempuran. Pertempuran yang agaknya akan berlangsung cukup lama. Apalagi ketika ia kemudian menyadari bahwa jumlah lawan memang terlalu banyak bagi pasukan pengawal Mataram. Dalam pada itu, Ki Juru Martani berbisik, “Mudah-mudahan Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar dapat menyesuaikan diri dengan kemampuan pasukan pengawal Mataram. Mereka adalah orang-orang yang luar biasa, sehingga mungkin mereka agak terpisah jauh didalam ungkapan kemampuan mereka dimedan perang. “Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar sudah mengetahui tingkat kemampuan para pengawal paman. Bahkan mereka dapat bertempur bersama pasukan pengawal Sangkal Putung, yang barangkali masih juga tidak lebih baik dari pasukan pengawal Mataram.” Ki Juru mengangguk-angguk. Kemudian dengan isyarat ia memberitahukan kepada Raden Sutawijaya, bahwa pasukannya akan segera terlibat pula dalam pertempuran seperti pasukan diujung ujung sayap. Raden Sutawijayapun kemudian mulai merundukkan senjatanya. Sebuah tombak pendek yang ditandai dengan seutas tali berwarna kuning keemasan. Dengan tegang ia mencoba mencari, dimanakah Tumenggung Wanakerti memimpin pasukannya. “Gila,” desis Raden Sutawijaya, “ia tidak berada diparuh pasukannya. Ia tentu akan mengguncang keberanian para pengawal dengan tingkah lakunya yang aneh-aneh diantara garis benturan kekuatan.” Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jangan langsung berada di ujung pasukan. Kau harus berusaha membayangi tingkah laku Ki Tumenggung Wanakerti yang licik itu. Biarlah aku berada diparuh pasukanmu.”

Raden Sutawijaya termangu-mangu. Namun iapun kemudian menyerahkan paruh pasukannya kepada Ki Juru beserta para pengawal terpilihnya. Raden Sutawijaya sendiri segera menenggelamkan diri kedalam pasukannya. Ia sadar, bahwa Ki Tumenggung Wanakerti memiliki banyak kelebihan dari para prajurit kebanyakan, sehingga ia akan dapat membuat pangeram-eram sehingga mengguncang perasaan para pengawal. “Kelicikan ini harus dicegah,” berkata Raden Sutawijaya kepada dirinya sendiri. Disayap pasukannya, pertempuranpun segera berkobar dengan dahsyatnya. Para pemimpin kelompokpun tidak segera dapat saling bertemu dan bertempur diantara mereka. Tetapi mereka masih sibuk memberikan perintah dan aba-aba bagi pasukan masing-masing. Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar yang berada disayap pasukan Matarampun mulai mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan yang mungkin tidak terduga-duga. Disamping para pemimpin dari Mataram. Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar yang sadar, bahwa diantara lawanlawan mereka terdapat orang-orang yang memiliki kelebihan, maka mereka tidak akan dapat membiarkan orang-orang setingkat Panembahan Agung dan Panembahan Alit itu menyapu bersih pasukan pengawal yang mendekati mereka. Ketika pertempuran itu menjadi semakin dahsyat, maka ujung-ujung senjatapun mulai menjadi merah. Beberapa gores luka telah menyentuh orang-orang yang sedang bertempur itu dikedua belah pihak. Sementara itu, di bagian Barat dari lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu, pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah bergerak semakin maju. Sebagai seorang yang berpengalaman, maka Ki Gede tidak dapat berbuat tergesa-gesa. Setiap kali ia mengirimkan beberapa orang mendahului pasukannya untuk mempertahankan medan. Jika para pengawas itu melihat sesuatu, maka pasukannya harus segera menyesuaikan diri dengan petunjuk-petunjuk itu. Tetapi gerakan Ki Gede Menoreh memang tidak dapat terlalu cepat, karena mereka sudah menyusup diantara pepohonan hutan. Mereka tidak lagi berada di tempat terbuka, atau hutan perdu yang meskipun terdapat pohon-pohon yang rimbun berserakan, namun secara keseluruhan, pasukannya akan lebih mudah diawasi. Namun pasukannya yang menyusup diantara pepohonan hutan, memerlukan penghubung yang trampil dan cepat, sehingga pimpinan pasukan akan mendapat gambaran yang luas dari seluruh gerakan pasukannya. Setelah menyusup beberapa lama, maka pasukan Tanah Perdikan Menoreh itupun mulai mendekati barak yang dijaga oleh sepasukan pilihan meskipun jumlahnya tidak terlalu besar. Sementara itu, pasukannya yang terbesar itupun telah memasuki daerah pengawasan orang-orang yang berada dilembah itu. Seorang pengawas dengan tegang melihat gerakan yang semula kurang jelas baginya. Ia melihat beberapa orang menyusup diantara pepohonan hutan. Namun kemudian, iapun sadar, bahwa yang bergerak itu bukannya hanya beberapa orang, tetapi sepasukan pengawal.

“Gila,“ geram pengawas itu, “apakah penglihatanku benar?” Sejenak ia termangu-mangu. Menurut perhitungan para pemimpinnya, pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang tidak begitu besar itu, tidak akan menyerang, tetapi sekedar menjaga mulut lembah. Tetapi ternyata bahwa mereka kini melihat pasukan itu bergerak maju. Semakin lama menjadi semakin dekat dengan barak yang sedang ditinggalkan oleh pasukan yang ada dilembah itu, meskipun masih ada sebagian pengawal yang berjaga-jaga. “Kita akan melaporkan kepada Ki Gede Telengan yang bertugas menjaga kedua pusaka itu di barak yang khusus,“ berkata salah seorang pengawas kepada kawannya. “Ya. Dan Ki Gede Telengan adalah orang yang tidak dapat dikalahkan. Mungkin pasukannya tidak terlalu besar. Tetapi Ki Gede Telengan sendiri akan mampu membunuh setiap orang dipasukan lawannya, karena Ki Gede Telengan sendiri tidak dapat disentuh oleh maut.” Kawannya mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja ia bertanya, “Siapa yang mengatakannya?” “Aku adalah salah seorang pengawalnya. Aku mengetahui apa yang pernah dilakukan dimedan yang beraneka ragam. Dan Ki Gede Telengan benar-benar tidak dapat disentuh oleh maut karena ilmunya yang tidak ada duanya. Selama kakinya atau bagian-bagian tubuhnya masih tersentuh tanah.” “Pancasona,“ desis kawannya. Yang lain mengangguk sambil berdesis, “Begitulah.” Tetapi kawannya tiba tiba membentak, “Kita akan melaporkan kepada Ki Gede Telengan. Tidak sekedar berbicara tentang K i Gede Telengan itu.” Para pengawas itupun kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan tempatnya menuju kebarak tempat penyimpanan pusaka. Tidak ada pilihan lain daripada melaporkan kepada Ki Gede Telengan bahwa pasukan yang diduga dari Tanah Perdikan Menoreh telah mendekati barak. Tetapi para pengawas itu menjadi berdebar-debar. Ternyata mereka tidak melihat seorangpun yang berjaga-jaga didepan barak khusus tempat penyimpanan pusaka itu. Namun justru karena itu, maka merekapun kemudian berlari memasuki pintu barak yang sudah terbuka. “Ki Gede,“ pengawas itu tidak sabar. Tetapi tidak ada jawaban apapun. Bahkan tidak seorangpun yang mereka jumpai didalam barak itu.

“Ki Gede,” pengawas-pengawas itu berlari-lari mengelilingi barak itu. Namun mereka tidak menjumpai seorangpun. “Kita lihat kedalam bilik tempat penyimpanan pusaka itu. Mungkin mereka berkumpul didalam bilik itu.” desis yang seorang. “Mana mungkin. Bilik itu terlalu sempit untuk bersembunyi sekelompok pengawal pusaka itu.” Kedua pengawas itu menjadi ragu-ragu. Namun perlahan-lahan mereka mencoba mendorong pintu bilik tempat penyimpanan pusaka itu. Ketika pintu itu terbuka, maka kedua pengawas itu telah terkejut. Yang mereka lihat adalah sebuah ruangan yang kosong. Pusaka-pusaka yang mereka simpan didalam barak itu untuk waktu yang cukup lama, kini telah lenyap, seperti lenyapnya asap ditiup angin. “Dimana pusaka-pusaka itu,” desis yang seorang. “Hilang. Atau Ki Gede telah membawanya menyusul induk pasukan ?” Para pengawas itu termangu-mangu. Namun ketika mereka memasuki bilik itu, darah mereka serasa terhenti mengalir. Disudut bilik, disisi amben mereka melihat dua sosok mayat yang tergolek saling menindih. “Mayat,“ desis seorang dari pengawas itu. Yang lain tidak menjawab. Dengan sekali loncat ia meraih mayat itu dan membalikkan wajahnya yang tersembunyi. “Sura,“ desisnya, “ia adalah salah seorang pengawal pusaka ini.” Yang lain menjadi tegang. Ketika yang seorang itu dibalikkannya pula, maka keduanya menjadi yakin, bahwa kedua orang pengawal pusaka itu telah terbunuh. “Siapa yang telah membunuhnya? “ geram yang seorang. Yang seorang memandang kawannya dengan sorot mata yang membara. Katanya, “Kau tentu mengetahuinya. Lihat, kedua orang pengawal ini bukan termasuk orang-orang Ki Gede Telengan.” “Apa maksudmu?” Pengawal yang seorang menjadi tegang. Namun demikian iapun dengan tergesa-gesa keluar dari bilik itu diikuti oleh yang seorang lagi langsung pergi kebelakang. Dengan sekali hentak, sebuah pintu dari sebuah bilik dibagian belakang barak itupun telah terbuka. “Lihat,“ ia hampir berteriak, “dua sosok mayat lagi.”

Ketika mereka memperhatikan kedua mayat itu, maka ternyata keduanyapun telah terbunuh dengan luka didada. Sekali lagi salah seorang pengawas itu menggeram, “Keduanya juga bukan anak buah Ki Gede Telengan.” “Jadi apakah yang terjadi menurut dugaaumu?” “Ki Gede Telengan telah melarikan pusaka itu dan membunuh para pengawal yang bukan anak buahnya. Mungkin para pengawal itu mencoba menghalanginya.” suaranya gemetar menahan marah, “ he. kau adalah anak buah Ki Gede Telengan. Tetapi aku bukan. Apa yang akan kaulakukan?” Kawannya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku memang anak buahnya. Tetapi aku sudah ditinggalkannya jika dugaanmu benar.” “Kau akan membunuh aku juga, atau aku harus membunuhmu?” “Tidak ada gunanya. Aku telah terpisah daripadanya. Sebaiknya kita mencoba meyakinkan dugaan itu, kemudian melaporkan kepada Ki Tumenggung Wanakerti.” Kedua orang itu dengan tergesa-gesa menyusuri dinding bagian belakang dari halaman sempit dibelakang barak itu. Ternyata mereka menemukan dua sosok mayat lagi, dan beberapa langkah dari kedua sosok mayat itu, sesosok yang lain terbujur pula disudut. “Ki Prancak,“ desis salah seorang pengawas itu. ”sekarang aku yakin. Ki Gede Telenganlah yang telah melakukannya. Dan ia telah melarikan pusaka itu bagi kepentingan dirinya sendiri. Sekarang terserah kepadamu. Aku akan melaporkan pengkhianatan ini.” “Aku tidak akan menentang. Aku sudah tidak berinduk lagi sekarang, sehingga aku menyerahkan persoalannya kepadamu.” “Baiklah. Marilah, kita akan menyusul kemedan. Mudah-mudahan kita tidak terlalu terlambat.” Keduanyapun kemudian dengan tergesa-gesa berlari-lari kemedan disebelah Timur dari lembah itu. Ternyata seorang diantara mereka telah berkhianat, justru dalam keadaan yang gawat.

Dalam pada itu, sebenarnyalah Ki Gede Telengan telah meninggalkan barak penyimpanan pusaka bersama pengikut-pengikutnya yang mengawal pusaka itu. Beberapa orang diantara para pengawal yang bukan pengikutnya telah dibinasakannya. Beberapa orang diantara mereka telah dibunuh didalam barak itu.Yang lain diluar barak dan bahkan disepanjang jalan kecil didalam hutan, setelah orangorang itu dipaksa ikut beberapa puluh langkah. Namun Ki Gede Telengan tidak mau selalu terganggu oleh orang-orang yang tidak diketahui kesetiaannya kepadanya. Itulah sebabnya, akhirnya semuanya telah dibunuhnya tanpa ampun. Beberapa orang pengikut Ki Gede Telengan sendiri yang berada di medan sama sekali tidak dihitungkannya. Ki Gede Telengan sadar, bahwa mereka akan dapat menjadi sasaran balas dendam. Tetapi ia tidak peduli. Baginya orang-orang itu tidak akan banyak berarti untuk seterusnya. Yang penting baginya kedua pusaka itu sudah dimilikinya. “Pasukan ini harus disembunyikan dahulu.“ katanya kepada seorang kepercayaannya, “kitapun harus bersembunyi sambil mempersiapkan diri. Semua kekuatan yang yakin akan mendukung kita, diamdiam akan kita hubungi.” Kepercayaannya itu mengangguk-angguk. Nampaknya kesempatan untuk melarikan pusaka itu tidak akan terulang lagi dikesempatan lain. “Kita akan menjauhi barak itu. Kemudian dekat dimulut lembah, kita akan memanjat naik menghindari orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh yang menurut para pengawas berada dimulut lembah itu. Aku kira mereka tidak menebar sampai lambung gunung. Baik Gunung Merapi maupun Gunung Merbabu, karena dengan demikian mereka memerlukan gelar pasukan yang panjang.” Pengikut-pengikutnya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Namun merekapun berpengharapan. Jika Ki Gede Telengan kelak berhasil mamanfaatkan pusaka-pusaka itu untuk menyerap wahyu keraton, maka akan datang saatnya bagi mereka untuk menikmati kemukten.” Tetapi ternyata ada satu hal yang tidak diketahui oleh Ki Gede Telengan. Ia tidak menyadari bahwa pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah jauh maju dari tempatnya. Bahkan pasukan Tanah Perdikan Menoreh sudah berada dihadapan hidungnya. Ki Gede Telengan yang melarikan pusaka itu berjalan tidak dijalur kecil yang memang menjadi jalan induk di lembah itu. Untuk menghindari segala kemungkinan, ia berjalan agak menepi, sehingga justru karena itu, ia tidak terantuk pada induk pasukan, tetapi pada sayapnya. Seorang pengawas yang mendahulu pasukan Tanah Perdikan Menoreh melihat iring-iringan yang dipimpin oleh Ki Gede Telengan itu. Dengan tergesa-gesa ia melaporkan kepada pemimpin sayap gelar pasukannya, yang kebetulan didampingi oleh Agung Sedayu.

“Sepasukan kecil berada dihadapan kita,” berkata pengawas itu. “Siapa yang berada dipimpinannya?” “Kami tidak mengetahuinya, tetapi mereka agaknya membawa pusaka yang sangat mereka hormati.” Agung Sedayu yang mendengar laporan itu terkejut. Dengan dada yang berdebar-debar ia bertanya, “Kau lihat pusaka-pusaka itu?” “Ya. Aku melihatnya. Mereka berada beberapa langkah saja dihadapan kita.” “Siapkan seluruh pasukan didalam sayap ini,“ berkata pemimpin sayap gelar itu kepada seorang pengawal yang membantunya didalam setiap gerakan. Pengawal itupun kemudian membunyikan isyarat. Sebuah kentungan kecil dengan irama lima ganda berturut-turut beberapa kali. Suara kentongan itu terdengar tidak saja didalam lingkungan sayapnya, tetapi terdengar sampai keinduk pasukannya. Agung Sedayu yang berada disayap itupun segera mempersiapkan diri pula. Jika benar yang nampak oleh pengawas itu pusaka-pusaka yang sedang dicari oleh Mataram, maka yang mengawal pusaka itu tentu bukannya orang kebanyakan. Ki Gede Menoreh diinduk pasukan yang mendengar isyarat di bagian sayap gelarnya itupun segera mengirimkan penghubung unuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Sementara pimpinan sayap gelar itu sibuk memberikan keterangan kepada penghubung yang datang dengan tergesa-gesa, Agung Sedayu beserta beberapa orang pengawal telah maju leibh jauh. Menurut perhitungan Agung Sedayu, isyarat itu dapat menghentikan kelompok yang ada dihadapannya, dan bahkan mungkin mereka akan mencari jalan lain. Tetapi Ki Gede Telengan tidak sempat melakukannya. Ia memang mendengar isyarat itu. Sejenak ia berhenti bersama pasukannya. “Isyarat itu tentu dari seorang pengawas pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang melihat gerakan pasukan kita,” berkata Ki Gede Telengan. “Tetapi isyarat itu terdengar dekat sekali.” “Mereka hanya terdiri dari dua atau tiga orang pengawas. Namun mungkin sekali, isyarat itu mengundang pasukan yang lebih besar, atau sekedar

memberitahukan agar mereka bersiap ditempatnya.“ “Kita berbelok,“ berkata salah seorang pengikut Ki Gede Telengan. “Kita akan maju beberapa langkah. Mungkin kita menemukan pengawas itu atau sekelompok kecil. Kita akan mendapat gambaran yang jelas dimana orang-orang Tanah Perdikan Menoreh bertahan.” “Jadi?” “Tiga orang dari antara kita akan melingkar dan menyergap pengawas itu. Tetapi jika dihadapan kita terdapat pasukan yang kuat, maka pengawas itu harus memberikan isyarat, agar kita dapat mencari jalan lain.” Namun mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa isyarat itu telah dibunyikan didalam gerakan pasukan di sayap gelar itu sendiri, sehingga mereka tidak menyadari, bahwa Agung Sedayu telah berada beberapa langkah saja dihadapan mereka, diantara pepohonan didalam hutan yang cukup lebat. Agung Sedayu yang merapat maju diantara pepohonan pun akhirnya dapat melihat pasukan dihadapannya. Itulah sebabnya, maka ia tidak menunggu lebih lama lagi. KI GEDE Telengan terkejut melihat kehadiran Agung Sedayu dengan sepasukan pengawal dari tanah perdikan Menoreh yang merupakan sayap dari gelar seluruh pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Tiga orang pengawas yang dikirim oleh Ki Gede Telengan masih belum hilang dari tatapan matanya, sehingga ketiganyapun segera melangkah kembali. Agung Sedayu melihat kelompok yang terkejut itu. Diantara mereka memang terdapat dua buah pusaka yang berkerudung kain putih. Menurut pengamatan sekilas Agung Sedayu, kedua pusaka itu tentu sebatang tombak dan sebuah songsong. Karena itu, maka dengan serta merta Agung Sedayupun kemudian meloncat kehadapan orang yang dianggapnya menjadi pemimpin kelompok itu sambil berkata, ”Berhentilah sebentar Ki Sanak.” Ki Gede Telengan menjadi berdebar-debar. Tetapi yang nampak dihadapannya adalah sekelompok kecil saja pengawal-pengawal anak muda yang menghentikannya. “Siapa kau,” geram Ki Gede Telengan. “Aku Agung Sedayu,” jawab anak muda itu. “aku ingin mengetahui kemanakah pusaka-pusaka itu akan kau bawa.” Dada Ki Gede Telengan menjadi berdebar-debar. Tetapi tiba-tiba saja ia bertanya, “Pusaka yang mana ?” Agung Sedayu yang sebenarnya masih meragukan kedua pusaka itu berusaha untuk langsung mempengaruhi sikap Ki Gede Telengan. Karena itu jawabnya tegas, seolah-olah ia memang sudah mengetahuinya, “Kedua pusaka yang kau bawa itu. Kangjeng Kiai Pleret dan Kangjeng Kiai Mendung.”

Ternata jawaban itu benar-benar telah menyentuh-hati Ki Gede Telengan. Ia menganggap bahwa Agung Sedayu telah benar-benar mengetahuinya, sehingga karena itu, tidak dapat ingkar. Jawabannya, ”Ya. Aku memang membawa kedua pusaka itu. Aku akan membawanya ketempatku yang tidak seorangpun mengetahuinya.” “Siapa kau sebenarnya ?” bertanya Agung Sedayu. “Orang menyebutnya Ki Gede Telengan. Tetapi itu tidak penting bagimu. Pergilah. Aku masih mempunyai belas kasihan kepadamu, karena barangkali kau tidak akan menggangguku. Dan aku yakin, kau bingung dan gelisah.” “Kau tentu tidak akan dapat mengabaikan aku dan menyuruh aku pergi begitu saja. Aku sudah tahu bahwa kau membawa pusaka-pusaka yang hilang dari Mataram, dan aku sebenarnya memang sedang mencari pusaka-pusaka itu.” “Gila,” Ki Gede Telengan menggeram, “jangan menggigau. Pergi atau aku akan membunuhmu.” “Pikirkan baik-baik Ki Gede Telengan. Jika aku pergi maka jejakmu sudah aku ketahui. Bahkan dengan demikian aku akan sempat melaporkan kepada Senopati Ing Ngalaga di Mataram tentang kedua pusaka itu.” “Persetan,” geram Ki Gede Telengan, ”memang kau harus dibunuh.” Agung Sedayu melihat sorot mata yang gelisah tetapi penuh dengan nafsu untuk menyebarkan maut. Karena itu, Agung Sedayu selalu berwaspada menghadapi segala kemungkinan yang akan segera melibatnya. Apalagi menilik sikap dan geraknya. Ki Gede Telengan benar-benar bukan orang bebanyakan. Ki Gede Telengan kemudian menyadari bahwa orangorang yang berada di hadapannya tentu sebagian dari orangorang Tanah Perdikan Menoreh, yang dengan sengaja telah menyumbat mulut lembah dibagian Barat. Itulah sebabnya maka ia tidak akan banyak berbicara lagi. Sejenak Ki Gede Telengan memandang para pengawalnya pilihan yang dianggapnya memiliki kemampuan yang dapat dibanggakan. Apalagi ketika ia melihat jumlah pengawal yang datang bersama Agung Sedayu, maka katanya, ”Bersiaplah untuk mati. Aku akan menumpas kau dan orang-orangmu yang tidak tahu diri. Dihadapanmu adalah Ki Gede Telengan yang mampu memecahkan punggung lawannya dengan tangannya.” “Ki Gede Telengan,” sahut Agung Sedayu, ”kenapa kau tidak bersikap lebih baik dan menyerahkan saja pusaka itu kepadaku. Aku tidak sendiri. Aku membawa pasukan segelar sepapan.” “Aku tahu. Kau tentu anak Tanah Perdikan Menoreh yang dikabarkan telah menyumbat mulut lembah. Tetapi jika kau masih belum mampu menggenggam guruh dan prahara ditanganmu, jangan mencoba menangkap aku.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ketika ia melihat Ki Gede Telengan bergeser setapak maju, maka iapur bergeser pula kesamping sambil mempersiapkan dirinya. Dengan isyarat Ki Gede Telenganpun memerintahkan orang-orang kepercayaannya untuk maju mendekat. Mereka telah menggenggam senjata ditangan mereka. “Bunuh mereka semuanya,” perintah Ki Gede Telengan. “Kau akan menyesal Ki Gede,” suara Agung Sedayu lantang, ”kita akan bertempur dengan segenap pasukan yang ada.” Sesaat kemudian, seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, pemimpin sayap yang telah selesai memberikan keterangan kepada penghubung yang datang dari induk pasukar itupun telah tiba dengan pasukannya, meskipun pemimpin sayap gelar itu tidak menghirup semua kekuatan. Ia masih tetap membagi orang-orangnya sehingga pengawasan di sekitarnya tetap dapat dilakukan. Kehadiran mereka sama sekali tidak mempengaruhi sikap Ki Gede Telengan. Sejenak kemudian, pengawal-pengawalnyapun segera berlari-lari menyerang diantara pepohonan hutan. “Hati-hatilah,” teriak Agung Sedayu terhadap orang-orang yang baru datang, ”mereka mulai menyerang.” Permimpin sayap gelar pasukan Tanah Perdikan Menoreh itupun segera bersiap melawan orang-orang yang menyerangnya. Demikian pula para pengawal yang lain. Mereka pun segera menyebar diantara pepohonan dengan senjata ditangan. Teryata bahwa pasukan yang mengawal pusaka-pusaka yang akan dilarikan itu benar-benar orangorang yang bukan saja memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi mereka adalah orangorang yang sama sekali tidak mempunyai pertimbangan-pertimbangan apapun selain membunuh. Itulah sebabnya, maka merekapun segera bertempur dengan kasar dan bahkan seperti binatang buas yang kelaparan. Agung Sedayu pemimpin sayap itu dan juga para pengawal Daerah Perdikan Menoreh yang lain terkejut melihat sikap orang-orang itu. Meskipun sebagian dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah pernah mengalami pertempuran yang dahsyat, namun serangan yang kasar dan buas itu telah menggetarkan hatinya. Namun Agung Sedayu tidak begitu mencemaskan pasukan pengawal Daerah Perdikan Menoreh, karena jumlahnya lebih banyak. Dengan suara lantang Agung Sedayu memikirkan keselamatan anakanak muda yang baru mengalami pertempuran yang sebenarnya untuk yang pertama kali, dan langsung menjumpai lawan yang kuat dan liar, berkata, “Bertempurlah berpasangan. Jumlah kita jauh lebih banyak.” “Pengecut yang licik,“ teriak Ki Gele Telengan, “jika kalian seorang jantan, ajarilah anak buahmu

bertempur seorang melawan seorang.” Agung Sedayu bergeser surut. Ki Gede Telengan telah menyerang dengan dahsyatnya. Namun Agung Sedayu masih sempat menjawab, “Kita berada dipeperangan. Bukan diperang tanding. Jika jumlah kita memang lebih banyak, kenapa kita harus mempersulit diri?” “Pengecut, kau akan mampus lebih dahulu.“ Serangan Ki Gede Telenganpun kemudian datang membadai. Ternyata bahwa orang itu memang memiliki ilmu yang tinggi. Pada serangan-serangan pertama Ki Gede Telengan yang terlalu percaya akan kemampuan sendiri itu sama sekali tidak mempergunakan senjata. Tetapi ayunan tangannya telah menimbulkan desir angin yang dapat mendebarkan jantung. Apalagi tangkapan perasaan Agung Sedayu yang masak terhadap ilmu. seseorang, sehingga dengan demikian ia menyadari, bahwa lawannya bukannya orang yang dapat diabaikan. Ki Gede Telengan menganggap bahwa lawannya tidak lebih dari anak muda Tanah Perdikan Menoreh itupun terkejut. Ketika ia melompat sambil mengayunkan sisi telapak tangannya pada tengkuk Agung Sedayu dengan kecepatan yang sulit diikuti dengan tatapan mata wadag, maka Agung Sedayu masih sempat mengelak dengan kecepatan yang sama. “Anak gila, kau dapat mengelakkan seranganku he,“ teriak Ki Gede Telengan. Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia menjadi sangat berhati-hati. Desir angin yang ditimbulkan oleh ayunan tangan Ki Gede Telengan, merupakan peringatan yang sungguh-sungguh bagi Agung Sedayu. Dalam pada itu, pertempuran di sayap itupun semakin lama menjadi semakin dahsyat. Seperti yang diperingatkan oleh Agung Sedayu, maka para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah bertempur berpasangan. Hanya mereka yang sudah cukup berpengalaman dan memiliki kemampuan yang cukup berusaha untuk mempertahankan dirinya sendiri, karena mereka menganggap bahwa anak-anak muda yang baru itulah yang lebih memerlukan bantuan diantara mereka. Sebenarnyalah anak-anak muda yang baru untuk pertama kali mengalami pertempuran yang sebenarnya, mula-mula menjadi bingung. Mereka tidak menyangka, bahwa seseorang akan dapat bertempur dengan cara yang kasar dan buas tanpa memperhatikan martabat mereka sebagai seseorang yang berilmu. Mereka bukan saja bertempur dengan senjata mereka, tetapi kadang-kadang mereka menggunakan apa saja yang ada disekitar mereka. Bahkan dalam kesulitan, seseorang dari mereka telah melontarkan segenggam debu kepada lawannya. Berita tentang pertempuran yang terjadi disayap itupun telah diberitahukan oleh seorang penghubung kepada sayap yang lain. Ki Waskita yang berada disayap yang lain menjadi berdebar-debar. Meskipun ia sadar, bahwa Agung Sedayu telah memiliki ilmu yang hampir sempurna, serta lukalukanya sama sekali sudah tidak berarti lagi, namun betapapun juga Agung Sedayu masih terlalu muda.

Namun ia tidak dapat meninggalkan tempatnya. Setiap saat sayap itupun akan dapat berjumpa dengan orang orang berilmu yang akan dapat mengacaukan gelar para pengawal Tanah Perdikan Menoreh jika orang-orang berilmu itu tidak menemukan lawan yang dapat mengikatnya dalam suatu pemusatan ilmu. Di induk pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Ki Gede Menoreh pun menjadi gelisah. Tiba-tiba saja ia ingin melihat, apa yang telah terjadi sebenarnya atas pasukan di sayap gelarnya. Karena itu, maka iapun kemudian berkata kepada Prastawa, “Pimpinlah induk pasukan ini. Jangan maju lagi sebelum aku datang dan memberikan perintah. Di sayap telah terjadi persoalan yang memerlukan perhitungan lebih jauh.” “Paman akan pergi melihat pertempuran itu?” “Ya. Mereka tentu berhadapan dengan orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi, jika benar seperti yang dikatakan oleh penghubung itu, bahwa pusaka-pusaka yang hilang itu ada diantara mereka.” Prastawa termangu-mangu sejenak. Namun katanya, “Paman, biarlah aku saja yang pergi. Memang mungkin kakang Agung Sedayu memerlukan bantuan.” Ki Gede memandang wajah Prastawa yang sungguh-sungguh. Tetapi iapun kemudian menggeleng sambil menjawab, “Jangan Prastawa. Kau tetap berada di induk pasukan. Kau harus mengatur seluruh gelar. Jika terjadi keadaan yang memaksa, kau harus segera mengambil keputusan. Prastawa nampak kecewa. Ada niatnya untuk membantu Agung Sedayu. Tetapi ada juga keinginannya untuk menunjukkan kepada Agung Sedayu. bahwa ilmunya telah berkembang dengan pesatnya. Ia ingin hadir diarena untuk melihat Agung Sedayu dalam kesulitan. Kemudian ia datang untuk menyelamatkannya. Tetapi ternyata pamannya tidak mengijinkannya. Dalam pada itu, Ki Gede Menorehpun kemudian bersama empat orang pengawalnya menyusup dibelakang garis pasukannya menuju ke sayap gelarnya yang telah terlibat dalam pertempuran itu. Ditangannya tergenggam sebuah tombak pendek. Sementara para pengawalnya membawa pedang dan perisai ditangannya. Sementara itu, di bagian Timur dari lembah itupun telah terjadi pertempuran yang sengit pula. Pasukan Mataram telah terlibat dalam pertempuran yang sengit pula. Pasukan Mataram telah terlibat dalam pertempuran yang seru. Namun dengan demikian, segera terasa tekanan yang berat dari pasukan lawan yang jumlahnya lebih besar itu. Di sayap, pasukan Mataram, Ki Lurah Branjangan dan Ki Dipajaya yang menjadi Senopati pengapit sebelah menyebelah, harus menghadapi kenyataan, bahwa lawan mereka benar-benar orang yang tidak dapat dicari bandingnya diantara para pengawal Mataram, sehingga karena itu, maka pengawal Mataram yang jumlahnya lebih sedikit itu masih harus bertempur dalam kelompok-kelompok kecil untuk

melawan orang-orang seperti Empu Pinang Aring, Kiai Kalasa Sawit, Kiai Jagaraga dan Kiai Samparsada. Tetapi untunglah, bahwa diantara pasukan Mataram itu terdapat Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar yang berada di sayap gelar itu pula sebelah menyebelah. Pada saat-saat terakhir, dari permulaan perang yang sengit itu, maka Kiai Gringsing tidak dapat sekedar memperhatikan perkembangan keadaan saja. Dadanya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat orang yang menyebut dirinya bernama Empu Pinang Aring bertempur seperti seekor harimau lapar. Ketika ia mendengar seseorang meneriakkan nama orang itu, barulah Kiai Gringsing tahu. bahwa orang yang garang itulah orang yang disebut Empu Pinang Aring. Nama yang pernah didengarnya dan pernah disebut-sebut pula oleh satu dua orang yang tertangkap saat segerombolan perampok berusaha menyamun iring-iringan pengantin Swandaru. “Aku tidak dapat membiarkannya mengacaukan pertahanan orang-orang Mataram,“ berkata Kiai Gringsing didalam hatinya. Namun disayap kanan lawan itupun terdapat orang lain yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Dengan kerut merut dikening, Kiai Gringsing memperhatikan orang yang bertempur melawan sekelompok kecil pengawal Mataram yang dipimpin sendiri oleh Ki Lurah Branjangan, sementara sekelompok yang lain sedang berusaha menahan Empu Pinang Aring. “Siapa orang itu,“ bertanya Kiai Gringsing didalam hatinya. Tetapi ia tidak dapat sekedar bertanya-tanya. Ki Lurah Branjangan telah bertempar dengan sekuat tenaga dibantu oleh dua orang pengawal terpilih melawan seorang yang bertubuh raksasa. Karena ujud orang itu lebih menarik dari Empu Pinang Aring, maka Ki Lurah Branjangan telah mencoba menahannya. Tetapi ternyata Empu Pinang Aring itupun merupakan hantu dimedan itu. Meskipun empat orang berusaha melawannya, tetapi keempat orang itu seakan-akan tidak berdaya menghadapinya. Mereka setiap kali harus berloncatan menjauh apabila Empu Pinang Aring mengayunkan senjatanya berputaran. Bahkan sekali-sekali Empu Pinang masih sempat tertawa sambil berkata. “Marilah anak-anak. Kita bermain kejar-kejaran. Tetapi kita tidak sekedar bertaruh gandu atau kecik sawo. Taruhan kita sekarang adalah nyawa kita.” Kata-kata Empu Pinang Aring itu memang dapat menggetarkan hati lawan-lawannya. Apalagi setelah mereka merasakan, betapa sambaran angin yang mengerikan mengikuti ayunan senjata orang yang oleh pengikutnya disebut Empu Pinang Aring. Tetapi Empu Pinang Aring terkejut ketika tiba-tiba saja terdengar jawaban disebelah, “Baiklah Empu.

Aku pun ingin ikut serta dalam taruhan ini. Bukan kemiri, bukan pula gayam, tetapi taruhannya adalah umur kita masing masing.” Empu Pinang Aring memandang orang yang sudah menjelang hari-hari tuanya itu. Beberapa langkah ia meloncat mundur menghindari lawan-lawannya. Dengan tajam ia menatap wajah Kiai Gringsing sambil bertanya, “Siapa kau?” “Aku salah seorang dari pengawal Mataram,“ jawab Kiai Gringsing sambil berdiri menghadapi Empu Pinang Aring. Empu Pinang Aring termangu-mangu sejenak. Namun kemudian, “Baiklah. Bergabunglah dengan lawan-lawanku. Mungkin kau masih dapat membawa satu dua orang kawan lagi yang akan aku bantai bersama sama.” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Dari sorot matanya. Empu Pinang Aring memancarkan kepercayaan yang teguh kepada kemampuan diri sendiri, sehingga ia sama sekali tidak terpengaruh oleh sikap Kiai Gringsing. Tetapi Kiai Gringsingpun adalah orang yang memiliki beberapa kelebihan. Karena itu dengan tenang ia berkata kepada para pengawal Mataram yang termangu-mangu. “Tinggalkan aku. Jumlah kalian terlalu sedikit untuk melawan orang-orang yang bersembunyi dilembah ini. Biarlah Enpu Pinang Aring bermain-main bersamaku.” Empu Pinang Aring mengerutkan keningnya. Yang satu ini tentu akan lain dari keempat orang yang telah mengeroyoknya. Karena itu Empu Pinang Aring mulai tertarik kepada lawannya yang tua ini. “Siapa kau sebenarnya ?“ bertanya Empu Pinang Aring. Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Ia masih memberi isyarat kepada para pengawal Mataram untuk meninggalkannya dan bertempur dalam arena yang kemudian telah menjadi perang brubuh. “Siapa? “ Empu Pinang Aring mengulanginya. “Namaku tidak banyak disebut orang Empu. Tetapi orang memanggilku Kiai Gringsing.” “Kiai Gringsing,“ Empu Pinang Aring menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Jadi kaukah orang bercambuk itu?” “Empu sudah pernah mendengar namaku?” Empu Pinang Aring memandang Kiai Gringsing dari ujung kakinya sampai keujung rambutnya. Sambil menganggukangguk ia berkata, “Aku percaya bahwa orang inilah yang disebut orang bercambuk. Baiklah. Kau

sudah berhasil mendapatkan lawan. Dan dengan demikian kau sudah mengurangi tekanan pada pasukan pengawal Mataram, karena kau seorang diri dapat mewakili empat orang lawanku.” Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Dipandanginya medan yang semakin lama menjadi semakin seru. Namun terasa bahwa pasukan pengawal Mataram memang sudah terdesak. “Kenapa Raden Sutawijaya masih belum memberikan isyarat kepada pasukan Sangkal Putung yang sudah siap,“ bertanya Kiai Gringsing kepada diri sendiri. Namun ternyata ia tidak menunggu terlalu lama. Sejenak kemudian terdengar suara sangkakala menggema di lembah itu. Swandaru yang berada dibelakang garis pertempuran menjadi gelisah ketika ia harus menunggu terlalu lama. Ia sadar, bahwa Raden Sutawijaya tentu ingin menjajagi kekuatan lawannya lebih dahulu dengan pasukannya. Namun akhirnya suara sangkakala itu telah terdengar. Dengan demikian maka Swandarupun segera memberikan isyarat kepada pasukannya untuk segera bergerak. Seperti keterangan yang telah diterimanya dari para penghubung, bahwa pasukan lawan cukup kuat, maka ia pun telah memberikan pesan-pesan terakhir kepada pasukannya. Kepada anak-anak muda yang sama sekali belum berpengalaman. Swandaru memberitahukan, bahwa mereka kini tidak sedang bermain-main. Kebetulan lawan mereka yang pertama adalah orang-orang yang sama sekali tidak mempunyai tanggung jawab, bukan saja terhadap sesama, tetapi juga kepada Sumber Hidup mereka. “Berhati-hatilah. Mungkin kalian akan dikejutkan oleh peristiwa-peristiwa yang sama sekali tidak pernah kalian bayangkan. Tetapi inilah yang disebut pertempuran yang sebenarnya.” Pandan Wangi dan Sekar Mirah oleh Swandaru tidak diletakkannya disayap gelarnya. Ia sendiri tidak tahu, kenapa ia telah memasang kedua perempuan itu justru diinduk pasukan bersamanya. Agaknya ada semacam kecemasan bahwa kedua perempuan itu akan menghadapi kesulitan, jika keduanya terpisah daripadanya. Sebenarnya Pandan Wangi dan Sekar Mirah sendiri menyatakan keinginannya untuk berada disayap sebelah menyebelah. Tetapi Swandaru menggeleng sambil berkata, ”Kalian bersamaku.” Pandan Wangi dan Sekar Mirah tidak membantah. Kecuali hubungan pribadi diantara mereka, maka Swandaru adalah pimpinan pasukan Sangkal Putung yang berada di lembah itu.

Demikianlah, maka pasukan Sangkal Putung itu maju menyatu dengan garis pertempuran yang seru. Mereka langsung mengambil bagian diantara pasukan Mataram yang sudah terlebih dahulu terlibat dalam perang. Kehadiran pasukan Sangkal Putung tidak mengejut kan pasukan yang berada dilembah itu. Sejak semula mereka menyadari, bahwa lawan mereka terdiri dari dua lapis. Meskipun demikian, kehadiran pasukan Sangkal Putung yang cukup kuat itu langsung mempengaruhi keseimbangan. Namun demikian, jumlah pasukan yang berada dilembah itu masih cukup banyak untuk menekan kedua pasukan gabungan, karena jumlah mereka memang terlalu banyak. Namun pasukan gabungan yang ada dilembah itu mulai merasa, bahwa pasukan Mataram dan pasukan Sangkal Putung bukannya pasukan-pasukan yang lemah. Apalagi diantara pasukan Mataram memang terdapat prajurit-prajurit Pajang. Dengan demikian maka pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Pasukan dari lembah itu tidak lagi mendesak lawannya. Mereka mulai merasakan, bahwa lawan mereka adalah kekuatan yang justru semakin berkembang. Tetapi di sayap kedua pasukan yang berbenturan itu, tekanan pasukan lawan masih terasa berat. Kiai Gringsing yang bertempur melawan Empu Pinang Aring, kadang-kadang masih berdebar-debar melihat seorang yang bertubuh raksasa yang mengamuk bagaikan angin prahara diantara batang-batang ilalang. Ki Lurah Branjangan adalah orang yang memiliki kelebihan dari para pengawal yang lain. Namun ia merasa, betapa dahsyatnya kekuatan orang bertubuh raksasa itu, sehingga ia memerlukan beberapa orang untuk membantunya. Tetapi kehadiran pasukan Sangkal Putung memberi kan sedikit kesempatan untuk bernafas. Meskipun pasukan Sangkal Putung tidak terlampau menekankan kekuatan di bagian sayapnya, karena semua kekuatan puncaknya berada di induk pasukan, namun kehadiran mereka terasa juga akibatnya, seakanakan tugas pasukan pengawal dari Mataram itu menjadi agak ringan, meskipun seolah-olah maut masih tetap mengintai setiap orang disetiap saat. Dalam pada itu. Empu Pinang Aring sendiri segera terbentur pada kekuatan yang tidak dapat ditembusnya. Ketika pertempuran mulai menjadi seru diantara kedua orang yang memiliki ilmu diluar jangkauan para pengawal yang lain itu. maka mereka masing-masing telah mempergunakan senjata yang paling mereka percaya. Empu Pinang Aring telah menerima senjata khususnya dari seorang pengawalnya yang selalu mengikutinya. Senjata yang jarang-jarang sekali dipergunakan, kecuali dalam kesempatan-kesempatan yang paling berbahaya bagi dirinya.

Kiai Gringsing memperhatikan senjata yang agak aneh itu. Ia sadar bahwa senjata Empu Pinang Aring itu tentu didapatkannya dari orang-orang asing yang pernah berada di tlatah Pajang, atau masa-masa pemerintahan sebelumnya. Senjata yang bertangkai sepanjang tangkai tombak pendek itu, mempunyai tiga mata seperti trisula. Tetapi kedua mata tombaknya yang berada dibagian luar, mempunyai mata yang tajamnya menghadap kearah yang berlawanan, seperti ujung eri pandan, sedangkan mata tombak trisula yang berada ditengah, agak lebih panjang sedikit dari kedua ujung yang lain. “Jangan takut menghadapi senjataku ini,“ desis Empu Pinang Aring ketika ia melihat wajah Kiai Gringsing menegang. Kiai Gringsing yang menyadari keadaannya, tiba-tiba saja tersenyum. Jawabnya, “Aku tidak menjadi ketakutan. Tetapi aku menjadi heran. Jika saja kita tidak sedang bertempur, aku akan meminjam senjata itu barang sejenak.” Empu Pinang Aring mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Kau tidak saja akan meminjamnya, tetapi kau akan merasakan, bahwa trisulaku itu mempunyai kemampuan untuk berbuat apa saja dimedan. Aku dapat menyobek perutmu dengan tusukan. Tetapi aku dapat memecahkan kepalamu dengan ayunan, karena mata trisulaku mempunyai tajam seperti kapak disisi-sisinya.” “O,“ desis Kiai Gringsing yang telah menggenggam cambuknya, “aku akan mencoba melawan senjatamu yang aneh itu.” Empu Pinang Aring tidak menjawab lagi. Dengan serta merta ia telah menyerang. Senjata menusuk seperti sebatang tombak. Namun ketika ujungnya gagal menyentuh Kiai Gringsing, maka senjata itupun segera terayun seperti kapak yang bertangkai panjang. Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar. Senjata itu memang berbahaya. Dalam setiap geraknya senjata itu memungkinkan untuk melukainya, atau bahkan melumpuhkannya. Karena itulah, maka untuk selanjutnya Kiai Gringsing harus benar-benar berhati-hati. Bahkan ia harus memperlihatkan kemampuannya bergerak dengan kecepatan yang hampir tidak dapat diikuti dengan tatapan mata. Sejenak kemudian pertempuran antara kedua orang itupun semakin menjadi dahsyat. Beberapa orang yang ada diseputarnya menjadi berdebar-debar. Senjata Empu Pinang Aring menyambar dari segala arah. Kemudian mematuk seperti seekor ular bandotan yang menerkam lawannya. Namun dalam pada itu, setiap kali Empu Pinang Aring terkejut mendengar ledakan cambuk Kiai Gringsing. Suara cambuk yang tidak begitu keras menurut pendengaran telinga wadag. Tetapi ternyata bagi telinga Empu Pinang Aring dapat mengetahui bahwa bunyi cambuk itu bagaikan panggilan baginya dari daerah maut.

Dengan demikian maka kedua orang yang bertempur dengan kemampuan yang luar biasa itu telah menumbuhkan keadaan yang khusus didalam arena itu. Sementara para pengawal yang lain bertempur dengan sengitnya melawan orang kasar yang bersembunyi dilembah itu. Setiap kali mereka bersoraksorak dan berteriak-teriak memekakkan telinga, sehingga kadang-kadang suara itu berhasil mempengaruhi ketahanan hati orang-orang Mataram dan Sangkal Putung. Ki Lurah Branjangan yang memiliki pengalaman yang luas dimedan yang betapapun sulitnya, meskipun ia tidak dapat mengimbangi kekuatan lawannya seorang diri, telah berusaha mengurangi tekanan perasaan pada para pengawal dari Mataram dan Sangkal Putung. Lewat pengawalpengawalnya ia memerintahkan agar para pengawal Mataram dan Sangkal Putung ikut pula meneriakkan kemenangan-kemenangan yang dapat mereka capai dipertempuran itu. Sambil menjauhi lawannya sejenak, dan membiarkan para pengawalnya yang lain bertempur, ia berkata kepada seorang penghubung, “Lakukanlah seperti yang mereka lakukan. Dengan demikian maka kalian tidak akan mendengar apa yang mereka teriakkan, karena kalian telah berteriak pula.” Perintah itupun kemudian menjalar kepada setiap orang di sayap gelar orang-orang Mataram dan Sangkal Putung itu. Sehingga dengan demikian maka sayap gelar itupun menjadi sangat riuh dan ramai. Tetapi seperti yang diperhitungkan oleh Ki Lurah Branjangan, maka para pengawal Mataram dan Sangkal Putung tidak lagi terpengaruh oleh kata-kata yang dilontarkan lawannya, karena mereka tidak mendengar teriakan-teriakan itu lagi dengan jelas. Sayap gelar pasukan Mataram dan Sangkal Putung itu benar-benar bagaikan arena benturan guruh dan guntur. Suaranya bagaikan menggugurkan lereng Merapi dan Merbabu. Setiap orang bertempur sambil berteriak. Tetapi teriakan mereka itupun hanyalah dapat mereka dengar sendiri. Karena setiap orang telah berteriak pula. Orang dilembah itupun menjadi marah pula karena sikap para pengawal dari Mataram dan Sangkal Putung. Mereka tidak lagi dapat memperolok-olokkan mereka. Tidak lagi dapat mengumpati dan menyebut kematian demi kematian. Bahkan tidak lagi dapat berbohong untuk mempengaruhi perasaan para pengawal dari Mataram dan Sangkal Putung, karena mereka sendiripun telah berteriak-teriak tidak menentu. “Gila,“ geram Kiai Jagarana ketika Ki Lurah Branjangan telah kembali melawannya, “kau ajari para pengawal Mataram itu berbuat seperti perampok-perampok dan penyamun.” “Aneh,“ desis Ki Lurah Branjangan, “orang-orang-mupun melakukannya.”

“Mereka sebagian memang perompak dan penyamun. Tetapi sebagian lagi adalah prajurit-prajurit Pajang.” “Biar sajalah para pengawal dari Mataram berusaha menyumbat telinga mereka dengan mulutnya sendiri. Kata-kata yang dilontarkan oleh orang-orangmu, terutama oleh para perampok dan penyamun itu telah berhasil mempengaruhi jiwa para pengawal. Kata-kata kasar dan kotor itu memang memalukan sekali. Tetapi kini lontaran kata-kata mereka itu sudah tidak didengar lagi.” Orang bertubuh raksasa itu tidak menjawab lagi. Dengan serta merta ia menyerang Ki Lurah Branjangan dengan senjata yang paling digemari. Sebuah bindi yang besar dan panjang bergerigi berlapis besi baja. Ki Lurah Branjanganpun harus berhati-hati menghadapi lawannya. Tetapi pedangnya cukup lincah menyusup ayunan bindi Kiai Jagarana. Beberapa orang pengawal yang membantunyapun cukup lincah, sehingga untuk beberapa saat lamanya, pertempuran itu berlangsung dengan sengitnya. Di sayap yang lain Ki Sumangkar berada dalam pasukan yang dipimpin oleh Ki Lurah Dipajaya. Sesuai dengan pesan Raden Sutawijaya, maka Ki Dipajayapun telah bertempur bersama beberapa orang pengawalnya seperti yang dilakukan oleh Ki Lurah Branjangan menghadapi orang yang bernama Samparsada. Seorang yang memiliki kemampuan yang luar biasa, sejajar dengan kawan-kawannya dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, sementara Ki Sumangkar telah bertemu dengan Kiai Kalasa Sawit yang pernah tinggal di padepokan Tambak Wedi. Ternyata bahwa Kiai Kelasa Sawit masih tetap garang dan kasar. Tetapi luka-luka ditubuh Ki Sumangkar sudah tidak berpengaruh lagi. Ia sudah dapat memutar trisulanya dengan dahsyatnya. Sekali-sekali trisulanya itu bagaikan terjulur menyambar kepala lawannya. Namun kemudian berputar seperti baling-baling. Kiai Kalasa Sawit menghadapi lawannya dengan hati-hati. Ia sadar, bahwa sambaran trisula itu akan dapat melubangi keningnya. Sehingga karena itu, maka ia harus berusaha untuk menghindarinya. Ternyata sayap gelar pasukan Mataram itu telah tertahan oleh kekuatan yang agak lebih besar. Meskipun pasukan Sangkal Putung telah bergabung bersama mereka, tetapi rasa rasanya tekanan orang orang yang berada dilembah itu masih terasa sangat berat. Di Pusat gelar pasukan Mataram yang bergabung dengan pasukan Sangkal Putung itu, pertempuranpun telah berkobar dengan dahsyatnya. Raden Sutawijaya telah menunjukkan kemampuannya sebagai seorang Senopati muda. Ia mampu menguasai seluruh keadaan medan yang panjang dengan penglihatannya, keterangan-keterangan yang didengarnya dan perhitungan-perhitungannya, seolah-olah ia telah melihat medan itu dalam keseluruhan. Namun ketika Tumenggung Wanakerti sengaja menyongsongnya, maka Raden Sutawijayapun mulai terikat

oleh pemusatan kemampuannya kepada Tumenggung yang memang sudah dikenalnya itu. “Anak muda,“ berkata Tumenggung Wanakerti, “jika kau kemudian disebut Senopati Ing Ngalaga itu sama sekali bukan karena kemampuanmu dimedan perang. Tapi gelar Senopati Ing Ngalaga itu kau dapatkan sebagai sebuah kurnia dari ayahanda angkatmu yang kasihan melihat anaknya sama sekali tidak memiliki kemampuan apapun juga. Akhirnya kau terpaksa disingkirkan ke Mataram, karena kau hanya akan menghambat perkembangan prajurit Pajang.” Senopati Ing Ngalaga menggeram. Tetapi ia selalu ingat pesan Ki Juru Martani. Bahwa sebagai seorang pemimpin dari satu gelar yang besar ia tidak boleh terlalu terpengaruh oleh perasaannya. Jika ia kehilangan akal dan pengekangan diri, maka ia tidak akan dapat menguasai seluruh keadaan medan. Karena itulah maka ia menganggap kata-kata Tumenggung Wanakerti itu sebagai pancingan untuk membangkitkan kemarahannya. Dalam pada itu, medanpun menjadi semakin dikuasai oleh nafsu membunuh. Setiap orang yang telah menjadi basah oleh keringat, seakan-akan telah menjadi wuru. Apalagi mereka yang telah mulai menitikkan darah dari goresan-goresan senjata. “Kau masih harus berlatih dua tiga tahun lagi Senopati muda,” berkata Tumenggung Wanakerti yang bertempur melawan Raden Sutawijaya. Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Ketika tombak pendeknya hampir saja meyambar hidung Tumenggung Wanakerti sehingga Tumenggung itu meloncat mundur. Raden Sutawijaya berkata, “Jika aku berguru dua tiga tahun lagi, maka alangkah ngerinya wajahmu sekarang.” Tetapi Tumenggung Wanakerti masih dapat tertawa. Katanya, “Bagus. Aku akan melihat, apakah yang dapat kau lakukan sekarang.” Namun sebenarnyalah hati Raden Sutawijaya menjadi semakin mapan, ia tidak lagi meronta dan memaksa diri untuk bersabar. Tetapi ia benar-benar tidak banyak terpengaruh lagi oleh kata-kata Ki Tumenggung Wanakerti yang memancing kemarahannya itu. Tetapi dalam pada itu, ternyata bahwa di pusat gelar lawan, kekuatannya benar-benar menakjubkan. Beberapa Senopati dari Pajang telah terlibat pula didalamnya. Jika pasukan Mataram disertai dengan sekelompok prajurit Pajang, maka mereka telah berhadapan dengan beberapa orang Senopati yang memiliki beberapa kelebihan dari prajurit-prajurit kebanyakan. Namun di pusat gelar itupun kemudian hadir Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Kedatangan mereka telah mengejutkan lawan. Apalagi ketika cambuk Swandaru mulai meledak. Suaranya bagaikan guruh yang seolah-olah memecahkan selaput telinga wadag. Tumenggung Wanakerti mengerutkan keningnya. Sambil bertempur ia mencoba memperhatikan bunyi

cambuk itu. Tetapi telinganya ternyata dapat membedakan, bahwa bunyi cambuk itu adalah bunyi kekerasan wadag. Namun demikian ia menjadi berdebar-debar juga, karena di pusat gelar itu telah hadir seorang yang memiliki kekuatan raksasa. Ki Juru Martanilah yang kemudian mengatur, dimana Swandaru harus bertempur. Ia tiba-tiba saja telah berada tidak jauh dari Raden Sutawijaya, sehingga kehadirannya langsung mempengaruhi medan. Para Senopati yang bertempur melawan dua atau tiga orang yang berpasangan, karena kemampuan mereka yang berbeda, telah terkejut pula. Swandaru memang memiliki kelebihan. Seorang Senopati Pajang yang berada di dalam lingkungan orang-orang dilembah itu mencoba untuk menahannya. Namun kemudian ia harus mengakui, bahwa Swandaru bukannya seorang gembala yang hanya pandai meledakkan cambuknya keras-keras tanpa lantaran tenaga sama sekali. Ketika cambuk Swandaru meledak dihadapan Senopati itu, maka langsung terasa, betapa sambaran angin telah menyapu tubuh lawannya sehingga dengan demikian lawannya mengetahui, bahwa cambuk itu benar-benar memiliki kekuatan untuk merobek kulitnya. Selagi orang-orang dilembah itu masih dikuasai oleh kejutan hadirnya orang gemuk bersenjata cambuk itu, maka sekali lagi mereka terkejut. Disisi lain dari Raden Sutawijaya telah terjadi kegelisahan, karena dimedan itu telah muncul dua orang perempuan dengan senjata mereka yang menggemparkan. Pandan Wangi dengan pedang rangkapnya, sementara Sekar Mirah telah mempergunakan senjata yang diberikan oleh gurunya kepadanya. Sebatang tongkat baja yang berkepala tengkorak berwarna kekuning-kuningan. “Tongkat itu,“ seorang Senopati yang lain berdesis. Beberapa orang prajurit Pajangpun menjadi berdebar-debar pula. Sebagian dari mereka telah mengenal tongkat baja putih itu. Tongkat yang pernah menggemparkan Pajang saat Pajang masih harus bertempur melawan Jipang. Sebenarnyalah Sekar Mirah menguasai tongkatnya sebaik-baiknya. Tidak kalah dari yang dapat dilakukan oleh Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan. “Gila,“ geram seorang Senopati muda, seolah-olah aku telah menyaksikan sesuatu yang tidak mungkin. Dari wajah yang cantik itu telah memancar sorot mata penuh kebencian dan dendam.” Namun ia tidak dapat sekedar memandang dengan heran. Sejenak kemudian Senopati muda itu telah terlibat dalam pertempuran yang sengit melawan Sekar Mirah. “Luar biasa,“ desis prajurit itu, selelah senjatanya membentur tongkat Sekar Mirah. Sekar Mirah tidak menyahut. Sekilas ia memandang Senopati itu. Meskipun Senopati itu tidak lagi

memakai pakaian keprajuritannya, namun ada beberapa ciri yang dapat memperkenalkan dirinya sebagai seorang prajurit. Agung Sedayu tidak sempat menyahut lagi. Serangan Ki Gede Telengan telah datang bagaikan angin prahara. Tangannya yang mengandung kekuatan yang tidak terduga menyambar kening Agung Sedayu. Untunglah bahwa Agung Sedayu masih sempat bergeser sambil menarik kepalanya kesamping, sehingga yang terasa olehnya hanyalah sambaran angin yang mendebarkan jantung. Namun Agung Sedayu tidak sempat merenungi kekuatan lawannya, karena Ki Gede Telengan lelah menyambar larnbungnya dengan kaki kanannya. Sekali lagi Agung Sedayu terpaksa mengelak. Sebuah loncatan kecil kesamping telah melepaskannya dari sambaran kaki Ki Gede Telengan. Tetapi gerak Ki Gede Telengan itu beruntun bagaikan deburan ombak dilautan. Demikian sebelah kakinya menjejak tanah, maka tubuhnya telah terputar seperti pusaran air. Kaki yang lain seakan-akan telah terlempar menyambar lawannya mendatar. Agung Sedayu tidak sempat mengelak. Tetapi ia tidak mau dikenai tumit lawannya, karena ia sadar, bahwa perutnya tentu akan menjadi muak, dan bahkan mungkin terluka didalam, sehingga ia tidak akan mendapat kesempatan lebih banyak lagi untuk bertempur. Karena itu, maka Agung Sedayupun segera merendahkan dirinya. Ia sadar, bahwa kekuatan lawannya adalah kekuatan raksasa. Karena itulah, maka iapun menghimpun segenap kekuatannya pada kedua tangannya yang bersilang di hadapan dadanya, sementara kedua kakinya merendah pada lututnya. Benturan kekuatanpun tidak dapat dihindarkan lagi Kaki Ki Gede Telengan telah membentur siku tangan AgungSedayu. Ternyata bahwa keduanya telah terperanjat. Bentaran kekuatan itu benar-benar merupakan benturan kekuatan raksasa yang sulit dicari imbangannya. Agung Sedayu ternyata telah terdorong surut, setelah kedua kakinya yang merendah pada lututnya gemetar beberapa saat. Ia tidak dapat bertahan berdiri ditempatnya, sehingga sebelah kakinya telah bergeser dan kaki yang lain harus melangkah surut. Namun sementara itu, kaki Ki Gede Telengan bagaikan telah dilontarkan oleh sebuah kekuatan yang tidak diperhitungkannya sama sekali. Sehingga iapun telah kehilangan keseimbangannya. Sekejap ia mencoba bertahan, namun kemudian ia terpaksa jatuh pada lutut kaki kanannya. Tetapi ia masih dapat meloncat dengan sigapnya. Ketika Agung Sedayu siap untuk menyerang, ternyata bahwa Ki Gede Telenganpun telah berdiri tegak pula menghadapi segala macam kemungkinan.

Namun demikian Ki Gede Telengan itu masih sempat mengumpat, “Anak Iblis. Kau benar-benar telah kerasukan. Kau mempunyai kekuatan yang tidak sewajarnya bagi anak-anak sebesar kau. Tetapi jika iblis ditubuhmu itu oncat, maka kau tidak lebih dari seonggok jerami yang tidak berdaya.” Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia siap untuk bertempur lebih dahsyat lagi. Sejenak kemudian maka Senopati muda itu tidak lagi dapat memandang wajah Sekar Mirah yang cantik. Yang nampak olehnya kemudian adalah segumpal awan putih yang bagaikan ingin melihat dirinya. Kilatan cahaya kekuningkuningan diantara gumpalan putih itu bagaikan cahaya tatit ditengahtengah mendung yang kelabu. Pertempuran dilembah itupun semakin lama menjadi semakin seru. Pedang rangkap Pandan Wangi pun telah berputar dengan dahsyatnya. Sekali-sekali menyambar, namun kemudian mematuk mengerikan. Seperti Sekar Mirah, maka Pandan Wangipun telah mendebarkan jantung lawannya, seorang Senopati Pajang yang berada dipihak orang-orang yang berkumpul dilembah itu. Namun dalam pada itu, jumlah orang-orang yang berada dilembah itu memang lebih banyak. Meskipun pada dasarnya, setiap pemimpin mereka telah berhasil ditahan oleh para pemimpin kelompok dari Mataram dan Sangkal Putung. namun orang orang dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu yang lebih banyak jumlahnya itu, masih juga berhasil menekan sehingga setapak demi setapak, pertempuran itu telah bergeser dari garis semula. Karena tidak disadari, pasukan Mataram dan Sangkal Putung meskipun hanya sejengkal demi sejengkal telah terdesak mundur. Sementara itu, dibagian lain dari lembah itu, Ki Gede Telengan masih bertempur melawan Agung Sedayu. Ternyata bahwa Ki Gede Telengan telah bertemu dengan lawan yang tidak diduganya sama sekali. Agung Sedayu bukannya sekedar seorang anak petani yang kebetulan bermain-main dimedan pertempuran. Tetapi anak muda itu ternyata mampu mengimbangi ilmu Ki Gede Telengan. Karena Ki Gede Telengan tidak bersenjata, maka Agung Sedayupun merasa lebih mantap bertempur tanpa senjata. Namun untuk mengimbangi ilmu Ki Gede Telengan, Agung Sedayupun telah mempergunakan ilmunya selengkapnya. Ki Gede Telengan benar-benar heran melihat kemampuan lawannya yang masih sangat muda itu. Setiap kali Agung Sedayu selalu dapat membebaskan diri dari libatan serangannya. Betapapun ia memburu setiap gerak menghindar, namun pada suatu saat ia sendirilah yang harus berloncatan menghindari serangan anak muda itu yang membadai. “He anak muda,“ tiba-tiba saja Ki Gede Telengan berteriak, “dimana kau berguru he? Sehingga kau mampu mengimbangi ilmuku pada usiamu yang masih sangat

muda itu?” Agung Sedayu terrnangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Ki Sanak. Setiap orang yang menengadahkan permohonannya kepada Sumber Hidupnya, ia akan memiliki sesuatu yang berharga. Cobalah mengerti tentang dirimu sendiri. Mungkin kau dapat memungut ilmu itu di daerah gelap dan hitam. Tetapi pada saatnya, maka yang hitam itu akan terhapus. Seandainya bukan aku, tentu ada orang lain yang akan datang dalam perjalanan hidupmu.” “Persetan,“ geram Ki Gede Telengan yang menyerang semakin dahsyat, “kau sempat menggurui aku. Baiklah. Terima kasih. Tetapi sebentar lagi kau akan mati.” Ki Gede Telengan yang menjadi semakin gelisah itu-pun tidak mau memperpanjang waktu lagi. Jika kepergiannya diketahui, maka ia akan semakin dalam terbenam kedalam kesulitan, karena baik Tumenggung Wanakerti maupun para pemimpin gerombolan yang lain, tentu tidak akan melepaskan pusaka-pusaka yang harus dijaganya itu dibawa pergi. Karena itulah maka Ki Gede Telenganpun kemudian telah mengarahkan segenap kemampuannya untuk segera dapat membunuh lawannya, sementara pengikutnya telah bertempur mati-matian melawan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Dalam pada itu, tekanan dimedan disebelah Timur dari lembah itupun semakin lama terasa menjadi semakin berat bagi pasukan pengawal Mataram dan Sangkal Putung. Namun Sutawijaya masih berharap, bahwa pada suatu saat, pasukan Tanah Perdikan Menoreh akan datang dan melihat lawan mereka dari belakang. Namun ternyata pasukan Tanah Perdikan Menoreh datang terlalu lambat dari yang diperhitungkan. Pasukan Mataram dan Sangkal Putung sudah terdesak semakin jauh. Namun pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh sama sekali belum mempengaruhi medan. Raden Sutawijaya tidak mengetahui, bahwa pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah tertahan. Meskipun hanya bagian sayapnya saja yang bertempur dengan sengitnya melawan pasukan pengawal pusaka yang disembunyikan oleh orang-orang yang berkumpul dilembah itu, namun seluruh pasukanpun telah terhenti kerenanya. Tetapi dalam pada itu, ternyata Prastawa telah menempuh kebijaksanaan lain. Sepeninggal Ki Gede Menoreh dari induk pasukannya, maka Prastawa telah dikecewakannya. Ia ingin datang dan menunjukkan kelebihannya atas Agung Sedayu, dengan membebaskannya dari tekanan lawannya. Tetapi Ki Gede Menoreh tidak memperkenankannya. Oleh kejengkelannya itulah maka ia telah menentukan sikap yang dianggapnya paling baik. Sesuai dengan pesan para penghubung dari medan disebelah Timur, pasukan Tanah Perdikan Menoreh harus menyerang

dari Barat, karena jumlah lawan ternyata terlalu banyak. “Biarlah sayap itu bertempur. Aku harus bergerak maju untuk membantu pasukan Mataram. Terutama sayap yang lain dan induk pasukan.” katanya kepada seorang pengawalnya. Tetapi sayap yang sedang bertempur itu akan terbuka. Jika maksud kita menahan setiap kemungkinan untuk melarikan diri, maka keterbukaan sayap sebelah itu akan memungkinkan orang-orang yang terkurung itu menerobos dan hilang didalam hutan yang lebat. Prastawa termangu-mangu. Namun katanya, ”Tetapi perintah dari Mataram telah kita dengar bersama.” “Mataram tentu tidak memperhitungkan peristiwa yang telah terjadi, sehingga pasukan ini telah tertahan.” “Tidak. Tidak ada seorangpun yang akan sempat menerobos.” geram Prastawa. “Tetapi induk pasukan ini jangan maju terlebih dahulu. Mungkin sebagian dari sayap yang lain dan sebagian dari induk pasukan ini. Namun kita masih harus tetap menutup kemungkinan merembesnya lawan digelar yang panjang ini. Prastawa berpikir sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan meninggalkan sebagian dari induk pasukan dan pasukan disayap yang lain agar mereka dapat mengawasi keadaan. Yang lain harus segera memasuki medan dari arah belakang, karena dengan demikian akan mengurangi beban pada pasukan Mataram dan Sangkal Putung.” “Tetapi berhati-hatilah. Mungkin lawan akan membuat gelar yang tidak dapat dimengerti. Mereka dapat saja mengerahkan sebagian besar kekuatannya justru untuk menghancurkan pasukan kecil ini, sementara yang lain hanya sekedar menahan pasukan Mataram dan Sangkal Putung saja.” “Aku sudah memperhitungkan. Jika demikian, aku harus bergerak mundur. Dan pasukan yang tinggal ini harus bersiap-siap memberikan dukungan kepada pasukan kecilku.” Pengawal itu mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Prastawa. Dan iapun menganggap bahwa anak muda itu dapat berpikir cepat dan cermat, meskipun masih terlalu didorong oleh perasaannya. Dengan demikian maka Prastawa telah membawa sebagian dari pasukannya dan memerintahkan sebagian dari sayap yang tidak sedang mengalami gangguan itu untuk tetap maju memberian tekanan betapapun kecilnya dari arah Barat. Dengan demikian, maka perhatian pasukan yang ada dilembah itu akan terbagi, meskipun Prastawa mengetahui bahaya yang mungkin justru akan mengarah kepada pasukannya. Tetapi medan yang penuh dengan pepohonan itu agaknya memberikan keuntungan padanya jika pasukannya mengalami tekanan yang tidak tertahankan. Pasukannya akan mundur dan bersandar pada

kekuatan yang ditinggalkannya. Diengan hati-hati maka sebagian dari pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu telah maju mendekaki arena pertempuran. Mereka menemukan bagian dari barak yang kosong, karena Ki Gede Telengan telah meninggalkan barak itu dan bertempur melawan sayap pasukan Ki Gede Menoreh yang disertai dengan Agung Sedayu dan kemudian disusul oleh Ki Gede Menoreh sendiri. Ki Waskita yang ada disayap yang lain mendapat beberapa keterangan dari seorang penghubung tentang niat Prastawa untuk hadir dimedan. Agaknya Ki Waskitapun tidak berkeberatan atas rencana itu, sehingga iapun kemudian ikut serta maju bersama sebagian dari pasukan yang ada disayap itu …………………………………………………… ………………………… disekitarnya. Tetapi persoalan pusaka itu benar-benar telah mencengkam jantungnya. Tiba-tiba saja tangannya telah menyambar baju orang itu. Sambil mengguncangkannya ia bertanya, “Apakah Ki Gede Telengan tidak berhasil mempertahankannya? Apakah kau dapat menyebut, siapa vang telah mengambil pusaka itu? Ki Gede Menoreh? Atau siapa?” Orang itu menjadi semakin pucat. Nafasnya yang mulai teratur telah menyesak lagi didadanya. “Bukan, bukan orang lain yang mengambilnya.” “Jadi siapa? He, berkatalah dengan jelas.“ Ki Tumenggung Wanakerti berteriak. Tetapi suaranya bagaikan lenyap dalam riuhnya suara pertempuran. “Ki Gede Telengan sendiri.” “Ki Gede Telengan. He. apakah kau sudah gila?” “Benar Ki Tumenggung. Ki Gede Telengan telah melarikan pusaka itu. Beberapa orang telah mencoba mencegahnya. Tetapi mereka telah terbunuh. Mungkin hanya aku atau barangkali satu dua orang lain yang berhasil lolos dari maut.” “Gila. Apak kau berkata sebenarnya? Apakah kau memang sudah gila, sehingga kau tidak tahu apa yang kau lihat dan tidak sadar, apa yang kau katakan?” “Aku sadar sepenuhnya Ki Tumenggung. Aku melihat Ki Gede Telengan memerintahkan pengikutnya membawa pusaka-pusaka itu ke arah Barat.” “Gila. Benar-benar gila.”

“Meskipun di sebelah Barat ada pasukan yang diduga adalah pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang berpihak pada Mataram, namun Ki Gede Telengan tentu sudah mempunyai perhitungan tersendiri.” Wajah Ki Tumenggung menjadi merah padam. Dadanya bagaikan retak oleh kemarahan yang tidak tertahankan. Sejenak Ki Tumenggung berdiri dengan tubuh gemetar. Ia sedang dibingungkan oleh keadaan. Ia tidak akan dapat membiarkan pusaka-pusaka itu hilang begitu saja dibawa oleh Ki Gede Telengan. Tetapi ia juga tidak akan dapat begitu saja meninggalkan medan yang menjadi tanggung jawabnya. Apalagi orang-orang terpenting dari pasukannya berada disayap sebelah menyebelah. Sehingga dengan demikian, ia tidak akan dapat langsung berbincang dengan mereka. Dalam pada itu, pertempuran bagaikan membakar seluruh lembah. Sementara itu, pasukan Ki Tumenggung Wanakerti masih tetap berhasil menekan lawannya, sehingga medanpun masih tetap bergeser meski pun lambat sekali. Kemenangan-kemenangan kecil itulah yang ikut memberikan keputusan pada Ki Tumenggung Wanakerti, iapun kemudian memberikan wewenang kepada seorang Senopati prajurit Paiang yang ada didalam pasukannya untuk sementara memegang pimpinan. “Kita akan memenangkan pertempuran ini dalam waktu yang tidak terlalu lama. Aku mempunyai tugas yang lebih penting, dan yang masih belum jelas keadaannya,“ berkata Ki Tumenggung Wanakerti. Senopati itu termangu-mangu sejenak. Ia merasa agak segan untuk menerima pimpinan itu, karena didalam pasukannya terdapat orang-orang seperti Empu Pinang Aring, Kiai Kalasa Sawit, Samparsada, Jagaraga dan pengikut-pengikutnya yang memiliki cara tersendiri untuk mematuhi perintah Panglimanya. Tetapi ia sependapat dengan Ki Tumenggung Wanakerti, bahwa pertempuran itu agaknya tidak akan berlangsung terlalu lama lagi. Iapun yakin bahwa pasukan Mataram akan segera dapat didesak dan dihancurkan, meskipun ternyata ia tidak dapat menutup penglihatannya atas suatu kenyataan hadirnya seorang anak muda bertubuh gemuk bersenjata cambuk, seorang perempuan bersenjata rangkap dan seorang lagi bersenjata tongkat baja putih dengan kepala tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan. … … … … …… … … … …… … … … …… … … … …… … … … …… … … … …… Karena itulah, maka Ki Gede Telengan mengambil keputusan untuk menyelesaikan pertempuran yang berkepanjangan itu. Betapapun ia berusaha mempergunakan segenap kemampuannya dalam oleh kanuragan ternyata bahwa ia tidak berhasil mengalahkan Agung Sedayu yang dapat bergerak selincah burung sikatan dan memiliki tenaga sebesar tenaganya sendiri. “Aku harus mengajarinya tunduk kepada perintahku,“ berkata Ki Gede Telengan kepada diri sendiri.

Iapun kemudian memberikan isyarat kepada pengawalnya yang khusus membawa kedua pusaka itu untuk agak menjauh dan mengamati pusaka-pusaka itu dengan saksama. Ki Gede Telengan sendiri akan mengatur diri dan menyelesaikan pertempuran yang baginya sudah terlalu lama berlangsung itu. Agung Sedayu yang melihat sikap dan isyarat-isyarat yang diberikan oleh Ki Gede Telengan menjadi bertambah tegang. Ia dapat menangkap isyarat itu, bahwa Ki Gede Telengan akan sampai kepada ilmunya yang terakhir. Sejenak kemudian. Agung Sedayu yang berusaha menekan Ki Gede itu dengan serangan-serangan yang semakin cepat, melihat Ki Gede Telengan justru meloncat menjauhinya. Ketika Agung Sedayu berusaha memburunya, ternyata tiga buah pisau belati telah menyambarnya. Agung Sedayu terpaksa berloncatan menghindari serangan itu. Namun agaknya saat-saat itulah Ki Gede Telengan telah menentukan serangannya yang terakhir. Serangan yang tidak mempergunakan kekuatan wadagnya.

Buku 108 SESAAT Ki Gede Telengan memusatkan segenap kemampuan ilmu dan kekuatannya pada sorot matanya. Dengan tangan yang tersilang, ia berdiri tegak. Dipandanginya Agung Sedayu yang sedang berusaha memperbaiki keadaannya setelah pisau-pisau yang menyambarnya lewat. Namun tiba tiba terasa seakan-akan urat-urat darahnya bagaikan tersumbat didadanya. Seakan-akan batu sebesar bukit telah menindihnya. Bukan saja darahnya yang berhenti mengalir, tetapi nafanyapun bagaikan terputus. Sejenak Agung Sedayu mencoba rnembebaskandirinya dengan loncatan-loncatan. Setiap kali ia berhasil melepaskan diri dari garis pandangan mata Ki Gede Telengan, terasa dadanya menjadi longgar. Namun jika sentuhan tatapan matanya itu mengenai dirinya, terasa himpitan itu telah menekannya kembali. Pada saat-saat tertentu Agung Sedayu mencoba untuk meloncat dan berguling ditanah. Dan terasa olehnya himpitan itu tidak berpengaruh langsung pada dadanya, tetapi pada bagian-bagian tubuhnya yang dapat dikenai oleh pandangan mata Ki Gede Telengan. Akhirnya Agung Sedayu yakin, banwa Ki Gede Telengan benar-benar telah mempergunakan sorot matanya, dengan kekuatan llmunya, yang dapat mengenainya seperti serangan wadagnya. Dalam pada itu, pertempuran disayap gelar pasukan Tanah Perdikan Menoreh itu berlangsung dengan sengitnya. Ki Gede Menoreh dengan pengawalnya telah mendekati arena. Dari kejauhan ia melihat betapa bahayanya benturan yang terjadi pada kedua belah pihak. Seorang demi seorang, pengawal Ki Gede Telengan mempunyai kelebihan, karena mereka memang merupakan pengawal-pengawal terpilih. Tetapi dalam benturan kekuatan itu. ternyata pengawal Tanah Perdikan Menoreh berjumlah lebih banyak, sehingga anak-anak muda yang memang belum berpengalaman sama sekali masih sempat bertempur sambil memperhitungkan setiap kemungkinan, karena mereka tidak bertempur seorang melawan seorang. Ketika Ki Gede Menoreh berada semakin dekat dengan arena, maka ia melihat betapa Agung Sedayu berusaha menghindarkan diri dari serangan lawan yang dahsyat itu. Ki Gede Menoreh adalah orang yang memiliki pengalaman yang matang. Karena itulah, maka iapun langsung dapat mengetahui, apakah yang sedang terjadi dengan Agung Sedayu. Dengan cemas ia mendekat dan meyakinkan, bahwa lawan Agung Sedayu memiliki ilmu yang luar biasa. Ia mampu menyerang lawannya dengan sorot matanya yang mempunyai kekuatan wadag. Ki Gede Menoreh yang memegang sebatang tombak pendek itupun mendekat. Ia telah membuat

perhitungan tertentu untuk membantu Agung Sedayu. Ia harus menyerang orang yang luar biasa itu dari arah yang berbeda dengan Agung Sedayu, sehingga ia akan mampu mempengaruhi lontaran ilmu yang mengerikan itu. “Lindungi aku dari Pengawal-pengawal orang itu,” berkata Ki Gede Menoreh kepada pengawalnya, ”aku akan membatu Agung Sedayu yang berada dalam kesulitan.“ Pengawal Ki Gede Menoreh itupun segera mempersiapkan diri. Mereka harus dapat memberi kesempatan Ki Gede Menoreh mencapai lawan Agung Sedayu yang memiliki kemampuan yang luar biasa itu. Dalam pada itu, Agung Sedayu benar-benar merasakan tubuhnya bagaikan menjadi semakin terhimpit oleh kekuatan lawannya. Itulah sebabnya, maka ia tidak mempunyai pilihan lain daripada mempergunakan segenap ilmu dan kemampuan yang ada padanya karena ia tidak akan dapat minta bantuan kepada siapapun juga untuk melawan ilmu Ki Gede Telengan itu. Dengan sadar ia dapat menilai, bahwa jika para pengawal Tanah Perdikun Menoreh yang masih muda-muda itu mendapat serangan serupa, maka mereka tentu akan pingsan pada sentuhan yang pertama. Nafas dan darah mereka akan berhenti mengalir untuk beberapa saat lamanya, meskipun serangan itu telah dilepaskan. Apalagi pada saat itu, Agung Sedayu tidak melihat kehadiran Ki Gede Menoreh di medan. Sementara itu, dibelakang medan disebelah Timur, Ki Tumenggung Wanakerti berlari-lari kecil menuju kebarak, Ki Tumenggung sengaja memilih jalan melingkar yang mungkin akan dapat menjebak Ki Gede Telengan. Hatinya benar-benar terguncang ketika ia melihat barak telah kosong. Barak penyimpanan pusakapun telah kosong pula. “Gila Telengan memang telah gila,”geramnya. Pengawal-pangawalnyapun telah dibakar oleh kemarahan pula ketika mereka melihat beberapa kawan mereka telah menjadi mayat. Dibeberapa tempat mereka melihat mayat yang terluka oleh senjata. Bahkan ada yang terluka dipunggungnya. “Sebagian dari mereka telah terlusuk dipunggungnya,“ geram salah seorang pengawal, ”ia tentu mati sebelum sempat melawan. Orang-orang Ki Gede Telengan itu tentu menusuk dari belakang.” Ki Tumenggung Wanakerti benar-benar telah dibakar oleh kemarahan yang rasa-rasanya telah meledakkan jantungnya. Dengan suara lantang iapun kemudian meneriakkan perintah, “Kita akan mencarinya sampai ketemu, meskipun kita harus meninggalkan medan di lembah ini.” Para pengawalnya menjadi berdebar-debar. Mungkin yang akan mereka lakukan adalah sebuah perjalanan menyelusuri jejak Ki Gede Telengan. Apalagi sementara dari mereka mengetahui bahwa

Ki Gede Telengan adalah orang yang memiliki ilmu yang sangat dahsyat. Namua merekapun menyadari, bahwa Ki Tumeuggung Wanakerti adalah orang yang pilih tanding pula. Ki Tumenggung Wanakerti memiliki ilmu yang seakan-akan tidak masuk akal. Kekuatan dan daya tahan tubuhnya bagaikan sekedar ceritera dalam dongeng-dongeng masa lampau. Dengan teliti Ki Tumenggung Wanskerti memeriksa jejak-jejak yang mungkin ditinggalkan oleh Ki Gede Telengan. Rerumputan yang berjatuhan, ranting-ranting yang tersibak dan dedaunan yang terinjak kaki. “Ia pergi ke Barat,” desis Ki Tumenggung Wanskerti. “Apakah ia tidak mengetahui bahwa di mulut lembah bagian Barat terdapat sepasukan Tanah Perdikan Menoreh.” Namun dalam pada itu, iapun telah melihat jejak yang lain. Jejak menuju kearah Timur. Ternyata bahwa Ki Tumenggung yang berjalan melingkar itu tidak berpapasan dengan pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang tidak lengkap itu. Beberapa saat lamanya, Ki Tumenggung Wanskerti meyakinkan pengamatannya tentang jejak disekitar barak itu. Namun beberapa orang pengawalnya yang meragukannya berkata, ”Yang kearah Timur adalah jejak kita sendiri saat kita berangkat meninggalkan barak ini.“ “Mungkin. Tetapi pula tidak. Bahkan aku condong untuk menganggap bahwa itu bukan jejak kita, karena kita saat berangkat kemedan berkumpul di depan barak itu, sekelompok demi sekelompok. Kami berangkat dalam urutan pasukan dan tidak menebar seperti jejak ini.” Pengawal-pengawalnya mengangguk-angguk. Katanya, “Jika Kita tidak melingkar dan datang kebarak ini lewat sisi, kita akan dapat melihat, apakah jejak itu jejak kita sendiri atau bukan. Karena jika jejak itu bukan jejak kita sendiri, kita tentu akan berpapasan dengan mereka.“ Ki Tumenggung Wanskerti menjadi termangu-mangu sejenak, ia menjadi agak bingung, kemana ia harus menyusul Ki Gede Telengan. Ki Tumenggung yang datang ke barak itu dengan menempuh jalan melingkar, sehingga ia datang ke barak itu dari lereng gunung, memperhitungkan bahwa mungkin ia masih dapat berpapasan dengan Ki Gede Telengan yang menurut dugaannya akan melarikan pusaka itu naik kelereng Gunung Merapi, karena Ki Gede Telenganpun sadar, bahwa dimulut lembah terdapat pasukan yang menunggunya.

Tetapi dilereng Gunung yang agak tinggi ia tidak menemukan jejak apapun juga. Sementara jejak di sekitar barak itu benar-benar telah membingungkannya. Ki Tumenggung Wanakerti tidak sadar sama sekali bahwa sepasukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh telah melintasi barak itu dan menuju kemedan. Dalam pada itu, Prastawa memang tidak menebarkan pasukannya yang hanya sebagian. Sayap yang kosong karena terbentur Ki Gede Telengan sama sekali tidak diisinya, karena dengan demikian menurut perhitungaannya, pasukannya justru akan menjadi sangat lemah karena terbagi dalam garis tebar yang panjang. Dan itulah sebabnya, maka Ki Tumenggung Wanakerti yang justru berada diarah sayapnya yang kosong tidak dijumpainya. Prastawa sadar, bahwa pasukannya terutama hanyalah sekedar memancing perhatian dan mengurangi tekanan pada pasukan Mataram dan Sangkal Putung. Itulah sebabnya maka ia memberatkan kekuatannya pada paruh pasukan dan melepaskan sayap yang tertinggal. Dalam keragu-raguan, akhirnya Ki Tumenggung Wanakerti berkata. “Aku pasti, bahwa Ki Gede Telengan telah menempuh jalan ke Barat. Mungkin ia akan berbelok dan naik kelereng Gunung Merapi melingkari pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang berjaga-jaga dimulut lembah.” “Ya. Aku kira mereka memang tidak akan pergi ke Timur,” desis seorang pengawalnya. “Mudah-mudahan mereka tidak jatuh ke tangan orangorang Tanah Perdikan Menoreh. Jika demikian maka pusaka-pusaka itupun akan jatuh ketangan Ki Gede Menoreh yang pasti akan menyerahkannya kepada orang-orang Mataram lagi.” Geram Ki Tumenggung Wanakerti. Dengan demikian, maka Ki Tumenggung Wanakerti pun memutuskan untuk menyusul Ki Gede Telengan kearah Barat. Ia telah meninggalkan seorang pengawalnya untuk kembali ke medan. “Jika orang-orang Mataram telah binasa, maka katakanlah kepada para pemimpin kelompok bahwa aku mencari Ki Gede Telengan. Biarlah mereka menghancurkan sama sekali orangorang dari Tanah Perdikan Menoreh dan kemudian menunggu kedatanganku. Jika aku tidak berhasil menemukan orang gila itu atau jejaknya, maka kita akan bersama-sama memencar dan mencarinya.” “Tetapi matahari telah condong. Mungkin pertempuran hari ini masih belum dapat diselesaikan,” jawab penghubung itu. “O, kita bukan orang-orang cengeng yang meniup sangkakala ketika matahari terbenam dan meninggalkan medan, menunda pertempuran setelah fajar menyingsing. Aku yakin, bahwa para pemimpin dipasukan kita akan mampu bertempur sampai tiga hari tiga malam.“ Penghubung itu ragu-ragu sejenak.

“Tentu Senopati itu menyadari, jika pertempuran agaknya masih akan berlangsung panjang, ia akan memerintahkan beberapa orang pengawal untuk menyediakan makan dan minum.” Penghubung itu menarik nafas dalam-dalam. Ia pernah mengalami pertempuran menjelang jatuhnya Jipang, bertempur sambil mengunyah makanan dan minum bergiliran, karena masing-masing tidak ingin menghentikan pertempuran setelah lewat sehari penuh. Beberapa orang yang bertugas menyiapkan makanan menyusul kemedan dan membagikan makanan khusus kepada para prajurit yang sedang bertempur. Makanan yang dapat digenggam dan langsung masuk kedalam mulut. “Pengawal yang bertugas sebagai penghubung itu pun kemudian kembali kepasukannya dimedan ketika Ki Tumenggang Wanakerti membawa pasukannya mengikuti jejak Ki Gede Telengan. Sekali-sekali Tumenggung Wanakerti mengalami kesulitan, namun kemudian diketemukannya kembali rerumputan yang terinjak kaki, ranting-ranting yang patah dan pohon-pohon perdu yang tersibak. Dengan kemarahan yang menghentak-hentak didadanya, Ki Tumenggung Wanakerti berusaha secepatcepatnya menyusul Ki Gede Telengan yang telah berkhianat dengan melarikan pusaka-pusaka yang tengah mereka pertahankan itu. Sementara itu, pasukan yang dibawa oleh Prastawa dengan sebelah sayap itupun telah mendekati medan. Mereka mulai mempersiapkun diri untuk menghadapi pertempuran yang mungkin akan berlangsung dengan dahsyatnya. Tetapi Prastawa yakin bahwa pasukan Mataram dan Sangkal Putung tentu akan segera menguasai medan sehingga beban yang di pikulkan kepada pasukan Tanah Perdikan Menoreh tidak akan terlalu berat. Tetapi terbersit pula keinginan Prastawa untuk menunjakkan, bahwa Iapun mampu melakukan tugas yang penting dan secara pribadi memiliki kemampuan yang dapat dibanggakan sebagai seorang anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi jumlah pasukan Tanah Perdikan Menoreh memang tidak terlalu banyak. Sebelah sayapnya tertinggal bersama Agung Sedayu. Sementara sebagian dari induk pasukannya dan sayap yang lainpun tidak lengkap bersamanya maju ke depan. Namun dengan penuh keyakinan Prastawa mendekati medan. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah menggenggam senjata mereka erat. Mereka sudah mulai mendengar sorak yang riuh dipeperangan. Orang-orang Mataram dan Sangkal Putung yang tidak ingin terpengaruh oleh teriakanterikan orang yang berada dilembah itu, telah berteriak pula. Selain dengan demikian mereka telah menyumbat telinga mereka sendiri, merekapan juga dapat memberikan gairah perjuangan bagi kawankawan mereka. Karenapertempuran itu menjadi riuh, maka setiap isyarat dan perintah hanya dapat diberikan lewat isyarat bunyi yang dapat melampaui sorak sorai yang gegap itu. Sejenak kemudian, pasukan Tanah Perdikan Menoreh itu telah benar-benar berada di belakang medan.

Seorang pengawas tiba-tiba saja telah melihatnya, sehingga dengan demikian maka dengan tergesagesa merekapun berlari-lari memberikan laporan kepada Senopati yang memegang pimpinan atas limpahan kekuasaan dari Ki Tumenggung Wanakerti. “Pasukan yang lain telah datang dari arah belakang,” suaranya mengatasi teriakan-teriakan dimedan itu. Senapati yang sedang bertempur dengan gigihnya itu mendengar laporan yang kurang jelas. Karena itulah, maka iapun telah meninggalkan lawannya dan mempercayakannya kepada Senopati-Senopati pembantunya. Dari pengawas itu ia mendengar laporan tentang pasukan yang datang dari arah belakang. “Apakah mereka pasukan dari Tanah Perdikan Manoreh?” “Aku kurang tahu.” “Jika demikian mereka telah melalui barak yang dijaga oleh Ki Gede Telengan.” “Ya. Telah terjadi pengkhianatan Ki Gede tidak setia.” Senapati itu termangu-mnangu sejenak. Namun ia harus segera mengambil kepatusan. Karena itulah maka iapun kemudian memerintahkan beberapa orang untuk mangatasi kesulitan yang datang dari arah belakang. Beberapa orang pimpinan kelompok dengan orang-orangnya. Namun iapun telah melepas beberapa orang penghubung untuk memberikan isyarat kepada saysp pasukannya agar mereka menghadapi lawan yang datang dari belakang. Kehadiran pasukan Tanah Perdikan Menoreh itu benar-benar telah mengejutkan para pemimpin pasukan di lembah itu. Beberapa tanggapan telah timbul diantara mereka. Ada yang menyangka bahwa Ki Gede Telengan telah dibinasakan oleh Ki Gade Menoreh yang mereka kenal sebagai seorang yang memiliki ilmu yang hampir sempurna. Tetapi ada pula yang menduga bahwa pasukan yang datang itu telah merayap dilereng-lereng yang terjal dan turun di belakang barak yang dijaga oleh Ki Gede Telengan. Namun bagaimanapun juga yang terjadi, mereka telah dihadapkan pada suatu kenyataan, bahwa pasukan Tanah Perdikan Menoreh itu telah mancapai medan dari arah yang lain. Sejenak kemudian, pertempuran yang terjadi dilembah itu telah mempunyai bentuk yang lain. Gelar dari pasukan Mataram dan Sangkal Patung masih tetap dalam bentuknya, gelar Garuda Nglayang yang mempergunakan beberapa unsur dari gelar Gajah Meta karena bentuk medan. Sayap yang sekaligus merupakan taring yang dipersiapkan antuk manusuk langsung kedalam tubuh lawan, semula terbentar pada pertahanan lawan yang kant, sehingga ujudnya adalah sebagai sayap yang menahan laju lawan, meskipun harus bergerak mundur didorong oleh keadaan yang memaksa.

Kehadiran pasukan Tanah Perdikan Menoreh agaknya akan memberi kesempatan kepada gelar Garuda Nglayang itu untuk berubsh menjadi Gelar Dirada Meta. Gelar seekor Gajah yang mengamuk di liarnya rimba belantara. Prastawa yang menyadari keadaan pasukannya yang kecil, telah merubah gelarnya. Ia tidak mau hadir dimedan dengan sayap patah sebelah. Karena itu, maka pasukannya telah dibenturkan dalam arena yang tidak terbatas. Dengan demikian, ia akan dapat lebih banyak menarik perhatian dan dapat membuat lawannya menjadi bingung. Tetapi menyadari keadaan orang-orangnya, Prastawa masih tetap berpesan, “Jangan lepaskan anakanak muda yang belum berpengalaman bertempur terpisah sama sekali meskipun kita akan mempergunakan gelar Glatik Neba. Kita akan menyerang. Tetapi jika pasukan Mataram dan Sangkal Putung mendesak, kita akan dapat segera menarik diri dan bertempur sesuai dengan keadaan. Beberapa orang pemimpin kelompok agak ragu-ragu menangggapi sikap Prastawa. Dalam gelar Glatik Neba, maka kemampuan seorang demi seorang akan sangat menentukan. “Prastawa sendiri yakin akan kemampuan diri. Tetapi bagaimana dengan anak-anak muda kita,” desis seorang pemimpin kelompok. “Kita akan mengalami kesulitan, tetapi mungkin baik bagi medan dalam keseluruhan. Mudah-mudahan pasukan Mataram dan Sangkal Putung dapat mengimbangi,” jawab yang lain. Kawannya tidak menyahut. Mungkin memang ada kesengajaan untuk melihat kemampuan seorang demi seorang. Tetapi mungkin pula memberi kesempatan kepada beberapa orang, termasuk dirinya sendiri, untuk menunjukkan kelebihannya. Sejenak kemudian, pasukan Tanah Perdikan Menoreh benar-benar telah menyerang lawan dalam gelar Glatik Neba, sehingga sayap yang kosong itupun telah terisi oleh bertebarnya pasukannya, meskipun tidak memadai seperti sayap yang lain. Gelar Glatik Neba memang dapat membingungkan lawannya pada saat pasukannya membentur kekuatan di ekor gelar lawan. Namun karena mereka telah menyadari bahaya yang mengancam, maka lawannya telah bersiap menghadapinya. Sesaat kemudian, maka pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang seperti ditebarkan itu telah berada disepanjang medan. Orang-orang yang cukup berpengalaman tidak melepaskan anak-anak muda lepas dan pungawasan mereka, meskipun mereka sendiri harus bertempur mempertahankan hidup. Tetapi ternyata lawan mereka, orang-rang yang berada dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itupun memiliki pengalaman pribadi yang cukup. Mereka adalah suatu gabungan dari bekas prajurit Pajang dan pengikut-pengikut dari orang-orang yang memiliki pengalaman bertualang. Karena itulah, maka orang-orang dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itupun segera menyesuaikan diri

dengan gelar lawannya. Mereka menghadang lawan-lawan mereka seorang demi seorang dalam tebaran gelar Glatik Neba. Jika orang orang dilembah itu tidak harus menghadapi lawan dari arah yang berlawanan, maka pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang dipimpin oleh seorang yang masih terlalu muda itu tentu akan segera terlibat dalam kesulitan. Namun karena orang-orang dilembah itu telah terikat lebih dahulu melawan pasukan dari Mataram dan Sangkal Putung. maka perlawanan mereka terhadap pasukan Tanah Perdikan Menoreh itupun sangat terbatas. Prastawa yang berada di pusat Gelar Glatik Nebanya langsung berada dipusat pertempuran. Dengan berani ia menyerang orang yang dianggapnya pemimpin dari pusat gelar lawan. Namun ternyata bahwa ia tidak mendapatkan lawan yang dikehendakinya, meskipun ternyata seorang bekas Senapati muda langsung dapat mengimbangi kemampuannya. Yang dihadapi Prastawa adalah seorang Senapati, tetapi bukan yang mempunyai tanggung jawab atas gelar lawan. Sebenarnyalah bahwa saat itu pusat gelar lawan itupun telah mengalami kesulitan. Dibagian lain dari medan, pasukan Matram dan Sangkal Putung telah berusaha untuk mengimbangi desakan lawan yang berat. Raden Sutawijaya dengan tombak pendeknya mengamuk bagaikan seekor banteng yang terluka. Apalagi ketika anak muda itu sadar, bahwa Ki Tumenggung Wanakerti sudah tidak barada di medan. Sementara itu, dipusat gelar itu pula, terdapat Ki Juru Martani yang meskipun lebih banyak sekedar mengamati medan dan memberikan arah kepemimpman Raden Sutawijaya. Namun tidak seorang prajurit dipihak lawanpun yang dapat mengganggunya. Ternyata orang tua itu memiliki kemampuan yang luar biasa. Tetapi agaknya ia tidak ingin langsung berada di medan, membunuh lawan sebanyak-banyaknya sambil menepuk dada. Yang dilakukan oleh Ki Juru Martanai seakan-akan hanyalah sekedar mengikuti Raden Sutawijaya yang bergelar Senapti Ing Ngalaga meskipun sekalisekali harus melindunginya dari serangan-serangan yang curang. Di induk pasukan Mataram dan Sangkal Putung itu terdapat pula seorang anakmuda yang gemuk dengan senjata cambuk yang mengerikan. Swandaru bagaikan harimau lapar menerkam lawannya dengan ujung cambuknya. Setiap kali lawannya berloncatan menjauh jika cambuk Swandaru berputaran seperti baling-baling. Di sebelah lain, dua orang perempuan cantik telah bertempur pula dengan dahsyatnya. Benar-benar suatu keadaan yang saling bertentangan. Wajah-wajah yang cantik itu nampak gelap oleh ketegangan. Yang seorang menggenggam sepasang pedang di kedua tangannya, sedang yang lain bersenjata sebatang tongkat baja putih. Tidak kalah dahsyatnya, pertempuran di sayap gelar kedua pasukan yang bertempur itu. Tekanan pasukan yang berada di lembah itu terasa tidak tertahankan. Mereka mendesak meskipun setapak demi

setapak. Ternyata kehadiran pasukan Tanah Perdikan Menoreh langsung berpengaruh atas medan itu dalam keseluruhan. Pasukan yang ada dilembah itu tiba-tiba saja tidak lagi menekan terlalu berat. Sebagian dari mereka harus mempertahankan serangan pasukan Tanah Perdikan Menoreh dalam gelar Glatik Neba, sehingga jumlah mereka yang menghadapi pasukan Mataram dan Sangkal Putungpun segera berkurang jumlahnya. Jumlah mereka yang lebih banyak itulah sebenarnya yang membuat pasukan dilembah itu berhasil menekan lawannya yang datang dari arah Timur. Karena itu, ketika jumlah itu berkurang, maka tekanan mereka pun menjadi jauh berkurang pula. Empu Pinang Aring ternyata harus berjuang mati-matian menghadapi orang bercambuk yang bernama Kiai Gringsing itu. Namun ledakan-ledakan cambuk Kiai Gringsing benar-benar merupakan isyarat yang menggetarkan jantung orang yang merasa dirinya memiliki ilmu yang sempurna itu. “Cambuknya memang mengerikan,“ desis Empu Pinang Aring didalam hatinya. Ia tidak dapat mengabaikan kenyataan, bahwa getaran ledakan cambuk yang tidak begitu mengejutkan di telinga wadag itu, namun benar-benar telah mengguncang isi dada. Penglihatan dan pendengaran yang bukan sekedar wadag dari Empu Pinang Aring itu dapat mengukur, betapa dahsyatnya sentuhan cambuk Kiai Gringsing itu apabila menyentuhnya. Sementara itu. Ki Waskita yang berada didalam gelar Glatik Neba itupun seakan-akan telah terlepas dari seluruh gelar pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Ia ikut berbaur kedalam medan pertempuran. Itulah sebabnya, maka ia langsung bertempur melawan siapa saja yang datang menyerangnya. Sejenak Ki Waskita termangu-mangu. Iapun mengerti bahwa Agung Sedayu dan Ki Gede Menoreh tertinggal agak jauh dibelakang medan, karena mereka harus bertempur menghadapi sekelompok orang-orang yang akan menyingkir dari lembah. Namun seperti laporan yang diterimanya, orangorang yang akan menyingkir dari lembah itu jumlahnya tidak terlalu banyak, sehingga tidak melampaui jumlah pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang ada disayap itu. Dalam pada itu, sebenarnyalah Agung Sedayu sedang dikejar oleh serangan Ki Gede Telengan yang dahsyat. Tekanan yang seakan-akan langsung dapat menghentikan arus darah dan pernafasaanya. Itulah sebabaya maka Agung Sedayu merasa bahwa tidak ada jalan lain kecuali melawan seranganserangan yang dilontarkan oleh tatapan mata Ki Gede Telengan itu. Tetapi Agung Sedayu harus mendapat kesempatan, meskipun hanya sekejap untuk bersikap dan melawan serangan Ki Gede Telengan itu dengan kekuatan serupa agar ia tidak sekedar menjadi

sasaran yang harus meloncat-loncat, menggeliat dan berguling-guling menghindari serangan Ki Gede Telengan yang mengerikan itu. Karena itulah, Agung Sedayupun kemudian mencari kemungkinan untuk mendapatkan waktu sesaat sehingga dapat bersikap untuk melawan Ki Gede Telengan. Dalam keadaan yang terdesak, maka Agung Sedayupun kemudian tidak dapat menemukan cara lain kecuali cara yang dipergunakan pula oleh Ki Gade Telengan. Itulah sebabnya, maka Agang Sedayupun kemudian memungut dua butir batu sebesar telur ayam. Ketika Agung Sedayu harus menghindarkan diri sambil meloncat berdiri, maka dipergunkannya waktu yang sekejap itu baik-baik. Meskipun dadanya terasa bagaikan tertindih bukit disaat ia berdiri, namun iapun kemudian berhasil melontarkan batu itu kearah Ki Gede Telengan. Agung Sedaya adalah seorang anak mada yang memiliki kemampuan bidik yang luar biasa. Karena itu, meskipun waktunya hanya sekejap, namun kedua butir batu itu benar-benar telah mengarah kawajah Ki Gede Telangan. Sejenak Ki Gede Telengan tersentak. Kedua batu itu masih dilihatnya meskipun ia sedang memusatkan kemampuannya pada tatapan matanya. Itulah sebabnya. maka untuk sekejap ia melepaskan Agung Sedayu. Disambarnya kedua butir batu itu dengan kekuatan matanya. Kekuatan yang tidak dapat dijamah dengan wadag, tetapi mempunyai kemampuan wadag. Yang terdengar adalah benturan yang mengejutkan. Walaupun hanya sebuah ledakan kecil. Ternyata kedua butir batu itu tidak tahan disambar oleh kekuatan ilmu Ki Gede Telengan, sehingga seolah-olah keduanya telah meledak. Betapa besarnya kekuatan Ki Gede Telengan. Jika saja lawannya bukan Agung Sedayu, maka kekuatan matanya tentu sudah berhasil meremukkan dadanya. Namun dalam pada saat itu, sesaat ketika ilmu Ki Gede Telengan memecahkan kedua butir batu yang menyambar wajahnya, Agung Sedayu mendapat kesempatanh sesaat. Apalagi agaknya Ki Gede Telengan tidak terlalu tergesa gesa, karena ia tidak mengira bahwa Agung Sedayu hanya mamerlukan waktu yang pendek untuk merubah keseimbangan pertempuran itu. Dalam waktu yang sekejab itu, maka Agung Sedayupun kemudian berdiri tegak dengan tangan bersilang didadanya. Wajahnya menjadi tegang dan nafasnya bagaikan tertahan sejenak. Dipusatkannya segenap kekuatannya lahir dan batin dalam lantaran ilmu yang ditemukannya didalam goa, saat-saat ia mengasingkan dirinya. Agung Sedayu merasakan rabaan ilmu Ki Gede Telengan menekan dadanya sesasat setelah ia

memusatkan ilmunya. Tetapi ia tidak menghiraukannya. Dengan sesuap daya dan kemampuannya, ia mengatasi tekanan yang manghimpit dadanya itu, untuk membangunkan kekuntan ilmunya yang tidak kalah dahsyatnya. Sejenak kemudian, maka terasa, tekanan kekuatan lawannya telah berkurang. Agung Sedayu merasa bahwa sentuhan yang bersifat wadag dari sorot matanya telah membentur kekuatan Ki Gede Telengan yang terlontar dari sorot matanya pula. Kedua orang itupun kemudian saling berpandangan dengan tegang dalam lontaran kekuatan ilmu masing-masing. Ilmu yang mempunyai ujud yang mirip, tetapi dilandasi oleh pegangan dan pandangan hidup yang justru berlawanan. Untuk beberapa saat keduanya bertempur dengan cara yang tersendiri, sementara disekitarnya pertempuran yang sebenarnya masih berlangsung. Namun baik pengikut-pengikut Ki Gede Telengan, maupun pengawal-pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh tidak mengganggu kedua orang yang sedang mengerahkan kemampuan masing-masing. bahkan mereka telah berusaha melindungi mereka yang sedang memusatkan segenap ilmunya itu dari gangguan yang datang dari manapun juga. Meskipun Agung Sedayu masih muda, tetapi ternyata bahwa ilmunya cukup kuat untuk melawan kekuatan ilmu Ki Gede Telengan. Selain karena Agung Sedayu rajin melatih diri dengun tekun dan selalu mengikuti petunjuk-petunjuk gurunya. Agung Sedayu juga dilandasi oleh keyakinannya bahwa ia berdiri dipihak yang benar untuk menyelamatkan bukan saja sekedar kedua pusaka yang hilang itu, tetapi lebih daripada itu, adalah akibat dari setiap pemilikan kedua pusaka itu. Karena itulah, maka Agung Sedayupun selain memiliki kelengkapan ilmu yang utuh, juga berlandaskan kepada tekad pasrah diri kepada kekuasaan Yang Maha Sempurna, yang akan memilih, siapakah diantara keduanya yang dapat mengatasi lawannya. “Aku berniat baik,” berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri. Dengan demikian, maka pemusatan ilmu Agung Sedayu ternyata menjadi lebih mapan dan lebih mantap. Sejenak keduanya masih gigih dalam perjuangan yang aneh. Keduanya sama sekali tidak bersentuhan, karena keduanya berdiri pada jarak beberapa langkah. Namun keduanya telah bertempur mati matian mempertahankan nyawanya masing masing. Ki Gede Menorehpun melihat pertempuran yang dahsyat itu. Justru karena itu, maha iapun tidak mengganggunya. Ia sadar, bahwa jika salah satu pihak, pemusatan ilmunya terganggu, maka Ia akan mengalami kesulitan untuk mempertahankan dirinya.

Karena itu, maka Ki Gede Menoreh hanya menyaksikan pertempuran itu dari jarak tertentu. Ia tidak mau mendakati lagi, apalagi dalam jangkauan pandangan mala Agung Sedayu. Seandainya Agung Sedayu sempat melihat bayangannya, maka ilmunya tentu akan terdorong oleh kekuntan ilmu Ki GedeTelengan. Dalam pada itu, pertempuran masih terjadi dengan sengitnya. Meskipun secara pribadi, para pengikut Ki Gede Telengan memiliki kemampuan yang lebih baik, tetapi pasukan Tanah Perdikan Munoreh jumlahnya lebih banyak, sehingga karena itu, maka kedua belah pihak telah berhasil melindungi kedua orang yang sedang mempertemukan dalam benturan kekuatan dipihak masing-masing. Sejenak kemudian, ternyata keduanya telah menjadi gemetar. Peluh mengalir dari setiap lubang kulit masingmasing. Bahkan keduanya telah menjadi semakin tegang dan pucat, karena keduanya telah terhisap kedalam pengerahan tenaga yang barlebih-lebihan. Sebenarnyalah bahwa keduanya telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada diri masingmasing. Agung Sedayu yang masih muda itu belum mempunyai cukup pengalaman dalam ilmunya, ilmu yang masih terhitung baru baginya. Namun yang sudah ditekuninya. Dalam latihan-latihan ia tidak saja mempergunakan ilmunya sejauh-jauh dapat dilontarkannya. Tetapi ia selalu berusaha mengenalinya dan mendalami sifat serta wataknya. Karena itulah, meskipun ia belum pernah mempergunakan dalam benturan ilmu seperti yang sedang terjadi itu, namun Agung Sedayu yang telah mengenal sifat dan watak ilmunya itu sebaik-baiknya, dapat menyesuaikan diri dengan benturan yang berlangsung. Ternyata bahwa keduanya benar-benar memiliki kekuatan yang sukar dicari bandingannya. Ki Gede Telengan yang telah jauh lebih tua dari Agung Sedayu itupun menjadi heran, bahwa lawannya yang muda itu ternyata mampu mengimbangi ilmunya yang dibangga-banggakan. “Tidak ada sepuluh orang ditelatah Pajang yang memiliki ilmu seperti anak muda ini,” berkata Ki Gede Telengan didalam hati. Sebenarnyalah bahwa semakin lama Ki Gede Telengan menjadi semakin sulit. Agung Sedayu yang semakin matang itu sempat mempergunakan saat-saat yang gawat itu untuk lebih mengenali diri dari ilmunya, serta hubungan antara diri dan ilmunya itu. Bahkan ia masih sempat mencoba untuk membuat perbandingan-perbandingan, dengan mencari dasar kekuatan yang terkecil dan kemudian mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Tetapi ketika tubuhnya menjadi gemetar dan wajahnya menjadi semakin putih. Agung Sedayu tidak berani lagi mencoba mempelajari perkembangan yang ada didalam dirinya. Yang dilakukan adalah melepaskan puncak kemampuan yang dikenalnya tanpa melepaskan dasar berpijak. Pasrah kepada Yang Maha Agung dengan sepenuh hati disertai permohonan yang tulus, bahwa yang dilakukan semata-mata didorong oleh hasrat untuk melenyapkan kebatilan ketamakan dan kedengkian, yang merupakan sumber lahirnya

bermacam-macam kejahatan. Dalam pada itu, Ki Gede Telengan menjadi semakin gelisah. Ia sadar bahwa lawannya tidak dapat diabaikannya, meskipun masih terlalu muda. Apalagi ketika terasa bahwa desakan ilmunya yang membentur ilmu anak muda itu mulai terasa menyesakkan dadanya. Ternyata bahwa kegelisahannya itu telah mempengaruhi pemusatan ilmunya, sehingga dengan demikian maka semakin lama kekuatannya justru menjadi semakin susut. Sementara itu, tenaganya yang tua itu memang telah diperasnya habis untuk melawan tekanan yang semakin berat dari ilmu anak muda yang disangkanya anak muda Tanah Perdikan Menoreh. “Gila,“ Ki Gede Telengan mengumpat didalam hati, “di Tanah Perdikan Menoreh ada juga orang gila seperti anak muda itu.” Kegelisahannya memuncak ketika tiba-tiba saja ia teringat, bahwa seorang yang memiliki nama menggetarkan telah terbunuh pula oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. “Panembahan Agung dan Panembahan Alit mati pula disekitar daerah tanah Perdikan Menoreh,“ gumamnya kemudian didalam hati. Dengan demikian, maka kadang-kadang Ki Gede Telengan merasa bahwa saat-saat yang paling gawat telah mencengkeramnya. Anak muda itu seakan-akan telah berubah menjadi semakin lama semakin besar dan kuat. Tekanan pada jantungnya tidak lagi dapat dielakkannya. Agung Sedayu didalam penglihatan Ki Gede Telengan itu telah berubah menjadi raksasa sebesar gunung Merbabu itu sendiri. Matanya merah menyala, melontarkan kekuatan yang tidak terlawan, langsung menyusup kedalam dirinnya lewat sorotan matanya sendiri. Kegelisahan, kecemasan dan kenangan atas masa-masa yang telah lewat atas kematian Panembahan Agung dan Panembahan Alit justru membuatnya menjadi semakin lemah. Ketahanannya telah terdesak bukan saja oleh kekuatan ilmu Agung Sedayu, tetapi juga oleh kegelisahannya sendiri. Apalagi ketika teringat oleh Ki Gede Telengan bahwa orangorang dilembah yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Wanakerti akan dapat menyusulnya pula. Meskipun Ki Tumenggung Wanakerti mungkin tidak memiliki ilmu seperti yang sedang dibenturkan melawan ilmu anak muda itu, namun Ki Tumenggung Wanakerti memiliki ilmu Lembu Sekilan yang mungkin dapat melindungi dirinya dari sentuhan ilmunya. Karena itulah, makaKi Gede Telengan menjadi semakin terdesak. Ia masih tetap tegak ditempatnya. Tetapi wajahnya telah menjadi seputih kapas. Keringatnya bagaikan diperas dari tubuhnya.

Semakin lama tubuh Ki Gede Telengan itupun menjadi semakin gemetar. Perlahan-lahan ilmunya mulai susut. Meskipun lawannyapun kemampuannya mulai menurun pula. Tetapi dalam latihan-latihan, Agung Sedayu sudah terbiasa mengerahkan segenap kemampuan yang terperas sampai dasarnya. Bukan saja dalam latihan-latihan kanuragan, tetapi dipadepokan Agung Sedayu melatih kemampuan kekuatannya dengan seribu cara. Mengangkat kayu yang tidak terangkat oleh orang-orang lain, bekerja disawah melampui batas waktu yang dapat dilakukan oleh dua atau tiga orang bersambungan, yang dilakukannya dengan penuh kesadaran dan kesengajaan, sehingga sekaligus ia dapat berlatih pernafasan. Selebihnya, latihan-latihan yang dengan sengaja dilakukan semakin lama semakin berat dengan ikatan yang ketat pada diri sendiri. Umurnya yang sedang tumbuh dimasa-masa perkembangannya telah ikut menentukan pula akhir dari pertempuran yang dahsyat itu. Ketahanan tubuh dun kemampuan mengatur pernafasannya, ternyata banyak memberikan kesempatan yang lebih baik bagi Agung Sedayu. Ki Gede Telengan semakin lama merasa nafasnya menjadi semakin sesak. Jantungnya bagaikan semakin lambat bergetar, sehingga dadanya terasa sesak, dan tubuhnya seolah-olah tidak lagi dialiri oleh darahnya yang segar. Agung Sedayu yang pucat dan gemetar merasa, perlawanan Ki Gede Telengan menjadi semakin lemah. Itulah sebabnya, maka ia telah menyiapkan dirinya, mengumpulkan sisa-sisa kekuatan yang ada padanya untuk memberikan hentakan terakhir pada lawannya. Namun ia sadar sepenuhnya, jika ia tidak berhasil, maka ialah yang justru akan menghadapi kesulitan. Pada saat yang gawat itu, Ki Gede Menorehpun menjadi tegang. Sejenak ia berpikir, apakah yang sebaiknya dilakukan. Ia tidak dapat memperhitungkan dengan tepat, apakah yang dapat terjadi atas kedua orang yang sedang mempertaruhkan nyawanya dengan ilmu yang dahsyat itu. Namun dalam pada itu, pertempuran masih berlangsung dengan serunya. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah berhasil menahan setiap usaha dari para pengikut Ki Gede Telengan untuk melarikan diri. Sementara kelompok pilihan yang langsung membawa dan mengawal pusakapusaka yang akan dilarikan oleh Ki Gede Telenganpun telah terkepung pula. Ki Gede Menoreh akhirnya tidak dapat berdiam diri sambil melihat pertunjukan yang mengasyikkan itu. Ia pun tidak dapat mencampuri pertempuran itu langsung. Sementara ia masih melihat pusakapusaka yang akan diselamatkan itu ditangan orang-orang yang tidak berhak.

Sejenak Ki Gede termangu-mangu. Ia masih mempertimbangkan langkah-langkah yang akan diambilnya. Dalam keadaan terakhir yang menentukan itu, tiba-tiba saja terdengar teriakan dikejauhan. Sementara orangnya masih belum nampak. Yang seakan-akan menggetarkan dedaunan hutan dan ranting-ranting. Ki Gede Menoreh terkejut mendengar suara teriakan itu. Ia sadar, bahwa suara itu bukannya suara sewajarnya. Bukan suara seseorang yang ada pada jarak beberapa puluh langkah. Tetapi tentu lebih jauh. Lontaran suara yang bergema dilembah itu tentu didotong oleh kekuatan dari dalam oleh tenaga ilmu yang dahsyat. “Gelap ngampar atau Sapu Angin,” desis Ki Gede didalam hatinya. Ternyata bahwa suara itu benar-benar telah mengejutkan. Rasa-rasanya lembah itu bagaikan runtuh. Gemanya bagaikan berputaran menggetarkan jantung. “Telengan,” terdengar suara itu mengguncang-guncang pepohonan, “kau tidak akan terlepas dari tanganku. Aku sudah mendengar suara jantungmu lewat aji Sapta Pangrungu. Aku sudah mendengar dentang senjata beradu diujung lembah ini. Kau sudah terjebak olah pasukan Tanah Perdikan Menoreh.” Suara itu benar-benar mengegelegar. Dan suara itu masih bergema terus, “Aku akan datang untuk membebaskan kau dari orang-orang Menoreh, tetapi setelah itu aku akan membunuhmu.” Suara itu melingkar-lingkar disetiap dada. Terlebih-lebih lagi Ki Gede Telengan yang sedang bertahan. Meskipun ia masih merasa mampu untuk menginbangi ilmu Agung Sedayu yang muda itu, namun ternyata bahwa pemusatan pikirannya telah benar-benar telah terganggu suara Ki Tumenggung Wanakerti yang sengaja mempengaruhi keadaan itu, telah merenggut sebagian dari perhatiannya, sehingga justru saat yang paling gawat, ia tidak dapat memusatkan ilmunya untuk bertahan. Pada saat itulah, Agung Sedayu melepaskan sisa-sisa tenaga yang ada pada dirinya. Ia berhasil mengatasi gangguan pendengarannya, karena ia sudah memperhitungkan dengan matang, hentakkan yang terakhir itu akan memberikan akibat menentukan dari pertempuran yang gawat itu. Meskipun sekilas hatinya juga tergetar, tetapi suara itu justru mempercepat hentakkan yang dilepaskannya. Demikianlah pada saat-saat suara Ki Tumenggung Wanakerti mempengaruhi pemusatan ilmu Ki Gede Telengan, Agung Sedayu telah menghantam lawannya dengan kekuatannya lewat rabaan sorot matanya yang bersifat wadag, mendorong kekuatan ilmu Ki Gede Telengan. Tekanan itu ternyata benar-benar telah menentukan. Kekuatan Ki Gede Telengan sendiri bagaikan justru memperkuat hentakkan ilmu lawannya.

Terasa dada Ki Gede Telengan berguncang. Kegelisahannya karena suara Ki Tumenggung Wanakerti telah menentukan akhir dari perjuangannya dengan ilmunya yang dahsyat itu. Terasa dada Ki Gede telengan bagaikan terbentur oleh Bukit. Nafasnya tiba-tiba saja terputus dan jantungnya berhenti berdenyut. Sejenak kemudian, Ki Gede Telengan itupun menggeliat. Tetapi, ia sudah tidak mempunyai kemampuan untuk mempertahankan hidupnya lagi. Sehingga karena itulah, maka iapun kemudian jatuh menelungkup perlahan-lahan. Pertempuran itu telah digemparkan oleh peristiwa-peristiwa yang susul menyusul. Suara Ki Tumenggung Wanakerti telah menggelisahkan segenap pengikut Ki Gede Telengan. Apalagi ketika pengikut-pengikutnya melihat Ki Gede Telengan tidak dapat membebaskan diri dari cengkaman kekuatan yang telah dilontarkan oleh anak yang masih muda itu. Ki Gede Menoreh yang menjadi tegang karena lontaran ilmu dari orang yang masih belum diketahui, masih sempat mengagumi Agung Sedayu. Anak muda itu ternyata memiliki ilmu yang dahsyat, jauh diluar dugaannya. Ki Gede memang sudah menduga, bahwa ilmu Agung Sedayu akan meningkat dengan pesat. Tetapi ia tidak mengira, bahwa kemajuannya akan sepesat itu. Namun Ki Gede kemudian menjadi berdebar-debar. Ia melihat Agung Sedayu terduduk lemah. Tangannya yang masih bersilang, seolah-olah tidak mempunyai kekuatan lagi untuk menahan badannya yang terbungkuk lesu. Sejenak Ki Gede termangu-mangu. Namun kemudian ia sadar, bahwa ia harus bertindak tepat. “Jangan beri kesempatan pusaka-pusaka itu meninggalkan medan,” perintahnya kepada pengawalpengawal pilihannya yang ada disisinya. Pengawal-pengawal itu segera meninggalkan Ki Gede, mendekati arena pertempuran yang masih seru. Sebenarnyalah bahwa pengikut-pengikut Ki Gede Telengan yang telah kehilangan pemimpinnya itu hanya dapat berusaha melarikannya dirinya dengan cara apapun. Sementara para pengawal Ki Gede menahan agar pusaka-pusaka itu tidak sempat meninggalkan medan, maka iapun segera mendekati Agung Sedayu yang seakan-akan telah kehilangan kekuatannya sama sekali. Agaknya hentakkan yang terakhir telah memeras segenap tenaga yang ada pada dirinya. Perlahan-lahan Ki Gede berjongkok disisi Agung Sedayu. Ia tidak segera menyentuh anak muda itu, agar tidak mengejutkannya sehingga akan berakibat buruk

padanya. Ki Gede Menoreh mendengar tarikan nafas yang tidak teratur. Namun Ki Gedepun mengetahui, bahwa Agung Sedayu masih tetap sadar untuk mengatur pernafasannya yang menjadi sesak. Ki Gede Menoreh masih tetap tidak mengganggu anak muda yang sedang berusaha untuk mempertahankan dari kesulitan yang tumbuh didalam dirinya. Ia sama sekali sudah tidak berdaya lagi seandainya seorang lawan datang dengan pedang terhunus. Namun perlahan-lahan Agung Sedayu berhasil menguasai dirinya. Nafasnya semakin lama menjadi semakin teratur, meskipun ia masih duduk dengan lemahnya. Kepalanya masih tertunduk dalam-dalam, sementara nafasnya mulai mengalir teratur. Namun dalam pada itu, selagi pernafasannya mulai pulih, terdengar lagi suara yang dilontarkan dengan ilmu yang dahsyat sehingga gemanya seakan-akan menggetarkan seluruh lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Agung Sedayu terhentak oleh suara itu. Wajahnya yang pucat dan basah oleh keringat terangkat sedikit. Namun kembali ia tertunduk dengan lemahnya meskipun kegelisahan telah semakin mencengkam jantungnya sehingga pernafasannya yang mulai teratur itu telah menjadi kacau kembali. Namun Ki Gede kemudian berbisik ditelinganya, “Jangan hiraukan orang yang hanya dapat berteriak itu. Biarlah aku disini. Jika ia datang, aku akan bertanya, apakah yang diteriakkannya itu.” Agung Sedayu mendengar suara Ki Gede Menoreh. Dengan demikian hatinya menjadi sedikit tenang. Pusaka-pusaka itu telah berada dibawah pengamatan orang yang dapat dipercaya. Sementera itu, Ki Tumenggung Wanakerti yang marahpnn menjadi semakin dekat dengan arena pertempuran yang sebenarnya sudah hampir selesai. Suaranya masih melingkar sekali lagi memenuhi lembah. “Telengan. Kau tidak akan terlepas dari tanganku. Aku akan membunuhmu setelah aku membunuh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang menjebakmu.” “Agaknya telah terjadi sesuatu diantara mereka,“ gumam Ki Gede Menoreh. Agung Sedayu tidak menjawab. Ia kemudian memusatkan segenap sisa kekuntannya untuk mengatur pernafasannya dan memulihkan segenap gerak dan getar didalam dirinya. Sementara itu, Ki Gede Menoreh telah memerintahkan kepada seorang penghubung untuk pergi ke induk pasukan. Menurut perhitungannya, orang yang datang didahului oleh suaranya yang menggelegar itu tentu tidak sendiri. Ia tentu membawa pengawal yang akan mungkin mengacaukan pertahanan orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh. Ternyata bahwa induk pasukan Tanah Perdikan Menoreh sudah tidak sepenuhnya ada ditempat.

Namun yang ada masih cukup untuk dapat memberikan bantuan kepada sayap yang sedang menghadapi lawan yang khusus itu. Pemimpin kelompok yang ada diinduk pasukan itu memerintahkan beberapa orang tinggal untuk sekedar mengawasi keadaan dangan pesan agar mereka menghubungi pasukan-pasukan disayap jika terjadi sesuatu. Sementara itu, ketika keadaan Agung Sedayu berangsur baik. Ki Gede Menorehpun telah mempersiapkan dirinya. Ia sadar, bahwa sebentar lagi orang yang telah melontarkan kekuatan ilmunya lewat suaranya itu tentu akan datang dengan sikapnya yang masih belum dapat diketahui dengan pasti. “Tenangkanlah dirimu,“ berkata Ki Gede Menoreh kepada Agung Sedayu, “sebentar lagi keadaanmu akan pulih kembali. Kau akan dapat tampil lagi dimedan dengan ilmumu yang dahsyat itu. Biarlah aku manyelesaikan pekerjaan yang tersisa ini.“ Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia benar benar telah menjadi tenang karena kehadiran Ki Gede Menoreh. Ia yakin bahwa tugas yang diembankan kepada para pengawal disayap itu tentu tidak akan sia-sia. Seperti yang diperhitungkan oleh Ki Gede Menoreh, maka sejenak kemudian telah muncul sekelompok pasukan yang datang dengan tergesa-gesa. Sekelompok pasukan yang belum diketahui dengan pasti, apakah yang sebenarnya mereka kehendaki. Namun sekali lagi Ki Gede memerintahkan kepada pengawalnya, bahwa yang menjadi pusat perhatian adalah kedua pusaka yang masih dipertahankan mati-matian itu. “Apapun yang terjadi, kedua pusaka itu jangan sampai lolos. Aku akan menjumpai orang yang berteriak-teriak seperti anak kecil itu, meskipun ia memiliki aji pelontar yang dahsyat dan aji penangkap yang luar biasa pada inderanya.“ Para pengawal Ki Gedepun telah melaksanakan perintah itu dengan kesungguhan hati. Didalam arena pertempuran yang sudah berbau darah itu, ternyata para pengawal Tanah Perdikan Menoreh masih merupakan pengawal yang tidak kalah tangkasnya dari prajurit-prajurit Pajang sendiri. Apalagi mereka yang telah memiliki pengalaman dimedan-medan yang berat. Namun kehadiran orang baru dimedan itu, telah menumbuhkan persoalan dihati para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Mereka masih belum tahu pasti, apakah yang harus mereka lakukan terhadap orang itu, karena menurut kata-katanya. Ki Gede Telengan adalah yang menjadi sasarannya, meskipun agaknya ia juga memusuhi Tanah Perdikan Menoreh. Namun dalam pada itu, perintah Ki Gede Menoreh sudah jelas. Pusaka itu harus dicegah agar tidak meninggalkan tempat apapun yang terjadi. Sementara itu. Ki Tumenggung Wanakerti telah tampil pula dimedan. Dalam waktu yang dekat ia segera mengetahui bahwa Ki Gede Telengan telah terlibat dalam pertempuran melawan orang-orang

dari Tanah Perdikan Menoreh. Namun tiba-tiba saja ia tertegun. Dengan dada yang berdebar-debar ia melihat seseorang yang pernah dikenalnya sebelumnya, berdiri tegak dengan tombak pendek ditangannya. “Argapati,” desisnya. Ki Gede Menoreh memandang orang itu dengan tegang pula. Kemudian dari bibirnya terdengar suaranya, “Jadi kau yang berteriak-teriak itu Wanakerti.” “Gila,“ geram Wanakerti, ”katakan apa yang terjadi. Yang penting bagiku adalah Ki Gede Telengan. Aku memerlukannya.“ Ki Gede Menoreh memandang Ki Tumenggung Wanakerti sejenak. Ia telah mengenal Tumenggung itu sebelumnya. Tetapi ia tidak menyangka samasekali bahwa Ki Tumenggung itu berada diantara orang-orang yang berkumpul dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu. “Argapati,“ teriak Ki Wanakerti, “katakan apa yang telah terjadi disini.” Ki Gede Menoreh tidak menjawab. Tetapi ditunjuknya Ki Gede Telengan yang tertelungkup di tanah tidak jauh diri padanya. “Mati,“ Ki Tumenggung terkejut, “siapakah yang telah membunuhnya? Kau?“ Ki Gede Menoreh menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Bukan aku.” “Tentu kau yang membunuhnya meskipun itu aku akan sangat heran Ki Gede Telengan adalah orang yang luar biasa. Aku tahu, bahwa kaupun termasuk orang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Tetapi aku yakin bahwa kau tentu berbuat curang sehingga kau berhasil membunuh Ki Gede Telengan.” Ki Gede Menoreh memandang wajah Ki Tumenggung Wanakerti dengan para Pengikutnya yang masih termangu-mangu. Sementara itu pertempuran antara para pengikut Ki Gede Telengan dan orang-orang Tanah Perdikan Menorehpun sudah menjadi semakin mengendor, karena para perigikut Ki Gede Telengan yang sudah menjadi semakin lemah. Bukan saja karena jumlah mereka yang susut dan bahkan tinggal beberapa orang pilihan saja tetapi juga karena mereka merasa dicengkam oleh kebingungan yang tidak dapat mereka hindarkan lagi. Merekapun sadar, bahwa kedatangan Ki Tumenggung Wanakerti tentu karena ia ingin menyusul Ki Gede Telengan.

Bahkan agaknya Ki Tumenggung itu telah dibakar oleh kemarahan dan dendam. Pusaka-pusakanya telah dilarikan, dan orang-orangnya telah dibunuh. Dalam pada itu Ki Gede Menoreh telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun ia masih menjawab, “Tumenggung Wanakerti. Bukan aku yang membunuh Ki Gede Telengan meskipun dengan cara apapun juga. Tetapi lihatlah anak muda itulah yang telah membunuhnya. Ia berhasil melawan Ilmu Ki Gede Telengan dengan ilmu yang serupa. Ternyata bahwa anak muda itu berhasil mengimbanginya meskipun kini ia harus berusaha memulihkan kekuatannya.“ “Gila,” teriak Ki Tumenggung Wanakerti, “jangan mencoba mengelabuhi aku. Anak itu mungkin akan mati. Tetapi jangan katakan bahwa ialah yang telah membunuh Ki Gede Telengan.” “Aku tidak akan memaksamu percaya. Terserah kepadamu apakah yang baik menurut ceriteramu sendiri. Tetapi Ki Gede Telengan telah mati. Dan kau tidak akan dapat berbuat sesuatu disini.” Ki Tumenggung Wanakerti melihat pertempurun yang semakin susut. Ia masih melihat beberapa orang pengikut Ki Gede Telengan mempertahankan pusaka-pusakanya. Namun para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah mengepungnya. Dan bahkan tidak ada kemungkinan lagi bagi mereka daripada menyerahkan pusaka itu kepada para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh. Kedua pusaka itu ternyata telah menyalakan bara di dalam dada Ki Tumenggung Wanakerti. Kedua pasaka, itulah yang telah mengacaukan perasannnya sehingga ia meninggalkan medan dan berusaha menyelusuri jejak Ki Gede Telengan. Karena itu maka tiba-tiba saja ia berteriak, “Ambil pusaka-pusaka itu. Siapapun yang menghalangi bunuh saja mereka.” Para pengawalnya tidak menunggu perintah itu diulangi. Dengan serta mereka telah menghambur di arena dan bertempur melawan siapa saja. Pertempuran dilembah itupun menjadi semakin kisruh. Ada tiga pihak yang saling bertempur dengan kacaunya. Para pengikut Ki Gede Telengan yang tersisa merasa bahwa pengikut-pengikut Ki Tumenggung Wanakerti tentu telah mendendam mereka, sementara para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh berusaha untuk merebut pusaka-pusaka yang telah berada ditangan mereka. Sedangkan para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh menganggap kedua pihak yang dipimpin oleh Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti adalah musuh mereka, karena keduanya ingin memiliki pusaka-pusaka itu pula. Para pengawal yang masih muda dari Tanah Perdikan Menoreh telah menjadi bingung menghadapi keadaan itu. Justru kadang-kadang mereka kehilangan arah perlawanan mereka. Siapakah yang harus dilawannya dalam kacaunya medan itu. Sementara itu Ki Tumenggung Wanakerti perlahan-lahan melangkah mendekati Ki Gede Menoreh. Dengan wajah yang garang ia berkata, “Jika kau bersedia menarik orang-orangmu, maka aku tidak

akan mengganggumu.“ “Pergilah jika kau mau pergi,“ berkata Ki Gede Menoreh, “tetapi pusaka-pusaka itu jangan kau usik lagi. Pusaka-pusaka itu harus kembali ke Mataram.” “Kami adalah pemilik yang syah dari pusaka-pusaka itu,“ jawab Ki Tumenggung Wanakerti, “karena itu jangan ganggu kami yang sedang berusaha mengambil milik kami dari tangan orang-orang Pajang atau orang-orang yang mendapatkannya dari mereka. Jaka Tingkir sama sekali tidak berhak atas pusaka-pusaka yang tumurun dari Kerajaan Majapahit, apalagi kemudian Sutawijaya anak Pemanahan ... Ia sama sekali tidak berhak memiliki … dijunjung tinggi oleh mereka … masa pemerintahan Prabu B… Ki Geda Menoreh men … ia tidak mendengarkan sesurah Ki Tumenggung Wanakerti karena pikirannya masih terikat kepada keadaan Agung Sedayu. Jika ia bertempur melawan Ki Tumenggung Wanakerti, maka ia harus melepaskan Agung Sedayu. Hal itu akan sangat berbahaya bagi anak muda itu. “He,” teriak Ki Wanakerti, “kau dengar penjelasan ku? Nah. kau sekarang dapat memilih. Membiarkan aku mengambil kembali hakku atas warisan Majapahit atau kau harus aku bunuh disini.” Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya. Tetapi ia mendengar ancaman Ki Tumenggung Wanakerti. Karena itu maka jawabnya, “ Ki Tumenggung. Meskipun aku bukan prajurit Pajang, tetapi aku pernah mengalami seperti yang dialami oleh para prajurit didalam segala macam medan. Karena itu biarlah aku tetap bersikap seperti seorang prajurit. Ki Tumenggung Wanakerti menggeretakkan giginya, ia kenal Kepala Tanah Perdikan Menoreh meskipun tidak begitu rapat. Tetapi iapun sadar bahwa Ki Gede Menoreh tentu akan melakukan seperti yang dikatakannya. Meskipun ia bukan seorang prajurit tetapi ia mempunyai sifat-sifat seorang prajurit pilihan. Sejenak Ki Tumenggung memandang seluruh medan. Namun tiba-tiba ia berteriak, “Ambil pusaka itu dan bunuh semua orang. Termasuk anak yang sudah tidak berdaya itu.” “Licik.” Ki Gede Menorehpun tiba-tiba berteriak, “anak itu masih belum mampu mempertahankan dirinya. Kau tidak boleh membunuhnya.“ Ki Tumenggung Wanakerti tertawa berkepanjangan. Katanya, “Kita berada dimedan perang. Saat Ki Gede Telengan sampai pada suatu keadaan tidak dapat melawan maka anak itu masih terus menekannya dengan ilmunya, sehingga Ki Gede Telengan

terbunuh karenanya. Sekarang anak itulah yang berada pada suatu keadaan tidak dapat melawan. Karena itu dapat saja diberikan tekanan terakhir, bukan dengan ilmu yang mengerikan itu tetapi dengan tajamnya pedang. Mumpung ia masih duduk sambil menyilangkan tangannya.“ Ki Tumenggung Wanakerti berhenti sejenak. Lalu. “He datanglah kepadanya, dan penggal lehernya, meskipun ia sedang berusaha memulihkan kekuatannya.” “Gila,“ Ki Gede Menorehpun telah menyiapkan diri untuk melindungi Agung Sedayu. Namun tiba-tiba saja Ki Tumenggung Wanakerti telah menyerangnya sambil berteriak, “He Ki Gede marilah kita melihat siapakah diantara kita yang mempanyai ilmu yang lebih tinggi.” Ki Gede Menoreh terpaksa menghindari serangan itu. Dengan tangkasnya ia meloncat kesamping, kemudian memutar tombak pendeknya dan segera menyerang kembali dengan patukan tombak pendeknya. Ki Tumenggung masih sempat mengelak, ia mempergunakan pedangnya, sementara seorang pengawalnya telah melemparkan perisainya kepadanya. Sambil mengenakan perisai kecilnya Ki Tumenggung berkata, “He, ternyata kau sekarang timpang Ki Gede. Meskipun tidak terlalu nampak tetapi jika pertempuran ini berlangsung cukup lama, maka cacat itu akan semakin nampak. He sejak kapan kau menjadi timpang dan cacat kaki.“ Ki Gede Menoreh menggeram. Mata Ki Tumenggung Wanakerti ternyata sangat tajam. Dalam loncatan-loncatan pertama ia langsung dapat melihat kelemahan Ki Gede Menoreh yang kakinya memang sudah cacat. Tetapi Ki Gede Menoreh yakin bahwa kakinya tidak akan mengganggunya lagi. Kakinya sudah sembah sama sekali. Meskipun demikian timbul pula pertanyaan di hatinya. Bagaimanakah jika pertempuran ini berlangsung lama?“ Dalam pada itu beberapa orang pengawal Ki Tumenggung Wanakerti langsung mendekati Agung Sedayu yang masih duduk untuk memulihkan pernafasannya, sehingga jalur-jalur darah serta getaran ilmunya menemukan kewajarannya kembali. Namun dalam pada itu beberapa pengawal Tanah Perdikan Menorehpun menyadari keadaan itu. Karena itulah maka beberapa orang diantara mereka telah berusaha menahan orang-orang yang akan menyerang Agung Sedayu. Namun ternyata para pengikut Ki Tumenggung Wanakerti telah bertempur dengan garangnya, sehingga Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah terdesak karenanya.

Apalagi sebagian dari mereka harus tetap mengepung pusaka-pusaka yang sedang diperebutkan itu. Mereka harus menahan agar pusaka-pusaka itu tidak terlepas tetapi juga menahan agar orang-orang yang baru datang dibawah pimpinan Ki Tumenggung Wanakerti tidak berhasil merampasnya. Dalam kekalutan itu para pengawal Tanah Perdikan Menoreh merasa bahwa tugas mereka menjadi sangat berat. Bahkan beberapa orang anak muda menjadi kebingungan dan hampir saja mereka menjadi putus asa. Dalam kecemasan itulah telah muncul beberapa orang pengawal yang datang dari induk pasukan. Mereka datang dengan tergesa-gesa karena merekapun menyadari bahwa disayap itu telah terjadi pertempuran yang sengit. “Cepatlah,“ Ki Gede Menoreh meneriakkan perintah, “kalian akan berdiri disampang tiga. Lawanmu adalah orang-orang yang bukan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh siapapun mereka, meskipun diantara mereka juga terjadi pertempuran.“ “Tidak,” teriak Tumenggung Wanakerti, “kami akan menyelesaikan persoalan kami nanti atau besok atau kelak. Sekarang kami telah menjadi satu untuk membunuh kalian.” Jawaban Ki Tumenggung itu mempengruhi pula bagi orang-orangnya dan orang-orang yang telah ditinggalkan oleh Ki Gede Telengan. Namun ternyata ada juga diantara mereka yang ragu-ragu. Terutama orang-orang kepercayaan Ki Gede Telengan yang melindungi pusaka-pusaka itu. Dalam pada itu untuk mempengaruhi keadaan yang mulai berubah atas hadirnya pengawal-pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh itu Ki Tumenggung berkata seterusnya, “Aku akan memaafkan Ki Gede Telengan dan pengikutpengikutnya. Apakah Ki Gede Telengan sudah tidak ada lagi. Pengikutnya akan tetap berada didalam lingkungan kami.” Kata-kata itu telah berpengaruh lebih dalam lagi didalam hati para pengikut Ki Gede Telengan yang telah kehilangan pimpinan. Namun demikian mereka masih tetap ragu-ragu. Sementara itu para pengawal yang datang dari induk pasukan telah membaurkan diri kedalam medan. Mereka bertempur dengan dahsyatnya. Tenaga mereka masih nampak segar, sementara kawankawannya sudah mulai nampak lelah oleh pertempuran yang seru meskipun belum berlangsung terlalu lama. Seperti yang diperintahkan oleh Ki Tumenggung Wanakerti sasaran utama serangan-serangan pengikutnya tertuju kepada para pengawal yang mengepung pusaka-pusaka yang diperebutkan, sementara yang lain berusaha untuk menembus perlindungan para pengawal atas Agung Sedayu. Sedangkan Ki Gede Menoreh sendiri harus bertampur melawan Ki Tumenggung Wanakerti yang

menyerangnya seperti badai. Ki Tumenggung Wanakerti adalah orang Senapati yang mendapat kepercayaan dari orang yang disebut kakang Panji di Istana Pajang. Karena itu ia adalah seorang Senapati yang mumpuni ia memiliki ilmu yang tinggi dan pengalaman yang cukup luas. Tetapi lawan Ki Tumenggung Wanakerti adalah Ki Gede Menoreh. Ia adalah orang yang pilih tanding. Meskipun ia bukan seorang prajurit, tetapi kemampuannya benar-benar telah mengagumkan. Ia memiliki kemampuan seorang Senapati pilihan dan sikap kepemimpinan yang matang justru karena ia adalah seorang Kepala Tanah Perdikan. Dengan demikian, maka keduanyapun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Ki Tumenggung Wanakerti menyambar-nyambar dengan tangkasnya seperti seekor burung sriti, semantara Ki Gede Menoreh dengan mantap mempermainkan tombak pendeknya. Ia hanya bergeser setapak demi setapak. Bahkan kakinya seakan-akan tidak beringsut dari tempatnya. Namun ia selalu menghadapi lawannya, kemanapun Ki Tumenggung Wanakerti terbang. Tombak pendek Ki Gede Menoreh merupakan senjata yang sangat dikuasainya. Tombak itu dapat berputar bagaikan perisai ysng menutup tubuhnya dari serangan senjata lawannya. Namun tiba-tiba ujung tombak itu mematuk dengan dahsyatnya seperti sebatang anak panah yang lepas dari busurnya. Namun dalam pada itu. Ki Gede Menoreh masih tetap diganggu oleh kegelisahan karena Agung Sedayu. Jika orangorang yang melindunginya itu gagal, maka ia sama sekali tidak berdaya untuk mempertahankan diri, karena ia sudah memeras segenap k'ekuatan yang ada pada dirinya untuk melawan ilmu Ki Gede Telengan yang dahsyat. Dalam pada itu, beberapa orang pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah bertempur diseputar Agung Sedayu. Merekapun sadar, betapapun juga tinggi ilmu anak muda itu. namun dalam keadaan demikian ia benar-benar tidak berdaya. Tetapi orang-orang dilembah yang datang bersama Ki Tumenggung Wanakerti yang melihat pula kelamahan itu telah berusaha untuk memecahkan pertahanan para pengawal yang bertahan. Meskipun pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah bertambah jumlahnya, namun mereka masih harus menyesuaikan diri. Ternyata sisa anak buah Ki Gede Telengan, memusatkan perlawanan mereka terhadap para pengawal Tanah perdikan Menoreh diluar sadar mereka sehingga dengan demikian maka para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah bertempur melawan sisa para pengikut Ki Gede Telengan dan pasukan yang mengawal Ki Tumenggung Wanakerti. Dalam pada itu. Agung Sedayu telah berjuang untuk bertahan dari cengkaman kehancuran dibagian dalam tubuhnya. Dengan teratur ia menarik dan melepaskan nafasnya. Perlahan-lahan sambil memusatkan segenap kekuatan batinnya untuk memb rikan ketahanan badan wadagnya.

Perlahan-lahan darahnya mulai mengalir dengan teratur, setelah terhentak-hentak oleh ilmu Ki Gede Telengan dan ilmunya sendiri. Dadanya yang sesak bagaikan tertindih bukit rasa-rasanya telah menjadi lapang. Namun demikian ia sadar sepenuhnya, jika seorang lawan yang betapapun lemahnya berhasil menyentuhnya dengan ujung senjata, maka ia tidak akan dapat bertahan lagi. Darahnya tentu akan terhentak-hentak mangalir dan memecahkan urat-uratnya, terutama pada lukalukanya, namun Agung Sedayu yang dikelilingi oleh pertempuran yang sengit itu telah pasrah. Jika harus ada seorang lawan yang datang kepadanya dan menggoreskan senjatanya, maka ia tidak akan manyesali keadaannya. Segalanya memang berada ditangan Yang Maha Kuasa. Ilmu dan kemampuan yang diterimakan kepadanya ternyata adalah ilmu dalam batasan kemampuan seorang manusia biasa. Pada suatu saat, terasa dirinya memeng terlampau kecil jika harus berhadapan dengan maut. “Aku hanya dapat berusaha,“ berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri, “tetapi yang terjadi adalah ditangan Yang MahaKuasa.“ Namun dalam pada itu, justru karena Agung Sedayu telah pasrah, maka hatinya menjadi tenang. Ia tidak lagi digelisahkan oleh apapun yang bakal terjadi atas dirinya. Justru karena itulah, maka keadaannya menjadi semakin cepat berangsur baik. Perlahan-lahan darahnya mulai mengalir seperti seharusnya. Nafasnyapun telah teratur dan badannya terasa mulai menjadi hangat kembali. Tetapi sementara itu, tekanan lawan atas para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang melindunginya menjadi semakin berat. Perlahan-lahan para pengawal mulai terdesak, sehingga lingkaran diseputar Agung Sedayu itupun menjadi kian menyempit. “Gila,“ berkata salah seorang pemimpin kelompok pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, “kalian benar-benar licik. Kalian berusaha untuk menyerang orang yang sedang tidak berdaya. “Kami memang orang-orang licik. Tetapi kalian pun licik pula seperti kami.” “Persetan,” teriak pemimpin kelompok, “jangan kalian ganggu Agung Sedayu.” “Kami akan membunuhnya dan membunuh semua orang dari Tanah Perdikan Menoreh.” Pemimpin kelompok itu tidak menjawab. Tetapi tekanan lawan terasa memang semakin berat. Para pengawal itu masih terus terdesak setapak demi setapak, sehingga beberapa orang diantara mereka menjadi gelisah demi melihat akhir yang buram dari pertempuran itu, apalagi nasib Agung Sedayu. Meskipun demikian, para pengawal bertempur dengan sekuat tenaga. Mereka tidak akan membiarkan bencana itu menerkam Agung Sedayu yang telah berhasil mengalahkan Ki Gede Telangan meskipun mereka justru harus mengorbankan diri sendiri.

Dilingkaran pertempuran disekitar pusaka yang sedang dipeebutkan itupun keadaannya menjadi kalut. Sisa pengikut Ki Gede Telengan telah mempertahankan pusaka itu mati-matian. Sementara para pengikut Ki Tumenggung Wanakerti telah menyerang dengan dahsyatnya para pengawal yang berusaha merebut pusaka itu, sehingga para pengawal harus menghadapi kedua belah pihak. Hanyapada saatsaat tertentu dan menghentak sebentar pengikut Ki Gede Telengan bertahan terhadap pengikut Ki Tumenggung Wanakerti yang mendekati pusaka-pusaka itu. Dengan demikian maka pertempuran itupun menjadi semakin dahsyat. Ki Gede Menoreh telah bertempur dengan segenap kemampuannya. Ternyata Ki Tumenggung Wanakerti benar-benar orang yang luar biasa. Pertempuran yang berlangsung dengan sengitnya itu berjalan semakin cepat. Langit yang perlahanlahan menjsdi redup ketika matahari mulai turun disebelah Barat. Namun pertempuran rnasih berlangsung terus, sehingga setiap orang mulai meramalkan bahwa pertempuran tidak akan dapat diselesaikan sebelum matahari terbenam. “Pertempuran ini akan tertunda,” desis seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh didalam dirinya. Namun lawan yang dihadapinya bukannya pasukan segelar sepapan yang bertempur dalam gelar yang berbentuk. Perang yang terjadi adalah perang brubuh. Sehingga pengawal itu mulai meragukan, apakah perang akan berakhir saat matahari terbenam kemudian akan dilanjutkan dihari berikutnya. “Tetapi pusaka-pusaka itu akan dapat dilarikan dimalam hari, pengawal itu berbantah dengan dirinya sendiri. Ternyata bahwa para pengikut Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti sama sekali tidak memikirkan saat-saat matahari terbenam. Mereka bertempur terus sehingga mereka berhasil memenangkan pertempuran itu dengan cara apapun juga. Dalam pada itu Ki Gede Menorehpun mulai memikirkan saat-saat matahari terbenam. Jika para pengawalnya yang melindungi Agung Sedayu mampu bertahan sesaat lagi, maka ia akan terlepas dari bahaya. Tetapi Jika orang-orang dilembah itu menyadari kebiasaan didalam peperangan yang berlaku sebagai suatu hukum yang sama-sama dihormati, berkata Ki Gede Menoreh didalam hatinya. namun agaknya mereka telah bertindak menurut hukum mereka sendiri. Meskipun sebagian besar dari mereka adalah prajurit-prajurit Pajang yang telah melarikan diri bersama Ki Tumenggung Wanakerti namun mereka telah dipengaruhi oleh suasana liar yang buas dilembah ini. Sementara itu pertempuran masih berlangsung terus. Para pengikut Ki Tumenggung Wanakerti masih saja berhasil mendesak lawannya yang berusaha melindungi Agung Sedayu, sehingga pada suatu saat. setiap dorongan kekuatan yang menghentak, akan berhasil mendesak para pengawal itu. sehingga mereka kehilangan keseimbangan perlindungannya. Namun pada saat itu, Agung Sedayu telah menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan ia telah

melepaskan sesak yang menyumbat dadanya. Perlahan-lahan ia membuka matanya dan mengangkat wajahnya. Ia terkejut ketika ia melihat arena yang sempit disekitarnya. Bahkan sekilas ia melihat, para pengawal yang melindunginya telah terdesak. Agung Sedayu dengan tergesa-gesa menyesuaikan dirinya dengan keadaan disekitarnya. Rasa-rasanya tubuhnya telah menjadi segar kembali setelah ia mengadakan pemusatan getaran didalam dirinya mendorong himpitan yang seakan-akan menghentikan arus nafas dan darahnya. Meskipun Agung Sedayu masih merasa lelah, tetapi kekuatannya telah pulih seperti semula. Karena itu, maka iapun segera bersiap untuk mulai dengan pertempuran-pertempuran yang masih berlangsung. Namun, ternyata lawan-lawannyapun melihat perubahan sikap anak muda itu. Seorang bekas prajurit Pajang yang mempunyai pengalaman yang matang, segera dapat mengetahui bahwa Agung Sedayu sudah selesai dengan pemulihan diri. Karena itulah maka ia pun segera mengambil keputusan, mumpung Agung Sedayu masih belum beranjak dari tempatnya. Dari sela-sela pertempuran diseputar Agung Sedayu maka prajurit itu menggeram sambil menyiapkan segenap kekuatannya. Dengan serta merta iapun melontarkan tombaknya langsung mengarah kedada Agung Sedayu. Seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh melihat sikap itu dengan tangkasya ia berusaha untuk menyentuh tombak yang terlontar mengarah kedada Agung Sedayu. Namun ia terlambat. Senjatanya tidak berhasil menahan tombak yang meluncur dengan cepatnya itu. Sehingga kemarahannyapun telah melonjak sejalan dengan kegagalannya. Itulah sebabnya maka dengan serta merta ia menyerang bekas prajurit Pajang yang telah melemparkan tombaknya dengan garangnya. Bekas prajurit itu tidak mampu lagi mengelakkan dirinya. Ia masih berusaha untuk menghindar, namun serangan itu datang tidak terkendali lagi, sehingga yang terdengar kemudian adalah orang yang tertahan. Pedang pengawal itu telah menghunjam keperut lawan yang telah melemparkan tombaknya kepada Agung Sedayu. Sementara itu tombak yang dilemparkannya telah meluncur mematuk dada Agung Sedayu. Untunglah bahwa Agung Sedayu telah membuka matanya dan melihat tombak itu meluncur kearahnya. Sehingga dengan demikian maka Agung Sedayu yang masih duduk ditengah itupun segera bergeser memiringkan tubuhnya. Tombak itu meluncur dengan derasnya, hanya berjarak setebal daun dari bajunya. Tetapi yang terasa olehnya hanyalah desir angin yang menyapu dengan kencangnya.

Tombak itu ternyata tidak mengenai sasarannya. Bekas prajurit yang melemparkannya masih sempat melihat kegagalannya itu meskipun senjata seorang pengawal telah menyobek kulitnya. Karena itulah maka disamping orang kesakitan, terdengar orang itu mengumpat pada tarikan nafasnya yang terakhir dengan penuh kecewa. Agung Sedayu tidak lagi membiarkan orang-orang disekitarnya saling berbenahan karena dirinya ia masih merasa berada ditengah-tengah peperangan. Karena itu maka iapun masih mempunyai kewajiban untuk dipertanggung jawabkan. Sesaat kemudian maka Agung Sedayupun telah berdiri tegak, disambut oleh sorak yang mengguntur dari para pengawal yang melindunginya. Dengan serta merta teriakan itu terloncat dari mulut mereka, karena mereka seolah-olah telah terlepas dari ketegangan yang menghimpit disaat-saat mereka melindungi Agung Sedayu. “Terima kasih,“ suara Agung Sedayu lantang, “aku sudah siap untuk bertempur seandainya masih ada orang yang harus aku lawan.” Sekali lagi terdengar sorak bagaikan membelah arena partempuran yang kacau itu. Namun dengan demikian, teriakan itu seolah-olah telah bergema didalam setiap hati yang memberikan dorongan bagi mereka yang mulai gelisah. Orang-orang yang semula akan membunuh Agung Sedayu itulah yang kemudian menjadi gelisah. Bahwa Agung Sedayu telah berdiri tegak, adalah merupakan bencana yang akan menimpa mereka karena Agung Sedayu adalah orang yang memiliki ilmu yang luar biasa, ternyata bahwa ia telah berhasil membunuh Ki Gede Telengan dalam benturan ilmu. Sejenak Agung Sedaju menyaksikan pertempuran yang terjadi disekitarnya. Senjata beradu, pekik kesakitan dan sorak kemenangan. Perlahan-lahan tangannya meraba lambungnya. Dan sejenak kemudian arena itu telah digetarkan oleh ledak cambuk murid Kiai Gringsing itu. Sekali lagi arena itu menjadi bergelora. Cambuk Agung Sedayu adalah lambang kekuatan ilmu dari perguruannya. Agung Sedayu tidak ingin mempergunakan rabaan yang bersifat wadag dari tatapan matanya. Ilmu itu kurang sesuai bagi pertempuran dalam keadaan kacau. Apalagi tidak ada orang yang harus dilawan dalam perang tanding. Itulah sebabnya, maka ia akan bertempur dengan mempergunakan cambuknya. Ketika Agung Sedayu kemudian melangkah maju masih terasa seo1ah-olah sendi-sendinya masih belum pulih sama sekali. Namun ia sudah merasa siap untuk menghadapi segala kemungkinan dimedan yang kisruh itu. Ki Gede Menoreh yang melihat Agung Sedayu mulai menghentakkan cambuknya benar-benar bagaikan tersiram air dalam keheningan. Ia benar-benar menjadi tenang karena ia yakin Agung Sedayu sudah

mampu melindungi dirinya sendiri. Karena itulah maka kemudian Ki Gede Menoreh sudah memusatkan segala perhatiannya kepada lawannya bekas seorang senapati perang yang ternyata lebih senang memilih jalan yang lain dari jalan yang telah ditentukan oleh pimpinan prajurit Pajang. Pertempuran antara keduanyapun berlangsung dengan serunya. Keduanya adalah orang-orang yang memiliki kelebihan dalam olah kanuragan. Sehingga dengan demikian maka perang antara keduanya itu seolah-olah telah terpisah dari arena keseluruhan. karena para pengikut masing-masing tidak berani mencampuri benturan ilmu yang dahsyat itu. Dalam pada itu, ketika Agung Sedayu mendekati kancah pertempuran diseputarnya maka para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang semula melindunginya telah menyibak. Mereka seakan-akan memberi jalan kepada seorang pahlawan yang akan mampu menghancurkan lawan yang lebih kuat dalam pertempuran itu. Agung Sedayu berdiri sejenak termangu-mangu Rasa-rasanya ia melihat sesuatu yang aneh telah terjadi. Seperti setiap kali ia melihat peperangan. Didalam hatinya selalu terbersit pertanyaan, “Kenapa sesamanya, justru mahluk yang paling sempurra dari segala mahluk yang ada selalu saja saling berbunuhan yang satu dengan yang lain. Namna Agung Sedayu harus malu kepada dirinya sendiri, iapun agaknya telah siap pula untuk membunuh. Sekilas melintas didalam angan-angannya seorang anak muda yang lain dari anak-anak muda yang dikenalnya Rudita anak muda yang memiliki tingkat kemanusiaan yang jauh lebih tinggi daripadanya. Meskipun masih ada ketidak jujuran dalam sikap Rudita, karena ia pun tidak seutuhnya pasrah diri kedalam tangan Yang Maha Esa karena ia masih memiliki kekebalan namun ia telah menghindari segala macam benturan wadag melawan siapapun juga ia lebih senang membiarkan dirinya mengalami perlakuan yang bagaimanapun juga daripada ia harus melakukan tindakan kekerasan meskipun sebenarnya ia memiliki bekal, jika ia mau. Agung Sedaya terkejut, ketika ia mendengar seseorang mengaduh disisinya. Seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah terjatuh dengan luka dilambungnya. “ O,” Agung Sedayu tergagap. Kemudian diambilnya bumbung kecilnya yang berisi obat luka dari gurunya. “Rawatlah kawanmu,” berkata Agung Sedanyu kepada seorang pengawal yang bertempur didepannya, serahkan lawanmu kepadaku.“ Pengawal itu meloncat surut. Setelah ia menerima bumbung kecil, iapun segera berjongkok disisi kawannya yang terluka itu. Sementara Agung Sedayu sudah meledakkan cambuknya ketika lawan

pengawal itu berusaha mengejarnya. Orang itu terkejut. Selangkah ia mundur. Wajahnya menjadi tegang karena yang berdiri dihadapannya kemudian adalah Agung Sedayu. Seorang yang telah berhasil membunuh Ki Gede Telengan. Namun dimedan perang seseorang tidak dapat memilih atau menghindari lawan. Betapapun hatinya menjadi kecut, namun ia telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Agung Sedayu benar-benar merupakan seekor kucing didalam kerumunan sekelompok tikus liar. Namun Agung Sedayu tidak sebuah kucing lapar menghadapi tikus-tikus yang lemah. Karena itulah maka ia tidak dengan garangnya menyerang dan membinasakan lawannya. Agaknya kawan-kawan orang yang berhadapan dengan Agung Sedayu itu melihat bahwa lawannya tersebut terjebak kedalam nasib yang buruk. Karena itulah, maka beberapa orang diantara mereka telah mendekatinya dan berusaha untuk membatunya. Betapapun kuatnya Agung Sedayu namun jika ia harus bertempur melawan beberapa orang, maka ia tentu akan mengalami kesulitan. Karena itulah maka beberapa orang itupun segera menyerangnya bersama-sama. Senjata mereka menyambar susul-menyusul dari berbagai arah. Namun Agung Sedayu sempat menghindarnya. Pada loncatan-loncatan pertama masih terasa kelelahan pada sendi-sendinya sehingga ia tidak dapat bergerak dengan tangkas dan cepat seperti dalam keadaannya yang wajar. Itulah sebabnya Agung Sedayupun kemudian melindungi dirinya dengan hentakan cambuknya. Sekalisekali terdengar cambuknya meledak dengan dahsyatnya. Ketika serangan-serangan lawan itu mulai terasa berbahaya baginya maka Agung Sedayupun mulai bersungguh-sungguh. Ia tidak sekedar meledakkan cambuknya untuk mengusir lawan tetapi ia mulai memperhitungkan serangannya yang mengarah. Ledakan-ledakan cambuk Agung Sedayu benar-benar telah menimbulkan kegelisahan pada lawanlawannya. Terutama para pengikut Ki Gede Telengan yang tidak mendapat kesempatan karena pengawal-pengawal Tanah Perdikan Menoreh harus bertempur pula melawan pengikut Ki Tumenggung Wanakerti. Namun ternyata kemudian bahwa keadaan tidak menjadi semakin baik bagi mereka. Saat-saat Agung Sedayu mulai bertempur dengan mantap, maka harapan untuk dapat meninggalkan lembah itu bagi para pengikut Ki Gede Telengan menjadi semakin sempit. Sementara itu langitpun menjadi semakin suram. Cahaya kemerah merahan menjelang saat matahari terbenam telah menyiram dedaunan dilembah sehingga seakan-akan setiap bentuk telah diwarnai dengan darah para korban yang bergelimpangan.

Ki Tumenggung Wanakertipun menjiadi gelisah ia sudah meninggalkan induk pasukannya untuk mengejar Ki Gede Telengan. Namun ia tidak menemukan karena orang yang dicari pun sudah mati. Semantara pusaka-pusaka yang dicarinya itu sudah berada dihadapan hidungnya tetapi ia tidak segera dapat merebutnya dan membawanya kembali kepasukannya. Bahkan semakin lama semakin terasa bahwa pasukan Tanah Perdikan Menoreh akan berhasil menguasai keadaan, sementara ia kini tidak segera dapat mengalahkan Ki Gede Menoreh. Sekali-sekali terdengar Ki Tumenggung Wanakerti menggeram tetapi bagaimanapun juga ia tidak dapat memaksakan kehendaknya. Ia sudah mempergunakan kemampuannya yang mungkin dapat dituangkan di dalam tata gerak dan sikap didalam peperangan itu. Namun Ki Gede Menoreh ternyata juga memiliki kemampuan yang luar biasa. Sementara itu, Agung Sedayu mulai mengarahkan perhatiannya kepada pusaka-pusaka yang sedang diperbutkan. Pusaka-pusaka itulah pokok peroalannya, meskipun hanya sekedar sebagai lantaran hadirnya wahyu menurut kepercayaan orang-orang yang sedang bertempur mati-matian itu. “Pusaka-pusaka itu harus segera dikuasai,” berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri, “jika malam turun, dan keadaan menjadi gelap, maka kemungkinan yang pahit dapat saja terjadi didalam kelamnya malam. Itulah sebabnya maka Agung Sedayu bertekad untuk menguasai pusaka-pusaka itu sebelum gelap menyelubungi lembah. Dorongan itulah yang kemudian memaksa Agung Sedayu untuk bertempur lebih dahsyat lagi. Meskipun seakan-akan ia hanya sekedar mencari jalan untuk dapat mencapai pusaka-pusaka itu, namun orangorang yang menghalanginya harus dihalaunya. Sehingga sengaja atau tidak sengaja, maka cambuknya telah menelan korban diantara lawan-lawannya. Baik para pengikut Ki Gede Telengan yang telah kehilangan pimpinan itu, maupun pengikut Ki Tumenggung Wanakerti benar-benar telah tercengkam oleh kegelisahan. Bahkan Ki Tumenggung Wanakerti sendiri menjadi cemas melihat perkembangan terakhir dari keadaan Agung Sedayu sangat cepat melampui dugaannya. “ Anak itu tidak mati,” tiba-tiba saja ia menggeram. Ki Gede Menoreh tersenyum. Sambil bertempur ia masih sempat menjawab, “Sudah aku katakan ia adalah seorang anak muda yang luar biasa.“ Ki Tumenggung Wanakerti tidak menyahut. Namun ia bertempur semakin sengit. Seranganserangannya mulai mengarah kebagian tubuh Ki Gede Menoreh yang paling berbahaya. Namun Ki Gedepun selalu berhasil melindungi dirinya. Seperti saat-saat yang pernah terjadi dalam benturan senjata setelah kakiya cacat ia tidak terlalu banyak bergerak. Ia hanya bergeser saja menghadap kemana lawannya melenting dan dari arah mana serangan itu datang. Meskipun demikian sekali-sekali jika perlu, Ki Gede Menoreh masih juga sempat

meloncat dengan terpaksa. “Kakimu timpang,” teriak Ki Tumenggung, “tetapi kau masih mampu bertempur demikian sengitnya. Namun demikian aku mengerti karena diajari oleh pengalaman bahwa orang-orang timpang seperti kau pada suatu ketika tentu akan terganggu oleh carat kakimu.“ Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya tetapi ia percaya bahwa pandangan Ki Tumenggung Wanakerti yang tajam tidak akan dapat terkelabui. Kakinya memang sudah cacat meskipun nampaknya hampir pulih kembali. Dalam pertempuran yang paling sengit kemudian ternyata seperti yang pernah terjadi, sesuatu terasa mulai mengganggu kakinya. Cacat yang pada saat-saat yang gawat akan dapat mengurangi kemampuannya bergerak. Sementara itu, Agung Sedayu maju perlahan-lahan mendekati kedua pusaka yang dipertahankan matimatian oleh para pengikut Ki Gede Telengan. Bahkan kemudian para pengikut Ki Tumenggung Wanakertipun telah bersama-sama dengan mereka mencegah hadirnya Agung Sedayu. Dengan susah payah mereka mencoba menahan anak muda itu. Namun agakaya Agung Sedayu memang memiliki kelebihan. Setiap kali cambuknya meledak, maka setiap kali berhasil maju selangkah. “Gila,” teriak seorang Senapati pengawal Ki Tumenggung Wanakerti yang membantu mencegah Agung Sedayu merebut pusaka itu, “anak iblis ini benar-benar luar biasa.“ Diluar sadarnya seorang pengikut Ki Gede Telengan justru menyahut, “ia telah membunuh Ki Gede Talengan. Dan sekarang datang gilirannya anak itu membunuhmu.” Senapati Pajang yang berada diantara orang-orang dilembah itupun menyahut, “Aku akan membunuhnya sebelum aku meremukkan kepalamu.” Pengikut Ki Gede Telengan itu tertawa. Bukan karena kagembiraan atau kelucuan yang telah menggelitik hati tetapi justru karena kekecutan hatinya menghadapi keputus asaan, sehingga tertawanya yang meninggi itupun bagaikan teriakan sesambat seorang anak yang sedang diterkam oleh seekor harimau yang garang. Namun saat tertawa itu sangat menyakitkan hati Senapati itu. Dengan garangnya ia berkata, “Bukalah matamu. Aku akam membunuhnya.“ Tetapi Senapati itu cukup berpengalaman untuk membawa tiga orang prajurit Pajang untuk melawan Agung Sedayu. Sejenak kemudian Agung Sedayu telah mengalami hambatan. Senapati itu dengan mengerahkan segenap kemampuannya telah melawan Agung Sedayu bersama tiga orang prajuritnya.

Namun Senopati bersama tiga orang prajurit Pajang yang berpihak kepada orang dilembah itu, setiap kali termangu-mangu. Ledakan cambuk Agung Sedayu benar-benar telah menggetarkan dada mereka. Ujung cambuk itu bagaikan bermata yang dapat melihat dimanakah lawan anak muda ada, bahkan dapat mengetahui dibagian mana ujung cambuk itu harus menyusup menyentuh lawan. Empat orang lawan Agung Sedayu itu tidak terlalu banyak dapat berbuat. Mereka hanya dapat menahan Agung Sedayu untuk tidak lebih mendekati pusaka-pusaka itu lagi. Agung Sedayu yang masih lelah itu termangu-mangu. Jika orang-orang dari dua pihak lawan itu tetap berkeras mempertahankan pusaka-pusaka itu, maka memang tidak ada cara lain daripada dengan kekerasan, sementara matahari menjadi semakin rendah dan hampir menyentuh ujung dedaunan di arah Barat. Itulah sebabnya, maka akhirnya Agung Sedayu dengan berat hati terpaksa memaksa diri untuk dapat menembus hambatan-hambatan yang ada agar ia dapat mencapai pusaka-pusaka itu sebelum gelap menyelubungi lembah. Keragu-raguan terasa menjalari jantung anak muda itu. Namun kemudian ketika terpandang olehnya selongsong putih pada pusaka-pusaka itu, hatiya bagaikan tergerak. Ternyata bahwa sebenarnya Agung Sedayu tidak banyak mengalami hambatan dan lawan-lawannya. Senjatanya dengan dahsyatnya telah mengusir dan menyibakkan para Senapai dan prnjurit yang melawannya. Tetapi hambatan terbesar justru datang dari diriya sendiri. Meskipun ia sudah terlalu sering mengalami pertempuran, namun ia masih terkejut dan bahkan menjadi berdebar-debar jika ia mendengar seseorang memekik kesakitan justru kena ujung cambuknya. Terhadap kematian Ki Gede Telengan Agung Sedayu tidak banyak mengalami kejutan batin selain kelemahan yang sangat. Kematian orang itu, seakan-akan memang seharusnya terjadi bagi keselamatan sesama dimasa mendatang. Tetapi hambatan prajurit-prajurit kecil benar-benar telah menjadi persoalan didalam hati Agung Sedayu. Karena itulah maka kadang-kadang kemajuannya justru menjadi lamban. Namun jika nalarnya sempat ikut menentukan sikapnya, maka iapun menjadi agak keras menghadapi lawan-lawannya. Meskipun tersendat-sendat namun Agung Sedayu menjadi semakin dekat dengan pusaka-pusaka yang diduga berasal dari Mataram itu, karena bentuk yang nampak, keduanya adalah sesosok payung dan sebatang tombak. Sementara itu Ki Tumenggung Wanakerti mulai melihat kelemahan Ki Gede Menoreh dalam pertempuran yang semakin sengit.Ia dapat mengetahui bahwa dalam pertempuran yang mengerahkan segenap ilmu kaki Ki Gede Menoreh mulai terasa mengganggu. Betapapun tinggi ilmu Ki Gede Menoreh dan betapa cermat ia memperhitungkan keadaan dirinya, namun kemudian ternyata bahwa keaadaan kakinya mulai menghambat segala-

galanya. Meskipun demikian, Ki Tumenggung masih belum berhasil mendesaknya. Namun dengan lantang ia berkata, ”Tak ada yang dapat kau lakukan lagi Ki Gede. Kakimu yang timpang telah menentukan nasibmu. Aku tidak akan berbelas kasihan meskipun kau akan menangis menyesal, nasibmu yang buruk. Kematianmu akan menghancurkan seluruh Tanah Perdikanmu yang subur, meskipun dilereng pegunungan.” Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya. Ia memang sudah merasa bahwa sebentar lagi, kekuatannya tentu akan susut. Jika kakinya meniadi semakin kambuh, ia tentu akan mengalami banyak kesulitan. Tetapi Ki Gede Menoreh adalah orang yang cukup berpengalaman. Ia masih berhasil menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan tubuhnya. Karena itu, gerak kakinyta menjadi menjadi semakin terbatas. Meskipun demikian ia masih mampu menghadapi Ki Tumenggung Wanakerti. Ketika langit menjadi remang-remang Ki Tumenggung Wanakerti menjadi semakin mantap. Kaki Ki Gede Menoreh mulai nampak semakin parah meskipun ia masih bertahan dengan gigihnya. Tetapi ternyata kegelisahan yang lain telah timbul pada Ki Tumenggung Wanakerti. Ia melihat Agung Sedrayu menjadi semakin dekat dengan kedua pusaka itu. Perlahan-lahan Agung Sedayu berusaha mengusir hambatan didalam dirinya sehingga ia dengan nalar telah dapat memaksa diri untuk merebut pusaka-pusaka itu dengan mengorbankan beberapa orang yang menghalanginya. “Anak iblis itu memang harus dibunuh lebih dahulu,“ berkata Ki Tumenggung Wanakerti didalam hatinya. Namun iapun sadar bahwa yang disebutnya anak iblis itu telah berhasil membunuh orang yang bernama Ki Gede Telengan. Dan Ki Tumenggung Wanakerti tidak dapat mengingkari, bahwa Ki Gede Telengan adalah orang yang luar biasa. Semenrara itu didaerah pertempuran pada pasukan induk dari kedua belah pihak yang bermusuhan perang masih berlangsung dengan dahsyatnya. Masing-masing ternyata memiliki kelebihan dan kekuranganaya sehingga pertempuran itu benar-benar merupakan pertempuran yang mengerikan. Setiap kali diantara sorak dan teriakan dendam, terdengar jerit dari orang kesakitan. Darah menjadi semakin banyak menitik diatas tanah yang berdebu. Raden Sutawijaya telah bertempur bagaikan banteng terluka. Ia melawan siapa saja yang ada dihadapannya. Ia sadar, bahwa Tumenggung Wanakerti sedang meninggalkan arena pertempuran sementara sekelompok kecil Senapati bawhannya telah menggantikannya. Disebelah menyebelah Swandaru meledakkan cambukya tidak henti-hentinya. Lawannya menjadi

ngeri dan tergetar hatinya melihat putaran ujung cambuk yang dahsyat itu, sementara Pandan Wangi yang bersenjata sepasang pedang, bertempur bagaikan seekor harimau betina yang kehilangan anakanaknya. Sementara bayangan putih yang bergulung-gulung telah mencemaskan beberapa orang disekitarnya. Sekar Mirah benar-benar menguasai, bagaimana ia harus mempergunakan tongkatnya yang sudah banyak dikenal oleh para prajurit Pajang. Apalagi mereka yang pernah berhubungan dengan Jipang pada saat Jipang masih tegak sebagai sebuah Kadipaten yang dipimpin oleh Arya Jipang. Prastawa yang ada diinduk pasukan Tanah Perdikan Menoreh berhasil mengguncang arena itu. Orangorang yang ada dilembah itu terpengaruh oleh kehadirannya diarena. Namun pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang dibawa oleh Prastawa jumlahnya tidak terlalu banyak. Meskipun demikian, jumlah yang sedikit itu telah berhasil memecah perhatian orang-orang yang berkumpul di lembah itu. Gelar yang membaur diantara lawan. memang telah menyerap perhatian lawan yang menyongsongnya. Tetapi lawanpun memiliki kemampuan yang cukup untuk menyesuaikan diri dengan gelar yang mengejut itu. Prastawa yang memimpin pasukannya langsung menyerang induk pasukan lawan dari arah belakang. Ia segera bertempur bagaikan harimau lapar. Ia ingin menunjukkan, bahwa ia adalah kemanakan Kepala Tanah Perdìkan Menoreh, sehingga iapun memiliki kemampuan yang melampaui kemampuan orang kebanyakan. Setiap kali Prastawa mendengar ledakan-ledakan cambuk di garis perang yang lain. Agaknya dibagian Timur, Swandarupun telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk membunuh lawan-lawannya. Ki Waskita yang kemudian sudah berada dimedan itu pula, memperhatikan keadaan dengan saksama. Sebenarnya gelar yang membentur itu kurang disetujuinya. Ia mencemaskan anak-anak muda yang belum banyak berpengalaman. Namun semuanya sudah berlangsung. Perintah Prastawa telah dilaksanakan. Pasukan Tanah Perdikan Menoreh menyerang dalam gelar yang memerlukan kemampuan seorang demi seorang. Ki Waskita sendiri tidak merasakan kesulitan apapun pada saat ia berada dimedan. Namun perhatiannya lebih banyak ditujukan kepada anak-anak muda yang baru saja memasuki arena peperangan yang sebenarnya untuk yang pertama kali. Sekali-sekali Ki Waskita memang harus menolong mereka yang mengalami kesulitan. Dengan cermat ia mengikuti pertempursn itu diarena yang luas. Sekali-sekali Ki Waskita melomcat keujung pertempuran ketika ia melihat seorang pengawal Tanah Perdikan yang terdorong jatuh sementara lawannya sudah siap menusuk dengan tombaknya. Dengan tangkasnya Ki Waskita berhasil mendesak lawan itu untuk meloncat menghindari senjatanya. Sehingga pengawal yang jatuh itu sempat bangun kembali dan siap untuk bertempur.

Dikesempatan lain. Ki Waskita harus menyusup jauh kedalam garis perang. Jika ia melihat seorang pengawal yang terjebak kedalam himpitan pasukan lawan. Dengan garangnya ia berusaha untuk menyelamatkan pengawal itu dan menariknya kembali kegaris pertempuran. “Pertempuran yang terjadi dalam gelar ini sebenarnya kurang menguntungkan,” desisnya. Namun ia dapat mengerti, kenapa Prastawa memilih gelar itu, Ki Waskita mengerti bahwa diujung yang lain, sayap pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah tertahan, sehingga Prastawa ingin membenturkan pasukan yang sedikit itu kesegenap garis perang. Dalam pada itu. pasukan yang ada dilembsh itupun harus menghadapi dua arah yang berbeda. Diarah Timur, pasukan Materam dan Kademangan Sangkal Putung berada dalam gelar sedang dibagian Barat pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah menebarkan pasukannya langsung kedalam lingkungan lawan dalam gelar Glatik Neba, sehingga yang timbul kemudian adalah perang brubuh yang tidak dibatasi oleh garis benturan. Namun ternyata kemudian bahwa keadaan pasukan Tanah Perdikan Menoreh agak kurang menguntungkan. Seorang demi seorang, bekas prajurit Pajang, mempunyai kelebihan dari anak-anak muda yang baru pertama kali mengenal pertempuran yang sebenarnya. Meskipun Prastawa sendiri ternyata memiliki beberapa kelebihan, tetapi pengawal-pengawal yang dibawanya berada dalam keadaan yang lain. Namun sementara itu, pasukan Mataram dan Sangkal Putung telah menemukan keseimbangannya dalam benturan kekuatan dengan pasukan lawan. Karena sebagian dari pasukan lawan harus menarik diri dan melawan pasukan Tanah Perdikan Menoreh, maka pasukan yang berada dilembah itu tidak lagi dapat mendesaknya surut. Dalam pada itu, Senapati yang mengalami pertempuran melawan pasukan Tanah Perdikan Menoreh segera melihat kelemahan pasukan lawan itu. Mereka melihat bahwa anak-anak muda didalam pasukan Prastlawa masih harus bertempur berpasangan. Kadang-kadang pengawal yang lebih tua harus memberikan perlindungan jika anak-anak muda itu menjadi bingung. Karena itulah, maka iapun telah menemukan cara yang sangat menentukan. Senapati itu ternyata cerdik sakali. ia tidak saja mempergunakan senjatanya untuk mengalahkan lawannya. Tetapi iapun berusaha umuk membuat kejutan-kejutan yang dapat mempengaruhi langsung perasaan pengawal-pengawal muda. Karena itu. maka tiba-tiba saja Senopati itupun berteriak memberikan aba-aba, “Kita hancurkan dahulu pasukan yang kehilangan ikatan ini. Mereka seperti pasir yang terbaur dimedan yang garang. Bunuh semuanya baru kita menghiraukan pasukan Mataram yang sudah hampir binasa itu. Suara itu telah terdengar oleh pasukan yang sedang bartempur disekitar Senopati itu. Apalagi ketika perintah itu disahut dan diteruskan oleh teriakan-teriakan para kelompok dari pasukan yang berada

dilembah itu. Seperti yang dimaksud, maka pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang masih belum berpengalaman telah menjadi kecut mendengar perintah yang sahut-menyahut. Dada mereka menjadi bergetar karena kegelisahan. Prastawa menjadi sangat marah mendengar perintah itu. Karena itu iapun segera menyahut, “Jangan cemas. Pasukan yang kita hadapi sudah menjadi putus asa.” Tetapi tidak terdengar suara lain yang menyahut. Agaknya para pemimpin kelompok dari Tanah Perdikan Menoreh itupun sedang sibuk dengan anak buah masing-masing. Apalagi mereka telah berpencaran menebar di arena yang panjang. Maniun ternyata bahwa perintah itu tidak saja terdengar oleh lawan yang datang dari sebelah Barat. Para pengawal Mataram dan Sangkal Putungpun ternyata telah mendengarnya pula. Bahkan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itupun mendengar perintah yang sambung menyambung pada padukan lawan agar mereka menghancurkan pasukan Tanah Perdikan Menoreh lebih dahulu. Karena itulah maka iapun menjadi berdebar-debar. Jika perintah itu dilaksanakan, maka Tanah Perdikan Menoreh akan memberikan terlalu banyak pengorbanan bagi kepentingan Mataram sementara Raden Sutawijaya masih belum mendapatkan gambaran yang pasti tentang gelar pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Itutah sebabnya, maka iapun kemudian memerintahkah dua orang penghubung pilihan untuk mencari keterangan diseberang garis perang, untuk mendapatkan keterangan yang pasti tentang pasukan Tanah Perdikan Mahoreh. Tetapi berhati-hatilah. Sementara aku akan memberikan tekanan kepada pasukan lawan, agar mereka tidak dengan semena-mena menghancurkan pasukan Tunah Perdikan Menoreh.” Pengubung itupun kemudian minta diri untuk mencari jalan menuju kebagian Barat dari arena pertempuran. “Jika perlu, kami akan memanjat tebing agak tinggi untuk menghindari lawan,“ berkata penghubung itu. “Terserahlah kepadamu. Tetapi jangan sampai terjadi salah paham justru dengan pasukan Menoreh mendiri.” Penghubung itupun kemudian meninggalkan pasukannya, menyusup dibelakang garis perang menepi memanjat tebing yang terlindung oleh pepohonan. Namun sementara itu. Raden Sutawijaya telah memberikan tekanan kepada pasukan lawan. Iapun kemudian memberikan

perintah, “Jangan beri kesempatan kepada orang-orang yang telah berkhianat terhadap Pajang dan Mataram. Mereka sudah kehilangan pegangan.“ Barbeda dengan suara Prastawa, maka dalam gelar yang mapan, setiap pemimpin kelompok pasukan Mataram menyambut perintah itu dan meneriakannya dengan cara masing-masing, bahkan para pemimpin kelompok pasukan pengawal Sangkal Putung pun telah menyambutnya pula. Di sayap pasukan Mataram dan Kademangan Sangkal Putung perintah bekas Senapati yang memimpin pasukan dilembah itupun terdengar pula. Juga terdengar oleh Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar diujung-ujung yang berseberangan. Namun dalam pada itu, Ki Waskita telah mendengar pula perintah itu, sehingga dadanya menjadi berdebar oleh debar dijantungnya. “Jika benar, maka pasukan Tanah Perdikan Menoreh akan mengalami kesulitan,“ katanya didalam hati. Namun sebenarnyalah bahwa ia mulai melihat kesulitan pada diri sendiri. Bahkan karena ia takut menghadapi akibat dari perintah Senapati dari pasukan yang berada di lembah itu, tetapi dengan demikian ia harus benar-benar bertempur dengan segenap kemampuannya. Dan itu berarti bahwa ia akan membunuh lawan lebih banyak lagi. Dalam kebimbangan itu, Ki Waskita mulai melihat kegelisahan digaris perang. Agaknya lawan yang mendengar perintah itu mencoba untuk melakukannya. Menghancurkan pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang lemah. Baru kemudian mereka akan menghadapi sepenuhnya pasukan Mataram. Untuk beberapa saat Ki Waskita menunggu. Namum agaknya pasukan dilembah itu benar-benar telah memalingkan perhatian mereka terutama pada pasukan Tanah Perdikan yang lemah. Sebagian dari mereka sekedar menahan tekanan pasukan Mataram dan Sangkal Putung, sementara kekuatan mereka telah beralih pada pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang menyerang mereka dengan gelar yang kurang menguntungkan bagi para Pengawal yang masih muda dan belum berpengalaman. “Tidak ada pilihan lain.“ desis Ki Waskita. Karena itu maka ia mulai mempersiapkan diri untuk bertempur lebih dahsyat lagi. Mungkin ia akan terpaksa membunuh dan membunuh. Tetapi mungkin nasib buruk akan dapat menimpanya karena Ki Waskitapun sadar bahwa diantara orang-orang dilembah itu terdapat orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Ternyata seperti yang diperhitungkan, Ki Waskita benar-benar harus meningkatkan tenaganya menghadapi arus yang rasa-rasanya menjadi semakin deras, mendorongnya. Anak-anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh yang belum berpengalaman menjadi semakin bingung. Pasukan di lembah itu rasa-rasanya mulai memutar haluan perangnya. Mereka sebagian besar telah berpaling dan menghadapi pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang lemah. Dengan demikian, maka Ki Waskita tidak dapat bersikap lain kecuali melihat kenyataan, bahwa korban dari Tanah Perdikan Menoreh tentu akan berlipat ganda jika anak-anak muda itu dibiarkannya

kebingungan. Karena itulah, maka tiba-tiba saja Ki Waskita menjadi garang ia tidak lagi sekedar bertempur melindungi satu dua orang, tetapi ia telah memilih cara yang baik untuk menyelamatkan pasukan Tanah Perdikan Menoreh, terutama disayap yang hanya sebelah itu. Sikap Ki Waskita telah mengejutkan orang-orang yang berada dilembah itu. Ketika ia mulai memutar senjatanya dan berloncatan, maka orang-orang dilembah itu menganggapnya sebagai orang yang sedang bingung. Namun karena kemudian ternyata senjatanya mulai menyentuh bagian-bagian terpenting dari lawan-lawannya. maka merekapun mulai memperhatikannya. Kawannya mengerutkan keningnya. Dengan garang ia berkata, Aku akan membunuhnya,” desis seseorang. Tetapi ketika ia berusaha mendekati Ki Waskita, tiba-tiba saja ia terpekik. Hampir diluar penglihatan matanya, tiba-tiba saja ujung pedang lawan telah menghunjam dipundaknya, sehingga iapun terdorong surut, dan jatuh diatas tanah yang memang sudah merah oleh darah. “O,” desisnya. Tetapi orang yang melukainya telah meloncat pergi dan menghunjamkan senjataya pada orang lain lagi. Namun betapapun juga garangnya Ki Waskita, tetapi lawan semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin banyak. Pasukan lawan seakan-akan benar-benar telah menghadap pasukan pengawal Tanah Perdikan yang lemah, sehingga beberapa saat kemudian, hampir setiap orang berbaur disepanjang medan telah terdepak mundur. Tatapi dengan demikian, Ki Waskita menjadi lebih banyak melukai dan bahkan membunuh. Lawan tidak henti-hentinya mengalir. Yang satu terlempar, dua orang datang menyusul. Yang dua tersingkirkan, tiga telah bersiap menyerangnya. Ki Waskita menjedi berdebar-debar. Apakah ia harus membunuh dan melukai berpuluh-puluh orang yang ilmunya tidak seimbang. Tetapi Ki Waskita belum menjumpai orang yang memiliki ilmu yang melampaui sesama. Dalam pada itu. Empu Pinang Aring tidak dapat berbuat lain kecuali bertempur melawan Kiai Gringsing. Meskipun Ia mendengar juga perintah untuk menghancurkan dahulu pasukan Tanah perdikan Menoreh, namun orang bercambuk itu telah mengikatnya dalam pertempuran yang garang. Bahkan setiap kali ia telah merasa terdesak oleh kecepatan ilmu Kiai Gringsing, yang dilambari dengan kekuntan batin yang luar biasa. Empu Pinang Aring sendiri orang yang pilih tanding. Jarang sekali terdapat orang yang memiliki berbagai macam ilmu seperti Empu Pinang Aring.

Namun berhadapan dengan Kiai Gringsing, ia harus mengakui, bahwa ujung cambuk lawannya masih lebih lincah dari ujung senjatanya yang mengerikan. Namun sementara itu, Ki Jagaraga yang harus bertempur melawan sekelompok orang-orang Mataram telah mejadi jemu berloncatan dan saling mamburu. Karena itu, perintah yang didengarnya telah memberikan kemungkinan baru pada arena yang semakin kisruh menjelang matahari turun kebali Gunung. Itulah sebabnya, maka iapun kamudian berpaling menghadap pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Ia ingin menemukan arena pertempuran yang lain daripada melawan sekelompok orang-orang Mataram yang seakan-akan telah membatasinya dalam lingkungan yang ketat. Tetapi Ki Jagaraga sama sekali tidak menduga, bahwa ketika ia melepaskan diri dari lawan-lawannya dan muncul di garis perang dalam keadaan yang lebih kisruh lagi, seseorang selalu mengawasinya. “Ternyaia ada juga orang yang harus aku perhatikan,” berkata Ki Waskita didalam hatinya. Agaknya Ki Jagaraga ingin mendapatkan kesempatan membunuh sebanyak-banyaknya. Sejenak ia mengawasi perang brubuh yang semakin tidak seimbang, karena pasukan dilembah itu menguasai hampir disetiap titik pertempuran. Namun ketika ia mulai menggeram bagaikan hantu yang kahausan melihat titik-titik darah ditubuh mangsanya, telah dikejutkan oleh hadirnya seseorang. Agaknya Ki Waskita tidak dapat membiarkan pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang parah menjadi semakin parah. Ki Jagaraga tertegun sejenak ketika tiba-tiba saja Ki Waskita sudah berada dihadapannya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “He. siapa kau? Apakah kau dengan sengaja menjumpai aku, atau secara kebetulan saja kau berdiri dihadapanku?“ “Mungkin secara kebetulan,” jawab Ki Waskita, “kita berada dimedan pertempuran.” “Persetan. Jika secara kebetulan kau berada dihadapanku sekarang maka nasibmu adalah nasib yang paling buruk. Mungkin akhirnya kau akan mati juga tanpa aku, tetapi mungkin kau masih mempunyai waktu untuk melihat matahari tenggelam dan bintang-bintang gemerlapan dilangit. Tetapi dihadapanku umurmu tidak lebih dlari dua tiga kejapan mata.” Ki Waskita mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, “Yang aku lakukun adalah tugas seorang pengawal. Apapun yang terjadi adalah kejadian yang wajar sekali bagi seorang dimedan perang.“ Ki Jagaraga menggeram. Wajahnya menjadi merah membara. Orang yang berdiri dihadapannya

nampaknya tetap tenang mengahadapinya. Ia sama sekali tidak menjadi ketakutan dan cemas. Namun Ki Waskita memang manjadi kecut hatinnya. Bukan karena dirinya sendiri. Tetapi jika ia terikat dalam partempuran melawan seseorang, maka keadaan para pengawal Tanah Perdikan tentu akan lebih buruk. Tetapi ia tidak sempat membuat banyak pertimbangan. Ki Jagaraga yang demikian marahnya telah menyerangnya dengan dahsyatnya. Orang itu ingin membunuh Ki Waskita pada serangannya yang pertama seperti dikatakannya bahwa lawannya itu hanya mendapat kesempatan hidup beberapa kejap saja. Namun ternyata bahwa Ki Waskita sempat mengelak. Serangan Kiai Jagaraga sama sekali tidak menyentuhnya. Pakaiannyapun tidak. Dengan geram maka Kiai Jagaraga telah mengulangi serangannya. Namun seperti yang telah dilakukannya Ki Waskita sempat mengelak, dan bahkan iapun kemudian telah menyerangnya kembali dengan kecepatan diluar dugaannya. Sementara itu para penghubung yang ditugaskan oleh Raden Sutawijaya telah kembali. Ia telah berhasil memutari ujung sayap dengan memanjat tebing dan melihat pertempuran dibagian Barat. “Nampaknya pasukan Tanah Perdikan Menoreh berada dalam kesulitan,“ berkata penghubung itu setelah ia menemui Raden Sutawijaya di induk pasukan tidak nampak ada pemimpin yang kuat dimedan. Raden Sutawijaya mengangguk. Ia sadar, bahwa jika tidak ada tindakan yang dilakukannya, maka pasukan Tanah Perdikan Menoreh akan mengalami nasib yang buruk sekali. Setelah sejenak ia menimbang, maka tiba-tiba saja Raden Sutawijaya menarik diri dan menjumpai Ki Juru Martani. Katanya, “Aku akan membaurkan sebagian dari orang-orangku untuk menyusup sampai keseberang.” Ki Juru merenungi kata-kata Raden Sutawijaya;. Tetapi Ki Juru Martani tidak melihat kemungkinah lain. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh adalah dengan cara itu meskipun itu berarti bahwa gelar perangnya akan menjadi kabur. Karena itu maka Ki Jurupun kemudian mengangguk sambil menjawab, “ Lakukanlah. Jika benar pasukan itu hancur maka Mataram akan mempunyai hutang yang tidak terbayarkan. Dan menurut laporan mereka mempergunakan gelar Glatik Neba atau Pacar Wutah. Tetapi tidak nampak seorangpun yang dapat menjadi ancar-ancar pertempuran yang dahsyat itu.“ “Apakah Ki Gede Menoreh tidak ada didalam gelar yang berbahaya itu?” bertanya Ki Juru Martani.

Penghubung yang telah menyaksikan kesulitan di garis perang sebelah Barat tidak dapat menjawab dengan pasti. Dengan ragu-ragu ia hanya dapat menjawab, “Aku belum melihatnya. Mungkin ia berada diantara pertempuran yang hiruk pikuk.“ Ki Juru menganggu-angguk. “Sebentar lagi matahari akan turun. Jika orang-orang dilembah itu tidak ingin menghentikan pntempuran maka keadaan orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh tentu akan lebih parah lagi.” “Danang Sutawijaya,” berkata Ki Juru kemudian, “lakukanlah. Semakin cepat, semakin baik.” Raden Sutawijaya mengangguk. Katanya, “Kehadiran pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh memberikan banyak sekali pertolongan bagi pasukan Mataram dan Sangkal Putung. Karena itu, maka kehadirannya harus dipertahankan. Tetapi kita harus memilih, siapakah yang akan kita kirimkan keseberang, menerobos atau melingkari lawan.” “Cepatlah. Lakukanlah siapapun yang akan kau kirimkan.” desak Ki Juru Martani. “tetapi lebih baik melingkari ujung-ujung pertempuran.” Raden Sutawijaya mengangguk. Kemudian iapun memanggil beberapa orang penghubung. Diperintahkannya kepada para pemimpin sayap pasukan Mataram untuk memerintahkan sebagian dari pasukannya untuk meninggalkan gelar, dan memasuki arena dalam gelar yang khusus. Mereka harus berusaha menyusup diantara lawan sampai keseberang, lewat ujung dari medan dilereng Gunung. Para penghubung itupun dengan segera menyampaikan perintah Raden Sutawijaya kepada para Senapati. Mereka harus memasuki arena yang lebih luas, melingkari ujung sayap. Perintah itu cukup jelas bagi para Senapati. Karena lawan mereka sebagian telah ditarik keseberang, maka tekanan pasukan lawan memang menjadi jauh berkurang. Karena itulah, maka para Senopatipun segara memberikan penntah sambung-bersambung kepada beberapa kelompok yang berada dipaling ujung. Dengan tergesa-gesa pemimpin kelompok itu menarik pasukannya. Kemudian membawa mereka melingkari ujung sayap untuk mamasuki garis perang diseberang. “Kita akan mempergunakan gelar yang lain diseberang.“ berkata setiap Senopati yang telah mendapat penjelasan tentang keadaan medan diseberang, “kita akan memasuki arena dalam Glatik Neba.“ Para pengawal pun segera menyesuaikan diri dengan keadaan yang akan mereka hadapi. Mereka mempersiapkan diri untuk memasuki perang brubuh yang sulit. Apalagi matahari telah menjadi semakin rendah.

“Kalian adalah pengawal yang pernah mendapai latihan menghadapi segala medan,“ para Senopati memantapkan setiap hati prajurit. “kalian akan mempertaruhkan kemampuan kalian secara pribadi didalam perang brubuh. Tetapi kita tidak boleh lepas dari ikatan. Apalagi jika malam turun dan kita harus memelihara ketahanan diri dalam perang karena agaknya orang-orang dilembah ini tidak akan berhenti digelapnya malam.” Tetapi sejalan dengan susutnya pasukan di lembah itu pula, karena sebagian dari merekapun telah berpaling karena yang baru, yang nampaknya lebih menyenangkan untuk melepaskan nafsu membunuh sebanyakbanyaknya. Sutawijaya yang kemudian kembali keinduk pasukan merasa selalu digelisahkan oleh keadaan pasukan Tanah perdikan Menoreh, justru karena ia bertanggung jawab ata keseluruhan medan. Meskipun ia telah mengirimkan sebagian dari pasukannya dan para penghubungnya telah mamberitahukannya pula kepada pasukan Sangkal Putung, namun hatinya masih tetap gelisah. Jika pasukannya melingkari sayap, maka mereka memerlukan waktu untuk mencapai medan di seberang. Bahkan mungkin mereka akan segera terikat dalam pertemparan diujung-ujung sayap itu saja, sementara Induk pasukan Tanah Perdikan Menoreh akan tetap mengalami kesulitan. Dalam kegelisahan itu, maka Raden Sutawijayapun segera mengambil keputusan. Diperintahkannya seorang penghubung menyampaikan pesannya kepada Swandaru agar pimpinan pasukan Sangkal Putung itu tetap berada diinduk pasukan bersama Sekar Mirah dan Pandan Wangi. “Katakan aku akan menyusup menyeberangi pasukan lawan sampai kearena disebelah Barat,” berkata Sutawijaya. “Itu berbahaya sekali,“ seorang pengawalnya berusaha mencegahnya. Tetapi Sutawijaya tidak menghiraukannya. Dipanggilnya pengawal-pengawalnya yang terpercaya untuk dibawa menerobos masuk kedalam pasukan lawan dan akan muncul diseberang diantara pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang terdesak. Sejenak kemudian Raden Sutawijaya sudah siap. Ia tidak sempat minta pertimbangan Ki Juru Martani. Seperti kepada Swandaru iapun hanya mamberikan pesan, bahwa ia sendirilah yang akan menerobos masuk menembus pasukan lawan. Ternyata Raden Sutawijaya benar-benar melakukan apa yang dikatakannya. Dengan sekelompok pengawal terkuat, Raden Sutawijaya tiba-tiba saja telah menenggelamkan diri kedalam garis pertahanan lawan. Beberapa orang pengawalnya yang lain melindunginya dengan memberikan tekanan sekuat-kuat dapat mereka lakukan disekitar lubang tusukan sekelompok kecil pengawal yang bersama Raden Sutawijaya berusaha untuk menembus pasukan lawan, sementara baberapa orang yang lain telah mengaburkannya dengan membenturkan diri kedalam pasukan lawan dan langsung manuk pula ke seberang.

Sejenak diinduk pasukan itu terjadi goncangan-goncangan. Swandaru yang semula belum mengerti keadaannya terpengaruh pula oleh keadaan yang tiba-tiba itu. Namun kemudian ketika seorang penghubung telah menyampaikannya kepadanya, maka Swandarupun segera menempatkan diri dipusat induk pasukannya untuk menjadi jejer dalam perang gelar itu. Ternyata Raden Suiawijayapun benar-benar seorang senopati pinunjul. Dengan kemampuannya bersama beberapa orang pengawal ia dapat menyusup masuk menembus lawan yang terkejut sehingga merekapun diluar sadarnya telah menyibak. Tusukan langsung di induk pasukan itu benar-benar telah menggemparkan para Senopati bekas Prajurit Pajang yang ada diantara mereka yang berada dilembah itu. Tindakan Raden Sutawijaya benar-benar tidak mereka duga. Dalam pada itu. Senepati yang memiliki pasukan di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu segera menyadari, apa yang sedang dihadapinya. Karena itulah, maka iapun kemudian berteriak, “Cegah orang itu. Atau bunuh saja Sutawijaya yang gila itu.“ Perintah itu seakan-akan telah membangunkan pengikut-pengikutnya yang terpukau oleh Peristiwa yang tidak mereka sangka akan terjadi. Bahkan merekapun segera berhasil menguasai diri masing-masing ketika mereka melihat Senapatinya langsung menyerang Raden Sutawijaya. Namun dalam pada itu, Swandaru telah berada di pusat pasukan induknya. Ia telah menjadi jejer dari gelar perang pasukan Mataram dan Sangkal Putung. Cambuknya terdengar semakin keras meledak, bagaikan guntur dilangit. Sementara isterinya, Pandan Wangi ternyata telah membingungkan lawannya. Disebelah Sekar Mirah telah bertempur dengan sengitnya. Tongkatnya berputar menyambar-nyambar. sehingga lawannya menjadi kecut karenanya. Dengan demikian, maka perhatian pasukan dilembah itu benar-benar telah terbagi. Terutama diinduk pasukan hadirnya Swandaru, Sekar Mirah dan Pandan Wangi membuat mereka agak kesulitan. Ki Jera yang mendapat laporan tentang Raden Sutawijaya ternyata telah terkejut. Agaknya anak muda itu benar-benar telah kehilangan pengekangan diri. Kemarahannya telah tidak terbendung lagi, sehingga ia telah melakukan tindakan yang amat berbahaya. Tatapi ternyata bahwa Raden Sutawijaya masuk lebih dalam lagi pada tubuh lawan. Seakan-akan ia tidak menghiraukan sama sekali, hambatan lawan yang kadang-kadang memang gawat. Namun sambil bertempur Raden Sutawijaya maju terus. Seolah-olah ia tidak menghiraukan, apapun yang terjadi pada pasukan kecilnya. Dengan tetap ia mendesak maju untuk mencapai garis perang diseberang. Dalam pada itu, Prastawa di sebelah Barat, benar-benar telah mengalami kesulitan. Para Pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah benar-benar terdesak. Mereka tidak dapat menahan arus tekanan lawan

yang memiliki pengalaman yang lebih banyak dari anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi mereka yang belum cukup lama menjadi anggauta pengawal. Dengan demikian, maka bertambahnya pasukan lawan yang menghadapi para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah membuat para pengawal itu menjadi kecut. Namun dalam kesulitan itu tiba-tiba saja medan disebelah Baratpun mengalami goncangan. Tanpa diketahui sebabnya, maka pasukan lawan diinduk pasukan itu telah bergeser. Bahkan kemudian telah terjadi bagaikan angin pusaran diantara pasukan lawan. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang telah terdesak dan bahkan seakan-akan nasib mereka telah ditentukan ternyata mendapat kesempatan baru. Keadaan yang belum mereka ketahui dengan pasti telah terjadi diantara pasukan lawan, ternyata dengan geseran-geseran diantara mereka. Baru kemudian Prastawa yang telah menjadi sangat cemas akan keadaan anak buahnya, menyadari, bahwa telah hadir digaris perang itu. Raden Sutawijaya dengan beberapa orang pengawalnya. “Raden Sutawijaya,” Prastawa berteriak. Raden Sutawijaya yang telah berhasil menembus pasukan lawan itu mendengar namanya dipanggil, ia pun kemudian melihat anak muda yang memimpin pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang dibaurkan dalam gelar Glatik Neba, sehingga mereka telah membenturkan diri kedalam perang ruwet yang berbahaya. Raden Sutawijaya yang telah berada dimedan sebalah Barat itupun segera menyesuaikan diri. Iapun langsung ikut serta dalam pertempuran yang kacau. Ternyata kehadirannya telah memberikan pengaruh yang sangat besar. Beberapa pengawalpun telah ikut dalam perang brubuh itu bersama para pengawal Tanah Perdikan. Sementara itu, pasukan Mataram yang melingkari ujung-ujung sayappun telah berhasil mencapai garis perang yang berseberang. Seperti perintah yang mereka terima, maka merekapun segera menempatkan diri mereka masing-masing. Karena itu ketika setiap pemimpin kelompok telah menjatuhkan perintah, maka pasukan kecil yang melingkari ujung sayap itupun segera menyerang dalam gelar Glatik Neba pula. Satu gelar perang yang tidak mempunyai bentuk karena setiap orang akan segera membaurkan diri diantara lawan. Perubahan-perubahan yang terjadi kemudian benar-benar merupakan pertanda buruk bagi pasukan gabungan yang ada dilembah itu. Betapapun mereka terdiri dari orang-orang yang berpengalaman namun ternyata yang datang kelembah itu adalah tiga kekuatan besar yang tergabung pula Mataram, Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh. Orang-orang yang semula merasa dirinya kuat untuk menghancurkan Mataram itupun mulai kecut

hatinya. Sementara langit menjadi semakin buram. Warna kelabu kemerah-merahan nampak mulai membayang dibibir mega yang mengelir perlahan-lahan oleh angin yang lemah. Namun pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Tidak ada tanda-tanda bahwa kedua belah pihak akan menghentikan pertempuran saat gelap mulai turun. Agaknya pasukan gabungan yang ada dilembah itu akan bertempur sampai selesai. Kapanpun juga. Tetapi para pengawal dari Mataram telah membiasakan diri berlatih menghadapi saat pertempuran yang panjang. Bahkan bebrapa orang diantara mereka pernah mengalaminya langsung saat-saat mereka masih menjadi prajurit di Pajang, bersama sebagian dari mereka yang kini menjadi bagian dari pasukan dilembah itu. Namun dalam pada itu, Ki Juru Martani telah memikirkan apa yang harus dilakukan jika malam turun. Betatapun besar kemauan dua gairah perjuangan namun kemampuan jasmaniah para pengawal tentu terbatas, sehingga mereka memerlukan sesuatu yang penting bagi alas kekuatan mereka. Itulah sebabnya Ki Juru Martani tidak melupakan kemuungkinan untuk memberikan makanan kepada para pengawal dengan cara apapun. Ketika langit kemudian menjadi semakin gelap, maka mulailah Ki Juru Martani mengatur beberapa orang untuk mundur dari arena pertempuran sementara yang lain harus menyediakan obor yang apabila lembah itu telah menjadi gelap, harus segera dinyalakan untuk menerangi medan. Dibelakang garis perang, beberapa orang yang menjaga perkemahan orang-orang Mataram diantar oleh beberapa orang pengawal yang ditugaskan oleh Ki Juru Martani segera menyalakan api untuk membuat perapian. Para pengwal yang bertemur itu tentu membutuhkan makanan apapun bentuknya karena setelah sehari penuh mereka bertempur, maka tubuh mereka akan menjadi terlalu lemah jika mereka tidak mendapatkan alas kekuatan. Dengan cepat, orang-orang yang bertugas itupun menyiapkan makanan. Tidak hanya untuk para pengawal dari Mataram, tetapi juga dari Sangkal Putung. “Bagaimana dengan prajurit Tanah Perdikan Menoreh?” pertanyaan itu timbul pula dihati Ki Juru Martani. Apalagi ia mengetahui bahwa Raden Sutawijaya telah berada diseberang. Bagi Raden Sutawijaya sendiri tidak akan banyak masalah yang timbul meskipun ia harus bertempur sehari semalam tanpa makan aapun juga ia sudah terlalu biasa melatih diri dalam keadaan yang paling sulit. Tetapi tentu lain dengan para pengawal yang tidak mengalami penempaan diri seberat Raden Sutawijaya sendiri.

“Mudah-mudahan orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh sendiri sempat memikirkannya,” gumam Ki Juru Martani. Meskipun demikian, ia masih ingin membuat hubungan dengan mereka dengan mengirimkan dua orang penghubung yang akan melingkari arena pergi kegaris perang di seberang. Langit yang buram menjadi semakin buram. Beberapa ekor kelelawar telah mulai nampak berterbangan diwajah langit yang kemerah-merahan. Pepohonan dilembah itu mulai menjadi kehitamhitaman oleh bayangan rimbunnya dedaunan. Namun dentang senjata dan teriakan yang menggema di lembah itu masih saja bersahutan. Dibagian lain, diarena yang terpisah, Agung Sedayu bertempur dengan sengitnya, ia masih harus tetap bertempur melawan baberapa orang bekas prajurit Pajang, dan ia masih tetap harus berjuang mengatasi kesulitan didalam hatinya sendiri. Ke-ragu raguan dan kebimbangan masih saja merupakan hambatan yang harus diatasinya. Namun ketika warna-warna buram dilangit seolah-olah mulai turun menyelubungi lembah, maka ia benar-benar berusaha untuk dapat merebut kedua pusaka yang akan sangat berarti bagi Mataram itu. Sementara itu. Ki Tumenggung Wanakerti menjadi semakin yakin, bahwa Ki Gede Menoreh akan sangat terpengaruh oleh keadaan kakinya. Dalam pertempuran yang semakin dahsyat, Ki Gede Menoreh seakan-akan telah terikat ditempatnya hingga seakan-aian kakinya tidak lagi mampu melangkah dan berloncatan. Dengan keadaan yang demikian, Ki Tumenggung Wanakerti telah mempergunakan kelemahan itu sebaik-baiknya. Ia mulai menyerang berputaran. Kemudian meloncat menjauh untuk mengambil ancang-ancang.

Buku 109 KI GEDE Menoreh benar-benar berada dalam kesulitan. Seakan-akan ia hanya berkesempatan menahan dan menangkis serangan lawannya. Tetapi ia sendiri tidak sempat menyerang, karena dengan licik Ki Tumenggung Wanakerti selalu menjahuinya. Ki Gede Menoreh tidak mau memaksa diri untuk meloncat menyerang. Ia tidak mau menanggung akibat yang parah karena kakinya. Sehingga dengan demikian maka ia lebih baik mempergunakan nalarnya sebaik-baiknya untuk mengatasi kesulitannya. Ternyata Ki Tumenggung Wanakerti benar-benar ingin menghabisi perlawanan Ki Gede Menoreh. Serangannya semakin lama menjadi semakin dahsyat. Sebelum malam turun, Ki Tumenggung Wanakerti ingin menyelesaikan pertempuran itu, kemudian berusaha untuk menguasai kedua pusaka yang masih berada ditangan pengikut nya Ki Gede Telengan. Tetapi tidak mudah bagi Ki Tumenggung Wanakerti untuk melumpuhkan Ki Gede Menoreh yang cacad kaki itu. Meskipun Ki Gede Menoreh hanya sekedar mempertahankan diri, namun kadang-kadang senjatanya masih juga berbahaya bagi Ki Tumenggung. Namun Ki Tumenggung masih mempunyai banyak akal. Ia dapat mempergunakan ilmunya yang tinggi. Kakinyapun kemudian bagaikan kaki kijang direrumputan. Meloncat-loncat seolah-olah tidak menyentuh tanah berputaran disekeliling Ki Gede Menoreh. Sekali-sekali ia meloncat menjauh, kemudian tiba-tiba ia melingkar sambil menyambar lambung. Ki Gede Menoreh menjadi semakin sulit menghadapi cara yang cepat dan berjarak panjang itu. Setiap kali Ki Gede Menoreh selalu merasa terganggu karena kakinya. Meskipun tangannya masih cukup cepat, tetapi ia tidak akan dapat bertahan terlalu lama untuk melayani cara yang menyulitkan itu, karena ia harus berputaran menurut arah serangan lawannya. “Umurmu tidak akan lama lagi Ki Gede Menoreh yang perkasa. Aku akan menghabisimu dalam aji Langen Pati. Kau akan menikmati tarian mautku disekitarmu sebelum kau akan menemui nasib yang sangat buruk.” Ki Gede Menoreh tidak menjawab. Tetapi pada saat-saat terakhir ia harus benar-benar memeras segala macam ilmu yang ada padanya. Sebenarnya Ki Gede Menoreh tidak akan terpengaruh oleh kekuatan adji yang betapapun macamnya, karena ia mempunyai kemampuan untuk melawannya. Bahkan Ki Gede Menoreh akan sanggup menembus aji lembu Sekilan seandainya Ki Tumenggung Wanakerti benar-benar memilikinya, atau akan dapat bertahan terhadap aji Guntur Geni yang dapat membakar jantung lawan. Namun ia tidak dapat ingkar akan keadaan jasmaniahnya.

Segala macam ilmu dan kekuatan aji yang ada pada dirinya, ternyata tidak mampu mengatasi kesulitan yang timbul dari dirinya sendiri. Dan Ki Gede Menorehpun menyadari, akhirnya manusia harus pasrah akan kelemahan dan kekecilan diri, betapapun ia dapat menangkap ilmu yang sangat tinggi. Tetapi Ki Gede Menoreh tidak berputus asa. Ia masih mampu bertempur melawan Ki Tumenggung Wanakerti itu. Dalam keadaan yang semakin sulit, Ki Gede Menoreh masih dapat merasa bangga setiap ia mendengar ledakan cambuk Agung Sedayu. Rasa-rasanya suara itu telah menyejukkan hatinya. Anak muda yang selalu ragu-ragu dan kadang-kadang nampak kurang yakin akan sikapnya sendiri itu, agaknya telah bertempur dengan sepenuh kemampuannya untuk merebut pusaka-pusaka yang hilang dari Mataram, justru pusaka-pusaka yang terpenting. Tetapi ternyata bukan saja Ki Gede Menoreh yang perhatiannya tersentuh oleh ledakan cambuk Agung Sedayu. Ternyata bahwa Ki Tumenggung Wanakertipun selalu digelisahkan oleh suara cambuk itu. Sebagai orang yang memiliki ilmu yang tinggi, Ki Tumenggung mengerti, bahwa ledakan itu adalah merupakan berita betapa dahsyatnya ilmu orang yang menggenggam tangkai cambuk itu. “Ia akan segera berhasil menguasai kedua pusaka itu,” berkata Ki Tumenggung Wanakerti didalam hatinya, ”jika demikian, maka akan sangat sulit bagiku untuk merebutnya.” Karena itu, untuk beberapa saat lamanya, ia menjadi ragu-ragu. Ki Gede Menoreh yang telah diganggu oleh kakinya sendiri itu tidak segera dapat ditundukkan, sementara anak muda bercambuk itu sangat berbahaya bagi kedua pusaka yang sedang dikejarnya, karena telah dilarikan oleh Ki Gede Telengan. Sejenak Ki Tumenggung Wanakerti membuat pertimbangan-pertimbangan. Sementara langit menjadi semakin suram. Namun akhirnya Ki Tumenggung memutuskan untuk meninggalkan Ki Gede Menoreh dan menghadapi Agung Sedayu. “Beberapa orang bekas prajurit Pajang akan mengepung Ki Gede Menoreh agar ia kehilangan kesempatan untuk berputar-putar oleh cacat kakinya,” berkata Ki Tumenggung didalam hatinya, sementara ia ingin membinasakan Agung Sedayu dan merebut kedua pusaka itu dari tangan para pengikut Ki Gede Telengan. Karena itulah, maka iapun kemudian berteriak memanggil tiga orang pengawal kepercayaannya. Kemudian diserahkannya Ki Gede Menoreh kepada mereka, karena Ki Tumenggung Wanakerti bertekad untuk melawan Agung Sedayu. Ki Gede tidak sempat menahannya. Ki Tumenggung masih cukup cepat bergerak sementara kaki Ki Gede menjadi semakin mengganggunya.

Namun sepeninggalnya Ki Tumenggung, tugas Ki Gede menjadi lebih ringan. Meskipun ia harus menghadapi beberapa orang, namun para pengawalnya masih sempat membantunya. Kadang-kadang diantara lawan yang dihadapi, satu dua orang pengawalnya sempat membantunya, mengurangi tekanan ketiga orang lawannya, ketiganya bukanlah orang-orang yang memiliki kelebihan ilmu yang jauh dari kebanyakan para pengawal terpilih Tanah Perdikan Menoreh, namun mereka cukup kuat untuk mengurungnya dalam pertempuran. Sementara itu, Ki Tumenggung Wanakerti dengan tergesa-gesa menyibak arena untuk mendekati Agung Sedayu. Ia tidak ingin memberikan kesempatan kepadanya untuk mencapai pusaka yang kurang beberapa langkah saja daripadanya. Dengan tangkasnya Agung Sedayu bertempur melawan para pengikut Ki Gede Telengan yang mempertahankan pusaka itu dan para pengikut Ki Tumenggung Wanakerti yang berusaha mendahului mendapatkannya. Ternyata bahwa ujung cambuknya benar-benar telah menghantui medan yang menjadi semakin gelap. Agung Sedayu sendiri berusaha untuk dapat menguasai Pusaka-pusaka itu sebelum malam menjadi semakin kelam. Namun tiba-tiba langkahnya tertegun ketika tiba-tiba saja seseorang telah hadir dihadapannya sambil berteriak, ”Minggir. Biarlah aku yang menyelesaikan anak ini.” Agung Sedayu memandang orang itu dengan tegangnya. Ia sadar, bahwa orang itu adalah orang yang telah bertempur melawan Ki Gede Menoreh dan yang telah meninggalkannya untuk menahan gerak majunya mendekati pusaka itu. “Anak muda,” berkata Tumenggung Wanakerti, aku kagum akan kemampuanmu. Menurut ceriteranya, kau jugalah yang telah membunuh Ki Gede Telengan dengan ilmu yang serupa dengan ilmu kerling yang tidak ada artinya itu. Sekarang kau berhadapan dengan aku. Tumenggung Wanakerti. Aku bukannya orang yang suka pada semacam ilmu kerlingan mata. Tetapi cobalah kau bertahan dengan kemampuan ilmumu yang manapun juga.” Agung Sedayu tidak menjawab. Dipandanginya saja Ki Tumenggung Wanakerti dengan tajamnya. “Kau harus mati, dan pusaka-pusaka itu harus kembali kepadaku,” geram Ki Tumenggung Wanakerti. Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Orang ini tentu orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Ia telah berhasil bertahan melawan Ki Gede Menoreh, dan kini ia sengaja melawannya tanpa menghiraukan kematian Ki Gede Telengan. Karena itu, maka Agung Sedayu tidak mau kehilangan kesempatan. Demikian ia bersiap menghadapi Ki Tumenggung Wanakerti, maka iapun berteriak, ”Jagalah baik-baik agar orang-orang yang membawa pusaka itu tidak melarikan diri bersama pusakanya.” Perintah itu sudah pernah didengar oleh para pengawal.

Namun ketika Agung Sedayu mengulanginya, maka merekapun menjadi semakin gigih. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah berusaha untuk mengepung orangorang yang masih mempertahankan pusaka-pusaka itu dengan mempertaruhkan nyawa mereka. Sesaat kemudian, maka Ki Tumenggung Wanakerti yang hatinya telah terbakar oleh sikap Ki Gede Telengan, dan kemudian melihat kemungkinan yang semakin dekat bagi Agung Sedayu untuk memiliki pusaka itu, hatinya menjadi semakin menyala. Dengan Segenap kemampuannya ia langsung menyerang Agung Sedayu. Sementara Agung Sedayupun telah siap menghadapinya. Ketika serangan Ki Tumenggung Wanakerti lewat, maka meledaklah cambuk Agung Sedayu mengenai lawannya. Tepat pada lambungnya yang terbuka, karena tangan Ki Tumenggung mengayunkan senjatanya lurus kedepan mematuk lawan. Namun terasa pada tangan Agung Sedayu, bahwa ujung cambuknya telah menyentuh sesuatu yang seakan-akan memagari tubuh Ki Tumenggung Wanakerti. Apalagi ketika Agung Sedayu melihat, Ki Tumenggung seolah-olah tidak terpengaruh oleh sentuhan cambuknya. Ia hanya menyeringai. Namun kemudian seolah-olah sudah tidak terasa lagi. Dengan demikian, maka Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Ternyata bahwa orang yang menyebut dirinya Ki Tumenggung Wanakerti itu benar-benar seorang yang luar biasa. Ia agaknya memiliki sejenis ilmu yang dapat menjadi perisai bagi dirinya. Apakah aji Lembu Sekilan, apakah aji Tameng Waja, atau jenis-jenis yang lain, namun ternyata bahwa sentuhan ujung cambuknya tidak memberikan akibat yang menentukan pada lawannya, meskipun Agung Sedayu yakin bahwa cambuknya dapat mengenainya tepat pada lambung. Tetapi bahwa Ki Tumenggung Wanakerti masih nampak menyeringai menahan sakit meskipun hanya sesaat, Agung Sedayu dapat mengetahui, bahwa Ki Tumenggung Wanakerti tidak mutlak mempunyai sejenis Ilmu Kebal. Karena itu, maka Agung Sedayupun segera mempersiapkan diri menghadapi pertempuran yang tentu tidak kalah sengitnya dengan melawan Ki Gede Telengan. Apalagi Agung Sedayu masih diganggu oleh perasaan lelah badani dan jiwani, setelah ia mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Namun ternyata Ki Tumenggung Wanakertipun tidak sesegar saat ia mulai turun dimedan pertempuran melawan Raden Sutawijaya. Ia sudah memeras tenaganya dimedan pertempuran dalam induk pasukannya melawan Senapati Ing Ngalaga. Kemudian melawan Ki Gede Menoreh yang cacat kaki. Baru ia berhadapan dengan anak muda yang bersenjatakan cambuk itu.

Kesadaran akan lawannya, telah membuat Agung Sedayu menjadi semakin membenamkan, diri pada ilmunya. Keragu-raguan dan kebimbangan yang sering menghambat segala tingkah lakunya, perlahan-lahan menjadi kabur. Ada semacam dorongan didalam dirinya untuk mengatasi keragu-raguannya. Kedua pusaka itu harus direbutnya. Yang penting baginya, bukannya arti dari pusaka itu bagi Mataram saja. Tetapi ia juga menjadi ngeri membayangkan, jika kedua pusaka itu tetap berada ditangan orangorang yang tamak dan dikuasai oleh nafsu. Meskipun pusaka-pusaka itu tidak sesuai dan tidak memberikan pengaruh apapun juga kepada orang orang tamak, namun kesadaran mereka memiliki pusaka-pusaka itu. akan mendorong mereka untuk bertindak lebih jauh dan berbahaya bagi Pajang dan Mataram. Karena itulah maka sejenak kemudian. Agung Sedayu dan K i Tumenggung Wanakerti telah terlibat dalam pertempuran yang dahsyat. Ki Tumenggung yang menyadari bahwa anak muda itu telah berhasil membunuh Ki Gede Telengan, tidak mau mengalami kesulitan karena kelengahannya. Meskipun lawannya masih sangat muda, namun Ki Tumenggung Wanakerti harus mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada dirinya. Sejak semula ia sudah mengetrapkan kekuatan cadangan yang ada pada dirinya untuk memagari tubuhnya menurut pengetrapan ilmunya, agar senjata lawannya tidak berhasil melukainya dan apalagi melumpuhkannya. Wanakerti yang bagaikan gila itu, telah melihat Agung Sedayu bagaikan prahara. Serangannya datang beruntun dan berputaran tanpa menghiraukan dirinya sendiri. Ia terlalu yakin, bahwa senjata Agung Sedayu tidak akan banyak berarti bagi tubuhnya, sehingga dengan demikian Ki Tumenggung Wanakerti tidak pernah menghindarkan diri dari beturan-benturan ilmu yang terjadi. Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ia merasa bahwa tenaga Ki Tumenggung Wanakerti memang luar biasa. Bukan saja karena ilmu kebalnya meskipun tidak mutlak, tetapi kekuatannyapun benarbenar merupakan kekuatan raksasa, sementara ia mampu berloncatan secepat burung sikatan. “Ilmunya lengkap,“ desis Agung Sedayu kepada diri sendiri. Namun itu bukan berarti bahwa Agung Sedayu harus menyingkir dari medan dan melepaskan pusakapusaka itu. Agung Sedayu yang telah berhasil meningkatkan ilmunya dalam keadaan yang seakan-akan tidak dapat diperhitungkan dengan nalar hanya dalam waktu yang terhitung sangat singkat, meskipun ia sudah menguasai dasar-dasarnya sebelumnya, benar-benar telah diuji kemampuannya. Setelah ia berhasil membenturkan ilmunya dan membinasakan Ki Gede Telengan, maka ia harus membenturkan pula ilmunya dengan kekuatan raksasa. Dalam benturan-benturan berikutnya, Agung Sedayu merasa dirinya harus bergeser surut. Seranganserangan yang datang dari Ki Tumenggung Wanakerti benar-benar bagaikan badai. Dengan cambuknya Agung Sedayu kadang-kadang menahan. Tetapi setiap kali Ki Tumenggung yang

menyeringai menahan sakit untuk sekejap itu telah meloncat kembali dan menyerang dengan garangnya. Senjatanya kadang-kadang terjulur lurus mengarah dada, namun kemudian ditebaskannya mendatar setinggi lambung. Agung Sedayu harus berloncatan menghindarkan diri. Dengan dahsyatnya ia meledakkan cambuknya untuk memperlambat serangan-serangan lawannya. Dalam keadaan yang gawat, maka perlahan-lahan ilmu Agung Sedayu telah tersalur seluruhnya kedalam jalur kekuatan tangannya yang merambat pada cambuknya. Sehingga karena itulah, maka kemudian suara cambuknya semakin terdengar berbeda. Meskipun suaranya tidak lebih keras dalam tangkapan telinga wadag, namun Ki Tumenggung Wanakerti telah dikejutkan oleh getaran yang menyentuh telinga batinnya. Getaran ilmu yang dilontarkan dari ujung cambuk Agung Sedayu dalam tataran yang lebih tinggi. “Gila,“ geram Ki Tumenggung Wanakerti sambil meloncat surut. Dengan mata yang bagaikan menyala ia memandang Agung Sedayu sejenak. Sekali lagi Ki Tumenggung Wanakerti terkejut. Dalam kesuraman ujung malam, ia melihat bayangan wajah Agung Sedayu bagaikan cermin yang menunjukkan kepadanya, terkaman maut yang mulai mendekat. Gerak Agung Sedayu nampaknya menjadi semakin lamban. Ia tidak ingin mempergunakan tatapan matanya, karena ia tidak yakin akan dapat menembus perisai diseputar tubuh Ki Tumenggung Wanakerti. Namun ia lebih yakin akan kekuatan ilmunya yang tersalur lewat wadagnya. Hati Ki Tumenggung Wanakerti tergetar ketika lewat wadagnya Agung Sedayu yang tiba-tiba meledakkan cambuknya disisi tubuhnya sendiri. Adalah diluar jangkauan nalarnya, bahwa akibatnya benar-benar mengerikan. Yang sempat melihat, jantungnya bagaikan berhenti berdenyut. Demikian ledakkan cambuk menghentak, maka tiba-tiba saja disisi Agung Sedayu telah tergali sebuah lubang memanjang. Ujung cambuknya seakan-akan telah memecahkan bumi sehingga menganga. Ki Tumenggung Wanakerti menahan nafasnya sejenak. Ia benar-benar bertemu dengan seorang anak muda yang ajaib. Ki Tumenggung tidak akan gentar seandainya ia harus bertempur melawan Ki Gede Telengan yang bagaikan hantu bagi orang-orang yang telah mengenal ilmunya. Namun ketika ia harus berhadapan dengan anak yang masih sangat muda itu, rasa-rasanya ia sudah mulai berjanji dengan maut.

Tetapi Ki Tumenggung Wanakerti segera menghentakkan giginya. Iatidak mau dipengaruhi oleh kelemahan hati seorang pengecut. Karena itu maka tiba-tiba terdengar suaranya lantang, “Anak muda. Kau jangan berusaha mempengaruhi hatiku dengan permainan cambukmu seperti kebanyakan anak gembala di padang penggembalaan. Kau kini berhadapan dengan seorang prajurit linuwih, yang tidak akan dapat terluka oleh segala macam jenis senjata.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa K i Tumenggung Wanakerti berusaha mengimbangi kekuatannya dengan ilmunya yang dahsyat lewat lontaran suaranya. Gemanya bagaikan menggelegar seratus kali lebih keras didalam rongga dadanya, sehingga rasa-rasanya tulang-tulang iganya menjadi rontok karenanya. Tetapi Agung Sedayu memiliki daya tahan yang luar biasa. Ia sadar bahwa suara Ki Tumenggung Wanakerti telah menghentikan pertempuran disekitarnya. karena kedua belah pihak sedang berusaha menahan agar dadanya tidak retak karenanya. Namun demikian mereka menguasai diri, maka pertempuranpun telah meledak lagi dengan dahsyatnya. Juga antara Ki Wanakerti dengan Agung Sedayu. Selangkah demi selangkah Ki Tumenggung Wanakerti mendekati Agung Sedayu. Wajahnya yang tegang penuh dendam membuatnya meniati semakin garang. Gelap malam mulai meraba lembah yang dibatasi Gunung Merbabu dan Gunung Merapi itu. Namun pertempuran yang terjadi masih berkobar dengan dahsyatnya disegala medan. Juga Agung Sedayu yang bertempur melawan Ki Tumenggung Wanakerti. Meskipun keduanya telah dipengaruhi oleh kewajaran badani, sehingga kemampuan mereka susut, namun mereka masih tetap merupakan dua kekuatan raksasa yang bertempur dengan dahsyatnya. Ki Tumenggung Wanakerti benar-benar seorang yang memiliki kecepatan bergerak yang luar biasa. Serangannya bagaikan petir yang menyambar dilangit. Tetapi Agung Sedayu bukan sebatang pohon raksasa, atau seonggok batu karang yang beku. Secepat petir menyambar, maka secepat itu pula Agung Sedayu mampu menghindari serangan Ki Tumenggung Wanakerti, sehingga serangan itu tidak mengenai sasarannya. Betapa besur kekuatan serangan itu terasa oleh Agung Sedayu pada desir angin yang menyapu tubuhnya. Meskipun senjata lawannya sama sekali tidak menyentuhnya, tetapi hati Agung Sedayu berdesir oleh kesadarannya, bahwa jika senjata itu mengenainya, maka tubuhnya akan sobek dan tidak akan perlu mengulangi, maut akan segera memeluknya. Namun dalam pada itu, ujung cambuk Agung Sedayu masih mampu menyusul kecepatan gerak Ki Tumenggung Wanakerti. Meskipun hanya sebuah sentuhan, namun ternyata bahwa lontaran ilmu tertinggi yang sudah tersalur lewat wadag dan senjatanya. Agung Sedayu telah mampu menunjukkan bahwa ilmunya benar-benar merupakan hantu yang garang bagi Ki Tumenggung Wanakerti.

Ternyata demikian ia meluncur dengan serangannya yang berhasil di hindari oleh Agung Sedayu, ujung cambuk Agung Sedayu telah menyentuh betis kakinya. Ki Tumenggung Wanakerti benar-benar telah terkejut. Sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu benar-benar lelah meremas kulitnya dan bagaikan meretakkan tulang-tulangnya. Ki Tumenggung Wanakerti mengeluh pendek. Sentuhan itu tidak hanya menumbuhkan rasa pedih sesaat yang segera lenyap karena kekebalannya. Tetapi ilmu anak muda itu dalam hentakkan segenap kekuatannya tidak hanya sekedar menembus perisai yang menyelubunginya dalam pewadagan kekuatan batiniah, yang terpancar oleh kekuatan ilmunya, namun ilmu Agung Sedayu yang muda itu benar-benar telah berhasil menyakitinya. Karena itulah, maka Ki Tumenggung Wanakerti tidak lagi dapat bersembunyi dibalik perisai yang tidak kasat mata, tetapi terasa dalam sentuhan wadag. Ternyata bahwa ujung cambuk dalam landasan ilmu Agung Sedayu telah berhasil melampuinya. Ki Tumenggung menjadi semakin berhati-hati. Namun dengan demikian ia tidak lagi dapat bergerak terlalu cepat, karena ia harus membuat pertimbangan-pertimbangan dan perhitungan atas tata geraknya. Dengan demikian, maka pertempuran itupun segera mempunyai bentuknya yang lain Ki Tumenggung Wanakerti yang berhati-hati dan menghitung semua gerak dan sikap, telah dilihat oleh serangan Agung Sedayu yang bagaikan badai. Cambuknya meledak-ledak diseputar lawannya tanpa dapat ditahan, sehingga setiap kali sentuhan-sentuhan kecil menjadi semakin sering meraba tubuhnya. “Gila. Anak ini benar-benar mempunya ilmu iblis,” geramnya didalam dadanya yang hampir retak. Tetapi ia benar-benar tidak dapat bersembunyi lagi dibalik ilmu kebalnya yang ternyata masih teratasi oleh kemampuan ilmu Agung Sedayu lewat ujung cambuknya meskipun ujung cambuk itu tidak berhasil merobek kulitnya seperti jika terjadi pada orang lain. Namun perasaan sakit dan pedih tidak lagi dapat diingkarinya. Sementara itu Agung Sedayupun menjadi heran. Sentuhan-sentuhan senjatanya dapat membuat lawannya merasa sakit. Tetapi ujung senjatanya dalam lontaran ilmunya masih belum mampu melukai kulit Ki Tumenggung Wanakerti. Dengan demikian, maka pertempuran itupun menjadi semakin dahsyat. Keduanya benar-benar memiliki kekuatan raksasa yang luar biasa. Namun, akhirnya Ki Tumenggung Wanakerti harus mengakui, bahwa wajarlah jika Agung Sedayu dapat mengimbangi ilmu Ki Gede Telengan sehingga orang yang disegani itu telah terbunuh.

Pengakuan itu benar-benar telah menggoncangkan ketahanan batinnya. Ia merasa bahwa usahanya akan sia-sia. Ketika ujung cambuk lawannya menyengat kulitnya dan terasa sakitnya meskipun hanya sesaat, ia sudah curiga, bahwa perisai ilmu kebalnya akan dapat menyelamatkannya melawan anak ini. Apalagi kemudian, peningkatan ilmu Agung Sedayu menjadikannya semakin bimbang, apakah ia akan dapat bertahan. Ternyata semakin lama, tubuhnya yang setiap kali tersentuh ujung senjata Agung Sedayu menjadi semakin lemah. Meskipun ia tidak terluka, namun rasa-rasanya tulang-tulangnya telah berpatahan dan tidak mampu menjadi lanjaran tubuhnya lagi. Meskipun demikian, Ki Tumenggung Wanakerti adalah seorang prajurit linuwih. Ia tidak menyerah karena pengakuan didalam hati. Ia merasa wajib untuk bertempur sampai kemungkinan terakhir. Itulah sebabnya, maka betapapun perasaan sakit mencengkamnya, tetapi ia justru bagaikan menjadi gila. Dengan hati yang bagaikan menyala ia menyerang seperti seekor harimau yang terluka. Pada saat-saat terakhir, terasa oleh Agung Sedayu, lawannya telah kehilangan pegangan. Tetapi dengan demikian ia menjadi semakin ganas dan liar. Senjatanya berputaran dan menyambar nyambar seperti seekor lebah yang terbang mengitari lawannya. Meskipun Ki Tumenggung Wanakerti sudah mulai kebingungan, tetapi nalurinya sebagai seorang yang berilmu tinggi, masih juga sempat membingungkan Agung Sedayu. Iapun harus menyesuaikan diri dengan serangan-serangan yang datang beruntun dan kadang-kadang benar-benar liar dan buas. Dengan kasar pula Agung Sedayu harus menghindarinya. Kadang-kadang juga berloncatan panjang, dan bahkan kadang-kadang harus merunduk dan berguling. Pada saat-saat Ki Tumenggung Wanakerti sudah berputus asa, lontaran dendam dan kebenciannya masih sangat berbahaya bagi Agung Sedayu. Sambaran senjatanya melontarkan angin yang menyapu diseputarnya. Namun ketika Agung Sedayu terlambat meloncat oleh serangan yang kasar, maka senjata lawannya benar-benar telah menyentuh tubuhnya. Agung Sedayulah yang kemudian menyeringai menahan sakit. Kulitnya benar-benar telah tergores oleh senjata lawannya, meskipun tidak begitu dalam. Namun darah yang menitik seakan-akan telah mencuci segala keragu-raguan dan kebimbangan. Agung Sedayu yang menjadi sadar akan keadaannya, telah bangun kembali dari keragu-raguan yang mulai tumbuh lagi sejak ia melihat lawannya berputus asa. Tetapi ternyata bahwa dalam keadaannya itu. Tumenggung Wanakerti justru menjadi lebih berbahaya. Bukan saja bagi dirinya, tetapi juga bagi keselamatannya. Cambuk Agung Sedayu menjadi semakin cepat bergerak dan

semakin dahsyat mematuk tubuh lawannya. Dengan demikian, maka terasa tubuh Ki Tumenggung Wanakerti menjadi semakin lemah. Tulangtulangnya terasa bagaikan remuk sama sekali, sehingga dengan demikian, ia sudah tidak mempunyai harapan untuk dapat menguasai kedua pusaka itu lagi. Ki Tumenggung benar-benar telah berputus asa. Hilangnya kedua pusaka itu dari lingkungannya karena pengkhianatan Ki Gede Telengan memang harus ditebus dengan segala yang paling berharga dari dirinya. Tubuh dan nyawanya. Bekas perwira prajurit Pajang yang memiliki kelebihan dari prajurit kebanyakan itu, merasa bahwa ia telah gagal. Ia tidak lagi menghiraukan apakah induk pasukannya akan menang. Karena betapapun juga hilangnya dua pusaka itu dari lingkungannya, berarti maut baginya. Justru mungkin dengan cara yang lebih mengerikan, jika ia harus mempertanggung jawabkan kepada Kakang Panji dan sidang orang-orang terpenting diantara mereka. Itulah sebabnya, maka Ki Tumenggung Wanakerti sama sekali tidak berniat untuk menyelamatkan dirinya lagi. Tenaganya yang tersisa diperasnya sama sekali dengan serangan-serangan yang tidak berperhitungan lagi. Namun justru karena itu, terasa dada Agung Sedayu bergetar, Ki Tumenggung Wanakerti benar-benar seperti orang gila. Ia menyerang dengan dahsyatnya meskipun ia sadar, bahwa Agung Sedayu sudah siap meledakkan cambuknya saat ia meloncat. Tetapi Ki Tumenggung Wanakerti tidak mengurungkan serangannya. Justru ia meloncat sambil mengulurkan senjatanya lurus-lurus langsung menyerang dada. Agung Sedayu yang berdebar-debar merasa seolah-olah telah berhadapan dengan hantu yang bangkit dari kuburnya. Ada semacam kengerian yang merambat didalam hatinya melihat sikap lawannya yang tidak wajar itu. Justru karena kengerian itulah, maka hampir diluar sadarnya. Agung Sedayu telah bergeser setapak. Kemudian mengangkat tangkai cambuknya sambil memusatkan segenap kemampuan ilmu yang ada padanya. Tepat pada saat Ki Tumenggung Wanakerti menerkamnya dengan ujung senjata, Agung Sedayu telah menyongsongnya dengan hentakan cambuk yang dilambari dengan puncak ilmunya yang dihentakkannya sampai tuntas. Ledakan yang terdengar tidak melampaui suara ledakan yang pernah didengar oleh telinga wadag. Namun terasa sesuatu telah bergetar diantara suara ledakan itu, sehingga ujung cambuknya telah menampar tubuh Ki Tumenggung Wanakerti, seperti petir yang menampar ujung sebatang nyiur.

Terdengar pekik tertahan. Ketika Agung Sedayu bergeser, maka tubuh Ki Tumenggung terbang dihadapannya seakan-akan justru menjadi semakin cepat oleh hentakan cambuk Agung Sedayu yang sendal pancing. Namun ketika tubuh itu menjejak tanah, seakan-akan tidak ada kekuatan lagi yang tersisa. Tubuh itu langsung terlempar menelungkup. Sekali lagi ia menggeliat dan berusaha menengadah betapapun lemahnya. Agung Sedayu berdiri beberapa langkah dari tubuh itu. Seakan-akan Agung Sedayu telah membeku ditempatnya. Dipandanginya Ki Tumenggung Wanakerti yang perlahan-lahan menengadah sambil menahan sakit. Sejenak kemudian, Agung Sedayupun menyadari dirinya. Tubuhnyapun merasa sakit disegala sendi-sendinya. Kekuatannya sekali lagi telah terkuras habis. Dihentakkan yang terakhir, ia benar-benar telah mehempaskan segenap sisa kekuatannya, sehingga seperti yang telah terjadi pada saat ia membunuh Ki Gede Telengan, maka iapun tidak lagi mampu berbuat sesuatu. Selangkah Agung Sedayu mendekati Ki Tumenggung Wanakerti yang terbaring. Hampir saja Agung Sedayupun tertelungkup. Namun ia masih sempat dengan perlahan-lahan berjongkok disamping tubuh Ki Tumenggung Wanakerti. “Anak muda,“ Agung Sedayu mendengar Ki Tumenggung masih berdesis, “kau memang anak yang luar biasa.” “Aku akan merasa bangga jika aku mempunyai anak seperti kau. Mumpuni dan mengenal jalan yang harus kau lalui.” Agung Sedayu masih tetap berdiam diri. “Siapakah kau sebenarnya anak muda?” Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi terdengar suara seseorang dibelakangnya, “Ia adalah Agung Sedayu. Adik Untara.” “O,“ Ki Tumenggung Wanakerti menarik nafas dalam, “jadi kau adik Untara, Senapati dibagian Selatan itu?” Diluar sadarnya Agung Sedayu mengangguk. “Jadi, apakah pasukan Untara ada diantara pasukan Mataram sekarang ini?” Agung Sedayu menggeleng. Ki Tumenggung Wanakerti sudah sangat lemah, sehingga yang terloncat

dari bibirnya tentu tidak akan diselimuti oleh berbagai macam niat yang lain. Nampaknya, keadaannya sudah sangat parah dibagian dalam tubuhnya, meskipun kulitnya tidak terluka. “Aku minta maaf anak muda,“ berkata Ki Tumenggung Wanakerti kemudian, “mungkin aku sudah melukaimu. Tetapi luka itu tentu tidak seberapa.” Seolah-olah Agung Sedayu berbuat diluar sadar, ketika ia mengangguk kecil. “Tidak ada gunanya lagi pengikut-pengikutku bertempur sepeninggalku. Mereka tentu akan binasa. Karena itu, kuasailah kedua pusaka itu, meskipun aku tidak tahu apakah yang akan kau lakukan seterusnya dengan pusaka-pusaka itu.” Dengan tanpa prasangka apapun Agung Sedayu menjawab, “Aku akan menyerahkannya kembali ke Mataram.”Ki Tumenggung menarik nafas panjang sekali. Namun kemudian nampak senyumnya membayang dibibirnya. Dalam keremangan malam wajah itu nampak semakin beku, sehingga akhirnya hempasan nafas terakhir telah meluncur dari lubang hidungnya. Agung Sedayu menarik nafas panjang. Ketika ia berpaling, dilihatnya Ki Gede Menoreh berdiri dibelakangnya dengan senjatanya masih ditangan. “Beristirahatlah Agung Sedayu,“ suaranya datar dan berat, “keadaan sudah dapat dikuasai. Pusaka-pusaka itu tidak akan dapat lepas jika tidak hadir orang-orang lain seperti Ki Tumenggung Wanakerti atau Ki Gede Telengan. Karena itu, biarlah para pengawal mengepungnya dengan rapat. Kau dapat memulihkan kekuatanmu kembali. Jika benar hadir orang-orang baru yang memiliki kemampuan tinggi, kau akan dapat mengimbanginya.” Agung Sedayu mengangguk kecil. Iapun kemudian duduk disamping tubuh Ki Tumenggung Wanakerti yang terkapar. Sementara itu Ki Gede Menoreh yang sudah beristirahat beberapa saat setelah melepaskan diri dari ketiga lawannya, melangkah mendekati arena pertempuran yang menjadi semakin sempit. Dua orang pengawal tetap berada didekat Agung Sedayu untuk mengawasinya, jika akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkannya selama ia berusaha memulihkan kekuatannya. Para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh telah berhasil menguasai medan seluruhnya. Kematian Ki Tumenggung Wanakerti sesudah Ki Gede Telengan, membuat para pengikutnya menjadi semakin kecut. Mereka tidak lagi dapat berbuat sesuatu meskipun mereka masih berusaha untuk bertahan. Satusatunya harapan mereka adalah, jika sekelompok pasukan datang lagi menyusul dari pasukan induk.

Tetapi pasukan itu tidak kunjung datang, sehingga merekapun menjadi berputus asa. Ki Gede yang kemudian hadir lagi diantara para pengawalnya, dengan lantang berkata, “Ki Tumenggung Wanakerti telah terbunuh. Siapa lagi diantara kalian yang akan nnampu menahan kemarahan anak muda itu. Pusaka itu adalah barang yang sangat berharga bagi pemimpin kalian. Tetapi bagi kalian tidak akan banyak mempunyai arti. karena kalian akan tetap menjadi pengawal yang diumpankan dibaris terdepan dalam peperangan, namun tidak mempunyai kemungkinan untuk mendapatkan pengaruhnya kemenangannya jika kalian menang. Karena itu. maka harga pusaka itu. tentu tidak akan lebih besar dari nilai jiwamu masing-masing. Sudah banyak korban yang jatuh karena pusaka-pusaka itu. Apapun alasannya. tetapi mengorbankan terlalu banyak jiwa untuk kedua pusaka itu. rasa-rasanya memang kurang seimbang.” Kata-kata Ki Gede Menoreh ternyata telah menyentuh hati pada pengikut orang-orang mumpuni yang telah terbunuh oleh Agung Sedayu. Tetapi mereka masih belum berani mengambil keputusan. Dalam pada itu. Agung Sedayu yang sedang sibuk mengatur diri. perlahan-lahan telah melepaskan tarikan nafas panjangnya dalam pengaturan nafas dan peredaran darahnya. Tubuhnya perlahan-lahan telah menjadi segar kembali. Angin malam yang sejuk membantu mempercepat pulihnya kekuatannya, meskipun perasaan letih dan pedih dilukanya masih tetap mencengkamnya. Perlahan lahan Agung Sedayu berdiri. Ketika ia mengedarkan pandangan matanya dalam keremangan malam, ia masih melihat pertempuran yang tidak bergelora lagi. Nampaknya para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang ditunggui oleh Ki Gede telah menguasai keadaan sepenuhnya. Sejenak Agung Sedayu masih termangu-mangu. Ia tidak digelisahkan lagi oleh pusaka-pusaka itu. karena hampir pasti pusaka-pusaka itu akan dapat dikuasai kembali oleh para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, dan yang akan segera kembali ke Mataram. Selangkah demi selangkah Agung Sedayu mendekati lingkaran pertempuran yang sudah menyempit. Orang-orang Ki Gede Telengan dan orang-orang Ki Tumenggung Wanakerti, seakan-akan telah menyatu dalam kepungan yang tidak tertembus. “Menyerahlah,“ terdengar suara Ki Gede Menoreh. Ketika terdengar suara lain menyusul suara Ki Gede Menoreh, maka para pengikui Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti menjadi semakin kecut hatinya. Suara Agung Sedayu. “Kalian sudah tidak mempunyai kesempatan lagi,“ berkata Agung Sedayu, “bagi kami lebih baik menerima kalian menyerah daripada harus menjatuhkan korban semakin banyak. Jika kalian berkeras untuk bertempur terus, apapun alasannya, itu hanya berarti kematian-kematian yang sia-sia.

Mungkin kalian adalah seorang laki-laki jantan, yang pantang menyerah karena kalian memilih mati sambil memeluk senjata. Tetapi kesia-siaan itu benar-benar tidak berarti, juga bukan lambang kejantanan karena sekedar didorong oleh kedunguan dan pengingkaran atas kenyataan yang dihadapi.” Kata-kata Agung Sedayu telah menyentuh hati orang-orang yang mempertahankan senjata itu. Tetapi rasa-rasanya pusaka-pusaka itu bagi mereka jauh lebih berharga dari jiwa mereka sendiri. “Ki Sanak,“ berkata Agung Sedayu, “jika dengan pengorbanan kalian pusaka-pusaka itu dapat kalian selamatkan dari tangan kami. maka kalian adalah pahlawan. Tetapi jika kalian sudah mengetahui dengan pasti bahwa pusaka-pusaka itu akan jatuh ketangan kami, maka yang kalian lakukan adalah sekedar sikap keras kepala, sehingga kematian kalian adalah semakin jauh dari pengertian kepahlawanan itu.” Tetapi nampaknya pertempuran masih berlangsung terus. Namun demikian sudah nampak, keragu-raguan mulai membayang di hati para pengikut Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti. Agung Sedayu melangkah semakin dekat. Kemudian ia masih mencoba lagi, “Kenapa kalian tidak meletakkan senjata kalian dan menghentikan pertempuran? Apakah kalian benarbenar ingin bertempur sampai mati? Jika kematian yang dapat menghentikan kalian, maka kami akan memenuhinya. Tetapi jika masih ada akal sehat dikepala kalian, maka berhentilah dan menyerahlah.” Para pengikut Ki Gede Telenganlah yang pertama-tama mulai merasa bahwa tidak ada gunanya lagi mereka bertempur. Seorang yang memegang pusaka yang terselubung kain putih itupun berdesis diantara kawan-kawannya, “Apakah kita akan bertahan terus?” Tiba-tiba seorang yang berkumis lebat membentaknya, “Pengkhianat. Serahkan pusaka itu kepadaku. Aku akan menyelamatkannya.” Tetapi yang lain berdesis, “Sudah terlambat. Kita sudah terkepung rapat. Tidak ada gunanya.” Orang berkumis lebat itu menggeram. Namun kemudian kepalanya mengangguk-angguk lemah. “Kita tidak akan dapat bertahan terus,“ berkata orang yang memegang pusaka itu. “Karena itu. kita akan menyerah. Kedua pemimpin kita tidak dapat bertahan terhadap anak muda itu. Apalagi kita.” Tidak ada jawaban. Tetapi nampaknya kawan-kawannya sependapat bahwa sebaiknya mereka menyerahkan diri kepada para pengawal Tanah Perdikan menoreh itu. sehingga mereka hanya memerlukan seorang dari mereka yang berani memulai. Namun akhirnya mereka tidak tahan lagi. Orang yang memegang pusaka itulah yang kemudian

berteriak, “Kami menyerah.” Ada semacam hentakan didalam setiap hati. Menyerah adalah suatu perbuatan yang hina. Tetapi mereka tidak dapat ingkar atas kenyataan yang mereka hadapi. Ki Gede Menorehpun kemudian memerintahkan orang-orangnya untuk menghentikan pertempuran dan melangkah surut, sehingga kepungan itu menjadi semakin longgar. “Letakkan senjata kalian,“ perintah Ki Gede ketika sudah ada jarak antara kedua pasukan yang bertempur itu. Para pengikui Ki Gede Telengan dan para pengikut Ki Tumenggung Wanakerti tidak dapat berbual lain. Mereka segera meletakkan senjata mereka, dan benar-benar menghentikan perlawanan. Ki Gede Menoreh menunggu sejenak. Ketika ia yakin bahwa tidak ada lagi kemungkinan yang licik dari para pengikut Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti. maka bersama Agung Sedayu keduanyapun memasuki lingkaran kepungan. Beberapa langkah dari orang-orang yang menyerah itu keduanya berhenti. Dengan nada berat Ki Gede Menoreh berkata, “Kemarilah. Serahkan kedua pusaka itu.” Dua orang yang membawa pusaka itupun kemudian melangkah mendekati Ki Gede Menoreh dan Agung Sedayu. Betapapun keragu-raguan menghentak didalam dada mereka, namun merekapun kemudian menyerahkan kedua pusaka itu masing-masing kepada Ki Gede Menoreh dan Agung Sedayu. “Terima kasih,” berkata Agung Sedayu, “kalian sudah ikut membantu mempercepat penyelesaian dari pertempuran ini. Sementara kalian akan dibawa oleh pengawal menghindar dari peperangan ini.” Tidak seorangpun yang menjawab. Mereka sama sekali tidak menolak ketika kemudian di giring oleh para pengawal menuju ketempat yang lapang untuk mendapatkan mengawasan yang lebih baik. Ki Gede Menoreh dan Agung Sedayu yang menerima kedua pusaka itu menjadi berdebar-debar. Rasarasanya mereka telah mendapatkan anugerah yang tidak ternilai harganya. Kedua pusaka yang dapat mendorong orang-orang yang tamak dan sombong itu untuk melangkah semakin jauh. telah tidak ada lagi ditangan mereka sehingga meraka tentu akan menghentikan usaha mereka yang dapat mengguncang ketenangan Pajang dan Mataram. Namun dalam pada itu. Agung Sedayu dan Ki Gede Menorehpun segera teringat arena pertempuran yang lebih besar disebelah Timur. Pertempuran itu tentu jauh lebih dahsyat dan pertempuran sekelomook yang telah terjadi di sisi sebelah Barat ini.

Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Ketika dalam keremangan malam dan kemudian cahaya obor yang dinyalakan oleh beberapa orang pengawal, ia melihat mayat yang bergelimpangan, maka hatinya serasa semakin pedih. Jauh lebih pedih dari lukanya yang tidak terlalu dalam. Tetapi ia tidak dapat menghindari kemungkinan itu. Betapapun pertentangan didalam dirinya bagaikan benturan ombak dilautan, namun ia sudah melakukannya. Membunuh. Bahkan diantaranya adalah dua orang terpenting. Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti. Sekilas terbayang wajah Rudita yang tersenyum pahit. Bahkan kemudian seakan-akan ia melihat anak muda itu menangis. Menangisi mayat yang berserakan di sela-sela ilalang dan pepohonan di hutan yang cukup padat itu. Agung Sedayu terkejut ketika ia merasa seseorang menggamitnya. Agaknya Ki Gede Menoreh dapat mengenali perasaannya, karena sudah cukup lama ia bergaul dengan anak muda itu. “Agung Sedayu,” berkata Ki Gede Menoreh, ”aku tahu bahwa kau menyesali peristiwa yang telah terjadi. Bahwa kau harus membunuh dengan tanganmu dan dengan ilmumu yang dahsyat itu. Tetapi ada peristiwa yang terjadi karena keadaan. Memang ada peristiwa-peristiwa pahit yang terjadi akibat perbuatan sendiri. Seperti orang yang memetik buah dari tanamannya. Tetapi ada yang demikian saja berada dimulutnya dan harus ditelannya.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. “Kau telah terperosok kedalam keadaan yang tidak dapat kau ingkari meskipun kau masih mempunyai pilihan. Menghindari diri dari perbuatan yang sudah kau lakukan tetapi kau sendiri terbunuh, atau kau mempertahankan hidupmu tetapi orang lainlah yang terbunuh.” Agung Sedayu memandang Ki Gede Sejenak. Ia mengangguk kecil meskipun ada sesuatu yang terasa belum mapan. “Agung Sedayu,” berkata Ki Gede kemudian, ”kita masih belum selesai. Meskipun pusaka-pusaka ini sudah ada ditangan kita, tetapi aku masih membayangkan bahwa pertempuran yang sengit masih terjadi. Agaknya para pengikut orang-orang yang merasa dirinya pewaris kerajaan Majapahit itu tidak menghentikan peperangan, sehingga pasukan pengawal Mataram dan Sangkal Putung harus menyesuaikan diri.” “Jadi, apakah yang sebaiknya kita lakukan Ki Gede?”

“Kita menyusul kemedan membawa pusaka-pusaka ini. Kita akan menunjukkan bahwa pusaka-pusaka ini sudah ada ditangan kita, sehingga pengaruhnya tentu akan besar sekali terhadap pengikut-pengikut orang yang merasa dirinya pewaris kerajaan Agung Majapahit itu.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Tetapi jika para pengawal itu gagal bertahan, maka pusaka ini akan berada dalam bahaya.” Ki Gede mengerutkan keningnya, namun kemudian katanya, ”Aku tidak tahu pasti ngger. Tetapi firasatku memberikan harapan baik pada pertempuran ini. Apalagi setelah sayap yang tertinggal ini ikut serta memperkuat pasukan Tanah Perdikan Menoreh.” Agung Sedayu berpikir sejenak. Namun kemudian katanya, ”Baiklah Ki Gede. Kita akan membawa pusaka ini kemedan. Kita akan mengangkatnya tinggi dan menerimakan bahwa Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti sudah terbunuh.” “Bagus,“ sahut Ki Gede. Namun tiba-tiba saja Ki Gede melihat mata Agung Sedayu yang redup. Jika harus diteriakkan bahwa Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti terbunuh, maka seterusnya tidak dapat diingkari, bahwa yang membunuh adalah Agung Sedayu. Orang yang ingin menunjukkan kemampuan ilmunya. Orang yang tidak terlawan. Bahkan yang sudah dapat menyamai kemampuan orang-orang dari angkatan jauh sebelumnya. “Tidak,” terdengar gumam lirih. Kemudian Agung Sedayu berdesis didalam hatinya, ”bukan maksudku.” Sekali lagi Ki Gede melihat perasaan Agung Sedayu yang membayang pada tatapan matanya. Sambil menarik nafas dalam-dalam, ia menepuk bahunya sambil berkata, ”Marilah. Kita akan membagi pasukan kita. Sebagian akan mengawasi para tawanan, yang lain ikut serta menuju ke medan yang tentu lebih garang.” Agung Sedayu mengangguk lemah. Tetapi tidak membantah. Sejenak kemudian pasukan itupun telah terbagi. Sebagian mengawasi para tawanan yang sudah tidak bersenjata lagi yang dibawa ketempat yang lebih lapang, sementara yang lain mengikuti Agung Sedayu dan Ki Gede Menoreh menuju kemedan sambil membawa kedua pusaka, yang telah berhasil direbut itu. Para pengawal yang ikut bersama Agung Sedayu dan Ki Gede Menoreh sadar, bahwa mereka telah menggantikan kedudukan para pengikut Ki Gede Telengan. Mereka harus mempertahankan pusaka-

pusaka itu mati-matian jika ada pihak yang ingin merampasnya. Apapun yang akan terjadi atas mereka sama sekali tidak akan mereka perhitungkan. “Aku tidak akan menyerah seperti para pengikut Ki Gede Telengan jika keadaanmu terdorong sampai kepada keadaan yang mereka alami.” berkata seorang pengawal muda. “Mereka tidak mempunyai pilihan lain. Keadaan sudah memaksa harus berlaku demikian.” sahut kawannya. “Itu namanya pengecut.” “Keadaan kita berbeda dengan keadaan mereka,” sahut kawannya yang lain, ”mereka hampir tidak menyadari apa yang telah mereka lakukan kecuali harapan-harapan kosong yang pernah mereka dengar dari pemimpin-pemimpin mereka. Sedangkan kita adalah orang-orang yang berdiri dan berjejak diatas tanah. Jika kita bertemnur, kita berada dipihak Tanah Perdikan Menoreh, atau pihak-pihak lain yang sejalan. Kita tidak mengharapkan apa-apa, selain kita tetap seorang pengawal dari Tanah Perdikan Kita sendiri.” Kawannya mengerutkan keningnya. Tetapi iapun kemudian mengangguk sambil bergumam, ”Kau benar. Ada perbedaan landasan. Yang kita tempuh berbeda dengan yang mereka lakukan. Dan perbedaan itu adalah perbedaan yang hakiki.” Dalam gelapnya malam, dibawah cahaya beberapa buah obor yang kecil, pasukan Tanah Perdikan Menoreh mencoba menembus hutan menuju ke arena pertempuran di bagian lain dari lembah itu. Meskipun medan agak sulit, tetapi perlahan-lahan mereka dapat maju disela-sela pepohonan. Sekalikali mereka terhenti oleh batang-batang yang melintang, dan kadang-kadang sulut yang bergayutan. Namun mereka meneruskan langkah mereka betapapun lambatnya. Dalam kelamnya malam, sekali-kali terdengar binatang buas mengaum dikejauhan. Disusul oleh raung anjing hutan yang berkejaran. Beberapa orang prajurit menjadi berdebar-debar. Anjing hutan adalah lawan yang paling berbahaya. Seekor harimau akan dengan mudah dibinasakan; apalagi mereka berada dalam kelompok yang cukup besar. Tetapi anjing hutan kadang-kadang datang dalam kawanan yang tidak terhitung. “Kau ngeri mendengar suara anjing hutan itu ?” Tiba-tiba seseorang bertanya kepada kawan disampingnya. Kawannya termangu-mangu. Namun kemudian ia mengangguk. Bahkan kemudian menjawab, ”Tentu kau juga.” “Ya. Aku tidak dapat memanjat. Padahal memanjat adalah satu-satunya cara yang paling baik untuk menghindarkan diri dari sekelompok anjing hutan.”

Kawannya tersenyum. Jawabnya, “Ternyata aku masih lebih aman jika sekiranya kita bertemu dengan sekelompok anjing hutan yang jumlahnya sekitar lima ratus ekor.” “Ah. Itu berlebih-lebihan. Meskipun mereka berkelompok, tetapi tidak akan lebih dari duapuluh lima.” “Jangan mencoba menghibur diri. Kau harus berani melihat kenyataan.” “Ah,” kawannya itu menggeser mendekat, ”jika benar-benar kita bertemu dengan sekelompok anjing hutan, tolong aku memanjat.” “Aku tentu mengurusi diriku sendiri.” “Tetapi kau dapat membantu aku.” “Dan itu membahayakan diriku.” Kawannya menjadi tegang, namun kemudian. “baiklah. Kita hidup dalam dunia kita masing-masing. Kita akan mencari keberuntungan nasib kita tanpa menghiraukan orang lain. Sukurlah, bahwa aku masih membawa sebatang tombak yang dapat membantu aku memanjat. Jika di dahan-dahan pepohonan terdapat ular hijau yang banyak terdapat disini. akupun masih mempunyai serbuk penawarnya.” “He?” “Ular gadung adalah ular yang sangat berbahaya. Jauh lebih berbahaya dari anjing liar. Seekor ular gadung sebesar lidi yang melekat ditengkukmu, akan dapat membunuhmu dalam sekejap jika kau tidak mempunyai obat penawarnya.” “Ah, bohong. Kau tahu. aku takut sekali kepada ular?” “Bertanyalah kepada setiap orang, disini adalah sarang ular gadung dan ular kayu hitam berleher merah.” “Bohong. Bohong. Bohong.” Kawannya tidak menjawab. Bahkan berpalingpun tidak. Ia berjalan sambil sekali-sekali menengadahkan kepalanya. “He,” kawannyalah yang kemudian mendekatinya, ”kau membawa serbuk penawar itu ?” “Aku membawa. Tetapi tinggal sedikit sekali.” “Tetapi, tetapi....” kawannya mengerutkan keningnya.

Namun kemudian sambil mendorongnya berkata, “Kau hanya ingin membalas kegelisahanmu oleh suara anjing itu.” Kawannya tetap tidak menjawab. Sehingga akhirnya keduanya saling berdiam diri. Dalam pada itu. pasukan kecil itu kemudian menyusup semakin dalam. Dimalam yang gelap, dalam cahaya beberapa obor kecil, pasukan itu sama sekali tidak menebar karena dengan demikian mereka akan mengalami kesulitan perjalanan. Karena itu. maka merekapun kemudian berjalan berurutan dan menempatkan obor yang hanya beberapa buah itu pada tempat yang terpisah-pisah. Mereka terhenti ketika mereka melihat cahaya api dikejauhan agak dibagian yang lebih rendah, sehingga orang yang berdiri dipaling depan segera memberi isyarat dan berusaha menyembunyikan cahaya obor mereka yang memang tidak begitu besar itu dibalik gerumbul-gerumbul atau dibalik puntuk-puntuk kecil atau batu-batu besar. “Apa yang kalian lihat,” bertanya Ki Gede Menoreh sambil maju kebagian depan dari iringiringannya. “Api Ki Gede. Perapian disebuah perkemahan.” Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam dalam. Perkemahan itu adalah perkemahan yang dibangun oleh orang-orang yang tinggi dilembah untuk berbicara tentang warisan kerajaan Majapahit itu. “Pertempuran itu tentu terjadi diluar perkemahan mereka,” berkata Agung Sedayu. “Apakah pertempuran itu terhenti dimalam kelam ini sehingga mereka kembali keperkemahan ?” bertanya seorang pengawal. Tetapi Ki Gede menggeleng. Jawabnya, ”Mungkin tidak. Pertempuran itu berlangsung terus. Tetapi sebagian dari mereka kembali keperkemahan untuk menyediakan dukungan makanan bagi mereka yang sedang bertempur. Tanpa makan, mereka akan menjadi sangat lemah dan tidak berdaya untuk melanjutkan pertempuran.” Agung Sedayu mengangguk angguk. Sementara seseorang yang lain berbisik ditelinga kawannya, “kitalah yang tidak akan mendapat makanan dari siapapun juga, karena tidak ada diantara kita yang menyediakannya.” “Sst. Para tawanan akan diperintahkan untuk menyediakan makanan kita.” “Dan mereka memasukkan racun kedalamnya.” desis yang lain. Agung Sedayu mengangguk-angguk, ia bahkan menyatakan keinginannya untuk melakukannya, tetapi Ki

Gede sudah menunjuk dua orang pengawalnya untuk melihat, siapakah yang ada diperkemahan itu. Beberapa saat. pasukan kecil itu menunggu. Mereka masih tetap berusaha menyembunyikan diri dan melindungi cahaya obor-obor kecil mereka. Beberapa saat kemudian, kedua pengawal itu telah kembali. Sebelum mereka mengatakan sesuatu, menilik sikap dan ketegangan wajahnya. Ki Gede sudah dapat menduga, siapakah yang berada di barak-barak perkemahan itu. “Kita tidak mengenal mereka,“ lapor salah seorang pengawal itu, “menilik ciri-ciri yang dapat kita lihat, mereka tentu bukan orang-orang Mataram atau Sangkal Pulung.” “Mereka tentu para pengikut Tumenggung Wanakerti,“ desis Ki Gede Menoreh, “karena itu. kita harus menyimpang. Kita tidak akan bertempur disini. Tetapi kita akan mencapai medan dan melihat perkembangan keadaan.” “Ki Gede,“ berkala Agung Sedayu kemudian, “sebaiknya, sebelum kita mendekati medan, kita harus mencari hubungan lebih dahulu. Agaknya dimalam hari. keadaan menjadi agak kacau. Menilik perkembangan keadaan, maka orang-orang di lembah ini agaknya telah dapat menerobos para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang dalang dari arah Barat.” Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar ngger. Kita tidak dapat membayangkan keadaan pertempuran itu sekarang, sebelum kita memperoleh hubungan. Tetapi mungkin kita masih dapat bergerak lagi beberapa puluh langkah sebelum kita akan sampai dimedan. Aku kira dalam kelamnya malam yang pekat didaerah berhutan ini. Akan terdapat banyak obor dimedan periempuran itu.” Agung Sedayu mengangguk. Tetapi ia menjadi ngeri membayangkan kemungkinan lain yang dapat terjadi diluar pertempuran itu sendiri. “Ki Gede,“ berkata Agung Sedayu, “hutan ini sangat pepat. Jika api obor itu tidak terkendali karena pertempuran yang dahsyat, maka bahaya lain akan dapat timbul. Hutan ini dapat terbakar, sehingga api tidak akan terkuasai lagi.” “Memang hal itu mungkin sekali terjadi ngger. Tetapi marilah kita berdoa, agar hutan ini tidak terbakar Agaknya tidak terlalu mudah membakar hutan yang hijau seperti hutan dilembah ini.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kecemasan itu masih tetap ada didalam hatinya. Sejenak kemudian, maka Ki Gedepun segera mengatur para pengawalnya untuk mencari jalan yang tidak terlalu dekat dengan perkemahan lawan yang sedang sibuk menyiapkan makan. Ada juga kadangkadang tersembul niat untuk mengganggu mereka dan apabila perlu mematahkan hubungan antara

perkemahan itu dengan medan. Tetapi karena masih belum terdapat gambaran yang jelas tentang medan, maka niat itupun diurungkannya. Dengan hati-hati maka pasukan kecil itupun semakin lama menjadi semakin dekat dengan medan. Mereka tidak terlalu sulit untuk merenungkannya, karena arahnya sudah pasti. Mereka tinggal menyusuri lembah itu. dan mereka tidak akan salah arah. Beberapa puluh langkah lagi kedepan, maka seperti yang mereka duga, nampak obor yang menebar di pertempuran. “Kita sudah sampai,” berkata Ki Gede Menoreh, “kita akan mencari hubungan dengan pasukan Mataram atau dengan Prastawa dan Ki Waskita.” “Kita akan memastikan diri, apa yang akan kita lakukan Ki Gede,“ sahut Agung Sedayu. “Ya. Dan kita tidak boleh salah hitung, karena pada kita terletak pertanggungan jawab terbesar atas pusaka-pusaka ini.” Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi wajahnya nampak berkerut oleh ketegangan didalam hatinya. Sementara itu, dua orang penghubung telah diperintahkan oleh Ki Gede Menoreh untuk mencari hubungan. Mereka harus mendapatkan gambaran dari seluruh medan dibagian Barat. Sepercik kecemasan telah tumbuh dihati Ki Gede Menoreh. Jika dibagian Barat ini dengan mudah dapat ditembus oleh lawan, maka apakah pasukan Tanah Perdikan Menoreh sudah tidak berdaya sama sekali. Sementara itu, dengan berdebar-debar pula Ki Gede mulai menilai seluruh pertempuran meskipun hanya sekedar dari tebaran dan jumlah obor. Pertempuran itu agaknya benar-benar merupakan pertempuran yang besar. “Seharusnya pertempuran itu berhenti ketika gelap turun,“ tiba-tiba saja Ki Gede bergumam. Agung Sedayu berpaling kearahnya. Dengan suara datar ia berkata, “Seharusnya Ki Gede. Tetapi orang-orang di lembah ini tentu tidak akan memaksa diri untuk mengetrapkan unggah-ungguh peperangan. Jika mereka merasa malam justru menguntungkan, maka mereka akan mempergunakan malam itu untuk kepentingan mereka.” Ki Gede mengangguk. Namun kemudian katanya, “Kita akan beristirahat sejenak. Kau tentu masih lelah, dan kakiku masih terasa sedikit mengganggu.” Ki Gedepun kemudian duduk diatas sebuah batu. Pusaka yang ditangannya sama sekali tidak dilepaskannya.

Digerakkannya kakinya yang setiap kali kambuh, justru pada saat-saat yang gawat. Sementara Agung Sedayupun telah duduk pula disebuah batu yang lain untuk melepaskan lelahnya pula. Dalam pada itu. para pengawal menebar disekilar kedua orang yang sedang memegang pusaka yang telah berhasil dirampas itu. Meskipun mereka ikut beristirahat pula. tetapi merasa tidak meninggalkan kewaspadaan. Karena itulah maka mereka telah berada disegala arah untuk mengawasi keadaan, karena mereka berada didaerah yang gawat dan kurang mereka kuasai keadaannya. Apalagi dalam gelapnya malam, sementara obor mereka yang kecil menjadi semakin kecil dan tidak berdaya lagi mencapai jarak yang cukup, selain sekedar untuk melihat selangkah didepan kakinya sendiri. Dalam pada itu. dua orang merayap mendekati medan. Mereka mencoba mengenal pertempuran itu dari jarak yang semakin dekat. Dari cahaya obor. mereka mulai dapat membedakan siapakah yang ada dimedan. Dengan hati-hati kedua orang itu mencari seseorang yang mereka kenal, terutama pengawal Tanah Perdikan Menoreh, meskipun dengan demikian berarti bahwa merekapun harus berada dimedan. “Kau tinggal disini,“ berkata salah seorang dari kedua pengawal itu, “aku akan berada dipertempuran itu.” “Kenapa aku harus tinggal disini? “ bertanya kawannya. “Jika setelah aku memasuki medan dan aku tidak sempat keluar, maka kau harus memberitahukannya kepada Ki Gede.” “Ah. Jika kemungkinan tidak ada, kenapa kau harus mendekat. Yang kita saksikan sudah cukup meyakinkan, bahwa pertempuran itu sampai saat ini masih belum dapat menentukan, siapakah yang akan menguasai medan. Kita sudah dapat melihat, bahwa pertempuran itu bagaikan bercampur baurnya kawan dan lawan.” “Jadi, apakah kau sangka dengan demikian sudah cukup? Kita bukan sekedar melihat pertempuran itu. Tetapi kita akan mencari hubungan.” Kawannya menarik nafas dalam-dalam. “Tinggallah disini. Tunggulah beberapa saat. Jika aku tidak kembali, tinggalkan aku dimedan.” Kawannya tidak menyahut. Tetapi kecemasan nampak membayang diwajahnya. Yang seorang tidak menunggu lebih lama. Nampaknya ia tidak menghiraukan lagi kawannya, meskipun sebenarnya ia menyadari, bahwa kawannya yang masih belum berpengalaman benar-benar menjadi cemas. “Apa boleh buat,“ desisnya, ”tugas ini harus dilakukan.”

Sepeninggal kawannya, pengawas yang seorang menjadi semakin cemas. Bukan saja tentang nasib kawannya, tetapi juga tentang dirinya sendiri. Rasa-rasanya didalam gelapnya malam, berpuluh-puluh pasang mata sedang mengintipnya dari balik kegelapan. Dengan memaksa diri pengawal itu mengatasi kengerian dihatinya. Ia berkewajiban untuk tinggal ditempatnya menunggu kawannya yang mencari hubungan kemedan. Ia sadar, bahwa ia tidak dapat ikut serta, karena jika demikian, apabila kedua-duanya mengalami kesulitan, tidak ada orang yang akan dapat melaporkan lagi kepada Ki Gede Menoreh. Sementara itu, kawannya telah mendekati medan dengan senjata ditangan. Ketika ia sekilas melihat seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh sedang bertempur, maka iapun segera mendekatinya dan ikut melibatkan diri kedalam pertempuran itu. “He, kau.” desisnya sambil bertempur bersama. Namun ia tidak banyak mendapat kesempatan. Ketika pertempuran itu bergeser seperti geseran air tersentuh batang yang tergelincir kedalamnya. maka kawannya telah tergeser pula, dan ia harus bertempur menghadapi orang lain. Tetapi segera ia mendapat kesimpulan, bahwa jumlah dan kekuatan kedua belah pihak agaknya memang berimbang. “Pertempuran itu dapat berlangsung tujuh hari tujuh malam,“ katanya didalam hati, “jika tidak ada perubahan keseimbangan, maka sampai pada batas terakhir, akan tinggal dua orang saja yang masih hidup dan bertempur sampai yang seorang terbunuh.” Tetapi ia tidak dapat membiarkan dirinya terseret oleh angan-angannya karena senjata lawannya hampir saja mengenai hidungnya. Namun tiba-titia geseran berikutnya, telah menempatkannya pada lingkungan yang lebih menguntungkan. Beberapa pengawal Tanah Perdikan Menoreh sedang berusaha mempertahankan kedudukan masing-masing dalam kerja sama yang rapi. “Bagus,“ desis penghubung itu, “orang tua itu tentu berhasil mempertahankan kedudukannya.” Penghubung itupun kemudian berusaha untuk bergeser pula meskipun bagaikan menentang arus. Namun perlahan-lahan ia berhasil mencapai kawan-kawannya yang sebagian besar sudah dikenalnya dengan baik. “Dimana Prastawa?“ pertanyaan itulah yang pertama-tama dilontarkan. Seorang dari pengawal itu berpaling sejenak. Kemudian jawabnya, “Ia berada diinduk daerah pertempuran ini.” “Aku ingin menemuinya. Tetapi apakah kau dapat memberikan beberapa keterangan?”

Pengawal itu termangu-mangu. Namun kemudian ia meninggalkan lawannya yang segera mendapat lawan yang lain bersama pengawal yang bertugas sebagai penghubung itu keluar dari arena. “Pertempuran sudah tidak terlalu keras. Tetapi masing-masing memang berusaha untuk menjaga harga diri. Tidak ada diantara kedua pihak untuk mau mendahului memberikan tawaran untuk menghentikan pertempuran meskipun kami sudah sangat letih. Perut kami menjadi sangat lapar, dan leher kami bagaikan kering.” “Diperkemahan orang-orang yang berada dilembah ini sedang sibuk menyiapkan makanan.” “Tidak ada diantara kami yang melakukan hal itu.” “Kenapa?” “Prastawa tidak memerintahkan.” “Ia masih terlalu muda. Apakah ia sendiri tidak lapar dan haus.” “Tetapi biarlah. Kita akan berusaha merampasnya jika lawan memberikan kesempatan kepada kawankawan mereka.” “Sulit. Mungkin mereka mempunyai cara yang khusus. Jika perlu, biarlah kami melakukannya.” “Tetapi apakah yang akan kau katakan?” “Ki Gede mendekati medan ini bersama Agung Sedayu. Aku ingin mengatakannya kepada Prastawa.” “Apakah persoalanmu sudah selesai?” “Sudah. Tetapi yang masih kami perlukan adalah keterangan tentang medan. Aku melihat pihak lain diarena ini. Atau aku sudah tidak dapat melihat lagi dalam keremangan malam yang hanya diterangi dengan oborobor kecil itu? ” Penghubung itu mengerutkan keningnya. Kemudian dengan nada datar ia berkata, “Pasukan Mataram sudah berada dimedan ini pula agaknya. Jika demikidan, pertempuran ini benar-benar merupakan pertempuran yang kacau. Bukan saja perang brubuh, tetapi campur baur yang kisruh.” “Tidak. Masih ada batas. Prastawa memang memilih gelar Glatik Neba,” jawab pengawal itu, “tetapi agaknya disebelah Timur masih terdapat gelar.” Penghubung itu mengangguk-angguk. Kemudidan katanya sambil melapaskan lawannya, “Aku akan mencari Prastawa.”

“Ia berada diinduk Pasukan.” Tetapi tidak mudah untuk mendapatkan Prastawa didalam perang yang kacau itu. Namun demikian, akhirnya ia menemukannya juga diantara beberapa orang pengawal. Sementara tidak terlalu jauh dari padanya, terdapat seorang anak muda yang sedang mengamuk seperti seekor banteng. “Raden Sutawijaya,“desisnya, “ia berada dimedan ini juga.” Pengawal itu termangu-mangu. Namun iapun kemudian berusaha untuk mendekati Pratawa. Beberapa lama baru ia berhasil. Sambil mengikuti gerak pertempuran di induk pasukan, maka iapun kemudian melaporkan kepada Prastawa, apa yang sudah terjadi. “He,“ Prastawa terkejut, “orang yang bernama Ki Gede Telengan dan Tumenggung Wanakerti sudah mati?” “Ya. Keduanya dibunuh oleh Agung Sedayu.” “Kau gila, katakan yang sebenarnya.” “Ya. Dibunuh oleh Agung Sedayu.” “Tutup mulutmu, atau aku sumbat dengan ujung pedang. Aku tidak tahu siapakah keduanya. Tetapi karena keduanya memiliki tugas-tugas khusus tentu kedua orang-orang yang berilmu.” “Ya. Keduanya memang orang yang pilih tanding. Tetapi keduanya telah dibunuh oleh anak muda dari Sangkal Putung itu.” “Kalau kau sebut sekali lagi, aku bunuh kau.“ Pengawal itu menjadi heran. Tetapi ia benar-benar tidak berani mengatakannya lagi. “Bagaimana dengan paman Argapati.” “Aku diperintahkannya mencari hubungan. Pasukannya sudah dekat dibelakang medan ini. Kami akan segera menggabungkan diri.” “Bagus. Kita akan segera menyelesaikan pertempuran ini dan menghancurkan orang-orang tamak yang menyebut dirinya pendukung Kerajaan Agung Majapahit.” “Baiklah. Aku akan menyampaikannya kepada Ki Gede. Sebentar lagi pasukan kami akan datang.” “Pergilah. Aku akan menyampaikannya kepada Raden Sutawijaya.”

Penghubung itu mengangguk. Iapun kemudian menarik diri dari peperangan dan kembali untuk menemukan kawannya dipersembunyiannya yang gelap dan sepi. Ketika ia menemukannya, maka kawannya itu hampir tidak tahan lagi menunggu. Tubuhnya menjadi gemetar dan peluh dingin mengalir diseluruh tubuhnya. “Uh. kau lama sekali. Aku hampir beku disini.” “Aku hampir luluh dimedan yang panas.” “Disini dingin sekali.” “Marilah. Kita melaporkannya kepada Ki Gede. Medan itu merupakan medan yang kacau balau.” Dengan tergesa-gesa keduanya pergi menghadap Ki Gede Menoreh yang telah menunggu dengan gelisah. Dengan jelas, penghubung itu melaporkan apa yang telah dilihatnya. Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. “Gelar Glatik Neba agak terlalu berbahaya bagi para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Gelar itu merupakan hantu bagi lawan, jika jumlahnya cukup dan secara pribadi para pengawal memiliki kemampuan yang tinggi.” “Prastawa menilai pasukannya seperti ia menilai dirinya sendiri. Mungkin ia sendiri dapat membuat kejutan-kejutan dimedan perang brubuh. Tetapi para pengawal muda akan menjadi gelisah. Apalagi dalam pertempuran yang sangat panjang,“ berkata Ki Gede Menoreh. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia membayangkan kesulitan yang dialami oleh para pengawal, terutama yang masih sangat muda. Muda umurnya dan muda pengalamannya. “Marilah,“ Ki Gede tiba-tiba saja menjatuhkan perintah, “kita akan segera berangkat.” Pasukan kecil itupun segera mempersiapkan diri. Mereka menyalakan kembali obor-obor yang sebagian telah dipadamkan. Kemudian dengan hati-hati mereka menyusuri jalan diantara pepohonan hutan mendekati medan. “Angger Agung Sedayu,” berkata Ki Gede, “mungkin tenaga kita akan diperlukan dimedan. Karena itu. biarlah kedua pusaka ini dibawa oleh dua orang pengawal yang dapat dipercaya. Salah seorang dari kita akan mengawal pusaka ini bersama beberapa orang pilihan, sedang salah seorang lagi langsung memasuki medan.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. “Aku akan mengawal pusaka ini,” berkata Ki Gede Menoreh, “jika aku cukup beristirahat, kakiku tidak akan mengganggu aku lagi.” Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, “Baiklah Ki Gede.

Aku akan memasaki medan! Tetapi baiklah kita berjanji. Jika Ki Gede mengalami kesulitan, berilah tanda khusus, sehingga aku akan segera datang membantu.” “Panah sendaren. Aku akan memerintahkan melepaskan tiga buah panah sendaren berturut-turut. Panah itu akan melintasi medan, sehingga kau akan dapat mendengarnya.” Agung-Sedayu mengangguk. Sejenak kemudian Ki Gede telah membagi pengawalnya. Sepuluh orang bersama dirinya sendiri, telah mengawal dua orang yang membawa pusaka itu. sementara yang lain mengikuti Agung Sedayu dibelakang penghubung yang telah menjumpai Prastawa sebagai petunjuk jalan. Sementara seorang yang tinggal telah selalu siap dengan busur dan anak panah sendaren jika setiap saat diperlukan. Sepeninggal Agung Sedayu, Ki Gedepun selalu bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan, justru karena kedua pusaka itu berada dibawah tanggung jawabnya. Karena itu. maka iapun telah mengatur pengawasan dengan sepuluh orang yang ada. Seluruhnya harus bersiaga. Sementara itu, ia mulai berpikir juga tentang persediaan makan bagi orang-orangnya yang terlibat didalam perang. Ia sama sekali tidak membawa persediaan. Jika satu dua orang sempat kembali ke mulut lembah maka mereka akan dapat mengambil beberapa macam alat dan persediaan makanan. “Tetapi itu akan memerlukan waktu yang lama sekali,” katanya didalam hati. Karena itu, maka yang dapat dilakukannya hanyalah menunggu perkembangan keadaan. Ia masih ingin melihat, bagaimana cara orang-orang dilembah itu memberikan persediaan makan dan minum kepada orang-orangnya yang masih bertempur dimedan. “Mudah-mudahan para pengawal Mataram dan Sangkal Putung membuat persediaan itu, sehingga pasukan yang mengurung lembah ini tidak akan lumpuh karena kelaparan.” Dalam pada itu. Agung Sedayu sudah mendekati lembah, ia sudah melihat semakin jelas cahaya obor yang menerangi medan. Bahkan ia sudah dapat melihat, pertempuran yang seru antara kedua belah pihak. Iapun sudah dapat membedakan, yang manakah pengawal Tanah Perdikan Menoreh, yang mana pasukan pengawal dari Mataram dan yang manakah orang-orang yang berada dilembah itu. “Kita akan segera memasuki medan,“ berkata Agung Sedayu kepada para pengawal Tanah Perdidkaii Menoreh. “Kita akan bergabung dengan kawan-kawan yang terdahulu,“ desis seseorang.

“Ya bukankah kau lihat, mereka masih sedang bertempur dengan sengitnya? Tetapi sudah nampak tenaga mereka mulai susut. Baik dari pihak kita, maupun dari pihak lawan. Agaknya orang-orang dilembah ini tidak mau menghentikan perang menjelang malam. Mereka akan menyelesaikan sampai tuntas,” jawab Agung Sedayu. Para pengawal itu tidak menjawab. Namun nampak tenaga mereka pun sudah mulai susut pula. Mereka lelah bertempur hampir sehari penuh. Sementara mereka sama sekali tidak mendapatkan makan apapun juga. Tetapi Agung Sedayu tidak sempat memikirkan, Ia menyerahkan kemungkinan untuk mendapatkan makanan kepada pimpinan pasukan. Mungkin ia sudah melakukan sesuatu bagi anak buahnya. Sejenak kemudian, maka Agung Sedayupun telah memasuki medan. Oleh penghubung yang membawanya ia tidak langsung di serahkan kepada Prastawa, karena ternyata Ki Gede tidak ikut bersama pasukan itu. Apalagi sikap Prasiawa agak mengherankan penghubung itu, bahwa agaknya Prastawa tidak senang mendengar berita kemenangan Agung Sedayu yang sudah berhasil membunuh dua orang pimpinan Utama dari pasukan lawan. Karena itu, maka Agung Sedayu ternyata telah berada disayap pasukan. Diluar sadarnya, ia teluh berada dimedan yang bertentangan dengan medan yang para pengawal Mataram dipimpin oleh Ki Lurah Dipajaya bersama Ki Sumangkar. Agaknya Ki Sumangkar yang baru sembuh dari luka-lukanya, tenaganya masih belum pulih sama sekali. Ia tidak segera, berhasil mengalahkan lawannya. Kiai Kelasa Sawit, meskipun ia berhasil mendesaknya. Ia masih selalu harus memperhitungkan tenaganya sebaik-baiknya, karena ia sadar, bahwa pertempuran itu akan berlangsung lama. Bahkan mungkin dua hari dua malam, atau tiga hari tiga malam. Sementara itu, Ki Lurah Dipajaya semakin lama menjadi semakin sulit untuk mengatasi ilmu Kiai Samparsada, meskipun ia dibantu oleh beberapa orang pengawalnya. Setiap kali pengawal-pengawal Mataram itu terdesak, dan bahkan satu dua diantara mereka, harus segera diganti karena luka-luka yang menggores tubuh mereka. Kehadiran Agung Sedayu dibagian lain dari medan itu, telah menimbulkan pengaruh yang terasa sampai keseberang. Dengan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang sempat beristirahat meskipun hanya sejenak itu. Agung Sedayu memasuki medan dengan garangnya. Dalam perang brubuh, maka keragu-raguan Agung Sedayu ternyata lebih cepat tersisih. Ia tidak sempat membuat pertimbangan-pertimbangan, karena lawannya seolah-olah berada di segala arah. Bahkan kawan-kawannya, para pengawal yang datang bersamanyapun seolah-olah telah tenggelam dalam arena dan hilang ditelan gelombang pertempuran. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tangannya sudah mulai mengayunkan cambuknya

dan menyibakkan lawan-lawannya. Suara cambuk Agung Sedayu telah mengejutkan arena diujung sayap itu. Beberapa orang sudah mendengar tentang orang-orang bercambuk. Merekapun dapat mendengar lamat-lamat, suara cambuk Swandaru yang berada di induk pasukan. Apalagi kemudian suara cambuk itu terdengar begitu dekat, sementara suara cambuk yang lain. meskipun lirih, masih juga mereka dengar disela-sela sorak sorai yang kadang-kadang masih meledak. Ternyata suara cambuk Agung Sedayu telah menarik perhatian. Ki Sumangkar yang mulai susut tenaganya, berhadapan dengan Kiai Kelasa Sawit, mendengar pula ledakan cambuk itu. Dengan serta merta ia berdesis, “Tentu Agung Sedayu. Ia datang dengan pasukan Tanah Perdikan Menoreh.“ Namun sebuah pertanyaan telah menyelinap, “Tetapi kenapa begitu lambat? Kenapa baru sekarang ia datang?” Ki Sumangkar sadar, bahwa disekitarnya tentu tidak ada orang yang akan dapat menjawab. Namun kehadirannya telah memberikan gairah baru dalam perjuangannya disayap pasukan pengawal Mataram itu. Kiai Samparsada yang bertempur melawan beberapa orangpun mendengar suara cambuk itu seperti juga Kiai Kelasa Sawit. Agaknya Kiai Samparsada juga pernah mendengar, bahwa orang-orang bercambuk itu mempunyai kemampuan yang melampaui kemampuan prajurit-prajurit kebanyakan. Karena itulah, maka timbul keinginannya untuk melihat, siapakah yang telah membunyikan cambuk itu. sementara suara cambuk di induk pasukan masih tetap terdengar menggelegar berurutan. Dengan wajah yang tegang. Kiai Samparsada menyibak medan. Ia tidak terlalu sulit mencari arah Agung Sedayu karena ledakan-ledakan cambuknya. Namun dengan dada berdebar-debar. Kiai Samparsada sempat membedakan suara cambuk dekat dimedan yang menghadap ke Barat, dan ledakan cambuk di induk pasukan. “Ada perbedaan yang tajam antara kedua orang bercambuk itu,“ berkata Samparsada didalam hatinya, “yang seorang memiliki tenaga raksasa. Tangannya akan mampu memecahkan perisai baja sekalipun. Tetapi kekuatan yang lain dan ini justru tidak pada tenaga wadagnya, meskipun akibatnya justru akan lebih dahsyat.” Namun demikian, Kiai Samparsada justru telah berusaha semakin cepat mencapai orang bercambuk yang berada disayap itu meskipun datang dari arah Barat. Sejenak kemudian, maka Kiai Samparsada melihat, arena yang bagaikan disibakkan oleh putaran maut. Beberapa orang berdiri beberapa langkah dari seorang anak muda yang menganggap cambuk ditangan. Mereka mengacu-acukan senjata, tetapi seolah-olah mereka tidak berani mendekat. “Anak itu masih sangat muda,“ desis Kiai Samparsada.

Perlahan-lahan ia mendekati Agung Sedayu. Dengan dahi yang berkerut ia bertanya dengan suara lantang diantara hiruk pikuk perternpuran, “He, kaukah yang disebut orang bercambuk?” Agung Sedayu berpaling. Ia sadar, bahwa pertanyaan itu ditujukan kepadanya. Karena itu. maka iapun menjawab, “Ya. Aku adalah orang bercambuk, karena kebetulan aku memang bersenjata cambuk.” Kiai Samparsada melangkah semakin dekat, Dengan ragu-ragu ia memandang Agung Sedayu yang muda itu. Lalu sekali lagi ia bertanya, “Kaukah yang bermain-main dengan cambuk di sayap ini?” “Aku memang bermain-main dengan cambuk. Tetapi aku tidak tahu, apakah kau maksud memang aku.” “Aku mendengar suara cambuk lain di induk pasukan. Suaranya menggelegar seperti guruh.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya ragu, “Aku kira ia adalah adik seperguruanku. Tetapi aku tidak tahu pasti, apakah benar ia yang kau maksud.” “Adik seperguruanmu?“ “Ya.” Kiai Samparsada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kau memang menarik sekali. Pada umurmu yang masih sangat muda, kau sudah pandai bermain-main dengan cambuk beralaskan tenaga cadangan, yang sulit untuk dikuasai. Sedangkan agaknya kau meskipun serba sedikit, sudah dapat mengenalnya dan mempergunakannya.” Agung Sedayu tidak menjawab. “Anak muda. Sayang jika pada saat yang gawat ini kau berada di arena. Lebih baik kau menyerah. Aku ingin menjadikanmu seorang murid yang baik. Aku akan membersihkan dirimu dari pengaruh ilmu cambuk yang tidak banyak berarti itu. Aku ingim memberimu pengetahuan tentang tenaga wantah dan tenaga rangkap. Aku yakin bahwa kau akan menjadi seorang murid yang baik,“ berkata Kiai Samparsada. Tetapi diluar dugaan, seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang mendengar kata-kata itu menjadi marah dan menjawab, justru bukan Agung Sedayu sendiri, “Kaulah yang pantas berguru kepada anak muda itu.“ Kiai Samparsada berpaling kepada pengawal itu. Namun pengawal itu masih berteriak, “Ia telah membunuh Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti. Bagaimana mungkin ia harus berguru kepadamu?” Jawaban itu benar-benar mengejutkan. Sejenak wajah Ki Samparsada, dan bahkan orang-orang lain

yang mendengarnya menjadi tegang. Berita kematian itu benar-benar telah mengejutkan mereka. Pengawal itu ternyata cerdik. Ia melihat akibat dari berita yang dibawanya. Karena itu, justru ia mengulangi lebih keras, “Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti telah terbunuh.” “Bohong,“ teriak Ki Samparsada. Tetapi jawaban itu telah mengundang jawaban lagi yang justru semakin banyak. Hampir bersamaan beberapa orang pengawal yang datang bersama Agung Sedayu, dan yang mendengar jawaban Kiai Samparsada itu berteriak, “Sebenarnyalah Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti sudah terbunuh.” Teriakan-teriakan itu telah mencengkam arena disekitar Agung Sedayu dan Kiai Samparsada. Berita itu benar-benar telah menghentak setiap dada meskipun masih ada juga keragu-raguan. Seorang yang bertubuh tinggi kekar berteriak, “Bohong. Tidak ada seorangpun yang dapat mengalahkan Ki Gede Telengan.” Para pengawai Tanah Perdikan Menoreh berteriak semakin keras, “Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti telah mati.” Orang itu benar-benar telah menjadi tegang oleh kebimbangan. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu dapat mengambil kesimpulan, bahwa rencana Ki Gede Telengan untuk melarikan! pusaka itu dari lingkungannya, masih belum diketahui oleh banyak orang diantara pasukan yang berada dilembah. Agaknya berita itu langsung diterima oleh Ki Tumenggung Wanakerti dan diperintahkannya untuk merahasiakan agar tidak timbul kegelisahan dimedan yang luas ini. Tetapi ternyata para pengawal tidak lagi dapat dicegah. Mereka berteriak sesuka hati. Apalagi ketika mereka yakin, bahwa teriakan-teriakan mereka telah benar-benar mempengaruhi perasaan lawan. “Ki Tumenggung Wanakerti dan Ki Gede Telengan telah mati. Kedua pusaka yang diperebutkan telah berada ditangan kami.” Agung Sedayu sendiri menjadi tegang. Apakah berita itu mengutungkan bagi seluruh perjuangan Raden Sutawijaya. Mungkin pengaruhnya besar sekali bagi pertempuran dilembah itu. Tetapi bagai langkah selanjutnya, apakah dapat dibenarkan oleh pemimpin Mataram yang masih muda itu. Tetapi semuanya sudah terlanjur. Bahkan teriakan itu bagaikan menjalar dari sayap merambat perlahan-lahan ke induk pasukan.

Ketika para pengawal di induk pasukan berteriak tentang kematian Ki Tumenggung Wanakerti dan Ki Gede Telengan. Sutawijaya baru menerima seorang penghubung yang melaporkannya agak jelas setelah ia sempat menghubungi beberapa pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi ada beberapa keragu-raguan dihati Raden Sutawijaya. Ketika Prastawa mendekatinya, ia hanya mengatakan bahwa pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang lain akan bergabung dimedan ini. Pasukan yang dipimpin oleh Ki Gede Menoreh sendiri. Tetapi dari penghubungnya ia mendapat laporan, bahwa Agung Sedayulah yang kini berada disayap pasukan Tanah Perdikan Menoreh dengan pengawal yang tidak terlalu banyak. Tetapi cukup mempengaruhi keseimbangan, sementara para pengawal telah menceriterakan apa yang terjadi atas Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti. “Jadi Agung Sedayu dan Ki Gede sudah berhasil menguasai pusaka itu?“ bertanya Sutawijaya hampir berbisik kepada pengawal yang melaporkan. “Raden. Kini Ki Gede sedang menjaganya, sementara Agung Sedayu berada dimedan.” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Sementara itu, para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh masih saja berteriak-teriak tentang kematian Ki Tumenggung Wanakerti dan Ki Gede Telengan. Juga tentang pusaka-pusaka yang telah dirampas. Raden Sutawijayapun hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sadar, bahwa prajuritprajurit Pajang, baik yang ada didalam pasukannya, maupun yang berpihak pada Ki Tumenggung Wanakerti akan mendengarnya. Dan Raden Sutawijayapun sadar, bahwa persoalannya tentu akan dimanfaatkan sebaik-baiknya. “Istana Pajang telah menjadi sarang ketamakan dan kebencian,“ berkata Raden Sutawijaya kepada dirinya. Tetapi didasar hatinya terbersit juga suatu tuntutan hati nuraninya kepada diri sendiri, “Dan kau tidak mau memasuki arena langsung di dalam istana itu sendiri.” Sutawijaya menggeretakkan giginya. Diluar sadarnya ia tidak lagi bertempur melawan beberapa orang yang bersamasama melawannya, sehingga pengawal-pengawalnya harus melindunginya. Sebuah angan-angan tentang istana Pajang telah bermain dengan gelisah seperti kegelisahan hatinya sendiri. Tetapi harga dirinya ternyata telah menahannya untuk tidak menginjak lantai paseban di Pajang, sebelum Mataram menjadi sebuah kota yang besar dan ramai. “Tetapi seberapakah sebenarnya ukuran Kota yang besar dan ramai bagi Mataram itu? “ sebuah pertanyaan telah menyelinap didalam hatinya.

“Pati,” Sutawijaya hampir berteriak sehingga pengawalnya terkejut dan bertanya kepadanya, “Apakah yang Raden maksud dengan Pati?” “Tidak. Tidak ada apa-apa.“ geram Sutawijaya, “sekarang, kita harus menghancurkan musuh. Kita akan berterima kasih kepada Agung Sedayu dan Ki Gede Menoreh.” Namun dalam pada itu, Prastawa yang telah kembali kearena setelah bertemu sejenak dengan Sutawijaya, telah mendengar teriakan-teriakan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Semakin lama semakin jelas terdengar bahwa Tumenggung Wanakerti dan Ki Gede Telengan sudah mati. Sedangkan pusaka yang hilang itu telah diketemukan kembah. Wajah Prastawa yang tegang oleh pertempuran, menjadi semakin tegang. Ketika tiba-tiba saja seorang pengawal tidak jauh dari padanya berteriak tentang kematian kedua orang pemimpin lawan itu, ia berteriak pula, ”Diam. Diam kau.” Tetapi pengawal itu tidak begitu mengerti maksudnya, bahkan ia berteriak semakin keras. “Tutup mulutmu anak dungu,“ Prastawa membentak. Pengawal itu terdiam. Tetapi ia menjadi heran. Sementara itu, Prastawa tidak tahan lagi hatinya mendengar teriakan yang bahwa menjalar semakin jauh. Seolah-olah telinganya menjadi panas seperti tersentuh bara api. Dengan tergesa-gesa tiba-tiba saja meninggalkan medan, sehingga menimbulkan goncangan. Untunglah para pengawal segera dapat mengatasinya. Beberapa orang telah mengambil alih pertempuran sementara tenaga mereka benar-benar telah menjadi semakin susut. Namun kemenangan-kemenangan yang mengejutkan itu, seolah-olah telah memulihkan tenaga mereka. Prastawa yang tidak mau mendengar kemenangan-kemenangan yang dicapai oleh Agung Sedayu itupun telah menelusuri berita kematian Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti. Bahkan berlarilari kecil ia menuju kesayap untuk mendengar dan meyakinkan, apakah yang telah terjadi. Tetapi Prastawa sengaja tidak mau menemui Agung Sedayu. Ia mendengar apa yang telah terjadi dari beberapa orang pengawal. “Kalian telah berbohong. He, siapakah yang telah niempergunakan akal yang cerdik. Aku tidak menyalahkan cara yang kalian pergunakan. Dengan demikian lawan kita akan gelisah dan bahkan mungkin mereka benar-benar akan kehilangan gairah perjuangannya. Tetapi apakah yang sebenarnya terjadi itulah yang ingin aku ketahui. Dan siapakah yang telah menemukan akal yang bagus untuk melahirkan ceritera bohong tentang kematian kedua orang itu dan bahwa pusaka-pusaka itu telah dapat kita ketemukan.” “Itu bukan ceritera bohong,“ jawab pengawal itu, “keduanya telah mati dibunuh Agung Sedayu.”

“Cukup,“ Prastawa membentak, “aku ingin mendengar langsung dari paman Argapati. Dimana paman Argapati sekarang.” Pengawal itupun kemudian menunjukkan dimana Ki Gede Menoreh beristirahat sambil menunggui pusaka yang telah berhasil dikuasainya itu. “Tetapi jika ceritera itu bohong, aku akan memenggal lehermu,“ geram Prastawa. Pengawal itupun terheran-heran. Ia sama sekali tidak mengerti, persoalan apakah yang sebenarnya bergejolak dihati anak muda itu. Seharusnya ia ikut bergembira dan berbangga. bahwa tugas besar itu sebagian, bahkan yang pokok, sudah terselesaikan. Sementara itu, dengan tergesa-gesa Prastawa berlari-lari kecil mencari Ki Argapati seperti yang ditunjukkan oleh pengawal itu. Meskipun jalannya cukup gelap, akhirnya Prastawa berhasil menemukannya juga. Ia membentak ketika seorang pengawal tiba-tiba saja berada dihadapannya sambil mengacukan tombak pendek kedadanya. “Apakah matamu sudah buta,“ bentak Prastawa kasar. Pengawal itu terkejut. Namun kemudian iapun menundukkan kepalanya sambil menyahut, “Gelap sekali, sehingga aku tidak segera mengenalmu.” “Kau memang sudah rabun. Minggir, jangan berdiri disitu,“ Prastawa masih saja membentaknya. Namun rasa-rasanya hatinya kuncup ketika ia mendengar seseorang berkata, “Ia tidak bersalah. Adalah seharusnya bahwa ia berhati-hati dalam keadaan seperti ini.” Prastawa memandang kedalam gelap. Iapun kemudian melihat sesosok tubuh dalam keremangan malam. Ki Argapati. “Apakah ada sesuatu yang penting sekali Prastawa?” “Paman,“ Prastawapun kemudian mendekati pamannya, “ada teriakan-teriakan kacau dimedan. Apakah benar pusaka-pusaka itu sudah berada ditangan kita?” “Benar Prastawa. Kedua pusaka itu memang sudah berada ditangan kita.” jawab Ki Gede. “Dan dua orang pemimpin musuh sudah terbunuh?” “Ya. Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti.” “Pamankah yang sudah membunuh keduanya?” “Bukan aku. Tetapi Agung Sedayu.”

Wajah Prastawa menjadi panas. Sejenak ia mematung. Yang mengatakan itu adalah pamannya sendiri. Namun dengan ragu-ragu ia masih bertanya, “Tetapi apakah benar yang membunuhnya Agung Sedayu? Atau barangkali Agung Sedayu bersama sepuluh atau duapuluh orang pengawal Tanah Perdikan Menoreh beramai-ramai melawannya.” Ki Gede Menoreh memandang Prastawa dengan tajamnya. Meskipun didalam kegelapan, tetapi Ki Gede seakan-akan dapat melihat, bukan saja kegelisahan diwajah Prastawa, tetapi gejolak didalam dadanya. Anak muda itu tentu mempunyai perasaan lain dari yang diharapkan, bahwa lawan-lawannya telah berkurang. “Prastawa,“ suara Ki Gede merendah, “Agung Seiayu seorang diri telah melakukan perang tanding berturut-turut. Mula-mula ia telah membunuh Ki Gede Telengan dengan cara yang sangat mengagumkan. Kemudian dengan mengejutkan pula ia berhasil membunuh Ki Tumenggung Wanakerti.” Tiba-tiba saja tubuh Prastawa menjadi gemetar. Ia tidak mengerti, perasaan apakah yang bergejolak didalam dirinya. Namun ia merasa tidak senang bahwa semuanya itu telah terjadi. Bahkan ia masih tetap tidak percaya, bahwa Agung Sedayu seorang diri berhasil membunuh kedua orang pemimpin lawan itu. Namun akhirnya ia berkata Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti bukan orang-orang penting diantara lawan paman. Mereka bukan orang yang memiliki kemampuan yang dapat dibanggakan, sehingga sudah sepantasnya jika mereka terbunuh oleh Agung Sedayu. Itu bukan karena kelebihan yang ada pada Agung Sedayu, tetapi lawannya itulah yang terlalu lemah, meskipun keduanya mempunyai nama yang mengerikan. Karena itu, apa yang terjadi adalah sewajarnya.” Ki Argapati memandang kemanakannya dengan heran. Tetapi lambat laun ia dapat menangkap, perasaan apakah yang sebenarnya tersirat dihati anak muda itu. Tentu ia merasa iri, bahwa Agung Sedayu adalah dapat melakukan sesuatu yang luar biasa pada umurnya yang masih sangat muda. “Atau justru ada persoalan lain yang lebih menggelisahkan lagi?” bertanya Ki Gede Menoreh kepada diri sendiri. Sementara itu, Prastawa yang masih berdiri tegak itupun berkata, “Aku akan kembali kemedan paman. Aku hanya ingin mengetahui apa yang sebenarnya sudah terjadi.” “Prastawa,“ berkata Ki Gede Menoreh, “sebenarnya aku merasa heran bahwa kau dengan serta merta datang untuk bertanya, apakah benar Agung Sedayu telah melakukannya.

Pertanyaanpun bukannya pertanyaan yang ingin meyakinkan kebenaran berita itu, tetapi justru kau sudah memperkecil arti dari peristiwa itu. Ketahuilah Prastawa, dengan jujur aku mengatakan, bahwa aku telah hampir mengalami kesulitan yang gawat, saat aku bertempur melawan Ki Tumenggung Wanakerti. Kakiku terasa mulai mengganggu. Namun akhirnya Ki Tumenggung itu mati oleh Agung Sedayu setelah ia lebih dahulu membunuh Ki Gede Telengan. Aku tidak akan memberikan kesimpulan atas peristiwa itu. Tetapi itulah yang terjadi.” Dada Prastawa bagaikan retak mendengar penjelasan itu, seolah-olah pamannyapun telah terbius oleh kehadiran anak muda itu. Namun Prastawa tidak membantah, ia hanya menundukkan kepalanya saja. “Prastawa, kembalilah kemedan. Kau sudah mendengar apa yang sebenarnya telah terjadi atas kedua orang itu.” “Baiklah paman,“ suara Prastawa rendah, “aku mohon diri.” Prastawapun kemudian berlari-lari kecil meninggalkan pamannya seolah-olah ia ingin menjauhi berita yang diucapkan oleh pamannya yang mengagumi Agung Sedayu itu. “Semuanya telah berbohong,“ geramnya seorang diri, “jika Tumenggung Wanakerti telah bertempur lebih dahulu melawan paman, maka sebenarnya ia sudah tidak mampu lagi bernafas karena kelelahan. Tentu saja Agung Sedayu dapat merunduknya dan melecut punggungnya sehingga lawannya lumpuh. Kemudian dengan mudahnya ia mengulangi serangan-.serangannya sehingga Tumenggung itu mati.” Namun sekah-sekali terdengar ia menggeretakkan giginya. Ia tidak mau menerima kenyataan itu, bahwa Agung Sedayu telah mengalahkan orang-orang yang mumpuni. “Tidak,“ sekali lagi ia menggeram, “keduanya bukan orang yang penting. Akupun membunuh mereka jika aku mendapat kesempatan seperti Agung Sedayu.” Tetapi kegelisahan itu bagaikan bersarang didadanya. Betapapun ia berusaha untuk mengusirnya, namun ia selalu dibayangi oleh pendengarannya bahwa Agung Sedayu telah melakukan sesuatu yang luarbiasa pada usianya yang muda. Sementara itu, Agung Sedayu telah menghadapi lawan yang lain dimedan pertempuran yang kacau. Namun terasa bahwa masing-masing pihak telah semakin diganggu oleh kelelahan. Sementara itu, beberapa orang yang telah menjauii dari medan sedang sibuk mempersiapkan makan dan minum. Tetapi tidak seorangpun dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang melakukannya. Prastawa sama sekali tidak ingat lagi. apakah yang harus dilakukan untuk mengatasi persoalan yang sebenarnya gawat itu. Jika lawan sempat memberikan makan dan minum pada pasukannya, sementara orang-orang Tanah Perdikan Menoreh dibiarkannya lapar, maka akibatnya akan sangat pahit bagi pasukan itu. Penyesalan akan berkepanjangan dari waktu ke waktu oleh kekhilafan yang mungkin dianggap hanya sekedar makan dan minum.

Namun dalam pada itu, para petugas dari Mataram dan Sangkal Putung tengah sibuk menyediakannya. Seorang penghubung telah memberitahukan bahwa di arena pertempuran sebelah Barat, tidak ada seorangpun yang mendapat tugas untuk menyiapkan makan dan minum, sehingga hal itu perlu mendapat perhatian para petugas di arena pertempuran sebelah Timur. Sebenarnyalah bahwa arena pertempuran itu semakin lama menjadi semakin tipis. Jarak antara arena yang berlawanan arah itu sudah tidak terlalu jauh lagi. Pasukan Mataram yang berhasil menembus lawan dan kemudian berada diinduk pasukan bagian Barat dan dipimpin langsung oleh Raden Sutawijaya, benar-benar telah menekan lawannya. Sementara Swandaru bersama isteri dan adiknya merupakan hantu yang menakutkan diarena yang berhadapan dengan pasukan yang dipimpin oleh Raden Sutawijaya. Betapapun lambatnya, ternyata pasukan Mataram, Sangkal Putung dan Tanah Perdikan di induk pasukan nampak mencapai kemajuan-kemajuan kecil. Sementara ketika Prastawa hadir lagi dipertempuran. maka itupun telah mengamuk dengan dahsyatnya. “Setiap orang mempercakapkan Agung Sedayu,“ katanya didalam hati namun mereka harus menyadari bahwa aku dapat berbuat lebih banyak daripadanya.” Prastawa benar-benar telah menjadi gila. Tiba-tiba saja ia menyadari bahwa sesuatu telah mendorongnya untuk melakukan perjuangan yang lebih sengit. Dari pengawal Mataram yang sudah berada diinduk pasukannya, ia mendengar bahwa Sekar Mirah bertempur pula diinduk pasukan dari gelar para pengawal Sangkal patung yang bertempur bersama pengawal dari Mataram. Sutawijaya yang berada tidak terlalu jauh dari anak muda itu. sekali-kali telah memperhatikannya. Setiap kali Raden Sutawijaya bertanya kepada diri sendiri, kenapa tiba-tiba saja Prastawa telah mengamuk tanpa memperhitungkan daya tahan tubuhnya yang tentu sudah lelah. Jika ia telah terbenam dalam suatu saat ia akan mengalami kesulitan. Tetapi Sutawijaya masih membiarkannya. Ia masih ingin melihat apa sebenarnya yang telah mendorong anak muda itu untuk mengerahkan kemampuannya setelah ia menghilang beberapa saat dari medan. Ternyata bukan saja tekanan yang berat, dirasakan dimedan oleh orang-orang yang bertahan dilembah itu. Berita tentang kematian Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti benar-benar telah mempengaruhi hati mereka. Bahkan Senapati yang kemudian mengenakan tanda Panghma ternyata menjadi gelisah bahwa keseimbangan pertempuran itu akan berubah dengan pasti, menuju ke akhir yang pahit. Pengaruh berita kematian Ki Tumenggung Wanakerti dan Ki Gede Telengan benar-benar telah memukul jantungnya, sehingga kecemasan telah mulai mencengkam hatinya. Apalagi tekanan Raden Sutawijaya dan Prastawa dibagian Barat, serta ledakan-ledakan cambuk

Swandaru di medan sebelah Timur, agaknya sulit untuk diatasi lagi. Bahkan kedua perempuan itupun bagaikan iblis betina yang mengamuk diantara lawan-lawannya yang lemah. “Apakah perempuan-perempuan itu akan dapat bertahan lebih lama lagi? “ pertanyaan itu agaknya telah melonjak dihati mereka. Tetapi agaknya kedua perempuan itu benar benar telah terlatih untuk menghadapi keadaan yang sangat berat. Bahkan agaknya keduanya telah berhasil mengatasi sifat-sifat keperempuan mereka sehari-hari. Bertempur tanpa makan tanpa minum sampai saatnya mereka akan mendapatkannya. Tetapi tentu sudah terlalu lambat menurut kebiasaan hidup sehari-hari. Ternyata kemudian, bahwa tekanan yang semakin berat tidak saja terjadi di induk pasukan. Di sayapsayap pasukanpun perubahan itu timbul dengan perlahan-lahan tetapi tanpa dapat dibendung lagi. Ki Waskita adalah orang yang memiliki kemampuan melampaui orang kebanyakan seperti juga Kiai Gringsing. Ternyata keduanya memiliki daya tahan melampaui lawan-lawannya. Meskipun mereka masih belum dapat memastikan akhir dari perjuangannya, tetapi Empu Pinang Aring dan Kiai Jagarana agaknya mulai digelisahkan oleh kelelahan. Apalagi ketika mereka mendengar teriakan-teriakan yang menjalar sampai keujung-ujung sayap bahwa Ki Gede Telejngan dan Ki Tumenggung Wanakerti telah mati. Kiai Gringsing yang memiliki pengalaman yang matang itupun berusaha untuk tetap menguasai dirinya. Ia bertempur dengan perhitungan yang teliti. Ia sadar, bahwa pertempuran akan berlangsung berkepanjangan, sehingga karena itu, pada saat-saat tertentu ia tidak memaksa diri untuk dengan cepat memenangkan pertempuran, karena hal itu tentu akan sia-sia. Perhitungan yang serupa sebenarnya dimiliki pula oleh Empu Pinang Aring. Tetapi peristiwa peristiwa yang terjadi benar-benar tidak dapat diabaikannya. Jika benar Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti mati, apalagi pusaka-pusaka itu akan kehilangan arti. Namun dari penghubungnya. Empu Pinang Aring mendengar, bahwa pusaka itu masih ada dilembah. Seorang pengawas berhasil melihat pusaka-pusaka itu dijaga oleh sekelompok pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Harapan-harapan yang kabur itu mulai tumbuh lagi. Bahkan terbersit niatnya untuk berjuang lepas dari ikatan gelar untuk mendapatkan pusaka itu. Tetapi untuk melakukannya bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Dihadapaknya ada orang bercambuk yang memiliki kemampuan luar biasa, sehingga seandainya ia bergeser dari medan, maka orang bercambuk itu tentu akan mengikutinya. “Aku harus membunuhnya lebih dahulu,“ geram Empu Pinang Aring.

Namun niatnya itu telah membentur pengakuan didalam dirinya, bahwa jika ia mampu membunuhnya, maka itu tentu sudah dilakukannya sejak pertempuran itu baru dimulai. Dengan demikian maka perubahan-perubahan yang terjadi dalam keseimbangan pertempuran telah terjadi dengan lambat sekali. Bahkan kadang-kadang masih juga terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak terduga. Namun dalam pada itu. di sayap yang lain, perubahan itu nampak lebih jelas ketika Agung Sedayu dan sekelompok pasukan Tanah Perdikan Menoreh sudah mulai memasuki arena. Kedatangan orang-orang baru itu sudah menumbuhkan geseran-geseran yang menggelisahkan bagi lawan. Kiai Samparsada yang kemudian berhadapan dengan Agung Sedayu mulai dirayapi pengakuan, bahwa anak muda ini memang memiliki ilmu yang luar biasa. “Tetapi apakah benar ilmunya melampaui ilmu Ki Gede Telengan,“ ia bertanya kepada diri sendiri. Namun sebuah jawaban telah membuatnya agak tenang, “Namun mungkin sekali Ki Gede Telengah telah melakukan suatu kesalahan yang menjerumuskannya kedalam maut. Karena itu aku tidak boleh membuat kesalahan.” Aku tidak boleh menganggap anak ini kawan bermain-main, karena cambuknya benar-benar dapat mematahkan tulang. Jika benar Ki Tumenggung Wanakerti luati pula olehnya, maka ia telah berhasil menembus perisai yang tidak kasatmata disekitar tubuh Ki Tumenggung Wanakerti.” Dengan demikian Kiai Samparsada harus bertempur dengan sangat hati-hati. Ia tidak boleh lengah dan mengalami nasib seperti Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti ditangan anak muda yang aneh itu. Namun dalam pada itu, para pengawal yang baru datang itupun telah membuat kejutan-kejutan yang menggelisahkan. Mereka mulai menyusup dimedan yang seolah-olah dalam keadaan seimbang itu. sehingga pengaruh yang kecil itupun akan segera nampak merubah keseimbangan. Kegelisahan telah timbul di sayap itu. Beberapa orang mulai melihat, bahwa pasukan Tanah Perdikan Menoreh dimedan sebelah Barat berhasil menghimpit lawannya yang membentur pasukan pengawal Mataram diarah Timur. Namun dalam pada itu. Ki Sumangkar yang baru sembuh dari luka-lukanya mulai merasa terganggu. Ketahanan tubuhnya memang sudah pulih. Tetapi luka-lukanya yang masih nampak tergores di tubuhnya, masih terlalu lemah, sehingga geseran-geseran kecil telah mengelupas kulitnya dan darah mulai memerah dipakaiannya. Lawannya menjadi heran. Orang tua itu sangat lincah sehingga senjatanya sama sekali belum berhasil menyentuh meskipun mereka sudah bertempur sehari penuh. Namun tiba-tiba didalam cahaya obor ia melihat noda-noda yang semakin jelas pada pakaian Ki Sumangkar.

Ki Sumangkar sendiri menjadi cemas. Ia merasa tenaganya mulai susut. Jika pertempuran itu berjalan terlalu lama, maka ia akan kehilangan sebagian dari tenaganya. Apalagi jika darah dari lukanya itu mengalir semakin banyak. Tetapi ternyata bahwa perubahan keseimbangan di medan sebelah Barat itu mempengaruhi pula medan di sebelah Timur, Karena tekanan pasukan Tanah Perdikan Menoreh, maka beberapa orang telah berpaling dan memperkuat perlawanan terhadap mereka. Dengan demikian, maka perubahan yang paling laju ternyata telah terjadi diarena yang paling ujung. Agung Sedayu yang menyadari bahwa pertempuran telah berlangsung terlalu lama, merasakan betapa kelelahan mulai mencengkam. Apalagi Agung Sedayu menyadari, bahwa Prastawa tidak berusaha untuk berbuat sesuatu untuk mempertahankan ketahanan kekuatan wadag orang-orangnya. Itulah sebabnya, maka ia berpendapat, bahwa pertempuran harus segera diselesaikan. Kesempatan yang mulai nampak pada sayap itu telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh Agung Sedayu. Dengan para pengawal yang baru datang, rasa-rasanya pasukan disayap itu telah bertempur dengan tenaga baru. Kiai Samparsada menjadi semakin cemas menghadapi kenyataan itu. Seperti Agung Sedayu maka iapun berpendapat, bahwa pertempuran harus segera diakhiri. “Anak ini harus segera dilumpuhkan,“ geramnya didalam hati. Namun cambuk Agung Sedayu justru bergetar lebih dahsyat menurut pendengaran telinga hati Kiai Samparsada, sehingga justru ia menjadi semakin geli.sah. Ia menjadi semakin yakin akan kebenaran ceritera tentang kematian Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti, karena semakin lama ia samakin menyadari, bahwa perlawanannya menjadi bertambah berat. Dengan demikian, maka baik pasukan Tanah Perdikan Menoreh, maupun pasukan pengawal dari Mataram telah berhasil mendesak lawan mereka, sehingga medan pertempuran disayap itupun benarbenar telah berubah menjadi perang brubuh yang kacau. Bukan saja dari arah Barat yang sejak semula pasukan Tanah Perdikan Menoreh sudah berbaur dalam gelar Glatik Neba, meskipun jumlah pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh tidak terlalu banyak yang sampai kesayap itu, ditambah dengan kehadiran pasukan pengawal Mataram yang menyesuaikan diri dalam gelar yang sama, namun gelar dimedan sebelah Timurpun sudah menjadi semakin kabur. Pasukan pengawal Mataram telah menerobos semakin dalam sementara yang lain menekan semakin jerat. Jika di induk pasukan, terutama diarah Timur, masih jelas nampak batas antara kedua pasukan yang sedang bertempur, maka di sayap gelar itu, batas antara pasukan yang berada dilembah itu dengan pasukan yang datang dari Mataram, dari Sangkal Putung dan dari Tanah Perdikan Menoreh menjadi semakin kacau. Namun karena masing-masing seolah-olah telah mempunyai ciri dan tanda masing masing, maka mereka masih dapat mengenal, yang manakah lawan dan yang manakah kawan.

Kekaburan itu bukan saja terjadi pada para pengawal. Tetapi Agung Sedayu yang mendesak lawannya, seakan-akan tenggelam semakin dalam diantara hiruk pikuknya pertempuran. Beberapa orang pengawal berusaha mtuk mendampinginya dan berjaga-jaga sambil memagari pertempuran antara Agung Sedayu dan lawannya, karena kecurangan mungkin saja teriadi didalam perang brubuh. Dalam pada itu, Sumangkar yang bertempur melawan Kiai Kelasa Sawit setiap kali merasa seakanakan mendengar ledakan kebanggaan jika ia mendengar suara cambuk Agung Sedayu. Ki Sumangkar ikut merasa berbesar hati atas kemajuan yang telah dicapai anak muda itu. Dari pendengaran yang agak kurang pasti ia mengetahui bahwa Agung Sedayu telah berhasil membunuh Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti. Ki Sumangkar belum mengetahui, betapa tinggi ilmu Ki Gede Telengan. Yang diketahuinya adalah Ki Tumenggung Wanakerti. Sebagai seorang yang berpengaruh di Pajang ia pernah mengenal Ki Tumenggung Wanakerti, sehingga didalam hatinya ia berkata, “Jika benar Agung Sedayu berhasil mengalahkan Ki Tumenggung Wanakerti, maka ilmu Agung Sedayu tentu sudah menyamai, atau tidak-tidaknya mendekati tataran ilmu gurunya.” Namun dalam pada itu, Ki Sumangkar sendiri merasa bahwa kedudukannya benar-benar menjadi semakin sulit. Keadaan luka-lukanya terasa semakin mengganggu. Apalagi luka-lukanya yang dalam, yang nampaknya sudah sembuh benar, ternyata masih berdarah. Dalam kesulitan itu, maka yang dapat dilakukannya kemudian adalah sekedar bertahan sambil berusaha memelihara feetahanan tubuhnya agar tidak semakin cepat susut dan akhirnya lumpuh sama sekali. Sementara itu. tenyata Agung Sedayu berhasil mendesak lawannya semakin dalam. Cambuknya meladak ledak semakin cepat dan gemuruh bagi telinga hati lawannya. Seolah-olah cambuk itu meledak-ledak didalam dadanya. “Anak iblis ini benar-benar berbahaya,“ guman Kiai Samparsada didalam hatinya. Namun betapapun iuga ia berusaha, ia sama sekali tidak mampu untuk mendesak anak muda bersenjata cambuk itu. Dalam pada itu. didalam cahaya obor. maka Agung Sedayu terkejut ketika sekilas ia melihat senjata yang berputar pada seutas rantai. Ternyata bahwa senjata itu adalah sebuah trisula, sedangkan trisula yang lain berada didalam genggaman “Ki Sumangkar,“ desis Agung Sedayu. “Ternyata aku dapat bertemu dengan Ki Sumangkar disini.”

Agaknya Ki Sumangkarpun telah melihat Agung Sedayu. Karena itu, maka iapun melambaikan trisulanya yang berada dalam genggaman, sementara trisulanya yang lain masih saja berputar seperti baling-baling. Namun dalam tataran pertempuran berikutnya. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan ketajaman penglihatannya dan penilaiannya atas kedua orang itu. maka segera ia mengetahui bahwa Ki Sumangkar berada dalam kesulitan. “Kenapai ?” pertanyaan itu tiba-tiba saja tumbuh didalam hatinya. Ki Sumangkar menurut pengenalan Agung Sedayu adalah seorang yang pilih tanding. Tetapi kenapa ia nampak terdesak, dan bahwa semakin lama semakin berbahaya bagi keselamatannya. “Luka-lukanya,” tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis, “luka itu tentu belum sembuh benar. Lukalukaku yang tidak sebanding dengan luka-lukanya memang sudah sembuh. Tetapi luka-luka Ki Sumangkar jauh lebih parah dan tentu masih terasa sangat mengganggunya.” Dalam pada itu. selagi Agung Sedayu sedang bertempur melawan Kiai Samparsada, setiap kali ia justru merasa terganggu oleh keadaan Ki Sumangkar. Sehingga dengan demikian ia berusaha memancing lawannya untuk mendekati Ki Sumangkar. Ketika ia menjadi semakin dekat, maka Agung Sedayupun melihat, bahwa pakaian Ki Sumangkar tidak saja basah oleh keringat, tetapi basah oleh darah. “Itu berbahaya sekali,“ desis Agung Sedayu, “ia akan dapat kehabisan darah. Dengan demikidan lawannya akan dapat membunuhnya pada saat ia sudah kehilangan kekuatannya sama sekali. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat berbuat apapun juga, karena ia masih harus bertempur melawan Kiai Samparsada. Apalagi Kiai Samparsada termasuk salah seorang yang dianggap sebagai pemimpin dari pasukan yang ada dilembah, karena kehadirannya juga membawa pasukan yang kuat untuk mengimbangi pasukan yang dibawa oleh Ki Tumenggung Wanakerti. Kiai Kalasa Sawit. Empu Pinang Aring. dan Kiai Jagaraga. Namun keadaan Ki Sumangkar benar-benar telah menggelisahkannya. Semakin lama semakin nampak, bahwa Ki Sumangkar telah kehilangan sebagian dari tenaganya. Dalam pada itu, tidak ada cara lain bagi Agung Sedayu untuk membebaskan Ki Sumangkar dari malapetaka selain membantunya atau mengambil alih tugasnya, bertempur malawan Kiai Kalasa Sawit. Tetapi dengan demikian maka Agung Sedayu harus segera menyelesaikan lawannya.

“Apaboleh buat,“ geramnya. Itulah sebabnya, maka sejenak kemudian Agung Sedayu benar-benar telah mengerahkan segenap ilmunya. Keadaan Ki Sumangkar telah mendorongnya untuk berbuat jauh lebih banyak dari keinginannya sendiri. Agung Sedayu telah terlempar dari keragu-raguannya justru karena ia tidak sampai hati melihat keadaan Ki Sumangkar. Dengan dahsyatnya ia segera melihat lawannya. Cambuknya tidak lagi hanya sekali-kali saja meledak. Namun kemudian suara cambuknya benar-benar telah memenuhi arena pertempuran disayap yang kacau itu. Kiai Samparsada terkejut melihat perubahan sikap anak muda itu. Justru menjadi semakin garang. Bahkan sekali-kali cambuknya telah mulai menyentuh tubuhnya. “Anak gila. Anak iblis,“ Kiai Samparsada mengumpat. Agung Sedayu menjadi semakin bernafsu ketika ia melihat Ki Sumangkar meloncat menjauhi lawannya dengan nafas terengah-engah. Tetapi lawannya segera memburunya dan justru ingin mempergunakan setiap kesempatan untuk menghancurkan lawannya. Dengan sepenuh kemampuannya, yang tersalur pada setiap bagian dari tubuhnya dan menjalar pada cambuknya. Agung Sedayu menyerang Kiai Samparsada dengan segenap tenaganya. Itulah sebabnya maka cambuknya telah meledak dan bukan saja bagaikan memecahkan dinding jantungnya, tetapi juga selaput telinganya. Kekuatan wantah dan kekuatan rangkapnya telah bersama-sama menggetarkan juntai cambuknya dan meledakkannya bagaikan sepuluh guruh meledak bersama dilangit. Sikap Agung Sedayu benar-benar mengejutkan. Jika semula setiap orang yang memiliki pengamatan yang mendalam pada ilmu kanuragan menjadi heran, karena kekuatan yang tersalur lewat hentakkan cambuk yang menggetarkan dinding jantung, ternyata telah dibarengi oleh kekuatan wadag yang luar biasa. Dari ledakan-ledakan cambuknya dapat dikenal, bahwa Agung Sedayu memang memiliki kekuatan ilmu yang mumpuni dan kekuatan wadag yang sangat besar. Kiai Samparsadapun tergetar hatinya. Ia sadar, bahwa lawannya adalah seorang anak muda yang memiliki kemampuan melampui kebanyakan orang. Sehingga karena itulah, maka Kiai Samparsada telah memberikan isyarat kepada dua orang pengawalnya yang terpercaya untuk bersama-sama melawan Agung Sedayu. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Melawan tiga orang tentu akan lebih berat dari melawan seorang, betapapun jauhnya imbangan kekuatan diantara mereka. Karena itulah maka kehadiran kedua orang lawan yang baru itu telah semakin menggelisahkan Agung Sedayu. Beberapa orang pengawal yang ingin mencegahnya telah mendapatkan lawan ma.sing-masing,

sehingga kedua orang pengawal Samparsada itu berhasil mendekati dan membantunya melawan Agung Sedayu yang semakin garang. Dalam pada itu, keadaan Ki Sumangkar menjadi semakin sulit. Tubuhnya semakin lama menjadi semakin lemah. Meskipun lawannya juga sudah mulai susut kemampuannya oleh pertempuran yang keras dan panjang, namun luka-luka Ki Sumangkarlah yang telah menentukan, apa yang akan terjadi atasnya. Hal itulah yang kemudian mempengaruhi perasaan Agung Sedayu sepenuhnya, sehingga ia menjadi semakin lama semakin garang. Ujung cambuknya yang meledak-meledak itu benar-benar telah menggetarkan hati lawannya. Kedua orang pengawal Kiai Samparsada yang hadir diarena pertempuran itu, benar-benar telah kehilangan kesempatan untuk berbuat sesuatu. Ujung cambuk itu bagaikan mengejar mereka, kemanapun mereka pergi. Kiai Samparsada yang merasa dirinya memiliki ilmu yang jauh lebih baik dari kedua pengawalnya, telah mengambil sikap untuk memancing perhatian terbesar dari Agung Sedayu, sementara kedua pengawalnya akar dapat menyerangnya dari arah yang berbeda. Tetapi agaknya Agung Sedayu tidak dapat dijebaknya. Bahkan tiba-tiba saja ketika cambuk itu berputar beberapa kali, maka diluar pengamatan Samparsada, tiba-tiba saja kedua kawannya telah terlempar beberapa langkah. Ketika keduanya berusaha untuk bangkit, maka keduanya telah terjatuh kembali. Kaki mereka seolaholah menjadi lumpuh. Barulah kemudian mereka melihat, maka darah telah mengalir dari luka di kaki mereka. Serta tulangtulang mereka rasa-rasanya bagaikan remuk oleh sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu. Kiai Samparsada menggeram. Kedua pengawalnya itu ternyata sama sekali tidak berarti bagi Agung Sedayu. Sehingga dengan demikian maka kembali Kiai Samparsada harus menghadapinya seorang diri. Pertempuran berikutnya, benar-benar telah menggetarkan jantung Kiai Samparsada. Cambuk Agung Sedayu berputaran, mematuk dan menebas dengan dahsyatnya. Tetapi Samparsada yang merasa dirinya memiliki kelebihan dan menjadi sandaran bagi anak buahnya, tidak dapat mengingkari tugasnya Ia harus menghadapi Agung Sedayu, apapun yang terjadi. Sebenarnyalah, bahwa serangan-serangan Agung Sedayu yang didorong oleh kegelisahannya melihat

keadaan Ki Sumangkar, tidak lagi dapat dihindari. Ujung cambuk yang semakin lama semakin dekat diseputar tubuhnya, akhirnya mulai menyengat kulitnya. Betapa kuat daya tahan Kiai Samparsada, namun terasa ujung cambuk itu telah membuat kulitnya menjadi pedih. Satu-satu luka mulai menyobek kulit Kiai Samparsada. Pedih dan nyeri telah menjalari seluruh tubuhnya. Bahkan ketika darah semakin banyak mengalir dari luka-lukanya, maka benar-benar telah merasa kehilangan kesempatan untuk melawan. Agung Sedayu yang gelisah, seakan-akan tidak lagi dapat mengamati keadaan lawannya. Ia menyerang dengan sepenuh kemampuannya, agar ia dapat segera menyelesaikan pertempuran itu dan melepaskan Ki Sumangkar dari malapetaka yang semakin dekat. Betapapun Kiai Samparsada berusaha mengelak, tetapi cambuk Agung Sedayu selalu mengejarnya. Ketika ujung cambuk itu menyambar mendatar. Kiai Samparsada telah menjatuhkan dirinya, kemudian dengan serta merta ia meloncat menyerang Agung Sedayu yang menurut perhitungannya masih harus menguasai cambuknya yang tidak mengenai sasaran. Tetapi demikian ia meloncat, maka cambuk Agung Sedayu telah meledak dengan hentakan sendai pancing menyambar lambung. Terdengar keluhan tertahan. Serangan Agung Sedayu yang tergesa-gesa itu tidak terlontar dengan sepenuh kekuatan. Namun demikian, ketika Agung Sedayu menarik cambuknya, Kiai Samparsada telah terputar dan kehilangan keseimbangan. Orang yang disegani itu telah terlempar jatuh. Dengan serta merta ia berusaha untuk bangkit. Namun Agung Sedayu yang gelisah itu telah memburunya. Sekali lagi cambuknya meledak pada punggung Kiai Samparsada, sehingga orang itu menggeliat. Namun kemudian tubuhnya bagaikan kehilangan tulang-tulangnya. Agung Sedayu menyadari keadaan lawannya, ketika tiba-tiba saja kepala lawannya itu terkulai diatas tanah. Kedua tangannya terentang dan masih terdengar ia menggerang. Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Cambuknya yang sudah terangkat, perlahan-lahan turun diluar sadarnya. Namun dalam pada itu. ia melihat Ki Sumangkar telah terdorong beberapa langkah dan kehilangan keseimbangan pula. kekuatannya yang benar-benar telah susut, tidak mampu lagi menahan tubuhnya sehingga iapun kemudian terjatuh ditanah. Kiai Kelasa Sawit melihat lawannya sudah tidak berdaya.

Sejenak ia memandang dengan penuh kebanggaan. Ia ingin menikmati kemenangannya dan membunuh lawannya dengan dada tengadah. Tetapi Ki Sumangkar tidak menyerah pada keadaan yang nampaknya sangat gawat. Ia masih menggenggam trisulanya yang akan dapat menangkis serangan Kiai Kelasa Sawit, meskipun ia masih harus tetap terbaring ditanah. Kiai Kelasa Sawit tertawa melihat keadaan Sumangkar. Dengan nada tinggi ia berkata, “Bersiaplah untuk mati Sumangkar. Perguruanmu terkenal sebagai perguruan yang tidak ada duanya, karena setiap orang di-dalam perguruanmu telah dirangkap dengan nyawa cadangan. Tetapi ternyata Mantahun dan Macan Kepatihan yang perkasa itupun telah mati. Dan sekarang kau akan mati juga.” Ki Sumangkar tidak menyahut. Ia mengerahkan segenap sisa tenaganya pada senjatanya yang masih dalam genggaman. Namun dalam pada itu. Agung Sedayu tidak dapat membiarkan malapetaka itu terjadi pada Ki Sumangkar. Meskipun jarak antara dirinya dan Ki Sumangkar tidak terlalu dekat, namun ia harus berusaha untuk menolongnya. Pada saat yang gawat itu. Kiai Kelasa Sawit telah berdiri tegak menghadapi Sumangkar yang bagaikan telah kehilangan segenap kekuatannya. Perlahan-lahan ia mengangkat senjatanya dan siap membunuh tanpa ampun. Tetapi Kiai Kelasa Sawit terkejut bukan buatan. Ia merasa sebuah tenaga yang kuat telah menyambar ujung senjatanya, sehingga tangannya telah terdorong kesamping. Kiai Kelasa Sawit terpaksa memperbaiki kedudukannya. Namun dengan demikian ia sadar, bahwa ada kekuatan lain yang siap membantu Sumangkar yang sudah tidak berdaya itu. Sebenarnyalah Agung Sedayu yang tidak dapat menjangkau Kiai Kelasa Sawit telah memungut sebuah batu. Ketika senjata Kiai Kelasa Sawit siap menghabisi nyawa Ki Sumangkar, ia telah mempergunakan kemampuan bidiknya untuk melempar senjata itu, sehingga terayun. Etengan demikian maka saat-saat pembunuhan itu telah tertunda. Yang sejenak itu ternyata dapat dipergunakan oleh Agung Sedayu sebaik-baiknya. Dengan tangkasnya ia meloncat sambil mengayunkan cambuknya mendekati Kiai Kelasa Sawit.

“Curang,” teriak Kiai Kelasa Sawit. “Tidak. Aku tidak menyerangmu. Aku hanya menyentuh senjatamu.“ jawab Agung Sedayu. Kiai Kelasa Sawit termangu-mangu sejenak. Hampir ia tidak percaya, bahwa seseorang dapat membidik senjatanya dari jarak yang tidak terlampau pendek. Tetapi ia tidak dapat ingkar dari kenyataan, bahwa itu sudah terjadi. Agung Sedayu berdiri beberapa langkah dari Ki Sumangkar yang lemah. Sekilas ia menatap mata orang tua itu. Mata yang sudah redup meskipun nampaknya Ki Sumangkar tidak berputus asa. “Kau Sedayu,” terdengar orang itu berdesis. “Persetan,“ Kiai Kelasa Sawit berteriak sebelum Agung Sedayu menjawab. Agung Sedayu tidak menjawab. Ia berdiri tegak sambil menggenggam pangkal cambuknya, sementara Kiai Kelasa Sawit menjadi termangu-mangu. Sementara itu, beberapa orang pengawal dari Mataram yang melihat keadaan Ki Sumangkar telah dengan tergesa-gesa mendekatinya, justru pada saat-saat kekuatan dari Mataram, Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh semakin menguasai keadaan dimedan. “Gila,“ teriak Kiai Kelasa Sawit. Tetapi ketika ia akan meloncat kearah Sumangkar yang lemah, terdengar cambuk Agung Sedayu meledak dengan dahsyatnya. Yang didengar bukan saja oleh telinga wadag Kiai Kelasa Sawit, tetapi juga oleh telinga batinnya yang tajam. “Kau ingin menakut-nakuti aku anak muda,“ geram Kiai Kelasa Sawit. “Tidak. Tetapi biarlah aku mencoba menahanmu agar kau tidak merasa bahwa medan ini adalah sebuah lapangan permainan yang mengasikkan bagimu,“ jawab Agung Sedayu. “Sumangkar, orang terpenting di Jipang sesudah Patih Mantahun kini sudah aku lumpuhkan. Apalagi kau.” Seperti yang telah terjadi, maka orang lain sempat menjawabnya, “Ia telah membunuh Ki Gede Telengan, Ki Tumenggung Wanakerti dan Kiai Samparsada.” “He,“ wajah Kiai Kelasa Sawit menjadi merah. “Kiai Samparsada tidak mati,” desis Agung Sedayu, “ia masih mungkin hidup jika Kiai Gringsing nanti sempat mengobatinya setelah pertempuran selesai.” “Persetan. Kau masih sempat mengigau.“ bentak Kiai Kelasa Sawit. Lalu. “Seandainya kau berhasil membunuh setan iblis sekalipun, tetapi kau tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadapku.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Ia melihat beberapa orang pengawal Mataram yang sedang bertempur sementara beberapa orang yang lain melindungi Ki Sumangkar. “Bawalah menepi,“ berkata Agung Sedayu. “Tidak,“ Kiai Kelasa Sawit berteriak, “aku akan membunuhnya.” “Kiai,“ Agung Sedayu menyahut, “biarlah ia dibawa menepi. Ki Sumangkar yang sebelumnya telah terluka saat ia memasuki arena ini, ternyata telah diganggu oleh luka-lukanya.” “Omong kosong. Jangan memperkecil arti Kelasa Sawit. Akulah yang telah melumpuhkannya. Dan sekarang, apakah kau muridnya ?” Agung Sedayu memandang Kiai Kelasa Sawit dengan tajamnya. Namun katanya sebelum Agung Sedayu menjawab, “Tentu bukan. Kau adalah murid orang bercambuk itu.” Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan yang akan segera terjadi. Mungkin Kiai Kelasa Sawit akan menyerangnya. Tetapi mungkin dengan serta merta akan meloncat menyerang Ki Sumangkar yang masih tetap dilindungi oleh beberapa orang pengawal. Namun agaknya Kiai Kelasa Sawit masih menimbang-nimbang. Sekilas dipandanginya Ki Sumangkar yang telah diangkat oleh beberapa orang dibawah pengawalan beberapa orang yang lain. Kemudian dipandanginya Agung Sedayu yang berdiri dengan teguhnya sambil menggenggam cambuk. Kemarahan Kiai Kelasa Sawit rasa-rasanya telah membakar isi dadanya, "Anak muda bercambuk itu sama sekali tidak menunjukkan kegelisahan apalagi kecemasan meskipun ia melihat, bahwa Kiai Kelasa Sawit telah berhasil melumpuhkan saudara seperguruan Patih Mantaun dari Jipang itu.” “Kiai,“ berkata Agung Sedayu, “apakah kau tidak menyadari, bahwa akhirnya pertempuran ini akan menjadi ajang pembantaian yang semakin mengerikan. Aku yakin, bahwa kau mempunyai pengaruh yang besar atas pasukan dilembah ini dalam keseluruhan. Karena itu, apakah tidak ada jalan lain dari pembunuhan-pembunuhan yang semakin liar.” “Persetan. Jangan banyak bicara. Tetapi kau harus lebih banyak memperhatikan kenyataan, siapakah yang sedang kau hadapi. Jika kau sudah dijalari oleh ketakutan, minggirlah. Aku akan tetap membunuh Ki Sumangkar. Jika kau tidak mau pergi, maka kaulah yang pertama-tama harus dibunuh. Dan akhirnya Sumangkarpun akan mati pula.” Agung Sedayu memandang wajah Kiai Kelasa Sawit yang buas bagaikan hantu lapar melihat mayat bergelimpangan.

Namun dengan demikian Agung Sedayu sadar, bahwa ia tidak akan dapat berbuat lain daripada mempergunakan kekerasan seperti yang seharusnya berlaku dimedan perang. Kiai Kelasa Sawit yang melihat Agung Sedayu masih tetap berdiri ditempatnya, tiba-tiba saja telah meloncat penyerangnya. Dengan garangnya ia mengayunkan senjatanya langsung mengarah keleher lawannya. Tetapi Agung Sedayu telah bersiap menghadapi kemungkinan itu, sehingga karena itu. ia masih sempat mengelakkan serangan itu. Bahkan sekejap kemudian, terdengar cambuknya meledak dengan dahsyatnya. Kiai Kelasa Sawit mengumpat dengan kasarnya. Anak muda itu sempat mengelak dan sekaligus menyerang. “Anak setan ini benar-benar berbahaya,“ berkata Kiai Kelasa Sawit kepada diri sendiri. Apalagi ketika keduanya kemudian terlibat dalam pertempuran yang semakin sengit. Kiai Kelasa Sawit yang memiliki ilmu yang tinggi itu segera menyadari bahwa anak yang masih muda itu ternyata memiliki ilmu dan kemampuan olah kanuragan yang dapat disejajarkan dengan orang yang bernama Sumangkar, adik seperguruan Patih Mantaun yang pernah disebut bernyawa rangkap. Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin seru meskipun keduanya mulai terganggu oleh keterbatasan ketahanan tubuh mereka, setelah mereka memeras segenap kemampuan untuk waktu yang panjang. Sementara itu, di induk pasukan. Swandaru telah mengamuk dengan dahsyatnya, di ujung ujung dari induk pasukan itu. Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun telah bertempur dengan sengitnya. Meskipun nampak tenaga merekapun telah susut, tetapi lawan-lawan merekapun telah menjadi letih pula. Apalagi tekanan Raden Sutawijaya dan Prastawa dari arah lain di induk pasukan itu, maka rasarasanya kekuatan lawanpun mulai terhimpit dari kedua arah. Namun sebagian terbesar dari bekas prajurit Pajang berada di induk pasukan itu sehingga mereka masih bertahan dengan gigihnya. Di sayap yang lain. Kiai Gringsing ternyata memiliki daya tahan yang lebih besar dari Empu Pinang Aring. Meskipun kedua orang tua itu memiliki ilmu yang seimbang, namun Empu Pinang Aring mulai nampak menjadi semakin susut karena kemampuannya yang bagaikan terperas. Tubuhnya bagaikan tercelup kedalam air oleh keringat yang mengalir dari segenap lubang-lubang dipermukaan kulitnya. Bahkan sentuhan-sentuhan kecil dari ujung cambuk Kiai Gringsing telah membuat noda-noda merah di tubuhnya.

Semakin lama Empu Pinang Aring merasakan, bahwa ia akan mengalami kesulitan dalam saat-saat selanjutnya. Kiai Gringsing masih nampak sigap dan tangkas. Bahkan sekali-sekali ujung cambuk telah menggetarkannya. Orang tua itu masih tetap menyimpan tenaga cukup untuk melanjutkan pertempuran sampai pagi sekalipun. “Gila,“ Empu Pinang Aring menggeram didalam hati, “apakah ia menyimpan tenaga iblis didalam dirinya?” Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa Kiai Gringsing justru masih mampu melepaskan kekuatan yang menggetarkan jantung lewat ujung cambuknya, sementara Empu Pinang Aring sendiri merasa tenaganya semakin menipis.

Buku 110 DI BAGIAN lain dari sayap itu. Ki Waskita telah berhasil mengatasi kusulitan yang paling gawat. Iapun telah berhasil menekan lawannya yang mulai lelah. Lawannya yang bertubuh dan berkekuatan raksasa itu, ternyata sulit untuk mengimbangi Ki Waskita. Bukan saja ketangkasan dan kecepatan bergerak, tetapi ternyata Ki Waskita memiliki kelebihan daya tahan seperti halnya Kiai Gringsing. Dengan demikian, maka bindi Kiai Jagaraga yang besar dan bergerigi itu tidak lagi banyak mempunyai arti. Ayunan yang semakin lamban tidak akan dapat menyentuh tubuh lawannya yang masih tetap tangkas dan trampil. “Kau akan kehilangan segenap kekuatanmu,“ berkata K i Waskita kepada raksasa bersenjata bindi itu. Tetapi lawannya yang lelah itu menggeram. Bagaimanapun juga ia harus menyelesaikan pertempuran itu. Meskipun ia sadar bahwa tenaganya mulai lelah, tetapi ia masih mengharap bahwa tenaga raksasanya masih tetap melampaui kekuatan lawannya. Namun Ki Waskita benar-benar memiliki kelebihan. Ia masih dapat bergerak cepat, sehingga setiap kali lawannya menjadi bingung dan kehilangan arah. Sekali-sekali senjata Ki Waskita berhasil menyentuh lawannya, sehingga lawannya menjadi semakin bingung oleh kelelahan dan sakit. Namun demikian, ia masih tetap seorang raksasa yang berbahaya. Demikianlah maka pertempuran yang lama itu dalam keseluruhan menjadi lamban. Tetapi nafsu membunuh masih tetap membayang di wajah-wajah mereka yang menggenggam senjata di medan itu, apalagi jika mereka melihat kawan-kawan mereka yang telah terbunuh maupun terluka parah. Maka kemarahan dan kebencian telah medorong mereka untuk membunuh semakin banyak meskipun kadang-kadang yang terjadi justru sebaliknya. Sementara itu. orang-orang yang berada dibela-kang medan, sedang berusaha untuk mempercepat agar masakan mereka Jekas masak dan dapat dikirimkan kemedan perang. Beberapa orang petugas sudah dengan tidak sabar memperingatkan, bahwa para prajurit dan pengawal dimedan sudah hampir kelaparan. “Mereka tidak akan mempu bertempur,“ berkata seorang petugas yang mengurus makan mereka yang bertempur. “Kami sudah bekerja keras,“ jawab juru masak, “kami tidak dapat berbuat lebih cepat.” “Tetapi kelambatanmu akibatnya dapat menghancurkan seluruh pasukan.” “He. kenapa? “ juru masak yang didesak-desak itu agak jengkel juga.

“Lapar dan haus menyebabkan mereka kehilangan keseimbangan. Mereka akan dengan mudah dapat dikalahkan. Bukan hanya satu dua orang, tetapi beberapa puluh dan bahkan beberapa ratus orang, sehingga keseimbangan pertempuran segera menentukan akhir dari perjuangan yang akan menjadi siasia.” “Aku sudah tahu. Tetapi aku tidak dapat berbuat lebih cepat. Nasi harus ditanak. Kecuali jika aku harus mengirimkan beras saja kemedan.” Petugas yang mengurus makanan itupun marah. Dengan garang ia berkata, “Jangan banyak mulut. Lakukan perintahku. Aku dapat memenggal kepalamu.” Pemimpin juru masak yang merasa sudah bekerja sekuat tenaga itupun marah pula. Jawabnya, “Jangan keras kepala. Meskipun disini aku juru masak, tetapi aku juga prajurit. Kau kira aku tidak dapat mempertahankandiri.” Beberapa orang yang melihat perbantahan itupun segera melerai. Seorang yang berambut putih berkata, “Apakah kalian sangka dengan pertengkaran itu tugas-tugas kalian dapat kalian selesaikan?” Kedua orang yang bertengkar itupun masih saling berpandangan dengan tegang. Namun pemimpin juru masak itupun kemudian beringsut pergi kembali ketugasnya meskipun wajahnya masih nampak tegang. “Ayo cepat,“ iapun berteriak membentak-bentak pembantu-pembantunya. Namun akhirnya nasipun masak. Tetapi untuk mempermudah cara para prajurit dan pengawal makan, maka juru masak dari Mataram dan Kademangan Sangkal Putung telah menggilas nasi itu dengan penumbuk padi dalam bakul, dicampur dengan kelapa dan garam, sehingga kemudian nasi itu dapat dipotong dan digemgam dengan sebelah tangan. Ternyata para pengikut orang-orang yang berkumpul dilembah itupun telah menyelesaikan masakan mereka, sehingga beberapa orang dari mereka telah mengirimkan makanan kemedan dengan cara yang hampir sama, seperti kebiasaan setiap kelompok yang bertempur melalui jarak waktu sewajarnya. Meskipun pertempuran masih berlangsung, tetapi diluar pembicaraan antara kedua belah pihak, seakan-akan keduanya memberi kesempatan kepada petugas-petugas masing-masing untuk menyampaikan makan dan minum kepada mereka yang sedang bertempur. Berganti-ganti mereka minum dari gendi dan menerima sepotong nasi yang sudah digilas dan kemudian dipotongpotong. Namun dengan demikian berarti bahwa pertempuran masih akan berlangsung panjang. Mereka yang bertempur itu tidak lagi memikirkan apakah mereka akan menunda pertempuran untuk waktu waktu yang pendek.

Para pengawal dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang berada disebelah Baratpun ternyata telah mendapatkan bagian mereka, sehingga rasa-rasanya tubuh mereka menjadi segar oleh air gendi dan segumpal makanan. Namun ada juga para pengawal yang teringat kepada Ki Gede dan beberapa orang pengawalnya. Karena itu, maka dibawanya para petugas untuk menyampaikan makan dan minum itu juga kepada mereka. Dalam pada itu. Agung Sedayu yang bertempur melawan Kiai Kelasa Sawit ternyata semakin menjadi bertambah seru. Kiai Kelasa Sawit yang marah telah kehilangan semua perhitungan dan pertimbangan selain nafsu untuk membunuh anak muda bercambuk itu. Tetapi betapapun ia berusaha. Agung Sedayupun telah berusaha pula menghindarkan dirinya dari terkaman maut. Bahkan sekali-kali jika cambuknya meledak, maka lawannya bagaikan dihentak oleh kekuatan yang tidak terlawan. Diinduk pasukanpun keseimbangan perlahan-lahan menjadi semakin jelas. Swandaru benar-benar merupakan kekuatan yang menggetarkan. Cambuknya yang meledak-ledak bagaikan mengguncang seluruh medan. Sementara diseberang Raden Sutawijaya tiduk lagi dapat dibendung. Senjatanya merupakan penyebar maut yang sangat menggetarkan, sehingga lawan-lawannya menjadi semakin ngeri menghadapinya. Yang terjadi disayap yang lainpun tidak banyak berbeda. Ternyata bahwa orang yang berada dilembah itu salah hitung atas kemampuan para pengawal. Mereka menganggap bahwa para pengawal dari Mataram, Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, meskipun memiliki kemampuan bertempur yang cukup, tetapi mereka tidak terlatih untuk bertempur dalam waktu yang panjang. Namun ternyata bahwa mereka masih tetap mampu mengimbanginya. Disayap yang telah kehilangan seorang pemimpinnya, yang dilumpuhkan oleh Agung Sedayu, maka kekuatan lawan benar-benar sudah teratasi. Ketika Kiai Samparsada dibawa menyingkir, maka pengawal pengawalnya menjadi semakin gelisah. Apalagi mereka sudah mendengar bahwa Agung Sedayu jugalah yang telah membunuh Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti. Kemudian Kiai Samparsada dilumpuhkannya pula. Kini yang dihadapinya adalah Kiai Kelasa Sawit, sehingga para pengikutnya telah mencemaskan keselamatannya. Namun mereka tidak dapat berbuat banyak. Para pengawal Tanah Perdikan Menorehpun memiliki ketajaman perhitungan, sehingga hampir tidak ada kesempatan untuk membantu Kiai Kelasa Sawit yang garang itu. Sebenarnyalah bahwa Kiai Kelasa Sawit telah mengerahkan segenap kemampuan. Ilmunya yang melampaui orang-orang kebanyakan ternyata mempunyai pengaruh yang kuat. Senjatanya bagaikan

memiliki dorongan kekuatan yang berlipat, sementara kakinya bagaikan kaki kijang yang kuat dan cepat. Namun Agung Sedayupun telah menguasai ilmunya dengan masak. Dengan demikian, maka ia merupakan benteng yang tidak tertembus oleh lawan. Bahkan semakin lama serangan Agung Sedayu menjadi semakin banyak menyentuh tubuh lawannya. Kecepatan bergerak Kiai Kelasa Sawit ternyata masih belum melampaui kecepatan bergerak ujung cambuk Agung Sedayu yang digetarkan oleh ilmu yang hampir sempurna. Setiap sentuhan ditubuh Kiai Kelasa Sawit telah menimbulkan noda merah kebiru-biruan. Namun jika kekuatan Agung Sedayu tersalur sepenuhnya pada hentakan kekuatannya, maka tubuh Kiai Kelasa Sawit yang mengeras bagaikan tembaga itu masih juga berhasil dilukai, sehingga darah menitik dari kulit yang sobek ditubuhnya. Meskipun Kiai Kelasa Sawit setiap kali menyeringai menahan pedih, serta kekuatannya yang semakin susut, tetapi luka-luka itu nampaknya tidak terlalu banyak berpengaruh. Ia masih tetap bertempur dengan garangnya, seakan-akan senjata lawannya sama sekali tidak berarti lagi baginya. Agung Sedayu menjadi heran bahwa lawannya seakan akan tidak merasakan akibat dari sentuhan ujung cambuknya. Bahkan Kiai Kelasa Sawit yang marah itu menyerang semakin sengit. Karena itulah maka Agung Sedayu terdorong kepada keharusan untuk mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Kekuatan daya tahan Kiai Kelasa Sawit benar-benar telah menumbuhkan kengerian pada dirinya. Apalagi karena Agung Sedayupun telah merasa dijalari oleh kelelahan yang semakin menghisap tenaganya. “Aku tidak boleh kehilangan tenagaku lebih dahulu dari orang ini,” berkata Agung Sedayu.. Karena itulah maka Agung Sedayupun kemudian telah membuat perhitungan yang cermat. Apakah lebih baik baginya untuk bertahan mengimbangi kemampuan lawannya dengan sekali-sekali saja menyerang atau mengerahkan segenap kemampuannya dan segera melumpuhkan lawannya. Agung Sedayu tidak dapat mencari pilihan. Kiai Kelasa Sawitlah yang kemudian melibatnya dalam pertempuran bagaikan dalam badai yang dahsyat. Agaknya orang itu memilih dengan cepat menyelesaikan pertempuran, menang atau kalah. Hentakan-hentakan senjata semakin dahsyat telah saling berbenturan dan saling melukai. Bukan saja Kiai Kelasa Sawit, tetapi sentuhan senjatanya telah melukai Agung Sedayu pula. Oleh luka dan kelelahan, maka Agung Sedayupun menjadi semakin garang. Bagaikan mengamuk ia menyerang lawannya, langsung pada tempat tempat yang paling berbahaya.

Akhirnya Kiai Kelasa Sawit tidak dapat mengingkari keadaannya. Ia masih tetap sadar, bahwa kekuatannya memang menjadi jauh susut, apalagi badannya bagaikan dipenuhi oleh luka-luka karena sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu. Tetapi Kiai Kelasa Sawit tidak membiarkan dirinya terbunuh oleh anak muda itu seperti Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti. Dan iapun tidak mau dilumpuhkan seperti Kiai Samparsada yang belum diketahui nasibnya, apakah ia benar benar mati atau terluka parah. Karena itulah. Maka Kiai Kelasa Sawit yang sudah terluka silang melintang itu mulai memikirkan jalan keluar dari kesulitannya. Tubuhnya yang menjadi semakin lemah oleh kelelahan dan darah, hampir tidak sempat lagi melakukan perlawanan. Karena itulah, maka tiba-tiba saja terdengar suitan nyaring dari mulutnya. Kiai Kelasa Sawit telah memberikan isyarat bagi keselamatannya. Agung Sedayu sadar, bahwa lawannya telah memberikan suatu isyarat. Tetapi ia tidak mengetahui, apakah yang akan terjadi kemudian. Yang dapat dilakukannya hanyalah mempersiapkan dirinya menghadapi kemungkinan yang bakal terjadi. Bahkan beberapa orang pengawal yang mendengar isyarat itupun telah bersiap-siap pula. Mungkin akan terjadi perubahan yang tiba-tiba diarena pertempuran itu. Agung Setlayu menjadi berdebar-debar ketika ia melihat geseran yang serentak pada pasukan lawan. Beberapa orang telah menyibak dan dengan cepat mereka telah berkerumun seolah-olah membuat sebuah lingkaran kecil yang bersusun. Barulah Agung Sedayu kemudian sadar. Kiai Kelasa Sawit yang sudah tidak berdaya lagi itu berusaha untuk melindungi dirinya. Ia tentu akan menyingkir dari arena untuk mempersiapkan diri atau justru untuk tidak menampakkan dirinya lagi. Sejenak Agung Sedayu diguncang oleh keragu-raguan. Jika ia melihat luka-luka ditubuh lawannya. maka dua hal yang saling bertentangan telah berdesakan didalam hati. Dengan mudah Agung Sedayu akan dapat membinasakan lawannya yang sudah kehilangan kemampuannya untuk melawan itu. Ia dapat memerintah pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh untuk memecahkan lingkaran perlindungan itu dan ia sendiri memasuki sampai kepusarnya dan membunuh Kiai Kelasa Sawit. Namun, terasa sesuatu telah menahannya. Orang itu sudah tidak berdaya lagi seperti Kiai Samparsada. Apakah sudah wajar jika ia masih saja memburynya dan membunuhnya sama sekali? Keragu-raguannya itulah agaknya yang memberikan kesempatan kepada lawannya untuk menyembunyikan Kiai Kelasa Sawit ditengah-tengah medan. Sementara Agung Sedayu diam mematung, maka para pengawal Tanah Perdikan Menoreh memandanginya dengan tegang. Mereka menunggu apakah yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu.

Tepai agaknya Agung Sedayu itu bagaikan membeku ditempatnya. Para pengawal itu menyadari keadaan mereka, dan tanpa menunggu lagi menghantam lingkaran itu. Namun ternyata bahwa Kiai Kelasa Sawit sudah dilarikan oleh pengawal-pengawalnya yang setia. “Ia melarikan diri,” geram seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh. “Agung Sedayu terlalu lamban,” desis yang lain, “sebenarnya ia mempunyai kesempatan untuk melakukannya jika ia mau.” “Ia mulai kambuh. Keragu-raguannya sudah mencengkam jantungnya lagi,“ desis yang lain. “Sikapnya tidak menguntungkan sama sekali. He. bagaimana hal itu dapat terjadi atasnya?“ bertanya yang lain, “bukankah ia sudah membunuh Ki Gede Telengan. Ki Tumenggung Wanakerti dan Kiai Samparsada?” Medan dipertempuran itu menjadi gempar. Hilangnya Kiai Kelasa Sawit membuat para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan para pengawal Mataram yang sudah melingkari medan dari arah Timur ke arah Barat menjadi ribut. Berbagai tanggapan telah mereka lontarkan terhadap Agung Sedayu. Namuun adalah sudah menjadi suatu kenyataan bahwa Kiai Kelasa Sawit sudah melarikan diri. Tiba-tiba saja salah seorang pengawal yang tidak dapat menahan diri telah berteriak, “Kelasa Sawit melarikan diri.” Teriakan itu diluar dugaan lelah disambut oleh yang lain. “Kelasa Sawit melarikan diri.” Ternyata bahwa para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan para pengawal dari Mataram yang lainpun telah berteriak pula sambung bersambung, “Kiai Kelasa Sawit melarikan diri dari sayap.” Dalam pada itu. Kiai Kelasa Sawit memang telah melarikan diri dari sayap. Dalam perlindungan anak buahnya ia berusaha untuk lepas dari medan. Namun tidak disayap, karena para pengawal semuanya seakan-akan telah memperhatikannya. Dalam waktu yang singkat. Kiai Kelasa Sawit dibimbing oleh pengawalnya yang setia telah meninggalkan sayap pasukan lembah itu dan memasuki induk pasukan. Selanjutnya ia berusaha untuk menemukan lubang yang dapat dilaluinya untuk meninggalkan arena pertempuran karena luka-lukanya yang parah. Tetapi teriakan para pengawal itu menjalar terlampau cepat. Bahkan beberapa orang pengawal di

induk pasukannya telah mendengarnya dan mereka yang berada dibatas sayap dan induk pasukanpun ikut berteriak, “Kiai Kelasa Sawit melarikan diri.” Kiai Kelasa Sawit menjadi berdebar-debar. Tetapi ia merasa dirinya telah terlepas dari Agung Sedayu. Agaknya Agung Sedayu tidak akan mengejarnya sampai keinduk pasukan. “Kita harus segera meloloskan diri,“ desis Kiai Kelasa Sawit, “aku memerlukan beberapa saat beristirahat sebelum aku kembali menghadapi anak itu.” “Malam ini Kiai?” bertanya seorang pengawalnya. “Kau dungu. Tentu aku harus beristirahat tidak hanya malam ini. Agaknya keadaanku belum menjadi baik.” “Sehari semalam?” “Bodoh. Aku akan beristirahat sebulan lamanya.“ “Sebulan? “ pengawalnyalah yang kemudian menjadi heran. Tetapi Kiai Kelasa Sawit tidak menjawab. Ia merasa dadanya menjadi sesak dan luka-lukanya bertambah pedih. Darah semakin banyak mengalir dari tubuhnya meskipun daya tahannya telah berhasil memperkecil kemungkinan cambuk lawannya merobek kulitnya. Namun dalam pada itu, teriakan-teriakan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan para pengawal dari Mataram menjadi semakin keras, dan yang bahkan disambut pula oleh para pengawal dari Sangkal Putung, “Kiai Kelasa Sawit melarikan diri.” Dengan tergesa-gesa Kiai Kelasa Sawitpun mencari jalan keluar. Pengawalnya tidak dapat mencegahnya lagi meskipun ia sadar, bahwa pasukan di sayap itu akan segera bercerai berai tanpa pimpinannya. Namun iapun sadar, bahkan jika Kiai Kelasa Sawit tidak meninggalkan medan, maka ia akan dibunuh oleh Agung Sedayu. Sementara itu. Agung Sedayu yang berada di sayap itupun termangu-mangu. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Mataram dibagian Barat, serta para pengawal Mataram dan Sangkal Putung dibagian Timur ternyata telah mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Hilangnya Kiai Kelasa Sawit, benar-benar telah melumpuhkan kekuatan lawan. Terutama karena goncangan perasaan. Sebenarnya jika mereka tidak mudah disentuh oleh keputus-asaan. maka mereka masih akan dapat bertahan dan mencari jalan keluar. Tetapi hilangnya dua orang pemimpin di sayap itu membuat hati para pengikutnya menjadi kecut. Meskipun ternyata kemudian Agung Sedayu tidak berbuat seperti yang mereka duga, namun agaknya meraka menyangka bahwa yang demikian itu. hanyalah menunggu saat yang akan segera datang.

Sebenarnyalah Agung Sedayu mulai lagi dicengkam oleh keragu-raguan. Selelah ia membunuh Ki Gede Telengan. Ki Tumenggung Wanakerti dan melukai Kiai Samparsada sehingga parah, kemudian Kiai Kelasa Sawit, maka rasa-rasanya goncangan-goncangan didalam dirinya tidak terelakkan lagi. Apalagi waktu mereka melihat didalam cahaya obor. tubuh yang silang melintang dipertempuran. Orang kesakitan dan bahkan kadang-kadang terdengar tangis tertahan. Rasa-rasanya getar hati anak muda itu tidak tertahankan lagi. Bukan kemenangan yang terasa memberi kebanggaan dihati, tetapi justru penyesalan dan kengerian. Itulah sebabnya untuk beberapa saat lamanya ia berdiri tegak ditempatnya. Para pengawal Tanah Perdikan dan para pengawal dari Mataram menjadi heran melihat sikapnya. Mereka menduga bahwa Agung Sedayu akan segera mengamuk dan menghalau setiap lawan yang ada disayap itu, bahkan membunuhnya. Tetapi yang terjadi adalah diluar dugaan itu. Agung Sedayu berdiri termangu-mangu tanpa berbuat apa-apa. Meskipun demikian, maka para pengawal itu tidak ikut termangu-mangu. Sebagian dari mereka mengerti, bahwa penyakit Agung Sedayu telah kambuh lagi. Keragu-raguan dan kebimbangan. Karena itulah, maka para pengawal Tanah Perdikan Menorehlah yang kemudian bersama-sama dengan para pengawal dari Mataram seakan akan telah mengamuk mengusai medan. Orang-orang yang bertahan di lembah itu semakin lama menjadi semakin terdesak dan tidak berdaya. Pertempuran itu masih berlangsung beberapa lama, sementara Agung Sedayu bagaikan orang bingung berdiri di tempatnya Namun agaknya goncangan-goncangan didalam hatinya tidak tertahankan lagi. Diluar dugaan para pengawal. Agung Sedayu justru meninggalkan medan dengan langkah yang gontai. “Kemana,“ terdengar seseorang bertanya kepada kawannya. “Agaknya ia akan kembali kepada Ki Gede yang menjaga pusaka itu,” jawab yang lain. Mereka menjadi semakin heran. Namun kemudian mereka tidak menghiraukannya lagi dan bertempur semakin sengit. Agung Sedayu berjalan didalam gelapnya malam. Seakan-akan ia menuruti kemana kakinya melangkah. Adalah karena nalurinya saja iapun berjalan menuju ketempat Ki Gede Menoreh menunggu dengan hati yang berdebar-debar. Kedatangan Agung Sedayu mengejutkan para pengawas. Ketika seorang pengawas melihat sesosok bayangan yang berjalan mendekat, maka sambil mengacukan tombaknya ia berdesis, “Siapa?”

Agung Sedayu berhenti. Tetapi ia tidak menjawab. Namun demikian pengawas itu segera mengenalnya. Bahkan ia menjadi cemas melihat keadaan Agung Sedayu yang seakan-akan kehilangan sesuatu. “He. kenapa kau?“ bertanya pengawas itu. Agung Sedayu memandang pengawas itu sejenak. Namun kemudian Jawabnya, “Aku tidak apa-apa.” Pengawas itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Tetapi suaramu gemetar. Apakah yang sudah terjadi?” Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia berjalan terus. “Ki Gede ada dibalik batu padas,“ desis pengawas itu. Agung Sedayu barjalan terus menuju kebatu padas yang nampak hitam pekat dimalam hari. Cahaya obor kecil yang sengaja ditempatkan agak jauh, memberikan sedikit ancar-ancar tempat Ki Gede Menoreh beristirahat. Ki Gede berpaling ketika ia mendengar desir perlahan. Sebuah bayang nampak mendekatinya dengan ragu-ragu. “Agung Sedayu,“ desis Ki Gede. Agung Sedayu menjadi semakin dekat. Kemudian dengan lemahnya ia menjatuhkan diri dan duduk beberapa langkah dihadapan Ki Gede Menoreh. Ki Gede Menoreh terkejut melihat keadaan anak muda itu. Dengan tergesa-gesa ia mendekatinya sambil bertanya, “Kau kenapa?” Agung Sedayu mencoba menenangkan hatinya. Perlahan-lahan ia menarik nafas panjang sekali, seakan-akan udara malam diseluruh hutan itu akan dihisapnya. “Kau terluka? “ bertanya Ki Gede. “Tidak seberapa Ki Gede,“ jawab Agung Sedayu, “hanya goresan-goresan kecil.” “Tetapi kau nampak letih sekali.” “Aku memang letih sekali.” Ki Gedepun kemudian duduk disamping Agung Sedayu. Terasa tubuh anak muda itu gemetar. Nafasnya kadang-kadang memburu, namun kadang-kadang bagaikan terhenti.

“Aneh,“ berkata Ki Gede didalam hatinya, “pernafasannya hampir sempurna. Tetapi terasa kini seakan-akan ia tidak memiliki kemampuan untuk menguasai diri dan mengatur pernafasannya sendiri.” “Agung Sedayu,“ desis Ki Gede, “agaknya kau memang terlalu letih. Tetapi seharusnya kau dapat mengatasi kesulitan pernafasanmu, sehingga tubuhmu akan menjadi agak segar. Apalagi sejuknya embun malam akan dapat membantu menyegarkan kelelahanmu.” Agung Sedayu mengangguk. Tetapi keadaannya tidak bertambah baik. Agung Sedayu masih saja gelisah, sementara nafasnya sama sekali masih belum teratur. Ki Gede Menoreh yang sudah semakin tua itupun ternyata memiliki penglihatan batin yang tajam. Meskipun yang nampak pada wadag Agung Sedayu tidak membahayakannya, namun ternyata kelelahan batinnya membuatnya seolah-olah kehilangan nalar dan pertimbangan. Ki Gede kemudian semakin menyadari ketika meraba tubuh Agung Sedayu yang gemetar. “Apa yang sudah terjadi Agung Sedayu?” bertanya Ki Gede Menoreh. Agung Sedayu memandang Ki Gede dengan tatapan mata yang suram. “Apakah kau menjumpai peristiwa yang tidak kau kehendaki? “ desak Ki Gede. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian desisnya gemetar, “Bukan maksudku Ki Gede. Benar-benar bukan maksudku.” “Memang bukan maksudmu Agung Sedayu. Tetapi apakah yang sudah terjadi?” Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Tiba-tiba saja seakan-akan nampak dihadapannya Kiai Samparsada yang terbaring dengan luka-lukanya, sementara Kiai Kalasa Sawit yang terhuyung-huyung karena ujung cambuknya. Dengan susah payah orang itu bersuit memanggil pengawalnya untuk membuat lingkaran pelindung diseputarnya. Apalagi kemudian seolah-olah berdiri dikegelapan sambil memandanginya dengan mata merah menyala Ki Gede Telengan yang bersilang tangan dan Ki Tumenggung Wanakerti yang seakan-akan tidak dapat disentuh oleh senjata. Namun keduanya telah berhasil dibunuhnya. “O,“ Agung Sedayu tiba-tiba saja mengeluh, dipandanginya kedua telapak tangannya dan tangkai cambuknya. Tiba-tiba saja tangannya menjadi semakin gemetar. Ki Gede Menoreh mengerti, apa yang tersirat dihati anak muda itu. Anak muda yang selalu diganggu oleh sifat-sifatnya yang berdasar lubuk hati sejak ia masih kanak-kanak. Keragu-raguan, kebimbangan dan tidak berketentuan. Betapapun Agung Sedayu berhasil menguasai berbagai ilmu yang menggetarkan, yang dapat mengatasi

dan bahkan melampaui ilmu Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti, namun ia tidak dapat mengatasi gemuruhnya jantung didalam dadanya sendiri. Karena itu, maka Ki Gedepun kemudian menyuruh seorang pengawalnya mengambil gendi yang diberikan kepada kelompok itu dan memberikannya kepada Agung Sedayu, “Minumlah Agung Sedayu. Kau benar-benar harus beristirahat.” Agung Sedayu tidak menolak. Iapun kemudian menghirup air dari dalam gendi itu. Seteguk demi seteguk. Segarnya air gendi dan segarnya malam dapat sedikit memberi ketenangan kepada Agung Sedayu. Beberapa kali ia menarik nafas, seolah-olah ia sedang mengingat apa yang telah dilakukannya dimedan perang yang mengerikan itu. Ki Gede Menoreh masih menunggui dengan sabar. Sekali-kali Agung Sedayu berdesah. Kemudian tatapan matanya kembaki terlempar kedalam gelapnya malam. Namun kemudian dengan nafas yang tersendat-sendat. Agung Sedayu menceriterakan bahwa ia telah melukai Kiai Samparsada dan Kiai Kelasa Sawit. “Keduanya terluka parah,“ desis Agung Sedayu, “bukan maksudku untuk menjadi pembunuh yang tidak berjantung meskipun dipeperangan. Aku sudah membunuh Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti. Apakah aku harus membunuh dan membunuh apapun alasannya?” Ki Gede Menoreh sudah menduga. Ternyata bahwa ilmu dan kemampuan Agung Sedayu yang melampaui tataran itu justru telah membuat hatinya kadang-kadang terluka. “Agung Sedayu,“ berkata Ki Gede Menoreh, “setiap kali kau hadir dipeperangan, maka kau selalu dicengkam oleh kegelisahan semacam itu. Tetapi itupun bukan salahmu. Semua yang terjadi adalah urutan peristiwa yang tidak terpisahkan. Suatu rangkaian peristiwa yang saling berkait. Juga tentang dirimu sendiri.” Agung Sedayu menundukkan kepalanya. “Sebenarnya kau tidak dapat menyesali perbuatanmu dipeperangan. Membunuh memang pekerjaan yang terkutuk. Tetapi peperangan merupakan usaha terakhir untuk mempertahankan sikap seseorang dan sekelompok orang yang mempunyai keyakinan dan landasan yang sejalan.” Agung Sedayu masih tetap menundukkan kepalanya.

“Kau dapat mengerti Agung Sedayu? “ bertanya Ki Gede. “Pengertian yang dapat ditangkap oleh nalarku tidak sejalan dengan perasaanku Ki Gede,“ desis Agung Sedayu. “Kau sadari itu? “ bertanya Ki Gede. “Tanpa kesadaran ini barangkali aku sudah menjadi gila. Aku berusaha untuk menemukan keseimbangan antara nalar dan perasaan. Tetapi kadang-kadang pertanyaan didalam hatiku terlampau banyak yang tidak dapat aku jawab,“ berkata Agung Sedayu seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri, “diantaranya, apakah aku memang harus menjadi pembunuh yang tidak berperikemanusiaan? Aku sadar Ki Gede. apakah artinya perikemanusiaan didalam peperangan. Tanpa melenyapkan kebatilan maka akupun telah berkhianat terhadap perikemanusiaan itu sendiri, karena akibat dari kelestarian kebatilan adalah perkosaan terhadap perikemanusiaan. Tetapi kenapa aku harus melakukannya dengan cara yang tidak dapat aku pilih sesuai dengan cara yang paling baik menurut pendapatku?” “Agung Sedayu. Jika cara itu harus kau lakukan, karena kau tidak mendapat kesempatan untuk memilih justru kau berada didalam keadaan tanpa pilihan, maka kau harus menerima kenyataan itu. Bukan kau yang telah memaksakannya terjadi. Tetapi kau hanyalah menerima keadaan tanpa pilihan itu. sehingga kau telah berdiri pada satu kesempatan, membunuh. Karena jika kau ingkari kesempatan itu, maka kau telah melakukan kesalahan yang sama nilainya, memberi kesempatan orang lain membunuhmu, padahal kau mempunyai kemampuan untuk menyelematkan dirimu meskipun yang terjadi harus sebaliknya. Agung Sedayu mengangkat wajahnya. Dipandanginya langit yang hitam ditaburi oleh bintang-bintang yang berkeredipan. Malam telah semakin dalam, sementara di lembah itu pertempuran masih berlangsung meskipun telah menjadi semakin kendor. “Sudahlah Agung Sedayu,“ berkata Ki Gede, “beristirahatlah. Kau adalah seorang anak muda yang memiliki sesuatu yang merupakan kurnia dari Yang Maha Kuasa. Tergantung kepadamu, apakah kau dapat mengamalkannya, atau sekedar akan kau rendam dalam pelukan perasaanmu yang gelisah. Bukan saja saat ini, tetapi saat-saat mendatangpun persoalan semacam ini akan selalu kau jumpai didalam hidupmu. Karena persoalan baik dan buruk itu merupakan persoalan yang lahir bersama kelahiran manusia itu sendiri.” Agung Sedayu tidak menjawab. Namun terasa sesuatu bergetar didalam dirinya, meskipun masih samar-samar. Semantara itu, Ki Gede Menorehpun kemudian meninggalkannya kembali ketempatnya. Ia tidak boleh lengah.

Kedua pusaka itu seolah-olah didalam tanggung jawabnya. Ketika seorang pengawal mendekatinya, maka iapun berkata, “Awasi Agung Sedayu yang kecewa terhadap dirinya sendiri. Dalam keadaan yang demikian, ia seakan-akan telah berubah. Karena itu. jika ada orang yang bermaksud jahat, maka ia tidak akan mempedulikannya.” Pengawal itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Ki Gede, apakah artinya aku bagi Agung Sedayu.” “Kau bukan seorang yang ragu-ragu seperti Agung Sedayu. Itulah kelebihanmu. Karena itu, awasilah anak muda yang sedang diamuk oleh kebimbangan itu.” Pengawal itu tidak membantah. Iapun kemudian mendekati Agung Sedayu yang bersandar pada sebatang pohon. Sambil duduk disampingnya pengawal itu bertanya, “Kau lelah?” “Ya. aku lelah.” Pengawal itu tidak bertanya lagi. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Ki Gede, Agung Sedayu itupun kemudian duduk bersandar sebatang pohon sambil meletakkan kepalanya pada kedua telapak tangannya yang diangkatnya dibelakang. Ia seakan-akan telah tenggelam kedalam suatu dunia yang lain dari dunia wadagnya, sehingga seperti yang dikatakan orang, namun ia sama sekali tidak memperhatikannya lagi. “Anak muda yang aneh,“ desis pengawal itu. Tetapi ia tetap berdiam diri sambil mengawasi kegelapan yang terhampar disekitarnya. “Aku tidak boleh lengah seperti Agung Sedayu,“ berkata pengawal itu kepada diri sendiri, sehingga karena itulah, maka ia menggenggam tombaknya erat-erat meskipun iapun kemudian bersandar pula pada sebatang pohon disebelah Agung Sedayu. sementara para pengawal yang lainpun tetap bersiaga sepenuhnya karena mereka menyadari, bahwa kedua pusaka yang tidak ternilai harganya itu ada diantara mereka yang berada ditempat terpisah dari peperangan itu. Sementara itu, pertempuran dilembah memang sudah menjadi semakin lamban. Kedua belah pihak sudah kehilangan puncak kemampuan mereka karena kelelahan. Orang-orang yang merasa dirinya keturunan Kerajaan Agung Majapahit semakin lama semakin merasa, betapa tekanan para pengawal Mataram. Kademangan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh tidak lagi dapat dilawan. Disayap yang telah ditinggalkan Agung Sedayu, para pengikut orang-orang yang menyatakan dirinya pewaris kerajaan Majapahit itu menjadi semakin gelisah. Pemimpin-pemimpin mereka telah tidak ada lagi diantara mereka. Kiai Kelasa Sawit seakan-akan telah hilang didalam gulungan pengawalnya. Karena itulah, maka mereka seakan-akan sudah kehilangan segala kesempatan. Tekanan yang semakin dahsyat dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh serta para pengawal dari Mataram yang menghimpit mereka pada kekuatan pengawal dari Kademangan Sangkal Putung dan sebagian yang lain

dari para pengawal dari Mataram, membuat mereka kehilangan semua harapan untuk dapat melepaskan diri dari bencana. Dalam pada itu. Raden Sutawijaya yang berada diinduk pasukan, dengan cerdik telah memotong sayap yang kehilangan pimpinannya itu dengan pasukannya. sehingga sayap itu seakan-akan telah terpisah dari induk pasukannya. Tidak ada yang dapat dilakukan lagi oleh mereka yang berada disayap pasukan yang terkepung itu. Ketika seorang pemimpin pengawal dari Mataram meneriakkan ancaman-ancaman yang mengerikan, maka mereka menjadi semakin ragu-ragu untuk meneruskan pertempuran. Namun akhirnya pemimpin pengawal dari Mataram itu berkata, “Tetapi kami masih mempunyai perhitungan. Jika kalian menyerah sebelum saat-saat yang mengerikan itu tiba, maka nasib kalian akan menjadi bertambah baik. Kemarahan dan dendam dihati kami akan berkurang, karena penyerahan kalian berarti mengurangi jumlah korban dipihak kami.” Tawaran itu benar-benar mempengaruhi perasaan para pengikut orang-orang yang merasa dirinya pewaris kerajaan Majapahit. Dalam keadaan putus asa, maka kesempatan untuk menyerah itu adalah satu-satunya kesempatan terbaik yang akan menghindarkan mereka dari kematian, meskipun mungkin mereka akan jatuh kedalam suatu keadaan yang tidak kalah buruknya daripada mati. “Kami masih memberi kesempatan,“ berkata pemimpin dari Mataram itu, “jika kalian ingin menyerah, maka lepaskanlah senjata kalian dari tangan.” Tetapi orang-orang yang putus asa itu masih ragu-ragu. Jika mereka melepaskan senjata mereka, sementara lawan mereka masih belum menemukan keseimbangan, sehingga dendamnya masih menyala, maka nasib mereka justru akan menjadi bertambah buruk. Namun pemimpin pengawal dari Mataram itupun kemudian meneriakkan aba-aba kepada para pengawal agar mereka memberi kesempatan lawan untuk menyerah. Para pemimpin pengawal dari Kademangan Sangkal Putung dan dari Tanah Perdikan Menoreh yang berseberanganpun mendengar perintah itu. Sementara mereka masih tetap mengakui, bahwa mereka berada di bawah perintah dari pimpinan pasukan dari Mataram, sehingga perintah yang mengalir dari pimpinan pasukan Mataram, merupakan perintah bagi seluruh pasukan. “Nah,“ teriak pemimpin pengawal dari Mataram, ”ulangi perintahku, beri kesempatan kepada mereka untuk menyerah.” Para pemimpin kelompok, baik dari Mataram, dari Sangkal Putung maupun dari Tanah Perdikan Menorehpun kemudian mengulangi perintah itu sambung bersambung sampai keujung sayap. Tidak ada kesempatan lain. Kelelahan, putus asa dan hilangnya harapan telah menyudutkan para

pengikut mereka yang merasa dirinya pewaris kerajaan Majapahit itu untuk menerima tawaran itu, betapapun buruknya. “Seorang pemimpin kelompok yang sudah kehilangan ikatan induknya itupun tiba-tiba saja sudah meneriakkan perintah bagi kelompoknya, “Pisahkan diri dari lawan. Kalian mendapat kesempatan untuk menyerah. Tetapi tidak untuk membunuh diri.” Ternyata bahwa perintah itu mendapat sambutan dari beberapa orang pemimpin kelompok yang lain meskipun hal itu bukannya merupakan jalur perintah. Mereka merasa bahwa setiap kelompok harus menentukan sikap mereka sendiri, setelah Kiai Samparsada dan Kiai Kelasa Sawit hilang dari sayap itu. Para pengikut yang berada dilembah itupun tidak mempunyai kesempatan lain. Itulah sebabnya, mereka-pun kemudian seolah-olah berusaha untuk menjauhi lawan masing-masing sambil mengangkat senjata mereka meskipun senjata itu masih belum dilontarkan. Para pengawal dari Mataram, dari Sangkal Putung dan dari Tanah Perdikan Menorehpun termangumangu sejenak. Pernah untuk memberi kesempatan lawan mereka menyerah tidak dapat mereka abaikan, sehingga karena itu. maka merekapun membiarkan lawan mereka melangkah surut dan seakan-akan berkumpul didalam sebuah lingkaran yang besar. “Letakkan senjata kalian,“ perintah itu terdengar lagi. Betapapun juga, keragu-raguan masih nampak diwajah mereka. Sejenak mereka masih berdiri termangu-mangu. Namun pertempuran memang telah terhenti, meskipun keadaan masih tetap tegang. Dalam keragu-raguan itu, tiba-tiba pertempuran itu telah digetarkan pula oleh teriakan-teriakan kemenangan dari induk pasukan. Raden Sutawijaya disebelah Barat dan Swandaru disebelah Timur bersama Pandan Wangi dan Sekar Mirah telah berhasil memaksa lawan mereka untuk menyerah pula. “Mereka sudah menyerah,“ teriakan-teriakan itu terdengar sampai kesayap. Para pengikut orang-orang yang menganggap dirinya pewaris kerajaan Majapahit itupun kemudian seorang demi seorang telah melemparkan senjata mereka. Betapapun beratnya, tetapi senjata yang merupakan lambang kehadiran mereka dipeperangan itu, harus diletakkan. Dengan demikian, maka hampir berbareng kedua bagian dari pasukan lawan itu sudah menyerah. Diinduk pasukan. Raden Sutawijaya masih merenungi tubuh seorang bekas Senapati Pajang yang mendapat tanda kepercayaan untuk menjadi Panglima dilembah itu yang terbujur tidak bernyawa lagi. Tetapi ternyata bahwa sayap yang lainpun telah digoncangkan oleh peristiwa yang menggetarkan. Ki

Waskita yang menjadi semakin lelah, justru menjadi semakin garang, sehingga akhirnya lawannya tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Raksasa yang memiliki kekuatan berlipat dari kekuatan kebanyakan itu, akhirnya tidak lagi mampu menyelamatkan hidupnya dalam hiruk pikuknya pertempuran. Kiai Gringsing yang melihat kematian Kiai Jagaraga itu mengerutkan keningnya. Kemudian dengan nada datar ia berkata, “Apakah kau masih akan tetap bertahan? Kawanmu sudah terbunuh.” Empu Pinang Aring yang bertempur melawan Kiai Gringsing itu meloncat surut, seolah olah ia ingin mendapat kesempatan untuk menyaksikan kebenaran kata-kata Kiai Gringsing, bahwa kawannya telah terbunuh oleh seorang pengawal yang datang dari arah pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Kiai Gringsing sengaja memberinya kesempatan, sehingga Empu Pinang Aringpuri melihat betapa kawannya itu tergolek dibawah cahaya obor yang sengaja dipasang untuk menerangi mayat itu oleh para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Empu Pinang Aring menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau benar Kiai. Raksasa itu telah mati.” “Dan kau? “ bertanya Kiai Gringsing. Empu Pinang Aring termangu-mangu. Sejenak ia mengedarkan tatapan matanya keseluruh medan, seolah-olah ia ingin melihat pertempuran yang panjang itu dari ujung sampai keujung. Namun dari induk pasukan, iapun telah mendengar bahwa pasukan yang sedang berhimpun dilembah itu ternyata tidak mampu melawan kekuatan yang berhasil dihimpun oleh Mataram. Kekuatan dari Timur dan dari Barat. “Mataram memang luar biasa,“ desis Empu Pinang Aring tiba-tiba. “Kau tidak mempunyai kesempatan lagi,“ berkata Kiai Gringsing. Empu Pinang Aring memandang Kiai Gringsing dengan tajamnya. Sekali lagi ia menebarkan tatapan matanya. Kemudian desisnya, “Tidak ada yang dapat menghalangi tekad keturunan kerajaan Agung Majapahit untuk membangun kembali kejayaannya.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jangan bermimpi. Kita bukan orang-orang yang takut melihat kenyataan.” “Apa yang kau tahu tentang kami?” Kiai Gringsing memandang Empu Pinang Aring sejenak, lalu. “Apa pula yang kau tahu tentang

warisan atau keturunan Kerajaan Agung Majapahit?” “Aku adalah keturunan langsung dari Majapahit yang berhak mewarisi kerajaan.” “Ada beratus-ratus orang yang dapat mengatakan demikian. Keturunan Majapahit telah tersebar kemana-mana. Sampai keujung Timur dari tanah ini. Bahkan sampai keseberang selat Bali. Tetapi apakah artinya keturunan itu jika Sultan Pajang juga dapat menyelusuri keturunannya yang bersumber dari Majapahit? Jika setiap orang berhak mewarisi kerajaan. apakah itu berarti akan ada beratus-ratus kerajaan Majapahit yang akan lahir?” “Jangan berbicara seperti kepada kanak-kanak Kiai,“ sahut Empu Pinang Aring, “sudah tentu kita akan berbicara tentang hal itu diantara kita.” “Bukan maksudku memperbodoh kau Ki Sanak. Tetapi bayangkan. Semua orang yang merasa dirinya memiliki hak untuk mewarisi kerajaan itu, pada suatu saat akan berkumpul dan berbicara tentang diri mereka masing-masing. Nah, apakah Ki Sanak dapat membayangkan, siapakah diantara mereka yang akan menjadi raja, menjadi Mahapatih, menjadi Mahamenteri dan jabatan-jabatan yang lebih rendah? Siapakah yang akan menentukan dan mengesahkan?” bertanya Kiai Gringsing. “Kau sudah tahu jawabnya. Kita mempunyai otak, mempunyai mulut dan kesetiakawanan.” “Semuanya akan lenyap dihembus oleh nafsu dan ketamakan. Jika kalian sempat mempergunakan otak kalian, kenapa kalian sanggup berkumpul dilembah ini kemudian bersama-sama memusuhi Pajang dan Mataram? Kenapa kalian tidak dapat mempergunakan otak, mulut dan kesetiakawanan kalian, apalagi kalian sudah jelas mengetahui bahwa Sultan Hadiwijaya masih resmi menjadi raja di Pajang dalam jalur langsung atau tidak langsung dari keturunan Majapahit?” “Omong kosong.” “Ingat Ki Sanak. Setiap orang akan dapat mengucapkannya. Omong kosong. Akupun dapat mengatakan, apa yang kau ucapkan adalah omong kosong. Juga semua sikap dan pendirian tentang pewaris-pewaris kerajaan Agung Majapahit itu.” Terdenger Empu Pinang Aring menggeram. Tetapi kata-kata Kiai Gringsing berhasil menyentuh perasaannya. Sejak semula iapun telah meragukan pembagian kedudukan diantara mereka yang memperebutkan warisan Majapahit itu. Seandainya mereka bersepakat untuk menunjuk seorang Raja, bagaimana dengan kedudukankedudukan tinggi yang lain. Apalagi jika mereka ingin mengembalikan tata pemerintahan seperti pada

masa Majapahit, karena didalam pertumbuhannya melalui Demak dan Pajang, susunan pemerintahan sudah banyak berubah. “Baiklah,“ berkata Kiai Gringsing, “jika kau masih tetap pada sikap dan pendirianmu, namun sebagai seorang yang mumpuni, kau tentu mempunyai perhitungan yang matang. Lihatlah, apakah kau masih mempunyai nafsu untuk bertempur terus?” Empu Pinang Aring menarik nafas dalam-dalam. “Renungkan Empu. Mungkin kau memang sudah merenunginya tidak hanya sehari dua hari. tetapi berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Tetapi ulangilah sekali lagi merenung dalam kenyataan yang kau hadapi sekarang ini.” Empu Pinang Aring benar-benar tidak dapat mengingkari kenyataan. Pasukannya sudah tidak mampu lagi mempertahankan diri. Tanpa perintah banyak diantara mereka telah melepaskan senjatanya dan berkumpul dilingkari oleh pengawal Mataram. Sangkal Putung atau Tanah Perdikan Menoreh yang mengacungkan senjata mereka. Tetapi sudah tentu bahwa Empu Pinang Aring mempunyai perhitungan dan pertimbangan tersendiri. Ia tidak begitu saja hanyut pada arus kesulitan yang dialami oleh para pengikutnya. Namun demikian. Empu Pinang Aring tetap seorang yang memiliki pengamatan yang matang terhadap keadaan disekitarnya. “Kiai,“ berkata Empu Pinang Aring kemudian, “kau bagiku adalah seorang yang aneh. Aku sudah lama mendengar tentang orang-orang bercambuk. Tidak hanya seorang, tetapi beberapa. Namun demikian, agaknya kaulah induk dari segala macam orang bercambuk itu.” Kiai Gringsing mengerutkan dahinya. “Kiai,“ Empu Pinang Aring meneruskan, “aku. Empu Pinang Aring, sudah bertahun-tahun hidup dalam dunianya yang penuh dengan tantangan maut. Karena itu, aku tidak pernah gentar melihat betapa buruknya peperangan. Aku sudah banyak mengalami kesulitan-kesulitan, tetapi juga kemenangan-kemenangan disegala macam medan. Tetapi aku tidak pernah melangkah mundur, biar kematian menjadi taruhannya.” “Dan sekarang kau juga akan mempertaruhkan kematian? “ bertanya Kiai Gringsing, lalu. “kematianmu memang tidak berarti. Baik bagimu sendiri, maupun bagi keseluruhan perimbangan dari peperangan ini. Bagi kami, akhir dari peperangan ini sudah jelas. Kami akan menguasai keadaan sepenuhnya. Sehingga karena itu maka kematianmu benar-benar sia-sia. Tidak berarti sama sekali, karena kematianmu tidak akan menentukan apapun juga.”

Jawaban Empu Pinang Aring benar-benar diluar dugaan, “Kau benar Kiai. Kematianku tidak akan berarti apa-apa.” Kiai Gringsing terkejut mendengar jawaban itu. Karena itu justru ia terdiam sejenak memandang wajah Empu Pinang Armg yang tidak lagi nampak garang. “Aku yang merasa diriku seorang yang penting didalam pergolakan masa sekarang ini. ternyata harus menghadapi maut tanpa arti.“ Empu Pinang Aring berdesis, lalu. “Kiai, seandainya aku mampu melakukan, mengamuk dimedan ini sehingga memberi kesempatan kepada pengikut-pengikutku untuk melarikan diri, aku akan melakukannya. Jika aku harus mati, maka kematianku akan berarti, setidaktidaknya bagi beberapa jiwa pengikutku. Tetapi rasa-rasanya sekarang tidak mungkin lagi aku lakukan.” “Ya,“ sahut Kiai Gringsing, “ternyata hatimu masih bening.” “Jika keputusanku menguntungkanmu. kau tentu memujiku. Tetapi biarlah. Harga diriku selama ini akan lenyap oleh suatu kesadaran ketiadaan arti bagi semua tingkah lakuku,“ Empu Pinang Aring berhenti sejenak, lalu. “Kiai, aku menyerah.” Kata-kata itu benar-benar mengejutkan. Kiai Gringsing tidak mengira bahwa tiba-tiba saja orang seperti Empu Pinang Aring begitu cepat menyerah. Tetapi orang itu berkata selanjutnya, “Itu bukan berarti bahwa aku ingin mendapat pengampunan sehingga leherku tidak akan dipenggal. Aku tidak berkeberatan jika aku dibunuh dengan cara apapun juga. Aku akan menghadapinya dengan tabah. Jika aku menyerah, dan bersedia untuk melakukan hukuman apa saja. itu aku maksudkan agar hidupku disaat terakhir masih mempunyai arti betapapun kecilnya. Karena penyerahan ini, dan kemudian hukuman mati yang akan aku lakukan, aku dapat memberikan sedikit kepuasan sepada orang-orang Mataram. Dengan demikian, masih mungkin diharapkan pengampunan atau keringanan hukuman bagi orang-orangku yang kau tangkap sekarang ini.” Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun Empu Pinang Aring benar-benar melakukan apa yang dikatakannya. Sambil mengulurkan senajatanya ia berkata, “Kiai. bukankah Kiai pernah mengatakan, bahwa Kiai ingin melihat barang sejenak senjataku ini.” Kiai Gringsing masih ragu-ragu. Namun ia melihat kerungguhan diwajah Empu Pinang Aring, sehingga iapun kemudian menerima senjata itu dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya masih bersiap dengan cambuknya menghadapi segala kemungkinan. Namun ternyata Empu Pinang Aring benar-benar telah menyerahkan senjatanya. Iapun kemudian berjalan perlahan-lahan diiringi oleh Kiai Gringsing, bergabung dengan pengikut-pengikutnya yang sudah menyerah.

Dengan tatapan mata keheranan pengikut-pengikutnya memandang Empu Pinang Aring yang mereka anggap sebagai orang yang tidak ada duanya. Namun adalah suatu kenyataan bahwa akhirnya Empu Pinang Aring itupun telah menyerah. Empu Pinang Aring memandang pengikut-pengikutya sejenak. Kemudian Katanya, “Aku memang ingin menyerah bersama kalian. Sebenarnya aku mempunyai banyak peluang untuk melarikan diri. Tetapi jika aku berhasil, maka aku telah mengkhianati kalian yang tidak mempunyai kesempatan itu. Karena itu aku menyerah. Aku mohon bahwa semua hukuman akan dapat aku jalani dengan memperingan hukuman kalian. Mungkin aku akan dihukum gantung. Tetapi itu bukan soal kalian. Bahkan mungkin aku harus menjalani hukuman picis, dan kalian seorang demi seorang harus mengerat tubuhku dan membubuhkan air asam. Tetapi lakukanlah dengan tabah, karena dengan demikian aku tidak sekedar mengorbankan kalian untuk kepentinganku.” Beberapa orang pengikutnya tiba-tiba saja menundukkan kepalanya. Namun beberapa orang yang lain telah menggeretakkan giginya. Bahkan salah seorang dari mereka berteriak, “Kita bertempur sampai mati.” Empu Pinang Aring tertawa. Katanya, “Kau sudah meletakkan senjatamu. Jangan membunuh diri dengan cara yang paling bodoh. Aku tidak ingin mengusik perasaan kalian, agar kita bersama-sama masuk ke lubang kubur. Biarlah aku berbangga dengan sikapku sekarang ini. Jangan memperkecil arti kepahlawanku meskipun kebanggaan itu hanyalah sekedar bagi diriku sendiri.” Pengikutnya tidak ada yang menyahut. Mereka memandang pemimpinnya dengan dada yang berdebardebar. Sementara itu, pengikut-pengikut Empu Pinang Aringpun telah menyerah pula kepada para pengawal dari Mataram, Sangkal Putung atau Tanah Perdikan Menoreh. Seperti para pengikutnya. Empu Pinang Aringpun melakukan semua yang harus dilakukan oleh para tawanan, seolah-olah ia benar-benar merasa satu dengan para pengikutnya dalam segala keadaan. Juga dalam keadaan yang paling parah itu. Dengan demikian, maka pertempuran dilembah itu. akhirnya telah terhenti juga. Para pengikut mereka yang menamakan diri pewaris kerajaan Majapahit itu telah kehilangan kesempatan sama sekali untuk mempertahankan diri. Meskipun pada mulanya, nampak mereka memiliki kelebihan, terutama dalam jumlah, tetapi sikap Ki Gede Telengan agaknya telah merubah segala-galanya. Saat-saat pertempuran yang panjang itu berakhir, maka Raden Sutawijayapun segera memanggil semua pemimpin untuk berkumpul. Baik dari Mataram sendiri, dari Sangkal Putung dan dari Tanah Perdikan Menoreh.

Namun sementara itu, Raden Sutawijaya telah dikejutkan oleh kebanggaan Swandaru yang dengan lantang berkata, “Aku telah berhasil membunuhnya.” “Siapa?” bertanya Raden Sutawijaya. “Ternyata ia adalah Kiai Kalasa Sawit,“ jawab Swandaru sambil menengadahkan dadanya. “O,” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Beberapa pengawal Kiai Kelasa Sawit yang tertawan, memandang mayat yang terbujur itu dengan mata yang buram. Kiai Kelasa Sawti telah berhasil melarikan diri dari cengkaman maut ketika ia bertempur menghadapi Agung Sedayu. Tetapi karena ia justru berada di induk pasukan, maka diluar sadarnya, ia telah bertemu dengan Swandaru. Tanpa ampun lagi. maka Kiai Kelasa Sawit telah dibinasakannya. Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia mendekati mayat itu. Dibelakangnya Prastawa mengikutinya dengan hati yang berdebar-debar. “Ternyata kakang Swandaru berhasil membunuh Kiai Kelasa Sawit,“ desis Prastawa dengan kagum. Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Dalam cahaya obor nampak jalur-jalur cambuk Swandaru yang menyobek kulit. “Luar biasa,“ desis Raden Sutawijaya, “kau memang seorang anak muda yang perkasa. Kau ternyata sudah berada pada tataran Kiai Kelasa Sawit yang mendebarkan itu.” Swandaru memandang Raden Sutawijaya sejanak Ia pernah menjajagi ilmu anak muda itu. Namun kini ia dengan bangga dapat membuktikan kepada Sutawijaya. bahwa ia bukan seorang anak muda yang terlalu lemah. Bahkan dari bibir Raden Sutawijaya telah terlontar pengakuan bahwa ia memiliki tataran setingkat dengan Kiai Kelasa Sawit yang telah berhasil dibunuhnya. Namun dalam pada itu, setiap pengawal Kiai Kelasa Sawit menyadari, bahwa saat-saat yang mengerikan itu terjadi justru saat Kiai Kelasa Sawit sudah tidak berdaya. Ia hanya dapat mempergunakan sisa-sisa tenaganya yang sudah sangat lemah karena luka-lukanya. Tetapi mereka tidak dapat mengucapkannya, karena mereka merasa tidak berhak untuk mencampuri pembicaraan Raden Sutawijaya dan Swandaru yang gemuk itu. Sementara itu, maka para pemimpinpun sudah mulai berkumpul. Mereka mengambil tempat diluar medan, sementara para pengawal masih sibuk menyelesaikan persoalan-persoalan kecil yang masih timbul. Satu dua orang lawan benar-benar tidak mau menyerah, sehingga mereka telah memilih mati. Yang

lain berusaha melarikan diri. Namun diantara mereka memang berhasil menyusup di dalam rimbunnya pepohonan dan hilang dihutan yang lebat. Pada saat satu dua orang masih harus bertempur, yang lain telah mengumpulkan para tawanan yang telah meletakkan senjata. Sedangkan sebagian yang lain. harus mengumpulkan orang-orang yang terutama masih diketahui hidup dan terbaring diantara mayat-mayat yang silang melintang. Kiai Gringsing yang berjalan melintasi medan bersama Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ternyata dilembah itu telah terjadi pembunuhan antara manusia yang tidak dapat dicegah lagi. Pada saat-saat para pemimpin itu sudah berkumpul, maka yang pertama-tama dilakukan oleh Kiai Gringsing adalah mengobati Sumangkar yang parah. Luka-lukanya merambah diseluruh tubuhnya. Namun Kiai Gringsing masih berpengharapan, bahwa luka-luka itu akan dapat disembuhkan. “Kita tidak melihat Agung Sedayu,“ desis Ki Sumangkar. “Ia berada dilereng bersama Ki Gede Menoreh,“ jawab seorang pemimpin kelompok. “Ia bersamaku dan telah menyelamatkan aku,“ desis Ki Sumangkar yang lemah. “Ya. Tetapi ia telah kehilangan keseimbangannya sebagai seorang laki-laki jantan meskipun ia berhasil mengalahkan lawan-lawannya.” “Jangan berkata begitu,” potong Raden Sutawijaya, “kau harus menghargai sifat-sifatnya.” Namun Swandarulah yang sudah menyahut, “Aku sudah menduga. Kakang Agung Sedayu tidak akan tahan berada dimedan yang besar. Apalagi jika terjadi benturan antara dua kekuatan yang benar-benar besar seperti Pajang.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Ia tidak boleh memaksa diri. Tetapi ia sudah berbuat banyak didalam pertempuran ini.” “Ya.” Jawab Raden Sutawijaya, “aku sudah mendengar semua laporan tentang Agung Sedayu.” Swandaru memalingkan wajahnya. Ketika terpandang olehnya Prastawa yang berada beberapa langkah disebelahnya, Agung Sedayu tersenyum. Dan Prastawa-pun tersenyum pula. “Sekarang,” berkata Raden Sutawijaya, “panggillah Ki Gede Menoleh dan Agung Sedayu bersama para pengawal dan pusaka-pusaka yang telah diketemukan itu.” Dua orang penghubungpun kemudian pergi menemui Ki Gede Menoreh untuk menyampaikan pesan Raden Sutawijaya, agar bersama para pengawal Ki Gede turun kemedan. Agung Sedayu masih tetap ragu-ragu. Berbagai bayangan telah bermain di angan-angannya. Kematian demi kematian telah terjadi. Dan iapun telah membunuh justru orang-orang penting dari lingkungan lawannya.

Ki Gede Menoreh dapat mengerti sepenuhnya perasaan anak muda itu karena Ki Gede telah mengenal sifat-sifatnya pula. Karena itu, maka dengan hati-hati ia berkata, “Marilah Agung Sedayu. Kita akan bertemu dengan saudara-saudara kita yang berhasil menyelamatkan diri dari benturan kekuatan ini. Apapun yang telah terjadi, jangan kau sesali lagi, karena yang terjadi itu memang sudah terjadi.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang sering mendengar orang-orang tua memberi nasehat jika seseorang sedang menyesali sesuatu. Tetapi untuk mengusir penyesalan yang menyesak, adalah suatu pekerjaan yang sulit. Namun Agung Sedayupun kemudian mengikuti Ki Gede Menoreh menuju kemedan yang bagi Agung Sedayu merupakan lingkaran yang sangat menggelisahkan. Kehadiran Ki Gede Menoreh dan Agung Sedayu telah disambut oleh Raden Sutawijaya dengan penuh gairah, sementara Pandan Wangi langsung berjongkok dihadapan ayahnya sambil mengusap matanya yang basah. “He,“ desis Ki Gede Menoreh, “kau sedang mengenakan pedang rangkap.” Pandan Wangi menengadahkan wajahnya. Kemudian ia mencoba tersenyum. “Duduklah ditempatmu,“ berkata Ki Gede kepada puterinya. Pandan Wangipun kemudian duduk kembali disamping Sekar Mirah yang tersenyum melihat sikapnya. Bagaimanapun juga. Pandan Wangi adalah seorang perempuan. Sudah cukup lama ia tidak berjumpa dengan ayahnya. Sedangkan perjumpaan yang terjadi dimedan yang menegangkan itu rasa-rasanya telah menggetarkan hatinya. Sejenak kemudian, setelah saling menanyakan keselamatan masing-masing setelah mereka menghadapi tantangan maut dimedan yang resah itu, maka merekapun segera membicarakan masalah-masalah yang harus segera mereka lakukan. Terutama dengan pusakapusaka itu. “Pusaka-pusaka itu harus segera kembali ke Mataram,“ berkata Kiai Gringsing sambil memandang Ki Juru Martani yang nampak tidak begitu gembira meski pun kedua pusaka telah kembali ketangan Raden Sutawijaya. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Kelengahan beberapa pengawal pusaka itu di Mataram, termasuk Raden Sutawijaya sendiri, telah menumbuhkan korban yang tidak terhitung jumlahnya sekarang ini.” Raden Sutawijaya menarik nafas. Namun iapun kemudian menundukkan kepalanya ketika Ki Juru meneruskan, “Dan kesalahan itupun telah menyangkut aku pula.”

Tanpa mengangkat wajahnya Raden Sutawijaya berkata, “Mataram dalam keseluruhan telah berbuat kesalahan paman. Ternyata bahwa korban yang jatuh telah meliputi bukan saja laki-laki terbaik di Mataram, tetapi juga dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh.” Kiai Gringsing memandang wajah Agung Sedayu yang buram, sementara Ki Waskita duduk termangumangu. Namun dalam pada itu Swandaru berkata sambil mengangkat wajahnya, “Aku tidak tahu, apa yang sedang kita bicarakan sekarang.” Semua orang yang mendengarnya berpaling kearahnya. Sejenak Swandaru masih berdiam diri seolah-olah sedang mengumpulkan berbagai masalah yang berceceran didalam angan-angannya. Namun kemudian ia berkata, “Kita sudah menunjukkan kejantanan. Kita menuntut yang menjadi hak kita. Maksudku, Mataram. Jika jatuh korban, maka mereka adalah pahlawan yang memperjuangkan hak. Mereka tidak mati sia-sia.” Kiai Gringsing Menarik nafas panjang, sementara Swandaru meneruskan, “Jangan disesali perjuangan yang sudah terjadi ini. Jika demikian, perjuangan ini sendiri telah diperkecil artinya. Kita justru akan berbelas kasihan kepada mereka yang telah gugur. Sedangkan seharusnya kita harus berterima kasih dan berbangga akan pengorbanan jantan yang telah mereka berikan.” “Ya Swandaru,“ berkata Kiai Gringsing, “perjuangan ini telah menuntut pengorbanan. Mereka adalah pahlawan yang gugur karena mereka memperjuangkan hak kita. Kita jangan memperkecil arti dari perjuangan mereka.“ ia berhenti sejanak, lalu. “Tetapi yang kita bicarakan bukanlah mereka yang telah gugur. Mereka yang terluka parah dan mereka semuanya yang sudah bertempur. Yang kita sesali adalah kelengahan Mataram sehingga semuanya ini harus terjadi. Pertempuran kematian dan korbankorban lainnya, tanpa memperkecil arti pengorbanan mereka.” Swandaru termangu-mangu sejenak. Masih ada keseganan dihatinya untuk berbantah dengan gurunya. Namun seakan-akan kepada diri sendiri ia berkata, “Kita sudah mulai kejangkitan penyakit cengeng pula. Penyakit yang agaknya dapat menular dari sumbernya.” Diluar sadarnya Agung Sedayu berpaling. Tetapi hanya sekilas, karena kembali kepalanya tertunduk dalam-dalam. “Baiklah,“ berkata Raden Sutawijaya, “apapun yang sudah terjadi, perjuangan kita sekarang sudah berhasil. Korban telah jatuh. Dan kita akan selalu mengenangnya.” Swandaru tidak menyahut lagi. Namun sekali lagi ia memandang Prastawa dengan tatapan mata yang

aneh. Sementara itu, maka Sutawijayapun mulai mempersiapkan diri untuk membawa pusaka yang telah diketemukan itu. “Besok kita harus menyelesaikan semua persoalan disini,” berkata Raden Sutawijaya, “kita akan segera kembali ke Mataram dengan pusaka-pusaka itu.” Beberapa orang pemimpin pengawal Mataram mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Juru berkata, “Besok kita akan kembali ke Mataram menjelang senja.” “Sore hari paman? “ bertanya Raden Sutawijaya. “Disiang hari kedua pusaka itu akan dapat menumbuhkan berita yang beraneka macam,” sahut Ki Juru. Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Jawabnya, “Benar paman. Kita besok akan berangkat menjelang senja. Mudah-mudahan semuanya sudah dapat kita selesaikan.” Dengan demikian, maka semua persiapanpun telah disesuaikan dengan keputusan Raden Sutawijaya untuk kembali ke Mataram menjelang senja, agar perjalanan pasukannya tidak banyak menimbulkan ceritcra yang akan dapat menjalar sampai ke Pajang. Sampai ketelinga Senopati Pajang didaerah Selatan. Dalam pada itu, meskipun pertempuran sudah selesai, namun bukan berarti bahwa pasukan Mataram, Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh telah selesai. Mereka dengan badan yang letih telah mengumpulkan kawan-kawannya yang terluka. Beberapa orang mencoba mengobati yang dapat mereka obati, sementara yang terluka parah, para petugas khusus telah berusaha menolong mereka. Kiai Gringsing telah ikut sibuk pula mengobati mereka yang terluka. Diantaranya adalah Ki Sumangkar. Menjelang pagi hari, maka perasaan letih agaknya tidak tertanggungkan lagi Hampir semua orang, tanpa berjanji telah membaringkan dirinya dimanapun juga. Sekejap kemudian, mereka telah mendengkur dengan nyenyaknya dibawah batang-batang pohon, di batu-batu besar atgu diatas rerumputan kering. Hanya beberapa orang sajalah yang telah berjuang untuk tetap terjaga. Mereka adalah petugas-petugas yang bergiliran mengawasi keadaan. Meskipun pertempuran telah selesai, tetapi kesiagaan masih harus tetap dipertahankan. Apalagi mengawasi para tawanan. Tetapi para tawananpun agaknya telah mengalami kelelahan yang sangat, setelah mereka diharuskan ikut menyingkirkan mayat-mayat dan menguburkannya dilembah itu. Sebagian terbesar dari merekapun telah tertidur pula. betapapun mereka dalam kegelisahan.

Para pemimpinpun tidak luput pula dari cengkeraman kelelahan jasmaniah dan rohaniah. Beberapa dari mereka telah mencoba tidur sambil bersandar batang-batang pepohonan. Swandaru yang bersandar sebuah batu besar segera tertidur dengan nyenyaknya. Disebelahnya Prastawapun telah mendengkur pula. Sementara Pandan Wangi dan Sekar Mirah terbaring di balik sebuah batu besar itu. Orang-orang tua diantara merekapun harus beristirahat pula meskipun tidak semuanya bersama-sama. Kiai Gringsing masih duduk menunggui Ki Sumangkar yang terluka parah. Sementara Ki Juru dan Ki Waskita mencoba untuk dapat beristirahat barang sejenak. Dalam pada itu, betapapun letihnya, namun Agung Sedayu sama sekali tidak berhasil memejamkan matanya. Kegelisahannya terasa semakin tajam menghunjam dijantungnya. Adalah diluar sadarnya ketika Agung Sedayu yang duduk bersandar sebatang pohon itu telah berdiri dan melangkah perlahan-lahan meninggalkan kawan-kawannya yang sedang beristirahat itu. Seorang petugas yang terkantuk-kantuk melihatnya berjalan menelusuri jalan setapak. Tetapi petugas itu tidak menyapanya. Selangkah demi selangkah Agung Sedayu berjalan menjauhi kawan-kawannya dan justru turun kelembah tempat pertempuran yang dahsyat telah terjadi. Meski pun sebagian dari mayat telah dikuburkan, namun yang lain masih tercecer-cecer berserakan. Para pengawal dari Mataram tidak dapat memaksa para tawanan yang sudah menjadi sangat letih untuk bekerja terus, sehingga merekapun telah memberikan kesempatan untuk beristirahat. Mereka baru akan dibangunkan dan meneruskan kerja mereka bersama-sama para pengawal setelah matahari terbit di Timur. Agung Sedayu yang gelisah itu berjalan terus diantara pepohonan. Hatinya bagaikan tersayat ketika ia melangkah diantara mayat-mayat yang belum terkuburkan. Apalagi ketika ia sampai pada gundukan tanah yang memanjang, tempat mayat lawan dikuburkan dalam lubang yang memanjang. Agung Sedayu berhenti termangu-mangu disebelah kuburan yang panjang itu. Ia membayangkan, bahwa didalam gundukan tanah yang panjang itu terbaring beberapa sosok mayat yang terbujur beku dalam timbunan.yang menghimpit. Namun itu adalah akibat yang pasti terjadi didalam setiap peperangan. Kematian adalah kelengkapan dari peristiwa perang. Dan kematian hampir tidak dapat dihindarkan lagi disamping kebanggaan dan keresahan hati. Hati Agung Sedayu yang sudah gelisah itu menjadi semakin gelisah. Diluar sadarnya ia telah mengamat-amati kedua telapak tangannya. Terbayang kembali Ki Gede Telengan yang menggeliat disaat terakhir, Ki Tumenggung Wanakerti yang disayat oleh ujung cambuknya. Kia Samparsada yang hilang dipeperangan dan Kiai Kelasa Sawit yang ternyata jatuh ketangan Swandaru dan terbunuh olehnya selelah ia gagal melarikan diri.

Terasa tubuh Agung Sedayu meremang. Mereka adalah orang-orang penting diantara lawan yang telah dikenal ilmunya meskipun akibatnya berbeda-beda. Sementara itu, maka yang lain yang terbaring dalam kebekuan itu telah mengalami nasib yang serupa. Merekapun telah terbunuh oleh tusukan senjata. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika kakinya bergerak, maka tubuhnyapun telah terbawa berjalan diseputar medan yang sudah menjadi sepi. Dada Agung Sedayu tergetar ketika ia mendengar lolong anjing liar di tengah-tengah lebatnya hutan. Anjing liar adalah jenis binatang yang ditakuti disamping binatang buas yang lain, karena kadangkadang mereka datang berkawan. Tetapi agaknya anjing-anjing liar itu tidak akan lebih menakutkan dari sepasukan pengawal yang nampaknya tenang dan damai didalam tidurnya. Namun dalam pada itu. Agung Sedayu terkejut ketika matanya yang tajam menangkap bayangan sesosok tubuh didalam gelap. Hampir diluar sadarnya, nalurinya telah membawanya mengikuti bayangan itu. Bahkan kemudian semakin dekat. Namun bayangan itu kemudian terhenti dan berdiri termangu-mangu melihat kuburan yang memanjang dan mayat-mayat yang belum sompat dikuburkan. Dalam kegelapan Agung Sedayu melihat sesosok tubuh itu berdiri tegak. Kemudian dengan kaki yang terseret-seret melangkah lagi beberapa langkah. Agung Sedayu menegang sejenak. Namun kemudian ia melangkah diluar sadarnya mendekat, ia terhenti ketika ia melihat bayangan itu kemudian duduk diatas sebuah batu yang besar. Tetapi Agung Sedayu terkejut ketika ia mendengar langkah yang lain. Ketika ia berusaha melihat dari sela-sela pepohonan, ia melihat dua orang bersenjata langsung menyergap bayangan yang duduk diatas batu besar itu. Dengan gerak naluriah Agung Sedayupun meloncat mendekat. Ia ingin mengetahui apakah yang akan terjadi. Ketika dua orang yang menyergap itu mengacukan senjatanya, maka orang yang duduk diatas batu itu seolah-olah tidak menghiraukannya. Ia berpaling sejenak kepada keduanya. Namun kemudian terdengar orang itu bertanya, ”Kenapa kalian gugup melihat kedatanganku.” Agung Sedayu terkejut mendengar suaranya. Ia langsung dapat mengenalnya, siapakah orang yang duduk diatas batu tanpa gelisah sedikitpun juga meskipun ujung-ujung senjata mengarah kedadanya. “Siapa kau ?” bertanya kedua orang bersenjata itu. “Aku Rudita,” jawab orang duduk diatas batu itu. Kedua orang yang ternyata adalah para pengawal itu masih belum mengenal Rudita. Karena itu, maka yang seorang segera menekankan senjatanya sambil menggeram, ”Sebut, siapakah kau sebenarnya.”

“Rudita. Namaku Rudita.” “Ya. Tetapi kau dari mana ? Apakah kau pengikut Ki Tumenggung Wanakerti, atau pengikut Ki Gede Telengan atau siapa ?” “Aku tidak kenal mereka.” Para pengawal itu menjadi semakin curiga. Sikap Rudita membuat keduanya bertambah berhati-hati. sehingga senjata mereka telah benar-benar melekat ditubuh Rudita. Setiap gerakan yang kecil sekalipun, sudah cukup untuk menghunjamkan senjata itu didadanya. Rudita masih tetap berdiam diri. Sikapnya memang dapat menumbuhkan salah paham. Keterangannya seolah-olah menunjukkan keyakinannya pada kemampuan diri sebagai seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. “Ki Sanak,” berkata Rudita kemudian, ”kenapa kalian begitu curiga kepadaku ? Kenapa kalian tidak menyarungkan senjatamu, kemudian kita berbicara sebaik-baiknya.” “Persetan. Katakan, darimanakah kau datang, atau aku akan menyobek dadamu dengan ujung pedang.” Rudita menarik nafas dalam dalam. Katanya, ”Sudah begini parahkan kecurigaan seseorang kepada sesama ? Aku tidak bersenjata dan aku sama sekali tidak akan dapat berbuat apa-apa atas kalian.” “Kaku sedang mengelabuhi kami. Kau tentu seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, yang akan dapat mempermainkan kami berdua jika kami tidak bersiap menghadapimu.” Rudita memandang keduanya berganti-ganti. Tetapi sama sekali tidak membayangkan kecemasan di wajahnya meski ujung senjata lawannya telah terasa dikulitnya. Tetapi justru sikapnya itulah yang membuat kedua pengawal itu menjadi semakin curiga. Agung Sedayu yang menyaksikannya menjadi cemas. Jika salah paham itu menjadi berkepanjangan, maka mungkin akan dapat menimbulkan kesulitan bagi Rudita, meskipun ia pasti bahwa Rudita tidak akan melawan, apapun yang akan dilakukan atasnya. Karena itu. maka Agung Sedayupun kemudian melangkah dari lindungan pepohonan mendekati ketiga orang itu. Para pengawal yang mendengar langkahnya terkejut. Salah seorang dari mereka segera meloncat surut dan bersiap menghadapi segala kemungkinan, sedangkan yang lain masih tetap mengacukan senjatanya kepada Rudita. Tetapi para pengawal itu menarik nafas panjang ketika mereka mendengar Agung Sedayu menyabut dirinya, ”Jangan terkejut. Aku Agung Sedayu.” “Agung Sedayu,” Rudita mengulangi. Tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya karena ujung senjata pengawal itu masih melekat ditubuhnya.

“Lepaskan ia,” berkata Agung Sedayu, “ia adalah putera Ki Waskita.” “O,” para pengawal itu terkejut. Namun merekapun kemudian melangkah surut sambil menyarungkan senjatanya. Dengan suara bertahan salah seorang dari mereka berkata, ”Pantas. Ia memiliki ketenangan seperti ayahnya.” Rudita tersenyum. Jawabnya, ”Aku sama sekali tidak memiliki sesuatu seperti yang dimiliki oleh ayah. Aku bukan seorang yang mengagumkan seperti Agung Sedayu.” Agung Sedayu menarik nafas dalam dalam. Tetapi ia tidak menanggapi kata-kata Rudita itu. Sambil melangkah mendekat bahkan ia bertanya, ” Kau tahu bahwa kami berada di lembah ini ?” Rudita mengangguk. Jawabnya, ”Ayah singgah kerumah sebentar ketika ia berada di Tanah Perdikan Menoreh. Bukankah ia datang bersamamu.” Agung Sedayu heran mendengar pertanyaan itu. Justru karena itu sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian ia bertanya, “Jadi. kenapa kau datang kemari jika kau tidak ingin menjumpai Ki Waskita?” Rudita menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia memandang kedua pengawal yang masih berdiri dengan penuh kebimbangan. “Aku datang untuk melihat, betapa manusia merupakan mahluk yang paling berbahaya bagi sesamanya. Disini aku dapat melihat tabiat dari mahluk yang tertinggi diantara segala titah itu.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia sudah menduga bahwa Rudita akan mengatakannya. Meskipun demikian hatinya masih juga berdesir mendengarnya. Dalam pada itu kedua pengawal yang mendengar kata-kata itupun terkejut pula. Tetapi mereka masih belum menangkap makna kata-kata Rudita itu. Dalam keragu-raguan itu, maka Agung Sedayupun kemudian berkata kepada kedua penjaga itu, “Kembalilah ketempat peristirahatan orang-orang tua itu. Katakan kepada Ki Waskita, bahwa puteranya berada disini. Sebentar lagi ia akan datang menghadap.” “Apakah ada gunanya? “ justru Ruditalah yang bertanya. Agung Sedayu seolah-olah tidak mendengar pertanyaan itu. Ia berkata selanjutnya kepada para pengawal, “Pergilah sekarang.” Kedua pengawal itu tidak mengerti persoalan apakah yang sebenarnya yang dihadapinya dengan kedua

anak-anak muda itu. Tetapi mereka tidak membantah. Sepeninggal kedua orang itu Agung Sedayu berkata, “Jalan pikiranmu yang agak berbeda dengan cara berpikir mereka, akan dapat menimbulkan ketegangan jiwa.” “Tidak hanya dengan mereka. Jalan pikirankupun berbeda dengan jalan pikiranmu,“ sahut Rudita. “Tetapi aku dapat mengerti alasan-alasan dari tingkah lakumu. Bahkan sikapmu telah membuat aku menjadi semakin bimbang menghadapi kenyataan-kenyataan disekitarku. Terhadap diri sendiri dan terhadap segala keputusan yang aku ambil, aku adalah seorang yang selalu ragu-ragu, cemas dan takut. Aku sadar sepenuhnya akan hal itu. Sementara itu kehadiran sikapmu membuat aku semakin bimbang.” Rudita termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, “Bukan maksudku Agung Sedayu,” “Kita berdiri pada alas yang hampir sama dimasa kanak-kanak. Manja, penakut, dan tidak tahu bagaimana berbuat bagi diri sendiri. Tetapi perkembangan yang terjadi kemudianlah yang berbeda. Kau telah menemukan dirimu yang sebenarnya dengan sepenuh keyakinan. Tetapi aku tidak.” “Kau adalah seorang pahlawan menurut ukuran orangorang yang mendambakan olah kanuragan.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak seorangpun yang akan menyebut aku sebagai pahlawan. Aku telah berdiri diantara dua sikap yang berlawanan. Satu kakiku ada disebuah biduk, sedang yang satu lagi ada didalam biduk yang lain. Dengan demikian aku tidak akan pernali melakukan sesuatu dengan baik apalagi sempurna menurut penilaian pihak yang manapun juga.” Rudita tersenyum. Ia melangkah beberapa langkah. Kemudian duduk disebelah gundukan tanah yang masih basah. “Disini beberapa orang telah dikuburkan. Mereka telah mati terbunuh dimedan ini. Mungkin tidak seorangpun yang akan mengharap kedatangannya. sehingga kematiannya tidak menumbuhkan kepedihan bagi orang lain. Tetapi ada diantaranya yang telah menyiksa seseorang disepanjang hidupnya. Mungkin seorang ibu sedang menunggu anak laki-lakinya yang sedang tumbuh dewasa. Mungkin kekasihnya. Tetapi anak muda itu mati disini. Mungkin pula seorang isteri yang mendukung bayinya menangis meratapi kepergian suaminya. Tetapi suaminya tidak akan pernah kembali.” “Cukup,“ tiba-tiba Agung Sedayu memotong. Hatinya benar-benar bagaikan tergores tajamnya pedang. Sesaat Rudita memandanginya. Lalu Katanya, “Tetapi itu merupakan tugas seorang prajurit, atau

seseorang yang bertugas seperti seorang prajurit.” “Mereka tidak sekedar bertugas untuk membunuh Rudita,“ bantah Agung Sedayu, “tetapi ada sesuatu yang melatar belakangi sikap itu. Barangkah sudah pernah aku katakan bahwa dengan membunuh seseorang akan dapat berarti menyelamatkan sepuluh orang.” “Ya. Kau pernah mengatakannya. Tetapi aku masih tetap bersikap sama Agung Sedayu. Kau benarbenar sudah dicengkam oleh prasangka dan curiga.” “Tidak. Bukan prasangka dan curiga. Tetapi aku mendasarkan sikap itu pada pengalaman hidupku yang penuh kemunafikan ini. Aku tidak dapat ingkar bahwa dalam sikap yang tanpa berprasangka justru kitalah yang akan terjebak dalam kesulitan.” Tetapi ternyata Rudita justru tersenyum. Katanya, “Kuasa kegelapanlah yang telah mengaburkan penglihatanmu. Agung Sedayu, kau tidak akan pernah mempunyai pengalaman yang cukup untuk menilai jiwa seseorang. Setiap orang mempunyai sudut pandangan dan sikap yang berbeda. Bahkan pada yang seorang itupun sikap jiwanya mungkin akan berkembang. Seorang yang kau anggap akan membahayakan jiwa sepuluh orang, pada suatu saat mungkin justru akan menyelamatkan jiwamu sendiri.” “Tidak. Tidak,“ potong Agung Sedayu, “kau tidak pernah melihat segi-segi kehidupan yang penuh dengan persoalan ini. Kau mencoba melihat dunia hanya dari satu segi.” Rudita menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Kasih adalah rangkuman segenap segi kehidupan. Tetapi aku tidak mengatakan, bahwa akulah yang sudah atau pernah mendasarkan hidupku seutuhnya pada kasih. Tidak. Aku juga tidak seperti kau dan orang-orang lain yang saling berbunuhan. Tetapi aku sedang berusaha dengan keyakinan yang bulat, bahwa aku akan mencobanya. Tetapi dilangkah pertama akupun sudah menjadi munafik. Aku dengan penuh curiga mempelajari bagian dari ilmu yang tertulis di kitab ayah itu.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah merasa tersiksa jika ia mengenang apa yang telah dilakukannya dipeperangan itu. Dan kini Rudita justru datang membawa cermin dari sikap dan hidupnya yang penuh dengan cacat dan noda. Betapa pedihnya melihat segala macam cacat dan noda yang melekat didalam hidupnya. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat ingkar lagi. Betapapun pahitnya ia harus melihat didalam cermin yang dihadapkan Rudita kepadanya. Beberapa saat keduanya saling berdiam diri. Rudita seakan-akan masih saja merenungi kuburan yang memanjang dan mayat-mayat yang masih belum dikuburkan. Seperti yang dikatakannya, ia ingin melihat dengan tuntas tabiat manusia yang merupakan makhluk tertinggi dari segala titah. Tetapi juga

makhluk yang paling berbahaya bagi sesamanya. Betapa sakitnya hati anak muda itu. Bukan karena menyesali dirinya seperti Agung Sedayu. Tetapi ia melihat, bahwa betapa masih jauhnya, bahkan hampir-hampir merupakan mimpi yang tidak dapat dijamah setelah terbangun dari tidur yang pulas, untuk dapat mencapai kedamaian yang sejati diantara sesama. Sementara itu Agung Sedayupun masih tenggelam dalam penyesalan. Tetapi ia masih tetap seorang yang tidak berani mengambil sikap untuk menghadapi arus didalam kehidupan didunia ini. Ternyata keduanya telah tenggelam dalam arus angan-angannya masing-masing, sehingga mereka tidak menyadari, berapa lamanya mereka merenung sambil berdiam diri. Keduanya tersadar ketika mereka mendengar langkah mendekat. Ketika mereka berpaling. maka mereka melihat Ki Waskita sudah berada beberapa langkah dibelakang mereka. “Rudita,” sapa ayahnya. Rudita menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada datar. “Aku sudah melihat ayah.” “Aku mengerti, apakah yang kau maksud. Tetapi ini adalah kenyataan hidup yang harus aku hadapi. Aku tidak dapat lari dan menghindar. Karena aku masih ingin mempertahankan peradaban yang sudah berpuluh dan bahkan beratus tahun dibina oleh menusia.” “Tetapi didalam pengenalanku, sepanjang sejarah kehidupan manusia, yang mengaku peradabannya semakin tinggi, maka peperangan justru menjadi semakin dahsyat. Korban semakin banyak jatuh dan nyawapun menjadi semakin tidak berharga.“ Gumam Rudita. Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku mengerti Rudita. Tetapi aku tidak tahu bahwa ada cara lain yang dapat aku tempuh untuk mencegah kejahatan yang semakin berkembang.” “Pendekatan yang akrab dan saling mengerti. Itu adalah ujud dari sikap yang sebenarnya akan membawa penyelesaian.” Ki Waskita mengangguk-angguk. Tetapi Katanya, “Kau benar. Tetapi akupun tidak tahu, apa yang sebaiknya aku lakukan, jika aku datang dengan satu keinginan untuk mengadakan pendekatan hati dan meneoba untuk saling mengerti, tetapi tiba-tiba saja dileherku sudah dikalungkan jerat untuk mencekikku.” Rudita berdesah, “Ah, seperti Agung Sedayu, ayah selalu dihinggapi kecurigaan. Apakah ayah pernah mencobanya?” “Apa yang harus aku coba Rudita? Orang-orang yang berkumpul dilembah ini adalah mereka yang telah mencuri pusaka-pusaka dari Mataram. Mereka disini sedang mengadakan pembicaraan untuk melakukan pembunuhan besar-besaran di Pajang dan di Mataram.”

“Ayah belum pernah mencoba datang kepada mereka dengan sikap damai yang sebenarnya. Ketika pusaka-pusaka itu hilang dari Mataram, orang-orang Mataram telah melakukan pengejaran seperti orang berburu babi liar di hutan. Sudah tentu mereka akan menjadi semakin jauh dan bahkan memberikan perlawanan.” “Jadi, apa yang harus dilakukan?” “Menjelaskan kepada mereka. Sebaiknya Raden Sutawijaya datang dengan sikap damai, tanpa senjata dan tanpa prasangka. Memberitahu kepada mereka, bahwa pusaka-pusaka itu masih diperlukan di Mataram. Tetapi yang terpenting bukan pusaka-pusaka itu. Adalah karena suatu maksud yang lebih dalam maka pusaka-pusaka itu telah diambil dari Mataram. Nah, Raden Sutawijaya harus membicarakan bukan saja pusaka-pusaka itu sendiri, tetapi juga kemungkinan-kemungkinan yang dapat diberikan kepada orang-orang yang telah mengambilnya.” “Mereka akan menolak. Dan mungkin Raden Sutawijaya akan mereka tangkap dan mereka bunuh, karena Raden Sutawijaya adalah seseorang yang dianggap merintangi berdirinya kembali Kerajaan Majapahit.” “Sebelumnya Raden Sutawijaya harus membuktikan bahwa ia tidak ingin melakukan kekerasan. Tentu ia tidak akan dibunuh. Prasangkalah yang telah menjauhkan manusia yang satu dengan yang lain.” Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat mengatasi jalan pikiran anaknya. Tapi iapun tidak akan dapat menerimanya sebagai sautu sikap hidup. Meskipun demikian Ki Waskita berkata, “Baiklah Rudita. Aku akan memikirkannya. Marilah, kita pergi ketempat sanak kita beristirahat setelah kelelahan.” Tetapi Rudita menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak ayah. Aku sadar, bahwa aku tentu akan mengganggu mereka. Biarlah mereka menikmati kemenangan mereka dengan kebanggaan seorang pahlawan. Aku sudah puas jika Agung Sedayu dan ayah mendengar sikapku. Aku berterima kasih jika Agung Sedayu dan ayah dapat menyampaikannya kepada siapapun juga yang mau mendengarnya setelah mereka puas mengagumi diri sendiri sebagai pehlawan-pahlawan perang.” “Jadi apakah maksudmu sebenarnya datang kemari?“ bertanya Ki Waskita, “jika kau tidak ingin berada diantara kami, maka sebenarnya lebih baik bagimu untuk mengawani ibumu dirumah. Kepergianmu tentu akan menggelisahkannya.” “Aku sudah minta ijin kepada ibu. Dan ibu telah mengijinkannya asal aku segera kembali. Dan akupun akan segera kembali setelah aku melihat apa yang aku cemaskan itu telah terjadi.” Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah tidak akan dapat merubah sikap jiwani dari anak laki-lakinya yang hanya seorang itu, meskipun didalam relung hatinya yang tersembunyi, Ki Waskitapun melihat kebenaran, meskipun tidak utuh.

“Betapa sulitnya orang berpijak pada keyakinan,“ berkata Ki Waskita kepada dirinya sendiri. “Ayah,” berkata Rudita kemudian, “silahkan ayah dan Agung Sedayu untuk beristirahat. Biarlah aku berada ditempat yang aku pilih. Aku memang ingin tinggal untuk beberapa saat lagi disini. Tetapi tidak diantara kalian.” Agung Sedayu termangu-mangu. Namun justru Ki Waskitalah yang mengajak Agung Sedayu, “Marilah. Kita kembali. Biarlah pengawal itu kembali kepada tugasnya?” “Pengawal yang mana? “ bertanya Agung Sedayu. “Aku mengetahui kehadiran Rudita dari seorang pengawal.” “O,“ Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih tetap ragu-ragu meninggalkan Rudita. “Tinggalkan aku seorang diri Agung Sedayu,“ berkata Rudita kemudian. “Kau akan merenungi mayat-mayat itu?,“ berkata Agung Sedayu, “dan kau akan berusaha memeras segala bibit belas kasihan didalam hatimu untuk mendapatkan keterharuan yang paling dalam?” Rudita menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Apakah itu perlu dilakukan? Agung Sedayu, yang paling mengharukan bukannya mayat-mayat yang berserakan atau anak isterinya yang menunggu dirumah. Tetapi yang harus diratapi adalah sikap manusia yang meningkatkan peradabannya dengan tingkah lakunya yang sulit dimengerti ini.” Terasa sesuatu bergetar didalam dada Agung Sedayu. Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan kepalanya telah tertunduk dalam-dalam, seolah-olah ia sedang merenungi dirinya sendiri. Tetapi Agung Sedayu itu terhenyak ketika Ki Waskita menggamitnya sambil berkata, “Marilah Agung Sedayu.” Agung Sedayu masih termangu-mangu. “Rudita,“ berkata ayahnya, “sebenarnya aku ingin kau singgah ditempat peristirahatan kami sebentar. Kau akan bertemu dengan Kiai Gringsing, Ki Sumangkar yang terluka sangat parah, pamanmu Ki Argapati, Ki Juru Martani dan anak-anak muda seperti Raden Sutawijaya, Swandaru dan Prastawa.” “Terima kasih ayah. Biarlah aku berada disini. Jika aku menganggap perlu aku akan singgah. Jika tidak, aku akan segera kembali agar ibu tidak terlalu gelisah.” Ki Waskita hanya dapat menggeleng-geleng keeil. Namun katanya kemudian, “Baiklah. Aku akan meneruskan istirahatku.” Rudita hanya memandang saja ketika ayahnya dan Agung Sedayu meninggalkannya dengan ragu-ragu. Ia berdiri tegak diatas kuburan yang memanjang sampai kedua orang itu hilang didalam bayangan

kegelapan. Sepeninggal Ki Waskita dan Agung Sedayu, Rudita untuk beberapa saat masih merenungi keadaan. Di tempat itu ia ingin melihat, betapa manusia dicengkam oleh kedengkian, ketamakan dan harga diri. Rudita tidak ingkar, bahwa keinginan untuk mempertahankan diri adalah juga sifat manusiawi. Tidak ada kehidupan yang tanpa berusaha mengelakkan diri dari kematian. Namun yang dilakukan manusia kemudian bukannya sekedar mempertahankan hidupnya. Tetapi manusia dengan tamak ingin memanjakan hidup dan kecenderungan untuk menguasai lingkungannya. Dalam pada itu. Ki Waskita dan Agung Sedayupun telah sampai ditempat peristirahatan mereka. Dengan heran Kiai Gringsing bertanya, “Dimana Rudita?” Ki Waskita menggeleng. Jawabnya, “Ia tidak bersedia singgah ditempat ini. Ia sekedar lewat dan merenungi peristiwa yang terjadi dilembah ini menurut sudut pandangannya.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi Swandaru berguman, “Hidupnya mengambang dialam mimpi. Ia sama sekali tidak berani melihat kenyataan bahwa dunia ini berisi segala macam warna. Tidak semuanya putih dan tidak semuanya kuning.“ ia berhenti sejenak, lalu. “sebaiknya kakang Agung Sedayu tidak banyak berbincang dengan Rudita.” “Kenapa? “ bertanya Kiai Gringsing. “Pada kakang Agung Sedayu terdapat sifat-sifat yang hampir sama. Hanya kadarnya sajalah yang berbeda. Karena itu jika ia terlalu sering bertemu dan berbincang dengan anak itu, maka iapun akan segera menjadi kehilangan gairah hidupnya dan kehilangan kenyataan hidup yang memang sudah kabur.” “Ah,“ desah Kiai Gringsing, “kau terlalu berprasangka.” “Tidak guru. Aku berkata sebenarnya atas penglihatanku pada kakang Agung Sedayu.” Kiai Gringsing masih akan menjawab. Tetapi Agung Sedayu telah mendahului, “Swandaru benar guru. Aku tidak perlu ingkar akan sifat-sifatku yang bimbang dan ragu-ragu. Mungkin benar, bahwa pada dasarnya aku mempunyai sifat-sifat yang sama dengan Rudita. Tetapi Rudita jauh lebih berani untuk mengambil sikap dari aku yang pengecut.” “Sudahlah,“ berkata Kiai Gringsing, “bukan saatnya untuk membicarakan pandangan hidup dan sikap jiwani didalam keadaan seperti sekarang ini. Duduklah Agung Sedayu. beristirahatlah secukupnya. Sebentar lagi langit akan menjadi merah. Dan kita semua akan segera terlibat lagi dalam kerja, menyelesaikan mayat yang terbujur lintang dan masih belum sempat dimakamkan. Sementara kita masih harus memelihara agar yang

terluka agak menjadi berkurang penderitaannya.” Agung Sedayu tidak menjawab. Iapun kemudian duduk disebelah Ki Juru Martani yang nampaknya sedang merenungi keadaan. Raden Sutawijaya tidak berbicara sepatah katapun. Agaknya ia sedang memikirkan sikap kedua murid Kiai Gringsing yang berbeda itu. Namun iapun sedang melihat kepada dirinya sendiri. Apakah ia condong kepada sikap Agung Sedayu atau sikap Swandaru. Tetapi akhirnya Raden Sutawijaya menggeleng lemah sambil berkata didalam hati, “Bukan saatnya untuk memikirkan pandangan hidup dan sikap jiwani didalam keadaan seperti ini.” Namun dalam pada itu, ternyata Sekar Mirahpun telah menangkap percakapan itu. Ia merasa semakin kecewa atas sikap Agung Sedayu. Jika semula ia merasa bangga mendengar, bahwa Agung Sedayulah yang telah berhasil membunuh Ki Gede Telengan, Ki Tumenggung Wanakerti, dan melukai orangorang penting lainnya, namun pada saat ia mendengar pembicaraan itu. maka kebanggaannya itu mulai mengabur. Meskipun demikian. Sekar Mirah masih tetap ingin melihat Agung Sedayu mempunyai kelebihan dari anak-anak muda yang lain. Tidak merajuk dan penuh kebimbangan. Namun percakapan itupun telah terhenti. Agung Sedayu kemudian bersandar sebatang pohon sambil memandang langit yang menjadi kemerah-merahan disela-sela dedaunan. Dalam pada itu, lembah itu rasa-rasanya telah menjadi senyap. Sebagian terbesar dari para pengawal masih tertidur nyenyak. Hanya mereka yang bertugas sajalah yang masih berjaga-jaga dengan senjata tetap ditangan. Untuk mengatasi kantuknya, mereka berjalan hilir mudik disela-sela pepohonan. Atau saling berbincang tentang pertempuran yang baru saja terjadi. Salah seorang dari mereka berkata, “Agung Sedayu adalah orang yang aneh.” Kawannya mengangguk. Jawabnya, “Sifatnya tidak dapat dimengerti. Sebenarnya ia adalah orang yang luar biasa. Ia telah berhasil membunuh beberapa orang terpenting.” “Ya. Dan saudara seperguruannya membunuh pula seorang.” “Itupun karena ia sudah tidak berdaya.“ Kawannya tidak menjawab. Tetapi sebagian terbesar dari para pengawal memang mengetahui, bahwa Kiai Kelasa Sawit sudah tidak berdaya pada saat ia bertemu dengan Swandaru. Adalah karena nasib yang buruk telah membawa Kiai Kelasa Sawit kepada anak muda dari Sangkal Putung itu, setelah Agung Sedayu tidak berhasil mengatasi kesulitan batin untuk membunuhnya. Namun dalam pada itu, para pengawal Sangkal Putung mempunyai sikap yang berbeda. Mereka

merasa bangga bahwa Swandarulah yang telah membunuh Kiai Kelasa Sawit. “Ternyata Swandaru telah mencapai tataran yang sangat tinggi didalam olah kanuragan. Ia telah berhasil membunuh Kiai Kelasa Sawit. Padahal Ki Sumangkar hampir saja dibinasakan olehnya jika tidak ditolong oleh Agung Sedayu.” “Tetapi Ki Sumangkar masih diganggu oleh luka-lukanya yang terdahulu,” sahut yang lain. “Ya. Meskipun demikian dapat dipakai sebagai bahan imbangan. Betapa tingginya ilmu Kiai Kelasa Sawit.” Kawannya tidak membantah. Kebanggaan itu memang hinggap disetiap hati para pengawal di Sangkal Putung dan dihati Swandaru sendiri. Karena itulah, maka ketika Prastawa kemudian bergeser disamping Swandaru, mereka berdua itupun mulai saling berbisik tentang kematian Kiai Kelasa Sawit. Kiai Gringsinglah yang menjadi gelisah mehhat sikap Swandaru. Ia seolah-olah tidak mau mengerti apa yang telah terjadi. Swandaru telah memperkecil arti keberhasilan Agung Sedayu. Agaknya ia menganggap bahwa Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti adalah orang-orang yang tidak banyak berarti. “Tidak seorangpun yang pernah menjajagi ilmunya,“ berkata Swandaru, “mungkin ia tidak lebih dari seorang pemimpin kelompok dari Sangkal Putung.” “Ki Gede Menoreh tidak dapat mengalahkan Ki Tumenggung,“ sahut Prastawa. “Tetapi kaki Ki Gede sudah cacat. Itulah sebabnya,“ jawab Swandaru. Prastawa mengangguk angguk. Kiai Gringsing meskipun tidak mendengar pembicaraan itu dengan jelas, namun ketajaman perasaannya, seolah-olah telahj berhasil menangkap kata demi kata. Sebenarnya ia tidak berkeberatan seandainya Swandaru sekedar menganggap bahwa Agung Sedayu tidak memiliki kelebihan apapun dari padanya. Tetapi yang mencemaskan adalah, bahwa pada suatu saat telah terjadi ledakan keinginan untuk menjajagi seperti yang pernah terjadi atas Raden Sutawijaya. “Mudah-mudahan tidak akan pernah terjadi,“ berkata Kiai Gringsing, “jika aku ada. aku akan mencegahnya dengan pengaruhku sebagai seorang guru. Tetapi jika pada saat mereka terpisah dari aku?” Terasa kegelisahan itu bagaikan meronta didadanya. Dalam pada itu, Rudita yang tidak mau singgah ditempat peristirahatan para pemimpin dari Mataram,

Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh itupun telah berjalan menyusuri lembah. Ia sadar, bahwa kematian yang mengerikan telah membuat udara lembah itu menjadi pengab. Dengan hati yang pedih, ia melangkah menjauhi tempat itu meskipun ia tidak segera kembali. Dengan kepedihannya itu iapun kemudian memanjat tebing semakin tinggi dan kemudian duduk diatas sebuah batu padas merenungi lembah yang berbau kematian itu. Dalam penglihatan batinnya ia melihat ayahnya. Agung Sedayu, Kiai Gringsing, Ki Juru dan para pemimpin yangi lain telah mengamuk membunuh sesama tanpa pertimbangan apapun juga. seperti mereka sedang menebas batang ilalang liar yang tumbuh dihalaman rumahnya. Sementara itu, ternyata Ki Juru Martani telah mendapat beban perasaannya sendiri. Seperti Kiai Gringsing, iapun digelisahkan oleh sifat-sifat Swandaru dan Agung Sedayu. Namun ia telah menghubungkannya dengan lingkungan yang lebih luas. Sikap kedua saudara seperguruan itu dapat tumbuh dimanapun juga. Seperti yang pernah terjadi, bahkan beberapa kali. Perantau-perantau yang berdiri dijalan simpang, kadang-kadang telah saling bertengkar untuk memilih jalan. Dan yang masih nampak dipelupuk matanya adalah peristiwa yang baru saja terjadi. Pajang telah merobek-robek dirinya sendiri. Prajurit dan para Senapatinya telah memilih jalan yang terpisah-pisah. Namun yang kemudian telah membenturkan mereka sebagai lawan yang harus saling membunuh yang satu dengan yang lain. Bahkan yang kemudian nampak telah menjalar kesaat-saat yang mendatang. Mungkin Pajang akan mengalami masa-masa yang lebih parah. Jika sebagian dari para pemimpin perajurit Pajang masih saja dicengkam oleh ketamakan dan pamrih pribadi, maka Pajang tentu akan terjerumus kedalam keadaan yang tidak akan tertolong lagi. “Sultan Hadiwijaya harus berbuat sesuatu,“ berkata Ki Juru kepada diri sendiri. Dan sekali lagi penyesalannya atas sikap Raden Sutawijaya melonjak didalam hati. Tetapi agaknya Raden Sutawijaya sudah benar-benar berkeras hati untuk tidak mau datang ke Pajang. Sumpahnya telah membuatnya bagaikan membeku. Mataram harus menjadi sebuah negeri yang ramai. Baru ia akan datang ke Pajang dan berkata lantang kepada beberapa orang Senopati. “Aku mampu membuat hutan belantara itu menjadi sebuah negeri seperti yang aku katakan.” Namun, Ki Juru ingin membawa beban itu sendiri betapapun beratnya. Ia tidak mau menambah persoalan dihati Raden Sutawijaya yang masih muda itu. Ketika kemudian matahari terbit, maka para pengawal segera bangkit meskipun terasa tubuh mereka masih sangat lelah. Berebutan mereka mencuci muka di belik yang terdapat dilembah itu. Kemudian merekapun mulai dengan kerja mereka yang masih belum selesai, sementara yang lain mulai menyalakan api untuk merebus air dan menanak nasi.

Dalam pada itu, maka para tawananpun dikerahkan pula untuk membantu para pengawal menyelesaikan penguburan mayat yang masih tersisa. Namun pekerjaan itu tidak dapat dilakukan dengan tergesa-gesa. Para pengawal masih harus memilih dan memisahkan para pengikut orang-orang yang merasa dirinya pewaris kerajaan Majapahit dan para pengawal dan Mataram, Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh. Raden Sutawijaya yang menunggui penguburan itu setiap kali menarik nafas dalam-dalam Ternyata pengorbanan yang diberikan oleh Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh terlampau besar. Beberapa orang pengawal telah terbunuh dipeperangan itu, sementara yang lain terluka parah. Meskipun korban terbesar adalah pihak Mataram sendiri, namun korban yang diberikan oleh Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh seakan-akan merupakan hutang yang sulit untuk dapat dikembalikan. Ternyata para pemimpin dari Mataram. Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh itupun telah menyaksikan akhir dari peperangan dilembah itu dengan sikapnya masing-masing. Diantara mereka yang menyesali peristiwa itu, kecewa dan kecemasan menjelang masa depan Pajang dan Mataram, ada juga yang merasa dadanya penuh dengan gelora kebanggaan. Swandaru yang berdiri diatas gundukan tanah yang merah bersama Prastawa memandang kesibukan para pengawal dan para tawanan dengan gejolak perasaan masing-masing. Bagaimanapun juga ada perasaan getir dihati Swandaru. Beberapa orang pengawal Kademangannya telah menjadi banten. Mereka bersama-sama dengan para pengawal yang lain berangkat dari Sangkal Putung dengan dada tengadah. Mereka berpacu diatas punggung kuda bersama kawan-kawannya. Namun mereka tidak akan kembali bersama-sama seperti saat berangkat. Apalagi mereka tidak akan pernah bertemu lagi dengan keluarga dan sanak kadang. Agaknya berbeda dengan gelora perasaan Prastawa yang masih terlalu muda. Ia merasa bangga atas kehadirannya dipeperangan mengemban tugas yang dibebankan oleh Ki Gede Menoreh kepadanya. Ia merasa berdiri di permulaan dari hari-hari yang akan dapat mengangkat namanya diantara para pengawal di Tanah Perdikan Menoreh. “Jika pada kesempatan berikutnya aku dapat melakukan tugasku lebih baik, maka aku akan menjadi seorang kepercayaan paman Argapati,” berkata Prastawa didalam hatinya, “mudah-mudahan para pengawal yang menyaksikan sikap dan kemenangan-kemenanganku dipeperangan akan menceriterakan kepada kawan-kawan yang lain. Apalagi aku mempunyai kelebihan dari para pemimpin pengawal yang lain, karena aku adalah kemanakan Ki Gede Menoreh dan kemampuan ilmu yang lebih tinggi.” Tetapi berbeda dengan gejolak perasaan Prastawa, Ki Gede menoreh merasa menyesal bahwa ia tidak berpesan kepada Prastawa untuk tidak mempergunakan gelar-gelar yang berbahaya. Pada

dasarnya gelar Glatik Neba atau Pacar Wutah tidak sesuai dengan dasar kemampuan sebagian dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, sehingga sebenarnya dapat dipilih cara lain untuk dapat mengurangi korban. Namun semuanya sudah terjadi. Dan Ki Gede tidak dapat membebankan kesalahan seluruhnya kepada Prastawa yang masih muda itu. Sementara itu, selagi para pengawal dan para tawanan sibuk menyelesaikan tugasnya, Rudita dengan hati yang luka melangkah meninggalkan lembah itu. Namun ia telah melihat betapa kelamnya dunia manusia yang sebenarnya. Pengalaman itu agaknya telah mengukuhkan sikap Rudita pada keyakinannya. Manusia harus mendapatkan pegangan hidup yang lebih baik daripada berjuang untuk mendapatkan kepuasan dan pemenuhan kebutuhan duniawi semata-mata, sehingga rela mengorbankan sesamanya, dengan penuh kesadaran bahwa ia harus berbiduk menempuh arus banjir bandang yang deras sekali. Dalam pada itu, maka pekerjaan para pengawal dan para tawannanpun berangsur menipis, sementara beberapa orang mulai mempersiapkan segala sesuatu yang harus mereka bawa kembali. Para pengawal Mataram dan Sangkal Putung akan menempuh perjalanan kembali ke Mataram, sementara para pengawal Tanah Perdikan Menoreh akan kembali ke Tanah Perdikan. Dengan pedih, para pengawal telah memberikan tanda-tanda khusus bagi kawan-kawannya yang terpaksa mereka kuburkan dilembah itu. Mungkin pada suatu saat merska mendapat kesempatan untuk datang kembali bersama keluarga para korban. Karena betapapun juga, maka keluarga para korban tentu ingin sekali-sekali melihat, bujur lintang dari sanak kadangnya yang gugur dipeperangan. Beberapa orang dari mereka mencoba mengenali satu demi satu dengan isyarat tertentu. Akhirnya pekerjaan para pengawal dilembah itupun dapat diselesaikan. Para pengawal dan para tawanan kemudian duduk beristirahat sambil menunggu saatnya mereka meninggalkan lembah itu. Dalam pada itu, Ki Waskita dan Agung Sedayu telah membicarakan apakah mereka akan kembah ke Tanah Perdikan Menoreh, atau langsung bergabung dengan pasukan Mataram dan Sangkal Putung. “Kita berangkat dari Tanah Perdikan Menoreh ngger,“ berkata Ki Waskita, “karena itu kita akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.” Agung Sedayu memandang Ki Waskita sejenak. Namun Ki Waskitapun tertawa sambil meneruskan kata-Katanya, “Tetapi itu hanya akan menguntungkan bagiku. Aku memang akan minta diri untuk pulang kembali ke kampung halaman. Aku sudah terlalu lama pergi. Adapun angger Agung Sedayu. terserahlah. Jika angger Agung Sedayu ingin langsung bergabung dengan Kiai Gringsing dan kembali

kepadepokan kecil itu. aku kira tidak ada salahnya.” Sejenak Agung Sedayu berpikir. Namun tiba-tiba. Katanya, “Agaknya akupun ingin mengantar para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Kita berangkat bersamasama. Dan sekarang aku akan bersama mereka kembali, meskipun kemudian aku akan minta diri.” “Bagus ngger. Tetapi dengan demikian kau akan kembali seorang diri ke Sangkal Putung. Karena aku akan kembali ke padukuhanku dan melihat apakah Rudita sudah berada dirumah.” “Silahkan Ki Waskita. Ki Waskita sudah terlalu lama meninggalkan keluarga yang tentu memerlukan kehadiran Ki Waskita pula.” Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku akan minta diri kepada semuanya. Dan jika angger Agung Sedayu akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, maka sebaiknya angger juga minta ijin lebih dahulu dari Kiai Gringsing.” Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, “Mudah-mudahan guru tidak melarang.” Keduanyapun kemudian menyampaikan maksudnya kepada para pemimpin dari Mataram dan Sangkal Putung, bahwa mereka akan berada dipasukan Tanah Perdikan Menoreh dan mengantarkan mereka kembali. “Terima kasih,“ Ki Gede Menoreh menjadi gembira. Tetapi Prastawa tiba-tiba saja menjadi gelisah, ia merasa tidak senang akan keputusan Agung Sedayu untuk pergi bersama pasukan Tanah Perdikan Menoreh, meskipun ia tahu bahwa Agung Sedayu tidak akan terlalu lama berada di Tanah Perdikan itu. “Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh akan lebih banyak memperhatikannya daripada memperhatikan aku, meskipun yang dilakukan sebenarnya tidak terlalu penting. Tetapi berita kematian Ki Gede Telengan, Ki Tumenggung Wanakerti dan luka parah yang ditimbulkannya atas beberapa orang akan membuatnya menjadi sangat berbangga, seolah-olah ia telah melakukan pekerjaan besar yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Tidak seorangpun yang dapat menjajagi ilmu yang sebenarnya dari Ki Gede Telengan. Mungkin ia hanya sekedar mampu bermain kelewang. Hanya karena ia mempunyai beberapa pengikut, maka seolah-olah ia adalah seorang pemimpin yang mempunyai ilmu yang tinggi. Tetapi Prastawa tidak berani mengatakan sesuatu kepada pamannya. Apalagi karena Ki Gede nampaknya gembira menyambut keinginan Agung Sedayu untuk datang ke Tanah Perdikan Menoreh. Kiai Gringsinglah yang kemudian menjadi ragu-ragu. Sejenak dipandanginya Ki Juru Martani dan Raden Sutawijaya, seolah-olah ingin mendapatkan pertimbangan dari mereka. Tetapi nampaknya keduanya menyerahkan persoalannya kepada Kiai Gringsing sendiri.

Sementara Kiai Gringsing masih tetap ragu-ragu. maka Ki Waskitapun melengkapi keterangannya dengan niatnya untuk biikan saja singgah di Tanah Perdikan Menoreh, tetapi ia minta diri untuk kembah ke kampung halaman. “Aku tidak akan mengasingkan diri. Jika tenaga yang tidak berarti ini diperlukan, aku akan dengan senang hati dalang memenuhinya.” berkata Ki Waskita kemudian. Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Teringat olehnya tanggapan Ki Waskita atas sikap Raden Sutawijaya. Agaknya Ki Waskita kurang sesuai dengan beberapa segi persoalan yang dihadapi Mataram meskipun tidak disebutkannya dengan jelas. Namun sebagai seseorang yang memiliki penglihatan bagi masa datang. Ki Waskita melihat cahaya termg diatas bumi Mataram dan awan yang gelap diatas Pajang. Tetapi itu bukan berarti bahwa Raden Sutawijaya tidak dapat menempuh jalan yang baik sesuai dengan kedudukannya dihadapan Sultan Pajang, ia adalah seorang anak, seorang murid dan seorang prajurit. Seperti yang dikatakan oleh Ki Juru Martani. bahwa sikap Raden Sutawijaya untuk tidak mau datang ke Pajang, telah membuatnya berbuat tiga kesalahan sekaligus. Menentang orang tua, melawan gurunya dan tidak taat menjalankan perintah Panglima tertingginya. Tetapi Ki Waskita tidak berhak untuk memaksa Raden Sutawijaya melakukannya. Bahkan nasehat Ki Juru Martanipun tidak mempengaruhi sikapnya hanya karena harga dirinya. Sebenarnyalah bahwa Raden Sutawijaya tidak ingin mengutus Panglimanya. Tetapi ia akan membuktikan, bahwa ia tidak hanya sekedar mebual tentang Alas Mentaok. Jika ayahnya sendiri. Ki Gede Pemanahan sanggup meninggalkan istana dan membuka hutan yang lebat dan liar itu, maka Alas Mentaok memang harus menjadi sebuah negeri yang besar, sebesar Kota Raja Pajang. Sejenak para pemimpin yarig berkumpul dilembah itu merenungi saat-saat perpisahan itu. Namun akhirnya mereka tidak dapat mencegah keinginan Ki Waskita untuk singgah ke Tanah Perdikan Menoreh dan kemudian pulang kembali ke kampung halamannya, karena itu adalah haknya. Sedangkan merekapun tidak dapat melarang Agung Sedayu yang ingin mengantar kembali para pengawal ke Tanah Perdikan Menoreh, karena iapun telah berangkat, bersama mereka menuju kelembah itu. “Kita akan berpisah,“ berkata Kiai Gringsing, “tetapi kau tidak akan terlalu lama meninggalkan Glagah Putih seorang diri di padepokan kecil itu.” Kata-kata Kiai Gringsing dapat menyentuh hati Agung Sedayu. Terbayang wajah Glagah Putih yang bersih, yang gelisah menunggu kedatangannya. Meskipun di padepokan itu ada Widura, ayah Glagah Pulih sendiri, tetapi agaknya Widura tidak akan dapat bermain dengan Glagah Putih seperti Agung Sedayu. Sementara anak-anak muda yang berada dipadepokan itupun tentu agak kurang gairah bekerja disawah tanpa Agung Sedayu dan Kiai Gringsing. “Tetapi kedatanganku di padepokan itu tanpa Ki Waskita,“

berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Namun kemudian, “Meskipun demikian itu akan lebih baik bagi Glagah Putih daripada tidak ada kawannya sama sekali.” Ketika matahari turun semakin rendah, maka mereka yang berada di lembah itupun segera bersiapsiap meninggalkan bekas arena pertempuran yang mengerikan. Rasa-rasanya mereka tidak ingin untuk kembali keneraka itu. Beberapa orang kawan harus mereka tinggalkan didalam hutan yang tentu akan segera kembali menjadi hutan yang sepi senyap melampaui kuburan biasa ditepi-tepi padukuhan. Tetapi mereka tidak akan dapat dengan cengeng menunggui kuburan yang sepi di hutan itu. karena kewajiban lain yang lebih besar sedang menunggu. Demikianlah, ketika bayangan senja sudah mulai nampak dilangit, maka pasukan yang ada dilembah itupun telah meninggalkan tempatnya kembai ke arah yang berlawanan. Pasukan Mataram dan Sangkal Putung menuju ke Timur, sedangkan pasukan Tanah Perdikan Menoreh menuju ke Barat. Betapa berat hati Pandan Wangi. Rasa-rasanya ia masih ingin menangis melihat ayahnya berjalan kearah yang lain. Tetapi ia bukan anak-anak lagi. Ia sekarang sudah menjadi sorang isteri yang berada didekat suaminya, sehingga ia tidak pantas lagi untuk menangis meronta kerana ingin ikut ayah bepergian. Sejenak kemudian, maka kedua pasukan itupun berjalan kearah yang berlawanan. Pasukan Sangkal Putung dibawah pimpinan Swandaru berada dibelakang pasukan Mataram yang dipimpin langsung oleh Raden Sutawijaya. Dalam perjalanan, Swandaru tidak dapat melepaskan diri dari pertanyaan yang terasa menggelitik perasaannya tentang Agung Sedayu. Apakah secara kebetulan ia mendapat lawan yang hanya besar namanya saja seperti Ki Gede Telengan dan Tumenggung Wanakerti. atau memang Agung Sedayu benar-benar memiliki ilmu yang sangat tinggi. “Mereka bukan orang-orang yang pantas dikagumi,“ berkata Swandaru didalam hatinya, “Ki Gede Telengan bukan orang berilmu tinggi, sedang Ki Tumenggung Wanakerti sudah kehabisan tenaga melawan Ki Gede Menoreh ketika ia harus bertempur melawan Agung Sedayu. Demikian orang-orang lain yang dapat dikalahkan. Semuanya sudah harus bertempur lebih dahulu, sehingga sisa tenaga mereka tidak lagi mampu untuk melawan ilmu Agung Sedayu.” “Ternyata kakang Agung Sedayu tidak mampu membunuh Kiai Kelasa Sawit yang masih mempunyai sedikit tenaga untuk menghindar,“ berkata Swandaru didalam hatinya.

Kebanggaan Swandaru karena ia telah berhasil membunuh Kiai Kelasa Sawit agaknya melampaui kekagumannya kepada Agung Sedayu yang sudah berhasil membunuh beberapa orang terpenting diantara lawan. Bahkan meskipun Swandaru sendiri tidak mengakui, ada semacam perasaan iri bahwa Agung Sedayu telah mendapat kesempatan-kesempatan yang dapat mengangkat namanya diantara beberapa orang yang dianggapnya tidak mengerti persoalan yang sesungguhnya. “Mereka mengira bahwa ilmu kakang Agung Sedayu sudah mencapai langit lapis tujuh,“ berkata Swandaru didalam hatinya, “padahal semuanya itu terjadi karena kebetulan. Jika benar ia dapat membunuh Ki Tumenggung Wanakerti dalam keadaan wajar, maka ilmunya sudah menyamai Raden Sutawijaya dan juga Ki Gede Menoreh sendiri. Sementara semuanya itu terjadi karena kesalahan Ki Tumenggung Wanakerti. Ia sudah lelah saat ia harus bertempur melawan Raden Sutawijaya. kemudian kehilangan seluruh tenaganya dirampas oleh pertempurannya melawan Ki Gede Menoreh. Di saat ia kehabisan tenaga itulah, ia berhadapan dengan kakang Agung Sedayu.” Tetapi Swandaru tidak mengatakannya kepada Kiai Gringsing. Ia merasa bahwa gurunya tidak akan senang mendengar pertimbangan itu, karena Agung Sedayu adalah murid yang sangat dekat dengan gurunya itu. Diperjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh. Prastawa mempunyai dugaan serupa. Meskipun kadangkadang ia ragu-ragu, bahwa Agung Sedayu mungkin memang mempunyai kelebihan dari dirinya sendiri dan saudara seperguruannya, Swandaru, namun ia condong untuk menganggap bahwa yang terjadi dipeperangan adalah kebetulan. “Nasibnya memang baik. Terjadi beberapa kali kebetulan, bahwa lawan-lawan Agung Sedayu adalah orang-orang yang memang sudah akan mati. Ia tinggal mendorong saja kedalam lubang kuburnya masing-masing,“ berkata Prastawa didalam hatinya. Berbeda dengan kedua anak-anak muda itu, diam-diam Sekar Mirah mengagumi apa yang telah dilakukan oleh Agung Sedayu. Ia menganggap bahwa Agung Sedayu memang seorang laki-laki yang memiliki kelebihan dari anak-anak muda sebayanya. Namun Sekar Mirahpun masih juga kecewa, bahwa Agung Sedayu mempunyai penyakit cengeng. Setiap kali ia selalu dicengkam oleh keraguraguannya untuk bertindak lebih jauh. Dimedan perang itu ia telah kehilangan kesempatan untuk membunuh dua orang adalah orang terpenting dimedan perang yang sebenarnya bukan merupakan kepentingannya mutlak, ia hanya sekedar membantu saja. Tetapi jika benar ia telah membunuh pemimpin-pemimpin itu, maka ia telah berhasil berbuat jauh lebih baik dari Raden Sutawijaya sendiri. Tanggapan yang berbeda-beda telah bergejolak didada mereka yang telah mengenalnya. Ada yang mengaguminya. tetapi banyak pula yang menjadi kecewa. Justru disaat-saat yang menentukan Agung Sedayu bagaikan telah kehilangan pegangan. Sementara itu, kedua pasukan yang berpisah itu berjalan seipakin jauh. Matahari menjadi semakin rendah. Dan senjapun menjadi semakin suram.

Pasukan Mataram dan Sangkal Putung betapapun letihnya, namun mereka merasa bangga dengan pusaka-pusaka yang telah mereka dapatkan kembali. Dengan demikian, maka mereka tidak sia-sia setelah berjuang dan memberikan pengorbanan yang cukup besar. Namun Raden Sutawijaya tidak dapat melupakan jasa pasukan pengawal dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh. Bantuan yangbesar yang diberikan bukannya yang pertama kali. Beberapa kali Ki Argapati telah memberikan bantuan untuk perjuangan yang cukup besar. Dengan kembalinya pusaka-pusaka terpenting itu, maka Raden Sutawijaya tidak lagi selalu dicengkam oleh kecemasan, jika setiap saat ayahandanya Sultan Pajang bertanya tentang pusaka-pusaka itu. Dengan demikian, maka tidak banyak orang yang mengetahui, bahwa kedua pusaka itu pernah hilang dari Mataram. Mungkin ada beberapa orang perwira prajurit Pajang yang oleh jalur sikapnya berpihak kepada orang-orang yang berada dilembah antara Gunimg Merapi dan Gunung Merbabu, yang mengetahui bahwa pusaka-pusaka itu telah hilang dari Mataram. Tetapi mereka tidak akan berani mengatakannya karena mereka tidak mendapat keterangan resmi mengenai hal tersebut. Namun demikian, nampaknya usaha orang-orang yang memusuhi Mataram tidak terhenti karena kegagalannya. Beberapa orang yang berhasil lolos dari pertempuran maut dilembah itu, dengan cepat berusaha untuk memberikan laporan kepada pemimpin mereka yang tersembunyi diantara prajurit-prajurit Pajang. Ternyata bahwa merekapun telah bekerja dengan cepat. Mereka telah mengambil suatu cara baru untuk melakukan perjuangan lebih jauh tanpa orang-orang lain yang ternyata telah dihancurkan oleh Mataram di lembah yang tersembunyi itu. Orang yang disebut kakang Panji itupun merasa kehilangan banyak kawan dalam perjuangannya. Tetapi ia sama sekali tidak mau melangkah surut. Tanpa menunggu saat-saat pasowanan, maka merekapun telah menyampaikan berita yang sangat mengganggu perasaan Sultan Hadiwijaya, justru saat kesehatan Sultan Hadiwijaya sangat mundur. Kehadiran seorang perwira kedalam biliknya pada saat yang khusus itu telah mengejutkan. Apalagi ketika perwira yang menjadi alat kakang Panji itu menyampaikan berita yang menggoncangkan hati. “Apakah kau sudah mendapat keterangan yang pasti?” “Hamba tuanku. Meskipun masih perlu dicari kebenarannya. Tetapi jika tuanku berkenan mengirimkan satu dua petugas sandi pada saat-saat sekarang ini, maka tuanku akan mengetahui, bahwa Mataram benar-benar telah menyiapkan sepasukan prajurit yang kuat.” Sultan Hadiwijaya sebenarnya tetap tidak percaya bahwa Mataram benar-benar ingin menyusun kekuatan untuk melawannya. Karena itu maka Jawabnya, “Baiklah Senapati.

Besok atau lusa aku akan memberikan perintah itu.” “Ampun tuanku. Jangan besok atau lusa. Sebaiknya tuanku dapat memberikan perintah sekarang. Malam ini lebih baik. Selambat-lambatnya besok pagi, petugas itu harus sudah berada di Mataram.” Sultan Hadiwijaya menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa sangat sedih mendengar laporan itu. Bukan saja jika laporan itu benar. Tetapi bahwa seorang Senapati telah dengan bernafsu melaporkan kepadanya pada saat yang khusus itu, tentu bukannya tanpa maksud. Apalagi Sultan sebenarnya telah mempunyai dugaan bahwa ada beberapa orang yang tidak senang melihat perkembangan Mataram. Namun dalam pada itu, Sultanpun ragu-ragu, bahwa memang mungkin sekali Mataram mempersiapkan diri dengan pasukan yang kuat. Tentu bukan maksudnya untuk melawan dirinya. Tetapi sejak Ki Gede Pemanahan meninggalkan istana, telah membayang didalam batinnya, tekad Ki Gede yang diteruskan oleh puteranya Danang Sutawijaya untuk membangun sebuah negeri yang ramai. Negeri yang dipersiapkan bagi masa depan setelah pemerintahan Pajang ditinggalkannya. Sultan Hadiwijayapun seolah-oleh telah melihat masa-masa yang tidak terlalu panjang lagi baginya. Ia sudah mulai sakit-sakitan dan kesehatannya justru semakin menurun. Usaha yang bermacam-macam sudah dilakukan. Namun seakan-akan garis batas itupun sudah banyak membayang dihadapan perjalanan hidupnya. Dan sekarang, malam itu datang seorang Senapati yang melaporkan bahwa Mataram telah siap dengan pasukan yang kuat. Sultan tidak akan mengecewakan perwiranya. Dalam ketidak pastian. Sultan juga mempertimbangkan, bahwa mungkin maksud perwira itu justru baik. Karena itu, kepada pengawal yang bertugas. Sultan memerintahkan memanggil beberapa orang Senapati menghadap didalam bilik pembaringannya, karena kesehatannya benar-benar terganggu. Beberapa orang pemimpin pemerintahan dan Senapatipun segera menghadap, termasuk perwira yang memberikan laporan tentang kegiatan yang meningkat di Mataram. “Aku akan mengirimkan petugas sandi untuk membuktikan keadaan ini,“ berkata Sultan kepada para pemimpin yang menghadap. Sebenarnya perwira yang memberikan laporan itu menjadi kecewa, bahwa Sultan telah memberikan perintah terbuka. Namun itu akan lebih baik daripada tidak sama sekali. Pada malam itu juga Sultan telah menentukan dua orang yang besok pagi-pagi harus pergi ke Mataram, dengan perintah, hari itu juga mereka harus sudah berada di Mataram dan melihat perkembangan

keadaan. “Besok pagi-pagi aku akan memberikan pesan. Karena itu, sebelum mereka berangkat, mereka, berdua harus langsung datang menghadap aku.” perintah Sultan kemudian. Para Senapati dan pemimpin pemerintahanpun kemudian mohon diri dengan kegelisahan di dalam hati. Namun sebenarnyalah bahwa tindakan Sultan itu bukannya tanpa maksud. Ia sadar, bahwa Mataram tentu benar-benar telah mengadakan suatu kegiatan keprajuritan, meskipun ia tetap tidak merasa cemas sama sekali bahwa kegiatan itu ditujukan kepada Pajang. Meskipun demikian, kesan yang akan timbul tentu kurang menyenangkan bagi para pemimpin Pajang. Sepeninggal para Senapati dan para pemimpin pemerintahan dari biliknya. Sultan Hadiwijaya yang sakit itupun kemudian memanggil seorang abdi yang paling dekat. Ia bukan seorang prajurit, bukan pula seorang yang mengerti tentang seluk beluk pemerintahan. Tetapi ia adalah seorang yang setia, yang mengerti perasaan momongannya. Orang tua itupun menghadap dengan ragu-ragu. Beberapa kali ia mengusap matanya yang masih mengantuk, karena demikian ia terbangun, dengan tergesa-gesa ia menghadap ke dalam bilik Sultan Hadiwijaya. “Mendekatlah paman,“ desis Sultan Hadiwijaya yang duduk dibibir pembaringannya. Abdi yang sudah tua itupun bergeser mendekat sambil menyembah. “Hamba tuanku,“ sahutnya, “hamba terkejut mendapat perintah untuk menghadap dimalam begini. Apakah ada sesuatu yang penting tuanku.” “Kendil Wesi,” desis Sultan Hadiwijaya, “mendekatlah. Mendekatlah. Aku ingin berbicara perlahan-lahan sekali, sehingga tidak seorangpun akan dapat mendengar.” Kendil Wesi yang tua itu menjadi semakin berdebar-debar. Selangkah ia bergeser maju, sehingga tangannya sudah menyentuh kain panjang Sultan Hadiwijaya. “Dengarlah baik-baik Kendil Wesi. Apakah kau ingat Danang Sutawijaya?” “O, ampun tuanku. Hamba tidak akan melupakan momongan hamba itu. Meskipun Raden Sutawijaya pergi tanpa memberikan pesan apapun juga kepada hamba, meskipun Raden Sutawijaya seolah-olah telah melupakan hamba pula, tetapi hamba adalah pemomongnya pada masa kecilnya.” Sultan Hadiwijaya mengangguk-angguk. Kemudian.

Katanya, “Baiklah Kendil Wesi. Jika kau masih setia kepada momonganmu, apakah kau mau melakukan suatu tugas yang mungkin sangat berbahaya bagimu.” “O, maksud tuanku.” “Kau tentu mengerti, dimanakah letak Mataram.” “Mengerti tuanku. Hamba mengerti, meskipun hamba belum pernah pergi ke Mataram. Tetapi dimasa muda hamba, hamba pernah bertualang di Alas Mentaok. Dari beberapa orang hamba pernah mendengar cerita tentang Mataram dan arahnya.” “Kau akan aku perintahkan pergi ke Mataram.” “O,“ orang tua itu mengerutkan keningnya. “Kau akan berangkat malam ini.” “Malam ini tuanku.” “Ya. Kau harus bertemu dengan momonganmu.“ Orang tua itu masih termangu-mangu. “Kendil Wesi,“ berkata Sultan kemudian, “ada segolongan orang-orang Pajang yang tidak senang melihat perkembangan Mataram. Mereka berusaha menemukan kelemahan-kelemahan Sutawijaya yang dapat dipergunakan sebagai alasan untuk menyebut bahwa Sutawijaya akan memberontak.” “O,” wajah Kendil Wesi menjadi tegang, “tetapi apakah memang demikian tuanku.” Sultan Hadiwijaya mengerutkan keningnya. Kemudian sambil menepuk bahu Kendil Wesi ia berkata, “Tentu tidak Kendil Wesi. Itulah sebabnya aku ingin memerintahkan kau pergi malam ini juga. Besok pagi-pagi aku akan memerintahkan dua orang petugas sandi untuk pergi ke Mataram. Mereka harus melihat, apakah di Mataram benar-benar telah disiapkan pasukan yang kuat, meskipun seandainya benar ada sepasukan yang kuat di Mataram, aku yakin, tentu tidak akan diarahkan kepadaku. Meskipun demikian, jika petugas sandi itu benar-benar melihat kegiatan pasukan yang kuat, maka laporannya dihadapan para Senapati dan terlebih-lebih lagi dalam pasowanan, yang dihadiri para Adipati, akan dapat memberikan kesan yang semakin buruk tentang Mataram. Dalam keadaan yang demikian, aku akan mengalami kesulitan untuk mencegah para pemimpin keprajuritan Pajang dan para Adipati untuk mengambil sikap yang keras.” Kendil Wesi mengerutkan keningnya. Dengan tatapan mata yang aneh ia memandang wajah Sultan Hadiwijaya. Namun ketika Sultanpun memandanginya pula, cepat-cepat Kendil Wesi menundukkan kepalanya. Namun Sultan Hadiwijaya seolah-olah telah menangkap makna yang tersirat pada pandangan mata Kendil Wesi.

Karena itu. sekali lagi ia menepuk bahu orang tua itu sambil berkata, “Kau benar Kendil Wesi. Bukankah kau ingin mengatakan, bahwa aku sekarang tidak lagi mempunyai kemampuan untuk menentukan sikap? Kau tentu akan mengatakan bahwa aku memang sudah berubah. Dan aku memang sudah berubah. Aku sekarang bukan lagi Karebet yang bertualang dengan wajah gembira, melintasi lembah dan mendaki gunung. Berkelahi melawan bahaya yang menghambat perjalanan, dan berjuang melawan alam dalam masa penempaan diri. Bukan pula Adipati Pajang yang bergelora mempersatukan bekas wilayah Demak, dan bahkan yang bercita-cita untuk mewujudkan kebesaran Majapahit. Bukan Kendil Wesi. Aku adalah orang yang lemah seperti yang kau bayangkan didalam angananganmu.” “Ampun tuanku,“ Kendil Wesi membungkuk dalam-dalam seolah olah ingin mencium kaki Sultan Hadiwijaya, “bukan maksud hamba mengatakan demikian.” Sultan Hadiwijaya menarik pundak Kendil Wesi sambil tersenyum. “Kau benar Kendil Wesi. Aku tidak mempunyai wibawa lagi sekarang.” “Ampun tuanku. Sebenarnya tuankulah yang telah melepaskan kewibawaan itu atas kehendak tuanku sendiri.” “Aku mengerti. Tetapi apakah yang dapat aku perbuat sekarang ini. Puteraku laki-laki satu-satunya, Benawa. tidak mencerminkan sikap seorang kesatria yang pantas memegang kekuasaan di Pajang. Meskipun ia seorang anak muda yang luar biasa dalam penguasaan ilmu kanuragan. tetapi ia sama sekali tidak tertarik untuk mengikuti dan mempelajari ilmu pemerintahan.” Sekali lagi tatapan mata Kendil Wesi yang aneh menyambar wajah Sultan Hadiwijaya. Dan sekali lagi Sultan berkata, “Aku merasa, bahwa aku telah membuatnya kecewa. Aku kurang menghargai ibu nya, karena aku telah terlibat dalam pemanjaan nafsu, sehingga disamping ibu Benawa aku mempunyai hubungan dengan banyak sekali perempuan lain. Dan aku tentu tidak akan dapat ingkar, bahwa itu adalah salahku.” Kendil Wesi tidak menyahut. Kembali kepalanya menunduk memandang ujung kaki Sultan Hadiwijaya yang duduk dibibir pembaringannya. "Kendil Wesi,“ berkata Sultan Hadiwijaya kemudian, “sebenarnyalah bahwa aku masih mempunyai harapan. Jika Benawa memang tidak tertarik sama sekali kepada pemerintahan, dan seperti yang beberapa kali dikatakan meskipun tidak berterus terang, namun rasa-rasanya ia lebih senang menyerahkan pimpinan pemerintahan kepada kakak angkatnya. Senapati Ing Ngalaga di Mataram.” Kendil Wesi menarik nafas panjang. Ia bergeser maju setapak sambil meraba kaki Sultan Pajang. Katanya, “Ampun tuanku. Apakah kata orang tentang tuanku, jika tuanku menyerahkan kekuasaan

kepada putera angkat tuanku, sedangkan tuanku masih mempunyai seorang putera laki-laki.” Sultan menepuk pundak orang tua itu lagi sambil berkata, “Tentu aku akan menawarkannya kepada Benawa. Dan aku akan minta jika ia menolak, biarlah ia menolak dipaseban, sehingga para pemimpin pemerintahan, para Panglima dan Senapati, para Adipati dan setiap orang mengetahui, bahwa Benawa memang sudah menolak atas kehendak sendiri.” Kendil Wesi tidak menjawab. Ia dapat mengerti jalan pikiran Sultan Hadiwijaya. Tetapi jika benar demikian, maka akan banyak persoalan yang masih harus dibenahi. Sultan Hadiwijaya adalah menantu Sultan Demak terakhir. Sementara itu, masih ada menantu-menantu yang lain yang mungkin akan mempersoalkannya, jika tahta itu jatuh ketangan anak Pemanahan. Tetapi Kendil Wesi tidak mengucapkannya. Ia adalah abdi yang setia. Dan ia adalah pemomong Danang Sutawijaya. Meskipun nalarnya agak cemas jika Sutawijaya itu menerima uluran tangan ayahanda angkatnya, namun perasaannya ikut bergembira. Jika ia harus dan wenang memilih, ia memang memilih Sutawijaya dari Benawa yang seakan-akan sama sekali tidak mempedulikan pemerintahan. Justru karena ia kecewa atas sikap ayahandanya. “Karena itu Kendil Wesi,” berkata Sultan kemudian, “sekarang aku minta kepadamu. Pergilah ke Mataram.” Kendil Wesi mengangguk lemah. Tetapi kesetiaannya telah mendorongnya untuk menjawab, “Ampu tuanku. Hamba akan menjalankan segala perintah tuanku.” “Terima kasih. Pergilah dan katakan kepada Senapati Ing Ngalaga, bahwa ia harus menghapuskan kesan kegiatan keprajuritan yang berlebih-lebihan itu. Agaknya orang-orang Pajang selalu mencari kelemahan-kelemahan yang ada padanya, sehingga ada juga yang telah mendengar apa yang telah dilakukannya. Katakan kepada Sutawijaya bahwa besok petugas sandi itu sudah akan berada di Mataram.” “Hamba tuanku. Hamba akan pergi malam ini.“ “Hati-hatilah Kendil Wesi. Kau sudah tua. Jangan terlalu kencang berpacu. Angin malam kadangkadang dapat membuat seseorang terganggu pernafasannya.” “Hampa akan berhati-hati tuanku.” “Hanya kau yang mengetahui perintahku kepadamu ini.” Kendil Wesi membungkuk dalam-dalam sambil menyembah. Katanya, “Rahasia ini akan hamba bawa sampai batas hidup hamba. Hamba akan pergi seorang diri ke Mataram.”

Kendil Wesipun kemudian mohon diri. Sambil mencium kaki Sultan Pajang ia berkata, “Hamba akan berusaha bertemu dengan putera tuanku di Mataram apapun yang harus hamba lakukan.” “Peigilah tetapi ketahuilah, bahwa jalan yang akan kau tempuh adalah jalan yang panjang dan berbahaya. Apalagi jika para prajurit dipintu-pintu gerbang mengetahui, atau mencurigai kepergianmu.” “Hamba akan mencari akal melepaskan diri dari para petugas dipintu gerbang. Hanya dipintu gerbang utama sajalah para prajurit berjaga-jaga sepenuhnya. Sedangkan dipintu butulan, hanya sekali-kali saja satu dua orang peronda melaluinya.” Sejenak kemudian maka Kendil Wesi itupun telah meninggalkan bilik pembaringan Sultan Hadiwijaya. Ketika prajurit yang bertugas berjaga-jaga dilongkangan bertanya kepadanya, apa saja yang dilakukan didalam bilik Sultan sehingga sedemikian lamanya, maka sambil tersenyum Kendil Wesi yang tua itu berkata, “Sultan marah-marah. Aku tidak dapat lagi memijit kakinya seperti saat aku masih kuat beberapa tahun yang lampau.” “Kau memijit kakinya? “ bertanya prajurit yang lain. “Ya. Tetapi nampaknya tidak banyak berarti lagi.” Prajurit itu tidak bertanya lagi. Mereka mengetahui bahwa Kendil Wesi termasuk abdi yang terdekat. Adalah wajar sekali bahwa Sultan memerintahkan orang tua itu untuk memijit kakinya.

Buku 111 KENDIL WESI pun kemudian kembali kedalam rumahnya yang juga berada dihalaman bagian belakang istana Pajang. Sejenak ia merenung, bagaimana caranya ia dapat keluar dengan seekor kuda. “Tetapi aku harus melakukannya,“ gumamnya. Dengan sangat hati-hati, iapun kemudian pergi kekandang dibelakang rumahnya. Gelapnya malam ternyata banyak imembantunya. Apalagi para prajurit yang tidak lagi bekerja dengan sungguh-sungguh di Pajang, hampir tidak pernah nieronda sampai ketempatnya yang gelap dan tersembunyi disudut. Tidak ada seorangpun yang mengetahui, apa yang dilakukan oleh orang tua itu. Keluarganyapun tidak mengetahui perintah yang diterima dari Sultan. Bahkan ia sempat menipu anaknya dengan mengatakan bahwa sahabat baiknya ternyata sakit keras, sehingga ia harus menengoknya malam itu. “Kenapa ayah harus datang malam ini? “ bertanya anak laki-lakinya. “Mudah-mudahan ayah masih sempat bertemu dengan orang itu dalam keadaan hidup. Hati-hatilah dirumah. Ayah tidak akan pergi terlalu lama. Tetapi ingat, karena aku tidak mohon diri kepada Sultan, jangan katakan kepada siapapun bahwa aku pergi. Katakan aku sakit dipembaringan. Sebab jika terdengar Sultan aku pergi tanpa pamit, leherku menjadi taruhan. Kau tahu?” Anaknya mengangguk meskipun ia tidak mengerti, kenapa ayahnya mempertaruhkan lehernya untuk sahabatnya itu. Namun. karena itulah maka anaknyapun akan tidak banyak pergi keluar rumah, agar ia tidak mendapat pertanyaan, kemana ayahnya pergi. Dengan hati-hati Kendil Wesi menuntun kudanya menuju kegerbang butulan, Disaat sepi ia dengan tergesa-gesa keluar dari regol butulan itu dan hilang didalam kegelapan. Baru setelah agak jauh dari gerbang, iapun meloncat kepunggung kudanya dan berpacu dengan kencangnya. Terasa angin malam yang menampar wajahnya bagaikan dinginnya air embun. Sambil berpacu orang tua itu merapatkan bajunya. Ketika ia menengadahkan wajahnya, nampak bintang bertaburan dari cakrawala sampai ke cakrawala. Awan yang tipis selembar hanyut dibawa angin yang lemah. Kendil Wesi menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah menjadi semakin tua. Tetapi ia sadar, bahwa tugas yang dilakukan itu adalah tugas yang sangat penting, terutama bagi keselamatan momongannya, Raden Sutawijaya. Meskipun Raden Sutawijaya telah lama pergi meninggalkan Pajang, dan seolah-olah telah

melupakannya, tetapi ia adalah pemomong yang setia, yang mengasuh Senapati Ing Ngalaga sejak kanak-kanaknya. Sementara itu, pasukan Mataram sedang menuruni kaki Gunung Merapi menuju ke Mataram bersama pasukan Sangkal Putung, Pasukan yang memang merupakan pengawal segelar sepapan yang kuat, seperti dilaporkan oleh perwira Pajang kepada Sultan. Jika di esok harinya, petugas sandi itu pergi ke Mataram, maka mereka akan menjumpai pasukan yang kuat itu masih berada didalam satu kesatuan. Apalagi pasukan Sangkal Putung. Sehingga pasukan itu memang akan dapat memancing pendapat, bahwa Mataram sedang bersiap-siap menghadapi perang yang besar, dengan menyiapkan pasukan yang sangat kuat. Tanpa berprasangka, pasukan Mataram dan Sangkal Putung itupun turun dengan cepat. Mereka memang ingin segera sampai ke Mataram. Di pagi hari mereka akan berkumpul, menerima segala macam pesan, perintah dan menghitung diri. sebelum mereka mendapat kesempatan untuk meninggalkan barak dan beristirahat diantara keluarga mereka masing-masing. Jika pada saat-saat yang demikian itu, petugas sandi dari Pajang menyaksikannya, maka laporannya akan dapat berbahaya bagi Mataram. Para Senapati dan Adipati di Pajang tentu akan segera menjatuhkan prasangka buruk jika petugas sandi itu melaporkan, bahwa mereka memang melihat persiapan pasukan yang besar dan kuat di Mataram. Beberapa orang Adipati yang memang sudah tidak sabar, akan dapat mendorong Pajang dengan buktibukti yang disaksikan oleh petugas sandi itu untuk memerangi Mataram dan menghancurkannya. Raden Sutawijaya sama sekali tidak mengira, bahwa pasukannya akan dapat menjebaknya dalam kesulitan. Menurut perhitungannya, prajurit-prajurit Pajang yang ada dilembah itu tentu tidak akan berani memberikan laporan dengan cara apapun juga kepada Pajang, karena justru dapat menimbulkan kecurigaan kepada mereka. Namun ternyata bahwa mereka masih mempunyai cara yang cerdik untuk membenturkan Pajang dan Mataram, sehingga kedua kekuatan itu akan hancur bersama-sama, sebelum kekuatan ketiga akan bangkit diatas timbunan mayat dari kedua pasukan yang berbenturan itu. Dalam pada itu, Kendil Wesi berpacu sekencang-kencangnya menuju ke Mataram. Ia belum pernah pergi ke Mataram sebelumnya, tetapi ia sudah sering mendengar beberapa petunjuk, jalan yang manakah yang harus ditempuh untuk mencapai Mataram. Jalan yang tidak banyak terdapat diantara kedua tempat itu, sehingga Kendil Wesi yang sering bertualang dimasa mudanya, akan dapat dengan mudah menemukannya. Tetapi Mataram tidak terlalu dekat. Meskipun demikian, Kendil Wesi merasa, bahwa ia akan mencapai Mataram lebih dahulu dari petugas sandi yang baru akan berangkat di keesokan harinya, sehingga petugas sandi itu baru akan mencapai Mataram menjelang sore hari.

“Jika aku segera dapat menghadap Raden Sutawijaya, maka ia tentu akan sempat menghapus kesan itu,“ berkata Kendil Wesi kepada diri sendiri, “perwira yang melaporkan kepada Sultan Pajang itu tentu tidak sekedar mengadu. Ia tentu mempunyai alasan dan bukti-bukti bahwa Mataram memang benar-benar telah bersiap.” Namun kemudian telah tumbuh pertanyaan didalam dada Kendil Wesi itu, “Tetapi jika benar demikian, apakah sebenarnya alasan Raden Sutawijaya untuk menyiapkan pasukan itu? Apakah iapun mendapat keterangan yang salah, seolah-olah Pajang akan menyerangnya? Atau karena Raden Sutawijaya memang akan memberontak?” Tetapi Kendil Wesi itu menggelengkan kepalanya, “Tidak. Momonganku tentu tidak akan memberontak melawan ayahandanya. Ia adalah anak yang baik, meskipun hatinya sekeras batu padas. Ia dapat membedakan, manakah yang baik dan manakah yang buruk dilakukannya.” Namun karena itu, maka Kendil Wesi menjadi semakin ingin cepat sampai ke Mataram. Ia ingin segera menyampaikan persoalannya kepada Sutawijaya, agar Senapati Ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram itu segera dapat mengambil sikap. Dalam pada itu, bintang-bintangpun telah berjalan digaris edarnya. Semakin lama semakin condong ke Barat. Kendil Wesi yang tua itu merasa lelah juga ketika ia sampai ke daerah Prambanan, sehingga untuk beberapa saat lamanya ia beristirahat di pinggir Kali Opak. memberi kesempatan kudanya untuk minum dan makan rerumputan segar. “Menjelang fajar, aku harus meneruskan perjalanan. Mungkin pada saat Matahari terbit, petugas sandi itu sudah berangkat dari Pajang. Tetapi meskipun demikian, aku tentu datang lebih dahulu dan memberi kesempatan Raden Sutawijaya mengambil sikap, sehingga para petugas sandi itu tidak mendapat kesan bahwa Mataram sedang mempersiapkan diri untuk bertempur melawan kekuasaan Sultan Hadiwijaya,“ berkata Kendil Wesi kepada diri sendiri. Setelah penat-penat ditubuhnya berkurang, serta setelah mencuci muka dengan air kali Opak yang bening, maka sebelum fajar, Kendil Wesi telah meneruskan perjalanannya. Ia tidak menghiraukan lagi dinginnya malam. Bahkan setelah kudanya berpacu, maka keringatnyapun mulai menghangatkan tubuhnya kembali. Tidak banyak yang dijumpai Kendil Wesi diperjalanan. Satu dua ia memlihat orang-orang yang pergi kesawah untuk menunggui air yang mengalir diparit yang akan dialirkan kesawah secara bergilir. Namun dengan demikian Kendil Wesi merasa bahwa perjalanannya ternyata cukup aman. Ketika matahari mulai membayang, maka Kendil Wesi telah berpacu di jalur jalan yang menembus Alas Tambak Baya.

Namun nampaknya jalan itupun cukup aman. Beberapa orang nampak berjalan dengan menjinjing hasil pategalan untuk dijual kepasar. Bahkan sekali-sekali ia telah mendahului iring-iringan pedati yang menuju ke tempat yang lebih ramai untuk menjual hasil sawah. Kendil Wesi tidak berpacu terlalu cepat agar perjalanannya tidak menarik perhatian. Tidak mustahil bahwa memang sudah ada petugas sandi yang memang dipasang di Mataram. Sehingga karena itu, maka orang tua itu berusaha untuk tidak menarik perhatian siapapun juga yang melihatnya. Saat burung-burung liar berkicau dipepohonan, maka Kiai Kendil Wesi telah mendekati pintu gerbang Mataram yang sudah bangun dari tidurnya yang nyenyak. Kedatangan Kendil Wesi memang tidak menarik perhatian. Iapun tidak bertanya kepada siapapun, dimanakah letak tempat tinggal Senapati Ing Ngalaga karena ia sudah mendapat gambaran. Karena itu, maka berdasarkan pengenalannya atas petunjuk-petunjuk yang pernah didengarnya, maka iapun berusaha mencari rumah Raden Sutawijaya. Dalam perjalanan di jalan-jalan kota, Kendil Wesi menjadi heran. Tidak nampak persiapan-persiapan yang melampaui kewajaran. Di gerbang, di tikungan dan di gardu-gardu, ia melihat jumlah pengawal yang justru nampak terlalu lengang. “Apakah laporan itu keliru,“ pertanyaan itu telah tumbuh didalam hatinya. Namun justru karena itu, Kendil Wesi ingin melihat banyak. Rumah-rumah besar yang nampaknya sebagai barak-barak pengawal didekatinya. Ia kadang-kadang memang melihat satu dua orang pengawal dipintu gerbang, tetapi selebihnya sepi. “O,“ ia menarik nafas dalam-dalam, “sokurlah, kalau Mataram sepi seperti ini. Jika petugas sandi itu datang, ia hanya akan melihat ketenangan yang damai. Tidak ada kesibukan pasukan dan apalagi persiapan perang yang mengancam Pajang.” Dengan tanpa prasangka apapun, maka Kendil Wesipun kemudian mendekati regol yang menurut dugaannya, tentulah rumah Raden Sutawijaya. Rumah yang nampak sepi dan lengang, selain dua orang penjaga dipintu gerbang dan sekelompok kecil digardu di luar halaman. Ketika Kendil Wesi mendekati gerbang, maka kedua orang pengawal yang bertugas itupun melangkah maju dan menyapanya. Kendil Wesi turun dari kudanya sambil membungkuk hormat. Dengan sareh iapun kemudian bertanya, “Apakah benar aku berada digerbang istana Senapati Ing Ngalaga?” Penjaga itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “Siapakah kau?”

“Ki Sanak. Aku adalah pemomongnya saat Raden Sutawijaya masih sangat muda. Aku datang dari padusunan yang jauh.” “Siapa namamu?” Kendil Wesi ragu-ragu. Dalam keadaan yang tidak menentu dalam hubungan Pajang dan Mataram, rasa-rasanya ia harus mencurigai setiap orang. Namun jika ia tidak berterus terang, maka Senapati tentu tidak akan mengenalnya. “Siapa? “ desak pengawal itu. “Aku adalah Jaladara. Namaku Jaladara. Dan aku mohon diperkenankan menghadap.” Pengawal itu masih ragu-ragu. Karena itu, maka dibawanya Kendil Wesi menghadap pimpinan pengawal yang lebih tua daripadanya diserambi gandok. Apalagi pengawal yang lebih tua itu adalah bekas prajurit Pajang. Tiba-tiba saja ketika Kendil Wesi menghampirinya, pengawal itu terkejut. Hampir diluar sadarnya ia berdesis, “Kiai Kendil Wesi.” “O,“ Kendil Wesi terkejut. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk. Katanya, “Kau Ki Lurah. Aku tidak menyangka bahwa aku akan dapat bertemu dengan Ki Parta disini.” “Marilah.” Ki Partapun kemudian mempersilahkan Kiai Kendil Wesi duduk di gardu diantara beberapa orang pengawal yang lain. “Ki Lurah,“ berkata Kendil Wesi, “aku memang datang dengan maksud yang khusus. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan momonganku, sehingga aku menjadi sangat rindu. Ki Lurah. Apakah aku yang jauh datang dari Pajang dapat menghadap momonganku?” Ki Parta mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Minumlah dahulu Kiai. Para pengawal baru saja minum minuman hangat dipagi yang masih terasa dingin. Marilah Silahkan.” Kiai Kendil Wesi termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja timbullah kegelisahan dihatinya, karena ia masih belum menunaikan tugasnya sebaik-baiknya. Meskipun nampaknya Mataram belum benar-benar menunjukkan gejala seperti yang dicemaskan, tetapi sebaiknya ia menyampaikan semua pesan dan menyelesaikan segala tugasnya lebih dahulu. Karena itu, maka Katanya, “Terima kasih Ki Lurah, tetapi apakah aku dapat menghadap Raden Sutawijaya?” Ki Parta tersenyum. Katanya, “Raden Sutawijaya masih dalam perjalanan.”

“Perjalanan?” Ki Parta termangu-mangu sejenak. Namun kemudian, “Kiai Kendil Wesi, karena aku tahu, siapakah Kiai itu sebenarnya, maka baiklah aku memberitahukan apa yang sebenarnya sedang dilakukan oleh Raden Sutawijaya. Baru saja utusannya telah datang menyampaikan pesan-pesannya.” Kiai Kendil Wesi termangu-mangu. Ki Partapun kemudian menceriterakan apa yang baru saja didengarnya dari utusan Raden Sutawijaya yang telah mendahuluinya. “Sekarang Raden Sutawijaya dan pasukannya baru beristirahat. Sebentar lagi mereka akan melanjutkan perjalanan memasuki Kota.” Wajah Kiai Kendil Wesi menjadi tegang. Iapun kemudian sadar, bahwa tentu ada hubungannya antara kedatangan pasukan Raden Sutawijaya dengan laporan yang diterima oleh Sultan Pajang. Adalah tidak mustahil bahwa laporan itu sengaja diberikan untuk memancing kekeruhan. Pada saat pasukan Raden Sutawijaya dan Sangkal Putung memasuki kota, atau saat-saat mereka membenahi diri, maka petugas sandi dari Pajang akan melihatnya sebagai suatu persiapan pasukan yang besar yang diarahkan kepada Pajang. “Tentu ada orang yang dengan licik sengaja memfitnah Raden Sutawijaya,“ berkata Kiai Kendil Wesi didalam hatinya. Dalam pada itu Ki Parta menjadi heran. Tiba-tiba saja Kiai Kendil Wesi itu bagaikan merenungi persoalan yang sangat rumit. “Ki Lurah,“ berkata Kendil Wesi kemudian, “sebenarnya memang ada pesan yang harus aku sampaikan kepada salah seorang pimpinan prajurit atau pengawal di Mataram. Tetapi pesan itu sangat khusus.” Ki Parta tersenyum. Katanya, “Baiklah. Biarlah kawan-kawanku meninggalkan aku barang sejenak. Barangkali Kiai Kendil Wesi akan menyampaikan pesan itu kepadaku.” Para pengawal yang sudah terbiasa dalam tugasnya, dapat menangkap sikap yang mengandung rahasia dari Kiai Kendil Wesi. Karena itu maka merekapun segera meninggalkan Ki Lurah Parta seorang diri bersama Kiai Kendil Wesi. Dengan hati-hati Kiai Kendil Wesi mengatakan tugas kedatangannya meskipun tidak dalam keseluruhan. Ada yang masih disembunyikan. Tetapi keterangannya cukup meyakinkan Ki Parta, bahwa sebaiknya Kiai Kendil Wesi segera menyongsong kedatangan Raden Sutawijaya justru sebelum memasuki kota. Ki Parta yang memang sudah mengenal Kiai Kendil Wesi itupun sama sekali tidak berprasangka. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, “Baiklah Kiai. Barangkali memang sebaiknya Kiai pergi menghadap Raden Sutawijaya.” “Jika demikian, maka aku mohon diri Ki Lurah. Aku akan langsung melanjutkan perjalanan menghadap

Raden Sutawijaya.” Tetapi Ki Partapun tidak luput dari sikap hati-hati. Karena itu, maka Katanya, “Biarlah dua orang pengawal mengantarkan Kiai, agar Kiai tidak sesat jalan.” Kiai Kendil Wesi tidak menolak. Iapun menyadari keadaan yang serba suram dan tidak menentu. Karena itu, maka sikap hati-hati Ki Lurah itupun dapat dimengertinya. Sejenak kemudian maka Ki Lurahpun telah memerintahkan dua orang pengawal untuk mengantarkan Kiai Kendil Wesi menghadap Raden Sutawijaya diperistirahatannya, justru sebelum pasukannya memasuki kota. Kiai Kendil Wesi yang tua itupun segera berpacu bersama dua orang pengawal. Sementara itu, Kiai Kendil Wesi sudah mulai memperhitungkan para petugas sandi yang tentu sudah diperjalanan menuju ke Mataram. Dalam pada itu, dua orang petugas sandi masih berada didalam bilik Sultan Hadiwijaya. Dengan gelisah mereka menunggu Sultan yang sedang mandi. Terlebih-lebih gelisah lagi adalah perwira yang memberikan laporan tentang kegiatan pasukan di Mataram. Sebenarnya ia ingin agar kedua petugas sandi itu segera berangkat. Menurut laporan yang diterimanya dari prajurit Pajang yang sempat melarikan diri, maka diperkirakan hari itu pasukan Mataram dan Sangkal Putung akan kembali memasuki kota. Jika petugas sandi itu sudar mendekati kota Mataram maka mereka tentu akan melihat kesibukan para pengawal yang memasuki baraknya. Para penjaga yang masih dalam keadaan siaga dan kesibukan-kesibukan lain yang dapat memberikan kesan, bahwa Mataram memang sudah bersiap. Pasukan yang kuat sudah tersusun. Bahkan jika petugas sandi itu melihat kedatangan pasukan Mataram dan Sangkal Putung memasuki kota, maka itu akan dapat diartikan, bahwa pasukan yang kuat itu baru saja pulang dari penempaan diri di gunung-gunung dalam rangka latihan jasmaniah menghadapi tugas-tugas yang sangat berat. Tetapi agaknya Sultan terlalu lamban. Kedua petugas yang sudah menghadap itu masih harus menunggu Sultan mandi dengan air panas yang masih sedang dijerang. “Kenapa tergesa-gesa,“ berkata Sultan ketika para petugas itu menyembah sambil memohon pesanpesan yang akan diberikannya. Petugas-petugas itu tidak berani memaksa. Mereka hanya dapat menundukkan kepalanya dan seperti yang diperintahkannya, mereka harus menunggu. Baru setelah Sultan selesai berpakaian, kedua petugas itupun dipangggilnya mendekat. “Kalian sudah siap untuk berangkat,“ bertanya Sultan Hadiwijaya. “Hamba tuanku,“ sahut keduanya hampir berbareng.

“Baiklah. Kalian harus pergi ke Mataram. Mungkin kalian sudah mendengar tugas apakah yang harus kalian lakukan.” “Hamba tuanku. Hamba memang sudah mendengar,“ jawab salah seorang dari keduanya. “Baiklah. Lakukanlah tugas kalian baik-baik. Tetapi kalian harus dapat menilai keadaan sebaikbaiknya. Jika kalian bertemu dengan satu dua orang pengawal dipintu gerbang, atau di barak-barak pengawal, itu bukan berarti bahwa Mataram sudah siap untuk berperang.” “Hamba tuanku.” “Lakukanlah penelitian sebaik-baiknya. Jika kalian menemukan pertanda bahwa Mataram memang sudah siap untuk berperang, apalagi ada pertanda kebencian terhadap Pajang, maka kalian jangan ragu-ragu untuk memberikan laporan.” “Hamba tuanku.” “Nah, sekarang pergilah. Kau akan sampai di Mataram sebelum matahari turun dan hilang di balik gunung.” Kedua petugas itupun segera mohon diri. Dengan tergesa-gesa ia keluar dari istana, menghadap perwira yang telah lebih dahulu memberikan laporan tentang keadaan di Mataram.” “Kau tidur didalam bilik Sultan?,“ bentak perwira itu. Kedua petugas itu menjadi berdebar-debar. Kegelisahannya disaat ia berada di bilik Sultan kini bertambah lagi dengan kecemasan. Dengan suara bergetar salah seorang dari keduanya menjawab, “Aku harus menunggu Sultan mandi.” “Kau dapat memohon petunjuk dan pesan-pesannya sebelum Sultan mandi,“ bentak perwira itu. “Apakah aku dapat melakukannya jika Sultan memerintahkan aku menunggu,“ sahut yang lain. Perwira itu hanya dapat menggeretakkan giginya. Kemudian dengan geram ia berkata, “Cepat. Berangkatlah sekarang. Kau harus sampai di Mataram hari ini juga.” Kedua petugas sandi itupun segera mempersiapkan diri. Dengan bekal uang cukup merekapun kemudian mulai dengan perjalanannya yang mendebarkan. Tanpa mempergunakan tanda-tanda pengenal bahwa keduanya adalah prajurit Pajang, maka

keduanyapun berpacu menuju ke Mataram. Selagi kedua petugas sandi itu diperjalanan, maka Kiai Kendil Wesi telah mendekati pasukan Mataram dan Sangkal Putung yang sedang beristirahat. Disaat-saat pasukan itu sudah mengemasi diri untuk melanjutkan perjalanan, maka Kiai Kendil Wesi dengan kedua pengawalnyapun memasuki padukuhan. Kedatangan Kiai Kendil Wesi benar-benar telah mengejutkan Raden Sutawijaya. Pemomong tua itu telah lama tidak dijumpainya. Meskipun Sutawijaya tidak melupakannya, tetapi orang tua itu hampirhampir tidak lagi mempunyai arti didalam hidupnya. Namun kehadirannya, telah mengingatkan Sutawijaya pada masa-masa kecil dan saat-saat ia tumbuh menjadi dewasa. Karena itu, maka kedatangan Kiai Kendil Wesi itupun disambutnya dengan gembira. “Kemarilah Kiai,“ berkata Raden Sutawijaya mempersilahkan Kiai Kendil Wesi duduk diserambi rumah yang dipergunakan untuk beristirahat. Kiai Kendil Wesipun kemudian mendekatinya. Dengan serta merta ia berjongkok memeluk kaki anak muda itu. Namun dengan tergesa-gesa Sutawijaya mengangkatnya untuk berdiri sambil berkata, “Duduklah di amben ini Kiai. Marilah. Aku masih momonganmu yang dahulu.” Nampak orang tua itu menjadi basah. Sudah lama ia tidak bertemu dengan Raden Sutawijaya. Bahkan ia merasa bahwa ia sudah dilupakannya. Setelah masing-masing menyatakan keselamatannya, maka Raden Sutawijayapun kemudian bertanya, “Darimana kau tahu bahwa aku ada disini?” Kiai Kendil Wesi berpaling kepada kedua pengawal yang mengantarkannya sambil menjawab, “Aku sudah singgah di Mataram.” “O. dan kedua pengawal itu membawakan kemari.” “Ya ngger. Aku mohon kepada Ki Lurah yang bertugas di Mataram untuk segera dapat bertemu dengan anakmas sekarang juga.” Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Kemudian dengan sunguh sungguh ia bertanya, “Apakah ada sesuatu yang penting kau kabarkan kepadaku, atau hanya kau sudah sangat mendesak ingin bertemu dengan aku setelah sekian lama berpisah?” “Keduanya Raden. Aku sudah begitu ingin bertemu dengan Raden. Saat itu Raden pergi begitu saja tanpa memberi pesan apapun juga kepadaku. Sebenarnya aku takut berjumpa Raden seperti sekarang

ini. Mungkin Raden sudah tidak memerlukan aku sama sekali.” “Ah,“ sahut Sutawijaya, “bukan maksudku begitu Kiai. Kiai sudah terlalu tua untuk menempuh petualangan, membuka Alas Mentaok.” “Tetapi akhirnya aku datang juga ke Alas Mentaok, namun setelah menjadi sebuah negeri yang ramai,“ Kiai Kendil Wesi berhenti sejenak, lalu. “tetapi lebih penting dari itu, sebenarnyalah aku telah diutus oleh tuanku Sultan Hadiwijaya.” “Oleh ayahanda Sultan?“ wajah Raden Sutawijaya nampak menegang. “Sedemikian besar kasihnya kepada Raden, sehingga Sultan telah mengambil kebijaksanaan yang khusus, mengutus aku datang menghadap angger kemari.” Raden Sutawijaya mengerutkan dahinya, “Apakah yang dipesankan oleh ayahanda Sultan?” Kiai Kendil Wesipun kemudian menceriterakan tugas yang dibebankan kepadanya oleh Sultan Hadiwijaya. Dari awal sampai akhir. Tidak ada satu kalimat pesanpun yang dilampauinya. Terasa dada Raden Sutawijaya menjadi berdebar-debar. Dengan serta merta iapun memerintahkan memanggil orangorang tua yang sedang bersiap-siap untuk berangkat meneruskan perjalanan. “Dimohon semuanya hadir sekarang disini,“ berkata Raden Sutawijaya kepada pengawalnya. Sejenak kemudian, maka Ki Juru Martani dan orang-orang tua yang lain telah, berkumpul. Ki Lurah Branjangan dan Ki Lurah Dipayana pun telah menghadap pula. Dengan jelas, Raden Sutawijaya mengulangi pesan ayahanda Sultan yang disampaikan lewat Kiai Kendil Wesi. Ki Juru Martani mengangguk-anggukkan kepalanya. Diluar sadarnya ia berguman, “Alangkah besarnya kasih Sultan kepada putera angkatnya.” Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya wajah Kiai Gringsing yang tertunduk. Ki Lurah Branjangan yang gelisah. “Raden,“ berkata Ki Juru Martani kemudian, “kita harus memperhatikan pesan itu. Sultan menjadi cemas, bahwa akan ada tuduhan palsu yang gawat kepada Mataram.” “Ya paman. Tentu ada satu dua orang prajurit Pajang yang lolos dari lembah itu dan memberikan laporan yang diputar balikkan kepada ayahanda Sultan.” “Dapat dipastikan,” sahut Ki Juru Martani, “karena itu, berbuatlah sesuatu. Peringatan ayahanda Sultan adalah suatu tindakan yang sangat bijaksana. Bukan saja menghindarkan anakmas dari tuduhan-

tuduhan yang buruk, tetapi juga menghindarkan ketegangan yang semakin tajam antara Pajang dan Mataram. Sedangkan ketegangan itu memang dikehendaki oleh Pihak yang justru menginginkannya.” Raden Sutawijaya termangu-mangu. Ia dapat membayangkan, apa yang telah terjadi diistana Pajang. Pun Ki Juru menganggap para perwira yang memancing didalam kekeruhan suasana untuk kepentingan pribadi, tanpa menghiraukan akibat yang dapat timbul bagi ke selamatan tanah Pajang. “Raden,” berkata Ki Juru Martani, “pasukan ini harus memasuki Mataram dalam keadaan yang lain. Mungkin para pengawal menjadi kecewa bahwa mereka tidak mendapat sambutan yang sewajarnya. Tetapi para pemimpin kelompok harus menyadari, bahwa keadaan tidak memungkinkannya.” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan memecah pasukan ini, sehingga mereka memasuki kota dalam kelompok-kelompok kecil.” “Itupun tidak menguntungkan,“ berkata Ki Juru, “biarlah mereka memasuki kota dalam keadaan yang sama sekali tidak menunjukkan ikatan, dalam hari ini sebagian. Besok sebagian dan dua tiga hari lagi.” “Jadi, sebagian dari mereka akan tetap berada diluar kota? “ bertanya Sutawijaya. “Apaboleh buat,“ jawab Ki Juru. “Jadi bagaimanakah pertanggungan jawab kita kepada mereka yang kehilangan keluarganya? Jika yang lain hadir bersama-sama, maka dengan segera kita akan dapat memberikan pertanggungan jawab kepada keluarga yang kehilangan salah seorang anggautanya dipeperangan yang terjadi di lembah itu.” “Tetapi kita berada didalam keadaan yang tidak sewajarnya. Kita menghadapi kemungkinan yang dapat mengeruhkan keadaan dan sulit dikendalikan lagi.” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Memang tidak ada pilihan lain. Namun tiba-tiba dengan dahi yang berkerut ia berguman, “Bagaimana dengan pasukan pengawal dari Sangkal Putung?. Mereka tidak akan dapat dibaurkan begitu saja memasuki kota Mataram, karena merekal belum mengenal kota itu sebaik-baiknya.” Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Sesaat kemudian iapun berpaling kepada Kiai Gringsing, untuk mendapatkan pertimbangannya. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Pasukan Sangkal Putung memang harus mendapat jalan keluar dari pengamatan yang mungkin benar-benar dilakukan oleh pasukan-pasukan sandi dari Pajang.” “Jadi, apakah mereka akan memasuki kota dalam kelompok-kelompok kecil bersama seorang penunjuk jalan dari Mataram, yang akan membawa mereka langsung kedalam barak-barak,“ bertanya Raden Sutawijaya.

“Tetapi barak yang berpenghuni sepasukan pengawal itupun tentu akan menarik perhatian,” berkata Kiai Gringsing. “Jadi apakah yang sebaiknya kita lakukan? “ bertanya Raden Sutawijaya. “Aku akan menjumpai Swandaru dan mencoba membuatnya mengerti. Meskipun aku kira ia akan bersikap lain, tetapi mudah-mudahan ia dapat menerima pendapatku, bahwa pasukan Sangkal Putung akan langsung kembali ke Kademangan Sangkal Putung tanpa singgah di Mataram.” “Ah,“ potong Raden Sutawijaya, “Mataram harus mengucapkan terima kasih.” “Terima kasih itu dapat diucapkan dengan cara yang lain,“ berkata Kiai Gringsing, “seperti juga pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang langsung kembali ke Tanah Perdikannya,“ sahut Kiai Gringsing. Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Ki Juru Martani untuk mendapatkan pertimbangannya. “Apaboleh buat,” berkata Ki Juru, “kita benar-benar menghadapi keadaan yang tidak kita inginkan.” Raden Sutawijaya termangu-mangu. Sejenak dipandanginya wajah Kiai Kendil Wesi yang tunduk. Kemudian Katanya, “Kiai, kita akan mengambil jalan yang meskipun tidak kita sukai. Tetapi akan dapat menghindarkan diri dari tuduhan-tuduhan yang kurang sewajarnya. Sebenarnya aku segan menghindari tanggung jawab atas keadaan Mataram sekarang, meskipun aku akan mendapat tuduhan yang tidak sepatutnya. Tetapi nasehat dan pesan orang-orang tua, juga ayahanda Sultan tetap aku junjung tinggi, sehingga aku telah mengambil jalan yang melingkar-lingkar untuk sekedar pulang ke rumah kami masing-masing.” “Terima kasih Raden,“ berkata Kiai Kendil Wesi,“ dengan demikian Ayahanda Sultan merasa, bahwa Raden masih tetap puteranya. Apapun yang Raden lakukan sekarang, tidak akan dapat menggoyahkan kecintaan ayahanda kepada Raden.” Raden Sutawijaya menundukkan kepalanya. Terasa sesuatu telah menyentuh hatinya. Sepercik penyesalan telah meloncat dari dasar hatinya bahwa ia seakan-akan telah memisahkan diri dari ayahanda angkatnya karena harga dirinya tersinggung oleh beberapa orang perwira Pajang tentang Alas Mentaok. Tetapi meskipun demikian, masih belum ada niat dihati Raden Sutawijaya untuk menghadap ke Pajang. Ia masih tetap berdiri diantara kesetiaan seorang putera dan harga dirinya sebagai seorang kesatria yang memegang janji. Dalam pada itu, maka Kiai Gringsing yang tidak melihat kemungkinan lain itupun berkata, “Baiklah

Raden. Aku akan menemui Swandaru dan mengatakan apa yang sedang kita hadapi sekarang.” “Silahkan Kiai. Sudah tentu, bahwa aku akan menyatakan terima kasihku dengan cara yang khusus yang belum dapat aku ketemukan sekarang,“ sahut Raden Sutawijaya. Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Itu bukannya masalah yang pokok Raden. Kita sedang mencari jalan, yang sebaik-baiknya untuk menghindari salah paham. Salah paham dengan Sultan Hadiwijaya di Pajang.” “Baiklah Kiai. Tetapi ternyata bahwa perjuangan kita dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu bukannnya perjuangan yang terakhir melawan orang-orang yang merasa dirinya pewaris kerajaan Majapahit yang Agung. Ternyata di Pajang, masih banyak para perwira yang akan bangkit untuk melanjutkan perjuangan mereka dengan cara yang barangkali akan lebih berbahaya bagi Mataram, karena mereka berada didalam istana Pajang,“ berkata Raden Sutawijaya. Orang -orang yang mendengar keluhan Raden Sutawijaya itu dapat mengerti sepenuhnya. Tetapi merekapun tidak dapat melepaskan Raden Sutawijaya sekedar menuruti perasaannya yang dipanasi oleh darah mudanya. Namun agaknya Raden Sutawijayapun sempat berpikir panjang, sehingga ia dapat mengerti semua nasehat dan apalagi pesan ayahanda angkatnya, Sultan Hadiwijaya. Pada saat Kiai Gringsing berbicara dengan Swandaru tentang kemungkinan yang paling baik yang dapat ditempuh pasukan pengawal Sangkal Putung, nampaknya Swandaru memang agak tersinggung. Bahkan dengan suara lantang ia berkata, “Apa salahnya jika Pajang mengetahui kesiagaan Mataram dan Sangkal Putung? Apakah Pajang merasa akan dapat dengan mudah menghancurkan Mataram dan Sangkal Putung?” “Memang tidak Swandaru. Mungkin untuk menghancurkan Mataram dan apalagi dengan Sangkal Putung, Pajang harus mengerahkan kekuatannya, sehingga meskipun Mataram dan Sangkal Putung akhirnya dapat dihancurkan, tetapi Pajang sendiri akan menjadi reruntuhan kekuatan yang tidak berarti.” “Nah, apakah Pajang akan mempertaruhkan kemungkinan yang lebih buruk lagi, justru Pajanglah yang akan hancur? “ bertanya Swandaru, “Yang manapun yang akan hancur, tetapi bahwa keduanya akan menjadi lumpuh itulah yang dikehendaki oleh orangorang yang bersembunyi dibalik pergolakan ini. Karena diatas reruntuhan itulah mereka akan membangun apa yang mereka impikan dengan nama pewaris kerajaan Majapahit. Meskipun sebenarnya mereka tidak leih dari sekelompok orang yang bermimpi untuk mendapatkan kedudukan dan kekuasaan,” sahut Kiai Gringsing.

Swandaru mengerutkan keningnya. Sebenarnya ia keberatan untuk seolah-olah dengan bersembunyisembunyi kembali ke Sangkal Putung tanpa singgah lebih dahulu di Mataram, karena di Mataram iapun tentu akan disambut pula sebagai seorang pahlawan. Tetapi Swandaru tidak dapat selalu membantah nasehat gurunya. Apalagi gurunya dengan sungguhsungguh mengharap agar ia mengerti perkembangan keadaan yang sedang dihadapi oleh Mataran. Bahkan Raden Sutawijaya sendiri telah bersedia untuk beringsut surut dari ketetapan hatinya bersikap terhadap Pajang. “Baiklah guru,“ berkata Swandaru kemudian, “tetapi ini bukan karena kekhawatiranku menghadapi Pajang. Yang aku lakukan adalah semata-mata karena aku ingin memenuhi permintaan guru.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia berkata, “Swandaru. Sebenarnya aku tidak ingin mengatakannya. Tetapi aku melihat, bahwa pandanganmu terhadap Pajang agak sisip. Betapapun kuatnya Mataram. Katakanlah termasuk Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, tetapi sebenarnyalah bahwa kekuatan itu masih jauh dibawah kekuatan Pajang yang sebenarnya. Kau jangan mengabaikan kekuatan yang tersebar di daerah para Adipati di pasisir Lor dan Bang Wetan. Kau harus membayangkan Pajang dalam keseluruhan. Bukan Kota Raja yang sempit, yang dilingkari oleh dinding batu dengan beberapa pintu gerbang.” Wajah Swandaru menegang. Namun kemudian tumbuhlah pengakuan didalam hati, bahwa ia jarang sekali membayangkan kekuatan-kekuatan diluar Kota Raja Pajang. Karena perubahan-perubahan yang cepat dapat timbul sekedar mengadakan kejutan pada pusat pemerintahan. Dengan demikian, maka Swandarupun tidak membantah lagi. Seperti Sutawijaya, maka iapun akan mempersiapkan pasukannya dan membawa langsung kembali ke Sangkal Putung melalui jalan melintas dalam kelompok-kelompok kecil. Lebih kecil dari saat mereka berangkat ke Mataram. Dalam pada itu. Pandan Wangi dan Sekar Mirah tidak banyak memberikan pendapat. Meskipun sebenarnya Sekar Mirah juga menjadi kecewa seperti Swandaru. Namun iapun dapat mengerti pula, keadaan yang memaksa mereka mengambil jalan lain. Namun perjalanan pengawal Sangkal Putung agak lebih mudah dari para pengawal dari Mataram. Mereka harus memikirkan para tawanan. Jika para tawanan itu masih belum dapat dibawa masuk kota, maka mereka harus ditempatkan, bukan saja yang dapat menampung jumlah mereka, tetapi juga tempat yang mudah mendapat pengawasan. Demikianlah, maka baik pasukan Mataram maupun pasukan Sangkal Putung, segera membenahi diri. Membagi pasukan mereka menjadi kelompok-kelompok yang terbagi lagi. Orang-orang Mataram

diberi kesempatan berurutan memasuki kota langsung ke rumah masing-masing. Sementara sebagian dari mereka masih harus tinggal diluar untuk menunggu giliran, sekaligus menjaga para tawanan. Keadaan itu akan dipertahankan sampai keadaan memungkinkan, membawa para tawanan memasuki kota. “Dari mana kita mengetahui bahwa para petugas sandi itu sudah kembali ke Pajang ? “ bertanya Raden Sutawijaya kepada Ki Juru Martani. Ki Juru mengerutkan keningnya. Namun kemudian dipandanginya Kiai Kendil Wesi yang masih ada diantara mereka. Kiai Kendil Wesi menangkap pertanyaan yang tersirat dari mata Ki Juru Martani, seperti pertanyaan yang diucapkan Raden Sutawijaya namun ditujukan kepadanya. “Mudah-mudahan ayahanda Raden Sutawijaya di Pajang memberitahukan hal itu kepadaku. Jika aku tidak dapat datang sendiri ke Mataram karena berbagai persoalan, maka aku akan menyuruh salah seorang pembantuku untuk menghadap.” sahut Kendil Wesi. “Itu berbahaya sekali,“ desis Raden Sutawijaya, “tidak semua orang sekarang dapat dipercaya.” “Aku tidak akan mempersoalkan kesiap siagaan ataupun petugas-petugas sandi. Pembantuku akan menghadap Ki Juru untuk menyampaikan pertanyaan tentang hari-hari yang baik untuk mulai dengan pembuatan sebuah rumah baru.” “O,“ Ki Juru mengangguk, “maksudmu, jika orang itu datang, apapun yang dikatakan, maka itu berarti bahwa petugas sandi itu sudah kembali ke Pajang?” Kiai Kendil Wesi, mengangguk-angguk. Ia menyadari, bahwa tugas yang akan dilakukan oleh pesuruhnya itupun merupakan tugas yang gawat. Karena itu, maka katanya kemudian, “Orang yang akan aku suruh datang ke Mataram itupun tidak akan mengetahui persoalan yang sebenarnya. Ia akan datang ke Mataram dengan pesan yang sama sekali tidak menyangkut isyarat yang harus dibawa, dan iapun tidak akan menyadari akan arti isyarat tentang kehadirannya itu.” Ki Juru Martani dan Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Mereka mengerti, bahwa Kiai Kendil Wesi akan berusaha sejauh dapat dilakukan untuk menghindarkan kecurigaan yang lebih tajam lagi antara Pajang dan Mataram. Dalam pada itu, maka justru pasukan Mataram tidak lagi tergesa-gesa. Mereka dengan cermat memperhitungkan kemungkinan yang sebaik-baiknya untuk memasuki Kota. Mereka tidak tahu, berapa lama para petugas sandi itu berada di Mataram, sehingga mereka masih belum dapat mengetahui berapa lama para tawanan masih harus disembunyikan.

Dalam pada itu , maka Kiai Kendil Wesipun kemudian berkata kepada Ki Juru Martani dan Raden Sutawijaya, “Raden. Tugas yang harus aku lakukan agaknya sudah selesai. Aku tidak akan terlalu lama berada di Mataram. Aku harus segera pulang, sehingga tidak seorangpun yang mengetahui bahwa aku telah meninggalkan Pajang dan berada di Mataram.” “Tetapi Kiai harus beristirahat dulu barang sejenak,“ minta Raden Sutawijaya. Kiai Kendil Wesi termangu-mangu. Namun Ki Juru berkata, “Tunggulah. Kau harus makan dahulu. Beristirahat barang sejenak. Baru kemudian kau kembali ke Pajang. Menempuh jalan memintas dan berusaha memasuki Kota Raja setelah gelap. Bukankah begitu?” Kiai Kendil Wesi tertawa. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Tepat Ki Juru.” “Jika begitu, beristirahatlah dahulu.” Namun waktu berjalan terlalu cepat. Selagi para pengawal Mataram dan Sangkal Putung mengatur diri, maka Kiai Kendil Wesi telah merasa terlalu lama berada di tlatah Mataram. Iapun kemudian mohon diri kepada pimpinan pasukan pengawal Mataram dan Sangkal Putung untuk segera kembali ke Pajang. “Aku harap bahwa aku akan memasuki Pajang setelah malam menjadi kelam. Aku akan kembali memasuki rumahku dengan diam-diam, seperti saat aku pergi, karena aku berpesan kepada keluargaku dirumah, bahwa aku tidak pergi kemanapun hari ini, karena aku sakit.“ berkata Kiai Kendil Wesi. Para pemimpin dari Mataram dan Sangkal Putung tidak dapat mencegahnya lagi. Bahkan Swandaru yang berada diantara mereka pada saat Kiai Kendil Wesi akan kembali ke Pajang, sempat berbincang tentang jalan yang akan dilaluinya. “Aku tidak akan melalui jalan yang menjadi jalan induk yang menghubungkan Pajang dan Mataram. Aku akan memintas sehingga aku tidak akan berjumpa dengan petugas-petugas yang akan dikirim dari Pajang, yang barangkali sekarang sudah ada diperjalanan, atau bahkan sudah hampir sampai ketujuan. Mungkin malahan sudah berada di Mataram. Tetapi aku harus berhati-hati.” “Baiklah Kiai. Kita yang akan kembali ke Sangkal Putungpun tidak akan mengikuti jalan induk. Sebagian dari kami akan memintas sepanjang jalan yang akan Kiai lalui. Jika Kiai tidak berkeberatan, maka sebaiknya kita berbicara tentang jalan manakah yang akan Kiai pilih,“ berkata Swandaru. Kiai Kendil Wesi mengerutkan keningnya. Katanya, “Aku justru ingin bertanya, jalan manakah yang sebaiknya aku lalui, karena aku belum banyak mengenal jalan-jalan didaerah Alas Mentaok sekarang ini.” Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Katanya, “Aku akan memberikan dua orang

kawan diperjalanan Kiai Kendil Wesi. Jika ada sesuau yang menganggu diperjalanan, atau kira-kira memberikan kesan yang kurang baik bagi pasukan pengawalku, biarlah salah seorang dari pengawal itu kembali memberikan laporan kepada induk pasukan yang akan melalui jalan itu pula, meskipun dalam kelompok-kelompok kecil. Kami bahkan tidak hanya akan melalui satu jalur jalan. Tetapi beberapa jalur jalan yang mungkin tidak sama jaraknya. Sebagian disebelah Utara jalan induk, dan sebagian di sebelah Selatan jalan induk. “Tentu aku tidak akan berkeberatan. Justru aku akan berterima kasih,“ jawab Kiai Kendil Wesi. Demikianlah maka Kiai Kendil Wesipun segera minta diri. Swandaru telah menyiapkan dua orang yang akan menempuh perjalanan bersama Kiai Kendil Wesi sambil mengamati keadaan, sementara beberapa orang yang lain telah siap untuk berangkat pula menempuh jalan yang berbeda-beda yang akan dilalui oleh kelompok-kelompok pasukan Sangkal Putung. Tetapi Swandarupun cukup cermat. Ia sadar, bahwa ada prajurit-prajurit Pajang yang akan mendendam pasukan pengawal Sangkal Putung. Itulah sebabnya, maka iapun telah memperhitungkan setiap kemungkinan. Ia telah memperhitungkan waktu bagi setiap kelompok pengawal yang akan terpisah. Pada saat-saat tertentu, mereka harus berada ditempat yang sudah diperhitungkan. Mereka tidak boleh melampaui tempat pada waktu yang telah ditentukan. Jika terjadi sesuatu dengan setiap kelompok karena dendam prajurit-prajurit Pajang, maka mereka akan dapat menentukan, dengan kelompok-kelompok manakah para pengawal yang berkepentingan itu harus berhubungan. “Kalian harus memberikan tanda-tanda ditempat tertentu,“ berkata Sutawijaya, “sehingga jika salah satu pihak dari kelompok-kelompok kita membutuhkan kelompok lain, mereka akan mengetahui, apakah kelompok-kelompok itu telah lewat atau masih belum sampai ketempat itu.” Karena itulah, maka Swandarupun telah membicarakan jalan yang akan dilalui oleh pasukan Sangkal Putung dengan cermat. Bahkan sekali-kali ia mengumpat, bahwa ia harus berpusing-pusing memperhitungkan jarak. “Kenapa kita tidak lewat saja sambil menengadahkan dada meskipun kita akan bertemu dengan petugas sandi,“ katanya didalam hati. Namun Swandaru tidak dapat mengabaikan pesan gurunya dan keputusan yang telah diambil bersama. Itulah sebabnya, bagaimanapun juga beratnya, maka ia telah mengatur pasukannya dalam kelompokkelompok kecil yang akan kembali ke Sangkal Putung dalam keadaan bercerai berai. Kiai Gringsing yang akan kembali bersama pasukan Sangkal Putungpun telah ikut serta membicarakan jalan yang akan dilalui dan ketentuan-ketentuan lain yang harus dilaksanakan oleh pasukan Sangkal Putung. Sementara itu, Raden Sutawijayapun telah mengatur diri.

Yang paling penting adalah menyelamatkan pusaka-pusaka yang telah diperebutkan dengan mengorbankan terlalu banyak jiwa itu. “Malam nanti pusaka-pusaka itu harus dibawa masuk ke Mataram,“ berkata Raden Sutawijaya. Ki Juru mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kaupun harus berada di Mataram. Kau harus menampakkan diri seperti biasa dihadapan para pemimpin pemerintahan. Kau dapat berjalan disepanjang jalan induk dengan seorang atau dua orang pengawal, agar petugas sandi itu melihatmu.” “Jika demikian, malam nanti aku akan membawa pusaka itu masuk kedalam kota. Aku dapat berpakaian seperti pengawal kebanyakan yang sedang meronda. Sementara aku membawa Kangjeng Kiai Pleret, maka Kangjeng Kiai Mendung harus kita sembunyikan terlebih dahulu.” Ki Juru mengangguk-angguk. Adalah jalan yang sebaik-baiknya bagi Sutawijaya untuk memasuki Kota dalam pakaian pengawal kebanyakan. Kangjeng Kiai Pleret akan dibawanya tanpa tanda-tanda kebesarannya, demi keselamatan pusaka itu. Agaknya para pemimpin menyetujuinya. Karena itulah, maka pasukan Matarampun mulai mengatur diri, siapakah yang lebih dahulu akan memasuki Kota tanpa menimbulkan kesan, bahwa Mataram sedang bersiap-siap menghadapi perang yang besar. Karena itulah, maka kelompok-kelompok kecil telah dilepaskan. Mereka mencari jalan menurut kehendak mereka sendiri. Mereka tidak berbaris dengan upacara kebesaran memasuki pintu gerbang induk disambut oleh rakyat dengan sorak kemenangan. Tetapi mereka memasuki kota yang sepi lengang, karena tidak ada berita kepastian tentang kedatangan para pengawal. Bahkan utusan yang datang mengatakan, bahwa pasukan pengawal dari Mataram tidak akan memasuki kota. Mereka harus beristirahat lebih lama lagi, sampai saat yang akan diberitahukan. Rakyat yang sudah siap menyambut kedatangan pasukan itupun menjadi hambar lagi, sehingga merekapun kemudian lebih senang menunggu kepastian yang tentu akan diumumkan di jalan-jalan raya daripada gelisah menanti-nanti. Namun dengan demikian, yang berdebar-debar masih saja harus menahan pertanyaan, apakah keluarga mereka yang berangkat ke medan akan dapat pulang kembali. Raden Sutawijaya tidak membiarkan mereka tersiksa oleh pertanyaan yang tidak terjawab. Karena itulah, maka iapun kemudian menentukan bahwa setiap kelompok harus diwakili oleh seseorang atau dua untuk segera memasuki kota dan menyampaikan berita keselamatan dan korban dari setiap kelompok kepada keluarga mereka, sebelum seluruh kelompok mendapat kesempatan untuk memasuki kota dan pulang kerumah masing-masing. Demikianlah, maka pasukan Matarampun mulai dengan rencana perjalanan gelombang demi gelombang. Tetapi gelombang-gelombang kecil yang tidak akan menarik perhatian.

Demikian juga pasukan Sangkal Putung. Mereka telah menempuh jalan yang telah ditentu kan. Diantara mereka adalah Kiai Kendil Wesi yang kembali ke Pajang. Dengan cara yang demikian, maka arus pasukan ke Mataram dan Sangkal Putung menjadi sangat lamban. Mungkin mereka memerlukan waktu tiga atau empat hari. Bahkan mungkin lebih. Apalagi dengan adanya para tawanan diantara pasukan Mataram. Namun seorang pengawal Mataram yang telah mendapat kesempatan memasuki kota, telah menemukan cara yang baik untuk mempercepat arus pasukannya. Saat yang baik akan dapat dipergunakan. Salah seorang pamannya akan mengadakan peralatan, sehingga kehadiran banyak orang tidak akan menimbulkan kecurigaan. “Mereka akan aku persilahkan datang ketempat peralatan sebagai tamu. Kemudian mereka akan kembali kerumah masing-masing tanpa menarik perhatian, seandainya petugas sandi itu memang ada di Mataram. Bahkan seandainya ada sepuluh atau duapuluh petugas sandi sekalipun,“ katanya kepada kawankawannya. “Jika demikian, maka peralatan itu dapat dibuat. Meskipun sebenarnya tidak ada niat untuk mengadakan peralatan, tetapi untuk kepentingan para pengawal, peralatan itu dapat saja diadakan.” berkata seorang kawannya. “Kita akan menghadap Raden Sutawijaya,“ desis yang lain. Demikianlah, maka orang-orang itupun setelah beristirahat sejenak diantara keluarganya yang gembira, maka merekapun segera minta diri untuk menghadap kembali Raden Sutawijaya yang sedang beristirahat bersama pasukannya diluar kota. Ketika malam turun, maka Raden Sutawijaya telah bersiap-siap untuk memasuki kota Mataram, sementara Swandaru bersama Pandan Wangi dan beberapa orang pengawal yang lain telah siap pula untuk berangkat ke Sangkal Putung. Namun dalam pada itu, Sekar Mirah telah minta ijin kepada kakaknya untuk berangkat pada giliran yang lain bersama Kiai Gringsing yang akan membawa Ki Sumangkar yang terluka parah. “Kita akan berangkat besok,“ berkata Kiai Gringsing, “mudah-mudahan keadaan Ki Sumangka menjadi berangsur baik.” Swandaru tidak berkebaratan. Ia tahu, bahwa Sekar Mirah adalah satu-satunya murid Ki Sumangkar. Sedangkan Kiai Gringsing sangat diperlukan untuk merawatnya. Dengan demikidan maka pada saat yang hampir bersamaan, maka Raden Sutawijaya dan Swandaru

telah menempuh perjalanan masing-masing setelah keduannya saling bermohon diri. Pada saat Sutawijaya dan Swandaru meninggalkan padukuhan tempat mereka beristirahat, sebenarnyalah petugas sandi yang mendapat tugas dan Pajang telah berada di Mataram. Mereka memasuki Mataram sebagai orang kebanyakan yang datang ke kota. Meskipun tidak ada tanda-tanda yang dapat menarik perhatian pada kedua petugas sandi itu. namun mereka tetap berhati-hati, karena tentu ada satu dua orang bekas prajurit Pajang yang berada di Mataram, sehingga mungkin mereka akan dapat mengenalnya. “Kemungkinan itu kecil sekali,“ berkata salah seorang dari keduanya, “aku kira wajahku sudah berubah sama sekali dengan kumis palsu ini.” “Ya. Kau dengan kumis palsu dan pakaianmu yang sederhana itu memang sudah berubah. Tetapi aku tidak tahan memakai kumis palsu. Hidungku merasa gatal dan barangkali justru akan mengganggu,“ sahut yang lain. “Tetapi wajahmupun sudah berubah. Dengan merubah cara berpakaian dan tingkah laku, kau sudah berubah. Kepalamu yang menjadi agak miring, dan sekali-sekali kau gerakkan dagumu, membuat kau menjadi orang lain. Apalagi dengan mata yang sipit itu.” Kawannya mengangguk-angguk. Mereka berdua memang berusaha untuk membuat dirinya menjadi orang lain, karena justru mereka menyadari bahwa di Mataram ada orang-orang yang barangkali sudah mengenalnya. Tetapi agaknya mereka benar-benar telah berhasil merubah diri mereka sehingga sulit untuk dapat dikenal tanpa memperhatikan keduanya dengan seksama dan mengenah ciri-ciri yang lebih dalam. Ketika mereka memasuki Mataram, maka keduanyapun berusaha untuk mendapatkan penginapan, tetapi sebelumnya mereka masih mempunyai kesempatan untuk berkeliling kota melihat-lihat keadaan dalam sepintas. ”Tidak ada tanda-tanda apapun juga yang dapat dilihat,“ berkata salah seorang dari mereka. “Tentu tidak hanya dalam sekejap. Kita akan berada ditempat ini barang satu dua hari. Barulah kita akan mendapatkan kesimpulan, apakah Mataram telah bersiap-siap untuk bertempur melawan Pajang atau tidak.” “Tetapi untuk melihat hal itu, agaknya merupakan pekerjaan yang sangat sulit. Mungkin Mataram sama sekali tidak menampakkan kegiatan apapun juga. Tetapi dengan bunyi tanda-tanda yang sudah disetujui sebelumnya, maka dalam sekejap di alun-alun dimuka rumah Raden Sutawijaya itu berkumpul-kumpul beribu-ribu orang yang siap untuk bertempur.” Kawannya menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tentu tidak. Mataram dapat saja memanggil

rakyatnya dengan isyarat bunyi dan dalam waktu sekejap alun-alun itu telah penuh dengan laki-laki bersenjata. Tetapi kekuatan yang demikian hanyalah merupakan kekuatan untuk mempertahankan diri. Tetapi kekuatan untuk menyerang tentu harus dipersiapkan lebih dalam dan teliti, karena mereka harus menempuh perjalanan dan ketentuan-ketentuan untuk menyerang dengan gelar-gelar perang yang sudah ditentukan.” Kawannya mengangguk-angguk. Agaknya yang dikatakan kawannya itu memang benar. Setiap laki-laki dapat saja mengangkat senjata dalam keadaan yang gawat. Tetapi jika mereka akan dikerahkan untuk menyerang, maka tentu diperlukan persiapan. Dan persiapan itulah yang akan mereka lihat di Mataram. Namun dalam sekilas para petugas sandi itu sama sekali tidak melihat kesibukan apapun juga. Bahkan rasa-rasanya Mataram terlalu sepi. Menjelang malam, maka keduanyapun kemudian masuk kedalam halaman seorang demang dipadukuhan kecil diluar pintu gerbang. Dengan alasan yang dapat mereka susun sesuai dengan keadaan mereka, maka merekapun bermalam di rumah Ki Demang itu. “Aku mencari saudara perempuan isteriku,“ berkata salah seorang dari mereka, “tetapi aku tidak dapat menemukannya setelah aku berkeliling kota menjelang senja.” “Mengelilingi kota Mataram memerlukan waktu yang lebih lama,“ berkata Ki Demang yang baik hati, “karenanya silahkan angger berdua beristirahat disini. Kami senang sekali menerima angger berdua. Jangankan satu malam. Dua tiga malampun kami tidak akan berkeberatan, sampai saudara perempuan isteri angger itu dapat diketemukan.” “Terima kasih Ki Demang,“ jawab salah seorang dari petugas sandi itu. “Kami senang sekali dengan kesempatan ini. Mudah-mudahan kami akan dapat membalas budi dikesempatan lain.” “O, kenapa harus membalas budi. Ini bukan apa-apa. tetapi adalah menjadi kewajiban kita untuk saling menolong.” Kedua petugas sandi itu mendapat kesempatan yang sebenarnya memang mereka harapkan. Mereka berdua dapat berada di Mataram dalam waktu yang dikehendaki. Malam itu. kedua petugas sandi itu sama sekali tidak keluar dari rumah Ki Demang. Mereka sama sekali tidak mengira, bahwa pada malam itu Raden Sutawijaya telah memasuki Kota dan dengan diam-diam kembali kerumahnya. Tetapi kedua petugas sandi itu telah mendengar ceritera yang mendebarkan jantung dari Ki Demang. Dari Ki Demang kedua petugas sandi itu mendengar bahwa Raden Sutawijaya tidak berada dirumahnya. “Apakah yang mereka lakukan? “ bertanya kedua petugas sandi itu.

“Tidak banyak yang mengetahui. Tetapi hari ini seharusnya Raden Sutawijaya dan pasukannya akan memasuki kota dengan membawa kemenangan.” “Kemenangan apa? “ kedua petugas sandi itu semakin tertarik kepada ceritera itu. “Tidak jelas. Tetapi agaknya ada sekelompok penjahat yang mengganggu Mataram.” Kedua petugas sandi itu termangu-mangu. tetapi mereka mulai diganggu oleh pertanyaan yang bermacam-macam. Mungkin penjahat itu sekelompok penjahat yang kuat. tetapi mungkin penjahat kecil yang terdiri tidak lebih dari sepuluh orang. “Atau, sekedar alasan untuk meninggalkan kota dan mengadakan latihan di daerah yang terpisah dari Mataram ? “ pertanyaan itu timbul didalam hati. Beberapa saat lamanya kedua petugas sandi itu meneoba untuk mengurai persoalan yang mereka hadapi. Karena itu, maka merekapun berusaha untuk memancing ceritera Ki Demang lebih banyak lagi. Tetapi tidak ada keterangan Ki Demang yang dapat memberikan kepastian. Ki Demang hanya mengetahui bahwa pasukan Mataram sedang bertugas di tuar kota yang sedang tumbuh itu, dan akan segera kembali membawa kemenangan. Malam itu, setelah kedua petugas sandi itu masuk kedalam bilik yang disediakan digandok sebelah Timur, keduanya mulai membicarakan langkah-langkah yang akan mereka lakukan. “Kita akan mendapat kesempatan untuk melihat pasukan Mataram memasuki kota dengan kemenangan seperti yang dikatakan oleh Ki Demang,“ berkata salah seorang dari mereka. Yang lain mengangguk-angguk. Namun kemudian Katanya, “Agaknya berita inilah yang telah sampai ke Pajang, sehingga Sultan memerintahkan kita untuk membuktikan, apakah yang sebenarnya terjadi di Mataram. Mungkin Mataram sedang mengejar sepuluh orang penjahat, mungkin lebih. Atau bahkan hanya satu dua orang, tetapi memiliki ilmu yang tinggi sehingga Mataram harus mengerahkan segenap kekuatannya untuk menangkapnya. Dan berita tentang usaha penangkapan itulah yang sampai di Pajang, seolah-olah Mataram sudah siap untuk bertempur.” Kawannya mengangguk-angguk pula. Tetapi ia berkata, “Masih harus dilihat. Dan kita akan terperanjat jika kita melihat pasukan segelar sepapan memasuki kota disambut oleh rakyat dengan sangat meriah.”

Keduanya akhirnya bersepakat untuk berada di kota sehari penuh. Mereka harus melihat kedatangan pasukan itu, agar mereka dapat menilai, apakah Mataram benar-benar telah mempersiapkan pasukannya untuk bertempur, atau sekedar untuk mengejar panjahat-penjahat kecil yang berkeliaran. Pada saat kedua petugas sandi itu kemudian membaringkan dirinya di pembaringan, maka Raden Sutawijaya telah memasuki rumahnya dengan diam-diam. Tidak banyak orang yang mengetahui kehadirannya kembali, karena Raden Sutawijaya tidak mempergunakan tanda-tanda dan ciri-cirinya sebagai Senapati Ing Ngalaga. Demikian pula. kedatangan pasukannya yang terpisah-pisah. Sebagian telah datang berurutan menghadiri peralatan, tetapi mereka kemudian kembali kerumah masing-masing sambil menyembunyikan senjata-senjata mereka di bawah pelana kuda atau ditempat-tempat yang tidak mudah terlihat. Sedang beberapa orang yang lain telah meninggalkan senjata-senjata panjang mereka di tempat peristirahatan pasukan Mataram. Malam itu dengan diam-diam, telah mengalir para pengawal dengan caranya masing-masing, tanpa diketahui oleh kedua orang petugas sandi yang sama sekali tidak menyangka, bahwa pasukan Mataram akan memasuki kota dengan diam-diam. Perjalanan yang menuju ke Sangkal Putung sama sekali tidak mendapat gangguan apapun juga. Tidak ada petugas sandi yang mengamat-amati perjalanan mereka, dan tidak ada penjahat yang mengganggu. Karena itu. maka kelompok-kelompok yang berjalan mendahului Swandaru sama sekali tidak memberikan isyarat-isyarat yang dapat mengganggu perjalanan kelompok-kelompok berikutnya. Hampir semalam suntuk, pasukan Mataram mengalir memasuki kota dengan cara masing-masing. Namun demikian, baru sebagian kecil sajalah dari seluruh pasukan yang telah kembali kepada keluarga mereka, sehingga untuk seluruh pasukan yang ada, diperlukan waktu tiga atau empat hari. Ketika Matahari terbit di Timur, kelompok-kelompok berikutnya harus memilih cara yang lebih cermat Mereka tidak boleh menarik perhatian, bukan saja petugas sandi yang sudah berada di Mataram menurut perhitungan waktu, tetapi juga rakyat Mataram sendiri. Dalam pada itu, kedua petugas sandi yang berada dirumah Ki Demang itupun minta diri untuk meneruskan usaha mereka mencari salah seorang saudara yang berada di Mataram. “Jika kami belum dapat menemukannya hari ini, kami masih akan mohon untuk diperkenankan bermalam di padukuhan ini. Jika kami dianggap sangat mengganggu dirumah ini, maka biarlah kami berada di banjar saja,“ berkata salah seorang petugas sandi itu.

“Ah tidak. Sama sekali tidak. Kami tidak berkeberatan, seandainya kalian berdua berada dirumah kami lebih lama lagi.” jawab Ki Demang. Memang jawaban itulah yang mereka tunggu, sehingga mereka akan dapat meneruskan usaha mereka mengamat-amati Mataram dengan lebih saksama. Namun ketika mereka berdua memasuki kota, mereka sama sekali tidak melihat perubahan apapun dari yang mereka lihat sebelumnya. Mataram tetap dalam kehidupan wajarnya sehari-hari. Pasarpasar menjadi kian ramai dan jalan-jalan menjadi semakin banyak orang lewat hilir mudik dengan keperluan masing-masing. “Tidak ada kegiatan keprajuritan yang nampak meningkat,“ desis salah seorang dari kedua petugas sandi itu. Kawannya mengangguk. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Kita memang harus menunggu. Pasukan yang akan memasuki kota dengan kemenangan itu akan menunjukkan kepada kita, apakah yang sebenarnya telah terjadi di Mataram,“ sahut yang lain. “Raden Sutawijaya agaknya akan segera membawa pasukannya memasuki kota setelah tertunda-tunda seperti yang dikatakan oleh Ki Demang. Ternyata kemarin pasukan itu masih belum datang. Mungkin hari ini,“ berkata kawannya. Keduanya berjalan menyusuri jalan-jalan besar di kota Mataram. Dengan sengaja mereka melalui tempat-tempat yang dapat menjadi pusat kegiatan prajurit Mataram. Namun yang mereka lihat hanyalah beberapa orang petugas yang berjaga-jaga di regol seperti biasanya. Tidak ada kesan apapun yang nampak seperti berita yang tersiar di Pajang, seolah-olah Mataram telah siap berperang. Tetapi keduanya masih menunggu. Mereka berharap akan dapat melihat pasukan yang membawa kemenangan itu memasuki kota. Tetapi hampir sehari penuh mereka memutari kota, mereka sama sekali tidak melihat tanda-tanda apapun juga. Bahkan berita kedatangan psukan yang membawa kemenangan itupun tidak kunjung mereka dengar kelanjutannya. Ketika kedua orang petugas sandi itu berada didalam sebuah warung, mereka mendengar beberapa orang yang berbicara tentang pasukan yang belum datang itu. “Berita itu kemarin rasa-rasanya sudah pasti,“ berkata salah seorang dari mereka. “Aku kira sekedar desas-desus. Tetapi-seakan-akan menjadi pasti,“ jawab yang lain. Kedua petugas itu mencoba menangkap pembicaraan orang-orang itu. Tetapi mereka sama sekali tidak menemukan tanda-tanda yang dapat mereka jadikan sebagai pegangan. Dengan penuh kebimbangan kedua petugas itu meninggalkan warung itu dan dengan langkah pendek

dan perlahan-lahan mereka berjalan menyusuri jalan menjelang senja, seperti dua orang sahabat yang sedang berjalan-jalan menghabiskan waktunya. Namun kedua orang itu terkejut, ketika mereka melihat beberapa orang berkuda. Hanya beberapa saja. Tidak lebih dari enam orang. “Itukah Senopati?,“ desis yang seorang. “Ya. Ia baru datang,“ sahut yang lain. “Kau gila. Tentu tidak. Mereka hanya berenam.” Yang lain mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Ya. Nampaknya Sutawijaya sedang meronda daerahnya. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa ia baru datang dari daerah pertempuran.” “Ya. Pengawal-pengawalnya hanya bersenjata sederhana. Tanpa tanda kebesaran apapun juga.” Kedua orang itupun melangkah menepi. Sejenak mereka berdiri termangu-mangu melihat Raden Sutawijaya berkuda dengan pengawal yang sedikit itu. Kelengkapan pakaian dan senjatanya benarbenar tidak menunjukkan bahwa ia baru datang dari daerah peperangan. “Orang-orang Mataram memang gila,” geram salah seorang dari kedua petugas sandi itu setelah iringiringan kecil itu lewat. “Kenapa?” “Tentu Sutawijaya tidak pergi berperang. Jika dalam beberapa lama ia tidak nampak di Mataram, itu bukan berarti ia pergi berperang dan kembali membawa kemenangan.” “Lalu, bagaimana menurut dugaanmu?” “Seperti biasa. Ia suka bertualang untuk waktu yang cukup lama. Nanti, pada saatnya ia akan pulang membawa dua atau tiga orang isteri. Jika tidak, maka setahun kemudian akan berdatangan bayi-bayi yang menanyakan siapakah ayahnya,“ berkata salah seorang dari kedua petugas itu dengan geramnya, “sementara itu ia membuat desasdesus bahwa ia pergi berperang menumpas kejahatan, dan akan kembali membawa kemenangan.” Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia berkata, “Kau dipengaruhi oleh kejengkelan perasaan, ia bukan saja bertualang mencari selir-selir baru disepanjang padesan. Tetapi iapun singgah ditempat-tempat yang sepi dan keramat. Ia suka mesu diri untuk menyempurnakan segala macam ilmu yang telah dimilikinya Ilmu kanuragan dan ilmu kajiwan.”

Kawannya mengerutkan keningnya, sementara yang lain berbicara terus, “Dan kini ia benar-benar telah menjadi orang yang pilih tanding dalam usianya yang masih sangat muda itu.” “Ya. Ia memang seorang yang punjul ing apapak. Bukan saja dalam olah kanuragan. Tetapi juga didalam mengembangkan keluarganya. Dalam usianya yang masih muda ia sudah mempunyai beberapa orang putera dari ibu yang berbeda.” Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Sambil melanjutkan perjalanan kembali kerumah Ki Demang yang tidak begitu jauh dari gerbang kota mereka masih memperbincangkan Sanapati Ing Ngalaga sebagai pribadi. Malam itu, kedua petugas sandi itupun telah menemukan kesimpulan dari kunjungannya ke Mataram. Mataram tidak ada apa-apa, selain sifat sombong dan berbangga diri. Selebihnya mereka menjunjung Raden Sutawijaya terlalu tinggi didalam tanggapan mereka atas pribadinya, sehingga mereka menganggap seolah-olah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu sebagai seorang penakluk yang menakjubkan. Meskipun demikian, para petugas sandi itu akan tinggal sehari lagi di Mataram untuk meyakinkan diri, bahwa di Mataram memang tidak ada apa-apa, selain pembicaraan orang-orang disepanjang jalan dan dibalik pintu-pintu rumah, seolah-olah Senapati junjungan mereka itu adalah manusia yang memiliki kelebihan dari manusia sewajarnya. Ketika kedua petugas sandi itu sempat berbicara pula dengan Ki Demang, maka merekapun tidak lagi menaruh banyak perhatian. Mereka hanya sekedar mengiakan keterangan-keterangannya karena mereka ingin menghormat Ki Demang yang telah memberikan penginapan kepada mereka dengan pelayanan yang justru berlebih-lebihan. Seperti yang mereka rencanakan, maka dihari berikutnya mereka masih berada di Mataram. Tetapi seperti hari-hari sebelumnya, mereka tidak melihat apapun juga yang dapat menimbulkan kecurigaan, bahwa Mataram telah mempersiapkan diri untuk memberontak terhadap Pajang seperti yang dicemaskan oleh orang-orang Pajang. “Itulah cerdiknya Raden Sutawijaya,“ desis salah seorang petugas itu, “ia telah berhasil membuat orang-orang Pajang, justru para perwira dan pimpinan pemerintahan, bahkan Sultan Hadiwijaya sendiri menjadi cemas dan mengirimkan kami kemari. Jika mereka melihat sendiri apa yang ada di Mataram sebarang, maka mereka tentu akan menjadi malu terhadap kecurigaan mereka.” Yang lain mengangguk-angguk kecil. Sahutnya, “Kita akan segera kembali dan melaporkan, bahwa yang ada hanyalah orang-orang yang sibuk memperluas tanah gerapan. Para petani yang pergi kepasar menjual hasil buminya, dan satu dua orang pengawal yang meronda bersama Raden Sutawijaya sendiri.” “Besok pagi-pagi kita akan kembali ke Pajang dengan berita yang tentu aneh bagi mereka yang hatinya sekecil serbuk.”

Dalam pada itu, selagi para petugas sandi sibuk dengan penyelidikkannya di Mataram. Agung Sedayu yang berada di Tanah Perdikan Menoreh mulai bersiap-siap untuk minta diri. Apalagi setelah Ki Waskitapun merasa sudah terlalu lama berada di Tanah Perdikan Menoreh sebelum ia kembali kepada keluarganya. “Aku sudah terlalu lama meninggalkan rumah,“ berkata Ki Waskita, “aku harap Ruditapun telah berada dirumah pula. Tentu ia berceritera kepada ibunya, apa yang dilihatnya dilembah itu. Suatu peristiwa yang sangat tidak disukainya.” “Apakah bibi Waskita akan terkejut, atau ngeri atau perasaan-perasaan lain tentang peperangan? “ bertanya Agung Sedayu. “Sebenarnya bibimu sudah banyak mendengar ceritera tentang peperangan. Ketika aku masih muda, dengan bangga aku sengaja menceriterakan peristiwa-peristiwa yang mendebarkan. Bahkan kadangkadang aku telah menambahnya dengan berbagai macam khayalan untuk memberikan kesan yang lebih dahsyat tentang diriku.” Dan agaknya saat itu, iapun ikut berbangga. Ki Waskita berhenti sejenak, lalu. “tetapi agaknya sekarang keadaannya jadi lain. Ia tidak tertarik lagi kepada ceritera-ceritara tentang peperangan, tentang pembunuhan dan tentang peristiwa-peristiwa yang mengerikan lainnya, sejalan dengan umurnya yang semakin tua. Apalagi jika Ruditalah yang menceriterakannya. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sekilas ia terkenang kepada Sekar Mirah. Gadis itu bukan hanya berbangga mendengar ceritera tentang peperangan. Tetapi ia sendiri merupakan seorang yang berbangga justru karena dirinya ada didalam peperangan. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Pandan Wangi juga termasuk salah seorang perempuan yang bersenjata dilambungnya. Seorang perempuan yang pernah berada dimedan perang, dan bahkan pernah membunuh seseorang. Tetapi Agung Sedayu melihat perbedaan diantara keduanya. Pandan Wangi melakukannya dengan wajar atas tanggung jawab yang dibebankan kepadanya tanpa membusungkan dadanya. Tetapi Sekar Mirah masih memerlukan pujian dan kekaguman orang lain atas kemenangan-kemenangan yang dicapainya. Agung sedayu seakan-akan sadar dari angan-angannya ketika Ki Waskita berkata, “Karena itu ngger. Aku merasa sudah cukup lama berada di Tanah Perdikan Menoreh. Aku sudah bermalam tiga malam disini. Agaknya sudah sampai saatnya aku mohon diri.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berguman, “Aku pun sudah terlalu lama meninggalkan adikku di padepokan.” Ki Waskita termenung sejenak. Lalu. “Salamku buat anak yang baik itu. Aku kira pada suatu saat

Glagah Putih akan menjadi seorang yang mumpuni. Apalagi menilik sikap dan tingkah lakunya, ia akan dapat menerima petunjuk-petunjuk yang baik bagi dirinya dimasa depannya sebagai seorang yang hidup dalam satu lingkungan peradaban.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja kerinduannya kepada Glagah Putih telah melonjak dihatinya. Karena itu maka Katanya, “Akupun akan mohon diri.” “Tetapi jangan bersama-sama,“ berkata Ki Waskita, “Ki Gede akan merasa dengan tiba-tiba. Tanah Perdikan ini terlalu sepi.” ”Tetapi bukankah Prastawa ada?,“ desis Agung Sedayu. “Ya. Tetapi ia tidak sepenuhnya berada di sisi Ki Gede. Sekali-kali ibu bapanya merindukannya. Dan ia harus kembali kepada Ki Argajaya yang seolah-olah telah mengasingkan diri itu. Kesalahannya dimasa lampau selalu membayanginya, sehingga ia sama sekali tidak ingin berbuat sesuatu lagi.” Agung Sedayu berpikir sejenak. Lalu. “Baiklah Ki Waskita. Sebaiknya kita memang tidak bersama-sama meninggalkan Ki Gede. Karena itu, aku yang jarak perjalanannya lebih banyak, akan mohon diri lebih dahulu. Baru kemudian, satu dua hari lagi. Ki Waskita akan pulang pula kerumah.” “Ah,“ Ki Waskita tersenyum. Jawabnya, “Tentu bukan begitu. Akulah yang akan mohon diri lebih dahulu. Aku telah ditunggu anak isteriku. Nah. jika angger Agung Sedayu mempunyai anak isteri, aku akan mengalah. Karena itu cepat-cepatlah sedikit.” Agung Sedayupun tersenyum pula. Tetapi ia kemudian berdesah dan berkata, “Sebenarnya aku ingin juga tergesa-gesa. Tetapi masih ada syarat yang harus aku penuhi. Aku sekarang bukan apa-apa. Aku sekedar seorang penunggu padepokan kecil itu.” “Ah, apa bedanya. Padepokan itu ternyata telah berkembang. Hasilnya akan mencukupi untuk hidup sederhana.” “Itulah yang sulit dilaksanakan paman. Hidup sederhana memang memberikan kepuasan tersendiri. Tetapi bagi aku dan barangkali paman. Namun agaknya lain dengan Sekar Mirah.” Ki Waskita mengangguk-angguk. Sekilas terbayang keburaman pada penglihatannya atas masa mendatang bagi Agung Sedayu dan Swandaru. Namun Ki Waskita berkata, “Jika demikian, kalian harus membangun suasana saling mengerti lebih dahulu. Meskipun demikian, kaupun harus berusaha untuk membuat dirimu berarti didalam kehidupan ini.

Berarti bukannya harus menjadi seorang yang besar. Jika arti dari hidupmu bukannya dihayati oleh Sekar Mirah, maka aku kira ia akan dapat menikmati kepuasanmu dalam lingkungan kehidupan.” “Itulah sulitnya paman. Hidup yang berarti bagi Sekar Mirah menurut pengenalanku adalah kekuatan dan kedudukan. Bahkan dengan cemas aku melihat perhatian Sekar Mirah pada hartapun nampaknya mempengaruhi sikap hidupnya.” Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat mengingkari pengenalannya, seperti yang dilihatnya pada Swandaru. Namun demikian ia masih berkata, “Semuanya akan dapat berubah dan berkembang meskipun perlahan-lahan. Itulah sebabnya kau harus telaten dan cobalah dengan sungguhsungguh.” “Itulah yang sulit paman, sementara kakang Untara selalu berusaha mendorongku memasuki lingkungan keprajuritan Pajang.” “Itu sudah wajar. Tetapi apakah kau tidak pernah memikirkan kemungkinan untuk memenuhi keinginan Untara dan sekaligus Sekar Mirah?” “Menjadi seorang senapati? Seorang yang berkuasa berderajat?” bertanya Agung Sedayu. Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam, ia sadar, bahwa Agung Sedayu memang tidak tepat menjadi seorang prajurit. Apalagi seorang Senapati. Ia lambat mengambil sikap dan bahkan ragu-ragu. Ia masih terlampau banyak dipengaruhi oleh perasaan pada pertimbangan-pertimbangan nalarnya bagi seorang prajurit. Karena itu. maka sambil tersenyum ia berkata, “Memang setiap orang mempunyai arena yang dapat dipilihnya sendiri sesuai dengan kemantapan pikir dan rasa. Dan agaknya angger Agung Sedayu memang bukan seorang prajurit.” “Aku kira memang demikian paman,“ sahut Agung Sedayu, “jika aku memaksa diri untuk menjadi seorang prajurit, maka yang mungkin dapat aku lakukan hanyalah berkelahi sekedarnya untuk membela, diri. Tetapi selebihnya aku tidak mempunyai kemampuan apapun juga.” Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam, lalu katanya, “Sebaiknya kau memang harus mempertimbangkan semuanya dengan baik. Tetapi kaupun harus mencoba mencari jalan untuk dapat memenuhi keinginan.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi semuanya masih tetap gelap baginya. Jika ia ingin memenuhi keinginan Sekar Mirah untuk menjadi seseorang yang berpangkat dan berkuasa, maka ia sama sekali belum tahu, apa yang harus dilakukannya. Pekerjaan apakah yang harus dipilihnya.

Dalam pada itu, Ki Waskita masih sempat memberikan beberapa pesan yang lain sebelum ia memutuskan untuk meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. “Aku tidak mempersilahkan angger singgah,” berkata Ki Waskita, “aku tahu bahwa angger tentu tidak akan bersedia.” Agung Sedayu tertawa. Jawabnya, “Belum tentu paman. Jika paman berkenan, aku sebenarnya memang akan singgah.” Ki Waskita tertawa. Katanya, “Tentu senang sekali menerima. Tetapi angger Agung Sedayu agaknya ingin benar kembali dengan segera ke Sangkal Putung.” Agung Sedayu tidak menjawab. Ia sadar, bahwa Ki Waskita tentu dapat membaca hatinya dari sikapnya. Karena itu, iapun justru mengangguk-angguk sambil berkata, “Agaknya memang demikian. Dan keinginan ini seakan-akan tidak dapat ditunda lagi.” Dengan demikian, maka keduanyapun telah mengambil keputusan untuk meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi mereka berjanji untuk mengambil saat yang berbeda. Ki Waskita akan minta diri lebih dulu. Baru kemudian Agung Sedayu. Seperti yang diduga, ketika Ki Waskita minta diri, rasa-rasanya Ki Gede sangat berat untuk melepaskannya. Namun Ki Gedepun sadar, bahwa Ki Waskita memang berhak untuk segera meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh kembali kepada keluarganya. Meskipun demikian, Ki Gede masih berpesan, “Sering-seringlah datang kemari Ki Waskita. Bawalah Rudita serta. Dengan demikian aku tidak akan merasa sangat kesepian di Tanah Perdikan yang rasa-rasanya telah menjadi kosong ini.” “Baiklah Ki Gede. Aku berjanji, bahwa aku sekali-sekali akan membawa keluargaku datang kemari,“ sahut Ki Waskita. Demikianlah, dengan berat Ki Gede Menoreh telah melapaskan Ki Waskita pergi meninggalkan rumahnya. Prastawapun mengantarkan Ki Waskita sampai diluar halaman, saat Ki Waskita berangkat bersama Ki Gede dan Agung Sedayu. “Ia pulang kepada keluarganya,“ desis Ki Gede Menoreh, “sudah terlalu lama ia meninggalkan mereka.”

“Baru saja ia kembali kepada bibi,“ berkata Prastawa. “Tetapi hanya sekedar menengok saat kita akan berangkat menuju kelembah itu. Namun sebelumnya ia sudah cukup lama meninggalkan rumahnya.” Prastawa mengangguk-angguk. Diluar sadarnya ia berdesis, “Rudita hadir juga dipertempuran itu.” “Dengan sikapnya sendiri,“ sahut Agung Sedayu. Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Iapun mengerti, bahwa Rudita mempunyai sikap yang berbeda. Bahkan menurut Prastawa, Rudita bukanlah seorang laki-laki yang utuh. “Ia lebih senang berada di dapur,“ berkata Prastawa. “Ia adalah seorang laki-laki yang sebenarnya,“ berkata Agung Sedayu diluar sadarnya. “He? “ Prastawa memandang Agung Sedayu dengan heran, “apakah yang sudah dilakukannya sebagai seorang laki-laki?” “Ia yakin akan sikapnya. Sikap jiwani yang mantap.” “O, jadi seorang pengecut yang menyadari dirinya sebagai seorang pengecut itupun dapat kau anggap sebagai seorang laki-laki sejati.” “Ia bukan seorang pengecut. Kitalah yang pengecut, karena kita tidak berani mengambil sikap dengan yakin seperti yang dilakukan oleh Rudita.” “Kaupun agaknya sudah gila. Jadi menurut penilaianmu, siapakah yang pengecut?” “Aku. Aku tidak berani mengambil sikap yang mantap seperti Rudita dan seperti kau.” “Aku sependapat,“ sahut Prastawa, “kau memang seorang pengecut. Sebenarnya kau memiliki kemampuan yang cukup. Tetapi kau tidak yakin sama sekali.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat marah, karena Prastawa hanya sekedar mengulangi pendapatnya sendiri. Karena itu Agung Sedayu tidak menyahut lagi. Jika ia bertengkar dengan Prastawa dan terdengar oleh Ki Gede Menoreh, maka ia tentu akan menjadi malu sekali. Agung Sedayupun kemudian meninggalkan Prastawa mendekati Ki Gede yang diregol dan bahkan telah melangkah masuk. Sambil merenungi dirinya sendiri, Agung Sedayu mengikutinya dibelakang. Namun ketika Ki Gede naik kependapa, Agung Sedayupun telah menyimpang pergi kegandok. Kedalam bilik yang diperuntukkan baginya selama berada di Tanah Perdikan Menoreh.

Untuk beberapa saat lamanya, Agung Sedayu sempat merenungi dirinya. Kemudian dengan gehsah ia mulai menilai adik seperguruannya Swandaru yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan Sekar Mirah. Bahkan di Tanah Perdikan Menorehpun ia telah menjumpai seorang anak muda yang mempunyai sifat serupa. Kegelisahannya itulah yang kemudian membuatnya semakin rindu kepada padepokan kecilnya. Kepada Glagah Putih. Kepada pamannya, Widura dan kepada gurunya. Seakan-akan ia tidak tahan lagi untuk tinggal di Tanah Perdikan Menoreh meskipun hanya untuk dua tiga hari. Meskipun demikian, Agung Sedayu harus memaksa diri. Ia tidak sampai hati meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh bersamaan waktunya dengan Ki Waskita, sehingga dengan demikian, Ki Argapati akan merasa rumahnya itu sangat sunyi. Namun dengan demikian, justru Agung Sedayulah yang merasa kesepian. Ia seakan-akan tinggal sendiri diantara orang-orang asing di Tanah Perdikan Menoreh, meskipun ia sudah mengenal hampir setiap orang pengawal yang bergantian berada digardu didepan regol rumah Ki Argapati. “Agaknya Ki Gedepun merasa asing diantara orang-orangnya sendiri,” berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri. Tetapi Agung Sedayu akhirnya merasa tidak betah tinggal didalam biliknya. Dengan langkah yang kosong ia berjalan keluar. Hampir tanpa disadarinya, ia sudah berjalan menuju ke gardu di depan regol halaman, menjumpai beberapa orang pengawal yang sedang bergurau dengan riangnya. Sejenak kemudian Agung Sedayupun telah berusaha menyesuaikan dirinya dengan suasana yang riang. Iapun ikut bergurau dan tertawa pula. Bahkan rasa-rasanya ialah yang paling keras tertawa. Kawan-kawannya ikut bergembira pula karena kegembiraannya. Namun tidak seorangpun yang mengetahui bahwa Agung Sedayu tertawa keras-keras untuk menghalau kegelisahan yang mencengkan hatinya. Bahkan para pengawal yang sedang bertugas itu, telah melupakannya, bahwa sebenarnya Agung Sedayu bukanlah anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh. Prastawa yang mendengar gelak yang gembira mendekati gardu itu pula. Langkahnya tertegun ketika ia melihat Agung Sedayu telah berada didalam gardu itu pula. “Marilah Prastawa,“ para pengawal mempersilahkan, “duduklah.” Prastawa maju selangkah sambil bergumam, “Kalian nampak sangat gembira hari ini.” “Kita semuanya bergembira,“ berkata pengawal itu. “Kita masih sempat melihat kampung halaman setelah kita mengalami pertempuran yang sangat dahsyat, yang sepanjang hidupku belum pernah aku

alami.” Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia menyahut, “Ya. Kita bergembira karena kita dapat pulang kepada keluarga kita masing-masing.” Namun ketika terpandang olehnya Agung Sedayu, maka iapun melanjutkan. “Tetapi tidak sepantasnya kita bergurau sambil berteriak-teriak. Meskipun kita tetap hidup, tetapi kita banyak kehilangan. Mungkin orang-orang yang lewat, dan mendengar kalian berkelakar anak-anak itu, telah kehilangan anaknya atau suaminya atau saudaranya dipeperangan. Biarlah orang lain tidak mau mengerti dan tidak menyatakan ikut bersedih. Tetapi kita, anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh jangan berbuat demikian.” Wajah Agung Sedayu menegang sejenak. Namun iapun kemudian menundukkan kepalanya. Tusukan kata-kata Prastawa telah melukai hatinya. Seakan-akan ia sama sekali tidak mempedulikan peperangan yang baru saja selesai dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Meskipun demikian Agung Sedayu sama sekali tidak menyahut. Bahkan ia sama sekali tidak menatap wajah Prastawa yang terangkat sambil bertolak pinggang. “Masa berkabung masih belum kita lampaui,” berkata Prastawa kemudian, “karena itu, jangan berteriak-teriak seperti orang kehilangan akal. Kalian adalah anak-anak muda Tanah Perdikan yang baik.” Para pengawal itupun mengangguk-angguk. Mereka merasa menyesal bahwa mereka telah bergurau dengan gembira sekali tanpa menghiraukan kepahitan perasaan mereka yang telah kehilangan dipeperangan. “Jika kalian bergurau, berguraulah. Tetapi tahanlah sedikit tertawamu,“ berkata Prastawa sambil meninggalkan gardu itu. Sepeninggal Prastawa suasana digardu itu menjadi lain. Agung Sedayu yang duduk sambil menundukkan kepalanya bergumam, “Aku menyesal. Tetapi itu bukan berarti bahwa aku tidak dapat mengerti suasana duka di Tanah Perdikan ini. Jika aku terseret kedalam arus kegembiraan, karena aku justru ingin melupakan yang menggelisahkan hati itu. Mungkin aku memang orang lain disini. Tetapi aku sudah berusaha untuk berbuat sesuatu bagi Tanah ini seperti bagi kampung halamanku sendiri.” Seorang yang lebih tua dari para pengawal yang berada digardu itu menyahut, “Kita semuanya telah bersalah. Tetapi tidak ada alasan untuk menuduhmu acuh tidak acuh terhadap Tanah Perdikan Menoreh. Apa yang kau lakukan dipeperangan telah meyakinkan kami, bahwa kau telah berbuat terlalu banyak. Jauh lebih banyak dari anak-anak muda di Tanah Perdikan ini sendiri.” “Terima kasih atas pujian itu. Kita bersama-sama telah melakukannya. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Prastawa,

agaknya aku tidak ikut berprihatin bagi kedukaan yang ada di Tanah Perdikan ini.” Anak-anak muda digardu itu memandang Agung Sedayu dengan tatapan mata yang aneh. Dipeperangan Agung Sedayu adalah raksasa yang menakutkan bagi lawan-lawannya. Ia telah membunuh dan melumpuhkan orang-orang yang paling kuat. yang tidak dapat dilakukan oleh Ki Gede Menoreh. Tetapi tiba-tiba saja anak muda itu telah berubah menjadi seperti seorang gadis pemalu yang ditegur oleh orang tuanya karena kesalahan kecil. Namun dalam pada itu, anak-anak muda di Tanah Perdikan Menorehpun menjadi cemas melihat sikap Prastawa. Jika pada suatu saat Agung Sedayu menjadi marah, maka akibatnya akan buruk sekali baginya. Tetapi saat itu, agaknya Agung Sedayu tidak akan marah. Ia lebih banyak menyalahkan diri sendiri. Bahkan mendekati perasaan malu karena ia seakan-akan tidak ikut berduka bersama rakyat Tanah Perdikan Menoreh yang telah kenilangan anak-anak muda terbaik dalam pertempuran dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Karena itu, maka pembicaraan digardu itupun telah berubah menjadi pembicaraan yang bersungguhsungguh. Namun justru karena itu, maka mereka mulai berbicara tentang ilmu kanuragan dan kemungkinankemungkinan dimasa depan Tanah Perdikan Menoreh. “Agung Sedayu,“ tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “kenapa kau tidak tinggal di Tanah ini saja? Kau dapat memindahkan padepokan kecilmu di Tanah Perdikan Menoreh. Disini tanah masih cukup luas.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tersenyum. Ia menganggap bahwa pertanyaan itu adalah sekedar pertanyaan yang begitu saja diucapkan dalam ketegangan suasana. “Di Jati Anom, aku berada di bumi kelahiranku,“ berkata Agung Sedayu, “padepokan kecil itu aku dirikan bersama guru diatas tanah pemberian kakakku. Karena itu, padepokan itu mempunyai arti tersendiri bagiku.” Anak-anak muda itu tidak mendesaknya. Tetapi adalah diluar dugaan Agung Sedayu ketika salah seorang dari mereka berkata, “Agung Sedayu. Meskipun umurmu tidak lebih dari umur kami, tetapi setiap orang mengakui, banwa kau lelah mermliki ilmu yang luar biasa. Sebenarnya kami tidak pantas berkumpul dan bergaul dengan orang-orang berilmu seperti kau. Tetapi karena sikapmu dan keinginanmu sendiri untuk berada diantara kami, maka agaknya telah timbul keberanian pada kami untuk meminta kau mempergunakan waktumu yang ada selama kau berada di Tanah Perdikan ini untuk sekedar menambah pengetahuan kami tentang olah kanuragan.” Permintaan itu telah mendebarkan jantung Agung Sedayu. Sebenarnya ia tidak berkeberatan untuk melakukannya. Tetapi ia menjadi ragu-ragu karena sikap

Prastawa. Seperti kebiasaannya, maka Agung Sedayu telah membuat seribu macam pertimbangan. Jika ia menerima permintaan itu, mungkin ia akan menyinggung perasaan Prastawa. Tetapi jika tidak, maka seolah-olah ia tidak mau membantu perkembangan kemampuan para pengawal di Tanah Perdikan Menoreh. Dalam kebimbangan itu, akhirnya Agung Sedayu berkata, “Sebenarnya aku tidak mempunyai keberatan. Tetapi kalian adalah pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, semuanya terserah kepada Ki Gede. Jika Ki Gede sependapat, maka aku akan tinggal beberapa hari disini untuk berlatih bersama-sama. Tentu saja tidak semua pengawal, tetapi beberapa orang pimpinannya dan orang-orang terpenting saja diantara kalian. Dengan demikian maka latihan bersama itu akan dapat memberikan hasil. Kita akan dapat saling mengisi kekurangan kita masing-masing.” Anak-anak muda itu menarik nafas. Mereka senang akan kesanggupan Agung Sedayu untuk memberikan beberapa petunjuk. Tetapi mereka juga kagum akan kerendahan hati Agung Sedayu. Adalah mendebarkan jantung, jika Agung Sedayu masih juga ingin berlatih bersama dan akan saling mengisi kekurangan. Tetapi anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh sudah mengenal Agung Sedayu seperti mereka mengenal kawan sejak masa kanak-kanak. Diam-diam anak-anak muda itu mulai menilai, perbedaan yang tajam antara Agung Sedayu dan Prastawa. Bahkan anak-anak muda itu tidak saja terhenti pada sifat kedua anak muda itu. Namun diluar keinginan mereka sendiri, anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu mulai mengenang sikap dan tingkah laku Ki Argajaya. “Pada saat-saat yang gawat itu Agung Sedayu dan adik seperguruannya yang gemuk itu sudah ikut serta menentukan keadaan,” kenangan itulah yang telah bergejolak didalam hati anak-anak muda itu. Namun seperti pimpinan mereka, Ki Gede Menoreh, maka anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh itu telah menerima kawan-kawan mereka yang terlibat kedalam kesesalan masa lalu. Bahkan Ki Gede Menoreh telah memberikan kepercayaan kepada Prastawa sebagai kemenakannya untuk mulai tampil pada pucuk pimpinan Tanah Perdikan Menoreh karena Ki Gede tidak mempunyai orang lain dari lingkungan keluarganya. Beberapa orang pemimpin kepercayaannya yang lain memang merupakan dukungan kekuatan yang besar bagi Tanah Perdikan Menoreh. Namun pada suatu saat, jika Ki Gede harus meninggalkan kedudukannya dengan alasan apapun, maka harus ada seseorang yang dapat mewakili Pandan Wangi dan suaminya, memerintah Tanah Perdikan Menoreh dengan sebaik-baiknya. Hal itu disadari oleh setiap orang yang dengan sadar mengikuti perkembangan Tanah Perdikan Menoreh. Para pemimpin pengawal dan bahkan para pemimpin padukuhan-padukuhan sampai yang

sekecil-kecilnya. Karena itulah, maka kehadiran Agung Sedayu di Tanah Perdikan Menoreh itu mendapat perhatian yang khusus dari anak-anak muda. Bukan saja karena ia memiliki kemampuan raksasa yang tidak dapat mereka jangkau dengan nalar mereka, tetapi juga sikapnya yang rasa-rasanya telah menyatu dengan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi meskipun sangkut paut keguruan, ia adalah saudara Swandaru, suami Pandan Wangi yang berhak mewarisi pimpinan Tanah Perdikan Menoreh. “Jika aku harus memilih,“ tiba-tiba salah seorang dari mereka berbisik ditelinga kawannya yang duduk disudut, “aku memilih Agung Sedayu dari Prastawa.” Diluar sadarnya kawannya menjawab. “Tentu.“ Kawan-kawannya yang mendengar jawaban itu tanpa mengetahui persoalannya berpaling kepadanya. Salah seorang telah bertanya, “Apa yang kau katakan?” Anak muda itu menggeleng sambil menjawab, “Tidak. Aku tidak berkata apa-apa.” “Aku dengar kau bergumam,“ desis yang lain. Kawannya termangu-mangu. Namun ia kemudian tetap menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Tidak. Aku tidak berkata apa-apa.” Karena itu, maka kawan-kawannya, tidgk menghiraukannya lagi. Perhatian mereka kembali tertuju kepada Agung Sedayu. Salah seorang dan mereka kemudian berkata, “Apakah maksudmu kami harus berbicara dengan Ki Gede, dan mohon ijinnya untuk menyadap ilmu kanuragan darimu?” “Bukan begitu. Tetapi jika Ki Gede memerintahkan kepadaku, maka aku akan melakukannya. Jangan keliru.” Anak-anak muda itu mengerti maksud Agung Sedayu. Ia tidak akan berbuat sesuatu mendahului pimpinan tertinggi Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, maka salah seorang dari merekapun berkata, “Sebaiknya kita menghadap Ki Gede Menoreh, dan mohon agar Ki Gede berkenan minta agar Agung Sedayu bersedia tinggal beberapa lama disini.” “Tidak terlalu lama,“ potong Agung Sedayu, “hanya beberapa hari. Aku sudah sangat rindu kepada padepokan kecilku dan kepada adikku yang aku tinggalkan disana.” “Ah, tentu bukan padepokan kecil dan adik dipadepokan itu,“ potong salah seorang dari para pengawal. “Jadi? “ bertanya Agung Sedayu.

“Tentu gadis Sangkal Putung itu.” “Ah,“ Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Beberapa orang mulai tertawa lagi. Tetapi ketika salah seorang meletakkan jari-jarinya dibibirnya, yang lainpun segera terdiam pula. Demikianlah, maka anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh berusaha untuk dapat menghadap Ki Gede. Sebelumnya mereka sempat berbicara satu dengan yang lain untuk menentukan sikap lebih jauh lagi. Tidak seorangpun yang menolak. Mereka justru berbesar hati atas kesediaan Agung Sedayu untuk memberikan latihanlatihan olah kanuragan seperti saat-saat mereka akan pergi ke lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Meskipun hanya dalam waktu singkat, tetapi petunjuk-petunjuk Agung Sedayu telah berhasil mereka kembangkan didalam diri masing-masing, sehingga sangat berguna untuk menghadapi persoalan yang paling gawat dimedan yang mengerikan itu. “Tanpa petunjuk-petunjuk pendahuluan dari Agung Sedayu, maka kami akan ditelan oleh pasukan lawan dalam gelar Glatik Neba itu,“ berkata salah seorang dari mereka. “Kita akan memilih beberapa orang diantara kita. Tentu yang terbaik. Mereka harus dengan sungguhsungguh menyadap ilmu dari anak muda itu. Kemudian mereka harus mengembangkannya diantara kita semuanya,“ berkata kawannya yang lain. Ternyata Ki Gede yang kesepian itu, dengan senang hati menerima kedatangan anak-anak muda yang ingin menyatakan keinginannya untuk mendapatkan ilmu kanuragan dari Agung Sedayu. Dengan hati-hati salah seorang yang tertua diantara anak-anak muda itu menyampaikan maksudnya kepada Ki Gede, agar Ki Gede berkenan minta kepada Agung Sedayu untuk memberikan tuntunan kepada anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh. Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia mengangguk-angguk sambil tersenyum. Jawabnya, “Kalian memberikan kebanggaan kepadaku. Usaha itu berarti kesadaran bahwa kalian merasa masih jauh dari sempurna. Kesadaran itu akan banyak memberikan arti bagi perkembangan kalian dan Tanah Perdikan Menoreh. Aku lebih senang melihat kahan merasa masih jauh dari sempurna daripada jika kalian atau sebagian dari kalian merasa bahwa kalian adalah anak-anak muda yang paling dahsyat dari lingkungan kalian.” Dengan demikian maka Ki Gede Menorehpun sama sekali tidak berkeberatan dengan permintaan anak-anak muda itu. Dengan senang hati iapun kemudian menyampaikannya kepada Agung Sedayu. Agung Sedayu yang sudah mengetahui persoalannya itupun menerima dengan senang hati. Tetapi ia hanya dapat memberikan waktunya beberapa hari saja, karena iapun ingin segera kembali ke Sangkal

Putung. Di hari berikutnya, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah memilih beberapa orang anak muda yang dianggap dapat mewakili para pengawal yang lain. Mereka datang dari berbagai padukuhan yang tersebar di Tanah Perdikan Menoreh. “Dua puluh lima orang,“ berkata salah seorang dari mereka yang ditunjuk menjadi pemimpin dari para pengawal yang terpilih untuk mengikuti latihan khusus dari Agung Sedayu. “Cukup banyak,“ jawab Agung Sedayu, “tetapi baiklah. Kita akan segera mulai. Waktuku tidak terlalu banyak.” Bersama dengan keduapuluh lima anak-anak muda itu. Agung Sedayu telah memilih tempat di bawah kaki pegunungan. Berbekal pengetahuannya tentang ilmu kanuragan, dan pengetahuannya tentang ilmu perang maka iapun mulai memberikan latihan-latihan kanuragan kepada keduapuluh lima orang itu. Ternyata bahwa hasilnya jauh lebih baik daripada yang telah mereka lakukan menjelang perjalanan mereka kelembah antara Gunung Merapi dan Merbabu. Justru dalam keadaan tenang, mereka dapat menyadap ilmu yang diberikan oleh Agung Sedayu sebaik-baiknya. Namun demikian, yang mengalir kepada anak-anak muda itu adalah sekedar ilmu ketrampilan wadag saja. Agung Sedayu tidak dapat memberikan lebih daripada itu, tanpa hubungan yang knusus dengan seseorang. Tetapi yang sekedar ketrampilan wadag itupun sudah banyak memberikan arti bagi para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Mereka mengenal lebih dalam arti dari gelar-gelar perang. Mereka lebih banyak mengenal gelar dari maksud dan tujuannya. Bukan sekedar mengenal bentuk dan bagaimana mereka harus menempatkan diri. Tetapi arti dari setiap gerak dan susunan, sehingga gelar itu akan memberikan hasil yang setinggi-tingginya. “Setiap bentuk dari gelar memberikan arti tersendiri. Itulah sebabnya kita mengenal beberapa macam gelar,“ berkata Agung Sedayu meyakinkan. Dengan patuh anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu memperhatikan semua petunjukpetunjuknya. Dari gerak yang paling sulit didalam gelar, sampai gerak yang paling rumit didalam oleh kektrampilan secara pribadi. Dalam keadaan-keadaan tertentu, maka Agung Sedayu memberikan latihan-latihan seolah-olah mereka benar-benar sedang menghadapi lawan dalam gelar. Namun disaat lain, Agung Sedayu membiarkan anak-anak muda itu melakukan latihan perang tanding.

Karena ketekunan anak-anak muda Sangkal Putung, maka Agung Sedayupun tidak pernah merasa jemu. Bahkan kadang-kadang ia melupakan kemampuan jasmaniah anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu. sehingga ada diantara mereka yang tidak dapat lagi berbuat apa-apa oleh kelelahan. “Baiklah,“ berkata Agung Sedayu kita akan meneruskannya besok. Tetapi hari-hariku menjadi semakin pendek. Mudah-mudahan yang sedikit ini akan dapat memberikan manfaat.” Jika kaki dan tangan anak-anak muda itu tidak serasa patah, maka mereka masih ingin meneruskan latihan-latihan itu. Seakan-akan mereka tidak mau berhenti dan beristirahat. Tetapi mereka harus menyadari, bahwa kemampuan jasmaniah mereka itu sangat terbatas. Selagi kawan-kawannya berkemas untuk kembali ke Tanah Perdikan, Agung Sedayu terkejut ketika ia melihat seseorang berdiri diatas sebuah batu padas. Dengan hati yang berdebar-debar ia memandang sosok tubuh dikejauhan itu dengan saksama. Oleh ketajaman matanya, maka Agung Sedayupun kemudian mengenal, bahwa orang itu adalah Rudita. Agung Sedayu menarik nafas panjang. Ketika kawan-kawannya mulai meninggalkan tempat itu, ia berkata, “Tinggalkan aku. Aku akan segera menyusul.” Tidak ada seorangpun yang berprasangka. Karena itu, merekapun segera meninggalkan tempat itu. Satu dua orang berjalan dengan kaki timpang oleh kelelahan. Bahkan ada yang terpaksa bergantung kepada kawannya. Tetapi mereka sama sekali tidak menjadi jemu dan jera. Mereka berjanji, besok mereka akan datang lagi meskipun kaki mereka masih terasa sakit. Demikian anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu hilang dibalik perdu, maka Rudita yang ada diatas batu-batu padas itupun berloncatan mendekati Agung Sedayu. Dengan mulut ternganga Agung Sedayu menyaksikan bagaimana kaki Rudita seolah-olah demikian ringannya dan sama sekali tidak meruntuhkan sebutir debupun dari padas-padas yang disetuhnya. Tetapi demikian Rudita berdiri diatas batu padas dihadapan Agung Sedayu, iapun berhenti. Berbeda dengan gerak kakinya, maka wajahnya nampak suram. Matanya yang redup memandang Agung Sedayu yang masih berdiri termangu-mangu. “Marilah. Marilah Rudita,“ Agung Sedayu mempersilahkan. Rudita masih berdiri tegak ditempatnya. Ia seolah-olah ingin melihat langsung kedasar hati Agung Sedayu yang berdiri termangu-mangu. Rasa-rasanya tatapan mata Rudita itu benar-benar telah menembus dinding dadanya menggores jantung. Alangkah tajamnya.

“Agung Sedayu,“ suara Rudita datar, “apakah kau berhasil memperluas pengaruh ilmumu?” Pertanyaan itu terasa menyobek perasaannya. Tiba-tiba saja Agung Sedayu menundukkan kepalanya. “Jika setiap kesatria yang memiliki ilmu yang tinggi berhasil memperluas pengaruh ilmunya, maka pada suatu saat dunia ini akan penuh dengan kesatria-kesatria dan pahlawan-pahlawan.” Rudita meneruskan. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan suara datar ia berkata Rudita. “Aku kagum dengan sikap dan keyakinanmu. Tetapi ternyata bahwa dunia ini masih sangat buruknya, sehingga aku membiarkan ilmuku berkembang semakin luas, meskipun aku sadar, bahwa pengaruhnya justru akan menambah dunia ini menjadi semakin buruk. Tetapi setidak-tidaknya ada keyakinanku bahwa yang buruk itu akan dapat dipergunakan bagi yang baik, apabila hal itu disadari sepenuhnya.” Rudita menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Kau mengharapkan yang buruk itu secara kebetulan akan berguna bagi yang baik. Seandainya hal itu dapat juga terjadi, maka alangkah lebih baik jika yang baik itulah yang akan dipergunakan bagi yang baik.” “Rudita,“ jawab Agung Sedayu dunia yang telah kau hayati, adalah dunia mimpi bagi kami. Itulah bedanya. Perbedaan tingkat berpikir dan menilai hidup itulah yang membuat perbedaan diantara kita. Aku mengerti, bahwa nilai yang kau capai adalah nilai yang jauh lebih tinggi dari nilai-nilai kejantanan, kepahlawanan dan kekesatriaan. Tetapi bagi orang lain, duniapun justru merupakan dunia yang paling kabur. Seperti kekaburanmu memandang dunia kesatriaan dan dunia kepahlawanan.” Rudita yang masih berdiri diatas batu padas itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang ada seribu alasan untuk mempertahankan kebanggaan duniawi. Alangkah nikmatnya menghayati kemenangan dengan mengorbankan sesama. Tetapi jika sekali saja kau mencoba menghayati kedamaian yang sejati, maka kau akan memandang duniamu dengan sudut pandangan yang lebih mulia.” “Aku adalah orang yang paling menderita karena dua dunia yang terpisah itu Rudita. Satu kakiku berdiri di dunia wadag, dan satu kakiku berada didunia yang masih dalam pendambaan. Itulah sebabnya aku adalah orang yang paling kebingungan menghadapi kenyataan dan kenyataan yang bertolak dari segi penglihatan yang berbeda.” Rudita tersenyum. Katanya, “Alangkah pahitnya memandang dua sasaran dengan kedua biji mata. Tetapi apakah kau akan tetap berdiri dalam duniamu yang terbelah itu Agung Sedayu. Jika kau mau, kau hanya tinggal melangkah sebelah kaki untuk meninggalkan kebanggaan yang hanya akan kau miliki sejauh jangkauan umurmu. Tetapi segera lenyap bersama lenyapnya wadagmu.” “Aku mengerti Rudita. Tetapi itulah kelemahanku. Dan aku adalah jenis seseorang yang akan tetap berjuang sepanjang umurku untuk melangkah, tetapi selalu tidak berhasil.” Rudita mengerutkan keningnya. Dipandanginya Agung Sedayu dengan tatapan mata yang semakin suram.

Sementara Agung Sedayu berkata selanjutnya, “Rudita. Meskipun demikian, barangkali selain ayahmu, aku termasuk orang-orang yang dapat mengerti tentang dirimu. Dan hal itu telah memberikan kebanggaan bagiku, bahwa aku telah melihat jalan yang menuju kesuatu sikap yang damai, yang dapat aku lewati kapan saja jika aku telah berhasil mengendapkan diri dan menemukan keputusan yang mapan. Namun agaknya kini aku masih terlampau liar untuk menempuh jalan itu.” Rudita menarik nafas dalam-dalam. Kemudian Katanya, “Baiklah Agung Sedayu. Kau masih memandang dirimu dengan tetapan mata wadagmu. Tetapi sudah barang tentu, akupun akan mencoba mengerti, seperti kau termasuk salah seorang yang mengerti tentang aku.” Agung Sedayu termangu-mangu. Ditatapnya mata Rudita yang suram. Kemudian dengan nada rendah ia menjawab, “Aku adalah masih dilekati dengan debu yang belum dapat aku kibaskan. Percayalah Rudita, bahwa aku tetap sadar akan kekuranganku.” “Keadaan tentang dirimu telah merupakan kelebihanmu dari orang lain. Mudah-mudahan kau akan tetap mengikuti jalanmu yang menurut pengakuanmu telah dapat melihat jalanku, sehingga pada suatu saat kau akan menarik kakimu melangkah memasuki jalan itu,“ berkata Rudita. Agung Sedayu tidak menjawab. Dengan tegang ia memandang Rudita yang sudah bersiap untuk meninggalkannya. Namun kemudian tiba-tiba saja ia bertanya, “Rudita, apakah Ki Waskita sudah kembali?” “Ayah sudah pulang. Ia berada dirumah sekarang.” “Dan kau telah meninggalkan rumah?” “Aku telah terbiasa dengan perjalanan-perjalanan kecil untuk satu dua hari. Ayah dan ibu tidak berkeberatan dengan perjalanan-perjalanan pendek itu. Apalagi ketika aku mengatakan bahwa aku akan menjumpaimu.” “O,“ Agung Sedayu mengerutkan keningnya, “jika demikian, marilah. Singgahlah di rumah paman Argapati.” Tetapi Rudita menggeleng. Katanya, “Lain kali Agung Sedayu. Aku akan meneruskan perjalanan melihat-lihat keadaan. Satu dua orang yang dianggap dungu oleh orang lain, nampaknya dapat mendengarkan pendapatku Dan aku merasa senang berada diantara mereka. Seperti aku, kadangkadang mereka dihadapkan pada kebingungan dan kebimbangan yang seakan-akan tidak teratasi. Itulah sebabnya, maka kami sering saling bertemu untuk memperkuat keyakinan diri, karena bagaimanapun

kami adalah orang-orang yang lemah hati.” Agung Sedayu terkejut. Ternyata ada satu dua orang yang lebih jauh melangkah dari padanya, mendekati diri pada sikap Rudita. Namun demikian. Agung Sedayu pun masih harus mengakui tentang dirinya sendiri, bahwa jalan yang dilalui Rudita adalah jalan yang rumpil dan berkerikil tajam, sehingga hanya orang-yang terlatih sajalah yang akan dapat mengikutinya. Sehingga orang bernada rendah ia berguman perlahan,“ Aku masih belum terpanggil untuk mengikutinya.” Dalam pada itu Rudita benar-benar tidak ingin singgah dirumah Ki Gede Menoreh. Betapa Agung Sedayu mencoba mengajaknya. Bahkan kemudian katanya, “Sudahlah Agung Sedayu. Aku minta diri. Mungkin hati kita masih dibatasi oleh selapis kabut, sehingga kita masih harus berdiri pada jarak tertentu.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mudah-mudahan jarak itu akan dapat segera aku seberangi.” Rudita tersenyum. Namun iapun kemudian meninggalkan Agung Sedayu yang masih berdiri tegak ditempatnya. Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Ia memandang Rudita yang berloncatan dari batu kebatu yang berserakkan ditebing, seolah-olah dengan sengaja ingin menunjukkan kepada Agung Sedayu, bahwa iapun memiliki ketrapilan yang jarang dikuasai oleh orang lain. Namun demikian, ia tetap pada sikapnya yang mendekatkan diri pada nafas damai betapapun masih dalam ukuran kelemahan seseorang. Ketika Rudita hilang dari tangkapan matanya, maka Agung Sedayu pun menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa Rudita sangat kecewa terhadapnya. Dan iapun mengerti, bahwa Rudita mempunyai penilaian yang takut kepadanya. Justru kesadaran dimana berdiri, maka Agung Sedayu akan mengalami banyak kesulitan-kesulitan untuk melangkah masuk kedalam sikap yang diharapkan oleh Rudita. Berbeda dengan orang lain yang tidak mengerti sama sekali tentang dirinnya. Maka sikap Rudita tidak lagi menjadi persoalan yang diperhitungkan dengan nalar, seperti orang menghitujig kekuatan gelar lawan dimedan perang. Denga kepala tunduk Agung Sedayu kemudian melangkah menyusul kawan-kawannya yang telah mendahuluinya. Disepanjang jalan ia tidak henti-hentinya menilai dirinya sendiri. Seorang yang lemah hati dan membiarkan jiwanya terumbang -ambing. Dalam perjalanan kembali ke induk pedukuhan di Tanah Perdikan Menoreh itu. Agung Sedayu merasa bahwa sepasang mata selalu mengamatinya. Semula ia menduga, bahwa Rudita justru mengikutinya

dari jarak tertentu. Tetapi ternyata kemudian bahwa yang mengikutinya bukan Rudita. Denga cerdik Agung Sedayu melintasi jalan padukuhan. Namun disudut desa ia tidak berjalan terus. Ia justru berdiri bersandar dinding batu sambil menunggu seseorang. Tetapi agaknya orang yang ditunggunyapun menyadari, bahwa ia tidak akan dapat mengikuti Agung Sedayu terus. Karena itulah, maka Agung Sedayu tidak dapat menjumpai orang itu ditikungan. Meskipun demikian Agung Sedayu sudah dapat memperhitungkan. Ada semacam sentuhan-sentuhan lembut pada perasaannya. Dengan mata hatinya seolah-olah ia dapat melihat orang yang mengamatinya dari kejauhan itu. “Tentu Prastawa,“ katanya didalam hati. Rudita tidak akan berbuat demikian. Ia akan datang dari depan dan pergi setelah minta diri.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun hal itulah yang agaknya telah mendorongnya untuk segera meninggalkan tanah Perdikan itu. Meskipun Agung Sedayu mengerti, bahwa Ki Gede Menoreh sama sekali tidak berkeberatan atas kehadirannya, namun agaknya Prastawa mempunyai penilaian tersendiri atas dirinya. Penilaian yang tidak dapat ditafsirkannya dengan tepat, sehingga ia harap menduga-duga saja. Namun demikian, rasa-rasanya ada juga pendekatan dengan tanggapan Prastawa yang sebenarnya terhadap Agung Sedayu betapapun samarnya. Itulah sebabnya, maka dalam pertemuan yang berikutnya di pendapa rumah Ki Gede Menoreh, Agung Sedayu mulai menyebut-nyebut rencana perjalanannya kembali ke Jati Anom, ke padepokan kecilnya yang sebenarnya memang mulai dirindukannya. Terutama kehadiran adik sepupunya dipadepokan itu justru atas permintaannya. Glagah Putih tentu sudah menunggu-nunggu. Jika ia menjadi jemu, maka ia tentu akan meninggalkan padepokan itu berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri. Tetapi agaknya ia masih terikat pada latihan-latihan yang diberikannya kepada anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh. Ia masih harus menutup latihan-latihan yang diadakannya, sehingga dengan demikian, maka ia secepat-cepatnya masih harus berada di Tanah Perdikan itu selama tiga atau empat hari lagi. Dan yang tiga atau empat hari lagi itu rasa-rasanya menjadi berbulan-bulan. “Selesaikanlah,” berkata Ki Argapati, “yang kau berikan kepada anak-anak muda akan sangat bermanfaat bagi mereka.”

“Tetapi bukankah Prastawa akan dapat melanjutkan pembinaan anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh? “ bertanya Agung Sedayu. “Ia memang mempunyai kelebihan. Tetapi ia masih terlalu muda untuk memberikannya kepada orang lain. Ia masih terlalu dipengaruhi oleh kemudaannya dan sifat-sifatnya untuk berdiri lebih tinggi dari kawan-kawannya.” Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi ia tidak dapat meninggalkan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh begitu saja, sehingga betapapun beratnya, ia terpaksa tinggal di Tanah Perdikan itu lebih lama lagi. “Tiga hari lagi latihan-latihan ini akan berakhir,“ berkata Agung Sedayu kepada kawan-kawannya di Tanah Perdikan Menoreh saat ia berada di tempat latihan. “Kenapa kau tidak memberikan latihan-latihan pada tingkat yang lebih tinggi,“ bertanya seseorang diantara anak-anak muda itu. “Sayang,” berkata Agung Sedayu, “bukan aku berkeberatan. Tetapi aku harus kembali kepadepokanku yang sudah terlalu lama aku tinggalkan.” Anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh tidak dapat memaksa. Karena itulah, maka merekapun telah memanfaatkan hari-hari terkhir itu dengan sebaik-baiknya. Dalam pada itu, ketika latihan-latihan sedang berlangsung di daerah terbuka, dikaki pegunungan itu, maka Agung Sedayu merasa bahwa seseorang kembali telah mengamatinya. Tetapi ia yakin, bahwa orang itu teatu bukan Rudita. Dan itupun ternyata kemudian, bahwa yang datang ketempat latihan itu adalah Prastawa. Sambil tersenyum ia berjalan mendekati Agung Sedayu yang termenung memandanginya. Tetapi Agung Sedayupun mengerti, bahwa senyum Prastawa bukannya senyum yang menyenangkan hatinya, karena Agung Sedayu dapat membaca perasaan yang tersirat dibalik senyum Prastawa itu. “Luar biasa,” katanya. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. “Aku minta maaf kepadamu Agung Sedayu. bahwa setelah latihan-latihanmu berjalan beberapa hari, baru sekarang aku dapat hadir di kaki perbukitan ini.” Agung Sedayupun mencoba untuk tersenyum. Katanya,

“Aku hanya sekedar mengisi waktu selagi aku berada disini dengan berlatih bersama anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh.” “O. bagus sekali,“ sahut Prastawa, “seharusnya sejak hari pertama akupun ikut pula dalam latihanlatihan ini.” “Aku kira kau tidak memerlukannya lagi Prastawa,“ berkata Agung Sedayu. “Kenapa tidak? “ potong Prastawa, “bukankah menurut berita yang sama-sama kita dengar, kau adalah orang yang paling berhasil didalam peperangan itu? Kau berhasil membunuh orang-orang terpenting, dan kemudian mengusir dan melukai yang lain.” “Ah,“ desis Agung Sedayu, “sudah berapa kali kau mengatakannya. Tetapi seperti yang selalu aku katakan, semuanya itu terjadi bukan karena kemampuanku sendiri. Aku bertempur bersama para pengawal. Dan sudah tentu bahwa merekalah yang telah ikut serta menentukan akhir dari pertempuran itu.” Prastawa tertawa. Katanya, “Kau memang seorang yang rendah hati. Tetapi kerendahan hatimu itu tentu mengandung maksud-maksud tertentu.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dipandanginya Prastawa dengan penuh kebimbangan. “Agung Sedayu,“ berkata Prastawa kemudian, “meskipun aku sudah ketinggalan, namun sebenarnyalah aku ingin ikut serta dalam latihan-latihan ini. Barangkali kau yang sudah memiliki kemampuan setingkat dengan orang-orang tua itu bersedia memberikan sedikit kemampuan itu kepadaku.” “Ah,“ desis Agung Sedayu, “tentu tidak mungkin. Aku berlatih bersama dengan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh dalam ilmu kanuragan yang bersifat sangat umum. Tata gerak dasar dan peningkatannya dalam olah senjata. Kemudian sedikit tentang ilmu gelar dan tata cara serta beberapa segi pemanfaatan dari sifat-sifat gelar itu. Sedangkan kau sudah barang tentu telah menyadap ilmu kanuragan yang khusus dari salah satu cabang perguruan, sehingga caramu berlatihpun tentu mempunyai kekhususan.” “Meskipun demikian, apakah salahnya, jika kau memberikan petunjuk-petunjuk yang dapat memberikan kesempurnaan pada ilmuku.” Agung Sedayu memandang Prastawa dengan tatapan mata yang mengandung kecemasan. Ia memang sudah menduga, bahwa pada suatu saat Prastawa akan datang kepadanya. Tetapi yang sebenarnya terkandung didalam hati anak muda itu tentu bukan sekedar berlatih bersama, tetapi Prastawa tentu ingin menjajagi ilmunya yang diragukan oleh anak muda itu. Karena itu, kegelisahan yang sangat justru telah mencengkam hati Agung Sedayu.

“Kenapa kau termenung? “ bertanya Prastawa. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Tentu tidak mungkin Prastawa. Kau adalah seseorang yang memiliki ilmu kanuragan dari cabang perguruan yang berdiri tegak dengan ciri-ciri dan pertandanya sendiri. Apalagi kau adalah seorang anak muda yang sudah berilmu tinggi. Belum tentu dalam tataran ilmu kanuragan sesuai dengan cabang ilmu kita masing-masing, aku memiliki kelebihan darimu, sehingga sudah tentu bahwa aku tidak akan dapat memberikan apapun juga kepadamu.” Prastawa mengerutkan keningnya. Ia tidak menduga bahwa Agung Sedayu akan menghindari permintaannya. Ia menyangka bahwa Agung Sedayu akan menerima permintaannya dan mereka berdua akan berlatih bersama. Namun bagi Prastawa, yang akan dilakukannya bukan sekedar berlatih bersama, tetapi untuk menjajagi apakah benar bahwa Agung Sedayu mampu membunuh Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti. “Agung Sedayu,“ berkata Prastawa kemudian, “betapapun juga, kita akan dapat berlatih bersama. Bahkan barangkali kau akan dapat memberikan banyak petunjuk kepadaku, seperti kepada kawankawanku disini.” Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya, “Tidak Prastawa. Itu tidak mungkin. Belum tentu ilmuku lebih baik dari ilmumu. Karena itu, biarlah kita meningkatkan ilmu kita masing-masing pada saluran yang seharusnya.” Wajah Prastawa menegang. Tetapi ia masih mencoba menahan diri, Katanya, “Jangan mengelak Agung Sedayu. Kita hanya berlatih bersama.” Agung Sedayu menjadi semakin tegang. Teringat olehnya apa yang pernah dilakukan oleh Swandaru atas Raden Sutawijaya. Kemudian Raden Sutawijayapun pernah memaksanya untuk menjajagi kemampuannya. Tetapi saat itu ia dapat mengelak. “Bagaimana jika Prastawa memaksa? “ bertanya Agung Sedayu didalam hati. Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Prastawa mendesaknya, “Kenapa kau diam saja? Marilah. Biarlah kawan kawan yang ada disini menyaksikan apa yang sedang kita lakukan.” Namun Agung Sedayu masih tetap menggeleng. Jawabnya, “Tidak Prastawa. Aku tidak sanggup. Aku akan berlatih saja bersama kawan-kawan yang

lain.” Prastawa mengatupkan giginya rapat-rapat. Agaknya ia sedang menahan gejolak perasaannya. Sebenarnyalah bahwa Prastawa sudah menunggu kesempatan seperti itu. Ia ingin menunjukkan kepada kawan-kawannya, bahwa Agung Sedayu bukan seorang yang memiliki ilmu setinggi dataran langit yang tidak terjangkau. Tetapi bahwa Agung Sedayu selalu mengelak, telah sangat mengecewakannya. Dengan demikian, maka anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh akan tetap mengira bahwa Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang luar biasa. Yang telah berhasil membinasakan Ki Gede Telengan, Ki Tumenggung Wanakerti dan orang-orang lain yang namanya sangat dita kuti. “Tentu ada sebab-sebabnya yang menguntungkannya,“ berkata Prastawa didalam hatinya. Dalam pada itu, anak-anak muda di Tanah Perdikan Menorehpun menjadi termangu-mangu. Sebagian dari mereka, justru ingin melihat kedua anak muda itu saling menjajagi kemampuatmya. Prastawa yang masih sangat muda itu adalah kemanakan Ki Argapati yang perkasa, yang mewarisi dasar-dasar ilmu dari Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu. Sedangkan Agung Sedayu bagi mereka bahkan nampak lebih jelas memiliki kemampuan yang luar biasa. “Sekali-sekali Prastawa harus mendapat pelajaran,“ berkata salah seorang dari anak-anak itu didalam hati. Bahkan beberapa orang yang lainpun menjadi kurang senang melihat sikap Prastawa, sehingga merekapun berharap, bahwa Agung Sedayu akan melayaninya berlatih bersama, dan menundukkan anak muda yang sombong itu. Tetapi ternyata Agung Sedayu bersikap lain. Seperti pada saat-saat Raden Sutawijaya bersikap kasar terhadapnya, ketika Senapati Ing Ngalaga itu mengunjungi padepokan kecilnya, maka Agung Sedayu masih tetap berhasil menguasai perasaannya. “Agung Sedayu,“ Prastawa mendesaknya, “seharusnya kau tidak mengelak. Setiap orang menyebut namamu sebagai seorang anak muda yang luar biasa. Yang berhasil menarik perhatian hampir seluruh pasukan, seolah-olah kaulah orang yang paling berhasil didalam peperangan itu.” “Apakah yang telah aku lakukan? “ justru Agung Sedayulah yang bertanya, “aku bertempur bersama para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh. Aku tidak berbuat sendiri. Karena itu, maka yang telah terjadi adalah karena perjuangan kita bersama. “Persetan,“ Prastawa telah kehilangan kesabarannya, “apapun yang terjadi, dan apapun yang kau katakan, sekarang kau harus membuktikan, bahwa kau benar-benar seorang laki-laki jantan. Aku ingin menjajagi apakah benar kau berhak menerima

sanjungan yang berlebih-lebihan itu.” Dada Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Iapun memang sudah mencemaskan, bahwa pada suatu saat sikap Prastawa akan menyudutkannya. Namun Agung Sedayupun kemudian justru bertekad untuk tidak melayaninya, apapun yang akan dilakukan oleh Prastawa yang sudah kehilangan kesabaran itu. Dalam pada itu, dada Prastawa meaijadi semakin panas. Rasa-rasanya ia sudah ingin meloncat menghantam dada Agung Sedayu. Namun nampaknya sikap Agung Sedayu masih tetap tidak menanggapinya. Agung Sedayu sama sekali tidak bersiap-siap mesighadapi kemungkinan yang dapat terjadi jika Prastawa benar-benar hendak menyerangnya. “Aku pernah menghindari peristiwa seperti ini saat Raden Sutawijaya menginjakkan kakinya untuk pertama kali di padepokanku,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Setengah mengeluh ia berdesah bagi dirinya sendiri, “Kenapa aku harus mengalami hal seperti ini sampai berulang.” Karena Agung Sedayu masih tetap berdiam diri, maka Prastawapun kemudian membentaknya, “He, Agung Sedayu. Kenapa kau diam saja? Apakah kau merasa dirimu sedemikian agung sehingga kau merasa tidak pantas mendengarkan kata-kataku?” “Prastawa,“ jawab Agung Sedayu, “jangan salah mengerti. Aku benar-benar menjadi bingung menanggapi sikapmu. Aku kira aku tidak akan dapat memenuhi keinginanmu, bukan karena aku merasa diriku sangat berharga. Tetapi karena semata-mata aku mempunyai pertimbangan yang mapan dalam menilai diriku sendiri. Kita sama-sama anak muda. Dan aku kira, apa yang ada padaku, tidak jauh berselisih dari yang ada padamu. Karena itu, aku kira, kita tidak perlu saling menjajagi.” “Aku tidak peduli,“ teriak Prastawa, “aku akan mulai.” Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Ia benar-benar menjadi bimbang. Terhadap Sutawijaya ia dapat dengan tekad bulat tidak berbuat sesuatu meskipun anak muda yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu menantangnya, bahkan hampir menyerangnya, karena ia percaya bahwa Raden Sutawijaya tidak akan kehilangan nalarnya. Tetapi mungkin agak berbeda dengan Prastawa. Anak muda ini masih terlalu dipengaruhi oleh perasaannya. Namun demikian, tidak terlintas niatnya untuk melawan seandainya Prastawa itu menyerangnya.

Dalam kebimbangan itu terdengar sekali lagi Prastawa membentak, “Agung Sedayu. Aku tidak peduli, apakah kau tetap menganggap aku tidak cukup bernilai untuk menjajagi kemampuanmu. Tetapi aku akan menyerang, dan jika bagian-bagian tubuhmu yang paling lemah tersentuh oleh seranganku, dan akibatnya membuatmu menyesal, itu bukan salahku.” Agung Sedayu masih termangu-mangu. Namun dalam pada itu, kegelisahan yang sangat telah mencengkam anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Sikap Prastawa telah menumbuhkan tanggapan yang aneh didalam hati anak-anak muda itu. Jika semula mereka tertarik untuk menyaksikan latihan yang tentu akan sangat mendebarkan, namun kemudian perasaan mereka telah terbanting kedalam keadaan yang tidak mereka duga. Ternyata bahwa Agung Sedayu telah mengelak. Semula anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh memang menjadi kecewa, karena mereka tidak dapat menyaksikan latihan yang sangat menarik dari kedua anak-anak muda yang memiliki kelebihan dari sesamanya. Namun kemudian mereka melihat perbedaan sikap antara Agung Sedayu dan Prastawa. Agung Sedayu yang selalu menghindar itu justru menimbulkan kesan yang lebih baik dari Prastawa yang selalu mendesak dan bahkan mengancam. Dalam keadaan yang menjadi semakin panas, tiba-tiba saja salah seorang dari anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang sudah lebih tua dari kawan-kawannya memberanikan diri untuk bertanya, ”Prastawa. Apakah kau tidak dapat menunda niatmu untuk berlatih bersama Agung Sedayu sekarang ini ?” Wajah Prastawa menjadi semakin tegang. Dipandanginya anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu dengan tatapan mata yang tajam. “Aku minta maaf, bahwa barangkali pertanyaanku telah mengganggu perasaanmu,” anak muda yang sudah berumur lebih banyak dari kawan-kawannya itu melanjutkan, ”tetapi aku melihat sesuatu yang tidak bertemu saat ini antara kau dan Agung Sedayu. Agaknya kau benar-benar berminat untuk berlatih bersama Agung Sedayu. Tetapi nampaknya Agung Sedayu masih belum siap untuk melakukannya.” Sorot mata Prastawa justru semakin membara. Dengan kasar ia menjawab, ”Itu adalah karena sikap gila anak Sangkal Putung itu. Ia merasa dirinya terlampau besar, sehingga ia menganggap aku seperti debu yang tidak pantas untuk dilayani.” “Kau salah paham Prastawa,” desis anak muda itu, ”menurut pendapatku, ada keseganan pada Agung Sedayu untuk melakukan latihan khusus denganmu sekarang. Mungkin kamilah yang telah mengganggu, atau barangkali karena sebab-sebab lain.” “Persetan,” geram Prastawa, ”kau tidak usah ikut campur.

Justru kau dan kawan-kawanmulah yang aku harapkan akan dapat menjadi saksi sekarang ini. Apakah benar bahwa Agung Sedayu memiliki ilmu seperti yang disangka orang, yang mampu melampaui kemampuan orang-orang terpenting dalam pasukan orang-orang yang mengaku dirinya pewaris kerajaan Majapahit itu.” Anak muda itupun menarik nafas dalam-dalam. Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh itupun menyadari, bahwa ternyata Prastawa merasa kurang yakin bahwa Agung Sedayu benar-benar telah berhasil mengejutkan para pengawal bahkan para pemimpin dari Tanah Perdikan Menoreh, dari Mataram dan dari Sangkal Putung. Namun dalam pada itu. Agung Sedayu mengeluh didalam hati. Bahkan ia berdesah didalam dadanya, ”Apakah jika aku sampai di Sangkal Putung, Swandarupun akan memperlakukan aku seperti ini ?” Namun dengan suara yang berat mendatar ia berkata kepada anak anak muda Tanah Perdikan Menoreh, “Prastawa telah salah paham. Aku sudah mengatakan, bahwa aku bukan apa-apa. Jika ada orang-orang yang terbunuh dipeperangan, tentu bukan aku sendirilah yang membunuhnya, karena aku bertempur didalam kelompok-kelompok yang padat. Selebihnya, aku telah bertekat untuk tidak berbuat apa-apa, meskipun akan mengalami perlakuan yang bagaimanapun juga.” “Pengecut,” teriak Prastawa. Sedangkan jawab Agung Sedayu benar diluar dugaannya, ”Benar Prastawa. Mungkin aku memang seorang pengecut.” Rasa-rasanya dada Prastawa akan meledak. Tetapi dalam keadaan yang demikian, dihadapan saksisaksi, ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Ia tidak dapat menyerang dan apalagi menyakiti Agung Sedayu yang sudah mengatakan, tidak akan melawan. Bahkan iapun tidak menolak ketika Prastawa berusaha membuatnya marah dan mengatakannya sebagai seorang pengecut. Karena itu, yang dapat dilakukan Prastawa hanyalah mengumpat tidak habis-habisnya. Sekali-sekali ia masih melontarkan hinaan untuk membakar hati Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu tetap tabah. Ia selalu berusaha untuk menguasai dirinya seperti saat-saat ia mengalami perlakuan yang hampir sama dari Raden Sutawijaya. Dalam pada itu, Prastawa yang merasa tidak berhasil memaksa Agung Sedayu untuk bertempur, menggeram, “Mudah-mudahan tidak kau ajarkan kepada anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh sifat-sifat pengecutmu itu.” Agung Sedayu tidak menjawab. “Tetapi pada suatu saat, aku akan membuktikan, bahwa kau bukan orang yang pantas disanjungsanjung. Sekarang kau masih dapat mempertahankan namamu dengan menghindarkan diri dari pembuktian bahwa sebenarnya kau tidak lebih dari aku dan anak-anak Tanah Perdikan Menoreh yang

lain. Bahkan kau berhasil memberikan kesan yang lebih tinggi lagi pada dirimu sendiri, seolah-olah kau adalah orang yang mumpuni tetapi rendah hati. Sebenarnyalah bahwa kau memang sedang menyembunyikan kekurangan-kekuranganmu.“ geram Prastawa. Agung Sedayu tetap tidak menjawab. Ia benar-benar berusaha menghindarkan diri dari kemungkinan yang sama sekali tidak diingininya itu. Karena Agung Sedayu tetap tidak menanggapinya, maka akhirnya Prastawa itu berkata dengan nada kasar, “Jika demikian, sebaiknya kau tidak terlalu lama berada disini Agung Sedayu. Kau hanya akan mengotori Tanah Perdikan Menoreh dengan sifat-sifat licik dan pengecut. Jika kau masih saja berada disini, mungkin pada suatu saat aku benar-benar kehilangan kesabaran dan memaksamu untuk bukan saja sekedar berlatih, tetapi benar-benar berkelahi, karena jangan kau kira bahwa dengan sikap besarmu yang pura-pura itu aku menjadi segan kepadamu.” Rasa-rasanya jantung Agung Sedayu berdentang lebih keras. Betapapun juga, darahnya adalah darah muda. Namun ia masih tetap bertekad untuk tidak melayani Prastawa, apapun yang akan diperbuatnya. Dalam kepepatan, Prastawapun kemudian menghentakkan tinjunya. Namun iapun kemudian melangkah cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Dipandanginya anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang masih tetap tinggal bersamanya. Meskipun demikian, rasa-rasanya memang ada jarak antara dirinya dengan anak-anak muda itu justru karena sikap Prastawa. Anak-anak muda itu pada saat-saat selanjutnya akan tetap berada dibawah pimpinan Prastawa. Jika kehadirannya akan dapat memberikan kesan yang lain terhadap Prastawa, atau jika pada suatu saat Prastawa berhasil meyakinkan sikapnya kepada anak-anak muda itu, maka ia memang akan menjadi orang lain bagi Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, maka selagi masih ada kesempatan, ia ingin meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh dengan baik dan tanpa kesan yang dapat menodai hubungannya dengan Tanah Perdikan Menoreh untuk seterusnya. Ketika Prastawa telah tidak nampak lagi. maka Agung Sedayupun kemudian berkata, “Aku minta maaf, bahwa barangkali sikapku memang tidak menyenangkan.” Tetapi anak muda yang umurnya paling tua itupun berkata, “Tidak Agung Sedayu. Kau tidak bersalah.” Meskipun demikian. Agung Sedayu tidak berani menanggapinya. Jika ia menyebut kekurangan Prastawa, maka mungkin ia akan justru terjebak dalam keadaan yang sulit. Jika anak itu pada suatu saat menemukan kecocokan dengan Prastawa, maka semuanya tentu akan disampaikannya kepada anak muda yang tinggi hati itu.

Itulah sebabnya, maka Agung Sedayu tetap berhati-hati. Bahkan kemudian dengan hati yang berdebar-debar ia berkata, “Kawan-kawan, agaknya aku memang harus meninggalkan. Tanah Perdikan ini dengan segera.” “Tetapi kau berjanji untuk tinggal di sini tiga hari lagi,“ sahut anak muda yang lain. “tiga hari itu saja. Tetapi agaknya keadaanku tidak sebaik yang aku sangka. Pada suatu saat mungkin akan dapat timbul persoalan-persoalan yang tidak kita kehendaki bersama.“ Agung Sedayu termangu-magu sejenak. Namun kemudian ia melanjutkan, “Karena itu. apa yang sudah aku sampaikan kepada kalian akan dapat kalian kembangkan sendiri.” Besok pagi-pagi benar, aku akan meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh, kembali ke Sangkal Putung, untuk seterusnya kepadepokan kecilku. Adikku tentu sudah lama menunggu. Apalagi jika ia mengetahui bahwa guru sudah lebih duhulu kembali.” Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh sebenarnya masih ingin menahannya. Tetapi merekapun menyadari, bahwa hubungan antara Agung Sedayu dan Prastawa yang masih sangat muda itu agaknya kurang baik. Meskipun mereka tidak tahu sebabnya dengan pasti. Ada diantara mereka yang merabaraba. bahwa hubungan itu sudah terlalu buruk sejak ayah Prastawa masih bersikap menentang kekuasaan Ki Gede Menoreh. Tetapi ada pula yang berpendapat, bahwa Prastawa menjadi iri hati atas keberhasilan Agung Sedayu. Karena itulah, maka anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh tidak berusaha lagi untuk menahan Agung Sedayu. Betapapun keinginan mereka untuk mendapat sekedar tambahan petunjuk-petunjuk tentang kanuragan dan gelar perang, namun mereka tidak dapat mengesampingkan sikap Prastawa, sehingga Agung Sedayu harus menahan hati. Meskipun demikian ada juga diantara mereka yang justru menjadi cemas, apakah Prastawa justru tidak mempergunakan kesempatan perjalanan Agung Sedayu yang seorang diri kembali kepadepokan kecilnya. Jika hati Prastawa masih tetap panas, maka ia akan dapat berbuat diluar sadarnya disaat Agung Sedayu diperjalanan.

Buku 112 DEMIKIANLAH. maka Agung Sedayupun kemudian menghadap Ki Gede Menoreh ketika ia berada kembali di rumah Ki Gede itu. Rasa-rasanya ia tidak dapat bertahan lebih lama lagi, meskipun hanya semalam. Hatinya menjadi berdebar-debar ketika Prastawapun kemudian hadir pula menemuinya dipendapa. Sekaligus Agung Sedayu sempat memandang wajah anakmuda yang buram itu. Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak ingin mengatakan kepada Ki Gede Menoreh, bahwa sikap Prastawalah yang telah memaksanya mempercepat meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Semula Ki Gede Menoreh berusaha untuk menahannya. Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu sendiri, ia masih akan tinggal untuk dua tiga hari lagi. Namun tiba-tiba saja ia telah merubah keputusannya dan kembali ke Kademangan Sangkal Putung. Tetapi Agung Sedayu tidak lagi merubah niatnya. Dengan nada datar ia berkata, ”Guru tentu sudah menunggu aku. Bahkan mungkin guru menjadi gelisah. Sedangkan dipadepokan kecil yang akan bangun bersama guru, adikku telah menunggu aku pula. Akulah yang menbawanya kepadepokan kecil itu. sehingga jika aku terlalu lama pergi, mungkin ia akan merasa jemu tinggal dipadepokan itu.” Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, ”Kerinduan memang kadang-kadang bagaikan memanggil kita untuk segera datang. Apalagi kerinduan rangkap seperti angger Agung Sedayu. Adiknya memang sudah lama menunggu. Tetapi selain adiknya, tentu masih ada lagi yang menunggunya.” Anak-anak muda yang ada dipendapa itupun tersenyum. Namun berbeda dengan mereka, wajah Prastawa menjadi merah. Terasa sesuatu bagaikan melonjak didalam dadanya. Tiba-tiba saja wajah Sekar Mirah telah membayang didalam angan-angannya. Ia sadar sepenuhnya, bahwa antara Sekar Mirah dan Agung Sedayu telah terjalin suatu ikatan batin. Namun rasa-rasanya ia tidak ikhlas mendengar kedua-duanya itu dihubung-hubungkan dalam keadaan yang bagaimanapun juga. Tetapi Prastawa masih dapat menahan hatinya, ia berusaha untuk melenyapkan kesan itu dari wajahnya. Bagaimanapun juga ia masih tetap sadar bahwa ia tidak akan dapat berdiri diantara kedua nama yang sudah bertaut itu.

Demiklanlah, maka Ki Gede tidak dapat menahan lagi agar Agung Sedayu tetap tinggal di Tanah Perdikan Menoreh meskipun hanya untuk dua tiga hari lagi. Karena itulah maka iapun kemudian hanya dapat mengucapkan terima kasih atas kehadirannya di Tanah Perdikan menoreh dan berada didalam pasukan para pengawal Tanah Perdikan itu saat-saat mereka berada dilembah yang gawat antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Selebihnya Agung sedayu telah manberikan banyak petunjuk bagi para pengawal baik secara pribadi maupun sebagai kelomnok dalam gelar perang. Malam menjelang keberangkatan Agung Sedayu, anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh berkumpul dipendapa rumah Kepala Tanah Perdikannya. Mereka ingin mengucapkan terima kasih kepada Agung Sedayu atas segalanya yang pernah ia berikan bagi Tanah Perdikan itu. Hampir semalam suntuk Agung Sedayu justru tidak dapat tidur. Sampai menjelang fajar. masih ada anak-anakmuda yang duduk dipendapa. Namun Ki Gedelah yang kemudian mempersilahkan Agung Sedayu untuk beristirahat, meskipun hanya sebentar. Prastawa yang melihat sambutan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh kepada Agung Sedayu merasa jantungnya semakin bergejolak. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa, Ki Gede Menoreh seakan-akan memberikan tempat yang amat baik bagi Agung Sedayu di Tanah Perdikan itu, sehingga hampir-hampir melupakannya. Meskipun Ki Gede sudah nampak memberikan kepercayaan kepadanya terutama saat pasukan Tanah Perdikan Menoreh berada dilemhah antara Gunung Merapi dan Merbabu, namun Ki Gede menjadi sangat berbangga kepada Agung Sedayu. “Secara kebetulan Agung Sedayulah yang telah menjumpai orang-orang tua yang tidak memiliki kelebihan apapun juga itu, sehingga karena itulah maka orang-orang Tanah Perdikan Menoreh menganggap bahwa Agung Sedayu adalah anak muda yang perkasa,“ geram Prastawa didalam hatinya. Ketika Matahari kemudian terbit di Timur, maka Agung Sedayupun telah berkemas. Ia masih sempat tidur meskipun hanya sejenak, sehingga tubuhnya terasa men jadi segar. “Aku akan singgah barang sejenak di Mataram,“ berkata Agung Sedayu kepada Ki Gede ketika ia sudah siap untuk berangkat. “Salamku buat Senapati Ing Ngalaga, serta Ki Juru Martani dan para pemimpin di Mataram,“ berkata Ki Gede M enoreh. “Baiklah Ki Gede. Aku akan menyampaikannya,“ Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu sekali lagi minta diri kepada Ki Gede dan para bebahu di Tanah Perdikan Menoreh. Anak-anak mudapun banyak pula yang hadir dihalaman rumah Ki Gede untuk melepas Agung Sedayu meninggalkan Tanah Perdikan itu. Betapapun geramnya hati Prastawa, namun ia berada juga diantara anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh dan melepas Agung Sedayu sampai keregol halaman.

“Dua orang pengawal akan mengawaninya sampai ketepi sungai Praga,“ berkata Ki Gede. “Ah. terima kasih Ki Gede, Agaknya hanya akan merepotkan mereka saja. Biarlah aku berjalan sendiri.” “Bukan untuk mengawal,“ berkata Ki Gede, “mereka tidak ada gunanya bagimu. Tetapi sekedar menjadi kawan berbincang disepanjang jalan sampai ketepi Sungai.” Agung Sedayu tidak dapat menolak. Karena itu, maka diperjalanannya ia disertai dua orang pengawal yang dapat menjadi kawan bercakap-cakap disepanjang jalan sampai ketepi Kali Praga. Sebenarnya terasa berat juga hati Agung Sedayu meninggalkan Tanah Perdikan itu. Ada sesuatu yang rasa-rasanya mengikatnya diatas Tanah Perdikan itu, meskipun sebenarnya ia tidak mempunyai banyak sangkut paut dengan Tanah itu. Ia orang lain bagi Tanah Perdikan Menoreh meskipun ia sudah mengenalnya dengan baik seperti ia mengenal tempat tinggalnya sendiri. Telah menjadi keputusan Agung Sedayu, bahwa ia akan singgah di Mataram meskipun hanya sejenak. Ia ingin bertemu dengan Raden Sutawijaya dan melihat perkembangan keadaan setelah beberapa hari mereka menyelesaikan tugas mereka dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Dalam pada itu, disepanjang jalan, para pengawal yang mengantarkan Agung Sedayu masih memanfaatkan pertemuan mereka yang hanya tinggal sejenak itu. Mereka bertanya tentang berbagai hal mengenai bentuk-bentuk gelar dimedan dan mengenai jenis-jenis senjata dan penggunaannya. Agung Sedayu mencoba untuk menjawab semua pertanyaan mereka, meskipun kadang-kadang ia sendiri terpaksa menggelengkan kepalanya sambil berkata, ”Maaf, aku tidak mengerti. Aku belum pernah melihat jenis senjata yang kau tanyakan.” Perjalanan Agung Sedayu ternyata tidak terlampau panjang ketika kemudian ia mencapai tepi Kali Praga. Dengan hati yang berat maka iapun kemudian minta diri kepada kedua pengawalnya untuk turun ke getek yang akan membawanya menyeberang. “Selamat jalan Agung Sedayu. Mudah-mudahan kau tidak lama lagi sudah berada di Tanah Perdikan Menoreh pula,” berkata salah seorang pengawal yang menemuinya. Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, ”Mudah-mudahan. Aku memang ingin kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Aku ingin membawa adik sepupuku berjalan-jalan menyusur jalan yang agak panjang agar ia dapat mengenal lingkungannya.” “Benar ? Bawalah adikmu ke Tanah Perdikan Menoreh. Ki Gede tentu akan senang sekali menerimanya.” Agung Sedayu tersenyum. Namun katanya kemudian,

”Sudahlah. Selamat tinggal.” “Kedua pengawal itupun melepaskan Agung Sedayu menyeberang diatas sebuah rakit bambu. Sejenak keduanya masih berdiri ditepian sambil melambaikan tangan. Agung Sedayupun melambaikan tangannya pula. Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu seolah olah sudah menjadi saudara-saudaranya yang dekat. Namun akhirnya kedua pengawal itupun meninggalkan tepian. dan berkuda kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. “Aku tidak dapat mengerti sikap Prastawa,” desis salah seorang dari mereka. “Mungkin ia meragukan keunggulan Agung Sedayu,” jawab yang lain. “Jika ia hanya meragukan, itu masih lebih baik daripada jika sebenarnya ia merasa iri atas keberhasilan Agung Sedayu,” desis kawannya. Yang lain tidak menjawab. Namun nada umumnya memang ada kesan yang kurang baik terhadap anak muda itu. Anak muda yang sebenarnya mempunyai beberapa kelebihan dari kawan-kawannya. Tetapi sikapnya dan tingkah lakunya telah menumbuhkan kegelisahan diantara anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan bukan saja anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh, karena akhirnya yang terjadi itu sampai juga ketelinga Ki Gede. Beberapa orang anak muda tidak dapat menahan hatinya, dan disaat Prastawa tidak menghadap Ki Gede, anak-anak muda itu telah menanyakan apakah sebabnya Prastawa bersikap demikian. Tetapi senerti anak-anak muda itu, Ki Gede Menorehpun hanya dapat meraba-raba. karena iapun tidak tahu pasti apa yang terkandung didalam hati anak muda itu. Namun demikian Ki Gede Menoreh sama sekali tidak ingin bertanya kepada Prastawa. karena ia tidak ingin melihat pertentangan itu meluas diantara anak-anak muda di Tanah Perdikan itu sendiri. Jika Prastawa mengetahui bahwa ada satu dua orang yang menyampaikan persoalannya itu kepada Ki Gede. maka Prastawa tentu akan marah dan dengan curiga akan mencari siapakah yang telah mengatakannya kepada Ki Gede Menoreh. Tetapi Ki Gede sudah bertekad untuk menjajagi hati anak muda itu dengan hati-hati dan tidak menimbulkan goncangan perasaan padanya. Sementara itu. Agung Sedayu yang telah menyeberangi Kali Praga telah melanjutkan perjalanannya ke Mataram. Diperjalanan ia sama sekali tidak mengalami gangguan apapun. Agaknya jalan ke Mataram benar-

benar merupakan jalan yang tenang. Demikian pula saat Agung Sedayu mendekati Kota Mataram. Kota yang sedang tumbuh itu nampak tenang dan hidup. Sawah yang luas nampak hijau dan basah, sedangkan di jalan-jalan dan bulak-bulak panjang nampak beberapa buah pedati berjalan perlahan-lahan memuat hasil-hasil sawah yang melimpah pulang kerumah masing-masing. “Mataram memang suatu negeri yang sedang tumbuh dan akan menjadi besar,” gumam Agung Sedayu. Lalu. ”Agaknya wahyu keraton memang mungkin sekali berpindah dari Pajang ke Mataram. Pajang yang semakin suram akan menjadi silam melihat perkembangan Mataram. Apalagi di Pajang sendiri terdapat benih-benih yang akan dapat melumpuhkan kekuasaan Pajang itu sendiri.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam jika ia mengenangkan sikap Raden Sutawijaya yang berkeras tidak mau menghadap ke Pajang. Bahkan kemudian timbul pula suatu pertanyaan, ”Apakah Raden Sutawijaya justru telah membuat perhitungan-perhitungan tertentu yang dapat melampaui perjalanan waktu, sehingga Raden Sutawijaya telah berani mengambil sikap terhadap Pajang sejak sekarang ?” Tetapi pengamatan atas perkembangan Pajang memang tidak menggembirakan. Memang beberapa Adipati dipesisir dan di bagian Timur dari daerah Pajang masih tetap merupakan kekuatan yang harus diperhitungkan. Tetapi rasa-rasanya ikatan diantara mereka sudah menjadi semakin kendor. Apalagi Pajang tidak lagi berusaha meneruskan langkah Sultan Trenggana di Demak yang terbunuh di medan saat ia berjuang untuk mempererat ikatan kesatuan Demak di tataran terakhir. Dan kini. Pajang justru menjadi semakin suram. Angan -angan Agung Sedayu terputus ketika ia mendekati gerbang kota Mataram. Dilihatnya seorang pengawal berdiri bersandar dinding batu tanpa menghiraukan orang-orang yang melewati pintu gerbang. Namun hal itu bagi Agung Sedayu merupakan pertanda, bahwa Mataram benar-benar dalam keadaan tenang. Meskipun demikian, Agung Sedayu berdesis didalam hatinya, ”Baru saja pertempuran dilembah itu berakhir. Tidak semua orang dipasukan lawan dapat ditangkap. Bahkan mungkin mereka dapat berhubungan dengan pihak-pihak tertentu untuk melepaskan dendamnya, mengacaukan Mataram meskipun mereka yakin tidak akan dapat berbuat lebih dari pada itu.” Tetapi Agung Sedayu tidak berbuat sesuatu. Ia lewat melalui pintu gerbang, seperti orang-orang lain lewat. Namun ternyata Agung Sedayu menjadi berdebar-debar.

Nalurinya yang tajam telah menangkap isyarat, bahwa ternyata beberapa orang yang berada disepanjang jalan, yang seolah-olah sekedar berjalan-jalan tanpa tujuan, adalah petugas-petugas sandi dari Mataram. Apalagi ketika tiba-tiba saja ia melihat seseorang yang duduk dibawah sebatang pohon sambil terkantuk-kantuk. Ditangannya tergenggam sebatang tongkat yang panjang. Agung Sedayu tidak dapat dikelabui oleh pakaian yang sederhana dan sikap yang malas. Karena itu, maka iapun kemudian menghentikan kudanya, dan menuntun mendekati orang itu. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, maka Agung Sedayu langsung duduk disebelah orang itu sambil memegangi kendali kudanya. Orang itu memandang Agung Sedayu dengan heran. Bahkan kemudian ia bergeser sambil bertanya, ”Siapa kau anak muda?” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tersenyum sambil menjawab, ”Namaku Ki Banaran.” Orang yang berpakaian sederhana dan bermalas-malas dipinggir jalan itu menatap Agung Sedayu dengan tajamnya. Namun kemudian desisnya, ”Pandangmu tajam sekali anak muda. Aku kira kau tidak mengenal aku lagi.” Agung Sedayu tertawa. Katanya, ”Meskipun kau memakai samaran apapun juga, aku tidak akan dapat kau kelabui. Hidungmu mempunyai ciri tersendiri. Tatapan matamu seperti tatapan mata burung hantu. Sedangkan gelang sulur waringin tunggal dikakimu semakin meyakinkan aku, bahwa aku berhadapan derigan Ki Banaran.” Orang yang disebut Ki Banaran itu akhirnya tersenyum. Katanya, ”Luar biasa. Hanya anak muda yang luar biasa sajalah yang dapat mengenalku. Baiklah. Aku tidak dapat ingkar lagi.” “He. apakah masih ada niatmu untuk ingkar?” bertanya Agung Sedayu. “Jangan terlalu keras. Bukankah kau tahu, bahwa aku sedang bertugas ?” “Ya. Tetapi apakah yang sedang kau cari disini ?” Ki Banaran mengerutkan keningnya. Namun katanya kemudian, ”Kau akan menghadap Senapati Ing Ngalaga ?”

“Ya. Aku baru datang dari Tanah Perdikan Menoreh.” “Sejak pertempuran di lembah?,“ bertanya Ki Banaran. “Ya. Bukankah baru beberapa hari?” Ki Banaran mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk. “Apa kerjamu disini?“ bertanya Agung Sedayu kemudian. Ki Banaran menjadi ragu-ragu. Sejenak ia memandang Agung Sedayu, seakan-akan ia sedang meyakinkan apakah ia dibenarkan untuk mengatakan sesuatu kepada anak muda itu. “Kau curiga kepadaku? Atau barangkali kau benar-benar tidak yakin bahwa aku Agung Sedayu?” Ki Banaran menarik nafas panjang. Katanya kemudian, “Aku mengerti. Tetapi rasa-rasanya ragu-ragu juga untuk mengatakan.” Agung Sedayu tersenyum, dan Ki Banaran berkata, “Sebenarnya tugasku sekarang sudah tidak berarti. Tetapi sekedar sikap hati-hati. Apa petugas sandi dari Pajang yang berada di Mataram. Tetapi petugas itu sudah kembali ke Pajang. Meskipun demikian, mungkin ada petugas-petugas lain yang datang kemudian diluar pengetahuan kita.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, “Itulah sebabnya ada beberapa petugas sandi yang tersebar.” “Tidak diseluruh kota. Hanya di pintu-pintu gerbang. Disini ada tiga orang petugas sandi untuk mengawasi orang-orang yang keluar masuk pintu gerbang. Mungkin ada yang mencurigakan seperti kau.” Agung Sedayu tersenyum pula. Katanya, “Ada tiga orang disetiap pintu gerbang. Agaknya sudah cukup. Tetapi apakah kau pernah melihat orang-orang yang pantas dianggap sebagai petugas sandi dari Pajang atau dari manapun juga?” “Pernah. Kau.” Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Kau tidak pantas menjadi petugas sandi. Tetapi baiklah aku melanjutkan perjalanan. Apakah ada keterangan lain?” “Bertanyalah kepada Senapati Ing Ngalaga. Pajang menganggap kita sudah bersiap untuk bertempur dan memberontak. Itulah sebabnya maka mereka mengirimkan petugas sandinya kemari untuk melihat persiapan itu.”

Wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Dengan sungguh-sungguh ia bertanya, “Dan petugas sandi itu melihat pasukan yang datang dari lembah? Pasukan Mataram dan Sangkal Putung?” Ki Banaran menggeleng. Katanya, “Pergilah menghadap Senapati. Kau akan mendapat banyak keterangan. Tetapi tidak disini. Batang-batang kayu itu mungkin bertelinga.” “Sementara kau sendiri tidak,” desis Agung Sedayu. Ki Banaran mengerutkan keningnya. Namun sambil tersenyum iapun kemudian berkata, “Sudahlah. Pergilah. Jika kau ingin singgah di warung-warung, mungkin masih ada satu dua yang dapat melayanimu.” Agung Sedayu kemudian bangkit berdiri sambil berkata, “Selamat tinggal. Duduklah disitu sampai matahari terbenam. Itu adalah tugasmu.” Ki Banaran mengerutkan keningnya. Namun Agung Sedayu tersenyum. Ia senang melihat Agung Sedayu. Anak muda yang ramah namun memiliki kemampuan yang luar biasa, meskipun pada saat-saat tertentu anak muda itu dapat kehilangan kemampuan untuk mengambil sikap yang menentukan. Ki Banaran melambaikan tangannya ketika Agung Sedayu meloncat kepunggung kudanya dan berderap meninggalkannya. Sepeninggal Agung Sedayu, Ki Banaran kembali duduk pada sikapnya. Malas dan seolah-olah tidak acuh terhadap orang-orang yang lewat. Ternyata selain Agung Sedayu. tidak seorangpun yang dapat mengenalnya karena penyamarannya, karena orang-orang Mataram tidak mengira, bahwa Ki Banaran seorang dari para pemimpin pasukan pengawal Mataram berpakaian sangat sederhana dan duduk bermalas-malas dipinggir jalan, seperti tingkah laku orangorang malas yang menghabiskan waktunya tanpa arti. Sementara itu Agung Sedayu telah memacu kudanya meskipun tidak terlalu cenat, karena ia sudah berada didalam kota. Ia ingin segera menghadap Raden Sutawijaya untuk mendengarkan keterangannya tentang petugas-petugas sandi dari Pajang dan sikap Pajang terhadap Mataram pada saat saat-saat terakhir. Kedatangan Agung Sedayu di rumah Raden Sutawijaya ternyata telah mendapat sambutan yang baik sekali. Raden Sutawijaya menjadi sangat gembira karena kedatangannya. Bahkan orang-orang tua di Matarampun telah memerlukan menerima kedatangannya. Ki Juru Martani. Ki Lurah Branjangan. Ki Lurah Dipayana dan beberapa orang pemimpin lainnya telah berkumpul untuk menyambut kedatangan Agung Sedayu. Sejenak mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing seperti yang selalu dilakukan oleh mereka yang bertemu kembali setelah terpisah beberapa saat.

Setelah Agung Sedayu disuguhi sekedar minum dan beberapa potong makanan, maka mulailah mereka berbicara tentang berbagai macam persoalan yang merambat kepada persoalan yang dihadapi disaat terakhir oleh Mataram. “Aku bertemu dengan Ki Banaran,“ berkata Agung Sedayu. Ki Juru Martani mengerutkan keningnya. Dengan nada dalam ia bertanya, “Dimana angger menjumpainya?” “Dipintu gerbang.“ jawab Agung Sedayu. “Apakah yang dilakukannya?,“ bertanya Ki Juru kemudian. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya dengan tersenyum, “Ia sedang bertugas.” Ki Lurah Branjangan memotong, “Dan kau dengan mudah dapat mengenalnya sebagai Ki Banaran, atau Ki Banaran yang telah menegurmu?” Agung Sedayu termangu-mangu. Tetapi ia sudah terlanjut berbicara tentang Ki Banaran. Baru kemudian ia sadar, bahwa seharusnya tidak semudah itu untuk dapat mengenalnya, akan dengan mudah dapat mengetahui, bahwa Mataram mengadakan pengawasan yang ketat. Tetapi sebelum Agung Sedayu menjawab Ki Juru Martani telah mendahului, “Jangan heran jika angger Agung Sedayu mampu mengenalnya. Ia mempunyai ketajaman pengenalan lebih dari orang kebanyakan.” “Ah,“ desah Agung Sedayu, “bukan karena itu Ki Juru. Tetapi ada ciri yang aku kenal baik. karena sebelumnya aku pernah mempercakapkan dengan Ki Banaran sendiri.” “Apa?,“ bertanya Ki Lurah Branjangan. “Gelang sulur wringin tunggul dikakinya. Bukankah jarang orang yang bergelang dikakinya bagi seorang laki-laki?“ jawab Agung Sedayu. Orang-orang yang mendengarnya mengangguk-angguk. Jawaban Agung Sedayu memang masuk akal. Tetapi bahwa seseorang langsung dapat melihat gelang dikaki orang lain adalah sesuatu yang sangat kebetulan. Meskipun demikian, orang-orang yang berkumpul menemui Agung Sedayu itu tidak bertanya lebih jauh. Yang kemudian mereka bicarakan adalah sikap Pajang yang penuh curiga, meskipun pada umumnya para pemimpin di Mataram menyadari, bahwa ada orang-orang tertentu yang telah menghasut dan

memanaskan keadaan. Agaknya pembicaraan mereka jadi berkepanjangan. Agung Sedayu memang berminat untuk bermalam di Mataram, agar ia dapat mendengar banyak keterangan yang barangkali sangat diperlukan. Dari Raden Sutawijaya sendiri. Agung Sedayu mendengar usaha para petugas sandi dari Pajang yang telah datang ke Mataram tepat pada saat pasukan Mataram dan Sangkal Putung datang dari medan perang. Agung Sedayu mendengarkan keterangan Raden Sutawijaya itu dengan saksama. Ketajaman nalarnya segera dapat menangkap peristiwa yang terjadi sebagai latar belakang dari usaha para petugas sandi untuk melihat Mataram dalam kesiagaan perang. Untunglah bahwa kesalah pahaman yang semakin jauh masih dapat dihindari. Pasukan Mataram dan Sangkal Putung masih dapat disamarkan sehingga petugas sandi dari Pajang tidak sempat melihat mereka. Dan beruntunglah bahwa di Pajang masih ada seorang tua yang bernama Kiai Kendil Wesi. Tetapi lebih dari itu, maka kesempatan yang memang telah diberikan oleh Sultan sendiri kepada Mataram, merupakan sikap yang sangat menguntungkan. Bukan saja bagi Mataram, tetapi juga bagi Pajang sendiri. Bagi pihak yang tidak ingin melihat benturan antara Pajang dan Mataram terjadi. “Selanjutnya kita masih harus berhadi-hati,“ berkata Raden Sutawijaya, “kami di Mataram selalu berusaha memelihara hubungan dengan Kiai Kendil Wesi. Tetapi Kiai Kendil Wesi sudah terlalu tua.” “Apakah tidak ada orang lain yang dapat dipercaya?,“ bertanya Acung Sedayu. “Kita masih sedang menjajagi keadaan. Tetapi bahwa orang tua itu sangat dekat dengan ayahanda Sultan, adalah suatu kesempatan yang jarang didapat oleh orang lain. Apalagi dengan sadar ayahanda Sultan telah mempergunakan orang itu untuk memberikan keterangan yang kami perlukan di Mataram.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat keadaan yang aneh dalam hubungan antara Pajang dan Mataram Sultan Hadiwijaya sendiri seolah-olah telah berpihak kepada Mataram yang sedang berkembang itu. Namun dengan demikian, nampak jelas, bahwa kekuasaan Sultan Hadiwijaya di Pajang benar-benar telah dibatasi oleh orang-orang yang ada disekitamya. sehingga wibawanyapun telah jauh berkurang. Ia tidak dapat menentukan sikap seperti yang diinginkannya. Bahkan ia harus melakukan hubungan yang dirahasiakan dengan Mataram.

Tetapi tidak kalah anehnya adalah sikap Raden Sutawijaya sendiri. Ayahanda angkatnya ternyata sangat memperhatikannya. Ia lebih percaya kepada anak angkatnya yang telah memisahkan diri daripadanya itu daripada kepada setiap orang disekitamya. “Sultan Hadiwijaya telah hidup dalam keterasingan yang mewah di istana Pajang,“ berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri. Ki Juru Martani melihat gejolak didalam hati Agung Sedayu. Tetapi ia tidak mengerti, apa yang sedang dipikirkan oleh anak muda itu. Namun Ki Juru tidak menanyakannya, karena Agung Sedayu tentu tidak akan mengatakannya. Sementara itu. pembicaraan diantara mereka masih berlangsung beberapa lama Namun kemudian. Ki Juru Martani mempersilahkan Agung Sedayu untuk beristirahat. Agung Sedayu yang memang berniat bermalam di Mataram itupun kemudian dipersilahkan kedalam bilik yang telah disediakan kepadanya. Setelah membersihkan diri dan menunaikan kewajibannya, maka iapun beristirahat sejenak didalam biliknya sambil berangan-angan. Setiap kali perasaannya selalu diganggu oleh hubungan yang aneh antara Pajang dan Mataram. Seharusnya Raden Sutawijaya dapat mengambil sikap lain sehingga kekalutan yang diam-diam di Pajang tidak berkepanjangan. Namun agaknya Raden Sutawijaya memang sudah tidak berminat lagi untuk mempertahankan kehadiran Pajang, sehingga ia telah mengambil suatu sikap yang telah diyakini kebenarannya. Bahkan Agung Sedayu kemudian sampai pada suatu kesimpulan, bahwa Raden Sutawijaya telah tidak dapat lagi mempercayai siapapun di dalam lingkungan istana Pajang, sehingga ia lebih baik mulai dari yang baru sama sekali, meskipun ada juga terbersit keinginannya untuk berdiri pada namanya sendiri. Bahkan Raden Sutawijayalah yang telah mendirikan Mataram. Dalam kekalutan itu, terbayang didalam angan-angannya, kakaknya Untara. Seorang Senapati yang berpegang teguh pada dasar-dasar keprajuritannya. Namun karena ia berada diluar istana Pajang, maka ia agaknya tidak banyak mengikuti persoalan-persoalan yang berkembang didalam istana. Bahkan mungkin beberapa orang perwira yang lebih tua, baik umurnya maupun kedudukannya, dengan sengaja memisahkan Untara dari peristiwa-peristiwa yang sebenarnya bergejolak didalam istana Pajang. Sesaat terbersit didalam hati Agung Sedayu pertanyaan, apakah tidak ada baiknya jika Untara dapat langsung berhubungan dengan Sultan Hadiwijaya. Mungkin Untara mempunyai kemampuan untuk bertindak sesuatu. Sudah barang tentu ia memerlukan beberapa orang kawan. Namun Agung Sedayu tidak dapat membayangkan, apakah jadinya jika hal itu dapat diketahui oleh pihak-pihak yang berbeda pendapat. Maka dengan demikian, pertengkaran didalam istana itu akan

semakin cepat meledak. Masing-masing pihak dengan pengikutnya akan segera terlibat dalam pertempuran yang akan dapat menghancurkan Pajang sama sekali, sebelum seseorang bangkit untuk mengambil alih kedudukan Sultan Hadiwijaya. “Ya. Orang itu memang harus ada,“ tiba-tiba saja terbersit didalam hati AgungSedayu. Dan Agung Sedayu tidak melihat orang lain kecuali Raden Sutawijaya meskipun Sultan Hadiwijaya sendiri mempunyai seorang putera. Tetapi Pangeran Benawa seperti yang pernah dianggap oleh Agung Sedayu. sama sekali tak tertarik pada tata pemerintahan meskipun sebagai seorang anak muda ia memiliki ilmu yang tidak kalah dari Sutawijaya. Selagi Agung Sedayu merenungi angan-angannya, ia terperanjat ketika seseorang berdiri dimuka pintu. Ketika ia mengangkat wajahnya, maka dilihatnya Ki Juru Martani memandanginya sambil tersenyum. “Apakah yang sedang kau renungkan ngger?,“ bertanya Ki Juru. Agung Sedayupun mencoba untuk tersenyum. “Apakah kau tidak ingin berjalan-jalan di halaman?,“ bertanya Ki Juru Martani. .Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk sambil berdiri “Baiklah Ki Juru. Aku memang ingin menghirup udara sejuk diluar.” Keduanyapun kemudian meninggalkan bilik itu. Beberapa orang telah menyalakan lampu minyak di ruang-ruang dalam dan kemudian lampu-lampu minyak didalam bilik-bilik. Ketika Agung Sedayu dan Ki Juru Martani melintas dihalaman dan berdiri diregol, beberapa orang pengawal mengangguk hormat. “Kami akan berjalan-jalan,“ desis Ki Juru, “angger Agung Sedayu ingin melihat kota ini menjelang malam.” Pemimpin pengawal diregol itu mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia bertanya sesuatu, Ki Juru sudah mendahuluinya, “Kami akan berjalan-jalan berdua saja. Kami tidak usah mendapat pengawalan, karena kami tidak akan berjalan jauh. Apalagi angger Agung Sedayu telah menempuh perjalanan dari Tanah Perdikan Menoreh juga tanpa pengawalan.” Pemimpin pengawal diregol itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian tersenyum. Sambil mengangguk hormat ia berkata, “Silahkan Ki Juru.” Ki Jurupun tersenyum pula. Sambil menggamit Agung Sedayu ia berkata, “Marilah. Kita berjalan-

jalan.” Agung Sedayupun kemudian mengikuti Ki Juru melangkah di jalur jalan induk Kota Mataram. Dari pintu pintu rumah yang masih terbuka, cahaya lampu meloncat keluar menerangi daun-daun pepohonan. Dibeberapa buah regol. lampu-lampu obor menerangi jalan dengan sinarnya yang samar. Ki Juru Martani. dan Agung Sedayu berjalan perlahan-lahan. Di.saat matahari baru saja terbenam, masih nampak beberapa orang berjalan tergesa-gesa. Tetapi ada juga yang berjalan-jalan lambat membimbing anaknya untuk mengunjungi sanak kadang atau tetangga. Dalam samarnya ujung malam, orang-orang yang lewat dan berpapasan berseberangan jalan tidak segera dapat mengenal yang satu dengan yang lain, kecuali mereka yang hampir setiap saat bergaul. Itulah sebabnya, maka tidak seorangpun yang mengenal, bahwa dua orang yang berjalan-jalan perlahan-lahan disepanjang jalan kota itu adalah Ki Juru Martani dan Agung Sedayu. Meskipun Kota Mataram sudah menjadi semakin ramai, tetapi dimalam hari. jalan-jalan menjadi lengang. Tidak banyak orang yang berkepentingan dan turun kejalan dalam gelap. “Jalan-jalan di Mataram masih sunyi di malam hari,“ berkata Ki Juru Martani, “tidak ada kesibukan apapun juga dimalam hari. Mungkin ada juga satu dua banjar yang ramai oleh anak-anak muda. Tetapi tidak terlalu banyak. Meskipun demikian, sebentar lagi. sebelum tengah malam, gardu-gardu akan menjadi penuh.” “Penuh dengan pengawal?,“ bertanya Agung Sedayu. “Bukan. Tetapi anak-anak muda mulai turun. Ada diantara mereka yang memang selalu tidur di gardugardu sekaligus ikut serta mengamati keamanan.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ada juga keinginannya untuk melihat banjar-banjar padukuhan yang ramai, karena kebetulan ada kegiatan tertentu dipadukuhan itu. Ketika lamat-lamat terdengar bunyi gamelan, maka Ki Jurupun berkata, “Suara itu tentu berasal dari salah satu banjar. Mungkin anak-anak muda sedang berlatih menari untuk kepentingan tertentu bagi padukuhan itu.” “Menarik sekali,“ desis Agung Sedayu. “Kau akan menyaksikan?,“ bertanya Ki Juru. “Jika Ki Juru tidak berkeberatan?,“ jawab Agung Sedayu. Keduanyanun kemudian berjalan menuju kearah bunyi gamelan yang semakin lama terdengar menjadi semakin nyaring.

Meskipun kaki Agung Sedayu melangkah terus, namun ia sudah merasa, bahwa Ki Juru Martani tentu bukannya tanpa maksud dengan membawanya berjalan-jalan. Namun Agung Sedayu tidak ingin menanyakannya. Biarlah pada saatnya Ki Jurulah yang akan mulai dengan sebuah pembicaraan yang tentu dianggapnya penting. Perasaan Agung Sedayu tersentuh ketika ia melihat langit yang semakin cerah. Ternyata bahwa bulan mulai tersembul dari cakrawala dengan cahayanya yang kuning. Padukuhan-padukuhan yang semula terasa lengang itupun mulai berubah. Beberapa orang anak-anak mulai menyembulkan kepalanya di sela-sela pintu rumahnya. Kemudian satu-satu mereka turun kehalaman. Dengan isyarat-isyarat yang khusus dibuat oleh anak-anak kecil, maka mulailah mereka berlari-lari menuju ke halaman-halaman yang luas, setelah mereka mendapat ijin dari orang tua mereka. Terang bulan adalah saat-saat yang sangat menyenangkan. Anak-anak itu dapat bermain sembunyisembunyian atau berkejar-kejaran sepuas-puasnya. Saat-saat mereka bermain, maka anak-anak kecil itu seolah-olah tidak mengenal perasaan takut meskipun kadang-kadang mereka harus bersembunyi dibawah pohon-pohon yang biasanya dianggan pohon-pohon yang keramat, atau di semak-semak yang mungkin dihuni oleh berjenis-jenis ular. Jika anak-anak laki-laki bermain kejar-kejaran. maka anak-anak perempuan mempunyai jenis permainannya sendiri. Mereka bermain dakon atau gateng degan kerikil. Tetapi ada pula diantara mereka yang bermain jirak kemiri. Mataram yang lengang itu tiba-tiba menjadi ramai oleh suara anak-anak yang sedang bermain-main. Yang bermain nini towong, kadang-kadang berteriak sambil berlari-lari menghindari kejaran nini towong yang dianggapnya telah kerasukan. Agung Sedayu tiba-tiba saja menjadi semakin dalam dicengkam oleh kerinduannya kepada adik sepupunya. Glagah Putih tentu tertarik juga oleh sinar bulan yang kekuning-kuningan. Tetapi sudah barang tentu ia tidak dapat bermain seriang anak-anak dipadukuhan. karena dipadepokan itu tidak terdapat anak-anak muda yang dapat diajaknya bermain. Karena yang ada dipadepokan hanyalah anak-anak muda yang lebih terikat kepada air di parit yang mengaliri sawah daripada bermain dibawah cahaya bulan yang cerah. Oleh angan-angannya, maka seolah-olah Agung Sedayu tidak ingat lagi bahwa ia berjalan bersama Ki Juru Martani sehingga Ki Juru itupun kemudian bertanya, “Apa yang kau pikirkan Agung Sedayu?” Agung Sedayu tergagap. Diluar sadarnya ia berkata,

“Alangkah riangnya anak-anak itu bermain Ki Juru.” Ki Juru tersenyum. Katanya, “Aku sudah menduga. Mungkin kau sedang memikirkan masa kecilmu.” Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia tersenyum. “Kita sudah semakin dekat dengan suara gamelan itu. Agaknya banjar itu salah satu dari banjar dipinggir kota. sehingga kita memang harus berjalan agak panjang,“ berkata Ki Juru. “Ya. Ki Juru.,“ jawab Agung Sedayu pendek. Ki Juru menarik nafas panjang. Namun kemudian katanya, “Sambil berjalan, mungkin ada baiknya kita berbicara serba sedikit tentang perkembangan Mataram, Agung Sedayu.” Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ia sudah menyangka bahwa pada suatu saat. Ki Juru akan mengemukakan hal yang dapat dianggapnya penting. Karena itu. maka Agung Sedayupun berkata, “Apakah ada yang ingin Ki Juru pesankan kepadaku, atau kepada orang lain lewat aku?” Ki Juru mengangguk-angguk sambil menjawab, “Tidak terlalu penting Agung Sedayu. Aku kira daripada masalahnya tidak aku sampaikan maka ada baiknya jika kau mendengarnya. Hanya sekedar mendengar suatu keinginan saja.” Agung Sedayu memandang Ki Juru sejenak. Namun kemudian iapun melontarkan pandangan matanya ke kuningnya sinar bulan didedaunan. Untuk beberapa saat keduanya justru saling berdiam diri. Mereka melangkah dengan langkah-langkah lamban disepanjang jalan. Di simpang-simpang jalan mereka melihat satu dua orangyang berjalan memasuki jalan itu pula, kemudian melangkah seiring dihadapan mereka. “Mereka akan melihat kesibukan dibanjar itu pula,” berkata Ki Juru. Agung Sedayu tergagap. Sambil mengangguk kecil ia menyahut, “Banyak juga perhatian orang terhadap latihanlatihan seperti yang diselenggarakan itu.” “Cukup banyak,“ berkata Ki Juru, “aku sendiri sering melihat kesibukan-kesibukan dibanjar dengan diam-diam.

Bahkan angger Sutawijayapun sering melakukannya tanpa diketahui orang lain.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. “Kita sudah tidak jauh lagi,” berkata Ki Juru, ”namun aku masih ingin menyampaikan pesan itu. Barangkali dapat kau pertimbangkan.” Langkah Agung Sedayu tiba-tiba saja menjadi semakin lambat. Ia mencoba memperhatikan dengan saksama ketika Ki Juru kemudian berkata, “Angger Agung Sedayu. Seperti yang angger ketahui. Pajang justru tidak menghendaki hubungan baik antara Sultan Hadiwijaya dengan putera angkatnya Raden Sutawijaya.” Dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Meskipun ia sudah menduga bahwa persoalannya tentu akan merembet sampai persoalan itu pula. “Sebenarnya, Raden Sutawijaya sendiri juga bersalah dalam hal ini. Tetapi aku sudah tidak dapat lagi memaksanya untuk memasuki kembali istana Pajang, ia termasuk anak muda yang keras kepala.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. “Karena itu Agung Sedayu,” berkata Ki Juru lebih lanjut, ”kita harus menghadapi perkembangan keadaan dengan keadaan dan kedudukan kita sekarang ini.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dan Ki Juru meneruskan, “Kita harus menyesuaikan diri dengan sikap beberapa orang perwira di Pajang, yang seperti sudah kita lihat sendiri, bahwa mereka telah menggerakkan pasukan yang kuat untuk menghancurkan Pajang dan sudah barang tentu Mataram. Berkumpulnya kekuatan di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu tentu bukannya persoalan yang berdiri sendiri. Dan apakah kau kira bahwa dengan hancurnya pasukan dilemhah itu. kekuatan mereka benar-benar sudah punah?” Agung Sedayu berpaling. Ia merasakan pertanyaan itu bukannya sekedar pertanyaan. Dan sebenarnyalah Ki Juru meneruskan, ”Bahwa masih adanya seseorang diantara para pemimpin mereka yang hidup, berarti bahwa kekuatan mereka akan segera tersusun kembali.” Terasa jantung Agung Sedayu berdentang semakin cepat. Ia sadar, bahwa memang ada salah seorang dari para pemimpin mereka yang tetap hidup. Dan itu adalah karena sikapnya yang ragu-ragu. Ia tidak bersikap sebagai seorang prajurit dipeperangan. Seandainya ia tidak membunuh, maka orang itu harus dapat ditangkapnya hidup-hidup. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat ingkar bahwa hal itu memang sudah terjadi. Dan orang yang terluka parah di peperangan itu berhasil diselamatkan oleh anak buahnya. Berbeda dengan Kiai Kelasa Sawit yang ternyata kemudian terbunuh oleh Swandaru. Dalam cengkaman debar jantungnya. Agung Sedayu mendengar Ki Juru melanjutkan, “Tetapi jangan kau sesali dirimu. Kau sudah berbuat terlalu banyak. Justru lebih banyak dari yang dilakukan oleh

Danang Sutawijaya sendiri.” “Ah,“ Agung Sedayu berdesah, “Ki Juru terlalu memuji.” “Tidak Agung Sedayu. Aku berkata sebenarnya. Kau dapat mempertimbangkan sendiri, apa yang telah kau lakukan, dan apa yang dilakukan oleh Raden Sutawijaya.” “Seperti yang sedang terjadi Ki Juru. Bukan saja dipeperangan. Tetapi juga didalam banyak hal, maka kesempatan merupakan sesuatu yang kadang-kadang ikut menentukan. Dan kesempatan itu datang dengan tidak dapat diperhitungkan lebih dahulu.” Ki Juru tertawa. Katanya, “Kau tidak sedang menghadapi hitungan-hitungan diperjudian. Kesempatan memang menentukan. Tetapi dipeperangan keadaannya agak berbeda meskipun yang kau maksud dengan kesempatan itu memang kadang-kadang terjadi. Namun seandainya kau tidak memiliki ilmu yang matang. apakah kau dapat mempergunakan yang kau sebut kesempatan itu sebaik-baiknya?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. “Tetapi baiklah. Kita bicara soal lain. Bukan soal apa yang telah terjadi dipeperangan. Meskipun masih juga akan selalu menyangkut hal itu,“ Ki Juru berhenti sejenak, lalu. “Agung Sedayu. Aku berkata sebenarnya, bahwa kemampuanmu didalam olah kanuragan sekarang tentu sudah tidak kalah dibandingkan dengan Untara.” Dada Agung Sedayu tiba-tiba saja bergetar. Tetapi ia tidak segera menjawab. “Bukan maksudku untuk membuat perbandingan yang menyimpan arti yang kurang baik. Tetapi aku ingin mengatakan kepadamu, bahwa jika kau mau memenuhi nasehat kakakmu, maka kau akan dapat menjadi seorang prajurit yang mumpuni.” Wajah Agung Sedayu menegang sejenak. Tetapi ia masih tetap berdiam diri. “Maksudku Agung Sedayu, jika kau dapat memantapkan suatu sikap yang barangkali dapat kau mengerti, kau akan dapat ikut menentukan hubungan antara Pajang dan Mataram untuk selanjutnya.” “Apakah yang dapat aku lakukan Ki Juru?,“ bertanya Agung Sedayu. “Aku juga tidak tahu, apakah usaha ini akan dapat berhasil. Tetapi menurut perhitunganku, dengan kemampuanmu yang sukar ada bandingnya itu kau akan dapat dengan cepat meningkat ke jenjang yang tinggi di dalam tata keprajuritan Pajang dibawah pengaruh nama Untara.” Agung Sedayu menarik nafas. Sejenak ia merenung. Namun kemudian katanya, “Jalan yang jauh sekali Ki Juru. Tetapi yang harus Ki Juru ketahui, namaku sudah dikenal di Pajang.”

Jawaban Agung Sedayu itu membuat Ki Juru menjadi termangu-mangu. Bahkan sejenak ia berdiam diri. Namun kemudian ia bertanya, “Apakah begitu? Bukankah kau tidak pernah berada di Pajang?” Agung Sedayu termangu-mangu pula. Namun kemudian katanya, “Beberapa orang perwira kawan kakang Untara telah mengenal aku. Jika ada satu saja diantara mereka berpihak kepada orang-orang yang mengaku dirinya pewaris kerajaan Maiapahit. maka mereka akan segera berhati-hati terhadap diriku, seperti mereka berhati-hati terhadap kakang Untara. Apalagi jika salah seorang dari mereka yang berada di lembah itu berhasil menyusup kembali kedalam lingkungan keprajuritan di Pajang. Maka kedudukanku akan segera mereka ketahui, karena yang seorang itu tentu akan segera menyebarkan ceritera tentang diriku.” Ki Juru menarik nafas panjang sekali. Katanya, “Memang kita dapat melihat setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Tetapi jika kau dapat menempatkan dirimu, maka kau akan dapat mereka anggap seperti juga Untara, seorang prajurit yang berdiri diatas kedudukan dan kewajibannya.” “Jika demikian, lalu apakah yang dapat aku lakukan?“ bertanya Agung Sedayu. Ki Juru tidak segera menjawab. Ia sadar, bahwa yang dikatakan oleh Agung Sedayu itu memang dapat terjadi. Kedudukan Agung Sedayu akan segera di potong oleh orangorang yang mencurigainya dan bahkan berusaha meayingkirkannya. karena ada diantara para perwira yang pernah melihatnya berpihak kepada Mataram. Tetapi jika ia dapat menembus segala kecurigaan itu dengan pengaruh nama Untara. Mungkin ia akan mendapatkan tempat yang dapat dipakainya sebagai alas untuk isut serta menentukan sikap prajuritprajurit Pajang yang memang sudah terpecah itu. “Agung Sedayu,“ berkata Ki Juru kemudian, “mungkin akan ada perebutan pengaruh antara beberapa pihak yang berada di lingkungan keprajuritan di Pajang. Tetapi jika kau dapat menunjukkan sesuatu yang melampaui tataran para perwira, maka kau tentu akan mendapat tempat yang baik. Dan kau bukan seorang yang bodoh dan tidak dapat mempergunakan akal dan nalarmu untuk ikut serta menentukan sikap diantara para prajurit itu. Dengan melihat kenyataan, kau tentu akan mempunyai sikap yang lain dari kakakmu Untara yang benar-benar berdiri diatas satu sikap.” Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Ia dapat mengerti, bahwa dengan demikian, ia telah turun kedalam satu usaha yang gawat, tetapi mungkin akan banyak gunanya. Jika ia berhasil, maka ia akan dapat menjadi salah seorang perwira yang mempunyai sikap tertentu terhadap Mataram.

Dan iapun sadar, bahwa jika demikian, ia tidak akan dapat berbuat lain. kecuali berpihak pada salah satu sisi diantara pihak-pihak yang berseberangan. Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Seandainya ia dapat mencapai satu kedudukan di Pajang yang dapat dijadikannya pancatan untuk melakukan pesan Ki Juru, tetapi tidak sesuai dengan jalan pikiran kakaknya Untara, maka persoalannya tentu akan menjadi semakin berat baginya. Dan Agung Sedayu yang sadar akan dirinya itu tahu benar, bahwa ia akan menjadi semakin bimbang dan tidak tahu apakah yang akan dilakukannya. Ki Jurupun melihat, bahwa kebimbangan itu sudah mulai sejak saat itu. Karena itu. maka Ki Jurupun kemudian berkata, “Agung Sedayu. Persoalannya bukan persoalan yang harus diputuskan dengan tergesa-gesa. Karena itu pikirkanlah sebaik-baiknya. Akupun tahu seperti kau juga menyadari, bahwa kau memerlukan waktu yang cukup untuk mengambil sesuatu keputusan. Karena itu. baiklah. Aku sudah menyampaikan pesan itu, yang sudah disepakati sepenuhnya oleh Raden Sutawijaya. Keputusanmu dapat saja kau ambil satu atau dua pekan kemudian. Karena jalan yang kau tempuhpun akan merupakan jalan yang panjang. Sementara itu. permulaan yang betapapun lambatnya akan lebih baik daripada tidak dimulai sama sekali.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan kepala tunduk ia berkata, “Baiklah Ki Juru. Aku akan memikirkanmya. meskipun hal itu akan merupakan persoalan yang sangat berat bagiku.” “Sudah barang tentu kau harus berbicara dengan gurumu. Kemudian kau sampaikan niatmu itu kepada kakakmu jika Kiai Gringsing menyetujui. Untuk sementara kau masih harus menyembunyikan latar belakang sikapmu itu kepada kakakmu Untara, karena kita tahu sikap dan pendirian Untara sebagai seorang prajurit.” Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, ”Aku akan mencoba memikirkannya dengan sunguh-sungguh Ki Juru. meskipun sebenarnyalah bahwa aku sama sekali tidak dapat membayangkan, keputusan apakah yang dapat saya ambil kemudian.” “Baiklah. Nah, marilah kita sekarang mengisarkan perhatian kita. Padukuhan yang nampak samarsamar itulah yang sedang mempersiapkan sebuah pertunjukkan. Suara gamelan itu sudah dekat sekali,“ berkata Ki Juru Martani. Agung Sedayu tidak menjawab. Dipandanginya padukuhan dalam samarnya sinar bulan. Dan suara gamelan itu terdengar dekat sekali dihadapan mereka. Sementara itu beberapa orang nampak berjalan dengan tergesa-gesa, karena mereka

merasa sudah jauh terlambat untuk melihat latihan pertunjukan di banjar padukuhan dihadapan mereka. Ki Juru dan Agung Sedayu tidak berbicara lagi tentang kemungkinan yang membingungkan itu. Mereka mulai berbicara tentang latihan pertunjukkan yang dapat mereka lihat dibanjar padukuhan itu. Tetapi ketika mereka mendekati banjar, Ki Juru berkata, “Kita mencari tempat yang terlindung saja.” Agung Sedayu mengerti, bahwa tentu Ki Juru tidak ingin diketahui oleh orang-orang padukuhan itu. karena dengan demikian kehadirannya akan sangat menarik perhatian, sehingga bahkan akan melampaui perhatian para penonton terhadap latihan yang sedang diadakan itu. Beberapa saat lamanya kedua orang itu berdiri dibawah bayangan dedaunan sehingga mereka terlindung dari cahaya bulan. Dari dalam kegelapan mereka dapat menyaksikan latihan yang berlangsung dipendapa banjar. Bahkan dari kegelapan mereka dapat melihat beberapa orang yang dengan asyik menyaksikan latihan itu pula. Sejenak keduanya saling berdiam diri. seakan-akan mereka benar-benar tertarik kepada latihan yang sedang berlangsung. Latihan adegan perang dari ceritera Raden Panji Asmarabangun yang ditarikan dengan mempergunakan topeng bagi setiap pelakunya. Agung Sedayu berpaling ketika ia mendengar Ki Juru berkata, “Ternyata mereka pandai juga menari.” “Ya,“ desis Agung Sedayu. “Kau dapat juga menari?,“ bertanya Ki Juru. Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, “Hanya sedikit. Aku tidak sempat mempelajarinya dengan baik. Apalagi sejak ayahku meninggal.” “Tetapi kau mengenal dasar-dasar tari?” “Ya.” Ki Juru bergeser mendekat. Kemudian sambil menunjuk salah seorang penari ia berkata, “Kau melihat penari yang bertubuh kekar itu?” “Ya,“ sahut Agung Sedayu. “Apakah kau dapat menilai tata gerak tarinya?” “Ya. Mungkin ia adalah penari yang paling baik.” Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ia terlalu baik bagi seorang penari dari padukuhan

ini.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia sempat menjawab, Ki Juru telah bergeser mendekati dua orang yang berdiri tidak jauh dari padanya. “Apakah Ki Sanak dari padukuhan ini?,“ bertanya Ki Juru. Orang itu megerutkan keningnya. Namun ketika ia berpaling. ia sama sekali tidak dapat mengenali Ki Juru yang mempergunakan ikat kepalanya terlalu rendah dan dengan cara yang berbeda dari biasanya. Bajunya agak terbuka dan kainnya tersingsing agak tinggi, seperti kebanyakan para petani yang pergi kesawah. “Aku memang orang padukuhan ini,“ jawab orang itu, “siapakah Ki sanak?” “Aku dari padukuhan sebelah bulak. Mula-mula aku berjalan-jalan saja menyeberangi bulak. Tetapi ketika aku mendengar suara gamelan, akupun telah tertarik.” “Aku mengenal setiap orang dipadukuhan sebelah bulak,” sahut orang itu. “Maksudku, aku tamu dipadukuhan sebelah bulak. Aku mengunjungi saudaraku yang tinggal disana. Aku sendiri datang dari luar kota Mataram.” Orang yang ditanya itu masih akan berbicara. Tetapi Ki Juru mendahuluinya, “Maksudku, aku ingin bertanya, apakah penari yang bertubuh kekar itu tinggal dipadukuhan ini pula ?” Orang itu mengerutkan keningnya, Ia lupa bahwa ia masih akan bertanya kepada Ki Juru. siapakah saudara yang disebutkannya, karena justru ia harus menjawab pertanyaan Ki Juru. “Ki Sanak,“ berkata orang itu, “penari yang seorang itu memang bukan orang padukuhan ini. Sebenarnya ia tidak termasuk dalam susunan pemain. Tetapi ketika ia mengetahui latihan itu di banjar ini. maka iapun segera tampil. Ternyata ia justru menjadi penari yang paling baik. Dan ialah sebenarnya pengatur laku dari ceritera itu untuk seterusnya. Ialah yang memberikan petunjuk-petunjuk dan perbaikan-perbaikan pada latihan-latihan berikutnya sampai saat ini.” Ki Juru mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku sudah menduga. Ia memiliki banyak kelebihan dari kawan-kawannya. Tetapi siapakah orang itu sebenarnya?” “Aku kurang jelas. Semula ia datang untuk berjual beli benda-benda berharga. Wesi aji dan juga permata. Tetapi oleh latihan-latihan yang sangat menarik perhatiannya, ia justru berada di padukuhan ini. Ia telah menyatakan kesediaannya tinggal disini barang dua pekan sampai saatnya pertunjukan yang sebenarnya diselenggarakan.”

“Apakah kau tahu. dari manakah asalnya?,“ bertanya Ki Juru. Orang itu menggeleng. Katanya, “Tidak jelas. Mungkin dari Jipang atau justru dari Demak. Entahlah.” Ki Juru tidak bertanya lagi. Sambil mengucapkan terima kasih ia minta diri. Ketika Ki Juru meninggalkan tempat itu. Agung Sedayupun mengikutinya. Belum lagi mereka berada jauh diluar banjar, K i Juru sudah bertanya, “Bagaimanakah tanggapanmu tentang yang seorang itu?” Agung Sedayu menarik nafas panjang. Sekilas teringat olehnya Rudita, jika pertanyaan itu ditujukan kepada anak muda itu, maka ia tentu akan menjawab, “Kita adalah mahluk yang selalu dibayangi oleh kecurigaan terhadap sesama.” Namun Agung Sedayu menyadari, bahwa Ki Juru telah mencurigai orang yang berada didalam lingkungan penari di padukuhan itu. Orang itu memang perlu mendapat perhatian lebih banyak lagi. “Apakah kau tidak melihat sesuatu padanya,“ bertanya Ki Juru kemudian, karena Agung Sedayu tidak segera menjawab. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Pendatang itu memang menyimpan kemungkinankemungkinan yang pantas dicurigai. Karena itu maka jawabnya, ”Ki Juru. Aku tidak dapat menyebut dengan pasti. Tetapi kita memang dapat mencurigai setiap orang. Juga orang itu. Mungkin ia dengan sengaja datang untuk mengamati Mataram dengan saksama. Dan ia mendapat kesempatan untuk tinggal lebih lama lagi di padukuhan itu.” Ki Juru mengangguk-angguk. Namun Agung Sedayu meneruskan, “Tetapi apakah perlu kita mencurigai setiap orang?” Ki Juru tersenyum. Wajah Agung Sedayu menjadi panas ketika Ki Juru menjawab dengan sebuah pertanyaan, ”Apakah pengaruh Rudita sudah mencengkam perasaanmu?” Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi kepalanya ditundukkan dalam-dalam. “Agung Sedayu,“ berkata Ki Juru, “kadang-kadang ada juga gunanya kita mencurigai seseorang. Meskipun itu sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh sikap berhati-hati. Bukannya sikap memusuhi.” Agung Sedayu tidak menjawab. Iapun dapat mengerti, bahwa mencurigai seseorang itu dapat juga berarti sekedar sikap hati-hati. karena kadang-kadang seseorang memang dapat melakukan sesuatu yang dapat merugikan pihak lain. “Aku tidak dapat ingkar akan kenyataan itu,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Namun lebih dari itu. Agung Sedayu mulai menilai keadaan dalam keseluruhan. Ki Juru telah menyampaikan pesannya kepadanya, yang tentu sudah sependapat dengan Senapati Ing Ngalaga.

Dengan ketajaman uraian perasaannya. Agung Sedayu mulai melihat kepentingan-kepentingan yang bergulat didalam peristiwa yang sangkut menyangkut. Pesan Ki Juru yang tentu sudah disepakati oleh Sutawijaya itu adalah suatu dorongan bagi kepentingan Mataram. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga, setiap orang akan terpancang kepada kepentingan diri. Dan Mataram menganggap, bahwa sebaiknya Agung Sedayu berada didalam lingkungan koprajuritan. Sebab dengan demikian, maka Agung Sedayu akan dapat memberikan keuntungan kepada Mataram. “Ah,“ desah Agung Sedayu didalam hatinya, “akupun sudah mulai berprasangka terlalu jauh. Seharusnya aku menganggap bahwa usaha Ki Juru adalah sekedar usaha untuk mencegah timbulnya benturan antara Pajang dan Mataram.” Namun pertimbangan-pertimbangan yang bertolak dari kepentingan yang berbeda selalu saja berputaran didalam hati Agung Sedayu. Dalam pada itu, keduanya berjalan semakin jauh dari banjar padukuhan. Suara gamelan yang mengiringi latihanlatihan di banjar itupun menjadi semakin samar. “Menyenangkan sekali, berjalan-jalan diterang bulan,“ berkata Ki Juru, “apakah kau sudah lelah?” “Belum Ki Juru,“ sahut Agung Sedayu. “Jika demikian, kita berjalan-jalan mengelilingi kota.” Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, “Baiklah Ki Juru. Rasa-rasanya senang juga mendengar bocah berdendang sambil bermain diterangnya bulan.” Ki Juru tersenyum. Mereka masih berjalan menyusuri jalan-jalan kota. Tanpa tujuan mereka berjalan sekedar ingin melihat-lihat dan mengisi waktu diujung malam. Namun pembicaraan kemudian tidak banyak menarik lagi. Setiap kali angan-angan Agung Sedayu selalu jatuh kepada bayangan-bayangan yang buram tentang pesan Ki Juru Martani. “Mana mungkin aku dapat menjadi seorang prajurit.“ pikiran itulah yang selalu mengganggunya, “aku tidak mempunyai dasar sifat yang cukup.” Tetapi Agung Sedayu tidak mengatakannya. Ki Jurupun agaknya merasakan perasaan Agung Sedayu yang tidak lagi dapat menangkap kesegaran di

sepanjang jalan. Meskipun kadang-kadang Agung Sedayu memperhatikan juga suara anak-anak yang menjerit-jerit melagukan kidung dolanan. Namun Agung Sedayu lebih banyak berbicara kepada dirinya sendiri. Karena itu. maka Ki Jurupun kemudian mengajak Agung Sedayu kembali kerumah Raden Sutawijaya menjelang tengah malam. setelah keduanya berjalan berputar-putar didalam kota. Ketika mereka naik kependapa setelah mencuci kaki. maka Raden Sutawijaya sama sekali tidak menampakkan diri. Ki Jurupun kemudian mempersilahkan Agung Sedayu memasuki biliknya di gandok. Namun sebelum Ki Juru meninggalkan gandok, terdengar ia berkata, “Orang itu memang menarik perhatian ngger. Siapapun orang itu, namun ia bukan orang Mataram.” Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, “Mungkin Ki Juru perlu mengetahui siapakah orang itu. Tetapi sayang, bahwa waktuku di Mataram sangat pendek, sehingga aku tidak dapat ikut serta mengetahui latar belakang kehadirannya.” Ki Juru mengerutkan keningnya. Namun iapun mengangguk-angguk sambil berkata, “Beristirahatlah. Bukankahkau akan melanjutkan perjalanan besok?” “Ya Ki Juru.” “Baiklah. Tetapi coba renungkan. Mungkin yang aku katakan kepadamu agak bertentangan dengan sikapmu selama ini. Meskipun demikian kau dapat mengingat kembali apa yang pernah dikatakan Untara kepadamu tentang sifat-sifat seorang prajurit. Dan jika kau berada didalam lingkungan keprajuritan, maka tugas yang kau pikul akan menjadi rangkap. Sebagai prajurit yang baik dan sekaligus berusaha untuk tetap memelihara ketenangan, khususnya hubungan antara Pajang dan Mataram yang kini banyak diracuni oleh perwira-perwira Pajang sendiri yang terlampau mementingkan kepentingan diri sendiri. Sementara Senapati Ing Ngalaga selalu terikat kepada harga dirinya yang berlebih-lebihan tanpa menghiraukan keadaan yang lebih luas dari kelangsungan hidup Pajang.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Keterangan Ki Juru tentang Raden Sutawijaya terasa menyentuh hatinya. Agaknya ada kepentingan-kepentingan yang lebih jujur dari dugaannya yang lebih banyak dipengaruhi oleh prasangka. “Baiklah Ki Juru,“ berkata Agung Sedayu kemudian, ”aku akan memikirkannya. Tetapi aku sama sekali tidak dapat menyebutkan sekarang, apakah yang akan aku lakukan.” “Tentu. Dan kau masih mempunyai kesempatan yang panjang. Tetapi sekali-sekali bertemulah dengan Untara.

Namun demikian, segalanya terserah kepadamu. Kiai Gringsing akan banyak memberikan petunjukpetunjuk yang sangat berguna bagimu, karena sebenarnyalah ia adalah salah seorang yang justru merupakan keturunan langsung dari para penguasa di Majapahit. Ia termasuk salah seorang yang sebenarnya berhak atas warisan-warisan dari kerajaan itu. Telapi Kiai Gringsing agaknya berpandangan jauh lebih luas dari orang-orang yang hanya mengakuaku saja sebagai pewaris dan keturunan dari Majapahit.” Agung Sedayu mengangguk kecil. Sementara Ki Juru melangkah meninggalkan sambil berkata, “Tidurlah. Sebentar lagi tengah malam akan tiba.” Agung Sedayu tidak menjawab. Dipandanginya saja Ki Juru yang menyeberangi pendapa dan hilang di longkangan menuju kegandok yang lain. Agung Sedayu menarik nafas. Iapun kemudian membaringkan dirinya dipembaringan. Namun matanya tidak segera dapat terpejam. Pesan Ki Juru Martani seolah-olah berputar-putar saja ditelinganya. “Sekali-kali bertemulah dengan Untara,” kata-kata Ki Juru itu bagaikan selalu terngiang. Ia mengerti, bahwa hal itu tentu akan mendekatkannya dengan kemungkinan untuk menjadi seorang prajurit. “Tetapi kepentingan kakang Untara dan Ki Juru tentu berlainan. Kakang Untara ingin melihat aku sebagai seorang prajurit yang teguh timbul dan disegani, sementara Ki Juru mempunyai kepentingan lain apapun yang disebutkannya. Untuk kepentingan Pajang dan Mataram, atau kepentingan-kepentingan lain yang pada dasarnya menengahi sikap para perwira yang sudah ada.” Agung Sedayupun membayangkan, untuk dapat mencapai tujuan sesuai dengan keinginan Ki Juru Martani. ia harus sedikit menyombongkan diri dengan, memamerkan kelebihan-kelebihannya. sehingga ia akan segera mendapat tempat yang baik didalam lingkungan keprajuritan. Mungkin ia akan dapat menjadi seorang perwira atau Senopati yang memiliki kekuasaan yang khusus, yang dengan pengaruh yang ada dapat membantu menjernihkan hubungan antara Pajang dan Mataram, menyudutkan pengaruh para perwira yang dikuasai oleh nafsu pribadi dengan pamrih yang berlebih-lebihan untuk membangun kembali suatu kekuasaan yang disebut sebagai warisan kekuasaan Majapahit. Namun akhirnya angan-angan Agung Sedayai itupun menjadi semakin samar. Akhirnya, matanyapun terpejam sesaat setelah ayam jantan berkokok ditengah malam. Namun ternyata Agung Sedayu tidak dapat tidur nyenyak. Ia terbangun ketika dikejauhan terdengar suara kentongan yang bersahut-sahutan. Bahkan iapun segera bangkit ketika ia sadar, bahkan isyarat kentongan itu mempergunakan irama titir. “Apakah yang sudah terjadi ?” bertanya Agung Sedayu kepada diri sendiri. Namun Agung Sedayu tidak bergeser dari tempatnya. Ia masih menunggu perkembangan keadaan.

Dadanya menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar beberapa orang telah berada di pendapa. Langkah mereka yang terdengar sibuk menanggapi suara titir dikejauhan. Akhirnya Agung Sedayu tidak dapat berdiam diri didalam biliknya. Iapun kemudian melangkah kepintu. Perlahan-lahan ia mendorong pintu biliknya digandok. Dari sela-sela daun pintu ia melihat beberapa orang sudah berada di pendapa. Mereka tidak sempat duduk di atas tikar. Namun mereka hanya berdiri dan berbincang dengan sungguh-sungguh. Dengan ragu-ragu Agung Sedayu melangkah keluar. Ia masih bimbang, apakah ia diperkenankan naik kependapa dan ikut dalam pembicaraan itu. karena ia bukan termasuk salah seorang pemimpin di Mataram. Namun ternyata Ki Juru Martani yang melihatnya segera memanggilnya, katanya, ”Kemarilah ngger. Kita sedang membicarakan suara titir itu.” Agung Sedayupun kemudian mendekat. Ia melihat Raden Sutawijaya sudah berada diantara mereka. “Menurut pendengaranku, isyarat itu bersumber dari arah suara gamelan di banjar yang kita lihat bersama,“ berkata Ki Juru kepada Agung Sedayu. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ketika suara tititr itu mulai terdengar, agaknya ia masih tertidur. Tetapi ketika ia terbangun rasa-rasanya suara titir itu masih belum merata seperti saat-saat ia keluar dari dalam gandok. Dan arah dari suara itu memang seperti yang disebut oleh Ki Juru meskipun barangkali tidak tepat benar. Karena itu. dengan ragu-ragu Agung Sedayupun mengangguk. Katanya, “Mungkin pendengaran Ki Juru sesuai. Tetapi aku tertidur saat-saat suara titir itu mulai terdengar.” “Paman,“ berkata Raden Sutawijaya, “betapapun juga kita harus bersiaga. Kita tidak dapat menunggu disini tanpa berbuat apa-apa.” “Tetapi sebaiknya kau menunggu laporan untuk menentukan apakah yang sebaiknya akan kita lakukan,” sahut Ki Juru. Belum lagi Raden Sutawijaya menjawab, seekor kuda berlari mendekati regol. Karena penunggangnya telah dikenal oleh para penjaga regol, maka kuda itupun mereka biarkan masuk. Dengan tangkasnya penunggangnyapun kemudian meloncat dari punggung kudanya dan mengikat kuda itu pada sebuah patok yang sudah disediakan di pinggir halaman. Berlari-lari kecil penunggang kuda itu menuju ketangga dan kemudian naik kependapa.

“Katakan,“ desis Raden Sutawijaya, “aku tahu. kau membawa laporan tentang suara titir itu.” “Ya Raden,“ jawab orang itu, “ternyata yang dikatakan oleh Ki Juru benar.” Ki Juru menarik nafas panjang. Sekilas dipandangnya wajah Agung Sedayu dan tegang. Namun anak muda itupun segera mengerti apa yang telah terjadi. Agaknya Ki Juru yang meninggalkan biliknya, telah memerintahkan petugas-petugas sandi untuk membayangi orang yang dicurigainya dibanjar itu. “Apa yang sudah kaulihat?,“ bertanya Ki Juru kemudian. “Ketika orang itu kembali dari banjar tempat latihan itu, ada tiga orang yang telah menunggunya. Mereka berbicara ditempat yang sepi dan tersendiri.” “Kau tidak berusaha mendengar pembicaraan itu?” “Itulah yang terjadi. Aku mencoba untuk mendekat. Aku hanya mendengar salah seorang dari ketiga orang itu memberikan perintah, agar orang itu tetap berada di Mataram untuk waktu yang tidak ditentukan. Agung Sedayu telah meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Menurut perhitungan mereka. Agung Sedayu akan berada di Mataram meskipun hanya satu dua hari.” Dada Agung Sedayu bergetar mendengar keterangan orang itu. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa ia masih tetap menjadi sorotan orang-orang yang merasa sakit hati kepadanya. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat ingkar. Ia telah melakukan beberapa pembunuhan di medan perang dilemhah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, sehingga masih ada diantara mereka yang mendendam. Mungkin orang-orang yang kehilangan sahabatnya. Mungkin orang-orang yang kehilangan pemimpinnya. Sekilas terbayang orang-orang yang telah dibunuhnya itu memandanginya dengan sorot mata yang membara, memancarkan dendam yang tidak ada habisnya. Dalam pada itu. petugas sandi itupun meneruskan, ”Tetapi agaknya orang-orang itu benar-benar orang yang memiliki ilmu yang tinggi, ternyata kehadiranku dapat diketahuinya, sehingga mereka segera mengejarku.” “Kau tidak berbuat sesuatu untuk menangkap mereka ?” bertanya Ki Juru. “Kemudian kita bertempur untuk beberapa lamanya. Kedua kawanku sama sekali tidak dapat mengimbangi mereka. Untunglah bahwa para peronda di gardu segera datang membantu.” “Tetapi orang-orang itu tidak dapat kalian tangkap ?”

potong Raden Sutawijaya yang tidak telaten. “Ya Raden. Kami yang kemudian berjumlah lebih dari sepuluh orang, dibantu oleh beberapa orang anak muda sama sekali tidak berdaya. Bahkan mula-mula akan terjadi salah paham. Penari itulah yang meneriakkan kami seolah-olah kami adalah orang-orang jahat yang harus ditangkap. Untunglah, beberapa orang telah kami kenal, dan kami dapat mengatasi kesalah pahaman itu. Namun demikian, keempat orang itu tidak berhasil kami tangkap.” Raden Sutawijaya menjadi tegang. Tiba-tiba saja ia berteriak, ”Cepat, siapkan kudaku. Aku akan mencarinya diseluruh kota.” Raden Sutawijaya tidak mau mendengar keterangan-keterangan lebih panjang lagi. Ketika kudanya telah siap. maka iapun dengan tergesa-gesa meloncat naik diikuti oleh beberapa orang pengawal yang telah menyiapkan diri. “Tunggu,” minta Agung Sedayu, ”mereka mencari aku. Biarlah aku ikut bersama Raden.” “Tinggallah dirumah ini Agung Sedayu. Aku akan mencarinya. Ia telah mengacaukan daerah kekuasaanku. Apalagi mereka berani mengganggu ketenangan kota yang tidak seberapa luas ini.” “Jika aku telah mereka jumpai, maka ia tidak akan mengganggu kota ini.” “Kau tamuku sekarang. Aku bertanggung jawab atas semua tamu-tamuku, meskipun aku tahu, bahwa kau akan mampu mempertanggung jawabkan dirimu sendiri.” jawab Raden Sutawijaya. Agung Sedayu tidak sempat berbicara lagi. Kuda Raden Sutawijaya itupun segera berderap dan hilang diregol halaman. Yang nampak kemudian hanyalah debu yang mengepul di cahaya bulan yang kekuning-kuningan. Sejanak Agung Sedayu termangu-mangu. Ia masih melihat beberapa orang meninggalkan halaman. Mereka adalah para pengawal yang akan ikut meronda disekeliling kota. “Tinggal sajalah disini bersama aku,“ berkata Ki Juru, “biarlah Danang Sutawijaya mengurusi kotanya.” “Tetapi persoalannya justru berkisar padaku,“ sahut Agung Sedayu. “Persoalan apapun juga, tetapi mereka berada di wilayah kekuasaan Raden Sutawijaya,” jawab Ki Juru.

Agung Sedayu terdiam. Ia tidak dapat menolak sikap itu, karena sebenarnyalah Mataram adalah daerah kekuasaan Raden Sutawijaya. Namun demikian, iapun kemudian berkata, “Ki Juru. Menurut pertimbanganku, agaknya orang-orang itu tidak ingin membuat persoalan dan kegaduhan di kota ini. Apalagi mereka hanya berempat. Yang mereka lakukan tentu hanya sekedar pengawasan. Jika mereka melihat aku lewat, maka mereka tentu akan melakukan sesuatu justru saat aku berada di perjalanan. Agaknya di Tanah Perdikan Menoreh mereka berhasil mendapatkan keterangan, dengan cara apapun, bahwa aku dalam perjalanan menuju ke Sangkal Putung seorang diri.” “Mungkin sekali Agung Sedayu. Karena itu, sudahlah. Sekarang beristirahatlah, meskipun sudah tentu sebaiknya kau menunda perjalanmu kembali ke Sangkal Putung.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia masih mendengar suara titir hampir diseluruh kota. Dan Agung Sedayupun membayangkan, bahwa semua pintu gerbang tentu sudah ditutup dan dijaga dengan kuat, sehingga tidak seorangpun akan dapat lolos lewat pintu gerbang. “Tetapi orang-orang berilmu akan dapat meloncati dinding kota,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya, meskipun ia membayangkan juga bahwa para peronda tentu sudah mengawasi setiap jengkal dinding yang membatasi kota Mataram yang sedang tumbuh. Sementara itu. Kuda Raden Sutawijaya berderap di jalan-jalan kota menuju ketempat yang menjadi sumber isyarat. Namun yang dijumpainya hanyalah beberapa orang yang berjaga-jaga. dan bahkan terdapat tiga orang pengawal dan dua orang anak muda yang terluka. “Yang seorang agak parah,“ lapor pemimpin pengawal yang ada ditempat itu. “Kalian tidak berusaha mengejarnya?,“ bertanya Raden Sutawijaya. “Beberapa orang pengawal mengejarnya. Mereka tiba-tiba saja berpencar dan seakan-akan telah hilang. Tetapi disetiap sudut jalan terdapat para pengawal dan anak-anak muda dari setiap padukuhan. Kita sedang mencari keempat orang yang pantas dicurigai itu,“ jawab pemimpin pengawal itu. Raden Sutawijaya termangu-mangu. Sudah tentu ia tidak akan dapat mencari sambil berpacu melingkari kota. Karena itu. maka iapun justru menyusuri jalan dengan lambat dan sekali-kali berhenti di muka gardu-gardu yang ditunggui oleh para pengawal. Seperti yang diduga oleh Agung Sedayu maka ketika Raden Sutawijaya melewati pintu gerbang, maka pintu gerbang itu tertutup rapat. Raden Sutawijaya berhenti sejenak di hadapan para penjaga yang meyongsongnya. Dengan nada datar ia bertanya, “Apakah kalian tidak melihat orang-orang yang mencurigakan melalui pintu gerbangmu

sebelum kau tutup?” “Tidak Raden,“ jawab pemimpin pengawal itu, “tidak seorangpun yang pantas aku curigai memasuki pintu gerbang ini. Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Diantara para pengawal ia melihat beberapa orang petugas sandi. Namun agaknya mereka benar-benar tidak melihat orang-orang yang pantas dicurigai sebelum orang-orang itu melakukan sesuatu yang menarik perhatian. “Baiklah,“ pesan Raden Sutawijaya, “berhati-hatilah. Jangan ada seorangpun yang dapat lolos dari dalam kota.” “Ya Raden. Para perondapun selalu mengelilingi dinding kota. sehingga kemungkinan bagi seseorang untuk meloncatpun agaknya sangat tipis. Digardu-gardu di simpang tiga dan tikungan-tikungan yang menghadap dinding, anak-anak mudapun selalu berjaga-jaga.” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk pula. Iapun kemudian meneruskan perjalanannya menyusuri jalan-jalan kota. Namun ia tidak menjumpai orang-orang yang dicarinya. Sementara itu para pengawal, para bebahu padukuhan dan anak-anak mudapun masih sibuk mencari orang-orang yang mereka curigai itu. Apalagi anak-anak muda yang bersama-sama berlatih menari. Mereka semula sama sekali tidak mencurigai pedagang wesi aji dan batu-batu permata itu. Bahkan orang itu mendapat kehormatan selayaknya sebagai seorang yang memberikan tuntunan tari dan lagu bagi pertunjukan yang sedang mereka siapkan. Namun ternyata orang itu adalah petugas sandi dari pihak yang tidak senang melihat perkembangan Mataram. Tetapi agaknya ke empat orang itu bagaikan hilang ditelan gelap. Sementara dari para pengawal menyangka, bahwa orang-orang itu telah berhasil meloncat dan hilang dari kota. “Betapapun ketatnya pengawasan, namun kemungkinan itu besar sekali dapat terjadi. Disaat-saat kita sibuk membunyikan isyarat dan berlari-larian kian kemari, maka ke empat orang itu telah meloncat keluar dan hilang di dalam gelap,“ berkata salah seorang pengawal. “Tetapi orang yang tinggal dipadukuhan dan memberikan tuntunan tari itu membawa seekor kuda,” sahut yang lain. “Kau memang dungu. Apakah artinya seekor kuda bagi keselamatan jiwanya?” Kawannya tidak menyahut lagi. Tetapi kepalanya sajalah yang terangguk-angguk. Meskipun demikian, namun para pengawal masih tetap berjaga-jaga. Raden Sutawijaya masih berkeliling untuk melihat-lihat kemungkinan bahwa keempat orang atau satu diantaranya masih berada didalam kota.

Dalam pada itu rumah Raden Sutawijaya telah menjadi sepi. Yang tinggal hanya dua orang pengawal di gardu yang menghadap regol halaman, sedang dua orang yang lain berkeliling di halaman dan memasuki longkangan sampai ke kebun belakang. Sementara dua orang yang lain berada di pendapa. Namun selain mereka, di dalam rumah itu masih ada Ki Juru Martani yang merupakan tumpuan kekuatan bagi para pengawal rumah yang menjadi pusat pemerintahan Mataram. Tetapi selain mereka, masih ada satu lagi orang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Seorang tamu yang singgah di Mataram dalam perjalanan dari Tanah Perdikan Menoreh menuju ke Sangkal Putung. Didalam biliknya Agung Sedayu mencoba untuk berbaring dan melepaskan angan-angannya dari keadaan yang sedang terjadi di Mataram. Ia mencoba menyerahkan segala sesuatunya kepada Raden Sutawijaya yang bertanggung jawab tentang segalanya di Mataram. Tetapi setiap kali ia selalu disentuh oleh perasaan gelisah, karena justru ialah yang menjadi pusat perhatian orang-orang yang mencurigakan itu. Sejenak Agung Sedayu mencoba untuk menilai keadaan yang sedang terjadi itu dengan keterangan yang didengarnya, bahwa Pajang telah mengirimkan pengawas sandinya untuk menilai kekuatan Mataram yang dianggap siap untuk melawan Pajang. “Agaknya orang ini berbeda tujuan dengan petugas-petugas sandi itu meskipun mungkin ia berasal dari kesatuan prajurit Pajang pula,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Dalam pada itu. selagi ia sedang digelisahkan oleh keadaan yang terjadi, diluar halaman, dua orang sedang berjalan-jalan tersuruk-suruk mendekati regol. Sejenak mereka tertegun ketika mereka melihat orang-orang yang berada didalam gardu. “Sst,“ desis yang seorang sambil menunjuk orang-orang digardu itu. Yang lain tidak menyahut. Namun digamitnya kawannya untuk melangkah dengan hati-hati mendekati gardu itu. Dengan jari-jarinya ia memberikan isyarat bahwa yang ada digardu itu hanyalah dua orang saja. Yang seorang justru telah heran dan kemudian berdiri disisi regol dengan tombak ditangan, sementara yang lain masih tetap duduk sambil membelai hulu pedangnya Kedua orang yang sedang merunduk itu saling berpandangan. Namun yang seorangpun kemudian memberikan isyarat ketika ia melihat dua orang pengawal yang lain berjalan dari halaman menuju ke regol itu pula. Sejenak mereka termangu-mangu. Namun kemudian merekapun surut beberapa langkah dan menghilang dibalik gerumbul-gerumbul liar di halaman sebelah. Ternyata keduanya telah memberikan laporan tentang para pengawal yang ada di regol yang hanya berjumlah empat orang.

“Aku sudah menduga, bahwa justru rumah ini akan menjadi kosong,“ desis salah seorang dari mereka. “Tetapi kita tidak akan dapat berbuat apa-apa.“ sahut yang lain. “Kita akan memasuki rumah ini. Meskipun tidak termasuk dalam rencana, tetapi kita akan mengambil semua pusaka yang ada. Aku yakin bahwa Sutawijayapun tentu sedang keluar oleh suara titir.” Sejenak empat orang itu termangu-mangu. Namun salah seorang dari mereka kemudian berkata, “Kita harus meyakinkan bahwa Raden Sutawijaya tidak berada di rumahnya. Dan penjagaan dirumah ini justru menjadi susut karena suara titir itu.” “Apakah yang dapat kita perbuat?,“ bertanya salah seorang dari mereka. “Aku akan bertanya kepada para pengawal. Lindungi aku jika caraku gagal,“ berkata yang lain. “Apa yang akan kau lakukan?” “Lihat sajalah.” Keempat orang itupun segera bersiap-siap. Yang seorang dari mereka tiba-tiba saja telah membuka bajunya dan mengurai ikat kepalanya, sehingga nampaknya ia benar-benar seperti orang yang sedang dalam keadaan yang sulit. Rambutnya nampak kusut dan langkahnya tiba-tiba menjadi gontai. Kawan-kawannya memperhatikan dari balik persembunyiannya. Mereka melihat dibawah cahaya bulan yang samar, kawannya yang seorang itu berlari-lari dengan tertatih-tatih mendekati para pengawal. “He. siapa kau? “ tiba-tiba salah seorang pengawal menyapanya sambil mengacukan tombaknya. “O. ampun tuan. Aku telah dikejar seseorang. Mula-mula akulah yang mengejarnya, karena orang itu pantas dicurigai. Tetapi ternyata ia melawan. Kami berempat, dan orang itu hanya sendiri. Tetapi tiga kawan kami agaknya terluka entah terbunuh.” ia berhenti sejenak lalu. “aku akan menghadap Raden Sutawijaya. Raden Senapati Ing Ngalaga membunuhnya. Orang itu luar biasa. Sebentar lagi ia tentu akan sampai kemari.” Keempat penjaga regol itu menjadi tegang. Hampir diluar sadar, salah seorang dari mereka menyahut, “Raden Sutawijaya sedang nganglang. Tetapi biarlah. Jika ia datang kemari, aku akan membunuhnya.” “Jika tidak? Apakah tidak sebaiknya kalian mengejarnya,“ berkata orang yang gontai itu. “Kami bertugas disini. Kami tidak dapat meninggalkan tugas kami.”

“Tetapi disini tentu banyak petugas yang lain orang yang berpura-pura itu tertegun sejenak. Hanya enam orang. Jika demikian, maka pengamanan rumah itu benar benar sangat ringkih.” Karena itu. tiba-tiba saja diluar dugaan, orang itu meloncat menyerang pengawal yang memegang tombak itu. Sambil menyambar tangkai tombak itu dan menariknya sekuat tenaganya, kakinya telah menghantam lambung pengawal itu. sehingga pengawal itu terpelanting jatuh. Para pengawal yang lainpun terkejut bukan buatan. Tetapi mereka tidak sempat berbuat banyak. Demikian mereka menyadari keadaan, maka tiga orang lain telah berloncatan dari dalam gerumbul. Serangan yang tiba-tiba itu telah melumpuhkan keempat orang itu sekaligus. Mereka sama sekali tidak sempat memberikan isyarat kepada siapapun juga. Yang terjadi itu hanyalah beberapa saat yang pendek. Dua orang pengawal yang berada dipendapa sama sekali tidak mengetahui, bahwa diluar regol keempat kawannya telah dilumpuhkan. Karena itulah, keduanya yang berada dipendapa masih saja duduk sambil bercakap-cakap untuk menghalau perasaan kantuk! “Agaknya orang-orang yang dicari itu sudah berhasil melarikan diri,“ desis yang seorang. “Mereka tentu sudah meloncat dinding,” sahut yang lain. “Tetapi, kenapa Raden Sutawijaya masih belum kembali? Atau pengawal-pengawal yang lain yang sebenarnya tidak perlu ikut berkejar-kejaran di sudut-sudut kota ?” Kawannya tidak menyahut. Dipandanginya regol halaman dalam keremangan sinar bulan. Tetapi ia tidak melihat apapun juga. “Mungkin masih dilakukan pencaharian terus sampai pagi,“ desis yang seorang pula. Kawannya tetap tidak menjawab, ia mengerutkan keningnya ketika ia melihat seseorang melintasi regol. Kemudian berjalan kembali. Hilir mudik seperti yang dilakukan oleh para pengawal. Namun sejenak kemudian, dua orang diantara mereka memasuki halaman dan berjalan melintas. Kedua orang yang berpura-pura sebagai para pengawal itu telah memberanikan diri melihat-lihat

keadaan didalam. Seperti dua orang yang mereka lihat melintas dan mendatangi gardu diregol itu, maka kedua orang itupun melakukan yang sebaliknya. Dua orang pengawal yang berada dipendapa memandang kedua orang yang melintas itu. Mereka masih menyangka bahwa keduanya adalah para pengawal yang bertugas di gardu. Tetapi sejenak kemudian, mereka melihat kedua orang lainnya memasuki regol pula menyusul kedua onang yang terdahulu. “Kenapa mereka semuanya memasuki halaman? “ salah seorang dari kedua penjaga di pendapa itu bertanya. Yang lain termangu-mangu. Namun kemudian tanpa menjawab pertanyaan kawannya ia berdiri dan berjalan ketangga pendapa sambil bertanya, “He. kenapa regol itu kalian tinggalkan?” Keempat orang itu tertegun. Dalam samarnya cahaya obor mereka melihat dua orang berada dipendapa. “Empat orang sudah tidak berdaya,“ desis yang seorang, disini ada dua orang penjaga. Jika yang dua ini kita selesaikan, maka rumah ini tentu sudah kosong.” “Tetapi apakah tidak ada orang didalam?,“ bertanya yang lain “Hanya pelayan-nelayan. Bukan prajurit-prajurit.” “Jika pelayan-pelayan dirumah ini juga prajurit?” “Kita bertempur.” Karena orang-orang itu tidak segera menjawab, bahkan saling berbisik maka kedua pengawal dipendapa itu bertanya pula, “He kenapa kalian tinggalkan regol itu?” Tiba-tiba terdengar jawaban, ”Keadaan sudah aman.” Jawaban itu benar-benar mengejutkan. Seorang pengawal tidak akan berpendapat demikian. Betapapun keadaan aman. namun mereka tidak boleh meninggalkan tugas mereka. Apalagi baru saja terdengar suara titir diseluruh kota. bahkan Raden Sutawijaya sendiri masih belum kembali. Kecurigaan timbul pada kedua orang pengawal itu. Karena itulah maka merekapun mencoba mengenali keempat orang itu dengan saksama.

Namun agaknya keempat orang itu telah merasa bahwa kedua orang itu tentu akan segera mengenalnya. Karena itulah, maka tiba-tiba saja keempat orang itupun telah meloncat menyerang dengan garangnya. Namun karena kecurigaannya, maka kedua orang itupun ternyata telah bersiap-siap. Maka demikian mereka melihat keempat orang itu meloncat menyerang, maka keduanyapun segera menarik pedangnya sambil berkata satu sama lain hampir bersamaan, ”Berhati-hatilah” Kedua pengawal itu dalam saat yang pendek, segera dapat menduga bahwa para penjaga regol tentu sudah tidak berdaya, sehingga keempat orang itu dapat masuk dengan leluasa. Sejenak kemudian telah timbul pertempuran diantara keempat orang pendatang itu melawan kedua pengawal. Ternyata bahwa kedua pengawal itu sama sekali tidak mampu berbuat banyak. Selain jumlah keempat orang itu lebih banyak, bahkan berlipat. namun ternyata bahwa seorang saja diantara keempat orang itu akan dengan mudah mengalahkan kedua orang lawannya. Itulah sebabnya, maka sejenak kemudian kedua pengawal itu sudah tidak berdaya. Mereka terkapar di pendapa dengan senjata masih ditangan. “Apa yang akan kita lakukan sekarang?,“ bertanya salah seorang. “Mengambil pusaka-pusaka itu.” Sahut salah seorang yang paling berpengaruh diantara keempat orang itu. “Mungkin kita dapat mengambilnya. Tetapi bagaimana kita akan membawa keluar. Seluruh kota sudah dijaga. Setiap tikungan, simpang tiga dan simpang empat.” Orang itu termenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Kau memang bodoh. Dengan pusaka-pusaka itu ditangan, tidak akan ada seorangpun yang berani menghalangi perjalanan kita.” “Kenapa? Apakah pusaka itu mampu melawan orang seluruh tanah Mataram?” “Kau memang dungu. Kita akan membawa kangjeng Kiai Pleret yang sudah kembali keperbendaharaan pusaka di rumah ini. Juga Kiai Mendung dan pusaka-pusaka yang lain. Jika para pengawal Mataram mencoba menghalangi kita, atau bahkan menangkap kita, maka kita harus siap menghancurkan pusaka-pusaka itu.” Kawan-kawannya terkejut. Dengan tegang salah seorang dari mereka bertanya, “Apakah kita mampu? Kita akan kena kutuknya. Bahkan sebelum kita dapat menghancurkan pusaka itu. kita sudah membeku karenanya.” Tetapi kawannya justru tertawa. Katanya, “Kau benar-benar seorang yang tidak berakal. Kita tidak akan benar-benar menghancurkan pusaka itu. Kita hanya menakut-nakuti orang Mataram. Mereka tentu

akan mundur dan memberi jalan kepada kita. karena mereka tidak akan dapat melihat pusaka-pusaka itu kita rusakkan. Kita harus berbuat seolah-olah benar-benar kita akan menatahkan ujung tombak Kiai Pleret. atau menghancurkan sonsong Kiai Mendung. Seolah-olah benar-benar akan kita lakukan.” Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Namun merekapun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Kau memang cerdik.” “Marilah. Kita harus cepat memasuki perbendaharaan pusaka. Kita akan mencarinya. Mungkin ada satu dua abdi yang ada didalam. Kita tidak mempunyai pilihan lain daripada melumpuhkan mereka.” Keempat orang itupun kemudian bergegas naik kepandapa. Mereka langsung menuju kepintu. Jika pintu itu diselarak dari dalam. maka tidak ada jalan lain kecuali memecahkannya. Tetapi keempat orang itu tertegun, ketika pintu itu justru terbuka. Dengan dada yang berdebar-debar mereka melihat seorang tua melangkah keluar dan berdiri tegak dimuka pintu. Wajah orang itu menegang sejenak. Namun kemudian terdengar suaranya lirih, ”Siapakah kalian?” Salah seorang dari keempat orang itu terhenyak ditempatnya. Sambil menggamit kawannya yang terdekat ia berbisik, ”Ki Juru Martani.” Tetapi kawannya yang berdiri disebelahnya tiba-tiba saja menggeram, “Ki Juru. Mungkin kau tidak mengenal kami. Kawanku yang seorang tiba-tiba saja menjadi ketakutan melihat wajahmu. Tetapi maaf, aku datang dengan sengaja untuk menjumpaimu. Mungkin kau dapat menahan aku untuk beberapa saat. sementara kawan-kawanku mengambil pusaka-pusaka dari gudang penyimpanannya.” Ki Juru termangu-mangu. Ia benar-benar menjadi cemas melihat keempat orang itu. Apalagi menilik salah seorang diantara mereka tentu termasuk orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Jika benar-benar orang itu mampu menahannaya untuk bertempur, maka yang lain tentu akan berhasil mengambil pusaka-pusaka di tempat penyimpanannya. “Nah Ki Juru,” berkata orang itu, “daripada perlawanan Ki Juru sia-sia. maka lebih baik Ki Juru menyerahkan saja pusaka-pusaka itu.” Tetapi Ki Juru menggeleng. Jawabnya, “Aku akan bertempur. Aku tahu bahwa pengawal yang sedikit, justru karena terpancing keluar rumah dan halaman ini. telah kalian pergunakan sebaik-baiknya. tetapi disini masih ada aku. Masih ada beberapa orang pelayan yang memiliki kemampuan sebagai seorang pengawal, meskipun tidak setingkat dengan kalian. Tetapi jumlah mereka yang lebih dari empat orang. akan dapat mengganggu kalian sampai saatnya Raden Sutawijaya kembali.”

“Persetan. Kami akan membunuh semua orang, termasuk kau Ki Juru.” Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak mudah membunuh sesama. Meskipun kemampuanmu berlipat, namun hidup dan mati seseorang berada dibawah kuasa Yang Maha Esa.” “Persetan. Jangan biarkan ia mengulur waktu menunggu Sutawijaya kembali. Kita bunuh saja orang tua itu. Kemudian yang lain.” Ki Juru masih akan menjawab, tetapi keempat orang itu. sudah siap menyerangnya dengan senjata teracu. Ki Juru yang tua itu tidak dapat berbuat lain. Ia surut selangkah sehingga ia berdiri di pintu. Dengan demikian, ia berusaha mengurangi kemungkinan serangan dari arah yang berlawanan. Keempat orang itupun kemudian maju mendekatinya. Salah seorang dari mereka tiba-tiba saja berkata, “Serahkan orang tua itu kepadaku. Aku tahu. seberapa tinggi tingkat ilmunya. Ia adalah saudara tua seperguruan dengan Ki Gede Pemanahan. Namun karena Ki Gede Pemanahan adalah seorang Panglima, maka tingkat kemampuannya tentu lebih tinggi dari Ki Juru Martani. justru karena Ki Gede ditempa oleh pengalaman.” Ki Juru Matani termangu-mangu. Orang itu ternyata dapat menjajagi ilmunya dan memperbandingkannya dengan Ki Gede Pemanahan dengan tepat. Karena itu, maka iapun menjadi berdebar-debar. Jika orang itu berhasil mengikatnya dalam perkelahian, maka ketiga kawannya akan dapat berbuat seperti yang dikatakannya. Merampas pusaka-pusaka yang tersimpan dibilik penyimpanan pasaka. karena para pelayan rumah itu tentu tidak akan mampu melawannya. “Tinggalkan orang tua itu,“ berkata orang yang agaknya pemimpin dari keempat orang itu, ”carilah pusaka-pusaka itu.” Ki Juru memandang orang itu sejejak. Namun ia menjadi semakin gelisah ketika ketiga orang lainnya ternyata surut selangkah. “Persetan,” geram orang yang berhadapan dengan Ki Juru Martani, “seandainya kau dapat menangkap angin, namun jika kau tidak lenyap dari tatapan mataku, maka kau akan binasa.” Ki Juru tidak menjawab. Tetapi iapun telah menggemgam pedang. Meskipun ia sudah tua. tetapi ia masih memiliki kemampuannya sebagai seorang yang berilmu tinggi. Namun dalam pada itu. selagi ketiga orang yang datang itu beringsut surut, terdengarlah suara dari gandok, ”Biarlah ketiga orang itu akulah yang menemani.” Semua orang berpaling kepada suara itu. Ki Juru mengerutkan keningnya. Sebenarnya ia memang mengharap Agung Sedayu keluar dari biliknya. Tetapi ia tidak dapat mempersilahkannya. Ia adalah seorang tamu, apalagi ia mendengar, bahwa orang-orang itu memang mencari Agung Sedayu.

“Siapa kau? “ salah seorang dari keempat orang itu bertanya. “Aku kira. kalian memang mencari aku,“ jawab Agung Sedayu. “ternyata kalian memang cerdik. Kalian memancing para pengawal keluar. Dan kini kalian benar-benar dapat bertemu dengan aku.” “Persetan,“ geram orang yang sudah berhadapan dengan Ki Juru, “jadi kau Agung Sedayu?” “Apakah kau belum mengenal aku? Jika demikian, apakah kau dapat menjalankan tugasmu jika kalian bertemu aku diperjalanan ke Sangkal Putung? Aku kira kalian memang mengikuti jejakku dan akan menjebabku disepanjang jalan menuju ke Kademangan Sangkal Putung itu.” Keempat orang itu termangu-mangu. Mereka memandang Agung Sedayu seperti memandang hantu. Debar dadanya terasa semakin keras ketika mereka melihat Agung Sedayu melangkah mendekat. “Aku harus menjebaknya dan bersama-sama membunuhnya,“ berkata orang yang memimpin keempat orang itu didalam hatinya, “tetapi jika disini hadir juga Ki Juru. maka keadaannya akan menjadi gawat.” Sementara itu Agung Sedayu yang menjadi semakin dekat kemudian berkata, “Ki Sanak. Agaknya kalian memang tidak perlu mencari aku yang kalian sangka akan tinggal dan bermalam di Mataram satu atau dua hari. Setelah menurut pengamatan kalian aku telah meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Kita sudah bertemu sekarang. Dan marilah, silahkan duduk. Mungkin kalian membawa pesan untuk aku.” Keempat orang itu menjadi tegang. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka, yang justru sudah siap bertempur melawan Ki Juru itupun berkata, ”Gila. Kau berada diluar perhitungan kami saat kami memasuki rumah ini. Tetapi sekarang kita sudah bertemu. Apa boleh buat. Kau pun harus mati seperti Ki Juru Martani.” “Jangan berbicara tentang mati. seolah-olah tidak ada persoalan lain yang dapat kita perbincangkan. Bukankah kita dapat berbicara sebaik-baiknya tentang parit yang mengalir deras, tentang padi yang mulai menguning, tentang pedati yang berjalan lamban di bulak panjang atau tentang hubungan yang akrab antara sesama manusia tanpa permusuhan.” “Cukup,“ bentak orang yang siap melawan Ki Juru, “kau jangan mencoba mempengaruhi kami dengan kata-kata yang tidak bernilai bagi kami, orang jantan. Sekarang kalian berdua berhenti sejenak, lalu katanya kepada ketiga orang kawannya, bunuh anak itu lebih dahulu. Setelah itu, ambillah pusaka-pusaka yang ada diperbendaan pusaka.” “Tunggulah,” potong Agung Sedayu, ”jangan tergesa-gesa. Aku akan memberikan sedikit keterangan. Jika sekiranya kau memaksakan pertempuran, maka kita akan bertempur. Aku dan Ki Juru akan memperpanjang waktu perlawanan kami.

Jika ada satu dua orang pelayan terbangun, mereka akan memukul isyarat dan sepuluh atau duapuluh orang akan memasuki halaman itu. Mereka akan melihat korban yang telah kau lumpuhkan, sebelum mereka melakukan apapun juga. Nah. kau tahu. apa yang akan terjadi atasmu.” “Cukup. Cepat, bunuh anak itu. Jika ada seorang pelayanpun yang terbangun dan berusaha membunyikan isyarat, ia akan mati paling cepat.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Agaknya keempat orang itu memang bukan orang kebanyakan. Mereka telah mendapat kepercayaan untuk melakukan tugas yang berat. Sebenarnyalah keempat orang itupun telah siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka memang orangorang terpilih. Mereka tahu pasti, apa yang telah dilakukan oleh Agung Sedayu di medan pertempuran di lembah Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Karena itu. maka ketiga orang yang sudah siap untuk mengambil pusaka itupun segera mendekati Agung Sedayu. sementara pemimpinnya berkata, “Salah seorang dari kalian harus siap bertindak atas para pelayan yang menyaksikan peristiwa ini. Lumpuhkan mereka seperti para pengawal yang melawan, agar mereka tidak sempat membunyikan tanda atau isyarat.” Ketiga orang itu tidak menjawab. Namun mereka melangkah semakin mendekati Agung Sedayu. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia dihadapkan pada suatu keadaan yang tanpa pilihan. Ia harus mempertahankan dirinya. Dan ia tidak menpunyai cara lain kecuali dengan kekerasan. “Aku tidak mungkin menghindarkan diri dengan melarikan diri pada saat seperti sekarang ini,” berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri. Dan bagaimanapun juga, ia masih belum sampai pada cara yang satu itu. Karena itulah maka Agung Sedayupun kemudian mempersiapkan dirinya untuk menghadapi ketiga orang itu, sementara Ki Juru harus berhadapan dengan pemimpin mereka. “Maaf ngger,“ tiba-tiba saja terdengar suara Ki Juru, “jika Danang Sutawijaya mempersilahkan angger tinggal, maksudnya agar angger sempat beristirahat. Tetapi justru anggerlah yang kini berkewajiban untuk melawan ketiga orang yang tidak tahu diri itu.” Agung Sedayu tidak menjawab. Perhatiannya sudah terpusat kepada ketiga orang itu, karena anak muda itupun sadar, bahwa ketiga orang itu tentu memiliki bekal untuk melakukan tugasnya. Sejenak kemudian, maka masing-masingpun telah bersiap-siap menghadapi setiap kemungkinan. Wajah Agung Sedayu nampak buram oleh kegelisahannya. Bukan karena ia cemas menghadapi lawanlawannya. Tetapi bahwa ialah yang diluar kehendaknya sendiri, harus menghadapi orang-orang itu di dalam lingkungan kekuasaan Raden Sutawijaya di Mataram. Ki Juru yang tinggal menghadapi seorang lawan, mereka tidak perlu lagi bertempur dipintu pringgitan. Iapun justru keluar maju dengan pedang teracu.

“Marilah kakek tua,“ berkata lawannya, “aku beri kesempatan kau bertempur di tempat yang luas. Mungkin pernafasanmu masih cukup baik. sehingga kau akan mampu mengimbangi tata gerakku.” Ki Juru tidak menjawab. Ia sadar, bahwa lawannya akan mempergunakan cara yang sesuai dengan keadaannya. Lawannya tentu mengira bahwa nafasnya tidak lagi sepanjang nafas anak-anak muda. Sejenak kemudian, lawan Ki Juru Martani itupun telah mulai menggerakkan tombaknya. Dengan lincahnya ujung tombak itu bergeser dari satu arah, kemudian berubah dari arah yang lain oleh loncatan kakinya yang cekatan. Orang itu tertawa. Katanya, “Tombak ini adalah tombak para pengawal diregol. Aku tidak biasa mempergunakannya, karena akupun terbiasa bersenjatakan sebuah kelewang yang besar. Tetapi aku akan mencoba mempergunakan ujung tombak ini untuk menembus dada Ki Juru Martani yang namanya dikenal oleh setiap orang di seluruh wilayah Pajang dan bahkan wilayah Majapahit lama, karena sebenarnya ialah yang telah berbuat terlalu banyak lagi perkembangan Mataram.” Ki Juru tidak menjawab. Ia memperhatikan tangan dan tombak yang bergerak-gerak itu. Namun Ki Juru masih belum berbuat sesuatu. Ia masih memegang senjatanya menyilang didadanya. Hanya kakinya sajalah yang bergeser memutar tubuhnya menghadap lawannya yang dengan tangkas berloncatan. “Kau cerdik Ki Juru,” berkata lawannya. “Kau mampu menahan perasaanmu yang bergejolak untuk mempertahankan pernafasanmu yang tentu sudah terlampau pendek bagi sebuah perang tanding. Tetapi jangan cemas. Perang tanding ini tidak akan berlangsung lama. Sebentar lagi Agung Sedayu akan mati. Dan kaupun segera tertelungkup di pendapa ini. Kau akan menyesal. karena kau tidak sempat melihat Mataram berkembang lebih besar. Kau tidak dapat melihat Sutawijaya berhasil membunuh ayahanda angkatnya dan merebut tahtanya.” “Cukup,“ bentak Ki Juru, “sebenamya aku lebih baik diam. Tetapi kata-katamu benar-benar menyakitkan hati. Tidak seorangpun yang akan memberontak melawan Sultan Pajang selain kau dan orang-orang yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit. Termasuk beberapa orang perwira yang berada di istana Pajang sekarang ini. Mungkin kau datang dari pihak yang lain. yang digerakkan oleh dendam semata-mata. Mungkin kau termasuk salah seorang anak buah orang-orang yang terbunuh di medan oleh Agung Sedayu. Tetapi mungkin juga kau anak buah Ki Tumenggung Wanakerti. Adalah ciri orang-orang yang berpikiran licik, bahwa kematian dimedan perang masih juga menimbulkan dendam yang berkepanjangan.” “Kau pintar juga kakek tua. Baiklah. Aku tidak berkeberatan untuk mengaku sebelum aku dapat membunuhmu,” geram orang itu sambil menyerang.

Ki Juru berusaha menghindar. Dengan gerak yang sederhana ia berhasil menghindarkan dirinya dari pagutan ujung tombak lawannya. Ketika kemudian ujung tombak itu sekali lagi mematuk, maka dengan pedangnya Ki Juru menyentuhnya, sehingga ujungnya bergeser sejengkal dari tubuhnya. Lawan Ki Juru itu masih sempat tertawa. Katanya, “Kau masih tangkas juga Ki Juru. Baiklah, kita akan segera melihat, apakah kau benar-benar masih tetap memiliki namamu yang besar itu.” Ki Juru tidak menjawab. Tetapi ia mengerutkan keningnya ketika ia melihat lawannya melemparkan tombak panjangnya dan kemudian menarik sebuah kelewang yang besar seperti yang dikatakannya. “Tombak itu sama sekali tidakberarti bagiku,“ geramnya. Ki Juru mempersiapkan dirinya. Ia sadar, bahwa ia harus mulai dengan pertempuran yang sebenarnya melawan orang yang kurang dikenalnya itu. Dengan wajah yang tegang orang itu melangkah mendekati lawannya. Sorot matanya seolah-olah telah berubah menjadi buas dan liar. Ketika ia mengayunkan kelewangnya, maka terasa angin yang tergeser menyentuh tubuh Ki Juru. “Hem,“ Ki Juru menarik nafas panjang, “orang ini agaknya memang orang luar biasa. Tenaganya melampaui tenaga orang kebanyakan. Dan sudah barang tentu, ia termasuk orang pilihan,” katanya didalam hati. Ternyata sejenak kemudian, Ki Juru benar-benar harus bertempur melawan orang bersenjata kelewang itu. Ternyata ia benar-benar seorang yang mampu bergerak diluar dugaan. Kakinya berloncatan seolah-olah tidak berjejak diatas tanah. Sementara kelewangnya berputar seperti baling-baling disekitar tubuh lawannya. Seperti yang diperhitungkan lawannya, Ki Juru berusaha membatasi geraknya, agar ia tidak kehabisan nafas. Tetapi lawannyapun cukup cerdik. Ia selalu memancing, agar Ki Juru terpaksa meloncat dengan loncatan-loncatan panjang dan dengan cepat mengikuti arah serangan-serangannya. Sementara itu. Agung Sedayupun telah terlihat dalam perkelahian. Agaknya Agung Sedayu masih ingin menyelesaikan persoalan itu tanpa mengganggu orang lain, sehingga ia masih belum bernafsu untuk mempergunakan cambuknya. “Cambukku dapat mengundang sekelompok pengawal,“ katanya didalam hati, “dengan demikian akan berarti keempat orang ini akan habis dicincang jika para

pengawal mengetahui nasib kawan-kawannya meskipun mungkin mereka hanya pingsan dan tidak mati.” Karena itulah, maka ketika orang yang bertempur melawan Ki Juru itu melemparkan tombaknya. Agung Sedayu meloncat dengan kecepatan yang tidak diduga, apalagi yang dilakukan itu sama sekali tidak diperhitungkan oleh lawannya. berhasil menggapai tangkai tombak itu, dan kemudian mempergunakannya. “Agung Sedayu,“ salah seorang lawannya menggeram, “aku dengar kau adalah seorang kesatria yang bersenjatakan cambuk seperti gurumu. Dimana cambukmu he? Jika cambukmu ketinggalan dibilikmu, aku beri kesempatan kau untuk mengambilnya.” Agung Sedayu tidak menjawab. Namun tiba-tiba orang yang berbicara itu terkejut. Ujung tombak Agung Sedayu tiba-tiba saja telah menyambar mulutnya. Untunglah ia masih sempat mengelak, sehingga bibirnya tidak robek karenanya. Tetapi yang dilakukan oleh Agung Sedayu itu telah memberikan kejutan bagi lawan-lawannya. Sebenarnyalah bahwa nama Agung Sedayu benar-benar bukan sekedar olok-olok kawan-kawannya yang pernah melihatnya dipertempuran. Ketiga orang itupun segera berpencar. Namun agaknya Agung Sedayu yang bersenjata tombak panjang itu lebih senang bertempur ditempat yang lebih luas. Karena itulah, maka iapun tiba-tiba saja telah meloncat turun dari pendapa. “Jangan lari,“ salah seorang dari ketiga orang lawannya membentuk. “Jangan berteriak,“ desis Agung Sedayu, “jika suaramu didengar oleh para pengawal yang kebetulan lewat diluar dinding, maka mereka akan segera datang. Kau tentu akan dicincang menjadi lumat, karena kau telah memperlakukan kawan-kawannya yang mengawal rumah ini dengan semena-mena.” “Persetan. Kami akan membunuh semua orang.” “Seluruh kota?“ “Ya.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Hampir diluar sadarnya ia berkata, “Bertanyalah kepada dirimu sendiri apakah kau mampu melakukannya?” Orang itu menjadi semakin marah. Itulah sebabnya, maka ketiga orang yang telah menyusul Agung Sedayu turun kehalaman itupun segera menyerangnya dengan dahsyatnya dari arah yang berbeda, seperti datangnya prahara di musim pancaroba. Agung Sedayu segera merasakan tekanan yang berat dari ketiga orang itu. Sehingga dengan demikian ia dapat memperhitungkan, seandainya, ia benar-benar ditunggu oleh empat orang itu diperjalanan kembali ke Sangkal Putung dibulak panjang tanpa bantuan seorangpun juga. maka tugasnya tentu akan

terasa sangat berat. Apalagi ketika ia sempat melihat perkelahian yang terjadi dipendapa, antara Ki Juru dan salah seorang dari keempat orang yang mencarinya itu. Ternyata bahwa orang itupun memiliki kemampuan yang menggetarkan. Dengan senjata sebuah tombak panjang. Agung Sedayu bertempur melawan ketiga orang lawannya. Meskipun ia tidak terbiasa mempergunakan senjata serupa itu, namun ternyata bahwa kemampuan Agung Sedayu benar-benar telah mengejutkan ketiga orang lawannya. Tombak panjang ditangan Agung Sedayu itu ternyata menjadi sangat berbahaya. Tombak itu dapat berputar bagaikan perisai disekitar tubuh Agung Sedayu. sementara dalam hentakan yang tiba-tiba, ujungnya dan bahkan tangkainya dapat mematuk lawannya Tetapi ketiga orang lawan Agung Sedayu itupun cukup lincah. Mereka masih selalu berhasil menghindarkan diri dari serangan Agung Sedayu. Namun merekapun tidak juga segera berhasil mengalahkan lawannya yang hanya seorang itu. Sementara itu. para pengawal yang berada diluar halaman rumah itupun masih dicengkam oleh kemarahan. Para penjaga regol dan pengawas digardu-gardu yang berhadapan dengan dinding kota. merasa yakin, bahwa belum ada seorangpun yang berhasil keluar, sehingga mereka menganggap bahwa keempat orang yang mereka cari itu masih tetap berada didalam kota. Tetapi tidak seorangpun diantara mereka yang mengira bahwa keempat orang itu justru bersembunyi dihalaman rumah Raden Sutawijaya dan yang saat itu sedang bertempur melawan Agung Sedayu dan Ki Juru Martani. Dalam pada itu. Raden Sutawijaya masih nganglang diatas punggung kudanya diikuti oleh beberapa orang pengawal. Setiap kali Raden Sutawijaya berhenti untuk menanyakan tentang hilangnya beberapa orang buruan. Namun jawabnya hampir sama saja. Mereka tidak melihatnya. Tetapi pada umumnya mereka yakin bahwa orang-orang itu masih belum keluar dari lingkungan dinding kota. Kejengkelan dan kemarahan semakin mencengkam para pengawal karena bagaimanapun juga mereka mencari, namun mereka tidak dapat menemukannya. Beberapa orang telah mencarinya di tempattempat yang terlindung. Dikebun-kebun dan bahkan mereka memasuki rumah-rumah yang dicurigainya. Banjar-banjar padukuhan dan tempat-tempat yang diduga dapat dipergunakan untuk bersembunyi. Namun mereka tidak menemukannya. “Kita akan berjaga-jaga sampai pagi,” geram Raden Sutawijaya, “jika matahari menyingsing, maka tempat persembunyian itu akan menjadi semakin sempit. Mudah-mudahan mereka akan keluar sendiri dari tempat-tempat mereka bersembunyi seperti cengkerik yang disiram dengan air.” Para pengawalpun telah bertekad untuk mencarinya sampai keempat orang itu dapat diketemukan. Setidak-tidaknya salah satu dari antara mereka itu. Jika salah seorang dari keempat orang itu dapat diketemukan, maka daripadanya akan didapat keterangan, siapakah yang telah menugaskan mereka memasuki wilayah Mataram untuk mencari Agung Sedayu.

Namun, menurut perhitungan, seperti juga pendapat para pemimpin Mataram yang lain, maka mereka menduga bahwa orang-orang itu tentu bukannya petugas yang telah dikirim oleh Pajang, seperti halnya petugas sandi yang diberitahukan oleh Kiai Kendil Wesi. Akhirnya Sutawijaya mengambil keputusan untuk sekali lagi berputar dan memberikan pesan-pesan kepada para petugas, khususnya yang mengawasi pintu-pintu gerbang dan dinding kota. agar mereka benar-benar mencegah setiap orang yang akan keluar dari kota, siapapun mereka. Kemudian Sutawijaya akan kembali untuk menunggu perkembangan lebih lanjut. Sementara itu pertempuran masih berlangsung dihalaman dan dipendapa rumah Raden Sutawijaya. Ki Juru Martani harus berjuang untuk mempertahankan dirinya dari serangan yang beruntun dengan kasarnya. Ternyata bahwa lawan Ki Juru adalah benar-benar orang yang berilmu tinggi, sehingga ia telah disiapkan untuk memimpin tiga orang kawannya menyergap Agung Sedayu yang sudah mereka ketahui sebagai seorang yang memiliki kemampuan yang sulit dicari bandingnya. Namun Ki Juru yang tua itupun adalah seorang yang mumpuni. Sebagai saudara seperguruan Ki Gede Pemanahan yang pernah menjadi Panglima prajurit Pajang, maka Ki Jurupun merupakan seorang yang matang dalam olah kanuragan. Meskipun ia sudah menjadi semakin tua, namun ia benar-benar menguasai dirinya sebaik-baiknya. Ia mengetahui dengan pasti tingkat kemampuannya, kekuatannya, daya tahan tubuhnya dan pernafasannya. Dengan demikian, maka perkelahi an yang terjadi dipendapa itu menjadi semakin lama semakin dahsyat. Tidak banyak kesempatan untuk menilai keadaan dan kemungkinan yang dapat terjadi. Yang mereka lakukan kemudian adalah memusatkan segala perhatian mereka kepada pertempuran yang menjadi semakin dahsyat itu. Namun justru karena keduanya memiliki ilmu yang tinggi, maka pertempuran itu seakan-akan tidak menumbuhkan keributan apapun juga. Langkah kaki mereka bagaikan tidak menimbulkan suara apapun. Benturan senjata mereka hanya kadang-kadang berdentang. Namun kadang-kadang setiap patukan senjata seolah-olah hanyalah sekedar dihindari, sehingga suara benturan itupun menjadi sangat terbatas. Karena itulah, maka para pelayan yang kebanyakan berada di ruang belakang, diseberang longkangan, tidak mendengar pertempuran itu. Mereka tidur dengan nyenyaknya, karena mereka menduga, bahwa di regol, dipendapa dan di halaman belakang, terdapat beberapa orang pengawal yang menjaga keamanan dan ketenteraman rumah itu sebaik-baiknya. Dalam pada itu, di halaman, Agung Sedayu masih bertempur dengan tombak panjangnya. Meskipun ia harus melawan tiga orang, namun agaknya dengan tombak panjangnya, ia akan dapat bertahan. Bahkan jika ia berhasil memperpanjang waktu perkelahian itu, pernafasannya tentu akan lebih baik dari lawan-lawannya yang mengerahkan dan memeras segenap kemampuan mereka. Tetapi dugaan Agung Sedayu tidak sepenuhnya tepat. Ternyata bahwa ketiga orang lawannya benar-benar orang yang memiliki kemampuan yang tinggi pula.

Ketiganya yang merasa gelisah karena kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi jika ada pihak lain yang mengetahui, telah mencoba untuk mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada mereka, untuk menguasai Agung Sedayu. Mereka telah mengerahkan segala ilmu yang ada. Mereka menyerang dari segala arah dengan kecepatan yang sulit diikuti dengan pandangan mata wadag. Perlahan-lahan Agung Sedayu mulai terdesak. Betapapun ia mempergunakan segenap kecepatan mempergunakan tombak panjang ditangannya. namun serangan ketiga orang lawannya terasa menjadi semakin gawat. Bahkan desau angin telah mulai menyentuh tubuhnya, jika senjata lawannya berhasil menyusup kerapatan perisai putaran tombaknya, meskipun senjata lawannya masih belum berhasil mengenainya. “Bukan main,” desis Agung Sedayu didalam hatinya. Ia menjadi semakin yakin, jika keempat orang termasuk yang bertempur melawan Ki Juru Martani itu berhasil mencegatnya diperjalanan seorang diri, maka ia tentu tidak akan mampu mempertahankan hidupnya lagi. Meskipun ia telah berhasil membunuh Ki Gede Telengan dan kemudian Tumenggung Wanakerti, mengalahkan Kiai Samparsada dan Kiai Kelasa Sawit, namun untuk menghadapi empat orang berilmu tingggi itu, agaknya ia memang tidak akan sanggup. Kini ia harus bertempur melawan tiga orang diantara mereka. Itupun ia sudah merasakan tekanan yang sangat berat. Apalagi dengan orang yang mampu mengimbangi ilmu Ki Juru Martani itu sekaligus. Ketika tekanan ketiga lawannya terasa semakin berat, maka Agung Sedayupun merasa semakin dalam didera oleh kebimbangannya. Jika ia tidak lagi mampu bertahan melawan ketiga orang itu dengan bersenjata tombak panjang yang memang kurang biasa baginya, ia harus memilih dua kemungkinan. Pilihan yang selamanya merupakan bayangan hitam yang selalu menghantui perasaannya. Jika ia tidak mau menyerahkan nyawanya, maka kemungkinan yang lain adalah membunuh lawanlawannya. “Jika aku mempergunakan cambukku, meskipun aku tidak langsung membunuh mereka, maka akibatnya akan sama saja,” berkata Agung Sedayu didalam hatinya. “Karena suara cambukku, tentu akan mengundang para pengawal memasuki halaman ini. Mereka tentu akan sangat marah jika mereka menemukan kawan-kawannya terbaring digardu, di pendapa dan melihat Ki Juru Martani harus bertempur mempertahankan hidupnya.“ Namun Agung Sedayupun telah terdesak terus. Ketiga lawannya benar-benar merupakan tiga orang yang seakan-akan telah digerakkan oleh satu otak. Serangan mereka beruntun, kadang-kadang bersama-sama. Namun serangan-serangan itu semakin lama justru terasa semakin berbahaya.

Mereka tidak segera menjadi lelah dan kehilangan tenaganya. Bahkan serangan-serangan mereka justru terasa seakan-akan menjadi semakin kuat. Agung Sedayu masih dicengkam oleh kebimbangan. Sekilas ia melihat Ki Juru Martani mendesak lawannya. Namun sejenak kemudian, ialah yang harus meloncat surut. Dengan demikian maka Agung Sedayu mendapat kesimpulan, bahwa lawan-lawannya benar-benar orang-orang yang terpilih. Karena itulah, maka perjuangannya itupun merupakan perjuangan yang sungguh-sungguh. Dalam pada itu, orang yang bertempur melawan Ki Juru Martani itupun sudah mencoba mengerahkan segenap kemampuannya. Ia berusaha memancing orang tua itu, agar mengerahkan segenap kemampuannya. Jika orang itu berhasil, ia berharap bahwa Ki Juru akan segera kehabisan nafas. Tetapi Ki Juru tetap dalam keseimbangan nalarnya. Ia tidak mudah terbakar hatinya, sehingga melupakan pertimbangan-pertimbangan akalnya. Itulah sebabnya, maka bagaimanapun juga, Ki Juru tetap bertempur dengan langkah-langkah yang mantap dan tenang. Dalam pertempuran itu, nampak bahwa keempat orang yang berusaha membunuh Agung Sedayu telah berusaha membagi kekuatannya sebaik-baiknya. Mereka ternyata masih menganggap Agung Sedayu merupakan orang yang lebih berbahaya dari Ki Juru. Ternyata bahwa tiga orang lawannya telah menempatkan diri melawannya sedang yang seorang, meskipun yang paling kuat, harus bertempur melawan Ki Juru Martani. Namun yang tiga orang itupun tentu memiliki kekuatan dan kesempatan yang lebih besar daripada yang seorang. Itulah sebabnya, maka akhirnya Agung Sedayu benar-benar telah terdesak. Senjata tombak panjangnya tidak banyak memberikan arti kepadanya. Lawan-lawannya berhasil mempergunakan kelamahankelamahan yang terdapat pada penggunaan senjata bertangkai panjang itu sebaik-baiknya. Betapapun kebimbangan mencengkam hatinya, tapi Agung Sedayu masih juga dengan dorongan naluriah ingin mempertahankan hidupnya. Setiap kali senjata lawannya berdesing ditelinganya, maka terasa hatinya berdesir. Rasa-rasanya segenap sendi-sendinya telah bergerak dengan sendirinya sehingga tubuhnya menggeliat untuk mempertahankan diri. Pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin seru. Orang-orang yang memasuki halaman itupun sadar, bahwa mereka tidak dapat bertempur terlalu lama. Jika para pengawal mengetahui kehadiran mereka, maka seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, mereka akan dicincang sampai lumat. Betapapun tinggi ilmu mereka tetapi mereka tentu tidak akan dapat melawan pengawal diseluruh kota, apalagi dengan kehadiran Sutawijaya.

Itulah sebabnya, maka ketiga orang yang bertempur melawan Agung Sedayu itupun bertempur semakin dahsyat. Mereka berputar disekeliling Agung Sedayu sambil menyerang dengan cepatnya. Langkah mereka bagaikan loncatan-loncatan kaki burung sikatan menyambar bilalang. Agung Sedayu berdesis ketika ujung senjata lawan benar-benar telah menyentuh tubuhnya. Segores luka melintang dilengan Agung Sedayu. Luka itu sama sekali tidak berpengaruh pada tubuhnya. Luka itu benar-benar hanya segores tipis, seperti luka oleh sentuhan kuku seekor kucing kecil. Namun segores kecil itu benar-benar telah mempengaruhi perasaannya. Keragu-raguannya untuk mempergunakan cambuknya serasa telah terdesak semakin menepi. Justru karena ia mulai disentuh oleh kecemasannya tentang keselamatannya sendiri. “Apakah aku harus memilih mengorbankan diriku sendiri ?” pertanyaan itu mulai mengganggunya. Bagi lawan-lawannya, luka itu telah memberikan pengharapan dihati mereka. Ketiganya menjadi semakin bergairah untuk segera menyelesaikan pertempuran itu. Darah yang meleleh dari luka itu, nampak semakin merah dicahaya obor yang samar-samar. “Kau sudah kehilangan kesempatan, ”desis salah seorang lawannya. “Namamu yang besar hanya akan dapat dikenang.” sambung yang lain. Sementara yang seorang lagi berkata, ”Kami tidak usah bersusah payah menunggumu dipinggir jalan ke Sangkal Putung. Ternyata kau sudah dengan suka rela memasrahkan dirimu sendiri disini.” Agung Sedayu menggeram. Terasa hatinya lebih pedih dari luka di lengannya. Ia masih selalu dibayangi kecemasan, bahwa jika para pengawal mendengar pertempuran dihalaman itu, mereka akan berlari-larian berdatangan untuk mencincang ketiga lawannya. Namun kecemasan yang lain tentang dirinya sendiri, agaknya telah membayangi kecemasannya tentang keselamatan lawannya. Apalagi karena ternyata bahwa lawanlawannya benar-benar ingin merampas hidupnya tanpa belas kasihan. Dengan tangkas Agung Sedayu masih berusaha menghindari serangan-serangan lawannya dengan loncatan-loncatan cepat. Tetapi lawan-lawannya benar-benar tidak memberikan kesempatan kepadanya, sehingga tangkai tombak panjang yang tidak terbiasa dipergunakan itu menjadi semakin

tidak berarti. Akhirnya Agung Sedayu tidak dapat berbuat lain untuk melindungi dirinya. Ketika ia semakin terdesak kedinding halaman, maka dengan serta merta iapun melontarkan tombak panjangnya. Lawan-lawannya terkejut melihat sikap Agung Sedayu. Mula-mula mereka menyangka bahwa Agung Sedayu telah menjadi putus asa dan akan menyerah. Tetapi tiba-tiba saja dada mereka berdesir tajam ketika mereka melihat Agung Sedayu meloncat surut. Punggung Agung Sedayu telah melekat dinding halaman. Jika ketiga lawannya mendesaknya lagi, ia sudah tidak mempunyai kesempatan untuk mundur. Namun demikian, ketika ketiga orang lawannya siap untuk meloncat menyerang, mereka benar-benar bagaikan dicengkam oleh kecemasan yang tajam. Dengan gerak yang hampir tidak mereka lihat dengan matanya. Agung Sedayu telah mengurai cambuk yang membelit lambung dibawah bajunya. Ketiga lawannya menjadi berdebar-debar melihat cambuk ditangan Agung Sedayu itu. Mereka sadar, bahwa karena tingkah laku mereka, Agung Sedayu benar-benar telah kehilangan kesabaran. Bagaimanapun juga, sebagai makhluk yang hidup, ia tentu akan mempertahankan hidupnya dengan cara yang paling di kuasai dalam ilmu kanuragan. Sejenak ketiga orang lawannya termangu-mangu. Mereka menatap senjata Agung Sedayu dengan hampir tidak berkedip. Karena itu, justru untuk beberapa saat pertempuran dihalaman itu bagaikan membeku. Ketiga orang lawan Agung Sedayu sekilas melihat kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, jika cambuk Agung Sedayu itu meledak. Tetapi sudah tentu bahwa mereka mempunyai pertimbangannya sendiri. Agung Sedayu harus dibunuh, dan pusaka yang ada dirumah itu harus mereka kuasai, agar mereka mempunyai perisai untuk meninggalkan kota yang tentu penuh dengan pengawal dan anak-anak muda yang meronda. Dalam kebimbangan itu, mereka mendengar Agung Sedayu berkata, “Ki Sanak. Aku kagum akan kemampuan kalian. Tetapi sudah barang tentu bahwa aku tidak akan membiarkan diriku kalian bunuh. Karena itulah maka aku akan melawan jika niat kalian tidak kalian urungkan. Dan dengan terpaksa sekali aku akan mempergunakan cambukku, karena tombak itu tidak berhasil melindungi aku. Meskipun demikian, aku masih menawarkan suatu penyelesaian yang lebih baik bagi kalian daripada dicincang oleh para pengawal. Jika kalian menyerah, aku tidak akan meledakkan cambukku yang akan dapat mengundang bencana bagi kalian.” Wajah ketiga orang lawannya menjadi semakin tegang. Namun salah seorang dari mereka menggeram, “Jangan menakut-nakuti aku. Aku dan kawan-kawanku telah menerima beban dipundak. Kau harus mati, apapun yang akan terjadi atas kami.”

“Yang akan terjadi atas kalian adalah peristiwa yang mengerikan. Aku telah melakukan banyak kesalahan, sehingga banyak orang yang terbunuh karenanya. Sengaja atau tidak. Karena itu, aku akan menghindari pembunuhan-pembunuhan yang akan dapat terjadi.” Tiba-tiba saja salah seorang lawannya tertawa. Jawabnya Ternyata kau orang yang paling sombong yang pernah aku jumpai. Kau dapat membunuh lawanmu dengan sengaja atau tidak dengan sengaja. Tetapi kesombongan itu hanya dapat menggetarkan hati anak-anak.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ternyata kata-katanya dapat menumbuhkan arti yang sebaliknya dari yang dimaksudkannya. Namun ternyata Agung Sedayu tidak mempunyai banyak kesempatan. Sejenak kemudian, maka ketiga orang Jawannya telah siap untuk melanjutkan pertempuran. Mereka telah mengambil sikap dan arah yang paling mantap untuk menghancurkan pertahanan Agung Sedayu. Tetapi watak dari senjata Agung Sedayu kini berbeda. Ia tidak memegang sebatang tombak bertangkai panjang. Tetapi ia menggenggam cambuk yang berjuntai lemas dan merupakan senjata yang sudah dikenalnya baik-baik seperti ia mengenal anggauta badannya sendiri. Betapapun keragu-raguannya masih saja membayangi perasaan Agung Sedayu, namun ketika ketiga orang lawannya mulai bergerak, maka iapun mulai menggerakkan ujung cambuknya. Untuk beberapa saat, ia sekedar mengguncang senjatanya, sehingga ujungnya bergetar. Namun cambuk Agung Sedayu masih belum meledak. Gerakan-gerakan kecil Agung Sedayu membuat lawannya menjadi ragu-ragu. Ia sadar, bahwa setiap saat, cambuk itu dapat menggeliat dan meledak. Melihat keragu-raguan itu Agung Sedayu mencoba untuk menekankan keinginannya, “Ki Sanak. Aku sama sekali tidak bermaksud menyombongkan diri. Yang aku katakan, bukannya aku akan dapat mengalahkan kalian bertiga. Tetapi suara cambukku akan dapat mengundang beberapa orang pengawal. Merekalah yang akan membunuh kalian, jika kalian tidak menyerah.” Ketiga orang itu termangu-mangu. Namun salah seorang dari mereka kemudian menggeram, “Kami bukan cucurut. Tengadahkan dadamu, dan siapkan dirimu untuk mati.” Agung Sedayu tidak melihat kemungkinan lain daripada bertempur untuk melindungi nyawanya. Itulah sebabnya, maka iapun segera mempersiapkan diri untuk bertempur mempertaruhkan hidupnya. Sejenak kemudian ketiga lawannya telah mulai bergerak. Tidak ada cara lain dari Agung Sedayu kecuali menggerakkan cambuknya. Masih perlahan-lahan. Hanya ujungnya sajalah yang bergerak seperti seekor ular yang sedang berenang.

Namun sekejap kemudian ujung cambuknya benar-benar telah meledak. Ketika ketiga lawannya meloncat menyerang untuk mempergunakan kesempatan saat Agung Sedayu masih melekat dinding. Ledakan cambuk Agung Sedayu tidak terlalu keras. Tetapi ledakan disepinya, malam itu benar-benar telah mengejutkan lawannya. Itulah sebabnya maka merekapun segera meloncat surut. Bukan saja ketiga lawan Agung Sedayulah yang terkejut. Orang yang sedang bertempur melawan Ki Jurupun terkejut pula. Suara cambuk itu tentu dapat di dengar oleh para pengawal yang nganglang lewat jalan-jalan raya diseputar istana itu. “Nah,“ berkata Agung Sedayu kepada lawan lawannya, “bukankah cambukku benar-benar dapat mengundang para pengawal.” “Pengecut,” geram salah seorang dari ketiga lawan Agung Sedayu, “jika benar namamu besar, kenapa kau memanggil orang lain untuk mempertaruhkan nyawa diarena ini.” “Kau aneh. Kaupun tidak bertempur sendiri,” sahut Agung Sedayu, “kecuali itu, cambukku memang tidak dapat aku pergunakan tanpa melontarkan ledakan yang dapat didengar oleh orang lain.” Tetapi ketiga lawannya bukannya pengecut yang takut menghadapi akibat dari tugasnya. Apalagi mereka masih berharap untuk mengalahkan Agung Sedayu, kemudian mengambil pusaka-pusaka di rumah itu untuk mereka jadikan perisai. Jika orang-orang Mataram mencoba mencegah mereka meninggalkan kota. maka mereka siap untuk menghancurkan pusaka-pusaka itu, sehingga dengan demikian, mereka tentu akan diperkenankan untuk lolos. Karena itulah, maka sejenak kemudian ketiganyapun segera menyerang Agung Sedayu dengan dahsyatnya. Mereka mencoba untuk mengepung Agung Sedayu, agar ia tidak mendapat arena yang luas untuk mempertahankan dirinya. Tetapi ternyata bahwa ujung cambuk Agung Sedayu benar-benar merupakan kekuatan yang sangat dahsyat, Ujung cambuk itulah yang telah memaksa lawan-lawannya untuk bergeser surut, sehingga ternyata bahwa mereka tidak mampu untuk menahan Agung Sedayu tetap ditempatnya. Dengan demikian, maka sejenak kemudian, pertempuranpun segera menyala kembali dihalaman. Agung Sedayu tidak dapat lagi menghindari bentakan-bentakan cambuknya yang melontarkan ledakan yang memecah sepinya malam. Namun suara cambuknya telah mendera lawan-lawannya untuk bertempur semakin sengit. Dengan sadar mereka mengetahui, apa yang dapat terjadi oleh suara cambuk itu. Sebentar lagi, beberapa orang pengawal akan berlari-larian memasuki halaman.

Tidak ada pertimbangan lain. Ketiga orang yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi itupun segera mengerahkan segenap kemampuannya untuk mempercepat tugas mereka membinasakan Agung Sedayu. Tetapi dengan demikian, mereka telah mendorong Agung Sedayu untuk secara naluriah berjuang lebih sengit lagi untuk mempertahankan hidupnya. Karena itulah, maka tidak dapat dicegah lagi, ledakan-ledakan cambuk Agung Sedayu bagaikan mengumandang lebih dahsyat lagi. Getarannya seolah-olah telah menggetarkan seluruh kota dan menggoyahkan dinding-dindingnya. Kecemasan telah mencengkam keempat orang yang memasuki halaman rumah Raden Sutawijaya itu. Suara cambuk Agung Sedayu bagaikan kidung kematian yang mulai meraba dadanya. Dengan demikian maka pertempuran dihalaman itupun berlangsung semakin dahsyat. Masing-masing telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada. Ketiga orang lawan Agung Sedayu sama sekali tidak lagi mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang dapat menahan ilmu mereka. Yang mereka inginkan segera adalah kematian Agung Sedayu. Sementara itu, lawan Ki Juru Martanipun telah berjuang dengan memeras ilmunya. Jika ketiga orang kawannya mengalami kesulitan untuk membunuh Agung Sedayu, maka ternyata bahwa Ki Jurupun merupakan orang yang memiliki kemampuan yang tidak dapat diatasinya. Meskipun ia sudah menjadi semakin tua, namun ia masih mampu mengatur pernafasannya sebaikbaiknya. Lawannya sama sekali tidak berhasil memancing orang tua itu untuk bertempur dengan kasar agar nafasnya segera menjadi tersengal-sengal. Dengan mapan Ki Juru menghadapi lawannya. Betapapun kasar dan liar sikap orang itu, namun Ki Juru yang tua selalu menyadari kelemahan jasmaniahnya. Karena itulah maka ia selalu menjaga, agar ia tidak terpancing oleh lawannya, sehingga nafasnya terputus ditengah-tengah perjuangannya Lawannyapun semakin lama menjadi semakin gelisah. Setiap ledakan cambuk Agung Sedayu serasa merupakan segores luka di hatinya. Semakin lama semakin banyak, sehingga terasa hatinya menjadi sangat pedih. “Gila. Gila,“ tiba-tiba ia berteriak nyaring. “Kenapa?” bertanya Ki Juru. “Suara cambuk itu membuat aku gila,“ geramnya. Ki Juru memandang orang itu sejenak. Kemudian katanya, “Menyerah sajalah sebelum seorang pengawalpun yang memasuki halaman ini. Tetapi aku yakin, bahwa ada diantara mereka yang sudah mendengar ledakan cambuk Agung Sedayu.” “Persetan,“ geram lawannya yang justru menjadi semakin liar.

Dalam pada itu, para pengawal yang berada diluar halaman rumah Raden Sutawijaya terkejut mendengar gema ledakan cambuk. Mereka bertanya-tanya yang satu dengan yang lain, apakah yang kira-kira sedang terjadi. Namun dalam pada itu. Raden Sutawijaya yang sedang nganglang, yang juga mendengar suara cambuk Agung Sedayu meledak-ledak, segara dapat mengurai keadaan. Ketajaman nalarnya segera mengatakan kepadanya, “Agung Sedayu sedang bertempur melawan orang yang sedang dicarinya.” Karena itulah, maka sejenak ia mencoba menangkap, dari manakah sumber bunyi cambuk Agung Sedayu. Mungkin Agung Sedayu diam-diam telah meninggalkan rumahnya dan diluar kehendaknya ia telah bertemu dengan keempat orang yang dicarinya. Dengan ketajaman pendengaran wadag dan hatinya, Sutawijaya dapat segera mengetahui, bahwa suara cambuk itu terlontar dari halaman rumahnya. Ketika ia sudah menemukan keyakinan itu, maka kudanyapun segera berderap menyusur jalan-jalan kota bagaikan dikejar hantu. Para pengawalnya yang tidak sempat bertanya sesuatu, segera mengikutinya. Mereka bagaikan berpacu dimalam buta menyusuri jalan-jalan yang suram. Para pengawal yang bertugas di jalan-jalan dan di gardu-gardu terkejut mendengar derap kaki kuda yang berlari-larian. Tetapi mereka tidak sempat bertanya sesuatu. Mereka hanya melihat Raden Sutawijaya berpacu diikuti oleh para pengawalnya. Namun para pengawal itupun segera mengetahui apa yang terjadi. Raden Sutawijaya tentu telah mendengar ledakan cambuk itu. Jika para pengawal masih bertanya-tanya, maka Raden Sutawijaya tentu sudah menemukan jawabnya. Tetapi ternyata beberapa orang pengawal yang berada tidak jauh dari halaman rumah Raden Sutawijayapun segera mengetahui bahwa suara cambuk itu berasal dari halaman rumah itu. Namun menurut pengertian mereka, di rumah itu terdapat beberapa orang pengawal yang berjaga-jaga. Jika keadaan jadi gawat, maka mereka tentu akan segera membunyikan isyarat. Namun ternyata bahwa yang terdengar hanyalah ledakan ledakan cambuk saja. Tidak ada suara kentongan, tidak ada suara titir. Meskipun demikian, suara cambuk itu juga menarik perhatian mereka. Meskipun ragu-ragu, merekapun kemudian membagi diri. Sebagian dari mereka akan melihat, apakah yang sudah terjadi, sementara sebagian yang lain harus tetap ditempatnya mengawasi keadaan. Sementara itu, kuda Raden Sutawijaya meluncur seperti anak panah yang meloncat dari busurnya. Beberapa orang pengawal disimpang jalan berloncatan menepi. Sambil berdesah mereka berkata Hampir saja tubuhku lumat diinjak kaki kuda.”

Namun Raden Sutawijaya tidak menghiraukannya. Ia seolah-olah telah melihat apa yang telah terjadi. Dalam pada itu. Agung Sedayu masih berusaha untuk menguasai lawannya agar mereka menyerah. Jika lawan-lawannya menyerah, maka jika ada beberapa orang pengawal memasuki halaman, mereka akan mempunyai pertimbangan lain. Tetapi baik ketiga orang lawan Agung Sedayu, maupun lawan Ki Juru Martani lebih senang bertempur terus daripada menyerahkan diri. Karena itulah, maka Agung Sedayupun telah berusaha dengan cara lain. Ia harus melumpuhkan lawannya, sehingga mereka tidak akan mampu lagi melawan. Itulah sebabnya, maka cambuk Agung Sedayupun meledak semakin dahsyat. Tidak saja menyambarnyambar, tetapi ujungnya mulai terasa menyengat kulit. Ketiga lawannya menjadi semakin cemas. Mereka hampir tidak melihat kemungkinan untuk melepaskan diri. Agung Sedayu benar-benar seorang yang pilih tanding. “Tetapi jika tidak ada Ki Juru Martani, maka keempat kami akan dapat membunuhnya,“ geram salah seorang dari mereka didalam hati. Luka-luka kecil mulai menggores kulit ketiga lawan Agung Sedayu. Terasa pedih-pedih telah menyengat di seluruh permukaan kulitnya. Bahkan kemudian warna merah telah menghangati tangantagan mereka ketika tangan-tangan mereka meraba luka-luka dilengan dan punggung. “Gila,“ salah seorang dari mereka berteriak-teriak, “kita harus membunuhnya dengan cepat.” Tetapi belum lagi mulutnya terkatup rapat, ledakan cambuk Agung Sedayu terasa hinggap di lambungnya. Lawan Ki Jurupun tidak melihat kemungkinan untuk dapat mengalahkan orang tua itu. Ternyata bahwa Ki Juru memiliki perhitungan yang cermat dalam menghadapi keadaan. Ia tidak dapat dipancing dengan cara yang kasar. Sementara itu, beberapa orang pengawal yang berdatangan dari sekitar rumah itu telah mendekati regol. Mereka masih saja ragu-ragu untuk menentukan apa yang telah terjadi. Namun salah seorang dari mereka yang mendekati gardu tiba-tiba saja melihat, beberapa sosok tubuh yang terlentang diam. Dengan ragu-ragu mereka mendekat. Mereka tiba-tiba saja menjadi gemetar melihat apa yang telah terjadi. Mereka melihat kawan-kawan mereka tergolek diam. “Gila. He, kenapa mereka terbunuh? “ seseorang menggeram.

Para pengawal itu tidak bertanya tanya lagi. Ketika mereka mendengar cambuk meledak lagi, merekapun segera mengetahui apa yang telah terjadi di halaman. Perlahan-lahan mereka kemudidan mendekati regol. Dari luar mereka mencoba melihat, apa yang telah terjadi. “Pertempuran,“ desis salah seorang. Merekapun kemudian melihat, dipendapa telah terjadi perkelahian seorang melawan seorang, sementara merekapun melihat, dihalaman seorang yang bersenjatakan cambuk harus bertempur melawan tiga orang. Merekapun segera menyadari, bahwa orang yang mereka cari diseluruh kota ternyata justru berada di rumah Raden Sutawijaya. Bahkan mereka telah membunuh para pengawal dan kemudian bertempur melawan Ki Juru Martani dan Agung Sedayu. Kemarahan para pengawal itu bagaikan telah membakar dada mereka. Mereka tidak lagi dapat membuat pertimbangan-pertimbangan. Bukan saja karena mereka tidak segera dapat menemukan keempat orang itu sehingga seluruh kota menjadi kebingungan, terlebih-lebih bahwa kawan-kawan mereka telah terbunuh justru didalam gardu-gardu. “Ini suatu kegilaan,” geram salah seorang dari mereka, “kecuali keempat orang itu memiliki ilmu yang tinggi, mereka juga orang-orang yang tidak berperikemanusiaan.” Para pengawal itu tidak menunggu perintah lagi. Merekapun segera berloncatan memasuki halaman, sambil mengacuan senjata masing-masing. Pada saat itulah, Agung Sedayu telah berhasil melukai ketiga orang lawannya. Ia mencoba untuk memaksakan kehendaknya agar lawan-lawannya menyerah saja. Dengan demikian, maka keadaan mereka tentu akan menjadi lebih baik daripada mereka harus bertempur sampai para pengawal memasuki halaman. Tetapi lawan-lawannya ternyata adalah orang-orang yang keras hati. Mereka sama sekali tidak berniat untuk menyerah, apapun yang terjadi atas mereka. Pada saat para pengawal menyerbu masuk, maka para pelayanpun telah terbangun dan dengan raguragu melihat apa yang telah terjadi. Meskipun mereka bukan pengawal-pengawal yang mampu bertempur dimedan, tetapi merekapun merasa wajib untuk ikut mempertahankan isi rumah itu. Sehingga karena itulah meskipun ragu-ragu dan saling menunggu merekapun kemudian turun kehalaman dengan senjata telanjang pula. Agung Sedayu yang melihat para pengawal memasuki halaman dengan kemarahan yang menyala, menjadi sangat cemas. Tidak ada lagi jalan yang dapat ditempuh oleh keempat orang itu untuk

melepaskan diri dari tangan para pengawal. Pada saat itu pulalah terdengar derap kaki kuda mendekati regol halaman. Sejenak kemudian beberapa orang berkuda berpacu langsung memasuki regol. “Senapati Ing Ngalaga,“ teriak para pengawal. Namun salah seorang pengawal telah berteriak, “mereka telah membunuh para pengawal diregol.” Tetapi yang lain berteriak, “Lihat, masih ada dua orang lagi terbunuh dipendapa.” Kemarahan tidak lagi dapat dikuasai. Raden Sutawijaya tidak memberikan perintah apapun juga. Tetapi para pengawal dengan darah yang mendidih telah menyerang orang-orang yang telah mereka buru diseluruh kota, namun yang ternyata ada dihalaman rumah itu setelah mereka membunuh beberapa orang pengawal. Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Tetapi yang terjadi tidak lagi dapat dikuasainya. Para pengawal telah mengepung lawannya yang sudah terluka oleh cambuknya. “Menyerahlah,“ Agung Sedayu masih berdesis. Ketiga orang lawannya masih mendengar kata-kata Agung Sedayu itu. Bahkan Agung Sedayu masih melanjutkan, “Aku akan menjamin keselamatanmu. Kalian akan diperlakukan sebagai seorang tawanan yang sudah menyerah.” Kata-kata itu menyentuh hati ketiga orang lawannya. Tetapi ketika mereka melihat senjata yang teracu dan wajah-wajah yang tegang penuh dendam, maka salah seorang dari ketiga orang itu berkata, “Aku akan mati sebagai seorang laki-laki.” Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Namun segalanya berlangsung diluar kehendaknya. Apalagi ketika Agung Sedayu sempat memandang kependapa. Lawan Ki Juru Martani seakan-akan sudah tak nampak. Para pengawal mengepungnya dengan rapat. Seperti ketiga orang kawannya, maka lawan Ki Juru itupun tidak mau menyerah. Mereka sadar, akibat yang akan mereka alami jika mereka menjadi tawanan orang-orang Mataram. Karena itulah, maka keempat orang yang berada di dua arena itu bagaikan berjanji. Mereka mengamuk sejadi-jadinya, seperti seekor harimau lapar yang telah terluka. Agung Sedayu masih berada diarena beberapa saat lamanya. Dengan cemas ia melihat para pengawal menyerang ketiga orang lawannya itu bagaikan meranjam seekor harimau di alun-alun pada upacara rampokan. Ketiga orang lawannya itu seolah-olah tiga ekor harimau yang dilepas dari kandangnya diantara para prajurit yang telah dipersiapkan mengepungnya dengan tombak telanjang. Tetapi ternyata bahwa ketiga orang lawannya yang telah dilukainya itu benar-benar orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Ternyata mereka dengan tangkas menyambut para pengawal yang menyerang mereka dari segala penjuru.

Dengan senjata yang berputar bagaikan baling-baling mereka menamengi diri masing-masing. Dengan garangnya mereka menyusun pertahanan yang sangat rapat. Bahkan ternyata bahwa ketiga orang itu mampu membalas dengan serangan-serangan yang berbahaya. Agung Sedayu yang seakan akan justru membeku itu terkejut ketika ia mendengar seorang pengawal berdesah. Pergelangan tangannya bagaikan akan patah tergores senjata lawan. Bahkan kemudian disusul oleh erang seorang pengawal yang lain. Seleret garis merah telah menyilang didadanya meskipun tidak terlampau dalam. “Luar biasa geram Agung Sedayu apakah yang akan terjadi dengan mereka?” Tetapi Agung Sedayu ternyata telah digelitik oleh kecemasannya ketika ternyata bahwa ketiga orang yang dikepung oleh para pengawal itu justru berhasil melukai beberapa orang. “Hentikan,” geram Agung Sedayu, “untuk yang terakhir kalinya. Menyerahlah.” “Persetan,“ sahut salah seorang dari mereka, “aku akan membunuh semuanya.”

Buku 113 AGUNG Sedayu masih termangu-mangu. Tetapi ia tidak sampai hati melihat para pengawal mengalami kesulitan. Dan hampir diluar sadarnya ia telah mengangkat cambuknya kembali. Sekali lagi terdengar cambuk Agung Sedayu meledak. Meskipun Agung Sedayu tidak mengenai seorangpun dari ketiga orang lawannya, namun suara cambuknya telah mengejutkan mereka. Sejenak mereka bagaikan kehilangan pengamatan diri oleh getaran didalam dada mereka. Suara cambuk itu bagaikan melecut jantung sehingga rasa-rasanya tangkai jantung mereka telah patah. Namun yang sekejap itu, ternyata merupakan saat-saat yang menentukan bagi ketiga orang yang bernasib malang itu. Meskipun mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi, namun dalam keadaan yang tiba-tiba itu, mereka telah kehilangan kesempatan. Selagi mereka mencoba mengatasi getaran jantung didalam dada masing-masing, maka tiba-tiba saja salah seorang pengawal telah melontarkan tombak pendeknya kepada salah seorang dari mereka. Orang itu terkejut. Namun ia masih sempat meloncat dan berusaha memukul tangkai tombak yang mengarah kedadanya. Ia berhasil menghindarkan diri dari ujung tombak itu. Namun tepat pada saat itu, sebuah pisau belati telah meluncur mematuk punggungnya. Terdengar orang itu mengaduh. Namun iapun mulai terhuyung-huyung ketika kedua orang kawannya telah kembali mengamuk seperti orang kerasukan iblis. Namun kemudian seorang kawannya membuat mereka benar-benar terpengaruh sehingga tata gerak merekapun mulai kabur. Apalagi kekuatan jasmaniah merekapun telah mulai susut setelah mereka bertempur melawan Agung Sedayu dan kemudian para pengawal. Agung Sedayulah yang kemudian bagaikan membeku ditempatnya. Ia melihat senjata-senjata yang teracu-acu. Kemudian seolah-olah satu demi satu telah merobek tubuh orang-orang yang malang, yang berada didalam kepungan para pengawal yang dibakar oleh kemarahan, kebencian dan dendam, bagaikan seekor rusa yang mengamuk dikerumunan serigala-serigala yang lapar. Namun akhirnya, kedua orang yang masih bertahan itupun menjadi kehilangan kekuatan. Luka mereka bagaikan arang kranjang. Tubuh mereka telah menjadi merah oleh darah. Namun demikian, para pengawal masih belum merasa puas. Apalagi kedua orang itu masih saja

berusaha menggerakkan senjatanya, betapapun mereka sudah sangat lemah. Tetapi keduanya tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Merekapun kemudian terhuyung-huyung dan jatuh dihadapan Agung Sedayu yang berdiri mematung. Sejenak Agung Sedayu bagaikan kehilangan akal. Ia melihat tiga orang tergolek ditanah. Meskipun demikian agaknya para pengawal masih belum puas. Mereka mendesak maju sambil mengangkat senjata masing-masing. “Cukup,“ teriak Agung Sedayu tiba-tiba bagaikan membelah keriuhan jerit para pengawal yang marah. Para pengawal itu tertegun sejenak. Namun beberapa orang diantara mereka berteriak, “Lumatkan mereka. Cincang sampai hancur.” Beberapa senjata telah terangkat. Namun mereka terkejut bukan buatan, ketika senjata mereka kemudian terayun kearah tubuh-tubuh beku itu. Sekali lagi para pengawal itu mendengar cambuk Agung Sedayu meledak. Namun yang terjadi kemudian adalah tangan-tangan mereka telah disengat oleh perasaan pedih. Senjata-senjata mereka terlepas dan terlempar jatuh ditanah, disamping ketiga tubuh yang sudah tidak bergerak lagi. Beberapa orang pengawal yang kehilangan senjatanya termangu-mangu. Namun kemarahan yang tidak tertahankan lagi telah membuat mereka mata gelap. Bahkan salah seorang dari mereka berteriak, “Agung Sedayu, kau berpihak kepadanya?” Agung Sedayu masih melihat salah seorang dari ketiga orang yang terbaring itu tiba-tiba menggeliat. Sehingga diluar sadarnya ia menjawab, “Biarkan yang masih hidup tetap hidup.” “Minggir,“ teriak pengawal yang lain jangan menghalangi kami. “Mereka telah membunuh kawankawan kami.” “Mereka akan membunuh aku juga. Tetapi jangan kehilangan akal, sehingga kalian telah kehilangan dasar-dasar perikemanusiaan.” “Aku tidak peduli. Minggir, atau kami harus memaksamu.” Agung Sedayu tetap berdiri ditempatnya. Bahkan ketika beberapa orang pengawal mendesak maju maka Agung Sedayu telah menggeram, “Jangan kalian teruskan kegilaan itu.” Tetapi beberapa orang pengawal yang masih bersenjata tidak menghiraukannya. Mereka mulai mengangkat senjata-senjata mereka. Tetapi sekali lagi terdengar cambuk Agung Sedayu meledak. Bahkan suaranya bagaikan merontokkan jantung didalam setiap dada para pengawal.

Namun ternyata para pengawal yang marah itu menjadi semakin marah. Mereka justru kemudian mulai mengepung Aggung Sedayu yang selalu berusaha merintangi mereka. Tetapi pada saat itu seorang anak muda dengan tergopoh-gopoh muncul diarena. Ia langsung berjongkok disamping ketiga orang yang terbaring ditanah. Sejenak ia mengamat-amati ketiganya. Kemudian meraba dadanya dengan cemas. “Mereka telah mati,“ geram anak muda itu. “Yang seorang masih hidup Raden,” desis Agung Sedayu. Tetapi Raden Sutawijaya itu menggeleng sambil berdesis, “Tidak. Ketiganya telah mati Mungkin yang seorang adalah yang terakhir.” Perlahan-lahan Raden Sutawijaya berdiri. Dipandanginya para pengawal yang berdiri melingkar. Selangkah demi selangkah ia berjalan sambil menatap setiap wajah. Dengan suara berat dan datar ia berkata, “Kalian adalah pengawal-pengawal yang berani, jantan penuh perasaan setia kawan.” Para pengawal mengerutkan keningnya. Dan Raden Sutawijaya meneruskan, “Tetapi kalian adalah pengawal-pengawal yang kurang nalar.“ Sejenak Raden Sutawijaya berhenti, lalu. “kalian telah membunuh semua orang yang kita cari. Aku terlambat mencegahnya ketika para pengawal mencincang lawan Paman Juru Martani, meskipun paman Juru Martanipun telah berusaha menggagalkannya. Dan sekarang, ketiga orang inipun telah kalian bunuh pula.” Para pengawal yang mendengar kata-kata Raden Sutawijaya itupun bagaikan membeku ditempatnya. Seolah-olah mereka mulai sadar, apa yang telah mereka lakukan. Sekilas mereka melihat tiga sosok tubuh yang terbaring ditanah. Jika Agung Sedayu tidak mencegahnya, maka ketiganya tentu tidak akan berujud lagi. Meskipun demikian, ternyata Agung Sedayu telah gagal untuk mempertahankan hidup ketiga orang itu, bahkan satu saja diantara mereka. Ketika para pengawal masih termangu-mangu. Raden Sutawijaya meneruskan, “Nah, sekarang apa yang kalian dapatkan dari ketiga sosok mayat itu? Kepuasan yang buram?” Tidak seorangpun yang menjawab. Namun para pengawal itu mulai dapat membayangkan kemana arah pembicaraan Raden Sutawijaya itu. Dan seperti yang mereka duga, maka Raden Sutawijayapun berkata lebih lanjut, “Sekarang, kita tidak akan mendapatkan keterangan apapun dari mereka. Mereka semuanya telah mati.” Para pengawal menundukkan wajahnya. Mereka menyadari ketergesa-gesaan mereka, sehingga mereka tidak dapat berpikir dengan bening. Sekilas mereka memandang Agung Sedayu yang berusaha mencegah mereka. Bahkan hampir saja telah

timbul salah paham. Meskipun agaknya Agung Sedayu mempunyai pertimbangan yang lain dari Raden Sutawijaya, namun mereka mengakui, bahwa mereka telah kehilangan nalar dibakar oleh kemarahan yang tidak terkendali. Dan kini, mereka tinggal dapat menyesali tingkah laku mereka. Ke empat orang yang mereka buru telah mereka ketemukan. Tetapi mereka sama sekali tidak mendapatkan keterangan apapun juga dari mereka, karena mereka telah mati. Raden Sutawijaya yang berdiri didalam lingkaran para pengawal itupun kemudian menggeram, “Nah, apakah kalian belum puas atas kelakuan kalian? Silahkan. Siapa yang masih ingin mencincang korban kalian. Mereka tidak lagi merasakan dan mengetahui apa yang kalian perbuat, betapapun biadabnya.” Para pengawal Mataram itu menunduk dalam. Tetapi tidak seorangpun yang menjawab. “Agung Sedayu,“ berkata Raden Sutawijaya kemudian, “aku minta maaf atas kelakuan para pengawal. Mereka benar-benar telah dibayangi oleh kemarahan dan dendam.” “Aku mengerti,“ sahut Agung Sedayu dengan suara yang dalam. Direnunginya ketiga sosok mayat yang terbaring diam. Katanya kemudian, “mereka telah mati. Dan mereka tidak akan dapat menuntut apapun perlakuan yang pernah mereka alami.” “Ya. Dan merekapun tidak akan dapat berbicara, siapakah mereka sebenarnya dan dari manakah mereka itu datang.” Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi sorot matanya membayangkan penyesalan yang dalam. Bahkan kemudian seolah-olah ia melihat Rudita telah berdiri diantara para pengawal itu dengan mata yang redup. Tetapi Agung Sedayu mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Raden Sutawijaya berkata, “Kumpulkan mayat-mayat itu. Kita akan menguburnya besok siang dengan upacara sepantasnya.” Para pengawal masih tetap membeku ditempatnya. Sementara Raden Sutawijaya masih melangkah berputaran sambil memandangi wajah-wajah yang mulai berkeringat. “Marilah Agung Sedayu. Kau tentu perlu beristirahat. Ternyata perhitunganku salah. Aku minta kau tetap tinggal dirumah agar kau dapat beristirahat. Namun justru kaulah yang telah berhasil menemukan orang-orang yang kita cari diseluruh kota.“ ajak Raden Sutawijaya.

Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi ketika Raden Sutawijaya melangkah, iapun mengikuti dibelakangnya. Cambuknya masih didalam genggaman, sedangkan juntainya dipeganginya dengan tangan kirinya. Orang-orang yang berdiri dalam lingkaran itupun menyibak, dan memberikan jalan kepada Raden Sutawijaya dan Agung Sedayu. Seorang pengawal muda berdesis lirih ketika Agung Sedayu lewat dihadapannya, “Aku mohon maaf Agung Sedayu.” Agung Sedayu berpaling. Anak itu masih muda semuda dirinya sendiri. Namun Agung Sedayu tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil sambil menahan gejolak perasaannya. Ketika kedua anak-anak muda itu telah naik kependapa, maka mulailah para pengawal Mataram yang telah menyadari dirinya sendiri itu mengangkat mayat-mayat yang terbaring ditanah. Mereka menempatkan ketiga sosok mayat itu diserambi gandok, membaringkannya diatas amben bambu yang besar. “Mana yang satu lagi?“ bertanya salah seorang pengawal. “Masih dipendapa,“ sahut yang lain. Tetapi sesosok mayat yang masih dipendapa tidak segera dibawa keserambi gandok dan dibaringkan disamping mayat kawan-kawannya. Ketika Raden Sutawijaya bersama Agung Sedayu mendekati Ki Juru Martani yang sedang berjongkok merenungi mayat itu, seorang pengawal terdengar berkata diantara kawan-kawannya, “Ciri itu adalah ciri seorang prajurit.” Raden Sutawijaya tertegun sejenak. Namun kemudian iapun melangkah mendekati Ki Juru dengan tergesa-gesa. “Angger,“ berkata Ki Juru, “lihatlah.” Raden Sutawijaya dan Agung Sedayupun kemudian berjongkok didekat mayat itu. Ketika ia memandang ikat pinggangnya, maka iapun mengangguk-angguk sambil berkata, “Ikat pinggang itu memang ikat pinggang prajurit Pajang. Tetapi setiap orang dapat saja memakainya. Mungkin ia mendapatkannya dari saudaranya yang kebetulan juga seorang prajurit. Atau bahkan ia dapat merampasnya dengan kekerasan.” Ki Juru mengangguk-angguk. Tetapi kemudian katanya, “Tetapi mungkin juga ia memang seorang prajurit. Danang, cobalah kau lihat timangnya yang bukan saja timang seorang prajurit. Tetapi ia sudah menghiasinya dengan emas dan permata. Jika ikat pinggang ini bukan miliknya sendiri, ia tentu tidak akan berbuat demikian. Atau katakan ia merampasnya dari seorang perwira, tentu emas dan permata itu akan diambilnya dan dipindahkannya pada ikat pinggang yang lain, bukan ikat pinggang seorang prajurit. Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dipandanginya ikat pinggang prajurit yang sudah

ditambahinya dengan hiasan emas dan permata, yang memang tidak dilarang oleh pimpinan keprajuritan Pajang sejak Ki Gede Pemanahan masih menjadi Panglima, sehingga banyak para perwira yang menghiasi timangnya dengan lapisan emas dan permata. Namun kemudian Raden Sutawijaya berkata, “Tetapi aku belum pernah mehhatnya. Jika ia seorang perwira Pajang, tentu aku pernah mengenal atau melihatnya.” Ki Juru menggeleng. Katanya, “Tentu tidak semuanya. Mungkin ia baru saja diangkat menjadi seorang perwira karena ia memiliki ilmu yang sangat tinggi.” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Sementara itu Agung Sedayu berkata, “Mungkin ia adalah seorang petugas sandi.” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Dan Ki Juru berkata, “Salah seorang dari mereka yang bertempur melawan Agung Sedayu tentu penari yang cakap itu.” Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, “Ya Ki Juru. Meskipun semula aku tidak pasti. Tetapi agaknya salah seorang dari mereka adalah penari yang kita lihat di banjar padukuhan itu.” Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah kepada diri sendiri ia berkata, “Sayang. Ia adalah seorang penari yang sangat baik. Ia memiliki pengetahuan yang sangat berharga bagi tubuhnya sebagai seorang penari. Tetapi ia telah melakukan sesuatu yang menjerumuskannya dalam kesulitan, dan bahkan maut.” Raden Sutawijaya memandang Ki Juru sejenak, kemudian ditatapnya wajah Agung Sedayu yang tunduk merenungi mayat itu. “Paman,” berkata Raden Sutawijaya kemudian, “apakah paman sependapat, bahwa ikat pinggang itu sebaiknya kita simpan saja. Mungkin ikat pinggang itu akan dapat menjadi jalur mengenalnya kita terhadap orang-orang yang sudah tidak dapat kita ajak berbicara itu, justru karena para pengawal Mataram sendiri yang terlalu dibebani oleh dendam dan kemarahan, sehingga mereka telah melakukan sesuatu yang sangat bodoh.” Ki Juru memandang ikat pinggang itu sejenak. Lalu iapun kemudian bertanya, “Apakah yang tiga orang itu juga mengenakan ikat pinggang keprajuritan?” Raden Sutawijaya menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Tidak paman. Mereka tidak mengenakan ikat pinggang semacam itu. Juga pada mereka tidak terdapat tanda-tanda apapun juga.” Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Baiklah Raden. Kau dapat menyimpan ikat pinggang itu. Mungkin ada gunanya. Tetapi mungkin juga tidak sama sekali.

Tidak akan ada seorangpun yang akan mengaku memiliki ikat pinggang itu, kecuali jika ikat pinggang itu pernah dirampas dengan paksa dan orang yang merampasnya mempergunakan tanpa dirombak bentuk dan ujudnya.” Raden Sutawijayapun kemudian memerintahkan seorang pengawal untuk mengambil ikat pinggang itu dengan penjelasan, bahwa yang penting bukannya emas dan permatanya, tetapi mungkin akan dapat dipergunakan untuk mencari jejak dari keempat orang itu. Demikianlah sisa malam itupun kemudian dipergunakan oleh Raden Sutawijaya untuk duduk dipendapa bersama para pemimpin Mataram. Agung Sedayu yang dipersilahkan untuk beristirahat, ternyata lebih senang untuk ikut duduk dipendapa dan mempercakapkan keempat orang yang telah terbunuh itu. “Angger Agung Sedayulah yang dicarinya di Mataram,“ berkata Ki Juru kepada para pemimpin Mataram. Agung Sedayu menundukkan kepalanya ia sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan siapapun. Tetapi keadaan telah mendorongnya untuk menanam dendam dihati orang. Ia sadar, bahwa setiap jiwa yang direnggutnya, akan berarti menambah jumlah musuh yang mendendam dan membencinya. Agung Sedayu mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Ki Juru berkata, “Angger Agung Sedayu. Karena peristiwa ini, maka sudah tentu angger akan tinggal lebih lama lagi di Mataram. Mungkin angger perlu menenangkan hati. Tetapi mungkin pula dengan pertimbangan lain. Sudah tentu angger Agung Sedayu tidak akan cemas diperjalanan. Angger akan dapat mengatasi setiap kesulitan yang datang. Namun aku mengerti, bahwa angger sama sekali tidak akan bermaksud menambah lawan. Apalagi membakar dendam.” Agung Sedayu menarik nafas. Pertimbangan Ki Juru dapat dimengerti. Ki Juru tentu mencemaskannya, bahwa masih ada orang yang akan mencegatnya disepanjang jalan. Jika ia terpaksa bertempur, maka ada kemungkinan, bahwa ia harus melakukan pembunuhan lagi untuk menyelamatkan diri. Dengan demikian maka ia telah menyaingi dendam pada suatu lingkungan terhadapnya, sehingga dendam itu akan menjadi semakin subur. Dan timbullah lingkaran yang tidak terputuskan, dendam, pembalasan, yang harus dilawan dan menimbulkan kematian yang akan membakar dendam itu lagi. Tetapi ketegangan jiwa Agung Sedayu bagaikan tidak tertahankan lagi. Ia ingin segera sampai dipadepokannya. Ia baru akan dapat beristirahat jika ia sudah ada ditengah kerja padepokannya. Memanggul cangkul dan menyelusuri parit ditengah bulak. Membelah kayu dan menyapu halaman disaat fajar menyingsing. Melepaskan diri dari segala macam persoalan yang pelik dan menyakitkan hati, sambil mendengarkan kicau burung dicerahnya pagi. Namun ketika terpandang wajah Raden Sutawijaya, terpercik juga sebuah keluhan di hati, “Aku memang seorang yang sangat mementingkan diriku sendiri.”

Meskipun demikian Agung Sedayu sadar, bahwa ia memang bukan Raden Sutawijaya yang dadanya dipenuhi oleh api perjuangan sesuai dengan keyakinannya. Tidak untuk dirinya sendiri. Tetapi untuk membakar cita-citanya menjadikan Mataram sebuah negeri yang ramai. Sejanak Agung Sedayu termangu-mangu. Ia tidak segera dapat mengambil keputusan. apakah ia akan tinggal lebih lama lagi, atau ia memutuskan untuk segera meninggalkan Mataram dan kembali kepadepokan kecilnya, dimana Glagah Putih telah menunggunya dengan tidak sabar lagi. Dalam pada itu, para pengawal nampak sibuk dengan persiapan upacara penguburan keempat sosok mayat itu. Meskipun keempat sosok mayat itu adalah mayat-mayat orang-orang yang tidak disukai, tetapi Raden Sutawijaya memerintahkan agar mayat-mayat itu dikubur dengan upacara sepantasnya. Agung Sedayu masih saja termangu-mangu memandang para pengawal yang nampak hilir mudik dihalaman. Namun ketika ia melihat cahaya kemerah-merahan membayang, maka tiba-tiba saja kerinduannya untuk kembali kepadepokan kecilnya tidak tertahankan lagi, sehingga katanya kemudian, “Ki Juru. Agaknya aku lebih senang untuk segera sampai ke padepokan kecilku. Aku sudah terlalu lama pergi meninggalkan adik sepupuku.” “Glagah Putih maksudmu?“ bertanya Raden Sutawijaya. “Ya. Ia tentu sudah menunggu. Mungkin ia menjadi kecewa bahwa aku terlalu lama meninggalkannya.” Raden Sutawijaya yang masih muda itupun tiba-tiba tersenyum. Yang terbayang padanya bukannya seorang anak muda yang bertubuh tinggi, berwajah bening, namun dengan sorot matanya yang menunjukkan kekerasan hatinya. Tetapi yang terbayang padanya adalah seorang wanita cantik yang keras hati di Sangkal Putung. Karena itu, maka Raden Sutawijayapun kemudian berkata sambil tersenyum, “Paman. Memang sulit untuk menahan Agung Sedayu lebih lama lagi. Mungkin adik sepupunya sudah sangat merindukannya. Mungkin adik seperguruannya. Mungkin gurunya. Tetapi mungkin juga Sekar Mirah.” “Ah,“ desah Agung Sedayu sambil menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak membantah. Gadis itupun memang mulai terbayang. Namun justru menumbuhkan kegelisahan dihatinya karena gadis itu selalu memandang masa depannya dengan suram. Agaknya Agung Sedayu benar-benar tidak dapat ditahan lagi untuk tinggal lebih lama di Mataram. Cahaya matahari yang kemudian jatuh di atas tanah berdarah dihalaman rumah Raden Sutawijaya itu, membuat hatinya menjadi semakin dekat dengan padepokan kecilnya yang tenang dan damai. “Baiklah Agung Sedayu,“ berkata Raden Sutawijaya,

“agaknya kau benar-benar ingin kembali kepadepokanmu. Karena itu, biarlah kau ditemani oleh dua orang pengawal dari Mataram. Bagaimanapun juga peristiwa yang baru saja terjadi, membuat kita harus berhati-hati. Meskipun kau merupakan orang yang mumpuni dalam olah kanuragan, tetapi kedua pengawal itu akan dapat menjadi kawan berbincang di sepanjang jalan. Mungkin perlu untuk melakukan perintahmu diperjalanan atau keperluan-keperluan yang lain.” Agung Sedayu tidak dapat menolak. Iapun menyadari, bahwa kawan diperjalanan dalam keadaan yang masih dibayangi oleh merahnya darah itu tentu akan berarti baginya. Karena itulah maka Agung Sedayupun kemudian minta diri untuk berkemas, karena ia akan berangkat pagi-pagi tanpa menunggu upacara penguburan keempat sosok mayat itu. Ketika Agung Sedayu telah siap untuk berangkat, ia masih sempat minta maaf, bahwa ia tidak dapat menunggui upacara pemakaman para pengawal dan penguburan ke empat sosok mayat itu meskipun ia adalah sasaran dari mereka. “Ah, aku justru berterima kasih,“ berkata Raden Sutawijaya, “sebab menurut perkembangan tingkah lakunya, mereka bukan saja akan mencelakaimu, tetapi mereka dengan licik berusaha untuk mengambil pusaka-pusaka terpenting di Mataram. Dan kaulah yang telah menyelamatkan pusaka-pusaka itu.” “Ki Juru Martani. Aku hanya membantumu saja,“ sahut Agung Sedayu. Tetapi Ki Juru tertawa. Ia sadar bahwa ketegangan jiwa Agung Sedayu telah memaksanya untuk segera meninggalkan Mataram. Katanya, “Apapun yang kau katakan ngger, tetapi kita semuanya sudah mengambil kesimpulan seperti yang dikatakan oleh Raden Sutawijaya.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian sekali lagi ia mohon diri dan berangkat menuju ke Sangkal Putung, diiringi oleh dua orang pengawal pilihan dari Mataram. Karena kemungkinan yang buruk-pun akan dapat terjadi pada kedua pengawal itu saat mereka kembali tanpa Agung Sedayu. Karena itu, maka mereka berduapun harus bersiap menghadapi kemungkinan itu, meskipun jalan antara Mataram dan Sangkal Putung pada umumnya tidak terdapat hambatan-hambatan apapun. Demikianlah ketika matahari memanjat semakin tinggi dilangit, Agung Sedayu mulai dengan perjalanannya kembali ke padepokan kecilnya lewat Sangkal Putung. Mungkin gurunya masih tinggal di Kademangan itu menunggu Ki Sumangkar yang terluka parah dipeperangan. Ketika kuda Agung Sedayu berlari meskipun tidak cukup kencang, namun terasa betapa segarnya udara pagi mengusap wajahnya. Langit nampak hijau cerah terbentang dari ujung sampai ke ujung bumi. Mega yang tipis selembar-selembar mengahr dihanyutkan angin pagi, sementara Agung Sedayu merasa semakin jauh dari kejaran perasaan bersalah karena pembunuhan-pembunuhan.

Sudah lama Agung Sedayu terlepas dari sejuknya suasana sejak ia meninggalkan padepokannya. Hanya sesaat-sesaat ia sempat melihat hijaunya tanaman di sawah. Diperjalanan dari Tanah Perdikan Menoreh ia juga melalui bulak-bulak panjang yang hijau seperti yang dilaluinya bersama kedua orang pengawal dari Mataram itu. Dipematang nampak beberapa ekor bangau berdiri disebelah kakinya yang panjang. “Mataram memang akan menjadi besar,“ tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis. Kedua pengawal yang berkuda bersamanya mengerutkan keningnya. Mereka tidak begitu mendengar kata-kata Agung Sedayu, sehingga salah seorang dari mereka bertanya, “Apa yang kau maksudkan Agung Sedayu?” Agung Sedayu menarik nafas panjang. Katanya kemudian, “Mataram akan menjadi besar. Tanahnya subur dan menyimpan kemungkinan yang sangat luas. Banyak orang dari segala penjuru berdatangan untuk ikut membuka hutan, sehingga Mataram meluas dengan cepatnya. Mereka bekerja keras dan yang paling menggembirakan, mereka segera merasa diri mereka satu tanpa terbelah-belah lagi. Mereka dapat melupakan asal usul mereka dan hidup bagaikan keluarga dengan tetangga-tetangga mereka yang baru.” Para pengawal itu mengangguk-angguk. Bagi mereka, Mataram merupakan tanah harapan bagi masa depan serta sepanjang keturunannya. Dalam pada itu, selagi Agung Sedayu menyusuri jalan menuju ke Sangkal Putung, Raden Sutawijaya masih merenungi ikat pinggang keprajuritan dari salah seorang yang telah terbunuh di halaman rumahnya, sementara orang-orang lain sibuk mempersiapkan keberangkatan ke empat sosok itu ke kubur. “Tidak ada tanda-tanda apapun yang dapat memberikan petunjuk mengenai orang-orang itu paman,“ berkata Raden Sutawijaya kepada Ki Juru Martani. Ki Juru mengerutkan keningnya. Ketika ia menerima ikat pinggang itu dan mengamatinya, iapun menggeleng. Katanya, “Memang tidak ada tanda-tanda apapun juga. Orang itu sudah merubah timang ikat pinggangnya dengan melapisnya dengan emas dan memberikan beberapa butir permata yang mahal. Agaknya ia memang seorang perwira yang bangga akan kedudukannya dan termasuk seorang yang cukup kaya.” Raden Sutawijaya merenung sejenak. Ia mencoba mengingat-ingat apakah ia pernah mengenalnya. Tetapi kemudian ia berkata, “Aku yakin, bahwa aku belum pernah mengenal sebelumnya. Mungkin ia orang baru bagi Pajang.” “Atau sama sekali bukan prajurit Pajang,“ sahut Ki Juru Martani. Raden Sutawijaya tidak menjawab lagi. Ia mencoba untuk menyingkirkan teka-teki itu dari angan-

angannya meskipun ia masih berniat untuk menyimpan ikat pinggang itu. Dalam pertempuran dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, Agung Sedayu telah membunuh Ki Tumenggung Wanakerti. Mungkin saja seorang perwira yang lain mendendamnya karena Agung Sedayu untuk selanjutnya akan dapat menjadi penghalang yang besar bagi keinginan golongan mereka. Apalagi mereka tentu menganggap bahwa Agung Sedayu telah berdiri dipihak Mataram. Tetapi mungkin pula orang itu telah dikirim oleh para pemimpin dari kelompok yang merasa kehilangan Ki Gede Telengan, yang mereka ketahui telah dibunuh oleh Agung Sedayu pula. Atau bahkan oleh Kiai Samparsada yang masih belum dapat melepaskan dendamnya. Banyak pertimbangan-pertimbagan yang membayangi angan-angan Raden Sutawijaya. Namun ia mencoba untuk melupakannya, Setidak-tidaknya untuk beberapa saat. Jika kesempatan terbuka untuk mencari jawaban atas ikat pinggang itu, maka ia tentu akan mempersoalkannya kembali. Karena itulah, maka setelah menyimpan ikat pinggang keprajuritan itu, iapun segera turun diantara para pengawalnya untuk menyelesaikan persiapan penguburan ke empat mayat dari orang-orang yang terbunuh dihalaman itu, sementara yang lain sibuk pula mengurus, beberapa orang pengawal yang telah menjadi korban. Tetapi agaknya tidak semua pengawal terbunuh. Empat orang dari mereka masih dapat diharapkan hidup meskipun mereka mengalami cidera yang berat. Sedang dua diantara mereka tidak dapat tertolong lagi jiwanya, karena luka-luka yang parah. Mereka mengalami serangan tanpa dapat membela diri sama sekali. Jika para pengawal itu terkenang kepada kawan-kawannya yang gugur dan terluka parah, maka darah mereka bagaikan mendidih. Rasa-rasanya mereka ingin melemparkan saja mayat-mayat itu dipinggir hutan agar menjadi mangsa binatang buas atau tubuh itu hancur disayat-sayat anjing hutan. Tetapi mereka tidak dapat melakukannya. Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani sama sekali tidak menghendakinya. Mereka masih tetap berpegang pada peradaban manusia, sehingga bagaimanapun juga, ke empat sosok mayat itu harus diselenggarakan sebagaimana seharusnya. Namun berbeda dengan ke empat sosok mayat itu, dua orang pengawal yang gugur mendapat penghormatannya tersendiri. Mereka adalah para pengawal yang sedang melakukan tugasnya saat mereka disergap oleh orang-orang yang tidak mereka kenal, sehingga mereka sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Membunyikan isyaratpun tidak sempat. Dengan demikian maka Mataram menjadi sibuk. Para pengawal mengatur segalanya untuk upacara pemakaman kawan-kawannya dan ke empat orang lawan mereka. Sementara keluarga para korban dengan sedih merenungi kematian kedua pengawal yang justru sedang bertugas di dalam kota mereka sendiri. “Agung Sedayulah yang menurut kabarnya menjadi sasaran keempat orang itu. Tetapi anakkulah yang harus menjadi banten,“ seorang ibu tua menangis disamping suaminya yang telah tua pula.

“Ia gugur dalam tugasnya,“ suaminya mencoba meredakan tangisnya. “Tetapi sekarang Agung Sedayu begitu saja pergi seolah-olah tidak terjadi apa-apa di Mataram,“ tangis isterinya dengan kesal. “Ia memang tidak tahu diri,“ keluarga yang lain menyahut, “seharusnya ia tetap berada disini. Bebanten itu adalah tebusan nyawanya. Dan ia sama sekali tidak memberikan penghormatan kepada mereka. Tanpa anakku dan anakmu yang gugur, ialah yang mati dihalaman ini.” Yang lain menganggguk-agguk. Tetapi mereka tidak dapat menyampaikan perasaan itu kepada Raden Sutawijaya. Karena itu, mereka hanya dapat membicarakan diantara mereka saja. Namun mereka kemudian mendengar beberapa orang pengawal yang datang dan duduk disebelah keluarga korban yang gugur itu berbicara. Salah seorang dari mereka berkata, “Tanpa Agung Sedayu, Mataram benar-benar akan menjadi buram. Mungkin pusaka Mataram telah hilang, atau Ki Juru Martanilah yang telah gugur sekarang ini.” “Tetapi kenapa ia pergi sebelum pemakaman ini selesai?“ bertanya yang lain. “Hatinya terlalu ringkih. Mungkin lembut, tetapi mungkin cengeng seperti yang dikatakan oleh beberapa orang. Ia merasa bersalah pada setiap kematian. Apalagi karena tangannya. Itulah sebabnya hampir terjadi salah paham antara Agung Sedayu dan para pengawal. Tetapi itu tidak mengurangi besar jasanya sekarang ini, meskipun ia berusaha melarikan diri dari kenyataan bahwa ia telah membunuh lagi dihalaman rumah ini.” Pembicaraan itu terputus. Salah seorang dari para pengawal itu dipanggil kawannya dan pergi meninggalkan tempat itu. Beberapa orang keluarga korban yang terbunuh itupun termangu-mangu. Mereka mendengar pembicaraan para pengawal itu, sehingga mereka mempunyai penilaian banding tentang Agung Sedayu. Namun bagi mereka Agung Sedayu justru merupakan orang yang memiliki banyak teka-teki yang sulit pada dirinya. Ia mempunyai banyak wajah tentang watak dan sifatnya. Seorang prajurit yang berani, seorang pembunuh yang disegani, tetapi juga seorang yang cengeng dan kecil hati dan seorang yang penuh belas kasihan. Sementara itu Agung Sedayu masih dalam perjalanannya menuju ke Sangkal Putung. Ia berbicara tentang berbagai macam persoalan dengan pengawal yang mengawaninya diperjalanan. Tetapi Agung Sedayu selalu menghindar jika kedua orang pengawal itu mulai berbicara tentang peperangan. Apalagi tentang nama-nama yang kadang-kadang datang didalam mimpinya. Ki Gede Telengan, Ki Tumenggung Wanakerti, Kiai Samparsada atau Kiai Kalasa Sawit. Bahkan kadang-kadang ia melihat

sebuah barisan yang panjang dari orang-orang yang dibunuhnya dengan tubuh yang koyak koyak sejak tangannya pertama kali di kotori dengan darah. Tetapi Agung Sedayu senang sekali jika kawan-kawannya diperjalanan itu membicarakan tentang hijaunya sawah yang terbentang disebelah menyebelah jalan. Tentang parit-parit yang mengalirkan air yang bening, dan tentang jalan-jalan yang semakin ramai dilalui pedati yang membawa hasil sawah menuju ke tempat-tempat yang ramai. “Pada saatnya Mataram merupakan pusat perdagangan di daerah baru dan sedang berkembang ini,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya, “dari Kademangan-kademangan di daerah Selatan, Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan di sekitarnya. Daerah lereng Gunung Merapi dan daerah disebelah Timur yang berada digaris lurus antara Mataram dan Pajang.” Dalam pada itu. perjalanan merekapun semakin lama menjadi semakin jauh dari Mataram. Matahari memanjat semakin tinggi di langit, sehingga sinarnya yang mulai panas terasa gatal menggelitik tubuh. Setitik keringat mulai mengembun dikening. Tetapi kuda-kuda mereka berlari terus. Kadang-kadang mereka harus memperlambat jika mereka berpapasan dengan pedati yang berjalan lamban beriringan. Ketika mereka mendekati sungai Opak, maka merekapun beristirahat sejenak. Mereka memberi kesempatan kuda-kuda mereka minum dan makan rerumputan segar, sementara Agung Sedayu dan kedua pengawal, yang mengawaninya duduk bersandar sebatang pohon yang rindang. Menilik orang-orang yang lalu lalang, dan orang-orang yang bekerja disawah, maka nampaknya didaerah itu tidak ada tanda-tanda yang dapat memberikan kesan yang kurang baik seperti yang terjadi di Mataram. Nampaknya Prambanan tetap tenang tanpa mengalami gangguan apapun juga, meskipun letaknya yang tidak terlalu jauh dari Mataram. Agaknya di Kademangan itu terasa tangan-tangan pasukan Pajang yang berada di Jati Anom membantu menjaga pengamanannya meskipun tidak langsung. “Mungkin masih ada dua tiga orang prajurit yang bertugas di Kademangan ini jika diminta,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya, “agaknya berbeda dengan Sangkal Putung yang merasa dapat melindungi dirinya sendiri, sehingga bantuan kakang Untara tidak diperlukan lagi.” Nampaknya kedua pengawal Mataram yang bersama Agung Sedayu itupun sedang memperhatikan keadaan Prambanan. Bahkan salah seorang dari mereka berdesis kepada kawannya, “Prambananpun tentu akan menjadi besar.” “Mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan sendiri, seperti Sangkal Putung. Dari segi kekuatan, maka prajurit Pajang yang ma.sih ada di Prambanan merupakan orangorang yang diharap dapat meninggalkan ilmu kanuragan mereka pada anak-anak muda di Prambanan,“ sahut yang lain. Agung Sedayu berpaling kepada mereka. Tetapi ia tidak menyahut. Iapun mengerti, bahwa para prajurit Pajang di Prambanan dengan senang hati memenuhi permintaan anak-anak muda Prambanan untuk melatih mereka dalam olah kanuragan. Tetapi justru karena Prambanan sejak semula adalah

Kademangan yang tenang, subur dan berkecukupan, maka justru gejolak anak-anak mudan,ya tidak begitu nampak. Agaknya di Prambanan tidak ada seorang anak muda seperti Swandaru. Mereka cukup puas dengan keadaan mereka meskipun hanya sederhana. Tidak ada perjuangan yang menggelegak seperti Sangkal Putung untuk membuat kademangan itu menjadi semakin besar dan kuat. Namun demikian. Prambanan merupakan Kademangan yang cukup ramai. Agung Sedayu yang masih bersandar sebatang pohon itu memandangi arus sungai Opak yang mengalir dengan tenang. Dimusim kering, airnya yang jernih mengalir dengan segan. Tidak lebih dari sebatang sungai kecil yang mengalir didataran pasir yang luas. Tetapi dimusim basah arus Kali Opak dapat menghanyutkan rumpun-rumpun bambu ditepian. Airnya memenuhi seluruh luasnya sungai dari tanggul sampai ketanggul. Bergejolak ke coklatan, sehingga orang-orang yang ingin menyeberang harus mempergunakan rakit-rakit dengan tukang satang yang kuat. Namun dalam pada itu, selagi Agung Sedayu memandangi arus air yang jernih dan hijaunya tanaman di sawah, keningnya berkerut ketika ia melihat dua orang berkuda berpacu seperti dikejar hantu. “Kau lihat,“ di luar sadarnya Agung Sedayu berdesis. Kedua pengawal Mataram yang menyertai Agung Sedayu itupun termangu-mangu. Namun kemudidan katanya, “Menarik sekali. Marilah kita berdiri dipinggir jalan. Mungkin kita sudah mengenal mereka, atau barangkali ada sesuatu yang dapat kita ketahui tentang mereka.” Agung Sedayu mengangguk. Iapun kemudian berdiri dan bersama kadua pengawal itu mereka melangkah ketepi jalan. Meskipun mereka tidak semata-mata memandangi kedua orang yang berpacu itu, namun mereka sengaja untuk dapat melihat kedua orang itu dari dekat. Dari kejauhan nampak debu putih mengepul tinggi. Kuda-kuda yang berlari itu mengurangi kecepatannya ketika mereka menyeberangi sungai yang tidak begitu dalam. Kemudian memanjat tebing dan semakin lama derap kuda itupun menjadi semakin cepat pula. Namun ternyata kedua orang berkuda itu terkejut ketika mereka melihat Agung Sedayu berdiri dipinggir jalan, seperti Agung Sedayupun terkejut pula melihat mereka. “Agung Sedayu,“ salah seorang dari kedua orang berkuda itu berdesis. Keduanyapun kemudian menarik kekang kuda mereka, sehingga tepat dihadapan Agung Sedayu kedua ekor kuda itupun berhenti. Dengan tergesa-gesa keduanya segera meloncat turun dari kuda mereka. Agung Sedayupun kemudian memperkenalkan kedua orang berkuda itu kepada para pengawal yang

menyertainya dari Mataram. Keduanya adalah para pengawal dari Sangkal Putung. “O,“ salah seorang pengawal dari Mataram berguman, “agaknya ada keperluan yang penting sehingga keduanya berpacu agaknya menuju ke Mataram.” Agung Sedayu mengangguk. Iapun ingin segera mengetahui, apakah kedua pengawal itu sedang melakukan tugas yang penting. Namun sebelum Agung Sedayu bertanya, salah seorang pengawal dari Sangkal Putung itu telah berkata, “Agung Sedayu. Kami berdua memang sedang dalam perjalanan ke Mataram mencarimu. Jika kau belum berada di Mataram, kami harus langsung menuju ke Tanah Perdikan Menoreh setelah kami menghadap Senapati Ing Ngalaga.” “Apakah yang sudah terjadi?“ bertanya Agung Sedayu tidak sabar lagi. Pengawal itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian salah seorang berkata, “Baiklah. Aku akan mengatakannya disini. Bukankah kau sudah berada dalam perjalanan kembali ke Sangkal Putung.” “Ya.” “Untunglah kami tidak berselisih jalan.” “Jalan ini adalah jalan yang paling baik. Bahkan dapat disebut satu-satunya karena jalan-jalan kecil yang lain masih terlalu sulit atau lebih jauh dilalui dan apalagi untuk berpacu,“ Agung Sedayu menjawab, lalu. “coba katakanlah, apakah keperluanmu?” “Kami harus menyampaikan berita yang penting. Ki Sumangkar yang terluka parah itu, kini nampaknya menjadi semakin gawat.” “Ki Sumangkar? “ Agung Sedayu dan kedua pengawal dari Mataram itu berbareng mengulangi. “Ya,“ jawab salah seorang pengawal dari Sangkal Putung itu. “Bagaimana dengan guru?“ bertanya Agung Sedayu. “Maksudmu Kiai Gringsing?” “Ya.” Pengawal itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Kiai Gringsing masih tetap menungguinya siang dan malam. Ia telah berusaha sejauh dapat dilakukan. Tetapi seperti yang dikatakannya kepada Ki Demang, bahwa ia tidak lebh dari seorang manusia biasa. Yang dapat dilakukannya memang sangat terbatas.”

“Tetapi guru adalah seorang dukun yang sangat pandai.“ potong Agung Sedayu. “Semua orang mengakuinya. Tetapi seperti yang dikatakannya sendiri, bahwa ia adalah seorang yang tidak lebih dari orang-orang kebanyakan. Usahanya tidak seluruhnya harus berhasil. Juga dalam hal obat-obatan. Tetapi ia tidak berputus asa. Kiai Gringsing sedang mencari sejenis daun turi tetapi yang bunganya berwarna kehitam-hitaman. Batangnya tidak lebih besar dari pohon landep. Mudah-mudahan ia berhasil.” Agung Sedayu menjadi tegang. Ia menganggap bahwa gurunya adalah seorang yang memiliki pengamatan yang luas tentang obat-obatan. Jika Kiai Gringsing mengalami kesulitan, maka nampaknya keadaan Ki Sumangkar memang benar-benar gawat. Karena itu. maka katanya kemudian, “Jadi kalian juga mendapat tugas untuk menyampaikannya kepada Raden Sutawijaya?” “Kiai Gringsing memerintahkan demikian. Ki Demang dan Swandaru pun berpendapat demikian juga, meskipun Ki Sumangkar sendiri sebenarnya berkeberatan,“ jawab salah seorang pengawal Sangkal Putung itu. Agung Sedayu termangu-mangu. Maka katanya kemudian, “Jika demikian, maka kalian akan tetap pergi ke Mataram meskipun kalian telah bertemu aku disini.” “Ya. Kami akan terus ke Mataram.” Agung Sedayu merenung sejenak. Ia membuat pertimbangan tentang rencana kedua pengawal itu pergi ke Mataram. Apakah tidak sebaiknya kedua pengawal dari Mataram sajalah yang kembali dan menyampaikan berita itu. Namun tiba-tiba ia menggeleng. Katanya, “Memang sebaiknya kalian pergi ke Mataram. Tidak baik menyerahkan tugas kepada orang lain.. Menghadaplah Senapati Ing Ngalaga di Mataram untuk menyampaikan berita itu. Dan katakanlah bahwa kalian telah berjumpa dengan aku diperjalanan ini.” Kedua orang itu mengangguk-angguk. Salah seorang dari keduanya menjawab, “Baiklah. Jika demikian, kami akan melanjutkan perjalanan kami.” “Berilah kudamu kesempatan minum dan sedikit makan rumput. Kemudian segeralah melanjutkan perjalanan. Kami sudah beristirahat sejenak, sehingga biarlah kami meneruskan perjalanan kami. Tiba-tiba saja rasanya kami ingin segera berada di Sangkal Putung,“ berkata Agung Sedayu. “Silahkan. Ada baiknya juga kudaku minum,“ jawab salah seorang pengawal dari Sangkal Putung itu. Agung Sedayu dan dua orang pengawal dari Mataram itupun segera mempersiapkan diri. Kuda mereka nampaknya sudah cukup beristirahat sehingga telah menjadi segar kembali. Kuda-kuda itu

telah minum beberapa teguk dan makan rerumputan segar dipinggir Kali Opak. Sejenak kemudian Agung Sedayu dan kedua orang pengawal dari Mataram itupun berpacu. Mereka rasa-rasanya seperti dikejar-kejar oleh waktu. Kecemasan yang sangat telah mencengkam hati Agung Sedayu. Seolah-olah ia didesak oleh suatu keinginan untuk masih dapat bertemu dengan Ki Sumangkar dan sedikit berbicara. “Waktu itu masih panjang,“ geram Agung Sedayu, “kenapa aku tergesa-gesa. Besok, lusa, sepekan atau sebulan lagi aku masih akan dapat berbincang dengan Ki Sumangkar. Ia akan sembuh dan sehat kembali seperti sediakala.” Namun dilubuk hatinya yang paling dalam, ia tidak dapat mengingkari keharusan yang dapat terjadi kepada Ki Sumangkar, bahkan kepada setiap orang, jika yang Maha Kuasa memang sudah menghendakinya. Karena itulah, maka kuda Agung Sedayu dan kedua pengawal dari Mataram itupun berderap semakin kencang. Beberapa orang yang berpapasan dengan keduanya menjadi heran. Apalagi orang-orang yang sedang menunggui sawah dipinggir jalan. Baru saja mereka melihat dua orang berkuda berpacu kearah yang berlawanan dengan ketiga orang itu. Tetapi baik yang berdua maupun yang bertiga dengan arah yang berlawanan, sama sekali tidak berbuat sesuatu yang mencurigakan. Yang mereka lihat, mereka adalah orang-orang yang bepergian dengan tergesa-gesa. Demikian pula para pengawal Sangkal Putung yang pergi ke Mataram. Selelah beristirahat sejenak, maka merekapun segera meneruskan perjalanan mereka. Mereka berpacu seperti dikejar hantu, karena merekapun sebenarnya merasa cemas, bahwa jika Raden Sutawijaya berkenan mengunjungi Ki Sumangkar, ia akan datang terlambat. Jarak antara Prambanan ke Sangkal Putung dan ke Mataram tidak berselisih jauh. Tetapi jalan ke Mataram, semakin dekat, menjadi semakin baik. Lebih baik dari jalan yang menuju ke Sangkal Putung setelah melewati Prambanan, sehingga karena itu, berpengaruh pula pada laju kuda mereka yang pergi ke arah yang berlawanan pula. Dengan demikian, maka para pengawal Sangkal Putung yang pergi ke Mataram ternyata lebih cepat mencapai tujuannya meskipun selisih waktu yang diperlukan hampir tidak berarti. Di saat Agung Sedayu memasuki Kademangan Sangkal Putung, maka para pengawal dari Sangkal Putung telah berhenti didepan regol rumah Raden Sutawijaya, karena dua orang pengawal bersenjata tombak telah berdiri disebelah menyebelah sambil mengacukan senjata mereka. “Siapakah kalian Ki Sanak?“ bertanya salah seorang penjaga regol itu. “Kami dalang dari Sangkal Putung,“ jawab pengawal yang datang. “Siapakah yang kalian cari?“ bertanya penjaga regol pula.

“Kami akan menghadap Senapati Ing Ngalaga.” Namun sementara itu penjaga regol yang lain bertanya, “Kau akan mencari Agung Sedayu?” “Tidak,” jawab pengawal itu, “kami telah berpapasan di jalan. Kami akan menghadap Senapati Ing Ngalaga untuk menyampaikan pesan Kiai Gringsing kepadanya.” Para penjaga regol itu termangu-mangu. Namun kemudian mereka membawa kedua pengawal dari Sangkal Putung itu kepada pimpinan mereka. “Aku akan menyampaikannya,“ berkata pimpinan penjaga regol itu, “tunggulah. Jika Senapati dapat menerima kalian, maka kalian akan kami persilahkan.” Kedua pengawal dari Sangkal Putung itu terpaksa menunggu. Rasa-rasanya waktu berjalan sangat lamban, dan pimpinan penjaga itu masih saja belum datang kembali. Tetapi akhirnya ia datang pula, justru bersama dengan Senapati Ing Ngalaga sendiri. Pada saat Senapati Ing Ngalaga melihat kedua pengawal dari Sangkal Putung itu, rasa-rasanya ia tidak sabar lagi. Dengan serta merta iapun bertanya sebelum seperti kebiasaannya, menanyakan tentang keselamatan tamu-tamunya diperjalanan. “Apakah kau bertemu dengan Agung Sedayu?“ bertanya Raden Sutawijaya. “Ya Raden. Kami bertemu di Prambanan,“ jawab salah seorang pengawal itu. “Kemarilah. Tentu ada yang penting yang akan kau sampaikan.“ ajak Raden Sutawijaya. Kedua pengawal itupun kemudian mengikutinya naik kependapa dan duduk diatas tikar yang telah terbentang. Sejenak kemudian maka salah seorang dari merekapun segera menyampaikan pesan dari Kiai Gringsing di Sangkal Putung tentang keadaan Ki Sumangkar. Sementara itu. Agung Sedayu yang tergesa-gesa telah sampai pula di Kademangan Sangkal Putung. Dengan tergesa-gesa pula ia memasuki regol dan menyerahkan kudanya kepada seorang pengawal beserta kedua orang pengawal yang datang bersamanya dari Mataram. Agung Sedayu tertegun ketika ia melihat Sekar Mirah berlari menuruni tangga. Dengan serta merta gadis itu berseru dengan suara serak, “Kakang.” Agung Sedayu bagaikan membeku ditempatnya. Ia melihat Sekar Mirah berlari kearahnya. Namun

Sekar Mirah melihat pula dua orang pengawal dari Mataram, maka langkahnyapun bagaikan patah. Namun ia sudah berdiri beberapa langkah saja dihadapan Agung Sedayu. “Ada apa Sekar Mirah?“ bertanya Agung Sedayu kebingungan, namun ia segera sadar, bahwa ia sudah mendengar keadaan Ki Sumangkar, guru Sekar Mirah. Karena itu. maka iapun kemudian bertanya, “bagaimana keadaan Ki Sumangkar?” Sekar Mirah menundukkan kepalanya. Setitik air mata mengambang dipelupuknya. Dengan suara sendat ia berkata, “Guru menjadi semakin gawat. Kiai Gringsing dan ayah telah mengutus dua orang pengawal ke Mataram mencarimu.” “Aku lelah bertemu diperjalanan,“ jawab Agung Sedayu, “mereka sekarang melanjutkan ke Mataram untuk menyampaikan kabar ini kepada Raden Sutawijaya.” Sekar Mirah mengangguk. Tetapi rasa-rasanya ia tidak dapat menahan air matanya. Tiba-tiba saja setelah ia berdiri dihadapan Agung Sedayu ia menjadi cengeng dan menangis diluar sadarnya. Agung Sedayu menjadi kebingungan. Ia tahu apa yang harus dilakukan terhadap gadis itu. Ada juga niatnya untuk menggandengnya naik kependapa. Tetapi rasa-rasanya tangannya menjadi kejang. Yang dapat dilakukan kemudian hanyalah berkata, “Sudahlah Sekar Mirah. Jangan menangis. Aku ingin melihat keadaan Ki Sumangkar.” Agung Sedayu melangkah perlahan-lahan diikuti oleh Sekar Mirah. Ketika ia memandang ketangga pendapa, ia melihat gurunya. Ki Demang dan Swandaru berdiri menunggunya. Yang mula-mula sekali melangkah monyongsongnya adalah Kiai Gringsing yang diikuti oleh Ki Demang. Baru kemudian Swandarupun turun dari tangga. Wajah mereka nampak sayu agaknya mereka mengalami kelelahan lahir dan batin. Terlebih-lebih Kiai Gringsing. “Marilah Agung Sedayu,“ berkata Kiai Gringsing, “kami sedang berjuang untuk mengatasi kegawatan pada diri Ki Sumangkar.” Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ketika ia memandang wajah Ki Demang, maka Ki Demangpun berkata, “Kami sudah berusaha sejauh dapat kami lakukan.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Nampaknya Ki Demang berusaha untuk menunjukkan bahwa

usaha yang telah dilakukan oleh seisi rumah itu benar-benar sudah sejauh-jauh dapat dicapai. Bahkan seolah-olah Ki Demang ingin mengatakan kepadanya, bahwa ia tidak dapat dipersalahkan karena keadaan yang gawat dari Ki Sumangkar. Agung Sedayu justru menjadi termangu-mangu. Mungkin tatapan matanya seolah-olah menuduh bahwa orang-orang yang ada dirumah itu tidak berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengobati Ki Sumangkar. Tetapi itu tidak mungkin. Ia yakin, gurunya adalah seorang dukun yang pandai dan benarbenar mengabdikan diri untuk kepentingan sesama. Namun Agung Sedtiyupun kemudian menyadari. Agaknya Ki Demang sengaja mengatakannya agar Sekar Mirahpun mendengar pula. Agaknya gadis yang gelisah itu menganggap bahwa orang-orang yang ada disekitar gurunya yang sakit itu masih belum berusaha sepenuh tenaga. Tetapi Agung Sedayu tidak menanggapinya. Bersama gurunya, diikuti oleh Ki Demang dan Swandaru, ia memasuki bilik Ki Sumangkar digandok sebelah kanan. Agung Sedayu tertegun dipintu bilik. Ketika ia melihat tubuh yang terbaring diam itu, rasa-rasanya dadanya bergejolak keras sekali. Wajah Ki Sumangkar nampak pucat sekali. Baru beberapa hari saja ia tidak melihatnya. Namun nampaknya Ki Sumangkar menjadi sangat kurus dan lemah, Pada tubuh itu sama sekali tidak terbayang, kemampuan raksasa yang dimilikinya. Ki Sumangkar adalah adik seperguruan Patih Mantahun dari Jipang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga seolah-olah ia tidak dapat dikalahkan dimedan perang yang manapun juga. Bahkan beberapa orang menganggap bahwa Patih Mantahun dan saudara-saudara seperguruannya memiliki nyawa rangkap. Agung Sedayu terperanjat ketika ia mendengar gurunya berbisik, “Masuklah.” Dengan ragu-ragu Agung Sedayu melangkah masuk. Hatinya menjadi semakin berdebar-debar ketika ia kemudian melihat Ki Sumangkar memiringkan kepalanya. Seleret senyum membayang diwajah yang pucat itu. Kemudian terdengar suaranya parau dikerongkongan, “Kau datang Agung Sedayu.” Rasa-rasanya dada Agung Sedayu bagaikan bergetar. Suara Ki Sumangkar yang lemah, dalam dan parau itu. bagaikan pertanda yang baru padanya tentang orang tua itu. Perlahan-lahan Agung Sedayu melangkah mendekat. Kiai Gringsing, Ki Demang Sangkal Putung dan Swandarupun memasuki bilik itu pula, sementara Sekar Mirah masih tetap berdiri diluar. Ia tidak ingin mengganggu pertemuan antara Agung Sedayu dan Ki Sumangkar yang sudah sangat lemah. Karena ia merasa, bahwa betapapun keras hatinya, namun pada saat-saat tertentu, kelemahan

perasaannya sebagai seorang gadis tidak, dapat dikendalikan lagi, sehingga air matanya akan dapat menambah kegelisahan hati gurunya yang sedang dalam keadaan gawat. Agung Sedayupun kemudian duduk disebuah dingklik kayu disisi pembaringan Ki Sumangkar. sementara yang lain berdiri selangkah dibelakang Agung Sedayu. “Kiai,“ tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis. Ada sesuatu yang terasa menghangati kerongkongannya. Ki Sumangkar tersenyum. Katanya, “Apakah ada seseorang yang memberitahukan kepadamu tentang keadaanku?” Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, “Ya Kiai. Aku mendengar dari dua orang pengawal yang pergi ke Mataram.” “Apakah sebenarnya keperluanmu belum selesai?“ bertanya Ki Sumangkar lemah. “Aku memang sudah diperjalanan kembali ke Sangkal Putung Kiai,“ jawab Agung Sedayu. Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “luka-lukaku sangat parah. Kau sudah berhasil menyelamatkan nyawaku dipeperangan itu. Tetapi segala sesuatu tentang hidup seseorang tergantung sekali kepada Yang Maha Kuasa. Dan aku tidak akan ingkar akan setiap keputusan yang diambil-Nya tentang diriku. Sekarang, besok atau lusa.” “Ah,“ desah Agung Sedayu, “guru tentu akan berusaha lebih banyak untuk menyembuhkan Kiai.” Ki Sumangkar tersenyum. Katanya, “Aku sangat berterima kasih kepada segala pihak. Kepada gurumu. Kiai Gringsing yang telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meringankan penderitaanku. Kepada Ki Demang di Sangkal Putung. Kepada saudara seperguruanmu dan isterinya kepada Sekar Mirah yang telah merawat aku dengan sebaik-baiknya selama aku sakit.” “Kiai akan sembuh.“ potong Agung Sedayu. Tetapi Ki Sumangkar tersenyum pula. Dengan suara tertahan ia berkata, “Jangan seperti kanak-kanak Agung Sedayu, seolah-olah kita dapat menahan putaran janji tentang diri kita sendiri. Tetapi itu bukan berarti bahwa aku tidak mau berusaha. Aku masih tetap minum dan makan semua obat untukku. Memang segalanya dapat terjadi. Dan aku akan menerima apa saja dengan hati yang lapang.” Agung Sedayu menarik nafas dalam dalam, ia merasa benar-benar dihadapkan pada seorang yang seolah-olah telah mapan dalam perjalanan terakhir dari hidupnya. Jika ia mengenang sikap Ki Sumangkar dipeperangan yang seakan-akan merupakan hantu penyebar maut, maka ketika maut itu sendiri datang mendekat, ia sama sekali tidak meronta. “Ia adalah segirang yang telah memahami arti hidupnya,“

berkata Agung Sedayu didalam hatinya, “bahkan akhirnya ia harus kembali ketempatnya yang abadi. Dengan sadar ia melihat dirinya yang singgah di kefanaan ini. Seperti ia pernah datang, maka ia akan pergi.” Agung Sedayu mengangkat wajahnya yang tertunduk ketika ia mendengar Ki Sumangkar berkata, “Sudahlah. Sekarang berceriteralah tentang dirimu. Tentang Tanah Perdikan Menoreh dan tentang Mataram.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling, dilihatnya wajah-wajah yang tegang didalam bilik itu. Sejenak ia berdiam diri. Namun kemudian katanya, “Semuanya dalam keadaan baik Kiai. Tanah Perdikan Menoreh dalam keadaan baik. Matarampun dalam keadaan baik.” “Sukurlah. Semuanya baik.“ namun kemudian nada suaranya menjadi dalam, “tetapi kau datang sendiri tanpa Ki Waskita.” Agung Sedayu bergeser sedikit. Jawabnya, “Ketika aku pergi ke Mataram dari Tanah Perdikan Menoreh, Ki Waskita sudah mendahului kembali kepadukuhannya Kiai. Ia merasa sudah terlalu lama meninggalkan sanak keluarganya.” Kí Sumangkar tersenyum, “Ya. Ia mempunyai anak isteri. Memang sebaiknya ia pulang kerumahnya. Rumah bagi Ki Waskita ada artinya, karena ia adalah seorang yang hidup seperti kelajiman orang kebanyakan.” Agung Sedayu melihat mata yang cekung itu menjadi redup. Namun hanya sesaat, karena Ki Sumangkarpun kemudian berkata, “Kau tentu belum beristirahat, Agung Sedayu. Beristirahatlah.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia masih tetap duduk ditempatnya, sehingga Kiai Gringsinglah yang kemudian berkata, “Marilah Agung Sedayu. Kecuali kau perlu beristirahat, maka Ki Sumangkarpun perlu beristirahat pula.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian minta diri untuk keluar dari bilik Ki Sumangkar. Namun Kiai Gringsingpun menyuruhnya untuk benar-benar beristirahat. Membersihkan diri dan kemudian makan sekedarnya. Orang-orang Sangkal Putung itupun telah mendengar ceriteranya tentang empat orang yang mencarinya di Mataram, dan tanpa dikehendakinya, mereka semuanya telah terbunuh oleh kemarahan para pengawal, karena mereka telah lebih dahulu membunuh beberapa orang pengawal dan melukainya yang lain. Sementara itu, orang-orang di Sangkal Putung itupun bersetuju untuk memberikan kabar kepada Widura di Jati Anom. Selain Widura juga mengenal Ki Sumangkar dengan baik. ia akan tahu pula

alasannya kenapa Agung Sedayu tidak segera kemali. Sementara itu, ketika malam tiba. orang-orang di Kademangan Sangkal Putung bagaikan tidak dapat tidur nyenyak. Terutama mereka yang berada dirumah Ki Demang. Berganti-ganti mereka menunggu Ki Sumangkar yang dalam keadaan gawat. Agung Sedayu yang ikut menungguinya pula telah menjadi sangat cemas melihat keadaan orang tua itu. Tetapi nampaknya Ki Sumangkar gembira atas kehadiran Agung Sedayu. Ia minta Agung Sedayu menceriterakan keadaan Tanah Perdikan Menoreh. Orang tua itu minta agar Agung Sedayu berceritera tentang keadaan rakyatnya, sawah dan pategalannya dan ketenangan hidupnya. Demikian juga tentang Mataram. Sambil mendengarkan ceritera Agung Sedayu. Ki Sumangkar kadang-kadang tersenyum, kadangkadang mengerutkan dahinya. Namun ketika Agung Sedayu duduk sendiri didalam bilik Ki Sumangkar, maka orangtua yang sudah sangat lemah itu sempat memberikan beberapa petunjuk kepadanya. “Sekar Mirah adalah gadis yang keras hati,” berkata Ki Sumangkar hampir berbisik, “jika hatimu keras pula. maka didalam ikatan perkawinan kelak akan banyak sekali terjadi benturan-benturan dan persoalan-persoalan yang akan berpatahan. Untunglah kau mempunyai sifat yang lain Agung Sedayu. Mudah-mudahan kau berhati seluas lautan. Tetapi itu bukan berarti bahwa kau tidak boleh menentukan sifat. Jika perlu kau sekali-sekali harus bersikap keras pula terhadapnya.” Agung Sedayu menunduk. Ia mengerti sepenuhnya maksud Ki Sumangkar. Iapun kadang-kadang lelah dibayangi oleh kecemasan tentang sifat-sifat Sekar Mirah. Namun Ki Sumangkar berkata selanjutnya, “Tetapi Agung Sedayu. sifat-sifat keras hati itu akan dapat bermanfaat pula bagi masa depannya dan sudah barang tentu masa depanmu. Jika Sekar Mirah dapat menyalurkan kekerasan hatinya menurut jalan kebenaran, maka ia akan menemukan hari depan yang cerah. Dan adalah kewajibanmu untuk memagari kekerasan hatinya yang tersalur menurut jalan kebenaran.” Masih banyak yang dikatakan oleh Ki Sumangkar. Namun jika ada orang lain yang memasuki bilik itu, maka iapun terdiam dan berbaring tanpa mengucapkan sepatah katapun. Apalagi jika yang datang Sekar Mirah sendiri. Tetapi jika mereka telah meninggalkan bilik itu, Ki Sumangkar melanjutkan pesan-pesannya kepada Agung Sedayu sebagai bekal hidupnya dimasa depan. “Aku juga sudah memberikan banyak nasehat kepada Sekar Mirah,” berkata Ki Sumangkar, “tetapi ia harus selalu diperingatkan setiap kali. Dan itu adalah tugasmu, karena aku tidak akan dapat membantumu lagi.” Agung Sedayu mennandang wajah orang tua itu. Ia sangat berterima kasih atas segala pesan-pesannya.

Tetapi iapun menyadari, bahwa Ki Sumangkar harus banyak beristirahat. Karena itu. maka dengan hati-hati ia kemudian berkata, ”Kiai. Aku sangat senang mendengar petunjuk-petunjuk Kiai. Tetapi aku mohon Kiai untuk dapat beristirahat agar keadaan Kiai menjadi bertambah baik.” Ki Sumangkar tersenyum. Katanya, ”Kau tentu mendapat pesan dari gurumu. Kiai Gringsing selalu memperingatkan aku, agar aku banyak beristirahat dan tidur. Akupun selalu melakukannya. Istirahat, tidur, menenangkan hati dan tidak memikirkan apa-apa.” Agung Sedayu termenung memandanginya. “Tetapi aku tidak mau kehilangan kesempatan. Kau dan Sekar Mirah tentu akan segera kawin. Aku berharap bahwa perkawinanmu akan menjadi baik.” Ki Sumangkar berhenti sejenak, lalu. ”kau dapat melihat perkawinan Swandaru dan Pandan Wangi. Swandaru adalah seorang anak muda yang berhati sekeras baja. Bahkan kadang-kadang didalam sikap sehari-hari, kekerasan hatinya itu nampak pula. Tetapi Pandan Wangi adalah seorang perempuan yang lembut dan sabar. Meskipun aku tidak tahu, siapakah yang lebih cakap mempergunakan senjata diantara mereka, tetapi Pandan Wangi selalu menempatkan diri sebagai seorang isteri yang baik. Karena itulah, maka hubungan diantara merekapun nampak tenang dan tanpa kemelut.” Agung Sedayu mengangguk kecil. “Meskipun keadaanmu berbeda,” Ki Sumangkar meneruskan, “tetapi pada dasarnya dapat ditempuh keseimbangan yang serupa. Pandan Wangi adalah seorang isteri, dan kau akan menjadi seorang suami. Kedudukanmu berbeda dengan kedudukan Pandan Wangi. Tetapi hubungan yang baik akan dapat kau bina dengan sifat-sifat yang lembut. Dan kau adalah seorang yang lembut hati.” Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Namun ia menjadi cemas bahwa dengan demikian Ki Sumangkar telah berbuat kesalahan karena ia terlalu banyak berbicara. Untunglah, Kiai Gringsing kemudian memasuki bilik itu dan duduk bersama Agung Sedayu menungguinya, sehingga Ki Sumangkarpun menjadi lebih banyak diam dan mencoba untuk memejamkan matanya. Dalam keadaan yang bagaimanapun juga. Ki Sumangkar tidak pernah menolak untuk minum segala macam obat yang diberikan oleh Kiai Gringsing. Iapun tidak menolak obat apapun yang dilekatkan pada luka-lukanya. Namun demikian, meskipun luka-luka dikulit dan dagingnya berangsur baik. tetapi keadaannya benarbenar menjadi semakin gawat. Dan Kiai Gringsing tidak lebih dari seorang manusia biasa. Ia tidak

dapat berbuat melampaui kemampuan dan kuasa yang dilimpahkan kepa danya oleh Sumber segala Kekuasaan. Yang kemudian datang di Sangkal Putung lewat tengah malam adalah Ki Widura. Bahkan sekaligus dengan Untara yang diberitahukannya pula. Bersama mereka selain para pengawal adalah seorang anak muda yang bertubuh kecil. Glagah Putih." Glagah Putih yang sudah rindu kepada Agung Sedyu itupun segera memeluknya dan berkata, ”Kau terlalu lama pergi kakang. Aku kira kau tidak lagi ingin kembali kepadepokan kecil itu.” Agung Sedayu menepuk bahu adiknya. Terasa sesuatu tergetar dihatinya. Namun kemudian ia menjawab, “Tentu tidak Glagah Putih. Aku tidak akan melupakan padepokan kecil itu. Tetapi seperti yang kau lihat, bahwa ada sesuatu yang menghambat rencanaku kembali.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Ketika ia melepaskan kakak sepupunya. maka iapun kemudian melihat Untara yang berdiri tegak sambil memandang wajah Agung Sedayu dengan tajamnya. Agung Sedayupun menjadi berdebar-debar. Ketika Ki Demang mempersilahkan tamu-tamunya untuk duduk dipendapa, rasa-rasanya Untara masih saja selalu memandanginya. Dalam kegelisahan itulah, maka iapun kemudian duduk dibelakang kakaknya bersama Glagah Putih, sementara Untara dan Widura duduk berhadapan dengan Ki Demang. Sejenak mereka saling memperbincangkan keselamatan masing-masing seperti kebiasaan mereka. Baru kemudian Ki Demang memberikan kesempatan kepada Kiai Gringsing untuk mengatakan tentang keadaan Ki Sumangkar. “Apakah kami dapat bertemu?“ bertanya Widura. Kiai Gringsing mengangguk. Jawabnya, “Tentu. Ki Sumangkar merasa gembira jika ia melihat seseorang menjenguknya meskipun setiap kali ia mengetahui bahwa kami akan memberitahukan tentang sakitnya kepada seseorang ia selalu berusaha mencegah.” Ki Widura mengangguk-angguk. Kemudian sambil memandang Untara ia berkata, “Marilah. Mudahmudahan Ki Sumanggkar tidak terkejut justru karena kita datang disaat yang asing bagi sebuah kunjungan.” Untarapun kemudian mengikuti pamannya pergi ke bilik Ki Sumangkar. Sekar Mirah yang sedang menunggui gurunya, kemudian melangkah keluar ketika ia mengetahui beberapa orang tamu datang kepintu bilik itu. “Apakah gurumu sedang tidur?“ bertanya Ki Demang.

Sekar Mirah menggeleng. Dengan suara parau ia menjawab perlahan-lahan, “Guru jarang sekali dapat tidur nyenyak. Ia baru saja minum beberapa teguk.” Kiai Gringsingpun kemudian menyahut, “Baiklah, biarlah aku sampaikan kepadanya, bahwa ada beberapa orang tamu datang dari Jati Anom.” Untara dan Widurapun kemudian dipersilahkan masuk. Glagah Putih yang termangu-mangu dipintupun kemudian melangkah masuk ketika Agung Sedayu menggamitnya. Sumangkar tersenyum melihat kedatangan Widura dan Untara. Sepercik kegembiraan memang nampak diwajahnya. Kunjungan itu memang sangat menggembirakanya. Orangorang yang semula berdiri berseberangan pada saat Pajang dan Jipang bermusuhaan. namun kemudian, telah lama pula bekerja-bersama untuk menegakkan Pajang, ternyata tidak melupakannya. Mereka memerlukan datang menengoknya saat ia sakit. Widura yang kemudian duduk disamping pembaringan itupun mengusap kaki Ki Sumangkar yang dingin. Beberapa patah kata Ki Widura bagaikan menggugah hati Ki Sumangkar. Namun ia adalah orang yang memiliki penglihatan yang tajam tentang keadaannya sendiri, sehingga iapun tidak akan dapat lari dari kenyataan tentang keadaannya yang gawat. Sambil tersenyum Ki Sumangkar berkata, “Aku memang belum terlalu tua. Mungkin umurku tidak terpaut banyak dari Kiai Gringsing. Atau bahkan aku lebih tua satu atau dua tahun, namun jumlah umur bukanlah batas yang memagari umur itu sendiri.” Ki Widura menarik nafas. Ia memang tidak dapat memberikan harapan-harapan yang cerah sekedar untuk menggembirakan hati Ki Sumangkar seperti kepada orangorang yang tidak memiliki pegangan hidup yang kuat. Bahkan seakan-akan dengan terang Ki Sumangkar dapat melihat perjalanan hidupnya yang telah sampai diujung lorong yang panjang dan penuh dengan corak dan ragam pengalaman. Beberapa saat Ki Widura dan Untara masih berbicara tentang berbagai macam persoalan. Namun nampaknya Ki Sumangkar lebih banyak bersikap pasrah. Setelah beberapa lama mereka berada didalam bilik itu, maka keduanyapun kemudian minta diri untuk keluar dari bilik itu. “Beristirahatlah Kiai,“ berkata Untara, “banyak beristirahat agaknya akan banyak memberikan bantuan pulihnya kembali kesehatan seseorang.” Ki Sumangkar tersenyum. Jawabnya, “Terima kasih anakmas Untara. Aku akan mencoba untuk dapat tidur.”

Untara yang kemudian bersama Widura duduk dipendapa, ternyata tidak dapat tinggal di Sangkal Putung terlalu lama. Widura akan tetap tinggal bersama Glagah Putih. Tetapi Untara dan beberapa orang pengawalnya akan segera kembali ke Jati Anom. “Begitu tergesa-gesa?” berkata Kiai Gringsing. “Besok pagi hari aku sudah menentukan rencana perjalanan bersama beberapa orang perwira,“ berkata Untara, “karena itu. aku perlukan datang sekarang agar aku tidak menyesal jika perjalanan hidup Ki Sumangkar memang sudah sampai kebatas.” “Ah.” desah Agung Sedayu. Tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya. Untara mengerutkan keningnya. Tetapi ia kemudian melanjutkan kata katanya, “Tentu kita semua berharap agar ia sembuh. Tetapi kita menyadari, apa yang dapat kita lakukan jika kehendak Yang Maha Kuasa memang telah menentukan batas itu.” Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Untara kemudian meminta diri. Ia akan kembali dan harus berada di Jati Anom sebelum matahari naik. Tidak ada seorangpun yang dapat mencegahnya. Swandaru hanya dapat memandanginya dengan kening yang berkerut, tetapi ia sama sekali tidak mencoba untuk menunda perjalanan Untara. “Biar saja ia kembali ke Jati Anom.“ katanya didalam hati. Agung Sedayupun tidak dapat mencegahnya. Namun hatinya berdesir ketika Untara justru berbisik, ”Aku sudah mendengar apa yang terjadi di lembah itu.” Jantung Agung Sedayu serasa berdentangan. Sekilas dilihatnya wajah kakaknya yang berkerut. Namun segera ia memalingkan wajahnya dan menunduk dalam-dalam. “Kau adalah seorang pahlawan,” berkata kakaknya, “tetapi pahlawan yang tidak mempunyai arti, karena bukan namamulah yang akan berkembang di Pajang. Tetapi nama orang lain. Meskipun dalam dua ujung pengertian. Baik dan buruk. Prajurit-prajurit Pajang mempunyai penilaian yang berbeda terhadap sikap yang pernah kau lakukan itu. Tetapi prajurit yang mengetahui hal itupun masih sangat terbatas. Aku mencoba untuk mencegah menjalarnya berita tentang pertempuran dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Aku ingin tahu pasti apakah alasan dari pertumpahan darah itu. Dan aku yakin, kau akan dapat berceritera tentang hal itu, karena kau terlibat didalamnya.”

Keringat dingin mulai membasahi punggung Agung Sedayu. Ia adalah seorang yang disegani dipeperangan, betapa ia sendiri menjadi kabur melihat dirinya. Tetapi dihadapan kakaknya rasarasanya ia masih saja Agung Sedayu yang kecil, cengeng, dan tergantung pada kakaknya itu. Tetapi agaknya Untarapun tidak sempat berbicara terlalu banyak. Beberapa orangpun kemudian telah mendekatinya untuk mengantarkannya sampai kepintu gerbang. “Terima kasih atas kunjungan ini,“ berkata Kiai Gringsing. Untara memandang orang tua itu sejenak. Namun kemudian nampak senyumnya yang jarang itu. Katanya, “Mudah-mudahan aku masih sempat datang dan bertemu dengan Ki Sumangkar dalam keadaan yang lebih baik.” “Mudah-mudahan. Kita akan berusaha dalam ketergantungan atas kehendak Sumber dari Hidup ini.” “Jika aku belum mempunyai rencana yang penting, aku tentu akan tinggal lebih lama,” berkata Untara selanjutnya. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Masih ada waktu. Besok atau lusa.” “Aku akan memerlukannya,“ desis Untara sambil melangkah mendekati kudanya. Namun langkahnya tertegun ketika ia mendengar suara seorang gadis dari kegelapan oleh bayangan orang-orang yang mengerumuninya, “Terima kasih kakang Untara.” Untara mengerutkan keningnya. Yang dilihatnya adalah Sekar Mirah dibelakang Agung Sedayu. Meskipun wajahnya hanya nampak remang-remang dalam bayangan cahaya obor yang jauh, namun Untara seolah-olah melihat jelas, bahwa wajah itu adalah wajah yang suram, pucat dan sedih. “Jangan terlalu bersedih Mirah,” berkata Untara seakan-akan diluar sadarnya, “gurumu bukan seseorang yang mudah menyerah menghadapi keadaan. Ia akan berjuang untuk mengatasi kesulitan jasmaniahnya.” Sekar Mirah tidak menjawab. Namun ketika kepalanya tertunduk, terdengar isaknya tertahan. Untara tertegun sejenak. Ia selama ini menganggap Sekar Mirah sebagai seorang gadis yang telah merampas kepribadian adiknya, sehingga Agung Sedayu tidak dapat melakukan pilihan lain kecuali berada di Sangkal Putung. Meskipun kemudian adiknya membuka padepokan kecilnya, namun ternyata ia lebih banyak berada diluar padepokan itu bersama gurunya dan Sekar Mirah. Tetapi ketika ia melihat Sekar Mirah terisak, maka seolah-olah ia melihat gadis itu sebenarnyalah seorang gadis. Saat-saat Sekar Mirah menangis, nampaknya ia lebih luruh daripada saat-saat ia mengangkat wajahnya sambil memegang hulu pedang dilambungnya, atau terlebih-lebih lagi saat ia

menggenggam tongkat baja putih dengan kepala tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan. Namun Untara tidak mengatakan sesuatu lagi. Iapun kemudian melangkah pula kekudanya, yang sudah disiapkan oleh pengawalnya. Sejenak kemudian, maka Untara dan para pengawalnya telah siap untuk meninggalkan Kademangan Sangkal Putung. Ketika ia mengangkat wajahnya memandang kelangit, maka bintang masih nampak gemerlapan tersebar diseluruh bentangan yang bagaikan menyelubungi seluruh bumi. “Kami mohon diri,“ sekali lagi Untara berkata kepada Ki Demang. Tetapi sebelum Ki Demang menjawab, orang-orang yang berdiri diregol itu terkejut. Lamat-lamat terdengar derap kaki kuda. Semakin lama menjadi semakin dekat. “Sekelompok orang-orang berkuda,” berkata Untara. “Ya,“ sahut Agung Sedayu. “Siapakah mereka itu kira-kira?“ bertanya Untara. Agung Sedayu tidak menjawab, tetapi iapun agak bimbang. Apakah mereka termasuk orang-orang yang sedang mencarinya. Sementara dendam mereka semakin menyala karena beberapa orang kawannya telah terbunuh di Mataram. Dengan pasukannya mereka telah mengejarnya sampai ke Sangkal Putung. Tetapi jika benar demikian, mereka akan mengalami nasib yang sangat buruk. Disini ada kakang Untara dan beberapa orang pengawal terpilihnya. Prajurit-prajurit Pajang dapat dibanggakan. Sementara ada beberapa orang tua yang disegani dan para pengawal dari Kademangan Sangkal Putung sendiri,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Namun justru karena itu, maka kegelisahanyapun bertambah-tambah. Kematian-kematian berikutnya akan saling menyusul oleh dendam yang tumbuh dengan suburnya disetiap hati. Dalam keragu-raguan itu, terdengar Kiai Gringsing bertanya, “Apakah kau mempunyai dugaan-dugaan tentang mereka? Kau berceritera tentang orang-orang yang mencarimu di Mataram. Atau barangkali kau mempunyai pertimbangan lain?” Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak tahu guru. Tetapi ada beberapa kemungkinan dapat terjadi. Mungkin beberapa orang yang ingin mengunjungi Ki Sumangkar yang mereka dengar sakit keras. Tetapi mungkin pula pihak-pihak lain yang tidak kuketahui. “Aku akan menunggu mereka,“ geram Untara kemudian.

Di malam yang sepi terdengar derap kaki-kaki kuda yang mendekati regol itu menjadi semakin jelas. Beberapa orang yang berada diregol itupun menjadi semakin tegang pula. Bahkan beberapa orang diantara para pengawal Kademangan Sangkal Putung telah bergeser keseberang jalan. Sementara yang lain menjauh beberapa langkah di halaman. Untara yang sudah berada'diregol masih tetap ditempatnya. Beberapa orang pengawalnyapun berdiri tegak dengan kesiagaan sepenuhnya Beberapa saat kemudian, maka derap kuda itupun menjadi semakin dekat. Sekelompok orang-orang berkuda itu nampaknya langsung menuju ke Kademangan dalam iring-iringan sepenuhnya. Tetapi dengan demikian, maka kecurigaan orang-orang yang berada diregol itupun menjadi semakin mencair. Jika mereka orang-orang bermaksud buruk, maka mereka tidak akan berkuda langsung menuju ke Kademangan dalam iring-iringan lewat jalan induk seperti orang yang sedang bertamasya. Karena itu, maka dugaan merekapun segera bergeser. Orang-orang berkuda itu tentu sekelompok orang yang telah mendengar keadaan Ki Sumangkar dan akan datang mengunjunginya. “Tetapi siapa? “ pertanyaan itulah yang tumbuh disetiap hati. Sejenak kemudian, maka orang-orang yang berdiri diregol itu mulai melihat bayangan orang-orang berkuda yang mendekai. Semakin lama semakin jelas. Ketika obor diregol itu mulai menyentuh wajah orang yang berkuda dipaling depan, maka terdengar desis hampir setiap orang yang pernah mengenalnya, “Senapati Ing Ngalaga di Mataram.” Beberapa orangpun tiba-tiba saja telah menyibak. Dengan tergesa-gesa mereka memberikan jalan kepada iring-iringan itu. Bahkan Kiai Gringsing pun maju beberapa langkah menyongsongnya diikuti oleh Agung Sedayu. Ternyata Raden Sutawijaya telah datang bersama Ki Juru Martani dan sekelompok pengawal yang kuat. Namun dalam pada itu Untara masih tetap berdiri ditempatnya. Ia sama sekali tidak bergeser. Ketika beberapa orang menyongsongnya. Ia bahkan menyerahkan kendali kuda yang telah diterimanya kepada pengawalnya. Kiai Gringsing yang menyongsong Raden Sutawijayapun segera memberikan salam kepadanya. Anak muda itupun dengan tergesa-gesa telah meloncat turun diikuti oleh Ki Juru Martani dan para pengawalnya. Setelah menyerahkan kendali kudanya kepada pengawalnya, maka Raden Sutawijayapun dengan nada

yang cemas bertanya, “Bagaimana keadaan Ki Sumangkar?” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian tanpa menjawab pertanyaan itu, “Marilah Raden. Silahkan.” Raden Sutawijaya memandang beberapa orang lain yang menyongsongnya. Diantara mereka adalah Ki Demang Sangkal Putung dan Swandaru. Tetapi ketika Raden Sutawijaya maju beberapa langkah, dadanya berdesir. Dimuka regol ia melihat seorang anak muda yang sebaya dengan umurnya berdiri tegak bagaikan sebatang tonggak yang terhunjam dalam-dalam ditanah tempat ia berdiri. Sejenak keduanya saling berpandangan. Pertemuan yang tidak disangka sebelumnya, nampaknya telah mengejutkan keduanya, sehingga untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri. Namun dalam pada itu, Widura yang berdiri dekat Untara segera memecahkan ketegangan itu. Katanya, “Kami mengucapkan selamat atas kehadiran Raden Sutawijaya beserta para pengiring di Kademangan Sangkal Putung ini.” Raden Sutawijaya masih termangu-mangu. Ki Juru Martanilah yang menjawab sambil tersenyum, “Ki Widura. Kami semuanya selamat diperjalanan!. Setelah lama tidak bertemu, nampaknya Ki Widura justru menjadi semakin muda.” Ki Widurapun tersenyum pula. Sambil berpaling kepada kemanakannya ia berkata, “Kunjungan Raden Sutawijaya benar-benar tidak kita duga. Meskipun kemungkinan itu besar sekali, tetapi menurut perhitungan kami barulah besok siang atau bahkan lusa.” Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba mengatasi ketegangan didalam dadanya. Baru kemudian iapun mengangguk sambil berkata, “Kami persilahkan Raden.” Raden Sutawijayapun mulai menguasai dirinya. Bahkan ia mulai bertanya didalam hati, kenapa tibatiba saja ia merasa tegang ketika ia berhadapan dengan Untara, Senapati Pajang yang berkuasa didaerah yang langsung bertentangan wajah dengan Mataram. Karena itu, maka iapun kemudian menjawab, “Terima kasih. Apakah kau sudah lama berada disini?” “Aku datang lewat tengah malam. Kini aku justru sudah akan kembali ke Jati Anom,“ jawab Untara. “Begitu cepat?” “Ya. Kami mempunyai banyak tugas akhir-akhir ini. Kami harus mempergunakan waktu sebaikbaiknya.”

Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dengan nada dalam ia bertanya, “Bukankah keadaan di Jati Anom dan sekitarnya tetap baik?” “Ya Raden. Tetapi akhir-akhir ini kami harus berbuat banyak untuk mengatasi kesulitan-kesulitaan kecil yang timbul karena tingkah laku beberapa orang yang nampaknya lepas dari kepungan pasukan Mataram dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.” Kata-kata itu ternyata telah menggetarkan dada Raden Sutawijaya. Dengan demikian Raden Sutawijaya sadar, bahwa yang dilakukannya itu sebagian telah diketahui oleh Untara, Senapati Pajang yang terpercaya. Namun Senapati nampaknya harus membiarkan Ki Juru Martani menjawab sambil tertawa, “Penjahatpenjahat kecil itu memang sangat mengganggu, itulah maka kami harus berusaha mengunjungi sarangnya. Tapi yang kami ketemukan sama sekali tidak berarti apa-apa.” Untara memandang Ki Juru sejenak. Lalu katanya, “Mungkin memang tidak banyak berarti. Dan agaknya yang terjadi itu tidak banyak menarik perhatian orang-orang Pajang. Tetapi bagi Jati Anom peristiwa itu mempunyai arti tersendiri.” Untara menarik nafas dalam-dalam. Untunglah bahwa cahaya obor agak terlalu lemah untuk menerangi wajah-wajah yang tegang. Wajah Raden Sutawijaya yang merah tertutup oleh bayangan Ki Juru Martani, sehingga menjadi semakin samar. Meskipun Raden Sutawijaya masih dipanasi oleh kemudaannya, tetapi ternyata sikap kepemimpinannya masih mampu menahan gejolak didadanya. Ia masih sempat berpikir panjang dan mencoba mengerti, bahwa yang telah terjadi dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu agaknya benar-benar telah menyinggung perasaan Untara sebagai seorang Senapati Pajang. Itulah sebabnya, maka ia berusaha untuk menahan gejolak darahnya yang mendidih didalam dadanya. Sementara itu, Widura yang berdiri disisi Untara berkata, “Aku menjunjung tinggi pendapat Ki Juru Martani. Kita bukan anak-anak yang takut kehilangan barang mainan yang jatuh di halaman, sehingga akan dipungut oleh orang lain. Kita masih mempunyai junjungan yang bijaksana, yang akan mengatur segalanya tanpa menumbuhkan geseran-geseran yang dapat membuat diri kita terluka.” Untara memandang pamannya sejenak. Namun ia tidak menjawab ketika Widura berkata, ”Jika sebelum fajar, kau harus sudah berada di Jati Anom, pergilah sekarang. Aku akan tinggal disini untuk satu dua hari.” Untara mengangguk lemah. Namun kemudian katanya,

“Baiklah. Aku akan mohon diri.“ Kemudian katanya kepada Raden Sutawijaya, “Silahkan Raden. Ki Sumangkar akan sangat bergembira menerima kunjungan Raden. Mungkin akan dapat memperingan penderitaannya, atau justru mempercepat pemulihan kesehatannya.” “Terima kasih,” jawab Raden Sutawijaya singkat. Untarapun kemudian sekali lagi mohon diri kepada Ki Demang, kepada Kiai Gringsing, kepada adiknya, kepada Sekar Mirah, Swandaru dan Pandan Wangi yang berdiri agak jauh. Sepeninggal Untara, maka dengan tergesa-gesa Ki Demangpun mempersilahkan Raden Sutawijaya memasuki halaman dan langsung naik kependapa. “Aku mohon maaf atas sikap kemanakanku Raden,” berkata Ki Widura. Tetapi yang menjawab adalah Ki Juru, “Ia adalah seorang prajurit pilihan. Ia bertanggung jawab atas daerah ini. Juga daerah yang menurut pengamatannya telah terjadi benturan kekuatan antara para penjahat kecil itu dengan beberapa orang pengawal dari Mataram. Karena itu agaknya ia agak tersinggung.” Ki Widura mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, “Mungkin telah terjadi pertempuran kecil-kecilan. Tetapi Untara mendapat keterangan lain. Pertempuran itu telah melibatkan banyak pihak dengan pasukan segelar sepapan,” tetapi cepat-cepat ia menyambung, “namun bukan maksud kami untuk membicarakannya. Raden adalah tamu Ki Demang Sangkal Putung sekarang ini.” Raden Sutawijaya menjadi tegang. Sekilas ditatapnya wajah Ki Juru Martani. Namun nampaknya Ki Juru masih tetap tersenyum sambil berkata, ”Kami minta maaf anakmas Untara bahwa mungkin yang kami lakukan masih kurang rapi, sehingga justru menimbulkan persoalan tersendiri bagi Jati Anom. Tetapi mungkin itu adalah pertanda bahwa Mataram masih harus banyak belajar, terutama dalam gerakan pasukan seperti yang baru saja dilakukan. Selain memang pasukan pengawal Mataram masih sangat kecil dan lemah.” Jawaban itu ternyata telah menyentuh perasaan Untara. Ia merasa bahwa sikap rendah hati dari orang tua itu sepantasnya dihormati. Namun iapun menyadari, bahwa dengan demikian Ki Juru justru menyatakan kebanggaannya atas pasukan pengawal Mataram. Karena itu, maka Untarapun kemudian berkata, ”Baiklah. Mungkin masalah orang-orang yang bersarang dilembah itu akan merupakan bahan pembicaraan dikesempatan lain. Aku berkepentingan, karena aku adalah Senapati Pajang didaerah ini. Sementara Raden Sutawijayapun telah mendapat pengangkatan resmi sebagai Senapati Ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram, meskipun daerah wewenangnya masih belum jelas.” “Aku adalah Senapati Ing Ngalaga, putera Sultan Hadiwijaya. Sebagai seorang prajurit, maka kedudukanku jelas. Aku Senapati tertinggi dalam wilayah kekuasaan ayahanda Sultan. Aku adalah

Panglima yang akan menerima wewenang pelimpahan kekuasaan keprajuritan dari ayahanda Sultan Pajang.” “Tetapi gelar Senapati Ing Ngalaga belum menyebutkan daerah wewenang dan jenjang kepangkatan dalam keprajuritan Pajang. Berbeda dengan ayahanda Raden. Ki Gede Pemanahan, yang menjabat sebagi Panglima tertinggi prajurit Pajang, yang justru jabatan itu telah diletakkannya karena Ki Gede Pemanahan lebih senang membuka hutan Mentaok.” Wajah Raden Sutawijaya menjadi tegang. Bahkan semua orang yang berada dihalaman itu menjadi tegang. Pertemuan yang tidak disangka-sangka itu ternyata telahmenimbulkan persoalan tersendiri. Namun agaknya Ki Juru masih tetap tersenyum. Katanya, ”Kau benar Untara. Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga masih belum mempunyai kedudukan, daerah wewenang dan jenjang kepangkatan yang tegas. Yang pasti Senapati Ing Ngalaga adalah gelai bagi Raden Sutawijaya sebagai putera Sultan Hadiwijaya yang mendapat pengesahan kedudukan di Mataram, dan mendapat anugerah beberapa buah pusaka tertinggi di Pajang. Sedangkan angger Untara adalah jelas Senapati yang mendapat wewenang memimpin semua kekuatan pasukan Pajang di daerah Selatan serta pelimpahan kekuasaan mempergunakan setiap prajurit yang ada dalam tugas keprajuritan. Tetapi hal itu tidak perlu menjadi persoalan yang dapat menumbuhkan ketegangan. Yang masih kurang jelas akan segera dijelaskan, yang masih belum ada akan mendapat perhatian yang lebih banyak dari Sultan Hadiwijaya yang bijaksana.” Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Widura adalah bekas seorang perwira Pajang pula yang bertugas di Sangkal Putung. Meskipun sekilas, namun masih juga nampak sifatnya sebagai seorang prajurit. Agaknya Untara memang benar-benar telah tersinggung oleh peperangan yang telah terjadi dilembah. Sebagai seorang Senapati ia merasa Raden Sutawijaya telah melangkahi kuwajibandan tanggung jawabnya. Bahkan Widura yang sudah tidak lagi menjadi seorang perwira prajurit Pajang, nampaknya masih juga merasa, bahwa yang dilakukan oleh Mataram telah menyinggung perasaan prajurit Pajang di daerah Selatan. Tetapi Raden Sutawijaya sengaja untuk menghalau perasaannya yang juga bergejolak. Iapun sebenarnya tidak senang mendapat perlakuan yang kurang manis itu. Tetapi ia berusaha untuk menahan diri. Ia datang ke Sangkal Putung karena ia mendengar bahwa Ki Sumangkar yang sedang sakit berada dalam keadaan yang gawat. Dengan demikian, maka Raden Sutawijayapun kemudian mencoba untuk menghapus segala kekecewaannya. Ia menanggapi sikap Ki Demang dengan wajah yang cerah. Sejenak ia menjawab pertanyaan-pertanyaan Ki Demang tentang keselamatannya bersama para pengawalnya, seperti kebiasaan yang berlaku.

“Kedatangan Raden memang mengejutkan kami,” berkata Ki Demang, “agaknya kami semuanya tidak menyangka bahwa Raden akan datang malam ini.” Raden Sutawijaya tersenyum. Katanya, “Menurut kedua orang pengawal dari Sangkal Putung yang datang ke Mataram, keadaan Ki Sumangkar benar-benar sudah gawat. Sebenarnya akupun yakin bahwa Kiai Gringsing akan dapat berbuat banyak untuk kesehatan Ki Sumangkar. Namun rasa-rasanya kami tidak dapat menunda keberangkatan kami barang sekejappun. Jika terjadi sesuatu dengan Ki Sumangkar sebelum kami sempat bertemu, maka kami akan menyesal untuk seterusnya.” Kiai Gringsingpun menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Segala usaha sudah aku lakukan. Tetapi aku benar-benar seorang manusia yang picik dan terbatas, sehingga sampai saat ini aku masih belum dapat melawan keadaan Ki Sumangkar.” Ki Juru Martanipun mengangguk-angguk. Teringat olehnya Ki Gede Pemanahan yang telah menghadap Yang Maha Kuasa pula. Tidak kurang usaha yang telah dilakukan untuk melawan penyakit yang mencengkamnya. Tetapi yang dilakukan oleh seseorang adalah sekedar usaha. Akhir dari segalanya memang berada di tangan Yang Maha Kuasa. “Ngger,“ berkata Ki Juru kemudian kepada Raden Sutawijaya, “jika diperkenankan, apakah kita akan menengok Ki Sumangkar sekarang?” Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Sambil memandang kepada Kiai Gringsing ia bertanya, “Apakah hal itu dapat kami lakukan?” Biarlah Agung Sedayu melihat keadaannya,“ berkata Kiai Gringsing. “Jika Ki Sumangkar tidak sedang tidur nyenyak, maka Raden akan dapat menengoknya sekarang.” Agung Sedayupun kemudian pergi ke bilik Ki Sumangkar. Dengan hati-hati ia memasuki pintu bilik yang selalu tidak diselarak. Agung Sedayu mengerutkan keningnya ketika ia mendengar Ki Sumangkar bertanya, “Kau belum tidur Agung Sedayu.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil melangkah mendekat ia menjawab, “Belum Kiai.” “Apakah kakakmu masih disini?” “Kakang Untara sudah kembali ke Jati Anom. Tetapi paman Widura masih berada disini dengan Glagah Putih.” Ki Sumangkar berdesis lembut. Dan Agung Sedayupun melanjutkannya, “Yang kini datang di Sangkal Putung adalah Raden Sutawijaya.”

“Raden Sutawijaya? “ Ki Sumangkar mengulang dengan suaranya yang dalam. “Ya. Ya Kiai.” “Aku sudah mencegah utusan yang dikirim ke Mataram untuk memberitahukan bahwa aku sedang sakit. Aku juga tidak ingin kau menjadi gelisah dan tergesa-gesa. Tetapi agaknya utusan itu sudah berangkat dan bahkan kini Raden Sutawijaya sudah datang di Sangkal Putung.” “Ya Kiai.” “Dan kau sekarang melihat apakah aku sedang tidur atau tidak?” “Ya Kiai.” Ki Sumangkar tersenyum. Katanya, “Aku memang sempat tidur sekejap, sehingga Pandan Wangi yang menungguiku mengira bahwa aku tentu tertidur nyenyak dan kemudian pergi meninggalkan aku. Tetapi ternyata aku hanya tidur sebentar sekali.” “Jika Kiai masih akan beristirahat, biarlah aku sampaikan kepada Raden Sutawijaya agar iapun beristirahat saja dahulu sebelum menemui Kiai.” Ki Sumangkar masih tersenyum. Katanya, “Bawalah anak muda itu kemari. Keadaanku cukup baik untuk menerimanya sekarang.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia tahu benar, bahwa keadaan Ki Sumangkar benar benar gawat. Wajahnya seakan-akan menjadi semakin pucat, sedangkan nafasnya rasa-rasanya menjadi semakin sendat. Tetapi Agung Sedayu tidak mengatakan sesuatu. Ia masih melihat wajah Ki Sumangkar yang dihiasi dengan senyum sambil memandanginya. Sehingga karena itulah, maka iapun kemudian melangkah meninggalkan orang tua itu untuk pergi kependapa. Diluar pintu langkahnya tertegun. Ia melihat Sekat Mirah dan Pandan Wangi yang berdiri termangumangu. “Ki Sumangkar tidak sedang tidur,“ desis Agung Sedayu, “ia sudah aku beritahu bahwa Raden Sutawijaya ada disini sekarang dan ingin menengoknya.“ Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Pandan Wangi kemudian membimbingnya menjauhi pintu bilik itu sambil berkata, “Biarlah Raden Sutawijaya dan beberapa orang mengawani Ki Sumangkar. Pergilah beristirahat dahulu Mirah.” Sekar Mirah tidak menjawab. Iapun tidak menolak ketika Pandan Wangi membimbingnya masuk ke ruang dalam. Sementara itu, Agung Sedayupun segera pergi ke pendapa dan memberitahukan bahwa Ki Sumangkar yang sedang tidur itu sudah mengetahui kehadiran Raden Sutawijaya dari padanya, dan justru merasa

gembira untuk menerimanya. Raden Sutawijaya dan Ki Jurupun kemudian diantar oleh Ki Demang memasuki bilik Ki Sumangkar. Kiai Gringsing berdiri dimulut pintu bersama Agung Sedayu dan Swandaru agar udara didalam bilik tidak menjadi terlalu panas. Secerah kegembiraan nampak diwajah Ki Sumangkar melihat kedatangan Raden Sutawijaya. Namun sebaliknya, wajah Raden Sutawijayalah yang kemudian menjadi muram melihat Ki Sumangkar yang perkasa itu terbaring dengan wajah yang pucat dan tubuh yang nampaknya sangat lemah. Bagaimanapun juga Raden Sutawijaya harus melihat sebab dari keadaan Ki Sumangkar itu. Disaat terakhir Ki Sumangkar bertempur di lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu itu bagi kepentingan Mataram. Dengan demikian, maka ia tidak akan dapat menghindarkan diri dari beban perasaan bahwa Ki Sumangkar mengalami keadaan yang gawat itu karena membela kepentingan Mataram. Raden Sutawijaya yang kemudian duduk disebuah dingklik kayu disebelah pembaringan Ki Sumangkar itupun menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara yang dalam ia bertanya, “Bagaimana keadaan Kiai saat ini?” Ki Sumangkar masih tersenyum. Ia justru bertanya tentang keselamatan perjalanan Raden Sutawijaya, Ki Juru Martani dan pengiringnya. “Perjalanan kami tidak menjumipai kesulitan apapun Kiai,“ jawab Raden Sutawijaya. “Baru saja anakmas Untara berada didalam bilik ini pula.” desis Ki Sumangkar. “Aku bertemu dengan Untara diregol halaman Kademangan ini.” “O,“ Ki Sumangkar mengangguk kecil. Ki Juru yang duduk di dingklik kayu pula meraba tangan Ki Sumangkar yang lemah itu. Terasa tangan itu sangat dingin dan lemah. Bahkan rasa-rasanya tubuh Ki Sumangkar tinggal kulit yang membalut tulang. Namun Ki Sumangkar nampaknya benar-benar orang yang tabah. Meskipun keadaannya nampak sangat gawat, tetapi ia masih saja tersenyum. Seperti ketabahannya dimedan perang. Untuk beberapa saat lamanya Raden Sutawijaya masih berbincang dengan Ki Sumangkar dan sekalisekali Ki Juru mencoba untuk memberikan dorongan dan harapan baginya.

Tetapi setiap kali Ki Sumangkar hanya tersenyum saja. Dan Ki Jurupun memakluminya. bahwa ia tidak dapat memperlakukan Ki Sumangkar seperti kebanyakan orang yang dapat dihiburnya dengan kata-kata yang penuh harapan. Tetapi yang dihadapinya adalah seorang yang memiliki pengetahuan tentang sangkan paraning dumadi. Memiliki kesadaran asal dan arah hidupnya didalam bayangan kekuasaan Yang Maha Kuasa. Sementara Sutawijaya dan Ki Juru berada disamping Ki Sumangkar yang terbaring. Agung Sedayu yang berdiri di muka pintu di luar bilik bersama Kiai Gringsing dan Swandaru untuk beberapa saat termangu-mangu. Agung Sedayu nampak gelisah dan ragu-ragu. Setiap kali ia memandang gurunya yang berdiri bersandar uger-uger. Namun kemudian sambil menarik nafas ia berpaling memandangi kegelapan. Namun akhirnya ia bergeser mendekat sambil berkata dengan suara yang dalam tersendat-sendat, “Guru, apakah tanggapan guru terhadap sikap kakang Untara tentang pertempuran dilembah itu?” Kiai Gringsing memandang Agung Sedayu sejenak. Namun kemudian iapun menarik nafas dalamdalam. Swandaru yang juga mendengar pertanyaan itupun kemudian berdesis, “Kenapa kita harus memikirkannya? Jika ia bertanya, kita akan menjelaskan seperti apa yang terjadi. Ia tidak akan berbuat apa-apa.” “Sst,” desis Kiai Gringsing, “jangan terlalu keras. Aku ingin pembicaraan ini tidak mengganggu kunjungan Raden Sutawijaya.” Swandaru mengerutkan keningnya, namun iapun kemudian berdesis, “Raden Sutawijaya berhak berbuat sesuatu bagi kesejahteraan Mataram. Termasuk menemukan kembali pusaka-pusaka yang hilang itu.” “Benar Swandaru,“ sahut gurunya, “tetapi kita sebaiknya ikut menjaga ketenangan hubungan yang tegang antara Pajang dan Mataram. Apa salahnya jika kita berhati-hati dalam sikap dan ucapan.” Swandaru mengangguk-angguk kecil meskipun sebenarnya ia tidak menganggap begitu penting untuk berhati-hati seperti yang dimaksud oleh gurunya. Jika Untara sudah mendapatkan keterangan tentang pertempuran itu, maka apa lagi yang perlu disembunyikan. Dalam pada itu Kiai Gringsing berkata, “Untara mungkin memang sudah mengetahui peristiwa di lembah itu. Tetapi ia tentu belum mengetahui alasan yang sebenarnya, karena pertempuran itu terjadi. Sudah barang tentu kita tidak akan berceritera tentang pusaka-pusaka yang hilang dari Mataram itu, dan barangkali juga tidak perlu menyebut adanya beberapa orang perwira dan prajurit Pajang yang berada di lembah itu, apalagi menyebut nama Ki Tumenggung Wanakerti. Jika kelak Untara mengetahui juga hal itu lewat jalur lain, lewat beberapa orang petugas keprajuritan Pajang, itu terserah saja.” “Tetapi mungkin justru keterangan tentang hal itu sudah diputar balik kebenarannya guru.“ desis Swandaru.

“Memang mungkin sekali. Banyak kemungkinan yang dapat terjadi. Aku kira, kita akan memperbincangkannya lebih dalam. Untunglah bahwa Raden Sutawijaya kini berada disini. Kita akan sempat berbicara tentang hal itu, sebelum pada suatu saat Agung Sedayu dipanggil oleh Untara untuk memberikan keterangan mengenai pertempuran dilembah itu.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia memang sudah membayangkan, bahwa ia akan mengalami kesulitan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Untara yang tentu akan ditujukan pertama-tama kepadanya. Agaknya kakaknyapun sudah mengetahui, bahwa ia telah membunuh dan melukai beberapa orang dalam pertempuran itu. Namun bagaimanapun juga terasa kegelisahan hati Agung Sedayu selalu mengganggunya. Bahkan kadang-kadang terbersit juga penyesalan bahwa ia sudah terlibat kedalam persoalan-persoalan yang tidak dikehendakinya. Pembunuhan demi pembunuhan terjadi diluar kehendaknya sendiri seakan-akan ia didorong saja masuk kedalam mulut lorong yang penuh dengan genangan darah. Dalam pada itu. Raden Sutawijaya. Ki Juru Martani yang ditunggui oleh Ki Demang masih berbicara didalam bilik. Bahkan kemudian Ki Juru telah memanggil Kiai Gringsing untuk ikut serta berbicara bersama mereka. Meskipun keadaan Ki Sumangkar nampak parah, tetapi wajahnya yang pucat itu selalu nampak tersenyum. Seakan-akan ia tidak merasakan betapa berat penanggungan sakitnya. Bahkan sekali-kali ia masih juga sempat berkelakar dan tertawa. Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani menyadari bahwa Ki Sumangkar seharusnya banyak beristirahat. Karena itu merekalah yang berusaha membatasi pembicaraan. Namun ketika mereka minta diri untuk keluar dari dalam bilik itu, Ki Sumangkarlah yang menjadi kecewa. “Aku tidak akan segera kembali malam ini,“ berkata Raden Sutawijaya, “besok siang aku masih akan memasuki bilik ini.” Ki Sumangkar mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Apakah fajar masih jauh?” Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Kemudian dengan suara yang dalam ia menjawab, “Ayam jantan sudah berkokok lewat tengah malam. Sebentar lagi kita akan sampai keujung malam ini.” Ki Sumangkar tersenyum. Terdengar suaranya tensendat, ”Rasa-rasanya malam ini terlalu panjang. Betapa cerahnya matahari terbit diesok pagi.” “Kita sudah jauh melewati tengah malam. Kita sudah berada diawal hari yang baru. Tetapi matahari belum menampakkan cahayanya.” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Nampak sepercik ketegangan diwajahnya. Perlahan-lahan ia

mendekati Ki Sumangkar. Seolah-olah diluar sadarnya ia merasa pergelangan kaki orang tua yang terbaring lemah itu. “Kaki ini masih cukup hangat,” berkata Kiai Gringsing didalam hatinya. “Nampaknya segalanya masih berjalan wajar. Seandainya keadaan Ki Sumangkar bertambah gawat, namun masih dapat menguasai segalanya.” Meskipun demikian, sepercik kecemasan telah melonjak dihati Kiai Gringsing. Ia tidak tahu. apakah sebenarnya yang akan terjadi. Tetapi rasa-rasanya perasaannya telah terguncang oleh kegelisahan. Pada saat yang sama, Ki Waskita yang berada dirumahnya, telah terkejut dan terlonjak dari tidurnya. Sejenak ia duduk tepekur sambil mengusap keringatnya yang dingin ditengkuknya. Isterinya yang terbangun pula dari tidurnya dengan cemas bertanya, “Ada apa Kakang?“ Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Pengenalnya atas keadaan disekelilingnya kadang-kadang membuatnya gelisah. Ia harus ikut memikirkan persoalan-persoalan orang lain yang kadang-kadang tidak bersangkut paut sama sekali dengan keluarganya dan tidak ada hubungannya dengan jalan hidupnya sekeluarga. Dan kegelisahan yang serupa itu tiba-tiba telah membangunkannya dari tidurnya. Meskipun isterinya sudah sering melihat kegelisahan yang tiba-tiba membayang diwajah suaminya, namun setiap kali ia masih selalu bertanya apakah yang sedang dilihat dalam pandangan mata jiwanya. Ki Waskitapun kemudian duduk sambil menyilangkan tangannya. Ia mencoba menjelajahi setiap sudut pandangan jiwanya didalam bayang-bayang isyarat yang kadang-kadang samar-samar dan kabur. Namun wajahnya yang kemudian menegang, menjadi basah oleh keringat dinginnya yang mengalir dengan derasnya. “Ki Sumangkar,“ desisnya. “Kenapa dengan Ki Sumangkar?“ bertanya isterinya. Ki Waskita menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak jelas melihat keadaannya. Tetapi ia dalam keadaan yang gawat.” “Apakah ia mengalami kesulitan?” “Ia terluka parah ketika terjadi benturan kekuatan di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Anakmas Agung Sedayu telah berhasil menyelamatkannya. Tetapi luka-lukanya cukup gawat. Menurut perhitunganku, luka-lukanya itu tidak akan cepat sembuh. Dan dalam penglihatanku, keadaan Ki Sumangkar sangat mencemaskan.”

“Jadi?“ bertanya isterinya. Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebenarnya aku tidak ingin segera pergi lagi.” “Jika kau perlu menengoknya, pergilah. Tetapi jangan terlalu lama,“ berkata isterinya, “dan pesanlah agar Rudita tidak pergi kemanapun lagi sebelum kau kembali.” Ki Waskita mengangguk kecil. Katanya kemudian, “Besok pagi-pagi benar aku akan berangkat. Aku akan singgah sebentar di Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh. Malam hari aku sudah berada di Sangkal Putung.” Dikelanjutan malam itu. Ki Waskita sama sekali tidak dapat memejamkan matanya lagi. Dalam kegelisahan iapun kemudian justru keluar rumah dan menengadahkan kepalanya kelangit, memandang bintang-bintang yang masih gemerlapan dilangit. Namun nampaknya sebentar lagi fajar akan segera menyingsing. Dalam pada itu di Sangkal Putungpun seakan-akan tidak ada lagi orang yang sempat tidur. Sekar Mirah yang dibimbing masuk oleh Pandan Wangi mencoba berbaring dipembaringannya. Tetapi matanya sama sekali tidak dapat dipejamkan. Ki Sumangkar adalah gurunya. Dan ia adalah satu-satunya muridnya. Itulah sebabnya, maka seakan-akan ia merasa berkewajiban sepenuhnya. Ketika langit menjadi merah oleh cahaya fajar dan ayam berkokok yang terakhir kalinya malam itu, Ki Sumangkar mengerutkan keningnya. Yang menungguinya saat itu adalah Agung Sedayu yang gelisah, yang duduk di atas dingklik kayu di sudut ruangan. “Agung Sedayu,“ desis Ki Sumangkar, “kau dengar ayam jantan berkokok?” “Ya Kiai,“ jawab Agung Sedayu sambil bergeser mendekat. “Itu pertanda bahwa hari baru akan datang.” “Ya Kiai.” “Dan umurku masih akan bertambah dengan sehari lagi.” “Ah,“ desis Agung Sedayu, “Kiai masih akan melihat saat-saat matahari terbit dihari-hari berikutnya. Ki Sumangkar tertawa. Katanya, “Agung Sedayu. Aku sama sekali tidak cemas melihat kenyataanku sekarang ini. Justru aku sadar, betapa kecilnya seseorang dihadapan Yang Maha Kuasa. Dan akupun pasrah, kapan aku harus menghadapNya.” Agung Sedayu termangu-mangu. Tetapi ketika ia akan berbicara Ki Sumangkar mendahuluinya, “Mungkin orang lain perlu kata-kata penghibur, seolah-olah maut masih akan menjauhinya. Tetapi

maut bagiku bukan sesuatu yang mencemaskan. Karena aku tahu, jika saatnya datang, tidak seorangpun akan dapat menghindar. Apakah ia orang tua seperti aku. Apakah ia anak muda yang perkasa. Apakah ia seorang perantau atau seorang Maharaja yang bijaksana.” Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. “Agung Sedayu,“ berkata Sumangkar kemudian, “bukalah pintu bilik ini. Aku ingin melihat, apakah cahaya fajar hari ini cukup cerah.” Seolah-olah diluar sadar Agung Sedayupun kemudian berdiri dan membuka pintu. Udara yang dingin memercik diwajahnya dan menyusup kedalam bilik itu. “Segarnya udara pagi,“ berkata Ki Sumangkar. Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi untuk beberapa saat iapun tiba-tiba telah terpukau oleh warnawarna merah yang membayang di langit. Ketika ia melangkah kepinggir serambi gandok, maka iapun melihat bintang-bintang yang menjadi semakin suram. Pada saat itu, seekor kuda berderap dengan lajunya menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Ki Waskita yang gelisah berpacu meninggalkan rumahnya setelah ia berpesan kepada anaknya, agar ia tidak meninggalkan ibunya. “Kau memang sudah cukup dewasa untuk menentukan jalan hidupmu sendiri,“ berkata Ki Waskita sebelum ia berangkat, “jika aku menahanmu agar kau tetap dirumah. bukan berarti aku mencoba membatasi tingkah laku yang kau yakini itu. Tetapi semata-mata untuk kepentingan ibumu.” Rudita mengangguk. Jawabnya, “Aku akan tinggal dirumah ayah.” Dan karena itulah, maka Ki Waskitapun menjadi agak tenang ketika ia meninggalkan keluarga kecilnya. Disaat Ki Waskita berpacu diantara bulak-bulak panjang menuju ke Tanah Perdikan Menoreh, maka Kiai Gringsing yang datang menengok Ki Sumangkar menjadi semakin cemas. Meskipun orang tua itu masih saja tersenyum dan tidak menunjukkan kecemasan sama sekali, namun wajah yang semakin pucat dan detak jantung yang tidak ajeg membuat Kiai Gringsing harus berbuat lebih banyak lagi. Ia mencoba berbagai macam obat yang diramunya. Bahkan obat yang diharapkannya dapat memperingan keadaan Ki Sumangkar. Namun ternyata bahwa keadaan Ki Sumangkar tidak bertambah baik. Meskipun demikian ketenangan hati Ki Sumangkar sendiri ternyata banyak sekali membantunya. Meskipun sakitnya gawat, tetapi ia tidak mengalami penderitaan yang menyiksa tubuh dan jiwanya. Ia menjalani segalanya itu dengan tabah, senang hati dan pasrah.

Raden Sutawijaya yang berada di Sangkal Putung, mendengar keadaan Ki Sumangkar itu dengan cemas. Namun ia masih percaya kepada kemampuan Kiai Gringsing. Karena nampaknya Kiai Gringsing belum menghentikan usahanya untuk memperingan keadaan Ki Sumangkar. Pandan Wangilah yang selain diganggu oleh kegelisahannya sendiri, ia masih harus menjaga agar Sekar Mirah tetap tenang. Dengan segala cara ia mencoba untuk memberikan sandaran jiwani kepada gadis itu. Sehingga Sekar Mirah tidak merasa dirinya dikesampingkan oleh kasih Yang Maha Kuasa karena keadaan gurunya yang gawat itu. Pada saat-saat yang menegang di Sangkal Putung, Ki Waskita dengan tergesa-gesa memasuki regol rumah Ki Gede Menoreh. Ia ingin menyampaikan berita kegelisahannya itu meskipun ia tidak tahu pasti, apakah yang sebenarnya terjadi. Tetapi ia terkejut ketika ia melihat dua orang berkuda yang telah siap untuk meninggalkan halaman. Apalagi kemudian ia mengetahui bahwa kedua orang itu justru akan pergi kerumahnya. “Ketika Ki Gede berangkat bersama Prastawa dan beberapa orang pengawal, Ki Gede memerintahkan kami untuk memberitahuan hal ini kepada Ki Waskita. Ki Gede masih belum mengetahui bahwa sudah ada orang yang datang kepada Ki Waskita sebelumnya.” Ki Waskita mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya, “Ya sudah ada yang memberitahukan hal itu kepadaku, tetapi siapakah yang telah datang kemari?” “Dua orang penghubung dari Mataram. Mereka datang dimalam hari. Dan baru pagi ini Ki Gede sempat berangkat setelah menyerahkan beberapa persoalan kepada Ki Argajaya sementara Ki Gede tidak ada.” Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Namun dengan demikian iapun mengetahui bahwa Mataram justru telah tahu lebih dahulu tentang keadaan Ki Sumangkar. Karena itulah maka Ki Waskitapun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Tidak lagi lewat Mataram, tetapi ia akan mengambil jalan memintas. Meskipun perbedaan jaraknya tidak terlalu jauh, namun dengan demikian ia akan menempuh perjalanan yang lebih dekat. Ternyata bahwa keadaan Ki Sumangkar telah memanggil beberapa orang tua yang pernah berbenturan dengannya dalam berbagai hal berkumpul di Sangkal Putung. Berturut-turut mereka datang dengan tergesa-gesa, seakan-akan mereka takut kehilangan Ki Sumangkar sebelum mereka sempat bertemu untuk yang terahir kalinya. Ki Waskita, yang berpacu seorang diri melalui bulak-bulak panjang, rasa-rasanya tidak sabar lagi dengan derap kaki kudanya. Kudanya yang berlari sekencang angin, rasa-rasanya terlalu lamban dan malas. Setiap kali terlintas di penglihatan jiwanja, keadaan Ki Sumangkar yang gawat. Karena Ki Waskita

mengetahui keadaan Ki Sumangkar di pertempuran yang terjadi dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, sesuai dengan isyarat dipenglihatan jiwanya, maka Ki Waskita dapat rnemperhitungkan, bahwa agaknya Kiai Gringsing mengalami kesulitan untuk menolong Ki Sumangkar yang sudah sangat parah itu. Sementara itu di Sangkal Putung setiap orang telah dicengkam oleh ketegangan. Ternyata bahwa keadaan Ki Sumangkar tidak berangsur baik meskipun dengan rajin ia minum obat yang diberikan kepadanya. “Aku akan tinggal di Kademangan ini sampai ketegangan ini mereda,“ berkata Raden Sutawijaya. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Memang sulit untuk menyebut batasan waktu yang tepat. Tetapi bahwa Raden Sutawijaya menyebut saat ketegangan mereda, nampaknya memang mengandung dua pengertian. Sakit Ki Sumangkar itu berkurang, atau batas umurnya tidak terlampau lagi. Berganti-ganti mereka menunggui Ki Sumangkar di dalam biliknya. Menjelang sore hari, maka Ki Argapati dari Tanah Perdikan Menoreh bersama Prastawa telah halir pula. Kemudian disusul oleh kehadiran Ki Waskita menjelang gelap. Kehadiran orang-orang tua itu nampakya membuat Ki Sumangkar menjadi gembira seperti kehadirian tamu-tamunya sebelumnya. Berganti-ganti mereka memasuki biliknya dan berbicara beberapa patah kata. “Rasa-rasanya seperti orang penting saja,“ guman Ki Smangkar sambil tersenyum, “disaat begini beberapa orang terkemuka telah berkumpul disini.” Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Bukankah wajar bahwa kita saling berkunjung dalam keadaan apapun juga?” Ki Sumangkar tertawa. Dipandanginya Ki Waskita yang duduk dengan pandangan mata yang buram meskipun sekali-kali ia mencoba tersenyum. “Ki Waskita mendengar keadaanku begitu cepat.” berkata Ki Sumangkar lambat. “Kebetulan aku mengunjungi Tanah Perdikan Menoreh, Ki Sumangka. Kebetulan saja utusan Ki Gede sudah siap untuk berangkat kepadukuhanku. Karena itu. maka aku cepat menyusulnya.” Ki Sumangkar tersenyum. Seperti yang selalu nampak dibibirnya, meskipun wajahnya masih tetap pucat. Seperti malam sebelumnya, maka malam itupun keadaan di Sangkal Putung masih tetap tidak berubah. Semua orang tidak sempat memejamkan matanya. Bahkan nampak keadaan Ki Sumangkar justru menjadi semakin buruk. Sementara itu, Untara yang telah selesai dengan tugasnya tidak dapat menahan lagi keinginannya untuk melihat keadaan Ki Sumangkar. Bagaimanapun juga orang tua itu adalah orang tua yang pantas

dihormati. Sebagai lawan disaat-saat pertentangan antara Pajang dan Jipang. Ki Sumangkar menunjukkan sifat-sifat yang lain dari para pemimpin di Jipang. Ia tidak saja melihat dari sudut harga diri dan pandangan yang sempit, tetapi ia melihat dengan perhitungan yang luas dan pertimbangan dari segala segi. Namun dalam pada itu. selagi Untara sudah bersiap untuk pergi ke Sangkal Putung menjelang dinihari, maka para penjaga regol rumahnya telah dikejutkan oleh derap dua ekor kuda yang datang dengan tergesa-gesa. Sebagai seorang prajurit, maka Untarapun segera dijalari oleh ketegangan. Apalagi ketika ia mengetahui, bahwa yang datang itu adalah dua orang prajurit penghubung dari Pajang. “Marilah,“ Untara mempersilahkan kedua tamunya untuk masuk keruang dalam. “Aku minta maaf, bahwa aku datang jauh lewat tengah malam,“ berkata salah seorang dari padanya. “Tentu ada tugas yang penting,“ sahut Untara. Keduanya mengangguk. Salah seorang dari mereka berkata, “Besok pagi-pagi akan ada sidang yang penting di Pajang. Beberapa perwira mengusulkan agar diadakan penelitian yang saksama atas Sangkal Putung.” “Kenapa? Sangkal Putung adalah wilayah pengawasanku. Ada apa dengan Sangkal Putung?“ bertanya Untara. “Ada laporan bahwa beberapa orang penting telah mengadakan pertemuan di Sangkal Putung. Ada dugaan, bahwa mereka sedang membuat pertimbangan-pertimbangan yang dapat melibatkan Pajang kedalam kesulitan. Menjelang malam, datang lagi laporan bahwa Ki Argapati, dari Tanah Perdikan Menoreh telah datang pula setelah Senapati Ing Ngalaga dari Mataram datang sehari sebelumnya. Bahkan Widurapun telah berada di Sangkal Putung pula, disusul oleh kehadiran seorang berkuda yang kurang dikenal, tetapi nampaknya seorang yang penting didalam hubungan pertemuan di Sangkal Putung itu.” “Gila,“ tiba-tiba saja Untara berteriak, “siapakah yang memberikan laporan itu? Akulah, yang paling berhak memberikan laporan kepada Sultan di Pajang. Jika orang lain mengetahui hal itu, maka mereka harus melaporkannya dahulu kepadaku.” “Itu adalah pertimbangan urutan jenjang kewajiban,“ jawab salah seorang penghubung itu, “tetapi lepas dari kesalahan yang terjadi, bagaimanakah jika yang disebutkan itu benar.” Wajah Untara menjadi tegang. Dipandanginya kedua orang petugas itu dengan tajamnya. Dengan suara geram ia kemudian menjawab, “Aku tidak percaya kepada laporan itu.” “Katakan kepada mereka didalam sidang besok pagi. Tetapi jika yang terjadi itu benar seperti yang dilaporkan, maka kau harus mempertanggung

jawabkan.” “Persetan,“ Untara menggeretakkan giginya, “aku akan pergi ke Pajang. Aku akan mengatakan disidang yang manapun juga, bahwa keterangan itu tidak benar.” Kedua prajurit penghubung itu tidak menjawab. Merekapun kemudian meninggalkan Untara dan bergabung dengan para penjaga di gardu setelah mengikat kuda mereka disudut halaman. Untara yang sebenarnya sudah siap untuk pergi ke Sangkal Putung itu telah membatalkan maksudnya. Ia akan pergi ke Pajang untuk menjelaskan apa jang sebenarnya terjadi di Sangkal Putung. Ia sadar, bahwa tentu ada orang-orang yang ingin mengeruhkan suasana seperti yang pernah terjadi. Mungkin orang yang tidak senang melihat kehadiran Mataram. Tetapi mungkin orang yang memang dengan sengaja mengaburkan kedudukannya, seolah-olah Untara tidak menguasai keadaan di wilayah yang diserahkan kepadanya. Ketika matahari mulai membayang, maka Untarapun segera berpacu meninggalkan Jati Anom, langsung menuju ke Pajang. Ia ingin segera menjelaskan bahwa di Sangkal Putung Ki Sumangkar sedang sakit keras. Orang-orang yang datang ke Sangkal Putung itu adalah orang-orang yang ingin melihat keadaan Ki Sumangkar. Bukan orang-orang yang seperti dituduhkan oleh beberapa orang, seolah-olah mereka sedang membicarakan masalah yang gawat pada hubungan antara Pajang dan Mataram. Ketika Untara sampai di Pajang, matahari sudah menjadi agak tinggi. Beberapa orang sudah berada di paseban dalam. Agaknya benar-benar akan ada pertemuan meskipun hanya beberapa orang penting saja di Pajang sendiri. Bukan hari penghadapan bagi para Adipati dan Bupati diluar Kota Raja. Untara datang tepat pada waktunya. Ia tidak sempat berbicara apapun karena sesaat kemudian Sultanpun telah memasuki balai persidangan di paseban dalam. Sejenak Untara termangu-mangu. Namun iapun kemudian menundukkan kepalanya seperti setiap orang yang berada didalam ruangan itu. Namun Untarapun sadar, bahwa diantara orang-orang yang duduk dengan menunduk dalam-dalam itu terdapat orangorang yang dengan hati yang bergolak, berusaha membakar keadaan sehingga mereka dapat memanfaatkan kekeruhan itu. Setelah melewati upacara yang lajim pada setiap sidang di paseban, maka mulailah Sultan dengan persoalan pokok pada persidangan itu. Nampaknya Sultan yang sakit-sakitan itu tidak ingin berputarputar menanggapi masalah yang sedang dihadapinya. Dengan sikap yang kaku, maka iapun memandang kepada seorang Tumenggung yang duduk tepekur sehingga wajahnya hampir menyentuh tanah. “Ulangi laporanmu Tumenggung Dirjapati.“ perintah Sultan.

Tumenggung Dirjapati menyembah sambil mengangkat wajahnya. Namun wajah itupun kembali menunduk. Terdengar ia kemudian berkata, “Tuanku. Laporan hamba agaknya sudah cukup jelas.” “Aku sudak mendengar. Dan aku memang menganggap bahwa laporanmu cukup jelas. Tetapi beberapa orang yang ada dipaseban dalam ini perlu mendengarnya. Bahkan jika perlu aku akan memanggil para Bupati dan Adipati untuk mengadakan paseban agung.” Tumenggung Dirjapati menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya. “Baiklah tuanku, jika hamba harus mengulangi laporan yang sampai pada hamba. Agaknya hal ini perlu didengar oleh Senapati Untara yang besar itu.” Dada Untara terasa menjadi berdebar-debar. Tetapi ia masih tetap berdiam diri saja. Ternyata Sultanlah yang menjawab, “Itulah sebabnya aku telah memanggil dan memperkenankan Untara ikut didalam pembicaraan khusus ini.” Ki Tumenggung Dirjapati termenung sejenak. Kemudian katanya, “Ampun tuanku. Bahwa sebenarnyalah telah terjadi pertemuan besar di Sangkal Putung antara beberapa kekuatan yang mendukung berdirinya Mataram.” Untara mencoba menangkap keadaan dipaseban itu. Ia mendengar desis beberapa orang dan nampaknya beberapa orang telah tergeser setapak sambil mengerutkan kening. “Kau dengar Untara,” berkata Sultan, ”seharusnya aku mendengar laporan semacam ini dari mulutmu. Bukan orang lain.“ Untaralah yang kemudian menyembah. Katanya, “Ampun tuanku. Sepanjang pengetahuan hamba, maka di Sangkal Putung memang terjadi pertemuan seperti yangi dilaporkan itu. Tetapi ada alasan kenapa mereka berkumpul di Sangkal Putung.” “Apapun alasannya, tetapi benar-benar hal itu telah terjadi,“ sahut Sultan. “Tetapi dengan makna yang sedikit berbeda tuanku,“ Untara mencoba menjelaskan. Iapun kemudian menceriterakan apa yang telah dialami oleh Ki Sumangkar meskipun tidak seluruhnya, karena ia masih belum dapat memberikan laporan yang lengkap tentang perstiwa yang terjadi dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, sehingga sebagian dari peristiwaitu justru tidak disebut-sebutnya. Tetapi yang penting baginya untuk diketahui oleh orang-orang yang ada di paseban itu, bahwa Sumangkar sedang sakit. Dan mereka yang datang adalah orang-orang yang pernah berhubungan dengan Ki Sumangkar. “Hamba sendiripun telah datang pula di Sangkal Putung untuk melihat keadaan Ki Sumangkar,” berkata Untara kemudian.

Beberapa orang saling berpandangan. Namun diluar dugaan, salah seorang berdesis, “Ampun tuanku. Apakah Untara masih dapat dipercaya?” Dada Untara bagaikan terbentur oleh reruntuhan Gunung Merapi mendengar pertanyaan itu. Namun ia masih dapat menahan diri, dan menunggu apakah Sultan Hadiwijaya akan menjawab pertanyaan itu. Ternyata pertanyaan itu telah membuat wajah Sultan menjadi berkerut. Nampaknya ia tidak begitu senang. Tetapi Sultanpun berusaha untuk menahan diri. Dengan tenang ia menjawab dengan sebuah pertanyaan, “Siapakah yang dapat memberikan keberatan bahwa Untara masih akan tetap memangku jabatannya dengan bukti-bukti yang cukup meyakinkan?” Pertanyaan itu benar-benar tidak terduga pula seperti pertanyaan yang pertama. Karena itu, maka orang-orang yang ada didalam ruangan itupun bagaikan membeku dan berdebar-debar. Mereka menunggu sesaat, apakah ada diantara mereka yang menjawab. Untara sendiri menjadi tegang. Tetapi ia merasa bahwa pertanyaan Sultan itu merupakan tumpuan kedudukannya yang kuat. Karena tidak seorangpun yang menjawab, maka Sultanpun kemudian berkata, “Jika demikian, maka kita masih tetap menganggap Untara adakah seorang Senapati yang tepat pada kedudukannya. Karena itu. aku percaya kepada semua keterangannya tentang Ki Sumangkar dan kenapa orangorang yang kalian sebut-sebut itu berkumpul di Sangkal Putung.” Beberapa orang menjadi gelisah. Salah seorang dari mereka bergeser sejengkal. Nampaknya ada yang akan dikatakannya. Tetapi kata-kata yang sudah ada ditenggorokan itupun ditelannya kembali. “Sidang hari ini terutama adalah untuk membicarakan masalah yang terjadi di Sangkal Putung. Karena itu aku memanggil Untara untuk memberikan penjelasan.” “Ampun tuanku,” berkata Untara kemudian, “sampai saat ini hamba mencoba untuk melakukan tugas hamba sebaik-baiknya. Jika terjadi sesuatu seperti yang diperkirakan oleh beberapa orang sehingga hamba datang menghadap atas perintah tuanku, maka seharusnya hambalah yang akan mengetahui untuk pertama sekali. Karena itu, maka yang terjadi kali ini adalah merupakan suatu yang mengejutkan hamba. Tanpa berbicara dan berhubungan dengan hamba terlebih dahulu, maka seseorang telah langsung menyampaikan laporan yang ternyata menurut penilaian hamba sangat keliru dan akan dapat mengeruhkan hubungan antara Pajang dan Mataram.” Sultan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebenarnyalah bahwa Sultan cukup dalam mengenali keadaan, iapun sadar, bahwa memang ada orang yang dengan sengaja telah mengeruhkan keadaan itu. Karena itulah maka ia memanggil Untara yang menurut penilaiannya akan berkata jujur dan berterus terang sebagai seorang prajurit. Sikap Untara dan Sultan Hadiwijaya ternyata telah memutuskan semua pembicaraan. Ketegasan Untara menyebut keadaan yang sebenarnya dan kepercayaan Sultan yang terlimpah kepadanya telah

menutup kemungkin bagi beberapa orang yang dengan sengaja ingin mengeruhkan keadaan untuk mengangkat kecurigaan yang diharapkan akan dapat memperuncing hubungan Pajang dengan Mataram. Meskipun demikian ada juga kecemasan yang terselip dihati Untara. Jika peristiwa dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu terdengar oleh beberapa orang perwira di Pajang yang dengan sengaja mencari persoalan dan kelemahan-kelemahannya, maka ia masih belum siap untuk memberikan laporan terperinci. Namun agaknya yang dicemaskan itu memang terjadi. Tiba-tiba saja seseorang telah meberanikan diri untuk bertanya, “Ampun tuanku. Bukannya hamba ingin memberikan bukti atas keyakinan hamba bahwa Untara telah melakukan suatu kekhilafan, tetapi semata-mata bahwa hamba ingin bertanya, apakah yang telah terjadi di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu beberapa saat yang telah lampau. Dan apakah Untara telah memberikan laporan tentang peristiwa itu, atau Senapati besar itu dengan sengaja telah menutupi kenyataan yang terjadi di wilayah pengamatannya.” Terasa debar jantung Untara bagaikan semakin cepat memukul dinding dadanya. Namun iapun masih tetap menunggu, apakah yang akan dikatakan oleh Sultan. Sejenak Sultan Hadiwijaya termangu-mangu. Dipandanginya Untara yang duduk dengan kepala tunduk. “Untara,” berkata Sultan Hadiwijaya kemudian, “kau memang belum mengatakan sesuatu tentang peristiwa itu. Aku memang mendengar laporan dari pihak lain. Dan agaknya fihak lain itupun belum berhubungan pula dengan kau.” Untara menarik nafas dalam dalam. Kemudian katanya, “Tuanku. Peristiwa itu memang terjadi di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Tetapi peristiwa itu adalah peristiwa kejahatan semata-mata. Kejahatan yang memang menjadi tanggung jawab hamba didalam tugas hamba sehari-hari.” “Tetapi bukan Senapati Untaralah yang melakukannya tuanku,“ tiba-tiba saja orang lain telah memotong laporannya. Sultan mengerutkan keningnya. Katanya, “Biarlah Untara selesai bicara.” Orang itu menyembah sambil menundukkan kepalanya. “Tuanku,“ berkata Untara kemudian, “Mataram berhak melindungi dirinya sendiri. Dan Mataram telah melacak beberapa kelompok penjahat yang melakukan kejahatan di Mataram. Hamba sudah menegur putera tuanku, Raden Sutawijaya. bahwa Mataram telah melakukannya tanpa sepengetahuan hamba.

Tetapi hambapun mengerti, bahwa jika Mataram menunggu hamba, maka penjahat-penjahat itu tentu telah lenyap. Padahal Mataram sendiri memiliki pasukan pengawal yang cukup untuk menangkap beberapa orang perampok yang bersarang dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Namun apakah diantara para penjahat itu terdapat orang-orang yang justru seharusnya menjadi pelindung sesamanya itulah yang harus hamba selidiki. Hamba baru menghubungi beberapa orang Mataram yang terlibat. Dan hamba akan memberikan laporan kemudian, karena hal ini adalah hal yang kecil saja bagi hamba.” Terasa gejolak yang gemuruh didalam dada beberapa orang perwira yang ada didalam paseban. Bahkan beberapa orang justru menjadi khawatir, apabila persoalan itu diungkap semakin jauh, maka Untaralah yang akan memberikan bukti-bukti pengkhiatanan beberapa orang perwira Pajang. Meskipun jalur nama-nama mereka yang berada dilembah itu telah diputus oleh kematian-kematian namun tentu masih ada jalur yang akan dapat menghubungkan nama-nama itu dengan nama-nama mereka sendiri. Itulah sebabnya, maka tidak seorangpun yang bertanya lebih lanjut. Mereka yakin bahwa Untara tentu mempunyai bahan-bahan yang cukup. Tetapi ia masih akan mencari penjelasan. Dengan demikian orang-orang itu justru menjadi cemas. Jika Untara sampai pada satu jalur tertentu, maka ia akan dapat membongkar kejahatan yang bersarang di Iistana Pajang sendiri. Seorang perwira yang merasa dirinya terlibat dalam persoalan itu mengggeram didalam hatinya, “Untara memang harus disingkirkan.” Tetapi perwira itu tidak dapat menutup kenyataan, bahwa Untara adalah seorang Senapati yang memiliki kemampuan yang tinggi. Selebihnya ia disuyudi oleh para prajuritnya. Orang-orang yang semula tidak sependapat dengan Untara. namun kemudian ditempatkan dibawah pimpinannya, lambat laun akan dapat mengerti dan mengikuti jalan pikirannya. Dengan demikian, maka Untara bagi mereka merupakan persoalan tersendiri. Justru karena Untara adalah seorang prajurit yang memandang setiap persoalan dengan mengesampingkan kepentingan siapapun, kecuali jejering seorang prajurit. Dalam pada itu, paseban itupun menjadi hening. Orangorang yang ada didalamnya duduk tepekur dengan debar jantung yang terasa semakin menggelora. Mereka tidak mempersoalkan apapun lagi, kecuali menunggu titah Sultan Hadiwijaya. Sementara itu Sultan yang duduk termangu-mangu memandang orang-orang yang menundukkan kepalanya, seolah-olah ingin mengetahui apa yang tersimpan didalam kepala yang tunduk itu. Namun Sultanpun sadar sepenuhnya, bahwa didalam kepala yang tunduk itu, sebagian telah bergejolak

api yang ingin membakar Pajang yang menjadi semakin dalam terbenam kedalam kelelahan. Tetapi Sultan seolah-olah sudah tidak mempunyai kekuatan untuk menghembuskan nafas yang basah untuk memadamkannya. Ia hanya dapat memandang peristiwa demi peristiwa dengan menekan dadanya. Meskipun ia masih mempunyai tenaga untuk duduk diatas singgasananya, namun tenaga itu sudah terlalu lemah untuk menguasai dan memancarkan kewibawaannya disaat ia mulai duduk diatas tahta itu. Karena itu. maka Sultan tidak dapat mengambil sikap apa-apa. Ia cukup tajam menerawang setiap hati. Tetapi ia tidak mempunyai pisau yang cukup tajam untuk memotong bintik-bintik yang dilihatnya itu. Dalam pada itu, selagi paseban itu dicengkam oleh keheningan, tiba-tiba saja seorang pengawal telah beringsut dan duduk didepan pintu paseban sambil menundukkan kepalanya. Sultan Hadiwijaya melihat orang itu. Karena itu, maka pengawal itupun kemudian dipanggilnya, “Kau diperkenankan menghadap.” Pengawal itupun kemudian berjalan sambil berjongkok maju beterapa langkah. Dibelakang para Pemimpin dan para Senapati ia duduk sambil menunduk pula. “Apakah ada yang akan kau sampaikan?“ bertanya Sultan. “Ampun Tuanku. Jika tuanku berkenan, ada utusan dari Sangkal Putung ingin menghadap.” “Dari Sangkal Putung,“ Untaralah yang mula mula mengulanginya diluar sadarnya. Namun kemudian iapun menyembah sambil berguman, “Hamba mohon ampun tuanku.” Wajah Sultanpun menegang. Ia sudah mendengar dari Untara apa yang terjadi di Sangkal Putung. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, “Bawalah ia masuk.”

Buku 114 PENGAWAL itupun bergeser surut. Sejenak ia hilang diluar pintu paseban dalam. Namun kemudian ia nampak kembali bersama seorang anak muda. Agung Sedayu. Wajah Untara benar-benar menjadi tegang. Ketika Agung Sedayu bergeser sambil berjongkok setapak demi setapak, rasa-rasanya anak itu menjadi sangat lamban. Hampir saja ia berteriak agar adiknya itu bersikap sedikit cepat. Ketika Agung Sedayu sudah duduk bersila dan menyembah, kemudian duduk sambil menunduk menunggu pertanyaan Sultan Hadiwijaya, dada Untara rasa-rasanya bagaikan pecah. “Kau siapa?“ bertanya Sultan Hadiwijaya. “Hamba Agung Sedayu tuanku.” Sultan Hadiwjaya mengerutkan keningnya. Ia pernah mendengar nama itu. Karena itu. maka iapun kemudian berdesis, “Kau adik Untara?” “Hamba tuanku.” Sultan mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara beberapa orang perwira tiba-tiba saja tidak dapat menahan diri untuk berpaling. Bahkan beberapa orang diantara mereka dengan wajah yang berkerut merut memandanginya sambil berkata didalam hati. “Jadi anak inilah yang memiliki cambuk bernafas maut itu seperti gurunya. Kiai Gringsing.” Sementara itu Sultan mengangguk-angguk kecil. Dipandangnya Agung Sedayu yang menunduk. Seakan-akan ia ingin memperbandingkan anak itu dengan Untara. Namun Untaralah yang tidak sabar. Jika Agung Sedayu menghadap ke Pajang, tentu ada persoalan yang penting yang dibawanya. Tetapi ternyata Sultan Hadiwijaya tidak segera bertanya. “Agung Sedayu,“ akhirnya Sultanpun bertanya, “apakah kau datang untuk menyusul kakakmu yang telah datang terlebih dahulu kemari?” Agung Sedayu termangu-mangu. Sekilas dipandanginya kakaknya yang duduk dengan gelisah. Kemudian diluar sadarnya, iapun melihat beberapa orang yang dengan ragu-ragu memandanginya sekilas-sekilas. Namun agaknya mereka terikat oleh kehadiran mereka di paseban. sehingga merekapun segera menundukkan kepala mereka kembali. Namun kesan yang sekilas itu membuat dada Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Seolaholah ia melihat sejumlah orang dengan sejumlah sikap yang berbeda-beda. Bahkan iapun ragu-ragu.

apakah kakaknya membenarkan kehadirannya dipaseban itu. meskipun ia hanya sekedar utusan. Sebenarnyalah Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang hidup didalam lingkungan yang jauh dari adat dan tata kehidupan istana meskipun ia adik seorang Senapati yang dihormati. Namun Kiai Gringsing telah memberikan banyak petunjuk, sebagaimana ia harus menghadap seorang raja dan tata unggah-ungguh didalam paseban, khususnya unggah-ungguh di istana Pajang. Karena itu, maka sikap Agung Sedayupun tidak banyak menimbulkan persoalan dan kesulitan bagi dirinya. Karena Agung Sedayu masih saja dicengkam oleh keragu-raguan, maka sekali lagi Sultan bertanya, ”Apakah kau mempunyai kepentingan yang lain ?” “Ampun tuanku,” jawab Agung Sedayu, ”sebenarnyalah hamba tidak menyusul kakang Untara, karena hamba tidak tahu bahwa kakang Untara telah berada di paseban.” “O,” Sultan mengerutkan keningnya, “jadi? Untarapun menjadi gelisah. Dan rasa-rasanya Agung Sedayu memang terlalu lamban menjawab. Rasarasanya ingin Untara membentaknya untuk segera berbicara. “Ampun tuanku,” Agung Sedayu berkata selanjutnya, “sebenarnyalah bahwa hamba datang dari Sangkal Putung untuk menyampaikan berita yang barangkali kurang menyenangkan. Menurut pertimbangan guru hamba dan Ki Widura, maka sebaiknyalah bahwa hamba menyampaikan juga berita itu kepada tuanku, karena tuanku telah mengenal pula seseorang yang bernama Ki Sumangkar. yang pernah mempunyi kedudukan penting pada saat Jipang masih berdiri.” “Ya. ya. Aku kenal Ki Sumangkar dengan baik. Dan akupun telah mendengar bahwa ia sekarang dalam keadaan sakit yang gawat. Apakah kau membawa berita tentang orang tua yang baik itu ?” “Hamba tuanku. Agaknya Yang Maha Kuasa telah berkenan memanggil hambanya yang bernama Ki Sumangkar.” “He,” wajah Sultan Hadiwijaya menegang sejenak. Untara yang mendengar berita itupun terkejut pula. Setapak ia bergeser sambil berpaling kearah Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu hanya dapat menganggukkan kepalanya saja. Sementara itu. beberapa orang perwira yang berada di ruang itupun menunduk pula dalam-dalam. Sebagian dari mereka yang tidak mengetahui peristiwa yang sebenarnya terjadi di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu menganggap bahwa Ki Sumangkar telah dihinggapi oleh penyakit yang sewajarnya. Tetapi sebagian yang lain. yang mempunyai hubungan langsung dengan apa yang terjadi dilembah itu, menganggap bahwa kematian Sumangkar itu sudah tidak dapat dihindari lagi. Mereka telah mendengar bahwa luka-lukanya dipeperangan itu benar-benar tidak akan mungkin tertolong lagi, betapapun juga ia mendapat pengobatan dan pertolongan.

“Sisa kekuatan Jipang itu kini telah lenyap pula,” berkata seorang perwira didalam hatinya. Sementara itu Sultan Hadiwijaya justru termenung sejenak. Dipandanginya Agung Sedayu yang duduk dengan kepala tunduk. Baru kemudian ia berkata, Agaknya saatnya memang sudah tiba. Ki Sumangkar memang sudah tua meskipun belum tua sekali. Tetapi jika saat itu datang, tidak seorangpun yang akan dapat mengingkari. Betapapun tinggi ilmu seseorang, betapapun pandainya seseorang dalam ilmu pengobatan, dan betapapun seseorang berusaha, namun saat-saat kematian memang tidak berada didalam genggaman tangan manusia. Kematian hadir disaat Yang Maha Kuasa menentukan untuk memanggil seorang hambanya seperti saat Yang Maha Kuasa menghadirkannya didunia ini.” Paseban itu menjadi senyap. Berbagai tanggapan telah bergejolak disetiap dada. “Agung Sedayu,” berkata Sultan Hadiwijaya, ”baiklah. Aku terima pemberitahuan itu. Sebagai seorang sahabat aku memang wajib datang untuk memberikan penghormatan terakhir. Tetapi karena keadaannya sendiri, maka aku akan mengirimkan utusan untuk melihat, untuk menyampaikan rasa persahabatanku kepadanya untuk yang penghabisan kali.” Agung Sedayupun kemudian menyembah. Sekali lagi ia memandang sekilas kepada kakaknya. Tetapi Untara masih saja menunduk. Sebenarnyalah telah melonjak penyesalan dihati Untara. Ia tidak sempat datang lagi ke Sangkal Putung menengok Ki Sumangkar. Sebenarnya ia sudah berkeras untuk pergi ke Sangkal Putung. Namun tibatiba saja ia harus datang menghadap ke Pajang, sehingga ia tidak sempat bertemu lagi dengan Ki Sumangkar. Sebelum Agung Sedayu meninggalkan paseban, ia masih menyampaikan pesan, saat-saat Ki Sumangkar akan dimakamkan, menjelang matahari dipuncak langit dikeesokan harinya. Sejenak kemudian maka Agung Sedayupun mohon diri. Ketika ia sudah berada di luar regol istana, maka dijumpainya dua orang pengawal yang datang bersamanya, dan bertiga merekapun segera berpacu kembali ke Sangkal Putung. Apakah mungkin mereka ingin untuk masih sempat ikut memandikan jenazah Ki Sumangkar. “Tetapi agaknya kita sudah terlambat,” berkata Agung Sedayu, ”meskipun demikian, kita akan berusaha.” Namun sebenarnyalah, pada saat itu. orang-orang di Sangkal Putung justru telah sibuk menyediakan air untuk memandikan jenazah Ki Sumangkar yang ternyata memang sudah saatnya menghadap Tuhannya kembali. Sepeninggal Agung Sedayu maka suasana dipasebanpun telah berubah. Kedatangan Agung Sedayu ke Pajang seolah-olah merupakan jawaban atas persoalan yang dibicarakan didalam paseban itu, bahwa orang-orang yang berkumpul di Sangkal Putung itu memang beralasan, karena justru mereka

menunggui saat-saat terakhir dari Ki Sumangkar. Meskipun demikian, seorang perwira yang berusia mendekati setengah abad memberanikan diri untuk bertanya, “Tuanku. Peristiwa kematian Ki Sumangkar memang merupakan peristiwa yang penting. Tetapi tidak bagi Pajang. Peristiwa itu penting bagi Jipang dan bekas-bekas pengikut Adipadi Jipang. Dengan demikian, apakah perlu bahwa kematiannya dibawa kepaseban di Pajang, dan mendapat perhatian dari tuanku ?” Sultan Pajang mengerutkan keningnya. Ia melihat beberapa orang perwira yang lain justru mengangguk-angguk, seolah-olah mereka membenarkan pertanyaan kawannya itu. Karena itu. maka ia menganggap perlu untuk memberikan keterangan, “Para pemimpin prajurit Pajang tentu masih ingat jelas, siapakah Sumangkar itu. Dan setiap pemimpin prajurit di Pajangpun tentu mengetahui, bahwa sampai saat-saat terakhir perlawanan Tohpati di sekitar Sangkal Putung, Ki Sumangkar masih ada didalam pasukan Macan Kepatihan itu. Namun pada suatu saat ia telah berhasil dihubungi dan ditangkap. Kemudian dibawa ke Pajang di saat Tohpati tidak dapat mempertahankan diri lagi. Tetapi aku telah memberikan pengampunan, atas persetujuan kakang Pemanahan yang pada waktu itu masih memegang kendali pimpinan prajurit di Pajang. Nah. bukankah dengan demikian, sewajarnya jika kematiannya diberitahukan kepadaku? Agar aku tidak merasa kehilangan dan mempunyai prasangka buruk terhadap orang yang sebenarnya telah meninggal?” Para perwira menundukkan kepalanya. Mereka yang semula mengangguk-angguk mendengar pertanyaan tentang orang tua itu, maka merekapun telah mengangguk-angguk pula mendengar jawaban Sultan Hadiwijaya. Sementara itu Sultan berkata selanjutnya, “Dalam hal ini agaknya Untaralah yang paling mengetahui, karena nilai yang berhadapan langsung dengan pasukan Tohpati di Sangkal Putung bersama pamannya Ki Widura.” Untara masih saja menundukkan kepalanya. “Karena itu,“ berkata Sultan kemudian, “sekarang aku akan mengutus Untara pergi ke Sangkal Putung sebagai pertanda aku ikut berduka cita atas kematian itu. Aku sendiri sebenarnya ingin dalang.Tetapi kesehatan ku tidak memungkinkan.” Beberapa orang perwira mengerutkan dahinya. Demikian besar perhatian Sultan terhadap Ki Sumangkar yang pernah menentangnya itu, sehingga ia telah mengutus Untara untuk datang ke Sangkal Putung atas namanya. Bahkan mereka terkejut bukan buatan ketika tiba-tiba saja Sultan Hadiwijaya berkata, “Untara. Supaya pasti bahwa kedatanganmu adalah seperti kehadiranku sendiri, maka bawalah pertanda kebesaran yang meyakinkan.”

Untara sendiri justru menjadi termangu-mangu. Apalagi ketika Sultan Hadiwijaya kemudian mengambil keris masih dalam wrangkanya dari punggungnya dan menyerahkannya kepada Untara, “Untara. Bawalah serta Kanjeng Kiai Crubuk.” Rasa-rasanya setiap dada dari mereka yang ada dipaseban itu tergetar. Seolah-olah mereka tidak percaya penglihatan mereka, bahwa Sultan Hadiwijaya telah memberikan pusaka pribadinya yang paling terpercaya itu kepada Untara sebagai pertanda kehadirannya di Sangkal Putung disaat Ki Sumangkar meninggal. Apalagi mereka yang mengetahui dengan pasti apa yang telah terjadi dengan Ki Sumangkar dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.” Tetapi sebenarnyalah bahwa Sultan Hadiwijaya dari Pajang itu telah menyerahkan kerisnya Kangjeng Kiai Crubuk kepada Untara yang menerimanya dengan penuh keragu-raguan. Untara sendiri tidak mengerti, kenapa Sultan berkenan memberikan pertanda dengan menyerahkan Kangjeng Kiai Crubuk. Sebenarnya masih ada pertanda lain yang tidak kalah jelas dan pasti yang nilainya tidak setinggi Kangjeng Kiai Crubuk. Kangjeng Sultan dapat memberikan pertanda dengan sebuah panji-panji dengan tunggul kebesaran, atau pertanda yang lain. Namun Untarapun tidak dapat menolak ketika ia harus menerima Kangjeng Kiai Crubuk untuk dibawanya ke Sangkal Putung. Keris yang dipergunakan oleh Hadiwijaya yang saat itu masih seorang Adipati Pajang, untuk mengimbangi kedasyatan keris Adipati Jipang, yang bernama Kangjeng Kiai Setan Kober. Untunglah bahwa perang tanding yang hampir saja meledak diantara kedua Adipati itu masih dapat dilerai, meskipun akhirnya perang antara Jipang dan Pajang tidak dapat dihindarkan lagi. Dengan hati yang berdebar-debar maka Untarapun kemudian mohon diri sambil membawa Keris Kangjeng Kiai Crubuk ditangannya. Ia sama sekali tidak berani menyelipkan pusaka Pajang itu dipunggungnya seperti ia membawa kerisnya sendiri. Betapapun anehnya, namun tidak seorangpun yang berani mencegah niat Sultan Hadiwijaya itu. Para perwira dan pemimpin Pajang yang hadir hanya dapat melihat Untara yang meninggalkan paseban sambil membawa pusaka yang sangat dihormati itu. Bahkan merekapun melihat bahwa agaknya Untara sendiri menjadi ragu-ragu dan kurang yakin akan kepercayaan Kangjeng Sultan itu. Sepeninggal Untara, maka pertemuan di paseban itu tidak ada lagi kepentingannya. Maka Sultanpun kemudian memerintahkan mereka yang hadir untuk meninggalkan paseban setelah Sultan sendiri masuk keruang dalam istana Pajang. Yang baru saja terjadi di paseban, ternyata telah menjadi bahan pembicaraan yang ramai. Para perwira dan pemimpin pemerintahan telah memberikan tafsiran yang berbeda-beda. Ada yang menganggap bahwa Sultan dengan sengaja menunjukkan kepercayaannya kepada Untara. Tetapi ada yang berpendapat lain justru karena keris itu adalah perlambang pertentangan antara Pajang dan Jipang.

Dalam pada itu. Agung Sedayu yang telah mendahului kakaknya meninggalkan Pajang berusaha untuk segera dapat sampai ke Sangkal Putung. Namun merekapun menyadari, bahwa mereka tidak akan sempat ikut memandikan janazah Ki Sumangkar, karena agaknya perjalanan mereka rasa-rasanya menjadi terlalu lama. Ketika Agung Sedayu dan dua orang pengawal dari Sangkal Putung memasuki padukuhan induk Kademangan, mereka melihat kesibukan yang semakin meningkat. Ternyata bahwa orang-orang Sangkal Putung berusaha untuk ikut membantu sesuai dengan kemampuan masing-masing untuk menyelenggarakan jenazah Ki Sumangkar. Di rumah Ki Demang Sangkal Putung, kesibukan itu semakin terasa. Pada saat Agung Sedayu dan kedua pengawal Kademangan itu memasuki regol halaman, maka mereka langsung menyerahkan kuda mereka untuk diikat ditonggak disudut halaman. Dengan tergesa-gesa merekapun menuju kependapa. Ki Demang Sangkal Putung, Ki Widura dan Kiai Gringsing yang melihat kedatangannya segera menyongsongnya dan dengan tidak sabar mereka bertanya apakah ia berhasil menghadap Sultan Hadiwijaya. “Aku mendapat kesempatan itu guru,” berkata Agung Sedayu kemudian, “malahan di Pajang sedang berlangsung sidang di paseban dalam. Aku diperkenankan masuk dan memberikan laporan tentang Ki Sumangkar yang didengar oleh para pemimpin dan para perwira yang hadir saat itu, termasuk kakang Untara.” “O,” Ki Widura mengerutkan keningnya, jadi Untara ada di Pajang?” “Ya. Semula Sultan menyangka bahwa aku datang untuk menyusul kakang Untara. Tetapi ternyata bahwa keteranganku tentang Ki Sumangkar telah mengejutkan seisi paseban.” Ki Widura, Kiai Gringsing dan Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-angguk. Merekapun kemudian membawa Agung Sedayu naik kependapa. Mereka duduk disisi jenazah yang sudah dimandikan dan dibaringkan diatas amben bambu ditengah-tengah pendapa. Raden Sutawijaya ternyata masih tetap berada di Sangkal Putung bersama Ki Juru Martani. Mereka merasa wajib untuk ikut menunggui Ki Sumangkar, karena mereka mengerti sepenuhnya, apakah yang dilakukan orang tua itu di saat-saat terakhir. Agung Sedayupun kemudian memberikan keterangan tentang perjalanannya kepada mereka yang berada dipendapa. Saat-saat ia berada di Pajang dan kesempatannya menghadap Sultan. Raden Sutawijayan mendengarkan keterangan itu sambil termangu-mangu. Sekilas terbayang ruang paseban yang sudah lama sekali tidak dilihatnya. Bahkan rasa-rasanya ruangan itu tidak akan pernah di ambahnya lagi, sejak ia meninggalkan istana mengikuti jejak ayahandanya, Ki Gede Pemanahan yang bertekad untuk membuka Alas Mentaok. “Jadi Sultan akan mengirimkan utusan?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Demikianlah keterangan yang aku dengar dari Sultan sendiri,“ jawab Agung Sedayu. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya tubuh yang terbujur diam itu sambil berguman, “Bagaimanapun juga, kau masih mendapat perhatian dari Sultan di Pajang, karena sebenarnyalah bahwa kau adalah seorang yang seharusnya berada didalam lingkungan istana.” Raden Sutawijaya yang mendengar guman Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk. Iapun mengakui, bahwa Ki Sumangkar adalah keluarga dari lingkungan istana Pajang. Hanya karena kerendahan hatinya ia berada disegala lingkungan dan meninggal dirumah seorang Demang di Sangkal Putung dalam keadaan sederhana. Semantara itu, didalam rumah Ki Demang, Sekar Mirah setiap kali masih saja menangis tersedu-sedu. Ia benar-benar merasa kehilangan atas meninggalnya Ki Sumangkar. Apalagi ia merasa bahwa ia adalah satu-satunya murid Ki Sumangkar yang wajib menunjukkan baktinya sebagai seorang murid. Meskipun Ki Sumangkar sudah memberikan segala pokok-pokok ilmu yang ada namun Sekar Mirah merasa bahwa ia masih memerlukan bimbingannya untuk mengembangkannya sehingga ilmunya menjadi mapan dan masak. Tetapi yang terjadi adalah diluar kehendak manusia. Betapapun juga. jika saat itu datang, maka ia akan datang dengan segala keperkasaannya melampaui segala macam ilmu, kemampuan, dan kekuasaan duniawi. Dalan pada itu. Agung Sedayu masih memberikan beberapa keterangan tentang sikap Sultan Hadiwijaya yang bijaksana dan penuh wibawa. “Mengherankan sekali,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya, “bahwa dalam pengaruh kewibawaan itu ada juga orang-orang yang ingin menghancurkannya.” Namun Agung Sedayu tidak mengetahui lebih banyak tentang Sultan Hadiwijaya. Dalam pada itu, segala persiapannya telah dilakukan dengan cermat. Jenazah itu masih akan bermalam satu malam. Menjelang matahari mencapai puncak diesok hari, jenazah itu baru akan dikebumikan. Sehari penuh maka berdatanganlah orang-orang yang ingin memberikan penghormatan terakhir bagi Ki Sumangkar. Bukan saja orang-orang Sangkal Putung dan beberapa orang pemimpin Mataram yang datang menyusul setelah mereka mendengar bahwa Ki Sumangkar telah meninggal. Tetapi berita itupun telah disampaikan pula kepada orang-orang Jipang yang pernah mengenal Ki Sumangkar dengan baik.

Dengan demikian maka Sangkal Putung seakan-akan telah menjadi sangat ramai. Beberapa buah rumah disekitar rumah Ki Demang telah disiapkan untuk menginap tamu-tamunya yang berdatangan dari luar Sangkal Putung. Meskipun berada ditempat yang jauh dari istana Pajang dan Jipang, namun ternyata bahwa nama Ki Sumangkar masih sanggup mengundang demikian banyak orang disaat terakhirnya. Dalam pada itu, ternyata Untara yang meninggalkan istana Pajang tidak langsung menuju ke Sangkal Putung. Ia memerlukan kembali lebih dahulu ke Jati Anom, agar para prajurit yang ditinggalkannya tidak menjadi gelisah. Baru menjelang malam Untara bersama beberapa orang perwira dan pengawal telah datang ke Sangkal Putung mewakili Sultan Hadiwijaya memberikan penghormatan terakhir bagi Ki Sumangkar. Kedatangan Untara telah mengejutkan para tamu. Apalagi karena Untara membawa pusaka yang tentu merupakan suatu pertanda dari seseorang yang memiliki kekuasaan. Ketika beberapa orang menyambutnya di tangga pendapa Kademangan, maka Untara menjelaskan kehadirannya, “Atas nama Kangjeng Sultan Hadiwijaya dari Pajang, yang pada saat ini berhalangan untuk datang memberikan penghormatan terakhir, maka aku telah datang dengan membawa pertanda pribadinya, Kangjeng Kiai Crubuk.” Kata-kata itu memberikan ketegangan sejenak. Namun sambil menundukkan kepalanya. Kiai Gringsing-pun kemudian menyahut, “Kehadiran pertanda pribadi Sultan Hadiwijaya sangat membesarkan hati kami. Silahkan anakmas Untara, anakmas saat ini mewakili Kangjeng Sultan dari Pajang.” Untara termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun melihat Raden Sutawijaya yang dengan segera berdiri dan menghormatinya sambil berkata, “Kangjeng Kiai Crubuk memberikan arti tersendiri kepadamu Untara. Silahkan. Kau mempunyai kedudukan khusus sekarang.” Untaia masih ragu-ragu. Namun Raden Sutawijaya yang mempercayai pusaka ditangan Untara itupun segera mempersilahkan. Sementara Ki Juru dan orang-orang yang lainpun memberikan tempat kepada Senapati Besar itu. terlebih-lebih karena ia membawa pertanda kebesaran Pajang. Malam itu, pendapa Kademangan Sangkal Putung telah penuh dengan para Tamu. Mereka berbincang dalam kelompok-kelompok diantara mereka. Sekelompok berbicara tentang sebab-sebab kematian Ki Sumangkar yang tidak banyak dimengerti selain sakit yang parah untuk beberapa saat lamanya. Sementara yang lain membicarakan pusaka Sultan Pajang yang dibawa oleh Untara sebagai wakil pribadinya memberikan penghormatan terakhir kepada Ki Sumangkar. Dalam pada itu, Untara sendiri bertanya kepada Kiai Gringsing, “Apakah sudah tidak ada lagi obat yang terlampaui Kiai?” “Semua yang aku kenal telah aku usahakan, tetapi agaknya Tuhan memang sudah menghendaki

sehingga kemampuan yang terbatas itu sama sekali tidak dapat menolongnya,“ jawab Kiai Gringsing. Untara mengangguk-angguk. Iapun menyadari, bahwa batas waktu bagi seseorang tidak akan dapat lagi digeser dengan cara apapun juga. Sementara itu Kiai Gringsing masih sempat menceriterakan, bagaimana ia berusaha. Segala macam tumbuh-tumbuhan yang diduganya akan dapat memberikan pertolongan telah dicobanya. Tetapi hasilnya sama sekali tidak ada. Hampir tidak seorangpun yang berada dipendapa Kademangan Sangkal Putung itu sempat tidur semalam suntuk. Namun karena mereka adalah para Senapati, prajurit dan pemimpin pemerintahan serta beberapa orang pemimpin pengawal dari Mataram, maka mereka sudah terbiasa untuk tidak tidur semalam suntuk. Apalagi mereka mempunyai kawan berbincang tanpa ketegangan, menghadapi minuman panas dan sekedar makanan. Untara yang membawa pusaka Pajang itupun duduk ditempatnya tanpa bergeser. Ia benar-benar memberikan penghormatan terakhir atas nama Sultan Hadiwijaya dari Pajang, sehingga karena itu, maka Raden Sutawijaya telah memberikan tempat khusus kepadanya, justru karena pertanda kebesaran yang dibawanya. Di ruang dalam, Pandan Wangi sibuk menenangkan Sekar Mirah. Beberapa orang perempuan yang lainpun ikut pula menungguinya. Olah kelelahan yang mencengkam, maka akhirnya Sekar Mirahpun jatuh tertidur sambil terisak. Namun perlahan-lahan ia nampak menjadi agak tenang, sehingga Pandan Wangi sempat meninggalkannya untuk membersihkan diri. Di pintu dalam Pandan Wangi berpapasan dengan Swandaru yang gelisah karena keadaan adiknya. Dengan nada dalam ia bertanya, “Bagaimana dengan Sekar Mirah?” “Ia mulai tidur meskipun semula karena kelelahan. Tetapi mudah-mudahan dengan demikian ia dapat menjadi tenang,” sahut Pandan Wangi. Swandaru mengangguk-anggguk. Katanya, “Kaupun perlu beristirahat. Meskipun kau tidak segelisah Sekar Mirah, tetapi nampaknya kaupun menjadi tegang, justru karena keadaan Sekar Mirah.” “Aku tidak apa-apa,“ jawab Pandan Wangi “ aku akan kepakiwan. Jika serapat, akupun akan tidur barang sejenak.” Swandaru mengangguk sambil melangkah masuk kedalam bilik adiknya dengan hati-hati. Ketika dilihatnya Sekar Mirah yang tertidur, maka iapun kemudian meninggalkannya dan pergi ke pendapa. Ketika Pandan Wangi kembali kepintu belakang setelah ia menyegarkan diri di pakiwan, ia tertegun melihat Agung Sedayu yang berada diantara anak-anak muda yang sibuk menyediakan minum bagi para tamu yang seakan-akan bergantian mengalir seperti arus air sungai. Diluar sadarnya iapun

mendekatinya sambil bertanya, “Kau disini kakang Agung Sedayu?” Agung Sedayu memandanginya sejenak. Kemudian sambil mengangguk ia menjawab, “Ya. Aku membantu menyiapkan minuman.” “Kenapa kau tidak duduk dipendapa?” Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya, “Sama saja bagiku. Barangkali aku lebih bermanfaat disini daripada duduk dipendapa.” Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Sambil melangkah memasuki pintu belakang ia merenungi sikap Agung Sedayu. Ia selalu berendah hati dan berada diantara mereka yang seolah-olah tersembunyi tanpa berusaha menampakkan diri dalam kesibukan-kesibukan yang lebih berarti. Namun dalam pada itu. ternyata bahwa sejenak kemudian Ki Waskitapun menyusul Agung Sedayu diantara anak-anak muda yang sibuk menyiapkan minuman itu. “Kenapa paman tidak duduk dipendapa ?” Agung Sedayulah yang bertanya. Ki Waskita menggeleng. Katanya, “Dipendapa duduk para pemimpin dan perwira dari Mataram dan Pajang. Selebihnya adalah sanak keluarga Ki Sumangkar dari Jipang. Agaknya aku lebih baik berada disini. Kecuali aku tidak merasa asing, akupun dapat membantu kalian membuat minuman.” Agung Sedayu tidak mencegahnya. Ia merasakan betapa gelisah duduk terasing diantara para tamu yang riuh berbicara diantara mereka. Ketika malam menjelang fajar, maka Ki Demang-pun mempersilahkan tamu-tamunya yang akan beristirahat untuk pergi kerumah tetangga-tetangganya yang sudah dipersiapkan. Meskipun kurang memadai, namun tempat-tempat itu telah memberikan kesempatan bagi tamu-tamunya untuk sekedar beristirahat setelah hampir semalam suntuk mereka duduk dipendapa. Untara yang membawa pertanda pribadi Sultan Hadiwijaya dipersilahkan beristirahat di gandok kanan Ki Demang Sangkal Putung dengan pengawal kepercayaannya. Sementara Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani berada digandok sebelah kiri. Agung Sedayu, gurunya dan Ki Waskita telah dipindahkan kebilik dibelakang karena mereka telah dianggap sebagai keluarga sendiri. Ketika para tamu sempat berbaring sejenak, maka Agung Sdayu dan Ki Waskitalah yang duduk dipendapa menunggui jenazah Ki Sumangkar. Sejenak kemudian Kiai Gringsing yang baru saja kepakiwan telah datang pula bersamaan dengan Pandan Wangi yang muncul dari pintu pringgitan. Ki Demang Sangkal Putung yang ingin beristirahat, diruang dalam berkata kepada Swandaru yang telah duduk didepan bilik Sekar Mirah yang masih tertidur, ”Jika kau tidak ingin tidur, duduklah

dipendapa.” Swandaru mengangguk. Iapun segera bangkit menengok adiknya. Ketika ia melihat Sekar Mirah masih nyenyak, maka iapun kembali ke pendapa seperti yang dipesankan ayahnya. Prastawa yang datang bersama Ki Argapati, agaknya tidak ingin beristirahat pula. Ketika Ki Argapati telah ditempatkan dirumah sebelah dan mencoba untuk berbaring, maka Prastawapun kemudian meninggalkannya. Agaknya ia lebih tertarik duduk dipendapa bersamaan Swandaru daripada berada didalam bilik dirumah sebelah bersama Ki Gede Menoreh. Namun anak muda itu mengerutkan keningnya ketika ia melihat Agung sedayu duduk tepekur disisi amben tempat jenazah Ki Sumangkar terbaring. “Kau tidak beristirahat Prastawa ?” bertanya Pandan Wangi yang menemuhi adik sepupunya. Prastawa menggeleng. Katanya, ”Aku sama sekali tidak merasa lelah atau mengantuk.” Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Namun sementara itu Prastawalah yang agaknya sedang menunggu seseorang. Setiap kali ia memandang pintu pringgitan. Kemudian mengedarkan pandangan matanya kesekitarnya. Tetapi ia tidak melihat orang yang dicarinya. “Dimanakah Sekar Mirah itu ?” ia selalu bertanya kepada diri sendiri. Tetapi ia segan untuk menanyakan kepada Pandan Wangi, rasa-rasanya ia tidak berhak untuk bertanya tentang gadis itu, meskipun betapa keinginannya untuk bertemu seolah-olah sangat mendesaknya. Namun Prastawa masih tetap menyadari keadaannya. Namun akibatnya ia menemukan akal juga. Iapun kemudian bergeser mendekati Swandaru dan bertanya beberapa hal tentang Ki Sumangkar. Swandaru selalu menjawabnya seperti yang diketahuinya tentang Ki Sumangkar. Ia sama sekali tidak mengetahui arah pertanyaan Prastawa yang sebenarnya. Namun kemudian ternyata bahan Prastawa sampai pada pertanyaan yang mulai menjurus, “Swandaru, bukanlah Ki Sumangkar memiliki senjata yang tidak kalah dahsyatnya dengan senjata Tohpati yang bergelar macan Kepatihan itu?” Swandaru mengangguk. Jawabnya, ”Ya. Meskipun ukurannya agak berbeda. Senjata Ki Sumangkar itu agak lebih kecil. Tetapi perbedaannya hampir tidak nampak.” “Senjata yang sangat mengerikan. Tentu satu-satunya muridnya yang akan memiliki senjata itu.” “Sudah lama senjata itu diberikan kepada Sekar Mirah.”

Prastawa mengangguk-angguk. Lalu iapun bertanya pula, ”Apakah yang dilakukan Sekar Mirah sekarang ? Ia tentu merasa kehilangan.” “Ya. Ia merasa dirinya menjadi sebatang kara. Yang dikerjakan sekarang adalah menangis sepanjang hari. Kemudian tertidur oleh kelelahan.” Prastawa termenung sejenak. Namun iapun mengetahui bahwa Sekar Mirah tentu berada didalam biliknya sepanjang hari. Ketika Ki Sumangkar masih belum meninggal dunia. Sekar Mirah masih nampak sekali-sekali dibilik gurunya meskipun seakan-akan tidak ada orang lain yang diperhatikannya selain Ki Sumangkar yang sedang sakit. Namun kemudian gadis itu bagaikan hilang dari antara keluarga Ki Demang Sangkal Putung. Diluar sadarnya Prastawa memandang Agung Sedayu. Tetapi agaknya Agung Sedayu sama sekali tidak menghiraukannya. Karena itu, maka Prastawapun kemudian sambil mengangguk-angguk berkata, ”Tetapi harus ada orang yang dapat menenangkannya. Ia harus menyadari, bahwa yang pergi itu tidak akan dapat kembali.” “Pandan Wangi selalu ada didekatnya,” jawab Swandaru, ”karena sekarang ia sedang tidur. maka Pandan Wangi dapat hadir disini.” Prastawa masih mengangguk-angguk. Karena Sekar Mirah sedang tidur, maka sudah barang tentu gadis itu tidak akan keluar dari biliknya. Dengan demikian, maka tiba-tiba saja Prastawa merasa lelah dan kantuk. Rasa-rasanya ia lebih senang berbaring didekat Ki Argapati dirumah sebelah daripada duduk dipendapa itu. Apalagi jenazah Ki Sumangkar telah ditunggui oleh beberapa orang, sehingga kehadirannya agaknya tidak diperlukan lagi. Karena itu, maka Prastawapun kemudian minta diri kepada Swandaru untuk beristirahat barang sejenak. “Mungkin aku masih sempat tidur barang sekejap menjelang pagi,” berkata Prastawa. “Silahkan, kau memang perlu beristirahat,“ sahut Swandaru. Tanpa minta diri kepada orang-orang lain yang berada dipendapa itu, maka Prastawapun kemudian bergeser dan turun dari pendapa. Perlahan-lahan ia berjalan melintasi halaman pergi kerumah sebelah. Dipendapa beberapa orang masih bercakap-cakap tentang Ki Sumangkar. Ki Waskita yang juga

berada dipendapa bergumam, “Nampaknya Ki Sumangkar sendiri sudah tidak berusaha untuk membantu Kiai.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Ki Sumangkar tidak pernah menolak obat apapun yang aku berikan.” “Benar Kiai. Tetapi tidak ada gejolak dari dalam dirinya untuk membantu penyembuhannya. Namun memang segalanya berada di dalam Kuasa Yang Maha Agung.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Nampaknya Ki Sumangkar sendiri merasa bahwa ia sudah terlalu lelah melakukan tugas-tugasnya selama ini. Ia merasa bahwa ilmunya sudah seluruhnya diturunkan kepada murid satu-satunya. Ia berharap bahwa Sekar Mirah dengan bantuan orang-orang disekitarnya akan dapat mengembangkan ilmunya sehingga mencapai tataran tertinggi seperti Ki Sumangkar sendiri.” “Apakah Ki Sumangkar tidak merasa wajib untuk menuntun muridnya sehingga ilmunya sampai kepuncak?“ bertanya Ki Waskita. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak seorangpun yang mengetahui isi hati seseorang. Juga kita tidak tahu apa yang sebenarnya dikandung dihati orang yang baik itu.” Ki Waskita termangu-mangu ketika ia melihat Kiai Gringsing mengedarkan tatapan matanya. Kemudian bergeser mendekatinya. Seolah-olah sambil berbisik ia berkata, “Agaknya Ki Sumangkar terlalu yakin, bahwa Agung Sedayu yang sudah mampu mengembangkan ilmunya sampai ketingkat tertinggi itu akan dapat membantu Sekar Mirah. Tetapi lebih dari pada itu, ada sepercik kekecewaan dihati Ki Sumangkar.” Meskipun Kiai Gringsing tidak menyebutkannya, tetapi rasa-rasanya Ki Waskita sudah dapat menangkap seluruhnya. Ki Sumangkar tentu kecewa melihat sikap Sekar Mirah menghadapi Agung Sedayu. Bahkan juga sikap Sekar Mirah terhadap keadaan disekelilingnya. Agaknya kekecewaannya itu pula yang membuat Ki Sumangkar ragu-ragu untuk mengembangkan ilmu Sekar Mirah sampai pada tingkat tertinggi. Agaknya Ki Sumangkar tidak yakin, bahwa ilmunya akan dipergunakan dalam jalan kebenaran sepenuhnya. Jika nafsu apapun mulai berbicara dalam ilmu yang sudah mencapai tingkat tertinggi, maka akibatnya akan sangat menyulitkan peradaban sesamanya. Ki Waskita yang mengangguk-angguk itu masih saja mengangguk-angguk. Meskipun Kiai Gringsing telah diam, tetapi ditelinganya seolah-olah terdengar Kiai Gringsing itu berceritera panjang lebar mengenai Ki Sumangkar dan sikap serta pandangannya terhadap kehidupan disekitarnya disaat-saat terakhir. Dalam pada itu maka langitpun menjadi semakin merah. Beberapa orang pengawal yang telah sempat beristirahat mendekati mereka yang duduk dipendapa

dan mempersilahkan mereka bergantian beristirahat. Meskipun Waskita kemudian meninggalkan pendapa itu juga bersama Kiai Gringsing. tetapi keduanya sama sekali tidak dapat tidur barang sekejappun. Keduanya berbaring saja dipembaringan sambil sepatah-sepatah berbicara tentang Ki Sumangkar. Dalam pada itu Swandaru yang masuk kedalam biliknya masih sempat memejamkan matanya sejenak. Demikian juga Pandan Wangi yang berbaring diantara beberapa orang perempuan yang membentangkan tikar disamping pembaringan Sekar Mirah. Namun Agung Sedayu sama sekali tidak dapat tertidur sekejappun. Seperti semula ia kembali ketempat anak-anak muda merebus air dan menyiapkan minuman. Ia berbaring juga di atas sebuah lincak bambu di serambi. Namun matanya sama sekali tidak dapat terpejam. Apalagi disekitarnya beberapa orang anak muda masih saja sibuk menyiapkan minuman panas bagi mereka yang terbangun dari tidurnya dan bergantian berjaga-jaga. Baik dipendapa, maupun di regol-regol dan gardu-gardu disekitar Kademangan. “Kenapa kau berbaring disitu?” bertanya seorang anak muda. “Hangat,” jawab Agung Sedayu pendek, “dekat perapian.” “Tetapi kau akan selalu dikejutkan oleh mereka yang sibuk disini apabila kau memejamkan mata,” sahut yang lain. Tetapi Agung Sedayu tidak beringsut dari tempatnya. Ia tetap berbaring saja sambil menatap atap serambi yang sempit. Kemudian bergeser memandang bayang-bayang kegelapan yang mulai diwarnai oleh merahnya fajar. Ternyata bahwa sejenak kemudian, orang-orang yang tertidur didapur telah mulai bangun. Beberapa orang perempuan mulai mencuci beras dan menyiapkan perapian, sementara yang lain pergi ketempat anakanak muda menyiapkan mmuman sambil memesan beberapa mangkuk minuman panas. Sebentar kemudian, maka fajarpun menjadi semakin terang. Orang-orang yang berada di Kademangan itupun mulai terbangun dan menjalankan kuwajiban masing-masing. Ada yang membersihkan halaman, ada yang menimba air mengisi jambangan pakiwan, dan kerja sehari-hari mereka masing masing. Namun dalam pada itu, para tamu yang menginap dirumah sebelah menyebelahpun telah mulai bangun pula. Ketika kemudian matahari mulai naik, sibuklah Kademangan Sangkal Putung dengan persiapan penguburan jenazah Ki Sumangkar. Orang-orang penting dari Pajang, dari Mataram, dari Jipang dan bahkan dari Demak telah siap pula untuk melakukan upacara. Untara yang membawa pertanda pribadi Sultan Pajang, menjadi pusat segala perhatian. Namun selain Untara, meskipun tidak dalam kedudukannya sebagai seorang priyagung dari Pajang, namun Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga, merupakan seorang tamu yang juga menarik perhatian.

Jika Untara dalam kedudukannya serta karena pertanda pribadi Sultan Pajang, maka Raden Sutawijaya adalah putera angkat terkasih dari Sultan Pajang itu sendiri. Namun yang kemudian seolah-olah telah memisahkan diri dan mendirikan suatu negeri baru yang disebutnya Mataram diatas Alas Mentaok yang telah dibukanya. Demikanlah, ketika saatnya telah tiba, maka jenazah Ki Sumangkar pun segera dipersiapkan. Disepanjang jalan dari rumah Ki Demang Sangkal Putung sampai kepemakaman, orang-orang Sangkal Putung berdesak-desakan ingin memberi penghormatan yang terakhir. Meskipun Ki Sumangkar bukan orang Sangkal Putung, tetapi karena sudah lama berada dirumah Ki Demang, maka orang-orang Sangkal Putung telah mengenalnya dengan baik, seperti mereka mengenal Sekar Mirah sendiri. Bahkan orang-orang dari Kademangan disekitarnya ada pula yang memerlukan datang untuk menyaksikan penguburan yang telah dikunjungi oleh orang-orang besar dari Pajang dan beberapa Kadipaten disekitarnya. Dalam pada itu. Pandan Wangi selalu sibuk dengan Sekar Mirah. Agung Sedayu yang dipanggil oleh Swandaru mencoba untuk menenangkannya pula. Namun setiap kali Sekar Mirah masih saja menangis. Seakan akan ia telah kehilangan ayahnya sendiri “Sadarilah keadaanmu Mirah,” Agung Sedayu mencoba mengendapkan perasaan gadis itu, “kau adalah muridnya. Ki Sumangkar adalah titah dalam lingkup ciptaan Yang Maha Kuasa, ia datang karena kehendak-Nya. Dan ia pergi karena dipanggil-Nya. Jika kita bersedih itu adalah wajar sekali. Setiap perpisahan memang tidak menyenangkan bagi seseorang yang mempunyai ikataan khusus terutama. Tetapi perpisahan itu tidak dapat ditolak oleh siapapun juga. Justru penolakan itu, meskipun hanya didalam hati, akan menjadi titik-titik noda bagi utuhnya hubungan kita dengan Yang Maha Peneipta itu. Karena seakan-akan kita menolak keharusan yang telah ditetapkan-Nya dengan tuntutan didalam sikap hubungan kita dengan-Nya itu.” Sekar Mirah mencoba untuk menangkap isi kata-kata Agung Sedayu. Bagai manapun juga anak muda itu baginya menjadi tumpuan harapan dimasa datang. Meskipun kadang-kadang Agung Sedayu mengecewakannya di dalam sikap. tetapi kadang-kadang anak muda itu sangat mengagumkan dan menumbuhkan harapan. Namun disela-sela isaknya ia berkata, “Kakang Agung Sedayu. Aku ingin ikut mengantar jenazah guru sampai ke makam.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dipandanginya Swandaru dan Pandan Wangi berganti-ganti, seolah-olah ia minta pertimbangan mereka. Swandarupun menjadi bingung. Untuk sejenak ia terdiam.

“Jangan dilarang,“ minta Sekar Mirah. “SekarMirah,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “sebaiknya aku menyampaikannya kepada Ki Demang.” “Tetapi ayahpun jangan melarang.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Aku akan mengusahakannya Mirah. Tetapi berjanjilah kepada diri sendiri, bahwa kau tidak akan mengikuti dorongan perasaan sedihmu di pemakaman agar segalanya dapat berjalan seperti biasanya.” Sekar Mirah terdiam sesaat. Dan Agung Sedayu berkata seterusnya, “Kau memang akan menangis Mirah. Itu sudah wajar. Tetapi sadarilah, bahwa tangismu harus tetap dapat kau atasi dengan nalar. Kau harus tetap sadar, bahwa yang terjadi itu memang harus terjadi. Dan bahwa kau menangis itupun wajar sekali karena kau kehilangan. Tetapi kaupun harus sadar pula, bahwa itu adalah luapan kesedihanmu tanpa dapat menimbulkan perubahan apa-apa juga atas yang terjadi. Ki Sumangkar akan tetap pergi untuk selama-lamanya. Dan itu harus terjadi tanpa dapat dicegah lagi.” Sekar Mirah mengangguk. “Jika kau berjanji, aku akan menyampaikannya kepada Ki Demang. Mudah-mudahan Ki Demangpun tidak berkeberatan. Aku akan menjelaskan bahwa kau akan tetap sadar sepenuhnya akan keadaan yang kau hadapi di pemakaman.” Sekali lagi Sekar Mirah mengangguk. “Jika demikian, bantulah ia membenahi diri Pandan Wangi,“ berkata Swandaru, “orang-orang diluar sudah mulai bersiap-siap.” Swandaru dan Agung Sedayupun kemudian meninggalkan bilik Sekar Mirah, membantu gadis itu membenahi rambut dan pakaiannya. Dalam keadaan yang demikian kedua perempuan itu sama sekali tidak membayangkan kegarangan mereka dipeperangan. Namun agaknya sikap dan tingkah laku Sekar Mirah dapat membantunya meringankan beban perasaan. Ia mencoba mempergunakan nalarnya sebaik-baiknya seperti yang dipesankan Agung Sedayu, agar ia tidak terseret dalam duka yang tidak berbatas. Namun dalam pada itu. selain para pemimpin dari berbagai penjuru datang memberikan penghormatan terakhir, maka ada juga diantara mereka yang datang untuk kepentingan yang lain. Seorang perwira prajurit Pajang dengan saksama memperhatikan setiap orang yang ada di Sangkal Putung sebaikbaiknya.

Perwira itu mencoba untuk mencari kemungkinan lain yang dapat terjadi di Sangkal Putung karena sedemikian banyak orang yang hadir. Tetapi ia tidak melihat sesuatu selain orang-orang yang dengan tulus memberikan peghormatan terakhir pada pemakaman Ki Sumangkar. Dengan tidak menumbuhkan kecurigaan maka perwira itupun kemudian ikut pula dalam kesibukan disaat keberangkatan jenazah. Namun ia masih sempat juga berdiri di regol untuk melihat-lihat orang-orang yang berdesakan untuk menyaksikan upacara pemakaman. Sejenak perwira itu termangu-mangu, namun iapun kemudian mendekati seorang yang sudah berambut putih meskipun tubuhnya masih nampak kuat dan kekar. “Sebentar lagi jenazah akan diberangkatkan,“ berkata perwira itu. “Apakah ada bayang-bayang dibawah lentera?“ bertanya orang berambut putih. Perwira itu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak. Tidak ada apa-apa. Semuanya wajar.” Perwira itupun kemudian meninggalkan orang berambut putih itu. Beberapa orang mendengar percakapan itu. Tetapi mereka tidak mengerti dan sebagian besar sama sekali tidak menghiraukannya. Namun berbeda dengan orang-orang yang tidak memperhatikan sikap dan pembicaraan perwira dengan yang berambut putih itu. maka seorang anak muda dalam pakaian seorang petani mengerutkan keningnya. Ia memperhatikan orang berambut putih itu dari antara orang-orang yang berdesakan. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa. Sejenak kemudian anak muda itu sudah memperhatikan kesibukan di halaman Kademangan Sangkal Putung. Setelah saatnya tiba, serta segala persiapan dan upacara sudah dilakukan, maka jenazah Ki Sumangkar-pun segera diiring menuju ke makam. Para pemimpin dari Pajang, Mataram dan beberapa Kadipaten yang lain ikut pula mengantar jenazah itu dalam iring-iringan yang panjang. Beberapa lapis dibelakang jenazah Sekar Mirah berjalan dibimbing oleh Pandan Wangi. Dengan sekuat tenaga ia bertahan untuk tidak menitikkan air mata. Ia mencoba untuk menahan gejolak perasaannya dengan nalarnya. Swandaru dan Agung Sedayu berjalan dibelakang kedua perempuan itu. Mereka hampir tidak berbicara sama sekali. Hanya kadang-kadang Agung Sedayu berpaling, karena Glagah Putih mengikutinya dibelakangnya. “Kau tidak tinggal di Kademangan saja?“ bertanya Agung Sedayu.

“Semuanya ikut serta. Ayah, Kiai Gringsing dan kakang ikut pula. Aku sendiri di Kademangan.“ jawab Glagah Putih. Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Namun dalam pada itu, di bagian lain dari iring-iringan itu, beberapa orang perwira yang merasa kedudukannya lebih tinggi dari Untara merasa canggung, bahwa Untaralah yang telah mendapat limpahan pertanda pribadi Sultan Pajang. “Ia adalah Senapati yang kuasanya meliputi daerah Sangkal Putung,” berkata seorang Tumenggung yang kumisnya tebal meskipun satu dua sudah nampak memutih. “apalagi saat laporan itu sampai kepada Sultan yang diberikan langsung oleh Agung Sedayu, Untara sedang berada di istana.” Kawannya, juga seorang Tumenggung yang umurnya sebaya dengan Tumenggung yang berkumis itu mengangguk. Jawabnya, “Mungkin demikian. Tetapi mungkin Sultan memang sudah pikun, sehingga tidak dapat berpikir panjang lagi.” Kawannya mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Demikianlah iring-iringan itu berjalan memanjang disepanjang jalan Kademangan. Disebelah menyebelah jalan, berjejal-jejal orang yang ingin menyaksikan iring-iringan itu. Ketika perwira yang berbicara dengan orang berambut putih dimuka regol halaman Kademangan itu sampai ditikungan diluar padukuhan induk, sekali lagi ia bertemu dengan orang berambut putih itu. Ketika ia berjalan di depannya, maka perwira itu berkata, “Tak ada apa-apa.” Orang berambut putih itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab sama sekali. Tetapi diluar sadar mereka, maka anak muda yang sejak semula memperhatikannya, masih juga berdiri tidak jauh dibelakangnya. Iapun mendengar kata-kata perwira itu. Tetapi iapun tidak berbuat apa-apa. Selangkah demi selangah, maka iring-iringan itupun semakin jauh dari rumah Ki Demang Sangkal Putung dan mendekati pemakaman. Untuk menjaga segala kemungkinan, maka Swandaru telah memerintahkan beberapa orang pengawal mengawasi keadaan. Sekelompok pengawal telah mendahului berpencar di pemakaman. Sementara yang lain tetap berada di Kademangan. Yang lain lagi telah ikut dalam iring-iringan yang semakin panjang. Sutawijaya yang berada diantara iring-iringan itu memperhatikan keadaan dengan saksama. Ia berjalan disamping Untara yang membawa pertanda pribadi Sultan Pajang. Namun keduanya seakanakan tidak berbicara sepatah katapun sejak mereka berangkat dari Kademangan. Dalam pada itu, ketika Sutawijaya melihat regol pemakaman, tiba-tiba saja ia teringat akan

ayahandanya yang sudah tidak ada lagi. Ketika Ki Gede Pemanahan meninggal, maka iapun mendapat penghormatan yang besar seperti Ki Sumangkar. Bahkan penghormatan yang tercermin dari hadirnya pusaka Pajang yang telah dianugerahkan kepada Raden Sutawijaya berupa sebuah songsong merupakan penghormatan yang sangat tinggi. Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah kehilangan ayahandanya. Dan kini ia rasarasanya berdiri diseberang pagar dari ayahanda angkatnya, bukan karena ayahanda angkatnya itu sendiri. Tetapi ia sendirilah yang telah menjauhkan diri dari padanya. Tetapi Raden Sutawijaya tidak sempat berangan-angan terlalu lama. Sebentar kemudaian, maka iring iringan itupun telah mendekati regol makam. Beberapa orang telah mendahului. Mereka mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk pemakaman jenazah Ki Sumangkar itu. Diantara mereka yang mendahului adalah Swandaru dan Agung Sedayu. sementara Glagah Putih mengikuti mereka dibelakang. Banyak orang yang ikut mengantarkan jenazah itu sampai kemakam. Tetapi para pengawal berusaha untuk menahan mereka agar mereka tidak memasuki makam, sebelum para pemimpin dan tamu yang datang dari jauh. Dengan demikian, maka orang-orang itupun bagaikan berpencar diseputar makam. Mereka berusaha untuk mendapat tempat diluar dinding makam yang tidak terlalu tinggi, agar mereka dapat melihat kedalam. Tetapi ternyata bahwa orang-orang penting yang kemudian memasuki makam mengiringi jenazah itu telah melingkar menutup pandangan mereka. “Seharusnya mereka menepi,” desis seseorang diluar dinding makam. “Menepi kemana?“ bertanya orang disebelahnya, “Kekiri atau kekanan, asal mereka tidak menutup pandangan kami.” “Tetapi jika mereka kekiri atau kekanan. mereka akan tetap menutup pandangan orang lain,“ desis yang lain lagi. Orang yang pertama tidak menjawab. Tetapi ia tetap bersungut-sungut. Sementara orang-orang yang bertugas sedang mempersiapkan jenazah yang akan diturunkan kedalam makam, maka beberapa orang yang lain didalam makam itu telah berpencar pula. Bernaung dibawah pepohonan yang terdapat disela-sela batu-batu nisan. Glagah Putih yang tidak ikut membantu Agung Sedayu dan Swandaru telah menepi pula. Ia duduk agak jauh diluar kerumunan orang-orang yang berada disekitar liang pemakaman. Angin yang berhembus didedaunan rasa-rasanya telah menyegarkan badannya. Diluar sadarnya ia bergeser selangkah demi selangkah. sehinggga akhirnya ia telah berdiri terpisah dari orang-orang lain yang berada didalam dinding makam itu.

Glagah Putih yang kemudian duduk dibawah sebatang pohon rasa-rasanya bagaikan diayun dalam ayunan. Apalagi semalam iapun kurang tidur meskipun tidak terjaga semalam suntuk. Tetapi tiba-tiba saja ia tertarik pada sebuah pembicaraan dari dua orang yang berdiri diluar dinding, dekat dibelakangnya. Karena itu maka iapun kemudian berusaha mendengarkan pembicaraan itu dengan saksama. Meskipun tidak begitu jelas tetapi ia mendengar seorang dari mereka berkta, “Itulah Agung Sedayu.” “Yang mana?” “Agak terlindung. Tetapi kau tentu melihatnya, ia berdiri disamping saudara seperguruannya, Swandaru yang gemuk itu.” Sejenak kedua orang itu terdiam. Ketika dengan hati-hati Glagah Putih berpaling kepada mereka tanpa menarik perhatiannya, maka Glagah Putih melihat dua orang yang memperhatikan Agung Sedayu dengan saksama. Yang seorang sudah berambut putih, sedang yang lain agak lebih muda sedikit meskipun nampaknya umurnya tidak terpaut banyak. Ketika keduanya mulai berbicara lagi, Glagah Putih berusaha pula untuk mendengar percakapan mereka. Salah seorang dari keduanya berkata, “Anak muda itu nampaknya tidak lebih dari penggali kubur.” “Ya,“ jawab yang lain, “tetapi ia sudah berbuat sesuatu yang sangat mengejutkan. Benar-benar diluar nalar. Seolah-olah ia bukan manusia biasa.” Kawannya tertawa pendek. Ketika Glagah Pulih mengerling kepada mereka, ia melihat orang yang tertawa itu memandang kesekitarnya, kepada orang-orang yang berdiri di sebelah menyebelah bertolakan dinding batu yang rendah. Orang itu berkata, “Kau nampaknya cemas benar.” “Kau dengar apa yang terjadi di Mataram?” Yang lain masih tertawa. Katanya, “Aku dengar. Tetapi mereka yang telah digilasnya itu bukan aku dan kau.” “Ah, sombong kau. Apa kelebihan kita dari Wanakerti?” “Sst,“ desis kawannya, “kau mulai menyebut nama. Hati-hatilah sedikit. Pepohonan itu mempunyai telinga.” “Lebih pasti orang-orang disekitar kita itu mempunyai telinga.” “Tetapi telinga mereka tidak untuk mendengarkan pembicaraan kita.” Sejenak keduanya terdiam. Sementara itu mereka yang melakukan upacara pemakamanpun berjalan

terus. Glagah Putih tidak melihat ketika jenazah Ki Sumangkar diturunkan. Kemudian setelah upacara selesai, maka makam itupun mulai ditimbun dengan tanah. Dalam pada itu, Pandan Wangi yang berdiri disisi Sekar Mirah menjadi berdebar-debar. Setiap kali ia memandang wajah gadis yang muram itu. Namun agaknya Sekar Mirah berusaha sungguh-sungguh untuk tidak kehilangan nalar dan tenggelam dalam arus perasaannya. Sementara itu, beberapa orang telah melakukan seperti kebiasaan mereka dalam upacara pemakaman. Segenggam-segenggam mereka melontarkan tanah kemakam yang sedang ditimbun itu. “Kau?“ desis Pandan Wangi. Sekar Mirah berpaling. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian iapun melangkah maju. Beberapa orang yang tahu bahwa ia adalah satu-satunya murid Ki Sumangkar telah menyibak dan memberikan kesempatan kepada Sekar Mirah untuk juga melontarkan segenggam tanah. “Itu adalah Sekar Mirah,“ tiba-tiba saja Glagah Putih mendengar orang itu berbicara lagi, sehingga ia mengurungkan niatnya untuk ikut melontarkan tanah kemakam. “Ya aku tahu. Gadis itu adalah bakal isteri Agung Sedayu,“ jawab yang lain. “Tetapi iapun seperti seekor macan betina. Jika ia berdiri dengan tongkatnya, ia akan berubah sama sekali.” Kawannya tidak menjawab. Untuk sesaat Glagah Putih tidak mendengar keduanya berbicara. Yang didengarnya adalah geremang orang-orang yang ada diluar dinding itu. Karena pemakaman sudah selesai, maka merekapun mulai berdesakkan meninggalkan makam. Namun sejenak kemudian terdengar salah seorang itu berbicara, “Lihat. Siapa saja yang berada di makam itu. Ada berapa puluh orang sakti disini. Mereka datang dari segala penjuru. Jika saat ini diadakan sayembara untuk memilih yang paling sakti, maka akan ada pertunjukan yang paling menarik ditahun ini.” “Dan kau akan ikut serta?“ bertanya yang lain. “Tentu tidak.” “Tetapi kau katakan, bahwa kau bukan orang-orang yang terbunuh di Mataram. Menurut pengertianku, kau merasa memiliki kemampuan melampaui mereka.” “Itu bodoh sekali. Kebodohan semacam itulah yang telah banyak membunuh orang-orang sakti. Untuk

membinasakan Agung Sedayu harus dipergunakan akal. Bukan sekedar membenturkan ilmu.” Yang lain tertawa kecil. Namun kemudian katanya, “Orangorang telah pergi. Kitapun akan pergi. Kita tidak perlu cemas melihat orang-orang sakti itu berkumpul disini. Mereka datang dari segala penjuru dengan segala pendirian masing-masing. Mereka tidak akan berbincang dan menentukan sikap apapun juga. Apalagi disini ada Untara. Ia adalah seorang prajurit yang lurus dalam sikap dan pendirian.” Dengan hati-hati Glagah Putih mencoba melihat mereka, ketika ia mendengar salah seorang berkata, “Marilah. Apa lagi yang kita tunggui.” Kedua orang itu mulai bergerak. Tetapi tiba-tiba salah seorang berkata, “Anak itu memperhatikan kita.” Yang lain mengerutkan keningnya dan bertanya, “Yang mana?” Dengan pandangannya yang seorang menunjuk Glagah Putih yang berdebar-debar. “Anak kecil itu?” “Ia bukan lagi anak kecil, ia mulai meningkat remaja.” Yang lain tertawa. Katanya, “Ia tidak mendengar pembicaraan kita.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia sempat memperhatikan wajah keduanya. Meskipun demikian. iapun mulai mengerti tentang dirinya sendiri. Bahkan latihan pendengaran yang selalu dilakukannya memberikan keuntungan baginya. Pendengarannya ternyata menjadi semakin tajam, melampaui kebanyakan orang, sehingga kedua orang itu menganggapnya tidak mendengar pembicaraan mereka. “Aku dapat mendengarnya meskipun lamat-lamat,“ katanya kepada diri sendiri, “tetapi aku mengerti apa yang mereka percakapkan.” Meskipun demikian Glagah Putih menjadi gelisah pula. Jika kedua orang itu memutuskan untuk berbuat sesuatu atasnya karena ia dianggap memperhatikan percakapan mereka, maka ia akan mengalami kesulitan, setidak-tidaknya saat ia berada di Sangkal Putung. Karena perhatian Glagah Putih tertumpah seluruhnya kepada kedua orang itu, maka tiba-tiba saja ia merasa bahwa pemakaman itu sudah selesai. Beberapa orang telah beringsut dari tempatnya dan berjalan meninggalkan gundukan tanah merah yang ditaburi dengan bunga. Perlahan-lahan Glagah Putih mendekat. Ia melihat Sekar Mirah masih berdiri disisi makam yang baru itu. Disampingnya Pandan Wangi memegangi tangannya, sementara Agung Sedayu berdiri dibelakangnya bersama Swandaru.

“Marilah Mirah,“ desis Pandan Wangi. Sekar Mirah mengangguk. Ia bertahan untuk tidak menangis, meskipun matanya nampak merah. Disamping regol makam, Kiai Gringsing berdiri termangu-mangu. Disebelahnya Ki Waskita dan Ki Demang bercakap perlahan-lahan. Sementara di sebelah lain nampak Untara sedang berbicara pula dengan Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani. diantara para pengawal mereka. “Mereka menunggu kita,” desis Swandaru. Sekali lagi Sekar Mirah mengangguk. Sejenak Sekar Mirah masih memandangi tanah yang merah itu. Kemudian iapun melangkah meninggalkannya. Betapa dadanya bagaikan retak, tetapi Sekar Mirah tidak menangis. Setitik air matanya meleleh dipipi. Namun jari-jarinya segera mengusapnya. Ketika langkahnya sampai dihadapan Untara dan Raden Sutawijaya, ia berhenti. Dengan isyarat ia mempersilahkan keduanya berjalan lebih dahulu. Untara dan Raden Sutawijaya ragu-ragu. Namun Kiai Gringsinglah yang kemudian beikata, “Silahkan anak mas berdua berjalan didepan bersama Ki Juru Martani.” Meskipun masih juga nampak ragu-ragu, tetapi merekapun kemudian berjalan mendahului Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang kemudian mengikut dibelakang. Sementara itu, dibelakang mereka, para pemimpin dan para Senapati yang datang dari segala penjuru itupun mengikutinya pula. Glagah Putih yang kemudian berlari-lari kecil menyusul Agung Sedayu. menggamitnya sambil berbisik, “Ada sesuatu yang penting aku sampaikan kakang.” “Apa itu?“ bertanya Agung Sedayu. “Kau sempat mendengarnya sekarang, mumpung belum terlambat?” Agung Sedayu memandanginya sejenak. Namun kemudian sambil mengusap kepala anak itu ia berkata, “Nanti saja di rumah Glagah Putih.” “Tetapi penting. Jika tidak kau tentu tidak akan mengatakannya. Tetapi tidak perlu sekarang. Kita sedang dalam perjalanan kembali.” Glagah Putih menjadi gelisah. Dapat saja terjadi sesuatu disetiap saat. Sementara itu Agung Sedayu masih belum mengerti persoalannya. “Kakang,“ ia berjalan disisi kakang sepupunya, “bagaimana jika terlambat.” “Apa yang terlambat? Jangan cemas Glagah Putih Sebentar lagi kita akan sampai. Sekarang sebaiknya

kau simpan ceriteramu itu.” Glagah Putih, menjadi jengkel. Tetapi ia tidak dapat memaksa Agung Sedayu untuk mendengarkan ceriteranya. Apalagi Agung Sedayu berjalan dalam iring-iringan. Jika ia memaksa untuk berceritera, maka ia harus berbicara keras-keras sehingga mungkin akan ada orang yang mendengarnya. Karena itu Glagah Putih tidak lagi mengikuti Agung Sedayu. Ia berjalan sendiri di antara orang-orang yang meninggalkan makam. Sekilas dilihatnya ayahnya berjalan bersama Ki Demang dan Ki Waskita. Namun kemudian bergeser mendekati Kiai Gringsing dan Ki Gede Menoreh. Glagah Putih tidak mempedulikan mereka. Ia berjalan saja searah dengan mereka. Sementara orangorang yang berjalanpun tidak menghiraukannya pula. “Uh,“ desahnya, “aku sudah berusaha. Tetapi kakang Agung Sedayu menganggap persoalan yang akan aku katakan itu tidak perting. Mudah mudahan tidak terjadi sesuatu disepanjang jalan kembali ke Kademangan.” Namun kemudian dijawabnya sendiri, “Tentu tidak akan ada apa-apa. Ia berjalan diantara banyak orang. Nampaknya semua orang berilmu tinggi. Tentu dalam keadaan seperti ini tidak ada orang yang berani mengganggunya. Bahkan tidak ada sekelompok orang yang berani mengganggu iring-iringan ini. Disini ada kiai Gringsing, ada Ki Waskita, ada kakang Untara, kakang Agung Sedayu dan kakang Swandaru. Ada Pandan Wangi, Sekar Mirah. Ki Gede Menoreh, ada lagi Raden Sutawijaya, Ki Juru Martani, para perwira dari Pajang dan para Senapati dari Mataram, beberapa orang Adipati dengan para pengawalnya.” Glagah Putih mengerutkan dahinya. Diluar sadarnya ia berguman perlahan-lahan, “Jika ada pasukan sekuat iring-iringan ini, maka negara diseluruh dunia tentu akan takluk. Masing-masing tentu membawa pasukan segelar sepapan. Dengan rontek dan umbul-umbul. Alangkah dahsyatnya. Sepasukan yang panjang dibawah para Senapati yang tidak terkalahkan.” Glagah Putih menjadi tegang oleh angan-angannya. Dipandanginya orang-orang yang berjalan disebelahnya. Nampaknya semua memang orang penting dan memiliki ilmu yang tinggi. Namun diluar sadarnya, dua orang terus mengamatinya.

Salah seorang berkata, “He kau lihat anak kecil itu mendekati Agung Sedayu.” “Tetapi Agung Sedayu tidak menghiraukannya,“ desis yang lain. “Ia belum sempat. Tetapi mungkin sekali anak kecil itu mendengar percakapan kita. Dan ia ingin memberitahukannya kepada Agung Sedayu,“ berkata yang pertama. “Itu tentu berbahaya bagi kita. Tetapi nampaknya ia belum sempat.” “Aku sudah menduga, bahwa anak itu berbahaya. Tetapi kau tidak mendengarkannya. Kau anggap ia anak kecil dan tidak mendengar percakapan kita.” “Aku kira memang begitu. Kita saja yang cepat menjadi cemas. Mungkin ia akan menceritakan apa saja kepada Agung Sedayu yang tidak ada sangkut pautnya denga pembicaraan kita.” “Kau selalu mencoba mengelakkan persoalan yang sebenarnya.” “Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan.” Yang lain termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Lihat, anak itu memisahkan diri. Ia berjalan sendiri.” “Sendiri? Kau kira yang lain itu bukan orang?” “Maksudku, ia berjalan sendiri diantara sekian banyak orang.” “Apa yang dapat kita lakukan?” “Kita giring anak itu keluar dari iring-iringan.” “Lalu?” “Kita bungkam untuk selama-lamanya.” “He?” “Tidak ada jalan lain, mumpung ia belum sempat mengatakannya kepada Agung Sedayu atau kepada orang lain.” Yang seorang nampak termangu-mangu. Namun yang lain mendesak, ”Apakah kita akan membiarkan usaha kita gagal karena Agung Sedayu sudah mengetahui bahwa ia selalu dibayangi oleh dendam?” “Ia tentu selalu merasa dibayangi oleh dendam. Tetapi bagaimana anak itu?” “Bunuh saja.“ yang lain menggeram, “sudah aku katakan. Membunuh Agung Sedayu harus dengan akal. Tidak dengan

sekedar membanggakan ilmu yang tentu tidak akan dapat menyamainya. Cobalah jujur kepada diri sendiri. Apakah kira-kira empat atau lima orang seperti kita dapat membunuhnya?” “Kita tidak harus membunuhnya dengan tangan kita berdua saja. Kita harus mengamat-amatinya dan kemudian menentukan sikap.” “Jika demikian, membinasakan anak itu termasuk tugas kita.” Keduanya terdiam. Mereka barjalan disebelah iring-iringan itu. Rasa-rasanya jalan memang menjadi pepat. Tetapi keduanya masih sempat melihat Glagah Putih berjalan seenaknya tanpa berprasangka, karena ia merasa bahwa ia berjalan diantara banyak orang yang berilmu.” “Kita mendahului,” desis salah seorang dari kedua orang yang mengikuti Glagah Putih, “kita cegat di tikungan. Kita akan berusaha memisahkannya dari iring-iringan.” Kawannya tidak menjawab. Tetapi keduanyapun kemudian mencari jalan lain mendahului iringiringan itu. Dimulut sebuah lorong mereka menunggu. Jika Glagah Putih lewat mereka akan berusaha menarik perhatiannya dan memisahkannya dari iring-iringan itu. Siapkan pisau belati kecil itu. Aku akan berdiri melekat tubuhnya sambil menekankan ujung pisau itu dibawah kain panjang.” “Mencurigakan. Kita panggil saja anak itu. Baru setelah ia mendekat, kita ancam ia dengan pisau.” “Apakah ia akan mendekat? Baiklah kita coba. Kita panggil anak itu. Nampaknya ia ingin mengetahui banyak hal. Karena itu agaknya ia akan tertarik oleh sikap-sikap yang justru mencurigakan baginya.” Demikian iring-iringan itu berjalan terus. Para perwira dan Senopati yang datang dari luar Sangkal Putung masih akan kembali ke rumah Ki Demang. Baru kemudian mereka akan minta diri untuk kembali ke tempat masing-masing. Demikian pula Untara dan Raden Sutawijaya. Mereka berdua bersama pengawal masing-masing berjalan menuju ke Kademangan. Berbeda dengan saat mereka berangkat, yang hampir tidak berbicara sama sekali, maka dijalan pulang mereka nampak banyak berbincang tentang keadaan Ki Sumangkar menjelang saat-saat terakhir, meskipun Raden Sutawijaya masih sangat membatasi keterangannya tentang luka-luka yang diderita oleh Ki Sumangkar. Namun bagi Untara, keterangan itu agaknya sangat penting. Meskipun demikian ia sadar, bahwa Raden Sutawijaya tentu bukan merupakan sumber yang dapat diharapkan. Dengan demikian, maka mereka sekedar berbicara tentang keadaan yang sebenarnya telah mereka ketahui tentang saat-saat terakhir Ki Sumangkar itu.

Sekar Mirah yang dibimbing oleh Pandan Wangi berjalan diantara iring-iringan itu. Nampaknya Sekar Mirah berhasil mengatasi gejolak dihatinya sehingga ia tidak lagi kehilangan nalar. Ia berjalan kembali keinduk padepokan tanpa menitikkan air mata, meskipun setiap kali terdengar ia berdesah. Dalam pada itu, Glagah Putih berjalan dibelakang. Semakin lama semakin jauh dari Agung Sedayu. Ia masih saja berangan-angan tentang para perwira dan Senapati. Tentang pasukan segelar sepapan yang tidak terhingga dibawa para pemimpin yang sekarang berkumpul. “Sayang,” anak yang masih sangat muda itu kemudian berdesah, “mereka bukan berasal dari satu kesatuan kekuatan. Bahkan nampaknya diantara mereka terdapat batas-batas sesuai dengan asal mereka masing-masing. Sehingga nampaknya mereka sulit dipersatukan dalam satu kekuatan.” Glagah Putih mengerutkan dahinya. Kemudian gumamnya, ”Jika saja. Jika saja mereka bersatu.” Namun diluar sadarnya, Glagah Putih telah berada diujung belakangan dari iring-iringan itu meskipun belum terpisah. Ia memang ingin melihat semua orang yang dianggapnya memiliki ilmu yang dahsyat. Karena itulah maka iapun kemudian berjalan diantara orang kebanyakan yang sedang dalam perjalanan kembali ke padukuhan induk. Dua orang yang menunggunya ditikungan menjadi berdebar-debar. Namun semakin melihat, Glagah Putih tidak lagi berjalan diantara para perwira dan Senapati. Beberapa langkah lagi Glagah Putih sudah akan sampai ditikungan. Ia sama sekali tidak mengira bahwa dua orang sudah siap menunggunya. Justru dua orang yang telah menarik perhatiannya di luar makam saat-saat pemakaman Ki Sumangkar. Demikianlah, ketika langkahnya membawanya sampai ketikungan, dan orang yang berdiri menunggunya itupun telah bersiap. Mereka sama sekali tidak menarik perhatian, karena sikap mereka seperti sikap orang-orang yang melihat iring-iringan itu. Namun demikian. Glagah Pulih lewat dihadapan mereka, salah seorang dari keduanya tertawa sambil berkata, ”He anak muda.” Glagah Putih yang sedang menekuni angan-angannya terkejut. Ia sama sekali tidak menghiraukan orang-orang yang berdiri disebelah menyebelah jalan. Namun ketika ia mendengar orang memanggil dekat disebelahnya iapun mengangkat wajahnya. Yang dilihatnya adalah dua orang yang diperhatikannya di makam itu. Namun dalam pada itu salah seorang dari keduanya telah berkata, ”Ternyata dugaanmu salah.” Glagah Putih termangu-mangu. “Ya anak muda, aku berbicara dengan kau.” Langkah Glagah Putihpun tertegun. Disebelahnya iring-iringan itu berjalan terus. Debu yang kelabu

terhambur hambur diudara menyesakkan nafas. “Kau berbicara dengan aku ?” Glagah Putih meyakinkan. “Ya, kau. Tidak ada orang lain yang boleh mendengar selain kau,” desis salah seorang dari keduanya. Glagah Putih ragu-ragu. Tetapi rasa ingin tahunya telah mendorongnya mendekat. “Aku tidak mengerti,” berkata Glagah Putih. “Bukankah kau yang duduk di makam disaat pemakaman Ki Sumangkar tadi?” “Ya,” jawab Glagah Putih. “Nah, aku kira kau memang pantas untuk mendapat kepercayaan itu. Kau masih muda. tetapi agaknya kau cerdas.” “Aku tidak mengerti maksudmu,” desis Glagah Putih kebingungan. Kedua orang itu memang dengan sengaja membuat Glagah Putih kebingungan. Kemudian salah seorang dari keduanya berkata, “Dengarlah. Tetapi jangan didengar orang lain. Sangat penting artinya bagimu dan bagi Agung Sedayu.” Glagah Putih menjadi bingung, ia teringat apa yang dikatakan oleh kedua orang itu. sehingga kecurigaannyapun mulai timbul. Namun ia tidak sempat mengelakkan diri dari bahaya yang segera mencengkamnya. Tiba-tiba saja salah seorang dari keduanya telah berdiri dekat dibelakangnya. Perlahan-lahan orang itu bergumam, “Jangan melawan anak muda. Pisauku dapat menghunjam di punggungmu.” Glagah Putih sadar, bahwa ia telah terjebak. Dalam saat yang gawat itu ia teringat sekilas usahanya yang gagal untuk memberitahukan Agung Sedayu apa yang dapat terjadi atasnya. “Kakang Agung Sedayu terlalu mengabaikan aku,” desisnya. Tetapi yang terjadi justru agak berbeda. Ia sendirilah yang menjadi sasaran pertama-tama karena ia telah lengah. Sebab ia sendiri sudah merasa, bahwa ia akan terlibat justru karena ia mendengar pembicaraan kedua orang itu. Beberapa orang masih berjalan di ekor iring-iringan itu. Tetapi mereka bukan para perwira dan Senapati yang datang dari luar Sangkal Putung. Sementara itu. terasa dipunggung Glagah Putih ujung pisau menjadi semakin menekan.

“Kau tidak mempunyai pilihan,“ desis salah seorang dari kedua orang itu, “marilah. Ikuti kami.” Glagah Putih tidak dapat membantah lagi. Ketika pisau dipunggungnya terasa semakin menekan, maka iapun bergeser setapak. “Jangan hanya bergeser,“ desis orang yang menekankan pisau dipunggungnya, “berjalanlah. Dan jangan menumbuhkan kecurigaan kami berdua. Kau tidak mempunyai kesempatan apapun juga. Aku adalah seorang yang mampu mengimbangi ilmu orang-orang yang paling sakti didunia ini. Sementara temanku itu adalah orang yang tidak terkalahkan dalam benturan ilmu sepanjang hidupnya. Karena itu. kau tidak akan dapat melawan kehendak kami.” Glagah Putih menjadi semakin berdebar-debar. Ia benar-benar tidak dapat berbuat lain daripada mengikuti perintah orang itu, karena setiap kali terasa ujung pisau yang tajam menekan kulitnya. Jika pisau itu benar-benar ditekan oleh orang yang mengancamnya itu. maka punggungnya tentu akan berlubang sampai kepusat jantung. Karena itu maka Glagah Putihpun segera melangkah mengikuti perintah kedua orang itu. Mereka berjalan lewat jalan simpang menuju ketengah bulak yang panjang. Orang-orang yang berjalan dalam iring-iringan menuju keinduk pedukuhan sama sekali tidak menghiraukannya. Mereka sama sekali tidak tahu, bahwa Glagah Putih telah diancam dengan sebilah pisau dan dibawa menjauhi induk padukuhan diluar pengawasan siapapun juga. Meskipun di Sangkal Putung itu ada ayahnya, Ki Widura. ada saudara-saudara sepupunya. Agung Sedayu dan Untara, namun mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa Glagah Putih telah terjebak kedalam tangan orang-orang yang sangat berbahaya. Glagah Putih yang dipaksa untuk berjalan diantara kedua orang yang menjebaknya itu, menjadi semakin berdebar-debar. Ia sadar, bahwa ia akan dibawa ketempat yang sepi. Dan iapun sadar, bahwa justru karena ia telah memperhatikan keduanya, dan karena Agung Sedayu menolak mendengarkan keterangannya, maka kini ia berada dalam kesulitan. Tetapi Glagah Pulih bukan seorang anak yang lekas berputus asa. Dipadepokan kecil ia telah mulai dengan menyadap ilmu kanuragan betapa dangkalnya. Karena itu, maka ia tidak segera kehilangan harapan, ia mencoba untuk mencari akal. apakah yang sebaiknya dilakukan. Ia harus berbuat sesuatu, ia sadar, bahwa berbuat sesuatu itupun tentu ada akibatnya yang dapat mempercepat dekapan maut dilehernya. Tetapi itu lebih baik daripada tidak berbuat sesuatu, namun akhirnya maut itu akan memeluknya juga. Namun untuk sementara Glagah Putih tidak berbuat sesuatu, ia mencoba untuk menduga, apakah kedua orang itu bebar-benar berilmu tinggi. Tetapi tidak mudah baguiya untuk mengetahui, apakah kedua orang itu benar-benar orang-orang sakti

atau sekedar hanya menakut nakutinya. Semakin lama mereka justru menjadi semakin jauh terpisah dari iring-iringan yang kembali ke padukuhan induk. Bahkan jantung Glagah Pulih menjadi semakin berdebar-debar ketika salah seorang dari keduanya berkata, ”Berhentilah sebentar anak muda.” Glagah Putihpun kemudian berhenti. Dipandanginya orang berambut putih yang berdiri dihadapannya. Kemudian orang yang agak lebih muda yang berdiri disisinya. “Siapakah kalian,” bertanya Glagah Putih. Orang berambut putih itu tertawa. Katanya, “Kau tentu sudah mendengar percakapanku di kuburan itu.” Glagah Pulih mengerutkan keningnya. Katanya, “Percakapan apa ?” Yang seorangpun tertawa. Katanya, “Kau mendengar percakapan kami. Kemudian kau berusaha memberitahukan kepada Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu tidak menghiraukan.” Sejenak Glagah Pulih termangu-mangu. Ia sadar, bahwa kedua orang itu tentu memperhatikannya ketika ia berlari-lari kecil mendekati Agung Sedayu. namun kemudian degan kecewa ia harus menjauhinya karena Agung Sedayu sama sekali tidak mau mendengarkan kata-katanya. “Jangan menyesal anak muda,” berkata salah seorang dari keduanya, ”nasibmulah yang terlalu buruk. Mungkin kau sama sekali tidak sengaja mendengarkan percakapan kami. Tetapi ternyata bahwa karena itu, kau terlibat dalam kesulitan.” Glagah Putih masih termangu-mangu. “Tetapi adalah mengherankan, bahwa dari jarak yang tidak terlalu dekat, kau dapat mendengar percakapan kami. Kami menduga bahwa kau tentu tidak mendengarnya. Ternyata kau mendengarkan dan mengerti percakapan kami, karena kau dengan tergasa-gesa mendekati Agung Sedayu.” “Aku tidak mengerti apa yang kalian percakapkan,” berkata Glagah Putih kemudian. “Adalah wajar jika kau berusaha untuk menyelamatkan diri. Tetapi agaknya kaupun bukan anak kebanyakan. Jika kau mendengar percakapan kami, tentu kau memiliki sesuatu yang membuatmu lebih baik dari anak-anak muda sebayamu.” “Aku tidak mengerti yang kalian katakan. Aku tidak tahu apa-apa.” “Jika kau tidak mendengar percakapan kami, apa yang akan kau katakan kepada Agung Sedayu pada saat kau berlari-larian kecil menyusulnya ?”

“Aku ingin mengatakan, bahwa aku belum sempat melontarkan segenggam tanah kekubur Ki Sumangkar.” Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Namun yang berambut putih itu tertawa, ”Kau cerdik. Kau ingin membohongi kami. Namun karena itu kami semakin yakin, bahwa kau bukan anak-anak kebanyakan yang hanya sekedar ikut-ikutan mengantarkan jenazah Ki Sumangkar kemakam.” Glagah Putih mulai menjadi bingung. Ia tidak mempunyai alasan lagi yang dapat dipergunakannya, untuk mengelak. Apalagi ketika orang berambut putih itu berkata. “Marilah. Ikut kami. Kami akan menengok makam Ki Sumangkar. Dan kau akan dapat melontarkan tanah tidak hanya segenggam. Tetapi sepuluh atau dua puluh onggok tanah, aku akan menggali lubang disamping makam Ki Sumangkar. Bukankah suatu kehormatan bagi seseorang yang dimakamkan disisi seorang pahlawan seperti Sumangkar.” Terasa jantung Glagah Putih berdentangan. Seolah-olah sudah diberitahu oleh orang-orang itu, apakah yang akan terjadi atasnya. Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Namun ia berusaha untuk tetap menyadari keadaannya. Bahkan akhirnya ia telah menentukan pilihan, bahwa lebih baik mati membela diri dari pada dengan suka rela berbaring dilubang kubur, kemudian ditimbun dengan tanah merah selagi nafasnya masih tersengalsengal. “Marilah,“ orang berambut putih itu berkata lagi, “lebih baik mengikuti perintah kami daripada kau akan mendapat perlakuan yang lebih buruk lagi. Aku mempunyai banyak cara untuk membunuh seseorang. Mati cepat dan tidak tersiksa, atau mengalami penderitaan yang tiada taranya untuk waktu yang bertahun-tahun. Jika kau cacat berat, maka nasibmu akan sangat buruk. Kau masih muda dan kau akan kehilangan masa depan, karena masa depanmu akan gelap segelap malam, sedangkan tangan dan kakimu tidak akan dapat kau pergunakan lagi sepanjang sisa hidupmu. Demikian pula telinga dan mulutmu.” Terasa kulit diseluruh tubuh Glagah Putih meremang. Cacat yang demikian tentu merupakan penderitaan yang tiada taranya. Tetapi mati dengan berbaring sendiri dilubang kubur, kemudian demikian saja ditimbun tanahpun merupakan peristiwa yang mengerikan. Karena itu, maka memang tidak ada pilihan lain. Glagah Putih bukan seekor kelinci yang lumpuh melihat seekor serigala yang mengejarnya. Betapapun lemahnya, tetapi ia harus berusaha berbuat sesuatu. Sejenak Glagah Putih berdiri tegak. Ia tidak mau memberikan kesan bahwa ia akan melawan. Ia ingin berbuat dengan tiba-tiba agar ia mendapat kesempatan mendahului lawannya disaat lawannya itu belum bersiap. Demikianlah, ketika salah seorang dari kedua orang itu akan berbicara lagi, tiba-tiba saja Glagah

Putih melenting menyerang orang berambut putih itu dengan kakinya. Orang itu benar-benar tidak menyangka. Karena itu, maka ia terkejut bukan buatan. Namun ternyata bahwa usaha Glagah Putih untuk memperoleh kesempatan yang pertama telah gagal. Orang berambut pulih itu sempat meloncat kesamping, sehingga serangan Glagah Putih tidak menyentuh sasarannya. Betapa kecewa dan marah mencengkam hatinya. Apalagi ketika ia kemudian meloncat berputar dan siap untuk menyerang lagi, kedua orang itu memandanginya sambil tertawa. “Luar biasa,” desis orang berambut putih, “kau benar-benar anak muda yang luar biasa. Kau memiliki ilmu yang pantas menjadi kebanggaan bagi anak-anak sebayamu.” Glagah Putih memandang keduanya dengan tegang. Tubuhnya bergetar karena marah. “Jangan banyak tingkah anak muda. Matilah dengan tenang.” Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Diluar sadarnya ia memandang kesekelilingnya. Sebuah bulak yang panjang dan sepi. “Ha,“ berkata orang yang lebih muda, “kau sedang mencari jalan untuk mendapatkan pertolongan. Tidak ada gunanya. Sawah-sawah menjadi sepi. karena semua orang pergi kemakam Ki Sumangkar. Kini mereka berkumpul di Kademangan karena mereka ingin melihat orang-orang yang bernama Sutawijaya.Untara, dan para perwira serta Senapati yang sedang berkumpul disana. Hanya kaulah yang berada disini menghadapi maut. Tetapi orang-orang di Kademangan tidak akan tahu dimana kau akan bersembunyi, karena tidak seorangpun yang akan melihat kau terbaring di lubang kubur disisi Ki Sumangkar. Bahkan mungkin besok atau lusa, Kademangan ini akan gempar, bahwa tiba-tiba saja kubur itu telah pecah menjadi dua.” Kedua orang itu tertawa. Wajah Glagah Putih menjadi merah. Namun ia sudah bertekad untuk tidak menyerah. Apapun yang akan terjadi, ia akan melawan. “Marilah,“ berkata orang berambut putih. Glagah Putih bergeser setapak. Ia sudah bersiap untuk meloncat dan menghantam lawannya. “Jangan menjadi buas dan gila seperti itu.” Glagah Putih tidak menghiraukan. Ketika salah seorang dari keduanya mendekat, Glagah Putih menyerang dengan garangnya.

Tetapi sekali lagi serangannya gagal. “Kami masih bersabar,“ berkata orang berambut putih yang disambung oleh kawannya, “tetapi kesabaran kami sangat terbatas.” “Aku tidak peduli,“ teriak Glagah Putih, “Jika kalian akan membunuh aku, bunuhlah. Kau sangka aku takut mati?” Kedua orang itu mengerutkan keningnya. Salah seorang berdesis, “Kau memang anak muda yang luar biasa. Kau memiliki keberanian dan bekal yang cukup untuk menjadi seorang anak muda yang perkasa. Sayang, umurmu tidak akan panjang.” “Persetan. Jika kalian mau membunuh lakukanlah! Apa yang akan kalian tunggu?” “Maksud kami, berjalanlah sendiri kekuburan, agar kami tidak perlu mengangkat dan mendukungmu. Kuburan itu masih agak jauh disebelah. Atau, jika terpaksa mayatmu akan kami tinggalkan disini meskipun akan menjadi makanan anjing liar yang datang dari hutan sebelah.” “Jangan mengigau. Aku sudah siap,“ sekali lagi Glagah Putih berteriak. Kedua orang itu menjadi heran. Ternyata Glagah Putih sama sekali tidak menjadi gentar meskipun anak itu mengetahui bahwa ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Bahkan kedua orang itu terpaksa mengelak ketika Glagah Pulih menyerang mereka dengan membabi buta. “Anak gila,“ geram orang yang berambut putih itu, “kau membuat aku marah. Sebenarnya aku masih menaruh belas kasihan karena kau terpaksa kami singkirkan. Itu adalah salahmu, karena kau ingin persoalan orang lain. Tetapi kami akan mempergunakan cara yang baik bagimu tanpa menumbuhkan kengerian. Namun agaknya kau keras kepala, membuat aku marah dan mendorong aku untuk melakukan dengan cara-cara yang paling aku gemari.” Glagah Putih seolah-olah tidak mendengarnya, ia masih saja menyerang dengan garangnya. “Anak setan,” tiba-tiba orang yang lebih muda kehabisan kesabaran. Dengan sekali ayun, maka Glagah Putih telah terlempar dan jatuh disawah yang berlumpur. Anak muda itu berguling diatas batang-batang padi. Kemudian dengan tangkasnya ia melanting berdiri siap untuk berkelahi, tanpa mengenal takut sama sekali meskipun ia menyadari akibat yang dapat terjadi atasnya. “Kau benar-benar anak iblis,“ geram orang itu, “tetapi kau telah membangkitkan nafsuku untuk membunuhmu dengan cara yang paling baik. Aku akan menelungkupkan kau didalam lumpur dengan, mengikat tangan dan kakimu. Jika ada orang pergi kesawah menjelang matahari senja, maka mereka akan menemukan kau sudah tidak bernyawa lagi. Tetapi kau masih mempunyai waktu untuk menikmati

kengerian sampai matahari turun ke Barat dan hilang dibalik gunung.” Diluar sadarnya Glagah Putih memandang Gunung Merapi yang nampaknya kebiru-biruan menjulang ke langit yang hampir sewarna. Sekilas terbayang padepokan kecilnya di Jati Anom, yang terletak dikaki Gunung Merapi itu. “Nikmatilah alam disekitarmu. Kenanglah ayah ibumu untuk yang terakhir kali.” geram orang berambut putih. Namun tiba-tiba saja perhatian Glagah Putih tertuju kepada batang pohon rindang yang tumbuh ditepi parit, tak terlalu jauh dari tempatnya, ia melihat sesuatu yang bergerak-gerak dibalik semak-semak dibawah pohon itu. Ternyata bahwa pandangan matanya diikuti pula oleh kedua orang lawannya. Sejenak mereka tertegun. Namun kemudian salah seorang berguman, “Gila. Ada orang disitu.” “Tidak peduli, bunuh saja. Orang itu tidak akan mengenal kita. Biarlah ia berceritera, bahwa dua orang telah membunuhnya. Dan tidak seorangpun yang mengetahui kenapa ia dibunuh. Menurut pengamatanku, ia belum sempat berbicara kepada Agung Sedayu. meskipun kematiannya akan menumbuhkan kecurigaan pula, dan Agung Sedayu akan dapat menelusuri sikap anak itu terhadapnya menjelang saat kematiannya.” Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Sekilas dilihatnya seseorang yang berada dibalik gerumbul itu bergeser. Ketika kepalanya kemudian tersembul maka dengan suara gemetar ia berkata, “Jangan bunuh aku.” “Persetan,” geram orang yang berambut putih, “kemarilah.” Orang itupun kemudian berdiri, ia memakai pakaian petani yang sedang bekerja disawah. Celana hitam, dengan kain panjang yang membelit lambung. Sama sekali orang itu memakai baju. Tetapi selembar ikat kepala tersangkut dilehernya. Tidak dipakainya diatas kepalanya. “Siapa kau?“ bertanya kawan orang berambut putih. “Aku, aku seorang petani tuan. Petani dari Sangkal Putung.” “Setan,“ geram yang berambut putih, “apa kerjamu disini?” “Sebenarnya aku sedang beristirahat dibawah pohon itu. Aku sedang menyiangi tanamanku,“ jawab petani yang masih muda itu. “Kau tidak pergi ke makam Ki Sumangkar dikuburkan?” “Aku tidak dapat meninggalkan pekerjaanku meskipun sebenarnya aku ingin.” Orang berambut putih itu termangu-mangu sejenak.

Kemudian dengan suara berat ia bertanya, “Kau mengenal anak ini?” Jawabnya benar-benar mengejutkan. Seolah-olah diluar sadarnya orang itu berkata, “Ya Tuan. Aku mengenalnya. Anak itu adalah Glagah Putih, adik sepupu Agung Sedayu dan Untara.” “He ?” wajah orang itu menjadi tegang. Sementara itu orang itu melanjutkan katanya, “ayahnya adalah Ki Widura, seorang Senapati yang telah meninggalkan lapangan keprajuritan karena ia lebih senang tinggal di padepokan. Tetapi meskipun demikian ia masih tetap seorang berilmu tinggi. Ia pernah berada di Sangkal Putung saat Sangkal Putung selalu diganggu oleh Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan sebelum hadirnya Untara sendiri.” “Cukup, aku sudah tahu,“ bentak orang berambut putih. “Maaf. Aku hanya ingin meyakinkan kepada tuan, bahwa aku benar-benar orang Sangkal Putung. Bahkan aku tahu pula bahwa tuan berdua adalah dua orang saudara yang datang dari daerah yang terkenal dengan sebutan Pesisir Endut dipantai Selatan.” “Gila. Darimana kau tahu he?” “Bukankah tuan berdua mendapat tugas dari orang tak dikenal di Pajang untuk membunuh Agung Sedayu,” berkata orang berpakaian petani itu, “tetapi ternyata bahwa kau berniat untuk membunuh anak itu pula.” “Iblis alasan. Darimana kau tahu he, dari mana?“ orang berambut putih itu berteriak. “Aku mendengar percakapan tuan dengan perwira dari Pajang itu. Dan aku mendengar percakapan tuan di pinggir kuburan.” Keduanyapun kemudian sadar, bahwa yang dihadapinya bukanlah seorang petani yang baru menyiangi sawahnya dan beristirahat dibawah sebatang pohon yang rindang. Justru karena itu, maka keduanyapun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Sekilas dipandanginya Glagah Putih yang berdiri termangu-mangu dengan tubuh yang kotor oleh lumpur. Tetapi bagi keduanya Glagah Putih bukan lagi penting untuk mendapat perhatian terlalu banyak. Petani yang masih muda itu justru akan dapat merusak segala rencananya. “Ki Sanak,“ berkata orang berambut putih itu, “kau tidak usah banyak bicara lagi. Aku tahu bahwa kau tentu bukan petani dari Sangkal Putung. Kau tentu bukan orang yang sekedar sedang berteduh dibawah pohon yang rindang itu.” Dan jawab orang muda itu semakin mengejutkan, “Memang bukan. Aku hanya pura-pura, biar orang

kebanyakan menyangka aku petani. Dan dengan pakaian dan sikapku ternyata Dua Hantu bersaudara dari Pesisir Endut dipantai Selatan tidak tahu bahwa aku mengikutinya, mendengar segala percakapannya dan bahkan melihat bagaimana mereka menakut-nakuti anak-anak. Tetapi ternyata anak itu sama sekali tidak takut. Jika ia ketakutan dan menggigil, maka ia tentu bukan anak Widura, dan bukan saudara sepupu Agung Sedayu dan Untara.” “Gila,“ geram orang berambut putih, “siapa kau?” “Itu tidak penting. Tetapi aku memang bukan petani. Aku orang yang barangkali memang tidak penting. Meskipun demikian aku berhak untuk mencegah tingkah lakumu yang aneh dan tidak masuk akal itu.“ sahut orang muda yang berpakaian petani itu. “Sebut namamu sebelum kau mati,“ teriak orang yang lebih muda dari yang berambut putih. “Namaku dapat saja kau sebut Sarik atau Gempol atau Condrokusuma atau Suryaadiwaskita atau siapa saja. Itu tidak ada bedanya. Yang penting aku akan mencegah kejahatan yang sudah siap kau lakukan. Untung aku tidak terlambat.” Kedua orang itu menjadi semakin marah. Orang berambut putih itupun berkata, “Bunuh anak iblis itu. Aku akan memhinuh Setan Alasan ini.” Tetapi tiba-tiba saja terdengar suara tertawa orang muda itu berkumandang di bulak yang luas. Katanya, “Jangan sombong tuan. Tuan berdua akan membagi diri? Apakah tuan merasa diri mumpuni segala macam ilmu agal-alus kanuragan dan kajiwan? Persetan dengan sikap tuan. Tetapi jangan mencoba memperkecil arti kehadiranku disini. Kalian berdua seharusnya masih mencari kawan,“ orang itu berhenti sebentar lalu, “maaf. Akupun telah menyombongkan diri.” “Kau tidak bermaksud sombong,“ berkata orang berambut putih, “jangan kau kira aku bodoh sekali. Kau sengaja memancing agar kami berdua melawanmu. Itu sekedar cara yang jantan untuk menyelamatkan anak yang malang itu. Tetapi aku tidak peduli. Seorang dari kami akan membunuh iblis kecil itu dan yang seorang membunuhmu.” Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Jika demikian, kalian akan menyesal. Anak itu tidak akan mudah kau bunuh.” Kedua orang itu tidak menunggu lebih lama lagi. Mereka tidak mau kehilangan waktu, karena perkelahian yang timbul mungkin akan dapat mengundang orang-orang yang melihatnya dari kejauhan. Adalah celaka jika orang yang melihatnya itu kemudian melaporkannya ke Kademangan. Karena itu, maka keduanyapun segera meloncat menyerang. Yang seorang menyerang petani muda itu, sedang yang lain berniat untuk segera membunuh Glagah Putih. Glagah Putih menyadari keadaan itu sehingga iapun telah mempersiapkan diri menghadapi segala

kemungkinan. Tetapi iapun menyadari bahwa orang-orang itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Namun yang terjadi benar-benar telah mengejutkan kedua orang itu dan bahkan Glagah Putih. Petani muda itu dengan tangkasnya menghindari serangan pada dirinya. Namun kemudian dengan cepatnya pula ia telah menyerang orang yang sedang meluncur menyerang Glagah Putih. Keduanya telah berbenturan. Orang yang menyerang Glagah Putih tidak sempat menghindar. Selagi ia sedang menyerang maka serangan yang tidak disangka-sangka itu telah datang. Benturan itu benar-benar telah berakibat dahsyat sekali. Orang yang berpakaian petani itu terdorong selangkah surut. Namun lawannya telah terlempar beberapa langkah dan jatuh berguling. Seorang yang lain, yang melihat kawannya jatuh berguling diluar sadarnya berdesah. Namun orang yang terguling itu sempat berteriak, “Gila. Kau curang.” Orang yang berpakaian petani itu tidak menjawab. Tetapi ia berkata kepada Glagah Putih. Cobalah menyesuaikan dirimu. Kau tidak perlu melawan. Hindarilah dengan menempatkan diri pada garis lindunganku. Keduanya memang sangat berbahaya.” Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia meloncat mendekati orang yang berpakaian petani itu. “Kau cukup lincah. Berusahalah untuk tidak mati. Aku akan bertempur untukmu.” Glagah Putih tetap berdiam diri. Tetapi ia melakukan perintah orang yang akan melindunginya itu. Kedua orang yang datang dari Pasisir Endut dipantai Selatan itu menjadi sangat marah. Mereka seakan-akan telah kehilangan buruan mereka karena kehadiran orang yang menyebut dirinya petani itu. Sejenak keduanya mempersiapkan diri. Kemudian dengan garangnya keduanya menyerang seperti badai yang dahsyat menyambar ujung pepohonan. Tetapi orang yang berpakaian petani itupun ternyata orang luar biasa. Ia mampu mempertahankan diri sekaligus melindungi Glagah Putih yang berusaha menyesuaikan dirinya. Seperti pesan orang berpakaian petani itu, ia sama sekali tidak berbuat lain kecuali, menyesuaikan diri. Dalam pada itu, perkelahian itupun semakin lama menjadi semakin sengit. Ternyata orang berpakaian petani itu benar-benar seorang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Ia mampu melawan

kedua orang lawannya sambil melindungi Glagah Putih. Untunglah bahwa Glagah Putihpun bukan orang yang sekedar ingin menyerah dan berputus asa karena ia memang memiliki kemauan untuk berusaha, juga berusaha menyelamatkan diri. Orang berambut putih dan seorang lagi yang, ternyata adalah adiknya dan keduanya berasal dari Pesisir Endut itu menjadi semakin marah. Mereka bertempur semakin garang dan kasar. Bahkan semakin lama menjadi semakin buas dan liar. Namun bagaimanapim juga orang yang berpakaian petani itu sama sekali tidak terpengaruh. Ia tetap bertempur dengan wajar. Tetapi nampak betapa ia benar-benar menguasai ilmunya dengan matang. Dua orang bersaudara dari Pesisir Endut itu berusaha untuk menyerang orang yang berpakaian petani itu dari dua arah, sekaligus berusaha untuk memisahkan Glagah Putih dari padanya. Namun usaha mereka selalu gagal. Orang berpakaian petani itu mampu meloncat bagaikan kijang dan mampu menghantam lawannya seperti seekor banteng. Kedua orang dari Pesisir Endut itu berusaha dengan segenap kemampuan mereka. Bahkan, ketika keduanya merasa tidak mungkin lagi untuk melawan orang berpakaian petani itu dengan tangannya maka keduanyapun telah menarik senjata masing-masing. Yang berambut putih telah menarik pedangnya yang besar. Pedang bermata dua. Tajamnya berada disebelah menyebelah, sementara ujungnya runcing seperti duri, tetapi pedang itu tidak terlalu panjang. Sementara itu yang lain telah menggenggam senjatanya pula. Ia lebih senang mempergunakan pedang rangkap dikedua tangannya. Pedang yang lebih pendek, tetapi nampaknya lebih berat dan kuat. Orang berpakaian petani itu termangu-mangu. Memang pertempuran berikutnya akan sangat berbahaya bagi Glagah Putih. Karena itu. ia harus memberi kesempatan Glagah Putih meninggalkan gelanggang. Sejenak orang berpakaian petani itu merenung. Senjata-senjata itu memang tidak terlalu berbahaya baginya. Tetapi bagi Glagah Putih akan lain akibatnya. Karena itu, maka orang berpakaian petani itupun tiba-tiba telah membuka ikat pinggang kulitnya yang tebal. Dengan ikat pinggang kulit yang tebal itu ia mempersiapkan diri untuk melawan. ”Kau akan segera mati,“ geram orang berambut putih. “Aku akan berusaha untuk menghindari kematian itu,“ jawab orang berpakaian petani itu. “Kau tidak akan dapat melawan senjata kami.” Orang berpakaian petani itu tersenyum. Katanya, “Yang kau bawa adalah sekedar mainan anak-anak. Senjata yang kau sembunyikan dibawah bajumu itu tidak akan berarti apa-apa. Pedang atau sabut

belati-belati itu atau golok atau nama lain dari senjata yang kalian bawa. tidak akan dapat memutuskan ikat pinggangku.” “Persetan,“ geram orang berambut putih. Dan sebelum mulutnya terkatup ia sudah menyerang dengan garangnya. Pedangnya terayun langsung mengarah kedahi lawannya, seakan-akan ia ingin membelah kepala itu dengan sekali ayunan. Namun yang terjadi sangat mengejutkan. Orang berpakaian petani itu dengan cepatnya merentangkan ikat pinggangnya yang besar untuk melindungi kepalanya. Kemudian mengendorkannya sedikit. Ketika ia menghentakkan ikat pinggangnya. Maka senjata lawannya seolah-olah telah dihentak pula oleh kekuatan yang dahsyat, sehingga pedang itu terdorong dengan kuatnya. Hampir saja pedang itu terlempar. Namun orang berambut putih itu masih mampu menahannya, sehingga pedang itu tidak terlepas dari tangannya. Namun dalam pada itu, kedua orang itu menyadari, bahwa orang berpakaian pelani itu benar-benar orang yang tidak dapat diabaikan. Bahkan orang itu benar-benar merupakan bahaya yang cukup gawat. Dengan demikian, maka perkelahian bersenjata itupun menjadi semakin dahsyat. Orang berpakaian petani itu bergerak semakin cepat, meskipun tidak menunjukkan kekasaran seperti kedua lawannya. Sementara itu Glagah Putih masih bersembunyi dibalik perlindungan orang berpakaian petani itu. Namun tiba-tiba saja ia mendengar orang yang melindunginya itu berbisik, “Carilah kesempatan untuk lari.” Glagah Putih seperti terbangun dari mimpinya yang sangat buruk. Sejenak ia memperhatikan keadaan. Namun kemudian iapun memutuskan untuk melarikan diri pada saat yang tepat. Ternyata orang berpakaian petani itupun berusaha mendesak kedua lawannya untuk memberi kesempatan kepada Glagah Putih. Ikat pinggangnya ternyata tidak hanya dapat dipergunakan sebagai perisai, tetapi tiba-tiba saja ikat pinggang itupun dapat mematuk bagaikan sekeping besi baja yang kuat dan berat. Kedua orang dari Pasisir Endut itu benar-benar telah tenggelam dalam perlawanannya terhadap orang berpakaian petani itu, sehingga keduanya agak kurang memperhatikan Glagah Putih. Apalagi serangan orang itu bagaikan kuku-kuku burung rajawali yang berterbangan mengitarinya. Dengan demikian, maka kedua orang itu tidak lagi mendapat kesempatan untuk memperhatikan anak yang hampir dibunuhnya. Jika salah seorang dari keduanya meninggalkan gelanggang untuk membunuh Glagah Putih, itu berarti bahwa yang lainpun akan terbunuh pula. Sehingga dengan demikian maka keduanya lebih baik bertempur berpasangan dan untuk sementara melepaskan perhatian mereka kepada anak itu. Kesempatan itu nampaknya mulai terbuka. Meskipun demikian Glagah Putih cukup berhati-hati. Jika

ia melepaskan diri dari perlindungan orang berpakaian petani itu dan berlari menyeberangi bulak, maka bayak kemungkinan yang dapat terjadi. Dengan cermat Glagah Putih memperhatikan pertempuran itu. Orang berpakaian petani itu nampaknya berusaha untuk menekan lawannya sehingga keduanya tidak dapat berbuat lain kecuali bertahan berpasangan. Ternyata pengamatan Glagah Putih cukup tajam. Ia melihat kesempatan yang benar-benar telah terbuka ketika orang berpakaian petani itu berhasil mendesak kedua lawannya justru menjauhinya. Saat yang baik itu tidak disia-siakan. Dengan serta merta Glagah Putih meloncat berlari meninggalkan bulak yang hampir saja menelan nyawanya. Kedua orang yang datang dari Pesisir Endut itu melihat Glagah Putih berlari. Tetapi pada saat itu keadaan mereka sendiri sudah terlalu sulit. Serangan orang berpakaian petani yang bersenjata ikat pinggangnya yang lebar dan tebal itu seolah-olah tidak dapat dihindarinya lagi. Sementara itu Glagah Putih berlari-lari sekencang-kencangnya menuju kepadukuhan induk Kademangan Sangkal Putung. Meskipun ia melihat orang berpakaian petani itu berhasil mendesak lawannya, tetapi jika nasib malang datang menimpanya, maka ia akan mengalami kesulitan. Karena itu Glagah Putih menganggap bahwa hal itu perlu diberitahukannya kepada Agung Sedayu, agar anak muda itu dapat menolongnya apabila orang yang berpakaian petani itu pada suatu saat mengalami kesulitan. Dengan sekencang-kencangnya Glagah Putih berlari menyusur pematang. Dengan lincahnya ia meloncati parit dan kadang-kadang jalan-jalan kecil yang melintang langsung menuju kepadukuhan induk. Ketika Glagah Putih memasuki padukuhan induk, ia masih melihat beberapa orang yang berjalan hilir mudik. Agar ia tidak menumbuhkan kecurigaan bagi beberapa orang dan kemudian menumbuhkan keributan, ia berusaha menahan diri dan berjalan menyusur jalan-jalan yang memintas langsung menuju ke rumah Ki Demang Sangkal Putung. Seperti yang diduganya, maka orang-orang yang semula mengantarkan jenasah Ki Sumangkar kepemakaman, telah berada di pendapa. Beberapa orang anak muda sedang mempersiapkan minuman dan makanan bagi mereka. Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian ia segera pergi kebelakang. Menurut dugaanya. Agung Sedayu tentu berada diantara anak-anak muda yang sedang sibuk mengatur jamuan itu. Dugaannya ternyata tepat. Agung Sedayu sedang sibuk dibelakang bersama anak-anak muda sebayanya menyiapkan minuman dan makanan bagi tamu-tamu yang sedang berkumpul di Sangkal Putung. “Kakang,” desis Glagah Putih sambil menarik u jung baju Agung Sedayu.

Agung Sedayu berpaling. Dilihatnya Glagah Putih dengan wajah yang kemerah-merahan dibakar terik dan kegelisahan. “Minumlah. He, kau nampak terengah-engah.” “Kakang. Dengarlah. Ada hal yang penting yang perlu segera kauketahui.” Agung Sedayu memandanginya sejenak. Diletakannya mangkuk yang ada ditangannya. Kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Kau masih saja ingin berceritera. Duduklah dan minumlah. Kau tentu haus sekali.” Glagah Putih menjadi jengkel. Karena itu, maka iapun berbisik ditelinga Agung Sedayu, “Kakang, aku hampir mati dicekik orang.” “He?“ kata-kata itu benar-benar mengejutkan Agung Sedayu. Glagah Putih yang melihat Agung Sedayu mulai tertarik kepada ceriteranya segera melanjutkan katakatanya meskipun masih sambil berbisik, “Ada dua orang yang berusaha membunuh aku.” Agung Sedayu menjadi semakin tertarik. Digandengnya Glagah Putih menjauhi anak-anak muda yang sedang sibuk. Dibawah sebatang pohon yang rindang keduanya duduk diatas sepotong kayu yang melintang. “Katakan,“ desis Agung Sedayu. Glagah Putihpun kemudian mulai berceritera dengan singkat apa yang diketahuinya. Sejenak ia berada dimakam, kemudian usaha kedua orang itu memisahkannya dari iring-iringan dan akhirnya mencoba membinasakannya. “Jadi apa yang terjadi kemudian?“ “Mereka masih bertempur. Meskipun aku melihat yang seorang itu mendesak lawannya, tetapi aku belum yakin bahwa ia akan dapat menang dari kedua orang lawannya itu,“ berkata Glagah Putih dengan gelisah. Agung Sedayu menjadi tegang, ia bukan seorang yang lekas dibakar oleh niat untuk membenturkan kekerasan dengan siapapun juga. Tetapi yang terjadi adalah tindak yang melampaui batas karena keduanya telah berusaha membunuh Glagah Putih yang masih terlalu muda dan tidak mengetahui persoalan apapun yang terjadi dalam kemelut yang menyuramkan hubungan Pajang dengan Mataram. Apalagi jika orang yang telah menolong Glagah Putih itu kemudian mengalami kesulitan yang gawat. Maka adalah kuwajibannya pula untuk membantunya, setidak-tidaknya untuk membebaskannya dari keadaan yang paling pahit, maut. Karena itu, maka iapun dengan tergesa-gesa menemui seorang kawannya yang sedang menuang minuman kedalam mangkuk. Ditelinganya ia berbisik, “Aku akan pergi sebentar.”

“Kemana?“ bertanya kawannya, “kau nampak tergesa-gesa sekali.” Sekali lagi Agung Sedayu menempelkan mulutnya ketelinga kawannya itu, “Aku akan kesungai. Perutku tidak dapat bertahan lagi.” Kawannya tertawa. Agung Sedayupun mencoba untuk tertawa pula, sementara Glagah Putih menjadi heran, kenapa keduanya justru tertawa, karena ia tidak mendengar kata-kata Agung Sedayu. Agung Sedayu memang tidak ingin menumbuhkan keresahan, karena dengan demikian, orang-orang yang ada di pendapa itu tentu akan menjadi hiruk pikuk. Tetapi lebih dari itu, Agung Sedayu memperhitungkan, bahwa mereka nampaknya ada yang terlibat pula pada persoalan itu. Lebih parah lagi jika mereka yang ada dipendapa itu ada yang berdiri pada pihak yang berseberangan. Jika ada prajurit Pajang yang terlihat, sementara yang lain menentangnya, maka akan timbul persoalan yang parah, justru saat mereka berada di Sangkal Putung. Karena itulah maka Agung Sedayu berniat untuk menyelesaikan masalah itu tanpa menumbuhkan keonaran. Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu telah mengikuti Glagah Putih yang berjalan tergesa-gesa. Mereka menghindari orang-orang yang mungkin akan tertarik perhatiannya. Karena itu, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah menyusuri jalan turun kesungai. Kemudian mereka berdua berlari-lari menuju kebulak panjang tempat kedua orang dari Pasisir Endut itu bertempur melawan seorang yang berpakaian petani. Ternyata pertempuran itu telah berlangsung dengan dahsyatnya. Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih mendekati arena, mereka masih terlihat dalam pertempuran yang sengit. Namun ketika Agung Sedayu melihat pertempuran itu dengan saksama, maka ia menarik nafas dalamdalam. Ia yakin, bahwa orang berpakaian petani itu akan dapat menyelesaikan pertempuran itu menurut kehendaknya. Ia tidak banyak mengalamai kesulitan yang berarti, sehingga sebenarnyalah bahwa ia tidak memerlukan bantuan siapapun juga. “Aku sudah menduga bahwa kau akan datang Agung Sedayu,“ berkata anak muda yang berpakaian petani itu. “Dari mana kau tahu? “ bertanya Agung Sedayu. “Glagah Putih itu sepupumu. Dan ia tentu tidak akan memberitahukan hal ini kepada Untara. Tetapi kepadamu.” Agung Sedayu tidak menyahut. Sambil mengerutkan keningnya ia melihat senjata anak muda yang aneh itu berputaran. Hampir seperti cara Agung Sedayu sendiri menggerakkan cambuknya.

“Ada beberapa unsur yang mirip,“ desis Agung Sedayu didalam hatinya. Ternyata kehadiran Agung Sedayu telah membuat kedua orang dari Pasisir Endut itu menjadi semakin garang. Mereka berbuat apa saja untuk dapat membela diri dan sekali-sekali menyerang lawannya. Namun agaknya anak muda berpakaian petani itu benar-benar seorang anak muda yang mumpuni. Betapa kasar dan liarnya kedua orang dari Pesisir Endut itu. namun mereka tidak berdaya melawan anak muda berpakaian petani itu. “Agung Sedayu,“ berkata anak muda itu, “aku memang menunggumu. Aku ingin memperlihatkan kepadamu, bagaimana aku membunuh kedua orang yang hampir saja merenggut nyawa adik sepupumu yang masih kecil dan tidak tahu apa-apa itu.” Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ia berkeberatan disebut masih kecil oleh anak muda berpakaian petani itu. Tetapi ia tidak mengatakannya. Agung Sedayu sementara itu termangu-mangu. Ia memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Namun pengamatannya yang tajam, semakin meyakinkannya bahwa anak muda berpakaian petani itu benar-benar akan dapat mengalahkan kedua lawannya. “Agung Sedayu,“ berkata anak muda itu,” aku tak tahu bahwa kau termasuk seseorang yang tidak suka melihat pembunuhan-pembunuhan. Akupun sebenarnya bukan jenis seorang pembunuh yang tidak berperikemanusiaan. Tetapi karena kedua orang dari Pesisir Endut itu benar-benar orang yang berbahaya, maka aku akan membunuh keduanya.” “Persetan,” orang berambut putih itu menggeram. Sementara itu. Agung Sedayu yang termangu-mangu bergeser setapak menjauh diluar sadarnya, seakan-akan ia adalah orang yang asing sama sekali dari olah kanuragan, dan ketakutan melihat akibat yang bakal terjadi. “Jangan seperti perempuan cengeng Agung Sedayu,“ berkata anak muda itu, “lihatlah, bagaimana ikat pinggangku mengakhiri perlawanan mereka. Jika aku tidak menunggu kedatanganmu, maka keduanya tentu sudah aku bunuh jauh sebelum saat ini.” Kedua orang dari Pesisir Endut itu menggeram. Mereka menyadari bahwa kedua anak muda itu benarbenar akan mencoba membunuh mereka. Sehingga karena itu, maka merekapun segera mengerahkan segenap sisa kemampuan yang ada pada mereka. Betapapun juga kasar dan liarnya, tetapi mereka benar-benar telah dikuasai oleh anak muda itu. Sambil melihat lawannya dengan ikat pinggangnya anak muda itu berkata, “Kau memang orang aneh Agung Sedayu. Tetapi matamu seperti seorang yang kagum melihat

perkelahian yang tidak berarti ini. Ketahuilah, bahwa kedua orang ini sama sekali tidak dapat menyamai, bahkan mendekati kemampuan Tumenggung Wanakerti, sehingga kemampuankupun tentu berada jauh dibawah kemampuanmu yang sebenarnya.” “Tidak,” tiba-tiba saja Agung Sedayu menjawab, “aku melihat kau mempunyai kelebihan. Bahkan dari orang-orang yang pernah aku kenal.” “Ah, bohong,“ orang muda itu tertawa sambil bertempur sehingga kedua lawannya semakin merasa terhina, “orangorang yang kau kenal adalah terutama gurumu, Raden Sutawijaya dari Mataram, Untara kakakmu dari Jati Anom dan masih banyak lagi. Tentu aku bukan orang yang dapat diperbandingkan dengan mereka.” Agung Sedayu tidak segera menyahut. Ia melihat anak muda itu menekan lawannya semakin tajam, meskipun ia masih juga berbicara dengan lantang, “Jangan membohongi dirimu sendiri. Kaulah yang melampaui setiap orang yang pernah kau kenal termasuk aku.” Agung Sedayu menggeleng. Namun tiba-tiba orang muda itu berteriak, “Bukan waktunya untuk merendahkan diri. Lihat, bagaimana aku membunuh dua orang yang paling kejam dimuka bumi.” Agung Sedayu tidak sempat menjawab. Anak muda berpakaian petani itu seolah-olah melenting tinggi. Kemudian ikat pinggangnyapun segera berputar dengan dasyatnya. Kedua orang dari Pesisir Endut itu menjadi semakin bingung. Bagaimanapun juga ternyata bahwa mereka tidak akan dapat melepaskan diri dari kegarangan ikat pinggang anak muda berpakaian petani itu, sehingga mereka mengumpat-umpat didalam hati, bahwa anak muda itu telah melihat apa yang telah dilakukannya. Ternyata bahwa yang dikatakan oleh anak muda itu benar-benar dilakukan. Senjatanya yang aneh itu semakin lama semakin cepat berputar dan kadang-kadang terayun seperti pedang dan mematuk seperti tombak. Sejenak kemudian, terdengar orang berambut putih itu mengeluh pendek. Segores luka telah menyobek dadanya melintang, sehingga darah yang merah telah memercik dari lukanya. Terdengar anak muda berpakaian petani itu tertawa. Kemudian dengan lantangnya ia berkata, “Aku akan membunuh kalian didalam suatu arena pertempuran. Aku masih menghormati kalian sebagai laki-laki jantan. Dengan demikian maka aku masih berbuat lebih baik dari rencanamu. Menyuruh anak itu berbaring dilubang kubur, kemudian akan kau timbun hidup-hidup.” Terasa kulit tubuh Agung Sedayu meremang mendengar kata-kata itu. Jika benar demikian terjadi atas Glagah Putih. maka alangkah mengerikan.

Namun demilkian, rasa-rasanya hati Agung Sedayu-pun berdebar-debar pula melihat anak muda berpakaian petani itu. Ketika sekali lagi ia melenting sambil mengayunkan ikat pinggangnya, maka lawannya yang mudapun telah terlempar beberapa langkah. Dengan susah payah ia berusaha untuk tetap berdiri tegak, namun kakinya terasa menjadi sungut lemah. Kedua orang dari Pesisir Endut itu sama sekali sudah tidak berdaya. Meskipun keduanya masih berdiri, tetapi mereka sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Bahkan merekapun sama sekali tidak dapat menghindar ketika anak muda berpakaian petani itu menyambar mereka dengan ayunan ikat pinggangnya. “Cukup,“ teriak Agung Sedayu. Tetapi ia terlambat. Ikat pinggang anak muda berpakaian petani itu telah menyambar kedua lawannya, sehingga keduanyapun telah terlempar jatuh. Sejenak keduanya masih mengerang. Namun kemudian suara mereka terputus. Keduanya ternyata telah mati. Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Ditatapnya anak muda yang bersenjata ikat pinggang itu. Kemudian katanya, “Kau membunuh keduanya Ki Sanak.” “Ya. Aku membunuh keduanya. Hal yang tidak akan kau lakukan.” “Tetapi kita memerlukan keduanya. Mungkin keduanya akan dapat memberikan keterangan tentang diri mereka berdua.” “Aku tahu apa yang mereka ketahui. Keterangan itu tidak perlu sama sekali bagiku.” “Tetapi pembunuhan itu tidak perlu sama sekali. Ketika mereka sudah tidak mampu melawan, maka mereka akan dapat ditangkap dengan mudah.” Anak muda itu tertawa. Katanya, “Itulah yang penting bagimu. Mengampuni orang itu. Bukan mencari keterangan dari mereka.“ Agung Sedayu memandang anak muda berpakaian petani itu dengan heran. Sikapnya dan tatapan matanya nampak asing dan aneh. Setiap kali ia tertawa dan sekali-sekali tertawanya terdengar nyaring. “Nah Agung Sedayu,“ katanya kemudian, “aku telah menyelamatkan saudara sepupumu.” “Siapakah kau sebenarnya? “ tiba tiba saja Agung Sedayu bertanya.

Orang itu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba wajahnya menjadi tegang. Kalanya, “He. mereka yang mengantar Ki Sumangkar ke makam dan kembali kepadukuhan kini telah turun kebulak. Lihat ada beberapa petani menyusuri parit.” Agung Sedayu berpaling. Nampaknya memang beberapa orang Sangkal Putung sedang kembali kesawah mereka untuk melanjutkan kerja setelah terputus beberapa lama. “Marilah kita pergi kerumah Ki Demang,” ajak Agung Sedayu. Anak muda itu tertawa. Katanya, “aku tidak perlu. Aku akan pergi. Pembunuhan ini terpaksa aku lakukan, karena jika keduanya tetap hidup, akibatnya akan parah bagimu dan Glagah Putih.” “Kenapa?“ bertanya Agung Sedayu. “Keduanya adalah orang-orang yang cukup memiliki ilmu. Tetapi mereka tidak berdiri sendiri.Kedua bersaudara dari Pesisir Endut itu telah terlibat dalam persekutuan dengan orang-orang yang menyebut dirinya keturunan Majapahit. He, bukankah kau mengetahui hal itu? Bertanyalah kepada gurumu, kenapa gurumu justru tetap berdiam diri tentang keturunan itu, seolah-olah ia tidak memiliki hak untuk berbuat demikian. Bukan maksudku agar Kiai Gringsing ikut berain-main berebutan warisan kerajaan Majapahit. Tetapi dengan pengaruh namanya ia akan dapat meredakan suasana. Namun mungkin juga sebaliknya. Rebutan itu akan bertambah ramai.” “Jika mereka masih hidup, akan dapat ditelusur dari manakah sumber dari kericuhan itu.” Anak muda itu tertawa. Sambil menggeleng ia menjawab, “Tidak mungkin. Jalur-jalur itu bertingkat banyak dan tentu akan terputus di tengah jalur.“ ia berhenti sejenak, lalu. “Nah, sekarang aku minta diri.” “Tunggu,“ sahut Agung Sedayu, “kau harus mempertimbangkan bagaimana dengan kedua orang yang mati itu.” “Biar sajalah ia disitu. Nanti orang-orang padukuhan tentu akan menguburkannya.” “Tetapi tinggalah disini. Petani-petani itu semakin dekat. Kau akan menjadi saksi apa yang sudah terjadi disini dengan Glagah Putih.” Dan tidak akan ada orang yang menuduh aku membunuh mereka berdua karena diluar kehendakku sendiri aku sudah terlalu banyak membunuh.” Anak muda itu tertawa semakin keras. Katanya, “Kau seorang yang mumpuni. Tetapi kau menjadi ketakutan untuk dituduh membunuh dua orang tikus dari Pasisir Endut itu? Aku kira itu lebih baik

daripada keduanya masih tetap hidup dan memberikan banyak keterangan tentang Agung Sedayu. Sengaja atau tidak sengaja, kau memang sudah terlibat semakin jauh, bahkan kau akan dianggap musuh yang paling utama setelah kau membunuh dan melumpuhkan banyak orang-orang penting dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu.” “Kau tahu tentang pertempuran itu?” “Aku adalah seorang petualang atau katakan seorang pengembara yang menjelajahi gunung dan ngarai. Aku tahu apa saja yang terjadi dalam hubungan Pajang dan Mataram serta orang-orang yang merasa dirinya pewaris kerajaan Majapahit.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba diluar sadarnya ia bertanya, “Kau kenal Rudita?” Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Aku belum mengenalnya. Apakah ia orang mumpuni seperti kau?” “Ia seorang yang mumpuni dan meyakini sikap dan pandangan hidupnya. Tetapi bukan seorang diantara kita yang tangannya berbau darah.” Anak muda itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian, “Orang orang itu menjadi semakin dekat. Ada dua orang yang berjalan kearah ini. Karena itu, aku akan pergi.” “Jangan pergi dahulu,” Agung Sedayu mencegahnya, “kau harus bertanggung jawab terhadap pembunuhan ini ?” “Bertanggung jawab terhadap siapa?“ bertanya anak muda itu dengan heran. “Kepada orang-orang Sangkal Putung,“ jawab Agung Sedayu, “daerah ini adalah daerah Kademangan Sangkal Putung. Peristiwa-peristiwa yang terjadi disini harus dipertanggung jawabkan kepada Ki Jagabaya dan Ki Demang.” Anak muda itu tertawa. Jawabnya, “Aku bukan orang Sangkal Putung. Kedua orang itupun bukan orang Sangkal Putung.” “Tetapi peristiwa itu terjadi di Sangkal Putung,“ desak Agung Sedayu. “Aku tidak peduli. Aku akan pergi. Biarlah keduanya diurus oleh orang-orang Sangkal Putung. Aku tidak berkepentingan dengan mereka berdua, dan akupun tidak berkepentingan dengan orang-orang Sangkal Putung.” “Kau berkepentingan dengan kedua sosok mayat itu.

Kaulah yang telah membunuhnya.” “O, jadi menurut pendapatmu, aku sebaiknya tidak usah mencampuri persoalan kedua orang itu? Atau menurut pertimbanganmu sebaiknya aku membiarkan keduanya membunuh Glagah Putih.” “Tidak. Bukan maksudku. Bahkan aku hampir lupa mengucapkan terima kasih terhadapmu. Tetapi tunggulah sebentar. Kau harus mengatakan kepada petani yang lewat itu bahwa kaulah yang telah membunuh keduanya, dan bukan aku.” Tetapi anak muda itu menggeleng. Jawabnya, “Itu tidak perlu. Kau sudah mempunyai saksi. Glagah Putih.” “Aku minta kau tetap disini,“ berkata Agung Sedaya kemudian. Anak muda itu memperhatikan Agung Sedayu sebentar. Kemudian dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah kau akan memaksa aku?” “Sebenarnya aku tidak perlu memaksa. Tetapi kau dengan kehendakmu sendiri akan berada ditempat ini sebentar lagi saja.” “Sayang, aku tidak melihat gunanya. Petani-petani Sangkal Putung itu tentu tidak mengenal aku juga. Biarlah. Aku minta diri.” Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Tunggulah.” “Aku tidak mau.” Wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Ketika anak muda itu beringsut, diluar sadarnya Agung Sedayupun beringsut pula. Bahkan seolah-olah ia mengancam, “Kau harus tetap disini. Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu kepada Ki Jagabaya dan Ki Demang Sangkal Putung.” “Aku tidak mau.” Agung Sedayu melangkah maju. Namun tiba-tiba saja langkahnya tertegun ketika ia mendengar anak muda itu berkata, “Aku menyesal bahwa aku sudah menolong sepupumu. Jika aku membiarkannya, maka aku tidak akan mendapat tekanan seperti ini.” Sejenak Agung Sedayu berdiam diri sambil termangu-mangu. Anak muda itu berkata, “sebenarnya. Jika ia tidak mencampuri persoalan Glagah Putih dengan kedua orang itu, maka tidak akan ada orang yang akan menahannya dan menuntutnya untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.” Selagi Agung Sedayu termangu-mangu maka anak muda itu berkata, “Agung Sedayu, jika kau memaksa aku untuk tetap tinggal disini, maka kau tentu dapat.” Aku akan dapat melawan kehendakmu jika kau memang berniat memaksakan kehendakmu itu, karena kau adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi mengertilah, bahwa aku tidak ingin terlibat

kedalam persoalan yang semakin jauh. Aku hanya ingin menolong Glagah Pulih. Selebihnya aku tidak mau mencampurinya.” “Tetapi kau mengetahui banyak hal tentang Pajang, tentang Malaram dan bahkan tentang aku.” Semua orang mengetahui tentang kau, tentang Untara. tentang Raden Sutawijaya. tentang Kiai Gringsing, tentang Ki Juru Martani dan tentang persoalanpersoalan yang dihadapinya. Karena itu maka akupun mengerti serba sedikit tentang kau, tentang Pajang dan tentang pertempuran dilembah itu.” Agung Sedayu termangu-mangu ketika ia memandang kejalan panjang, ditengah-tengah bulak itu, ia melihat kedua orang petani Sangkal Pulung itu menjadi semakin dekat. Tetapi agaknya anak muda itu benar-benar tidak mau menunggu. Iapun mulai melangkah dan berkata, “Jika kau memaksaku untuk menunggu mereka, aku tentu akan dapat melakukannya karena aku tidak akan dapat melawanmu. Tetapi dengan demikian maka aku akan menyesal sepanjang umurku, bahwa aku telah menolong Galgah Putih hari ini.” Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi terasa Glagah Putih menggamitnya sambil berbisik, “Kakang, ia benar-benar telah menyelamatkan aku.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah Glagah Putih, aku tidak akan menahannya.” Anak muda yang menolong Glagah Putih itu berhenti sejenak. Katanya, “Yang aku lakukan bukanlah apa-apa.” Tetapi Ki Widura, ayah Glagah Putih tentu akan menyesal bahwa ia tidak sempat mengucapkan terima kasih kepadamu.” Anak muda itu tertawa. Katanya, “Itu tidak perlu. Aku sama sekali tidak mengharapkan terima kasih dari siapapun juga.” Agung Sedayu tidak menyahut lagi. Dibiarkannya anak muda berpakaian petani itu meninggalkannya yang berdiri termangu-mangu. Sementara itu, petani dari Sangkal Putung yang berjalan menyusuri jalan bulak itu menjadi semakin dekat. Dari kejauhan mereka sudah melihat Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Sedangkan orang yang sedang berbicara dengan anak muda itu kemudian pergi meninggalkannya. Namun petani-petani Sangkal Putung itu masih belum melihat bahwa dihadapan mereka terdapat dua sosok mayat yang tergolek ditanah.

Agung Sedayu dan Glalah Putih menjadi berdebar-debar. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa sementara orangorang itu mendekatinya. Betapa terkejut mereka, ketika para petani itu melihat tubuh yang terbujur membeku ditanah. Dengan mata terbelalak mereka memandang mayat itu. Agung Sedayu yang gelisah itupun segera mencoba memberikan keterangan, “Dua orang yang mati dibunuh oleh anak muda yang baru saja meninggalkan aku.” “O, anak muda itu,“ desis salah seorang petani sambil memandang keujung jalan yang panjang. Anak muda itu masih kelihatan, berjalan menyusuri jalan bulak itu semakin lama semakin jauh. “Kenapa? “ petani itu bertanya. Agung Sedayu termangu-mangu. Ia tidak ingin menceritakan kepada mereka apa yang sesungguhnya telah terjadi agar mereka tidak menjadi gelisah dan cemas. Karena itu, maka jawabnya, “Mereka berselisih. Akhirnya perkelahian tidak dapat dihindarkan.” “Apakah yang mereka persoalkan?” Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak tahu.” Dan yang dicemaskan Agung Sedayu itupun terloncat dari mulut salah seorang petani itu, “Dan kau biarkan saja mereka pergi.” Agung Sedayu termenung sejenak. Tetapi kemudian ia menjawab, “Aku tidak dapat mencegahnya. Persoalan yang terjadi antara merekapun aku tidak jelas. Tidak agaknya anak muda itu berbuat demikian dengan maksud baik. Mungkin Glagah Putih dapat menjelaskan kemudian.” Orang itu menjadi bingung. Namun kemudian katanya, ”Tetapi pembunuhan itu terjadi di tlatah Sangkal Putung.” “Ya, aku mengerti. Aku tidak dapat mencegahnya. la pergi begitu saja.” “Kau dapat menahannya. Kau mempunyai kemampan untuk mencegah agar ia tidak pergi dan menghadap Ki Demang Sangkal Putung.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, “Persoalannya tentu akan berkembang. Pertentangan itu akan merambat antara aku dan orang itu.” Petani-petani itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja salah seorang dari mereka berdesis, “Agung Sedayu, apakah kau tidak menutupi kenyataan yang terjadi? Apakah

bukan kau yang telah membunuh kedua orang itu karena mereka justru telah mengancam nyawamu?” “Aku?“ bertanya Agung Sedayu. Debar jantungnya menjadi semakin cepat. “Bukan,“ Glagah Putihlah yang menyahut, “bukan kakang Agung Sedayu. Tetapi anak muda itulah yang telah membunuh keduanya dengan cara yang aneh sekali.” Petani-petani itu saling berpandangan. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Kita wajib memberitahukan kepada Ki Jagabaya dan Ki Demang.” Agung Sedayu tidak dapat mencegah mereka. Karena itu. ia berdiri saja termangu-mangu ketika para petani itu kemudian dengan tergesa-gesa pergi meninggalkannya. “Kademangan tentu akan menjadi ribut,“ desis Agung Sedayu, “jika tamu-tamu yang berdatangan dari tempat-tempat lain itu masih ada, maka mereka tentu akan beriringan datang untuk melihat, apa yang telah terjadi.” “Apakah yang harus kita katakan kepada mereka kakang?” “Kita tidak dapat berbohong terlalu banyak. Kau harus mengatakan bahwa mereka akan membunuhmu, kemudian seorang anak muda berpakaian petani telah menolongmu.” “Bagaimana jika seseorang bertanya kepadaku, kenapa mereka akan membunuhku?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak ingin persoalannya berkembang semakin jauh. Karena itu, maka katanya, “Katakan saja bahwa kau tidak tahu apa apa. Mereka tentu akan mencari sendiri sebabnya.” Glagah Putih termenung sejenak. Dan Agung Sedayupun berkata lebih lanjut. “Ketahuilah Glagah Putih, yang ada di Sangkal Putung sekarang adalah orang-orang yang tidak kita ketahui dengan pasti sikap dan tanggapannya terhadap keadaan sekarang ini.”

Buku 115 DALAM pada itu, para petani yang meninggalkan Agung Sedayu itupun telah memasuki halaman Kademangan. Dengan wajah yang merah padam mereka memaksa para pengawal yang menahan mereka, untuk dapat bertemu dengan Ki Demang. “Ada persoalan apa?“ bertanya para pengawal. “Persoalan penting. Persoalan yang akan kami laporkan langsung kepada Ki Demang.” “Tetapi masih banyak tamu dipendapa.” “Persoalan ini harus segera diketahui oleh Ki Demang.” Para pengawal itu menjadi termangu-mangu. Namun kemudian pemimpin para pengawal itu berkata, “Duduk sajalah disini. Aku akan mengundang Ki Demang untuk datang kemari.” Para petani itu menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian salah seorang berkata, “Baiklah. Katakan kepada Ki Demang.” Pemimpin pengawal itupun kemudian pergi kependapa. Dengan hati-hati ia memberikan isyarat kepada Ki Demang, agar Ki Demang datang kepadanya. Ketika seorang perwira yang masih berada dipendapa sambil menghirup minuman hangat melihat pula pemimpin pengawal itu, maka iapun bertanya, “Ada apa?” Pemimpin pengawal itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Tidak apa-apa tuan. Sekedar soal air di sawah sebelah padukuhan induk ini.” Perwira itu tidak menghiraukannya lagi. Demikian pula orang-orang lain yang semula tertarik pula kepada pemimpin pengawal itu. Ki Demang yang segan itupun turun kehalaman mendekati pengawal itu. Dengan segan pula ia bertanya, “Ada apa?” “Beberapa orang ingin bertemu dengan Ki Demang,“ bisik pemimpin pengawal itu. “Ya, ada apa?” Ki Demang yang merasa terganggu mendesak. “Silahkan menemui mereka Ki Demang. Mereka ada digardu.” Ki Demangpun kemudian pergi ke gardu untuk menjumpai para petani yang tidak dapat menahan diri lagi. Berebut mereka menceritakan apa yang mereka lihat dibulak itu.

Ki Demang yang melihat kemungkinan yang dapat menumbuhkan keributan dari peristiwa itu mencoba untuk menahan agar para petani itu tidak berbicara terlalu keras. Tetapi usahanya tidak berhasil. Dan beberapa orang yang duduk dipendapa, ternyata telah tertarik pula melihat cara para petani itu bercerita, sehingga satu dua diantara mereka telah turun dan mendekat. Hal itu tidak lagi dapat disembunyikan. Sejenak kemudian berita tentang peristiwa dibulak panjang itu telah tersebar diseluruh pendapa sehingga Raden Sutawijaya dan Untara telah mendengarnya. Seperti yang diduga oleh Ki Demang, maka pendapa itupun menjadi ribut. Beberapa orang tidak dapat menahan diri lagi dan dengan tergesa-gesa mendekat sambil bertanya berebut dahulu, “Siapa yang terbunuh di bulak panjang?” Tidak seorangpun yang dapat memberikan penjelasan. Tetapi mereka dapat mengatakan, bahwa dibulak panjang itu terdapat Agung Sedayu. “Apakah Agung Sedayu sudah membunuh lagi? “ diluar sadarnya Kiai Gringsing berdesis. Seperti yang diperhitungkan oleh Agung Sedayu, maka kemudian para tamu yang masih ada di Sangkal Pulung itu dengan tergesa-gesa telah pergi beriringan ke tengah bulak. Mereka menjumpai Agung Sedayu dan Glagah Putih masih berada ditempatnya. Mereka sengaja menunggu orang-orang yang menurut mereka pasti akan datang, untuk mendapatkan keterangan tentang apa yang telah terjadi. Ketika orang-orang itu kemudian berdiri melingkar sambil berdesakkan disekitar kedua sosok mayat dan Agung Sedayu serta GlagahPutih, maka mulailah Agung Sedayu mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi. “Kau melihat bagaimana orang itu membunuh?“ bertanya Kiai Gringsing. “Ya guru. Dengan ikat pinggangnya. Ia dapat mempergunakan ikat pinggangnya dengan hampir sempurna sehingga ikat pinggang itu mematuk seperti ujung tombak, tetapi dapat menebas seperti pedang.” “Orang itu masih muda?“ bertanya Untara, “semuda Raden Sutawijaya?” Agung Sedayu mengangguk. “Dan ia tidak meninggalkan pesan apa-apa?“ bertanya Raden Sutawijaya. “Tidak Raden. Ia pergi begitu saja dan aku tidak dapat menahannya betapapun aku ingin. Tetapi aku tidak mau terlibat dalam persoalan jika aku memaksanya untuk tinggal.”

Raden Sutawijayapun kemudian berjongkok memeriksa bekas luka-luka pada tubuh mayat itu. Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihatnya Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. “Tidak usah disembunyikan Raden,“ seorang perwira berkumis lebat mendesak maju, “kita semuanya tahu, siapakah yang telah melakukannya.” Agung Sedayu memandang perwira berkumis lebat itu dengan dada yang berdebar-debar. Sejenak ia berdiri tegak tanpa bergerak, sedangkan Glagah Putih menjadi cemas melihat wajah yang keras itu. “Kakang Tumenggung Brajaketi,“ berkata Raden Sutawijaya, “tidak ada maksud menyembunyikan sesuatu. Apalagi jika memang sudah diketahui bersama. Yang sedang kita lakukan adalah meyakinkan dugaan kita, apakah benar bahwa yang telah terjadi seperti yang kita sangka.” “Apakah masih ada keragu-raguan? Bekas tangannya tidak ada duanya. Ia adalah orang yang paling pantas ditakuti. Bagiku, ia adalah orang satu-satunya yang memiliki wibawa sekarang ini.” Wajah Raden Sutawijaya menjadi tegang. Dipandanginya perwira berkumis lebat yang kemudian berjongkok pula diseberang mayat yang terbaring dihadapannya, dan yang kemudian beringsut pada mayat yang seorang lagi. “Jelas sekali. Ia adalah orang besar di masa kini. Harapan setiap orang Pajang, bahwa ia akan tampil untuk menegakkan kegoyahan tahta dan menghancurkan setiap orang yang menentang keputusannya,“ geram Tumenggung Brajaketi. “Jika benar, maka Pajang tentu akan menemukan dirinya kembali,” jawab Raden Sutawijaya. Jawaban itu mengejutkan Tumenggung Brajaketi. Wajahnya menjadi merah sejenak. Namun kemudian ia menundukkan wajahnya memandangi mayat yang terbaring dihadapannya. “Ia memang putera satu-satunya,” sahut Ki Juru Martani, “ia memang harapan setiap orang. Jika saja ia tidak menolak untuk menjadi Putera Mahkota.” “Ia tidak akan menolak,” bantah Tumenggung Brajaketi. “Jangan kau katakan kepadaku. Katakan kepada Sultan Pajang,” sahut Ki Juru Martani. Ki Tumenggung menegang. Namun Untara kemudian berkata, “Ia adalah orang yang berbuat sesuai dengan keinginan yang melonjak-lonjak didalam hati. Ia akan membunuh jika ia ingin membunuh. Ia akan pergi jika ia ingin pergi. Kenapa kalian mempersoalkannya disini?”

Raden Sutawijaya berdiri tegak memandang berkeliling. Kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Yang melakukan adalah adimas Pangeran Benawa, Agung Sedayu. Mungkin kau memang belum mengenal secara pribadi. Tetapi kau tentu sudah mengenal namanya. Ia adalah anak muda yang kecewa. Yang tidak mau terlibat dalam kemelutnya pemerintahan ayahandanya.” “Ada orang yang dengan sengaja mengkesampingkan,“ potong Ki Tumenggung Brajaketi. “Ada beberapa pihak,“ geram Untara, “kakang Tumenggung Brajaketi. Jangan menutup kenyataan, bahwa ada orang yang sedang mengipasi api yang sedang menyala.” “Adimas Untara,“ sahut Tumenggung Brajaketi, “kau adalah Senapati pinunjul. Tetapi pengetahuanmu tentang istana ternyata terlalu sempit. Kau lebih banyak berada dimedan yang kurang kau pahami.” “Aku tahu yang kau maksud,“ potong Untara, “apakah kau termasuk orang-orang yang sedang meniup api sekarang ini? Atau semacam kebencian yang tidak berdasar atas tumbuhnya Mataram? Aku menyadari persoalan itu. Tetapi kita tidak akan membicarakannya disetiap kesempatan.” Wajah Brajaketi menjadi merah padam. Tiba-tiba iapun berdiri sambil berkata, “Aku adalah Tumenggung yang sadar akan tanggung jawabku terhadap keselamatan Pajang. Aku akan berbuat apa saja untuk menyelamatkan Pajang dari setiap pemberontakan, siapapun yang akan menentang Sultan Hadiwijaya maupun Pangeran Benawa yang berhak menjadi Putera Mahkota, maka ia akan berhadapan dengan aku. Tumenggung Brajaketi.” Namun tiba-tiba ketegangan itu bagaikan koyak oleh suara seseorang diantara mereka yang berkerumun diseputar mereka, “Ki Tumenggung benar. Setiap orang tentu akan mendukung sikap itu. He, apakah Ki Tumenggung melihat gejala dari seseorang yang akan memberontak? Atau barangkali yang dimaksud oleh Ki Tumenggung adalah orangorang yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit?” Wajah Ki Tumenggung Brajaketi menjadi panas seperti tersentuh api. Ketika terpandang olehnya orang yang berbicara itu, jantungnya bagaikan akan meledak. “Kiai Gringsing,“ ia bergumam, “kau memang tidak tahu apa-apa tentang sikap orang-orang besar di Pajang sekarang ini.” “Ya. Aku memang tidak tahu apa-apa. Karena itu aku bertanya kepadamu.” “Pertanyaan itu mengundang persoalan,“ Untaralah yang memotong, “kenapa kita ributkan persoalan

itu sekarang? Pertanyaanku sekarang aku tujukan kepada setiap orang, apakah kalian memang ingin melihat api yang menyala dan membakar Pajang? Aku adalah Panglima yang berkuasa di daerah ini. Terlebih-lebih aku sedang membawa lambang pribadi Sultan Hadiwijaya. Jika kalian masih ingin mempersoalkannya, marilah, persoalkan dengan aku. Aku akan mengambil sikap untuk menyelesaikannya dengan caraku sebagai seorang Senapati, siapapun yang sedang aku hadapi.” Dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Sekilas dipandanginya gurunya. Tetapi Kiai Gringsing justru tersenyum sambil berkata, “Aku hormati sikapmu anakmas. Aku menarik diri dari setiap pembicaraan. Marilah Agung Sedayu, marilah Glagah Putih, biarlah mayat itu dimakamkan sebagaimana seharusnya. Tetapi kita kini tahu, bahwa Pangeran Benawa adalah orang yang tidak ada duanya di daerah Pajang.“ Kiai Gringsing melangkah selangkah. Namun iapun berhenti sambil berpaling. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “He, Agung Sedayu. Apakah kau tidak tahu, siapakah kedua orang yang terbunuh ini?” Agung Sedayu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian katanya, “Menurut anak muda yang berpakaian petani, yang ternyata adalah Pangeran Benawa, kedua orang ini adalah kakak beradik dari Pesisir Endut.” “He,“ beberapa orang saling berpandangan. Seorang perwira yang berwajah tenang berdesis, “orangorang yang luar biasa. Pangeran Benawa benar-benar telah membuktikan, bahwa ia adalah seorang laki-laki.” Yang lain mengangguk-angguk kecil, sementara Raden Sutawijayapun berkata, “Untara, bagaimanakah jika kau perintahkan saja mengubur mayat-mayat itu?” “Aku memang akan memerintahkan,” jawab Untara itu, “sudah menjadi kewajibanku. Dan Ki Demang Sangkal Pulung tentu akan memberikan bantuan kepadaku. Karena itu, aku akan mempersilahkan semuanya meninggalkan tempat ini.” Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Untara sejenak, namun kemudian iapun berkata, “Aku akan kembali kerumah Ki Demang di Sangkal Putung. Nampaknya keperluanku disinipun sudah selesai, sehingga aku akan segera dapat minta diri.” Raden Sutawijaya tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun kemudian meninggalkan tempat itu, diikuti oleh pengawal-pengawalnya yang terpercaya. Selain Raden Sutawijaya, maka beberapa orang yang lainpun meninggalkan tempat itu pula. Ki Tumenggung Brajaketipun kemudian melangkah pergi. Ketika ia lewat disisi Untara, maka iapun berkata, “Tidak ada orang lain yang sanggup melakukannya. Apalagi kedua orang itu ternyata kakak beradik dari pesisir Endut.”

Untara memandang wajah Tumenggung itu sejenak. Hampir diluar sadarnya ia berkata, “Apakah Ki Tumenggung juga tidak sanggup seandainya Ki Tumenggung mendapat kesempatan yang sama?” Wajah Tumenggung Brajaketi menjadi merah padam. Namun ia tidak menjawab pertanyaan Untara. Dengan langkah panjang ia meninggalkan tempat itu bersama beberapa orang perwira yang lain. Yang kemudian tinggal adalah Ki Demang Sangkal Putung, Kiai Gringsing dan Agung Sedayu. Sejenak kemudian Ki Waskitapun mendekatinya pula sementara beberapa langkah dari mereka berdiri Ki Argapati dan Swandaru Geni, yang kemudian mendekat pula. Sedangkan Ki Widurapun menghampiri Glagah Putih yang masih berdiri kebingungan. “'Mereka adalah orang-orang aneh,“ desis Kiai Gringsing, “hampir saja aku kehilangan pengamatan diri.” Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Tetapi apakah dengan demikian Kiai dapat menggolongkan beberapa orang yang hadir itu kedalam lingkungan masing-masing? “ “Masih belum Ki Waskita, tetapi setidak-tidaknya aku melihat, bahwa orang-orang tertentu di Pajang kini seakan-akan mempunyai jalannya sendiri. Tetapi lebih parah lagi jika mereka masing-masing berusaha untuk memaksakan keinginan mereka dengan cara apapun juga.” Ki Argapati yang mengangguk-angguk kemudian berkata, “Mudah-mudahan bukan kesengajaan untuk mengipasi api yang memang sudah dapat menyala sekarang ini seperti yang dikatakan Untara.” “Siapa tahu,“ desis Ki Widura, “tetapi kita masih mengharap masing-masing pihak dapat menahan diri sehingga tidak akan timbul benturan kekuatan. Mudah-mudahan pada suatu saat tumbuh orang kuat yang dapat diterima oleh banyak pihak, sehingga ikatan atas kesatuan Pajang tidak akan koyak berserakan.” Agung Sedayu sama sekali tidak menyahut. Iapun kemudian membantu orang-orang yang dipimpin oleh Ki Demang menyelenggarakan kedua sosok mayat yang tergolek itu sebagaimana seharusnya. Ketika orang-orang Sangkal Putung akan membawa mayat itu kepekuburan, maka beberapa orang diantara merekapun dipersilahkan untuk kembali ke Kademangan termasuk Glagah Putih. “Pergilah bersama orang-orang yang dapat kau minta perlindungannya jika perlu,“ berkata Agung Sedayu, “Aku akan ikut kekubur.” Kiai Gringsing memandanginya sejenak. Meskipun ia belum mendengar ceritera yang sebenarnya tentang Glagah Putih dan kedua orang yang terbunuh itu, namun rasa-rasanya ia dapat

menghubungkannya hal itu dengan Agung Sedayu. Agung Sedayu tidak mengelakannya, bahkan katanya kemudian, “Biarlah aku mengawasi anak-anak muda yang pergi kekuburan guru.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk kecil. Namun iapun kemudian bersama yang lain dan Ki Demang Sangkal Putung kembali ke Kademangan. Apa lagi mengingat tamu-tamu mereka masih tinggal di Kademangan meskipun mereka sudah bersiap siap untuk kembali. Tetapi diantara mereka, Ki Waskita nampaknya menjadi ragu ragu. Katanya kemudian kepada Kiai Gringsing, “Biarlah aku tinggal bersama Agung Sedayu Kiai. Silahkan Kiai mendahului. Beberapa orang di Kademangan itu tentu menunggu kehadiran Kiai. Sementara aku akan membantu Agung Sedayu dan anak-anak muda Sangkal Putung.” Kiai Gringsing tersenyum ia sadar, bahwa jika ia tidak nampak di pendapa Kademangan, tentu ada beberapa orang yang bertanya-tanya. Berbeda dengan Ki Waskita yang tidak banyak dikenal oleh para tamu dipendapa Kademangan Sangkal Putung. Karena itu, yang tinggal kemudian adalah Agung Sedayu dan Ki Waskita diantara anak-anak muda Sangkal Putung dan orang-orang yang akan mengubur kedua sosok mayat itu. Agung Sedayu tidak sampai hati melepaskan mereka, karena bagaimanapun juga, namanya tersangkut pada peristiwa pembunuhan yang baru saja dilakukan oleh anak muda yang ternyata adalah Pangeran Benawa itu. Sepanjang jalan ke kuburan. Agung Sedayu sempat menceriterakan apa yang sebenarnya telah terjadi kepada Ki Waskita, yang mendengarkannya dengan saksama. Agung Sedayu sempat mengatakan, menurut pendengaran Glagah Putih, bahwa masih saja ada orang yang membayang-bayanginya. “Kenapa justru akulah yang selalu dibayangi oleh dendam itu Ki Waskita?“ bertanya Agung Sedayu dengan nada yang dalam. Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Seseorang kadang-kadang memang harus terjerumus kedalam suatu keadaan yang sama sekali tidak dikehendakinya sendiri, Agung Sedayu. Aku tahu bahwa kau sama sekali tidak ingin melakukan pembunuhan demi pembunuhan. Namun ternyata itulah yang terjadi, sehingga kau kini selalu dibayangi oleh dendam yang tidak ada habis-habisnya. Bahkan rasa-rasanya semakin lama menjadi semakin dalam.” “Apakah bayangan itu akan selalu mengikutiku sepanjang umurku Ki Waskita?“ bertanya Agung Sedayu pula. “Aku kira tidak, Agung Sedayu. Pada suatu saat kau tentu akan menemukan jalan, melepaskan diri dari lingkungan

dendam yang bagimu tentu sangat menggelisahkan. Mungkin kau sendiri akan dapat melepaskan diri. Tetapi akibatnya, kau telah melakukan sesuatu yang membuat bayangan dendam itu semakin kelam.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Diwajahnya membayang kegelisahan perasaannya menghadapi keadaan yang sama sekali tidak dikehendakinya itu, namun yang telah membelitnya seperti sulur-sulur beringin yang mencengkam batu-batu karang. Berbeda dengan saat-saat pemakaman Ki Sumangkar, maka penguburan itu rasa-rasanya sama sekali tidak ada perhatian dari orang-orang yang berada di Sangkal Putung. Kecuali mereka yang bertugas menguburkannya, hanyalah Agung Sedayu dan Ki Waskita sajalah yang menungguinya. Ada satu dua orang memandang dari kejauhan, namun mereka sama sekali tidak tertarik untuk mendekat, karena berita tentang pembunuhan itu telah tersebar keseluruh Kademangan, sehingga selain orang-orang itu tidak berkepentingan, maka merekapun tidak mau tersentuh oleh peristiwa yang mendebarkan itu. Setelah penguburan itu selesai, maka anak-anak muda yang menguburkan mayat itupun dengan tergesagesa meninggalkan kuburan itu. Mereka merasa tidak tenang, karena diantara mereka terdapat Agung Sedayu dan Ki Waskita, karena sebagian dari mereka mengetahui, bahwa kedua orang itu memiliki kemampuan yang akan dapat melindungi mereka jika ada pihak yang ingin melibatkan mereka kedalam kesulitan. Dijalan pulang. Agung Sedayu dan Ki Waskita masih asyik berbicara tentang peristiwa yang baru saja terjadi, sehingga mereka agak tertinggal oleh anak-anak muda dan orang-orang Sangkal Putung yang baru saja menguburkan kedua mayat yang terbunuh itu. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja langkah mereka tertegun. Dengan dada yang berdebar-debar. Agung Sedayu menggamit Ki Waskita ketika ia melihat seseorang duduk dibawah sebatang pohon tidak jauh dari jalur jalan yang mereka lewati. “Itulah anak muda itu,“ desis Agung Sedayu. “Pangeran Benawa?” bertanya Ki Waskita. “Menurut beberapa orang, ia adalah Pangeran Benawa. Agaknya pantas juga jika ia disebut Pangeran meskipun ia berpakaian seorang petani.” Ki Waskita termangu-mangu. Nampaknya anak muda itu sama sekali tidak menghiraukannya meskipun Agung Sedayu memperhatikannya dengan saksama. “Ya. Aku tidak salah lagi. Kita akan menghadap,“ berkata Agung Sedayu. Ki Waskita sama sekali tidak berkeberatan. Karena itulah, maka merekapun seolah-olah telah mempercepat langkah mereka mendekati anak muda yang duduk termenung tanpa menghiraukan

keadaan disekitarnya. Tetapi ia menengadahkan wajahnya pula ketika Agung Sedayu dan Ki Waskita dengan ragu-ragu mendekatinya. Bahkan dengan suara ragu Agung Sedayu berdesis, “Apakah benar aku berhadapan dengan Pengeran Benawa?” Anak muda berpakaian petani itu memandanginya. Kemudian katanya, “Silahkan duduk Agung Sedayu. Dan, apakah aku boleh mengenalmu Ki Sanak?“ katanya pula kepada Ki Waskita. Agung Sedayu dan Ki Waskitapun duduk disebelah anak muda itu. Dengan nada dalam Ki Waskita berkata, “Aku dipanggil Ki Waskita, Pangeran.” “O, jadi kalian sudah yakin, bahwa akulah Benawa itu?“ bertanya anak muda itu. “Semua orang yang mengamati kedua mayat itu sependapat, bahwa kematiannya tentu karena bekas tangan Pangeran Benawa. Aku kurang tahu, apakah yang menandai kematian itu, selain luka-luka yang memang agak berbeda dari bekas senjata kebanyakan. Dan agaknya karena luka-luka itu bukan karena tusukan tombak, bukan pula karena goresan pedang, maka mereka tahu, bahwa senjata yang dipergunakan adalah senjata yang aneh. yang sebenarnya tidak biasa dipergunakan orang.” Pangeran Benawa mengangguk. Namun kemudian katanya, “Mereka benar, bahwa yang telah membunuh kedua orang itu adalah Benawa. Tetapi jika seseorang kurang yakin, maka aku tentu menandai dahi setiap orang yang aku bunuh. He, apakah kau tidak memperhatikan tanda itu?” Agung Sedayu menggeleng, sementara Ki Waskitapun mengerutkan keningnya. “Mereka yang sudah mengenal aku melihat tanda didahi itu. Tidak dengan senjata apapun juga, tetapi dengan ibu jariku.” “O,“ Agung Sedayu mengangguk-angguk. “Bekas ibu jari itu akan memberikan ciri dan pertanggungan jawabku atas kematian yang terjadi karena aku.” Agung Sedayu menarik nafas. Sekilas terbayang bekas yang kebiru-biruan didahi orang itu. Namun sangat samar-samar dan tidak menarik perhatiannya. Tetapi agaknya orangorang yang telah mengenal Pangeran Benawa telah memperhatikan noda yang berwarna biru didahi

orang itu. “Nah, sekarang apakah kalian mempunyai persoalan dengan aku? “ pertanyaan itu mengejutkan Agung Sedayu dan Ki Waskita. Namun hampir berbareng keduanya menggelengkan kepalanya, sementara Ki Waskita menjawab, “Tidak Pangeran. Kami tidak mempunyai persoalan apapun. Jika kami berhenti dan duduk pula disini, sebenarnya kami hanya ingin meyakinkan, apakah benar, bahwa anak muda berpakaian petani ini adalah Pengeran Benawa.” “Kakangmas Senapati Ing Ngalaga tidak akan salah menilai, ia tahu benar bahwa aku ada disini sekarang.” “Apakah Pangeran tidak sebaiknya singgah di Kademangan?” Tiba-tiba saja Pangeran Benawa tertawa. Katanya, “Agung Sedayu dan Ki Waskita, apakah kalian tidak tahu bahwa disana sekarang sedang berkumpul serigala, harimau, anjing hutan, ular yang paling berbisa dan segala macam binatang buas yang lain?” Jawaban Pangeran Benawa itu benar-benar mengejutkan, sehingga Agung Sedayu tergeser setapak. Dengan wajah yang tegang dipandanginya Ki Waskita yang ternyata juga menjadi berdebar-debar mendengar jawaban itu. Namun ternyata suara tertawa Pangeran Benawa masih terdengar. Dengan nada tinggi disela-sela tertawanya ia berkata, “Apakah kalian terkejut ? Seharusnya kalian mengerti bahwa demikianlah adanya.” “Pangeran,” berkata Ki Waskita kemudian, ”mungkin aku dapat menangkap maksud Pangeran. Mungkin Pangeran ingin mengatakan bahwa di pendapa Kademangan itu. Sekarang berkumpul orangorang yang dibayangi oleh nafsu yang menyala bagi kepentingan diri pribadi. Tentu ada diantara mereka orang-orang yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit. Tentu ada para pembesar dan perwira yang tetap ingin mempertahankan Pajang dengan segala akibatnya. Dan ada diantara mereka yang ingin membangun suatu pusat pemerintahan yang baru disamping Pajang. Sudah barang tentu bahwa ada diantara mereka yang dengan jujur serta keyakinan yang mendasar dihati berjuang untuk mencapai maksudnya, tetapi tentu ada diantara mereka orang-orang yang seperti Pangeran maksudkan seperti binatang-binatang buas yang akan saling menerkam. Siapa yang kuat, maka ialah yang akan tampil diatas bangkai-bangkai yang lain.” Pangeran Benawa memandang Ki Waskita dengan wajah yang tegang. Namun kemudian katanya, Ki Waskita adalah seseorang yang jauh lebih tua dari aku. Itulah sebabnya Ki Waskita dapat melihat keadaan itu dengan pandangan yang lebih jernih. Ki Waskita masih dapat membedakan bahwa diantara mereka ada yang berjuang karena keyakinan akan kebenaran cita-citanya.” Pangeran Benawa berhenti sejenak, lalu. ”tetapi agaknya pandangan mataku memang agak buram.

Bagiku semuanya adalah orang-orang yang telah dibakar oleh nafsu bagaimanapun bentuknya dan untuk tujuan apapun.” Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba Agung Sedayulah yang bertanya seolah-olah begitu saja meloncat dari ketulusan hatinya, “Apakah Pangeran menganggap bahwa Raden Sutawijaya, Ki Juru Martani, Kakang Untara, guruku Kiai Gringsing dan beberapa orang lain juga termasuk kedalamnya ?” Pertanyaan itu agaknya telah mengejutkan Pangeran Benawa. Namun sejenak kemudian ia telah tertawa. Katanya, ”Kau masih muda seperti aku. Pertanyaanmu wajar sekali. Dan aku menjadi bingung untuk menjawabnya.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Tetapi ia masih menunggu jawaban Pangeran Benawa. “Agung Sedayu,” berkata Pangeran Benawa kemudian, ”maaf. Sebenarnyalah aku berpendapat demikian. Tetapi aku masih berbaik hati untuk menilai kebuasan mereka pada tingkat-tingkat yang tidak sama. Itulah kegoyahan pendapat tentang mereka. Kau tahu, kenapa kakangmas Sutawijaya meninggalkan Pajang ? Bukankah karena pamanda Pemanahan bernafsu untuk menuntut janji ayahanda Sultan atas Tanah Mentaok yang kemudian dibukanya menjadi sebuah negeri ? Dan kau tahu, kenapa beberapa orang Adipati bernafsu untuk menghancurkan Mataram dan sejalan dengan niat itu, beberapa orang perwira Prajurit Pajang telah membumbuinya dengan segala macam dalih ? Bagi para Adipati yang ingin berkuasa sendiri, keruntuhan Pajang merupakan pertanda baik. Tetapi lahirnya kekuasaan di Mataram akan menyuramkan harapan mereka untuk berebut kuasa, karena cahaya kebesaran Mataram tentu akan menyilaukan mereka. Tetapi agaknya orang-orang yang merasa dirinya pewaris kerajaan Majapahitpun ingin memperebutkan harta karun yang akan memberikan kepuasan sekejap kepada mereka tanpa menghiraukan kehancuran kesatuan yang sudah lama dipupuk itu. Sementara itu, bukankah Ki Gede Menoreh, Kiai Gringsing dan Ki Waskita langsung atau tidak langsung sudah tersangkut pada putaran perebutan kekuasaan itu ? Namun seperti yang aku katakan, bahwa aku masih mempunyai kesempatan untuk menilai lain serta bertingkat. Ada yang pada tingkat yang samar-samar, ada yang karena dorongan harga diri. ada yang menyangkut kepentingan perkembangan pribadi, tetapi ada yang benar-benar karena nafsu ketamakan untuk mendapatkan kepuasan sebesar-besarnya bagi diri pribadi. Untuk sekejap atau untuk waktu yang agak lama.” “Dan Pangeran ?” tiba-tiba saja Agung Sedayu bertanya. “Aku adalah orang asing di rumahku sendiri. Aku asing dari ayah bunda. Aku asing dari para Senapati. Aku asing dari para inang pengasuhku. Dan kadang-kadang aku merasa asing pula dari diriku sendiri.” jawab Pangeran Benawa.

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kekecewaan yang dalam memancar di mata anak muda itu. Apalagi ketika Pangeran Benawa berkata seterusnya, “Ki Waskita. Sebagai seorang anak, aku harus berbakti kepada orang tua. Dan aku sudah mencobanya. Tetapi aku tidak dapat menghapus kekecewaan yang sudah melekat dihati disaat-saat aku melihat berapa puluh perempuan muda yang tersimpan di istana ayahanda. Mereka telah membayangi cinta kasih ayahanda terhadap ibunda dan aku. Sementara ibunda tidak mau menyadari keadaannya dan memaksa aku untuk menelan kepahitan perasaan itu tanpa berbuat sesuatu.” Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, ”Pangeran. Bukankah itu berarti bahwa Pangeran telah dikecewakan sebagai seorang putera laki-laki karena tingkah laku seorang ayah. Tetapi apakah Pangeran sudah mencoba mendudukkan diri sebagai seorang Putera Mahkota yang bertanggung jawab terhadap ayahanda Sultan di Pajang yang sedang memerintah?” “Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang paling aku benci. Kau tentu akan mengatakan, bahwa akupun orang yang sekedar mementingkan diri sendiri. Mendambakan harga diri dan kemanjaan seorang ayah terhadap anak laki lakinya. Gila. Itu pertanyaan gila.” Ki Waskita dan Agung Sedayu menjadi berdebar-debar melihat akibat pertanyaan yang agaknya tidak disenangi oleh Pangeran Benawa. Bahkan kemudian Pangeran yang muda itu tiba-tiba saja berdiri tegak dengan wajah yang tegang. Namun seperti berjanji, Ki Waskita dan Agung Sedayu tetap duduk ditempatnya. Bahkan keduanyapun kemudian menundukkan kepalanya seolah-olah mereka benar-benar berhadapan dengan seorang putera Mahkota dalam kedudukannya. Tetapi sejenak kemudian agaknya hati Pangeran Benawa menjadi tenang. Perlahan-lahan ia duduk kembali sambil berdesah, “Aku memang seorang yang mementingkan diriku sendiri. Kekecewaanku sebagai seorang anak telah mencengkam jantungku terlalu dalam. Aku terlalu dungu untuk dapat membedakan antara seorang anak yang kecewa melihat cinta kasih ibunya terhadap ayahnya dibayangi oleh wajah-wajah perempuan cantik yang tak terhitung jumlahnya, dengan seorang Putera Mahkota yang asing dinegerinya sendiri. Tidak, Aku bukan Putera Mahkota. Aku Benawa, seorang yang bebas untuk melakukan apa saja sesuai dengan nuraninya. Dan aku sudah melakukannya.” “Apa yang sudah Pangeran lakukan?“ bertanya Ki Waskita. “Membunuh. Aku membunuh setiap orang yang tidak aku sukai. Aku melindungi setiap orang yang aku anggap harus mendapat perlindungan seperti Glagah Putih. Aku bertualang diseluruh negeri. Tetapi aku juga menjadi seorang anak muda yang pendiam dan tidak meninggalkan bilik tidurku untuk berhari-hari.” Ki Waskita menarik nafas dalam dalam, ia mulai mengenal Pangeran Benawa sebagai seorang anak

laki-laki yang terluka hatinya. Agaknya tidak ada seorangpun yang dapat menyembuhkannya. “Aku sudah cukup banyak berbicara,” berkata Pangeran Benawa kemudian, “aku tidak pernah merahasiakan sikapku terhadap siapapun. Ayahandapun mengerti pula. Karena itu ayahanda tidak pernah mempersoalkan kedudukanku sebagai seseorang yang berhak atas tahta Pajang jika aku menghendaki.” “Dan Pangeran tidak pernah mencoba menilai sikap Pangeran itu lagi?” “Tidak ada gunanya. Aku sudah mengatakan kepada ayahanda, bahwa yang paling pantas untuk kemudian memerintah Pajang adalah kakangmas Sutawijaya. Meskipun ia anak angkat ayahanda, tetapi ia sudah seperti anak sendiri. Dan aku mengakui haknya atas Pajang.” Ki Waskita termangu-mangu. Dipandanginya wajah Pangeran Benawa sejenak. Dari sorot, matanya memancar pertanyaan yang bergejolak didalam dadanya. Pangeran Benawa tersenyum melihat sorot mata Ki Waskita. Katanya, “Kakangmas Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga adalah binatang buas yang paling bertanggung jawab, ia menyimpan nafsu didalam dadanya. Ia berjuang untuk mencapai cita citanya. Ia menyingkirkan orangorang yang menghalanginya. Namun ia adalah orang yang berjuang untuk masa depan yang menurut keyakinannya, akan dapat menjadi tumpuan harapan bagi tanah ini. Ia berbuat sesuatu atas dasar keyakinannya seperti seekor harimau yang berjuang didalam buasnya hutan belantara, diantara binatang-binatang buas yang lain, yang siap untuk membinasakannya.” Ki Waskita hanya dapat menarik nafas. Tidak ada lagi yang dapat dikatakannya, karena agaknya hati Pangeran Benawa telah membatu. “Aku akan pergi,“ berkata Pangeran Benawa kemudian, “jika kau terlalu lama disini, maka orang-orang dipendapa itu akan menjadi cemas. Mereka menyangka sesuatu telah terjadi, sehingga mereka akan berlari-larian mencarimu, meskipun dengan gejolak hati yang berbeda-beda, bahkan saling bertentangan.” Pangeran Benawa itupun kemudian bangkit berdiri. Dengan nada yang dalam ia berkata, “Aku minta diri. Aku tahu bahwa kalian berdua adalah orang-orang yang jarang dicari bandingnya. Tetapi dua saudara dari Pesisir Endut itu tidak berdiri sendiri. Mereka mempunyai hubungan dengan orangorang yang mendendammu Agung Sedayu. Bukan karena cita-cita dan kesamaan sikap, tetapi semata-mata karena orang-orang yang mendendammu menyebarkan janji dan harapan. Bahkan mereka telah mulai menyebarkan uang dan benda-benda berharga. Nyawamu termasuk salah satu yang akan mereka beli dengan apapun yang mereka dapatkan. Selain nyawamu, masih ada nyawa-nyawa yang lain termasuk Senapati Ing Ngalaga yang menjadi pusat sasaran mereka bersama Mataramnya.”

Agung Sedayu dan Ki Waskitapun kemudian berdiri. Ketika Pangeran Benawa kemudian melangkahkan kakinya, maka keduanya bagaikan terpesona melihat sikap dan langkahnya. “Berhati-hatilah,“ Pangeran Benawa masih berpesan. “Sekarang Pangeran akan pergi kemana?“ bertanya Agung Sedayu. Pangeran Benawa mengerutkan keningnya. Langkahnya tertegun. Dan jawabnya kemudian, “Aku tidak pernah memikirkan, kemana aku pergi kecuali jika aku sudah rindu kepada ibunda. Barulah aku berpikir tentang arah. Pulang kembali. Tetapi akupun akan segera menjadi kecewa. Karena itu, ada dua pilihan yang selalu aku lakukan. Bersembunyi didalam bilik, atau pergi kemana saja.” Ki Waskita menarik nafas panjang. Sementara Pangeran Benawapun segera melanjutkan langkahnya, berjalan menyusuri jalan panjang yang rasa-rasanya tidak berujung. Ketika Pangeran Benawa menjadi semakin jauh, maka Ki Waskitapun menggamit Agung Sedayu sambil berkata, “Seorang Pangeran yang kehilangan pegangan hidupnya meskipun ia seorang yang tidak ada taranya.” “Apakah kira-kira yang akan dilakukannya kemudian paman. Nampaknya ia masih mempunyai kepercayaan kepada seseorang. Raden Sutawijaya.” Ki Waskita memandang Pangeran Benawa yang nampaknya menjadi semakin kecil. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Ia akan bertualang. Sebenarnya bertualang disepanjang jalan tapi jika badannya terkurung didalam bilik tidurnya, ia akan bertualang didalam angan-angannya tanpa batas. Tetapi ia masih tetap memiliki nurani seorang kesatria yang melindungi kelamahan dan menghancurkan kejahatan, meskipun caranya adalah cara menurut seleranya.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Pangeran Benawa menjadi semakin jauh, sehingga Agung Sedayu pun berkata, “Marilah kita kembali ke Kademangan paman. Jika kita terlalu lama pergi, mungkin akan dapat menumbuhkan kegelisahan.” Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk iapun kemudian beringsut sambil bergumam, “Ya. Kita akan segera kembali ke Kademangan.” Keduanyapun kemudian berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan bulak menuju ke pedukuhan induk kademangan Sangkal Putung. Di Kademangan Kiai Grinsing memang menjadi agak gelisah karena Agung Sedayu yang tidak segera kembali.

Namun rasa-rasanya ia menjadi agak tenang karena Agung Sedayu tidak seorang diri. Ia bersama Ki Waskita yang juga seorang yang dapat dipercaya, sehingga jika mereka mendapat gangguan disepanjang jalan, maka keduanya tentu akan dapat mempertahankan hidup mereka. Kiai Gringsing itupun kemudian menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat, Agung Sedayu dan Ki Waskita memasuki regol Kademangan, justru pada saat Ki Demang menghidangkan jamuan makan bagi tamu-tamunya, karena sebagian dari mereka akan segera meninggalkan Kademengan. Seperti biasa Agung Sedayu tidak langsung pergi kependapa. Setelah ia membersihkan diri di pakiwan bersama Ki Waskita, maka keduanyapun segera pergi ke sebelah longkangan, tempat anakmuda mempersiapkan minuman. “Kau tidak makan?“ bertanya seorang kawannya. “Disini sajalah, bersama kalian,“ jawab Agung Sedayu. “Kiai?“ bertanya seorang anak muda kepada Ki Waskita. Ki Waskita tersenyum. Jawabnya, “Aku juga disini. Jika aku sekarang naik kependapa, mungkin aku tidak akan mendapat bagian lagi.” Anak-anak muda itu tertawa. Meskipun Ki Waskita jarang-jarang berada di Sangkal Putung, tetapi ia merupakan sahabat yang baik bagi anak-anak muda. Sementara itu, ketika para tamu sudah selesai makan dan beristirahat sebentar, maka merekapun mulai bersiap-siap untuk kembali. Sebagian dari mereka akan pergi ke Pajang, yang lain ke Jipang dan bahkan ada yang akan menempuh perjalanan jauh ke tempat-tempat lain. “Akupun akan ke Pajang lebih dahulu,“ berkata Untara, “aku harus menghadap Sultan untuk mengembalikan pertanda pribadinya dan melaporkan tugas yang telah aku lakukan.” Beberapa orang perwira menyambut dengan senang hati, karena mereka akan mendapat kawan seperjalanan. Semakin banyak kawan seiring, maka semakin menyenangkan perjalanan yang cukup jauh itu. Tetapi beberapa orang yang lain justru menjadi kurang senang. Seorang perwira berkata kepada kawannya yang duduk disampingnya, “Sultan memang lagi bingung. Kenapa ia menyerahkan pertanda pribadinya kepada Untara?” “Bukan bingung, tetapi pikun. He, kau tahu, kenapa Pangeran Benawa ada disini sekarang ini meskipun ia tidak menampakkan diri di Kademangan ini?” Agaknya ia menjadi heran, kenapa ayahanandanya terlalu percaya kepada Senapati muda itu di lereng Gnung Merapi itu.”

Mereka tidak meneruskan pembicaraan itu, karena seorang kawan yang lain mendekatinya. Meskipun perwira itu berbisik baik, tetapi mereka belum mengenal sikap batin orang yang mendekat itu. Dengan demikian maka hampir setiap orang dihinggapi oleh kecurigaan terhadap kawan-kawan sesama mereka. Hanya kepada mereka yang diketahui dengan pasti sajalah mereka dapat berbicara dengan terbuka. Ternyata bahwa yang lebih dahulu minta diri adalah Untara. Raden Sutawijaya masih akan tinggal beberapa saat di Kademangan itu. Rasa-rasanya badannya masih lelah meskipun tidak banyak yang dilakukannya di Sangkal Putung. Demikianlah maka tamu-tamu di Sangkal Putung itu mulai mengalir sekelompok demi sekelompok, Ki Demang mengantar mereka sampai keregol bersama Sekar Mirah dan Pandan Wangi. Meskipun Sekar Mirah berusaha untuk tersenyum sambil mengucapkan terima kasih, namun masih nampak di sorot matanya, kepedihan yang menghunjam jantung. Diluar Agung Sedayu dan Swandaru memberikan hormat dan ucapan terima kasih pula. Namun setiap kali Agung Sedayu merasa tatapan mata yang tajam menyentuh perasaannya. Seolah-olah merupakan suatu peringatan bahwa ada diantara mereka yang pada suatu saat akan berada ditempat yang saling menyeberang. Bahkan rasa-rasanya Agung Sedayu mulai dibayangi oleh garis batas yang basah karena darah di peperangan. Agung Sedayu mengerutkan keningnya ketika Untara berdiri dihadapannya. Beberapa saat lamanya Senapati muda itu memandangi adiknya. Kemudian terdengar ia berdesis, “Agung Sedayu, setiap kejap umurmu semakin bertambah. Apalagi kau sudah mulai berbicara tentang seorang gadis yang akan kau jadikan seorang isteri. Dan kau masih saja bersikap seperti kanak-kanak yang suka bermain kejar-kejaran.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. “Aku akan pergi ke Pajang lebih dahulu,“ berkata Untara kemudian, “baru dari Pajang aku kembali ke Jati Anom.” “Ya kakang,“ sahut Agung Sedayu kemudian. “Dan kau? Apa yang akan kau lakukan?” “Kembali kepadepokan,” jawab Agung Sedayu. Untara menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya Swandaru yang mengerutkan keningnya. Namun Untarapun kemudian meninggalkan Sangkal Putung dengan hati yang risau oleh adik lakilakinya.

Sementara itu, perasaan Agung Sedayupun rasa-rasanya menjadi gelisah. Pertanyaan kakaknya mengingatkannya kepada hari depannya yang kurang mapan. Apalagi ketika sekilas teringat olehnya sifat dan tingkah laku Sekar Mirah. Gadis yang memiliki sifat sejalan dengan kakaknya Swandaru. Dengan susah payah Agung Sedayu mencoba mengendapkan perasaannya, sehingga tidak nampak membekas diwajahnya. Dalam pada itu, sebagian besar para tamu telah meninggalkan Kademangan. Namun masih ada beberapa orang yang tinggal. Mereka masih bercakap-cakap dipendapa tentang berbagai hal yang sedang berkembang disaat-saat terakhir. Diantara mereka terdapat Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga. Ki Juru, Ki Gede Menoreh, Ki Waskita dan Ki Widura. “Kita pulang bersama-sama Ki Gede,“ berkata Raden Sutawijaya. Ki Gede tersenyum, jawabnya. “Terima kasih. Kita akan tidak merasa lelah diperjalanan, agaknya Ki Waskitapun tidak akan memilih menempuh perjalanan seorang diri seperti saat ia datang.” Ki Waskita tersenyum. Jawabnya, “Aku memang lebih senang menempuh perjalanan bersama dengan beberapa orang, sehingga perjalanan tidak tarasa sepi. Tetapi entahlah.” “Tetapi kalian tentu tidak akan tergesa-gesa,“ berkata Kiai Gringsing kemudian. Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan tinggal semalam lagi di Sangkal Putung. Biarlah seorang pengawal mendahului kembali ke Mataram dan mengabarkan bahwa baru besok aku kembali.“ Raden Sutawijaya berhenti sejenak sambil memandang kepada Ki Juru Martani, seolah-olah minta pertimbangan. Kemudian katanya, “aku kira. aku masih mempunyai waktu jika Ki Demang tidak berkeberatan.” “Tentu tidak,“ sahut Ki Demang dengan serta merta, “kami akan menerima dengan senang hati. Dengan demikian, Kademangan ini tidak segera menjadi terlalu sepi. Malam nanti masih ada kawan untuk membuat Kademangan ini terasa hangat.” Raden Sutawijaya tersenyum. Jawabnya, “Terima kasih. Disini aku merasa beristirahat. Aku tidak pernah mendapat kesempatan beristirahat sebaik-baiknya di Mataram. Ada saja persoalan-persoalan yang harus aku selesaikan.” Ki Gede Menorehpun tersenyum pula. Katanya, “Bermacam macam persoalan memerlukan pemecahan Raden. Tetapi disini Raden dapat

melupakannya sejenak.” Raden Sutawijaya tertawa. Ki Juru Martanipun tertawa pula sambil berkata, “Sebenarnya anakmas Sutawijaya sudah terlalu sering meninggalkan Mataram.” “Tetapi tidak untuk beristirahat seperti ini,“ sahut Sutawijaya, “disini aku dapat makan enak dan tidur nyenyak.” Ki Juru tertawa. Yang lainpun tertawa pula. Mereka mengerti bahwa pada kesempatan yang lain, jika Raden Sutawijaya meninggalkan Mataram, biasanya ia menempuh perjalanan untuk mesu diri, untuk nienyempurnakan ilmunya. Ilmu kanuragan, ilmu kajiwan serta ilmu pengetahuan.” Dengan demikian, maka beberapa orang tamu Ki Demang masih tetap tinggal untuk semalam. Mereka masih sempat berbincang dan berbicara mengenai banyak masalah. Tetapi agaknya mereka tidak ingin melelahkan pikiran mereka dengan persoalan-persoalan yang berat. Mereka masih berada dalam suasana berkabung. Apalagi jika mereka melihat wajah Sekar Mirah yang buram. Namun sebenarnyalah, bahwa Raden Sutawijaya mempunyai maksud tertentu dengan keputusannya untuk tetap tinggal di Sangkal Putung. Sejak ia melihat kedua mayat yang terbunuh dengan ciri-ciri bekas tangan Pangeran Benawa, ia memperhitungkan, bahwa Pangeran Benawa berada di Sangkal Putung untuk suatu maksud tertetu. “Mungkin ia hanya sekedar memberikan penghormatan terakhir kepada Ki Sumangkar yang pasti dikenalnya pula,“ berkata Raden Sutawijaya didalam batinnya. “Tetapi mungkin ia masih mempunyai maksud lain selama berada di Kademangan ini.” Karena itulah, maka ketika kemudian matahari terbenam. Raden Sutawijaya minta diri untuk berjalan-jalan di Kademangan Sangkal Putung. Tetapi ia tidak mengajak para pengawalnya. Yang diajaknya untuk ikut bersamanya adalah Agung Sedayu dan Glagah putih. Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian iapun menjawab, “Baiklah Raden. Kita akan berjalan-jalan sampai ke ujung padukuhan. Tetapi bagi Sangkal Putung, demikian matahari terbenam, jalan-jalan segera menjadi sepi. Setelah obor dipasang di regol dan jalan-jalan simpang, maka penghuni Kademangan ini mulai menutup pintu rumahnya.” “Dan gardu-gardu?” bertanya Raden Sutawijaya. “Ketika malam menjadi semakin gelap, maka mulailah gardu-gardu menjadi hidup,“ jawab Agung Sedayu.

Menyenangkan sekali. Marilah. Aku sengaja tidak mengajak Swandaru. karena ia masih disibukkan oleh banyak pekerjaan dirumahnya,” berkata Raden Sutawijaya kemudian. Swandaru hanya tersenyum saja. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia merasa beruntung, bahwa ia tidak harus menyertai Raden Sutawijaya karena ia merasa sangat lelah. Ia sudah banyak memeras tenaganya sejak Ki Sumangkar masih sakit. Ia harus memperhatikan Sekar Mirah dan menjaga perasaannya. Apalagi pada saat Ki Sumangkar tidak dapat di tolong lagi. Setelah minta diri kepada Ki Demang dan para tamu yang lain. Raden Sutawijayapun kemudian meninggalkan Kademangan bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih. Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka ketika langit mulai kelam, jalan-jalan di Kademangan Sangkal Putungpun segera menjadi sepi. Anak-anak sudah mulai naik ke pembaringan setelah makun malam. Dan orang-orang tuapun lebih senang duduk berbincang dengan keluarganya dirumah. Namun ketika malam bertambah malam, justru satu dua orang telah keluar dari rumahnya untuk pergi ke Kademangan. Mereka merasa wajib untuk ikut serta bersama-sama beberapa orang tetangga terdekat untuk berjagajaga di pendapa Kademangan setelah meninggalnya Ki Sumangkar. Demikian, maka pendapa Kademangan Sangkal Putung menjadi semakin banyak orang yang datang berkunjung untuk ikut menjaga agar di Kademangan itu tidak terasa menjadi sangat sepi. Selain di pendapa Sangkal Putung, maka anak-anak mudapun mulai keluar dari rumahnya dan pergi kegardu terdekat. Selain para pengawal yang kebetulan bertugas, maka anak-anak muda yang lainpun rasa-rasanya mempunyai kewajiban juga untuk ikut membantu mengawasi keadaan. Apalagi mereka mengerti bahwa ada dua orang yang terbunuh didaerah Sangkal Putung. Meskipun pembunuhnya menurut pendengaran mereka adalah Pangeran Benawa, namun kemungkinan-kemungkinan yang tidak mereka kehendaki akan dapat terjadi di Kademangan Sangkal Putung. Karena itulah, maka setiap kali Agung Sedayu dan Glagah Putih yang menyertai Raden Sutawijaya berjalan-jalan diseputar Kademangan Sangkal Putung, menjadi semakin sering ditegur oleh anak-anak muda yang bukan saja bertemu di sepanjang jalan, tetapi juga mereka yang sudah berada di gardugardu. Namun dalam pada itu Raden Sutawijaya berjalan terus. Ketika mereka sampai diujung padukuhan induk, maka Raden Sutawijayapun mengajak Agung Sedayu untuk berjalan di tengah-tengah bulak.

Agung Sedayu menjadi agak berdebar-debar. Tetapi karena Raden Sutawijaya mendesaknya, maka akhirnya mereka bertigapun berjalan juga diantara tanaman padi yang subur. “Mudah-mudahan tidak ada sesuatu sebab yang memaksa kami untuk berbuat sesuatu,” berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Rasa-rasanya ia selalu dibayangi oleh kemungkinan untuk melakukan pembunuhan terhadap banyak pihak yang selalu mendendamnya. Meskipun demikian. Agung Sedayu masih dapat merasakan segarnya udara di bulak panjang. Dalam keremangan malam nampak dikejauhan padukuhan-padukuhan yang menjorok kedalam kelam, seperti bukit-bukit kecil yang berserakan. Ketika Agung Sedayu menengadahkan wajahnya, dilihatnya langit yang bersih. Bintang-bintang bertebaran diseluruh langit. Namun bulan masih belum nampak, karena hari bulan yang semakin tua. Namun, ketika mereka sampai ditengah-tengah bulak, rasa-rasanya ada sesuatu yang menyentuh perasaan Agung Sedayu. Nalurinya seakan-akan memberikan pertanda bahwa mereka tidak hanya bertiga saja di bulak yang panjang itu. Meskipun demikian Agung Sedayu tidak mengatakannya kepada siapapun juga. Tetapi hampir diluar sadarnya ia merapat disebelah Glagah Putih, seolah-olah ia berusaha untuk memagari anak itu dari bahaya jika tiba-tiba saja terjadi sesuatu ditengah-tengah bulak panjang itu. Dalam pada itu. Raden Sutawijaya nampaknya sama sekali tidak merasakan sesuatu yang dapat mencemaskannya. Ia berjalan sambil menghirup udara segar sambil sekali-sekali memperhatikan langit yang cerah. Bahkan rasa-rasanya Raden Sutawijaya tidak menghiraukan lagi, berapa jauhnya mereka berjalan memasuki bulak yang panjang. “Disebelah ada padukuhan yang cukup besar bukan ?” bertanya Raden Sutawijaya. “Ya,” sahut Agung Sedayu, “padukuhan sebelah masih termasuk juga Kademangan Sangkal Putung.” “Dan bulak diseberang ?” “Masih juga termasuk. Bahkan padukuhan diseberang bulak yang tidak terlalu luas itu masih juga termasuk Kademangan Sangkal Putung.” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, ”Kita akan melihat-lihat padukuhan kecil itu.” “Tidak termasuk padukuhan kecil. Yang termasuk kecil adalah padukuhan disebelah. Jika kita berbelok kekanan ditengah bulak itu. kita akan sampai padukuhan yang lebih kecil. Ada beberapa padukuhan kecil yang bertebaran disebelah sebelum kita sampai kebulak yang memisahkan Sangkal Putung dengan hutan kecil itu.” “Tetapi dihutan kecil itu masih terdapat beberapa jenis binatang buas bukan ?” bertanya Raden

Sutawijaya. “Harimau,” jawab Agung Sedayu. Raden Sutawijaya termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Kita berbelok kekanan. Bukankah jalan ini menuju kemakam itu juga ?” “Ya,” jawab Agung Sedayu singkat. Glagah Putih memandang Agung Sedayu sejenak. Namun ia justru merasa gembira berjalan-jalan bersama dengan Agung Sedayu dan Raden Sutawijaya. Namun demikian. Agung Sedayu masih saja diganggu oleh perasaannya bahwa selain mereka, masih ada orang lain di bulak itu. Bahkan rasa-rasanya orang itu selalu mengikuti langkah mereka kemanapun mereka pergi. Tetapi Agung Sedayu tidak berhasil melihat orang itu. Meskipun setiap kali dengan tiba-tiba saja ia berpaling, namun ia tidak melihat apapun juga didalam keremangan malam. Meskipun demikian Agung Sedayu berjalan terus. Ketika bulak panjang itu sudah dilampaui, mereka memasuki sebuah padukuhan yang tidak begitu besar. “Bagaimana dengan para pengawal dipadukuhan ini ?” bertanya Raden Sutawijaya. “Tidak banyak berbeda dengan padukuhan yang lain,” jawab Agung Sedayu, ”mereka juga memenuhi gardu-gardu di padukuhan mereka, termasuk anak-anak muda. Tetapi kebanyakan dari anak-anak muda itu, selain yang bertugas hanyalah sekedar berpindah tempat pembaringan.” Sutawijaya tersenyum. Katanya, ”Dimanapun sama saja. Tetapi itupun lebih baik, karena setiap saat mereka dengan mudah berkumpul. Sementara laki-laki yang lebih tua menjaga rumah-rumah mereka.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun berpendapat demikian, meskipun kadang-kadang anak-anak muda itu justru sering mengganggu tetangga disekitarnya. Jika sebatang pohon jambu berbuah, maka dimalam hari anak-anak muda itu sering tidak dapat menahan diri melihat buahnya yang kemerahmerahan. Dalam pada itu Raden Sutawijaya, Agung Sedayu dan Glagah Putihpun berjalan terus. Dimuka gardu

mereka kadang-kadang harus berhenti dan bercakap-cakap sebentar dengan anak-anak muda yang ada didalamnya. Bahkan jika mereka mengetahui bahwa yang bersama Agung Sedayu itu adalah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga, maka merekapun segera berloncatan turun dari gardu dan mengitarinya untuk melihat lebih dekat lagi anak muda yang telah berhasil membuka Alas Mentaok yang pekat itu menjadi sebuah negeri yang termasuk cepat berkembang. Setelah melewati gardu diujung lain dari lorong yang membelah padukuhan kecil itu, maka Raden Sutawijayapun memasuki sebuah bulak yang meskipun tidak terlalu panjang, tetapi terasa sangat sepi. Agung Sedayupun kemudian berjalan semakin rapat disisi Glagah Putih. Sementara Raden Sutawijaya berada disebelah yang lain. Tetapi Glagah Putih sendiri sama sekali tidak merasakan kekhawatiran apapun juga. Ia terlalu percaya kepada Agung Sedayu dan Raden Sutawijaya. Bahkan ia merasa seandainya meraka bertemu dengan sekelompok penjahat sekalipun, kedua anak muda itu tentu akan dapat mengatasinya. Namun bagi Agung Sedayu, sentuhan-sentuhan perasaannya masih saja terasa getaran naluriah yang seakan-akan memberitahukan kepadanya bahwa seseorang sedang mengikutinya. Agung Sedayu termangu-mangu ketika tiba-tiba saja Raden Sutawijaya menggamitnya sambil berkata, “Kita berhenti disini.” “Kenapa?“ bertanya Agung Sedayu. Raden Sutawijaya menebarkan pandangan matanya kedalam kesamaran warna malam. Sejenak ia berdiri tegak tanpa berkata apapun juga. “Ada sesuatu yang menarik perhatian Raden?” bertanya Agung Sedayu kemudian. “Apakah kau merasakan sesuatu? “ Raden Sutawijayapun bertanya pula. Agung Sedayu menarik nafas. Ternyata bahwa Raden Sutawijaya merasakan pula seperti sentuhansentuhan pada perasaannya. “Aku merasa bahwa kita tidak hanya bertiga dibulak ini,“ jawab Agung Sedayu. Raden Sutawijaya mengangguk. Jawabnya, “Aku juga merasa demikian. Dan memang itulah yang aku harapkan.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba teringat olehnya seorang anak muda yang berpakaian petani yang telah membunuh dua orang bersaudara dari Pasisir Endut. “Pangeran Benawa? “ hampir diluar sadarnya Agung Sedayu bertanya.

Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya wajah Agung Sedayu sejenak. Kemudian katanya, “Benar Agung Sedayu. Aku memang berharap dapat bertemu dengan adimas Pengeran Benawa. Aku yakin ia masih berada di Sangkal Putung. Jika ia melihat aku keluar dari padukuhan, maka ia lentu akan menemui aku.” Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Ia sependapat dengan Raden Sutawijaya. Nampaknya Pengeran Benawa masih mempunyai kepercayaan kepadanya. “Raden,“ berkata Agung Sedayu, “jika demikian, kita akan menunggu sejenak. Orang yang kita tunggu agaknya akan segera datang.” Raden Sutawijaya mengangguk kecil. Namun katanya, “Kita akau berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan ini.” Agung Sedayu tidak menjawab. Merekapun melangkah lagi meskipun lambat, seolah-olah mereka sengaja menunggu seseorang yang akan segera menyusul mereka. Namun ternyata bahwa yang mereka perhitungkan terjadi. Sejenak kemudian nampak sesosok bayangan yang meloncat ke tengah jalan bulak yang tidak begitu panjang itu, beberapa langkah dibelakang mereka. Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia berdesis, “Kau lihat seseorang dibelakang kita?” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling, maka iapun melihat sebuah bayangan yang mengikutinya. Meskipun bayangan itu tidak nampak dalam ujud dan bentuk, namun Agung Sedayu segera menduga, bahwa orang itu adalah Pengeran Benawa yang ingin menjumpai Raden Sutawijaya. Ketiga orang yang berada ditengah bulak itupun segera berhenti menunggu. Semakin lama bayangan itupun menjadi semakin dekat. Dan Agung Sedayupun menjadi semakin yakin, bahwa ia adalah anak muda yang telah dijumpainya bersama Ki Waskita. Sebelum bayangan itu dekat benar, maka terdengar Raden Sutawijaya sudah menyapanya, “Adimas. Aku yakin, bahwa adimas Pangeran akan menemui aku. Jika tidak malam ini. tentu besok atau pada kesempatan lain.” Bayangan itu melangkah semakin cepat. Kemudian dengan nada dalam terdengar ia menyahut, “Sudah lama aku berniat kakangmas. Tetapi aku belum mendapat kesempatan. Agaknya di Sangkal Putung ini aku mendapatkan kesempatan itu.” Ketika kemudian Pangeran Benawa mendekat. Raden Sutawijayapun menepuk bahunya sambil

berkata, “Kau memang orang yang luar biasa. Setiap orang tahu. bahwa kakak beradik dari Pasisir Endut bukan orang kebanyakan. Tetapi keduanya tidak berdaya melawan ilmumu.” “Ah. Aku tidak dapat membiarkan melihat kekejiannya.” “Bukan itu yang penting bagiku. Beruntunglah Pajang mempunyai seorang pemimpin seperti adimas.” Pangeran Benawa memandang Raden Sutawijaya sejanak. Kemudian katanya, “Pajang terasa asing bagiku.” Radeni Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian menepi dan duduk diatas sebuah batu padas ditepi jalan. Pangeran Benawa termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian duduk pula disamping Raden Sutawijaya diikuti oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih. “Adimas Benawa,” berkata Raden Sutawijaya kemudian, “apakah adimas tidak melihat keburaman didalam istana Pajang, sehingga adimas tidak segera meringankan tangan, membantu ayahanda Sultan untuk menegakkan kewibawaannya kembali?” Pangeran Benawa memandang kedalam kegelapan malam. Untuk beberapa saat ia berdiam diri. Kemudian Jawabnya, “Aku adalah seorang pengecut yang lari dari medan perang. Tetapi sebenarnya aku tidak takut melawan apapun yang terjadi didalam istana itu. Yang ternyata mengusir aku dari medan adalah perasaan kecewaku terhadap ayahanda itu sendiri.” Raden Sutawijaya memandang Pangeran Benawa sejenak. Ia melihat kekecewaan yang dalam membayang diwajah anak muda itu. Betapa gelapnya malam, namun Raden Sutawijaya seolah-olah melihat, bayangan tingkah laku Sultan Pajang yang telah membuat hati anak muda itu bagaikan membeku. “Adimas,” berkata Raden Sutawijaya kemudian, “tetapi adimas harus ingat, bahwa masalah Pajang adalah masalah yang jauh lebih besar dari masalah ayahanda Sultan Hadiwijaya sendiri.” “Aku menyadari. Tetapi seperti yang aku katakan. Hatiku ringkih dan lemah. Aku telah terpukul oleh kekecewaan yang seharusnya dapat aku ataisi karena persoalan yang lebih besar dari sekedar kecengengan yang memuakkan.“ Pangeran Benawa berhenti sejenak. Lalu. “tetapi ternyata yang terjadi adalah lain. Au telah terpukul oleh kelemahan hatiku dan sama sekali tidak berdaya untuk bangkit kembali.”

Raden Sutawijaya menggeleng. Jawabnya, “Kesadaranmu tentang keadaanmu sebenarnya akan sangat berguna bagi usahamu untuk bangkit menjunjung nama Pajang kembali.” Tetapi Pangeran Benawa menjawab, “Tidak. Aku justru berusaha untuk menjumpai kakangmas Sutawijaya karena ada sesuatu yang tumbuh didalam hatiku. Benar-benar nuraniku.” Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam, sementara Pangeran Benawa meneruskan, “Satusatunya orang yang mungkin dapat berdiri diatas kekalutan pemerintahan dan kekalutan hati ini adalah kakangmas Sutawijaya.” Sutawijaya tertegun sejenak. Namun katanya kemudian, “Adimas. Sudah tentu aku tidak mencuci tangan. Aku sudah bersumpah untuk tidak menginjakkan kakiku dipaseban istana Pajang sebelum Mataram menjadi sebuah negeri karena hatiku terbakar oleh sikap beberapa orang perwira saat itu. Tetapi itu bukan berarti bahwa aku tidak akan ikut memikul tanggung jawab atas kelestarian Pajang.” Pangeran Benawa memandang Raden Sutawijaya sejenak. Kemudian katanya, “Tanpa menghadap ayahanda dan menyampaikan persoalan kita masing-masing, sebenarnyalah bahwa ayahanda telah mengambil keputusan. Bahwa ayahanda telah menyerahkan pusaka-pusaka terpenting dari Pajang kepada kakangmas adalah keputusan ayahanda untuk kelangsungan hidup Pajang. Ayahanda mengenal aku dengan segala macam sifat dan watakku sebaikbaiknya pula. Itulah sebabnya maka sebenarnya tidak ada lagi persoalan di Pajang.” “Tetapi aku mempunyai tanggapan lain. Ayahanda membebankan tugas bagiku sebagai seorang Senapati Perang untuk melindungi Pajang. Dan aku yakin, tidak ada dua, bahwa adimas Benawalah yang seharusnya menjadi Putera Mahkota. Justru saat yang gawat sekarang ini merupakan waktu yang tepat untuk berbuat sesuatu bagi Pajang.” Pangeran Benawa menggeleng. Katanya, “Kakangmas Sutawijaya. Pajang bukan satu-satunya tempat bagi kelangsungan pemerintahan. Seandainya pusat pemerintahan itu terletak dimanapun juga, tidak ada bedanya asal pemegang pemerintahan merupakan jalur lurus yang memang berhak dan direstui oleh ayahanda Sultan Hadiwijaya. Dan aku sudah menemukannya. Mataram.” “Ah,” desah Raden Sutawijaya, “aku adalah putera angkat. Betapapun besar kasih sayang ayahanda terhadapku, tetapi kau adalah putera yang seharusnya menerima warisan itu.” “Itulah yang agak berbeda dari kata nuraniku. Yang penting bagi Pajang bukanlah siapa yang berhak atas tahta. Tetapi siapakah yang paling baik bagi kelestariannya. Dan aku memang sudah menyadari, bahwa aku lebih mementingkan yang paling baik bagi Pajang daripada yang lebih berhak.”

Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Dipandanginya wajah malam yang kelam diseputarnya. Agung Sedayu dan Glagah Putih duduk bagaikan membeku. Mereka tidak dapat ikut dalam pembicaraan itu. Tetapi seolah-olah Raden Sutawijaya sengaja membawa mereka untuk menjadi saksi atas sikap dan kata nurani masing-masing tentang Pajang di masa depan. Untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri. Kedua anak muda yang paling berhak berbicara atas tangan-tangan yang akan menggenggam pemerintahan itu telah berbincang. Dan agaknya Raden Sutawijaya tidak dapat menghindari limpahan tanggung jawab yang telah dihindari oleh Pangeran Benawa. Tetapi masih membayang keragu-raguan pada wajah Raden Sutawijaya. Pangeran Benawa menentukan sikapnya pada saat hatinya dibakar oleh kekecewaan terhadap ayahandanya. Tetapi apakah sikap itu akan langgeng. Jika kekecewaan itu menjadi semakin kabur dari dinding hatinya, maka apakah ia masih tetap pada pendiriannya. Pertanyaan itu telah membayangi hati Raden Sutawijaya. Namun ia tidak tergesa-gesa menyatakannya kepada Pangeran Benawa. Agaknya ia masih memerlukan waktu untuk menyampaikannya. Jika Pangeran Benawa telah sempat mempertimbangkannya dua tiga kali saja. Namun seolah-olah Pangeran Benawa merasakan keragu-raguan Raden Sutawijaya. Ialah yang kemudian mengatakannya meskipun Raden Sutawijaya tidak bertanya, “Kakangmas. Mungkin kakangmas ragu-ragu apakah aku tidak akan berubah pendirian.” Raden Sutawijaya mengerutkan kuningnya, sementara Pangeran Benawa berkata seterusnya, “Aku mohon kakangmas percaya kepadaku, bahwa aku akan tetap memegang kata-kataku sekarang. Aku tidak baru saja memikirkannya. Aku sudah lama mempertimbangkannya. Agaknya pertimbanganku sudah matang. Apapun yang kelak terjadi atasku, tetapi aku tidak akan berubah dalam hal ini.” Sejenak Raden Sutawijaya termenung. Namun kemudian sambil menepuk bahu Pangeran Benawa ia berkata, “Adimas. Mungkin kita dapat mengambil suatu sikap bersama. Tetapi semuanya masih tetap tergantung ayahanda Sultan di Pajang.” Pangeran Benawa tersenyum. Jawabnya, “Bagiku tidak. Juga jika ayahanda memerintahkan aku untuk bersedia diangkat menjadi Pangeran Pati. Aku akan menolak dengan segala akibatnya.”

“Jangan begitu adimas. Sikap itu akan sangat menyedihkan hati ayahanda.” “Mudah-mudahan ayahanda mengerti seperti yang aku duga selama ini. Bahkan menurut dugaanku, ayahanda tidak lagi akan bertanya kepadaku, apakah aku bersedia diangkatnya menjadi Pangeran Pati.” Raden Sutawijaya tidak menyahut lagi. Pangeran Benawa agaknya benar-benar telah mengambil keputusan. Sejenak mereka saling berdiam diri. Angin malam berhembus ke Utara. Sementara bintang gemintang bagaikan terbaur dilangit yang luas. “Kakangmas,“ Pangeran Benawa memecah keheningan, “aku mohon diri. Tidak ada yang dapat aku katakan lagi. Rasa-rasanya beban yang menghimpit dada telah tertumpah keluar. Aku akan dapat tidur dengan nyenyak.” “Tetapi akulah yang kemudian tidak dapat tidur,“ jawab Raden Sutawijaya, “masalahnya sangat gawat bagiku.” Pangeran Benawa berdiri sambil tersenyum. Katanya, “Kakangmas adalah Senapati Ing Ngalaga yang telah menerima pelimpahan pusaka terpenting dari Pajang. Tidak ada persoalan lagi yang seharusnya kakangmas risaukan. Jangan hiraukan suara orang-orang yang iri hati. Dan jika kakangmas memerintahkan, aku akan dengan senang hati membantu memusnakan mereka yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Agung Majapahit tanpa menghiraukan keadaan kecuali dibayangi oleh nafsu ketamakan.” “Terima kasih adimas,“ desis Raden Sutawijaya, “kita masih harus menunggu sikap terakhir ayahanda Sultan Pajang.” Sekali lagi Pangeran Benawa tersenyum. Bahkan kemudian terdengar suara tertawanya lirih, “ayahanda tidak lagi dapat mengambil sikap apa-apa.” “Ah,“ desah Raden Sutawijaya. Tetapi Raden Sutawijaya tidak sempat berbicara lagi, karena Pangeran Benawa berkata, “Sudahlah kakangmas. Hari sudah jauh malam. Lebih baik aku segera meninggalkan Sangkal Putung dan kembali ke Pajang.” “Baiklah adimas. Kita akan menghadapi masa-masa yang berat.” “Ya. Aku sadar. Tetapi aku yakin, semuanya akan teratasi.”

Pangeran Benawapun kemudian minta diri kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih. Sambil menepuk bahu anak yang masih sangat muda itu ia berkata, “Kau adalah seseorang yang menyimpan kemungkinan yang sangat besar seperti kakakmu Agung Sedayu.” Glagah Putih menundukkan kepalanya. “Sudahlah. Kalian tentu lelah. Beristirahatlah. Akupun akan beristirahat diperjalanan kembali ke Pajang.” Glagah Putih mengerutkan keningnya, ia tidak begitu mengerti kata-kata Pangeran Benawa. Apakah perjalanan yang panjang itu dianggapnya sebagai suatu istirahat saja. Sejenak kemudian maka Pangeran Benawapun telah meninggalkan Raden Sutawijaya yang berdiri termangu-mangu. Namun kemudian katanya kepada Agung Sedayu, “Ia adalah kesatria yang benarbenar berusaha untuk menempatkan diri. Akhirnya aku percaya bahwa sikapnya bukan sekedar karena kekecewaannya. Tetapi ia menganggap bahwa aku lebih baik daripadanya, meskipun aku tidak tahu, apakah memang sebenarnya demikian.” Agung Sedayu menarik nafas. Dengan nada yang dalam ia berkata, “Ia nampak bersungguh-sungguh. Jarang menemukan seorang anak muda seperti Pangeran Benawa. Seseorang pada umumnya lebih senang menerima kedudukan tanpa menghiraukan apakah ia mampu melakukannya.” “Pangeran Benawa berdiri dialas persoalan yang beraneka,“ sahut Raden Sutawijaya. Agung Sedayu mengangguk-angguk. “Marilah,“ berkata Raden Sutawijaya, “jika kita pergi terlalu lama, akan dapat menumbuhkan kegelisahan di Kademangan. Pamanda Ki Juru Martani tentu menjadi gelisah pula selain gurumu dan paman Widura.” Agung Sedayu mengangguk. Digamitnya Glagah Putih yang masih saja memandang kearah Pangeran Benawa pergi sambil berkata, “Marilah Glagah Putih. Kita sudah menyaksikan suatu peristiwa yang penting. Tetapi peristiwa ini bukan peristiwa yang dapat kau ceriterakan kepada kawan-kawanmu bermain atau kepada siapapun juga. karena masalah ini menyangkut masalah yang besar.” Glagah Putih memandang Agung Sedayu dan Raden Sutawijaya berganti-ganti. “Kakakmu benar Glagah Putih,” berkata Raden Sutawijaya sambil tersenyum, “aku percaya bahwa kau dapat menyimpannya saja didalam hatimu sampai saatnya peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Dan kita tidak tahu, apa yang kelak akan terjadi sesungguhnya meskipun aku dan adimas Pangeran Benawa misalnya sudah sepakat.”

Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Meskipun ia masih muda, tetapi ia cukup mengerti, bahwa yang baru saja disaksikannya adalah persoalan yang menyangkut masalah yang besar. Demikianlah maka mereka bertiga telah melangkah kembali ke padukuhan induk. Mereka melalui padukuhan kecil yang sepi, tetapi gardu-gardunya menjadi semakin hidup. Anak-anak muda sudah mulai berkumpul. Nampaknya mereka sedang asyik bergurau. Terdengar suara tertawa menusuk sunyinya malam. “Sebentar lagi gardu-gardu itu menjadi sepi,” berkata Agung Sedayu, ”yang akan terdengar hanyalah dua tiga orang yang berbicara perlahan-lahan, karena anak-anak muda sudah tertidur nyenyak.” Sutawijaya tersenyum. Di Mataram, gardu-gardu juga diisi oleh anak-anak muda yang selalu ingin berkumpul diantara mereka. Tetapi karena mereka tidak bertugas, maka mereka tidur saja dengan nyenyaknya apalagi mereka telah merasa mengantuk. Didepan gardu-gardu yang dilalui, seperti saat mereka berangkat, maka setiap kali mereka bertigapun harus berhenti sejenak untuk menjawab beberapa pertanyaan. Baru kemudian mereka dapat meninggalkan anak-anak muda untuk meneruskan perjalanan. Ketika mereka sampai di Kademangan, maka dipendapa masih banyak orang yang duduk melingkar diatas tikar pandan. Mereka berkumpul untuk ikut berjaga-jaga agar Kademangan yang baru saja kematian seseorang itu tidak terasa sangat sepi. Seperti yang diduga, ternyata kepergian Sutawijaya yang agak lama itu telah menimbulkan kegelisahan. Ketika ia memasuki regol halaman dan mencuci kakinya di sudut halaman, Ki Juru menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, ”Itulah Raden Sutawijaya, Agung Sedayu dan Glagah Putih.” Kiai Gringsingpun tersenyum. Katanya, “Aku juga sudah mulai gelisah.” Ketika ketiganya naik kependapa, maka Ki Jurupun segera bertanya, ”Begitu lama Raden ?” Raden Sutawijaya tersenyum. Meskipun ia merasa wajib untuk melaporkannya kepada Ki Juru Martani, tetapi ia tidak dapat mengatakannya dihadapan banyak orang. Karena itu, maka katanya, “Berjalan-jalan dibulak-bulak panjang agaknya menyenangkan sekali Ki Juru. Udaranya terasa segar diantara batang batang padi muda.” Ki Juru mengangguk-angguk. Lalu, “Kami sudah gelisah. Baru siang tadi terjadi peristiwa yang mendebarkan.” “Tetapi dimalam hari ini tidak akan terjadi apa-apa. Digardu-gardu banyak anak-anak muda berkumpul sambil bergurau. Mereka akan menjaga ketenangan padukuhan-padukuhan di Kademangan Sangkal Putung.”

“Tetapi mereka akan segera tidur lelap,” potong Ki Demang. “Tidak semuanya,” sahut Ki Jagabaya. Yang lain tersenyum. Tetangga-tetangga Ki Demangpun tersenyum. Seorang yang masih cukup muda menyahut, ”Seperti yang dikatakan Ki Jagabaya. Setiap saat tentu ada yang berjaga-jaga. Yang bertugas tentu mengatur diri untuk tidur bergantian.” Ki Jagabaya tertawa. Katanya, “Ia adalah salah seorang dari para pengawal yang kadang-kadang bertugas dimalam hari.” Yang lainpun tertawa. Raden Sutawijaya mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ia telah melihat kegiatan anak-anak muda di Sangkal Putung yang tidak jauh berbeda dengan kegiatan para pengawal di Mataram dan para prajurit di Pajang. “Agaknya Swandaru berhasil menguasai kawan-kawannya di Sangkal Putung,” berkata Raden Sutawijaya didalam hatinya, “pengaruh kedudukan ayahnya dan kemampuan yang;diperolehnya dari gurunya, ternyata dapat dimanfaatkannya sebaik-baiknya.” Tetapi saat itu Swandaru tidak berada di pendapa. Setiap kali bersama isterinya Pandan Wangi, ia masih saja mengamati keadaan adiknya. Meskipun Sekar Mirah ternyata berhasil menguasai perasaannya, namun kadang-kadang masih saja ada ledakan-ledakan kepedihan hatinya yang muncul, sehingga air matanya setiap kali masih nampak mengambang dipelupuknya. Sementara itu, dipendapa masih saja terdengar percakapan yang riuh. Kadang-kadang terdengar suara tertawa tertahan. Namun kadang-kadang suara tertawa itu lepas juga berkepanjangan. Namun jika mereka teringat bahwa baru saja mereka memakamkan jenazah Ki Sumangkar, maka suara tertawa itupun segera mereda. Sekar Mirah memang merasa tersinggung oleh suara tertawa yang meledak. Namun kakaknya masih sempat memperingatkannya, bahwa kehadiran orang-orang itu memang sengaja untuk memberikan suasana yang lain daripada kesedihan melulu. Karena dengan kehadiran mereka, maka suasana akan menjadi lebih hidup dan tidak selalu diselubungi oleh kenangan atas meninggalnya Ki Sumangkar. Sekar Mirah mencoba untuk mengerti. Karena itu, maka ia telah berusaha untuk tidak menghiraukan lagi suara tertawa yang kadang-kadang meledak. Namun tiba-tiba saja bagaikan tersentak berhenti. Baru menjelang dini hari, pendapa itu mulai menjadi sepi. Para tetangga telah meninggalkan pendapa, dan para tamu telah kembali kepenginapan masing-masing. Dalam pada itu. Agung Sedayu telah mengantarkan Glagah Putih kegandok, kemudian meninggalkannya berbaring.

Sedangkan Agung Sedayu sendiri melangkah menuju kelongkangan, tempat anak-anak muda membuat minuman. Tetapi nampaknya tempat itupun telah sepi. Hanya ada dua orang yang masih duduk terkantuk-kantuk, sementara yang lain telah tertidur diserambi. “Kau belum tidur ?” bertanya salah seorang dari mereka kepada Agung Sedayu. Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya, ”Aku tidak mengantuk.” “Swandaru menunggumu,” kata anak muda itu. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian masuk keruang dalam melalui butulan. Diruang tengah Swandaru duduk sambil menyandarkan kepalanya pada tiang. Matanya sudah separo terpejam. Tetapi ia tidak tertidur. Ketika ia melihat Agung Sedayu mendekatinya, maka iapun bertanya dengan nada yang dalam seolaholah tersangkut dikerongkongan, “Kau pergi kemana saja Agung Sedayu?” “Sekedar berjalan-jalan di bulak dan melihat padukuhan-padukuhan kecil,“ jawab Agung Sedayu. “Rasa-rasanya kau pergi terlalu lama. Beberapa orang telah menjadi gelisah.” Agung Sedayu tidak menyahut. Iapun, kemudian duduk disamping Swandaru. “Bagaimana dengan Sekar Mirah?“ bertanya Agung Sedayu kemudian. “Ia menjadi semakin tenang. Sekarang ia tidur dengan Pandan Wangi. Mudah-mudahan besok ia telah benar-benar dapat menguasai diri sepenuhnya.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun berharap demikian, sehingga gadis itu seolah-olah tidak lagi menjadi beban bagi orang lain. Sementara itu, Swandaru yang telah menguappun berkata, “Sebaiknya kitapun pergi tidur.” Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, “Aku juga mulai merasa mengantuk.” Swandaru berdiri sambil menggeliat. Perlahan-lahan ia melangkah sambil berkata, “Besok kita masih mempunyai kerja.” Ketika Swandaru kemudian hilang dipintu biliknya, maka Agung Sedayupun bangkit pula dan melangkah keluar, ia kemudian merebahkan diri diserambi, diatas sebuah amben bambu yang besar bersama beberapa orang anak muda yang telah tertidur nyenyak

Sementara itu, di dalam bilik yang disediakan bagi Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani. keduanya ternyata masih duduk sambil berbincang. Raden Sutawijaya dengan bersungguh-sungguh menceriterakan pertemuannya dengan Pangeran Benawa yang menyatakan pokok pikirannya tentang Pajang dimasa yang akan datang. Ki Juru setiap kali mengagguk-anggukkan kepalanya. Ia mendengarkan keterangan Raden Sutawijaya dengan saksama, seolah-olah ia tidak mau kehilangan satu katapun yang diucapkan oleh anak muda itu. “Anak muda yang mengagumkan,” berkata Ki Juru, “tetapi juga mengherankan. Terlalu sulit untuk mengerti caranya berpikir meskipun kita dapat meraba-raba.” “Ia tidak dapat mengatasi rasa kecewa yang menghunjam jantungnya,” berkata Raden Sutawijaya. “Ya. Tidak jauh berbeda dengan sikapmu. Kau tidak mau tampil dalam pergolakan yang terjadi diistana Pajang karena kau mempertahankan harga dirimu. Kau sudah mengucapkan sumpah untuk tidak menjamah paseban, sebelum Mataram menjadi ramai. Dan kau tidak merubah sikapmu meskipun kau tahu, bahwa Pajang kini benar-benar terancam bahaya. Sedangkan Pangeran Benawa tidak pula mau melepaskan perasaan kecewanya meskipun sebenarnya iapun memiliki kemampuan untuk berbuat sesuatu mengatasi keadaan. Apalagi jika kalian berdua menemukan kata sepakat. Maka tidak seorangpun yang akan dapat menggetarkan kedudukan kalian.” Raden Sutawijaya menundukkan kepalanya. Dalam keadaan yang demikian, ia memang merasa raguragu. Apakah sudah sewajarnya ia bersitegang mempertahankan kalimat-kalimat yang pernah diucapkan sebagai sumpahnya dihadapan para perwira di Pajang. Namun didasar hatinya yang paling dalam, timbul pula niatnya untuk membiarkan Pajang menjadi lapuk dari dalam. “Tidak ada yang pantas dipertahankan lagi,” kata nya didalam hati, “biarlah Pajang runtuh sama sekali. Baru kemudian dapat dibangun pemerintahan yang bersih sama sekali dari segala nafsu. Meskipun barangkali sikap itupun didorong oleh nafsu pula.” Raden Sutawijaya sendiri kadang-kadang memang menjadi bingung menghadapi keadaan yang membentang dihadapannya. Namun satu hal yang tidak terlepas dari tekadnya, bahwa yang akan datang harus lebih baik dari yang dibiarkannya menjadi reruntuhan. Dalam pada itu. agaknya Pangeran Benawa sama sekali tidak mau meninjau sikapnya, seolah-olah ia sudah jemu membuat pertimbangan-pertimbangan lagi. Ia sudah menemukan keputusan. Dan keputusan itu baginya mutlak berlaku, apapun yang akan terjadi.

Baginya Pajang telah dipenuhi oleh binatang-binatang buas yang saling menerkam, saling membunuh dan saling membinasakan. Namun diantara mereka, ia masih melihat seseorang yang bertanggung jawab terhadap masa depan. “Raden,” berkata Ki Juru kemudian, “kita masih harus berusaha menemuinya lagi, kapan dan dimanapun.” Raden Sutawijaya mengangguk. Jawabnya, ”Aku sependapat paman. Aku harus menemukan sikapnya yang sejati. Aku tidak akan ingkar bahwa aku harus memikul tanggung jawab bagi masa depan jika itu memang dikehendakinya. Tetapi aku tidak akan melanggar haknya jika ia memang menghendaki. Karena aku yakin, jika adimas Pangeran Benawa menerima limpahan kekuasaan ayahanda, berarti ia akan mempertanggung jawabkannya. Ia akan mengatasi perasaan kecewa dan tidak peduli. Karena Pangeran Benawa tidak akan dapat menerima kedudukan itu hanya karena terpaksa, atau karena kebiasaan dan hak semata-mata.” “Aku mengerti. Itulah yang mengagumkan pada anak muda itu. Tetapi jika benar demikian, kau harus dapat mengimbangi dengan sikap dan tingkah laku sebagai ujud dari pertanggungan jawabmu atas kesediaanmu.” Raden Sutawijaya menarik nafas. Ternyata ia sudah mulai membicarakan masa depan bagi sebuah negeri dan sekaligus membicarakan kekuasaan yang akan memerintahnya. Namun pembicaraan itupun terhenti. Agaknya keduanya masih ingin beristirahat barang sejenak, jika kemudian matahari terbit, maka mereka memutuskan untuk kembali ke Mataram. Akhirnya, Sangkal Putung benar-benar menjadi lelap. Bilik-bilik dan ruang yang diperuntukkan bagi para tamu yang tinggal telah menjadi sepi. Mereka tidur nyenyak menjelang dini hari tanpa perasaan cemas, karena para pengawal selalu siap pada tugasnya di gardu-gardu, juga digardu didepan Kademangan. Bahkan setiap kali dua orang pengawal yang sedang meronda berjalan mengelilingi halaman dalam Kademangan Sangkal Putung dan beberapa rumah tetangga yang dipergunakan untuk menginap beberapa orang tamu yang masih tertinggal. Tetapi kelelapan itu tidak berlangsung lama. Ketika ayam jantan berkokok dini hari, maka beberapa orang perempuan yang tertidur di dapur, telah bangkit sambil menguap. Kemudian satu persatu mereka pergi kepakiwan untuk mencuci muka. Sejenak kemudian, maka perapianpun mulai mengepulkan asap. Air mulai dijerang untuk menyiapkan minuman bagi para tamu yang masih bermalam. Pandan Wangi yang telah tertidur disamping Sekar Mirah. Ia membuka matanya ketika Sekar Mirah terbangun pula dari tidurnya yang gelisah. Tetapi agaknya Sekar Mirah telah menjadi lebih tenang.

Ditatapnya mata Pandan Wangi yang masih buram. Bahkan ialah yang bertanya kepada Pandan Wangi, ”Kau lelah sekali Wangi.” Pandan Wangi tersenyum. Jawabnya, “Tidak Mirah.Aku tidak lelah. Mungkin aku tertidur nyenyak menjelang pagi. Dan kini badanku terasa segar.” Ternyata Sekar Mirah telah mencoba untuk tersenyum pula. Katanya, ”Tentu kau tidak merasa lelah. Kau telah terbiasa berada di medan yang betapapun kerasnya.” “Ah,” desah Pandan Wangi, ”kita memang termasuk orangorang aneh. Tetapi pergilah ke pakiwan. Kau akan merasa lebih segar.” Sekar Mirah mengangguk. Ketika ia berdiri dan melangkah keluar bilik, ruang dalam rumah Ki Demang itu masih sepi. Yang terdengar adalah suara beberapa orang perampuan dan api yang menelan potongan kayu bakar diperapian. Sejenak Sekar Mirah tertegun. Ia merasakan tusukan kesepian didinding jantungnya. Namun kemudian ia mulai menyadari, bahwa hari masih terlalu pagi. Perlahan-lahan ia melangkah menyusuri ruang dalam yang sepi. Kemudian membuka pintu butulan. Ketika ia berpaling, dilihatnya lewat pintu dapur, beberapa orang perempuan telah menjadi sibuk. Namun demikian, dilongkangan masih nampak sepi seperti diruang dalam. Mangkuk masih berserakan diatas-paga bambu. Sementara beberapa orang anak muda tertidur dengan nyenyaknya diserambi. Sekar Mirah tidak mengganggu mereka. Ia berjalan terus kepakiwan. Bahwa ia berusaha untuk tidak melontarkan suara yang dapat mengejutkan anak-anak muda yang kelelahan itu. Tetapi ketika Sekar Mirah melangkah kembali dari pakiwan, justru seorang perempuan yang keluar dari dapur telah membangunkan anak-anak muda itu, Dengan lantang ia berkata, ”He anak-anak malas. Air sudah mendidih. Dan mangkuk masih belum kalian cuci. Sebentar lagi para tamu akan bangun. Mereka harus segera dijamu dengan minuman hangat.” Anak-anak muda yang tertidur di serambi terkejut. Beberapa orang segera bangkit. Tetapi yang lain hanya menggeliat dan kembali melingkar setelah menguap. Tiga orang diantara mereka segera turun dari lincak bambu yang besar. Meskipun mereka masih sangat mengantuk, namun mereka melangkah tertatih-tatih sambil bergumam, ”Mataku tidak mau terbuka.”

“Tetapi minuman harus kalian siapkan.” bentak perempuan itu. Salah seorang dari anak muda itu menjawab, ”Baik bibi. Baik. Kami akan mencuci mangkuk-mangkuk itu.” Perempuan itupun segera meninggalkan anak-anak muda yang masih mengantuk itu. Sambil melangkah masih terdengar ia bergumam, ”Anak-anak malas.” Agung Sedayu yang sudah terbangun pula, duduk dibibir lincak yang besar itu sambil mengusap matanya. Sebenarnya iapun masih ingin tidur nyenyak seperti beberapa orang kawannya yang benarbenar malas bangun. Tetapi ia tidak sampai hati melihat kawan-kawannya yang sambil terkantuk-kantuk mengumpulkan mangkuk. Agung Sedayu tersenyum ketika kawan-kawannya mencegahnya agar tidak usah ikut membantu mereka. Salah seorang dari mereka berkata, “Beristirahatlah. Kau tentu masih lelah. Biar aku membangunkan kawan-kawan yang lain.” Tetapi Agung Sedayu menjawab, “Aku hanya akan membantu mengumpulkan mangkuk-mangkuk ini. Kalianlah yang harus mencuci dan kemudian menyiapkan minuman disaat matahari terbit nanti.” Kawan-kawannya tidak mencegahnya lagi. Tetapi salah seorang dari merekapun membangunkan kawan-kawannya yang lain, meskipun masih saja diantara mereka yang hanya sekedar memutar tubuhnya dan kembali memejamkan matanya sambil bersilang tangan. Kawan-kawannya yang telah terbangun membiarkan mereka. Agaknya mereka benar-benar kelelahan, sehingga rasa-rasanya mereka benar-benar tidak mampu lagi untuk bangkit. Perlahan-lahan warna merah menebar dilangit. Cahaya fajar semakin menjadi cerah. Burung-burung liar mulai bersiul dengan lagu riang. Sementara induk ayam membawa anak-anaknya turun dari kandangnya dan mulai merangkak-rangkak dihalaman. Sesaat kemudian Sangkal Putung telah terbangun. Pintu-pintu rumah telah terbuka, dan jalan-jalanpun mulai menjadi ramai. Dalam pada itu, pendapa rumah Ki Demang Sangkal Putungpun telah menjadi ramai pula. Beberapa orang duduk sambil berbincang. Sementara beberapa anak muda telah menghidangkan minuman panas dan beberapa potong makanan. Namun agaknya kesibukan di pendapa itu tidak berlangsung lama. Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga telah minta diri untuk meninggalkan Sangkal Putung kembali ke Mataram. Ki Demang tidak dapat lagi mencegahnya. Ia sadar, bahwa Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani telah ditunggu oleh kewajiban yang berat di Mataram.

Karena itulah, maka Ki Demang hanya dapat mengucapkan beribu terima kasih atas kesempatannya menerima kehadiran Raden Sutawijaya. Sutawijayapun minta diri pula kepada orang-orang yang ada di Sangkal Putung. Kepada Ki Widura. kepada Kiai Gringsing, kepada Ki Waskita dan orang-orang lain, sementara Ki Gede Menoreh ternyata berniat untuk kembali pula ke Menoreh bersama Raden Sutawijaya. Ada kekecewaan Pandan Wangi melepas ayahnya pulang. Tetapi ia tidak akan dapat memaksa ayahnya untuk tetap tinggal di Sangkal Putung seperti dirinya, karena ayahnya mempunyai kewajiban pula atas tanah perdikan yang ditinggalkannya. Yang nampak sangat kecewa justru adalah Prastawa. Sebenarnya ia masih ingin tetap tinggal di Sangkal Putung. Tetapi ia tidak berani menentang pamannya yang telah mengajaknya kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Prastawa hanya sempat bertemu dengan Sekar Mirah saat ia minta diri. Namun agaknya Sekar Mirah yang masih belum pulih kembali perasaannya yang terluka itu, hampir tidak mempunyai perhatian tersendiri kepadanya. Ia mencoba tersenyum kepada setiap orang yang minta diri kepadanya, meskipun senyumnya masih terasa sangat hambar. “Ia sedang bersedih hati,“ berkata Prastawa kepada diri sendiri. Tetapi sementara itu, diluar sadarnya, maka ia menjadi semakin tidak senang melihat Agung Sedayu yang berada di Kademangan itu pula. Ketika matahari naik semakin tinggi, maka Raden Sutawijaya serta Ki Juru Martanipun telah siap untuk berangkat bersama Ki Gede Menoreh yang diikuti, oleh kemanakannya. Sedangkan para pengawal yang akan mengikuti pemimpin mereka masing-masing telah siap pula dengan kuda-kuda mereka. Sejenak kemudian, sebuah iring-iringan telah meninggalkan Kademangan Sangkal Putung. Ki Juru Martani, Raden Sutawijaya dan Ki Gede Menoreh berada dipaling depan. Kemudian para pengawal dari Mataram mengikuti mereka. Dipisahkan oleh Prastawa, maka dipaling belakang para pengawal dari Tanah Perdikan Menorehpun mengikut pula. meskipun jumlahnya tidak sebanyak pengawal dari Mataram. Disepanjang jalan, tidak henti-hentinya Ki Juru dan Ki Gede Menoreh berbincang tentang banyak hal

yang telah mereka lihat dan mereka alami di Sangkal Putung. Tentang meninggalnya Ki Sumangkar. Tentang Sekar Mirah yang menjadi sedih karena ditinggal oleh gurunya. Tentang Agung Sedayu. Tentang kematian dua orang yang tidak mereka kenal, yang ternyata adalah dua bersaudara dari Pesisir Endut, dan juga tentang Pangeran Benawa. Ki Juru Martani tidak banyak menceriterakan pertemuan Raden Sutawijaya dengan Pangeran Benawa. Ia juga tidak mengatakan bahwa kedua saudara angkat itu telah membicarakan masalah yang penting bagi masa depan Pajang. Yang mereka percakapkan tentang Pangeran Benawa adalah ilmunya yang luar biasa. Seorang diri ia telah berhasil membinasakan dua orang bersaudara yang disegani banyak orang dari Pesisir endut itu. Juga tentang sikap Pangeran Benawa yang tidak begitu mengacuhkan semua peristiwa yang terjadi di istana Pajang dan kemelut yang menyala dimana-mana. Sementara itu. Raden Sutawijaya sendiri banyak berdiam diri sambil merenungi masa depannya dan masa depan Mataram. Ia tidak tahu, jalan yang manakah yang paling baik baginya. Pembicaraannya dengan Pangeran Benawa ternyata telah menumbuhkan berbagai macam persoalan didalam hatinya. Iring-iringan itupun semakin lama menjadi semakin jauh dari Kademangan Sangkal Putung. Mereka melewati bulak-bulak panjang dan beberapa padukuhan. Setiap kali iring-iringan itu memasuki gerbang padukuhan, maka beberapa orang telah berlari-larian keluar dari rumah dan regol halaman masing-masing. Kadang-kadang terdengar diantara mereka berbisik, “Itu adalah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga. Aku kemarin telah melihatnya mengiringi jenazah Ki Sumangkar yang meninggal di rumah Ki Demang Sangkal Putung.” Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Tetapi ada juga yang menyahut, “Aku sudah tahu. Aku juga melihatnya di saat ia berada di Sangkal Putung.” Sementara beberapa orang gadis saling berbisik, “Alangkah tampannya anak muda yang berkuda dipaling depan itu.” “Sst,“ desis seorang laki-laki yang berdiri disampingnya, “itu adalah Raden Sutawijaya.” “O,“ merekapun saling menggamit. Bahkan ada diantara mereka yang mencubit lengan kawannya yang berdiri di sisinya, sehingga kawannya terlonjak. Namun belum lagi iring-iringan itu sampai kepada kuda yang terakhir, sekali lagi gadis-gadis itu saling berdesis, “He, yang berada diantara para pengawal itupun tampan pula. Sayang, wajahnya agak buram.” Prastawa tidak mendengar kata-kata itu. Tetapi seolah-olah ada sesuatu yang telah menggamit hatinya, sehingga diluar sadarnya ia telah berpaling memandangi gadis-gadis itu, sehingga wajah gadis-gadis itu menjadi merah padam. Namun Prastawa yang muda itu sempat tersenyum, sehingga gadis-gadis itu menjadi semakin tersipu-

sipu. Demikianlah maka iring-iringan itu berjalan terus. Menyusuri jalan panjang diantara hijaunya tanaman di sawah dan hijaunya pepohonan di padukuhan. Sekali-sekali iring-iringan itu menyeberangi sungai yang melintang jalan, dan sekali-sekali melintasi hutan yang sudah tidak merupakan rintangan lagi bagi perjalanan iring-iringan itu, karena telah dibuat jalan yang baik menusuk sampai keseberang. Sementara itu. Sangkal Putung menjadi semakin sepi. Apalagi jika sampai saatnya beberapa orang akan meninggalkan Kademangan itu pula. Ki Waskita yang masih tinggal tentu tidak lama lagi akan meninggalkan Kademangan itu pula. Demikian pula Ki Widura. Dan bahkan kemudian Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Glagah Putih. Tetapi Ki Demang masih dapat menahan mereka untuk beberapa hari. Mereka sempat menunggu keadaan di Sangkal Putung pulih kembali. Sekar Mirah berangsur-angsur menjadi tenang. Ia sudah menjadi semakin jarang menyebut nama gurunya yang telah meninggalkannya. Tetapi dalam pada itu, yang dilupakan untuk beberapa saat, telah tumbuh lagi dihatinya. Ia kembali merasa cemas melihat Agung Sedayu yang masih belum mempunyai pegangan tertentu buat masa depannya. Ia hanya mempunyai sebuah padepokan kecil. Beberapa kotak sawah dan pategalan yang dikerjakannya dengan beberapa orang anak muda yang tinggal bersama di padepokan kecil itu. Dengan demikian, maka ketenangan yang hampir pulih karena meninggalnya gurunya, telah disusul oleh kecemasannya menghadapi masa depan yang tidak jelas. Pandan Wangi yang mula-mula menjadi tenang pula melihat sikap dan tingkah laku Sekar Mirah, telah dicemaskan kembali oleh kemuraman yang membayang diwajah gadis itu. “Seharusnya kau dapat mengendalikan perasaanmu Mirah,” berkata Pandan Wangi, ”kau adalah seorang gadis yang cerdas dan menjadi tumpuan gadis-gadis sebayamu di Sangkal Putung. Karena itu jangan kau biarkan angan-anganmu berlarut-larut tanpa kendali.” Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Pandan Wangi. Aku sudah mencoba untuk melepaskan guru demikian ikhlas. Aku menyadari bahwa yang terjadi atasnya memang harus terjadi. Tidak ada jalan dan cara untuk mencegahnya.” “Sukurlah. Tetapi kadang-kadang aku masih melihat bayangan kepedihan hati di wajahmu,” sahut Pandan Wangi.

Sekar Mirah memandang Pandan Wangi dengan tatapan mata yang sayu. Agaknya ada sesuatu yang telah mendesak di dadanya. Namun gadis itu masih selalu mencoba menahannya. Pandan Wangi merasakan kegelisahan dihati Sekar Mirah meskipun ia tidak tahu pasti apa sebabnya. Karena itu maka desisnya, “Mirah. Apakah masih ada sesuatu yang menekan perasaanmu ? Jika kau sudah menyadari bahwa yang terjadi atas Ki Sumangkar memang harus terjadi, maka apalagi yang telah menekan hatimu ?” “Pandan Wangi,” berkata Sekar Mirah dengan nada yang dalam, ”kini guruku sudah tidak ada lagi. Meskipun orang tuaku masih ada, tetapi pada suatu saat aku akan meninggalkannya. Aku akan menjadi seorang dewasa penuh yang hidup dalam lingkungan keluargaku sendiri. Tetapi menurut penglihatanku, kakang Agung Sedayu sampai saat ini sama sekali tidak memikirkan hari depan bagi kehidupan sebuah keluarga.” Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia tidak menyangka bahwa Sekar Mirah telah mulai memikirkan masa depannya. Namun agaknya kematian gurunya membuatnya semakin gelisah. Satusatunya harapannya kini tergantung pada Agung Sedayu. Dan baginya Agung Sedayu adalah orang yang lemah hati. Ia sama sekali tidak berjuang bagi masa depannya. Sejak meninggalnya Ki Sumangkar, maka tidak ada lagi orang yang seolah-olah melindunginya. Swandaru telah mempunyai sisihan, sehingga ia akan lebih banyak terikat oleh keluarganya sendiri. Jika Agung Sedayu tidak segera mempersiapkan dirinya, maka Sekar Mirah akan merasa hari depannya benar-benar suram. Tetapi Pandan Wangi mencoba untuk mengurangi beban kegelisahan adik iparnya. Katanya, ”Sekar Mirah. Bukankah Agung Sedayu telah mempersiapkan sebuah padepokan ? Sudah tentu yang ada sekarang sama sekali tidak memadai. Tetapi padepokan itu akan berkembang. Semakin lama menjadi semakin ramai dan luas. Sawah dan pategalannyapun akan semakin luas pula, karena hutan disekitarnya masih cukup untuk mengembangkan daerah kecil itu.” Sekar Mirah menggelengkan kepalanya. Katanya, ”Dunia itu tidak sesuai dengan duniaku. Hidup dipadepokan adalah suatu kehidupan yang mandeg. Tidak ada gairah dan tidak ada tantangan yang dapat melahirkan suasana baru dalam hidup ini. Padepokan adalah suatu tempat bagi mereka yang telah berputus asa. Bagi mereka yang merasa dirinya tidak mampu lagi mengikuti perkembangan jamannya.” “Ah, apakah begitu? Dipadepokan seseorang mendapat kesempatan yang cukup untuk mempelajari sesuatu. Mungkin ilmu yang akan dapat dikembangkan dan diabadikan pada kehidupan luas. Mungkin dapat dicapai suatu tingkat pengetahuan yang dapat memberikan banyak manfaat bagi sesama. Dan mungkin dari padepokan kecil dapat dipancarkan sikap hidup yang agung dalam hubungan manusia dengan Penciptanya.”

Tanpa disangka-sangka. Sekar Mirah justru tertawa, meskipun masih terasa betapa pahit perasaannya. Apalagi ketika terdengar suaranya yang bergetar. Betapa manisnya hidup yang demikian. Setiap orang akan menghormatinya dan setiap bibir akan menyebut namanya sebagai seorang pertapa yang telah menjauhkan diri dari unsur-unsur keduniawian dan mendekatkan diri dengan alam kehidupan langgeng. Tidak Pandan Wangi. Aku bukan seorang yang kehilangan pegangan hidup seperti itu. Hidup bagiku adalah tantangan-tantangan yang harus dijawab dengan sikap dan perbuatan. Bukan dengan putus asa lari dari kenyataan yang memang pahit.” Jawaban itu mengejutkan Pandan Wangi. Sejenak ia justru terdiam bagaikan mematung, ia samasekali tidak menduga bahwa Sekar Mirah mempunyai pandangan yang justru berlawanan tentang kehidupan di Padepokan. Gadis itu tidak melihat ketenangan dan kedamaian yang mewarnai kehidupan di padepokan. Tetapi yang nampak padanya adalah keputus-asaan dan pelarian. Pandangan yang berlawanan itu seolah-olah telah menutup pembicaraan kedua perempuan itu. Pandan Wangi tidak dapat mencoba untuk memberikan ulasan lagi tentang kehidupan di Padepokan, karena mungkin akan dapat menumbuhkan salah paham. Sementara itu Sekar Mirah berkata selanjutnya, “Pandan Wangi. Menurut pendapatku, aku dan Kakang Agung Sedayu masih terlalu muda untuk hidup dalam keterasingan itu. Seharusnya aku dan kakang Agung Sedayu masih harus terlibat dalam gejolaknya dunia yang penuh dengan tantangan, tetapi memberikan kepuasan bagi kita setiap kita dapat mengatasinya.” Pandan Wangi mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Ia tidak mau terlibat dalam pembicaraan tentang sikap dan pandangan hidup yang lebih dalam, karena pada dasarnya sikap dan pandangan hidup adalah ciri pribadi yang mungkin tidak dapat dipertemukan antara seseorang dengan orang lain. Tetapi Pandan Wangi sadar, bahwa perbedaan itu bukannya berarti bahwa masing-masing harus saling membenturkan diri dengan sikap dan pandangan hidup. Bahkan masing-masing harus menyadari perbedaan-perbedaan itu, sehingga masing masing akan berjalan menurut pilihannya sendiri. Dengan demikian setiap perbedaan sikap dan pandangan hidup akan dapat saling dihormati dan tidak menumbuhkan persoalan persoalan yang dapat memberikan ketegangan dalam hidup sehari-hari. Karena itu, maka Pandan Wangipun membiarkan Sekar Mirah dengan sikap dan pandangan hidupnya. Namun demikian, ia merasa cemas bahwa Sekar Mirah tidak akan dapat menghormati sikap dan pandangan hidup Agung Sedayu. Padahal mereka akan membangun suatu keluarga di masa depan. Perbedaan sikap dan pandangan hidup diantara mereka, mungkin akan dapat menumbuhkan persoalan-persoalan yang justru akan menjadi gawat apabila masing-masing tidak dapat menerima kenyataan itu dengan hati yang lapang.

“Tetapi itu bukan persoalanku,“ tiba-tiba saja Pandan Wangi berdesis didalam hatinya. Namun demikian, rasa-rasanya ia tidak dapat melepaskan diri dari keterlibatan batin dengan sikap Sekar Mirah. Betapapun ia berusaha, namun ia merasa dibayangi oleh kegelisahan. Apalagi ketika Pandan Wangi sendiri terdampar pada keadaan dirinya. Diluar sadarnya ia mencela melihat kepada keluarga kecilnya. “Apakah aku dan kakang Swandaru juga telah dapat menyatukan sikap dan pandangan hidup? “ pertanyaan itu tiba-tiba saja timbul didalam hatinya. Pandan Wangi justru mencoba menilai keadaan dirinya sendiri, ia mulai menelusuri sikap dan pandangan hidup suaminya. Setiap kali Pandan Wangi merasa tersinggung oleh sikap dan tingkah laku Swandaru yang tidak sesuai dengan sikap dan pandangan hidupnya. Namun Pandan Wangi merasa dirinya sebagai seorang isteri. Ia merasa wajib untuk mencari persesuaian dengan suaminya. Bukan mencari perbedaan-perbedaannya. Dengan demikian ia berusaha untuk dapat menciptakan suasana yang baik dalam keluarga kecilnya. Tetapi agaknya Sekar Mirah bersikap lain. Ia tidak menempatkan diri sebagai seorang sisihan yang harus saling mengisi dan mengendalikan diri. Perjanjian bagi dirinya sendiri untuk menempatkan dirinya disisi orang lain adalah suatu kesediaan untuk melepaskan sebagian dari sikap dan pandangan hidupnya sendiri. Namun Pandan Wangi tidak mengatakannya, ia tidak mau terperosok kedalam kesalah pahaman dengan adik-iparnya. Bahkan kemudian ia mencoba untuk berkata kepada dirinya, “Itu adalah persoalan Sekar Mirah dengan Agung Sedayu. Persoalan yang harus mereka cari pemecahannya. Persoalanku adalah bagaimana aku dan kakang Swandaru menempatkan diri kita masing-masing, agar keluargaku tidak selalu dibayangi oleh keburaman meskipun banyak hal yang dilakukan tidak sesuai dengan kata nuraniku.” Dengan demikian maka keduanya untuk sesuatu menjadi saling terdiam. Pandan Wangi bangkit ketika Swandaru memanggilnya. “Sekar Mirah. Kau masih harus tetap berusaha memberikan ketenangan pada dirimu sendiri. Beristirahatlah. Kakang Swandaru memanggil aku,“ berkata Pandan Wangi kemudian. Sekar Mirah mengangguk kecil. Namun ketika Pandan Wangi telah melangkah keluar ia berkata, “Aku juga akan pergi kedapur. Mungkin aku akan dapat melupakan persoalan-persoalan yang bergejolak

dihatiku. Persoalan yang manapun juga.” Pandan Wangi tertegun dipintu. Namun iapun kemudian tersenyum sambil berkata, “Cobalah Mirah. Banyak yang dapat kau lakukan. Dan kau akan segera menemukan kembali nafas kehidupan seharihari.” Sepeninggal Pandan Wangi, Sekar Mirahpun membenahi dirinya. Kemudian iapun melangkah meninggalkan biliknya pergi kedapur. “Mirah,“ berkata seorang perempuan separo baya, “beristirahatlah saja ngger. Biarlah kami menyelesaikan pekerjaan dapur ini.” Sekar Mirah memandang perempuan itu. Namun ia justru mencoba tersenyum sambil berkata, “Biarlah aku membantumu bibi. Aku akan melupakan segala kegelisahan dihatiku. Nah, apakah yang baik aku lakukan sekarang? Apakah bibi sudah menanak nasi atau sudah menyiapkan sayur dan lauknya?” “Ah. biarlah kami melakukannya,“ desis perempuan yang lain. “Biarlah aku menggoreng ikan bibi. Siapakah yang telah mendapatkan ikan sebanyak itu?” “Bukan satu orang ngger. Tiga orang telah menjala semalam suntuk, mereka mendapatkan ikan wader sebanyak itu?” Sekar Mirah mengangguk-angguk. Ikan wader yang telah dibersihkan itupun kemudian direndamnya didalam tepung yang telah dicairkan dengan air. Kemudian iapun duduk dengan asyiknya dimuka perapian sambil memasukkan segumpal aduan tepung dan ikan wader kedalam minyak kelapa yang mendidih. Dalam pada itu, selagi Sekar Mirah sibuk didapur. Kiai Gringsing duduk diserambi gandok bersama Ki Waskita dan Ki Widura. Ki Demang Sangkal Putung tidak duduk bersama mereka karena kewajibannya nganglang Kademangan bersama Ki Jagabaya. Dalam pada itu, ketiga orang tua itu dengan asyiknya berbicara tentang berbagai macam persoalan yang sedang berkembang di saat terakhir. Mereka mulai dari Mataram, kemudian berkisar ke Demak dan ternyata mereka sampai pada pembicaraan tentang orang-orang yang mengaku pewaris Kerajaan Majapahit. Tetapi pembicaraan itu agaknya tidak menarik bagi Kiai Gringsing. Setiap kali ia selalu mencoba untuk menggeser pembicaraan kepada persoalan-persoalan lain. Ia lebih senang berbicara tentang Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani atau berbicara tentang padepokan kecil yang telah ditinggalkannya. Namun agaknya Ki Waskita tetap berusaha untuk berbicara tentang orang-orang yang masih saja selalu

berusaha untuk mengeruhkan keadaan. Suatu usaha untuk membenturkan kekuatan yang ada, kemudian menghancurkan sisanya sama sekali. “Kiai,” berkata Ki Waskita, ”banyak orang yang sebenarnya dapat membantu mempercepat penyelesaian masalah ini. Tetapi mereka mempunyai keberatannya masing-masing untuk melakukannya. Jika Raden Sutawijaya tidak terikat oleh sumpahnya, maka ia akan dapat memasuki istana Pajang sebagai putera angkat yang dikasihi oleh Sultan Hadiwijaya, sehingga ia akan dapat membantu membersihkan Pajang dari nafsu yang menyala sekarang ini.” Kiai Gringsing menarik nafas panjang, sementara Ki Waskita meneruskan, ”Sedangkan Pangeran Benawa mempunyai keberatannya sendiri. Kekecewaan yang mencengkam perasaannya sama sekali tidak dapat diingkarinya. Itulah agaknya yang memaksanya memilih jalan hidupnya sendiri yang menyimpang dari ketentuan istana.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi semuanya sudah dikehendakinya. Mungkin Raden Sutawijaya memang lebih tepat berada di Mataram. Kota yang semakin lama menjadi semakin ramai. Sementara itu agaknya masih saja sekelompok-sekelompok orang berdatangan dan membual kota itu semakin luas dan ramai. Pada saatnya Mataram akan benar-benar menjadi kota seperti yang diharapkan oleh Raden Sutawijaya sementara hubungan dengan tetangga-tetangganya terjalin dengan baik. Dengan Menoreh, Mataram bagaikan berkeluarga. Perkembangan Mataram akan mempengaruhi Tanah Perdikan itu untuk berkembang pula.” “Ya Kiai,” sahut Ki Waskita. Tetapi sebelum ia melanjutkan Kiai Gringsing sudah mendahului, ”sementara Tanah Perdikan Menorehpun merupakan daerah harapan. Tanah itu nampaknya masih menampung banyak ke mungkinan dihari mendatang.” Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan hati-hati ia memotong, ”Benar Kiai. Tetapi selagi masih ada persoalan yang selalu mengganggu ketenangan Pajang, maka yang sekarang berkembang itu akan selalu terancam oleh kekisruhan. Siapa tahu, bahwa daerah yang sedang berkembang itu akan dilanda oleh kerusuhan karena tingkah laku orang-orang yang tidak bertanggung jawab, terutama orang-orang yang mengaku dirinya pewaris kerajaan Majapahit.” “Ah, kita semuanya akan berhati-hati. Kita akan membantu menjaga daerah yang sedang berkembang itu, sejauh dapat kami lakukan. Tetapi menurut pengamatanku, Tanah Perdikan Menoreh mempunyai kemungkinan untuk menjadi daerah yang besar.” Dan Ki Waskitapun memotong pula, “Perkembangannya akan semakin mekar tanpa gangguan dari pihak manapun. Karena itu, maka alangkah baiknya jika Raden Sutawijaya bersedia membantu ayahandanya. Apalagi bersama dengan anak muda yang sebenarnya berhak menerima gelar Putera Mahkota. Namun terlebihlebih lagi, jika ada orang lain yang bersedia membantu mereka dengan menyatakan dirinya seperti

yang sebenarnya.” “Ah,” desis Kiai Gringsing, ”biarlah semuanya itu diselesaikan oleh lingkungan mereka. Kita serahkan semua keputusan yang akan diambil kepada mereka, pembicaraan akan lebih baik mengarah kepada usaha untuk lebih baik bagi sawah kita.” Ki Waskita menarik nafas panjang. Katanya, ”Maaf Kiai. Aku telah mencoba memaksakan pembicaraan ini berkisar kepada pewaris Kerajaan Majapahit. Aku sebenarnya telah mendengar semuanya tentang seseorang yang sebenarnya dapat diharapkan untuk ikut menengahi percaturan dan kemelutnya pemerintahan sekarang ini.” Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Katanya, ”Itu bukan persoalan yang harus kita bicarakan.” Tetapi Ki Waskita seolah-olah tidak mendengar kata-kata itu. Dengan nada datar ia berkata, ”Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa adalah anak-anak muda yang masih banyak sekali dipengaruhi oleh perasaannya yang kadang-kadang sulit dikendalikan. Tetapi orang-orang setua kita tentu akan berbeda sikap.” “Aku tidak mengerti apa yang sedang kita bicarakan,” sahut Kiai Gringsing. “Kiai,” berkata Ki Waskita, ”aku tidak tahu, apakah Ki Widura juga sudah mendengar, nama yang pernah dikenal pada angkatan sebelum orang-orang seumur kita sekarang. Nama yang mempunyai arti tersendiri.” Widura yang tidak banyak ikut berbicara itupun bertanya, “Siapakah yang kau maksud Ki Waskita ?” Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Kemudian jawabnya, ”Nama itu adalah Empu Windujati yang semula bergelar Pangeran Windukusuma. Seorang yang barangkali dapat pula menyebut dirinya keturunan langsung dari Majapahit.” Ki Widura mengerutkan keningnya. Sejenak ia mengingat-ingat nama-nama yang pernah didengarnya. Namun kemudian ia berkata, “Aku masih lebih muda dari Ki Waskita dan Kiai Gringsing. Rasarasanya aku memang pernah mendengarnya. Tetapi sudah lama sekali. Dan nama itu seakan-akan kini telah hilang.” Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Memang Ki Widura. Nama itu sudah lama tidak terdengar lagi.” Kiai Gringsing tiba-tiba saja menyahut, “Akupun pernah mendengarnya seseorang menyebut nama itu meskipun aku sendiri belum pernah mengenalnya. Tetapi orang yang sudah tidak pernah terdengar

namanya itu, biarlah tidak usah kita bicarakan.” Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kiai Gringsing. Justru pada saat semacam ini nama itu perlu kita sebut-sebut. Jika nama itu hadir, mungkin ia akan dapat mempengaruhi orang-orang yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit itu. Karena sebenarnya ada keturunan langsung dari Perabu Majapahit.” “Mustahil,“ jawab Kiai Gringsing, “berapa umur Empu Windujati itu sekurang, jika sebenarnya ia memang ada. Keturunan langsung dari Perabu Majapahit terakhir kini tentu sudah sangat tua.” “Tentu Kiai. Orang yang bernama Empu Windujati itu sendiri mungkin sudah wafat. Tetapi menurut pendengaranku, ia mempunyai seorang murid yang juga keturunan langsung dari Majapahit.” “Ah, marilah kita melupakan dongeng itu. Kita sekarang menghadapi kenyataan yang perlu kita ketemukan pemecahannya. Jika kita masih bertumpu pada dongeng yang belum pasti kebenarannya, kita akan kehilangan banyak waktu.” Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Kiai. Aku mohon maaf, bahwa aku memberanikan diri bertanya tentang ciri perguruan Windujati yang ada pada Kiai.” “Ciri yang mana?” bertanya Kiai Gringsing. “Pertama-tama, senjata yang Kiai pergunakan mirip benar dari senjata yang pernah ada pada masa perguruan Empu Windujati. Kemudian lukisan dipergelangan tangan Kiai, yang berbentuk cakra bergerigi sembilan. Sepuluh dengan tangkainya.” “Ah,“ Kiai Gringsing menjadi tegang. Katanya, “Apakah Ki Waskita pernah mendengar dongeng itu dari Ki Gede Menoreh?” “Ceritera itu bukan saja aku dengar dari Ki Gede Menoreh. Tetapi orang-orang tua yang memiliki sedikit hubungan dengan ilmu kanuragan pada jaman itu pernah mendengar nama Empu Windujati dan muridnya yang tumbuh sedahsyat gurunya.” Sejenak terlintas kegelisahan diwajah Kiai Gringsing. Namun sekejap kemudian orang tua itu sudah tersenyum sambil berkata, “Nama-nama itu memang terdapat dalam dongeng-dongeng Ki Waskita. Tetapi aku sendiri tidak yakin bahwa nama-nama itu memang ada, atau mempunyai latar belakang peristiwa seperti yang banyak didengar orang pada waktu itu.” “Kiai,” berkata Ki Waskita, “menurut pendapatku, murid itu, adalah seorang anak muda yang pada waktu Itu merupakan seorang anak muda yang mengagumkan. Melampaui kemampuan anak-anak muda sebayanya. Jika anak muda itu kini masih ada, meskipun umurnya tentu sudah setua aku ini,

ia akan merupakan seorang yang luar biasa. Selebihnya ia akan dapat berdiri berhadapan dengan orang-orang yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Agung Majapahit itu. Ia akan merupakan seseorang yang akan dapat membuat mereka menjadi ragu-ragu dan segan.” “Mereka tidak akan mengenalnya,“ desis Kiai Gringsing, “nama itu adalah nama yang asing.” “Satu dua diantara mereka tentu pernah mendengarnya. Mereka akan berceritera kepada kawan-kawannya tentang seseorang murid perguruan Windujati.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya Ki Widura yang lebih banyak mendengarkan pembicaraan itu. Dengan nada datar ia bertanya, “Bukankah Ki Widura belum pernah mendengar nama itu?” Ki Widura termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menggeleng, “Aku tidak ingat lagi.” Ki Waskita tersenyum sambil berkata, “Jawaban Ki Widura tidak pasti. Tetapi cobalah renungkan. Sebenarnya kita mempunyai harapan tentang dirinya. Atau bahkan mungkin murid perguruan Windujati itu kini berada diantara mereka yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Majapahit itu?” “Ah, tentu tidak,“ diluar sadarnya Kiai Gringsing menjawab. Namun kemudian ia meneruskan, “nama itu hanyalah sekedar ceritera yang tumbuh saat itu. Ia tidak akan berada dimanapun.” Ki Waskita bahkan tertawa. Katanya, “Mungkin Kiai. Tetapi jika orang yang bernama Jaka Warih, murid utama perguruan Empu Windujati itu ada, maka ia tidak lebih dari Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa. Ia sudah terlibat kedalam persoalan pribadinya sehingga tidak mempunyai kesempatan lagi untuk berbuat sesuatu meskipun ia sadar, bahwa keadaan menjadi semakin gawat.” “Ah,“ desis Kiai Gringsing, “Ki Waskita agaknya memang suka berangan-angan. Itulah agaknya yang telah menuntunnya kepada pengenalan atas masa depan dalam isyarat. Tetapi sebenarnya Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa bukannya tidak berbuat apa-apa. Kereka telah melakukan sesuatu. Mungkin cara yang mereka tempuh bukannya cara yang kita kehendaki.” “Jika demikian, tinggal murid itulah yang belum kita lihat berbuat sesuatu. Sebagai murid dari perguruan Windujati, dan sebagai keturunan langsung dari Majapahit yang tentu saja dengan sebutan dan gelar yang lain, ia mempunyai tanggung jawab atas perkembangan keadaan dewasa ini.” “Ki Waskita, nampaknya kita telah terlibat dalam pembicaraan tentang sesuatu yang tidak banyak kita ketahui. Ternyata bahwa Ki Widura tidak mempunyai kesempatan pula untuk menentukan pendapatnya.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam dipandanginya Kiai Gringsing dan Ki Widura berganti-ganti. Namun dalam pada itu Ki Widura tersenyum sambil berkata kepada Kiai Gringsing, “Kiai. Aku memang tidak banyak mengetahui tentang apa yang diceritcrakan oleh Ki Waskita. Tetapi agaknya pembicaraan ini cukup menarik.” Ki Waskita tertawa sambil menyahut, “Nah, bukankah Ki Widura tertarik pula pada pembicaraan ini?” Kiai Gringsingpun tersenyum. Katanya, “kita memang aneh. Kadang-kadang kita memang tertarik untuk membicarakan sesuatu yang tidak jelas atau bahkan tidak kita ketahui.” “Kiai,“ berkata Ki Waskita, “sebenarnya sudah lama aku menahan diri untuk tidak bertanya tentang lukisan dipergelangan tangan Kiai. Tetapi rasa-rasanya dadaku semakin sesak dan kadang-kadang aku menjadi gelisah. Mungkin ini suatu gejala ketuaan umurku yang semakin merambat. Hal-hal yang barangkali kurang penting, membuat aku tidak dapat tidur sampai beberapa malam. Dan agaknya lukisan dipergelangan tangan Kiai itu benar-benar membuat aku gelisah.” Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Setiap orang yang menjadi semakin tua memang mudah menjadi gelisah, cemas dan kadang-kadang bingung tanpa sebab. Tetapi agaknya Ki Waskita mengalami ketegangan karena sesuatu yang telah diotak-atiknya.” “Tidak Kiai. Bukan sekedar angan-angan yang tidak mendasar. Tetapi ada semacam petunjuk bahwa memang ada hubungan antara Kiai Gringsing yang mempunyai ciri perguruan Windujati dengan perguruan itu sendiri. Kiai, sebenarnyalah aku ingin bertanya, apakah Kiai memang tidak mendengar atau mengenal seseorang yang bernama Jaka Warih, yang menurut ceritera yang sampai ketelingaku, orang itu kini umurnya tentu sudah setua kita.” Kiai Gringsurig merenung sejenak. Kemudian jawabnya, “Pertanyaan yang serupa pernah ditanyakan pula oleh Ki Gede Menoreh pada saat ia melihat gambar ditanganku. Tetapi sebenarnyalah waktu itu aku melukis dengan duri ikan di pergelangan ini tanpa maksud, selain sekedar meniru beberapa orang yang sebaya dengan aku pada waktu itu. Sayang, aku tidak ingat lagi, siapakah yang memberikan contoh lukisan itu kepadaku pada waktu itu yang kemudian beramai-ramai ditiru oleh tiga empat orang. Seandainya lukisan itu mula-mula bersumber pada seseorang yang bernama Windujati, aku sama sekali tidak mengetahuinya.” Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam Katanya berdesah,

“Baiklah Kiai. Tetapi mudah-mudahan orang yang bernama Jaka Warih, murid utama dari perguruan Windujati itu mengetahui, apa yang telah terjadi sekarang ini. Tetapi waktu kadang-kadang membuat perubahanperubahan yang tidak di duga sebelumnya. Meskipun Jaka Warih adalah murid perguruan Windujati. tetapi siapa tahu. ialah yang justru telah menggerakkan orang-orang yang sekarang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit itu.” “Ah,“ Kiai Gringsingpun berdesah, “mudah-mudahan tidak. Tetapi aku memang tidak mengetahui apa yang dapat terjadi jika mereka itu benar-benar ada.” Ki Waskita mengangguk-angguk, tetapi rasa-rasanya ia menjadi kecewa atas keterangan yang didapatnya dari Kiai Gringsing bahwa lukisan yang terdapat dipergelangan tangannya itu hanyalah sekedar karena saat itu anak-anak beramai-ramai saling meniru diantara mereka. Ki Widura yang mendengarkan ceritera yang dibicarakan oleh kedua orang itu dengan seksama, tibatiba saja berkata, ”Agaknya tidak akan ada asapnya tanpa api. Mungkin yang didengar oleh Ki Waskita tidak tepat seperti yang sebenarnya. Namun demikian, agaknya masih dapat diharapkan, bahwa pada suatu saat, akan diketahui, dimanakah murid perguruan Windujati itu bersembunyi. Mungkin ia menjadi acuh tidak acuh terhadap keadaan karena kecewa seperti yang terjadi atas Pangeran Benawa, meskipun pada suatu kesempatan Pangeran Benawa msisih berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi kemanusiaan. Tetapi mungkin ia merasa dirinya tidak perlu lagi bersentuhan dengan persoalan-persoalan duniawi. Atau seperti yang dikatakan oleh Ki Waskita, bahwa penggerak utama dari mereka yang menyebut diri mereka pewaris Kerajaan Majapahit itu justru adalah murid perguruan Windujati itu sendiri.” Wajah Kiai Gringsing menjadi tegang. Tetapi iapun kemudian tersenyum sambil berkata, “Memang segalanya dapat terjadi. Tetapi bagiku, sebaiknya kita berbicara tentang orang-orang yang kita ketahui sekarang. Apakah mereka berdiri diantara kita, diantara mereka yang berada di istana Pajang, atau diantara mereka yang menyebut diri mereka pewaris kerajaan Majapahit.” Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, “Seharusnya memang begitu Kiai. Tetapi alangkah sulitnya aku mengatur perasaanku. Aku kadang-kadang hanyut pada angan-angan dan kenangan yang tidak menentu. Kegelisahan yang tanpa sebab, atau perasaan yang tidak sesuai dengan pertimbanganpertimbangan nalar. Namun, meskipun aku menyadarinya, kadang-kadang aku tidak dapat melepaskan diri dari tekanan perasaan yang menghimpit.” “Cobalah untuk menguasai diri,” jawab Kiai Gringsing, ”tetapi seandainya tidak berhasil, itu adalah gejala yang wajar dari ketuaan kita seperti yang kau

katakan Ki Waskita.” Ki Waskita mengangguk-angguk. Lalu, ”Baiklah Kiai. Ternyata sulit bagiku untuk mendapatkan obatnya. Bahkan kadang-kadang aku telah terdorong untuk berbuat sesuatu sekedar menuruti angan-anganku itu. Keinginan yang barangkali aneh buat orang lain. Aku ingin menemukan murid perguruan Windujati dimanapun ia berdiri.” “Ah, tinggalkan angan-angan itu Ki Waskita. Kita masih mempunyai banyak pekerjaan yang lebih penting kita lakukan,” desis Kiai Gringsing. “Aku adalah seorang perantau sejak muda. Keluargaku telah mengenal aku sebaik-baiknya. Jika aku pergi didorong oleh kegelisahan perasaan, isteriku akan dapat mengerti. Dan akupun merasa, bahwa aku masih mampu melakukannya.” gumam Ki Waskita. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya Ki Widura yang termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Mungkin Ki Waskita sudah digelitik oleh kerinduan atas jalan-jalan yang panjang dan seolah-olah tidak berujung. Tetapi agaknya amatlah sulit untuk mencari nama-nama yang hanya terdapat didalam dongeng-dongeng orang tua menjelang tidur cucunya.” “Aku yakin bahwa nama perguruan Windujati bukan dongeng. Demikian pula murid muridnya.” jawab Ki Waskita, “namun sudah tentu bahwa usaha semacam itu tidak akan dapat dilakukan dengan tergesa-gesa. Besok atau lusa aku akan kembali ke keluargaku. Nah, akan datang saatnya aku merantau mengelilingi negeri ini untuk mencari nama itu.” Kiai Gringsing memandang Ki Waskita sejenak. Kemudian katanya, “Jika keras kemauan Ki Waskita, aku hanya dapat berdoa, mudah-mudahan Ki Waskita akan dapat menemukannya.” “Terima kasih Kiai. Aku akan mencari orang yang mempunyai ciri perguruan Windujati. Selain lukisan yang khusus dipergelangan tangan, maka perguruan Windujati adalah sumber ilmu kanuragan yang mempergunakan senjata berjuntai seperti cambuk dan cemeti.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sepercik ketegangan terkilas diwajahnya, namun kemudian iapun tersenyum sambil mengangguk-angguk. “Mudah-mudahan Ki Waskita dapat menemukan. Jika benar orang itu ada, maka ia akan berpengaruh terhadap mereka yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Majapahit.” “Memang Kiai. Tetapi seandainya akau berhasil menemukan, tetapi orang itu sama sekali tidak acuh lagi terhadap keadaan yang gawat ini, maka perjalananku akan sia-sia,“ desis Ki Waskita.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Ki Widura yang mendengarkan pembicaraan itu dengan saksama, ternyata masih belum dapat mengikutinya dengan pasti. Ia dapat menangkap persoalan yang dilontarkan oleh Ki Waskita karena iapun kemudian mengetahui bahwa dipergelangan tangan Kiai Gringsing terdapat ciri yang dimaksud. Tetapi bahwa Kiai Gringsing nampaknya benar-benar tidak mengetahuinya, maka Ki Widurapun sama sekali tidak berani mengambil kesimpulan. Ketika kemudian Agung Sedayu mendekati mereka, maka pembicaraan merekapun telah berkisar. Namun demikian, Kiai Gringsing rasa-rasanya selalu dipengaruhi oleh pembicaraan tentang perguruan Windujati, sehingga ia tidak banyak lagi berbicara diantara mereka. Namun kedatangan Glagah Putih membuat pembicaraan mereka menjadi semakin ramai. Anak muda itu terlalu banyak bertanya tentang berbagai macam persoalan yang dihadapinya. Bahkan Ki Waskita terpaksa tertawa ketika tiba-tiba saja Glagah Putih bertanya kepadanya, “Kiai, apakah yang akan terjadi atas aku kelak jika aku sudah besar? Apakah aku akan dapat menyempurnakan ilmuku seperti kakang Agung Sedayu.” Sambil tertawa Ki Waskita menjawab, “Mana aku tahu.” Glagah Putih mengerutkan keningnya. Katanya, ”Bukankah Ki Waskita dapat mengetahui apa yang akan terjadi?” “Ah, tidak tepat seperti itu. Tetapi yang pasti, semuanya tergantung pada usahamu. Jika kau berusaha dengan sungguh-sungguh dan disertai permohonan yang mantap kepada Yang Maha Kuasa, maka semuanya akan dapat kau hayati.” jawab Ki Waskita, ”namun demikian, itu bukan berarti bahwa persoalannya telah selesai. Setelah seorang memiliki ilmu yang tinggi, maka persoalan selanjutnya, apakah ilmunya itu diamalkan atau justru sebaliknya.” Glagah Putih termangu-mangu. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk. Pembicaraan itu menjadi semakin ramai ketika kemudian Swandaru datang pula dan ikut berbicara disusul oleh Ki Demang yang telah kembali dari kewajibannya bersama Ki Jagabaya. Namun dalam pada itu, selagi di Sangkal Putung masih tinggal beberapa orang untuk beberapa waktu lamanya, maka di Pajang telah terjadi pembicaraan yang menggelisahkan. Beberapa orang perwira prajurit Pajang tengah berbicara dengan orang-orang yang tidak banyak dikenal di Pajang. Namun agaknya pembicaraan mereka adalah pembicaraan yang sangat rahasia. Mereka agaknya dengan sengaja membatasi pembicaraan mereka dengan orang-orang terdekat dan berusaha untuk tidak diketahui oleh para perwira yang lain. Salah seorang dari mereka dengan sungguh-sungguh berkata, ”Ternyata bahwa Pangeran Benawa telah ikut serta dalam pergolakan ini.”

Yang lain termangu-mangu sejenak. Namun seorang perwira muda berkata, ”Aku tidak yakin kalau Pangeran Benawa memang dengan sengaja melibatkan diri. Aku masih ingin mengetahui pendapat Untara dalam hal ini.” Seorang berkumis lebat dan berpakaian seperti seorang pedagang menyahut, “Nampaknya Untara belum menyatakan pendapatnya dengan tegas. Namun bagi kami justru karena ia benar-benar berdiri pada tugas dan kewajiban seorang prajurit, maka ia harus disingkirkan.” “Kau terlalu dipengaruhi oleh perasaan,” Sahut yang lain, yang berpakaian seperti seorang petani, “kita jangan menambah lawan. Sementara Untara masih dapat kita anggap berdiri diluar pertikaian ini. Tetapi sebenarnyalah menurut pendapatku, tindakan Pangeran Benawa yang terakhir perlu mendapat perhatian.” “Mungkin dua bersaudara dari Pesisir Endut memang sudah membuat kesalahan. Pangeran Benawa tidak mau melihat tindakan sewenang-wenang. Agaknya dua bersaudara itu tidak dapat menahan diri, sehingga Pangeran Benawa harus bertindak terhadap mereka. Bukan karena persoalan yang pokok, tetapi karena tindakan kedua orang itu tidak sesuai dengan nurani Pangeran yang aneh itu.” “Apapun alasannya, maka Pangeran Benawa itu masih akan dapat berbuat sesuatu yang dapat merugikan kita. Dengan demikian, maka ada beberapa orang yang perlu mendapat perhatian utama selain Senapati Ing Ngalaga itu sendiri.” Orang-orang yang mendengarkan keterangan itu nampaknya menjadi semakin bersungguh-sungguh. Kening mereka menjadi berkerut dan menegang. Seorang yang berpakaian seperti seorang pedagang berkata, “Senapati Ing Ngalaga adalah lawan yang jelas, Yang nampak dihadapan hidung kita. Kita akan dapat datang menyerang Mataram, menghancurkan negeri baru itu dan kemudian membunuhnya bersama Ki Juru Martani. Apalagi jika usaha kita menggelitik Sultan berhasil. Maka menyerang Mataram tidak akan lebih sulit dari memijit buah ceplukan masak.” Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Dan perwira Pajang yang ada ditempat itu melanjutkan. “Kau benar. Yang kini berbahaya adalah justru orang-orang yang berdiri disamping Senapati Ing Ngalaga. Orang-orang bercambuk itu merupakan orang yang paling berbahaya. Orang yang pertamatama harus disingkirkan. Swandaru yang gemuk itu telah membangunkan pasukan pengawal yang kuat. Kekuatan Sangkal Putung merupakan kekuatan yang melintang dijalur antara Pajang dan Mataram. Kemudian kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. Mau tidak mau, Argapati tentu akan terlibat dalam pertikaian yang akan timbul melawan Mataram. Sejak lama Argapati telah membuat hubungan yang khusus dengan Sutawijaya. Yang terakhir pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah terlibat dalam pertempuran di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu.”

Orang berpakaian pedagang yang ikut didalam pertemuan itu berkata, “Sudah berkali-kali kita berusaha membunuh orang-orang terpenting diantara mereka. Kegagalan terbesar yang terjadi karena pengkhianatan Telengan telah menghancurkan persiapan terbesar yang pernah kita adakan. Dengan kehancuran itu, kita harus menyusun kembali kekuatan seperti saat kita mulai. Namun berdasarkan pengalaman, maka sambil menyusun kekuatan, kita harus berusaha dengan ungguhsungguh membunuh orang-orang yang akan menjadi Senapati bagi pasukan Mataram.” “Aku tahu arah bicaramu,“ berkata perwira prajurit yang ada diantara mereka, “sudah berapa kali kita mencoba membunuh orang-orang bercambuk itu. Namun kita tidak pernah berhasil. Bahkan kematian demi kematin telah menyusul. Dan yang terakhir, kakak beradik dari Pesisir Endut itu justru terbunuh oleh Pangeran Benawa.” “Tetapi apakah dengan demikian kita akan menghentikan usaha itu? Jika pada suatu saat terjadi benturan kekuatan, sementara orang-orang bercambuk itu masih ada. maka Mataram benar-benar memiliki kekuatan yang menggelisahkan. Orang-orang bercambuk itu memiliki kemampuan seperti para Adipati. Bahkan mungkin melampaui. Sedangkan mereka mempunyai sahabat-sahabat yangg menggetarkan.“ “Kekuatan mereka telah berkurang dengan Ki Sumangkar,“ desis orang yang berpakaian pedagang. “Ya. Tetapi yang lain masih tetap berbahaya. Kita harus membunuh mereka bersamaan dengan persiapan pasukan dalam keseluruhan,“ sahut yang lain. Katanya, Selanjutnya Sangkal Putung telah menjadi sumber tenaga disamping Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh. Setiap laki-laki adalah prajurit yang berbahaya. Tetapi tanpa Swandaru Kademangan yang besar itu akan lumpuh.” “Kita akan berpegang kepada rencana yang lama, yang sampai saat ini tidak berhasil. Tetapi terserah kepada kalian. Aku akan melaporkannya kepada Ki Tumenggung yang kelak akan menyampaikannya kepada Kakang Panji.” ***

Buku 116 ORANG-ORANG yang mengadakan pembicaraan itupun mengangguk-angguk. Tetapi nampaknya masih ada beberapa hal yang belum sesuai dihati masing-masing. Namun orang yang berpakaian petani itupun kemudian berkata, “Kita mempunyai kawan yang cukup banyak. Jika separo dari kawankawan kita mati, sebagai tebusan kematian orangorang bercambuk itu, kita masih mempunyai kekuatan yang cukup. Dendamku kepada anak muda yang bernama Agung Sedayu rasa-rasanya tidak akan dapat ditukar dengan kematian gurunya sekalipun.” “Apakah kau berhasil membakar hati saudara tua kakak beradik dari Pesisir Endut itu?” bertanya orang yang berpakaian pedagang. “Aku berusaha memindahkan dengan mereka dari Pangeran Benawa dan mengalihkannya kepada Agung Sedayu. Tetapi menurut kakang Carang Waja, kedua-duanya harus dimusnahkan. Meskipun demikian aku telah berhasil meyakinkannya, bahwa membunuh Agung Sedayu lebih penting artinya daripada membunuh Pangeran Benawa. Kematian Pangeran Benawa akan dapat memberikan perubahan pola berpikir Sultan Hadiwijaya yang nampaknya mulai mempercayai segala keterangan yang didengarnya dari banyak pihak, bahwa Mataram benar-benar akan melawan kekuasaan Pajang,“ jawab orang berpakaian petani itu. “Mudah-mudahan ia percaya. Jika Pangeran Benawa terbunuh, dan kita tidak berhasil melemparkan kesalahan itu kepada Mataram maka mungkin Sultan justru akan bersikap lain,“ berkata perwira Pajang yang ada diantara mereka, “aku sependapat. Untuk sementara kita kesampingkan dahulu Pangeran Benawa meskipun satu kali ia telah mencampuri persoalan ini. Tetapi menurut perhitunganku, masalahnya justru karena alasan perikemanusiaan semata-mata.” “Tetapi apakah kau yakin bahwa orang yang bernama Carang Waja itu memiliki kemampuan melampaui orang-orang bercambuk?” bertanya orang berpakaian pedagang. Orang yang berpakaian petani mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, “Mungkin sekali. Carang Waja adalah orang yang jarang sekali menampakkan diri. Jika saja kedua adik-adiknya tidak terbunuh, sulit bagi kita untuk melibatkannya. Namun seandainya ia hanya sampai kepada kematian Agung Sedayupun, dendam kita sudah dikurangi. Kematian Telengan. Tumenggung Wanakerti, Samparsada yang cacad dan Kelasa Sawit yang tidak berdaya dan kemudian terbunuh oleh Swandaru, adalah kematian yang telah membasahi tangan Agung Sedayu dengan darah mereka. Selebihnya, aku sendiri telah menyatakan kepada Carang Waja, bahwa aku akan melibatkan diri langsung dalam usaha pelepasan dendam ini.“ Kawan-kawannya yang mendengarkan kesanggupan orang berpakaian petani itu mengangguk-angguk. Nampaknya ia benar-benar berpengharapan bahwa orang berpakaian petani itu bersama-sama dengan kawannya yang disebutnya Carang

Waja akan dapat membalas dendam membunuh Agung Sedayu, Pangeran Benawa dan kemudian Raden Sutawijaya. “Aku akan menemui Carang Waja,“ berkata orang berpakaian petani itu, “aku harus menyampaikan segala keterangan yang diperlukan. Baru kemudian Carang Waja akan menyusun rencananya, ia tidak mau diperbodoh oleh keadaan seperti kedua adiknya dan orang-orang yang telah mati terdahulu.” Yang lain mengangguk-angguk. Kemudian salah seorang perwira yang ada ditempat itu berkata, “Pergilah. Pertemuan kita sudah cukup. Kita sudah mendapat gambaran dari peristiwa yang bakal datang. Kita akan menyampaikan kepada jalur yang akan sampai kepada kakang Panji. Ia harus mengetahui semua yang kita lakukan, agar tidak ada salah paham diantara kita semuanya.” Beberapa orangpun kemudian minta diri. Yang tinggal hanyalah tiga orang perwira prajurit Pajang. Seorang yang berkumis putih tersenyum sambil berkata, “Kita harus membakar dendam didada mereka.” Yang lainpun tertawa. Dengan suara datar ia menyahut, “Kita harus meyakinkan mereka, bahwa dendam mereka harus terbalaskan. Dengan demikian kita akan dapat memperalat mereka. Keadaan akan menjadi semakin kisruh. Sementara Mataram menjadi lemah. Agung Sedayu, gurunya dan Swandaru merupakan kekuatan yang penting bagi Mataram. Jika orang-orang itu tetap dibakar oleh dendam didalam dadanya, maka mereka akan menjadi tangan-tangan kita yang baik tanpa mereka sadari.” Ketiga orang perwira itu tertawa berkepanjangan. Mereka melihat orang-orang yang marah itu akan melakukan balas dendam tanpa memperhitungkan segala keadaan yang berkembang kemudian. Dengan janji dan harapan, dilandasi oleh dendam dan kemarahan, mereka merupakan kekuatan yang berbahaya bagi Pajang dan Mataram. Kematian-kematian disegala medan dan perang tanding, merupakan minyak yang tertuang kedalam api. Dalam pada itu, orang-orang yang meninggalkan para perwira itupun dengan tergesa-gesa menuju kesebuah rumah yang menjadi tempat mereka selalu bertemu dan berhubungan dengan para prajurit di Pajang. Mereka seolah-olah telah terbius oleh dendam dan harapan untuk mukti dengan warisan kerajaan Majapahit. Karena itulah maka mereka seakan-akan tidak dapat berpikir dengan bening, apakah yang mereka lakukan itu bermanfaat bagi mereka dan sesamanya, atau hanya sekedar sebagai pelepasan nafsu dan harapan-harapan yang kabur. Semantara itu, di Matarampun telah terjadi perjuangan pula. Tetapi Raden Sutawijaya bukan seorang yang sekedar didorong oleh nafsu dan harapan bagi dirinya sendiri. Ia melihat Mataram dan Pajang dalam keseluruhan. Bahkan wilayah yang tersebar dipasisir dan ujung pulau di sebelah Barat dan disebelah Timur.

Sementara mereka sibuk dengan rencana dan sikap masing-masing, maka Kiai Gringsing yang masih berada di Sangkal Putungpun menjadi gelisah. Ia sadar, bahwa Ki Waskita tidak akan lama lagi berada di Kademangan itu. Besok atau lusa, atau bahkan tiba-tiba saja, Ki Waskita akan minta diri dan kembali kepada keluarganya. Namun rencananya untuk menemukan orang yang bernama Jaka Warih cukup menggelisahkan Kiai Gringsing. Dimalam hari, menjelang tidur, didalam biliknya Kiai Gringsing merasa gelisah. Ketika ia bangkit dan duduk merenung, dilihatnya Agung Sedayu yang tidur diamben yang besar bersama Glagah Putih nampak nyenyak. Disebelah lain, diseberang dinding bambu, Ki Waskita dan Ki Widura agaknya sudah tertidur nyenyak pula. Diluar sadarnya Kiai Gringsing mengamat-amati lukisan yang ada ditangannya. Perlahan-lahan ia menarik nafas panjang sekali. Diwajahnya terbayang perasaan kecewa, betapapun ia mencoba melepaskannya. “Kenapa lukisan ini ada dipergelangan tanganku,“ desisnya didalam hati. Tetapi lukisan oleh luka seperti dipergelangan tangannya itu memang sulit untuk dihapuskan. Memang hal itu mungkin dilakukan dengan mengelupas daging dipergelangan itu, dan kemudian menyembuhkannya, meskipun akan berbekas dan menumbuhkan cacat kulit. Tetapi cacad yang demikian bukannya merupakan ciri dari salah satu pihak yang manapun juga. “Sekarang sudah terlambat,“ desis Kiai Gringsing. “Seandainya ia berusaha untuk menghapus lukisan dipergelangan tangannya itu, namun sudah ada orang yang pernah melihatnya. Dan justru orang-orang itulah yang mempunyai penilaian khusus terhadapnya, Ki Gede Menoreh dan Ki Waskita.” Hampir diluar sadarnya Kiai Gringsing bangkit berdiri. Perlahan-lahan ia melangkah kepintu. Dengan hati-hati ia mendorong pintu bilik digandok itu. Ketika pintu itu terbuka, terasa udara yang segar mengusap wajahnya. Sambil menarik nafas dalamdalam, ia melangkahi tlundak pintu untuk menghirup udara yang sejuk di halaman. Tetapi wajahnya berkerut, ketika saat ia mendorong pintu untuk menutupnya. Agung Sedayu nampaknya terbangun. Sambil mengangkat kepalanya, ia memandangi Kiai Gringsing yang berdiri dipintu. “Apakah Kiai akan keluar?” bertanya Agung Sedayu. Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Aku akan kepakiwan Agung Sedayu.”

Tetapi Agung Sedayu tidak meletakkan kepalanya lagi. Ia justru bangkit dan duduk dibibir pembaringannya, sementara Glagah Putih masih tetap tidur nyenyak. Sejenak Agung Sedayu termenung. Namun iapun kemudian bangkit dan berdiri termangu-mangu. Dipandanginya Glagah Putih yang tidur nyenyak. Ia masih melihat pintu terbuka sedikit, tetapi Kiai Gringsing sudah tidak nampak lagi didepan pintu yang masih menganga itu. Perlahan-lahan Agung Sedayu melangkah. Didorongnya daun pintu itu. Dan iapun melangkahi tlundak pintu pula. Dengan hati-hati Agung Sedayu menutup pintu biliknya. Udara memang terasa segar. Dan agaknya Kiai Gringsing benar-benar telah pergi ke pakiwan. Sejenak Agung Sedayu duduk diserambi. Di pintu regol ia melihat obor yang masih menyala. Lamatlamat ia melihat sesosok tubuh melintasi halaman. Agaknya para pengawal yang berada di gardu regol halaman. Agung Sedayu merasakan angin malam yang segar. Ketika ia memandang api obor diregol, maka mulai terbayang gardu-gardu yang tersebar disuluruh Kademangan Sangkal Putung. Anak-anak muda lebih senang berkumpul di gardu-gardu daripada di rumah masing-masing. Mereka dapat bergurau dan berkelakar. Jika mereka mengantuk, maka mereka dapat tidur berdesak-desakan sehingga dinginnya malam tidak terasa lagi ditubuh mereka. Sementara laki-laki yang lebih tua lebih senang tinggal di rumah dan menjaga milik masingmasing. Bagaimanapun juga, rumah dan harta yang ada dirumah harus mendapat pengawalan seperlunya. Agung Sedayu beringsut ketika ia melihat seorang anak muda melangkah mendekatinya. Agaknya para penjaga diregol melihat pintu biliknya terbuka, sehingga mereka melihat pula Agung Sedayu yang duduk diserambi. “Kau tidak dapat tidur Agung Sedayu?” bertanya anak muda itu sambil duduk disebelahnya. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Didalam terlalu panas.” “Kiai Gringsing turun pula kehalaman,“ berkata anak muda itu, “agaknya ia pergi ke pakiwan.” Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, “Ya. Agaknya gurupun tidak dapat tidur seperti aku.” “Apakah kau sama sekali belum tidur sejak sore? “ Agung Sedayu tertawa. Jawabnya, “Aku baru saja terbangun. Aku tidur sejak sore.”

Anak muda itu ikut tertawa pula. Katanya kemudian, “Malam terlalu sepi. Rasa-rasanya mataku tidak lagi dapat ku buka. Meskipun aku sudah berjalanjalan mengelilingi halaman ini sambil meronda, namun rasa-rasanya kantukku bagaikan mencengkam. Bukan aku sendiri, tetapi semua petugas dimalam hari ini. Anehnya, tidak banyak anak-anak muda yang tidur digardu. Hanya bebera orang. Padahal biasanya lebih dari sepuluh orang.” “Kalian terlalu lelah. Dalam beberapa hari ini kalian bekerja keras,“ sahut Agung Sedayu. Anak muda itu mengangguk. Namun kemudian katanya, “Hampir setiap hari aku bekerja keras. Jika tidak terjadi apa-apapun aku tetap bekerja keras disawah. Tetapi aku tidak pernah merasa lelah seperti ini.” “Sebaiknya kalian bergantian beristirahat,“ berkata Agung Sedayu, “separo dari kalian yang ada di gardu itu tidur. Kemudian bergantian yang lain.” Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya, “Kami sudah mencoba. Sekarang beberapa orang sedang tidur. Tetapi rasa-rasanya mata ini seperti kena sirep.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa ada orang yang mampu melepaskan pengaruhnya sehingga menyebabkan orang lain kehilangan pengamatan diri. Beberapa orang menyebutnya sebagai ilmu sirep. Dan tidak mustahil bahwa ada orang yang melakukannya di Sangkal Putung. Namun Agung Sedayupun mengerti, bahwa jiwa yang kuat dan kesadaran pribadi yang tinggi, tidak akan dapat terkena oleh pengaruh sirep yang bagaimanapun kuatnya. “Aku akan berkeliling halaman,“ berkata anak muda itu, “jika aku lebih lama lagi duduk disini, aku akan tertidur.” “Kau dapat mencegah kantukmu. Pergilah ke dapur. Mungkin masih ada makanan yang dapat kau makan dengan sambal.” Anak muda itu tersenyum. Tetapi iapun kemudian bangkit berdiri dan berjalan turun kehalaman dengan langkah gontai. Meskipun demikian tangannya tidak terlepas dari hulu pedangnya yang tersangkut dilambung. Sepeninggal anak muda itu Agung Sedayu mulai merenungi malam yang memang terasa sangat sepi. Dikejauhan terdengar burung malam bagaikan memekik ketakutan. Angin yang bertiup menyusup

pendapa telah bermain dengan api lampu minyak yang berayun-ayun. Tiba-tiba saja dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Bahkan iapun mulai bertanya kepada diri sendiri, “Apakah benar seseorang telah melontarkan ilmu sirep diatas halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung?” Agung Sedayu berpaling ketika ia mendengar desir langkah mendekat. Ternyata gurunya telah muncul disudut longkangan. “Malam mulai terasa dingin,“ gumam Kiai Gringsing. “Ya guru,“ jawab Agung Sedayu termangu-mangu. “Kau tidak mengantuk?” bertanya gurunya. Agung Sedayu mengerutkan keningnya, ia sedang memikirkan ilmu sirep, sehingga diluar sadarnya ia telah menghubungkan pertanyaan gurunya dengan angan-angannya. “Apakah perasaan kantuk malam ini agak berlebih-lebihan guru?” bertanya Agung Sedayu. Gurunya termangu-mangu sejenak. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Kenapa kau bertanya begitu?” Agung Sedayu memandang gurunya sejenak. Dengan ragu-ragu ia berdesis, “Apakah ada ilmu sirep yang sangat tajam guru?” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Sejenak ia tertegun. Namun kemudian iapun duduk disamping Agung Sedayu sambil menjawab, “Ilmu semacam itu banyak dikenal orang, Agung Sedayu. Seperti ilmu yang lain, maka tentu ada tatarannya. Ada yang ringan, tetapi mereka yang berilmu tinggi, maka pengaruh ilmunya juga terasa sangat tajam.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Secara tidak langsung gurunya pernah memberi beberapa petunjuk, sehingga ia akan dapat tetap bertahan dalam kesadaran, betapapun pengaruh ilmu semacam itu mencengkamkan dirinya. Apabila dikehendaki. Agung Sedayu akan dapat bertahan meskipun perasaan itu datang bukan saja karena kekuatan ilmu seseorang, tetapi datang dari dirinya sendiri. Agung Sedayu yang sedang berangan-angan tentang ilmu sirep itu berpaling ketika gurunya bertanya, “Apakah kau merasakan sesuatu pada kesadaranmu sekarang ini ? Maksudku, apakah kau menduga bahwa sekarang seseorang telah menyebarkan sirep di Kademangan Sangkal Putung ?” Sejenak Agung Sedayu merenung. Namun kemudian jawabnya, “Para peronda telah dicengkam oleh perasaan kantuk dan sepi. Mereka biasanya tidak pernah mengeluh dalam tugasnya, tetapi malam ini

mereka seolah-olah tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Baru saja seorang diantara mereka duduk di amben ini. Kemudian berjalan mengelilingi halaman dan kebun, sekedar untuk mengusir kantuk.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Bagaimana dengan kau sendiri ?” Agung Sedayu termangu-mangu. Dengan ragu-ragu ia menjawab, “Guru. Aku masih agak sulit membedakan, apakah kantukku sekarang ini karena ilmu sirep seseorang, atau justru karena aku baru saja terbangun dari tidur yang nyenyak.” Kiai Gringsing tertawa. Katanya, “Baiklah. Kau tidak akan dapat terlepas dari pengaruh perasaan kantuk dari manapun datangnya. Dan kau memang memerlukan waktu untuk mengetahui, apakah perasaan itu datang dari dirimu sendiri atau oleh pengaruh diluar dirimu. Itu bukan perkara yang sulit bagimu. Tetapi kau memang perlu memusatkan inderamu untuk menanggapi sentuhan pada simpulsimpul syarafmu.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia seharusnya mengetahui apa yang sebaiknya dilakukan dalam keadaan seperti itu. Tetapi sudah barang tentu tidak diserambi. Dalam pemusatan indera, maka gangguan-gangguan yang kecil akan dapat memecahkan daya pemusatannya. Mungkin seorang peronda datang mendekatinya atau menyapanya dari halaman. “Cobalah sekarang kau cari sumber perasaan kantukmu itu,“ berkata Kiai Gringsing, “aku disini. Jika ada orang lain datang mendekat, biarlah aku yang menemuinya.” Agung Sedayu termangu-mangu. Namun katanya, “Aku akan masuk kedalam guru.” “Lakukanlah. Tetapi jika Glagah Putih Terbangun, maka kau akan gagal. Mudah-mudahan ia akan tetap tidur nyenyak,“ berkata Kiai Gringsing. Agung Sedayu termangu-mangu. Sejenak ia membuat pertimbangan. Namun kemudian katanya, “Ia akan tetap tidur nyenyak guru.” “Jika begitu, masuklah.” Agung Sedayupun kemudian meninggalkan tempatnya, masuk kedalam biliknya. Glagah Putih ternyata masih tetap tidur dengan nyenyaknya. Sejenak Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Namun iapun kemudian duduk dipembaringan. Dengan cermatnya ia mengatur diri dalam penjajagannya, apakah ia telah dikenai pengaruh dari luar dirinya atau yang dirasakannya sekedar karena ia memang sangat letih. Untuk menentukan pertimbangan yang jernih, dicobanya untuk menghapuskan segala pengaruh dan pertimbangan yang didengarnya dari anak muda yang sedang bertugas di gardu, dan yang telah datang kepadanya saat ia duduk diserambi gandok.

Sejenak Agung Sedayu duduk sambil berdiam diri. Dengan dasar-dasar yang pernah di pelajarinya dari gurunya, ia menelusuri dirinya dengan rabaan ilmunya. Beberapa saat ia duduk berdiam diri. Bahkan kadang-kadang terpejam, sementara pernafasannya menjadi teratur seperti orang yang sedang tidur nyenyak. Diluar Kiai Gringsing duduk sendiri. Disapunya halaman yang gelap itu dengan tatapan matanya yang tajam. Tetapi tidak melihat sesuatu. Diregolpun ia tidak lagi melihat pengawal yang berjalan hilir mudik. Kiai Gringsing itupun menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia bangkit. Tetapi ia tidak meninggalkan tempatnya, karena ia tahu bahwa didalam bilik di gandok itu. Agung Sedayu sedang memusatkan inderanya untuk mengetahui pengaruh yang ada didalam dirinya. Sesaat kemudian Kiai Gringsing berpaling. Agung Sedayu sudah berdiri di pintu biliknya. “Tutuplah. Dan duduklah disini.“ Agung Sedayu mendorong pintu biliknya dan kemudian duduk disamping Kiai Gringsing di serambi gandok. “Apakah yang kau ketemukan pada dirimu?” bertanya Kiai Gringsing. “Ada sesuatu yang asing bagiku guru,“ jawab Agung Sedayu. “Kesimpulanmu ? “ “Agaknya di Kademangan Sangkal Putung benar-benar telah disebarkan ilmu sirep sekarang ini.” Kiai Gringsing tersenyum. Namun sebelum ia berkata sesuatu, terdengar pintu bilik disebelah berderit. Ketika Ki Waskita kemudian melangkah keluar, maka iapun tersenyum sambil berkata, “Aku mendengar percakapan kalian. Dan aku tahu apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu. Perasaannya benar-benar tajam. Ia telah menemukan kelainan suasana malam ini.” Agung Sedayupun menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Sementara itu Ki Waskita yang kemudian disusul oleh Ki Widura telah duduk diserambi pula bersama Agung Sedayu dan gurunya. Sementara itu Agung Sedayu termangu-mangu. Betapa kuat kesadaran diri Ki Waskita dan Ki Widura. Justru pada saat mereka sedang tertidur, mereka menjadi sadar ketika kekuatan sirep menyentuh simpul-simpul syaraf mereka. “Kiai,“ berkata Ki Waskita, “aku sependapat dengan Agung Sedayu. Agaknya telah disebarkan sirep diatas Kademangan Sangkal Putung.”

“Sirep yang tajam,“ sambung Ki Widura, “jika Ki Waskita tidak membangunkan aku, mungkin aku masih tetap tertidur nyenyak. Bahkan semakin nyenyak.” Agung Sedayu mendengarkan pembicaraan itu dengan dada yang berdebar-debar. Jika benar ada sirep yang kuat di Kademangan Sangkal Putung, maka tentu ada sumber kekuatan sirep itu. Ternyata bahwa bukan saja Agung Sedayu yang cemas. Sementara Kiai Gringsing yang semula nampak tenang saja menghadapi sirep itu, mulai nampak bersungguh-sungguh. “Sirep ini benar-benar tajam,” desisnya, “adalah kebetulan bahwa Agung Sedayu terbangun karena derit pintu yang aku buka. Jika tidak maka iapun kini tentu masih tertidur seperti Swandaru. Jika tidak ada sesuatu yang membangunkannya, maka ia akan tidur semakin nyenyak.” “Jadi?” bertanya Agung Sedayu. “Kita akan membangunkannya. Swandaru, Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Ki Demang. Mungkin kita memang harus berjaga-jaga,“ desis Kiai Gringsing. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku akan membangunkan mereka.” Ketika Agung Sedayu berdiri dan melangkah di longkangan. Gurunya bangkit pula sambil berkata, “Dalam jarak selangkah, mungkin saja terjadi sesuatu dalam keadaan seperti ini. Marilah, aku antar kau kepintu butulan.” Agung Sedayu dan Kiai Gringsingpun kemudian berjalan dengan hati-hati kepintu butulan. Di longkangan dalam ia melihat anak-anak muda tertidur diserambi. “Pintu tidak diselarak Kiai,“ desis Agung Sedayu. “Semua orang telah tertidur. Masuklah, dan bangunkanlah Swandaru dengan hati-hati.” Agung Sedayu mendorong pintu butulan dan kemudian melangkah masuk. Kiai Gringsing yang semula berdiri saja dimuka pintupun kemudian masuk pula keruang dalam. Didapur nampak beberapa orang perempuan tidur nyenyak pula. Sementara disetiap bilik sama sekali tidak terdengar lagi suara seorang yang masih terbangun. Dengan hati-hati Agung Sedayu mengetuk pintu bilik Swandaru yang tertutup. Sekali, dua kali, dan kemudian berkali-kali. Agaknya Swandaru memang tertidur nyenyak sekali. Ternyata indera Pandan Wangi masih lebih tajam dari indera suaminya yang tertidur nyenyak sekali. Dengan agak terkejut Pandan Wangi bangkit dan berdesis, “Siapa ?” “Aku. Agung Sedayu,“ jawab Agung Sedayu, “bangunlah dan bangunkan suamimu.“

“Kenapa ?” “Guru ingin berbicara.” Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun membangunkan Swandaru yang tidur seperti sedang pingsan. “Ada apa ?” bertanya Swandaru sambil menggosok matanya. “Kiai Gringsing ada diluar.” “He,“ Swandarupun meloncat dari pembaringannya. Ia sadar, bahwa tentu ada yang penting terjadi. Namun matanya rasa-rasanya masih saja akan terpejam. Bahkan setelah ia berdiri sejenak, rasa-rasanya ia ingin menjatuhkan dirinya kembali dipembaringan. “Mataku tidak mau terbuka,“ desisnya. “Aku juga,“ sahut Pandan Wangi, “rasa-rasanya seperti sedang mimpi saja.” Agaknya percakapan itu didengar oleh Agung Sedayu yang diluar. Karena itu maka katanya, “Justru karena itu guru memanggil adi Swandaru.” Swandaru mencoba untuk memaksa dirinya melangkah keluar. Ketika ia berada dipintu, maka dengan segannya ia mendorong daun pintu itu. Kiai Gringsing ternyata telah berdiri didekat pintu itu pula. Dengan suara datar Kiai Gringsing berkata, “Swandaru. Cobalah kau lawan perasaan kantukmu. Cobalah melihat, apakah perasaan kantukmu itu wajar.” “He ?,“ Swandaru mengerutkan keningnya. Namun peringatan gurunya telah menggerakkan hatinya untuk berbuat sesuatu pada dirinya sendiri, seperti juga Pandan Wangi. “Apakah ada sesuatu yang tidak wajar Kiai ?” bertanya Pandan Wangi. “Pertahankan kesadaranmu. Kau harus berjuang melawan perasaan kantuk yang bukan saja menyerang kau berdua, tetapi seisi Kademangan Sangkal Putung.” Swandaru menggeretakkan giginya. Dengan nada geram ia berkata, “Maksud guru, seluruh Kademangan telah terkena sirep ?” “Ya. Juga kau dan Pandan Wangi.” Pandan Wangi melangkah mendekat sambil membenahi rambutnya. “Jika demikian, apakah Sangkal Putung berada dalam bahaya?”

“Belum pasti,” jawab Kiai Gringsing, “tetapi kita harus berhati-hati. Apakah Sekar Mirah sedang tidur?” “Ya Kiai. Nampaknya tidurnya sudah mulai nyenyak. Atau justru karena pengaruh sirep ini juga,“ jawab Pandan Wangi. “Sebaiknya kau bangunkan juga gadis itu. Tetapi hati-hati, jangan mengejutkannya. Sementara Swandaru sebaiknya membangunkan Ki Demang yang tentu tertidur nyenyak pula.” Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia melangkah kepembaringannya untuk mengambil senjatanya yang diletakkannya dibawah tikar. Sambil berjalan meninggalkan biliknya menuju kebilik ayahnya ia berkata kepada Pandan Wangi, “Berhati-hatilah. Siapa tahu bahaya sudah berada diambang pintu.” Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Namun kemudian dipandanginya Agung Sedayu dan Kiai Gringsing dengan tatapan wajah yang penuh keragu-raguan. Kiai Gringsing pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Baiklah. Aku dan Agung Sedayu akan menunggu dipintu butulan.” Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Namun ketika Agung Sedayu dan Kiai Gringsing melangkah keluar, maka iapun segera menutup pintu biliknya. Pandan Wangi tidak memerlukan waktu terlalu lama. Sebentar kemudian ia sudah membuka pintu biliknya kembali. Namun ketika ia melangkah keluar, maka ia sudah mengenakan pakaian khususnya dan pedang dilambung. Dengan hati-hati Pandan Wangi memasuki bilik Sekar Mirah yang memang tidak diselarak. Di atas tikar yang terbentang dilantai, seorang perempuan tidur dengan nyenyaknya menunggui Sekar Mirah yang kadang-kadang masih gelisah. Tetapi Sekar Mirah sudah tidak mau lagi ditunggui oleh Pandan Wangi seperti pada malam-malam ia ditinggalkan oleh gurunya. Pandan Wangi tidak mengusik perempuan itu. Perempuan itu tentu tidak mempunyai kemampuan apapun juga untuk melawan sirep yang tajam. Karena itu, ia tidak menghiraukannya sama sekali. Perlahan-lahan Pandan Wangi duduk dipembaringan Sekar Mirah. Kemudian disentuhnya ujung ibu jari kakinya dengan sentuhan khusus. Sentuhan itu lelah membangunkan Sekar Mirah. Tetapi seperti yang lain, maka Sekar Mirah seakanakan tidak berhasil menguasai perasaannya. Matanya seakan-akan sama sekali tidak mau terbuka.

“Sekar Mirah,“ desis Pandan Wangi. Sekar Mirah bergeser. Tetapi ia masih saja memejamkan matanya. Sekali lagi Pandan Wangi menyentuh Sekar Mirah. Tidak lagi di ibu jari kakinya, tetapi pada pergelangan tangannya. Sekar Mirah membuka matanya. Dengan setengah sadar ia melihat Pandan Wangi tersenyum memandanginya. “Bangunlah Mirah,“ desis Pandan Wangi. “O,” Sekar Mirah berdesis, “apakah sudah pagi ? “ Pandan Wangi menggeleng. Jawabnya, “Masih jauh malam. Tetapi ada sesuatu yang memaksa kita bangun malam ini.” Jawaban Pandan Wangi menarik perhatian Sekar Mirah. Meskipun sambil memaksa diri ia bangkit dan duduk disamping Pandan Wangi. Namun ketika tangannya menyentuh hulu pedang Pandan Wangi ia terkejut. Setapak ia bergeser sambil mengamati Pandan Wangi dalam pakaian khususnya. “Kenapa kau? “ Sekar Mirah bertanya. Tetapi ia menjadi agak tenang ketika ia masih melihat Pandan Wangi tersenyum. “Sekar Mirah,“ berkata Pandan Wangi sareh, “cobalah kau mengamati perasaan kantukmu yang tidak wajar. Kita semua telah terbius oleh perasaan kantuk dari kekuatan ilmu sirep.” “He? “ sekali lagi Sekar Mirah terkejut. Namun justru karena hentakkan-hentakkan itulah, maka kantuknya sudah mulai berkurang. “Cobalah pertahankan dirimu,“ berkata Pandan Wangi kemudian. Sekar Mirah adalah gadis yang memiliki kelebihan dari gadis-gadis kebanyakan. Karena itulah maka iapun kemudian mencoba untuk melawan pengaruh ilmu yang dibaurkan diatas Kademangan Sangkal Putung itu. “Mirah,“ berkata Pandan Wangi kemudian, “bersiap-siaplah. Meskipun barangkali tidak akan terjadi apa-apa di Kademangan ini, namun bahwa seseorang telah menyebarkan ilmu sirep ini, agaknya telah memaksa kita untuk berhati hati.” Sekar Mirah tidak menjawab. Iapun kemudian berdiri menutup dan menyelarak pintu biliknya. Dengan cepat ia mengenakan pakaian seperti yang dipakai oleh Pandan Wangi.

“Aku sudah siap,“ berkata Sekar Mirah, “apakah kita akan keluar kependapa?” “Kiai Gringsing dan Agung Sedayu ada dibutulan. Kakang Swandaru telah membangunkan Ki Demang. Mungkin mereka berada diruang dalam sekarang.” Sekar Mirah mengangguk-angguk. Sambil mengambil senjatanya yang diterimanya dari gurunya ia berkata, “Marilah. Biarlah bibi tidur nyenyak di bilik ini sendiri.” Keduanyapun kemudian keluar dari dalam bilik. Mereka menemui Kiai Gringsing dan Agung Sedayu diruang dalam dimuka pintu butulan bersama Ki Demang dan Swandaru. “Apakah yang akan kita lakukan sekarang?” bertanya Ki Demang. “Sebaiknya Ki Demang, Pandan Wangi dan Sekar Mirah berada di ruang dalam. Biarlah kami melihat-lihat di halaman,“ jawab Kiai Gringsing. “Bagaimana dengan Ki Waskita dan Ki Widura?” bertanya Ki Demang. “Mereka duduk diserambi gandok. Mereka sudah menyadari bahwa ada pengaruh sirep sekarang ini. Para pengawal nampaknya telah terkena pengaruhnya. Salah seorang telah berusaha melawannya dengan berbagai cara,“ sahut Agung Sedayu, “tetapi ketika mereka menemui aku, mereka belum tahu. bahwa mereka telah tersentuh pengaruh ilmu sirep.” Ki Demang mengangguk-angguk. Kemudian jawabnya, “Baiklah. Kami akan berada diruang dalam.” “Sediakan alat isyarat. Mungkin kita memerlukannya. Jika ada satu dua orang yang terlepas dari pengaruh ini, mereka akan mendengar jika isyarat itu kita bunyikan,“ berkata Swandaru. “Tetapi sirep ini terlalu kuat. Mungkin para pengawal diseluruh Kademangan. setidak-tidaknya seluruh padukuhan induk ini sudah teriidur.” Tetapi Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tentu tidak. Betapapun kuatnya pengaruh sirep, tetapi sirep tidak akan dapat mencengkam daerah seluas itu. Seluas padukuhan induk.” Sekar Mirah memandang Kiai Gringsing dengan bimbang. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk. Ia percaya bahwa Kiai Gringsing tentu memiliki

pengamatan yang lebih jelas dari orang lain. Dalam pada itu Kiai Gringsingpun kemudian berkata, “Karena itu, maka jika kau membunyikan kentongan, maka para pengawal di gardu-gardu diujung padukuhan tentu dapat mendengarnya.” Ki Demang mengangguk-angguk. Dan iapun kemudian menutup pintu butulan ketika Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Swandaru keluar menuju ke serambi gandok. “Jangan tertidur lagi,“ desis Ki Demang. “Aku sudah tidak merasa kantuk lagi ayah,“ sahut Sekar Mirah. “Bagus. Duduklah diruang tengah. Aku akan. melihat-lihat ruang depan.” “Apakah ayah akan kependapa?” bertanya Sekar Mirah. “Tidak. Aku akan tetap berada didalam rumah.” Sekar Mirah dan Pandan Wangipun kemudian duduk diruang dalam. Dengan kekuatan dan ketahanan mereka, kedua perempuan itu melawan perasaan kantuk yang rasa-rasanya masih saja menyentuhnya. Untuk melepaskan diri dari ketegangan, maka Pandan Wangipun kemudian berjalan diseputar ruang dalam dan ruang belakang. Ia melihat-lihat pintu-pintu yang masih tertutup, apakah selaraknya telah terpasang. Ia menyadari,bahwa puitu butulan tentu tidak diselarak saat Agung Sedayu dan Kiai Gringsing memasuki rumah itu dari longkangan, karena biasanya anak-anak muda yang berada di longkangan masih hilir mudik masuk keluar pintu membenahi barang-barang dan alat-alat jamuan. Namun agaknya perempuan yang biasanya menutup pintu butulan itu telah tertidur didapur sebelum ia menyelarak pintu butulan itu. Ketika terpandang olehnya dakon disudut ruang belakang, maka dakon itu diambilnya dan kemudian dibawanya keruang dalam. “Kita cegah kantuk kita dengan dakon,“ berkata Pandan Wangi. Sekar Mirahpun mengangguk sambil menjawab, “Marilah. Setiap biji kekalahan, kita akan saling mencubit.” “Ah. jari-jarimu seperti ujung tongkat besi bajamu. Siapa yang kalah sampai tiga kali berturut-turut harus memijit yang menang.” Sekar Mirah tersenyum. Ia tidak menjawab. Tetapi iapun segera menempatkan diri. Sejenak kemudian kedua perempuan itu telah mulai bermain dakon. Nampaknya memang ganjil. Keduanya

mengenakan pakaian yang khusus dengan senjata masing-masing. Namun keduanya masih juga sempat bermain dakon dengan kelungsu. Diluar, Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Swandaru telah berada di serambi gandok. Ki Waskita dan Ki Widura masih duduk ditempatnya, seolah-olah keduanya sama sekali tidak beringsut. “Apakah kalian melihat sesuatu?” bertanya Kiai Gringsing. Keduanya menggeleng. Sementara Ki Waskita menjawab, “Malam memang terlalu sepi. Sirep ini memang kuat sekali.” “Aku akan melihat para pengawal di gardu-gardu itu, “gumam Swandaru. Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya kepada Agung Sedayu, “Sertailah adikmu.” Agung Sedayu mengangguk. Dan iapun kemudian mengikuti Swandaru melintasi halaman menuju ke gardu didepan regol. Tetapi seperti yang mereka duga, para pengawal telah tertidur nyenyak. Seorang diantara mereka bersandar dinding dengan pedang telanjang ditangan. Agaknya ialah yang mendapat giliran berjagajaga. Tetapi matanya tidak mau dibukanya lagi. Sementara yang seorang lagi duduk diatas batu bersandar sebatang pohon disebelah gardu itu. Ditangannya masih tergenggam tangkai tombak yang tersandar pula pada dinding gardu. “Mereka bagaikan mati,” geram Swandaru. “Kita akan mencoba membangunkan mereka,“ berkata Agung Sedayu. “Apakah mungkin? Memang mereka akan dapat terbangun, tetapi sejenak kemudian mereka akan tertidur lagi, karena mereka tidak mampu melawan kekuatan sirep yang keras ini.” Agung Sedayu termangu-mangu. Namun iapun kemudian mendekati pengawal yang duduk diatas batu dan tidur bersandar sebatang pohon. Ia adalah anak muda yang telah berusaha untuk melawan perasaan kantuknya. Dengan hati-hati Agung Sedayu mencoba mengguncang tubuh anak muda itu. Namun hampir saja anak muda itu justru jatuh terjerembab. Dan ketika ia berhasil memperbaiki duduknya, maka matanya telah terpejam lagi. “Memang sulit,” desis Agung Sedayu. “Jika demikian, kita harus berada disisi menggantikan mereka yang sedang meronda. Kita tidak dapat

mengharapkan mereka lagi, karena mereka nampaknya tidak berdaya sama sekali.” berkata Swandaru. Agung Sedayu mengangguk. Tetapi ia berdesis, “Aku akan memberitahukan kepada guru, bahwa aku akan berada disini bersamamu.” Swandaru mengerutkan keningnya. Ia bukan seorang penakut, tetapi ia menyadari, bahwa tentu ada kekuatan yang luar biasa yang berada di padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung. Sehingga karena itulah maka ia mencemaskan dirinya sendiri dan juga Agung Sedayu Meskipun hanya melintasi halaman Kademangan, tetapi mungkin dapat terjadi sesuatu yang gawat. Karena itu, maka katanya, “marilah, kita pergi bersama-sama, kita harus berhati-hati menghadapi keadaan seperti ini.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun iapun segera menyadarinya pula. Maka jawabnya, “Baiklah. Setiap kemungkinan memang dapat terjadi.” Demikianlah kedua orang itupun bersama-sama melintasi halaman sekali lagi menuju ke serambi gandok menemui orang-orang tua yang berada diserambi itu. “Kami akan menggantikan para peronda,“ berkata Swandaru. Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Tetapi berhati-hatilah. Jangan tercengkam oleh pengaruh sirep yang kuat ini. Jika kalian tertidur pula, maka akan terjadi malapetaka atas kalian berdua.” Swandaru mengangguk sambil menjawab, “Kami akan bertahan.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Kemudian dilepasnya kedua muridnya itu pergi kegardu untuk menggantikan para peronda yang agaknya tidak segera dapat melakukan lugas mereka. Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru tidak berada didalam gardu. Mereka berdiri disebelah menyebelah regol halaman bersandar dinding. Meskipun belum berada didalam genggaman, namun mereka telah siap mengurai senjata masing-masing. Sementara untuk memberikan kesan seolah-olah mereka adalah para peronda, maka ditangan kiri mereka tergenggam tangkai tombak panjang yang dipungutnya dari para peronda yang tertidur. Sepeninggal kedua muridnya, maka Kiai Gringsingpun duduk pula bersama Ki Waskita dan Ki Widura. Dari serambi gandok mereka dapat melihat sebagian besar dari halaman Kademangan. Jika seseorang melintas, maka mereka akan dapat mengetahuinya, sementara orang yang berada dihalaman akan tidak mudah melihat mereka yang ada diserambi jika lampu minyak diserambi itu dipadamkan. Agaknya ketiga orang itupun menganggap bahwa lampu minyak tidak mereka perlukan lagi diserambi, sehingga Kiai Gringsingpun telah memadamkannya.

“Apakah kita akan tetap disini?” bertanya Ki Waskita kemudian. “Kita akan melihat-lihat berkeliling,“ berkata Ki Widura. Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun ia merasa perlu untuk tetap mengawasi halaman dan meskipun tidak begitu jelas, dari tempatnya ia dapat melihat keregol halaman yang diterangi oleh lampu obor yang samar-samar. “Silahkan,“ berkata Kiai Gringsing, “aku akan mengawasi keadaan dari tempat ini.” Ki Waskita mengangguk-angguk. Kepada Ki Widura ia berkata, “Marilah Ki Widura, kita menghirup udara segar dibawah pengaruh sirep ini. Mungkin ada sesuatu yang perlu kita lihat dibelakang.” Ki Widurapun kemudian berdiri pula ketika Ki Waskita bangkit. Keduanyapun kemudian melangkah turun dari serambi, lewat longkangan langsung menuju kehalaman samping. Sementara Kiai Gringsing masih tetap duduk ditempatnya, diserambi yang gelap. Didalam rumah, diruang tengah Sekar Mirah dan Pandan Wangi masih asyik bermain dakon. Bergantiganti mereka kalah dan menang. Demikian asyiknya, sehingga mereka tidak menyadari bahwa waktu merangkak terus, menghunjam kepusat malam yang sepi. Sekar Mirah menjadi kesal ketika biji keciknya tertumpah dari genggaman, sehingga tiba-tiba saja ia bertanya, “Apakah kita masih akan meneruskan permainan ini?” Pandan Wangi tersenyum, jawabnya, “Kali ini kau seharusnya kalah mutlak.” “Belum tentu. Aku masih dapat berjalan beberapa langkah dilubang-lubang dakonmu. Satu pikulan akan membuat aku menutup kekalahanku.” Pandan Wangi tertawa. Katanya, “Tidak mungkin. Kecikku sudah tidak banyak lagi.” Sekar Mirah memberengut. Jawabnya, “Aku mau bermain terus. Tetapi diulang dari awal.” Pandan Wangi tertawa semakin keras. Katanya, “Kau nakal sekali.” Namun tiba-tiba keduanya bagaikan teringat sesuatu. Sekar Mirah memandang berkeliling sambil berdesis, “Dimana ayah?” “Ya. Dimana?” bertanya Pandan Wangi. Keduanya termangu-mangu. Namun Sekar Mirah berkata, “Ayah mengelilingi setiap bilik dirumah ini.” “Tetapi sudah cukup lama.”

“Ya. Seharusnya ayah sudah berada disini lagi sekarang. Atau barangkali ayah memang sengaja berada diruang depan, dibelakang pringgitan. sehingga ia dapat mendengar apa yang terjadi di pendapa.” “Marilah kita lihat,“ tiba-tiba saja Pandan Wangi berdesis. Keduanyapun kemudian berdiri. Dengan hati-hati mereka melangkah memasuki ruang dibagian depan. Tetapi mereka tidak menemukan Ki Demang di ruang itu. “Apakah ayah keluar menyusul Kiai Gringsing?” bertanya Sekar Mirah. “Jika demikian, apakah kita akan mencarinya ke gandok?,“ sahut Pandan Wangi. “Kita lihat dahulu setiap bilik. Jika ayah keluar, ia tentu mengatakannya kepada kita.” Keduanya termangu-mangu sejenak. Namun merekapun segera melangkah memasuki setiap bilik didalam rumah itu. Bilik-bilik yang pintunya terbuka atau tidak diselarak. Dibilik Sekar Mirah, perempuan yang tertidur diatas tikar yang terbentang dilantai sejak Sekar Mirah dan Pandan Wangi meninggalkannya. Kemudiaan mereka melihat bilik-bilik yang lain. Satu demi satu. Namun tiba-tiba langkah mereka tertegun ketika mereka memasuki bilik kanan diruang depan. Sejenak keduanya terhenti dipintu bilik. Mereka melihat Ki Demang terbaring di amben bambu didalam bilik yang jarang dipergunakan itu. “Ayah,“ desis Sekar Mirah. Pandan Wangi tertegun tegang. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati Ki Demang diikuti oleh Sekar Mirah. “Kenapa ayah?” bertanya Sekar Mirah dengan suara bergetar. “Nampaknya tidak apa-apa,“ sahut Pandan Wangi, “pernafasannya berjalan teratur.” Sekar Mirah tiba-tiba saja meloncat mendekat. Dirabanya tangannya yang hangat. “Ayah tertidur,“ desis Sekar Mirah, “ia tidak dapat melawan kekuatan sirep ini.” Pandan Wangi termangu-mangu. Namun kemudian sambil mengangguk-angguk ia menjawab, “Ya.

Ternyata sirep ini benar-benar kuat. Sokurlah jika Ki Demang tidak mengalami sesuatu.” Sekar Mirah justru tertawa. Diguncangnya ayahnya sambil berkata, “Ayah. Apakah ayah sudah tidak dapat mengatasi cengkaman sirep ini, he?” Perlahan-lahan Ki Demang membuka matanya. Tetapi setelah menggeliat iapun memejamkan matanya lagi. “Ayah, ayah.“ Sekar Mirah mengguncang tubuh ayahnya semakin keras. Sekali lagi Ki Demang membuka matanya. “Ayah harus berusaha melawan sirep ini. Mungkin ada sesuatu yang akan terjadi di Kademangan ini.” Ki Demang mendengar kata-kata anaknya itu. Karena itu, maka iapun kemudian bangkit dan duduk di tepi amben. “Ayah tertidur lagi.” “Ya,“ sahut ki Demang, “aku tidak berhasil membebaskan diri.” “Tentu ayah akan berhasil jika ayah memusatkan kekuatan lahir dan batin. Cobalah ayah. Marilah, kita melihat-lihat segenap ruang di rumah ini. Mungkin dengan demikian ayah akan dapat mengatasi sirep yang tajam ini.” Ki Demang memaksa dirinya untuk bangkit. Ia mencoba melawan pengaruh sirep itu dengan sekuat tenaga lahir dan batinnya. Dengan mengerahkan segenap tenaganya ia melangkah menuju kepintu. Namun kadang-kadang rasa-rasanya matanya bagaikan tidak dapat dikuasainya sama sekali. Tetapi lambat laun, Ki Demang berhasil berdiri tegak dan melangkah dengan tetap. Ia sudah mampu mengalasi kesulitan yang terbesar dan mengalahkan perasaan kantuknya. “Ternyata aku menjadi lengah. Ketika aku melihat bilik-bilik dan semua pintu, tiba-tiba saja aku tidak dapat menahan keinginanku untuk sekedar berbaring. Tetapi ternyata aku menjadi tertidur dan tidak mengerti lagi apa yang terjadi.“ ia berhenti sejenak, lalu, “tetapi bukankah tidak ada sesuatu yang terjadi selama aku tertidur lagi?” “Didalam rumah ini tidak ayah. Tetapi entahlah diluar. Namun aku sama sekali tidak mendengar sesuatu, atau isyarat apapun juga. Agaknya diluarpun tidak terjadi sesuatu.” Ki Demang mengangguk-angguk. Iapun kemudian mengikuti kedua perempuan itu mengelilingi setiap ruangan didalam rumahnya dan melihat setiap pintu, apakah sudah diselarak. Dalam pada itu, Ki Waskita dan Ki Widura telah berada di halaman belakang. Meraka berhenti

sejenak disudut kandang. Tetapi mereka tidak mengejutkan kuda yang sedang berada didalam kandang itu. “Nampaknya memang terlalu sepi,“ berkata Ki Widura. “Perasaan kita agaknya telah terpengaruh oleh ilmu sirep yang tajam itu Ki Widura. Mungkin biasanya di Belakang rumah Ki Demang ini juga sesepi sekarang,“ jawab Ki Waskita. Ki Widura tersenyum. Dipandanginya lampu minyak di sudut belakang rumah Ki Demang yang besar itu, Nyalanya yang berguncang-guncang ditiup angin bagaikan gelisahnya hati orang-orang, yang masih dapat bertahan dari pengaruh sirep yang tajam di rumah Ki Demang Sangkal Putung itu. “Marilah,“ berkata Ki Widura kemudian, “kita mengelilingi rumah ini.” Ki Waskita mengangguk. Iapun kemudian melangkah perlahan-lahan disamping Ki Widura. Namun beberapa langkah kemudian, rasa-rasanya keduanya menjadi ragu-ragu untuk melangkah maju. Bahkan kemudian Ki Waskita berbisik, “Kita berhenti sejenak Ki Widura. Mungkin lebih baik kita berdiri disebelah anjang-anjang batang suruh yang rimbun itu.” Ki Widura tidak menyahut. Iapun merasakan sesuatu yang kurang wajar. Seolah-olah telinganya mendengar sesuatu yang tidak dapat disebutnya. Keduanyapun kemudian bergeser kebelakang anjang-anjang pohon suruh yang merambat dengan rimbunnya, sehingga keduanya berdiri diantara anjang-anjang dan dinding belakang rumah Ki Demang. “Aku tidak tahu pasti, apakah perasaanku benar Ki Widura,” berkata Ki Waskita. “Aku juga merasakan sesuatu. Tetapi aku tidak dapat menduga, apakah karena kesadaran kita bahwa sirep ini tentu telah dilontarkan oleh seseorang atau lebih, sehingga setiap sentuhan pada perasaan kita, kita rasakan seolah-olah seseorang tengah mengintip kita dan siap untuk menyerang,“ berkata Ki Widura. “Mungkin. Tetapi mungkin pula kita bmiar-benar diintai oleh seseorang atau bahkan dua tiga orang.” Ki Widura termangu-mangu. Sejenak ia membayangkan lingkungan Kademangan Sangkal Putung. Di Serambi gandok ada Kiai Gringsing. Di regol Swandaru dan Agung Sedayu berjaga jaga, sedang didalam rumah tentu Sekar Mirah dan Pandan Wangipun telah siap menghadapi segala kemungkinan. Hampir diluar sadarnya ia menarik nafas sambil berdesis,

“Kita sudah bersiaga sepenuhnya. Mudah-mudahan kita tidak lengah. Jika benar seseorang atau segerombolan orang bermaksud jahat, maka mereka datang dalam gelar yang berbeda. Mereka tidak menyerang dengan pasukan yang besar, bahkan segelar sepapan. Tetapi mereka tentu hanya beberapa orang pilihan.” Ki Waskita menganggu-angguk. Ia sadar, bahwa peristiwa kematian dua orang bersaudara dari Pesisir Endut tentu tidak begitu saja dapat dilupakan. Meskipun yang melakukan adalah Pangeran Benawa. namun dendam sanak kadangnya akan dapat tertuju kepada orang-orang Sangkal Putung. Dengan ragu-ragu Ki Waskitapun menyahut Ki Widura. “Nampaknya kali ini kita berhadapan dengan sebuah perguruan yang memiliki kemampuan yang khusus, mereka datang ke Sangkal Putung dengan caranya sendiri.” “Justru karena itu kita harus berhati-hati,” sahut Ki Widura. Keduanya terdiam sejenak. Mereka mencoba untuk mengetahui keadan di halaman belakang rumah Ki Demang Sangkal Putung. Namun terasa kesepian masih saja mencengkam. Tetapi kedua orang itu tidak segera pergi dari balik lindungan anjang-anjang batang suruh yang rimbun. Untuk beberapa saat mereka masih saja menunggu. Bahkan keduanyapun kemudian duduk di bebatur batu. Di regol depan Agung Sedayu dan Swandaru merasakan sentuhan-sentuhan perasaan yang sama. Bahkan Agung Sedayu mulai dibayangi lagi oleh kecemasan, bahwa ia akan menjadi sumber dari kegelisahan yang dapat terjadi di Sangkal Putung. Meskipun demikian ia masih tetap manahan diri. Ia menunggu perkembangan-keadaan lebih lanjut. Swandaru yang gelisah, semakin lama menjadi semakin tegang. Bahkan kemudian ia mendekati Agung Sedayu sambil berbisik, “Kita tidak dapat menunggu dalam kegelisahan. Kita harus berbuat sesuatu.” “Apa yang dapat kita lakukan?” bertanya Agung Sedayu. “Kita mencari mereka yang menyebarkan sirep ini. Jika kita menemukan sumbernya, maka kita akan dapat menghentikan ilmu terkutuk yang licik ini,“ sahut Swandaru. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia bertanya lagi, “Kemana kita mencarinya? Akupun mengerti, bahwa mereka yang menyebarkan sirep ini tentu berada ditempat yang tidak jauh. Namun apakah kepergian kita tidak merupakan kesempatan bagi mereka untuk memasuki halaman rumah ini, karena kita tidak tahu berapakah jumlah mereka.” Swandaru termangu-mangu. Betapapun kemarahan telah mencengkam jantungnya, namun ia tidak dapat meninggalkan

rumahnya. Ia mengerti kecemasan seperti yang dirasakan oleh Agung Sedayu. Meskipun dirumah itu masih ada beberapa orang yang dapat dipercaya, tetapi jumlah orang yang belum nampak itu masih belum diketahui.” Namun dalam pada itu, getar naluriah pada kedua anak muda itu telah membuat mereka semakin berhati-hati. Diluar sadar keduanya bergeser mendekati gardu dan bahkan kemudian keduanya berada didepan gardu yang sepi, karena para pengawal masih tetap tertidur nyenyak. “Ada sesuatu yang harus kita perhatikan lebih dari sirep ini sendiri,“ desis Agung Sedayu. Swandaru tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk kecil. Dalam saat-saat yang tegang itu, Kiai Gringsing masih tetap duduk di tempatnya. Ia memperhatikan halaman yang remang-remang di gelapnya malam. Cahaya lampu di pendapa dan diregol menggapai dengan lemahnya dedaunan yang berada dihalaman. Namun tiba-tiba orang tua itu mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia berdiri. Didalam keremangan malam ia melihat bayangan yang bergerak diatas dinding halaman. “Hm,“ desis Kiai Gringsing, “akhirnya mereka datang.” Namun Kiai Gringsing masih tetap ditempatnya. Ia masih menunggu perkembangan seterusnya, karena ia, yakin bahwa orang yang datang itu tentu tidak hanya sendiri. Diluar sadarnya ia memandang keregol halaman. Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru tidak dilihatnya lagi. karena keduanya telah berada digardu, sementara Ki Waskita dan Ki Widura berada dibelakang rumah. Seperti yang diduga oleh Kiai Gringsing. maka bayangan diatas dinding halaman itupun telah bertambah lagi. “Tiga orang. Tentu masih ada yang lain,“ berkata Kiai Gringsing didalam hatinya. Namun selagi ia termangu-mangu. maka ia melihat ketiga orang diatas dinding itu telah meloncat kehalaman. Sejenak mereka berdiri termangu-mangu Namun kemudian salah seorang dari mereka tibatiba saja berkata dengan suara lantang, “He orang-orang Sangkal Putung. Aku tahu bahwa ada beberapa orang diantara kalian yang ternyata berhasil lolos dari cengkaman sirepku yang tajam. Tentu kalian adalah orang-orang yang luar biasa. Namun demikian, kalian tidak akan dapat melepaskan diri dari tanganku.” Suara itu bagaikan bergema melingkar-lingkar diatas rumah Ki Demang Sangkal Putung yang sepi. Kiai Gringsing masih berdiri ditempatnya. Ia tidak segera turun kehalaman. Sejenak ia masih harus menilai keadaan.

Yang tidak sabar adalah Swandaru. Iapun mendengar suara itu. karena itu. dengan sekali loncat ia sudah berdiri diregol halaman rumahnya. “Siapa kau ? “ terdengar suara Swandaru tidak kalah lantangnya. Orang yang berdiri dihalaman itu berpaling. Mereka melihat Swandaru berdiri bertolak pinggang diregol halaman, yang kemudian diikuti Agung Sedayu yang dengan gelisah berdiri disebelahnya. “Kau salah seorang yang lepas dari pengaruh sirep. Siapa kau he? “ Orang itu justru bertanya. Swandaru sudah mulai tersinggung. Dengan keras ia menjawab, “Aku yang bertanya. Bukan Kau.” Orang yang berdiri dihalaman itu termangu-mangu. Namun kemudian terdengar suara tertawanya berkepanjangan Kau jangan sombong anak muda yang gemuk. Kau jangan menganggap aku seperti anak-anak muda di Kademangan. Meskipun kau lolos dari sirepku tetapi lebih baik kau bersikap lain dari sikap sombongmu, itu.” Swandaru menjadi semakin tegang. Dengan geram ia menjawab. “Jangan pedulikan apakah aku bersikap sombong atau tidak. Tetapi jawab pertanyaanku. Siapa kalian bertiga.” Ketiga orang itu saling berpandangan sejenak. Namun sekali lagi terdengar suara tertawa mereka meledak. “Anak itu memang luar biasa,“ desis salah seorang dari mereka, “ ia berhasil lolos dari ilmu sirepku. Tetapi sayang, ia terlalu bodoh untuk menilai dirinya.” “Ia memang perlu dikasihani,“ sahut yang lain, “aku senang kepada anak muda itu. Karena itu aku manfaatkan kesombongannya.” “Gila,“ Swandaru berteriak, “kalian telah menghina aku.” Swandaru benar-benar telah kehilangan kesabaran. Tetapi sebelum ia melangkah maju. Agung Sedayu telah mendahuluinya sambil berkata, “Selamat datang Ki Sanak. Apakah kalian juga senang melihat aku.” Kata-kata Agung Sedayu justru mengejutkan ketiga orang itu. Nadanya yang dalam seolah-olah telah melontarkan getaran kebesaran dirinya. Meskipun Agung Sedayu tidak membentak-bentak seperti Swandaru, namun ketiga orang itu menganggap, bahwa Agung Sedayu justru lebih berbahaya dari Swandaru. Karena itu. salah seorang dari ketiga orang itu menjawab dengan nada yang dalam pula, “He anak muda. Kalian berdua benar-benar mengherankan. Agaknya kalian memang orangorang yang telah ditempa oleh ilmu yang dahsyat. Di Sangkal Putung ada seorang anak muda yang telah menggemparkan kalangan orang-orang berilmu. Apakah ia berilmu kanuragan maupun kajiwan. Anak muda itu telah

melakukan pembunuhan tanpa berperikemanusiaan. Sejak sebelum peristiwa di lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu. Kemudian pada peristiwa itu sendiri. Disusul dengan pembunuhan yang benar-benar mengerikan di Mataram, karena korbannya telah dicincangnya sampai lumat. Tetapi justru yang terakhir, di Sangkal Putung, yang melakukan adalah orang lain. Pangeran Benawa.“ ia berhenti sejenak, lalu. “namun bagaimanapun juga, sumber dari segala bencana bagi perguruanku adalah anak muda yang bernama Agung Sedayu. He apakah salah seorang dari kalian berdua bernama Agung Sedayu ?” Dada Agung Sedayu terasa menjadi sesak. Peristiwa demi peristiwa telah terjadi. Dan nampaknya semuanya telah berkisar pada dirinya. Seakan-akan ia telah terperosok pada sebuah lingkaran. Kemana pun ia berjalan, ia tidak akan menemukan ujung atau pangkal dari peristiwa-peristiwa yang susul menyusul. Namun dalam pada itu, ternyata keributan yang terjadi dihalaman dengan kata-kata yang diucapkan keras-keras bahkan dengan teriakan-teriakan yang lantang itu telah terdengar dari dalam dan belakang rumah Ki Demang Sangkal Putung. Karena itulah maka Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun dengan tergesa-gesa telah pergi keruang depan. Namun mereka masih belum membuka pintu yang memisahkan ruangan itu dengan pringgitan dan pendapa. Mereka masih berdiridi balik pintu yang tertutup, meskipun mereka berusaha untuk mendengar setiap perkataan yang terlontar dari pihak yang manapun juga. “Mereka mencari Kakang Agung Sedayu,“ desis Sekar Mirah. Pandan Wangi mengangguk. Katanya, “Dimanapun Agung Sedayu selalu dicari.” “Itu adalah justru akibat dari keragu-raguannya. Jika ia berbuat dengan tegang tanpa seribu pertimbangan, maka ia justru akan terlepas dari lingkaran yang membelenggunya.” Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu mengerti pendapat, Sekar Mirah, karena jika Agung Sedayu berbuat lebih banyak dengan menjatuhkan korban berlipat, maka dendam yang tertuju kepadanyapun akan berlipat. Tetapi Pandan Wangi tidak mengatakannya. Sementara itu, Ki Waskita dan Ki Widura nampaknya telah mengambil sikap tersendiri. Dengan hatihati mereka bergeser kesudut bagian depan rumah. Dari kegelapan mereka melihat yang terjadi dihalaman. Namun mereka tidak melihat Kiai Gringsing turun dan berbuat sesuatu. “Kita keluar halaman,“ desis Ki Waskita. Ki Widura tidak menyahut. Tetapi ia mengerti maksud Ki Waskita. Mereka tidak akan langsung berhadapan dengan orang-orang yang ada dihalaman, tetapi mereka ingin melihat, apakah ketiga orang itu tidak membawa pasukan yang membahayakan.

“Jika mereka membawa pasukan yang menyusup masuk padukuhan induk, maka kita harus segera membunyikan isyarat. Betapapun kuat ilmu sirep, namun dalam pemusatan kekuatan dan kemampuan dipertempuran, maka kekuatan itu akan dapat dengan sendirinya diawasi. Apalagi seandainya pengaruhnya begitu kuat, maka pihak lawanpun akan terpengaruh juga oleh kekuatan itu,“ berkata Ki Waskita. Ki Widura tidak menjawab. Tetapi mereka dengan sangat hati-hati beringsut dari tempatnya. Dalam bayangan rimbunnya dedaunan, maka merekapun meloncati dinding halaman samping, justru keluar halaman. Dengan sangat hati-hati keduanya menyusuri gelapnya malam. Dengan ketajaman indera, keduanya mencoba untuk mengetahui, apakah ada orang lain yang mengepung Kademangan. “Nampaknya tidak ada,“ desis Ki Widura. “Tidak ada pasukan. Tetapi mungkin satu dua orang,“ sahut Ki Waskita. “Jika ada, mereka tentu mendekati halaman depan atau bahkan pintu gerbang. Jika Swandaru dan Agung Sedayu lengah, mungkin mereka dapat; di sergap dari belakang, dari luar regol halaman.” desis Ki Widura. Keduanyapun bergeser lagi. Mereka mencoba mendekati regol halaman, karena mereka mencemaskan Swandaru dan ^gung Sedayu yang perhatiannya tertumpah kepada ketiga orang yang berdiri dihalaman rumah Ki Demang Sangkal Putung. Dengan hati-hati mereka merayap diantara semak-semak dikebun tetangga. Satu dua langkah mereka bergeser maju. Ki Waskitapun kemudian menggamit Ki Widura ketika mereka menjenguk halaman rumah disebelah rumah Ki Demang. Dalam keremangan malam dan cahaya obor dikejauhan mereka melihat didalam regol rumah dua orang yang sedang menunggu Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya kedua orang itu sedang mengikuti peristiwa yang terjadi di halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung dengan saksama, sehingga dengan demikian maka keduanya tidak mengetahui kehadiran Ki Waskita dan Ki Widura yang menjadi semakin dekat. Ki Waskita dan Ki Widura bergeser semakin dekat disepanjang dinding penyekat halaman dirumah sebelah itu. Dinding yang membatasi longkangan dan halaman dibelakang gandok dengan halaman depan, sehingga dengan demikian mereka dapat mencapai jarak yang lebih dekat. Dari balik dinding itu Ki Waskita mendengar salah seorang dari kedua orang itu berkata, “Nah,

dengarlah pengakuan anak muda itu.” Ki Waskita dan Ki Widura mengerutkan keningnya. Dan merekapun mencoba mendengarkan apa yang sedang diucapkan oleh seseorang di halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung. “Ki Sanak. Aku kira pandanganmu terhadap sikap anak muda yang kau sebut bernama Agung Sedayu itu tidak tepat. Agung Sedayu sama sekali tidak berniat untuk membunuh siapapun juga. Tetapi jika itu terjadi, apalagi dipeperangan, maka itu adalah diluar kuasanya, karena betapapun juga ia lebih menghargai hidupnya sendiri seperti yang dilakukan oleh setiap orang. Kalau didalam sikap mempertahankan diri ia harus membunuh, maka hal itu juga merupakan beban yang memberati perasaannya.” “Omong kosong. Sebutkan. Siapa Agung Sedayu. Apakah kau atau siapa? “ terdengar seseorang bertanya. “Akulah Agung Sedayu.” Terdengar suara tertawa bagaikan membelah langit. Nampaknya orang itu sama sekali tidak menghiraukan apakah ada orang yang dapat mendengar suaranya atau tidak. Namun mungkin pula ia menganggap bahwa orang-orang di Sangkal Putung telah tertidur nyenyak, sehingga tidak akan ada seorangpun yang dapat mendengar suara tertawanya. Dalam pada itu, kedua orang di halaman rumah sebelah itupun menjadi tegang. Salah seorang dari mereka berkata, “Aku sebenarnya tidak sependapat dengan cara yang diambilnya.” Yang lain menjawab, “Ia terlalu yakin akan dirinya. Tetapi akupun yakin pula. Seandainya kedua bersaudara dari Pesisir Endut itu tidak sedang bernasib malang, sehingga mereka bertemu dengan Pangeran Benawa, maka keduanya agaknya akan berhasil membunuh Agung Sedayu dengan bantuan seorang saudara seperguruannya. Sedangkan orang itu merasa dirinya memiliki kemampuan lebih besar dari tiga orang yang sudah bersiap-siap membunuh Agung Sedayu itu.” Sejenak keduanya terdiam. Namun dengan demikian Ki Waskita dan Ki Widura dapat menjajagi apa yang sebenarnya sedang terjadi atas Agung Sedayu di halaman rumah Ki Demang. Dengan demikian, maka Ki Waskita tidak menunggu lebih lama lagi. Jika akan terjadi sesuatu, biarlah segera terjadi. Sambil menggamit Ki Widura. maka iapun segera berdiri tegak. Sambil terbatuk-batuk kecil iapun kemudian dengan sengaja menampakkan dirinya kepada kedua orang yang sedang memperhatikan peristiwa dihalaman rumah Ki Demang itu.

Ternyata sikap Ki Waskita telah mengejutkan kedua orang itu. Dengan serta merta keduanya berbalik dan bersikap meghadapi segala kemungkinan. Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Maaf jika aku telah mengejutkan kalian.” “Siapa kau?” bertanya salah seorang dari keduanya. Ki Waskitapun kemudian meloncati dinding penyekat diikuti oleh Ki Widura. Dengan suara dalam Ki Waskita menjawab, “Marilah, Kami mempersilahkan kalian masuk kehalaman. Agaknya lebih baik jika kita berkumpul bersama kawan-kawanmu. Atau mungkin masih ada kawanmu yang lain di sekitar Kademangan ini?” Kata-kata Ki Waskita telah mendebarkan jantung kedua orang itu. Salah seorang dari mereka bertanya, “Siapa kau?” “Aku pengawal Kademangan ini. Aku sedang meronda ketika aku melihat kalian. Dan ternyata ada tiga orang kawan kalian dihalaman itu?” Jawab Ki Waskita semakin membuat kedua orang itu tegang. Ternyata masih ada orang lain yang tidak dikuasai oleh ilmu sirep yang tajam itu. “Menapa kau menjadi bingung?” bertanya Ki Waskita, “bukankah disetiap Kademangan ada beberapa orang pengawal yang meronda?” Kedua orang itu tidak dapat menahan dirinya lagi. Salah seorang dari keduanya bertanya, “Kalian berdua dapat membebaskan diri dari pengaruh sirep ini?” “Ya,“ jawab Ki Widura, “beberapa orang kawanku telah tertidur nyenyak. Tetapi kami berdualah yang memang mendapat giliran saat ini, selain Agung Sedayu dan Swandaru dihalaman itu.” Kedua orang itu menjadi semakin tegang, sementara Ki Widura meneruskan kata-katanya, “Marilah. Lebih baik kita berkumpul. Dengan demikian kita akan dapat memecahkan persoalan kita dengan baik.” “Persetan,” geram salah seorang dari kedua orang itu, “mungkin kau mempunyai ilmu yang dapat bertahan atas kekuatan sirep. Tetapi pengawal Kademangan yang betapapun tinggi kemampuannya, namun ia tidak akan dapat berbuat banyak.” “Mungkin, tetapi kami hanya mempersilahkan kalian memasuki halaman. Lihatlah, perhatian mereka yang berada dihalaman rumah Ki Demang kini telah tertuju kepada kita. Pembicaraan mereka justru terhenti.” Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Ketika mereka melihat kehalaman rumah Ki Demang,

seperti yang dikatakan oleh kedua orang yang mengaku sebagai pengawal Kademangan itu, bahwa orang-orang yang berada di halaman justru sedang memperhatikan mereka. “Baiklah,“ kata Ki Widura kemudian, “lebih baik kita memasuki halaman dan berbicara diantara kita semuanya.” Nampaknya memang tidak ada pilihan lain. Karena itu, maka salah seorang dari kedua orang itu berkata, “Kita akan memasuki halaman itu. Tetapi itu karena kami memang berniat untuk mendekati kawan-kawan kami, bukan karena kami mematuhi perintah kalian berdua.” “Silahkan “ Ki Waskitalah yang menyahut, “apapun yang memaksa kalian memasuki halaman.Jiamun itu akan lebih baik bagi kita semuanya. Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian merekapun segera meloncati dinding halaman rumah Ki Demang dan melangkah mendekati kawan-kawan mereka. “Setan itu juga lepas dari pengaruh sirep,“ berkata salah seorang dari keduanya. “Siapakah mereka,” bertanya orang yang sedang berbicara dengan Agung Sedayu. “Mereka mengaku sebagai pengawal padukuhan ini.” Orang-orang yang berada di halaman itu memperhatikan Ki Waskita dan Ki Widura yang menyusul melompati dinding halaman itu pula. “Bohong,“ desis orang yang berbicara dengan Agung Sedayu, “biasanya pengawal-pengawal Kademangan masih muda.” “Ya,“ sahut Ki Waskita, “tetapi tentu ada diantara mereka yang setua kami. Kami adalah orang-orang yang memberikan pengarahan kepada mereka, membantu Ki Jagabaya.” Orang yang nampaknya memimpin kawan-kawannya dan yang paling berkepentingan dengan Agung Sedayu itupun berkata, “Baiklah. Marilah kita berkumpul. Jika masih ada orang yang tidak dapat dikenai oleh pengaruh sirep ini. panggillah mereka, agar mereka melihat apa yang sebenarnya ingin aku lakukan disini.” Ki Waskita termangu-mangu. Orang itu nampaknya memiliki keyakinan akan dirinya sendiri. Dengan suara yang datar Ki Waskita bertanya, “Siapakah sebenarnya kalian? Dan kenapa kalian mencari Agung Sedayu di halaman Kademangan Sangkal Putung ini?” Orang itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian katanya, “Baiklah aku tidak bersembunyi dibalik nama siapapun juga.

Aku adalah saudara tua dari dua orang bersaudara yang terbunuh di Kademangan ini.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Hampir diluar sadarnya ia berkata, “Aku sudah menduga bahwa kau mempunyai hubungan dengan dua bersaudara dari Pesisir Endut itu. Tetapi apakah kau mengetahui, siapakah yang telah membunuh saudaramu itu?” “Aku tahu pasti. Yang membunuh mereka adalah Pangeran Benawa. Tetapi itu adalah kebetulan. Kedatangan kedua adikku kemari adalah karena Agung Sedayu.” Agung Sedayu justru terdiam. Ada sesuatu yang bergejolak didalam hatinya. Ia merasa betapa pahitnya menghadapi keadaan yang sama sekali tidak dikehendakinya itu. Didalam rumah. Sekar Mirah dan Pandan Wangi dapat mendengarkan pembicaraan itu. Hampir saja Sekar Mirah tidak dapat menahan diri. Ia menjadi marah justru karena Agung Sedayulah yang menjadi sasaran dendam orang itu. Namun Pandan Wangi sempat menggamitnya dan memberikan isyarat agar ia menunggu perkembangan seterusnya, “Aku belum mendengar suara Kiai Gringsing,“ bisik Sekar Mirah. “Ya. Karena itu, kita menunggu perkembangan keadaan,“ sahut Pandan wangi. Sekar Mirah terpaksa menahan dirinya, betapa dadanya serasa menjadi retak. Dalam pada itu, dihalaman terdengar Ki Waskita bertanya, “Ki Sanak. Apakah untungnya kau datang untuk menuntut balas justru kepada Agung Sedayu. Kenapa kau tidak bertanya tentang adikmu yang terbunuh oleh Pangeran Benawa itu. kenapa mereka telah datang kemari karena Agung Sedayu.” “Itu bukan persoalanku. Tetapi adikku mempunyai persoalan yang belum terselesaikan dengan Agung Sedayu. Kemudian baru aku akan membuat perhitungan dengan Pangeran Benawa. ialah yang langsung membunuh kedua adikku dengan tangannya. Tetapi mencari Pangeran Benawa agaknya lebih sulit daripada mencarimu disini. Karena itu, kau adalah orang yang pertama-tama harus menerima dendam yang membakar jantung ini.” Agung Sedayu menjadi semakin gelisah. Sementara itu Ki Widura bertanya, “Jadi. apakah maksudmu datang kemari dengan menyebarkan ilmu sirep itu untuk dengan diam-diam membunuh Agung Sedayu yang kau sangka terkena pengaruh sirepmu?”

“Gila. Aku bukan pengecut. Jika aku menyebarkan pengaruh sirep, semata-mata karena aku tidak ingin diganggu. Aku ingin bertemu langsung dengan Agung Sedayu dan membuat perhitungan secara jantan. Aku bukan orang yang datang untuk kepentingan orang lain. Tetapi semata-mata karena dendam dihati.” “Bagus,“ Ki Waskita mengangguk-angguk, “tetapi nampaknya kau mempunyai kelainan dengan kedua adikmu. Apakah kau tahu, kenapa adikmu datang dan akan membunuh Agung Sedayu? Seharusnya kau menelusuri sikap kedua adikmu dari Pesisir Endut itu.” “Persetan, aku tidak peduli. Sekarang, marilah Agung Sedayu. Kita selesaikan persoalan kita. Aku tidak akan menyentuh orang lain disini. Juga seandainya Agung Sedayu sudah mati. Karena sesudah Agung Sedayu, persoalanku akan menyangkut Pangeran Benawa.” “Jadi kau benar-benar akan membela adikmu? Baiklah,“ berkata Ki Waskita, “tetapi sebaiknya kau mendengar dahulu dari salah seorang dari kedua orang yang berada di halaman sebelah, kenapa kedua kakak beradik dari Pesisir Endut itu datang kemari?” Orang yang sedang dicengkam oleh dendam itu menggeram. Dengan kasar ia berkata, “Aku tahu apa yang akan mereka katakan. Aku memang datang bersama mereka.” “Tetapi mereka tentu belum mengatakan, bahwa kedua adikmu itu datang untuk membunuh Agung Sedayu bukan karena persoalan pokok diantara kedua adikmu dengan Agung Sedayu. Kedua adikmu itu tentu sudah dibujuk dengan harapan apapun juga. Mungkin upah yang besar, mungkin pangkat atau kedudukan, dan mungkin janji-janji lain yang membuat kedua adikmu itu menjadi lupa diri dan bersedia melakukan perbuatan yang rendah itu,“ berkata Ki Waskita. Tetapi jawaban orang itu mengejutkan Ki Waskita. Katanya, “Aku sudah tahu. Adikku akan mendapat upah sebidang tanah yang luas untuk sebuah tanah perdikan didalam kekuasaan Majapahit yang baru. Juga akan mendapat upah beberapa keping emas sebagai modal pemerintahannya di Tanah Perdikannya.” Sejenak Ki Waskita termangu-mangu. Namun kemudian Ki Widuralah yang bertanya, “Dan apakah upah yang akan kau terima jika kau berhasil mengambil alih tugas adik-adikmu yang terbunuh oleh Pengeran Benawa itu?” “Persetan. Aku tidak memerlukan upah apapun juga, selain kepuasan. Aku tidak mempunyai sangkut paut dengan perjanjian itu,” geram orang yang dibakar oleh dendam. “Aneh,“ desis Ki Waskita kemudian, “seandainya benar kau tidak mempunyai pamrih, maka kau adalah seorang kakak yang buruk. Kau tidak mencegah tindakan adik-adikmu yang sesat. Tetapi justru kau sekarang telah ditelan oleh dendam dan kebencian yang sebenarnya tidak perlu

kau sadap dari kerendahan budi kedua adikmu itu.” “Cukup. Aku tidak datang untuk berguru. Aku tantang Agung Sedayu untuk berperang tanding. Aku tidak akan berlaku seperti adik-adikku yang mengotori nama perguruan karena tingkahnya yang licik yang justru telah menyeretnya kekematian.” Agung Sedayu yang termangu-mangu itupun kemudian melangkah maju. Dengan suara yang dalam ia bertanya, “Tetapi kau belum menjawab. Siapakah kau? Kami baru mengenal kau sebagai kakak dua bersaudara dari Pesisir Endut. Tetapi kami ingin juga mendengar namamu kau sebut. Kemudian kawan-kawanmu yang lain. Bahkan mungkin masih ada kawan-kawanmu yang berada diluar dinding halaman ini.” “Yang penting adalah aku dan kau. Agung Sedayu,“ berkata orang itu, “ada atau tidak ada orang lain, perang tanding ini akan berlangsung. Jika aku datang bersama beberapa orang, mereka adalah sekedar saksi. Aku atau kau yang akan mati kali ini. Jika kau yang mati, maka tugasku seterusnya adalah membunuh Pangeran Benawa.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang itu tidak dapat diajak berunding lagi. Matanya telah benar-benar tertutup oleh dendam dan kebencian, sehingga hatinya tidak dapat lagi berpikir bening. Swandaru yang melihat Agung Sedayu mulai dicengkam oleh kecemasan dan keragu-raguan tidak telaten lagi. Dengan lantang ia berkata, “Kenapa kau memilih kakang Agung Sedayu. Aku adalah anak Demang Sangkal Putung. Jika kau merasa kehilangan adikmu di Sangkal Putung, maka aku adalah orang yang paling bertanggung jawab.” Orang itu mengerutkan keningnya. Sementara Swandaru melangkah maju. “Aku tantang kau perang tanding.” Semua orang memandang kearah Swandaru. Ki Waskita dan Ki Widura menjadi tegang Meskipun Swandaru adalah seorang anak muda yang memiliki kekuatan raksasa dan kecepatan bergerak didalam olah kanuragan, tetapi Swandaru tidak memiliki kedalaman ilmu seperti Agung Sedayu. Betapapun kuatnya tenaga Swandaru, namun dalam pengerahan segenap kemampuan lahir dan batin, pelepasan tenaga cadangan dan hubungan antara alam kecil dalam pribadinya dengan alam besar diseputarnya tidaklah setingkat dengan Agung Sedayu yang diam dan selalu diselubungi oleh kebimbangan itu. Apalagi Ki Waskita dan Ki Widura melihat bahwa orang yang menantang Agung Sedayu itu memiliki bukan saja kekuatan jasmaniah, tetapi juga kemampuan yang dalam. Sejenak orang-orang itu dicengkam oleh ketegangan. Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing yang berada di serambi gandok dan memperhatikan peristiwa di halaman itu dari kejauhan menjadi cemas pula. Seperti Ki Waskita dan Ki Widura, ia melihat,

bahwa masih ada kekurangan bekal didalam diri Swandaru. Jika tantangannya diterima sebelum orang itu bertemu lawan Agung Sedayu, maka akibatnya akan parah bagi Swandaru. Usaha untuk menolongnya jika ia mulai terdesak, akan menimbulkan kesan yang lain pada anak muda itu, sementara pada diri Swandarupun akan tumbuh perasaan rendah diri. Selebihnya tentu akan timbul pertempuran yang lebih besar, karena kedua pihak akan melibatkan semua orang yang ada pada mereka. Tetapi sementara itu. untuk melepaskan Agung Sedayu bertempur pun rasa-rasanya masih juga raguragu. Ia tidak tahu, sampai dimana kemampuan orang yang menyebut dirinya kakak dari kedua bersaudara dari Pesi sir Endut itu. “Namun bahwa Pangeran Benawa mampu membunuh kedua adiknya, maka kemampuan orang itu tentu masih belum bertaut terlalu banyak dengan Pangeran Benawa sendiri,“ berkata Kiai Gringsing didalam dirinya. Namun kemudian, “tetapi nampaknya orang itu begitu yakin akan membunuh juga Pangeran Benawa.” Sejenak Kiai Gringsing termenung. Ia masih belum tahu pasti, betapa tinggi ilmu Pangeran Benawa seperti ia juga tahu kemampuan orang yang menantang Agung Sedayu itu. Tetapi bagi Kiai Gringsing, Agung Sedayu memiliki kelebihan dari Swandaru dalam kedalaman ilmunya, meskipun barangkali setingkat dalam pelepasan kekuataan lahiriah. Akhirnya Kai Gringsing mempunyai ketetapan hati, bahwa Agung Sedayulah yang akan melawan orang itu, sehingga dengan demikian maka akan segera turun kehalaman sambil berkata lantang, “Agung Sedayu. Sebagai seorang laki-laki terimalah tantangannya. ” Semua orang berpaling kearah suara itu. Orang yang menantang Agung Sedayu itupun mengerutkan keningnya. Ternyata masih ada lagi orang yang tidak terkena pengaruh sirep yang tajam itu. “Gila,“ ia menggeram, “ada berapa orang yang memiliki daya tahan yang kuat di Kademangan ini?” “Sudah aku katakan,“ tiba-tiba salah seorang kawan orang itu berdesis. Orang itu berpaling kearah kawannya. Sambil mengerutkan keningnya ia meijjawab, “Kau hanya menyebut gurunya. Mungkin Agung Sedayu sendiri. Tetapi ternyata ada beberapa orang yang lain.” Kawannya tidak menjawab lagi. Tetapi seorang yang lain berkata, “sudahlah. Sekarang kita sudah berada dihalaman ini. Lakukanlah perang tanding seperti kau kehendaki. Jika ada orang lain yang akan melibatkan diri. serahkan kepada kami.” Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus. Aku hanya ingin perang tanding dengan Agung Sedayu.

Membunuhnya dan kemudian membunuh Pangeran Benawa. Aku juga tidak berkepentingan dengan Pajang atau pihak-pihak lain yang memerlukan Pangeran Benawa itu. Ia sudah membunuh kedua adik seperguruanku. Karena itu, ia harus mati.” Sementara itu Kiai Gringsing menjadi semakin dekat. Agung Sedayu menjadi berdebar-debar didalam dadanya. “Siapa kau ?” bertanya orang yang menantang Agung Sedayu. “Sejak semula kau tidak menjawab setiap pertanyaan tentang dirimu. Tetapi baiklah. Bagi kami sudah cukup jika kami mengetahui bahwa kau adalah kakak seperguruan dua orang dari Pasisir Endut yang terbunuh itu.” “Siapa kau ? “ orang itu berteriak. “Berteriaklah. Tidak banyak orang yang mendengar,“ jawab Kiai Gringsing, “semua orang agaknya telah tertidur oleh kekuatan sirep yang tajam ini.” Jantung orang itu bagaikan meledak. Sekali lagi ia berteriak, “Sebut, siapa kau?” “O. Kejengkelanku sama dengan kejengkelanmu karena kamu juga tidak menyebut namamu. Tetapi baiklah, aku adalah Kiai Gringsing, guru Agung Sedayu yang kau tantang berperang tanding itu.” “Gila,” geram orang itu, “benar juga kata orang, bahwa aku akan berhadapan dengan gurunya. Baiklah, jika kau sayangi nyawa muridmu, kau dapat mewakilinya.” “Tidak,“ jawab Kiai Gringsing, “karena ia yang kau tantang biarlah muridku yang bertempur.” “Aku juga menantang orang itu guru,“ potong Swandaru. Kiai Gringsing memandang Swandaru sejenak. Jika ia melarangnya, maka anak muda itu tentu akan tersinggung. Ia merasa bahwa gurunya menganggap bahwa Agung Sedayu memiliki kelebihan dari padanya. Namun jawaban Kiai Gringsing kemudian benar-benar diluar dugaan Swandaru dan diluar dugaan orang-orang lain yang ada dihalaman itu. “Swandaru,“ berkata Kiai Gringsing dengan kepala sedikit terangkat, “aku adalah gurumu. Karena itu aku mengetahui sifat-sifatmu seperti aku mengetahui sifat-sifat Agung Sedayu.” Swandaru mengerutkan keningnya. Ia melihat sikap gurunya agak berbeda dengan sikapnya seharihari. Saat itu gurunya nampak seperti seorang yang tinggi hati. “Swandaru,“ berkata Kiai Gringsing lebih lanjut, “jangan selalu memanjakan saudara tuamu. Biarlah ia mengambil keputusan dan sikap sesuai dengan namanya yang bergema sampai ke Pesisir Endut.

Jika ia tidak menerima tantangan itu, maka namanya itu tentu hanya sekedar kemelutnya asap dari api yang menyala dijiwa orang lain. Biarlah. Ia sudah cukup dewasa menjaga nama dan pribadinya.” Kata-kata Kiai Gringsing itu menumbuhkan pertanyaan dihati mereka yang mendengarkan. Namun Ki Waskita dan Widurapun kemudian tersenyum didalam hati. Ia mengerti, apakah maksud orang tua itu sebenarnya. Dalam pada itu. Agung Sedayu tidak mempunyai kesempatan apapun untuk mengelakkan perang tanding. Apalagi gurunya sudah menunjuknya untuk melayani saudara tua kedua kakak beradik dari Pesisir Endut itu. “Baiklah guru,“ berkata Agung Sedayu kemudian dengan dada yang berdebar-debar, “jika memang guru menghendaki, aku akan menerimanya.” Diluar dugaannya, orang yang menantangnya menyahut, “Hanya karena gurumu menghendaki?” Tetapi jawaban Agung Sedayupun diluar dugaan orang itu pula. katanya, “Apakah bedanya bagimu jika aku menerima tantanganmu karena keinginanku sendiri atau karena perintah guruku ? Bukankah niatmu adalah sekedar melapaskan dendammu tanpa mempedulikan perasaan orang lain, apakaltia juga menyimpan dendam dan kebencian, atau kau sama sekali tidak menghiraukan siapakah yang sebenarnya bersalah dalam persoalan yang bermula dari keinginan kedua saudaramu untuk membunuh aku?” Wajah orang yang menantang Agung Sedayu itu menegang. Namun kemudian jawabnya, “Bagus. Memang tidak ada bedanya. Bersiaplah, aku akan mulai.” Agung Sedayu mundur selangkah. Sekali lagi ia akan terlibat dalam satu perkelahian yang tidak dikehendaki. Tetapi seperti keharusan yang memaksanya disaat sebelumnya, ia dihadapkan pada keadaan tanpa pilihan. Beberapa orangpun kemudian melangkah surut membentuk lingkaran. Meskipun demikian, kedua belah pihak nampaknya tidak melepaskan kewaspadaan, karena setiap saat orang-orang yang berdiri dilingkaran itupun dapat berbuat curang. Karena itu, maka masih ada juga jarak antara kedua belah pihak meskipun mereka bersama-sama ingin menyaksikan perkelahian itu. Dalam pada itu, orang yang dibakar oleh dendam dan kebencian itupun segera mempersiapkan diri. Dengan garangnya ia berdiri bertolak pinggang menghadap kearah Agung Sedayu yang masih berdiri termangu-mangu ditempatnya. “Apakah kau takut Agung Sedayu? “ tiba-tiba saja orang itu bertanya, “jika demikian, mintalah gurumu mewakilimu. Tetapi dengan ketentuan, bahwa jika gurumu mati, maka kaupun akan mati juga. Yang

penting bagiku sekarang adalah kematianmu. Itu saja.” “Jangan menyebut nama guru,“ Swandarulah yang membentak, “kau bukan lawannya. Kau akan luluh menjadi debu sebelum kau menjamah kakang Agung Sedayu.” Saudara tua kakak beradik dari Pesisir Endut itu tertawa. Katanya, “Aku senang kepada anak yang gemuk itu. tetapi aku sudah jemu untuk berbicara. Sebentar lagi kita akan kehabisan waktu. Malam akan melampaui gelapnya dan kekuatan sirep itupun akan menjadi kabur.” Agung Sedayu tidak dapat mengelak lagi. Iapun kemudian melangkah maju dan berdiri dihadapan orang yang mendendamnya. Sejenak suasana menjadi tegang. Kiai Gringsing yang cemas berdiri tegak seperti patung, sedangkan Ki Waskita dan Ki Widura harus menahan nafas ketika Agung Sedayu mulai bergeser. Hanya Swandaru sajalah yang menggeram karena kecewa. Ia tidak telaten melihat sikap Agung Sedayu. Ia ingin meloncat dan menerkam orang yang sombong itu. Kemudian memilin kepalanya dan melumatkannya. Tetapi Agung Sedayu bersikap sangat berhati-hati. Ia tahu bahwa orang itu tentu memiliki kemampuan yang dapat dibanggakan, karena ia sudah berani menuntut balas kematian kedua adiknya sampai pada batas terakhir. Pangeran Benawa. Ketika orang itu melangkah setapak, rasa-rasanya tanah tempat Agung Sedayu berpijak telah bergetar. Bukan saja Agung Sedayu, tetapi yang lainpun merasakannya pula. Ternyata getaran itu telah menggetarkan jantung Kiai Gringsing pula. Dengan demikian maka orang itu benar-benar memiliki ilmu yang jarang ada bandingnya. Swandarupun terkejut pula. Ia sendiri memiliki kekuatan raksasa. Tetapi getaran langkah kakinya tidak dapat mengguncangkan tempat berpijak seperti orang itu. Melihat wajah-wajah yang heran meskipun hanya sekilas, orang itu tertawa. Sekali lagi ia menunjukkan kelebihannya. Suara tertawanya melengking bagaikan suara guruh yang menggelegar dilangit. Setiap telinga rasa-rasanya menjadi sakit. Bahkan dada mereka yang mendengar suara tertawa itu bagaikan akan retak. Dengan serta merta mereka telah mengerahkan daya tahan masing-masing agar isi dada mereka tidak

beruntuhan oleh getaran suara yang terlontar dengan lambaran ilmu yang tinggi itu. “Agung Sedayu harus berjuang mati-matian,“ desis Kiai Gringsing, “ia baru mengenal dasar-dasar dari ilmu puncaknya meskipun sudah jauh lebih baik dari Swandaru.” Ki Waskita mendengar Kiai Gringsing berdesis. “Tetapi ia tidak tahu apa yang dikatakannya. Namun seperti Kiai Gringsing Ki Waskitapun mulai dijalari oleh kecemasan. “Mudah-mudahan Agung Sedayu dapat menilai kemampuan lawannya dari segala segi,“ berkata Ki Waskita didalam hatinya. Sementara itu Agung Sedayu telah memusatkan segenap kemampuannya, ia memperhatikan lawannya dengan saksama. Ia sadar, bahwa lawannya berusaha untuk menggertaknya dengan ilmunya yang dahsyat. Dengan sengaja lawannya telah menggetarkan tanah tempatnya berpijak dan yaug kemudian disusul dengan ledakan suaranya yang menghentak hentak dada. Dengan hati-hati Agung Sedayu bergeser ketika lawannya melangkah maju dengan hentakan kaki yang menggoyahkan halaman. Ia tidak melepaskan setiap gerak lawan. Karena itu, ia melihat telapak kaki lawannya yang bergeser, kemudian perlahan-lahan kaki itu terangkat sehingga ujung jarinya sajalah yang menyentuh tanah. Belum lagi Agung Sedayu menyesuaikan dirinya, tiba-tiba orang itu telah melenting. Kakinya terjulur mendatar langsung mengarah kepada Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu sudah memperhitungkan setiap serangan yang bakal datang, karena itu, maka ia masih sempat mengelak. Dengan loncatan kecil secepat gerakan lawannya, ia berhasil menghindari sentuhan kaki yang terjulur kedadanya. Tetapi ternyata lawannya mampu bergerak terlalu cepat. Dengan sekali menggeliat ia memutar tubuhnya ketika kakinya menyentuh tanah. Tetapi diluar dugaan. Agung Sedayu ternyata telah dipaksa oleh kejutan pertama dari serangan lawannya, sehingga hampir diluar sadarnya maka nalurinya telah mendorongnya untuk berbuat sebaikbaiknya jika ia ingin menyelamatkan dirinya. Sehingga karena itulah maka ia tidak memberi kesempatan kepada lawannya. Pada saat lawannya menyentuh tanah, ternyata Agung Sedayu telah mendahuluinya, menyusul dengan sebuah serangan yang sangat cepat. Lawannya terkejut. Ia sama sekali tidak menduga bahwa Agung Sedayu mampu bergerak demikian cepat, sehingga karena itulah maka ia hampir saja terlambat mengelak. Dengan tergesa-gesa ia melenting jauh surut. Selagi tubuhnya masih mengapung diudara, tangannya telah tersilang di dadanya dengan penuh kewaspadaan, karena Agung Sedayu dapat saja menyusulnya dengan serangan berikutnya. Tetapi Agung Sedayu tidak menyerangnya lagi. Ia bergeser setapak ketika kakinya tegak diatas tanah. Ia mempersiapkan dirinya untuk menghadapi keadaan yang tentu akan bertambah gawat.

Sesaat keduanya berdiri tegak. Dengan sorot mata yang marah bercampur heran, lawan Agung Sedayu itu memperhatikan sikap anak muda yang perkasa itu. “Benar-benar seorang yang pilih tanding,“ katanya didalam hati. Sementara itu, didalam rumah. Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang mendengar hampir seluruh pembicaraan itupun menjadi tegang. Ki Demang Sangkal Putung yang ikut mendengar pula, menjadi gelisah. Tetapi ketika Sekar Mirah minta ijin kepada ayahnya untuk turun ke halaman, ia melarangnya. Kau mendapat tugas didalam rumah ini bersama Pandan Wangi dan aku. Siapa tahu masih ada orang lain diantara mereka yang kemudian memasuki rumah ini,“ berkata Ki Demang. Sekar Mirah menjadi kecewa. Tetapi ia mengerti keberatan ayahnya. Dan iapun sependapat, bahwa mungkin ada orang lain yang memasuki rumah itu. Sementara itu, pertempuran di halaman itupun berlangsung dengan dahsyatnya. Orang yang dipenuhi oleh dendam dan kebencian itupun menyerang dengan garangnya, sementara Agung Sedayu berusaha mengimbangi kemampuan lawannya. Kiai Gringsing menarik nafas panjang ketika ia mengikuti pertempuran itu beberapa saat lamanya. Harapannya bagi Agung Sedayu pun tumbuh perlahan-lahan meskipun kecemasan masih saja membayanginya. Dalam perkelahian seterusnya, orang yang menyebut dirinya saudara tua dari kakak beradik yang terbunuh oleh Pangeran Benawa itu ternyata harus membagi pemusatan ilmunya. Dalam perkelahian yang cepat, ternyata kakinya tidak mampu lagi menggetarkan tanah tempatnya berpijak. Suara tertawanya yang bagaikan membelah jantung tidak terdengar sama sekali. Baru jika ia sempal memisahkan diri dari libatan kecepatan bergerak Agung Sedayu, maka kakinya mampu menghentak dan menggelarkan halaman itu. Namun dalam pada itu, Ki Waskita semakin lama menjadi semakin jelas melihat ilmu orang itu. Getaran yang ditimbulkan olah kakinya hanya sekedar getaran disetiap dada orangorang yang ada disekitar tempatnya sendiri. Dalam waktu yang singkat Ki Waskita mencoba menelusuri ilmu itu dalam ilmunya sendiri. Seperti bayangan semu yang dapat dilontarkannya, maka orang itupun mampu membuat getaran pada lawan-lawannya seperti juga suara tertawanya yang seolah-olah meruntuhkan isi dada. Tetapi dengan demikian Ki Waskitapun menyadari, bahwa ilmu itu sangat berbahaya. Bukan karena kekuatannya yang benar-benar dapat menggetarkan bumi dan meruntuhkan jantung dari tangkainya didalam dada, tetapi kesadaran lawan akan keadaannya dapat disesalkannya. Namun yang sudah berada diarena adalah Agung Sedayu.

Anak muda itu tentu tidak melihat kemungkinan seperti yang dilihatnya. Ki Waskita sendiri akan dapat menempatkan diri menghadapi orang itu dengan sikap yang hati-hati dan melawan ilmu yang agaknya sejalan dengan ilmu bayangan semunya meskipun dalam bentuk yang agak lain. Jika Agung Sedayu tidak menghiraukan getaran-getaran tanah tempatnya berpijak, dan getaran yang seolah-olah meruntuhkan jantung dari suara tertawa lawannya dengan memusatkan ketajaman inderanya pada penglihatan batinnya, maka lawannya bukannya lawan yang sangat berbahaya. Tetapi Ki Waskita tidak tahu pasti, bahwa Agung Sedayu akan dapat bersikap demikian. Bahkan jika perhatian Agung Sedayu dapat disesatkan kepada kecemasannya oleh getaran yang seolah-olah dapat mengguncang bumi. Serta getaran suara yang dapat meruntuhkan seluruh isi dada, maka ia benar-benar akan mengalami kesulitan. Demikianlah pertempuran dihalaman itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Agung Sedayu berusaha dengan kecepatan geraknya menyerang lawannya agar lawannya tidak sempat melontarkan kekuatannya untuk menyerangnya. Diluar sadarnya, seolah-olah sekedar karena nalurinya, maka ia merasakan kekuatan lawannya mengendor disaat-saat ia harus mengelakkan serangan-serangannya yang datang bagaikan badai. Tetapi lawan Agung Sedayu itu kemudian menyadari. Agung Sedayu menumpukan perlawanannya pada kesempatan geraknya. “Anak gila,” geram orang itu. Katanya didalam hati, “Ia berusaha membuyarkan pemusatan ilmuku, sehingga ia tidak terpengaruh oleh tanggapan perasaannya atas goncangan bumi dan getaran yang memukul dadanya. Dengan kesadaran itu, maka lawannyapun mencoba mempergunakan setiap kesempatan untuk menghindarkan diri dari libatan serangan Agung Sedayu. Setiapkali ia masih saja sempat menghentakkan kakinya dan melontarkan suara tertawa atau teriakan-teriakan yang bagaikan menyobek tehnga dan meretakkan dinding jantung. Kiai Gringsing bagaikan membatu menyaksikan pertempuran itu. Pada mulanya ia mengangguk-angguk melihat cara Agung Sedayu mengatasi kesulitannya. Kiai Gringsing bersukur bahwa Agung Sedayu mengatasi kelemahan lawannya dalam libatan kecepatan serangannya. Namun karena lawannya menyadari keadaannya, maka iapun berusaha untuk mengatasi kecepatan gerak Agung Sedayu dengan loncatan-loncatan panjang. Setiap kesempatan dipergunakannya untuk mempengaruhi perasaan anak muda yang masih belum terlalu banyak menyadap pengalaman. Dalam pada itu Agung Sedayu yang memang masih terlalu muda untuk menjelajahi kedahsyatan daerah gejolak oleh kanuragan, kadang-kadang memang menjadi bingung. Kadang-kadang terasa guncangan tanah tempat ia berpijak bagaikan melemparkannya, sehingga ia harus bertahan pada sikap keseimbangannya. Sementara jika suara tertawa dan teriakan lawannya bagaikan membelah dadanya, ia harus memusatkan daya tahannya untuk melindungi agar jantungnya

tidak terlepas dari tangkai nya. Pada saat-saat yang demikian Agung Sedayu menjadi lemah. Pertahanannya bagaikan terbuka, meskipun untuk beberapa saat ia masih mampu mengatasi keadaan setiap serangan, Namun lambat laun, geraknya kadang-kadang menjadi lamban dan kehilangan arah. Kecemasan telah menyayapi kembali dada Kiai Gringsing dan Ki Waskita. Agaknya perhatian Agung Sedayu benar-benar telah disesatkan oleh ilmu lawannya. Agung Sedayu tidak lagi sepenuhnya memperhatikan serangan-serangan yang berbahaya bagi tubuhnya, karena ia sibuk menjaga keseimbangannya dan melindungi goncangan dadanya. Kelemahan Agung Sedayu mulai dilihat oleh lawannya. Karena itulah maka iapun bertempur semakin sengit, ia tidak terlalu banyak menyerang, tetapi ia lebih banyak menghentak-hentakkan kakinya dan melontarkan suara tertawa dan teriakan-teriakan nyaring. Namun demikian. Agung Sedayu masih selalu menyadari keadaannya. Hentakan kaki lawannya yang bagaikan mengguncang tanah tempatnya berpijak memang sangat mempengaruhi. Sedangkan getaran suara tertawanya berhasil membuat Agung Sedayu mempergunakan sebagian dari kekuatan ilmunya mempertahankan dadanya. Kiai Gringsing menjadi semakin cemas. Tetapi ia tidak dapat berteriak memberikan petunjuk-petunjuk kepada Agung Sedayu. karena ia masih menghormati perjanjian kedua orang yang sedang berperang tanding itu. Dan agaknya demikian pula Ki Waskita yang tubuhnya menjadi basah karena keringat dinginnya yang mengalir dari segenap lubang-lubang dikulitnya. Ki Widurapun menjadi sangat cemas. Ia melihat Agung Sedayu mulai terdesak, meskipun ia masih selalu berhasil menghindar dan mengelakkan serangan lawannya. Didalam rumah Sekar Mirah bagaikan dibakar oleh kegelisahan. Tetapi ia tidak melihat apa yang terjadi sebenarnya. Ia berusaha untuk melihat dari celah-celah dinding. Tetapi ia tidak menemukan lubang yang cukup untuk dapat menyaksikan apa yang terjadi dihalaman yang remang-remang, karena cahaya obor tidak dapat mencapai sepenuhnya arena perang tanding itu. Dalam pada itu, Agung Sedayu memusatkan perlawanannya pada kecepatannya. Setiap saat ia meloncat menghindar. Dan setiap kesempatan dipergunakannya untuk membalas setiap serangan. Kadang-kadang ia berhasil mehhat lawannya untuk waktu yang lama. Serangannya datang beruntun tidak putus-putusnya. Namun setiap kali lawannya berhasil melepaskan diri dari libatan serangannya, maka iapun segera mempengaruhi Agung Sedayu yang masih muda itu dengan il munya yang membingungkan. Perang tanding yang dahsyat itu berlangsung semakin sengit. Serangan lawanAgung Sedayu rasarasanya menjadi semakin berbahaya. Dalam kesempatan yang tidak terelakkan, karena Agung Sedayu terbenam dalam perasaan yang kabur oleh keragu-raguannya terhadap keseimbangan badannya disaat bumi bagaikan terguncang, tiba-tiba saja terasa hentakan yang dahsyat mengenai lambungnya.

Perasaan nyeri dan mulas telah mencengkamnya sementara tubuhnya terlempar beberapa langkah. Hanya karena kemampuan ilmunya saja. Agung Sedayu terjatuh tepat pada pundaknya dan sambil berguling ia melenting berdiri. Tetapi demikian kakinya menginjak tanah, maka tanah tempat ia berdiri itu bagaikan diguncang oleh gempa yang dahsyat. Disaat ia berdiri tertatih-tatih, maka serangan berikutnya telah mengarah kedadanya. Serangan kaki yang lurus mendatar bagaikan dilontarkan oleh busur raksasa. Agung Sedeyu melihat serangan itu. Ia berusaha untuk mengelakkannya diri. Ia mencoba untuk merendah sambil memiringkan tubuhnya. Namun ia tidak berhasil melepaskan diri seluruhnya dari serangan itu. Kaki lawannya menghantam pundaknya sehingga sekali lagi ia menyeringai menahan sakit. Sambil terputar, tubuhnya terlempar beberapa langkah. Dan sekali lagi Agung Sedayu harus berguling menjauhi lawannya, karena serangan berikutnya segera menyusul. Seolah-olah tidak ada kesempatan lagi bagi Agung Sedayu untuk mempertahankan diri atau mengelak. Serangan lawannya datang beruntun seperti ombak dipesisir. Bergulung-gulung susul menyusul. Orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu menjadi tegang. Swandaru hampir tidak dapat menahan dirinya lagi. Hanya karena keseganannya kepada gurunya sajalah, maka ia tidak meloncat kearena. Namun sebenarnya Kiai Gringsingpun benar-benar menjadi cemas. Meskipun Agung Sedayu memiliki kemampuan yang bukan saja lahiriah, ternyata ia memang masih terlalu muda untuk menjelajahi daerah yang garang dari petualangan kanuragan. Meskipun demikian Kiai Gringsing tetap terikat pada sikap seorang lelaki. Betapa dadanya berguncang-guncang, tetapi ia masih tetap berdiri ditempatnya. sekali-kali terdengar ia berdesis. Kemudian menggeram penuh kekesalan. Sementara itu, Ki Waskita bagaikan berdiri diatas bara. Kegelisahannya telah memuncak. Dadanya bagaikan retak bukan karena ilmu yang dilontarkan lewat suara tertawa dan teriakan-teriakan nyaring dari mulut lawan Agung Sedayu. Tetapi jantungnya bagaikan pecah karena kecemasanya melihat keadaan Agung Sedayu. Tetapi seperti Kiai Gringsing, Ki Waskitapun tidak dapat berbuat banyak. Ia hanya berdiri saja

dengan gelisahnya. Betapa tangannya menjadi gemetar, dan hampir saja iapun melontarkan ilmunya untuk mengurai perhatian lawan Agung Sedayu. Meskipun pada suatu saat ia akan mengerti bahwa sebenarnya ia telah disesatkan oleh penglihatan semu namun dengan demikian Agung Sedayu akan mendapat kesempatan untuk mempersiapkan dirinya dalam perlawanan yang lebih panjang dan dahsyat. Tetapi semuanya itu tidak dapat dilakukannya. Seperti Kiai Gringsing yang kemudian menyadari sepenuhnya apa yang telah terjadi, namun ia tetap berdiri saja dengan degup jantung yang menghentakhentak dadanya. Dalam pada itu. Agung Sedayu masih berjuang untuk melepaskan dirinya dari serangan-serangan lawannya yang semakin deras bagaikan badai dimangsa kesanga. Dengan loncatan-loncatan panjang lawan Agung Sedayu mengejar sambil menyerang. Bahkan seolah-olah Agung Sedayu benar-benar sudah dibayangi oleh kekuatan yang tidak dapat di hindarinya lagi. Agung Sedayu sendiri merasa, bahwa kekuatan lawannya telah menyergapnya dari segenap arah tanpa ampun lagi. Tidak ada yang dapat dilakukakan oleh Kiai Gringsing, K i Waskita, Ki Widura dan Swandaru. Mereka hanya dapat menghentakkan kakinya dan menggeretakkan giginya. “Jika guru memberi kesempatan kepadaku,” geram Swandaru didalam dadanya, “aku akan menyapu orang itu sampai lumat.” Tetapi Swandaru sendiri kemudian menjadi ragu-ragu. Iapun merasa seakan-akan tanah tempatnya berpijak menjadi goncang, sehingga keseimbangannya terombang ambing, serta suara tertawa dan teriakan-terikan nyaring bagaikan membelah jantung. Kegelisahan Sekar Mirah dan Pandan Wangi bagaikan tidak tertahankan lagi. Mereka ingin meloncat keluar dan melihat apa yang terjadi. Mereka telah diganggu pula oleh suara tertawa dan teriakanteriakan dihalaman. Meskipun mereka berdiri agak jauh dari halaman, namun dada merekapun terasa menjadi retak. Tetapi mereka masih tetap menahan diri. Ki Demang benar-benar berkeberatan jika kedua perempuan itu turun kehalaman, sehingga Sekar Mirah dan Pandan Wangi masih saja berada diruang dalam betapapun dada mereka melonjak-lonjak. “Yang terjadi adalah perang tanding,“ berkata Ki Demang, “tinggallah disini. Jika terjadi pertempuran dari seluruh kekuatan masing-masing, maka kita memang wajib membantu. Meskipun demikian kita masih harus memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi di rumah ini.” Dalam pada itu, selagi dihalaman terjadi pertempuran yang sengit dari dua orang yang berilmu tinggi, dikelilingi oleh beberapa orang yang tanpa berjanji seolah-olah menjadi saksi dari perang tanding

yang dahsyat itu, masih ada dua orang lagi yang dengan sengaja tidak menampakkan diri. Mereka masih tetap berdiri dalam kegelapan diluar halaman Kademangan. “Nampaknya Ki Lurah akan menang,“ desis yang seorang. Kawannya tersenyum. Katanya, “Tentu. Anak muda itu akan dibantainya sampai lumat. Tidak seorangpun yang dapat menolongnya, karena mereka melakukan perang tanding, bahkan jika yang lain itu mencoba turut membantu anak muda yang malang, merekapun akan bernasib sama.” Kawannya mengerutkan keningnya. Katanya, “Jangan merendahkan mereka. Bahwa mereka dapat melepaskan diri dari pengaruh sirep, menunjukkan bahwa mereka memang memiliki kemampuan cukup.” “Tetapi tidak setinggi Ki Lurah dan kawan-kawannya itu. Bahkan seandainya aku dilepaskan diarena, aku kira akupun dapat mengalahkan anak muda yang namanya bagaikan menggetarkan bumi. Aku jadi ragu-ragu apakah benar ia mampu membunuh Telengan. “Tetapi Ki Lurah muda dari Pesisir Endut itu mati.“ “Tidak oleh Agung Sedayu. Tetapi oleh anak muda yang lain, yang barangkali berkekuatan iblis, Pangeran Benawa.” “O ya,“ desisnya kadang-kadang aku lupa membedakan. Pangeran Benawa dan Agung Sedayu. Agaknya sekarang Agung Sedayulah yang bernasib malang.” Kawannya tidak segera menyahut. Namun wajahnya tampak menegang. Kemudian senyumnya melebar dibibirnya. Katanya, “Kau lihat. Sebentar lagi Agung Sedayu akan lumat.” Yang lainpun tersenyum pula. Katanya, “anak yang malang. O, betapa sakitnya terlempar dan terbanting oleh tangan Ki Lurah.” Keduanya semakin asyik memperhatikan perkelahian itu dari kejauhan. Meskipun mereka tidak melihat jelas, tetapi mereka dapat membedakan, yang manakah pimpinannya dan yang mananah Agung Sedayu. Dalam keremangan cahaya obor yang lemah dikejauhan, mereka melihat dan meyakini bahwa pemimpinnya akan dapat memenangkan perang tanding itu dan melumatkan lawannya. Tiba-tiba saja selagi kawannya asyik melihat perang tanding itu, yang seorang berdesis, “Apakah kita akan menunggu saja sambil berdiam diri disini?”

“Maksudmu?” “Kita dapat berbuat sesuatu. Sambil menunggu Ki Lurah membunuh Agung Sedayu. kita mempunyai sedikit waktu.” “Untuk apa? “ “Kau pernah mendengar bahwa Demang Sangkal Putung adalah Demang yang kaya?” “Lalu?” “Kita sudah berada di Sangkal Putung sekarang. Bukankah ini merupakan kesempatan yang baik?” “Kita merampok maksudmu?” “Ya.” “Ah. itu bukan tujuan kita. Kita mengawal Ki Lurah untuk tujuan tertentu. Bukan untuk merampok.” Yang lain tersenyum. Katanya, “Sejak kapan kau menjadi orang yang sangat baik hati? Kita sudah terbiasa mempergunakan segala kesempatan. Sekarang kesempatan itu datang lagi. Setelah kita yakin bahwa Ki Lurah akan menang, dan kitapun yakin bahwa jika kawan-kawan Agung Sedayu itu mencoba membantunya, maka mereka akan dilumatkan pula, sehingga kita mempunyai waktu untuk berbuat sesuatu yang tentu akan menyenangkan hati Ki Lurah pula berhasil membunuh Agung Sedayu sementara kita akan mendapat pendok mas tretes intan berlian, timang mas dan berjenis-jenis perhiasan yang pasti ada di rumah itu.” Kawannya berpikir sejenak, sementara yang lain melanjutkan, “Ki Lurah tentu akan memuji ketangkasan kita berpikir dan mempergunakan waktu.” Kawannya menjadi ragu ragu. Tiba-tiba saja ia bertanya, “He. apakah diantara mereka terdapat Ki Demang dan Ki Jagabaya?” Yang lain mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Aku tidak tahu pasti. Tetapi seandainya merekapun ada tidak akan banyak berarti.” “Maksudmu, jika mereka bukan Ki Demang dan Ki Jagabaya, mungkin Ki Demang justru masih ada didalam rumahnya.” Kawannya tersenyum kecut. Jawabnya, “Demang Sangkal Putung tidak lebih dari seekor kelinci sakitsakitan.” Kawannya berpikir sejenak, namun iapun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, “Ya. Demang Sangkal Putung tidak lebih dari seekor kelinci sakit-sakitan.”

Keduanyapun kemudian bergeser dari tempatnya. Mereka masuk jauh kedalam bayangan pepohonan. Dengan hati-hati mereka merambat kekebun belakang. Dari kebun itu mereka akan masuk kekebun dibelakang rumah Ki Demang Sangkal Putung. “Mereka tentu tidur nyenyak,“ desis yang seorang, “hanya orang-orang yang memiliki daya tahan yang tinggi sajalah yang dapat terhindar dari sirep yang tajam ini.” “Jika semua pintu diselarak, kita akan memecah pintu butulan atau pintu belakang,“ berkata yang lain. Dengan demikian keduanya sama sekali tidak ragu-ragu lagi. Mereka meloncat kekebun dibelakang rumah Ki Demang Sangkal Putung. Kemudian mereka berjalan menuju kepintu dibagian belakang. “Pintu ini diselarak,“ desis yang seorang. Yang lain tertawa. Katanya, “Apa artinya pintu bagi kami dalam keadaan seperti ini ? Kita dapat memecahnya seperti kita memecah gerabah. Tidak ada kesulitan apapun juga.” Kawannya tidak menjawab. Iapun mengerti, bahwa memecah pintu itu memang tidak ada sulitnya. Dan iapun tahu bahwa suaranya tidak akan membangunkan orang-orang yang terkena sirep. Karena itu, ia sama sekali tidak mencegah ketika kawannya dengan serta merta telah menendang pintu lereg itu dengan sekuat tenaganya. Pintu itu pecah berkeping-keping. Suaranya berderak memekakkan telinga. Namun seperti yang diperhitungkan oleh kedua orang itu, tidak seorangpun yang tidur diruang belakang terbangun. Juga mereka yang tidur didapur dan diserambi. Dua orang itu termangu-mangu sejenak. Seperti berjanji keduanya tertawa melihat pintu yang menganga dan suasana yang sepi. “Tidak seorangpun yang terbangun. Lihat, perempuan itu tidur nyenyak sekali,“ berkata yang seorang. “Yang lainpun seperti mati. Marilah kita masuk keruang dalam. Kita akan membongkar segala geledeg dan peti-peti penyimpanan harta benda Demang yang kaya raya ini.” Sejenak mereka memandang berkeliling. Mereka melihat perabot Demang Sangkal Putung yang terhitung lengkap. Karena itulah maka mereka menganggap, bahwa barang-barang simpanannyapun tentu cukup banyak. “Apa arti kematian Agung Sedayu,” desis yang seorang, “barangkali baru lengkap artinya jika kami mendapatkan sesuatu dari rumah ini.”

“Ah macam kau tentu berpijak pada pikiran yang rendah. Bagi Ki Lurah kematian Agung Sedayu itulah yang terpenting.” “Dan kita tidak mendapat kemenangan apapun dari Kademangan ini jika kita sekedar melihat Agung Sedayu mati.” Yang seorang mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Persetan.” Kawannya tertawa. Sambil melangkah kepintu yang menyekat ruang belakang dan ruang dalam disisi ruang tengah ia berkata, “Jadi kau tidak mau ikut ?” Kawannya menggeram, “Setan kau. Daripada kau ambil semua, lebih baik aku ikut mengambil pula.” Keduanya tertawa pula. Mereka bersama-sama melangkah masuk keruang dalam justru saling mendahului sehingga mereka berdesak-desakan dimuka pintu yang memang tidak diselarak. Namun tiba-tiba saja mereka terkejut. Sejenak mereka termangu-mangu. Mereka mendengar sesuatu diruang tengah rumah Ki Demang Sangkal Putung yang besar itu. “Kau mendengar sesuatu ?” bertanya yang seorang untuk meyakinkan pendengarannya. Yang lain mengangguk. Jawabnya, “Ya. Seorang terbatuk-batuk kecil. Apakah seorang yang terbangun tetapi kemudian tertidur lagi, atau memang seseorang yang sakit batuk sedang terbatuk didalam tidurnya, atau...” Tetapi kata-kata itu terputus. Mereka terkejut bukan kepalang ketika mereka mendengar jawaban, “Ya. Kami memang sakit batuk dan terbatuk-batuk selagi tidur.” “Setan. Suara perempuan. Apakah Ki Demang memelihara setan betina ?,” geram yang seorang. Yang lain tidak sabar lagi. Dengan garangnya ia meloncati pintu yang memisahkan ruang itu dengan ruang tengah. Sekali lagi terkejut. Ia melihat dua orang perempuan dan seorang laki-laki yang berdiri hampir ditengah-tengah ruangan itu. “Siapa kau? “ orang itu menggeram sementara kawannya telah menyusulnya. Yang berdiri diruang itu adalah Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Ki Demang. Dengan tajamnya mereka bertiga memandang kedua orang yang memasuki rumahnya dari pintu belakang. “Kami mendengar pintu rumah ini kau pecah,” geram Ki Demang. “Siapa kau?”

“Aku Demang Sangkal Putung.” Tiba-tiba saja kedua orang itu tertawa. Dengan lantang salah seorang dari mereka berkata, “Bagus Ki Demang. Ternyata Ki Demang termasuk seorang yang luar biasa, bahwa Ki Demang dapat melepaskan diri dari pengaruh sirep. Tetapi terlebih-lebih lagi adalah kedua orang perempuan ini. Nampaknya mereka bukan perempuan kebanyakan, menilik pakaiannya dan kemampuannya mengatasi ilmu yang tajam ini.” “Tetapi siapakah kalian Ki Sanak?” bertanya Ki Demang. “Tidak ada perlunya Ki Demang mengetahui siapa kami. Sebaiknya Ki Demang dengan sukarela menyerahkan semua yang ada pada Ki Demang. Jika persoalan ini cepat selesai, Ki Demang akan sempat menyaksikan saat-saat terakhir dari Agung Sedayu yang mengalami nasib buruk dihalaman.” Ki Demang menjadi semakin tegang. Namun ia segera mengetahui bahwa kedua orang itu tentu bermaksud buruk. Bahkan tentu ada hubungannya dengan orang-orang yang sedang berada dihalaman. Ternyata bahwa mereka telah menyebut Agung Sedayu. Tetapi Sekar Mirah dan Pandan Wangi, keterangan orang itu membuat mereka semakin berdebardebar. Jika benar bahwa Agung Sedayu mengalami kesulitan, maka apakah mereka dapat berdiam diri. “Apakah Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Widura hanya menonton saja sambil bermimpi,” bertanya Sekar Mirah didalam hatinya. Namun kegelisahan itu ternyata telah tertumpah pada siapnya terhadap kedua orang yang telah memasuki rumahnya itu. Dengan lantang ia menjawab, “Kau tidak berhak memasuki rumah kami. Apalagi jelas bahwa kalian bermaksud jahat. Tetapi dengan demikian tidak ada lagi jalan keluar. Kalian harus kami tangkap.” Kedua orang itu tertawa keras-keras sehingga tubuhnya berguncang. Salah seorang dari keduanya berkata disela-sela derai tertawanya, “Jangan marah gadis manis. Kau harus menyadari bahwa yang ingin kami minta dari Ki Demang adalah semua miliknya termasuk kau. He, apakah kadua perempuan ini isteri muda Ki Demang.” “Gila,“ teriak Sekar Mirah, “aku anaknya, dan ini adalah menantunya. Tetapi kau tidak usah berurusan

dengan kakang Swandaru agar kau tidak dicincangnya sampai lumat. Menyerahlah dan berlututlah dibawah kaki kami.” Keduanya menjadi tegang, dengan heran keduanya memandang Sekar Mirah dengan sorot mata yang mulai menyala. Kemarahan yang mulai tumbuh didalam dada mereka membuat kedua orang itu tidak dapat menahan diri lagi. “Persetan,” geram yang seorang, “kita buat mereka jera. Meskipun sebenarnya perempuan-perempuan cantik itu kami perlukan. Tetapi mereka berdua sangat sombong.” Sekar Mirah bergeser setapak. Katanya, “Jangan banyak bicara. Jika kau ingin berbuat sesuatu, lakukanlah, agar bukan kami yang dianggap mulai dengan pertengkaran ini.” Keduanya benar-benar tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dengan garangnya keduanya melangkah mendekat. “Ayah,“ berkata Sekar Mirah kemudian, “tolong, awasilah pintu yang terbuka itu. Mungkin masih ada kawannya yang akan memasuki rumah ini. Jika ayah melihatnya, bunuh sajalah orang itu sebelum kakinya melangkahi tlundak.” Ki Demang termangu-mangu. Tetapi Sekar Mirah mendesaknya, “Silahkan ayah. Biar kedua orang ini kami selesaikan.” Kedua orang itu tak dapat menahan diri lagi. Dengan serta merta mereka pun menyerang kedua perempuan itu dengan garangnya. Namun mereka terkejut pada serangannya yang pertama. Baik Pandan Wangi maupun Sekar Mirah berhasil menghindar dengan kecepatan melampaui kecepatan gerak mereka. “Perempuan gila,“ desis salah seorang dari mereka. Tetapi orang itu tidak sempat meneruskan katakatanya. Sekar Mirah yang marah telah menyerang dengan garangnya. Dengan demikian, maka didalam rumah itupun telah terjadi perkelahian pula antara dua orang lakilaki yang ingin merampok isi rumah Ki Demang melawan Sekar Mirah dan Pandan Wangi, sementara Ki Demang Sangkal Putung mengawasi keadaan. Namun iapun menjadi cemas melihat keadaan di Sangkal Putung. Dihalaman rumahnya. Agung Sedayu sedang berperang tanding, sementara didalam rumahnya Sekar Mirah dan Pandan Wangi bertempur melawan dua orang yang tidak dikenalnya, tetapi yang pasti mempunyai hubungan dengan orang-orang yang berada dihalaman. Namun Ki Demang percaya akan kemampuan kedua orang perempuan itu. Apalagi setelah ia sempat melihat perkelahian itu sekilas. Beberapa kali kedua laki-laki itu terpaksa beringsut dan bahkan mereka mulai dikenai oleh pukulan Sekar Mirah dan Pandan Wangi.

“Gila,” geram yang seorang, “perkelahian ditempat yang sempit ini tidak menguntungkan. Jikakau memang benar-benar perempuan pilihan, kita akan keluar dari rumah ini.” Sekar Mirah dan Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi bagi mereka, tempat yang lebih luas akan memberikan kesempatan lebih banyak. Karena itu, baik Sekar Mirah dan Pandan Wangi sengaja memberi kesempatan kedua orang lawannya bergeser keluar lewat pintu yang telah mereka rusakkan. “Beri kesempatan mereka lewat ayah,“ desis Sekar Mirah. Ki Demang tidak berbuat sesuatu ketika kedua orang itu berloncatan keluar dan bersiap menunggu lawan-lawannya. Namun agaknya mereka tidak bersabar lagi dan ingin bertempur sampai kemungkinan terahir. sehingga karena itu mereka telah menggenggam senjata ditangan masing-masing. Sekar Mirah dan Pandan Wangipun ingin dengan segera menyelesaikan pertempuran itu. Merekapun ternyata telah menggenggam senjata masmg-masing pula. Sekar Mirah telah menggenggam tongkat baja putihnya, sementara Pandan Wangi telah membawa sepasang pedang di kedua tangannya. Kedua orang itu menjadi berdebar-debar melihat sikap anak dan menantu Ki Demang itu. Kedua perempuan itu nampak meyakinkan dengan senjata masing-masing ditangan. Namun dua orang perampuan itu merasa bahwa mereka adalah orang yang berpengalaman menjelajahi daerah-daerah yang gelap penuh dengan genangan darah. Dalam pada itu. Agung Sedayu yang bertempur dihalaman masih mengalami kesulitan. Setiap kali ia harus mengatasi bentakan-bentakan perasaannya karena goncangan tanah tempatnya berpijak dan getaran-getaran yang seolah-olah meretakkan dadanya. Dalam keadaan yang sulit, lawannya telah melibatnya dengan serangan-serangan beruntun yang seakan-akan tidak terelakkan lagi. Kemanapun Agung Sedayu berusaha menghindar, maka lawannya selalu mengejarnya dengan serangan-serangan baru yang susul menyusul. Tetapi betapapun juga. Agung Sedayu tidak berputus asa. Dalam libatan serangan lawannya. Agung Sedayu tetap berusaha dengan sekuat tenaga. Dalam pada itu, sentuhan-sentuhan tangan lawan mulai terasa ditubuh Agung Sedayu bagaikan menyengat-nyengat. Kadang-kadang ia terlempar jatuh, bahkan sebelum ia sempat berdiri tegak, maka kaki lawannya telah menghantamnya sehingga ia telah terguling kembali ditanah yang lembab oleh embun malam. Kecemasan yang sangat telah nderayapi hati mereka yang menyaksikan. Kiai Gringsing menjadi gemetar oleh kemarahan yang mencengkam dadanya, sementara Ki Waskita dan Ki Widura berdiri

gemetar tanpa berbuat sesuatu. Disebelah yang lain, Swandaru menggeram seperti seekor harimau yang lapar. Namun sementara itu, kawan-kawan orang yang memiliki ilmu yang aneh itu mulai tersenyum. Salah seorang dari mereka berbisik, “Ternyata perhitunganku salah. Aku tidak sependapat dengan cara ini, karena aku mengira bahwa Agung Sedayu tidak akan dapat dikalahkannya.” “Omong kosong dengan Agung Sedayu,“ sahut yang lain, “adalah kebetulan bahwa ia berhasil mengalahkan Telengan.” Keduanya mengangguk-agguk. Mereka melihat Agung Sedayu berloncatan, berguling dan bahkan seolah-olah menghindar. Namun dalam pada itu, ada sesuatu yang mulai terasa aneh di hati Agung Sedayu. Setiap kali lawannya melibatnya dengan serangan yang beruntun, maka ia merasa dirinya mempunyai kesempatan untuk mengelakkan serangan-serangan itu. Meskipun beberapa kali lawannya berhasil mengenai tubuhnya, namun serangan-serangan yang menjadi semakin longgar hingga pada saatnya ia berhasil membebaskan diri. Tetapi pada saat yang demikian, kembali ia diguncang oleh bentakan-bentakan tanah dan teriakan-teriakan yang menghimpit jantung. Tetapi Agung Sedayu masih mencoba meyakinkannya. Ia membiarkan dirinya dilihat oleh seranganserangan yang ganas dari lawannya. Kemudian dengan kecepatannya bergerak ia mampu melepaskan diri sedikit demi sedikit. Namun dalam keadaan yang demikian, terasa keseimbangannya mulai diganggu. Tidak ada jalan lain,“ desis Agung Sedayu, “aku tidak mau mati sekarang. Betapapun juga, aku harus mempertahankan hidupku. Jika akibatnya tidak seperti yang aku inginkan, adalah diluar kemampuanku.” Yang diperlukan Agung Sedayu kemudian adalah kesempatan. Menurut perhitungannya, lawannyapun memerlukan kesempatan untuk melepaskan ilmu yang aneh baginya. Dalam pertempuran yang rapat, lawannya tidak sempat mengguncang tanah dan melepaskan getaran lewat suara teriakan dan tertawanya. Jika Agung Sedayu merenggang dan lepas dari libatan serangannya, barulah ia melepaskan ilmunya yang aneh itu. Karena itulah, maka Agung Sedayu yang tubuhnya mulai dijalari oleh perasaan sakit dan nyeri itu mulai membuat pertimbangan yang mapan. Ia tidak ingin gagal dan terjerumus kedalam kesulitan yang semakin parah. Dengan sisa tenaganya, pada saat-saat lawannya melibatkan dalam serangan yang seolah-olah tidak dapat dihindarinya, maka Agung Sedayu mencoba untuk mengetrapkan perhitungannya. Ia sama sekali tidak menghindar dan mengelak. Tetapi ia dengan segenap kekuatannya sengaja membenturkan dirinya pada kekuatan lawannya.

Ketika Agung Sedayu terguncang oleh hentakkan ilmu lawan yang seolah-olah menimbulkan gempa, Agung Sedayu memusatkan daya tahannya untuk melawan serangan lawan yang menurut perhitungannya akan segera menghantamnya. Dalam goncangan itu ia melihat lawannya mulai meloncat dengan kakinya yang terjulur lurus mengarah kedadanya. Serangan yang berkali-kali telah melemparkannya jatuh ditanah disusul dengan serangan-serangan lain yang membuatnya menjadi bingung. Tetapi Agung Sedayu tidak menghindar. Meskipun rasa-rasanya tanah dibawah kakinya bergelombang, namun ia tetap berdiri sambil menyilangkan tangannya didadanya. Ternyata telah terjadi benturan yang dahsyat. Agung Sedayu masih juga terlempar beberapa langkah. Ia jatuh berguling sambil menyeringai kesakitan. Dadanya yang tertekan oleh tangannya yang dibuatnya sebagai perisai, terasa sakit. Nafasnya bagaikan terputus untuk sesaat. Namun dalam pada itu, ternyata bahwa lawannyapun telah terlempar pula. Meskipun ia tidak jatuh terguling, tetapi iapun menjadi terhuyung-huyung. Kakinya merasa sakit bagaikan membentur dinding baja yang tak tergoyahkan. Pada saat itulah Agung Sedayu memperguinakan kesempatan sebaik-baiknya. Dengan tenaga yang masih ada padanya iapun segera bangkit dan duduk diatas tanah. Sengaja ia tidak berdiri untuk memperkecil goncangan-goncangan yang melepaskan keseimbangannya. Lawannya sama sekali tidak mengerti apa yang akan dilakukan oleh anak muda itu. Dalam keadaan yang demikian, ia sudah siap menghentak tanah dan berteriak atau tertawa sekeras-kerasnya, sehingga bumi bagaikan diamuk gempa, dan isi dada bagaikan rontok karenanya. Agung Sedayu tidak menghiraukannya. Ia hanya memerlukan waktu yang tidak lebih lama dari waktu yang diperlukan oleh lawannya. Baginya tidak ada jalan yang dapat dilakukan kecuali langsung melumpuhkan sumber dari goncangan-goncangan tanah tempatnya berpijak dan hentakan jantung dadanya. Tidak dalam libatan benturan jasmaniah, karena rasa-rasanya ia tidak dapat mengatasi gangguan keseimbangannya. Lawan Agung Sedayu itu menjadi heran ketika ia melihat Agung Sedayu justru duduk diam. Anak muda itu tidak lagi berusaha untuk melonjak-lonjak menghindari serangan-serangannya yang bakal datang beruntun atau menekan dadanya dengan telapak tangannya oleh hentakan yang tidak tertahankan. Tetapi lawan Agung Sedayu itu tidak menghiraukannya. Didahului dengan lontaran ilmunya yang mengguncang bumi dan memeras jantung, ia siap untuk meloncat menyerang. Pada saat itu Agung Sedayupun sudah siap, ia benar ingin melumpuhkan lawannya sebelum lawannya menyentuh tubuhnya dalam serangan yang akan datang membadai.

Sejenak suasana dihalaman itu menegang. Orang-orang yang menyaksikan perang tanding itupun menahan nafasnya. Mereka melihat sikap Agung Sedayu yang berbeda. Anak muda itu seakan-akan sedang merenungi nasibnya yang buruk menghadapi serangan yang tidak terelakkan. Bahkan seolah-olah Agung Sedayu sudah berputus, asa, duduk diam tanpa mengadakan perlawanan lagi betapapun dahsyatnya serangan lawannya. Namun dalam pada itu. Kiai Gringsing dan Ki Waskita menjadi berdebar-debar. Bahkan diluar sadar mereka telah bergeser mundur. Tetapi Swandaru yang tak mengetahui apa yang akan terjadi, benar-benar jadi bingung melihat sikap Agung Sedayu. Iapun mengira bahwa Agung Sedayu sudah tidak mempunyai tenaga lagi untuk melawan, sehingga karena itu, maka iapun duduk pasrah menerima nasibnya. Pada saat yang tegang itu, halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung telah digetarkan oleh teriakan yang mengguncang jantung dari Agung Sedayu yang sedang melontarkan ilmunya. Bumi bagaikan diguncang oleh gempa yang maha dahsyat. Namun Agung Sedayu tetap duduk ditempatnya. Matanya bagaikan menyala memandang lawannya yang sedang melontarkan ilmunya. Pada saat itulah agung Sedayu telah siap membakar lawannya dengan ilmu yang pernah diserapnya. Ia tidak menyerang lawannya dengan sentuhan wadagnya, tetapi dengan sorot matanya yang tajam bagaikan menusuk langsung kepusat jantung lawan. Pandangan matanya yang mempunyai kekuatan hentakan kekuatan wadag berlipat-lipat, dengan dahsyatnya telah melihat lawannya menekan dan meremas isi dadanya. Lawan Agung Sedayu terkejut. Dadanya menjadi pepat bagaikan terhimpit sepasang gunung yang runtuh. Darahnya menjadi panas seakan-akan mendidih didalam pembuluhnya yang menyelusuri seluruh tubuh. Sejenak orang itu menggeliat. Dikerahkannya segenap daya tahannya untuk melawan himpitan yang tidak dilihatnya dengan mata wadagnya menjepit isi dadanya, serta panasnya darah diurat nadinya. Agung Sedayu yang duduk dengan tegang, merasa goncangan tanah tempatnya duduk menjadi berkurang. Getaran yang meremas jantung didadanyapun mengendor pula. Bahkan ia melihat lawannya mulai menggeliat menahan sakit. Ternyata ilmu Agung Sedayu berbeda dengan ilmu lawannya. Lawannya hanya mampu mempengaruhi perasaan Agung Sedayu, sehingga Agung Sedayu menjadi kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Seolah-olah ia telah kehilangan keseimbangan dan sesak nafas.

Tetapi ilmunya sendiri, adalah benar-benar merupakan serangan langsung kepada tubuh lawannya. Tatapan matanya mempunyai kekuatan rabaan wadag yang kekuatannya tidak terlawan. Itulah sebabnya, maka tiba-tiba saja lawannya menggeram. Namun kemudian menggeliat sambil berdesis menahan sakit. Tetapi himpitan didadanya itu semakin lama menjadi semakin keras, dan panas darahnya bertambah tinggi, sehingga akhirnya badannya bagaikan terbakar oleh kekuatan ilmu Agung Sedayu yang memancar dari sorot matanya Ketegangan dihalaman Kademangan Sangkal Putung itupun menjadi semakin meningkat. Kawan-kawan lawan Agung Sedayu itu menjadi heran melihat keadaanya. Mereka tidak melihat dengan mata wadag, apakah yang terjadi. Tetapi yang mereka lihat, adalah libatan kesakitan yang seakan-akan tidak tertahankan.

Buku 117 Swandarupun sejenak tercenung diam. Ia menghubungkan keadaan lawannya dengan benturan yang terjadi sebelum keduanya terlibat pada pertempuran yang aneh itu. Menurut perhitungan Swandaru, benturan yang meskipun telah melemparkan Agung Sedayu itu agaknya menumbuhkan luka-luka dibagian tubuh lawannya yang lengah, karena ia menganggap bahwa Agung Sedayu sudah tidak berdaya. Namun dalam pada itu. Kiai Gringsing dan Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Sekilas mereka memandang Swandaru dan Ki Widura berganti-ganti. Agaknya keduanya kurang menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi. Namun akhirnya Ki Widurapun mengangguk-angguk kecil. Dalam pada itu. Agung Sedayu tidak mau melepaskan lawannya. Ia menekan semakin keras himpitan ilmunya, sehingga lawannya merasa seakan-akan dadanya telah hancur dan urat nadinya menjadi hangus. Sejenak orang yang dikagumi dari Pesisir Endut itu masih mencoba bertahan. Namun akhirnya ia terhuyung-huyung, ia sama sekali tidak mampu lagi mengatasi kesulitan pada tubuhnya yang dihantam oleh ilmu yang tidak terlawan. Sejenak Agung Sedayu masih tetap menguasai lawannya dengan ilmunya. Namun ketika ia melihat lawanya mulai terhuyung-huyung dan bahkan kemudian jatuh pada lututnya. Agung Sedayu mulai dijalari oleh hambatan-hambatan didalam hatinya sendiri. Sementara itu, kawan-kawan orang yang terluka didalam itu menjadi termangu-mangu. Mereka menyadari, bahwa saudara tua kakak beradik dari Pesisir Endut itu diluar dugaan, telah kehilangan kekuatan dan kemampuannya. Ia tidak lagi sempat mengguncangkan bumi tempat mereka berpijak dan meremas jantung didalam setiap dada. Yang terjadi kemudian, bahwa orang itu telah menjadi sangat lemah dan berdiri diatas lututnya sambil bertelekan kedua tangannya. Kecemasan yang sangat telah menjalari dada mereka. Keadaan yang tiba-tiba itu telah membuat mereka menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Tetapi sudah barang tentu bahwa mereka tidak mau hanyut bersama kesalahan saudara tua kakak beradik dari Pesisir Endut itu. Apalagi merekapun merasa bahwa mereka memiliki ilmu yang tinggi lagi masih dalam bentuk yang berbeda dengan orang yang telah dilumpuhkan oleh Agung Sedayu itu. Selagi mereka termangu-mangu, tiba-tiba mereka mendengar hiruk pikuk yang semakin keras. Mereka mendengar dentang senjata beradu dan hentakan-hentakan beruntun.

Sebenarnyalah, bahwa mereka yang bertempur dibelakang rumah Ki Demang itu telah bergeser selangkah demi selangkah mereka mamasuki halaman samping diluar sadar. Namun dalam pada itu, orang-orang yang datang ke Sangkal Putung itupun mengerti, bahwa dua orang pengikut orang dari Pesisir Endut itu agaknya telah terlibat dalam perkelahian pula. “Gila,” geram salah seorang dari mereka yang berada dihalaman, “apakah masih ada orang Sangkal Putung lainnya yang terlepas dari pengaruh sirep ini?” Kawannya tidak menjawab. Tetapi ia tidak melihat kemungkinan lain kecuali melibatkan diri kedalam pertempuran. Saudara tua kakak beradik dari Pesisir Endut yang mereka banggakan itu ternyata disaatsaat terakhir bagaikan kehilangan segenap ilmunya dan jatuh dihadapan Agung Sedayu. Namun itu bukan berarti bahwa merekapun harus menyerah dan membiarkan diri mereka diikat sebagai tawanan, karena sebenarnyalah merekapun memiliki kemampuan yang tinggi. Jika mereka membiarkan salah seorang kawan mereka bertempur dalam perang tanding, itu adalah karena orang itu telah dipenuhi dendam yang tidak tertahankan, sehingga ia menuntut untuk mendapat kesempatan melepaskan dendamnya. Seperti permintaannya, dan kepercayaannya kepada diri sendiri, maka saudara tua kakak beradik dari Pesisir Endut yang telah mati terbunuh oleh Pangeran Benawa itu menempatkan diri sebagai lawan tunggal Agung Sedayu. Meskipun ia mengetahui bahwa Agung Sedayu telah mengalahkan beberapa orang lawannya dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, namun ia merasa bahwa dirinya tidak kalah perkasa dari Telengan, Wanakerti, Kelasa Sawit dan orang-orang lainnya. Namun akhirnya iapun harus tunduk kepada kenyataan, bahwa Agung Sedayu memang seorang anak muda yang tidak dapat dikalahkannya. Tetapi kekalahan saudara tua kakak beradik yang mati oleh Pengeran Benawa itu bukan berarti bahwa semua kawan-kawannya harus tunduk kepada orang-orang Sangkal Putung. Apalagi diantara mereka telah terlanjur terlibat kedalam perkelahian yang menentukan. Itulah sebabnya, maka saat yang gawat itu telah dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tiba-tiba saja salah seorang dari kawan orang yang dilumpuhkan oleh Agung Sedayu itu meloncat menyerang Swandaru yang termangu-mangu melihat kemenangan saudara seperguruannya. Untunglah bahwa Swandaru tidak lengah karenanya. Ia melihat gerak lawannya yang bagaikan bayangan menyambarnya. Karena itu maka iapun segera bersiaga dan dengan cepat menghindari serangan itu. Demikianlah, maka Swandarupun segera terlibat kedalam pertempuran. Sementara yang lainpun telah menyerang Ki Waskita pula. Dalam pada itu, dua orang yang memasuki halaman itu dari sebelah dinding batu itupun termangu-

mangu. Salah seorang dari mereka berdesis, “Sudah aku nyatakan, bahwa aku tidak setuju dengan caranya.” Tetapi yang lain menyahut, “Tidak ada waktu dan kesempatan lagi. Kita tidak akan membiarkan diri kita menjadi tawanan orang-orang Sangkal Putung.” Tidak ada pembicaraan lagi. Ki Widurapun segera terlibat pula dalam pertempuran yang sengit, sementara Kai Gringsing tidak dapat menghindar lagi. Seseorang telah menyerangnya dengan senjata langsung mengarah kedadanya. Ternyata kemudian, bahwa orang-orang yang semula sekedar melihat pertempuran itu, masing-masing memiliki ilmu yang tinggi pula. Mereka sudah memperhitungkan, jika perang tanding itu berakhir dengan kekalahan kawan mereka, maka adalah menjadi kewajiban mereka untuk berbuat sesuatu bagi kepentingan diri mereka masing-masing dan untuk kepentingan kedatangan mereka ke Sangkal Putung, membinasakan Agung Sedayu. Sejenak kemudian dihalaman Sangkal Putung itupun telah terjadi pertempuran yang seru. Sementara itu. dua orang yang bertempur melawan Pandan Wangi, dan Sekar Mirah pun telah memasuki halaman depan pula diluar sadar mereka. Yang masih tetap berada didalam rumah adalah Ki Demang Sangkal Putung. Ia tidak berani meninggalkan pintu rumahnya yang pecah, karena setiap saat ada kemungkinan seseorang memasukinya. Karena itulah maka ia tetap berjaga-jaga dengan senjata di tangan. Agung Sedayu sendiri masih duduk dengan lemahnya. Seolah-olah ia sedang memulihkan kekuatannya yang tersisa. Dadanya terasa sakit disegala sendi-sendiniya, sementara pengerahan tenaga dalam ilmunya yang aneh itu telah menghisap tenaganya pula. Itulah sebabnya untuk sesaat ia mencoba memulihkan kekuatannya. Ia tidak melibatkan diri dalam pertempuran yang segera terjadi. Hanya sekilas ia melihat Swandaru bertempur dengan sengitnya, sementara yang lainpun telah melibatkan diri pula. Ternyata bahwa lawan-lawan merekapun adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang tidak terduga. Mereka bukannya sekedar orang-orang yang ikut serta untuk melihat dan jika perlu berlindung dibelakang orang yang telah dikalahkan itu. Tetapi mereka masing-masing adalah orangorang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Namun dalam pada itu, ternyata Agung Sedayu telah lengah. Ia tidak begitu menghiraukan lawannya yang jatuh diatas lututnya dan seolah-olah tidak berdaya lagi. Ia membiarkan lawannya yang dikiranya telah lumpuh itu. Apalagi karena ia melihat orang itu tetap pada sikapnya, berdiri diatas lututnya sambil bertelekan dengan kedua tangannya.

“Ia memerlukan waktu untuk memulihkan tenaganya,“ berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri, “ia akan dengan mudah ditangkap dan menjadi tawanan yang tidak berdaya.” Karena itulah maka perhatiannya sebagian terbesar ditujukan kepada pertempuran yang tengah berkobar dihalaman. Apalagi ketika ia melihat bahwa Sekar Mirah dan Pandan Wangi pun telah terlibat dalam perkelahian melawan dua orang dari lawan-lawan mereka yang berdatangan di Sangkal Putung. Dalam pada itu, selagi perhatian Agung Sedayu tertuju kepada kawan-kawannya dan terutama pada Sekar Mirah dan Pandan Wangi, maka perlahan-lahan orang yang telah dilumpuhkan itu berusaha memulihkan tubuhnya. Dengan cerdik ia berpura-pura tetap pada keadaannya tanpa berbuat sesuatu. Namun sambil berlutut dan bertelekan dengan kedua tangannya, Perlahan-lahan kekuatannya telah tumbuh kembali didalam dirinya. Tetapi kekuatan yang kemudian perlahan-lahan mulai timbul itu sama sekali tidak akan cukup kuat untuk berbuat dalam arena yang seru itu. Apalagi di halaman itu masih ada Agung Sedayu yang setiap saat masih akan siap melawannya. Karena itulah, maka orang yang masih saja berdiri pada lututnya itu membuat perhitungan lain. Ia sama sekali tidak berniat untuk bertempur lagi, karena ia tidak dapat mengingkari kenyataan. Sementara pertempuran di halaman itu menjadi semakin sengit, maka perlahan-lahan ia mengangkat wajahnya memperhatikan keadaan. Ia melihat Agung Sedayu tidak sedang memperhatikannya. Ia masih duduk dilempatnya, “Iapun kelelahan,“ berkata orang yang dikalahkan itu didalam hatinya, “tetapi keadaannya tentu jauh lebih baik dari keadaanku.” Karena itu. maka orang itupun harus segera mendapat keputusan. Dalam ributnya pertempuran itu, tiba tiba saja ia meloncat berdiri. Tanpa mengucap sepatah katapun, maka ia mempergunakan tenaganya yang ada untuk dengan secepat-cepatnya melarikan diri. Agung Sedayu terkejut melihat lawannya itu meloncat berlari. Karena itu, dengan serta merta iapun bangkit untuk mengejarnya. Namun pada saat itu ia mendengar teriakan nyaring. Dadanya bagaikan bergetar dan tanah tempatnya berpijak bagaikan goncang. Sejenak Agung Sedayu mempertahankan keseimbangannya. Bahkan iapun kemudian bersiap untuk melepaskan ilmunya yang ternyata tidak terlawan oleh orang yang luar biasa itu. Tetapi ternyata lawannya tidak menyerangnya lagi. Ia justru meloncat keatas dinding halaman. Ketika

ia kemudian menghilang dibalik dinding, maka terdengar suaranya bergema, “Agung Sedayu. Kali ini aku gagal. Tetapi aku tidak akan pernah menyerah sebelum aku berhasil memisahkan kepalamu dari tubuhmu.” Agung Sedayu tertegun. Ia tidak mengejar lawannya lebih jauh lagi. Namun ia justru menjadi termangu-mangu. Ancaman lawannya itu benar-benar membuatnya berdebar-debar. Bukan karena ia menjadi ketakutan. Tetapi dengan demikian maka dendam dihati orang yang mengaku kakak dari dua orang yang terbunuh Pangeran Benawa itu akan berkepanjangan. Sejenak Agung Sedayu merenungi dinding halaman yang mengelilingi arena perkelahian itu. Seolaholah ia melihat lawannya berlari cepat sekali bagaikan terbang dengan sayap rangkap. Namun seolaholah Agung Sedayu pun melihat, bahwa api dendam didada orang itu tentu akan berkembang semakin dahsyat. Di kesempatan lain, ia tentu masih akan datang kembali dan berusaha untuk membunuhnya. Betapa kegelisahan terasa semakin menekan hati didalam dada Agung Sedayu. Rasa-rasanya ia telah berdiri diatas perapian yang semakin lama nyalanya menjadi semakin besar dan semakin panas. Agung Sedayu tersadar dari angannya ketika ia dikejutkan oleh suara cambuk yang meledak. Ketika ia berpaling, ia melihat Swandaru sekali lagi mengangkat cambuknya, disusul oleh ledakan yang menekan telinga. Pertempuran di halaman itupun menjadi semakin dahsyat. Bukan saja Swandaru yang harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk melawan seorang yang bertubuh tinggi kekar, tetapi nampaknya yang lainpun harus bertempur dengan sengitnya. Namun ternyata bahwa ada beberapa orang diantara mereka yang menemukan lawan yang tidak seimbang. Adalah mengejutkan sekali bagi seseorang yang bersenjata sepasang trisula, bahkan orang tua yang diserangnya memiliki kemampuan yang tidak terduga. Agaknya ia telah salah memilih lawan, karena diluar pertimbangan yang masak ia telah menyerang Kiai Gringsing. Kiai Gringsing bukannya seseorang yang haus akan darah. Karena itu maka ia tidak dengan semena-mena bertempur dan menghancurkan lawannya. Meskipun ia memiliki kelebihan, tetapi ia berusaha untuk dapat menangkap lawannya dalam keadaan hidup. Namun dalam pada itu, dua orang diantara mereka yang bertempur dihalaman itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Adalah kebetulan sekali bahwa mereka berdua telah memilih lawan yang paling dekat pada saat pertempuran itu meledak. Keduanya adalah orang-orang yang diketemukan oleh Ki Waskita dan Ki Widura di halaman sebelah. Salah seorang dari keduanyalah yang telah mengatakan, bahwa mereka sebenarnya kurang setuju dengan sikap yang telah diambil oleh lawan Agung Sedayu.

Pada pertempuran itu, keduanya telah memilih lawan Swandaru dan Ki Waskita, sehingga karena itulah maka Swandaru harus bertempur dengan sekuat tenaganya untuk mempertahankan dirinya. Sementara itu, Ki Waskitapun harus berhati-hati menghadapi lawannya. Meskipun agaknya ia tidak sekuat lawan yang dikalahkan oleh Agung Sedayu. namun orang itupun memiliki kemampuan yang harus diperhitungkan. Tetapi karena ia membenturkan diri pada lawan yang tangguh, maka agaknya ia tidak akan mampu mengalahkannya. Lawan Ki Waskitalah yang pertama-tama harus melihat kenyataan. Ia merasa bahwa Ki Waskita tidak akan dapat dikalahkannya. Meskipun pada mulanya ia masih berpengharapan, namun ternyata kemudian bahwa orang yang disangkanya orang Sangkal Putung itu memiliki kemampuan luar biasa. Yang terdengar kemudian adalah satu isyarat pendek. Semacam bunyi burung tuhu. Tidak seorangpun yang mengetahui dengan pasti arti isyarat itu. Apalagi nampaknya tidak ada perubahan yang terjadi diarena. Orang-orang yang memasuki halaman itu masih saja bertempur dengan serunya. Ternyata bahwa isyarat itu hanya diketahui oleh dua orang saja diantara mereka yang sedang bertempur. Dua orang yang semula berdiri dihalaman sebelah, yang dengan tiba-tiba saja telah merubah sikapnya dalam saat tertentu setelah suara isyarat itu. Dengan segera mereka keduanya meloncat meninggalkan lawan-lawannya. Mereka mengerahkan segenap kemampuannya tidak untuk bertempur tetapi keduanya berhasil melepaskan diri dan berlari meloncati dinding batu hilang dikegelapan malam. Swandaru masih berusaha mengejar lawannya. Tetapi lawannya benar-benar orang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Langkahnya bagaikan tidak menyentuh tanah, dan tanpa dapat berbuat sesuatu Swandaru melihat orang itu seakan-akan terbang meloncati dinding. Swandaru juga berusaha meloncat keatas dinding. Namun yang kemudian nampak dihadapannya hanyalah kegelapan yang senyap. Kedua orang yang melarikan diri itu bagaikan lenyap ditelan bumi. Ki Waskita justru baru menyusul kemudian. Ia tidak segarang Swandaru. Meskipun ia masih mempunyai kesempatan, tetapi ternyata bahwa ia tidak mempergunakannya untuk mengejar lawannya. Ada keragu-raguan yang terselip dihatinya. “Mereka lenyap didalam kegelapan,” desis Swandaru. Ki Waskita mengangguk. Jawabnya, “Ya ngger. Mereka lenyap. Ternyata bahwa mereka adalah

orang-orang yang berilmu tinggi. Hanya karena mereka merasa tidak akan mampu menghadapi orangorang di Sangkal Putung, yang jumlahnya tentu akan semakin bertambah-tambah. maka mereka meninggalkan arena.” “Mereka ternyata licik paman.” “Menurut satu sudut pandangan, memang mereka licik. Seorang laki-laki akan bersedia mati untuk mempertahankan harga dirinya.“Ki Waskita berhenti sejenak, lalu, “tetapi agaknya mereka adalah seorang yang mempunyai nalar yang panjang. Mereka lebih senang tetap hidup, sehingga dikemudian hari masih ada kemungkinan baginya untuk mencapai tipuannya.” Swandaru mengerutkan keningnya. “Itu adalah dasar piikiran bagi mereka yang tidak merasa perlu membunuh dirinya dalam keadaan yang seharusnya masih dapat dihindarinya.“ kata Ki Waskita. Sambil mengangguk Swandaru berdesis, “Mungkin paman. Tetapi dengan demikian. maka seorang laki-laki akhirnya tidak perlu lagi mempersoalkan harga dirinya.” Ki Waskita termangu-mangu. Tetapi ia tidak menjawab. Ia kemudian menyadari, bahwa mungkin pendapat Swandaru akan berbeda. Dalam pada itu. keduanya seolah-olah tersadar ketika mereka mendengar teriakan nyaring. Ternyata bahwa lawan Pandan Wangi berusaha untuk menghentakkan segenap kemampuannya. Tetapi ternyata bahwa lawannya memiliki ilmu yang lebih tinggi daripadanya, sehingga hentakan kekuatannya itu sama sekali tidak berarti. Pandan Wangi dengan mudah mengelakkan serangan yang tiba-tiba itu. Bahkan kemudian ialah yang justru meloncat menyerang meski pun tidak dengan sepenuh tenaga. Swandaru yang melihat Pandan Wangi masih bertempur, tiba-tiba saja bergeser setapak. Namun ketika ia sudah siap untuk meloncat, Ki Waskita telah menggamitnya. “Kita harus mendapat keterangan tentang serangan ini ngger,“ berkata Ki Waskita. “Maksud paman?,“ Swandaru mengerutkan keningnya, “apakah kita harus menangkap mereka hidup-hidup.” “Aku kira demikian. Jika kita didorong oleh nafsu kemarahan, sehingga kita kehilangan perhitungan, maka kita akan kecewa. Kita tidak akan mendapatkan keterangan apapun juga. sehingga banyak hal yang seharusnya dapat kita pecahkan masih harus tetap merupakan teka-teki yang berkepanjangan.” Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah paman.

Tetapi aku tidak dapat membiarkan Pandan Wangi bertempur terus melawan laki-laki yang garang itu. Kakang Agung Sedayupun seharusnya menolong Sekar Mirah jika ia telah dapat memulihkan kesegaran badannya.” “Marilah. Kita akan berbuat sesuatu. Kita tidak akan membiarkan mereka lari meninggalkan halaman ini seperti yang lain.” Swandaru dan Ki Waskitapun kemudian meloncat turun dari dinding halaman. Mereka bergegas mendekati arena pertempuran yang sengit. Ternyata bahwa pertempuran dihalaman itu semakin lama menjadi semakin pasti. Lawan Kiai Gringsing sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu. Meskipun Kiai Gringsing masih saja memberi kesempatan menyerangnya, tetapi serangan-serangan itu sama sekali tidak berarti. Kiai Gringsing semata-mata bermaksud untuk sekedar memeras tenaga lawannya, agar lawannya itu akan kelelahan. Orang yang bertempur melawan Ki Widurapun tidak mempunyai harapan sama sekali untuk menang. Meskipun Ki Widura masih belum mampu menempatkan diri sejajar dengan Kiai Gringsing. Namun ternyata ia berhasil untuk menguasai lawannya. Sementara itu lawan Sekar Mirah dan Pandan Wangipun tidak melihat kesempatan sama sekali untuk menang. Apalagi ketika mereka melihat Swandaru dan Ki Waskita mendekati mereka. “Gila,” berkata orang-orang itu di dalam hatinya. Mereka merasa telah diumpankan oleh lurahnya. Namun betapapun juga, nampaknya sulit bagi mereka untuk dapat melarikan diri. Kecuali ilmu mereka memang masih belum setingkat dengan orang-orang yang telah menghilang dari halaman itu, merekapun melihat orang-orang yang telah kehilangan lawannya seakan-akan datang mengurung. Demikian juga orang-orang yang bertempur melawan Kiai Gringsing dan Ki Widura. Agung Sedayu yang tidak mau kehilangan lagi, telah berdiri didekat arena itu. Agaknya iapun telah bersiap untuk berbuat sesuatu jika lawannya yang masih tinggal berusaha untuk melarikan diri. Bahkan sejenak kemudian. Agung Sedayulah yang berkata nyaring, “Menyerahlah. Masih ada kesempatan. Sebentar lagi ilmu sirep ini akan terhapus dengan sendirinya. Para peronda akan terbangun, dan mereka akan berdatangan masuk kehalaman ini. Nah, kalian akan mengetahui akibatnya. Jika kalian mempunyai hubungan dengan mereka yang menyerang aku di Mataram, maka kalian tentu sudah mendengar, apakah yang telah terjadi dengan mereka. Para pengawal yang marah telah datang mencincang mereka beramai-ramai tanpa menghiraukan nilai-nilai kemanusiaan karena terdorong oleh kemarahan yang tidak tertahankan.” Kata-kata Agung Sedayu itu benar-benar berpengaruh. Sebenarnya Swandaru lebih senang untuk bertempur terus. Tetapi ia masih segan terhadap gurunya dan Ki Waskita.

Karena itu, ia tidak menyahut. Ia justru menunggu, apakah yang akan dilakukan oleh orang-orang yang sedang bertempur dihalaman melawan orang-orang Sangkal Putung itu. Sejenak kemudian, maka orang-orang yang berada dihalaman rumah Ki Demang dan terlibat dalam pertempuran yang tidak seimbang itu, benar-benar telah menjadi berputus asa. Bahkan mereka tidak mendapat kesempatan lagi untuk berbuat sesuatu. Bahkan meninggalkan halaman itupun agaknya tidak akan dapat mereka lakukan lagi. Karena itu, maka tawaran Agung Sedayu itu adalah kesempatan yang sebaik-baiknya yang dapat mereka lakukan. Meskipun demikian, mereka masih juga ragu-ragu. Jika mereka menyerah, apakah tidak ada kemungkinan Agung Sedayu ingkar, dan membiarkan mereka dicincang dihalaman itu. Namun sekali lagi mereka mendengar Agung Sedayu berkata, “Ki, sanak. Kami, orang-orang Sangkal Putung tidak ingin lagi melihat kematian-kematian terjadi di Kademangan ini. Karena itu, sekali lagi aku minta kalian untuk menyerah. Aku akan minta kepada, Ki Demang di Sangkal Putung agar kalian tidak mendapat hukuman yang terlalu berat.” Kata-kata itu benar-benar telah menentukan bagi orangorang yang sudah merasa diri mereka berdiri diujung pedang. Karena itulah maka merekapun kemudian hampir bersamaan melemparkan pedangnya sambil berteriak, “Kami menyerah.” Kiai Gringsing dan Ki Widura dengan cepat menguasai diri masing-masing. Pandan Wangipun segera menghentikan serangannya. Sekar Mirahlah yang agaknya masih didorong oleh kepedihan meninggalnya Ki Sumangkar, sehingga rasa-rasanya ia masih ingin melepaskan himpitan perasaan didadanya. Ketika lawannya menyatakan diri untuk menyerah sambil melepaskan senjatanya, Sekar Mirah masih mengalami kesulitan untuk menahan diri. Karena itulah, maka tangan kirinya masih menghantam dada orang itu, sehingga lawannya itupun terlempar jatuh. “Mirah,“ desis Agung Sedayu. Sekar Mirah berdiri tegak. Katanya dengan nada datar, “Aku sudah mencoba menguasai diri. Aku tidak menghantamkan dengan senjataku, sehingga kepalanya tidak hancur.” Agung Sedayu memandang orang yang terbaring itu. Namun agaknya orang itu masih sempat bangkit sambil menyeringai menahan sakit.

“Bangunlah. Berkumpullah dengan kawan-kawanmu,“ berkata Agung Sedayu. Sejenak orang itu masih harus menahan dadanya dengan telapak tangannya. Sejenak ia berdesis sambil berdiri diatas lututnya. “Jangan merajuk,“ Sekar Mirahlah yang membentak, “jika kau tidak lekas bangkit dan berkumpul dengan kawan-kawanmu, aku akan memecahkan kepalamu.” “Jangan, jangan,“ orang itu ketakutan. Namun justru karena itu maka iapun segera bangkit dan berjalan tertatih-tatih berkumpul dengan kawan-kawannya yang juga menyerah. Dalam pada itu, Ki Demangpun telah berada dihalaman itu pula. Namun Sekar Mirah masih juga bertanya, “Apakah pintu itu ayah tinggalkan terbuka?” “Ya. Pintu itu tidak dapat ditutup lagi,“ jawab ayahnya. “Tetapi bagaimana jika masih ada orang lain yang akan memasuki rumah itu? “ desak Sekar Mirah. Namun diluar dugaan, maka salah seorang dari mereka yang menyerah itupun menyahut, “Tidak ada orang lain. Kami hanya berlima.” Jawaban itu benar-benar menarik perhatian. Kiai Gringsing bahkan maju selangkah sambil bertanya, “Apakah benar yang kau katakan?” “Ya. Kami berangkat dari Pesisir Endut hanya berlima.” “Siapakah yang dua orang lagi?” bertanya Swandaru tidak sabar. Orang-orang itu termangu-mangu. Mereka nampaknya menjadi ragu-ragu untuk menjawab. “Sebut,“ bentak Swandaru sambil melangkah mendekati salah seorang dari mereka. Orang itu mengerutkan lehernya. Tetapi ia masih tetap tidak mengucapkan jawaban. Swandaru tidak sabar lagi melihat sikap orang itu. Apalagi kemarahan masih saja menyala didadanya, sehingga tiba-tiba saja ia sudah memukul pelipis orang itu sambil membentak, “jawab.” Orang itu terdorong selangkah. Bahkan kemudian iapun terjatuh ditanah. terdengar ia mengaduh tertahan. “He orang-orang Pesisir Endut,“ bentak Swandaru, “jika kalian mencoba untuk merahasiakan sesuatu yang sebenarnya kalian ketahui, maka jangan menyesal bahwa kamipun dapat bersikap seperti orang-

orang Pesisir Endut, seperti dua bersaudara yang ingin membunuh anak-anak yang sama sekali tidak bersalah dan tidak bersangkut paut dengan persoalannya. Apalagi kalian bukan anak-anak lagi, dan kalianpun langsung bersangkut paut dengan persoalan ini.” Wajah orang-orang Pesisir Endut itu menjadi pucat. “Bangun,” teriak Swandaru. Orang yang terjatuh itupun kemudian bangkit perlahan. Namun rasa-rasanya kakinya menjadi gemetar. Sikap Swandaru yang garang itu membuatnya menjadi semakin ketakutan. “Jawab pertanyaanku,” Swandaru semakin mendekat, “siapakah dua orang yang datang bersama kalian, tetapi yang kemudian melarikan diri selain pemimpin yang sudah berperang tanding dengan kakang Agung Sedayu?” Orang itu memandang Swandaru dengan wajah yang semakin pucat. Dengan bibir gemetar ia menjawab, “Bukan maksudku untuk merahasiakan sesuatu. Tetapi sebenarnyalah bahwa kami berempat itu tidak banyak mengetahui tentang kedua orang itu. Mereka adalah orang-orang yang sudah siap menunggu kami di pinggir Kota Raja.” “Pajang? “ desak Swandaru. “Ya.” “Jadi kalian singgah di Pajang lebih dahulu sebelum datang kemari?” Orang itu termangu-mangu. Sejenak ia memandang kawan-kawannya. Tetapi kawan-kawannya menundukkan kepalanya. Sehingga dengan demikian maka orang itu harus mencari jawabnya sendiri. “Kenapa kau diam? “ bentak Swandaru. Orang itu tergegap. Kemudian jawabnya, “Ya, kami memang singgah dahulu di Pajang untuk kemudian bersama-sama dengan dua orang itu melanjutkan perjalanan.” Swandaru memandang orang itu dengan tajamnya. Dengan suara gemetar ia menggeram, “Jangan mengelabui kami. Sebut nama kedua orang itu. Kau tentu mendengarnya lurahmu memanggilnya atau justru kau sudah mengenal mereka dengan baik.” “Aku tidak bohong.“ orang itu menjadi semakin gemetar. Swandaru menjadi tidak sabar lagi. Setapak ia maju dengan wajah yang membara.

Namun ketika tangannya hampir saja diangkatnya untuk memukul orang yang ketakutan itu, Ki Waskita berkata, “Aku percaya ngger, bahwa orang itu benar-benar tidak tahu siapakah kedua orang yang melarikan diri itu.” Swandaru berpaling. Tetapi wajahnya yang tegang masih saja tetap tegang. Bahkan dengan nada dalam ia berdesis, “Kenapa Ki Waskita mengambil kesimpulan demikian?” “Aku mendengar beberapa patah kata percakapan kedua orang itu. Mereka memang bukan berasal dari satu kelompok dengan orang-orang ini.“ Ki Waskita berhenti sejenak, lalu. “seandainya demikian, maka mereka berdua tentu tidak akan meninggalkan kawan-kawannya begitu saja tanpa berusaha untuk membawa mereka atau menghilangkan kemungkinan seperti yang kita lakukan sekarang.” Swandaru termenung sejenak. Namun Kiai Gringsing-pun berkata, “Biarlah orang-orang itu disimpan saja lebih dahulu Swandaru. Barangkali pada saatnya ada gunanya.” Swandaru memandang ayahnya sesaat. Sebenarnya ia agak berkeberatan menyimpan orang di Kademangannya, karena hal itu akan dapat mengundang persoalan yang mungkin akan menimbulkan kegoncangan di Kademangannya. Tetapi Swandaru tidak dapat berbuat lain. Dalam keadaan yang demikian ia tidak akan dapat menyelesaikan persoalan orang-orang itu menurut kehendaknya sendiri, atau memusnakannya sama sekali. Ki Demangpun berpikir sejenak. Bahkan kemudian ia berdesis, “Bagaimana jika orang ini kita serahkan saja kepada Pajang atau kepada Mataram?” “Untuk sementara tidak Ki Demang,“ Kiai Gringsinglah yang menjawab, “aku tahu bahwa orang-orang ini akan dapat mengundang keributan. Mungkin akan datang kawan-kawannya untuk membebaskannya. Memang akibatnya akan lebih gawat jika mereka tetap kita simpan dibandingkan jika mereka telah terbunuh sama sekali.” “Jangan, jangan,“ terdengar orang-orang itu meminta. “Kami tidak akan membunuh kalian,” sahut Agung Sedayu, “kami hanya membuat perbandingan. Dan kamipun minta agar kau mengerti.” Orang-orang itu terdiam membeku. Ada semacam kebimbangan tentang keselamatan diri. Mungkin Agung Sedayu hanya bergurau atau sengaja mempermainkan perasaan mereka, namun yang pada suatu saat akan menusuk dada mereka dengan pedang, atau mengikat leher mereka dengan tampar serabut, kemudian menggantung tinggi disudut padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung.

Namun agaknya Agung Sedayu dengan sungguh-sungguh berkata, “Cobalah menenangkan diri. ingatingatlah apa yang kalian ketahui selama kalian terpaksa kami simpan ditempat yang khusus. Beberapa orang pengawal akan menjaga kalian siang dan malam untuk beberapa hari.” Orang-orang itu menjadi agak tenang. Namun mereka masih juga bertanya kepada diri sendiri, “Bagaimana sesudah beberapa hari itu.” Dalam pada itu, setelah orang-orang itu dibawa untuk di simpan. Agung Sedayupun teringat kenapa para pengawal yang tertidur. Pengaruh sirep itupun agaknya sudah menjadi semakin menipis seperti kabut yang disentuh angin lembut. Meskipun peralahan-lahan, namun akhirnya hilang sama sekali. Dengan ragu-ragu Agung Sedayupun kemudian pergi ke gardu diregol halaman Kademangan. Dilihatnya beberapa orang masih tidur nyenyak. Ada yang bersandar pohon, ada yang terbaring di gardu. Dengan hati-hati agar tidak mengejutkan para pengawal Agung Sedayu menyentuh mereka seorang demi seorang. Agaknya pengaruh sirep benar-benar telah terlepas dari mereka, sehingga perlahan-lahan merekapun mulai terbangun. “Kalian tertidur nyenyak sekali,“ berkata Agung Sedayu. Kata-kata itu ternyata telah mengejutkan mereka. Dengan serta merta beberapa orangpun berloncatan bangkit dan bertanya, “Apa yang terjadi?” Agung Sedayu menunjukan ke halaman sambil berkata, “Lihatlah. Ada beberapa orang mamasuki halaman Kademangan.” “Apa yang mereka lakukan? “ beberapa orang bertanya bersamaan. Agung Sedayu memandang mereka berganti-ganti. Lalu, “Mereka berusaha untuk menimbulkan huru-hara. Tetapi mereka segera dapat kami atasi meskipun kalian tertidur nyenyak.” “Siapa saja yang tertidur? Aku tidak mengerti apa yang telah terjadi atas diriku. Tiba-tiba saja aku seperti pingsan dan tidak tahu apa-apa lagi.” “Kami menahan beberapa orang. Carilah kawan-kawanmu yang sedang meronda. Jika mereka tertidur, bangunkan mereka. Kami memerlukan beberapa orang pengawal untuk menjaga empat orang tahanan yang berilmu tinggi. Karena itu maka pengawasannyapun harus dilakukan sebaik-baiknya. Disisa malam ini biarlah aku tidak berjaga-jaga. Tetapi seterusnya penjagaan harus diatur sebaik-

baiknya.” Dua orang diantara merekapun kemudian meninggalkan gardu sambil menggosok mata mereka, seolaholah mereka tidak yakin atas peristiwa yang baru saja terjadi. Namun salah seorang berkata, “Apakah kau percaya kepada ilmu sirep?” Yang lain mengerutkan keningnya. dengan ragu-ragu ia berdesis, “Kau sangka bahwa kita sudah terkena sirep?” Kawan-nya termangu-mangu. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi atas dirinya dan kawan-kawannya. Dengan ragu-ragu iapun kemudian berkata, “Ya. Aku kira kita sudah terkena sirep. Aku merasa seakan-akan mataku direkat dengan cairan pati pohung.” Yang lain tertawa pendek. Dengan nada yang datar ia menyahut, “Gila. Ternyata ada sekelompok orang-orang sakti yang telah datang ke Kademangan ini. Mereka telah menyebarkan sirep dan membuat kita semuanya tidak berdaya. Untunglah di Kademangan ini masih tinggal beberapa orang yang dapat mengatasi mereka.” “Disini akan tetap tinggal orang-orang yang mumpuni. Swandaru dan Pandan Wangi tidak akan meninggalkan Kademangan. Untuk sementara Sekar Mirahpun masih tinggal.” Kawannya mengangguk-angguk. Mereka memang berbangga atas anak-anak Ki Demang beserta anak menantunya. Mereka merupakan pelindung Kademangan mereka dari orang-orang sakti yang tidak dapat dilawan dengan cara yang wajar. “Seandainya sekelompok penjahat datang ke Kademangan ini, maka para pengawal akan mengusirnya. Kami tidak akan gentar melawan kekuatan yang betapapun besarnya. Tetapi melawan ilmu sirep, adalah diluar kemampuan kami,” geram salah seorang dari keduanya. Kawannya tidak menjawab. Ketika mereka sampai digardu, disimpang empat, maka mereka melihat beberapa orang pengawal masih tertidur nyenyak. Diantaranya, terjdapat anak-anak muda yang memang terbiasa berada di gardu-gardu meskipun mereka tidak kebetulan sedang bertugas. “Ilmu itu luar biasa kuatnya. Jarak dari tempat ini cukup panjang bagi ilmu sirep. Tetapi agaknya kekuatan ilmu itu masih mencengkam mereka,“ desis yang seorang. Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Sejenak mereka berdiri tennangu-mangu didepan gardu. Mereka melihat dua orang diantara mereka tersandar dinding justru diluar gardu dengan senjata telanjang ditangan. “Mereka seperti sudah mati. Seandainya dalam keadaan yang demikian, seorang saja dari pihak lawan datang dengan pedang terhunus, maka dalam sekejap, kita sudah kehliangan beberapa orang pengawal.”

“Termasuk kita sendiri. Mungkin kitalah yang paling dahulu.” “Tidak. Kebetulan kita bertugas didepan rumah Ki Demang. Swandaru tentu akan menolong kita.” Kawannya mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Kau selalu mengharap pertolongan orang lain.” Yang lain tidak menghiraukannya. Perlahan-lahan ia mendekati kawan-kawannya yang masih tetap tidur dengan nyenyaknya. “Aku akan menyembunyikan senjata-senjata mereka. Baru kita membangunkan.” Sejenak kawannya ragu-ragu. Desisnya, “Kita tidak sedang bergurau. Dihalaman Kademangan ada beberapa yang memerlukan pengawasan.” Tetapi kawannya tidak menghiraukannya. Dengan hati-hati ia memungut senjata dari mereka yang tertidur di gardu dan meletakkannya beberapa langkah dari mereka. “Ah, kau masih sempat membuat onar,“ desis kawannya. Tetapi pengawal yang memang senang bergurau itu tidak menghiraukannya. Ketika senjata-senjata itu sudah dijauhkan dari kedua orang yang tertidur itu, tiba-tiba ia menarik kawannya untuk bersembunyi. “Apa yang kau lakukan?” “Sst,“ desisnya sambil memaksa kawannya untuk berjongkok di belakang segerumbul perdu. Dari tempat persembunyian itu, ia melempar pengawal yang tertidur itu dengan kerikil beberap kali. Ternyata bahwa pengaruh sirep benar-benar sudah tidak mencangkam mereka lagi. Ternyata kerikilkerikil itu telah membangunkan kedua pengawal itu. Diluar sadar, tangan merekapun telah menggapai mencari senjata masing-masing. Namun tiba-tiba saja salah seorang bangkit sambil bertanya. “He, kau lihat pedangku?” “Pedangku juga tidak ada.” Keduanyapun saling berpandangan. Hampir bersamaan keduanya bergeser kedepan gardu. Dan yang mereka lihat adalah kawan-kawannya yang tertidur nyenyak. “He, kita semuanya tertidur. Aneh. Hal yang tidak pernah terjadi,“ desis yang seorang. “Bagaimana mungkin,“ sahut yang lain. Namun kemudian, “Kitalah yang sedang bertugas. Tetapi agaknya kitapun telah tertidur.”

“Dan senjataku telah hilang.” “Senjataku juga.” Keduanya termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba mereka menjadi tegang. Terdengar langkah kaki mendekat, sehingga hampir berbareng keduanya telah memungut senjata kawan-kawannya yang sedang tertidur. Tetapi ternyata yang datang adalah dua orang pengawal. Meskipun demikian keduanya tetap merasa cemas, justru karena semua orang telah tertidur dan senjata mereka lepas dari tangan. “Apa yang terjadi?” bertanya salah seorang pengawal yang baru datang. “Tidak apa-apa,“ jawab salah seorang dari mereka yang baru saja terbangun dari tidur. “Kenapa semuanya tertidur?” bertanya yang lain, “apakah memang sudah menjadi kebiasaan kalian disini?” “Kenapa semuanya?,“ jawab yang seorang dari mereka yang baru bangun, “kami berdua tidak tertidur, kamilah yang sedang bertugas. Sengaja yang lain kami biarkan tidur, agar kami dapat bergantian.” Pengawal yang datang dari halaman Kademangan itu termangu-mangu. Apalagi ketika mereka melihat kedua orang itu sudah membawa senjata ditangannya. Tetapi yang seorang dari kedua pengawal yang datang itu masih sempat tersenyum melihat senjata yang berada ditangan salah seorang dari mereka yang baru saja terbangun itu. Senjata itu adalah sebilah golok yang besar meskipun tidak panjang. Pengawal yang baru saja terbangun melihat kawannya yang baru datang itu dengan heran. Bahkan kemudian ia bertanya, “Kenapa kau tersenyum? Apakah kau tidak percaya?” Yang baru saja datang itu masih saja tersenyum. Dalam keremangan cahaya obor di gardu ia melihat wajah-wajah yang tenang didalam tidur yang nyenyak. “Mereka nampaknya tidur nyenyak,“ berkata salah seorang dari mereka. Lalu, “he, apakah yang kau genggam itu memang senjatamu?” Orang yang memegang golok itu menyahut cepat, “ Ya. Kenapa?” “Jika kau sedang beristirahat, apakah golok itu tidak pernah kau sarungkan?” “Tentu. Kenapa?”

“Cobalah menyarungkan golokmu.” Orang itu termangu-mangu. Tiba-tiba saja diluar sadarnya ia memandangi golok yang besar itu. Kemudian sarung pedang dilambungnya. Sarung pedang panjang, tetapi tidak sebesar golok itu. “Ah,“ desisnya. Mau tidak mau iapun terpaksa tersenyum pula. Demikian pula kedua pengawal yang lain. Bahkan kawannya yang baru saja terbangun bersamanya itupun mengamat-amati senjatanya pula sambil bergumam, “Aku salah mengambil senjataku. Senjata inipun tidak cocok dengan sarung dilambung ini.” Kedua pengawal yang baru datang itupun tertawa. Salah seorang dari mereka berkata, “Kalian kira kami tidak tahu, bahwa kalian sudah tertidur nyenyak sambil melepaskan senjata kalian. He, apakah kalian dengan sengaja menyembunyikan senjata kalian disebelah gardu itu.” “Dimana? “ Kedua pengawal yang tertidur itu hampir berbareng bertanya. “Aku melihat dua buah senjata seolah-olah sengaja disembunyikan atau di singkirkan. Aku kira kalian sudah tidur nyenyak sehingga seseorang dengan mudah mengambil senjata kalian dari tangan. Untunglah bahwa senjata itu tidak menikam kalian sendiri.” “Dimana? “ pengawal itu mendesak. “Marilah. Aku tunjukkan.” Merekapun kemudian pergi kesebelah gardu itu. Dengan telunjuknya pengawal yang memang menyembunyikan pedang itu berkata, “Lihat. Senjata siapakah yang diletakkan disana.” Keduanya bergegas mengambil senjata masing-masing. Sejenak mereka mengamat-amati. Sambil mengangguk salah seorang dari keduanya bergumam, “Memang senjataku.” “Dan kau ingkar bahwa kau memang sudah tertidur nyenyak?” Pengawal yang menemukan senjatanya itu tersenyum. Jawabnya, “Aku tahu sekarang. Kalian menemukan kami sedang tertidur. Kalian sengaja menyembunyikan senjata-senjata kami.” “Jadi kalian memang tertidur?” Kedua pengawal yang sedang tertidur itu menarik nafas dalam-dalam. Mereka mencoba mengingat apa yang sudah terjadi. Ternyata yang mereka alami adalah peristiwa yang jarang sekali dapat terjadi. Mereka masih ingat, betapa mereka bertahan terhadap perasaan kantuk yang luar biasa. Mereka masih melihat kawan-kawan mereka seorang demi seorang berbaring dan mendekur. Keduanya sudah berusaha melawan kantuk dengan berjalan-jalan diluar gardu. Namun akhirnya mereka terlena juga.

Mereka tidak tahu, kapan mereka kehilangan kesadaran dan tidur sambil bersandar dinding. “Sekarang,“ berkata kedua pengawal yang datang dari Kademangan, “bangunkan kawan-kawanmu. Kami memerlukan sebagian dari mereka.” Sejenak kemudian maka para pengawal yang ada digardu itupun telah terbangun. Dengan singkat pengawal yang datang dari regol Kademangan itu menjelaskan apa yang sudah terjadi, dan membawa perintah agar sebagian dari mereka yang ada digardu itu pergi ke Kademangan untuk membantu mengawasi beberapa orang yang tertawan. Kabar itupun segera menjalar. Gardu-gardu yang terletak jauh dari rumah Ki Demang agaknya tidak tersentuh oleh kekuatan sirep itu. Namun merekapun ramai berbicara tentang peristiwa yang telah terjadi, bahkan merekapun sadar, jika hal itu terulang, maka peristiwa yang mengerikan akan dapat menimpa Kademangan Sangkal Putung. Dalam keadaan tidak sadar itu mereka yang ingin berbuat jahat dengan sebilah pedang ditangan mendekati gardu itu, maka ia akan dengan mudah sekali menghunjamkan senjatanya disetiap dada tanpa perlawanan sama sekali. Hampir setiap orang di Sangkal Putung memang sudah pernah mendengar ceritera tentang sirep. Tetapi seorang penjahat yang melepaskan sirep dengan maksud yang sederhana, mengambil barang milik seseorang, pengaruhnya tidak akan lebih luas dari rumah yang menjadi sasaran itu. Tetapi yang terjadi atas rumah Ki Demang Sangkal Putung benar-benar telah menimbulkan kegemparan. Ternyata beberapa buah rumah dan gardu telah terkena pengaruhnya, hingga tidak seorangpun yang mengetahui apa yang sudah terjadi di rumah Ki Demang Sangkal Putung itu. “Untunglah, bahwa di Sangkal Putung masih ada orangorang yang dapat melawan sirep itu,“ berkata setiap orang didalam hatinya. Dan merekapun menjadi semakin berbangga terhadap Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah, disamping beberapa orang tamu yang kebetulan berada di Kademangan Sangkal Putung. “Tanpa mereka kita tidak berdaya sama sekali,“ desis seorang pengawal. Yang lain hanya mengangguk-angguk saja. Namun merekapun telah dihadapkan pada tugas yang berat, mengawasi beberapa orang tawanan yang berilmu tinggi. Jika mereka lengah sedikit, maka yang terjadi tentu diluar dugaan sama sekali. Bahkan salah seorang pengawal bertanya kepada kawannya, “Apakah mereka juga mempunyai ilmu sirep?” “Aku tidak tahu. Tetapi setiap saat tentu ada salah seorang yang memiliki keseimbangan ilmu dengan para tawanan itu ikut mengawasi. Mungkin Agung Sedayu, mungkin pula Swandaru atau yang lain.” Dengan demikian, sejak saat malam penyebaran sirep itu, Sangkal Putung mempunyai beberapa orang tawanan. Setap kali Swandaru mencoba untuk mendengar apakah mereka mengerti serba sedikit tentang usaha mereka yang merasa dirinya sebagai pewaris Kerajaan Majapahit itu. “Kami benar-benar tidak tahu,“ jawab salah seorang dari mereka.

Sehingga setiap kali, Swandaru harus menahan kecewa. Orang-orang itu selalu menjawab tidak tahu. Bahkan karena kejengkelan yang meluap, Swandaru telah memanggil seorang demi seorang. Dengan kasar dan dengan lemah lembut ia mencoba untuk mengorek keterangan tentang para prajurit Pajang yang telah terseret kedalam kelompok yang sangat berbahaya itu. Tetapi usahanya selalu sia-sia. Kiai Gringsingpun sudah memberitahukan kepada Swandaru, bahwa mereka sebenarnyalah tidak tahu apa-apa. Mereka hanyalah pengikut saudara tua kakak beradik dari Pesisir Endut itu. “Mungkin mereka mendapat perintah untuk menutup mulutnya,“ berkata Swandaru pada suatu saat. Kiai Gringsing menggeleng sambil menjawab, “Menurut pengamatanku mereka benar-benar tidak tahu. Mereka hanya tahu bahwa mereka harus mengikuti orang Pesisir Endut itu membawakan dendamnya bagi Agung Sedayu dan Pangeran Benawa. Tapi mereka tidak mengetahui bahwa dendam mereka telah diarahkan bagi keuntungan orang-orang yang merasa dirinya pewaris kerajaan Majapahit yang kini tersembunyi di Pajang dan di antara beberapa orang berilmu disekitar Pajang.” Swandaru tidak menjawab. Tetapi masih nampak keragu-raguannya atas kebenaran pendapat gurunya itu. Menurut pendapat Swandaru, mereka akan dapat memberikan keterangan serba sedikit tentang yang akan dapat dipergunakan untuk menelusuri jalur yang meskipun paling jauh, menuju kearah yang dikehendakinya. Namun akhirnya Swandaru menghentikan usahanya. Ia merasa bahwa tidak seorangpun yang mendukung usahanya. Agung Sedayu juga tidak. “Persetan dengan mereka,“ berkata Swandaru didalam hatinya, “jika dari mereka tidak akan dapat disadap keterangan apapun, kenapa mereka tidak diserahkan saja kepada Mataram atau Pajang sebagai penjahat apabila kami disini tidak diwenangkan menjatuhkan hukuman yang sesuai dengan kejahatan mereka?” Tetapi Swandaru tidak dapat memaksakan kehendaknya. Ki Demang Sangkal Putung sendiri nampaknya masih membiarkan orang-orang itu menjadi beban yang menjemukan. Sementara itu, Ki Waskita menjadi semakin gelisah menanggapi keadaan. Nampaknya orang-orang yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Majapahit itu menjadi semakin garang. Mereka mempergunakan kesempatan dan pihak yang manapun juga untuk mencapai maksudnya. Yang menjadi sasaran pertamamya adalah Agung Sedayu dan sudah barang tentu orang-orang lain pula kelak yang

dianggap membantu tegaknya Mataram. “Kiai Gringsing nampaknya masih acuh tidak acuh saja,“ berkata Ki Waskita kepada diri sendiri. Akhirnya Ki Waskita tidak tahan lagi. Ia mencari kesempatan untuk dapat bertemu dengan Kiai Gringsing tanpa orang lain. “Kiai,“ berkata Ki Waskita, “rasa-rasanya keadaan menjadi semakin gawat. Apakah Kiai masih belum tertarik untuk berbuat sesuatu?” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. “Atau barangkali Kiai masih ingin menyusun ceritera yang lain lagi tentang diri Kiai? Aku sudah mendengar beberapa ceritera tentang diri Kiai.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ki Waskita. Yang terakhir aku sengaja menghindari pembicaraan tentang diriku. Karena itu aku telah ingkar, justru karena kehadiran Ki Widura. Bukan karena aku tidak percaya kepada Ki Widura, tetapi aku cemas bahwa pada suatu saat Ki Widura mengambil sikap sendiri sebagai bekas seorang prajurit yang tentu mempunyai wawasan dan perhitungan. Mungkin hal itu akan dibicarakan dengan Untara pada suatu saat, sehingga tindakan selanjutnya akan menyulitkan kedudukanku.” “Jadi bagaimana menurut Kiai?” “Akau pernah mengatakan tentang diriku. Aku pernah mengatakan suatu kebenaran. Tetapi aku masih, membatasi diri. Agar hal itu tidak akan sampai ke Pajang lewat siapapun juga, sehingga aku berusaha untuk menghindari orang-orang yang mungkin akan dapat menjadi saluran itu.” Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Kiai Gringsing memang terlalu lamban. Bahkan mungkin Kiai Gringsing benar-benar berusaha menghindarkan diri dari sentuhan masa lampaunya. Tetapi Ki Waskita tidak dapat memaksanya. Yang menjadi sasaran perhatiannya kemudian adalah Agung Sedayu. Anak itu justru mengalami keadaan yang menyulitkannya diluar kehendaknya. Dendam dan kebencian seolah-olah tertumpuk kepadanya. “Apakah aku dapat membantunya? “ pertanyaan itu tiba-tiba saja tumbuh dihatinya, “bukan sekedar dalam perkelahian-perkelahian. Tetapi memberikan bekal kepadanya. Namun masih juga tergantung kepada gurunya. Apakah gurunya mengijinkannya.” ***

Namun dalam pada itu, disebuah padepokan kecil yang terpencil di sela-sela bukit ditepi pantai Lautan Selatan, seseorang sedang dibakar dendam dan kebencian tiada taranya. Ia merasa terhina, bukan saja oleh kematian adik-adiknya selagi mereka berusaha membunuh Agung Sedayu yang oleh karena nasibnya yang buruk telah bertemu dengan Pangeran Benawa, tetapi lebih daripada itu, karena ia sendiri ternyata dapat dikalahkan oleh Agung Sedayu. “Kakang terlalu baik hati,“ berkata saudara seperguruannya, “agaknya kakang menganggap anak muda yang bernama Agung Sedayu itu terlalu enteng, sehingga kelengahan itulah agaknya yang telah menjerumuskan kakang Carang Waja kedalam kekalahan yang menentukan itu.” Orang yang bernama Carang Waja itu menggeram. Katanya, “Sikap itu adalah sikap yang sangat sombong. Dengan sikap itu, aku tidak akan dapat menang melawan Agung Sedayu.” “Aku tidak tahu maksud kakang.” “Aku harus merasa bahwa ilmuku benar-benar masih belum menyamai ilmu Agung Sedayu. Bukan karena kelengahan atau sebab apapun. Jika aku tidak mau mengakui kekalahan itu, maka kekalahankekalahan berikutnya tentu akan menyusul.” “Jadi maksud kakang?” “Ilmuku harus bertambah sempurna. Atau dengan cara lain. Aku harus melawan Agung Sedayu tidak seorang diri, tetapi dengan kekuatan lain disisiku.” “Maksud kakang, dengan demikian bukannya dengan perang tanding. Tetapi apakah kakang sudah bersedia merendahkan diri sedemikian untuk menebus kematian kedua anak gila itu? Sementara orang lain telah memanfaatkan dendam yang menyala dihati kakang.” “Aku tahu,“ jawab Carang Waja, “orang-orang Pajang yang gila dengan impian mereka tentang warisan Majapahit itu telah memanfaatkan aku. Tetapi aku tidak peduli. Aku hanya membalas dendam. Sementara itu aku masih akan menerima upah.” “Kedua anak gila yang dibunuh oleh Raden Benawa itu, juga telah terjerat oleh ketamakannya. Mereka menjadi silau melihat upah yang telah ditawarkan kepada mereka oleh orang-orang Pajang, sehingga mereka justru telah mengorbankan nyawa mereka.” “Aku tidak setamak mereka,” geram Carang Waja, “yang akan terjadi kemudian adalah permusuhan dari dua perguruan. Perguruan dari Sangkal Putung itu harus dibinasakan.“ Saudara seperguruannya memandang Carang Waja dengan ragu. Sebelum ia mengatakan sesuatu. Carang Waja sudah menyahut, “Aku tahu apa yang akan kau katakan. Dengan Agung Sedayu aku sudah dapat dikalahkan, apalagi dengan gurunya.”

Saudara seperguruannya tidak menyahut. “Itu menjadi bahan pertimbanganku. Tetapi bukan mustahil bahwa seorang murid yang sudah sempurna ilmunya, akan dapat melampaui gurunya, meskipun aku tidak berpendapat demikian terhadap Agung Sedayu. Agaknya kemampuan Agung Sedayu memang perlu mendapat penjajagan. Apakah ia sudah berhasil menyamai tingkat gurunya, atau masih berada ditataran yang lebih rendah. Aku memang memerlukan keterangan tentang anak muda itu. Juga tentang beberapa orang lain yang berada di Sangkal Putung, jika sudah mendapatkan keterangan yang cukup tentang tataran ilmu mereka, maka aku akan dapat membuat perhitungan. Aku memang tidak boleh tergesa-gesa. Saudara seperguruannya mengangguk-angguk. Lalu, “Tetapi bagaimana dengan Pangeran Benawa?” Untuk sesaat Carang Waja terdiam. Terbayang dimatanya, seorang Pangeran yang masih muda, namun memiliki ilmu yang hampir sempurna. Meskipun demikian. Pangeran Benawa kadang-kadang melakukan pengembaraan dengan menyamar diri seperti orang kebanyakan, justru karena kejemuannya terhadap keadaan di istana dan kekecewaannya atas tingkah laku ayahandanya sendiri. “Apakah menurut pertimbangan kakang. Agung Sedayu mempunyai kelebihan dari Pangeran Benawa? Jika demikian, maka Agung Sedayu adalah orang yang tidak ada duanya di Pajang.” Carang Waja menggeleng lemah. Jawabnya, “Aku tidak tahu pasti. Aku kira memang sulit untuk mengerti tentang keduanya.” Saudara seperguruannya mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Jadi apakah rencanamu untuk sementara kakang? Apakah kakang ingin berusaha membebaskan orang-orang kita yang tertangkap?” “Biar saja mereka tertangkap. Apakah peduliku? Biar mereka dibunuh atau dicincang atau dipicis sekalipun? Mereka tidak akan dapat mengatakan apapun juga tentang aku dan hubunganku dengan orang-orang Pajang.” “Kakang keliru. Orang-orang itu tentu akan dapat menunjukkan tempat kita sekarang ini. Agung Sedayu berusaha membalas dendam dengan dendam, mungkin ia dapat datang kemari dengan orang-orang pilihan di Sangkal Putung itu. Bahkan mungkin dengan sejumlah pengawal. Akan lebih celaka lagi jika Agung Sedayu berhasil menghubungi Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya.” Carang Waja mengerutkan keningnya. Wajahnya nampak menjadi tegang. Katanya kemudian, “sebenarnya tidak sukar bagi mereka untuk menemukan tempat ini. Tetapi aku tidak akan tinggal disini sepeninggal dua anak-anak gila itu. Biarlah Pesisir Endut tetap tinggal seperti saat ini, ditunggui oleh beberapa orang yang tidak berarti. Aku akan tinggal diperguruanku sendiri yang mulai tumbuh dan berkembang.

Aku akan membentuk diri menjadi orang yang lebih kuat dari sekarang untuk menghadapi Agung Sedayu.” “Apakah kakang mengira Agung Sedayu sudah tidak berkembang lagi?” “Aku kira ia sudah terlalu puas dengan ilmunya sekarang. Ia tidak sempat lagi menempatkan ilmunya lebih dalam, karena ia banyak terlibat dalam persoalanpersoalan dilingkungannya.” “Dengan demikian, berapa tahun waktu yang akan kakang perlukan untuk menyempurnakan diri? Dalam waktu yang panjang itu, perubahan yang pesat tentu telah terjadi di Pajang dan Mataram,“ saudara seperguruan Carang Waja itu berhenti sejenak lalu, “mungkin dalam waktu yang panjang itu. Agung Sedayu telah dibunuh oleh orang-orang Pajang. Oleh orangorang yang merasa dirinya pewaris Kerajaan Majapahit yang merasa dirintangi usahanya untuk menentukan sikap menghadapi Pajang dan Mataram.” Carang Waja menarik nafas panjang. Ia memang dihadapkan kepada keadaan yang saling berkaitan. Tetapi dendam dihatinya benar-benar tidak akan dapat dikesampingkan. Namun iapun sadar, bahwa dendam itu tidak hanya menyala dihatinya dan membakar perguruannya. Tetapi ia pun sadar bahwa kematian-kematian yang terjadi oleh bekas tangan Agung Sedayu di banyak tempat itupun telah membakar dendam pula dimana-mana. “Kakang,“ berkata saudara seperguruan Carang Waja, “jika kakang masih akan menunggu lagi, satu atau dua tahun. Sementara masih menjadi pertanyaan apakah Agung Sedayu tidak pula meningkatkan ilmunya, maka kakang tentu akan ketinggalan. Kecuali jika kakang memang hanya menginginkan kematian Agung Sedayu oleh tangan siapapun, bukan oleh orang-orang perguruan kita sendiri.” “Aku akan membunuhnya,” geram Carang Waja. “aku tidak memerlukan waktu yang lama. Tetapi jika perlu, kita akan pergi bersama-sama.” Saudara seperguruannya mengerutkan keningnya. Lalu katanya dengan nada rendah, “Kita memang orang-orang tamak. Kita sadar bahwa orang-orang Pajang telah memanfaatkan dendam dihati kita. Tetapi kita pun dengan sadar menerima segalanya dengan harapan untuk dapat menepuk dua ekor lalat sekaligus. Kematian Agung Sedayu sebagai pelepasan dendam yang membakar jantung, dan upah yang tidak sedikit yang dijanjikan oleh para perwira Pajang itu disamping pangkat dan jabatan yang akan kita terima jika mereka benar-benar mendapatkan kemenangan kelak.“ “Aku mengerti,“ jawab Carang Waja, “tetapi jangan terlalu diharapkan. Orang-orang Pajang adalah orang-orang licik. Mungkin mereka masih akan datang menemui kita dan berusaha memanfaatkan dendam itu. Tetapi

kematian Agung Sedayu dan Benawa justru akan menyeret kita kedalam kesulitan. Kita harus bersedia menghadapi lawan yang lebih besar lagi, karena bagi orang-orang Pajang itu akan lebih mudah membunuh kita, untuk menghilangkan jejak dan mengingkari kesanggupan.” “Tetapi kenapa mereka tidak melakukan sendiri atas Agung Sedayu?” “Agung Sedayu adalah adik Untara. mereka tidak mau menerima akibat buruk, karena jika salah seorang dari mereka tertangkap, maka jalur itu akan membenturkan mereka pada kekuatan Pajang menghancurkan diri sendiri, pasukan Pajang akan sempat mengadakan pembersihan kedalam dengan menangkap orang-orang yang namanya akan dapat ditelusur. Karena itu, perwira-perwira yang licik itu lebih senang mempergunakan orang-orang diluar mereka sendiri. Dengan demikian jalur yang berbahaya itu akan mudah diputuskan. Saudara seperguruan Carang Waja itu mengangguk-angguk. Dimatanya nampak dua api yang menyala didada Carang Waja. Dendam yang tiada taranya atas kematian kedua adiknya serta penghinaan atas kekalahannya, namun yang ternyata juga telah dibumbui oleh hubungan mereka dengan para perwira di Pajang yang menjanjikan upah dan pangkat yang tinggi.” *** Dalam pada itu, dua orang yang lain, yang ikut serta mengalami kegagalan di Sangkal Putung, telah melaporkan pula kegagalan itu. Dengan nada tinggi ia berkata, “Sejak semula aku sudah tidak setuju dengan caranya.” Seorang perwira yang lebih tua yang menerima laporan itu dengan kening yang berkerut bertanya, “Jika kau sudah tidak setuju dengan caranya, kenapa masih dilakukan juga?” “Carang Waja ingin mendapatkan kepuasan oleh dendamnya. Ia ingin membunuh Agung Sedayu langsung dengan tanganya, sehingga ia minta diselenggarakan perang tanding.” “Dan perang tanding itu berlangsung.” “Ya, perang tanding itu berlangsung. Ternyata Carang Waja tidak dapat mengalahkan Agung Sedayu. Meskipun ia berhasil melarikan diri, tetapi kami berdua hampir saja menjadi korban dan tertangkap di Sangkal Putung.” “Apakah setelah kekalahan Carang Waja, kalian tidak mengambil sikap lain, misalnya bersama-sama membunuh anak muda yang tanpa menghiraukan kedudukan perang karena perang tanding itu dilakukan oleh Carang Waja, tidak oleh kalian.” Kedua orang perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun sebelum mereka mengatakan sesuatu, perwira yang lebih tua itupun mendahului, “Agaknya kalian telah mencoba.” Salah seorang dari kedua orang yang ikut ke Sangkal Putung itu menjawab tersendat-sendat, “Ya.

Kami sudah mencoba.” “Tetapi kalian tidak berhasil.“ perwira itu berhenti sejenak, lalu, “Apakah Agung Sedayu benar-benar tidak dapat dikalahkan meskipun oleh dua orang perwira pilihan dari Paiang?” “Aku kira Agung Sedayu bukannya anak iblis,“ sahut salah seorang perwira yang ikut serta ke Sangkal Putung, “tetapi ternyata bahwa selain Agung Sedayu terdapat beberapa orang lain yang memiliki ihnu yang tinggi, termasuk guru Agung Sedayu.” Perwira yang lebih tua itu mengangguk-angguk. Ia dapat menggambarkan seluruh peristiwa yang terjadi di Sangkal Putung. Seperti yang diceriterakan oleh kedua perwira yang mengikuti Carang Waja ke Sangkal Putung, seolah-olah terbayang apa yang telah terjadi dalam perang tanding antara Agung Sedayu dan Carang Waja. “Agaknya Agung Sedayu benar-benar mempunyai kekuatan iblis. Bagaimana mungkin ia dapat mengalahkan Carang Waja. Jika semula ia sudah hampir mati, dalam benturan terakhir, tiba-tiba saja Carang Waja bagaikan lumpuh dengan sendirinya,“ gumam perwira itu. Namun kemudian, “Tetapi apakah kalian yakin, bahwa tidak ada kecurangan. Misalnya dengan diamdiam dan tersembunyi gurunya menyerang Carang Waja selagi ia hampir mengakhiri perang tanding itu?” Kedua perwira itu menggeleng. Salah seorang menjawab, “Aku yakin tidak ada yang membantu Agung Sedayu, Ia memang mempunyai kekuatan tersembunyi yang dapat melumpuhkan lawannya.” Perwira yang lebih tua itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Ternyata tugas kita akan menjadi sangat berat. Agung Sedayu hanyalah salah seorang saja dari mereka yang harus dibinasakan. Tetapi yang seorang itupun justru telah menelan banyak sekali korban. Kita sudah memanfaatkan dendam bukan saja dari Pesisir Endut, tetapi juga dari orangorang yang bersangkut paut dengan mereka yang telah dibunuh Agung Sedayu dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Tetapi kita tidak pernah berhasil.” “Sebenarnya, kenapa kita bersusah payah memikirkan Agung Sedayu?” bertanya salah seorang perwira yang gagal di Sangkal Putung, “apakah Agung Sedayu merupakan penghalang utama dari rencana yang agung itu?” “Sebenarnya yang harus dibinasakan adalah Raden Sutawijaya dan para pemimpin Mataram lainnya. Tetapi kehadiran Kiai Gringsing dan kedua muridnya akan dapat menimbulkan persoalan-persoalan tersendiri. Terutama yang bernama Agung Sedayu itu. Apakah jarang terjadi bahwa seorang Senopati berhasil membunuh tiga orang Senapati lawan yang setingkat dengan Telengan.“ perwira itu berhenti

sejenak, “nah, apakah orang semacam itu tidak harus mendapat perhatian khusus? Kita masih mengharap bahwa sanak kadang atau saudara seperguruan dari mereka yang terbunuh oleh Agung Sedayu itu akan menuntut balas. Kita akan memberikan dorongan dan memanfaatkan mereka seperti Carang Waja. Tetapi ternyata Carang Waja yang dapat mengguncang bumi itupun gagal.” “Dan kita akan berhenti sampai disini? Atau kita mempergunakan cara lain yang lebih baik?” “Apakah cara itu?” “Kita membawa pasukan segelar sepapan dengan diam-diam. Sangkal Putung kita hancurkan. Agung Sedayu kita bunuh bersama gurunya dan saudara seperguruannya itu.” “Cara yang kasar sekali.” “Kita dapat mempergunakan ciri-ciri perguruan yang pernah mendendam anak muda itu. Kita dapat mempergunakan pertanda padepokan Pesisir Endut misalnya, atau padepokanpadepokan lain. Atau bahkan kita dapat merubah diri menjadi perampok-perampok yang garang tanpa mengenal peri kemanusiaan.” “Cara yang berbahaya sekali. Tetapi biarlah kita menunggu. Persoalan ini akan segera sampai kepada kakang Panji. Ia mempunyai wawasan yang luas. Bukan sekedar masalah Agung Sedayu. Sultan yang sakit-sakitan itu agaknya menjadi semakin lemah, sementara Sutawijaya menjadi semakin kuat. Bukan saja Mataram, tetapi juga pribadinya. Ia sering hilang dari rumahnya, mengembara unluk merpperdalam dan menyempurnakan ilmunya, sehingga saat ini sulit untuk dapat mengambil perbandingan dari ilmunya seperti juga Pangeran Benawa dan Agung Sedayu. Tidak seorangpun yang mengetahui dengan pasti tataran ilmu ketiga orang itu. Sementara sikap mereka semakin mencemaskan kalangan kita di Pajang dan di tempat-tempat lain.” Para perwira itu termangu-mangu. Ternyata anak pedepokan kecil itu telah menjadi perhatian kalangan istana Pajang dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Apalagi ia adalah adik Untara. *** Namun dengan demikian, telah berkembang permusuhan diluar kehendak Agung Sedayu sendiri. Beberapa pihak telah memusuhinya dengan penuh kebencian. Bukan saja karena ia disangkutkan langsung dengan pertumbuhan Mataram yang menjadi semakin kuat, tetapi beberapa pihak ternyata mempunyai persoalan mereka tersendiri. Kematian yang pernah terjadi diantara salah satu anggauta perguruan nampaknya tidak dapat dengan mudah dilupakan oleh saudara-saudaranya seperguruan. Dalam pada itu, di Sangkal Putung, Swandaru telah benar-benar menjadi jemu terhadap ke empat orang yang menjadi tanggungan para pengawal di Sangkal Putung. Rasa-rasanya

ingin ia membunuh saja orang itu, sehingga tidak lagi menjadi beban yang menelan tenaga dan waktu yang cukup banyak. Akhirnya, ketika Swandaru tidak tahan lagi. ia minta kepada ayahnya untuk menyerahkan saja orang itu ke Mataram. “Kita titipkan mereka ke Mataram.“ Ki Demang termangu-mangu sejenak. Sebenarnya ia agak segan melakukannya. Tetapi Swandaru mulai mengancam, “Jika ayah keberatan menyerahkan mereka ke Mataram, aku akan membunuh saja atau melepaskan mereka. Aku tidak peduli apa akibatnya.” Ki Demang tidak dapat berbuat lain. Demikian pula Agung Sedayu. Swandarulah yang bertanggung jawab atas pengamanan mereka. Apalagi orang itu sama sekali sudah tidak berarti lagi bagi Sangkal Putung. Mereka tidak dapat memberikan keterangan sama sekali tentang dua orang yang telah meninggalkan arena setelah pimpinan mereka. Namun demikian, orang orang Sangkal Putung telah dapat menyadap keterangan dari orang-orang itu tentang perguruan Pesisir Endut. Mereka dapat menyebutkan bahwa saudara tua dari kakak beradik yang terbunuh bernama Carang Waja. Ia mempunyai padepokan tersendiri dan telah membangun sebuah perguruan yang sedang berkembang. “Ada tiga orang saudara seperguruannya,“ berkata salah seorang dari keempat orang itu. Namun bagi Swandaru setelah keterangan tentang Carang Waja itu dikuras habis, maka mereka tidak akan berarti apa-apa lagi, karena yang sebenarnya penting baginya adalah keterangan tentang keterlibatan orang-orang dalam dari keprajuritan Pajang. Akhirnya Ki Demang atas persetujuan para bebahu Kademangan Sangkal Putung, telah mengirimkan dua orang pengawal yang telah dikenal oleh orang orang Mataram untuk menghadap Ki Lurah Branjangan. Mereka menyampaikan pesan dari Ki Demang untuk menitipkan empat orang tahanan yang barangkali diperlukan oleh Mataram. Namun Mataram tidak dapat ingkar. Keterlibatan Sangkal Putung dan apalagi Agung Sedayu kedalam persoalan yang berkepanjangan, ada sangkut pautnya dengan perkembangan Mataram. Sehingga karena itu, maka Ki Lurah Branjangan pun tidak menolaknya. Bahkan setelah hal itu dsampaikan kepada Raden Sutawijaya, maka iapun ingin menerimanya pula. Meskipun keempat orang itu kemudian telah tidak ada lagi di Sangkal Putung, namun keterangan dari mereka tentang Carang Waja telah menumbuhkan persoalan tersendiri bagi Agung Sedyu. Demikianlah, maka Agung Sedayu telah mengemukakan persoalan yang selalu membayangi perasaannya itu kepada gurunya dan Ki Waskita. Kata-kata yang diucapkan oleh saudara tua kakak beradik dari Pesisir Endut yang dibunuh oleh Pangeran Benawa itu seolah-olah masih selalu terngiang.

Pada satu saat orang itu tentu akan kembali untuk melepaskan dendamnya kepada Agung Sedayu. “Suatu peringatan bagimu Agung Sedayu,“ berkata Kiai Gringsing, “kau harus selalu berhati-hati. Setiap saat kau akan bertemu dengan lawan-lawan yang mungkin sama sekali tidak kau kenal karena ia sekedar terpercik oleh dendam karena kematian sanak kadangnya atau saudara seperguruannya.” Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Agaknya memang sudah menjadi keharusan baginya, bahwa ia telah menempuh jalan hidup yang gelisah. Bayangan dendam itu sama sekali tidak akan memberikan ketenangan dihatinya. Namun dalam pada itu, Swandaru mempunyai tanggapan yang berbeda mengenai ancaman-ancaman yang setiap saat dapat mencengkam Sangkal Putung, terutama Agung Sedayu. Bahkan dengan wajah yang tegang ia berkata, “Guru, apakah kita harus menunggu sampai bencana itu datang? Aku condong untuk memilih jalan lain. Kita sudah mendapat petunjuk dari keempat orang itu, dimanakah letaknya Pesisir Endut, atau padepokan kakak dua bersaudara yang terbunuh itu, yang menurut keterangan mereka bernama Carang Waja. Kita juga sudah mendapat gambaran kekuatan yang ada di padepokan itu. Karena itu, daripada kita harus menunggu dengan gelisah untuk waktu yang tidak menentu, sebaiknya kita pergi ke padepokan itu. Tiga bersaudara itu tentu tidak akan melampaui Carang Waja sendiri. Duabelas pengikutnya itupun tentu tidak akan melampaui kemampuan para pengawal di Sangkal Putung. Dengan demikian, kita akan dapat datang dan menghancurkan padepokan itu. Kita mempunyai alasan yang kuat, karena mereka telah lebih dahulu menyerang kita disini.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “ Swandaru, mungkin kita dapat melakukannya dan mungkin kita dapat memenangkan pertempuran itu. Tetapi kita harus membayangkan, bahwa korban akan berjatuhan diantara kita. Jika keterangan ke empat orang itu tidak benar, atau mungkin terjadi perubahan di saat terakhir. misalnya Carang Waja telah memanggil orang-orang baru, atau perguruan-perguruan lain yang bergabung dengan mereka, atau perubahan-perubahan lain, akan dapat menumbuhkan persoalan yang pelik. Apalagi jika diantara mereka terdapat orang-orang dalam dari Pajang yang telah mengotori kedudukan mereka dengan ketamakan itu. Atau dalam keadaan yang berbeda, para prajurit Pajang yang setia akan tugasnyapun tentu akan merasa tersinggung, bahwa kita lelah melakukan penyerangan itu diluar pengawasan Pajang karena justru kita berada dibawah lingkup kekuasaan Pajang, seperti Untara yang tersinggung oleh peristiwa lembah diantara Gunung Merapi dan Merbabu itu, yang aku kira bagi Untara masalah itu masih belum dianggapnya selesai. Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat menyangkal keterangan gurunya. Tetapi rasanya hatinya bagaikan melonjak-lonjak. Kenapa Sangkal Putung tidak dapat melindungi dirinya dengan cara yang paling baik yang dapat dilakukan. “Jika demikian, maka kedudukan sebuah perguruan jauh lebih baik dari sebuah Kademangan,“ berkata

Swandaru seakan-akan kepada diri sendiri. “Kenapa?” bertanya Kiai Gringsing. “Mereka dapat berbuat sesuai dengan keinginannya. Jika mereka merasa terganggu oleh pihak lain, maka perguruan itu akan dapat mengerahkan kekuatannya untuk melakukan perang antara perguruan. Tetapi tidak dengan kita di Kademangan Sangkal Putung,” geram Swandaru. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam Katanya, “Swandaru. Sebenarnya bagi sebuah perguruanpun, berlaku ketentuan-ketentuan yang sama. Mereka tidak dibenarkan melakukan tindakan sendiri sendiri sesuai dengan keinginan mereka. Tetapi karena pada umumnya mereka terbatas pada persoalan diantara mereka, maka persoalan itu tidak diketahui oleh Pajang.” “Atau Pajang sudah dengan sengaja tidak mau atau bahkan tidak mampu mengawasi semua gejolak yang terjadi didalam wilayah kekuasaannya.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya wajah Ki Demang yang tegang. Namun kemudian katanya, “Sebaiknya tidak usah melihat kelemahan-kelemahan itu pada siapapun Swandaru, sebaiknya kita bersikap seperti yang seharusnya kita lakukan. Jika kita mempersiapkan diri sebaik-baiknya, maka perguruan manapun tidak akan dapat menembus dinding pertahanan kita. Di Sangkal Putung secara terbuka terdapat pengawalpengawal yang jumlahnya dapat berlipat sepuluh atau dua puluh kali dari sebuah perguruan.” Swandaru tidak menjawab lagi. Betapapun juga hatinya digelitik oleh suatu keinginan untuk melakukan sergapan langsung kepusat jantung lawan, tetapi ternyata gurunya tidak sependapat. “Seberapa besar perguruan Pesisir Endut dan Perguruan Carang Waja,” geramnya didalam hati, “tentu akan tidak berarti dibanding dengan kekuatan yang ada dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu.” Sementara itu Agung Sedayu sendiri tidak menyatakan pendapatnya. Ia lebih banyak diam sambil melihat kedalam dirinya sendiri. Bahkan kadang-kadang ia menyesal bahwa ia telah terlibat terlalu jauh kedalam persoalan yang tidak dikehendakinya sendiri. Tetapi nampaknya semuanya telah berjalan tanpa dapat dikendalikan. Yang tidak banyak mengetahui persoalan yang berkembang di Sangkal Putung itu adalah Glagah Putih. Ki Widura dengan sengaja telah membatasinya agar ia tidak terlalu banyak terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan tentang masalah yang belum terjangkau oleh nalarnya. Ia lebih banyak berada diantara anak anak muda Sangkal Putung yang nampaknya senang bergaul dengan anak muda yang bertubuh tinggi itu. Namun sudah barang tentu bahwa mereka yang berada di Sangkal Putung tidak selamanya akan tetap tinggal di Kademangan itu. Ki Waskita, Ki Widura dan bahkan kemudian Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Glagah Putih, merasa sudah cukup lama tinggal. setelah pemakaman Ki Sumangkar

selesai. Ketika mereka menyampaikan hal itu kepada Ki Demang dan Swandaru beserta isteri dan adiknya, maka terasa sesuatu yang bergetar di hati mereka. “Aku berada di tempat yang tidak terlalu jauh,“ berkata Kiai Gringsing, “Aku berharap bahwa padepokan kecil di Jati Anom itu akan dapat berkembang.” “Tetapi padepokan itu tidak akan dapat memberikan harapan bagi masa datang guru,“ sahut Swandaru, “sejak semula sudah aku katakan, sebaiknya dipertimbangkan kemungkinan lain yang lebih baik daripada berada di padepokan terpencil itu.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Ia sadar bahwa Swandaru bermaksud mengatakan kepadanya. Seperti Sekar Mirah yang pernah menyatakan hal yang sama. Tetapi perpisahan itu tidak dapat ditunda lagi. Setelah Kiai Gringsing memberikan banyak pesan kepada Swandaru, isterinya dan Sekar Mirah tentang segala kemungkinan yang dapat terjadi dalam hubungannya dengan perguruan Pesisir Endut itu, maka akhirnya ia berkata, “Kau harus bertumpu pada kekuatan seluruh Kademangan. Jika kau merasakan kekuatan sirep seperti yang pernah terjadi itu sekali lagi mencengkam rumah ini, maka kau harus membunyikan isyarat. Kekuatan sirep itu tidak akan dapat menjangkau sejauh bunyi kentongan. Sehingga dalam keadaan yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan, akan datang para pengawal dari luar pengaruh sirep itu. “Kekuatan sirep pun terbatas pada kesempatan tertentu. Jika dengan serta merta pengawal itu menjelajahi seluruh sudut yang diperkirakan terpengaruh oleh kekuatan sirep itu, maka mereka yang melepaskannya akan kehilangan kesempatan pemusatan ilmunya, sehingga pengaruhnya akan pecah. Apalagi jika mereka segera terlibat dalam benturan kekuatan, maka mereka tidak akan mendapat kesempatan lagi untuk melakukannya.” Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi didalam hati terbersit kepercayaannya kepada diri sendiri, bahwa ia tentu akan dapat mengatasi setiap kesulitan yang akan terjadi. Apalagi Swandaru yakin, beserta isteri dan adik perempuannya, ia akan dapat menyelesaikan setiap kemungkinan yang akan dapat melanda Sangkal Putung. Betapa beratnya, namun akhirnya Sangkal Putung terpaksa melepaskannya beberapa orang yang sangat penting bagi mereka. Bagi Sekar Mirah, kepergian Agung Sedayu adalah kesepian yang sekali lagi akan mencengkam jantungnya. Tetapi sekali lagi Sekar Mirah bertahan. Seolah-olah ia tidak terpengaruh samasekali dengan kepergian Agung Sedayu. Bahkan seolah-olah ia melepaskannya dengan hati yang lapang terbuka. “Semuanya tergantung kepadamu kakang,“ berkata Sekar Mirah, “aku sudah cukup memberikan pendapatku bagi hari depan kita.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar sepenuhnya yang sebenarnya diharapkan oleh Sekar Mirah adalah jauh daripada apa yang dilakukannya. Pandan Wangi tidak banyak memberikan tanggapan atas keberangkatan Kiai Gringsing, Agung Sedayu serta Ki Widura dan Glagah Pulih bahkan Ki Waskita yang akan singgah pula dipadepokan kecil Agung Sedayu itu. Meskipun sebenarnya ia masih mengharap agar mereka lebih lama tinggal di Kademangan Sangkal Putung, namun yang terjadi itu adalah wajar sekali. Seharusnya sudah dapat diketahui, sejak mereka datang sudah harus diperhitungkan bahwa pada suatu saat mereka akan pergi. Yang paling gembira justru adalah Glagah Putih. Ia akan mendapat kesempatan lagi untuk mempelajari ilmu bukan saja dari ayahnya sendiri, tetapi dari Agung Sedayu. Meskipun Agung Sedayu lebih muda dari ayahnya, tetapi lebih senang baginya belajar pada saudara sepupunya daripada belajar kepada ayahnya sendiri. Agung Sedayu lebih sabar dan karena umurnya yang tidak terpaut banyak, maka ia akan dapat lebih leluasa dan tanpa segan untuk menyatakan pendapatnya. Demikianlah, maka akhirnya mereka itupun meninggalkan Sangkal Putung. Ki Demang yang merasa agak keberatan namun terpaksa melepas mereka sampai keregol halaman, diikuti oleh anak-anak dan menantunya, serta beberapa orang bebahu Kademangannya. “Setiap saat kita akan dapat bertemu lagi,“ berkata Kiai Gringsing, “jarak ini dapat ditempuh dalam waktu yang sangat pendek.” Sejenak kemudian, maka sebuah iring-iringan kecil telah meninggalkan Sangkal Putung. Sekali-kali Agung Sedayu masih berpaling. Dilihatnya Sekar Mirah berdiri diantara mereka yang melepaskannya di regol halaman. Namun ketika mereka sudah lewat sebuah tikungan, maka perjalanan itupun menjadi semakin cepat. Tidak ada lagi diantara mereka yang berpaling. Ketika iring-iringan itu sudah tidak tampak lagi, Swandaru yang masih ada diregol halaman Kademangan Sangkal Putung berkata, “Kita percaya akan kemampuan kita sendiri. Kita tidak perlu cemas, meskipun sebagian dari kekuatan yang ada di Kademangan ini pada saat yang gawat itu kini telah pergi.” “Ingat-ingatlah pesan gurumu,“ sahut ayahnya, “kau harus bertumpu pada kekuatan seluruhnya yang ada di Kademangan ini.” Swandaru tersenyum. Jawabnya, “Aku mengerti ayah. Dengan demikian kita masing-masing harus selalu membawa kentongan kemana kita pergi.” “Ah, tentu bukan begitu maksudnya. Kita masing-masing tidak boleh terlalu sombong untuk menghadapi setiap kesulitan tanpa memberikan isyarat kepada para pengawal. Misalnya, seperti yang terjadi disaat terakhir, ketika rumah ini dan sekitarnya dicengkam oleh kekuatan sirep. Jika saat itu tidak ada Kiai Gringsing, Ki Waskita, Ki Widura dan Agung Sedayu,

maka kekuatan yang ada di rumah ini tidak akan dapat menghadapi orang-orang yang datang itu. Adalah wajar sekali bahwa dalam keadaan seperti itu, kita memanggil para pengawal seperti yang dipesankan oleh Kiai Gringsing.” Swandaru mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Ia tidak mau berbantah dengan ayahnya meskipun sebenarnya ia tidak sependapat. Sementara Pandan Wangi hanya dapat menundukkan kepalanya. Meskipun ia tidak dapat membenarkan sikap Swandaru dihadapan ayahnya, namun ia tidak berani menegurnya dengan langsung. Namun Pandan Wangi itu menjadi berdebar-debar ketika ia tidak melihat lagi Sekar Mirah diantara mereka. Karena itu, maka iapun dengan tergesa-gesa naik kependapa langsung menuju keruang dalam. Sejenak Pandan Wangi termangu-mangu. Namun iapun kemudian dengan hati-hati membuka pintu bilik Sekar Mirah. Seperti yang diduga, didapatkannya Sekar Mirah menelungkup dipembaringannya. Setelah ia bertahan sekuat tenaga dihadapan Agung Sedayu dan Kiai Gringsing untuk mempertahankan sikapnya, maka meledaklah bendungan itu sepeninggal mereka. Betapapun kuat hatinya, namun Sekar Mirah adalah tetap seorang gadis. Terasa betapa gersang hari depan yang akan dimasukinya. Gurunya telah meninggalkannya untuk selamanya, sementara Agung Sedayu yang akan menjadi tempatnya bersandar, adalah seorang anak muda yang seakan-akan hidupnya tanpa cita cita sama sekali. Ia menjalani hidup seperti yang dijalani. Tenang, tetapi gersang dan tiada harapan. Seolah-olah apa yang ada itu adalah bagian yang tersedia tanpa dapat menawar lebih banyak lagi. Pandan Wangi perlahan-lahan duduk disisi Sekar Mirah, dibibir pembaringannya. Sebagai seorang perempuan Pandan Wangi dapat meraba perasaan Sekar Mirah, meskipun tidak sampai dengan perasaannya. Bagi Pandan Wangi, hari depan tidak terletak pada jenjang dan pangkat. Tidak pada kedudukan dan ketenaran. Tetapi hidup akan lebih mantap jika beralaskan kedamaian hati. “Tetapi perbedaan sikap antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah adalah sumbu yang setiap saat dapat menyala dan membakar kedamaian itu sehingga menjadi debu,“ berkata Pandan Wangi didalam hatinya. Tetapi yang diucapkan ditelinga Sekar Mirah adalah justru kata-kata yang penuh dengan harapan, seolah-olah bahwa yang nampak pada saat itu dihati Sekar Mirah bukannya sebenarnya akan terjadi. “Pada suatu saat hatinya akan terbuka Sekar Mirah,“ berkata Pandan Wangi, “agaknya Agung Sedayu sedang berusaha untuk mematangkan bekalnya buat masa depan. Ia sudah pandai menguasai sastra dan bahasa. Ia sudah memiliki ilmu kanuragan yang sulit dicari bandingnya. Ia sudah meletakkan dasar hubungan dengan Mataram yang bakal berkembang.” Sekar Mirah tidak menjawab. Namun isaknya tiba-tiba saja menurun.

Pandan Wangi membelai rambutnya yang kusut. Namun diluar sadarnya ia berkata kepada diri sendiri, “Agaknya Agung Sedayu telah memilih landasan hidup pada kedamaian hati itu, meskipun dengan banyak persoalan yang melibat dirinya, ia justru terdorong kedalam putaran dendam dan kebencian.” Pandan Wangi menggeleng lemah, ia tidak mau memandang terlalu jauh kedalam diri Agung Sedayu dan membandingkannya dengan Swandaru untuk menerawang kelebihan dan kekurangannya. Sekar Mirah sama sekah tidak menjawab. Tetapi isaknya semakin lama menjadi semakin menurun. Kata-kata Pandan Wangi sedikit dapat memberikan ketenangan dihatinya yang gelisah. Iapun mencoba untuk melihat bahwa Agung Sedayu sedang sibuk untuk mengumpulkan bekal bagi hidupnya dimasa depan. Dalam pada itu, iring-iringan yang meninggalkan Sangkal Putung itu pun semakin lama menjadi semakin jauh. Mereka sudah memasuki bulak-bulak diantara padukuhan-padukuhan yang terbesar dari Kademangan Sangkal Putung. Mereka melintasi tanaman-tanaman yang hijau disawah dan kadangkadang harus mengang gukkan kepala jika mereka bertemu dengan orang-orang Sangkal Pulung telah mengenal mereka, apalagi Agung Sedayu dan Kiai Gringsing. Sementara yang lain masih juga dapat mengenal Widura yang pernah menjadi Senapati prajurit Pajang di Sangkal Putung saat pasukan Tohpati berkeliaran disekitar Kademangan yang subur itu. Glagah Putih yang masih belum mengenal Kademangan itu dengan baik, sekali-sekali bertanya kepada Agung Sedayu tentang sawah yang subur, parit yang seakan-akan tidak pernah kering. “Swandaru adalah seorang anak muda yang penuh dengan usaha peningkatan tata kehidupan bagi Kademangannya,” jawab Agung Sedayu. Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia memang melihat tata kehidupan yang lebih baik di Sangkal Putung dari pada di Kademangan kademangan lainnya. Jati Anom yang termasuk Kademangan yang baik, masih harus mengakui kemajuan Sangkal Pulung dalam beberapa hal dapat ditiru. “Di Jati Anom. kakang Untaralah yang banyak memegang peranan berkata Glagah Putih didalam hatinya. Dan Glagah Putihpun tahu bahwa Untara bukan bebahu Kademangan. Tetapi ia adalah Senapati Prajurit Pajang yang berada di Kademangan itu. Ketika mereka lewat jalan padukuhan yang melalui beberapa tempat pandai besi sedang bekerja, Glagah Putih semakin terlarik kepada kademangan itu. Sekilas ia melihat betapa sibuknya pandai besi itu menyiapkan alat-alat pertanian. Namun ada diantara mereka yang sedang menempa sebilah pedang panjang. “Mereka juga membuat senjata,“ hampir diluar sadarnya Glagah Putih bergumam.

“Ya,“ Agung Sedayu menyahut, “Sangkal Putung adalah Kademangan yang dapat memenuhi segala kebutuhan sendiri. Bahan makan di Sangkal Putung tersedia, bahkan bagaikan melimpah. Pakaian Ssangkal Putung telah membuat sendiri. Beberapa puluh orang menenun di seluruh Kademangan. Sedangkan dari segi lain. Sangkal Putung dapat menjaga dirinya sendiri.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya Sebentar lagi Sangkal Putung tentu akan menjadi sebuah Kademangan yang paling besar didaerah ini. Bukan karena luas wilayahnya, tetapi karena isinya yang berlimpah.” Agung Sedayu memandang adik sepupunya yang nampaknya dengan sungguh-sungguh memperhatikan kademangan itu. Namun ia tidak mengusik angan-angan Glagah Putih yang nampaknya sedang terbang memutari daerah Sangkal Putung yang cukup luas itu. Namun kemudian ternyata bahwa Glagah Pulih tidak saja sedang merenungi sawah yang hijau, parit yang mengalir dan jalan jalan yang lebar dan rata. Tetapi ternyata bahwa Glagah Putih juga merenungi peristiwa yang hampir saja menyeretnya kelubang kubur desisi Ki Sumangkar. Glagah Putih memandang bulak panjang yang sepi, yang menjadi arena pertempuran antara anak muda yang nampaknya seperti seorang petani kebanyakan, namun yang ternyata adalah Pangeran Benawa melawan dua orang kakak beradik oleh akibat yang gawat di rumah Ki Demang Sangkal Putung. “Sayang, tidak ada seorang yang membangunkan aku,“ berkata Glagah Putih didalam hatinya, “sehingga aku tidak melihat perkelahian yang tentu sangat sengitnya yang terjadi dihalaman rumah Ki Demang.” Sebenarnyalah Glagah Pulih menyesal bahwa ia tidak dapat melihat apa yang terjadi. Ia harus mendengar dari orang lain, bahwa Agung Sedayu telah berhasil memenangkan perang tanding melawan saudara dari kedua kakak beradik yang garang, yang datang dari Peisisir Endut. “Siapakah sebenarnya yang lebih tinggi ilmunya,” bertanya Glagah Putih didalam hatinya, “kakang Agung Sedayu atau Pangeran Benawa ? Pangeran Benawa berhasil membunuh dua orang kakak beradik itu. Tetapi kakang Agung Sedayu menang dari saudara tua kedua orang itu.” Diluar sadarnya, Glagah Putih telah membuat perbandingan-perbandingan. Ia mencoba melihat diangan-angannya, beberapa orang anak muda yang memiliki kelebihan. Agung Sedayu, Swandaru, Untara, Prastawa dan dua orang saudara angkat putera Sultan di Pajang, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya. “Prastawa agaknya masih ketinggalan,“ berkata glagah Pulih didalam hatinya, “tetapi yang sulit diduga adalah antara kakang Agung Sedayu, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya. Agaknya

mereka sudah meningkat, sejajar dengan orang-orang tua yang namanya telah menggetarkan sebelumnya.” Tetapi Glagah Pulih menggeleng kecil. Katanya didalam hati, “Aku tidak tahu. Seandainya tiba-tiba saja kakang Agung Sedayu dipaksa untuk berperang tanding dengan salah seorang dari kesatria itu.” Sesaat kemudian Glagah Putih telah mulai berangan-angan tentang dirinya. Ia justru merasa dirinya semakin kecil diantara saudara sepupunya dan anak-anak muda yang lain. Perasaan itulah yang agaknya lelah mendorong kesanggupan di dalam dirinya, ia bukan lagi menjadi anak-anak yang dibiarkan tidur nyenyak saat di halaman terjadi perang tanding yang menentukan hidup atau mati. “Aku sudah menjelang anak muda yang dewasa. Umurku tidak terpaut banyak dengan kakang Agung Sedayu. Tetapi rasa-rasanya semua orang masih menganggap aku seperti anak kecil yang hanya pantas bermain bentik daripada memegang hulu pedang.” Demikianlah maka iring-iringan itupun semakin lama menjadi semakin jauh meninggikan Sangkal Putung. Padukuhan yang terakhir dari Kademangan Sangkal Putung sudah lampau, sementara mereka mulai memasuki Kademangan tetangga dari Kademangan Sangkal Putung. Namun sejak mereka memasuki bulaknya, maka sudah terasa perbedaan antara kedua Kademangan yang bertetangga itu. Agung Sedayu dan Glagah Putih berkuda dipaling depan. Beberapa langkah mereka terpisah dari orang-orang tua yang berkuda dibelakang mereka. Agaknya mereka sedang asyik berbincang tentang berbagai masalah yang terjadi disaat terakhir. Diperjalanan Agung Sedayu sempat berceritera tentang peristiwa yang hampir saja merenggut nyawanya saat ia bersama Untara pergi ke Sangkal Putung dimalam hari dalam hujan yang turun dengan lebatnya. Saat mereka tiba-tiba saja bertemu dengan beberapa orang yang berilmu tinggi, pengikut Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan. Glagah Putih mendengar ceritera itu dengan asyiknya. Ia pernah mendengar ceritera itu sebelumnya. Tetapi ia tidak pernah menjadi jemu. Pada ceritera itu ia melihat, bahwa pada mulanya Agung Sedayu pun adalah seorang anak muda yang lemah bahkan seorang penakut. “Aku mulai pada keadaan yang lebih baik dari kakang Agung Sedayu,“ berkata Glagah Putih didalam hatinya. Diluar sadarnya, maka kuda Glagah Putihpun berlari semakin cepat. Agung Sedayu yang hanya mengimbanginya, berpacu pula disisinya menuju kepadepokan kecilnya disebelah kademangan Jati Anom, didaerah pategalan yang semula merupakan daerah yang ditanami palawija. Perjalanan itu memang bukannya perjalanan yang terlalu jauh. Mereka masih harus menelusuri jalan di tepi sebuah hutan yang tidak terlalu luas. Namun kemudian mereka segera

melintasi bulak-bulak panjang memasuki Kademangan-kademangan yang lain menuju ke Jati Anom. Kedua anak muda itu memperlambat kuda mereka, ketika mereka melihat tiga orang berkuda dari arah yang berlawanan. “Tiga orang prajurit,“ berkata Glagah Putih. Agung Sedayu mengangguk. Mereka adalah tiga orang prajurit dari Jati Anom yang sedang meronda. Kerena itu, maka Agung Sedayupun membiarkan Glagah Putih berkuda didepannya, tidak lagi disisinya, untuk memberi jalan kepada para prajurit yang berpapasan itu. Tetapi ternyata kemudian, bahwa ketiga orang prajurit itu tidak berkuda terus. Salah seorang dari ketiganya telah berhenti ditengah jalan sambil mengangkat tangannya. “Kitapun harus berhenti,” berkata Agung Sedayu kepada Glagah Putih. “Kenapa?,“ berkata Glagah Putih. “Kita tidak tahu. Tetapi barangkali hanya karena prajurit-prajurit itu ingin berhati-hati dalam keadaan seperti sekarang.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Iapun kemudian menarik kekang kudanya ketika ia sudah berada beberapa langkah dihadapan prajurit itu. “Siapa kalian,” bertanya prajurit itu. “Agung Sedayu dari Jati Anom,“ jawab Agung Sedayu. “Kau berdua berjalan seiring dengan orang-orang berkuda dibelakang kalian itu atau kebetulan saja kalian bersama mereka?” “Itu adalah orang tua kami,“ jawab Agung Sedayu. Prajurit itu mengerutkan keningnya. Mereka melihat orangorang tua yang berkuda semakin dekat. Namun dalam pada itu Glagah Putih berkata, “Apakah kalian tidak mengenal kakang Agung Sedayu atau ayahku yang bernama Ki Widura?” Ketiga orang prajurit itu menegang sejenak. Salah seorang dari mereka bertanya, “Siapakah Agung Sedayu dan siapakah Ki Widura?” “Apakah kalian prajurit-prajurit yang belum lama dipindahkan ke Jati Anom?” bertanya Glagah Putih pula. “Kenapa ? “ prajurit itu ganti bertanya. “Jika kalian sudah lama disini, kalian tentu mengenal Agung Sedayu dan Widura.”

Yang tertua dari ketiga prajurit itu tiba-tiba saja tersenyum. Katanya, “Menarik sekali. Tetapi sayang anak muda. Aku belum mengenalnya. Aku dan kedua kawanku ini memang orang-orang baru di Jati Anom.” Glagah Pulih memandang Agung Sedayu yang termangu-mangu. Tetapi ia kecewa karena Agung Sedayu tidak segera menyatakan dirinya. Akhirnya Glagah Putih tidak telaten. Ialah yang kemudian berkata, “Kakang Agung Sedayu ini adalah adik kakang Untara. Dan ayahku, Ki Widura adalah bekas seorang perwira yang terakhir mendapat tugas di Sangkal Putung untuk menghadapi sisa-sisa laskar Tohpati.” Prajurit itu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tertawa, “Maafkan kami anak-anak muda. Kami memang belum mengenal kalian, meskipun kami telah mendengar nama Agung Sedayu. Mula mula kami tidak teringat akan nama itu, jika kau tidak mengatakan bahwa Agung Sedayu adalah adik Ki Untara. Dan kamipun hampir-hampir lupa nama Ki Wudura yang sudah lama tidak lagi bertugas menjadi prajurit. Tapi secara pribadi aku memang belum mengenal Ki Widura itu.” Agung Sedayu sendiri hanya menarik nafas saja. Sekilas ia berpaling memandangi wajah Glagah Putih. Tetapi nampak di sorot wajah itu, bahwa ia mengatakan semuanya dengan jujur tanpa maksudmaksud tertentu. Sementara itu. Kiai Gringsing dan Ki Waskita menjadi semakin dekat. Ketika mereka berhenti, maka Widuralah yang maju beberapa langkah mendekati para perwira itu. “Aku Widura,“ katanya memperkenalkan diri. Dan prajurit itu menjawab, “Ya. kami sudah mendengar dari anak muda itu, bahwa diantara kalian adalah Ki Widura.“ prajurit itu berhenti sejenak, lalu. “kami memang tidak bermaksud menghentikan perjalanan kalian. Kami hanya ingin tahu, siapakah kalian yang berkuda bersama-sama dalam kelompok kecil ini.” “Kami akan kembali ke Jati Anom,“ berkata Widura. “Kami tahu sekarang,“ sahut prajurit-prajurit itu, “Kalian tentu datang dari Sangkal Putung, dalam rangka pemakaman Ki Sumangkar. Agaknya kalian berada di kademangan itu beberapa hari.” Ki Widura termangu-mangu sejenak. Kemudian sambil mengangguk-angguk menjawab, “Ya Ki Sanak. Kami memang tinggal beberapa hari di Sangkal Putung agar keluarga Ki Demang tidak merasa terlalu sepi sesaat selelah pemakaman selesai.“ Prajurit itu mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Baiklah. Silahkan melanjutkan perjalanan. Kamipun akan meneruskan tugas kami.”

“Kalian meronda?” bertanya Ki Widura. “Ya. Kami meronda Kademangan Jati Anom dan Kademangan-kademangan di sekitarnya.” “Apakah dirasa perlu sekali untuk meningkatkan perondaan?” Prajurit itu tersenyum. Katanya, “Tidak. Aku kira yang kami lakukan bukannya suatu peningkatan. Tetapi demikianlah agaknya yang memang harus kita lakukan.” Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Sudahlah. Kami minta diri untuk melanjutkan perjalanan.” Prajurit-prajurit itu mengangguk dan memberikan jalan kepada kelompok kecil itu untuk meneruskan perjalanan, sementara mereka sendiripun kemudian melanjutkan perjalanan pula kearah yang berlawanan. Peristiwa itu tidak banyak menimbulkan persoalan. Glagah Putih segera melupakannya. Apalagi ketika ia kemudian berpacu mendahului Agung Sedayu dan orang-orang tua yang mengiringi mereka. Namun ternyata hal itu telah menimbulkan berbagai macam perhitungan bagi Agung Sedayu dan orangorang tua yang menyertainya. Dengan demikian mereka mengetahui, bahwa di Jati Anom telah terjadi perubahan diantara para prajurit yang bertugas di Jati Anom itu telah dianggap cukup lama sehingga beberapa kelompok diantara mereka telah ditarik kembali ke Pajang dan diganti dengan orang-orang baru. “Jika masalahnya hanya sekedar bertukar tugas karena mereka telah terlalu lama tinggal di Kademangan dilereng gunung, itu masih merupakan hal yang biasa,“ berkata Ki Widura didalam hatinya, “tetapi jika pergantian itu disertai dengan perhitungan-perhitungan tertentu, atau disertai dengan pesan-pesan tertentu dari beberapa orang yang telah mengotori sikap keprajuritan di Pajang, maka masalahnya akan menjadi cukup gawat. Mereka akan membawa pesan dalam tingkah laku dan sikap bagi kepentingan seseorang atau sekelompok orang yang pada dasarnya mempunyai pamrih pribadi yang berlebih-lebihan.” “Tapi Untara bukan anak-anak lagi.“ Ki Widura mencoba menenangkan hatinya sendiri, “ia akan dapat melihat, apakah prajurit-prajurit yang diperbantukan kepadanya, sesuai dengan sikap dan pendiriannya.” Ternyata bukan saja Ki Widura yang menjadi cemas melihat keadaan itu. Kiai Gringsing justru melihat kemungkinan yang lebih suram lagi. Orang-orang yang mempunyai wewenang di Pajang, sementara mereka berusaha dengan segala cara diluar jalur keprajuritan, telah menentukan langkahlangkah yang dapat mempersulitkan kedudukan Untara, justru karena ia berada di daerah yang berhadapan langsung dengan Mataram. “Mungkin aku terlalu berprasangka,” berkata Kiai Gringsing didalam hatinya. Sementara itu, kuda-kuda mereka berlari tidak terlalu kencang di bulak-bulak yang memisahkan

padukuhan-padukuhan besar dan kecil, seperti semula, mereka tidak berjalan beriringan. Tetapi Agung Sedayu mengikuti Glagah Putih yang berpacu didepan. sementara orang-orang tua berada agak jauh dibelakang. Dalam pada itu, diluar sadarnya Agung Sedayu tiba-tiba saja berpaling. Ada sesuatu yang ingin dilihat pada prajurit-prajurit yang baru saja berpapasan. Namun terasa hati Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Meskipun sudah agak jauh, namun matanya yang tajam masih sempat melihat, seorang diantara para praiurit itu memisahkan diri. “Menarik sekali,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Ternyata bahwa sikap Agung Sedayu itu dilihat oleh orangorang tua yang berkuda dibelakang. Hampir serentak merekapun berpaling. Seperti Agung Sedayu. merekapun melihat seorang dari prajurit prajurit itu telah melintasi jalan simpang, menempuh perjalanan yang terpisah dari kedua orang kawannya. Agaknya karena keadaan mereka, maka setiap peristiwa yang agak menyimpang, telah menjadi perhatian mereka. Seorang diantara prajurit-prajurit yang memisahkan diri itupun telah menarik perhatian mereka. Betapapun Kiai Gringsing mencoba menenangkan hatinya, namun ia tidak dapat mengesampingkan peristiwa yang dilihatnya itu. Kecurigaannya mulai tumbuh. Ketika ia memandang Ki Widura diluar sadarnya, ia melihat kesan yang sama diwajahnya. Bahkan Kiai Gringsing kemudian melihat pula kerut merut di kening Ki Waskita. Sejenak Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Agaknya ada sesuatu yang akan dilakukan oleh prajurit yang memisahkan diri itu.” Ki Widura mengangguk kecil. Dengan nada datar ia menyahut, “Yang terjadi disaat-saat terakhir adalah ketidak pastian, siapakah yang sebenarnya mempunyai maksud-maksud kurang baik khususnya terhadap angger Agung Sedayu. Itulah sebabnya kita mudah mencurigai seseorang. Nampaknya angger Agung Sedayu melihat prajurit yang memisahkan diri itu. sehingga iapun telah disentuh oleh perasaan curiga pula.” Ki Waskitapun mengangguk-angguk pula. Sekali lagi ia berpaling. Tetapi prajurit yang memisahkan diri itu sudah hilang dibalik padukuhan. “Mudah-mudahan prajurit itu tidak bermaksud buruk,“ desisnya.

Tiba-tiba saja Kiai Gringsingpun tersenyum. Desisnya, “Kita adalah orang-orang tua yang terlalu dihantui oleh bayangan buruk dihati kita sendiri. Ki Widura dan Ki Waskitapun tersenyum pula. Ketika mereka memandang kedepan, mereka melihat Agung Sedayu telah menjadi semakin jauh menyusul Glagah Putih. “Hatikulah yang agaknya ditumbuhi bulu-bulu tikus,“ berkata Kiai Gringsing, “namun tiba-tiba saja aku menjadi khawatir.” Ki Widura dan Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Dipandanginya debu putih yang terlempar dari kaki kuda Agung Sedayu. Sambil menarik nafas panjang. Ki Waskita berkata, “Adalah wajar sekali jika kita merasa khawatir. Yang telah terjadi di Mataram dan di Sangkal Putung membuat kita seolah-olah selalu dikerumuni oleh orang-orang yang dengan rahasia bermaksud buruk tanpa berani menunjukkan sikap yang jantan. Di Sangkal Putung kakak dari dua bersaudara dari Pesisir Endut itupun sebelumnya telah mencoba melumpuhkan daya tahan Agung Sedayu dengan ilmu sirepnya. Meksipun nampaknya ia dengan jantan menantang perang tanding, tetapi ia berharap bahwa Agung Sedayu telah terpengaruh oleh kekuatan ilmunya, sehingga ia tidak dapat mempergunakan segenap kemampuannya. Tetapi agaknya ia keliru.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Kecemasannya memang agak sulit untuk disingkirkan dari hatinya. Seperti yang dikatakan oleh Ki Waskita, seolah-olah setiap orang telah berusaha untuk menyingkirkan Agung Sedayu dengan cara masing-masing Dalam pada itu, Agung Sedayu memacu kudanya, menyusul Glagah Putih. Namun adik sepupunya itu tiba-tiba saja ingin bergurau. Ketika ia melihat Agung Sedayu menyusulnya, maka kudanyapun berpacu semakin cepat. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia tahu Glagah Putih bergurau. Tetapi kecurigaannya terhadap prajurit yang memisahkan diri itu telah mengekangnya. Ia tidak menyusul Glagah Putih semakin cepat, agar Glagah Putih tidak semakin cepat memacu kudanya. Sebenarnyalah bahwa prajurit yang memisahkan diri itu mempunyai niat yang khusus terhadap kehadiran Agung Sedayu. Seperti yang diduga, bahwa diantara orang-orang baru yang ada di Jati Anom terdapat beberapa orang yang termasuk jalur kekuatan orang yang disebut kakang Panji di Pajang. Dengan tergesa-gesa orang itu kembali ke baraknya. Ia tidak melaporkan kepada perwira yang sedang bertugas, tetapi ia langsung mencari seorang perwira yang menjadi salah satu jalur penghubung orang yang disebut kakang Panji. “Mereka telah kembali,“ prajurit itu melaporkannya. Perwira itu ragu-ragu sejenak. Kemudian katanya,

“Pergilah. Jangan bodoh. Apakah kau sedang bertugas sehingga kau dapat melihat Agung Sedayu datang kembali ke Jati Anom.” “Ya. Kami sedang meronda.” “Itulah kebodohanmu. Cepat, pergilah.” “Tetapi bukankah Ki Pringgajaya memerintahkan kami untuk mengawasi jika Agung Sedayu kembali ke padepokan kecilnya?” “Tetapi jangan bertindak bodoh. Kau sedang nganglang.” “Dua orang kawan kami meneruskan tugas kami.” Wajah perwira yang bernama Pringgajaya itu menjadi merah. Sekali lagi ia membentak, “Cepat, pergi sebelum aku usir kau dengan kasar.” Prajurit itu tidak menjawab. Tetapi iapun segera pergi meninggalkan Ki Pringgajaya menyusul kawankawannya yang sedang nganglang. Sejenak Pringgajaya termangu-mangu. Tetapi ketika ia tidak melihat orang lain memperhatikannya, maka iapun segera masuk kembali kedalam biliknya. Namun dalam pada itu, ketika prajurit yang melaporkannya keluar dari halaman baraknya, seorang kawannya bertanya, “Bukankah kau hari ini bertugas di rumah Ki Untara?” “Ya. Aku mengambil sesuatu yang tertinggal. Aku sudah mendapat ijin.” Kawannya tidak menghiraukannya lagi. Karena itu, maka prajurit itupun meneruskan perjalanannya. Tetapi ketika kudanya meloncat untuk berlari, tiba-tiba saja ia menarik kendalinya ketika mendengar namanya dipanggil. Dengan berdebar-debar ia berpaling. Dilihatnya seorang prajurit muda berlari-lari menyusulnya. “Kenapa kau kembali?” “Aku mengambil sesuatu yang tertinggal. Aku sudah mendapat ijin jawabnya.” “Dari Ki Untara?” bertanya prajurit muda yang berlari-lari itu. “Bukan. Dari perwira yang bertugas.” Tetapi prajurit muda itu tersenyum. Katanya, “Bukankah kau baru nganglang? Kau saat ini seharusnya meronda bersama dua orang prajurit.”

“Ya. Karena itu aku sempat singgah sebentar. Sekarang aku akan menyusul mereka. Dari pimpinan kelompok itulah aku mendapat ijin.” “Kau mengabarkan tentang kehadiran Agung Sedayu?“ tiba-tiba saja prajurit muda itu bertanya. Pertanyaan itu telah menampar jantungnya sehingga serasa darahnya terhenti mengalir. “Kau tidak usah terkejut. Kau bertemu dengan iring-iringan kecil dari Sangkal Putung. Kemudian kau dengan tergesa-gesa melaporkannya kepada Ki Pringgajaya.” “Bohong.” “Jangan ingkar. Aku melihat dari kejauhan tanpa sengaja. Aku berada dirumah kawanku dipinggir padukuhan. Aku berdiri dimulut jalan ketika kau bertemu Agung Sedayu di bulak. Kemudian kau memisahkan diri dari kawan-kawanmu. Kecurigaanku timbul saat itu, sehingga akupun tergesa-gesa kembali.” “Kenapa kau berada dipadukuhan itu?” “Aku libur hari ini setelah kemarin aku bertugas. Nah, apakah kau masih ingkar?” “Persetan. Aku dapat membunuhmu dengan tingkah lakumu yang gila itu tanpa meninggalkan jejak.” “Jangan mengancam. Aku akan menutup mulut jika kau berbaik hati terhadapku.” “Apa? Apa yang kau kehendaki?” Prajurit muda itu tertawa. Katanya, “Aku tahu apa yang selama ini kalian lakukan. Meskipun mulamula secara kebetulan, tetapi akhirnya aku dapat mengambil kesimpulan dari tingkah lakumu.” Wajah prajurit yang baru saja melaporkan kehadiran Agung Sedayu itu menjadi tegang. Tetapi ia masih tetap menahan diri. Namun tiba-tiba saja prajurit yang melaporkan kedatangan Agung Sedayu itu tertawa. Katanya, “Akhirnya aku tahu, bahwa kaulah yang selama ini mengintip tingkah lakuku. Baiklah, aku tidak akan marah. Seandainya kau mengetahui bahwa aku telah memberitahukan kedatangan Agung Sedayu kepada Ki Pringgajaya aku tidak berkeberatan. Apakah salahnya?” Prajurit muda yang menyusul itupun mengerutkan keningnya. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Jangan berpura-pura. Aku tahu latar belakang dari kegiatanmu disini selain karena tugasmu sebagai seorang prajurit.”

“Sebutkan?” “Kau bertugas mengamat-amati Agung Sedayu, karena Agung Sedayu adalah seorang yang menurut pihakmu merupakan penghalang yang besar bagi perjuangan mereka. He, apakah bukan begitu? Bukankah kau termasuk salah seorang pengikut dari mereka yang ingin menegakkan warisan dari kerajaan Majapahit lama.” Wajah prajurit itu menegang. Sorot matanya menjadi merah seolah-olah sedang menyala. “Kau memang harus dibunuh,“ berkata prajurit itu. Tanpa sesadarnya ia lelah memandang berkeliling. Tetapi ia melihat satu dua orang lewat diujung jalan. “He, kau akan membunuh aku sekarang?” bertanya prajurit muda itu. Prajurit yang berada dipunggung kuda menggeram. Katanya, “Jika tidak sekarang, maka segera aku akan membunuhmu. Menyeretmu ketempat yang sepi, kemudian menguburmu tanpa diketahui orang lain.” Prajurit muda itu terlawa sedang yang dipunggung kuda berkata terus. “Sebenarnya bagiku tidak terlalu sulit untuk mencari siapakah yang berkhianat jika terjadi sesuatu atasku, aku dapat melaporkan kepada kawan-kawanku, jika terjadi sesuatu dengan aku atau salah seorang kawanku, maka kau akan menjadi sasaran pembalasan.” “Kau masih mengancam terus. Ketahuilah, bahwa aku tidak akan pernah takut akan ancaman yang bagaimanapun juga. Seandainya terpaksa aku harus berkelahi melawanmu, aku juga tidak takut. Jika kau ingin memfitnah aku, akupun mempunyai tangkisan yang kuat dari sudut pandangan yang manapun.” Prajurit diatas punggung kuda itupun kemudian menggeram, “Apakah sebenarnya yang kau kehendaki?” “Nah, pertanyaan itulah yang seharusnya kita bicarakan.” “Aku sudah bertanya seperti itu tadi.” “Baiklah. Dengarlah. Kau adalah salah seorang pengikut dari mereka yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit itu. Kau tentu ingin Agung Sedayu mati terbunuh.“ ia berhenti sejenak, lalu. “tetapi pesanku, jangan mendahului aku. Maksudku, serahkan saja kepadaku, akulah yang akan menentukan saat-saat kematian Agung Sedayu. Aku adalah orang yang paling mendendam kepada Agung Sedayu.” “Kenapa?” “Ia telah membunuh ayahku.”

Praiurit diatas punggung kuda itu terkejut. Diluar sadarnya ia telah meloncat turun. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Siapa ayahmu itu, dan kenapa ia dibunuh oleh Agung Sedayu?” Prajurit muda itu tertawa. Katanya, “Umurku tentu hampir sebaya dengan Agung Sedayu. Mungkin aku lebih tua satu dua tahun.” “Aku bertanya siapa ayahmu,“ potong prajurit itu. “Ayahku adalah Kiai Sabungsanga yang juga dikenal dengan gelar Candramawa. Tetapi banyak orang yang mengenalnya dengan nama Ki Gede Telengan.” “Telengan,“ prajurit itupun berdesis, “jadi kau anak Telengan?” “Ya. Aku adalah anak Telengan yang mewarisi segala ilmunya. Karena itu jangan mengancam lagi agar kau tidak mati terbakar oleh api yang menyala dari mataku,“ berkata prajurit muda itu. Lawannya berbincang itupun menjadi tegang. Ia termangu-mangu ketika prajurit muda itu tertawa. Namun tiba-tiba ia membentak, “Jangan menakut-nakuti aku.” Tetapi suaranya terdengar hambar dan ragu-ragu. “Baiklah. Aku tidak menakut-nakutimu. Aku hanya minta, berilah aku kesempatan melepaskan dendam ayahku. Aku harus membunuh Agung Sedayu. Itulah sebabnya, aku menjadi prajurit meskipun yang paling rendah, sengaja untuk mencari kesempatan berada di Jati Anom. Akupun tahu segala persoalan tentang pewarisan Kerajaan Majapahit. Aku menyesal bahwa aku tidak ikut berada dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu saat itu.” “Siapa kau sebenarnya.” “Sudah aku katakan.” “Maksudku, siapa namamu sebenarnya.” Prajurit muda itu tersenyum. Jawabnya, “Panggil aku seperti kau menyebut namaku sehari-hari. Sabungsari. Itu memang namaku. Tetapi orang-orang dari perguruan Telengan menyebutku Ontanganting, karena aku adalah anak tunggal Ki Gede Sabungsanga.” Prajurit yang telah turun dari kudanya itu menjadi berdebar-debar, namun ia masih ragu-ragu, apakah benar yang dihadapinya, itu anak muda yang mempunyai kemampuan melampui prajurit kebanyakan. Agaknya anak muda yang bernama Sabungsari itu menyadari, bahwa prajurit itu masih tetap ragu-ragu. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berkata, “He, kau lihat kambing terikat dipohon jarak itu.” Prajurit itu ragu-ragu. Namun sebelum ia menyahut, maka ia melihat Sabungsari memusatkan inderanya memandang kambing yang terikat itu. Yang terdengar kambing itu memekik, kemudian jatuh terguling ditanah. Mati. “Aku hanya bermain-main,“ berkata Sabungsari, “jika aku bersungguh-sungguh, maka kekuatanku

melampaui kekuatan pandangan mata ayahku yang telah terbunuh oleh Agung Sedayu. Ada kekhilafan ayah pada waktu itu. Ayah melupakan landasan jasmaniahnya. Dilembah antara Gunung Merbabu dan Gunung Merapi ternyata tidak banyak terdapat kunir yang menjadi makanan pokok ayah dan aku sekarang ini.” Prajurit yang sudah turun dari kuda itu termangu-mangu. Ia melihat suatu kenyataan yang diluar jangkauan nalarnya. Yang terjadi adalah suatu yang menggetarkan dadanya. Namun demikian prajurit itu berkata, “Aku tidak yakin bahwa yang aku lihat itu benar-benar seperti yang terjadi. Mungkin kau adalah seorang yang dapat mengelabui mataku, sehingga seolah-olah aku melihat kambing itu mati.” “Memang mungkin. Tetapi jika kau ingin meyakinkan, maka kaulah yang akan menjadi sasaran. Kau akan percaya sebelum nyawamu lepas dari tubuhmu.” Prajurit itu menjadi tegang. Wajahnya merah sekilas. Namun ia tidak berani berbuat apa-apa. Nampaknya anak muda itu benar-benar meyakini katakatanya. “Sekarang, pergilah. Katakan kepada kawan-kawanmu, jangan mengganggu Agung Sedayu. Membunuh Agung Sedayu bagi kalian adalah tugas yang besar. Tetapi bagiku selain tugas juga merupakan tanda bakti seorang anak laki-laki yang sudah diwarisi ilmu kenuragan oleh ayahnya. Aku yakin bahwa bagi kalian, siapapun yang membunuh tidak menjadi soal. Bahkan kalian telah minta tikus-tikus kecil dari Pesisir Endut itu untuk membunuhnya. Tetapi dua orang diantara mereka telah dibunuh oleh Pangeran Benawa yang lemah hati itu.” “Kau tahu segala-galanya.” “Aku berusaha untuk mengetahui dan aku mempunyai mata dan telinga yang berkeliaran meskipun aku disini.” “Tetapi, aku sama sekali tidak yakin akan kata-katamu bahwa kau mempunyai makanan pokok sebangsa empon-empon. Aku melihat setiap hari kau makan rangsum seperti kami. Nasi dengan segala lauk pauknya.” Sabungsari tertawa. Katanya, “Aku makan seperti kalian makan. Tetapi disamping itu aku makan sebangsa empon-empon, terutama jenis kunir. Aku juga makan jenis yang lain. Tetapi aku tidak pernah makan daun kangkung dan daun lumbu wungu.” Prajurit yang baru saja melapor itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun tersentak ketika Sabungsari berkata,

“Pergilah. Ingat-ingatlah kata-kataku Anggaplah aku akan membantumu daripada kau menunggu orangorang Pasisir Endut atau orang-orang dari perguruan Carang Waja yang tidak berarti itu.” “Aku akan menyampaikan kepada Ki Pringgajaya.” Sabungsari tertawa. Katanya, “Pringgajaya memang harus diberi tahu. Hanya diberitahu, bukan minta ijin daripadanya. Juga Untara akan dengan mudah dapat aku bunuh, karena sebenarnya Untara tidak akan dapat mengimbangi kemampuan adiknya. Mungkin dalam ilmu keprajuritan Untara mempunyai pengetahuan yang lebih luas. Tetapi secara pribadi dalam olah kanuragan Agung Sedayu jelas lebih baik dari kakaknya.” Lawannya berbicara tidak menjawab lagi. Iapun kemudian meloncat kepunggung kudanya. “Aku akan melaporkannya.” Sabungsari mundur selangkah. Kemudian sambil bertolak pinggang ia melihat prajurit yang sudah berada dipunggung kuda itu siap untuk berpacu. “Aku juga akan pergi,“ berkata Sabungsari, “jika gembala yang mengikat kambing dipohon jarak itu datang dan melihat kambingnya mati, ia akan menangis meraung-raung. Aku tidak akan sampai hati melihatnya, karena aku adalah seseorang yang penuh dengan rasa iba dan belas kasihan.” Prajurit diatas punggung kuda itu tidak menyahut. Tiba-tiba saja ujung kendali kuda itu telah bergetar menyentuh tengkuk, sehingga kuda itu meloncat dan berlari kencang. Prajurit muda itu tertawa. Ia sadar, bahwa prajurit berkuda itu merasa cemas, bahwa tiba-tiba saja ia telah menyerang dengan ilmunya yang aneh itu. “Bertahun-tahun aku mempelajarinya,“ gumam Sabungsari, “sayang, aku harus melepas ayah pergi untuk selama-lamanya. Tetapi aku yakin bahwa ilmuku tidak kalah lagi dari ilmunya.” Prajurit berkuda itu menjadi semakin jauh. Sabungsari pun kemudian melangkah pergi. Ia pasti, bahwa prajurit itu dan kawan-kawannya, termasuk Pringgajaya tidak akan mengatakan kepada siapapun tentang dirinya. Dan iapun pasti, bahwa mereka akan bersenang hati jika ia berhasil membunuh Agung Sedayu. “Dendam itu harus aku lepaskan.“ akhirnya ia menggeram. Dalam pada itu, prajurit berkuda itupun telah memacu kudanya. Ia harus menemui kawan-kawannya ditempat yang sudah ditentukan. Dipinggir kali disebelah pategalan yang luas, di luar Kademangan Jati Anom. “Aku bertemu dengan seseorang yang sama sekali tidak kita duga memiliki kemampuan setan,“

berkata prajurit itu. Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Salah seorang dari mereka berkata, “Ceriterakan, apakah kau telah bertemu dengan Ki Pringgajayakan, apa yang telah terjadi setelah ia bertemu dengan Ki Pringgajaya. “Ki Pringgajaya menganggap kita sangat bodoh dan telah melakukan kesalahan, justru karena aku datang ke barak disaat aku sedang bertugas. Tetapi kawan-kawan yang lain agaknya tidak menghiraukan. Ada saja yang pernah singgah sejenak di barak saat sedang meronda. Dan akupun berbuat seperti mereka itu. Namun, prajurit baru yang masih muda yang bernama Sabungsari itulah yang gila.” Prajurit itu menceriterakan apa yang dikehendaki, dan bagaimana ia telah membunuh seekor kambing. “Kau tidak disihirnya ?” “Tidak. Kambing itu benar-benar mati. Aku kira ia dapat membunuh seseorang dengan cara yang sama. Dan Agung Sedayu akan mati jika ia pada suatu saat bertempur dengan Sabungsari yang juga dipangil Ontanganting.” “Kita akan menyampaikannya kepada Ki Pringgajaya.” “Ia tentu tidak akan berkeberatan,“ desis yang seorang. Tetapi yang lain menggeleng. Katanya belum yakin. Sejenak ketiga orang itu termangu-mangu. Nampaknya mereka sedang merenungi peristiwa yang baru saja disaksikan oleh salah seorang dari mereka. Nanti malam, setelah tugas kita selesai dan digantikan oleh orang lain, kita akan berbicara dengan Ki Pringgajaya. Kita ingin tahu dengan pasti sikapnya, agar kita tidak salah langkah,“ berkata salah seorang dari mereka. Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Kemudian yang lain berkata, “Sekarang kita lanjutkan perjalanan kita. Kita masih harus memutari empat padukuhan lagi.” Ketiga orang itupun kemudian meneruskan tugas mereka meronda. Pada saatnya merekapun segera kembali ke induk pasukan peronda yang sedang bertugas, bertempat dibagian samping halaman rumah Ki Untara, disebelah sebuah gardu yang agak besar dihalaman itu, yang memang dibuat khusus setelah rumah itu dipergunakan oleh prajurit Pajang. Tidak banyak yang mereka percakapkan selama mereka bertugas. Mereka tidak mengetahui dengan pasti, siapa sajakah yang mempunyai landasan berpijak sesuai dengan tugas mereka. Menjelang malam, mereka mendapat kesempatan untuk beristirahat. Tetapi mereka masih harus

kembali kehalaman rumah Ki Untara, karena mereka masih harus bertugas dimalam hari. Dengan ijin pimpinan mereka, maka ketiga orang itupun meninggalkan halaman itu untuk menemui Ki Pringgajaya dibaraknya yang tidak terlalu jauh dari rumah Ki Uniara. “Jangan terlalu lama. Menjelang tengah malam satu kelompok diantara kita akan nganglang. Saat itu kalian harus sudah berada di halaman ini kembali.” “Kami hanya sebentar Ki Lurah. Mandi kesungai, dan menghirup angin.” Demikian mereka keluar halaman, maka langkah mereka menjadi cepat. Mereka tidak mau kehilangan waktu agar mereka dapat berbicara agak panjang dengan Ki Pringgajaya. “Masuklah kedalam barak. Jika kita bertiga bersama-sama, maka tentu akan menarik perhatian, karena kita bertiga bersama-sama sedang bertugas,“ berkata salah seorang dari mereka. Karena itulah, maka yang kemudian masuk kedalam barak hanyalah seorang saja diantara mereka, sehingga kawan-kawannya yang melihat tidak menghiraukannya. “Kami bertiga,“ berkata prajurit itu setelah ia bertemu dengan Ki Pringgajaya. “Kalian memang gila, bodoh dan tidak mempunyai perhitungan.” “Hanya akulah yang masuk kedalam barak. Yang lain berada diluar, kami sudah mendapat ijin dari Ki Lurah yang bertugas saat ini untuk pergi ke sungai dan berjalan-jalan sebentar.” Ki Pringgajaya merenung sejenak. Kemudian katanya, “Pergilah. Aku akan menyusul kalian.” “Kami menunggu di pinggir kali, dibawah pohon sukun disudut pategalan itu,“ berkata prajurit yang datang menemuinya. Demikianlah meka sejenak kemudian, Ki Pringgajaya dan ketiga orang prajurit yang menunggunya, telah duduk melingkar dibawah sebatang pohon sukun yang besar. Malam yang semakin gelap telah menyelubungi mereka, sehingga seakan-akan mereka telah menyatu dengan hitamnya kekelaman. “Katakan, apa yang kau lihat.” Salah seorang dari ketiga prajurit itupun segera menceriterakan, bahwa mereka telah melihat Agung Sedayu bersama gurunya dan Ki Widura telah memasuki padepokannya kembali. Pringgajaya mengangguk-angguk. Katanya, “Kita harus mengatur langkah-langkah selanjutnya.” “Tetapi masih ada persoalan yang harus dipertimbangkan,“ berkata prajurit itu pula.

“Semuanya harus dipertimbangkan sebaik baiknya.” “Maksudku, ada pihak ketiga yang ikut campur dengan persoalan Agung Sedayu.” “Siapa? “ Pringgajaya menggeram. Prajurit yang telah bertemu dengan Sabungsari itupun segera menceriterakan tentang prajurit muda itu. “Sabungsari, prajurit muda yang baru diangkat itu?“ bertanya Pringgajaya. “Ya. Ternyata bahwa ia berada didalam lingkungan keprajuritan hanyalah sekedar dipakainya sebagai selubung. Ia mempunyai maksud tertentu dan tugas tersendiri.” Ki Pringgajaya mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Kita mempunyai masalah yang lebih luas dari sekedar membalas dendam. Sebenarnya yang penting bagi kita, tersingkirnya Agung Sedayu, siapapun yang melakukannya.“ Pringgajaya berhenti sejenak, lalu. “tetapi sudah barang tentu. Agung Sedayu bukannya tujuan dari perjuangan kita. Ia hanya salah satu unsur yang harus disingkirkan. Agung Sedayu, Kiai Gringsing dan sudah barang tentu orang-orang yang menurut perhitungan akan menguntungkan Mataram. Pada suatu saat, kitapun harus menyapu kekuatan Sangkal Putung.” Ketiga orang prajurit yang mendengarkannya hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ia melihat perbedaan kepentingan antara Ki Pringgajaya dengan prajurit muda yang bernama Sabungsari itu. “Karena itu,“ berkata Pringgajaya selanjutnya, “jika memang Sabungsari ingin melakukan balas dendam itu, biarlah ia melakukan. Tugas kita adalah melanjutkan apa yang telah dilakukannya. Kiai Gringsing itupun akan dapat membahayakan kedudukan kita. Bahkan jika perlu Widurapun harus kita singkirkan, jika kita mendapat bukti bahwa ia akan condong kepada Mataram. Untuk menghancurkan Sangkal Putung, kita harus membuat perhitungan tersendiri, karena Sangkal Putungpun mempunyai pengawal yang kuat, yang dapat digerakkan setiap saat, sementara Swandaru selalu berada didalam lingkungan mereka.” Prajurit itu mengangguk-angguk. Sementara Ki Pringgajaya meneruskan, “Jika kita berhasil membunuh mereka dan melumpuhkan Sangkal Putung dengan alasan apapun, maka kita sudah mengurangi kekuatan Mataram. Karena itu, jalan ke Mataram menjadi semakin luas.” Ketiga prajurit itu hanya mengangguk-angguk saja. Ternyata bagi Pringgajaya, Sabungsari justru akan dapat memberikan sumbangan pada tugasnya, seperti yang dikatakan oleh Sabungsari sendiri.

Dalam pada itu Pringgajayapun meneruskan, “karena itu, jangan berbuat apa-apa atas Sabungsari. Kau hanya perlu mengawasinya. Apapun yang dilakukan, biarlah menjadi tanggung jawabnya. Kita masih harus mempersiapkan banyak tugas. Kita yakin bahwa pada suatu saat Pajang dan Mataram tentu akan lenyap bersama. Kitalah yang akan segera berkuasa. Mungkin kakang Panji masih harus mengadakan penertiban kedalam. Orang-orang yang hanya bernafsu untuk mendapatkan upah dan kalenggahan akan disapu bersih seperti Pajang dan Mataram itu sendiri. Oleh karena itu, siapkan diri kalian dalam pengabdian.” Ketiga prajurit itu mengangguk-angguk. “Sekarang kembalilah. Kita akan segera mendengar berita, apakah Agung Sedayu atau justru Sabungsari yang terbunuh. Bagi kita tidak banyak bedanya. Isi padepokan kecil itu pada suatu hari harus bersih. Untara harus mendapat kesan bahwa kematian adiknya adalah karena kesalahan dan tanggung jawab Mataram yang telah melibatkan anak muda itu kedalam suatu persoalan diluar kepentingannya.” Ketiga prajurit itupun kemudian minta diri untuk kembali ke halaman rumah Agung Sedayu. Mereka masih harus bertugas semalam lagi. Besok mereka mendapat istirahat sehari penuh. Sementara itu. Agung Sedayu yang telah berada dipadepokannya kembali, rasa-rasanya tidak sabar lagi menunggu besok atau lusa. Bersama anak muda yang menunggui padepokannya, iapun pergi kesawah untuk melihat tamannya yang sudah agak lama ditinggalkannya. Ada semacam kerinduan yang menggeliliknya untuk segera dapat berada di tengah tengah sawah dan ladangnya kembali. “Aku ikut,“ minta Glagah Putih. “Besok sajalah,“ berkata Agung Sedayu, “aku hanya ingin melihatnya sejenak. Mungkin dimalam hari, air parit itu akan mengalir lebih banyak dibandingkan dengan siang hari, karena dibagian lain tidak banyak dipergunakan orang.” Tetapi Glagah Pulih tetap memaksa untuk ikut serta. Karena itu maka Agung Sedayu tidak dapat menolaknya. Katanya, “Mintalah ijin kepada ayahmu.”

Buku 118 “AYAH tentu memperbolehkan jika kakang tidak berkeberatan.” “Aku tidak berkeberatan jika paman Widura mengijinkan.” “Itu namanya berputar-putar,“ Glagah Putih bersungut-sungut, “tetapi aku akan ikut kakang melihat sawah dan pategalan.” “Hanya sawah diujung lorong itu,“ potong Agung Sedayu. “Ya. Sawah diujung lorong.” Glagah Putih tetap pada pendiriannya. Agaknya Ki Widura memang tidak melarangnya, sehingga Glagah Putihpun kemudian ikut bersama dengan Agung Sedayu dan seorang anak muda penunggu padepokannya. Sudah agak lama Agung Sedayu meninggalkan sawah dan ladangnya. Tetapi nampaknya anak-anak muda yang ditinggalkannya adalah anak-anak muda yang rajin. Ternyata bahwa sawah dan ladang mereka nampak terpelihara rapi, seperti halaman dan kebun padepokannya yang nampak bersih dan terawat. Udara yang segar rasa-rasanya seakan-akan menyusup lubang kulit sampai ketulang sungsum. Daun padi yang subur disentuh angin malam, bagaikan ombak lembut yang mengalir dari ujung sampai keujung bulak yang tidak terlalu panjang. “Kau tidak lelah Agung Sedayu,“ bertanya kawannya yang mengikutinya kesawah. “Aku sudah cukup lama beristirahat. Sore tadi aku sempat berbaring sebentar sebelum mandi,“ jawab Agung Sedayu. “Aku sama sekali tidak lelah,” berkata Glagah Putih, “bukankah aku tinggal duduk saja? Kudanyalah yang mungkin lelah.” Agung Sedayu menepuk bahu adik sepupunya. Sambil tersenyum ia berkata, “Kudanyapun tidak lelah. Kuda terbiasa menempuh jarak yang jauh.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Apakah manusia tidak dapat berlatih berjalan seperti seekor kuda? Cepat dan jauh?” Agung Sedayu tertawa. Jawabnya, “Perbedaan itu sudah ada pada kodratnya. Yang dapat dilakukan oleh manusia adalah berusaha untuk meningkatkan segala yang ada padanya menurut batas yang memang sudah tidak akan dapat dilampauinya lagi. Karena itu, yang dapat kita capai dengan segala

macam latihan dan penemuan diri adalah memanfaatkan yang ada pada kita setinggi-tingginya. Bukan saja kemampuan jasmaniah, tetapi yang terutama justru akal budi. Dengan akal kita mampu menimbuni segala macam kekurangan dan kelemahan. Tenaga manusia wajarnya jauh dibawah tenaga seekor lembu jantan. Tetapi justru manusia dapat memanfaatkan lembu bagi keuntungannya. Manusia dapat mempergunakan akalnya dalam banyak segi perbedaan. Tetapi manusia juga dikendalikan oleh budinya. Akal yang terlepas dari kendali budinya, justru akan sangat berbahaya bagi manusia itu sendiri.” Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia mencoba untuk mengerti kata-kata Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu menepuk bahunya sambil berkata, “Jangan risaukan. Pada saatnya kau akan mengerti.” “Aku sudah mengerti,“ jawab Glagah Putih. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Jika demikian kau memang cerdas. Aku memerlukan waktu untuk memikirkan nasehat itu. Tetapi agaknya kau dapat langsung menangkap maksudnya.” Glagah Putih mengangguk. Katanya, “Tidak sulit.” Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Baiklah. Kita sekarang sudah sampai diujung lorong. Didepan kita adalah sawah kita yang terakhir kita buka, namun nampaknya air didaerah inipun cukup banyak.” “Tidak ada bedanya dengan kotak-kotak sawah yang lain,“ jawab anak muda yang memelihara sawah dan padepokan Agung Sedayu. Agung Sedayupun kemudian berjalan menyusuri pematang diantara tanaman yang hijau subur disawahnya. Rasa-rasanya ia telah menemukan ketenangan dan ketenteraman setelah beberapa saat lamanya ia dibayangi oleh kegelisahan dendam orang orang lain terhadapnya. Dendam karena peristiwa-peristiwa yang susul menyusul diluar kehendaknya. Ternyata Glagah Putihpun senang berada disawah yang terbentang luas. Kunang-kunang yang tidak terhitung jumlahnya berterbangan dari daun kedaun. Sementara bunyi bilalang berderik-derik memecah sepinya malam. Namun dalam pada itu, ketenangan Agung Sedayupun segera terganggu ketika ia melihat bayangan seseorang dilorong yang melintasi daerah persawahan itu. Bahkan bayangan itupun kemudian berhenti tidak terlalu jauh diujung pematang. Glagah Putihpun melihat bayangan dikeremangan malam itu. Karena itu maka iapun berdesis, “Siapakah orang itu kakang?” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja hatinya menjadi berdebar-debar. Apakah di padukuhan terpencil itu ia masih saja selalu dibayangi oleh dendam dan kebencian? Tetapi Agung Sedayu tidak dapat membiarkan orang itu berdiri saja mematung tanpa menyapanya.

Bahkan kemudian katanya didalam hati, “Mungkin justru akulah yang terlalu berprasangka.” Agung Sedayupun kemudian melangkah dipematang mendekati orang yang berdiri tegak itu. Beberapa langkah lagi daripadanya, ia mendengar orang itu berdesis, “Apakah aku berhadapan dengan Agung Sedayu?” Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Jawabnya, “Ya, aku Agung Sedayu.” Orang itu tertawa kecil. Katanya, “Sokurlah. Sebenarnya aku ingin menjumpai kepintu gerbangmu, aku melihat kau keluar dan menyusuri jalan ini. Aku ikuti saja kau dari kejauhan. Dan sekarang aku sudah bertemu denganmu.” Agung Sedayu menjadi semakin ragu-ragu. Tetapi ia melangkah mendekatinya sambil bertanya, “Apakah kau mempunyai suatu kepentingan?” Orang itu tertawa. Jawabnya, “sebenarnya tidak. Aku hanya tahu bahwa kau adalah adik kakang Untara.” “Ya. Aku adalah adik kakang Untara. Siapa kau?” “Namaku Sabungsari. Aku adalah seorang prajurit. Aku belum lama mendapat tugas di Jati Anom.” “O,“ Agung Sedayu mengangguk-angguk. “Ternyata aku tidak begitu sesuai menjadi jemu berada didalam barak. Setiap hari aku bergaul dengan orang-orang yang sama dan melakukan pekerjaan yang serupa saja.” Agung Sedayu masih mengangguk-angguk. “Aku ingin mengenal dan bergaul dengan orang yang berbeda. Aku tahu bahwa kau baru saja kembali dari Sangkal Putung. Karena itu aku sengaja datang kepadepokanmu. Sebenarnyalah aku tidak mempunyai kepentingan apapun selain mencari suasana baru. Aku benarbenar sudah jemu berada di dalam barak.” Agung Sedayu termangu-mangu. Ia tidak segera menjawab. Dicobanya untuk mengerti maksud yang sebenarnya dari prajurit muda yang menyebut dirinya bernama Sabungsari itu. Dalam pada itu. Glagah Putih telah mendekatinya pula sambil bertanya, “Apakah kau termasuk anak buah kakang Untara?” “Ya. Aku adalah anak buah Ki Untara,“ jawab Sabungsari, “tetapi siapakah kau?”

“Glagah Putih. Aku adalah saudara sepupu kakang Agung Sedayu.” “Kalau begitu kau juga sepupu dengan Ki Untara.“ “Ya.” Sabungsari mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Aku ingin mendapat kesempatan untuk datang kepadepokanmu.” “Datanglah,“ jawab Agung Sedayu, “Sudah tentu aku tidak berkeberatan.” “Terima kasih,“ desis Sabungsari, “besok, jika aku mendapat hari istirahat setelah bertugas, aku datang kepadepokanmu. Aku ingin mendapat tempat untuk menemukan suasana yang lain dari pada sebuah barak prajurit.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tanpa prasangka apapun ia berkata, “Aku menunggu. Aku senang jika kau sudi datang kepadepokan kecil itu.” Sabungsari tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “sekarang aku minta diri. Aku tidak banyak mempunyai kesempatan malam ini. Sebentar lagi aku akan bertugas nganglang di Kademangan Jati Anom dan sekitarnya.” Agung Sedayu melangkah semakin dekat terasa dadanya berdebar-debar ketika ia melihat dalam kegelapan sekilas mata anak muda itu bagaikan bercahaya. Tetapi Sabungsari tetap tersenyum. Tidak ada tanda-tanda niatnya yang kurang baik, sehingga Agung Sedayupun kemudian berkata, “Baiklah. Datanglah kapan saja kau kehendaki.” Sabungsaripun kemudian minta diri. Ia akan datang disiang hari kepadepokan Agung Sedayu. “Mungkin aku datang bersama satu dua orang kawanku,“ berkata Sabungsari ketika ia melangkah pergi. “Datanglah,“ sahut Agung Sedayu, “aku senang menerima mereka.” Kepergian Sabungsari meninggalkan kegembiraan dihati Agung Sedayu. Ia merasa akan mendapat kawan-kawan baru dari lingkungan keprajuritan yang umurnya tidak terpaut banyak daripadanya. “Apakah ia benar-benar akan datang?” bertanya Glagah Putih. “Aku kira ia benar-benar akan datang.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia sama sekali tidak memikirkannya lagi. Bahkan iapun kemudian turun kedalam parit sambil mengayunkan cangkulnya, membuka pintu pematang untuk mengalirkan air kedalam sawah seperti yang sering dilakukan sebelumnya.

Agung Sedayu memandanginya saja sambil mengangguk-angguk. Glagah Putih termasuk seorang anak muda yang rajin, tetapi juga berkemauan keras. Dalam pada itu, selagi anak-anak muda bekerja disawah, maka dipadepokan kecil itu Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Widura sedang berbincang mengenai keadaan terakhir yang dialami oleh Agung Sedayu. Solah-olah Agung Sedayu telah menjadi pusat kisaran peristiwa yang menyangkut masalah Mataram dalam hubungannya dengan Pajang dan orangorang yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Agung Majapahit. “Aku kira tidak begitu Kiai,“ berkata Widura kemudian, “kita mungkin menganggap demikian karena kita dekat dengan Agung Sedayu. Kita tidak tahu pasti, peristiwa-peristiwa apa yang menyangkut Raden Sutawijaya, yang menyangkut Sultan Pajang sendiri dan mungkin orang-orang lain yang tidak kita kenal. Mungkin mereka mengalami persoalan-persoalan yang serupa dengan Agung Sedayu atau justru lebih parah lagi. Bahkan mungkin satu dua orang telah jatuh menjadi korban.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin demikian. Tetapi bagaimanapun juga, kita tidak akan dapat membiarkan kesulitan itu dialami oleh Agung Sedayu meskipun seandainya orangorang lainpun mengalaminya.” Ki Waskita justru tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Sudah tentu Kiai. Dan kita akan bersama-sama berusaha.” Kiai Gringsing memandang Ki Waskita sejenak. Lalu katanya, “Aku justru khawatir bahwa pada suatu saat, Agung Sedayu tidak dapat mengelak lagi dari kesulitan yang menerkamnya. Mungkin dari depan dengan beradu dada. Tetapi mungkin dari belakang langsung menghantam punggung.” Ki Waskita dan Ki Widura mengetahui yang dimaksud oleh orang tua itu. Sebagai seorang guru maka kekhawatirannya itu dapat dimengerti. Apalagi ketika Kiai Gringsing berkata, “Ketika terakhir kali ia mengalami serangan dari saudara tua orang-orang Pasisir Endut itu, sebenarnyalah ia telah mengalami kesulitan. Carang Waja telah mempergunakan ilmu yang langsung menyerang perasaan Agung Sedayu, sehingga seolah-olah keseimbangannya telah terganggu dengan goncangan-goncangan bumi.” Ki Widura mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ia telah berhasil membebaskan diri dari pengaruh sirep. Tetapi pengaruh yang lain dari kekuatan Carang Waja, hampir saja mencelakainya. Untunglah, bahwa ia langsung menusuk sumber pancaran ilmu itu dengan rabaan pandangan matanya yang mempunyai nilai raba wadag itu.” “Itulah sebabnya,“ berkata Kiai Gringsing, “aku mulai memikirkan kelanjutan ilmu bagi Agung Sedayu. Ia sudah menemukan sendiri betapa besarnya kekuatan yang dapat dipancarkan dari

pemusatan indera lewat tatapan matanya. Namun agaknya sudah sampai pula waktunya ia memiliki dasar-dasar ilmu yang langsung dapat mempengaruhi perasaan orang lain lewat getaran indera yang tidak kasat mata, disamping ilmu-ilmu kanuragan yang telah dimilikinya. Ia sudah waktunya mengetahui bagaimana seseorang dapat melepaskan ilmu sirep, ilmu gendam dan ilmu yang akan dapat menjadi perisai dari pengaruh ilmu semacam itu pula, meskipun sekedar bersifat melindungi diri sendiri.. Bukan sebagai alat untuk menyerang.” Ki Waskita dan Ki Widura mengangguk-angguk. Mereka mengakui bahwa meskipun Agung Sedayu memiliki kemampuan yang tinggi dalam olah kanuragan, tetapi jika ia masih dapat ditembus oleh kegelisahan karena sentuhan langsung pada perasaannya dengan peristiwa-peristiwa semu. maka Agung Sedayu masih memiliki kelemahan yang dapat berakibat gawat bagi dirinya. Ilmu yang dimiliki oleh Ki Waskita, dengan ujud-ujud semu masih akan dapat memberikan pengaruh bagi ketahanan perasaan Agung Sedayu meskipun ia menyadari keadaan sepenuhnya, karena ia masih belum dapat dengan pasti membedakan, yang manakah yang sebenarnya dihadapinya, dan yang manakah yang sebenarnya hanya sekedar ujud semu. Iapun masih dibingungkan oleh peristiwa semu yang seolah-olah bumi telah berguncang dan langit akan runtuh oleh getaran suara tertawa dan teriakan. Mungkin rasa-rasanya telinganya akan pecah dan dadanya retak mendengar ilmu yang disebut Gelap Ngampar atau Gelap Sayuta, yang sebenarnya tidak ada yang akan berpengaruh bagi wadagnya. Tetapi setiap orang akan dapat melihat, bahwa pengaruh perasaan bagi seseorang, mempunyai akibat yang tidak kalah dahsyatnya dengan pengaruh pada wadagnya. Kelumpuhan wadag sebagian dapat terjadi karena kelumpuhan perasaan. Dan mereka yang kehilangan pegangan justru akan menjadi korban yang pahit dari peristiwa-peristiwa yang sebenarnya tidak terlalu sulit untuk diatasi. “Ki Waskita,” berkata Kiai Gringsing, “aku adalah guru Agung Sedayu dalam olah kanuragan. Aku dapat mengajarinya mempergunakan cambuk sebaik-baiknya. Aku juga dapat mengajarinya ilmu pedang dan senjata-senjata yang lain disamping senjata yang khusus. Aku dapat menuntunnya mempergunakan tenaga cadangan dengan dasar penyaluran nafas dan pemusatan Indera serta membulatkan tekad dalam kedudukannya sebagai kesatuan alam kecil didalam keutuhan alam semesta. Namun aku tidak dapat meletakkan dasar-dasar ilmu yang mengutamakan sentuhan-sentuhan pada perasaan seseorang secara khusus dan mendalam, meskipun sebagai pribadi aku dapat berlindung dibalik kesadaranku menghadapi segalanya itu.” Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia merasakan pula segi kelemahan pada diri Agung Sedayu seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing. Saat-saat ia menghadapi Panembahan Agung, dan Agung Sedayu sendiri menghadapi Ki Gede Telengan dan terakhir adalah Carang Waja, maka nampak sekali keuletan yang dapat membahayakan dirinya. Untunglah bahwa Agung Sedayu memiliki unsur sentuhan wadag pada tatapan matanya.

Namun pada suatu saat ia akan dapat dibingungkan oleh kelemahan pada perasaannya menghadapi bayangan-bayangan semu dan peristiwa-peristiwa semu. Sebelum Kiai Gringsing mengatakan sesuatu kepadanya, maka sudah terasa pada Ki Waskita, bahwa Kiai Gringsing menginginkan. untuk memberikan warna pada kemampuan Agung Sedayu, pada segi yang agak berbeda dari ilmu yang sudah diberikan oleh Kiai Gringsing kepada anak muda itu. Namun demikian, terkilas di hati Ki Waskita, bagaimanakah murid Kiai Gringsing yang seorang lagi. Jika ia hanya memberikan pengetahuan itu kepada salah satu dari murid Kiai Gringsing, apakah itu dapat disebut adil. Meskipun demikian. Ki Waskita tidak bertanya sesuatu. Apalagi Kiai Gringsing masih belum mengatakan kepadanya. Sehingga karena itu maka merekapun terdiam untuk beberapa saat. Namun ternyata bahwa Kiai Gringsing memang tidak mengatakannya. Kiai Gringsing tidak menyerahkan muridnya untuk mendapatkan petunjuk dari Ki Waskita. Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Agaknya adalah suatu kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh Kiai Gringsing. Jika ia menyerahkan Agung Sedayu kepadanya, maka iapun harus berbuat sama terhadap Swandaru, karena kedua-duanya adalah muridnya yang dibinanya bersama. Tetapi agaknya Kiai Gringsing telah diganggu oleh sikap dan tingkah laku Swandaru pada saat-saat terakhir, sehingga ia kurang berani untuk mempertanggung jawabkan akibat dari kemampuan yang sangat tinggi pada muridnya yang seorang itu. Ki Waskita sendiri ternyata telah melihat bayangan yang buram pada anak muda yang gemuk itu dihari kemudian. Meskipun ia juga melihat mendung dihari depan Agung Sedayu, namun arena yang sama-sama kelabu itu mempunyai jiwa yang berbeda. Apalagi menilik perkembangan ilmu dari kedua murid Kiai Gringsing itupun nampak berbeda pula. Swandaru lebih banyak memperkembangkan kemampuan jasmaniahnya meskipun ia juga menelusuri tenaga cadangannya serta mempelajari ilmu pernafasan sebagai alas menyalurkan segenap kekuatannya. Namun dalam pada itu. Agung Sedayu lebih banyak melihat unsurunsur kekuatan yang termuat didalam dirinya dalam hubungannya sebagai kesatuan dengan alam yang besar. Dengan matanya Agung Sedayu sudah berhasil menembus kesatuan tempat, sehingga tatapan matanya itupun mempunyai sentuhan wadag. Sementara itu cara Agung Sedayu mesu diri, menukik kedalam inti dari kekuatan yang tersimpan didalam dirinya yang bahkan hampir saja menenggelamkan

dirinya kedalam kesulitan jasmaniah. Karena itu, didalam wawasan Ki Waskita, Agung Sedayu akan lebih mudah mempelajari ilmu seperti yang dimaksud gurunya, yang kebetulan sebagian ada padanya. Meskipun ilmu itu tidak banyak berarti bagi mereka yang memiliki kemantapan kepercayaan kepada diri sendiri dan ketahanan jasmaniah yang tinggi. Namun ilmu itu pada waktunya akan dapat berguna pula untuk menghadapi saat-saat yang khusus, seperti yang pernah dialami oleh Agung Sedayu. Carang Waja adalah salah seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga ia seakan-akan dapat mengguncang bumi dan menghancurkan isi dada. Tetapi Kiai Gringsing tidak berkata kepadanya tentang muridnya. Itu adalah pertanda bahwa Kiai Gringsing tidak bertindak sesuatu bagi ilmu murid-muridnya. Namun Ki Waskita dapat menangkap hubungan peristiwa yang diharapkan terjadi oleh Kiai Gringsing. Ki Waskitalah yang sebaiknya atas kehendak sendiri memberikan petunjuk kepada Agung Sedayu. Dengan demikian, tidak ada kewajiban Ki Waskita untuk bertindak adil bagi kedua murid Kiai Gringsing, sedangkan Kiai Gringsing-pun tidak pula harus memberikan kemungkinan yang sama bagi kedua muridnya, karena yang terjadi adalah diluar permintaannya. Ki Widura yang duduk merenungi pembicaraan mereka yang seolah-olah terputus itupun mengerti pula. Karena itu, maka ia sama sekali tidak menyambung pembicaraan itu. Ia lebih baik berdiam diri sambil menunggu, apakah yang akan dibicarakan oleh Ki Waskita dan Kiai Gringsing selanjutnya. Ketiganya saling berdiam diri sampai malam menjadi semakin larut. Nampaknya mereka masingmasing telah terlibat kedalam persoalan dihati sendiri, sehingga mereka melupakan bahwa mereka duduk bersama. Baru ketika mereka mendengar seorang penghuni padepokan itu berjalan melintas. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. “Malam telah larut,“ katanya. Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Agung Sedayu belum kembali.” Ki Widura mengerutkan keningnya. Agung Sedayu pergi bersama Glagah Putih. Bagaimanapun juga ia tidak dapat melepaskan dari kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas Agung Sedayu dan anaknya seperti yang telah terjadi di Sangkal Putung. Tetapi mereka tidak perlu menunggu terlalu lama, karena sebentar kemudian Agung Sedayupun telah datang bersama Glagah Putih dan seorang kawannya, anak muda yang ikut menghuni padepokan itu. Agung Sedayupun untuk beberapa saat ikut pula duduk bersama orang-orang tua itu. sementara Glagah Putih yang sudah mengantuk segera pergi ke pembaringan setelah mencuci kakinya. Namun pembicaraan berikutnya tidak berlangsung terlalu lama. Merekapun segera meninggalkan ruangan itu kembali kedalam bilik masing-masing untuk beristirahat.

Ketika matahari kemudian bangkit dihari berikutnya, terasa pagi yang cerah itu memberikan kesegaran lahir dan batin. Rasa-rasanya padepokan kecil itu merupakan dunia tersendiri yang penuh ketenangan dan kedamaian. Tidak ada persoalan yang menegangkan. Nampaknya semua yang diam dan yang bergerak bersamasama menikmati lahirnya hari baru. Yang ada kemudian adalah kerja yang menyenangkan dipadepokan kecil itu. Suara sapu lidi dan senggot timba, seolah-olah telah membangunkan irama hidup yang segar dan tenang. Agung Sedayu terkejut ketika dipagi hari itu, seorang anak muda muncul diregol padepokannya. Yang nampak pertama-tama diwajahnya adalah senyum yang cerah, secerah pagi itu. “Apakah kau lupa kepadaku Agung Sedayu?“ bertanya anak muda itu. Agung Sedayupun tersenyum. Jawabnya, “Meskipun aku bertemu denganmu dimalam hari, tetapi aku tidak lupa. Kaulah yang semalam datang kesawah.” Anak muda itu tertawa. Katanya, “Aku memenuhi kata-katamu. Aku ingin mendapatkan suasana baru. Apakah kau keberatan.” “Sudah aku katakan Sabungsari,“ jawab Agung Sedayu, “aku senang kau datang. Silahkan. Aku akan mencuci tangan lebih dahulu.” “Jangan kau tinggalkan pekerjaanmu,“ potong Sabungsari. Agung Sedayu yang sudah melangkah kepakiwan tertegun. Sementara Sabungsari berkata seterusnya, “Teruskan. Kau tinggal menyelesaikan sedikit lagi. Halaman padepokan ini akan nampak bersih dan gilar-gilar.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil tersenyum ia barkata, “Sebaiknya aku menipersilahkan tamuku duduk dahulu.” “Tidak. Aku bukan tamu. Aku adalah kawan bermain. Anggap saja demikian. Kedatanganku memang tanpa keperluan apapun. Aku datang untuk mencari kesegaran. Jika kau menerima aku seperti kau menerima seorang tamu, maka aku akan jatuh lagi kedalam suasana yang kaku,“ sahut Sabungsari. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Jika demikian, terserahlah kepadamu. Aku akan menyelesaikan kerjaku. Duduklah lebih dahulu dipendapa.” “Tidak dipendapa. Aku akan duduk disini,“ jawab Sabungsari sambil duduk di babatur dinding

halaman. “Terserahlah,“ jawab Agung Sedayu, “jika kau ingin demikian, maka silahkan melihat-lihat padepokan kecilku ini.” Sabungsaripun mengangguk-angguk sambil menjawab, “Terima kasih. Selesaikan kerjamu lebih dahulu.” Sementara Agung Sedayu melanjutkan menyapu sudut halaman yang tersisa, maka Glagah Putih yang melihat kedatangan Sabungsaripun mendekat pula sambil berkata, “Tentu Ki Sanak yang datang semalam.” Sabungsari tersenyum. Jawabnya, “Tepat. Ternyata kau adalah anak muda yang cermat. Kau mengenal aku didalam gelap malam.” “Apa sulitnya?“ bertanya Glagah Putih, “kau semalam juga memakai pakaian yang kau pakai sekarang.” Sabungsari tertawa, sementara Agung Sedayu berdesis, “Sst, kenapa kau sebut juga tentang pakaian?” “Menarik sekali,“ berkata Sabungsari sambil tertawa, “adik sepupumu memiliki pengamatan yang luar biasa Agung Sedayu.” Agung Sedayupun tertawa juga, sementara Glagah Putih berkata, “Ah. jangan memuji. Aku menjadi malu sekali, seolah-olah aku benar-benar memiliki kelebihan.” “Kau memang mempunyai banyak kelebihan,“ sahut Sabungsari. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sambil mendekati Agung Sedayu ia berkata, “Kakang berikan sapu itu kepadaku. Biarlah aku yang menyelesaikan sudut yang sedikit itu.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak, namun kemudian diberikannya sapu itu kepada Glagah Putih sambil berkata, “Baiklah Glagah Putih. Selesaikan sudut yang tersisa itu.” “Tetapi aku tidak telaten menyapu halaman seperti kakang Agung Sedayu. Tanpa tapak kaki. Aku menyapu dengan cara yang biasa. Tidak mundur seperti undur-undur.” Sabungsari tertatik kepada kata-kata Glagah Putih itu. Tibatiba saja ia memperhatikan bekas sapu lidi Agung Sedayu. Katanya, “Luar biasa. Kau menyapu seluruh halaman ini tanpa telapak kaki. Aku tidak begitu

memperhatikan. Jika Glagah Putih tidak mengatakan, aku tidak melihat perbedaan cara Agung Sedayu menyapu halaman ini.” Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Aku hanya sekedar bergurau dengan diriku sendiri.” “Nampaknya demikian. Tetapi untuk melakukan seperti yang kau lakukan itu memerlukan ketahanan niat tersendiri. Kau melatih ketahanan dan ketekunan. Yang kau lakukan sungguh-sungguh mengagumkan.” Agung Sedayu masih tertawa. Kemudian katanya, “Marilah. Biarlah Glagah Putih menyelesaikannya. Marilah bertemu dengan Kiai Gringsing yang sudah aku anggap orang tuaku sendiri bersama dua orang kawan dekatnya.” “Jangan mengganggu mereka. Biarlah mereka melakukan kewajibannya. Aku akan berjalan-jalan mengelilingi padepokan ini jika kau tidak berkeberatan,“ sahut Sabungsari. “Tentu aku tidak berkeberatan,“ jawab Agung Sedayu. Keduanyapun kemudian berjalan menyusuri halaman samping padepokan kecil itu. Sabungsari tidak bersedia untuk dengan tergesa-gesa diperkenalkan dengan orang-orang tua yang berada di padepokan itu. “Nanti saja, jika mereka sudah beristirahat,“ katanya. Dalam pada itu. Kiai Gringsingpun sedang membersihkan ruang dalam pedepokannya, sementara Ki Waskita sedang mengisi jambangan dipakiwan. Ki Widurapun sedang sibuk dengan cangkulnya, mengatur air yang mengalir disebatang parit kecil di kebun mengaliri beberapa buah kolam yang ada di padepokan itu. “Padepokan kecil ini memang luar biasa,“ desis Sabungsari yang sedang melihat-lihat padepokan itu. “berapa lama umur pedepokanmu?“ tiba-tiba saja ia bertanya. “Kenapa?” bertanya Agung Sedayu pula. “Aku dengar padepokanmu ini belum terlalu lama kau bangun. Tetapi disini terdapat beberapa batang pohon buah-buahan yang sudah berbuah.” “O,“ Agung Sedayu mengangguk-angguk, “tanah ini adalah bekas tanah pategalan. Ditanah pategalan itu memang sudah terdapat beberapa batang pohon buah-buahan. Karena itulah, maka pohon itu kini sudah berbuah.Tegasnya, pohon buah-buahan itu ada disitu sebelum tempat ini menjadi sebuah pedepokan.” “O,“ Sabungsari mengangguk-angguk. Wajahnya nampak cerah. Nampaknya padepokan itu sangat menarik perhatiannya. “Sayang, aku seorang prajurit.“ gumannya.

“Kenapa kalau kau seorang prajurit?“ sekali lagi Agung Sedayu bertanya. “Aku tidak dapat sebebas kau menikmati ketnangan dalam padepokan kecil ini. Aku terikat pada suatu tata kerja yang teratur dalam ketertiban kewajiban.” “Jangan berkata begitu,“ jawab Agung Sedayu, “setiap lapangan mempunyai bentuk dan coraknya sendiri.” “Benar. Dan agaknya aku sudah terperosok kedalam lingkungan yang salah. Yang tidak sesuai dengan sifat dan pembawaanku.” Agung Sedayu memandang anak muda itu sekilas. Tetapi ia tidak menemukan kesan yang khusus diwajahnya yang tunduk. Untuk sesaat keduanya saling berdiam diri. Mereka berjalan menyusuri halaman belakang padepokan bekas tanah pategalan itu. Langkah mereka tertegun ketika mereka melihat seseorang sibuk membelokkan arus air sebuah parit kecil di kebun padepokan yang nampak hijau segar itu. “Itulah Ki Widura, ayah Glagah Pulih,“ desis Agung Seayu. Ternyata Widura mendengar kata-kata Agung Sedayu, sehingga iapun berpaling. Keningnya berkerut ketika ia melihat seorang anak muda dalam pakaian seorang prajurit berjalan bersama Agung Sedayu. “Paman,“ berkata Agung Sedayu, “anak muda ini adalah seorang prajurit dibawah kakang Untara.” “Jauh dibawah,“ Sabungsari menyahut, “aku adalah prajurit ditataran paling bawah.” Ki Widura memandang Sabungsari itu sejenak. Kemudian diletakkannya cangkulnya. Sambil tersenyum ia berkata, “Aku mengenalmu dari pakaian yang kau kenakan anak muda.” “Namanya Sabungsari,“ Agung Sedayu memperkenalkan namanya. Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Sepagi ini kau sudah berada disini anakmas. Apakah kau hari ini tidak mempunyai tugas?” “Aku mendapat istirahat hari ini Ki Widura. Aku baru turun dari tugas semalam suntuk meronda Jati Anom dan sekitarnya.“ “Kau tidak mempergunakan saat-saat ini untuk beristirahat?“ bertanya Ki Widura. “Sebentar lagi. Pagi ini aku ingin singgah dipadepokan Agung Sedayu yang tenang ini.” “Tetapi sejak kapan kalian berkenalan?“ tiba-tiba saja Widura bertanya. Sabungsari termangu-mangu. Tetapi Agung Sedayulah yang menjawab seperti adanya, “Semalam

paman. Semalam Sabungsari menemui aku disawah untuk memperkenalkan diri.“ Ki Widura mengangguk-angguk. Dan iapun tersenyum ketika Sabungsari menjelaskan niatnya seperti yang sudah dikatakannya kepada Agung Sedayu. “Ya.“ Widura mengangguk-angguk, “mungkin kau menemukan udara baru dipadepokan ini. Silahkan. Bukankah kau baru melihat-lihat? Barangkali Agung Sedayu dapat menjamumu dengan buah-buahan meskipun agaknya masih terlalu pagi.” Sabungsari tertawa sambil mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih. Terima kasih Ki Widura.” Keduanyapun meneruskan langkah mereka. Mula mula mereka menyusuri kolam yang jernih. Mereka melihat beberapa kelompok ikan gurami berenang melingkar-lingkar. “Senang sekali,“ gumam Sabungsari, “kau tinggal memetik padi disawah, kemudian menangkap beberapa ekor gurami di kolam. Sehabis makan kau dapat memetik buah-buahan didahan yang segar.” Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, “Menyenangkan bagi yang tidak mengalaminya sehari-hari. Tetapi bagi kami, hal itu sudah terlalu biasa, sehingga memang itulah warna hidup kami sehari-hari.” Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, “Hari ini aku mendapat istirahat sehari penuh.” “Apakah kau akan berada di padepokan ini sehari penuh pula?“ bertanya Agung Sedayu. “Apakah kau tidak berkeberatan?” “Kenapa aku berkeberatan?” Sabungsari merenung sejenak. Lalu katanya, “Terima kasih. Aku akan berada disini sehari penuh.” Demikianlah seperti yang dikatakannya, Sabungsari berada di padepokan itu sehari penuh. Seperti anak-anak muda yang bebas dari segala kewajiban, Sabungsari menikmati hari istirahatnya bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih. Demikian mereka selesai makan siang, maka merekapun segera pergi kekebun belakang memetik buah-buahan. Rasa-rasanya Sabungsari ingin memetik semua buah jambu air yang berwarna kemerahmerahan beruntai bergayutan disetiap ranting. Sambil berbaring di sehelai ketepe yang dianyam dari daun nyiur mereka berteduh dibawah rimbunnya sebatang pohon jambu air yang berbuah lebat sekali. Dengan asyiknya mereka berceritera tentang bermacam-macam persoalan yang mereka jumpai seharihari dalam hidup mereka. Sabungsari berceritera tentang kejemuannya hidup dibawah bersama prajurit-prajurit yang lain. sementara Glagah Putih berceritera tentang padepokannya yang semakin subur.

“Sebentar lagi kuweni itu akan berbuah,“ berkata Glagah Putih, “sekarang daun-daunnya sudah mulai bersemi kemerah-merahan. Dari ujung daun-daun muda itu akan tumbuh bunga-bunganya yang putih. Kemudian akan bergayutan buah kuweni selebat daunnya. He, kau pernah makan kuweni?” Sabungsari tertawa. Jawabnya, “Tetanggaku mempunyai pohon kuweni pula dipedukuhanku. Jika kuweni itu berbuah lebat, maka banyak yang berjatuhan dihalaman rumahku. Bukankah kuweni biasanya dibiarkan tua didahan?” “Ya. Kami juga membiarkan kuweni itu berjatuhan. Barulah kuweni itu terasa enak sekali dimakan.” Sabungsari mengangguk-angguk. Dipandanginya daun kuweni yang mulai bersemi. Daun-daun mudanya yang berwarna kemerah-merahan memberikan kesegaran tersendiri diantara hijau daunnya yang rimbun. Namun dalam pada itu, sekilas membayang rencananya yang akan dilakukannya untuk melepaskan dendam yang bersarang dihatinya. Ia tidak melupakan kematian ayahnya. Kini ia sudah berhadapan dengan orang yang telah membunuh ayahnya itu. “Tetapi aku ingin menjajagi sampai dimanakah kemampuan ilmu Agung Sedayu sebelum aku menantangnya untuk berperang tanding,“ berkata Sabungsari didalam hatinya. Tetapi Sabungsari tidak tergesa-gesa. Ia mempunyai banyak waktu untuk melakukannya. Ia sudah berhasil berkenalan dengan Agung Sedayu yang dicarinya dengan tekun untuk melepaskan dendamnya. Supaya ia tidak tergelincir seperti orang-orang yang mendahuluinya, maka ia ingin mengenal Agung Sedayu lebih banyak.” Karena itulah, maka Sabungsari tidak berbuat sesuatu. Ia benar-benar berlaku sebagai seorang kawan yang baik bagi Agung Sedayu, seperti yang dikatakan, bahwa dipadepokan itu ia telah menemukan suasana yang baru. Dengan demikian, maka Agung Sedayu merasa bahwa ia telah mendapatkan seorang kawan baru yang sesuai dengan umurnya. Prajurit itu nampaknya seorang yang ramah dan berterus terang. Menjelang senja, maka Sabungsari itu minta diri. Dengan hormat ia membungkuk dihadapan Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Widura. “Aku akan sering datang kemari,“ berkata Sabungsari. “Kami akan menerima dengan senang hati ngger,“ sahut Kiai Gringsing, “datanglah di hari-hari istirahatmu kepadepokan ini.” Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, “padepokan ini merupakan tempat yang paling menyenangkan yang pernah aku kenal.”

Kiai Gringsing hanya tersenyum saja. Kemudian dilepaskannya Sabungsari meninggalkan padepokan itu sampai keregol halaman padepokan bersama Ki Waskita dan Ki Widura. “Anak yang baik,“ berkata Kiai Gringsing, “nampaknya ia seorang prajurit yang tangguh. Tetapi juga seorang anak muda yang merindukan sesuatu. Nampaknya ia pernah kehilangan dan kini ia sedang mencari isi dari kekosongan itu.” Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun wajahnya membayangkan sesuatu yang agak buram. “Apakah yang Ki Waskita lihat?“ bertanya Kiai Gringsing. Ki Waskita termenung sejenak. Dipandanginya anak muda yang semakin lama menjadi semakin jauh itu. “Apakah kau baru mengenalnya semalam Agung Sedayu?“ bertanya Ki Waskita. “Ya Ki Waskita,“ jawab Agung Sedayu, “semalam ia menyusul kami di sawah ketika kami menengok air yang mengalir tidak begitu lancar diparit yang menyilang jalan kecil itu.” Ki Waskita masih mengangguk-angguk. Gumamnya seolah-olah kepada diri sendiri, “Anak itu memang baik. Tetapi aku melihat sesuatu yang mungkin keliru dipenglihatanku.” “Apakah yang kau lihat?“ bertanya Ki Widura. “Aku melihat noda yang melekat di senyumnya yang cerah itu.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya, “Rasa-rasanya ia seorang yang baik. Hatinya terbuka dan agaknya ia memang seseorang yang memerlukan orang lain didalam hidupnya.” “Ya. Nampaknya didalam sikap dan kata-katanya. Tetapi aku melihat jauh lebih dalam lagi. “ Ki Waskita berhenti sejenak, lalu. “tetapi isyarat itupun kurang dapat aku pahami.” Agung Sedayupun mengangguk-angguk. Seandainya Ki Waskita tidak melihat isyarat apapun, maka kecurigaannya memang wajar. Adalah terlalu berlebih-lebihan bahwa anak muda itu menyusulnya kesawah. Kemudian pagi-pagi benar ia sudah berada dipadepokan. Sehari penuh ia berada dipadepokan itu untuk melihat-lihat dan mengenal setiap sudut-sudutnya, seolah-olah tidak ada sejengkal tanahpun yang dilampauinya. “Tetapi bagiku,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya, “sikap itu adalah justru sikap yang tulus, tanpa dibuat-buat dan jujur.” Namun Agung Sedayu tidak mengatakannya. Ia menahannya didalam hati. Namun ia mengharap bahwa akhirnya Ki Waskita akan mengakui kebenaran dugaannya itu.

Sejak saat itu, maka Sabungsari terlalu sering datang kepadepokan kecil itu. Bahkan hampir setiap waktu terluangnya, meskipun hanya beberapa saat, ia memerlukan datang. Kadang-kadang ia datang berkuda masih dalam pakaian keprajuritannya yang lengkap. Ia hanya berteriak saja didepan regol. Jika Agung Sedayu atau Glagah Putih telah menjenguknya, maka sambil melambaikan tangannya ia berpacu meninggalkan regol itu. Bagi Agung Sedayu. Sabungsari merupakan kawan yang baik. Sekali-sekali keduanya pergi bersama mengelilingi Jati Anom. Kadang-kadang Glagah Pulih ikut bersama mereka. Tetapi kadang-kadang tidak seorangpun serta. Jika keduanya berkuda di bulak panjang yang sepi, terbersit keinginan Sabungsari untuk menyelesaikan tugas yang terasa selalu bergejolak didalam dadanya. Ia ingin segera dapat melepaskan dendam yang sudah lama tersimpan. Tetapi Sabungsari tidak mau mengorbankan harga dirinya sebagai seorang anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi dengan membunuh lawannya dari belakang. Ia harus menyatakan maksudnya kepada Agung Sedayu, kemudian menyelesaikan persoalannya dengan cara seorang laki-laki, perang tanding. Namun setiap kali Sabungsari masih dibayangi oleh keragu-raguan. Ia belum berhasil menjajagi kemampuan Agung Sedayu, sehingga setiap kali ia masih saja menahan hati. “Aku harus dapat mengetahui dengan melihat sendiri, apa yang dapat dilakukan oleh anak ini,“ berkata Sabungsari didalam hatinya. Karena selama itu. ia baru mendengar kata orang, bahwa Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang memiliki kemampuan tidak terlawan. “Omong kosong,“ kadang-kadang Sabungsari menggeram. Namun pendengarannya itu selalu membayanginya dengan keragu-raguan. “Aku akan mengajaknya bermain-main dengan ilmu,“ katanya didalam hati, “dengan demikian, aku akan dapat melihat, apakah yang telah dilakukannya.” Dengan demikian, maka Sabungsari selalu mencari kesempatan untuk dapat melihat, apa yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu. Dengan berbagai cara ia mencoba untuk menyudutkan Agung Sedayu kedalam keadaan yang memungkinkannya menunjukkan kemampuannya. “Agung Sedayu,“ katanya pada saat ia berkunjung di padepokan kecil itu, “setiap orang mengatakan, bahwa kau adalah orang yang tidak terlawan saat ini. Dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, kau berhasil membunuh beberapa orang terpenting dari mereka yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit. Sebenarnyalah, aku sebagai seorang prajurit, kadang kadang merasa iri. Umurmu dan umurku tidak terpaut banyak. Mungkin aku lebih tua sedikit, sebaya dengan Ki Untara. Namun aku tidak pernah dapat membayangkan, apa yang pernah kau lakukan itu.” Pertanyaan itu mengejutkan Agung Sedayu. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian katanya,

“Dari siapa kau mendengar peristiwa yang terjadi di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu?” Sabungsari memandang Agung Sedayu dengan heran. Katanya, “Setiap mulut mengatakannya demikian. Setiap prajurit di Jati Anom mengetahui bahwa adik Untara telah melakukan sesuatu yang tidak masuk akal. Tetapi hal itu telah terjadi.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sama sekali tidak benar. Aku tidak berbuat apa-apa. Aku bertempur diantara para pengawal dari Mataram, dari Tanah Perdikan Menoreh dan dari Sangkal Putung. Aku tidak mempunyai kelebihan apapun dari mereka. Apalagi dengan para pemimpin pengawal itu.” Sabungsari memandang Agung Sedayu dengan kecewa. Katanya, “Aku tahu, bahwa kau bukan seorang anak muda yang sombong, yang senang dipuji, apalagi sesongaran menunjukkan kelebihannya. Tetapi aku sekedar menuruti gejolak hati yang tidak dapat aku tahan lagi. Sebagai seorang prajurit yang ingin aku ketahui adalah olah kanuragan.” Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Tidak ada yang dapat aku tunjukkan kepadamu dan kepada siapapun. Yang terjadi seperti yang kebanyakan terjadi dipeperangan. Dan aku hanyalah satu dari sekian banyak orang.” Sabungsari tersenyum, betapapun kecutnya. Katanya, “Aku sudah mengira. Tetapi bagaimana kau dapat membunuh Ki Gede Telengan, Ki Tumenggung yang memegang kendali pertempuran dari mereka yang berada dilembah itu, Samparsada dan Kelasa Sawit, jika kau hanya satu diantara yang sekian banyaknya.” “Aku tidak membunuh mereka. Bagaimana mungkin kau dapat menuduhku membunuh mereka itu?” “Agung Sedayu,“ desis Sabungsari, “mungkin kau benar. Tetapi kau adalah sebab terakhir kematian merereka.” “Kelasa Sawit?“ bertanya Agung Sedayu. Namun kemudian Katanya, “ Sudahlah. Aku ingin melupakan semuanya. Yang terjadi merupakan bayangan yang kelam didalam hidupku. Aku mohon jangan kau sebut lagi.” Sejenak Sabungsari termangu-mangu. Namun katanya kemudian, “Maaf Agung Sedayu. Jika aku menyebutnya, bukan karena aku ingin mengingatkan kau apa yang telah terjadi. Tetapi sebenarnyalah bahwa aku sebagai seorang prajurit ingin melihat, bagaimana kau mengetrapkan ilmu yang tiada taranya itu. Menurut pendengaranku, kau mempunyai kemampuan yang seolah-olah tidak terbatas.”

“Ah,” desah Agung Sedayu. “Jangan menyelubungi kemampuan yang sudah diketahui oleh setiap orang itu Agung Sedayu.” “Itu omong kosong,“ desis Agung Sedayu, “sudahlah. Marilah kita berbicara tentang pohon buah-buahan, tentang burung yang berkicau dan tentang air parit yang bening.” “Tetapi aku seorang prajurit Agung Sedayu. Aku tentu akan lebih banyak berbicara tentang olah kanuragan dan olah senjata jenis apapun juga,“ jawab Sabungsari. “Dan aku? Aku seorang petani dipadepokan kecil. Aku lebih tertarik kepada pohon buah-buahan dan tanaman yang hijau disawah. Dan memang sebenarnyalah aku hanya pandai menyiangi padi yang tumbuh subur serta menghalau burung pipit menjelang padi dituai.” Sabungsari sudah menduga, bahwa ia tidak akan mudah memaksa Agung Sedayu memamerkan kemampuannya, apapun alasannya. Sifat-sifat Agung Sedayu yang mulai dikenalnya sejak ia bergaul dengan anak muda itu, memberikan beberapa petunjuk, bahwa ia akan mengalami kesulitan untuk menjajagi ilmu anak muda yang seolah-olah tertutup rapat diruang perbendaharaan berlapis tujuh. “Gila,“ Sabungsari bergumam didalam hatinya, “aku harus berhasil mengetahui tingkat ilmunya sebelum aku terjerumus kedalam kesalahan seperti yang pernah terjadi. Jika aku tidak yakin dapat membunuhnya. maka aku akan menunda sampai saatnya aku menyempurnakan ilmuku barang enam atau sepuluh bulan dengan tekun berdasarkan ilmu yang sudah aku kuasai. Meskipun aku merasa bahwa yang aku miliki sekarang ini sudah lebih selapis, atau setidak-tidaknya setingkat dengan ilmu ayahku, namun ada kemungkinan bahwa Agung Sedayupun telah meningkat pula.” Karena itu, Sabungsari masih harus bersabar. Ia bukan seorang yang bodoh dan tergesa-gesa. Tetapi ia ingin menyelesaikan persoalannya dengan sikap seorang laki-laki dalam perang tanding. Bukan seorang pembunuh yang licik yang menikam lawannya dari punggung. Karena itu, maka yang dilakukan kemudian dan dihari berikutnya, sama sekali tidak mengesankan rencananya yang sudah tersusun rapi. Ia masih merupakan kawan yang baik bagi Agung Sedayu, bahkan bagi Glagah Putih. Baginya Glagah Putih bukannya persoalan yang perlu mendapat perhatian tersendiri. Ia tahu bahwa Glagah Putih dengan tekun melatih diri dibawah tuntunan Agung Sedayu dan ayahnya, Ki Widura dalam cabang ilmu Ki Sadewa yang agak berbeda dari ilmu yang diwarisi oleh Agung Sedayu dari Kiai Gringsing. Namun ternyata bahwa Agung Sedayupun nampaknya menguasai benar-benar setiap unsur gerak dari ilmu ayahnya yang telah meninggal itu. Tetapi tingkat ilmu Glagah Putih barulah pada tataran dasar, meskipun meningkat dengan pesatnya. Meskipun demikian, isi padepokan kecil itu selalu berlaku hati-hati dan sesuai dengan kebiasaan didalam setiap perguruan yang sebenarnya. Latihan-latihan khusus selalu dilakukan dalam ruang

tertutup bagi orang lain. Bahkan bagi anak-anak muda yang tinggal dipadepokan itu. “Aku harus mendapat akal,“ berkata Sabungsari kepada dirinya setiap kali ia digelisahkan oleh rencananya yang masih belum maju setapakpun baginya, sehingga ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mengintip kedalamnya. Sementara itu Ki Waskita masih tetap berada dipadepokan kecil itu. Sudah ada niatnya untuk pulang. Tetapi ketika ia melihat isyarat yang buram pada anak muda yang bernama Sabungsari, ia menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya Ki Waskita ragu-ragu terhadap dirinya sendiri. Ternyata sudah beberapa lamanya Sabungsari berkenalan dengan Agung Sedayu, sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa ia bertindak tidak jujur. Keduanya seperti sahabat yang saling mempercayai dalam banyak hal. “Aku mulai tua,“ berkata Ki Waskita kepada diri sendiri, “banyak yang nampak kabur dimata hatiku. Tetapi itu tidak perlu aku sesali.” Dengan demikian, maka niat Ki Waskita itupun kemudian disampaikannya kepada Kiai Gringsing, bahwa ia sudah lewat waktunya untuk pulang ke rumahnya. “Aku mengatakan kepada keluargaku, bahwa aku tidak lama berada di Sangkal Putung. Mereka tentu menunggu. Meskipun aku sudah terbiasa pergi, namun semakin tua istriku menjadi semakin cemas melepaskan aku.” Kiai Gringsing tertawa. Tetapi ia tidak dapat menahan Ki Waskita lebih lama. Adalah wajar sekali, sebagai seorang yang berkeluarga, maka ikatan keluarga itu jauh lebih penting dari ikatan persahabatan yang manapun juga. Meskipun demikian. Kiai Gringsing masih juga bertanya, “Ki Waskita, bagaimanakah pendapat Ki Waskita tentang Agung Sedayu?” Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti Kiai. Ternyata kini ia banyak mendapat cobaan. Ia kini harus menghadapi berbagal macam ilmu. Di Sangkal Putung, ia harus berhadapan dengan ilmu sirep yang tajam. Juga ilmu yang langsung menyentuh angan-angan dan pertimbangannya. Melawan saudara tua kedua kakak beradik dari Pesisir Endut, maka selain bertempur melawan orang itu dalam olah kanuragan, iapun harus memerangi kegelisahannya karena baginya, seolah-olah bumi telah terguncang.” “Ya Ki Waskita. Aku tidak mempunyai dasar pengetahuan mendalam tentang hal itu. Aku hanya dapal menangkis berdasar pada keyakinanku atas diri sendiri. Tetapi tidak karena aku memahami ilmunya

secara mendasar.” Ki Waskita mengangguk-angguk. Ia mengerti yang dimaksudkan oleh Kiai Gringsing. Iapun menyadari bahwa sebagai dua orang yang berbeda perguruan dan warisan ilmu yang pernah mereka pelajari, maka Kiai Gringsing dan Ki Waskita mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing, pada segi yang berbeda-beda. Ki Waskitapun sadar, bahwa Kiai Gringsing memerlukannya bukan bagi dirinya sendiri. Sebenarnya juga bukan bagi Agung Sedayu itu sendiri. Tetapi dalam tugas yang diemban oleh Agung Sedayu, kadang-kadang ia menemukan kesulitan karena jenis-jenis ilmu yang tidak terhitung jumlahnya yang tersebar dimuka bumi. Yang satu mempunyai kelebihan dari yang lain. Tetapi tidak ada ilmu yang tidak terkalahkan, betapapun dahsyatnya. Kiai Gringsingpun tidak akan menyerahkan Agung Sedayu dalam bimbingan orang lain sebagaimana seorang guru menyerahkan muridnya untuk mendapatkan bimbingan khusus, karena murid Kiai Gringsing tidak hanya seorang saja. Karena itu, maka seolah-olah diluar sadarnya, maka Ki Waskitapun berkata, “Kiai, apakah Kiai mengijinkan Agung Sedayu pergi bersamaku barang satu dua pekan?” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Iapun mengerti sikap Ki Waskita. Karena itu, maka iapun menjawab, “Jika Ki Waskita menghendaki anak itu untuk mengikuti perjalanan Ki Waskita kembali, aku tidak berkeberatan.” “Baiklah Kiai. Aku akan bertanya langsung kepadanya,“ berkata Ki Waskita kemudian. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia menyadari sepenuhnya, bahwa ia sudah berbuat sesuatu yang tidak seimbang bagi murid-muridnya. Meskipun ia tidak dengan resmi berkata kepada Ki Waskita, menyerahkan Agung Sedayu untuk mendapatkan tambahan ilmu yang mempunyai sifat dan watak yang berbeda dengan ilmu yang telah dikuasai oleh anak itu, namun ia telah membuka jalan bagi Agung Sedayu. Tetapi tidak bagi Swandaru. Kepada orang lain ia dapat berkata, bahwa niat itu tumbuh dari hati Ki Waskita sendiri yang sudah lama bergaul dengan Agung Sedayu. Juga kepada Swandaru ia dapat berkata seperti itu. Tetapi ia tidak dapat mengatakannya kepada dirinya sendiri. “Apa boleh buat,“ katanya kepada diri sendiri, “aku tidak mempunyai niat buruk. Swandaru menunjukkan gejala sifat yang kurang dapat aku pahami, sedang Agung Sedayu bagiku mempunyai sikap dan pandangan hidup yang lebih sesuai dengan ketinggian ilmu yang bakal dimiliki dan dikembangkannya.” Namun Kiai Gringsingpun menyadari, bahwa Agung Sedayupun mempunyai cacat jiwani. Keraguraguan dan ketidak pastiannya akan dapat mengganggunya, tetapi yang ada padanya, masih jauh lebih cerah dari yang nampak pada Swandaru. Ketika Agung Sedayu menunggu senja, duduk diserambi gandok padepokan kecilnya, maka Ki

Waskitapun mendekatinya. Sejenak mereka berbincang mengenai sawah dan ladang. Namun percakapan itupun kemudian semakin menjurus pada maksud Ki Waskita. “Aku akan mengajakmu barang satu dua pekan,“ berkata Ki Waskita. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya, ”Apakah guru akan mengijinkan?“ “Aku sudah berbicara dengan gurumu,“ jawab Ki Waskita, “aku bermaksud menunjukkan kepadamu sesuatu yang barangkali penting bagimu. Bagi bekal hidupmu.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Waskita berkata selanjutnya, “Ternyata bahwa duniamu untuk sementara memang menjadi buram karena dendam dan kebencian. Yang terjadi adalah diluar kehendakmu dan diluar kuasamu untuk menolak.” “Ya Ki Waskita,“ Agung Sedayu menundukkan kepalanya. “Dendam itu selalu membayangimu, sebagaimana membayangi Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa.“ Ki Waskita berhenti sejenak, lalu. “namun mereka adalah orangorang yang memiliki ilmu yang pilih tanding.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia menyadari bahwa Ki Waskita bukannya tidak mempunyai maksud tertentu dengan kata-katanya itu. Sebagai seorang perasa Agung Sedayupun segera menangkap, bahwa Ki Waskita bermaksud mengatakan kepadanya, agar ia mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan dengan memperdalam ilmunya, sehingga setidak-tidaknya tidak terpaut terlalu banyak dari kedua orang anak muda itu. Sebenarnya bahwa Agung Sedayu tidak dapat menjajagi. betapa tingginya ilmu Raden Sutawijaya. Ia adalah seorang anak muda yang terlalu sering mesu diri. menempa ilmunya sehingga melampaui kebanyakan orang. Sedangkan Pangeran Benawa adalah seorang anak muda yang ajaib. Yang terlempar dari dunianya oleh kekecewaan yang mendalam. Namun ia adalah seorang anak muda yang memiliki ilmu tiada taranya. Agung Sedayu sendiri telah menyaksikan, bagaimana Pangeran Benawa pernah membunuh dua bersaudara dari Pesisir Endut. Diluar sadarnya Agung Sedayu telah melihat ke dirinya sendiri. Yang terakhir ia telah bertempur melawan saudara dari kedua kakak beradik dari Pesisir Endut yang telah dibunuh oleh Pangeran Benawa. “Apakah dengan demikian, aku sudah pantas menyejajarkan diri disamping kedua anak muda itu? “ pertanyaan itu tiba-tiba saja telah tumbuh dihatinya.

Sebuah kebanggaan memang membersit dihatinya. Bagaimanapun juga Agung Sedayu adalah seorang yang dikehendaki atau tidak, telah sering terlibat dalam pertempuran melawan orang-orang berilmu tinggi. Karena itulah, maka kemampuan dan tingkat ilmu kanuragan masih juga merupakan kebanggaan baginya. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja terkilas wajah Rudita. Wajah yang jernih dan cerah. Secerah wajah-wajah anak-anak yang sama sekali tidak tersentuh nodanoda hitamnya kehidupan. “Ah,“ tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesah. Namun ia telah terperosok jauh kedalam lingkaran dendam kebencian yang seakan-akan tidak berujung dan berpangkal seperti sebuah lingkaran. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam ketika Ki Waskita bertanya, “Apakah kau siap untuk berangkat dalam waktu dekat?” Sejenak Agung Sedayu berpikir. Jawabnya kemudian, “Aku siap Ki Waskita. Tetapi bagaimana dengan Glagah Putih, aku kira ia ingin sekali untuk ikut serta dalam perjalanan ini. Setiap kali ia selalu minta agar ia diijinkan untuk ikut dalam setiap perjalanan.” Ki Waskita mengangguk-angguk, “Bagaimana dengan kau? Jika kau tidak berkeberatan, akupun tidak berkeberatan. Selebihnya, bagaimana dengan Ki Widura. Agung Sedayu termenung sejenak. Memang ada keinginannya untuk mengajak adik sepupunya itu. Perjalanan yang agak panjang akan membuatnya mengenal lingkungan yang lebih luas. Namun dengan demikian, ia mempunyai pertanggungan jawab yang lebih berat. Glagah Putih sendiri adalah seorang anak muda yang baru dalam olah kanuragan. Meskipun ia memiliki dasar yang baik, tetapi yang sudah diserapnya masih belum terlalu banyak. “Aku akan minta pertimbangan guru dan parnan Widura,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “jika keduanya tidak mengijinkan, maka aku tidak akan membawanya meskipun ia minta.” “Baiklah, mintalah petunjuk-petunjuk mereka. Kita akan berangkat besok pagi.” “Besok pagi,“ Agung Sedayu mengulangi, “begitu cepat?” “Aku sudah terlalu lama disini.” “Baiklah Ki Waskita. Aku juga akan minta diri kepada Sabungsari agar ia tidak kecewa bahwa ia tidak dapat

menjumpai aku jika ia datang kemari. Apalagi jika aku pergi bersama Glagah Putih.” Tiba-tiba saja wajah Ki Waskita menjadi buram. Sekilas terbayang kembali isyarat yang pernah dilihatnya tentang anak muda yang bernama Sabungsari itu. Namun yang akhirnya diragukannya sendiri. Meskipun demikian, Ki Waskita itupun berkata, “Aku kira tidak perlu Agung Sedayu. Biarlah Kiai Gringsing atau Ki Widura mengatakan kepadanya, bahwa kau sedang menempuh suatu perjalanan. Akupun tidak sependapat jika mereka yang tinggal akan memberitahukan, kemana kau pergi untuk satu dua pekan mendatang.” “Kenapa? “ Agung Sedayu menjadi heran, “ia sering datang ke padepokan ini. Sikapnya selama ini baik kepadaku dan kepada Glagah Putih.” “Agung Sedayu,“ berkata Ki Waskita bersungguh-sungguh, “jika aku ingin mengajakmu pergi untuk satu dua pekan itu tentu aku mempunyai maksud tertentu. Aku kira kau sudah mengerti. Karena itu. maka kepergianmu sebaiknya tidak perlu diketahui oleh orangorang yang tidak berkepentingan meskipun ia sahabat baik bagimu.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia tidak mengerti maksud Ki Waskita. Karena itu, maka Ki Waskita yang melihat keragu-raguan diwajah Agung Sedayu mencoba menjelaskan, “Agung Sedayu. Biarlah kepergianmu kali ini merupakan persoalan perguruanmu, bahkan lebih sempit lagi, karena aku dan juga Kiai Gringsing tidak menyertakan saudara seperguruanmu sendiri. Bahkan aku berniat untuk tidak memberitahukan hal ini kepada siapapun juga selain kau sendiri dan jika dikehendaki dan diijinkan, Glagah Putih.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sebenarnya ia merasa kecewa bahwa ia tidak diperbolehkan untuk minta diri kepada sahabatnya yang dianggapnya seorang anak muda yang baik, yang memerlukan seseorang untuk mengisi kekosongan hidupnya, karena ia telah menjadi jemu kepada lingkungannya. Namun Agung Sedayupun tidak dapat melanggar pesan Ki Waskita. Ia sadar, bahwa niat Ki Waskita membawanya tentu ada hubungannya dengan perkembangan terakhir yang terjadi atas dirinya. “Nah, mulailah mempersiapkan diri. Katakan kepada gurumu, kepada pamanmu dan kepada Glagah Putih. Jangan kau ajak anak itu jika ia tidak menyatakan atas kehendaknya sendiri. Baru kemudian ia harus minta diri kepada ayahnya dan persetujuan Kiai Gringsing.” Agung Sedayupun kemudian bangkit dan melangkah mencari gurunya untuk minta pertimbangannya. Tidak banyak persoalan yang dihadapi Agung Sedayu dari gurunya, karena ternyata Kiai Gringsing telah mengetahui segala-galanya. Kiai Gringsing hanya memberikan beberapa pesan, bahwa perjalanannya itu bukan perjalanan tamasya. Ketika Agung Sedayu menyinggung Glagah Putih, maka Kiai Gringsing berkata, “Kau harus minta ijin pamanmu Widura. Tetapi jika anak itu tidak berkeras untuk ikut, biarlah ia tinggal bersama kami

dipadepokan ini.” Agung Sedayu mengangguk. Ia menjadi ragu-ragu menghadapi Glagah Putih. Sebenarnya ia ingin juga seorang kawan diperjalanan pulang untuk kawan berbincang. Namun jika Glagah Putih ikut bersamanya, maka ia akan berada dibawah tanggung jawabnya. “Aku kira tidak akan banyak rintangan disepanjang jalan,“ berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri. Namun ketika teringat olehnya dendam yang sudah dinyalakannya dimana-mana, maka ia menjadi bimbang. Hampir diluar sadarnya ketika Agung Sedayu justru menyampaikan niatnya untuk pergi bersama Ki Waskita lebih dahulu kepada Glagah Putih sebelum ia bertemu dengan pamannya, Ki Widura. Seperti yang diduganya, dengan serta merta Glagah Putih berkata, “Aku ikut dengan kakang. Kali ini harus.” “Siapa yang mengharuskan Glagah Putih?“ bertanya Agung Sedayu. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Jawabnya, “Aku. Aku yang mengharuskan aku sendiri untuk ikut.” “Jika aku berkeberatan.” “Terserah kepada kakang Agung Sedayu. Tetapi aku akan mengikuti kemana saja kakang pergi. Aku ingin sekali melihat-lihat daerah yang agak jauh.” Agung Sedayu memandangi wajah adiknya yang nampak bersungguh-sungguh. Anak itu tentu akan sangat kecewa jika kali ini ia tidak diijinkan untuk ikut pergi bersamanya. Karena itu, maka Agung Sedayu berkata, “Glagah Putih. Semuanya tergantung kepada paman Widura. Jika paman mengijinkan, akupun tidak berkeberatan. Tetapi kau harus menyadari, bahwa mungkin perjalanan yang nampaknya akan menyenangkan itu akan menjadi perjalanan yang berat. Diperjalanan pulang, kita hanya akan berdua saja. Kau harus menyadari, apa yang pernah terjadi atas kita. Terutama atas aku sendiri.” Glagah Pulih mengangguk-angguk. Katanya, “Dimanapun akan sama saja bahayanya. Jika orang-orang berniat buruk, maka ia dapat menyergap kita bukan saja diperjalanan, tetapi dapat dilakukan di sawah, di ladang atau di pategalan. Saat-saat kita menunggui sawah atau saat-saat kita memetik buahbuahan.” Agung Sedayu mengangguk-angguk pula. Apalagi ketika Glagah Putih berkata, “Justru di padepokan ini mereka akan dapat segera menemukan kita. Agak berbeda dengan diperjalanan, karena kita dalam keadaan bergerak.”

“Baiklah,“ berkata Agung Sedayu, “aku akan menemui paman Widura. Semuanya terserah kepada paman.” “Aku ikut menemui ayah. agar aku dapat menjelaskan kepada ayah, bahwa aku bukan kanak-kanak lagi.” Agung Sedayu tidak dapat menolak. Berdua mereka mencari Ki Widura untuk menyampaikan maksudnya. Ketika Ki Widura mendengar rencana kepergian Agung Sedayu yang akan diikuti oleh Glagah Putih, maka Ki Widura hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti kepentingan kepergian Agung Sedayu. Namun nampaknya Glagah Putih benar-benar ingin ikut bersamanya. “Perjalanan itu bukannya perjalanan untuk sekedar menengok sanak kadang,” berkata Ki Widura, “seandainya demikianpun, maka kau harus mengetahui Glagah Putih, bahwa banyak hal yang dapat terjadi diperjalanan.” “Aku mengerti ayah. Banyak orang yang tidak senang terhadap kakang Agung Sedayu, karena kakang Agung Sedayu mereka anggap selalu merintangi maksud-maksud buruk mereka. Tetapi akupun tahu, bahwa dimanapun juga, bahaya itu akan dapat menerkam kita.” Ki Widura ternyata tidak dapat mencegah Glagah Putih. Setiap usahanya untuk menahan agar Glagah Putih tetap tinggal dipadepokan, ada saja dalih yang dapat diberikan oleh anak itu. “Glagah Putih,“ berkata Ki Widura kemudian, “jika kau memang sudah menyadari bahwa perjalanan itu merupakan perjalanan yang berat, maka terserahlah kepadamu untuk menentukan.” “Aku akan pergi ayah,“ berkata Glagah Putih dengan pasti. Ki Widura hanya dapat mengangguk-angguk sambil berkata, “Tetapi berhati-hatilah diperjalanan. Perjalanan kalian adalah perjalanan yang banyak mengandung kemungkinan. Saat kalian berangkat, maka kalian akan bersama dengan Ki Waskita. Tetapi diperjalanan kembali kepadepokan ini, kalian hanya akan berdua saja.” “Tidak apa-apa ayah,“ jawab Glagah Putih dengan serta merta. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud Ki Widura yang memperingatkannya, bahwa banyak persoalan yang sedang dihadapi oleh Agung Sedayu. Sekilas terbayang orang dari Pesisir Endut yang menuntut kematian kedua saudaranya, bukan kepada Pangeran Benawa, tetapi justru kepadanya. Teringat pula oleh Agung Sedayu, beberapa orang yang mencarinya dan menyusulnya sampai ke Mataram. Karena itu, maka agaknya benar pesan Ki Waskita, untuk tidak mengatakan kepada siapapun, kemana ia akan pergi.

Juga kepada Siabungsari, karena mungkin sekali Sabungsari akan menceriterakan kepada orang-orang lain yang akhirnya sampai ketelinga orang-orang yang mendendamnya. Agaknya setelah Ki Widura tidak dapat menahan Glagah Putih, tidak ada lagi yang akan dibicarakannya. Yang dilakukan oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih kemudian adalah mempersiapkan diri untuk satu perjalanan yang cukup panjang bagi Glagah Pulih, namun cukup mengandung banyak kemungkinan bagi Agung Sedayu. Dimalam hari menjelang keberangkatan Ki Waskita bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih, orangorang tua di padepokan kecil itu masih sempat untuk berbicara tentang beberapa hal. Tentang masa depan dan tentang perkembangan keadaan. Ketika malam itu Sabungsari datang berkunjung kepadepokan kecil itu. Agung Sedayu sama sekali tidak mengatakan bahwa besok pagi-pagi ia akan pergi bersama Ki Waskita. Glagah Putihpun telah dipesannya pula untuk tidak mengatakan apapun juga tentang rencana kepergian mereka. Karena itu, maka Sabungsari sama sekali tidak mengira, bahwa Agung Sedayu akan meninggalkan padepokan itu untuk beberapa hari lamanya. Demikianlah ketika matahari terbit di pagi hari berikutnya, maka tiga ekor kuda telah siap menempuh perjalanan. Mereka membawa sedikit bekal diperjalanan. Meskipun perjalanan itu bukannya perjalanan yang sangat panjang, tetapi bagi Glagah Putih akan merupakan pengalaman baru disaat-saat umurnya menjelang dewasa. Kiai Gringsing dan Ki Widura mengantar mereka sampai keregol halaman. Kemudian melepas mereka pergi dengan berat hati. Terutama karena Glagah Putih ikut bersama mereka. Tetapi mereka tidak dapat menganggap Glagah Putih sebagai kanak-kanak untuk seterusnya dan membiarkannya selalu berada di dalam pengawasan orang tua. Pada suatu saat ia harus merintis jalan bagi kedewasaannya. Bukan saja umurnya, tetapi juga sikap dan pandangan hidupnya. Karena itu, maka betapapun beratnya. Glagah Putih dilepaskannya pula pergi bersama Agung Sedayu dan Ki Waskita, meskipun Ki Widura sadar, bahwa saat mereka kembali, maka Glagah Putih hanya akan dikawani oleh Agung Sedayu saja. Demikianlah, maka sejenak kemudian ketiga ekor kuda itupun telah berderap menyusuri jalan-jalan bulak yang panjang. Dalam cahaya matahari pagi, udara merasa segar menyusup sampai ketulang. Diperjalanan itu Glagah Putih nampak gembira sekali. Kudanya kadang-kadang berlari mendahului Agung Sedayu dan Ki Waskita. Namun kemudian di tengah-tengah bulak ia berhenti untuk menunggu. Tidak ada hambatan apapun pada saat mereka berangkat.

Agar perjalanan mereka merupakan perjalanan yang terasa panjang, maka sengaja mereka tidak singgah di Mataram. Ki Waskita dan Agung Sedayu ternyata dengan sengaja memberikan kesan perjalanan yang sebenarnya. Karena itu, maka mereka telah merencanakan untuk bermalam diperjalanan. Bermalam diperjalanan akan merupakan suatu pengalaman tersendiri meskipun jalan menuju ke Menoreh merupakan jalan yang ramai. Tetapi Ki Waskita dan Agung Sedayu sengaja memilih tempat bermalam yang agak asing. Bukan di banjar-banjar Kademangan atau ditempat sanak-kadang yang dilalui disepanjang perjalanan, tetapi Ki Waskita telah membawa Glagah Putih lewat jalan setapak yang melewati tepi hutan dilereng Gunung Merapi. Jalan memang bertambah panjang. Tetapi hal itu dilakukan dengan sengaja oleh Ki Waskita dan Agung Sedayu. Mereka menempuh jalan yang semakin sulit dan bahkan kadang-kadang kuda mereka seakan-akan hanya merangkak lambat seperti seekor siput. “Kita terpaksa bermalam diperjalanan,“ berkata Ki Waskita. Dengan seria merta Glagah Putih menyahut. “Menyenangkan sekali.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat Glagah Putih jauh berbeda dari dirinya sendiri pada umur yang sama. Pada saat ia masih sangat muda, maka Agung Sedayu tidak lebih dari seorang penakut yang menggigil melihat daun bergerak ditempuh angin digelap-nya malam. Bahkan suara cengkerik didengarnya seolah-olah suara hantu yang sedang meringkik mentertawakannya. Tetapi Glagah Putih adalah seorang anak muda yang lain. Sejak masih kanak-kanak seolah-olah tidak ada yang ditakutinya. Ia memiliki kemauan yang keras dan ketekunan atas sesuatu minat. Bagi Glagah Putih, bermalam dimanapun bukan merupakan persoalan yang perlu dicemaskan. Ia tidak takut kepada hantu. Tidak takut kepada binatang buas dan tidak takut orang-orang yang ingin merampok sekalipun. Dalam pada itu, ketika gelap malam mulai turun, sementara mereka yang sedang dalam perjalanan itu mempersiapkan tempat untuk bermalam, maka dipadepokan yang ditingalkan telah terjadi sedikit keributan. Sabungsari yang datang mencari Agung Sedayu dan Glagah Putih telah mendapat jawaban yang sangat tidak masuk akal. Beberapa anak muda yang ada dipadepokan itu mengatakan, bahwa mereka tidak tahu, kemana Agung Sedayu dan Glagah Putih pergi. “Apakah perjalanan mereka merupakan perjalanan rahasia?“ bertanya Sabungsari.

“Kami tidak tahu Sabungsari. Benar-benar tidak tahu. Kami hanya melihat mereka berangkat. Hanya itu. Ketika hal itu kami tanyakan kepada Kiai Gringsing dan Ki Widura merekapun menggelengkan kepala sambil menjawab, “Kami tidak tahu tujuan mereka. Perjalanan yang akan mereka tempuh adalah sekedar perjalanan untuk mengetahui keadaan diluar pedepokan tanpa tujuan tertentu.” “Mustahil. Aku akan menjumpai Kiai Gringsing.“ geram Sabungsari. Tetapi jawaban Kiai Gringsingpun tidak memuaskan mereka. Kiai Gringsing tidak mau menunjukkan, kemana ketiga orang itu pergi. Seperti yang dikatakan oleh anak-anak muda yang tinggal dipadepokan itu, maka jawab Kiai Gringsing, “Sebuah perjalanan tamasya. Glagah Putih dan Agung Sedayu merasa terlalu letih saat mereka berada di Sangkal Putung. Karena itu, mereka akan mencari udara baru barang satu dua hari.” Sabungsari sama sekali tidak percaya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap Kiai Gringsing. Guru Agung Sedayu yang tentu tidak akan mudah dipaksanya untuk mengatakan sesuatu yang tidak ingin dikatakannya. Karena itu, maka ketika kembali dari padepokan kecil itu, Sabungsari tidak langsung pergi ke baraknya, ia pergi ketempat beberapa orang pengikutnya yang tinggal pada seorang kenalan dari salah seorang pengikutnya itu. “Aku tidak mau kehilangan Agung Sedayu,“ Sabungsari membentak-bentak. Lalu, “Cari anak itu sampai ketemu.” Para pengikutnya termangu-mangu. Sejenak mereka hanya dapat saling berpandangan. “He, apakah salah seorang dari kalian tidak ada yang melihat anak itu pergi?“ Sabungsari bertanya sambil berjalan mengelilingi ruangan, sementara para pengikutnya duduk sambil menundukkan kepalanya. “Kita semuanya adalah orang-orang yang dungu. Sekian lamanya aku menunggu kesempatan itu. Dan kini aku telah melepaskan kesempatan yang sudah ada ditangan.” “Sabungsari,“ salah seorang pengikutnya mencoba memberanikan diri untuk memberikan keterangan, “kau sama sekali tidak memberikan gambaran ataupun petunjuk, bahwa ada kemungkinan Agung Sedayu meninggalkan padepokannya, sehingga kami telah melepaskan pengawasan atasnya. Kami mengira, bahwa akan ada persoalan lagi yang harus kami lakukan, setelah kau berhasil berkenalan dan kemudian menempatan diri sebagai sahabatnya.” “Itulah kedunguan kita. Aku kira Agung Sedayulah yang dungu, karena ia tidak mencurigai aku. Tetapi ternyata dengan diam-diam ia berhasil lepas dari pengawasanku. Jika aku mengira, ia telah lengah karena ia menerima aku, maka sebenarnyalah aku yang lengah, karena menganggap anak muda itu lengah.“ geram Sabungsari. “Jika kehendakmu, kami harus mencarinya, maka kami akan mencari,“ berkata pengikutnya itu.

“Tentu. Aku harus menemukannya.” “Hidup atau mati? “ bertanya pengikutnya. “Kau gila. Kau kira bahwa kau dapat menangkapnya hidup atau mati?,“ geram Sabungsari, “jika Agung Sedayu menyadari kalian mengikutinya seandainya kalian telah menemukannya, maka kalianlah yang harus menerima nasib kalian. Jika Agung Sedayu mempunyai belas kasihan, maka kalian akan hidup. Jika kebetulan hatinya sedang panas, maka kalian semuanya akan mati hancur tersayat ujung cambuknya.” Para pengikut Sabungsari itupun terdiam. Mereka mengerti, betapa dahsyatnya anak muda dari Jati Anom itu. Dan merekapun menyadari bahwa kemampuan mereka sangat meragukan untuk menangkap Agung Sedayu. Namun salah seorang dari mereka berkata didalam hati, “Kami akan dibunuhnya jika kami hanya seorang diri atau dua orang saja. Tetapi berlima kami mempunyai kekuatan yang cukup.” Meskipun demikian pengikut Sabungsari itu tidak mengatakannya. “Nah, berangkatlah malam ini. Kalian harus menemukannya. Tugas kalian adalah sekedar mengikuti dan mengawasi kemana anak itu pergi. Besok seorang dari kalian harus menemui aku untuk memberikan laporan. Seorang dihari berikutnya sementara orang pertama harus menyusul kawankawannya. Orang ketiga dihari berikutnya lagi, sehingga dengan demikian aku akan dapat selalu mengatahui, dimana kalian berada.” Tidak seorangpun yang menyahut. Jika Sabungsari sudah menjatuhkan perintah, mereka hanya dapat melakukan, meskipun mereka harus menggerutu didalam hati. Tugas yang harus mereka lakukan itupun merupakah tugas yang berat. Mencari Agung Sedayu yang pergi tanpa diketahui arahnya. Mereka harus mencari keterangan dari orang-orang tanpa menimbulkan kecurigaan mereka. “Berangkatlah malam ini,“ berkata Sabungsari kemudian, “jangan kehilangan waktu terlalu banyak.” Pengikut-pengikutnya menjadi berdebar-debar. Salah seorang dari mereka mencoba memberanikan diri untuk berkata. “Jika kita berangkat malam ini, maka arah perjalanan kita benar-benar tanpa perhitungan. Tetapi jika kita menunggu siang hari, mungkin kita dapat bertanya kepada satu dua orang anak-anak muda Jati Anom dengan tidak menimbulkan kecuriagaan, barangkali ada diantara mereka melihat arah perjalanan Agung Sedayu dan Glagah Putih.” “Gila. Mereka tentu menuju ke Tanah Perdikan Menoreh, karena mereka pergi bersama Ki Waskita. Mungkin mereka menempuh jalan terdekat. Mungkin mereka melewati Mataram. Tetapi mungkin

mereka mencari jalan lain yang jejaknya sulit untuk diikuti.” “Dan kami harus menempuh jalan yang mana.” “Gila. Cari sampai ketemu. Kalian dapat langsung menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Kalian dapat menunggu di daerah itu. Kalian harus mencari jalur jalan menuju ke padukuhan Ki Waskita yang terpisah dari Tanah Perdikan Menoreh itu sendiri.” “Apakah pasti Agung Sedayu akan pergi kesana?” “Pertanyaan yang bodoh sekali. Mereka pergi bersama Ki Waskita. Jika sampai dua hari kalian tidak menemukan Agung Sedayu diperjalanan menuju rumah Ki Waskita, kalian cari saja rumahnya. Jika kalian tidak menemukan mereka dirumah itu, maka kalian harus menyusuri jalan kerumah Ki Gede Menoreh dan ke Mataram. Mungkin mereka singgah disana. Baru jika pada hari kelima kalian tidak menemukan, maka aku sendiri akan mencari. Aku akan minta ijin beberapa hari dari Untara. Jika Untara tidak mengijinkan, maka ialah yang akan aku bunuh sebagai pengganti Agung Sedayu. Membunuh Untara agaknya lebih mudah dari membunuh Agung Sedayu yang masih ditunggui gurunya itu.” Tidak seorangpun yang bertanya lagi. Mereka hanya tinggal melaksanakan perintah itu. Dapat atau tidak dapat. Karena itu, maka ketika mereka masih belum beringsut, Sabungsari membentak, “He, kalian menunggu apa lagi? Kalian belum makan, atau kalian ketakutan?” Pengikut-pengikutnya itupun segera berdiri. Mereka meninggalkan ruangan itu. menuju ke gedogan kuda; setelah mereka membenahi diri dan mengemasi barang-barang yang akan mereka bawa serta, termasuk senjata-senjata mereka. Kepada penghuni rumah itu. para pengikut Sabungsari itu membisikkan tugas yang harus mereka lakukan, dengan pesan, “Pegang rahasia ini baik-baik, agar kau tidak terlibat dalam kesulitan.” Sejenak kemudian, maka beberapa ekor kuda telah meninggalkan halaman rumah itu. Mereka harus berhati-hati dan tidak menimbulkan kecurigaan. Mereka tidak serentak melewati gerbang pedukuhan. Dua orang lewat gerbang yang satu. seorang yang lain dan dua orang lewat lorong yang lain lagi. Dalam pada itu, Sabungsari menjadi sangat gelisah. Ia benar-benar merasa kehilangan. Sudah sepantasnya ia melepaskan dendamnya atas Agung Sedayu. Ia tidak rela Agung Sedayu dibunuh oleh pihak yang manapun juga yang juga mendendamnya. Ia sendiri ingin membunuh dengan tangannya untuk menunjukkan bahwa perguruan Telengan tidak kalah dari perguruan Dukun Tua itu. Tetapi tiba-tiba saja Agung Sedayu pergi meninggalkan padepokannya tanpa diketahuinya.

“Mungkin ia mengerti bahwa aku bermaksud membunuhnya, sehingga ia melarikan diri,” geram Sabungsari. Teringat olehnya prajurit Pajang yang pernah diancamnya agar ia mendapat kesempatan pertama untuk membunuh Agung Sedayu. “Apakah orang itu yang memberitahukan rahasia ini? “ guman Sabungsari, “tetapi tentu tidak. Barangkali mereka justru berterima kasih kepadaku jika aku berhasil membunuh Agung Sedayu.” Dengan gejolak perasaan yang bagaikan meretakkan dadanya. Sabungsari kembali kebaraknya. Tidak seperti biasanya, bahwa ia termasuk seorang prajurit muda yang ramah dan mudah bergaul, maka iapun langsung menuju kepembaringannya. “He, Sabungsari,“ bertanya seorang kawannya, “nampaknya kau sangat lesu.” Sabungsari mengangkat wajahnya. Kemudian ia mencoba tersenyum sambil menjawab, “Tidak apaapa. Aku hanya lelah.” Kawannya duduk dibibir pembaringannya. Hampir berbisik ia bertanya, “He, apakah gadis itu tidak ada dirumah. atau sedang pergi dengan laki-laki lain.” “Gila,“ Sabungsari membalikkan tubuhnya dan menyembunyikan wajahnya ditangannya yang bersilang, “aku tidak mau datang lagi kerumahnya. Aku lihat, ada beberapa anak muda yang datang bergilir.” Kawannya tertawa. Sabungsaripun tertawa pula. Namun ketika kawannya itu telah berdiri dan melangkah pergi, ia mengumpat dengan kasarnya meskipun hanya dapat didengarnya sendiri. Semantara itu, para pengikutnya telah berada dalam perjalanan. Mereka telah berkumpul kembali diluar Kademangan Jati Anom. “Pekerjaan gila,“ geram salah seorang dari mereka “jika kita berangkat disiang hari, kita akan dapat bertanya kepada seseorang di padukuhan-padukuhan sebelah, kearah mana anak itu pergi. Dengan demikian kita mendapat petunjuk, setidak-tidaknya arah perjalanan mereka. “Kita dapat bertanya kepada anak-anak muda yang berada di gardu-gardu desis yang seorang. “Mereka akan mencurigai kita, dan beramai-ramai menangkap kita.” “He, kau takut melawan anak-anak Kademangan?”

“Jangan berpura-pura tidak tahu. Mereka adalah pengawal-pengawal yang terlatih. Meskipun mungkin aku seorang diri dapat melawan dua atau tiga orang pengawal, tetapi dengan isyarat titir, maka jumlah mereka akan menjadi ratusan dalam sekejap. Nah, apakah kau mampu melawan mereka seluruhnya?” Kawannya tidak menjawab. Tetapi ia dapat membayangkan, apakah yang akan terjadi, seandainya terdengar suara titir. Apalagi jika kemudian prajurit Pajang yang sedang meronda di tlatah Jati Anom dan sekitarnya mendengar dan datang pula. Jika diantara mereka terdapat Sabungsari, maka ialah yang akan membunuh kita pada saat itu juga,“ geram salah seorang dari kelima orang pengikut Sabungsari itu. Merekapun kemudian terdiam. Mereka macam tidak mungkin bertanya kapada anak-anak muda itu di gardu-gardu. “Kita akan pegi ke Tanah Perdikan Menoreh. Hampir setiap orang mengenal Agung Sedayu di Tanah Perdikan Menoreh. Kita akan bertanya kepada anak-anak muda disana apakah mereka melihat kedatangan Agung Sedayu,“ berkata salah seorang dari mereka. “Apakah anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh tidak mencurigai kita yang belum pernah mereka kenal? “ bertanya kawannya yang lain. “Tentu kita akan berhati-hati. Kita tak akan berlima berbondong-bondong mendalangi anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi satu atau dua orang saja mendatangi anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Yang lain menunggu ditempat yang sudah ditentukan.” Kawan-kawannya mengangguk-angguk, Itu adalah jalan yang paling baik yang dapat mereka lakukan dengan kemungkinan pahit yang paling kecil. Karena itu, maka mereka tidak menunggu lagi. Merekapun segera memacu kuda mereka menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. “Kita tidak akan melalui Mataram,“ berkata seorang yang paling tua diantara mereka, “kita akan menempuh jalan memintas meskipun melalui jalan-jalan sempit dan pinggir-pinggir hutan.” Demikianlah meskipun malam menjadi semakin gelap, namun mereka meneruskan perjalanan lewat bulak-bulak panjang dan padukuhan-padukuhan. Namun mereka tetap berhati-hati. Mereka tidak berkuda bersama-sama. Mereka membagi dirinya menjadi dua kelompok yang berjarak beberapa puluh langkah. Meskipun hal itu agaknya masih akan menarik perhatian juga, tetapi kemungkinannya telah banyak dikurangi. Sementara itu, Agung Sedayu, Ki Waskita dan Glagah Putih ternyata mendapat tempat beristirahat yang baik meskipun merupakan suatu pengalaman baru bagi Glagah Putih. Mereka bergantian tidur barang sekejap. Sementara mereka menyalakan perapian yang tidak begitu besar untuk mengusir

nyamuk dan menghangatkan tubuh. Ternyata Glagah Putih benar-benar seorang anak muda yang memiliki sifat dan watak yang berbeda dengan Agung Sedayu dimasa lampaunya. Glagah Putih sama sekali tidak dapat digetarkan oleh gelapnya malam dihutan yang belum pernah dikenalnya. Disaat ia harus berjaga-jaga, maka ia duduk dengan tenang disebelah perapian. Sekali-kali ia berdiri dan berjalan mondar-mandir tanpa perasaan gentar. Namun demikian, ternyata pada saat Glagah Putih yang mendapat giliran. Agung Sedayu dan Ki Waskita tidak sampai hati melepaskannya. Meskipun mereka nampaknya memejamkan matanya, namun sebenarnya mereka tidak tertidur. Hanya pada saat Agung Sedayu bertugas, Ki Waskita sempat tidur dan sebaliknya. Akhirnya malam yang gelap dan dingin itupun berlalu. Ketika matahari mulai membayang dengan warna-warna merah di Timur, ketiga orang yang bermalam di pinggir hutan itupun mulai mengemasi diri. Mereka mencari sumber air untuk mencuci muka sebelum mereka siap untuk berangkat. “Paman,“ bertanya Glagah Putih kepada Ki Waskita, “apakah jarak ke Tanah Perdikan Menoreh masih jauh? Jalan ini terasa asing sekali. Bahkan mungkin tidak banyak orang yang mengenalnya.” Ki Waskita tertawa. Katanya, “bertanyalah kepada kakakmu.” Glagah Putih memandang Agung Sedayu sejenak. Namun sebelum ia bertanya, Agung Sedayu menyahut, “Aku juga belum pernah melalui jalan ini Glagah Putih. Aku sudah beberapa kali pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi jalan ini baru sekali ini aku kenal.” Glagah Putih mengerutkan keningnya. Kembali ia memandang Ki Waskita sambil bertanya, “Apakah paman juga belum pernah melihat dan melalui jalan ini?” Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Aku tentu sudah.” “Jadi?” “Kita sudah mendekati Kali Praga. Sebentar lagi kita menyeberang. Dan kita sudah berada di Tanah Perdikan Menoreh.” “Sudah dekat sekali?” “Ya.” “Jadi kenapa kita harus bermalam? Dan rasa-rasanya perjalanan kita dihari pertama sangat lamban. Jika kemarin kita berjalan agak cepat, maka aku kira kita tidak perlu bermalam diperjalanan yang tidak terlalu jauh ini.”

“Tetapi bukankah bermalam diperjalanan, apalagi dipinggir hutan, sangat menyenangkan? Kita memang dapat singgah di sebuah padukuhan dan minta ijin kepada Ki Demang agar kita diperbolehkan bermalam di banjar padukuhan. Namun kau tidak akan pernah mengalami dikerumuni nyamuk semalam suntuk dipinggir hutan.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa Ki Waskita dan Agung Sedayu sengaja mengajaknya bermalam dipinggir hutan yang sepi dan lembab itu. “Matikan sisa-sisa perapianmu,“ berkata Ki Waskita. “Biarkan saja paman. Nanti akan mati juga.” Tetapi Ki Waskita menggeleng. Katanya, “Jangan Glagah Putih. Jika satu dua helai daun kering terbang kedalam api, kemudian ditimbuni oleh daun-daun kering yang lain, maka apimu yang nampaknya sudah mati itu akan dapat menumbuhkan bencana. Jika hutan mulai terbakar, maka akan sangat sulit untuk menguasainya, sehingga mungkin sekali akan makan waktu berpekan-pekan dan menelan hutan yang cukup luas.” Glagah Putih mengangguk-angguk sambil melangkah keperapian yang nampaknya memang sudah padam. Tetapi untuk meyakinkannya, maka perapian itupun segera ditimbuninya dengan tanah yang basah oleh embun. Sejenak kemudian ketiganya telah siap. Ki Waskita menuntun kudanya disamping Glagah Putih sambil berkata, “Kita akan menyusuri Kali Progo.” Glagah Putih mengerutkan keningnya, sementara Ki Waskita menjelaskan, “Kita akan mencari tempat penyeberangan. Mungkin tepian yang akan kami capai disebelah tidak mempunyai getek yang dapat membawa kita keseberang.” “Bagaimana jika kita berenang saja?“ bertanya Glagah Putih. Ki Waskita dan Agung Sedayu yang mendengar pertanyaan itu pula tertawa. Sambil menepuk kudanya Ki Waskita berkata, “Bagaimana dengan kuda kita? Seandainya kita tanpa membawa seekor kudapun, kita belum tentu dapat menyeberangi Kali Praga dengan berenang, karena arusnya yang deras. Jika Kali Praga itu sebuah belumbang yang luas, kita akan dengan senang hati menyeberang sambil berenang, meskipun kita harus menghindarkan diri dari kemungkinan adanya binatang buas didalam air.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Ia mulai membayangkan seekor buaya yang ganas di tepian yang basah dan berumput ilalang setinggi tubuh. Atau seekor ular sanca sebesar pohon kelapa dengan lidah terjulur. Sejenak kemudian mereka bertiga telah berada dipunggung kuda yang berjalan tidak terlalu cepat.

Mereka menyusuri jalan kecil yang semakin basah, karena mereka telah berada dekat sekali dengan Kali Praga. Dalam pada itu, maka tiba-tiba saja Ki Waskita bertanya kepada Agung Sedayu, “Apakah kita akan singgah barang setengah hari di Tanah Perdikan Menoreh?” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Terserah kepada Ki Waskita. Jika Ki Waskita menghendaki, aku tidak berkeberatan.” “Aku kira lebih baik kita singgah meskipun hanya sebentar. Kau sudah terbiasa pergi kerumah Ki Gede jika kau berada di Tanah Perdikan. Jika kali ini kau lewati Tanah Perdikan Menoreh tanpa singgah meskipun hanya sejenak, akan dapat menimbulkan berbagai pertanyaan di hati Ki Gede yang sudah semakin tua dan kesepian. Orang tua kadang-kadang suka mengurai persoalan tanpa landasan. Meskipun kau tidak pernah memikirkan apapun juga tentang Ki Gede, tetapi jika kau tidak singgah, maka akan timbul berbagai macam prasangka yang barangkali tidak beralasan sama sekali.” Agung Sedayu sama sekali memang tidak berkeberatan meskipun sekilas nampak wajah Prastawa yang gelap. Namun karena ia tidak merasa ada sesuatu persoalan, maka ia sama sekali tidak merasa segan untuk bertemu. Dengan demikian, maka perjalanan merekapun bukan saja melalui Tanah Perdikan Menoreh, tetapi mereka akan singgah barang sebentar dirumah Ki Gede. Perjalanan mereka memang sudah tidak terlalu lama lagi. Ketika mereka sudah menyeberangi Kali Praga, maka mereka sudah berada di bulak-bulak persawahan Tanah Perdikan Menoreh yang subur, sesubur Kademangan Sangkal Putung, meskipun disaat terakhir Sangkal Putung nampak menjadi lebih hidup karena Swandaru yang bekerja keras untuk memperbaiki tataran kehidupan Kademangannya. Sementara itu, Ki Gede Menoreh nampaknya justru menjadi semakin lesu. Ia merasa sepi dirumahnya. Prastawa memang dapat memberikan suasana rumahnya lebih segar jika kebetulan ia berada dirumah Ki Gede. Namun agaknya ada yang tidak sesuai bagi Ki Gede Menoreh pada sikap Prastawa. Prastawa memang nampak penuh gairah menghadapi masa masa mudanya. Namun ia mempunyai sifatsifat yang kurang disenangi oleh Ki Gede Menoreh. Prastawa kadang-kadang nampak deksura dan kasar. Kekerasan hatinya sering menumbuhkan akibat yang kurang menyenangkan bagi anak anak muda Tanah Perdikan Menoreh, meskipun kadang-kadang mereka tidak mengucapkan. Namun apabila satu dua orang diantara mereka berkumpul di gardu gardu atau duduk-duduk diujung padukuhan, diluar sadar telah terucapkan penyesalan mereka terhadap sikap Prastawa.

Bahkan tanpa sengaja, satu dua orang diantara mereka masih sering menyebut nama Agung Sedayu dan Swandaru. Mereka yang ikut bersama Ki Gede ke Sangkal Putung disaat Ki Sumangkar meninggal, sempat berceritera tentang apa yang telah terjadi di Sangkal Putung kepada kawan kawan mereka. “Swandaru berhasil membuat Kademangannya bertambah subur,“ desis salah seorang dari mereka. Agaknya anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh menyadari bahwa perkembangan Kademangan Sangkal Putung agaknya telah meloncat lebih maju dari Tanah Perdikan Menoreh. Sementara itu. Agung Sedayu, Glagah Putih dan Ki Waskita telah menjadi semakin dekat. Beberapa orang anak muda lelah melihat mereka sehingga berlari-lari mereka menyongsong dan memberikan ucapan selamat. “Kakang Agung Sedayu banyak dikenal orang disini,“ desis Glagah Putih. “Ya, seperti terhadap anak muda tanah ini sendiri,“ sahut Ki Waskita. Glagah Putih mengangguk-angguk. Bahkan iapun rasa-rasanya ikut berbangga, bahwa sambutan terhadap Agung Sedayu nampaknya sangat menyenangkan. Ki Gede Menoreh terkejut ketika seseorang memberitahukan kepadanya bahwa Agung Sedayu, Ki Waskita bersama seorang anak muda yang lain telah mendekati pintu gerbang. “Swandaru ?” bertanya Ki Gede. “Bukan,“ jawab orang itu. Ki Gede tidak bertanya lagi, karena Agung Sedayu, Ki Waskita dan Glagah Putih telah memasuki halaman. Ki Gede nampak gembira sekali karena kedatangan mereka. Seperti kanak-kanak yang merindukan sanak kadangnya, maka dengan tergopoh-gopoh Ki Gede menyongsong mereka turun kehalaman. Tetapi alangkah kecewa Ki Gede Menoreh, ketika ia mengetahui bahwa mereka bertiga hanya akan singgah untuk waktu yang sangat pendek. “Kedatangan kalian hanya menumbuhkan kekecewaan saja,“ berkata Ki Gede Menoreh. “Tetapi bukankah itu lebih baik daripada Ki Gede hanya mendengar berita bahwa Agung Sedayu telah menempuh perjalanan melewati Tanah Perdikan Menoreh tanpa singgah,“ sahut Ki Waskita. Tetapi Ki Gede berkata pula, “Bagaimanapun juga, aku akan menahan kalian sedikit-dikitnya satu malam.“

Agung Sedayu dan Ki Waskita saling berpandangan. Namun akhirnya Ki Waskita berkata, “Jika Ki Gede berkeras, baiklah, besok kita meneruskan perjalanan yang tidak begitu jauh lagi.” Ki Gede tersenyum. Katanya, “Terima kasih. Aku gembira sekali. Hari ini aku merasa bahwa umurku akan menjadi bertambah panjang.” Berbeda dengan Ki Gede. maka wajah Prastawa yang kebetulan berada di rumah pamannya, nampak menjadi buram. Meskipun ia mencoba juga untuk tersenyum, namun senyumnya terasa betapa pahitnya. Sementara itu, berita tentang kedatangan Agung Sedayu itu telah tersebar di seluruh Tanah Perdikan. Hampir setiap orang telah mengetahui, bahwa Ki Gede telah menerima tiga orang tamu. Agung Sedayu, saudara, sepupunya yang bernama Glagah Putih dan Ki Waskita. Dengan demikian, maka tugas orang-orang yang dikirim oleh Sabungsari menjadi tidak terlampau sulit. Setelah semalam suntuk mereka menyusuri jalan ke Tanah Perdikan Menoreh dan hanya beristirahat sejenak, setelah mereka menyeberangi sungai, maka lewat tengah hari, salah seorang dari mereka telah berusaha mencari berita tentang Agung Sedayu, sementara kawan-kawannya menunggu dipinggir hutan. Disebuah warung kecil, orang itu telah mendapat keterangan, bahwa benar ada tiga orang tamu dirumah Ki Gede. “Belum lama. Pagi ini baru mereka datang,“ berkata salah seorang anak muda yang kebetulan ada diwarung itu juga. Pengikut Sabungsari yang mendengar berita itu, rasa-rasanya hatinya telah tersentuh oleh dinginnya air embun. Ternyata tidak terlalu sulit untuk mencari Agung Sedayu. Mereka mengira bahwa mereka akan menempuh perjalanan berhari-hari. Ternyata dihari pertama setelah semalam suntuk mereka berjalan, mereka telah mendengar kabar tentang orang yang dicarinya. Karena itu, setelah selesai makan, dan setelah ia minta dibungkuskan beberapa macam makanan, maka iapun dengan tergesa-gesa telah menemui kawan-kawannya yang menunggu. “Makanlah,“ berkata orang itu. “Bukan itu yang penting. Apakah kau mendengar berita tentang Agung Sedayu?” “Makanlah. Baru kau dengar ceriteraku.” “Katakan lebih dahulu,“ kawannya membentak. Orang itu tersenyum. Katanya, “Jangan cepat marah. Kau akan lekas menjadi tua.”

“Tetapi kau membuat jantungku berdebar-debar.“ Kawan-kawannya yang lainpun tiba-tiba saja telah memandanginya dengan sorot mata kegelisahan. Bahkan seorang yang matanya redup berkata bersungguh-sungguh, “Bukan waktunya untuk bergurau.” Akhirnya yang tertua diantara mereka berkata, “Katakanlah. Jangan membuat kami yang dalam ketegangan ini kehilangan pengamatan diri.” Orang yang telah mendengar keterangan tentang Agung Sedayu itu tidak berani bermain-main lagi. Karena itu maka katanya kemudian. “Agung Sedayu sekarang ada dirumah Ki Gede. Setiap orang di Tanah Perdikan ini telah mengetahuinya, meskipun ia belum lama berada disini.” Kawan-kawannya memandanginya dengan curiga. Bahkan orang yang tertua diantara mereka bertanya, “Apakah kau berkata sebenarnya, atau kau benar-benar ingin bergurau dalam suasana seperti ini?” “Tidak. Aku tidak bergurau,“ jawab orang itu, “aku berkata sebenarnya. Agung Sedayu telah datang ke Tanah Perdikan Menoreh pagi tadi.” “Pagi tadi? “ seorang kawannya mengulang. “Ya. Menurut keterangan beberapa orang disebuah warung, ia datang pagi tadi.” “Kalau begitu, mereka pasti bermalam dijalan meskipun jaraknya sudah dekat dengan rumah Ki Gede Menoreh,“ berkata yang lain. “Kenapa mereka harus bermalam? “ tiba-tiba seseorang diantara mereka bertanya. Pertanyaan itu ternyata telah menimbulkan berbagai macam dugaan. Namun akhirnya orang tertua diantara mereka berkata, “Apapun alasan mereka, namun kita telah menemukannya. Salah seorang dari kita akan kembali ke Kademangan Jati Anom dan mengabarkan tentang Agung Sedayu. Kami menunggu perintah, apakah yang harus kami lakukan atas anak itu. Apakah kami harus menangkapnya atau sekedar mengamati kemana ia pergi.” “Jangan sombong,“ berkata salah seorang kawannya, “jika perintah itu berbunyi, “tangkap Agung Sedayu,“ berarti kita harus bunuh diri. Agung Sedayu kini berada dirumah Ki Gede Menoreh. Dirumah itu ada pula Ki Waskita dan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.” “Jangan terlalu bodoh,“ jawab orang tertua itu, “kita tidak akan memasukkan jari tangan kita ke lubang seekor ular bandotan. Kita harus memancingnya keluar dan kemudian menjeratnya.” Kawannya tidak menjawab lagi. Tetapi iapun mengerti, bahwa jika benar mereka harus menangkap Agung Sedayu, maka mereka harus mempergunaan akal. Yang mereka bicarakan kemudian adalah siapakah diantara mereka yang harus kembali ke Jati Anom. Kemudian siapa yang harus mengamati Agung Sedayu yang menurut perhitungan mereka, masih akan

pergi ke rumah Ki Waskita. “Mungkin Ki Waskita akan kembali kerumahnya seorang diri,“ berkata salah seorang dari mereka. “Jika kita melihat Ki Waskita dalam perjalanan seorang diri, maka kita mengambil kesimpulan, bahwa Agung Sedayu masih berada dirumah Ki Gede dan tidak meneruskan perjalanan singgah dirumah orang itu. Dengan demikian kita harus mencari akal memancingnya keluar jika ada perintah untuk menangkapnya.” Orang-orang itupun segera mengatur diri. Salah seorang dari mereka segera berkemas-kemas berpacu ke Jati Anom, sementara yang lain akan mengawasi jalan dibulak panjang bergantian. Keputusan Agung Sedayu dan Ki Waskita untuk bermalam semalam di Tanah Perdikan Menoreh atas permintaan Ki Gede, ternyata telah memberi kesempatan kepada orangorang yang mencarinya untuk menentukan sikap. Dalam pada itu. seekor kuda telah berpacu menuju ke Kademangan Jati Anom. Karena perjalanan itu ditempuh dengan kecepatan penuh dan tidak banyak berhenti untuk beristirahat maka rasa-rasanya perjalanan itu menjadi jauh lebih cepat. Tengah malam orang itu sudah berada di Sangkal Putung. Dengan hati-hati ia berusaha menemui Sabungsari dibaraknya. Kepada petugas dibarak itu ia mengaku saudara Sabungsari yang datang dari jauh. “Apakah kau yakin bahwa berita itu benar?“ bertanya Sabungsari. “Aku yakin. Setiap orang di Tanah Perdikan Menoreh ternyata mengenal Agung Sedayu.” Sabungsari merenung sejenak, ia mencoba melihat beberapa kemungkinan yang dapat terjadi. Mulamula ia ingin langsung bertemu dengan Agung Sedayu dalam perang tanding sebelum ia benar-benar kehilangan anak muda itu. Namun ia masih tetap ragu-ragu. bahwa ia sama sekali belum berhasil menjajagi kemampuannya. Karena itu, maka ia mengurungkan niatnya. Ia sedang memikirkan jalan yang paling baik untuk dapat mengukur kemampuan anak muda itu. Namun tiba-tiba saja Sabungsari tersenyum. Ia telah menemukan jalan yang akan dapat dipergunakannya untuk menjajagi ilmu anak muda itu. Katanya kemudian kepada pengikutnya, “Kembalilah. Kau harus dapat membawa Agung Sedayu kepadaku. Tetapi ingat, kau harus membawanya hidup-hidup. Kau berlima bukannya anak-anak kecil. Kau tentu akan dapat mencari jalan untuk menangkapnya hidup-hidup.” “Apakah kami harus mencegatnya dan menyerangnya?“

bertanya pengikutnya. Sabungsari tersenyum. Jawabnya, “Jangan bodoh. Hindarilah pertempuran jika anak muda itu masih bersama Ki Waskita. Kau berlima tidak akan dapat melawan Agung Sedayu bersama-sama Ki Waskita sekaligus.” “Jadi?” “Aku kira Agung Sedayu tidak akan terlalu lama berada dirumah Ki Waskita, seandainya ia pergi kesana. Jika ternyata bahwa Agung Sedayu tidak pernah singgah kerumah orang tua itu, dan tinggal dirumah Ki Gede Menoreh, maka iapun tidak akan lama pula. Tunggulah Agung Sedayu diperjalanan kembali ke Jati Anom atau ke Sangkal Putung. Karena itu, maka kau harus mengamat-amatinya setiap hari.“ Sabungsari berhenti sejenak, lalu. “tetapi jika kau angap terlalu lama, maka kau dapat mencari akal untuk melakukan tugas ini. Tetapi ingat. Jangan sebut namaku dan perguruanku. Ingat, agar aku tidak perlu membunuh kalian semuanya. Jika kalian sudah berhasil, bahwa Agung Sedayu kehutan kecil dilereng Gunung Merapi, dan beritahukan kepadaku agar aku dapat menentukan sikap lebih lanjut.” “Bagaimana dengan Glagah Putih? “ orang itu bertanya. “Aku tidak memerlukannya. Terserah. Kau bunuh-pun tidak ada persoalan apapun juga bagiku,“ jawab Sabungsari. Orang itu mengangguk-angguk. “Pergilah. Kau dapat beristirahat sampa esok pagi. Kemudian susul kawan-kawanmu ke Tanah Perdikan Menoreh atau kerumah Ki Waskita.” Pengikut Sabungsari itupun kemudian meninggalkan barak prajurit Pajang di Jati Anom, kembali ketempat seorang kenalannya. Ia masih sempat beristirahat sejenak, sebelum fajar menyingsing. Namun ternyata bahwa ia tidak dapat memejamkan matanya sama sekali. Masih selalu terngiang, perintah Sabungsari untuk menangkap Agung Sedayu hidup-hidup. “Aneh,“ berkata pengikut Sabungsari itu didalam hatinya, “kenapa Sabungsari tidak langsung saja menyusulnya ke Tanah Perdikan Menoreh dan mencari kesempatan berperang tanding.” Tetapi orang itu mencoba mencari jawabnya, “mungkin ia masih segan untuk minta ijin kepada Untara untuk meninggalkan tugasnya sebagai seorang prajurit barang tiga empat hari.” Ketika fajar menyingsing, maka orang itupun segera mempersiapkan diri. Setelah berbenah dan makan

beberapa kerat ketela pohon, maka iapun segera berpacu meninggalkan Jati Anom kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Sabungsari sempat menjumpai pengikutnya diujung Kademangan. Ia masih memberikan beberapa pesan. Sekali lagi ia menegaskan, “Jangan sebut perguruanmu.” Orang itu mengangguk. Kemudian ia minta diri untuk melanjutkan perjalanan. Sejenak Sabungsari termangu-mangu. Dipandanginya debu tipis yang mengepul dibelakang kaki kuda. Namun yang segera lenyap dihembus angin pagi yang lembut. Jika Agung Sedayu berhasil ditangkap hidup-hidup, maka kemampuannya masih belum mendebarkan jantung. Jika ia berhasil mengalahkan ke lima orang pengikutku, maka ia benar-benar seorang yang luar biasa. Tetapi aku harus melihat, apa yang terjadi, sehingga aku akan dapat menjajagi kemampuan ilmunya. Karena itulah, maka Sabungsaripun kemudian menghadap Untara untuk minta ijin barang dua tiga hari, karena alasan yang mapan. “Semalam pamanku telah datang Ki Untara. Ia memberitahukan kepadaku, bahwa ibuku sakit keras. Aku sudah tidak mempunyai ayah. Sehingga karena itu, maka ibuku mengharap aku dapat menungguinya barang dua tiga hari.” Untara mengerutkan keningnya. Meskipun ia seorang prajurit yang nampaknya terlalu teguh memegang kendali kepemimpinan dalam tugas-tugasnya, namun ia tersentuh juga perasaannya. “Apakah sakit ibumu parah?“ bertanya Untara. “Menurut paman, kadang-kadang ibu telah kehilangan kesadarannya. Jika kesadaran itu datang, maka ia selalu menyebut namaku.” Untara mengangguk-angguk. Seorang perwira muda dapat memberikan kesaksian, bahwa semalam Sabungsari memang menerima seorang tamu yang nampak tergesa-gesa. “Baiklah,“ berkata Untara, “aku beri kau waktu lima hari dengan perjalananmu. Jika pada waktunya kau belum sempat kembali karena keadaan ibumu, maka kau harus berusaha untuk memberikan laporan kepadaku. Mungkin pamanmu, mungkin orang lain dapat kau suruh datang kepadaku.” “Tentu Ki Untara. Aku tidak akan melalaikan segala kewajiban yang memang harus dibebankan kepadaku,“ jawab Sabungari. Namun ketika Sabungsari telah meninggalkan Senapati muda itu, ia menggeram, “Persetan. Jika kau banyak tingkah, aku bunuh kau lebih dahulu dari Agung Sedayu.” Sabungsaripun kemudian berkemas dibaraknya. Kepada kawan-kawannya ia minta diri untuk menengok ibunya yang sedang sakit, sementara tidak ada orang lain yang disebutnya, kecuali Sabungsari.

Lewat tengah hari Sabungsari baru berangkat. Ia memang tidak ingin maiemui pengikut-pengikutnya. Ia akan mencari jalan sendiri untuk mengetahui dimana Agung Sedayu sedang berada. Kemudian mengamatinya sehingga pada suatu saat, anak muda itu akan disergap oleh pengikut-pengikutnya. Jika aku berhasil menyaksikan perkelahian itu, maka aku akan dapat mengetahui, tingkat kemampuan Agung Sedayu. Melawan lima orang ia tentu akan mengerahkan segenap kemampuannya. Karena itu, maka Sabungsari itupun tidak tergesa-gesa. Ia tidak perlu berpacu seperti pengikutnya. Tetapi iapun tidak Ingin menyesal bahwa ia datang terlambat atau kehilangan jejak, karena Agung Sedayu ternyata menempuh sebuah perjalanan yang tidak diduganya. Pada saat Sabungsari berkuda melintasi jalan persawahan, maka Agung Sedayu, Ki Waskita dan Glagah Putihpun baru meninggalkan rumah Ki Gede Menoreh. Mereka tidak dapat berangkat dipagi hari. karena Ki Gede masih menahannya. Baru setelah makan siang, maka dilepaskannya Ki Waskita bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Glagah Putih telah pernah bertemu dengan Prastawa sebelumnya. Tetapi ia tidak sempat berbicara dan berbincang cukup lama. Baru ketika ia berada di Tanah Perdikan Menoreh, ia mulai mengenal Prastawa lebih dalam. Diperjalanan menuju kerumah Ki Waskita, Glagah Putih sempat bertanya kepada Agung Sedayu, “Kakang, aku tidak begitu mengerti sikap Prastawa terhadap kunjungan kita. Apakah ia senang menerima kita, atau justru sebaliknya.” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kenapa kau bertanya begitu? Bukankah ia cukup ramah. Nampaknya kau banyak berbicara dan berbincang dengan kemanakan Ki Gede itu.” “Justru karena aku banyak berbicara dengan Prastawa aku menjadi bertanya-tanya didalam hati. Kadang-kadang ia bersikap manis. Namun kadang-kadang senyumnya menjadi kecut dan yang aku tidak mengerti, apakah ia mengucapkan kata-kata sindiran, atau sekedar bergurau.” Agung Sedayu tertawa. Ki Waskita yang mendengar pertanyaan itupun tertawa pula. “Kau salah paham Glagah Putih. Prastawa memang senang bergurau. Yang belum terbiasa, kadangkadang memang merasa seolah-olah ia menyindir, atau bahkan mengumpati. Tetapi ia tidak bermaksud demikian,“ jawab Agung Sedayu. Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu sesuai dengan pendapat Agung Sedayu. Tetapi ia tidak membantah. Diluar sadar, maka perjalanan ketiga orang itu ternyata diketahui oleh para pengikut Sabungsari. Dugaan terkuat dari mereka ternyata benar. Bahwa Agung Sedayu dan Glagah Putih tentu akan singgah

dirumah Ki Waskita, sehingga satu diantara mereka telah dengan sungguh-sungguh mengawasi jalan itu. Dengan tergesa-gesa pengikut itu mencari kawannya yang mempunyai tugas mereka masing-masing untuk mengawasi jalan dibeberapa arah. Tetapi kawan-kawannya tidak berani mengambil sikap. Ia masih menunggu kawannya yang kembali ke Jati Anom untuk menunggu perintah Sabungsari. “Tetapi arah perjalanannya sudah jelas. Kita akan mengamati padukuhan tempat tinggal Ki Waskita,“ berkata salah seorang dari mereka. “Ternyata tugas kita tidak terlalu berat,“ sahut yang lain. “Tetapi, jika Sabungsari memerintahkan kita membunuh Agung Sedayu?” “Kita harus mencari akal memisahkan Agung Sedayu dari Ki Waskita.” Mereka memang bersepakat, bahwa mereka tidak akan berbuat sesuatu, jika kedua orang itu sedang berkumpul. Sementara Glagah Pulih seolah-olah sama sekali tidak termasuk perhitungan mereka. Pengikut Sabungsari yang berpacu dari Jati Anom, menjelang sore hari telah datang ketempat yang sudah ditentukan. Dari kawan-kawannya ia mendengar bahwa Agung Sedayu telah berangkat kerumah Ki Waskita. “Tidak banyak bedanya,“ berkata kawannya yang baru datang, “kami harus menangkapnya hiduphidup dan membawanya kepada Sabungsari.” “Menangkap hidup-hidup? “ hampir berbareng kawan-kawannya bertanya. “Ya. Sabungsari ingin membunuhnya sendiri dengan sikap seorang laki-laki.” Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun tergores diwajahnya kecemasan dan ketegangan. Perintah itu memang merupakan tugas yang sangat berat. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Aku mempunyai akal.” “Apa?“ bertanya yang lain. “Kita tidak usah bertempur. Kita akan menemui Agung Sedayu dan menyampaikan tantangan Sabungsari kepadanya, ia tentu akan merasa tersinggung dan akan datang dengan sendirinya menemui Sabungsari tanpa dipaksa. Harga dirinya tentu bergejolak jika ia mendengar tantangan itu.” Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang yang baru datang itu berkata, “Mungkin kau benar. Hal itu akan dapat kita lakukan jika Agung Sedayu benar-benar seorang laki-laki jantan. Tetapi jika

Agung Sedayu merasa segan dan apalagi ketakutan untuk menerima tantangan itu, apa yang akan kita lakukan? Selebihnya kita memang tidak boleh berterus terang. Siagakah kita sebenarnya.” Kawan-kawannya merenungi pertanyaan itu. Seorang diantara mereka bergumam, “Itu adalah pertanda bahwa Agung Sedayu bukan seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Jika benar Ki Gede Telengan terbunuh dipeperangan, tentu bukan karena Agung Sedayu seorang diri. Mungkin ada orang lain yang membantunya. Sehingga karena itu, maka kita berlima tentu akan dapat mengalahkannya. Mengikatnya dan kemudian membawanya ke Jati Anom dengan diam-diam. Jika perlu, kita akan menempuh perjalanan dimalam hari.” “Kita serahkan Agung Sedayu kepada Sabungsari, sementara kita akan melihat perang tanding yang akan terjadi dengan dahsyatnya antara kedua anak muda itu,“ sahut yang lain. “Kau keliru. Agung Sedayu bukan lawan Sabungsari. Dua atau tiga Agung Sedayu, baru ia akan dapat sejajar dengan Sabungsari.” “Apakah itu berarti bahwa yang terjadi adalah sekedar sebuah pembantaian? Bukan perang tanding, karena kekuatan ilmu mereka tidak seimbang?” “Kira-kira yang akan terjadi adalah demikian.” Kelima orang itu kemudian merenungi peristiwa yang bakal terjadi. Mereka sibuk dengan angan-angan yang masih sangat meragukan, Namun yang mereka sepakat, mereka akan membiarkan Agung Sedayu sampai kerumah Ki Waskita sambil mempersiapkan rencana mereka semasak-masaknya. Jika Agung Sedayu tidak segera kembali ke Jati Anom. maka mereka harus memancingnya keluar dari pengamalan Ki Waskita. “Yang perlu kita lakukan adalan mengawasi anak itu agar kita tidak kehilangan jejak. Kemungkinan terbesar Agung Sedayu tentu tidak akan lama dan tidak akan menempuh perjalanan lebih jauh lagi, karena ia membawa Glagah Putih,“ berkata orang tertua diantara para pengikut Sabungsari. Karena itulah, maka merekapun segera mengatur jaring-jaring pengawasan yang sebaik-baiknya. Perjalanan dari Tanah Perdikan Menoreh kerumah Ki Waskita memang tidak terlalu jauh. Mereka menempuh perjalanan untuk waktu yang tidak terlalu panjang. Menjelang gelap malam, mereka sudah memasuki padukuhan tempat tinggal Ki Waskita. Kedatangan mereka telah disambut dengan gembira oleh seisi rumah. Rudita ternyata memenuhi pesan ayahnya. Ia sama sekali tidak meninggalkan ibunya untuk waktu yang lama. Memang kadang-kadang sehari atau dua hari ia pergi. Tetapi ia segera kembali.

Kedatangan Agung Sedayu itu telah membuat Rudita sangat bergembira, apalagi karena Agung Sedayu membawa saudara sepupunya, Glagah Putih. “Tinggallah disini seperti dirumah sendiri Glagah Putih,” berkata Rudita, “disinipun banyak anak-anak muda sebaya dengan kau. Apakah kau mempunyai kegemaran tertentu?” Glagah Putih justru merasa kaku. Namun ia selalu mencoba tersenyum sambil mengangguk-angguk. Katanya perlahan-lahan, “Senang sekali tinggal disini.” Dihari pertama, ternyata Rudita benar-benar nampak gembira sekali. Ia banyak berceritera tentang padukuhannya, tentang sawah dan tentang air. Tentang musim yang berubah dari kebiasaannya dan tentang anak-anak muda yang bermain-main dengan gembira di sawah yang baru saja dipetik hasilnya. Glagah Putih hanya mengangguk-angguk saja. Seolah-olah ia mengiakan. Namun sekali-sekali ia mengerutkan keningnya mendengar ceritera Rudita itu. Tetapi dimalam hari, ketika Glagah Pulih berada didalam bilik yang disediakan untuknya bersama Agung Sedayu, dengan ragu-ragu ia bertanya kepada saudara sepupunya itu, “Kakang, aku mendapat kesan yang aneh pada Rudita.” “Apa?” bertanya Agung Sedayu. “Mungkin karena aku sama sekali tidak berpengalaman menghadapi banyak orang dengan sikapnya masing-masing. Di Tanah Perdikan Menoreh aka merasa heran melihat sikap Prastawa. Disini aku juga diperankan oleh sikap Rudita.” “Apakah sikap Rudita menurut penilaianmu sama dengan sikap Prastawa?” “Tidak kakang. Sama sekali tidak. Sikap Prastawa menumbuhkan perasaan yang buram, meskipun mungkin ia seorang yang senang bergurau menuruti caranya. Sementara Rudita mempunyai sikap yang memberikan kesan tersendiri. Rudita demikian akrabnya dengan alam, dengan hijaunya dedaunan, dengan kicau burung dan bahkan dengan tangis anak-anak disaat-saat matahari sepenggalah. Rudita menyatu dengan suasana pedukuhannya. Lengking paron pandai besi dan suara lesung penumbuk padi.” “Kesan apakah yang kau dapat dari sikap Rudita?“ bertanya Agung Sedayu. “Rudila memandang alam sekitarnya sebagai sahabat nya yang sejati. Sikapnya menumbuhkan

perasaan damai dengan tenteram.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Itulah Rudita. Ia adalah seorang anak muda yang memiliki kekuatan Jiwani yang tiada taranya menurut penilaianku atas semus orang yang pernah aku kenal.” “Kakang,“ Glagah Putih hampir berbisik, “tetapi ada satu yang tidak aku mengerti. Ayah Rudita adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi Rudita sama sekali tidak pernah menyinggung tentang ilmu yang barangkali pernah diwarisi.” “Rudita juga mempunyai ilmu yang tinggi.” “Tetapi nampaknya ia asing sekali.” “Ia asing dengan ilmu kanuragan. Tetapi ia memiliki ilmu Kajiwan yang tidak kalah taranya dengan ilmu ayahnya dalam olah kanuragan.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Jika setiap kali ia melihat kebanggaan dan bahkan kesombongan seseorang karena memiliki ilmu kanuragan, maka dihadapan suasana yang berbeda sama sekali. “Tetapi jangan kau paksakan dirimu untuk dalam waktu satu dua hari mengungkapkan segala tanggapanmu atas anak muda itu Glagah Putih. Kau akan menjadi bingung.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Biasanya ia cepat mengerti dan menjawab, “Tidak ada kesulitan.“ Namun saat itu ia sama sekali tidak memberikan tanggapan apapun juga, karena ia memang melihat sesuatu yang tidak dapat segera dimengertinya. Pembicaraan itu terputus, ketika mereka mendengar langkah mendekat. “Apakah kau belum tidur? “ terdengar seseorang bertanya. Agung Sedayu bangkit dan melangkah kepintu. Ia tahu bahwa diluar pintu berdiri Ki Waskita. Perlahan-lahan Agung Sedayu menarik pintu lereg agar tidak menumbuhkan derit yang terlalu keras. Apalagi dimalam yang telah menjadi semakin sepi. Ki Waskita mengerutkan keningnya ketika ia melihat Glagah Putih berdiri termangu-mangu dibelakang Agung Sedayu. Ternyata bahwa pada sorot matanya, memancar kekecewaan karena seolah-olah Glagah Putih mengetahui, bahwa Ki Waskita hanya memerlukan kakak sepupunya saja. Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Sambil tersenyum ia berkata, “Maaf ngger. Mungkin aku sudah mengganggumu. Aku memang memerlukan angger Agung Sedayu untuk sebuah pembicaraan yang penting.” Glagah Putih memandang Agung Sedayu sejenak. Namun iapun menyadari, bahwa ia tidak akan dapat

merengek-rengek seperti anak-anak. Karena itu, maka jawabnya, “Silahkan paman. Aku akan menunggunya disini.” Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, “terima kasih. Tetapi aku mohon agar kau tidak meninggalkan bilik ini.” “Ya paman,“ Glagah Pulih mengangguk pula. Dengan demikian, maka Agung Sedayupun meninggalkan Glagah Pulih didalam biliknya. Bersama Ki Waskita iapun kemudian turun kehalaman dan berjalan keregol. “Kita berjalan-jalan keujung padukuhan ngger,“ berkata Ki Waskita. Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, “Marilah. Aku akan mengikuti saja kemana Ki Waskita akan pergi.” Ki Waskita tersenyum. Agung Sedayu pasti sudah dapat menebak, bahwa ia akan berbicara tentang sesuatu yang penting dan tidak perlu di ketahui oleh orang lain. Beberapa langkah mereka menyusuri jalan padukuhan. Kemudian mereka melalui jalan induk pergi keujung padukuhan Ketika mereka melalui sebuah gardu perondan, maka anak-anak muda yang ada digardu itupun tidak bertanya sesuatu selain mempersilahkan mereka lewat, karena anak-anak muda dipadukuhan itu mengenal, bahwa Ki Waskita adalah seorang yang agak lain dari orang-orang kebanyakan. Ketika mereka sudah dibulak, barulah Ki Waskita mulai dengan persoalannya. Dengan suara yang lirih orang tua itu berkata, “Angger, ternyata ada sesuatu yang terlupakan saat aku mengajak angger kemari.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia tidak segera menangkap maksud Ki Waskita. Ia tidak mengerti apakah yang disebutnya sesuatu yang terlupakan itu. Karena itu, maka diberanikannya dirinya untuk bertanya, “Apakah yang Ki Waskita maksudkan? Apakah ada sesuatu barang yang tertinggal di Jati Anom, atau Suatu sikap dan pesan yang terlupakan belum Ki Waskita nyatakankepada Kiai Gringsing atau paman Widura?” Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Dipandangnya wajah langit yang bersih digantungi oleh bintang gemintang yang berkerdipan. Dalam pada itu Agung Sedayu menjadi termangu-mangu.

Ia tidak berani mendesak lagi. Yang dapat dilakukannya hanyalah menunggu, apa yang akan dikatakan oleh Ki Waskita. Baru sejenak kemudian Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Angger Agung Sedayu. Sebenarnya aku mengajak kau datang kerumahku, karena aku ingin menitipkan sekedar pengetahuan kanuragan yang tidak berarti. Juga sejenis ilmu yang hanya dapat dipergunakan untuk bermain-main dengan anak-anak yang sedang merengek dengan mempertunjukkan bayangan-bayangan yang mungkin dapat memberikan sedikit kesenangan. Mungkin juga suatu cara untuk melapisi diri terhadap ilmu-ilmu sejenis sehingga kau tidak mudah dibayangi oleh penglihatan dan pengamatan dengan jenis indera yang manapun juga oleh ujud-ujud dan peristiwa-peristiwa semu. Selebihnya mungkin kau perlu juga memiliki sebuah perisai sehingga 'kau tidak mudah dipengeruhi oleh sejenis ilmu sirep, gendam dan ampak-ampak, sehingga kau menjadi lemah dan kehilangan kesadaran dalam tidur yang sangat nyenyak, atau kau tiba-tiba saja telah terpesona oleh sesuatu diluar kehendakmu atau tiba-tiba saja dunia menjadi gelap, seolah-olah kau menjadi buta.“ Ki Waskita berhenti sejenak. Tetapi Agung Sedayu tidak memotongnya. Ia masih tetap menunggu Ki Waskita melanjutkan kata-katanya, “Angger Agung Sedayu. Di Sangkal Putung angger telah berhasil melawan ilmu sirep yang tajam karena keteguhan hati dan kepercayaan angger atas kesadaran diri. Tetapi untuk itu kau harus mengerahkan banyak tenaga dan pemusatan inderamu. Hal itu tidak perlu kau lakukan jika kau memiliki perisai yang dapat membentengi perasaanmu, sehingga kau tidak akan kehilangan banyak kekuatan didalam dirimu.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia sudah menduga, bahwa maksud Ki Waskita membawanya adalah karena keinginan Ki Waskita untuk membantunya melindungi diri dari bahaya yang dalang bertubi-tubi, seolah-olah setiap orang didunia ini telah mendendamnya, salah atau tidak salah. Tetapi Agung Sedayupun menjadi berdebar-debar, bahwa Ki Waskita telah menyatakan, bahwa sebenarnya hal itu yang akan dilakukannya. “Lalu, apakah yang telah terjadi, dan apakah yang akan dilakukannya?“ bertanya Agung Sedayu kepada diri sendiri. Sementara itu Ki Waskita berkata seterusnya, “Angger Agung Sedayu. Itulah yang aku maksudkan. Tetapi seperti yang aku katakan, ada sesuatu yang telah aku lupakan.” Terasa dada Agung Sedayu bergejolak, ia tidak dapat menahan diri lagi untuk bertanya, “Apakah yang Ki Waskita lupakan?” “Rudita ngger.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Segera ia menangkap maksud Ki Waskita. Bagi Ki Waskita Rudita adalah anak yang sangat dikasihinya, sehingga sudah barang tentu ia tidak akan dapat menyakiti hati anaknya dengan menurunkan ilmu kanuragan kepada Agung Sedayu didepan matanya.

Bahkan seandainya Ki Waskita mengajaknya menyingkir ketempat yang jauh disetiap malam. Namun Rudita tentu akan mengetahui bahwa kepergian mereka adalah dalam rangka mewariskan ilmu. Sementara itu. Rudita sendiri sebagai anak laki-laki Ki Waskita telah menentukan sikapnya. Ia menjauhi segala sikap dan tindak kekarasan. Rudita menjadi sangat bersedih jika ia melihat akibat dari peristiwa kekerasan. Sehingga karena itulah, maka Rudita seakan-akan telah terlempar pada suatu jarak yang tidak dapat dipertemukan dengan ayahnya sendiri. Meskipun dalam hidup sehari-hari Rudita tetap merupakan seorang anak yang dekat dengan ayah dan ibunya, namun batas yang lebar dan dalam telah menganga diantara mereka didalam sikap jiwani. Ki Waskita membiarkan Agung Sedayu merenung. Ki Waskitapun mengetahui, bahwa agaknya Agung Sedayu telah menangkap maksudnya. Karena itu, maka Ki Waskita tidak merasa perlu untuk menjelaskan. Sejenak keduanya saling berdiam diri. Namun sementara itu dada Agung Sedayu terasa menjadi pepat. Secercah kekecewaan telah memercik dihatinya. Ia merasa bahwa ia telah kehilangan suatu kesempatan yang sangat berharga baginya. Mungkin yang akan disadap dari Ki Waskita akan lebih berarti dari yang telah diketemukannya didalam goa saat ia seakan-akan mengasingkan diri. Namun sesaat kemudian. Agung Sedayu merasa gembira. Dengan demikian ia sudah dibatasi oleh kemampuan yang sudah ada padanya. Dengan kemampuan yang ada, ia sudah banyak melakukan kesalahan. Ia sudah terlalu sering berbuat dosa. Membunuh dan melukai orang-orang yang barang kali tidak bermaksud jahat kepadanya, atau barangkali karena sekedar menjalankan perintah orang lain. Dosa itu rasa-rasanya selalu mengikutinya dalam ujud yang berbeda-beda. Kadang-kadang ia menjadi gelisah didalam tidur. Kadang-kadang ia menjadi bingung menghadapi peristiwa-peristiwa yang tibatiba saja harus diatasi. Dan kadang-kadang ia merasa selalu dibayangi oleh dendam dan kebencian. “Jika ilmuku bertambah-tambah lagi, maka dosa yang akan aku lakukan tentu akan semakin besar. Aku akan semakin banyak membunuh dan dendam pun akan semakin tinggi menyala membakar langit.” Dengan demikian, maka keragu-raguannyapun bagaikan menghentak-hentak didadanya. Ia merasa berdiri dijalan simpang yang sulit untuk menentukan, apakah ia harus mengikuti jalan kekanan atau kekiri. Namun tiba-tiba ia berdesah didalam hati, “Aku memang sangat bodoh. Ki Waskita tidak menyuruh aku untuk memilih. Tetapi yang dikatakannya itu adalah suatu kepastian sikapnya, bahwa ia tidak akan dapat mewariskan ilmunya, meskipun hanya sebagian kecil kepadaku karena alasan yang sudah dikatakan. Ia tidak ingin menyakiti hati anaknya. Sudah tentu anaknya akan lebih berharga dari aku. Jauh lebih berharga meskipun ada perbedaan sikap dan pandangan terhadap hidup dan putarannya.

Agung Sedayu masih berdiam diri ketika langkah mereka menjadi semakin jauh Namun tiba-tiba Ki Waskita berhenti dan berkata, “Marilah kita pulang ngger.” “O,” Agung Sedayu tergagap. Namun kemudian ia sempat menjawab, “Marilah Ki Waskita.” Ki Waskita menangkap kekecewaan yang tersirat pada nada kata-kata Agung Sedayu, namun iapun menangkap keragu-raguan yang membara didalam hati anak muda itu. Tetapi Ki Waskita tetap berdiam diri. Seakan-akan ia sengaja membiarkan Agung Sedayu berbantah dengan dirinya sendiri. Langkah-langkah mereka dimalam yang gelap itu, terdengar gemerisik. Angin malam bertiup menghembuskan udara yang lembab dingin. Dalam pada itu. tiba-tiba saja Ki Waskita menarik nafas dalam dalam. Diluar sadarnya ia memandang wajah Agung Sedayu. Betapapun gelapnya malam, namun karena ketajaman tatapan mata Ki Waskita, nampak olehnya ketegangan yang tersirat diwajah itu. “Kau merasakan sesuatu?“ bertanya Ki Waskita. Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, “Aku mendengar sesuatu dibalik perdu itu.” Ki Waskita memalingkan wajahnya. Dipandanginya segerumbul perdu dipinggir jalan. Bahkan ia masih melihat sesosok tubuh yang bergeser dan hilang dibalik bayang-bayang dedaunan yang rimbun. Agung Sedayu tertegun sejenak. Katanya, “Ada seseorang yang mengintai kita.” “Aku kira bukan hanya seorang,” sahut Ki Waskita. Tetapi kemudian katanya, “Biarkan saja ngger. Mereka tentu tidak berbahaya bagi kita.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. “Gerak dan sikap mereka telah menunjukkan bahwa mereka bukan orang yang memiliki ilmu yang sempurna. Meskipun demikian, hal ini merupakan peringatan bahwa kita harus berhati-hati,“ berkata Ki Waskita pula. Agung Sedayu tidak menjawab. Merekapun kemudian, melanjutkan langkah mereka kembali kepadukuhan. Ternyata orang-orang yang berada dibalik gerumbul itu tidak menyusul mereka. Agaknya orang-orang itu hanya sekedar mengawasi saja. Mereka bukan orang-orang yang seharusnya bertindak langsung terhadap Agung Sedayu atau Ki Waskita atau kedua-duanya. “Satu kesalahan telah mereka lakukan,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya, “mereka berada

terlalu dekat dengan jalan yang kami lalui.” Namun demikian, kegelisahan Agung Sedayu telah bertambah lagi. Ia sadar, bahwa kemungkinan yang paling besar, bahwa orang-orang itu telah mengikutinya sejak ia meninggalkan Jati Anom. Bagi Agung Sedayu orang-orang itu merupakan salah satu bayangan dendam yang menyala dimana-mana. ***

Buku 119 “KI WASKITA,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “ apakah dengan membiarkan mereka, persoalan ini telah dapat kita anggap selesai?” “Tentu tidak Agung Sedayu. Tetapi kita tidak perlu menghiraukannya.” “Ki Waskita, bagaimana jika kita berusaha menemui dan berbicara dengan mereka?” Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia merenung sejenak. Namun kemudian katanya, “ Kita akan menunggu ngger. Mudah-mudahan tidak ada persoalan yang menjadi gawat. Pada suatu saat mungkin kita akan mendapat kesempatan untuk berbicara dengan mereka.” Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil. Untuk sesaat keduanya telah berdiam diri. Masing-masing sedang merenungi kemungkinankemungkinan yang dapat terjadi. Namun sejenak kemudian Ki Waskitapun berkata, “ Angger Agung Sedayu, sebenarnya masih ada yang ingin aku katakan. Mungkin dapat menjadi bahan pembicaraan kita disepanjang jalan pulang.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya Dengan nada dalam ia bertanya, “ Tentang orang-orang itu?” Ki Waskira menggeleng. Katanya, “ Tentang angger Agung Sedayu. Agar kedatangan angger Agung Sedayu kerumahku tidak sia-sia, maka aku ingin mencari cara bagaimana aku dapat membantu angger menyempurnakan ilmu yang telah angger miliki, sekaligus aku ingin menitipkan ilmu dari cabang perguruanku agar tidak menjadi punah, dan dengan serta merta dilupakan orang. Seperti angger ketahui, aku tidak akan dapat mewariskannya kepada Rudita.” Sesuatu terasa bergejolak dihati Agung Sedyu. Pertentangan didalam dirinya kembali menyala. “Angger,“ berkata Ki Waskita, “ aku mengenal angger Agung Sedayu dengan baik. Karena itu akupun mengetahui bahwa angger menjadi ragu-ragu. Angger berdiri diantara dua sikap yang berbeda,“ Ki Waskita berhenti sejenak, lalu. “ tetapi sebaiknya angger dapat melihat kembali sikap angger sejak angger masih sangat muda. Apakah ilmu yang kemudian angger miliki itu dapat angger manlaalkan bagi sesama atau sebaliknya, meskipun akibatnya justru menggelisahkan angger sendiri.” Agung Sedayu tidak menjawab. Telapi sekilas seolah-olah ia melihat perjalanan hidupnya, sejak ia masih dibayangi oleh ketakutan melihat gendruwo bermata satu pada sebatang pohon randu alas dipinggir jalan antara Jati Anom dan Sangkal Putung. Bagaimana ia menjadi ketakutan, dan gemetar mendengar seseorang menyebut harimau putih di Lemah Cengkar. Namun kemudian, ketika ia memiliki ilmu kanuragan, maka ia merasa mempunyai tanggung jawab bagi

keselamatan sesama. Meskipun hanya setitik, ia pernah memberikan perlindungan bagi sesamanya. “Angger Agung Sedayu,“ berkata Ki Waskita kemudian, “ adalah suatu bentuk pengorbanan, jika angger kemudian selalu merasa dibayangi oleh dendam dan kebencian. Yang telah angger berikan tentu sangat berharga bagi mereka yang merasa dirinya bebas dari bahaya dan mungkin justru cengkaman maut.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia masih tetap dibayangi oleh keragu-raguan. Namun yang dikatakan oleh Ki Waskita itu berhasil menyusup ke dalam hati. “Bukankah angger telah bersedia datang ketempat ini? “ tiba-tiba saja Ki Waskita bertanya. Agung Sedayu termangu-mangu. Keterangan Ki Waskita tentang Ruditalah yang telah menumbuhkan kebimbangan dan keragu-raguan dihatinya. Namun tiba-tiba Ki Waskita memberikan kemungkinan lain. Sehingga dengan demikian Agung Sedayu menjadi bingung menanggapi sikap orang tua itu disamping keragu-raguannya sendiri. Ki Waskitapun mengerti, bahwa sikapnya telah membuat Agung Sedayu menjadi bingung, sehingga anak muda itu tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. “Angger Agung Sedayu,“ berkata Ki Waskita, “baiklah aku berterus terang agar tidak menumbuhkan keragu-raguan yang semakin dalam di hati angger Agung Sedayu. Sebenarnyalah aku ingin memberikan sedikit pengetahuan yang barangkali perlu bagi angger. Tetapi aku tidak dapat menurunkannya langsung, justru karena dirumah ada Rudita.” Agung Sedayu termangu-mangu. Kemudian hampir diluar sadarnya ia bertanya, “Jadi maksud Kiai, kita akan pergi ketempat lain?” Tetapi ternyata Ki Waskita menggeleng. Jawabnya, “Tidak ngger. Kita tidak akan pergi kemanapun.” “Jadi bagamana hal itu dapat terjadi?“ bertanya Agung Sedayu. “Itulah yang akan aku katakan sekarang,“ Ki Waskita berhenti sejenak, lalu katanya, “aku rasa, tidak ada orang lain disekitar kita. Aku berharap bahwa tidak ada telinga yang mendengar keterangan selain angger sendiri.” Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Diluar sadarnya ia memperhatikan keadaan disekitarnya. Ternyata iapun tidak mendengar apapun juga selain gemrisiknya angin yang lembut. “Tidak ada gerumbul dipinggir jalan ditempat ini,“ berkata Ki Waskita. “Ya,“ sahut Agung Sedayu dengan serta merta. Tiba-tiba langkah Ki Waskita terhenti, sehingga Agung Sedayupun berhenti pula. Keningnya mejadi

berkerut ketika ia melihat wajah Ki Waskita yang nampak menjadi bersungguh-sungguh. “Angger Agung Sedayu,“ Ki Waskita berkata perlahan-lahan, “aku memang tidak akan dapat menyakiti hati Rudita dengan memperlihatkan caraku menurunkan ilmu kepada angger. Aku tidak dapat dengan semata-mata mewariskan ilmu kanuragan yang tidak dapat dimengertinya, bahwa ilmu itupun dapat berguna bagi sesama apabila kita dapat mempergunakannya dengan tepat.” Agung Sedayu termangu-mangu. Tetapi ia tidak membantah, meskipun ia tahu bahwa yang dikatakan oleh Ki Waskita tentang anaknya itu tidak tepat. “Karena itu ngger, maka aku telah menentukan cara yang lain,“ Ki Waskita berkata selanjutnya, “aku mempunyai sebuah kitab rontal yang barangkali berguna bagi angger Agung Sedayu.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Barulah ia menyadari, apa yang harus dilakukannya. “Jadi, Ki Waskita ingin memberikan atau meminjamkan kitab itu kepadaku ?” Agung Sedayu menjadi heran ketika ia melihat Ki Waskita menggeleng. “Maaf ngger. Kitab itu adalah kitab yang sangat berharga bagiku. Karena itu, aku saat ini belum dapat meminjamkan, apalagi memberikan kepada orang lain. Apalagi kita mengetahui, bahwa banyak mata memandang kearah angger Agung Sedayu dan banyak telinga yang mendengarkan tentang angger Agung Sedayu.” Kembali Agung Sedayu menjadi bingung. Tetapi ia tidak bertanya. Ia menunggu penjelasan yang tentu akan diberikan oleh Ki Waskita. “Angger, jika angger membawa kitab itu, maka angger tentu akan terancam. Bahkan kemungkinan kitab itu akan jatuh ketangan orang lain yang tidak seharusnya memilikinya.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih tetap bingung. “Maksudku ngger,“ Ki Waskita ternyata benar-benar memberikan penjelasan, “aku ingin memberikan kesempatan angger Agung Sedayu membaca dan mempelajari isinya. Tentu tidak seluruhnya, karena ada beberapa bagian yang sudah kau kuasai meskipun dari sudut pendekatan yang berbeda.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Hampir diluar kehendaknya ia bergumam, “Jadi itu berarti bahwa aku harus tinggal di rumah Ki Waskita untuk waktu yang sangat lama.” “Aku tidak berkeberatan jika kau tinggal dirumahku untuk satu atau dua tahun. Tetapi tentu tidak mungkin. Kiai Gringsing tentu akan menjadi gelisah dan cemas. Karena itu, maka angger cukup tinggal dirumahku barang empat atau lima hari saja.” “Apakah artinya empat atau lima hari itu bagi mendalami ilmu yang pelik itu Ki Waskita.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tahu, angger Agung Sedayu adalah seorang yang sangat cerdik dan cerdas. Tatapan mata angger Agung Sedayu tidak ubahnya seperti tatapan mata seekor ular bandotan.” Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. “Bukan dalam arti buruk ngger. Angger sudah dapat memusatkan ilmu yang angger miliki pada kekuatan sorot mata yang mempunyai sentuhan wadag. Bahkan lebih dari itu. Pada suatu saat kekuatan sorot mata angger bukannya sekedar merupakan tekanan dan lontaran panasnya bara pemusatan indera, tetapi pada suatu saat sorot mata angger akan mempunyai daya dorong dan pegangan melampaui kekuatan tangan raksasa. Kekuatan mata angger akan dapat meremas, menggenggam dan melontarkan gunung anakan.” “Ah,“ desah Agung Sedayu, “itu sangat berlebih-lebihan.” “Mungkin memang berlebih-lebihan ngger, tetapi aku memang ingin mengatakan, betapa kekuatan itu telah mulai angger rintis dan mulai angger ketemukan. Tetapi seperti seorang yang memasuki sebuah goa yang gelap, angger hanya tahu, bahwa angger sudah ada didalam karena pintunya tebuka. Tetapi angger belum tahu, bagaimanakah seharusnya angger membuka pintunya.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Semakin dalam ia mempelajari ilmu, maka semakin banyak yang terasa belum dikenalnya. “Tetapi ngger, aku kira ada yang penting yang angger miliki. Angger adalah seseorang yang mempunyai kenangan yang sangat kuat. Mungkin angger melupakan kamus ikat pinggang yang baru saja angger letakkan, telapi aku yakin, bahwa angger tidak akan melupakan sesuatu yang angger anggap penting. Seperti seekor ular yang tidak akan pernah kehilangan bayangan dikepalanya tentang sesuatu yang pernah dilihatnya, seolah-olah bayangan penglihatannya tercetak didinding kepalanya.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia mencoba untuk mengerti isi dari kata-kata Ki Waskita. Karena itulah maka ia mencoba untuk menilai kemampuan ingatannya sendiri. Apakah benar bahwa ingatannya atas sesuatu yang pernah dilihatnya dan menarik perhatiannya memang sangat tajam. Sekilas terbayang masa masa lampaunya yang tidak seperti dikatakan oleh Ki Waskita. Ia tidak dapat mengingat semua yang pernah dialaminya. “Tidak ada bedanya dengan orang lain,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya, “setiap orang tentu dapat mengingat sebagian dari peristiwa yang pernah dialaminya. Sedangkan sebagian yang lain terlupakan. “Anak mas,“ berkata Ki Waskita kemudian, “cobalah kau menilai dirimu sendiri.” “Ki Waskita,” jawab Agung Sedayu, “Aku kira, tidak ada yang berbeda dengan orang lain. Aku tidak dapat mengingat seluruh peristiwa dalam hidupku.”

Ki Waskita tensenyum. Katanya, “Memang tidak Agung Sedayu. Kau tentu tidak akan menaruh perhatian yang sama terhadap setiap peristiwa didalam hidupmu. Tetapi pada suatu saat kau tentu pernah melihat sesuatu yang telah mencengkam segenap perhatianmu. Cobalah kau ingat apakah ada sesuatu yang membekas dalam ingatanmu, seperti saat kau mengalaminya.” Agung Sedayu merenung sejenak. Tiba-tiba saja ia mencoba mengenang kembali apa yang pernah dilakukannya disaat yang penting selama ia memperdalam ilmunya. “Goa itu,“ Agung Sedayu berkata didalam hatinya. Hampir ia terlonjak. Seolah-olah ia masih berada didalam goa itu. Seakan-akan ia melihat jelas, lukisan dan petunjuk-petunjuk yang terpahat didinding goa. Suatu uruturutan tataran yang harus dipelajari dan dikuasai untuk mencapai tingkat ilmu yang sempurna dalam cabang perguruan Ki Sadewa. “Aku melihatnya kembali didalam angan-angan,“ gumam Agung Sedayu. “Apa ?“ bertanya Ki Waskita. “Lukisan yang terpahat didinding goa itu.” Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah mengira, bahwa kau memiliki kurnia alam itu. Ketajaman ilmu bidikmu, kemampuan sentuhan tatapan matamu seperti sentuhan wadag yang sangat perkasa, dan sifat-sifatmu yang lain, menunjukkan bahwa kau memang seorang yang memiliki kekuatan alami yang tidak lain adalah kurnia dari Yang Maha Agung kepadamu. Ternyata bahwa kau memiliki daya tangkap yang sangat tajam pula, sehingga sesuatu yang menarik perhatianmu, akan-terpahat didalam ingatanmu seutuhnya seperti saat kau menyaksikannya.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dalam waktu yang singkat, ia masih meyakinkan, apakah benar kata-kata yang diucapkan oleh Ki Waskita itu. Ternyata bahwa seperti gambar yang terpancang dihadapannya yang nampak jelas berurutan, seolaholah ia sedang menghadapi pertunjukkan wayang beber yang dibawakan oleh seorang dalang yang dikenalnya baik-baik, yaitu dirinya sendiri, yang membawakan ceritera tentang seorang lakon yang dikenalnya sebaik dalangnya, dirinya sendiri pula. Agung Sedayu melihat, dari satu saat kesaat berikutnya pada bagian-bagian yang penting dari seluruh hidupnya. Yang dianggapnya tidak berbeda dengan orang lain, bahwa ada yang dapat diingat dan ada yang dilupakannya, ternyata mempunyai beberapa perbedaan. Iapun kemudian sadar, bahwa pada saat-saat peristiwa yang terjadi itu memberikan kesan yang dalam dihatinya, maka semakin jelas ingatan itu terpaleri diangan angannya. Sehingga Agung Sedayupun berkesimpulan, perhatiannya atas sesuatu yang terjadi, seperti pahatan yang dibuatnya pada sebuah batu padas. Semakin dalam ia menghunjamkan pahatnya, maka bekasnya akan menjadi semakin jelas dan tidak mudah terhapus oleh peristiwa-peristiwa berikutnya.

“Apakah kau sudah menemukan kemampuan yang ada pada dirimu sendiri ngger?“ bertanya Ki Waskita kemudian. Agung Sedayu mengangguk-angguk. “Nah, jika demikian, maka baiklah aku berterus terang tentang rencanaku. Aku ingin meminjamkan kitab itu kepadamu. Bacalah dan perhatikan dengan saksama. Goreskan setiap garis yang ada pada rontal itu didinding ingatanmu dalam-dalam, sehingga tidak akan mudah terhapus. Tentu kau tidak akan dapat memahami isinya dalam waktu singkat. Tetapi itu memang tidak perlu. Yang perlu kau lakukan adalah mengingat apa yang tertulis dan terlukis. Baru kemudian, disaat yang panjang kau dapat mempelajari dan mencari makna dari isi kitab itu. Sehingga pada suatu saat, kau akan menguasai isi dari kitab itu dengan sempurna, bukan saja sekedar ingatan tentang bunyi yang tertulis dan sikap serta gerak yang terlukis, tetapi kau benar-benar seorang yang memiliki ilmu itu dengan segenap sifat dan wataknya, menguasainya seperti kau menguasai batang tubuhmu sendiri.” Agung Sedayu tidak segera menjawab. Terasa sesuatu bagaikan mengguncang isi dadanya. Ternyata bahwa Ki Waskita telah benar-benar melimpahkan kepercayaan kepadanya, ia diperkenankan melihat isi kitab yang merupakan sumber ilmu dari perguruan yang dianut oleh Ki Waskita dalam olah kanuragan dan kajiwan. Meskipun Agung Sedayu mengerti, bahwa dalam mempelajari ilmu kanuragan dan kajiwan itu menyangkut keserasian hubungan timbal balik antara ilmu dan pribadi, namun seseorang akan mempunyai kesempatan yang luas dengan kesempatan yang diterimanya. Mungkin ia tidak akan dapat memiliki kemampuan untuk mengetahui isyarat pada penglihatan dimasa mendatang seperti yang dimiliki Ki Waskita, karena didalam dirinya tidak ada wadah yang sesuai dengan penyadapan ilmu itu. Namun ia akan dapat mengetahui bagimana hal itu dapat terjadi. Demikian pula bagian yang lain yang termuat didalam kitab itu. Ki Waskita mengerti, bahwa ada guncangan yang terjadi didalam diri anak muda itu. Kesempatan itu merupakan kesempatan yang besar sekali artinya bagi masa depannya. Tetapi kesempatan itu juga merupakan suatu hentakkan yang harus dapat tembus dari batas keraguraguannya. Sejenak keduanya saling berdiam diri. Tetapi kaki mereka masih melangkah perlahan-lahan diatas jalan persawahan. Beberapa puluh langkah lagi mereka akan memasuki padukuhan yang tidak begitu besar, tetapi juga bukan padukuhan yang kecil. Padukuhan tempat tinggal Ki Waskita yang banyak dikenal orang sebagai seorang yang mengetahui apa yang terjadi, meskipun Ki Waskita sendiri tidak merasa demikian. Ki Waskita hanya merasa menerima karunia untuk melihat isyarat-isyarat yang dapat diuraikannya. Tetapi tidak sejelas melihat peristiwa-peristiwa itu terjadi. Beberapa saat kemudian barulah Agung Sedayu berkata,“

Ki Waskita. Aku tidak dapat mengatakan, betapa besar terima kasihku atas kepercayaan yang Ki Waskita limpahkan kepadaku dengan memberikan kesempatan yang sangat luas itu.” Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Akupun berterima kasih kepadamu ngger. Dengan demikian aku telah mendapat kesempatan untuk menitipkan kelanggengan ilmu itu kepada angger Agung Sedayu. Aku tidak dapat berbuat demikian bagi anakku, karena ia telah menemukan sikap yang berbeda, yang karena keyakinannya tidak akan dapat dirubah lagi, meskipun aku mengakui bahwa sikapnya adalah sikap yang lebih luhur dari sikapku dan sikap kita semuanya yang masih mempercayakan diri dan beramal dengan sikap-sikap yang disebut kekerasan.” Agung Sedayu menundukkan kepalanya, sementara Ki Waskita melanjutkan, “Aku tidak tahu, apakah yang akan aku lakukan dengan kitab itu kelak, karena aku sadar, bahwa umurku pada suatu saat akan mencapai batasnya.” Agung Sedayu masih tetap berdiam diri. “Nah,“ berkata Ki Waskita kemudian ketika mereka sampai dimulut lorong memasuki regol padukuhan, “kita sudah selesai dengan pembicaraan kita. Aku akan memberikan kitab itu nanti menjelang pagi. Terserah kepadamu, saat-saat yang manakah yang akan angger pilih untuk melihat isinya dan memahatnya didinding hati angger Agung Sedayu. Aku yakin bahwa dengan demikian isi kitab itu akan tetap terpateri untuk selama-lamanya. Sementara dari satu saat kesaat berikutnya, kau dapat membacanya dan mempelajarinya langsung dari pahatan yang tergores dihatimu tanpa memerlukan kitab itu lagi.” “Terima kasih Kiai.“ Suara Agung Sedayu menjadi semakin dalam. “Tetapi aku mohon, bahwa yang angger lakukan itu janganlah mengusik ketenangan hati Rudita.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud Ki Waskita. Rudita jangan mengetahui apa yang dilakukannya dengan kitab itu. Betapa berat hati Agung Sedayu karena ia harus berbuat sesuatu dengan diam-diam dan seolah-olah bersembunyi dari penglihatan Rudita, namun iapun mengangguk sambil menjawab, “Aku akan berusaha Ki Waskita.” “Terima kasih ngger. Ia tidak akan mengira bahwa dalam waktu yang sangat singkat, isi kitab itu sudah kau miliki meskipun belum kau temukan maknanya.” “Aku akan selalu mengingatnya Ki Waskita.“ jawab Agung Sedayu. Ki Waskita tidak menyahut. Keduanya telah memasuki regol padukuhan. Digardu nampak beberapa orang peronda duduk dibibir gardu, sementara yang lain telah tidur mendekur. “Selamat malam Ki Waskita,“ desis salah seorang peronda itu. Ki Waskita tersenyum. Ia mendekati gardu itu sambil melihat anak-anak muda yang tidur nyenyak.

“Siapa saja?” bertanya Ki Waskita. “Anak-anak malas,“ jawab peronda yang duduk dibibir gardu. Ki Waskita tertawa. Sambil melangkah pergi ia berkata, “Tentu mereka terlalu kenyang makan disore hari.” Yang lain tertawa pula. Salah seorang berkata, “Mereka baru saja pulang sambatan dan menghabiskan semua yang disuguhkan kepada mereka.” Suara tertawa meledak. Ki Waskitapun tertawa pula sambil melangkah pergi. Tidak banyak lagi yang dibicarakan antara Ki Waskita dan Agung Sedayu. Mereka tidak mau pembicaraan mereka didengar oleh orang lain. Bahkan oleh keluarga mereka sendiri, atau oleh Glagah Putih. Sampai dirumah Ki Waskitapun mereka tidak lagi menyebut tentang kitab itu. Glagah Putih yang belum tidur, menyongsong Agung Sedayu dipintu bilik sambil bertanya, “Apa yang penting kakang?” Agung Sedayu mengibaskan kain panjangnya sambil berkata, “Kainku basah. Ketika aku mencuci kaki dipakiwan, ujung kainku tercelup di jambangan.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Agung Sedayu tidak mau menjawab pertanyaannya, sehingga iapun mengerti, bahwa yang dibicarakan dengan Ki Waskita tentu sesuatu yang bersifat rahasia. “Aku lelah Glagah Putih,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “apakah kau masih belum ingin tidur?” Glagah Putih menarik nafas panjang. Terasa ada semacam kekecewaan yang tergores dihatinya. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat berbuat sesuatu. Ia tidak dapat mengatakan, apa yang baru saja dibicarakannya dengan Ki Waskita. Karena itulah maka ia berpura-pura saja tidak mengetahui, bahwa ada sesuatu yang bergejolak dihati adik sepupunya. Glagah Putihpun kemudian berbaring dengan gelisah. Agung Sedayu yang berbaring disisinya telah memejamkan matanya. Nafasnya telah berjalan teratur. Dan sejenak kemudian, Agung Sedayu itupun telah tertidur. Betapapun gelisahnya, namun akhirnya Glagah Putihpun kemudian tertidur pula. Kegelisahannya ternyata telah dibawanya didalam mimpi, sehingga kadang-kadang ia berdesah pelahan-lahan. Agung Sedayu yang sebenarnya masih belum tidur, telah membuka matanya. Perlahan-lahan ia bangkit.

Dipandanginya wajah adiknya yang buram dengan iba hati. Tetapi ia terikat pada suatu keharusan untuk tetap berdiam diri. Seperti yang telah dijanjikan, ketika malam menjadi semakin dalam dan sepi, terdengar desir langkah halus mendekati biliknya. Dikejauhan terdengar kokok ayam yang bersahut-sahutan. Agung Sedayupun bangkit dan membuka pintu biliknya perlahan-lahan. Ia melihat Ki Waskita berdiri dengan sebuah kitab ditangannya. Sejenak Ki Waskita termangu-mangu. Seolah-olah masih ada sesuatu yang meragukannya untuk memberikan kitab rontal itu. Namun kemudian ia berkata, “Terimalah anakmas. Inilah kitab yang aku katakan. Ada beberapa bagian yang tercantum didalam kitab itu, yang tentu semuanya tidak dapat angger anggap sesuai dengan pribadi angger. Terserahlah, yang manakah yang angger anggap sesuai, tentu angger yang lebih tahu dari orang lain.” Agung Sedayu menjadi tegang. Namun kemudian ia mengangkat tangannya sambil berkata, “Terima kasih Ki Waskita. Aku akan berusaha sejauh dapat aku lakukan untuk menerima kemurahan hati Ki Waskita.” Ketika Agung Sedayu menerima kitab itu. terasa tangannya gemetar secepat getar jantungnya. Dengan menerima kitab itu, satu kewajiban yang berat dan mendebarkan harus dilakukannya. Ia harus berusaha tidak mengecewakan orang yang telah memberikan kepercayaan kepadanya itu. Ki Waskita tidak memberikan pesan lebih banyak lagi. Ketika kitab itu sudah berada ditangan Agung Sedayu, maka katanya, “Terserahlah kepadamu. Setelah kau selesai, kembalikan kitab itu kepadaku. Aku tahu, bahwa kau tentu belum mendapatkan banyak manfaat dari kitab itu kecuali mengingat isinya. Baru kemudian kau akan mendapat kesempatan untuk mendalami tanpa memerlukan kitab ini lagi.” Agung Sedayu mengangguk sambil bergumam, “Terima kasih Ki Waskita.” Ki Waskita pun kemudian meninggalkan Agung Sedayu yang termangu-mangu. Namun Agung Sedayu pun segera menyadari dirinya, bahwa ia telah memegang sesuatu yang sangat berharga. Kitab itu akan dapat mempunyai arti yang berlawanan apabila jatuh di tangan yang berbeda sikap, pendirian dan pandangan hidupnya. Isi dari kitab itu akan bermanfaat bagi kemanusiaan dan beradaban, tetapi dapat pula menjadi guncangan yang gawat bagi tata kehidupan manusia. Agung Sedayupun kemudian kembali masuk kedalam biliknya. Perlahan-lahan ia menutup dan menyelarak pintunya. Sejenak ia berdiri disisi pembaringan. Dipandanginya Glagah Putih yang masih tertidur nyenyak. Ada sesuatu yang mendorongnya untuk membuka kitab itu.

Perasaan ingin tahunya tidak dapat dikekangnya lagi. Sehingga karena itu, maka iapun kemudian duduk menghadapi bancik lampu minyak didalam bilik itu. Perlahan-lahan kitab itu dibukanya. Tangannya yang gemetar menjadi semakin gemetar. Ia sadar, bahwa ia harus mempunyai ingatan yang urut terhadap kitab itu. Karena itulah, maka ia tidak mau membuka asal saja membuka kitab rontal itu. Ia membuka sejak halaman yang pertama dan satu demi satu halaman itu ditatapnya dengan tajamnya. Kata demi kata dibacanya, dan lukisan demi lukisan dipahatkannya didinding kenangannya. Tetapi Agung Sedayu tidak perlu tergesa-gesa. Ketika Glagah Putih menggeliat, maka iapun menutup kitab yang baru dibacanya dua helai itu, yang sama sekali masih belum menyinggung isinya, karena yang dua helai itu baru merupakan pendahuluan dan sekedar mempekenalkan kepada pembacanya, siapakah yang menyusun kitab itu. Ternyata Glagah Putih tidak terbangun. Meskipun demikian. Agung Sedayu telah menyimpan kitabnya ditempat yang tidak akan dapat diketahui oleh siapapun didalam bilik itu. Sambil duduk dibibir pembaringan Agung Sedayu mencoba, apakah benar yang dikatakan oleh Ki Waskita, bahwa yang telah dilihatnya pada rontal itu seolah-olah telah terpahat didinding hatinya. Dengan pemusatan pikiran, maka Agung Sedayu ternyata telah berhasil melihat kembali helai-helai rontal itu seperti ia masih menggenggamnya. Ia melihat kalimat demi kalimat. Huruf demi huruf dan garis demi garis. Ia dapat melihat segores luka pada rontal itu. Dan iapun melihat setitik noda disudut. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar dapat menyadap dari penglihatannya seutuhnya apa yang pernah dilihatnya dengan penuh minat dan pemusatan pikiran. Lebih daripada itu, maka isi helai-helai pertama dari kitab itu telah menarik perhatiannya, yang membawa sebuah nama yang tercantum pada kata pengantar kitab itu. Bahwa saat bintang yang cahayanya seperti seribu obor yang menyala dilangit, seorang pertapa yang telah menjauhkan diri dari libatan pengaruh duniawi, dan yang telah mendekatkan diri pada sangkan paraning dumadi, yang diberi pertanda oleh Yang Maha Sakti dengan gelar Empu Pahari, telah menerima wisik didalam mimpi menjelang fajar menyingsing, bahwa tangannya akan menjadi lantaran turunnya ilmu yang akan diwarisi oleh para sakti yang mendapat anugerah sejati, untuk diamalkan sesuai dengan tetesan hati yang bening dalam kasih. Dan mereka yang mewarisi diatas alas kebenaran akan menjadi pelita yang dapat menerangi kegelapan disekitamya. Akan terdengar sorak sorai kegembiraan dihati sesama yang dilindunginya dan akan terdengar gemeretak gigi dan tangis kehancuran bagi mereka yang terkena azabnya karena langkah yang sesat. Terpujilah Yang Maha Benar. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

Dari pengantar itu ia mengetahui sebuah nama dijaman yang telah jauh lampau. Empu Pahari, yang telah menyusun kitab itu. Yang telah mencoba menuangkan ilmu kedalam sebuah kitab rontal yang turun temurun sampai kepada Ki Waskita. Ternyata Agung Sedayu telah terlarik untuk membaca seluruh isi kitab itu, dan memahatkannya didinding hatinya. Meskipun kemudian kitab itu tidak berada ditangannya lagi, namun itu sama sekali tidak akan berpengaruh lagi atasnya, karena la akan tetap dapat melihat seluruh isinya untuk diketemukan maknanya dan kemudian seperti yang diharapkan oleh penyusun kitab itu, adalah penganmalannya. Agung Sedayu telah mengangguk-angguk diluar sadarnya, seolah-olah ia baru saja menemukan sesuatu yang paling sesuai baginya disepanjang perjalanan hidupnya. Agung Sedayu sadar dari angan-angannya ketika ia melihat Glagah Putih sekali lagi menggeliat. Tetapi anak itu benar-benar telah terbangun dan membuka matanya. “Kau sudah bangun kakang?“ bertanya Glaguh Putih. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ternyata Glagah Putih telah terbangun sebelum ia sendiri sempat tidur barang sejenak. Tetapi Agung Sedayu menjawab, “Ya Glagah Putih. Aku sudah terbiasa bangun pagi-pagi sekali. Bukankah begitu?” “Apakah aku bangun terlalu siang kali ini?” “Tidak,“ cepat-cepat Agung Sedayu menggeleng, “hari masih sangat pagi. Akupun baru saja terbangun.” Glagah Putihpun kemudian duduk pula. Tetapi ia menjadi gelisah ketika ia mendengar senggot timba berderit. “Aku bangun kesiangan,“ katanya, “sudah ada orang menimba air dibelakang.” “Tetapi kita sekarang adalah tamu,“ desis Agung Sedayu. “Apa salahnya aku mengisi jambangan di pakiwan?” Agung Sedayu tersenyum. Adik sepupunya memang seorang yang rajin. Ia senang melakukan pekerjaan apapun juga yang dapat dikerjakannya. Disiang hari, Agung Sedayu sama sekali tidak berbuat sesuatu. Nampaknya ia benar-benar sedang beristirahat. Kerjanya ikut serta Rudita pergi kesawah. Duduk di gubug kecil sambil ikut makan kiriman ditengah hari.

Tetapi dimalam hari, jika Glagah Putih telah tertidur, dan seisi rumah telah nyenyak pula, maka mulailah ia mengamati isi kitab rontal yang diberikan oleh Ki Waskita kepadanya. Dengan tekun ia membaca dan memahatkan isinya dihatinya. Dengan memusatkan inderanya, maka seolah-olah ia telah memuidahkan setiap huruf yang tertulis didalam kitab itu kedalam rangkuman ingatannya untuk selama-lamanya. Kitab yang diberikan oleh Ki Waskita bukannya kitab yang tebal. Isinya tidak terlalu banyak, menurut jumlah hurufnya. Tetapi maknanya tiada terkirakan luasnya. Seluas lautan yang menampung setiap arus air dari daratan. Seperti langit yang menyimpan angin yang bergeser lembut, tetapi juga prahara yang mengguncang gunung. Dada Agung Sedayu bagaikan terhimpit oleh sepasang batu sebesar belahan bumi. Pepat dan bagaikan remuk karena hubungan kalimat-kalimat yang terdapat didalam kitab itu. Namun Agung Sedayu menghindarkan diri dari setiap sentuhan makna isi kitab itu. Seperti pesan Ki Waskita, ia hanya melihat huruf-hurufnya, menghafal bunyi kata-katanya. Ia tidak ingin dadanya pecah sebelum ia mempersiapkan diri untuk mulai mengamati makna isi kitab rontal itu. Meskipun demikian, kadang-kadang jantungnya telah tergetar bagaikan akan meledak. Untuk menyelesaikan seluruh kitab itu, Agung Sedayu tidak memerlukan waktu yang lama. Ia membaca sejak malam menjadi sepi. Dan ia baru berhenti ketika Glagah Putih mulai menggeliat bangun. Dengan demikian, maka Agung Sedayu setiap malam sama sekali tidak tidur sekejappun. Namun dengan demikian ia cepat menyelesaikan tugasnya. Pada hari yang ke empat, maka badannya mulai nampak lemah. Bukan saja karena ia sama sekali tidak tidur empat malam berturut-turut. Daya tahan tubuhnya cukup kuat meskipun ia harus berjaga-jaga sepekan atau dua pekan sekalipun. Tetapi pemusatan inderanyalah yang membuatnya nampak letih sekali. “Kau sakit kakang?“ bertanya Glagah Putih dengan cemas. Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Aku tidak apa-apa.” “Tetapi kakang nampak pucat dan lemah sekali.” “Aku tidak apa-apa Glagah Putih. Mungkin udara terasa terlalu panas sehingga rasa-rasanya aku malas untuk keluar.”

“Kau makan sedikit sekali hari ini.” Agung Sedayu tertawa sambil mengusap kepala adik sepupunya. Katanya, “Kau aneh. Aku tidak apaapa.” Glagah Putih tidak bertanya lagi meskipun ia tetap mencemaskan kesehatan kakak sepupunya. Pada hari kelima, Agung Sedayu bertambah lemah. Ia tidak pergi ke sawah bersama Rudita. Bahkan yang tidak terbiasa dilakukan oleh Agung Sedayu, menjelang tengah hari, ia berbaring dipembaringannya. Glagah Putih yang ikut bersama Rudita kesawah bertanya dengan cemas, “Rudita, apakah kau mengetahui, apakah sebabnya kakang Agung Sedayu menjadi nampak letih sekali? Matanya menjadi kemerah-merahan, sedangkan wajahnya menjadi pucat.” Rudita tersenyum. Tetapi ia menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak mengerti Glagah Putih. Mungkin kakangmu kurang enak badan. Udara di Tanah Perdikan Menoreh tentu jauh lebih panas dari lereng Gunung Merapi yang sejuk.” Glagah Putih mencoba mengingat-ingat, apakah benar Jati Anom udaranya lebih sejuk dari Tanah Perdikan Menoreh. Namun yang diketahuinya, di Tanah Perdikan Menoreh terdapat juga bukit-bukit, meskipun tidak setinggi Gunung Merapi. Sore hari terasa lebih panjang di Tanah Perdikan Menoreh, karena matahari tidak segera bersembunyi dibalik puncak Gunung. “Apa yang kau renungkan?“ bertanya Rudita. “Aku tidak merasakan, bahwa udara di Jati Anom terasa lebih sejuk dari ditempat ini,“ berkata Glagah Putih. Rudita tertawa. Katanya, “Jangan hiraukan kakakmu. Ia tidak apa-apa. Ia mungkin memang letih. Tetapi ia tidak sakit.” “Darimana kau tahu?” “Aku hanya menduga. Bukankah kakakmu seorang yang memiliki daya tahan jasmaniah yang luar biasa?” “Karena itu, seharusnya ia tidak mengalami keletihan seperti itu.” Rudita menggeleng. Katanya, “Aku tidak tahu, dan aku tidak dapat bertanya kepadanya. Tetapi aku kira ia tidak apa-apa.” Glagah Putih tidak bertanya lagi. Seperti biasa ia ikut duduk di gubug menunggui padi yang mulai mekar. Ketika seseorang mengirim makan dan minuman, iapun ikut serta menghabiskannya.

Sementara itu, selagi keduanya sibuk mengunyah makanan sambil mengamati burung yang berterbangan mengintari persawahan yang mengombak kekuning-kuningan ditiup angin, seseorang telah berjalan menyusur pematang mendekati mereka. Rudita dan Glagah Putih saling berpandangan sejenak. Dengan ragu-ragu GLagah Putih berbisik, “Siapa?” Rudita menggeleng. Tetapi ia tidak menjawab karena orang itu sudah menjadi semakin dekat. Seleret senyum membayang diwajah orang yang nampaknya sangat ramah itu. Dengan nada yang ramah pula ia bertanya, “Apakah aku boleh ikut duduk bersama kalian?” “Silahkan,“ Rudita beringsut setapak untuk memberi tempat kepada orang itu duduk digubugnya pula. “Siapakah Ki Sanak itu? “ tiba-tiba saja Glagah Putih bertanya, “apakah kau juga orang padukuhan ini?” Orang itu tersenyum. Dipandanginya Rudita sambil menyahut, “Nampaknya anak muda belum mengenal aku. Aku memang bukan orang padukuhan ini. Karena itu, maka Ruditapun belum mengenal aku pula.” “Kau mengenal namaku?“ bertanya Rudita. “Dari petani-petani yang berada disawah aku mengenal kalian berdua. Rudita dan Glagah Putih. Tetapi aku menjadi heran, dimanakah Agung Sedayu? Biasanya kalian selalu bertiga. Menunggui burung bertiga. Ke pategalan bertiga, menyusuri air di parit bertiga. Aku tahu bahwa Agung Sedayu dan Glagah Putih bukan anak padukuhan ini pula.” Rudita termangu-mangu. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Kau mengenal kami bertiga dengan baik.” “Ya. Sudah tentu, karena aku mengagumi kalian. Kalian adalah anak-anak muda yang luar biasa. Terutama Agung Sedayu. Apakah ia sudah kembali ke Jati Anom?” Pertanyaan itu mencurigakan sekali. Meskipun Glagah Putih masih sangat muda, namun ia mulai merasa bahwa ada sesuatu yang nampaknya kurang wajar pada orang yang sangat ramah itu. Namun selagi Glagah Putih masih menimbang-nimbang, Rudita telah menjawab tanpa prasangka sama sekali, “Agung Sedayu masih berada disini. Hari ini ia tidak ikut serta bersama kami. Nampaknya ia letih sekali.” Orang itu mengerutkan keningnya. Dengan sungguh-sungguh ia bertanya, “Apakah ia sedang sakit?” Rudita menggeleng. Jawabnya, “Tidak. Ia tidak sakit.”

“Apakah yang dilakukannya, sehingga ia menjadi letih sekali? Apakah ia berlatih olah kanuragan siang dan malam?” Rudita termangu-mengu sejenak. Sementara itu Glagah Putihlah yang menjawab. “Aku tidak pernah melihat ia berlatih apapun juga. Mungkin ia sedang sakit.” Orang itu mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja ia bangkit sambil berkata, “Sudahlah. Sebenarnya aku ingin bertemu barang sebentar. Tetapi ia tidak ada diantara kalian sekarang.” “Siapakah kau? “ sekali lagi Glagah Putih bertanya. Orang itu menggeleng sambil tersenyum. Katanya, “Tidak ada gunanya kau mengetahui siapa aku. Sampaikan salamku kepada Agung Sedayu. Aku adalah sahabatnya yang sudah lama tidak bertemu.” Tanpa menunggu lagi, orang itupun segera meninggalkan kedua anak muda itu didalam gubugnya sambil termangu-mangu. Dengan cepat ia meloncat-loncat dipematang. Semakin lama semakin jauh. Namun ketika ia meloncati parit sampai kejalan bulak, ternyata seseorang yang lain telah menunggunya. Keduanya berjalan dengan tergesa-gesa menjauh menyusuri bulak yang panjang. Sepeninggal keduanya, maka Glagah Putih benar-benar telah dibayangi kecemasan. Dengan nada yang dalam ia berkata, “Mereka nampaknya mempunyai maksud tertentu terhadap kakang Agung Sedayu.” Rudita tersenyum sambil menjawab, “Kenapa kau berprasangka? Keduanya adalah sahabat Agung Sedayu.” “Aku tidak yakin. Orang itu tentu berbohong. Banyak orang yang mendendam kakang Agung Sedayu. Termasuk orang itu.” Rudita bahkan tertawa. Katanya, “Glagah Putih. Kau masih sangat muda. Jangan mudah berprasangka.” “Aku hanya berhati-hati. Mungkin keduanya bermaksud baik. Tetapi ada firasat yang mengatakan, bahwa keduanya bukan sahabat kakang Agung Sedayu.” Rudita menggeleng. Katanya, “Jangan mudah berprasangka. Sebaiknya kita mempercayainya. Kau nampaknya dibayangi oleh kecemasan dan kegelisahan.” Glagah Pulih menjadi heran. Namun ia mencoba menjelaskan, “Rudita. Banyak orang yang tiba-tiba saja menyerang kakang Agung Sedayu. Mungkin karena kakang Agung Sedayu terlibat dalam pertempuran dibanyak tempat dan setiap kali ia telah membunuh lawannya, dikehendaki atau tidak. Sanak keluarga dan saudara saudara seperguruan orang-orang itu ingin membalas kematian mereka yang terbunuh oleh kakang Agung Sedayu dengan membunuh pula.” Rudita mengerutkan keningnya. Ia melihat kejujuran dimata Glagah Putih. Yang dikatakannya itu tentu

bukan sekedar prasangka. “Kekerasan memang bukan jalan yang paling baik untuk menyelesaikan persoalan,“ berkata Rudita kemudian. Namun iapun mengerti bahwa ia tidak akan dapat banyak berbicara dengan anak yang mesih terlalu muda itu, karena didalam dadanya telah mulai tersimpan pengetahuan dan ilmu dasar tentang olah kanuragan. “Jika Glagah Putih masih belum mulai,“ berkata Rudita didalam hatinya, “dalam keadaan seperti keadaannya sekarang, maka harus banyak penjelasan yang diberikan kepadanya kenapa bukan kekerasan yang paling baik dilakukan dalam hubungan antara sesama.” Glagah Putih termangu-mangu. Memang banyak hal yang tidak dimengertinya. Rudita bagi Glagah Putih adalah seorang yang aneh, seaneh Prastawa. Namun dalam keadaan yang jauh berbeda, bahkan berlawanan. Meskipun banyak yang tidak dimengertinya, namun sikap Rudita terasa sejuk dan semanak tanpa dibuat-buat. Baginya Prastawa adalah secercah padang yang tandus dan gersang, sedang Rudita adalah bayangan sejuknya dedaunan yang hijau rimbun. Tetapi Glagah Putih tidak bertanya lebih lanjut. Sekali-sekali memandang kekejauhan, kearah kedua orang yang mengaku sahabat Agung Sedayu itu menghilang. “Sudahlah,” berkata Rudita, “jangan hiraukan lagi. Kita masih mempunyai pekerjaan. Burung-burung itu masih saja berputaran. Jika kila lengah, maka mereka akan menukik dan mengambil padi kita yang sudah mulai menguning.” Glagah Putihpun kemudian kembali memperhatikan burung gelatik diudara. Sekali-sekali ia menarik tali-tali yang menggerakkan orang-orangan di tengah-tengah tanaman padi yang menguning. Dalam pada itu, dua orang yang mengaku sahabat Agung Sedayu itupun berjalan semakin jauh dari gubug ditengah sawah itu. Dengan nada datar salah seorang dari keduanya berkata, “Kita belum kehilangan Agung Sedayu.” “Tetapi terlalu lama,“ sahut yang lain, “apakah Sabungsari telaten menunggu lebih dari sepekan?” “Ia tahu siapa Agung Sedayu. Kita tidak dapat tergesa-gesa. Kita akan menunggu sepekan lagi. Jika ia masih belum menuju ke Jati Anom kembali, atau meneruskan perjalanan ketempat lain, kita akan mengambil sikap.” “Apakah kita akan membiarkannya pergi ketempat lain?” “Tentu tidak. Kita akan menggiringnya kembali ke Jati Anom. Jika perlu dengan kekerasan.” Keduanya terdiam. Tetapi keduanya sadar, bahwa jika mereka harus mempergunakan kekerasan, maka mereka harus benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan, karena mereka sudah dapat mengukur, betapa tinggi ilmu Agung Sedayu. “Kita tidak akan dapat melakukannya jika ia berada bersama Ki Waskita,“ berkata salah seorang dari mereka.

“Ya,“ sahut yang lain,“ Ki Waskita dan Agung Sedayu mempunyai kemampuan yang luar biasa. Jika mereka berdua, maka kita tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jika kita memaksakan diri, maka itu berarti bahwa kila telah membunuh diri.” Yang lain tidak menyahut lagi. Tetapi keduanya menyadari, betapa berbahayanya Agung Sedayu disamping Ki Waskita bagi mereka sekelompok kecil pengikut Sabungsari. Adalah diluar dugaan mereka, bahwa sebenarnya Sabungsari selalu mengawasi mereka dan Agung Sedayu. Sabungsari menunggu, benturan yang akan terjadi antara orang-orangnya dengan Agung Sedayu. Dengan demikian ia akan dapat menjajagi, betapa jauhnya Agung Sedayu menguasai ilmu yang jarang ada bandingnya. Sabungsaripun pernah mendengar, bahwa tatapan mata Agung Sedayu memiliki kemampuan sentuhan wadag pula. Namun Sabungsari belum dapat mengukur, tingkat sentuhan wadag yang terpancar dari mata anak muda itu. Sedangkan jenisnyapun masih belum diketahuinya dengan pasti pula. Apakah tatapan mata Agung Sedayu itu mampu merontokkan isi dada dengan hentakkan dan goncangan yang tidak terlawan, atau sorot mata Agung Sedayu itu mempunyai kekuatan remas dan himpitan seperti tangan raksasa, atau sorot mata itu memancarkan panasnya bara seperti lontaran lahar dari mulut gunung berapi. Sementara itu Agung Sedayu sendiri masih berbaring dipembaringannya. Sekali-kali ia pergi berjalan-jalan keluar. Namun rasa-rasanya tubuhnya memang menjadi sangat lemah. Pemusatan inderanya bagaikan menghisap seluruh tenaganya. “Tetapi aku harus menyelesaikannya,“ berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri. Batapapun lungkrah badannya dan letih jiwanya, namun ia tidak akan berhenti sebelum ia sampai pada huruf yang terakhir. “Satu malam lagi aku akan selesai,“ gumannya. Agung Sedayu yang letih itupun kemudian berjalan keluar biliknya dengan langkah yang lemah. Sendiri ia duduk diserambi merenungi dirinya sendiri. Ia masih saja menghindarkan diri dari penelaahan makna dari ilmu yang telah dibacanya. “Aku tidak mau hancur sama sekali dengan memaksa diri mengungkap makna dari kalimat-kalimat didalam kitab itu,“ berkata Agung Sedayu. Agung Sedayu berpaling ketika mendengar desir langkah mendekat. “Ki Waskita,“ desis Agung Sedayu. “Duduk sajalah ngger,“ berkata Ki Waskita. Ki Waskitapun kemudian duduk disebelahnya. Sambil menepuk bahu Agung Sedayu ia berkata, “Kau

nampak letih sekali. Aku mengerti, bahwa kau benar-benar telah memeras tenaga dan pemusatan indera untuk menangkap kalimat-kalimat yang tertera didalam kitab itu.” Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, “Ya paman. Aku telah menyadap isinya dan memahatkannya didinding ingatanku. Aku berhasil mengingat huruf demi huruf dari kalimat-kalimat yang sudah aku baca.” “Apakah masih banyak yang belum terbaca?“ bertanya Ki Waskita. “Tidak paman. Dugaan paman hampir tepat. Aku memerlukan waktu semalam lebih panjang dari yang paman perhitungkan.” “Enam malam?” “Ya. Malam nanti aku akan menyelesaikannya.” Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi jangan memaksa diri ngger. Kau dapat beristirahat barang satu dua hari. Kemudian kau mulai lagi dengan bagian terakhir itu.” “Aku akan menyelesaikannya sama sekali paman.” Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, “Kau tentu menyadari tingkat kemampuan dan daya tahan angger sendiri. Tetapi aku tidak berkeberatan seandainya angger menundanya barang dua tiga hari, bahkan sepekan sekalipun. Aku dan keluargaku senang sekali jika angger masih bersedia tinggal lebih lama disini. Dengan demikian, keadaan anggerpun tentu tidak akan menjadi terlalu letih.” “Aku akan menyelesaikannya dengan segera Ki Waskita.” Ki Waskita tidak dapat melarangnya. Di pengasingan. Agung Sedayupun telah mengerahkan segenap daya tahan jasmaniahnya untuk menyelesaikan tataran ilmu yang sedang dipelajarinya, sehingga ia hampir melupakan keadaan wadagnya. Namun meskipun nampaknya yang dilakukan dirumahnya itu lebih ringan, tetapi ternyata bahwa akibatnya tidak kalah berat bagi wadag dan jiwanya. Ketika Ki Waskita kemudian meninggalkan Agung Sedayu duduk seorang diri, maka anak muda itupun kemudian bangkit pula dan melangkah perlahan-lahan kebiliknya, langsung membaringkan dirinya dipembaringan. Rasa-rasanya tubuhnya bagaikan tidak berbobot lagi dan terombang-ambing oleh sentuhan angin yang betapapun lembutnya.

Ketika Glagah Putih kembali dari sawah, dan memasuki bilik itu pula setelah ia mencuci kakinya, ia menjadi semakin cemas. Nampaknya Agung Sedayu benar-benar seperti orang yang sedang sakit. “Kau nampaknya benar-benar sakit kakang ?” bertanya Glagah Putih. Agung Sedayu mencoba tersenyum. Tetapi ia lebih baik mengiakannya dari pada Glagah Putih selalu mengejarnya dengan bermacam-macam pertanyaan. “Badanku memang terasa tidak enak Glagah Pulih. Tetapi tidak apa-apa. Agaknya kadang-kadang aku memang diganggu oleh perasaan pening untuk satu atau dua hari. Setelah itu, maka aku akan segera sembuh dan sehat kembali.” Glagah Putih termangu-mangu. Sementara itu Agung Sedayu melanjutkan, “Aku sudah mengatakan keadaanku kepada Ki Waskita. Aku sudah mendapat obat yang akan segera memulihkan kesehatanku.” Seperti yang diharapkan oleh Agung Sedayu, maka Glagah Putihpun mengangguk-angguk. Ia tidak bertanya lebih banyak lagi. Jika memang Agung Sedayu sakit, maka ia harus beristirahat dan berobat. Namun Glagah Putih sama sekali tidak menyadari, apa yang sebenarnya terjadi dengan Agung Sedayu. Ketika malam tiba, dan Glagah Putih mulai mengantuk, Agung Sedayu mulai mempersiapkan diri. Demikian Glagah Putih tertidur, dengan tubuh yang lemah Agung Sedayu bangkit dan mengambil kitab rontal dari tempatnya. Agung Sedayu masih memaksa diri untuk menyelenggarakan kalimat-kalimat yang sudah tidak begitu banyak lagi. Dikerahkannya sisa tenaga yang ada padanya. Kemampuannya, daya pikir dan daya tangkapnya, daya ingat dan segala kegiatan jiwani serta jasmani. Kata demi kata dipahatkannya didinding hatinya. Kalimat demi kalimat serta rangkaian-rangkaian pengertian meskipun tanpa ditelaah maknanya. Karena Agung Sedayu sadar, bahwa ia tidak akan mampu memahami maknanya sekaligus disaat-saat tubuhnya sudah menjadi sangat lemah. Dibagian terakhir dari kitab itu, nafasnya bagaikan mengalir semakin lamban. Matanya menjadi kabur dan daya tangkapnyapun menyusut. Namun ia masih sempat melihat kalimat terakhir sampai pada huruf yang terakhir pula. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi, ternyata bahwa tubuhnya menjadi sangat lemah. Namun ia masih ingat dan menyadari, bahwa kitab itu tidak boleh terletak disembarang tempat. Tertatih-tatih Agung Sedayu berdiri. Disembunyikannya kitab rontal itu ditempatnya dengan susah payah. Ketika ia kembali duduk disisi pembaringan, maka ia harus bertumpu pada tangannya yang berpegangan ander planggrangan didalam bilik itu.

Dalam keadaan yang sangat lemah dan tubuh gemetar Agung Serayu masih memaksa diri untuk duduk tepekur, menghubungkan diri dengan Panciptanya. Betapa besar rasa terima kasihnya, bahwa ia sudah diperkenankan menyelesaikan pekerjaan yang berat, dan mendapat kurnia untuk dapat memahatkannya didalam hatinya. Namun pada kalimat-kalimat terakhir yang diucapkannya didalam hati, tubuh Agung Sedayu benarbenar telah menjadi lemah. Ia tidak dapat bertahan duduk lebih lama lagi. Diluar sadarnya, maka perlahan-lahan ia terhuyung-huyung dan jatuh dikaki pembaringannya. Tetapi Agung Sedayu tidak mengerti apa yang telah terjadi, karena ia telah menjadi pingsan. Ia tidak tahu, berapa lamanya ia pingsan dibawah bibir pembaringannya, ia sadar ketika terasa tubuhnya bagaikan terbang. Per-lahan-lahan tubuhnya turun dan kemudian terbaring dipembaringan. Matanya yang gelap perlahan-lahan menjadi semakin terang. Meskipun masih kabur, ia melihat beberapa orang mengerumuninya. “Kakang, kakang,“ ia mendengar suara Glagah Putih. Karena itu, seolah-olah kekuatannya telah merayapi tubuhnya kembali. Meskipun masih sangat lemah, ia sempat membuka mulutnya dan menggerakkan bibirnya. “Glagah Putih,“ desisnya. Glagah Putihpun kemudian menempelkan telinganya dimulut Agung Sedayu untuk mendengarkan katakatanya yang lirih, “Aku tidak apa-apa.” Tetapi wajah Glagah Putih masih tegang. Bagaimana ia dapat percaya bahwa kakak sepupunya itu tidak apa-apa. Beberapa orang menjadi sibuk. Digosoknya tubuh Agung Sedayu yang dingin dengan minyak adas. Yang lain memijit-mijit kakinya. Yang lain lagi menyediakan air panas baginya. Berbeda dengan orang-orang yang gelisah itu. Ki Waskita berdiri dengan tangan bersilang didada. Ia tidak cemas seperti orang-orang itu meskipun ia menjadi berdebar-debar pula. Ia tahu sepenuhnya bahwa yang terjadi itu adalah akibat Agung Sedayu yang telah memaksakan diri untuk menyelesaikan pekerjaannya, membaca kitab yang diberikannya sampai kata yang terakhir. Yang dicemaskan oleh Ki Waskita adalah justru kitabnya. Ia tidak melihat kitab itu ditangan atau didekat Agung Sedayu terbaring di kaki pembaringannya. Karena itu, ketika ada kesempatan sekejap. Ki Waskita berbisik, “Dimanakah kitab itu ngger?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian bibirnya nampak tersenyum. Jawabnya lirih, “Sudah aku simpan baik-baik Ki Waskita.” Ki Waskita mengangguk-angguk. Desisnya, “Sukurlah, terima kasih. Aku tahu, bahwa keadaan angger

tidak berbahaya. Meskipun demikian kau harus beristirahat sebaik-baiknya dan berusaha memulihkan keadaan jasmaniah dan rohaniah angger yang kelelahan.” Agung Sedayu menarik nafas panjang. Ketika seseorang meletakan mangkuk berisi air jahe dibibirnya maka iapun telah meminumnya seteguk. Tubuhnyapun terasa menjadi semakin segar. “Minumlah,” berkata Ki Waskita. Agung Sedayu mengangguk. Sambil tersenyum ia berkata, “Sudah hampir separo kuhisap. Air jahe itu segar sekali.” Ki Waskita tersenyum pula. Katanya kemudian, “berbaringlah sebaik-baiknya. Kau harus tidur dan beristirahat.” Agung Sedayu mengangguk. Ketika ia melihat sekeliling ruangan, ia melihat Rudita memandangnya dengan tatapan mata yang redup. Tetapi Agung Sedayu tidak mengetahui apa yang tersirat dihatinya. Karena keadaan Agung Sedayu sudah berangsur baik, maka ruangan itu pun menjadi semakin lengang. Satu-satu orang-orang yang berkerumun telah meninggalkan bilik itu meskipun mereka masih selalu dibebani oleh pertanyaan, kenapa Agung Sedayu tiba-tiba telah pingsan. Yang kemudian tinggal diruangan itu adalah Ki Waskita, Glagah Putih dan Rudita. Sejenak Rudita termangu-mangu. Namun kemudian ia mendekati Agung Sedayu sambil berkata, “beristirahat sebaik-baiknya adalah obat yang paling baik bagimu Agung Sedayu.” “Terima kasih Rudita. Aku akan tidur.“ Ruditapun kemudian minta diri dan meninggalkan ruangan itu pula. Sementara Ki Waskita masih menungguinya sambil duduk dibibir pembaringan. “Jika kau mengantuk, tidurlah,“ berkata Ki Waskita kepada Glagah Putih. Galgah Putih tersenyum sambil menggeleng. Jawabnya, “Tidak Ki Waskita. Aku tidak merasa kantuk lagi.” Ki Waskita mengangguk-angguk Sementara Agung Sedayupun kemudian bertanya, “Ki Waskita. Apakah yang sudah terjadi atasku.” Ki Waskita memandang Glagah Putih sejenak katanya, “bertanyalah kepada adikmu.” Agung Sedayu mengerutkan keningya. Kemudian iapun bertanya, “Apa yang kau ketahui tentang

peristiwa ini Glagah Putih.” “Tidak seluruhnya. Ketika aku terbangun oleh goncangan pada pembaringan ini, aku melihat kakang sudah terbaring dilantai. Karena aku menjadi bingung, maka akupun memanggil Ki Waskita. Dengan demikian maka seisi rumah ini menjadi bingung.” Agung Sedayu mencoba mengingat apa yang terjadi. Ia masih ingat betapa ia kehilangan keseimbangan. Matanya menjadi gelap, dan ia bagaikan tidak mempunyai tenaga lagi untuk mempertahankan keseimbangan, sehingga iapun terjatuh. “Aku menjadi pingsan,“ katanya didalam hati. Dalam pada itu, Ki Waskitapun berkata, “Sudahlah Agung Sedayu. Tidurlah. Masih ada sisa waktu malam ini, meskipun tinggal sepotong. Sebentar lagi fajar akan menyingsing, dan kita semuanya akan memasuki hari baru.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk ia berkata, “Terima kasih Ki Waskita. Aku akan mencoba untuk tidur. Mungkin aku tidak akan bangun pagi-pagi. Mungkin aku akan bangun ketika matahari sudah tinggi.” “Tidak ada salahnya,“ jawab Ki Waskita, “mungkin itu lebih baik bagimu.” Agung Sedayu mengangguk kecil. Iapun menyadari keadaan dirinya yang sangat lemah dan memerlukan banyak istirahat. Ki Waskitapun kemudian meninggalkan ruangan itu. Ia tidak lagi digelisahkan oleh kitabnya. Tetapi ia masih belum merasa perlu untuk dengan tergesa-gesa minta kitab yang telah disimpan oleh Agung Sedayu itu. Sejenak Agung Sedayu masih menelusuri peristiwa yang baru saja terjadi, sementara Glagah Putih duduk terpekur disisinya. “Tidurlah. Masih ada waktu,“ berkata Agung Sedayu. “Sebentar lagi fajar akan menyinsing. Sebaiknya kau sajalah yang tidur kakang.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya. Oleh keletihan yang sangat, maka akhirnya Agung Sedayupun tertidur pula. Seperti saat ia pingsan maka iapun tidak mengetahui, berapa lamanya ia tertidur. Tetapi ketika ia membuka matanya, Glagah Putih sudah tidak berada desisinya. Agaknya ia sudah pergi kebelakang. Seperti biasanya anak itu rajin menimba air, mengisi jambangan dipakiwan. Hari itu ternyata Rudita dan Glagah Putih tidak pergi kesawah. Diserahkannya pekerjaan mereka

kepada pembantunya, menunggui burung disawah. Karena badan Agung Sedayu sangat lemah, maka ia lebih banyak berada dipembaringannya. Sekalikali Glagah Putih menungguinya. Namun kadang-kadang ia berada diserambi bersama Rudita. Meskipun demikian, ada kalanya Rudita sendirilah yang menunggui Agung Sedayu. Ketika Glagah Putih sedang pergi kesungai, maka Rudita memerlukan menunggui Agung Sedayu sambil berbicara tentang bermacam-macam persoalan. Dari air parit yang bening, sampai ke burung gelatik yang berterbangan dilangit. Namun akhirnya Rudita bertanya, “Apakah sebenarnya sakitmu payah Agung Sedayu?” Pertanyaan itu terdengar aneh ditelinga Agung Sedayu. Namun demikian ia menjawab, “Tidak Rudita. Sakitku bukan apa-apa. Mungkin hanya karena kelelahan atau kelainan yang kurang aku pahami.” Rudita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak menyalahkan kau Agung Sedayu. Karena kau sudah memilih sikap dalam perjalanan hidupmu. Aku mengerti, apakah yang menyebabkan kau mejadi letih dan bahkan seperti benar-benar sakit.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Wajahnya nampak menegang sejenak. Namun Rudita tersenyum sambil berkata, “Aku tidak pernah menganggap kau bersalah. Atau ayah bersalah. Atau orang-orang yang lebih senang menekuni kekerasan. Itu sudah aku yakini dan kau pilih menjadi sikap hidupmu.” “Apa maksudmu Rudita?“ bertanya Agung Sedayu. “Kau memaksa dirimu untuk membaca dan menyelesaikan kitab yang dipinjamkan oleh ayah kepadamu.” Terasa wajah Agung Sedayu menjadi panas. Namun ia melihat Rudita tersenyum sambil berkata, “Itu bukan suatu kesalahan.” Sejenak Agung Sedayu justru diam mematung. Dipandanginya wajah Rudita yang seperti air telaga yang jernih sehingga nampak batu-batu kerikil yang tergolek didasarnya. “Rudita,“ bertanya Agung Sedayu, “apakah kau bermaksud mengatakan bahwa aku telah membaca kitab Ki Waskita sehingga aku menjadi sangat letih?” Rudita tersenyum. Jawabnya, “Benar Agung Sedayu. Kau telah membaca kitab ayah. Kau ingin menyelesaikannya secepatnya, sehingga kau memaksa diri untuk membacanya hingga semalam suntuk. Jika kau membaca kidung tentang hilangnya Arjuna yang ternyata sedang bertapa menjadi seorang Wiku yang sakti, mungkin kau akan dapat menemukan kesegaran rohani dan mendapatkan beberapa

pesan dari isi kidung itu yang dapat dipetik bagi kehidupan sehari-hari. Tetapi kitab ayah adalah sangal berlainan isi dan manfaatnya. Yang pertama-tama nampak akibatnya adalah keletihan jasmani dan rohani. Apalagi dengan cara yang kau tempuh sekarang ini. Kau selesaikan seluruh isi kitab itu dalam waktu yang sangat singkat.” “Rudita,” suara Agung Sedayu bergetar, “darimana kau tahu, bahwa aku telah membaca kitab Ki Waskita? Apakah Ki Waskita mengatakannya kepadamu?” “Tentu tidak Agung Sedayu. Ayah tidak akan mengatakan kepadaku, karena ayah tahu, bahwa aku lebih senang melihat kitab itu tidak pernah disentuh oleh siapapun. Bahkan seandainya kitab itu dimusnakan, maka itu berarti salah satu usaha penjernihan dari lingkungan hidup manusia yang semakin lama menjadi semakin keruh ini.” “Jadi dari siapa kau mengetahuinya?” “Aku hanya mencoba meraba dengan naluriku.“ Rudita termangu-mangu sejenak. Lalu, “Ketahuilah Agung Sedayu. Akupun pernah mengalami keadaan yang hampir serupa dengan yang kau alami. Tetapi agaknya kau mempunyai banyak kelebihan dari aku didalam penyadapan ilmu dari kitab ayah. Kau dapat mempergunakan ketajaman ingatanmu yang jarang dimiliki deh seseorang. Dengan memandang sesuatu dan melukiskan didinding ingatan, maka yang pernah kau lihat, tidak akan pernah kau lupakan, meskipun peristiwa-peristiwa sehari-hari yang tidak penting dan tidak sengaja kau catat pada lembaran-lembaran ingatanmu akan terlupakan seperti yang terjadi pada banyak orang.” Wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Hampir tidak percaya ia mendengar kata-kata Rudita. Hampir diluar sadarnya ia bertanya, “Rudita, apakah benar pendengaranku, bahwa kau pernah juga mempelajari isi kitab Itu?” Rudita tersenyum sambil mengangguk. Katanya, “Itulah wajahku yang sebenarnya Agung Sedayu. Aku tidak jujur terhadap diriku sendiri. Aku ingin melihat kitab itu tidak disentuh tangan siapapun. tapi aku sendiri pernah membacanya. Aku membaca dari huruf pertama sampai huruf terakhir. Tetapi karena aku hanya sekedar membaca tanpa mencoba mengingat isinya maka aku tak dipengaruhi apapun juga oleh bacaan itu. Tetapi ketika aku memetik satu bab kecil dari isi kitab itu, dan mengutipnya diatas rontal yang lain, maka aku mengalami keadaan yang serupa dengan keadaanmu. Bedanya Agung sedayu, kau mengutip dengan tatapan matamu dan pahatan didinding ingatanmu, sedang aku mengutip dengan arti yang sebenarnya. Menulis dan melukis diatas rontal huruf demi huruf dan garis demi garis. Aku hampir mati juga ketika aku menggoreskan huruf terakhir. Hanya dari satu bab kecil.” Agung Sedayu masih kebingungan mendengar keterangan Rudita, seolah-olah ia tidak percaya tentang isi keterangan itu. “Agung Sedayu,“ berkata Rudita, “isi bab kecil yang aku kutip itu kemudian aku bawa menyingkir dan

mencoba memahami isinya. Mempelajari dengan sikap dan laku seperti yang disebut didalam kitab itu sehingga akhirnya aku menemukan maknanya. Aku membebaskan diri dari akibat sentuhan wadag pada wadagku. Kau heran?“ Rudita berdiri sambil berjalan mondar-mandir, “itulah kepalsuanku dihadapan keyakinanku sendiri. Tetapi benar benar hanyaitu Agung Sedayu. Aku memetik satu bab yang paling lemah dari seluruh isi kitab itu. Aku memberikan perlindungan pada diriku sendiri sehingga dengan demikian maka sebenarnya akulah manusia yang paling berprasangka kepada sesama.” Agung Sedayu mendengarkan keterangan Rudita itu dengan saksama. Sementara itu Rudita meneruskan. “Tetapi aku mencoba berlindung dari satu anggapan, bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Yang sempurna hanyalah yang sempurna adanya. Yang memberikan segalanya tanpa prasangka seutuhnya dalam cinta kasih sampai pada balas maut.“ Rudita menundukkan kepalanya, “telapi aku adalah seorang pengecut yang ketakutan melihat bayangan maut itu, meskipun maut dalam batas arti kewadagan.” “Kau telah menyadap bab yang memberikan kekebalan?” “Kau kini melihat Agung Sedayu, bahwa akupun berprasangka justru pada permulaannya. Tetapi untuk seterusnya, aku berusaha untuk melihat dengan pandangan yang jernih bagi sesama.“ Ia berhenti sejenak. Dipandanginya wajah Agung Sedayu yang pucat. Katanya kemudian, “Aku tahu apa yang kau lakukan, karena aku pernah mengalami meskipun dalam arti dan batas yang agak berbeda. Kau telah memahatkan semuanya didinding hatimu. Sehingga pada suatu saat, kau akan mengalami masa-masa penghayatan dan penemuan maknanya. Kau akan mengalami keadaan yang lebih berat dari yang kau alami sekarang ini. Tetapi karena kau akan mempunyai waktu yang jauh lebih panjang, maka aku kira kau dapat mengukur kemampuanmu untuk menangkap dan memahami maknanya sesuai dengan keadaanmu, jasmaniah dan rohaniah.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam Tetapi ia masih bertanya, “Darimana pula kau mengetahui bahwa aku akan dapat selalu mengingat isi kitab itu seutuhnya?” “Kau tidak akan melakukan suatu kebodohan yang paling dungu dalam hidupmu. Jika kau tidak dapat melakukannya, maka kau tidak akan memaksa diri untuk menyelesaikan isi kitab itu dalam waktu hanya enam hari. Kau tentu akan mempelajarinya sekaligus mencari maknanya serta kemampuan ungkapannya untuk waktu-waktu yang lama. Satu dua tahun atau lebih. Itupun baru dasarnya.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Rudita adalah seorang anak muda yang luar biasa. Ia mempunyai ketajaman pandangan berdasarkan firasat dan nalurinya, dengan mengurainya dan memperhitungkan hubungan timbal balik, maka ia dapat menerka dengan tepat apa yang telah dilakukan oleh Agung Sedayu. Karena itu, maka Agung Sedayu kemudian tidak dapat ingkar lagi. Dengan nada yang dalam ia berkata,

“Sebenarnyalah aku memang telah membaca isi kitab Ki Waskita dan memahatkannya didinding ingatanku. Aku ingat setiap huruf yang terdapat pada kitab itu, dan aku akan dapat membacanya kembali. Seperti yang kau katakan, baru kemudian aku akan memahaminya sebagai satu ilmu yang memiliki banyak segi yang nampaknya berdiri sendiri. Dan kau telah memetik salah satu bab dari padanya.” Rudita mengangguk-angguk. Katanya, “Satu bab yang paling lemah. Dan satu bab itu telah membuktikan warna hatiku yang sebenarnya. Prasangka, cemas, dan kemunafikan.” “Tetapi sangat terbatas. Kau telah memberikan warna yang lebih tajam dari warna yang buram itu sepanjang hidupmu. Kau telah memilih sikap yang mapan, yang bagiku merupakan tantangan yang tidak terkalahkan, karena aku tidak mempunyai keberanian cukup untuk melakukannya.” “Kau sudah memilih jalan sendiri.” “Ya, aku sudah memilih jalan sendiri. Mudah-mudahan aku tetap pada jalan yang paling baik yang dapat aku lalui. Paling baik dari pilihan yang sangat buruk.” Rudita menarik nafas dalam-dalam, namun kemudian ia berdiri sambil berkata. Kesadaranmu telah menolongmu. Tetapi adalah pasti bahwa kau akan tetap berada di jalanmu, karena kausadar telah' memilih yang paling baik dari yang buruk sekali, tetapi sekali lagi aku katakan, aku tidak dapat menyalahkanmu, tidak dapat menyalahkan ayah dan Kiai Gringsing, tidak dapat menyalahkan orang-orang yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Majapahit, tidak dapat menyalahkan orang-orang yang harus menebus pilihannya dengan kematian.” “Aku berdiri ditempat yang berbeda dengan mereka,“ sahut Agung Siedayu. “Yang kau sebut terakhir itu.” “Ya. sudah aku pastikan. Kau beradu ditempat yang berbeda, tetapi pada bagian yang sama. Semua adalah yang sangat buruk. Dan kau berada ditempat yang paling baik dari yang sangat buruk itu. Sementara aku memilih, aku ulangi, aku memilih bukan berarti bahwa aku telah mendapatkan yang aku pilih itu sesuai dengan pilihanku, bahwa aku akan berdiri meskipun ditempat yang paling buruk dari yang baik.” Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil, ia menyadari sepenuhnya apa yang dimaksud oleh Rudita. Dan iapun melihat, bahwa yang dikatakan itu tidak sisip. Sehingga dengan demikian, seolah-olah nampak di angan-angannya, sebuah padang yang sangat luas, yang dibagi oleh sebuah jurang yang sangat dalam. Batapa kecilnya dirinya berdiri dibagian yang tandus berbatu-batu. Tetapi ia masih dapat menghindari ujung-ujung karang yang runcing, kawah gunung berapi yang membara, rawa-rawa yang bagaikan mendidih dan gerumbul-gerumbul yang menjadi sarang ular bandotan.

Sementara itu diseberang jurang yang dalam, terdapat taman yang sejuk oleh pohon-pohon bunga. Nampak sekecil dirinya Rudita berdiri dipinggir jurang, direrumputan yang kekuningkuningan. Namun masih juga terdapat beberapa helai bunga yang memberikan kesegaran yang damai. Ketika matahari menjadi terik, maka padang disebelah bagaikan terbakar, sedang disebelah yang lain, menjadi terasa segar dicerahnya matahari. Bayangan-bayangan pepohonan yang rimbun menghembuskan kidung kedamaian hati. Agung Sedayu berdesah. Tetapi ia sudah berada ditempat yang dikatakan paling baik dari yang sangat buruk itu tanpa dapat melarikan diri, jika ia tidak dapat meloncat jurang yang sangat lebar dan dalam. “Sudahlah Agung Sedayu,“ berkata Rudita kemudian, “jangan hiraukan kata-kataku. Anggaplah aku seorang yang sangat lemah, yang tidak berani menghadapi kenyataan hidup yang sangat pahit.” Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, “Baiklah Rudita. Namun kata-katamu menjadi susunan kalimat yang juga terpahat dihatiku tanpa dapat aku lupakan lagi. Setiap kali aku akan dapat membacanya. Meskipun barangkali hanya dapat aku kenali maksudnya dan tidak dapat aku hayati maknanya.” Rudita tersenyum. Jawabnya, “Itu sudah cukup baik. Meskipun kau berdiri diseberang, tetapi kau sanggup memandang kearah yang lebih baik.” Agung Sedayu terkejut. Seolah-olah Rudita dapat melihat apa yang hanya nampak di angan-angannya. Sehingga hampir diluar sadarnya ia bertanya, “Apakah yang kau lihat Rudita. Jurang yang membentang di antara kita?” “Bukan diantara kita. Telapi diantara sikap dan pandangan hidup kila masing-masing.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Ruditapun melihat bayangan seperti bayangan yang nampak olehnya. Padang luas dengan warna-warna merah gersang dibakar oleh terik matahari tanpa lindungan bayangan apapun juga, sementara diseberang membentang taman yang hijau rimbun terlindung dari sengatan terik matahari dilangit yang bersih dan kebiru-biruan. Agung Sedayu tidak mengatakannya. Ia memandangi Rudita yang kemudian minta diri. melangkah keluar biliknya dan hilang dibalik pintu lereg. Sejenak Agung Sedayu berbaring seorang diri. Namun kemudian ia mendengar pintu berderit. Glagah Putih sambil tersenyum cerah melangkah masuk sambil bertanya, “Kau berangsur baik kakang?” Agung Sedayu memaksa diri tersenyum, ia sadar, bahwa anak muda itu akan berdiri bersamanya ditandusnya padang batu padas yang merah membara. meskipun ia dapat menyeretnya kebagian yang paling baik dari yang sangat buruk itu.

Glagah Putih kemudian duduk dibibir pembaringannya sambil meraba kaki Agung Sedayu. Katanya, “Kakimu sangat dingin kakang.” Agung Sedayu menggerakkan kakinya. Dipandangnya wajah Glagah Putih yang cerah bersih tanpa pulasan apapun juga. “Ia berada dilempatnya dengan mantap. Ia tidak dibayangi oleh sikap Rudita yang dapat membuatnya bingung atas pilihannya,“ desis Agung Sedayu didalam hatinya. Namun demikian, ia tidak dapat melepaskan diri dari suatu pengakuan, bahwa sikap dan pandangan hidup Rudita memiliki nilai yang lebih tinggi dari padanya. Dalam pada itu Glagah Putih masih saja memijit-mijit kaki Agung Sedayu. Dibasahinya jari-jarinya dengan minyak yang terdapat dimangkuk kecil dekat pembaringan itu dan mengusapkannya dikaki Agung Sedayu yang dingin. “Badanku sudah terasa jauh lebih baik Glagah Putih,“ berkata Agung Sedayu kemudian. “Tapi kakimu masili sangat dingin.” Tetapi aku sudah dapat makan lebih banyak. Badanku sudah tidak terlalu lemah. Jika aku masih berbaring, aku ingin tubuhku segera pulih kembali,” Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu. “mudahmudahan besok aku sudah dapat pergi kesawah.” Glagah Pulih memandang wajah Agung Sedayu yang memang sudah menjadi lebih segar. Ia tidak lagi sangat pucat seperti orang yang sudah terlalu lama sakit. Dalam pada itu, berita tentang sakitnya Agung Sedayu itupun telah diketahui oleh hampir setiap orang sampai di Tanah Perdikan Menoreh. Anak-anak muda yang berada disawah, di gardu-gardu dan mereka yang bertugas sebagai pengawal. Tidak seorangpun yang dapat mengatakan, apakah sakit Agung Sedayu. Yang mereka ketahui, Agung Sedayu tiba-tiba saja pingsan ditengah malam. “Agung Sedayu adalah orang yang luar biasa. Ia memiliki ketahanan tubuh melampaui kebanyakan orang. Tetapi ia pada suatu saat dapat menjadi sakit pula,” berkata salah seorang dari anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh ketika ia sedang berada disebuah kedai dipinggir pasar. Kata-katanya itupun segera disambut oleh beberapa orang kawannya yang kebetulan ada didalam kedai itu juga. Dalam pada itu, seorang yang tidak dikenal oleh anak-anak muda itu mendengar pembicaraan mereka dengan saksama. Nampaknya ia seorang yang sedang menempuh perjalanan, atau seorang tamu dari salah seorang penghuni Tanah Perdikan Menoreh.

Tetapi anak-anak muda itu tidak begitu menghiraukannya. Mereka berbicara saja dengan asyiknya sambil menyumbati mulut mereka dengan sepotong makanan. Namun tiba-tiba orang itu bertanya, “Ki Sanak, siapakah yang kalian katakan sedang sakit itu?” “Agung Sedayu,“ jawab salah seorang dari anak-anak muda itu. Orang itu termangu-mangu. Kemudian iapun bertanya pula, “Jadi anakmas agung Sedayu masih berada disini ?” “Ya. Ia sedang sakit. Penyakitnya sangat aneh. Tetapi ia sudah berangsur sembuh. Ki Waskita telah mengobatinya.” “Apakah Ki Waskita ada disini?” “Dirumahnya. Agung Sedayu berada dirumah Ki Waskita,“ jawab anak muda itu. Orang itu mengangguk-angguk. Sementara anak muda itu berkata lebih lanjut, “Ki Gede Menoreh telah mendengar pula berita tentang agung Sedayu. Jika dalam waktu satu dua hari ini Agung Sedayu belum berangsur sembuh. Ki Gede akun menengoknya kerumah Ki Waskita.” Orang itu hanya mengangguk-angguk saja. tetapi ia tidak bertanya lebih jauh lagi. Dalam pada itu, ketika orang itu sudah cukup makan dan minum, dan telah membayar harganya pula, maka iapun meninggalkan warung itu. Demikian ia lepas dari pengamatan anak-anak muda yang berada didalam warung itu, maka iapun dengan tergesa-gesa berbelok dan melintasi pategalan. ternyata orang itu menyimpan seekor kuda dibalik gerumbul-gerumbul disebuah pategalan yang sepi, ditunggui oleh seorang kawannya. “Apa kau mendapat kabar tentang Agung sedayu?“ bertanya kawannya. “Ya. Ia memang sakit dirumah Ki Waskita. Ia tidak datang ke Tanah Perdikan Menoreh meskipun orang-orang Tanah Perdikan Menoreh sudah mengetahui bahwa ia sedang sakit.” Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah cemas, bahwa kita akan kehilangan jejak. Syukurlah bahwa ia belum terlepas dari pengawasan kita. Jika demikian, kita akan kembali kepada kawan-kawan dan melakukan pengawasan yang lebih baik dipadukuhan Ki Waskita. Sejak ia tidak nampak disawah lagi, aku menjadi cemas, bahwa ia dengan diam-diam meninggalkan rumah Ki Waskita, karena ia sudah mencium usaha kita mengawasinya.”

“Ternyata ia masih berada dirumah Ki waskita,“ desis kawannya, “kitalah yang mudah menjadi cemas dan gelisah.” “Tetapi kau mendapat keterangan yang sebenarnya?” “Aku berbicara dengan beberapa orang anak muda didalam sebuah kedai. Mereka semuanya mengatakan bahwa Agung Sedayu sedang sakit. Balikan mereka mengatakan, jika sakit Agung Sedayu tidak segera sembuh, Ki Gede akan pergi kerumah Ki Waskita.” Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, Kita kembali kepinggir hutan itu. Tetapi Sabungsari tentu sudah gelisah menunggu. Kita sudah berada disini lebih dari sepekan.” “Apa boleh buat. Ia sedang sakit. Kita tidak dapat berbuat apa-apa. Kita tidak akan dapat memancingnya dan memisahkannya dari Ki Waskita dan orang-orangnya jika ada. Bahkan jika ternyata Ki Gede benar-benar datang menengoknya.” “Kita dihadapkan pada keadaan yang tidak dapat kita atasi. Kita akan menunggu satu dua hari lagi. Jika benar Agung sedayu sakit keras sehingga Ki Gede Menoreh justru datang kepadanya, salah seorang dari kita harus melaporkannya kepada Sabungsari.” Kawannya tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk kecil. Keduanyapun kemudian meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh kembali ketempat persembunyian mereka. Dugaan mereka, bahwa agung Sedayu dengan diam-diam pergi ke Menoreh, ternyata tidak benar. Dengan demikian, maka orang-orang yang telah dikirim oleh Sabungsari itupun mengadakan pengawasan yang lebih seksama lagi atas rumah Ki Waskita. Mereka tidak mau kehilangan Agung Sedayu. Mereka sadar, jika Agung Sedayu terlepas dari pengawasan mereka, maka mereka akan mendapat hukuman yang berat dari Sabungsari. Dalam pada itu, keadaan Agung Sedayupun manjadi berangsur baik. Karena sebenarnya ia tidak sakit, maka dengan istirahat, penenangan dan mengatur pernafasan, maka dengan cepat ia dapat memulihkan keadaan badannya. Apalagi ketika ia sudah mau makan seperti sewajarnya. Glagah Putihpun menjadi heran. Kesembuhan yang cepat sekali itu menumbuhkan beberapa pertanyaan dihatinya Glagah Pulih. Namun ia mencoba mencari jawab pada jenis obat yang dipergunakan oleh Agung Sedayu. “Ternyata Ki Waskita juga pandai meramu obat seperti Kiai Gringsing,“ katanya didalam hati. Dihari kedelapan, Agung Sedayu sudah berjalan-jalan dihalaman. Badannya justru nampak segar dan sehat. Tidak lagi ada tanda-tanda bahwa ia baru saja mengalami sakit keras menurut penilaian Glagah

Putih dan kebanyakan penghuni rumah Ki Waskita dan beberapa orang tetangganya. Sebenarnyalah Agung Sedayu merasakan tubuhnya bertambah baik. Meskipun ia baru membaca isi kitab yang diberikan Ki Waskita dan belum memahami maknanya, namun pengaruhnya sudah mulai terasa. Satu dua kalimat dalam bab tertentu yang dibacanya, telah memberikan sentuhan pada ilmu yang memang sudah ada pada dirinya. Dalam hubungan yang mapan, maka ilmu yang sudah ada itu, seolah-olah telah mendapat unsur-unsur yang memberikan warna semakin tegas dan tajam, diluar usaha pencernakan maknanya yang baru akan dilakukan kemudian. Bahkan ada firasat didalam dirinya, bahwa kekuatan yang terlontar lewat kekuatan dan tenaga cadangan yang ada didalam dirinyapun rasa-rasanya menjadi bertambah masak. Diluar sadarnya, bahwa diantara orang-orang yang lewat di jalan didepan rumah Ki Waskita, adalah orang yang dikirim oleh Sabungsari untuk mengawasinya. Ketika nampak oleh orang itu Agung Sedayu berdiri dihalaman, maka orang itupun menarik nafas panjang. Dengan demikian mereka benar-benar tidak kehilangan Agung Sedayu. Yang terjadi hanyalah waktu yang agak lebih panjang. Dan ia akan dapat melaporkan kelak, bahwa Agung Sedayu menderita sakit di rumah Ki Waskita. Dihari berikutnya Agung Sedayu telah ikut pula pergi kesawah bersama Rudita dan Glagah Putih. Badan Agung Sedayu telah benar-benar pulih kembali, bahkan ada sesuatu yang ternyata telah berkembang didalam dirinya. Jika Glagah Putih menjadi kagum bahwa keadaan Agung Sedayu demikian cepat pulih kembali, maka Rudita sama sekali tidak heran. Ia tahu pasti, apakah yang menyebabkan Agung Sedayu nampak seperti orang sakit, sehingga iapun tahu pasti, bahwa anak muda itu akan cepat sembuh, pulih dan bahkan berkembang. Tetapi Rudita tidak pernah mengatakan kepada Glagah Putih. Yang diketahuinya itu disimpannya saja didalam hatinya yang bertambah pahit, bahwa didunia ini, kekerasan telah berkembang, semakin pesat. Setidak-tidaknya pada satu orang yang dikenalnya dengan baik. Agung Sedayu. Ketika mereka berada disawah, maka maka mereka tidak terlepas dari pengawasan orang-orang yang diperintahkan oleh Sabungsari mengikutinya. Dua orang diantara mereka, yang berjalan lewat pematang disebelah gubug kecil disudut kotak sawah Ki Waskita, memandang saja kearah gubug itu tanpa berkedip. “Apakah kita dapat bertindak sekarang,“ berkata salah. Seorang dari mereka. “Menangkap Agung Sedayu?“ bertanya yang lain. “Ya. Ia berada digubug bersama Glagah Putih dan anak Ki Waskita. Aku kira kedua anak muda itu sama sekali tidak akan terpengaruh.” “Tetapi disini banyak orang yang sedang bekerja disawah,“

berkata yang lain. “Apa yang dapat mereka lakukan? Dengan sekali sentuh mereka akan pingsan.” “Tetapi salah seorang dari mereka akan memukul isyarat, atau berlari memanggil Ki Waskita.” Kawannya mengangguk-angguk. Jika demikian, maka mereka tentu akan gagal, dan barangkali mereka akan mengalami kesulitan meskipun mereka berlima akan bertindak bersama-sama. “Jadi kapan kita dapat berbuat sesuatu. Kita akan banyak kehilangan waktu. Pada suatu saat, Sabungsari tidak akan sabar lagi, sehingga ia akan menyusul kita dan menganggap kita tidak mampu melakukan tugas yang diberikannya kepada kita.” “Kita mempunyai mulut untuk menjelaskan. Aku kira Sabungsari agak lebih mudah diajak berbicara dari Ki Gede Telengan yang garang itu. Anak muda itu dapal melihat persoalan dengan lebih baik dan mapan.” Kawannya tidak menyahut. Tetapi ia mengangguk-angguk kecil. Sementara kakinya melangkah semakin cepat. Dalam pada itu, Agung Sedayu yang duduk diatas gubug sambil memegangi beberapa ujung tali yang dapat menggerakkan orang-orangan disawah telah melihat kedua orang itu. Tiba-tiba saja dadanya bergetar, seolah-olah kedua orang itu langsung menyentuh firasatnya, bahwa keduanya akan berbuat kurang baik terhadapnya. Agung Sedayu justru menjadi berdebar-debar. Perasaan itu merupakan gejala baru dalam ungkapan pengenalnya atas keadaan disekitarnya. Suatu hubungan baru dari getar alam yang besar dengan getar alam kecil didalam dirinya. Dengan demikian Agung Sedayu menjadi termangu-mangu. Ia merasakan pengaruh yang langsung pada dirinya, meskipun ia belum dengan sengaja menangkap maknanya. Seolah-olah perasaannya menjadi semakin tajam dan firasatnya menjadi semakin cerah menerangi perasaannya itu. Tetapi Agung Sedayu masih diliputi oleh kekaburan arti dari firasatnya itu, karena yang terjadi adalah sesuatu yang baru baginya. Ia masih memerlukan waktu untuk mencernakannya.” Dengan demikian, Agung Sedayu sama sekali tidak berbuat sesuatu. Ia masih harus meyakinkan diri, bahwa yang terasa itu bukannya sekedar prasangka. Namun perasaan itu seakan-akan telah memperingatkannya, agar ia menjadi lebih berhati-hati. Agaknya orang-orang yang mendendamnya itu terdapat dimana-mana. Setiap saat mereka dapat menyerangnya dan bahkan membunuhnya. Ada diantara mereka yang dengan jantan menantangnya perang tanding. Tetapi tentu ada diantara

mereka yang merunduknya dengan diam-diam dan menyerangnya dari belakang. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling, dilihatnya Rudita berjalan menyusuri pematang dengan goprak ditangan. Nampaknya anak itu tidak pernah dibebani perasaan seperti yang sedang membebani dirinya. Tidak ada rasa permusuhan dengan siapapun juga. Tidak ada dendam dan tidak ada kebencian. Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Disampingnya Glagah Putih juga sedang sibuk dengan talitali penarik orang-orangan disawah. Kadang-kadang anak muda itu berteriak nyaring mengusir burung-burung yang menukik dalam kelompok yang besar. Sambil menarik tali-tali itu tiba-tiba saja Glagah Putih berkata, ”He, kakang. Apakah aku pernah mengatakan kepadamu, bahwa dua orang telah mencarimu ?” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Pertanyaan itu sangat menarik perhatiannya. Sambil menggeleng ia menjawab, “Seingatku, kau belum mengatakannya Glagah Putih.” “Ah. Kau tentu lupa kakang. Aku tentu sudah mengatakan bahwa ketika kau sakit, dua orang datang kegubug ini dan bertanya tentang kau. Mereka mengaku dua orang sahabatmu.” “Apakah Rudita mengenal mereka?“ bertanya Agung Sedayu. “Rudita tidak mengenal mereka. Aku kira keduanya adalah orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh yang kebetulan sedang lewat.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Diluar sadarnya dilayangkan pandangan matanya kekejauhan, melayang diatas batang-batang padi yang sedang menguning. Dikejauhan ia masih melihat bintik-bintik kecil yang bergerak-gerak. Dua orang yang dilihatnya lewat dan menimbulkan firasat yang kurang baik dihatinya. Tetapi ia tidak dapat bertanya kepada Glagah Putih, apakah dua orang yang dimaksud adalah kedua orang yang lewat itu, karena agaknya Glagah Putih tidak sedang memperhatikannya. Diluar sadarnya. Agung Sedayu mengerutkan keningnya, seolah-olah ia sedang memaksa diri dengan memusatkan perhatiannya kepada kedua bintik yang sedang bergerak itu. Sekali lagi Agung Sedayu menjadi heran terhadap dirinya sendiri. Meskipun kedua bintik itu tetap merupakan dua bintik kecil, namun seakan-akan ia melihat segenap bagian dari bentuk yang kecil itu dengan jelas. Seolaholah ia melihat setiap garis tubuh dan pakaiannya meskipun dari belakang. “Aku melihatnya dengan jelas sekali,“ Agung Sedayu bergumam didalam hatinya. Glagah Putih yang sibuk memperhatikan kelompok-kelompok burung gelatik tidak mengetahui, betapa Agung Sedayu justru menjadi gelisah. Ketika ia seakan-akan melepaskan pemusatan indranya atas

kedua bintik itu, maka yang nampak padanya tidak lebih dari dua bintik hitam yang semakin kabur. Sejenak Agung Sedayu merenungi dirinya sendiri. Dengan dasar pengetahuan yang ada padanya, ia mencoba menelusuri dirinya. Meskipun baru permukaannya saja. tetapi ia sudah mengalami akibat dari isi kitab yang dibacanya. Agung Sedayu kemudian menundukkan kepalanya. Kini ia dengan sengaja memusatkan perhatiannya pada indera pendengarannya. Ternyata seperti pada penglihatannya, maka pendengarannyapun rasa-rasanya menjadi semakin tajam. Ia mendengar dengung diudara, seolah-olah ia berada didalam lingkungan ribuan burung gelatik yang sedang berterbangan. Bahkan angin yang lembutpun terdengar berdesir ditelinganya, bagaikan arus yang dapat dikenalnya dengan pasti, laju sentuhannya pada daun-daun padi yang sedang menguning itu. Agung Sedayu kemudian menjadi yakin. Dasar-dasar pengenalannya atas ilmu yang tertulis dalam kitab Ki Waskita itu telah memberikan pengaruh atas ilmunya sendiri. Nampaknya ada sentuhan timbal balik, sehingga yang sudah ada itu menjadi semakin jelas nampak warnanya. Namun Agung Sedayupun sadar, bahwa ia masih belum menemukan yang baru sebelum ia dengan tekun menangkap makna dari isi kitab itu, bab demi bab. Dan iapun sadar, bahwa tidak semua bab dapat dipahami maknanya dengan sebaik-baiknya, karena pada dasarnya, wadah yang ada hanya dapat diisi dengan yang paling sesuai. “Yang aku perlukan kemudian adalah waktu yang panjang,“ desis Agung Sedayu didalam hatinya. Namun yang sudah dirasakannya itupun merupakan kurnia yang akan sangat berguna baginya menghadapi kesulitan-kesulitan yang nampaknya masih akan berkepanjangan. Perasaan terima kasihnya itulah yang justru memperteguh niat Agung Sedayu untuk memilih jalan yang paling baik yang dapat dilakukannya, meskipun yang paling baik itu masih belum mencapai nilai setingkat dengan yang dapat dicapai oleh Rudita. Namun Agung Sedayupun mengerti, bahwa jika ia bersungguh-sungguh, maka yang ada padanya itupun akan berguna bagi sesama. Yang terjadi itu, ternyata telah mendorong Agung Sedayu untuk mengenal dirinya lebih banyak lagi. Tetapi ia sadar, bahwa ia tidak dapat melakukannya pada saat itu. Apalagi ketika kemudian Rudita yang menghalau burung dengan goprak dipematang, telah naik pula kegubug kecil itu, sehingga Agung Sedayu harus menyesuaikan dirinya dengan kehadiran Rudita. Ketika anak muda itupun kemudian berbicara tentang jenis-jenis burung yang sering merusak tanaman. Selain burung gelatik, juga burung emprit dari bermacam-macam jenis. Pembicaraan itu baru terhenti ketika seseorang datang sambil membawa gendi dan bakul makanan bagi mereka.

Sejenak kemudian ketiganya telah disibukkan dengan kiriman yang diantar untuk mereka. Alangkah sejuknya minum air kendi dan alangkah nikmatnya makan dengan kuluban diantara batang-batang padi yang sudah mulai menguning Setelah makan, mereka masih berada disawah untuk beberapa lamanya. Ketika langit menjadi merah dan burung-burung telah terbang kembali kesarangnya, maka ketiga anak muda itupun turun dari gubugnya dan berjalan menyusuri pematang. Ternyata bahwa dari gubug-gubug yang lain, kawan-kawan Rudita juga sudah meninggalkan sawahnya. Bahkan ada diantara mereka kanak-kanak yang berlari-lari kecil menyusuri pematang langsung pulang kerumah masing-masing. Tetapi Rudita, Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak langsung pulang kerumah. Bersama beberapa orang kawan yang sebaya mereka singgah disungai untuk membersihkan badan yang berkeringat. Alangkah gembiranya anak-anak muda yang sedang mandi disungai. Sebagian dari mereka naik kebendungan dan berenang berkejar-kejaran. Yang lain sempat mencuci kain panjangnya yang kotor di gerojogan dibawah bendungan. Rudita sendiri tidak ikut kejar-kejaran bersama kawan-kawannya. Tetapi iapun nampak gembira. Bahkan sekali-sekali ia ikut berteriak memanggil kawannya yang sedang berenang kian kemari. Namun bagaimanapun juga, Rudita nampak jauh lebih dewasa dari kawan-kawan yang umurnya sebaya. Meskipun ia terlibat juga dalam gurau yang segar itu, namun ia nampak menguasai seluruh kesadarannya dalam kegembiraannya. Dalam pada itu, Agung Sedayu yang merasa sangat canggung. Glagah Putih dengan segera dapat menyesuaikan diri. Ia masih sempat ikut berenang diantara anak-anak muda yang lain dibendungan. Sekali-sekali ia melambai-lambaikan tangannya memanggil Agung Sedayu dan Rudita yang berdiri di tanggul. Dalam keadaan yang demikian itulah. Agung Sedayu merasa, bahwa ia telah kehilangan sebagian dari masa-masa hidupnya yang paling menggembirakan. Jika anak-anak muda itu sempat bergurau tanpa kecemasan apapun juga, maka ia setiap kali harus berhadapan dengan keadaan yang sama sekali tidak diinginkannya. Perkelahian dan pertempuran. Masa mudanya ternyata telah dirampas oleh dendam dan kebencian, sehingga seakan-akan masa-masa muda baginya adalah masa yang penuh dengan bahaya dan kesulitan. Dimana-mana dijumpainya kekerasan dan benturan kekuatan. Dimana-mana ditemuinya darah dan kematian. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat Glagah Putih bergurau diantara kawankawannya yang belum lama dikenalnya.

“Anak itu harus mengalami masa-masa yang berbeda dengan masa-masa yang pernah aku jalani. Biarlah ia menempuh dua jalur bersama-sama. Meningkatkan ilmunya, tetapi juga masa-masa yang gembira itu tidak akan terlampaui. Ia harus terhindar dari permusuhan yang menentukan seperti yang pernah aku alami,“ berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri. Sekilas dikenangnya Swandaru yang memutuskan masa mudanya dengan jalan yang dipilihnya sendiri. Sejak sebelum kawin Swandaru telah menyerahkan sebagian besar dari waktunya untuk membangun Sangkal Putung, sehingga Kedemangan itu menjadi sebuah Kademangan yang bukan saja subur, tetapi juga mengalami banyak perubahan-perubahan yang memberikan arti yang besar. Meskipun Swandaru tidak mempergunakan masa-masa mudanya untuk bergembira dan bergurau bersama alam sekitarnya, namun ia telah menemukan kepuasan tersendiri didalam hidupnya. Agung Sedayu bagaikan tersadar dari angan-angannya ketika ia merasa sepercik air mengenai kakinya. Agaknya mereka yang sedang berkejaran tanpa sengaja telah memercikkan air ketanggul dan mengenai Agung Sedayu. “Marilah,“ anak itu justru tertawa, “terjunlah.” Agung Sedayu memaksa dirinya untuk tersenyum. Tetapi ia menggeleng lemah. Yang dilakukan oleh Agung Sedayu kemudian hanyalah mencuci kaki, wajah dan tangannya dibawah bendungan diantara kawan-kawannya yang sedang mencuci pakaiannya yang kotor oleh lumpur. “Kau juga akan mencuci?“ bertanya seorang kawannya. “Tidak,“ sahut Agung Sedayu. “Dimalam hari, pakaian itu tidak dapat dijemur.” “Tapi besok pagi tentu sudah hampir kering. Dengan panas matahari pagi, sebentar saja pakaian itu sudah akan dapat dipakai kesawah lagi.” Agung Sedayu tidak menjawab Ia hanya mengangguk saja sambil menggosok tangan dan kakinya. Namun dalam pada itu, ternyata Agung Sedayu benar-benar telah pulih kembali. Tidak ada lagi yang terasa mengganggunya. Bahkan badannya terasa menjadi semakin ringan. Apalagi Agung Sedayupun telah menyadari, bahwa pengaruh kitab yang baru dibacanya tanpa menelaah maknanya itu, membuat segala ilmunya menjadi semakin meningkat. Bahkan Agung Sedayupun merasa bukan saja ketajaman inderanya, kedalaman firasatnya dan pengamatannya. Tetapi juga ilmu yang bersangkut paut dengan kanuragan. “Pengaruh itulah yang harus aku mengerti,” berkata Agung Sedayu didalam hatinya, “pemanfaatannya akan lebih cepat daripada aku harus mendalami maknanya dan menemukan unsur-unsur bagi kesempurnaan ilmuku.”

Dimalam hari, rasa-rasanya Agung Sedayu selalu dibayangi oleh perkembangan didalam dirinya, sehingga ketika Glagah Putih telah tertidur nyenyak, ia justru bangkit dan duduk dibibir pembaringan. Sejenak Agung Sedayu merenung. Dicobanya untuk mengerti, bahwa benar-benar telah terjadi peningkatan didalam dirinya. Ketika Agung Sedayu memandang berkeliling, dan terpandang olehnya gledeg bambu, maka tiba-tiba saja ia ingin melakukan sesuatu. Namun Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Disampingnya Glgah Putih tidur nyenyak. Jika ia terbangun, maka usahanya untuk mengetahui tentang ilmunya yng terpancar pada sorot matanya tentu akan terganggu. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya pintu yang meskipun tertutup, tetapi belum diselarak. “Aku akan keluar saja,“ katanya didalam hati. Dengan hati-hati Agung Sedayupun keluar dari biliknya. Kemudian turun keserambi dan menyeberangi longkangan samping. Sejenak ia berdiri termangumangu. Namun kemudian ia yakin, bahwa tidak seorangpun yang terbangun. Bahkan seandainya ada seseorang yang melihatnya keluar, maka ia dapat saja mengatakan pergi kepakiwan. Untuk beberapa saat Agung Sedayu berdiri tegak dibayangan perdu disebelah longkangan. Dipandanginya keadaan disekelilingnya yang gelap. Dari kejauhan nampak cahaya lampu yang memancar dari pendapa menerangi halaman samping. “Aku harus segera mulai,“ katanya didalam hati, “sebelum Glagah Putih terbangun dan mencari aku.” Menelusuri bayangan yang gelap. Agung Sedayu pergi kehalaman belakang rumah. Sejenak ia meyakinkan diri, bahwa tidak ada seorangpun yang ada disekitarnya. Baru kemudian Agung Sedayu mencari sasaran. Diletakkannya sebuah batu padas dibawah sebatang pohon. Kemudian ia mengambil jarak beberapa langkah, sambil menyilangkan tangannya ia duduk dengan tenang memandang batu padas sebesar kepala kerbau itu. Didalam goa yang dindingnya dilukisi gambar-gambar yang menunjukkan urutan jenjang ilmu yang diwarisi oleh ayahnya, ia telah berhasil menguasai kekuatan yang terpancar dari sorot matanya dengan sentuhan wadag. Dengan tidak sengaja ia telah merusakkan sebagian dari lukisan yang ada didinding goa, terpahat pada batu padas. Tatapan matanya seakan-akan telah berhasil memecahkan lapisanlapisan batu padas dinding goa itu.

Tetapi kini Agung Sedayu menghadapi sebongkah batu padas. Ia tentu dapat memecahkan lapisanlapisan luar dari batu padas itu. Meskipun perlahan-lahan dan lama, ia akan dapat sampai pada suatu ketika, batu padas itu hancur. Namun kini Agung Sedayu ingin melihat, perkembangan dari kemampuan rabaan wadag dari sorot matanya. Dengan alas yang kurang dipahami, yang tumbuh oleh pengaruh isi kitab yang belum ditekuni maknanya, namun yang sudah meresapi dasar-dasar ilmu yang sudah ada padanya, ia merasakan perubahan-perubahan pada dirinya. Sejenak Agung Sedayu memusatkan segenap kekuatan jiwanya dalam pemusatan pikiran. Dipandanginya batu padas dalam kegelapan, namun yang dapat dilihatnya dengan jelas. Pada tahap pertama, tiba-tiba saja Agung Sedayu merasakan jenis kemampuan yang dapat dipisahkannya. Ia dapat menekan dengan sorot matanya. Namun dengan kekuatan niat dan kehendaknya, ia dapat mengangkat batu itu dan memindahkannya. Yang pertama-tama dilakukan oleh Agung Sedayu adalah mengangkat batu itu sehingga batu itu seolah-olah mengapung diudara. Kemudian dengan kekuatan hentakkan pada sorot matanya yang mempunyai sentuhan wadag itu, maka ia telah meremas batu padas itu. Sejenak Agung Sedayu duduk diam seperti patung. Dalam pengerahan kekuatannya, maka keringat mulai mengaliri tubuhnya. Giginya terkatup rapat sementara darahnya seolah-olah mengalir lebih cepat. Untuk beberapa saat lamanya, batu padas itu tetap mengapung diudara. Namun kemudian telah terjadi sesuatu karena kekuatan remas sorot mata Agung Sedayu. Seperti batu padas didinding goa itu, maka telah terjadi pecahan-pecahan kecil pada kulitnya. Beberapa bagian menjadi retak. Bahkan kemudian bukan saja pada kulitnya, tetapi retak pada batu padas itu menyusup menghunjam sampai kepusatnya. Agung Sedayu yang mengerahkan kekuatan matanya pada daya angkat dan daya tekan itu tiba-tiba mengendorkan tenaganya. Perlahan-lahan. Kemudian melepaskannya sama sekali. Batu padas itupun turun perlahan-lahan. Namun ketika Agung Sedayu melepaskannya, maka batu padas itu tiba-tiba bagaikan terurai menjadi debu, berhamburan, diatas tanah. Dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Sejenak ia masih duduk diam. Diaturnya jalan pernafasannya yang memburu. Perlahan-lahan Agung Sedayu berdiri. Ia merasa kelelahan mencengkamnya, sehingga rasa-rasanya untuk melangkah beberapa langkah, tubuhnya tidak lagi terangkat. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Ia sadar, bahwa ia benar-benar telah menemukan peningkatan pada ilmunya, seperti pada penglihatan dan pendengarannya.

Beberapa kali ia telah membenturkan kekuatan tatapan matanya dengan ilmu yang tinggi pula. Ia berhasil mengalahkan beberapa orang yang dianggap tidak terkalahkan. Yang terakhir dengan kekuatan tatapan matanya ia berhasil menekan dan menghimpit lawannya yang telah melepaskan ilmu yang kurang dimengerti, seolah-olah ia dapat mengguncang bumi dan merontokkan isi dada. Bahkan rasarasanya Agung Sedayu dapat melontarkan udara yang panas dengan sorot matanya itu. Agung Sedayu masih berdiri ditempatnya. Sekilas ia mencoba membaca pahatan ingatannya pada bagian-bagian kitab yang dibacanya. Didalam bab yang tidak terlalu panjang, ia memang menemukan lambaran ilmu seperti yang telah berhasil dikuasai dasar-dasarnya itu, meskipun isyarat, laku dan penguasaannya agak berbeda dengan yang dilakukannya. Tetapi karena Agung Sedayu belum mempelajarinya, maka ia tidak berani merenunginya terlalu lama, agar tidak mengganggu dasar kekuatan yang sudah ada didalam dirinya. Ia memerlukan waktu untuk mencari hubungan, kesamaan dan mungkin saling menyelip-melengkapi yang satu dengan yang lain, sehingga akhirnya dapat luluh menjadi satu, bukan sekedar saling bersambung tanpa ikatan. “Biarlah yang terjadi sekedar penegasan warna,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya, “justru seharusnya memang demikian sebelum terjadi perubahan apapun pada warna itu.” Sesaat kemudian, maka Agung Sedayupun meninggalkan batu padas yang telah menjadi debu itu. Ia sudah yakin, bahwa meskipun hanya selapis tipis, tetapi ilmunya memang sudah terpengaruh dan meningkat.” Seperti saat ia keluar dari rumah, maka iapun masuk kembali dengan sangat hati-hati. Perlahan-lahan ia membuka pintu dan melangkah masuk. Kakinya seolah-olah menjadi semakin ringan, sehingga sama sekali tidak menimbulkan suara apapun juga. Selarak pintu yang dipasangnyapun bagaikan tidak saling bersentuhan dengan uger-uger, karena sama sekali tidak terdengar desir yang paling halus sekalipun. Demikian pula ketika Agung Sedayu membuka pintu biliknya. Ketika pintu itu terbuka, dilihatnya Glagah Putih masih tidur dengan nyenyaknya. Dengan hati-hati Agung Sedayu duduk dibibir pembaringannya. Terbersit kebanggaan didasar hatinya yang paling dalam. Dengan peningkatan ilmunya, maka ia akan menjadi seorang anak muda yang pilih tanding. Jarang sekali terdapat diseluruh Pajang, seorang anak muda yang seusia dengan dirinya, telah berhasil menguasai ilmu seperti yang dikuasainya. Tetapi ketika Agung Sedayu memandang pintu biliknya, dan menyadari bahwa ia berada dirumah seorang anak muda bernama Rudita, maka tiba-tiba saja kepalanya menunduk dalam-dalam. Ia merasa malu kepada dirinya sendiri, bahwa ia sempat berbangga atas ilmu yang telah dimilikinya. “Kebanggaan yang tidak terkendali, akan dapat menyesatkan jalan,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya,

“seharusnya aku tidak berbangga, tetapi bersukur dan selalu melihat kedalam diri, apakah aku masih tetap berada dijalan yang lurus.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dalam keadaan yang demikian, terasa dirinya menjadi semakin dekat dengan penciptanya. Ia merasa bersukur berlipat ganda, bukan saja karena ia telah menerima kesempatan untuk mempelajari ilmu dan memahaminya, tetapi yang lebih penting, bahwa seolah-olah ia selalu disertai oleh sentuhan tangan-Nya, untuk selalu meluruskan jalannya. Dan hubungan dengan Yang Maha Tinggi itu menjadi semakin akrab jika Agung Sedayu merasa, bahwa meskipun ia tidak dapat lagi berada dibawah naungan sayap orang tuanya, namun ia seakanakan selalu berada dibawah kasih yang tidak terhingga besarnya, yang melihat dan memenuhi segala keinginannya yang sesuai dengan kepentingannya. Sejenak kemudian Agung Sedayupun membaringkan dirinya disisi Glagah Putih. Sesaat ia masih sempat mengenang tentang banyak hal. Namun kemudian, matanyapun segera terpejam oleh letih dan kantuk. Ketika matahari terbit, terasa betapa cerahnya langit. Seperti biasa Agung Sedayu mempersiapkan dirinya untuk pergi bersama dengan Rudita kesawah. Meskipun ada orangorang lain yang dapat melakukan pekerjaan itu disawah, tetapi agaknya anak-anak muda itu lebih senang mengisi waktunya dengan duduk didalam gubug kecil sambil menarik tali yang dapat menggerakkan orang-orangan disawah untuk menakut-nakuti burung. Jika mereka jemu menarik tali-tali itu, maka mereka berjalan menyusuri pematang, sambil menghentakhentakkan goprak ditangan mereka. Bunyinya yang memekakkan telinga mengusir burung-burung yang akan hinggap dibatang padi yang sedang menguning. Namun nampaknya, ada sesuatu yang sedang dipikirkan oleh Agung Sedayu, sehingga sikapnya agak berbeda dengan hari-hari sebelumnya. “Apakah kau sakit lagi kakang ?“ bertanya Glagah Putih. Agung Sedayu terkejut mendengar pertanyaan itu. Dengan serta merta iapun menjawab, “Tidak. Kenapa ?” “Kakang nampak banyak merenung.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ketika ternyata tidak ada orang lain, maka iapun berkata, “Kita sudah terlalu lama pergi.” “He ? “ Glagah Putih mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Ya. Kita sudah lebih dari sepekan berada disini. Tetapi, apakah kita akan segera kembali ?” “Rasa-rasanya aku sudah rindu pada padepokan kecil itu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi seolah-olah diluar kehendaknya, maka iapun berkata, “Tetapi, apakah yang telah kita lakukan selama kita disini?” Pertanyaan itu memang tidak terduga-duga. Sejenak Agung Sedayu justru terdiam. Bagi dirinya sendiri, waktu yang diperlukan telah dipergunakan sebaik-baiknya, ia telah berhasil menyelesaikan seluruh isi kitab rontal yang dipinjamnya dari Ki Waskita. Ia tinggal memilih, manakah yang sesuai dengan pribadinya, dengan ilmu yang sudah ada padanya lebih dahulu dari isi kitab rontal itu, dan yang memungkinkan akan dapat luluh didalam dirinya. Sehingga dengan demikian, waktu yang berikutnya, dengan sekedar berada disawah menghalau burung, adalah waktu yang tersia-sia. Meskipun dengan demikian, ia menjadi semakin akrab dengan alam dan semakin mengenal hubungan kasih Penciptanya dengan mengagumi ciptaan-Nya, namun rasa-rasanya ia ingin cepat berada kembali di padepokannya. Namun, apakah yang sebenarnya telah diperoleh Glagah Putih ? Anak itu tentu mengharap untuk mendapatkan suatu pengalaman dari perjalanannya. Tetapi yang didapatkannya, hanyalah sekedar menunggui burung disawah. “Apa boleh buat,“ berkata Agung Sedayu, “setidak-tidaknya ia sudah melihat padukuhan-padukuhan yang dilaluinya pada jarak Jati Anom, Tanah Perdikan Menoreh dan padukuhan ini. Selanjutnya, demikian ia sampai dipadepokan, maka ia akan mendapat latihan-latihan berikutnya yang barangkali cukup berat baginya.” Glagah Putih masih termangu-mangu karena Agung Sedayu tidak segera menjawab. Bahkan kemudian ia mendesaknya, “Kenapa kau termenung saja kakang.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Glagah Putih. Mungkin pengalaman yang kau dapatkan dengan perjalanan ini memang terlampau sedikit. Tetapi sudah barang tentu, kau akan melakukan perjalanan yang lebih panjang di saat-saat yang lain. Karena itu, maka yang kau peroleh dari perjalanan ini hanyalah sekedar permulaan dari pengalamanpengalaman yang masih akan panjang. Selebihnya, kau sudah terlalu lama tidak melakukan latihanlatihan khusus untuk meningkatkan ilmumu.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Terserahlah kepada kakang. Bagiku, agaknya merupakan pilihan yang sama beratnya. Telapi apakah latihan-latihan itu harus dilakukan didalam sanggar padepokan ?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Glagah Putih ingin untuk mendapat pengalaman lebih banyak lagi dari sebuah perjalanan. Mungkin ia ingin melihat padukuhan-padukuhan kecil yang terpencil. Mungkin ia masih ingin mendaki tereng Gunung, melihat sesamanya berjuang melawan alam didaerah rawan atau pengenalanpengenalan yang lain. Karena itu, hampir diluar sadarnya Agung Sedayu berkata,

“Kita masih akan menempuh perjalanan kembali. Mungkin diperjalanan pulang, kita akan melihat lebih banyak dari saat kila berangkat. Kita tidak akan lagi bersama Ki Waskita, sehingga kita dapat memilih jalan kita sendiri.” Glagah Pulih agaknya tertarik pada kata-kata Agung Sedayu itu. Dengan kening yang berkerut ia berkata, “Apakah kita akan melingkari Gunung Merapi dan Merbabu ?” “Ah, tentu tidak Glagah Pulih. Kita akan kembali ke Jati Anom melalui jalan yang tidak terlalu jauh meskipun bukan yang paling dekat. Mungkin kita akan menerobos hutan yang lebat, melalui padukuhan-padukuhan terpencil dilereng Gunung Merapi sebelah Selatan.” “Kenapa kita tidak memilih jalan lain ? Kita menyelusuri kali Praga. Kemudian kita meyeberang hampir di ujungnya. Melintasi daerah disebelah Barat Gunung Merbabu. Kakang, kita dapat melalui Banyu Biru. Kita akan sampai di Jati Anom dari arah Utara.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak, ia menyadari, bahwa perjalanan itu tentu akan merupakan perjalanan yang berat bagi Glagah Putih, dan baginya akan merampas waktu terlalu banyak. Keinginannya untuk mulai melihat makna dari kalimat-kalimat jtang terpahat diingatannya rasarasanya sangat mendesaknya. Karena itu, maka jawabnya, “Glagah Putih, dikesempatan lain, aku akan membawamu ke Banyu Biru. Ke Rawa Pening dan daerah-daerah disekitarnya yang akupun belum pernah melihatnya. Tetapi kali ini kita akan menempuh perjalanan yang lebih dekat. Kita akan menelusup daerah-daerah yang belum pernah kita lihat. Tapi sudah barang tentu, daerah-daerah yang tidak begitu jauh. Mungkin kita akan muncul didaerah yang disebut memiliki sebatang pohon Mancawarna. Sebatang pohon yang besar dan mempunyai beberapa jenis bunga. Kita dapat memilih jalan memintas, atau kita dapat mengulur perjalanan kita beberapa ribu tonggak.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi jawabnya, “Kita akan berada diperjalanan tidak lebih dari dua hari satu malam.” “Apakah kita akan menyusuri jalan yang lebih panjang ? Kita akan meninggalkan kuda-kuda kita disini, sehingga kita akan menempuh perjalanan lebih lama.” “Ah, kakang aneh. Nanti ayah dan Kyai Gringsing akan bertanya, kenapa kita tidak membawa kudakuda kita kembali. Mungkin kuda-kuda itu diperlukan setiap saat.” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Jika demikian, kita akan berkuda. Tetapi mungkin kita akan menuntun kuda kita disepanjang jalan. Kita akan melalui jalan-jalan sempit.

Mengenal daerah-daerah terpencil.” “Apa yang dapat kita lihat dilereng Gunung Merapi ? Disaat kita berangkat, kita sudah banyak melihatnya.” “Lalu, apakah kau mempunyai keinginan lain kecuali melingkari Gunung Merbabu dan Merapi ?” “Jika kakang tidak setuju, aku tidak akan memaksa untuk melalui Banyu Biru dan Rawa Pening. Tetapi bagaimana jika kita kembali ke Jati Anom dengan menyusuri Pantai Selatan ? Kita akan mengikuti Kali Praga sampai kebatas muaranya. Kemudian kita akan menuju ke Timur menyusuri Pantai.” “Kau kira kita akan dapat lewat daerah Pandan Segegek, daerah berbatu-batu padas diseberang Kali Opak.” “Kita tidak akan menyeberangi Kali Opak. Kita akan berbelok ke Utara disebelah Barat Kali Opak, kemudian menyeberang ditempat yang memungkinkan, disebelah Utara Pegunungan sewu.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Hatinya menjadi tidak tenang karena permintaan Glagah Putih itu. Tetapi iapun tidak sampai hati untuk selalu menolaknya saja. Menyelusuri Pantai Selatan, telah mengingatkannya kepada orang-orang dari Pesisir Endut yang meskipun letaknya tidak terlalu dekat. Apalagi mereka sedang dibebani oleh perasaan dendam tiada taranya. Bukan karena Agung Sedayu ketakutan menghadapi perang tanding, tetapi ia masih selalu dibayangi oleh keseganan untuk menumbuhkan akibat yang justru dapat memperdalam dendam itu. Tetapi ketika ia melihat wajah Glagah Putih yang kecewa, maka ia benar-benar tidak sampai hati untuk menolaknya. Karena itu, maka katanya, “Baiklah Glagah Putih. Kita akan menelusuri Kali Praga. Tetapi aku tidak ingin singgah di Mataram. Kita akan lewat disebelah Barat Mataram dan mungkin kita akan melalui Mangir dan daerah-daerah yang juga belum banyak aku kenal. Tetapi kita tidak akan mempersulit diri dengan mendaki batu-batu padas diseberang Kali Opak. seperti yang kau katakan, kita akan berbelok ke Utara dan menyeberang Kali Opak ditempat yang memungkinkan. Mungkin disekitar Gunung Baka atau disebelah Selatan beberapa ratus tonggak.” “Jadi kita akan melalui pesisir Selatan ? “ tiba-tiba saja wajah Glagah Putih menjadi cerah. “Ya. Kita akan melalui Pesisir selatan. Tetapi sekali lagi kau harus berjanji, bahwa kau akan menurut jalan manakah yang akan aku pilih, sehingga kita tidak akan terlalu mempersulit diri kali ini.,“ jawab Agung Sedayu. Glagah Putih mengerutkan keningnya. Menurut jalan pikirannya, pengalaman akan banyak didapat

justru dalam kesulitan-kesulitan itu. Tetapi agaknya Agung Sedayu selalu dibayangi oleh waktu yang baginya sangat diperlukan disaat-saat yang dekat. “Kita akan menyampaikannya kepada Ki Waskita,“ berkata Glagah Putih. “Biarlah aku yang mohon diri. Kita tidak perlu mengatakan, jalan manakah yang akan kita lalui. Pagi ini kita masih akan pergi kesawah bersama Rudita. Digubug itu aku akan mengatakan niat kita untuk mohon diri, sebelum kita menyampaikannya kepada Ki Waskita sendiri.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian pergi kebiliknya, membenahi diri untuk pergi bersama Rudita ke sawah. Seperti yang direncanakannya, maka ketika kemudian mereka berada disawah. Agung Sedayupun menyampaikan maksudnya untuk minta diri kepada Rudita yang nampak kecewa. “Jika kalian meninggalkan tempat ini, aku akan menjadi kesepian,“ berkata Rudita, “aku tidak mempunyai kawan lagi menunggui burung disawah.” “Bukankah ada beberapa orang pembantu dirumahmu?” Rudita mengangguk. Tetapi jawabnya, “Mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Jika ada satu dua orang yang ikut menghalau burung, maka mereka sama sekali tidak sempat untuk diajak berceritera atau mendengarkan dongeng tentang burung putih yang terbang dilangit yang biru. Mereka lebih banyak terikat dengan gopraknya atau dengan tali-tali itu.” “Sayang sekali,“ desis Agung Sedayu. Rudita tersenyum. Katanya, “Aku mengerti. Kau memerlukan waktu yang cukup. Pergilah.” Glagah Putih menjadi heran mendengar sikap Rudita yang tiba-tiba saja berubah. Namun Agung Sedayu sendiri bahkan menundukkan kepalanya tanpa menjawab lagi. Suasana digubug itu terasa mulai berubah. Baik Rudita maupun Agung Sedayu tidak lagi banyak berbicara. Nampaknya masing-masing lebih banyak berbincang dengan diri mereka sendiri. Karena itu, maka Glagah Putihpun berusaha untuk menyesuaikan diri, meskipun ia tidak mengerti, apa yang sebenarnya sedang dipikirkan oleh Agung Sedayu dan Rudita. Ketika mereka telah berada dirumah lewat sore hari, maka Agung Sedayu mencari kesempatan untuk dapat bertemu dengan Ki Waskita hanya berdua saja. Ia harus menyerahkan kembali kitab yang disembunyikannya. Kemudian minta diri untuk kembali kepadepokannya setelah ia menerima kemurahan hati Ki Waskita yang tiada taranya.

“Aku titip agar ilmu itu tidak menjadi punah,“ berkata Ki Waskita. Namun kemudian, “tetapi pesanku Agung Sedayu, kau jangan mencoba membuat seikat rontal yang berisi seperti isi rontalku yang sudah terpahat dihatimu. Bukan aku tidak percaya kepadamu, tetapi rontal yang demikian akan dapat jatuh ketangan orang yang tidak berhak dan apalagi mereka yang akan menyalahgunakan.” Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, “Aku mengerti Ki Waskita.” “Terima kasih. Selanjutnya terserah kepadamu, apa yang akan kau lakukan dengan kata demi kata yang kau kenal dari kitabku yang tidak akan banyak berarti itu.” “Aku akan mencari kemungkinan untuk meluluhkan ilmu dari perguruan Kiai Gringsing dengan ilmu yang terdapat dalam kitab itu Ki Waskita.” Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak berkeberatan ngger. Tetapi bagaimanapun juga, aku mohon agar kau tetap mengenal dasar-dasar ilmu dari perguruanku yang dapat kau baca pada kitab itu.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun dengan serta merta iapun menjawab, “Tentu Ki Waskita, tentu. Bagaimanapun juga, aku akan tetap memelihara ilmu yang temurun lewat kitab itu seperti yang ada didalamnya. Jika aku mencari unsur-unsur yang akan dapat luluh adalah semata-mata agar aku tidak mengalami kesulitan dalam saat-saat yang gawat, dimana aku tidak mendapat kesempatan untuk memperhitungkan unsur-unsur gerak yang pada dasarnya berbeda tetapi bersama-sama ada didalam diriku.” “Aku mengerti ngger. Dan aku tidak berkeberatan sama sekali,“ Ki Waskita termenung sejenak, lalu. “yang terjadi benar-benar telah membebani perasaanku. Ada sesuatu yang tersimpan didalam hati sebagai suatu rahasia. Tetapi apakah sebenarnya aku memang sudah pikun, sehingga rasa-rasanya dada ini akan retak karena rahasia itu.” Agung Sedayu menjadi bingung. “Angger Agung Sedayu. Aku mengenal sesuatu tentang gurumu tetapi yang aku kira, kau dan Swandaru belum banyak mengenalnya. Agaknya Kiai Gringsingpun akan mengalami banyak kesulitan untuk mempertimbangkannya. Jika ia memberitahukan hal ini kepadamu, maka menjadi kewajibannya untuk memberitahukannya pula kepada Swandaru. Namun agaknya Kiai Gringsing masih meragukannya, meskipun Ki Demang serba sedikit telah mengetahuinya pula.” Agung Sedayu menjadi tegang. Dan Ki Waskita berkata selanjutnya, “Gurumu adalah orang yang aneh Agung Sedayu. Banyak hal yang tidak dapat diketahui dengan pasti. Yang berwarna kuning hari ini pada gurumu, besok akan nampak menjadi biru atau hitam sekali. Tetapi aku tahu, bahwa yang berubah itu hanyalah warna kulitnya. Sedangkan isinya tetap tidak akan berubah sama sekali.”

Agung Sedayu menjadi semakin bingung, sementara Ki Waskita berkata, “Aku pernah mendengar dongeng gurumu tentang dirinya. Namun pada saat yang gawat, saat menurut aku, waktunya untuk bertindak lebih jauh, gurumu seolah-olah tidak tahu sama sekali tentang dirinya. Akupun sadar, bahwa gurumu tidak ingin ada orang lain lagi yang mengetahuinya, sehingga yang dirahasiakan itu akan tersebar semakin luas, sehingga akupun tidak memaksanya dan tidak menyebut lagi dongeng yang pernah dikatakannya. Menurut gurumu yang baru dikatakan kemudian, ia tidak ingin hal itu didengar lewat siapapun juga, oleh telinga Untara. Sebab Untara adalah seorang prajurit yang akan dapat bertindak tegas, lepas dari maksud dan perhitungan Kiai Gringsing, yang menurut aku memang sangat lamban.” Agung Sedayu dengan ragu-ragu bertanya, “Apakah yang Ki Waskita maksudkan ?” “Tidak ada yang dapat aku katakan. Tetapi cobalah bertanya kepada gurumu, apakah gurumu juga mempunyai sebuah rontal berisi kidung yang dapat berguna bagimu dan bagi perguruanmu.” Agung Sedayu menjadi semakin bingung. Sementara Ki waskita berkata selanjutnya, “Tetapi sekali lagi, gurumu tentu akan menuntut agar Untara tidak mengetahuinya. Dan aku tidak tahu, apakah hal itu akan dapat dikatakan oleh gurumu.“ ia berhenti sejenak, lalu. “aku akan menulis buat gurumu.” Agung Sedayu masih termangu-mangu. Kelika terpandang olehnya wajah Ki Waskita, maka iapun menarik nafas panjang. “Semuanya akan kau ketahui kelak jika kau telah bertemu dengan gurumu,“ berkata Ki Waskita, “aku akan menulis pada sehelai rontal agar kau berikan kepada gurumu pada saat yang kau anggap tepat.” Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Ia sadar, bahwa ada sesuatu yang tersimpan dihati Ki Waskita. Tetapi Ki Waskita masih dibatasi oleh keseganannya kepada Kiai Gringsing untuk mengatakannya, karena yang ingin dikatakannya itu agaknya menyangkut masalah gurunya itu. Karena itu, maka yang dilakukan oleh Agung Sedayu kemudian adalah dengan resmi menyerahkan kembali kitab yang dipinjamkan oleh Ki Waskita kepadanya dengan ucapan terima kasih yang tiada taranya. Kemudian mohon diri untuk kembali ke padepokan kecilnya disebelah Jati Anom. “Hati-hatilah diperjalanan. Kapan kau akan berangkat ?“ bertanya Ki Waskita. “Besok Ki Waskita. Jika matahari terbit, maka kami akan berangkat agar udara masih segar dipermulaan dari perjalanan kami itu.” “Baiklah Agung Sedayu. Aku akan menulis nanti malam. Minta dirilah kepada Rudita agar besok anak itu tidak terkejut.”

“Aku sudah mengatakannya Ki Waskita.” Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baiklah. Pergunakan waktu yang tersisa untuk beristirahat sebaik-baiknya.” Ki Waskitapun kemudian meninggalkan Agung Sedayu yang juga segera masuk kedalam biliknya. “Kakang berbincang dengan Ki Waskita lama sekali,“ berkata Glagah Putih. “Aku mohon diri. Mula-mula Ki Waskita menahanku. Tetapi aku menjelaskan bahwa aku sudah terlalu lama pergi.” Glagah Putih sama sekali tidak menduga, yang telah terjadi dengan Agung Sedayu selama ia berada di rumah Ki Waskita. Menurut pengertiannya. Agung Sedayu tiba-tiba saja telah sakit untuk beberapa hari sehingga mencemaskannya. Untunglah ia segera sembuh dan dapat kembali ke Jati Anom. “Tentu merupakan perjalanan yang menyenangkan,“ berkata Glagah Putih kepada diri sendiri. Ketika fajar menyingsing di hari berikutnya, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun segera berkemas. Mereka akan berangkat disaat matahari terbit, agar udara pagi memberikan kesegaran baru diujung perjalanan mereka. Oleh Ki Waskita sekeluarga, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih dijamu makan pagi untuk yang terakhir kalinya, karena sebentar lagi, mereka akan meninggalkan keluarga itu kembali kepadepokan yang telah cukup lama mereka tinggalkan. “Aku titip rontal ini buat gurumu,“ berkata Ki Waskita sambil memberikan kantong kecil yang dari kain yang tertutup rapat. Agung Sedayu menerima kantong yang tertutup itu dengan hati yang berdebar-debar. Ki Waskita tentu mengatakan sesuatu yang tidak boleh diketahuinya. Demikianlah, ketika kemudian matahari terbit, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih menuntun kudanya keluar dari regol halaman rumah Ki Waskita. Beberapa orang telah mengantarkannya sampai keregol. Beberapa pesan masih diberikan oleh Ki Waskita, sementara Rudita hanya mengucapkan selamat jalan. Namun dari tatapan matanya Agung Sedayu dapat membaca, bahwa Rudita menjadi kecewa. Kecewa bahwa ia telah ditinggalkan oleh kedua anak-anak muda yang untuk beberapa hari telah mengawaninya disawah dan dirumah. Tetapi juga kecewa karena sikap dan pandangan hidup

Agung Sedayu yang berbeda dengan sikap dan pandangan hidupnya. Justru kini terasa semakin jauh, karena Rudita tahu pasti apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu dirumahnya. Tetapi Rudita menekan segala kekecewaannya didalam hatinya. Perlahan-lahan Agung Sedayu dan Glagah Putih meninggalkan regol dan beberapa orang yang melepaskannya. Rasa-rasanya memang berat untuk meninggalkan mereka. Namun mereka tidak dapat tinggal terlalu lama dirumah yang terasa bergejolak oleh isi kitab rontal itu, namun terasa tenang dan damai karena sikap Rudita. Sekali-kali Agung Sedayu dan Glagah Putih masih berpaling. Namun ketika mereka sudah melalui sebuah tikungan, maka kuda mereka berlari lebih cepat, meskipun tidak berpacu seperti angin. Disepanjang lorong padukuhan, beberapa orang anak muda yang sudah dikenal selama mereka tinggal dirumah Ki Waskita, memberikan salam pula dan mengucapkan selamat jalan. Sejenak kemudian, maka Agung Sedayupun segera muncul di bulak panjang. Terasa udara pagi yang cerah menyentuh tubuh mereka. Alangkah segarnya. Matahari yang baru saja naik, terasa hangat dan segar. Namun dalam pada itu, dua orang yang duduk terkantuk-kantuk di pematang dekat pada sebuah lorong kecil telah terkejut melihat Agung Sedayu dan Glagah Putih keluar dari pedukuhan dengan kudanya. Agung Sedayu tidak sempat memperhatikan kedua orang itu. Perhatiannya masih terikat kepada batang-batang padi yang menguning dipagi yang cerah. Setitik-setitik embun masih nampak gemerlapan didaun-daunnya yang panjang. “He, nampaknya Agung Sedayu dan Glagah Putih sudah akan kembali ke Jati Anom,“ berkata salah seorang dari mereka. “Kelengkapan kudanya menunjukkan, bahwa ia akan menempuh perjalanan kembali kepadepokannya.” “Kita harus mengikutinya,” desis yang lain. “Mereka berkuda. Marilah kita mengambil kuda kita.” “Kau sajalah mengikuti atau kau pilih memberitahukan kepada kawan-kawan kita.” “Aku akan mengikutinya. Cepat, susul aku bersama kawan-kawan sebelum Agung Sedayu menyadari bahwa aku mengikutinya. Jika ia mengerti bahwa aku mengikutinya sebelum kau datang bersama kawan-kawan, mungkin kau akan menjumpai aku menjadi makanan burung gagak ditengah jalan.” Keduanyapun segera berdiri. Mereka menyusup kebalik sebuah gerumbul untuk mengambil kuda mereka yang tersembunyi. Yang seorang dengan tergesa-gesa memberitahukan kepada kawan-kawan mereka, sementara yang seorang dari kejauhan mengikuti arah perjalanan Agung Sedayu.

Ia tidak perlu mengikuti dari jarak yang terlalu dekat. Meskipun orang itu tidak lagi melihat Agung Sedayu, namun ia dapat mengikuti jejak kudanya. Jalan yang dilalui Agung Sedayu adalah jalan yang jarang sekali dilalui orang-orang berkuda, sehingga dengan demikian, maka dengan mudah orang-orang itu mengikuti jejaknya. Yang seorang dengan tergesa-gesa berpacu ketempat kawan-kawannya bersembunyi. Karena mereka masih bermalas-malas bahkan seorang diantara mereka masih tidur nyenyak, maka iapun membentak hampir berteriak, “Cepat. Jika kalian terlalu lamban, maka kita akan kehilangan jejak.” “Jalan yang dapat dilalui Agung Sedayu tidak banyak. Hanya ada dua jalur yang satu langsung menuju ke Kali Praga. ditempat penyeberangan sebelah Utara, sedang yang satu menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Jika Agung Sedayu tidak akan singgah di Tanah Perdikan, maka ia akan berbelok menuju kepenyeberangan disebelah Selatan.” “Siapa tahu mereka mencari jalan lain. Jalan-jalan kecil atau lorong-lorong yang tidak pernah dilalui orang disepanjang pinggir hutan atau bahkan memasuki hutan-hutan yang lebat.” “Agaknya Agung Sedayu belum gila untuk memilih jalan itu.” “Persetan. Tetapi cepat agar kita dapat menemukan kawan kita masih tetap bernafas.” Kawan-kawannyapun kemudian bersiap dengan tergesa-gesa. Mereka menyadari, jika kawannya yang seorang diketahui oleh Agung Sedayu, maka umurnya tidak akan panjang lagi. Sejenak kemudian, maka mereka berempat telah berpacu menyusul kawannya. Ketika mereka sampai kejalan yang dilalui oleh Agung Sedayu, maka merekapun segera menemukan jejaknya. Dengan mudah mereka mengikutinya meskipun mereka belum menyusul kawannya. “Tetapi jejaknya masih ada,” berkata satah seorang dari mereka, “jejak ini tentu jejak tiga ekor kuda. Yang dua adalah Agung Sedayu dan anak itu, sedang yang satu adalah jejak kuda kawan kita.” Tidak ada yang menyahut. Namun mereka masih berpacu disepanjang jalan. Dua orang didepan dan dua dibelakangnya. Belum lagi mereka mencapai tepian Kali Praga, maka mereka sudah berhasil menyusul kawannya yang seorang. Tetapi mereka sengaja tidak berpacu bersama-sama. Dua orang diantara mereka berkuda dekat dibelakang yang seorang, sedang dua yang lain agak jauh dibelakang. Sementara itu, diluar pengetahuan mereka, seorang anak muda telah mengikuti mereka pula. Seperti kelima orang sebelumnya, anak muda itu tidak perlu terlalu dekat. Ia merasa lebih mudah lagi mengikuti jejak tujuh ekor kuda di jalan padukuhan yang jarang dilalui penunggang-penunggang kuda.

Buku 120 SABUNGSARI yang hampir tidak sabar mengawasi kelima orang-orangnya, ternyata sempat melihat mereka meninggalkan tempat persembunyiannya, sehingga iapun segera menyusul mereka. Sementara itu kegelisahan dan hampir ketidak sabaran. membuatnya semakin mendendam. Setiap kali ia menggerelakkan giginya. Rasa-rasanya ia tidak sabar lagi menunggu untuk meremas dada Agung Sedayu. “Aku harus membunuhnya, sebagaimana ia membunuh ayahku. Mayatnya akan aku lempar kepadepokan kecil itu agar gurunya melihat apa yang telah terjadi atas muridnya yang sombong itu.” Namun Sabungsari menjadi ragu-ragu. Ia sudah mengenal Agung Sedayu. Dan ia tidak dapat menyebutnya sebagai seorang anak muda yang sombong. Bahkan Agung Sedayu menurut pengenalannya adalah anak muda yang ramah, rendah hati dan bahkan agak tertutup, sehingga sulit untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. “Persetan,“ geram Sabungsari, “Aku akan membunuhnya. Aku akan meremas isi dadanya dengan tatapan mataku yang tidak akan terlawan oleh anak muda itu. Bahkan oleh gurunya sekalipun.” Sabungsari menggeretakkan giginya. Ia memacu kudanya semakin cepat. Namun kemudian ia terpaksa memperlambatnya karena ia tidak mau diketahui oleh orang-orangnya, bahwa iapun mengikuti mereka pula. “Pada saatnya mereka akan bertempur,“ berkata Sabungsari kemudian. Namun ia menjadi ragu-ragu, “Jika Agung Sedayu langsung kembali ke Jati Anom, maka orangorang dungu itu tentu hanya akan mengikutinya saja, kemudian melaporkan kepadaku, bahwa Agung Sedayu telah kembali ke padepokannya.” Tetapi Sabungsari masih mengharap, bahwa sepanjang jalan sampai ke Jati Anom akan terjadi sesuatu, sehingga pertempuran itu akan terjadi. Dalam pada itu, seperti yang dikehendaki oleh Agung Sedayu, maka ia tidak akan singgah dimanapun juga. Tidak singgah di Tanah Perdikan Menoreh dan tidak singgah di Mataram. Ia sudah berpesan, agar Ki Waskita memberitahukan kepada Ki Gede Menoreh, bahwa Agung Sedayu tidak singgah ketika ia kembali ke Jati Anom, karena berbagai macam pertimbangan, apabila ada seseorang pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Seperti yang direncanakannya, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih akan menyusuri Kali Praga ke Selatan. Glagah Putih lebih senang lewat jalan yang jauh dan belum pernah dilihatnya. Disepanjang pantai atau daerah dekat pantai, akan dilihatnya suasana yang berbeda.

Sementara itu, beberapa orang masih tetap mengikutinya. Namun orang-orang itupun menjadi sangal berhati-hati, agar Agung Sedayu tidak mengetahuinya. Karena itu, maka salah seorang dari mereka ada dipaling depan. Jika ia melihat sesuatu yang mencurigakan, maka ia harus memberikan isyarat. Ketika mereka sampai dipinggir Kali Praga, mereka masih sempat melihat Agung Sedayu turun dari getek penyeberangan di seberang. Tetapi agaknya Agung Sedayu tidak menghiraukan orang-orang yang akan menyeberang kemudian. Ada dua orang berkuda pula yang menyeberang berlawanan arah, selain beberapa orang, pejalan kaki. Namun hal itu tidak menyulitkan orang-orang yang mengikutinya untuk mengikuti jejaknya, karena kuda yang berpapasan arah jejaknyapun berlawanan. Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Mereka memang melihat jejak kuda Agung Sedayu telah berbelok menempuh jalan yang lebih kecil menyusur Kali Praga. “Apakah ia akan singgah di Mataram? “ pertanyaan itu telah tumbuh diantara orang-orang yang mengikutinya. Namun akhirnya mereka memutuskan untuk mengikuti saja kemana ia pergi, meskipun dengan raguragu. Jika Agung Sedayu akan singgah di Mataram, lebih baik ia menempuh jalan biasa dilalui lewat sebelah Barat Kali Praga dan menyeberang dipenyeberangan sebelah Selatan. Tetapi agaknya Agung Sedayu telah menentukan jalannya sendiri. Orang-orang yang mengikuti Agung Sedayu itu akhirnya benar-benar merasa cemas. Mereka sudah mengikuti untuk jarak yang panjang dan dalam waktu yang lama. Bahkan mereka seolah-olah sudah kehilangan kesabaran untuk menggiring Agung Sedayu kembali ke Jati Anom lewat jalan sempit dipinggir hutan. Dengan demikian ada kesempatan bagi mereka untuk memaksa Agung Sedayu berhenti. Melumpuhkannya dan mengikatnya sebelum mereka memanggil Sabungsari untuk membunuh Agung Sedayu dengan tangannya.” “Apa salahnya jika kamilah yang membunuh ? “ pertanyaan itu kadang melonjak dihati para pengikut Sabungsari. Tetapi mereka mengerti, bahwa Sabungsari ingin melepaskan dendamnya dan membunuh Agung Sedayu dengan caranya. Untuk beberapa saat lamanya, orang-orang itu masih mengikuti Agung Sedayu. Mereka mengikuti jalan sempit yang semakin lama menjadi semakin buruk. Bahkan kadang-kadang mereka melalui daerah yang basah dan berawa. “Gila,“ orang-orang itu mengeluh oleh ketidak sabaran. “Sampai kemana kita akan mengikuti mereka?” bertanya salah seorang dari mereka. “Kita akan segera memaksanya kembali ke Jati Anom. Jika perlu dengan kekerasan.”

“Kalau kita terpaksa menyakiti atau bahkan membunuhnya ?” “Apaboleh buat. Tetapi kita berusaha unluk menawannya hidup-hidup agar kita tidak dianggap bersalah oleh Sabungsari.” Wajah orang-orang itu menegang. Salah seorang berkata, “Apakah Sabungsari berani mengarnbil tindakan terhadap kita berlima ?” Kawan-kawannya memandanginya dengan ragu-ragu. Namun seorang yang lain berkata, “Aku kira, iapun tidak akan berani melakukan sesuatu jika terpaksa kita melanggar perintahnya. Kita menghormatinya karena kita menghormati ayahnya. Tetapi jika anak muda itu ingin berbuat sewenang-wenang, apakah kita akan membiarkannya ? Kita mempunyai kekuatan yang barangkali dapat mematahkan kesewenang-wenangannya.” “Kalau begitu ?“ bertanya yang lain. “Kitapun mendendam Agung Sedayu karena ia telah membunuh Ki Gede Telengan, sehingga perguruan kita kehilangan ikatan.” “Tetapi sebaiknya kita tidak membuat persoalan-persoalan baru diantara kita sendiri. Kita akan mentaati perintahnya, mencoba menangkap Agung Sedayu hidup-hidup. Tetapi jika kita mendapat kesulitan tentu kita tidak akan membiarkan diri kita justru menjadi korban keganasan anak muda itu.” Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Nampaknya merekapun telah dibakar oleh dendam kepada anak muda yang bernama Agung Sedayu itu. Beberapa lamanya mereka masih mengikuti jejak kuda Agung Sedayu dan Glagah Putih. Kadangkadang jejak kaki itu hilang di tanah yang berair. Namun mereka tidak terlalu sulit untuk menemukan jejak itu di seberang yang lain, karena jalan kecil itu nampaknya memang jarang dilalui orang. Dengan demikian maka orang-orang yang mengikuti Agung Sedayu itu menjadi semakin jemu. Mereka telah mempergunakan waktu yang lama, sementara Agung Sedayu nampaknya sengaja memilih jalan yang tidak biasa dilalui orang. Karena itulah, maka orang-orang yang mengikutinya itu telah membagi diri. Satu orang yang berada dipaling depan, mengamat-amati Agung Sedayu dengan sungguh-sungguh, sementara kawan-kawannya dapat beristirahat dari ketegangan meskipun mereka masih juga harus berkuda dan mengikuti jejak. Bahkan, pada suatu saat, mereka harus berhenti dan beristirahat, karena beberapa puluh tonggak dihadapan mereka, Agung Sedayu dan Glagah Putih juga beristirahat. “Nampaknya mereka akan melalui daerah yang belum pernah mereka lihat,“ berkata salah seorang dari mereka.

“Tentu anak itu ingin melihat daerah di sebelah Selatan. Kita sudah berada diarah sebelah Barat Mataram. Tetapi nampaknya Agung Sedayu akan berjalan terus ke Selatan.” “Gila. Pekerjaan gila,“ desis yang lain. Rasa-rasanya mereka malas untuk berangkat lagi, ketika mereka mendapat isyarat bahwa Agung Sedayu telah meneruskan perjalanannya. Tetapi mereka tidak dapat ingkar akan tugas yang dibebankan kepada mereka oleh Sabungsari. Bagaimana-pun juga, masih ada keseganan dari kelima orang itu. Jika Sabungsari marah kepada mereka, dan benarbenar akan bertindak, mungkin mereka dapat menghindar jika mereka hanya berhadapan dengan Sabungsari seorang diri. Tetapi mungkin Sabungsari akan mempergunakan orang lain yang dapat membantunya. Karena itu, maka mereka berlima akhirnya telah berangkat pula mengikuti Agung Sedayu. Ternyata seperti dugaan mereka, bahwa Agung Sedayu memang memilih jalan yang sepi, yang tidak banyak dilalui orang, menuju kepesisir. “Kebetulan sekali,“ berkata salah seorang dari kelima orang yang mengikutinya, “nanti malam kita dapat bertindak. Kita memaksanya untuk menyerah, jika ia masih sayang akan jiwanya. Anak yang dungu itu dapat kita perlakukan sekehendak kita. Dibunuhpun Sabungsari tidak berkeberatan.” “Jangan dibunuh dahulu,“ berkata yang lain, “kita pergunakan anak itu semacam tanggungan agar Agung Sedayu tidak berusaha melarikan diri disepanjang jalan. Tentu ia merasa bertanggung jawab atas anak itu, sehingga ia akan menurut segala perintah kita.” Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Dengan demikian Agung Sedayu tentu akan menjadi agak jinak dan mudah dikendalikan. Betapapun jemu dan jengkel, namun kelima orang itu masih tetap mengikuti Agung Sedayu dan Glagah Putih yang ternyata memang menyusur pantai. Namun sebentar lagi, langit menjadi buram dan bintangbintang mulai nampak dilangit. Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih mendekati pantai, maka hati Glagah Putih menjadi semakin gembira. Agung Sedayu lelah melintas justru disebelah Timur Kali Praga, tetapi disebelah Barat Mangir. Mereka memilih jalan yang sepi agar mereka tidak terganggu oleh pertanyaan-pertanyaan orang yang mungkin mencurigai mereka. Ketika suara ombak laut Selatan mulai terdengar, dada Glagah Putih menjadi berdebar-debar.

“Kita sudah sampai,“ desisnya. “Ya. Tetapi didaerah ini kita tidak akan dapat mendekat.” “Kenapa?“ bertanya Glagah Putih. “Bukankah kau lihat, dihadapan kita terbentang rawa-rawa yang ditumbuhi pohon pandan yang rapatrapat, seperti padang duri yang runcing dan tajam.” Glagah Putih termangu-mangu. Dipandanginya tanah rawa-rawa yang ditumbuhi gerumbul-gerumbul pandan yang berduri tajam. Sebagian tumbuh bagaikan jamur raksasa yang bergerumbul mencuat dipermukaan air yang kehitam-hitaman, sedangkan sebagian yang lain tumbuh pada batangnya yang mencuat seperti berpuluh-puluh galah yang ujungnya bagaikan berkembang daun-daun bunga yang berwarna hijau dan berduri. Terasa bulu-bulu Glagah Putih meremang. Apalagi ketika langit menjadi suram dan bintang mulai berkeredipan. “Aku mendengar suara aneh,” desis Glagah Putih. “Suara apa?” “Seperti seekor harimau yang mengaum.” “Itu suara angin. Kau dengar suara gelegar ombak itu?” Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi langit bagaikan dipulas dengan warna hitam dan dilekati oleh keredipan bintang yang tersebar sampai kebatas pendangan mata. Seleret nampak kilau buih ombak bagaikan hendak menerkam. Namun kemudian pecah berderai diatas pasir dan hilang ditelan oleh rawa-rawa yang berpagar pohon-pandan. Namun terasa oleh Glagah Putih, bahwa air bagaikan mengejarnya, menjadi semakin tinggi dan seperti tangan yang menggapai-gapai. “Air di rawa-rawa itu naik,“ desis Glagah Putih. “Ya. Masih akan naik semakin tinggi,“ jawab Agung Sedayu, “pohon-pohon pandan itu akan tenggelam, tetapi yang seolah-olah kembang diujung galah itu justru akan nampak bagaikan kembang dipermukaan air.” “Kalau begitu, kita harus menyingkir dari tempat ini.” “Ya. Kila akan berjalan terus menyusuri pantai, tetapi menjauhi balas deburan ombak dan buih.” Glagah Putih tidak menjawab. Diikutinya saja Agung Sedayu yang berkuda semakin jauh dari tanah rawa-rawa.

“Aku juga belum pernah menginjak daerah ini.“ tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis. Glagah Pulih tidak menjawab. Ia memang belum pernah mendengar Agung Sedayu berceritera tentang daerah ini. Tetapi Glagah Putih yakin, bahwa Agung Sedayu pernah mendengar dari Kiai Gringsing atau dari orang lain sesuatu tentang rawa yang berpandan ini. Meskipun malam menjadi semakin gelap, tetapi Agung Sedayu masih tetap berada dipunggung kudanya, sehingga akhirnya Glagah Putih berkata, “Kakang, apakah kita tidak akan berhenti dan mencari tempat yang paling baik untuk bermalam?” “Tentu,“ jawab Agung Sedayu, “kita akan bermalam. Tetapi kila akan bergeser sedikit ke Timur. Agaknya kita akan sampai kepantai yang berpasir dan tidak lagi digenangi oleh rawa-rawa yang penuh dengan batang pandan berduri. Menurut kata orang, daerah disebelah Timur, merupakan daerah berpasir yang luas, sehingga kita akan dapat memilih tempat yang paling baik untuk bermalam. Meskipun seandainya kita berada disini dimusim hujan, kita akan kehilangan kesempatan untuk berteduh jika hujan turun.” Glagah Putih tidak menjawab. Ia mengikuti saja dibelakang Agung Sedayu. Namun akhirnya Agung Sedayu berkata, “Kemarilah. Jangan dibelakang.” “Kenapa?“ bertanya Glagah Putih. Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi seolah-olah ia mendengarkan suara ombak yang menggelegar bergulung-gulung tanpa henti-hentinya. “Suara ombak itu,“ berkata Agung Sedayu, “seperti rangkaian suara yang iramanya telah disusun. Ajeg, tetapi terasa hidup.” “Ya.” desis Glagah Putih yang telah berada disebelah Agung Sedayu. “Kemarilah Glagah Pulih. Jangan terlalu jauh.” Glagah Putih menjadi heran. Tentu Agung Sedayu tidak menjadi ketakutan meskipun suasananya memang agak mengerikan. Diluar sadarnya Glagah Putih berpaling. Yang nampak hanyalah pekatnya malam. Namun dihadapannya nampak dalam keremangan, pasir yang keputih-putihan terbentang luas. Mereka mulai meninggalkan daerah yang berawa-rawa. “Cepatlah sedikit,” ajak Agung Sedayu.

“Kenapa? “ Glagah Putih menjadi curiga, “kudaku nampaknya terlalu lelah berjalan diatas pasir.” “Disebelah akan kita dapati rerumputan meskipun tidak begitu banyak, didaerah yang basah oleh air tawar.” “Kakang tahu pasti.” “Mudah-mudahan.” Glagah Putih tidak menjawab lagi. Diikutinya Agung Sedayu yang mempercepat langkah kudanya, semakin lama semakin jauh dari batas derai ombak diatas pasir pantai. Namun sejenak kemudian Agung Sedayu menarik kekang kudanya. Katanya, “Kita tidak dapat terus menerus membiarkannya mengikuti kita Glagah Putih. Aku harus bertanya apakah keperluan mereka. Tetapi berhati-hatilah. Mungkin kita harus berusaha menyelamatkan diri dari gangguan orang-orang yang tidak kita kenal.” “Apa yang kakang maksudkan, aku tidak melihat sesuatu.“ “Aku mendengar diantara gelegar ombak yang berirama itu, suara yang lain.” “Apa?” “Ringkik kuda.” Glagah Putih terkejut mendengar jawaban Agung Sedayu. Ia sama sekali tidak mendengar sesuatu selain debur ombak yang bagaikan berkejaran memukul pantai. Dalam pada itu, kelima orang yang mengikuti Agung Sedayu menjadi tidak sabar lagi. Semakin gelap, mereka semakin cemas, bahwa pada suatu saat mereka akan kehilangan Agung Sedayu. Untuk beberapa saat mereka masih dapat mengikuti jejaknya meskipun dengan susah payah. Namun kemudian mereka menjadi tidak telaten lagi. “Kita susul dan kita hentikan anak itu,“ berkata salah seorang dari kelima orang yang mengikutinya. “Tentu sudah dekat. Tetapi malam yang gelap telah membatasi jarak yang tidak terlalu panjang ini.” “Kita cepal sedikit. Arahnya tentu tidak berubah.” “Ya. Kita berpencar. Tetapi kita akan mengikuti arah yang sarna. Lihat bintang gubug penceng itu. Kita jangan kehilangan kiblat. Kila akan menuju kearah Timur pada jarak kira-kira lima sampai sepuluh langkah menyamping.” Kelima orang itupun kemudian mengambil jarak. Tetapi orang yang terdekat akan tetap mendengar

jika yang lain berteriak memanggil. Ternyata usaha mereka tidak sia-sia. Apalagi ketika Agung Sedayu mendengar ringkik kuda mereka dan bahkan kemudian berhenti. Jarak mereka semakin lama menjadi semakin pendek. Ternyata bahwa Agung Sedayu sudah bergeser agak jauh, sehingga orang yang berada dipaling ujunglah yang kemudian melihat dua bayangan yang hitam, didalam gelapnya malam. Dengan serta merta maka orang yang berada diujung itupun berteriak memberikan isyarat. Suara itu terdengar oleh orang kedua yang menyambung teriakan itu. Demikian pula orang ketiga dan sampai pulalah ketelinga orang kelima. Beberapa saat kemudian kelima orang itu sudah berkumpul hanya beberapa langkah saja dari Agung Sedayu dan Glagah Putih. “Siapakah mereka kakang ?“ bertanya Glagah Putih. Agung Sedayu menggeleng lemah. Dengan suara parau ia menjawab lamat-lamat hampir tidak didengar karena deburan ombak yang tidak ada henti-hentinya, “Aku tidak tahu Glagah Putih. Itulah yang mendebarkan hati. Selama ini aku merasa selalu diburu oleh kegelisahan karena dendam yang membara dihati banyak orang.” “Kenapa mereka mendendam?“ bertanya Glagah Putih. “Yang terjadi adalah diluar kehendakku. Didalam peperangan tangan ini tidak dapat dikendalikan lagi, sehingga kadang-kadang diluar keinginan telah terjadi kematian.” “Sanak saudaranya menjadi dendam kepada kakang? “ “Ya,“ jawab Agung Sedayu. “Itu bukan salah kakang. Mereka yang mendendam itu tentu orang-orang yang berjiwa kerdil. Kematian dipeperangan adalah kematian yang wajar sekali.” “Ah,” Agung Sedayu berdesah. Dipandanginya lima bayangan hitam diatas punggung kuda yang semakin mendekat. Namun ia masih sempat berkata, “Tentu mereka mempunyai alasan. Mereka menuntut balas sebagai tanda kesetiaan mereka terhadap saudara seperguruan, atau terhadap kawan dan sahabat atau terhadap keluarga.” Glagah Putih tidak sempat menjawab lagi. Diantara debur ombak ia mendengar salah seorang dari kelima orang itu berteriak, “He. bukankah kau Agung Sedayu.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun menjawab, “Ya. Aku adalah Agung Sedayu.”

Kelima orang itu menjadi semakin dekat. Dan salah seorang diantara mereka berkata lebih lanjut, “Bagus. Ternyata kau memang seorang laki-laki yang berani. Dengan dada tengadah kau mengaku, bahwa kau adalah Agung Sedayu.” “Kenapa aku harus ingkar ? Bukankah wajar, bahwa aku mengaku tentang diriku.” “Bagus anak muda. Aku mempunyai keperluan yang penting dengan kau.” “Aku sudah menduga. Jika tidak, tentu kalian tidak akan mengikuti aku sampai ketempat ini.” “Baiklah,“ orang itu melanjutkan, “kehadiranku disini sebenarnya bermaksud baik. Kami hanya akan mempersilahkan kau kembali ke Jati Anom. Hanya itu.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Aku memang akan kembali ke Jati Anom.” “Telapi ternyata kau menuju kearah yang tidak kami ketahui. Apakah jalan ini memang jalan yang biasa dilalui orang dari padukuhan Ki Waskita menuju ke Jati Anom ?” “Memang tidak Ki Sanak,“ jawab Agung Sedayu, “tetapi aku sekedar ingin memperpanjang langkah, melihat-lihat daerah yang belum pernah kami lihat sebelumnya.” “Mungkin benar. Tetapi mungkin kau sengaja menghindari kami.” “Kalian memang aneh. Aku baru saja tahu, bahwa kalian mengikuti aku. He. tetapi siapakah kalian berlima?” bertanya Agung Sedayu. “Kau tidak perlu mengetahui siapakah kami. Itu adalah karena kebodohan kalian. Kami berhasil mengetahui siapa kau, tetapi kau tidak mengetahui siapa kami,“ jawab salah seorang dari kelima orang itu. “Baiklah, jika kalian tidak ingin menyebut nama kalian. Tetapi apabila kalian hanya ingin minta agar aku kembali ke Jati Anom, aku akan menyanggupinya. Aku akan kembali ke Jati Anom menyusuri pantai Selatan. Tetapi tidak akan terlalu jauh lagi. Jika jalan menjadi semakin sulit dan apalagi sampai kepegunungan padas, kami akan segera berbelok ke Utara dan mencari jalan yang lebih baik.” “Agung Sedayu,“ berkata salah seorang dari kelima orang itu, “kami sudah bertekad untuk membawamu. Kami tahu bahwa kau berkata sebenarnya. Tetapi agar kami yakin bahwa kau tidak berbohong, maka biarkanlah kami mengikat tangan dan kakimu. Kami tidak akan menyakitimu, karena kami akan membawamu kepada seseorang yang memang memerlukan kau dalam keadaan hidup dan sehat walafiat.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia menjawab Glagah Putih telah mendahului, “Bicaramu aneh Ki Sanak.”

Kelima orang yang ingin menangkap Agung Sedayu itu memandang bayangan Glagah Putih sejenak, tetapi mereka tidak dapat memandang kerut keningnya dengan jelas. Salah seorang dari kelima orang itu berkata, “Anak muda. Sebaiknya kaupun menurut segala perintah kami agar kau tidak mengalangi kesulitan apapun juga.” “Permintaan kalian memang menggelikan,“ berkata Glagah Putih, “apakah wajar bahwa kaki dan tangan kami akan diikat hanya karena ada seseorang yang ingin bertemu dengan kami. He, siapakah kalian sebenarnya Ki Sanak.” “Apakah ada perlunya kau mengetahui nama kami? Aku kira itu hanya akan memperpanjang waktu saja. Sekarang, marilah kalian berdua turun dari kuda, mendekati kami dengan tangan dipunggung. Kami akan mengikatnya kuat-kuat. Jika kalian berbuat demikian dengan suka rela, maka kalian akan selamat sampai ke daerah Jati Anom.” “Ki Sanak,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “kenapa kita tidak berterus terang? Apakah maumu sebenarnya.” “Aku sudah berterus terang,“ jawab salah seorang dari kelima orang itu, “kami akan mengikat kalian dan membawa kalian kembali ke Jati Anom.” “Mungkin benar seperti yang kau katakan, tetapi yang aku maksud, berkatalah terus terang, siapakah yang menyuruh kalian melakukan hal itu.” “Kami sendiri. Kami sendirilah yang ingin memperlakukan kalian berdua demikian.” “Ki Sanak,“ berkata Agung Sedayu, “jika kalian mau menyebut seseorang yang menyuruh kalian berbuat demikian, mungkin kami akan menurut perintah itu.” Sejenak kelima orang itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian salah seorang dari mereka menjawab, “Kami sendirilah yang memerlukan Agung Sedayu. Kami sendirilah yang memerintah diri kami untuk mengikat tangan dan kaki Agung Sedayu.” Agung Sedayu menggeleng sambil menjawab, “Mustahil. Tetapi baiklah jika kalian tidak bersedia menyebut siapakah kalian, dan siapakah yang berdiri dibelakang kalian.” “Jadi, apakah kau bersedia memberikan tanganmu untuk kami ikat?“ bertanya salah seorang dari kelima orang itu. “Pertanyaan aneh. Kalian tentu sudah mengetahui jawabku dan barang kali jawab setiap orang yang menerima permintaan yang serupa.” “Apa jawabmu? Kau belum mengatakannya.”

“Ki Sanak,“ berkata Agung Sedayu diantara debur ombak lautan, “betapapun keinginanku untuk menghindari pertentangan dan apalagi benturan kekuatan, namun sudah barang tentu aku tidak akan dapat berbuat seperti yang kau inginkan. Aku tidak yakin, bahwa kalian tidak akan ingkar, apabila tangan dan kakiku sudah terikat. Jika kemudian kalian mengikat kakiku dibelakang kaki kuda kalian, maka kulitku tentu akan terkelupas habis, meskipun hal itu kau lakukan diatas pasir di pantai ini.” “Kami berkata sebenarnya Agung Sedayu. Jika kau bersedia kami ikat, maka kami tidak akan berbuat sesuatu yang dapat menyakitimu.” “Bagaimana aku dapat percaya. Kau tidak mau menyebut namamu. Kau tidak mau mengatakan siapakah yang menyuruhmu. Dan kau tidak mau mengatakan, apakah sebenarnya kepentinganmu dengan aku. Apakah dengan demikian aku harus mempercayai kalian?” “Baiklah Agung Sedayu,“ berkata salah seorang dari kelima orang itu, “aku sudah menduga, bahwa kau akan berkeras untuk menolak permintaan kami yang sebenarnya akan merupakan jalan yang paling baik bagi kami untuk seterusnya dan bagi keselamatanmu berdua. Karena itu, maka kami akan memilih jalan lain. Kami akan berbuat sesuatu dengan kekerasan agar kami dapat mengikatmu. Kami sudah mendapat wewenang untuk melakukan cara apapun juga, asal kami tidak membunuhmu.” Tetapi salah seorang dari kelima orang itu menyambung, “Kami memang tidak ingin membunuhmu. Tetapi jika diluar kehendak kami. kau mati terbenam kedalam pasir, itu adalah karena nasibmu yang memang sangat buruk Agung Sedayu. Malam nanti, jika air pasang, maka mayatmu akan dijilat oleh ombak dan hanyut menjadi makanan hiu.” “Kata-katamu memang mengerikan Ki Sanak. Tetapi sudah barang tentu bahwa aku akan mencoba mempertahankan hidup kami. Mungkin dengan cara seperti yang kalian kehendaki, tetapi mungkin, kami akan melarikan diri dan hilang didalam gelap.” “Apakah Agung Sedayu akan berbuat demikian?“ bertanya seseorang diantara kelima orang itu. “Apa salahnya? Itu akan lebih baik bagiku.” “ Persetan,“ geram seorang diantara kelima orang yang ingin menangkap Agung Sedayu itu, “aku tidak sabar lagi.” Ternyata orang itu tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera meloncat turun dari kudanya. “Kudaku tidak akan lari kemana-mana meskipun aku tidak mengikatnya,“ katanya, “aku lebih senang bertempur tidak diatas punggung kuda.” Kawan-kawannyapun segera berloncatan pula. Mereka melepas kudanya begitu saja. Satu-satu mereka berpencar memutari Agung Sedayu.

“Berhati-hatilah Glagah Putih,“ desis Agung Sedayu, “nampaknya mereka benar-benar ingin mengikat kita. Karena itu, kita harus menghindar.” “Lari?“ bertanya Glagah Putih, “tidak mungkin. Mereka sudah mengepung kita.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Putihnya pasir pantai seolah-olah telah memantulkan cahaya bintang dilangit, bulan sepotong yang mulai membayang sehingga ia dapat melihat lebih jelas bayangan kelima orang lawannya. “Kitapun akan turun,“ berkata Agung Sedayu, “kau harus menyesuaikan dirimu. Aku akan mencoba menghadapi mereka dan kalau mungkin menghalau mereka pergi.” “Hanya untuk dihalau?“ bertanya Glagah Putih. “Itu lebih baik daripada membunuh mereka. Kita tidak menambah jumlah orang yang mendendam.” Glagah Putih tidak sempat menjawab. Kelima orang yang mengepungnya berdua dengan Agung Sedayu telah merapat. Karena itu, maka baik Agung Sedayu maupun Glagah Putih segera meloncat turun pula. Dalam pada itu, bulan sepotong yang naik diatas permukaan air laut yang bergejolak dihempas angin, nampak semakin tinggi. Meskipun cahayanya tidak terlalu terang, namun pantai yang gelap itu perlahan-lahan telah berubah. Tetapi Agung Sedayu dan Glagah Pulih tidak sempat melihat buih ombak yang menjadi kemerahmerahan. Yang mereka hadapi adalah kelima orang yang benar-benar telah mengepung dengan rapat. Dalam pada itu Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berdiri diatas pasir pula. Merekapun membiarkan kuda mereka tanpa terikat. Beberapa langkah Agung Sedayu bergeser diikuti oleh Glagah Pulih sehingga kelima orang lawannyapun bergeser pula. Dengan demikian maka kedua ekor kuda Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berada diluar kepungan. “Apakah yang sebenarnya kalian kehendaki,“ bertanya Agung Sedayu. “Kau,“ jawab salah seorang lawannya dengan singkat. Agung Sedayu merasa bahwa tidak ada gunanya lagi untuk berbicara. Karena itu, maka iapun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Sementara itu, seorang anak muda yang berdiri agak jauh dari arena itu telah mengikat kudanya pada sebatang pokok pandan yang mencuat agak tinggi. Kemudian dengan hati-hati ia berjalan mendekat

diantara pohon pandan yang satu dua masih terdapat meskipun sudah berjarak beberapa langkah dari tanah yang berawa-rawa. Dari antara daun-daun pandan anak muda itu melihat dari jarak yang agak jauh, apakah yang akan terjadi. Cahaya bulan yang buram telah menolongnya untuk dapat melihat meskipun tidak terlalu jelas. Tetapi bulan yang sepotong itupun cahayanya bagaikan pelita yang kehabisan minyak. “Akhirnya aku akan melihat, apa saja yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu. Jika ia berhasil lepas dari tangan kelima orang itu, maka ia benar benar seorang anak muda yang pilih tanding. Yang masih harus dipertimbanggkan lagi, apakah aku akan segera menantangnya berperang tanding. Tetapi jika kelima orang itu berhasil mengikat kaki dan tangannya, atau justru melumpuhkannya, maka akan dalang saatnya aku membunuhnya, meskipun aku harus menyembuhkannya lebih dahulu dari luka-lukanya.” Sabungsari pun kemudian beringsut setapak lagi. Ia ingin melihat apa yang akan terjadi. Bagaimanapun juga ia masih harus mengakui, bahwa kelima orang kepercayaannya itu memiliki kelebihannya masing-masing, sehingga apabila mereka berlima bertempur dalam satu kesatuan, mereka merupakan kekuatan yang luar biasa. Dalam pada itu, kelima orang yang mengepung Agung Sedayupun telah siap untuk bergerak. Sementara itu, Glagah Putih dengan hati hati berada dibelakang Agung Sedayu, menghadap kearah yang berbeda. “Kita akan segera mulai, Glagah Putih,“ desis Agung Sedayu. Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar sudah siap menghadapi segala kemungkinan. “Jangan mencoba menyerang,“ Agung Sedayu masih memperingatkan, “kau pusatkan segala kemampuanmu pada mempertahankan diri. Sebaiknya kau berusaha mengelak dan menghindari benturan.” Glagah Putih masih tetap berdiam diri. Tetapi ia telah menyiapkan diri untuk melakukan pesan kakak sepupunya itu. Sejenak kemudian, kelima orang yang mengepungnya itupun mulai bergerak. Mereka berputar mengitari kedua orang yang dikepungnya perlahan-lahan. Selangkah-selangkah. Seolah-olah mereka ingin melihat kedua lawannya dari segala arah. Agung Sedayupun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan, ia merasa bertanggung jawab atas keselamatan Glagah Putih, sehingga dengan demikian, maka ia harus berusaha melindunginya, melampaui dirinya sendiri. “Aku masih memberimu kesempatan Agung Sedayu,“ terdengar salah seorang lawannya menggeram disela-sela suara ombak yang masih selalu menggelegar.

“Jangan memaksa aku berbuat terlalu banyak,“ jawab Agung Sedayu, “aku sama sekali tidak ingin mengembangkan pertentangan dengan siapapun.” “Persetan,“ yang lain dari kelima orang itu memotong. Nampaknya ia sudah tidak sabar lagi. Bahkan iapun melangkah maju dengan serangan pendek. Agung Sedayu hanya beringsut sedikit. Ia sadar, bahwa serangan itu bukannya serangan yang sebenarnya. Namun iapun sadar, bahwa akan segera menyusul serangan berikutnya sehingga pertempuran itupun akan segera mulai pula. Seperti yang diperhitungkan, maka sejenak kemudian dua orang diantara mereka telah menyerang dengan garangnya. Agung Sedayu dengan tangkasnya mengelakkan serangan itu, sementara Glagah Putihpun telah meloncat selangkah kesamping. Tetapi ternyata bahwa seorang yang lain lelah memanfaatkan loncatan Glagah Putih itu. Dengan serta merta, ia-pun meloncat menyerang pula. Glagah Putih yang masih sangat muda didalam gejolak hitamnya olah kanuragan menjadi bingung. Pada saat-saat pertama dari pertempuran itu ia sudah kehilangan keseimbangan sikap. Namun untunglah bahwa Agung Sedayu sempat meloncat menyambar serangan lawan itu dengan membenturkan kekuatannya. Agung Sedayu memang tidak dapat berbuat lain. Namun benturan itu telah memperingatkan lawannya, bahwa Agung Sedayu mempunyai kekuatan yang harus mereka perhitungkan baik-baik. Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu harus bertempur dengan cermat. Bukan saja karena ia harus menghadapi lima orang lawan. Tetapi ia masih harus melindungi Glagah Putih. Pada permulaan dari pertempuran itu sudah mulai nampak. Glagah Putih mengalami kesulitan. Tetapi Glagah Putih bukannya seorang anak muda yang sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa. Seperti pesan kakak sepupunya, maka Glagah Putih memusatkan segenap kemampuannya pada usahanya menghindari lawan. Namun karena itulah, maka Agung Sedayu harus berjuang sekuat tenaganya. Bukan untuk menyelamatkan dirinya sendiri saja, tetapi juga untuk melindungi Glagah Putih. Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin seru. Glagah Putih berloncatan disekitar Agung Sedayu. Dengan bekal kemampuan yang ada ia berhasil

menyesuaikan dirinya, meskipun hanya sekedar menghindar dan berlindung dibelakang garis pertahanan Agung Sedayu. Sementara itu Agung Sedayu bertempur seperti seekor burung sikatan. Kakinya seolah-olah tidak lagi menyentuh tanah. Tubuhnya menjadi ringan seperti kapas, tetapi tenaganya menjadi sekuat tenaga ganda beberapa ekor banteng terluka. Seandainya Agung Sedayu tidak harus melindungi Glagah Putih, mungkin ia dapat bersikap lain. Mungkin ia masih mempunyai banyak pertimbangan untuk mengerahkan kemampuannya. Tetapi pada saat ia mempertanggung jawabkan keselamatan adik sepupunya, maka ia tidak mempunyai banyak pertimbangan lagi. sehingga seakan-akan diluar sadarnya, maka kemampuannya terperas tanpa kendali. Sesaat-sesaat Agung Sedayu masih sempat menilai tata geraknya sendiri. Ia merasakan beberapa dorongan yang tidak pernah dikenalnya sebelumnya. Namun iapun menyadari, pengaruh yang meresap didalam dirinya dan ungkapan ilmunya telah membuatnya menjadi semakin cekatan. Kelima lawannya yang semula menganggap bahwa betapapun tinggi ilmu Agung Sedayu, namun ia tidak akan dapat bertahan sampai menjelang fajar, ternyata mulai mereka meragukan. Bahkan kemudian ternyata bahwa Agung Sedayu mampu bergerak secepat tatit yang meloncat diudara. “Gila,“ geram salah seorang dari kelima lawannya, “setan manakah yang merasuk kedalam dirinya.” Namun yang dihadapinya adalah suatu kenyataan. Agung Sedayu bertempur sambil berputaran disekeliling adik sepupunya, seperti daun baling-baling yang berputar sepesat putaran angin pusaran. Glagah Putihpun akhirnya menjadi bingung. Bahkan kadang-kadang ia menjadi cemas, bahwa ialah yang akan terlanggar oleh Agung Sedayu. Namun gerakan Agung Sedayu ternyata cukup cermat, sehingga kelima lawannyapun menjadi kebingungan. Dalam pada itu, Sabungsari yang mengamati perkelahian itu dari kejauhanpun menjadi bingung. Ia tidak dapat melihat dengan jelas apa yang sudah terjadi. Loncatan-loncatan panjang yang susul menyusul, dan bahkan kadang-kadang bagaikan saling melontarkan, membuat perkelahian itu bagaikan benang yang kusut. “Gila,“ geram Sabungsari, “Agung Sedayu benar-benar seorang anak muda yang luar biasa. Namun, aku masih mempunyai kelebihan yang akan dapat melumpuhkannya, meskipun pada jarak beberapa langkah tanpa menyentuhnya dengan wadagku.” Sementara itu. kelima pengikut Sabungsari itupun berjuang dengan sekuat tenaga, dan dengan segenap kemampuan yang ada pada mereka. Bahkan ketika mereka tidak dapat menguasai keadaan, maka mulailah mereka dengan mengerahkan kemampuan mereka yang tersimpan dalam tenaga cadangan

mereka. Dengan demikian, maka Agung Sedayu mulai merasa, tekanan kelima orang lawannya menjadi semakin berat. Gerak merekapun seolah-olah menjadi semakin cepat, dan setiap benturan rasarasanya tenaga merekapun telah berlipat. Dalam keadaan yang demikian, kelima orang lawan Agung Sedayu merasa, bahwa mereka berhasil sedikit demi sedikit menguasai anak muda yang luar biasa itu. Saat-saat mereka berhasil menyentuh tubuh Agung Sedayu maka terasa tubuh itu terdorong surut. “Sebentar lagi, pekerjaan gila ini akan selesai. Anak muda itu akan menjadi lumpuh dan kami akan dapat mengikatnya. Tetapi rasa-rasanya belum puas kami belum dapat mematahkan tangan dan kakinya,” geram salah seorang lawannya didalam hati. Sementara yang lainpun dengan kemarahan yang membakar jantung lelah berusaha untuk menguasainya pula. Dalam pada itu, saat-saat Agung Sedayu mulai terdesak, Glagah Putih menjadi semakin sulit. Ia harus memeras tenaganya untuk menghindari serangan lawan-lawannya dan berlindung dibalik pertahanan Agung Sedayu yang mengendor. Berurutan kelima orang itu menyerang tiada putus-putusnya dari segala arah. Sekali-sekali tertuju kepada Glagah Putih, namun sebagian terbesar mereka arahkan kepada Agung Sedayu. Jika anak muda itu sudah mereka lumpuhkan, maka Glagah Putih bukan soal lagi bagi mereka. Agung Sedayupun kemudian merasakan tekanan yang menjadi semakin berat. Benturan-benturan yang terjadi, terasa seolah-olah tenaga lawannya menjadi bertambah-tambah. Kecepatan bergerak lawannyapun telah bertambah pula. Seorang diantara mereka mempunyai kekuatan yang luar biasa, sementara yang lain mampu bergerak mengimbangi kecepatan geraknya meskipun kekuatannya tidak terlampau besar. Pada saat yang demikian tidak ada pilihan lain bagi Agung Sedayu unluk mengimbangi kekuatan lawannya dengan kekuatan cadangannya. Kekuatan yang terlontar dari pemusatan tenaga yang tersimpan didalam dirinya. Pada hentakkan berikutnya, terasa kekuatan itu telah tersalur melalui ungkapan-ungkapan geraknya. Bahkan ternyata pada lontaran ilmunya, pengaruh yang ada didalam dirinya, karena kitab yang dibacanya itu menjadi semakin terasa. Kekuatan yang menjalari urat-urat nadinya bagaikan menyalurkan kesegaran baru didalam dirinya. Namun Agung Sedayu sendiri masih belum mampu menilai kekuatan yang seakan-akan baru baginya

yang menyusup kedalam ungkapan ilmunya. Karena itu, ia terkejut ketika kemudian terjadi sebuah benturan yang dahsyat. Demikian cepatnya, salah seorang lawannya melontarkan serangan mengikuti serangan kawannya, sehingga Agung Sedayu tidak mungkin lagi mengelakkannya. Karena itulah, maka terjadi sebuah benturan yang tidak diperhitungkannya lebih dahulu. Akibat dari benturan itu telah mengejutkan semua orang yang ada didalam arena pertempuran itu. Seorang dari lawan Agung Sedayu yang telah membentur kekuatan anak muda itu, ternyata telah terlempar lebih dari lima langkah. Kemudian jatuh berguling diatas pasir sehingga tubuhnya yang berkeringat, menjadi penuh oleh pasir yang melekat, seperti seekor ikan basah direndam didalam tepung. Bukan saja tubuhnya penuh berpasir. Namun oleh benturan yang dahsyat itu, dadanya menjadi bagaikan retak dan jantungnya seolah-olah runtuh dari tangkainya. Oleh kejutan itu, maka pertempuran itu seolah-olah telah terhenti sesaat. Semua orang berdiri tegak memandang orang yang masih tergolek diatas pasir karena dorongan kekuatan Agung Sedayu. Sementara itu, Sabungsari yang melihat perkelahian itu dari kejauhan, terkejut pula melihat akibat dari benturan itu. Mula-mula ia tidak begitu mengerti, apa yang telah terjadi. Namun kemudian ia melihat salah seorang dari para pengikutnya telah terlempar dan kemudian berguling-guling diatas pasir. Untuk beberapa saat orang itu tidak dapat lagi bangkit dan berdiri, sehingga dua orang kawannya dengan tergesa-gesa telah mendekatinya dan menolongnya. Agung Sedayu sendiri, untuk beberapa saat lamanya berdiri mematung. Ia tidak memperhitungkan bahwa akibat dari benturan kekuatan itu sedemikian dahsyatnya, sehingga lawannya terlempar dan terbanting diatas pasir. “Aku haras lebih mengenal diriku sendiri,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. “Mungkin tanpa mengenal nilai diri sendiri, aku akan semakin banyak melakukan kesalahan.” Sementara itu, maka tertatih-tatih orang yang terlempar itu berdiri dibantu oleh kedua orang lawannya. Namun nampaknya keadaannya sudah terlalu parah, sehingga tidak ada kemungkinan lagi baginya untuk turut serta didalam pertempuran selanjutnya. “Agung Sedayu,“ salah seorang lawannya tiba-tiba menggeram, “ternyata kau memang mempunyai kekuatan iblis. Kawanku telah terlempar dan terbanting sekaligus tanpa dapat bangkit lagi. Namun itu bukan berarti bahwa kau sudah menang. Yang kau lakukan hanyalah suatu peristiwa yang secara kebetulan telah terjadi, tetapi yang akibatnya akan mencekik lehermu sendiri. Jika kami tidak ingin membunuhmu, namun kemudian kami tidak mempunyai cara lain yang dapat kami lakukan untuk melumpuhkanmu daripada dengan senjata. Jika dengan demikian maka ujung senjata kami akan menyobek dadamu, maka itu bukan salah kami.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Wajahnya menjadi semakin tegang. Apalagi ketika terpandang olehnya Glagah Putih yang berdiri termangu-mangu.

“Jika pertempuran ini menjadi pertempuran bersenjata, maka Glagah Putih akan menjadi semakin sulit,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Sekilas terlihat olehnya salah seorang lawannya yang seakan-akan sudah tidak berdaya lagi. Ketika ia dilepaskan oleh kedua orang kawannya, hampir saja ia telah terjatuh lagi diatas pasir. Namun meskipun tertatih-tatih untuk sesaat, akhirnya ia dapat berdiri lagi meskipun keseimbangannya belum mantap. “Jangan menyesali nasibmu Agung Sedayu,“ berkata salah seorang lawannya yang sedang dibakar oleh kemarahan itu. Agung Sedayu beringsut setapak. Dibelakang Glagah Putih ia berdesis, “Kau harus lebih berhati-hati Glagah Putih. Pergunakan senjatamu untuk melindungi dirimu. Sesuaikan gerakmu dengan kedudukanku. Mungkin aku akan kehilangan perhitungan, sehingga kaulah yang harus berusaha menyesuaikan diri dalam keadaan yang sulit.” Glagah Putih mengangguk. Namun yang membesarkan hati Agung Sedayu, nampaknya Glagah Putih tidak menjadi ketakutan, gemetar dan kehilangan akal. Agaknya anak itu memang anak yang berani dan tidak mudah dikaburkan oleh keadaan. Bahkan sejenak kemudian, Glagah Putihpun telah menggenggam senjatanya. Tidak seperti senjata Agung Sedayu yang lentur. Tetapi Glagah Putih mempergunakan sebilah pedang yang tidak terlampau panjang meskipun anak itu tergolong bertubuh tinggi. “Jangan kehilangan perhitungan,“ desis Agung Sedayu kemudian. Glagah Putih tidak menyahut. Ketika ia mengedarkan pandangan matanya, ia melihat dalam keremangan cahaya bulan yang sepotong, lawan-lawannya juga sudah menggenggam senjata masingmasing. Bahkan orang yang sudah tidak mampu berdiri tegak itupun menggenggam senjatanya pula. Dalam pada itu, tiba-tiba saja seorang; dari lawannya berkata, “Kau jangan sombong anak muda, kami dapat mengatur perlawanan kami sebaik-baiknya. Seandainya kau mampu menghindari senjata kami, namun anak yang bertubuh tinggi itu tentu tidak akan dapat melepaskan diri. Kami akan membunuhnya dan mencincangnya tanpa ampun.” Agung Sedayu menggeram. Namun Glagah Putihlah yang menjawab, “Kematian tidak ditentukan oleh ujung senjata kalian. Tetapi masih ada kekuasaan yang dapat menentukan segala-galanya. Juga menentukan saat-saat kematianku. Jika aku akan mati, seandainya aku tidak bertemu dengan kalian disinipun aku akan mati. Apakah aku akan disambar petir atau disambar hiu atau oleh sebab-sebab yang lain.” “Gila,“ geram orang itu, “baiklah. Tetapi petir dan hiu akan membunuhmu dalam sekejap. Tetapi kami akan berbuat lain.

Kami dapat membunuhmu perlahan-lahan.” “Persetan.“ Glagah Putih menggeram. Sementara Agung Sedayu berkata, “Sudahlah. Jangan banyak menakut-nakuti lagi. Namun demikian, aku masih ingin bertanya, apakah kita memang akan mengakhiri perkelahian ini dengan ujung senjata ? Apakah tidak ada cara lain yang lebih baik dan tuntas. Dengan senjata kita hanya akan menemukan penyelesaian sementara. Jika kau berhasil membunuh aku, maka adik seperguruanku tentu akan mendendammu. Guruku tentu akan menuntut balas. Demikian pula sahabat-sahabatku, termasuk Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh. Bahkan mungkin Senopati Ing Ngalaga. Sebaliknya, jika aku yang berhasil membunuhmu, dendam itu akan tetap tersebar dimana-mana.” Orang-orang yang telah menggenggam senjata masing-masing itu justru menggerelakkan giginya. Salah seorang dari mereka berkata, “Jangan merajuk Agung Sedayu. Kita sudah berdiri diarena. Bahkan kita sudah saling berbenturan. Kenapa kau masih berbicara seperti itu? Bersiaplah untuk mati bersama anak dungu itu.” Agung Sedayu tidak menyahut lagi. Tidak akan ada gunanya untuk berbicara panjang lebar. Yang dihadapinya adalah senjata. Dan ia harus berusaha untuk berbuat sesuatu agar ia tidak mati terbunuh oleh senjata itu. Sejenak kemudian, maka ujung-ujung senjata itupun mulai bergerak dari segala arah. Lawannya dengan senjata mengepungnya untuk membagi perhatiannya. Agung Sedayu tidak mau menyesal karena kelengahannya. Karena itu maka sejenak kemudian, iapun telah mengurai cambuknya yang melilit dipinggangnya. Bagaimanapun juga, hati lawan-lawannya tergetar juga melihat senjata Agung Sedayu itu. Setiap orang dari mereka yang mengepungnya telah pernah mendengar, bagaimana ujung cambuk salah seorang dari orang-orang bercambuk itu menyayat kulit lawan-lawan mereka. Bahkan sentuhan juntai cambuk bercincin besi baja itu, dapat membelah kulit daging seperti tajamnya sebilah pedang. Namun yang harus dihadapi oleh Agung Sedayu saat itu adalah lima ujung senjata dari lima arah. Setiap saat ujung-ujung senjata itu dapat mematuknya. Kadang-kadang menyambar mendatar, terayun menyilang dan berputar seperti baling-baling. Sejenak Agung Sedayu berdiri tegak. Dipusatkannya perhatiannya kepada lawan-lawannya. Meskipun ia memandang kesatu arah, tetapi telinganya mendengarkan setiap desir disekitarnya, betapapun lembutnya. Karena itu, ketika salah seorang lawannya bergerak, meskipun ia berada dibelakang Agung Sedayu, anak muda itu dapat mengetahuinya, dan dengan sigapnya ia beringsut selangkah. Dan bahkan ujung cambuknyapun mulai bergetar pula. Kelima orang lawannya masih termangu-mangu sejenak.

Namun kemudian salah seorang diantara merekapun mulai memancing dengan gerakan pendek. Ujung senjatanya bagaikan menggapai meskipun tidak mencapainya. Agung Sedayu hanya beringsut pula. Sementara Glagah Putih selalu berusaha menyesuaikan dirinya. Pedangnya bersilang dimuka dadanya. Dengan hati-hati iapun bergegas dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. Gerak ujung-ujung senjata itupun semakin lama mejadi semakin cepat. Masing-masing berusaha untuk menarik perhatian Agung Sedayu. Namun kemudian serangan yang sebenarnya akan datang dari arah yang tidak terduga-duga. Tetapi Agung Sedayu cukup waspada. Ia mengerti apa yang akan dilakukan oleh kelima orang lawannya. Karena itu, maka justru ialah yang mendahului membetengi dirinya dengan senjatanya. Sesaat kemudian, maka kelima orang lawannya menjadi tercenung sejenak. Ketika Agung Sedayu memutar ujung cambuknya mendatar diatas kepalanya, maka mereka bagikan mendengar deru angin pusaran yang melampaui debur ombak pantai laut Selatan. “Gila,“ geram salah seorang dari mereka, “anak itu benar-benar mempunyai kekuatan iblis didalam dirinya.” Dalam pada itu Glagah Putihpun mengerutkan lehernya. Putaran ujung cambuk Agung Sedayu diatas kepalanya itu, benar-benar bagaikan deru angin yang membadai, mengguncang batang-batang pepohonan diseluruh daerah dan lembah-lembah. Karena itu, maka kelima orang lawannya benar-benar berhati-hati. Mereka mencoba untuk mendekat bersama-sama. Memancing perhatian dan kemudian menyerang dengan cepat susul menyusul secepat mereka harus berloncatan surut. Karena mereka sadar, jika cambuk Agung Sedayu itu menyentuh kulit, itu berarti bahwa kulit kulit mereka akan koyak karenanya. Namun kelima orang itu bukannya orang-orang lemah yang tidak berilmu. Meskipun jantung mereka menjadi berdebaran oleh putaran cambuk Agung Sedayu, namun bersama-sama mereka merupakan kekuatan yang tetap berbahaya bagi anak muda itu. Sejenak kemudian, maka kelima orang lawan Agung Sedayu itu mulai berloncatan. Serangan mereka dalang susul menyusul dari segala arah. Namun tidak seorangpun dari mereka yang berhasil menembus putaran juntai cambuk Agung Sedayu. “Ujung cambuk itu harus di tebas dengan tajam pedang,“ berkata salah seorang lawannya didalam hatinya.

Seorang diantara mereka yang berpedang tajam seperti pisau pencukur memberanikan diri untuk mencoba menebas ujung cambuk Agung Sedayu. Sejenak ia memperhatikan arah, dan memperhitungkan gelombang putarannya. Dengan cermat ia mengerahkan ilmu dan tenaganya. Ketika saat itu datang, maka tiba-tiba saja ia telah mengayunkan pedangnya menyilang putaran ujung cambuk Agung Sedayu. Terasa kekuatan yang besar membentur dan mengguncang tangan Agung Sedayu. Namun dengan gerak naluriah, maka iapun segera menarik cambuknya sendal pancing. Dalam pada itu, ketajaman pedang lawannya tidak berhasil memotong ujung cambuk Agung Sedayu yang terbuat dari janget yang khusus dan terikat oleh gelang-gelang besi baja pilihan. Karena itu, maka yang terjadi kemudian adalah bahwa ujung cambuk itu telah membelit pedang lawannya. Satu tarikan sendal pancing justru telah menghentakkan pedang itu dengan kekuatan yang luar biasa, seolah-olah pedang itu telah dihisap oleh kekuatan raksasa. Lawannya tidak berhasil mempertahankan pedangnya. Tangannya menjadi pedih dan bagaikan terkelupas kulit ditelapak tangannya, sehingga pedang itu tidak dipertahankannya lagi. Adalah mendebarkan jantung ketika orang-orang yang sedang bertempur itu melihat pedang itu melayang diudara. Kilatan cahaya bulan yang memantul nampak meluncur seperti cahaya lintang alihan. Agung Sedayu sendiri menjadi berdebar-debar. Pedang itu adalah pedang yang berat. Tetapi ternyata bahwa daya putar hentakan cambuknya dapat melemparkan pedang itu sampai jarak yang sangat jauh. Agung Sedayu dan orang diarena pertempuran itu tidak dapat melihat dengan jelas, dimanakah tepatnya pedang itu terjatuh. Bahkan Agung Sedayu yang mempunyai penglihatan yang tajam itupun hanya dapat melihat kilatan pedang itu meluncur dibalik gerumbul-gerumbul pandan. Namun ia tidak dapat melihat dengan jelas, saat pedang itu terjebur kedalam rawa-rawa. Namun dalam pada itu, seseorang yang bersembunyi dibalik gerumbul pandan, hatinya bagaikan tercengkam kuat-kuat oleh pesona yang mengejutkan. Sabungsari yang sedang bersembunyi itupun melihat kilatan pedang yang terlempar keudara. Kemudian meluncur seolah-olah mengarah kepadanya. Namun ternyata pedang itu bagaikan terbang diatasnya meluncur ke wara-rawa. “Gila,“ geramnya, “kekuatan apakah yang telah melontarkan pedang sejauh itu?” Jantung Sabungsari bagaikan berdentang lebih cepat. Ia telah melihat satu segi kelebihan dari Agung Sedayu, meskipun Agung Sedayu sendiri termangu-mangu karenanya. Kekuatan itu adalah kekuatan raksasa yang sebelumnya tidak diduga sama sekali oleh Sabungsari. “Kekuatan itu tentu dapat dipergunakannya untuk melemparkan aku kedalam rawa-rawa itu,“ desis

Sabungsari. Meskipun demikian, namun Sabungsari masih mempunyai kebanggaan tentang dirinya. Dengan sorot matanya ia akan dapat melumpuhkan kekuatan lawan yang betapapun besarnya. “Aku dapat meretakkan dada Agung Sedayu dari jarak beberapa langkah,“ berkata Sabungsari kepada diri sendiri, betapapun kuat tenaganya asal tidak sempat meraba tubuhku, maka ia akan dapat aku lumpuhkan. Aku buat ia menyesali segala tingkah lakunya sambil berguling-guling ditanah oleh perasaan sakit yang tidak ada taranya, sementara aku akan meremas jantungnya dengan tatapan mataku.” Sabungsari menggerelakkan giginya. Dendamnya justru menyata semakin dahsyat didalam dadanya. Sementara itu. Agung Sedayu masih termangu-mangu sejenak. Namun lawannya yang lainpun tiba-tiba saja telah berloncatan menyerang dari segala arah. Orang yang kehilangan pedangnya itu meloncat mendekat kawannya yang sudah tidak banyak dapat membantunya sambil menggeram, “Serahkan pedangmu. Dan pergilah jauh-jauh. Kau perlu menyelamatkan dirimu dari perkelahian yang menggila ini. Agung Sedayu ternyata bukan manusia sewajarnya. Ia mempunyai kekuatan iblis.” Kawannya yang sudah terlalu lemah itu tidak membantah. Diberikannya pedangnya dengan ragu-ragu. Namun kawannya menggeram sekali lagi, “Pergilah. Jangan membiarkan dirimu terperosok ketangannya jika akhir dari perkelahian ini bukannya seperti yang kita perhitungkan.” Orang yang sudah terlalu lemah itu bergeser menjauh, mendekati kudanya. Ia sudah bersiap untuk melarikan diri jika keadaan memaksa demikian. Yang telah terjadi itu ternyata telah menumbuhkan gagasan bagi Agung Sedayu untuk mengakhiri pertempuran. Jika ia dapat merampas senjata-senjata lawannya dengan cara yang serupa, maka ia akan dapat menguasai lawannya yang akan menghentikan perlawanannya. Karena itu, maka Agung Sedayupun segera memperhitungkan keadaan sebaik-baiknya. Ia haras dapat menjerat senjata lawan atau menyakiti pergelangan tangan lawannya, sehingga senjatanya terlepas. Karena itulah, maka Agung Sedayupun kemudian memusatkan perhatiannya kepada senjata dan tangan lawannya yang meggenggam senjata. Sejenak pertempuran itu masih berlangsung dengan sengitnya. Serangan lawannya yang sudah berkurang jumlahnya itu sekali-kali mengarah kepada Glagah Putih. Tetapi karena ujung cambuk Agung Sedayu yang berputar, maka mereka tidak sempat menjangkau jarak dengan ujung pedangnya. Apalagi Glagah Putih mampu bergeser dan menangkis serangan yang kurang cermat itu.

Bahkan sesaat kemudian, Agung Sedayulah yang nampaknya menekan lawan-lawannya dengan rencananya. Sekali-sekali senjatanya yang berputar itu melenting dan meledak dengan dahsyatnya. Suaranya bergema disela-sela bukit pasir yang berserakan dipesisir, mengatasi deru ombak dan angin. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Sabungsari melihat perkelahian itu. Dadanya semakin berdentangan melihat perlawanan Agung Sedayu atas empat lawannya yang sudah mengerahkan segenap kemampuannya. Bukan saja tenaga wajarnya, tetapi mereka sudah mengerahkan tenaga cadangan menurut kemampuan mereka masingmasing. Tetapi Agung Sedayu benar-benar seorang yang luar biasa. Pada saat yang demikian itu, Sabungsari telah dicengkam oleh keragu-raguan. Rasa-rasanya jantungnya menjadi gatal, untuk segera meloncat meremas dada Agung Sedayu dengan kekuatan matanya. Ia hanya memerlukan beberapa puluh langkah mendekati arena. Kemudian dengan sepenuh hati memusatkan segenap kekuatan dan kemampuannya pada pandangan matanya. “Betapapun besar daya tahannya, ia akan jatuh terkulai dipasisir tanpa mampu melawan. Ombak yang dilemparkan angin itu akan menyeretnya hanyut ketengah lautan, menjadi makanan ikan hiu yang garang,” geram Sabungsari. Namun hatinya tersentak oleh kenyataan, bahwa ujung cambuk Agung Sedayu telah mampu merenggut sehelai pedang lagi dan melemparkannya jauh-jauh. “Gila,“ geram Sabungsari. Sejenak ia terpukau oleh keadaan. Hampir terpekik ia melihat pedang berikutnya telah terlempar pula. Keempat lawannya menjadi termangu-mangu. Dua diantara mereka tidak bersenjata lagi. Tetapi agaknya mereka tidak berputus asa. Setelah saling berbisik sejenak, maka keduanya telah memencar dari arah yang berlawanan. “Jangan mengira bahwa kami telah kehilangan kemampuan untuk melawan,“ berkata salah seorang dari mereka, “kawankawan kami yang sudah tidak berpedang akan membunuhmu dengan lonlaran pisau-pisau belatinya.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Hal itu memang tidak mustahil. Orang-orang itu memang mungkin membawa pisau-pisau belati. Karena itu, Agung Sedayu tetap berhati-hati. Ia masih memutar cambuknya. Bahkan semakin lama seakan-akan menjadi semakin cepat, sehingga suaranya-pun meraung semakin keras.

Sesaat kemudian, maka lawan-lawannyapun mulai menyerang lagi. Kedua orang yang masih berpedang itu menyerang dari arah yang berlawanan, sementara yang lain benar-benar telah menggenggam pisau belati yang tidak terlalu panjang, siap untuk dilemparkan. Dengan hati-hati Agung Sedayu menilai keadaan. Dua orang lawannya yang berpedang ternyata tidak mendekatinya lagi. Mereka hanya mengacu-acukan pedangnya dari jarak yang agak jauh, sementara yang lain nampaknya siap untuk menyerang dengan pisau-pisaunya. Untuk sesaat, Glagah Putih berdiri saja termangu-mangu. tetapi ia tidak lengah sama sekali. Ia sadar, bahwa pisau belati lawannya dapat meluncur kearahnya. Seperti yang diperhitungkan oleh agung Sedayu, maka sejenak kemudian, lawan-lawannya telah mengambil suatu kesempatan untuk menyerang bersama-sama. Dua orang telah melontarkan pisaunya kearah Agung Sedayu, sehingga ia berusaha untuk menangkisnya dengan putaran cambuknya. Namun pada saat yang bersamaan, seorang lawannya yang berpedang meloncat dengan garangnya, menyusup dibawah putaran cambuk Agung sedayu yang sedang menangkis serangan pisau itu. Ujung pedangnya terjulur lurus mengarah keleher Agung Sedayu. Namun ternyata bahwa agung Sedayu sempat meloncat kesamping menghindarkan diri dari serangan pedang itu. Bahkan kemudian ia mengibaskan ujung cambuknya yang telah berhasil menyentuh pisau-pisau yang terbang kearahnya untuk menghentikan serangan pedang dan bahkan mendesak lawannya untuk meloncat surut. Tetapi ternyata bahwa lawan-lawannyapun telah-membuat perhitungan yang cermat. Pada saat yang demikian itulah, maka lawannya yang seorang lagi telah mempergunakan kesempatan itu sebaikbaiknya. Dengan serta merta ia menyerang Glagah Putih. Ayunan pedangnya yang dilambari dengan segenap kemampuannya telah membuat anak muda itu berdebar-debar. Demikian cepatnya lawannya mempergunakan kesempatan yang ada sehingga Glagah Pulih tidak sempat meloncat untuk mengelakkan diri. Karena itu yang dapat dilakukannya adalah menangkis serangan itu dengan senjatanya pula. Tetapi demikian kerasnya benturan yang terjadi, maka Glagah Putih tidak berhasil mempertahankan pedangnya, sehingga pedangnya itupun telah terlempar jauh. Saat itulah yang diperlukan oleh lawannya. Dengan cepatnya ia meloncat maju mendekati Glagah Pulih. Ujung pedangnya langsung mengarah kedadanya. Glagah Putih mencoba untuk menghindarkan diri dari ujung pedang itu. Namun ternyata bahwa lawannya telah mengayunkan kakinya mendatar, memotong gerak Glagah Putih. Terdengar anak muda itu mengeluh pendek, karena kaki lawannya lelah mengenai lambungnya. Belum lagi ia sempat memperbaiki keadaannya, tiba-tiba saja terasa tangan lawannya melingkar dilehernya dan ujung pedangnya menekan punggung. Pada saat yang bersamaan, terdengar dua orang lawan agung Sedayu terpekik. Seorang terlempar

berguling-guling sambil memegang lambungnya, sementara yang lain terdorong beberapa surut dan terjatuh diatas lututnya. Ketika Agung Sedayu siap melumpuhkan lawannya yang seorang lainnya, terdengar orang yang mengancam Glagah Putih itu berteriak, “Agung Sedayu. Lihat, adikmu siap untuk aku bantai disini.” Agung Sedayu terkejut. Ketika ia berpaling, dilihatnya Glagah Putih benar-benar telah dikuasai oleh lawannya. Terasa jantung Agung Sedayu terguncang. Sesaat ia telah hanyut dalam arus perasaannya untuk menghalau lawan-lawannya. Namun salah seorang dari mereka sempat menyusup disela-sela pertahanannya dan menguasai Glagah Putih. Dengan ragu-ragu Agung Sedayu kemudian berdiri tegak. Dua orang lawannya telah dilukainya dengan cambuknya. Yang seorang lambungnya telah terluka menyilang sedang yang seorang lagi, kakinya bagaikan disayat, tetapi yang seorang lagi, masih sempat menghindar dan menyelamatkan diri dari senjata Agung Sedayu-Justru pada saat-saat yang gawat, kawannya telah berhasil menguasai Glagah Putih yang menggeram menahan kemarahan yang meledak didadanya. “Agung Sedayu,” terdengar suara lawannya yang menguasai Glagah Putih, “kau dapat membunuh kawan-kawanku, tetapi adikmu akan mati pula diujung senjataku, aku dapat menekan ujung pedangku dan membunuhnya disini.” “Tetapi kau akan mati juga,“ geram Agung Sedayu. “Akibat yang sudah aku perhitungkan. Tetapi aku sudah puas karena aku sudah membunuh Glagah Putih.” Jantung Agung Sedayu bagaikan berdentangan didalam dadanya. Untuk sesaat ia berdiri merenungi adik sepupunya yang tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Tekanan ujung senjata dipunggungnya serasa semakin keras, seolah-olah mulai melubangi kulitnya. Kawan-kawan yang telah berhasil menguasai Glagah Putih itupun kemudian mulai membenahi diri. Yang terluka mencoba untuk menahan darah yang mengalir, sementara yang seorang lagi masih menggenggam pedang ditangannya pula. “Lepaskan senjatamu agung sedayu,“ geram orang yang menguasai Glagah Putih itu. Agung Sedayu masih berdiri termangu-mangu.

“Lepaskan Agung Sedayu,“ ulang lawannya yang lain. “Dosamu sudah terlalu besar untuk dibiarkan berkembang terus. Pada saatnya kau memang harus dihadapkan pada suatu pengadilan yang akan memperhitungkan segenap dosa dan kesalahanmu.” Agung Sedayu masih berdiri diam. “Cepat lepaskan senjatamu, atau anak ini akan terkapar mati.“ bentak orang yang menguasai Glagah Putih. Tetapi diluar dugaan. Glagah Putih menggeram, “jangan hiraukan aku kakang. Bunuh mereka semuanya. Tanpa aku, kau tentu akan segera dapat melakukannya.” Jawaban Glagah Putih itu membuat para pengikut Sabungsari itu menjadi berdebar-debar, mereka sadar, jika Agung Sedayu tidak menghiraukan adik sepupunya, maka ia tentu akan dapat membunuh kelima orang itu. Tetapi orang-orang itu berkeyakinan, bahwa Agung Sedayu tidak akan membiarkan adiknya itu terbunuh. “Kakang,” teriak Glagah Putih, “apapun yang terjadi, jangan lepaskan senjatamu. Jika kakang melakukannya, akhirnya aku akan dibunuhnya juga. Bahkan kemudian kakang Agung Sedayu. Karena itu, biarkan aku. Bunuh mereka berlima, mumpung senjata kakang masih ada ditangan.” “Tutup mulutmu,“ bentak orang yang menekankan pedangnya dipunggung Glagah Putih, “jika kau membuka mulutmu sekali lagi, punggungmu akan koyak oleh pedang ini.” “Aku tidak peduli,“ Glagah Putih masih berteriak. Namun ternyata Agung Sedayu mempunyai pertimbangan lain. Ia mulai menjadi ragu-ragu dan bingung. Apakah yang sebaiknya dilakukan menghadapi saat-saat yang sulit seperti itu. “Cepat,“ teriak lawannya, “lepaskan senjatamu dan minggir dari arena ini. Kau harus menurut segala perintahku. Jika tidak, maka anak ini akan mati.” Agung Sedayu masih berdiri termangu-mangu. Namun sekali lagi ia mendengar lawannya membentak, “Cepat.” Tidak ada yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu. Sesaat ia memperhatikan lawan-lawannya. Yang seorang sudah berada dipunggung kudanya. Yang empat orang berdiri tegak disekitarnya, sementara seorang diantaranya telah mengancam Glagah Putih dengan pedang dipunggungnya. “Apa yang dapat aku lakukan sekarang,“ keluh Agung Sedayu didalam hatinya. Sementara itu dikejauhan Sabungsari melihat semuanya yang terjadi. Sekilas nampak ia tersenyum.

Namun dahinya mulai berkerut ketika ia mulai membuat pertimbangan-pertimbangan. Akhirnya Sabungsaripun menjadi ragu-ragu. Ada keinginannya untuk membuat penyelesaian pada saat itu juga. Orang-orangnya akan dapat tetap menahan Glagah Putih, sementara ia berperang tanding dengan Agung Sedayu. “Aku tentu akan dapat membunuhnya,“ berkata Sabungsari didalam hatinya. Namun tiba-tiba saja ia mengerutkan keningnya. Ia melihat Agung Sedayu kemudian melepaskan senjatanya dan melangkah surut. Sabungsari menjadi berdebar-debar. Jika orang-orangnya tidak dapat mengendalikan diri, maka Agung Sedayu akan mengalami nasib yang buruk sebelum ia sempat berbuat sesuatu untuk melepaskan dendamnya. “Cepat,“ salah seorang dari para pengikut Sabungsari itu membentak. Agung Sedayu melangkah lagi beberapa langkah, sementara Glagah Putih berteriak, “Jangan kakang. Jangan.” Tetapi suara Glagah Putih bagaikan lenyap ditelan ombak. Agung Sedayu masih tetap melangkah beberapa langkah menjauhi cambuknya yang tergolek di pasir. “Kau harus menyerah Agung Sedayu,” berkata orang yang menguasai Glagah Putih, “seorang kawanku akan mengikat tanganmu dan membawamu kembali ke Jati Anom.” “Tetapi aku minta kesanggupanmu. Glagah Putih akan kalian lepaskan,“ jawab Agung Sedayu. “Kami akan melepaskannya, selelah tanganmu terikat dan kau tidak akan melawan lagi.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Yang terdengar adalah teriakan Glagah Putih, “Jangan hiraukan aku.” Tetapi Agung Sedayu tidak dapat berbuat demikian. Ia tidak dapat mengorbankan Glagah Putih. Disaat mereka berangkat, maka pamannya telah menyerahkan Glagah Putih kepadanya. Karena itu, maka akhirnya ia berkata, “Aku akan menyerah, tetapi dengan janji bahwa Glagah Putih tidak akan kalian apa-apakan. Kalian akan melepaskan anak itu kembali ke padepokannya dengan selamat.” “Menyerahlah. Kami berjanji.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil mengulurkan kedua tangannya ia berkata, “Aku menyerah.” Sejenak keempat lawannya menjadi ragu-ragu. Namun kemudian salah seorang berkata, “Kita ikat tangannya. Kita akan membawanya ke Jati Anom seperti yang seharusnya kami lakukan.” Dengan ragu-ragu ketiga orang lawannya pun mendekat. Kemudian salah seorang berteriak, “Tanganmu dibelakang.” Agung Sedayu tidak dapat berbuat lain. Disilangkannya tangannya dibelakang. Dan iapun hanya dapat menggerelakkan giginya ketika lawannya mengikat tangannya, justru dengan juntai cambuknya. “Aku tahu, cambukmu adalah cambuk yang luar biasa. Dengan tampar yang biasa kau mungkin akan dapat menghentakkannya sampai putus oleh kekuatanmu yang luar biasa. Tetapi aku yakin, bahwa kau tidak akan mampu memutuskan juntai cambukmu.” Terasa pergelangan tangan Agung Sedayu menjadi sakit. Ia merasakan betapa kuatnya juntai cambuknya. Jika semula ia masih berharap untuk dapat memutuskan tali pengikat tangannya, maka kemudian ia telah kehilangan harapan. Bagaimanapun juga, ia merasa bahwa ia tidak akan dapat memutuskan juntai cambuknya, meskipun ia mengerahkan segenap kekuatan cadangannya. “Tidak ada kekuatan yang dapat memutuskan janget cambuk itu,“ berkata agung Sedayu didalam hatinya. “He. apakah kau sudah mengikatnya kuat-kuat?“ teriak orang yang menguasai Glagah Putih. “Sudah,“ teriak kawannya. “Bawa kuda itu kemari. Kita akan berangkat sekarang membawa dua orang tawanan ini.” Giagah Putih mengumpat. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Apalagi ketika Agung Sedayu sudah terikat tangannya justru dengan ujung cambuknya sendiri. Sejenak kemudian, maka pengikut Sabungsari itu sudah menyiapkan kuda-kuda mereka serta kuda Agung Sedayu dan Glagah Putih. Tanpa dapat membantah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun didorong keatas punggung kuda masing-masing. “Jangan berbuat sesuatu yang dapat mencelakakan dirimu sendiri,“ ancam salah seorang dari kelima orang pengikut Sabungsari itu, “jika Glagah Putih mencoba melarikan diri, maka Agung Sedayu akan mati seketika. Tetapi jika Agung Sedayu yang mencoba melarikan diri, maka Glagah Putih akan kami

cincang menjadi sembilan.” Agung Sedayu tidak menyahut. Yang terdengar adalah Glagah Putih menggeram. Sejenak kemudian, maka terdengar salah seorang dari mereka meneriakkan perintah, “Kita berangkat sekarang. Kita akan berhenti jika matahari terbit. Sebaiknya dihutan yang tersembunyi. Sehari penuh kita akan menunggu. Baru jika matahari terbenam, kita akan melanjutkan perjalanan sampai ketlatah Jati Anom. Kita tidak akan langsung pergi ke Kademangan Jati Anom atau ke padepokan kecil itu atau kerumah Untara. Kita akan menunggu di tengah-tengah hutan sebelah Utara Lemah Cengkar. Kau memang akan kami korbankan sebagai makanan Harimau Putih di hutan itu.” Agung Sedayu tetap tidak menjawab. Sementara Glagah Putih menjadi semakin marah. “Marilah. Kau berada ditengah anak bengal,“ perintah salah seorang dari mereka. Glagah Putih tidak dapat mengelak. Ia berkuda dipaling depan diikuti oleh seorang lawannya. Dibelakang orang itu adalah AgungSedayu yang terikat. Sementara keempat orang yang lain. berada dibelakangnya dengan senjata ditangan. Pedang-pedang yang terlempar di rawa-rawa tidak dapat dipungut lagi, sehingga ada diantara mereka yang hanya menggenggam pisau belati. Agak jauh dibelakang mereka, Sabungsari telah bersiap-siap pula. Tetapi ia tidak tergesa-gesa. Ia tidak perlu lagi mengikuti orang-orangnya, karena mereka akan langsung pergi ke Jati Anom. meskipun mereka masih akan berhenti lagi disiang hari besok. “Aku harus mendahului mereka. Jika mereka mencari aku di Jati anom, aku harus sudah berada ditempat,“ berkata Sabungsari kepada diri sendiri. Karena itulah, maka ia justru membiarkan orang-orangnya berlalu. Ia akan menempuh jalan lain yang lebih baik. Ia tidak perlu mengikuti jejak pengikut-pengikutnya yang telah berhasil membawa Agung Sedayu dan Glagah Putih. “Akhirnya anak itu dapat juga dikuasai oleh orang-orangku,“ berkata Sabungsari didalam hatinya. Namun ketika ia sudah berada dipunggung kudanya, maka ia mulai menilai keadaan Agung Sedayu. Agung Sedayu dapat dikuasai oleh kelima kawannya bukan karena ia tidak dapat mengimbangi kemampuan kelima lawannya itu. Tetapi justru karena kelengahan Glagah Putih. Dengan mengancam Glagah Putih, maka baru Agung Sedayu dapat mereka langkap dan mereka ikat tangannya. Bahkan kemudian Sabungsari tidak dapat ingkar akan kemampuan bertempur Agung Sedayu. Anak muda itu ternyata mempunyai kekuatan yang luar biasa. Dengan cambuknya yang membelit pedang lawannya, ia berhasil melontarkan pedang itu jauh-jauh. Bahkan diluar nalar. Pedang yang besar itu meluncur seperti anak panah yang lepas dari busurnya.

“Tentu kekuatan raksasa,” geram Sabungsari. Selain kekuatan raksasa itu, maka kecepatan bergerak Agung sedayu benar-benar menakjubkan. Jika ia tidak terpancing menjauhi Glagah Pulih , maka mungkin kelima orang lawannya akan dapat dibunuhnya. Namun tiba-tiba Sabungsari mengerutkan keningnya. Ia menjadi ragu-ragu, apakah Agung Sedayu benar-benar akan melakukanya demikian. “Apakah jika pertempuran itu berlangsung terus tanpa Glagah Pulih. Agung Sedayu akan membunuh kelima orang lawannya,“ bertanya Sabungsari didalam hatinya. Agung Sedayu memang mampu bergerak cepat. Ujung cambuknya telah berhasil melemparkan beberapa pedang lawannya. Bahkan melukai lawannya sehingga mereka berdarah. Tetapi apakah benar-benar ujung cambuk Agung Sedayu langsung menggapai nyawa lawannya? Pertanyaan itu ternyata menumbuhkan keragu-raguan Sabungsari. Jika benar seperti yang didengarnya, bahwa Agung Sedayu adalah seorang pembunuh yang paling buas dipeperangan, maka apakah ia tidak mempunyai cara bertempur yang lain yang lebih garang dan kasar? Namun Sabungsari menggerelakkan giginya sambil menggeram, “Kelengahannya terletak pada Glagah Putih. Tanpa Glagah Putih ia akan menajdi iblis yang paling kasar dan buas.” Sabungsari mencoba membuang segala kesan keragu-raguannya terhadap Agung Sedayu. Bagaimanapun juga Agung Sedayu harus dibunuhnya, ia mempunyai cara tersendiri untuk mengalahkan Agung Sedayu yang bagaimanapun tinggi kemampuannya. Karena itu, maka Sabungsari pun kemudian melanjutkan perjalanannya. Tetapi ia tidak mengikuti jalan yang ditempuh oleh para pengikutnya. Ia mencari jalan sendiri yang paling baik menurut perhitungannya, sehingga ia akan lebih cepat sampai ke Jati Anom. Dengan demikian, maka Sabungsari meninggalkan pantai berpasir. Ia mencoba mencari jalan yang lebih keras, semakin lama semakin jauh dari gelora ombak yang menghentak-hentak. Dibawah cahaya bulan sepotong, Sabungsari menemukan jalan setapak yang membawanya kejalan yang lebih besar melalui padukuhan-padukuhan kecil yang tersebar disebelah padang ilalang yang luas. Sementara itu. Agung Sedayu dan Glagah Putih harus mengikuti jalan yang dipilih oleh kelima orang yang menawan mereka. Agaknya mereka masih harus menyusuri pantai beberapa saat lamanya, kemudian mereka akan menuju kebutan perdu disebelah bukit-bukit yang menjorok. “Kita akan memasuki hutan perdu dan beristirahat sehari penuh. Agar tidak seorangpun yang melihat keadaan kita yang aneh ini.”

Agung Sedayu sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun. Dipandanginya Glagah Putih dalam keremangan cahaya bulan. Dibelakang Glagah Putih seorang lawannya berkuda dengan senjata terhunus. Sedang agung Sedayupun sadar, bahwa keempat orang lainnya berkuda dibelakangnya. Meskipun nampaknya Agung Sedayu hanya menundukkan kepalanya saja, dan hanya sekali-sekali memandang kedepan, namun sebenarnya ia sedang berpikir keras. Sudah barang tentu ia tidak akan menyerahkan dirinya apalagi Glagah Putih untuk mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan. Terlebih-lebih jika Glagah Putih akan mengalami bencana atau bahkan kematian. Tetapi tidak mudah bagi Agung Sedayu untuk mencari jalan melepaskan diri dari ikatan juntai cambuknya sendiri. Bahkan rasa-rasanya pergelangan tangannya menjadi sakit. Juntai cambuknya tidak terlalu lemas dan bahkan seakan-akan telah mengelupas kulitnya. Agung Sedayu sama sekali tidak berniat untuk berusaha memutuskan ujung cambuknya, karena ia menyadari , bahwa hal itu hampir tidak mungkin dilakukannya. Namun Agung Sedayu harus menemukan cara yang lain sebelum ia sendiri dan Glagah Putih dibantai oleh orangorang yang tidak dikenalnya. Sejenak Agung Sedayu mencoba memperhitungkan kekuatan kelima orang lawannya. Tiga orang sudah dilukainya. Yang luka dilambung dan tersayat kakinya tentu menjadi semakin lemah oleh darahnya yang mengalir. Tetapi Agung Sedayupun menyadari, bahwa mereka tentu mempunyai obat yang untuk sementara dapat menolong mereka, memampatkan darah dari luka itu. Dalam pada itu, mereka yang berkuda beriringan itupun mulai menjauhi pantai berpasir. Mereka memasuki daerah yang berumput ilalang. Semakin lama semakin lebat. Dan akhirnya mereka mendekati sebuah hutan yang cukup luas. “Kita akan berhenti diujung hutan perdu itu,“ berkata orang yang berada dibelakang Glagah Putih, “kalian berdua akan kami ikat pada sebatang pohon yang cukup kuat. Tentu ada beberapa pohon yang cukup besar untuk mengikat kalian. Seandainya Agung Sedayu mempunyai kekuatan seekor gajahpun. ia tidak akan dapat melepaskan diri sama sekali. Apalagi taruhan dari usaha melepaskan diri itu adalah adiknya.” Agung Sedayu masih tetap berdiam diri. Namun pikirannya berjalan terus. Berputar-putar dari satu pertimbangan kepertimbangun yang lain. Ia tidak begitu saja percaya, bahwa Glagah Putih benarbenar akan dilepaskan. Angin malam yang basah bertiup semakin kencang. Seolah-olah titik air telah hanyut dari permukaan laut. Sehingga malampun menjadi semakin dingin karenanya.

Ketika iring-iringan itu mulai memasuki hutan perdu, maka dada Agung Sedayu pun menjadi semakin berdebar-debar. Mungkin seperti yang dikatakan oleh orang bersenjata dibelakang Glagah Putih bahwa mereka akan menunggu sehari sampai matahari terbenam diesok hari. Tetapi mungkin mereka berdua. Agung Sedayu dan Glagah Putih, akan dibantai dihutan perdu dan mayatnya akan dibiarkan menjadi makanan burung gagak. Ketika Agung Sedayu kemudian menengadahkan wajahnya, maka dilihatnya bintang-bintang dilangit telah bergeser ke barat. Bintang Gubug Penceng diujung Selatan telah condong jauh ke Barat, sehingga dengan demikian Agung Sedayu mengerti, bahwa sebentar lagi langit akan menjadi merah oleh fajar. Sekilas dipandangnya bulan sepotong yang kemerah-merahan tergantung dilangit. Selembar awan yang hanyut dipermukaannya mengalir ke Utara. Agung Sedayu menjadi gelisah. Bahkan ia berkata didalam hatinya, “Aku harus menemukan jalan. Apapun yang akan terjadi dengan mereka, adalah akibat yang barangkali tidak aku kehendaki. Tetapi aku tidak dapat membiarkan diriku sendiri dan Glagah Putih menjadi korban keganasan mereka. Sambil menggeram Agung Sedayu memandang punggung orang yang berkuda dihadapannya mengikuti Glagah Putih. Dipandangnya punggung itu sejenak. Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar ketika ia mendengar orang itu berteriak, “Jangan berbuat gila apapun juga Glagah Putih Aku dapat membunuhmu dengan caraku.” Agung Sedayu menggerelakkan giginya. Ia menjadi semakin tidak percaya bahwa orang-orang itu akan memberikan kesempatan kepada Glagah Putih untuk kembali kepadepokannya. Karena itu, maka iapun semakin yakin akan niatnya untuk melepaskan diri dari kekuasaan kelima orang itu. Tetapi ia masih belum menemukan caranya. Tiba-tiba Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ia melihat suatu kemungkinan yang dapat dilakukannya. Tetapi mungkin ia harus mengorbankan lawannya dan dendampun menjadi semakin menyala “Tetapi itu lebih baik daripada Glagah Putih lah yang akan menjadi korban,“ geram Agung Sedayu. Akhirnya, setelah dipertimbangkannya berulang kali, maka iapun menggeram didalam dadanya, “Apaboleh buat.” Agung Sedayu menarik napas dalam-dalam. Dipandanginya orang yang berkuda didepannya. Kemudian iapun berpaling melihat keempat orang yang mengikutinya.

Ternyata bahwa keempat orang yang ada dibelakangnyapun berurutan pada jarak yang tidak terlalu dekat. Mereka yang sudah terluka nampaknya menjadi terlalu lemah dan tidak lagi mempunyai gairah diperjalanan. “Meskipun demikian, jika hidupnya terancam, mereka masih dapat berbuat dengan liar dan buas. Bahkan orangorang terluka itulah yang akan kehilangan pertimbangan dan membunuh dengan semenamena,“ berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri. Dalam pada itu. Agung Sedayu telah bertekad bahwa ia harus melepaskan diri bersama Glagah Putih sebelum fajar menyingsing. Sebelum lawannya menentukan sikap lebih jauh dihutan perdu dihadapan mereka. “Mumpung masih dalam iring-iringan ini,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Sesaat kemudian Agung Sedayupun beringsut, seolah-olah ia menempatkan diri sebaik-baiknya diatas punggung kudanya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia bergumam kepada diri sendiri, “Apaboleh buat.” Sekali lagi Agung Sedayu berpaling. Dilihatnya orang-orang yang dibelakangnya terkantuk-kantuk diatas punggung kudanya. Silirnya angin malam dan redupnya cahaya bulan sepotong, membuat hati orang-orang itu meremang pula. Sejenak kemudian Agung Sedayupun mempersiapkan diri. Dipusatkannya segenap kekuatan lahir dan batinnya. Dipandanginya punggung orang berkuda dihadapannya. Tiba-tiba saja sepinya sisa malam itu telah dikoyakkan oleh suara jerit yang melengking. Orang berkuda dibelakang Glagah Putih itupun meronta dan bagaikan dilemparkan ia terpelanting jatuh dari kudanya. Peristiwa itu benar-benar telah mengejutkan. Glagah Putih yang berada dipaling depan cepat berpaling. Dilihatnya orang berkuda dibelekangnya telah terpelanting jatuh. Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Ia masih melihat orang itu menggeliat sambil mengaduh diatas pasir yang basah dan ditumbuhi oleh ilalang dan rumput yang berbentuk bola. Peristiwa itu telah menarik perhatian keempat kawannya. Seorang yang masih belum terluka dengan serta merta mendekatinya. Dengan tergesa-gesa ia meloncat dari punggung kudanya dan berjongkok disamping kawannya yang kesakitan. “Kenapa kau he ?“ ia mengguncang tubuh kawannya yang terbaring sambil merintih. Kawannya yang terbaring tidak sempat menjawab. Setiap kali terdengar ia berdesis dan mengaduh.

Beberapa langkah dari orang itu. Agung Sedayu duduk diatas punggung kudanya. Dengan cemas ia melihat perkembangan keadaan lawannya. Ia telah mempergunakan kekuatan tatapan matanya untuk menghantam punggung lawannya. Namun Agung Sedayu telah berusaha, bahwa yang dilepaskannya bukanlah sepenuh kekuatan yang ada padanya. Ia berharap bahwa dengan demikian, lawannya yang memiliki ilmu dan daya tahan pula. akan dapat bertahan dan tidak mati karenanya. Dalam pada itu, keempat kawannya telah turun dari kuda masing-masing dengan tergesa-gesa. seolaholah mereka telah melupakan Agung Sedayu dan Glagah Putih. Mereka sibuk berusaha menolong kawannya yang tidak diketahui sebabnya telah terpelanting jatuh dan hampir tidak sadarkan diri. “Cari air,“ desis yang seorang. “Kemana ?“ bertanya yang lain, “tentu tidak dapat dengan air laut.” “Kerawa-rawa. Mungkin masih terdapat air tawar dirawa-tawa.” “Rawa-rawa itu sudah jauh.” Sejenak mereka termangu-mangu. Namun keadaan orang yang terbaring itu menjadi semakin gawat. “Cepat, cari air kemana saja,“ desis yang seorang. Orang yang masih belum mengalami cidera ditubuhnya itupun kemudian berdiri sambil berkata, “Aku akan mencoba mencari air. Awasi orang-orang itu. Jangan sampai mereka terlepas dari tangan kalian.” “Cepatlah,“ sahut seorang kawannya. Orang itupun kemudian meloncat kepunggung kudanya dan berpacu menuju kerawa-rawa untuk mendapatkan air. “Bagaimana ia akan membawa setitik air itu ?“ desis salah seorang kawannya. “Tentu ada selembar daun talas atau daun apapun.” Ketiga orang yang menunggui kawannya yang terluka itupun kemudian kembali merenunginya. Sekalisekali diantara mereka berpaling dan menggeram, “Jangan gila. Jika kalian berbuat sesuatu yang mencurigakan kalian akan dikubur disini.” Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi ia memberikan isyarat kepada Glagah Putih agar mendekat. Agaknya ketiga lawannya tidak berkeberatan melihat Glagah Putih mendekati Agung Sedayu yang terikat tangannya. Selain kebingungan yang tiba-tiba karena keadaan kawannya itu. mereka menganggap bahwa Agung Sedayu sudah menjadi lumpuh dan tidak dapat berbuat apapun juga.

“Kita mencoba melarikan diri,“ bisik Agung Sedayu, “pegangi tali kudaku dan bawa lari.” “Mereka akan menyusul kita,“ desis Glagah Putih. “Kau lihat kuda mereka tidak terikat? Kita mengejutkannya, sehingga kuda-kuda itu berlarian. Sementara itu kita melarikan diri. Biarlah mereka menyusul jika mereka menghendaki dan berhasil menangkap kuda mereka kembali. Aku hanya memerlukan waktu agar kau dapat melepaskan ikatan tanganku.” Glagah Putih bukannya anak yang dungu. Karena itu, maka iapun segera dapat mengerti apa yang dimaksud oleh Agung Sedayu, justru pada saat seorang diantara lawannya mencari air. Sejenak Glagah Putih memperhatikan ketiga orang lawannya yang kebingungan. Seorang kawannya terbaring diatas pasir sambil merintih kesakitan. Punggungnya bagaikan patah dan kulitnya bagaikan terbakar. Perasaan sakit yang tiada taranya telah meremas isi dadanya. Pada saat yang tepat, maka Glagah Putihpun segera memegang tali dileher kuda Agung Sedayu. Sambil menghentak kudanya sendiri dengan kakinya, maka iapun menuntun kuda Agung Sedayu. Dengan tiba-tiba kedua ekor kuda itupun berlari. Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka Glagah Putih menuntun kuda Agung Sedayu sambil menghentak mengejutkan kuda-kuda lainnya yang tidak terikat. Yang terjadi itu demikian cepatnya, sehingga orang-orang yang sedang berjongkok disekitar kawannya yang terbaring itu, terlambat mengambil sikap. Ketika mereka berloncatan berdiri, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berada beberapa langkah dari mereka, sementara kuda-kuda merekapun telah berlari-larian oleh kejutan Glagah Putih. “Berhenti, berhenti he orang-orang gila,“ terdengar salah seorang dari ketiga orang itu berteriak, “aku bunuh kau.” Tetapi Agung Sedayu dan Glagah Putih tak menghiraukannya. Mereka berlari tanpa menghiraukan arah, asal mereka sempat menjauhi ketiga orang lawannya. Dalam pada itu, kuda-kuda mereka yang berlari itupun tidak berlari terus sehingga menjadi terlalu jauh. Ketika salah seorang dari ketiga orang lawan Agung Sedayu itu bersuit nyaring, sehingga kuda itupun berhenti. “Tangkap kuda itu,“ desisnya. “Ya tangkap. Kita akan mengejar kedua orang gila itu.” Tetapi ketiga orang itu tidak segera meloncat berlari.

Sejenak mereka berdiri termangu-mangu. Barulah mereka menyadari, bahwa tubuh mereka sudah terlalu lemah. Meskipun dengan reramuan obat yang mereka bawa, luka-luka mereka tidak lagi mengalirkan darah, tetapi rasa-rasanya mereka sudah tidak mampu lagi untuk berlari dipesisir yang berpasir mengejar kuda mereka. Bahkan ketika kuda mereka sudah berhenti agak jauh dari mereka. “Apakah kita tidak berbuat sesuatu? “ bertanya salah seorang dari ketiga orang itu. Tidak seorangpun yang menjawab. Seekor kuda milik orang yang terbaring kesakitan itu justru tidak terlalu jauh dari mereka. Tetapi tidak seorangpun dari ketiga orang itu yang bernafsu untuk berlari dan meloncat kepunggung kuda itu untuk mengejar Agung Sedayu, karena merekapun mengerti, bahwa Agung Sedayu bukannya anak muda kebanyakan. “Jika aku mengejarnya, maka aku akan segera menjadi bangkai,“ berkata salah seorang dari mereka didalam hatinya. Karena itu, maka ketiga orang itupun hanya termangu-mangu dan mengumpat-umpat. Ketika mereka mendengar kawannya yang tiba-tiba saja terpelanting dari kudanya itu merintih, maka merekapun mendekatinya. “Bagaimana?“ bertanya salah seorang dari mereka. Orang yang terbaring itu masih mengaduh. Tetapi ia sudah dapat mengucapkan beberapa patah kata, “Punggungku, punggungku.” “Kenapa punggungmu?“ bertanya kawannya. “Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja bagaikan terbakar. Jantungku bagaikan remuk diremas oleh kekuatan yang tidak aku ketahui.” Kawan-kawannya terdiam. Ketika terdengar ombak menggelepar, maka salah seorang dari mereka berdesis, “Kita sudah berbuat sesuatu yang tidak dikehendaki oleh penguasa ditempat ini.” Kawan-kawannya tidak menjawab. Tetapi kulit mereka terasa meremang. Sementara kawannya berkata selanjutnya, “Sementara kita tidak dapat melawan kuasanya.” Kawan-kawannya menjadi semakin berdebar-debar. Rasa-rasanya jantung mereka berdentang semakin cepat. Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah menyingkir agak jauh dari lawan-lawannya. Karena itu, maka Agung Sedayupun berkata, “Glagah Putih, cepat, lepaskan ikatan tanganku. Rasarasanya pergelangan tanganku akan patah. Jika mereka menyusul kita, hendaknya tanganku sudah tidak terikat lagi justru oleh cambukku sendiri.”

Glagah Putihpun kemudian berhenti. Dengan tergesa-gesa ia mulai mencoba melepaskan ikatan tangan Agung Sedayu. “Sulit sekali kakang,“ berkata Glagah Putih. “Tetapi kau tentu dapat melakukannya. Juntai cambukku tidak terlalu lemas, sehingga ikatannyapun tentu tidak akan mati.” Dengan susah payah, akhirnya terasa ikatan itu mengendor, dan bahkan kemudian cambuk itupun akhirnya dapat dilepas oleh Glagah Putih. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Diterimanya cambuknya yang telah mengikat tangannya bagaikan akan patah dengan hati yang berdebar-debar. Rasa-rasanya Agung Sedayu telah menerima senjatanya yang hampir saja hilang dan justru menjadi alat untuk mencelakainya! “Terima kasih Glagah Putih,“ gumamAgung Sedayu. Namun dalam pada itu, Glagah Putih justru menundukkan kepalanya. Disela-sela suara angin malam dan gelegar ombak yang semakin jauh, terdengar ia berkata, “Aku mohon maaf kakang, bahwa hampir saja aku menjadi penyebab kesulitan yang gawat pada kakang.” Agung Sedayu menepuk pundak Glagah Putih. Katanya, “Lupakan. Kita bersama-sama telah melakukan kesalahan. Tetapi ini merupakan pengalaman yang baik bagimu. Kau benar-benar telah menghadapi bahaya yang sullit.” Glagah Putih mengangguk kecil. “Apakah kakang akan kembali menemui perampok-perampok itu?” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ditatapnya wajah Glagah Putih yang kadang-kadang ditundukannya dalam-dalam. “Jika kakang akan kembali kepada mereka, biarlah aku menunggu disini, agar aku tidak mengganggu kakang mengalahkan mereka.” Tetapi Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Bersama atau tidak bersama aku, daerah ini tetap merupakan daerah yang gawat bagimu Glagah Putih. Karena itu, sebaiknya aku tidak kembali lagi kepada mereka. Marilah kita meneruskan perjalanan. Kecuali jika mereka mengejar dan berhasil menyusul kita, maka aku akan berbuat sesuatu untuk membela diri.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa telah menjadi rintangan perjuangan Agung Sedayu. Jika ia dapat melindungi dirinya sendiri, maka setidak-tidaknya Agung Sedayu akan dapat menangkap salah seorang lawannya sehingga dari padanya akan dapat didengar keterangan siapakah sebenarnya mereka. Tetapi justru karena Agung Sedayu bersamanya, maka kehadirannya itu menjadi perhitungan kakak sepupunya.

“Marilah Glagah Putih,“ berkata Agung Sedayu, “lebih baik kita menghindar. Mereka sangat licik dan dapat berbuat sesuatu diluar dugaan.” Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi terasa dirinya semakin kecil dihadapan Agung Sedayu. Kehadirannya bukannya menjadi seorang kawan yang dapat membantu melawan lima orang yang mengeroyoknya, namun justru ialah yang menjadi sebab, bahwa hampir saja Agung Sedayu mengalami kesulitan. Glagah Putih mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Agung Sedayu berkata, “Marilah. Kita akan meneruskan perjalanan.” Glagah Putih mengangguk. Disentuhnya punggung kudanya dengan telapak tangannya, serta digerakkannya kendali kudanya, sehingga kudanyapun perlahan-lahan mulai bergerak. “Kau didepan Glagah Putih,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “kita berada disebuah hutan perdu.” Glagah Putih tidak menyahut. Iapun kemudian berkuda didepan dan Agung Sedayu dibelakang. Mereka menyusuri sebuah hutan perdu yang belum mereka kenal. Agung Sedayu mengenal arah dari petunjuk letak bintang yang berkeredip dilangit. “Kita menuju ke Utara,“ desisnya, “nanti jika fajar menyingsing kita akan mengetahui, dimana kita sedang berada, dan barangkali kita akan dapat menentuksm arah lebih lanjut.” Glagah Putih mengangguk kecil. Sejenak kemudian maka merekapun telah berada dihutan perdu yang menjadi semakin lebat. Pasir dibawah kaki mereka telah menjadi semakin tipis dan bahkan kemudian telah hampir tidak terdapat lagi. Jenis tumbuh-tumbuhan dihutan perdupun menjadi semakin banyak dan semakin rimbun. “Kita sudah mendekati sungai opak,“ gumam Agung Sedayu. “Darimana kakang tahu ?” “Menurut perhitungan dan menurut arah. Aku kira sebentar lagi kita akan sampai kepinggir sungai apabila kita menuju ke Timur.” Glagah Putih mengangguk-angguk, sementara Agung Sedayu melanjutkan, “Marilah, kita akan mendekati tanggul sungai. Mungkin kita akan menemukan jalan yang menuju kepadukuhan.” Glagah Putihpun kemudian berbelok ke kanan. Menurut petunjuk bintang, mereka menuju kearah Timur. Sementara langitpun menjadi semakin menyala oleh warna fajar. Bintang Gubug Penceng diujung Selatanpun menjadi semakin redup. Yang nampak dilangit adalah warna merah yang semakin cerah. Ketika dikejauhan terdengar suara ayam berkokok, maka Agung Sedayupun berkata, “Kita tidak terlalu jauh lagi dari padukuhan.” “Ya,“ sahut Glagah Putih, “aku juga mendengar ayam berkokok.”

“Kita akan turun kesungai,“ berkata Agung Sedayu, “kita akan mandi dan membersihkan diri, agar kita tidak terlalu dicurigai oleh orang-orang yang akan berpapasan diperjalanan.” Ketika langit menjadi terang, maka seperti yang diperhitungkan oleh Agung Sedayu, merekapun telah mendekati sungai opak. Dari kejauhan nampak beberapa jenis pepohonan yang rimbun membujur disepanjang tanggul. Jenis tumbuh-tumbuhan yang lebih besar dari tumbuh-tumbuhan di hutan perdu. Bukit yang berjayar dihadapan merekapun nampak menjadi semakin hijau oleh tumbuh-tumbuhan dilereng yang berjalur-jalur hitam. Semakin tinggi hutan dilereng itupun menjadi semakin tipis. Pada beberapa puncak bukit yang berjajar itu, terdapat dataran-dataran padas yang gundul. “Kita akan mandi,“ desis Agung Sedayu. Tetapi wajah Glagah Putih nampak membayang kecemasan hatinya, sehingga Agung Sedayupun berkata pula Kita mencuci muka dan bagian tubuh kita yang kotor.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian iapun menundukkan wajahnya, seolaholah ia ingin menyembunyikan perasaannya yang dapat ditebak oleh Agung Sedayu. Sementara itu, diatas seonggok pasir, lima orang lawan Agung Sedayu yang ditinggalkannya, duduk dengan wajah yang kusut. Orang yang tiba tiba saja terpelanting dari kudanya telah merasa tubuhnya menjadi semakin baik, sementara kawannya yang mencari air telah kembali diantara mereka dengan beberapa tetes air didaun talas. Tetapi yang beberapa tetes itu telah membuat kawannya menjadi segar. “Kita telah kehilangan Agung Sedayu dan Glagah Putih,“ berkata salah seorang dari mereka. “Ternyata ia memang anak iblis. Iblis itulah yang telah datang membantunya, melemparkan aku dari punggung kuda. Rasa rasanya punggungku telah dipukul dengan sepotong besi yang membara,“ desis kawannya yang terpelanting dari punggung kudanya. “Sst,“ yang lain berdesis, “jangan sebut lagi. Sekarang kau sudah berangsur baik. Apa lagi yang akan kita lakukan sekarang. Kuda kita masih utuh. Kita telah berhasil menangkap kuda-kuda itu seluruhnya.” Orang yang telah mendapatkan air itu berpikir sejenak. Ia adalah satu-satunya orang yang tidak mengalami sesuatu diantara kelima orang sekelompok kecilnya. “Kita akan mencari jejaknya,“ desisnya tiba-tiba. “Untuk apa ?“ bertanya yang lain. “Kita akan mencari jalan untuk menangkapnya kembali.

Kita akan memancing perkelahian dan sekali lagi memperalat Glagah Putih untuk menangkapnya.” “Agung Sedayu tidak akan melakukan kesalahan yang sama. Ia tentu akan menjadi semakin garang dan cambuknya akan menjadi semakin buas,“ desis yang lain. Kawan-kawannya tidak menyahut. Tetapi merekapun tidak dapat ingkar akan kenyataan mereka masing-masing. Empat diantara kelima orang itu telah terluka. Meskipun keadaan mereka sudah menjadi semakin baik, namun mereka masih harus berpikir sepuluh kali lagi, apakah mereka akan mengikuti jejak Agung Sedayu dan berusaha untuk menyusulnya. Karena itu, maka mereka masih saja duduk diatas pasir. Rasa-rasanya sangat malas untuk berdiri dan meneruskan perjalanan. Apalagi keempat orang yang telah terluka. “Apakah yang akan kita katakan kepada Sabungsari,“ tiba-tiba salah seorang dari mereka berdesis. Kawan-kawannya tidak segera dapat menjawab. Mereka sedang mencoba melihat banyak kemungkinan yang dapat terjadi. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Bukankah yang dikehendaki Sabungsari adalah, bahwa Agung Sedayu dan Glagah Putih kembali ke Jati Anom ? Selanjutnya persoalannya akan langsung di tangani oleh Sabungsari sendiri yang ingin membalas dendam dengan tangannya ?” Kawan-kawannya termenung sejenak. Seorang diantara mereka bergumam, “Ya, kau benar.” “Jika sekiranya Agung Sedayu kemudian memang kembali ke Jati Anom, apakah kita perlu berbuat sesuatu lagi atasnya?” Yang lain termangu-mangu. Salah seorang dari mereka tiba-tiba saja bertanya, “Jika demikian, apakah artinya semuanya yang telah kita lakukan ? Apakah yang kita lakukan itu sama artinya dengan jika kita tidak berbuat apa-apa ?” “Tentu berbeda,“ sahut yang lain, “tentu akan lebih baik jika kita membawa Agung Sedayu dalam ikatan. Sabungsari akan segera dapat berbuat apa saja yang dikehendakinya dihutan tereng Gunung Merapi, atau dihutan disebelah Lemah Cengkar yang dihuni oleh macan putih itu. Tetapi jika Agung Sedayu kembali seperti ia kembali dari bepergian, maka masih diperlukan cara untuk menggiringnya dalam perang tanding.” Tetapi seorang yang lain menyahut, “Tetapi bedanya tidak terlalu banyak. Biarlah kita mengatakan apa yang sebenarnya terjadi kepada Sabungsari.” “Apakah itu perlu ? Kita dapat juga mengatakan, bahwa kita memang membiarkan Agung Sedayu dan

Glagah Putih kembali kepadepokannya. Baru kemudian kita memancingnya melepaskannya dari penghuni padepokan yang lain,“ berkata yang lain. Tetapi orang yang sama sekali belum terluka itu akhirnya berkata, “Biarlah kita mengatakan apa adanya. Terserah kepada penilaian Sabungsari. Jika kita masih dianggap bersalah, dan Sabungsari bermaksud menghukum kita, biarlah ia menghukum dengan caranya. Tetapi sebuah pertanyaan harus kita jawab. Apakah kita akan membiarkan diri kita dihukum setelah kita mengalami keadaan seperti ini.” “Maksudmu ?” bertanya salah seorang kawannya, “apakah kita akan melawan ?” “Entahlah,“ jawabnya, “tetapi rasa-rasanya kita sudah berbuat sebaik-baiknya, sehingga kita tidak seharusnya disalahkan lagi.” Kawan-kawannya tidak menjawab. Tetapi jika benar mereka harus melawan Sabungsari, sementara keadaan tubuh mereka yang lemah itu, maka keadaan mereka tentu akan menjadi semakin buruk. Tetapi yang seorang itu seolah-olah mengetahui apa yang tersirat dihati kawan-kawannya. Maka katanya, “Dalam perjalanan kembali ke Jati Anom kita akan dapat memulihkan tenaga kita. Dengan demikian, kita berlima akan mempunyai kemampuan yang utuh, yang akan dapat kita pergunakan dimana perlu.” Yang lain tidak menyahut. Tetapi nampak bahwa mereka masih tetap ragu-ragu. Bahkan akhirnya mereka tidak mau memikirkannya lagi. “Entahlah, apa yang akan terjadi kemudian,“ desis salah seorang dari mereka, “tetapi aku cenderung untuk mengatakan apa yang telah terjadi sebenarnya.” Namun demikian, mereka berlima tidak segera meninggalkan tempat itu. Rasa-rasanya masih malas bagi mereka untuk berdiri dan melanjutkan perjalanan. Apalagi mereka yang sudah terluka. Tetapi ketika matahari kemudian mulai memanjat langit, maka mereka dengan segan berdiri dan mengibaskan pakaian mereka yang kotor oleh pasir dan darah. “Marilah,“ berkata orang yang masih belum terluka sama sekali, “kita akan maju perlahan-lahan. Tanpa Agung Sedayupun kita akan menunggu dan berhenti dipinggir Kali Opak, karena keadaan kita. Jika kita meneruskan perjalanan, maka orang-orang yang berpapasan dengan kita akan heran dan mungkin diantara mereka ada juga yang mencurigai kita.” Kawan-kawannya tidak menyahut. Dengan segan mereka berdiri dan melangkah menuju kekuda mereka masing-masing. Sejenak kemudian mereka telah berada dipunggung kuda dan mulai dengan perjalanan yang terasa sangat menjemukan. Tanpa mereka kehendaki, maka merekapun mengikuti jejak kuda Agung Sedayu yang masih nampak jelas diatas pasir, diantara semak-semak dihutan perdu. Tetapi sama sekali tidak ada niat mereka untuk menyusulnya.

Kelima orang itu menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat jejak kuda Agung Sedayu dan Glagah Putih juga menuju kearah Sungai Opak, maka hati mereka menjadi berdebar-debar. “Keduanya tentu sudah meninggalkan sungai itu,“ berkata salah seorang dari mereka, “kita akan mandi sepuas-puasnya tanpa takut diganggunya lagi.” Meskipun diantara mereka masih ada yang ragu-ragu, tetapi kelima orang itu tetap mengikuti jejak kuda Agung Sedayu menuju ke Kali Opak. Namun seperti yang mereka duga, tidak ada seorangpun lagi dipinggir sungai itu. Bahkan mereka telah melihat jejak kuda Agung Sedayu dan Glagah Putih meneruskan perjalanan menuju ke Utara. “Mereka menyusuri Kali Opak,“ desis salah seorang dari mereka. “Ya. Agaknya mereka tidak akan berhenti dan menunggu jalan-jalan mejadi sepi. Mereka nampaknya dapat membenahi diri dan tidak menimbulkan kecurigaan apapun juga,“ sahut yang lain. “Aku masih membawa selembar baju yang lain dipelana kudaku,“ berkata salah seorang dari mereka. “Persetan,” geram yang lain, “tetapi keadaan kita cukup menarik perhatian disiang hari. Jika kita melintas jalan yang ramai, maka mereka akan menyangka kita sekelompok orang yang pulang dari perampokan atau menyamun di jalan-jalan sepi.” Yang lain tidak menyahut. Tetapi mereka segera turun dari kuda mereka dan menambatkannya pada pohon-pohon yang tumbuh ditanggul Kali Opak. “Alangkah segarnya untuk mandi. Mudah-mudahan kekuatanku dapat pulih kembali,“ desis salah seorang dari mereka. Kelima orang itupun kemudian turun kedalam segarnya air Kali Opak. Beberapa saat lamanya mereka membenamkan diri kedalam air. Terasa seakan-akan kekuatan mereka merayap kembali kedalam tubuh mereka yang menjadi segar. Mereka yang terluka oleh cambuk Agung Sedayu merasa pedih sesaat. Tetapi justru sekaligus mereka mencuci luka itu dan kemudian ketika mereka selesai mandi, mengobatinya dengan obat yang selalu mereka bawa sebagai bekal. Ketika mereka selesai berpakaian, maka orang yang punggungnya telah dibakar oleh kekuatan tatapan mata Agung Sedayu berkata, “Aku telah pulih kembali. Seandainya aku kini bertemu dengan Agung Sedayu, maka aku tidak segan lagi untuk mengulangi pertempuran.” “Tanpa anak yang tinggi kekurus-kurusan itu ?“ bertanya kawannya. Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam tanpa menjawab sepatah katapun. Namun seperti orang itu pula, maka kelima orang pengikut Sabungsari itu memang merasa tubuh mereka menjadi segar kembali. Tetapi tidak ada niat mereka untuk menyusul dan kemudian menangkap

Agung Sedayu. Apalagi diantara mereka, yang bersenjata tinggal dua orang. Yang lain tidak lagi memiliki pedang dilambung. Bahkan pisau-pisau belati merekapun telah mereka lontarkan ketika mereka berusaha memancing perhatian Agung Sedayu sehingga mereka berhasil menguasai Glagah Pulih. “Jika kita bertemu dengan bahaya, aku sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa,“ desis salah seorang dari mereka yang tidak bersenjata. “Lalu, apakah yang dapat kita lakukan ?“ bertanya kawannya. “Aku akan memotong sebatang kayu metir. Kayu itu akan dapat aku pergunakan sebagai senjata.” “Bagus,“ berkata kawannya yang lain, yang juga telah kehilangan senjata dengan kayu metir setinggi tubuh kita, maka kita akan dapat mempersenjatai diri melawan pedang yang paling tajam sekalipun.” Kawan-kawannya yang berpedang ternyata tidak berkeberatan. Merekapun kemudian memotong beberapa batang metir yang tumbuh diatas tepian Kali Opak sepanjang tubuh mereka, sehingga mereka akan dapat mempergunakan tongkat itu sebagai senjata yang akan dapat melawan senjata apapun juga. “Kayu metir sebesar pergelangan tangan ini tidak akan dapat putus dengan sekali babat betapapun tajamnya pedang. Bahkan pedang itu akan dapat melekat pada tongkat ini dan sulit untuk ditarik kembali,“ berkata salah seorang dari mereka. Dengan senjata tongkat kayu metir itulah maka para pengikut Sabungsari itu siap untuk meneruskan perjalanan. Namun mereka tetap pada pendirian mereka untuk menunggu sampai petang. Barulah mereka akan melintasi jalan-jalan yang agak ramai menuju ke Jati Anom. Namun ketika mereka mulai melepas tali-tali kuda mereka, mereka terkejut, karena mereka mendengar suara seseorang yang sedang berbicara meskipun masih agak jauh. Kemudian suara yang lain menyahut. Bahkan masih terdengar suara yang lain lagi. “Aku mendengar beberapa orang berbicara,“ desis salah seorang dari kelima orang pengikut Sabungsari itu. “Apakah Agung Sedayu dan Glagah Putih datang lagi ketempat ini ?“ bertanya salah seorang dari mereka. “Bukan. Aku kira jumlah mereka lebih dari tiga orang.” Sejenak mereka termangu-mangu. Namun kelima orang itu tidak sempat mengambil sikap, karena tiba-

tiba saja dari tikungan tebing sungai muncul -empat orang yang agaknya berjalan menyusuri sungai. Bukan saja kelima orang itu yang menjadi tegang, namun keempat orang jang tiba-tiba saja melihat lima orang berkuda itupun terkejut pula, sehingga langkah merekapun terhenti. Sejenak kedua kelonnpok itu saling memandang. Nampaknya kerut merut diwajah masing-masing. Seolah-olah mereka telah berdiri dimuka sebuah cermin yang besar dan melihat diri masing-masing berhadapan dengan bayangannya. Hampir setiap orang didalam kedua kelompok itu melihat wajah-wajah yang kasar seperti wajah mereka sendiri. Melihat sikap yang garang dan mata yang memancarkan kecurigaan. Salah seorang pengikut Sabungsari itupun tiba-tiba berdesis, “Siapakah mereka ?” Kawannya agaknya tidak sabar lagi. Kudanya yang telah dilepas ikatannya, telah ditambatkannya kembali. Kemudian selangkah ia maju dan berdiri dibibir tebing Kali Opak. Sambil memandang orang-orang yang menelusuri Kali Opak itu ia bertanya lantang, “He, siapakah kalian Ki Sanak ?” Orang-orang yang berada di pasir tepian itupun memandanginya dengan heran. Seorang yang berkumis lebat dan berdada bidang melangkah maju pula sambil menjawab, “Kami pulang dari mencari makan. Siapakah kalian ?” Para pengikut Sabungsari itupun segera mengerti. Seolah-olah istilah itu memang merupakan istilah yang telah mereka sepakati untuk dipergunakan. Sekelompok penjahat yang baru pulang dari melakukan kejahatan akan mengatakan, bahwa mereka baru pulang dari mencari makan. Para pengikut Sabungsari itu menarik nafas dalam-dalam. Mereka memang sudah mengira. Dan merekapun sadar, bahwa orang-orang ditepian itupun tentu mengira bahwa mereka berlima tentu juga baru pulang dari mencari makan. Justru karena itu, maka pengikut Sabungsari itu tidak ingin berurusan lebih lama lagi. Katanya, “Silahkan kalian meneruskan perjalanan. Kami sedang digelisahkan oleh buruan kami.” “He ? “ orang berkumis di atas pasir tepian itu menjadi heran. “Kami sedang memburu Agung Sedayu,“ berkata orang diatas tebing itu acuh tidak acuh. Tetapi ketika ia akan melangkah surut, ia terkejut karena orang berkumis itu berteriak, “Apa katamu ? Kau memburu Agung Sedayu ?” “Ya. Kenapa ? “ orang itu bertanya. Sejenak orang-orang yang berada di tepian itu saling berpaling. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata,

“Apakah Agung Sedayu lewat di padang perdu itu?” Pertanyaan itu ternyata telah menarik perhatian kelima orang pengikut Sabungsari. Mereka serentak melangkah kebibir tebing sambil memandang keempat orang itu dengan tajamnya. “Kenapa kau bertanya tentang Agung Sedayu ? Apakah kau pernah mengenal Agung Sedayu?“ bertanya salah seorang dari mereka. Orang berkumis itu tertegun sejenak. Namun kawannya yang membawa sebuah bungkusan kecil menyahut, “Ya, kami tahu pasti. Siapakah Agung Sedayu. Katakan, apakah hubungan kalian dengan Agung Sedayu.” Orang-orang yang berdiri di atas tebing itu termangu-mangu. Orang yang masih mempunyai pedang dilambungnya itu berkata, “Kami mempunyai persoalan dengan anak itu. Jika kalian juga mempunyai persoalan, katakan. Apakah yang akan kau lakukan atas anak itu.” Orang berkumis itulah yang kemudian berteriak, “Kami akan membunuhnya.” Jawaban itu telah mendebarkan jantung kelima orang yang berada diatas tebing. Salah seorang dari mereka berkata, “Benar kalian akan membunuh Agung Sedayu? Siapakah kalian, dan apakah kalian mempunyai kemampuan yang cukup ?” “Kalian belum pernah mendengar nama kami atau kalian memang tidak pernah mengira bahwa kalian akan bertemu dengan orang-orang dari Pesisir Endut ? “ jawab orang berkumis itu. Sejenak orang-orang yang ada diatas tebing itu termangu-mangu. Sementara itu orang-orang yang berada dipasir tepian memandang mereka dengan dada tengadah. Mereka menyangka bahwa pengakuan mereka akan mengejutkan orang-orang yang berada di tepian itu. Tetapi merekalah yang justru terkejut. Ternyata kelima orang itu justru tertawa. Salah seorang dari mereka berkata, “Jadi kalian inilah orang-orang dari Pesisir Endut itu ? Kalianlah yang telah kehilangan dua orang pemimpin kalian yang dibunuh oleh Pangeran Benawa itu.” Orang-orang ditepian itu termangu-mangu sejenak. Kemudian orang berkumis itulah yang berteriak, “Jadi kalian pernah mendengar nama kami ? Perguruan Pesisir Endut ?” “Nama perguruanmu memang telah dikenal sampai keujung bumi. Tetapi kami menjadi kecewa karena dua orang bersaudara yang terkenal dari Pesisir endut itu sama sekali tidak berdaya menghadapi Pangeran Benawa seorang diri.

He, apakah yang dapat kalian lakukan sekarang tanpa pemimpinmu itu ?” Orang bekumis itu menjadi merah padam. Dengan suara bergetar ia ganti bertanya, “Siapakah kalian yang telah berani menghina perguruan Pesisir Endut ? Kau sangka kalian memiliki kemampuan melampaui Pangeran Benawa ? Bahkan seandainya Pangeran Benawa sekarang ini ada disini, kami berempat akan dapat membunuhnya tanpa mengalami kesulitan.” Kelima orang itu menjadi tegang. Seolah-olah keempat orang itu demikian yakin akan diri mereka. Mereka merasa bahwa mereka akan dapat mengalahkan Pangeran Benawa. Tetapi orang yang berpedang diatas tebing itu berkata, “Jangan sesumbar disini. Kau berteriak-teriak karena justru kau tahu, bahwa Pangeran Benawa tidak ada disini sekarang. Seandainya tiba-tiba saja Pangeran Benawa sekarang ini hadir, maka kalian akan menjadi pingsan.” “Persetan. Siapakah kalian sebenarnya ?“ bertanya orang berkumis itu. Orang berpedang itu tertawa kecil. Katanya, “Baiklah, karena kalian telah mengaku bahwa kalian datang dari Pesisir Endut, maka kamipun akan mengatakan siapakah kami sebenarnya. Kami adalah orang-orang yang mendendam Agung Sedayu seperti orang-orang Pesisir Endut. Justru kalianlah yang agaknya lebih dahulu bertindak. Tetapi kalian tidak pernah berhasil. Bahkan menurut pendengaran kami, orang yang lebih tinggi tingkat ilmunya dari kedua kakak beradik dari Pesisir Endut itupun tidak berhasil berbuat sesuatu atas Agung Sedayu.” “Kedua kakak beradik itu dibunuh oleh Pangeran Benawa. Bukan oleh Agung Sedayu,“ potong orang berkumis itu. “Tidak jauh bedanya. Tidak seorangpun yang mengetahui dengan pasti, siapakah yang lebih kuat antara Agung Sedayu dan Pangeran Benawa. Telapi yang jelas perguruan dari Pesisir Endut itu tak berhasil berbuat sesuatu,” ia berhenti sejenak, lalu. “Nah, sekarang datang giliran kami. Kami datang dari pihak yang lain, yang juga menyimpan dendam seperti kalian. Kami adalah murid murid dari perguruan Ki Gede Telengan.” Keempat orang itu tercenung sejenak. Orang berkumis itu berkata, “Kami sudah mendengar orang yang bernama Ki Gede Telengan yang terbunuh juga oleh Agung Sedayu. He, apakah kalian tidak menyadari akan hal itu ? Bahkan guru kalianpun telah mati ?” Tetapi orang berpedang itu tertawa. Katanya, “Kami tidak tergantung kepada Ki Gede Telengan. Orang terkuat diperguruan kami bukannya Ki Gede Telengan. Tetapi anak laki-lakinya. Ia mewarisi semua ilmu ayahnya. Tetapi ilmu itu sudah disempurnakan sesuai dengan jiwanya yang hidup karena kemudaannya. Ia mempunyai perincian kesalahan ayahnya, kenapa ia terbunuh oleh Agung Sedayu. Dan ia tidak akan mengulangi kesalahan ayahnya jika ia berhadapan dengan Agung Sedayu nanti.”

“Siapakah anak Ki Gede Telengan diantara kalian ? “ bertanya orang berkumis itu. “Tidak ada dianlara kami. Kami memang sedang menggiring Agung Sedayu kearah yang dikehendaki, sehingga pada suatu saat keduanya akan bertemu. Keduanya adalah anak-anak muda, dan keduanya akan berhadapan dalam perang tanding yang tiada taranya.” Orang-orang dari Pesisir Endut itu tertegun sejenak. Salah seorang dari mereka berbisik ditelinga orang berkumis itu, “Kita harus cepat membawa kabar ini pulang.” “Tetapi orang-orang itu sangat sombong,“ berkata orang berkumis itu, “nampaknya mereka memang ingin dihajar sampai jera.” “Apa yang akan kita lakukan ?“ bertanya yang lain. “Kita naik ketebing dan merebut kuda-kuda itu. Alangkah senangnya kita kembali dengan naik kuda.” Kawannya termangu-mangu. Sejenak ia memandang orang-orang yang berada di atas tebing. Namun tiba-tiba saja jantungnya rasa-rasanya menjadi berdebaran. Katanya, “Apakah kau pasti bahwa kita akan berhasil ?” “Kenapa tidak. Mungkin kita memerlukan waktu sejenak untuk mengusir mereka. Tetapi kemudian kita akan berkuda sampai kepadepokan Pesisir Endut.” Kawan-kawannya yang lainpun menjadi ragu-ragu. Bahkan seorang yang lain berkata, “Apakah kita akan sempat memiliki kuda mereka.” “Pengecut. Aku akan naik. Aku akan memaksa mereka meninggalkan kuda mereka.” Orang berkumis itu tidak menunggu jawaban kawan-kawannya lagi. Iapun kemudian melangkah maju mendekati tebing sambil berkata,“ Ki Sanak. Aku memerlukan kalian. Aku ingin berbicara lebih panjang. Karena itu aku akan naik.” Para pengikut Sabungsari menjadi berdebar-debar. Orang berpedang yang masih belum terluka saja sekali itu berbisik, “berhati-hatilah. Nampaknya mereka akan naik. Tentu ada sesuatu yang akan mereka lakukan atas kita.” Kawannya yang juga masih menggenggam pedang berdesis, “Biarlah mereka naik. Apapun yang akan mereka lakukan, akan kita hadapi. Badanku sudah pulih kembali meskipun dipesisir itu punggungku rasa-rasanya akan retak dan berpatahan.”

Orang yang masih belum terluka sama sekali itu memandang kawan-kawannya yang lain. Diantara mereka ada yang terluka kulitnya oleh sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu. Namun orang yang terluka kakinya itu berkata, “Lukaku tidak seberapa. Memang pedih. Tetapi seandainya aku harus bertempur, aku sudah siap meskipun aku hanya bersenjata tongkat kayu.” Orang berpedang itu justru masih mempunyai sebilah pisau belati. Sambil bergeser ia berkata, “Jika kau perlukan, kau dapat mempergunakan pisauku disamping tongkatmu.” “Tongkatku cukup kuat untuk menghadapi pedang. Kecuali lebih panjang, maka aku percaya akan kekuatan kayu metir meskipun agak berat.” Kawan-kawannya yang bertongkatpun mengangguk-angguk. Salah seorang berdesis, “Aku merasa kuat. Pedang mereka tidak akan dapat mematahkan tongkat kayuku asal aku tidak membenturkan menyilang.” Sejenak orang-orang diatas tebing itu menjadi tegang. Mereka menunggu keempat orang itu perlahan-lahan naik keatas. Sejenak kemudian, maka keempat orang itu sudah berdiri diatas tebing pula. Mereka masih berusaha mengatur pernafasan mereka, ketika mereka telah berdiri berhadapan. “Aneh,“ desis orang berkumis, “beberapa diantara kalian membawa tongkat kayu.” “Ini memang senjataku,“ desis orang yang bertongkat kayu. Tetapi orang berkumis itu tertawa. Katanya, “Jika kau tidak membawa sarung pedang yang kosong, aku tentu percaya. Apalagi tongkat itu adalah kayu metir yang masih basah.” Orang-orang yang bersenjata tongkat itu termangu-mangu sejenak. Namun salah seorang dari mereka telah tertawa pula. Katanya, “Kau benar. Sarung pedangku telah kosong. Ini suatu kesalahan bahwa aku tidak membuangnya saja. Tetapi hal itu memang suatu akibat, bahwa aku kehabisan uang diperjalanan. Aku telah menjual pedangku disebuah warung dan menukarkannya dengan nasi lima bungkus. Nah, bukankah jelas bagi kalian ?” Jawaban itu rasa-rasanya memang menyakitkan hati. Tetapi orang berkumis itu tidak segera marah. Bahkan ia masih bertanya, “Apakah kuda-kuda yang terikat itu kuda kalian ?”

“Apakah kau masih perlu bertanya begitu ? “ orang berpedang itu justru bertanya pula. “Pertanyaan yangi bagus,“ sahut orang berkumis, “nah. jika demikian aku pasti, bahwa kuda-kuda itu memang milik kalian. Entah kalian memang membawanya sejak kalian berangkat, atau kalian dapatkan diperjalanan dengan mencuri misalnya.” Para pengikut Sabungsari itu serentak beringsut. Namun mereka masih menahan diri dan mendengarkan orang berkumis itu berkata selanjutnya, “Ki Sanak. Sebaiknya kita bergantian saja. Sekarang, kamilah yang akan berkuda kembali kepadepokan Pesisir Endut. Jika kemudian perguruanmu membutuhkan, ambil sajalah ke Pesisir Endut dengan anak muda yang kau sebut anak Ki Telengan.” Wajah orang berpedang itu menjadi merah. Tetapi ia tidak mau dibakar oleh perasaannya sehingga kehilangan pengamatan diri. Karena itu ia masih tetap menyadari keadaannya. Katanya kemudian, “Aku tahu. Kau ingin merampas kudaku. Aku tahu pula, bahwa kau menganggap perguruan Ki Telengan sudah tidak berarti lagi sepeninggal Ki Gede seperti juga perguruan Pesisir Endut sepeninggal kakak beradik itu. Tetapi seandainya demikian, namun agaknya kami masih lebih berarti dari kalian. Kami masih menahan diri untuk tidak melakukan perampokan-perampokan kecil-kecilan, atau menyamun pedagang yang akan pergi kepasar.” “Persetan,“ orang berkumis itulah yang menggeram, “apapun yang kau katakan. Tinggalkan kuda-kuda kalian. Jika aku tidak mengingat bahwa nasib kita hampir bersamaan, aku tidak usah memberimu peringatan. Kami langsung membunuh kalian tanpa persoalan. Tetapi karena kita sama-sama mendendam pada orang yang sama, maka marilah kita saling berbaik hati. Serahkan kuda kalian, lalu kalian dapat pergi dengan tanpa kami ganggu.” “Jangan omong saja. Kau tentu sudah tahu jawabku. Dan kaupun tentu tidak akan mundur. Karena itu, aku kira tidak ada kemungkinan lain yang terjadi, selain kita harus bertempur disini. Terserah pada keadaan berikutnya, apakah kita akan saling membunuh atau akan terjadi penyelesaian lain.“ Orang berkuda itu tidak sabar lagi. Karena itu, maka katanya kepada kawan-kawannya, “Sudah jelas, mereka mempertahankan kuda mereka.” Orang-orang Pasisir Endut itu ternyata lebih kasar dari para pengikut Sabungsari. Meskipun tiga orang yang lain semula masih ragu-ragu, namun kemudian merekapun berteriak dengan kasar sambil mencabut senjata mereka. “Jumlah kami lebih banyak,“ berkata salah seorang pengikut Sabungsari itu, “dalam perhitungan kasar, maka kami akan menang.” “Perhitungan kasar dan gila. Aku mempunyai perhitungan lain,“ jawab orang berkumis, “kami bersenjata lengkap. Tiga diantara kalian hanya bersenjata sepotong kayu. Apalagi nampaknya kalian

bukan orang yang memiliki ilmu kanuragan yang pantas diperhitungkan.” Pengikut Sabungsari yang sama sekali belum terluka itu tertawa sambil berkata, “Kita akan menghadapi orang-orang kasar yang dungu. Marilah. Jangan ragu-ragu.” Kawan-kawannya mulai bergeser. Meskipun diantara mereka sudah terluka, tetapi air sungai dibawah tebing itu telah membuat tubuh mereka pulih kembali. Rasa-rasanya mereka tidak pernah mengalami cidera apapun juga sebelumnya. Keempat orang dari Pesisir Endut itupun telah memencar pula. Mereka mengacukan senjata mereka sambil menggeram. Yang berkumis itu masih berbicara lantang, “Untuk yang terakhir kalinya, tepuklah dadamu dengan wajah tengadah. He, orang-orang dungu. Sebentar lagi kepalamu akan terpisah dari tubuhmu. Dan kuda-kuda yang tegar itu akan menjadi milik kami.” Pengikut Sabungsari itu tidak menjawab lagi. Mereka sudah siap sepenuhnya menghadapi setiap kemungkinan. Mereka yang berpedang berdiri pada jarak yang terjauh, sementara tiga orang yang lain berdiri dalam satu kelompok kecil yang nampaknya ingin bertempur dalam satu lingkaran. Orang berkumis itupun mulai mendekati lawannya. Orang yang nampaknya paling berpengaruh diantara kelima orang pengikut Sabungsari itu agaknya orang yang bersenjata pedang dan banyak berbicara itu. Karena itu, maka iapun maju selangkah demi selangkah mendekatinya sambil berteriak, “Bunuh saja mereka semuanya agar pekerjaan kita rampung tanpa ada persoalan lagi yang dapat timbul kemudian.” “Jumlah kalian hanya empat,“ sekali lagi salah seorang pengikut Sabungsari itu menghitung jumlah, “bagaimanapun juga kalian akan kalah. Seandainya kita masing-masing memiliki kemampuan yang sama, maka kelebihan jumlah ini akan sangat berpengaruh.” “Kami baru saja membunuh dan melukai tujuh orang sekaligus,“ geram orang berkumis, “kami ketemukan mereka di bulak panjang. Mereka kami bantai semuanya karena mereka mencoba melawan kami. Menurut pengakuan mereka, ketujuh orang itu adalah orang-orang terkuat dari Kademangan Watu Gede. Mereka berkata sambil menengadahkan kepala, bahwa mereka akan menangkap aku dan mengikat tanganku dibelakang punggungku. Tetapi akhirnya mereka terbaring dijalan tanpa dapat bangun lagi untuk selama-lamanya. Agaknya akan terjadi pula atas kalian yang mengaku orang-orang tanpa tanding. Tetapi kalian sebentar lagi akan terbaring dipadang perdu ini.” Orang berpedang diantara para pengikut Sabungsari itupun berkata lantang, “Kita tidak akan berbicara berkepanjangan. Marilah, yang akan mati biarlah segera mati.” Orang berkumis itu menggeram. Namun tiba-tiba lawannya yang bersenjata pedang itu pula mengacukan pedangnya yang bergetar.

Sejenak kemudian, orang-orang itupun telah terlibat dalam perkelahian. Tiga orang yang bersenjata tongkat, telah bertempur dalam kelompok kecil menghadapi dua orang lawan. Sementara kawannya yang berpedang-masing-masing telah menghadapi seorang lawan.

Buku 121 ORANG berkumis itu telah menyerang lawannya dengan garang. Ternyata perguruan Pesisir Endut telah membentuknya menjadi seorang yang memiliki kekuatan yang besar dan kecepatan bergerak yang mengagumkan. Apalagi mereka tidak lagi mempunyai perasaan belas kasihan sedikitpun juga. seperti juga kedua kakak beradik yang dengan garangnya telah berusaha membunuh Glagah Putih tanpa belas kasihan. Para pengikut Sabungsari itupun segera merasakan kekerasan sikap orang-orang dan Pasisir Endut itu. Sambil berteriak nyaring, orang berkumis itu menggerakkan senjatanya dengan kekuatan raksasa. Tetapi para pengikut Sabungsari ternyata adalah orangorang yang berpengalaman menghadapi medan yang betapapun garangnya. Bahkan dalam keadaan yang tidak terelakkan lagi, merekapun termasuk orang-orang kasar dan bahkan buas. Apalagi mereka yang telah terluka oleh senjata Agung Sedayu, seolah-olah mereka mendapat sasaran untuk melepaskan kemarahan mereka. Pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin sengit. Meskipun tiga orang diantara para pengikut Sabungsari bersenjata tongkat, namun ternyata tongkat kayu metir itu merupakan senjata yang berbahaya bagi lawan-lawannya. Tongkat-tongkat itu bagaikan tangkai tombak yang menyambar-nyambar, terayun, memukul dan kadang-kadang mematuk lurus mengarah kedada. Ternyata bahwa yang terjadi kemudian benar-benar diluar dugaan orang dari Pasisir Endut itu. Orang berkumis itupun mulai merasakan tekanan yang berat dari lawannya. Orang perpedang yang melawan dengan garangnya, justru memiliki kelebihan dari orang berkumis yang mempunyai kekuatan raksasa itu. “Kami bukan tujuh orang pengawal Kademangan,“ teriak salah seorang pengikut Sabungsari, “jangan menyesal bahwa kalianlah yang akan terbaring diam di padang perdu ini. Sekelompok burung gagak akan segera menyayat tubuh kalian sehingga tinggal tulang-tulang sajalah yang akan berkubur diantara dedaunan kering.” Tetapi orang berkumis itu berteriak, “Jangan sebut kami anak-anak Pesisir Endut jika kami tidak dapat mencincang kalian.” Yang terdengar adalah suara tertawa. Tetapi kemudian angin padang yang kering telah melontarkan dedaunan kering yang berserakkan. Para pengikut Sabungsari yang masih diwarnai oleh kemarahan mereka karena Agung Sedayu telah terlepas dari tangan mereka, telah bertempur dengan garangnya. Sementara orang-orang Pesisir Endut masih berbau darah, karena mereka telah membunuh dan

melukai tujuh orang yang telah mereka rampok diperjalanan. Nampaknya sepeninggal kakak beradik yang memimpin padepokan Pesisir Endut, orang-orang di padepokan itu menjadi bertambah liar dan garang. Tetapi kelika mereka bertemu dengan anak buah Sabungsari, mereka baru merasakan bahwa di daerah kuasanya, ternyata telah hadir lima orang yang tidak dapat segera mereka kuasai. Dua orang dari Pesisir Endut itu telah bertempur melawan tiga orang pengikut Sabungsari yang bersenyata tongkat. Namun ternyata bahwa tongkat mereka yang panjang itu berhasil mereka pergunakan sebagai senjata untuk mengimbangi pedang lawan. Namun demikian, karena mereka telah terluka, maka lambat laun terasa, luka-luka mereka mulai mengganggu. Meskipun ketika mereka selesai mandi, tubuh mereka menjadi segar seolah-olah kekuatan mereka telah pulih kembali. Namun ketika keringat mulai menitik terasa luka-luka itu menjadi pedih. “Gila,“ geram orang yang luka kakinya. Apalagi ketika ternyata lawannya melihat kelemahan-kelemahan itu. Yang luka lambungnyapun mulai menyeringai, sedang yang lainpun telah mulai kehilangan lagi sebagian dari kecepatannya bergerak. Meskipun demikian tiga orang bersenjata tongkat itu masih tetap merupakan kekuatan yang berbahaya bagi dua orang lawannya. Dengan demikian, maka pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin dahsyat. Dua orang Pesisir Endut yang melihat kelemahan lawannya, segera berusaha menekan dengan segenap kemampuannya. Bahkan salah seorang dari mereka berteriak, “Lihat, keseimbangan mereka mulai terganggu. Agaknya mereka telah terluka dan kehilangan senjatanya. Sekarang kita tinggal membunuhnya seperti membunuh seekor tikus kecil.” Tetapi kata-kata itu telah membakar hati ketiga orang pengikut Sabungsari. Dengan serta merta mereka menyerang dengan dahsyatnya sehingga kedua orang lawannya terdesak beberapa langkah surut. Meskipun ketiganya sudah terluka, tetapi mereka masih tetap berbahaya. Mereka telah memencar dan menyerang dari arah yang berbeda. Bahkan mereka sempat membuat kedua lawannya menjadi bingung. Tetapi lawannya yang mengetahui kelemahannya itupun berusaha untuk memanfaatkan kelemahan itu. Dengan dahsyatnya salah seorang dari mereka telah menyerang lawannya yang terluka dilambung. Seorang kawannya yang lain, mencoba mencegah kedua orang lawannya untuk membantu kawannya

yang semakin terdesak. Meskipun tongkat kayu metir pengikut Sabungsari lebih panjang dari pedang, tetapi ternyata pedang dapat digerakkan lebih lincah dan lebih cepat. Karena itulah, maka pengikut Sabungsari yang bersenjata tongkat itu telah terdesak, sehingga usaha lawannya memisahkannya dari kedua orang kawannya telah berhasil. Agaknya saat yang demikian itulah yang diinginkannya. Apalagi karena orang bertongkat itu sudah terluka, sehingga lukanya terasa semakin mengganggunya. Ketika serangan lawannya datang begaikan gempuran badai, maka kemampuan geraknya benar-benar menjadi sangat terbatas. Perasaan sakit pada lukanya telah membuatnya menjadi kehilangan keseimbangan. Pada saat pedang lawannya terjulur, dengan tergesa-gesa ia berusaha untuk menangkis dengan memukul pedang itu kesamping. Namun lawannya dengan serta merta telah menarik pedangnya dan mengayunkannya tegak mengarah kedahinya. Pengikut Sabungsari itu masih sempat mengangkat tongkatnya, betapapun perasaan takut telah meremas luka di lambungnya. Bahkan ia merasa, darahnya mulai menitik lagi dari luka itu. Namun ketika lawannya memutar pedangnya dan menggerakkannya mendatar, maka ia benar-benar telah tidak mampu lagi mengikuti kecepatan geraknya. Meskipun ia berusaha meloncat kesamping, namun ujung pedang lawannya telah menyentuh lengannya pula. Yang terdengar adalah keluhan tertahan. Selangkah pengikut Sabungsari itu surut. Tetapi ujung pedang lawannya telah mengejarnya. Ketika lawannya meloncat dengan pedang terjulur, maka ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa ujung pedang itu telah menghunjam kedadanya. Pengikut Sabungsari itu tidak sempat mengelak. Ia memandang lawannya sejenak. Namun kemudian sambil menyeringai ia memejamkan matanya untuk selama-lamanya. Namun dalam pada itu, kawannya yang bertongkat pula tidak mau membiarkan peristiwa itu terjadi begitu saja. Tibatiba saja iapun meloncat meninggalkan lawannya. Sementara lawannya yang seorang lagi telah menyerangnya dengan sisa kemampuannya. Yang terjadi adalah demikian cepatnya. Ketika orang Pesisir Endut yang berhasil menghunjamkan pedangnya itu berusaha untuk menarik pedangnya dari dada lawan, maka tanpa dapat mengelak lagi, terasa tongkat lawannya telah membentur bagian belakang kepalanya. Demikian kerasnya, sehingga tiba-tiba saja matanya menjadi gelap dan ingatannyapun lenyap bersama nyawanya, karena tulang kepalanya telah pecah karenanya. Meskipun ia masih serapat menyaksikan lawannya jatuh terjerembab, namun ia sadar sepenuhnya akan kawannya yang seorang lagi. Karena itu, maka iapun segera meloncat kearena pertempuran antara kawannya yang bersenjata tongkat dengan seorang lawan dari Pesisir Endut yang sedang dibakar oleh kemarahan. Hampir saja orang bertongkat itu kehilangan keseimbangan. Untunglah kawannya yang

meskipun telah terluka, tetapi sempat membantunya. Kematian-kematian itu telah membuat jantung kedua belah pihak menjadi semakin panas. Mereka bertempur semakin kasar dan liar. Tidak ada lagi pengekangan diri sama sekali. Apapun telah mereka lakukan untuk memenangkan perkelahian yang dahsyat itu. Dalam pada itu, pengikut Sabungsari yang meskipun masih berpedang tetapi yang pernah dilukai oleh Agung Sedayu dengan tatapan matanya, mulai diganggu oleh perasaan sakit dibagian dalam tubuhnya, ia tidak dapat bergerak secepat saat ia mulai dengan perkelahian itu. Tangannya kadang-kadang terasa menjadi berat, dan tulang-tulangnya bagaikan menjadi lemah. Namun sementara itu, dua orang yang bersenjata tongkat itupun telah berhasil mendesak lawannya. Meskipun keduanya tidak memiliki kemampuannya sepenuhnya, tetapi keduanya masih dapat membuat lawannya terdesak. Ketika kedua ujung tongkat itu menyerang bersama-sama, maka lawannya tidak sempat mengelak lagi oleh dorongan serangan itu. Diluar sadarnya ia meloncat surut, namun ia tidak mendapat tempat lagi. Satu kakinya tiba-tiba saja telah terperosok tebing sehingga yang terdengar kemudian adalah jeritnya yang panjang. Kedua lawannya sempat memandang orang itu berguling. Namun kemudian disaat jerit itu terhenti, mereka melihat bahwa orang yang terguling itu masih sempat meloncat berdiri. Justru karena ia jatuh diatas pasir tepian, maka ia tidak mengalami kesulitan yang berarti, kecuali beberapa bagian kulitnya bagaikan terkelupas. Pada saat itulah kedua orang kawannya yang lain merasa, bahwa mereka tidak akan dapat berbuat banyak. Meskipun yang seorang diantara mereka telah berhasil mendesak lawannya yang dibagian dalam tubuhnya merasa semakin sakit. Bahkan urat-uratnya seolah-olah menjadi kejang. Namun dua orang bertongkat kayu yang telah kehilangan lawannya itu akan dapat membantunya, sementara orang yang meluncur tebing itu belum sempat memanjat naik. Karena itu, maka terasa bagi kedua orang Pesisir Endut itu, bahwa mereka telah salah langkah. Orangorang berkuda itu ternyata memang bukan orang-orang seperti yang pernah dirampas barangnya dan dibunuh dengan semena-mena. Pada saat yang demikian itulah, maka terdengar isyarat dari mulut orang berkumis itu. Demikian tibatiba dan berlangsung dengan cepatnya pula, sehingga para pengikut Sabungsari itu harus dengan cepat mengambil sikap pula. Tetapi mereka tidak dapat berbuat banyak terhadap orang berkumis itu. Demikian ia melepaskan isyaratnya, iapun telah meloncat menjauhi lawannya dan dengan serta merta meluncur tebing itu pula tanpa menghiraukan perasaan pedih yang menggigit kulitnya.

Namun seorang kawannya yang justru sedang mendesak lawannya yang telah terluka dibagian dalam itu, ternyata bernasib sangat buruk. Ketika ia meloncat berlari, salah seorang yang bersenjata tongkat kayu sempat melontarkan tongkatnya, menyilang kaki orang itu, sehingga iapun tidak dapat menghindarkan diri lagi, dan jatuh terjerembab. Orang-orang yang sedang marah itu tidak sempat berpikir lagi. Mereka sama sekali tidak berpikir untuk menangkap lawannya hidup-bidup atau mengambil sikap lain, kecuali membunuhnya. Karena itulah, maka selagi orang yang terjerembab itu belum sempat bangun, maka hampir bersamaan sebilah pedang menusuk punggungnya dan sebatang tongkat memukul kepalanya. Tidak terdengar orang itu mengeluh. Tetapi orang itu segera mati tanpa sempat menggeliat lagi. Dua orang kawannya yang telah berada dipasir tepian, segera meloncat berlari tanpa menengok lagi. Orang berkumis yang meluncur tebing dan kawannya yang telah terguling lebih dahulu itupun tidak 1 sempat merasakan pedihnya kulit mereka yang terkelupas oleh batu padas. Sejenak orang-orang yang berdiri diatas tebing termangu-mangu. Namun tidak seorangpun diantara mereka yang berniat untuk mengejar. Selain mereka menjadi letih oleh perkelahian itu, maka sebagian dari mereka telah hampir kehabisan tenaga. Pada umumnya mereka telah terluka oleh Agung Sedayu, sehingga mereka tidak mampu lagi untuk berbuat lebih banyak. Untuk sesaat mereka berdiri dibibir tebing dengan nafas yang tersengal-sengal. Baru kemudian mereka menyadari, seorang kawan mereka telah terbunuh. “Gila,“ geram orang berpedang yang masih belum terluka. Dengan wajah yang tegang ia melangkah mendekati kawannya yang terbunuh. Justru pada saat mereka telah kehilangan Agung Sedayu. Ketiga kawannya yang lainpun mengikutinya. Mereka berdiri dengan wajah yang muram memandangi kawannya yang terbujur tanpa dapat bergerak lagi. “Kita akan menguburnya. Tetapi kita akan membiarkan kedua iblis itu dimakan burung gagak,“ geram orang berpedang itu. Dengan demikian maka keempat orang itu tidak segera dapat meninggalkan tempatnya. Mereka masih mengubur seorang kawannya yang terbunuh oleh orang-orang Pesisir Endut. Meskipun dua orang Pesisir Endut telah terbunuh pula, tetapi dendam telah dinyalakan dihati mereka dan sulit untuk dapat dipadamkan lagi. Ketika mereka selesai, maka tanpa menghiraukan kedua sosok mayat lawannya, merekapun meninggalkan tebing. Salah seorang dari mereka telah menuntun seekor kuda yang tidak berpenumpang lagi. “Kita akan menunggu diujung padang perdu ini sampai senja. Baru kita akan melanjutkan perjalanan

didalam gelap,“ desis salah seorang dari mereka. Salah seorang dari mereka akan pergi kepadukuhan mencari warung atau pasar atau apapun untuk mencari bahan makan bagi mereka dihari itu. Bahkan orang itu sudah bertekad untuk mencuri saja disawah atau pategalan apabila tidak dapat diketemukan warung atau pasar. Sementara itu, orang-orang dari Pesisir Endut yang telah melarikan diri itupun telah dibakar oleh dendam tiada taranya. Mereka bersumpah didalam hati, bahwa mereka pada suatu saat harus dapat membalas kekalahan yang sangat memalukan itu. “Dua orang kita terbunuh,“ geram orang berkumis itu. Kawannya tidak segera menyahut. Tetapi semula ia termasuk orang yang ragu-ragu untuk membuka pertempuran melawan orang-orang yang menyebut dirinya murid Ki Gede Telengan itu. “Kita akan memberitahukan hal ini kepada semua murid-murid diperguruan Pesisir Endut. Bahkan kita akan menghadap Kiai Carang Waja, untuk memberitahukan bahwa orang-orang dari perguruan Telengan telah menghina kita,“ geram orang berkumis itu. Namun kawannya justru berkata, “Yang penting, kita akan memberitahukan, bahwa orang-orang dari perguruan Telengan juga akan memburu Agung Sedayu. Bukankah Kiai Carang Waja sedang mesu diri untuk menyempurnakan ilmunya? Ialah yang dengan tangannya ingin membunuh Agung Sedayu, sehingga seharusnya bukan orang lain yang boleh melakukannya. Juga bukan orang-orang dari perguruan Ki Gede Telengan.” Orang berkumis itu termangu-mangu sehingga langkahnya justru terhenti. Dengan nada tinggi ia bertanya, “He, bukankah pendengaranku benar bahwa orang-orang itu sedang memburu Agung Sedayu?” “Ya. Mereka sedang memburu Agung Sedayu.” “Jika demikian, Agung Sedayu sudah mulai berkeliaran didaerah ini.” “Mungkin sekali.” “Gila,“ orang berkumis itu mengumpat, “kehadirannya didaerah ini akan sangat membahayakan kita semuanya. Ia tentu sudah mendapat beberapa petunjuk mengenai Pesisir Endut dari orang-orang yang tertangkap itu. He, apakah kehadirannya itu justru untuk mencari padepokan kita?” “Entahlah. Tetapi nampaknya orang-orang itu sudah bertemu dengan Agung Sedayu, tetapi justru merekalah yang melarikan diri. Beberapa orang diantara mereka telah kehilangan senjata mereka.”

Orang berkumis itu termangu-mangu. Katanya, “Persetan. Kita memang harus segera melaporkan hal ini kepada Kiai Carang Waja. Jika ia sudah merasa cukup mematangkan ilmunya, maka ia tentu akan pergi ke Sangkal Putung. Kiai Carang Waja tentu tidak akan bersedia menyerahkan korbannya kepada orang lain.” Kawannya mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah, Marilah kita segera kembali kepadepokan dan membicarakan apa yang sebaiknya kita lakukan.” Kedua orang itupun dengan tergesa-gesa melanjutkan perjalanan mereka menyusuri tepian sungai tanpa berhenti lagi. Beberapa pejsoalan telah memenuhi kepala mereka, sehingga mereka menjadi sangat gelisah karenanya. Ditempat lain yang terpisah jauh. Agung Sedayu dan Glagah Putih melanjutkan perjalanannya kembali ke Jati Anom. Jarak yang harus mereka tempuh masih cukup jauh, sehingga mereka harus berkuda agak cepat, meskipun tidak berpacu disepanjang jalan. Ketika mereka telah meninggalkan padang perdu dan memasuki tlatah padukuhan dan melalui bulakbulak panjang, maka keduanyapun tidak lagi berpacu terlalu cepat. Hanya di bulak-bulak yang benarbenar sepi sajalah keduanya mempercepat langkah kudanya. Diperjalanan keduanya tidak banyak lagi berbicara. Glagah Putih lebih banyak merenungi peristiwa yang baru saja terjadi. Dalam keadaan yang sulit, diantara orang-orang yang berilmu tinggi, maka ia sama sekali tidak dapat membantu Agung Sedayu, justru ia merupakan salah satu hambatan dari perjuangan Agung Sedayu. Peristiwa itu merupakan sualu pengalaman yang sangal berharga bagi Glagah Putih. Pengalaman itu merupakan dorongan yang sangat kuat baginya, agar ia bekerja lebih keras lagi untuk mempersiapkan dirinya menghadapi keadaan yang demikian. Tidak ada lagi kesulitan diperjalanan. Ketika mereka melampaui beberapa padukuhan dan bulak, maka mereka menjadi semakin dekat dengan jalan menyilang yang pernah mereka tempuh jika mereka pergi ke Mataram lewat jalur jalan Selatan. Beberapa ratus patok lagi, maka mereka akan sampai kejalur jalan yang biasa mereka lalui, jalan yang di saat-saat terakhir menjadi semakin ramai dan menjadi pusat lalu lintas. “Agaknya sebentar lagi kita akan sampai ke Prambanan,“ gumam Agung Sedayu. Glagah Putih mengerutkan keningnya. Dipandanginya seleret bukit diseberang sungai. Bukit yang nampak hijau. Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka sejenak kemudian, mereka telah sampai ke

Prambanan. Mereka kemudian mengikuti jalan yang sudah sering mereka lalui. Sekali-sekali Agung Sedayu dan Glagah Putih masih mengamat-amati pakaiannya. “Apakah pakaian ini tidak lagi menarik perhatian? “ mereka masih bertanya kepada diri sendiri. Tetapi ternyata tidak seorangpun yang memperhatikan. Mereka melalui jalan itu seperti orang-orang lain tanpa menarik kecurigaan. Beberapa orang berkuda telah berpapasan dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih. Tetapi mereka hanya memandang sekilas, kemudian mereka meneruskan perjalanan tanpa curiga. Ketika kuda Agung Sedayu dan Glagah Putih berlari, tidak ada seorangpun yang memperhatikan. Beberapa ekor kuda yang lainpun berlari pula diantara orang-orang yang berjalan kaki, dan beberapa buah pedati yang berjalan lamban seperti siput. “Apakah kita akan singgah di Sangkal Putung,“ bertanya Glagah Putih. Agung Sedayu menggeleng, jawabnya, “Tidak. Kita akan mengambil jalan memintas. Kita harus segera sampai kepadepokan. Kita sudah cukup lama pergi.” Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah menempuh jalan memintas ke Jati Anom. Namun jalan yang mereka lalui adalah jalan yang tidak terlalu sepi, meskipun dibeberapa bulak panjang, rasa-rasanya mereka hanya berdua saja didunia ini. Bahkan kadang-kadang mereka masih harus melalui jalan dipinggir hutan, meskipun bukan hutan yang terlalu lebat. Namun akhirnya mereka selamat sampai di padepokan kecil mereka. Dengan dada yang berdebardebar mereka memasuki regol padepokan. Seorang anak muda yang kebetulan melintasi halaman telah melihat kedatangan mereka. Berlari-lari anak muda itu menyambut Agung Sedayu dan Glagah Putih yang kemudian menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya mereka telah berada ditempat yang paling aman. Kiai Gringsing dan penghuni padepokan itupun kemudian telah mengerumuninya. Setelah mencuci kaki dan tangannya, maka keduanyapun segera naik kependapa. Mereka tidak sempat masuk keruang dalam, karena anak-anak muda itupun segera menyiram mereka dengan pertanyaan tidak henti-hentinya. Kiai Gringsing ikut mendengarkan pembicaraan yang riuh itu. Namun kemudian ia berkata, “berilah mereka minum. Tentu mereka haus.” Barulah mereka sadar, bahwa Agung Sedayu dan Glagah Putih tentu memerlukan beristirahat barang sejenak, sebelum mereka harus menjawab pertanyaan yang mengalir seperti pancuran dilereng bukit.

Namun dalam pada itu, rasa-rasanya masih ada yang kurang dipadepokan itu. Glagah Putih memandang setiap pintu dan bahkan seluruh halaman. Tetapi ia tidak melihat ayahnya naik kependapa. Kiai Gringsing nampaknya dapat menangkap kegelisahan anak itu. Sambil tersenyum ia berkata, “Glagah Putih. Ayahmu baru menengok padukuhannya Banyu Asri. Jika ia mendengar bahwa kau sudah datang, maka ia akan segera datang pula. Biarlah salah seorang kawanmu besok memberitahukan kedatanganmu.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian ia tidak lagi digelisahkan oleh ayahnya yang tidak ada dipadepokan itu, karena persoalannya tidak mencemaskannya seperti apa yang dialaminya diperjalanan. “Nampaknya ada sesuatu yang menarik diperjalanan,“ gumam gurunya, “tentu yang kau ceriterakan kepada kawan-kawanmu itu belum seluruhnya.” Glagah Putih memandang Agung Sedayu sejenak. Sementara Agung Sedayu beringsut setapak sambil menjawab, “Belum guru. Memang ada yang masih belum aku katakan. Aku bermaksud menceriterakan mula-mula kepada guru.” Kiai Gringsing tersenyum. “Baiklah,“ katanya, “aku akan menunggu setelah kau mandi dan beristirahat barang sebentar setelah kau makan.” Demikianlah, dibawah lampu minyak yang berguncang oleh angin yang menyusup kependapa, Agung Sedayu mulai menceriterakan seluruh perjalanannya ke padukuhan tempat tinggal Ki Waskita. Meskipun yang diceriterakannya hanyalah sekedar pengalamannya diperjalanan. Bukan pengalamannya yang khusus dirumah Ki Waskita. Kiai Gringsingpun mengerti bahwa kehadiran Glagah Putih bersama mereka, agaknya telah menghalangi Agung Sedayu untuk menceriterakan seluruh pengalamannya. Meskipun demikian, pengalaman diperjalanan itupun telah sangat menarik perhatiannya. Bahwa orang-orang yang dibakar dendam dihatinya masih saja memburu Agung Sedayu kemanapun ia pergi. “Bersukurlah kepada Tuhan,“ berkata Kiai Gringsing, “karena perjalanan kalian telah mendapat perlindungannya.” Agung Sedayu dan Glagah Putih mengagguk-angguk. Bahkan kulit Glagah Putih rasa-rasanya telah meremang apabila ia mengingat apa yang telah terjadi. Rasa-rasanya hanya suatu keajaiban sajalah yang telah menolong mereka, karena tiba tiba saja salah seorang dari kelima orang itu telah dicengkam oleh kesakitan tanpa sebab. “Jika tidak terjadi keajaiban itu, maka aku dan kakang Agung Sedayu tidak akan pernah kembali

kepadepokan ini lagi,“ berkata Glagah Putih didalam hatinya. Namun dalam pada itu. Agung Sedayupun telah mengucapkan sukur didalam hatinya pula. Tanpa kurnia kemampuan untuk membebaskan diri, maka tidak akan ada lagi hari esok baginya dan bagi Glagah Putih. Meskipun demikian. Kiai Gringsing masih memberikan beberapa nasehat kepada kedua anak muda itu, agar selanjutnya, mereka tetap berhati-hati dan tidak lupa untuk selalu memohon perlindungan Yang Maha Pencipta. “Sudahlah,“ berkata Kiai Gringsing, “beristirahatlah. Besok ceriteramu masih panjang jika kawankawanmu datang merubungimu. Siapkan sajalah sebuah ceritera yang sangat menarik. Sekarang, tidurlah.” Agung Sedayu dan Glagah Putih masuk kedalam biliknya. Namun ternyata Agung Sedayu tidak segera tertidur. Berbeda dengan Glagah Putih yang selain letih yang mencengkam seluruh tubuhnya, maka ia merasa dalam keadaan yang aman dipadepokannya, sehingga karena itu, maka iapun segera tertidur nyenyak. Dalam kegelisahannya. Agung Sedayupun sadar, bahwa ia harus memberikan laporan yang lebih lenggkap kepada gurunya, ia harus memberitahukan apa yang pernah dialaminya dirumah Ki Waskita. Karena itu, maka ketika Glagah Putih telah tertidur nyenyak. Agung Sedayupun bangkit perlahanlahan. Dengan hati-hati iapun kemudian beringsut dan justru pergi keluar dari biliknya. Padepokannya memang sudah sepi. Seolah-olah tidak seorangpun yang masih terbangun, namun ketika ia menjengukkan kepalanya keruang dalam, ternyata gurunya masih duduk diatas tikar yang dibentangkannya disudut ruangan bersandar dinding sambil menyelimuti badannya dengan kain panjangnya. Ikat kepalanya tidak lagi dipakainya diatas kepala, tetapi tersangkut dilehernya. “Kemarilah Agung Sedayu,” berkata gurunya, “aku sudah mengira bahwa kau tentu tidak akan segera tidur seperti Glagah Putih. Tentu masih ada yang ingin kau ceriterakan kepadaku. Pengalaman yang berbeda dengan pengalamanmu diperjalanan.” Agung Sedayupun kemudian duduk didepan gurunya dengan kepala tunduk. Sejenak Kiai Gringsing memandang muridnya. Tentu perjalanan itu tidak sia-sia, apalagi hampir saja merampas nyawanya bersama Glagali Putih. “Katakan, apa yang telah kau lakukan,“ berkata gurunya. Kepada Kiai Gringsing tidak ada satupun yang disembunyikan. Diceriterakannya apa yang telah

dialaminya. Dan Agung Sedayupun mengatakan, bahwa semua yang telah dilihatnya dalam kitab itu seolah-olah telah terpahat didalam hatinya. Ia akan dapat menyebut, setiap huruf yang terdapat dalam kitab itu. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia mendengarkan ceritera Agung Sedayu dengan hati yang berdebar-debar. Dan iapun mengangguk-angguk dengan kerut-merut dikening ketika Agung Sedayu mengatakan bahwa meskipun ia belum mempelajari makna dari isi kitab itu, maka ia sudah terpengaruh karenanya. Seolah-olah semua ilmunya telah meningkat. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia melihat suatu masa yang cerah pada Agung Sedayu dari segi penguasaan ilmunya. Tetapi ia masih tetap melihat Agung Sedayu dalam ujud jiwani yang tidak berbeda dengan Agung Sedayu sebelumnya. Meskipun demikian Kiai Gringsing berkata, “bersukurlah Agung Sedayu, bahwa kau telah mendapat kurnia yang tiada taranya. Kurnia kemampuan daya tangkapmu yang tidak terdapat pada setiap orang. Dan Kurnia bahwa kau mendapat kesempatan membaca kitab Ki Waskita. Namun selanjutnya terserah kepadamu, karena yang ada padamu itu akan dapat kau pergunakan untuk banyak kepentingan. Kepentingan yang baik tetapi juga kepentingan yang buruk.” Agung Sedayu menundukkan kepalanya. “Justru karena kurnia itu, maka tanggung jawabmu menjadi bertambah besar. Tanggung jawabmu terhadap masa langgengmu.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Desisnya, “Ya guru. Aku menyadari semuanya itu.” “Sokurlah Agung Sedayu. Kau nampaknya telah memanjat semakin tinggi. Kau dapat melihat kewawasan yang lebih luas. Tetapi jika kau tergelincir, maka kau akan jatuh dari tempat yang lebih berbahaya pula.” Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia masih mengangguk-angguk kecil. “Agung Sedayu,“ berkata gurunya, “kau dapat mengkhususkan waktu untuk mempelajari makna dari isi kitab itu. Tetapi jangan tergesa-gesa. Kau harus benar-benar mapan dan menyiapkan diri untuk melakukannya, karena yang akan kau alami adalah suatu gejolak didalam dirimu karena gelora ilmu yang seolah-olah mendapat arus baru yang sangat dahsyatnya.” Agung Sedayu mengangkat wajahnya sejenak. Namun kemudian wajahnya tertunduk lagi. Namun terdengar ia menjawab, “Ya. Aku akan selalu mendengarkan petunjuk guru dalam hal yang bagiku masih terasa asing ini.” “Berhati-hatilah menghadapi masa depanmu Agung Sedayu. Kau jangan lupa terhadap dirimu sendiri. Terhadap semuanya yang telah kau lakukan sampai saat ini,“ berkata gurunya kemudian.

Agung Sedayu mengangguk sambil berdesis, “Ya guru. Aku akan tetap berusaha agar aku selalu sadar akan diriku sendiri.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya dalam nada yang dalam, “Kau sudah tidak lagi berdiri dalam tataran yang setingkat dengan saudara seperguruanmu Agung Sedayu. Mungkin akan ada seseorang yang menyalahkan aku, karena aku memberikan kesempatan yang berbeda atas dua orang muridku. Aku memberimu kesempatan membaca kitab dan memahatkan isinya didalam batimu, sedangkan tidak demikian bagi Swandaru. Mungkin aku memang seorang guru yang kurang baik dan kurang bijaksana sehingga aku telah berbuat kurang adil. Namun semuanya itu tergantung juga kepada orang lain yang memiliki kitab itu. Agaknya Ki Waskita hanya memberi kesempatan kepadamu, tidak kepada Swandaru. Namun seandainya Swandaru mendapat kesempatan yang sama, ia tidak memiliki kemampuan menyimpan ingatan setajam kemampuan yang dikurniakan kepadamu.” Agung Sedayu masih menunduk. Kepalanya terangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab. “Sudahlah Agung Sedayu. Beristirahatlah. Yang ada padamu adalah peristiwa yang besar. Yang pada suatu saat nampak, baik kau sengaja atau tidak kau sengaja. Sekali lagi, terserah kepadamu, warna apakah yang akan kau lukiskan pada hari depanmu dengan ilmu raksasamu itu,“ gurunya berhenti sejenak, lalu. “tidak banyak anak muda yang mendapat kesempatan seperti yang kau dapatkan. Di Pajang dan Mataram, tentu akan dapat dihitung dengan jari tangan. Hanya Senapati Ing Ngalaga dan Pangeran Benawa sajalah yang tidak akan dapat diperbandingkan ilmunya, karena mereka memiliki sumber yang tiada taranya.” Dada Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia tetap tidak menjawab. “Nah, tidurlah. Aku sudah dapat melihat gambaran tentang dirimu setelah kau menempuh perjalanan yang mendebarkan itu. Untunglah bahwa kau masih tetap mendapat perlindungan Yang Maha Agung, sehingga kau mendapat jalan untuk melepaskan diri dari cengkaman kesulitan yang gawat.” Agung Sedayupun kemudian minta diri kepada gurunya untuk kembali kedalam biliknya. Perlahanlahan ia membaringkan dirinya disamping Glagah Putih yang masih tidur dengan nyenyaknya disebuah amben yang cukup lebar. Masih ada satu hal yang belum di sampaikan kepada gurunya karena Agung Sedayu masih menunggu waktu yang lebih longgar. Surat rontal Ki Waskita buat Kiai Gringsing yang tentu akan menyangkut dirinya. Sejenak Agung Sedayu masih digelut oleh sebuah angan-angan tentang dirinya dimasa mendatang. Namun semuanya menjadi semakin kabur. Akhirnya iapun tertidur dengan nyenyaknya pula seperti Glagah Putih. Dalam pada itu, selagi Agung Sedayu dan Glagah Putih terlena dipembaringannya, maka Sabungsari

dengan gelisah menunggu para pengikutnya. Ia memang memperhitungkan bahwa para pengikutnya akan melanjutkan perjalanan dimalam hari karena mereka membawa tawanan. Karena itulah, maka Sabungsari dengan hampir tidak sabar lagi menunggu salah seorang dari pengikutnya datang dan memberitahukan kepadanya, bahwa Agung Sedayu telah mereka simpan disebuah hutan yang sepi di tereng Gunung Merapi. “Aku akan membunuhnya dan membuktikan bhaktiku kepada orang tuaku,“ geramnya. Tetapi Sabungsari menjadi sangat gelisah ketika sampai lewat tengah malam tidak seorangpun yang datang kepadanya, memberitahukan kehadirannya sambil membawa Agung Sedayu. Bahkan, sampai menjelang dini hari, orangorang yang ditunggunya tidak kunjung datang. Sabungsari yang gelisah itupun kemudian bangkit dari pembaringannya dan keluar kehalaman baraknya. Kegelisahannya menjadi semakin mencengkamnya ketika langit telah menjadi merah. “Gila,“ geram Sabungsari sambil berdiri diregol baraknya, “apakah mereka telah menjadi gila?” Sabungsari terkejut ketika seorang penjaga regol mendekatinya sambil bertanya, “He, apakah yang kau cari di dini hari begini?” Sabungsari tergagap. Namun kemudian jawabnya, “Udara segar sekali menjelang fajar. Aku akan berjalan-jalan.” Penjaga regol itu tidak menjawab lagi. Dibiarkannya Sabungsari meninggalkan regol dan berjalan menyusuri jalan menuju kebulak dihadapan padukuhan. Namun kegelisahan Sabungsari benar-benar telah membakar jantung. Seharusnya salah seorang dari para pengikutnya sudah datang kepadanya untuk memberitahukan dimana Agung Sedayu mereka simpan. “Aku cekik mereka sampai pingsan,” geramnya. Dengan hati yang gelisah Sabungsari berjalan disepanjang bulak. Tetapi ia tidak menjumpai seorangpun dari para pengikutnya. Yang ditemuinya adalah satu dua orang yang menunggui air disawahnya. Ketika langit menjadi semakin terang, maka Sabungsaripun kembali ke baraknya. Hari itu sesuai dengan laporan kehadirannya kembali dan permohonannya sendiri, ia masih diijinkan untuk beristirahat. Para pemimpinnya menaruh belas kepadanya, karena Sabungsari mengatakan bahwa ia mengalami kesusahan di rumahnya. Tetapi Sabungsari sendiri merasa jantungnya bagaikan meledak oleh kemarahannya kepada para

pengikutnya. Hari itu seharusnya akan dipergunakannya untuk membuat perhitungan dengan Agung Sedayu yang dianggapnya masih belum melampaui kemampuannya. “Mungkin mereka menunggu siang hari,“ berkata Sabungsari kepada diri sendiri, “mungkin mereka segan menjawab pertanyaan penjaga regol yang tentu akan mencurigainya jika salah seorang dari mereka datang dimalam hari.” Dengan demikian Sabungsari menjadi agak tenang sedikit. Namun bagaimanapun juga, ia tidak dapat mengusir kegelisahannya sama sekali, apalagi ketika kemudian ternyata, bahwa ketika matahari terbit, tidak seorangpun juga yang datang. “Apakah ada yang kau tunggu?“ bertanya seseorang yang melihat Sabungsari menjadi gelisah dan setiap kali melihat kejalan diluar regol.” Sabungsari mencoba tersenyum. Jawabnya, “Tidak. Tetapi aku memang sedang gelisah. Rasa-rasanya aku tidak tenang dimanapun juga berdiri atau duduk.” Kawannya mengangguk-angguk. Gumamnya, “Kau harus menenangkan dirimu. Cobalah dengan kesibukan-kesibukan kerja sehari-hari. Kau akan segera melupakan kesusahanmu.” Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan mencobanya.” Namun Sabungsari mengumpat umpat didalam hati. Ia memang tidak mempunyai alasan lain agar pada hari itu ia masih mendapat kesempatan menghindari tugas-tugasnya sehari-hari. Tetapi bahwa prajurit itu menaruh belas kasihan kepadanya adalah memuakkan sekali. “Aku dapat mencekiknya sampai mati tanpa meraba tubuhmu,“ geram Sabungsari didalam hatinya. Sementara itu, para pengikutnya sebenarnya memang sudah sampai di sekitar Jati Anom. Tetapi mereka ragu-ragu untuk segera menjumpai Sabungsari. Mereka masih harus membicarakan, alasan apakah yang dapat mereka katakan, bahwa Agung Sedayu ternyata telah berhasil melepaskan diri, sedangkan salah seorang dari kawan mereka justru telah dibunuh oleh orang-orang Pasisir Endut. “Mungkin kita akan dibunuhnya,“ desis salah seorang dari mereka. “Mungkin. Tetapi aku memilih mati dengan senjata ditangan. Meskipun aku akan berhadapan dengan Sabungsari.” “Matanya takan meremas jantungmu,” desis yang lain. “Mudah-mudahan kalian juga bersikap jantan. Ia tidak akan dapat mempergunakan ilmu iblis itu untuk melawan kita berempat. Kila akan menyerangnya dari empat penjuru. Ia tidak akan mendapat kesempatan untuk memusatkan tusukan ilmu yang terpancar dari matanya itu kepada salah seorang dari kita, karena dari segala arah kita akan menyerang.”

Sejenak mereka terdiam. Memang tidak ada pilihan lain. Jika Sabungsari mengambil jalan kekerasan, maka mereka akan mempertahankan diri sampai kemungkinan terakhir, karena akhir dari segalanya adalah mati. “Jika demikian, kita akan menemuinya sekarang,“ desis salah seorang dari mereka. “Biarlah kekuatan kita pulih kembali. Kita akan datang dengan senjata dilambung. Karena itu, biarlah kita beristirahat sehari ini untuk memulihkan kekuatan kita. Sore nanti kita akan menemuinya.” Kawan-kawannyapun mengangguk-angguk. Mereka memang merasa perlu untuk beristirahat. Mereka memulihkan kekuatan mereka dengan makan dan minum. Yang terluka telah membubuhkan obat pada luka-lukanya. Sementara yang kehilangan senjatanya telah memperlengkapi dirinya dengan senjata lain yang memang mereka simpan sebagai cadangan. Ketika matahari menjadi semakin tinggi, kegelisahan Sabungsari tidak dapat ditahankannya lagi. Diluar sadarnya, maka iapun berjalan meninggalkan baraknya tanpa tujuan. Ia menyusuri bulak panjang sambil melihat tanaman yang hijau terbentang dari padukuhan sampai kepadukuhan yang lain. Diluar sadarnya Sabungsari telah berjalan semakin jauh. Bahkan kemudian ia telah berada di pategalan yang digarap oleh orang-orang dipadepokan kecil yang dihuni pula oleh Kiai Gringsing dan muridnya. Namun tiba-tiba saja dadanya bagaikan retak ketika ia melihat sekelompok kecil anak-anak muda yang sedang bekerja dipategalan. Diantara mereka ternyata terdapat Agung Sedayu. Sejenak Sabungsari bagaikan mematung Ia tidak salah lihat. Anak muda itu adalah Agung Sedayu. Sedangkan disebelah lain terdapat seorang anak muda yang bertubuh tinggi. Glagah Putih. “Setan,“ ia nmengumpat didalam hati, “bagaimana mungkin anak itu dapat membebaskan diri dari tangan orang-orangku. Apakah aku memang sudah gila sehingga penglihatanku tidak wajar lagi.” Sabungsari mencoba mengingat-ingat. “Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa anak itu sudah terikat. Bahkan dengan cambuknya sendiri,“ geram Sabungsari, “tetapi kenapa kini tiba-tiba saja ia berada ditempat itu.” Sejenak Sabungsari menilai penglihatannya dipantai Selatan. Ia memang sudah melihat. “Apakah yang aku lihat bukannya Agung Sedayu yang sebenarnya? Apakah aku sudah dipengaruhi oleh penglihatan-penglihatan semu atau bahkan mungkin oleh penghuni-penghuni laut Selatan, seolaholah aku melihat Agung Sedayu telah tertangkap? Atau penglihatan-penglihatan lain yang bukan sebenarnya? Atau aku memang sudah gila?”

Beberapa saat Sabungsari masih berdiri membeku. Jantungnya bagaikan berdentangan didalam dadanya, sementara nafasnya tiba-tiba saja terasa memburu. Rasa-rasanya anak muda itu baru saja terbangun dari sebuah mimpi yang dahsyat, yang telah memberinya kepuasan atas tertangkapnya Agung Sedayu. Tetapi ternyata kini ia dihadapkan pada suatu kenyataan, Agung Sedayu masih bebas bekerja dipategalannya bersama Glagah Putih. Darah Sabungsari serasa mendidih didalam tubuhnya. Sambil mengepalkan jari-jari tangannya ia menggeram, “Aku tidak mau menunggu lagi. Sekarang aku akan membunuhnya, seorang dari mereka akan berlari melaporkan kepada gurunya, tetapi aku tidak peduli.” Namun ketika kakinya sudah siap untuk melangkah, tiba-tiba saja sepercik pikiran yang lain telah meloncat dihatinya. Ia mulai mengurai peristiwa yang dihadapinya. “Apakah ia berjasil melepaskan diri dan membunuh kelima orang yang telah menangkapnya?“ Sabungsari mulai bertanya kepada diri sendiri. Pertanyaan itu ternyata telah membualnya menjadi agak ragu untuk bertindak. Jika benar Agung Sedayu berhasil membunuh kelima orang pembantunya justru saat tangannya telah terikat, maka itu berarti bahwa Agung Sedayu memang memiliki ilmu yang luar biasa. Sambil mengerutkan keningnya ia mulai membayangkan kembali, apakah yang sudah terjadi. Kelima orang pembantunya berhasil menangkap Agung Sedayu bukan karena mereka mampu melampaui kemampuan anak muda itu. Tetapi karena mereka dapat menangkap Glagah Putih lebih dahulu, yang dipergunakan untuk memaksa Agung Sedayu menyerah. Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Ia harus memperhitungkan semuanya itu. Tetapi itu bukan berarti bahwa maksudnya untuk membunuh Agung Sedayu harus diurungkannya. Menurut penglihatannya, saat Agung Sedayu bertempur melawan kelima orang pembantunya, meskipun anak muda itu benar-benar seorang anak muda yang berilmu tinggi, namun rasa-rasanya ia masih akan dapat menguasainya. Sabungsari akan dapat menyerang Agung Sedayu pada jarak yang tidak dapat dijangkaunya. Menurut perhitungannya. Agung Sedayu tentu akan dapat dikalahkannya dengan serangan yang dipancarkan lewat sorot matanya. Namun Sabungsari tidak sempat berpikir lebih panjang lagi. Pada saat ia masih ragu-ragu, terdengar suara Glagah Putih memanggilnya, “Sabungsari.” Semua orang yang ada dipategalan itu mengangkat wajahnya. Mereka melihat seorang anak muda yang berdiri termangu-mangu. Sabungsaripun kemudian melangkah mendekat. Ia memaksa dirinya untuk tersenyum. Dengan suara yang dibuat-buat ia kemudian bertanya, “He, kapan kalian datang?”

“Kemarin menjelang petang,“ jawab Agung Sedayu. Sabungsaripun mendekat lagi. Ia memaksa bibirnya tersenyum semakin lebar. Katanya, “Kau tiba-tiba saja pergi.” Agung Sedayu melangkah mendekat pula. Jawabnya, “Ah, aku ingin melihat sesuatu yang agak berbeda dengan suasana padepokan kecilku.” “Kemana kau selama ini Agung Sedayu?“ bertanya Sabungsari. “Sekedar melihat-lihat. Aku diajak oleh Ki Waskita melihat padukuhannya.” Sabungsari mengangguk-angguk. Rasa-rasanya ia tidak sabar menahan hatinya untuk bertanya, apa saja yang dialaminya diperjalanan. Tetapi ia tidak mau dicurigai dengan pertanyaan-pertanyaannya. Ternyata bahwa Agung Sedayu tidak mengatakan sesuatu tentang dirinya. Tentang pengalamannya yang pahit diperjalanan atau tentang orang-orang yang telah menangkapnya. Bahkan Agung Sedayu sama sekali tidak menceriterakan perjalanannya lewat Pesisir Selatan. Sabungsari masih belum dapat memancing Agung Sedayu untuk berceritera lebih banyak. Anak muda itu ternyata lebih banyak berceritera tentang tanah pategalan yang sedang digarapnya itu. “Gila. Apakah aku memang sudah gila,“ geram Sabungsari. Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak menceriterakan perjalanannya. Ternyata Agung Sedayu memang sudah mendapat pesan dari gurunya. Untuk sementara ia dan Glagah Putih tidak dibenarkan untuk menceriterakan pengalamannya yang pahit di Pesisir Selatan. Kiai Gringsing melihat peristiwa itu bukannya peristiwa yang berdiri sendjri tanpa hubungan dengan keadaan di Jati Anom. Usaha orang-orang yang mencegatnya untuk menangkapnya hidup-hidup mengingatkannya kepada dendam Carang Waja dari Pesisir Endut. “Mungkin ada orang lain yang mendendammu pula Agung Sedayu. Karena itu, jangan menceriterakan pengalamanmu itu kepada siapapun juga untuk sementara.” Glagah Putih dan para penghuni padepokan yang sudah terlanjur mendengar ceritera itupun telah mendapat pesan serupa agar mereka tidak mendapat perlakuan yang tidak diharapkannya. Pertemuannya dengan Agung Sedayu, telah membuat Sabungsari benar-benar bagaikan orang gila. Apalagi sikap Agung Sedayu dan Glagah Putih yang seolah-olah tidak pernah mengalami sesuatu apapun diperjalanan. Ada keinginan Sabungsari untuk memancing agar Agung Sedayu menceriterakan seluruh pengalamannya di perjalanan.

Namun ternyata yang dikatakan oleh Agung Sedayu adalah perjalanan yang menyenangkan dan seolaholah perjalanan tamasya setelah berhari-hari bekerja berat. Akhirnya Sabungsari memutuskan untuk meninggalkan Agung Sedayu dan Glagah Putih. Ia masih ingin menunggu orang-orangnya sehari itu. Jika mereka tidak datang, maka ia akan mengambil sikap lain. Mungkin mereka telah dibunuh oleh Agung Sedayu yang tentu akan mampu melakukannya, apabila ia dapat memisahkan Glagah Putih dari arena perkelahian. Atau Agung Sedayu memang sudah tahu, bahwa orang-orang itu adalah pengikut-pengikutnya sehingga ia tidak mengatakan sesuatu tentang mereka. “Kau tidak singgah dipadepokan?“ bertanya Agung Sedayu tanpa prasangka apapun. Glagah Putihpun menambahkannya, “Aku membawa oleh-oleh buatmu dari daerah disekitar Kali Praga itu.” Sabungsari memaksa dirinya untuk tersenyum. Jawabnya, “Lain kali Agung Sedayu. Aku masih mempunyai tugas hari ini. Mungkin besok, mungkin malam nanti jika tugas-tugasku telah selesai dan aku mendapat waktu yang cukup, aku akan datang kepadepokanmu.” “Dan sekarang, apakah sebenarnya yang akan kau lakukan?“ bertanya Glagah Putih. Sabungsari menjadi bingung. Namun kemudian ia tertawa sambil menjawab, “Tidak ada. Aku hanya kesepian saja. Seperti yang sering aku katakan, aku sering merasa jemu hidup didalam barak itu.” Sambil berjalan kembali kebaraknya Sabungsari mengumpat-umpat didalam hati. Ia tidak mengerti, keadaan yang bagaimanakah yang dihadapinya. Kadang-kadang ia merasa seperti mimpi. Namun kadangkadang ia menduga, apakah yang dilihatnya itu bukannya Agung Sedayu yang sebenarnya. Atau barangkali ia memang sudah gila dan tidak mengerti lagi apa yang dilihat dan dialaminya. Ketika ia sampai di baraknya maka iapun langsung pergi kedalam biliknya. Dibaringkannya dirinya dipembaringan sambil berangan-angan. “He, apakah kau sakit?“ bertanya seorang kawannya yang menjengukkan kepalanya kedalam biliknya. Sabungsari mengangkat kepalanya. Namun sambil meletakkannya kembali ia menjawab, “Tidak. Aku tidak sakit. Tetapi rasa-rasanyia aku letih sekali.” “Hatimulah yang sakit. Kau harus banyak berbuat sesuatu agar peristiwa yang tidak menyenangkan itu

segera kau lupakan. Jangan banyak berangan-angan.” Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak menjawab. Tetapi ia mengumpat-umpat tidak ada habisnya. Seolah-olah ia adalah orang yang paling malang didunia. Semua orang berbelas kasihan kepadanya. Hari itu Sabungsari mengisi waktunya dengan tidur sejauh-jauh dapat dilakukan. Ketika matahari turun, ia keluar dari biliknya untuk mandi ke sungai. Untuk beberapa saat lamanya ia duduk diatas sebuah batu sambil mengamati ikan-ikan yang berenang menentang arus sungai. Beriring-iringan. Ada yang kecil, sekecil kelingking. Tetapi ada yang agak besar. Sabungsari baru bangkit ketika matahari telah terbenam dibalik Gunung. Sekali ia menggeliat. Kemudian perlaan-lahan ia melangkah diatas pasir tepian dan berjalan mendaki tebing. Ketika ia berpaling, dilihatnya arus air yang tidak bergitu besar yang menyusup diantara bebatuan yang berserakkan. “Mampuslah semuanya,“ geram Sabungsari. Sambil menggerelakkan giginya iapun kemudian bergegas kembali kebaraknya. Langit telah menjadi buram dan satu-satu bintang mulai nampak diantara awan yang mengalir perlahan-lahan. Dari kejauhan Sabungsari melihat, obor diregol sudah dinyalakan. Langkahnya tertegun ketika ia melihat seseorang berjalan tergesa-gesa mendekati regol. Ia tidak salah lagi, orang itu adalah salah seorang pengikutnya. Karena itu, maka iapun kemudian berlari-lari kecil. Sebelum pengikutnya itu sampai keregol, Sabungsari telah menyusulnya dan menggamitnya. “He, kau akan kemana?“ bertanya Sabungsari. Orang itu terkejut. Ketika ia berpaling, dilihatnya Sabungsari berdiri tegak sambil memandanginya dengan tajam. Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk hormat. Katanya, “Aku akan mencari Ki Lurah.” “Gila. Kalian sudah gila. Kenapa baru sekarang? Kenapa?“ bertanya Sabungsari. Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Jika Ki Lurah berkenan, marilah. Kawan-kawan menunggu dibawah pohon itu. Banyak masalah yang akan kami laporkan.”

Sabungsari mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Marilah. Tetapi kalian jangan mencoba mengelakkan tanggung jawab agar kalian tidak aku cekik sampai mati.” Orang itu tidak menjawab. Namun kemudian dibawanya Sabungsari kepada kawannya yang menunggunya ditempat yang sepi dan terlindung. Ketika Sabungsari sudah duduk diantara mereka, maka nampak wajahnya menjadi tegang. Gumamnya, ”Jumlah kalian kurang seorang.” “Itulah yang akan kami laporkan,“ desis salah seorang pengikutnya. “Laporkan seluruhnya apa yang telah terjadi,“ geram Sabungsari. Keempat orang pengikutnya itu saling berpandangan sejenak. Kemudian yang tertua diantara merekapun beringsut setapak sambil berkata, “Mungkin laporan kami tidak begitu menyenangkan.” “Persetan. Katakan, dimana Agung Sedayu sekarang he? Apakah kalian tidak berhasil menangkapnya?” Pengikutnya itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Aku akan mulai sejak permulaan sekali.” “Cepat katakan,“ bentak Sabungsari, “jangan berputar-putar tanpa ujung dan pangkal. Aku sudah jemu menunggu. Kalian pergi terlalu lama sehingga aku hampir menjadi gila karenanya. Sekarang katakan, dimana Agung Sedayu kalian sembunyikan.” Ke empat orang pengikutnya itupun menjadi berdebar-debar. Mereka sadar, jika mereka mengatakan bahwa Agung Sedayu tidak berhasil mereka bawa dalam keadaan terikat, maka Sabungsari tentu akan marah sekali. Tetapi mereka tidak akan dapat mengatakan laporan yang lain, meskipun mereka belum mengetahui bahwa sebenarnya Sabungsari telah bertemu dengan Agung Sedayu. Tetapi bagaimanapun juga, jantung mereka rasa-rasanya berdegup semakin cepat. Bahkan diluar sadarnya, salah seorang dari mereka telah meraba hulu pedangnya. Untunglah bahwa Sabungsari kebetulan tidak sedang memperhatikannya. Dalam pada itu, orang yang tertua diantara merekapun kemudian berkata, “Ki Lurah Sabungsari. Meskipun aku ingin menyembunyikannya, namun adalah suatu kenyataan bahwa hal itu telah terjadi.” “Cepat.” Orang itupun kemudian dengan singlcat menceriterakan apa yang telah dialaminya meskipun ceritera itu sebenarnya tidak menarik lagi bagi Sabungsari yang ikut menyaksikan sebagian dari semua

peristiwa yang mereka alami. “Semula kami sudah berhasil menangkapnya,“ desis orang itu. Adalah diluar dugaan, bahwa tiba-tiba saja Sabungsari lelah menarik nafas dalam-dalam. Didalam hati anak muda itu berkata, “Bukan aku yang sudah menjadi gila. Peristiwa itu benar-benar terjadi. Agung Sedayu memang sudah tertangkap, tetapi ia berhasil melepaskan diri.” Para pengikutnya menjadi termangu-mangu. Namun mereka terkejut ketika tiba-tiba saja Sabungsari membentak, “Jadi Agung Sedayu itu sekarang terlepas dari tangan kalian?” “Ya Ki Lurah. Bahkan seorang kawan kami telah terbunuh.” “Apakah kalian bertempur lagi melawan Agung Sedayu?“ bertanya Sabungsari. “Tidak. Agung Sedayu tidak kembali lagi. Nampaknya ia sudah menjadi jera.” “Bohong. Agung Sedayu sama sekali tidak kalian kalahkan dengan pertempuran. Bukankah kau mengatakan bahwa kalian dapat menangkap Agung Sedayu karena kalian lebih dahulu menguasai Glagah Putih? Dengan demikian, seandainya Agung Sedayu menyembunyikan Glagah Putih, kemudian kembali kepada kalian, maka kalian akan ditumpasnya habis.” Keempat orang itu menundukkan kepalanya. Tetapi didalam hati merekapun mengakui, bahwa mereka berlima sebenarnya memang tidak dapat mengalahkan Agung Sedayu. “Nah. jadi siapa yang membunuh seorang diantara kalian,“ bertanya Sabungsari kemudian. Pengikutnya itupun menceriterakan pengalamannya lebih lanjut. Dikatakannya, bahwa mereka telah berjumpa dengan orang-orang dari Pasisir endut. sehingga kemudian terjadi perselisihan dan perkelahian. “Jadi. seorang dari kalian telah dibunuh oleh tikus-tikus dari Pesisir Endut he?“ geram Sabungsari. “Ya Ki Lurah. Tetapi kami telah berhasil membunuh dua orang diantara mereka.” “Persetan. Yang penting bukan berapa orang kau membunuh. Tetapi kalian telah kehilangan seorang kawan,“ bentak Sabungsari. Untunglah bahwa iapun segera menyadari, jika ia berteriak terlalu keras, maka suaranya

dapat didengar oleh satu dua orang jika kebetulan mereka berada disawah. Para pengikutnya hanya menundukkan kepalanya. Namun jantung mereka bagaikan mekar ketika mereka mendengar Sabungsari berkata, “Dendamku telah dinyalakan pula oleh orang-orang Pesisir Endut. Setelah aku membunuh Agung Sedayu, maka aku akan membuat perhitungan dengan tikus-tikus yang sudah kehilangan pimpinannya itu.” Para pengikutnya hanya dapat mengangguk-angguk kecil. Sementara Sabungsari berkata seterusnya, “Jadi kalian telah kehilangan Agung Sedayu dan seorang kawan.” “Ya Ki Lurah,“ berkata orang tertua diantara mereka. Sabungsari menggeram. Katanya kemudian, “Untunglah, aku telah menemukan Agung Sedayu. Jika tidak, muka kalianlah yang akan mati sebagai penggantinya.” Tidak seorangpun yang menyahut. Dalam pada itu, Sabungsaripun telah bertanya mengenai perincian peristiwa yang mereka alami. Ia juga bertanya dalam beberapa hal, kenapa tiba-tiba saja orang yang berkuda dibelakang Glagah Putih disaat Agung Sedayu sudah mereka kuasai, telah terpelanting dari kudanya. “Itulah yang tidak kami ketahui Ki Lurah.” “Tidak. Kau tentu mengantuk. Kemudian terjatuh dari punggung kuda dalam keadaan yang tidak mapan sehingga tulang punggungmu terkilir.” Orang yang mengalami hal itu termangu-mangu sejenak. Ia mencoba mengingat-ingat. Namun rasarasanya ia tidak sedang mengantuk. Tetapi Sabungsari berkata terus, “Mungkin kau bermimpi mengalami sesuatu saat matamu terpejam sekejap. Lalu kau terjatuh. Untunglah kepalamu tidak terinjak kaki kudamu yang terkejut.“ Orang itu tidak menjawab. “Dengarlah,” geram Sabungsari kemudian, “kalian masih tetap dalam tugas mengawasi Agung Sedayu. Aku benar-benar tidak mau kehilangan anak itu. Awasilah, agar ia tidak meninggalkan padepokan tanpa aku ketahui arahnya.” Para pengikutnya saling berpandangan. Namun kemudian mereka tidak dapat berbuat lain kecuali mengangguk-anggukkan kepala mereka. “Kali ini aku tidak memberikan hukuman apapun bagi kalian. Kehilangan seorang kawan memang pahit. Tetapi datang saatnya aku akan menjadikan Pesisir Endut itu karang abang,” geram Sabungsari. Pengikutnya masih terdiam.

“Pergilah. Aku akan menentukan saat yang tepat untuk membuat perhitungan dengan Agung Sedayu lebih dahulu, sebelum aku akan pergi ke sarang tikus di Pantai Selatan itu.” Keempat orang pengikut Sabungsari itu tiba-tiba lelah menarik nafas dalam sambil bangkit berdiri dan meninggalkan tempatnya. Sepeninggal para pengikutnya, Sabungsari masih duduk sejenak dibawah sebatang pohon sukun, dalam gelapnya malam yang menjadi semakin dalam. Diluar sadarnya, ia mulai menilai Agung Sedayu. Bukan saja kemampuannya, tetapi juga sifat dan wataknya. “Anak itu memang aneh. Ia sadar sepenuhnya bahwa kelima orang itu benar-benar akan menangkapnya, bahkan mungkin akan membunuhnya dengan cara yang bengis. Namun Agung Sedayu seolah-olah memaafkannya. Jika ia berniat, maka kelima orang itu tentu akan dapat dibunuhnya. Beberapa orang sudah terluka. Dengan menyembunyikan Glagah Putih, maka ia tidak lagi dibebani pekerjaan yang baginya justru terlalu berat. Melindungi anak itu disamping mempertahankan hidupnya sendiri melawan lima orang yang kasar dan garang.” Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Tanpa dikehendakinya sendiri, telah terbersit kekagumannya terhadap Agung Sedayu. Bukan saja dalam olah kanuragan, tetapi juga sifat dan wataknya. Meskipun ia memiliki ilmu yang tinggi, bahkan hampir diluar jangkauan nalar, tetapi ia adalah anak muda yang rendah hati. Sabungsari tidak pernah berhasil memancing Agung Sedayu untuk memamerkan meskipun hanya sebagian kecil dari kemampuannya. “Tentu ia bukan seorang pembunuh,” desisnya, “jika ia membunuh seseorang, tentu karena alasan yang sangat kuat. Bahkan mungkin untuk mempertahankan hidupnya sendiri.” Sabungsari menjirik nafas dalam-dalam. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya bintangbintang bergayutan dilangit. Namun tiba-tiba seperti orang yang terbangun dari mimpinya ia bangkit sambil menghentakkan tangannya, “Tidak. Aku bukan seorang yang cengeng. Aku harus membunuhnya karena ia sudah membunuh ayahku. Jika ia nampak sebagai seorang anak muda yang ramah dan rendah hati itu tentu hanya sekedar selubung untuk menyelimuti kejahatannya.” Dengan langkah yang panjang Sabungsari meninggalkan tempatnya. Dengan loncatan-loncatan yang tangkas ia melampaui pematang dan parit yang melintang. Tetapi ia tidak segera dapat membunuh penilaiannya terhadap Agung Sedayu. Justru karena itu, maka

iapun menjadi sangat gelisah. Tiba-tiba saja Sabungsari itu menggeram sambil bergumam, “Aku akan menemuinya sekarang.“ Dengan tergesa-gesa Sabungsaripun kemudian pergi kepadepokan kecil yang terpisah dari padukuhan Jati anom, diantara pepohonan pategalan yang jarang. Kedatangannya telah mengejutkan penghuni padepokan itu. Seorang anak muda yang berada di tangga pendapa menghirup sejuknya udara malam, terkejut melihat kedatangan Sabungsari. Meskipun hari masih belum terlalu malam, tetapi kunjungannya memang menimbulkan pertanyaan. Agung Sedayu yang berada didalam rumah, mendengar pembicaraan dipendapa. Ia langsung dapat mengenal suara Sabungsari, sehingga iapun tergesa-gesa keluar diikuti oleh Glagah Putih. Sabungsari menegang ketika ia mendengar pintu pringgitan terbuka. Apalagi ketika ia melihat, Agung Sedayu muncul dari balik pintu diikuti oleh Glagah Putih. Namun kekerasan hatinya bagaikan luluh ketika ia melihat Agung Sedayu tersenyum. Dibawah cahaya lampu minyak ia melihat senyum yang jujur dan ikhlas, sehingga hatinyapun menjadi kacau oleh ketidakpastian. Bayangan-bayangan yang nampak disaat ia merenungi anak muda itu dibawah pohon sukun mulai nampak kembali. “Marilah Sabungsari,“ Agung Sedayu mempersilahkan dengan ramah, “duduklah.” Seperti dicengkam oleh pesona yang tidak dimengertinya, maka Sabungsaripun kemudian duduk diatas tikar yang sudah terbentang dipendapa padepokan kecil itu. “Malam-malam begini kau datang kepadepokan ini Sabungsari?“ bertanya Agung Sedayu. Sabungsari menjadi agak bingung. Namun kemudian jawabnya seperti yang selalu diucapkannya, “Aku kepanasan dibarak. Betapa jemunya melihat tombak bersandar didinding, melihat pedang tergolek hampir disetiap pembaringan.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun Glagah Putihlah yang bertanya, “Bukankah kau telah memilih sendiri jalan hidupmu untuk mengabdi sebagai seorang prajurit?” “Ya.“ Sabungsari mengangguk, “tetapi terasa betapa tenangnya tinggal dipadepokan ini.” .Agung Sedayu tertawa kecil. Katanya, “Apakah kau tinggal saja dipadepokan ini?” “Tentu tidak mungkin,“ jawab Sabungsari, “aku seorang prajurit yang terikat oleh beberapa ketentuan.” “Jika demikian, sering sajalah datang kepadepokan ini,“ sahut Glagah Putih.

Sabungsari menarik nafas daiam-dalam. Diluar sadarnya, ia mengangguk-angguk sambil menjawab, “Aku akan berbuat demikian. Dalam waktu-waktu senggang, aku akan berada dipadepokan ini.“ “Kami akan menerimamu dengan senang hati,“ sambung Agung Sedayu. Sabungsari mengangguk-angguk. Sekilas dipandanginya wajah Agung Sedayu yang cerah dan wajah Glagah Putih yang tulus. Tidak ada perasaan permusuhan sedikitpun juga pada sorot mata mereka. “Karena mereka tidak tahu, bahwa aku terlibat dalam permusuhannya dengan kelima orang yang bertempur melawannya di Pesisir Selatan itu,“ berkata Sabungsari didalam hatinya, “jika saja ia mengetahui, mungkin ia akan bersikap lain.” Tetapi ternyata bahwa dalam setiap pembicaraan dengan Agung Sedayu, Sabungsari tidak mendengar rasa dengki dan apalagi dendam. Ia jarang sekali menyebut seseorang sebagai lawan. Jika terpaksa dikatakannya demikian, maka permusuhan telah terhenti saat perkelahian telah terhenti pula. Berbagai macam tanggapannya atas Agung Sedayu itu justru menjadikan semakin gelisah. Keringat dinginnya mulai mengalir membasahi kulitnya. Ada semacam keragu-raguan yang menyusup didalam hatinya, bahwa ia harus melakukan pembunuhan terhadap seseorang yang sama sekali tidak memusuhinya. “Jika ia tahu, bahwa aku anak Ki Gede Telengan, mungkin anak muda itu akan bersikap lain,“ geram Sabungsari didalam hatinya. Tiba-tiba saja semuanya telah bergejolak didalam hatinya semakin lama semakin dahsyat, sehingga rasa-rasanya jantungnya berdentangan semakin cepat pula didalam dadanya. “Segalanya harus menjadi jelas. Sekarang juga aku akan menyelesaikan persoalan ini,“ geram Sabungsari didalam hatinya. Karena itu, ketika Glagah Putih sedang pergi keruang dalam ia berkata kepada Agung Sedayu, “Agung Sedayu. Dalam saat-saat terakhir aku mengalami tekanan jiwa. Sebenarnya aku ingin membebaskan diri dari himpitan itu. Tetapi aku tidak dapat. Karena itu, aku ingin kau memberi beberapa petunjuk sehingga dapat sedikit meringankan beban perasaanku itu.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya dengan ragu-ragu, “Apakah yang dapat aku lakukan untukmu Sabungsari?” “Aku akan mengatakan sesuatu kepadamu. Aku tidak tahu, apakah tanggapanmu terhadap hal itu. Mungkin kau akan menaruh belas kasihan kepadaku. Tetapi mungkin kau akan mencibirkan bibirmu sambil menghinaku. Terserahlah kepadamu,“ berkata Sabungsari dengan nada dalam.

“Katakan Sabungsari. Mungkin aku dapat membantumu. Setidak-tidaknya, jika kesulitan itu kau katakan kepada seseorang, beban dihatimu sudah akan berkurang.” Sabungsari mengangguk kecil. Tetapi katanya kemudian, “Agung Sedayu. Kita belum terlalu lama berkenalan. Tetapi aku mempunyai kepercayaan yang sangat besar kepadamu. Meskipun demikian, persoalanku bukannya persoalan anak-anak yang masih terlalu muda. Persoalanku dalah persoalan anak muda yang dewasa seperti kita.” “Ya,“ sahut Agung Sedayu, “katakanlah.“ Sabungsari termangu-mangu sejenak. Ketika Glagah Putih kemudian muncul dari balik pintu, dengan tergesa-gesa Sabungsari berkata, “Aku tidak ingin Glagah Putih mendengarnya.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa Sabungsari ingin mengatakan hal itu kepadanya seorang diri. “Jadi, apa yang baik menurut pendapatmu,“ desis Agung Sedayu. Glagah Putih telah duduk disebelah Agung Sedayu, sehingga Sabungsari menjadi gelisah. Tetapi iapun kemudian berkata, “Apakah kau tidak ingin pergi berjalan-jalan Agung Sedayu?” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Tetapi iapun mengerti, bahwa dengan demikian, ia akan dapat berjalan berdua saja tanpa Glagah Putih. “Tetapi bagaimana jika anak itu memaksa untuk ikut serta,“ bertanya Agung Sedayu kepada diri sendiri. Dalam pada itu Glagah Putih telah menyahut, “Jika kakang pergi berjalan-jalan aku akan ikut.” Agung Sedayu memandang adik sepupunya itu sejenak. Kemudian katanya, “Glagah Putih, ada sesuatu yang akan kami bicarakan. Sebaiknya kau tinggal saja dipadepokan mengawani guru. Apalagi kau masih harus banyak beristirahat.” “Aku sudah beristirahat semalam suntuk dan sehari ini aku sudah berada disawah bersama kakang Agung Sedayu,“ jawab Glagah Putih. “Kita belum beristirahat dalam arti sebenarnya,“ sahut Agung Sedayu. “Sejak kita datang semalam kita harus menjawab pertanyaan tanpa henti-hentinya. Siang tadi kita sudah berada disawah. Nah,

barangkali kau dapat tidur sekarang.” Glagah Putih memandang Agung Sedayu dengan tatapan mata yang aneh. Bahkan dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah kakang Agung Sedayu sendiri sudah beristirahat sebaik-baiknya?” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Aku sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Lalu katanya, “marilah, aku akan menghadap Kiai Gringsing untuk minta diri. Apakah kau melihat, dimana guru sekarang? Apakah guru sudah tidur, atau sedang membaca kidung?” “Kiai Gringsing ada diruang belakang membaca kidung.” Agung Sedayupun kemudian mengajak Glagah Putih menghadap gurunya untuk minta diri dan menyerahkan Glagah Putih agar ia tidak memaksa untuk ikut bersamanya. Nampaknya Sabungsari benar-benar segan mengatakan persoalannya dihadapan seorang anak yang masih sangat muda. Kiai Gringsing sedang duduk diamben sambil menghadapi sebuah kitab yang besar diatas sebuah lambaran kayu. Sebuah lampu minyak menerangi huruf-huruf yang tersusun dalam gatra demi gatra. Demikian asyiknya membaca, sehingga kedatangan Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak diperhatikannya. Baru ketika keduanya duduk dibibir amben itu, maka ia berhenti membaca dan berpaling, “Apakah kalian mempunyai keperluan?” Agung Sedayu bergeser setapak. Kemudian dikatakannya maksudnya untuk berjalan-jalan dengan Sabungsari. Iapun tidak dapat menyembunyikan permintaan Sabungsari untuk pergi hanya berdua, karena ia segan untuk mengatakan persoalannya dihadapan Glagah Putih.” Tiba-tiba saja Kia Gringsing nampak gelisah. Namun hanya sekilas. Katanya kemudian, “Dan kau akan pergi sekarang?” “Ya guru. Hanya sebentar. Dan aku tidak akan pergi jauh dari padepokan ini.” Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Glagah Putih yang menunduk. Lalu katanya, “Kau sebaiknya tinggal bersamaku disini Glagah Putih. Dengarlah, aku akan membaca kitab ini. Barangkali kau akan senang mendengarnya. Aku akan membacanya keras-keras. Meskipun suaraku tidak baik. tetapi aku akan mengucapkannya dalam tembang macapat.” Glagah Putih mengerutkan keningnya. Nampak bahwa ia menjadi kecewa. Tetapi ia mengerti, bahwa sebaiknya ia memang tidak ikut pergi bersama kakak sepupunya. Namun dalam pada itu. Kiai Gringsing berkata kepada Agung Sedayu, “Apakah kau tidak mengetahui,

persoalan apakah yang akan dikatakannya kepadamu?” “Menurut keterangannya adalah masalah anak-anak yang meningkat dewasa.” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Sejenak ia termangu-mangu. Dipandanginya Agung Sedayu yang sama sekali tidak berprasangka apapun tentang Sabungsari yang ingin mengatakan sesuatu kepadanya tanpa didengar orang lain. Agak berbeda dengan Agung Sedayu, maka Kiai Gringsing agak menjadi cemas melihat sikap Sabungsari. Baru saja Agung Salayu dan Glagah Putih kembali dari perjalanan yang melelahkan. Bahkan yang hampir saja merenggut jiwa mereka. Kedua anak muda itu masih belum beristirahat, yang sebenarnya beristirahat. Sebenarnya, malam itu jika Glagah Putih telah tidur dibiliknya. Agung Sedayu akan diajaknya berbicara tentang berbagai masalah yang penting. Ia akan bertanya dengan sungguh-sungguh hasil perjalanan Agung Sedayu. Bukan laporan sekilas seperti yang sudah dikatakannya semalam. Agung Sedayu melihat kegelisahan di sorot mata gurunya. Perlahan-lahan kepalanya tertunduk dalam-dalam. Nampaknya gurunya mempunyai prasangka tentang anak muda yang bernama Sabungsari itu. “Kau tidak lama Agung Sedayu?“ bertanya Kiai Gringsing kemudian. “Tidak guru,“ jawab Agung Sedayu dengan ragu-ragu. “Setelah kau beristirahat sehari ini, sebenarnya aku ingin berbicara panjang denganmu,“ desis gurunya. Agung Sedayu menundukkan kepalanya lebih dalam. Memang ada yang akan disampaikannya kepada gurunya malam itu. Iapun sebenarnya sedang menunggu Glagah Putih tidur nyenyak, agar ia dapat berbicara panjang dengan gurunya menyangkut masalah masalah lahir dan batin. Beberapa pesan Ki Waskitapun harus disampaikannya kepada gurunya. Bukan saja tentang rontal yang dikirimkannya, tetapi juga, tentang kitab rontal yang disebut-sebut sebagai milik gurunya. Tetapi rasa-rasanya ia tidak dapat menolak permintaan Sabungsari. Namun dengan demikian, meskipun gurunya tidak berpesan, ia merasa bahwa ia harus berhati-hati. Sejenak kemudian, maka Agung Sedayupun minta diri. Gurunya dan Glagah Putih mengantarkannya ke pendapa, untuk melepaskannya pergi bersama

Sabungsari. “Persetan dengan orang tua itu,“ geram Sabungsari, “aku tidak berkeberatan jika ia mengetahui bahwa akulah yang telah membunuh Agung Sedayu. Jika ia menuntut kematian muridnya, maka akupun akan membinasakannya pula seperti Agung Sedayu.” Namun yang diucapkan oleh Sabungsari adalah kata-kata yang ramah dan sopan. Sambil mengangguk dalam-dalam ia minta diri kepada Kiai Gringsing untuk berjalan-jalan bersama Agung Sedayu. “Hanya sekedar mencari udara sejuk disawah Kiai,“ berkata Sabungsari. “Silahkan ngger. Tetapi cepat pulang. Kau tidak boleh terlalu lama meninggalkan barakmu,“ pesan Kiai Gringsing sambil tersenyum. Sabungsari mengangguk sambil menjawab, “Ya Kiai. Aku tidak akan terlalu lama.“ Namun didalam hati ia menggeram, “Perduli apa dengan peraturan keprajuritan. Jika Agung Sedayu sudah mati, aku tidak memerlukan barak itu lagi. Jika perlu, Untarapun dapat aku bunuh seperti Agung Sedayu dan orang tua itu pula.” Demikianlah maka kedua anak muda itupun kemudian meninggalkan padepokan kecil itu berjalanjalan menyusuri jalan-jalan bulak. Disepanjang langkah mereka, percakapan mereka berkisar dari satu soal kesoal lain yang nampaknya tidak penting sama sekali. Namun ketika mereka sudah agak jauh dari padepokan dan berada di tengah-tengah pategalan yang sepi, maka Sabungsari mulai menjadi gelisah. Berbagai macam tanggapannya atas Agung Sedayu mulai menggelegak didalam hatinya. Ada kebencian yang tidak dapat disingkirkan dari dasar hatinya. Tetapi ada perasaan lain yang terasa semakin mengganggunya. Agung Sedayu merasakan kegelisahan yang mencengkam Sabungsari. Karena itu, maka dengan raguragu Agung Sedayupun kemudian bertanya, “Sabungsari, apakah sebenarnya yang ingin kau katakan?” Sabungsari termangu-mangu. Sejenak ia merenung. Namun kemudian katanya, “Marilah. Kita dapat duduk seenaknya jika kita turun kesungai disebelah.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Terasa juga sesuatu didalam hatinya. Seperti yang dirasakan gurunya, maka iapun menyadari, bahwa ia memang harus berhati-hati. Tetapi Agung Sedayu tidak menolak. Ia melangkah disamping Sabungsari menuju ketebing sungai yang memang tidak begitu jauh dari pategalan. “Kita akan duduk ditepian itu Agung Sedayu,“ berkata Sabungsari.

Agung Sedayupun tidak menolak, meskipun ia menjadi semakin berhati-hati. Tepian sungai itu penuh dengan batu-batu besar yang berserakan, yang agaknya pada masa-masa yang lampau telah dilemparkan dari mulut Gunung Merapi. Dibalik batu-batu itu dapat bersembunyi bukan saja seseorang, tetapi seekor kerbaupun akan dapat memilih sebuah batu yang besar untuk bersembunyi. “Nampaknya persoalanmu sangat penting Sabungsari?“ bertanya Agung Sedayu. Terasa keringat mulai mengalir dipunggung Sabungsari. Namun akhirnya ia menggeretakkan giginya untuk melandasi perasaannya yang gelisah. “Agung Sedayu,“ berkata Sabungsari kemudian, “ada beberapa pertanyaan yang akan aku berikan kepadamu. Mungkin kau heran, bahwa pertanyaanku akan menyangkut perjalanan yang baru saja kau lakukan.” “Perjalananku kerumah Ki Waskita?“ bertanya Agung Sedaya dengan dahi berkerut. “Ya. Perjalananmu dari seberang Kali Praga lewat Pesisir Selatan,“ desis Sabungsari. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah aku pernah menceriterakan kepadamu tentang perjalananku itu, sehingga kau mengetahui bahwa aku kembali lewat pesisir Selatan?” “Dan bukankah kau telah dicegat oleh lima orang yang tidak kau kenal? “ Sabungsari menyambung tanpa menjawab pertanyaan Agung Sedayu. Agung Sedayu menjadi semakin heran karenanya. Menurut ingatannya ia tidak pernah mengatakan perjalanannya sampai perincian yang kecil, apalagi tentang orang-orang yang telah mencegatnya diperjalanan. Karena itu, maka iapun bertanya, “Sabungsari, siapakah yang pernah menceriterakan hal itu kepadamu? Glagah Putih atau anak-anak padepokan yang lain, yang pernah mendengar ceriteraku?” “Nah, jadi dengan demikian kau telah membenarkan kata-kataku,“ desis Sabungsari. Agung Sedayu mengerutkan keningnya, dan Sabungsari berkata seterusnya, “Bukankah kau pernah menceriterakannya kepada anak-anak muda dipadepokanmu?” Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, “Ya. Aku memang sudah menceriterakan peristiwa yang kau katakan. Tetapi katakan, siapakah yang menceriterakannya kepadamu.”

“Agung Sedayu,“ berkata Sabungsari, “aku mendengar dari seseorang yang tidak perlu aku sebut namanya. Tetapi orang itu adalah salah seorang dari kelima orang yang telah mencegatmu diperjalanan. Mereka datang kepadaku tidak lagi berlima, tetapi hanya berempat. Seorang dari mereka telah terbunuh.” “Terbunuh? Siapakah yang telah membunuhnya? Aku tidak membunuh seorangpun diantara mereka,“ desis Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu mulai ragu-ragu. Apakah sentuhan tatapan matanya terhadap orang yang berkuda dibelakang Glagah Putih itu telah membunuhnya. Tetapi dalam pada itu Sabungsari berkata, “Yang membunuh salah seorang dari mereka adalah orangorang dari Pesisir Endut.” Wajah Agung Sedayu menegang. Dengan berdebar-debar ia bertanya, “Apakah kau berkata sebenarnya Sabungsari? Dan siapakah sebenarnya mereka berlima itu?” Sabungsari diam sejenak. Wajahnya benar-benar menjadi tegang. Keringat dinginnya mengalir diseluruh tubuhnya. Ada sesuatu yang asing baginya menghadapi anak muda yang bernama Agung Sedayu itu. Seolah-olah ia menghadapi seseorang dalam wajah yang berbeda-beda. Rasa-rasanya Agung Sedayu adalah seorang lawan yang dibencinya dengan api dendam tiada taranya. Tetapi rasarasanya Agung Sedayu adalah seorang sahabat yang tulus dan jujur. Tetapi Sabungsari itupun menggeretakkan giginya sambil menggeram, “Agung Sedayu. Mereka adalah pengikut Ki Gede Telengan.” “Ki Gede Telengan? “ Agung Sedayu mengulang. “Ya. Tetapi katakan Agung Sedayu. Kenapa kau tidak membunuh mereka semuanya? Apakah karena kau tidak mengerti bahwa mereka adalah pengikut Ki Gede Telengan?” Agung Sedayu termangu-mangu. Namun katanya, “Apakah gunanya aku membunuh mereka Sabungsari. Bahkan seandainya aku ingin, apakah aku akan mampu melakukannya?” “Tentu kau mampu melakukannya. Kau dapat menyembunyikan Glagah Putih yang menghambat perlawananmu. Kemudian kau sendiri terjun menghadapi kelima orang itu, maka mereka akan dapat kau bunuh dengan ilmumu yang sangat dahsyat.” Agung Sedayu menjadi semakin heran, seolah-olah Sabungsari mengetahui semuanya yang telah terjadi di Pesisir Selatan itu. “Sabungsari,“ jawab Agung Sedayu, “kau keliru. Aku tidak akan mampu melakukannya. Aku hanya dapat melarikan diri dari tangan mereka. Bahkan seandainya aku mampu melakukannya, apakah artinya pembunuhan itu? Jika mereka mendendam aku karena kematian Ki Gede Telengan, apakah itu

akan dapat aku selesaikan dengan membunuh mereka pula?” Sabungsari menjadi semakin bingung menghadapi kenyataan itu. Namun sambil menggeretakkan giginya ia menggeram, “Tetapi kenapa kau bunuh Ki Gede Telengan?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak tahu pasti, siapakah sebenarnya yang dihadapinya. Namun kemudian ia menjawab, “Aku sama sekali tidak membunuhnya karena dendam dan kebencian. Kematian Ki Gede Telengan terjadi karena kelemahanku. Aku adalah suatu contoh yang baik bagi seseorang yang mementingkan dirinya sendiri. Aku lebih cinta diriku sendiri daripada kepada orang lain. Aku membunuh Ki Gede Telengan karena aku tidak mau mati dipeperangan. Aku ulangi Sabungsari, semuanya itu terjadi dipeperangan. Dipeperangan aku berhadapan dengan orangorang yang tidak aku kenal sebelumnya. Dan dipeperangan aku harus berpijak pada sikap yang mementingkan diriku sendiri. Sehingga aku terpaksa membunuh karena aku tidak mau dibunuh. Tanpa dendam dan tanpa kebencian, karena sebelumnya aku tidak pernah mengenal Ki Gede Telengan.” “Bohong,“ tiba-tiba saja Sabungsari berteriak. “Kenapa kau berteriak?“ bertanya Agung Sedayu. Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya lirih, “Maaf Agung Sedayu. Maksudku, aku tidak sependapat, bahwa kau membunuh lawan dipeperangan tanpa dendam dan kebencian. Jika demikian, apakah bekalmu maju kemedan perang?” Agung Sedayu menjadi termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Sabungsari, Mataram datang kelembah itu dengan satu niat, mengambil kembali haknya yang dirampas oleh orang-orang yang tidak berhak memilikinya. Termasuk Ki Gede Telengan. Seandainya milik orang-orang Mataram itu diserahkan sebelum terjadi peperangan, aku kira peperangan itu memang tidak perlu.” “Yang dilanggar haknya adalah orang-orang Mataram. Bukan kau dan bukan pula gurumu,“ bantah Sabungsari. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian tiba-tiba saja ia bertanya, “Apakah sebenarnya kepentinganmu dengan peristiwa itu Sabungsari? Apakah kau kecewa seperti kakang Untara kecewa, bahwa prajurit Pajang telah didahului oleh Mataram? Atau kau mempunyai latar belakang tersendiri dari peristiwa ini sehingga kau ingin membuat perhitungan tersendiri pula.” Wajah Sabungsari menjadi merah padam. Gejolak hatinya terasa menjadi semakin dahsyat. Agung Sedayu telah menjadi orang berwajah rangkap. Wajah iblis yang menakutkan. Tetapi juga wajah kanak-kanak yang bersih tanpa cacat. Untuk sesaat Sabungsari menjadi bimbang. Dadanya bagaikan bergemuruh oleh keragu-raguannya. Sekali ia melangkah maju. namun kemudian ia melangkah surut pula. Agung Sedayu benar-benar menjadi heran melihat sikap Sabungsari. Ia sama sekali tidak mengerti,

apakah sebenarnya yang dikehendakinya. Karena itu dengan ragu-ragu ia bertanya pula, “Sabungsari. Coba katakan, apakah sebenarnya yang kau kehendaki? Seandainya kau mempunyai kepentingan tersendiri, apakah kepentinganmu dengan semua peristiwa yang pernah terjadi itu.” Sabungsari mengangkat wajahnya menengadah kelangit. Dilihatnya bintang-bintang berkeredipan. Namun tiba-tiba saja Sabungsari itu berdiri tegak sambil berkata masih sambil menatap langit, “Aku adalah anak Ki Gede Telengan. Aku adalah anaknya dan sekaligus muridnya.” Agung Sedayu terkejut sekali mendengar pengakuan yang tiba-tiba itu, sehingga iapun terloncat berdiri. Sejenak ia termangu-mangu. Dipandanginya Sabungsari yang masih berdiri tegak tanpa berpaling kepadanya. “Sabungsari, apakah pendengaranku benar, bahwa kau anak dan sekaligus murid Ki Gede Telengan?“ bertanya Agung Sedayu. “Ya. Akulah yang memerintahkan kelima orang itu menangkapmu dan membawa kembali ke Jati Anom secepatnya. Aku akan membuat perhitungan denganmu. Aku memang melarang mereka beramai-ramai membunuhmu karena aku akan membunuhmu dengan ilmuku yang tidak ada duanya dimuka bumi ini,“ suara Sabungsari menghentak-hentak seolah-olah sendat dikerongkongannya. Sejenak Agung Sedayu menjadi bingung. Ia tidak mengerti, bagaimana ia harus bersikap terhadap seseorang yang mendendamnya dengan hati yang menyala. Sekilas terbayang kembali apa yang telah terjadi di Pasisir Selatan. Lima orang telah mencegatnya dan memaksanya untuk membela diri. Karena Glagah Putih telah dikuasai oleh kelima orang itulah maka ia menyerahkan dirinya. Tetapi dalam pada itu, ia sama sekali tidak mengira bahwa kelima orang itu adalah para pengikut Sabungsari dan menerima perintah daripadanya pula. Menurut pengenalannya Sabungsari adalah seorang prajurit muda yang baik, ramah dan semanak. Namun dibelakang sifatnya itu ternyata tersimpan dendam tiada taranya. Kini ia berada berdua saja dengan Sabungsari ditempat yang sepi dan jauh dari padepokannya. Dengan demikian, maka Agung Sedayu dapat membayangkan, apa yang akan dilakukan oleh Sabungsari atasnya. Sejenak Agung Sedayu masih berdiri termangu-mangu. Ia lebih banyak menunggu perkembangan keadaan. Apakah yang akan dilakukan kemudian oleh Sabungsari yang kehilangan ayah dan sekaligus gurunya itu. Untuk beberapa saat keduanya justru saling berdiam diri. Agung Sedayu lebih banyak menunggu, sementara Sabungsari masih saja dicengkam oleh

kebimbangan, bahkan kebingungan menghadapi Agung Sedayu. Semula Sabungsari menganggap bahwa Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang kasar dan garang, meskipun ia berpura-pura luruh dan rendah hati. Namun ketika ia telah, melihat sendiri, apa yang dilakukannya atas kelima pengikutnya, maka anggapan itupun menjadi kabur, meskipun ia berusaha untuk mempertahankan anggapannya. Tetapi ia tidak selalu dapat membohongi dirinya sendiri. Namun demikian ia tidak mau api dendamnya menjadi padam dan dibiarkannya kematian ayahnya tanpa menuntut balas. Apalagi ia merasa bahwa ia telah dibekali kekuatan dan ilmu yang tiada taranya. “Tetapi, apakah aku akan membunuh Agung Sedayu dengan sorot mataku,“ kebimbangan itu terasa mencengkam hati Sabungsari. Tetapi tiba-tiba saja Sabungsari menggeretakkan giginya sambil menggeram, “Agung Sedayu. Aku bukan perempuan cengeng yang hanya pantas merajuk. Tetapi aku adalah anak Ki Gede Telengan yang pantas menuntut balas,“ lalu tiba-tiba saja ia berteriak, “Agung Sedayu. Bukankah kau seorang lakilaki jantan yang tidak ingkar akan tanggung jawab? Berbuatlah sesuatu menurut kemampuanmu, karena aku akan segera membunuhmu dengan caraku.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang sudah menduga, bahwa pada akhirnya Sabungsari akan berkata demikian. Tetapi Agung Sedayupun melihat keragu-raguan dihati Sabungsari. Sehingga karena itu, ia masih ingin mencoba untuk mencegah kekerasan yang akan dilakukannya. “Sabungsari,“ berkata Agung Sedayu, “aku tidak ingkar. Dan akupun akan berbuat seperti yang kau kehendaki. Tetapi seperti yang aku katakan, aku tidak membunuh Ki Gede Telengan karena kebencian. Yang terjadi dipeperangan itu begitu saja berlangsung. Aku tidak tahu, siapa yang bakal aku hadapi.” “Jangan mencoba memperkecil arti perguruan Ki Gede Telengan. Kematian ayahku bukan karena ilmumu lebih tinggi daripadanya. Ayah tentu sedang lengah atau karena sebab-sebab yang lain. Tetapi aku sekarang yang mewarisi ilmunya akan membuktikan, bahwa kau tidak dapat mengalahkan ayahku yang ilmunya tercermin pada kemampuanku.” “Apakah hal itu kau anggap perlu Sabungsari.” “Jangan merengek. Aku perlu membalas dendam. Aku akan membunuhmu. Aku akan membunuhmu, kau dengar.” Sebelum Agung Sedayu menjawab. Tiba-tiba saja Sabungari telah meloncat keatas sebuah batu besar. Sambil berdiri bertolak pinggang, ia berkata lantang, “Marilah Agung Sedayu. Kita adalah anak-anak muda yang dibebani tanggung jawab. Bersiaplah, aku akan membunuhmu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak segera berbuat sesuatu. “Cepat,“ teriak Sabungsari, “sifat-sifatmu membuat aku menjadi gila. Berbuatlah sesuatu. Berdiri tegak sambil menengadahkan wajahmu yang merah karena marah. Marahlah dan mengumpatlah. Kita akan bertempur sampai kemampuan kita yang terakhir.” Tetapi Agung Sedayu masih belum menunjukkan sikap untuk melawan Sabungsari dengan kekerasan. Bahkan kemudian ia masih meneoba untuk melunakkan hati anak muda itu. “Sabungsari,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “kita adalah anak-anak muda yang akan mewarisi masa depan. Apakah kita akan membiarkan hati kita direnggut oleh perasaan dendam dan kebencian tanpa menilai peristiwa yang sudah berlalu. Apakah dengan demikian berarti bahwa daya tangkap dan daya nilai kita terhadap peristiwa-peristiwa itu sangat kerdil? Jika kita, yang masih muda ini, membiarkan hati kita dibakar oleh dendam tanpa arti dari setiap peristiwa, maka berarti bahwa kita adalah budak nafsu kemarahan tanpa mengenal maknanya.” Sabungsari menggeretakkan giginya. Namun ia menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Agung Sedayu. Kau benar-benar membuat aku bingung. Tetapi kau jangan mencegah niatku untuk menunjukkan baktiku kepada orang tuaku. Hanya dengan menebus kematian ayahku dengan kematianmu sajalah, maka aku akan tetap diakui sebagai anak Ki Gede Telengan. Aku berangkat dari padepokan dengan janji kepada setiap orang. Bahkan kepada diriku sendiri. Bahwa aku akan membunuh orang yang telah membunuh ayahku. Dan sekarang aku sudah menemukannya. Meskipun setelah aku mengenalmu, sifat dan watakmu, hatiku menjadi bingung dan bimbang. Namun janjiku sudah aku ucapkan.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Sekilas terbayang olehnya Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga. Iapun telah dibelenggu oleh sumpahnya, bahwa ia tidak akan menginjakkan kakinya di balai penghadapan istana Pajang, sebelum ia berhasil membangun Mataram menjadi sebuah kota yang ramai seramai Pajang. Dan ternyata Raden Sutawijaya tidak dapat memecahkan ikatan yang telah membelenggunya itu. Karena itu, maka Agung Sedayupun seolah-olah telah kehilangan harapan untuk mencegah niat Sabungsari meskipun agaknya Sabungsari sendiri menjadi ragu-ragu. Sejenak keduanya termangu-mangu. Sabungsari bagaikan orang yang kehilangan dirinya sendiri. Bahkan kemudian ia menggeretakkan giginya untuk mengusir keragu-raguannya. Dengan menghentakkan kakinya ia berkata, “Cepat. Bersiaplah. Darahku telah mendidih didalam jantung. Aku tidak mempunyai cara lain untuk menunjukkan baktiku kepada orang tuaku, selain membunuhmu betapapun juga hatiku dicengkam keragu-raguan.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar telah disudutkan kepada suatu keadaan yang tidak dikehendakinya. Seperti yang pernah terjadi, ia harus berhadapan dengan seseorang yang mendendamnya dan memaksanya untuk berperang tanding. Namun ia melihat sedikit perbedaan pada Sabungsari dan Carang Waja yang datang dari Pesisir Endut. Carang Waja telah berusaha membunuhnya dengan dendam dan kebencian yang tiada taranya. Namun Sabungsari mulai dijalari oleh keragu-raguan. Meskipun demikian, kedua-duanya merupakan bahaya yang gawat bagi Agung Sedayu. Apalagi menilik kepercayaan Sabungsari terhadap dirinya sendiri. Ia memerintahkan kelima orang pengikutnya untuk sekedar menangkapnya dan tidak membunuhnya, agar ia sempat berperang tanding dan membunuhnya dengan tangannya sendiri. Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Anak muda itu nampaknya tidak membawa senjata. Tetapi mungkin ia memiliki senjata rahasia yang dapat dipergunakannya tanpa diduga-duga. Agung Sedayu terkejut ketika ia mendengar Sabungsari membentaknya, “Cepat, bersiaplah. Jika kau ingin mempergunakan cambukmu yang terkenal itu pergunakan. Untunglah bahwa pengikutku mempergunakan juntai cambukmu sendiri untuk mengikat tanganmu, sehingga cambukmu itu masih tetap kau miliki.” Sejenak Agung Sedayu bagaikan membeku. Ia memang membawa cambuk dibawah bajunya membelit lambung. Tetapi selama lawannya tidak mempergunakan senjata, maka Agung Sedayupun segan pula mempergunakan senjata. Akhirnya keduanya tidak dapat menghindarkan diri dan kemungkinan yang sudah lama direncanakan oleh Sabungsari, namun yang pada saat saat terakhir justru telah membuatnya ragu-ragu. “Bersiaplah Agung Sedayu. Aku akan mulai. Aku akan menunjukkan kepadamu, bagaimana aku berbakti kepada orang tuaku tanpa memandang arti kehidupannya. Siapapun ayahku, ia adalah ayahku. Dan aku akan berbakti kepadanya.” Agung Sedayupun bergeser. Ia melihat Sabungsari benar-benar mempersiapkan diri. Dan iapun merasa masih terlalu muda untuk mati. Sehingga dengan demikian, maka iapun akan berusaha untuk mempertahankan diri. Meskipun demikian, ia masih berkata, “Terserahlah kepadamu Sabungsari. Mungkin kau berhasil membunuhku, sehingga besok orang-orang dipadepokan kecil itu akan menguburkan tubuhku. Tetapi apakah dengan demikian kau benar-benar telah menunjukkan baktimu kepada orang tuamu? Bagiku sama sekali tidak. Kau justru semakin menodai nama keluargamu karena tingkah lakumu. Jika kau benar-benar berbakti kepada orang tuamu yang sesat, maka kau akan mempergunakan ilmumu untuk menjunjung nama baik ayahmu yang sudah ternoda itu. Pengabdianmu kepada kemanusiaan adalah cara yang paling baik untuk mencuci noda nama orang tuamu, bukan justru kau menjerumuskannya semakin dalam kedalam lumpur yang paling kotor.”

“Diam. Diam. Aku akan membunuhmu,“ teriak Sabungsari. “Aku melihat wajahmu yang kabur antara kesetiaanmu yang membutakan dan kesadaranmu tentang buruk dan baik. Tetapi jika kau memilih jalan yang kasar ini Sabungsari, aku akan mencoba mempertahankan diriku, karena akupun masih semuda kau, bahkan mungkin lebih muda daripadamu.” Sejenak Sabungsari terdiam. Perlahan-lahan wajahnya menunduk. Dipandanginya secercah air dibawah batu yang diinjaknya. Dalam gelapnya malam ia melihat putihnya buih yang seolah-olah bekejaran. Namun tiba-tiba ia menengadahkan kepalanya sambil menggeram, “Aku akan membunuhmu. Aku akan membunuhmu.” Sabungsari menggeretakkan giginya. Suaranya bergema menelusuri tebing sungai yang panjang, seolah-olah kata-katanya diulang sepuluh kali. Sementara itu Agung Sedayu tidak dapat berbuat lain kecuali mengimbangi perasaan Sabungsari yang bergejolak. Ketika kemudian Sabungsari meloncat turun dari atas batu, maka Agung Sedayupun bergeser ketempat yang lebih luas ditepian. Keduanya berhadapan dengan wajah yang tegang. Keduanya masih muda dan memiliki ilmu yang tinggi. Sekilas terbayang kecurigaan gurunya terhadap Sabungsari. Ternyata bahwa firasat gurunya sangat tajam menilai keadaan. Untunglah bahwa iapun sudah mulai berhati-hati disaat-saat mereka meninggalkan padepokan kecilnya. “Tetapi nampaknya anak muda itu cukup jantan,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya, “sehingga ia tidak akan menyerang dari belakang tanpa memberitahukan terlebih dahulu.” Namun Agung Sedayu tidak dapat berangan-angan terlalu lama. Sejenak kemudian Sabungsari telah mulai bergeser. Sikapnya sudah pasti, bahwa sesaat kemudian ia tentu akan meloncat menyerang. Perhitungan Agung Sedayu tidak meleset. Sesaat kemudian. Sabungsari memang sudah siap. Dengan gerakan pendek ia mulai memancing perkelahian. Ketika tangan Sabungsari terayun kewajahnya, maka Agung Sedayu bergeser setapak. Dengan tangan kirinya ia mencoba untuk menyentuh tangan Sabungsari yang terjulur. Tetapi tangan itu cepat ditariknya, sehingga Agung Sedayu tidak mengenainya. Bahkan iapun harus

meloncat selangkah, karena kaki Sabungsari terayun dengan derasnya menyerang perutnya. Dengan demikian, maka perkelahian sudah tidak dapat dihindari lagi. Sabungsari menyerang Agung Sedayu seperti badai. Tetapi Agung Sedayu telah siap menghadapi segala kemungkinan sehingga betapapun dahsyatnya serangan Sabungsari, namun serangan itu sama sekali tidak ada yang menyentuhnya. Bahkan ketika keringat mulai mengembun ditubuhnya. Agung Sedayupun telah menilai keadaan yang dihadapinya, sehingga iapun bukan saja sekedar menghindari serangan lawannya dengan meloncat, bergeser, berputar dan menggeliat, namun iapun mulai mengurangi tekanan lawannya dengan menyerangnya pula. Sejenak kemudian, maka pertempuran itupun menjadi semakin dahsyat. Keduanya mampu bergerak secepat tatit dan keduanya memiliki kekuatan sebesar dorongan gunung yang runtuh. Karena itu, maka sejenak kemudian, pertempuran itupun telah menjadi pertempuran yang sangat dahsyat. Namun betapapun juga, masih ada secercah keragu-raguan pada kedua hati yang sedang bersabung itu. Sabungsari masih dipengaruhi oleh tanggapan rangkapnya terhadap Agung Sedayu, sementara Agung Sedayu masih berusaha mengekang dirinya agar ia tidak kehilangan akal dan terbenam kedalam arus perasaannya. Tetapi ketika nafas mereka menjadi semakin memburu, dan darah mereka mengalir semakin cepat, maka pertempuran itupun telah meningkat pula menjadi semakin dahsyat. Sedikit demi sedikit, tenaga merekapun semakin bertambah-tambah. Tenaga cadangan yang tersalur lewat ilmu merekapun semakin lama menjadi semakin meningkat pula. Diluar sadar, maka ketika darah mereka semakin panas, kedua anak-anak muda itu telah mengerahkan tenaga cadangan mereka, sehingga kekuatan merekapun bagaikan telah berlipat. Pada saat-saat kekuatan mereka berbenturan, maka masing-masing dengan jantung yang berdegup semakin keras, menilai kemampuan lawannya yang luar biasa. Sabungsari telah melihat Agung Sedayu mempertahankan dirinya terhadap kelima orang pengikutnya. Betapa besar tenaga dan kecepatan geraknya. Dan kini, ia telah membuktikan, bahwa Agung Sedayu memang seorang anak muda yang luar biasa. Sementara itu. Agung Sedayupun tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa lawannya memang seorang yang pilih tanding. Ternyata Sabungsari yang mengaku anak Ki Gede Telengan itu benarbenar seorang anak muda yang memiliki bekal ilmu yang jarang dicari tandingannya. Betapapun juga, akhirnya keduanya telah mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatannya.

Betapapun juga, akhirnya keduanya telah mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatan cadangan mereka, sehingga di tepian itu seolah-olah telah terjadi dua ekor gajah yang sedang berlaga. Hentakan kaki mereka yang tidak mengenai sasaran telah melemparkan batu-batu tepian kesegenap arah, bagaikan percikan air. Sementara tangan mereka yang lepas dari arahnya telah memecahkan batu-batu padas ditebing, sehingga berguguran diatas pasir. Semakin lama pertempuran itupun menjadi semakin dahsyat. Dengan gerak yang cepat dan kadang-kadang diluar perhitungan lawannya, maka akhirnya satu demi satu serangan yang datang silih berganti itu dapat juga menembus pertahanan lawan. Perasaan sakit dan nyeri yang menyengat tubuh mereka, semakin lama semakin mengaburkan keragu-raguan mereka sehingga semakin lama mereka tidak lagi dapat mengekang diri. Dengan dahsyatnya, Sabungsari yang darahnya bagaikan mendidih itu berhasil menghantam, tangan Agung Sedayu yang terjulur, sehingga anak muda itu tergeser. Belum lagi Agung Sedayu sempat memperbaiki keadaannya, secepat kilat, kaki Sabungsari telah menghantam lambungnya, sehingga terdengar Agung Sedayu berdesah tertahan. Dalam pada itu Sabungsari tidak mau melepaskan setiap kesempatan. Selagi Agung Sedayu terputar, maka anak muda itu telah meloncat menyerangnya pula dengan tangannya menghantam kening. Tetapi Agung Sedayu sempat mengelakkan kepalanya. Demikian tangan Sabungsari terjulur, dengan gerak yang hampir tidak nampak, Agung Sedayu sempat menangkap tangan itu, menariknya dengan hentakan yang kuat, sementara lututnya terangkat menghantam perut. Sabungsari berdesis sambil terbungkuk. Agung Sedayu tidak melepaskan kesempatan itu. Dengan sepenuh tenaga, ia telah menekan kepala lawannya sambil sekali lagi mengangkat lututnya. Meskipun perut Sabungsari menjadi mual, tetapi ia masih tetap sadar, bahwa kepalanya terayun deras sekali. Wajahnya akan segera terantuk lutut Agung Sedayu apabila ia tidak berbuat sesuatu. Ternyata bahwa Sabungsaripun tangkas berpikir. Ia tidak membiarkan wajahnya dihantam oleh lutut lawannya, sehingga tulang hidungnya akan dapat pecah. Karena itu, demikian kepalanya terayun, maka iapun justru telah membenturkan kepalanya pada perut Agung Sedayu, sehingga Agung Sedayu terdorong dengan kuatnya justru saat Agung Sedayu mengangkat satu kakinya. Dengan demikian, maka Agung Sedayupun telah kehilangan keseimbangannya sehingga iapun jatuh diatas pasir tepian. Tetapi dalam pada itu, tangannya tidak melepaskan kepala Sabungsari sehingga anak muda itupun ikut pula jatuh terguling. Sejenak keduanya bergumul diatas pasir. Ternyata bahwa kekuatan mereka benar-benar kekuatan raksasa. Tangan mereka bagaikan batang-batang besi, sementara tangkapan jari-jari tangan mereka bagaikan himpitan mati sebatang pohon raksasa yang tumbang.

Namun daya tahan keduanyapun luar biasa. Mereka masih sempat menghentakkan diri dan melepaskan tangkapan jari-jari lawannya. Bahkan keduanyapun kemudian masih sempat melenting berdiri dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. Adalah diluar kehendak masing-masing, bahwa kemudian mereka benar-benar telah sampai kepada puncak kekuatan mereka. Hentakkan kekuatan mereka menjadi berlipat ganda. Kecepatan mereka bergerakpun melampaui kecepatan loncatan tatit diudara. Dengan demikian maka perang tanding itupun menjadi semakin dahsyat. Masing-masing telah menunjukkan betapa mereka merupakan anak-anak muda yang luar biasa. Namun demikian, ternyata bahwa lambat laun, terasa oleh kedua anak-anak muda yang sedang bertempur itu, bahwa Agung Sedayu mempunyai beberapa kelebihan, yang bahkan baru dikenal oleh Agung Sedayu sendiri sejak ia berkelahi di Pasisir Kidul melawan kelima orang pengikut Sabungsari. Rasa-rasanya kakinya menjadi semakin ringan, dan geraknyapun menjadi semakin cepat. Pada saatsaat ia memusatkan segenap daya kekuatan jiwani, maka mulai nampak pengaruh yang didapatkannya selama ia berada di padukuhan Ki Waskita seperti yang pernah diyakinkannya dengan penglihatan, pendengaran dan kekuatan sentuhan sorot matanya. Ketika tubuh Agung Sedayu telah basah oleh keringat dan disaat-saat Agung Sedayu mengerahkan segenap kekuatan lahir dan batinnya, maka mulai terasa, bahwa kemampuan Agung Sedayu memang melampaui kemampuan lawannya. Itulah sebabnya, maka dalam perang tanding berikutnya, benturan yang terjadi telah mengejutkan Sabungsari. Ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang asing pada lawannya. Seolah-olah kekuatannya bagaikan tumbuh dan berkembang tanpa batas. “Apakah anak ini mempunyai ilmu iblis? “ ia bertanya kepada diri sendiri. Namun adalah suatu kenyataan bahwa kekuatan dan kecepatan bergerak Agung Sedayu yang disangkanya sudah sampai kepuncak itu masih berkembang terus perlahan-lahan. Apakah kekuatannya akan bertambah-tambati sehingga akhirnya anak itu akan dapat mengangkat gunung anakan?“ bertanya Sabungsari didalam hatinya. Namun Sabungsari adalah anak muda yang keras hati. Iapun menghentakkan kekuatan yang ada padanya untuk mengimbangi kekuatan Agung Sedayu. Tetapi bagaimanapun juga, akhirnya Sabungsari harus melihat kenyataan. Ketika Sabungsari menyerang dada Agung Sedayu dengan tiba-tiba dan tidak terduga, maka Agung Sedayu melindungi dadanya dengan tangannya yang bersilang sehingga benturan kekuatan tidak dapat

dihindari lagi. Kekuatan Sabungsari yang dihentakkan sepenuh kemampuan yang ada padanya, telah membentur lengan Agung Sedayu yang berusaha melindungi dadanya dan sekaligus mendorong kekuatan hentakkan serangan lawannya. Yang terjadi adalah diluar dugaan. Sabungsari telah terdorong beberapa langkah, seolah-olah ia telah terlempar oleh kekuatannya sendiri yang membentur dinding yang tidak tertembus. Sabungsari terlempar jatuh. Namun dengan cepatnya pula ia meloncat bangkit, meskipun sambil menyeringai menahan sakit. Betapapun juga ia memaksa diri untuk bersiap apabila Agung Sedayu memburunya dan melontarkan serangan berikutnya. Tetapi Agung Sedayu tidak menyerangnya. Ia berdiri tegak untuk melihat akibat dari dorongan tangannya ketika terjadi benturan dengan serangan Sabungsari. Dengan demikian Agung Sedayu menjadi semakin yakin, bahwa ada sesuatu yang telah mempengaruhi dirinya kasar dan halusnya. Lahir dan batinnya. Namun dalam pada itu, Sabungsari mulai menjadi ragu-ragu atas kemampuannya sendiri, jika mereka bertempur terus dengan kekuatan dan kemampuan wadag mereka meskipun dengan dorongan kekuatan cadangan. Benturan-benturan yang terjadi, rasa-rasanya telah membuat tubuhnya yang memiliki daya tahan luar biasa itu menjadi sakit, pedih dan kadang-kadang bagaikan retak tulangtulangnya. Karena itu, maka Sabungsari mulai mempertimbangkan untuk mempergunakan ilmunya yang lain. Ilmu yang sulit dicari tandingnya. Ilmu yang dilontarkan lewat sorot matanya. Ketika kemudian Sabungsari terdesak dan tidak lagi mampu menahan serangan Agung Sedayu yang datang bagaikan dahsyatnya badai musim pancaroba, maka Sabungsari memutuskan untuk mengakhiri pertempuran itu dengan cara yang lain. “Anak iblis ini harus dibinasakan untuk menunjukkan bahwa aku memang anak Telengan yang setia,“ geramnya didalam hati. Karena itu, ketika ia mendapat kesempatan, maka iapun telah meloncat surut beberapa langkah. Agung Sedayu terkejut. Tetapi ia tidak memburu. Ia menyangka bahwa Sabungsari akan mempergunakan senjata yang belum diketahuinya. Karena itu, maka Agung Sedayupun mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Namun yang dilihatnya, Sabungsari berdiri tegak nampak dalam kegelapan menghadap langsung ketubuh Agung Sedayu, sehingga anak muda itu menjadi berdebar-debar. Pada saat yang demikian, tiba-tiba saja terasa dadanya bagaikan diremas. Jantungnya seakan-akan berhenti berdenyut oleh himpitan kekuatan yang tidak dapat dilihat dengan matanya.

“Ini adalah warisan ilmu yang luar biasa itu,“ dengan serta merta Agung Sedayu dapat menebak. Ilmu apakah yang telah dilontarkan oleh Sabungsari yang marah itu. Karena itu, maka Agung Sedayupun segera mengambil sikap untuk mengatasi keadaan itu. Ia masih sempat berpikir, bahwa ia tidak ingin perang tanding itu menelan maut. Sehingga dengan demikian, maka Agung Sedayupun segera meloncat dan menjatuhkan diri dibalik sebuah batu yang besar. Namun hatinya berdesir ketika ternyata Sabungsari mencoba mengikuti geraknya dengan tatapan matanya. Ketika tatapan matanya itu menghantam batu tempat Agung Sedayu berlindung, maka sepercik pecahan batu itu jatuh berhamburan diatas pasir. “Kau tidak akan dapat menyelamatkan dirimu Agung Sedayu,“ geram Sabungsari, “kau sangka aku tidak dapat mengejarmu.” Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Tetapi ia masih mencoba untuk mengatasi perasaannya yang bergejolak. Meskipun darahnya bagaikan mendidih oleh gejolak kemudaannya, namun Agung Sedayu adalah orang yang dalam setiap langkahnya dibebani oleh berbagai macam pertimbangan. Yang dengan demikian maka Agung Sedayu seolah-olah selalu dibayangi oleh kebimbangan dan keragu-raguan. “Anak ini tidak ingin memusuhi aku,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya, “tetapi ia hanya sekedar ingin menunjukkan baktinya kepada orang tuanya, meskipun dengan cara yang salah. Ia dibutakan oleh pengertian seolah-olah dendamnya merupakan beban kesetiaannya.“ Dalam pada itu, ia mendengar suara Sabungsari lebih keras lagi, “Kau licik Agung Sedayu. Marilah kita berhadapan secara jantan.” Tetapi Agung Sedayu tetap berdiam diri. Ia bergeser ketika ia mendengar suara langkah Sabungsari mendekati. Di tepian itu terdapat banyak batu-batu besar yang akan dapat dipergunakan oleh Agung Sedayu untuk berlindung. Tetapi apakah ia hanya akan berlari-lari dan berloncatan mencari perlindungan diantara batu-batu itu. Dengan pendengarannya yang tajam. Agung Sedayu dapat mendengar dan mengetahui, dimanakah Sabungsari berada. Karena itu, maka ketika langkah Sabungsari menjadi semakin dekat, maka Agung Sedayupun segera meloncat berlari kebalik batu yang lain. Sabungsari yang sudah siap melontarkan ilmunya, telah mengejar Agung Sedayu dengan tatapan matanya. Terasa betapa hentakkan yang berat telah menyentuh pundak Agung Sedayu. Namun ia segera berhasil berlindung dibalik batu yang lain.

Terjadilah, seperti yang telah terjadi. Segumpal pecahan batu yang disentuh oleh tatapan mata Sabungsari itupun runtuh dipasir tepian. “Agung Sedayu,“ teriak Sabungsari, “jangan licik.” “Anak gila,“ geram Agung Sedayu kepada diri sendiri, “ia telah kehilangan pertimbangan. Jika semula ia menjadi ragu-ragu, maka perkelahian itu telah menggelapkan hatinya.” Namun dalam pada itu, Agung Sedayu menjadi semakin cemas akan akhir dari perkelahian ini. Ia tidak akan dapat memilih dua kemungkinan yang ada. Ia tidak ingin mati muda. Tetapi iapun tidak ingin membunuh anak yang dibakar oleh dendam yang membuta. Meskipun demikian, jika Agung Sedayu dipaksa untuk memilih, maka ia akan memilih menyelamatkan dirinya sendiri. Tetapi Agung Sedayu tidak segera kehilangan akal. Iapun kemudian mengurai cambuknya yang membelit lambung. Dengan hati-hati ia menghadapi kemungkinan yang dapat terjadi selanjutnya. Agung Sedayu mendengar desir langkah Sabungsari yang mencarinya. Dengan hati-hati ia mencoba menjenguk lawannya. Ketika terlintas ujung kepalanya diantara batu-batu, maka Agung Sedayupun segera bergeser kebalik batu berikutnya. Tetapi Agung Sedayu tidak melarikan diri. Ia justru melingkar mendekati Sabungsari. Ia tersembunyi dari balik batu yang satu kebalik batu yang lain. Namun kadang-kadang ia tidak dapat melepaskan diri dari sambaran mata Sabungsari. Setiap kali terasa tubuhnya tersentuh oleh kekuatan mata lawannya. Dan setiap kali ia mendengar hentakkan batu yang pecah segumpal-segumpal. Hanya karena daya tahan tubuh Agung Sedayu melampaui daya tahan orang kebanyakan, maka setiap kali sentuhan perasaan sakit yang hanya sekejap itupun segera dapat dilenyapkannya. Bahkan seperti yang pernah terjadi, tubuhnya rasa-rasanya menjadi semakin lama semakin ringan, sehingga mampu bergerak semakin cepat. Akhirnya, Agung Sedayu berhasil mendekati Sabungsari. Betapapun tajamnya pendengaran Sabungsari, tetapi kemarahan yang memuncak dan suara teriakanteriakannya sendiri, anak muda itu tidak mendengar bahwa Agung Sedayu telah berada dibalik sebuah batu besar di belakangnya. Saat itulah yang ditunggu oleh Agung Sedayu. Dengan serta merta ia menghentakkan cambuknya sekuat tenaganya beberapa jengkal dibelakang Sabungsari. Bukan saja dengan kekuatan jasmaniah wajarnya, tetapi cambuk itu telah menghentak dan meledak seperti ledakkan guruh didalam telinga.

Sabungsari terkejut mendengar ledakan yang tiba-tiba dan begitu dekat dibelakangnya. Meskipun ujung cambuk itu tidak menyentuhnya namun suara itu benar-benar telah merampas pemusatan ilmunya, sehingga untuk sekejap, Sabungsari menjadi bingung. Saat itu tidak dilepaskan oleh Agung Sedayu. Dengan serta merta ia menyerang dengan dahsyatnya. Tidak dengan cambuknya, tetapi dengan sepenuh tenaga kakinya telah terjulur lurus, menghantam Sabungsari yang termangu-mangu. Serangan itu merupakan serangan yang menentukan. Betapapun besar daya tahan Sabungsari, tetapi serangan Agung Sedayu dengan kekuatan yang seakanakan tidak berbatas itu telah melemparkan Sabungsari beberapa langkah. Kemudian anak muda itu tidak dapat lagi mempertahankan keseimbangannya sehingga ia jatuh berguling diatas pasir tepian. Hampir saja kepalanya membentur sebuah batu yang besar yang berserakan ditepian itu. Hentakan serangan itu telah menghentakkan kemarahan dijantung Sabungsari pula. Karena itulah, iapun mengerahkan sisa tenaga yang ada, sehingga ia sempat melenting berdiri. Agung Sedayu sudah memperhitungkannya. Ia tidak memberi kesempatan kepada lawannya untuk mempergunakan serangan dari sorot matanya seperti yang pernah dilakukan oleh ayahnya. Karena itu. Agung Sedayu tidak mau membiarkan ada jarak yang mengantarainya dengan Sabungsari. Demikian Sabungsari itu meloncat berdiri, maka serangan Agung Sedayu yang tanpa ampunpun telah datang. Sambil meloncat mendekat ia menjulurkan tangannya yang mengepal menghantam dada lawannya yang tertatih-tatih mempersiapkan dirinya. Serangan itu bagaikan runtuhnya bebatuan dari tebing gunung menghantam dadanya. Terdengar keluhan tertahan. Nafasnyapun bagaikan terputus. Agung Sedayu melihat kesempatan itu. Sekali lagi ia melontarkan satu kakinya kedepan dan tangan kirinya terjulur pula menghantam dada Sabungsari sekali lagi. Sabungsari tidak lagi mampu bertahan. Sekali lagi ia terhuyung-huyung. Ketika serangan Agung Sedayu datang sekali lagi menghantam keningnya, maka mata Sabungsari menjadi berkunang-kunang. Gelap malam rasa-rasanya bagaikan bertambah kelam. Betapa kepalanya menjadi pening. Sejenak ia mencoba bertahan, namun kemudian semuanya bagaikan menjadi hitam. Sabungsari adalah seorang anak muda yang luar biasa, yang mempunyai kekuatan dan daya tahan jauh melampaui anak-anak muda kebanyakan. Namun saat itu ia mendapat seorang lawan yang luar biasa pula. Kekuatannya seolah-olah tidak terbatas, sehingga melampaui kemampuan daya tahan tubuh Sabungsari.

Serangan yang datang bertubi-tubi itu ternyata telah membuat Sabungsari menjadi pingsan. Beberapa saat lamanya Agung Sedayu merenungi anak muda itu. Didalam dadanya sendiri telah mengamuk keragu-raguan yang dahsyat, ia sadar, bahwa Sabungsari merupakan bahaya yang tiada taranya baginya dihari mendatang. Jika anak muda itu tetap hidup, maka pada saatsaat ia lengah, maka serangan yang tiba-tiba akan dapat mencelakainya. Tetapi untuk membunuh anak muda yang terbaring itupun ia tidak memiliki kemampuan. Apalagi jika teringat olehnya dihari-hari Sabungsari datang kepadepokannya. Berbincang dan bergurau. Meskipun kemudian Agung Sedayu sadar, bahwa hal itu dilakukan oleh Sabungsari sekedar dalam kepura-puraan, namun rasa-rasanya ia pernah bersahabat dengan anak muda yang bernama Sabungsari itu. Untuk beberapa saat lamanya, Agung Sedayu bagaikan mematung menunggui anak muda yang pingsan itu. Dalam keremangan malam, ia melihat Sabungsari terbaring bagaikan sedang tidur nyenyak. Tetapi akhirnya Agung Sedayu menggeleng. Ia tidak dapat berbuat kejam dengan membunuh orang yang sedang pingsan. Jika ia tidak dibayangi oleh keragu-raguan, ia tidak akan bersembunyi dibalik bebatuan dan menyerang Sabungsari dengan tiba-tiba. Ia dapat saja menyerang anak muda itu dengan ujung cambuknya dan merobek perutnya. Bukan sekedar mengejutkannya dan menyerangnya tanpa melukainya. Dalam pada itu, selagi Agung Sedayu duduk termangu-mangu, maka silirnya angin malam telah mengusap tubuh yang terbaring diam itu. Sejuknya pasir dan segarnya angin yang basah perlahan-lahan telah membangunkan Sabungsari yang terbaring itu. Agung Sedayu mengerutkan keningnya ketika ia melihat Sabungsari mulai bergerak. Bahkan kemudian ia melihat anak muda itu mulai memandanginya dan memahami kembali apa yang telah terjadi. Agung Sedayu menjadi berdebar-debar melihat Sabungsari tiba-tiba saja telah menyilangkan tangannya sambil berbaring. Ia sadar, bahwa Sabungsari sedang-mencoba memusatkan segenap kemampuannya untuk menyerang Agung Sedayu dengan sorot matanya. “Jangan kau coba Sabungsari,“ berkata Agung Sedayu, “jangan memaksa aku untuk berbuat lebih banyak lagi. Aku telah mengendalikan diri, tidak membunuhmu saat-saat kau tidak berdaya. Aku mencari penyelesaian yang lebih baik daripada saling membunuh.” Sabungsari menggeretakkan giginya. Tetapi ia telah diragukan oleh keterangan Agung Sedayu itu. Iapun sadar, bahwa ia baru saja sadar dari pingsan. Dan iapun sadar, bahwa jika Agung Sedayu menghendaki, tentu ia akan dapat membunuhnya dengan mudah.

Tetapi ia masih tetap hidup. Seperti kelima pengikutnya yang masih tetap hidup, meskipun yang seorang kemudian dibunuh oleh pihak lain. Selagi Sabungsari termangu-mangu, maka Agung Sedayu berkata, “Kita dapat saja meneruskan perkelahian yang tidak akan berarti apa-apa bagiku dan juga bagimu. Kau hanya diburu oleh kesetiaanmu yang tanpa nalar. Yang sebenarnya dapat kau lakukan dengan cara yang lain, yang barangkali akan berakibat jauh lebih baik dari yang kau lakukan sekarang. Sabungsari masih tetap diam. Tetapi perlahan-lahan ia bangkit dan duduk diatas pasir. Tetapi ia tidak lagi mempersiapkan diri untuk menyerang Agung Sedayu dengan sorot matanya. “Sabungsari,“ berkata Agung Sedayu, “bukan maksudku untuk menyombongkan diri. Juga bukan maksudku aku berbuat seperti seorang pengecut yang merundukmu dan menyerang dengan tiba-tiba. Tetapi aku mempunyai pertimbangan lain.” “Kau takut mati?“ bertanya Sabungsari. “Jika aku takut mati, aku sudah mempunyai jalan yang baik untuk menghindari kematian. Dengan membunuhmu disaat kau pingsan, aku sudah membebaskan diri dari kemungkinan mati itu.” “Jadi, kenapa kau tidak membunuhku?“ bertanya Sabungsari. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Sabungsari yang duduk bersandar sebuah batu yang besar. “Apakah tidak ada penyelesaian yang lebih baik dari saling membunuh?“ bertanya Agung Sedayu. “Bagiku tidak ada, karena kematian adalah batas akhir dari kesetiaanku. Jika aku mati, aku adalah anak yang tahu diri. Aku mati dalam perjuangan membela nama ayahku. Sedangkan kalau aku dapat membunuhmu, maka aku telah melakukan sesuatu yang pantas bagi seorang ayah yang mati karena terbunuh oleh seseorang.” “Aku berpendapat lain,“ berkata Agung Sedayu, “karena itu, aku tidak membunuhmu.” “Kau tidak dikejar oleh kesetiaan terhadap orang tuamu. Jika kau merasakan, betapa sakitnya hati seorang anak laki-laki yang berhati jantan, mendengar berita kematian ayahnya karena pembunuhan,“ geram Sabungsari. “Tetapi sebaiknya kau menelusur lebih jauh. Pembunuhan terhadap ayahmu bukannya sebab yang pertama. Ayahmu terlaunuh dalam suatu libatan akibat dari sebab yang telah

dilakukannya. Dengan istilah yang kasar, barangkah dapat disebut, ayahmu terlibat dalam pencurian pusaka dari yang tersimpan dalam gedung perbendaharaan pusaka di Mataram.” “Siapapun ayahku, ia adalah ayahku. Sudah aku katakan kepadamu, aku tidak peduli apa yang telah dilakukannya.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Itulah yang aku tidak sependapat.” “Aku tidak memerlukan pendapatmu,“ geram Sabungsari. Namun demikian, ia masih tetap duduk bersandar batu yang besar. Dalam pada itu, Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Apakah Sabungsari benar-benar dicengkam oleh keragu-raguan, atau sebenarnya ia bersikap pura-pura seperti sikapnya selain ini. Jika kekuatannya telah pulih kembali, maka dengan serta merta ia akan menyerangnya. Karena itu, Agung Sedayupun telah bersiaga. Dalam keadaan yang tiba-tiba ia akan dapat mengatasi kesulitan itu. Dalam pada itu, Sabungsari justru memejamkan matanya. Ia mencoba mengatur pernafasannya. Perlahan-lahan, namun ia agaknya berhasil menguasai dirinya sehingga kekuatannyapun seakan-akan perlahan-lahan tumbuh kembali. Segarnya angin malam membantunya, mempercepat pulihnya kekuatan dan kemampuannya. Tetapi sebenarnyalah bahwa Sabungsari telah dicengkam oleh keragu-raguan. Ia menjadi bingung, bahwa Agung Sedayu merupakan orang yang aneh baginya. Ternyata anak muda itu lain sekali dengan bayangan dikepalanya, disaat ia belum mengenal anak muda itu dengan baik. Ternyata sikapnya bukan sikap pura-pura. Agung Sedayu benar-benar seorang anak muda yang tidak mudah dibakar oleh kebencian. “Kenapa anak muda itu dapat disebut sebagai seorang pembunuh yang tidak berhati dan tidak berjantung? “ pertanyaan itu tumbuh semakin mekar dihatinya, “di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu ia merupakan pembunuh yang paling kejam. Tidak seorangpun diantara para prajurit dan Senapati, juga laskar dari pihak manapun juga yang telah melakukan pembunuhan sekejam itu. Tetapi kelika aku mengenal hatinya, maka alangkah jauh bedanya.” Sabungsari menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia masih tetap duduk diam. Namun dalam pada itu, ketika mulai terbayang wajah ayahnya yang seolah memandanginya dengan kerut merut dikening, tiba-tiba saja darahnya menjadi panas kembali.

Sekilas dipandanginya Agung Sedayu yang telah duduk pula diatas sebuah batu beberapa langkah dari padanya. “Aku akan membunuhnya dengan ilmu yang tidak ada bandingnya. Aku akan meremas dadanya, dan menghancurkan jantungnya. Ia akan mati terkapar diatas pasir tepian. Jika tidak seorangpun yang menemukan mayatnya, maka mayat itu akan disayat-sayat oleh burung gagak atau anjing-anjing liar,“ geramnya. Sambil menggeretakkan giginya ia mencoba mengusir keragu-raguannya. Dengan tenaga dan kemampuannya yang telah tumbuh kembali, maka ia mulai memusatkan ilmunya pada ketajaman sorot matanya. Namun Agung Sedayu yang duduk diatas batu itupun mengerti apa yang dilakukannya. Karena itu, iapun telah mempersiapkan diri pula. Ia tidak ingin permusuhan itu menjadi berkepanjangan, sehingga karena itu, iapun harus sampai pada suatu sikap yang dapat meyakinkan lawannya, bahwa ia benar-benar mampu mengimbangi ilmu puncaknya. Dengan demikian ia berharap, bahwa Sabungsari benar-benar menyadari kedudukannya. Dengan hati-hati Agung Sedayu mengikuti setiap gerak Sabungsari. Ia memperhatikan bagaimana anak muda itu mulai menghimpun kekuatannya kembali. Kemudian ia melihat, bahwa pada suatu saat, nampaknya Sabungsari telah siap dengan ilmu puncaknya. Tetapi pada saat itu, Agung Sedayu telah siap pula. Karena itu, ketika Sabungsari kemudian meloncat berdiri sambil berteriak nyaring. Agung Sedayupun berkisar mengikutinya. Demikian Sabungsari berdiri tegak dengan kaki renggang, maka Agung Sedayu telah siap melontarkan serangan dengan sorot matanya pula. Ternyata Agung Sedayu yang telah siap lebih dahulu itu dapat mendahului lawannya sekejap. Sebuah hentakan telah menghantam dada Sabungsari. Meskipun Agung Sedayu belum mempergunakan segenap kekuatan yang ada padanya, namun hentakkan itu bagaikan meretakkan dada Sabungsari, sehingga tibatiba saja, pemusatan ilmunya telah terganggu. Tangannya yang digerakkan oleh nalurinya telah menekan dadanya, seolah-olah menjaga agar dadanya tidak rontok karenanya. Tetapi lebih daripada perasaan sakit dan nyeri, maka kemarahannyapun telah melonjak sampai keubun-ubun. Iapun sadar sepenuhnya, bahwa ternyata Agung Sedayu juga mampu melakukan apa yang telah dilakukannya. “Bukan sekedar dongeng,“ desis Sabungsari, “tetapi kenapa ia baru saat ini mempergunakannya?” Namun dalam pada itu, Sabungsari tidak sempat lagi untuk menyerang Agung Sedayu. Ketika ia berkeras hati hendak

mengadu ilmunya membentur ilmu Agung Sedayu, maka terdengar Agung Sedayu berkata, “Sabungsari. Apakah kau benar-benar ingin bertempur antara hidup dan mati?” Pertanyaan itu membingungkan Sabungsari. Namun ia menjawab tegas, “Aku akan bertempur sampai salah seorang dari kita mati.” “Baiklah. Jika tidak ada pilihan lain. Tetapi sebelum itu, marilah kita melihat, siapakah diantara kita yang memiliki ilmu yang lebih baik. Kau atau aku,“ berkata Agung Sedayu. Sabungsari menjadi bingung. “Maksudku, sebelum salah seorang dari kita mati, marilah kita melihat kenyataan. Biarlah kita puas dengan pengenalan kita atas perbandingan ilmu yang ada padaku dan padamu dari ilmu yang jarang ada bandingnya, yang kebetulan kita berdua memilikinya.“ sambung Agung Sedayu. “Bagus,“ Sabungsari hampir berteriak, “kita akan duduk berhadapan. Kita akan membenturkan kekuatan ilmu kita. Siapa yang lemah, ia akan kehilangan kesempatan untuk tetap hidup, karena kelemahannya akan membakar jantungnya sendiri.” Tetapi Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak. Kita tidak akan berdiri atau duduk berhadapan. Tetapi kita akan duduk menghadap kearah yang sama. Kita akan memandang sebuah batu yang sama besar. Dan kita akan berlomba, siapakah yang berhasil melumatkan batu itu terlebih dahulu.” Sabungsari terdiam sejenak. Ia menjadi berdebar-debar mendengar tantangan Agung Sedayu itu. Sementara Agung Sedayu melanjutkan, “Jika ternyata hal itu tidak dapat memberikan kepuasan kepada kita, nah, maka kaulah yang akan menentukan, cara apakah yang akan kita lakukan kemudian.” Sejenak Sabungsari termangu-mangu. Namun sekali lagi ia dijalari oleh keragu-raguan. Cara yang akan ditempuh oleh Agung Sedayu itu adalah cara yang memberikan warna kepada watak dan sifatsifatnya. Dengan demikian, maka penyelesaian itu akan menghindarkan kematian dari salah satu pihak. Apakah ia takut, sementara ia menjajagi Ilmuku dengan cara itu, atau memang ia benar benar tidak menginginkan kemiatian? “ pertanyaan itu bagaikan bergulung dihati Sabungsari. “Sabungsari,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “jika kau tidak berkeberatan, marilah kita mempersiapkan pertandingan ini.” Sejenak Sabungsari termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Apakah yang akan kita persiapkan?” “Dua buah batu yang sama besar,“ jawab Agung Sedayu.

“Kita akan menghancurkan batu-batu itu dengan tatapan mata kita?“ bertanya Sabungsari pula. “Ya.” “Batu yang manakah yang kau maksud? Apakah kita akan mencari sasaran dua buah batu yang sama, dan kita akan mengukur jarak yang sama pula? Kemudian kita masing masing akan menghancurkan batu itu dengan perhitungan waktu yang sama. Begitu?” “Ya,“ sahut Agung Sedayu. “Salah seorang dari kita akan apat berbuat curang. Dengan demikian, kita akan berada pada jarak yang berjauhan atau bahkan saling membelakangi. Mungkin salah seorang dari kita akan menyerang dengan tiba-tiba, bukan sasaran yang ditentukan, tetapi menyerang lawan masing-masing dengan curang.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah kita bukan lagi seorang laki-laki jantan? Tetapi jika demikian, biarlah kita menempatkan dua buah batu itu berjajar diatas sebuah batu yang besar. Kita akan duduk berdampingan, sehingga sulitlah jika diantara kita akan berbuat curang.” “Kita harus mengangkat batu-batu besar itu? Atau barangkali yang kau maksud adalah batu tidak lebih sebesar kepalan tangan?“ bertanya Sabungsari. “Tidak. Aku akan menempatkan dua buah batu sebesar kepala gajah diatas batu yang besar itu. Kita akan duduk dan berlomba, siapakah yang lebih dahulu melumatkan batu itu dari jarak yang sama,“ jawab AgungSedayu. Sabungsari menjadi bingung. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Kau akan mengangkat batu-batu sebesar itu?” “Ya.” “Kau akan menunjukkan bahwa kau adalah seorang yang mempunyai kekuatan raksasa. Tetapi ingat, kita tidak akan bertempur dengan kekuatan wadag kita. Kekuatan wadag sewajarnya, atau dengan tenaga cadangan yang dapat kita salurkan lewat ilmu kita masing-masing.” “Aku mengerti. Kita akan mempergunakan tatapan mata kita.” “Ya.” “Karena itu. Jangan hiraukan cara yang akan aku tempuh untuk mengangkat batu-batu itu dan meletakkannya diatas batu yang sangat besar itu.” Sabungsari terdiam sejenak, sementara Agung Sedayu berkata, “Lihatlah. Aku akan memindahkan dua buah batu yang sama besar itu.” ***

Buku 122 SABUNGSARI memandang dua buah batu yang memang hampir sama besar. Tetapi ia tidak tahu, bagaimanakah Agung Sedayu akan mengangkat batu yang besarnya sebesar kepala gajah itu. Sabungsari menjadi semakin heran, ketika ia melihat Agung Sedayu kemudian duduk diatas sebuah batu yang lain. Menyilangkan tangannya sambil berkata, “Berilah aku waktu. Aku yakin, bahwa kita tidak akan berbuat curang. Kita masing-masing adalah laki-laki jantan.” Dengan heran Sabungsari melihat apa yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu. Karena itu, maka iapun kemudian berdiri saja mematung dengan hati yang berdebar-debar. Dalam pada itu, maka Agung Sedayupun kemudian memusatkan inderanya pada getaran ilmunya. Tatapan matanya tidak saja mampu meremas dan menghancurkan. Tetapi ia dapat berbuat sesuatu yang lain. Sejenak Agung Sedayu memandang batu yang tergolek diatas pasir, diantara beberapa batu yang lain. Dengan kekuatan tatapan matanya, maka iapun kemudian mengangkat batu itu perlahan-lahan. Sabungsari bagaikan mematung, terpukau oleh kenyataan yang dihadapinya. Agung Sedayu dapat mengatur kemampuannya dan mengangkat batu yang besar itu perlahan-lahan, kemudian meletakannya diatas sebuah batu yang lebih besar lagi, sebesar seekor gajah yang sedang mendekam. Demikian pula dilakukannya atas batu yang sebuah lagi, sehingga kedua buah batu itu kemudian terletak berdampingan diatas sebuah batu yang besar sekali. Setelah kedua batu itu terletak berdampingan, maka Agung Sedayupun menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ia ingin melepaskan ketegangan yang menyekat dadanya. “Sabungsari,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “marilah kita bermain-main. Daripada kita mempergunakan diri kita masing-masing sebagai sasaran, maka baiklah kita mempergunakan benda lain yang barangkali lebih baik dari diri kita. Dengan demikian, maka yang menang diantara kita akan dapat menunjukkan kemenangannya kepada yang kalah, karena yang kalah masih akan tetap hidup. Sedangkan yang kalah akan sempat melihat kekalahannya. Jika kita mempergunakan diri kita masingmasing sebagai sasaran, maka yang menang tidak akan mendapat kepuasan karena tidak dapat menunjukkan kemenangannya kepada lawannya, sementara yang kalahpun tidak akan sempat mengakui kekalahannya, karena ia harus mati dalam benturan ilmu yang dahsyat itu.” “Persetan,“ geram Sabungsari, “aku ingin salah seorang dari kita akan mati.” “Yang kalah akan menyerahkan nyawanya,“ sahut Agung Sedayu dengan serta merta.

Namun jawaban Agung Sedayu itu mendebarkan hati Sabungsari. Seakan-akan Agung Sedayu yakin, bahwa ia akan memenangkan dengan pasti permainan ilmu yang dahsyat itu. “Nah, terserahlah kepadamu. Jika kau tidak takut menghadapi kenyataan yang manapun juga, kita akan mengadu kemampuan kita masing-masing dengan dada terbuka. Baru kemudian, jika kau memang haus akan kematian, maka yang kalah akan dapat memenuhi nafsu membunuhmu itu.” Sejenak Sabungsari termangu-mangu. Meskipun dalam keremangan malam, namun ia melihat wajah Agung Sedayu yang jernih. Seolah-olah ia tidak sedang berhadapan dengan lawan yang siap membunuhnya. “Atau inilah ujud dari kesombongannya,“ berkata Sabungsari didalam hatinya, “ia menganggap aku sama sekali tidak berdaya, sehingga demikian yakinnya bahwa ia akan memenangkan pertandingan ini.” Terdorong oleh harga dirinya, tetapi juga sepeletik keragu-raguannya, maka Sabungsari berkata, “Aku terima tantanganmu yang penuh kesombongan itu Agung Sedayu. Jika aku dapat meremas batu itu lebih lumat dari yang dapat kau lakukan, maka kau akan terpaksa menyerahkan lehermu kepadaku. Aku akan memotong kepalamu dan membawa kembali kepadepokanku, sehingga semua pengikut Ki Gede Telengan melihat wajah pembunuh pemimpinnya.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Apakah ada niatmu untuk berbuat demikian? Apakah memang ada kekasaran itu didalam jiwamu.?” Pertanyaan itu membuat Sabungsari berdebar-debar. Bahkan iapun mulai bertanya kepada diri sendiri, “Apakah memang aku berniat demikian?” Namun sekali lagi, Sabungsari melihat goncangan perasaannya itu sebagai suatu kelemahan. Karena itu ia menghentak sambil menjawab, “Ya. Aku memang sudah merencanakan demikian.” “Baiklah,“ jawab Agmg Sedayu, “apapun yang akan kau lakukan, terserahlah jika kau memang memenangkan permainan ini.” Dada Sabungsari masih diguncang keragu-raguan. Namun ia menjawab lantang, “Marilah kita mulai. Kita tidak hanya dapat berbicara tanpa arti.” “Marilah,“ sahut Agung Sedayu, “kita akan duduk disini. Kita akan berlomba, siapakah yang dapat melumatkan batu-batu itu lebih cepat. Karena dengan demikian, seandainya kita membenturkan ilmu itu, maka yang lebih cepat itulah yang lebih kuat dan akan menang.” Sabungsaripun kemudian duduk diatas sebuah batu dua langkah dari Agung Sedayu. Dipandanginya

dua buah batu yang terletak diatas batu yang sangat besar. Diluar sadarnya iapun kennudian memandangi batu-batu besar yang lain yang berserakan. Sentuhan matanya disaat-saat ia menyerang Agung Sedayu, berhasil memecahkan batu-batu itu meskipun hanya segumpal-segumpal. Namun jika ia berbuat demikian berulang-ulang dan tidak henti-hentinya, maka batu itu-pun tentu akan lumat. “Aku akan menghitung sampai tiga,” teriak Sabungsari, “kita akan segera mulai. Semakin cepat semakin baik, karena aku akan segera memenuhi janjiku kepada ayahku yang sudah tidak ada lagi karena kau bunuh dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu.” “Kau sangat tergesa-gesa,“ desis Agung Sedayu. “Kau menunggu kesempatan untuk lolos? Kau tentu menunggu gurumu mencarimu karena kau terlalu lama pergi. Dengan demikian, kau berharap bahwa gurumu akan dapat menolong dan menyelamatkanmu.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia melihat, bahwa keragu-raguan yang sangat telah mencengkam jantung anak muda itu. “Baiklah,“ jawab Agung Sedayu, “aku menunggu kau mengucapkan aba-aba itu.” Sejenak malam menjadi hening. Hanya terdengar gemericik air sungai diantara batu-batu yang berserakkan. Dalam pada itu, terdengar suara Sabungsari meneriakkan hitungan, “Satu - Dua – Tiga.” Kedua anak muda itu terdiam. Masing-masing telah melontarkan kemampuan ilmunya yang sukar dicari bandingnya. Dengan tatapan matanya, mereka berlomba untuk memecah lumatkan batu yang besar dihadapan mereka pada jarak beberapa langkah. Sejenak kedua anak muda itu diam bagaikan patung. Namun dari sorot mata mereka telah memancar kekuatan yang tidak ada bandingnya. Dengan kekuatan tatapan mata mereka, maka keduanya berusaha untuk menghancurkan batu yang telah diletakkan berjajar oleh Agung Sedayu. Dalam pada itu, ketika tatapan mata Sabungsari yang memiliki sentuhan wadag itu menghantam batu dihadapannya, maka seperti yang telah terjadi sebelumnya, maka segumpal batu telah pecah dan berserakan diatas pasir. Tetapi Sabungsari tidak terhenti pada pecahan pertama. Sekali lagi ia mengulang, dan sekali lagi. Berbongkah-bongkah batu itu pecah dan runtuh diatas batu besar alas sasaran yang pecah itu, selebihnya jatuh diatas pasir. Karena Sabungsari melakukan terus menerus, maka akhirnya batu yang menjadi sasaran kekuatan matanya itupun telah pecah berbongkah-bongkah, sehingga akhirnya Sabungsari dengan hentakkan yang tersisa telah memecahkan bongkah yang terakhir. Demikian bongkah yang terakhir dipecahkannya, maka iapun segera menarik nafas dalam-dalam,

mengatur jalan pernafasannya yang menjadi terengah-engah karena ia telah mengerahkan segenap kekuatan ilmu yang ada padanya. Ketika kemudian ia berpaling memandang batu sasaran tatapan mata Agung Sedayu, maka tiba-tiba saja ia melonjak berdiri. Meskipun pernafasannya belum pulih kembali, namun dengan tanpa menghiraukan keadaan dirinya ia berdiri diatas batu tempat ia duduk sambil berteriak, “Agung Sedayu. Apa yang dapat kau lakukan he? Batu sasaranmu masih tetap utuh.” Yang terdengar kemudian adalah tarikan nafas Agung Sedayu. Tetapi ia masih tetap duduk diatas batu. “Ternyata kau tidak mampu berbuat sesuatu. Kau hanya mampu mengangkat batu itu. Tetapi kau tidak mempunyai kekuatan untuk meremasnya dan memecahkan batu itu.” Agung Sedayu tidak menjawab. Ia masih tetap duduk ditempatnya, sementara Sabungsaripun kemudian meloncat mendekati batu yang telah dipecahkannya. Terdengar anak muda itu tertawa. Katanya disela-sela derai tertawanya, “Agung Sedayu. Kini kau harus mengakui kenyataan, bahwa aku memiliki ilmu yang lebih dahsyat dari ilmumu. Kau yang telah menantang aku dalam perlombaan ini. Tetapi agaknya karena kesombonganmu, kau tidak dapat melihat batas kemampuanmu.” Agung Sedayu masih tetap duduk diam. “Sekarang, dendamku akan terpecahkan. Jika kau ingin ingkar dan masih ingin melawanku, aku masih memberimu kesempatan. Jika kau masih sayang melepaskan nyawamu tanpa perlawanan, maka marilah, kita akan duduk berhadapan dan kita akan membenturkan kekuatan mata kita. Tetapi jangan menyesal, bahwa jantungmu akan terbakar, dan kedua biji matamu akan hangus menjadi arang.” Agung Sedayu sekali lagi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih tetap duduk ditempatnya. “Sabungsari,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “apakah batu sasaranku itu retakpun tidak?” Suara tertawa Sabungsari menggelegar bagaikan guruh dilangit. Dengan nada memelas ia berkata, “Kasihan kau anak manis. Ternyata bahwa kau tidak mampu berbuat sesuatu selain merajuk. Tetapi sayang bahwa aku tidak lagi mempunyai belas kasihan.” “Dan kau akan tetap membunuhku?” Pertanyaan itu tiba-tiba saja telah mengguncang hati Sabungsari. Apakah benar ia akan membunuh Agung Sedayu? Namun sekali lagi ia menghentakkan perasaannya sambil menggerelakkan giginya. Katanya lantang, “Aku akan memebunuhmu. Itu adalah tekadku sejak aku meninggalkan padepokanku. Itu adalah janjiku kepada diriku sendiri, karena aku adalah anak Ki Gede Telengan.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Cobalah kau lihat kedalam dirimu. Apakah benar kau masih tetap pada sikapmu seperti sejak kau berangkat?” “Jangan merajuk. Jangan merengek dan minta dibelas kasihani,“ Sabungsari berteriak. Suaranya menggelegar bagaikan menggetarkan udara malam diseluruh tepian. “Sabungsari,“ berkata Agung Sedayu lemah, “aku tahu, bahwa kau menjadi ragu-ragu. Aku tahu bahwa sebenarnya kau bukan seorang anak muda yang jahat seperti yang kau sangka sendiri. Kau sebenarnya bukan ingin melakukan kejahatan. Tetapi justru karena kau telah dituntut oleh kesttiaanmu. Tetapi cobalah kau pertimbangkan sekali lagi, apakah kesetiaanmu sudah benar.” “Jangan bicara lagi. Semakin banyak kau bicara, aku menjadi semakin muak kepadamu. Sekarang, kau boleh memilih. Menundukkan kepalamu dihadapanku agar aku dapat mematahkan lehermu, atau kau masih ingin membela diri dan membenturkan kekuatan tatapan mata kita.” “Apakah kau yakin bahwa kau akan menang?“ bertanya Agung Sedayu tiba-tiba. Pertanyaan itu telah mengguncang dada Sabungsari. Sekilas dipandanginya batu sasaran Agung Sedayu yang masih utuh. Karena itu, maka katanya, “He, apakah kau tidak melihat kenyataan ini? Aku sudah dapat memecahkan batu itu menjadi berkepingkeping. Tetapi kau sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Kulitnyapun sama sekali tidak terkelupas.” Perlahan-lahan Agung Sedayu berdiri. Dengan tenang ia melangkah mendekat. Kemudian terdengar suaranya lirih, “Kau masih harus meyakinkan, apakah kau memang menang kali ini.” “Gila, kau memang gila Agung Sedayu,“ teriak Sabungsari semakin keras, “lihat, batu ini pecah berkeping-keping.” Dengan sigapnya Sabungsari meloncat dan menggenggam pecahan batu yang berserakkan diatas pasir tepian. “Kau lihat ini? Kau lihat ini he?” Sabungsari bagaikan menjadi gila ketika ia melihat Agung Sedayu masih tetap tenang saja. Bahkan katanya, “Kau memang luar biasa Sabungsari. Kau mampu memecahkan batu itu menjadi berkepingkeping. Tetapi itu belum merupakan pertanda kemenanganmu dan dengan demikian kau berhak untuk mendapat wewenang sebagaimana yang telah kita sepakati.” “Kau gila. Kau gila. Kau sudah melihat bahwa batu ini pecah berkeping-keping. Apalagi yang akan kau tuntut he? “

Sabungsari menghentakkan kakinya. Namun nampaknya dadanya telah bergelora demikian dahsyatnya, sehingga tiba-tiba saja ia telah meloncat keatas batu besar, tempat batu sasarannya semula terletak. Sentuhan kaki Sabungsari telah mengguncang batu itu. Apalagi ketika ia berteriak sambil menghentak, “Aku memenangkan pertandingan ini.” Namun tiba-tiba saja kata-katanya terputus. Oleh hentakan kakinya, maka batu besar itu telah bergetar. Getaran yang lemah sekali, karena Sabungsari tidak sengaja mengguncang batu itu. Tetapi getaran yang lemah itu ternyata telah mengguncang dada Sabungsari sehingga rasa-rasanya menjadi retak. Jantungnya rasa-rasanya berhenti berdetak, dan darahnya seolah-olah telah berhenti mengalir. Dengan mata terbelalak ia melihat kenyataan yang sama sekali tidak diduganya. Ternyata bahwa getaran lemah yang mengguncang batu besar itu telah mengguncang batu sasaran pandangan mata Agung Sedayu. Ternyata bahwa getaran yang lemah itu telah menggetarkan batu yang nampaknya masih utuh itu. Namun tiba-tiba saja batu itu telah pecah remuk menjadi butiran-butiran lembut yang menghambur diatas batu besar yang menjadi alasnya dan diatas pasir tepian. Sejenak Sabungsari bagaikan dicengkam oleh hentakkan perasaan yang meremas jantungnya. Ia berdiri mematung dengan mata yang terbelalak. Seolah-olah ia tidak percaya kepada penglihatannya, bahwa batu itu benar-benar telah remuk berhamburan. Agung Sedayu masih tetap berdiri ditempatnya. Dipandanginya sikap Sabungsari yang kebingungan. Bahkan kemudian iapun meloncat selangkah. Sambil berjongkok ia menggenggam butiran-butiran lembut yang berhamburan, seolah-olah ia ingin meyakinkan, apakah rabaan tangannya seperti juga penglihatan matanya, bahwa batu itu memang telah remuk bagaikan menjadi debu. Tetapi agaknya memang suatu kenyataan. Batu itu benar-benar telah lumat. Bukan sekedar pecah berkeping-keping. Ternyata bahwa sorot mata Agung Sedayu, seolah-olah memancarkan ruji-ruji lembut yang langsung menusuk menembus batu yang dijadikan sasaran kemampuan ilmunya. Ruji-ruji itu lelah menghunjam disetiap lubang-lubang yang paling kecil sekalipun menusuk sampai tembus, dalam jumlah yang tidak terhitung oleh bilangan yang manapun juga. Demikian tajam dan kuatnya tusukan ilmunya, sehingga batu yang telah pecah remuk menjadi debu itu, masih tetap dalam ujudnya. Namun oleh sentuhan getaran dan goncangan yang betapapun lemahnya, maka yang masih tetap bergumpal itupun segera terurai dan tersebar berhamburan.

Sabungsari masih berjongkok sambil meremas debu ditangannya. Untuk sejenak ia masih ingin meyakinkan, apakah ia tidak sedang bermimpi atau sedang dalam libatan ilmu yang langsung mempengaruhi perasaannya, sehingga seolah-olah ia melihat apa yang terjadi, tetapi yang hanya sekedar peristiwa semu saja. Tetapi akhirnya Sabungsari mempercayai kenyataan itu. Perlahan-lahan ia bangkit dan meloncat turun dari atas batu yang besar itu. Dengan nada yang dalam dan datar ia berkata, “Kau menang Agung Sedayu.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara Sabungsari berkata seterusnya, “Terserah kepadamu, apa yang akan kau lakukan. Jika kau akan membunuh aku, lakukanlah. Akupun akan mendapat kepuasan tersendiri, karena aku mati selagi aku mempertahankan harga diri padepokan dan perguruan Telengan.” Agung Sedayu memandang Sabungsari yang menundukkan kepalanya. Nampaknya perasaan anak muda itupun telah pecah berkeping-keping seperti batu yang telah dihancurkannya dengan tatapan matanya. “Sabungsari,“ berkata Agung Sedayu, “kau memang harus dibunuh.” Sabungsari mengangkat wajahnya. Nampak kerut merut dikeningnya. Katanya, “Lakukanlah. Aku sudah siap.” “Kau memang harus mati.“ berkata Agung Sedayu, “tetapi tidak perlu wadagmu.” Sabungsari terkejut. Dipandanginya Agung Sedayu dengan penuh pertanyaan yang membayang diwajahnya. “Aku tidak tahu maksudmu,” desis Sabungsari. “Kau memang harus mati. Seperti aku katakan, tidak perlu wadagmu. Tetapi Sabungsari yang lama harus dibunuh, dan kemudian akan lahir Sabungsari yang baru, dengan sifat-sifat dan watak yang baru pula,“ sahut Agung Sedayu. “Persetan,“ geram anak muda itu, “kau jangan sesorah. Itu adalah impian orang-orang yang tidak melihat kenyataan duniawi. Kau kira bahwa aku dapat membunuh masa lampauku dan memutuskan segala hubungan wadag dan jiwani dengan hari kemarin? Kau kira dengan peristiwa ini, aku bukan lagi anak laki-laki Ki Gede Telengan? Ia tetap ayahku bagaimanapun keadaanku.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya, “Bukan itulah yang dimaksud Sabungsari. Dalam hubungan dengan masa lampau, kau tidak dapat ingkar. Yang harus lahir dalam ujud manusia yang baru bukannya sesambunganmu dengan masa lampu, tetapi sikapmu menyongsong hari besok.” Sabungsari termangu-mangu. Namun kemudiann iapun terhenyak duduk diatas sebuah batu sambil

berdesah, “Aku kurang mengerti maksudmu.” “Sabungsari,“ berkata Agung Sedayu, “sudah tentu kau tidak akan dapat menghapus masa lampaumu. Tetapi kau wajib mengerti, bahwa sikap dan tingkah lakumu itu tidak benar menurut pertimbangan nalar yang bening. Karena itu, maka kau harus berani membunuh sikap dan tingkah lakumu, termasuk janji kesetiaanmu yang tidak mapan itu. Kau dapat menyesali segala kesalahan yang pernah kau lakukan dan berjanji kepada diri sendiri dan kepada Yang Maha Tahu, bahwa kau tidak akan pernah mengulangi lagi. Selanjutnya, kau akan mulai dengan lembaran-lembaran baru yang lebih baik dari masa lampau itu.” Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apakah itu bukan hanya sekedar impian. Adakah orang yang tak pernah melakukan kesalahan disepanjang hidup? Kau sendiri misalnya? Apakah benar bahwa kau selalu hidup dalam kebenaran?” Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya, “Tentu tidak Sabungsari. Yang namanya manusia, pasti masih akan melakukan kesalahan-kesalahan yang kecil maupun yang besar. Tetapi manusia yang tidak mau mengetahui sikap dan tingkah lakunya sendiri dan tidak berani menilainya dengan jujur, ia akan tersesat semakin jauh. Sementara orang yang berani menilai diri sendiri dan mengakui dengan jujur, maka ia akan menuju kejalan yang lebih baik.” Sabungsari menundukkan kepalanya. Meskipun ia lidak dapat menelan seluruhnya setiap kata yang diucapkan oleh Agung Sedayu, namun sebagian dapat menyentuh hatinya pula. Apalagi ia memang tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa Agung Sedayu adalah seseorang yang seolah-olah mempunyai kemampuan tidak terbatas. Bagaimanapun juga ia masih ragu-ragu akan setiap kata Agung Sedayu, namun satu kenyataan bahwa ia masih tetap hidup. Beberapa kali Agung Sedayu mempunyai kesempatan untuk membunuhnya. Jika ia memang seorang pembunuh, maka ia tentu sudah mati. “Tanpa mempergunakan kemampuan ilmunya yang luar biasa itu, ia sudah dapat membunuhku saat aku pingsan,“ berkata Sabungsari didalam hatinya, “tetapi ternyata Agung Sedayu tidak melakukannya. Aku masih tetap hidup, dan berkesempatan untuk bertanding ilmu dengan taruhan nyawa. Tetapi ia tidak juga mau membunuhku apapun alasannya.” Sadar akan keadaannya, maka Sabungsari tidak dapat berbuat lain kecuali menerima segala kenyataan. “Sabungsari,“ terdengar Agung Sedayu berkata dengan nada dalam, “apakah kau dapat mengerti yang aku maksudkan?” Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku akan mencoba mengerti Agung Sedayu. Tetapi yang aku tidak mengerti, sikap jujur dalam menilai diri sendiri.” “Kenapa?“ bertanya Agung Sedayu.

“Jika aku jujur kepada diri sendiri, maka aku tentu masih akan tetap dalam niatku. Jika aku kemudian mengurungkannya itu, adalah karena aku kalah darimu. Bukan karena hal-hal yang lain. Aku tidak dapat mengatakan, bahwa tidak membunuhmu itu adalah karena aku tidak lagi bermaksud demikian. Tetapi karena aku tidak dapat berbuat demikian.” “Itulah yang aku maksudkan dengan membunuh masa lampau itu dan memandang masa depan dengan sikap yang baru. Sebenarnya kau sudah mulai mengerti bahwa yang kau lakukan itu tidak benar. Kau mulai ragu-ragu, tetapi kau tidak jujur menghadapi keragu-raguanmu itu. Kau telah didorong oleh harga dirimu sebagai seorang anak yang kau anggap harus berbakti terhadap orang tua dengan cara yang salah itu.“ suara Agung Sedayu datar, “kau bukannya seseorang yang tidak mengerti baik dan buruk. Tetapi kau tidak berani mengembangkannya didalam hatimu.” Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. “Sudahlah Sabungsari,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “tentu kita tidak akan dapat berbicara dengan tuntas. Mungkin yang aku katakan itupun mengandung pengertian yang tidak tepat. Tetapi kita masih mempunyai waktu untuk menelusurinya. Kita masih mempunyai waktu untuk berbicara tentang baik dan buruk dan tentang salah dan benar. Meskipun tidak ada kebenaran yang mutlak selain kebenaran Yang Maha Benar, namun kita dapat menekuninya sejauh kemampuan kita berpikir dan merasakan.” “Kau membuat aku bingung. Tetapi aku ingin untuk mengertinya. Mungkin besok atau lusa aku dapat melihat lebih jauh dari keadaanku sekarang. Aku benar-benar tidak dapat berpikir, apakah yang sebaiknya aku lakukan,“ jawab Sabungsari. “Marilah, kita kembali kepadepokan.“ ajak Agung Sedayu. “Untuk apa aku harus kembali kepadepokanmu? Apakah kau ingin mengatakan kepada gurumu dan kepada adik sepupumu, bahwa kau telah memenangkan perang tanding dengan cara apapun juga?” “Aku menganggap bahwa hal itu tidak perlu aku lakukan. Kesombongan yang kau lihat, bagaimana aku mengalahkanmu, menurut pertimbanganku adalah cara yang lebih baik aku tempuh daripada aku harus membunuh sekali lagi.” “Itupun sikap yang sangat sombong,“ potong Sabungsari. “Sudah aku katakan. Aku mencoba mengambil jalan yang paling baik,“ sahut Agung Sedayu, “karena itu, marilah. Kau menampakkan diri sebelum kita pergi. Kau-pun wajib minta diri kepada guru tidak ada kesan yang kurang baik.” Sabungsari termangu-mangu sejenak. Tetapi ia melihat dalam keremangan malam sorot mata Agung Sedayu yang tulus. Meskipun dari mata itu dapat memancarkan nafas maut, tetapi dari mata itu pula terasa betapa lembut hati anak muda itu.

Karena itu, maka Sabungsaripun berdesah sambil berkata, “Baiklah. Aku akan ikut pergi kepadepokanmu. Sekarang aku adalah telukanmu. Kau dapat memerintah apa saja kepadaku.“ “Aku tidak bermaksud demikian. Hubunganku dengan kau masih tetap seperti beberapa saat yang lampau,” sahut Agung Sedayu. Sabungsari termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian bangkit sambil berkata, “Marilah.” Keduanyapun kemudian membenahi diri. Pakaian mereka yang kotor mereka kibaskan, meskipun mereka tidak dapat menghapus sama sekali bekas perkelahian yang telah terjadi. “Gurumu akan tetap mencurigai keadaan kita,“ berkata Sabungsari. “Meskipun ia mengerti, tetapi ia tidak akan berbuat apa-apa,“ sahut Agung Sedayu. Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, “Apakah gurumu juga bersikap seperti kau, atau kau bersikap seperti gurumu?” “Ya,“ jawab Agung Sedayu pendek. Sabungsari tidak bertanya lagi. ia berjalan sambil menundukkan kepalanya. Seakan-akan yang baru saja terjadi telah nampak kembali diangan-angannya. Seolah-olah ia melihat dirinya sendiri pingsan, sementara Agung Sedayu berdiri disisinya dengan kaki renggang dan tangan dipinggang. “Tetapi ia tidak berbuat apa-apa. Dibiarkannya aku tetap hidup dan sadar kembali.“ berkata Sabungsari didalam hatinya. Untuk beberapa saat ia mencoba menilai sikap Agung Sedayu. Apakah Agung Sedayu tidak berpurapura, atau justru dengan sikap itu ia ingin menunjukkan kepadanya bahwa ia telah memenangkan perang tanding itu dengan mutlak. Tetapi Sabungsari menggelengkan kepalanya. Didalam hati ia berkata, “Tentu tidak. Ia juga tidak membunuh kelima pengikutku. Jika ia tidak berbuat dengan jujur, maka ia tentu telah membunuh kelima orang yang mencegatnya dipesisir itu. Tetapi ternyata mereka tetap hidup.” Untuk beberapa saat, Sabungsari masih dicengkam oleh ketidak pastian sikapnya. Juga terhadap dirinya sendiri. Agung Sedayu yang berjalan disampingnya, juga tidak banyak berbicara. Ternyata iapun sekali-sekali masih juga memikirkan apa yang telah terjadi dipinggir sungai itu. Namun didalam hati, ia sempat bersukur, bahwa ia mendapat kesempatan untuk menyelesaikan perselisihan itu tanpa pembunuhan. Dengan demikian, maka ia telah mengurangi dendam yang menyala

dihati orang-orang yang telah disakiti hatinya, sengaja atau tidak sengaja. Ketika keduanya mendekati regol padepokan. Sabungsari menjadi berdebar-debar. Bukan karena ia menjadi curiga bahwa ia akan diperlakukan dengan buruk dipadepokan itu. Tetapi justru karena ia mendapat perlakuan yang tidak disangka-sangkanya. “Jika akulah Agung Sedayu itu, maka lawanku tentu sudah aku cincang sampai lumat. Apalagi mereka yang datang dengan sengaja untuk melepaskan dendam.“ berkata Sabungsari didalam hatinya. Namun akhirnya keduanya telah memasuki regol padepokan kecil itu, dan langsung naik kependapa. “Duduklah,“ berkata Agung Sedayu. “Aku akan kembali ke barak jika kau mengijinkan,“ berkata Sabungsari. “Kenapa tidak?” sahut Agung Sedayu, “tetapi sebaiknya kau minta diri kepada guru.” Sabungsari termangu-mangu. Sementara Agung Sedayu melangkah kepintu sambil berkata, “Duduklah. Jangan tergesa-gesa.” Suatu pesona yang tidak dapat diingkari oleh Sabungsari, bahwa iapun kemudian telah duduk dialas sehelai tikar yang terbentang di pendapa, dibawah sinar lampu minyak yang berkeredipan disentuh angin menjelang fajar. Perlahan-lahan Agung Sedayu mengetuk pintu. Namun agaknya gurunya memang belum tidur. Meskipun sudah tidak terdengar suara apapun, namun Kiai Gringsing segera mendengar ketukan meskipun hanya perlahan-lahan. Sejenak kemudian maka pintu itupun telah berderit. Ketika pintu itu kemudian terbuka. Kiai Gringsing telah berdiri dimuka pintu sambil tersenyum, “Lama sekali kalian pergi.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kami berjalan-jalan mengelingi Jati Anom. Rasa-rasanya ingin melihat dan menunjukkan kepada Sabungsari masa-masa aku masih kecil dan ketakutan.” Kiai Gringsing tertawa. Lalu katanya, “Aku sudah lama menutup kitab yang aku baca. Glagah Putihpun sudah tidak tahan lagi duduk mendengarkan.” Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara Kiai Gringsingpun kemudian melangkah mendekati Sabungsari yang duduk sambil menundukkan kepalanya. Sambil duduk orang tua itu berkata, “Darimana saja kalian anakmas? Nampaknya kalian baru saja berjalan jauh sekali,

sehingga pakaian kalian basah oleh keringat dan kotor oleh debu.” Sabungsari kebingungan. Sekilas ditatapnya wajah Agung Sedayu, seolah-olah ia ingin mendapatkan bantuan, bagaimana ia harus menjawab. Sebenarnya Agung Sedayu sendiri juga bingung. Namun ia berkata, “Ya guru. Kami berjalan tanpa berhenti.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi senyum yang nampak dibibirnya terasa mempunyai arti tersendiri. Karena itulah, maka Sabungsari menjadi berdebar-debar. Dalam pada itu, Sabungsaripun segera minta diri. Ketika ia diantar Agung Sedayu sampai keregol halaman, maka iapun berkata, “Agung Sedayu. Agaknya gurumu curiga, bahwa sesuatu telah terjadi dengan kita.” “Kenapa kau menyangka demikian?” bertanya Agung Sedayu. Sabungsari hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, sementara Agung Sedayu berkata, “Sabungsari. Mungkin hati kita sudah dibayangi oleh suatu pengakuan bahwa sesuatu memang telah terjadi. Karena itu, maka seolah-olah kami melihat seseorang mengetahui apa yang telah terjadi itu. meskipun sebenarnya tidak sama sekali. Tetapi mungkin pula guru hanya mendasarkan dugaannya setelah melihat keadaan kita, pakaian kita dan mungkin sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya, yang dalam tangkapan kita justru seolah-olah ia mengetahui apa yang telah terjadi,” Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu. “Tetapi seandainya guru mengetahui, aku kira tidak ada keberatannya apapun juga, karena semuanya telah berakhir. Tentu guru tidak akan membuat persoalan baru yang dapat memulai lagi dari apa yang sudah berakhir itu.” Sabungsari hanya mengangguk-angguk saja. Betapapun juga, terbersit kekhawatiran didalam hatinya, bahwa Kiai Gringsing akan mengambil sikap lain. jika ia mengetahui, siapakah ia sebenarnya. Sepeninggal Sabungsari, maka Agung Sedayupun segera masuk keruang dalam. Gurunya telah masuk kedalam biliknya, sehingga karena itu, maka Agung Sedayupun segera masuk kedalam biliknya pula. Ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Glagah Putih telah tertidur nyenyak. Tarikan nafasnya mengalir teratur dilubang hidungnya, sementara tubuhnya terbaring lurus terlentang diamben bambu. Agung Sedayupun kemudian membenahi pakaiannya. Ia masih keluar lagi lewat pintu butulan kepakiwan dibelakang untuk mencuci tangan dan kakinya. Meskipun badannya telah terasa sedikit segar, tetapi ketika Agung Sedayu kembali kebiliknya, ia tidak segera dapat tidur. Ia berbaring saja dipembaringannya sambil menatap atap. Tetapi ia tidak bangkit betapapun ia digelisahkan oleh peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Ia

memaksa dirinya untuk dapat tidur barang sekejap, karena sudah tidak mungkin lagi baginya malam itu menghadap gurunya, mengatakan sesuatu yang penting dan menyampaikan pesan Ki Waskita. “Besok malam aku akan mempunyai waktu.“ berkata kepada diri sendiri. “Besok pagi-pagi aku akan mengatakan, bahwa aku mohon waktu untuk berbicara barang sejenak dimalam hari.” Dalam pada itu, menjelang dini hari, maka mata Agung Sedayupun mulai terpejam. Bagaimanapun juga, ia merasa tubuhnya lelah setelah ia berjuang untuk mengatasi kemampuan ilmu Sabungsari yang memang termasuk dalam tataran ilmu yang tinggi. Saat matahari mulai menjenguk dari balik cakrawala, maka Agung Sedayu telah terbangun pula. Ia mendengar Glagah Putih turun dari pembaringan dan membuka selarak pintu biliknya. Seperti biasa kedua anak-anak muda itupun segera melakukan tugas sehari-harinya. Menyapu halaman dan mengisi jambangan pakiwan. Kemudian merekapun melihat-lihat tanaman dikebun dan ikan yang berenang dikolam. Glagah Pulih sama sekali tidak menduga, bahwa semalam telah terjadi sesesuatu yang mendebarkan antara kakak sepupunya dengan Sabungsari. Yang ia ketahui, keduanya telah pergi keluar padepokan, karena Sabungsari ingin menyampaikan sesuatu yang tidak boleh didengar oleh orang lain. Karena itu, diluar sadarnya, maka tiba-tiba saja bertanya, “Apa yang dipersoalkan Sabungsari semalam kakang?” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum sambil menjawab, “Tidak apaapa. Persoalan biasa yang dialami oleh anak-anak muda. Mungkin kau sekarang tidak akan dapat mengerti, tetapi beberapa tahun lagi, masalah itu adalah masalah yang biasa pula bagimu.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa kakaknya tidak akan mengatakan apa-apa tentang persoalan yang menurut pengertiannya telah disampaikan oleh Sabungsari kepada kakaknya itu. Karena itu, maka Glagah Putih tidak bertanya lagi. Meskipun ada juga keinginannya untuk mengetahui, tetapi ia menyadari, bahwa kakak sepupunya tidak akan mau mengatakannya. Dalam pada itu, Sabungsaripun telah berada didalam lingkungannya pula. Didalam lingkungan keprajuritan. Hari itu, ia tidak mendapat tugas khusus, sehingga karena itu, maka ia mempunyai banyak waktu terluang. Namun justru karena itu, maka iapun banyak termenung sambil menyisihkan diri dari kawan-kawannya. Setiap kali anak muda itu telah terlempar kembali kepada persoalannya dengan Agung Sedayu. Ia masih saja dibingungkan oleh sikap anak muda yang luar biasa. Jika ia selama itu dapat berbangga tentang dirinya, sebagai seorang anak muda yang jarang ada bandingnya, maka kini ia merasa dirinya masih terlalu kecil. Ternyata dengan kenyataan yang tidak dapat diingkarinya, ia masih belum dapat

mengimbangi kemampuan Agung Sedayu. “Ada berapa orang anak muda yang dapat menyamai atau melampaui Agung Sedayu di Pajang dan Mataram?“ ia bertanya kepada diri sendiri. Namun Sabungsari sempat membayangkan betapa dahsyatnya kemampuan Raden Sutawijaya di Mataram dan Pangeran Benawa di Pajang. Yang terpikir kemudian oleh Sabungari, apakah yang akan dikatakannya kepada para pengikutnya tentang Agung Sedayu. Apakah ia akan membohongi para pengikutnya, atau ia akan berkata terus terang, bahwa ia tidak dapat mengalahkan anak muda yang aneh itu. Semakin lama ia merenungi dirinya, maka iapun menjadi semakin gelisah. Terbayang pula wajah dan senyuman guru Agung Sedayu yang seolah-olah mempunyai arti yang khusus. “Entahlah,“ ia berdesah, “aku tidak tahu. apakah yang sebaiknya aku lakukan. Juga sebagai anak Ki Gede Telengan.” Dengan demikian, maka Sabungsari nampak lebih banyak merenung. Kawan-kawannya tidak banyak menegurnya, karena mereka melihat, dihari-hari terakhir, setelah Sabungsari minta ijin untuk kembali pulang, ia lebih banyak termenung dan gelisah. Kadang-kadang ia duduk menyendiri untuk waktu yang lama. Dan kadang-kadang ia berbaring saja di pembaringan. Menjelang sore, Sabungsari nampak semakin gelisah. Ketika matahari menjadi semakin rendah di Barat, maka anak muda itu keluar dari baraknya. Kepada penjaga regol ia berkata singkat, “Aku akan pergi kesungai.” Penjaga itu tidak bertanya lagi. Dibiarkannya Sabungsari berjalan sambil menundukkan kepalanya. “Anak itu nampaknya sangat bersedih,“ desis salah seorang penjaga itu kepada kawannya yang kebetulan berdiri disebelah regol. “Ya. Tetapi agaknya hatinya sangat tertutup, sehingga kami tidak banyak mengetahui apakah yang sudah terjadi atasnya,“ sahut yang lain. Tanpa menghiraukan sesuatu, Sabungsari berjalan terus menuju ketepian. Dipandanginya sungai yang airnya mengalir tidak begitu deras diantara bebatuan. Sekilas terbayang apa yang telah terjadi semalam ditepi sungai itu juga, tetapi dibagian yang lain. Terbayang bagaimana Agung Sedayu telah memukul hancur sebuah batu besar dengan tatapan matanya. “Ternyata tatapan mata itu mempunyai kekuatan yang tidak terduga,“ ia bardesis.

Ketika nampak olehnya bebatuan yang berserakan, maka pengakuan dihatinyapun menjadi semakin dalam bahwa ia memang tidak akan dapat mengalahkan Agung Sedayu dengan cara apapun juga, kecuali cara seorang pengecut. Membunuhnya dengan diam-diam dengan menusuk punggung. “Aku tidak mau,“ geramnya, “bagiku lebih jantan mengakui kekalahan daripada berbuat curang seperti itu.” Perlahan-lahan Sabungsaripun kemudian turun kepasir tepian. Perlahan-lahan ia berjalan disela-sela bebatuan. Kemudian, hampir diluar sadarnya iapun duduk diatas sebuah batu besar. Bahkan kemudian ia membaringkan tubuhnya sambil memandang cahaya langit yang menjadi semakin merah. Sabungsari terkejut ketika ia mendengar desir langkah orang mendekal. Ketika ia berpaling, dilihatnya diatas tebing, dua orang berdiri memandanginya. “Gila,“ geram Sabungsari. Ternyata dua orang pengikutnya telah mencarinya. Kedua orang itupun segera turun mendekatinya. Salah seorang berkata, “Kami sudah datang kebarak. Kami diberi tahu, bahwa kau baru pergi ke sungai.” “Kenapa kalian mencari aku?“ bertanya Sabungsari, “apakah ada perkembangan keadaan yang baru?” Kedua orang itu termangu-mangu. Namun salah seorang dari kedua pengikut Sabungsari itu berkata, “Tidak. Tidak ada perkembangan apapun yang kami lihat. Tetapi kami justru ingin mengetahui, apakah ada sesuatu yang harus kami lakukan.” “Gila,“ bentak Sabungsari yang sudah duduk diatas batu, “jika aku memerlukan kalian, akulah yang akan memanggil atau datang kepada kalian.” Keduanya mengangguk-angguk. “Aku tidak mempunyai perintah apapun untuk hari ini,“ berkata Sabungsari kemudian. “Jika demikian,“ berkata salah seorang dari kedua pengikutnya itu, “apakah kami boleh kembali kepondok kami?” “Pergilah. Kalian tidak mempunyai tugas apapun sekarang sampai aku memberikan perintah-perintah

baru,“ berkata Sabungsari kemudian. Namun tiba-tiba saja datanglah pertanyaan yang tidak disukainya. Salah seorang dari kedua pengikutnya itu tiba-tiba saja telah bertanya, “Bagaimana dengan Agung Sedayu?” “Persetan. Diam. Aku akan mengurusnya,“ teriak Sabungsari, sehingga kedua orang pengikutnya itu terkejut. Keduanya tidak berani bertanya lagi. Apalagi ketika mereka melihat Sabungsari itu meloncat berdiri sambil memandangi mereka berganti-ganti dengan sorot mata kemarahan. “Jika demikian, perkenankan kami pergi,“ seorang dari kedua pengikutnya itu berdesis. “Pergilah,“ geram Sabungsari. Tetapi ketika keduanya melangkah menjauh, maka Sabungsaripun memanggil mereka. Katanya, “Kemarilah. Duduklah. Aku ingin berbicara.” Keduanya menjadi termangu-mangu. Namun keduanyapun harus mematuhi perintah itu. Keduanya duduk dengan hati yang berdebar-debar. Sekali-sekali mereka saling berpandangan. Namun kemudian keduanya menundukkan kepala mereka memandangi pasir tepian. Sabungsari berjalan hilir mudik diantara bebatuan. Sekali-sekali ia menengadahkan kepalanya kelangit. Dilihatnya warna merah yang menjadi semakin suram. Sementara mataharipun telah bersembunyi dibalik gunung. “Aku tidak akan dapat berbohong untuk seterusnya,“ berkata Sabungsari kemudian. Kedua pengikutnya menjadi terheran-heran. “Dengarlah,“ suara Sabungsari menghentak, “dari padepokan Ki Gede Telengan aku sudah berniat untuk membunuh Agung Sedayu.” Kedua pengikutnya mengangguk-angguk. Namun keragu-raguan yang sangat tiba-tiba telah melanda jantung Sabungsari sehingga mulutnyapun seolah-olah menjadi terkunci. Ia masih tetap bimbang, apakah ia akan mengatakan tentang kekalahannya, atau tidak. Sesaat pengikutnya itu termangu-mangu. Mereka menunggu apakah yang akan dikatakan oleh Sabungsari. Namun yang nampak kemudian adalah justru kegelisahan yang sangat. Bahkan kemudian Sabungsari

itu membentak, “Pergi, pergi kalian.” Pengikutnya menjadi bingung. Namun mereka melihat Sabungsari bersungguh-sungguh, “Pergi. Pergi, cepat, sebelum aku mencincang kalian dipasir tepian ini.” Betapapun kebingungan mencengkam jantungnya, namun kedua pengikutnya itupun kemudian melangkah surut. “Pergi, pergi. Apakah yang kalian tunggu?“ bentak Sabungsari pula. Keduanya tidak dapat bertanya sepatah katapun lagi. Melihat wajah Sabungsari yang bagaikan menyala, maka keduanyapun kemudian meninggalkannya seorang diri di tepian. Sepeninggal kedua pengikutnya, kembali Sabungsari merenungi dirinya. Langit menjadi semakin kelam dan bintang-bintangpun mulai menghiasi hitamnya malam. “Sepantasnya aku memang menjadi gila,“ geram Saungsari. Namun ia sadar sepenuhnya, apa yang telah terjadi atas dirinya. Dalam pada itu, dipadepokan kecil yang sepi, Agung Sedayu duduk berdua diserambi gandok dengan Glagah Putih. Mereka berbincang tentang keadaan padepokannya yang semakin berkembang. “Aku besok akan menjemput ayah,“ berkata Glagah Putih, “lebih baik aku datang sendiri daripada hanya sekedar memberitahukan bahwa aku telah kembali.” “Bukankah kau sudah menyuruh seseorang memberitahukan bahwa kau sudah datang?” “Tetapi sampai sekarang, ayah belum datang kemari,“ jawab Glagah Putih. “Tentu ayahmu sedang sibuk. Apalagi ayahmu mengetahui bahwa kita datang dengan selamat,“ jawab Agung Sedayu. Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi rasa-rasanya ia memang sudah sangat rindu kepada ayahnya. Namun dalam pada itu, Agung Sedayupun mulai gelisah karena ia masih belum menyampaikan pesanpesan Ki Waskita yang tertulis pada sebuah rontal. Semalam ia telah kehilangan kesempatan. Karena itu, malam itu adalah malam yang tepat untuk melakukannya, sebelum Ki Widura benar-benar datang kepadepokan itu.

“Malam ini adalah malam ketiga aku berada dipadepokan,“ berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri, “nampaknya sudah cukup waktu untuk beristirahat.” Agung Sedayu merencanakan, setelah Glagah Putih tertidur nyenyak. maka ia akan menghadap gurunya menyampaikan beberapa persoalan. Diantaranya adalah persoalan yang dibawa oleh Sabungsari yang sebenarnya. Dalam pada itu, ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih berada diserambi gandok, maka diruang dalam. Kiai Gringsing menghadapi kitab yang besar. Ia membaca kitab itu seperti semalam ia membaca, saat Agung Sedayu minta diri kepadanya bersama Sabungsari. Kitab itu nampaknya sangat menarik perhatiannya. Sudah beberapa kali ia membaca isinya. Tetapi setiap kali ia telah membukanya dan membacanya kembali. “Guru mulai membaca lagi,“ desis Agung Sedayu yang lamat-lamat mendengar suara gurunya. “Ia nampaknya tekun sekali membaca,“ sahut Glagah Putih, “meskipun Kiai Gringsing sudah tua, tetapi suaranya masih cukup baik. Jika suara tembang itu menggema disepinya malam, aku justru menjadi sangat mengantuk.” Dan tiba-tiba saja Agung Sedayu menyahut, “Aku juga. Aneh sekali. Tetapi mungkin karena kita agak letih juga bekerja disawah.” Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Dalam pada itu. Agung Sedayu mulai merenungi dirinya sendiri pula. Jika Glagah Putih telah tertidur, maka ia akan mempergunakan waktunya sebaik-baiknya. Dimalam pertama ia datang kepadepokan, ia sudah menceriterakan segala yang dialaminya. Tetapi ia belum mulai menukik kekedalaman masalah yang diceriterakannya itu. Ia baru berceritera tentang pengalamannya sampai tuntas. Tentang rontal yang dibacanya, tentang pengaruh yang dialaminya setelah membaca rontal itu, dan tentang orangorang yang mencegatnya, yang ternyata adalah pengikut-pengikut Ki Gede Telengan. “Rontal Ki Waskita tentu berisi pesan-pesan penting,“ berkata Agung Sedayu, “aku tidak boleh menundanya lagi. Seharusnya semalam aku sudah menyerahkannya, jika saja Sabungsari tidak mengajak aku bermainmain ketepian. Sedangkan malam ini adalah malam ketiga.” Ternyata suara Kiai Giingsing itu benar-benar berpengaruh pada Glagah Putih. Lagu yang menyusup sampai keserambi dinding, rasa rasanya bagaikn silirnya angin lembut yang mengusap wajahnya. Sehingga Glagah Putih yang telah bekerja sehari-harian itupun mulai mengantuk.

“Jika kau mengantuk, tidurlah,“ berkata Agung Sedayu yang melihat mata Glagah Putih menjadi semakin berat. Glagah Putih tersenyum. Jawabnya, “Sebenarnya masih terlalu sore untuk tidur. He, kakang Agung Sedayu. Kapan kita mulai dengan latihan-latihan yang lebih baik?” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Iapun bertanya, “Kenapa tiba-tiba saja kau menyebut tentang latihan yang lebih baik?” “Aku sudah menjadi semakin tua. Sementara orang-orang lain meningkatkan ilmunya, aku sama sekali tidak berbuat sesuatu.” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kau masih ingin bertahan dari kantukmu?” “Bukan karena itu. Aku memang akan tidur sekarang. Tetapi aku bertanya tentang kemungkinan itu sebelum aku pergi tidur.” “Kapan saja kau siap untuk mulai Glagah Putih. Besok atau lusa?” Glagah Putih mengerutkan keningnya. Dipandanginya kakak sepupunya dengan tatapan mata yang tajam, seolah-olah ia masih meragukan keterangannya itu. “Kenapa kau memandang aku seperti itu?“ bertanya Agung Sedayu. “Tidak ada apa-apa,“ jawab Glagah Putih, “aku hanya akan meyakinkan diriku sendiri.” Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Baiklah besok kita benar-benar akan mulai dengan latihan-latihan yang lebih baik. Bukankah kita sudah cukup beristirahat selama dua hari?” “Ya. Kita sudak cukup beristirahat,“ sahut Glagah Putih. “Nah, sekarang, jika kau sudah mengantuk, tidurlah.” “Jika belum?“ bertanya Glagah Putih. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun jawabnya, “Jika belum, marilah kita bermain macanan.” Tetapi Glagah Putih justru membaringkan dirinya dipembaringannya sambil berkata, “Aku akan tidur meskipun masih sore.” Agung Sedayu tidak menyahut. Ia memang ingin Glagah Putih segera tertidur. Agar tidak menimbulkan kegelisahan anak itu, maka Agung Sedayupun kemudian ikut berbaring pula. Namun Agung Sedayu

sama sekali tidak memejamkan matanya. Dalam pada itu. sejenak kemudian, ternyata Glagah Putih telah tertidur nyenyak. Nafasnya mengalir dengan teratur. Perlahan-lalian Agung sedayupun kemudian bangkit dan dengan hati-hati ia mengambil rontal dari geledeg bambunya. Sejenak ia ragu-ragu. Namun kemudian katanya dalam hati, “Waktunya sudah baik. Agaknya akupun sudah dapat mengatur perasaanku, mungkin guru akan banyak bertanya tentang isi kitab Ki Waskita setelah membaca rontal itu.” Dengan hati-hati pula ia membuka pintu biliknya dan kemudian melangkah keluar. Ia masih mendengar gurunya membaca meskipun hanya perlahan-lahan. Ketika Agung Sedayu mendekat, Kiai Gringsing mengangkat wajahnya. Ia tahu, bahwa ada yang penting yang akan dikatakan oleh anak itu kepadanya, melengkapi keterangan yang telah diberikannya. “Duduklah Agung Seuayu,“ berkata Kiai Gringsing. Agung Sedayupun duduk bersila diamben yang besar menghadap gurunya. Terasa, dadanya berdebardebar seolah-olah ia sedang menghadapi pengadilan yang akan dapat menjatuhkan hukuman atasnya. “Kau akan menyampaikan sesuatu yang penting?“ bertanya gurunya. Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Ya guru. Ada sesuatu yang penting, melengkapi keteranganku yang pernah aku sampaikan kepada guru.” “Aku sudah menduga. Waktu itu keteranganmu memang sudah cukup panjang dan lengkap. Tetapi baru permukaannya saja. Bukankah ada yang lebih penting dari yang permulaan itu.” “Ya guru. Tetapi sebelum itu, aku ingin menceritakan sesuatu tentang anak muda yang bernama Sabungsari itu.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Rasa rasanya memang ada sesuatu yang menarik pada anak muda itu.” “Menarik sekali guru,“ sahut Agung Sedayu, “anak itu ternyata adalah anak Ki Gede Telengan.” “He? “ Kiai Gringsing memang agak terperanjat, “bukankah dengan demikian ia cukup berbahaya bagimu?” “Ya Guru. Ia memang sangat berbahaya. Tetapi untunglah bahwa ia selalu bersikap jantan. Ia tidak mau merendahkan diri dengan berbuat licik dan curang.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dengan nada yang dalam ia bergumam, “Agung Sedayu. Sebenarnyalah semalam aku memang gelisah. Aku sama sekali tidak dapat tidur. Sekali-sekali aku keluar dan berjalan-jalan dihalaman. Tetapi rasa-rasanya kau pergi terlalu lama, seolah-olah sudak lebih lama dari satu malam suntuk.” Agung Sedayupun kemudian menceritakan, apa yang telah terjadi dengan Sabungsari. Dari awal sampai akhir. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sukurlah jika kau menemukan penyelesaian yang sebaikbaiknya. Nampaknya anak itu memang bukan seorang anak muda yang jahat. Jika ia berniat untuk membunuhmu, itu karena didorong oleh kesetiaannya kepada ayahnya. Dipandang dari satu segi, sikap itu tidak perlu dilakukannya. Ia harus lebih dahulu mengetahui dengan pasti, siapakah ayahnya, dan kenapa ia terbunuh.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku berharap, bahwa ia akan berubah. Mudahmudahan ia mememukan jalan yang baik. Sebagai seorang prajurit, ia memiliki kelebihan yang melampaui kawan-kawan setatarannya. Jika ia mendapat kesempatan, maka ia akan cepat menanjak ketingkat yang lebih tinggi.” “Ya Agung Sedayu. Aku kira, kesempatan itu terbuka baginya,“ Kiai Gringsing mengangguk-angguk. “Lalu, apakah yang akan dilakukannya kemudian?” “Aku tidak tahu guru. Tetapi aku melihat kesadaran membayang dimatanya. Bahkan sejak semula, ia sudah dibayangi oleh keragu-raguan meskipun ia tidak berani mengembangkannya didalam hatinya.” Kiai Gringsing termenung sejenak. Terbayang wajah, sikap dan sifat anak muda itu, yang ternyata menurut Agung Sedayu memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Yang hanya selapis lebih rendah dari Agung Sedayu sendiri. “Agung Sedayu,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “bagaimanapun juga. kau tidak boleh meninggalkan kewaspadaan. Mungkin anak itu menemukan kesadarannya. Tetapi mungkin sakit hati dan dendam itu menyala dengan tiba-tiba didalam hatinya yang dapat menimbulkan ledakan yang tidak terduga-duga.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa hentakkan perasaan sesaat akan dapat merubah pikiran seseorang, sehingga ia akan dapat melakukan sesuatu yang disesalinya kemudian. Namun betapapun seseorang menyesal, yang sudah terjadi itu sudah terjadi.”

Sejenak kedua orang itu terdiam. Kiai Gringsing mencoba membayangkan, apa yang dapat dilakukan oleh Sabungsari. Sementara Agung Sedayupun mencoba untuk mengerti, maksud gurunya agar ia tetap berhati-hati. “Jika ia benar-benar menemui kesadarannya,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “dan ia benar-benar mengamalkan ilmunya didalam lingkungan keprajuritan, maka Pajang akan mempunyai seorang Senapati muda yang pilih tanding, meskipun ia masih harus banyak menyadap pengalaman dalam perang gelar dan penguasaan medan yang luas. Bukan sekedar mengendalikan dirinya sendiri.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja hatinya tersentuh oleh kata-kata gurunya. Jika Sabungsari pada suatu saat dapat menjadi seorang Senapati pinunjul karena pengamalan ilmunya, lalu bagaimana dengan dirinya sendiri. Diluar sadarnya Agung Sedayu membayangkan, pada suatu saat seorang Senapati agung yang pilih tanding, dipunggung kuda diiringi oleh beberapa orang pengawal, datang kepadepokan kecilnya. Sementara ia sendiri dengan pakaian yang kotor dan kaki berlumpur datang menyongsongnya diregol halaman. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tiba-tiba saja terngiang kata-kata Sabungsari, “Aku merasa jemu berada didalam barak dengan suasana yang ajeg.” Meskipun yang dikatakan oleh Sabungsari itu ternyata hanyalah sikap pura-pura, tetapi ia menganggap bahwa baginya, sikap itu benar-benar akan dirasakannya apabila ia berada didalam lingkungan keprajuritan. Sejenak kemudian terdengar Kiai Gringsing berkata, “Mudah-mudahan Agung Sedayu. Mudah-mudahan anak itu benar-benar menemukan jalan yang baik bagi hari depannya.“ ia berhenti sejenak, lalu. “Kemudian, apakah yang telah terjadi dengan dirimu sendiri. Kau sudah mengatakan tentang kitab yang kau baca sampai tuntas. Kau sudah mengatakan bahwa kau mendapatkan pengaruh dari padanya, meskipun kau belum dengan sengaja mempelajari maknanya. Apa yang terjadi pada dirimu adalah peningkatan dari kemampuan yang memang sudah ada padamu. Nah, barangkali kau sudah siap untuk membicarakan masalah yang lebih mendalam lagi tentang isi kitab itu?” Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Terasa keragu-raguan masih saja merayapi jantungnya. Namun iapun kemudian berkata, “Guru, pada suatu saat, aku memang harus menekuni bagian demi bagian dari isi kitab itu. Aku harus mempelajari dan menemukan maknanya. Karena didalam diriku sudah tersimpan unsur dari ilmu yang berbeda, maka aku harus mempelajarinya dan mencari kemungkinannya agar yang sudah ada dan yang baru itu dapat luluh didalam diriku.”

“Gejala dari luluhnya ilmu yang bersumber dari cabang-cabang perguruan itu sudah ada. Pengaruhnya sudah terasa pada ilmu yang sudah ada pada dirimu. Kini didalam dirimu telah luluh dua ilmu sejenis yang berbeda sumbernya. Kau menguasai ilmu yang kau sadap dari aku. Tetapi kaupun memiliki pengetahuan yang mumpuni dari ilmu yang pernah mengalir pada saluran perguruan Ki Sadewa, karena kau pernah menemukan goa tanpa kau sengaja. Kini kau telah menguasai bunyi kitab Ki Waskita. Meskipun kau baru menguasai bunyi kalimat-kalimat yang tertulis didalam kitab itu, belum makna dari bunyi itu.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing itu didalam dirinya, Jika ia berhasil mengenal makna isi kitab Ki Waskita, maka seolah-olah ia menyandang trisula didalam dirinya. Tiga ujung ilmu yang akan sangat penting artinya bagi masa depannya. Sementara itu. ketika keduanya terdiam sejenak, maka dengan gelisah Agung Sedayupun mulai menyentuh kantong yang berisi rontal dari Ki Waskita kepada Kiai Gringsing. Rontal yang tentu sangat penting, meskipun Agung Sedayu sudah dapat meraba perkembangan yang akan dihadapinya kemudian. “Nah, Agung Sedayu. Jika kau memang sudah menghendaki, marilah kita berbicara tentang isi kitab itu. Atau barangkali masih ada masalah yang akan kau sampaikan?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Guru. Ketika aku kembali dari rumah Ki Waskita, aku mendapat pesan untuk menyampaikan rontal ini kepada guru. Sebenarnya kemarin malam aku ingin menyampaikannya. Tetapi kehadiran Sabungsari telah menunda rencanaku itu.” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Katanya, “Bagaimanakah jika pesan Ki Waskita itu menyangkut batasnya waktu?” Wajah Agung Sedayu menegang sejenak. Namun kemudian ia hanya dapat menundukkan kepalanya. Jika benar seperti yang dikatakan gurunya, bahwa pesan itu menyangkut batasan waktu, maka ada kemungkinan bahwa gurunya telah terlambat. Namun ketika kemudian Kiai Gringsing mengurai rontal itu dan membacanya. tidak ada kesan yang mendebarkan diwajahnya. Meskipun wajah itu nampak bersungguh-sungguh, tetapi agaknya tidak ada sesuatu yang membuatnya gelisah dan berdebar-debar. Beberapa saat lamanya Kiai Gringsing membaca. Bahkan ada beberapa bagian yang nampaknya diulanginya untuk mendapatkan kejelasan arti. Agung Sedayu kemudian hanya dapat menunggu sambil menundukkan kepalanya. Untuk beberapa saat, gurunya masih saja berdiam diri sambil berpikir.

Dalam pada itu. Agung Sedayu semakin lama menjadi semakin berdebar-debar. Sekilas dibayangkannya apa yang pernah dialaminya di rumah Ki Waskita. Terbayang juga sekilas wajah Rudita yang jernih bening. Kemudian nampak betapa buramnya wajah Prastawa yang berwajah tengadah itu. Untuk beberapa saat Agung Sedayu harus menunggu. Ia sadar, bahwa gurunya tentu baru mencernakan isi rontal yang disampaikani kepadanya itu. Ketegangan itu rasa-rasanya benar-benar mencengkam dada Agung Sedayu, sehingga pernafasannyapun rasa-rasanya menjadi sesak. Bahkan kepalanya terasa menjadi agak pening karenanya. Namun ketegangan itu kemudian telah dipecahkan, ketika Kiai Gringsing menarik nafas sambil berkata, “Agung Sedayu. Didalam rontal ini tertulis beberapa pesan Ki Waskita kepadaku. Ada yang sangat menarik bagiku, karena Ki Waskita telah pernah menyebut sesuatu yang akan sangat berarti bagi perguruan ini.” Agung Sedayulah yang menjadi tegang. Namun kemudian ia sadar, bahwa yang dimaksudkan tentu pesan Ki Waskita tentang kitab yang pernah dikatakan kepadanya. Kitab Kiai Gringsing. Dalam pada itu, maka Kiai Gringsing berkata, “Agung Sedayu. Yang pertama dikatakan oleh Ki Waskita, bahwa kau telah menguasai setiap kata didalam kitabnya. Seolah-olah isi dalam pengertian bunyinya telah kau pahatkan didinding hatimu.” Agung Sedayu mengangguk. “Dan itu memang sudah kau katakan kepadaku,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “karena itu, kau kemudian memerlukan waktu khusus untuk mencari makna dari bunyi yang tertulis didalam kitab itu.” Agung Sedayu menundukkan kepalanya. “Dalam hal ini Agung Sedayu, Ki Waskita berpesan, agar aku dapat membantumu, mengawasi kerja yang mungkin dapat membahayakan dirimu itu.” Agung Sedayu mengangkat wajahnya. Kemudian katanya, “Terima kasih jika guru berkenan melakukannya. Masih banyak yang tidak aku pahami, bagaimana aku membuka pintu memasuki daerah penghayatan dan makna dari bunyi kalimat-kalimat didalam kitab itu.” “Tentu aku akan membantumu meskipun mungkin ada hal-hal yang aku juga tidak mengerti. Tetapi mudah-mudahan aku dapat membantu mencari jalan yang terbaik bagimu selama kau mencari arti dan makna dari isi kitab yang telah kau baca itu.”

Agung Sedayu telah menundukkan kepalanya kembali. “Selebihnya Agung Sedayu. Apakah Ki Waskita pernah mengatakan kepadamu, bahwa aku juga memiliki sebuah kitab yang memuat pengertian dan ilmu kanuragan dan kajiwan?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya guru. Ki Waskita pernah menyinggungnya.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ada sesuatu yang terbuka, tetapi kadangkadang ada juga sesuatu yang harus tertutup. Pada suatu saat aku memang pernah menyatakan tentang diriku sendiri. Tetapi pernyataan itu aku berikan kepada beberapa orang tertentu. Tidak kepada setiap orang, karena kepentingan yang berbeda-beda. Justru karena itulah, maka yang pernah aku katakan itu, pernah pula aku ingkari. Justru karena ada orang lain yang tidak aku harapkan. Bukan karena tidak percaya, tetapi karena kepentingan lain.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu. “karena itulah, maka sebenarnya pesan yang diberikan Ki Waskita kepadaku, terasa sangat berat untuk dilakukan, tetapi rasa-rasanya menuntut keharusan untuk dilakukan. Jika aku memberi kesempatan kepadamu, mempelajari isi kitab itu kelak pada suatu saat. Maka aku harus memberikan kesempatan serupa kepada muridku yang lain.” Agung Sedayu mengangkat wajahnya sejenak. Namun wajah itupun segera tunduk kembali. Dengan penuh kesadaran ia memahami keterangan gurunya. Murid Kiai Gringsing tidak hanya dirinya sendiri. Tetapi ada seorang yang lain, yaitu Swandaru, sehingga dengan demikian maka gurunya tidak akan dapat emban cinde emban silatan atas kedua muridnya itu. Sejenak Kiai Gringsing bardiam diri. Seolah-olah ia sedang memikirkan kalimat-kalimat yang akan diucapkannya. Baru sejenak kemudian ia berkata, “Ki Waskita memang lebih dekat padamu daripada Swandaru. Itu bukan suatu kesalahan, karena ia dapat saja memilih apa yang sebaiknya dilakukan menurut pertimbangannya sendiri atas kau dan Swandaru. Barangkali ia dapat saja mengambil istilah, mengangkat kau menjadi muridnya, tetapi tidak demikian dengan Swandaru.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu. “tetapi tentu tidak akan dapat terjadi demikian dengan aku.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. “Meskipun demikian Agung Sedayu,“ berkata Kiai Gringsing, “aku akan dapat memilih langkah yang paling adil. Aku pernah menjadi bimbang karena justru aku ingin berbuat adil. Misalnya aku mempunyai dua orang anak, maka yang seorang sudah berumur tujuh belas dan yang lain berumur tujuh tahun. Manakah yang lebih adil, apakah aku harus memberi makan masing-masing semangkuk nasi yang sama banyak dan

macamnya, atau aku harus memberikan sesuatu dengan keperluan masing-masing. Bahwa anakku yang berumur tujuh belas inemerlukan nasi yang lebih banyak dari anakku yang berumur tujuh tahun.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu. “Yang pertama aku bertindak adil karena aku memberikan sesuatu yang sama meskipun kebutuhan mereka tidak sama. Sedang yang kedua aku bertindak adil karena aku memberikan sesuai dengan yang diperlukan.” Agung Sedayu masih saja menundukkan kepalanya. Tetapi ia mengerti, arah pembicaraan gurunya. Tetapi ternyata gurunya kemudian berkata, “Agung Sedayu. Kau dan Swandaru memiliki beberapa perbedaan tingkat dan wawasan. Itulah yang perlu aku pertimbangkan.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang gurunya sekilas, maka dilihatnya Kiai Gringsing memandanginya dengan sorot mata yang memancarkan kesungguhan hatinya. Untuk beberapa saat keduanya saling berdiam diri. Pesan Ki Waskita itu telah menumbuhkan masalah dipadepokan kecil dari Jati Anom itu. Namun Kiai gringsingpun mengerti, bahwa Ki Waskita agaknya benar-benar mengagumi Agung Sedayu, sehingga ia tergesa-gesa ingin melihat Agung Sedayu menjadi seseorang yang mumpuni. Jika pesan itu tidak diberikan oleh Ki Waskita yang diketahuinya bahwa pesan itu diberikan dengan jujur tanpa maksud-maksud buruk, maka Kiai Gringsing tentu sudah tersinggung. Adalah haknya untuk memberikan atau tidak apapun yang ada padanya kepada muridnya. Namun iapun mengerti, bahwa Ki Waskita benar-benar didorong oleh maksud baiknya terhadap Agung Sedayu. Tetapi ia memang agak melupakan bahwa pada Kiai Gringsing, disamping Agung Sedayu ada juga Swandaru. Namun bagaimanapun juga. Kiai Gringsing tidak dapat bertindak tergesa-gesa, meskipun hal itu dinilai sebagai suatu kelambanan. Kiai Gringsing tidak dapat berbuat sesuatu terhadap seorang muridnya tanpa menghiraukan muridnya yang lain, diketahui atau tidak diketahui. Meskipun demikian. Kiai Gringsing tidak mau mengecewakan Agung Sedayu. Karena itu katanya, “Agung Sedayu. Baiklah aku akan memikirkan semua pesan Ki Waskita. Sudah tentu bahwa semua yang aku miliki akan aku wariskan kepada murid-muridku, karena jika ada satu hal saja yang tercecer, betapapun kecilnya, maka aku sudah mengurangi kemungkinan berkembangnya ilmuku sendiri. Jika demikian yang dilakukan setiap guru terhadap muridnya, maka ilmu itu akan menjadi semakin kerdil sehingga akhirnya akan kehilangan arti.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia sendiri tidak pernah merasa tergesa-gesa. Ia sudah merasa cukup banyak menerima dari gurunya. Dan iapun mengerti, bahwa gurunya pasti akan berbuat sebaik-baiknya terhadapnya.

Karena itu, maka katanya, “Guru. Adalah mapan sekali jika aku mendapat tenggang waktu menghadapi susunan ilmu yang berbeda itu. Aku sudah menerima banyak sekali dari guru, dan kemudian aku mendapat kesempatan untuk mengenali isi kitab Ki Waskita. Dengan demikian, maka aku memerlukan kesempatan untuk mencernakan isinya sebelum aku menyadap makna dari puncak ilmu yang dapat guru berikan kepadaku.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kebijaksanaan pada muridnya yang masih muda itu. Ia mengerti bahwa Agung Sedayu mengerti perasaannya, bahwa ia harus menimbang semua segi kemungkinan karena Kiai Gringsing mempunyai dua orang murid. Maka orang tua itupun berkata, “Itulah yang sangat menarik Agung Sedayu. Mudah-mudahan kau menyadari sikapmu, sehingga kau benar-benar memiliki kebijaksanaan menanggap sesuatu masalah.” Agung Sedayu hanya dapat menundukkan kepalanya. Bahkan pujian gurunya telah membuat wajahnya menjadi kemerah-merahan. “Agung Sedayu,“ berkata gurunya kemudian, “sementara aku memikirkan jalan yang terbaik yang dapat aku lakukan, maka kau mendapat kesempatan untuk mencari makna dari isi kitab Ki Waskita. Sudah barang tentu kau jangan menyiksa wadagmu dengan tergesa-gesa ingin menguasai semua masalah yang ada didalam kitab itu. Kemampuanmu menyimpan isi kitab itu didalam ingatanmu memang luar biasa. Tetapi kita semua adalah orang-orang yang memiliki keterbatasan. Demikian juga ketajaman ingatanmu, sehingga semakin lama, maka kemungkinan ada satu dua bab yang menjadi kabur. Tetapi keterbatasanmu untuk menyadap makna dari isi kitab harus kau perhitungkan sebaikbaiknya.” Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, “Seperti pesan Ki Waskita, aku memerlukan pengawasan dan tuntunan guru.” “Aku akan melakukannya. Aku akan membantumu mengurai masalahmu, seperti aku akan membantu mengurai masalah yang mungkin dihadapi oleh Swandaru. Tetapi sebaiknya kau sendiri akan memulainya, dan akan merasakan sentuhan-sentuhan yang paling sesuai dengan dasar pribadi dan ilmu yang telah ada padamu. Baru kemudian, aku akan mencoba membantumu.” Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, “Ya guru. Aku akan mencoba melihat kedalam diriku sendiri, yang manakah yang lebih dahulu dapat aku cari maknanya.” “Kau dapat mulai kapan saja kau kehendaki. Tetapi sekali lagi aku berpesan, kau harus selalu memperhatikan wadagmu. Jangan kau paksa wadagmu melakukan melampaui kemampuan dan keterbatasannya, sehingga mungkin terjadi, kau memiliki ilmu yang tinggi, tetapi wadagmu akan menjadi gersang seperti sebatang pohon yang dipanggang dipanasnya api.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi berdebar-debar jika ia teringat keadaan

wadagnya selama ia berada didalam goa yang tersembunyi dipinggir sungai yang terjal itu. Kemudian iapun meremang jika ia teringat, bahwa ia menjadi pingsan setelah ia memaksa diri untuk menyelesaikan isi kitab Ki Waskita. “Itu baru kulitnya,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya, “apalagi jika aku memaksa diri untuk memahami maknanya. Mungkin ada bagian wadagku yang kalah dan mengalami kesulitan.” Agung Sedayu memang pernah mendengar, bahwa seseorang dapat menjadi lumpuh, atau buta atau tuli, atau cacad-cacad badaniah yang lain, bahkan seseorang dapat mengalami cacad rohaniah, menjadi gila atau kehilangan ingatan sama sekali, apabila tanpa keseimbangan mempelajari ilmu yang tinggi dan mendalam tentang apapun juga. Karena itu, maka ia akan selalu ingat kepada pesan gurunya. Ia akan mendalami dan memahami makna isi kitab Ki Waskita, tanpa sikap tergesa-gesa dan didesak oleh perasaan. Keseimbangan perasaan dan nalar harus diperhitungkan seperti keseimbangan kemampuan wadag dan niat. Disamping itu. Agung Sedayupun wajib menyisihkan waktunya bagi Glagah Putih. Anak muda itu tentu ingin mempergunakan waktunya sebanyak-banyak dapat dipergunakannya untuk latihan kanuragan. Karena itu, maka Agung Sedayu harus dapat membagi waktu sebaik-baiknya. Bagi Glagah Putih yang sudah diserahkan kepadanya oleh pamannya, dan bagi dirinya sendiri. Namun betapapun juga, ia tidak dapat meninggalkan gurunya dalam segala langkahnya. Iapun kemudian menyampaikan juga keinginan Glagah Putih untuk segera meningkatkan ilmunya, yang bahkan anak itu telah merasa sangat terlambat. “Dengan siapa ia membandingkan dirinya?“ bertanya Kiai Gringsing. “Aku tidak tahu guru. Tetapi ia bertemu dengan Prastawa di Tanah Perdikan Menoreh,“ jawab Agung Sedayu. “Apakah mungkin juga Sabungsari?“ bertanya gurunya pula. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia kemudian berkata, “Ia tidak melihat ketinggian ilmu Sabungsari.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Kau memang harus membimbingnya Agung Sedayu. Menilik umurnya, sebenarnya ia masih sangat muda. Tetapi jika ia tidak segera berbenah diri, ia memang akan terlambat. Karena itu, kau harus benar-benar dapat membagi waktumu. Sebagian untukmu sendiri, sebagian lagi untuk adikmu. Sementara kaupun harus berada didalam tiga daerah ilmu, yang harus dapat kau trapkan sesuai dengan pembagian waktu itu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat, betapa sulitnya masa-masa yang akan datang itu, justru karena ia bertanggung jawab kepada kesanggupan dan kewajiban. “Agung Sedayu,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “kau harus menyesuaikan diri dalam keseimbangan waktu dan kemampuan jasmaniahmu. Jangan memaksa diri, sehingga akan dapat menyulitkan dirimu sendiri.” “Ya guru,“ jawab Agung Sedayu, “aku mengerti. Dan akupun harus selalu mengingat keadaan itu. Keadaan yang kadang-kadang memang terlupakan oleh dorongan perasaan yang bergelora.” “Nah. ambillah ketentuan waktu. Mulailah dan aku akan selalu mengikuti perkembanganmu dan perkembangan adik sepupumu itu.” Agung Sedayupun kemudian minta diri dari hadapan gurunya. Rasa-rasanya hatinya memang menjadi lapang, bahwa ia sudah menyampaikan pokok-pokok masalahnya kepada gurunya. Tetapi dengan demikian, iapun mulai terjun kedalam suatu kewajiban yang sangat berat. Ia harus dapat menyesuaikan diri dengan waktu, kemampuan jasmaniah dan dorongan perasaannya. Bukan saja atas dirinya sendiri, tetapi juga atas adik sepupunya, Glagah Putih. Sepeninggal Agung Sedayu, Kiai Gringsing duduk sambil merenung. Kitab yang dibacanya masih terbuka. Tetapi ia tidak lagi membaca isi kitab itu, karena pikirannya justru sedang dicengkam oleh isi surat Ki Waskita yang menyebut-nyebut kitabnya yang berisi tuntunan Kanuragan dan Kajiwan. “Setelah ia menuangkan ilmunya, maka Ki Waskita ingin melihat aku berbuat serupa,“ gumam Kiai Gringsing kepada dirinya sendiri. Sebenarnya Kiai Gringsing agak menyesali sikap Ki Waskita itu, bahwa Ki Waskita sudah terlanjur memberitahukan kepada Agung Sedayu. Bukan karena ia mempertahankan rahasia itu untuk seterusnya, tetapi ia harus dengan bijaksana menurunkan segalanya kepada murid-muridnya. Namun dalam pada itu Kiai Gringsingpun mulai menilai dirinya sendiri. Apakah seluruh isi kitab itu sudah dikuasainya. Baik unsur kanuragannya maupun unsur kajiwannya. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia harus mengakui kepada dirinya sendiri, bahwa seperti Ki Waskita, masih banyak makna isi kitabnya yang belum terungkapkan. Karena itu. maka ia memang harus berhati-hati dengan kitab itu. “Tetapi Ki Waskita telah membuka kitabnya bagi Agung Sedayu, sehingga anak itu dapat mengetahui seluruh isinya dan membiarkannya mencari maknanya sendiri.” Tetapi seperti yang terjadi pada dirinya, ketika ia menerima kitab itu, iapun harus bekerja sendiri untuk menemukan maknanya. Namun yang sampai hari tuanya, ia masih belum

menemukan seluruhnya. Tetapi pada bagian-bagian yang penting, ia telah menguasainya dengan baik. Karena itulah, maka iapun telah berpesan pula kepada Agung Sedayu, bahwa iapun harus memilih yang paling sesuai tanpa didorong oleh ketamakan untuk menguasai seluruhnya. Karena jika demikian, maka ada kemungkinan bagian lain dari dirinya akan mengalami kemunduran sejalan dengan kemajuan yang kurang keseimbangan dibagian peningkatan ilmunya. Dalam pada itu. Agung Sedayupun telah kembali kedalam biliknya. Perlahan-lahan ia membaringkan dirinya disamping Glagah Putih yang masih tidur nyenyak. Sambil menatap atap ia masih memikirkan kesibukan yang bakal dialaminya disaat-saat mendatang. “Aku harus dapat membagi waktu sebaik-baiknya seperti yang dikatakan guru,“ katanya didalam hati, “siang aku pergi kesawah. Malam aku berada disanggar bersama Glagah Putih. Tetapi aku harus membatasi waktuku agar menjelang fajar aku dapat mempergunakan waktu untuk kepentingan diriku sendiri.” Ia sadar, bahwa kemajuan ilmunya seterusnya tentu akan sangat lamban karena keterbatasan waktu. Tetapi itu lebih baik daripada sama sekali tidak. Agung Sedayu tertarik ketika ia melihat seekor cicak yang merambat didinding. Diluar sadarnya, maka ia telah menangkap cicak itu dengan sorot matanya. Dengan segi kemampuannya yang lain, maka ia tidak menghancurkan tubuh cicak itu. Tetapi ia telah mengangkatnya dan menempelkan dibagian dinding yang lain tanpa menyakitinya. Agung Sedayu mengerutkan keningnya ketika ia melihat seekor cicak yang berlari-larian mendekati seekor kupu-kupu kecil yang hinggap didekat lampu minyak. Dengan tergesagesa Agung Sedayu telah menghentikan cicak itu ditempatnya untuk beberapa saat. Baru ketika kupu itu terbang, Agung Sedayu telah melepaskannya. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian memalingkan wajahnya dengan memiringkan tubuhnya. Meskipun rasa-rasanya ia tidak mengantuk, tetapi dipejamkannya matanya. Namun ia masih sempat menilai kemampuannya sendiri. Ia dapat berbuat demikian, tidak hanya terhadap seekor cicak. Tetapi ia akan dapat melakukannya atas seseorang. Menguasainya dengan sorot matanya tanpa menyakitinya, tetapi seolah-olah merampas kesadarannya untuk sesaat dalam cengkaman ilmunya. Menguasai kesadaran itu dalam dua kemungkinan. Ia dapat menyalurkan perintah atas orang itu sehingga atas kehendaknya orang itu mempergunakan anggauta badannya. Tetapi ia juga dapat menguasai seseorang, sehingga orang itu seolah-olah menjadi sebuah patung mati. Sehingga dengan demikian, maka ia dapat menguasainya tanpa menyakitinya, disamping kemampuannya meremas isi dada seseorang dan merontokkannya. Menghancurkan batu menjadi debu dan mengguncang dedaunan seperti badai. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar sepenuhnya, betapa besar kemampuan yang ada

padanya. Meskipun ia meyakini kebenaran kata gurunya, bahwa tidak ada seseorang yang tidak terkalahkan betapapun juga ia menyimpan ilmu yang tidak ternilai. Dalam kekuatannya, maka seseorang tentu mempunyai kelemahan. Namun dalam pada itu, perlahan-lahan kesadaran Agung Sedayupun menjadi semakin kabur. Justru ia memang berusaha, agar dapat tidur barang sejenak. Dengan meletakkan segala macam persoalan didalam hatinya, maka iapun akhirnya dapat tertidur juga dengan nyenyaknya. Seperti biasa, maka sebelum matahari membayang di Timur, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah bangun. Demikian juga beberapa orang anak muda yang tinggal dipadepokan itu pula. Mereka melakukan kerja mereka sehari-hari seperti biasanya. Membersihkan halaman, mengisi jambangan, dan kerja seharihari yang lain. Namun dalam pada itu. Agung Sedayu mulai memperhatikan Glagah Pulih. Ia telah siap pula untuk mulai dengan latihan-latihan yang dikehendaki oleh Glagah Putih. Karena itu, maka ketika Glagah Putih siap dengan sapu lidinya. Agung Sedayu berkata, “Glagah Putih. Marilah kita mulai dengan latihan-latihan kanuragan. Kau harus mulai dengan menguasai diri dan kehendak. Cobalah. kau berbuat seperti yang aku lakukan.” “Apa yang kau lakukan kakang?“ bertanya Glagah Putih. “Kau harus membersihkan halaman ini dengan tanpa meninggalkan bekas seperti yang aku lakukan,“ jawab Agung Sedayu. “Aku harus menyapu halaman sekian luasnya dengan mundur seperti undur-undur , aku tidak telaten kakang.“ desah Glagah Putih. “Kau harus mencobanya.“ desak Agung Sedayu, “bukan sekedar untuk membersihkan halaman. Tetapi kau mulai berlatih mengatur diri sendiri. Kau harus dapat memaksa dirimu untuk melakukan pekerjaan yang kau sebenarnya tidak telaten.” Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian kalanya, “Kau bergurau.” “Aku bersungguh-sungguh Glagah Putih.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi agaknya Agung Sedayu memang bersungguhsungguh. Karena itu, maka betapapun segannya, ia mulai dengan menyapu halaman sambil melangkah mundur. Rasa-rasanya pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang berlipat beratnya dari pekerjaan yang setiap hari dilakukannya.

Rasa-rasanya halaman itu menjadi jauh bertambah luas dan dedaunan yang runtuh berlebaran menjadi berlipat pula. Tetapi akhirnya, pekerjaan itupun selesai juga. Dengan keringat yang membasahi segenap tubuhnya, Glagah Putih melihat halaman padepokan yang gilar-gilar. Yang nampak hanya bekas sapu lidinya, tanpa bekas kaki sama sekali. “Lihatlah,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “kau sudah berhasil.” “Tentu,“ jawab Glagah Putih, “pekerjaan ini tidak sulit. Tetapi aku tidak telaten.” “Itulah yang aku katakan, bahwa kau berhasil. Bukan karena kau dapat membersihkan halaman ini. Tetapi bahwa kau sudah mengalasi perasaan tidak telaten itu,“ berkata Agung Sedayu selanjutnya, “mudah-mudahan kau akan dapat berbuat seperti itu dalam tugas-tugasmu yang lain. Nah, aku akan melihat, apakah besok pagi, besok lusa, sepekan dan sebulan lagi, kau masih dapat melakukan seperti ini.” Glagah Putih mengerutkan keningnya. Kemudian iapun bertanya, “Jadi aku harus melakukannya setiap hari untuk seterusnya?” “Ya,“ jawab Agung Sedayu. Glagah Putih menegang sejenak. Sementara Agung Sedayu yang mehhatnya berkata sambil tersenyum, “Hanya untuk satu pekerjaan yang sangat mudah kau lakukan. Apalagi jika kau harus menekuni ilmu kanuragan. Banyak hal-hal yang menjemukan harus kau lakukan berulang kali. Bahkan beratus kali. Kau harus telaten berlatih tidak hanya untuk satu dua hari, bahkan satu dua bulan. Tetapi kau harus melakukannya bertahun-tahun tanpa jemu-jemunya. Kau harus mengatasi perasaan tidak telaten dan jemu.” Glagah Pulih termangu-mangu. Sementara Agung Sedayu meneruskan, “Kau harus melakukan latihanlatihan yang berat dan berulang-ulang. Memang menjemukan sekali. Mungkin seseorang akan lebih senang meloncat untuk langsung menguasai ilmu yang nampaknya lebih tinggi tingkat dan nilainya. Tetapi dengan demikian, maka yang didapatkannya tentulah hanya kulitnya. Sedangkan didalam kulit itu sama sekali tidak terdapat daging dan apalagi tulang.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia menjawab, “Aku mengerti kakang.” “Nah, cobalah menguasai diri dengan sadar. Mungkin kau akan melakukan pekerjaan yang menjemukan dan yang sebenarnya kau tidak telaten melakukan nya didalam menuntut ilmu kanuragan,“ berkata Agung Sedayu kemudian.

“Ya kakang. Aku mengerti.” Agung Sedayu tersenyum. Ia benar-benar sudah mulai membentuk adik sepupunya. Seperti yang diinginkan oleh anak itu dan pamannya Ki Widura, maka Agung Sedayu diharapkan dapat menyalurkan ilmu yang mengalir melalui perguruan yang dimasa hidupnya Ki Sadewa merupakan ilmu yang pilih tanding. Namun dalam pada itu, yang masih belum dapat disingkirkan dari hati Agung Sedayu adalah kebimbangannya. Kadang-kadang ia masih dibayangi keragu-raguan. Bukan karena ia tidak rela memberikan segalanya yang diketahuinya dari setiap unsur ilmu ayahnya itu, tetapi kadang-kadang ia menjadi cemas melihat anak-anak muda seperti Prastawa dan bahkan saudara seperguruannya sendiri Swandaru. “Apakah aku akan tetap dapat menguasainya? “ pertanyaan itulah yang selalu membayanginya. Bahkan kadang-kadang ia sudah mulai dibayangi. betapa prihatinnya, jika kelak Glagah Putih yang memiliki ilmu yang tinggi itu menjadi seorang anak muda yang sulit dikendalikan dan hanya menuruti kemauannya sendiri. “Aku harus berhati-hati,“ berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri, seperti pekerjaan apa saja yang dilakukannya. Namun Agung Sedayupun kemudian menemukan pemecahan. Untuk mempunyai kemampuan ilmu yang tinggi. Glagah Putih masih memerlukan waktu yang panjang. Selama itu ia masih mempunyai waktu untuk terus-menerus mengawasinya. Hari itu nampaknya Agung Sedayupun telah mempersiapkan rencana bagi adik sepupunya. Menjelang malam, ia akan mulai lagi dengan latihan-latihan yang semakin lama tentu akan menjadi semakin berat disaat-saat mendatang. Namun dalam pada itu. ketika Agung Sedayu siap untuk pergi kesawah, melihat apakah air mengalir sewajarnya, Glagah Putih menemuinya sambil berkata, “Kakang, aku akan pergi ke Banyu Asri.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa Glagah Putih tentu ingin sekali bertemu dengan orang tuanya. Karena itu, maka katanya, “Baiklah Glagah Putih. Nanti aku akan mengantarmu pergi ke Banyu Asri.” “Kenapa kau harus mengantar?“ bertanya Glagah Putih, “untuk jarak beberapa ratus tonggak, kenapa harus diantarkan?” Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, “Maksudku, akupun sudah rindu kepada paman dan keluarga di Banyu Asri. Apa salahnya aku juga pergi ke Banyu Asri?”

“Tetapi kakang tidak perlu mengantar aku. Jika kakang ingin bertemu dengan ayah, biarlah aku mengajak ayah datang kepadepokan ini,“ berkata Glagah Putih kemudian. Agung Sedayu justru tertawa. Ia mengerti getaran perasaan Glagah Putih. Karena itu maka iapun tidak ingin memaksakan keinginannya. Namun dalam pada itu, selagi mereka berbicara, seseorang memasuki regol halaman dengan raguragu. Bahkan orang itupun kemudian berhenti di ujung halaman dengan penuh kebimbangan. “Sabungsari,“ sapa Agung Sedayu yang melihat kedatangannya. Dengan tidak memberikan kesan apapun, ia menyongsongnya seperti saat-saat mereka baru berkenalan. Apalagi Glagah Putih yang tidak mengetahui apa yang telah terjadi antara Agung Sedayu dan Sabungsari. Sambil tertawa Glagah Putih berkata, “He, kenapa ragu-ragu? Seolah-olah baru kali ini kau melihat padepokan ini.” Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengerutkan keningnya ia berdesis didalam hati. “Aku tidak dapat mengerti, betapa jernihnya hati anak muda itu. Yang telah terjadi sama sekali tidak membekas. Agaknya Agung Sedayu dapat menahan perasaannya dan tidak menceriterakannya kepada Glagah Putih. Nampaknya anak itu sama sekali tidak mengerti apa yang telah terjadi.” Namun Sabungsari masih tetap termangu-mangu, sehingga Glagah Putih mengulangi, “He, apakah kau bermimpi?” Akhirnya Sabungsari menyadari keadaannya. Betapapun pahitnya ia mencoba untuk tersenyum sambil menjawab, “Aku takut kalau kedatanganku akan mengganggu.” “He, apakah kau pernah mengatakan demikian sebelumnya? Kau datang setiap saat. Pagi, siang, sore, bahkan waktu makan. Kau tidak pernah merasa mengganggu. Kenapa tiba-tiba saja kau berkata demikian?” Sabungsari benar-benar bingung menjawab pertanyaan Glagah Putih. Namun Agung Sedayulah yang menolongnya, “Pertanyaanmu sulit dijawab Glagah Putih. Karena itu, bertanyalah yang lain.” Glagah Putihpun tertawa. Katanya, “Baiklah. Aku tidak bertanya apa-apa lagi.” Agung Sedayupun kemudian mempersilahkan Sabungsari untuk naik kependapa. Tetapi ternyata Sabungsari menjawab, “Biarlah aku dihalaman saja. Lakukanlah apa yang masih harus kaulakukan.” “Tidak ada yang akan aku lakukan sekarang,“ berkata Glagah Putih, “kakang Agung Sedayupun tidak. Kakang akan pergi kesawah, sedang aku akan pergi ke Banyu Asri.”

“Jadi kalian akan pergi?“ bertanya Sabungsari. “Tidak sekarang,“ jawab Agung Sedayu. “Ya. Kakang Agung Sedayu memang tidak akan pergi sekarang. Akulah yang akan pergi ke Banyu Asri.” Sabungsari memandang Agung Sedayu sekilas, sementara Agung Sedayu berkata, “Benar. Aku memang tidak akan pergi. Silahkan. Duduklah dipendapa.” Sabungsari termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian melangkah naik kependapa bersama Agung Sedayu, sementara Glagah Putih masih tetap berdiri dihalaman. “Jika kau akan pergi, mintalah ijin Kiai Gringsing,“ berkata Agung Sedayu kemudian. Glagah Putih kemudian masuk keruang dalam mencari Kiai Gringsing dan minta ijin kepadanya untuk pergi ke Banyu Asri. “Kau sudah minta ijin kakakmu?“ bertanya Kiai Gringsing. “Sudah Kiai.” “Berhati-hatilah. Apakah kau akan berjalan kaki atau berkuda saja meskipun tidak begitu jauh?” “Aku akan berjalan kaki saja Kiai,“ jawab Glagah Putih, “nampaknya menyenangkan berjalan-jalan di daerah ini.” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Pergilah. Tetapi jangan singgah dimana-mana. Kau harus langsung menuju ke Banyu Asri.” Glagah Putih tersenyum. Ia mengerti, bahwa Kiai Gringsing, seperti juga kakak sepupunya, tentu mengkhawatirkannya. Telapi jika kemana-mana ia harus selalu ditemani oleh Agung Sedayu, maka ia akan menjadi anak yang cengeng. Tetapi Glagah Putih kurang mempertimbangkan, justru karena ia dekat dengan Agung Sedayu, maka ia telah terpercik juga oleh masalah-masalah yang sebenarnya tidak diketahuinya. Ketika kemudian Glagah Putih keluar dari ruang dalam, maka sekali lagi ia minta diri kepada kakaknya, kemudian mempersilahkan Sabungsari untuk tinggal dipadepokan itu. Sabungsari memandang Glagah Pulih sampai hilang dibalik pinlu regol. Kemudian diluar sadarnya ia memandang Agung Sedayu yang duduk di sampingnya. Tetapi agaknya Agung Sedayu itupun sedang memperhatikan Glagah Putih yang melintasi pintu regol halaman.

Sepeninggal Glagah Putih, maka Agung Sedayupun masih berbicara beberapa saat dengan Sabungsari. Diluar sadarnya, Sabungsari menceriterakan pergolakkan perasaannya. Seolah-olah ia sedang terbanting-banting pada dua dunia yang kurang dipahaminya. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Sabungsari berkata, “Maaf Agung Sedayu. Aku akan kembali ke barak.” Agung Sedayu terkejut. Dengan ragu-ragu ia bertanya. “Kenapa sebenarnya. Kau tiba-tiba saja ingin kembali kebarakmu.” “Aku ingat, bahwa sebentar lagi aku harus berada di rumah Ki Untara. Mungkin aku akan mendapat tugas untuk pergi keluar tlatah Jati Anom.” “Ah, begitu tiba-tiba. Tinggallah disini dahulu. Mungkin kau haus. Marilah kita mengambil beberapa buah jambu, atau beberapa butir kelapa muda.“ ajak Agung Sedayu. “Lain kali sajalah. Aku tergesa-gesa.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya, “Kau berbuat aneh. Tiba-tiba saja kau ingin meninggalkan padepokan ini.” “Tadi aku lupa, bahwa aku harus bertugas. Ketika aku teringat, maka aku menjadi gelisah. Mungkin beberapa orang kawan sudah menunggu. Jika aku tidak datang tepat pada waktunya, Ki Untara tentu akan marah. Baru saja ia menunjukkan kebaikan hatinya memberi aku ijin meninggalkan Jati Anom, meskipun aku sekedar menipunya. Tetapi maksud yang ada dihatinya adalah maksud yang baik.” “Tetapi nantilah sebentar,“ jawab Agung Sedayu, “aku juga akan pergi kesawah. Marilah kita pergi bersama-sama.” Wajah Sabungsari menegang. Namun kemudian ia menundukkan kepalanya. Dengan nada yang dalam ia berkata, “O, aku mengerti Agung Sedayu.” “Apa?“ bertanya Agung Sedayu. “Agaknya kau masih mencurigai aku. Mungkin kau berpikir, begitu Glagah Putih meninggalkan padepokan ini, begitu aku minta diri.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat menjawab. Namun sebenarnyalah ia menjadi curiga, bahwa tiba-tiba saja Sabungsari ingin meninggalkan padepokannya sebelum Glagah Putih menjadi cukup jauh. “Agung Sedayu,“ berkata Sabungsari, “meskipun aku tidak bertempur sampai mati melawanmu, tetapi aku masih tetap seorang laki-laki. Aku tidak akan berbuat licik. Seandainya aku masih ingin melakukan sesuatu atasmu.” Sabungsari berhenti sejenak, lalu. “Agung Sedayu. Lahir batin, aku sudah

tidak ingin lagi membunuhmu, meskipun aku bukan berarti menjadi seorang yang baik. Jika aku tidak nnembunuhmu, seperti yang pernah aku katakan, bukan karena aku berhasil melihat buruk dan baik, tetapi karena aku memang sudah kau kalahkan. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa aku tidak berusha sejauh-jauh dapat aku lakukan untuk mengetahui buruk dan baik itu, sehingga aku dapat dengan ikhlas melupakan kekalahan ini.” Dada Agung Sedayu berdesir. Ia melihat kejujuran seorang laki-laki jantan. Karena itu, maka kalanya kemudian, “Aku minta maaf Sabungsari. Mungkin aku masih dipengaruhi oleh kecurigaan yang tidak beralasan itu.” “Telapi aku dapat mengerti. Ketika kita bertemu pertama-tama, maka aku memang bersikap pura-pura. Sekali aku berbuat demikian, maka sulit bagi orang lain unluk melupakan dan kemudian mempercayai aku.” “Aku percaya kepadamu,“ desis Agung Sedayu. “Tetapi tidak sekarang. Aku minta kau pergi bersamaku, sampai kau yakin, Glagah Putih sampai ke Banyu Asri dan aku tidak dapat menyusulnya atau orang-orang yang aku perintahkan melakukan demikian.” “Tidak perlu Sabungsari. Aku percaya kepadamu. Aku khilaf, bahwa aku mencurigaimu seperti aku mencurigai laki-laki yang licik.” “Tetapi prasangka itu pernah ada didalam angan-anganmu. Karena itu marilah. Kau harus yakin bahwa aku tidak berbuat apa apa.“ Sabungsari memaksa, “karena seandainya Glagah Putih mengalami sesuatu oleh pihak manapun juga, maka kecurigaanmu yang sudah kau timbuni dengan kepercayaan itu, seolah-olah akan menganga lagi. Dan kau tentu akan berkata, “Nah, bukankah Sabungsari benar-benar licik dan pengecut?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. “Marilah Agung Sedayu,“ajak Sabungsari, “sekedar untuk menenangkan hatiku. Agar aku tidak dibebani oleh kegelisahan lagi. Dalam kebimbangan aku sudah cukup gelisah dan bingung. Karena itu, biarlah aku mendapat sedikit ketenangan dalam hal ini.” Agung Sedayu tidak dapat mengelak lagi. iapun segera masuk dan membenahi pakaiannya. Kepada Kiai Gringsing ia minta diri dan mengatakan serba singkat, apa yang telah terjadi pada perasaan Sabungsari.” “Baiklah. Biarlah aku tidak menemuinya dulu. Biarlah hatinya mapan, sehingga ia tidak menjadi semakin baur,“

berkata Kiai Gringsing. Demikianlah maka Agung Sedayu dan Sabungsari meninggalkan padepokan itu. Agung Sedayu mengatakan, bahwa yang telah terjadi sudah diketahui oleh Kiai Gringsing. “Dan gurumu marah kepadaku, sehingga ia tidak mau menampakkan diri?“ bertanya Sabungsari. “Kau selalu salah sangka.” “Itu wajar. Perasaanku yang bingung membuat aku tidak mempunyai pegangan. Tetapi pada peristiwa yang telah terjadi sampai saat ini, aku ternyata telah mengagumimu, aku kehendaki atau tidak aku kehendaki.” “Kau memuji,“ desis Agung Sedayu. “Aku berkata sebenarnya. Sementara hatiku masih saja bergejolak. Aku ingin melihat buruk dan baik. Telapi keinginan membalas dendam itupun masih saja menyala. Tidak lagi kepadamu, karena aku tidak mampu. Tetapi seperti banjir yang terbendung, maka dendam itu kini mengarah kepada Carang Waja dan orang-orang Pasisir Endut.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia pernah mendengar bahwa salah seorang pengikut Sabungsari yang mencegatnya justru dibunuh oleh orang-orang Pesisir Endut! “Tetapi Sabungsari,“ berkata Agung Sedayu, “bukankah, pengikut-pengikutmu juga sudah membunuh mereka? Bahkan berlipat?” “Aku mengerti Agung Sedayu,“ berkata Sabungsari kemudian, “tetapi merekalah yang mulai dengan pertengkaran itu.” “Itu hanyalah suatu ledakan dari peristiwa yang mungkin sekali terjadi dari dua gerombolan yang bertemu,“ berkata Agung Sedayu. “Memang mungkin sekali. Sekelompok penjahat akan merasa daerah serambahnya terganggu jika ada kelompok lain yang memasukinya,“ desis Sabungsari, “namun demikian, satu orang dari perguruan Telengan bernilai lima orang dari Pesisir Endut.” “Itu menurut penilaianmu. Tetapi menurut penilaian orang Pesisir Endut akan berbeda pula. Jika penilaian itu masih saja ada pada salah satu pihak, maka dendam memang akan tetap menyala. Justru semakin lama akan menjadi semakin besar.” Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Itulah yang masih belum mengerti. Tetapi aku akan mencoba Agung Sedayu, meskipun dengan terus terang aku katakan, bahwa sampai saat ini aku masih tetap mendendam mereka.” Agung Sedayu tidak menjawab, meskipun dadanya menjadi berdebar-debar juga. Ia seolah-olah melihat jantung Sabungsari yang membara. Ia gagal memenuhi janjinya kepada diri sendiri untuk membunuh seorang anak muda yang telah membunuh ayahnya. Bahkan tiba-tiba pihak yang semula

tidak bersangkut paut itu telah membunuh pengikutnya pula. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Agung Sedayu menghentikan langkahnya sambil berkata, “Bukankah kau akan kembali kebarakmu sebelum kau akan melakukan tugasmu?” Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Ya. Aku memang akan bertugas. Mungkin aku akan bertugas nganglang sampai keluar telatah Jati Anom. Sekarang Ki Untara sering memerintahkan sekelompok prajurit nganglang sampai ke tlatah Macanan bahkan sampai ke Benda dan Sangkal Putung.” “Apakah ada gejala yang kurang baik disaat terakhir?” “Aku kira tidak Agung Sedayu. Tetapi aku tahu, bahwa Ki Untara telah mendapat perintah dari Pajang, untuk mengawasi setiap perkembangan didaerah ini. Termasuk Sangkal Putung,“ jawab Sabungsari. Dada Agung Sedayu berdesir. Tetapi ia berusaha untuk menyembunyikan setiap kesan yang dapat menimbulkan kecurigaan pada Sabungsari. “Baiklah,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “kita berpisah sampai disini. Lupakan kekhilafanku. Aku benar-benar mempercayaimu. Lakukanlah tugasmu dengan baik sebagai seorang prajurit Pajang.” Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Terima kasih atas kepercayaanmu Agung Sedayu. Saat ini Glagah Pulih tentu sudah memasuki bulak Banyu Asri. Sebentar lagi ia akan bertemu dengan orang tuanya.” Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, “Ya. Dan ia tidak mengerti apa yang telah terjadi. Ia juga tidak mengerti gejolak perasaanmu dan keragu-raguanku.” Sabungsari memandang Agung Sedayu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku minta diri.” Kedua anak muda itupun segera berpisah. Agung Sedayu menuju kebulak, sedang Sabungsari menuju ke baraknya. Seperti dikatakannya ia memang akan mendapat tugas dengan beberapa orang kawannya untuk mengelilingi daerah yang agak luas. seperti yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang lain bergantian. Ketika Sabungsari sampai dirumah Untara yang dipergunakan untuk kepentingan keprajuritan itu, maka ia masih harus menunggu sesaat. Untara sendiri akan memberikan beberapa pesan kepada mereka, seperti yang selalu dilakukannya pula. Sejenak kemudian, maka lima orang yang akan bertugas itupun segera dipanggil kependapa. Mereka

mendapat penjelasan singkat tentang tugas mereka. “Kalian adalah pelindung yang baik. Kepada kalian mereka berharap. Ada tanda-tanda kerusuhan didaerah Selatan. Mungkin para pengawal Kademangan sudah mempersiapkan diri. Tetapi kehadiran kalian akan dan seharusnya menumbuhkan ketenangan dihati para penghuni Kademangan didaerah Selatan itu.“ Untara terdiam sejenak, namun kemudian. “Disamping tugas itu, kalian juga mengemban kewajiban untuk mengetahui, apakah yang berkembang disetiap wilayah yang kalian lalui. Mungkin kalian akan berhenti digardu-gardu perondan. Berbicara dengan para pengawal Kademangan. Dari mereka kalian akan menangkap, apakah yang sedang menjadi pusar perhatian Kademangan-Kademangan itu. Kelima prajurit yang akan berangkat nganglang itu mengangguk-angguk. “Kalian akan melalui beberapa daerah Kademangan. Dan kalian akan melihat perhatian yang berbedabeda dari setiap Kademangan itu.” Setelah memberikan beberapa petunjuk Untara kemudian mempersilahkan para prajurit itu bersiapsiap. Mereka akan berangkat lewat jalan ditepi hutan disebelah Barat. Kemudian mereka akan berbelok dan melalui bulak-bulak panjang. Mereka akan berada diperjalanan dimalam hari melalui beberapa Kademangan sehingga mereka akan dapat bertemu dan berbicara dengan para pengawal yang sedang meronda di gardu-gardu. Disiang berikutnya, mereka akan beristirahat disebuah Kademangan yang akan mereka pilih, sampai menjelang senja. Mereka akan segera melanjutkan perjalanan, sehingga pagi berikutnya, mereka akan sudah berada kembali di Jati Anom. Dalam perjalanan itu, mereka dibekali dengan beberapa jenis makanan yang tahan untuk dua hari. Mereka tidak dapat mengharapkan jamuan dari pihak lain, meskipun biasanya disetiap Kademangan mereka selalu disambut baik. Dengan kelengkapan tempur, maka sekelompok prajurit telah meninggalkan Jati Anom, dipimpin oleh seorang perwira yang mulai menginjak diusia pertengahan. Namun wajahnya nampak cerah dan gembira seperti wajah anak-anak muda. Perjalanan itu bukannya yang pertama kali dilakukan oleh perwira diusia pertengahan itu. Sebelumnya ia pernah melakukannya bersama kelompok lain. Baginya perjalanan demikian itu adalah perjalanan yang menyenangkan. Mereka akan dapat bertemu dengan anak-anak muda dan para pengawal dari beberapa Kademangan. Biasanya mereka akan dapat mendengar banyak ceritera, dan terutama mereka akan diterima dengan senang hati. Jika mereka singgah di Kademangan manapun juga, mereka akan disambut dengan berbagai macam hidangan. Satu atau dua ekor ayam, biasanya akan dikorbankan. “Kita akan bertamasya,“ berkata perwira itu ketika mereka meninggalkan Jati Anom. “kita akan bujana dibeberapa Kademangan. Dan kita akan bergurau dengan anak-anak muda yang gembira serta

para pengawal yang setia kepada tugas mereka.” Para prajurit yang menyertainya mengangguk-angguk. Sabungsaripun menjadi agak gembira pula. Dengan demikian, ia berharap untuk mendapatkan suasana yang baru setelah perasaannya dihancurkan oleh Agung Sedayu. Bukan saja kekalahannya, tetapi berita tentang buruk dan baik benar-benar telah menggelisahkan. Diperjalanan aku akan mengalami kesegaran. Mudah-mudahan kemudian aku dapat memikirkan persoalan yang menyangkut aku dan Agung Sedayu dengan bening. Mungkin kabar tentang buruk dan baik yang dibawanya itu, akan dapat memberikan ketenteraman hidup bagiku dimasa datang,“ berkata Sabungsari kepada diri sendiri. Sebenarnyalah, perjalanan mereka sangat menyenangkan. Matahari yang turun perlahan-lahan, dan untuk beberapa saat hinggap dipunggung bukit, memberikan kesan tersendiri dihati para prajurit itu. “He, kau lihat,“ berkata perwira yang memimpin selompok kecil itu, “langit menjadi merah layung? Anak-anak kecil dipadesan akan meneriakkan lagu layung, agar mereka tidak terkena penyakit mata yang disebarkan lewat warna merah Jingga seperti ini.” Dan sebenarnyalah, ketika mereka mendekati sebuah padukuhan kecil yang pertama setelah mereka melintasi bulak yang berbatasan dengan ujung hutan perdu, mereka mendengar anak-anak kecil berdendang bersama-sama. “Alangkah damainya hati anak-anak itu,“ berkata Sabungsari didalam hatinya. Ia melihat gadis-gadis kecil bergandengan tangan membuat lingkaran sambil memandang langit berwarna merah jingga yang tajam. Mereka mohon, agar layung dilangit tidak membuat mata mereka menjadi sakit. Tetapi biarlah orang lain sajalah yang menjadi sakit mata.” “Ah, lagu itu harus dirubah,“ tiba-tiba Sabungsari mengerutkan keningnya, “Agung Sedayu tentu tidak sependapat. Jika mereka memohon untuk tidak sakit mata itu tidak mengapa. Tetapi kenapa harus orang lain yang mengalami.” Tetapi Sabungsari tersenyum ketika ia melihat gadis-gadis kecil itu kemudian berlari-lari dan berdiri dipinggir jalan sambil melambaikan tangan mereka dan berteriak-teriak menyambut para prajurit yang lewat. Ternyata perwira yang memimpin kelompok kecil itu benar-benar seorang yang ramah. Ia menghentikan kudanya dan meloncat turun dihadapan gadis-gadis kecil itu. “Sebentar lagi gelap akan turun,“ katanya. “Tetapi sekarang belum gelap,“ jawab seorang gadis kecil.

Sambil tersenyum perwira itu berkata, “Sebaiknya kalian pulang sebelum gelap. Nanti ayah ibumu mencarimu.” “Rumah kami dekat,“ sahut salah seorang dari mereka. Perwira, itu menepuk kepala gadis kecil itu sambil tertawa. Katanya, “Meskipun dekat, tetapi lihat, setelah layung itu lenyap, maka hari akan gelap. He, kalian berani pulang sendiri?” “Kenapa tidak? “ gadis kecil yang lain menyahut. “Kami terbiasa pulang malam.” “Kenapa yang bermain disini hanya anak-anak perempuan? Dimana anak-anak laki-laki bermain?“ bertanya perwira itu. “Mereka berada disungai. Mereka menyiapkan pliridan,“ jawab seorang gadis kecil berambut panjang. “O, jadi disaat seperti ini mereka masih berada disungai?” “Ya. Sudah menjadi kebiasaan mereka. Kakakku juga pergi kesungai. Mereka membuka pliridan. Malam nanti, mereka akan menutup pliridan itu dan memasang icir untuk menangkap ikan terperosok masuk kedalam pliridan.” “Hanya anak-anak? Dimana anak-anak remaja?” “Mereka juga berada disungai. Ayah juga berada disungai,“ anak yang lain menyahut. Perwira itu mengangguk-angguk. Padukuhan yang terletak dipinggir sungai itu ternyata memberikan penghasilan sampingan bagi penghuninya meskipun terlalu sedikit untuk diperhitungkan. Tetapi perwira itu mengetahui bahwa ada tiga orang penghuni padukuhan itu yang selain petani juga seorang pencari ikan dengan jala. Dimalam hari mereka turun kesungai sampai menjelang pagi dengan jala mereka. Sejenak kemudian maka perwira itu berkata, “Sudahlah. Aku dan paman-paman yang lain akan melanjutkan perjalanan. Pulanglah segera. Ibumu tentu sudah menyalakan lampu dirumah. Mungkin ketela pohon yang tadi siang dicabut, sudah direbus. He, bahkan dengan legen. Manis sekali bukan?” Tetapi seorang gadis kecil menyahut, “Ayah tidak mencabut ketela pohon siang tadi.”

“O,“ perwira itu mengerutkan keningnya. “Kakakkulah yang menggali ubi ungu.“ anak itu melanjutkan, “dan aku mengumpulkan becicing sebakul penuh.” “Bagus,“ sahut perwira itu, “pulanglah. Tentu ubi ungu itu masih hangat.” Anak-anak itu mengguk-angguk. Sementara perwira itu telah meloncat kepunggung kudanya untuk melanjutkan perjalanan. Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Di Jati Anom anak-anak kecil juga bermain-main. Tetapi seakan-akan ia tidak mempunyai waktu untuk memperhatikannya, sehingga hatinya benar-benar menjadi gersang dan tandus. Sejenak kemudian kelompok kecil para prajurit itu meneruskan perjalanan mereka dalam tugas. Kudakuda yang tegar itu berderap dijalan padukuhan. Rumah-rumah yang mulai buram telah diterangi lampu minyak yang berkeredip disentuh angin lembut. Sabungsari mengerutkan keningnya sambil mengusap keringat yang membasahi kening. Yang dilihatnya seolah-olah merupakan masalah-masalah baru yang sangat menarik. Seolah-olah ia belum pernah melihat rumah berdinding bambu dan beratap ilalang terletak ditengahtengah halaman yang berpagar batu rendah. Yang dilalui oleh kelompok prajurit itu, bagi Sabungsari merupakan padukuhan yang tenang dan segar. Meskipun mereka hidup dalam kesederhanaan, tetapi anak-anak nampak gembira dan ramah. Kesan itu telah mempengaruhi perasaan Sabungsari. Kesegaran dan sambutan yang jujur dari anak-anak padukuhan kecil itu bagaikan titik air hujan yang membasahi hatinya yang gersang, yang semula hanya dibayangi oleh perasaan dendam dan kebencian. Diperjalanan, Sabungsari tidak banyak ikut bercakap-cakap dengan kawannya. Tetapi kawankawannyupun masih saja menyangka, bahwa Sabungsari belum dapat melepaskan diri dari suasana suram pada keluarganya, sehingga merekapun tidak mengganggunya. Ketika kuda-kuda itu kemudian berderap di bulak persawahan, maka Sabungsari berada dipaling belakang. Angan-angannya sedang melambung menerawang masa-masa lampaunya. Ia mulai menilai, apakah yang telah dilakukannya sebelunn dan disaat-saat ia mulai berkenalan dengan seorang anak muda yang bernama Agung Sedayu. Seorang anak muda yang menjadi sasaran kebenciannya dan yang akan dibunuhnya seperti janji yang pernah diucapkan saat ia berangkat dari padepokannya. Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Dalam kegelapan yang mulai turun, ia seolah-olah melihat

dirinya sendiri seperti kegelapan itu sendiri. Tetapi iapun mulai melihat lampu-lampu minyak yang menyala di rumah-rumah kecil sebelah menyebelah lorong dan di regol-regol halaman. Sabungsari mengerutkan keningnya ketika ia mendengar salah seorang kawannya mendendangkan kidung perlahan-lahan. “Aku tidak pernah melihat segi-segi kehidupan yang sebenarnya didalam lingkunganku sendiri,“ berkata Sabungsari didalam hatinya, “selama ini ternyata hatikulah yang selalu dibayangi oleh kabut dendam dan kebencian, sehingga hidup ini rasa-rasanya sangat kering dan panas.” Sambil menarik nafas dalam-dalam ia masih mendengar kawannya berdendang. Suaranya lembut meskipun tidak terlalu merdu. Ketika mereka kemudian memasuki padukuhan berikutnya, mereka sudah melihat lampu menyala digardu diujung lorong. Tetapi mereka belum melihat anak-anak muda dan para pengawal yang bertugas berada digardu itu. “Padukuhan kecil ini merupakan padukuhan yang hidup,“ berkata perwira yang berkuda dipaling depan sambil memperlambat derap kudanya, “tetapi kegemaran beberapa orang disini kurang aku sukai.” “Kegemaran apa Ki Lurah?“ bertanya salah seorang prajurit. “Sabung ayam,“ jawab perwira itu, “disini terdapat arena sabung ayam. Jika kita lewat padukuhan ini disiang hari, disaat-saat arena sabung ayam itu dipergunakan, maka padukuhan ini adalah pedukuhan yang ramai. Sementara laki-laki berkumpul diarena sabung ayam, perempuan-perempuan bekerja disawah dan pategalan bersama anak-anak mereka.” Para prajurit yang mengikutinya mengangguk-angguk. Sabungsari yang ikut mendengarkan keterangan itupun mengangguk-angguk pula. Perwira yang memimpin kelompok kecil itupun menarik kekang kudanya ketika ditikungan tiba-tiba saja ia melihat dua orang anak muda yang sedang berjalan. Dengan tiba-tiba kudanya berhenti, sehingga kuda-kudayang lain-pun terkejut dan berhenti dengan tiba-tiba pula. Kedua anak muda itu berhenti pula. Tetapi seolah-olah keduanya sudah terlalu akrab berhubungan dengan para prajurit, sehingga karena itu maka salah seorang dari mereka segera bertanya, “Apakah paman bertugas malam ini?” “Ya,“ sahut perwira itu. “Dari Jati Anom?“ bertanya yang lain.

“Ya, Aku ingin ikut duduk dan berbincang-bincang di gardu itu. Tetapi gardu itu masih kosong,“ jawab perwira itu. “Kami akan berada digardu menjelang tengah malam,“ sahut anak muda itu. “Kenapa tengah malam?” Kedua anak muda itu saling berpandangan. Namun kemudian yang seorang menjawab, “Disore hari kami sedang mencoba untuk meningkatkan kemampuan kami. Terutama para pengawal.” “Bagus sekali. Dimana hal itu kalian lakukan?” “Dirumah pemimpin pengawal padukuhan ini.” “Menarik sekali. Apakah kami dapat melihat kegiatan itu?” Keduanya termenung sejenak. Kemudian salah seorang dari mereka menjawab dengan ragu-ragu. “Malu. Kami belum dapat berbual apa-apa.” “Tidak apa-apa. Marilah. Kami akan ikut serta bersama kalian. Bukankah kalian juga akan pergi kerumah pemimpin pengawal padukuhan itu?” Keduanya masih tetap ragu-ragu. Tetapi akhirnya keduanya mengangguk. Para prajurit itupun kemudian meloncat turun dan mengikuti kedua anak muda yang berjalan itu. Dari percakapan singkat disepanjang jalan, para prajurit itu mengetahui, bahwa perkembangan disaat-saat terakhir agak kurang menggembirakan. Dipadukuhan yang tidak terlalu jauh, baru saja terjadi perampokan. “Belum ada sepekan,“ berkata anak muda itu, “sedang pada malam itu juga, dibulak panjang, diseberang padukuhan ini, telah terjadi pula penyamunan. Mungkin perampok-perampok itu pula yang telah menyamun. Kebetulan setelah mereka kembali dari merampok, mereka bertemu dengan beberapa orang pedagang yang kemalaman dijalan.” Perwira itu mengerutkan keningnya. Dengan sungguh-sungguh ia bertanya, “Apakah pernah ada peristiwa lain?” “Tidak,“ jawab anak muda itu, “peristiwa itu memang mengejutkan. Sudah lama sekali hal itu tidak terjadi. Karena itu, maka setiap padukuhan disekitar peristiwa itu terjadi, telah mempersiapkan diri.” Kedatangan sekelompok prajurit di tempat latihan para pengawal padukuhan itu memang mengejutkan. Bahkan beberapa orang pengawal justru menjadi curiga. Tetapi ketika mereka telah mendengar penjelasan, kenapa para prajurit itu tiba-tiba saja hadir ditempai latihan itu, merekapun menjadi tenang.

“Kami hanya akah melihat saja. Kami tidak akan mengganggu,” berkata perwira itu. “Tetapi kami menjadi segan,“ berkata pemimpin pengawal itu, “yang dapat kami lakukan barulah berloncat-loncatan saja. Tentu tidak akan menarik sama sekali.” “Kami ingin melihat apa adanya. Dengan demikian kami akan dapat mengetahui, apakah yang sebaiknya kami lakukan,“ jawab perwira itu. Seterusnya ia berkata, “Jika kami salah menilai yang sebenarnya itu, maka akibatnya akan dapat merugikan. Yang masih harus di bantu, kami anggap sudah terlalu cukup untuk menjaga diri sendiri.” Para pengawal itu dapat mengerti, sehingga karena itu mereka tidak merasa perlu untuk malu. Apa yang ada, itulah yang seharusnya dilihat. Agar para prajurit itu dapat merencanakan, apakah yang akan mereka lakukan kemudian. Sejenak kemudian, maka latihan-latihan itupun segera dimulai. Dimata para prajurit, maka yang dapat dilakukan oleh para pengawal itu memang baru permulaan dari olah kanuragan. Tetapi mereka sama sekali tidak menunjukkan kesan, bahwa yang dilihat itu sama sekali belum berarti. “Bagaimana menurut penilaian paman,“ bertanya pemimpin pengawal kepada perwira yang memimpin kelompok prajurit itu. “Bagus. Bagus,“ sahut perwira itu, “tetapi kalian masih harus lebih giat lagi berlatih. Kalian sudah memiliki dasar dari tata gerak olah kanuragan. Kalian harus meningkat, sehingga dengan demikian kalian akan benar-benar menjadi pelindung bagi padukuhan ini.” “Tetapi bagaimana dengan kemampuan yang sudah ada pada kami,“ bertanya seorang anak muda bertubuh tinggi kekar, “apakah dengan kemampuan kami, kami sudah cukup kuat menghadapi para perampok?” Perwira itu harus berhati-hati. Ia tidak boleh mengecewakan anak-anak muda itu. Tetapi iapun tidak boleh memberikan gambaran yang salah, seolah-olah apa yang telah mereka miliki itu sudah cukup kuat untuk dihadapkan pada kesulitan yang sebenarnya. Karena itu, maka katanya, “Seperti juga seorang prajurit, atau seorang pengawal, maka para penjahatpun mempunyai tingkatannya pula. Ada seorang penjahat yang memang baru mencoba-coba. Yang baru mulai dengan latihan-latihan dasar olah kanuragan. Tetapi ada seorang penjahat yang memiliki kemampuan seorang perwira besar. Karena itu, janganlah pernah merasa puas dengan kemanmpuan yang kalian miliki, betapapun tingginya ilmu kalian, karena kalian tidak tahu, penjahat yang manakah yang akan datang kepadukuhan ini.“ perwira itu berhenti sejenak, lalu. “maka latihan-latihan semacam ini sebenarnyalah akan banyak memberikan arti bagi kalian dan padukuhan kalian.” Para pengawal itu mengangguk-angguk. Mereka menjadi berbesar hati mendengar pendapat perwira itu, sehingga merekapun merasa lebih mantap lagi untuk berlatih disetiap hari menghadapi segala

kemungkinan yang dapat terjadi, karena mereka memang merasa tidak dapat menggantungkan diri kepada siapapun juga, kecuali kepada kemampuan para pengawalnya sendiri. Meskipun waktunya sangat pendek, tetapi perwira itu ternyata telah menyisihkan waktu untuk memberikan beberapa petunjuk langsung kepada para pengawal. Ia memberikan beberapa petunjuk yang dapat dikembangkan oleh anak-anak muda itu didalam ilmu pedang. Bagaimana cara yang benar menggenggam hulu pedang. Bagaimana menggerakkan sesuai dengan keadaan yang timbul disetiap saat. Bagaimana harus menyerang dengan ayunan, dengan tusukan dan dengan tebasan mendatar. Bagaimana menangkis dengan membenturkan senjata, merubah arah serangan lawan dan melibat senjata lawan pada suatu putaran sehingga memungkinkan senjata lawan terlepas. Dan beberapa petunjuk tata gerak pokok yang lain. “Kembangkan,“ berkata perwira itu, “lain kali aku akan lewat padukuhan ini lagi, atau salah seorang dari kami. Kami akan menilai apakah petunjuk pendek ini dapat kalian kembangkan sebaik-baiknya. Diantara kami tentu akan memberikan petunjuk-petunjuk berikutnya. Mungkin dalam olah senjata yang lain. Tombak, bindi atau trisula bertangkai panjang dan pendek. Canggah atau senjata lentur.” “Cambuk,“ tiba-tiba seorang anak muda berdesis. Perwira itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum. Katanya, “Siapakah yang pernah mendengar, bahwa cambuk dapat dipergunakan sebagai senjata yang sangat berbahaya?” “Orang-orang bercambuk dari Jati Anom itu? “ yang lain berdesis. Perwira itu tertawa. Katanya, “Ilmu itu sangat sulit. Akupun tidak mampu melakukannya. Tetapi jika orang itu lewat dipadukuhan ini. ia tentu bersedia membantu kalian.” Anak-anak muda itupun mengangguk-angguk. Sementara perwira itu berkata, “Nah, kami mohon diri. Kami akan melanjutkan perjalanan. Kami masih ingin melihat-lihat padukuhan yang lain. Kami akan melalui daerah yang baru saja mengalami bencana itu. Bencana itu terjadi, disaat prajurit yang meronda baru saja melalui padukuhan itu. Atau setelah memperhitungkan dengan saksama karena pengamatan yang tidak hanya sesaat, bahwa pada malam itu tidak ada prajurit yang meronda. Karena kami memang tidak setiap malam melalui daerah ini.” “Ya. Nampaknya merekapun mengetahuinya. Prajurit Pajang di Jati Anom hanya melalui daerah ini kira-kira sepekan sekali,“ sahut seorang anak muda. “Kami akan mempercepat gelombang perondaan itu,“ jawab perwira itu, “tetapi selebihnya, perlindungan langsung ada ditangan kalian anak-anak muda padukuhan ini. Meskipun demikian kami berpesan. jika kalian menjumpai sekelompok penjahat yang tidak mungkin terlawan jangan memaksa diri.

Mereka tentu orang-orang yang buas tanpa mengenal kasihan. Orang-orang yang demikian adalah urusan kami.” Anak-anak muda itu mengerutkan keningnya. Seolah-olah ada sesuatu yang tertahan di tenggorokan. Perwira itu seolah-olah mengetahui apa yang akan mereka katakan. Katanya mendahului, “Mungkin mereka melakukan hal itu diluar pengetahuan kami. Tetapi jika benar-benar terjadi seperti itu, maka adalah kewajiban kami untuk mengejar, mencari dan menemukan mereka. Seperti yang telah terjadi dipadukuhan seberang bulak panjang itu, maka kamipun berkewajiban mencari keterangan siapakah yang telah melakukannya. Selanjutnya kamipun bertanggungjawab untuk menemukan penjahatnya. Mungkin bukan sekelompok prajurit inilah yang harus mengejar dan mencari mereka, tetapi setelah hal ini kami laporkan kepada Senopati di Pajang, maka ia akan membuat perintah-perintah tertentu.” Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. “Nah, selamat tinggal. Salam kalian akan kami sampaikan kepada orang-orang bercambuk di Jati Anom itu,“ berkata perwira itu sambil tertawa. Ketika para perajurit itu melanjutkan perjalanan, maka di Jati Anom, yang disebut orang bercambuk itu sedang sibuk didalam sanggarnya. Dengan sungguh-sungguh Agung Sedayu sedang memberikan beberapa petunjuk kepada adik sepupunya dihadapan Kiai Gringsing dan Ki Widura yang ternyata telah ikut pergi kepadepokan kecil itu atas permintaan anaknya. Dengan sungguh-sungguh pula Glagah Putih mengikuti petunjuk-petunjuk kakak sepupunya yang memberikan beberapa contoh tata gerak, kemudian memberikan arti dan sifat dari setiap gerak itu. Glagah Putihpun kemudian harus mengulangi melakukan tata gerak itu beberapa kali. Bukan saja mengulangi gerak itu sendiri, tetapi ia harus mengerti arti dan sifatnya. Dengan beberapa contoh gerak imbangan tata gerak tandingan dan bermacam-macam penjelasan kenapa dilakukannya demikian, Glagah Putih memahami gerak itu sampai kemaknanya. Karena itu, dengan penuh pengertian ia melakukannya, karena iapun menjadi sadar, bahwa hal itu memang harus dilakukannya dalam keadaan dan hubungan peristiwa tertentu pula. Kiai Gringsing dan Ki Widura memperhatikan anak muda itu dengan saksama. Glagah Putih memang cukup tangkas, ia meloncat dengan ringan dan menggerakkan anggauta badannya dengan mantap dan berisi. Sekali-sekali terdengar ia menggeram, menggerakkan gigi dan berdesis. Tetapi sekali-sekali terdengar suaranya menghentak sejalan dengan hentakkan tangan dan kakinya. Ki Widura mengangguk-angguk ketika ia melihat Glagah Putih kemudian menghentikan latihannya pada unsur gerak yang pertama dilakukannya malam itu. Ia mengerti, bahwa Agung Sedayu masih menitik beratkan latihannya kepada penguasaan gerak untuk meningkatkan kecepatan dan tanggapan atas suatu gerak. Agung Sedayu memang membagi waktu Glagah Putih sebaik-baiknya. Disore dan malam hari, Glagah

Putih harus meningkatkan kemampuannya menguasai tata gerak, meningkatkan kecepatan gerak dan tanggapan atas gerak sampai kemaknanya. Tetapi di pagi hari, Glagah Putih harus meningkatkan kemampuan tenaganya dan kekuatannya sejalan dengan kemajuan kecepatan, penguasaan dan tanggapannya atas gerak dan maknanya. Disiang hari Glagah Putih tidak akan mendapatkan latihanlatihan khusus. Menurut rencana Agung Sedayu, di siang hari Glagah Putih akan menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari. Diantara kerjanya sehari-hari itu memang mungkin baginya untuk meningkatkan kemampuannya pada segi yang manapun. Mungkin Glagah Putih akan berjalan sejak matahari terbit menuruni tebing sungai yang curam, naik ketebing diseberang sampai beberapa kali. Mungkin ia harus menyusuri kali itu dengan meloncat dari batu kebatu, atau berkali-kali dipematang yang sempit, menimba air bukan saja untuk mengisi jambangan, tetapi untuk menambah air dibelumbang. Banyak kerja yang dilakukan untuk menambah kemampuannya dan kecepatan gerak serta keseimbangan tubuhnya. Sehingga kemampuannyapun akan luluh dalam gerak gerak naluriah sehingga dapat dilakukan pada setiap saat tanpa memikirkannya berlama-lama. Sambil mengusap keringat yang membasahi keningnya, Glagah Putih memandang Agung Sedayu, seolah-olah ingin mendapatkan kesan, apakah yang dilakukan sudah benar. Tetapi Agung Sedayu tidak memberikan tanggapan apapun. Ia segera memberikan beberapa petunjuk tata gerak yang lain dalam hubungan arti dan sifat dengan tata gerak yang pertama. “Unsur yang ketiga,“ berkata Agung Sedayu. Glagah Putih sama sekali tidak berkata apapun juga. Ia hanya memandang dengan sungguh-sungguh agar tidak kehilangan gerak yang betapapun kecilnya, karena ia mengerti, bahwa tidak ada gerak yang tidak mempunyai arti dan kepentingan dalam hubungannya dengan keseluruhan gerak. Karena itu, maka Glagah Putihpun kemudian mulai dengan tata gerak pada unsur ketiga. Ia mengerti, pada tataran kedua, ia akan mempelajari dua belas unsur tata gerak seperti yang diberitahukan oleh Agung Sedayu, setelah pada tataran pertama ia menguasai duapuluh satu unsur tata gerak dasar, yang dipelajarinya sebagian besar dari ayahnya. Tetapi yang kemudian dimatangkan pula oleh Agung Sedayu. Serta unsur yang pertama pada tataran kedua. Seperti unsur tata gerak kedua, maka Glagah Putihpun kemudian menirukan, mengerti dan memahami arti-dan sifat dari unsur tata gerak ketiga. Dengan sungguh-sungguh ia melakukan latihan, sehingga keringatnya bagaikan terperas dari tubuhnya. Pada unsur tata gerak ketiga. Agung Sedayu sudah-mulai dengan perbandingan gerak dan kemungkinan-kemungkinannya yang lebih luas, sehingga Glagah Putih menjadi semakin yakin akan arti dan sifatnya. Kenapa ia harus berbuat demikian menghadapi keadaan yang berbeda-beda tetapi dalam suasana yang serupa.

Demikianlah, Glagah Putih yang merasa dirinya telah jauh ketinggalan itu berusaha dengan sungguhsungguh untuk mempergunakan setiap saat yang tersedia untuk mengejar ketinggalannya. Namun setiap kali Agung Sedayu mengatakan, bahwa ia tidak ketinggalan sekejappun, karena masa mendatang yang panjang itu masih dapat dibentuknya dengan kerja yang sungguh-sungguh. Dalam pada itu. Kiai Gringsing memperhatikan latihanlatihan itu dengan hati yang berdebar-debar. Ia tidak mencemaskan Glagah Putih yang menurut pengamatan Kiai Gringsing akan segera dapat menyesuaikan diri dan memahami ilmu yang akan diterimanya setingkat demi setingkat. Tetapi yang dipikirkan adalah justru Agung Sedayu sendiri. Jika ia sudah bekerja keras membentuk Glagah Putih, maka waktunya tentu tinggal sedikit sekali yang dapat dipergunakan bagi dirinya sendiri. Meskipun Agung Sedayu akan dapat mempergunakan seluruh waktunya, namun hal itu akan dapat menimbulkan kesulitan bagi wadagnya. Tetapi Kiai Gringsing masih belum dapat menilai keadaan yang sebenarnya, karena semuanya baru pada permulaannya. “Mungkin setelah berjalan satu dua pekan. Agung Sedyu akan dapat menyesuaikan dirinya dengan waktu yang ada padanya,“ berkata Kiai Gringsing didalam hatinya. Bagi Ki Widura, semakin banyak waktu yang diberikan kepada Glagah Putih akan semakin baik baginya. Ia tidak mengerti, apa yang telah terjadi pada Agung Sedayu. Yang diketahuinya, bahwa diperjalanan ia mengalami kesulitan yang gawat, yang untung masih dapat diatasinya. Dalam pada itu diperjalanan rondanya, para prajurit Pajang telah menyusuri bulak panjang. Jika mereka memasuki sebuah padukuhan diseberang bulak itu, maka mereka akan sampai pada padukuhan yang belum lama berselang mengalami malapetaka. Seorang penghuni padukuhan itu telah dirampok oleh beberapa orang. Bahkan di bulak yang lain, dimalam itu telah terjadi penyamunan pula. “Kedatang kita mungkin akan mengejutkan, dan mungkin akan menimbulkan kecurigaan meskipun kita berpakaian prajurit selengkapnya, karena siapapun akan dapat memalsukan pakaian serupa ini,“ berkata perwira itu, “karena itu, sikap kitalah yang akan meyakinkan kepada mereka, bahwa kita adalah prajurit yang sebenarnya, sehingga kehadiran kita akan dapat memberikan ketenteraman kepada mereka. Bukan sebaliknya.” Prajurit-prajurit pengiringnya mengangguk-angguk. Tetapi tidak seorangpun yang merasa perlu untuk menjawab. Seperti yang mereka duga, derap kaki kuda mereka telah mengejutkan anak-anak muda yang berjagajaga digardu. Serentak mereka berloncatan turun sambil mengacukan senjata mereka disebelah menyebelah jalan didalam regol padukuhan. Perwira prajurit Pajang yang telah memperhitungkan hal itupun berhenti diluar regol. Bersama para prajuritnya merekapun turun dari punggung kuda.

“Apakah kalian mengenal kami?“ bertanya perwira itu.

Buku 123 SEORANG anak muda yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan, yang agaknya pemimpin pasukan pengawal padukuhan itu, maju kedepan regol. Dibawah cahaya lampu obor ia memperhatikan kelima orang prajurit yang berdiri termangu-mangu diluar regol padukuhan. “Apakah aku berhadapan dengan prajurit Pajang di jati Anom?“ bertanya anak muda yang bertubuh tinggi itu. “Ya. Kami adalah petugas dari Jati Anom. Kami malam ini mendapat giliran meronda didaerah ini dan sekitarnya,“ jawab perwira itu. Nampak keragu-raguan membayang diwajah anak-anak muda itu. Namun kemudian anak muda bertubuh tinggi itu berkata, “Silahkan, silahkan memasuki padukuhan kami.” “Prajurit-prajurit itupun kemudian memasuki regol padukuhan. Atas perintah perwira itu, maka prajurit-prajurit itupun singgah sejenak digardu perondan. “Kami sudah mendengar peristiwa yang terjadi di padukuhan ini,“ berkata perwira itu. “Apakah laporan kami sudah sampai ke Jati Anom ?“ bertanya pemimpin pengawal itu. Perwira itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata berterus terang, “Kami tidak mendengar atas laporan yang kalian sampaikan ke Jati Anom. Tetapi kami mendengar dari padukuhan sebelah.” “O, bukan maksud kami, bahwa kami telah melaporkan ke Jati Anom. Kami telah melaporkan ke Kademangan Klebak. Seterusnya, aku tidak tahu, apakah laporan itu sudah diteruskan,“ jawab anak muda itu. Perwira prajurit Pajang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mengusut laporan itu lebih jauh. Yang kemudian ditanyakannya adalah peristiwa yang telah terjadi itu sendiri. Dari anak-anak muda padukuhan itu, para prajurit mendengar dengan jelas, apakah yang telah terjadi. Orang yang mengalami itupun dapat menyebut, wajah-wajah yang keras dan mengerikan, serta ujungujung senjata yang mendebarkan jantung ditangan mereka. Diluar sadarnya, tiba-tiba saja Sabungsari mengangguk-angguk. Seolah-alah ia menemukan hubungan antara ceritera itu dengan ceritera para pengikutnya yang tentu masih menunggu perintahnya di Jati Anom. “Apakah yang telah melakukannya itu orang-orang dari Pesisir Endut atau orang-orangnya Carang Waja,“ desis Sabungsari didalam hatinya. Tetapi ia tidak mengatakannya kepada siapapun juga.

Namun bahwa hal itu sangat menarik perhatiannya, justru karena orang-orang Pesisir Endut telah membunuh salah seorang dari pengikutnya. Dengan saksama para prajurit itu mendengarkan ceritera tentang perampokan itu. Merekapun dapat menyebut, beberapa orang korban yang mati terbunuh dalam usaha mereka mempertahankan milik mereka, ketika mereka disamundi tengah-tengah bulak yang sepi. Perwira yang memimpin kelompok kecil prajurit Pajang itupun menjadi tegang. Ia sadar, bahwa prajurit Pajang di Jati Anom tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya. Mereka tidak dapat mengatakan, bahwa hal itu adalah tanggung jawab para pengawal padukuhan. Apalagi bencana yang terjadi di bulak panjang itu. Tetapi iapun menyadari, bahwa Pajang tidak mempunyai cukup prajurit untuk setiap saat mengawasi segala bulak didaerah Selatan. Dari Jati Anom, Tambak Wedi dilereng Gunung Merapi, Daerah Wit Manca Warna, kemudian turun ke daerah Cangkring. Sambojan, Temu Agal dan Alas Tambak Baya. Kemudian menyusur ke Timur, melewati daerah Prambanan, Tlaga, Kali Asat menyusur lebih ke Timur. Benda, Sangkal Putung dan daerah disepanjang Kali Opak keselatan sampai kepesisir. Prajurit itu menarik nafas alam-dalam. Desisnya, “Tidak mungkin. Tetapi Senapati Prajurit Pajang di Jati Anom tidak dapat menjawab bahwa itu bukan tanggung jawabnya.” Anak-anak muda yang berada didalam gardu itupun mengerti, bahwa perwira itu memperhatikan keadaan padukuhan mereka dengan sungguh-sungguh. Dan merekapun menyadari, bahwa tugas para prajurit itu cukup banyak sehingga mereka tidak akan dapat menunggui padukuhan demi padukuhan. “Ki Sanak,“ berkata perwira itu kemudian, “kami tidak akan ingkar akan kewajiban kami. Tetapi kalian harus mengetahui, bahwa tidak mungkin kami harus ada disegala tempat untuk menghadapi kemungkinan semacam ini. Karena itu, adalah sudah benar bahwa kalian, seperti padukuhan yang lain, berusaha meningkatkan kemampuan para pengawal. Apakah ada diantara kalian yang dapat memimpin peningkatan itu ?” “Dipadukuhan ini ada seorang bekas prajurit. Meskipun usianya sudah lanjut, tetapi ia masih dapat membimbing kami dengan baik,“ jawab salah seorang anak muda. “Bagus. Lakukanlah sebaik-baiknya. Tetapi lebih daripada itu, jika hal itu terjadi lagi, usahakanlah untuk mengenal ciri-ciri mereka. Dengan demikian, kita akan mendapat petunjuk, kemana kita harus mencari orang-orang itu.” “Masuk kesarang mereka ?“ bertanya salah seorang anak muda. “Ya,“ jawab perwira itu. “Untuk membunuh diri ? “ geram yang lain. “Jika kalian merasa demikian, jangan pergi. Bukan karena kalian penakut. Tetapi sebenarnyalah bahwa kalian harus mawas diri. Dalam hal yang demikian, berikan petunjuk kepada kami, para

prajurit. Kamilah yang akan memasuki sarang mereka,“ jawab perwira itu. Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara itu Sabungsaripun menjadi berdebar-debar. Seolah-olah ia melihat jalan yang mulai terbuka. Jika ia pergi ke Pesisir Endut, maka ia akan datang sebagai seorang prajurit yang melakukan tugas keprajuritan. “Mudah-mudahan pada suatu saat, ada satu dua orang yang mengenal ciri mereka, orang-orang Pesisir Endut. Atau bahkan mendengar mereka sesumbar dan menyebut diri mereka sendiri.” Tetapi hal itu merupakan rahasia pribadinya, Ia tidak akan mengatakan kepada siapapun juga. Kepada pemimpinnya itupun tidak. Dalam pada itu, setelah berbicara beberapa lamanya, maka para prajurit itupun meneruskan perjalanan mereka. Mereka memasuki padukuhan-padukuhan besar dan kecil yang mereka lalui. Pada umumnya para pengawal padukuhan itu sudah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan, karena gangguan yang pernah terjadi. “Ada juga baiknya,“ tiba-tiba salah seorang prajurit berdesis ketika mereka menyusuri bulak panjang perlahan-lahan. “Kenapa,“ pemimpinnya bertanya. “Yang terjadi itu seolah-olah telah membangunkan anak-anak muda disetiap padukuhan. Selama ini mereka seakan-akan telah tertidur nyenyak. Kini mereka harus bangkit dan melihat kenyataan,“ jawab prajurit itu. “Dari satu segi,“ sahut prajurit yang lain, “tetapi hal itu telah menimbulkan kegelisahan dan kecemasan. Segi itulah yang tidak baik. Apalagi telah jatuh korban jiwa di bulak-bulak panjang itu, sehingga kegelisahan itu telah membendung arus barang dari satu tempat ke tempat lain. Biasanya mereka berjalan dimalam hari. Sejuk dan tidak terlalu ribut disepanjang jalan. Tetapi kini mereka harus membawa barang-barang mereka di siang hari.” Yang lain tidak menjawab. Keduanya mempunyai alasan sesuai dengan sudut pandangan masingmasing. Namun perwira itu akhirnya berkata, “Bagaimanapun juga, tetapi tentu lebih baik jika daerah ini tetap tenang dan tenteram. Persoalan yang menyangkut pemerintahan itu telah menimbulkan persoalan yang cukup gawat. Untunglah, bahwa tidak banyak berpengaruh terhadap orang kebanyakan. Tetapi sebagian dari mereka tentu pernah digelisahkan oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi akibat memburuknya hubungan antara Pajang dan Mataram. Apalagi dengan kejahatan-kejahatan yang langsung menikam jantung ketenteraman hidup orang kebanyakan.” Para prajurit itu tidak menjawab. Merekapun menyadari seperti yang dikatakan oleh perwira itu.

Bahkan Sabungsari yang sebenarnya mempunyai kepentingan langsung dengan hubungan yang memburuk itu hanya menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar sepenuhnya apa yang telah dilakukan oleh ayahnya. Ia sadar sepenuhnya untuk apa ia menjadi seorang prajurit. Tentu bukan karena keinginannya mengabdikan diri kepada Pajang. Tentu bukan karena ia ingin mendapat gaji atau mengharap kelak akan dapat meningkat dan menjadi orang yang berpangkat. Sebagai anak Ki Gede Telengan ia memiliki kemampuan melampaui perwira yang kini memimpinnya. Tetapi dengan yang menuntutnya ke Jati Anom itu tiba-tiba saja telah pudar ketika ia melihat kenyataan tentang Agung Sedayu. “Apakah dengan demikian, aku akan tetap menjadi seorang prajurit,” bertanya Sabungsari kepada diri sendiri. Namun tiba-tiba saja seakan-akan ada yang mengikatnya didalam kalangan yang semula tidak disukainya itu. Samar-samar ia melihat, bahwa didalam dunianya itu, ia akan dapat berbuat sesuatu dengan ilmunya, sehingga ilmunya itu tidak akan terpendam sia-sia. Tetapi segalanya masih tetap samar-samar bagi Sabungsari. Ia masih belum menemukan kemantapan sikap. Meskipun demikian, ia mulai melihat satu arah yang dapat ditempuhnya. “Aku memang harus memikirkannya baik-baik,“ berkata Sabungsari didalam hatinya, “sikap Agung Sedayu rasa-rasanya menimbulkan persoalan khusus didalam diriku. Aku tidak mati dalam perang tanding dipinggir sungai itu. Tetapi seperti yang diharapkan oleh Agung Sedayu, bahwa Sabungsari yang lama itu akan mati dan lahir Sabungsari yang baru, bukan jasmani, tetapi rohani.” Dalam pada itu, sekelompok prajurit itu masih terus dalam perjalanan tugasnya. Dari padukuhanpadukuhan yang lain, merekapun mendengar banyak persoalan yang akan dapat dijadikan laporan kepada pimpinan prajurit Pajang di Jati Anom. “Rasa-rasanya, memang ada sekelompok orang yang mulai mengintai daerah ini,“ berkata pemimpin kelompok kecil prajurit itu, “hampir setiap padukuhan melaporkan, bahwa mereka pernah melihat orang-orang yang mencurigakan dimalam hari. Bukan orang-orang yang lewat membawa barangbarang yang akan dijual dipasar, sehingga mereka berjalan dimalam hari agar saat fajar menyingsing, mereka sudah dapat mulai menjual dagangannya. Tetapi orang-orang yang nampaknya akan dapat menumbuhkan ketidak tenangan.” Meskipun demikian, pemimpin prajurit itu masih belum dapat mengambil kesimpulan. Ia masih harus lebih banyak melihat dan mendengar dari anak-anak muda dipadukuhan-padukuhan berikutnya. Selain dari orang-orang yang mencurigakan itu, diperjalanan itu pula para prajurit mendengarkan minat terbesar dari anak-anak muda disatu padukuhan. Ada yang berminat besar pada olah kanuragan, sehingga segenap kegiatan dipadukuhan itu ditujukan untuk meningkatkan kemampuan olah kanuragan. Tetapi ada juga padukuhan yang banyak tertarik tentang peningkatan usaha pertanian. Mereka lebih banyak memikirkan peningkatan alat-alat pertanian,

sehingga anak-anak muda dipadukuhan itu telah mengusahakan agar beberapa pande besi dapat membuat alat-alat pertanian, meskipun mereka akhirnya juga didorong untuk membuat senjata-senjata yang dapat dipergunakan setiap saat untuk menjaga padukuhan mereka. Malam itu, kelompok kecil prajurit Pajang itu mengakhiri perjalanan mereka sampai di kademangan Cluntang. Mereka diterima bukan saja oleh para peronda di Kademangan. Tetapi ternyata salah seorang dari para peronda itu telah menyampaikan kehadiran sekelompok kecil prajurit itu kepada Ki Demang di Cluntang. “Kami senang sekali melihat kehadiran para prajurit di Kademangan kami yang kecil,“ berkata Ki Demang di Cluntang, “kedatangan kalian mendatangkan ketenangan dihati kami.” “Terima kasih,“ jawab pemimpin prajurit itu, “Yang kami lakukan adalah tugas yang memang harus kami pikul.” “Kami mempersilahkan kalian singgah tidak hanya sebentar di Kademangan ini. Mungkin sehari, mungkin lebih.” Pemimpin prajurit yang meronda itu tertawa. Jawabnya, “Kami mengucap terima kasih. Tetapi kami terikat kepada tugas kami. Besok kami terus meneruskan perjalanan kami, mengelilingi beberapa Kademangan lagi. Menjelang pagi kami sudah harus kembali ke Jati Anom.” “Perjalanan kalian dapat ditambah dengan semalam lagi,“ berkata Ki Demang. “Sayang Ki Demang,“ jawab pemimpin prajurit itu, “pada hari ketiga kami harus melaporkan diri kepada pimpinan prajurit Pajang di Jati Anom.” Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, “Sayang sekali. Tetapi apaboleh buat. Kami tentu sudah merasa beruntung, bahwa besok kalian akan dapat melihatlihat Kademangan kami sehari penuh, sebelum kalian melanjutkan perjalanan.” “Terima kasih Ki Demang. Kami akan meneruskan perjalanan menjelang senja. Kami sengaja ingin melihat kehidupan malam didaerah ini,” jawab pemimpin prajurit itu. “Nah, jika demikian,“ berkata Ki Demang, “silahkan kalian beristirahat digandok. Kalian masih sempat tidur barang sekejap.” “Tetapi langit sudah nampak cerah,“ berkata pemimpin prajurit itu. “Tidak mengapa. Kalian masih dapat tidur sekejap. Bukankah kalian tidak mempunyai tugas yang harus kalian lakukan pagi sekali,“ bertanya Ki Demang.

Para ptajurit itu saling berpandangan sejenak. Namun merekapun kemudian tidak berkeberatan ketika dipersilahkan untuk masuk kegandok, kesebuah bilik yang cukup besar dengan sebuah amben bambu yang besar, cukup untuk tempat berbaring kelima orang prajurit itu sekaligus. Tetapi para prajurit itu tidak semuanya segera berbaring dan tidur mendekur. Dua diantara mereka harus tetap terjaga meskipun mereka rasa-rasanya berada ditempat yang aman. Meskipun terasa betapa kantuk dan lelah setelah berkuda hampir semalam suntuk, namun dua diantara mereka, masih harus duduk bersandar dinding sambil bertahan. Sekali-sekali kepala mereka terangguk diluar sadar. Namun merekapun segera tersandar kembali akan tugas mereka. Tetapi ternyata kawan-kawan merekapun tidak dengan sengaja menghukum keduanya. Demikian kedua orang prajurit yang lain, sempat memejamkan mata barang sejenak, maka merekapun segera terbangun dan memberi kesempatan kepada kedua orang kawannya itu untuk berbaring. “Tidak ada yang perlu dicemaskan,“ berkata pemimpin kelompok kecil itu, “tidurlah. Aku akan berjaga-jaga. Aku memang tidak terbiasa untuk tidur setelah langit menjadi terang. Tetapi bukan berarti bahwa kalian pun tidak boleh tidur pula.” Agaknya prajurit-prajurit itu memang merasa lelah, apalagi mereka telah merasa aman, sehingga karena itu, maka merekapun segera lelah tertidur dengan nyenyak, sementara pemimpin mereka duduk dipembaringan sambil bersandar dinding. *** Pada saat yang sama, Agung Sedayu di padepokannya telah berada di halaman pula ketika langit menjadi merah. Sebelum ia mulai dengan kerjanya sehari-hari, Agung Sedayu memerlukan berjalan mengelilingi padepokannya, justru diluar dinding. Ia sengaja belum membangunkan Glagah Putih, karena pada saatnya anak itu biasanya akan terbangun sendiri. Sambil berjalan berkeliling. Agung Sedayu mulai memikirkan dirinya sendiri. Ia masih belum ingin mulai dengan isi kitab Ki Waskita. Sambil berjalan-jalan ia baru menganyam angan-angan, apakah yang sebaiknya akan dilakukannya. Ia sadar sepenuhnya, untuk mulai dengan mencari makna isi kitab itu, ia benar-benar harus bersiap lahir dan batin. Sedangkan yang dilakukannya itu barulah sekedar mempersiapkan dirinya. Ia sadar, bahwa jika Glagah Putih berkeras untuk dengan cepat meningkatkan ilmunya, itu berarti bahwa setiap hari ia akan memberikan tuntunan kepada anak muda itu sampai jauh malam. Jika ia ingin mempergunakan waktu menjelang dini hari, maka waktunya untuk beristirahat di malam hari akan menjadi sangat pendek.

Dengan demikian, ia harus benar-benar memperhitungkan kemampuan jasmaniahnya menghadapi kerja yang sangat berat itu. “Sebaiknya aku dapat menyisihkan waktu satu atau dua hari dalam seminggu,“ berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri, “aku akan memberikan tuntunan kepada Glagah Putih ampat kali dalam satu minggu, sementara aku akan mempergunakan tiga kali. Sedangkan disiang hari, aku dapat memberikan kesempatan sepenuhnya kepada Glagah Putih dengan latihan-latihan ringan.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Seolah-olah ia sudah menemukan ketentuan yang pahng baik yang dapat dilakukan. “Aku tidak akan memaksa diri untuk memeras tenaga tujuh hari penuh dalam seminggu. Aku dapat mengurangi waktu bagi diriku sendiri karena aku tidak perlu tergesa-gesa.“ ia masih membuat pertimbangan-pertimbangan baru. Namun yang penting bagi Agung Sedayu adalah melihat dirinya sendiri dengan segala yang ada padanya. Kemudian melihat ilmu yang tersirat dari kitab Ki Waskita. Ia harus melihat perpaduan yang luluh dari pada keduanya. Yang baru harus dapat mempertajam yang telah ada serta mengisi ruangruang kosong sehingga benar-benar menjadi mampat padat dalam perpaduan yang menyatu. Ketika Agung Sedayu berjalan untuk ketiga kalinya melalui regol halaman padepokan kecilnya, maka ia sudah mendengar suara sapu lidi dihalaman. Karena itu, maka iapun kemudian membelok memasuki regol halaman padepokannya. Ia terhenti dipintu ketika ia melihat Glagah Putih sudah mulai membersihkan halaman dengan cara yang diajarkannya. Sambil tersenyum Agung Sedayu melangkah mendekatinya. Katanya, “Bagus. Kau harus melakukannya setiap hari.” Glagah Putih mengangkat wajahnya. Ketika ia melihat Agung Sedayu, ia bertanya, “Kakang dari mana ?” “Berjalan-jalan,“ jawab Agung Sedayu, “aku berjalan mengelilingi padepokan. Ketika aku terbangun dini hari. aku tidak dapat memejamkan mata lagi. Karena itu, akupun mulai berjalan-jalan.” “Kakang tidak membangunkan aku,“ desis Glagah Putih, “aku ingin ikut berjalan-jalan.” “Kau tentu letih. Semalam kau memeras keringat dalam latihanmu setelah beberapa lamanya kau beristirahat meskipun tidak mutlak,“ jawab Agung Sedayu. “Aku memang letih. Tetapi berjalan-jalan akan memberikan kesegaran tersendiri,“ sahut Glagah Putih. Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Baiklah, lain kali kau akan aku bangunkan.”

Glagah Putih tidak menyahut lagi. Ia melanjutkan kerjanya, menyapu halaman dengan cara yang khusus, sehingga bekas sapu lidinya nampak tanpa diselingi oleh bekas telapak kaki, karena ia menyapu sambil melangkah mundur. Sementara itu. Agung Sedayupun segera pergi ke pakiwan. Sebentar kemudian terdengar derit senggot timba. Dalam pada itu, seisi padepokanpun telah terbangun pula. Di ujung hari yang baru itu, mulailah padepokan kecil itu dengan kesibukannya sehari-hari, sementara Agung Sedayu masih harus menyusun urutan waktu yang sebaik-baiknya dihari-hari mendatang. Kiai Gringsing dan Ki Widura, telah sibuk pula dengan kerjanya masing-masing. Tetapi keduanya mempunyai tanggapan yang berbeda atas sikap Agung Sedayu, karena Kiai Gringsing mengetahui keadaan Agung Sedayu seluruhnya, sementara Ki Widura hanya dapat melihat sebagian yang menyangkut anaknya. Ia tidak mengerti, bahwa telah terpahat didinding angan-angan Agung Sedayu seluruh isi kitab yang dimiliki oleh Ki Waskita, sehingga iapun tidak membayangkan, bahwa Agung Sedayu akan memerlukan waktu khusus untuk memahami isi kitab itu. Namun baik Kiai Gringsing maupun Agung Sedayu tidak terlalu memikirkan kehadiran Ki Widura. Ia tentu tidak akan terlalu lama berada dipadepokan itu, karena ia harus kembali ke Banyu Asri dua atau tiga hari kemudian. Dihari itu, tidak banyak yang harus dilakukan oleh Glagah Putih menurut petunjuk Agung Sedayu. Bahkan hampir tidak ada bedanya dengan hari-hari yang lain. Glagah Putih masih belum merasakan bahwa yang dilakukan dalam kerja sehari-hari itupun merupakan latihan-latihan tersendiri bagi kemampuan tenaga jasmaniahnya. Namun Agung Sedayu sudah memberikan pengantar bagi hari itu, “Kau tidak perlu terlalu tergesagesa. Jika kau belum melihat sesuatu yang dapat meningkatkan kemampuanmu itu bukan berarti tidak sama sekali.” Glagah Putih mengerutkan keningnya. Meskipun ia tidak mengatakan sesuatu, namun seolah-olah Agung Sedayu mendengar debar jantung Glagah Putih yang mengeluh, “Lamban sekali. Sampai tua aku belum akan mencapai apapun juga.” Meskipun sebenarnyalah bahwa Glagah Putih telah mengeluh didalam hatinya, tetapi Agung Sedayu tidak mengatakan sesuatu. Dibiarkannya Glagah Putih merasa kecewa, karena Agung Sedayu yakin, bahwa pada saatnya perasaan kecewa itu akan hilang. Latihan dalam rangka pembinaan ilmu kanuragan bukan kerja sehari dua hari. Jika pada hari-hari yang pertama nampak terlalu bersungguh-sungguh maka semakin lama bukannya justru semakin meningkat, tetapi sebaliknya, semakin lama menjadi semakin kendor, dan akhirnya seperti lampu yang kehabisan minyak,“ berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri. Dan sikap itulah yang dipegangnya untuk pedoman.

Pada hari itu, ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih pergi kesawah, maka mereka telah singgah sejenak ditepian sungai berpasir dan berbatu-batu. Tidak ada yang mereka lakukan selain berjalan menyusuri sungai itu. Tetapi mereka tidak melalui tepian berpasir dan berjalan disela-sela batu-batu yang berserakan. Yang mereka lakukan adalah berjalan diatas batu-batu besar itu. Mereka berloncatan dari batu kebatu. Di permulaan latihan-latihannya, di Sangkal Putung, Agung Sedayupun melakukan hal itu. Swandaru hampir tidak telaten denggan latihan-latihan yang demikian. Namun ternyata bahwa latihan-latihan serupa itu sangat berguna bagi keseimbangan dan keteguhan kakinya. Jika semula mereka memilih batu-batu yang kesat, pada saatnya mereka akan mencari batu-batu yang berlumut. Yang licin dan permukaannya tidak datar atau miring. “Mudah-mudahan Glagah Putih tidak menjadi jemu,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Mula-mula Glagah Putih memang tidak mengerti maksud kakak sepupunya. Namun ketika terasa beberapa kesulitan, justru ia mulai tertarik pada permainan yang demikian, sehingga karena itulah, maka iapun kemudian melakukannya dengan bersungguh-sungguh. Beberapa saat kemudian mereka menyusuri sungai itu, mereka telah sampai ketempat yang hampir tidak pernah disentuh kaki seseorang karena tebingnya yang dalam dan terjal berpadas. Tetapi Agung Sedayu tidak berhenti. Ia berjalan terus meloncat dari batu kebatu diikuti oleh Glagah Putih. “Diseberang tebing yang terjal ini kita akan meloncat naik,“ berkata Agung Sedayu, “kemudian kita akan menyusuri padang perdu sejenak. Jika kita sampai diujung bulak, maka orang-orang akan bertanya, kenapa kita melalui jalan itu justru karena sawah kita terletak diujung yang lain dari bulak itu.” “Mereka tidak akan bertanya apa-apa,“ jawab Glagah Putih. “Belum tentu,“ sahut Agung Sedayu sambil meloncat terus, “mereka tentu heran. Jika kita sekedar pergi kesungai, kita tidak akan sampai ketempat ini.” “Jadi ?“ bertanya Glagah Putih. “Apakah tidak sebaiknya kita kembali dan naik ketempat kita tadi turun kesungai.” Glagah Putih tiba-tiba berhenti. Kedua tangannya menekan punggungnya sambil menggeliat, “Kita akan meloncat-loncat lagi ?” “Ya,“ jawab Agung Sedayu. “Aku lelah sekali,“ desis Glagah Putih.

“Bagus,“ sahut Agung Sedayu, “kelelahan adalah pertanda bahwa kakimu mulai mengalami latihanlatihan betapapun sederhananya.” Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi dipandanginya batu-batu yang berserakan. Sungai yang berkelokkelok dan pasir yang membentang ditepian. “Jika kau lelah sekali, kita akan berjalan diatas pasir,“ berkata Agung Sedayu. Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi iapun kemudian turun diatas pasir dan berjalan menyusuri sungai itu kearah yang berlawanan. Namun beberapa langkah kemudian, rasa-rasanya ada yang memaksanya untuk meloncat keatas sebuah batu. Kemudian kembali ia berloncatan meskipun tidak secepat saat mereka mulai. Memang tidak begitu menarik. Yang diinginkan oleh Glagah Putih adalah latihan-latihan yang langsung terasa meningkatkan ilmunya. Namun ia tidak bertanya kepada Agung Sedayu. Meskipun didalam hati ia seolah-olah mengeluh, “Jika yang aku lakukan hanyalah sekedar berloncatan dan berlari-lari sepanjang hari, ditambah dengan menyapu halaman dengan cara yang aneh itu, maka apakah aku akan segera dapat menguasai ilmu kanuragan.” Glagah Putih masih tetap menganggap Agung Sedayu sangat lamban. Meskipun ia tidak mengatakannya. Dalam pada itu. Agung Sedayupun melihat kekecewaan itu. Namun setiap kali Agung Sedayu berkata kepada diri sendiri, “Pada saatnya ia akan mengerti dan kekecewaan itu akan hilang dengan sendirinya.” Agung Sedayu sadar, bahwa pada umumnya seseorang telah didorong oleh suatu keinginan yang melonjak-lonjak. Namun ilmu yang mendalam, bukannya yang dengan cepat dikuasainya. Bukan pula dengan paksa dan tiba-tiba merubah kemampuan jasmaniahnya. “Malam nanti aku akan menjelaskan,“ berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri. *** Dalam pada itu, para prajurit peronda yang sedang beristirahat, ternyata mempergunakan kesempatan disiang hari untuk berbicara dengan anak-anak muda. Melihat-lihat isi Kademangan yang tidak begitu besar itu. Namun juga mendengarkan keluhan-keluhan mereka. Kademangan Cluntang memang tidak sebesar Sangkal Putung. Tetapi mereka mencoba untuk menjaga keamanan Kademangan mereka sebaik-baiknya. Namun mereka tidak dapat ingkar, bahwa kemampuan

mereka memang sangat terbatas. “Kita tidak mempunyai seorang seperti anak Demang Sangkal Putung,“ berkata Ki Demang, “anakku enam orang. Dua diantaranya laki-laki. Tetapi mereka tidak lebih dari anak-anak padesan di Kademangan ini. Meskipun mereka juga mencoba berlatih kanuragan, tetapi keduanya tidak lebih dari seorang pengawal di Kademangan Sangkal Putung. Itulah agaknya, maka justru Kademangan-kademangan lainlah yang menjadi sasaran kejahatan dihari-hari terakhir ini.” Para prajurit itu mengangguk-angguk. Mereka dapat membayangkan, bahwa para penjahat itupun mempunyai perhitungan, lebih baik merampok ditempat-tempat yang lemah daripada harus memasuki sarang serigala di Sangkal Putung. Orang-orang Kademangan Cluntang itu nampaknya mengerti pula bahwa para prajurit itu sedang merenungi Kademangan Klebak yang baru saja dilanda bencana kejahatan, sehingga daerah disekitarnya terpaksa mempersiapkan diri pula. Karena itu, maka Ki Demang di Cluntang itupun berkata, “Ki Sanak rasa-rasanya Kademangan inipun sudah tersentuh pula oleh bayangan kejahatan itu. Dua orang peronda melihat empat lima orang berjalan di bulak panjang sambil menjinjing senjata yang mengerikan. Keduanya sama sekali tidak berani berbuat sesuatu. Bahkan mereka bagaikan membeku ditempatnya. Untunglah bahwa orangorang itu tidak melihat kedua peronda yang bersembunyi sambil menggigil itu.” Para prajurit itu mengangguk-angguk. Mereka benar-benar melihat bayangan hitam didaerah Selatan yang untuk beberapa saat lamanya menjadi tenang dari kejahatan. Jika terjadi sesuatu, latar belakang dari peristiwa itu bukanlah perampokan. Namun agaknya, di hari-hari terakhir, para penjahatlah yang mulai memasuki daerah yang menjadi sangat gelisah ini. Dengan penuh perhatian para prajurit itu mendengarkan setiap keterangan tentang keadaan di setiap kademangan seperti yang dipesankan oleh Untara. Namun pada umumnya yang mereka dengar hanyalah keluhan dan kegelisahan. Ketika matahari condong ke Barat, maka para prajurit itupun segera mempersiapkan diri. Mereka akan segera melanjutkan perjalanan menuju ke Kademangan-kademangan berikutnya. Mereka akan melihat dan mendengar segala sesuatu yang berkembang disetiap Kademangan yang mereka lalui. “Kami berharap, bahwa kehadiran prajurit Pajang di setiap Kademangan dapat dipercepat jarak waktunya,“ berkata Ki Demang di Cluntang, seperti juga permintaan-permintaan yang selalu mereka dengar dari daerah-daerah yang kecemasan itu. Dengan diiringi oleh para bebahu Kademangan, maka para prajurit itupun kemudian melanjutkan perjalanan ketika matahari menjadi semakin rendah. Dipanasnya sinar matahari sore hari mereka menyusuri bulak-bulak panjang dan lewat dipadukuhan-padukuhan kecil dan besar. Sekali-sekali

mereka berhenti di gubug-gubug yang terdapat di tengah-tengah sawah jika para prajurit itu masih melihat satu dua orang yang berada didalamnya. Seperti hari yang pertama, merekapun menyusuri daerah yang luas didaerah Selatan. Mereka singgah seperlunya saja di gardu gardu. Menjelang malam prajurit-prajurit itu telah menempuh perjalanan yang cukup panjang, sehingga sekali-sekali merekapun memberi kesempatan kepada kudanya beristirahat, sementara mereka berkesempatan untuk berbicara agak panjang. Tetapi adalah diluar dugaan dan perhitungan para prajurit itu, bahwa mereka telah berada dalam pengawasan sekelompok orang-orang yang justru sedang mereka perbincangkan. Ketika para prajurit itu mulai memasuki beberapa Kademangan di malam pertama, maka telah sampai laporan kepada seorang yang dadanya dibakar oleh dendam yang tidak akan dapat dipadamkan. “Kelompok prajurit itu terdiri dari lima orang Ki Lurah,“ lapor seseorang kepada pemimpinnya. “Merekalah yang selama ini aku tunggu. Aku terlambat bertindak atas kelompok yang dua pekan yang lalu meronda didaerah ini, maka sekarang aku tidak akan terlambat lagi.“ geram pemimpinnya, “kekalahanku dari Agung Sedayu beberapa saat yang lampau telah membuat darahku bagaikan mendidih, sehingga jantungku hampir meledak. Sementara aku menunggu kesempatan disaat lain, setelah aku meningkatkan diri, maka aku akan mendapatkan sasaran-sasaran yang lain yang dapat mengurangi sakit hatiku.” “Jadi apakah yang akan kita lakukan?” bertanya pengikutnya. “Aku yakin, tanpa Agung Sedayu, Sangkal Putung tidak akan berarti apa apa. Aku berpendapat bahwa Swandaru tidak memiliki kemampuan seperti Agung Sedayu. Karena itu, aku akan memasuki Kademangan itu selagi Agung Sedayu tidak ada. Aku akan membunuh orang-orang di Kademangan itu. Untuk menunjukkan kepada para prajurit yang tentu akan melalui daerah itu pula, bahwa aku telah mampu berbuat sesuatu. Jika mereka sedang sibuk dengan mayat-mayat itu sambil mengumpat-umpat, maka aku akan hadir pula. Mereka adalah prajurit-prajurit Pajang. Mereka adalah prajurit-prajurit Pangeran Benawa. Jika aku menumpas prajurit-prajurit itu, maka berita kematiannya akan didengar oleh Pangeran Benawa. Satu dari mereka akan aku beri kesempatan hidup untuk mengenal siapakah yang telah melakukan pembunuhan itu sebagai pelepasan dendamku kepada Pangeran Benawa.” Para pengikutnya hanya mengangguk-angguk saja. Merekapun yakin bahwa pemimpinnya tentu akan dapat melakukannya. “Aku akan berada di Sangkal Putung sebelum tengah malam. Aku memerlukan waktu beberapa saat untuk membunuh seisi kademangan. Kemudian aku akan menunggu prajurit itu datang ke Kademamngan untuk melihat, betapa mereka terkejut menemukan mayat-mayat yang terserak di pendapa.” “Bagaimana jika para prajurit itu datang lebih awal, sebelum tengah malam misalnya,“ bertanya seorang pengikutnya.

“Kau tahu, berapa besarnya kemampuan seorang prajurit. Diantara mereka, mungkin akan terdapat seorang perwira yang memiliki kemampuan agak lebih baik dari prajurit-prajuritnya. Tetapi mereka tidak akan mampu mengalahkan aku,“ jawab pemimpinnya, “jika mereka hadir di Sangkal Putung sebelum aku berhasil membunuh Swandaru, maka kalian akan mempunyai pekerjaan pula. Menahan para prajurit itu beberapa saat. Kemudian, aku sendirilah yang akan membunuh mereka dengan caraku. Seperti aku katakan, seorang dari mereka akan tetap hidup untuk mendengarkan penjelasanku kepada Pangeran Benawa dan Agung Sedayu.” Para pengikutnya masih mengangguk-angguk saja. Dengan bangga mereka membayangkan. Sangkal Putung akan segera digenangi dengan darah seisi Kademangan. Tanpa Agung Sedayu, mereka memang tidak banyak berarti bagi Ki Carang Waja yang mampu mengguncang bumi. Dari para pengamatnya, Carang Waja menentukan waktu yang sebaik-baiknya yang dipilihnya. Menurut perhitungannya, dimalam kedua setelah lewat tengah malam, barulah mereka yang meronda akan sampai ke Sangkal Putung. “Sesudah aku membunuh seisi Kademangan, maka kita akan membunyikan isyarat untuk memanggil para prajurit itu jika perlu. Para pengawalku akan membunuh siapapun yang berani datang ke Kademangan, sebelum prajurit-prajurit itu yang akan terbunuh.” Para pengikutnya saling berpandangan. Mereka tidak mengerti sikap Carang Waja. Kenapa ia harus membunyikan isyarat, sehingga dengan demikian akan mengundang kesulitan yang bahkan mungkin tidak akan teratasi. Namun tiba-tiba terdengar tertawa Carang Waja meledak. Disela-sela suara tertawanya yang mengguntur ia berkata, “Kalian memang pengecut. Kalian menjadi ketakutan melihat pengawal-pengawal itu merayap mengepung kita.” Para pengikutnya tidak menjawab. “Jangan seperti cueurut. Seandainya benar hal itu aku lakukan, maka kalian akan memperoleh kebanggaan karena kalian akan dapat membunuh berapapun yang ingin kalian lakukan. Para pengawal dan prajurit yang memasuki daerah sirep yang tajam, akan kehilangan sebagian dari kesadarannya. Bahkan sebagian mereka akan tertidur nyenyak tanpa berbuat apapun juga.” Para pengikutnya menarik nafas dalam-dalam. Mereka mengerti, bahwa Ki Carang Waja mampu

menyebarkan sirep yang dapat mempengaruhi kesadaran seseorang seperti yang pernah dilakukan ketika mereka datang ke Sangkal Putung. Sayang, ternyata bahwa waktu itu Agung Sedayu berhasil mengalahkan Carang Waja, sehingga dendam justru semakin membara didada Carang Waja itu. Karena itu, maka merekapun kemudian tidak menunjukkan sikap apapun. Mereka berdaya sepenuhnya terhadap Carang Waja. Bukan saja karena kemampuannya yang melampaui kedua adiknya dari Pesisir Endut, tetapi juga perhitungannya yang tentu akan berhasil seperti yang diharapkannya. Jika beberapa saat yang lalu ia gagal, maka agaknya Agung Sedayulah yang menyebabkannya. Kini Agung Sedayu tidak ada di Sangkal Putung, sehingga karena itu, maka yang diinginkan oleh Carang Waja itu tentu akan dapat dilakukannya. Demikianlah, maka merekapun segera berangkat mendekati Sangkal Putung. Carang Waja tidak mau membicarakannya dengan orang-orang Pajang yang pernah datang bersamanya ke Sangkal Putung untuk membunuh Agung Sedayu tetapi gagal. “Aku akan melalukan atas namaku sendiri. Yang dikehendaki oleh orang-orang Pajang itu terutama adalah Agung Sedayu. Karena itu, sekarang aku tidak akan berbicara dengan mereka. Aku justru akan membuat para prajurit Pajang terkejut karena tindakanku. Terutama Pangeran Benawa. Bahkan orang-orang yang merupakan api didalam lingkungan keprajuritan Pajang itu sendiri akan terkejut mendengar apa yang telah aku lakukan. Membunuh saudara seperguruan Agung Sedayu dan prajurit-prajurit yang sedang meronda di Sangkal Putung. Aku sadar, bahwa dengan demikian aku akan mengundang dendam para prajurit Pajang yang tidak berpihak kepada mereka yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Majapahit itu. Juga dendam itu akan membakar jantung Agung Sedayu dan gurunya. Tetapi aku tidak gentar.” “Apakah kita tidak mempertimbangkan kemungkinan, bahwa Untara akan datang dengan prajurit segelar sepapan ke padepokan kita? “ tiba-tiba saja salah seorang pengikutnya bertanya. “Aku tidak peduli. Mungkin juga guru Agung Sedayu, Agung Sedayu dan orang-orang lain akan datang pula bersama mereka, atau sendiri-sendiri. Tetapi aku tidak akan menjadi dungu untuk menunggunya dipadepokan. Padepokanku akan menjadi kosong dan mereka hanya akan menemukan gubug-gubug itu. Biarlah mereka membakar padepokan itu jika mereka memang sudah menjadi gila.” Para pengikutnya hanya dapat mengangguk-angguk. Mereka tidak akan dapat memberikan kemungkinan lain kepada Carang Waja yang hatinya sudah menyala itu. Demikianlah, maka pada waktu yang sudah diperhitungkan, Carang Waja telah mengambil tempat sesuai dengan rencananya. Sebelum tengah malam, mereka akan memasuki Sangkal Putung. Mereka akan menebarkan sirep yang tajam, kemudian memasuki Kademangan dan membunuh saudara seperguruan Agung Sedayu.

Pekerjaan itu bagi Carang Waja bukanlah pekerjaan yang dianggapnya terlalu berat. Yang dilakukan itu sekedar membuat lawan-lawannya sakit hati. Agung Sedayu dan Pangeran Benawa. “Pada saatnya aku akan datang kepada keduanya. Seorang demi seorang akan aku tantang untuk berperang tanding,“ berkata Carang Waja didalam hatinya. Baginya, lima orang prajurit Pajang yang sedang meronda itu sama sekali tidak diperhitungkannya. Prajurit Pajang tidak akan lebih dari para pengikutnya. Belum lagi saudara seperguruannya. Sebelum tengah malam, maka Carang Waja dan para pengikutnya telah berada di Sangkal Putung. Mereka dengan diam-diam memasuki padukuhan induk dengan meloncati dinding padukuhan, sehingga para pengawal tidak melihat kehadiran mereka di padukuhan itu. “Kita akan melepaskan sirep,” berkata Carang Waja. “Tidak saja dengan sasaran rumah Ki Demang. Tetapi seisi padukuhan induk ini akan kita pengaruhi. Karena itu, yang dapat melakukan, bantulah aku melakukannya. Di halaman Ki Demang, aku akan melepaskan ilmu sirep yang paling tajam.” Demikianlah, maka Carang Waja dan pengikutnya mulai menebarkan ilmu mereka. Bukan saja tertuju kerumah Ki Demang Sangkal Putung, tetapi juga rumah-rumah yang lain di Kademangan itu. sampai penghuni padukuhan yang paling ujung. Dalam pada itu. Sangkal Pulung memang sudah menjadi sepi. Yang masih terjaga adalah anak anak muda di gardu-gardu. Mereka adalah para pengawal Kademangan serta anak-anak muda yang memang terbiasa berada digardu-gardu perondan. Anak-anak muda itu sama sekali tidak menyangka, bahwa bahaya telah mengintai padukuhan mereka. Meskipun mereka juga mendengar peristiwa yang terjadi di Kademangan tetangga mereka, tentang orang-orang yang berbuat kejahatan, namun Sangkal Putung terlalu percaya kepada diri sendiri. Sikap Swandaru agaknya telah menulari para pengawal di Sangkal Putung, seolah-olah Sangkal Putung sudah merupakan Kademangan yang paling kuat didaerah Selatan. Bahkan seorang anak muda pernah berkata, “Seandainya tidak ada para prajurit Pajang di Jati Anom, maka Sangkal Putung adalah Kademangan yang jauh lebih kuat dari Jati Anom. Sebenarnyalah bahwa mereka terlalu berbangga terhadap Swandaru dan Sekar Mirah. Mereka sadar, tidak ada Kademangan disekitar Sangkal Putung yang memiliki anak muda sekuat Swandaru dan Sekar Mirah. Apalagi ternyata kemudian bahwa di Sangkal Pulung ada Pandan Wangi, anak Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang menjadi isteri Swandaru. Dengan demikian, maka Sangkal Putung adalah Kademangan yang paling kuat. Mereka menganggap bahwa para penjahat tentu merasa lebih aman melakukan kejahatan diluar Sangkal Putung daripada mereka memasuki Kademangan yang wingit itu.

Meskipun demikian, Swandaru sudah memperingatkan, agar mereka yang bertugas menjadi berhatihati. Bukanlah mustahil, bahwa pada suatu saat penjahat-penjahat itu akan meraba pula pedukuhanpadukuhan di Kademangan Sangkal Putung. Namun dalam pada itu, menjelang tengah malam. Sangkal Putung ternyata telah dicengkam oleh suasana yang berbeda dengan hari-hari yang pernah lewat. Udara yang panas dan langit yang hitam tidak terasa lagi di-tubuh para pengawal. Rasa-rasanya angin malam menjadi sangat sejuk dan suara cengkerik bagaikan kidung biyung sambil mendukung anaknya yang sedang menyusu dengan mata yang mulai terpejam. Padukuhan induk Sangkal Putung telah dicengkam oleh pengaruh sirep yang sangat kuat. Para pengawal tidak dapat bertahan lagi. Dimanapun mereka berada, maka mereka telah menjatuhkan diri bersandar apa saja yang dapat menahan tubuh mereka. Mata merekapun segera terpejam, dan kesadaran mereka mulai mengabur. Demikian pula mereka yang berada dirumah masing-masing. Mereka yang masih belum tidur karena kerja yang masih harus mereka lakukan, atau perempuan-perempuan yang sedang menganyam tikar pandan yang besok ingin mereka jual kepasar untuk membeli garam, tiba-tiba saja telah terbaring diam. Udara yang aneh itu telah meraba rumah Ki Demang Sangkal Putung pula. Swandaru yang sudah tidur nyenyak dipembaringannya, sama sekali tidak mengerti, bahwa di padukuhannya telah ditebarkan ilmu sirep yang tajam. Sementara Pandan Wangi yang memang sudah hampir tertidur pula, seolah-olah telah didorong kedalam mimpi yang buram karena firasatnya. Sekar Mirahlah yang masih gelisah dipembaringan. Betapapun juga, kepergian Agung Sedayu yang sudah cukup lama tanpa pernah menjenguknya itu, telah mengusik perasaannya. Beberapa malam telah dilewatinya dengan gelisah. Bahkan ia mulai menduga-duga, apakah Agung Sedayu menjadi marah kepadanya karena sikapnya. Mungkin anak muda itu telah tersinggung karena ketidak acuhannya terhadap padepokan kecil yang sedang dibangunnya. “Tetapi ia memang terlalu menuruti kata hatinya,“ gumam Sekar Mirah kepada diri sendiri, “ia tidak mau mendengarkan pendapat orang lain. Kakaknyapun telah beberapa kali menegurnya, agar ia memilih kewajiban yang sesuai dengan kemampuannya. Tetapi agaknya Agung Sedayu memang malas. Dipadepokan itu ia dapat tidur nyenyak tanpa diganggu. Meskipun matahari telah hampir mencapai puncak langit, jika ia masih malas, ia dapat saja tidur tanpa menghiraukan hiruk pikuknya dunia disekitarnya.” Kadang-kadang jengkel yang sangat membuat Sekar Mirah hampir menangis. Namun kadang-kadang iapun menyesali sikapnya yang mungkin telah menyakiti hati Agung Sedayu.

Kegelisahannya itulah yang masih menahannya duduk dipembaringannya sambil memeluk lutut. Bahkan sekali-sekali ia turun dan berjalan mondar-mandir didalam biliknya. Ketika ilmu sirep yang tajam mulai menyentuh biliknya, maka Sekar Mirah sedang memeluk lutut dibibir pembaringan. Diluar sadarnya matanya telah terpejam. Namun tiba-tiba saja ia bagaikan didorong dari belakang dan hampir jatuh tertelungkup dari ambennya. Sekar Mirah terkejut. Untunglah ia sempat menahan tubuhnya dengan tangannya, sehingga hidungnya tidak mencium lantai. Sesaat Sekar Mirah masih sempat mengumpat. Namun tiba-tiba saja ia mulai memperhatikan suasana yang asing. Ia mula-mula sama sekali tidak merasa mengantuk. Namun tiba-tiba saja ia telah terdorong jatuh dari pembaringannya. “Ah, aku merasakan suasana yang aneh,“ desisnya. Justru karena itu, maka mulailah ia mempersiapkan dirinya menilai suasana yang dirasakannya asing. Dengan memperkuat daya tahannya, ia berdiri tegak didalam biliknya. “Tentu ada yang tidak wajar,“ desisnya. Karena itu, maka Sekar Mirahpun segera berganti pakaian. Ia tidak lagi memakai kain panjang seperti kebanyakan seorang gadis. Tetapi ia telah mengenakan pakaian khususnya. Bahkan dengan jantung yang berdebar-debar ia mengambil senjatanya. Bukan pedang atau senjatanya yang lain. Tetapi ia telah mengambil tongkat bajanya yang berkepala tengkorak kekuning-kuningan peninggalan Ki Sumangkar. Baru kemudian ia keluar dari biliknya dengan hati-hati dan berjalan kebilik kakaknya. Tetapi ia menjadi ragu-ragu. Nampaknya kakaknya suami isteri sedang tidur dengan nyenyaknya. Beberapa saat lamanya ia berdiri dimuka pintu bilik kakaknya. Namun akhirnya ia beringsut meninggalkan pintu itu. Ia ingin minta pertimbangan ayahnya. Pintu bilik ayahnyalah yang kemudian diketuknya perlahan-lahan. Tetapi ayahnya sama sekali tidak mendengarnya. Bahkan ketika ia mengetuk semakin keras, ayahnya sama sekali tidak terbangun. Dengan demikian, maka iapun yakin, bahwa memang ada sesuatu yang tidak wajar di padukuhan induk. Karena itu, maka iapun justru menjadi semakin bernafsu untuk membangunkan ayahnya. Karena ayahnya tidak segera bangun, maka perlahan-lahan ia mencoba mendorong pintu biliknya.

Ternyata pintu itu dapat dibukanya meskipun agak sulit. Suaranya yang berderak seakan-akan telah mengguncang dinding diseluruh rumah itu. Yang terbangun lebih dahulu adalah justru Pandan Wangi. Mimpinya yang sangat buruk membuatnya terkejut. Seolaholah rumah itu diguncang oleh gempa yang dahsyat, sehingga suaranya berderak semakin lama semakin keras. Ternyata ketika matanya terbuka, ia masih mendengar suara berderak itu. Beberapa saat ia hampir jatuh kembali kedalam tidur yang nyenyak. Namun suara derak yang keras, yang seolah-olah terjadi didalam mimpi itu terdengar pula. Kesadarannya yang mulai terang, telah mendorongnya untuk mengerahkan daya kemauannya untuk bangkit dari pembaringannya. Demikian ia bangkit, maka tiba-tiba saja ia telah meloncat turun. Suara berderak itu didengarnya jelas dari pintu bilik ayah mertuanya. Karena itulah, maka tiba-tiba saja ia telah menghentakkan perasaannya sehingga matanyapun terbuka selebar lebarnya dan kesadarannya-pun telah berkembang seutuhnya. Dengan tergesa-gesa ia melangkah menuju kepintu biliknya. Dengan hati-hati iapun telah membuka pintunya sambil mengintip keadaan diluar biliknya. Karena ia tidak melihat seorangpun dari sela-sela pintunya, maka iapun telah menghentakkan pintunya selebar-lebarnya sambil meloncat keluar. Pandan Wangi telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Tetapi yang dilihatnya adalah Sekar Mirah yang berdiri dimuka pintu bilik ayahnya yang dibukanya dengan paksa. Ketika ia mendengar pintu bilik kakaknya terbuka, maka iapun segera berpaling. Dilihatnya Pandan Wangi telah berdiri tegak sambil memandanginya dengan heran. “Ada apa. Sekar Mirah,“ bertanya Pandan Wangi. Sekar Mirah tidak masuk kedalam bilik ayahnya. Iapun dengan tergesa-gesa mendekati Pandan Wangi sambil berdesis, “Kau merasakan sesuatu yang asing ?” Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Namun ketika ia memperhatikan dengan sungguh-sungguh keadaannya, maka iapun mengangguk sambil berdesis, “Ya. Aku merasakan. Tentu pengaruh sirep yang tajam.” “Dimana kakang Swandaru.”

“Dengkurnya masih terdengar.” Sekar Mirah masih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Bangunkan dia.” Pandan Wangi mengangguk. Dengan tergesa-gesa ia melangkah memasuki biliknya sambil berkata, “Akupun akan berganti pakaian.” Sekar Mirah kemudian menunggu dengan gelisah diluar bilik. Sementara Pandan Wangi berganti pakaian sambil membangunkan suaminya. Agaknya Swandaru yang tidak siap menghadapi pengaruh sirep itu, merasa sangat malas untuk bangun. Betapapun Pandan Wangi mengguncangkannya, Swandaru hanya beringsut dan berputar saja. Kemudian matanya kembali terpejam. Pandan Wangi menjadi gelisah. Karena itu, maka iapun kemudian mengguncang tubuh suaminya sambil berdesis ditelinganya, “Kakang, kita telah terkena pengaruh sirep.” “He,” Swandaru membuka matanya. Sekali lagi ia mendengar Pandan Wangi dengan sengaja mengguncang kesadaran Swandaru yang mulai tumbuh, “Kita terkena pengaruh sirep. Bangunlah, ada orang jahat dipadukuhan ini.” Perasaan Swandaru mulai tersentuh. Iapun kemudian mulai mencoba mempertahankan diri dari pengaruh yang terasa mencengkam jantungnya. Daya tahan Swandaru ternyata cukup besar. Iapun segera dapat menguasai dirinya. Perlahan-lahan ia bangkit sambil mengusap matanya. “Kau menyebut pengaruh sirep ?“ bertanya Swandaru. “Ya. Perhatikan suasana dirumah ini,“ desis Pandan Wangi. Swandaru termangu-mangu. Namun iapun segera dapat mengerti, apa yang telah terjadi dipadukuhannya. Sambil menggeram iapun meloncat berdiri. Dengan kening yang berkerut ia bertanya, “He, kau justru sudah siap ?” “Ya.” “Bangunkan Sekar Mirah.” “Ialah yang membangunkan aku. Ia ada diluar.” Swandarupun kemudian menjengukkan kepalanya dipintu yang dibukanya sedikit. Dilihatnya Sekar Mirah berjalan mondar mandir dengan senjatanya ditangan. “Hati-hatilah Mirah,“ desis Swandaru.

“Cepatlah bersiap,“ sahut Sekar Mirah. Sejenak kemudian Swandarupun telah bersiap pula. Iapun telah menggenggam cambuk ditangannya, sementara Pandan Wangi telah mengenakan pedang rangkapnya dilambung sebelah menyebelah. “Apakah kita akan keluar ?“ bertanya Sekar Mirah. “Kita menunggu. Berbuatlah seolah-olah kitapun sedang tertidur nyenyak. Kita berkumpul diruang dalam,“ jawab Swandaru. Ketiga orang itupun kemudian berkumpul diruang dalam. Mereka sama sekali tidak bercakap-cakap. Mereka menunggu perkembangan keadaan. Sementara itu, Sekar Mirah memandangi kentongan yang tergantung didalam ruang itu. Kiai Gringsing pernah berpesan, bahwa jika perlu kentongan itu harus dibunyikannya. Namun agaknya Swandaru tidak sependapat. Karena itu, dengan isyarat ia menggelengkan kepalanya. Untuk beberapa saat ketiga orang itu termangu-mangu didalam ketegangan. Mereka duduk dilantai bersandar tiang-tiang rumah yang tegak dan kukuh. Ketika Sekar Mirah melihat pintu bilik ayahnya yang terbuka, maka iapun berdesis, “Bagaimana dengan ayah ?” Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi katanya kemudian, “Biarlah ayah tidur nyenyak. Tidak akan ada bahaya yang sebenarnya.” Namun Pandan Wangi menyahut, “Kakang, apakah kau ingat, bahwa beberapa saat yang lalu, kademangan ini mengalami serangan yang sama seperti yang terjadi sekarang ?” “Ya. Saudara seperguruan dari orang-orang Pasisir Endut itu,“ jawab Swandaru. “Mereka adalah orang-orang yang berbahaya. Mungkin sekarang ia datang dengan kekuatan yang lebih besar.” berkata Ptendan Wangi pula. “Jadi maksudmu ?“ bertanya Swandaru. “Kita ingat pesan Kiai Gringsing,“ jawab Pandan Wangi. Swandaru termangu-mangu sejenak. Ketika ia memandang wajah Sekar Mirah nampaknya gadis itupun sependapat dengan Pandan Wangi. Namun Swandarupun kemudian menggeleng sambil berkata, “Apakah yang kita cemaskan.” “Mungkin kau dapat melawan dalam perang tanding orang yang bernama Carang Waja itu kakang,” Sekar Mirahlah yang menjawab, “mungkin pula aku dan Pandan Wangi dapat melawan masing-masing

seorang dari mereka. Tetapi jika mereka datang bersama sepuluh orang ?” Sejenak Swandaru termenung. Ia dapat mengerti kecemasan kedua perempuan itu. Kekuatan mereka hanyalah bertiga saja. Padahal mereka tahu, bahwa Carang Waja adalah salah seorang dari mereka yang berhubungan dengan orang-orang yang mengaku keturunan dari Kerajaan Majapahit yang berhak mewarisi kebesarannya. “Kakang,“ berkata Sekar Mirah pula, “kita tidak tahu, siapa sajakah yang datang kepadukuhan ini. Apalagi jika mereka membawa pengikut yang cukup banyak. Masalahnya bukan karena aku menjadi ketakutan. Tetapi para pengawal yang tentu akan tertidur nyenyak itu, akan dapat menjadi sasaran balas dendam mereka. Terhadap orang yang sedang tidur nyenyak, mereka dapat berbuat apa saja. Tetapi jika mereka terbangun, maka akan terjadi peristiwa yang lain.” Swandaru merenung sejenak. Ia mulai membayangkan, bahwa telah terjadi pembantaian yang semenamena. Beberapa pengikut Carang Waja telah memasuki gardu-gardu, serta membunuh para pengawal yang tentu tidak akan dapat bertahan atas daya sirep yang kuat itu. Karena itu, maka iapun menjadi ragu-ragu. Bahkan iapun kemudian bangkit dan berjalan mondarmandir didalam ruang itu. Ia lupa bahwa ialah yang telah berpesan, agar mereka berbuat seolah-olah didalam rumah itu tidak seorangpun yang terbangun. Dalam pada itu. selagi Swandaru dicengkam oleh keragu-raguan, tiba-tiba saja terdengar suara bagaikan guntur meledak dihalaman, “He Ki Demang Sangkal Putung. Apakah kau mendengar ? Aku datang untuk membunuhmu dan membunuh anakmu yang bernama Swandaru. Bagiku membunuh kalian tidak akan ada kesulitannya sama sekali.” Darah Swandaru tiba-tiba saja telah mendidih. Hampir saja ia meloncat kepintu jika Pandan Wangi tidak memeganginya. “Jangan tergesa-gesa,“ desis Pandan Wangi. “Ada apa lagi Lepaskan. Aku tidak tahan mendengar suaranya.” “Tunggulah sebentar. Mungkin kita akan mendapatkan cara yang paling baik untuk mengatasi masalah ini,“ jawab Pandan Wangi. “He, sejak kapan kau menjadi penakut ?“ bertanya Swandaru. “Bukan karena kami menjadi penakut,“ Sekar Mirahlah yang menjawab, “tetapi pertimbangkan keadaan ini sebaik-baiknya.” Swandaru merenung sejenak. Namun tiba-tiba ia merasa, bahwa ia adalah orang yang bertanggungjawab. Dalam keadaan seperti itu, ia bukannya orang yang masih harus diperingatkan dan dijaga keselamatannya. Tetapi justru ia adalah orang yang menjadi sandaran seisi padukuhan induk dan bahkan seisi Kademangan Sangkal Putung.

Namun tiba-tiba saja dadanya bagaikan retak ketika ia mendengar suara diluar, “Swandaru, menyerahlah. Kami akan meletakkan mayatmu ditempat yang paling terhormat diantara mayat para pengawal yang dengan mudah, semudah memijit biji ranti, telah kami cekik di tempat selagi mereka tidur nyenyak.” “Persetan,“ geram Swandaru. “Jangan pikirkan harga dirimu semata-mata,“ desis Pandan Wangi, “tetapi bagaimana dengan para pengawal. Bangunkan mereka dengan cara apapun. Yang masih hidup, biarlah mencoba bertahan untuk hidup.” “Pandan Wangi benar,“ sahut Sekar Mirah. “Kita tidak ingin melihat darah membenjiri jalan-jalan Kademangan.” Swandaru menjadi tegang. Ia berdiri diantara gejolak perasaannya dan pertimbangan nalarnya. “Kakang, berilah kesempatan aku membunyikan tengara ini.“ minta Pandan Wangi. Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Bunyikan tengara itu setelah aku berada diluar. Bukan akulah yang membunyikannya. Tetapi kau.” “Biarlah aku yang dianggapnya penakut,“ sahut Pandan Wangi. “Bukan begitu. Tetapi aku tidak ingin dibayangi oleh anggapan yang buram terhadap diriku.” Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “berhati-hatilah kakang. Jika benar yang datang adalah Carang Waja, maka ia tentu akan datang bersama orang-orang yang telah dipilihnya dengan cermat.” Swandaru tidak menjawab. Perlahan-lahan ia berjalan mendekati pintu. Ketika tangannya telah meraba selarak, maka diluar terdengar suara, “He, cepat perempuan-perempuan cengeng. Keluarlah bersama anak yang gemuk itu, agar pekerjaanku cepat selesai. Atau kalian memaksa aku memasuki rumahmu.” Tetapi belum lagi gema suara itu hilang. Swandaru telah mengangkat selarak pintu sambil menggeram. Kemudian menghentaknya sehingga pintu itu terbuka lebar-lebar. Sejenak ketegangan telah mencengkam halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung. Sesosok bayangan yang berdiri dihalaman, memandang dengan tajamnya, seorang yang meloncat dan kemudian berdiri dipendapa. Sejenak keduanya saling berpandangan. Namun kemudian terdengar orang yang berada dihalaman itu tertawa. Swandaru pernah mengenal suara tertawa itu. Karena itu, maka iapun segera mengerahkan daya tahannya, agar jantungnya tidak rontok oleh suara tertawa itu.

Namun bagaimanapun juga, Swandaru masih merasakan hentakkan-hentakkan didalam dadanya, meskipun ia masih tetap berdiri tegak bagaikan batu karang. “Kaukah itu Swandaru ? “ terdengar orang itu bertanya. “Ya, aku adalah Swandaru,“ jawab Swandaru dengan nada dalam. Terdengar orang dihalaman itu tertawa lagi. Katanya, “Bagus. Kau memang seorang jantan, seperti saudara seperguruanmu yang sekarang sedang tidak ada di Sangkal Putung. Bukankah begitu ?” “Adanya tidak berbeda dengan adaku,“ jawab Swandaru. “Kau terlalu sombong,“ sahut orang dihalaman itu, “kau bukan Agung Sedayu. Dan kau tidak memiliki kemampuan setingkat dengan Agung Sedayu.” “Omong kosong. Guruku tidak membedakan kedua muridnya.” “Kau benar. Tetapi disamping ilmu yang diturunkan oleh seorang guru, namun murid itu sendiri akan ikut menentukan, apakah ia dapat mencapai lebih banyak dan menjangkau lebih jauh.” “Persetan. Apa maumu sekarang ? Perang tanding ?” Orang itu tertawa menghentak. Suaranya menggelegar bagaikan guntur yang meledak dilangit. Bahkan berkepanjangan tidak henti-hentinya, susul menyusul seperti hentakkan gelombang di lautan. Terasa dada Swandaru menjadi sesak. Seolah-olah dadanya telah dihimpit oleh guguran gunung anakan. Semakin lama semakin keras semakin keras. Swandaru telah mengerahkan segenap kemampuannya. Mulutnya mulai terdengar gemeretak karena giginya yang beradu. Sementara itu. Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun telah berusaha menahan diri agar mereka tidak kehilangan kesadaran. Mereka tidak mau menjadi pingsan dan tidak tahu lagi apa yang terjadi. Dalam pada itu, rasa-rasanya dada Swandaru tidak lagi dapat bertahan oleh himpitan yang menekan semakin dahsyat iga-iganya bagaikan retak dan berpatahan. Sejenak Swandaru termangu-mangu. Namun kemudian hampir diluar sadarnya, oleh kemarahan yang menghentak, maka diayunkannya cambuknya sekuat tenaganya, sehingga suaranya meledak seperti petir menyambar diatas halaman itu. Ledakan cambuk itu ternyata berpengaruh. Suara tertawa itu terdengar menurun. Demikian pula himpitan pada dada Swandaru dan kedua perempuan yang berada didalam rumah.

Swandaru merasakan pengaruh itu, Karena itu, maka ia telah mengulangi, mengayunkan cambuknya yang kemudian meledak dengan dahsyatnya, seolah-olah mengimbangi suara tertawa orang yang berdiri dihalaman itu. Orang itupun merasakan, bahwa suara tertawanya telah terganggu oleh ledakan cambuk itu, meskipun lewat getaran yang berbeda. Namun pengaruh suara itu pada indera orang lain, akan dapat membentur pengaruh suara tertawa itu pada perasaan seseorang. Sejenak orang dihalaman itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya. “Kau memang anak iblis. Meskipun kau tidak sedahsyat Agung Sedayu, tetapi kau mampu juga meledakkan cambukmu seperti petir.” “Katakan, apakah maumu sekarang,“ geram Swandaru. “Tetapi jangan cepat berbangga. Suara cambukmu tidak akan berpengaruh jika aku mulai mengguncang bumi.“ geram orang itu. “Lakukanlah jika kau ingin melakukan,“ teriak Swandaru. “Tetapi jangan menyesal. Mungkin kau akan mampu bertahan beberapa saat lamanya. Namun sementara itu, para pengawal di Sangkal Putung akan habis dibantai oleh orang-orangku dalam tidurnya. Mungkin mereka akan bermimpi buruk menjelang hanyutnya kedalam lingkungan maut sebelum mereka sadar apa yang telah terjadi.” “Licik dan pengecut,“ geram Swandaru, “kau hanya mampu menggertak saja. Atau kau ingin mempengaruhi pemusatan perlawananku atau permainanmu yang tidak berarti itu ?” “Mungkin aku kau anggap licik Swandaru. Tetapi aku tidak peduli. Aku memang berniat untuk membunuh sebanyak-banyaknya. Atau barangkali kau mau membuat perhitungan sedikit. Aku tidak akan membunuh para pengawal, tetapi kau harus bersedia mati dengan tenang dihalaman ini.” “Persetan,” Swandaru berteriak. Namun dalam pada itu, Pandan Wangi dan Sekar Mirah yang ada didalam rumah tidak sabar lagi. Mungkin orang itu tidak hanya sekedar mengancam. Orang yang licik akan berbuat apa saja untuk mempengaruhi lawannya Sehingga dengan demikian akan terjadi, pembantaian yang tidak ada batasnya. Karena itulah, maka keduanya yang menjadi semakin tegang telah bersepakat untuk memukul kentongan yang ada didalam rumah itu kuat-kuat. Apalagi pintu telah terbuka, sehingga suaranya akan dapat lepas mengumandang kesegenap penjuru. Sejenak kemudian, maka Pandan Wangi telah siap dengan pemukul kentongan. sementara Sekar Mirah berlari kepintu butulan sambil berkata, “Aku akan membuka pintu itu pula, agar suaranya dapat semakin merata.”

“Jaga pintunya, agar tidak ada orang yang sempat memasukinya.” “Aku akan membunuh siapapun yang berani melangkahi tlundak,“ geram Sekar Mirah. Pada saat Sekar Mirah mendorong pintu butulan itu, maka telah terdengar suara kentongan dalam nada titir. Demikian kerasnya, sehingga suaranya lepas mengumandang sampai kesudut-sudut padukuhan. Suara itu mengejutkan orang yang berada dihalaman itu. Sejenak ia tertegun diam. Sementara suara kentongan itupun semakin lama menjadi semakin keras. Swandaru sudah mengerti, bahwa Sekar Mirah atau Pandan Wangi pada suatu saat akan memukul kentongan itu. Namun demikian perasaannya tergetar juga. Ia sudah menduga, bahwa orang yang berdiri dihalaman itu akan berbicara tentang suara kentongan itu. Seperti yang diduga oleh Swandaru, maka sejenak kemudian orang itupun tertawa. Tetapi agaknya ia sengaja tidak melontarkan kekuatan ilmunya lewat suara tertawanya, sehingga karena itu Swandaru tidak merasakan bahwa suara tertawa itu telah menghentak-hentak isi dadanya. “Swandaru,“ berkata orang itu, “sekian lama aku berusaha mengetahui serba sedikit tentang dirimu seperti aku ingin mengetahui tentang Agung Sedayu. Ternyata bahwa yang aku dengar jauh berbeda dengan kenyataan yang aku hadapi sekarang.” Tetapi Swandarupun sudah siap untuk menjawab, “Akupun telah salah duga terhadap orang yang datang dari Pesisir Endut atau saudara seperguruannya yang bernama Carang Waja. Ia sama sekali bukan seorang laki-laki jantan. Ia adalah laki-laki yang dengan licik mempergunakan ilmu seorang pengecut, mempengaruhi lawannya dengan ilmu sirep! Bukankah itu berarti, bahwa kau dan pengikut-pengikutmu baru berani berhadapan setelah lawannya berada dalam pengaruh keadaan yang lemah, bahkan tidur sama sekali ? Dan kau nampaknya telah berbuat demikian terhadap kami di Sangkal Putung. Terhadap pengawal-pengawal Kademangan dan anak-anak muda Kademangan ini.” “O, jadi dalam perang ilmu semacam ini kau masih menganggap bahwa aku licik ? Jika demikian, apa yang dapat aku katakan tentang suara kentongan itu ?“ bertanya orang dihalaman itu. “Adikku hanya sekedar ingin memperingatkan kepada para pengawal untuk bersiaga, agar mereka sempat mempertahankan diri dari serangan licikmu,“ jawab Swandaru. Orang dihalaman itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian suara tertawanya kembali terdengar, tanpa lontaran ilmu yang menghimpit dada, “He, kau dengar ? Suara kentongan adikmu dalam nada titir itu sama sekali tidak bersambut. Apakah kau tahu artinya ? Semua orang di padukuhan induk ini telah tertidur nyenyak. Tidak seorangpun yang terbangun dan dapat menyambut suara kentonganmu.

Sementara itu, suara kentonganmu tidak terdengar dari padukuhan-padukuhan lain di luar pedukuhan induk ini.” Wajah Swapdaru menegang sejenak. Iapun mulai memperhatikan keadaan padukuhan induknya. Sepi dan mendebarkan jantung. “Swandaru. Padukuhan induk ini akan menjadi kuburan raksasa. Diantaranya adalah mayatmu sendiri,“ berkata orang yang berada dihalaman itu. Jantung Swandaru berdegup semakin keras. Ia mulai membayangkan kematian yang tersebar di padukuhan induknya. Karena itulah maka ia mulai menyesal, bahwa ia tidak pada permulaan sekali memperdengarkan peringatan itu bagi segenap anak muda di Sangkal Putung. “Apakah benar ia telah melakukannya,“ geramnya. Dalam pada itu, orang dihalaman itupun bertanya, “He, Swandaru. Kenapa kau tiba-tiba saja merenung ? Apakah yang kau renungkan ? Kematianmu sendiri ?” “Persetan,“ Swandaru menggeretakkan giginya. Bahkan kemudian iapun telah melangkah turun tangga pendapa mendekati orang yang berdiri dihalaman itu. “Bagus,“ desis orang itu, “kau memang jantan seperti kakak seperguruanmu. Kau tentu sudah siap untuk berperang tanding.” “Jangan banyak bicara. Marilah. Aku sudah siap, meskipun kau mampu mengguncang bumi,“ jawab Swandaru. Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Bagus Swandaru. Aku memang ingin berperang tanding. Kemudian membunuhmu dengan tanganku. Sebentar lagi tentu akan ada sekelompok kecil prajurit Pajang dari Jati Anom yang akan meronda sampai ketempat ini. Hal itu aku ketahui dengan pasti. Dan merekapun akan mati pula. Dengan demikian sekaligus aku dapat memancing kemarahan Agung Sedayu dan gurumu, serta Pangeran Benawa dari Pajang yang telah kehilangan prajurit-prajuritnya di Sangkal Putung. Iapun akan dapat menghubungkan kematian prajurit-prajuritnya dengan kelancangannya membunuh dua orang adik seperguruanku. Apalagi dengan sengaja aku akan membiarkan salah seorang dari mereka hidup dan melaporkan apa yang telah terjadi.” “Cukup,“ bentak Swandaru, “jika kau sudah siap. aku akan mulai.” Orang itu tertawa. Tertawa wajar. Katanya, “Baiklah. Aku akan mulai dengan kemampuan wajarku. Jika aku berhasil membunuhmu dengan kemampuan wajarku, aku tidak akan mempersulit diri dengan segala macam ilmu itu.” Swandaru benar-benar merasa terhina. Karena itu, maka iapun segera menyerang lawannya dengan ledakan cambuknya. Tetapi agaknya Swandarupun belum mempergunakan segenap kemampuannya untuk melayani lawannya.

Sejenak kemudian telah terjadi pertempuran dihalaman rumah Ki Demang di Sangkal Putung. Keduanya adalah orang-orang yang memiliki ilmu pinunjul. Namun yang seolah-olah seperti berjanji, mereka baru berusaha untuk saling menjajagi kemampuan lawannya. Dalam pada itu. Pandan Wangi masih memukul kentongan didalam rumah Ki Demang. Suaranya menyusup lewat pintu-pintu yang tebuka. Namun beberapa saat lamanya, mereka tidak mendengar suara kentonggan mereka bersambut. “Apakah para pengawal memang sudah mati,“ teriak Sekar Mirah. Pandan Wangipun menjadi berdebar-debar. Ia memukul kentongannya semakin keras. Bahkan oleh perasaan gelisah, maka yang tersalur lewat tangannya kemudian adalah kemampuan ilmunya yang memang jarang ada bandingnya. Karena itulah, maka suara kentongan itu rasa-rasanya menjadi agak berbeda. Semakin lama getarannya bagaikan telah mengguncang udara diseluruh Kademangan Sangkal Putung. “Gila,“ teriak lawan Swandaru, “yang memukul kentongan itupun tentu bukan orang kebanyakan. Tetapi jangan menyesal, bahwa kelakuannya itu akan mengundang bencana baginya.” Swandaru yang marah itupun menggeram. Iapun merasakan getaran suara kentongan yang dipukul oleh Pandan Wangi itu bagaikan memecahkan langit. Namun ia menjadi semakin gelisah pula. bahwa suara kentongan itu sama sekali tidak bersambut. Tidak ada satupun suara kentongan diseluruh padukuhan induk itu yang berbunyi. Tetapi kegelisahan lawan Swandaru itupun dapat dimengerti. Suara kentongan yang berbeda dengan suara kentongan kebanyakan itu tentu akan dapat didengar dari padukuhan lain diseberang bulak-bulak panjang. Karena itu, maka tiba-tiba saja orang itu berteriak, “He, bungkam suara kentongan itu.” Suara orang itu demikian kerasnya, sehingga terdengar dari balik pagar halaman rumah Kademangan Sangkal Putung. Tiga orang yang sedang bersembunyi itu pun kemudian saling berbisik. “Kita bertiga, atau salah seorang dari kita,“ bertanya yang seorang. “Salah seorang dari kita. Aku atau kau,“ jawab yang lain. “Aku sajalah. Kalian berdua menunggu disini. Mungkin akan datang perintah untuk benar-benar membunuh orangorang didalam gardu yang tersebar itu. Jika Ki Lurah benar benar jengkel, maka mungkin saja terjadi seperti yang dikatakan. Dan itu memang menyenangkan sekali. Membunuh orang sebanyak-banyaknya. Dua orang kita dimulut lorong inipun tentu sudah menunggu dengan gatal. Orang digardu dimulut lorong itupun tentu sudah tertidur nyenyak.” “Mereka juga harus memelihara agar pengaruh sirep ini tidak cepat lenyap. Meskipun mereka tidak memiliki ilmu yang kuat, tetapi cukup untuk mempertahankan pengaruh sirep ini agar tetap

mencengkam untuk waktu yang cukup lama,“ jawab yang lain. “Cepatlah,“ berkata yang lain pula, “kau lakukah perintah Ki Lurah. Atau aku sajalah.” Seorang dari mereka tiba-tiba saja telah meloncat. Dengan tangkasnya ia langsung berlari menuju pintu pendapa yang terbuka. Tanpa mengatakan sepatah katapun, maka ia langsung menyerang orang yang sedang memukul kentongan dengan pedang ditangan. Pandan Wangi terkejut. Justru Sekar Mirah sedang menjaga pintu butulan. Karena itu, maka ia harus berpikir dan bertindak cepat. Karena Pandan Wangi belum memegang senjata ditangan, sementara orang yang menyerangnya telah mengayunkan pedangnya, maka dengan serta merta Pandan Wangi telah menyerang orang itu pula dengan pemukul kentongan ditangannya. Dengan sekuat tenaganya. Pandan Wangi melemparkan pemukul kentongan mengarah kekepala orang yang memasuki pintu rumahnya. Tetapi orang itu melihat gerak Pandan Wangi, sehingga ia sempat meloncat mengelakkan diri, sehingga pemukul kentongan itu tidak mengenai kepalanya, tetapi menghantam uger-uger pintu. Demikian besar kekuatan tangan Pandan Wangi yang memang sedang dalam kekuatan sepenuhnya, maka uger-uger pintu Kademangan Sangkal Putung itu telah berderak retak. Orang yang memasuki rumah Ki Demang dengan pedang ditangan itu terkejut. Ia tertegun sejenak melihat pintu yang retak. Dengan demikian ia dapat membayangkan, betapa besarnya kekuatan seorang perempuan yang sedang memukul kentongan itu. “Pantas, suara kentongan itu sampai menjulang kelangit,“ katanya didalam hati. Namun dalam pada itu, kesempatan yang sejenak itu dapat dipergunakan oleh Pandan Wangi untuk mempersiapkan diri. Ketika orang itu menyadari keadaannya, dan siap untuk menyerang perempuan yang membunyikan kentongan itu. Pandan Wangi telah bersiap dengan pedang rangkapnya. Justru Pandan Wangilah yang kemudian menyerang orang itu bagaikan prahara, sehingga orang itu terdesak. Selangkah ia surut, sehingga karena itu, maka mereka berduapun kemudian telah berada dipendapa. Dengan demikian maka pertempuran itupun segera berlangsung pula dengan sengitnya. Orang yang menyerang Pandan Wangi itu dengan segenap kemampuannya ingin segera melumpuhkan lawannya. Apalagi seorang perempuan. Tetapi ternyata perempuan yang dihadapinya adalah perempuan yang lain dengan perempuan kebanyakan.

Pandan Wangi dengan pedang rangkapnya berhasil mempertahankan dirinya pada serangan yang pertama. Bahkan pada serangan-angan berikutnya. Pandan Wangi bukannya sekedar mampu mempertahankan diri. Meskipun ia tidak dengan eepat menguasai lawannya, namun ia tidak terlalu cemas menghadapi lawannya yang garang itu. Karena suara kentongan itu berhenti dan bahkan suara pintu berderak. Sekar Mirah telah dicengkam oleh kecemasan. Iapun segera berlari melihat keadaan. Ternyata bahwa Pandan Wangi telah bertempur dengan lawannya dipendapa. Sejenak Sekar Mirah termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja ia tertarik kepada kentongan yang masih bergantungan. Karena itu, tiba-tiba saja ia meloncat mendekatinya. Dengan tongkat bajanya ia telah memukul kentongan itu dengan sekuat tenaganya pula. Bunyi yang terlontar oleh suara kentongan yang dipukul dengan tongkat baja dilambari dengan kekuatan yang sangat besar itupun berbeda pula. Suaranya melengking lebih tinggi, sehingga jarak jangkaunyapun menjadi lebih jauh. Dengan nada titir, maka suara kentongan itu bagaikan telah mengoyak senyapnya malam dimuka bumi. Tetapi demikian besar kekuatan Sekar Mirah dalam kegelisahannya serta pemukul kentongan yang memang bukan alat yang seharusnya dipergunakan, maka kekuatan Sekar Mirah dengan tongkat bajanya telah melampaui kemampuan kentongan yang terbuat dari kayu itu. Karena itu, semakin lama suara kentongan itu seolah-olah menjadi semakin serak, sehingga akhirnya kentongan itu telah pecah karenanya. Sekar Mirah menghentakkan kentongan yang pecah itu dengan marah. Sekali pukul dengan kemarahan yang meluap, maka kentongan itupun benar-benar telah pecah berserakan. Orang yang bertempur melawan Swandaru dihalaman, lewat pendengarannya, mengerti bahwa kentongan didalam rumah Ki Demang itu telah pecah. Karena itu, maka sambil tertawa ia berkata, “Benar-benar luar biasa. Pemukul kentongan yang terakhir itupun mempunyai kekuatan raksasa. Ternyata bahwa di Sangkal Putung masih terdapat orangorang yang pilih tanding.” “Jangan mengigau,“ geram Swandaru yang menyerang orang itu semakin dahsyat. “Swandaru,“ berkata orang itu, “aku telah memberikan penawaran. Kau dan perempuan itu, atau berpuluh-puluh orang pengawal yang harus aku bunuh. Atau karena tingkahmu, maka semuanya akan mati.”

Swandaru tidak menjawab. Tetapi kemarahannya telah menggelegak sampai ke ujung rambutnya. “Kau tidak akan dapat mengharapkan bantuan dari siapapun juga. Suara kentonganmu tidak bersambut, berarti tidak seorangpun yang mendengarnya. Para pengawal semuanya telah tertidur. Bahkan ada kemungkinan mereka tidak akan sempat bangun kembali.“ Swandaru menggeretakkan giginya. Serangannya justru semakin garang dan cepat, sehingga suara cambuknya meledak semakin keras. Dalam pada itu, suara kentongan yang dipukul oleh Pandan Wangi dan kemudian Sekar Mirah untuk beberapa saat, memang telah tertidur. Namun demikian kerasnya suara kentongan itu, sehingga beberapa orang dipadukuhan lain telah mendengar. Tetapi mereka ragu-ragu bahwa suara kentongan itu tidak disambut dengan suara kentongan yang lain, seolah-olah yang terdengar itu bukannya suara kentongan sewajarnya. “Apakah suara itu berasal dari pohon benda dipinggir kali itu ?“ bertanya salah seorang. “Apakah kita tidak memukul kentongan pula ?“ desis yang lain. “Kau gila. Kau sangka itu suara kentongan sewajarnya. Kau dengar bunyinya yang terakir, bagaikan melengking-lengking. Suara kentongan manakah yang bunyinya seperti itu ?“ sahut yang lain pula. Orang-orang dipadukuhan sebelah padukuhan yang terdekat dari padukuhan induk itu menjadi termangu-mangu. Namun merekapun telah bersiaga sepenuhnya untuk menghadapi segala kemungkinan, meskipun sebagian dari mereka menjadi ngeri, bahwa suara itu berasal bukan dari dunia mereka. Berbeda dengan orang-orang dari padukuhan itu, maka lima orang prajurit yang sedang berada dibulak panjang-pun telah diganggu pula oleh suara itu. Salah seorang dari mereka. Sabungsari, mendengar suara kentongan itu seolah-olah lebih jelas dari kawan-kawannya. “Arahnya dari Sangkal Putung,” desis Sabungsari. “Ya,“ sahut perwira yang memimpin kelima prajurit peronda itu, “nadanya titir, nada yang paling gawat dari segala peristiwa yang menimpa padukuhan itu. Tetapi kenapa suara kentongan itu tidak bersambut.” “Apakah yang terdengar itu benar-benar bunyi kentongan,“ desis seorang prajurit yang lain. “Kau kira bunyi apa?” bertanya pemimpinnya. Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Bunyi saja. Tetapi bukan bunyi

kentongan.” “Menarik perhatian. Kita akan berbalik langsung menuju induk Kademangan,“ berkata pemimpin prajurit itu. “Benar Ki Lurah,“ sahut Sabungsari, “apapun yang akan kita lihat disana. Arah suara itu memang dari padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung.” Prajurit-prajurit yang lain tidak membantah. Mereka bukannya penakut menghadapi segala keadaan. Tetapi suara kentongan yang sendiri tidak bersambut dalam nada titir itu memang sangat mendebarkan jantung. Tetapi merekapun kemudian mengikuti pemimpinnya yang berpacu menuju ke padukuhan induk Sangkal Putung, yang semestinya akan mereka lalui di saat terakhir dari perjalanan mereka, setelah mereka melalui padukuhan-padukuhan kecil yang lain. Sementara itu, pertempuran yang terjadi di Sangkal Putung itupun semakin lama menjadi semakin dahsyat. Lawan Swandaru semakin lama menjadi semakin garang pula. Sejalan dengan itu, ledakan cambuk Swandaru menjadi semakin dahsyat pula. Dipendapa Pandan Wangi bertempur dengan tangkasnya. Pedang rangkapnya yang berputaran, seolah-olah telah berubah menjadi perisai yang tidak tertembus. Namun yang kadang-kadang mematuk seperti berpuluh-puluh ujung pedang yang memutari lawannya. Dalam pada itu. Sekar Mirahpun telah meloncat menutup pintu butulan yang telah dibukanya. Iapun menyelarak pintu itu rapat-rapat. Seterusnya ia telah meloncat pula kependapa. “Jika kau tidak berkeberatan Pandan Wangi, untuk kepentingan Sangkal Putung, biarlah aku ikut mempercepat penyelesaiannya,“ berkata Sekar Mirah. Belum lagi Pandan Wangi menjawab, maka telah meloncat sesosok bayangan yang berlari naik kependapa langsung menyerang Sekar Mirah. “Iblis betina,“ geramnya, “jangan menjadi pengecut.” “Persetan. Seisi padukuhan induk menunggu perlindungan,“ jawab Sekar Mirah, “kau akan dengan licik membunuh orang-orang yang tidak berdaya karena ilmumu, ilmu seorang pengecut.” “Itulah kelebihan kami,“ jawab orang itu, “tetapi sebenarnya sayang sekali, jika aku harus membunuh perempuan-perempuan cantik dari Sangkal Putung ini.” Orang itu hampir tidak dapat menyelesaikan kata-katanya. Tongkat baja Sekar Mirah menyambar mulutnya yang sedang

bergerak. Untunglah orang itu sempat mengelak dengan berpaling, meskipun iapun kemudian mengumpat, “Setan alas. Hampir saja kau menyobek mulutku.” Sekar Mirah tidak menjawab. Pertempuran itupun segera berlangsung dengan dahsyatnya. Swandaru melawan orang yang memiliki ilmu yang luar biasa, saudara kedua kakak beradik dari Pesisir Endut yang dibakar oleh dendam. Sementara Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun lelah mendapat lawannya masing-masing. Dalam pada itu, maka orang yang bertempur melawan Swandaru itupun menjadi semakin lama semakin garang. Ia mengerti, bahwa kedua perempuan yang bertempur dipendapa itupun memiliki kemampuan yang luar biasa, sehingga karena itu, maka kedua orang kawannya yang melawan mereka akan dapat mengalami kesulitan. Tetapi orang yang bertempur melawan Swandaru itu sama sekali tidak cemas. Ia masih mempunyai beberapa orang kawan yang cukup untuk melawan orang-orang Sangkal Putung. Dua orang diantara mereka berada dimulut lorong, sementara dua yang lain telah siap pula dibelakang rumah Ki Demang. Jika keadaan memaksa, mereka akan dapat dipanggil dengan segera untuk ikut serta dalam pertempuran yang semakin seru dihalaman. Sedangkan tiga orangnya yang lain mengawasi bulak diarah yang berbeda, ditiga tempat dipinggir padukuhan induk itu. Karena menurut perhitungan, maka akan datang lima orang prajurit dari Jati Anom yang sedang meronda. Dengan demikian, maka Sangkal Putung benar-benar berada dalam bahaya. Dengan isyarat, maka orang-orang itu dapat berbuat apa saja yang dikehendaki oleh pemimpinnya. Mereka dapat dipanggil berkumpul dihalaman. Tetapi mereka benar-benar dapat diperintahkan untuk membunuh sebanyak-banyaknya. Sementara itu pemimpin kelompok yang datang menyerang Sangkal Putung itupun mulai bersungguhsungguh dengan ilmunya. Ia sadar, bahwa kedua orang kawannya dipendapa telah mulai terdesak. Jika ia masih membiarkan pertempuran itu berlangsung terus, maka akibatnya tidak akan menguntungkan bagi orang-orangnya. Karena itu, maka dengan ilmunya, ia mulai mengganggu keseimbangan perasaan Swandaru. Sekali ia mulai menjejak bumi sambil tertawa berkepanjangan. Ternyata Swandaru benar-benar terkejut. Seperti yahg pernah terjadi, maka rasa-rasanya bumi telah berguncang, sehingga Swandarupun telah terguncang pula, seolah-olah kedua kakinya tidak dapat tegak dengan mantap. Sejenak Swandaru terhuyung-huyung. Untunglah bahwa ia tidak terjatuh, sehingga ketika lawannya dengan garangnya menyerangnya, ia masih sempat mengelak. Bahkan dengan serta merta, ia telah sempat pula menyerang lawannya yang meluncur dengan cepat. Ledakan cambuk Swandaru benarbenar telah memekakkan telinganya. Demikian kerasnya, susul menyusul.

Carang Waja harus berloncatan menghindari serangan lawannya. Agaknya Swandaru tidak mau membiarkan lawannya bersiap dengan serangannya yang mengerikan dan membingungkan. Namun ketika kemudian, lawannya sempat meloncat jauh-jauh dari ujung cambuk Swandaru, maka ia mulai berkesempatan untuk mengetrapkan ilmunya pula. Sekali lagi Swandaru merasa halaman rumahnya itu diguncang oleh gempa yang dahsyat. Demikian dahsyatnya, sehingga Swandaru menjadi bingung. Ia sadar bahwa lawannya tentu akan segera menyerangnya. Tetapi ia harus mempertahankan keseimbangannya, agar ia tidak terlempar jatuh. Kebingungan semacam itulah yang memang dikehendaki oleh lawannya. Selagi Swandaru mempertahankan keseimbangannya, maka tiba-tiba saja serangan orang itu telah meluncur menghantam seperti angin prahara. Swandaru melihat serangan yang dahsyat itu. Tetapi ia masih dalam guncangan keseimbangan yang belum teratasi. Karena itulah, maka tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan untuk menghindar, selain justru menjatuhkan diri. Lawannya tidak menyangka bahwa Swandaru yang sedang dalam goncangan keseimbangan masih sempat menghindar. Dengan geram orang itu telah gagal lagi menghantam Swandaru dengan serangan kakinya yang dahsyat. Bahkan demikian kakinya menjejak tanah, maka Swandaru yang masih terbaring ditanah, telah menyerang-nya. Ia sempat mengayunkan cambuknya, sehingga memaksa orang itu berloncatan menghindari. Kesempatan itu dapat dipergunakan oleh Swandaru untuk melenting berdiri. Bahkan ia masih berhasil meledakkan cambuknya pada serangan yang berikut. Setiap kali lawannya menghindar, maka Swandaru langsung memburunya dengan ledakan-ledakan yang dahsyat. “Anak setan,“ geram lawannya. Tetapi dengan demikian, ia mengerti, bahwa perlawanan Swandaru tentu tidak akan sedahsyat perlawanan Agung Sedayu. Karena itu, maka orang itupun akhirnya telah sampai pada suatu keputusan, bahwa ia akan segera mengakhiri perlawanan Swandaru. Apalagi ia masih mempunyai kewajiban menunggu para prajurit yang akan datang ke Sangkal Putung. Mereka akan melihat mayat Swandaru, kedua perempuan itu dan Ki Demang, terbaring dipendapa, sebelum mayat mereka sendiri akan segera terbaring pula disisinya. Karena itu, maka orang itupun segera menarik senjatanya.

Sebuah pisau yang panjang. Dengan pisau itu ditangan, maka orang itupun tertawa berkepanjangan sambil berkata, “Swandaru. Aku sudah jemu bermain-main dengan cara yang tidak menyenangkan ini. Sebentar lagi kau akan mati. Aku tidak ingin meremukkan tulang-tulangmu dengan bindi, atau memecahkan keningmu dengan tongkat baja yang meskipun tidak sedahsyat tongkat baja Sumangkar, atau menyobek dadamu dengan trisula. Tetapi aku ingin menikam jantungmu dengan belati kecil ini, sehingga mayatmu tidak akan terlalu banyak cacat dan menakutkan bagi anak-anak muda Sangkal Putung. Swandaru menjadi sangat marah. Sambil menggeram ia menyerang lawannya dengan dahsyatnya. Cambuknya meledak semakin keras. Namun lawannya masih sempat menghindar. Bahkan meloncat jauh-jauh untuk mendapat kesempatan melontarkan ilmunya yang dapat membingungkan lawannya. Tetapi Swandaru bukanlah seorang yang dungu. Iapun akhirnya mengerti, bahwa setiap kali lawannya memerlukan ancang-ancang untuk dapat mengguncang bumi dengan hentakkan kakinya dan meremas jantung dengan suara tertawanya, sehingga karena itulah, maka iapun tidak mau melepaskan lawannya untuk mendapatkan kesempatan itu. Tetapi betapapun juga Swandaru berusaha melibat lawannya, namun pada suatu saat, lawannya masih juga berhasil melepaskan diri dan mengambil jarak daripadanya. Kesempatan yang demikian selalu dipergunakannya, sehingga guncangan-guncangan yang terasa oleh Swandaru sangat membingungkannya. Jika tanah berguncang, maka Swandaru seolah-olah kehilangan keseimbangan, sehingga ia menjadi terhuyung-huyung. Serangan lawannya telah membingungkannya. Karena Swandaru tidak dapat melawannya dengan cermat karena kakinya yang seolah-olah bergetar. Karena itulah, maka semakin lama Swandarupun menjadi semakin sulit. Setiap kali ia masih dapat menyelamatkan diri dengan ledakan cambuknya. Dalam keadaan yang sulit, ia masih dapat menggerakkan tangannya sehingga ujung cambuknya berputar melindunginya, namun kadang-kadang guncangan bumi itu terasa demikian kerasnya, sehingga Swandaru itupun terlempar dan terjatuh berguling ditanah. Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun melihat kesulitan Swandaru. Merekapun merasa, bahwa tanah tempat mereka berpijak itu bergetar. Tetapi getaran itu tidak banyak mengganggu keseimbangannya, karena agak jauh. Karena itu, maka Pandan Wangi yang sempat berpikir berkata lantang, “Kakang. apakah kau terganggu oleh suaranya atau oleh getaran tanah tempat kita berpijak ?” Swandaru tidak menjawab. Ia sedang memusatkan perlawanannya pada putaran cambuknya. Sekali-

sekali cambuknya masih juga meledak dengan dahsyatnya. “Nampaknya kau telah terganggu keseimbanganmu,“ teriak Sekar Mirah, “apakah begitu ?” “Persetan,“ lawan Swandarulah yang menggeram. “Jika benar,” berkata Pandan Wangi sambil bertempur, “pengaruh itu hanyalah terasa olehmu. Kami tidak merasakan sesuatu disini. Atau jika ada, gangguan itu kecil sekali.” “Kalian juga akan mati perempuan-perempuan cengeng,“ lawan Swandarulah yang berteriak. Sementara itu pertempuranpun berlangsung semakin sengit. Pandan Wangi sempat menekan lawannya, sehingga lawannya terdesak ketangga pendapa, sementara Sekar Mirah berusaha untuk mendesak lawannya kedinding pringgitan. Ternyata bahwa kedua perempuan itu memiliki kelebihan dari lawanlawannya. Karena itu, maka mereka berusaha untuk secepatnya menyelesaikan pertempuran itu, untuk mendapat kesempatan mendekati arena pertempuran Swandaru di halaman. Tetapi agaknya Swandarupun mengalami banyak kesulitan. Ketika keseimbangannya terganggu oleh bumi yang bagaikan terguncang, dan dadanya dihentak oleh suara tertawa lawannya, maka serangan lawannya benar-benar sulit untuk dihindarinya. Dengan cambuknya ia berusaha melindungi dirinya. Namun ketika tubuhnya terdorong oleh guncangan tanah tempatnya berpijak, maka lawannya berhasil menyusup melampaui putaran cambuknya. Swandaru menyeringai ketika terasa segores luka menyengat pundaknya. “Gila,“ ia menggeram. Dihentakkannya cambuknya keras-keras. Tetapi lawannya sempat meloncat surut. Dengan marah Swandaru mengejarnya. Ia tidak mau memberi kesempatan kepada lawannya untuk mengambil ancang-ancang menghentak bumi. Karena itu, iapun mengejarnya dengan garang. Cambuknya meledak-ledak dengan kerasnya memekakkan telinga. Tetapi lawannya masih saja sempat mengelak dan meloncat jauh-jauh. Ketika Swandaru meloncat mengejarnya, maka ia sudah sempat menghentakkan kakinya sambil tertawa. Swandaru tertegun. Ia memusatkan kemampuannya untuk mempertahankan keseimbangan. Sementara lawannya telah bersiap untuk menyerangnya pula. Seperti yang dilakukan sebelumnya, maka Swandarupun kemudian memutar cambuknya. Ia tidak lagi bertahan untuk berdiri. Karena itu, maka iapun telah menjatuhkan diri dan duduk diatas tanah yang berguncang itu. Namun dengan demikian, maka terasa goncangan tanah itu tidak lagi mengayunkannya dan membantingnya jatuh. Meskipun demikian, namun putaran cambuknya tidak dapat serapat jika ia tidak diganggu oleh

goncangan-goncangan tempat ia berpinjak. Karena itu, maka sekali lagi lawannya berhasil menyusup diantara ujung cambuknya, dan sekali lagi pisaunya menyentuh lengannya. Swandaru benar-benar diamuk oleh kemarahan yang serasa meretakkan dadanya. Ia sama sekali tidak merasa pedih pada lukanya, tetapi lebih pedih lagi dihatinya. Sentuhan senjata lawannya membuat hatinya bagaikan menyala. Namun ia tidak dapat melepaskan kenyataan, bahwa lawannya benar-benar memiliki ilmu iblis yang luar biasa. Ketika Swandaru menyaksikan orang itu bertempur melawan Agung Sedayu, maka ia tidak merasakan hentakkan kakinya telah mengguncang bumi sedahsyat itu. Ia merasa bumi bergetar. Namun karena saat itu ia tidak berdiri rapat dengan orang itu, maka ia masih belum menganggap getaran itu mengacaukan keseimbangannya. Demikian juga suara tertawanya yang kini seakan-akan telah meremas isi dadanya. Tetapi Swandaru tidak akan menyerah. Ia akan melawan orang itu dengan segenap kemampuan yang ada. Ia masih merasa mempunyai kesempatan yang sama dengan lawannya, karena ledakkan cambuknyapun akan dapat membuat lawannya kehilangan kesempatan. Dalam pada itu, ternyata bahwa lawan Pandan Wangi dan Sekar Mirah benar-benar telah terdesak. Mereka tidak berhasil mempertahankan keseimbangan pertempuran itu. Meskipun suara tertawa orang di halaman itu mempengaruhi juga Pandan Wangi dan Sekar Mirah, namun dengan mengerahkan segenap daya tahan dan kemampuannya, justru dengan memusatkan ilmunya pada perlawanan yang mantap, maka mereka dapat menghindari akibat yang dapat membahayakan. Sedangkan goncangan bumi karena hentakkan kaki lawannya, tidak terlalu banyak mempengaruhi mereka yang bertempur dipendapa. Agaknya yang terjadi ita telah mengganggu pemusatan ilmu lawan Swandaru. Ia terpaksa membuat perhitungan tersendiri karena kedua orangnya semakin terdesak oleh Pandan Wangi dan Sekar Mirah. “Aku harus berbuat sesuatu,“ geramnya. Dialam pada itu, maka orang yang bertempur dihalaman melawan Swandaru itupun tiba-tiba saja telah membuat suatu isyarat bunyi. Dengan suitan nyaring, maka ia telah memanggil orang terakhir yang bersembunyi disamping halaman. “Cepat, musnahkan saja kedua perempuan itu.“ perintahnya. Swandarupun menjadi semakin berdebar-debar. Ia sendiri sulit untuk mengatasi serangan lawan yang aneh itu. Bahkan tubuhnya telah mulai terluka. Sementara ia mendemgar perintah lawannya, untuk membinasakan adik dan isterinya. Dalam pada itu, Swandarupun mulai berpikir pula tentang para pengawal. Apakah diantara mereka tidak ada seorang yang dapat mendengar suara kentongan karena mereka telah dibunuh oleh para

pengikut lawannya yang garang itu. Seorang yang kemudian melibatkan diri melawan Pandan Wangi, segera mencoba untuk menekan lawannya. Tetapi Sekar Mirah tidak membiarkan Pandan Wangi seorang diri melawan dua orang lakilaki yang garang. Karena itu, maka iapun segera menempatkan diri dalam pertempuran itu sebagai pasangan Pandan Wangi yang bersama-sama melawan tiga orang lawan. Ketiga orang laki-laki yang garang itu mengumpat. Ternyata kedua perempuan itu mampu bertempur berpasangan dengan baik.Keduanya saling mengisi dan saling membantu. Tongkat baja Sekar Mirah yang garang itu seolah-olah merupakan perisai yang tidak tertembus oleh ketiga lawannya yang melindungi kedua perempuan itu bersama-sama. sementara sepasang pedang Pandan Wangi mematuk kesegenap arah, dimanapun ketiga lawannya berdiri. Namun kadang-kadang keduanya berdiri merenggang dan serentak menyerang ketiga lawannya sambil berputaran. Ternyata meskipun lawannya menjadi tiga orang tetapi Pandan Wangi dan Sekar Mirah masih mampi menekan lawannya. Ketiga laki-laki yang garang itu masih dilihat oleh kesulitan dan bahkan kadang mereka menjadi bingung, karena kedua perempuan itu berloncatan melenting seperti bilalang. Namun kadang-kadang mereka menyambar dengan garangnya seperti seekor elang. Sementara itu Swandaru masih bertempur dengan memeras kemampuannya. Ketika orang yang terakhir yang ada dihalaman itu telah berlari dan melibatkan diri melawan Pandan Wangi dan Sekar Mirah, maka orang itu telah memusatkan perlawanannya kepada Swandaru. “Aku harus segera membunuhnya,“ geram orang itu di dalam hati, “sebentar lagi, bila tengah malam telah jauh lewat, prajurit-prajurit itu akan menyelesaikan tugas mereka dan akan sampai di Kademangan ini.” Namun orang itu tidak terlalu cemas atas lima orang prajurit Pajang yang akan datang, karena beberapa orangnya yang tersebar, akan dapat menahan kelima prajurit Pajang di Jati Anom dan bahkan membinasakan mereka. “Orang-orangku tidak akan kalah dengan prajurit-prajurit Pajang sekalipun,” berkata orang itu didalam hatinya. Dalam pada itu, Swandaru benar-benar berada dalam kesulitan, ketika setiap kali rasa-rasanya keseimbangannya telah diguncang. Dalam kelemahan yang demikian, lawannya beberapa kali berhasil menembus putaran ujung cambuknya dan melukainya, sehingga pakaian Swandaru telah berlumuran dengan darahnya sendiri. Meskipun luka-luka yang timbul tidak membahayakan jiwanya, tetapi lambat laun, jika darahnya terlalu banyak mengalir, maka ia akan menjadi semakin lemah, sehingga kesempatan lawannyapun menjadi semakin banyak. Pandan Wangi dan Sekar Mirah melihat kesulitan Swandaru. Mereka mengerti bahwa lawannya mempunyai ilmu yang aneh, yang dapat mengguncang bumi. Mereka sadar, bahwa semakin dekat

dengan orang itu, maka guncangan bumi akan terasa semakin besar, dan suara tertawanya akan terasa semakin meremas jantung. Itulah sebabnya, maka kedua perempuan itu, berusaha untuk tetap bertempur pada jarak yang agak jauh. Mereka tidak pernah kehilangan kesadaran menghadapi ketiga laki-laki yang garang itu. Bahkan karena keduanya melihat kesulitan Swandaru dihalaman, maka keduanya-pun bertempur semakin cepat untuk menguasai ketiga lawannya. “Gila,“ teriak orang yang bertempur dihalaman. Tetapi ia tidak ingin memberikan isyarat lagi kepada orang-orangnya yang bertugas diluar halaman itu. “Jagalah laki-laki gemuk ini sejenak,“ ia berteriak semakin keras, “aku akan membunuh keduanya lebih dahulu. Kalian ternyata terlalu lamban dan bodoh.” Teriakan itu benar benar mendebarkan jantung Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Tetapi mereka tidak dapat ingkar akan kewajiban yang betapapun beratnya. “Pengecut,“ teriak Swandaru, “aku akan membunuhmu.” Tetapi laki-laki itu tertawa. Katanya, “Memang tidak semudah yang aku sangka untuk membunuhmu. Agaknya aku akan lebih cepat membunuh perempuan itu seorang demi seorang. Kematian mereka akan perlawananmu pula. Meskipun kau sudah menjadi semakin lemah, tetapi kau masih mampu mempertahankan diri dengan ledakan-ledakan cambukmu. Tetapi agaknya aku tidak akan membutuhkan waktu lebih dari sekejap untuk membunuh setiap perempuan yang sombong dipendapa itu.” Swandaru tidak dapat berbuat banyak. Ketika ia siap meloncat dan menyerang, maka lawannya telah menghentakkan kakinya, sehingga bumi seolah-olah menjadi berguncang. Dan Swandaru harus mempertahankan keseimbangannya, agar ia tidak jatuh terguling ditanah. Dalam pada itu. lawannya benar-benar telah meninggalkannya. Seorang lawan Pandan Wangi dan Sekar Mirah telah menggantikan orang itu. Namun ketika orang itu telah berhadapan dengan Pandan Wangi, maka seorang lagi dari mereka bertiga yang bertempur dipendapa telah turun pula dan berpasangan melawan Swandaru yang telah terluka. “Gila. Jangan bersikap pengecut,“ geramnya. Tetapi orang dipendapa itu masih sempat menjawab, “Akan datang pula giliranmu. Tetapi perlawananmu agaknya masih jauh lebih panjang dari perempuan-perempuan ini.” Dengan demikian, maka arena pertempuran di halaman dan dipendapa itupun telah berkembang. Swandaru harus melawan dua orang pengikut orang yang kemudian naik kependapa melawan Pandan Wangi. Sedangkan Sekar Mirah masih harus melawan seorang yang sejak semula memang melawannya. Karena itu, maka Sekar Mirahpun segera dapat mendesak lawannya. Tetapi agaknya lawannya tidak

melawannya dengan tanggon. Setiap kali ia selalu bergeser menjauh, seolah-olah ia sekedar mengikat Sekar Mirah dalam satu arena pertempuran, sehingga dengan demikian, gadis itu tidak akan dapat membantu Pandan Wangi atau Swandaru. Swandaru mengumpat ketika ia melihat lawannya yang meninggalkannya itu mendekati Pandan Wangi. Sambil tertawa orang itu berkata, “Sayang, bahwa aku harus membunuh seorang perempuan yang cantik. Jika suamimu tidak keras kepala, maka mungkin nasibmu akan berbeda.” Tetapi Pandan Wangi tidak menjawab. Ia langsung menyerang dengan pedang rangkapnya. Seperti juga Swandaru, maka Pandan Wangipun sadar, bahwa lawannya tentu memerlukan waktu untuk ancang-ancang apabila ia melepaskan ilmunya. Lawannya terkejut mengalami serangan yang tiba-tiba dan diluar dugaannya. Karena itu, maka iapun segera meloncat menghindar. Tetapi Pandan Wangi memburunya dengan serangan-serangannya yang cepat dan tiba-tiba, sehingga orang itu tidak mempunyai waktu untuk mempersiapkan diri melepaskan ilmunya yang dahsyat. Namun akhirnya ia berhasil menghindar dengan melingkari tiang-tiang pendapa. Ia berhasil mengambil jarak dari lawannya yang melihatnya dengan sepasang pedang. Kesempatan itu, dipergunakannya sebaik-baiknya. Iapun kemudian menghentakkan kakinya sehingga seolah-olah pendapa itu telah berguncang dan tiang-tiang-nyapun bergetar dengan kerasnya, sehingga pendapa itu rasa-rasanya akan roboh menimpa kepalanya. Pandan Wangi menjadi bingung. Ia tidak dapat berpegangan tiang pendapa, karena kedua tangannya yang menggenggam pedang itu harus dipergunakannya setiap saat. Yang dapat dilakukan, untuk mengurangi goncangan-goncangan yang seolah-olah telah mengacaukan keseimbangannya itu adalah merendahkan diri. Karena itulah, maka iapun segera berlutut untuk memantapkan kakinya yang bagaikan diayun oleh gempa yang dahsyat. Sekar Mirah yang hampir menguasai lawannya telah terpengaruh pula. Seperti Pandan Wangi, maka iapun kemudian berdiri pada lututnya. Tangan kirinya terpaksa membantunya, agar ia tidak jatuh berguling diatas lantai pendapa. “Sayang,“ teriak lawannya, “umur kalian tidak akan panjang meskipun kalian adalah perempuanperempuan cantik.” Namun Pandan Wangi masih menyadari keadaannya. Ketika serangan lawannya yang dahsyat datang, Pandan Wangi seolah-olah tidak merasa lagi bahwa tanah berguncang. Meskipun ia belum sempat berdiri, namun, ia masih dapat mempergunakan pedangnya untuk menangkis serangan lawannya.

Yang terdengar adalah suara tertawa. Lawannya itupun kemudian berkata, “Kau memang tangkas. Tetapi kau tidak akan dapat melawan untuk selanjutnya dengan cara itu. Kau akan segera menjadi kehilangan keseimbanganmu dan jatuh tanpa dapat bangkit kembali.“ Pandan Wangi mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Ia segera mempersiapkan diri menghadapi setiap kemungkinan. Bagaimanapun juga, ia tidak akan menyerahkan lehernya dikoyak oleh pisau belati panjang lawannya. “Bersiaplah,“ berkata lawannya, “kau akan menghadapi goncangan yang lebih dahsyat.” Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi ketika ia sempat melihat Sekar Mirah, agaknya Sekar Mirah telah berhasil menguasai lawannya kembali. Agaknya disaat ia kehilangan keseimbangan, ia masih sempat melawan serangan lawannya yang tentu juga terpengaruh meskipun mungkin ia mempunyai cara tersendiri untuk mengatasinya. Dengan kedua pedangnya bersilang didada. Pandan Wangi berdiri dengan lutut merendah. Ia sadar, bahwa jika lawannya menghentakkan kakinya, maka pendapa itu akan berguncang. Pada saat itu, ia harus segera mengambil sikap, agar ia tidak terjatuh. Jika terjadi demikian, maka nasibnya akan segra ditentukan oleh lawannya yang bersenjata pisau belati panjang itu. Seperti yang diperhitungkannya, maka sejenak kemudian, lawannya itupun telah menghentakkan kakinya. Sekali lagi pendapa itu terasa berguncang. Dan sekali lagi rasa-rasanya atap akan runtuh menimpa orang-orang yang berada dipendapa itu. Dalam guncangan-guncangan yang merampas keseimbangannya. Pandan Wangi segera berusaha untuk menyelamatkan diri. Sekali lagi ia berlutut. Namun pedangnya masih selalu siap menghadapi segala kemungkinan. Demikianlah, ketika serangan lawannya datang membadai, maka Pandan Wangi masih sempat berusaha mengangkat pedangnya. Dengan tangan kanan ia menangkis serangan lawannya, sedangkan tangan kirinya dijulurkannya untuk menyerang lawannya yang meloncat mendekat, sementara keseimbangannya masih belum mantap kembali. Karena itulah, maka ternyata Pandan Wangi tidak berhasil menjatuhkan diri, berguling dengan cepat, lalu meloncat bangkit sebelum serangan berikutnya menyambarnya. “Perempuan gila,“ lawannya mengumpat. Namun Pandan Wangi adalah anak Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang sudah mewarisi segala ilmunya. Pada saat-saat ia harus mengimbangi suaminya yang berlatih tanpa ada jemu-jemunya, ternyata bahwa Pandan Wangi sendiri, seakan-seakan menemukan kematangan ilmunya. Karena itulah, maka orang yang mampu mengguncang bumi itu tidak dapat membunuhnya dengan mudah seperti yang

disangkanya. “Tetapi saat itu pasti akan segera datang,“ geram lawan Pandan Wangi yang marah, “sekali lagi aku akan membantingmu jatuh dilantai. Sementara itu, lehermu akan segera koyak oleh pisau belatiku tanpa dapat melawan sama sekali.” Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa orang itu tentu tidak hanya sekedar mengancam. Orang itu akan berusaha untuk dengan cepat membunuhnya. Kemudian membunuh Sekar Mirah dan Swandaru. Bahkan mungkin Sekar Mirahpun akan segera menjalani kesulitan, karena pengaruh ilmu iblis yang seolah-olah mampu mengguncang bumi itu. Namun dalam pada itu, hampir diluar sadarnya. Pandan Wangi telah melihat sesuatu yang sangat menarik perhatiannya. Di tengah pendapa itu terdapat sebuah lampu juplak gantung. Demikian dahsyatnya guncangan yang timbul oleh hentakkan kaki lawan, sehingga rasa-rasanya pendapa itu akan runtuh. Tetapi ia sama sekali tidak melihat juplak gantung itu bergoyang. Bahkan berayunpun tidak. Pandan Wangi ternyata memiliki ketajaman perhitungan dalam waktu yang sangat pendek itu. Tibatiba saja ia berusaha membuat imbangan dari ancaman-ancaman yang dilontarkan oleh lawannya untuk mempengaruhi perasaannya. “Sekar Mirah,“ suara Pandan Wangi lantang, sehingga justru lawannya menjadi heran, “kita yakin bahwa kita berhadapan dengan ilmu semu. Lihat, lampu itu sama sekali tidak berguncang.” “Setan betina,“ teriak lawan Pandan Wangi. Ia tidak memberi kesempatan Pandan Wangi berkata lebih panjang lagi. Dengan serta merta ia menghentakkan kakinya sambil berteriak nyaring. Sekali lagi bumi terasa berguncang. Pendapa itu bagaikan terayun dan tiang-tiangnya berderak-derak menggetarkan jantung. Namun sekilas Pandan Wangi sempat melihat, lampu minyak yang tergantung ditengah pendapa itu sama sekali tidak berguncang. Kesadarannya bahwa ilmu lawannya itu adalah ilmu semu, ternyata telah menolongnya. Meskipun ia masih juga terpengaruh, seolah-olah kakinya diayunkan oleh guncangan-guncangan bumi, namun oleh pengaruh pertimbangan nalarnya, maka goncangan itu terasa sudah jauh berkurang. Pandan Wangi mencoba untuk tidak menghiraukannya, meskipun ia masih harus berdiri pada lututnya. Tetapi ia sudah mempunyai keyakinan, bahwa guncangan keseimbangan yang dapat membantingnya jatuh ilu adalah justru karena perasaannya sendiri yang mencari keseimbangan karena pengaruh ilmu lawannya. Karena itulah, maka Pandan Wangi mengerti, setiap lawannya melontarkan serangan wadag atasnya, rasa-rasanya goncangan itupun telah terhenti. Dengan demikian, maka perlawanan Pandan Wangi justru menjadi semakin mapan. Ketika lawannya meloncat sambil mengayunkan pisau belati panjangnya, ia justru dapat menyongsongnya serangan itu, dengan serangan pula.

Namun lawannya sempat menggeliat dan meloncat menghindari. Dengan serta merta Pandan Wangipun melenting berdiri. Ia berusaha untuk memburu lawannya dengan serangan-serangan berikutnya. Namun lawannya telah sempat menghentakkan kakinya untuk mempengaruhi langkah Pandan Wangi yang sudah siap melontarkan serangannya. Bagaimanapun juga. Pandan Wangi masih belum dapat membebaskan diri sama sekali dari pengaruh perasaannya. Karena itu, maka ia terpaksa mengurungkan serangannya dan memusatkan kemampuannya pada perlawanannya atas perasaannya sendiri yang terpengaruh oleh ilmu lawannya, sehingga ia merasa seolah-olah bumi telah berguncang. Namun ia telah menemukan satu kepastian, bahwa yang terjadi itu bukannya yang sebenarnya, sehingga dengan demikian, maka iapun menjadi semakin mapan menghadapi lawannya yang garang itu. Sementara itu. Sekar Mirah yang mendengar suara Pandan Wangi yang lantangpun berhasil mengurangi pengaruh guncangan bumi tempatnya berpijak. Jika semula ia tidak lagi berhasil menguasai lawannya karena pengaruh hentakkan kaki yang telah seolah-olah menimbulkan gempa yang dahsyat itu, maka ia mulai berhasil sedikit demi sedikit mendesaknya lagi. Dalam pada itu. Swandaru yang harus bertempur melawan dua orang dihalaman menggeram marah. Luka-lukanya memang terasa pedih. Tetapi darah yang meleleh dari luka itulah yang mencemaskannya. Namun demikian, ia masih dapat melawan kedua orang lawannya dengan tangkas dan cepat. Ujung cambuk masih meledak-ledak mengerikan, sehingga kedua lawannya tidak dapat berbuat terlalu banyak terhadap murid Kiai Gringsing yang memiliki ilmu yang jarang ada tandingnya itu. Betapapun kedua lawannya mencoba menembus ujung cambuk Swandaru. namun Swandaru yang meskipun sudah terluka itu, masih mampu bertempur dengan kemampuannya yang menggetarkan. Tetapi kedua orang lawan Swandaru itu sadar, bahwa tugas mereka adalah sekedar mengikat Swandaru agar ia tidak dapat meninggalkan halaman itu. sementara pemimpin mereka akan menyelesaikan lebih dahulu perempuan-perempuan yang memiliki ilmu yang luar biasa itu. Namun agaknya pemimpin mereka telah salah memperhitungkan kemampuan lawan. Ia mengira bahwa membunuh Pandan Wangi dan Sekar Mirah tidak memerlukan waktu sekejap. Ternyata bahwa Pandan Wangi mampu melawannya untuk waktu yang lama. Dengan demikian, maka orang yang tidak segera dapat membunuh Pandan Wangi itu menjadi semakin marah oleh perlawanan lawannya. Ternyata bahwa ia memerlukan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan salah satu dari kedua perempuan itu. Tiba-tiba saja orang itu menggeram. Ia tidak dapat membuat pertimbangan lain daripada memanggil orang-orangnya yang berada diluar halaman itu. Mereka harus membunuh perempuan-perempuan yang

garang itu. Sementara ia akan kembali dalam perang tanding melawan murid Kiai Gringsing. Ia tidak mau merendahkan dirinya, mempergunakan cara yang lain kecuali perang tanding, seperti yang pernah dilakukannya dengan Agung Sedayu. Sementara orang-orang lain, ia tidak perlu mempunyai banyak pertimbangan. Biarlah orang-orangnya beramai-ramai membunuh mereka. Tetapi adik seperguruan Agung Sedayu itu, harus mati olehnya dalam perang tanding yang jantan. Karena itu, maka orang itupun segera bersiap-siap untuk memberikan isyarat kepada orang-orangnya yang berada dibelakang atau disekitar halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung. Mereka akan dapat membunuh kedua perempuan yang garang itu bersama-sama, sementara ia akan bertempur seorang melawan seorang seperti seharusnya dilakukan oleh seorang laki-laki. Tetapi , yang terjadi kemudian adalah diluar perhitungan orang yang berusaha membunuh Pandan Wangi secepatnya itu. Demikian ia meneriakkan isyarat, yang disambut dan diteruskan oleh orangorangnya yang bertempur melawan Swandaru di halaman, maka terdengar panah sendaren berdesing diudara. “Gila,“ geram orang itu, “demikian cepat mereka datang. Sementara aku belum selesai dengan tugas ini.” Tetapi orang itu tidak terlalu mencemaskan perkembangan keadaan karena isyarat itu. Ia mempunyai sejumlah pengikut yang akan cukup untuk melawan lima orang prajurit Pajang di Jati Anom. Isyarat panah sendaren itu adalah pertanda yang dilontarkan oleh para pengawas di pinggir padukuhan induk Sangkal Pulung. Agaknya salah seorang dari mereka telah melihat prajurit peronda itu mendekati padukuhan. Seperti yang diperintahkan oleh orang yang belum berhasil membunuh Pandan Wangi dan apalagi Swandaru itu, bahwa para pengawas itu harus memberikan isyarat jika mereka melihat peronda itu datang. Isyarat itu bukan saja dikirim ke halaman Kademangan yang menjadi ajang pertempuran. Tetapi isyarat itu ditujukan pula kepada para pengikut yang lain, yang tersebar di padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung itu. Isyarat ganda yang dilontarkan oleh pemimpin mereka dihalaman dan suara panah sendaren itu telah memanggil setiap pengikut orang yang mempunyai ilmu yang aneh itu. Mereka telah dengan tergesa-gesa berkumpul didepan regol halaman rumah Ki Demang untuk menunggu prajurit peronda itu. “Selesaikan mereka sekaligus,“ teriak pemimpin mereka, “tetapi sisakan seorang untuk tetap hidup. Orang itu harus menceriterakan apa yang telah terjadi di halaman Kademangan ini.”

Di depan regol itu telah berkumpul tujuh orang pengikut dari orang yang garang itu. Mereka siap menunggu kedatangan lima orang prajurit peronda yang telah diketahui mendekati padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung. Sementara itu, pertempuran dihalaman dan dipendapa Kademangan itu masih saja terjadi. Justru semakin lama semakin sengit. Betapapun Pandan Wangi menyadari, bahwa ilmu lawannya adalah sekedar menimbulkan peristiwa semu, namun iapun kadang-kadang menjadi bingung dan kehilangan pengamatan karena keseimbangannya yang masih saja seolah-olah terganggu oleh guncangan-guncangan lantai tempat ia berpijak. Dengan kemarahan yang menghentak-hentak maka lawannya berusaha dengan sekuat tenaganya untuk mempercepat tugasnya, menyelesaikan perempuan yang masih saja sempat menyelamatkan diri. Swandaru yang bertempur melawan dua orang menggeram dengan marahnya. Tetapi darah yang masih saja mengalir dari lukanya telah mulai terasa akibatnya. Tenaganya seolah-olah mulai susut dan perlawanannya-pun mulai terpengaruh pula. Tetapi kemarahan Swandaru telah mendorongnya untuk berjuang semakin garang. Tanpa menghiraukan darahnya yang semakin deras mengalir dari luka-lukanya. Meskipun kedua orang lawan Swandaru itu tidak mampu menguasainya, tetapi sulit juga bagi Swandaru untuk mengalahkan mereka, karena keduanya seolah-olah hanyalah sekedar bertahan, berkisar meloncat surut, kemudian memancing kemarahan Swandaru dengan serangan-serangan yang tidak banyak berarti. Sementara cambuk Swandaru meledak-ledak meneriakkan kemarahan yang tidak tertahankan. Pada saat yang gawat itu. Sekar Mirah masih juga harus bertahan. Meskipun pengaruh guncangan yang menggetarkan pendapa itu masih saja merusak keseimbangannya, tetapi ia tidak banyak mengalami kesulitan karena lawannya tidak mempunyai tingkat ilmu setinggi Sekar Mirah. Pada keadaan yang demikian itulah, terdengar derap beberapa ekor kuda mendekati regol halaman, sementara para pengikut orang yang seolah-olah mampu mengguncang bumi itu telah siap menunggu dengan senjata telanjang. Swandaru yang mengetahui rencana pembunuhan yang licik itupun menjadi sangat gelisah. Tetapi sulit baginya untuk berbuat sesuatu. Ia terikat melawan dua orang yang selalu mengikatnya dalam pertempuran dengan licik. Apalagi ketika Swandaru menyadari, bahwa Pandan Wangi telah menjadi semakin terdesak oleh lawannya yang garang dan memiliki ilmu yang aneh itu. Dalam pada itu, ledakan cambuk Swandaru telah meyakinkan para prajurit yang sedang meronda itu. bahwa memang telah terjadi sesuatu di Sangkal Putung. Namun demikian mereka memasuki mulut padukuhan induk itu. mulai terasa pengaruh yang aneh mencengkam mereka. Apalagi ketika mereka kemudian sampai kegardu di pinggir lorong. Mereka melihat para pengawal dan anak-anak muda tertidur nyenyak tanpa menyadari apa yang telah terjadi.

“Sirep,“ desis perwira yang memimpin kelompok peronda itu. “Ya,“ sahut Sabungsari, “agaknya para pengawal tertidur nyenyak. Inilah sebabnya, bahwa suara kentongan itu tidak bersambut. Jika demikian, maka telah terjadi sesuatu yang gawat di Kademangan ini. Tentu bukan sekedar seorang atau sekelompok penjahat yang ingin merampok emas dan berlian.” “Marilah,” geram Sabungsari. Perwira itupun kemudian menghentak para prajuritnya yang mulai terpengaruh oleh ilmu sirep yang tajam. Namun dengan mengerahkan segenap daya tahannya, para prajurit itu meneruskan perjalanannya dengan tergesa-gesa menuju ke Kademangan. Sabungsari, yang dalam kedudukannya sehari-hari adalah prajurit muda yang baru pada tataran terendah, tidak lagi sempat mengingat pangkat dan kedudukannya. Ia menyadari, bahwa Sangkal Putung ada dalam bahaya. Karena itu, maka rasa-rasanya ia ingin meloncat langsung menuju ke Kademangan untuk melihat apa yang telah terjadi. Suara cambuk yang meledak-ledak itu telah mengingatkannya kepada seorang anak muda dipadukuhan kecil yang bernama Agung Sedayu. Sabungsari sendiri tidak menyadari, hubungan apakah yang sudah terjalin didalam hatinya dengan anak muda yang bernama Agung Sedayu, yang pernah diancamnya untuk dibunuh karena anak muda itu sudah membunuh ayahnya. Namun yang kemudian ternyata telah mempunyai pengaruh yang kuat pada dirinya. Pada saat itu telah terjadi peristiwa yang gawat dihalaman Sangkal Putung itu. Darah Swandaru yang meleleh semakin banyak benar-benar telah mempengaruhi perlawanannya. Meskipun kedua orang lawannya itu tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mengalahkannya, tetapi karena ia menjadi semakin lemah, maka kemudian terasa bahwa ia mulai terdesak. Sementara itu Pandan Wangipun telah mengalami kesulitan pula. Meskipun ia menyadari keadaannya, tetapi kadang-kadang ia telah kehilangan pengamatannya atas keseimbangannya. Pada saat-saat yang demikian itulah maka kedudukannya memang menjadi sangat lemah, sehingga pertempuran itu benarbenar membahayakan jiwanya. Sementara Pandan Wangi sadar bahwa para pengawal Kademangan tentu tidak akan ada yang sempat berbuat sesuatu untuk menyelamatkan diri apabila mereka yang berada di Kademangan itupun tidak dapat mempertahankan diri pula. Hanya karena kecepatan dan ketenangannya sajalah, maka Pandan Wangi masih dapat melindungi dirinya dari maut.

Dalam-pada itu. Sekar Mirahlah yang berusaha mendesak lawannya secepatnya, agar ia dapat membantu salah seorang dari kedua suami isteri yang terdesak itu. Dengan otaknya Sekar Mirah berusaha memenangkan pertempuran yang sengit. Ia dengan cerdik mendesak lawannya menjahui arena pertempuran Pandan Wangi dan lawannya, untuk mengurangi pengaruh hentakan kaki orang yang garang itu. “Jika aku berhasil, maka aku akan dengan segera menolong Pandan Wangi. Kemudian tanpa orang gila itu, mereka tidak akan banyak berarti lagi,“ berkata Sekar Mirah didalam hatinya. Pada saat yang demikian itulah maka ketujuh orang dimuka regol halaman itu menunggu dengan tegang. Mereka adalah orang-orang diluar perhitungan Sekar Mirah, karena gadis itu tidak tahu pasti, berapakah jumlah pengikut orang yang sedang bertempur melawan Pandan Wangi itu. Dalam pada itu, derap kaki kuda para prajurit Pajang menjadi semakin dekat, sehingga suara itupun terdengar semakin jelas oleh mereka yang berada di halaman. Sementara itu. ketujuh orang yang menunggu mereka di luar halaman itupun kemudian berpencar. Demikian ketujuh ekor kuda itu mendekat, maka berloncatanlah ketujuh orang yang menunggu mereka dari tempat persembunyiannya, menyerang dengan senjata telanjang. Para prajurit itu memang sudah bersiaga sepenuhnya. Demikian mereka melihat gerak yang mencurigakan, maka ditangan mereka telah tergenggam senjata mereka pula. Sementara mereka menarik kendali kuda masing-masing. Seorang dari mereka yang langsung menyerang orang berkuda dipaling depan, ternyata tidak berhasil mengenainya. Senjatanya telah membentur senjata prajurit berkuda itu sehingga tergetar. Untunglah bahwa ia sempat mempertahankan senjatanya, sehingga senjatanya tidak terlepas dari tangannya. Namun sementara itu, prajurit yang berkuda dipaling depan itu sama sekali tidak berhenti. Ia langsung memasuki regol halaman untuk segera melihat apa yang telah terjadi. Tetapi empat orang prajurit yang lain, tidak sempat mengikutinya. Mereka terpaksa berhenti dan berputar melingkar, menempatkan diri untuk melawan para penyerangnya. Untuk dapat melawan sebaik-baiknya, maka keempat prajurit itupun segera berloncatan turun dan melepaskan kuda-kuda mereka, yang kemudian berlari-lari kecil menepi. Tetapi seolah-olah tanpa menghiraukan apa yang telah terjadi, maka kuda-kuda itupun justru menikmati helai-helai rumput yang hijau dipinggir jalan Kademangan itu. Dengan demikian, maka segera terjadi pertempuran antara tujuh orang yang telah menunggunya

melawan keempat prajurit, termasuk seorang perwira yang memimpin mereka. Seorang dari para prajurit itu sudah berada dihalaman, langsung melihat apa yang telah terjadi. Prajurit muda itu adalah Sabungsari. Sejenak ia masih berada dipunggung kudanya. Ia memperhatikan arena pertempuran yang terbagi. Dengan sekilas ia melihat, betapa dahsyatnya cambuk Swandaru yang meledak-ledak. Tetapi terasa bahwa ledakkan cambuk itu tidak lagi melontarkan kedahsyatan kekuatan cadangannya. Betapa lampu obor dari regol halaman dan lampu gantung dipendapa hanya lamat-lamat saja sampai, tetapi ketajaman mata Sabungsari itupun segera melihat darah yang meleleh pada tubuh anak muda bercambuk itu, yang tentu adalah saudara seperguruan Agung Sedayu. Sementara itu. ia melihat pula dua orang perempuan yang bertempur dipendapa. Meskipun ia tidak mengenal keduanya, tetapi iapun segera mengetahui, bahwa yang seorang tentu isteri Swandaru dan yang lain adalah adiknya, seperti yang pernah didengarnya. Dalam sekilas itu, iapun melihat, betapa dahsyatnya lawan Pandan Wangi. Ia melihat, betapa orang itu menghentakkan kakinya dan kemudian berteriak nyaring, sehingga suaranya seolah-olah memecahkan isi dada. Yang Sabungsari tidak mengetahui adalah, kenapa orang yang garang itu telah memilih perempuan itu sebagai lawannya. Bukan Swandaru. Apakah menurut penilaian orang itu, perempuan itu memiliki kelebihan dari saudara seperguruan Agung Sedayu. Tetapi Sabungsari tidak sempat membuat penilaian lebih jauh. Ia sudah siap terjun kearena melawan siapa-pun juga. Karena itu maka iapun segera berkata lantang, “Aku adalah prajurit Pajang di Jali Anom yang sedang meronda. Aku siap membantu kalian. Siapakah yang harus aku lawan?” Tidak seorangpun yang segera menjawab. Bagaimanapun juga, Swandaru masih merasa dirinya belum memerlukan bantuan. Ia masih ingin menyelesaikan masalah Sangkal Putung itu dengan kemampuan sendiri. Tetapi adalah suatu kenyataan bahwa para pengawal Kademangan Sangkal Putung telah kehilangan kemampuan mereka untuk melawan. Apakah mereka telah terbunuh atau sekedar tetidur karena pengaruh sirep, masih belum diketahui dengan pasti. Dan adalah suatu kenyataan pula, bahwa yang kemudian bertempur dimuka regol Kademangan adalah para prajurit Pajang pula. Dalam keadaan yang demikian, Swandaru menyadari kebenaran kata-kata isterinya. Bahwa dalam keadaan yang gawat itu, ia tidak dapat sekedar hanyut dalam arus perasaannya untuk mempertahankan harga diri semata-mata tanpa menghiraukan kepentingan Kademangan Sangkal Putung dalam keseluruhan.

Sementara itu, prajurit muda yang memasuki halaman itu masih berada dipunggung kuda. Sekali lagi ia berkata lantang, “Aku sudah siap. Apakah yang harus aku kerjakan ?” Sabungsari tidak menunggu jawaban. Iapun segera meloncat turun dari kudanya dan melepaskan kudanya menepi. Namun dalam pada itu, yang menjawab ternyata adalah lawan Pandan Wangi. Dengan suara lantang dan menggelegar ia berteriak, “He prajurit kerdil. Apa kerjamu disini. Pergilah sebelum kau mati. Aku sudah memerintahkan orang-orangku untuk membunuh semua orang dihalaman ini termasuk kalian. Tetapi aku ingin menyisakan seorang dari para prajurit yang dungu agar ia dapat berceritera kepada Pangeran Benawa, bahwa sebagian dendamku kepadanya sudah aku tebus.” Sabungsari mengerutkan keningnya. Sejenak kemudian ia bertanya, “Apa hubunganmu dengan Pangeran Benawa ?” “Ia sudah membunuh kedua adik seperguruanku. Kakak beradik dari Pesisir Endut. Aku menuntut kematian Pangeran Benawa, Agung Sedayu dan Swandaru. Jika aku membunuh para prajurit, adalah sekedar memancing perhatian Pangeran Benawa untuk bertemu dalam perang tanding setelah aku hari ini membunuh Swandaru dan keluarganya. Aku akan membunuh siapa yang dapat aku ketemukan lebih dahulu. Agung Sedayu atau Pangeran Benawa.” Sabungsari tidak segera menjawab. Tetapi getar didadanya terasa semakin cepat. Ia sadar, bahwa yang dihadapinya adalah saudara seperguruan kedua kakak beradik dari Pesisir Endut. “Jika kau mengerti maksudku, pergilah.” Teriak lawan Pandan Wangi, “kau satu-satunya yang aku beri kesempatan untuk hidup.” Tiba-tiba terdengar suara Sabungsari bergetar, “Jadi kau keluarga dari Pesisir Endut.” “Ya. Akulah Carang Waja.” Sabungsari menggeretakkan giginya. Darahnya yang mengalir diseluruh tubuhnya, tiba-tiba terasa bagaikan mendidih. Dengan suara lantang ia berkata, “Adalah satu kurnia, bahwa aku dapat bertemu dengan keluarga dari Pesisir Endut.” Kata-kata itu benar-benar mengejutkan. Bahkan Swandarupun terkejut pula. “Aku menunggu kesempatan ini,“ Sabungsari melanjutkan, “keluarga Pesisir Endut adalah keluarga yang telah banyak menodai ketenangan hidup di wilayah Pajang. Sehingga karena itu, maka adalah kuwajiban setiap prajurit untuk menghancurkannya. Dengan pertimbangan itu pula tentu Pangeran Benawa telah membunuh kedua kakak beradik dari Pesisir Endut

itu.” “Persetan,” orang itu berteriak, meskipun ia masih bertempur melawan Pandan Wangi. Namun dalam pada itu Swandarupun berkata lantang, “Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan. Tetapi serahkan Carang Waja itu kepadaku. Setelah aku mengusir kedua orang tikus-tikus kecil ini.” Sabungsari mengerutkan keningnya. Ia mengerti keberatan Swandaru. Namun hatinya sendiri bagaikan sudah menyala. Kegagalannya membunuh Agung Sedayu, dan bahkan anak muda itu bagaikan telah membekukan darahnya, kini tiba-tiba darahnya itu telah bergejolak kembali. Ia telah kehilangan pengikutnya justru dibunuh oleh orang-orang Pesisir Endut. Apalagi kini ia bertemu dengan orang Pesisir Endut, yang justru adalah saudara tua kedua saudara Pesisr Endut yang lelah terbunuh itu. Karena itu, maka katanya, “Swandaru. Aku mempunyai persoalan pribadi pula dengan orang ini. Jika aku sudah mati olehnya, maka lakukanlah perang tanding itu. Aku merasa mempunyai kewajiban unluk menagih kematian sahabatku. Tetapi jika aku tidak mampu mengalahkannya, maka aku relakan nyawaku.” Swandaru masih akan menjawab. Tetapi Carang Waja telah berteriak, “Prajurit gila. Kau sangka bahwa kemampuanmu sebagai prajurit rendahan itu akan dapat mengimbangi kemampuan Carang Waja? Datangkanlah semua perwira yang berada di Jati Anom. Bahkan bawalah Untara kemari. Ia akan mati dihalaman ini.” ***

Buku 124 “APAPUN yang akan kau lakukan terhadap Untara, Agung Sedayu maupun Swandaru bukanlah urusanku. Bunuhlah aku yang pertama-tama. Aku menuntut kematian sahabatku.” “Siapakah sahabatmu? “ bertanya Carang Waja. “Aku tidak perlu menyebutnya. Sudah terlalu banyak orang yang kau bunuh. Karena itu, kau tentu tidak akan dapat mengingatnya lagi.” Carang Waja menggeram. Sementara Sabungsari telah melangkah mendekatinya. “Jika kau tidak keberatan, tinggalkan Carang Waja,“ berkata Sabungsari kepada Pandan Wangi. “Ia amat berbahaya,“ sahut Pandan Wangi sambil bertempur. Namun karena lawannya belum mempergunakan ilmunya yang aneh, maka Pandan Wangi tidak terlalu terdesak karenanya. “Aku telah bertekad untuk membalas dendam, atau akan mati karenanya.” Pandan Wangi menjadi ragu-ragu. Tetapi, ia masih tetap bertempur terus. Ia sadar, bahwa jika ia melepaskan lawannya kepada orang lain, Swandaru akan dapat tersinggung. Sehingga karena itu, maka seolah-olah ia menunggu keputusan suaminya. Swandaru yang sudah banyak kehilangan tenaga, masih sempat berpikir. Ia memang tidak dapat berpegangan sekedar pada harga diri tanpa menghiraukan keadaan yang sebenarnya. Swandaru pada kedudukannya bukan sekedar dirinya. Di Sangkal Putung ia adalah pimpinan pasukan pengawal. Karena itu, yang harus dipertimbangkannya adalah Sangkal Putung dalam keseluruhannya. Kehadiran prajurit Pajang, bukannya akan menyusutkan harga dirinya sebagai pimpinan pasukan pengawal Sangkal Putung, karena Kademangan itu memang termasuk kedalam wilayah perlindungan Pajang. Apalagi karena kenyataan yang terjadi atas dirinya. Darah yang sudah banyak mengalir dari lukalukanya. Meskipun luka-luka itu sendiri tidak berbahaya, tetapi jika darah yang mengalir tidak dapat dipampatkan, maka akibatnya akan gawat, apalagi ia masih harus bertempur. Karena itu, maka Swandaru tidak dapat tetap mengeraskan hatinya. Jika benar yang dikatakan prajurit itu, bahwa jika prajurit itu sudah mati, ia harus bertempur melawan orang yang bernama Carang Waja

itu, maka ia harus mempunyai kesempatan untuk memampatkan darahnya. Baru kemudian ia akan mendapatkan kesempatan untuk berperang tanding. Dalam pada itu, terdengar Carang Waja berkata, “Prajurit yang malang. Kau benar-benar orang yang tidak tahu diri. Apa yang dapat dilakukan oleh seorang prajurit he ? Sepantasnya kau mencari lawan yang seimbang. Tetapi jika kau hanya sekedar ingin membunuh diri, marilah, aku kira kau akan mendapat kesempatan itu. Dan aku akan mencari orang lain yang akan tetap hidup, mengabarkan peristiwa yang terjadi ini kepada Senapati Prajurit Pajang di Jati Anom, agar disampaikan kepada Pangeran Benawa. Aku akan menunggu kedatangannya dengan senang hati, karena aku memang ingin membunuhnya sebagaimana ia membunuh kedua saudara seperguruanku.” “Apapun yang akan terjadi atas diriku, maka aku akan memuntahkan dendam pribadiku jika lawanmu memberi kesempatan kepadaku.” Pandan Wangi masih belum melepaskan lawannya. Namun dalam pada itu terdengar Swandaru berkata, ”Berilah orang itu kesempatan. Meskipun ia tidak bermaksud membunuh diri, tetapi ia dapat melihat kemungkinan pahit itu terjadi. Namun mudah-mudahan ia dapat melindungi dirinya sendiri.” Terdengar Carang Waja tertawa. Diantara suara tertawanya ia berkata, “Baiklah. Aku beri kau kesempatan untuk mati. Tetapi aku tidak akan membiarkan perempuan itu membunuh siapapun juga dari orang-orangku. Karena itu, biarlah ia mendapatkan lawannya.” Dalam pada itu, terdengar Carang Waja meneriakkan isyarat kepada orang-orangnya yang bertempur di luar regol halaman. Agaknya ia telah memanggil pengikutnya untuk menahan agar Pandan Wangi tidak sempat berbuat apapun juga. “Apa artinya prajurit-prajurit diluar regol itu. Tahan sajalah agar mereka tidak sempat lari. Aku akan memilih, siapakah yang berhak hidup diantara mereka.” Sejenak kemudian, maka dua dari tujuh orang yang berada diregol itu meloncat memasuki halaman. Mereka langsung menempatkan, diri untuk melawan orang yang akan terlepas dari arena pertempuran melawan Carang Waja. Dalam pada itu, para prajurit yang berada diluar pintu regol halaman Kademangan Sangkal Putung, mendapat kesempatan untuk bernafas. Karena lawan mereka berkurang dua orang, maka keseimbangan pertempuran itupun segera berubah. Jika semula para prajurit yang dipimpin oleh seorang perwira itu merasa terdesak dan bahkan seoalah-olah tidak ada harapan lagi untuk melepaskan diri, maka setelah dua orang lawan mereka memasuki halaman, para prajurit itupun telah mendapat kesempatan untuk bertempur seorang melawan seorang, kecuali pimpinan mereka yang masih harus bertempur melawan dua orang. Namun para prajurit yang lainpun tidak membiarkannya bertempur dalam kesulitan. Setiap kali para prajurit juga berusaha membantunya dengan melibatkan diri dalam pertempuran ganda.

Di halaman, Sabungsari segera melibatkan diri melawan Carang Waja yang telah ditinggalkan oleh Pandan Wangi. Demikian Carang Waja mendapatkan lawannya yang baru, maka dengan serta merta ia menghentakkan kakinya sambil berteriak nyaring. Ilmunya itu ternyata telah mengejutkan Sabungsari. Rasa-rasanya lantai tempatnya berpijak itupun telah berguncang. Pendapa itu rasa-rasanya bagaikan diayun oleh gempa yang dahsyat. Sejenak Sabungsari tertegun. Namun iapun harus berusaha mempertahankan keseimbangannya agar ia tidak terlempar jatuh. Pada saat itulah Carang Waja menyerang dengan garangnya. Dengan pisau belati panjangnya ia menikam leher lawannya yang sedang berusaha memperbaiki keseimbangannya. Tetapi Sabungsari tidak menyerah pada serangan yang pertama, Ia masih sempat menjatuhkan dirinya, sehingga serangan lawannya itu tidak menjatuhkan dirinya, sehingga serangan lawannya itu tidak menyentuhnya. “Anak iblis,“ teriak Carang Waja, “betapapun juga, kau akan segera mati. Prajurit Pajang bukanlah lawan yang patut aku perhitungkan.” Carang Wajapun segera mempersiapkan dirinya pula. Namun ia menjadi heran, melihat betapa tangkasnya Sabungsari melenting berdiri. Demikian kakinya menjejak tanah, demikian anak muda itu sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Kecepatan bergerak Sabungsari telah menarik perhatian Carang Waja. Ternyata bahwa Sabungsari bukannya prajurit kebanyakan. Karena itu. Carang Waja melihat, bahwa prajurit muda itu masih dapat diguncang dengan ilmunya. Karena itu, maka iapun tentu akan segera dapat diselesaikannya. Selagi Sabungsari mempersiapkan dirinya, maka sekali lagi Carang Waja berteriak sambil menghentakkan kakinya. Dan sekali lagi rasa-rasanya tanah tempatnya berpijak itu berguncang. Seperti yang telah dilakukannya, maka Sabungsaripun segera berusaha memantapkan keseimbangannya dengan merendahkan dirinya, sementara ia masih sempat melihat serangan lawannya meluncur dengan dahsyatnya. Sekali lagi Sabungsari terpaksa merendahkan dirinya dan bahkan berguling dilantai untuk menghindari sambaran pisau belati lawannya yang hampir menyentuh kening. Dengan demikian, maka Sabungsaripun segera menyadari, bahwa ia memang berhadapan dengan seseorang yang pilih tanding, yang memiliki ilmu yang sulit dicari tandingnya.

Tetapi Sabungsari ternyata bukannya orang yang cepat kehilangan akal dan putus asa. Ia sengaja mempergunakan benturan-benturan pertama untuk mempelajari ilmu lawannya. Karena itu ia tidak tergesa-gesa mengambil sikap. Dengan penuh kewaspadaan ia meloncat bangkit. Ketika kakinya menjejak tanah, ia merasakan keseimbangannya tetap mantap. Namun sesaat kemudian, sekali lagi ia melihat lawannya menghentakkan kakinya sambil berteriak. Seperti yang sudah terjadi maka iapun telah berguncang pula. Pendapa itu bagaikan akan runtuh karena gempa yang luar biasa. Sekali lagi Sabungsari harus mempertahankan keseimbangannya. Tetapi ia tidak lagi berguling dilantai. Meskipun ia masih harus merendahkan dirinya, tetapi ia sudah mulai dapat mengatasai kebingungannya menghadapi ilmu yang aneh itu. Karena itu, maka iapun menyilangkan kakinya sambil menjatuhkan diri duduk dilantai. Namun tangannya sudah siap menghadapai segala kemungkinan yang bakal terjadi. Seperti lawannya, Sabungsari tidak mempergunakan senjata panjangnya. Tetapi ia mencabut kerisnya untuk melawan pisau belati Carang Waja. Ketika Carang Waja meluncur menyerang, maka dengan tangkasnya Sabungsari bergeser. Demikian serangan lawannya meluncur tanpa menyentuhnya, maka dengan kecepatan yang luar biasa, Sabungsari telah mengayunkan kakinya mengejar lawannya, tanpa menghiraukan keseimbangannya. Kecepatan yang tidak diperhitungkan itulah yang telah mengejutkan Carang Waja. Tiba-tiba saja terasa lambungnya dihantam oleh kaki lawannya. Demikian kerasnya, sehingga Carang Waja telah terlempar beberapa langkah. Hampir saja kepalanya membentur tiang pendapa. Untunglah, bahwa ia sempat menahan dirinya, sehingga benturan itu dapat dihindarkan. Tetapi pada saat yang sama, Sabungsaripun telah terbanting jatuh. Rasa-rasanya ia telah kehilangan keseimbangannya disaat ia melontarkan serangannya. Meskipun serangan itu mengenai sasarannya, tetapi iapun bagaikan terlempar pula dan jatuh dilantai. Pada saat yang hampir bersamaan pula keduanya telah meloncat berdiri. Keduanyapun segera bersiap melancarkan serangan masing-masing. Tetapi Carang Waja lebih cepat sekejap. Ia sempat menghentakkan kakinya dan sekali lagi mengguncang tanah tempat berpijak. Dan sekali lagi ia melihat lawannya menjatuhkan diri sambil menyilangkan kakinya, sementara kerisnya tegak didepan dadanya. Carang Waja yang melihat ketangkasan lawannya tidak segera menyerangnya. Tetapi sekali lagi ia menghentakkan kakinya, sehingga guncangan bumi itupun rasa-rasanya menjadi semakin dahsyat. Pendapa itu benar-benar bagaikan runtuh menimpa kepala Sabungsari.

Tetapi pendapa itu tidak runtuh. Pendapa itu tetap tegak seperti tidak bergetar sama sekali. Tetapi Sabungsari tidak sempat berpikir lebih panjang. Carang Waja telah meluncur dengan pisau belatinya mengarah kelehernya. Dengan serta merta Sabungsari beringsut sambil merendahkan kepalanya hampir menyentuh lantai. Ia mulai menyadari, bahwa setelah serangan dilontarkan, maka guncangan tempatnya berpinjak menjadi susut. Karena itu, maka sambil menjatuhkan diri hampir berbaring dilantai, Sabungsari telah siap melenting untuk mengejar lawannya dengan serangan. Tetapi ternyata bahwa Carang Waja bergerak lebih cepat. Ujung pisau belatinya tidak seluruhnya dapat dihindari oleh lawannya. Ternyata bahwa Sabungsari telah berdesah menahan pedih yang telah menyengat pundaknya. Seleret luka telah menyobek kulit dipundaknya, sehingga sejenak kemudian, maka darahpun mulai mengalir dari lukanya itu. Terdengar Sabungsari menggeram. Ia sadar, bahwa lawannya memang orang yang luar biasa. Seorang yang sulit untuk diatasinya. Ternyata bahwa luka itu telah memperlambat geraknya. Sebelum ia sempat bangkit dan bersiap sebaik-baiknya, Carang Waja telah menghentakkan kakinya sekali lagi, sehingga rasa-rasanya kepala Sabungsari menjadi pening karena gangguan keseimbangannya. Pendapa itu rasa-rasanya bukan saja berguncang, tetapi kemudian justru mulai berputar. Tetapi justru karena itu, maka Sabungsari tidak berusaha bangkit berdiri. Ia masih tetap duduk bertelekan pada sikunya. Sementara tangannya yang lain telah siap dengan kerisnya untuk menghadapi kemungkinan yang lebih pahit, apabila Carang Waja menyerangnya dengan gerak pendek. Tetapi perhitungan Carang Wajapun cukup cermat. Yang dilakukannya kemudian adalah meloncat sambil mengayunkan pisau belatinya mengarah kedadanya. Sabungsari tidak bergeser. Tetapi ia siap menghadapi serangan itu dan menyongsongnya dengan ujung kerisnya. Namun ternyata bahwa Carang Waja hanya sekedar meloncat mendekat. Ia tidak menusukkan pisau belatinya, karena iapun tidak mau tergores oleh keris lawannya. Yang dilakukan kemudian adalah meloncat kesamping sambil menghentak sekali lagi dibarengi dengan teriakan yang nyaring.

Sabungsari benar-benar menjadi pening. Selagi ia bertahan agar isi dadanya tidak runtuh, ia melihat serangan lawannya menyambarnya sekali lagi. Dan sekali lagi ia terlambat. Ujung pisau belati itu telah mengenai punggungnya. Sabungsari menjadi sangat marah. Ia sudah terluka ditubuhnya. Dan darah telah mulai mengalir. Namun ia tidak dapat ingkar akan kemampuan lawannya, sehingga ia tidak boleh membiarkan serangan-serangan demikian berlangsung terus atasnya. Ketika kemudian Carang Waja menghentak bumi sekali lagi, maka Sabungsaripun meluncur turun dari tangga pendapa. Ia ingin bertempur ditempat yang lebih luas tanpa diganggu oleh tiang-tiang dan umpak-umpak batu. Namun, disaat ia meluncur turun kehalaman. Carang Waja masih sempat mengejarnya, dan melukainya sekali lagi dilambung meskipun hanya segores kecil. Tetapi sebelum Sabungsari, bersiap, maka tanah tempatnya berpijak telah terguncang lagi. Sekali lagi pisau lawannya telah melukai dadanya. Lebih parah dari luka-luka yang terdahulu. Betapa kemarahan menghentak-hentak dada anak muda itu. Seolah-olah ia tidak mendapat kesempatan untuk mengadakan perlawanan. Sekilas ia melihat lawannya menyambar. Namun kemudian berdiri tegak di halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung. Sementara itu, Sabungsari masih terkapar bersandar tangga pendapa. Luka-lukanya terasa pedih sepedih luka dihatinya. Dalam pada itu, Swandaru yang masih bertempur melawan dua orang pengikut Carang Waja, sempat juga melihat keadaan Sabungsari. Seakan-akan tidak ada lagi kesempatan bagi Sabungsari untuk bangkit dan melindungi dirinya sendiri. Karena itulah, maka ia harus mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan yang bakal datang. Jika anak muda itu terbunuh, maka ia harus siap menggantikan tempatnya, apapun yang akan terjadi atasnya. Bahkan seakan-akan ia telah mengorbankan harga dirinya dengan memberikan kesempatan kepada anak muda itu untuk melawan Carang Waja, sehingga diluar niatnya, ia telah menjerumuskannya kedalam maut. Dengan demikian, maka Swandaru yang telah susut kekuatannya karena darahnya yang mengalir itu tidak lagi memperhitungkan dirinya yang sudah terluka. Tiba-tiba saja ia menghentakkan segenap kemampuannya, melampaui perhitungan nalarnya. Cambuknyapun tiba-tiba telah meledak dengan dahsyatnya, sehingga kedua lawannyapun terkejut karenanya. Dengan mengerahkan kekuatan yang ada, maka Swandaru berusaha untuk secepatnya mengalahkan lawannya dan mempersiapkan diri untuk melawan Carang Waja yang garang itu. Ternyata bahwa kedua lawan Swandaru terkejut menghadapi perubahan yang tiba-tiba itu. Cambuk Swandaru yang berputar seperti angin pusaran tiba-tiba telah meledak seperti guntur, dan mematuk seperti ujung petir menyambar puncak pepohonan. Ketika terdengar ledakkan yang dahsyat, maka seorang lawannya telah berdesah tertahan. Segores luka telah menyobek keningnya yang tersentuh ujung cambuk Swandaru yang berkarah rangkap.

Swandaru yang melihat darah meleleh dikening, berusaha untuk menekan lawannya lebih dahsyat lagi, sehingga ia melupakan keadaannya sendiri. Cambuknya meledak semakin dahsyat dan ujung cambuknya seolah-olah mempunyai mata yang tajam, sehingga kemana lawannya pergi, ujung cambuk itu telah mengejarnya. Sekali lagi orang yang terluka dikening itu mengaduh. Pundaknyapun telah dikoyak oleh juntai cambuk Swandaru yang dahsyat itu. Sementara itu. Pandan Wangi yang mendapat kedua lawan yang baru, telah dengan mantap menempatkan dirinya. Keduanya tidak banyak dapat berbuat sesuatu. Hentakan kaki Carang Waja tidak banyak mempengaruhi Pandan Wangi yang telah menjadi semakin jauh dari padanya. Yang menjerit kemudian adalah lawan Sekar Mirah. Ketika Carang Waja memburu lawannya, turun dari pendapa, maka jarak dari padanyapun menjadi semakin jauh. Karena itulah, maka Sekar Mirahpun kemudian segera dapat mendesak lawannya. Yang paling malang dari para pengikut Carang Waja adalah lawan Sekar Mirah. Ternyata bahwa tongkat baja Sekar Mirah mampu mematahkan senjata lawannya. Dengan wajah yang pucat lawan Sekar Mirah itupun kemudian harus menerima nasibnya yang buruk. Ayunan yang tidak terelakkan telah menghantam pelipisnya, sehingga seolah-olah kepalanya telah terlempar dari tubuhnya. Namun meskipun kepala itu masih tetap melekat dilehernya, tetapi retak ditulang kepalanya, telah menghempaskan orang itu kedalam batas umurnya. Ketika ia menggeliat, maka terlepaslah nafasnya yang terakhir dari lubang hidungnya. Sekar Mirah kemudian berdiri dengan garangnya. Dipandanginya tubuh yang terbaring diam itu dengan wajah yang tegang. Sementara itu. Pandan Wangi masih bertempur melawan dua orang pengikut Carang Waja. Demikian juga Swandaru. Tetapi salah seorang lawan Swandaru telah menjadi semakin lemah, bahkan seolah-olah tidak lagi mampu berbuat sesuatu, meskipun ia masih tetap berdiri dengan senjata ditangan. Sekar Mirah yang melihat kakaknya terluka, segera mendekatinya. Namun yang terdengar adalah Swandaru yang membentaknya, “Jangan ganggu aku. Lihat, bagaimana dengan mbokayumu.” Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Baru kemudian ia berpaling. Dilihatnya Pandan Wangi masih bertempur melawan dua orang. Tetapi agaknya yang dua orang itu, tidak akan membahayakan keadaan Pandan Wangi.

Kehadiran lima orang prajurit Pajang itu benar-benar telah merubah keadaan. Perhitungan Carang Waja tentang kelima prajurit itu ternyata keliru. Lima orang prajurit itu tidak dapat dipatahkan seperti yang diperhitungkan. Apalagi salah seorang dari mereka, adalah anak muda yang siap melawannya, meskipun telah terluka parah. Namun dalam pada itu, prajurit yang bertempur di luar regol halaman itu ternyata telah mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan mereka. Ketahanan jasmaniah mereka semakin lama menjadi semakin susut. Jumlah lawan yang lebih banyak, memaksa mereka harus mengerahkan tenaga mereka berlebihlebihan. Carang Waja yang melihat lawannya terkapar bersandar tangga pendapa berdiri tegak dengan tangan bertolak pinggang. Pisau belatinya yang merah karena darah, digenggamnya erat-erat. Sesaat ia memandang lawannya. Kemudian dengan suara lantang ia berkata, “Kau akan segera mati. Yang lainpun akan mati pula. Seorang pengikutku telah terbunuh. Itu berarti bahwa seisi Kademangan ini akan mati pula. Para pengawal di gardu-gardupun akan mati.” Sabungsari masih bersandar tangga pendapa. Wajahnya yang merah karena marah menjadi bertambah tegang. Sementara matanya bagaikan menyala oleh gejolak hatinya. Namun, sikap Carang Waja itu adalah kesalahan yang besar yang telah dilakukannya dihadapan Sabungsari. Beberapa saat lamanya Carang Waja masih berdiri tegak. Ia sudah siap menikmati kemenangannya yang pertama dengan membunuh anak muda yang mengenakan pakaian seorang prajurit dan telah berani menempatkan diri untuk melawannya. Carang Waja masih berdiri tegak dengan bertolak pinggang. Terdengar kemudian suara tertawanya, “Ayo anak muda yang mendendam. Bangkitlah. Kita masih akan bertempur satu dua langkah lagi sebelum kau mati.” Tetapi Sabungsari sudah tidak berusaha untuk bangkit lagi. Ia masih terkapar bersandar tangga pendapa. Sementara Carang Waja tertawa berkepanjangan. “Baiklah,“ berkata Carang Waja kemudian, “jika kau tidak lagi dapat bangkit karena putus asa, aku akan segera mengakhiri hidupmu. Pisauku akan menusuk dadamu langsung kearah jantung, karena kau sudah pasrah sehingga menumbuhkan belas kasihanku kepadamu. Dengan demikian, aku akan menolongmu untuk cepat mati tanpa merasakan siksaan kesakitan.” Carang Waja kemudian mempersiapkan diri untuk sekali lagi menghentakkan kakinya, membuat

lawannya kehilangan keseimbangan. Kemudian meloncat membenamkan pisau belatinya. Namun diluar sadarnya, pada saat itu. Carang Waja seolah-olah telah memberikan kesempatan yang cukup kepada Sabungsari untuk mempersiapkan ilmunya. Tanpa bergeser sejenggkalpun ia telah mempersiapkan diri, memusatkan kemampuan ilmunya yang dapat terpancar dari matanya. Namun diluar sadarnya, pada saat itu, Carang Waja seolah-olah telah memberikan kesempatan yang cukup kepada Sabungsari untuk mempersiapkan diri, memusatkan kemampuan ilmunya yang dapat terpancar dari matanya. Karena itu, maka pada saat yang bersamaan kedua orang itu telah bersiap untuk melepaskan ilmu puncak masing-masing. Carang Waja dengan ilmunya yang seolah-olah mampu mengguncang bumi, sedangkan Sabungsari telah siap melontarkan ilmunya lewat sorot matanya. Tepat pada waktunya, ketika Carang Waja mulai menggerakkan kakinya untuk menghentak tanah tempat ia berpijak, Sabungsari yang seolah-olah tidak bergerak, dan masih terkapar bersandar tangga pendapa itu, telah melepaskan ilmunya lewat sorot matanya, yang menghantam tubuh lawannya. Ketika Carang Waja berteriak sambil menghentak bumi, maka suara teriakannya tiba-tiba saja telah melengking tinggi. Sementara hentakan kakinya masih juga terasa oleh Sabungsari, dirinya bagaikan diguncang. Namun Sabungsari tidak melepaskan tatapan matanya yang seolah-olah mencengkam dada Carang Waja. Terasa dada Carang Waja bagaikan tertimpa sebuah bukit batu. Jantungnya bagaikan diremas hancur, sementara pernafasannya bagaikan telah tersumbat. Dengan gerak naluriah. Carang Waja telah meloncat dan membanting tubuhnya ditanah sambil melepaskan ilmunya menghentak tempat ia berpijak. Sekali lagi Sabungsari terguncang. Sehingga ia seolah-olah telah terlepas dari sandarannya. Sabungsari yang berusaha untuk tetap mencengkam lawannya dengan ilmunya telah kehilangan ia sesaat. Pada saat Carang Waja menjatuhkan dirinya sambil mengguncang lawannya, maka Carang Waja telah terlepas beberapa kejap. Namun yang beberapa kejap itu seolah-olah telah menunjukkan kepadanya, bahwa himpitan pada dadanya itu adalah karena lontaran ilmu lewat sorot mata lawannya. Karena itu, maka dengan tenaga yang ada padanya. Carang Wajapun kemudian melenting berdiri. Ia sadar, bahwa lawannya akan mencengkamnya sekali lagi. Namun pada saat itu, ia masih sempat menghentakkan kakinya untuk mengelabui keseimbangan Sabungsari yang masih tetap saja ditempatnya. Ketika terasa himpitan didadanya mengendor, karena Sabungsari sedang berusaha mempertahankan keseimbangannya. Carang Waja dengan serta merta telah melontarkan pisau ditangannya.

Sabungsari terkejut. Diluar sadarnya ia telah memperhatikan pisau yang meluncur cepat. Namun ia tidak sempat mengelak, karena ia tidak menduga sama sekali, bahwa serangan itu akan datang meluncur seperti anak panah. Apalagi ia sedang berusaha untuk mempertahankan keseimbangannya. Ketika ia berusaha bergeser setapak, maka pisau itu telah menancap didadanya. Untunglah, bahwa ia sempat berkisar, sehingga pisau itu tidak menghunjam dijantungnya. Sabungsari bagaikan dibakar oleh dendam dan kemarahan tiada taranya. Dengan sisa tenaga yang ada, maka iapun kemudian menghempaskan segenap ilmunya menghantam lawannya. Diremasnya dada lawannya sehingga terdengar tulang-tulang iganya menjadi retak. Carang Waja berteriak tertahan. Tetapi ia tidak dapat melepaskan diri lagi dari cengkaman sorot mata Sabungsari. Anak muda itu sama sekali tidak menghiraukan lagi, ketika dirinya seolah-olah berguncang. Tetapi karena kemampuan tenaga lawan yang jauh susut oleh cengkaman ilmu Sabungsari, maka goncangan itu tidak banyak lagi berarti. Sabungsari benar-benar tidak mau melepaskan lawannya. Ketika Carang Waja kemudian menggeliat dan menjatuhkan dirinya ditanah sambil berguling-guling, Sabungsari berusaha dengan tenaga yang tersisa untuk tetap mencengkam lawannya dengan sorot matanya. Akhirnya Carang Waja sulit untuk berhasil melepaskan diri dari ilmu lawannya. Meskipun ia mencoba mengerahkan ilmunya, ia tetap merasa bahwa dadanya bagaikan dihimpit oleh sebuah bukit batu. Namun demikian, Carang Waja masih berusaha untuk melepaskan diri dengan berguling dan melenting. Sekali-sekali ia terlempar keluar dari cengkaman ilmu Sabungsari. Namun sejenak kemudian, ilmu itu telah mencengkamnya kembali. Meskipun demikian, Sabungsari menjadi cemas juga. Ia sadar bahwa Carang Waja sedang berusaha menjauhinya, dan kemudian berlindung dibalik arena pertempuran yang lain, atau dibalik gerumbul dan pepohonan. Sabungsari tidak mau kehilangan lawannya. Dengan sekuat tenaga yang tersisa, sambil mencengkam lawannya dengan ilmunya, maka iapun bangkit perlahan-lahan dengan tubuh gemetar. Luka Sabungsari ditubuhnya adalah luka yang parah. Tetapi didorong oleh kemarahan yang tiada taranya, ia masih dapat melangkah maju mendekati Carang Waja yang sedang berusaha melepaskan diri dari padanya. Tetapi Carang Waja sudah tidak mempunyai harapan lagi. Rasa-rasanya isi dadanya telah diremukkan oleh kekuatan sorot mata Sabungsari yang mempunyai

sentuhan wadag itu. Beberapa langkah ia masih dapat beringsut. Namun ternyata bahwa prajurit muda itu melangkah terhuyung-huyung mendekatinya. Dengan demikian maka kekuatan sorot matanya terasa semakin keras menghimpit tubuhnya. Tetapi tiba-tiba terasa sesuatu yang mengejutkan Carang Waja. Ketika langkah Sabungsari menjadi semakin dekat, maka cengkaman ilmu anak muda itu justru terasa semakin kendor. Dengan demikian, maka tiba-tiba saja telah melonjak kembali harapan dihati Carang Waja. Meskipun ilmu itu masih terasa menggenggam dadanya, tetapi Carang Waja sempat melihat Sabungsari tidak lagi dapat berdiri dengan mantap. Bahkan kemudian ilmu itu perlahan-lahan seakan-akan telah melepaskannya. Selangkah dihadapannya Sabungsari berdiri. Wajahnya nampak pucat pasi. Darahnya mengalir dari lukanya tanpa terkendali lagi. Karena itulah, maka Sabungsari menjadi semakin lemah. Ia tidak lagi mampu memusatkan ilmunya untuk tetap mencengkam lawannya. Bahkan kepalanya terasa semakin lama semakin pening sementara matanya, pintu pancaran ilmunya yang khusus itu menjadi semakin kabur. Pada saat itu. melonjak harapan dihati Carang Waja. Ia sadar bahwa lawannya tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Ia tentu akan segera pingsan dan barangkali mati. Dengan demikian, betapa luka parah didalam dadanya terasa pedih, namun ia akan dapat melepaskan diri dari himpitan yang tidak terlawan. Ia akan mendapat waktu untuk sekedar beristirahat, mengatur pernafasannya dan kemudian seperti yang pernah terjadi, melarikan diri. Yang terjadi itu bagi Carang Waja, bagaikan sebuah peristiwa yang terulang kembali saat ia melawan Agung Sedayu yang memiliki kemampuan tidak terlawan olehnya. Dan kini prajurit muda itu telah bertempur dengan ilmu yang mirip dengan ilmu yang dimiliki Agung Sedayu, meskipun sumbernya dapat berbeda. Carang Waja tidak menghiraukan lagi kawan-kawannya yang sedang bertempur dengan sengitnya. Ia berharap bahwa merekapun akan dapat mennyelesaikan pertempuran itu sebaik-baiknya. Prajuritprajurit di regol itu akan mati. Prajurit muda yang melawannya itupun akan mati. Dan yang lainlainpun akan terbunuh pula. Pada saat itu, Carang Waja benar-benar merasa telah terlepas dari cengkaman ilmu lawannya. Betapapun dadanya terasa telah hancur, tetapi ia sempat melihat Sabungsari terhuyung-huyung selangkah dihadapannya. Namun yang tidak diperhitungkannya adalah kesadaran terakhir yang mendorong gejolak perasaan Sabungsari.

Dendamnya yang membara serta kemarahan yang tidak terkendali, telah memaksanya untuk selangkah lagi maju untuk menyelesaikan pertempuran itu. Tetapi ia tidak lagi mampu memeras ilmunya dan menghimpit lawannya dengan sorot matanya. Ia tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk mendorong ilmunya yang dahsyat itu, seperti juga Carang Waja sudah tidak mampu lagi menghentak tanah tempatnya berpijak. Namun Sabungsari tidak mau gagal disaat terakhir. Itulah sebabnya, maka Sabungsari memaksa diri dengan kekuatannya yang terakhir untuk melangkah maju. Ia tidak lagi mempergunakan sorot matanya untuk menghadiri pertempuran. Tetapi dengan kekuatan yang tersisa, dihentakannya tangannya untuk menghunjamkan keris ditangannya. Carang Waja melihat keris itu terayun. Bahkan kemudian tubuh Sabungsari itu roboh menimpanya. Tetapi ia tidak mampu beringsut sama sekali. Karena itu, maka ia hanya dapat berdesah perlahan ketika tubuh prajurit muda itu jatuh pada tubuhnya yang terkapar. Carang Waja masih sempat merasa sebuah tusukan keris menghunjam didadanya. Oleh tekanan berat badan lawannya, maka keris yang tepat diarah jantungnya itu telah menembus tubuhnya dan merobek dinding jantungnya itu. Carang Waja tidak sempat mengaduh. Tarikan nafasnya yang berat telah mengakhiri hidupnya diujung keris Sabungsari, seorang prajurit muda yang hatinya telah dibakar oleh dendam. Yang ternyata dendam itu telah membakar Carang Waja. Pada saat yang bersamaan, maka Swandarupun telah menghentakkan kekuatannya yang terakhir. Iapun telah memaksa diri, bertempur melampaui ketahanan tubuhnya, sehingga demikian lawannya yang terakhir dilumpuhkannya, iapun telah terduduk dengan lemahnya di tangga pendapa. Dalam pada itu, para pengikut Carang Waja tidak mempunyai pilihan lain kecuali menghindarkan diri. Mereka yang masih mempunyai kekuatan untuk melarikan diri, segera melarikan diri tanpa menghiraukan kawan-kawannya yang lain. Mereka telah berusaha mencari keselamatan masingmasing. Demikianlah, maka pertempuran di halaman Kademangan Sangkal Putung itupun berakhir. Beberapa sosok mayat tergolek dihalaman, termasuk Carang Waja. Dan orang dari Pesisir Endut terluka parah. Sementara Swandaru sendiri menjadi lemas oleh darahnya yang terlalu banyak mengalir. Sementara Sabungsari masih terbujur diam diatas tubuh Carang Waja. Sedangkan yang lain masih sempat melarikan diri menghindari para prajurit dan orang-orang Sangkal Putung. Pandan Wangi yang tidak mengejar lawannya, dengan tergesa-gesa berlari mendekati suaminya. Sekar Mirahpun telah mengikutinya dan bersama-sama berjongkok disampingnya. Sementara para prajurit yang lain telah berlari-larian mendekati Sabungsari. Mengangkat tubuhnya dan membaringkannya menelentang.

“Pisau itu,“ desis salah seorang prajurit. Perwira yang memimpin para prajurit itupun kemudian berdesis, “Aku akan mencabutnya. Aku membawa obat yang dapat menolongnya untuk sementara jika ia memang masih mungkin hidup.” Dalam pada itu, Swandaru yang menjadi sangat lemah masih sempat melihat para prajurit yang sibuk merawat Sabungsari, sementara itu Pandan Wangi dan Sekar Mirah mencemaskannya. “Aku tidak apa-apa,“ berkata Swandaru, “bagaimana dengan prajurit itu ?” Pandan Wangi yang mencemaskan keadaan Swandaru menyahut, “Prajurit yang lain telah berusaha menolongnya. Tetapi bagaimana keadaanmu sendiri. Lukamu masih berdarah.” Swandaru menarik nafas dalam-dalam. “Marilah,“ berkata Pandan Wangi, “aku akan mengobati luka-lukamu lebih dahulu.” Swandaru tidak membantah ketika kemudian Pandan Wangi dan Sekar Mirah menolongnya, nampaknya masuk keruang dalam, dan membaringkannya disebuah ambin yang besar. Ketika Pandan Wangi dan Sekar Mirah merawatnya, Swandaru sempat menilai dirinya sendiri. Ketika perasaannya bergejolak karena Carang Waja terbunuh oleh prajurit Pajang yang datang itu, maka iapun mencoba untuk menekannya. Meskipun ada juga singgungan pada perasaannya, bahwa orang lainlah yang telah membunuh orang itu, namun ternyata bahwa orang itupun berada dalam keadaan yang parah. Sementara itu, para prajurit telah mengangkat tubuh Sabungsari kependapa. Dengan hati-hati perwira yang memimpin kelima orang prajurit itupun mencabut pisau yang masih tertancap didada Sabungsari yang pingsan. Kemudian menaburkan obat yang dibawanya untuk menolong luka-luka itu sebelum mendapat perawatan yang lebih baik. Ketika para prajurit masih dengan tegang menunggui Sabungsari yang pingsan, Swandaru dengan langkah yang belum mantap, telah keluar pula kependapa dengan dibantu oleh Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Oleh obat yang ditaburkan diluka-lukanya, maka darahnya telah menjadi hampir pampat. Sehingga karena itulah, maka ketika ia sudah berada di pendapa, maka iapun segera duduk bersandar tiang dan membatasi geraknya, agar darahnya tidak menjadi deras lagi. “Bagaimana keadaannya ? “ bertanya Swandaru dengan nada datar. “Parah sekali,“ jawab perwira yang memimpin kelompok prajurit peronda itu, “darahnya terlalu banyak mengalir. Tetapi mudah-mudahan ia tertolong.” Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah mengalami bertempur melawan Carang Waja meskipun orang itu kemudian meninggalkannya. Ia harus mengakui bahwa Carang Waja adalah orang

yang luar biasa. Meskipun demikian, Swandaru itu berkata didalam hatinya, “Seandainya ia tetap melawanku, akupun akan membunuhnya pula, meskipun mungkin aku akan menjadi lebih parah dari luka-lukaku ini.” Sementara itu, para prajurit itu masih dicengkam oleh ketegangan. Obat yang ditaburkan oleh perwira itu memang dapat menolong serba sedikit. Darah yang mengalirpun menjadi jauh berkurang. Tiba-tiba saja hampir diluar sadarnya Swandaru berkata, “Apakah kalian bersedia menyampaikan hal ini kepada Kiai Gringsing ? Mudah-mudahan ia sempat menolong prajurit yang terluka itu.” “Kiai Gringsing,“ perwira itu bergumam. “Ya. Kiai Gringsing dipadepokan kecil itu,“ desis Swandaru. Perwira itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Apakah Kiai Gringsing mampu mengobatinya ?” “Aku tidak tahu pasti. Tetapi ia adalah seorang yang memiliki pengetahuan tentang obat-obatan. Kakang Untara mengetahui hal itu dengan pasti, karena ia pernah ditolong pula oleh Kiai Gringsing ketika ia terluka senjata.” Perwira itu memandang ketiga prajuritnya yang lain. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Marilah. Seorang dari kalian akan pergi bersamaku. Dua orang lainnya akan menjaga Sabungsari. Carilah air, dan titikkan dibibirnya yang kering agar ia mendapat sekedar kesegaran.” “Marilah,“ berkata Sekar Mirah. Lalu. “Aku akan mencari mangkuk di ruang belakang.” Seorang dari prajurit itupun mengikutinya, sementara perwira itupun kemudian minta diri bersama seorang prajuritnya yang lain untuk pergi ke Jati Anom. Melaporkan keadaannya dan singgah dipadepokan Kiai Gringsing. Sepeninggal perwira itu, maka prajurit yang mengambil semangkuk air dibelakang, telah menitikkan air dibibir Sabungsari. Hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat bibir itu bergerak. Tetapi nampaknya Sabungsari masih tetap belum sadarkan diri. Meskipun demikian, agaknya obat yang ditaburkan di luka-lukanya telah berhasil mengurangi arus darah yang mengalir. Bahkan semakin lama menjadi semakin pampat, sehingga prajurit-prajurit yang menungguinya itu telah

berpengharapan, bahwa kawannya itu masih akan dapat ditolong jiwanya. Dalam pada itu. Sekar Mirah telah mendekati pintu bilik ayahnya dan mengetuknya keras-keras. Agaknya pengaruh sirep telah lampau. Ketukan itu ternyata telah didengar oleh ayahnya dan bangun dengan gugup. “Ada apa Sekar Mirah ? “ ia bertanya. “Pergilah ke pendapa ayah,“ desis Sekar Mirah. Dengan mengusap matanya, Ki Demangpun berjalan tertatih-tatih kependapa oleh kantuk yang masih saja seolah-olah melekat dimatanya. Demikian ia keluar dari pintu ruang dalam, hatinya melonjak. Ia melihat seorang prajurit terbaring diam ditunggui oleh dua orang kawannya, sementara Swandaru duduk bersandar tiang tanpa bergerak. “Apa yang telah terjadi ? “ ia bertanya. “Silahkan ayah,“ berkata Sekar Mirah. Ki Demangpun dengan wajah yang tegang, duduk dipendapa, disamping Swandaru yang lemah. “Ceriterakan peristiwa ini kepada ayah Sekar Mirah,“ minta Swandaru. Dengan singkat Sekar Mirah menceriterakan apa yang telah terjadi. Sambil menunjuk kehalaman ia berkata, “Ada beberapa sosok mayat dihalaman. Dan mungkin diantara mereka masih ada yang hidup. Tetapi kami tidak sempat berbuat apa-apa, karena kakang Swandaru terluka dan prajurit itupun parah sekali.” Ki Demang memandang berkeliling dengan tatapan mata yang tegang. Dilihatnya dua orang prajurit yang menunggui kawannya yang terbaring diam. Swandarupun duduk bersandar dengan pakaian yang masih dikotori dengan darahnya sendiri. “Aku akan memanggil para pengawal,“ berkata Ki Demang, “he, kenapa kalian tidak membunyikan kentongan ?“ “Kentongan itu telah pecah,“ sahut Sekar Mirah. “Kenapa ? “ bertanya Ki Demang. “Aku memukulnya terlalu keras dengan tongkatku,” jawab Sekar Mirah. “Jadi kau sudah membunyikan kentongan itu ? “ bertanya Ki Demang. “Sampai pecah,“ jawab Sekar Mirah pula.

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun ber gumam, “Agaknya ada pengaruh sirep seperti yang pernah terjadi.” “Ya. Ada pengaruh sirep. Dan agaknya para pengawalpun sekarang masih belum bangun,“ berkata Sekar Mirah pula. Ki Demang mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Aku akan membangunkan mereka. Jika orangorang yang terusir itu menjadi gila, maka mereka akan dapat membunuh orangorang yang sedang tidur nyenyak itu.” Dada Sekar Mirah tersirap. Hal itu memang mungkin sekali terjadi. Sehingga karena itu, maka iapun dengan serta merta menyahut, “Ayah benar. Marilah ayah. Kita akan membangunkan mereka.” Ki Demangpun kemudian berkemas. Sambil menjinjing pedang, iapun kemudian turun diikuti oleh Sekar Mirah. Ditangga ia berhenti sambil berkata, “Jaga suamimu baik-baik Pandan Wangi. Kita masih harus berhati-hati.” “Ya ayah. Kedua prajurit itu akan menemani kami.” Ki Demangpun segera turun diikuti oleh Sekar Mirah. Mereka menjadi berdebar-debar ketika mereka berdiri digardu didepan regol. Ternyata mereka melihat tubuh yang terbujur lintang didalamnya. “Apakah mereka sudah mati ?“ desis Sekar Mirah. Namun Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia meraba dada salah seorang dari mereka, tangannya masih merasakan tarikan nafas orang itu. “Mereka hanya tertidur,” desis Ki Demang, “aku akan membangunkan mereka.” Sekar Mirah berdiri beberapa langkah dibelakang Ki Demang. Bagaimanapun juga ia masih harus tetap berhati-hati, karena mungkin masih ada diantara lawan yang bersembunyi diantara semak-semak. Seperti yang dikatakan oleh Ki Demang, ternyata para pengawal itu hanyalah tertidur demikian nyenyaknya karena pengaruh sirep, sehingga mereka sama sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi. Mereka terkejut ketika Ki Demang mengguncang tubuh mereka dan menyebut seorang demi seorang. “Bangun. Lihat, apa yang terjadi dihalaman Kademangan,“ berkata Ki Demang.

“Apa yang telah terjadi Ki Demang ?” “Lihatlah sendiri. Kau akan dapat membayangkan, apakah kira-kira yang telah terjadi dihalaman Kademangan,“ jawab Ki Demang. Para pengawal itu menjadi termangu-mangu. Namun kemudian Sekar Mirali berkata, “Jangan bingung. Bangunlah dan pergilah ke gardu-gardu. Bangunkan kawan-kawanmu yang sedang tidur. Kemudian sebagian dari kalian pergi ke halaman Kademangan, karena ada tugas yang harus kalian lakukan.” “Jangan lupa singgah dirumah Ki Jagabaya. Katakan, bahwa telah terjadi sesuatu di Kademangan.“ pesan Ki Demang kemudian. Beberapa orang pengawal yang telah terbangun itupun segera berpencar. Mereka dengan tergesa-gesa membangunkan kawan-kawan mereka yang tertidur di gardu-gardu dan mengajak sebagian dari mereka kehalaman Kademangan. “Yang lain, berhati-hatilah menghadapi kemungkinan yang masih dapat terjadi.“ pesan para pengawal yang akan pergi ke halaman Kademangan. Sementara itu, yang pergi ke rumah Ki Jagabayapun segera mengetuk pintu. Ketika pintu terbuka, mereka melihat Ki Jagabaya berdiri sambil menjinjing pedangnya. “Ada apa ? “ ia bertanya, “kalian membuat aku terkejut.” “Ki Demang memanggil Ki Jagabaya. Sesuatu telah terjadi dihalaman Kademangan.” “Apa yang telah terjadi ?” “Kami tidak begitu jelas. Tetapi nampaknya cukup gawat.” “Siapa yang menyuruh kau kemari ?” “Ki Demang sendiri.” Ki Jagabaya menjadi termangu-mangu. Dengan kening yang berkerut merut ia bertanya, “Apakah tidak ada tanda bahaya ?” “Tidak. Ki Demang tidak memerintahkannya.” Ki Jagabayapun kemudian minta diri kepada keluarganya. Dengan tergesa-gesa bersama beberapa orang pengawal iapun pergi ke halaman Kademangan. Betapa terkejut Ki Jagabaya melihat peristiwa yang telah terjadi. Di pendapa, seorang prajurit terluka parah, sementara Swandaru yang terlukapun masih duduk bersandar tiang. Ia masih belum berani banyak bergerak dan berbicara. Ia masih berusaha untuk memampatkan luka-lukanya sama sekali.

“Sebaiknya kau tidur saja dipembaringan,“ berkata Ki Jagabaya kepada Swandaru. “Tidak mau paman,“ jawab Pandan Wangi, “aku. Sekar Mirah dan ayah sudah menasehatkan agar kakang Swandaru berbaring saja dipembaringan. Tetapi ia merasa wajib untuk berada dipendapa dalam keadaan yang gawat seperti ini.” “Serahkan semuanya kepada ayahmu,“ berkata Ki Jagabaya. Swandaru menggeleng. Jawabnya, “Lukaku tidak terlalu parah. Prajurit itulah yang sangat parah. Sementara biarlah para pengawal melihat tubuh yang terbaring dihalaman. Apakah ada diantara mereka yang masih hidup.” Dalam pada itu, para pengawaipun mulai melakukan tugasnya. Mereka mulai meneliti tubuh-tubuh yang terbujur diam ditanah. Mereka kemudian menemukan dua orang diantara orangorang Pasisir Endut yang masih hidup. Mereka mengangkat kedua orang itu kependapa dan membaringkannya terpisah dari Sabungsari. “Mereka masih hidup,“ berkata seorang pengawal. Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain kecuali membiarkan kedua orang itu dibaringkan dipendapa. Ia tidak dapat mengingkari kewajiban, bahwa betapapun kemarahan membakar hati, tetapi adalah menjadi kewajiban untuk merawat orang-orang yang terluka dipeperangan, meskipun mereka adalah musuh sekalipun. Para prajuritpun agaknya berpegang juga pada keharusan itu. sehingga mereka justru menganggukangguk ketika Swandaru diluar sadarnya memandangi para prajurit yang menunggui Sabungsari yang terluka. Sementara para pengawal yang lainpun telah memisahkan mereka yang terbunuh dipeperangan untuk diselenggarakan sebagaimana seharusnya. Dalam pada itu, maka perwira prajurit Pajang yang sedang meronda itupun berpacu menuju ke Jati Anom. Jarak antara Jati Anom dan Sangkal Putung memang tidak terlalu jauh, tetapi juga tidak terlalu dekat. Mereka memerlukan waktu untuk mencapai Kademangan Jati Anom. Kedua prajurit itu tidak peduli sama sekali ketika langit menjadi merah dan kemudian matahari mulai menjenguk dari balik batas pandangan. Mereka tidak menghiraukan orangorang yang berpapasan disepanjang jalan, memandang mereka dengan heran dan cemas. Orang-orang yang pergi ke pasar itupun menjadi berdebar-debar pula melihat dua orang prajurit berpacu seperti angin. Dua malam prajurit itu meronda. Namun jarak ke Jati Anom telah mereka tempuh kembali dalam waktu yang jauh lebih dekat. Mereka telah memilih jalan yang paling pendek. Dan merekapun berpacu secepat dapat mereka lakukan. Ketika mereka memasuki Kademangan Jati Anom, maka orang-orang Jati Anompun terkejut pula.

Prajurit yang berjaga-jaga diregol rumah Untara terkejut pula. Apalagi karena kedua orang prajurit itu hanya mengangguk saja ketika mereka melintas. Di halaman keduanya meloncat turun. Menyerahkan kudanya kepada seorang pekatik yang menyongsongnya. Untarapun terkejut ketika seorang prajurit memberitahukan kehadiran perwira yang sedang bertugas itu bersama seorang prajuritnya. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa iapun telah menerimanya. “Laporkan,“ perintah Untara dengan singkat. Perwira itupun kemudian melaporkan peristiwa yang telah terjadi di Kademangan Sangkal Putung. Melaporkan keadaan Sabungsari dan Swandaru yang terluka parah. “Sabungsari masih hidup,“ katanya kemudian, “tetapi keadaannya sangat gawat. Aku sudah mengobatinya untuk sementara. Sedangkan Swandaru minta agar aku singgah dipadepokan gurunya.” “Disini ada seorang yang ahli dalam pengobatan,“ berkata Untara, “bawa orang itu agar ia mengobati prajurit muda yang terluka itu.” “Bagaimana dengan Kiai Gringsing ? “ bertanya perwira itu. “Kenapa harus Kiai Gringsing ? “ Untara ganti bertanya. Perwira itu menjadi bingung. Ia sadar, bahwa dalam lingkungan keprajuritan memang sudah ada seorang yang ahli didalam soal obat-obatan. Tetapi iapun menerima pesan Swandaru agar ia singgah dipadepokan Kiai Gringsing untuk minta orang tua itu datang ke Sangkal Putung. Karena itu, hampir diluar sadarnya, perwira itupun menjawab, “Menurut Swandaru, Ki Untara mengetahui dengan pasti, bahwa Kiai Gringsing memiliki ilmu pengobatan yang tinggi, karena Ki Untara sendiri pernah dirawatnya ketika Ki Untara terluka senjata.” Untara mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak dapat ingkar, bahwa Kiai Gringsing adalah seorang yang memiliki ilmu pengobatan yang lebih baik dari seorang perwiranya yang bertugas di bidang pengobatan. Ia mengerti Kiai Gringsing yang dahulu mempunyai hubungan khusus dengan ayahnya, adalah orang yang aneh, yang menyembunyikannya pada saat ia terluka, karena ia harus bertempur melawan Alap-alap Jalatunda dan sekaligus Pande Besi dari Sendang Gabus bersama beberapa orang kawannya. Perwira yang menyampaikan hal itu, menjadi berdebar-debar. Ia melihat teka-teki diwajah Untara. Apakah ia dapat menerima pesan Swandaru, atau ia justru menjadi marah karenanya. Namun akhirnya perwira itu menarik nafas dalam-dalam ketika Untara berkata, “Baiklah. Pergilah secepatnya kepada Kiai Gringsing, dan beritahukan apa yang terjadi. Muridnya itu tentu merasa lebih baik diobati oleh gurunya sendiri.” “Bagaimana dengan Sabungsari ? “ bertanya perwira itu.

“Percayakan juga ia kepada Kiai Gringsing,“ jawab Untara. Perwira itu mengangguk sambil berkata, “Baiklah. Aku mohon diri untuk melaksanakan tugas ini.” “Makan sajalah dahulu.” seorang kawannya memperingatkan ketika ia siap untuk berangkat. Tetapi perwira itu menggeleng. Jawabnya, “Mereka yang terluka memerlukan pertolongan secepatnya.” “Tetapi kau tentu perlu beristirahat pula.” “Nanti aku akan beristirahat sehari semalam selelah tugas ini selesai.” Perwira itupun kemudian melanjutkan perjalanan ke padepokan kecil disebelah Jati Anom bersama seorang prajurit yang menyertainya dari Sangkal Putung. Kedatangan prajurit itu dipadepokan Kiai Gringsing, membual seisi padepokan itu terkejut. Dengan tergesa-gesa mereka mempersilahkan mereka duduk dipendapa. Dengan wajah tegang, Kiai Gringsingpun segera bertanya, apakah yang lelah terjadi. Dengan singkat perwira itu menceriterakan peristiwa yang telah terjadi di Sangkal Putung. Tentang Swandaru yang terluka dan Sabungsari yang parah. Wajah-wajah yang mendengar peristiwa itupun menjadi tegang. Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Dengan nada dalam Kiai Gringsing bertanya, “Bagaimana keadaan mereka saat Ki Sanak meninggalkan Sangkal Putung ?” “Sabungsari dalam keadaan gawat Kiai. Sementara Swandaru atas usahanya dapat memampatkan luka-lukanya dengan sejenis obat-obatan,“ jawab perwira itu. “Apakah obat itu tidak dipergunakan juga untuk angger Sabungsari ? “ bertanya Kiai Gringsing. “Sabungsari mempergunakan obat yang kami bawa sebagai bekal. Dan agaknya dapat juga sedikit menolong untuk sementara,“ berkata perwira itu. Kemudian, “Atas saran Swandaru dan atas persetujuan Ki Untara, kami mohon Kiai bersedia datang ke Sangkal Putung.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya, “Baik. Baik. Aku akan bersiap-siap.” Ketika Kiai Gringsing dengan tergesa-gesa berdiri untuk bersiap, maka Agung Sedayupun berkata, “Aku ikut guru.” Kiai Gringsing berpikir sejenak. Lalu, “Baiklah. Marilah kita pergi bersama-sama.” Tetapi mereka tidak akan dapat meninggalkan Glagah Putih. Karena itu, sebelum Glagah Putih bertanya. Kiai Gringsing sudah mendahuluinya berkata, “Bersiaplah. Kau akan ikut pula.”

“Tetapi, bukankah paman akan datang kemari ? “ bertanya Agung Sedayu kepada Kiai Gringsing. Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Lalu iapun bertanya kepada Glagah Putih, “Apa kata ayahmu? Kapan ia akan datang ?” “Ayah akan datang kapan saja,“ jawab Glagah Putih. “Biarlah salah seorang pergi ke Banyu Asri mengabarkan kepergian Glagah Putih. Adalah lebih baik bahwa pada saat-saat padepokan ini kosong ayahnya berada disini. Tetapi ia tidak kecewa karena ia sudah mengetahui bahwa Glagah Putih tidak ada dipadepokan,“ berkata Kiai Gringsing. Agung Sedayupun kemudian bangkit pula. Ia langsung pergi kebelakang untuk mempersiapkan kuda dan berpesan kepada salah seorang anak muda yang tinggal dipadepokan itu untuk pergi ke Banyu Asri. Sejenak kemudian maka semuanya telah siap. Dengan membawa kuda-kudanya kehalaman Kiai Gringsingpun kemudian mempersilahkan kedua prajurit itu untuk pergi bersamanya ke Sangkal Putung.” “Maaf, aku mengusir Ki Sanak berdua dari padepokan ini,“ berkata Kiai Gringsing. “Justru itulah yang paling baik dalam keadaan seperti ini. Kiai,” jawab perwira itu. Sejenak kemudian maka kedua prajurit itupun telah berpacu ke Sangkal Putung diikuti oleh Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Glagah Putih. Disepanjang jalan mereka hampir tidak bercakap-cakap sama sekali, karena pikiran mereka sedang dicengkam oleh peristiwa yang telah terjadi di Sangkal Putung. Dala:m pada itu, dengan gelisah, para prajurit yang menunggui Sabungsari menunggu kawankawannya yang pergi ke Jati Anom. Sudah cukup lama mereka menunggu. Sekali-sekali mereka menitikkan air kebibir Sabungsari. Namun Sabungsari masih saja pingsan meskipun bibirnya kadang-kadang sudah mulai bergerak. Tetapi mereka sedikit tenang karena obat yang mereka taburkan pada luka-luka Sabungsari berhasil mengurangi, bahkan hampir memampatkan darah dari luka-lukanya. Swandaru yang masih duduk bersandar tiang, menjadi gelisah pula. Ia sendiri mengalami luka-luka. Tetapi lukanya tidak separah Sabungsari. Prajurit yang telah berhasil membunuh Carang Waja itu. Ketika Swandaru minum seteguk air hangat, maka terasa tubuhnya menjadi lebih segar, meskipun ia masih juga merasa sangat lemah. Namun demikian, ia selalu menolak jika seseorang

mempersilakannya untuk berbaring saja dipembaringannya. Para prajurit itu tersentak ketika mereka melihat Sabungsari membuka matanya perlahan-lahan. Dengan penuh harapan mereka beringsut mendekat. Namun mata itupun kemudian tertutup kembali. Kedua prajurit yang menungguinya menjadi semakin gelisah. Ketika mereka melihat bibir Sabungsari bergerak, mereka telah menitikkan air beberapa tetes kebibir yang kering itu. Sekar Mirah yang kemudian mendekatinya pula berdesis, “Air itu akan memberinya kesegaran. Tetapi jangan terlalu banyak.” Kedua prajurit itu mengangguk. Salah seorang dari mereka berdesis, “Mudah-mudahan kedatangan Kiai Gringsing tidak terlambat.” Sementara para prajurit dan mereka yang berada dipendapa itu menjadi gelisah, Ki Demang dan Ki Jagabaya telah mengatur penyelenggaraan beberapa sosok mayat orang-orang Pesisir Endut yang terbunuh termasuk Carang Waja sendiri. Sementara mereka yang terluka telah pula ditolong dengan obat-obatan yang ada. Ketika mereka merintih kesakitan, maka beberapa orang pengawal telah mendekatinya. “Air,“ desis salah seorang dari orang-orang Pasisir Endut yang terluka itu. Senang atau tidak senang, maka salah seorang pengawal telah mencari air dan kemudian menitikkan kebibir orangorang yang terluka itu. “Terima kasih,“ desis salah seorang dari mereka. Pengawal itu tidak menyahut. Namun ketika ia sempat memandang tatapan mata orang itu, maka timbullah perasaan iba dihatinya. Nampaknya orang itu sudah berputus asa. Tetapi agaknya adalah diluar dugaannya bahwa masih ada orang yang bersedia mengambil air untuknya. Justru karena itu, matanya tidak lagi nampak menyala oleh dendam. Tetapi justru menjadi sayu dan basah. Sejenak pengawal itu termangu-mangu. Namun kemudian ia berdesis, “Tunggulah sejenak. Jika Kiai Gringsing itu datang, maka kaupun tentu akan diobatinya.” Orang itu menarik nafas dalam-dalam sekali. Agaknya ada yang akan dikatakannya. Tetapi bibirnya tidak melontarkan sepatah katapun. Dalam pada itu, Kademangan Sangkal Putung telah menjadi sibuk karena kematian beberapa orang di halaman rumah Ki Demang. Kedatangan orang-orang Sangkal Putung untuk melihat apa yang telah terjadi, tidak dapat dibendung lagi. Para pengawal terpaksa mendorong beberapa orang untuk menyingkir dari tangga pendapa, karena ada diantara mereka yang memaksa untuk naik. Kecuali karena mereka ingin melihat keadaan Swandaru, merekapun ingin melihat keadaan prajurit Pajang yang terluka parah dan orang-orang Pesisir Endut yang terluka pula.

Dengan marah maka beberapa orang justru berteriak, “Bunuh saja mereka.” Tetapi para pengawal yang sempat menjelaskan, mengatakan, bahwa tidak seharusnya mereka yang tertawan itu dibunuh. Ki Jagabaya yang juga mencemaskan keadaan Sabungsari dan Swandaru setiap kali mempersilahkan mereka dibawa masuk. Tetapi setiap kali Swandaru selalu menolak. Ia lebih senang berada dipendapa meskipun hanya sekedar duduk bersandar tiang, dari pada tidur dipembaringan. Orang-orang Sangkal Putung ternyata tidak menunggu lebih lama lagi. Merekapun segera menyibak ketika beberapa orang yang berdiri dibelakang berteriak, “Minggir, minggir. Kiai Gringsing.” Bagi orang-orang Sangkal Putung, Kiai Gringsing jauh lebih banyak mereka kenal daripada para prajurit Pajang di Jati Anom. Karena itu, maka yang mereka sebut adalah dukun tua yang memang pernah tinggal di Sangkal Putung dengan nada penuh harapan, agar mereka yang terluka dapat segera disembuhkan. Terutama Swandaru. Kedatangan sekelompok kecil orang-orang dari padepokan terpencil di Jati Anom itu telah menumbuhkan tanggapan yang cerah. Dengan serta merta maka Kiai Gringsingpun segera naik kependapa diikuti oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih, serta kedua prajurit yang telah datang kepadepokannya. Yang mula-mula mempersilahkannya adalah justru Ki Jagabaya, “Silahkan Kiai. Itulah Swandaru Geni.” Tetapi Swandarulah yang menyahut, “Lukaku tidak seberapa. Guru. tolonglah dahulu prajurit itu.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun segera melihat, bahwa keadaan Sabungsarilah yang benar-benar gawat. Karena itulah, maka iapun segera mendekati Sabungsari yang masih ditunggui oleh kedua orang kawannya. Dengan sungguh-sungguh Kiai Gringsing memperhatikan keadaan Sabungsari. Luka-lukanya yang parah dan pernafasannya yang tersendat-sendat. Beberapa kerut kecemasan nampak membayang diwajahnya. Bahkan kemudian orang tua itu menarik nafas panjang. “Bagaimana keadaannya Kiai ? “ bertanya perwira yang menjemputnya ke Jati Anom. “Marilah kita berdoa didalam hati,” berkata Kiai Gringsing, “aku akan mencobanya memberikan obat yang paling baik yang ada padaku. Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa berkenan mempergunakannya sebagai alat limpahan belas kasihan-Nya kepada angger Sabungsari. Perwira itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah Kiai mengenalnya ?”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya, “Ya. Aku kenal angger Sabungsari. Ia pernah datang kepadepokanku.” “Untuk apa?” bertanya perwira itu. “Diwaktu senggang ia mengisinya dengan berbagai macam kerja dipadepokan sekedar untuk mendapatkan suasana yang berbeda. Bahkan kadang-kadang angger Sabungsari ikut pula kerja disawah dan ladang. Namun kadang-kadang ia hanya sekedar tinggal dipadepokan dengan dudukduduk dan bergurau bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih.” Perwira itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mengganggu lagi, ketika kemudian Kiai Gringsing dengan sungguh-sungguh mulai mengobatinya dengan obat-obat yang dibawanya dari padepokannya. Sementara itu. para pengawal masih saja sibuk dengan orang-orang Sangkal Putung yang ingin melihat apa yang terjadi. Bahkan dengan demikian, maka hampir tidak ada orang yang sempat membantu membawa sosok-sosok mayat kekuburan setelah perwira prajurit yang telah datang kembali ke Sangkal Putung itu mengijinkannya. Namun akhirnya Ki Jagabayapun mendapatkan beberapa orang yang bersedia membantunya memebawa mayat-mayat itu kekubur diantar oleh sekelompok pengawal. Bagaimanapun juga mereka harus tetap berhati-hati karena kemungkinan-kemungkinan yang tidak diharapkan masih saja dapat terjadi. Dendam tentu masih menyala di Pesisir Endut karena kematian beberapa orang kawannya. Bahkan Carang Waja yang tidak ada duanya bagi orang-orang Pasisir Endut itupun telah terbunuh pula di Sangkal Putung. Dalam pada itu, oleh sejenis obat-obatan yang paling baik dari Kiai Gringsing, serta doa yang sungguh-sungguh dihati orang tua itu serta mereka yang mengikuti pengobatan yang menegangkan itu, ternyata Sabungsari telah menggerakkan matanya. Perlahan-lahan ia berdesis. Namun agaknya ia telah mulai sadar akan keadaannya. Tetapi justru karena itu, maka ia mulai merasa, betapa tubuhnya bagaikan remuk disayat-sayat oleh luka. Betapa perasaan pedih dan nyeri menggigit sampai ketulang-tulang. Sabungsari mulai membuka matanya. Bukan saja sekedar membuka mata tanpa kesadaran. Ia mulai mengerti, betapa luka-lukanya sangat parah. Namun kehadiran Kiai Gringsing yang mula-mula nampak kabur membuat prajurit muda itu menjadi heran. Semakin lama wajah orang tua itu nampak semakin jelas. Bahkan kemudian ia melihat sebuah senyum dibibir orang tua yang dikenalnya dengan baik itu. “Kiai,“ desisnya perlahan-lahan sambil menyeringai menahan sakit. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya ngger. Aku ada disini bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih.”

Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Tetapi dadanya terasa betapa sakitnya. Ia merasa sesuatu telah menitik dibibirnya dan kemudian hanyut di kerongkongannya. Sabungsari mengerti, bahwa yang ditelannya itu adalah cairan yang dibubuhi obat oleh Kiai Gringsing selain obat yang ditaburkan pada lukanya. Dengan demikian, maka harapan prajurit-prajurit dari Jati Anom itu telah menjadi semakin besar, bahwa Sabungsari akan dapat diobatinya. Dengan tegang mereka mengikuti perkembangan keadaannya. Meskipun kemudian Sabungsari justru terdengar menahan desah kesakitan, namun dengan demikian, maka para prajurit itu mengerti, bahwa kesadaran Sabungsari telah pulih kembali. Baru setelah Sabungsari sadar sepenuhnya akan keadaannya, Kiai Gringsing beringsut mendekati Swandaru yang duduk bersandar tiang pendapa. Luka Swandarupun bukan luka yang dapat diabaikan. Untunglah bahwa ia telah meninggalkan serbuk obat yang untuk sementara dapat menolongnya. Seperti Sabungsari. maka Swandarupun kemudian diberinya cairan obat yang dapat memperkuat daya tahan tubuhnya, yang terbuat dari jenis akar-akaran dan dedaunan. “Swandaru,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “memang sebaiknya kau beristirahat dipembaringan untuk memulihkan keadaanmu.” Swandaru menggeleng. Katanya, “Aku tidak terlalu parah guru. Aku ingin melihat, apa yang dikerjakan oleh orang-orang Sangkal Putung dalam keadaan seperti ini. Para pengawal tentu akan menjadi semakin gelisah jika mereka melihat, seolah-olah aku terluka parah.” “Mereka sudah mengetahui apa yang terjadi.” jawab Kiai Gringsing, “adalah wajar jika kau beristirahat barang sehari dua hari. Sementara biarlah angger Sabungsari juga dibaringkan dipembaringan. Keadaannya akan lebih baik daripada dibiarkannya saja berada dipendapa. Kegelisahan orang-orang Sangkal Putung yang mengerumuni pendapa ini akan dapat mengganggu perasaannya.” Swandaru mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Biarlah prajurit itu dibawa kegandok.” Kemudian atas persetujuan ayahnya, prajurit yang terluka itupun diangkat oleh kawan-kawannya kegandok sebelah kiri dan membaringkannya disebuah amben yang besar. Sementara Swandaru masih tetap ingin duduk dipendapa bersama para bebahu Sangkal Putung yang telah berkumpul di Kademangan. Dalam pada itu, Ki Demang dan Ki Jagabaya telah minta agar mereka yang berkerumun disekitar pendapa, meninggalkan halaman dan kembali kepada kerja masing-masing. “Bukankah kalian harus pergi ke sawah ? “ bertanya Ki Jagabaya, “kita akan menyelesaikan kerja disini. Kerja yang memerlukan ketenangan. Karena itu, kami, para bebahu Kademangan minta tolong kepada kalian untuk membuat suasana di halaman ini menjadi tenang. Tiggalkan halaman ini, dan

lakukanlah kerja kalian sehari-hari.” Orang-orang Sangkal Putung itu termangu-mangu. Namun akhirnya merekapun meninggalkan halaman Kademangan. Seorang demi seorang mereka melangkah keluar halaman sambil berbicara diantara mereka. “Prajurit itu terluka parah,“ desis yang seorang. Yang lain menjawab, “Ya. Swandarupun terluka. Tetapi ia adalah seorang pemimpin sejati. Bagaimanapun juga keadaannya, ia tetap bertanggung jawab. Untuk mengawasi medan ia tetap duduk dipendapa meskipun setiap orang minta agar ia beristirahat dipembaringan.” “Tetapi itu dapat membahayakan dirinya sendiri,“ jawab yang lain pula. “Seorang pemimpin tidak menghiraukan keadaan dirinya sendiri,” desis seorang pengawal yang mendengar pembicaraan itu. Dalam pada itu, orang-orang Sangkal Putung yang kemudian melihat Kiai Gringsing mengobati orangorang Pesisir Endut yang terluka, harus menahan perasaannya untuk tidak berteriak menentang sikap itu. Tetapi karena Swandaru, Ki Demang dan Ki Jagabaya tidak berkeberatan, bahkan nampaknya mereka justru sependapat, maka orangorang Sangkal Putung itu tidak berteriak agar mereka dibunuh saja. Tetapi seperti yang pernah terjadi, maka Swandaru sebenarnya menjadi kesal juga atas orang-orang itu. Jika Sangkal Putung terpaksa menahan mereka, maka hal itu akan merupakan beban waktu dan tenaga yang cukup menjemukan. Namun ketika Swandaru memandang perwira prajurit Pajang yang nampaknya memperhatikan orangorang Pasisir Endut yang terluka itu dengan saksama, maka timbullah niatnya untuk menyerahkan mereka kepada para prajurit Pajang di Jati Anom itu saja. Ketika orang-orang Sangkal Putung yang berkerumun telah meninggalkan halaman, maka orang-orang yang berada dipendapa itupun mulai duduk dengan tenang melingkar ditengah-tengah pendapa, sementara orang-orang Pesisir Endut yang terluka itu masih berbaring disudut pringgitan. Ketika Pandan Wangi menceriterakan apa yang terjadi, maka Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Glagah Putih mulai dapat membayangkan, bahwa peristiwa ini pernah pula terjadi. Agung Sedayu seolah-olah melihat kembali, bagaimana ia harus bertempur melawan Carang Waja, yang untunglah, bahwa keadaannya lebih baik dari yang terjadi atas Sabungsari. “Jika Ki Demang tidak berkeberatan,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “biarlah Sabungsari berada disini barang dua tiga hari, sehingga luka-lukanya tidak berbahaya lagi. Baru kemudian ia akan dibawa kembali kebaraknya di Jati Anom.”

Ki Demang mengangguk-angguk sambil menjawab, ”Baiklah Kiai. Aku tidak berkeberatan sama sekali. Agaknya hal itu akan lebih baik bagi prajurit muda itu.” “Tetapi bagaimana dengan Kiai Gringsing ? “ bertanya Ki Jagabaya. “Aku akan merawatnya. Dan aku akan merawat Swandaru untuk beberapa saat.” jawab Kiai Gringsing. Sekar Mirah menarik nafas diluar sadarnya. Tetapi wajahnya menjadi kemerah-merahan karena ia telah menjadi gembira atas keputusan Kiai Gringsing. Seolah-olah orangorang yang berada dipendapa itu mengetahui perasaannya, bahwa sebenarnya ia memang berharap, bahwa Agung Sedayu akan tinggal beberapa hari di Sangkal Putung. Demikianlah, maka untuk merawat orang-orang yang terluka di Sangkal Putung, termasuk kedua orang Pesisir Endut, Kiai Gringsing harus tinggal untuk beberapa hari. Demikian pula. Agung Sedayu dan Glagah Putih-pun ikut pula tinggal untuk sementara di Sangkal Putung. Kecuali untuk membantu merawat orang-orang yang terluka, maka agaknya Kiai Gringsingpun mempunyai pertimbangan lain. Mungkin keluarga atau perguruan Carang Waja akan mengambil sikap karena kematiannya. Dalam pada itu, maka perwira prajurit Pajang di Jati Anom yang berada di Sangkal Putung tidak dapat tinggal terlalu lama. Iapun kemudian menyerahkan Sabungsari dalam perawatan Kiai Gringsing, sementara ia sendiri harus kembali ke Jati Anom. Tetapi ia meninggalkan seorang prajuritnya untuk mengawani Sabungsari dan membantunya jika ia memerlukan sesuatu agar tidak terlalu menyulitkan orangorang Sangkal Putung yang merawatnya. “Tiga atau empat hari lagi kami akan datang menjemput Sabungsari, jika keadaannya sudah memungkinkan,“ berkata perwira itu. “Dan kami akan menyerahkan kedua orang Pesisir Endut itu,“ sahut Swandaru. Perwira itu mengerutkan keningnya. Namun ia tidak akan ingkar. Maka jawabnya, “Aku akan membawanya bersama dengan Sabungsari.” Setelah mengucapkan terima kasih, maka perwira itupun kemudian meninggalkan Sangkal Putung bersama kedua orang prajuritnya kembali ke Jati Anom untuk melaporkan semuanya yang telah terjadi di Sangkal Putung. Agaknya masih ada harapan bagi Sabungsari untuk tetap hidup. Sementara kehadiran Kiai Gringsing di Sangkal Putung selain akan dapat memberikan pengobatan, juga akan dapat memberikan perlindungan bagi Sabungsari jika diperlukan. Dengan sunggguh-sungguh. Kiai Gringsing telah merawat mereka yang terluka. Bukan saja Swandaru dan Sabungsari, tetapi juga kedua orang Pesisir Endut yang terluka.

Karena itulah, maka keadaan merekapun menjadi semakin baik. Swandaru dihari berikutnya telah dapat berjalan-jalan dihalaman. Ia sudah dapat berada diantara para pengawal yang masih saja digelisahkan oleh keadaan di halaman Kademangan. Dua kali peristiwa serupa itu telah terjadi. Jika saudara-saudara seperguruan Carang Waja masih juga mendendam, maka tidak mustahil bahwa peristiwa itu akan masih terulang kembali, meskipun yang melakukan orang lain. Dalam pada itu. Agung Sedayu dan Sekar Mirah terlibat dalam persoalan yang lama diantara mereka. Sekar Mirah sama sekali tidak menunjukkan keinginannya untuk tinggal dipadepokan. Ia masih saja selalu berbicara tentang masa depan yang lebih baik. Meskipun Sekar Mirah tidak begitu senang terhadap pribadi Untara yang dianggapnya kurang ramah dan terlalu berpegangan pada pendapatnya sendiri, tetapi sempat juga ia berkata kepada Agung Sedayu, “Kakang, bukankah setiap kali Kakang Untara juga mendorongmu, agar kau memilih jalan hidup yang lebih baik dari yang kau tempuh sekarang ?” Setiap kali Agung Sedayu hanya dapat menundukkan kepalanya. Kadang-kadang ia merasa terlalu bebal untuk mengambil sikap. Ia mengerti perasaan Sekar Mirah. Tetapi ia merasa berdiri di jalan yang bersimpang sembilan. Ia tidak tahu, jalan manakah yang paling baik untuk dipilihnya. “Kakang Agung Sedayu,“ berkata Sekar Mirah kemudian, “kau lihat prajurit muda itu ? Ia dapat membunuh Carang Waja, tetapi ia terluka parah, sehingga jiwanya hampir dikorbankannya. Aku mempunyai perhitungan, bahwa kau memiliki kelebihan daripadanya. Aku mendasarkan perhitunganku pada saat kau mengalahkan Carang Waja itu. Jika ia kembali setelah sembuh, maka perwira yang menyaksikan peristiwa ini akan membuat laporan tentang dirinya. Dengan demikian maka tatarannyapun akan meningkat dan harapan baginya menjadi semakin cerah.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Diluar sadarnya, maka iapun mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kakang, jika kau berpinjak pada harga dirimu, dan tidak mau menompang kedudukan kakang Untara, maka kau dapat memilih tugas ditempat lain, ditempat yang tidak berada dibawah kuasa kakang Untara. Meskipun kau harus melalui tataran yang paling rendah, tetapi kau masih mempunyai harapan.” Agung Sedayu masih berdiam diri. “Atau, barangkali kau tidak ingin menjadi prajurit, kakang. Jika demikian, berbuat sesuatu, agar kau mendapat tempat bagi hidup kita kelak. Padepokanmu yang kecil itu tidak akan dapat memberikan apa-apa kepada kita. Nama tidak, harta benda juga tidak. Jika kau puas dengan sekedar pengabdian, maka hidup ini akan menjadi kering dan tidak memberikan gairah sama sekali,“ suara Sekar Mirah menjadi semakin dalam.

Tetapi seperti yang selalu dilakukan, maka Agung Sedayu hanyalah menunduk dan kebingungan. Ia tidak tahu, apakah yang harus diperbuatnya, apalagi jika mata Sekar Mirah kemudian menjadi basah. Dalam keadaan yang demikian. Sekar Mirah sama sekali menjadi lain dari Sekar Mirah yang garang, yang memegang tongkat baja putih berkepala tengkorak, peninggalan gurunya. Jika mudah tidak mungkin lagi baginya untuk hanya berdiam diri, maka Agung Sedayu selalu mengatakan, “Aku akan memikirkannya Mirah.” Sekar Mirah mengusap matanya. Kemudian dengan wajah yang buram ia meninggalkan Agung Sedayu yang termangu-mangu. Persoalan itu seolah-olah merupakan persoalan yang selalu kembali setiap saat dalam pembicaraannya dengan Sekar Mirah. Tidak ada habisnya dan tidak ada jalan yang nampaknya dapat ditempuh selain melakukan seperti yang dikatakan oleh Sekar Mirah. Tanpa disadarinya, Agung Sedayupun kemudian bangkit dan melangkah kegandok, kedalam bilik Sabungsari yang masih terbaring diamben bambu. Ketika prajurit muda itu melihat Agung Sedayu, maka iapun tersenyum sambil berkata, “Marilah Agung Sedayu.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia masih berdiri beberapa saat dimuka pintu, sehingga prajurit yang berada bersama Sabungsari didalam bilik itupun mempersilahkannya, “Marilah. Masuklah.” Agung Sedayu menajrik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun melangkah masuk dan duduk dibibir amben tempat Sabungsari terbaring. Diluar sadarnya ia meraba leher Sabungsari sambil bertanya, “Bagaimana keadaanmu sekarang ?” Sabungsari masih tersenyum. Jawabnya, “Aku sudah menjadi jauh lebih baik sekarang.” “Tetapi tubuhmu masih terasa agak panas.” Sabungsari beringsut setapak. Katanya, “Setiap kali aku minum obat yang diberikan oleh Kiai Gringsing, tubuhku memang terasa panas. Tetapi itu tidak lama. Jika keringat telah membasahi punggung, terasa tubuhku menjadi segar. Rasa-rasanya luka-lukaku telah sembuh.” Agung Sedayu menggeleng sambil menjawab, “Luka-lukamu masih sangat berbahaya. Kau harus mengikuti segala petunjuk guru, agar kau benar-benar akan sembuh. Pada suatu saat keadaanmu menjadi seolah-olah telah baik sama sekali. Tetapi jika kau kurang berhati-hati dan terlalu banyak bergerak, maka mungkin sekali akan timbul akibat sampingan dari sakitmu sekarang ini sehingga akan dapat terjadi hal yang tidak terduga-duga.”

Sabungsari tertawa. Katanya, “Yang kau katakan seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing. Agaknya kaupun mulai mempelajari ilmu yang satu ini.” Agung Sedayupun tersenyum. Jawabnya, “Aku adalah muridnya. Meskipun aku belum mulai belajar dengan sungguh-sungguh ilmu pengobatan, tetapi aku sering melihat dan mendengar apa yang dilakukan dan apa yang dipesankan kepada orang-orang sakit.” Suara tertawa Sabungsari meninggi. Tetapi iapun kemudian menyeringai menahan sakit pada lukanya. “Sudahlah,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “jika mungkin tidurlah sebanyak-banyaknya. Kesehatanmu akan segera menjadi bertambah baik. Jika kawan-kawanmu datang untuk menjemputmu, kau sudah dapat melakukan segala keperluanmu sendiri. Kau tidak perlu didukung memanjat sangga wedi kudamu. Atau jika mereka membawa pedati, kau tidak usah diangkat naik kepedati.” Sabungsari mengangguk. Tetapi ia masih tersenyum. Sesaat Agung Sedayu masih duduk diamben itu. Prajurit yang menunggui Sabungsari seolah-olah mendapat kesempatan untuk meninggalkan kawannya yang sedang sakit itu untuk beberapa lamanya. Karena itu maka iapun justru pergi keluar dan turun kehalaman menghirup udara yang segar diluar biliknya. Prajurit itu berpaling ketika ia mendengar Glagah Putih bertanya, “Paman, kau lihat kakang Agung Sedayu ?” “Ia berada didalam bilik Sabungsari,“ jawab prajurit itu. Glagah Putih mengangguk. Katanya, “Terima kasih.“ Tetapi Glagah Putih tidak langsung menuju kebilik itu. Ia justru pergi kebiliknya sendiri. Sementara itu, Agung Sedayu masih duduk di dekat Sabungsari berbaring. Diluar sadarnya, ia justru merenungi kata-kata Sekar Mirah. Sabungsari yang terbaring karena luka-lukanya itu, telah melakukan sesuatu dalam penilaian atasannya. Mungkin ia akan mendapat pujian, atau mungkin kenaikan tataran kepangkatannya. Meskipun anak muda itu tidak benar-benar ingin menjadi seorang prajurit. Jika ia berada didalam lingkungan keprajuritan, justru ia mempunyai maksud-maksud yang lain, yang bertentangan dengan tugas seorang prajurit. Tetapi sesuatu telah terjadi atas Sabungsari. Ia mengalami suatu pengalaman jiwa yang akan dapat mempengaruhi sikap dan tingkah lakunya. Dalam pada itu, Sabungsari yang berbaring dipembaringan itupun tiba-tiba telah berdesis, “Agung Sedayu. Aku sudah melakukan sesuatu yang memberikan warna tersendiri dalam perjalanan hidupku. Aku sudah melakukan sesuatu yang meskipun tidak dengan sengaja, tetapi langsung sampai kesasaran.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi karena hanya mereka berdua saja yang berada didalam bilik itu, maka iapun menjawab, “Kau melakukannya karena dendam ?”

“Tidak. Mulanya aku melakukan karena tiba-tiba saja aku merasa berkewajiban. Aku tidak tahu, sejak kapan aku merasa diriku benar-benar seorang prajurit,“ jawab Sabungsari, “tetapi adalah kebetulan sekali bahwa orang yang berada di Sangkal Putung itu adalah orang-orang Pesisir Endut. Aku tidak menyangkal bahwa memang ada dorongan dari endapan perasaanku untuk menyalurkan dendam yang terbendung. Dan ternyata aku telah melakukannya. Tetapi seperti bendungan yang telah pecah, maka beban dihatikupun menjadi bertambah ringan. Rasa-rasanya, merasa berkewajiban ini akan aku pelihara. Dan aku akan tetap berada didalam lingkungan keprajuritan dengan tujuan yang lain dari saat aku memasukinya.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Sokurlah. Kau sudah menemukan pribadimu dan lingkungan yang paling baik bagimu. Meskipun bukan tujuan, tetapi kemampuanmu tentu akan cepat membawamu kejenjang yang lebih baik.” “Ah,“ desah Sabungsari, “seperti yang kau katakan. Itu bukan tujuan. Aku masih muda. Aku belum mempunyai beban keluarga yang memerlukan sandaran hidup yang berat. Karena itu, maka kewajibanlah yang penting bagiku, meskipun harapan-harapan seperti yang kau katakan itu mungkin saja tumbuh didalam hati ini.” “Sabungsari,“ berkata Agung Sedayu, “jika kau berharap untuk mendapat jenjang yang lebih tinggi, bukankah karena kepentingan pribadimulah yang berdiri dipaling depan. Tetapi dengan jenjang yang lebih tinggi, kau mendapat kesempatan yang lebih banyak untuk menunjukkan pengabdianmu. Karena jenjang itu akan mempunyai akibat kewajiban dan tanggung jawab.” Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Mudah-mudahan perlahan-lahan aku dapat menyesuaikan diriku.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah ia telah berhasil meyakinkan Sabungsari bahwa ia telah berada ditempat yang paling baik dan tepat baginya. Namun tiba-tiba saja Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Persoalan yang paling pelik baginya adalah dirinya sendiri. Ia sendirilah yang masih berdiri di atas jalan yang menuju ke simpang sembilan. Ialah yang seharusnya mendengarkan nasehat seperti yang dikatakannya kepada Sabungsari. Sejenak Agung Sedayu merenungi dirinya sendiri. Jika ia berada dilingkungan keprajuritan, maka iapun akan mendapat kesempatan seperti Sabungsari. Pada saat-saat ia dihadapkan pada kewajiban, maka ia akan menemukan kepuasan dan kebanggaan apabila ia dapat menyelesaikannya. Kemudian mendapat kesempatan untuk meningkat dari satu tataran ketataran berikutnya. Pada permulaannya, tentu ia akan mengorbankan harga dirinya, karena ia akan berada dibawah tataran orang-orang yang memiliki kemampuan jauh lebih rendah dari dirinya. Orang-orang yang barangkali karena sebab-sebab khusus berada dijenjang yang tinggi, namun yang tidak memiliki kemampuan. Baik dimedan maupun lingkungannya.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ia sudah berada di dunia angan-angan yang mulai menyimpang. Karena itulah, maka iapun kemudian mencoba untuk melihat dengan hati yang bening tentang dirinya sendiri. “Apakah salahnya jika akupun mulai menentukan pilihan seperti yang mulai di yakini kebenarannya oleh Sabungsari,“ berkata Agung Sedayu kemudian didalam hatinya, “jika guru sependapat, aku akan mencobanya.” Rasa-rasanya Agung Sedayu telah menemukan alas tempat berpijak. Sambil menarik nafas dalamdalam ia berkata, “Sabungsari. Cobalah meyakini bahwa kau telah berada dijalan yang benar.” Sabungsari memandang Agung Sedayu sejenak. Namun diluar dugaan Agung Sedayu, anak muda itu bertanya, “Agung Sedayu. Bagaimanakah dengan engkau sendiri ? Apakah kau tidak mungkin memilih jalan seperti yang dilalui oleh kakakmu.” Wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Namun ia memaksa dirinya untuk tersenyum sambil berkata, “Aku sedang memikirkannya.” Sabungsaripun tersenyum pula. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh lagi. Dalam pada itu, Agung Sedayupun kemudian bangkit dan minta diri untuk keluar dari bilik itu. Dengan angan-angannya ia berjalan menyusuri serambi, kemudian turun kelongkangan. Tetapi ternyata bahwa Agung Sedayu kemudian justru turun kehalaman depan dan berjalan perlahanlahan melintas menuju keregol. Satu pertanyaan telah tumbuh dihatinya yang memang sudah buram, “Jika aku ingin menjadi seorang prajurit, apakah aku harus pergi ke Pajang atau ke Mataram.” Kebimbangan demi kebimbangan masih saja selalu membayanginya, sehingga alas tempatnya berpinjak, yang rasa-rasanya mulai mapan itu telah berguncang lagi. Keragu-raguan itu agaknya akan tetap membayanginya. Meskipun setiap kali ia bertemu dengan Sekar Mirah, rasa-rasanya ia sudah siap untuk berlari ke Pajang atau ke Mataram, menyatakan diri untuk menjadi prajurit atau pengawal. Tetapi selalu diikuti dengan pertanyaan, “Kemana ? Ke Pajang atau ke Mataram?” Bagaimanapun juga Agung Sedayu tidak akan dapat menutup mata melihat pertentangan yang sebenarnya telah membayangi kedua pusat pengaruh yang seharusnya tidak terpisahkan. Seandainya tidak pada Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga dengan Mas Karebet yang bergelar Sultan Hadiwijaya itu, namun pengaruh dalam lingkungannyalah yang agaknya telah menggali jurang

yang semakin lama menjadi semakin dalam. Di saat-saat berikutnya. Agung Sedayu justru terbenam lebih dalam lagi dalam kebimbangan. Rasarasanya ia sudah memutuskan. Namun kemudian ia kembali menjadi bimbang. Sangkal Putung menjadi ramai dihari-hari berikutnya, ketika sepasukan kecil prajurit dari Jati Anom datang untuk menjemput Sabungsari yang mulai berangsur baik. Sebuah pedati yang khusus telah dibawa oleh sekelompok prajurit itu, untuk membawa Sabungsari yang belum memungkinkan untuk pergi berkuda. Bahkan ternyata bahwa selain Sabungsari, prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom itu juga akan membawa kedua orang Pesisir Edut yang terluka. Kedatangan sekelompok prajurit dalam sikap yang resmi itu memang telah menumbuhkan kebanggaan dihati Sabungsari. Ketika ia sempat berbisik di telinga Agung Sedayu, ia berkata, “Agung Sedayu. Jika kau ingin membuat perhitungan, maka hutangku kepadamu akan semakin bertimbun. Kau sudah mencegah aku untuk membunuh orang yang nampaknya tidak bersalah, meskipun sebenarnya justru karena aku telah kau kalahkan. Kemudian kau telah memantapkan kedudukanku sebagai seorang prajurit, meskipun ditataran yang paling rendah. Betapapun juga aku akan berbangga karena aku telah mendapat perhatian yang sangat besar dari Senapati prajurit Pajang di Jati Anom. Kesempatan semacam ini sama sekali tidak pernah aku mimpikan ketika aku berangkat dari padepokan dengan membawa dendam didalam hati.” “Kau harus menanggapi kesempatan ini dengan hati yang jernih,“ sahut Agung Sedayu. “Terima kasih Agung Sedayu. Agaknya sudah waktunya aku untuk meninggalkan Sangkal Putung bersama dengan para prajurit yang menjemputku.” Seperti yang dikatakan oleh Sabungsari, maka perwira yang memimpin kelompok peronda sehingga melibatkan Sabungsari kedalam benturan melawan Carang Waja, yang telah mendapat tugas untuk memimpin sekelompok prajurit yang menjemput Sabungsari, tidak tinggal terlalu lama di Sangkal Putung. Iapun segera menyampaikan maksudnya kepada Ki Demang Sangkal Putung, para bebahu dan para tamu mereka. Ki Demang Sangkal Putung tidak dapat menahan prajurit yang terluka itu di Sangkal Putung. Iapun menyerahkan Sabungsari yang meskipun masih nampak sangat lemah, namun luka-lukanya sudah berangsur baik. “Atas nama pimpinan prajurit Pajang di Jati Anom, aku mengucapkan terima kasih Kiai,“ berkata perwira yang menjemput Sabungsari. Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Aku hanya sekedar alat dari belas kasihan Yang Maha Kuasa. Mudah-mudahan angger Sabungsari menjadi semakin baik dan segera sembuh sama sekali. Ia adalah seorang prajurit kecil yang besar.”

Perwira itu mengangguk-angguk. Jawabnya, “Segalanya yang telah dilakukan telah diketahui oleh Ki Untara. Tentu ada perhatian khusus dan peristiwa yang telah terjadi di Sangkal Putung. Ia telah berbuat melampaui batas tatarannya, sehingga kesempatan untuk meningkat telah terbuka baginya.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk sambil bergumam, “Ia adalah satu kekuatan yang sulit dicari bandingnya.” “Ya. Agaknya memang demikian,” jawab perwira itu. “Mudah-mudahan ia akan merupakan kekuatan yang pilih tanding, tetapi juga yang baik sebagai seorang prajurit.” Demikianlah, maka Sabungsaripun kemudian telah diangkat kedalam pedati yang sudah disediakan bagi dirinya. Kepada Swandaru yang berdiri disebelah pedatinya bersama Pandan Wangi dan Sekar Mirah ia berkata, “Aku minta diri. Aku berhutang budi kepada Sangkal Putung dan segala penghuninya yang bersikap sangat baik kepadaku dan yang telah memberi aku tempat selama aku hampir saja kehilangan nyawaku.” Swandaru tersenyum. Meskipun mula-mula ada perasaan yang terasa menggelitik hati, karena kehadiran anak muda itu di medan, namun akhirnya Swandaru berhasil untuk mengesampingkannya, karena justru Sabungsari adalah seorang prajurit. Yang dilakukan di halaman Sangkal Putung, bukannya sekedar memamerkan dan menyombongkan kekuatannya dan kemampuannya untuk membunuh Carang Waja. Tetapi anak muda itu agaknya telah dibebani oleh perasaan wajib karena ia memang seorang prajurit. Sementara itu, dipedati yang lain, dua orang dari Pesisir Endut telah naik pula diawasi oleh beberapa orang prajurit. Sejenak kemudian, maka iring-iringan itupun meninggalkan Sangkal Putung. Agung Sedayu yang melepas iring-iringan itu sampai keregol padukuhan induk, untuk beberapa saat masih saja berdiri memandangi mereka sampai iring-iringan itu semakin jauh. “Kakang ingin ikut serta bersama mereka ? “ tiba-tiba saja Glagah Putih yang mengikutinya bertanya. Agung Sedayu berpaling. Kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Sabungsari telah melakukan tugas seorang prajurit dengan hampir saja mempertaruhkan nyawanya. Ia adalah seorang anak muda yang luar biasa.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Diluar dugaan Agung Sedayu, Glagah Putih berkata, “Setiap kali aku melihat anak-anak muda yang memiliki kelebihan, aku selalu merasa diriku semakin kecil.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Tentu tidak Glagah Putih.

Kau masih jauh lebih muda dari Sabungsari. Umur anak muda itu tentu tidak kurang dari umurku. Dan kau masih mempunyai hitungan tahun untuk mematangkan ilmumu, setingkat dengan Sabungsari.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam, sementara Agung Sedayu melanjutkan, “Kau jangan merasa dirimu sangat kecil. Kau sudah menjadi jauh lebih baik dari saat kau berada di Pesisir.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi tatapan matanya masih membayangkan perasaan kecewa. Agung Sedayu yang kemudian mengajak Glagah Putih kembali ke Kademangan Sangkal Putung. Beberapa orang yang pergi bersama mereka sampai keregol mengikuti pula kembali ke Kademangan, sementara iring-iringan para prajurit yang membawa Sabungsari dan para tawanan itu menjadi semakin jauh. Dalam pada itu. diperjalanan kembali ke Jati Anom, rasa-rasanya Sabungsari benar-benar telah menemukan dirinya. Ia menjadi semakin mantap sebagai seorang prajurit. Ia tidak lagi merasa bahwa dirinya berada dilingkungan keprajuritan, sekedar mencari tempat yang paling baik untuk menunggu kedatangan Agung Sedayu, kemudian menantangnya perang tanding dan membunuhnya. Ia gagal melakukan, karena ternyata ia telah dikalahkan oleh Agung Sedayu. Tetapi tidak dibunuhnya. Sehingga karena itulah, maka sisa hidupnya kemudian sudah sepantasnyalah jika dipergunakannya untuk mengikuti petunjuk Agung Sedayu, menyerahkan bagi kebajikan. Namun dalam pada itu, ia teringat akan kawan-kawannya yang menunggunya di Jati Anom, iapun menjadi berdebar-debar. Apakah yang sebaiknya dikatakan kepada mereka. Tetapi akhirnya Sabungsari berkata didalam hati, “Aku akan mengatakan seperti yang terjadi. Aku tidak akan hidup dalam dunia yang gelap lagi. Aku sudah mendapat jalan keluar dari duniaku, dunia yang diwariskan oleh orang tuaku. Semua pengikut dan pengawal padepokanku harus mengetahuinya dan menyadari, bahwa jalan itu adalah jalan yang paling baik. Mereka yang berada dipadepokan dapat menyiapkan diri menempuh jalan kehidupan yang baru. Sawah cukup luas, dan tempat tinggalpun mencukupi pula. Sehingga mereka tidak akan kekurangan makan, minum, pakaian dan rumah.” Namun, agaknya ada yang dilupakan oleh Sabungsari. Ia pernah mengatakan kepada seorang prajurit, bahkan dengan menunjukkan kelebihannya membunuh dengan kekuatan pandangan matanya, seekor kambing yang terikat, bahwa ia akan membunuh Agung Sedayu. Ia tidak memberikan kesempatan kepada orang lain, kecuali dirinya sendiri. Sepeinggal para prajurit Pajang di Jati Anom membawa Sabungsari dan kedua orang Pesisir Endut yang terluka, Kiai Gringsing masih tetap tinggal di Sangkal Putung bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih. Kiai Gringsing masih tetap merawat Swandaru yang meskipun sudah berangsur baik, tetapi masih belum sembuh sama sekali. Dalam pada itu, Agung Sedayu yang setiap kali harus berpikir tentang masa depannya, justru karena Sekar Mirah selalu bertanya kepadanya apakah ia sudah mempunyai pilihan, seolah-olah telah berketetapan untuk memilih jalur kehidupan yang akan dapat menjadi arena pengabdian sesuai dengan

kemampuannya. “Aku akan berkata kepada Kakang Untara, bahwa akupun akan terjun ke dalam lingkungan keprajuritan,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Anak muda itu melihat, bahwa didalam lingkungan keprajuritan ia akan terhindar dari permusuhan pribadi. Tentu tidak akan ada orang yang mendendamnya secara pribadi, apabila ia telah berbuat sesuai dalam menjalankan tugasnya, karena yang dilakukan bukan atas namanya sendiri. “Demikian aku sampai ke Jati Anom, aku akan menjumpai kakang Untara. Aku tidak akan dapat selalu mengelak dari pertanyaan dan permintaan Sekar Mirah.” “Ia berhak berbuat demikian, karena hidupnya dimasa datang, akan berkaitan dengan hidupku,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Tetapi Agung Sedayu tidak segera meninggalkan Sangkal Putung karena ia menunggu Kiai Gringsing yang masih merawat Swandaru yang belum sembuh sama sekali. Bagi Swandaru, yang terjadi itu merupakan cambuk yang pedih bagi Kademangannya. Kepada para pengawalnya ia mengatakan, seandainya tidak segera kebetulan para prajurit Pajang itu meronda sampai ke Sangkal Putung, apakah Kademangan itu tidak akan mengalami bencana? “Mungkin aku dapat menyelamatkan diri dan berhasil melumpuhkan Carang Waja yang ternyata terbunuh oleh Sabung Sari. Tetapi bagaimana dengan para pengawal yang tertidur nyenyak? Orangorang Carang Waja yang marah, tentu akan mencari sasaran siapapun juga. Kalian yang tidur nyenyak akan dibantai tanpa ampun,“ berkata Swandaru pula. Para pengawal hanya dapat menundukkan kepalanya. Yang terjadi memang berada diluar kemampuannya. Tidak seorangpun diantara mereka yang mampu melawan sirep yang demikian kuatnya. “Kita harus menemukan cara,“ berkata Swandaru, “kita harus mencari satu atau dua orang dari isi Kademangan ini, yang dapat menolak sirep dari satu segi. Sementara kita, akan dapat menghadapi lawan dari segi benturan kekuatan dan pertempuran. Mungkin ada satu dua orang-orang tua yang memiliki ilmu yang dapat melawan sirep.” “Kita akan minta kepada mereka untuk ikut serta melindungi Kademangan ini dari kejahatan disaat yang lain. Karena sepeninggal Carang Waja bukan berarti bahwa perguruannya tidak lagi akan mengganggu kita.” Para pengawalpun sependapat. Namun mereka yang tidak mungkin melalukan hal itu, bertekad untuk mempelajari ilmu pedang atau senjata-senjata lain lebih banyak lagi. “Kita harus mempergunakan sebagian waktu kita untuk berlatih tanpa jemu,“ berkata Swandaru

kepada para pengawal, “pada saatnya kita harus menunjukkan, bahwa Sangkal Putung adalah Kademangan yang sudah dewasa. Yang dapat menjaga dirinya sendiri dari segala macam bencana.” Ternyata seperti yang diharapkan oleh Swandaru, para pengawal memang bertekad untuk melakukannya. Mereka tidak menunggu sepekan dua pekan. Mereka langsung menyusun rencana untuk melaksanakannya. “Selama aku belum sembuh benar, maka kalian dapat melakukannya. Sementara aku akan menyaksikan saja,“ berkata Swandaru. Selagi Agung Sedayu dan Glagah Putih berada di Sangkal Putung, maka merekapun sempat menyaksikan, bagaimana para pengawal dengan gairah yang tinggi, melatih diri menyempurnakan bekal mereka. Yang terjadi di Sangkal Putung itu telah merupakan pendorong bagi Agung Sedayu untuk terjun kedalam lingkungan keprajuritan. Meskipun dorongan terbesar adalah karena keinginan Sekar Mirah, namun Agung Sedayu melihat, bahwa jalan itu adalah jalan yang paling baik untuk dilaluinya. “Sekar Mirah akan dapat memuaskan dirinya, seandainya pada suatu saat aku telah dapat meningkat ke jenjang yang lebih tinggi,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya, “meskipun ia tahu, bahwa kesempatan untuk mencapai tataran berikutnya kadang-kadang tidak dinilai atas dasar kemampuan saja.” Demikian dari hari kehari, keadaan Swandaru telah berangsur baik. Bahkan sudah tidak mengganggunya lagi. Pada saat-saat para pengawal berlatih. Swandaru telah dapat ikut serta untuk memberikam petunjuk dan bimbingan kepada mereka. Karena itu, maka Kiai Gringsing yang sudah berada di Sangkal Putung untuk beberapa hari, merasa bahwa Swandaru tidak perlu ditungguinya lagi. Dalam.beberapa hari, luka-luka itu sudah akan dapat sembuh sama sekali. Mungkin bekas-bekasnya sajalah yang masih memerlukan perawatan khusus agar kemudian tidak akan menjadi noda pada tubuhnya. “Kita sudah dapat kembali ke Jati Anom,“ berkata Kiai Gringsing pada suatu saat kepada Agung Sedayu. “Apakah Sangkal Putung sudah dapat kita tinggalkan?“ berkata Agung Sedayu. Kiai Gringsing merenungkan sejenak. Seolah-olah ia masih membuat pertimbangan-pertimbangan

khusus tentang Sangkal Putung. Namun kemudian ia berkata, “Menurut pertimbanganku, Sangkal Putung sudah tidak perlu dicemaskan lagi. Setidak-tidaknya untuk waktu yang dekat. Sementara itu, luka-luka Swandaru tentu sudah akan sembuh sama sekali.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun masih juga ada kecemasan dihati Agung Sedayu. Seolaholah dalam saat-saat terakhir. Agung Sedayu tidak melihat usaha Swandaru untuk meningkatkan ilmunya sejak ia tidak lagi berada dekat dengan gurunya. “Mudah-mudahan aku hanya tidak mengetahuinya saja,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya, “seperti Swandaru tentu juga tidak mengetahui, apakah ilmuku meningkat atau tidak. Tetapi pengaruh kehadiran guru, tentu akan banyak memberikan dorongan untuk berusaha meningkatkan ilmu.” Namun dalam pada itu, secara tidak langsung. Agung Sedayu mendengar dari Sekar Mirah, bahwa Swandarupun telah berusaha terus menerus untuk meningkatkan ilmunya bersama dengan Pandan Wangi dan dirinya sendiri. Mereka bertiga bersumber dari tiga perguruan yang memiliki dasar ilmu yang berbeda. Namun dengan berlatih bersama, mereka berusaha untuk menemukan paduan tata gerak yang akan dapat meningkatkan ilmu mereka masing-masing. “Tetapi yang dilakukan oleh Swandaru adalah petungkatan ketrampilan jasmaniah. Ia kurang bersungguh-sungguh untuk membina kemampuannya mempergunakan tenaga cadangan meskipun demikian, kecepatan bergerak Swandaru benar-benar mengagumkan disamping kekuatannya yang jauh melampaui kekuatan orang kebanyakan,“ berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri. Dan saat-saat untuk kembali kepadepokan kecil itupun semakin dekat pula. Kiai Gringsing sudah tidak menganggap perlu lagi untuk berada di Sangkal Putung. Apalagi jarak antara Sangkal Putung dan Jati Anom memang tidak terlalu jauh. Namun dalam pada itu, ketika Kiai Gringsing sudah berniat untuk minta diri kepada Ki Demang disatu sore. Sangkal Putung telah diguncangkan oleh kehadiran iring-iringan yang melintas dari arah Timur menuju ke Barat. Seorang pengawal berkuda yang melihat iring-iringan itu, dengan tergesa-gesa telah berpacu ke Kademangan induk, sementara kawannya telah mempersiapkan dengan tergesa-gesa para pengawal dipadukuhan diujung Kademangan itu. “Apakah kita perlu memberikan isyarat ? “ bertanya salah seorang pengawal. “Kita akan menunggu, siapakah mereka,“ jawab pimpinan pengawal padukuhan itu. “Tetapi jika mereka bermaksud buruk, kita akan terlambat,“ sahut yang lain.

“Kita akan berpencar. Kita memperhatikan dari tempat yang tersembunyi. Jika mereka berbuat jahat, maka kita akan tampil sambil membunyikan tanda. Para pengawal-pengawal dipadukuhan terdekat akan segera datang, sebelum para pengawal dari padukuhan induk beserta Swandaru datang pula.” “Swandaru sedang sakit,“ sahut yang lain pula. “Ia sudah sembuh. Ia sudah mampu bertempur lagi. Apalagi gurunya masih berada di padukuhan induk pula.” Kawan-kawannya menarik nafas dalam-dalam. Kehadiran Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Glagah Putih seolah-olah dapat menenangkan mereka, karena selain Swandaru, mereka akan mendapat perlindungan dari orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Demikianlah, maka beberapa orang pengawal telah berpencar dan justru berlindung di antara tanaman-tanaman di sawah dipinggir padukuhan. Hanya beberapa orang saja yang berada di gardu, seolah-olah mereka tidak menaruh curiga sama sekali terhadap mereka yang datang mendekati padukuhan itu. Sementara itu, maka pengawal berkuda yang berpacu kepadukuhan induk telah berhenti sejenak disetiap padukuhan yang dilaluinya. Pengawal itu telah memperingatkan, agar para pengawal yang mungkin dikumpulkan, segera berkumpul dan mempersiapkan diri. “Kenapa ? “ bertanya anak-anak muda yang mendengar keterangan itu. “Sebuah iring-iringan telah mendekati padukuhan diujung Kademangan. Kami belum tahu, siapakah mereka itu. Jika mereka bermaksud buruk, maka kita harus berbuat sesuatu.” “Apakah tidak ada tanda-tanda yang nampak pada iring-iringan itu ?” Pengawal itu termangu-mangu. Namun kemudian ia menggeleng, “Kami tidak melihatnya. Seorang pengawal yang sedang berada disawah melihatnya dari kejauhan. Kemudian dengan tergesa-gesa ia berlari kepadukuhan, sambil berlindung dibalik batang-batang jagung, sehingga iring-iringan itu tidak melihatnya.” “Baiklah. Kami akan bersiap-siap. Kami akan mengumpulkan para pengawal yang ada.” “Jika perlu, kalian harus membantu kepadukuhan diujung,“ berkata pengawal berkuda itu. “Tetapi jika tidak ada tanda-tanda atau tengara, kami tidak akan mengetahuinya.” “Tentu mereka akan memberikan isyarat. Mereka akan membunyikan kentongan jika perlu,“ berkata pengawal itu, “lebih baik kalian mempersiapkan empat atau lima ekor kuda yang dapat segera kalian pergunakan.”

Sepeninggal pengawal berkuda itu, maka anak-anak muda dipadukuhan itupun segera mempersiapkan diri dengan tergesa-gasa. Tiga orang diantara mereka siap dengan kuda-kuda mereka sementara dua orang yang lain telah mendapatkan pinjaman dua ekor kuda yang siap pula dipergunakan. Sementara yang lain, telah berada di gardu dengan senjata masing-masing. Kesibukan anak-anak muda di padukuhan itu telah membuat setiap penghuninya menjadi berdebardebar. Mereka telah mendengar apa yang terjadi di halaman Kademangan, sehingga Swandaru dan seorang prajurit Pajang dari Jati Anom telah terluka parah. Dan bahkan telah jatuh beberapa korban yang terbunuh dari pihak yang bermaksud jahat. “Apakah mereka datang dengan orang-orang mereka lebih banyak lagi? “ pertanyaan itu hinggap hampir disetiap orang. Sementara itu, iring-iringan itupun menjadi semakin dekat dengan padukuhan diujung Kademangan, sehingga para pengawal yang berada digardu itupun telah bersiap-siap. Dalam pada itu, maka langitpun telah menjadi semakin buram, dan gelap mulai turun perlahan-lahan, maka senja sudah menjadi hitam. Pemimpin pengawal yang berdiri diregol padukuhan itu mengangkat tangannya ketika iring-iringan menjadi semakin dekat. Dua orang kawannya berdiri disebelah menyebelah, sedangkan tiga orang yang lain berdiri didepan gardu didalam regol. Jika keadaan memaksa, maka salah seorang dari ketiga orang itu harus memukul isyarat, sehingga dengan demikian kawan-kawan mereka yang terpencar akan berdatangan, sementara isyarat itu akan mengundang juga para pengawal dari padukuhan-padukuhan yang lain, karena isyarat itu tentu akan bersambut. Gardu-gardu diseluruh padukuhan itu tentu akan membunyikan isyarat pula. Ternyata bahwa pemimpin dari iring-iringan itu melihat tanda yang diberikan oleh pemimpin pengawal di padukuhan diujung Kademangan Sangkal Putung itu, sehingga iapun memberikan isyarat kepada kawan-kawannya untuk berhenti. Pemimpin dari iring-iringan itupun kemudian meloncat turun dari kudanya dan berjalan seorang diri mendekati pemimpin pengawal yang berdiri diluar regol. “Siapakah kalian Ki Sanak? “ bertanya pemimpin pengawal itu. Pemimpin iring-iringan itu tersenyum. Katanya, “Apakah kalian tidak mengenal aku? Itu mungkin sekali. Tetapi apakah kalian tidak mengenal kami semuanya. Dalam pasukan kecil ini? Setidaktidaknya kesan yang kalian dapatkan dari kami semuanya?” Pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Namun dalam keremangan malam ia melihat sesuatu yang memberikan kesan seperti yang ditanyakan oleh pemimpin iring-iringan itu. Meskipun demikian pemimpin pengawal itu berkata, “Kami tidak mengetahui siapakah kalian semuanya. Tetapi agaknya kalian adalah orang-orang terpandang.”

“Bukan orang-orang terpandang. Tetapi kami adalah pengemban tugas. Kami adalah utusan dari Pajang. Kami akan singgah di Kademangan ini untuk semalam.“ pemimpin iring-iringan itu menjawab. Kemudian iapun bertanya, “Apakah kau bersedia menyampaikannya kepada Ki Demang di Sangkal Putung dan anak laki-lakinya yang bernama Swandaru?” “Tetapi siapakah Ki Sanak? Mungkin Ki Demang bertanya, siapa pemimpin dari pasukan kecil dari Pajang ini.” Pemimpin iring-iringan itu tertawa. Katanya, “Kau tetap ragu-ragu. Tetapi itu adalah sikap yang baik bagi setiap pengawal. Seorang pengawal memang harus teliti dan yakin, siapakah yang dihadapinya.” “Aku mohon maaf jika sikapku deksura,“ berkata pengawal itu. “Tidak. Tidak apa-apa. Kau memang tidak segera mengenal kami. Kami adalah utusan dari Pajang. Dan kami memang bukan prajurit-prajurit atau katakanlah, dalam gelar keprejuritan.“ orang itu berhenti sejenak, kemudian katanya, “jika kau ingin mengetahui namaku. Aku adalah Benawa.“ “Pangeran Benawa ? “ pemimpin pengawal itu terkejut. “Ya. Sudah aku katakan, bahwa kami tidak dalam gelar keprajuritan, karena tugas yang kami emban sekarang, memang bukan tugas keprajuritan.” Pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Sementara Pangeran Benawa yang melihat keragu-raguan itu berkata, “Tentu kau ragu-ragu, karena kau belum mengenal aku. Apakah ada prajurit Pajang di Jati Anom yang sedang berada di Sangkal Putung. ? Jika mereka ada, maka sebagian besar dari mereka dengan pasti telah mengenal aku.” Pemimpin pengawal itu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Baru beberapa hari yang lalu mereka berada di Sangkal Putung.” “Laporan itu telah sampai ke Pajang. Seorang prajurit muda bernama Sabungsari telah terluka parah. Nah, jika mereka telah kembali ke Jati Anom, apakah benar sesuai dengan laporan itu, Kiai Gringsing dan Agung Sedayu berada di Sangkal Putung sekarang, atau merekapun sudah kembali ke Jati Anom ?” “Mereka masih berada di Kademangan.” “Jika demikian, beritahukan mereka. Mereka telah mengenal aku pula. Dengan demikian, kalian tidak akan ragu-ragu lagi.”

Pengawal itu termangu-mangu sejenak. “Lakukanlah. Aku akan menunggu disini. Di Kademangan lain aku tidak perlu berbuat demikian, karena Kademangan lain tidak baru saja mengalami bencana seperti Sangkal Putung, sehingga kecurigaan di Kademangan ini dapat kami mengerti.” Pengawal itu mengangguk. Kemudian katanya, “Salah seorang dari kami akan pergi ke Kademangan induk, Kami persilahkan Pangeran untuk singgah di banjar padukuhan kami.” Pangeran Benawa mengangguk. Jawabnya, “Baiklah. Aku akan menunggu di banjar padukuhan ini.” Pemimpin pengawal itupun kemudian menjadi sibuk. Ia memerintahkan salah seorang pengawal untuk pergi berkuda ke Kademangan dengan pesan khusus. Sementara ia sendiri bersama seorang kawannya mengantar iring-iringan kecil itu ke banjar padukuhan. Namun demikian, pemimpin pengawal itu tidak meninggalkan kewaspadaan. Dua orang kawannya yang lain, harus mengikutinya dari jarak yang cukup. Apabila terjadi sesuatu, mereka harus mengambil sikap. Bagaimanapun juga, tidak seharusnya mereka demikian saja percaya kepada seseorang yang mengaku dirinya Pangeran Benawa. Ketika iring-iringan itu masuk ke banjar, maka dua orang pengawal yang mengawasi mereka, berada di halaman rumah disebelah banjar. Sementara kawan-kawan mereka yang berpencar telah satu-satu mendekati regol dan menerima keterangan dari seorang pengawal yang mengetahui pembicaraan pemimpin mereka dengan pemimpin iring-iringan yang menyebut dirinya Pangeran Benawa. “O, jadi orang-orang itu adalah Pangeran Benawa ?“ desis salah seorang dengan wajah yang tegang. “Ya,“ jawab kawannya. “Apakah Pangeran Benawa tidak marah ? Jika ia marah, maka kita semua akan mengalami nasib buruk.” “Nampaknya Pangeran Benawa tidak marah. Ia dengan senang hati menerima ketika ia dipersilahkan singgah di banjar.” Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun mereka tetap berdebar-debar. Jika orang itu benarbenar Pangeran Benawa, mudah-mudahan ia tidak marah karenanya. Seolah-olah para pengawal di Sangkal Putung telah mencurigainya. Sebaliknya, jika orang itu bukan sebenarnya Pangeran Benawa, maka padukuhan itupun tentu akan menjadi ajang pertentangan, bahkan peperangan. “Tetapi jika mereka bukan sebenarnya Pangeran Benawa, maka mereka tidak akan menunggu sampai para bebahu Kademangan datang ke padukuhan ini. Apalagi diantara mereka akan terdapat Kiai Gringsing dan Agung Sedayu,“ berkata para pengawal itu didalam hati.

Ternyata bahwa orang-orang dalam iring-iringan itu tidak berbuat apa-apa di banjar padukuhan. Mereka benar-benar telah menunggu dengan duduk tertib dipendapa banjar, sehingga dengan demikian, maka para pengawalpun menjadi semakin yakin, bahwa sebenarnya pemimpin iring-iringan itu memang Pangeran Benawa. Namun dalam pada itu, pemimpin pengawal dipadukuhan itupun menjadi semakin berdebar-debar. Jika Pangeran Benawa merasa tidak senang akan tingkah lakunya, maka akan ada akibat lain yang tidak diharapkannya. Sementara itu, pengawal yang berpacu ke Kademangan telah melampaui beberapa bulak dan padukuhan. Ia tidak sempat berhenti dan memberikan banyak keterangan kepada para pengawal yang bersiap-siap karena keterangan pengawal yang terdahulu. Tetapi pengawal yang berpacu itu sempat menyebut nama, siapakah yang lewat melalui Kademangan Sangkal Putung itu. “Menurut pendengaranku, yang lewat adalah Pangeran Benawa dengan pengiringnya,“ berkata salah seorang dari mereka. “Akupun mendengar demikian. Tetapi apakah kau percaya ? “ bertanya yang lain. “Entahlah. Ia berpacu seperti dikejar hantu,“ berkata yang lain pula, “pokoknya, kita harus bersiapsiap menghadapi segala kemungkinan. Apakah mereka dipimpin oleh Pangeran Benawa, apakah oleh orang lain, kita memang harus bersiap, jika benar mereka dipimpin oleh Pangeran Benawa, kita harus menyiapkan penyambutan. Jika iring-iringan itu dipimpin oleh orang lain yang mengaku Pangeran Benawa. Kita bersiap-siap untuk bertempur. Hanya orang-orang yang melampaui kemampuan orang kebanyakan yang berani dengan terang-terangan menantang Sangkal Putung dalam keadaan seperti ini,“ berkata pemimpin pengawal dipadukuhan yang dilalui pengawal berkuda itu. Dalam pada itu, pengawal yang terdahulu, dengan tergesa-gesa telah memasuki halaman Kademangan. Kedatangannya benar-benar telah mengejutkan seisi Kademangan. termasuk Kiai Gringsing yang sedang duduk di pendapa, dibawah lampu minyak yang berkeredipan. Hampir saja ia menyatakan keinginannya untuk besok kembali kepadepokannya, karena keadaan Swandaru yang telah menjadi baik. Tetapi sebelum ia mengatakannya, maka pengawal yang baru datang itu telah melaporkan apa yang diketahuinya tentang sebuah iring-iringan yang mendekati Kademangan Sangkal Putung. Ki Demang Sangkal Putung menjadi tegang. Iapun segera memerintahkan memanggil Ki Jagabaya dan bebahu Kademangan, sementara Swandaru yang telah menjadi bertambah baik itu, telah memerintahkan menyiapkan para pengawal pilihan. “Kita menghadapi segala kemungkinan dengan kesiagaan penuh,“ berkata Swandaru, “mungkin mereka adalah orangorang yang telah dibakar oleh dendam, sehingga mereka dengan terang-terangan telah

menyerang Sangkal Putung.” Kiai Gringsingpun menjadi termangu-mangu. Jika benar demikian, maka akan terjadi pertempuran terbuka. Dan dengan demikian, maka akan jatuh korban yang lebih banyak lagi. Namun selagi Swandaru menyiapkan beberapa orang pengawal berkuda yang akan mendahului pergi kepadukuhan diujung Kademangan, maka telah datang pengawal berikutnya, yang berpacu secepat pengawal yang pertama. “Apa yang terjadi ? “ Swandarulah yang bertanya dengan tergesa-gesa. Dengan nafas yang terengah-engah pengawal itu menjawab, “Yang datang adalah iring-iringan dari Pajang dibawah pimpinan Pangeran Benawa.” “He ? “ Swandaru terkejut, “jika demikian, apakah kalian tidak dapat mengenal bahwa mereka adalah prajurit-prajurit Pajang ?” “Mereka tidak dalam gelar keprajuritan. Tidak seorangpun diantara mereka yang mengenakan pakaian keprajuritan. Yang berada didalam iring-iringan itu adalah beberapa orang pimpinan pemerintahan Pajang,“ sahut pengawal itu. Swandaru menjadi bingung. Katanya, “Aneh. Apakah mungkin begitu. Aku tidak yakin.“ Kiai Gringsing yang kemudian datangpun menjadi heran. Namun katanya, “Marilah. Kita akan membuktikannya.” Swandarupun kemudian bersiap bersama beberapa orang pengawal terpilih, diikuti oleh Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan GlagahPutih. Sementara Ki Demang dipersilahkan mempersiapkan penyambutan, jika benar-benar yang datang adalah Pangeran Benawa. Sejenak kemudian, maka sebuah iring-iringan kecil telah meninggalkan Kademangan menuju kepadukuhan di ujung Kademangan Sangkal Putung. Dengan ragu-ragu mereka pergi menyongsong kedatangan Pangeran Benawa dengan cara yang aneh. Ketika mereka sampai ke banjar padukuhan diujung Kademangan, maka Swandaru mempersilahkan Kiai Gringsing dan Agung Sedayu berada didepan. Dibelakang mereka adalah Swandaru sendiri dan Glagah Putih. Sementara para pengiringnya berada dibelakang. Demikian mereka memasuki regol halaman banjar, maka merekapun segera berloncatan turun. Setelah menyerahkan kuda mereka kepada para pengiring, maka Kiai Gringsing, Agung Sedayu, Swandaru dan Glagah Putihpun segera pergi kependapa.

Agung Sedayu dan Kiai Gringsingpun kemudian menjadi berdebar-debar. Yang berada dipendapa itu benar-benar adalah Pangeran Benawa dengan para pengiringnya. Karena itulah, maka demikian Agung Sedayu dan Kiai Gringsing naik ketangga pendapa, merekapun segera berjongkok. Swandaru yang berada dibelakangnya bersama Glagah Putihpun ikut pula berjongkok dan kemudian berjalan sambil berjongkok dipendapa, maju mendekati Pangeran Benawa dan pengiringnya. “Marilah Agung Sedayu,“ Pangeran Benawa tertawa, “marilah Kiai Gringsing, Swandaru dan Glagah Putih.“ Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan heran, diluar sadarnya ia bertanya, “Pangeran sudah mengenal kami semuanya?” “Kita pernah bertemu,“ jawab Pangeran Benawa. “Ya Pangeran. Tetapi saudara-saudara kami ?” Pangeran Benawa tertawa. Katanya, “Aku pernah berada di Sangkal Putung. Karena Glagah Putih itulah maka aku telah membunuh kedua saudara dari Pesisir Endut, yang dendamnya menyala sampai beberapa hari yang lalu. Agaknya seorang prajurit muda telah berhasil membunuh Carang Waja yang gila itu.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Nampaknya Pangeran Benawa tahu segala-galanya. Karena itu, maka yang dilakukan oleh Agung Sedayu kemudian adalah mempersilahkan Kiai Gringsing untuk maju dan menemui Pangeran Benawa, sementara ia sendiri duduk disebelah Swandaru dan Glagah Putih. Dengan hormatnya Kiai Gringsingpun kemudian sebagaimana kebiasaannya menerima tamu adalah bertanya tentang keselamatan mereka diperjalanan. Pangeran Benawapun menjawab seperti kebiasaan yang berlaku pula. Namun kemudian Kiai Gringsing berkata, “Pangeran. Tentu Pangeran tidak seyogyanya diterima dibanjar padukuhan kecil ini. Kami mohon maaf, bahwa sambutan kami tentu agak mengecewakan, karena sebenarnyalah kedatangan Pangeran sangat mengejutkan kami. Sebelumnya Pangeran tidak memerintahkan utusan untuk memberitahukan kedatangan Pangeran ini.” Pangeran Benawa tertawa. Katanya, “Kiai bersikap sangat bersungguh-sungguh menerima kedatangan kami. Aku mohon Sangkal Putung menerima kedatangan kami seperti kedatangan orang lain. Kami hanya lewat dan mungkin seperti orang-orang lain yang kemalaman di perjalanan. Kami mohon tempat untuk menginap barang satu malam.” “Tentu, tentu Pangeran. Aku rasa Ki Demang Sangkal Putung akan menyediakan dengan sepenuh hati. Tentu kedatangan Pangeran ke Sangkal Putung, bukannya karena kemalaman.”

“Ya. Benar-benar karena kemalaman. Tentu Kiai menganggap aneh. Tetapi sebenarnyalah kami berangkat terlalu siang. Bahkan setelah matahari mulai condong. Karena itulah maka kami kemalaman diperjalanan. Dan kami memang memilih Sangkal Putung sebagai tempat untuk menumpang bermalam.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sadar, bahwa ia bukannya orang yang berwenang menerima tamu agung dari Pajang yang mengejutkan itu. Karena itu, maka kemudian katanya, “Pangeran. Anak muda ini adalah putera Ki Demang Sangkal Putung. Ia akan mempersilahkan Pangeran untuk pergi ke Kademangan. Pangeran akan diterima oleh Ki Demang dan para bebahu Kademangan sebagaimana seharusnya.” “Aku sudah mengenal Swandaru. Bukankah putera Ki Demang itu murid Kiai Gringsing pula seperti Agung Sedayu ? “ Pangeran Benawa berhenti sejenak, lalu. “Jika Swandaru ingin menerima kami di Kademangan, maka kamipun akan mengucapkan terima kasih. Tetapi tempat inipun sebenarnya sudah cukup baik bagi kami.” “Pangeran,“ berkata Swandaru, “tentu lebih baik kami mempersilahkan Pangeran dan para pengiring untuk datang ke Kademangan. Kami sudah mempersiapkan penyambutan yang barangkali lebih baik dari tempat yang kotor ini.” Pangeran Benawa memandang beberapa orang pengiringnya berganti-ganti. Kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Baiklah Swandaru. Sebenarnya kami tidak ingin membuat kalian menjadi sibuk.” “Kedatangan Pangeran adalah suatu kehormatan bagi kami,“ berkata Swandaru pula. Dengan demikian, maka Pangeran Benawa dan pengiring-pengiringnyapun kemudian meninggalkan banjar padukuhan di ujung Kademangan itu menuju kepadukuhan induk. Sementara itu orang-orang di Kademangan telah menjadi sibuk, apalagi ketika dua orang pengawal yang diperintahkan oleh Swandaru untuk mendahului iring-iringan Pangeran Benawa itu telah sampai di Kademangan. “Jadi benar-benar Pangeran Benawa yang datang ? “ bertanya Ki Demang. “Ya. Benar-benar Pangeran Benawa,“ jawab pengawal itu. Karena itulah, maka dipendapa di ruang dalam, dan bahkan didapur sekalipun, telah terjadi kesibukan yang gelisah. Apa yang dikerjakan oleh orang-orang Sangkal Putung itu rasa-rasanya menjadi sangat lamban. Api diperapian rasa-rasanya tidak cukup panas untuk merebus air, sehingga terlalu lama mendidih. Dalam pada itu. Pangeran Benawa dan para pengiringnya diikuti oleh Swandaru dan pengiringnya

pula, menjadi semakin dekat dengan Kademangan Sangkal Putung. Disepanjang perjalanan, rasarasanya Pangeran Benawa menjadi gelisah. Setiap kali ia berpaling memandangi Agung Sedayu atau Swandaru, yang berkuda agak jauh daripadanya. Kiai Gringsing seolah-olah dapat melihat kegelisahan itu. Karena itu maka iapun berkata kepada Swandaru, “Nampaknya Pangeran Benawa ingin bertanya sesuatu. Dekatilah.” Swandaru menjadi agak ragu-ragu. Tetapi iapun kemudian mendekatinya. Beberapa pengiring Pangeran Benawa memandanginya dengan kerut merut dikening. Namun Swandaru adalah anak Ki Demang Sangkal Putung yang memang sudah sewajarnya untuk berada didekat tamunya yang paling terhormat.” Ternyata dugaan Kiai Gringsing benar. Pangeran Benawapun kemudian bertanya tentang berbagai hal yang dilihatnya. Ketika mereka melalui beberapa tempat pande besi, maka Pangeran Benawapun bertanya tentang penggunaannya, karena dimalam hari tempat itu nampak sepi. Namun sementara itu, tiba-tiba saja Pangeran Benawa berbisik, “Swandaru, mendekatlah.” Swandarupun kemudian bergeser semakin dekat. Dan iapun mendengar Pangeran Benawa berkata perlahan-lahan tanpa berpaling kepadanya, “Jangan didengar oleh orang lain. Pengiringkupun tidak.” Swandaru mengerutkan keningnya. Ia menjadi semakin dekat. Tetapi ia seakan-akan memandang kejalur jalan didepannya tanpa berpaling kepada Pangeran Benawa, “Apakah ada perintah Pangeran ? “ anak muda itu bertanya. “Dengarlah baik-baik,“ berkata Pangeran Benawa perlahan-lahan sekali sehingga hanya didengar oleh Swandaru, “biarlah Agung Sedayu pergi ke Mataram. Beritahukan kepada kangmas Raden Sutawijaya, bahwa aku dan beberapa orang pengiring, termasuk seorang Adipati, akan menghadap. Atas usul beberapa orang yang mencurigai kakang Senapati Ing Ngalaga, ayahanda Sultan memerintahkan aku dan beberapa orang untuk meyakinkan, bahwa Mataram tidak sedang dalam persiapan perang.” “O,“ Swandaru mengangguk-angguk. Ia mengerti apa yang dimaksud oleh Pangeran Benawa. Namun ia mengulanginya, “Pangeran memerintahkan kakang Agung Sedayu untuk menyampaikan kepada Senapati Ing Ngalaga, bahwa Pangeran akan datang bersama beberapa orang pengiring untuk melihat keadaan Mataram,

karena kecurigaan beberapa orang bahwa Mataram akan memberontak melawan Pajang.” “Ya. Tetapi jangan kau sendiri yang pergi. Kau adalah anak Demang Sangkal Putung yang harus ikut serta menerima tamu. Karena itu, biarlah Agung Sedayu mencari satu atau dua orang kawan dalam perjalanan.“ Pangeran Benawa berhenti sejenak, lalu. “juga jangan Kiai Gringsing. Biarlah ia ikut menerima tamu.” Swandaru mengangguk kecil. Tetapi ia sama sekali tidak berpaling memandang Pangeran Benawa yang berkuda disampingnya. Iring-iringan itupun akhirnya memasuki Padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung. Meskipun hari telah malam, namun beberapa orang yang mendengar kedatangan tamu dari Pajang itu memerlukan menjenguk keluar regol halaman rumah masing-masing. Beberapa orang pengawal di gardu-gardu, berdiri berjajar dipinggir jalan ketika iring-iringan itu lewat didepan gardu mereka. Beberapa orang pengiring Pangeran Benawa mengerutkan keningnya. Mereka melihat Sangkal Putung sebagai suatu Kademangan yang besar dan kuat. Anak-anak muda yang sigap dan agaknya cukup terlatih menanggapi keadaan. Dalam waktu singkat, disetiap padukuhan telah berkumpul anak-anak muda yang nampaknya adalah para pengawal Kademangan. Pangeran Benawa yang berkuda dipaling depan bersama Swandaru berpaling kepada para pengiringnya sambil berkata, “Apakah kalian melihat ketangkasan anak-anak muda Sangkal Putung ?” Para pengiringnya mengangguk. Seorang dari antara mereka berkata, “Pangeran, anak-anak muda Sangkal Putung benar-benar bersikap seperti prajurit yang telah dipersiapkan dalam masa perang.” Bukan saja dada Swandaru yang berdesir mendengar kata-kata itu. tetapi Kiai Gringsing dan Agung Sedayu yang juga mendengar, menjadi berdebar-debar pula. Tetapi Pangeran Benawalah yang menjawab, “Tepat paman Adipati. Dan ini bukan saja terjadi sejak kemarin siang atau kemarin malam. Sikap anak-anak muda Sangkal Putung itu telah ditempa sejak kakang Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan dari Jipang berada disekitar daerah ini. Kakang Tohpati yang tidak menyerah sepeninggal pamanda Arya Penangsang, berusaha untuk mencari landasan geraknya didaerah lumbung padi ini. He, bukankah demikian ?” Para pengiringnya mengangguk-angguk. “Saat itu, Ki Widura berada disini dengan pasukannya. Kemudian disusul oleh Ki Untara. Pasukan itu kini ditarik ke Jati Anom dan masih dipimpin oleh Senapati muda yang perkasa itu. Untaralah yang berhasil mengalahkan kakang Macan Kepatihan dan kemudian menawan sisa pasukannya.”

“Dan membiarkan iblis tua yang bernama Sumangkar itu untuk tetap berkeliaran,“ salah seorang dari para pengiring Pangeran Benawa itu memotong. “Apakah itu keliru ? Apakah dikemudian hari paman Sumangkar berbuat sesuatu yang merugikan Pajang ? “ bertanya Pangeran Benawa, “Jika pamanda Ki Gede Pemanahan memberikan kesempatan kepada Ki Sumangkar untuk bebas, maka agaknya Ki Sumangkar telah menghabiskan waktunya untuk berada di Sangkal Putung tanpa berbuat sesuatu yang dapat merugikan Pajang. Bahkan disaat meninggalnya, ia masih mendapat kehormatan dari ayahanda Sultan dengan pertanda pribadinya yang diserahkan kepada Untara.” Para pengiring Pangeran Benawa itupun terdiam. Mereka memang melihat, dan sebagian, yang tidak sempat hadir pada waktu itu, mendengar bahwa masih banyak orang yang datang disaat Sumangkar meninggal di Sangkal Putung. Sejenak kemudian maka merekapun sampai ke rumah Ki Demang Sangkal Putung. Beberapa orang telah siap menyambut tamu agung itu diregol halaman, termasuk Ki Demang dan para bebahu. Dengan sangat hormat Ki Demang dan para bebahu Kademangan Sangkal Putung itupun kemudian mempersilahkan Pangeran Benawa dan para pengiringnya masuk kehalaman. Setelah menyerahkan kuda-kuda mereka kepada para pengawal yang berada di halaman, maka para tamu itupun kemudian naik kependapa. Dengan tiba-tiba saja rumah Ki Demang itu menjadi ramai seperti sedang mengadakan peralatan. Lampu menyala di mana-mana. Dan orang-orangpun sibuk hilir mudik. Perempuan didapur mengusap keringat yang mengembun dikening, sementara beberapa orang gadis telah bersiap untuk menghidangkan jamuan yang mereka siapkan dengan tergesa-gesa. “Hati-hatilah,“ pesan orang-orang tua kepada beberapa orang gadis yang akan menyediakan jamuan, “tamu-tamu itu adalah orang-orang besar dari Pajang. Kalian harus melakukannya dengan baik dan dengan tata unggah-ungguh yang benar.” “Bagaimana yang benar itu ? “ bertanya seorang gadis. Orang-orang tua itu saling berpandangan. Salah seorang dari mereka menggeleng sambil berkata, “Aku tidak tahu.” Beberapa orang perempuan itupun tiba-tiba saja telah berpaling kepada Pandan Wangi yang berada didapur pula, seolah-olah mereka membebankan kepada perempuan itu untuk memberikan jawaban. Pandan Wangi sendiri belum mengetahui unggah-ungguh yang sebenarnya. Namun iapun menjawab, “Asal kalian sudah berbuat sebaik-baiknya. Berjalan sambil berjongkok. Duduk beberapa langkah dihadapan para tamu. Kemudian menyembah.” tiba-tiba saja Pandan Wangi berhenti, “apakah kalian

harus menyembah ?” Dalam kebimbangan itu, terdengar suara dibelakang pintu, “Tidak ada salahnya. Tetapi tidakpun tidak apa-apa.” Ketika mereka berpaling, mereka melihat Agung Sedayu berdiri dimuka pintu dapur. Lalu katanya pula, “Memang menjadi kebiasaan untuk menyembah seorang Pangeran kecuali didalam istana, karena hanya raja sajalah yang disembah didalam lingkungan istana. Tetapi Pangeran Benawa adalah seorang Pangeran yang mempunyai sifat-sifat khusus. Ia tidak menghiraukan, apakah orang lain menyembahnya atau tidak. Karena itu kalian dapat menyembah lebih dahulu sebelum meletakkan mangkuk minuman, atau tidak sama sekali.” “Tetapi sebutlah, yang manakah yang baik kami lakukan ? “ bertanya gadis-gadis itu. Agung Sedayu justru termangu-mangu. Namun katanya kemudian, “Kalian sebaiknya menyembahnya, karena Pangeran Benawa tidak seorang diri. Jika ia seorang diri, maka kalian dapat berbuat lebih bebas, karena pada suatu saat Pangeran Benawa sendiri pernah duduk diregol pasar dengan pakaian seorang petani.” “Tetapi itu dalam keadaan yang khusus,“ Pandan Wangilah yang menyahut. “Ya. Kau benar. Sekarang Pangeran Benawa dalam kedudukannya yang resmi,“ berkata Agung Sedayu kemudian. Dengan demikian maka gadis-gadis Sangkal Putung itupun menjadi berdebar-debar. Seolah-olah mereka harus melakukan pekerjaan yang sangat sulit. Jarang sekali terjadi bahwa mereka harus melayankan jamuan kepada seorang Pangeran.” ***

Buku 125 “BUKANKAH kalian pernah melakukannya bagi Senapati Ing Ngalaga yang mempunyai kedudukan yang hampir sama? Raden Sutawijaya itupun putera Sultan di Pajang, meskipun Putera angkatnya.” “Tetapi ia sangat baik dan seolah-olah tidak ada jarak dengan kami,“ berkata salah seorang gadis. “Demikian pula Pangeran Benawa,” sahut Agung Sedayu, “tetapi kalian memang lebih dekat dan sudah pernah melayankan hidangan kepada Raden Sutawijaya.” Gadis-gadis itu masih saja berdebar-debar. Tetapi keterangan Agung Sedayu itu agak membuat hati mereka menjadi tenang. Jika benar seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu maka Pangeran Benawa tidak akan terlalu memperhatikan sikap dan unggah-ungguh mereka. Dalam pada itu. Agung Sedayulah yang kemudian menanyakan, apakah mereka melihat Sekar Mirah. “Baru saja keluar,“ jawab Pandan Wangi, “mungkin ia berada di patehan, melihat anak-anak muda yang menyiapkan minuman.” Agung Sedayupun kemudian menyusul Sekar Mirah ke patehan dilongkangan. Ternyata gadis itu memang berada disana, memberikan beberapa petunjuk kepada anak-anak muda yang sedang membuat minuman. “Ada sedikit yang ingin aku katakan,“ bisik Agung Sedayu. Sekar Mirahpun kemudian mengikutinya. Di balik longkangan, disudut gandok yang sepi Agung Sedayu berkata, “Aku akan pergi.” “He Sekar Mirah mengerutkan keningnya, “bagaimana mungkin. Disini kami sedang sibuk.” “Sst,“ desis Agung Sedayu, “ada pesan dari Pangeran Benawa.” Sekar Mirah menjadi tegang. Kemudian ia mendengarkan dengan sungguh-sungguh keterangan Agung Sedayu tentang pesan Pangeran Benawa lewat Swandaru. Barulah Sekar Mirah mengerti persoalannya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Siapakah yang akan pergi bersamamu kakang ? Mungkin diperjalanan kau tidak akan menjumpai kesulitan apapun. Tetapi di malam hari, kadang-kadang ada saja sesuatu yang harus kita perhitungkan.” Agung Sedayu termangu-mangu. Katanya, “Menurut Pangeran Benawa, Swandaru dan guru sebaiknya tidak meninggalkan rumah ini.”

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Kemudian iapun bertanya, “Jadi dengan siapakah kakang akan pergi?” “Aku tidak dapat memilih siapakah yang paling baik pergi bersamaku. Mungkin seorang pengawal yang paling baik menurut petunjuk Swandaru, atau barangkali Glagah Putih saja.” “Apakah itu sudah cukup?“ bertanya Sekar Mirah. “Mungkin sudah cukup. Atau kedua-duanya. Glagah Putih dan seorang pengawal terpilih.” Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Hampir diluar sadarnya ia berkata, “Bagaimana jika aku saja?” “Ah,“ Agung Sedayu berdesah, “kau diperlukan dalam kesibukan ini.” Sekar Mirah mengangguk kecil. Ia sadar, bahwa ia harus membantu mempersiapkan jamuan yang dengan tergesa-gesa dilakukan oleh perempuan-perempuan di Kademangan Sangkal Putung untuk menjamu tamu-tamu mereka, termasuk seorang Pangeran dan seorang Adipati. “Tetapi, kakang harus berhati-hati,“ berkata Sekar Mirah, “mudah-mudahan tidak ada apa-apa diperjalanan.” “Doakan saja Sekar Mirah. Aku sekarang akan segera pergi dengan diam-diam. Jangan berkata kepada siapapun, karena jika hal ini diketahui oleh satu orang saja, maka mungkin sekali akan segera tersebar sampai ketelinga salah seorang pengiring Pangeran Benawa.” “Bagaimana dengan seorang pengawal? Iapun tentu akan berceritera kepada kawan-kawannya.” Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Jika demikian, aku akan pergi dengan Glagah Putih saja.” Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Tetapi jika hal itu dikehendaki oleh Pangeran Benawa. ia tidak dapat mencegahnya. Iapun mengerti bahwa Pangeran Benawa sebenarnya sangat mengasihi kakak angkatnya di Mataram, seperti Raden Sutawijaya juga mengasihinya. Dalam pada itu, dengan diam-diam Agung Sedayu dan Glagah Putih segera mempersiapkan kuda mereka. Melalui longkangan belakang, keduanya pergi dengan diam-diam. Jangankan para tamu, orang-orang Sangkal Putung sendiri tidak mengetahui bahwa keduanya telah meninggalkan halaman. “Kita lewat jalan-jalan setapak,“ berkata Agung Sedayu yang mengenal Sangkal Putung seperti mengenal padukuhannya sendiri. Karena itu, maka iapun dapat memilih jalan keluar tanpa melalui sebuah gardu penjagaanpun, meskipun kadang-kadang mereka justru harus menuntun kuda mereka.” Demikianlah, ketika mereka sudah berada diluar padukuhan, maka kuda merekapun segera berpacu. Dengan cepat mereka melintasi bulak-bulak dan padukuhan-padukuhan. Sejauh mungkin Agung

Sedayu menghindari gardu-gardu yang dapat menghambat perjalanannya. Apalagi selama mereka masih berada ditlatah Sangkal Putung. Agung Sedayu harus dengan secepatnya mencapai Mataram. Kemudian dengan secepatnya pula kembali ke Sangkal Putung. Jarak antara Sangkal Putung dan Mataram memang cukup panjang, sehingga perjalanan itu merupakan perjalanan yang cukup berat jika menjelang pagi mereka haras sudah berada di Sangkal Putung kembali. Apalagi jika ada sesuatu yang dapat menghambat perjalanan mereka. Namun ternyata diperjalanan menuju ke Mataram, nampaknya mereka tidak menemui gangguan sesuatu. Meskipun jalan gelap dan kadang-kadang mereka masih harus melalui jalan dipinggir hutan, namun mereka tidak mendapat hambatan yang berarti. Dalam pada itu, di Sangkal Putung yang seolah-olah dengan tiba-tiba saja telah menyelenggarakan sebuah peralatan, telah menjadi sangat ramai. Kademangan Sangkal Putung menjadi terang benderang, apalagi halaman rumah Ki Demang yang penuh dengan obor disetiap sudut dan bagian dari kebun dan longkangan. Dalam kesibukan itu, tidak seorangpun yang menyadari, bahwa Agung Sedayu tidak berada di halaman rumah Ki Demang itu, kecuali orang-orang tertentu yang memang berkepentingan. Anak-anak muda yang sibuk itu kadang-kadang memang ada yang bertanya, dimana Agung Sedayu. Tetapi Sekar Mirah selalu dapat mencari jawabnya. Jika ia berada di patehan. ia mengatakan Agung Sedayu ada di pendapa. Tetapi jika anak-anak yang dari pendapa bertanya dimana Agung Sedayu, ia menjawab bahwa Agung Sedayu berada di sumur atau di longkangan. Namun bagaimanapun juga, Sekar Mirah menjadi berdebar-debar juga. Ia mengerti, betapa di malam hari. Meskipun sebagian besar jalan telah lapang dan rata, tetapi hutan-hutan seperti Tambak Baya, kadang-kadang masih merupakan daerah yang sangat mendebarkan. Bulak yang panjang dan kemudian jalan yang menembus daerah yang masih berhutan lebat, bahkan masih merupakan daerah jelajah para perampok dan penyamun. Terhadap satu dua orang perampok dan penyamun. Sekar Mirah tidak perlu mencemaskan nasib Agung Sedayu. Tetapi jika sekelompok dari mereka bersama-sama mencegatnya di hutan Tambak Baya, maka hal itu akan dapat merupakan peristiwa yang gawat. Tetapi Agung Sedayu tidak mengalami sesuatu diperjalanan. Glagah Putih ternyata merupakan anak muda yang memang mempunyai kemampuan yang besar dan kemungkinan yang baik dimasa mendatang. Didalam gelapnya malam, ia mampu berkuda dengan cepatnya mengikuti Agung Sedayu. Ketika sekali mereka berhenti dipinggir Kali Opak, tidak nampak kesan kelelahan atau perasaan

cemas pada Glagah Putih. Iapun dengan sigap kembali meloncat kepunggung kudanya yang telah sempat minum air sungai yang jernih dan beristirahat barang sejenak. Ketika mereka memasuki Mataram digelapnya malam, maka para penjaga di regol telah menghentikannya. Tetapi karena keduanya tidak mencurigakan, maka mereka tidak mengalami banyak kesulitan. Meskipun Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak menyatakan diri mereka dan kepada siapa ia akan menghadap, namun para penjaga tidak terlalu banyak bertanya tentang mereka. Adalah mungkin sekali seseorang yang datang dari jarak yang kemalaman diperjalanan. Apalagi Agung Sedayu dapat menyebut beberapa nama justru orangorang yang sudah banyak dikenal di Mataram dan mengaku sebagai sanak kadangnya yang datang dari jauh, meskipun nama itu bukan Senapati Ing Ngalaga. Tetapi ketika Agung Sedayu dan Glagah Pulih sampai diregol rumah yang didiami oleh Raden Sutawaijaya, maka ia harus mengatakan, bahwa mereka memang akan menghadap Raden Sutawijaya. “Kenapa malam-malam begini ?“ bertanya pengawal yang menjaga regol halaman. “Penting sekali. Kami tidak dapat menundanya sampai besok,“ jawab Agung Sedayu. “Tetapi siapakah kalian ?” pengawal itu mendesak. Agung Sedayu termangu-mangu. Seperti di Pajang, maka sudah barang tentu bahwa tidak semua orang di Mataram dapat dipercaya. Mungkin sekali penjaga itu adalah orang yang dengan sengaja ditempatkan oleh orang-orang yang justru memusuhi Mataram. Karena itu, maka Agung Sedayu berkata, “Apakah kalian dapat menyampaikan pesan kedatanganku kepada Ki Lurah Branjangan?” Sejenak pengawal itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Ki Lurah tidak bertugas malam ini.” “Tetapi bukankah rumahnya dibelakang rumah ini dan setiap saat dapat dihubungi.” “Kau aneh. Katakan, siapakah kalian dan apakah keperluan kalian ?“ bentak penjaga itu. “Ki Lurah mengenal kami. Jika Ki Lurah ada. maka Ki Lurah akan dapat mengurus segalanya.“ Agung Sedayu termangu-mangu, lalu. “atau antarkan kami kepada Ki Lurah.” Selagi kedua penjaga regol itu termangu-mangu, tiba-tiba saja seorang perwira pengawal datang sambil bertanya, “Ada apa dengan mereka ?” “Mereka ingin menghadap. Tetapi sikap mereka justru mencurigakan. Mereka mungkin sekali berniat buruk dengan merahasiakan diri mereka.” “Aku tidak merahasiakan. Aku hanya mengatakan, bahwa Ki Lurah mengenal kami.”

Tiba-tiba perwira itu mengerutkan keningnya sambil bertanya, “Bukankah kau?” “Ya,“ sahut Agung Sedayu sambil menjabat tangan perwira itu. Namun ia berbisik, “Aku datang dengan pesan rahasia.” Perwira itu termangu-mangu. Ia tidak jadi menyebut nama Agung Sedayu. Apalagi Agung Sedayu seolah-olah justru telah mendesaknya semakin jauh dari para penjaga dan membiarkan kendali kudanya dipegang oleh Glagah Putih. “Sebaiknya jangan ada orang lain yang mengetahui, apakah yang aku lakukan disini,“ desis Agung Sedayu pula. Tetapi perwira itu tersenyum. Katanya lirih, “Orang-orangku dapat dipercaya. Petugas-petugas di rumah ini adalah petugas-petugas khusus yang dipilih melalui beberapa tataran.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sukurlah. Mudah-mudahan begitu.” “Kau harus yakin. Jika tidak, kaupun wajib mencurigai aku,“ sahut perwira itu sambil tertawa. Agung Sedayu justru menjadi termangu-mangu. Tetapi iapun kemudian tertawa pula. Desisnya, “Mudah-mudahan aku dapat yakin kemudian.” Meskipun demikian, ternyata perwira itu tidak menyebut juga nama Agung Sedayu. Dengan termangumangu, penjaga regol itu melihat perwira yang kebetulan sudah mengenal Agung Sedayu itu membawanya masuk dan langsung ke longkangan, bersama Glagah Putih. “Apakah kau akan bertemu dengan Senapati Ing Ngalaga malam ini juga ?“ bertanya perwira itu. “Ya, penting sekali. Aku membawa pesan Pangeran Benawa.” “He ? “ wajah orang itu menegang. Lalu. “Baiklah. Aku akan membangunkannya.” Perwira itu telah membawa Agung Sedayu keruang pengawal dalam. Kemudian bersama salah seorang dari mereka, memasuki bagian tengah dari rumah yang besar itu. “Tunggulah disini,“ berkata pengawal dalam itu. “Cepatlah sedikit,” berkata perwira yang membawa Agung Sedayu dan Glagah Pulih itu. Pengawal dalam itupun kemudian menuju kepintu bilik Senapati Ing Ngalaga. Sejenak ia termangumangu. Namun kemudian, iapun mengetuk pintu bilik itu.

Sejenak kemudian, pintu itu terbuka. Seorang yang mempunyai perbawa yang sangat besar, telah berdiri dimuka pintu, sementara pengawal dalam itu menganggukkan badannya penuh hormat. “Kenapa kau bangunkan aku?“ bertanya Raden Sutawijaya. “Ampun Senapati. Ada seseorang yang ingin menghadap membawa berita yang sangat penting yang tidak dapat ditunda sampai besok,“ jawab pengawal dalam itu. Raden Sutawijayapun kemudian mengedarkan pandangannya keseluruh ruangan. Yang dilihatnya diruang sebelah lewat pintu hanyalah bayangan yang melekat dinding. Namun katanya kemudian, “Bawa mereka kemari.” Pengawal itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian melangkah surut untuk mempersilahkan perwira pengawal yang membawa Agung Sedayu dan Glagah Putih. Demikian Sutawijaya melihat Agung Sedayu, sejenak ia menegang. Namun kemudian iapun tertawa sambil berkata, “Kau Agung Sedayu. Marilah. Duduklah diruang dalam. Kedatanganmu tentu akan menyampaikan sesuatu yang sangat penting. Tetapi tentu bukan kedatangan dan kematian Carang Waja.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk penuh hormat, karena bagaimanapun juga, ia berhadapan dengan Senapati Ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram. “Terima kasih,“ jawab Agung Sedayu, “kami mohon maaf, bahwa kami datang dimalam larut.” Raden Sutawijaya tertawa. Jawabnya, “Aku justru berterima kasih. Tentu kau membawa persoalan yang sangat mendesak. Bukan hanya sekedar menginap karena kemalaman dalam perjalananmu.” “Senapati benar. Aku memang membawa kabar penting,“ sahut Agung Sedayu. Sejenak kemudian, maka Raden Sutawijayapun membawa Agung Sedayu dan Glagah Putih keruang tengah. Sementara perwira yang membawanyapun kemudian minta diri meninggalkan ruangan itu bersama pengawal dalam yang telah membangunkan Raden Sutawijaya. Setelah Raden Sutawijaya bertanya tentang keselamatan Agung Sedayu diperjalanan bersama Glagah Putih, maka iapun berkata, “Nah. sekarang katakanlah. Apakah yang penting itu bagi kami di Mataram.” Agung Sedayupun kemudian mengatakan, bahwa Pangeran Benawa berada di Sangkal Putung dalam

perjalanannya ke Mataram. Dan iapun telah menyampaikan pesan Pangeran Benawa kepada Raden Sutawijaya tentang keperluannya dan mempersilahkan Raden Sutawijaya untuk menyesuaikan diri. Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berdesis, “Itulah Agung Sedayu. Ada orang-orang tertentu di Pajang yang selalu mencari-cari kesalahanku. Ketika kita berada di Gunung Merapi, dilembah antara gunung itu dan Gunung Merbabu, maka Pajang telah berbuat serupa. Tetapi agaknya mereka belum puas karena mereka tidak menemukan yang mereka kehendaki. Seolah-olah Mataram sedang mempersiapkan diri untuk memberontak terhadap Pajang. Waktu itu aku sempat mengaburkan kedatangan pasukanku agar mereka memasuki kota dalam pecahan-pecahan kecil, sehingga petugas-petugas dari Pajang tidak melihat pasukan yang seolah-olah dipersiapkan untuk melawan Pajang. Kini Pajang justru mengutus Pangeran Benawa sendiri untuk datang ke Mataram.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Demikianlah yang harus aku sampaikan kepada Senapati Ing Ngalaga.” “Aku mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya. Aku akan menyesuaikan diri. Namun sebenarnyalah di Mataram tidak ada kegiatan yang pantas disebut atau dianggap sebagai satu persiapan pemberontakan. Adalah wajar sekali jika pengawal-pengawalku mengadakan latihanlatihan perang didaerah Ganjur atau di pinggir hutan Kleringan dan bahkan kadang-kadang memasuki lebatnya hutan Tambak Baya dan sisa-sisa hutan Mentaok untuk menambah ketangkasan dan ketrampilan mereka. Jika latihan-latihan yang demikian dianggap sebagai suatu persiapan pemberontakan, maka aku tidak mengerti, kegiatan apakah yang dapat aku lakukan sebagai seorang yang telah dianugerahi Gelar Senapati Ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram?” Agung Sedayu tidak menjawab, ia memang tidak banyak mengerti tentang tata pemrintahan. Ia juga tidak mengerti batas kewajiban dan wewenang Raden Sutawijaya. Dan iapun tidak mengerti, apakah kedudukan Raden Sutawijaya itu adalah kedudukan yang memang sudah ada sejak masa pemerintahan sebelum Pajang, atau baru ada karena di Pajang ada seorang Raden Sutawijaya yang mempunyai kedudukan dan sikap khusus. Sementara itu Raden Sutawijaya meneruskan, “Baiklah Agung Sedayu. Malam ini juga aku akan memerintahkan menarik semua pasukan yang sedang mengadakan latihanlatihan perang-perangan didaerah yang terpencar. Biarlah mereka memasuki baraknya masing-masing sementara para pengawal padukuhan yang setiap saat dapat aku siapkan sebagai pengawal-pengawal dan prajurit, akan aku perintahkan kembali ke padukuhan masing-masing. Sehingga besok saat Pangeran Benawa memasuki Mataram, sama sekali tidak ada kegiatan keprajuritan, kecuali pasar-pasar yang ramai dan kedai-kedai yang penuh dengan para pembeli. Mungkin aku juga akan menjiapkan penyambutan dengan berbagai macam pertunjukan jika Pangeran Benawa berkenan bermalam di Mataram.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kekecewaan diwajah Raden Sutawijaya atas sikap orangorang Pajang. Tetapi Raden Sutawijaya masih tetap hormat dan patuh kepada Sultan di Pajang, yang juga merupakan ayah angkatnya dan sekaligus salah seorang gurunya dalam olah

kanuragan. Bahkan agaknya jiwa petualangannya dan juga jiwa menyepi dan pemusatan panca indera di tempat-tempat terasing untuk mematangkan dan mendewasakan diri dalam bentuknya yang beraneka adalah karena pengaruh gurunya, yang juga rajanya dan yang juga orang tuanya itu. Dalam pada itu, ketika Agung Sedayu menganggap bahwa ia sudah cukup jelas menyampaikan pesan Pangeran Benawa, maka katanya, “Tugas yang dibebankan kepadaku agaknya sudah cukup aku lakukan. Karena itu, maka kami akan segera mohon diri. Segala sesuatunya mudah-mudahan akan dapat berjalan dengan baik dan selamat.“ Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia berkata,“ bermalam sajalah disini.” “Terima kasih Senapati. Aku harus sudah berada di Sangkal Putung menjelang matahari naik, agar tidak menimbulkan beberapa kecurigaan. Karena itu, maka aku harus segera kembali dan secepatnya sampai ke Sangkal Putung.” Senapati Ing Ngalaga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau mempunyai tanggung jawab yang besar. Kau, gurumu dan saudara seperguruanmu yang gemuk itu, ternyata terlalu banyak memberikan bantuan terhadap berdiri dan tegaknya Mataram. Karena itu, aku setiap kali akan selalu mengucapkan terima kasih kepada kalian.” “Yang aku lakukan sama sekali tidak berarti,“ sahut Agung Sedayu. Namun Raden Sutawijaya itupun bertanya, “Bagaimana dengan kudamu? Meskipun lelah dan barangkali punggungmu terasa sakit, tetapi kau tidak berlari dari Sangkal Putung ke Mataram dan sebaliknya. Karena itu, jika kudamu lelah dan barangkali dapat mengganggu perjalananmu, biarlah kau berdua memakai kuda dari Mataram agar kudamu sempat beristirahat disini.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Kudanya memang tentu lelah setelah menempuh perjalanan dari Sangkal Putung ke Mataram. Kuda itu hanya berhenti sebentar di pinggir Sungai Opak. Meskipun ia dapat memaksa kudanya untuk berlari kembali ke Sangkal Putung setelah berhenti pula sejenak di Mataram, tetapi seperti yang dikatakan oleh Raden Sutawijaya, kudanya tentu merasa lelah. Tawaran Raden Sutawijaya itu memang menarik perhatiannya. Besok atau lusa atau kapan saja, ia dapat pergi ke Mataram dan kembali dengan kudanya sendiri bersama Glagah Putih. Karena itu. maka Agung Sedayupun berkata, “Terima kasih. Jika demikian, aku akan menerimanya dengan senang hati. Biarlah kuda kami tinggal dan beristirahat disini. Pada saatnya kami akan mengembalikan kuda yang kami bawa dan menukarkannya kembali dengan kuda kami.” Raden Sutawijaya tersenyum. Iapun kemudian bertepuk dua kali. Ketika seorang pengawal dalam datang mendekatinya, maka diperintahkannya agar seorang gamel menyiapkan dua ekor kuda dan membawa dua ekor kuda yang dipakai oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih kekandang. Gamel yang mendapat perintah itupun segera mengerti maksudnya. Betapapun malasnya, maka sambil menguap iapun terpaksa menyiapkan dua ekor kuda. Meneliti segala

sesuatunya sampai ketapal kakinya. Karena jika tapal kaki kuda itu kendor, maka kuda itu akan mengalami kesulitan diperjalanan. Setelah ternyata segalanya siap, maka kuda itupun diserahkan kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih yang telah mohon diri kepada Senapati Ing Ngalaga. “Berhati-hatilah diperjalanan. Aku kira tidak akan ada gangguan apapun juga. Meskipun demikian, kadang-kadang masih ada juga orang-orang yang tidak bertanggung jawab disepanjang jalan,“ berkata Senapati Ing Ngalaga. “Kami mohon diri,“ berkata Agung Sedayu, “mudah-mudahan tidak ada sesuatu yang dapat mengeruhkan ketenangan yang selama ini terbina sebaik-baiknya.” Raden Sutawijaya tersenyum. Iapun mengerti, bahwa Agung Sedayu menangkap ketegangan yang ada diantara Mataram dan Pajang. Karena itu maka Agung Sedayupun tentu mengerti, bahwa ketenangan yang dimaksudkan, adalah ketenangan yang tegang. Sejenak kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putih-pun segera meninggalkan Mataram. Mereka tidak melalui regol kota yang mereka lalui ketika mereka masuk. Tetapi mereka memilih regol yang lain, agar para penjaga tidak terlalu banyak bertanya dan bahkan mencurigai. Karena semakin banyak pertanyaan yang harus mereka jawab, maka mereka akan semakin banyak mengalami kesulitan untuk merahasiakan keperluan mereka datang ke Mataram. Dengan demikian, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun meninggalkan Mataram tanpa kesulitan. Mereka segera berpacu disepanjang bulak. Kuda yang mereka pakai adalah kuda yang tegar dan kuat, seperti kuda yang mereka bawa dari Sangkal Putung. Apalagi kuda itu adalah kuda yang segar, yang belum merasa lelah karena perjalanan. Dengan demikian maka perjalanan mereka kembali ke Sangkal Putung dapat mereka lakukan secepat perjalanan mereka berangkat dari Sangkal Putung ke Mataram. Menjelang dini hari, keduanya telah mendekati Sangkal Putung. Seperti saat mereka berangkat, maka ketika mereka kembali, Agung Sedayupun memilih jalan yang paling sepi dari kemungkinankemungkinan yang dapat menyulitkannya. Untunglah, bahwa menjelang dini hari, Sangkal Putung benar-benar masih sepi. Tanpa melalui gardugardu parondan. Agung Sedayu menyusup memasuki padukuhan induk. Mereka berdua justru menuntun kuda mereka melalui jalan-jalan sempit. Namun akhirnya mereka berhasil mendekati Kademangan. Dan bahkan kemudian keduanya memasuki Kademangan lewat pintu butulan. Tetapi, ternyata bahwa ada juga seseorang yang melihat keduanya memasuki halaman dibelakang sambil menuntun kuda masing-masing. Karena itu, maka orang itupun bertanya, “He, dari manakah berdua ?” Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Tetapi iapun kemudian menjawab, “Glagah Putih minta aku mengajarinya bermain dengan kuda.”

“Apakah ia belum terbiasa naik kuda ?“ bertanya orang itu. “Bukan belum terbiasa naik kuda. Tetapi ia ingin menguasai kuda dan bermain-main dengan langkahlangkah yang menarik. Kuda kami memang kuda pilihan yang dapat menari dengan langkah-langkah kakinya.” Orang itu tidak bertanya lebih lanjut. Sekilas ia melihat dua ekor kuda yang besar dan tegar. Sambil mengerutkan keningnya ia mengamati kuda itu sejenak, seolah-olah ia baru melihat kuda itu untuk pertama kali. Namun orang itupun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Ia memang belum mengenal dengan baik kuda Agung Sedayu dan Glagah Putih yang mereka bawa dari Jati Anom Karena itu. ia tidak dapat mengatakan sesuatu tentang kedua ekor kuda yang terasa asing baginya itu. Setelah memasukkan kuda mereka kekandang dan melepas pelananya, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun segera pergi ke longkangan. Namun Agung Sedayu berbisik, “Masuk sajalah ke bilikmu dan cobalah untuk berbaring.” “Tetapi, tubuhku basah oleh keringat.” “Sekali-sekali mencoba tidur dengan pakaian basah,“ desis Agung Sedayu. Tetapi Glagah Putihpun pergi juga mencuci kaki dan tangannya, mengusap wajahnya dan kemudian masuk kedalam biliknya digandok tanpa menarik perhatian orang lain. Ia sama sekali tidak menyentuh anak-anak muda yang tidur di longkangan setelah tamu-tamu yang berada di Sangkal Putungpun tertidur pula. Sementara Agung Sedayu masih harus menemui Swandaru dan melaporkan hasil perjalanannya. Ternyata Swandaru tidak tidur didalam biliknya. Ia berbaring diserambi, pada sebuah lincak bambu. Beberapa orang yang ikut membantu menjamu para tamu Ki Demangpun tertidur pula dengan nyenyaknya, di atas amben bambu pula diserambi belakang berdesakan. Swandaru terkejut ketika Agung Sedayu menyentuh kakinya. Dengan serta merta ia bangkit. Namun iapun menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Agung Sedayu berdiri disisinya. “Kau sudah datang ?“ bertanya Swandaru. “Baru saja,“ jawab Agung Sedayu. Swandarupun kemudian mempersilahkan Agung Sedayu duduk disebelahnya. Dengan berdebar-debar iapun bertanya, apakah Agung Sedayu berhasil menemui Raden Sutawijaya langsung. “Ya,“ jawab Agung Sedayu, “aku dapat bertemu dengan Raden Sutawijaya sendiri dan mengatakan kepadanya segala pesan Pangeran Benawa.” “Apa katanya ?”

“Ia akan menyesuaikan diri,“ jawab Agung Sedayu. Swandaru menarik nafas panjang. Desisnya, “Untunglah bahwa Raden Sutawijaya bersedia menyesuaikan diri.” “Kenapa ?“ bertanya Agung Sedayu. “Jika Raden Sutawijaya justru tersinggung karenanya, dan dengan sengaja pula menunjukkan kepada orang-orang Pajang, bahwa Mataram sudah siap menghadapi segala kemungkinan, maka akibatnya akan parah,“ jawab Swandaru. “Ah, apakah mungkin demikian ?,“ Agung Sedayu termangu-mangu. “Menurut guru, mungkin saja. Raden Sutawijaya sama sekali tidak mau merubah sikapnya untuk tidak datang ke paseban Pajang. Seakan-akan ia memang sudah mengeraskan hatinya meskipun ia mengerti, bahwa hal itu dapat mengakibatkan kurang baik bagi dirinya sendiri, bagi Mataram dan bagi Pajang,“ jawab Swandaru pula, “Karena itulah, maka mungkin pula ia justru dengan sengaja menunjukkan Mataram yang sebenarnya.” Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Tidak. Untunglah bahwa kali ini Raden Sutawijaya tidak berbuat demikian. Seperti yang dilakukannya ketika ia kembali dari Lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.” Swandaru mengangguk-angguk. Nampaknya bagaimanapun juga. Raden Sutawijaya tidak dapat menantang ayahandanya Sultan Pajang. “Baiklah,“ berkata Swandaru, “nanti, pada suatu kesempatan aku akan mengatakan kepada Pangeran Benawa. Ia sudah berusaha untuk mendapat kesempatan itu. Karena itu, ia sengaja berangkat menjelang sore hari dari Pajang, sehingga akan kemalaman di Sangkal Putung. Menurut Pangeran Benawa ia memang ingin bermalam di Kademangan ini.” “Agaknya Raden Sutawijaya tetap menghormati Pangeran Benawa pula. Ia mengerti, betapa Pangeran Benawa berusaha berbuat sebaik-baiknya bagi Mataram.” Swandaru mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Mudah-mudahan hubungan antara Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya tetap baik. Apapun yang akan dilakukan orang, tetapi jika kedua orang itu tetap saling menghormati maka hubungan antara Pajang dan Mataram tidak akan bertambah buruk.” “Mudah-mudahan. Sementara beberapa orang masih tetap pada rencananya untuk menemukan kesempatan bagi kepentingan diri mereka sendiri,“ berkata Agung Sedayu, yang tiba-tiba melanjutkan,

“Mataram sudah mengetahui segalanya yang terjadi di sini. Kematian Carang Waja telah didengar oleh Raden Sutawijaya.” “Demikian cepatnya,“ desis Swandaru, “bagi Pajang tidak mengherankan, karena ada jalur laporan lewat Senapati prajurit Pajang di Jati Anom. Apalagi beberapa orang prajurit telah terlibat pula.” “Tetapi hampir setiap orang mendengarnya. Dan berita demikian akan segera menjalar.” Swandaru mengangguk-angguk. Katanya kemudian, Baiklah kakang Agung Sedayu. Aku akan mengatakannya pada kesempatan yang tepat. Tetapi dimana Glagah Putih ?” “Ia berada didalam biliknya. Biarlah ia beristirahat. Perjalanan ini baginya tentu sangat melelahkan.” Swandaru mengangguk. Jawabnya, “Aku dapat membayangkan. Kuda-kuda itu tentu sangat lelah pula.” “Aku membawa kuda dari Mataram. Kuda kami, kami tinggalkan di Mataram atas tawaran Raden Sutawijaya sendiri.” “O,” Swandaru menarik nafas panjang, “sokurlah. Itu merupakan pertanda bahwa kedatanganmu berkenan dihati Raden Sutawijaya.” “Ya,“ desis Agung Sedayu, “kita berharap bahwa kedatanganku ke Mataram dimalam hari ini ada gunanya.” Agung Sedayupun kemudian meninggalkan Swandaru yang duduk di lincak bambunya. Namun sementara itu di dapur telah mulai terdengar beberapa orang perempuan menyiapkan perapian untuk merebus air. “Sudah pagi,“ desis Swandaru. Tetapi karena masih sepi, iapun telah berbaring lagi dan membiarkan orang-orang didapur mulai menyiapkan air panas untuk minuman. Sementara jika air sudah mendidih, maka anak-anak muda itu akan dibangunkan dan mempersiapkan minuman dipendapa apabila tamu-tamu dari Pajang itu telah terbangun. Dalam pada itu. Agung Sedayupun segera pergi kebiliknya dan berbaring disamping Glagah Putih yang ternyata masih belum tidur juga. “Tidurlah,“ desis Agung Sedayu. “Sebentar lagi hari akan pagi. Ayam sudah mulai berkokok untuk yang terakhir kalinya malam ini.”

“Kau masih mempunyai waktu barang sekejap. Biarlah kau tidak usah ikut membantu menyiapkan minuman dan jamuan pagi bagi para tamu. Akupun merasa lelah dan akan beristirahat.” Glagah Putih tidak menjawab. Tubuhnya memang terasa letih sekali. Semalaman ia berada diatas punggung kuda tanpa tidur sekejappun. Karena itu, maka ketika ia merasa sejuknya dini hari mengusap tubuhnya, tanpa dikehendakinya, matanyapun telah terpejam. Berbeda dengan Glagah Putih, Agung Sedayu tidak dapat dan memang tidak ingin untuk tidur. Daya tahan tubuhnya jauh lebih baik dari Glagah Putih. Karena itu, maka Agung Sedayu masih dapat mengatasi perasaan lelah dan kantuknya. Bahkan kemudian, ia mendengar langkah mendekati pintu biliknya. Ketika pintu berderit, ia melihat Kiai Gringsing berdiri termangu-mangu. Agung Sedayupun kemudian bangkit dan duduk dibibir pembaringan. Sementara Kiai Gringsing melangkah masuk. “Berbaringlah. Kau tentu lelah.” “Terima kasih guru. Tetapi aku tidak lelah sekali.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Kau berhasil ?” Sekali lagi Agung Sedayu menceriterakan hasil perjalanannya. Sambil mengangguk-angguk Kiai Gringsing berdesis, “Sukurlah. Sekarang, beristirahatlah. Kita berdoa, agar tidak terjadi sesuatu justru diantara orangorang Pajang itu terdapat orang yang meragukan.” Ketika Kiai Gringsing melangkah meninggalkannya. Agung Sedayupun membaringkan dirinya kembali. Tetapi ia memang tidak ingin tidur, karena tidur yang hanya sekejap justru akan dapat membuatnya menjadi pening. “Jika tamu-tamu itu sudah berangkat ke Mataram, biarlah aku tidur sehari suntuk,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Sementara itu, langitpun menjadi semakin cerah. Demikian air mendidih, maka perempuan-perempuan didapur membangunkan anak-anak muda yang tidur diserambi untuk menyiapkan minuman bagi para tamu yang sebentar lagi tentu akan bangun pula. Swandaru yang berada diserambi itupun kemudian bangkit pula. Ketika anak-anak muda mulai mempersiapkan minuman, Swandarupun pergi ke pakiwan untuk mandi, mendahului para tamu yang sebentar lagi tentu akan terbangun pula. Seperti yang diduganya, maka satu dua orang tamu itupun mulai terbangun dan pergi ke pakiwan. Pangeran Benawa yang turun kehalaman, tidak segera pergi mandi, tetapi ia masih berjalan

mengelilingi halaman, sambil melihat-lihat beberapa batang pohon bunga. Beberapa saat ia berhenti didekat sebatang pohon bunga soka putih yang sedang berkembang. Swandaru yang kemudian pergi ke longkangan, melihat Pangeran Benawa berjalan-jalan dihalaman seorang diri, segera menghampirinya. Iapun kemudian berdiri pula disebelah pohon bunga soka putih itu. “Bagus sekali bunga soka ini,“ berkata Pangeran Benawa. “Ya Pangeran,“ jawab Swandaru agak canggung. Sekilas Swandaru melihat dua orang pengiring Pangeran Benawa berdiri disudut gandok. Tetapi agaknya keduanya sedang berbicara diantara mereka. “Disudut halaman itu terdapat sebatang pohon ceplok piring,“ berkata Pangeran Benawa pula, “agaknya isteri dan adik perempuanmu sempat juga memelihara pohon bunga-bungaan dihalaman.” Swandaru memaksa diri untuk tertawa. Jawabnya, “Mereka tidak mempunyai kerja apapun disini Pangeran. Itulah sebabnya mereka sempat memelihara pohon pohon bunga. Hanya kadang-kadang saja mereka ikut pergi kesawah bersama sama perempuan yang lain dimusim menanam dan menuai padi.” Pangeran Benawapun tertawa pula. Namun kemudian Pangeran itu bertanya, “Bagaimana dengan Agung Sedayu.” Swandaru mengerutkan keningnya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia menjawab, “Ia sudah kembali Pangeran.” “Apakah ia bertemu dengan kakangmas Senapati Ing Ngalaga?” “Ya,“ jawab Swandaru yang kemudian melaporkan apa yang sudah dilakukan oleh Agung Sedayu bersama Glagah Putih di Mataram. Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sokurlah. Aku masih mengharap, bahwa jurang yang memisahkan Pajang dan Mataram akan dapat dipersempit. Tetapi sementara itu ada juga orang lain yang dengan gigih berusaha untuk membenturkan Pajang dan Mataram. Dengan demikian, maka keduanya tentu akan hancur dan setidak-tidaknya menjadi lemah.” Swandaru tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling dilihatnya dua orang yang berdiri disudut gandok, masih berdiri ditempatnya. Keduanya nampaknya masih asyik berbicara tentang Kademangan Sangkal Putung.

Agaknya keduanya belum juga berminat untuk pergi ke pakiwan, meskipun Sangkal Putung sudah menjadi semakin terang. Justru Pangeran Benawalah yang kemudian berkata, “Aku akan mandi. Aku akan pergi ke Mataram segera setelah setiap orang didalam kelompok kecil kami sudah bersiap.” “Agaknya kami sedang menyiapkan makan pagi bagi Pangeran dan para pengiring,“ jawab Swandaru. Pangeran Benawa tersenyum. Jawabnya, “Terima kasih.” Ketika Pangeran Benawa kemudian melangkah ke pakiwan, maka Swandarupun menarik nafas dalamdalam. Ia menganggap Pangeran Benawa itu orang yang aneh. Ia sudah mendengar bahwa Pangeran Benawa sama sekali tidak berminat untuk mewarisi kerajaan. Bahkan ia seolah-olah tidak mau menghiraukan pemerintahan Pajang yang sedang surut. Ia lebih senang mengembara dan bertualang atau tinggal didalam biliknya menekuni kitab-kitab yang berisi berbagai macam ilmu dan hasil kesusasteraan. Swandaru mengerutkan keningnya, ketika ia melihat langkah Pangeran Benawa tertegun di longkangan. Ternyata Agung Sedayu telah berada diserambi gandok dan dengan serta merta berdiri menghormat. “Selamat pagi Agung Sedayu,“ sapa Pangeran Benawa. Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, “Selamat pagi Pangeran. Apakah Pangeran akan mandi?” Pangeran Benawa mengangguk. Jawabnya, “Hari sudah semakin terang. Matahari akan segera naik. He. apakah kau baru saja bangun ?” Pertanyaan itu membingungkan Agung Sedayu. Tetapi akhirnya ia mejawab, “Aku tidak baru saja bangun Pangeran. Tetapi aku memang baru keluar dari bilik digandok sebelah kiri.” Pangeran Benawa tertawa. Ia tahu pasti, bahwa Agung Sedayu tentu merasa sangat lelah karena perjalanannya yang semalam suntuk. Karena itu katanya, “Aku sudah mendengar serba sedikit tentang kau. Kau memang seorang pemalas. Aku kira kau masih akan kembali kedalam bilikmu dan tidur sampai matahari sepenggalah.” “Ah tidak Pangeran. Aku tidak akan tidur lagi. Entah nanti setelah Pangeran berangkat ke Mataram.” Pangeran Benawa benar-benar tertawa mendengar gurau Agung Sedayu, sehingga beberapa orang telah berpaling kepadanya. “Ah. sudahlah. Aku akan mandi,“ berkata Pangeran Benawa sambil melangkah meninggalkan Agung Sedayu yang berdiri diserambi gandoknya. Dipandanginya langkah Pangeran Benawa. Ketika tanpa sengaja ia berpaling

kehalaman, dilihatnya Swandaru masih saja berdiri memandangnya. Sejenak keduanya berpandangan. Namun seperti berjanji keduanyapun tersenyum. Tetapi Swandaru kemudian melangkah pergi. Melingkari gandok ia pergi ke belakang. Dilihatnya orang-orang didapur sudah menjadi semakin sibuk menyiapkan makan pagi bagi para tamu. Ki Demang memperhitungkan bahwa tamu-tamunya akan berangkat pagi-pagi, sehingga perjalanan mereka masih terasa cukup segar disaat mereka berangkat. Sejenak kemudian, maka para tamu dari Pajang itupun telah duduk berjajar dipendapa, ditemui oleh Ki Demang Sangkal Putung dan Kiai Gringsing. Mereka masih sempat berbincang tentang kemajuan yang dicapai oleh Sangkal Putung sejak tempat itu bebas dari kecemasan, sepeninggal Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan. “Hadirnya Macan Kepatihan itu banyak memberikan pengalaman bagi kami,“ berkata Ki Demang. Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, “beruntunglah Ki Demang mempunyai anak seperti Swandaru. Ia adalah anak muda yang memiliki tanggung jawab yang besar bagi masa depan Kademangan ini. Ia sudah melakukan sesuatu yang sangat bermanfaat. Ia tidak hanya pandai mengeluh, mengumpat dan akhirnya berolok-olok tentang keadaan dan tentang dirinya sendiri. Tetapi ia sudah bekerja keras, merombak segala macam cela yang tidak disukainya.” “Ah,“ desah Ki Demang, “ia adalah anak yang malas. Ia hanya berbuat sesuatu yang disukainya.” “Tetapi yang disukainya ternyata bermanfaat bagi Kademangan Sangkal Putung. Meskipun ketika kami lewat, pande besi itu tidak sedang bekerja, namun melihat beberapa perapian aku dapat membayangkan, apa yang dapat mereka lakukan disiang hari,“ berkata Pangeran Benawa. “Ya, ya Pangeran,“ Ki Demang mengangguk-angguk. “Jalur-jalur air dipersawahanpun memberikan gambaran yang sangat baik bagiku,“ sambung Pangeran Benawa. Sementara Ki Demang mengangguk-angguk sambil menjawab, “Ya, ya. Pangeran.” Pangeran Benawa masih berbicara tentang beberapa hal mengenai Sangkal Putung. Bukan saja memuji, tetapi ia dapat menyebut pula beberapa kekurangan yang dapat diperbaiki oleh anak-anak muda Sangkal Putung. Sementara itu Kiai Gringsing masih sempat memperhatikan para pengiring Pangeran Benawa yang ada dipendapa itu. Ia melihat beberapa macam tanggapan pada wajah-wajah itu. Dengan ragu-ragu ia mencoba untuk mencari makna dari kesan yang didapatkannya. Sebagian dari para pengiring Pangeran Benawa membenarkan kata-kata Pangeran Benawa.

Merekapun melihat apa yang dilihat oleh Pangeran Benawa. Dan merekapun ikut berbangga karenanya. Sangkal Putung, sebuah Kademangan, telah berhasil membina dirinya sendiri dengan baik dan mapan. Namun beberapa wajah yang lain menunjukkan kesan yang berbeda. Mereka menganggap kemajuan yang dapat dicapai oleh Kademangan Sangkal Putung justru sebagai satu masalah. Tetapi Kiai Gringsing tidak berani memastikan dugaannya. Ia hanya membaca pada wajah-wajah yang memberikan kesan yang berbeda. Tetapi ia sadar bahwa tangkapannya akan dapat salah dan bahkan mungkin berlawanan. Untuk beberapa saat Pangeran Benawa masih berbincang. Apalagi ketika para bebahu Sangkal Putung yang lainpun berdatangan. Maka Pangeran Benawapun banyak memberikan pendapatnya bagi perkembangan Kademangan itu. Kiai Gringsing yang hanya mengangguk-angguk saja mendengarkan pembicaraan itu, berusaha untuk menangkap arti sikap dan kata-kata Pangeran Benawa. Agung Sedayu dan Swandaru yang kemudian ikut pula duduk di pendapa sempat mendengarkan beberapa kesan yang dikatakan oleh Pangeran Benawa. Kesan yang bagi Swandaru dapat membesarkan hatinya. Namun dalam pada itu. Agung Sedayu seolah-olah melihat Pangeran Benawa agak berbeda dengan Pangeran Benawa yang pernah dikenalnya. Yang duduk dipendapa itu, benar-benar menunjukkan sikap seorang Pangeran yang menyadari kedudukannya. Berbicara tentang salah satu Kademangan yang berada dibawah pengaruh dan kuasanya. Sementara Pangeran Benawa yang pernah dikenalnya adalah seorang Pangeran yang acuh tidak acuh, kecewa dan menuruti kehendaknya sendiri. “Apakah karena sekarang Pangeran Benawa itu berada di Sangkal Putung bersama pengiringnya dan dalam kedudukannya sebagai seorang Pangeran, atau memang terdapat perubahan sikap dari Pangeran Benawa itu.” Berkata Agung Sedayu didalam hatinya, lalu. “tetapi bahwa ia telah memerintahkan aku untuk mendahuluinya, masih juga nampak, bahwa Pangeran Benawa sangat mengasihi kakak angkatnya yang berada di Mataram. Atau justru satu perhitungan yang masak tentang perkembangan hubungan antara Mataram dan Pajang. Termasuk salah satu usaha untuk mempersempit jarak yang digali oleh beberapa orang yang ingin melihat ayah dan anak angkat itu hancur bersama-sama.” Dalam pada itu, orang-orang Sangkal Putungpun kemudian menghidangkan makan pagi bagi para tamu mereka, karena para tamu itu akan segera meninggalkan Kademangan Sangkal Putung. Ketika matahari naik, maka Pangeran Benawapun kemudian minta diri. Bersama para pengiringnya, iapun melanjutkan perjalanannya ke Mataram untuk melaksanakan tugas yang dibebankan oleh ayahanda Sultan Pajang kepadanya, melihat dari dekat perkembangan yang ada di Mataram. Dalam satu kesempatan, Pangeran Benawa berbisik ditelinga Agung Sedayu, “Ikutilah perkembangan keadaan dengan saksama. Kau adalah seorang yang tidak mempunyai kedudukan apapun juga. Tetapi

kedudukan yang demikian justru memberikan banyak kemungkinan bagimu untuk menunjukkan pengabdianmu. Apakah itu bernama Pajang, apakah itu bernama Mataram, namun pada suatu saat, akan nampak, manakah loyang dan manakah emas.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak sempat menjawab karena beberapa orang pengiring Pangeran Benawa telah mendekatinya dan berjalan seiring. Sejenak kemudian, maka Pangeran Benawa dan para pengiringnyapun telah menerima kuda masingmasing. Sebelum Pangeran itu meloncat kepunggung kudanya, ia masih berkata kepada Ki Demang, “Terima kasih atas segalanya dalam penerimaan ini. Doakan, agar perjalanan kami selamat sampai ke Mataram. Mudah-mudahan perjalanan kami tidak memberikan kesan sekelompok prajurit yang pergi berperang, meskipun kami sudah dengan sengaja tidak mempergunakan gelar keprajuritan sama sekali.” Ki Demang hanya tersenyum saja sambil mengangguk dalam-dalam. Namun dalam pada itu. Kiai Gringsing telah menangkap satu isyarat, bahwa yang dikatakan Pangeran Benawa itu lebih ditujukan kepada pengiringnya sendiri. Demikianlah, maka iring-iringan para utusan dari Pajang itu meninggalkan Sangkal Putung. Disetiap regol, gardu-gardu, simpang tiga dan simpang empat, bahkan hampir disetiap jengkal tanah, orangorang Sangkal Putung berdiri dipinggir jalan melihat para pemimpin dari Pajang itu lewat menuju ke Mataram dengan tugas khusus mereka. Namun dalam pada itu, tidak seorangpun dari para pengiring Pangeran Benawa yang mengetahui, bahwa sebelum mereka sampai ke Mataram, ternyata telah ada orang dari Sangkal Putung yang mendahului menghadap Senapati Ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram. Sementara itu, sepeninggal tamu mereka, Kademangan Sangkal Putung terasa menjadi sepi. Yang kemudian sibuk adalah beberapa orang anak muda yang sedang mencuci mangkuk, sementara beberapa orang perempuan sibuk mencuci alat-alat dapur. “Sisa hidangan itu masih terlalu banyak,“ berkata salah seorang perempuan yang membantu didapur. “Biarlah anak-anak muda itu makan lagi,“ berkata Sekar Mirah, “mereka tentu senang untuk duduk dilongkangan dan dihadapi beberapa tenong makanan dan lauk pauk.” Ternyata seperti yang dikatakan oleh Sekar Mirah, maka anak-anak mudapun sejenak kemudian asyik dengan beberapa tenong makanan dan lauk-pauk. Mereka makan sambil berkelakar. Namun karena itu justru mereka tidak merasa, bahwa perut mereka menjadi terlalu kenyang. “Tamu-tamu itu makan terlalu sedikit,“ berkata seorang anak muda yang gemuk, lebih gemuk dari Swandaru.

“Mereka adalah piyayi agung. Memang berbeda dengan kita,“ sahut seorang anak muda yang bertubuh kurus, tetapi justru makan terlalu banyak. Glagah Putih yang ikut makan bersama anak-anak muda itu tersenyum-senyum. Tetapi ternyata bahwa Glagah Putih yang kekurus-kurusan itu makan cukup banyak pula. Sementara anak-anak muda itu makan dilongkangan, Swandaru nampak sedang berbicara dengan Agung Sedayu. Nampaknya ia sedang bersungguh-sungguh. “Mudah-mudahan Raden Sutawijaya benar-benar menyesuaikan diri dalam arti yang baik,“ berkata Swandaru sambil menarik nafas dalam-dalam. “Aku mempercayainya,“ desis Agung Sedayu. Swandaru mengangguk-angguk. Katanya pula, “Agaknya memang demikian. Sokurlah. Aku masih selalu berdebar-debar. Jika permusuhan antara Pajang dan Mataram semakin memuncak, maka Sangkal Putung masih belum siap benar untuk menghadapinya.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Diluar sadarnya ia bertanya, “Jika benar demikian, bahkan seandainya terjadi perselisihan antara Pajang yang dikendalikan oleh beberapa orang yang justru ingin melihat Pajang dan Mataram hancur, dengan Mataram, apakah yang sebaiknya kita lakukan ?” “Apalagi,“ berkata Swandaru, “seharusnya sudah jelas bagi kita. Dihadapan kita adalah sepasukan prajurit Pajang.” “Kita harus bertempur melawan prajurit Pajang ?” Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada yang datar, “Kedudukanmu memang sulit kakang. Tetapi kau harus berpegangan pada suatu sikap. Siapapun yang harus kauhadapi.” “Kau benar Swandaru. Seandainya aku berpegangan kepada suatu sikap, maka sikap itu harus dapat dipertanggung jawabkan. Harus mempunyai dasar berpijak dan tujuan yang jelas. Bukan tiba-tiba saja kita menentukan tempat, dimana kita akan berdiri.” sahut Agung Sedayu. Swandaru memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Kemudian katanya, “Kakang. apakah masih kurang jelas? Justru kaulah yang selalu menjadi sasaran utama dari orangorang yang mengaku pewaris kerajaan Majapahit itu.” “Aku sependapat. Tetapi kenapa kau sebut Pajang ?”

“Sebagian dari mereka berada di Pajang.” “Mereka memang berada di Pajang. Tetapi apakah dengan demikian, sikap itu adalah sikap Pajang ? Ingat Swandaru, justru Pajang adalah salah satu sasaran mereka pula.” Swandaru mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja ia menjadi tegang. Meskipun suaranya tertahan, namun nampak gejolak perasaannya yang mulai memanasi perasaannya, “Kakang. Kau seharusnya dapat menilai sikap Pangeran Benawa. Kenapa Pangeran Benawa memerintahkan kau pergi ke Mataram. Bukankah itu suatu pertanda, bahwa Pangeran Benawa sendiri sudah berpihak kepada Mataram ?” “Kau salah tangkap Swandaru. Yang dilakukan oleh Pangeran Benawa bukannya dimana ia akan berpihak. Tetapi ia berusaha untuk menimbuni jurang yang terbentang antara Pajang dan Mataram.” “Itu adalah tangkapan yang tidak wajar. Yang seolah-olah dipengaruhi oleh perasaan ragu-ragu dan bahkan takut melihat kenyataan.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak ingin berbantah. Jika ia masih saja menjawab, maksudnya adalah untuk menjelaskan persoalannya. Tetapi agaknya Swandaru telah berdiri pada suatu sikap yang menurut Agung Sedayu kurang tepat. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat memaksakan pendapatnya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata kepada diri sendiri, “Aku harus segera memberitahukan kepada guru, bahwa Swandaru memandang persoalan antara Pajang dan Mataram dengan sudut pandangan yang menyebelah.” Karena Agung Sedayu tidak menjawab, maka Swandaru berkata seterusnya, “Kakang. Mulailah melihat kenyataan. Apakah yang dilakukan oleh prajurit Pajang di Jati Anom. Mereka selalu mengawasi perkembangan setiap padukuhan didaerah ini. Bukan suatu kebetulan jika beberapa orang prajurit Pajang di Jati Anom melihat orang-orang Pasisir Endut ada disini. Mereka tentu sedang melihat-lihat, apakah yang telah dilakukan oleh padukuhan-padukuhan didaerah ini termasuk Sangkal Putung. Tetapi mereka sudah melihat suatu kenyataan, bahwa Sangkal Putung, meskipun hanya sebuah Kademangan, tetapi Sangkal Putung memiliki kekuatan yang harus mereka perhitungkan. Prajurit yang bernama Sabungsari itu mungkin bukan seorang prajurit biasa. Ia dengan sengaja ditempatkan didaerah ini dengan pengenal, seorang prajurit. Tetapi sebenarnya ia adalah seorang yang paling baik diantara prajurit Pajang.” Swandaru berhenti sejenak memandang wajah Agung Sedayu yang menegang pula. Tetapi Agung Sedayu kemudian menarik nafas dalam-dalam. Jika ia masih saja membantah, maka akhirnya ia akan benar-benar terlibat kedalam suatu perselisihan dengan Swandaru. Namun agaknya karena kediaman Agung Sedayu itu, Swandaru berkata lebih lanjut, “Tetapi kakang. Pajang sekarang sudah melihat, bahwa Sangkal Putung memiliki kekuatan yang tidak kalah dari Pajang. Apa yang dapat dilakukan oleh Sabungsari ? Ia memang berhasil membunuh Carang Waja, tetapi ia sendiri

terluka parah. Bahkan sudah dapat disebut mati pula jika ia tidak segera mendapat pertolongan guru. Tetapi seandainya, prajurit itu membiarkan Carang Waja bertempur melawan aku. mungkin akibatnya akan berbeda. Aku sudah dilukainya. Tetapi aku kira aku dapat membunuhnya dengan keadaanku yang masih lebih baik daripadanya.” Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Sementara Swandaru berkata seterusnya, “Nah, pikirkanlah baik-baik. Tetapi, akupun berharap, agar Raden Sutawijaya dapat mengekang diri sehingga perselisihan yang tidak mungkin dielakkan lagi itu tidak terjadi sekarang. Tetapi beberapa saat mendatang, sehingga Sangkal Putung benar-benar sudah siap untuk menghadapinya.” Namun diluar dugaan Swandaru Agung Sedayu berkata, “Tetapi Sekar Mirah mengharap aku menjadi seorang prajurit. Justru prajurit Pajang.” “Memang tidak ada salahnya,“ sahut Swandaru kemudian setelah berpikir sejenak, “tetapi pada saatnya, kau harus menentukan sikap jika kau tidak ingin berada dalam kedudukan yang semakin sulit. Di Pajang ada kakakmu Untara. Tetapi di Mataram ada Ki Juru dan Raden Sutawijaya yang baik terhadap kita. Yang mempunyai cita-cita yang utuh buat hari depan. Bukan sekedar membiarkan dirinya digumuli oleh kamukten tanpa menghiraukan keadaan yang sebenarnya. Kau memang harus memilih kakang Agung Sedayu. Tetapi kau harus menilai, apakah Untara sudah mendapatkan dirinya pada tempat yang benar.” Bagaimanapun juga, terasa dada Agung Sedayu bergejolak. Tetapi ia benar-benar tidak ingin berbantah. Meskipun ia merasa tersinggung juga karena Swandaru sudah menyebut nama kakaknya, Untara, namun Agung Sedayu menganggap lebih baik untuk diam daripada berselisih paham. Apalagi masalahnya masih belum terlalu jelas dan pasti. Karena itu, maka iapun hanya mengangguk-angguk kecil. Namun ia menjadi prihatin karena sikap Swandaru. Anak muda itu juga telah salah menilai Sabungsari dan Carang Waja. Karena menurut penilaian Agung Sedayu, Swandaru masih harus membuat perhitungan yang lebih cermat untuk menempatkan dirinya sejajar dengan kedua orang yang hampir saja sampyuh itu. “Tetapi mungkin Swandaru memiliki sesuatu yang belum aku mengerti,“ Agung Sedayu mencoba untuk menenangkan hatinya sendiri. Karena Agung Sedayu tidak menjawab, dan hanya mengangguk-angguk kecil, maka Swandaru

menganggap bahwa Agung Sedayu dapat mengerti dan menyadari kekeliruannya. Karena itu, maka katanya, “Cobalah kakang, kau ulangi mempertinibangkan segala-galanya. Kau akan melihat kenyataan itu, dan kau tidak akan lagi terumbang-ambing oleh keragu-raguan. Kau adalah saudara tuaku dalam perguruan kecil ini. Dan kaupun memiliki kemampuan yang tinggi. Meskipun setelah kita berpisah untuk beberapa saat lamanya, justru pada waktu kita mendapat kesempatan untuk mengembangkan ilmu kita masing-masing, aku tidak mengerti dengan pasti, sampai dimana kemampuan yang dapat kau capai dan kematangan ilmu kita masing-masing, namun kau mempunyai bekal yang cukup. Seandainya kau belum dapat mencapai tingkat yang sejajar dengan Sabungsari. maka selisih itu hanyalah selapis tipis. Kau dalam kesempatan yang luas. memang belum berhasil membunuh Carang Waja, karena keadaanmu sendiri agaknya sudah terlalu letih dan parah, namun Carang Wajapun ternyata tidak mampu membunuhmu.” Sekali lagi Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia melihat. Swandaru telah salah menilai dirinya. Tetapi sudah barang tentu bahwa Agung Sedayu tidak akan dapat menepuk dadanya sambil berkata, “Aku sudah mengalahkan Sabungsari.” “Sudahlah kakang,“ berkata Swandaru, “lebih baik kita membantu anak-anak itu. Jika kakang lebih tekun sedikit dengan ilmu yang sudah ada, maka kita akan dapat mematangkan ilmu yang pada dasarnya, sulit dicari bandingnya.” Hampir diluar sadarnya Agung Sedayu mengangguk kecil. Namun ketika ia melihat Swandaru melangkah pergi, hatinya menjadi berdebar-debar. Ia merasa, apapun yang dilakukannya adalah salah. Jika ia berusaha meletakkan penilaian yang sewajarnya tentang Swandaru, tentang Sabungsari dan tentang dirinya, maka ia akan menyinggung perasaan anak muda yang gemuk itu. Tetapi jika ia tidak mengatakannya, berarti ia telah membiarkan Sawandaru dalam kesesalan. Penilaian yang salah dalam perbandingan ilmu akan dapat menjerumuskan seseorang kedalam kesulitan. Tetapi sekali lagi Agung Sedayu berkata didalam hatinya, “Mungkin ada yang belum aku ketahui tentang Swandaru. Mungkin selama ini ia sudah menemukan sesuatu yang dapat membuatnya menjadi seorang anak muda yang tidak ada duanya.” Namun dengan dibebani oleh kebimbangan tentang adik seperguruannya, Agung Sedayupun melangkah pergi. Tetapi kebimbangannyapun telah berkembang pula. Bukan saja tentang Swandaru, tetapi juga tentang dirinya sendiri. Mula-mula ia sudah berniat untuk benar-benar menjadi seorang prajurit Pajang. Tetapi kepergian Pangeran Benawa dalam tugas khusus ke Mataram membuatnya menjadi ragu-ragu. Jika benar terjadi perselisihan dan benturan kekerasan antara

Pajang dan Mataram, dimanakah ia harus berdiri ? Apakah ia akan berdiri diantara prajurit-prajurit Pajang memusuhi Raden Sutawijaya? Tetapi jika tidak demikian, dan ia berdiri diantara para pengawal Mataram, apakah ia akan melawan kakak kandungnya, Untara ? Terngiang ditelinganya kata-kata Swandaru, “Kedudukan memang sulit kakang.” Dada Agung Sedayu berdesir karenanya. Kata-kata itu telah berulang kali mengumandang dihatinya. Setiap kali, terasa jantungnya berdesir dan kegelisahan mencengkam perasaannya. Untunglah Agung Sedayu segera menyadari keadaannya. Iapun kemudian melangkah keserambi dan memasuki biliknya digandok dengan hati yang bergejolak. Agung Sedayu dengan hati yang gelisah, kemudian duduk dibibir pembaringannya. Ada bermacammacam persoalan yang bergejolak didalam dadanya. Ia mengerutkan keningnya ketika ia melihat Glagah Putih memasuki bilik itu pula sambil berdesis. Sekali-sekali ia mengusap mulutnya dan keringat yang mengembun didahi. “Kenapa kau Glagah Putih ?“ bertanya Agung Sedayu. “Aku terlalu banyak makan sambal kakang,“ jawab Glagah Putih sambil berdesis. Agung Sedayu memaksa bibirnya untuk tersenyum. Katanya, “Kau sudah makan ?” “Kakang belum ?” “Sudah. Aku mengantarkan para tamu makan dipendapa.“ ia berhenti sejenak, lalu. “he, bukankah kau juga sudah makan?” Glagah Putih tertawa. Katanya, “Aku makan lagi dibelakang, bersama anak-anak muda. Mereka sudah makan Tetapi ternyata kelebihan jamuan itu terlalu banyak. Sebadan dibagi untuk tetangga-tetangga dan sebagian diberikan kepada mereka yang telah membantu didapur untuk mereka bawa pulang. Tetapi ternyata masih juga tersisa banyak sekali. Bahkan sekarangpun makanan dan hidangan yang lain masih banyak didapur.” “Apakah siang dan malam nanti kita tidak akan makan ?” “Sudah dingin. Tentu orang-orang didapur sudah masak pula untuk makan siang dan malam nanti,“ jawab Glagah Putih sambil duduk dipembaringan pula. Dibukanya bajunya sambil berdesis, “Udara panas sekali.” “Tidak. Tetapi kaulah yang kepanasan karena kau terlalu banyak makan sambal,“ sahut Agung Sedayu.

Glagah Putih tidak membantah, ia mengusap keringatnya yang mengalir diseluruh tubuhnya. Keduanya berpaling ketika mereka mendengar langkah memasuki pintu. Ternyata adalah Kiai Gringsing yang tertegun melihat Glagah Putih. Sambil tersenyum ia berkata, “Kau tentu tidak mengantuk lagi sekarang.” Glagah Putih hanya tertawa saja. Tetapi ia tidak menjawab. “Marilah guru,“ Agung Sedayu mempersilahkan. Kiai Gringsingpun kemudian duduk disisi Agung Sedayu. Agaknya memang ada sesuatu yang ingin dikatakannya. Namun sekali-sekali nampak Kiai Gringsing memandang Glagah Putih yang mengipasi dirinya dengan bajunya. “Mmumlah,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “dan duduklah ditempat terbuka, agar kau merasa agak sejuk.” “Aku ingin tidur saja,“ berkata Glagah Putih. “Itu tidak baik. Baru saja kau makan,“ jawab Agung Sedayu dengan sertu merta, “berjalan-jalanlah dahulu barang beberapa lama. Tetapi pakai bajumu itu.” Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun memakai bajunya dan melangkah keluar. Perlahan-lahan ia melangkah kebelakang untuk mencari minum dan segumpal gula kelapa. Sementara itu, Kiai Gringsing mulai berkata dengan sungguh-sungguh, “Apakah Swandaru mengatakan sesuatu kepadamu tentang dirinya sendiri, tentang Sangkal Putung. Pajang dan tentang Mataram ?” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Lalu iapun bertanya, “Maksud guru, tentang hubungan Pajang dan Mataram ?” “Ya, dan sangkut pautnya.” “Dengan sungguh-sungguh tidak guru. Tetapi sepintas lalu saja.” “Apa yang dikatakannya ?” Agung Sedayu termangu-mangu. Namun Kiai Gringsing kemudian berkata, “Ia datang kepadaku dan mengatakan, bahwa kau mempunyai penilaian yang kabur tentang keadaan yang sebenarnya sekarang ini.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Ia memang mengatakannya hal itu guru.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk, sementara Agung Sedayu mengatakan apa yang baru saja dibicarakan dengan Swandaru sepintas tentang keadaan dan tentang diri Agung Sedayu sendiri.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk, sementara Agung Sedayu berkata, “Guru. Sebenarnya aku memang akan mengatakan kepada guru tentang keadaan dan sikap Swandaru. Tetapi aku tidak tahu, apakah Swandaru memang sudah memiliki bekal yang berhasil dicarinya diantara ilmu yang pernah dimiliki sebelumnya.” Kiai Gringsing menggeleng sambil menjawab, “Aku belum yakin Agung Sedayu. Tetapi aku kira aku perlu untuk mengetahuinya dengan pasti. Karena itu, maka aku akan tinggal untuk beberapa lamanya di Sangkal Putung. Mungkin aku dapat mengetahui apa yang pernah dimiliki oleh Swandaru. Namun yang penting bagiku, aku ingin menempatkan Swandaru pada penilaian yang wajar tentang dirinya dan orang-orang lain disekitarnya. Mungkin aku akan dapat memberikan petunjuk-petunjuk yang berguna baginya dalam perkembangannya selanjutnya.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dan gurunya berkata seterusnya, “Aku tidak meragukan kau lagi Agung Sedayu. Dalam peningkatan dan pencapaian ilmu selanjutnya. Tetapi juga dalam sikap dan pandangan hidup. Meskipun tidak ada seorangpun yang sempurna dimuka bumi ini. Namun kau sudah berusaha untuk menuju kearahnya dengan sadar, bahwa kau tidak akan pernah sampai kepadanya, kecuali hanya mendekati saja.” Agung Sedayu hanya menundukkan kepalanya saja. “Dengan demikian,” berkata gurunya, “jika saatnya kau akan kembali, maka aku akan tinggal untuk sementara di Sangkal Putung. Justru karena aku menjadi cemas melihat sikap dan penilaian Swandaru terhadap orang lain dan dirinya sendiri. Keberhasilan yang dicapainya di Kademangannya, agaknya membuatnya salah menangkap perkembangan keadaan tentang dirinya sendiri.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya wajah gurunya. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Namun demikian. Kiai Gringsing seolah-olah melihat sesuatu melintas di sorot mata Agung Sedayu. Karena itu maka katanya, “Agung Sedayu. Aku tidak akan terlalu lama.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya wajah gurunya. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Namun demikian. Kiai Gringsing seolah-olah melihat sesuatu melintas di sorot mata Agung Sedayu. Karena itu maka katanya, “Agung Sedayu. Aku tidak akan terlalu lama. Aku tidak melupakan pesan dan rontal yang kau bawa dari Ki Waskita. Tentang rontal yang disebutsebutnya ada padaku, biarlah kita bicarakan pada kesempatan yang lain.“ Kiai Gringsing, “pesan Ki Waskita dalam surat rontal, dan penyempurnaan, ilrnunya, berdasarkan pengenalannya atas makna isi kitab Ki Waskita, merupakan persoalan yang masih membebani Agung Sedayu. Tetapi seperti pesan gurunya dan juga pesan Ki Waskita, bahwa yang sudah diketahui dan dipahatkannya dalam ingatannya itu, dapat dipelajarinya perlahan-lahan tanpa mengganggu keadaan jasmani dan rohaninya. Agung

Sedayu sudah pernah mengalami gangguan jasmani pada saat ia menekuni ilmunya didalam goa yang terasing, kemudian ketika ia memaksa diri menyelesaikan isi kitab Ki Waskita. Sehingga dengan demikian, maka iapun akan dapat berhati-hati untuk selanjutnya. “Nah Agung Sedayu,“ berkata Kiai Gringsing, “jika kau kembali, tentu Sabungsari akan sering datang lagi kepadamu. Ia agaknya sudah berubah dan menemukan suatu sikap yang baru dalam hidupnya. Namun kau masih harus tetap berhati-hati, karena pada suatu saat, kemungkinan yang tidak terduga-duga tentu masih akan dapat tumbuh didalam hatinya. Meskipun agaknya aku condong pada suatu pendapat, bahwa ia benar-benar telah dengan sadar menilai keadaannya.” Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya dengan nada datar, “Ya guru. Aku akan tetap berhati-hati menghadapi segala kemungkinan yang kadang-kadang datang dengan tiba-tiba tanpa aku ketahui sangkan parannya. Meskipun demikian aku mohon agar guru tidak terlalu lama tinggal di Sangkal Putung. Namun masalah yang gawat pada diri adi Swandaru memang harus mendapat pengamatan khusus. Lahir dan batinnya.” “Mudah-mudahan aku dapat berbuat sesuatu. Mudah-mudahan akupun masih dapat menolongnya mempersiapkan dirinya dengan meningkatkan ilmu kanuragannya, sehingga alangkah baiknya, apabila ia benar-benar berada pada tataran seperti yang di anggapnya.” Agung Sedayu masih mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan gurunya. Jika Swandaru masih mungkin bersedia mesu diri meningkatkan ilmunya, maka ia akan dapat benar-benar pada tataran seperti yang dikatakannya. “Sokurlah, jika ia memang sudah memiliki kemampuan itu tanpa setahuku dan diluar pengamatan guru, sehingga pada suatu saat nanti guru akan berbangga melihat bekal Swandaru yang semakin tinggi,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Sementara itu. Glagah Putih telah memasuki biliknya sambil mengunyah gula kelapa. “Kau makan apa lagi ?“ bertanya Agung Sedayu ketika anak itu duduk disampingnya. “Gula kelapa,“ jawab Glagah Putih singkat. “Dari mana kau dapat ?” “mBokayu Sekar Mirah.” “Kau makan saja tidak henti-hentinya. Tetapi justru karena itu tubuhmu akan selalu kecil meskipun dengan cepat kau bertambah tinggi,“ berkata Agung Sedayu kemudian.

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian berdiri dan mengambil kendi diatas gledeg bambu. Dengan serta merta maka iapun meneguk air dingin dari dalam gendi itu. Alangkah segarnya. Kiai Gringsing tersenyum melihat sikap Glagah Putih. Kadang-kadang masih nampak sifatnya yang kekanak-kanakan. Namun Glagah Putih yang sudah meningkat remaja itu bukannya seorang anak muda yang malas. Anak yang bertubuh tinggi kekuruskurusan itu sanggup bekerja keras seperti kakak sepupunya. Agung Sedayu. “Sudahlah,“ berkata Kiai Gringsing kemudian. Lalu,“ beritahukan kepada Glagah Pulih, bahwa aku akan tinggal.” Glagah Putihpun berpaling. Dengan kerut merut dikening ia bertanya, “Kiai akan tinggal ?” Kiai Gringsing tersenyum. Jawabnya, “Aku masih harus mengamati bekas-bekas luka Swandaru agar tidak kambuh lagi.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun sebelum ia bertanya lebih lanjut. Kiai Gringsing sudah melangkah keluar sambil berkata, “Jika kalian menganggap datang waktunya untuk kembali ke padepokan, kembalilah. Aku memang akan tinggal.” “Baik guru,“ jawab Agung Sedayu. Tetapi ia tidak mengikuti gurunya yang meninggalkan bilik itu. Sepeninggal Kiai Gringsing Glagah Putihpun bertanya, “Kenapa Kiai Gringsing akan tinggal ? Bukankah ia sendiri sudah mengatakan bahwa luka-luka kakang Swandaru sudah sembuh dan dapat ditinggalkannya ? Apakah kedatangan Pangeran Benawa telah merubah niatnya untuk kembali ke Jati Anom ?” Dada Agung Sedayu berdesir. Glagah Putih memang bukan kanak-kanak lagi. Ia sudah dapat menghubungkan beberapa masalah yang berkaitan meskipun belum dengan perhitungan yang mapan. Namun Agung Sedayu kemudian menggeleng. Katanya, “Tidak ada persoalan apapun Glagah Putih. Apalagi berhubungan dengan kehadiran Pangeran Benawa. Nampaknya Kiai Gringsing melihat sesuatu yang kurang baik pada luka-luka Swandaru, sehingga ia menganggap perlu untuk tinggal lebih lama. Sementara aku memang berniat untuk segera kembali kepadepokan. agar anak-anak yang kami tinggalkan tidak terlalu lama menunggu.” Glagah Pulih mengangguk angguk. Tetapi tampak pada kerut keningnya, bahwa keterangan Agung Sedayu itu kurang memuaskannya. Namun demikian Glagah Putih tidak bertanya lebih banyak lagi tentang maksud Kiai Gringsing untuk tinggal. Bahkan iapun kemudian bertanya, “Kapan kita akan kembali ke Jati Anom kakang ?”

“Secepatnya Glagah Putih. Mungkin besok jika diperkenankan oleh Kiai Gringsing dan Ki Demang Sangkal Putung.“ “Ah,“ desis Glaguh Pulih, “tentu Kiai Gringsing mengijinkan. Ia bahkan sudah menyuruh kita kembali. Ki Demangpun tidak akan berkeberatan. Demikian pula kakang Swandaru.“ ia berhenti sejenak, lalu. “tetapi apakah mungkin masih ada yang lain ? “ Agung Sedayu tahu arah pertanyaan anak itu. Karena itu, maka iapun bahkan bertanya, “Siapa menurut pendapatmu ?” Glagah Putih tertawa. Tetapi ia tidak mengatakan seseorang. “Aku akan menghubungi Swandaru,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “sudah waktunya kita kembali ke Jati Anom segera.” Glagah Putih hanya mengangguk-angguk saja. Namun didalam hatinya ia dapat merasakan sesuatu yang tidak sewajarnya. Kiai Gringsing yang tibatiba saja ingin tinggal, yang sebelumnya sudah menyatakan bahwa luka-luka Swandaru sudah dapat disebut sembuh sama sekali, sangat menarik perhatiannya. Namun agaknya Agung Sedayu masih saja menganggapnya sebagai kanak-kanak yang tidak perlu mengetahui apapun juga, selain mengikutnya saja apabila diperbolehkan, dan harus tinggal di rumah apabila tidak diperkenankan. “Aku harus menunjukkan bahwa aku benar-benar sudah dewasa,” berkata Glagah Putih didalam hatinya. Dalam pada itu, maka Agung Sedayupun segera mendapatkan gurunya untuk menyatakan niatnya. Ia akan segera kembali ke Sangkal Putung. Ia memerlukan pertimbangan, apakah ia akan menganggap dirinya mengetahui rencana Kiai Gringsing, atau Kiai Gringsing sendirilah yang akan mengatakannya kepada Swandaru. “Biarlah aku saja yang mengatakannya. Panggillah Swandaru kemari,” berkata Kiai Gringsing. Agung Sedayu kemudian menemui Swandaru dibelakang, dan dibawanya menemui gurunnya yang duduk diserambi, disebelah gandok. Kiai Gringsinglah yang kemudian mengatakan kepada Swandaru, bahwa Agung Sedayu akan mendahului kembali kepadepokan kecilnya, sementara ia akan tetap tinggal. “Selain sekali-sekali melihat lukamu, aku ingin melihat perkembangan keadaan sepeninggal Pangeran Benawa,“ berkata Kiai Gringsing, “aku ingin juga mengetahui, apakah jika ia kembali ke Pajang, ia akan singgah pula di Sangkal Putung.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia mengangguk-angguk. “Tetapi kenapa kakang Agung Sedayu tergesa-gesa ?“ bertanya Swandaru kemudian. “Aku sudah terlalu lama pergi,“ jawab Agung Sedayu, “padepokan kecil itu terlalu lama aku tinggalkan. Sebenarnya aku juga ingin tetap tinggal bersama guru. Tetapi anak-anak dipadepokan itu tentu terlalu lama merasa kesepian.” Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian benar-benar diluar dugaan, “Apakah kau marah kakang, bahwa aku sudah mencoba memberimu sekedar pertimbangan tentang sikap dan hubungan kita dengan Pajang dan Mataram ?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apakah hal yang demikian itu cukup membuat seseorang marah ? Setiap pendapat wajib dihargai Swandaru. Mungkin pada suatu saat. kita agak berbeda sikap dan pendapat mengenai sesuatu masalah. Tetapi itu bukan berarti bahwa kita masing-masing harus mempertahankan pendapat kita dengan perasaan tidak terkendali, marah dan kemudian timbul pertentangan-pertentangan yang tidak perlu sama sekali ?” Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Sokurlah jika kakang dapat menerima pendapatku dan mengetrapkannya dalam sikap dan perbuatan kakang pada saat-saat mendatang. Namun kakang harus benar-benar memikirkan keadaan kakang yang sulit itu. Adalah memang ada baiknya jika guru menunggu sampai Pangeran Benawa kembali ke Pajang. Dengan demikian mungkin akan dapat diketahui perkembangan terakhir dari hubungan antara Pajang dan Mataram.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun iapun mengangguk sambil menjawab, “Aku akan memikirkannya Swandaru. Mudah-mudahan dipadepokan kecil itu aku mendapatkan satu pemecahan yang paling baik buatku dalam hubungan keseluruhan.” Kiai Gringsing yang mendengarkan pembicaraan itu hanya dapat menahan hati. Ia semakin melihat perbedaan sifat dan sikap kedua muridnya menghadapi perkembangan keadaan dan hubungan antara Pajang dan Mataram yang terasa semakin panas. Demikianlah maka Agung Sedayu telah mempersiapkan dirinya untuk kembali ke padepokan kecilnya. Ia sudah mengatakannya kepada Sekar Mirah bahwa ia akan mendahului gurunya untuk kembali ke Jati Anom. Sekar Mirah tidak dapat menahannya. Apalagi Agung Sedayu menganggap bahwa anak-anak muda yang ditinggalkannya dipadepokan akan dapat berbuat kurang bertanggung jawab terhadap tanaman di sawah dan ladang. “Aku akan kembali pada saat-saat tertentu. Apalagi guru ada disini. Jati Anom tidak terlalu jauh.“

“Meskipun tidak terlalu jauh, tetapi jika tidak dilintasi dengan perjalanan yang betapapun singkatnya, jarak itu tidak terlampaui,” berkata Sekar Mirah. “Setiap kali aku akan menengok guru sekaligus,“ jawab Agung Sedayu. Sekar Mirah mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Tetapi kakang. Bukankah kau sudah memikirkan langkah yang menentukan dalam hidupmu. Apakah kau benar-benar ingin menjadi seorang prajurit ?” Pertanyaan itu telah mengguncangkan hati Agung Sedayu. Kehadiran Pangeran Benawa ke Sangkal Putung untuk selanjutnya pergi ke Mataram, telah menumbuhkan keragu-raguannya. Ia semula ia sudah mendekati keputusan untuk menyatakan dirinya memasuki lingkungan keprajuritan seperti Sabungsari. namun kemudian niat itu telah goyah. Apalagi jika ia teringat kata-kata Pangeran Benawa yang dibisikkan kedalam telinganya, bahwa justru karena ia tidak mempunyai kedudukan apapun itulah, maka ia akan dapat berbuat banyak. “Sekali-sekali,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Kebimbangan dan keragu-raguan semakin membayangi sikapnya menghadapi perkembangan keadaan dalam kesatuannya dengan lingkungan dan keadaannya sendiri. Tetapi semuanya itu tidak dikatakannya kepada siapapun. Juga tidak kepada Sekar Mirah. Ia ingin mencoba menyelesaikannya sendiri, atau sama sekali tidak memikirkannya. Demikianlah, maka Agung Sedayu telah sampai kepada keputusannya untuk meninggalkan Sangkal Putung, kembali kepadepokan kecilnya bersama Glagah Putih. Meskipun mula-mula Ki Demang menahannya untuk tetap tinggal. Namun Agung Sedayu benar-benar berniat kembali ke Jati Anom, meskipun ia akan sering datang ke Sangkal Putung. “Kau benar-benar harus sering datang,“ berkata Swandaru, “dengan demikian kau tidak akan ketinggalan mengetahui semua masalah yang berkembang kemudian.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sekilas dipandanginya wajah gurunya yang tetap tidak menunjukkan perubahan kesan apapun juga. Namun iapun kemudian mengangguk dan menjawab, “Aku akan benar-benar selalu datang pada saat-saat tertentu. Aku juga ingin tahu, apakah ada perkembangan pensoalan, apalagi apabila Pangeran Benawa telah kembali dari Mataram.” Demikianlah maka dihari berikutnya Agung Sedayu telah mempersiapkan diri untuk meninggalkan Sangkal Putung bersama Glagah Putih. Bukan saja Swandaru , tetapi Sekar Mirahpun berpesan, agar ia sering datang ke Sangkal Putung agar ia mengetahui persoalan-persoalan yang mungkin tumbuh kemudian.”

“Berhati-hatilah,“ pesan Kiai Gringsing, “persoalanmu dengan beberapa orang masih belum tuntas. Berdoalah setiap saat. agar kau selalu mendapat perlindungan dari Yang Maha Tahu.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia menyahut, “Ya guru. Aku akan berhati-hati dan akan selalu berdoa.” Menjelang siang. Agung Sedayu baru berangkat dari Sangkal Putung bersama Glagah Putih. Mereka menempuh perjalanan yang tidak terlalu panjang itu dengan tidak tergesa-gesa. Mereka sempat memperhatikan sawah yang terbentang luas dan pepohonan yang hijau disepanjang perjalanan. Tiba-tiba saja, Glagah Putih bertanya, “Kakang, apakah kakang Swandaru benar-benar belum sembuh ?” Agung Sedayu memandang Glagah Putih sejenak. Kemudian sambil mengangguk kecil ia menjawab, “Ya. Swandaru memang belum sembuh benar. Kau tahu Glagah Putih, bahwa luka-luka yang cukup parah, jika perawatannya kurang baik, akan dapat kambuh kembali. Luka-luka itu tiba-tiba menjadi bengkak dan sakit sekali.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya, “Sampai kapan Kiai Gringsing berada di Sangkal Putung ?” “Tidak terlalu lama. Sementara itu. seperti pesan orangorang Sangkal Putung, kita akan sering datang mengunjungi mereka.” “Berapa kali kita harus pergi ke Sangkal Putung ? Jika Kiai Gringsing hanya sebentar berada di Sangkal Putung, bukankah berarti bahwa sekali kita berkunjung. Kiai Gringsing sudah berada kembali di Jati Anom?” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tersenyum sambil menjawab, “Menurut jalan pikiranmu, kita hanya datang ke Sangkal Putung selama Kiai Gringsing berada disana ?” Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun iapun tersenyum pula sambil berkata. “Ya. Aku keliru. Yang penting justru bukan Kiai Gringsing.” “Apa ?“ bertanya Agung Sedayu. “Tidak apa-apa,“ jawab Glagah Putih. Agung Sedayu tertawa pendek. Tetapi ia tidak berkata apapun lagi. Keduanya kemudian menyusuri jalan-jalan persawahan yang hijau. Ketika mereka keluar dari tlatah Sangkal Putung, maka mataharipun sudah menjadi semakin tinggi. Beberapa orang masih nampak sibuk bekerja disawah, sementara beberapa orang yang lain, telah

mulai beristirahat di gubug-gubug sambil membuka kiriman makan dan minum dari rumah masingmasing. “Kawan-kawan dari padepokan tentu sedang beristirahat pula,“ desis Glagah Putih. “Ya,“ sahut Agung Sedayu, “salah seorang dari mereka telah membawa makanan dan minuman kesawah.” “Yang masak juga diantara mereka,” desis Glagah Putih. Agung Sedayu menjadi heran. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Bukankah setiap hari juga mereka lakukan demikian ? Bahkan jika kita ada dipadepokan ? Sekali-sekali justru kau yang masak.” “Itu kita lakukan karena terpaksa,“ sahut Glagah Putih. “Kenapa terpaksa ?“ bertanya Agung Sedayu. “Sebaiknya perempuanlah yang melakukan. Perempuanlah yang masak dan menyediakan makan dan minum yang akan dibawa kesawah.” “Tetapi dipadepokan kita. tidak ada seorang perempuan.” “Itulah yang kurang. Kenapa kakang Agung Sedayu tidak segera membawa mbokayu Sekar Mirah kepadepokan ?” “Ah,” tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesah. Hampir saja ia mengatakan bahwa Sekar Mirah tidak sesuai hidup disebuah padepokan kecil, apalagi padepokan yang masih harus dibangun. Tetapi ia menyadari dengan siapa ia berbicara. Karena itu, maka iapun memaksa diri untuk tersenyum sambil menjawab, “Untuk membawa Sekar Mirah ke padepokan itu diperlukan banyak syarat Glagah Pulih.” “Apa ?” “Mula-mula upacara perkawinan yang memerlukan banyak beaya. Darimana aku mendapatkannya dalam keadaan seperti ini.” “Bukankah Ki Demang Sangkal Putung cukup mempunyai uang untuk melakukan upacara itu? Dan bukankah upacara itu dapat dilakukan dengan beaya yang banyak, tetapi dapat juga dengan beaya yang sedikit saja ?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih juga tertawa. Katanya, “Coba katakan, apakah sudah sepantasnya jika aku pasrahkan semua keperluan untuk itu kepada Ki Demang di Sangkal Putung ? Ingat Glagah Putih.

Aku adalah seorang laki-laki.” “Tetapi bukankah ada kakang Untara ? Kakang Untara juga bukan seorang yang terlalu miskin. Ia memiliki, meskipun sedikit, uang untuk membeayai perkawinan kakang Agung Sedayu. Bukankah kakang Untara menjadi pengganti ayah bunda kakang Agung Sedayu ? Selain kakang Untara juga ada ayah. Ayah juga mempunyai kewajiban itu. Dan aku kira ayahpun akan bersedia berbuat sesuatu. Kecuali mereka, jika kakang mau. kakang akan dapat mengatakan kepada Raden Sutawijaya atau Pangeran Benawa. He, bukankah kakang mengenal mereka secara pribadi ?” Agung Sedayu tertawa berkepanjangan. Namun, diluar pengamatan Glagah Putih, luka-luka dihati anak muda itu terasa menjadi semakin pedih. Glagah Putih yang belum mempunyai banyak pertimbangan itu, memandang kehidupannya dengan jujur dan berterus terang, bahwa sepantasnya ia harus menunggu belas kasihan orang-orang lain. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun iapun akhirnya ikut tertawa juga tanpa menyadari pedih dihati kakak sepupunya. Sementara itu keduanya meneruskan perjalanan mereka. Kuda-kuda mereka kemudian tidak berlari terlalu cepat, tetapi juga tidak terlalu lambat. Mereka menyusuri bulak-bulak panjang. Kemudian mendekati hutan yang tidak terlalu lebat. Sejenak kemudian keduanya telah menyusuri jalan dipinggir hutan itu. Perjalanan ke Jati Anom memang tidak terlalu panjang. Karena itu. maka merekapun segera mendekati Kademangan dan padepokan kecil mereka di Jati Anom. Agung Sedayu dan Glagah Putih sama sekali tidak berprasangka apapun juga ketika mereka memasuki Kademangan yang dipergunakan oleh prajurit-prajurit Pajang itu. Apalagi Agung Sedayu seolah-olah sudah yakin bahwa Sabungsari tidak lagi mendendamnya. Setelah ia terluka parah dalam menjalankan tugasnya, bahkan sekaligus berkesempatan untuk melepaskan dendamnya terhadap orang-orang Pasisir Endut, maka Sabungsari sudah menemukan dirinya sendiri. Ia tidak lagi dihantui oleh janjinya untuk membunuh Agung Sedayu. Ia sudah sadar, apa yang dihadapinya. Karena itu, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih sama sekali tidak mencurigai siapapun juga. Ketika ia bertemu dengan dua orang prajurit yang sedang meronda, maka merekapun memberi hormat dengan ramahnya. Tetapi kedua orang prajurit itu mengerutkan keningnya. Salah seorang dari mereka bertanya, “Siapakah kalian ?” Agung Sedayupun termangu-mangu. Ia memang belum mengenal kedua orang prajurit itu. Karena itu,

maka Agung Sedayupun menjawab, “Aku, orang Jati Anom. Bukankah kalian prajurit Pajang di Jati Anom ?” “Ya. Aku prajurit Pajang di Jati Anom.” “Tetapi kami belum pernah melihat kalian. Apakah kalian orang baru ?” “Ya. Kami orang baru. Kami mengganti beberapa bagian dari pasukan Ki Untara yang ditarik kembali ke Pajang beberapa pekan yang lalu,“ jawab prajurit itu, “siapakah kalian sebenarnya ?” “Kami penghuni padepokan kecil diujung Kademangan Jati Anom itu.” “O,“ kedua prajurit itu mengangguk, “kau penghuni padepokan kecil itu ?” “Ya.” “Menurut beberapa orang kawan yang telah lama berada di sini, penghuni padepokan itu adalah adik Ki Untara.” Agung Sedayu termangu-mangu. Namun Glagah Putihlah yang menyahut, “Ya. Kakang Agung Sedayu ini adalah adik kakang Untara.” Kedua orang prajurit itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Kami akan meneruskan perjalanan. Kami sedang nganglang. Silahkan meneruskan perjalanan pula.” Agung Sedayupun mengangguk pula. Jawabnya, “Terima kasih.” Agung Sedayu dan Glagah Putihpun segera meneruskan perjalanan menuju kearah yang berlawanan dengan kedua orang prajurit itu. Sekali-sekali Glagah Putih masih berpaling. Namun akhirnya iapun memacu kudanya dibelakang Agung Sedayu. Sejenak Glagah Putih terdiam diatas punggung kudanya. Namun kemudian hampir diluar sadarnya ia berkata, “Jika kakang menjadi seorang prajurit, maka kakang akan memakai kelengkapan pakaian dan tanda-tanda seperti kedua orang prajurit itu.” Agung Sedayu berpaling. Sambil tersenyum ia berkata, “Apakah aku pantas mengenakan pakaian dan kelengkapan seperti prajurit itu ?” “Tentu,“ jawab Glagah Putih, “tetapi sudah tentu ada beberapa perbedaan. Kakang Agung Sedayu tentu akan menjadi seorang prajurit yang pilih tanding. Senapati yang akan menjadi lurah kakang Agung Sedayu tidak akan dapat menyamai kecakapan kakang dalam ilmu perang dan olah kanuragan.“ “Ah,“ desis Agung Sedayu, “tentu tidak. Prajurit Pajang adalah prajurit-prajurit yang baik. Kau lihat Sabungsari ?”

Glagah Putih mengangguk. Tetapi jawabnya tidak terduga-duga oleh Agung Sedayu, “Itulah yang aneh. Apakah para perwira diatas Sabungsari memiliki kemampuan lebih baik dari Sabungsari ? Jika demikian, maka Pajang benar-benar akan menjadi sangat kuat. Tetapi, agaknya tidak semua prajurit memiliki kemampuan, seperti Sabungsari.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi katanya kemudian, “Baiklah kita tidak membuat penilaian apa-apa, karena yang kita ketahui tentang mereka hanyalah sedikit sekali. Yang aku kenal diantara mereka secara pribadi dan rapat, hanyalah satu dua orang prajurit, meskipun yang lain aku tahu pula sekedar dengan anggukan kepala.” Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Dalam pada itu, mereka telah menjadi semakin dekat dengan padepokan kecil mereka diujung Kademangan Jati Anom. Mereka tanpa sadar, telah memacu kuda mereka semakin cepat. Namun dalam pada itu. diluar sadar mereka, dari kejauhan dua orang prajurit yang lain telah memandangi mereka dengan berdebar-debar. Salah seorang dari keduanya berkata, “Ternyata Agung Sedayu masih tetap hidup.” “Aneh sekali,“ berkata yang lain, “Sabungsari belum melakukan seperti yang pernah dikatakannya. Ia akan membunuh Agung Sedayu.” “Mungkin tertunda karena peristiwa yang terjadi di Sangkal Putung itu. Memang luar biasa, bahwa seorang prajurit dari tataran terendah seperti Sabungsari mampu membunuh orang dari Pasisir Endut itu.” “Bukankah aku sudah mengatakan, bahwa ia dapat membunuh seekor kambing dari jarak yang cukup jauh ? Satu hal yang jarang sekali dapat dilakukan. Sorot matanya bagaikan meluncurkan anak panah. Dan matilah sasaran yang dipandanginya.” “Ia hampir mati dalam perang tanding melawan Carang Waja yang seolah-olah dapat mengguncang bumi. Memang ilmu yang aneh-aneh. Seolah-olah diluar jangkauan nalar.” “Tetapi kenapa Agung Sedayu masih tetap hidup itulah yang menjadi persoalan. Apakah Sabungsari mengurungkan niatnya atau ia benar-benar sedang menunggu keadaannya menjadi pulih kembali.” Kawannya tidak segera menjawab. Ia melihat Agung Sedayu memang dalam keadaan sehat tanpa cidera bersama adik sepupunya. Baru kemudian ia berkata, “Kita akan menunggu beberapa saat. Mungkin keadaan Sabungsari memang belum mengijinkan. Jika Sabungsari telah sembuh sama sekali, dan ia tidak berbuat apa-apa terhadap Agung Sedayu, maka kita haras menilai kembali sikapnya. Agaknya ia justru ingin melindungi Agung Sedayu. Dalam hal yang demikian, apapun yang dapat dilakukan, maka ia termasuk sasaran yang harus

disingkirkan.” “Ya,“ desis kawannya, “Sabungsari memang seorang yang mempunyai ilmu yang luar biasa. Tetapi itu bukan berarti bahwa ia tidak dapat dikalahkan seperti juga Agung Sedayu sendiri.” “Marilah,“ desis yang lain, “kita laporkan keadaannya. Agar kita sempat membuat pertimbangan dan perhitungan sebaik-baiknya.” Keduanyapun kemudian menyingkir sebelum Agung Sedayu menyadari, bahwa dua orang telah mengintainya dari kejauhan. Karena itu, maka Agung Sedayu masih saja dengan tenangnya menuju ke padepokan kecilnya. Ketika Agung Sedayu memasuki padepokannya, maka kawan-kawannya yang berada dipadepokan menjadi heran, bahwa Agung Sedayu tidak datang bersama Kiai Gringsing. “Guru masih harus menunggui Swandaru,“ berkata Agung Sedayu kepada mereka, “jika keadaan Swandaru telah benar-benar menjadi pulih kembali, maka guru akan segera kembali.” Anak-anak muda yang tinggal bersamanya dipadepokan itu mengangguk-angguk. Mereka yang tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya di Sangkal Putung itu hanya dapat mengangguk-angguk. “Apakah ayah tidak datang ?” bertanya Glagah Putih tiba-tiba. “Ki Widura telah datang kemari. Tetapi Ki Widura telah kembali ke Banyu Asri. Meskipun demikian, sekali-sekali Ki Widura datang juga menengok kami disini meskipun tidak terlalu lama,” jawab salah seorang dari anak-anak muda itu. Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Dan kau katakan kepada ayah bahwa kami pergi ke Sangkal Putung ?” “Ya. Kami katakan apa yang kami ketahui tentang Sangkal Putung,“ jawab anak muda itu. Agung Sedayu dan Glagah Putihpun kemudian menyerahkan kuda mereka kepada anak-anak muda yang menunggui padepokannya. Namun ketika mereka memasuki padepokan, terasa padepokan itu sangat sepi, meskipun hanya gurunya seorang sajalah yang tidak ada bersama mereka. “Jika ayah datang, aku akan minta ayah tinggal disini barang satu dua hari,“ berkata Glagah Putih. “Jika kebetulan paman tidak sibuk, paman tentu bersedia,“ jawab Agung Sedayu. Glagah Putih tidak menyahut lagi. Iapun kemudian memasuki biliknya dan diluar sadarnya, ia telah berbaring diambennya. Meskipun bilik itu beberapa hari lamanya tidak dipergunakan, tetapi penghuni padepokan yang tinggal, selalu membersihkannya pagi dan sore.

Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih tinggal dipadepokan itu tanpa Kiai Gringsing untuk beberapa saat. Agung Sedayulah yang kemudian seakan-akan menjadi penanggung jawab dari padepokan kecil itu dan menentukan segala sesuatu yang mereka lakukan sehari-hari. Namun dalam pada itu. Agung Sedayupun telah memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Ia merasa dibebani tanggung jawab untuk membentuk Glagah Putih menjadi seorang anak muda yang memiliki bekal yang cukup bagi masa depannya. Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian minta agar Glagah Putih mempersiapkan dirinya untuk memperdalam dan meningkatkan ilmunya. Dalam pada itu, diantara tugas Glagah Putih sehari-hari, maka iapun benar-benar telah mempergunakan segenap waktunya untuk menempa diri. Dengan tuntunan Agung Sedayu, maka Glagah Putih tenggelam didalam sanggar dengan unsur-unsur gerak dan ketentuan-ketentuan ilmu pada saluran perguruan ayahnya. Ternyata bahwa Agung Sedayu mampu melakukannya sebaik-baiknya. Ia sudah pernah melihat susunan ilmu itu dengan lengkap, meskipun pada puncak pahatan didinding goa ilmu itu terdapat cacat karena tingkahnya sendiri. Tetapi Agung Sedayu sendiri yakin, bahwa pada saatnya puncak dari ilmu itu akan dapat diketemukannya dengan cara yang khusus. Ia harus mengurai tata gerak dan watak dari ilmu itu dengan saksama. Kemudian berdasarkan pada hasil penelitian itu, ia akan melangkah setapak demi setapak untuk mencapai kemampuan puncak dari ilmu itu sendiri. Dalam pada itu, Glagah Putih ternyata benar-benar seorang anak muda yang luar biasa. Ingatannya sangat tajam. Karena itu, maka ia dengan cepat dapat menangkap setiap peningkatan dan pengenalan dari unsurunsur yang baru. Seperti Agung Sedayu, Glagah Putih sama sekali tidak rnengenal lelah dalam latihan-latihan yang berat. Bahkan jika Agung Sedayu sedang sibuk dengan kerjanya sehari-hari, sementara Glagah Putih mempunyai waktu terluang, maka ia sendiri berada didalam sanggarnya. “Aku harus bekerja keras untuk mengejar ketinggalanku,“ berkata Glagah Putih didalam hatinya. Bahkan hal itu selalu dikatakannya pula kepada Agung Sedayu. “Kau ketinggalan dari siapa ?“ bertanya Agung Sedayu setiap kali, “apakah kau pernah berjanji dengan seseorang untuk berpacu dengan ilmu masing-masing ?” “Meskipun tidak, tetapi aku harus dapat menilai diriku sendiri,“ jawab Glagah Putih, “setiap anak muda yang aku temui, ternyata memiliki ilmu yang luar biasa. Sementara umurku merayap semakin tua, dan aku sama sekali belum mempunyai bekal apapun juga.” Agung Sedayu selalu membesarkan hatinya, dan berkata,

“Sebesar kau, aku belum dapat berbuat apa-apa. Aku masih selalu ketakutan jika aku berada dirumah sendiri atau keluar setelah senja. Aku masih menggigil mendengar ceritera tentang Hantu bermata satu, di pohon randu alas ditikungan. Dan akupun masih ketakutan mendengar orang mengucapkan kata-kata Harimau Putih dari Lemah Cengkar.” “Tetapi perkembangan kakang kemudian adalah diluar kebiasaasan. Kakang telah menjadi seorang yang aneh sekarang ini,“ desis Glagah Putih. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tersenyum sambil bertanya, “Apakah yang tidak biasa padaku ? Aku tidak lebih dari kau. Perkembangankupun tidak lebih cepat dari perkembanganmu sekarang. Bahkan mungkin jauh lebih lamban, karena aku memiliki bekal yang sangat kurang.” “Kakang hanya ingin membesarkan hatiku,“ desis Glagah Putih. Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Kau memang aneh. Tetapi seandainya demikian, bukankah itu lebih baik daripada aku selalu marah-marah dan menganggap kau terlalu dungu dan lamban ?” Glagah Putihpun akhirnya tertawa pula. Namun sementara itu, iapun telah mengajak Agung Sedayu memasuki sanggarnya dan tenggelam dalam latihan yang berat. Ketika disore hari, disaat langit menjadi merah oleh cahaya senja, maka Glagah Putih telah selesai dengan membersihkan diri. Ia sudah berganti pakaian dan mandi, setelah mempergunakan waktu senggangnya dengan tekun didalam sanggarnya. Ia terkejut ketika ia melihat seseorang berdiri dimuka regol padepokannya. Dalam kesuraman senja, Glagah Putih melihat orang itu seakan menjadi ragu-ragu. Namun iapun segera mengenalnya, bahwa orang itu adalah Sabungsari. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa iapun berlari turun dari pendapa untuk menyongsongnya, “Kau Sabungsari. He, apakah kau sudah sembuh sama sekali?” Sabungsari tersenyum. Perlahan-lahan ia melangkah memasuki halaman sambil menjawab, “Keadaanku sudah berangsur baik.” “Marilah.“ Glagah Putih mempersilahkan. Keduanyapun kemudian naik kependapa, sementara Agung Sedayupun keluar dari ruang dalam dan menyambutnya. “Tetapi, nampaknya, kau belum sembuh sama sekali,“ berkata Agung Sedayu.

Sabungsari yang kemudian duduk dipendapa menyahut, “Ada yang masih terasa mengganggu Agung Sedayu. Luka-lukaku ternyata memang parah sekali. Tanpa obat-obat dari Kiai Gringsing, mungkin aku sudah mati.” “Segalanya kita kembalikan kepada Yang Maha Kasih,“ berkata Agung Sedayu. “Ya. Akupun bersukur kepada-Nya,“ jawab Sabungsari, “dan kini, luka-lukaku masih ada yang terasa sakit jika aku bergerak terlalu banyak.” “Dan kau sudah berjalan sampai kejarak yang terlalu jauh bagi seseorang yang sedang sakit,“ berkata Glagah Putih. Tetapi Sabungsari justru tertawa. Katanya, “Menurut juru penggobatan pada pasukanku, aku memang dianjurkan untuk mulai melatih diri, berjalan-jalan dan menggerakkan badanku sedikit-sedikit.” “Juga menggerakkan mata ?“ bertanya Agung Sedayu. Sabungsari tertawa, sementara Glagah Putih menjadi bingung dan bertanya, “Kenapa dengan mata ?” Agung Sedayulah yang menyahut, “ Tidak apa-apa.“ Glagah Putih mengerutkan wajahnya. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu. Bahkan kemudian iapun beringsut sambil berkata, “Aku siapkan minuman hangat.” “Jangan terlalu repot dengan kedatanganku Glagah Putih,“ berkata Sabungsari. “Sudah ada.” “Jika belum, tolonglah, adakanlah.” Glagah Pulih mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tertawa. Sabungsari dan Agung Sedayupun tertawa pula. Sementara Glagah Putih berada didalam, maka Sabungsaripun bertanya tentang keadaan Swandaru dan orang-orang Sangkal Putung yang lain. “Swandaru sudah sembuh,” jawab Agung Sedayu. “Lukanya tidak separah lukaku,“ berkata Sabungsari, “aku sudah dapat disebut mati. Apalagi Swandaru ditunggui oleh Kiai Gringsing yang benar-benar ahli didalam hal pengobatan.” “Tetapi keadaanmupun sudah baik.”

“Ya. Berangsur baik. Tetapi aku masih lemah. Karena itu, aku masih belum dapat berbuat apa-apa sekarang ini.” Beristirahatlah sebanyak-banyaknya. Bukankah para pemimpinmu mengetahui keadaanmu ?“ bertanya Agung Sedayu. “Ya. Pemimpin-pemimpinku mengetahui keadaanku. Dan akupun mendapat ijin cukup untuk beristirahat,“ jawab Sabungsari. Namun kemudian dengan ragu-ragu ia berkata, “Tetapi aku tidak sekedar dalam kedudukanku sebagai seorang prajurit. Aku membawa beberapa orang yang penuh dendam kepadamu.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. “Dengan perlahan-lahan aku telah mencoba meyakinkan mereka, bahwa dendam yang berkepanjangan itu tidak ada gunanya sama sekali. Lebih dari itu, aku sudah berterus terang, bahwa aku telah kau kalahkan.” “Apakah mereka mengerti ?“ bertanya Agung Sedayu. “Mereka cukup mengerti. Tetapi aku masih belum melepaskan mereka kembali kepadepokan. Aku masih menahan mereka tinggal di Jati Anom, ditempat yang tersembunyi. Aku masih memerlukan mereka selama aku sakit.” “Untuk apa ?“ bertanya Agung Sedayu. “Bukan begitu. Tetapi sekedar untuk menahan mereka,“ Sabungsari termangu-mangu sejenak. Namun kemudian, “Tetapi disamping itu. masih juga ada sesuatu yang perlu kau ketahui.” Agung Sedayu mengerutkan dahinya. “Meskipun orang-orangku perlahan-lahan telah menyadari keadaan mereka dan keadaanku, namun di Jati Anom ini, masih juga ada bahaya yang mengintaimu.” “Kenapa ?” Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak mengatakannya karena Glagah Putih telah datang sambil membawa minuman hangat dan beberapa potong ubi rebus. “Nah, segar sekali,“ gumam Sabungsari, “saat-saat begini tidak akan ada minuman panas lagi dibarak, apalagi ubi rebus. Ubi ungu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat memaksa Sabungsari untuk berkata lebih lanjut justru karena kehadiran Glagah Putih. Sejenak mereka masih bercakap-cakap sambil minum minuman panas dan makan ubi rebus yang masih hangat. Glagah Putih yang tidak mengetahui persoalan yang gawat bagi Agung Sedayu itupun berbicara sesuka hatinya. Berkepanjangan tanpa henti-hentinya. Sabungsari hanya kadang-kadang saja menanggapinya. Kadang-kadang tersenyum dan tertawa. Namun ternyata bahwa kegembiraan sikap Glagah Putih itu dapat membantu membuat tubuh Sabungsari semakin segar. Jika sebelum ia dikalahkan oleh Agung Sedayu, kejemuannya didalam barak itu hanyalah sekedar alasan, maka kini, rasa-rasanya ia benar-benar malas kembali kebaraknya. Seperti yang pernah dikatakannya, bahwa disetiap sudut ia melihat tombak tersandar, dan pedang yang tersangkut didinding diatas setiap pembaringan. Tetapi ia sudah berniat untuk benar-benar terjun kedalam lingkungan keprajuritan. Bagaimanapun juga, ia harus menjunjung segenap ketentuan yang berlaku baginya. Dalam pada itu, Glagah Putih berceritera tentang berbagai macam peristiwa sepeninggal Sabungsari dari Sangkal Putung. Bahkan kemudian Glagah Putihpun menceriterakan kedatangan Pangeran Benawa ke Sangkal Putung. “Pangeran Benawa ? Apakah keperluannya datang ke Sangkal Putung,“ bertanya Sabungsari. “Ia tidak sengaja pergi ke Sangkal Putung. Ia hanya singgah sejenak dalam perjalanannya ke Mataram,“ jawab Glagah Putih. Hampir saja Glagah Putih terloncat mengatakan kepergiannya ke Mataram bersama Agung Sedayu. Untunglah segera ia teringat, bahwa Agung Sedayu telah memesannya untuk tidak mengatakannya kepada siapapun juga. “Apakah aku juga tidak boleh mengatakan kepada Sabungsari ? “ pertanyaan itu tumbuh dihatinya. Namun ketika ia melihat kesan diwajah Agung Sedayu, maka iapun yakin bahwa Agung Sedayu tidak membenarkan jika ia mengatakannya, meskipun kepada Sabungsari, yang dianggapnya seorang anak muda yang sangat baik kepadanya. Dalam pada itu. ternyata Senapati Ing Ngalaga telah mengambil siap yang menimbulkan pertanyaan. Bukan saja bagi para pengikut Pangeran Benawa. Tetapi Pangeran Benawa sendiri justru menjadi

berdebar-debar. “Apakah maksud kakang Sutawijaya ? “ pertanyaan itu bergejolak didalam hatinya. Ketika Pangeran Benawa dan iring-iringannya datang ke Mataram, ternyata Raden Sutawijaya tidak berada dirumahnya. Beberapa orangtua yang ada dirumah Senapati Ing Ngalaga itu dengan gugup mempersilahkan Pangeran Benawa naik kependapa. “Kedatangan Pangeran tidak kami duga-duga,“ berkata salah seorang dari orang-orang tua itu. “Paman Juru Martani ?” “Ki Juru ada Pangeran. Seorang pengawal sedang memanggilnya ke Sanggar.” Pangeran Benawa dan pengiringnyapun kemudian naik kependapa. Sejenak mereka duduk termangumangu. Pangeran Benawa sendiri bertanya didalam hatinya, apakah Agung Sedayu tidak menyampaikan pesan seperti yang dikehendakinya, sehingga timbul salah mengerti. Dalam pada itu, selagi Pangeran Benawa termangu-mangu, maka Ki Juru Martanipun keluar dengan tergesa-gesa dari ruang daiam. Dengan tergesa-gesa pula ia berlari kearah Pangeran Benawa. Ternyata Pangeran Benawapun bangkit dan berlari pula memeluk orang tua itu. Katanya, “Ki Juru Martani. Rasa-rasanya sudah lama sekali kita tidak bertemu.” Ki Juru Martani menarik nafas dalam-dalam. Ketika kemudian Pangeran Benawa melepaskannya, maka iapun berkata, “Silahkan duduk anak mas Pangeran. Kedatangan Pangeran ke Mataram bagaikan embun yang menitik diteriknya musim kemarau yang panjang tanpa batas.” Pangeran Benawa tersenyum. Iapun kemudian duduk dihadap oleh beberapa orang tetua Mataram. Setelah mereka saling bertanya tentang keselamatan masing-masing dan para pengiringnya, maka akhirnya Pangeran Benawa bertanya tentang Raden Sutawijaya. “Pangeran,“ Ki Juru menarik nafas dalam-dalam, “kedatangan Pangeran sama sekali tidak kita duga-duga. Karena itu, angger Sutawijaya hari ini tidak ada di Mataram.” “O,“ Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Lalu iapun bertanya, “Kemana perginya kakang Sutawijaya ? Aku dengar, kakang Sutawijaya adalah seorang yang senang merantau, mesu sarira, mendaki bukit dan menuruni lurah-lurah yang dalam untuk memperdalam segala macam ilmu yang ada dimuka bumi ini.” Ki Juru Martani tersenyum. Katanya, “Ia mengikuti jejak gurunya, orang tuanya dan pepundennya.”

“Ayahanda Sultan selagi masih bergelar Mas Karebet,“ potong Pangeran Benawa. Ki Juru tersenyum. Namun iapun mengerutkan keningnya ketika Pangeran Benawa bertanya, “Tetapi pada usia tuanya, apakah kakang Sutawijaya juga akan seperti ayahanda Sultan ?” “Kenapa ? “ Ki Juru bertanya. “Aku melihat beberapa persamaan antara kakang Sutawijaya dan ayahanda Sultan. Keduanya adalah orangorang yang luar biasa didalam mesu diri dalam olah kanuragan dimasa mudanya. Tetapi keduaduanya juga orang-orang yang senang melihat keindahan. Lebih-lebih lagi kecantikan.” “Ah,“ desah Ki Juru Martani. Tetapi iapun tertawa. Katanya kemudian, “Tetapi kali ini angger Sutawijaya tidak sedang mesu diri. Disaat-saat terakhir kesehatan angger Sutawijaya agak kurang baik. Karena itu, ia kini sedang tetirah didaerah Ganjur.” “O,“ Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam, ia mulai mengerti, apa yang dilakukan oleh Raden Sutawijaya. Karena itu. ia yakin, bahwa Agung Sedayu benar-benar telah menemuinya dan menyampaikan pesannya seperti yang dikehendakinya. Meskipun demikian, namun ia masih juga bertanya kepada Ki Juru Martani. “Ki Juru. siapakah yang ikut bersama kakang Sutawijaya ke Ganjur ?” “Tidak banyak ngger. Hanya beberapa orang yang mengawalnya. Daerah Ganjur adalah daerah yang tenang seperti daerah Mataram yang lain.” jawab Ki Juru Martani. Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Ketika ia memandang para pengiringnya, ia melihat beberapa kesan yang berbeda. “Ki Juru. Kapan kakang Sutawijaya akan kembali ?“ berlanya Pangeran Benawa. Ki Juru mengerutkan keningnya. Katanya, “Aku tidak tahu pasti angger Pangeran. Raden Sutawijaya tidak mengatakan berapa lama ia akan tinggal didaerah Ganjur.” “Kapan kakang Sutawijaya berangkat ?” Ki Juru termangu mangu sejenak. Kemudian katanya ragu, “Tetapi, angger Sutawijaya baru berangkat pagi-pagi tadi ngger. Jika saja angger Pangeran memberitahukan kedatangan angger, maka sudah tentu ia tidak akan pergi tetirah, betapapun

keadaannya. Apalagi keadaannya memang tidak terlalu memaksa. Mungkin ada juga keinginannya untuk melupakan kesibukannya sehari-hari dengan berburu, atau dengan menjinakkan kuda-kuda yang masih terlalu liar. Itupun termasuk kesenangannya. Karena itu. ia telah menyiapkan sebuah lapangan didaerah Ganjur untuk menjinakkan dan melatih dalam berbagai macam gerakan.” “Ya, ya,“ sahut Pangeran Benawa, “kakang Sutawijaya memang senang sekali kepada kuda. Tetapi jika kami menunggu, apakah kami harus tinggal sepekan atau dua pekan di Mataram.” “Terlalu lama,“ desis Adipati yang ikut bersama Pangeran Benawa. Ki Juru Martani mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Pangeran. Memang sebaiknya aku akan menyuruh beberapa orang untuk menyusulnya ke Ganjur. Tetapi sudah barang tentu tidak perlu sekarang. Tetapi besok pagi-pagi benar.” “Ya, ya Ki Juru,“ sahut Pangeran Benawa, “aku memang tidak sangat tergesa-gesa. Besok pagipun tidak terlalu lama. Mungkin aku akan bermalam barang dua tiga malam di Mataram.” “Terlalu lama Pangeran,“ sahut Adipati yang mengiringinya. Pangeran Benawa berpaling kepadanya. Katanya, “Kenapa terlalu lama ? Aku ingin melihat-lihat keadaan Mataram yang telah berkembang dengan cepat. Apakah paman Adipati tidak ingin berbuat demikian ?” Adipati itu menarik nafas dalam-daiam. Namun kemudian sambil mengangguk ia menjawab, “Ya Pangeran. Akupun ingin melihat keadaan kota yang baru tumbuh ini.” “Nah,“ desis Ki Juru, “jika demikian, biarlah besok pagi-pagi. para pengawal akan menyusul Raden Sutawijaya ke Ganjur.” “Terima kasih paman,“ sahut Pangeran Benawa, “sebenarnyai bukan maksud kami mengganggu paman dan apalagi kakang Sutawijaya yang sedang tetirah dan beristirahat di daerah Ganjur.” “Tetapi itu adalah wajar sekali angger Pangeran. Angger Sutawijaya memang harus dijemput.” Pangeran Benawa tersenyum. Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu, seorang Adipati yang menyertainya itu mendahuluinya. “Tetapi kenapa menunggu sampai besok. Hari ini masih cukup panjang. Seandainya senja sekalipun, seharusnya pengawal itu berangkat sekarang dan minta agar Raden Sutawijaya segera kembali meskipun kemalaman diperjalanan, karena Pangeran Benawa yang mengemban tugas Sultan datang ke Mataram.” “O,“ Ki Juru mengerutkan keningnya, “apakah Pangeran mengemban tugas ?”

“Tidak paman,“ Pangeran Benawalah yang menjawab, “seandainya aku memang ditugaskan ke Mataram, tugas itu sama sekali tidak penting. Aku hanya mengemban tugas untuk datang menengok keselamatan kakang Sutawijaya. Tidak lebih dan tidak kurang.” Wajah Adipati itu menegang. Tetapi ia tidak dapat membantah dan mengatakan yang berbeda. “Karena itu,“ Pangeran meneruskan, “biarlah besok pagi-pagi sajalah pengawal dari Mataram menjemput kakang Sutawijaya meskipun hari ini agaknya masih cukup panjang. Dan Ganjur agaknya memang tidak terlalu jauh.” “Memang tidak terlalu jauh Pangeran. Tetapi jika sekarang pengawal itu berangkat, maka ia akan sampai di Ganjur menjelang senja. Raden Sutawijaya akan kemalaman di perjalanan seandainya ia harus kembali segera.” “Tidak. Tidak harus segera,“ potong Pangeran Benawa. Ki Jurupun menarik nafas panjang sambil menjawab, “Terima kasih angger Pangeran. Jika demikian, maka biarlah dipersiapkan bilik bagi Pangeran dan para pengiring di gandok kanan.” “Terima kasih. Kami dapat beristirahat dimana saja.” Ki Juru tersenyum. Ia mengenal Pangeran Benawa dengan baik. Ia tahu bahwa Pangeran Benawa dapat saja tidur di gardu, banjar bahkan di kandang sekalipun. Tetapi tentu para pengiringnya yang tidak akan dapat berbuat demikian.” Karena itu, maka Ki Jurupun segera memerintahkan beberapa orang pelayan untuk membersihkan gandok kanan. Kemudian setelah menjamu sekedarnya, Ki Juru mempersilahkan para tamunya untuk beristirahat. Namun dalam pada itu. Adipati yang mengikuti Pangeran Benawa ke Mataram itu selalu saja nampak gelisah. Sebenarnya ia tidak dapat menerima perlakuan yang sangat mengecewakan itu. Seharusnya, Ki Juru dengan tergesa-gesa memerintah beberapa orang pengawal untuk pergi ke Ganjur, minta agar Raden Sutawijaya pulang, malam itu juga. Yang datang di Mataram adalah Pangeran Benawa yang membawa tugas ayahandanya Sultan Hadiwijaya. Karena itu, maka Raden Sutawijaya harus bersikap seperti ia bersikap kepada Sultan sendiri. Dalam pada itu, karena ia tidak dapat menahan gejolak perasaannya, maka iapun telah bersepakat dengan beberapa orang pengiring untuk langsung pergi ke Ganjur, memanggil Raden Sutawijaya untuk segera kembali.

“Kita tidak usah minta ijin Pangeran Benawa. Kita pergi begitu saja, jika Pangeran Benawa sedang beristirahat,“ berkata Adipati itu kepada para pengiringnya. Beberapa orang pengiringnya termangu-mangu. Tetapi beberapa orang lain yang sependapat dengan Adipati itupun mengangguk-angguk sambil berkata, “Ya. Sutawijaya harus tahu diri.” Demikianlah, ketika Pangeran Benawa beristirahat didalam gandok, maka Adipati itupun telah mempersiapkan diri. Tiga orang pengiringnya telah ditunjuk untuk mengikutinya, sementara yang lain agar tetap berada di gandok itu, sehingga kepergian Adipati itu tidak diketahui oleh Pangeran Benawa. “Usahakan agar ia tidak mencari aku,“ berkata Adipati itu. “Tetapi Ki Adipati tentu akan pergi cukup lama. Mungkin tengah malam baru kembali. Apa jawabku jika Pangeran bertanya ?” “Katakanlah, bahwa kau tidak tahu, kemana aku pergi,“ berkata Adipati itu. Sejenak kemudian, maka dengan hati-hati, para pengiringnya telah mempersiapkan kuda mereka. Ketika para pengawal Mataram bertanya, maka para pengiring itu hanya mengatakan, bahwa mereka ingin melihat-lihat keadaan Mataram. Tanpa setahu Pangeran Benawa maka Adipati yang mengikutinya ke Mataram itupun telah meninggalkan rumah Raden Sutawijaya. Demikian mereka sampai ke jarak yang cukup kuda-kuda itupun segera dipacu menuju ke daerah Ganjur. “Siapa diantara kalian yang pernah melihat daerah Ganjur?“ bertanya Adipati itu disepanjang jalan. “Aku,“ jawab salah seorang pengiringnya, “ada sebuah padukuhan yang cukup besar didaerah Ganjur. Padukuhan itu adalah padukuhan tempat Raden Sutawijaya membuat pasanggrahan.” Adipati itu tidak menjawab. Kudanya justru berpacu semakin cepat. Seolah-olah ia sudah tidak sabar lagi untuk dapat segera bertemu dengan Raden Sutawijaya, dan memerintahkannya segera kembali ke Mataram, meskipun sampai larut malam mereka baru akan sampai.” “Ia harus mengerti, bahwa ia masih tetap harus tunduk kepada Sultan dan alat-alat pemerintahannya,“ berkata Adipati itu di dalam hatinya, “kecuali jika ia memang benar-benar ingin memberontak. Jika

itu yang dikehendakinya, maka biarlah lebih cepat dilakukan. Dengan demikian, maka rencana penghancuran Mataram akan lebih cepat selesai. Pajangpun menjadi sangat lemah karena benturan itu, sehingga menghancurkannyapun tidak diperlukan waktu setengah hari.” Empat orang berkuda itupun menyusuri bulak-bulak panjang dengan kecepatan yang tinggi. Beberapa orang petani yang berada di sawah, terkejut melihat kuda berpacu demikian cepatnya. Apalagi ketika keempat ekor kuda itu memasuki jalan-jalan yang sepi di pinggir hutan yang tidak terlalu lebat. “Lewat hutan ini kita akan mendapatkan beberapa padukuhan lagi,“ berkata pengiringnya yang telah pernah mengetahui daerah Ganjur, “setelah melalui beberapa padukuhan itulah, maka kita akan segera sampai ke padukuhan yang agak besar, dengan sebuah ara-ara yang luas. Ara-ara yang dipersiapkan bagi Raden Sutawijaya untuk bermain-main dengan kuda-kudanya yang banyak.” Adipati itu tidak menjawab. Ia mencoba berpacu semakin cepat. Dengan demikian, maka debupun berhamburan dibelakang kaki keempat ekor kuda itu. Setelah melalui hutan yang tidak begilu lebat, mereka terpaksa memperlambat derap kuda mereka, meskipun mereka masih tetap berpacu. Di tengah-tengah bulak mereka harus menyesuaikan diri. agar para petani yang melihat, tidak menjadi curiga karenanya. Beberapa padukuhan telah dilaluinya. Akhirnya merekapun sampai kepadukuhan yang agak besar diantara beberapa padukuhan yang lain. “Itulah Ganjur,“ berkata pengiring yang pernah melihat daerah Ganjur, “disebelah padukuhan itu ada sebuah ara-ara yang cukup luas.” “Apakah kita akan pergi ke ara-ara itu ?“ bertanya Adipati yang menjadi gelisah itu. “atau kita pergi ke pesanggrahannya.” “Sudah tentu ke pesanggrahannya. Jika tidak ada dipasanggrahan, maka Raden Sutawijaya agaknya berada di ara-ara itu, atau bahkan berada dihutan untuk berburu kijang.” “Persetan,“ geram Adipati itu, “jika ia berada dihutan. kita akan mencarinya sampai ketemu. Baru pagi tadi ia berangkat. Seandainya ia memang ingin berburu, maka ia tentu masih berada dipasanggrahan.” Dengan demikian, maka iring-iringan itupun langsung menuju kepasanggrahan. Tanpa turun dari kudanya, maka Adipati itu langsung masuk kedalam regol sebuah rumah yang cukup besar dengan halaman yang luas. “Aku utusan Sultan Hadiwijaya,“ geram Adipati itu ketika ia berhenti di muka pendapa, “dimana Senopati Ing Ngalaga.” Seorang pengawal yang berada di halaman itu mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, “Ampun tuan.

Senopati Ing Ngalaga tidak berada di pasanggrahan.” “Tetapi ia berada disini.” “Ya, benar tuan. Tetapi sejak menjelang sore hari. Senopati Ing Ngalaga berada di ara-ara dengan beberapa ekor kudanya.” Adipati itu menggeram, sedangkan pengiringnya berkata, “Kita pergi ke ara-ara.” Adipati itu tidak berkata sepatah katapun. Ia langsung menarik kendali kudanya dan menghentakkannya, sehingga kudanya bagaikan terkejut dan meloncat berlari, menuju ke ara-ara. Dari kejauhan. Adipati itu sudah melihat beberapa orang berada diara-ara. Meskipun ia belum tahu, yang manakah Senopati Ing Ngalaga, tetapi ia dapat menduga, bahwa yang berada dipunggung kuda yang sedang berlatih menari di tengah-tengah ara-ara itulah Raden Sutawijaya. Derap kaki kuda Adipati itu memang mengejutkan Raden Sutawijaya yang tengah bermain-main dengan kudanya. Ketika ia memandang kekejauhan, dilihatnya empat ekor kuda berlari seperti angin menuju ke ara-ara itu. “Siapa mereka ?“ bertanya Raden Sutawijaya kepada seorang pengawalnya. Pengawal itu menggelengkan kepalanya sambil menyahut, “Aku belum pernah mengenalnya Raden.” Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Semakin dekat, maka iapun semakin jelas melihat, siapakah yang datang berkuda itu. Demikianlah, Raden Sutawijaya dapat melihat lekuk-lekuk wajah orang itu dengan jelas, maka iapun berdesah, “Adipati Partaningrat.” Pengawalnya mengerutkan keningnya. Hampir berbisik ia bertanya, “Apakah ia yang bernama Raden Ambar bergelar Adipati Partaningrat ke II ?” Raden Sutawijaya mengangguk sambil menjawab, “Ya. Ia adalah Raden Ambar yang bergelar Adipati Partaningrat ke II. Orang yang aneh menurut pandanganku. Baginya didunia ini tidak ada orang yang baik dan benar. Semua yang dilakukan orang lain tentu salah dan kurang baik. Apalagi orang yang tidak disukai. Tetapi kenapa ia datang kemari pada saat begini ?”

“Tentu ada masalah yang penting,” Raden Sutawijaya tidak menyahut. Ia menunggu Adipati itu menjadi semakin dekat. Tetapi ia sudah mengira, bahwa Pangeran Benawa telah berada di Mataram, dan Adipati Partaningrat itu mendapat perintah untuk memanggilnya. Sejenak kemudian, maka Adipati yang bergelar Partaningrat ke II itu telah mendekat. Demikian ia memasuki ara-ara, maka kudanyapun diperlamban dan akhirnya berhenti beberapa langkah dihadapan Raden Sutawijaya yang masih berada dipunggung kudanya pula. “Paman Adipati Partaningrat,“ desis Raden Sutawijaya. Adipati Partaningrat memandang Raden Sutawijaya dengan tajamnya. Tiba-tiba saja ia menggeram, “Aku, Adipati Partaningrat membawa titah Sultan di Pajang.” “Ya,“ sahut Raden Sutawijaya, “katakan. Apakah titah Sultan.” Adipati Partaningrat termenung sejenak. Dipandanginya Raden Sutawijaya dengan tajamnya. Kemudian katanya sekali lagi, “Aku, Adipati Partaningrat datang atas kuasa Sultan.“ “Ya. Apa maksudmu ?” “Dihadapan Sultan, sebaiknya kau turun dari kudamu,“ desis Adipati Partaningrat II. Wajah Raden Sutawijaya tiba-tiba saja telah membara. Hampir saja ia kehilangan pengamatan diri. Untunglah, bahwa ia masih berusaha untuk menahan hatinya yang bagaikan terbakar. “Kau turun dulu dari kudamu. Aku adalah putera Sultan Pajang Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga.” “Ya. Kau putera angkat Sultan. Tetapi dalam tugasku sekarang, aku adalah Sultan itu sendiri.“ “Aku tidak percaya,“ tiba-tiba saja Raden Sutawijaya menggeram, “apakah pertanda yang ada padamu, bahwa kau adalah utusan Sultan sehingga kau adalah Sultan itu sendiri.” Wajah Adipati Partaningratlah yang kemudian menjadi merah. Apalagi ketika Raden Sutawijaya berkata selanjutnya, “Setiap orang yang berbuat sesuatu atas nama dan bagi Sultan Hadiwijaya di Pajang, maka ia tentu membawa pertanda. Tunggul, panji atau bawal itu sendiri. Bahkan seperti yang terjadi atas Untara disaat meninggalnya Ki Sumangkar. justru pertanda pribadi ayahanda Sultan, keris Kiai Crubuk yang hampir tidak pernah terpisah dari

lambung ayahanda.” Sejenak Adipati Partaningrat bagaikan membeku. Namun gelora didadanya terasa gemuruh, seolaholah jantungnya akan meledak. Ketika kemudian mulutnya bergerak, terdengar suaranya gemetar, “Aku tidak memerlukan segala pertanda itu. Aku adalah kepercayaan Sultan. Perintah lesannya mempunyai nilai seperti tunggul, panji atau keris itu sendiri. Selebihnya, aku adalah pribadi yang memiliki pertanda itu sendiri.” “Setiap orang dapat menyebut dirinya seperti yang kau katakan itu dengan kalimat-kalimat dan sikap kesombongan. Tetapi semuanya tidak berarti bagiku, karena aku adalah putera Sultan Hadiwijaya yang mengetahui dengan pasti semua adat dan tata cara yang diharuskan bagi istana Pajang.” “Aku tidak perduli penilainmu. Tetapi dengar perintahku, agar kau turun dari kudamu. Kemudian baru aku akan memberikan perintah berikutnya.” “Adipati Partaningrat yang perkasa,“ geram Raden Sutawijaya, “jangan membuat aku marah. Turunlah dari kudamu. Beri hormat kepada putera Sultan Hadiwijaya yang bernama Raden Sutawijaya dan bergelar Senapati Ing Ngalaga.” Adipati Partaningrat menjadi gemetar menahan marah. Dengan geram ia berkata, “Jika kau melawan perintahku, maka berarti kau sudah melawan ayahanda angkatmu sendiri. Kau telah melawan rajamu dan karena itu kau telah memberontak. Mataram dengan pasti dapat dikatakan telah memberontak melawan Pajang.” “Aku mengerti,“ potong Raden Sutawijaya. “itulah yang aku kehendaki sebenarnya. Kau ingin menyebut Mataram memberontak. Kau telah mempergunakan cara yang kasar ini untuk memaksa aku melawan salah seorang Adipati kepercayaan Pajang. Tetapi kau bagiku tidak berharga sama sekali. Meskipun bukan seorang Adipati, tetapi aku akan lebih menghormati Ki Untara didaerah Selatan ini, karena ia memang memegang kendali kekuasaan keprajuritan didaerah ini.” “Aku tidak peduli. Sekarang, lakukanlah perintahku.” “Kaulah yang harus melakukan perintahku. Aku Senapati Ing Ngalaga yang berkuasa di Mataram.” Hati dan jantung Adipati Partaningrat benar-benar telah membara. Karena itu, maka iapun telah menyingsingkan lengan bajunya dan menarik wiron kain panjangnya. Dengan suara yang bergetar ia berkata, “Jadi aku harus memaksamu.”

“Jangan bodoh. Kematianmu tidak akan mendapat penghormatan apa-apa disini,“ jawab Senapati Ing Ngalaga. Penghinaan itu benar-benar tidak dapat diterima oleh Adipati Partaningrat. Karena itu, maka iapun telah bersiap untuk memaksa Raden Sutawijaya turun dari kudanya. Sementara itu, para pengiringnya telah bersiap pula. Mereka tinggal menunggu perintah Adipati Partaningrat. Namun dalam pada itu, beberapa orang pengawal Raden Sutawijaya yeng berada di ara-ara itu untuk ikut bermain-main dengan kuda, telah mempersiapkan diri pula menghadapi segala kemungkinan. Pada saat yang tegang itulah, mereka yang berada di ara-ara itu terkejut. Mereka mendengar derap kaki kuda yang berpacu semakin dekat. Ketika mereka berpaling kearah suara derap kaki kuda itu, maka mereka menjadi berdebar-debar. Mereka melihat iring-iringan beberapa orang berkuda. Yang dipaling depan dari mereka itu adalah Pangeran Benawa. Raden Sutawijaya dan Adipati Partaningrat menjadi tegang. Mereka masing-masing menduga-duga, apakah yang akan dilakukan oleh Pangeran Benawa. Namun demikian Pangeran Benawa memasuki ara-ara, iapun langsung menuju ke tempat Raden Sutawijaya duduk tegang dipunggung kudanya. Beberapa langkah dari Raden Sutawijaya, Pangeran Benawapun berhenti, dan langsung meloncat turun. “Aku datang kakang Sutawijaya,“ berkata Pangeran Benawa lantang sambil tersenyum. Sejenak Raden Sutawijaya tercenung diatas punggung kudanya. Terasa sesuatu menggelegak didalam dadanya. Namun sejenak kemudian iapun segera meloncat turun pula. “Selamat datang adimas Pangeran,“ desis Raden Sutawijaya tanpa menghiraukan lagi Adipati Partaningrat yang menjadi berdebar-debar melihat sikap Pangeran Benawa. Namun karena Pangeran Benawa telah meloncat turun diikuti oleh beberapa orang pengiringnya, maka Adipati Partaningratpun turun pula dari punggung kudanya, betapa hatinya terasa bagaikan akan meledak. “Pangeran Benawa adalah orang yang aneh,“ geram Adipati itu didalam hatinya, “ia telah merendahkan dirinya dihadapan Senapati Ing Ngalaga. Jika saja ia tidak datang, maka bukan salahku jika aku membawanya terikat ke Pajang sebagai seorang pemberontak, atau membiarkannya melarikan diri dan mempersiapkan pasukannya dengan tergesa-gesa. sehingga alasan untuk menghancurkan

Mataram akan dapat segera dilakukan. Sementara itu, pasukan Pajang sendiri akan menjadi lemah dan kehilangan kekuatan untuk melawan kehendak beberapa orang pemimpin yang mempunyai cita-cita yang jauh lebih berharga dari apa yang dapat dicapai Pajang dalam keadaan yang parah sekarang ini. Sejenak Adipati Partaningrat melihat kedua orang itu bersalaman. Kemudian mereka bercakap-cakap dengan akrabnya seperti benar-benar dua orang kakak beradik yang sudah lama tidak bertemu. Tetapi agaknya Pangeran Benawa tidak bertanya sesuatu tentang Adipati Partaningrat. Bahkan ia kemudian berkata, “Tempat ini menyenangkan sekali kakang. Aku ingin bermalam di pasanggrahan kakang Sutawijaya malam nanti. Tentu itu lebih baik daripada kita kembali ke Mataram. Langit sudah menjadi buram dan kemerahmerahan sekarang.” Raden Sutawijaya mengangkat wajahnya. Dilihatnya bayangan senja mulai turun menyelubungi daerah Ganjur. “Senang sekali jika adimas menghendaki,“ berkata Raden Sutawijaya kemudian, “tetapi rumah yang ada di daerah ini adalah rumah padesan yang sederhana.” Pangeran Benawa tertawa. Katanya, “Apakah kira-kira aku tidak dapat tidur didalam rumah yang sederhana ?” Raden Sutawijayapun tertawa pula. Ia mengerti, siapakah Pangeran Benawa itu. Ia mengerti, bahwa Pangeran Benawa adalah seseorang yang terbiasa bertualang, tidur di rerumputan beratapkan langit berselimut embun. Karena itu, maka pertanyaan Pangeran Benawa itu membuatnya tertawa pula. Demikianlah, maka Raden Sutawijayapun kemudian mempersilahkan Pangeran Benawa dan para pengiringnya untuk pergi ke pasanggrahan. Betapapun hatinya terluka oleh sikap Adipati Partaningrat, namun iapun mempersilahkan Adipati itu pula untuk singgah. “Pesanggrahan yang menyenangkan,“ berkata Pangeran Benawa ketika mereka sudah berada di pasanggrahan, “aku sudah singgah dipasanggrahan ini. Namun seorang abdi mengatakan, bahwa kakang Sutawijaya berada di ara-ara, bermain-main dengan kuda.” “Ya. Aku merasa sangat lelah di Mataram, sehingga aku memerlukan waktu beberapa hari untuk beristirahat. Tepat pada saat aku pergi, adimas Pangeran datang berkunjung ke Mataram.” Pangeran Benawa tertawa. Katanya, “Aku tidak mempunyai kepentingan yang khusus. Aku memang sekedar menengok keselamatan kakang Sutawijaya sekeluarga,” berkata Pangeran Benawa kemudian. Pada saat Pangeran Benawa berbincang dengan Raden Sutawijaya sebagai dua orang bersaudara yang lama tidak bertemu, maka Adipati Partaningrat telah menggamit pengawalnya sambil berbisik, “Siapa yang memberitahukan bahwa aku menyusul Raden Sutawijaya?”

Pengawal menggeleng sambil menjawab, “Tidak ada Adipati. Tidak ada.” “Sst. Jangan kera-s-keras,“ desis adipati itu, “tetapi jika tidak ada yang memberitahukannja, kenapa ia tahu bahwa aku berada disini ?” “Pangeran Benawa mempunyai penggraita yang sangat tajam, sehingga menurut perhitungannya. Adipati berada disini. Dan sebenarnyalah Kangjeng Adipati berada disini.” “Gila,“ geramnya, “jika saja ia tidak segera datang, maka aku sudah mempunyai bukti bahwa Senapati Ing Ngalaga telah memberontak melawan kekuasaan Pajang.” Pengawalnya tidak menyahut. Tetapi sambil memandang Pangeran Benawa yang sedang asyik berbincang dengan Raden Sutawijaya ia berkata didalam hati, “Apakah ada tanda-tanda pemberontakan itu ? Keduanya sangat akrab. Nampaknya tidak mungkin ada selisih paham antara keduanya. Padahal Sultan Pajang, seolah-olah kini sudah tidak memerintah lagi karena keadaan kesehatannya.” Tetapi pengawal itu tidak berkata sesuatu tentang kedua orang saudara angkat itu. Yang dilihatnya, keduanya adalah dua orang saudara yang baik dan akrab. Yang memiliki kemampuan melampaui kebanyakan prajurit, sehingga keduanya adalah anak muda yang jarang ada tandingnya. “Jika keduanya berselisih, maka bumi akan berguncang. Gunung akan saling membentur dan danau-danau akan tumpah dan kering. Lautan bagaikan mendidih dan jurang-jurangpun akan merekah semakin lebar. Bintang-bintang dilangit akan berloncatan berbaur dengan badai dan prahara yang akan memutar balik langit dan mega-mega yang kelabu,“ desis pengawal itu didalam hatinya. ***

Buku 126 NAMUN agaknya kedua orang anak muda itu tidak akan berselisih. Nampaknya keduanya tidak salah paham dan tidak dibatasi oleh perasaan yang buram. Keduanya nampak berbicara dengan akrab dan ramah. Sekali-sekali terdengar keduanya tertawa. Adipati Partaningrat masih saja bersungut-sungut. Ia benar-benar kecewa karena kedatangan Pangeran Benawa. Meskipun ia sadar, bahwa ia berada di Mataram, berada diantara para pengawal Raden Sutawijaya. tetapi ia tidak gentar untuk bertindak atas anak muda itu. Sehingga dengan demikian, justru ia akan dapat membuktikan bahwa Raden Sutawijaya telah memberontak. Pangeran Benawa yang datang itu justru telah merendahkan dirinya. Ialah yang lebih dahulu meloncat dari punggung kudanya karena ia merasa sebagai seorang saudara muda. Apalagi kemudian Pangeran Benawa telah menyatakan keinginannya untuk bermalam dipasanggrahan yang sederhana itu. Tetapi Adipati Partaningrat tidak dapat membantah keputusan Pangeran Benawa. Iapun harus ikut bermalam di pasanggrahan itu bersama para pengiringnya, yang telah mendahului bersamanya, dan yang kemudian menyusul bersama Pangeran Benawa. Namun ternyata bahwa di pasanggrahan itu terdapat juga seperangkat gamelan. Meskipun Adipati Partaningrat masih juga ragu, namun ia sudah melihat satu kemungkinan untuk menunjukkan kepada Raden Sutawijaya bahwa Mataram sama sekali tidak berarti baginya. Ia akan dapat menunjukkan beberapa segi kemampuannya dengan tidak langsung dihadapan orang-orang Mataram. Meskipun demikian Adipati Partaningrat masih belum mengatakan sesuatu. Ia masih menunggu kesempatan yang sebaik-baiknya. Bahkan ia berkata didalam hatinya, “Jika tidak malam nanti, besok malampun masih ada kesempatan. Tetapi nampaknya akan lebih baik aku lakukan di Mataram, dihadapan para pemimpin dan sesepuh yang mengagumi Sutawijaya, seolah-olah ia tidak akan dapat dikalahkan karena memiliki kemampuan yang tidak terbatas.“ Tetapi seperangkat gamelan itu telah memberikan angan-angan yang menarik bagi Adipati Partaningrat. Malam itu, Adipati Partaningrat masih belum berbuat sesuatu. Baginya pesanggrahan itu terlalu sepi. Hanya beberapa orang pemimpin Mataram sajalah yang berada di pesanggrahan bersama Raden Sutawijaya, sehingga jika ia mempertunjukkan sesuatu, tidak akan banyak orang yang melihatnya. Yang dilakukan olah beberapa orang Mataram sendiri, mereka sekedar pemukul gamelan untuk mengisi kekosongan. Beberapa orsng memperdengarkan gending-gending dalam permainan yang sederhana.

Pada suatu kesempatan sambil duduk mendengarkan suara gending yang ngerangin, Adipati Partaningrat berkata kepada Pangeran Benawa, “Pangeran, orang-orang Mataram sudah menjamu kita dengan kecakapan mereka bermain gamelan, justru dipasangrahan kecil ini. Jika besok kita kembali ke Mataram, maka jamuan yang lebih lengkap akan dapat diperdengarkan. Dalam kesempatan itu apabila Pangeran tidak berkeberatan, biarlah kita menjamu juga orang-orang Mataram dengan tari. Dengan iringan ganelan yang ditabuh oleh para pradangga dari Mataram, kita akan mempertunjukkan ketrampilan kita menari. Wajah Pangeran Benawa menjadi merah. Ia mengerti maksud Adipati Partaningrat. Namun Pangeran Benawa tidak akan dapat mencegahnya. Keinginan itu sudah diucapkan dihadapan Raden Sutawijaya. Apalagi ketika Raden Sutawijaya sudah menyahut, “Menyenangkan sekali. Adimas Pangeran Benawa, aku akan senang sekali mempersilakan para tamu untuk menari dipendapa rumahku di Mataram. Para pemimpin dan sesepuh Mataram tentu akan senang menyaksikannya. Orang-orang Mataram sendiri tidak ada yang pandai menari. Mereka hanya sekedar dapat mengibaskan sampur, tetapi sama sekali tidak dalam irama yang mapan.” Adipati Partaningrat tersenyum. Katanya, “Terima kasih atas kesempatan itu. Menari bagiku adalah sebagian dari hidupku. Kerena itu, disetiap kesempatan aku akan menari. Jika aku mendengar suara gamelan, rasa-rasainya kaki dan tanganku sudah menjadi gatal.” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih. Hal yang jarang sekali terjadi. Mungkin tidak akan terulang dalam sepuluh atau lima belas tahun, bahwa para priyagung dari Pajang bersedia menari dipendapa rumahku yang sederhana di Mataram. Ketika malam menjadi semakin malam, dan para tamu dari Pajang itu sudah dipersilakan masuk ke dalam bilik masing-masing maka Pangeran Benawa telah memanggil Adipati Partaningrat. Dengan nada dalam ia bertanya, “Apakah maksudmu paman Adipati?” “Tidak apa-apa Pangeran,“ jawab Adipati Partaningrat, “aku sekedar ingin mengisi malam-malam yang kosong di Mataram selama kita berada disini.” “Aku ingin berpesan, berhati-hatilah dengan tingkah lakumu disisni,” desis Pangeran Benawa. “Ya, Pangeran. Aku akan selalu mengingatnya.” Namun dalam pada itu. Pangeran Benawa pun telah mendengar laporan meskipun belum lengkap, tentang sikap Adipati Partaningrat langsung dari Raden Sutawijaya sendiri. “Aku sudah menduga,“ berkata Pangeran Benawa didalam hati. Karena itu, ketika Adipati Partaningrat menyatakan diri untuk menari di pendapa, hatinya menjadi berdebar-debar. Malam itu, para tamu dapat tidur nyenyak dipesanggrahan didaerah Ganjur. Meskipun mula-mula mereka merasa bahwa bilik yang disediakan bagi mereka, terutama Adipati Partaningrat, tertalu sederhana, namun mereka akhirnya tertidur pula sampai fajar menyingsing.

“Bersiaplah sebaik-baiknya berkata Adipati Partaningrat kepada pengiringnya yang paling dipercaya. “Aku sudah siap Kangjeng Adipati.” “Kau adalah seorang yang tidak ada duanya selama aku sendiri. Kau dan aku harus dapat memaksa Raden Sutawijaya berpikir, bahwa ia tidak akan dapat menyombongkan dirinya dihadapanku. Dan kemampuan yang tersimpan di Mataram ini hanyalah sebesar hitamnya kuku bagi kekuatan baru yang sudah siap tampil di cakrawala.” Pengiringnya tidak menyahut. Namun iapun menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa Raden Sutawijaya adalah seorang yang pilih tanding. Seorang, anak muda yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. “Tetapi ia akan menyadari, bahwa dunia ini terlalu luas untuk dapat dihitung berapa jenis ilmu yang pernah dikenalnya. Ia akan menjadi heran dan kagum, bahwa sesuatu telah terjadi dihadapannya.“ berkata pengiring Adipati yang setia itu didalam hatinya. Ketika matahari kemudian naik, maka Raden Sutawijaya telah membawa tamunya kembali ke Mataram. Adipati Partaningrat merasa dirinya direndahkan, karena ia harus berkuda dibelakang Raden Sutawijaya yang berada dipaling depan bersama Pangeran Benawa. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa, justru karena ada Raden Benawa. Diperjalanan mereka tidak mendapat hambatan apapun. Bahkan beberapa orang yang mengetahui, bahwa yang lewat adalah Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa, maka merekapun telah berdiri berjajar disepanjang jalan. Demikianlah, dengan selamat mereka sampai ke Mataram. Ki Juru Martani telah menyambut mereka di bawah tangga pendapa dan mempersilahkan mereka naik, setelah semua membasahi kaki mereka di jambangan dibawah sebatang pohon kemuning disudut halaman. Disiang hari itu, para tamu dari Pajang telah beristirahat di Mataram. Namun mereka tidak terlalu lama duduk dipendapa dan di bilik yang telah disediakan bagi mereka. Dalam pada itu, Pangeran Benawa telah minta kepada Raden Sutawijaya untuk mengantarkannya mengelilingi kota Mataram. Raden Sutawijaya segera mengetahui maksud Pangeran Benawa. Ia pun menunjukkan kepada para pengiringnya, bahwa di Mataram tidak ada persiapan dalam bentuk apapun untuk memperkuat kedudukannya dan apalagi untuk memberontak melawan Pajang. Karena itu. maka dengan senang hati Raden Sutawijayapun memenuhi permintaan Pangeran Benawa, membawanya beserta para pengiringnya termasuk Adipati Partaningrat untuk berkeliling, melihat-lihat keadaan kota Mataram yang telah berkembang semakin ramai. Seperti yang diharapkan oleh Pangeran Benawa, maka para tamu dari Pajang itu tidak melihat

kegiatan yang mencurigakan. Dengan sengaja Pangeran Benawa mengajak Raden Sutawijaya untuk melihat-lihat barak para pengawalnya. Ternyata bahwa barak itu nampaknya tidak lebih dari sebuah penginapan bagi beberapa orang anak muda. Meskipun jumlahnya cukup banyak, tetapi jumlah itu hanya sekedar mencukupi untuk menjaga ketenangan kota Mataram saja, dan sama sekali tidak mencerniinkan satu persiapan perang atau pengerahan kekuatan. Menjelang sore hari Pangeran Benawa berkata kepada Adipati Partaningrat sambil berbisik, “Kita tidak melihat sesuatu yang dapat dan patut dicurigai.” Adipati Partaningrat mengangguk-angguk. Namun ia masih berdesis, “Apakah kita sudah melihat semuanya ? Mungkin Raden Sutawijaya sengaja tidak membawa kita ketempat-tempat yang dirahasiakan.” Pangeran Benawa mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Biarlah nanti kau perintahkan satu dua orang-orangmu untuk mengelilingi kota tanpa orang Mataram.” Adipati Partaningrat mengangguk. Jawabnya, “Baiklah Pangeran. Barangkali dengan cara demikian, hasilnya akan lebih baik dan menyeluruh. Orang kita akan dapat melihat kesibukan di pinggir kota atau tempat-tempat tertentu yang tidak mudah diketahui tanpa memperhatikannya dengan saksama.” Karena itu, maka ketika Pangeran Kenawa dan Raden Sutawijaya telah kembali, bersama para pengiringnya, maka Adipati Partaningratpun telah memerintahkan dua orang untuk pada saat matahari terbenam untuk melihat-lihat keadaan Mataram tanpa orang Mataram mengikuti mereka. Sementara itu, maka Adipati Partaningrat pada suatu kesempatan telah berkata kepada Pangeran Benawa dihadapan Raden Sutawijaya, “Pangeran. Di Pasanggrahan Ganjur kita sudah dijamu dengan ngeranginnya suara gamelan. Di Mataram, bukan saja suara gamelan, tetapi Raden Sutawijaya tentu akan menjamu kita lebih meriah, sementara seperti yang sudah aku katakan kemarin, selagi kita berada dipesanggrahan, maka kita akan mengiringi bunyi gamelan itu dengan tari. Meskipun aku bukan penari yang baik, tetapi aku sanggup untuk menjadi salah seorang dari para penari itu.” “Bagus sekali,” sahut Raden Sutawijaya, “aku kemarin juga sudah menyatakan, bahwa hal itu akan sangat menyenangkan bagi orang-orang Mataram yang jarang sekali menyaksikan tari yang baik.” Karena itulah, maka Raden Sutawijayapun segera mempersiapkan pendapa rumahnya dan menyediakan seperangkat gamelan. Iapun telah memerintahkan mengumpulkan para pradangga terbaik untuk mengiringi orang-orang Pajang yang akan menari dipendapa. Dengan demikian, ketika malam tiba, pendapa rumah Raden Sutawijaya itupun telah menjadi ramai. Halaman yang luas itu diterangi dengan obor disegala sudutnya. Orang-orang disekitarnya, yang melibat persiapan dipendapa itupun telah berkerumun untuk menyaksikan keramaian yang tiba-tiba saja telah diselenggarakan. Tetapi karena keramaian itu diselenggarakan tanpa direncanakan, maka tidak banyak orang Mataram

yang mengetahui. Jarak jangkau bunyi gamelan akan mengundang dan yang berkesempatan dapat datang melihatnya. Tetapi tidak demikian bagi mereka yang tinggal agak jauh. Mereka tidak mengerti, bahwa di pendapa itu telah diselenggarakan keramaian yang jarang sekali terjadi. Sementara dua orang pengiring Adipati Partaningrat mengelilingi Mataram, maka Adipati Partaningrat sendiri dengan pengiringnya yang paling dipercaya telah mempersiapkan sejenis tarian yang akan dapat membuat orang-orang Mataram menjadi heran. Ketika segala persiapan telah selesai, maka keramaianpun segera dimulai. Dipendapa duduk Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya, Ki Juru Martani dan para tetua dan pemimpin Mataram yang lain. Mulamula hanya suara gamelan sajalah yang terdengar, sementara para tamu dari Pajang sedang mengenakan pakaian tari mereka, meskipun pakaian tari yang ada di Mataram nampaknya kurang memuaskan bagi mereka. Untuk membuka pertunjukkan itu, maka orang-orang Mataramlah yang mulai dengan tarian yang sederhana. Sesuai dengan kemampuan orang-orang Mataram. Seorang gadis menari dengan lemah lembut dan penuh dengan gerak-gerak yang indah mempesona. Disusul dengan tari perang yang gagah dan cepat, yang dilakukan oleh dua orang anak muda. Sementara itu, para tamu dari Pajang yang tidak sedang bersiap-siap untuk menari, menyaksikan dengan hati setengah, kecuali Pangeran Benawa. Raden Sutawijaya melihat, bahwa tarian itu tidak menarik bagi orang-orang Pajang, karena di Pajang, terlalu sering diselenggarakan pertunjukkan yang jauh lebih baik Namun dalam pada itu, orang-orang Mataram yang berada dihalaman, menjadi gembira berkesempatan melihat pertunjukkan itu. Semakin malam, maka halaman rumah yang luas itupun menjadi semakin banyak dikunjungi orang, sementara tari-tarian yang diselenggarakan dipendapa itupun menjadi semakin menarik. Akhirnya, ketika orang-orang Pajang telah selesai dengan berpakaian dan merias diri, maka mulailah diantara mereka menari. Mula-mula dua orang penari menarikan tari topeng. Mereka menceriterakan perang antara Panji dengan Prabu Kelana yang ingin merampas isterinya. Tari-tarian itu ternyata sangat menarik perhatian. Orangorang Mataram bertepuk tangan tanpa hentihentinya. Mereka jarang sekali melihat penari yang terampil dan mengagumkan. Bukan saja gerak yang mapan dan lincah, namun perang itu ternyata telah sangat menarik perhatian. Keduanya seolah-olah tidak sedang menari dipendapa. Keduanya seolah-olah benar-benar sedang berperang tanding. Namun setiap gerak mereka masih dibatasi oleh irama gamelan yang bagaikan memenuhi seluruh kota Mataram. Dalam pada itu, kedua orang Pajang yang sedang mengelilingi Mataram ternyata tidak menjumpai suatu yang menarik. Mereka tidak melihat barak-barak prajurit yang sudah bersiap untuk bertempur.

Mereka tidak melihat latihan-latihan yang berlebih-lebihan dilakukan di Mataram. Mereka tidak melihat lumbung-lumbung yang disiapkan untuk mendukung suatu peperangan besar yang akan berlangsung lama. “Kami tidak melihat tanda-tanda itu,” berkata salah seorang dari keduanya. “Berita yang sampai di Pajang itu ternyata keliru. Mereka mengira bahwa Raden Sutawijaya sekarang sudah benarbenar bersiap untuk bertempur. Mereka mengira, bahwa setiap sudut kota terdapat barak-barak yang penuh dengan prajurit yang siap untuk berangkat kemedan. Mereka mengira bahwa anak-anak muda dan para petanipun telah mempersiapkan diri. Apabila terdengar tengara, mereka akan datang berduyun-duyun kebanjar padukuhan dengan senjata ditangan, bersama-sama dengan para prajurit maju kemedan perang. Ternyata yang kita lihat adalah sebaliknya. Raden Sutawijaya masih sempat beristirahat di Ganjur untuk bermain-main dengan kuda-kudanya seperti yang sering dilakukannya sejak menjelang dewasa.“ sahut yang lain. Kawannya mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Marilah. Kita kembali ke rumah Senapati Ing Ngalaga.” Keduanyapun kemudian berpacu kembali kerumah yang sedang menjadi ajang keramaian itu. Ketika mereka mendengar suara gamelan, maka salah seorang dari mereka bergumam “ Apalagi yang akan dilakukan oleh Adipati Partaningrat ?” Kawannya tidak menjawab. Tetapi keduanya seakan-akan berpacu lebih cepat. Demikianlah, mereka masih sempat menyaksikan akhir dari tari topeng yang mengagumkan itu. Mereka masih melihat kedua orang kawannya dengan mengenakan topeng menari dipendapa. Namun sebenarnyalah bahwa mereka tidak sekedar menari, karena mereka benar-benar telah bertempur. Mereka benar-benar memukul lawan dan mereka benar-benar menghantam lambung dengan kaki mereka. Sorak sorai para penonton bagaikan menggugurkan bintang-bintang dilangit. Mereka menjadi heran, karena kedua penari itu seolah-olah tidak merasakan sesuatu jika lawannya benar-benar menghantamnya. Pukulan-pukulan yang menghentak dada, lambung dan bahkan kening, sama sekali tidak mempengaruhi irama tari mereka. Sambil menari, mereka ternyata telah memamerkan daya tahan tubuh mereka yang luar biasa. Sebagai seorang prajurit, baik dalam kehidupan mereka sehari-hari, maupun dalam ceritera topeng itu, mereka benar-benar telah menunjukkan kelebihan yang mengagumkan. Ketika keduanya selesai dan meninggalklan pendapa masuk ke bilik rias, gemuruhlah seisi halaman rumah Raden Sutawijaya yang luas itu. Tepuk tangan dan sorak memuji terdengar sahut menyahut seperti gemuruhnya gelombang dipantai Selatan.

Sejenak kemudian, maka disusul dengan tari perang yang nampaknya lebih dahsyat lagi. Kedua penari yang trampil ternyata telah memetik adegan dalam perang Baratayuda Perang antara Bima melawan Duryudana. Dua orang saudara sepupu yang terlibat kedalam perang saudara yang dahsyat. Sedangkan keduanya adalah dua orang yang pilih tanding. Dalam tari itu, ternyata keduanya telah membawa bindi kayu yang biasa dipergunakan dalam tari yang serupa. Pangeran Benawa yang melihat salah seorang dari kedua penari itu adalah Adipati Partaningrat, menjadi berdebar-debar. Jika pada tarian yang pertama, dua orang penari topeng itu telah memperlihatkan kemampuan mereka bertempur tanpa senjata, maka yang dilakukan oleh Adipati Partaningrat tentu akan lebih gila lagi. Untuk beberapa saat, keduanya menari seperti seharusnya dilakukan oleh penari yang lain. Mereka menunjukkan kemampuan mereka memperagakan gerak dalam irama yang lengkap. Bahkan keduanya telah mempesona dengan tarian mereka yang utuh dan lengkap. Namun, ketika adegan perang mulai mereka lakukan, maka tarian itu seakan-akan telah berubah. Meskipun mereka masih bergerak dalam irama gamelan, namun mereka mulai melakukan permainan yang mendebarkan jantung. Ternyata bahwa kedua penari itu benar-benar telah bertempur dengan mempergunakan bindi kayu. Mereka benar-benar memukul dan menghentak lawannya dengan bindi. Tetapi lawannya benar-benar cekatan dan cepat. Pukulan-pukulan mereka jarang sekali mengenai lawannya. Namun bindi itu benar-benar mengena, para penari itu seolah-olah tidak merasakannya. Demikianlah, tari itu telah mencengkam seluruh penontonnya. Mereka berdiri dengan tegang. Seakanakan darah mereka telah berhenti mengalir. Jika mereka melihat salah seorang diantara mereka terkena bindi kayu pada bagian tubuhnya, maka para penontonlah yang nnenyeringai kesakitan, sementara kedua penari itu sama sekali tidak terlepas dari irama gerak tari mereka. Sementara itu. Pangeran Benawa menyaksikan pertunjukkan itu dengan tegang. Ia segera mengerti maksud Adipati Partaningrat. Ia ingin menunjukkan kepada Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga, bahwa Adipati Partaningrat dan pengiringnya yang terpercaya itu adalah orang yang pilih tanding. Dengan dada yang berdebar-debar Pangeran Benawa mengikuti tarian yang mendebarkan itu. Kadangkadang keningnya nampak berkerut merut. Namun kadang-kadang terdengar ia berdesis. “Sudah melampaui batas,“ berkata Pangeran Benawa didalam hatinya, “itu adalah sikap yang sangat deksura.” Tetapi Pangeran Benawa menjadi heran ketika ia berpaling kearah Raden Sutawijaya. Senapati Ing Ngalaga itu sama

sekali tidak menunjukkan sikap yang buram. Bahkan dengan wajah cerah ia kadang-kadang bertepuk tangan. Seolah-olah Raden Sutawijaya itu telah terpesona dan keheranan melihat apa yang telah terjadi di pendapa. “Apapula yang akan dilakukan oleh kakangmas Sutawijaya,“ desis Pangeran Benawa didalam hatinya. Pangeran Benawa tahu pasti, siapakah orang yang mendapat gelar Senapati Ing Ngalaga. Iapun dapat menjajagi, sampai betapa tinggi kemampuan yang dimilikinya. Karena itu, sikap Raden Sutawijaya yang nampak heran dan kagum itu justru meragukannya. Tari perang itu masih berlangsung. Keduanya saling memukul. Saling menangkis. Seperti seharusnya terjadi dalam tari perang, maka kadang-kadang salah seorang dari mereka berpura-pura terdesak dan berlutut membelakangi lawannya. Pada saat yang demikian lawannya berdiri tegak dibelakangnya. Namun yang tidak biasa dilakukan, justru pada saat yang demikian itu, lawannya yang menurut adegan ceritera dalam keadaan menang itu telah memukuli punggung lawannya dengan bindinya. Namun, ketika saatnya yang terduduk pada lututnya itu harus bangkit, iapun bangkit dan melanjutkan tari perang yang semakin lama menjadi semakin mengerikan. Dalam pada itu, beberapa orang pemimpin dari Matarampun ternyata tanggap ing sasmita. Mereka mengerti maksud Adipati Partaningrat, bahwa yang dilakukan itu adalah suatu permainan untuk menyatakan diri sebagai seorang Adipati yang pilih tanding. Yang kebal dan tidak terluka segorespun meskipun tubuhnya dihantam dengan bindi kayu yang cukup besar. “Luar biasa,“ desis Ki Lurah Branjangan ditelinga Demang Jodog yang sedang berada di Mataram dan berkesempatan melihat tari yang sedahsyat itu. “Memang luar biasa,” jawab Ki Demang Jodog, “tetapi apakah kira-kira bindi itu dapat mematahkan tulangku.” “Jangan kibir Ki Demang. Jika anak-anak yang baru dapat berjalan yang menghantam tulang belulangmu, tentu tulang-tulangmu tidak akan patah. Tetapi jika Adipati Partaningrat yang memukulmu, maka ia tidak perlu mengulang sampai dua kali.” “Aku adalah murid seorang bekas benggol kecu yang menyadari kesalahannya. Ia adalah orang dugdeng yang tidak ada duanya di sekitar Congot.” Ki Lurah Branjangan tersenyum. Katanya, “Kau memang bodoh Ki Demang. Yang kau dapatkan adalah sekedar kelebihan jasmaniah. Tetapi Adipati Partaningrat telah mempergunakan tenaga cadangan didalam tubuhnya untuk memukul dan menahan pukulan. Kekuatan itu berlipat dari kekuatan wajarmu. Mungkin kau tidak akan lecet kulitmu dipukul dengan sepotong besi sekalipun oleh tetanggatetanggamu. Tetapi jangan berbicara tentang seseorang yang memiliki tenaga cadangan.” Ki Demang terdiam. Tetapi wajahnya menjadi bertambah tegang.

Dalam pada itu, kedua orang penari itu menjadi semakin gairah. Mereka merasa bahwa orang-orang Mataram telah mengaguminya. Hampir tidak ada seorangpun yang mengerti, bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi. “Mungkin Raden Sutawijaya dapat mengerti. Tetapi ia tidak akan pernah memikirkan, bahwa inilah ukuran Senapati Pajang yang ada sekarang dan yang diluar pengetahuannya dan pengetahuan Sultan Pajang sendiri, sadang mempersiapkan kekuatan yang akan bangkit diatas reruntuhan yang direncanakan. Reruntuhan Pajang dan Mataram yang akan berbenturan sesamanya.“ berkata Partaningrat didalam hatinya. “Sementara itu, iapun berusaha untuk benar-benar dapat menjatuhkan gairah perjuangan Raden Sutawijaya dengan menunjukkan kemampuan yang hampir tidak dapat dinilai dengan nalar itu. Bagi Pangeran Benawa, apa yang dilakukan oleh Partaningrat itu bukannya sesuatu yang perlu dikagumi. Baginya tidak ada yang aneh dari perbuatan kedua penari itu. Bahkan jika ia mau, maka ia akan dapat berbuat sesuatu yang akan dapat menghancurkan kebanggaan keduanya. Tetapi Pangeran Benawa tidak dapat berbuat demikian, justru karena kedua orang itu adalah pengiringnya. Yang diharapkannya adalah bahwa Raden Sutawijaya akan berbuat sesuatu yang dapat menghentikan kesombongan itu. Jika sekiranya Raden Sutawijaya bangkit dari tempat duduknya dan ikut serta menari sebagai apapun juga, maka orang-orang Pajang yang sombong itu tentu akan menyadari, siapakah Raden Sutawijaya itu. Tetapi temyata Raden Sutawijaya lebih senang duduk dipringgitan, disebelah Pangeran Benawa sambil mengagumi kedua orang penari itu. “Kakang Sutawijaya memang orang aneh,“ desis Pangeran Benawa didalam hatinya. Sehingga akhirnya. Pangeran Benawalah yang tidak dapat menahan diri sehingga ia berbisik ditelinga Raden Sutawijaya, “Apakah kakangmas tidak akan menari ?” Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil tersenyum ia menggeleng, “Tidak adimas, aku tidak dapat menari.” “Jika sekiranya kakangmas tidak dapat menari, aku tidak akan bertanya demikian, karena aku kenal kakangmas dengan baik.”

Tetapi Raden Sutawijaya justru tertawa. Sekilas dipandanginya wajah Pangeran Benawa yang tegang. Katanya, “Aku bukan seorang penari yang baik adimas. Dan bukankah kali ini sengaja aku memberi kesempatan kepada tamu-tamuku untuk lelangen dipendapa Mataram. Tentu kurang menarik jika tibatiba saja aku berdiri dan menari. Apalagi dilihat oleh orang-orang Mataram sendiri.” “Aku tahu kakangmas. Tetapi menghadapi keadaan ini, seseorang harus berbuat sesuatu.” Raden Sutawijaya masih tertawa. Katanya, “Biarkan saja adimas. Bukankah dengan demikian aku sudah memberi kesempatan kepadanya untuk mendapatkan kepuasan karena kekaguman para penonton ?” Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berdesis, “Tetapi bukankah dengan demikian akan dapat berarti memperkecil arti diri sendiri ?” Tetapi Raden Sutawijaya masih saja tertawa. Bahkan kemudian ia berdesis, “Memang luar biasa. He, kau lihat, mereka sama sekali tidak lecet meskipun mereka benar-benar saling memukul dengan bindi kayu.” “Apakah kakangmas heran ?“ bertanya Pangeran Benawa. “Ya. Aku heran sekali,“ desis Sutawijaya. “Aku justru heran, karena kakangmas menjadi heran melihat permainan anak-anak itu.” Raden Sutawijaya justru tertawa berkepanjangan. Namun ia berusaha untuk menahan diri agar tertawanya tidak mengganggu pertunjukkan yang sedang berlangsung itu. Demikianlah perang yang terjadi dipendapa itupun menjadi semakin dahsyat. Keduanya saling memukul dan menangkis. Demikian dahsyatnya sehingga dalam benturan-benturan senjata yang terjadi, maka bindi Adipati Partaningrat itupun tiba-tiba telah pecah dan patah. Namun dalam pada itu, lawannya masih menyerangnya dan menghantamnya dengan bindinya. Tetapi Adipati Partaningrat tidak menghindar. Ditangkisnya bindi itu dengan lengannya. Dan pecahlah bindi kayu lawannya bersamaan dengan meledaknya sorak para penonton. Raden Sutawijaya yang duduk dipendapapun ikut pula bertepuk tangan, sehingga Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, “Kau orang yang paling aneh yang pernah aku lihat.” Raden Sutawijaya berpaling. Kemudian desisnya, “Siapakah yang lebih aneh diantara kita ?”

Pangeran Benawa mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tertawa sambil menjawab, “Bukan hanya kita sajalah orang-orang aneh di Pajang dan Mataram.” Keduanyapun tertawa semakin keras. Tetapi bersamaan dengan tepuk tangan para penonton dan suara gamelan yang keras, maka suara tertawa mereka seakan-akan hilang tertelan oleh keriuhan itu. Dalam pada itu, agaknya yang tidak lajim telah terjadi dalam perang antara Bima dan Duryudana itu. Setelah senjata bindi mereka pecah, maka tiba-tiba saja mereka telah menarik keris masing-masing. Justru keris yang terbuat dari kulit. Beberapa kali keduanya dengan sengaja menunjukkan, bahwa keris itu bukan keris yang sebenarnya. Kedua keris ditangan kedua penari itu adalah sekedar keris dari kulit dan dapat dilipat. Para penonton menjadi bertanya-tanya didalam hati. Baru saja mereka mempergunakan bindi kayu yang berat dan keras. Sekarang mereka akan mempergunakan keris yang terbuat dari kulit. Sudah barang tentu bahwa bindi kayu itu akan jauh lebih menarik daripada perang tanding memakai keris dari kulit. Meskipun demikian para penonton masih terpancang ditempatnya. Mereka masih juga ingin melihat, apa yang akan terjadi. Kedua orang itu benar-benar penari yang sangat baik. Dengan keris dari kulit mereka masih tetap mempesona, meskipun agak kurang lajim bahwa perang antara Bima dan Duryudana mempergunakan senjata semacam itu. Namun tiba-tiba para penonton menjadi heran. Mereka kemudian melihat kedua penari itu bertempur seolah-olah bersungguh sungguh. Keris kulit itu ditangan mereka seolah-olah telah berubah menjadi sebatang pedang pendek yang terbuat dari besi baja pilihan. Benturan antara kedua ujung keris itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa kedua keris itu terbuat dari kulit, seperti saat-saat mereka mulai dengan mempergunakan keris kulit itu. Yang mendebarkan adalah pada saat-saat salah seorang dari keduanya terdesak menepi. Ketika keris itu menyambar, maka lawannyapun mencoba menghindar. Karena keris itu tidak mengenai sasarannya, maka keris itu telah menyentuh sudut tiang. Setiap orang menahan nafas sejenak ketika mereka melihat, bahwa keris dari kulit itu ternyata telah berhasil menyobek sudut tiang yang terbuat dari kayu jati. Tiang itu robek seolah-olah telah dihentak dengan sebuah kapak yang besar dan tajam. Sejenak kemudian, meledaklah sorak para penonton. Bahkan beberapa orang yang duduk dipendapa itupun terheran-heran karenanya. Pangeran Benawa tergetar hatinya melihat permainan itu.

Ia sama sekali tidak menjadi heran melihat apa yang dilakukan oleh Adipati Partaningrat. Namun ia menjadi berdebar-debar, bahwa yang dilakukan oleh Adipati Partaningrat itu benar-benar telah berlebih-lebihan. Apabila Raden Sutawijaya benar-benar telah merasa tersinggung, maka sudah tentu ia tidak akan hanya tersenyum dan bahkan tertawa saja. Dalam pada itu. Raden Sutawijaya memang telah mengerutkan keningnya. Namun ia masih juga berkata, “Luar biasa. Itu adalah satu keanehan. Lebih aneh daripada pecahnya bindi kayu itu.” “Apakah hal itu aneh juga bagi kakangmas?“ bertanya Pangeran Benawa. “Ya, aneh.” Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba berharap bahwa Raden Sutawijaya tidak tersinggung karenanya, justru yang dilakukan oleh Adipati Partaningrat sudah berlebih-lebihan. Namun dalam pada itu, yang sama sekali tidak diharapkan telah terjadi. Dalam wuru karena kekaguman para penonton, Adipati Partaningrat benar-benar telah lupa diri, sehingga dalam satu adegan yang tegang ia telah menusuk lawannya. Demikian lawannya mengelak, maka ujung keris kulitnya itu telah menancap pada tiang. Bukan sembarang tiang, tetapi saka guru pendapa itu. Gemparlah seluruh penonton di halaman itu. Mereka tahu pasti bahwa keris ditangan Adipati Partaningrat itu adalah keris yang terbuat dari kulit. Dan kini mereka melihat kulit itu menancap pada saka guru pendapa yang luas itu. Namun dalam pada itu, jantung Pangeran Benawa bergetar dahsyat. Diluar sadarnya ia berpaling kepada Raden Sutawijaya. Darahnya serasa berhenti mengalir ketika ia melihat wajah Raden Sutawijaya itu menjadi merah membara. Betapapun juga. Raden Sutawijaya kini benar-benar telah tersinggung. Adipati Partaningrat telah menyentuh saka guru pendapanya. Bahkan dengan memamerkan kelebihannya, menancapkan keris yang terbuat dari kulit itu pada tiang yang terbuat dari kayu jati yang terukir memet, diwarnai dengan sungging yang halus. Pangeran Benawa tahu pasti, bahwa Raden Sutawijaya yang sejak semula telah berusaha menahan diri itu, tidak lagi dapat bersabar. Yang dilakukan oleh Adipati Partaningrat memang sudah berlebihlebihan. Ketika Adipati Partaningrat merusak saka rawa pendapa itu. Raden Sutawijaya masih dapat bersabar. Tetapi setelah saka gurunya dilukai, maka darahnyapun telah mendidih karenanya. Dalam pada itu, seakan-akan diluar sadar, tiba-tiba saja Pangeran Benawa berdesis, “Kakangmas, aku mohon ampun. Akulah yang membawanya kemari. Biarlah aku yang mengajarinya untuk sedikit mengenal unggahungguh. Yang dilakukan adalah sikap deksura dan tidak tahu diri.” Tetapi Raden Sutawijaya sudah menyilangkan tangannya.

Meskipun ia tidak bergerak pada tempat duduknya, namun ternyata ia telah memusatkan kemampuannya dalam kemarahan yang tidak terkendali. Pangeran Benawa tergetar. Didalam hati ia berdesis, “Terlambat. Kakangmas benar-benar telah marah.” Namun sikap Raden Sutawijaya sama sekali tidak menarik perhatian orang lain. Setiap orang masih terpancang perhatiannya pada keris yang menancap pada saka guru pendapa itu. Apalagi dengan sengaja Adipati Partaningrat tidak mencabutnya. Ia memberi kesempatan kepada setiap orang untuk dapat menyaksikannya, bahwa hampir separo dari panjang keris itu telah tenggelam. Sementara itu, maka ketika hati Adipati Partaningrat sudah menjadi puas akan kekaguman para penonton, maka iapun melanjutkan tari yang dilakukan. Ia sudah selesai dengan puncak pameran ilmunya. Karena itu, maka iapun sudah siap untuk masuk keruang rias. Tetapi, ketika ia ingin mencabut keris yang menancap itu, telah terjadi sesuatu diluar dugaannya. Ternyata bahwa keris itu seolah-olah telah melekat menjadi satu dengan tiang kayu itu. Betapapun juga Adipati Partaningrat berusaha untuk mencabut keris itu, ternyata ia tidak berhasil. Bahkan ketika ia berusaha untuk menyobek kulit yang telah dipergunakan untuk menunjukkan kemampuan ilmunya itu. ia sama sekali juga tidak berhasil. Keringat dingin telah mengalir dipunggungnya. Ia memang sudah berkeringat karena menari sambil mengerahkan ilmunya. Tetapi yang mengalir kemudian, membuat tubuhnya menjadi dingin dan gemetar. “Gila. Kenapa keris ini telah melekat,“ katanya didalam hati sambil menghentakkan segenap kekuatannya. Tetapi keris itu tidak terlepas dan tidak patah meskipun hanya terbuat daru kulit. Tiba-tiba tarian itu telah terganggu. Gamelan yang masih berbunyi dalam irama yang keras itu, menjadi tersendat-sendat. Tarian itu benar-benar terganggu ketika tiba-tiba Raden Sutawijaya berdiri dari tempat duduknya dan maju ketengah-tengah pendapa mendekati Adipati Partaningrat yang sedang sibuk berusaha melepaskan keris itu dari saka guru. Sementara Pangeran Benawa yang cemas dengan dada yang berdebar-debar mengikutinya dibelakang. “Bagaimana paman Adipati ?“ bertanya Raden Sutawijaya, “apakah memang belum saatnya keris itu dicabut dari saka guru ? Paman telah berbuat sesuatu yang sangat mengagumkan. Seluruh rakyat Mataram, para pemimpin dan para Senapati telah menjadi kagum akan kemampuan paman. Paman telah menari dan bertempur benar-benar dengan mempergunakan bindi, sehingga bindi itu hancur berkeping-keping. Kemudian paman telah mempergunakan keris yang terbuat dari kulit. Namun yang ditangan paman Adipati mempunyai ketajaman melampaui tajamnya kapak. Bahkan terakhir

paman telah berhasil menghunjamkam keris itu pada saka guru pendapa rumahku ini. Namun sudah barang tentu aku mohon, agar keris itu dicabut. Dengan demikian, maka bentuk saka guru itu tidak akan menjadi rusak.” Wajah Adipati Partaningrat menjadi tegang. Namun ia benar-benar tidak mampu menarik keris itu dari saka guru pendapa rumah Raden Sutawijaya itu. “Silahkan paman,“ sekali lagi Raden Sutawijaya mempersilahkan. Wajah Adipati Partaningrat menjadi semakin tegang. Bahkan kemudian seolah-olah telah menjadi merah membara oleh gejolak didalam dadanya. Pangeran Benawa yang berdiri dibelakang Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti apa yang telah dilakukan oleh Raden Sutawijaya. Ternyata betapa kemarahan membakar jantung, namun yang dilakukan oleh Raden Sutawijaya masih tetap terbatas tanpa membuat kekisruhan di halaman rumahnya. Adipati Partaningrat menjadi sangat gelisah karenanya. Tubuhnya bergetar ketika ia mendengar Raden Sutawijaya bertanya, “Apakah paman tidak dapat menarik keris itu ?” Adipati Partaningrat tidak menjawab. Sementara itu, para pemukul gamelanpun menjadi bingung, sehingga akhirnya suara gamelanpun telah berhenti dengan sendirinya. Raden Sutawijaya tersenyum melihat sikap Adipati Partaningrat. Bahkan kemudian katanya, “Paman Adipati telah berhasil mempesonai orang-orang Mataram. Tetapi ternyata paman Adipati tidak dapat menyelesaikan pertunjukan paman yang sangat berkesan itu, justru pada bagian kecil diakhir pertunjukan. Jika paman menarik keris itu, kemudian sambil menari membawanya masuk keruang rias, maka pertunjukan ini menjadi sempurna, dan semua orang akan sangat kagum kepada paman Adipati. Namun temyata bahwa paman sendiri telah menodai pertunjukan yang sangat luar biasa ini.” Wajah Adipati Partaningrat sebentar menjadi merah. Namun sebentar kemudian menjadi putih pucat. Sekali dipandanginya keris kulit yang menancap itu, kemudian dipandanginya wajah Raden Sutawijaya yang tersenyum. Dalam pada itu, maka mulailah Adipati Partaningrat menyadari, dengan siapa ia berhadapan. Ia mulai mengerti, kenapa keris itu tidak dapat ditariknya dari saka guru pendapa Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga. Sejenak ia merenungi keris yang terbuat dari kulit itu. Dengan kemampuannya ia telah berhasil mempesona orangorang Mataram. Ia menjadikan keris yang terbuat dari kulit itu lebih tajam dan lebih kuat dari baja

dengan kekuatan cadangan didalam dirinya. Namun ternyata bahwa keris yang terhunjam itu tidak dapat ditariknya. Seandainya yang tertancap itu besi baja sewajarnya, maka dengan kekuatan tenaga cadangannya ia tentu akan dapat menariknya atau bahkan mematahkannya. Namun justru karena keris itu terbuat dari kulit, sementara sebuah kekuatan telah mencengkamnya, maka ia sama sekali tidak berhasil menariknya atau mematahkannya. Dalam kebingungan itu. Senapati Ing Ngalaga melangkah maju. Dengan nada penuh penyesalan ia berkata, “Paman. Jika keris itu tidak dapat paman cabut dari tiang pendapa itu, lalu apakah keris itu akan tetap terpancang disitu ? Nampaknya saka guru pendapa ini tentu akan aneh bagi para tamu yang datang kemudian, yang tidak mengetahui apa yang telah terjadi malam ini.” Adipati Partaningrat tidak segera menjawab. Tetapi wajahnya telah benar-benar menjadi pucat. “Cabutlah,“ desis Pangeran Benawa, “paman harus tahu bahwa keris itu telah mengotori saka guru yang berukir dan diwarnai dengan sungging yang sangat lembut.” Tidak ada yang dapat dikatakan oleh Adipati Partaningrat kepada Pangeran Benawa selain dengan nada rendah ia menjawab, “Ampun Pangeran. Ternyata aku tidak mampu melepas keris itu dari cengkeraman kekuatan yang sudah tentu bukan karena saka guru itu sendiri.” Raden Sutawijaya tersenyum. Katanya, “Jadi paman sudah mengaku bahwa paman tidak dapat melepas keris itu?” Pertanyaan itu benar-benar telah mendebarkan jantung. Meskipun Adipati Partaningrat menundukkan kepalanya dalam-dalam, namun seakan-akan ia melihat berpuluh-puluh pasang mata tertuju kepadanya dengan penuh pertanyaan. Akhirnya, terdengar Raden Sutawijaya berkata, “Paman. Jika paman telah mengaku tidak dapat melepas keris itu, biarlah aku mencobanya. Aku adalah pemilik rumah ini. Aku adalah orang yang paling berkepentingan atas kebersihan dan kerapian pendapa ini. Karena keris yang tertancap di saka guru itu aku rasa mengganggu, dan orang yang melakukannya sudah mengaku tidak dapat mengambilnya, maka adalah menjadi kewajibanku.” Adipati Partaningrat tidak menjawab. Namun jantungnya rasa-rasanya berhenti berdetak. Demikian pula orang-orang yang menyaksikan dengan kagum, apa yang telah dilakukan oleh Adipati Partaningrat.

Kini perhatian mereka seluruhnya tertumpah kepada Raden Sutawijaya. Meskipun Raden Sutawijaya tidak ikut menari, namun apa yang akan dilakukannya itu benar-benar mendebarkan setiap jantung. Sejenak Raden Sutawijaya berdiri tegak. Kemarahan yang menghentak didalam dadanya, telah membuatnya dengan sengaja menunggu, agar setiap orang sempat menyaksikan apa yang akan dilakukannya. Meskipun pada wajah dan bibirnya, Raden Sutawijaya sama sekali tidak menunjukkan gejolak perasaannya, namun sebenarnyalah didalam dadanya, seakan-akan telah menyala bara api yang sangat panas. Sesaat kemudian, halaman rumah itupun menjadi hening sunyi. Setiap orang berdiri mematung. Bahkan nafas merekapun seakan-akan telah berhenti mengalir. Dengan mata terbelalak mereka melihat, apa yang akan dilakukan oleh Raden Sutawijaya. Mereka mengira bahwa Raden Sutawijaya akan menggenggam hulu keris itu dan menghentakkannya sehingga keris itu akan terlepas. Kemudian menunjukkan kepada Adipati Partaningrat bahwa ia telah berhasil melakukan, apa yang tidak dapat dilakukan oleh Adipati itu. Tetapi ternyata Raden Sutawijaya tidak berbuat demikian. Ia tidak menggenggam hulu keris itu erat-erat dan mengerahkan segenap kekuatan cadangannya. Namun yang dilakukannya adalah mencepit keris itu dengan dua jarinya. Jari telunjuk dan jari-jari tengah. Kemudian seakan-akan tanpa melepaskan kekuatan apapun juga ia menarik keris itu. Meledaklah setiap hati orang-orang Mataram ketika mereka melihat, hanya dengan jepitan dua jari. Raden Sutawijaya telah berhasil menarik keris yang tidak dapat dicabut oleh Adipati Partaningrat. Adipati yang telah mempertunjukkan tari yang menggegerkan para penontonnya. Namun yang kemudian ternyata bahwa ditianding dengan Raden Sutawijaya, ilmunya masih jauh dibawah beberapa lapis. Adipati Partaningrat menundukkan kepalanya semakin dalam ketika ia mendengar sorak gemuruh mbata rubuh dihalaman, seakan-akan meruntuhkan bintang-bintang yang berpencar dilangit. Orangorang Mataram dengan penuh kebanggaan telah bersorak dan berteriak sekuat-kuatnya. Mereka telah menyaksikan suatu pameran kekuatan yang luar biasa. Ki Juru Martani menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti, bahwa kemudaan Raden Sutawijaya memang masih mudah membakar jantungnya. Namun pengamatan Ki Juru Martani yang jauh, melihat bahwa yang terjadi itu tidak akan terlepas dari pengamatan orang-orang di Pajang yang dengan tajamnya sedang menyoroti Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu beserta Mataram yang sedang tumbuh.

Dalam pada itu, maka terdengar Raden Sutawijaya berkata, “Paman, aku telah melepas keris itu. Aku tidak bermaksud berbuat sesuatu yang dapat menyinggung perasaan paman Adipati. Tetapi semata-mata karena itu sudah menjadi kewajibanku.” Ki Juru Martani menarik nafas semakin dalam. Bahkan ia berdesis didalam hati, “Itu tidak perlu angger. Kau melukai hatinya semakin dalam.” Tetapi Ki Juru tidak mengucapkannya. Ia sadar, bahwa hati Raden Sutawijayapun sedang terluka. Karena itu, maka ditahankannya saja perasaannya didalam dadanya. Dalam pada itu, kepala Adipati Partaningrat menjadi semakin tunduk. Sikapnya menjadi jauh berbeda, bahkan berlawanan sama sekali, dengan saat-saat orang-orang Mataram bersorak menyambut taritariannya yang menggemparkan. Saat ia menggoreskan ujung keris kulit pada tiang pinggir pendapa rumah itu. Apalagi kemudian ketika ia berhasil membenamkan keris itu pada saka guru. Sementara itu. Raden Sutawijaya yang mengangkat wajahnya sambil memandang kepala Adipati Partaningrat yang tunduk. Hatinya yang membara membuatnya hampir kehilangan kesabaran. Namun, lambat laun, tumbuh juga perasaan belas kasihannya kepada Adipati Partaningrat. Agaknya Adipati yang sombong itu sudah merasa, bahwa ternyata Raden Sutawijaya memiliki kemampuan yang luar biasa, yang tidak dapat diatasinya. Jika semula maksudnya adalah mengecilkan arti Raden Sutawijaya dengan mempertunjukkan pameran kekuatan dan ilmu, namun ternyata bahwa akhirnya ia harus mengakui, bahwa anak muda yang diangkat menjadi putera Sultan di Pajang itu memiliki kelebihan yang mengagumkan. Dalam pada itu, orang-orang Mataram yang semula tergetar juga melihat kemampuan orang Pajang itu, akhirnya menyadari pula, bahwa pemimpinnya memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari orang Pajang yang sombong itu. Karena itu, jika beberapa orang Senapati Mataram merasa berdebar-debar melihat pameran ilmu itu, akhirnya kepereayaannya kepada diri sendiripun telah tumbuh pula. Ki Demang di Jodog yang sejak semula sudah merasa tersinggung akhirnya berdesis, “Memang luar biasa. Aku kira mereka sekedar mempergunakan kekuatan jasmaniah mereka saja, sehingga aku mengira bahwa bindinya tidak dapat mematahkan tulangku. Tetapi ketika aku melihat keris kulit itu memecahkan kayu jati tua pada saka rawa itu hatiku memang tergetar, apalagi ketika keris itu menghunjam hampir separo pada saka guru. Namun akhirnya Raden Sutawijaya bertindak juga. Tepat pada waktunya kita hampir kehilangan kepercayaan pada diri sendiri.” Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Desisnya, “Hanya satu dua orang Pajang yang dapat berbuat demikian.” Ki Demang Jodog itu mengangguk-angguk pula. “Tetapi Ki Demang itupun merupakan orang yang jarang ada tandingnya diantara para prajurit Pajang. Mereka mungkin memiliki keprigelan bermain senjata. Tetapi mereka tidak memiliki kekuatam

jasmaniah seperti Ki Demang Jodog, sehingga Ki Lurah tidak akan tergetar seandainya tengkuknya dipukul dengan bindi kayu, bahkan dengan sepotong linggis besi,“ berkata Ki Lurah selanjutnya. Ki Demang Jodog menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian menyadari, bahwa ilmunya masih nampak terlalu kasar dimata orang-orang terpenting di Pajang dan Mataram. Tetapi itu akan berguna dalam saat-saat tertentu, daripada dengan lamban ia harus maju kemedan perang. Dalam pada itu, temyata Raden Sutawijaya tidak lagi berniat membuat Adipati Partaningrat semakin sakit. Karena itu, maka katanya kemudian, “Marilah paman Adipati. Aku persilahkan paman membenahi pakaian paman, dan barangkali paman perlu berganti pakaian apabila tari-tarian yang paman suguhkan kepada kami sudah selesai. Kami merasa sangat bergembira, bahwa kami telah mendapat kesempatan untuk melihat salah satu bentuk tari yang bernilai tinggi.” Adipati Partaningrat tidak menjawab. Dengan kepala tunduk iapun kemudian masuk kedalam bilik pringgitan, yang dipergunakannya untuk merias diri sebelum ia mulai dengan tariannya yang dahsyat. Dibantu oleh pengiringnya ia mulai berganti pakaian. Lawannya perang tanding dalam tarian itupun duduk dengan lemahnya. Kecuali karena ia sudah mengerahkan segenap ilmunya, iapun merasa, bahwa ternyata apa yang telah mereka lakukan itu tidak ada artinya sama sekali. Sambil berganti pakaian adipati Partaningrat berdesis kepada pengiringnya, “Ternyata bahwa Radea Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu memiliki ilmu lahir dan batin yang tidak dapat dijajagi sebelumnya. Aku kira apa yang di pertunjukkan itu belum merupakan puncak ilmunya.” Pengiringnya yang semula merasa dirinya pilih tanding itupun menjawab, “Kita salah hitung Kangjeng Adipati.” “Bukan sekedar salah hitung. Tetapi kita adalah orang yang paling dungu di Pajang. Bukan saja aib dan malu, tetapi Pangeran Benawapun tentu akan marah. Hal itu sudah aku perhitungkan. Tetapi aku kira, kemarahan Pangeran Benawa akan dapat ditebus dengan kuncupnya setiap hati orang-orang Mataram. Namun ternyata yang terjadi adalah sebaliknya.” Para pengiringnya tidak menjawab lagi. Ketika pintu terbuka, mereka melihat Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa. Namun kemudian ternyata hanya Pangeran Benawa sajalah yang masuk kedalam bilik itu sambil menjinjing keris yang terbuat dari kulit itu. “Luar biasa,“ desis Pangeran Benawa. Lalu, “Kalian telah membuktikan betapa dahsyatnya kekuatan para prajurit Pajang. Meskipun kalian datang tanpa pakaian kebesaran dan pakaian keprajuritan, namun kalian telah berbuat sesuatu yang dapat menunjukkan bahwa kalian adalah prajurit linuwih.” Adipati Partaningrat tunduk semakin dalam.

“Paman Adipati ternyata memiliki ilmu yang sukar tandingnya. Kekuatan cadangan didalam tubuhnya telah mampu membuat kulit ini melampaui tajam dan kuatnya baja pilihan, sehingga kulit ini dapat menusuk menghunjam kedalam saka guru itu.” Adipati Partaningrat tidak menjawab. Sementara hatinya berdegup semakin cepat. Pangeran Benawa meletakkan keris itu pada tikar yang terbentang didalam bilik tempat merias diri itu. Kemudian sambil melangkah keluar ia berkata, “Simpanlah keris itu baik-baik paman Adipati. Mungkin paman masih perlu memamerkan kemampuan paman di padukuhan-padukuhan kecil atau di gerbang-gerbang pasar.” Betapa sakitnya hati Adipati Partaningrat. Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa, karena iapun menyadari, siapakah Pangeran Benawa itu. Baru kemudian, ketika Pangeran Benawa telah berada diluar pintu. Adipati Partaningrat menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Nasibku buruk sekali hari ini.” Para pengiringnyapun hanya dapat menundukkan kepala. Ia mengerti, betapa pedihnya hati Adipati yang sakti itu. Ternyata dengan meyakinkan sekali Raden Sutawijaya telah menunjukkan kepada orang-orang Mataram, bahwa ia memiliki kemampuan yang jauh lebih tinggi dari Adipati Partaningrat. Sementara itu, dengan sangat menyakitkan hati Pangeran Benawa menganggap yang dilakukan itu hanya pantas dilihat oleh orang-orang padukuhan kecil dan sebagai tontonan di pasar-pasar.” Tetapi Adipati Partaningrat harus menelan kepahitan itu tanpa dapat mengelak. Iapun menyadari, bahwa segala itu terjadi karena pokalnya sendiri. Jika ia tidak berusaha menyombongkan diri dihadapan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga, maka ia tidak akan mengalami perlakuan yang demikian. Dengan hati yang dibebani oleh penyesalan tetapi juga sakit dan pedih. Adipati Partaningrat membenahi pakaiannya. Melepas pakaian tarinya dan mengenakan pakaiannya sendiri. Ketika ia selesai berpakaian, maka dilihatnya keris kulit itu masih tergolek diatas tikar. Karena itu, maka iapun memungut keris itu dan memasukkan kedalam wrangkanya, serta meletakkannya menjadi satu dengan pakaian tarinya yang lain. Adipati Partaningrat menarik nafas dalam-dalam. Dengan keris itu ia mampu menggemparkan orangorang Mataram, tetapi keris itu pula yang membuatnya menjadi terlalu kecil dihadapan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga.

Demikianlah, pertunjukkan malam itu diakhiri dengan kesan yang aneh bagi para penontonnya. Dengan demikian mereka telah menyaksikan kelebihan dari Raden Sutawijaya yang jarang sekali diperlihatkan dihadapan orang banyak. Tetapi karena kemarahan yang tidak terkendalikan, maka Raden Sutawijaya telah melakukannya diluar pertimbangan hatinya yang bening. Sejenak kemudian halaman rumah Raden Sutawijaya itupun telah menjadi sepi. Orang-orang yang menonton pertunjukkan telah pulang kerumah masing-masing, sementara beberapa anak muda justru telah pergi ke gardu-gardu. Didalam gardu telah terjadi perbincangan yang hangat mengenai pertunjukkan di pendapa. Mereka mempersoalkan kemampuan Adipati Partaningrat dan para pengiringnya yang ternyata memiliki kemampuan yang luar biasa. Ketika dua orang penari bertopeng bertempur dengan tangan mereka seolah-olah mereka sedang berkelahi dengan sungguh-sungguh, mereka sudah menjadi heran. Apalagi ketika mereka melihat Adipati Partaningrat dengan seorang pengiringnya bertempur dengan bindi. Kulit kedua orang penari itu seakan-akan menjadi kebal dan tidak menjadi gatal oleh hentakkan dan pukulan bindi pada tubuhnya. “Namun cara Adipati Partaningrat mempergunakan keris itu benar-benar tidak dapat dipertimbangkan dengan nalar,“ desis salah seorang anak muda, “dengan keris dari kulit yang lentur dan lemas itu, ia dapat menyobek tiang-tiang kayu jati. Bahkan kemudian menghunjamkan keris itu pada saka guru.“ Namun kemudian suaranya merendah, “Disinilah letak kelemahannya. Ternyata ia gagal memamerkan kemampuannya dihadapan Raden Sutawijaya.” Dengan demikian maka kebanggaan anak anak muda Mataram kepada Raden Sutawijaya menjadi semakin besar. Mereka menganggap bahwa Raden Sutawijaya adalah seseorang yang tidak akan dapat terkalahkan oleh siapapun juga. “Kecuali Sultan Pajang,“ desis seseorang. Kawan-kawannya berpaling kepadanya sambil bertanya, “Kenapa ?” “Sultan Pajang adalah gurunya,“ jawab anak muda itu. Yang lain mengangguk-angguk. Merekapun mengerti, bahwa Sultan Pajang yang semasa kecilnya bernama Mas Karebet dan bergelar Jaka Tingkir itu adalah seorang yang memiliki ilmu yang luar biasa. Dalam pada itu, ketika anak-anak muda Mataram sibuk memperbincangkan peristiwa yang baru saja terjadi dipendapa itu, maka Raden Sutawijaya telah menjamu makan tamu-tamunya. Seakan-akan ia sudah melupakan apa yang telah terjadi. Bersama para pemimpin Mataram ia mempersilahkan tamu-

tamunya untuk makan sebaik-baiknya. Namun sikapnya itu rasa-rasanya semakin menyakiti hati Adipati Partaningrat. Bahwa Raden Sutawijaya tidak menyinggung kesalahannya sama sekali, baginya benar-benar suatu sikap yang sangat sombong. Betapapun juga ia sudah berbuat sesuatu yang luar biasa. Namun bagi Raden Sutawijaya, apa yang dilakukannya tidak ada artinya sama sekali, sehingga karena itu, maka Raden Sutawijaya telah menganggapnya terlalu kecil. Dalam saat saat yang demikian. Adipati Partaningrat mencoba untuk menilai orang-orang Mataram yang hadir dipendapa. Ki Juru yang tua itupun duduk bersama mereka. Disaat-saat Ki Juru sedang menunduk, maka Adipati Partaningrat mencoba untuk mengamatinya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, ”Orang itu adalah saudara seperguruan Ki Gede Pemanahan, ayah Raden Sutawijaya yang sebenarnya. Apakah Ki Juru juga seorang yang pilih tanding seperti Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi yang telah menerima hadiah tanah Pati setelah bersama dengan Ki Gede Pemanahan berhasil mengalahkan Arya Penangsang dari Jipang? Namun setiap orang tahu, bahwa saat-saat yang tegang menjelang kematian Arya Penangsang dipinggir bengawan sore, Ki Juru Martanipun ada diantara mereka.” Sejenak Adipati Partaningrat termangu-mangu. Namun Ki Juru Martani memang tidak dapat disisihkan dari perhitungan jika ia ingin menilai kekuatan Mataram. Bahkan Adipati Partaningratpun tidak melupakan kekuatan-kekuatan yang berada diluar Mataram. Tetapi bagaimanapun juga, Adipati Partaningrat seakan akan tidak sempat lagi mengangkat wajahnya. Seolah olah setiap orang tengah memandanginya sambil mencibirkan bibirnya, memperolok-olokkan kegagalannya bermain-main dengan keris kulit. Namun betapapun juga. Adipati Partaningrat harus menahan perasaannya. Ia harus berada di Mataram bersama Pangeran Benawa. Betapapun juga warna perasaannya, maka semuanya itu adalah akibat dari tingkah lakunya sendiri, diluar tanggung jawab Pangeran Benawa. Malam itu adalah malam yang paling buruk bagi Adipati Partaningrat. Setelah jamuan selesai, maka para tamu dari Pajang itupun dipersilahkan beristirahat kedalam biliknya. Tetapi meskipun malam menjadi semakin dalam, namun Adipati Partaningrat sama sekali tidak merasa mengantuk. Ketika beberapa orang pengiringnya dan bahkan seakan-akan seluruh Mataram sudah tidur nyenyak. Adipati Partaningrat masih merenungi kegagalannya. Ada semacam penyesalan. Tetapi ada juga semacam dendam. Rasa-rasanya ada keinginan baginya untuk membalas sakit hatinya kepada Raden Sutawijaya. “Tetapi ia terlalu sakti,“ desisnya didalam hatinya. Dengan demikian, bagi Adipati Partaningrat, perjalanannya ke Mataram saat itu adalah perjalanan

yang tidak akan pernah dilupakan. Baginya perjalanan itu benar-benar telah menyiksanya. Hati Adipati itu jengkel juga melihat beberapa orang kawannya sudah tertidur nyenyak. Seolah-olah mereka samasekali tidak ikut menanggung beban perasaan seperti yang ditanggungnya. Namun ternyata bahwa lawannya menari itupun masih belum dapat tidur juga. Bahkan ketika dilihatnya Adipati Partaningrat gelisah, pengiringnya yang ada didalam bilik itu juga, bertanya, “Kangjeng Adipati. Apakah Kangjeng Adipati tidak dapat tidur ?” Adipati Partaningrat bangkit dan duduk dibibir pembaringan. Dengan wajah yang muram ia menjawab, “Udara terlalu panas. Tetapi lebih panas lagi adalah darah didalam jantungku.” “Ternyata Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga benar-benar orang luar biasa,“ desis pengiringnya. Adipati Partaningrat hanya mengangguk saja. Ia tidak dapat berbicara yang lain tentang Raden Sutawijaya. Setiap orang telah melihat, apa yang sudah dilakukannya. Adipati Partaningrat yang gelisah itupun kemudian bahkan bangkit berdiri dan melangkah keluar biliknya. Tetapi agar ia tidak mengejutkan orang lain, maka dengan hati-hati sekali ia mendorong pintu bilik itu. Udara diluar ternyata agak memberikan kesejukan. Dengan hati yang kosong ia duduk diatas amben bambu diserambi. Sekilas dilihatnya halaman yang luas dan lengang. Namun kemudian ia melihat nyala obor didailam gardu. Ternyata ia masih mendengar suara para peronda yang bercakap-cakap didalam gardu. “Meskipun tidak dapat dibuktikan, tetapi aku menangkap dengan perasaan, Mataram benar-benar sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan,“ desis Adipati Partaningrat. Beberapa saat lamanya Adipati Partaningrat duduk diserambi. Ketika tubuhnya merasa lebih segar, maka iapun melangkah kembali masuk kedalam biliknya. Di gandok yang berseberangan, dibalik longkangan, seseorang menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia melihat Adipati Partaningrat itu hilang dibalik pintu, maka dengan hati-hati iapun meninggalkan tempatnya menyusup kedalam gelapnya malam, dan seakan-akan hilang ditelan gelap. Namun kemudian di belakang rumah itu, orang itu berdesis, “Sokurlah, bahwa ia tidak berbuat apa-apa lagi.” Orang itu berhenti di sudut rumah bagian belakang ketika ia melihat seseorang masih berada di serambi yang gelap.

Sambil berbisik orang itu bertanya, “Bagaimana dengan orang-orang itu Ki Lurah Branjangan ?” “Tidak apa-apa,“ jawab Ki Lurah Branjangan, “aku menjadi berdebar-debar melihat Adipati Partaningrat keluar dari biliknya. Tetapi agaknya sekedar untuk melupakan kegelisahannya.” Orang itu tidak bertanya lagi, sementara Ki Lurah Branjanganpun melanjutkan langkahnya menuju ke bagian belakang dari halaman yang luas itu. Dalam pada itu, ketika malampun kemudian berlalu, orangorang Mataram yang bangun dipagi hari yang cerah, telah disongsong dengan ceritera yang sangat menarik. Orangorang yang tidak sempat menyaksikan pertunjukkan yang menggemparkan dipendapa itupun telah menyesal. Apalagi mereka yang mendengar gamelan, tetapi karena matanya tidak mau terbuka lagi, maka ia lebih senang tidur berselimut kain panjang daripada bangun dan berjalan menuju kehalaman rumah Senapati Ing Ngalaga. “Kalau aku tahu, akan terjadi pertunjukkan yang sangat menarik, aku tentu akan datang kehalaman itu,“ desisnya. Tetapi pertunjukkan itu telah lewat, sehingga ia hanya dapat mendengarkan saja apakah yang telah terjadi di halaman itu. Dalam pada itu, ternyata Pangeran Benawa tidak ingin segera kembali ke Pajang. Ia masih akan tinggal di Mataram. Ia ingin melihat-lihat perkembangan Mataram dan isinya. “Aku akan senang sekali mengantarmu adimas,“ berkata Raden Sutawijaya, “kita akan mengelilingi Mataram dan sekitarnya.” Seperti yang dikatakannya, maka ketika matahari telah naik. Raden Sutawijaya mempersilahkan Pangeran Benawa dengan para pengiringnya untuk melihat Mataram. Mereka berkuda dari ujung yang satu sampai keujung kota yang lain. Mereka melihat gerbang di segenap penjuru dan merekapun melihat padukuhan-padukuhan yang semakin ramai dengan pasar-pasar yang penuh dengan bermacam-macam barang dagangan yang diperjual belikan. Hasil bumi, gerabah, tetapi juga barang-barang besi hasil buatan pande besi yang sebagian bekerja disekitar pasar-pasar itu pula. “Kota ini berkembang pesat sekali,“ berkata Pangeran Benawa. Raden Sutawijaya hanya tertawa saja. Sementara ia mempersilahkan tamunya untuk melihat segalagalanya. Ternyata Pangeran Benawapun dengan sengaja membawa orang-orangnya untuk melihat sendiri, apakah Mataram telah bersiaga seperti yang dikatakan beberapa orang di Pajang atau tidak. Ia yakin, bahwa yang akan dilihat oleh orang-orangnya adalah jauh berbeda dari yang dikatakan orang.

“Kita memang tidak melihat apa-apa,“ berkata dua orang yang telah mengelilingi Mataram dihari sebelumnya kepada Adipati Partaningrat, “sekarangpun kita tidak melihat juga.” Adipati Partaningrat mengangguk. Ia tidak dapat berkata lain, karena memang tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Mereka tidak melihat barak barak yang penuh dengan prajurit atau anak-anak muda yang dihimpun dalam latihan keprajuritan. Yang mereka lihat adalah pasar yang ramai dan para pedagang yang hilir mudik. Pedati yang penuh dengan hasil sawah dan pategalan memasuki kota. Sementara pedati yang kembali dari kota membawa perlengkapan dan alat-alat pertanian atau keperluan-keperluan yang lain bagi padukuhan. “Mataram akan menjadi kota yang ramai,“ desis salah seorang pengiring Adipati Partaningrat. “Itulah yang berbahaya,“ berkata Adipati itu, “meskipun sekarang tidak nampak persiapan-persiapan perang, tetapi jika kota ini menjadi besar maka dengan sendirinya Mataram akan menjadi kuat.” Para prajurit yang mengiringi Adipati Partaningrat dan Pangeran Benawa tidak dalam kebesaran keprajurit an itu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya mereka tidak mengerti, kenapa orang-orang Pajang menjadi sangat cemas menghadapi Mataram. Mataram adalah kota yang baru tumbuh. Sedang kekuatan Pajang sudah mapan dan tersebar di kota-kota besar dibawah beberapa orang Adipati yang pilih tanding dan dapat dibanggakan. “Apakah kekuatan Mataram dapat mengimbangi kekuatan satu Kadipaten saja ? “ pertanyaan itu tumbuh didalam setiap hati para pengiring itu. “Padahal Pajang meliputi beberapa Kadipaten.” Namun para pengiring itu tidak bertanya lebih banyak lagi. Mereka mengikuti saja pemimpin mereka yang diantar oleh Raden Sutawijaya dan beberapa orang pemimpin dari Mataram. Setelah mereka melihat Mataram dalam keseluruhan, maka merekapun segera kembali lagi kerumah Raden Sutawijaya untuk beristirahat dan mendapatkan jamuan. Pangeran Benawa ternyata ingin bermalam satu malam lagi. Baru esok harinya mereka akan kembali ke Pajang. *** Dalam pada itu, ketika Pangeran Benawa tengah berbincang dimalam terakhir kehadirannya di Mataram, karena esok harinya ia akau kembali ke Pajang bersama para pengiringnya, maka di Jati Anom, Sabungsaripun tengah berbincang dengan Agung Sedayu. Hampir setiap saat ia berada di padepokan kecil itu. Ternyata ia mendapat ijin dari pimpinannya, karena mereka tahu bahwa Sabungsari yang masih belum sembuh benar itu memerlukan kesegaran lahir dan batinnya. Apalagi mereka tahu, bahwa Sabungsari tidak pergi ke tempat yang terlarang bagi para prajurit. Tidak ke tempat-tempat yang diduga menjadi ajang perjudian. Tidak pula pada perjudian dengan mengadu berbagai macam binatang. Dari jengkerik sampai ke adu ayam jantan. Para pemimpin prajurit di Jati

Anom itu mengetahui bahwa Sabungsari selalu menghabiskan waktunya dipadepokan kecil Agung sedayu. Dan para prajurit itupun mengetahui bahwa Agung Sedayu adalah adik Untara. Sementara itu, Glagah putih yang merasa dirinya jauh ketinggalan dari anak-anak muda, telah berlatih dengan sungguh-sungguh. Ia menghabiskan waktu tertuangnya didalam sanggar. Bersama Agung Sedayu atau tidak bersamanya. Bahkan dalam kesempatan tertentu, Sabungsari ikut pula melihat apa yang telah dilakukan oleh Glagah Putih. “Luar biasa,“ desisnya. Sabungsari sendiri adalah anak muda yang menempa diri karena dibakar oleh dendam yang tidak dapat dikendalikannya lagi. Ia bagaikan menjadi gila dengan janjinya kepada diri sendiri untuk membunuh Agung Sedayu. Namun demikian, ia masih juga mengagumi melihat apa yang dilakukan oleh Glagah Putih. Anak yang masih sangat muda itu sama sekali tidak sedang dibakar oleh dendam kepada siapapun juga. Namun demikian, ia telah membajakan dirinya tanpa mengenal letih. Sementara itu. Agung Sedayupun merasa dibebani oleh satu kewajiban mengimbangi tekad anak yang luar biasa itu. Ia tidak ingin mengecewakan adik sepupunya. Karena itu, maka iapun telah bekerja keras pula menuntun Gagah Putih dalam olah kanuragan. Sabungsari kadang-kadang dihinggapi oleh perasaan heran yang sulit untuk disimpannya saja. Ia melihat ungkapan ilmu yang berbeda dari ilmu yang dikuasai dan dipergunakan oleh Agung Sedayu dalam keadaan yang gawat. Namun demikian, ungkapan ilmu yang diperlihatkan dalam latihan dan petunjukpetunjuk yang diberikannya kepada Glagah Putih, ternyata dikuasainya juga dengan baik dalam tingkat yang tinggi. Ketika ia tidak dapat menahan hati lagi, maka setelah Glagah Putih menyelesaikan latihannya, Sabungsaripun bertanya, “Aku melihat perbedaan ungkapan ilmu yang kau berikan kepada adik sepupumu dengan ilmu yang nampak padamu. Aku sudah pernah bertempur melawanmu dalam tataran yang aku kira termasuk tingkat tertinggi. Namun aku sama sekali tidak melihat ciri-ciri yang kau ungkapkan dalam latihan-latihan bersama adik sepupumu. Mungkin ada dua jenis ilmu yang kau kuasai dan luluh dalam bentuk yang baru. Tetapi aku melihat beberapa unsur yang berbeda meskipun aku tidak dapat menyebutnya bertentangan.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa ketajaman penglihatan Sabungsari dapat membedakan ilmunya yang bersumber dari gurunya. Kiai Gringsing, dan ilmu yang dikuasainya dari dinding goa yang bersumber pada cabang perguruan Ki Sadewa, ayahnya. Dalam keadaan tertentu maka ia adalah murid Kiai Gringsing. Ia menguasai ilmu yang diterimanya dari gurunya, dengan

segala perkembangan dan penyempurnaannya lebih baik dari yang lain. Karena itu, dalam keadaan yang paling gawat, maka yang nampak padanya adalah ilmu yang diterimanya dari gurunya. Karena ilmu itu pulalah yang lebih dahulu hadir didalam dirinya. Namun demikian, penguasaannya atas ilmu yang disadapnya dari dinding goa itupun tidak kalah dahsyatnya apabila kemudian dapat dikembangkan dan disempurnakan. Dalam pada itu, Glagah Putihlah yang diharapkannya akan dapat melakukannya di saat-saat mendatang. Karena itulah, maka ia tidak dapat ingkar kepada Sabungsari. Ia menceriterakan dua sumber ilmu yang berbeda yang ada didalam dirinya, meskipun Agung Sedayu tidak mengatakannya, dimana ia mendapatkannya. “Itulah agaknya, kau adalah orang yang jarang dicari bandingnya,“ berkata Sabungsari, “kau mampu menampung dua arus ilmu dan mampu membuka satu jalur penyaluran yang luar biasa.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun apalagi kepada Sabungsari, sementara kepada Glagah Putihpun ia tidak mengatakannya, bahwa ia telah berkesempatan membaca rontal yang pernah ditunjukkan Ki Waskita kepadanya. Namun sikap Sabungsari telah benar-benar berubah. Ia telah dengan ikhlas melepaskan dendamnya atas Agung Sedayu. Apalagi ketika ia telah mendapat kesempatan berbuat sesuatu yang dianggap besar bagi para prajurit Pajang di Jati Anom, dengan terbunuhnya Carang Waja, maka kepercayaannya kepada diri sendiri, bahwa ia masih diterima oleh daerah kehidupan yang wajar, menjadi semakin besar. Penghargaan dari para pemimpin prajurit Pajang di Jati Anom benar-benar telah membesarkan hatinya. Agung Sedayupun kemudian merasa, bahwa sikap Sabungsari kepadanya adalah sikap yang jujur, yang tidak lagi dibayangi oleh kepura-puraan dan maksud yang tidak baik. *** Dalam pada itu, di Sangkal Putung, Kiai Gringsing mencoba dengan saksama menjajagi sikap dan pandangan hidup muridnya yang gemuk. Dengan hati-hati ia berusaha untuk setiap kali dapat berbicara dengan Swandaru. Dengan demikian ia berkesempatan untuk berbicara tentang perkembangan padukuhan dan Kademangan Sangkal Putung dalam hubungan yang luas. Sementara dalam saat saat tertentu Kiai Gringsing menunggui dan memperhatikan dengan cermat latihan-latihan yang dilakukan oleh Swandaru sebagai muridnya. Tetapi juga Sekar Mirah dan Pandan Wangi. Ternyata Kiai Gringsing mengagumi ketekunan ketiga orang keluarga Ki Demang Sangkal Putung itu. Dua orang anaknya dan seorang menantunya. Mereka yang bersumber dari ilmu yang berbeda, namun mereka telah menyatukan diri dalam latihan-latihan yang berat pada saat-saat tertentu.

Sekar Mirah yang mendapatkan ilmunya lewat Ki Sumangkar yang dianggap oleh orang Jipang seolaholah bernyawa rangkap seperti halnya saudara seperguruan Patih Mantahun. Pandan Wangi yang menyadap ilmunya dari perguruan Menoreh, dari Ki Gede Menoreh yang memiliki kemampuan yang jarang ada bandingnya. Hanya karena ia menjadi cacat kaki sajalah, maka pada saat-saat tertentu, ilmunya seakan-akan menjadi susut oleh pengaruh jasmaniahnya. Sedangkan Swandaru sendiri adalah murid Kiai Gringsing yang mendapat bekal tidak lebih dan tidak kurang dari Agung Sedayu. Namun yang cara pengembangan dan penyempurnaannya sajalah yang berbeda. Swandaru benar-benar menjadi seorang anak muda yang kokoh kuat seperti seekor banteng. Dengan latihan-latihan jasmaniah yang berat, dilambari dengan ilmunya, maka ia adalah orang yang luar biasa. Bukan saja di Sangkal Putung, tetapi didalam hubungan dengan dunia yang luas, anak Ki Demang Sangkal Putung itu merupakan anak muda yang perkasa. “Tetapi ia lebih mementingkan yang lahiriah,“ berkata Kiai Gringsing didalam hatinya. Namun meskipun demikian, maka dengan lambaran tenaga kekuatan lahiriah itu merupakan kekuatan yang jarang ada bandingnya. Dengan tangannya Swandaru mampu membelah batu-batu padas, sehingga dengan tangannya pula, Swandaru akan dapat memecahkan tulang kepala seseorang. Sementara itu, sesuai dengan sifat alaminya sebagai perempuan, maka Sekar Mirah dan Pandan Wangi lebih mementingkan kecepatan bergerak dan kemampuannya dalam ilmu pedang. Pandan Wangi mempupyai kecepatan bergerak yang sulit dicari bandingnya dalam pedang rangkap. Sementara Sekar Mirah dengan tongkat baja putihnya, adalah bayangan dari maut itu sendiri. Namun demikian, apa yang dilihatnya di Sangkal Putung itu masih terlampau kecil dibanding dengan apa yang pernah dicapai oleh Agung Sedayu. Meskipun Kiai Gringsing tidak akan mengecilkan hati Swandaru, namun perlahan-lahan dan hati-hati Kiai Gringsing ingin menempatkan anggapan Swandaru yang keliru tentang dirinya sendiri, dalam perbandingan ilmu dengan orang-orang lain. Juga dengan Sabungsari dan Agung Sedayu. Apalagi dengan Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan para pemimpin di Pajang. Tetapi agaknya Kiai Gringsing menemui kesulitan. Ia melihat muridnya itu terlalu percaya kepada diri sendiri. Dengan yakin ia menyebut kelemahan-kelemahan Agung Sedayu dalam sikap dan tingkah laku. Tetapi juga dalam ungkapan ilmunya. “Ia mempunyai perhatian yang berbeda dengan kau Swandaru,“ berkata Kiai Gringsing, “Agung Sedayu mencari kedalam ilmunya dan mencoba mengungkapkannya lewat gerak yang sederhana dan lontaran tenaga dari dalam yang dahsyat.” “Tetapi ia mengabaikan kekuatan tubuhnya. Kekuatan tubuh yang terlatih, dilandasi dengan ungkapan tenaga cadangan seperti yang guru ajarkan, merupakan gabungan kekuatan yang tidak ada taranya

dimuka bumi ini.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Aku percaya Swandaru. Dengan mudah kau memecahkan kelapa dengan hentakan tanganmu. Bahkan batu-batu padas dapat kau pecahkan. Namun jika kau mengandalkan wadagmu meskipun dengan landasan tenaga cadangan, maka keterbatasan wadagmu akan sangat membatasi perkembangan ilmumu.” Swandaru mengerutkan keningnya. Namun ia mencoba mengerti pesan gurunya. Sambil menganggukangguk ia berkata, “Aku mengerti guru. Tetapi hal itu bukannya sama sekali aku abaikan.” “Aku juga melihat Swandaru. Maksudku, cobalah kembangkan. Dengan demikian, maka kau akan lebih mersudi ilmu lewat kedalamannya. Kau akan mencari makna dari setiap gerak yang kau lakukan. Tetapi juga landasan sikap dan pandangan hidup. Jika kau melihat kedalam ilmumu dengan landasan sikap dan pandangan hidup, maka pengabdianmu akan semakin tinggi nilainya dengan sikap ilmumu itu.” Swandaru mengangguk-angguk. Sementara Pandan Wangi dan Sekar Mirah yang berkesempatan mendengar beberapa kali petunjuk Kiai Gringsing terhadap Swandaru itupun mencoba untuk mengertinya. “Kalian bukan orang lain lagi bagiku,“ berkata Kiai Gringsing kepada kedua perempuan itu, “karena itu, maka antara kalian dan Swandaru tidak akan ada rahasia lagi yang membatasinya.” Pandan Wangi dan Sekar Mirah mengangguk-angguk. Mendengar keterangan Kiai Gringsing, mereka mengerti, bahwa untuk mematangkan ilmunya dengan menukik kependalaman makna dari setiap gerak dan sikap, mereka harus lebih banyak merenungi gerak dan sikap itu sendiri, sehingga mereka akan mengenal lebih dalam. Mereka harus mengenal lebih dalam lagi, bukan ilmunya dalam keseluruhan saja, tetapi setiap bagian sampai bagian yang terkecil sekalipun. Namun ternyata bahwa Swandaru tidak dapat melakukannya. Ia lebih tertarik pada ujud keseluruhan dari ilmunya dan mematangkan kekuatan dan kecepatan bergerak dengan meningkatkan ketrampilan jasmaniahnya. Dengan latihan latihan yang berat dan teratur. Kiai Gringsing tidak dapat memaksanya. Ia tahu, bahwa pembawaan Swandaru memang berbeda dengan pembawaan Agung Sedayu. Agung Sedayu yang tumbuh sesuai dengan pembawaan dan sifatnya, memiliki kelebihan penelaahan keinti perbuatannya daripada Swandaru. Agung Sedayu sempat mempelajari dan mendalami setiap unsur gerak sesuai dengan nilai kegunaannya seimbang dengan tenaga dan tenaga cadangan yang dapat diungkapkannya, sehingga ia sempat mempertinggi kemampuannya pada dasar tenaga didalam dirinya beserta tenaga cadangannya. Tetapi Swandaru tentu tidak akan telaten untuk tinggal didalam goa seorang diri untuk waktu yang hanya sepekan saja. Sedangkan Agung Sedayu dapat melakukan untuk waktu yang jauh lebih lama.

Sehingga kesempatannya menekuni kedalaman ilmunyapun menjadi semakin besar, meskipun dengan demikian justru kemampuan jasmaniahnyalah yang hampir saja dikorbankan. Meskipun demikian, namun yang dilakukan oleh Swandaru dapat membentuk dirinya menjadi orang luar biasa. Orang yang jarang dicari bandingnya. Berbeda dengan Swandaru, maka Pandan Wangi dan Sekar Mirahlah yang mencoba mempergunakan waktunya untuk menilai diri mereka masing-masing. Tetapi agaknya Sekar Mirah yang mempunyai pembawaan tidak jauh dari Swandaru, juga terpengaruh oleh sikapnya sehari-hari. Kemanjaannya membuat tidak telaten untuk termenung didalam sanggar. Ia lebih senang berloncatan dengan tongkat bajanya daripada mengulang-ulang satu unsur gerak sampai duapuluh bahkan lima puluh kali untuk mengenalinya dan memperhitungkan kemampuan serta nilainya sesuai dengan tenaga yang ada pada dirinya. Sementara itu. Pandan Wangi yang memiliki sifat yang agak berbeda, yang sebenarnya mempunyai minat yang sungguh-sungguh untuk melihat kedalaman ilmunya, ternyata tidak sempat juga melakukannya. Bukan karena dirinya sendiri, tetapi dalam hubungan dengan suami dan adik iparnya, maka ia harus mengimbangi cara mereka berlatih. Karena itu, maka iapun akhirnya lebih banyak tenggelam dalam latihan-latihan jasmaniah yang berat. Namun dengan demikian, seperti Swandaru, maka tingkat ketrampilannyapun semakin bertambahtambah. Kecepatannya bergerak ternyata sangat mengagumkan, dan kemampuannya dalam ilmu pedang-pun jarang ada bandingnya. Dengan sungguh-sungguh Kiai Gringsing melihat perkembangan ilmu ketiga orang keluarga Ki Demang Sangkal Putung. Tidak terlalu mengecewakan. Tetapi belum seperti yang diharapkan, seperti yang dilihatnya pada Agung Sedayu. Namun dengan demikian, telah tumbuh masalah tersendiri pada Kiai Gringsing. Ia mulai mempertimbangkan kemungkinan yang ada didalam kitab rontalnya. Jika ia memberikan kesempatan kepada kedua muridnya, maka pusat perhatian Swandaru dan Agung Sedayu pada isi kitabnyapun tentu akan berbeda. Jika keduanya kemudian dapat mencapai puncak ilmunya, maka mungkin Swandaru akan dapat memecahkan bukit karang dan mematahkan pohon-pohon raksasa di hutan-hutan lebat dengan pukulannya. Sedangkan Agung Sedayu akan dapat membakar seluruh Pajang hanya dengan tatapan matanya dan merontokkan dedaunan dihutan-hutan yang pepat dengan rabaan jari-jarinya. Tetapi menilik sikap dan tingkah laku Swandaru, maka Kiai Gringsing menganggap, bahwa masih belum saatnya untuk menunjukkan kitab rontalnya, sehingga karena itu, maka iapun tidak akan dapat menunjukkannya kepada Agung Sedayu. “Tetapi Agung Sedayu tidak tergesa gesa,“ berkata Kiai Gringsing didalam hatinya, “ia masih harus melihat makna dari isi kitab Ki Waskita. Meskipun Ki Waskita diluar persetujuannya telah menyebutkan kitab itu, namun Agung Sedayu sendiri tentu tidak akan dapat mempelajarinya sebelum ia selesai dengan kitab Ki Waskita.”

Yang kemudian dilakukan oleh Kiai Gringsing di Sangkal Putung adalah mencoba memberikan beberapa pandangan terhadap Swandaru tentang keadaan yang berkembang di Pajang dan Mataram. Tentang usaha untuk meredakan suasana yang panas yang dilakukan oleh Pangeran Benawa. Dan tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat dicapai oleh sikap lunak Pangeran Benawa. “Cobalah kau renungkan Swandaru,“ berkata Kiai Gringsing, “Pangeran Benawa dengan sengaja telah memerintahkan pengiringnya untuk tidak mengenakan pakaian keprajuritan mereka. Dengan demikian maka tidak ada kesan permusuhan yang dibawa oleh Pangeran Benawa ke Mataram. Justru sikap damai dan lembut.” Swandaru tidak menjawab. Ia mencoba untuk mangangguk-angguk meskipun Kiai Gringsing mengerti bahwa Swandaru mempunyai pandangan dan sikap yang berbeda. Namun Kiai Gringsing tetap mengatakannya, dengan harapan bahwa pada saat-saat tertentu Swandaru akan sempat mempertimbangkannya didalam hatinya. *** Dalam keadaan yang demikian. Sangkal Putung telah disibukkan lagi dengan kehadiran Pangeran Benawa yang kembali dari Mataram. Agaknya seperti saat ia berangkat, maka Pangeran Benawa akan bermalam juga di Sangkal Putung setelah beberapa hari berada di Mataram. Ternyata Pangeran Benawa telah mengundur saat kembali ke Pajang dengan bermacam-macam pertimbangan, sehingga baru beberapa hari kemudian ia benar-benar telah meninggalkan Mataram kembali ke Pajang. Hari-hari yang berkepanjangan itu merupakan siksaan bagi Adipati Partaningrat selama berada di Mataram. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya dapat menekan dadanya, jika Pangeran Benawa mengatakan, “Besok saja kita kembali paman.” Dan kata-kata itu ternyata telah diulanginya beberapa kali. Tetapi akhirnya mereka meninggalkan Mataram. Meskipun Adipati Partaningrat ingin segera sampai ke Pajang, namun temyata bahwa Pangeran Benawa ingin bermalam di Sangkal Putung meskipun mereka tidak kemalaman di perjalanan. Tiga orang pengawal dari Mataram mendapat perintah untuk mengantar Pangeran Benawa dan para pengiringnya sampai ke Sangkal Putung, sekaligus untuk menukar kembali dua ekor kuda yang dibawa oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih apabila mereka kehendaki. Tetapi Raden Sutawijaya berpesan, apabila Agung Sedayu dan Glagah Putih lebih senang mempergunakan kedua ekor kuda yang dibawanya dari Mataram, maka Raden Sutawijaya tidak akan berkeberatan, dan memerintahkan kedua pengawal yang mempergunakan kedua ekor kuda itu untuk mempergunakannya kembali ke Mataram bersama seorang pengawal yang lain. Namun ternyata bahwa Agung Sedayu dan Glagah Putih sudah tidak ada di Sangkal Putung. Ketika iring-iringan itu sampai ke Sangkal Putung, Agung Sedayu dan Glagah Putih sudah ada di Jati Anom.

Sebenarnya Pangeran Benawa juga merasa kecewa bahwa ia tidak dapat bertemu dengan Agung Sedayu. Namun ternyata bahwa ia masih dapat diterima oleh Kiai Gringsing yang berada diantara keluarga Ki Demang di Sangkal Putung. Ketika Pangeran Benawa dan para pengiringnya, sedang beristirahat, maka Swandaru sempat berbincang dengan para pengawal dari Mataram yang ingin bertemu dan menukarkan kuda mereka dengan Agung Sedayu. Karena Agung Sedayu tidak ada, maka pembicaraan merekapun berkisar kesana kemari, sehingga akhirnya para pengawal itu berceritera tentang Adipati Partaningrat yang luar biasa. “Ah, apakah kau yakin bahwa keris itu benar-benar dibuat dari kulit?“ bertanya Swandaru. “Aku yakin. Dengan sengaja Adipati Partaningrat menunjukkan bahwa keris itu dibuat dari kulitpada permulaan tarinya. Namun ketika ia mulai menunjukkan kemampuannya, maka keris itu melampaui tajamnya keris yang sebenarnya.” Swandaru mengangguk anggukkan kepalanya. Namun dikesempatan yang lain, ketika Swandaru duduk bersama Kiai Gringsing dipringgitan, sementara para tamunya masih beristirahat, Swandaru sempat menceriterakan peristiwa itu kepada gurunya. Sambil mengangguk-angguk Kiai Gringsing berkata, “Hal itu mungkin saja terjadi Swandaru. Untuk memecahkan bindi tanpa melukai kulit, itu bukan pekerjaan yang sulit bagi orangorang seperti Adipati Partaningrat. Ia bertempur dengan kemampuan wajarnya, seperti kebanyakan orang yang memiliki tenaga yang kuat. Benturan yang terjadi beberapa kali antara kedua bindi itu akhirnya telah memecahkan dan meremukkan bindi itu. Sementara tenaga wadag mereka, tidak dapat melukai kulit masing-masing meskipun akhirnya bindi itu pecah karena benturan-benturan yang terjadi dalam perang didalam tari itu. Baru kemudian, ketika mereka mempergunakan keris kulit, maka kekuatan cadangan mereka mulai mengaliri tangan mereka. Bahkan dengan kekuatan yang terlontar dari dalam dirinya, kekuatan cadangan yang terpelihara itu telah mempengaruhi benda didalam genggaman tangannya. Benda yang betapapun ringkihnya, akan dapat berubah menjadi benda yang luar biasa kuatnya.” “Luar biasa,“ desis Swandaru. “Hanya orang-orang yang melatih diri dengan tekun dan telaten hal itu dapat dilakukan. Ia tidak mengandalkan kekuatan wadag dan dorongan tenaga cadangan didalam dirinya atas wadagnya, tetapi pada benda-benda yang disentuh oleh wadagnya.” Swandaru mengangguk-angguk. Sebagai seorang yang memiliki ilmu yang cukup tinggi, ia segera mengerti, betapa hal itu dapat terjadi. Namun dengan demikian, Swandarupun dapat mengerti pula, bahwa pangeram-eram semacam itu tidak banyak gunanya dalam persoalan yang sesungguhnya jika hal itu terjadi. Dimedan perang seseorang tidak perlu mempergunakan sebilah pedang dari kulit dan dengan kemampuan yang tinggi, maka pedang itu berubah menjadi pedang yang sebenarnya, seperti pedang yang terbuat dari besi baja pilihan.

“Itu hanya akan menghambur-hamburkan tenaga. Lebih baik membawa pedang yang sebenarnya. Tenaga yang timbul dari hentakkan ilmu yang mapan, akan dapat disalurkan melalui kemungkinan lain yang lebih bermanfaat dalam menghadapi lawan,“ berkata Swandaru seolah-olah kepada dirinya sendiri. “Ya,“ berkata Kiai Gringsing, “hal itu hanya merupakan pangeram-eram. Tetapi ada kalanya hal itu diperlukan. Seandainya kau mampu menekuni kekuatan tenaga cadangan yang tersimpan didalam dirimu serta dengan sadar mempengaruhi benda-benda yang ada didalam genggaman tanganmu atau yang tersentuh wadagmu, maka kau dapat berbuat banyak dengan cambukmu.” “Apa itu perlu guru,“ bertanya Swandaru, “aku lebih pandai mempergunakan cambuk seperti apa adanya.” “Kau benar Swandaru. Tetapi ada kalanya seseorang terpaksa mempergunakan senjata yang didapatnya dengan serta merta, karena keadaan yang memaksa. Karena tiba-tiba saja ia harus menghadapi bahaya. Dalam keadaan yang demikian, maka ilmu semacam itu ada kalanya berguna. Seandainya yang kau ketemukan hanyalah sebatang ranting kecil yang lemah, maka kau akan dapat mempergunakan jauh lebih kuat dari keadaan ranting itu sendiri.” Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak begitu tertarik kepada kemampuan itu. Ia menganggap bahwa mempelajari hal itu hanyalah membuang waktu dan tenaga. Ia tidak akan terpisah dari senjatanya, sehingga ia tidak memerlukan kemampuan untuk menyalurkan kekuatan yang ada didalam dirinya kedalam benda apapun juga. “Jika senjataku terpaksa terpisah daripadaku, maka dengan tanganku aku dapat memecahkan kepalanya. Bahkan seandainya ia memiliki ilmu Lembu Sekilan, sehingga dalam tari-tarian itu benturan bindi kayu itu tidak menyakitinya, maka kekuatanku akan dapat menembus perisai ilmu itu,“ berkata Swandaru kepada dirinya sendiri. Kiai Gringsing agaknya dapat membaca wajah Swandaru yang sama sekali tidak tertarik akan ilmu itu meski pun mula mula ia merasa heran. Ia lebih pereaya kepada kemampuan dan tenaga raksasanya luar dan dalam. Meskipun demikian Kiai Gringsing tidak menganggap bahwa kemungkinan untuk memberikan beberapa petunjuk terhadap Swandaru telah tertutup sama sekali. Kiai Gringsing menganggap bahwa hati anak muda itu masih belum terbuka untuk melihat ilmu kanuragan dari segi yang lain. “Mungkin pada suatu saat ia akan tertarik juga untuk mempelajarinya, apabila ia merasa bahwa kemampuan tenaganya sudah cukup. Baru kemudian ia ingin melihat ilmunya dari segi yang lain,“ berkata Kiai Gringsing didalam hatinya.

Jika tingkat pengamatan ilmunya sudah sampai pada batas yang demikian itulah Kiai Gringsing baru dapat memikirkan, apakah ia akan memberikan kitabnya kepada murid-muridnya atau tidak. Karena pada saat yang demikian ia akan dapat menilai kedua muridnya dengan cermat. Apabila menurut pertimbangannya, salah seorang muridnya tidak sesuai untuk menerima ilmunya yang tercantum didalam kitab itu dalam keseluruhan, maka ia harus mempertimbangkan sepuluh bahkan duapuluh kali lagi, apakah pada muridnya yang lain hal itu dapat dilakukan. Dalam pada itu. Sangkal Putung telah menjadi ramai seperti pada saat Pangeran Benawa singgah ketika ia berangkat ke Mataram. Beberapa orang anak muda sibuk di belakang untuk membuat minuman, sementara didapurpun beberapa orang perempuan menyiapkan jamuan makan bagi para tamu. Namun dalam pada itu, agaknya Swandaru mempunyai perhatian khusus terhadap Adipati Partaningrat. Ia melihat wajah Adipati itu agak buram. Dan iapun tahu, apa yang telah dilakukan oleh Panembahan Senapati untuk mengatasi kemampuan Adipati yang sombong itu menurut ceritera para pengawal Mataram yang menyertai Pangeran Benawa sampai ke Sangkal Putung. Swandaru tidak dapat menyembunyikan perasaannya untuk ingin mencoba kemampuan Adipati yang sombong itu. Untunglah bahwa hal itu dikatakannya kepada gurunya, sehingga Kiai Gringsingpun telah mencegahnya. Bahkan dengan nada keras Kiai Gringsing berkata, “Jika kau melakukannya Swandaru, maka kau jauh lebih deksura dari Adipati itu sendiri.” Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Namun jantungnya seakan-akan berdetak semakin keras jika Adipati Partaningrat itu nampak melintas dihalaman, atau ketika kemudian ia duduk di pendapa bersama para tamu yang lain. “Aku tidak peduli apakah ia mempergunakan keris kulit, atau selembar daun pisang yang akan dapat menjadi sebilah pedang raksasa, atau ujung kain panjangnya yang akan menjadi setajam ujung tombak, namun ia tidak akan dapat menghindarkan diri dari ujung cambukku. Seandainya ia memiliki aji Lembu Sekilan, atau Tameng Waja sekalipun, kekuatanku akan mampu menembusnya sehingga kulitnya akan terkelupas sampai ketulang,“ geram Swandaru. Tetapi ia tidak berani melanggar perintah gurunya. Kiai Gringsing sudah melarangnya. Dan ia masih cukup sadar, bahwa perintah gurunya harus dipatuhinya. Dengan demikian, maka betapapun juga jantungnya bergejolak, namun Swandaru tidak dapat berbuat apa-apa. Ia harus menahan diri untuk tidak berbuat apa-apa. Dengan jantung yang berdentangan, Swandaru tidak dapat menahan diri untuk menceriterakan kepada isterinya setelah ia berceritera tentang pangeram-eram yang dilakukan oleh Adipati Partaningrat di

Mataram. “Guru melarang aku mencoba kemampuan Adipati yang sombong itu, “geram Swandaru. Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sudah tentu Kiai Gringsing akan mencegahnya kakang. Adipati itu adalah salah seorang pengiring Pangeran Benawa, meskipun Pangeran Benawa sendiri tidak senang melihat sikapnya. Namun jika orang lain menyentuh tubuh kelompok itu, maka Pangeran Benawa akan merasa tersentuh pula.” Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku menyadari. Karena itu, aku tidak berbuat apa-apa. Namun aku berharap bahwa pada suatu saat aku akan dapat bertemu dengan Adipati itu disaat lain.” “Apakah itu perlu ?“ bertanya Pandan Wangi, “kakang akan membakar persoalan yang barangkali tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan kita, kepentingan Sangkal Putung dan sekitarnya. Bahkan mungkin akan dapat meniupkan persoalan-persoalan baru yang dapat menghambat perkembangan Sangkal Putung dalam hubungan peristiwa yang sedang berkembang.” Swandaru mengerutkan keningnya. Ia merasa setiap kali Pandan Wangi dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan yang terang dihatiya. Agaknya karena gadis itu adalah anak seorang Kepala Tanah Perdikan yang sejak menjelang dewasa telah ikut campur dan terlibat dalam pemerintahan, apalagi Pandan Wangi sudah tidak beribu lagi. Dengan demikian maka tempat ayahnya berbincang adalah dirinya selain para bebahu. Namun sudah barang tentu bahwa ayahnya akan lebih dekat dengan Pandan Wangi daripada dengan bebahu yang lain. “Kau benar Pandan Wangi,“ desis Swandaru, “sebaiknya aku tidak menyalakan api persoalan yang dapat membakar Sangkal Putung hanya karena dorongan perasaan.” “Jika demikian, maka kakang tentu akan melupakan peristiwa yang terjadi di Mataram itu sebagai suatu peristiwa yang telah menggelitik perasaan kakang.” Swandaru mengangguk. Katanya, “Ya. Justru karena Adipati Partaningrat adalah pengiring Pangeran Benawa.” “Siapapun ia. Karena Adipati Partaningrat bukannya pribadi yang kita lihat. Ia memiliki kekuatan dibelakangnya yang akan dapat mengganggu kita dihari-hari mendatang. Justru mungkin pada saat-saat yang gawat.” Swandaru mengangguk-angguk lagi. Katanya, “Baiklah. Aku mengerti.” Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Swandaru meninggalkannya. Namun

kemudian tumbuh persoalan didalam dirinya berhubung dengan ceritera yang didengarnya tentang Pangeram-eram yang dilakukan oleh Adipati Partaningrat yang kemudian diatasi oleh Raden Sutawijaya. “Agaknya itulah yang dimaksud oleh Kiai Gringsing,“ desis Pandan Wangi didalam hatinya. Namun diluar persoalan pangeram-eram itu, maka sudah pasti bahwa Adipati Partaningrat mempunyai sepasukan prajurit yang kuat. Yang akan dapat dipergunakannya apabila ia menghendaki. Dalam pada itu, ternyata Pandan Wangi benar-benar telah tertarik kepada sudut yang lain dari ilmu yang dipelajarinya. Ia bukan saja ingin mempertinggi ketrampilan dan kemampuannya, tetapi juga kedalaman dari ilmunya. Dalam kesempatan yang terluang, Pandan Wangi mulai merenungi ilmunya. Ilmu yang diterimanya dari Ki Gede Menoreh. Ia sudah memiliki dasar ilmunya seutuhnya. Ia sudah mampu membangunkan tenaga cadangannya dan mempergunakan dalam setiap unsur ilmunya. Namun demikian ternyata ia masih belum benar-benar menguasai makna dari setiap unsur gerak pada ilmunya. Meskipun kemudian pada saat-saat tertentu ia masih juga berlatih bersama suami dan adik iparnya, untuk meningkatkan ketranpilan dan kemampuannya namun Pandan Wangi mempunyai juga kesempatan meskipun hanya sedikit, untuk merenungi dan kemudian mencoba melakukan seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing. “Kau mulai membuang-buang waktu kadang-kadang Swandaru menegurnya apabila ia mulai merenungi salah satu unsur geraknya.” “Menarik sekali kakang,“ berkata Pandan Wangi, “kenapa aku melakukan hal ini ? Aku kira hal ini akan lebih sesuai dengan pembawaanku sebagai seorang perempuan. Aku dapat menyusut gerak badaniah dengan lontaran kekuatan yang tidak berkurang.” Swandaru mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Apa kau yakin dapat melakukannya. Apakah kau yakin bahwa pukulan dengan sentuhan jari akan dapat mengimbangi hentakan kekuatan tangan atau kaki ?” “Mungkin bukan sejauh itu kakang. Tetapi dengan mempelajari penggunaan tenaga yang timbul karena peristiwa yang terjadi didalam diri kita akan dapat tersalur melalui kemungkinan yang paling baik. Lontaran yang paling besar sesuai dengan keseimbangan gerak.” Swandaru tidak membantah lagi. Ia membiarkan isterinya mencari menurut pendapatnya. Tetapi ia sudah merasa cukup apabila isterinya tetap dapat mengimbangi latihan-latihan yang tidak menyusut sama sekali bersama dengan Sekar Mirah.” “Tetapi jangan kau paksa dirimu,“ berkata Swandaru, “jika kau sudah lelah dengan latihan latihan yang berat, jangan kau paksa untuk melihat ilmumu dari segi yang berbeda. Kau akan dapat kehilangan keseimbangan antara kehendak dan keinginan dengan kemampuan jasmaniahmu.”

Pandan Wangi mengangguk sambil menjawab, “Ya kakang. Aku mengerti.” Sikap Pandan Wangi itu ternyata telah menarik perhatian Kiai Gringsing. Kehadiran Adipati Partaningrat dengan ceritera tentang dirinya itu ternyata menumbuhkan pikiran yang agak lain pada Pandan Wangi, meskipun yang dikatakan Kiai Gringsing tentang Adipati Partaningrat itu bukannya persoalan yang pertama kali disentuhnya. Karena itulah, maka kehadiran Pangeran Benawa di Sangkal Putung itu bukannya tidak meninggalkan kesan. Bagi Pangeran Benawa dan pengiringnya, tidak ada sesuatu yang baru pada saat mereka singgah di Sangkal Putung dalam perjalanan kembali ke Pajang. Apalagi Agung Sedayu tidak ada di Kademangan itu karena ia sudah kembali ke padepokannya. Karena itu, maka ketika Pangeran Benawa meninggalkan Sangkal Putung di hari berikutnya, Kademangan Sangkal Putung segera melupakannya. Kecuali kesan yang masih tensangkut dianganangan Pandan Wangi mengenai pangeram-eram yang pernah dilakukan oleh Adipati Partaningrat di Mataram. Kepada Kiai Gringsing, Pangeran Benawa juga tidak berpesan apapun kecuali ucapan terima kasih. Demikian juga kepada Ki Demang Sangkal Putung dan kepada Swandaru. Karena itu, maka bagi Swandaru, kepergian Pangeran Benawa ke Mataram tidak menumbuhkan persoalan-persoalan yang baru bagi Sangkal Putung kecuali satu anggapan bahwa Pangeran Benawa masih tetap mencintai kakak angkatnya dan berusaha melindungi namanya. “Orang-orang Pajang dan orang-orang Mataram lebih senang menunda-nunda penyelesaian terhadap persoalan yang mereka hadapi,“ berkata Swandaru didalam dirinya. Ia menganggap bahwa dengan demikian persoalannya tidak dapat dianggap selesai. Seperti api yang ditimbun dengan sekam. Pada satu saat, maka api itu akan justru menyala semakin besar, meskipun mula-mula seolah-olah api itu menjadi padam. “Itu persoalan mereka,“ berkata Swandaru, “aku akan membuat Kademangan ini menjadi satu Kademangan yang dapat menentukan sikap dan kehendaknya sendiri.” Karena itulah, maka Swandaru justru bekerja lebih keras lagi membentuk Kademangannya sesuai dengan angan-angannya. Sementara itu Pandan Wangi masih saja mencoba memanfaatkan waktunya untuk memenuhi keinginannya melihat sesuatu yang lain pada ilmunya. Yang dilakukan oleh kedua orang suami isteri itu tidak lepas dari pengamatan Kiai Gringsing. Dengan telaten ia memberikan beberapa tuntunan, meskipun Kiai Gringsing tidak lagi ingin menggurui muridnya seperti saat-saat lampau. Agaknya Swandaru sudah tidak lagi merasa dirinya kanak-kanak yang harus dituntun dalam banyak hal termasuk sikapnya terhadap ilmunya dan juga sikapnya terhadap keadaan Sangkal Putung dalam

hubungannya dengan keadaan disekitarnya. Dalam pada itu, sepeninggal Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya menjadi semakin prihatin melihat keadaan yang semakin buram dalam hubungan antara Pajang dan Mataram. Ketiga orang pengawalnya yang ikut ke Sangkal Putung, dapat menjelaskan, betapa Adipati Partaningrat tidak dapat melupakan peristiwa yang terjadi di Mataram. Ketiga orang itu dapat mengatakan bahwa saat-saat mereka mengikuti Pangeran Benawa sampai ke Sangkal Putung, mereka melihat kesan yang muram pada wajah Adipati Partaningrat. Namun ia menjadi berdebar-debar juga mendengar laporan, betapa anak laki-laki Ki Demang Sangkal Putung telah terpengaruh oleh peristiwa yang telah terjadi di Mataram, sehingga menurut ketiga orang pengawalnya, anak muda itu telah mendendamnya. “Kami terlanjur menceriterakan apa yang telah terjadi,“ berkata salah seorang pengawal itu. Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Terbayang betapa Swandaru yang gemuk itu bersikap mendengar ceritera tentang pangeram-eram yang dibuat oleh Adipati Partaningrat. Meskipun Raden Sutawijaya tidak melihat, tetapi ia memang sudah membayangkan, bahwa pangeram-eram itu tidak akan menggetarkan jantung anak muda Sangkal Putung itu, karena ia tidak mementingkan kemampuan serupa itu. Yang penting baginya adalah ketrampilan dalam ilmu kanuragan, kecepatan menggerakkan senjata, dan kekuatan yang tidak tertahankan meskipun oleh aji Lembu Sekilan sekalipun. Tetapi Raden Sutawijaya telah memperhitungkan, bahwa Kiai Gringsing tentu akan memperingatkan muridnya apabila anak muda itu ingin berbuat sesuatu. Namun yang ditanyakannya kemudian adalah Agung Sedayu. Kenapa ia kembali ke Padepokan tanpa gurunya. “Kiai Gringsing ingin menunggui Swandaru yang baru saja terluka itu. Bahkan yang masih belum sembuh sama sekali,“ berkata salah seorang pengawal yang datang dari Sangkal Putung itu. Dari Pengawal itu pula Raden Sutawijaya mendengar peristiwa yang telah terjadi di Sangkal Putung pada saat-saat terakhir sampai kedatangan Pangeran Benawa bersama para pengiringnya. Dalam pada itu. Kiai Gringsing yang berada di Sangkal Putung, ternyata tidak tergesa-gesa meninggal kan Kademangan itu. Meskipun Pangeran Benawa telah kembali ke Pajang, namun ia masih tetap

tinggal bersama Swandaru. Apalagi ternyata bahwa tidak ada sesuatu yang penting diberitahukan kepada Agung Sedayu tentang perjalanan Pangeran Benawa justru karena Agung Sedayu telah mendahuluinya memberitahukan akan kehadiran Pangeran Benawa dengan tugas khususnya. Yang justru menarik perhatian Kiai Gringsing adalah sikap Pandan Wangi. Ia telah-mencoba melakukan sesuatu yang lain dari yang selalu dilakukannya sebelumnya. Selama Pandan Wangi tidak mengurangi kegiatannya dalam latihan-latihan bersama Swandaru dan Sekar Mirah, ternyata Swandaru tidak berkeberatan atas sikap Pandan Wangi. Bahkan kadang-kadang ia mau juga membicarakan beberapa hal tentang pengamatan Pandan Wangi tentang ilmunya dari segi yang agak lain dari yang selalu mereka lakukan. “Tetapi kau jangan kehilangan pegangan,“ berkata Swandaru jika kau tenggelam dalam satu sikap yang belum pasti, sementara kau kehilangan waktu dan kesempatan dari apa yang selama ini kita lakukan, maka kau akan ketinggalan dari kami. Dengan demikian, maka semakin lama ilmumu akan menjadi semakin jauh dibawah lapisan ilmu kami. Padahal selama ini kau tetap bertahan, berada dalam jajaran yang sama dengan aku dan Sekar Mirah, meskipun karena kodrat kita masing-masing, aku memiliki kelebihan kekuatan, tetapi kau mungkin dapat bergerak lebih cepat dan lincah dari ku. Pandan Wangi mengangguk. Ia mulai yakin, bahwa dengan cara itu, ia akan tetap dapat berada pada tatarannya, iapun akan mampu meningkatkan ilmunya seperti jika ia berlatih dengan cara yang biasa dilakukannya. Namun, karena ia menempuh dengan cara kedua-duanya, maka ia telah mempergunakan waktu lebih banyak dari biasanya. “Aku hanya mempergunakan waktu yang sangat sedikit untuk mencoba mengikuti keinginan hati, melihat segi yang lain itu kakang. Aku masih tetap bersandar kepada yang pernah kita lakukan,“ berkata Pandan Wangi jika Swandaru memperingatkan kemampuan jasmaniahnya. “Kau harus menjaga badanmu. Karena bagaimanapun juga, adamu adalah karena adanya wadagmu. Dengan demikian maka wadagmu harus kau perhatikan, sebaik-baiknya.” Pandan Wangi mengangguk. Ia sadar, bahwa Swandaru kadang-kadang mencemaskannya apabila ia tenggelam dalam pengamatan ilmunya. Tetapi Kiai Gringsing telah menuntutnya dengan cara yang sederhana pada tahap permulaan. Pandan Wangi mulai lagi dengan gerak-gerak dasar yang sangat sederhana. Ia harus mengulang beberapa kali. Mengamati dan ia mulai mengenalinya. Berapa jauh kemampuan lontaran ilmu yang ada padanya lewat unsur-unsur gerak yang sederhana. Berapa besar ia dapat melepaskan tenaga cadangannya dalam unsur-unsur gerak yang masih sederhana itu. “Perhatian,“ berkata Kiai Gringsing, “ingatlah setiap perubahan dan peningkatan kemampuan pada

tahap-tahap yang permulaan sekali. Jika kau berhasil, maka kau akan dapat membuka pintu untuk tata gerak yang lebih rumit, dan akhirnya kau akan menguasai cara yang dapat kau telusur sampai ketingkat tertinggi. Bahkan kemudian kau akan dapat melihat segi lain dari kemampuan itu. Sentuhan antara dunia didalam dirimu dalam keseluruhan yang utuh, dengan dunia diluar dirimu.” Pandan Wangi mengangguk. “Jika demikian, maka kau akan dapat mencari kemungkinan lain. Kau tidak hanya akan dapat bertahan terhadap sirep. Tetapi kau akan dapat membantu orang lain untuk mengatasi kesulitannya. Demikian pula kau akan dapat memiliki ketajaman penglihatan batinmu terhadap ilmu seperti yang dimiliki oleh Carang Waja. Kau dapat membebaskan dirimu dari pengaruh peristiwa-peristiwa semu semacam itu. Juga kau akan melihat kesemua bentuk-bentuk semu yang dapat dilontarkan oleh Ki Waskita meskipun kau tidak dapat melepaskan bentuk-bentuk semu semacam itu.” Pandan Wangi mengangguk-angguk. Sementara Kiai Gringsing berkata, “Kau sudah mempunyai dasar. Soalnya, apakah kau mampu mengembangkan dan membinanya, atau tidak.” Karena itulah, maka Pandan Wangi menjadi lebih banyak merenung. Swandaru yang melihat perkembangan isterinya, kadang-kadang merasa cemas juga. Bahkan ia mulai tidak lagi memaksa isterinya untuk berada didalam sanggar dalam latihan-latihan seperti yang biasanya mereka lakukan, meskipun Pandan Wangi sendiri pada setiap kesempatan masih juga melibatkan diri kedalam latihanlatihan yang demikian. “Kau mulai berubah,“ berkata Sekar Mirah kepada Pandan Wangi. Pandan Wangi tersenyum. Katanya, “Hanya permukaannya saja. Mudah-mudahan aku akan dapat menemukan keseimbangan.” “Kau mulai banyak merenung. Kadang-kadang kau berbuat sesuatu yang tidak kami mengerti.” Pandan Wangi masih tersenyum. Ia berusaha untuk meyakinkan Sekar Mirah bahwa tidak terjadi perubahan yang mendalam pada dirinya. Maka katanya, “Perubahan itu mungkin memang terjadi Sekar Mirah, tetapi mungkin karena aku justru dalam tahap permulaan mencari bentuk yang agak berbeda dengan yang sudah terbiasa kita lakukan,“ ia berhenti sejenak, lalu. “nanti, jika aku sudah terlalu sering melakukan sesuatu dengan sikap dan cara yang baru, maka aku akan nampak lagi banyak merenung dan mencari.” Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian berkata, “Kenapa kau masih harus mencari ? Bukankah lebih baik kita melakukan seperti yang sering kita lakukan? Kau mungkin terlalu ingin cepat meningkatkan ilmumu. Tetapi bukankah dalam tataran seperti kita, memang terasa lamban sekali untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi. Apa yang kita capai memang kadang-kadang sangat mengecewakan. Selama ini kita masih bergulat

dengan latihan-latihan yang nampaknya hanya dapat menambah pengalaman dan mempercepat tanggapan naluriah terhadap gerak diseputar kita. Tetapi bukankah memang demikian seharusnya terjadi pada kita ? Mungkin kita dapat meningkatkan kekuatan kita selapas dan kecepatan bergerak yang hampir tidak terasa. Tetapi jika kita telaten, maka kita akan mencapai sesuai dengan keinginan kita. Sedangkan kesempatan untuk mencari itu sendiri telah menelan waktu yang mungkin akan tersiasia.” Pandan Wangi masih tetap tersenyum. Katanya,” Bukankah aku tidak meninggalkan cara yang selama ini kita pergunakan ? Justru karena aku telah menyisihkan waktu sedikit diluar waktu-waktu yang biasa kita pergunakan untuk berlatih, maka nampaknya aku telah menjadi perenung dan tidak sempat berbuat lain seperti kebiasaan yang kita lakukan sehari-hari. Mungkin aku menjadi semakin jarang kedapur, atau barangkali aku lupa berhias. Namun itu tidak akan lama. Mungkin dalam waktu sebulan aku sudah terbiasa dengan keadaan baru itu.” “Ya. Aku akan terbiasa dengan keadaan baru. Kau akan terbiasa duduk merenung. Kau akan terbiasa membiarkan dirimu kusut. Bukan maksudku, bahwa kita hanya wajib menghias diri. Tetapi bukankah sewajarnya jika kita tidak melupakan diri kita, bahwa kita adalah perempuan.” Pandan Wangi tertawa. Katanya, “Bukan begitu maksudku Sekar Mirah. Jika aku sudah terbiasa, maka aku tidak perlu merenung lagi. Tidak perlu berlama-lama berada di Sanggar untuk mencari, karena aku sudah menemukan. Waktu yang aku pergunakan akan terbagi dengan baik dan wajar tanpa meninggalkan kodrat kita sebagai perempuan.” Sekar Mirah mengangguk. Katanya, “Mudah-mudahan. Tetapi jika yang kau lakukan itu akan berlarut-larut, maka akupun akan ikut menjadi prihatin melihat keadaanmu.” “Terima kasih atas perhatianmu Sekar Mirah. Jika ternyata aku dapat menemukan cara yang baru itu, maka kita akan membicarakannya dan mencoba bersama. Agaknya Kiai Gringsing dapat memberikan beberapa petunjuk. Jika Kiai Gringsing kelak meninggalkan Sangkal Putung, aku akan menjadi kian sulit untuk mencari.” Sekar Mirah hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Pandan Wangi memang sudah bertekad. Sekar Mirah menganggap bahwa ceritera tetang pangeram-eram itu benar-benar telah mencengkam minat kakak iparnya. “Anehnya,“ berkata Sekar Mirah didalam hatinya, “Kiai Gringsing tidak melarangnya, justru membantunya. Apakah dengan demikian Kiai Gringsing ingin membuat Pandan Wangi menjadi seorang yang mampu melakukan pangeram-eram pula seperti Adipati Partaningrat di Mataram beberapa saat yang lalu ?” Tetapi Sekar Mirah tidak menanyakannya kepada siapapun juga. Bahkan kepada Swandaru juga tidak.

Namun demikian, pertanyaan yang serupa telah tumbuh dengan sendirinya didalam dada Swandaru. Meskipun demikian, seperti Sekar Mirah ia tidak mencegah isterinya melakukan pengamatan atas ilmunya dengan cara yang agak berbeda. Dengan latihan-latihan yang agak berbeda pula, meskipun pada kesempatan-kesempatan tertentu ia masih tetap berlatih seperti yang biasa dilakukannya. “Biarlah ia mencoba,“ berkata Swandaru kepada dirinya sendiri, “aku yakin bahwa pada suatu saat ia akan kembali dengan caranya yang lama. Aku harap ia tidak terlalu lama tenggelam dalam impian yang membuatnya murung. Sehingga dengan demikian ia tidak akan ketinggalan dari Sekar Mirah.” Sementara itu. Pandan Wangi masih meneruskan usahanya. Ia mengulangi setiap unsur gerak yang pernah dipelajari dan dikuasainya. Tidak hanya satu dua kali. Tetapi berkali-kali dengan pertanyaan didalam hati, kenapa gerak itu dilakukan. Atas dasar apa maka gerak itulah yang dilakukannya. Betapa jauh jangkauan gerak itu. Dan akhirnya ia harus mencari hubungan antara gerak itu dengan kemampuan tenaga dan tenaga cadangan yang ada didalam dirinya. Pada saat-saat yang manakah dari gerak itu, dan pada sikap yang manakah, ia mampu mengerahkan tenaga dan tenaga cadangannya tertinggi dan dimanakah yang terendah. Waktu yang diperlukan dan kemudian mencari kemungkinan didalam gerak itu dalam hubungan dengan getaran kekuatan didalam dirinya. Bahkan semakin jauh Pandan Wangi mencari, maka ia sampai pada suatu usaha untuk menemukan hubungan antara getaran didalam dirinya dan sasaran diluar dirinya. Kekuatan yang dapat dilontarkan lewat getaran itu dengan kemampuan tenaga dan tenaga cadangan yang ada didalam dirinya, menggunakan getaran diseputarnya dalam gerak hubungan tenaga sehingga ia dapat menyentuh lawan tanpa sentuhan wadag, disamping menyalurkan kekuatan tenaga dan tenaga cadangannya pada sasaran dengan sentuhan wadagnya. Meskipun Pandan Wangi belum menemukannya, tetapi seolah-olah ia telah melihat pintu dihadapannya. Pintu yang masih tertutup. Namun ia melihat bagaimana selarak pintu itu melintang. “Aku harus berhasil mengangkat selarak itu dan membawa pintunya,“ berkata Pandan Wangi kepada diri sendiri. Sehingga dengan demikian iapun menjadi semakin yakin akan keberhasilannya. Berbeda dengan Swandaru dan Sekar Mirah yang menjadi cemas melihat perkembangan Pandan Wangi, Kiai Gringsing justru menaruh harapan kepada perempuan dari Tanah Perdikan Menoreh itu. Keprihatinan dimasa lampaunya memberikan dorongan kepadanya untuk melihat dirinya lebih dalam. Dengan demikian, iapun didorong pula untuk melihat ilmunya pada kedalamannya pula. *** Dalam pada itu, selagi Swandaru dan Sekar Mirah dengan cemas mengikuti perkembangan keadaan Pandan Wangi, maka di Padepokan kecilnya. Agung Sedayupun sedang sibuk menuntun Glagah Putih didalam olah kanuragan. Agung Sedayu masih belum memberikan petunjuk-petunjuk lain kecuali dalam tuntunan ilmu sewajarnya. Glagah Putih harus menguasai segala unsur yang ada. Memahaminya

dan mengerti apa yang dilakukan. Jika ia mudah berhasil, maka barulah Glagah Putih akan mendapat petunjuk-petunjuk khusus tentang cara yang lain yang dapat ditempuhnya untuk mendalami ilmunya. Ternyata Glagah Putih adalah seorang anak muda yang tekun. Setiap kali ayahnya datang menengoknya, maka ayahnya selalu merasa heran dan bangga. Kemajuan yang decapai oleh Glagah Putih ternyata jauh lebih pesat dari yang diduganya. Karena itu maka Ki Widura menjadi semakin sering datang kepadepokan kecil itu. Sekali-sekali ia bermalam. Namun kadang-kadang ia hanya datang sebentar menengok kemajuan Glagah Putih. Tetapi kebanggaan itu akhirnya bertumpu kepada kekagumannya terhadap Agung Sedayu. Agung Sedayu yang sejak permulaan telah diasuh oleh Kiai Gringsing dalam cabang ilmu yang berbeda, namun ia benar-benar menguasai ilmu cabang perguruan Ki Sadewa. Jauh lebih baik dari Ki Widura sendiri. Bahkan betapa teliti Ki Widura mengamati, ia masih tetap melihat ilmu itu utuh. “Agung Sedayu benar-benar anak muda yang luar biasa. Ia dapat menyaring ilmu yang ada didalam dirinya, yang seharusnya sudah menyatu, karena kadang-kadang nampak bahwa kedua ilmu itu luluh didalam dirinya. Namun jika dikehendaki, ia masih mampu mengurai ilmu itu pada sisinya masingmasing,“ berkata Ki Widura didalam hatinya. Sementara itu, Sabungsari masih juga sering datang kepadepokan itu. Semakin sering ia melihat cara Agung Sedayu menuntun adik sepupunya, kekagumannya kepada anak muda itu menjadi semakin meningkat. Dengan demikian, jika masih ada sisa-sisa sakit hati yang tersangkut pada perasaannya atas kekalahannya dari Agung Sedayu, maka lambat laun telah terhapus sama sekali. Akhirnya ia menjadi iklas akan kekalahannya dan iapun dengan rela melepaskan niatnya untuk membalas dendam. Dalam pada itu, luka-lukanyapun telah menjadi sembuh sama sekali. Sabungsari benar-benar telah menjadi pulih seperti saat-saat ia belum disentuh oleh kemampuan ilmu Carang Waja yang dahsyat itu. Namun demikian, kegelisahannya semakin lama justru menjadi semakin mengganggunya apabila ia teringat kepada prajurit Pajang di Jati Anom yang menunggu kematian Agung Sedayu. Yang semula, mereka akan melakukannya sendiri. Tetapi Sabungsari telah mencegahnya karena ialah yang ingin membunuh Agung Sedayu dengan tangannya. Tetapi ternyata bahwa ia tidak berhasil membunuhnya. Bukan saja ia telah dikalahkan dalam pertempuran dengan cara apapun juga, tetapi kejernihan hati Agung Sedayu telah dapat melarutkan segala dendam yang tersimpan didalam hatinya. Namun demikian Sabungsaripun memperhitungkan, bahwa apabila Agung Sedayu tidak juga segera

terbunuh, maka prajurit yang akan menyingkirkannya itu akan menjadi tidak bersabar lagi menunggu. Pada suatu saat mereka akan bertindak sesuai dengan kepentingan mereka. Sabungsari menjadi bingung, apakah yang sebaiknya dilakukan. Apakah ia harus memberitahukan hal itu langsung kepada Agung Sedayu, atau dengan cara yang lain. Beberapa kali ia mencoba ingin mengatakan berterus terang. Tetapi setiap kali ia masih saja di bayangi oleh pertimbanganpertimbangan yang lain. “Apakah aku justru harus melaporkannya kepada Ki Untara agar ia tidak saja sekedar mengetahui bahwa ada benalu didalam lingkungannya, tetapi juga dapat membersihkannya sampai keakarnya ? “ pendapat itu kadang-kadang tumbuh dihatinya. Tetapi jika demikian ia harus mempunyai bukti yang dapat menunjukkan kebenaran laporannya, sehingga ia tidak dapat dituduh telah memfitnah. “Tetapi jika aku terlalu lama menunggu, mungkin sesuatu sudah terjadi pada Agung Sedayu,“ katanya pula didalam hati. Dengan demikian, maka Sabungsari itupun masih saja dibayangi oleh keragu-raguan. Ia ingin melakukan sesuatu, tetapi ia harus mengumpulkan bukti dan mendapatkan jalan yang paling baik untuk melakukannya. “Jika Agung Sedayu sependapat, mungkin aku akan dapat menjebaknya,“ berkata Sabungsari didalam hatinya, “sementara Ki Untara dapat diberi tahu untuk menyaksikan peristiwa yang dapat menjadi bukti bahwa seseorang telah berusaha untuk membunuh adiknya.“ Namun segalanya masih merupakan pertimbangan-pertimbangan yang belum mapan. Sementara kegelisahannya menjadi semakin menyala didalam hatinya. Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa mereka yang menginginkan kematian Agung Sedayu telah menunggu dengan gelisah. Dari hari ke hari mereka menanti, apakah ada berita kematian Agung Sedayu atau bahkan Sabungsari yang ingin berperang tanding. Tetapi berita itu tidak kunjung datang. Agung Sedayu masih tetap hidup, dan bahkan Sabungsari justru hampir mati tidak melawan Agung Sedayu, tetapi melawan Carang Waja dari Pesisir Endut. “Aku akan menjumpainya,“ berkata seorang prajurit kepada kawannya. “Jangan salah seorang diantara kita,“ jawab yang lain, “biarlah Ki Pringgajaya mengambil cara yang sebaik-baiknya menurut perhitungannya.” Yang lain menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terserahlah. Tetapi waktunya sudah cukup lama. Jika kita

masih menunggu, maka pada saat kita akan kecewa, karena segala kesempatan telah berlalu.” “Tentu Ki Pringgajaya telah mempertimbangkannya,“ desis yang lain. Kawan kawannya tidak menyahut lagi. Segala sesuatunya akan diserahkan kepada orang-orang yang lebih tua. Baik dalam usia, maupun dalam tataran keprajuritan. Apalagi mereka mengetahui, meskipun Sabungsari masih muda, tetapi ia memiliki kemampuan yang luar biasa. Dalam pada itu, seperti yang mereka perhitungkan, maka kelambanan sikap Sabungsari telah membuat orang-orang yang ingin menyingkirkan Agung Sedayu itu menjadi tidak telaten. Apalagi tugas mereka bukannya sekedar menyingkirkan Agung Sedayu. Tetapi orang-orang Sangkal Putung itupun harus mendapat perhatian mereka. Swandaru, isterinya, adiknya dan gurunya merupakan orang-orang yang berbahaya, yang dapat membuat Mataram bertambah kuat. Jika Pandan Wangi harus juga disingkirkan, maka Tanah Perdikan Menorehpun harus diperhitungkan. Dalam beberapa hal, maka Mataram telah bekerja bersama, tidak saja dengan Kademangan Sangkal Putung, tetapi juga dengan Tanah Perdikan Menoreh. “Aku akan menemui anak itu,“ berkata Pringgajaya kepada para prajurit yang ada dibawah pengaruhnya. “Berhati-hatilah Ki Lurah,“ berkata salah seorang prajuritnya. “Jangan gurui aku. Kau kira aku takut dengan tatapan matanya ? Jika ia mampu membunuh seekor kambing dengan tatapan matanya, yang barangkali juga karena itu maka ia berhasil mengalahkan Carang Waja di Sangkal Putung, maka tatapan matanya itu tidak akan berarti apa-apa atasku. Jika mata itu menghantam lawan dengan sentuhan wadag, maka tatapan matanya tidak akan dapat menyentuh aku.” Para prajurit itu mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa Pringgajaya memiliki aji Lembu Sekilan, sehingga dengan demikian, maka ia seakan-akan dapat menahan serangan dalam ujud apapun juga atas wadagnya pada jarak sejengkal dari kulitnya. Dengan demikian, maka keragu-raguan Sabungsari ternyata membuat orang-orang yang menginginkan kematian Agung Sedayu itu menjadi tidak telaten. Sementara Sabungsari masih mencari cara yang paling baik untuk mengatasi persoalan itu, maka iapun terkejut ketika seorang prajurit Pajang di Jati Anom yang termasuk tataran yang lebih tinggi telah mencarinya. “Ki Pringgajaya,“ desis Sabungsari ketika ia sudah menghadap. “Ya. Aku kira kau sudah tahu maksudku,“ berkata Pringgajaya. “Aku sudah mengerti.” “Kau sudah pernah membuat pangeram-eram. Dengan tatapan matamu kau dapat membunuh seekor kambing pada jarak yang cukup jauh. Kemudian menurut pendapatku, dengan cara yang sama kau

bunuh Carang Waja.” Sabungsari mengangguk. Katanya, “Benar. Aku telah melakukannya.” “Lalu, bagaimana dengan Agung Sedayu ?” Pertanyaan itulah yang dicemaskan oleh Sabungsari. Ia masih belum menemukan cara untuk membuktikan hal itu. Bukan sekedar melaporkan. Seandainya hal itu diketahui oleh Agung Sedayu, maka agaknya anak muda itupun tidak cepat mempercayainya, karena ia tidak segera berprasangka buruk terhadap orang lain. “Apakah kau masih tetap pada rencanamu ?“ bertanya Pringgajaya itu pula. Sabungsari mengangkat wajahnya. Katanya, “Ki Pringgajaya. Dari jauh aku datang kemari. Aku sudah berjanji kepada diriku sendiri. Tidak ada orang lain yang pantas membunuh Agung Sedayu, kecuali aku sendiri. Aku akan menentang setiap usaha orang lain dengan cara apapun juga, karena hal itu akan merendahkan martabatku.” Pringgajaya tersenyum pahit. Katanya, “Kau hanya dapat berbicara. Kau sudah terlalu lama berada disini. Tetapi Agung Sedayu itu lecetpun tidak.” “Aku tidak tergesa-gesa,“ jawab Sabungsari, “tetapi justru karena itu aku hampir menyesal. Sebelum aku dapat membunuh Agung Sedayu, aku hampir mati karena Carang Waja.” “Kau memang terlambat. Atau barangkali kau takut menghadapi Agung Sedayu setelah kau mengenalnya ?” “Tidak ada seorangpun yang aku takuti didunia ini,“ berkata Sabungsari. “Kau terlalu sombong. Pada suatu saat kau akan terjebak oleh kesombonganmu. Jika kau berhasil mencekik anak kambing sakit-sakitan itu dengan tatapan matamu, kau kira kau dapat berbuat sekehendakmu ? Kau tidak akan dapat berbuat apa-apa atasku dengan tatapan matamu dalam sentuhan wadag itu.“ Pringgajaya berhenti sejenak, “karena itu jika kau memang sudah tidak yakin akan dapat melakukannya, katakan kepadaku. Aku akan melakukannya. Tugasku masih luas. Aku harus melumpuhkan segala dukungan bagi Mataram oleh kekuatan disekitar tlatah Mataram. Karena yang paling akrab adalah Sangkal Putung, maka segala kekuatan Sangkal Putung akan aku lumpuhkan lebih dahulu. Dengan demikian maka jalan antara Pajang ke Mataram telah terbuka.” “Aku memang akan membunuh Agung Sedayu,“ sahut Sabungsari, “tetapi dalam hubungan yang lain. Aku tidak bersangkut paut dengan pertentangan antara Pajang dan Mataram. Tetapi dendam pribadi telah membakar jantungku.

Demikian aku sembuh sama sekali dari luka-lukaku yang parah dalam pertempuran melawan Carang Waja, maka aku akan segera melakukannya,“ geram Sabungsari dengan sungguh-sungguh. “Aku akan menunggu dalam beberapa hari ini,“ berkata Pringgajaya. “Aku masih memerlukan waktu sepekan untuk memulihkan kesehatanku sehingga segala kekuatan dan kemampuanku akan berada pada tingkat puncaknya. Satu dua hari kemudian, aku akan dapat melakukannya. Adalah kebetulan sekali bahwa gurunya kini tidak ada dipadepokan kecilnya itu.” Pringgajaya mengangguk-angguk. Katanya, “Apapun alasanmu, namun yang penting bagiku adalah kematiannya. Bukan maksudku memanfaatkan dendammu kepada Agung Sedayu, karena akupun merasa mampu melakukannya. Tetapi justru karena aku ingin memberimu kesempatan, maka aku membiarkan kau melakukannya. Tetapi jika dalam niat itu justru kau yang terbunuh, maka aku sudah siap untuk melakukannya sendiri.” “Ki Pringgajaya nampaknya tidak yakin akan kemampuanku. Baiklah. Pada suatu saat aku akan membuktikannya,“ berkata Sabungsari yang terpaksa menahan hati. Pringgajaya tertawa. Katanya, “Jangan menunggu sampai aku dipindahkan dari Jati Anom.” Sabungsari mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tertawa. Katanya, “Apa salahnya kalau Ki Pringgajaya sudah dipindahkan keluar daerah ini. Apakah kematian Agung Sedayu akan berselisih nilainya.” “Aku ingin melihat kematian itu agar aku pasti dan yakin. Bukan hanya sekedar mendengar kabar atau menurut pengakuan orang lain,“ jawab Ki Pringgajaya. Sabungsari tertawa. Katanya, “Ki Pringgajaya akan melihatnya. Tunggulah barang sepekan. Aku masih belum dapat memulihkan kemampuanku sepenuhnya. Aku sadar, bahwa Agung Sedayu bukan anak kecil.” “Kalau pada suatu saat kau menjadi ketakutan, katakanlah kepadaku. Aku akan melakukannya.” Sabungsari tertawa semakin panjang. Jawabnya, “Baiklah. Tetapi Ki Pringgajaya jangan terlalu sombong, agar tidak menggelitik hati untuk sekali melihat kemampuanmu yang sebenarnya.” Ki Pringgajayalah yang tertawa. Katanya, “Kau kira karena kau sudah berhasil membunuh Carang Waja kau merasa dirimu tidak ada duanya. Kau kira bahwa dengan permainanmu membunuh anak kambing itu. kau sudah orang terpilih didunia ?” “Aku tidak berkata begitu. Tetapi aku akan dapat membunuh Agung Sedayu dengan ilmuku itu. Bukan

saja Agung Sedayu, tetapi juga perwira yang paling baik yang ada di Jati Anom.” “Untara maksudmu?“ bertanya Pringgajaya, “ia bukan orang terbaik. Memang ia memegang jabatan tertinggi disini. Tetapi kau kira ia memiliki ilmu yang cukup tinggi?” “Siapa yang mampu melampaui ilmu Untara ?“ bertanya Sabungsari. Pringgajaya tertawa. Katanya, “Aku ditempatkan pada jabatan dibawah jabatan Untara bukan karena aku tidak mampu mengimbangi kemampuannya. Tetapi dengan demikian, aku akan lebih leluasa untuk berbuat bersama orang-orangku.” “Apakah masih ada orang yang lebih baik dari Ki Pringgajaya ?“ bertanya Sabungsari. Wajah Ki Pringgajaya menjadi tegang. Sementara Sabungsari berkata selanjutnya, “Orang itu tentu akan dikalahkan oleh Agung Sedayu. Aku yakin. Hanya aku sajalah yang akan dapat membunuhnya.” Sorot mata Ki Pringgajaya bagaikan menyala. Dengan nada datar ia berkata tertahan-tahan, “Apakah dengan demikian kau bermaksud menjajagi keteguhan hatiku ? Atau bahkan kau ingin membuktikan apakah aku benar-benar dapat membunuh Agung Sedayu ? Anak muda, aku yakin aku akan dapat melakukannya. Bahkan membunuhmu sekalipun.” Sabungsari tertawa. Katanya, “Jangan marah. Aku tidak bermaksud buruk. Tetapi serahkan Agung Sedayu kepadaku. Aku akan menyelesaikannya setelah sepekan.” “Jika aku tidak ingin memberi kesempatan. Agung Sedayu tentu sudah mati. Aku kira kau telah salah paham. Kau kira, karena ancamanmu dengan membunuh seekor anak kambing, aku menjadi ketakutan dan lebih baik melepaskan maksud itu.” “Tidak. Aku tidak ingin menakuti. Aku tahu kau seorang prajurit yang tidak mengenal takut. Aku hanya ingin meyakinkan, bahwa aku tentu akan berhasil.” Ki Pringgajaya mengerutkan keningnya. Nampaknya anak muda itu tidak terlampau sombong. Namun demikian ia masih ingin meyakinkan, “Aku memberi waktu dua pekan seperti yang kau perhitungkan. Jika waktu itu lewat dan Agung Sedayu masih tetap hidup, maka aku tidak akan menunggu lagi. Bahkan jika kau mencoba menghalangi, maka kau akan mati lebih dahulu dari Agung Sedayu.” “Terima kasih atas waktu yang kau berikan. Waktu itu cukup longgar bagiku,“ jawab Sabungsari. Ki Pringgajaya menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata, “Marilah, kita akan melihat apa yang akan terjadi.“ Demikian pertemuan itu membuat Sabungsari semakin gelisah. Ia sudah berganti sikap dan pendirian. Ia sama sekali tidak lagi ingin membunuh Agung Sedayu. Namun demikian, ia masih ingin

mendapatkan cara yang sebaik-baiknya untuk menjebak Ki Pringgajaya agar ia tidak sekedar disebut seorang yang memfitnah karena laporan yang tidak dapat dibuktikan. “Apakah aku biarkan saja Ki Pringgajaya berhadapan dengan Agung Sedayu,“ berkata Sabungsari didalam hatinya. Namun ia menjadi cemas. Meskipun menurut perhitungan Sabungsari, Agung Sedayu tidak akan dapat dikalahkan oleh Ki Pringgajaya, namun Agung Sedayu tidak mempunyai kemantapan bertempur untuk membunuh seseorang. Karena itu, maka jika ia salah langkah setapak, maka jiwanya tentu akan terancam. Sabungsari membayangkan, bagaimana Agung Sedayu berusaha mengalahkannya. Jika saat itu ia berbuat curang, maka kemungkinan yang lain dapat saja terjadi. Dengan demikian Sabungsari masih dapat berbangga terhadap dirinya sendiri, meskipun ia telah dikalahkan oleh Agung Sedayu, bahwa ia masih tetap bersikap jantan dalam keadaan yang bagaimanapun juga. “Tetapi, bagaimana jadinya jika kemudian Agung Sedayu bertemu dengan lawan yang curang. Betapapun tinggi ilmunya, tetapi berhadapan dengan kecurangan, maka mungkin sekali ia akan dapat dihancurkan,“ berkata Sabungsari kepada dirinya sendiri. Dalam pada itu, maka sabungsari menjadi bimbang, apakah yang sebaiknya dikatakan. Seandainya ia langsung menyampaikannya kepada Agung Sedayu, apakah ia dapat mempereayainya. Dan apakah justru Agung Sedayu tidak berusaha mencari pemecahan yang dapat menyulitkannya. “Jika Agung Sedayu kemudian langsung menemui Ki Pringgajaya, dan bertanya, apakah maksud itu benar-benar akan dilakukan dalam usahanya mencapai penyelesaian tanpa pertumpahan darah, maka mungkin namaku akan disebut-sebut,“ berkata Sabungsari didalam hatinya. Untuk beberapa saat ia masih ragu-ragu. Namun ia masih mempunyai waktu dua pekan. Didalam waktu dua pekan itu, ia harus mendapatkan cara yang sebaik-baiknya untuk menghindarkan Agung Sedayu dari bencana, yang dapat ditimbulkan oleh Ki Pringgajaya dan orang-orangnya yang berada didalam lingkungan keprajuritan Pajang di Jati Anom. “Segalanya harus diperhitungkan,“ berkata Sabungsari didalam hatinya yang gelisah. *** Sementara itu. Agung Sedayu sama sekali tidak menduga, bahwa bahaya yang baru telah mulai mengintainya lagi, setelah untuk waktu yang terhitung pendek, ia sempat beristirahat. Setelah Sabungsari menyadari dirinya. Agung Sedayu mengira, bahwa ia akan mendapat waktu untuk melupakan segala macam permusuhan dan dendam. Namun ternyata bahwa orang-orang didalam lingkungan keprajuritan Pajang di Jati Anom telah mulai lagi untuk mengusiknya.

Agung Sedayu sendiri, yang pada suatu saat telah condong untuk menentukan masuk menjadi prajurit, agaknya telah membatalkan niatnya. Setidak-tidaknya untuk sementara. Dari Raden Sutawijaya ia pernah mendengar, bahwa ia merupakan orang yang dapat memanfaatkan diri justru karena ia tidak menduduki jabatan apapun. Selain itu, ia sendiri menjadi semakin bingung, jika ia ingin menjadi seorang prajurit, apakah ia harus pergi ke Pajang atau ke Mataram. Agung Sedayu sadar, bahwa dengan demikian, ia akan mengecewakan Sekar Mirah. Namun ia tidak akan dapat menentukan satu pilihan yang mantap dalam keadaan yang suram oleh mendung diatas langit Pajang dan Mataram. Karena itu, satu-satunya pilihan baginya, adalah untuk sementara mengurungkan niatnya memasuki lapangan keprajuritan. Tetapi karena itu, justru ia telah tenggelam kedalam satu kesibukan dipadepokan kecilnya. Glagah Putih yang merasa dirinya tertinggal itu telah bekerja keras untuk mengejar ketinggalannya. “Dari siapa kau merasa tertinggal ? “ kadang-kadang Agung Sedayu bertanya, “menurut pengetahuanku, kau memiliki kelebihan dari kebanyakan anak-anak muda seumurmu.” “Kakang selalu berusaha menyenangkan hatiku. Jika kakang memperbandingkan kemampuanku dengan gembala yang sering menggembalakan kambingnya disekitar padepokan ini, mungkin aku memang mempunyai kelebihan. Tetapi jika kakang menyebut beberapa nama dari anak-anak muda yang berilmu, maka aku benarbenar seorang anak muda yang tidak berguna sama sekali,“ jawab Glagah Putih. ***

Buku 127 “JANGAN memperkecil diri sendiri. Jika kau berusaha untuk meningkatkan ilmu adalah suatu usaha yang baik. Tetapi jika kau kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri, maka usahamu sebagian telah gagal,“ berkata Agung Sedayu. Glagah Putih mencoba mengerti keterangan kakaknya. Karena itu, ia tidak kehilangan gairah yang menyala didalam hatinya untuk berlatih. “Tetapi kau jangan merasa bahwa usahamu akan berhasil dengan menyandarkan kepada kemampuanmu sendiri,“ berkata Agung Sedayu karena betapapun jauhnya kita berusaha, segalanya tergantung kepada belas kasihan Yang Maha Agung. Namun hanya orang yang berusaha sajalah yang akan mendapatkan belas kasihan-Nya, karena usaha adalah ujud dari permohonan yang bersungguh-sungguh.” Glagah Putih berusaha untuk menempatkan diri pada kedudukan seperti yang dimaksud kakak sepupunya. Ia mohon kepada Yang Maha Tinggi. Untuk menunjukkan kesungguhan dari permohonannya, maka iapun telah berusaha sejauh dapat dilakukan. Namun dalam pada itu, pada saat tertentu. Agung Sedayu telah mulai berbuat sesuatu bagi dirinya sendiri. Meskipun masih sangat terbatas. Sejak sore hari, ia biasanya menenggelamkan diri di sanggarnya bersama Glagah Putih. Ternyata Glagah Putih memiliki kemampuan yang luar biasa, yang dapat membuat ketahanan tubuhnya menjadi semakin meningkat. Seolah-olah ia tidak merasa lelah sama sekali, meskipun ia sudah berlatih untuk waktu yang lama. Tetapi Agung Sedayulah yang membatasi waktunya. Jika Glagah Putih telah berlatih cukup lama, maka Agung Sedayu telah menghentikan latihan itu dan meneruskan dihari berikutnya. Ia masih tetap pada acaranya, bahwa disiang hari, Glagah Putih harus meningkatkan tenaganya, menyesuaikan diri dengan kerjanya sehari-hari. Setiap pagi Glagah Putih masih harus menyapu halaman yang luas dengan tanpa tapak kaki. Glagah Putih harus membelah kayu bakar. Semakin lama, beban yang diberikan oleh Agung Sedayu kepadanya menjadi semakin berat, sementara jalannya menuju kesawahpun menjadi semakin jauh dan sulit. Untuk menghindari pertanyaan orang-orang lain, maka Glagah Putih memilih jalan yang paling sepi. Karena itu, maka ia selalu menyusuri sungai ketika ia berangkat dan kembali dari sawah. Dengan niat yang membara dihatinya, maka Glagah Putih selalu berloncatan dari batu kebatu. Meloncat naik tebing, kemudian menuruninya kembali. Berlari-lari, bahkan kadang-kadang ia mempergunakan sebagian waktunya untuk melatih kemampuan tangannya di pasir tepian. Kadangkadang dibawah petunjuk Agung Sedayu, Glagah Putih berusaha mengembangkan kemampuan

bidiknya dengan mempergunakan batu-batu kerikil. Di sungai yang jarang diambah kaki manusia, Glagah Putih berlatih mempergunakan bandil. Dan bahkan lontaran tangan. Sambil berlari-lari dan meloncat-loncat antara bebatuan, Glagah Putih telah melempar satu sasaran dengan batu sebesar telur ayam. Dikesempatan lain, sasarannyalah bergerak. Bahkan kemudian Glagah Putih yang bergerak berusaha untuk mengenai sasaran yang bergerak pula. “Lambat laun, kemampuan bidikmu akan meningkat,“ berkata Agung Sedayu. “Kakang Agung Sedayu termasuk orang aneh,“ berkata Glagah Putih. “Sambil memejamkan mata, kakang dapat mengenai sebuah batu yang dilontarkan diudara.” “Ah, itu berlebih-lebihan. Jika aku memejamkan mata, mana mungkin aku dapat membidik sasaran. Jika memejamkan sebelah mata, barulah mungkin dilakukan.” Namun bagi Glagah Putih, kemampuan bidik Agung Sedayu benar-benar diluar jangkauan nalarnya. Seolah-olah Agung Sedayu telah meletakkan matanya pada alat pelemparnya, sehingga lemparannya tidak pernah meleset dari sasaran. Sebenarnyalah bahwa perlahan-lahan, dengan mempergunakan sisa waktu yang ada, Agung Sedayu telah meningkatkan kemampuannya. Dengan sangat berhati-hati ia mulai mencoba melihat isi kitab yang pernah dibacanya atas kebaikan hati Ki Waskita. Tetapi Agung Sedayu masih belum berbuat sesuatu. Ia baru sekedar melihat kembali pada ingatannya, apa saja yang pernah dibacanya pada kitab Ki Waskita. Pada kesempatan yang tersisa, Agung Sedayu duduk, menyendiri didalam sanggar. Biasanya jika Glagah Putih telah tertidur setelah memeras tenaganya. Sambil duduk dibawah lampu minyak, Agung Sedayu mencoba untuk mengingat bait demi bait tulisan yang pernah dibacanya. Kemudian dengan sedikit catatan pada helai-helai rontal, ia memisahkan jenis dan sasaran bagian demi bagian dari ilmu yang tertera didalam kitab itu. Agung Sedayu benar-benar harus berhati-hati dengan penelaahan ilmu itu. Karena itu, yang mula-mula dilihatnya barulah bagian pertama. Dengan teliti ia membagi hubungan antara isi kitab itu dengan kemampuan ilmu yang ada padanya. Perlahan-lahan dan hati-hati sekali. Ia harus mengenal sifat, watak dan segala kemungkinan yang dapat terjadi dalam hubungan antara ilmu yang ada didalam dirinya. Bukan saja dengan ilmu yang dipelajarinya dari Kiai Gringsing, tetapi juga ilmu yang temurun dari ayahnya lewat lukisan-lukisan yang terdapat didin-ding goa yang pernah dipelajarinya.

Baru kemudian, ia akan melihat kedalaman ilmu dari kitab yang dipinjamnya dari Ki Waskita sampai kehakekatnya. Demikian berhati-hati Agung Sedayu dengan penelaahannya, sehingga tidak seorangpun yang mengetahuinya. Glagah Putih juga tidak, seperti ia merahasiakan kitab yang pernah dibacanya. Tidak seorangpun yang boleh mengetahuinya, kecuali Kiai Gringsing. Namun dalam beberapa hal, ketajaman nalar Agung Sedayu telah menyentuh hubungan antara ilmunya dengan ilmu yang pernah dibacanya dari kitab itu. Betapa ia berhati-hati, sehingga untuk mengenal setiap unsur dari ilmu yang dibacanya dari kitab Ki Waskita, Agung Sedayu harus mengujinya dua tiga kali. Baru ketika ia sudah yakin, barulah ia mencoba untuk mencari singgungan. Dalam tahap permulaan, ia baru merambah jalan untuk mencari kemungkinan agar ilmu itu dapat luluh, namun masih tetap memiliki wataknya masing-masing dalam ungkapan-ungkapan tertentu. Yang dilakukan Agung Sedayu barulah penjelajahan didalam angan-angan dan kemudian di guratkannya beberapa bentuk dan ujud gerak pada rontal. Ia memang mencoba beberapa unsur gerak meskipun sambil duduk. Ia mencoba melihat sesuatu yang terjadi pada gerak jari-jarinya, gerak pergelangan tangannya dan kemudian gerak lengannya. Tetapi Agung Sedayu baru sampai kepada bentuk dan ujud lahiriah yang mungkin akan dapat menjadi landasan kedalaman gerak bukan saja wadagnya. Tetapi gerak wadag itu akan dapat dipergunakannya untuk melontarkan kekuatan cadangan yang bukan saja terdapat didalam dirinya, tetapi yang dapat diserapnya dari kesatuan dirinya dengan lingkungannya. Dunia kecilnya dengan dunia besarnya. Meskipun yang dilakukan oleh Agung Sedayu itu tidak lebih dari duduk bersilang kaki sambil menggerakkan jari-jarinya, pergelangan tangan, lengan dan pundaknya, namun ia merasa telah melakukan pekerjaan yang berat sekali. Jauh lebih berat dari yang dilakukannya bersama Glagah Putih untuk waktu yang lebih singkat. Menyadari betapa sulit dan peliknya persoalan yang dihadapinya, maka Agung Sedayupun menjadi sangat berhati-hati dan perlahan-lahan sekali. Yang dilakukannya adalah yang paling mudah dan paling tidak berbahaya, sementara ia masih menunggu kesempatan kedatangan gurunya dipadepokan kecil itu. Namun demikian, yang sangat perlahan-lahan itu, telah mulai nampak pengaruhnya. Meskipun pengaruh itu belum mendasar, sekedar tompangan pada alas yang memang sudah ada, namun terasa, bahwa pada bagian-bagian tertentu, kemampuan Agung Sedayu sudah meningkat. Pernafasannya menjadi lebih baik dan urat-uratnya-pun seolah-olah menjadi semakin liat. Penguasaan tubuhnya menjadi bertambah mapan, sehingga gerak-gerak naluriahnya tidak terlepas dari pengendalian akalnya. Bahkan saluran perintah dari pusat sarafnya kesegenap tubuhnya menjadi lebih cepat, seperti juga meningkatnya kecepatan gerak anggauta badannya. Perubahan-perubahan itu telah disadari oleh Agung Sedayu, meskipun perlahan-lahan sekali. Namun dengan tekun ia mempelajari setiap perkembangan. Tidak tergesa-gesa dan dengan penuh kesadaran

Agung Sedayu memelihara keseimbangan yang ada didalam dirinya. Agung Sedayu sama sekali tidak berani merambah pengamatannya pada dasar-dasar ilmu yang dapat memberikan kekuatan pada sorot matanya, meskipun pada dasarnya ia sudah memiliki kemampuan itu. Dan pada bagian ilmu yang tidak bersifat wadag lainnya, yang telah dipahami atau belum oleh Ki Waskita sendiri. Namun sementara itu, Sabungsari masih saja digelut oleh kegelisahannya. Ia masih belum menemukan jalan yang paling baik, untuk mengatasi kemungkinan yang buruk, yang dapat terjadi atas Agung Sedayu karena pokal Ki Pringgajaya. Sekali-sekali jika ia kehilangan kebeningan nalarnya, ia bertekad untuk menantang Ki Pringgajaya dalam perang tanding untuk menyelesaikan masalah itu tanpa diketahui oleh Agung Sedayu. Namun setiap kali, ia selalu mengurungkan niatnya. Jika hal itu diketahui oleh Untara dari para pengikut Pringgajaya, maka ia akan mendapat hukuman karena ia telah melawan seorang perwira. Sedangkan alasannya tidak akan dapat dikatakannya dengan disertai bukti-bukti yang dapat menguatkan keterangannya, sehingga ia justru dapat dituduh memfitnah. Akhirnya, Sabungsari merasa tidak mempunyai jalan lain kecuali menyampaikannya kepada Agung Sedayu sendiri. “Jika Agung Sedayu menyebut namaku, dan Ki Pringgajaya marah kepadaku, apaboleh buat. Aku akan sekedar membela diriku. Mungkin aku akan dapat mengelak dan mencari saksi apabila hal itu akan terjadi, sebelum aku menerima tantangannya untuk berperang tanding,“ berkata Sabungsari didalam hatinya. Karena itulah, maka iapun kemudian mengambil keputusan untuk menyampaikan masalah itu kepada Agung Sedayu sendiri sebelum waktu yang tersisa itu habis. Namun ketika Sabungsari kemudian datang kepadepokan Agung Sedayu, keragu-raguannya telah membayang kembali, Ketika ia melihat Agung Sedayu sibuk berlatih bersama Glagah Putih, Sabungsari menjadi bimbang. “Agung Sedayu akan menjadi gelisah,“ berkata Sabungsari didalam hatinya, “tetapi jika aku tidak menyampaikannya kepadanya, maka pada suatu saat ia akan diterkam oleh kemungkinan yang paling buruk yang dapat terjadi atasnya. Anak muda itu mempunyai sikap yang agak lain dari anak-anak muda sebayanya. Ia banyak menghindari kemungkinan terjadinya kematian. Namun dengan demikian, kadang-kadang ia sendiri terperosok kedalam kesulitan. Betapapun ia mempunyai ilmu yang tinggi, namun sikapnya kadangkadang membuatnya menjadi orang yang paling lemah didaerah yang panas ini.” Beberapa saat, Sabungsari bergulat dengan pertimbangan-pertimbangan yang kadang-kadang saling bertentangan, sehingga karena itu, maka ia lebih banyak duduk diam dengan kesibukan angan-angannya sendiri.

Untunglah bahwa ia berada disanggar ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih sedang berlatih, sehingga kedua orang itu tidak memperhatikan sikap Sabungsari yang gelisah. “Tidak ada jalan lain,“ geram Sabungsari kemudian. Namun Sabungsari berniat untuk mengatakannya tanpa Glagah Putih. Jika anak itu mendengar, maka ia akan mempunyai tanggapan dan sikap tersendiri yang mungkin akan mempengaruhi segala macam pertimbangan dan perhitungan yang akan dibuat oleh Agung Sedayu untuk mengatasi persoalan itu dengan cara yang paling baik. Beberapa saat Sabungsari masih menunggu latihan itu selesai. Ia masih sempat memperhatikan, betapa Glagah Putih sudah menjadi semakin maju. “Cepat sekali,“ gumam Sabungsari didalam dirinya. Namun Sabungsaripun melihat tekad yang menyala dihati Glagah Putih, sementara Agung Sedayupun memiliki cara yang tepat untuk menurunkan ilmu warisan Ki Sadewa itu, sehingga dengan demikian, maka kemampuan Glagah Putihpun meningkat dengan cepat. Ketika mereka sudah cukup lama berlatih, maka Agung Sedayupun menghentikan latihan itu. Meskipun Glagah Putih masih berminat, tetapi Agung Sedayu berkata, “Saat-saat latihanmu bukan hanya saat ini. Tetapi waktu yang akan kau pergunakan masih cukup lama, sehingga kau tidak boleh memaksa diri tanpa menghiraukan keadaan wadagmu.” Glagah Putih tidak menjawab. Ia sudah mendengar kakaknya mengatakannya berpuluh-puluh kali jika ia menghentikan latihan. Sabungsari yang melihat Glagah Putih kecewa, tersenyum sambil berkata, “Agaknya kau ingin menyelesaikan ilmumu sekarang juga ?” Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tersenyum. “Beristirahatlah,“ berkata Agung Sedayu kemudian. Glagah Putihpun kemudian keluar sanggar. Ia berjalan beberapa saat diluar untuk mengeringkan keringatnya. Baru kemudian ia pergi kepakiwan untuk mandi. “Luar biasa,“ desis Sabungsari, “ternyata anak kurus itu memiliki tenaga dan kemauan yang luar biasa. Ilmunya cepat sekali maju dan bahkan telah mulai nampak kelebihannya yang akan dapat dikembangkan.” “Kemauannya yang luar biasa itulah yang mendorongnya mempercepat peningkatan kemampuannya. Ia tidak mengenal lelah. Disiang hari ia mengembangkan kekuatan dan ketrampilan tubuhnya. Dimalam hari ia mempelajari unsur-unsur gerak dari ilmu yang disadapnya. Semuanya dilakukan dengan tekun dan bersungguh-sungguh tanpa melalaikan kerjanya sehari-hari disawah dan pategalan.” Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Namun agaknya kegelisahan yang ada didalam hatinya dapat

dilihat oleh Agung Sedayu pada kerut diwajahnya, sehingga karna itu, maka Agung Sedayupun bertanya, “Sabungsari, apakah kau mempunyai keperluan khusus, atau sekedar melihat-lihat Glagah Putih berlatih seperti biasanya ?” Sabungsari termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku mempunyai kepentingan sedikit Agung Sedayu. Sebaiknya aku katakan kepadamu sebelum Glagah Putih hadir lagi disanggar ini.” Wajah Agung Sedayu menegang. Sabungsari pernah mengatakan seperti yang dikatakannya itu. Kemudian mengajaknya berjalan-jalan menyusur sungai. Namun akhirnya ia harus mengadu ilmu dengan anak muda itu. Tetapi saat itu Sabungsari bertanya, “Apakah kau mempunyai waktu sedikit saja untuk mendengarkan ?” “Katakanlah,“ sahut Agung Sedayu. Sabungsari masih tetap ragu-ragu. Namun akhirnya ia berkata, “Agung Sedayu. Ternyata bahwa dendam yang kau hadapi, masih membara di Jati Anom ini.” Wajah Agung Sedayu menjadi semburat merah. Namun ia tidak bertanya. Dibiarkannya Sabungsari meneruskan kata-katanya setelah ia melihat kepintu sekilas,“ Agung Sedayu. Aku bukan satu-satunya orang yang menginginkan kematianmu.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Terasa pedih dihatinya bagaikan disiram garam. “Maafkan aku. Bukan maksudku membuatmu gelisah dan barangkali bingung. Tetapi aku hanya ingin sekedar memperingatkan agar kau tetap berhati-hati.” “Darimana kau mengetahui hal itu ? Apakah kau datang membawa beberapa orang kawan selain para pengikutmu ? Mungkin anak orang-orang yang terbunuh dipeperangan itu selain Ki Gede Telengan ?” Sabungsari menggeleng. Jawabnya, “Bukan mereka Agung Sedayu, meskipun masih ada hubungannya juga dengan pertempuran dilembah itu. Tetapi hubungan lewat jalur yang sudah berbelit-belit, bahkan sudah kusut, sehingga sulit untuk menelusurinya. Namun jelas, bahwa yang sekarang mengancam keselamatanmu adalah juga orang-orang yang berada didalam barisan orang-orang yang merindukan kembali masa-masa lampau tanpa mengingat perkembangan dan peredaran waktu.” “Darimana kau tahu ? Apakah mereka berhubungan dengan kau sebagai anak Telengan ?” Sabungsari menggeleng. Katanya, “Meskipun ayahku berada didalam barisan itu pula, tetapi aku

datang karena dendamku pribadi.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dipandanginya Sabungsari dengan tajamnya, seolah-olah ia ingin melihat isi hati anak muda itu. “Apakah kau mulai ragu ragu lagi tentang aku, Agung Sedayu ?“ bertanya Sabungsari kemudian. Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak Sabungsari. Tetapi aku benar-benar menjadi bingung. Apakah sebenarnya yang telah terjadi di Jati Anom, yang berhubungan dengan kehadiranku disini.” “Agung Sedayu. Kau harus menyadari, bahwa justru karena pengabdianmu bagi tegaknya kemanusiaan, kau telah berdiri diujung dendam yang membara dihati beberapa orang yang merasa kehilangan seperti aku.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Iapun dapat menepuk dada dengan mengatakan, bahwa yang dilakukan itu adalah pengabdian terhadap peri kemanusiaan. Ia telah berjuang melawan kelaliman, ketidak adilan dan bahkan kesewenang-wenangan. Tetapi jika terbayang didalam anganangan Agung Sedayu sikap Rudita yang memancarkan kejernihan budi, maka rasa-rasanya Agung Sedayu dihadapkan pada suatu bayangan tentang dirinya sendiri yang berwajah gelap meskipun ditangannya terdapat lampu yang menyala betapapun terangnya. Beberapa saat lamanya Agung Sedayu berdiam diri. Yang mula-mula berbicara adalah Sabungsari menyambung kata-katanya, “Karena itu Agung Sedayu, kau harus selalu menjaga diri.” Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Yang dikatakan oleh Sabungsari itu adalah suatu keadaan yang tidak dapat diingkarinya. Bahwa ia memang berada dalam ancaman dendam yang tidak ada taranya. “Sabungsari,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “kau nampaknya ingin menyampaikan sesuatu yang berhubungan dengan dendam itu. Katakanlah.” Sabungsari termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Ya. Aku akan mengatakan sesuatu tentang dendam atas dirimu.” “Katakanlah,“ desis Agung Sedayu dengan nada dalam. Sabungsari beringsut setapak. Sejenak ia memandang wajah Agung Sedayu yang nampak bersungguhsungguh. “Agung Sedayu,“ berkata Sabungsari, “sebenarnya sudah sejak lama seseorang menghendaki kematianmu selain aku pada waktu itu. Aku sudah hampir mengatakan hal ini kepadamu, tetapi aku selalu ragu-ragu.” “Sekarang kau tidak perlu ragu-ragu lagi. Aku tetap mempercayaimu,” sahut Agung Sedayu.

Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Hampir tidak terdengar ia berdesis, “Terima kasih. Mudahmudahan dengan demikian, kau akan dapat menjaga dirimu tanpa menimbulkan persoalan-persoalan baru yang dapat menggelisahkanmu.” “Katakan,“ Agung Sedayu menjadi tidak sabar lagi melihat keragu-raguan Sabungsari. Sabungsari mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Agung Sedayu. Pada waktu itu, seorang perwira didalam lingkungan keprajuritan Pajang telah mengancammu. Menurut perhitungannya, kau harus disingkirkan. Siapapun yang melakukannya. Pada waktu itu, aku yang juga sedang dibakar oleh dendam telah menyatakan diri untuk membunuhmu dengan tanganku. Tetapi ternyata bahwa aku tidak dapat melakukannya.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Sementara Sabungsari melanjutkan, “Tetapi ternyata yang terjadi adalah seperti ini. Perwira itu agaknya tidak sabar lagi. Ia telah datang kepadaku dan bertanya tentang kematianmu.” Wajah Agung Sedayu menjadi semakin tegang. Sementara itu Sabungsari berkata pula, “Ada alasan, kenapa aku tidak segera melakukannya. Aku mengatakan, bahwa aku telah terperosok kedalam pertempuran yang membuat aku terluka parah melawan Carang Waja. Karena itu, maka aku terpaksa menunda rencanaku untuk membunuhmu.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. “Tetapi kini ia menagih, apakah aku masih akan melakukannya.” “Apa katamu,“ bertanya Agung Sedayu. “Aku minta waktu dua pekan untuk memulihkan kesehatanku karena luka-lukaku melawan Carang Waja. Yang dua pekan itu kini sudah hampir habis. Sementara itu aku masih selalu ragu-ragu, apakah yang sebaiknya aku lakukan tanpa membuatmu gelisah.” Agung Sedayu termenung sejenak. Agaknya ia sedang mempertimbangkan apakah yang sebaiknya dilakukan. Tiba-tiba saja Sabungsari terhenyak karena seperti yang diduganya, Agung Sedayu berkata, “Sabungsari. Betapapun kerasnya hati seseorang, namun ia tentu masih dapat mempertimbangkan pendapat orang lain. Aku akan menemuinya dan membicarakan, apakah yang sebenarnya dikehendaki sehingga ia berniat untuk menyingkirkan aku.” Sabungsari menggigit bibirnya. Sejenak ia bagaikan membeku. Namun kemudian ia berkata, “Agung Sedayu. Aku sudah memperhitungkan, bahwa kau akan berbuat demikian. Kau akan datang menjumpainya dan mempersoalkan niat itu. Kau tentu menganggap bahwa orang itu akan dapat kau ajak berbicara, kemudian membuatnya menyadari kesalahan dan kekeliruannya.”

“Aku masih percaya akan hati nurani seseorang,“ jawab Agung Sedayu. “Kau keliru. Aku sendiri adalah orang yang keras hati. Yang tidak akan mungkin dapat menyelesaikan persoalanku denganmu hanya dengan berbicara. Mungkin kau berhasil membuat aku ragu-ragu. Tetapi aku masih akan tetap mencoba membunuhmu. Jika kemudian niat itu aku urungkan, seperti yang sudah aku katakan, karena aku mengakui kemenanganmu. Seandainya aku sekarang mencoba menantangmu lagi, akupun tentu akan kau kalahkan pula.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Ragu-ragu yang timbul dihati seseorang, adalah pertanda bahwa ia membuat pertimbangan. Kaupun sudah membuat pertimbanganpertimbangan yang bening waktu itu. Jika tidak, meskipun kau telah aku kalahkan, tentu kau tidak akan berhenti berusaha. Mungkin kau akan mengulangi perang tanding, tetapi mungkin kau akan mengorbankan kejantananmu dan berusaha membunuh aku dengan licik. Tetapi kau tidak melakukan hal itu, justru karena kau mulai mendengar kata hatimu. Nuranimu.” Sabungsari termangu-mangu sejenak. Ia memang menjadi ragu-ragu. Dan iapun sama sekali tidak berniat untuk mengulangi usahanya, membunuh Agung Sedayu. Namun demikian ia ingin meyakinkan, bahwa usaha Agung Sedayu untuk berbicara langsung dengan Ki Pringgajaya adalah sangat berbahaya. Apalagi Sabungsari masih belum mengetahui, betapa tingkat ilmu yang dimiliki oleh orang itu. Menilik sikap dan kepercayaannya kepada diri sendiri, maka Ki Pringgajaya adalah termasuk orangorang yang pilih tanding, seperti orang-orang yang memimpin pasukan di lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu, termasuk ayahnya, Ki Gede Telengan. Karena itu, maka katanya, “Agung Sedayu. Kau jangan menilai tingkah laku seseorang dengan tingkah lakumu sendiri. Jangan mengukur sikap seseorang dengan sikap dan pendangan hidupnya. Kau harus percaya bahwa ada orang yang sama sekali tidak dapat mengerti dan tidak mau mendengarkan pendapat orang lain. Lebih buruk lagi, bahwa ada orang yang memanfaatkan sikap orang lain yang dianggapnya suatu kelemahan.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya, sementara Sabungsari berbicara terus, “Tentu ada orang yang menganggap keragu-raguanmu, seribu macam pertimbangan-pertimbangan didalam hatimu sebelum kau berbuat sesuatu, juga usaha damaimu itu, sebagai suatu kelemahan. Dan tentu ada orang yang justru ingin memanfaatkannya. Menjebakmu dan kemudian berbuat sesuatu yang sangat jahat dan licik.“ ia berhenti sejenak, lalu. “ingat Agung Sedayu, akupun pernah berbuat demikian.” Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian ia bertanya, “Jadi apa yang baik menurut pertimbanganmu Sabungsari.” “Aku belum tahu apa yang sebaiknya kau lakukan,“ jawab Sabungsari, “jika bukan kau Agung Sedayu, mungkin aku menyarankan, agar datang saja kepadanya bersama beberapa orang saksi. Tantang berperang tanding dengan alasan yang dapat sajat dicari-cari tanpa menyebutkan persoalan yang sebenarnya.”

“Apakah dengan demikian persoalannya dapat selesai ? Bukankah selain Pringgajaya masih ada orang-orang lain yang dapat berbuat seperti itu? Apakah dengan demikian, aku harus menantang perang tanding setiap orang yang berdiri dipihak Ki Pringgajaya. Jika demikian, maka umurku akan aku habiskan diarena perang tanding tanpa dapat berbuat sesuatu yang berarti sepanjang hidupku bagi sesama.” Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Ada juga benarnya kata Agung Sedayu, bahwa dengan demikian persoalannya tentu masih belum selesai. Kematian Pringgajaya seandainya Agung Sedayu dapat memenangkan perang tanding itu, akan mengundang dendam yang lebih parah lagi dari lingkungannya terhadap Agung Sedayu. “Sabungsari,“ berkata Agung Sedayu, “apakah kau kira lebih baik aku melaporkannya kepada kakang Untara?” “Jalan itupun dapat ditempuh. Tetapi ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Jika kau datang kepadanya, Ki Pringgajaya tentu akan menjadi curiga, bahwa kau telah melaporkan persoalannya kepada Untara. Dengan demikian, maka ia akan dapat menghilangkan segala jejaknya untuk mengingkarinya. Jika kemudian ternyata kau tidak dapat membuktikannya, maka kau akan dapat dituduh memfitnahnya.” “Tetapi bukankah kau akan dapat menjadi saksi?“ bertanya Agung Sedayu, “bukankah kau mengetahui dan langsung berbicara dengan Ki Pringgajaya bahwa ia akan membunuhku ?” “Akupun harus dapat membuktikannya. Ki Pringgajayapun akan dapat mengatakan, bahwa aku telah memfitnahnya dan mengadu domba antara Ki Pringgajaya dan kau.” Agung Sedayu menarik napas dalam-dalam. Katanya, “Ternyata bahwa kaupun kini telah dijalari oleh penyakit ragu-ragu. Kaupun kini mempunyai seribu pertimbangan sebelum berbuat sesuatu.” “Ada bedanya dengan keragu-raguanmu,“ jawab Sabungsari, “kau ingin menghindari sentuhan pada perasaan orang lain. Kau tidak ingin menyakiti hati dan apalagi sampai pada suatu perselisihan yang dapat membawa maut, kecuali jika sudah tidak ada jalan lain untuk menghindar. Tetapi pertimbanganku lain. Aku justru mengetahui betapa liciknya seseorang yang tidak mengenal harga diri. Karena itu, aku tidak dapat menutup mata atas kemungkinan yang paling buruk dapat terjadi atasmu. Diarena perang tanding, atau di arena perang fitnah.” “Aku tidak akan merendahkan Ki Pringgajaya dengan anggapan, bahwa ia adalah seorang yang licik dan pengecut.” “Ia mempunyai landasan berdiri yang berbeda dengan aku. Aku datang karena aku merasa anak Ki Gede Telengan. Aku ingin menunjukkan bahwa aku adalah

seorang yang memiliki kemampuan untuk mengalahkanmu. Karena itu aku tantang kau perang tanding. Sebenarnya perang tanding. Tetapi Ki Pringgajaya mempunyai landasan yang berbeda. Ia tidak perlu perang tanding dalam arti sebenarnya. Ia tidak perlu menunjukkan apakah ia mampu membunuhmu dengan tangannya atau tidak. Yang penting baginya dan bagi orang-orangnya, kau harus mati. Itu saja. Siapapun yang melakukan. Bahkan meskipun aku yang melakukannya. Seorang yang sama sekali tidak mempunyai sangkut paut secara langsung dengan kelompoknya.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan suara datar ia bertanya, “Manakah yang lebih baik aku lakukan ?” Sabungsari merenung sejenak. Katanya, “Itulah yang membingungkan. Tetapi kita harus menemukannya, meskipun mungkin kita akan bertempur melawan mereka.” “Kenapa bertempur ?” “Justru untuk membuktikan, bahwa kita, maksudku kau, harus membela diri. Jika pertempuran itu dapat dilihat oleh saksi yang jujur, maka kau akan terlepas dari tuduhan yang dapat menjeratmu meskipun kau adik Untara.” Agung Sedayu termangu-mangu. Memang sulit untuk melepaskan diri dari kemungkinan-kemungkinan yang paling buruk karena fitnah. Mungkin justru dengan tuduhan memfitnah. Namun pembicaraan itu terhenti. Glagah Putih masuk kedalam sanggar sambil berkata, “Aku telah menyiapkan minuman. Masih panas, karena air baru saja mendidih. Marilah, lebih baik kita duduk diserambi.” Agung Sedayu dan Sabungsari saling berpandangan sejenak. Namun merekapun kemudian berdiri dan melangkah keserambi. Beberapa saat lamanya mereka duduk sambil minum minuman hangat yang disiapkan oleh Glagah Putih. Merekapun mengunyah beberapa potong makanan sambil berbincang. Tetapi yang mereka perbincangkan adalah keadaan yang mereka lihat dan mereka lakukan sehari-hari. Sementara Sabungsari juga sempat memberikan beberapa pendapatnya tentang latihan-latihan yang dilakukan oleh Glagah Putih. Glagah Putih yang menganggap bahwa Sabungsaripun seorang anak muda yang mempunyai ilmu yang tinggi karena ia telah berhasil membunuh seorang yang mempunyai nama yang cukup besar dari Pesisir Endut, dengan senang hati mencoba memahaminya. Ternyata bahwa yang dikatakan oleh Sabungsari itupun sangat berguna baginya. Meskipun Sabungsari

mempunyai sudut pengliatan dari arah yang agak berbeda dengan Agung Sedayu, namun justru dapat melengkapi pengertiannya tentang olah kanuragan. Namun ternyata bahwa Sabungsari dan Agung Sedayu masih belum dapat menyelesaikan masalah mereka dengan tuntas. Ketika Sabungsari kemudian minta diri, ia sempat berbisik, “jangan mengukur Ki Pringgajaya dengan sifat dan watakmu sendiri.” Agung Sedayu hanya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Sepeninggal Sabungsari, Agung Sedayu selalu dibayangi oleh niat Ki Pringgajaya. Ada maksudnya untuk menyampaikan hal itu kepada gurunya, agar ia mendapat petunjuk apa yang sebaiknya dilakukan. Namun dengan demikian, ia harus pergi ke Sangkal Putung. “Jarak itu tidak terlalu jauh,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. ”aku tidak perlu minta agar guru kembali ke padepokan apabila ia masih mempunyai beberapa kepentingan di Sangkal Putung. Tetapi apa yang harus aku lakukan, aku perlu mendengar pendapat guru.” Karena itu, maka niat itupun semakin lama mendesak didalam hatinya. Meskipun demikian, ia masih harus mempertimbangkannya. Sementara itu Sabungsaripun menjadi semakin gelisah. Waktu yang diberikan oleh Ki Pringgajaya sudah hampir habis. Meskipun Ki Pringgajaya tidak akan menyalahkannya, atau bertindak terhadapnya karena ia tidak berbuat sesuatu atas Agung Sedayu, tetapi ancaman maut itu akan benar-benar tertuju kepada Agung Sedayu itu sendiri. Sabungsari yang bukan sanak bukan kadang dari Agung Sedayu, karena ikatan jiwani yang terjalin dalam hubungannya yang dimulai dengan permusuhan itu ternyata telah membebaninya dengan perasaan ikut bertanggung jawab atas keselamatan Agung Sedayu, karena Sabungsari merasa jiwanya telah diselamatkan oleh anak muda itu. “Jika bukan Agung Sedayu, aku tentu sudah mati di pinggir sungai itu. Kawan-kawankupun tentu telah tumpas dipesisir ketika mengikutinya,“ berkata Sabungsari didalam hatinya. Karena itu, pada saat-saat menjelang batas waktu yang diberikan oleh Ki Priggajaya, ia menjadi semakin gelisah. Seolah-olah ia melihat Agung Sedayu telah berdiri dipinggir jurang kematian. Sabungsari yang gelisah itu menjadi sangat kecewa ketika kemudian ia mendengar dari anak-anak muda yang tinggal dipadepokan, bahwa Agung Sedayu telah pergi ke Sangkal Putung. “Tetapi ia tidak akan bermalam,” berkata anak muda itu.

“Apa. Agung Sedayu tidak berpesan apapun bagiku?“ bertanya Sabungsari. “Tidak,“ jawab anak muda itu, “Ia hanya mengatakan bahwa ia akan pulang meskipun mungkin agak malam.” Sabungsari kemudian minta diri. Tetapi kepergian Agung Sedayu diikuti oleh Glagah Putih membuatnya gelisah. Karena Sabungsari sadar bahwa nyawa Agung Sedayu sedang terancam. “Jika Ki Pringgajaya mendapat kesempatan, ia tidak akan menghiraukan waktu yang memang sudah hampir habis ini. Ia tidak akan memperhitungkan aku lagi, karena nampaknya kesabarannya benarbenar telah habis,“ berkata Sabungsari kepada diri sendiri. Dalam pada itu. Agung Sedayu ternyata benar-benar telah pergi ke Sangkal Putung. Kedatangannya memang agak mengejutkan. Tetapi kepada Swandaru ia tidak mengatakan alasan yang sebenarnya. Ia hanya mengatakan bahwa tiba-tiba saja ia ingin pergi ke Sangkal Putung. “Itu wajar sekali,“ Pandan Wangilah yang menyahut, “tentu bukan karena Kiai Gringsing ada disini.” Pandan Wangi mengaduh ketika terasa lengannya pedih dicubit oleh Sekar Mirah yang duduk disampingnya. Tetapi ketika Agung Sedayu mengatakan bahwa ia tidak akan bermalam di Sangkal Putung, Swandaru bertanya, “Kenapa tergesa-gesa?” Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, “Setiap saat jarak antara Sangkal Putung dan Jati Anom dapat aku tempuh dalam waktu singkat karena jarak itu tidak begitu panjang. Mungkin besok atau lusa, aku tiba-tiba saja ingin pergi kemari lagi.” Namun pada saat-saat ia berdua dengan gurunya, maka persoalannya itupun disampaikannya dengan hati-hati. Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ternyata hal itu membuatnya gelisah pula. “Ki Pringgajaya adalah prajurit Pajang yang masih dalam kedudukannya. Ia seorang perwira yang mempunyai pengaruh diantara anak buahnya. Agaknya ia merasa memiliki kelebihan dari Untara meskipun ia berada dibawah pimpinan kakakmu,“ berkata Kiai Gringsing. “Itulah yang menggelisahkan guru,“ berkata Agung Sedayu,

“Sabungsari yang juga berada dilingkungan keprajuritan mengetahui hal itu sebelum aku mengalahkannya di pinggir sungai itu,“ berkata Agung Sedayu. Sejanak Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Agung Sedayu. Kau harus berbicara dengan Untara, Pendapat Sabungsari ada juga benarnya. Tetapi kau dapat memberikan saran kepada Untara, agar ia tidak tergesa-gesa bertindak. Bahkan kau minta bantuan Untara, agar yang kau katakan itu dapat dibuktikan. Bukan sekedar tuduhan yang akan dapat disebut fitnah.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud gurunya. Justru Untaralah yang harus memberikan jalan kepadanya, sebagai seorang kakak terhadap adiknya. Ia tidak semata-mata melaporkan tanpa bukti, tetapi Untara harus membantunya, agar ia dapat membuktikan, bahwa Ki Pringgajaya benar-benar ingin membunuhnya. Dengan demikian maka Agung Sedayupun memutuskan untuk melakukan seperti yang dinasehatkan gurunya. Ia akan kembali ke Jati Anom untuk menemui kakaknya dan minta pendapatnya. Namun ia masih mempunyai sebuah pertanyaan kepada gurunya, “Guru, bagaimana jika Ki Pringgajaya sudah mencurigainya saat aku menjumpai kakang Untara, sehingga ia telah mempersiapkan dirinya untuk menghilangkan segala jejak dan kesan bahwa ia benar-benar ingin melakukan hal itu?” “Mungkin sekali Agung Sedayu, tetapi aku kira kau tidak mempunyai jalan lain yang lebih baik dan tanpa menimbulkan persoalan yang gawat dengan prajurit Pajang,“ berkata gurunya. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Agaknya memang tidak ada jalan yang lebih baik datang kepada kakaknya untuk menyampaikan persoalannya. Pembicaraan itupun terputus, ketika Glagah Putih datang mendekat dan bahkan duduk bersamanya. Namun persoalan yang dikemukakan oleh Agung Sedayu sebagian besar telah terjawab. Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka berdua dengan Glagah Putih, mereka mohon diri menjelang senja. Ki Demang Sangkal Putung dan mereka yang berada di Sangkal Putung berusaha mencegahnya. Tetapi sambil tersenyum Agung Sedayu berkata, “Besok atau lusa aku sudah berada disini kembali.” Dengan demikian maka keberangkatannya kembali ke Jati Anom tidak dapat dicegah lagi. Sebelum gelap, maka keduanyapun meninggalkan Sangkal Putung menuju ke Jati Anom. Diperjalanan Agung Sedayu sempat mengenang masa remajanya. Ketika ia harus menempuh perjalanan kearah yang sebaliknya. Dari Dukuh Pakuwon ke Sangkal Putung dimalam hari, justru pada saat yang gawat, ketika pasukan Tohpati masih berada disekitar Sangkal Putung. Kini ia menempuh jalan yang berlawanan. Namun dalam saat yang gawat pula, karena seseorang sedang mengancam jiwanya. “Mudah-mudahan aku sempat menyampaikan hal ini kepada kakang Untara,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya, “meskipun Sabungsari tidak sependapat.” Demikianlah kedua orang itu berkuda menyelusuri ujung malam yang menjadi semakin gelap. Kunang-

kunang diantara batang-batang padi nampak berkeredipan seperti reruntuhan bintang-bintang kecil yang bertebaran. Diperjalanan keduanya tidak banyak berbicara. Glagah Putih lebih banyak merenung tentang dirinya sendiri. Ia memang merasa ketinggalan. Namun ia sudah bekerja keras. Dalam waktu yang terhitung tidak terlalu panjang, ia sudah mendapat kemajuan yang cukup banyak. Karena itu, maka Glagah Putih bukan lagi seorang anak yang dapat dianggap pupuk bawang. Ia sudah mulai dapat diperhitungkan baru dalam tataran permulaan. Dalam pada itu, selagi Agung Sedayu dalam perjalanan, maka kegelisahan yang sangat telah mengguncangkan hati Sabungsari. Diluar sadarnya ia berjalan-jalan didepan baraknya oleh udara yang terasa panas. Namun, dengan jantung yang berdebar-debar ia melihat seorang prajurit yang dikenalnya sebagai pengikut Ki Pringgajaya keluar dari halaman barak diatas punggung kuda. “He,“ dengan serta merta Sabungsari menghentikannya, “kau akan kemana ?” Wajah prajurit itu menegang. Namun kemudian nampak sebuah senyum yang aneh dibibirnya. Dengan suara datar ia berkata, “Kami dipanggil Ki Pringgajaya.” “Untuk apa ?“ bertanya Sabungsari. “Kami tidak tahu,“ jawab prajurit itu. “Siapa yang kau maksud dengan kami ?” Orang itu tertegun. Namun kemudian nampak lagi senyumnya yang aneh bagi penglihatan Sabungsari. Sepeninggal orang itu, Sabungsari termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja ia teringat, bahwa Agung Sedayu sedang pergi ke Sangkal Putung. “Mungkin ia sedang dalam perjalanan kembali,“ berkata Sabungsari didalam hatinya, “jika demikian, mungkin sekali Agung Sedayu berada dalam bahaya.” Karena itu, maka Sabungsaripun kemudian segera kembali ke baraknya. Membenahi diri dan menyambar senjatanya. Dengan tergesa-gesa ia pergi kepada prajurit yang sedang bertugas untuk minta ijin menemui kenalannya di Jati Anom. Tanpa curiga, maka dibiarkannya Sabungsari berkuda meninggalkan baraknya. Sabungsari sama sekali tidak menunjukkan kesan kegelisahan. Namun demikian kudanya berada di luar regol halaman baraknya, maka iapun memacunya sekencang angin, menuju ketempat tinggal para perwira termasuk Ki Pringgajaya, yang tinggal tidak dirumah Untara.

Dengan hati yang berdebar-debar, Sabungsari berusaha untuk dapat berbicara dengan Pringgajaya. Karena hubungan yang khusus, maka Ki Pringgajayapun kemudian justru memanggilnya masuk keruang tidurnya. Sabungsari menjadi berdebar-debar ketika ia melihat dua orang prajurit telah berada diruang itu. Namun ia menghilangkan segala kesan yang membayang diwajahnya. Menghadapi keadaan yang gawat itu, ia harus dapat mengendalikan perasaannya. “Duduklah,“ berkata Ki Pringgajaya. Sabungsari yang menahan perasaannya itupun kemudian duduk disebelah prajurit yang dilihatnya berkuda didepan baraknya. Sebelum Sabungsari bertanya, Ki Pringgajaya telah berkata, “Sabungsari. Waktuku sudah habis.” “Belum, Ki Pringgajaya. Aku masih mempunyai sisa satu malam dan satu hari besok.” Ki Pringgajaya menggeleng. Jawabnya, “Sudah terlalu pendek untuk melaksanakannya. Saat ini kami berencana sangat baik. Kami akan melakukannya sendiri. Kau jangan mencoba mencegahnya agar kau tidak menyesal. Mungkin kau akan menempuh banyak jalan untuk mencari kepuasan yang mungkin tidak akan pernah kau dapatkan, karena justru mungkin kaulah yang akan mati jika kau berperang tanding melawan Agung Sedayu.” “Tidak,“ potong Sabungsari, “aku berhasil membunuh Carang Waja. Dalam kesempatan yang sama, yang pernah didapat oleh Agung Sedayu, ia memang dapat mengalahkannya, tetapi tidak membunuhnya.” Ki Pringgajaya mengerutkan keningnya. Sekilas ditatapnya wajah Sabungsari yang bersungguhstmgguh. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Mungkin keadaanmu lain dengan Agung Sedayu. Jika Agung Sedayu tidak selalu dibayangi oleh keragu-raguan, maka ia tentu akan dapat membunuh Carang Waja. Tetapi agaknya ia tidak melakukannya.” “Itu hanya alasan. Tetapi jika aku mendapat kesempatan, aku akan mencobanya. Jika aku yang harus mati, apaboleh buat.” Tetapi Ki Pringgajaya menggeleng. Katanya, “Itu tidak perlu Sabungsari. Aku tidak mempunyai waktu lagi untuk mencoba-coba.” “Tetapi akupun tidak mau kehilangan kesempatan,“ bantah Sabungsari. “Jangan memaksa aku untuk memaksamu. Aku tahu kau mempunyai kelebihan yang sukar dicari bandingnya. Tetapi aku bukan anak-anak yang dipasang disini tanpa arti. Jika kau memaksa, akupun harus berbuat sesuatu untuk mencegahmu. Bahkan seandainya kau berhasil mengalahkan aku, maka kau adalah buruan, karena kau adalah seorang prajurit dalam tataran yang paling rendah, meskipun kau sedang disoroti karena kau telah

berhasil melakukan sesuatu yang akan dapat mengangkat derajatmu. Sedangkan aku adalah seorang perwira. Apapun alasannya, jika seorang prajurit berani melawan seorang perwira, maka ia akan mendapatkan hukuman yang berat.” Darah Sabungsari mulai menjadi panas. Tetapi ia harus menahan diri sejauh-jauh dapat dilakukan. Namun ia menjadi heran, bahwa Ki Pringgajaya nampaknya tidak tergesa-gesa pergi. Jika benar ia ingin mencegat Agung Sedayu diperjalanan, seharusnya ia dengan tergesa-gesa membawa anak buahnya menyongsong perjalanan anak muda itu apabila ternyata ia belum kembali kepadepokannya. Meskipun demikian Sabungsari tidak bertanya. Bahkan ia masih berusaha untuk mencegah rencana Ki Pringgajaya, katanya, “Ki Pringgajaya. Aku dapat mencegah dengan cara lain. Aku dapat melaporkannya kepada Ki Untara.” Tetapi Ki Pringgajaya justru tertawa. Katanya, “Kau akan melaporkan kepada Ki Untara agar Ki Untara mencegah usaha pembunuhan ini, kemudian memberi kesempatan kepadamu untuk melakukannya ?” “Apakah Ki Untara tahu bahwa aku akan membunuhnya ?” “Aku masih mempunyai mulut.” “Tetapi malam ini Ki Pringgajaya akan ditangkap. Segala pembelaan dan tuduhanmu terhadapku, tidak akan didengar.” Suara tertawa Ki Pringgajaya justru semakin keras. Katanya, “Kau memang seorang anak muda yang pilih tanding. Tetapi kau terlalu dungu. Aku sekarang akan menghadap Ki Untara dan berbicara tentang kesejahteraan pasukan Pajang di Jati Anom. Ki Untara senang sekali membicarakannya, sehingga lewat tengah malam aku baru selesai dengan pembicaraan yang tidak tentu ujung pangkalnya itu.” “Tetapi Ki Pringgajaya akan melakukannya sekarang ?” “Membunuh Agung Sedayu ?” “Ya.” Pringgajaya masih tertawa berkepanjangan. Katanya, “Apakah harus dengan tanganku sendiri ? Aku bukan seorang yang cengeng seperti kau. Seolah-olah dengan demikian maka kau akan menjadi seorang pahlawan. Tetapi aku dapat berbuat dengan cara apapun juga. Yang penting bagiku, maksudku dapat tercapai.” Wajah Sabungsari menjadi semburat merah. Namun ia segera berusaha menghapus kesan itu. Bahkan kemudian kepalanyapun tertunduk. Perlahan-lahan terdengar ia bergumam, “Sia-sialah yang aku lakukan selama ini. Aku sudah berpura-pura mendekatinya, menjadi sahabatnya untuk menjajagi

kemampuannya. Ketika aku sudah yakin dapat melakukannya, maka kesempatan itu direnggut dari tanganku.” “Jangan merengek, karena kau bukan anak-anak lagi. Kau terlalu lamban dan tidak mempunyai gairah perjuangan yang tinggi. Mulailah sejak sekarang. Lakukan yang dapat segera kau lakukan, sehingga kau tidak akan kecewa.” Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku menyesal sekali. Tetapi aku masih ingin minta kesempatan sekali ini. Bawalah aku menemui Agung Sedayu untuk berperang tanding. Jika aku mati, lakukan rencanamu.” Ki Pringgajaya mengerutkan keningnya. Katanya, “Aku tidak tahu pasti, apakah Agung Sedayu sekarang belum mati. Aku memanggil beberapa orang pengikutku untuk menengok akhir dari rencana kami, sementara aku pergi menghadap Ki Untara.” “Bawa aku serta. Jika belum terjadi, berilah kesempatan aku melakukannya. Bukankah tidak ada bedanya bagi Ki Pringgajaya,“ berkata Sabungsari kepada prajurit yang ada di dalam ruang itu. Ki Pringgajaya termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Tetapi jika kau mati, jangan menyesal dan jangan menyalahkan kami.” “Itu tanggung jawabku sendiri. Aku tidak tahu akibat apakah yang akan menimpa diriku, seandainya Ki Untara tahu, bahwa aku telah membunuh Agung Sedayu. Mungkin aku akan lari dan kembali kepadepokanku.” Ki Pringgajaya berpikir sejenak. Lalu katanya, “Aku beri kau kesempatan. Pergilah. Tetapi jika Agung Sedayu telah mati, kau jangan membunuh diri dengan melepaskan kemarahanmu kepada orang-orangku yang telah membunuhnya. Mereka adalah orang-orang yang tidak ada duanya. Mereka adalah orangorang yang memiliki kemampuan seperti Carang Waja, meskipun tidak dengan ilmu sulapan yang mengaburkan perhatian lawan. Tetapi orang-orangku bertempur dengan ilmu seorang jantan.” Sabungsari tidak banyak berbicara lagi. Iapun kemudian berdiri sambil berkata, “Tunjukkan kepadaku, dimana Agung Sedayu dapat ditemui.” “Orang-orangku mencegatnya. Tetapi jika Agung Sedayu telah lampau, maka harus dibuat pertimbangan dan rencana baru.” Sabungsari tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun kemudian minta diri. Bersama dengan pengikut Pringgajaya yang seorang ia menuju ketempat orang-orang yang mencegat Agung Sedayu. Disepanjang jalan, Sabungsari menjadi berdebar-debar. Ia harus berbuat sesuatu. Menurut perhitungannya, kehadirannya tentu akan membuat keadaan Agung Sedayu lebih baik. Mungkin seperti yang pernah terjadi, Glagah Putih memerlukan perlindungan, karena kepergian Agung Sedayu disertai dengan Glagah Putih pula.

Dalam pada itu, dua orang dengan gelisah berdiri dipinggir jalan. Kadang-kadang mereka berjalan mondar mandir, kadang-kadang mereka duduk bersandar batang kayu yang tumbuh dipinggir jalan. Setiap kali mereka memperhatikan bunyi yang lamat-lamat mereka dengar. “Anak itu sudah lewat,“ berkata salah seorang dari keduanya. “Tidak mungkin. Kita berada disini sejak senja,“ jawab yang lain. “Bagaimana jika keduanya telah lewat sebelum senja ?“ bertanya yang seorang. Kawannya terdiam sejenak. Dengan gelisah ia memandang kedalam gelapnya malam. Katanya, “Tidak. Aku yakin, sebentar lagi mereka akan lewat.” Kawannya tidak menyahut lagi. Keduanyapun kemudian duduk diatas tanggul parit. Sambil memandang air yang mengalir, yang seorang berkata, “Apa katamu tentang anak muda itu.” Kawannya tersenyum. Jawabnya, “Ia adalah anak muda yang luar biasa. Anak itu tidak dapat dikalahkan oleh Carang Waja. Apakah kau cemas menghadapinya ?” Kawannya tertawa pendek. Desisnya, “Jika aku cemas, lebih baik aku tidak datang ketempat ini. Aku sudah tahu, bahwa anak itu memiliki kelebihan. Tetapi akupun mengenal diriku sendiri. Bahkan seandainya Carang Waja masih hidup, aku bersedia untuk diperbandingkan dengan cara apapun juga.” Kawannya tersenyum semakin lebar. Katanya, ”Kita saling mengenal. Tetapi aku percaya bahwa kita masing-masing tidak berada dibawah tataran Carang Waja. Perguruan daerah Pesisir Selatan itu semakin lama namanya memang semakin suram. Sepasang Iblis dari Pesisir Endut itu tidak lagi mampu mempertahankan hidupnya. Kemudian Carang Waja mati oleh prajurit ingusan dari Jati Anom itu.” “Tetapi Pringgajaya sangat hati-hati. Kita berdua bersama-sama harus menyelesaikan Agung Sedayu. Ia tidak yakin bahwa salah seorang dari kita dapat melakukannya, meskipun guru pernah memastikan hal ini kepada Ki Pringgajaya.” “Perwira yang bodoh itu memang terlalu berhati-hati. Tetapi ada juga baiknya bagi kita. Pekerjaan kita tidak terlalu berat,“ desis yang lain, “sementara kita masing-masing akan menerima upah yang sama.” “Kepala anak itu memang mahal. Tidak mudah melakukan seperti yang dikehendaki oleh Ki Pringgajaya. Ia tentu akan mengirimkan orangnya untuk meyakinkan, apakah kita sudah berhasil membunuh anak itu atau tidak.” “Tetapi jika anak itu sudah lewat atau membatalkan niatnya untuk kembali ke Jati Anom atau karena apapun juga, kita harus menunggu lagi di Jati Anom. Menjemukan sekali.”

“Jika ia tidak lewat hari ini, aku akan minta kepada Ki Pringgajaya, agar kita diwenangkan untuk mencari cara apapun juga yang baik menurut kita. Tidak usah menunggu kesempatan seperti sekarang ini. Kita dapat datang kepadepokannya, justru gurunya tidak ada. Atau cara apapun yang kita pilih sendiri.” “Prajurit yang berjanji untuk membunuhnya itu tidak juga dapat melakukannya sampai batas waktunya berakhir.” “Belum berakhir. Tetapi Ki Pringgajaya sudah tidak telaten lagi menunggunya.” Pembicaraan untuk mengusir kejemuan itu terputus. Mereka serentak berdiri karena mereka mendengar derap kaki kuda. “Mereka datang,“ hampir berbareng keduanya berdesis. Tetapi keduanya termangu-mangu. Ternyata derap kaki kuda itu datang dari arah yang berbeda. “Dari Jati Anom. Bukan dari Sangkal Putung.” “Tentu prajurit Pringgajaya yang ingin mengetahui, apakah kami sudah berhasil membunuh anak itu.” “Gila,“ geram kawannya, “kenapa begitu tergesa-gesa. Ia justru akan dapat menggagalkan rencana kita.” “Ia hanya akan melihat. Kemudian akan pergi meninggalkan kita disini. Atau mungkin orang lain yang lewat, atau malahan prajurit yang sedang meronda.” “Lebih baik kita bersembunyi. Aku tidak senang ada orang lain yang melihat kita dan bertanya tentang kita.” Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun tidak membantah. Karena itu, maka kedua orang itupun kemudian meloncati parit dan bersembunyi dibalik rimbunnya belukar dipinggir jalan. Sementara suara derap kaki kuda itu semakin lama menjadi semakin dekat. Dari balik rimbunnya perdu, keduanya dapat melihat dua ekor kuda mendekat. Dalam keremangan malam, mereka tidak segera dapat mengenal, siapakah penunggangnya. Namun keduanyapun kemudian yakin, bahwa kedua orang itu tentu mempunyai hubungan dengan Ki Pringgajaya, karena keduanyapun kemudian berhenti tepat pada tanda-tanda yang telah disepakati. Ketika keduanya telah meloncat turun, salah seorang berkata, “Disini seharusnya mereka menunggu.” Sebelum yang lain menyahut, maka kedua orang yang menunggu itu telah berloncatan dari balik gerumbur sambil mendekam. Salah seorang dari mereka berkata, “He, apakah kau diutus oleh Ki Pringgajaya.”

“Ya,“ sahut prajurit itu, “aku datang dengan seorang prajurit yang bernama Sabungsari. Yang pernah dikatakan oleh Ki Pringgajaya.” “He, anak inikah yang akan membunuh Agung Sedayu dalam perang tanding ?“ bertanya salah seorang dari kedua orang itu. “Ya.” Keduanya tiba-tiba saja tertawa menyakitkan hati. Tetapi Sabungsari menahan diri sehingga giginya tidak gemeretak. Namun prajurit yang mengantar Sabungsari itu berkata, “Anak inilah yang telah membunuh Carang Waja.” “Ya. Ki Pringgajaya juga sudah mengatakan. Tetapi apakah artinya Carang Waja dalam liarnya rimba ilmu kanuragan. Ia termasuk orang yang disegani. Tetapi sebenarnya ia tidak memiliki kemampuan yang berarti. Ia hanya mampu menipu lawannya dengan ilmu gilanya itu. Tetapi jika lawannya memiliki sedikit kewaspadaan penglihatan batin, ia tidak akan terpengaruh.” Sabungsari menjadi berdebar-debar mendengar pembicaraan orang itu. Ternyata orang itu mengetahui, bahwa Carang Waja memiliki ilmu yang dapat mempengaruhi perasaan lawannya. Yang merasa seolah-olah bumi telah berguncang, apabila ia menghentakkan kakinya pada tanah tempatnya berpijak. Dengan demikian Sabungsari dapat menilai, bahwa kedua orang itu tentu orang-orang yang memiliki kemampuan yang cukup. Namun demikian Sabungsaripun berkata, “Ki Sanak. Berilah aku kesempatan. Aku berharap dapat membunuh Agung Sedayu. Seandainya tidak, maka kau akan mendapat kesempatan berikutnya. Setelah bertempur melawan aku, maka kekuatannya tentu sudah susut. Dengan mudah kalian berdua akan dapat membunuhnya. “Aku tidak perlu bantuanmu. Aku dan saudaraku ini tentu akan dengan mudah membunuhnya. Kami berdua tidak akan melepaskan kesempatan ini. Dengan membunuh Agung Sedayu, kami akan mendapat upah yang tinggi.” “Upah itu tidak akan berubah,“ berkata Sabungsari, “kalian akan tetap mendapat upah, siapapun yang telah membunuhnya.” “Omong kosong. Jika kau yang membunuhnya, maka Pringgajaya akan ingkar. Agaknya perhitungan itulah yang membuat Pringgajaya menunggu. Seandainya kau tidak terlalu lamban dan berhasil membunuh Agung Sedayu, maka niat Ki Pringgajaya menyingkirkan Agung Sedayu terlaksana, sementara ia tidak kehilangan upah sekeping uangpun.” “Aku akan menjamin,“ berkata Sabungsari, “upah itu akan tetap kalian terima siapapun yang akan membunuh Agung Sedayu.”

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Jika itu yang kau kehendaki terserah. Agaknya Ki Pringgajayapun sudah setuju karena pengikutnya telah mengirimkan kau kemari. Tetapi jika kau mati oleh Agung Sedayu, itu bukan salah kami berdua. Kami tidak akan menolongmu sampai kau benar-benar mati. Baru kemudian kami berdua akan berbuat sesuatu.” “Terserah kepadamu,“ desis Sabungsari, “tetapi aku minta kesempatan yang pertama.” Prajurit yang mengantar Sabungsari itupun kemudian berkata, “Terserah apa yang akan kalian lakukan. Aku akan menunggu ditempat terpisah. Ki Pringgajaya sudah berpesan, agar yang terjadi ini tidak menyangkut masalah keprajuritan. Jika Sabungsari berbuat sesuatu itu adalah tanggung jawab pribadinya.” “Menymgkirlah,“ berkata salah seorang dari kedua orang yang mencegat Agung Sedayu, “jika anak ini gagal dan justru mati, kami berdua akan menyelesaikan anak Jati Anom yang sombong itu.” Prajurit yang mengantar Sabungsari itupun kemudian meninggalkan ketiga orang yang menunggu Agung Sedayu dan Glagah Putih. Mereka yakin bahwa keduanya akan lewat, karena mereka telah mencari keterangan tentang hal itu kepadepokan kecil anak muda itu. Ketika mereka kemudian duduk ditepi jalan, setelah Sabungsari menyembunyikan kudanya, maka kegelisahan yang tajam telah mencengkam hati anak muda itu. Sekali-sekali ia memandang kedua orang yang duduk disebelahnya. Nampaknya keduanya adalah orang-orang yang memang dapat diandalkan. Dengan demikian, maka dada Sabungsaripun menjadi semakin berdebar-debar. Ia mulai membayangkan, apa yang kira-kira terjadi. Ketika orang itu mengangkat kepalanya, ketika mereka mendengar derap kaki kuda lamat-lamat dikejauhan. Disela-sela desir angin yang lembut mereka mendengar derap kaki kuda yang semakin lama menjadi semakin jelas. “Aku mendengar derap mereka datang,“ desis salah seorang dari kedua orang yang mencegat Agung Sedayu itu. “Ya,“ sahut yang lain, “kita harus bersiap-siap.“ Lalu yang seorang berpaling kepada Sabungsari sambil bertanya, “Bagaimana ? Apakah kau akan meneruskan niatmu, berperang tanding dengan adik Untara itu.” “Ya,“ jawab Sabungsari, “aku sudah membulatkan tekadku.”

“Terserahlah kepadamu. Yang penting bagi kami, upah itu sama sekali tidak kurang sekepingpun siapapun yang melakukannya.” “Aku bertanggung jawab.” “Jika kau mati.” “Itu lebih jelas lagi. Kalian berdualah yang benar-benar telah membunuhnya, sehingga perjanjian kalian dengan Ki Pringgajaya tidak berubah,“ jawab Sabungsari. Yang terdengar salah seorang dari kedua orang itu tertawa. Katanya, “Kau terlalu sombong anak muda. Sebaiknya kau tidak usah melakukan perang tanding. Jika kau ingin melihat Agung Sedayu mati, marilah kita bertiga menyelesaikannya. Aku mendengar dari Ki Pringgajaya, bahwa kau didorong oleh dendam yang tidak tertahankan, karena ayahmu terbunuh. Sedangkan aku bernafsu membunuhnya karena upah yang tinggi. Jika kita lakukan bersama, maka tugas kita akan menjadi ringan, dan kita yakin bahwa anak itu akan benar-benar mati malam ini.” Sabungsari merenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku minta ijin untuk melakukannya terlebih dahulu. Jika kalian melihat kemungkinan aku gagal, terserah.” “Kami tidak akan menolong,“ yang seorang menyahut dengan serta-merta, “jika perang tanding sudah dimulai, maka kami akan menunggu sampai salah seorang dari kalian mati. Kecuali jika sejak semula kita sudah sepakat untuk bersama-sama membunuhnya.” Sabungsari memandang keduanya berganti-ganti, sementara derap kaki kuda itu menjadi semakin dekat. Tiba-tiba saja Sabungsari berdiri sambil menggeram, “Aku akan membunuhnya. Aku akan membakarnya dengan sorot mataku sampai hangus.” Kedua orang itu tertawa. Yang seorang berkata, “Aku sudah mendengar dari Ki Pringgajaya, bahwa sorot matamu telah berhasil membunuh seekor anak kambing. Tetapi Agung Sedayu bukan seekor anak kambing. Ia adalah seekor banteng yang garang.” “Aku tidak peduli,“ geram Sabungsari, “tunggulah. Lihatlah bagaimana aku membantainya disini dengan penuh dendam dan kebencian. Aku tidak dapat berbuat lain. Jika aku dapat membunuhnya, aku adalah anak yang telah menjunjung harga diri keluarga. Tetapi jika aku mati, maka aku mati dalam pengebdian bagi nama baik keluargaku. Aku akan mati sebagai seorang anak laki-laki.” Kedua orang itu termangu-mangu. Mereka melihat mata Sabungsari bagaikan memancarkan api dari

jantungnya yang membara. Karena itu, maka merekapun kemudian percaya, bahwa Sabungsari benarbenar ingin mengadu ilmu dengan anak muda yang namanya menggetarkan daerah Selatan itu. “Sabungsari,“ berkata salah seorang dari kedua orang itu, “aku sudah mendengar betapa anak muda yang bernama Agung Sedayu itu memiliki kemampuan yang tidak terduga. Tetapi akupun juga sudah mendengar bahwa kau memiliki kelebihan dari kebanyakan prajurit. Jika kau memang berkeras, terserah kepadamu. Tetapi yang kau lakukan adalah tanggung jawabmu sendiri. Aku akan melakukan tugasku setelah perang tanding yang kau kehendaki itu berakhir. Jika Agung Sedayu tidak berhasil kau bunuh, maka kami berdualah yang akan membunuhnya.” Sabungsari tidak menjawab. Tetapi ia berdiri tegang dipinggir jalan. Sementara derap kaki kuda itu semakin lama menjadi semakin jelas. Dengan kaki renggang dan dada tengadah Sabungsari berdiri tegak. Dengan suara datar ia menggeram, “Tidak ada orang lain yang dapat membunuhnya kecuali Sabungsari.” Kedua orang itu justru menepi. Mereka berdiri termangu-mangu. Mereka ingin melihat, apakah yang akan dilakukan oleh Sabungsari atas Agung Sedayu. Anak muda yang bersenjata cambuk itu. Sejenak kemudian, maka derap kaki kuda itupun telah menjadi sangat dekat. Dua. bayangan orang yang menunggang kuda telah nampak dalam keremangan malam. Dalam pada itu, Sabungsaripun segera meloncat ketengah jalan sambil berteriak garang, “berhenti. Aku disini Agung Sedayu.” Agung Sedayu yang datang berkuda itu terkejut. Karena itu, maka iapun segera menarik kendali kudanya. Demikian pula Glagah Putih yang berkuda disampingnya. Sementara mereka sedang berangan-angan, maka tiba-tiba saja mereka melihat bayangan seseorang meloncat ketengah jalan. Meskipun mereka telah melihat dalam keremangan malam, orang yang berdiri dipinggir jalan, namun mereka tidak menyangka, bahwa tiba-tiba saja orang itu meloncat sambil berteriak menghentikannya. Agung Sedayu dan Glagah Putih berhenti beberapa langkah dihadapan Sabungsari. Kuda mereka yang terkejut meringkik memecah sepinya malam. Namun sejenak kemudian malam telah menjadi hening kembali. “Sabungsari,“ desis Agung Sedayu. “Ya. Aku Sabungsari,“ jawab anak muda yang berdiri sambil bertolak pinggang ditengah jalan. “Kenapa kau disini ?“ bertanya Glagah Putih. Sejenak Sabungsari termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Kami telah siap untuk membunuhmu.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih terkejut. Agung Sedayu yang menganggap bahwa Sabungsari benarbenar telah menyadari dirinya, tiba-tiba saja kini ia berdiri ditengah jalan sambil bertolak pinggang. Sementara Glagah Putih yang sama sekali belum mengetahui bahwa Sabungsari pernah mengancam hidup Agung Sedayu itupun terkejut pula. Nampaknya Sabungsari adalah seorang yang sangat baik bagi Agung Sedayu. Namun tiba-tiba anak muda itu kini berdiri ditengah jalan dengan tangan dipinggang. Dalam pada itu. Agung Sedayupun kemudian meloncat turun dari kudanya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Aku tidak mengerti Sabungsari. Apakah kau berkata sebenarnya.” “Ya. Aku berkata sebenarnya. Aku telah datang ketempat ini untuk menunggumu, karena aku mengerti bahwa kau tidak akan bermalam di Sangkal Putung. Aku sudah menunda rencanaku beberapa hari. Kini aku sudah benar-benar sembuh dari luka-lukaku saat aku bertempur melawanmu dan kemudian membunuh Carang Waja. Kini datang giliranmu. Kaulah yang kini akan aku bunuh.” “Sabungsari,“ Glagah Putihpun kemudian turun pula dari kudanya, “kata-katamu membuat aku menjadi bingung.” “Aku tidak mempunyai persoalan apapun dengan kau. Pergilah sebelum kau ikut terbantai disini,“ sahut Sabungsari. “Tetapi tingkah lakumu terlalu aneh bagiku,“ desis Glagah Putih. “Kau masih terlalu kanak-kanak untuk mengerti. Aku akan membunuh Agung Sedayu karena ia telah membunuh ayahku. Kau jangan turut campur. Kau bagiku adalah anak-anak ingusan yang tidak berarti.“ bentak Sabungsari, “setelah aku berhasil membunuh Carang Waja, maka akupun yakin, bahwa aku akan dapat membunuhmu.” Glagah Putih menjadi semakin tegang. Ketika ia berpaling memandang wajah Agung Sedayu, maka yang nampak adalah wajah yang membeku didalam gelap. “Sabungsari,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “kau membuat aku menjadi bingung.” “Jangan kau ratapi nasibmu. Aku datang bersama dua orang yang tidak tanggung-tanggung. Mereka adalah orangorang yang tidak ada duanya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan tidak kalah dari Carang Waja. Nah, apa katamu sekarang? Jika kau ingin menangis, menangislah. Jika kau ingin berpesan, berpesanlah kepada Glagah Putih.” Agung Sedayu masih termangu-mangu. Seolah-olah ia tidak percaya kepada peristiwa yang dihadapinya. Seolah-olah ia bermimpi bertemu dengan Sabungsari dalam waktu surut beberapa pekan

yang lewat. Pada saat Sabungsari masih dibakar oleh api dendam yang menyala didadanya. Tetapi pada suatu saat, api itu sudah surut. Namun kini tiba-tiba api itu telah menyala kembali. Tiba-tiba saja Sabungsari telah berdiri bertolak pinggang, sambil menantangnya berperang tanding. “Apakah karena ada dua orang itu, maka Sabungsari telah kambuh lagi dengan angan-angan hitamnya,“ bertanya Agung Sedayu didalam hatinya. Namun pertanyaan itu tidak segera dapat dijawabnya. Ia masih melihat Sabungsari berdiri tegak seperti tonggak. Dalam pada itu, Glagah Putih yang terheran-heran melihat sikap itu, maju selangkah sambil bertanya, “Tetapi bukankah kau Sabungsari yang aku kenal itu? Bukankah kau yang sering datang dipadepokan ?” “Ya. Aku. Apakah kau sudah gila, sehingga kau tidak mau kenal aku lagi?” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa Sabungsari pernah membunuh seseorang yang bernama Carang Waja yang memiliki kemampuan luar biasa. Karena itu, Glagah Putih benar benar menjadi cemas. Ketika ia memandang dua orang yang berdiri dipinggir jalan, maka detak jantungnya seakan-akan menjadi semakin cepat. Keduanya benar benar nampak garang dan kasar. Dalam pada itu. Agung Sedayu yang masih termangu-mangu itupun kemudian berkata, “Sabungsari. Aku benar benar tidak mengerti sikapmu. Tetapi kita sudah saling mengenal. Bukan saja kau mengenal namaku dan aku mengenal namamu. Tetapi kau mengetahui apa yang mampu aku lakukan dan aku mengetahui apa yang mampu kau lakukan.” “Benar,“ Sabungsari hampir berteriak, “tetapi kau tidak mengenal keduanya. Kau tidak mengenal kemampuannya.“ Sabungsari berhenti sejenak, lalu. “keduanya adalah orangorang yang pilih tanding, yang telah menyediakan diri untuk membunuhmu. Keduanya adalah orang-orang yang telah di upah oleh Ki Pringgajaya.” “Sabungsari,“ kedua orang itu berteriak hampir berbareng. “Kenapa ?“ bertanya Sabungsari, “bukankah benar kalian diupah oleh Ki Pringgajaya untuk membunuh Agung Sedayu.” “Itu tidak perlu kau katakan kepada siapapun.” “Tetapi Agung Sedayu akan mati. Jika ia mengetahuinya, maka pengetahuannya akan dibawa mati. Ia tidak akan dapat menceriterakan kepada siapapun, bahwa Ki Pringgajaya telah mengupahmu untuk membunuh anak muda yang bernama Agung Sedeyu karena Ki Pringgajaya mempunyai hubungan

dengan orang-orang yang mfengaku pewaris Kerajaan Majapahit itu.” “Cukup,“ potong salah seorang dari kedua orang itu, “kau tidak usah mengigau tentang kami berdua. Jika kau ingin berperang tanding, segera lakukan. Kami menjadi saksi.” Tetapi Sabungsari tertawa. Katanya, “Kalian tidak usah malu. Kalian memang diupah oleh Ki Pringgajaya. Dan aku akan bertindak atas namaku sendiri.” “Cukup,“ yang lainpun berteriak. Namun Sabungsari tidak mau diam. Katanya kepada Agung Sedayu, “Agung Sedayu. Aku memang pernah minta kepada Ki Pringgajaya agar ia tidak tergesa-gesa bertindak. Aku ingin membunuhmu dalam perang tanding. Tetapi Ki Pringgajaya tidak tahu apakah yang pernah terjadi diantara kita, sehingga ia masih dengan sabar menunggu aku melakukannya. Tetapi akhirnya kesabaran itu ada batasnya. Malam ini adalah malam terakhir aku mendapat kesempatan berperang tanding. Sementara kedua orang itu telah dipersiapkan. Jika aku gagal, dan aku mati, maka keduanya akan membunuhmu.” Agung Sedayu menjadi semakin bingung menanggapi sikap Sabungsari. Namun ia mulai mempunyai tanggapan lain, meskipun ia tidak jelas, apakah maksud anak muda itu sebenarnya. Dalam pada itu, kedua orang yang berdiri ditepi jalan itu bergeser setapak maju. Salah seorang dari mereka berkata lantang, “Jangan berbicara saja Sabungsari. Waktunya sudah menjadi terlalu sempit. Jika kau ingin bertempur, kami akan segera menyelesaikannya. Kesempatan yang .diberikan kepadamu dapat kau pergunakan atau tidak. Tetapi jangan menghambat tugas kami.” Sabungsari justru tertawa. Katanya, “Tunggu. Jangan tergesa-gesa. Aku akan membuat Agung Sedayu marah. Sulit sekali memancing perselisihan dengan anak muda ini. Sebenarnya aku sudah pernah mencoba sebelumnya. Tetapi aku tidak berhasil.” “Kau memang dungu. Jangan dipancing. Tantang ia berkelahi, kalau ia menolak, kau tinggal membantainya.” “Itu licik. Aku harus membuatnya marah. Kemudian bertempur secara jantan, karena aku tidak mau merendahkan harga diriku sendiri.” “Lakukanlah. Cepat, lakukanlah.” Tetapi suara tertawa Sabungsari justru semakin keras. Katanya, “Kenapa justru kalian yang marah. Aku memancing Agung Sedayu agar marah. Tetapi Agung Sedayu belum juga marah.”

“Persetan,“ teriak salah seorang dari kedua orang itu, “jika kau takut menghadapi kematian. Minggirlah. Aku akan membunuhnya.” “Jangan tergesa-gesa.” cegah Sabungsari, “tunggulah.” Tetapi ternyata sikap Sabungsari telah membuat kedua orang itu benar-benar kehilangan kesabaran. Karena itu, maka berbareng mereka maju sambil menggeram, “Pergilah. Kami berdua akan menyelesaikannya. Jika kau ingin menjadi saksi kematiannya, berdirilah menepi. Sebelum ada orang lain lewat, atau prajurit yang meronda di jalan ini, aku harus sudah membunuhnya.” “Malam masih panjang. Aku memerlukan waktu tidak sampai tengah malam. Jika aku gagal, kau masih mempunyai setengah malam berikutnya.” “Aku tidak mau menunggu sampai ada orang lain ikut campur. Ternyata kau anak gila. Pergilah. Meskipun kau berhasil membunuh Carang Waja, tetapi kau tidak berani berhadapan dengan Agung Sedayu.” Suara tertawa Sabungsari justru menjadi semakin keras. Katanya, “Ternyata bahwa umpan yang aku berikan kepada Agung Sedayu telah kau sadap. Dengan demikian, kalian berdualah yang menjadi marah. Terserahlah. Jika kalian marah kepadaku, maaf, aku bukan sasaran yang baik, karena aku mempunyai harga diri. Kalian tidak berhak marah kepadaku. Kalian dapat berbuat apa saja, tetapi tidak atas aku.” “Gila,” geram salah seorang dari kedua orang itu. Sementara itu Agung Sedayu dan Glagah Putih justru berdiri membeku. Perlahan-lahan Agung Sedayu mulai memahami sikap Sabungsari, sementara Glagah Putih masih tetap berdiri termangu-mangu. Ia sama sekali tidak mengerti, apa yang telah terjadi. Ia menjadi bingung melihat sikap Sabungsari yang aneh itu. “Ki Sanak,“ berkata Sabungsari kemudian, “kalian jangan merampas hakku untuk membunuh Agung Sedayu. Aku sudah bertekad dan aku akan berjuang untuk dapat melakukannya.” “Kau anak gila. Sudah aku katakan, kalau kau ingin melakukan, lakukanlah. Jika tidak pergilah.” “Aku akan melakukan. Tetapi terserah kepadaku, apakah sekarang, apakah menjelang tengah malam. Sabarlah menunggu. Jangan ganggu aku, agar aku tidak terpaksa bertahan atas hakku.” “Anak setan,“ geram salah seorang dari keduanya, “katakan maksudmu yang sebenarnya. Aku mulai curiga kepadamu.” Sabungsari memandang kedua orang itu berganti-ganti.

Sejenak ia diam. Namun sejenak kemudian terdengar suara tertawanya yang makin lama menjadi makin keras. Katanya kemudian, “Ki Sanak. Baiklah aku berkata terus terang jika kau mulai mencurigaiku. Aku datang ketempat ini untuk memperingatkan Agung Sedayu agar ia berha-hati. Agar ia menyadari, bahwa ia akan berhadapan dengan dua orang yang pilih tanding.” “Gila,“ teriak kedua orang itu hampir berbareng. Salah seorang dari keduanya meneruskan, “Jadi kau batalkan niatmu membunuh Agung Sedayu ?” “Aku sejak semula memang tidak akan membunuhnya. Aku tidak akan dapat melakukannya. Aku telah dikalahkan oleh Agung Sedayu,“ jawab Sabungsari, lalu. “dengan demikian aku adalah telukannya. Sebagai seorang laki-laki jantan, aku mengakui kekalahanku, dan aku akan menempatkan diriku sebagai seorang telukan yang tidak akan berkhianat.” “Tetapi kau mengkhianati Ki Pringgajaya.“ Teriak salah seorang dari kedua orang itu. “Aku memang sengaja melakukannya,“ jawab Sabungsari, “ketahuilah bahwa jika kalian berdua berhasil mencegat Agung Sedayu hanya berdua dengan Glagah Putih, maka kalian tentu akan berhasil membunuhnya. Ki Pringgajaya tentu sudah memperhitungkan dengan matang, siapakah yang akan dikirim untuk mencegat Agung Sedayu dan membunuhnya. Karena itu, agar aku tidak keliru kemana aku harus menemui kalian, maka aku minta seorang prajurit Ki Pringgajaya untuk mengantar aku dengan alasan yang tentu saja memungkinkan.” “Dengan demikian kau sudah menentang Ki Pringgajaya. Ia adalah seorang prajurit Pajang di Jati Anom.” geram salah seorang dari kedua orang itu. “Aku juga seorang prajurit Pajang di Jati Anom.” “Ki Pringgajaya adalah seorang perwira. Sedang kau hanyalah seorang prajurit pada tataran terendah.” “Apakah artinya pangkat dan jabatan bagi kebenaran. Kau tidak akan dapat mengukur perjuanganku sekarang ini dengan pangkat dan jabatan. Yang kau hadapi disini adalah kau berdua. Bukan Ki Pringgajaya. Seandainya Ki Pringgajaya datang pula, maka terpaksa aku akan berani melawannya karena aku berdiri dipihak yang benar,“ jawab Sabungsari. Dalam pada itu, maka Agung Sedayupun menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa Sabungsari ternya ta benar-benar seorang laki-laki. Ia tidak akan melakukan tindakan tindakan yang licik dan pengecut. Jika ia berkata bahwa ia kalah, maka kata-katanya adalah kata-kata seorang laki-laki. Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian berkata, “Terima kasih atas sikapmu Sabungsari. Dengan demikian kau telah menolong aku, dan bahkan kau sudah melindungi aku dari sambaran maut. Karena sebenarnyalah bahwa kedua orang itu tentu orang

yang pilih tanding.” “Bersiaplah menghadapi segala kemungkinan Agung Sedayu,“ berkata Sabungsari. “Aku sudah siap Sabungsari. Kecuali jika kedua orang itu bersedia mengurungkan niatnya. Aku ingin mempersilahkan keduanya untuk mempertimbangkan kemungkinan lain dari berusaha membunuhku.” “Maksudmu?“ bertanya Sabungsari. “Aku ingin bertanya kepada mereka, apakah mereka benar-benar berniat melakukannya,“ desis Agung Sedayu. Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sudah mengenal Agung Sedayu. Karena itu, maka dibiarkannya Agung Sedayu kemudian bertanya kepada keduanya, “Ki Sanak. Apakah benar seperti yang dikatakan oleh Sabungsari, bahwa kalian adalah sraya Ki Pringgajaya untuk membunuh aku?” “Ya,“ keduanya tidak dapat ingkar lagi. Yang seorang menambahkan, “jangan mempersulit tugas kami. Menyerahlah. Aka akan membunuhmu. Jika kau tidak berusaha melawan, maka saudaramu itu akan selamat.” “Apa pedulimu,“ Sabungsari yang menyahut, “kau tidak akan dapat mengganggu anak yang masih terlalu muda itu.” Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun iapun telah mengetahui apa yang sebenarnya dilakukan oleh Sabungsari justru bermaksud baik. Dengan cara itu, ia sudah berhasil berada diantara orangorang yang telah mencegat Agung Sedayu, dan yang bahkan mungkin akan membunuhnya dengan licik. Kedua orang itu menggeram. Yang seorang maju selangkah sambil berkata, “Tidak ada pilihan lain. Kami sudah terjebak oleh sikap Sabungsari. Tetapi kamipun mengerti akan kemampuan kami dan mengerti pula akan kemampuan kalian. Sabungsari berhasil membunuh Carang Waja, tetapi dengan luka arang keranjang. Agung Sedayupun telah dapat mengalahkannya meskipun tidak membunuhnya. Tetapi Agung Sedayupun terluka pula. Dengan demikian kami mengerti, bahwa kalian berdua adalah orang-orang yang pilih tanding. Tetapi kalian kini berhadapan tidak dengan orang-orang Pesisir Endut yang hanya mampu mengguncang bumi dalam peristiwa semu. Kami adalah orang-orang yang datang dari Gunung Kendeng. Jika kau pernah mendengar dongeng dari siapapun, sepasang Elang yang ditakuti itu adalah kami berdua. Nama kami tentu sudah pernah kalian dengar pula. Rambitan dan Kumuda dari perguruan Elang Hitam di lereng Gunung Kendeng.” Yang pertama-tama menyahut adalah Sabungsari, “Jadi kalianlah yang digelari sepasang Elang dari Gunung Kendeng.

Kalian pulalah yang bernama Rambitan dan Kumuda. Jika demikian, kalian tentu juga pernah mendengar nama perguruanku. Perguruan Telengan.” “Persetan dengan Ki Gede Telengan,“ geram yang seorang dari keduanya, “kau tidak dapat membanggakan apapun juga dengan Ki Gede Telengan. Permainan sorot matamu tidak akan berarti bagi kami.” Sabungsari menjadi tegang. Tetapi kemudian ia berkata, “Agung Sedayu. Beruntunglah kita, karena kita dapat bertemu dengan saudara-saudara kita dari Gunung Kendeng. Sayang mereka berdiri dipihak yang berlawanan dengan kita. Karena itu, kau tidak usah memikirkan, apakah mereka akan mengurungkan niatnya. Aku kenal, orang-orang dari perguruan Elang Hitam pada dasarnya adalah orang-orang yang berhati keras. Karena itu, kau tidak usah mencoba mencegah benturan kekerasan disini. Mereka membunuh kita, atau kita yang membunuh mereka.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Sabungsari yang berdiri tegak dengan kaki renggang. Tetapi Agung Sedayu tidak meragukan anak muda itu lagi. Ternyata Sabungsari benar-benar seorang laki-laki. Karena itu, maka katanya, “Jika memang seharusnya demikian, apaboleh buat Sabungsari. Tetapi kita belum terlanjur membenturkan kekuatan. Sehingga karena itu, kemungkinan yang lain masih dapat terjadi.” “Gila,“ teriak Rambitan, “kau kira kami adalah anak-anak cengeng yang merengek karena kehilangan mainan. Tidak. Meskipun Sabungsari berkhianat, kami tidak akan surut selangkah. Kami akan membunuh kau, Sabungsari dan Glagah Putih sekaligus. Kemudian kami akan menghancurkan padepokan kecilnya. Membunuh gurumu, saudara seperguruanmu yang sombong itu. Isterinya dan adiknya.” “Kau dengar Agung Sedayu,“ berkata Sabungsari, “tidak ada gunanya lagi untuk merajuk. Kaupun jangan merengek seperti anak cengeng kehilangan mainan.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika tidak ada kesempatan lain, apaboleh buat. Tetapi segalanya belum terlanjur.” Kedua orang dari Gunung Kendeng itu tiba-tiba telah meloncat maju sambil berteriak, “Aku akan membunuh kalian sekarang. Jangan mencoba untuk menghindari tangan-tangan maut yang sudah siap untuk menerkam. Karena hal itu akan sia-sia saja.” Agung Sedayu memandang kedua orang itu sejenak. Namun kemudian ia berdesis, “Jadi kalian tidak memberikan kesempatan lain daripada mempertahankan diri.” “Tutup mulutmu,“ geram Kumuda.

Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Baiklah. Aku memang masih ingin kembali kepadepokan, bertemu dengan guru dan orang-orang lain yang aku kenal. Karena itu aku akan mempertahankan diri.“ lalu katanya kepada Glagah Putih, “minggirlah Glagah Putih. Ambillah jarak. Pegangilah kuda kuda itu atau tambatkan pada pepohonan.” Glagah Putihpun beringsut. Ia menyadari, bahwa keempat orang yang sudah siap untuk bertempur itu tentu orang-orang yang memiliki kelebihannya masing-masing. Karena itu, maka iapun kemudian mengambil jarak dan menambatkan kudanya dan kuda Agung Sedayu. Baginya lebih baik kedua tangannya bebas dan siap untuk dipergunakan apabila perlu, karena ia tidak dapat membayangkan, apa yang akan terjadi kemudian. Sejenak kemudian keempat orang itu sudah siap. Rambitan berdiri berhadapan dengan Agung Sedayu, sedang Kumuda beringsut mendekati Sabungsari. “Anak itu dapat bermain-main dengan matanya,“ berkata Rambitan kepada Kumuda. “Ya. Sorot matanya tidak akan dapat menembus perisai yang melingkari diriku, meskipun tidak kasat mata,“ berkata Kumuda. Sabungsari mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa orang itu tentu bukan hanya sekedar menakutnakuti. Tetapi orang itu tentu nemiliki kemampuan seperti yang dikatakannya. Namun demikian Sabungsari tidak gentar. Iapun bukan sekedar dapat berteriak dan berbicara lantang. Tetapi iapun memiliki bekal ilmu dari perguruannya. Ia datang ke Jati Anom dengan niat untuk membunuh Agung Sedayu. Karena itu, maka iapun memiliki kepercayaan kepada ilmunya meskipun ternyata ia tidak dapat mengalahkan anak muda itu. Kini ia justru berdiri dipihak Agung Sedayu untuk bersama-sama bertempur melawan sepasang Elang dari Gunung Kendeng itu. Sejenak keempat orang itu berdiri dengan tegang. Masing-masing telah bersiap dalam kemampuan puncaknya, karena masing-masing sudah dapat menduga tataran ilmu lawannya. Ketika Rambitan bergeser, maka Agung Sedayupun bergeser pula. Ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi atasnya. Agung Sedayu memang masih merasa terlalu muda untuk mati. Betapapun juga ia harus bertahan untuk tetap hidup. Namun dalam pada itu, seorang yang bersembunyi dibalik semak-semak melihat segalanya yang terjadi. Ia tidak meninggalkan tempat itu, karena ia memang ingin mengawasi dua orang upahan itu. Sikap Sabungsari ternyata benar-benar telah membakar jantungnya. Prajurit muda itu telah menipu Ki Pringgajaya, sehingga dengan demikian ia adalah orang yang paling berbahaya. Justru lebih berbahaya dari Agung Sedayu, karena ia merupakan saksi dari sikap Ki Pringgajaya terhadap adik Untara itu.

“Anak itu harus dibunuh,“ geramnya. Tetapi prajurit itu merasa bahwa diantara keempat orang dengan ilmu raksasanya itu, ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Namun sekilas dilihatnya Glagah Putih. Tiba-tiba saja ia mempunyai akal yang licik. Jika ia dapat menguasai Glagah Putih, maka ia tentu akan dapat memperlemah pertahanan Agung Sedayu dan Sabungsari. Bahkan ia akan dapat mempergunakan Glagah Putih untuk memaksa Agung Sedayu dan Sabungsari menyerah, karena Glagah Putih adalah saudara sepupu dan dibawah tanggung jawab Agung Sedayu. Prajurit itu tidak mengenal pengikut Sabungsari. Tetapi ia mendapat pikiran yang serupa dari apa yang pernah dilakukan oleh para pengikut Sabungsari dipantai Selatan itu. Karena itu, maka sebelum pertempuran itu berkobar, dan apa lagi membawa korban, maka ia akan merunduk anak itu, dan sekaligus menguasainya dan mempergunakannya sebagai alat untuk memaksa Agung Sedayu menyerah. Dengan hati-hati prajurit itu berkisar mendekati Glagah Putih. Semakin lama semakin dekat. Ia menyusup diantara gerumbul-gerumbul dan semak-semak. Namun mata Agung Sedayu ternyata memiliki ketajaman penglihatan yang melampaui ketajaman penglihatan orang kebanyakan. Ia melihat dalam kegelapan seperti itupun mampu melihat pada jarak yang sangat jauh. Jika ia memusatkan tatapan matanya dalam ketajaman penglihatan, maka seolah-olah yang jauh itu menjadi dekat, dan yang baur itu dapat menjadi jelas. Karena itulah, maka didalam gelapnya malam, ia melihat meskipun hanya lamat-lamat, semak-semak yang bergerak. Agung Sedayu melihat arah gerak pohon-pohon perdu yang rimbun itu, sehingga iapun segera dapat mengambil kesimpulan, apa yang ada dibalik semak-semak itu. Tetapi Agung Sedayu tidak sempat berbuat sesuatu. Ketika ia siap untuk meloncat kebalik semaksemak, ternyata lawannya telah bergerak selangkah maju dan bersiap untuk menyerang. Agung Sedayu harus memperhatikannya. Seperti yang diduganya, maka sejenak kemudian orang itu sudah meloncat menyerang dengan cepatnya. Agung Sedayu berkisar selangkah. Namun ia masih sempat melihat Glagah Putih sekilas. Pada saat yang gawat itu, ia melihat sesosok bayangan yang muncul dari balik semak-semak dibelakang Glagah Putih. “Glagah Putih,“ teriak Agung Sedayu, “berhati-hatilah. Lihat dibelakangmu.” Teriakan itu mengejutkan Glagah Putih dan Sabungsari. Bahkan kedua orang yang mencegat Agung Sedayu itupun terkejut pula, karena mereka tidak menyangka bahwa prajurit yang mengawasi mereka telah mengambil sikap tersendiri.

Namun kedua orang itu merasa, bahwa sikap itu akan sangat menguntungkannya. Jika prajurit itu berhasil menguasai Glagah Putih, maka perlawanan Agung Sedayu dan Sabungsari tentu akan terganggu pula. Namun pada saat itu Glagah Putih sempat berpaling. Ia melihat seseorang berdiri beberapa langkah dibelakangnya dan siap untuk menyerangnya. Sementara itu, baik Glagah Putih maupun Agung Sedayu dan Sabungsari tidak mengetahui, seberapa tingkat ilmu orang yang menyerang itu. Karena itu, maka merekapun menjadi berdebar-debar. Jika orang yang menyerang Glagah Putih itu memiliki kemampuan seperti kedua orang yang lain, maka Glagah Putih benar-benar berada dalam bahaya. Sambil mengelakkan serangan lawannya yang datang berikutnya, Agung Sedayu menyaksikan orang yang merunduk Glagah Putih itu mulai menyerang pula. Dengan sepenuh tenaga prajurit itu menyerang langsung mengarah kedada Glagah Putih. Namun ternyata bahwa Glagah Putih mengelakkan serangan itu. Pada serangan yang pertama, Agung Sedayu dan Sabungsari melihat, bahwa orang itu agak berbeda dengan iblis yang dua, yang berhadapan masing-masing dengan Agung Sedayu dan Sabungsari. Karena itu, maka Agung Sedayu dan Sabungsaripun menjadi agak tenang. Mereka dapat memusatkan perhatian mereka kepada lawan masing-masing. Karena Agung Sedayu lelah terlibat dalam pertempuran, maka lawan Sabungsari itupun tidak menunggu lebih lama. Iapun segera menyerang dengan sepenuh kemampuannya. Tetapi Sabungsari adalah seorang anak muda yang memiliki bekal ilmu yang cukup. Karena itu, maka serangan itu baginya bukannya serangan yang berpengaruh, baik badannya, maupun bagi jiwanya. Dengan demikian, maka sejenak kemudian kedua anak-anak muda itupun segera terlibat kedalam pertempuran yang sengit. Kedua orang dari perguruan Elang Hitam itu sama sekali tidak memberi kesempatan kepada lawannya, karena mereka sadar, tatapan mata yang menyala pada anak-anak muda itu akan dapat membakar jantungnya. Rambitan dan Kumuda berusaha untuk bertempur pada jarak yang pendek, sehingga tidak memberi kesempatan lawannya untuk membangunkan kekuatan lewat sorot matanya. Mereka melihat dalam benturan-benturan pendek pada jarak jangkau serangan tangan dan kakinya. Namun sekali-sekali Sabungsari berusaha melepaskan diri dari libatan yang keras itu. Meskipun ia belum bermaksud mempergunakan kekuatan sorot matanya, namun seolah-olah ia sedang mencoba, apakah pada suatu saat ia akan dapat mengambil kesempatan untuk melakukannya. “Jika aku dapat bertahan tanpa ilmu itu, aku akan melagukannya,“ berkata Sabungsari didalam hatinya, karena ia sadar, bahwa ia memerlukan waktu. Jika dalam saat sekejap itu ia terjebak, maka ia akan

mengalami kesulitan seterusnya. Karena itu, maka ia justru tidak mempergunakan ilmu puncaknya apabila ia memang belum terpaksa. Selagi kedua orang anak muda itu bertempur dengan serunya, maka prajurit yang merunduk Glagah Putih itupun telah terlibat dalam perkelahian. Untunglah, bahwa Glagah Putih telah menempa diri dalam menekuni ilmunya, sehingga kemampuannya telah jauh meningkat. Yang dihadapinya kemudian adalah seorang prajurit Pajang di Jati Anom yang tidak memiliki kelebihan seperti Sabungsari. Ia tidak lebih dari seorang prajurit kebanyakan yang mempunyai ilmu dasar bagi seorang prajurit. Meskipun ia memiliki ilmu yang cukup dalam perang gelar, tetapi dalam ilmu kanuragan secara pribadi, ia tidak memihki banyak kelebihan. Karena itu, maka ketika kemudian Glagah Putih sempat mempertahankan dirinya, maka prajurit itupun tidak terlalu banyak dapat memaksakan kehendaknya. Meskipun Glagah Putih masih belum memiliki pengalaman, namun ia masih sempat bertahan. Dengan ilmu yang ada padanya, ia berjuang untuk tidak segera mati atau dilumpuhkan oleh lawannya. Ternyata Agung Sedayu melihatnya. Karena itu, maka Agung Sedayupun berteriak, “bertahanlah Glagah Putih. Aku akan segera datang membantumu.” “Kau akan mati,” teriak Rambitan. Yang terdengar berteriak kemudian adalah Sabungsari, “Jika demikian, akulah yang akan membantumu.” “Kaupun akan mati,“ geram Kumuda. Sabungsari tertawa. Katanya, “Ternyata kau hanya dapat berkicau. Apa kelebihanmu dari Carang Waja ?” Kumuda benar-benar merasa terhina. Namun perasaannya tidak cepat terbakar. Ia masih sempat membuat pertimbangan-pertimbangan menghadapi anak muda yang ternyata benar-benar memiliki kemampuan. Agaknya mereka yang bertempur itu masih belum sampai pada puncak ilmu masing-masing. Mereka masing-masing masih mencoba menjajagi kemampuan lawannya. Karena itulah maka masing-masing masih bertempur dengan kemampuan wadag mereka sewajarnya, meskipun semakin lama menjadi semakin cepat dan semakin sengit. Mereka telah mengerahkan segenap kemampuan mereka dan mulai merambat pada kemampuan tenaga cadangan meskipun belum sepenuhnya. Dalam pada itu. Agung Sedayupun mulai menyadari sepenuhnya, bahwa lawannya benar-benar seorang yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Lawannya semakin lama semakin menjadi kuat dan gerakannya menjadi semakin cepat.

Sementara itu, Glagah Putihpun telah bertempur dengan serunya. Agak berbeda dengan Agung Sedayu dan Sabungsari, ternyata Glagah Putih telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk mempertahankan diri, karena lawannyapun berusaha untuk segera menguasainya. Namun kemampuan Glagah Putih yang didapatnya dengan menempa diri hampir setiap saat itupun telah melindunginya. Ia telah mampu bergerak dengan cepat dan tangkas, meskipun ia masih dibatasi oleh kekuatan dan kemampuan wadag sewajarnya. Tetapi karena latihan-latihan yang berat, maka ia adalah seorang anak muda yang kuat dan trampil. Ternyata lawannyapun seorang prajurit yang kuat dan trampil. Tetapi seperti Glagah Putih, iapun bertumpu pada kemampuan wadag sewajarnya. Dengan demikian, maka pertempuran antara Glagah Putih dan prajurit itupun menjadi semakin seru. Masing-masing telah mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya. Tetapi ternyata kemudian, bahwa prajurit itu memiliki pengalaman yang lebih luas. Glagah Putih kadang-kadang masih nampak gugup dan kehilangan kesempatan yang berarti. Namun setiap kali ia masih menyadari dirinya dan selalu meloncat mengambil jarak, sementara ia berusaha memperbaiki kedudukannya. Agung Sedayu dan Sabungsari tidak mempunyai kesempatan terlalu banyak untuk mengamati Glagah Putih, karena ia harus memperhatikan lawan masing-masing dengan saksama. Meskipun mereka agaknya belum sampai pada puncak ilmu mereka, namun Agung Sedayu dan Sabungsari tidak ingin terjebak oleh kelengahannya. Sehingga dengan demikian, maka keduanya telah bertempur dengan hatihati. Mereka mengerti, bahwa setiap saat lawan masing-masing akan dapat melontarkan ilmu pamungkas mereka. Dalam pada itu, maka pertempuran di bulak panjang itupun menjadi semakin seru. Adalah kebetulan sekali, bahwa tidak ada seorang petanipun yang menjenguk sawahnya dibulak panjang yang gelap dan dimalam yang dingin. Karena itu, maka tidak seorangpun yang telah melihat, apa yang telah terjadi di bulak panjang itu. Sementara itu, Rambitan yang berhadapan dengan Agung Sedayu semakin lama menjadi semakin yakin, bahwa anak muda itu memang memiliki ilmu yang luar biasa. Yang didengarnya tentang Agung Sedayu bukannya sekedar dongeng yang tidak berarti. Tetapi setelah ia berhadapan langsung dengan anak muda itu, maka iapun mulai mempercayainya. Namun Rambitan yang merasa dirinya murid terbaik dari perguruan Elang Hitam di pegunungan Kendeng itu, justru semakin bergairah. Ia ingin menunjukkan, bahwa murid-murid dari Gunung Kendeng itu bukannya sekedar mampu berkicau dan berteriak-teriak seperti yang dituduhkan oleh Sabungsari terhadap Kumuda. Namun dengan kemantapan ilmunya, perguruan Gunung Kendeng akan dapat menghancurkan lawan-lawannya.

Perlahan-lahan Rambitanpun mulai meningkatkan ilmunya. Dengan demikian ia ingin melihat sampai batas tertinggi kemampuan lawannya. Jika pada suatu saat, Agung Sedayu tidak lagi mengimbanginya, maka ia akan mendapat ukuran, bahwa kemampuan anak muda yang menggetarkan Pajang itu hanya sampai pada tingkat tertentu dibawah ilmunya. Namun dalam pada itu. Agung Sedayu ternyata menyadari, apa yang dilakukan oleh lawannya. Karena itu, maka iapun selalu mengikutinya dengan saksama. Setiap kali lawannya meningkatkan ilmunya, maka Agung Sedayupun melakukannya pula. Setiap kali terasa oleh Agung Sedayu, tekanan lawannya yang menjadi semakin meningkat. Pertanda peningkatan ilmu ini ternyata sangat menarik bagi Agung Sedayu. Bukan saja Rambitan yang ingin mengetahui batas puncak kemampuan lawannya, namun Agung Sedayupun telah melakukan yang serupa. Dengan demikian Agung Sedayu tidak dengan serta merta mengerahkan ilmunya seperti yang dilakukan oleh lawannya. Dengan cara itu ia akan mengetahui tingkat tertinggi dari murid terbaik yang datang dari perguruan Elang Hitam di Gunung Kendeng. “Anak-anak murid dari Perguruan Wulungireng ini tentu sedang menjajagi kemampuanku pula,” berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Agak berbeda dengan Agung Sedayu adalah Sabungsari. Ia bukan anak muda yang ragu-ragu dan mempunyai banyak pertimbangan yang dapat menghambat tingkah lakunya. Ia tidak memikirkan, apa yang sedang dilakukan oleh lawannya. Karena itu, maka Sabungsaripun segera bertempur dengan segenap kemampuannya melawan Kumuda yang dicengkam oleh nafsu yang membara didadanya untuk membunuh anak muda yang dianggapnya berkhianat itu. Karena itu, maka pertempuran antara Sabungsari dan Kumuda menjadi semakin sengit. Lebih seru dari arena pertempuran antara Agung Sedayu dan Rambitan. Rambitanpun mengetahui sekilas, bahwa agaknya Kumuda dan Sabungsari telah sampai kepuncak ilmunya, sehingga mereka bagaikan prahara yang saling membentur. Keduanya adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Serangan yang membentur serangan itu seolah-olah telah menimbulkan angin pusaran. Desir yang berbaur dengan hentakan tenaga yang lepas dari sasaran, telaii membuat arena pertempuran itu bagaikan diguncang oleh gempa yang mengerikan. Sabungsari yang pernah bertempur melawan Carang Waja itupun merasa bahwa lawannya ternyata memiliki kemampuan yang berbeda. Kumuda tidak dapat mengguncang tanah bagaikan guncangan gempa yang ternyata hanya semu.

Tetapi Kumuda benar-benar mampu bergerak cepat dan serangannyapun dilambari dengan kekuatan yang luar biasa. Ia mampu meloncat bagaikan petir yang menyambar dilangit. Dan iapun mampu menghantamkan hentakkan kekuatan bagaikan gugurnya gunung Merapi dan Merbabu, menghimpit lawannya tanpa ampun. Karena itu, maka Sabungsaripun harus berhati-hati. Ia harus berusaha mengimbangi kecepatan bergerak lawannya, dan sekaligus berusaha untuk mengerahkan tenaga cadangannya dalam daya tahannya. Karena setiap sentuhan serangan lawannya, akan dapat berarti hancurnya isi dadanya jika ia tidak mengerahkan daya tahannya sekuat-kuatnya. Dengan demikian, maka kekuatan cadangan Sabungsari sebagian telah terhisap pada pertahanannya. Karena itu, maka serangan-serangannyapun menjadi lemah. Namun dalam pada itu, bukan berarti bahwa Sabungsari tidak pernah menyerang lawannya. Dalam kesempatan tertentu, Sabungsaripun mampu menyerang. Tetapi yang diluncurkan bukanlah puncak dari kekuatannya. Untuk beberapa saat Sabungsari masih harus mengamati dengan sungguh-sungguh keadaan lawannya yang sesungguhnya. Ia harus melihat, dimana kelebihannya dan dimana kekurangannya. Tetapi kesempatan terlalu sempit bagi Sabungsari. Lawannya melibatnya dalam pertempuran yang keras pada jarak yang pendek. Apalagi lawannya memiliki kecepatan bergerak yang mendebarkan, dan kekuatan mengagumkan. Namun dalam pada itu, kekuatan dan kemampuan Sabungsari telah benar-benar pulih kembali sejak ia dilukai oleh Carang Waja. Segala luka-lukanya telah sembuh dan kemampuannyapun telah dimilikinya kembali. Karena itu, betapapun juga, Sabungsaripun ternyata adalah seorang anak muda yang luar biasa, iapun telah menempa diri sebelum meninggalkan padepokannya. Meskipun ia mempersiapkan dirinya untuk melawan Agung Sedayu, namun yang dihadapinya kemudian dalam pertempuran antara hidup dan mati adalah justru orang-orang lain. Menghadapi lawannya yang tangguh tanggon itu, Sabungsaripun harus mengerahkan segenap kemampuannya. Ia masih berusaha mengimbangi kemampuan lawannya dalam pertempuran yang semakin lama menjadi semakin keras dan kasar. “Akupun orang kasar sejak semula,“ geram Sabungsari didalam hatinya. Karena itu, maka iapun mampu mengimbangi kekerasan dan kekasaran sikap lawannya.

Dengan demikian, maka pertempuran antara Sabungsari dan Kumuda itu benar-benar merupakan pertempuran yang dahsyat. Benturan-benturan kekuatan dan lontaran-lontaran serangan dengan kecepatan petir diudara. Namun dalam pada itu, Kumudapun menjadi heran. Setiap kali serangannya menyentuh lawannya, prajurit muda itu seolah-olah tidak bergetar. Ia mampu menahan serangannya yang dilontarkan dengan kekuatan raksasa. Bahkan dalam pada itu, Sabungsari masih juga sempat membalas serangan dengan serangan. Meskipun kekuatan serangan Sabungsari tidak meruntuhkan isi dada lawannya, namun sentuhan-sentuhan yang semakin sering, terasa mulai mengganggu lawannya. Apalagi sentuhansentuhan ditempat yang paling gawat. Meskipun tidak terlalu keras, tetapi akan dapat mempunyai akibat yang menentukan. Dengan kecepatan bergerak, Sabungsari beberapa kali hampir berhasil menyentuh tempat-tempat yang berbahaya. Ia sadar, bahwa sebagian besar kekuatannya dipergunakannya untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya, sehingga karena itu, ia harus mampu mempergunakan sebagian dari tenaganya pada sasaran yang menentukan. Kumuda menggeram, ketika hampir saja jari-jari Sabungsari menyentuh matanya. Ia masih sempat menggeser kepalanya, sehingga jari-jari Sabungsari hanya mengenai keningnya. Tetapi sekejap kemudian disusul dengan serangan ibu jari anak muda itu menyentuh leher lawannya. Kumuda terkejut. Ia sempat meloncat surut. Sentuhan dilehernya yang tidak terlalu kuat itu, rasarasanya telah menutup pernafasannya. Namun sejenak kemudian, ia telah berhasil membuka kembali jalur pernafasannya sehingga ia dapat bernafas lagi dengan wajar. Kumudapun kemudian menyadari, bahwa meskipun serangan Sabungsari tidak terlalu kuat, namun ia mampu memilih sasaran yang menentukan. Sehingga karena itu, maka Kumuda menjadi lebih berhatihati. Jika semula ia berbangga bahwa serangan-serangannya seolah-olah telah memaksa Sabungsari untuk sekedar bertahan, dan dengan demikian maka kesempatan menyerang anak muda itu menjadi sangat terbatas, namun ternyata kemudian, bahwa dalam kelemahan itu, terdapat kemampuan yang mengagumkan. Sabungsari ternyata menguasai benar-benar jalur-jalur otot bebayu dan garis-garis syaraf yang terpenting, disamping bagian-bagian tubuh yang lemah. Dengan demikian, maka Kumuda tidak lagi menganggap bahwa kekalahan lawannya hanyalah tinggal soal waktu. Justru ia mulai menganggap lawannya adalah orang yang benar-benar berbahaya. Apalagi Kumuda pernah mendengar bahwa Sabungsari memiliki kemampuan pada tatapan matanya. Jika anak muda itu mendapat kesempatan untuk mengambil jarak waktu barang sekejap, maka ia akan menjadi orang yang sangat berbahaya. Tetapi Kumudapun mempunyai sipat kandel yang akan dapat dipergunakannya untuk melawan serangan yang tidak mennpergunakan rabaan wadag dengan wantah itu, meskipun ia sendiri belum meyakini, seberapa jauh ia akan dapat bertahan terhadap serangan tatapan mata Sabungsari.

“Tetapi aku bukan sasaran mati yang menunggu jantungku terbakar oleh tatapan matanya,“ berkata Kumuda didalam hati, “adalah kebodohan yang sangat besar jika aku harus mati dibawah sorot matanya.” Sebenarnyalah, bahwa Sabungsari terlalu sulit untuk dapat mengambil jarak dan waktu untuk mengungkapkan kemampuan puncaknya itu. Namun dalam pada itu, Sabungsaripun belum merasa terdesak oleh lawannya dalam pertempuran yang keras itu. Ia masih tetap memusatkan sebagian terbesar kekuatan dan kemampuan cadangannya pada daya tahannya, sehingga seolah-olah ia menjadi seorang yang memiliki ilmu kebal, meskipun setiap kali ia masih harus menyeringai dan berdesis menahan sakit. Sementara itu, ia telah mempergunakan ketrampilan dan pengetahuannya tentang tubuh dan bagian-bagiannya untuk melemahkan pertahanan lawannya. Ia mengetahui tempat yang paling ringkih meskipun hanya mendapat serangan yang tidak begitu kuat, tetapi telah menimbulkan akibat yang gawat. Dengan demikian, maka pertempuran antara Sabungsari dan Kumuda itupun justru menjadi semakin sengit. Keduanya bergerak semakin cepat, dan serangan-serangannyapun datang silih berganti meskipun dalam ungkapan yang berbeda. Sementara itu, ternyata Rambitan mulai dipengaruhi oleh keadaan lawannya yang masih muda. Sementara ia perlahan-lahan meningkatkan ilmunya, namun ia tidak sampai pada batas yang dianggapnya sebagai tingkat puncak ilmu lawannya. Setiap ia meningkatkan kemampuan dan kekuatannya, maka Agung Sedayu selalu dapat mengimbanginya. Sehingga akhirnya, ketika Rambitan sudah mendekati puncak kemampuannya, maka iapun menjadi gelisah. “Dari mana iblis ini memiliki ilmu yang jarang ada bandingnya,“ berkata Rambitan didalam hatinya. Tetapi Rambitan masih mempunyai harapan. Pada tahap terakhir dari tingkat ilmunya, ia akan membuktikan, bahwa ia memiliki kelebihan dari Agung Sedayu, yang dalam pertempuran melawan Carang Waja ternyata hanya mampu mengimbanginya tanpa dapat membunuhnya. Namun ada yang tidak diketahui oleh Rambitan, kenapa Carang Waja tidak mati oleh Agung Sedayu. Rambitan sama sekali tidak membayangkan warna hati dalam dada anak muda itu. Apalagi yang dilakukan Agung Sedayu saat itu, adalah saat-saat ia sama sekali belum tersentuh ilmu yang terdapat dalam kitab Ki Waskita. Sehingga ilmunya sama sekali masih belum terpengaruh sama sekali. Dengan demikian, maka ukuran Rambitan atas ilmu Agung Sedayu ternyata tidak tepat. Bahkan agak jauh dari kebenaran. Karena itu, ketika Rambitan akhirnya sampai pada puncak ilmunya, melampaui kemampuan ilmu Kumuda, ternyata bahwa ia tidak berhasil dengan serta merta menguasai Agung Sedayu. Betapapun keras dan kasarnya ia bertempur, namun seolah-olah Agung Sedayu mampu mengimbanginya. Kekuatan Rambitan yang luar biasa, kecepatan bergerak yang jarang ada bandingnya, tidak mampu

menguasai anak muda yang bernama Agung Sedayu itu. Bahkan jika Rambitan mencoba untuk membenturkan kekuatannya, maka hentakan tenaganya seolah-olah telah memukul isi dadanya sendiri. Agung Sedayu benar-benar bagaikan tonggak baja yang berdiri tegak menghunjam kepusat bumi. Kegelisahan Rambitan ternyata telah memaksanya untuk mulai mempertimbangkan jenis-jenis senjata yang dibawanya. Ketika ternyata bahwa kekuatannya yang menghantam Agung Sedayu tidak mampu melumpuhkan anak muda itu, maka mulailah Rambitan meraba hulu pedangnya. “Tidak ada pilihan lain,“ katanya didalam hati. Namun dengan demikian ia sadar, bahwa mungkin ia justru akan mengalami tekanan yang lebih berat, jika anak muda yang dihadapinya itu menarik cambuknya. Menurut pendengarannya, anak muda ini mempunyai cambuk yang mampu mendendangkan lagu maut. Agung Sedayu melangkah surut, ketika ia melihat Rambitan menarik parangnya. Sejenak ia termangumangu. Wajahnya menjadi semakin tegang dan jantungnya berdegupan. Rambitan melihat sikap Agung Sedayu. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia tertawa sambil berkata, “Jangan cemas Agung Sedayu. Aku mampu menebas lehermu dengan sekali ayun. Karena itu, jika kau tidak banyak solah, maka kau akan mati dengan cepat. Tetapi jika kau mencoba melawan ilmu pedangku, maka kau akan menyesal.” Agung Sedayu memandang Rambitan dengan tajamnya. Meskipun ia mengerti, bahwa ilmu Rambitan masih belum mencapai lapisan yang sama dengan ilmunya, tetapi senjata ditangannya akan dapat menjadi sangat berbahaya baginya. “Marilah anak muda,“ suara Rambitan meninggi, “jangan mencoba untuk lari.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia memang menjadi gelisah. Tetapi bukan karena ia menjadi kecut melihat senjata itu. Tetapi perang bersenjata memang dapat menimbulkan akibat yang lebih buruk. Tetapi Agung Sedayu tidak sempat merenung lebih lama lagi. Tiba-tiba saja lawannya sudah meloncat dengan parang terjulur, lurus mengarah kedada Agung Sedayu. Tidak ada kesulitan bagi Agung Sedayu untuk mengelakkan serangan pertama. Tetapi Agung Sedayupun sadar, bahwa yang berbahaya tentu bukan serangan yang pertama itu. Sebenarnyalah, demikian Agung Sedayu mengelakkan serangan yang pertama, maka lawannyapun tiba-tiba telah memutar parangnya menebas leher lawannya Sekali lagi Agung Sedayu harus meloncat. Namun lawannya telah memburunya.

Ternyata Rambitan benar-benar seorang yang memiliki ilmu pedang yang luar biasa. Ia mampu menggerakkan pedangnya dengan cepat dan deras. Setiap sentuhan tajam pedang itu, tentu akan mematahkan tulang. Bukan saja menyobek kulit daging. Beberapa saat kemudian terasa bahwa Agung Sedayu memang mulai terdesak. Ia tidak dapat menembus putaran parang lawannya yang bagaikan perisai memutari dirinya. Sekali-sekali ia harus meloncat, jika tiba-tiba seolah-olah dari balik perisai itu telah meluncur ujung parang yang mematuk dadanya. Kemudian menebas mendatar dan memutar dengan cepatnya. “Menyerahlah,“ geram orang berparang itu. “Ki Sanak,“ desis Agung Sedayu sambil meloncat mundur, “kau jangan memaksa aku untuk berbuat lebih banyak lagi. Apakah kau tidak mempunyai cara lain untuk mengakhiri pertempuran ini selain maut. Kau dapat meninggalkan arena ini. Atau jika kau keberatan karena kau seorang laki-laki jantan, biarlah aku yang meninggalkan arena ini tanpa kau ganggu. Atau mungkin ada cara lain yang lebih baik dari bayangan maut.” “Persetan,“ teriak lawannya, “jika kau takut menghadapi putaran parangku, menyerahlah.” “Jangan salah sangka. Aku tidak takut. Tetapi akupun tidak ingin menyombongkan diriku. Karena itu, marilah kita mencari jalan lain. Jika kau benar diupah oleh Ki Pringgajaya, biarlah aku menemuinya dan berbicara dengan perwira prajurit Pajang itu.” Tetapi Rambitan tidak menanggapi sama sekali. Justru serangan parangnya semakin lama menjadi semakin cepat mengarah ketempat yang paling berbahaya ditubuh Agung Sedayu. “Orang ini sudah tidak dapat diajak berbicara lagi,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Namun dalam pada itu, ternyata ilmu pedang Rambitan benar-benar berbahaya bagi Agung Sedayu. Setiap kali Agung Sedayu harus meloncat surut menghindari serangan lawannya yang bagaikan prahara. “Menyerahlah,“ teriak Rambitan. Akhirnya Agung Sedayu tidak mempunyai pilihan lain. Lawannyalah yang telah mendesaknya untuk meloncat surut. Mengambil jarak dan dalam kesempatan yang pendek, ia telah mengurai cambuknya yang membelit lambung. Rambitan menjadi semakin berdebar-debar. Ia memang sudah memperhitungkan bahwa pada suatu saat, cambuk itu akan diurainya juga.

Agung Sedayu yang sudah memegang pangkal cambuknya itu kemudian berdiri tegak. Sebelah tangannya menggenggam ujung cambuknya yang berjuntai. “Apakah kita akan bertempur terus,“ bertanya Agung Sedayu. Rambitan tidak menjawab. Namun parangnya telah mematuk dengan cepatnya seperti anak panah yang meloncat dari busurnya. “Kau benar-benar tidak dapat diajak berbicara,“ geram Agung Sedayu. Rambitan sama sekali tidak menghiraukannya. Ujung pedangnya menyambar semakin cepat, sementara kakinya berloncatan dengan tangkasnya. Agung Sedayu masih menghindar. Ia masih memegang ujung cambuknya. Namun ketika ia menjadi semakin terdesak, tiba-tiba cambuk itu telah meledak. Tetapi yang terdengar adalah ledakkan cambuk yang tidak terlalu keras. Sabungsari mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian sadar, bahwa Agung Sedayu tentu masih mengekang dirinya. Jika ia benar-benar telah sampai kepuncak kemarahannya, maka ia dapat meledakkan cambuknya seperti ledakkan petir diudara. Sebenarnyalah Agung Sedayu tidak ingin membuat orangorang padukuhan disebelah menyebelah bulak itu menjadi gelisah. Jika ia meledakkan cambuknya dengan sepenuh tenaganya, maka cambuk itu akan memecah sepinya malam, menyentuh ujung-ujung padukuhan, sehingga jika anak-anak muda mulai berada digardu diregol padukuhan, mereka akan menjadi gelisah. “Sebagian dari mereka telah pernah mendengar arti suara cambukku,“ berkata Agung Sedayu didalam hati. Namun, meskipun suara cambuk itu tidak meledak terlalu keras, tetapi getar udara disekitarnya membuat Rambitan harus menilai dengan saksama. Ternyata diantara ledakkan cambuk sawantah dan getar yang merobek udara, masih harus mendapat nilai banding yang cermat. Karena yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu, bukannya sekedar hentakkan tenaga wadagnya dan senjata yang kasat mata. Tetapi Rambitan adalah orang yang cukup mempunyai pengalaman. Ia pernah berada dimedan melawan berbagai jenis ilmu. Karena itu, maka iapun akan menghadapi ilmu yang menggetarkan jantungnya itu seperti, ia pernah menghadapi ilmu yang lain, yang kadang-kadang memang dapat mengguncang kejantanannya. “Beberapa kali aku menjumpai ilmu yang tidak masuk akal. Tetapi akhirnya aku berhasil keluar membawa kemenangan,“ berkata Rambitan kepada diri sendiri. Karena itu ia masih berharap, bahwa pada saatnya ia akan dapat mematahkan ilmu Agung Sedayu.

Namun dalam pada itu, kemarahan Kumuda tertuju sepenuhnya kepada Sabungsari yang telah berkhianat. Ia telah menipu dan kemudian berusaha untuk menggagalkan maksud mereka. “Anak inilah yang pertama-tama harus mati,“ geram Kumuda didalam hatinya. Karena itu, maka iapun bertempur semakin keras. Ilmunya diperasnya sampai tuntas. Dengan keras dan kasar ia berusaha untuk menekan Sabungsari sepenuh tenaganya. Tetapi Sabungsaripun mengimbanginya. Iapun dapat bertempur dengan keras. Ia tidak segan membenturkan kekuatannya jika lawannya menyerangnya dengan kasar. Kemudian melenting menyerang mengarah ke bagian tubuh lawan yang paling lemah. Kumuda akhirnya menyadari, bahwa ia tidak akan dapat menjatuhkan lawannya meskipun tangannya seakan-akan telah berubah menjadi besi gligen. Jari-jarinya mampu meremas batu padas dan hentakkan kakinya dapat menggulingkan batu-batu sebesar gardu di sudut-sudut padesan. Namun ternyata bahwa Sabungsari memiliki daya tahan yang luar biasa. Bahkan disela-sela pertahanannya, ia masih mampu menyusup menyerang dengan cepatnya. Sejenak kemudian, tidak ada pilihan lain dari lawanya selain mempergunakan senjatanya. Kumuda tidak membawa senjata panjang. Tetapi yang ada dilambungnya adalah sebilah pisau belati. Pisau yang jarang sekali dipergunakan, karena tangannya adalah senjatanya yang dapat diandalkan. Tangannya yang memiliki kekuatan seperti sepotong besi baja. Namun Sabungsari tidak remuk oleh pukulan tangannya. Tubuhnya seolah-olah menjadi liat dan bahkan bagaikan kebal, meskipun setiap kali terdengar ia berdesis dan menyeringai menahan sakit. Namun hampir tidak berpengaruh sama sekali pada daya tahan dan kemampuannya bertempur. “Ujung pisau ini akan dapat menyobek dagingnya,“ berkata Kumuda didalam hatinya. Sabungsari mengerutkan keningnya ketika ia melihat tangan lawannya menggapai senjatanya. Namun ia tidak menunggu. Ia justru meloncat surut beberapa langkah. Kumuda terkejut. Ia merasa telah melakukan satu kesalahan. Sesaat ia menarik senjatanya, Sabungsari agaknya akan mempergunakan kesempatan itu. Karena itu, maka Kumudapun segera mengerahkan segenap ilmunya, kekuatannya dan kemampuannya melindungi dirinya dengan daya tahannya yang luar biasa, sehingga kekuatan lawannya, seakan-akan tidak dapat menyentuhnya sama sekali, karena tubuhnya seolah-olah telah dihngkari oleh selapis perisai yang tidak kasatmata.

Namun dalam pada itu sejenak kemudian ia melihat Sabungsari berdiri tegak sambil menyilangkan tangannya didadanya. Sikap yang langsung memberitahukan kepada lawannya, bahwa anak muda itu telah sampai kepada puncak ilmunya. Sejenak Kumuda masih mampu bertahan. Ia berdiri tegak seperti patung. Dengan memusatkan daya tahannya, ia mampu menahan diri tanpa mengalami sesuatu. Namun ternyata bahwa ilmu Sabungsari benar benar dahsyat. Perlahan-lahan tetapi pasti, tatapan matanya yang mempunyai sentuhan wadag itu bagai tajamnya ujung senjata yang sedikit demi sedikit memecahkan perisai yang melindungi lawannya. Kumuda menyadari akan hal itu. Ia merasa tatapan mata itu mulai menghunjam ilmunya yang dibanggakan. Pertempuran ilmu yang dahsyat itu benar-benar mendebarkan. Keduanya berdiri tegak dalam pemusatan puncak kemampuan. Namun Kumuda merasa, bahwa ia tidak dapat berbuat demikian. Perlahan-lahan ilmu lawannya itu akan menyusup semakin dalam. Jika ilmu itu kemudian berhasil menyentuh tubuhnya, menembus perisai ilmunya, maka ia akan mengalami bencana. Karena itu, maka Kumuda harus berbuat sesuatu. Ia sadar, ditanganya tergenggam pisau belatinya. Sehingga dengan demikian ia tidak boleh menunggu lebih lama lagi, sehingga tubuhnya akan terbakar oleh ilmu lawannya yang berhasil mengoyak perisainya. Sejenak Kumuda memusatkan perhatiannya kepada Sabungsari yang berdiri tegak dengan tangan bersilang. Ia sadar bahwa waktunya tidak terlalu banyak. Perisainya menjadi semakin tipis, dan sesaat lagi ilmu lawannya itu akan menembus dan menghimpit dadanya, membakar jantungnya. Dengan mengerahkan kemampuannya, tiba-tiba saja Kumuda itu melenting menyerang Sabungsari dengan pisau belatinya. Sabungsari yang berada dalam puncak kemampuannya itupun merasa, bahwa perlahan-lahan ilmunya berhasil memecahkan perisai yang mengitari lawannya meskipun tidak kasat mata. Sabungsari yakin, bahwa sekejap kemudian ia akan dapat menembus tirai yang bagaikan berlapis-lapis yang menahan kemampuan ilmu lewat sorot matanya itu. Namun sesaat Sabungsari menjadi bimbang ketika ia melihat lawannya meloncat dengan pisau terjulur kedadanya. Ia merasa bahwa kulitnya bukannya kulit yang kebal dari sentuhan senjata. Namun iapun yakin bahwa sekejap kemudian ia akan dapat meremas lawannya dengan tatapan matanya, karena ia sudah berhasil mengoyak ilmu yang membatasi serangannya lewat sorot matanya. Sabungsari tidak mempunyai waktu banyak. Senjata itu meluncur seperti anak panah, mengarah

kedadanya. Namun akhirnya Sabungsari memutuskan untuk tidak bergerak. Tetapi iapun tidak melepaskan lawannya dari genggaman sorot matanya. Dengan mengerahkan kemampuan ilmunya, Sabungsari berusaha menghantam lawannya yang sedang meluncur menyerangnya dengan pisau belatinya. Pada saat yang gawat, telah terjadi benturan serangan yang dahsyat pada kedua belah pihak. Serangan pisau belati yang sama sekali tidak dihindari itu benar-benar telah mengenai dada Sabungsari. Pisau itu menghunjam diatas tangan Sabungsari yang menyilang didada. Namun, pada saat pisau itu menyentuh dada lawannya, ternyata bahwa Sabungsari telah berhasil memecahkan ilmu yang menahan sentuhan wadag sorot mata Sabungsari. Dengan demikian, maka pada saat pisau itu menyentuh dada lawannya, Kumuda berdesis menahan dadanya yang serasa retak. Karena itu, maka kekuatan Kumuda tidak lagi mampu menekan pisau itu sampai kepusat jantung lawannya. Demikian pisau itu menembus kulit, maka Kumudapun harus segera nengelakkan diri dari remasan kekuatan sorot mata Sabungsari. Sabungsari merasa dadanya terkoyak. Tetapi ia tidak mau melepaskan lawannya yang sudah mulai tersentuh oleh ilmunya. Karena itu, ketika Kumuda kemudian berusaha mengelak Sabungsari bertahan pada sikapnya tanpa melepaskan lawannya dari tatapan matanya. Ternyata bahwa cengkaman ilmu Sabungsari benar-benar dahsyat. Rasa-rasanya dada Kumuda menjadi sesak dan nafasnyapun tersumbat dikerongkongan. Beberapa saat ia mencoba untuk berguling ketanah, namun yang dapat dilakukannya hanya sekedar menggeliat. Tatapan mata Sabungsari benarbenar telah menguasainya tanpa dapat dilawannya. Rasa-rasanya langitpun kemudian runtuh menghimpit tubuhnya. Dan nafasnya telah tersumbat karenanya. Yang ada kemudian hanyalah kegelapan dan kepepatan. Kumuda tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Sabungsari dengan tatapan matanya berhasil menghancurkan lawannya seperti ia menghancurkan sebongkah batu, meskipun dalam bentuk yang lain. Namun ketika Kumuda tidak bergerak lagi, maka Sabungsaripun tidak mampu bertahan pula. Darahnya mengalir dari lukanya. Pada hentakan ilmunya, maka darah itu bagaikan diperas lewat lukanya. Karena itu, ketika ia merasa bahwa ia sudah menyelesaikan lawannya, luka didadanya itu benar-benar telah mencemaskannya. Tubuhnya menjadi lemah sekali, sehingga ia tidak mampu bertahan untuk berdiri terlalu lama. Dengan demikian, maka Sabungsaripun segera duduk ditanah. Dari kantung ikat pinggangnya ia mengambil serbuk obat yang selalu dibawanya. Dengan sisa tenaga yang ada padanya, maka ia mulai menaburkan obat itu pada lukanya, sehingga terasa, luka itu menjadi panas.

Namun dengan demikian Sabungsari mengerti, bahwa obat itu mulai bekerja pada lukanya dan perlahan-lahan menahan arus darahnya yang mengalir. Tetapi agaknya darah sudah terlalu banyak keluar lewat lukanya. Karena itu, maka tubuh Sabungsari benar-benar menjadi sangat lemah. Bahkan kemudian matanyapun menjadi berkunang-kunang. Ternyata Sabungsari tidak mampu bertahan duduk ditanah. Dengan lemahnya iapun kemudian membaringkan dirinya diatas rumput yang basah oleh embun malam. Bahkan rasa-rasanya kesadarannyapun mulai melambung. Namun adalah suatu keuntungan, bahwa luka-lukanya telah dipampatkan oleh obat yang telah ditaburkannya. Agung Sedayu melihat segalanya yang terjadi. Tetapi ia tidak dapat berbuat apapun juga, karena lawannyapun menyerangnya seperti badai yang didorong oleh angin prahara menghantam tebing. Betapa hatinya menjadi gelisah melihat keadaan Sabungsari. Meskipun Agung Sedayu melihat Sabungsari berhasil mengalahkan lawannya, namun keadaannya agaknya sangat mencemaskan. Sementara itu, Glagah Putihpun telah menambah kegelisahannya pula. Meskipun Glagah Putih telah menempa diri tanpa mengenal lelah, tetapi lawannya adalah seorang prajurit yang berpengalaman. Karena itu, maka iapun mulai terdesak. Meskipun kadang-kadang Glagah Putih masih mampu menyerang lawannya, tetapi perlahan-lahan ia mulai dikuasai oleh kemampuan lawannya itu. Bahkan nampaknya lawannya benar-benar berusaha untuk menjatuhkannya, bahkan mungkin membunuhnya. Sementara pertempuran masih berlangsung dengan dahsyatnya, Rambitan yang melihat Kumuda tidak bergerak lagi, benar-benar telah sampai kepuncak kemarahannya. Tatapi ia masih tetap menguasai dirinya dalam kesadaran sepenuhnya, bahwa lawannya adalah orang yang luar biasa. “Nasibnyalah yang malang,“ desis Rambitan didalam hati. Tetapi jika ia melihat Sabungsari berbaring diam, maka ia masih mempunyai sepercik kebanggaan. “Jika anak itupun mati, maka ternyata Kumuda benar-benar lebih dahsyat dari Carang Waja.” Dengan demikian, maka Rambitanpun membuat perhitungan yang lebih cermat menghadapi Agung Sedayu. Iapun mengerti bahwa Glagah Putih tidak akan dapat menang melawan prajurit pengikut Ki Pringgajaya itu, sementara Sabungsari sudah tidak berdaya lagi. Bahkan Rambitan berharap bahwa anak muda itu akan mati pula. Karena itu, maka ia dapat memusatkan perlawanannya atas Agung Sedayu yang memiliki kemampuan raksasa. Namun dalam pada itu, sekali-sekali Rambitan mengumpat pula didalam hatinya. Pengkhianatan Sabungsari benar-benar telah mengacaukan rencananya. Kebodohan Ki Pringgajaya dan prajurit

itupun telah menjerumuskan Kumuda kedalam pelukan maut. “Jika segalanya berjalan seperti rencana, betapapun tinggi ilmu Agung Sedayu, ia tidak akan dapat melawan aku dan Kumuda bersama-sama,“ berkata Rambitan didalam hatinya. Namun segalanya sudah terjadi. Kumuda telah tidak berdaya, sementara ia harus berhadapan dengan Agung Sedayu. Karena itu, tidak ada lagi yang ditunggunya. Ia harus dapat membinasakan lawannya secepat-sepatnya. Tetapi yang terjadi adalah diluar kehendaknya. Betapapun juga ia menyerang dengan kecepatan yang tidak ada taranya. Agung Sedayu masih sempat menghindari. Meskipun kadang-kadang parangnya seolah-olah dapat mengurung lawannya, namun parang itu sama sekali tidak berhasil menyentuh tubuh Agung Sedayu yang mampu bergerak secepat lintasan sinar. Bahkan setiap kali ujung cambuknya yang berputar itu bagaikan perisai yang tidak akan dapat ditembusnya. Sementara itu, Agung Sedayu justru menjadi semakin gelisah melihat keadaan Sabungsari dan Glagah Putih. Sabungsari berbaring diam tanpa bergerak sama sekali. Sementara Glagah Putih menjadi semakin terdespk oleh lawannya yang jauh lebih berpengalaman. “Apakah Sabungsari mati ? “ pertanyaan itu mulai mengusik dadanya. Karena itulah, maka akhirnya Agung Sedayu harus mengambil sikap yang lebih mantap. Ia sadar, bahwa ia tidak dapat menunggu lebih lama lagi, karena lawannya adalah benar-benar seorang yang pilih tanding. Bahkan, jika ia pada suatu saat melakukan kesalahan, maka ia sendirilah yang akan mengalami bencana. Bahkan adik sepupunya dan Sabungsari yang sudah tidak berdaya. Dengan demikian, maka akhirnya Agung Sedayu mengambil suatu sikap yang lebih keras. Ia harus menguasai lawannya dan mengalahkannya. Sejenak kemudian, maka ujung cambuk Agung Sedayu itupun bergetar semakin cepat. Meskipun ledakkannya tidak memecahkan selaput telinga, namun sentuhan ujung cambuk itu masih mampu menyobek kulit. Sentuhan-sentuhan pertama dari ujung cambuk Agung Sedayu membuat Rambitan benar-benar terkejut. Ia melihat ujung cambuk itu bagaikan melenting. Namun ia merasa dirinya telah menghindar. Adalah diluar dugaannya bahwa ujung cambuk itu mampu mengejarnya dan mematuk kakinya.

Ujung cambuk itu benar-benar telah menggoreskan luka. Darah mulai mengalir dari tubuh Rambitan. Namun dengan demikian kemarahannya tidak lagi dapat dikendalikan. Sejenak kemudian Rambitan justru menyarungkan parangnya. Beberapa langkah ia meloncat surut. Sikapnya telah membuat Agung Sedayu termangu-mangu. Namun ia tidak meninggalkan kewaspadaan. Meskipun ia tidak memburu, namun ia telah mempersiapkan dirinya menghadapi segala kemungkinan. “Apakah orang ini memiliki ilmu seperti Carang Waja,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya, “atau sejenis ilmu yang lain, yang akan dapat mempengaruhi perasaan dan nalarku.” Tetapi Agung Sedayu tidak perlu meraba-raba lebih lama lagi. Pandangan matanya yang tajam melihat, gerak tangan Rambitan yang mendebarkan. Sekejap kemudian. Agung Sedayu melihat tangan itu bergerak. Seperti ujung petir yang menyambar, Agung Sedayu melihat sekilas putaran cakram bergerigi menyambar keningnya. Namun Agung Sedayu cukup tangkas. Ia sempat memiringkan kepalanya, meskipun debar jantungnya bagaikan menjadi semakin cepat. Cakram bergerigi yang tidak begitu besar itu hampir saja memecahkan tulang keningnya dan sekaligus dapat membunuhnya. Tetapi Agung Sedayu harus meloncat sekali lagi ketika cakram yang sama meluncur kedadanya. Hanya karena kemampuannya bergerak dengan kecepatan yang tidak masuk akal lawannya sajalah. Agung Sedayu sempat menghindarkan dirinya. “Gila,“ geram Rambitan, “apakah anak ini kerasukan iblis yang mampu melenting seperti bilalang, atau apakah ia memang anak iblis itu sendiri.” Rambitan menggeram ketika ia melihat Agung Sedayu kemudian berdiri tegak dengan cambuk ditangannya. Namun dalam pada itu, ditangan Rambitan telah tergenggam cakram bergerigi yang akan mampu membelah dadanya. Setiap saat cakram itu akan dapat dilontarkannya dan menghunjam jauh kedalam dagingnya. Agung Sedayu menjadi berdebar-debar menghadapi senjata lawannya. Dengan demikian, maka ia harus berbuat sesuatu agar ia tidak sekedar menjadi sasaran lontaran senjata lawannya, karena dengan demikian maka ia akan selalu berada didalam keadaan yang gawat, sementara lawannya akan dapat mempergunakan waktu dan kesempatan yang ditentukannya sendiri. “Tentu tidak menyenangkan,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Karena itu, maka ia harus segera mengambil sikap.

Selagi Agung Sedayu menimbang-nimbang, maka Rambitan telah bersiap untuk melontarkan cakramnya pula. Dengan penuh dendam dan kebencian ia mengerahkan tenaga dan kemampuannya lewat lontaran cakramnya. Tangannya yang gemetar adalah pertanda kemarahannya yang tidak tertahankan. Agung Sedayu tidak boleh lengah. Ia selalu memandang tangan lawannya. Dari tangan itu akan dapat meluncur maut yang dapat menjemputnya setiap saat. ***

Buku 128 DADA Agung Sedayu berdebar ketika ia melihat tangan itu bergerak. Seperti yang diduganya, sebuah cakram telah meluncur mengarah ke keningnya. Karena itu, maka dengan tangkasnya pula, ia menggerakkan cambuknya tepat menghantam cakram yang meluncur kearahnya, sehingga cakram itu terlempar kesamping. Tetapi sekejap kemudian cakram berikutnya telah menyusul. Agung Sedayu masih sempat menghantam cakram itu dengan ujung cambuknya. Namun ketika cakram yang ketiga meluncur pula, maka yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu adalah meloncat menghindar. “Gila,“ akhirnya Agung Sedayu menggeram. Ia tidak mempunyai kesempatan meloncat mendekat sambil menghentakkan cambuknya. Cakram itu dapat mematuknya setiap saat. Semakin dekat, semakin berbahaya, karena kesempatan untuk menghindar dan menangkis menjadi semakin pendek. Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ia melihat betapa Sabungsari telah membunuh lawannya dengan sorot matanya. Sejenak ia mulai digelitik oleh niatnya untuk merampungkan pertempuran itu dengan cara yang sama, seperti yang dilakukan oleh Sabungsari. Namun Agung Sedayu masih ragu-ragu. Ia masih ingin menemukan cara yang lain sehingga cara itu tidak perlu dipergunakan. Meskipun ia menjadi gelisah pula karena keadaan Glagah Putih, namun ia masih mencoba cara lain untuk melawan cakram yang setiap datang meluncur menyambarnya. “Ia membawa cakram dalam jumlah tidak terbatas,“ berkata Agung Sedayu didalam hati. Namun kemudian, “tetapi di jalan inipun berserakkan batu yang jumlahnya tidak terbatas pula.” Karena itu, maka ketika sebuah cakram lagi meluncur menyambarnya, maka Agung Sedayu telah meloncat menghindar sambil merendahkan diri. Namun dalam pada itu, tangannya telah menggenggam sebutir batu pula, sebesar telur ayam. Sejenak Agung Sedayu menunggu. Ketika ia melihat sebuah cakram lagi menyambarnya, maka ia pun segera meloncat menghindar. Cambuknya berada ditangan kirinya, sementara tiba-tiba saja dari tangan kanannya telah meluncur sebuah batu sebesar telur ayam. Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang memiliki kemampuan bidik yang luar biasa. Ia mampu membidik sebuah batu yang meluncur diudara. Ia bahkan dapat mengenai anak panah dengan anak panah selagi anak panah itu terblang meladang diudara. Tetapi sasaran Agung Sedayu saat itu bukannya benda mati. Tetapi seorang yang memiliki ilmu dan kemampuan bergerak yang luar biasa. Sehingga dengan demikian, betapapun lawannya terkejut karena tiba-tiba saja mendapat serangan dengan sebuah lontaran seperti ia melontarkan cakramnya, namun ia

masih juga mampu meloncat menghindarinya. Namun dalam pada itu, serangan Agung Sedayu itu ternyata telah mempengaruhi serangan lawannya. Ia kemudian harus berhati-hati, karena Agung Sedayu berusaha mengimbanginya dengan serangan dari jarak yang jauh dengan lemparan-lemparan batu. Dalam pada itu, selagi lawan Agung Sedayu meloncat menghindar, ternyata Agung Sedayu sempat memungut dua buah batu yang siap pula dilemparkannya. Bahkan meskipun dengan berdebar-debar, Agung Sedayu ingin mencoba, apakah senjata lawannya benar-benar senjata yang dahsyat seperti bentuknya. Karena itu, ketika Agung Sedayu melihat dalam kilatan cahaya bintang-bintang dilangit, cakram berikutnya meluncur menyerangnya, Agung Sedayu mencoba mengerahkan kemampuan bidiknya untuk menghantam cakram itu dengan sebuah batu yang dipungutnya. Yang terjadi adalah sebuah benturan yang dahsyat. Ternyata keduanya memiliki kekuatan raksasa. Batu Agung Sedayu berhasil menghantam cakram lawannya yang meluncur bagaikan kilat. Hanya dengan kemampuan yang tidak ada taranya, Agung Sedayu dapat melakukannya. Ketajaman tatapan matanya, yang dapat menangkap kilatan cakram yang meluncur dimalam hari. dan kemampuan bidiknya yang seolah-olah menjadi semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya segala ilmu yang ada padanya. Tetapi ternyata bahwa cakram itu benar-benar terbuat dari besi baja pilihan. Meskipun cakram itu hanya kecil saja, namun dalam benturan yang terjadi, telah terpercik bunga api diudara. Batu yang dilontarkan oleh Agung Sedayu ternyata menjadi pecah berhamburan menjadi debu. Jantung Agung Sedayu berdetak semakin cepat. Jika cakram itu mengenai dadanya, maka segenap tulang belulangnya akan rontok dan cakram itu akan dapat menembus sampai kepunggung. Karena itu, maka iapun telah melawan lontaran dengan lontaran. Meskipun batu-batu yang dipungutnya disepanjang jalan itu tidak memiliki kedahsyatan seperti gerigi cakram itu, namun jika ia berhasil mencapai lawannya, maka batu itupun akan mampu menyakitinya. Tetapi ternyata bahwa yang terjadi adalah pertempuran yang seolah-olah tidak ada ujung pangkalnya. Keduanya mampu melemparkan serangan yang dahsyat, tetapi keduanyapun mampu meloncat menghindar. Sehingga dengan demikian, maka pertempuran itu seolah-olah tidak akan dapat berakhir. Sementara Glagah Putih telah menjadi semakin sulit menghadapi prajurit yang menyerangnya dengan semakin kasar. Pengalamannya yang cukup telah membuat Glagah Putih semakin lama semakin mengalami kesulitan. “Aku harus menemukan cara yang lebih baik,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya, ia tidak dapat membiarkan dirinya terlibat dalam pertempuran tanpa akhir. Namun dengan demikian, Glagah Putih akan dapat mengalami bencana yang benar-benar gawat.

Agung Sedayu melihat akhir dari pertempuran antara Sabungsari dan lawannya, ia melihat Sabungsari masih terbaring diatas rerumputan tanpa mengetahui dengan pasti, apakah anak muda itu masih hidup atau sudah mati. Dan Agung Sedayupun mengerti, bahwa dalam tahap terakhir dari lontaran ilmunya lewat sorot matanya, Sabungsari telah dengan sengaja tidak menghindari serangan lawannya. Karena itu, meskipun ia berhasil melumpuhkan lawannya, tetapi ia sendiri mengalami keadaan yang gawat. Luka-lukanya dalam pertempuran melawan Carang Waja baru saja sembuh. Kini ia sudah mengalaminya sekali lagi yang mungkin tidak kalah gawatnya dengan luka-luka yang dideritanya ketika ia bertempur melawan Carang Waja, atau bahkan nyawanya telah meninggalkan tubuhnya. Agaknya Agung Sedayu dapat mengambil arti dari peristiwa itu. Karena itu, maka iapun telah mencari cara yang sebaik-baiknya untuk segera dapat mengalahkan lawannya. Sementara pertempuran itu masih berlangsung pada jarak yang panjang, dengan saling melontarkan senjatanya, maka Agung Sedayu telah bertekad untuk melakukan sesuatu yang dapat merubah dan mempercepat akhir dari pertempuran itu. Agung Sedayu mula-mula ingin membiarkan lawannya bertempur sampai senjatanya yang terakhir. Namun ternyata bahwa senjata orang itu agaknya tidak akan habis-habisnya. Apalagi nampaknya lawannya memiliki perhitungan yang cermat, sehingga ia tidak menghamburhamburkan senjatanya lanpa dasar pertimbangan sikap lawannya. Karena itu, maka Agung Sedayupun segera melakukan rencananya. Ketika senjata lawannya menyambarnya, maka iapun menjatuhkan dirinya. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu telah mengambil tidak hanya dua butir batu. Tetapi lebih banyak lagi. Ditangan kirinya yang menggenggam cambuk, Agung Sedayu menggenggam pula dua butir batu. Ditangan kanannya dua butir. Demikian ia melenting berdiri, maka iapun telah melempar lawannya dengan empat butir batu berurutan. Betapapun lawannya mampu meloncat dengan cepat, tetapi ternyata bahwa tidak semua batu yang dilontarkan oleh Agung Sedayu dapat dihindarinya. Apalagi dalam kesempatan yang pendek itu, lawannya tidak sempat pula melontarkan senjatanya. Rambitan berhasil menghindari dua batu yang datang berurutan. Tetapi demikian kakinya menjejak tanah selagi ia menghindari batu yang kedua, maka batu yang ketiga telah menyambar pundaknya. Selagi orang itu menyeringai menahan sakit, maka batu berikutnya telah menyusul menyambar kening. Orang itu menjadi sangat marah. Sambil menggeram ia meloncat tegak diatas kedua kakinya menghadap Agung Sedayu. Tangannya sudah siap memungut senjatanya pada kampil kulit yang

tergantung dilambung. Ternyata lontaran kekuatan Agung Sedayu telah berhasil menembus daya tahannya dan menyakitinya. Tulang pundaknya bagaikan retak, sementara keningnya rasa-rasanya telah membengkak. Namun perasaan sakit itu sama sekali tidak mempengaruhi kemampuannya bertempur betapapun sengitnya. Tetapi ternyata Agung Sedayu telah mempergunakan cara yang lain untuk menghadapi lawannya. Ia tidak lagi melemparkan batu-batu menghantam tubuh lawannya. Namun ia telah berdiri tegak dengan tatapan mata yang langsung dapat menghantam lawan. Berdasarkan pengamatannya yang telah menjerat Sabungsari dalam kesulitan, maka Agung Sedayu benar-benar telah memperhitungkan segalanya yang bakal terjadi. Demikian lawannya merasa sentuhan wadag dari tatapan mata Agung Sedayu, maka iapun segera bersikap pula. Ia harus segera melontarkan cakramnya untuk memecahkan pemusatan ilmu Agung Sedayu yang mengerikan itu. Namun yang dilakukan Agung Sedayu ternyata lebih cepat. Demikian tangan orang itu memungut cakram didalam kampil kecil yang tergantung dilambung, maka serangan yang memancar dari tatapan mata Agung Sedayu itu telah langsung mencengkam dan meremas tangan lawannya. Yang terdengar adalah keluh tertahan. Rambitan merasa tangannya bagaikan telah diremukkan oleh himpitan besi baja sebesar lesung. Rasa-rasanya tulang belulangnya menjadi lumat dan sama sekali tidak berdaya. Rambitan mengumpat dengan kasarnya. Ia memiliki daya tahan yang luar biasa. Tetapi ternyata tatapan mata Agung Sedayu dengan serta merta telah dapat langsung mengenainya, menembus perisai yang telah ditebarkan diseputarnya meskipun tidak kasat mata. Ternyata kemampuan ilmu Agung Sedayu telah jauh melampaui kemampuan ilmu Sabungsari. Meskipun yang ditekuni dari makna kitab Ki Waskita barulah pada tingkat permulaan, namun karena dasar yang memang sudah ada pada dirinya, ternyata sorot mata Agung Sedayu memiliki kemampuan yang sulit diimbangi. Dalam pada itu, Rambitanpun mencoba untuk memusatkan segenap kemampuannya pada daya tahannya. Ia sadar, bahwa Agung Sedayu yang sesaat melepaskan serangannya itu, ingin melihat akibat yang terjadi pada dirinya. Namun dalam pada itu, yang tidak disangka oleh Agung Sedayu, bahwa Rambitan mampu juga mempergunakan tangan kirinya. Bukan saja sebilah cakram kecil, tetapi Rambitan telah dengan cepat menarik dan dengan sekuat tenaganya melontarkan parangnya langsung mengarah kedada anak muda itu. Agung Sedayu benar-benar terkejut. Ia berusaha untuk bergeser sambil melecut parang itu dengan tangan kirinya.

Namun ternyata parang itu meskipun telah bergeser arah, tetapi ujungnya masih menyentuh lengan Agung Sedayu. Terdengar Agung Sedayu menyeringai menahan sakit. Namun iapun segera menyadari kedudukannya. Kembali ia berdiri tegak tanpa menghiraukan tangannya. Kembali ia melontarkan ilmunya, tidak lagi pada tangan kanan lawannya, tetapi tangan kirinya yang sedang menggapai cakram dikampilnya. Sekali lagi lawannya memekik tertahan. Lengannya yang sebelahpun rasa-rasanya telah remuk pula oleh cengkaman tanggem baja yang menghimpit tanpa dapat dihindari. Dalam pada itu, jantung Rambitan rasa-rasanya akan pecah oleh dentang didadanya. Kedua tangannya telah menjadi lumpuh. Sementara itu, Agung Sedayu berdiri tegak beberapa langkah dihadapan Rambitan yang seolah-olah sudah tidak berdaya lagi. Kedua tangannya tidak dapat dipergunakannya lagi untuk melepaskan cakramnya. Sementara Agung Sedayu dengan sekehendak hatinya akan dapat menyerang dan menghancurkannya. Agung Sedayu akan dapat melecutkan cambuknya tanpa dapat dilawan. Ia akan dapat melukainya berlipat sepuluh kali dari luka yang telah menggores tubuhnya. Agung Sedayupun dapat memungut beberapa buah batu dan melemparkan ketubuhnya tanpa dapat dihindarinya. Atau Agung Sedayu akan dapat meremas dadanya dengan tatapan matanya sampai lumat. Dalam pada itu, Rambitan berdiri tegak dengan kedua tangannya yang tergantung dengan lemahnya tanpa dapat berbuat sesuatu. Ia hanya dapat pasrah, dengan cara apa Agung Sedayu akan membunuhnya. Sementara itu, prajurit yang bertempur dengan Glagah Putih melihat, bahwa kedua orang yang bertempur melawan Agung Sedayu dan Sabungsari agaknya tidak akan dapat memenangkan perkelahian itu. Bagaimanapun juga, maka ia mulai memikirkan nasibnya sendiri. Jika ia masih tetap berkelahi melawan Glagah Putih, sementara Agung Sedayu berhasil memenangkan perkelahian itu, maka Agung Sedayu akan menempatkan diri menjadi lawannya. Itu berarti satu bencana yang tidak akan dapat dihindarinya lagi. Dengan demikian, maka tidak ada jalan lain yang dapat dipilihnya kecuali melarikan diri dari arena. Meskipun ia dapat menguasai lawannya yang masih sangat muda itu pada suatu saat, namun adalah mengerikan sekali jika ia harus melawan Agung Sedayu yang seolah-olah memiliki seribu jenis ilmu bertimbun didalam dirinya. Karena itu, selagi ia masih sempat, maka dengan perhitungan yang cermat, iapun mendesak lawannya. Namun dengan cepat ia telah meloncat berlari menghilang diantara gerumbul-gerumbul perdu. Glagah Putih terkejut melihat sikap lawannya. Ia sudah merasa bahwa ia tidak akan dapat bertahan terlalu lama lagi.

Namun tiba-tiba saja lawannya telah berlari meninggalkannya. Agung Sedayu yang berdiri tegak dihadapan lawannya yang sudah tidak berdaya itupun sempat melihat lawan Glagah Putih yang melarikan diri. Iapun melihat Glagah Putih yang termangu-mangu sejenak. Namun ketika Glagah Putih siap meloncat untuk mengejarnya. Agung Sedayu berkata, “Jangan Glagah Putih.” Glagah Putih tertegun. Dengan ragu-ragu la memandang Agung Sedayu yang berdiri tegak ditempatnya. “Kau tidak tahu, apakah yang ada dibalik gerumbul-gerumbul perdu itu,“ desis Agung Sedayu kemudian. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Baru ia menyadari, jika ada beberapa orang bersembunyi dibalik pohon perdu itu, maka ia akan terjebak kedalam kesulitan. “Tetapi jika ada orang lain. kenapa mereka tidak menampakkan dirinya,“ pertanyaan itu mulai mengganggu Glagah Putih. Tetapi ia tidak sempat bertanya, sementara Agung Sedayu telah melangkah mendekati lawannya yang sudah tidak berdaya. Rambitan berdiri tegang memandang lawannya yang selangkah demi selangkah mendekatinya, Ditangan Agung Sedayu masih tergenggam cambuknya yang dapat meledak. Sementara matanya yang dapat mencengkam tubuhnya melampaui cengkaman wadagnya, masih tetap memandanginya dengan tajamnya, meskipun dari sorot mata itu tidak lagi melontar ilmu anak muda yang dahsyat itu. Yang dapat dilakukan oleh Rambitan adalah menunggu, ujung cambuk lawannya akan dapat menyobek kulitnya arang kranjang. Tubuhnya tentu tidak akan berbentuk lagi. Jika ia terkapar dan ditinggalkan dipinggir jalan itu, maka jika ada orang yang menemukan tubuhnya, maka tidak akan ada seorangpun yang dapat mengenalnya. “Tetapi itu lebih baik,“ berkata Rambitan didalam hatinya, “adalah merupakan suatu hinaan bagi perguruan Elang Hitam, jika salah seorang muridnya yang terpercaya terkapar mati dengan luka arang kranjang.” Namun Rambitan menjadi heran ketika ia mendengar Agung Sedayu berkata, “Ki Sanak. Marilah kita mencari jalan lain daripada memilih cara yang tidak menyenangkan. Kau akan tetap hidup untuk menghadap kakang Untara. Mungkin beberapa masalah yang kabur akan dapat dijelaskan.” Rambitan tidak menjawab. Ketika ia berpaling memandang saudara seperguruannya, maka dilihatnya orang itu tidak bergerak lagi. “Kita dapat melihat mereka,“ berkata Agung Sedayu, “akupun ingin mengetahui keadaan Sabungsari. Karena itu, ambillah keputusan, bahwa cara yang liar

ini sebaiknya tidak kita pergunakan.” Rambitan benar-benar tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab. Agung Sedayu itu tinggal meledakkan cambuknya menyayat tubuhnya yang sudah tidak berdaya melawannya. Kedua tangannya telah lumpuh karena tulang-tulangnya rasa-rasanya telah remuk. Sementara ia tidak akan sempat lagi melarikan diri meskipun kakinya masih utuh, karena dengan sorot matanya Agung Sedayu tentu akan dapat menangkapnya dan meremukkan tulang-tulang belakangnya. Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba Agung Sedayu telah menunjukkan sikap yang tidak dimengertinya. Ia tidak berusaha membunuhnya dengan penuh kemarahan dan kebencian. Tetapi akhirnya Rambitanpun mengetahui, bahwa jika ia masih tetap hidup, maka ia akan menjadi sumber keterangan tentang usaha pembunuhan itu. Ia akan dapat diperas dengan berbagai macam cara untuk mengungkap rencana yang keji itu. Rambitan menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak mempunyai pilihan lain. Katanya didalam hati, “Apaboleh buat. Aku hanya sekedar diupah. Aku tidak tahu persoalan apapun juga yang ada diantara mereka.” “Bagaimana pendapatmu Ki Sanak,“ bertanya Agung Sedayu, “sementara kita masing-masing akan dapat melihat, apakah saudara seperguruanmu atau sadaramu atau siapapun juga yang datang bersamamu itu masih mungkin ditolong. Akupun akan melihat Sabungsari yang terbaring diam itu.” Rambitan tidak menjawab. Ia masih berdiri tegak. Sementara kedua tangannya seolah-olah tidak dapat digerakkannya lagi. Dalam pada itu, Glagah Putih tidak sabar lagi menunggu. Ketika ia sadar akan keadaan Sabungsari, maka iapun berlari-lari mendekatinya. Ketika ia berjongkok disamping prajurit muda itu, maka iapun menarik nafas dalam-dalam karena ia melihat Sabungsari tersenyum sambil berkata lirih, “Aku tidak apa-apa Glagah Putih.” “Tetapi kau terluka,“ desis Glagah Putih. “Ya,“ jawab Sabungsari, “aku menjadi lemah sekali. Tetapi lukaku sudah pampat. Aku masih harus berdiam diri untuk beberapa saat, karena kepalaku menjadi pening, dan agar darahku benar-benar menjadi pampat. Tubuhku memang menjadi sangat lemah. Namun mudah-mudahan tidak terlalu gawat.” Glagah Putih termangu-mangu. Tetapi iapun kemudian duduk disamping Sabungsari yang masih terbaring. “Bagaimana dengan Agung Sedayu ?“ bertanya Sabungsari, “ia benar-benar seorang yang mampu

berpikir dengan terang dalam keadaan apapun juga. Terhadap lawannya itupun ia agaknya masih dapat memaafkan.” “Ya,“ jawab Glagah Putih, “meskipun kakang Agung Sedayu juga terluka.” Sabungsari terdiam. Ia mendengar segala percakapan Agung Sedayu dengan Rambitan. Tetapi ia masih belum berani mengangkat kepalanya atau bangkit berdiri mendekat, karena ia masih ingin memampatkan darahnya sama sekali. Dalam pada itu. Agung Sedayu bertanya sekali lagi,“ jawablah. Kita harus segera dapat mengambil keputusan.” Rambitan yang termangu-mangu itupun kemudian menjawab, “Aku sudah tidak berdaya Agung Sedayu. Terserah kepadamu. Apakah kau akan membunuh aku, atau kau akan berbuat lain.” “Aku tidak ingin membunuhmu,“ sahut Agung Sedayu. “Tetapi itu sama sekali bukan satu keluhuran budi dan sikap,“ tiba-tiba saja Rambitan menggeram, “jika kau tidak membunuhku, maka justru kau telah menyiksa aku. Aku tahu, bahwa kau dan Untara akan dapat memeras keterangan dari mulutku dengan cara yang paling keji sekalipun. Tetapi aku sudah berniat, agar kau tidak perlu berbuat demikian. Aku akan berkata apa saja yang aku ketahui. Mungkin setelah itu, kau atau Untara akan membunuhku pula.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau terlalu berprasangka. Tetapi baiklah. Apapun yang kau duga, kau akan melihat suatu kenyataan. Jika kau benar-benar sudah menyerah, kita akan pergi ke Jati Anom.” Rambitan tidak menjawab. Ia sudah tidak berdaya sama sekali. Seandainya Glagah Putih yang kemudian memegang cambuk Agung Sedayu, maka anak itupun akan mampu membunuhnya, karena ia hanya dapat meloncat-loncat dengan kakinya tanpa berbuat sesuatu dengan tangannya. Namun dalam pada itu, dengan tatapan mata yang sangat tajam. Agung Sedayu melihat bayangan yang bergerak beberapa langkah dibelakang Rambitan. Meskipun tidak begitu jelas, dalam keremangan malam Agung Sedayu sempat melihat orang itu menarik busurnya sambil membidiknya. Sejenak Agung Sedayu menjadi tegang. Namun dengan demikian diluar sadarnya Agung Sedayu telah meningkatkan kemampuan penglihatannya. Seolah-olah ia melihat semakin jelas, seseorang yang melepaskan anak panah kearahnya. Ketika pendengarannya yang meningkat pula mendengar desing anak panah yang meluncur, maka Agung Sedayupun telah meloncat kesamping, sehingga anak panah yang mengarah kedadanya itu dapat dihindarinya. Tetapi ternyata anak panah yang keduapun telah meluncur pula. Hampir saja menyambar kening. Karena itu, maka Agung Sedayu harus meloncat pula dengan sigapnya. Ketika anak panah ketiga

meluncur, maka iapun harus berguling sekali untuk menghindarinya. Dalam pada itu, ia masih sempat berkata, “Glagah Putih, hati-hati.” Glagah Putihpun segera berbaring diantara rerumputan dan tanah yang tidak datar, sehingga kemungkinan untuk dikenalnya menjadi semakin sempit. Namun dalam pada itu, Sabungsari sama sekali tidak mampu bergerak. Seandainya orang berpanah itu membidiknya, maka ia hanya dapat pasrah kepada nasibnya. Jika orang itu benar-benar memiliki kemampuan bidik yang cukup, maka orang itu akan dapat membunuhnya dari jarak beberapa langkah. Sementara itu. Agung Sedayu mulai berbuat sesuatu agar ia tidak sekedar menjadi sasaran. Ketika anak panah berikutnya meluncur kearahnya. Agung Sedayu tidak berusaha untuk meloncat menghindar, tetapi ia telah menangkisnya dengan memukul anak panah itu dengan cambuknya. Ledakkan cambuk yang tidak terlalu keras itu ternyata telah mengganggu orang yang menyerangnya dari jarak jauh itu. Bahkan, tiba-tiba saja orang itu telah mengambil satu sikap yang mengejutkan. Rambitan yang memandang saja dengan sedikit harapan, bahwa akan ada orang yang membebaskannya, melihat betapa Agung Sedayu harus berloncatan menghindar. Namun agaknya Agung Sedayu telah siap untuk mendekati orang berpanah itu dengan perisai cambuknya. Yang terjadi kemudian adalah diluar dugaan. Rambitan tiba-tiba saja berdesah tertahan. Perlahanlahan ia bergeser dan terhuyung-huyung. Sementara itu, orang berpanah itupun telah menghilang kedalam gerumbul. Agung Sedayu melihat dan mengerti apa yang telah terjadi. Rambitan telah sengaja dibunuh oleh orang itu untuk menghilangkan jejak, setelah orang itu gagal membebaskannya, karena ia tidak dapat mengenai Agung Sedayu. Namun dengan demikian. Agung Sedayu yang kehilangan itu menjadi marah. Betapapun juga keragu-raguan menghambat keputusannya, namun seolah-olah dengan gerak naluriah, ia telah menghentakkan kekuatan sorot matanya. Dengan cepat ia menyerang langsung menusuk kedalam gerumbul yang masih bergoyang dengan sorot matanya. Dedaunan perdu didalam gerumbul itu bagaikan diremas. Namun sementara itu terdengar pekik meninggi. Pekik yang seakan-akan telah membangunkan Agung Sedayu sehingga ia menyadari, apa yang telah dilakukannya. Sementara Agung Sedayu membeku ditempatnya. Glagah Putih yang melihat bahwa orang berpanah itu telah meninggalkan tempat itu, segera meloncat berdiri. Ia masih melihat Rambitan terhuyung-huyung.

Dan iapun masih mendengar orang memekik tinggi dibalik gerumbul. Ternyata bahwa kemampuan ilmu Agung Sedayu yang memancar lewat sorot matanya, telah menyusup diantara dedaunan dan ranting-ranting gerumbul perdu, sementara dedaunan dan ranting-ranting perdu itu sendiri yang langsung tersentuh sorot mata Agung Sedayu telah menjadi lumat. Baru sejenak kemudian Agung Sedayu meloncat berlari kebalik gerumbul yang hancur lumat itu. Dengan jantung yang berdebaran, ia melihat sesosok tubuh terbaring diam. Ditangannya masih tergenggam sebuah busur dan dilambungnya tergantung sebuah endong tempat anak panah. Dengan jantung berdebar-debar Agung Sedayu berjongkok disamping tubuh yang terbujur itu. Perlahan-lahan ia menempelkan telinganya kedadanya. Namun ternyata dada itu sudah tidak berdetak lagi. “Ia sudah mati,” desisnya. Glagah Putih yang menyusulnya berdiri termangu-mangu dibelakangnya. Ia mendengar Agung Sedayu berdesis. Karena itu, ia bertanya, “Kenapa orang itu mati ?” Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Secercah penyesalan melonjak dihatinya. Tidak ada niatnya untuk membunuh. Bahkan seakan-akan tanpa disengaja ia telah melontarkan ilmunya lewat tatapan matanya. Yang terjadi demikian cepatnya, sehingga kesempatan untuk berpikir baginya terlalu sempit. Apalagi untuk mempertimbangkan akibat yang bakal terjadi. Bahkan Agung Sedayupun masih harus menilai kemampuannya sendiri, yang seakan-akan telah meningkat diluar pengamatannya sendiri. Baru beberapa bab dari isi kitab Ki Waskita yang mulai didalami maknanya. Namun karena pilihan yang tepat dan kemampuannya untuk mengetrapkan pada landasan yang mapan, maka ternyata bahwa ilmu yang ada pada dirinya itu telah meningkat. “Tetapi agaknya orang ini hampir tidak mempunyai daya tahan yang dapat melindungi dirinya serba sedikit. Agaknya ia bukan seorang yang setingkat dengan kedua orang dari Gunung Kendeng itu,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Glagah Putih yang berjongkok pula disamping Agung Sedayu memandang orang itu dengan tegang. Orang itu mati tanpa luka yang nampak pada tubuhnya. Tiba-tiba saja seolah-olah gerumbul itu telah diremas oleh angin prahara yang tidak kasat mata. Dan orang itu telah menjadi korbannya pula. “Apakah gerumbul ini disambar petir ? “ tiba-tiba saja Glagah Putih bertanya. Agung Sedayu berpaling sejenak. Katanya, “Agaknya orang ini harus mengalaminya. Apapun sebabnya, tetapi ia kami dapatkan telah mati disini.”

“Bagaimana dengan lawan kakang Agung Sedayu ?“ bertanya Glagah Putih. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun beringsut pula. Kemudian iapun bangkit dan berjalan menuju ke tempat Rambitan yang terbaring menelungkup. Sebatang anak panah menghunjam dalam ditubuhnya. Agaknya ujung anak panah itu telah menyentuh bagian dalam tubuhnya yang menentukan, sehingga Rambitan ternyata telah tidak bernafas lagi. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ketika Glagah Putih berjongkok disisinya, maka Agung Sedayu itupun berkata, “Telah terjadi tiga kematian. Dua orang murid dari Gunung Kendeng, dan seorang yang tidak dikenal. Tetapi sudah pasti, bahwa orang ini adalah pengikut orang yang mengupah kedua murid Gunung Kendeng ini.” “Kenapa mereka kakang ?“ bertanya Glagah Putih pula. “Bukankah dengan demikian jalur hubungan antara orang yang mengupah dan orang yang diupah telah terputus ?“ berkata Agung Sedayu. “Tetapi kita sudah mengetahui, bahwa yang memerintahkan kedua orang itu melakukan pencegatan ini adalah Ki Pringgajaya,“ desis Glagah Putih. “Siapakah yang dapat membuktikannya ? Jika aku atau kau atau Sabungsari mengatakannya, bahwa kedua orang yang terbunuh ini adalah atas perintah Ki Pringgajaya, maka kita akan dapat dituduh memberikan kesaksian palsu.” “Tetapi bukankah kenyataannya demikian ? “ desak Glagah Putih. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat memberikan penjelasan sehingga dapat memberikan kepuasan bagi Glagah Putih. Ia tidak dapat mengatakan, bahwa kita sering menjumpai kenyataan yang tidak dapat dibuktikan. Bahkan kita kadang-kadang tidak dapat meyakinkan orang lain bahwa satu kebenaran adalah kebenaran. “Glagah Putih,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “kita akan mencoba mengatakan kenyataan ini kepada kakang Untara. Tetapi bagaimana dengan Sabungsari ?” “Ia masih tersenyum ketika aku mendekatinya. Ia terluka, tetapi aku tidak tahu, apakah luka itu berbahaya baginya.” Agung Sedayupun kemudian meninggalkan Rambitan dan dengan tergesa-gesa mendekati Sabungsari yang masih saja tersenyum melihat kedatangan Agung Sedayu. “Bagaimana dengan kau Sabungsari ?“ bertanya Agung Sedayu. Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Katanya,

“Agaknya lukaku sudah mulai pampat. Aku sudah dapat bangkit dan duduk.” “Tunggu,“ desis Agung Sedayu, “jangan tergesa-gesa.” “Aku sudah mengobatinya. Mudah-mudahan luka itu tidak akan berdarah lagi.” “Jika kau terlalu banyak bergerak, maka luka itu akan berdarah lagi. Karena itu, berbaring sajalah beberapa saat. Sementara aku akan mengurus tiga sosok mayat yang berserakkan.” “Tiga ?“ bertanya Sabungsari, “jadi orang yang melepaskan anak panah itu kau bunuh juga?” “Bukan maksudku. Aku hanya ingin menghentikannya. Tetapi ternyata ia telah mati.“ desah Agung Sedayu. “Kenapa ia mati? “ sekali lagi Glagah Putih bertanya. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pura-pura tidak mendengar pertanyaan itu. Katanya kepada Sabungsari, “berbaringlah barang sejenak. Aku akan mengumpulkan mayat itu. Kita akan pergi ke Jati Anom, menghadap kakang Untara. Ketiga sosok mayat itu akan menjadi salah satu bukti bahwa telah terjadi sesuatu pada kita disini.” Sabungsari termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Ya. Mungkin Ki Untara meragukan keterangan kita. Tetapi kita harus mengatakannya.” “Tetapi bagaimana dengan kedudukanmu, Sabungsari. Tentu ada persoalan didalam tataran keprajuritan. Mungkin kau dianggap berbuat kesalahan. Atau mungkin kau akan mengalami kesulitan, karena Ki Pringgajaya yang memiliki pengaruh dan kedudukan itu menganggap bahwa kau adalah salah seorang penghalang dari rencananya. Apalagi kau dengan sengaja telah menyilang dan memotong usahanya kali ini,“ berkata Agung Sedayu. “Aku mengerti Agung Sedayu. Tetapi aku memang sudah menentukan sikap. Apapun yang akan terjadi, aku tidak akan surut,“ jawab Sabungsari. “Tetapi mungkin sekali hal ini akan mengancam keselamatanmu,” sambung Agung Sedayu. “Aku sadar. Tetapi aku akan menghadapi segala akibat dari sikapku ini.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kekerasan hati Sabungsari. Namun sejak ia mengenal Sabungsari, ia menganggap bahwa anak muda itu benar-benar seorang laki-laki yang bersikap jantan. Seperti saat ia menghadapi kekalahan, maka iapun bertekad menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi atasnya, karena ia sudah menentukan sikap.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu bangkit sambil berkata, “Biarlah kau berbaring sejenak. Aku akan menyingkirkan mayat itu, agar tidak diketemukan oleh orang yang kebetulan lewat atau para petani yang pergi kesawah. Sementara itu, keadaanmu akan menjadi semakin baik.” Sabungsari tidak mencegahnya. Dibiarkannya Agung Sedayu pergi sambil berkata, “Tunggulah disini Glagah Putih.” Glagah Putih tidak menyahut. Iapun kemudian duduk disamping Sabungsari, sementara Agung Sedayu menyingkirkan mayat itu kedalam gerumbul sehingga tidak mudah diketemukan oleh seseorang. Baru setelah semuanya selesai. Agung Sedayu mendekati Sabungsari yang masih terbaring sambil berkata, “Apakah keadaanmu sudah semakin baik ?” “Ya. Aku sudah merasa baik. Mungkin aku masih terlalu lemah. Tetapi aku sudah dapat berkuda sendiri kembali ke Jati Anom,“ jawab Sabungsari. Glagah Putihpun kemudian bangkit untuk mencari kuda-kuda mereka yang ternyata tidak berada ditempat yang terlalu jauh. Kuda-kuda itu masih sibuk mengunyah rerumputan segar ditepi jalan, beberapa puluh langkah dari tempat perkelahian itu. Sedangkan Sabungsari minta agar Glagah Putih juga mengambil kudanya ditempat yang terlindung. “Aku tidak sempat mengikat kuda-kuda itu,“ berkata Glagah Putih. Dan Agung Sedayupun mengerti, bahwa Glagah Putihpun harus mempertahankan dirinya dari serangan yang tiba-tiba dari seseorang yang merunduknya, dari balik gerumbul-gerumbul perdu. Sejenak kemudian. Agung Sedayu telah mencoba membantu Sabungsari naik keatas punggung kudanya. Ternyata betapapun lemahnya, Sabungsari masih dapat menjaga keseimbangannya. Perlahan-perlahan mereka bertigapun kemudian berkuda ke Jati Anom. Mereka akan langsung pergi kerumah Ki Untara untuk menyampaikan peristiwa yang baru saja terjadi. Meskipun mereka tidak dapat membawa saksi yang lain, kecuali diri mereka sendiri, namun mereka menganggap bahwa hal itu perlu segera disampaikan kepada Untara. Agung Sedayu yang berada dipaling depan, menjadi gelisah karena langit yang sebentar lagi akan dibayangi oleh warna fajar di Timur. Jika kemudian datang pagi, sementara mayat-mayat itu masih ditempatnya, ada kemungkinan akan diketemukan oleh orang-orang yang pergi kesawah atau oleh orang-orang yang tidak sengaja melintasi gerumbul-gerumbul itu. Kedatangan Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Putih dilewat tengah malam itu, ternyata telah mengejutkan para prajurit yang bertugas. Apalagi ketika mereka melihat keadaan Sabungsari yang

lemah dan pakaiannya penuh bernoda darah. “Kenapa anak itu ?“ bertanya seorang prajurit kepada Agung Sedayu. “Aku akan menghadap kakang Untara,“ jawab Agung Sedayu, “aku akan melaporkan semua yang telah terjadi.” Prajurit itupun kemudian mempersilahkan Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Putih naik kependapa. Dengan hati-hati Agung Sedayu membantu Sabungsari turun dan memapahnya naik kependapa bersama Glagah Putih. Ternyata keadaannya cukup parah. Seperti saat ia bertempur melawan Carang Waja, maka Sabungsari sekali lagi mengalami luka yang sangat parah. Dengan lemahnya, Sabungsari duduk dipendapa bersandar tiang. Sekali-sekali masih nampak ia menyeringai menahan sakit didadanya. “Apakah kau akan berbaring saja ?“ bertanya prajurit yang bertugas. “Jika kau ingin berbaring, marilah, aku bawa kau kegandok.” Sabungsari menggeleng sambil menjawab, “Aku menunggu disini sampai Ki Untara mendengar semua keterangan kami.” Prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya, “Seorang kawan telah mencoba menyampaikan hal ini kepada Ki Untara. Tetapi ia belum lama tidur. Ki Untara baru saja nganglang disekitar Jati Anom bersama beberapa orang prajurit. Kemudian ia duduk dipendapa itu beberapa saat.” Dengan demikian, maka Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Putih itu masih harus menunggu. Glagah Putih yang lelah itupun bersandar tiang pendapa pula. Sekali ia beringsut sambil berdesah. Ternyata kelelahan yang sangat telah membuatnya mulai merasa kantuk. Namun demikian, ia harus bertahan sambil menunggu Untara menemuinya dan mendengarkan segala keterangan tentang peristiwa yang baru saja terjadi. “Mayat-mayat itupun harus diambil,“ berkata Glagah Putih didalam hatinya. Beberapa lamanya mereka menunggu. Namun ternyata bahwa Untara tidak menolak kedatangan mereka dan tidak menyuruh mereka menunggu sampai keesokan harinya. Bukan saja karena yang datang adalah Agung Sedayu, tetapi Untara menyadari, bahwa yang akan mereka sampaikan tentu sesuatu yang sangat penting. Ketika Untara selesai membenahi dirinya, maka iapun bergegas pergi kependapa. Ia terkejut melihat keadaan Sabungsari yang sangat lemah. Dengan dahi yang berkerut ia berkata, “Biarlah prajurit itu

beristirahat. Agaknya ia terluka parah.” “Ya kakang. Sabungsari terluka parah,“ sahut Agung Sedayu. “Tetapi biarlah aku disini. Aku ingin ikut mendengarkan laporanmu Agung Sedayu. Mungkin ada beberapa hal yang perlu aku jelaskan, karena sebagian dari keterangan tentang peristiwa ini aku ketahui sebelum terjadi,“ berkata Sabungsari dengan suara gemetar. Untara mengerutkan keningnya. Sejenak semula iapun sudah menduga bahwa soalnya tentu sangat penting. “Baiklah,“ berkata Untara, “tetapi biarlah lukamu diobati lebih dahulu.” “Aku sudah mengobatinya Ki Untara,“ berkata Sabungsari, “tetapi hanya untuk sementara. Meskipun demikian, biarlah kita berbicara lebih dahulu. Baru kemudian aku mohon dapat diobati dengan cara dan obat yang lebih baik.” Ki Untara mengangguk-angguk. Kemudian dipandanginya beberapa orang prajurit yang ada disekitarnya. Dengan satu isyarat, maka merekapun meninggalkan Ki Untara dengan ketiga orang tamunya. Agung Sedayu kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi. Tetapi ia baru menceriterakan kejadian di bulak panjang itu. Ia belum mengatakan, siapakah yang berada dibelakang peristiwa itu. Untara mendengarkan keterangan itu dengan saksama. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Agung Sedayu. Apakah sangkut pautnya orang-orang dari Gunung Kendeng dengan kau dan Sabungsari ? Menurut pendengaranku, orang-orang Gunung Kendeng tidak pernah bersentuhan dengan kau dan Sabungsari. Tetapi mungkin ada peristiwa dan kejadian yang lepas dari pendengaranku.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian justru kepada Glagah Putih, “Glagah Putih, aku kira kau sangat lelah dan mengantuk. Tidurlah. Nanti aku akan membangunkanmu.” Glagah Putih mengerutkan keningnya. Terasa sentuhan mata kakak sepupunya itu bagai kan memberikan isyarat kepadanya, agar iapun tidak perlu mendengarkan peristiwa yang membayangi kejadian di bulak panjang itu. Agaknya Untara mengerti maksud adiknya. Karena itu, maka katanya, “Sebaiknya demikian Glagah Putih. Marilah, aku akan membawamu kepada mbokayumu. Kau sebaiknya membersihkan diri, minum dan barangkali kau lapar, mbokayumu akan menyediakan makan buatmu.“ Glagah Putih tidak dapat mengelak lagi. Isteri Untarapun sangat baik kepadanya. Karena itu, maka iapun mengikuti Untara masuk keruang dalam, dan menyerahkan Glagah Putih kepada isterinya yang

nampaknya masih mengantuk. “Mbokayu masih mengantuk,“ desis Glagah Putih. “Tidak Glagah Putih,“ sahut Nyi Untara, “aku sudah tidur sejak sore. Marilah, kau pergi dahulu kepakiwan. Kemudian kau minum minuman hangat. Kau akan aku persilahkan makan, meskipun nasi dingin.” “Aku tidak ingin makan mbokayu. Tetapi jika minum, aku memang sangat haus.” Isteri Untara itu tersenyum. Ketika Glagah Putih pergi kepakiwan dan Untara sudah kembali kependapa, isteri Untara itu mengambil air panas di tempat para peronda, yang selalu menyediakan bagi mereka yang bertugas. Kemudian menyediakan tempat bagi Glagah Putih untuk beristirahat. “Minumlah. Jika kau tidak ingin makan, baiklah kau beristirahat diamben itu,“ berkata isteri Untara. “Terima kasih. Aku memang akan tidur. Agaknya kakang Agung Sedayu dan kakang Untara masih selalu menganggap aku kanak-kanak yang tidak boleh mengetahui beberapa hal.” Isteri Untara tersenyum. Katanya, “Bukan begitu Glagah Putih. Seperti aku, kakangmu Untara sama sekali tidak menganggap kanak-kanak lagi. Tetapi dalam beberapa hal yang penting, aku juga tidak dibenarkan untuk mendengarkan pembicaraannya.” “Tetapi mbokayu seorang perempuan,“ bantah Glagah Putih. “Meskipun perempuan, mungkin akan berbeda dengan bakal mbokayumu dari Sangkal Putung. Mungkin ia justru diperlukan hadir dalam pembicaraan-pembicaraan penting. Juga isteri anak Ki Demang di Sangkal Putung itu,“ jawab isteri Untara sambil tersenyum. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Iapun mengerti, masalahnya bukan laki-laki atau perempuan. Juga bukan karena ia masih dianggap kanak-kanak. Tetapi Glagah Putih tetap merasa tidak senang, karena ia masih belum berhak mendengarkan pembicaraan-pembicaraan penting. “Aku harus segera menjadi seorang anak muda yang dewasa. Bukan dalam umur, tetapi dalam sikap dan olah kanuragan. Jika aku sudah memiliki ilmu yang cukup, maka aku tentu tidak akan tersisih seperti ini,“ berkata Glagah Putih didalam hatinya ketika ia sudah berbaring dipembaringannya. Untuk beberapa saat Glagah Putih masih belum berhasil memejamkan matanya. Namun kemudian, perlahan-lahan iapun mulai kehilangan kesadarannya. Akhirnya anak muda itupun jatuh tertidur. Dalam pada itu, di pendapa. Agung Sedayu masih duduk bersama dengan Untara dan Sabungsari yang lemah. Namun agaknya obat yang telah ditaburkan keatas luka anak muda itu sementara dapat menolongnya. “Nah, sekarang katakanlah, apa yang sebenarnya telah terjadi atas kalian,“ berkata Untara kemudian.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Tetapi sebelumnya aku minta maaf kakang, bahwa aku akan menyangkutkan nama prajurit Pajang yang berada di Jati Anom. Aku tidak tahu, apakah kakang Untara sudah menduga, atau setidak-tidaknya melihat sesuatu yang menarik perhatian, atau sama sekali tidak mengira bahwa hal ini dapat terjadi.” Untara memandanginya dengan tajamnya. Seakan-akan ia tidak telaten menunggu. Namun ternyata bahwa kata-kata Agung Sedayu tertunda lagi, ketika seorang menyuguhkan minuman hangat bagi mereka. “Ada juga minuman hangat pada saat begini,“ desis Agung Sedayu. “Setiap saat ada minuman hangat di parondan,“ sahut Untara, “lalu bagaimana ceriteramu itu.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sadar bahwa ia berhadapan bukan saja dengan kakaknya, tetapi dengan seorang Senapati prajurit Pajang. Sejenak kemudian Agung Sedayupun segema menceriterakan akan semua peristiwa bukan hanya yang telah terjadi di bulak seperti yang sudah dikatakannya, tetapi ia mulai menyebut nama Ki Pringgajaya, salah seorang perwira pasukan Pajang di Sangkal Putung. Untara mendengarkan keterangan itu dengan dahi yang berkerut. Meskipun ia terkejut, letapi tidak ada kesan apapun di wajahnya selain ketegangan. “Jadi menurut dugaanmu, orang-orang itu telah diupah oleh Ki Pringgajaya ?“ bertanya Untara. “Mereka mengatakannya sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang upahan Ki Pringgajaya,“ jawab Agung Sedayu. “Mereka mengatakan sendiri, atau Sabungsari yang mengatakannya.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Kakang, Sabungsari mengetahui persoalannya. Sementara orang-orang itupun tidak membantah. Mereka mengakui bahwa mereka adalah orang-orang upahan. Sementara yang bertempur dengan Glagah Putih adalah seseorang yang dapat dikenal dalam pakaian seorang prajurit.” “Apa artinya pakaian. Setiap orang dapat mengenakan pakaian prajurit. Penjahat dan pengkhianat dapat juga mengenakan pakaian seorang prajurit.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Jika keadaan Sabungsari memungkinkan, ia dapat membantu memberikan penjelasan.” Untara memandang Sabungsari yang pucat. Lalu katanya,

“Kau dapat mengatakannya jika itu tidak membuat kau semakin parah.” Sepatah-sepatah Sabungsari mencoba menjelaskan apa yang telah dialaminya. Bahkan ia serba sedikit mengatakan pula rahasianya yang membawanya menjadi seorang prajurit, karena hal itu sudah diketahuinya pula oleh Ki Pringgajaya. Daripada orang lain yang mengatakannya, lebih baik Sabungsari sendirilah yang mengucapkan pengakuan itu. Meskipun yang dikatakannya hanya pokok-pokoknya saja dari seluruh hubungan peristiwa, namun Untara sudah mendapat gambaran yang jelas tentang apa yang sudah terjadi. “Baiklah aku akan mengusut persoalan ini. Tetapi aku tidak dapat mempercayaimu begitu saja tanpa bukti-bukti atau keterangan-keterangan lain yang lebih meyakinkan. Sekarang, aku ingin melihat mayat-mayat itu, sehingga mungkin akan dapat membuka jalan yang lebih lapang bagi penyelesaian masalah ini.” “Marilah kakang. Akupun sebenarnya menjadi cemas, jika para petanilah yang menemukannya, “sahut Agung Sedayu. Bersama beberapa orang prajurit, Untarapun segera berkemas. Kepada isterinya, ia menitipkan Glagah Putih yang sedang tidur nyenyak. “Jika ia terbangun dan mencari Agung Sedayu, katakan bahwa Agung Sedayu aku bawa mengambil mayat-mayat yang ditinggalkannya dibulak panjang itu.” Isteri Untara itu mengerutkan dahinya. Meskipun ia seorang isteri Senapati prajurit Pajang di Jati Anom, namun setiap saat hatinya masih juga berdebar-debar jika Untara pergi dalam keadaan yang gawat. Tetapi ia selalu menyembunyikan perasaannya. Bahkan sambil tersenyum ia berkata, “Agaknya Glagah Putih baru akan bangun setelah matahari tinggi.” Sabungsari yang terluka itupun telah dipapah oleh beberapa orang prajurit dan dibaringkannya digandok. Seorang prajurit yang ahli dalam obat-obatan, telah dipanggil untuk memberikan obat yang lebih baik kepada Sabungsari yang terluka itu. Prajurit yang kemudian datang itupun dengan saksama telah memeriksa luka Sabungsari. Iapun mendengar berita tentang sebab luka-luka itu, meskipun Sabungsari hanya menceriterakan sebagian kecil dari seluruh peristiwanya. “Jadi orang-orang dari Gunung Kendeng itulah yang melukaimu ?“ bertanya orang itu. “Ya. Lukaku memang agak parah.” “Baiklah. Aku akan berusaha. Tetapi seperti yang kau katakan, lukamu memang cukup parah. Kau terlalu banyak mengeluarkan darah. Untunglah bahwa kau mempunyai obat yang dapat

memampatkannya. Meskipun obat itu mempunyai akibat sampingan.” Sabungsari mengerutkan keningnya. Sambil menyeringai ia bertanya, “Apakah akibat itu ?” “Pernafasanmu tentu agak terganggu. Tetapi aku akan membersihkannya. Kemudian mengganti dengan obat yang lebih baik, yang selalu dipergunakan oleh para prajurit.” Sabungsari mengangguk-angguk kecil. Dibiarkannya orang itu membersihkan lukanya dan kemudian menaburkan obat yang lain. “Sabungsari,“ berkata orang itu, “aku sudah mendengar apa yang pernah kau lakukan. Kau sudah pernah berhasil membunuh Carang Waja. Sekarang kau berhasil mengalahkan orang dari Gunung Kendeng. Yang terjadi itu tentu akan menjadi perhatian pula bagi Ki Untara. Mudah-mudahan kau akan cepat mendapat tingkat yang lebih baik.” Sabungsari tidak menjawab. Terasa lukanya menjadi nyeri. Bukan saja karena tersentuh tangan orang yang mengobatinya itu. Tetapi obat itu sendiri membuat tubuhnya serasa mendidih. “Obat itu tentu terasa panas ditubuhmu,“ berkata prajurit yang mengobatinya itu, “tetapi obat itu akan bekerja sebaik-baiknya. Mudah-mudahan obat itu akan dapat mengatasi kesulitan yang terjadi pada tubuhmu karena kekurangan darah dan nafasmu yang tidak teratur. Kau tentu memerlukan obat lain yang dapat kau minum besok pagipagi untuk menyegarkan tubuhmu.” Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia bertanya, “Bagaimana sebenarnya dengan luka-lukaku ?” Prajurit yang mengobatinya itu mengerutkan keningnya. Sejenak keragu-raguan membayang di wajahnya. Baru kemudian ia berkata, “Sabungsari. Kau adalah seorang prajurit pinunjul. Seorang yang memiliki kelebihan dari prajurit-prajurit sebayamu. Bahkan mungkin dengan tataran diatasmu. Karena itu, aku harap kau mempunyai ketahanan jiwani yang besar pula, melampaui kawan-kawanmu.” Sabungsari mengerutkan keningnya. Tidak sabar ia mendesak, “Katakan. Aku bukan anak-anak yang masih suka merengek.” Prajurit yang mengobatinya itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Baiklah aku berterus terang Sabungsari. Lukamu gawat sekali. Meskipun nampaknya tidak lebih parah dari saat kau bertempur dan membunuh Carang Waja, namun sebenarnya lukamu kali ini berbahaya bagi keselamatanmu.”

Sabungsari menegang sejenak. Namun kemudian terdengar suaranya datar, “Terima kasih. Aku mengerti keadaanku.” “Tetapi jangan berkecil hati,“ berkata prajurit yang mengobatinya, “kita wajib berusaha. Tetapi jika usaha kita gagal, itu adalah diluar kemampuan kita.” “Ya,“ sahut Sabungsari pendek. “Betapa kecilnya, kita masih harus berpengharapan,“ berkata prajurit itu. Sabungsari tidak menjawab. Tetapi ia mengerti maksud prajurit yang mengobatinya itu. Lukanya adalah luka yang membahayakan jiwanya. Bahkan harapan untuk dapat sembuh adalah sangat kecil. Sesaat Sabungsari menyeringai. Dadanya memang terasa sangat sakit. Bukan saja pedihnya luka pada dagingnya. Namun nafasnya terasa menjadi sesak. Jantungnya bagaikan berdetak semakin cepat. “Aku terpengaruh sekali keterangan orang itu,“ berkata Sabungsari didalam hati, “rasa sakit dan nafas yang menyesak ini tentu datang justru karena kekerdilan jiwaku. Tetapi seandainya aku harus mati, maka aku sudah berbuat satu kebajikan terhadap Agung Sedayu. Sebenarnya aku sudah harus mati dipinggir kali ketika aku menantangnya berperang tanding. Tetapi ia membebaskan aku dari kematian jasmaniah dengan harapan, balrwa aku dapat membunuh segala macam sifat dan sikapku waktu itu.” Sabungsari menarik nafas panjang sekali. Namun justru karena iapun kemudian pasrah kepada Yang Maha Kasih, maka hatinya menjadi tenang. Perlahan-lahan nafasnya terasa semakin lapang, meskipun perasaan sakit didadanya masih terasa bagaikan meremas jantung. Dalam pada itu, maka prajurit yang mengobatinya itupun kemudian minta diri setelah ia berpesan, “Cobalah untuk tidur Sabungsari. Coba pula menenangkan hati. Apapun yang akan terjadi, jangan kau risaukan, karena garis hidup seseorang tidak berada ditangannya sendiri. Kau sudah berbuat sesuatu yang memberimu kebanggaan. Jika kemudian kau harus mengalami sesuatu karena perbuatan kesatria itu, kau justru dapat berbangga karenanya.” Sabungsari menggeram. Tetapi ia tidak menjawab. Ia hanya memandang saja prajurit itu meninggalkan biliknya tanpa berpaling lagi. Sepeninggal prajurit yang mengobatinya itu, Sabungsari berusaha menenangkan hatinya. Ia mencoba memejamkan matanya, namun rasa-rasanya dadanya bagaikan pecah. Sekali-sekali wajahnya nampak menegang kemerah-merahan. Namun kemudian wajah itu menjadi pucat seputih kapas.

Untuk beberapa lamanya Sabungsari harus bertahan. Namun akhirnya ia berusaha untuk tidak menghiraukan lagi perasaan sakit itu. Meskipun demikian, kadang-kadang ia merasa heran juga karena sikap prajurit yang mengobatinya itu. Seolah-olah ia dengan sengaja memberikan kesan yang mencemaskan. “Tetapi ia menganggap bahwa hatiku adalah hati yang tabah. Ia menganggap bahwa aku dapat melihat kenyataan dengan hati semeleh,“ berkata Sabungsari kepada diri sendiri, “tetapi nyatanya hatiku adalah hati yang selalu-dibayangi oleh kecemasan. Bukankah batas terakhir dari keadaan ini adalah kematian. Dan kematian itu tidak lagi menakutkan aku, karena aku telah menemukan diriku sendiri dalam ujud yang lebih baik dari saat lampau. Jika sekiranya aku harus mati saat ini, maka aku akan mendapat nilai jauh lebih baik daripada saat aku mati dipinggir kali dalam perang tanding melawan Agung Sedayu. Saat itu aku akan mati dalam kekelaman sehingga aku akan terjun kedalam kegelapan langgeng diantara tangis dan gemeretak gigi tanpa akhir.” Ketenangan hati Sabungsari ternyata banyak menolong dan memperingan penderitaannya, sehingga karena itu, betapa perasaan sakit masih terasa menghentak-hentak didadanya, namun akhirnya ia berhasil tidur meskipun hanya beberapa saat. Dalam pada itu, Untara diiringi oleh Agung Sedayu dan beberapa orang prajurit telah berpacu menyusur jalan menuju ke tempat Agung Sedayu menyembunyikan tiga sosok mayat. Dua orang dari Gunung Kendeng, sedang seorang yang lain masih belum diketahuinya. Tetapi kuat dugaan Agung Sedayu, bahwa yang seorang itu tentu pengikut Ki Pringgajaya pula. “Tetapi nampaknya ia bukannya orang yang telah bertempur melawan Glagah Putih,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Dalam pada itu, maka kuda merekapun berlari semakin kencang. Apalagi ketika bayangan warna fajar telah mengusap langit. Agung Sedayu menjadi semakin tergesa-gesa. Jika saatnya orang pergi kepasar, atau saat para petani menengok air parit yang membelah bulak panjang itu, dan tanpa mereka sengaja menemukan tiga sosok mayat yang diletakkannya dibalik gerumbul, maka kegemparan itu akan dapat menggelisahkan bukan saja satu dua orang. Semakin dekat mereka dengan tempat yang baru saja menjadi arena pertempuran, hati Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Kuda-kuda mereka rasa-rasanya menjadi semakin lamban. Namun akhirnya. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam: Beberapa puluh langkah lagi ia sudah akan sampai di tempat yang ditujunya. Ia sudah melihat dalam keremangan sisa malam, gerumbulgerumbul yang berserakan dipinggir jalan yang membujur panjang itu. “Kita sudah sampai kakang,“ desis Agung Sedayu kemudian. Iring iringan itupun menjadi semakin lambat. Dan akhirnya mereka berhenti dibekas arena pertempuran. Untara dan para prajurit yang mengiringinya masih sempat melihat bekas bekas dari pertempuran yang sengit. Gerumbul-gerumbul

bagaikan terinjak-injak oleh segerombol binatang buas yang berlaga. Pohon-pohon perdu berpatahan dan daun-daunnya yang bagaikan diremas. Tanah yang seperti baru dibajak. Dan sesudut tanaman disawah yang menjadi lumat. Ki Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa adiknya memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, menurut pengamatannya, maka pertempuran itupun tentu telah berlangsung dengan dahsyatnya. Menurut ceritera adiknya, telah terjadi tiga arena pertempuran. Sabungsari dan Agung Sedayu masingmasing melawan seorang murid dari Gunung Kendeng, sedang Glagah Putih bertempur melawan seorang yang mempunyai ciri seorang prajurit. “Tentu Sabungsari dan Agung Sedayu telah bertempur dengan sengitnya,“ berkata Untara didalam hatinya. Ketika ia kemudian turun dari kudanya, maka para pengiringnya serta Agung Sedayupun telah meloncat turun pula. “Dimana kau sembunyikan mayat-mayat itu ?“ bertanya Untara kemudian. Sekilas Agung Sedayu mengangkat wajahnya memandang langit. Cahaya kemerah-merahan mulai nampak di atas cakrawala. Karena itu, maka Agung Sedayupun dengan tergesa-gesa mengajak kakaknya pergi kebalik sebuah gerumbul yang masih belum menjadi lumat. “Disini aku menyembunyikan mayat-mayat itu,“ desis Agung Sedayu sambil menyibak dedaunan. Namun alangkah terkejutnya, ketika ia tidak mehhat ketiga sosok mayat itu terbaring ditempat semula. Sejenak Agung Sedayu menegang. Dengan sigapnya ia menyibak dibagian lain. Tetapi ia tidak menemukan mayat-mayat itu. “Kenapa ?“ bertanya Untara yang melihat Agung Sedayu menjadi sibuk. “Mayat itu hilang kakang,“ jawab Agung Sedayu terbata-bata. “He,“ Untarapun terkejut pula. Dengan serta merta iapun meloncat mendekati Agung Sedayu sambil bertanya, “dimana kau letakkan tadi ? “ “Disini,“ jawab Agung Sedayu sambil menunjuk tempat ia menyembunyikan mayat-mayat itu. Untara terdiam sejenak. Dengan saksama ia merenungi gerumbul itu dan keadaan disekitarnya. Sekalisekali la menyibak pula gerumbul-gerumbul disebelah menyebelah. Mungkin Agung Sedayu keliru. Tetapi ternyata mereka tidak menemukan mayat mayat itu sama sekali. “Aneh,“ desis Agung Sedayu, “aku meletakkannya disini. Didalam gerumbul ini.”

Untara termangu-mangu sejenak. Ia tentu tidak dapat mencurigai adiknya, bahwa anak muda itu menipunya. Iapun yakin bahwa Agung Sedayu tentu sudah berbuat seperti yang dikatakannya, karena menurut pengenalannya sejak anak muda itu masih kanak-kanak. Agung Sedayu tentu tak akan menipu ataupun mengatakan sesuatu yang tidak benar dengan maksud apapun juga. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat membuktikan seperti yang dikatakannya. Untuk beberapa saat lamanya Agung Sedayu masih mencoba mencari ketiga sosok mayat itu diantara gerumbul-gerumbul. Mungkin ada binatang liar yang telah menyeret ketiga sosok mayat itu. Atau barangkali ia keliru mengingat. Tetapi ternyata bahwa ketiga sosok mayat itu tidak dapat diketemukan. “Seseorang tentu sudah mengambilnya, “geram Agung Sedayu kemudian. Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat Sabungsari terluka. Tentu perkelahian itu benar-benar telah terjadi. Bekas-bekasnyapun cukup menyakinkan. Tetapi kenapa tiga sosok mayat yang dikatakan itu telah hilang. “Apa pendapatmu Agung Sedayu ?“ bertanya Untara. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku menjadi bingung kakang. Tetapi aku tidak berbohong, bahwa hal itu memang sudah terjadi.” “Aku mempercayaimu Agung Sedayu. Tetapi apa yang dapat aku lakukan kemudian ? Yang kau sebutsebut itu sama sekali tidak dapat kami lihat. Bukannya aku menuduh kau mengatakan apa yang tidak terjadi, tetapi yang kau sebut-sebut murid Gunung Kendeng dan sebagainya, sama sekali tidak dapat dikuatkan. Mungkin mereka mengaku orang-orang Gunung Kendeng dengan segala macam fitnahan terhadap seseorang yang sudah disebut namanya, tetapi mereka sama sekali bukan orang yang dikatakannya.” “Tetapi aku yakin,“ desis Agung Sedayu. “Aku mengerti, kau tidak bermaksud mengatakan yang tidak sebenarnya kau dengar dari mulut mereka. Tetapi siapakah yang dapat membuktikan dalam keadaan seperti ini, bahwa kedua orang yang terbunuh itu adalah benar-benar murid dari Gunung Kendeng.” “Aku kira mereka tidak berbohong pula,“ jawab Agung Sedayu, “mereka menyebut diri mereka dengan bangga. Dan agaknya mereka sejak semula tidak bersiap untuk datang ketempat ini, berbohong dan kemudian mati.” “Tentu,” jawab Untara, “Mati atau tidak mati, mereka dapat saja berbohong. Mereka tentu berniat untuk menghapus jejak, karena mereka juga mempunyai perhitungan. Jika mereka mengaku orangorang Gunung Kendeng dan sebenarnya mereka memang orang-orang dari Gunung Kendeng, apakah itu tidak berarti menantang prajurit Pajang ? Apakah perguruan Gunung Kendeng itu akan mampu bertahan jika prajurit segelar sepapan datang kepedepokan mereka ?”

“Tetapi kakang,“ jawab Agung Sedayu, “perhitungan mereka adalah, bahwa tidak seorangpun yang akan dapat menyebut, bahwa mereka memang berasal dari Gunung Kendeng. Mereka memperhitungkan, bahwa aku akan mati disini. Demikian pula Sabungsari. Tetapi ternyata yang terjadi adalah lain sama sekali, sehingga ada orang yang dapat menyebut mereka berasal dari Gunung Kendeng.” Untara mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin perhitunganmu benar. Setelah terjadi sesuatu diluar perhitungan meraka, maka kawan-kawan mereka telah mengambil satu tindakan khusus dengan menyingkirkan mayat-mayat yang kau tinggalkan. Tetapi kenapa kawan-kawan mereka tidak muncul saat kedua orang itu mulai terdesak.” Agung Sedayu termangu-mangu. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan Untara. Namun demikian, ia kemudian berkata, “Kakang, semuanya nampak kabur bagiku. Tetapi orang yang membunuh lawanku dari Gunung Kendeng itupun tidak berusaha bertempur bersamanya saat-saat ia terdesak. Justru ia berusaha membunuhku dari jarak jauh. Ketika ia gagal, maka ia malah membunuh orang Gunung Kendeng itu sendiri dengan anak panahnya.” Untara menarik nafas dalam-dalam. Persoalan yang dihadapinya adalah persoalan yang rumit. Namun dengan deniikian, ia yakin bahwa memang ada orang yang berdiri dibalik segala peristiwa ini. Tetapi ia tidak dapat mempergunakan sekedar keterangan Agung Sedayu dan Sabungsari saja. Karena mereka berdua dapat saja bersepakat untuk menyebut seseorang yang mereka inginkan untuk dilibatkan dalam persoalan ini. “Agung Sedayu,“ berkata Untara kemudian, “aku sudah mendengar semua laporanmu. Aku sudah melihat Sabungsari yang terluka parah. Akupun melihat arena pertempuran itu. Tetapi aku tidak melihat mayat yang kau katakan. Dan aku tidak mendapatkan petunjuk apapun juga, dengan siapa kalian bertempur, selain keterangan yang kau berikan.” “Kakang,“ berkata Agung Sedayu, “demikianlah kenyataan yang aku hadapi sekarang. Sebagai seorang yang mengalami, aku melaporkan hal ini kepadamu, karena kau adalah Senapati didaerah ini. tetapi persoalan selanjutnya terserah kepada kakang Untara. Apakah ada jalan untuk mengusutnya, atau kakang menganggap bahwa hal ini adalah satu peristiwa yang dapat dilupakan begitu saja.” Wajah Untara menegang. Katanya kemudian, “Agung Sedayu. Kau sudah cukup dewasa. Kau tidak dapat merengek lagi seperti saat kau masih kanak-kanak. Merajuk dan marah-marah. Adalah kebetulan bahwa Senapati didaerah ini adalah kakakmu. Tetapi itu bukan berarti bahwa aku dapat berbuat apa saja untuk kepentinganmu. Aku tetap seorang Senapati dengan siapapun aku berhadapan.” “Justru itu kakang,“ sahut Agung Sedayu, “aku menyerahkan persoalan ini kepadamu. Bukan lagi sebagai kanak-kanak yang mengurungkan permintaannya karena harus menunggu. Tidak. Aku memang hanya dapat menyerahkan segalanya kepada kakang Untara sebagai seorang Senapati didaerah ini. Bukan sebagai seorang kakak.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun mengangguk-angguk kecil sambil berkata, “Aku akan menyelidiki persoalan ini. Tetapi sampai berapa jauh langkah yang dapat aku ambil, aku masih belum tahu. Karena kau sudah menyebut nama dari mereka yang tersangkut persoalan ini, maka aku akan memperhatikannya. Melihat tanda-tanda dan kemungkinan-kemungkinan padanya. Mudahmudahan aku mendapat bukti yang cukup untuk berbuat sesuatu, sehingga aku bukannya orang yang bertindak hanya karena perasaan yang sedang bergejolak. Apalagi menyangkut seseorang yang kebetulan adalah keluargaku sendiri.” Agung Sedayu termenung sejenak. Ia mengerti sikap kakaknya. Dalam keadaan yang bagaimanapun juga, dihadapan siapapun juga, kakaknya adalah seorang prajurit. Karena itu, ia memang tidak mengharap sikap kakaknya itu dapat digerakkan justru karena ia adalah adiknya. Sejenak semula Agung Sedayu memang ingin membawa persoalan itu karena persoalannya menyangkut nama beberapa orang prajurit Pajang di Jati Anom. Ketika Untara menganggap bahwa ia sudah cukup bahan untuk meneliti persoalan itu, maka iapun segera icembali ke Jati Anom diikuti oleh para pengiringnya dan Agung Sedayu. Disepanjang jalan tidak banyak yang mereka bicarakan, karena masing-masing sedang sibuk dengan angan-angan mereka sendiri. Ketika mereka memasuki gerbang rumah Untara di Jati Anom, langit sudah menjadi semburat merah. Dipepohonan telah terdengar kicau burung-burung liar. Merdu dan riang. Seperti kanak-kanak yang bermain-main kejar-kejaran. Saling berteriak dengan lepas. Agung Sedayu hanya sejenak duduk dipendapa. Ia melihat kakaknya menjadi murung dan merenung. Karena itu, iapun kemudian minta ijin untuk pergi menengok Sabungsari yang terluka. “Lihatlah. Tetapi jika ia masih tidur, jangan kau bangunkan.“ pesan Untara. Agung Sedayupun kemudian meninggalkan kakaknya yang duduk dipendapa dengan beberapa orang perwira terdekat. Agung Sedayu tidak tahu apa yang dibicarakannya kemudian. Namun agaknya menyangkut laporan yang telah diberikan kepada Untara. Meskipun dugaan itu benar, tetapi ternyata Untara cukup berhati-hati. Ia tidak menyebut nama seseorang didalam lingkungannya. Ia hanya mengatakan kepada para pembantunya, apa yang dilihatnya, bahwa adiknya bersama Sabungsari mengalami peristiwa yang menimbulkan perselisihan di bulak. Tetapi mereka tidak menemukan mayat yang ditinggalkan oleh Agung Sedayu didekat arena pertempuran itu. “Aku harus benar-benar memilih orang yang dapat dipercaya untuk mendengar bahwa Ki Pringgajaya

dianggap tersangkut dalam hal ini,“ berkata Untara kepada diri sendiri. Sementara itu, Agung Sedayu yang masuk kedalam gandok terkejut melihat keadaan Sabungsari. Ternyata anak muda itu menjadi sangat pucat. Sekali-sekali terdengar Sabungsari yang sudah terbangun meskipun matanya masih terpejam itu berdesis menahan sakit. “Sabungsari,“ suara Agung Sedayu lemah sekali agar tidak mengejutkan Sabungsari yang sedang mengalami kesakitan. Sabungsari membuka matanya. Dilihatnya Agung Sedayu berdiri disebelah pembaringannya. “Bagaimana keadaanmu ?“ bertanya Agung Sedayu yang kemudian duduk disebelah Sabungsari. “Dadaku serasa semakin sakit. Lukaku menjadi panas. Dan pernafasanku kian menjadi sesak,“ jawab Sabungsari perlahan-lahan. “Kau sudah diobati ?“ bertanya Agung Sedayu pula. “Ya. Tetapi nampaknya prajurit yang menjadi juru pangupakara itu tidak begitu banyak berpengharapan tentang kesehatanku.” “Ah, apa benar begitu ? Aku lihat lukamu saat kau bertempur dengan Carang Waja lebih parah lagi,“ desis Agung Sedayu. Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia Kemudian berkata, “Aku kira semula juga begitu Agung Sedayu. Tetapi prajurit itu agaknya sangat mengenal jenis-jenis luka. Ketika ia melihat lukaku, maka iapun langsung dapat menilai, meskipun ia belum mengatakannya. Pada wajahnya aku melihat, bahwa ia sangat cemas melihat keadaanku, yang semula aku kira tidak separah lukaku saat aku telah bertempur melawan Carang Waja.” Agung Sedayu menjadi tegang. Tetapi Sabungsari benar-benar nampak pucat. Nafasnya menjadi sendat dan luka itu nampaknya terasa sangat sakit. “Apakah prajurit itu akan datang lagi mengobatimu ?“ bertanya Agung Sedayu. “Ya. Ia akan datang, dan memberikan obat yang akan aku minum. Mudah-mudahan dengan demikian sakitku akan berkurang,“ berkata Sabungsari dengan menahan sakit. Agung Sedayu menjadi gelisah. Tetapi jika prajurit itu datang lagi dan memberikan obat yang lain, mungkin sakit itu akan berkurang. “Cobalah beristirahat sebanyak-banyaknya Sabungsari,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “hari telah pagi. Mungkin sebentar lagi prajurit itu akan datang.”

Sabungsari mengangguk. Tetapi iapun kemudian berkata, “Engkaupun harus beristirahat Agung Sedayu. Jika kau paksa dirimu untuk berbuat sesuatu diluar kemampuan tubuhmu, maka kaupun akan menjadi sakit.” Agung Sedayu mengangguk sambil berdesis, “Aku tidak berbuat apa-apa Sabungsari. Kaulah yang harus beristirahat.” Sabungsari mengerutkan keningnya. Namun ia mencoba tersenyum sambil berkata, “Kau memang seorang yang luar biasa. Kau tentu mempunyai daya tahan yang luar biasa pula. Meskipun kau harus berbuat seperti yang kau lakukan ini tiga hari tiga malam, kau tidak akan merasa lelah.” “Ah. Apakah kelebihanku ? “ gumam Agung Sedayu. Sabungsari tidak menjawab. Tetapi ia kemudian mengatupkan giginya menahan perasaan sakit yang menyengat di lukanya. Namun ia tidak mengeluh. Dengan tabah ia menunggu prajurit yang memberinya obat, yang sanggup datang lagi dengan obat yang lain, yang harus diminumnya. Agung Sedayu tidak meninggalkan bilik itu. Iapun kemudian berkisar dan duduk diamben bambu yang lain. Rasa-rasanya ia melihat keadaan yang sangat gawat pada Sabungsari. Meskipun Sabungsari menahan diri untuk tidak mengaduh, tetapi pada wajahnya nampak, betapa ia menahan sakit. “Apakah senjata orang Gunung Kendeng itu mengandung racun yang khusus? “ pertanyaan itu mulai mengganggunya. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat berbuat sesuatu. Ia hanya dapat menunggu, apa yang akan dilakukan oleh orang yang mengerti tentag keadaan Sabungsari itu. Ketika matahari mulai naik kekaki langit, maka orang yang dimaksud oleh Sabungsari itupun benarbenar datang. Seorang prajurit yang memiliki pengetahuan tentang obat-obatan dan yang oleh Untara memang dibebani tugas memelihara dan mengobati prajurit-prajurit yang sakit dan yang terluka dipeperangan. Orang itu termangu-mangu sejenak melihat Agung Sedayu yang berada di dalam bilik itu pula. Namun kemudian ia berkata, “Apakah kau tidak memberinya kesempatan untuk beristirahat ?” “Aku tidak mengganggunya, “sahut Agung Sedayu, “ketika aku masuk kedalam bilik ini, Sabungsari sudah terbangun.” “Beri kesempatan ia beristirahat sebanyak-banyaknya. Luka-lukanya sangat parah dan berbahaya baginya. Karena itu, kita semuanya harus membantu agar ia

mendapatkan ketenangan dan beristirahat sebanyak-banyaknya. Aku harap bahwa dengan demikian, betapapun kecil artinya, akan dapat membuat keadaannya semakin baik, setidak-tidaknya tidak menambah keadaannya menjadi semakin parah.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia bertanya dengan berhati-hati, “Bagaimana keadaannya ?” Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun menggelengkan kepalanya tanpa menjawab sepatah katapun. Agung Sedayu benar-benar menjadi cemas. Menurut Prajurit itu, keadaan Sabungsari benar-benar telah gawat. Padahal menurut pendapatnya, Sabungsari hanya terlalu banyak mengeluarkan darah, sehingga jika ia masih dapat bertahan dan mendapat kesempatan pengobatan yang baik, keadaannya akan berangsur baik. Meskipun membutuhkan waktu, namun keadaannya tidak akan membahayakan jiwanya. Dengan ragu-ragu Agung Sedayu yang mendekati prajurit itu bertanya, “Apakah ada semacam racun didalam tubuhnya karena senjata lawan ?” Orang itu menegang. Namun kemudian sambil menggeleng ia berkata, “Yang memberatkannya, bahwa ada beberapa jalur urat yang terpotong oleh senjata lawan. Meskipun tidak beracun, tetapi ternyata telah menumbuhkan keadaan yang sulit baginya. Tetapi sudahlah. Biarlah aku dapat mengobatinya dengan tenang. Tolong, jangan ganggu aku dengan pertanyaan-pertanyaan.” Agung Sedayu menarik nafas panjang. Iapun kemudian bergeser menjauh dan duduk diamben bambu yang lain didalam bilik itu. Sementara prajurit itu mencoba memberikan obat yang baru pada luka itu. Kemudian mempersilahkan Sabungsari untuk minum obat yang berwarna hijau kental. “Mudah-mudahan obat-obatan ini menolongmu,“ berkata prajurit itu, “setidak-tidaknya akan memperingan penderitaan.” Dengan dibantu oleh prajurit itu, Sabungsari mengangkat kepalanya. Kemudian meneguk obat yang berwarna hijau itu sampai habis. “Beristirahatlah. Tidurlah sebanyak-banyaknya dapat kau lakukan,“ berkata prajurit itu. Sabungsari mengangguk kecil. Jawabnya lirih, “Aku akan mencobanya.” Prajurit itu kemudian berdiri termangu-mangu. Sekali-sekali ia berpaling kepada Agung Sedayu yang masih duduk ditempatnya. Kemudian katanya, “Lebih baik Sabungsari kau tinggalkan seorang diri.” Agung Sedayu menarik nafas panjang. Namun iapun kemudian bangkit dan melangkah keluar dari dalam bilik itu. Agung Sedayu tertegun ketika ia melihat Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Namun anak itupun kemudian berlari-lari menyongsongnya.

“Bagaimana keadaannya ?“ bertanya Glagah Putih. Agung Sedayu menjawab dengan nada datar, “Keadaannya sangat sulit.” Glagah Putih masih akan bertanya lagi. Tetapi suaranya terputus ketika ia mendengar sendiri suara Sabungsari mengeluh pendek dibalik dinding. Tetapi ketika ia melangkah mendekati pintu, Agung Sedayu menggamitnya sambil menggeleng, “Jangan masuk. Ia sedang diobati.“ Glagah Putih mengurungkan niatnya. Bahkan kedua anak muda itupun justru turun kehalaman dan melangkah mendekati pendapa meskipun mereka tidak naik. Pendapa itu sudah sepi. Ternyata Untara sudah tidak duduk lagi bersama beberapa orang perwiranya. Agaknya iapun merasa lelah dan beristirahat. Untuk beberapa saat, Agung Sedayu dan Glagah Putih yang berjalan dihalaman itu tidak berkata sepatahpun. Namun tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis, “Hatiku kurang mapan Glagah Putih.“ “Kenapa kakang ?“ bertanya Glagah Putih. “Bukan karena aku tidak percaya kepada prajurit yang mengobati luka Sabungsari. Iapun tentu mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang cukup tentang obat-obatan. Tetapi karena aku bergaul dan berguru kepada Kiai Gringsing, aku sangat mengaguminya. Juga tentang obat-obatan.” “Maksud kakang ?” “Kita ke Sangkal Putung lagi,“ jawab Agung Sedayu. “Sekarang ? “ “Ya.“ Agung Sedayu mengangguk. Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Jika kakang menghendaki, marilah. Kita minta diri kepada kakang Untara.” “Tidak. Jangan berkata kepada siapapun. Juga tidak kepada kakang Untara. Aku takut, kalau perasaan kakang Untara tersinggung, karena seolah-olah aku tidak mempercayai orang yang ditugaskannya.” “Jadi bagaimana ?“ bertanya Glagah Putih. “Kita pergi dengan diam-diam. Atau kita minta diri kembali kepadepokan. Tetapi kita terus ke Sangkal Putung.”

Ternyata Glagah Putihpun dapat mengerti. Karena itu, maka iapun selalu menjaga diri, agar ia tidak salah ucap ketika mereka berdua kemudian mencari Untara yang sudah berada dibiliknya. “Sekali-sekali kau harus datang menengok Sabungsari,“ berkata Untara, “ia akan tetap berada disini sampai ia sembuh. Baru kemudian ia akan kembali ke baraknya.” “Ya kakang. Aku akan selalu datang. Akupun akan minta diri dahulu kepadanya sebelum aku berangkat.” “Hati-hatilah di jalan,“ berkata Untara kemudian, “meskipun jarak kepadepokan tidak begitu jauh, tetapi sesuatu akan dapat terjadi.” “Ya kakang,“ jawab Agung Sedayu, “aku akan selalu berhati-hati. Aku akan melalui jalan yang paling sibuk dilalui orang.” “Mudah-mudahan kau tidak mengalami kesulitan lagi dijalan atau dirumahmu,“ berkata Untara kemudian. Bahkan ia menambahkan, “Jika kau berada didalam satu lingkungan, maka keadaanmu tentu akan berbeda. Kau yang tidak menjadi poros persoalan, justru selalu mengalami gangguan dan kesulitan. Berbeda dengan mereka yang berada dalam satu lingkungan tertentu. Maka setiap usaha mencelakaimu tentu akan dipikirkan jauh lebih masak dari yang kau alami sekarang.” Agung Sedayu termangu-mangu, sementara kakaknya berkata terus, “Misalnya, kau seorang anak kepala Tanah Perdikan. Dengan pasukan pengawal Tanah Perdikan, maka orang lain tidak semudah mengambil tindakan terhadap seorang yang seakan-akan hanya sebatang kara seperti kau. Atau kau mempunyai kedudukan seperti Swandaru dengan anak-anak muda pengawal Kademangan. Lingkungannya tentu lebih aman daripada lingkungan padepokanmu. Apalagi jika kau berada dilingkungan keprajuritan. Bahwa Sabungsari saat ini mengalami, justru ia dengan sengaja menyongsong bahaya, karena ia ingin membantumu.” Agung Sedayu menundukkan kepalanya. “Cobalah kau teliti setiap peristiwa yang telah terjadi disekitarmu, dan orang-orang yang pernah kau kenal. Siapakah yang paling banyak menjadi sasaran tindakan seperti yang baru saja terjadi. Bukan Swandaru. Bukan Raden Sutawijaya, bukan Pangeran Benawa. Tetapi justru kau. Kau yang setiap kali sengaja atau tidak sengaja terlibat dalam benturan-benturan kekerasan, sementara kau seakan-akan tidak mempunyai latar belakang kekuatan tertentu selain dirimu sendiri dan sebanyak-banyaknya guru dan saudara seperguruanmu.” Agung Sedayu tidak menjawab. Kepalanya masih tertunduk. Sementara ia tidak dapat ingkar, bahwa sebagian terbesar dari yang dikatakan oleh kakaknya itu benar. Namun demikian, ia masih belum berhasil memantapkan sikapnya yang pecah kembali setelah

beberapa saat lamanya, ia hampir-hampir mencapai kemantapan untuk menjadi seorang prajurit. Sejenak kemudian, maka Agung Sedayupun meninggalkan kakaknya yang kembali masuk kedalam biliknya untuk beristirahat meskipun matahari sudah mulai menjenguk dibalik garis cakrawala. Namun Agung Sedayu masih memerlukan singgah sejenak di bilik Sabungsari. Kegelisahannya jadi bertambah-tambah melihat keadaan prajurit muda yang semakin gawat itu. Sekali-sekali terdengar Sabungsari berdesah menahan sakit. “Kau tinggalkan sajalah,“ berkata prajurit yang merawatnya. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun kemudian minta diri kepada Sabungsari untuk sesaat menengok padepokannya. Sambil mengangguk kecil Sabungsari menjawab, “Kau nanti mau datang lagi menengokku?” “Tentu Sabungsari. Aku tidak terlalu lama. Aku akan datang setiap kali. Mudah-mudahan keadaanmu cepat berangsur baik.” Sabungsari mencoba tersenyum. Tetapi keadaannya nampak semakin gawat. Sebenarnya Agung Sedayu tidak sampai hati meninggalkan Sabungsari dalam keadaan seperti itu. Tetapi ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Ia tidak tahu, bagaimana sebaiknya memperlakukan Sabungsari. Didalam bilik itu sudah ada seorang prajurit yang memang mendapat tugas karena pengetahuannya tentang obat-obatan, untuk mengobati kawan-kawannya yang terluka, atau menderita sakit. Dipeperangan atau dimanapun juga. “Ia lebih diperlukan daripada aku pada saat-saat seperti ini,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Namun kemudian, “Barang kali kehadiran Kiai Gringsing akan dapat membantunya. Mungkin prajurit itu dapat memperbincangkan keadaan Sabungsari dengan Kiai Gringsing yang juga ahli didalam hal pengobatan.” Sejenak kemudian maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah meninggalkan rumah Untara. Mereka berkuda menyusuri jalan-jalan-jalan padukuhan. Namun ketika mereka sudah berada di bulak, maka merekapun Segera memacu kuda mereka, menuju ke Sangkal Putung. Mereka berharap agar tidak seorangpun yang melihat mereka dan mengetahui maksud kepergian mereka yang sebenarnya, karena mereka tidak ingin menyinggung perasaan prajurit yang mendapat tugas mengobati Sabungsari dan juga Untara yang telah memerintahkan prajurit itu melakukan kewajibannya. Tetapi terdorong oleh kegelisahannya, maka ternyata Agung Sedayu telah mengambil sikap sendiri. Kedua ekor kuda itu berpacu semakin lama semakin cepat.

Ternyata Glagah Putihpun seorang anak muda yang trampil. Ia yang justru berada didepan, telah berpacu seperti angin. Namun Glagah Putihpun memperlambat laju kudanya ketika Agung Sedayu mencegahnya sambil berkata, “Jangan terlalu cepat, agar tidak menarik perhatian banyak orang.” Meskipun mereka, masih berpacu, tetapi tidak lagi seperti dikejar hantu. Glagah Putih yang berada didepan masih harus menguasai perasaannya. Bukan saja karena kegelisahannya, tetapi kemudaannya itulah yang mendorongnya untuk berpacu. Seolah-olah ia mendapat kesempatan untuk bermain-main dengan kudanya disepanjang bulak panjang. Sangkal Putung memang tidak terlalu jauh. Tetapi juga bukan jarak yang terlalu dekat. Karena itu, maka merekapun memerlukan waktu untuk mencapai Kademangan itu. Kedatangan Agung Sedayu di Sangkal Putung telah mengejutkan gurunya, Ki Demang dan penghunipenghuni yang lain. Baru saja Agung Sedayu kembali ke Padepokannya. Tiba-tiba saja ia telah berada kembali di Sangkal Putung dengan wajah yang gelisah. Tetapi Agung Sedayu berusaha untuk menghilangkan kesan itu dari wajahnya. Kepada Glagah Putihpun ia sudah memberikan pesan, bagaimana seharusnya mengatakan persoalan yang terjadi itu kepada Kiai Gringsing dan kepada orang-orang lain yang bertanya kepadanya. “Ada yang harus disembunyikan,“ pesan Agung Sedayu. Dan agaknya Glagah Putihpun dapat mengertinya. “Agaknya hal-hal semacam inilah yang kadang-kadang aku tidak boleh mendengarnya,“ berkata Glagah Putih didalam hatinya. Meskipun kemudian Agung Sedayu mengatakan keadaan Sabungsari, tetapi Agung Sedayu tidak dengan terbuka mengatakan sebab-sebabnya. Ia hanya mengatakan, bahwa Sabungsari telah bertengkar dengan orang yang tidak dikenal, yang agaknya telah mendendamnya sejak lama. “Apakah tidak ada orang yang mengobatinya ?“ bertanya Ki Demang. “Sudah Ki Demang,“ jawab Agung Sedayu, “ia kini berada dibawah perawatan seorang prajurit yang memang bertugas untuk mengobatinya dirumah kakang Untara. Tetapi keadaannya nampaknya justru menjadi semakin gawat. Karena itu, aku ingin mengharap guru dapat pergi ke Jati Anom. Mungkin guru dapat memberikan beberapa pertimbangan kepada prajurit yang merawatnya itu.” Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Sabungsari termasuk seorang prajurit yang memiliki kelebihan. Ia berhasil membunuh Carang Waja. Karena itu, maka orang-orang yang mendendamnya itu tentu bukan kebanyakan orang, sehingga ia berhasil melukai Sabungsari sehingga agaknya luka itu parah benar.”

“Dua orang murid dari Gunung Kendeng,“ berkata Agung Sedayu. “Gunung Kendeng,“ Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. “Ya guru. Dua orang yang datang dari Gunung Kendeng. Mereka telah berhasil melukai Sabungsari.” Agung Sedayu kemudian mencoba meyakinkan, bahwa prajurit yang mengobati anak muda itu agaknya menemui kesulitan. “Prajurit yang merawatnya itu nampak gelisah,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “agaknya ia melihat kegawatan pada luka itu.” Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku akan pergi. Tetapi apakah dengan demikian, aku tidak menyinggung perasaannya ?” “Mungkin guru. Tetapi mungkin juga tidak. Bahkan mungkin ia akan berterima kasih. Akupun tidak mengatakan kepada mereka, bahwa aku akan datang kemari menjemput guru.” Kiai gringsing mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Marilah. Aku akan pergi bersamamu.” Kiai Gringsingpun kemudian minta diri kepada Ki Demang Sangkal Putung dan anak menantunya. Ia akan pergi ke Jati Anom untuk suatu kepentingan yang khusus. Jika keadaan Sabungsari menjadi segera baik, maka iapun akan mempertimbangkan kemungkinan untuk kembali lagi ke Sangkal Putung. Setelah Kiai Gringsing berkemas, maka mereka bertigapun meninggalkan Sangkal Putung. Meskipun mereka akan kemalaman di jalan, tetapi mereka tidak akan membuang waktu terlalu banyak. Bahkan kedatangan mereka dimalam hari, tidak akan banyak menarik perhatian orang lain. Demikianlah, maka ketiga orang itupun berpacu menyusur jalan menuju ke Jati Anom. Mereka berpacu melalui bulak-bulak panjang, lewat jalan yang menyusuri tepi hutan, menyusup beberapa padukuhan dan menyeberangi beberapa jalur sungai. “Apakah kedatanganku tidak akan mengejutkan ?“ bertanya Kiai Gringsing. “Mungkin,“ jawab Agung Sedayu, “tetapi aku mengharap bahwa kehadiran guru sangat diperlukan.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia menyadari kemungkinan yang dapat dilakukan, meskipun segala sesuatunya tergantung kepada Yang Maha Kuasa. Perjalanan mereka bertigapun tidak mengalami gangguan diperjalanan. Jalan-jalan yang sepi dan gelap, mereka lalui tanpa hambatan. Tidak seperti yang terjadi pada Agung Sedayu di hari sebelumnya. Glagah Putih yang berkuda dipaling depan memacu kudanya meskipun tidak dalam kecepatan penuh. Iapun mengerti, bahwa Sabungsari memerlukan pertolongan secepatnya. Mungkin kehadiran Kiai

Gringsing akan dapat merubah keadaan Sabungsari, karena Kiai Gringsing akan dapat memberikan pertimbangan kepada prajurit yang merawat luka Sabungsari itu. Demikianlah, ketika malam menjadi semakin dalam, maka mereka bertiga telah mendekati Jati Anom. Mereka lidak singgah lebih dahulu dipadepokan kecil mereka, tetapi mereka bertiga langsung pergi kerumah Untara. Kedatangan mereka memang telah menarik perhatian. Para prajurit yang bertugas, melihat kedatangan Kiai Gringsing dengan sepercik harapan. Menurut pengamatan mereka, Sabungsari agaknya justru menjadi semakin gawat. “Bagaimana keadaannya ?“ bertanya Agung Sedayu kepada seorang prajurit yang sudah dikenalnya. Prajurit itu menggeleng lemah. Katanya, “Harapannya sangat tipis. Aku mendengar sendiri, prajurit yang mengobatinya itu melaporkan keadaannya kepada Ki Untara, di muka gandok, ketika prajurit itu minta diri untuk beristirahat sebentar setelah sehari penuh ia berjuang untuk keselamatan Sabungsari.” “Siapa yang menunggui Sabungsari sekarang ?“ bertanya Agung Sedayu. “Tidak ada. Kami bergantian menengoknya. Mungkin ia memerlukan air atau mungkin ia ingin mengatakan sesuatu,“ jawab prajurit itu. “Bagaimana dengan kakang Untara ?“ bertanya Agung Sedayu pula. “Ki Untara menunggui sampai senja. Tetapi ia sekarang masuk keruang dalam.” “Katakan kepada kakang Untara. Aku datang dengan Kiai Gringsing. Apakah Kiai Gringsing diperkenankan melihat keadaan Sabungsari.” Prajurit itupun mengangguk. Dipersilahkannya Agung Sedayu duduk dipendapa, sementara iapun menyampaikan kedatangan Agung Sedayu kepada prajurit pengawal khusus bagi Untara yang bertugas menjaga dan melayani keselamatan dan segala kepentingannya beserta keluarganya. Prajurit itupun segera berusaha menyampaikan kedatangan Agung Sedayu kepada Untara. Prajurit itu sama sekali tidak ragu-ragu, karena ia tahu, bahwa Agung Sedayu adalah adik Untara yang datang membawa Sabungsari yang terluka parah itu. Untara yang sudah masuk kedalam biliknya itupun sebenarnya sudah mulai memejamkan matanya. Tetapi kedatangan adiknya itupun telah menarik perhatiannya. Apalagi ketika prajurit itu mengatakan, bahwa Agung Sedayu tidak datang hanya dengan Glagah Putih.

“Dengan siapa lagi ia datang ?“ bertanya Untara. “Dengan Kiai Gringsing,“ jawab prajurit itu. “Kiai Gringsing ?“ Untara mengerutkan keningnya. Lalu, “Jadi Agung Sedayu menganggap bahwa perawatan yang aku berikan kurang memadai, sehingga ia telah memanggil gurunya. Aku kira ia tadi pagi tidak langsung kembali kepadepokan kecilnya, tetapi anak itu telah pergi ke Sangkal Putung.” Prajurit yang menyampaikan kabar kedatangan Agung Sedayu itu tidak menjawab. “Baiklah. Aku akan menemuinya,“ geram Untara. Setelah membenahi pakaiannya sejenak, maka Untarapun telah pergi kependapa. Seperti yang dikatakan oleh prajurit yang melaporkan kedatangan Agung Sedayu kepadanya, ternyata bahwa Agung Sedayu tidak hanya datang berdua dengan Glagah Putih. Setelah menyampaikan salam keselamatan seperti bagaimana kebiasaan yang berlaku, maka Untarapun segera bertanya kepada Agung Sedayu, “Agung Sedayu, apakah kau memanggil Kiai Gringsing ke Sangkal Putung, atau kebetulan saja Kiai Gringsing telah kembali kepadepokan. Menurut keteranganmu. Kiai Gringsing masih berada di Sangkal Putung.” “Ya kakang. Kiai Gringsing mendengar berita tentang keadaan SabungsEiri dari aku. Aku telah datang ke Sangkal Putung bersama Glagah Putih dan minta agar Kiai Gringsing sudi datang barang sejenak untuk menengok Sabungsari.” “Sabungsari telah berada dibawah perawatan seorang yang mumpuni didalam bidangnya. Apakah kau meragukannya ?“ bertanya Untara. Pertanyaan itu telah mendebarkan jantung. Bukan saja Agung Sedayu dan Glagah Putih. Tetapi juga Kiai Gringsing. Namun Agung Sedayu berusaha menjawab dengan hati-hati, “Kakang. Aku sama sekali tidak meragukan kemampuan prajurit itu. Tetapi apa salahnya kita berusaha. Aku melihat keadaan Sabungsari yang menjadi semakin gawat. Mungkin kedatangan Kiai Gringsing dapat diajak berbincang oleh prajurit yang merawatnya. Mungkin ada satu dua jenis obat yang semula tidak terpikir oleh prajurit itu, namun dalam pembicaraan dengan Kiai Gringsing, ia akan teringat karenanya. Atau kemungkinan-kemungkinan lain yang akan terdapat lebih banyak dari dua orang yang sama-sama mempunyai kemampuan dibidang yang sama, dari pada hanya seorang saja.” “Tetapi jika mereka berselisih pendapat, dan masing-masing berkeras hati dengan satu keyakinan bahwa ia akan dapat menyembuhkannya ?“ bertanya Untara. “Bukankah prajurit itu yang menerima tanggung jawab dari kakang Untara sebagai seorang Senapati

didaerah ini ? Jika Kiai Gringsing hadir disini, maka ia tidak lebih dari seorang yang sekedar dapat memberikan pertimbangan yang tidak menentukan,“ jawab Agung Sedayu. Untara menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian menyadari, bahwa setiap usaha wajib dilakukan. Keadaan Sabungsari memang bertambah gawat. Karena itu, Untarapun akhirnya tidak menyatakan keberatannya, bahwa Kiai Gringsing memberikan pendapatnya bagi kebaikan Sabungsari. Namun Untara masih berpesan, “Tetapi segala sesuatunya dibawah tanggung jawab prajurit itu. Jika Kiai Gringsing melihat satu kemungkinan yang baik bagi Sabungsari, Kiai harus membicarakannya dengan prajurit itu. Dengan demikian, maka keadaan Sabungsari tetap berada dalam tanggung jawab dari satu tangan. Tidak akan ada saling tuduh menuduh dan saling menyalahkan apabila terjadi kegagalan. Karena setiap usaha itu mengandung kemungkinan untuk gagal.” “Baik ngger,” berkata Kiai Gringsing, “aku mengerti bahwa yang dapat aku lakukan tidak lebih baik dari yang dapat dilakukan oleh orang lain. Karena itu, maka aku akan mentaati segala perintah angger sebagai penanggung jawab keseluruhan didalam lingkungan keprajuritan. Memang keadaan angger Sabungsari agak berbeda dengan keadaan angger Untara dalam perjalanan ke Sangkal Putung dari Jati Anom, pada saat Tohpati masih berada disekitar Kademangan itu. Saat itu, tidak ada pilihan lain bagi angger untuk menyerahkan pengobatan luka angger kepadaku, karena tidak ada seorang petugas khusus seperti saat ini.” Untara menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga ia harus mengakui, bahwa Kiai Gringsing pernah berusaha dengan segenap kemampuan untuk menyelamatkan nyawanya. Dan ternyata dukun tua itu berhasil mengobati lukanya yang sangat parah. Karena itu, maka Untarapun kemudian berkata, “Jika Kiai ingin melihatnya, silahkan.” Kiai Gringsingpun kemudian diikuti oleh Agung Sedayu turun kehalaman, melintasi longkangan dan naik kegandok. Sementara Glagah Putih oleh Kiai Gringsing diminta untuk tinggal diserambi gandok agar tidak membuat udara didalam gandok itu terlalu panas. “Nanti sajalah kau menengoknya ngger,“ berkata Kiai Gringsing. Glagah Putih tidak membantah. Ia sudah cukup mengerti, bahwa sebaiknya ia memang berada diluar saja. Seorang prajurit yang kebetulan berada disisi Sabungsaripun kemudian berdiri dan meninggalkannya. “Bagaimana keadaannya ?“ bertanya Glagah Putih yang ada diluar. “Baru saja ia minta seteguk air. Tetapi keadaannya memang semakin parah,“ jawab prajurit itu. Dalam pada itu, Kiai Gringsingpun segera melihat keadaan Sabungsari yang lemah. Namun ketika

anak muda itu melihat kehadiran Kiai Gringsing, wajahnya menjadi semburat merah. Terdengar ia berdesis, “Selamat datang Kiai. Kedatangan Kiai memberikan harapan kepadaku.” “Bukankah angger telah mendapat perawatan sebaik-baiknya ?“ bertanya Kiai Gringsing. Sabungsari menyeringai menahan sakit. Jawabnya lemah, “Tetapi baginya, keadaanku tidak dapat diharapkan lagi.” Kiai Gringsing tidak menjawab. Namun kemudian dicobanya melihat luka Sabungsari. Sejenak nampak wajah Kiai Gringsing menegang. Menilik keadaannya, maka Sabungsari memang berada dalam keadaan yang dapat membahayakan jiwanya. Sejenak Kiai Gringsing merenungi keadaan anak muda itu. Dengan hati-hati ia meraba keadaan disekitar luka yang gawat itu. Kemudian dengan saksama ia melihat warna-warna merah yang terdapat disekitar luka itu. Kiai Gringsingpun kemudian mengagguk-angguk. Ada kesan yang meragukan jiwanya. “Selain obat pada luka-lukanya, apakah kau juga mendapat obat yang harus kau minum ngger ?“ bertanya Kiai Gringsing. “Ya Kiai. Aku minum obat yang berwarna hijau kental.” “Rasanya ? Asam, pahit atau rasa lain ?“ bertanya Kiai Gringsing. “Agak asam Kiai. Tetapi disamping rasa asam terasa juga seperti terdapat serbuk lembut yang tidak luluh kedalam cairan yang kental itu,“ jawab Sabungsari perlahan-lahan. Lalu. “Dan serbuk itu rasanya agak pahit dan pedas.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi kerut didahinya nampak semakin dalam. Sejenak ia masih termangu-mangu mengamati keadaan Sabungsari. Namun kemudian ipun berdiri sambil menganggukangguk semakin dalam. Agung Sedayu tidak bertanya sepatah katapun. Ia melihat apa saja yang dilakukan oleh Kiai Gringsing. Iapun melihat ketegangan di wajah orang tua itu. Agung Sedayu memandang Kiai Gringsing dengan tegang, ketika Kiai Gringsing kemudian melangkah kegeledeg sudut bilik itu. Diambilnya sebuah mangkuk kosong. Tetapi didasar mangkuk itu masih terdapat sisa cairan yang kental berwarna kehijau-hijauan. Kiai Gringsing membawa mangkuk itu kedekat Sabungsari. Kemudian iapun bertanya, “Apakah obat semacam ini yang sudah kau minum ngger ?”

“Ya Kiai,“ jawab Sabungsari lambat. Kiai Gringsing mengangguk-angguk pula. Dengan jarinya ia meraba cairan itu. Dengan dahi yang berlerut ia memperhatikan dengan saksama dengan rabaan jarinya. Namun kemudian. Kiai Gringsing itupun mengambil sesuatu dari kantong ikat pinggangnya, dan menaburkan isinya berupa serbuk kedalam sisa obat Sabungsari. Beberapa saat Kiai Gringsing menunggu. Namun Agung Sedayu melihat wajah itu semakin menegang. Dengan isyarat Kiai Gringsing memanggil Agung Sedayu mendekat dan melihat kedalam mangkuk itu. Yang dilihat oleh Agung Sedayu, bahwa isi mangkuk itupun kemudian menjadi berbusa. “Apa artinya Kiai ?“ bertanya Agung Sedayu. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun berbisik ditelinga Agung Sedayu, “Ada yang tidak wajar dengan obat ini ngger. Seperti juga keadaan luka itu sendiri.” “Maksud Kiai ? “ kata-kata Agung Sedayu terputus ketika ia melihat Kiai Gringsing berpaling kearah Sabungsari. Tetapi Kiai Gringsing kemudian mengangguk kecil. “Aku sudah menduga, bahwa ada yang tidak wajar. Karena itu aku berkeras untuk pergi ke Sangkal Putung, menjemput guru,“ desis Agung Sedayu. Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Ketika, ia berpaling memandang Sabungsari, dilihatnya prajurit muda itu memejamkan matanya. Namun kerut-merut dikeningnya menunjukkan, betapa ia sedang menahan sakit ditubuhnya. “Kasihan,“ keluh Kiai Gringsing, “apakah dalam keadaan seperti ini aku masih harus menyampaikan persoalan ini kepada prajurit yang merawatnya ? Padahal menurut pendapatku, prajurit itu kurang dapat dipercaya.” Agung Sedayu menjadi tegang. “Guru,“ iapun kemudian bertanya, “jika guru berbuat sesuatu, apakah prajurit itu akan mengetahuinya ?” “Aku kira ia akan mengetahuinya. Nampaknya ia benar-benar ahli didalam bidangnya. Tetapi sayang, bahwa ia telah menyalah artikan kemampuan yang dikuasainya itu,“ desis Kiai Gringsing. “Tetapi mungkin menurut perhitungannya, ia justru telah mempergunakan kemampuannya untuk satu perjuangan yang akan sangat berarti, sesuai dengan keyakinannya,“ sahut Agung Sedayu. “Memang mungkin sekali Agung Sedayu. Tetapi jika kita berdiri berseberangan, aku tidak tahu, apakah yang sebaiknya aku lakukan, mengingat pesan angger Untara. Bahkan segalanya harus dilakukan sepengetahuan prajurit itu.”

“Tetapi kakang Untara tidak mengetahui apa yang telah terjadi,“ berkata Agung Sedayu. “Jadi bagaimana menurut pertimbanganmu ?“ bertanya Kiai Gringsing. “Guru, aku akan berterus terang kepada kakang Untara. Barangkali jalan ini dapat pula dipakai untuk sandaran pengusutan orang yang disebut-sebut oleh dua orang yang terbunuh tetapi mayatnya tidak dapat kita ketemukan itu. Orang-orang yang menyatakan dirinya dari Gunung Kendeng.” “Ki Pringgajaya ?“ bertanya Kiai Gringsing. Agung Sedayu mengangguk. “Aku sependapat Agung Sedayu. Katakan kepada kakakmu. Keadaannya memang harus segera teratasi, agar tidak terlambat. Jika keadaannya menjadi semakin parah, maka ia akan tidak lagi dapat diharapkan karena keterlambatan pengobatan.” “Baiklah guru. Aku akan menghadap kakang Untara sekali lagi. Ia harus meyakini keadaan.“ Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu katanya, “tetapi jika kakang Untara sependapat, apakah guru dapat membuktikan ?” “Aku akan mencoba. Tetapi hasilnya, kami mohon belas kasihan Yang Maha Agung,“ jawab gurunya. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ketika terpandang olehnya wajah Sabungsari yang pucat dengan mata terpejam, maka iapun segera melangkah keluar dari bilik itu. Diserambi Glagah Putih bangkit dan menyongsong, “ Bagaimana kakang ?” “Aku akan menghadap kakang Untara lagi. Aku harus mengatakan sesuatu tentang keadaan Sabungsari,“ jawab Agung Sedayu tanpa berhenti. Glagah Putih tidak bertanya lagi. Ia tahu, Agung Sedayu tergesa-gesa dan gelisah. Karena itu, maka iapun segera kembali duduk disebuah lincak bambu. Namun iapun kemudian berbaring dengan meletakkan kepalanya pada kedua tangannya yang dilipat dibelakang. Dalam pada itu. Agung Sedayupun menemui prajurit yang sedang bertugas. Sekali lagi ia minta untuk dapat bertemu dengan kakaknya, yang baru saja meninggalkan pendapa. Ketika prajurit itu menyampaikan permintaan Agung Sedayu, Untara baru saja menutup pintu biliknya. Betapapun kesalnya, namun iapun melangkah kependapa menemui Agung Sedayu. “Apa lagi yang akan kau katakan ? “ bertanya kakaknya.

Agung Sedayu mengerti, bahwa kakaknya menjadi kesal. Tetapi ia tidak boleh menunda waktu lagi, karena keadaan Sabungsari yang menjadi semakin parah. “Kakang,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “menurut penelitian guru, ada yang tidak wajar dengan pengobatan yang diberikan oleh prajurit itu.” “He,“ Untara mengerutkan keningnya, “bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi ?” “Menurut pengamatan Kiai Gringsing, maka sebenarnya keadaan Sabungsari akan dapat menjadi lebih baik jika ia bertindak jujur dalam bidang pengobatan yang dilakukannya.” “Apa yang diketahui oleh Kiai Gringsing ?“ bertanya Untara pula. “Kiai Gringsing sudah meneliti sisa obat yang diberikan oleh prajurit itu kepada Sabungsari. Kiai Gringsingpun telah meneliti luka-luka pada tubuh prajurit muda itu.” berkata Agung Sedayu. “Begitu mudah untuk membuktikan bahwa obat itu tidak wajar ? Jadi apa menurut Kiai Gringsing, sesuai dengan pengamatannya.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Marilah kakang. Kita dapat bertemu dengan Kiai Gringsing sejenak.” “Tetapi pendapat Kiai Gringsing itupun meragukan,“ bantah Untara. Agung Sedayupun kemudian menceriterakan apa yang sudah dilakukan oleh Kiai Gringsing pada mangkuk tempat sisa obat Sabungsari yang berwarna kehijau-hijauan itu. “Busa itu sudah menunjukkan ketidak wajaran ?” “Ya kakang. Kiai Gringsing dapat melihatnya. Mungkin aku tidak.” “Itu bukan pekerjaan yang mudah Agung Sedayu. Mungkin Kiai Gringsing sudah berprasangka. Atau barangkali hanya karena keadaan Sabungsari yang menjadi semakin parah.” “Mungkin kakang. Tetapi aku yakin, penglihatan Kiai Gringsing bukan sekedar dugaan dan prasangka. Tetapi yang terjadi sekarang ini mirip sekali apa yang pernah terjadi pada kakang Untara sendiri dalam hubungan kakang yang buruk dengan Sidanti. Ternyata Kiai Gringsing juga dapat mengenal, bahwa obat yang akan diberikan kepada kakang oleh Kiai Tambak Wedi lewat Sidanti, adalah racun yang dapat membunuh. Dan racun itu dapat dibuat keras atau lunak. Membunuh dalam sekejap, atau perlahan-lahan,“ desis Agung Sedayu. Sekali lagi perasaan Untara tersentuh. Bagaimanapun juga ia tidak akan dapat ingkar. Kiai Gringsing memang bukan anak kecil yang mulai pandai mengunyah daun metir untuk mengobati luka-luka jari yang tergores pisau didapur, atau sekedar mencari sarang labah-labah hitam disudut-sudut rumah, untuk memampatkan darah tanpa perhitungan sebab dan akibatnya.

Tetapi Kiai Gringsing adalah seorang yang memiliki pengalaman yang cukup dalam bidang yang ditekuninya, disamping olah kanuragan. Karena itu. maka sejenak Untara merenungi masa lampaunya. Dan iapun akhirnya mengakui bahwa setidak-tidaknya Kiai Gringsing tidak akan kalah pengetahuannya dalam bidang pengobatan oleh prajurit yang ditugaskannya merawat Sabungsari. Dengan demikian, maka Untarapun kemudian berkata, “Marilah. Aku akan melihat anak muda itu.” Untarapun kemudian bangkit dan melangkah kebilik tempat Sabungsari terbaring, diikuti oleh Agung Sedayu. Glagah Putih yang duduk diserambi hanya berdiri saja tanpa bertanya sesuatu ketika Untara dan Agung Sedayu lewat. Kemudian ia duduk kembali dengan wajah yang tegang. Didalam bilik itu. Kiai Gringsing duduk disisi Sabungsari yang pucat. Keringat mulai mengembun dikeningnya. Kiai Gringsing menyadari keadaan Sabungsari yang gawat. Namun ia tidak akan berani berbuat sesuatu sebelum Untara memberikan ijinnya. Karena itu, maka ketika ia melihat Untara masuk, maka dengan tergopoh-gopoh ia menyongsongnya. Namun, ia menjadi ragu-ragu untuk mengatakan sesuatu ketika ia melihat wajah Untara yang buram. Tetapi ternyata Untaralah yang bertanya lebih dahulu, “Bagaimana keadaannya Kiai ?” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Keadaannya justru menjadi semakin gawat ngger. Tetapi seharusnya tidak sampai membahayakan jiwanya. Sabungsari telah dapat memampatkan arus darahnya dengan obat yang dibawanya, sehingga sebenarnya ia tidak mengalami kekurangan darah,“ jawab Kiai Gringsing. “Jadi apa yang terjadi sebenarnya ? Katakan seperti yang Kiai ketahui.“ minta Untara. Kiai Gringsing menjadi ragu ragu. Tetapi ia tidak dapat membiarkan keadaan Sabungsari menjadi bertambah gawat. Karena itu, maka iapun kemudian berkata sesuai dengan tanggapannya atas keadaan Sabungsari, “Angger Untara. Biarlah aku berkata menurut pengetahuanku atas keadaan yang aku hadapi. Aku sudah bersumpah kepada diriki sendiri, bahwa aku akan berbuat sebaik-baiknya dengan kecakapanku yang tidak berarti didalam bidang ini. Aku akan berlaku jujur, siapapun yang aku hadapi. Kali ini aku menghadapi angger Sabungsari yang parah. Dan aku minta maaf, bahwa menurut tanggapanku, orang yang angger tugaskan merawat angger Sabungsari sudah berbuat satu kekeliruan.”

Wajah Untara menegang sejenak. Meskipun ia sudah menduga, bahwa hal itulah yang terjadi. Namun ia masih bertanya, “Apakah Kiai dapat membuktikan ?” “Aku sudah melihat hal itu pada sisa obat angger Sabungsari, ngger,“ jawab Kiai Gringsing. “Maksudku, jika Kiai aku persilahkan mengobati, apakah keadaan Sabungsari akan bertambah baik ?“ bertanya Untara pula. “Aku hanya dapat berusaha. Tetapi aku mohon angger mengetahui, bahwa sudah ada kesulitan pada tubuh angger Sabungsari karena pengobatan yang salah. Disengaja atau tidak disengaja.” “Kiai,“ potong Untara, “apakah Kiai berani menuduh, bahwa ada kesengajaan dalam kesalahan ini ? Tuduhan itu mempunyai akibat yang berat, karena Kiai harus membuktikannya.” “Aku akan membuktikan menurut pengetahuan yang ada padaku, ngger. Yang barangkali tidak dapat diterima dengan gamblang oleh orang lain.” “Maksud Kiai ?” “Ada racun didalam obat yang diberikan oleh petugas yang angger perintahkan merawatnya. Aku cenderung untuk mengatakan bahwa hal itu telah disengaja. Bukan satu kesalahan, karena menurut pengamatanku, prajurit itu memang demiliki keahlian dihidang ini pula.” Sabungsari yang mendengar pula percakapan itu menggeretakkan giginya. Namun ketika ia berusaha mengangkat kepalanya. Agung Sedayu menahannya sambil berkata, “Tenanglah. Supaya keadaanmu tidak semakin buruk.” Terdengar Sabungsari mengerang. Ternyata ia memang sudah sangat lemah, sehingga seakan-akan ia sudah tidak mampu bergerak lagi. “Angger Untara,“ berkata Kiai Gringsing, “waktu akan sangat berharga bagi angger Sabungsari. Jika angger berkenan, aka akan mencoba memperbaiki keadaan yang parah itu. Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa mengijinkan pula.” Untara masih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Terserah kepada Kiai. Tetapi apa yang Kiai lakukan akan menuntut akibat jika Kiai gagal, karena Kiai sudah melakukan sesuatu usaha yang dilandasi dengan satu tanggung jawab atas keselamatan jiwa seseorang.” “Aku akan berusaha apapun akibatnya, karena itu bagiku jauh lebih baik daripada aku duduk menunggu menjalarnya racun yang lemah keseluruh tubuh angger Sabungsari.” “Lakukanlah. Aku akan melihat akibatnya,“ berkata Untara kemudian. Kiai Gringsing tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera mempersiapkan segala macam obat yang diperlukan untuk mengatasi keadaan Sabungsari. Agung Sedayulah yang kemudian sibuk membantunya. Ia harus mengambil air dingin ke sumur. Dan bahkan ia harus minta air hangat ke gardu

perondan. Kecuali obat yang harus diminum, Kiai Gringsingpun menyiapkan pula obat yang akan ditaburkan pada luka Sabungsari yang menjadi kemerah-merahan, dan bahkan disekitarnya mulai nampak bintikbintik kebiru-biruan. Pada luka itu. Kiai Gringsing harus memusnahkan akibat racun yang perlahanlahan telah njenjamah daging disekitarnya, seperti juga obat yang telah diminum oleh Sabungsari, yang mempunyai akibat gawat meskipun perlahan-lahan. Dengan demikian Kiai Gringsing harus bekerja dengan hati-hati dan sangat cermat. Bukan saja karena ia harus mempertanggung jawabkan segala akibat yang dapat timbul karena usahanya, tetapi ia sudah berhadapan dengan keselamatan jiwa seseorang. Sambil berdoa didalam hati, Kiai Gringsing mulai dengan usahanya. Dibantu oleh Agung Sedayu ia membersihkan luka Sabungsari yang nampak menjadi sangat parah. Ia tidak dapat menunda barang sekejap. Ternyata yang dilakukan oleh Kiai Gringsing itu membuat Sabungsari menjadi sangat kesakitan. Sekali-sekali terdengar ia mengerang dan berdesis. Tetapi ditangan Kiai Gringsing Sabungsari telah merasakan tumbuhnya, harapan-harapan yang jernih didalam hatinya. Betapapun ia merasakan kesakitan, tetapi ia berjuang untuk mengatasinya. Perjuangan dan harapan Sabungsari itu ternyata banyak membantu Kiai Gringsing. Dengan demikian Kiai Gringsing tidak banyak mengalami kesulitan. Ia harus mengorek luka itu, sehingga berdarah. Kemudian menaburkan obat yang sudah tersedia dibantu oleh Agung Sedayu. Sehingga dengan demikian, maka luka-luka itu mengalami pengobatan baru, setelah obat yang lama dan racun yang ada, hanyut bersama darah yang keluar lagi dari luka itu, sedang sisanya telah ditawarkannya. Namun Kiai Gringsing sangat berhati-hati, agar dengan demikian Sabungsari tidak justru kehabisan darah, dan mengalami malapetaka karena sebab yang lain setelah racun ditubuhnya dapat disingkirkan, dan yang tersisa ditawarkan. Setelah pengobatan pada luka itu selesai, maka Kiai Gringsingpun membantu Sabungsari untuk minum obat yang telah disediakan pula. Sedikit demi sedikit, namun akhirnya obat itu telah dapat ditelannya seluruhnya sesuai derngan takaran yang diberikan oleh Kiai Gringsing. Agung Sedayu yang membantu Kiai Gringsing itu kemudian mengusap peluhnya yang meleleh dikening. Ternyata ia sudah mengalami ketegangan, selama Kiai Gringsing melakukan pengobatan. Agung Sedayu menarik nafas ketika semuanya telah selesai. Iapun kemudian mengemasi alat-alat yang dipergunakan oleh Kiai Gringsing yang kemudian duduk diamben lain bersama Untara yang menungguinya. “Apakah Kiai yakin, bahwa keadaannya akan bertambah baik ?“ bertanya Untara yang ikut mengalami ketegangan pula. “Demikian ngger,“ jawab Kiai Gringsing, “tetapi semuanya tergantung kepada belas kasihan Yang

Maha Agung.” Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia memandangi saja adiknya yang sibuk membersihkan ruang itu. Dan yang kemudian melangkah keluar sambil membawa mangkuk-mangkuk yang baru saja dipergunakan. Ia harus mencuci mangkuk-mangkuk itu dengan bersih, agar sisa-sisa obat dan keperluan-keperluan pengobatan yang lain tidak mengotori mangkuk-mangkuk itu apabila kemudian dipergunakan untuk kepentingan yang lain. “Bantu aku,“ berkata Agung Sedayu kepada Glagah Putih. Glagah Putih tidak menyahut. Iapun kemudian mengikuti Agung Sedayu ke sumur. Beberapa saat lamanya, Agung Sedayu dan Glagah Putih berada di sumur untuk membersihkan alatalat yang dipergunakan oleh Kiai Gringsing. Sementara itu, yang berada didalam ruang bilik Sabungsari telah dikejutkan hadirnya prajurit yang ditugaskan oleh Untara untuk mengobati Sabungsari. Dengan tergesa-gesa prajurit itu meloncat masuk. Dengan tegang ia memandang Kiai Gringsing dan Untara yang terlonjak karena kedatangannya yang tiba-tiba. “Ki Untara,“ bertanya prajurit itu, “apa yang sudah dikerjakan oleh orang tua itu ? Aku mendapat laporan, bahwa orang yang disebut bernama Kiai Gringsing itu telah datang dan memasuki bilik ini. Bahkan ia telah mengganggu orang yang sedang dalam perawatanku.” Untara memandang prajurit itu sejenak. Kemudian katanya, “Aku telah mengijinkannya. Ia mencoba untuk membantu penyembuhan Sabungsari.” “Tetapi ia berbuat tanpa setahuku. Aku yang berharap Sabungsari besok pagi-pagi akan mengalami kemajuan pada kesehatannya, kini harus meragukannya, karena aku tidak yakin, bahwa orang tua itu benar-benar mengerti tentang obat-obatan.” “Sabungsari berada dibawah tanggung jawabnya. Jika ia gagal, maka ia akan menanggung segala akibatnya,“ jawab Untara. “Tetapi apakah ada gunanya ? Seandainya orang itu harus digantung, Sabungsari yang sudah mati akan tetap mati.” “Aku percaya kepada orang tua ini,“ berkata Untara kemudian, “aku sudah memerintahkannya melakukan pengobatan. Aku mengenal orang tua itu dengan baik. Dan ia mempunyai beberapa persoalan dengan obat-obat yang kau berikan. Mungkin satu kekeliruan, tetapi mungkin pula karena kau terlalu tergesa-gesa waktu itu.” “Tidak ada kesalahan apapun dalam pengobatan yang sudah aku berikan,“ berkata prajurit itu. “semuanya berjalan seperti yang aku kehendaki.” “Kau meragukan kesembuhannya,“ tiba-tiba saja Untara berkata, “dan sikap itu telah meragukan aku

pula. Sekarang, biarlah Sabungsari berada dibawah pengobatan Kiai Gringsing. Besok kita akan melihat akibatnya. Dan aku perintahkan kau tetap berada disini, menunggui prajurit muda itu bersama aku dan Kiai Gringsing.” Wajah prajurit itu menjadi tegang. Ia memandang wajah Untara sejenak. Kemudian wajah Kiai Gringsing. Sekilas ia melihat bayangan yang kelam dimata itu. Namun kemudian seolah-olah mata itu menjadi menyala penuh kemarahan. “Setan tua itu tentu mengetahui apa yang aku lakukan,“ berkata prajurit itu didalam hatinya, “ia tentu berhasil melakukan pengamatan atas racun yang aku berikan. Karena itulah agaknya Ki Untara memerintahkan aku tetap berada disini.” Tiba-tiba kegelisahan yang sangat telah mencengkam prajurit itu. Ia merasa bahwa yang dilakukan itu sudah diketahui. Dan ia tidak mempunyai jalan untuk menghindar. Yang berada didalam bilik itu adalah Ki Untara, Senapati yang besar dan Kiai Gringsing yang juga dikenal sebagai orang bercambuk. Sejenak orang itu berpikir. Sikap yang manakah yang paling baik dilakukan, jika ternyata Kiai Gringsing yang juga ahli didalam pengobatan itu nengetahui, bahwa ia telah membubuhkan racun yang lemah pada obatobatnya atas Sabungsari. Bagi Untara, sikap prajurit itu benar-benar telah membuatnya curiga. Sebagai seorang Senapati, maka ia wajib berbuat sesuatu. Cepat Untara menghubungkan perbuatan prajurit itu dengan peristiwa yang baru saja terjadi. Perbuatan orang-orang yang telah mencegat dan melukai Sabungsari, namun yang kemudian terbunuh oleh Sabungsari dan Agung Sedayu. Tetapi ternyata bahwa mayat yang ditinggalkan Itu telah hilang. “Prajurit ini tentu mempunyai hubungan dengan orang yang disebut sebagai penggerak dari peristiwa ini, Ki Pringgajaya,“ berkata Untara didalam hatinya, lalu. “dengan demikian, maka mungkin orang ini akan dapat menjadi pintu yang membuka segala persoalan yang rumit ini.” Karena itu, maka Untara akan tetap pada perintahnya, prajurit itu tidak akan diperbolehkan meninggalkan tempat. Namun agaknya prajurit itupun telah membuat perhitungan-perhitungan tertentu. Ia harus dapat menyingkir, agar ia tidak akan tertangkap dan diperas untuk memberikan beberapa kesaksian. Dalam ketegangan itu. Agung Sedayu dan Glagah Putih melangkah memasuki bilik tanpa prasangka apapun. Namun yang kemudian terjadi adalah peristiwa yang sangat mengejutkan. Tiba-tiba saja prajurit yang gagal membunuh Sabungsari dengan perlahan-lahan itu telah meloncat

kebelakang Glagah Putih. Secepat kilat ia telah mencabut kerisnya dan melekatkan ujungnya pada lambung anak muda itu. Serentak semua orang yang ada didalam bilik itu telah bergerak. Tetapi mereka tidak dapat berbuat banyak. Untara jadi membeku ketika orang yang menekankan ujung kerisnya itu berkata garang, “Untara. Jika kau berbuat sesuatu yang mencurigakan, maka anak ini akan mati. Meskipun aku sadar, bahwa akupun akan mati.” Untara menggeretakkan giginya. Katanya, “Kau licik. Kau sudah meracun Sabungsari dengan racun yang lemah, agar kau dapat melepaskan kesan, bahwa seolah-olah Sabungsari mati karena lukalukanya. Sekarang kau berperisai anak yang tidak tahu apa-apa itu.” “Persetan. Anak ini adalah saudaramu sepupumu. Aku tidak tahu, apakah nilainya lebih tinggi dari aku. Tetapi aku sudah puas seandainya aku dapat membunuhnya sebelum aku mati.” Untara menggeram. Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak. Orang itu kemudian menarik lengan Glagah Putih bergeser mendekati pintu. Sambil melangkahkan kakinya keluar pintu, ia berkata, “Untara. Kau harus memerintahkan semua prajurit yang ada dihalaman untuk melepaskan aku pergi membawa anak ini. Jika tidak, maka ia akan mati dimuka pintu bilik ini.” Untara menjadi termangu-mangu, sementara Agung Sedayu menjadi tegang. Tidak seorangpun yang kemudian bergerak. Glagah Putihpun berdiri tegak sambil menggigit bibirnya. Ia merasa ujung keris menekan lambungnya. Sementara kedua orang kakak sepupunya hanya dapat memandanginya dengan tegak. Ketika Agung Sedayu bergeser setapak, orang itu berteriak, “Jangan berbuat sesuatu yang dapat mempercepat kematian anak ini.” Agung Sedayupun harus menahan diri, betapapun jantungnya bergolak didalam dadanya. “Itu sama sekali perbuatan yang tidak terpuji,“ berkata Untara kemudian, ”apa yang sebenarnya kau kehendaki ?” “Aku tidak menghendaki apa-apa,“ jawab prajurit itu, “aku hanya ingin kalian mematuhi perintahku.” “Akulah yang wenang menjatuhkan perintah disini,“ geram Untara. “Terserah kepadamu. Tetapi aku menguasai anak ini.” Untara terdiam. Betapapun tegangnya wajah dan hatinya, namun ia tidak dapat berbuat banyak. “Ki Sanak,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “apakah tidak ada cara lain yang lebih baik, yang dapat kita tempuh untuk memecahkan persoalan yang tidak jelas bagi kami. Jika Ki Sanak

berkeberatan bahwa aku telah melakukan sesuatu atas orang yang sedang kau rawat, bukankah seharusnya kau menyekap anak yang tidak tahu menahu. Aku bersedia untuk membicarakan dan menunjukkan kepadamu, apa yang telah aku lakukan.” “Jangan mencoba mempengaruhi aku dengan sikap iblismu,“ berkata prajurit itu, “apapun yang telah kau lakukan, namun aku sudah tersudut pada suatu tuduhan yang tidak akan dapat aku elakkan. Karena itu, maka daripada aku mati seorang diri, maka lebih baik aku mati bersama anak ini.” “Ki Sanak,“ berkata Kiai Gringsing, “jika kau ingin melindungi dirimu, baiklah aku menyediakan diri, menggantikan anak itu, meskipun seandainya aku akan mati sekalipun.” “Persetan,“ berkata prajurit itu, “aku tidak memerlukan kau. Aku memerlukan anak ini.” Namun diluar dugaan, tiba-tiba saja Glagah Putih berkata, “Kakang Untara, lakukan apa yang harus kau lakukan. Jangan hiraukan aku.” “Tutup mulutmu,“ teriak prajurit yang mengancamnya dengan keris. Terasa keris itu semakin kuat menekan lambungnya. Tetapi ujungnya yang dilambari tebal baju Glagah Putih, masih belum melukai kulitnya. Terdengar orang itu berkata lantang, “kau jangan membuat aku marah.” “Aku tidak peduli,“ geram Glagah Putih. “Tidak,“ berkata Agung Sedayu, “bukan salahmu Glagah Putih. Berbuatlah seperti yang dikehendakinya.” Untara menjadi tegang. Dengan suara yang berat ia berkata, “Kau sadari akibat perbuatanmu? Aku Senapati disini. Aku menentukan segala-galanya.” “Aku sudah bersedia untuk mati,“ teriak orang itu. Lalu ditariknya Glagah Putih sambil berkata, “Ikut perintahku. Jangan memperpendek umurmu. Jika kau tidak banyak tingkah, aku akan melepaskanmu saat aku sudah sampai kekudaku.” Ketegangan menjadi semakin memuncak. Setiap Glagah Putih ditarik mundur selangkah, maka Untara, Kiai Gringsing dan Agung Sedayu maju selangkah. Sehingga ketika Glagah Putih dihentakkannya keluar pintu, maka Untarapun segera meloncat pula. Tetapi langkahnya terhenti karena prajurit itu berteriak,“ berhenti ditempatmu Untara. Dan perintahkan setiap prajurit di halaman ini untuk tidak bergerak.” Untara menjadi ragu-ragu. Demikian pula Agung Sedayu dan Kiai Gringsing yang menyusulnya pula.

“Cepat,“ teriak prajurit itu ketika ia melihat beberapa orang prajurit dihalaman itu bergerak. Tetapi ternyata mereka masih belum mengetahui apa yang terjadi. Merekapun kemudian tertegun ketika mereka melihat prajurit yang mendapat perintah untuk mengobati Sabungsari itu memegangi lengan Glagah Putih sambil mengancamnya dengan ujung kerisnya. “Untara, “teriak prajurit itu, “perintahkan agar para prajurit menyingkir.” Untara termangu-mangu. “Cepat,“ prajurit itu berteriak lagi, “atau anak ini akan mati terkapar dihalaman.” Keringat mulai mengalir dikening Untara. Kemarahannya hampir meretakkan dadanya. Tetapi Glagah Putih tidak dapat dikorbankan. Kecuali ia adalah saudara sepupunya, maka anak itu tidak tahu menahu persoalannya. Dalam keragu-raguan itu, ia melihat para prajurit yang berada dihalaman itu bergeser surut. Merekapun mengetahui, bahwa nasib anak muda itu benar-benar sedang berada diujung duri. Perlahan-lahan prajurit itu bergeser mendekati kudanya. Tidak seorangpun yang dapat menghalanginya. Agung Sedayu dan Untara yang bergeser maju diluar sadarnya, terpaksa berhenti ketika sekali lagi orang itu mengancam sambil meloncat naik kepunggung kudanya, “Setiap gerak yang mencurigakan, maka nyawa anak inilah tebusannya.” “Pergilah,“ teriak Agung Sedayu yang menahan luapan perasaannya, “lepaskan anak itu.” “Tidak,“ sahut orang itu. “Kau berjanji melepaskannya jika kau mencapai kudamu,“ berkata Agung Sedayu lantang. “Tetapi keselamatanku belum terjamin sepenuhnya. Aku akan membawanya sampai keluar padukuhan ini.” Dada Agung Sedayu menjadi bergetar semakin cepat. Jantungnya bagaikan berdetak semakin keras dan semakin cepat, sementara darahnya rasa-rasanya menjadi semakin panas mengalir ditubuhnya. Tidak seorangpun dapat mencegah orang itu menarik Glagah Putih dengan satu tangannya agar ia naik pula kepunggung kuda itu, sementara tangannya yang lain masih tetap mengancam dengan keris. Ketika Glagah Putih telah berada dipunggung kuda, maka orang itupun berkata, “Jangan salahkan aku, jika anak ini kalian dapati pingsan terlempar dari punggung kuda, atau bahkan mati terkapar dipinggir jalan.”

“Kami tidak mengusikmu,“ jawab Agung Sedayu, “anak itu harus selamat.” “Kalian telah menggagalkan usahaku. Kalian harus menerima akibatnya. Tetapi aku masih akan mempertimbangkan kemungkinan yang lebih baik bagi anak ini.” Terdengar Untara menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Jika ia salah langkah, maka ia akan menjerumuskan Glagah Putih kedalam kesulitan, dan bahkan mungkin kematian. “Anak itu masih terlalu muda untuk mati,“ katanya didalam hati. Sementara itu, prajurit yang sudah berada dipunggung kuda bersama Glagah Putih itu berteriak, “beri aku jalan.” Tidak ada yang dapat dilakukan oleh para prajurit itu kecuali bergeser surut. Meskipun tangan mereke telah metekat dihulu pedang, namun tidak seorangpun yang dapat berbuat sesuatu. Merekapun mengerti bahwa anak yang berada dipunggung kuda adalah adik sepupu Untara. Senopati Pajang di Jati Anom itu menjadi gemetar menahan marah. Ia merasa wajib untuk menangkap prajurit itu, tetapi ia tidak dapat melakukannya. Karena itu. rupa-rupanya jantung Untara justru hampir meledak. Ia harus berdiri diam, sementara dihadapannya, seorang yang bersalah telah berada dipunggung kuda dan siap untuk melarikan diri. Sejenak ia niempertimbangkan kemungkinan untuk bertindak, jika Glagah Putih bernasib baik, ia tentu tidak akan mati. Tetapi niat itupun diurungkan. Sekali lagi ia menggeram didalam hatinya, “Anak itu masih terlalu muda untuk mati.” Karena itu, yang dapat dilakukan oleh Untara hanyalah menggeram dan menggeretakkan giginya. Kiai Gringsingpun bagaikan orang kehabisan akal. Ia adalah seorang yang mengenal beribu peristiwa dan persoalan. Ia memiliki perbendaharaan pengalaman yang tiada taranya. Namun menghadapi peristiwa ini, ia benar-benar tidak mampu untuk berbuat sesuatu. Seperti Untara, ia mempertimbangkan keselamatan Glagah Putih. Jika ia melakukan sesuatu yang dianggap oleh prajurit dipunggung kida itu mencurigakan, maka nasib glagah Putihlah yang menjadi taruhan. Dalam pada itu, kegelisahan benar-benar telah mencengkam halaman itu. Keadaan Sabungsari memang menjadi berangsur baik. Tetapi mereka kini menghadapi persoalan lain yang cukup gawat pula. Sabungsari sendiri, tidak mengetahui peristiwa itu dengan jelas. Meskipun ia tidak pingsan, tetapi ia sedang digelut oleh perasaan sakit yang sangat pada luka-lukanya yang mendapat pengobatan baru. Badannya terlalu lemah dan seakan-akan ia tidak sempat memikirkan apa yang terjadi disekitarnya.

Namun demikian, sepercik kegelisahan telah mencengkamnya pula. Untunglah, bahwa kesadarannya tidak bekerja sepenuhnya, sehingga ia tidak diganggu oleh satu keinginan untuk meloncat dari pembaringannya karena keadaan Glagah Putih. Bahkan kadang-kadang ia mengerti arti pendengarannya, namun kadang-kadang seperti orang yang setengah tidur, ia tidak mengetahui, apa yang sedang terjadi. Dalam pada itu ketegangan menjadi semakin memuncak ketika prajurit dipunggung kuda itu berteriak, “Jangan berbuat sesuatu. Aku akan meninggalkan halaman ini dan seterusnya meninggalkan padukuhan ini.” Untara berdiri tegak dengan tegangnya, sementara Kiai Gringsing dan Agung Sedayu menjadi sangat cemas. Ketika prajurit itu mulai menggerakkan kendali kudanya, terdengar Untara berkata, “Apa yang kau kehendaki? Lepaskan anak itu. Aku akan memberi jaminan keselamatanmu.” ***

Buku 129 TERDENGAR prajurit itu tertawa tinggi. Jawabnya, “Selama ini aku percaya kepada setiap katakatamu Ki Untara. Tetapi kali ini aku lebih senang melepaskan diri dari tanganmu. Aku tahu siapakah kau dan aku tahu sikap dan tindakanmu terhadap bawahanmu. Kau kira aku tidak akan dapat kau tangkap dan kau perlakukan sebagai seorang pengkhianat dengan alasan-alasan apapun juga yang nampaknya tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa ini?” “Aku memberimu kesempatan. Tetapi jangan pergunakan anak itu sebagai perisai.“ kemarahan Untara membuat suaranya bergetar. Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak. Bahkan ia tidak dapat menggerakkan prajurit yang sudah siap melakukan perintahnya. Namun yang karena keadaan, mereka justru menjahui prajurit diatas punggung kuda yang mengancam keselamatan Glagah Putih dengan kerisnya. Yang terdengar adalah suara tertawa prajurit itu. Kerisnya masih saja melekat dilambung Glagah Putih. Setiap saat keris itu akan dapat menghunjam kelambungnya dan merampas nyawanya. Glagah Putih sendiri hanya dapat menggeram menahan gejolak perasaannya. Tetapi iapun menyadari, bahwa keris itu benar-benar akan dapat membunuhnya. Dalam pada itu, terdengar prajurit itu berkata lantang, “Selamat tinggal. Mudah-mudahan Sabungsari dapat sembuh. Tetapi dengan demikian, maka kalian telah melepaskan anak ini dengan penuh ketegangan. Mudahmudahan ia masih sempat memandang matahari di esok pagi.” Yang terdengar hanyalah gemeretak gigi. Agung Sedayu yang selalu dibayangi oleh keragu-raguan dan pertimbangan, saat itu rasa-rasanya ingin meloncat menerkam prajurit yang telah mempergunakan Glagah Putih sebagai perisai. Kemarahannya bagaikan tidak tertahankan, sehingga rasa-rasanya jantungnya akan meledak. Agung Sedayu seakan-akan telah kehilangan nalar dan pertimbangannya, ketika ia mendengar prajurit itu berkata, “Jangan sesali apa yang akan terjadi.” Orang-orang dihalaman itu melihat, kuda itupun mulai bergerak. Prajurit itu masih tertawa ketika kudanya mulai meloncat berlari, bersamaan dengan kemarahan yang tertahan disetiap dada. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu benar-benar tidak mau kehilangan Glagah Putih. Dalam keadaan yang demikian, maka perasaannya tidak lagi dapat dikendalikan. Bersamaan dengan derap kaki kuda yang membawa prajurit itu meninggalkan halaman, maka getaran kemarahannya tiba-tiba

saja telah mengalir mendesak ilmunya yang tidak kasat mata. Demikian Agung Sedayu melihat prajurit itu membelakanginya diregol halaman, maka terlepaslah ilmunya yang dahsyat lewat sorot matanya. Tidak seorangpun yang melihat, apa yang telah dilakukannya. Yang terdengar hanyalah gemeretak giginya. Namun tiba-tiba saja terdengar jerit prajurit itu melengking. Demikian kudanya berlari memutar turun kejalan padukuhan, prajurit yang mendekap Glagah Putih sambil mengancamnya dengan keris itu telah terlempar dari kudanya. Namun agaknya Glagah Putih belum terlepas sama sekali dari tangannya, sehingga ternyata anak muda itupun ikut pula terjatuh diatas jalan yang keras. Peristiwa itu terjadi demikian cepatnya. Karena itu, untuk sekejap orang-orang yang berada di halaman itu justru bagaikan mematung. Namun sekejap kemudian, hampir bersamaan merekapun telah meloncat memburu kejalan didepan regol. Dengan tangkasnya Untara berlari kearah Glagah Putih. Ialah yang pertama mencapai anak yang terbaring diam. Agaknya Glagah Putih telah menjadi pingsan terbentur dinding batu diseberang jalan “Pingsan Kiai,“ desis Untara ketika Kiai Gringsing mendekatinya. “Bawa ia kependapa,“ desis Kiai Gringsing. Beberapa orang telah memapah Glagah Putih masuk kehalaman dan kemudian membaringkannya dipendapa. Sementara itu Untara dan Kiai Gringsing sempat memperhatikan prajurit yang terlempar dari kudanya itu. Ditangannya masih tergenggam keris yang belum sempat dipergunakan. Namun ketika Untara meraba tangannya dan kemudian dadanya, ternyata bahwa nafasnya telah terhenti. Untara tidak segera mengetahui apa sebabnya. Ia mengira bahwa telah terjadi kecelakaan ketika kuda itu berlari kencang sambil berbelok, sementara prajurit itu harus memegangi Glagah Putih dengan satu tangan dan kerisnya ditangan yang lain. Namun ia tidak sempat memikirkannya lebih lama lagi. Diperintahkan beberapa orang prajuritnya untuk mengangkat orang yang telah mati itu kependapa pula. Dengan tergesa-gesa bersama Kiai Gringsing, Untara naik kependapa. Diatas tikar pandan yang

terbentang dipendapa itu, Glagah Putih terbaring diam. Namun setelah Kiai Gringsing memeriksanya, maka iapun berkata, “Ia pingsan ngger. Selain karena hentakkan tubuhnya yang menjadi kebiru-biruan diatas telinganya dan sedikit membengkak.” Untarapun kemudian mengamati keadaan Glagah Putih. Namun ia percaya kepada keterangan Kiai Gringsing yang kemudian berusaha untuk menyadarkannya. Dalam pada itu. Agung Sedayu berdiri termangu-mangu dibawah tangga pendapa. Ia merasa sangat gelisah atas peristiwa yang baru saja terjadi. Ternyata ia telah membunuh sekali lagi. Prajurit itu telah diremasnya dengan tatapan matanya yang didorong oleh kemarahan yang tiada terkendali. Agung Sedayu seakan-akan baru sadar dari mimpinya yang buruk, ketika ia mendengar Kiai Gringsing memanggilnya, “Agung Sedayu. Kemarilah.” Agung Sedayu menarik nafas. Perlahan-lahan ia melangkah sambil terbungkuk-bungkuk naik kependapa mendekati Glagah Putih. Setitik air telah membasahi bibir anak muda yang pingsan itu. Sejenlak orang-orang yang mengerumuni Glagah Putih menunggu. Sementara Kiai Gringsing telah bekerja dengan tekun untuk membangunkannya. Dengan beberapa macam reramuan yang dicairkannya dengan minyak kelapa, Kiai Gringsing mengusap kaki Glagah Putih. Dari lutut sampai keujung jarijarinya. Kemudian dengan cairan yang serupa. Kiai Gringsing mengusap pula telinga anak muda itu. Terutama diatas telinganya yang menjadi kebiru-biruan. Ketika Kiai Gringsing memberinya setitik lagi air dibibirnya, maka Glagah Putihpun mulai bergerak. Mula-mula bibirnya, kemudian kelopak matanya. Ketika matanya mulai terbuka, maka ia melihat bayangan yang kabur diseputarnya. Namun semakin lama menjadi semakin terang. Sehingga akhirnya ia melihat wajah Kiai Gringsing, Untara, Agung Sedayu dan beberapa orang yang lain. “Apa yang telah terjadi ?“ desisnya. “Bagaimana keadaanmu ? “ Untara bertanya dengan gelisah, “minumlah.” Glagah Putih termangu-mangu. Tetapi ia mengangguk ketika ia melihat Kiai Gringsing memegang mangkuk berisi air dingin. Setitik lagi bibirnya dibasahi, dan terasa tubuh anak muda itu menjadi semakin segar. Perlahan-lahan Glagah Putih mulai dapat mengingat apa yang telah terjadi atasnya. Segalanya mulai jelas terbayang, seakan-akan baru terjadi. Bagaimana ia ditarik oleh prajurit yang mengancahinya dengan keris, naik kepunggung kuda Kemudian bagaimana prajurit itu sambil tertawa mulai menggerakkan kudanya. Namun ketika kuda itu meloncat berlari, dan berbelok turun kejalan dari regol

halaman, tiba-tiba saja seolah-olah ia merasa dilemparkan dan jatuh membentur dinding batu. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Iapun mulai merasa, betapa punggungnya menjadi sakit. Bahkan kemudian kepalanya diarah atas telinganya sebelah kiri. “Aku terjatuh,“ desisnya, “apakah prajurit itu sempat melarikan diri ?” Untara menggeleng sambil menjawab, “Tidak Glagah Putih. Prajurit itupun terjatuh pula bersamamu.” “O,“ Glagah Putih mengangguk. Ia memang merasa, seolah-olah ia terseret oleh tangan prajurit itu. “Jadi prajurit itu terlempar juga ketika kudanya berlari kencang sambil berbelok turun kejalan ?” “Ya,“ jawab Untara. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ketika ia bergerak, terasa punggungnya bagaikan patah. “Punggungku sakit,“ desisnya. “Kau terbanting diatas tanah yang keras dan membentur dinding batu. Tentu punggungmu sakit dan bengkak dikepalamu itupun dapat membuatmu pening,“ desis Kiai Gringsing. “Berbaring sajalah,“ berkata Untara, “sejenak lagi, kau akan dipindahkan keruang dalam.” “Dimanakah prajurit itu ?“ bertanya Glagah Putih. Untara memandang Kiai Gringsing sejenak. Ketika Kiai Gringsing memberinya isyarat, maka Untarapun kemudian menjawab, “Prajurit itu telah mati.” “He ? “ Glagah Putih terkejut, “kenapa ? Apakah keris itu telah mengenai tubuhnya sendiri ketika ia terjatuh ?” Untara menggeleng. Jawabnya, “Ia jatuh terbanting. Mungkin kepalanya membentur batu terlalu keras, sehingga cidera karenanya. Dengan demikian, nyawanya tidak dapat tertolong lagi.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa heran bahwa prajurit itu telah terbunuh. Apakah ia terbanting demikian kerasnya dan dengan demikian tulang kepalanya menjadi retak. Sejenak Glagah Putih sempat membayangkan apa yang pernah terjadi di pesisir Laut Selatan, ketika ia sudah dikuasai oleh orang-orang yang ingin menangkapnya bersama Agung Sedayu. Peristiwa yang hampir serupa telah terjadi. Seorang diantara mereka yang menguasainya, seperti juga prajurit yang telah terbunuh itu, untuk mematahkan perlawanan Agung Sedayu, tiba-tiba saja telah terbanting dari

kudanya. “Tetapi ia terjatuh diatas pasir, sehingga karena iu, maka agaknya ia tidak terbunuh,“ berkata Glagah Putih didalam hatinya, “sehingga kawan-kawannya sempat berusaha menolongnya.” Tetapi untuk seterusnya, Glagah Putih tidak mengetahuinya lagi karena ia justru berusaha melepaskan diri bersama Agung Sedayu. Kemudian dihalaman rumah Untara itu telah terjadi pula peristiwa yang hampir sama. Prajurit itu terbanting dari kudanya yang berlari kencang sehingga ia telah mati seketika. Kiai Gringsingpun kemudian menggerakkan tangan Glagah Putih sambil berkata kepada Untara, “Apakah tidak sebaiknya sekarang saja anak ini dibawa masuk ? Nampaknya ia sudah berangsur baik.” Untara mengangguk sambil menjawab, “Baiklah Kiai. Aku akan memerintahkan beberapa orang untuk membawanya.” Sementara beberapa orang kemudian mengangkat tubuh Glagah Putih, Untara telah menyuruh isterinya untuk menyiapkan pembaringan bagi adik sepupunya. “Kenapa anak itu ?” bertanya isterinya yang gelisah ketika ia mendengar keributan dihalaman. Tetapi ia tidak berani keluar dari ruang dalam, meskipun di pintu butulan ia melihat dua orang pengawal khusus bersiap jika terjadi sesuatu. “Ia terjatuh dari kuda dan menjadi pingsan. Tetapi ia sudah sadar kembali,“ sahut Untara. Isterinya tidak bertanya lagi. Dengan tergesa-gesa ia menyiapkan pembaringan bagi Glagah Putih yang menyeringai kesakitan ketika beberapa orang mengangkatnya. “Punggungnya tentu merasa sakit,“ desis Kiai Gringsing yang mengikutinya masuk keruang dalam. Namun sebentar kemudian Glagah Putih itu sudah berbaring disebuah amben bambu yang diatasnya terbentang tikar pandan rangkap. “Tidurlah,“ pesan Untara, “dengan demikian, keadaanmu akan cepat menjadi baik.” Glagah Putih berdesis. Punggungnya memang terasa sangat sakit. Demikian juga kepalanya. Ia memang merasa pening. Tetapi ia mencoba untuk mengatasi perasaan sakit dan pening itu. Sejenak kemudian, maka Untarapun meninggalkan Glagah Putih ditunggui oleh Kiai Gringsing. Kemudian Agung Sedayupun duduk pula diamben itu sambil mengusap kaki Glagah Putih. “Apakah punggungmu terasa sakit sekali ?“ bertanya Agung Sedayu. “Ya kakang,“ jawab Glagah Putih.

“Kau terlempar dan terbanting diatas tanah yang keras. Kepalamu membentur dinding. Tetapi kau akan segera menjadi baik,“ berkata Kiai Gringsing mengulang sambil membesarkan hati anak muda itu, “tidak ada bagian tubuhmu yang cidera sehingga akan dapat menimbulkan bahaya yang sebenarnya. Mungkin untuk satu dua hari kau perlu beristirahat. Tetapi kau akan segera dapat keluar dari bilik ini dan kembali kepadepokan.” Glagah Putih mengangguk kecil. Sementara Kiai Gringsing berkata, “Aku akan melihat keadaan dipendapa untuk beberapa saat. Kau berbaring saja disini. Jangan banyak bergerak.” Glagah Putih mengangguk sambil menjawab, “Ya Kiai. Aku akan mencoba untuk tidur.” Kiai Gringsing mengusap dahi anak itu. Kemudian diikuti oleh Agung Sedayu iapun melangkah keluar dari bilik itu. Tetapi Kiai Gringsing berhenti diluar pintu bilik itu sambil berbisik, “Kenapa kau bunuh orang itu Agung Sedayu. Sebenarnya kita sangat memerlukannya.” Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Ia sadar, bahwa Kiai Gringsing tentu mengetahui apa yang sudah terjadi sebenarnya. Kiai Gringsing tentu mengetahui, bahwa ia telah mempergunakan kekuatan yang terpancar lewat sorot matanya. “Guru,“ desis Agung Sedayu, “sebenarnyalah bahwa aku tidak ingin membunuhnya. Aku hanya ingin membebaskan Glagah Putih. Itu saja yang terpikir olehku, sehingga aku tidak dapat mengendalikan diri lagi. Aku tidak tahu, seberapa tinggi kemampuan prajurit itu dan seberapa besar kekuatan daya tahan tubuhnya. Karena itu, aku sudah mempergunakan sebagian besar dari kekuatanku untuk membuktikannya. Ternyata bahwa yang telah mencengkamnya melampaui daya tahan tubuhnya, sehingga ia telah terlempar dan terbunuh.“ Kiai Gringsing menarik nafas dalam dalam. Katanya kemudian, “Agung Sedayu. Kau harus mulai mengenali kemampuanmu dengan saksama. Dengan demikian kau tidak akan kehilangan pengamatan diri dalam benturan kekuatan. Jika kau kurang memahami kemampuanmu sendiri, maka kau akan dapat terdorong dalam banyak perbuatan diluar kehendakmu, karena kau tidak mempunyai takaran yang mapan atas kekuatanmu sendiri.“ Kepala Agung Sedayu menjadi semakin tunduk. Namun masih terdengar ia berkata, “Guru. Aku akan melakukannya. Tetapi kadang-kadang aku tidak dapat mengenal kekuatan dan daya tahan orang lain, sehingga aku sudah mempergunakan kekuatan yang terlalu besar dari kemampuan yang mungkin dapat aku ungkapkan.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk pula. Katanya, “Ya aku mengerti. Apalagi jika hatimu didorong oleh kemarahan dan kecemasan seperti yang baru saja terjadi.” Agung Sedayu tidak membantah lagi. Ia memang merasa bahwa dengan demikian, Untara telah kehilangan sumber keterangan yang akan dapat mengungkapkan peristiwa yang baru saja terjadi. Mungkin lewat prajurit itu akan diketahui, apa yang telah dilakukan oleh orang yang tersembunyi dilingkungan prajurit Pajang di Jati Anom dengan rencananya yang dapat mengaburkan tugas keprajuritan mereka. Tetapi ia sudah terlanjur melakukannya. Bahkan diluar niatnya untuk membunuh orang itu. Sejenak kemudian keduanyapun telah melangkah kependapa. Sementara seorang pelayan telah menghidangkan minuman hangat bagi Glagah Putih. Tetapi Glagah Putih tidak dapat bangkit dan minum sendiri karena punggungnya benar-benar merasa sakit. Dalam pada itu, dipendapa beberapa orang duduk bersama Untara. Mereka masih sibuk membicarakan peristiwa yang baru saja terjadi, sementara prajurit yang terbunuh itupun masih terbujur diam. Atas perintah Untara maka mayat itupun segera diselenggarakan sebagaimana seharusnya. Namun karena perbuatannya, maka ia telah kehilangan haknya untuk mendapatkan kehormatan dalam lingkungan keprajuritan. Dihari berikutnya, maka Widura telah berada dirumah itu pula. Tetapi setelah ia mendapat keterangan dari Kiai Gringsing tentang anaknya, maka iapun tidak menjadi sangat cemas. Ia percaya, bahwa yang dikatakan oleh Kiai Gringsing tentang anaknya itu tentu tidak sekedar untuk menenangkan hatinya saja. Dalam pada itu, Kiai Gringsing telah mendapatkan tugas rangkap dirumah Untara. Ia harus merawat Sabungsari dan Glagah Putih sekaligus. Untunglah bahwa keadaan Glagah Putih tidak terlalu parah, sehingga dihari berikutnya ia sudah nampak lebih tenang dan tidak lagi dicengkam oleh perasaan sakit yang sangat. Tidak banyak yang mengetahui, bagaimana peristiwa itu terjadi. Bahkan yang menyaksikanpun tidak dapat mengatakan dengan pasti kenapa prajurit itu terbunuh. Sementara sebagian dari mereka menduga bahwa orang itu telah mengalami kecelakaan, terjatuh dari kudanya disaat kudanya yang berlari kencang itu berbelok. “Mungkin Glagah Putih memang telah meronta,“ desis yang lain. “Kemungkinan yang sangat kecil. Dilambung anak itu, ujung keris telah siap untuk menikamnya. Ia tidak mendapat kesempatan sama sekali.“ sahut yang lain. Namun tidak seorangpun yang dapat memberikan jawaban yang memuaskan tentang kematian prajurit yang telah melalaikan kewajibannya itu. Dalam pada itu, dalam pertemuan yang khusus, Untara telah membicarakan laporan yang diberikan

oleh Agung Sedayu atas peristiwa yang dialaminya di perjalanan dari Sangkal Putung ke Jati Anom. Untara semakin gelisah karena peristiwa yang menyusul. Hilangnya mayat-mayat yang disembunyikan adiknya, dan peristiwa yang terjadi dirumahnya. Yang terjadi itu memang sangat menegangkan. Beberapa orang yang terdekat dengan Untara merasa dihadapkan pada suatu teka-teki yang sangat sulit untuk dipecahkan. Hanya kepada orang yang terbatas saja Untara menyebut nama seorang perwira yang termasuk tataran atas yang terlibat dalam peristiwa itu. Para perwira kepercayaan Untara itu tidak segera dapat menentukan apakah perwira itu memang mungkin berbuat demikian. Memang kadang-kadang nampak sesuatu yang menarik perhatian pada perwira itu. Tetapi sampai begitu jauh, tidak ada petunjuk langsung yang dapat melibatkannya pada peristiwa yang sangat disesali itu. “Jangan didengar oleh siapapun,“ pesan Untara kepada tiga orang perwira kepercayaannya, “kita harus mencari jejak.” “Kematian prajurit yang membawa Glagah Putih itu patut disayangkan,“ berkata salah seorang dari ketiga perwira itu. “Ya,“ sahut Untara, “tetapi kematiannya itu sendiri sudah sangat menarik perhatian.” Para perwira itu mengangguk-angguk. Namun mereka tidak dapat mengatakan sesuatu. Pada tubuh prajurit itu tidak nampak bekasnya sama sekali. Bekas duri yang paling lembutpun tidak, seandainya ada orang yang mampu melepaskan paser-paser lembut beracun. “Ada kekuatan yang lain yang telah mendorongnya jatuh,“ berkata Untara, “aku kurang yakin bahwa hal itu sekedar kecelakaan.” Para perwira itu mengangguk-angguk. Namun mereka tidak dapat mengatakan sesuatu. Dalam pada itu, Untarapun kemudian berkata, “Adalah tugas kita semua untuk memecahkan teka-teki ini. Aku yakin bahwa memang ada kekuatan yang menyelinap didalam tubuh kita. Jika semula aku meragukan keterangan Agung Sedayu dan Sabungsari, maka setelah aku ketahui ada seorang prajurit yang justru telah mengkhianati tugasnya, aku menjadi yakin, bahwa memang ada sesuatu yang gawat didalam lingkungan kita. Semula aku mengira, bahwa mungkin sekali nama-nama yang disebut itu sekedar untuk melepaskan tanggung jawab, atau justru bahkan sebuah fitnah. Namun aku telah melihat asapnya, sehingga aku yakin, bahwa memang ada apinya.” Para perwira itu mengagguk-angguk. Ketegangan wajah mereka menunjukkan betapa mereka dengan sungguh-sungguh mengikuti peristiwa itu. Mereka menyadari, bahwa jika hal itu tidak segera terpecahkan, maka kekalutan akan semakin menjadi-jadi. “Awasi dengan saksama, apa yang dilakukannya sehari-hari,“ berkata Untara kepada para perwira, “tetapi jangan menumbuhkan kecurigaannya.”

“Kami akan berusaha sebaik-baiknya,“ jawab salah seorang perwira itu. Namun ia kemudian bertanya, “tetapi apakah kami diperkenankan menghubungi langsung Agung Sedayu dan Sabungsari ?” “Aku tidak berkeberatan. Carilah bahan-bahan daripadanya,“ jawab Untara. Ketiga perwira kepercayaannya itupun kemudian minta diri. Mereka menghadapi satu tugas yang berat. Mereka seakan-akan harus meneliti cacat ditubuh sendiri, dan kemudian jika perlu mencukilnya. Alangkah sakitnya. Tetapi itu harus dilakukan, karena jika cacat itu kemudian menjalar kebagian tubuh yang lain, maka akibatnya akan menjadi semakin parah. Dalam pada itu, dalam pembicaraan tersendiri, Untara menyampaikan masalahnya itu juga kepada Widura. Selain Widura adalah pamannya, juga karena Widura seorang bekas prajurit yang masih banyak bersangkut paut dengan lingkungannya. Apalagi Widura masih dapat mengenal beberapa orang bekas kawan-kawannya yang kini masih tetap berada didalam lingkungan keprajuritan. Ketika Widura mendengar nama seorang perwira yang disebut oleh Agung Sedayu dan Sabungsari sebagai otak dari segala peristiwa itu, maka Widurapun termangu-mangu. Namun seolah-olah kepada diri sendiri ia berkata, “Ia seorang prajurit yang baik. Tetapi ia mempunyai cita-cita dan keinginan yang terlampau jauh jangkauannya.” “Apakah mungkin ia berbuat seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu paman ?“ bertanya Untara kemudian. “Sulit untuk menjawab. Tetapi aku akan membantumu sejauh dapat aku lakukan,“ jawab Widura. “Tetapi persoalan ini adalah persoalan yang sangat khusus paman. Aku berharap dapat menangkap ikannya tanpa mengeruhkan airnya,“ pesan Untara. Widura mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa tuduhan itu adalah tuduhan yang sangat berat akibatnya. Jika ternyata tuduhan itu tidak dapat dibuktikan, maka lontaran persoalan itu akan dapat berbalik mengenai mereka yang melemparkannya. “Untara,“ berkata Widura kemudian, “tetapi kaupun harus memperhitungkan, bahwa orang itu tentu sudah menduga, bahwa Agung Sedayu dan Sabungsari yang ternyata keduanya tidak terbunuh itu sudah melaporkannya kepadamu. Dalam hal itu, orang itu tentu sudah memperhitungkan, bahwa kau sudah mendengar namanya. Orang itupun tahu bahwa kau tentu sudah memerintahkan beberapa orang untuk menyelidikinya.” Untara mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya paman. Karena itu, aku harus menemukan jalan, bahwa diluar tubuh keprajuritan Pajang di Jati Anom, harus ada orang yang dapat dipercaya untuk ikut serta meyelidiki persoalan ini. Tetapi tentu bukan, paman

Widura yang sudah banyak diketahui sebagai pamanku dan paman Agung Sedayu. Apalagi paman adalah bekas seorang perwira Pajang pula. Dan sudah barang tentu bukan Kiai Gringsing.” “Jadi siapa menurut pendapatmu ?“ bertanya Widura. Untara menggeleng. Jawabnya, “Aku belum tahu paman. Tetapi pada suatu saat, aku akan memilih seseorang. Kecuali jika aku sudah mendapatkan beberapa bukti langsung dari orang-orangku sendiri.” Widura mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku mengerti maksudmu ngger. Tetapi itu bukan berarti bahwa aku dan Kiai Gringsing tidak dapat membantu mencari jejak. Jika yang kau maksud bahwa orang itu harus berhubungan langsung dengan nama yang disebut oleh Agung Sedayu dan Sabungsari, tentu orang seperti yang kau sebut itulah yang paling sesuai.” Untara mengangguk-angguk. Namun yang dihadapinya adalah kegelapan yang sangat pekat. Ia sama sekali masih belum dapat melihat, apakah yang ada didalam kegelapan itu. Dalam pada itu, maka Widurapun bertanya, ”Apakah kau bermaksud untuk menyampaikan laporan ini kepada pimpinanmu di Pajang ?” “Belum paman. Ketika Sabungsari terluka parah setelah berhasil membunuh Carang Waja, aku langsung memberikan laporan. Tetapi kini aku menahan peristiwa ini karena persoalan ini menyangkut beberapa segi yang belum dapat aku pecahkan. Yang aku laporkan barulah peristiwanya saja. Tanpa menyebut latar belakangnya sama sekali, meskipun laporanku itu dianggap tidak lengkap,“ jawab Untara. “Dan kau memberikan beberapa tekanan pada laporanmu? Misalnya hilangnya mayat-mayat yang disembunyikan oleh adikmu?“ bertanya Widura. “Aku memang melaporkannya. Tetapi segala yang aku sebutkan masih samar. Kami disini belum mengetahui alasan yang sebenarnya, selain dugaan, bahwa yang terjadi adalah dendam pribadi.“ sahut Untara. “Apa ada perintah bagimu ?” “Perintah untuk menyelidiki persoalannya lebih dalam. Pajang mengharap laporan selengkapnya.” “Dan apakah kau sudah memperhitungkan, bahwa jalur dari mereka yang melakukan hal itu atas Agung Sedayu berada pula di Pajang, bahkan apakah kau setuju jika aku sebut, pusat pergolakan itu ada di Pajang.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Hal itu masih perlu diselidiki paman. Tetapi aku sependapat, bahwa jalur itu ada pula di Pajang.” “Dan mereka telah mendengar laporan yang kau kirimkan.” “Tetapi tanpa menyebut nama seseorang, dan alasan yang sekedar karena dendam.” Widura tersenyum. Katanya, “Dengan demikian kau sudah memperhitungkan, bahwa pada puncak pimpinan keprajuritan di Pajang, ada pula orang-orang yang dengan, sengaja telah menggoyahkan pemerintahan.” Untara tidak menjawab. Ia tidak dapat membantah tanggapan pamannya, karena sebenarnyalah memang demikian. “Jadi, apakah yang akan kau lakukan dalam waktu dekat ?“ bertanya Widura. “Belum pasti paman. Tetapi aku akan memperhatikan orang yang telah disebut-sebut itu secara khusus, dihadapanku atau tidak dihadapanku,“ berkata Untara, “selebihnya, aku akan mencoba meyakinkan Kiai Gringsing yang sekarang berada disini, agar membiarkan Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk sementara tetap berada disini bersama Sabungsari. Bahwa ada pihak yang telah gagal mencoba membunuhnya, adalah alasan yang tidak dibuat-buat untuk menahan mereka. Disini mereka akan mendapat perlindungan. Terutama Sabungsari yang sedang dalam keadaan luka parah.” Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Aku tidak berkeberatan Untara. Tetapi aku tidak tahu, apakah Agung Sedayu sependapat.” “Aku mohon paman membantu aku agar ia menyadari keadaannya,“ minta Untara. Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan mencoba. Tetapi aku tidak tahu pasti, apakah aku berhasil.” Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa adiknya yang dalam banyak hal dibayangi oleh keragu-raguan itu, kadang-kadang sulit pula untuk dicegah kemauannya. Dalam pada itu, Widura benar-benar telah mencoba menemui Kiai Gringsing. Dengan hati-hati ia mengatakan, apakah menurut Kiai Gringsing tidak sebaiknya Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk sementara berada dirumah Untara. “Aku memang akan berada disini untuk sementara jika angger Untara tidak berkeberatan berkata Kiai Gringsing, “keadaan angger Sabungsari benar-benar parah. Mudah-mudahan aku masih dapat melarutkan segala racun yang bekerja perlahan-lahan pada tubuhnya.

“Kiai,“ bertanya Widura kemudian, “apakah Kiai dapat mengerti cara prajurit itu bekerja. Kenapa ia mempergunakan racun yang lemah sehingga akhirnya ia gagal melakukannya ? Jika ia mempergunakan racun yang lebih kuat, maka ia tentu sudah berhasil membunuh Sabungsari.” “Tetapi dengan demikian, kemungkinan rahasianya terbongkar jauh lebih kecil jika ia membunuh Sabungsari dengan perlahan-lahan. Lupa memperhitungkan, bahwa orang lain akan hadir begitu cepat kedalam bilik Sabungsari.” Widura mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Kiai, Untara tentu akan senang sekali jika Kiai tinggal dirumah ini. Dengan demikian, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih dapat diharap akan berada disini pula untuk sementara.” “Glagah Putih masih perlu perawatanku, meskipun keadaannya telah menjadi baik. Ia akan berada disini untuk sementara.“ jawab Kiai Gringsing. Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Tentu Agung Sedayupun akan bersedia.” Kiai Gringsing tidak menjawab. Iapun sependapat bahwa sebaiknya Agung Sedayu dan Sabungsari berada dalam satu lingkungan yang akan dapat memberikan perlindungan kepada mereka, termasuk Glagah Putih yang diluar kehendaknya, telah terhbat pula kedalam banyak persoalan, justru karena ia dekat dengan Agung Sedayu. Seperti yang diharap oleh Widura dan Untara, ketika Kiai Gringsing menyampaikan persoalan itu kepada Agung Sedayu, maka iapun tidak menolak. Ia sadar, bahwa Glagah Putih masih memerlukan perawatan sepenuhnya, sementara Kiai Gringsing tidak akan sampai hati untuk meninggalkan Sabungsari yang benar-benar dalam keadaan yang gawat. Namun demikian, nampaknya Kiai Gringsing berpengharapan sepenuhnya, bahwa keadaan Sabungsari akan berangsur baik. Dengan bersungguh-sungguh Kiai Gringsing berbuat sepenuh kemampuannya untuk menyelamatkan Sabungsari sambil berdo'a kepada Yang Menguasai segala-galanya. Meskipun masih samar-samar, namun usahanya sudah mulai nampak akan berhasil. Dalam pada itu, Widura telah berbicara pula dengan Agung sedayu. Ia tidak dengan terus terang mengemukakan kepada anak muda itu, agar ia bersedia tinggal dirumah itu untuk sementara. Tetapi Widura telah minta agar Agung Sedayu bersedia menunggui Glagah Putih untuk satu dua hari. “Tentu aku tidak berkeberatan paman,“ jawab Agung Sedayu. Widura menarik nafas panjang. Katanya, “Terima kasih Agung Sedayu. Agaknya Kiai Gringsingpun akan tinggal disini untuk sementara, karena keadaan Sabungsari yang parah.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti bahwa Kiai Gringsing harus tinggal. Ternyata bahwa didalam lingkungan keprajuritan Pajang di Jati Anom terdapat beberapa pihak yang pantas mendapat perhatian. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat menyatakan sesuatu sikap. Ia tidak mengerti bagaimana seharusnya berbuat diantara mereka yang mempunyai ikatan yang khusus didalam lingkungan keprajuritan. Sedangkan iapun dapat mengemukakan hal itu kepada kakaknya, karena Agung Sedayu merasa bahwa ia masih tetap berdiri diluar batas keprajuritan. Iapun merasa segan, bahwa didalam setiap pembicaraan kakaknya akan selalu mendesaknya untuk menentukan sikap bagi masa depannya. Sehingga karena itu, maka seolah-olah Agung Sedayu selalu menghindari pembicaraan yang bersungguh-sungguh dengan Untara. Sementara itu, keadaan Glagah Putih memang sudah menjadi semakin baik. Ia tidak mengalami kesulitan yang sungguh-sungguh karena luka-lukanya yang tidak seberapa, serta bagian kepalanya yang agak membengkak diatas telinga. Dengan obat-obat yang diberikan oleh Kiai Gringsing maka, keadaannya segera menjadi baik. Namun demikian, ketika Agung Sedayu duduk bersama anak muda itu diserambi belakang, nampak wajah Glagah Putih masih diselubungi oleh kemurungan, sehingga Agung Sedayu bertanya, “Apakah kau masih merasa sakit ? Atau perasaan yang lain ?” Glagah Putih mengerutkan dahinya. Kemudian katanya, “Aku sudah sehat kakang. Aku tidak apa-apa.” “Tetapi kau tidak mencerminkan keadaanmu. Kau nampak murung, suram dan kadang-kadang nampak seperti orang sakit,“ berkata Agung Sedayu. Glagah Putih memandang Agung Sedayu sejenak. Kemudian sambil melemparkan tatapan matanya kekejauhan ia berkata, “Hatikulah yang terluka parah.” “Kenapa ?“ bertanya Agung Sedayu. “Kakang,“ suara Glagah Putih merendah, “nasibku terlalu buruk. Mungkin karena aku tidak memiliki sesuatu yang dapat aku pergunakan untuk melindungi diriku, sehingga aku selalu menjadi pangkal kesulitan.” Agung Sedayu menjadi heran. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Kenapa tiba-tiba saja kau merajuk seperti itu Glagah Putih.” “Kakang, cobalah menilai diriku dengan jujur. Tidak sekedar untuk menyenangkan hatiku, atau memberikan harapan-harapan yang kabur tentang masa depanku,“ Glagah Putih berhenti sejenak, lalu. “apakah kakang sebenarnya masih berpengharapan untuk meningkatkan ilmuku?”

Agung Sedayu terkejut. Kemudian dengan ragu-ragu ia bertanya, “Kenapa tiba-tiba saja kau merasa dirimu sangat kecil Glagah Putih ? Bukankah kau sendiri merasa, bahwa akhir-akhir ini kemajuanmu nampak semakin pesat. Kau telah bekerja dengan sungguh-sungguh, sehingga masa depanmu nampak semakin cerah didalam bidang olah kanuragan.” “Tetapi cobalah kakang menilai, bukankah aku selalu menimbulkan kesulitan ? Di Sangkal Putung, aku telah ditangkap oleh dua orang Pesisir Endut tanpa berbuat sesuatu. Hanya karena kebetulan saja, maka Pangeran Benawa berhasil menolong aku. Tetapi kematian kedua orang itu telah mengundang kesulitan yang lain. Carang Waja mendendam Sangkal Putung sampai batas hidupnya.” “Kedua orang Pesisir Endut itu memang bukan imbanganmu. Kecuali kau masih sangat muda, juga mereka berdua adalah orang-orang yang memang sudah dikenal memiliki kelebihan.” “Selanjutnya, ketika kita berada di Pesisir. Aku sama sekali tidak dapat membantu kakang Agung Sedayu. Justru akulah yang hampir menjerumuskan kakang Agung Sedayu kedalam kesulitan yang tidak teratasi. Untunglah bahwa tiba-tiba salah seorang dari mereka dicengkam oleh keadaan yang sulit, sehingga kita sempat melarikan diri.” “Tetapi bukankah pengalaman-pengalaman yang demikian itulah yang kau inginkan ? Bukankah kau menolak untuk berjalan melalui jalan yang rata, lebar dan ramai ? Jalan yang sehari-hari dilalui orang banyak dengan kedai-kedai yang menjajakan makanan dipinggirnya?“ bertanya Agung Sedayu. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk kecil ia menjawab, “Kakang benar. Tetapi dengan demikian aku telah melihat betapa aku adalah orang kerdil diantara raksasa-raksasa yang buas sekarang ini.” “Jangan memperkecil diri. Kau harus melihat sebab-sebabnya. Sejak kapan kau dengan sungguhsungguh belajar olah kanuragan. Sekarang berapa umurmu dan pada tataran yang mana kau berada didalam tata susunan olah kanuragan. Kau harus membuat perbandingan-perbandingan yang seimbang.” “Kakang, aku melihat kenyataan. Yang terakhir, sekarang aku membuat bukan saja kakang Agung Sedayu, tetapi juga kakang Untara dan para prajurit Pajang di Jati Anom menjadi bingung, cemas dan kehilangan kesempatan bertindak, hanya karena kedunguanku.” “Kau dibayangi oleh kekecewaan. Jangan berhati kecil. Aku adalah seorang penakut yang tidak ada duanya seperti yang pernah aku katakan dimasa kanak-kanakku. Tetapi dengan tekun aku kemudian sempat memiliki ilmu setingkat demi setingkat. Akupun kadang-kadang merasa terlalu kecil pada suatu saat. Tetapi aku merasa bahwa aku tidak akan mungkin dengan tiba-tiba memiliki tataran kemampuan seperti kakang Untara, apalagi seperti Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya yang memiliki jalan yang khusus untuk mencapai tatarannya yang sekarang.“ sahut Agung Sedayu, kemudian, “kemauan yang keras dan latihan yang tekun akan sangat berguna. Namun kau tidak boleh melupakan barang sekejappun, bahwa kau selalu dikejar satu pertanyaan, untuk apa sebenarnya kau meningkatkan ilmu?”

Glagah Putih termangu-mangu. Dipandanginya wajah Agung Sedayu sejenak. Kemudian perlahanlahan kepalanyapun mulai menunduk. Pertanyaan yang diucapkan Agung Sedayu itu kembali terngiang di telinganya, “Untuk apa sebenarnya ia meningkatkan ilmunya?” Dalam pada itu, Agung Sedayupun berkata selanjutnya, “Glagah Putih. Akupun kadang-kadang berbangga didalam hati sebagaimana satu kewajaran pada setiap orang apabila ia memiliki sesuatu yang lebin baik dari orang lain. Akupun merasa bangga apabila aku dapat melihat suatu kenyataan bahwa aku menang atas orang lain dalam benturan ilmu. Tetapi apakah itu merupakan jawaban atas pertanyaan tentang peningkatan ilmu itu sendiri bagiku? Apakah aku berusaha untuk mencapai tataran yang lebih tinggi dalam olah kanuragan sekedar untuk menyatakan kelebihanku dari orang lain, dan kemudian dengan semena-mena memaksakan kehendakku kepada orang lain?” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam, ia mengerti maksud Agung Sedayu. Katanya, “Aku dapat meraba jawaban yang kakang kehendaki. Kakang ingin selalu mengingatkan, agar peningkatan ilmu itu selalu disertai kesadaran bahwa kemampuan ilmu itu harus diamalkan untuk tujuan yang baik. Baik dalam pengertian bebrayan agung. Bukan baik bagi diri sendiri. Sebenarnyalah bahwa ada batasan-batasan yang meskipun bukan batas mati, namun berlaku bagi bebrayan dan hubungan dengan masa abadi kelak.” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kau adalah seorang anak muda yang memiliki ketangkasan berpikir. Sebagian besar dari yang kau katakan, memang yang aku maksud.” “Apakah ada sebagian kecil yang berbeda dengan maksud kakang ?” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Dalam hubungan dengan bebrayan agung kau benar Glagah Putih. Ada batasan-batasan mengenai kebenaran, tetapi batas-batas itu bukannya batas mati. Tetapi yang baik dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, adalah baik dalam pengertian mutlak. Yang baik adalah baik, dan yang buruk adalah buruk.” Glagah Putih mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Jadi, bagaimana bagi yang buruk? Apakah ia harus kehilangan harapan untuk dapat bergeser kedaerah yang baik?” “Bukan maksudku berbicara tentang batas baik dan buruk. Tetapi setidak-tidaknya menurut pendapatku, yang baik adalah baik dan yang buruk adalah buruk. Tetapi jika yang kau maksud, bahwa seseorang yang terperosok kedalam kesalahan, maka baginya pintu akan tetap terbuka untuk menggeser diri kedalam lingkungan yang terang, apabila ia telah bertobat. Aku pernah mengatakan, bertobat bukan sekedar mengakui kesalahan. Tetapi berjanji kepada diri sendiri, untuk tidak mengulanginya. Itu bukan berarti bahwa yang pernah dilakukan itu berubah menjadi cemerlang. Tetapi yang buruk itu tetap buruk. Namun yang buruk itu telah diampuni.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Beberapa kali ia terlibat dalam pembicaraan yang membuat keningnya berkerut-merut. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu berkata, “Jangan terlalu kau

pikirkan. Jika kau tahu, bahwa ilmu itu harus kau amalkan, maka kau mempunyai landasan yang kuat.” Glagah Putih mengangguk-angguk, sementara Agung Sedayu berkata selanjutnya, “Mudahnya, kau harus berbuat baik dengan ilmu itu. Karena sebenarnyalah bahwa kemampuan dalam olah kanuragan bukannya alat yang paling baik untuk memecahkan persoalan yang dapat timbul diantara sesama. Tetapi justru alat yang paling buruk.” “Aku mengerti kakang,“ desis Glagah Putih. Tetapi Agung Sedayupun mengerti, bahwa pada dada anak muda itu, masih saja bergolak keinginannya untuk meningkatkan ilmu secepat dapat dilakukan. Meskipun demikian, ia harus menahan hati. Apalagi ketika Agung Sedayu berkata, “Kau masih harus beristirahat untuk satu dua hari agar keadaanmu dapat pulih kembali.” Glagah Putih menarik nafas dalam. Itu adalah satu isyarat, bahwa latihan-latihan berikutnya harus dimulai paling cepat dua hari lagi, setelah keadaan tubuhnya dianggap sudah menjadi baik. “Aku sekarang sudah baik,“ berkata Glagah Putih didalam hatinya, “tetapi setiap orang mengatakan, aku masih lemah dan pucat. Mereka tidak merasakan, tetapi seakan-akan mereka lebih tahu dari aku sendiri.” Namun demikian, ia harus mengikuti petunjuk Agung Sedayu, karena Agung Sedayulah yang kemudian akan menuntunnya seperti yang telah dilakukannya. Dalam pada itu, Ki Widura yang hilir mudik dari Banyu Asri ke Jati Anom, karena jaraknya memang tidak begitu jauh, masih juga menasehati agar Glagah Putih lebih banyak berada dipembaringannya. “Kepala rasa-rasanya bertambah pening jika aku terisau lama dipembaringan, ayah,“ berkata Glagah Putih. “Tetapi jangan terlalu banyak berbuat sesuatu. Kau benar-benar harus beristirahat. Untunglah bahwa benturan pada kepalamu itu tidak menumbuhkan cidera,“ berkata Widura kemudian. “Menurut Kiai Gringsing, jika aku tidak merasa sangat pening dan muntah-muntah, maka keadaannya tidak berbahaya,“ jawab Glagah Putih. “Tetapi jika yang tidak berbahaya itu kau abaikan, maka akhirnya akan dapat benar-benar menjadi berbahaya,“ jawab ayahnya. Glagah Putih tidak menjawab. Apalagi ketika Agung Sedayu mendesaknya pula. Sementara itu, Kiai Gringsing masih harus berjuang untuk menyelamatkan Sabungsari. Ketika sehari kemudian, prajurit muda itu sudah dapat tidur nyenyak, dan mulutnya sudah mulai mencicipi bubur cair, maka Kiai Gringsing menjadi lebih tenang. Sambil berdoa didalam hati, ia telah memberikan obat-obat yang paling baik yang dimilikinya, dengan

teliti dan hati-hati. Semakin lama ia semakin yakin, bahwa yang dilakukan itu agaknya sudah benar. Obat yang dipergunakan agaknya sesuai dengan Sabungsari, sehingga penderitaannyapun nampak menjadi semakin ringan. Untara yang semula -merasa sangat cemas, dan kadang-kadang masih juga dihinggapi keragu-raguan, menjadi yakin pula, bahwa Sabungsari akan dapat disembuhkan. Demikianlah, maka untuk beberapa hari, Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Glagah Putih berada dirumah Untara. Dengan demikian maka mulailah timbul kejemuan Glagah Putih, karena dirumah itu ia masih saja dianggap sebagai seorang kanak-kanak. Isteri Untara terlalu baik kepadanya. Bahkan kadang-kadang isteri Untara masih juga bertanya kepadanya, “Glagah Putih. Untuk nanti siang, aku akan membuat asem-asem kacang panjang. He, apakeh kau mempunyai pilihan lain ? Jika kau ingin aku membuat yang lain, katakan.” Glagah Putih kadang-kadang merasa jengkel jika ia diperlakukan seperti kanak-kanak. Tetapi ia mengerti, bahwa isteri kakak sepupunya itu bermaksud baik sekali. Ia tahu, bahwa Glagah Putih baru sembuh dari suatu kecelakaan yang cukup gawat. Karena itu, ia ingin membuat anak itu menjadi gembira. Mempunyai nafsu makan dan kerasan tinggal di Jati Anom. Tetapi ia tidak mengetahui perasaan Glagah Putih yang sebenarnya. Glagah Putih ingin menyatakan dirinya bukan lagi sebagai kanak-kanak, tetapi ia ingin menyebut dirinya sebagai anak muda yang sudah dewasa. Yang sudah berhak menentukan sesuatu bagi dirinya sendiri. Yang sudah wajib bertanggung jawab atas keselamatannya sendiri tanpa menggantungkan diri kepada orang lain. Namun demikian, Glagah Putih merasa, bahwa tidak akan dapat menyampaikannya kepada Untara atau isterinya. Ia harus menerima sikap itu betapapun tidak sesuai dengan perasaannya. Namun akhirnya ia tidak sabar lagi sehingga ia memberanikan diri berkata kepada Agung Sedayu, “Kakang, sampai kapan kita berada disini ? Sabungsari sudah berangsur baik. Ia sudah mulai dapat duduk dan bahkan bergeser ketepi pembaringannya. Ia mulai nampak semakin merah diwajahnya, dan iapun mulai makan semakin banyak, meskipun masih bubur cair.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi setiap saat keadaannya masih dapat berubah. Karena itu, guru masih merasa perlu untuk menungguinya.” “Jarak dari padepokan kemari sangat dekat. Apalagi jika kita berkuda. Kiai Gringsing dapat hilir mudik setiap saat dikehendaki, atau jika ia diperlukan, maka setiap saat satu atau dua orang dapat menyusulnya kepadepokan.“ Sungut Glagah Putih.

Agung Sedayu tersenyum. Ia mengerti kejemuan anak muda itu. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Aku akan mencoba menyampaikannya kepada guru.” “Kapan ? desak Glagah Putih. “Kapan saja ada kesempatan yang baik.” “Sebulan atau tiga bulan ?” Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Jangan terlalu mudah kecewa. Kau harus melatih kesabaran. Kesabaran akan menjadi bagian yang ikut menentukan didalam olah kanuragan. Dalam keadaan tertentu kau akan dihadapkan pada suatu keadaan yang hanya dapat diatasi dengan kesabaran.” Glagah Putih merenung sejenak. Namun akhirnya ia mengangguk kecil. Tetapi kemudian ia bertanya, “Tetapi sampai kapan kita harus bersabar ?” “Tentu tidak akan terlalu lama,“ jawab Agung Sedayu, lalu katanya kemudian, “namun Glagah Putih, kesabaran itu mengandung banyak segi kebaikannya. Orang yang sabar, biasanya tabah menghadapi sesuatu. Biasanya tekun pula dan tidak cepat putus asa. Orang yang sabar akan disukai oleh kawankawannya karena ia tidak cepat menjadi marah.” Glagah Putih tidak menjawab. Namun didalam hati ia berkata, “Kesabaran yang berlebih-lebihan akan menjerat diri kita sendiri. Kita tidak akan berbuat apa-apa, meskipun orang lain telah menginjak hak kita dan bahkan menghinakan kita.” Meskipun hal itu tidak dikatakannya, namun seolah-olah Agung Sedayu dapat mendengarnya dengan telinga hatinya. Maka katanya kemudian, “Glagah Putih. Ada perbedaan antara kesabaran dan kelemahan. Dan yang kita bicarakan adalah kesabaran.” “Ya, ya kakang,“ dengan serta-merta Glagah Putih menjawab. Agung Sedayu menarik nafas. Tetapi iapun kemudian berkata, “Kawanilah Sabungsari. Aku akan berbicara dengan kakang Untara, mumpung aku masih ada disini.” Ketika Glagah Putih kemudian masuk kedalam bilik Sabungsari dan duduk dibibir pembaringannya, maka Agung Sedayu telah menemui kakaknya yang duduk dipendapa seorang diri. Beberapa orang prajurit yang berada dihalaman tidak mendekatinya jika Untara tidak memanggil mereka. “Bagaimana dengan Glagah Putih ? “ Untaralah yang pertama-tama telah bertanya. “Ia sudah baik kakang. Ia sudah selalu mendesak untuk segera kembali kepadepokan.” “Kenapa ia ingin segera kembali ? Apakah ia tidak kerasan tinggal disini ?“ bertanya Untara.

“Bukan tidak kerasan, tetapi ia ingin segera menghilangkan kesan, seolah-olah ia masih dalam perawatan. Anak itu ingin segera mulai berlatih.” Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Sebenarnya aku tidak mempunyai keberatan apa-apa, jika tidak terjadi peristiwa yang menyangkut beberapa orang dari lingkungan para prajurit Pajang di Jati Anom. Kau sudah menyebut nama orang yang kau curigai telah terlibat langsung dalam usaha pembunuhan itu. Tetapi kau tidak dapat menunjukkan bukti-bukti yang berarti. Karena itu, aku memerlukan waktu untuk dapat membuktikan, atau dapat menuduhnya bahwa ia benar-Denar telah melakukan kesalahan itu.” “Aku menyesal, bahwa prajurit yang mengobati Sabungsari itu terbunuh,“ berkata Agung Sedayu. “Ya. Dan itu bukannya satu kebetulan. Aku tidak dapat mengatakan dengan pasti. Tetapi menilik peristiwa yang terjadi, maka orang itu tentu telah terlibat usaha orang yang ingin membunuhmu.” “Ya. Dan sumber keterangan itu telah terbungkam untuk selama-lamanya.” Untara mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak segera mengatakan sesuatu. Dipandanginya regol halaman rumahnya. Regol yang sudah dikenalnya sejak ia kanak-kanak. Yang sudah banyak sekali menyaksikan peristiwa demi peristiwa. Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Sebaiknya kalian tidak tergesa-gesa meninggalkan rumah ini. Aku masih selalu mencemaskan nasib kalian.” “Tetapi kakang. Jika kami selalu berada dirumah ini, maka tentu tidak akan ada perkembangan keadaan yang dapat membawa petunjuk apapun tentang peristiwa ini,“ jawab Agung Sedayu. Untara termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, “Aku memang belum dapat berbuat banyak. Tetapi jika kalian kembali kepadepokan, apakah tidak mustahil, bahwa akan datang kepadepokan kecilmu itu sepasukan yang kuat, siap untuk membunuhmu, Glagah Putih dan Kiai Gringsing.” Agung Sedayu tidak dapat ingkar akan kemungkinan itu. Namun katanya, “Tetapi bukankah tidak mungkin bagi kami untuk tetap tinggal disini ? Mungkin ada suatu cara yang dapat kami lakukan untuk menjaga agar kami tidak terjebak kedalam kesulitan yang menentukan.” Untara memandang adiknya dengan tajamnya. Adiknya yang penuh dengan berbagai macam pertimbangan untuk melangkah setapak kaki. Tetapi yang pada suatu saat sulit di cegah kemauannya. Meskipun demikian, ada juga yang dipertimbangkan pada pendapat Agung Sedayu. Jika ia tetap berada di rumah itu bersama Kiai Gringsing dan Glagah Putih, maka persoalannya seolah-olah akan

membeku. Tetapi sudah tentu ia tidak akan sampai hati mengumpankan adiknya untuk memancing persoalan baru, sehingga dapat membuka jalan baginya mengadakan penyelidikan selanjutnya. “Jika jebakan itu justru berakibat gawat bagi Agung Sedayu,“ katanya didalam hati. Namun dalam pada itu Agung Sedayu berkata, “Kakang. Bukankah pada suatu saat aku memang harus kembali kepadepokan itu ? Dengan demikian, maka persoalannya akan menjadi sama saja, selain dibedakan oleh waktu.” Untara merenungi keadaannya sejenak. Kemudian katanya, “Apakah kau tidak mencemaskan keadaanmu dan seisi padepokan kecil itu ?” “Kami akan berhati-hati kakang. Jika kami pada suatu saat menganggap perlu, kami akan menghubungi kakang disini,“ jawab Agung Sedayu. Untara termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Baiklah Agung Sedayu. Tetapi kami tidak akan dapat melepaskanmu begitu saja. Kami akan meletakkan satu gardu pengawasan didekat padepokan kecilmu.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dan Untara agaknya mengerti perasaannya. Katanya, “Memang mungkin, justru orang-orang yang memusuhimu yang berada didalam gardu pengawas itu. Tetapi aku akan melakukan dengan hati-hati. Aku akan mencari sejauh-jauh dapat aku lakukan, untuk menghindari kemungkinan itu. Pengawasan itu akan dilengkapi dengan alat-alat isyarat. Kentongan dan panah sendaren. Gardu itu akan menerima isyarat dari padepokan jika ada sesuatu yang mendesak. Dan akan segera meneruskan isyarat itu kepadaku, atau petugas yang dirumah ini.” “Kami akan sangat merepotkan kakang dan para prajurit,“ berkata Agung Sedayu. “Bukan karena kau adikku. Tetapi aku memang berkewajiban melindungi siapa saja dalam batas-batas kemungkinan yang dapat aku lakukan. Kau telah terancam dengan beberapa kenyataan yang terjadi sesuai dengan yang kau laporkan. Yang terjadi pada Sabungsari agaknya telah memberikan penjelasan atas peristiwa itu, meskipun yang sebenarnya masih tetap gelap. Sehingga karena itu, aku wajib untuk berjaga-jaga agar kau tidak terjebak kedalam peristiwa yang tidak kita kehendaki.” Agung Sedayu tidak dapat menolak. Iapun tidak dapat ingkar, bahwa bahaya yang demikian itu akan dapat datang kepadanya setiap saat. Karena itu, maka sejenak kemudian Untarapun memberikan beberapa penjelasan kepada Agung Sedayu, agar ia membatasi diri didalam lingkungan yang sempit. Jika ia ingin pergi kesawah, maka ia harus dapat menjaga agar ia tetap dapat memberikan isyarat jika diperlukan.

“Aku akan meletakkan gardu itu pada tempat yang paling baik, setelah aku mendapat laporan dari orang-orang yang benar-benar aku percaya. Aku akan memberitahukan kepadamu, dan kemudian kau boleh kembali kepadepokan.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sementara Untara berkata, “Untuk itu aku memerlukan waktu paling lama dua hari.” Agung Sedayu tidak dapat membantah. Iapun kemudian mengangguk sambil berkata, “Mana yang paling baik menurut pertimbangan kakang. Aku mengucapkan terima kasih atas segala perhatian dan perlindungan yang akan kakang berikan.” “Tetapi itu bukan berarti bahwa kau dapat tidur nyenyak tanpa berbuat sesuatu dan kehilangan kewaspadaan,“ desis Untara. “Aku mengerti kakang,“ sahut Agung Sedayu sambil mengangguk-angguk. Namun sementara itu, wajah Untara tiba-tiba saja menegang. Tetapi hanya sesaat. Ketegangan itupun segera lenyap dari wajahnya. Katanya kemudian, “Masuklah Agung Sedayu. Yang datang itu adalah Ki Pringgajaya.” Agung Sedayulah yang kemudian menegang. Tetapi seperti yang diperintahkan oleh kakaknya, maka iapun segera masuk keruang dalam. Namun dari ruang dalam, ia turun lewat longkangan dan ruang belakang gandok rumahnya memasuki bilik Sabungsari. Ada semacam isyarat didalam hatinya, bahwa ia harus menunggui prajurit muda yang sakit itu. Ia menarik nafas dalam-dalam, ketika melihat Kiai Gringsing dan Glagah Putih telah ada didalam bilik itu pula. Dengan hati-hati ia berdesis, “Ki Pringgajaya datang menghadap kakang Untara.” “He,“ Glagah Putihlah yang bergeser maju. Tetapi Agung Sedayu berdesis, “Jangan berbuat sesuatu. Semuanya tidak jelas bagi kita.” Glagah Putih memandang wajah Agung Sedayu sejenak. Tetapi iapun kemudian menundukkan kepalanya. Sabungsari yang juga mendengar kata-kata Agung Sedayu itu menggeram. Katanya, “Ia masih berani datang menghadap Ki Untara ?” Agung Sedayu termangu-mangu. Ia melihat seleret kebencian di sorot mata Sabungsari. Namun yang menjawab kemudian adalah Kiai Gringsing, “Kita harus menahan diri, Sabungsari. Meskipun kau yakin, bahwa Ki Pringgajaya benar-benar menginginkan kematian Agung Sedayu, dan bahkan kemudian kau sendiri hampir saja menjadi korban,

tetapi kita tidak boleh berbuat tanpa perhitungan. Dengan demikian, kita justru akan kehilangan kesempatan untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.” Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. “Kau harus bersikap pura-pura,“ berkata Kiai Gringsing, “seperti Ki Pringgajaya yang dengan pura-pura merasa dirinya bersih dari segala noda, sehingga ia dengan wajah tengadah berani menghadap Ki Untara, maka kaupun harus berpura-pura menanggapi kedatangannya tanpa prasangka dan perasaan apapun, apabila ia menengokmu didalam bilik ini.” “Mudah-mudahan ia tidak melakukannya,“ berkata Sabungsari, “meskipun aku mengerti maksud Kiai, tetapi jika aku tidak dapat menahan hati, maka mungkin sekali aku akan lupa diri.” “Ada dua kerugian yang akan kita alami,“ berkata Kiai Gringsing, “pertama, kau masih dalam keadaan sangat lemah. Jika kau tidak dapat menguasai diri, maka keadaanmu akan menjadi semakin memburuk. Sedangkan kedua, mungkin semua usaha kita akan tertutup sama sekali untuk dapat menjebaknya.” Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian menjawab. “Tetapi Kiai, bukankah Ki Pringgajaya juga mengetahui, bahwa sikapku itu hanya pura-pura saja. Bukankah ia mengetahui dengan pasti, bahwa aku tahu apa yang dilakukannya, karena aku telah berhadapan langsung dengan orang itu.” “Permainan yang demikian itulah yang akan kita lakukan kemudian. Siapa yang tabah, cerdik dan dapat mempergunakan setiap keadaan dengan cermat dan tepat, maka ia akan dapat memenangkan permainan ini.” berkata Kiai Gringsing kemudian, “Sabungsari. Bukankah kaupun mengetahui bahwa sikapnya itu hanya berpura-pura. Apa yang diketahuinya tentang permainan ini, juga kauketahui. Masalahnya adalah pembuktian dan kelengkapan kesaksian. Nah, karena itulah maka kita semuanya harus dapat menahan diri.” Sabungsari mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Aku akan mencoba Kiai. Tetapi aku mengharap agar ia tidak datang keruang ini.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia percaya bahwa Sabungsari akan dapat menahan diri, sehingga tidak akan terjadi sesuatu yang dapat mengganggu keadaannya. Keadaan tubuhnya yang masih parah, dan mengganggu segala usaha untuk dapat memecahkan persoalan yang terselubung itu. Sementara itu, Ki Pringgajaya yang memasuki halaman rumah Ki Untara itu telah naik kependapa. Sebenarnyalah seperti yang diduga oleh Ki Untara, bahwa Pringgajaya telah berusaha untuk menghapuskan segala kesan yang ada didalam dirinya tentang peristiwa yang mengejutkan para

prajurit di Jati Anom itu. Setelah duduk dihadapan Ki Untara, maka Ki Pringgajaya itupun berkata, “Maaf Ki Untara, bahwa baru sekarang aku sempat datang.” “O,“ Untarapun sama sekali tidak menunjukkan kesan apapun di wajahnya, “kemana kau selama ini Ki Pringgajaya ?” “Bukankah aku mendapat beberapa hari istirahat? Aku telah mempergunakan waktu itu sebaikbaiknya,“ jawab Pringgajaya. “Kau meninggalkan Jati Anom ?” bertanya Ki Untara. “Maaf Ki Untara. Mungkin aku tidak melaporkannya. Tetapi aku memang meninggalkan Jati Anom selama aku mendapat waktu beristirahat. Tetapi tidak terlalu lama. Pada saatnya, aku sudah berada disini kembali.“ Ki Pringgajaya berhenti sejenak, lalu. “Tetapi ternyata aku mendengar berita yang sangat mengejutkan. Sesuatu telah terjadi atas Agung Sedayu, adik Ki Untara, dan seorang prajurit muda yang bernama Sabungsari.” “Ya jawab Untara,“ keduanya mengalami gangguan ditengah bulak panjang. Tetapi untunglah bahwa keduanya dapat meloloskan diri dari bahaya.” “Tetapi prajurit muda itu terluka parah,“ desis Ki Pringgajaya. “Ya. Ia terluka parah,“ jawab Untara, “tetapi keadaannya telah berangsur baik.” “Selebihnya, bahwa dihalaman inipun telah terjadi malapetaka. Seorang prajurit yang bertugas merawat Sabungsari telah berkhianat pula.” “Ya. Tetapi sayang, ia telah terpelanting dari kudanya dan terbunuh seketika, sehingga kami tidak mendapat keterangan apapun juga tentang segala peristiwa yang telah terjadi itu,“ berkata Untara. “Tetapi apakah kedua orang yang mengalami gangguan di bulak panjang itu tidak dapat mengatakan serba sedikit tentang orang-orang yang telah berbuat jahat itu ?” Untara menggeleng. Jawabnya, “Sayang. Mereka tidak dapat mengatakan sesuatu.” “Sama sekali ?“ bertanya Ki Pringgajaya. “Sama sekali. Itulah yang harus kita selidiki. Apakah sebenarnya yang telah terjadi ? Apakah benarbenar sekedar kejahatan yang dilakukan oleh penyamun yang salah memilih korban, atau oleh orang yang mempunyai maksud-maksud tertentu.”

Ki Pringgajaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Bagaimanapun juga, yang terjadi itu harus mendapat perhatian. Apakah Ki Untara sudah mulai memberikan tugas kepada petugas sandi atau kepada siapapun untuk menyelidiki masalah itu ?” “Belum Ki Pringgajaya. Aku akan berbicara dengan beberapa orang perwira dilingkungan kita di Jati Anom. Ki Pringgajaya yang selama ini merupakan salah seorang dari para perwira yang berpengaruh, tentu akan aku minta, agar Ki Pringgajaya memberikan pendapat. Demikian pula beberapa orang perwira yang lain dalam pertemuan yang khusus akan membicarakan masalah itu.” “Bagus. Semakin cepat semakin baik meskipun sebenarnya sudah agak terlambat,“ Ki Pringgajaya mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Apakah aku diperkenankan melihat keadaan Sabungsari ?” Sejenak Untara termenung. Ia tidak mengerti, apakah yang paling baik dilakukan. Apakah ia harus mengijinkan, atau tidak sama sekali. Untuk beberapa saat Untara berpikir. Namun agar Ki Pringgajaya tidak langsung menebak kecurigaannya, maka Untara berkata, “Keadaannya masih sangat buruk. Lukanya memang terlalu parah.” “Aku tidak akan mengganggunya. Aku hanya akan melihat keadaannya. Menurut pendapatku, Sabungsari adalah seorang prajurit yang baik. Ia telah berhasil mengalahkan orang yang menyebut dirinya Carang Waja, sehingga dengan demikian, maka Sabungsari adalah prajurit yang kemampuannya sudah melampaui tatarannya,“ berkata Ki Pringgajaya kemudian. “Ya. Ia memang memiliki kelebihan dari prajurit-prajurit dalam tatarannya. Bahkan beberapa orang perwira didalam lingkungan keprajuritan Pajang di Jati Anom, termasuk aku sendiri, harus mengakui kelebihannya.“ sahut Untara. Ki Pringgajaya menarik nafas dalam-dalam Meskipun demikian, ia memang harus mempertimbangkan keterangan Untara itu. Agaknya Sabungsari memang seorang prajurit yang memiliki kelebihan. “Tetapi apakah Sabungsari benar-benar melampaui setiap orang di lingkungan keprajuritan Pajang di Jati Anom ? “ pertanyaan itulah yang kemudian timbul didalam hatinya. Namun iapun kemudian berkata, “Mungkin Sabungsari mempunyai kelebihan dari Untara. Tetapi tidak dari aku, karena aku yakin, bahwa aku akan dapat mengalahkan Untara, jika aku mendapat kesempatan untuk berperang tanding.” Dalam pada itu, Untara yang ragu-ragu itu akhirnya berkata, “Ki Pringgajaya. Aku dapat mengijinkan kau melihat Sabungsari, tetapi hanya sebentar dan jangan mengganggunya, karena keadaannya masih sangat buruk.”

“Ya, Ki Untara. Aku akan menjaga agar aku tidak akan mengganggu keadaannya,“ jawab Ki Pringgajaya. Untarapun kemudian bangkit dan diikuti oleh Ki Pringgajaya pergi ke bilik Sabungsari yang terluka. Ketika mereka memasuki bilik itu, Ki Pringgajaya tertegun sejenak, karena didalam bilik itu terdapat Agung Sedayu, Glagah Putih dan Kiai Gringsing. “O,“ desis Ki Pringgajaya, “ada beberapa orang yang menungguinya.” “Ya,“ sahut Untara, “Kiai Gringsing adalah seorang tabib yang aku serahi untuk mengobati Sabungsari sepeninggal prajurit yang berkhianat itu.” “Aku sudah mendengar, bahwa Kiai Gringsing adalah seorang dukun yang mumpuni. Tentu ia akan dapat mengobati luka Sabungsari sebaik-baiknya,“ sahut Ki Pringgajaya. Dan ternyata diluar kebiasaannya. Kiai Gringsing telah menyahut, “Ya, Ki Pringgajaya. Aku akan mengobatinya sehingga sembuh. Meskipun lukanya sangat parah, tetapi karena aku memiliki kemampuan yang memadai, maka aku akan segera berhasil menyembuhkannya.” Orang-orang yang mendengar jawaban Kiai Gringsing itu menjadi heran. Tetapi tidak seorangpun yang menyahut. Ki Pringgajaya yang mengerutkan keningnya itupun tidak menanggapinya, meskipun nampak sesuatu tergetar didalam hatinya. Dalam pada itu, Sabungsari sendiri harus berjuang menahan perasaannya. Ternyata Ki Pringgajaya benar-benar seorang yang cerdik. Ia justru datang menengok Sabungsari yang terluka berat setelah ia terlibat dalam usaha pembunuhan Agung Sedayu yang gagal itu. Jika saja ia tidak selalu ingat segala pesan, maka ia tentu sudah menerkam wajah Ki Pringgajaya yang kemudian berdiri disisi pembaringannya. “Bagaimana keadaanmu Sabungsari,“ desis Ki Pringgajaya. Wajah Sabungsari menjadi merah padam. Ki Pringgajaya tahu pasti, bahwa Sabungsari mengerti tentang rencananya untuk membunuh Agung Sedayu. Bahkan Ki Pringgajaya telah memberinya kesempatan untuk melakukannya. Tetapi yang dilakukan adalah sikap pura-pura. “Kini Ki Pringgajaya agaknya ingin membalas sakit hatinya itu,“ berkata Sabungsari didalam hatinya. Dan adalah diluar dugaan pula, bahwa Agung Sedayulah yang kemudian menjawab, “Sakitnya sebenarnya memang sangat parah Ki Pringgajaya. Jika bukan Kiai Gringsing yang mengobatinya, mungkin ia sudah mati. Prajurit yang ditugaskan untuk merawatnya itupun tidak mampu melakukannya, sehingga ia lebih senang untuk membunuh diri dengan melemparkan dirinya dari punggung kuda.” Ki Pringgajaya mengerutkan keningnya. Keterangan Agung Sedayu itu memang tidak masuk akal. Tetapi nampaknya Agung Sedayu ingin mengatakan, bahwa telah terjadi satu kelainan sikap dari prajurit yang merawat Sabungsari.

Sejenak Ki Pringgajaya termangu-mangu. Namun iapun kemudian tersenyum sambil berkata, “Mudahmudahan kau lekas sembuh Sabungsari. Kau akan segera ikut mencari siapakah yang telah melakukan kejahatan yang licik itu.” Untara menjadi berdebar-debar. Jika Sabungsari dan Agung Sedayu tidak dapat menahan diri, maka persoalannya akan dapat tumbuh dengan cepat dan gawat, sehingga ia harus melakukan satu sikap yang cepat untuk mengatasi keadaan. Untunglah Sabungsari masih dapat berpikir meskipun tubuhnya masih belum sembuh. Sikap Kiai Gringsing dan Agung Sedayu telah membuka hatinya pula. Ia menyadari, bahwa Ki Pringgajaya dengan sengaja membuat hatinya sakit dan tersiksa, sehingga dengan demikian, maka hal itu akan dapat mempengaruhi kesehatannya yang mulai berangsur baik. Betapapun dadanya bergejolak, namun iapun kemudian berkata, “Ki Pringgajaya. Aku mengucapkan terima kasih, bahwa Ki Pringgajaya telah memerlukan waktu khusus untuk menengokku. Selama ini hanya beberapa orang kawan setataranku sajalah yang sempat menengokku, kecuali Ki Untara sendiri dan orang-orang yang sekarang ada didalam biliku. Dengan demikian, aku dapat mengerti, betapa tinggi budi Ki Pringgajaya, karena aku hanyalah seorang prajurit pada tataran yang terendah.” Semburat merah membayang diwajah Ki Pringgajaya. Namun segera lenyap dan justru senyumnyalah yang tergores dibibirnya. Katanya lembut, “Jarang ada orang yang memujiku. Sekarang seorang pahlawan muda inilah yang mengucapkannya.” Sabungsari memaksa bibirnya untuk tersenyum. Ketika ia sempat berpaling kepada Kiai Gringsing, maka dilihatnya orang tua itu tersenyum pula. “Ki Pringgajaya,“ berkata Sabungsari, “aku sama sekali tidak bermaksud memuji. Tetapi aku benarbenar merasa terharu atas kesediaan Ki Pringgajaya untuk menengokku.” Ki Pringgajaya mengumpat didalam hatinya. Ternyata anak yang menjadi gemetar menahan marah karena kehadirannya tu, tidak melontarkan tuduhan yang tidak dapat dibuktikannya, sehingga dengan demikian Ki Pringgajaya juga akan mendapat kesempatan untuk menggugatnya kembali bersama Agung Sedayu. Tetapi anak itu justru bersikap sangat menjengkelkan. Meskipun demikian Ki Pringgajaya tetap menyadari keadaannya. Bahkan iapun kemudian mendekati Sabung sari dan meraba keningnya. “Tubuhnya tidak menjadi panas,“ desisnya. “Ketika aku masih dalam perawatan prajurit yang mengalami kecelakaan itu, tubuhku memang menjadi panas seperti terbakar. Tetapi demikian aku disentuh tangan Kiai Gringsing, keadaan dengan cepatnya menjadi baik.” Ki Pringgajaya mengerutkan keningnya, dan Sabungsari berkata selanjutnya, “Kiai Gringsing memang

seorang dukun yang luar biasa.” “Ya,“ Ki Pringgajaya mengangguk-angguk sambil tersenyum, “sudah aku katakan, bahwa akupun pernah mendengarnya. Dan aku tidak akan menolak pengakuan sebagian orang atas kemampuannya.” “Dan akupun telah membuktikannya. Bukan baru kali ini, tetapi disaat aku membunuh Carang Waja. Orang yang menurut pendengaranku adalah orang yang tidak terkalahkan. Tetapi ia mati oleh tanganku, meskipun aku terluka parah. Untunglah, Kiai Gringsing cepat menangani keadaanku, sehingga aku dapat tertolong. Seperti juga kali ini, akupun ternyata telah tertolong,“ sahut Sabungsari. Ki Pringgajaya masih saja mengumpat-umpat didalam hati. Ia tidak berhasil menyakiti hati Sabungsari yang sedang terbaring itu. Bahkan hatinya sendirilah yang menjadi sakit karenanya. Karena itu, maka katanya kemudian, “Aku akan minta diri. Mudah-mudahan kau cepat sembuh Sabungsari. Kau tentu akan mendapat perhatian jauh lebih dahulu dari kawan-kawan sebayamu saat memasuki lingkungan keprajuritan.” “Terima kasih Ki Pringgajaya,“ jawab Sabungsari, “sebenarnya akupun sudah ingin bertanya, apakah imbalan yang akan aku terima setelah aku membunuh Carang Waja dan kini orang-orang yang mengaku mempunyai persoalan dengan aku dan Agung Sedayu tetapi tanpa menjelaskan masalahnya.” Ki Pringgajaya tertawa. Katanya, “Orang yang sakit dan mengalami kenaikan panas badan, kadangkadang memang dapat melihat sesuatu yang sebenarnya tidak pernah ada. Tetapi kau benar-benar pernah mengalami sesuatu meskipun yang kau alami itu menurut pendengaranku adalah sangat aneh. Kau dan Agung Sedyu telah berhasil membunuh lawan-lawanmu, tetapi mayat mereka tidak pernah dapat diketemukan.” Terasa dada Sabungsari bergetar. Demikian juga Agung Sedayu. Namun mereka masih tetap berusaha menahan diri. Dalam pada itu, ternyata Untaralah yang telah menjawab, “Apa yang aneh Ki Pringgajaya ? Sama sekali tidak ada yang aneh. Agung Sedayu dan Sabungsari telah membunuh lawannya. Ketika mayat itu ditinggal di tengah bulak panjang, maka mayat itu telah diambil oleh

kawan-kawan mereka. Bukankah wajar sekali.” Wajah Ki Pringgajaya menjadi merah. Tetapi juga hanya sesaat. Iapun kemudian tersenyum pula sambil menjawab, “Benar Ki Untara. Memang tidak aneh. Ya, hal itu memang dapat terjadi.” “Nah, jika Ki Pringgajaya sudah cukup, marilah kita keluar dari bilik yang pengap ini. Lebih baik kita duduk dipendapa. Sudah aku katakan, bahwa kita pada suatu saat akan membicarakan masalah yang rumit ini, tetapi sama sekali tidak aneh.” Ki Pringgajaya tidak dapat membantah. Iapun kemudian mengikuti tentara melangkah kepintu bilik itu setelah ia minta diri kepada orang-orang yang ada didalamnya. Kemudian kepada Sabungsari ia berkata, “Mudah-mudahan kau cepat sembuh. Kau akan segera dapat bertugas lagi dalam lingkungan keprajuritan. Jika diperkenankan, aku akan memohon kepada Senapati Untara, agar kau mendapat tugas pada lingkunganku. Aku memerlukan prajurit-prajurit muda seperti kau.“ Jawaban Sabungsari benar-benar mengejutkan, “Semua pimpinan kelompok telah menyatakan keinginannya untuk menarik aku kedalam lingkungan mereka masing-masing, selelah mereka mengetahui kemampuanku. Tetapi aku yakin bahwa Senapati prajurit Pajang di Jati Anom tidak akan kurang bijaksana, bahwa aku akan ditempatkan pada kelompok yang dipimpin oleh seorang perwira yang memiliki kemampuan melampaui aku.” Terdengar gigi Ki Pringgajaya gemeretak. Namun bagaimanapun juga ia harus menahan dirinya. Di ruang itu terdapat Agung Sedayu, gurunya dan disaksikan oleh Ki Untara sebagai Senapati prajurit Pajang di Jati Anom. Karena itu, gejolak hatinya itupun ditahankannya didalam dadanya. Ia tidak sempat menjawab apapun juga, karena Untara kemudian berkata, “Apakah kalian sudah mulai akan menilai kebijaksanaanku sebagai Senapati di daerah ini ?” “Tidak, bukan maksudku,“ jawab Ki Pringgajaya. Sementara Sabungsari yang merasa kurang dapat mengendalikan kata-katanya segera menyahut pula, “Aku mohon maaf Senapati. Aku hanya ingin bergurau.” Untara mengerutkan keningnya. Ia tahu pasti bahwa Sabungsari tidak ingin bergurau. Bahkan menurut penilaiannya, yang dikatakan oleh Sabungsari itu adalah gejolak perasaannya, sehingga dengan tidak langsung ia sudah menilai kemampuannya dengan kemampuan Ki Pringgajaya. Malahan kata-kata Sabungsari itu dapat diartikan sebagai suatu tantangan terhadap Ki Pringgajaya yang telah berbuat licik terhadap Agung Sedayu. Tetapi Untara tidak memberi kesempatan mereka berbantah lebih lama lagi. Sekali lagi ia berkata,

“Marilah Ki Pringgajaya.” Dan Ki Pringgajaya yang sudah berdiri dipintu itupun melanjutkan langkahnya menuruni longkangan dan kemudian naik kependapa. Namun betapapun juga, terasa hati Ki Pringgajaya bagaikan membara mendengar kata-kata Sabungsari yang baru mulai sembuh itu. Untuk beberapa saat kemudin Ki Pringgajaya duduk di pendapa. Tetapi terasa dadanya bagaikan bergejolak. Ia bukan seorang yang tidak memiliki perasaan sama sekali, sehingga dengan demikian, iapun mengerti, bahwa Sabungsari telah menantangnya. Ia mengerti bahwa Sabungsari menganggap bahwa kemampuannya tidak akan dapat mengimbangi kemampuan anak muda yang terluka itu. “Anak itu memang harus dibunuh,“ geram Ki Pringgajaya. Namun itupun kemudian harus mendengarkan pendapat Untara tentang peristiwa yang telah terjadi di bulak itu. Bahwa ia akan memanggil beberapa orang perwira untuk menilai keadaan. Terasa gejolak hati Ki Pringgajaya menjadi semakin pepat. Ia sadar, bahwa Untara tentu sudah mendengar pengaduan Agung Sedayu dan terutama Sabungsari tentang dirinya. Ia mengerti bahwa Ki Untarapun pernah mendengar namanya disebut-sebut. Tetapi hanya karena tidak seorangpun yang memberikan bukti keterlibatannya ataupun saksi yang meyakinkan, maka Ki Untara tidak akan dapat menuduhnya dengan serta merta. “Ki Pringgajaya,“ berkata Untara kemudian, “peristiwa itu memang sangat menarik perhatian. Ternyata selain mereka yang terbunuh itu tentu ada orang lain yang segera datang ke bekas arena pertempuran itu. Orang-orang itulah yang kemudian mengambil mayat yang disembunyikan itu.” “Tetapi apakah maksud mereka ?“ bertanya Ki Pringgajaya, “seandainya mayat itu dibiarkan saja, maka mayat itu tidak akan dapat mengucapkan kesaksian apapun juga. Mayat itu akan tetap beku dan tidak akan dapat memberikan jalan keluar.” “Tetapi bagaimanakah kiranya jika tiba-tiba sengaja atau tidak sengaja, ada pihak yang dapat mengenali mereka. Agaknya orang-orang yang bersangkutan itu telah berusaha untuk menghapus jejak sama sekali. Jika ada orang yang dapat mengenal mayat-mayat itu, maka akan dapat dilakukan pengusutan. Meskipun seandainya orang-orang itu datang dari daerah yang jauh, maka kekuasaan Pajang akan dapat mempergunakan prajuritnya yang tersebar untuk menyelidiki keadaan itu,“ jawab Untara. Ki Pringgajaya menjadi gelisah. Tetapi ia tidak segera minta diri. Justru ia ingin mendengar rencana Untara selanjutnya, meskipun iapun mengerti, bahwa yang dikatakan Untara kepadanya tentu sudah

diperhitungkan masak-masak, sesuai dengan persoalan yang sudah didengarnya sebelumnya. “Ki Untara,“ berkata Pringgajaya kemudian, “apakah ada perintah khusus bagiku dalam hubungan dengan persoalan ini ?” “Belum Ki Pringgajaya. Aku belum dapat memberikan perintah khusus kepada siapapun juga, kecuali secara umum aku minta kepada setiap prajurit untuk membantu memecahkan persoalan ini. Setiap keterangan yang didengar oleh setiap prajurit, harus disampaikan langsung kepadaku, siapapun mereka itu. Dari perwira ditataran tertinggi didaerah ini sampai prajurit ditataran terendah, setingkat dengan tataran Sabungsari yang terluka itu.” “Baiklah Ki Untara,“ jawab Pringgajaya, “yang terjadi ini adalah satu tantangan bagi prajurit Pajang di Jati Anom. Memang setiap prajurit merasa wajib untuk ikut serta mencari keterangan, meskipun mungkin yang terjadi itu adalah masalah pribadi dari prajurit muda yang terluka itu, atau persoalan pribadi dari Agung Sedayu.” “Mungkin sekali,“ jawab Untara, “mungkin persoalannya memang dapat dibatasi pada masalah pribadi dari Sabungsari atau Agung Sedayu. Tetapi seandainya persoalan itu persoalan pribadi, tetapi terjadi di daerah ini dan sudah mengancam jiwa seseorang, bukankah juga menjadi kewajiban kita untuk ikut mempersoalkannya ?” “Ya. Memang demikian Ki Untara. Kita harus menyelidiki masalah sampai tuntas. Kita juga harus melihat kemungkinan yang paling pahit dari peristiwa ini,“ berkata Ki Pringgajaya. “Maksudmu ?”bertanya Untara. “Persoalannya dapat saja terjadi, beberapa orang jahat ingin membunuh Sabungsari dan Agung Sedayu. Tetapi mereka gagal sehingga justru mereka yang terbunuh. Tetapi dapat juga sebaliknya, bahwa Sabungsari ingin membunuh lawannya, entah dalam hubungan apa, sementara ia melibatkan Agung Sedayu kedalamnya. Bahkan mungkin yang lebih buruk lagi bagi Senapati, bahwa Agung Sedayulah yang dengan perhitungan yang masak telah membunuh seseorang atau lebih dan menyembunyikan mayat mereka dengan sengaja.” “Jika demikian, bagaimana kiranya jika mereka diam saja dan tidak menyatakannya kepadaku ?“ bertanya Untara. “Seandainya Sabungsari tidak terluka, aku kira memang demikian. Mereka tidak akan menyampaikan apapun juga kepada Ki Untara. Tetapi karena Sabungsari terluka, maka ia harus berbicara tentang lukanya itu dengan cara apapun juga.” Tiba-tiba saja Untara mengangguk-angguk sambil berkata penuh minat, “Mungkin Ki Pringgajaya. Mungkin sekali.

Mungkin anak-anak itu dengan sengaja ingin melemparkan kesalahan dari peristiwa ini kepada orang lain.” “Ya. Segalanya harus dipertimbangkan baik-baik,“ berkata Pringgajaya, “segala kemungkinan memang dapat terjadi. Yang putih dapat dianggap hitam dan yang hitam dapat dianggap putih.” “Ya. Aku mengerti maksudmu,“ desis Untara. “Karena itu, maka sebaiknya kita melihat segenap segi dari peristiwa ini,“ berkata Ki Pringgajaya selanjutnya. “Baiklah,“ sahut Untara, “lakukanlah yang dapat kau lakukan disamping tugasmu sendiri. Aku menunggu setiap laporan dari siapapun juga. Mungkin ada beberapa keterangan yang bertentangan. Tetapi dengan demikian segala bahan aku perlukan.” Ki Pringgajayapun kemudian minta diri, sambil berkata, “Aku bersedia melakukan apa saja. Juga seandainya Ki Untara mempunyai perintah khusus dalam hubungan dengan peristiwa ini.” “Aku akan memikirkannya,“ berkata Untara kemudian. Ki Pringgajayapun kemudian meninggalkan pendapa, sementara Untara menggeram didalam hatinya. “Ia memang licik sekali.” Tetapi Untarapun menyadari, bahwa dengan demikian ia memang harus sangat berhati-hati menghadapi Ki Pringgajaya yang cerdik itu. Sepeninggal Ki Pringgajaya, Untara masih merenung beberapa saat. Agaknya Ki Pringgajaya ingin memberikan kesan yang lain tentang peristiwa itu, sehingga jika namanya disebut-sebut oleh Agung Sedayu atau Sabungsari, maka itu adalah karena anak-anak muda itu ingin melontarkan persoalan yang melibat mereka itu kepada orang lain. Meskipun menurut hati kecilnya Untara lebih percaya kepada Agung Sedayu dan Sabungsari, namun ia memang harus berhati-hati. Ki Pringgajaya bukan orang yang bernalar pendek. Ia cukup cerdik untuk mengancam persoalan itu sehingga menjadi hambatan persoalan yang berbeda dengan apa yang telah terjadi. Karena itu Untara tidak dengan tergesa-gesa menolak keterangan Ki Pringgajaya yang mengarah itu. Iapun seperti Ki Pringgajaya, ingin mendengar pendapat dan keterangan-keterangan sebanyakbanyaknya untuk dapat dijadikan bahan, mengurai masalah itu dari segala segi. Namun Untarapun kemudian menyadari, bahwa ia hanya dapat bekerja dengan orang-orang yang paling dapat dipercaya di lingkungannya. Sejak saat perkawinannya, ia memang sudah merasa, bahwa ada beberapa orang yang pantas mendapat perhatiannya didalam lingkungannya itu.

Ternyata orang yang dimaksud itu sangat terbatas. Jika ia salah memilih orang, maka rencananya itupun akan menjadi pecah tanpa menghasilkan apapun juga. Bahkan mungkin akan mempunyai akibat yang sangat buruk bagi adiknya dan prajurit muda yang terluka itu. Demikianlah, pada saat-saat terakhir, setelah Untara mematangkan rencananya didalam hatinya, maka iapun menemui Kiai Gringsing dan Agung Sedayu. Bagaimanapun juga ia percaya kepada adiknya, karena ia mengeta hui sifat-sifatnya. Sejak kanak-kanak Agung Sedayu telah mencoba untuk menghindarkan diri dari perbuatan dusta. Jika sekali-sekali Agung Sedayu terpaksa membela diri dalam ketakutan dimasa kanak-kanaknya dengan mengingkari kesalahannya, maka Untara segera mengetahui, bahwa ia telah berbohong. Meskipun ada perkembangan sifat dan watak Agung Sedayu, yang tidak lagi dibayangi oleh ketakutan, tetapi Untara masih yakin, bahwa adiknya masih tetap dapat dipercaya, meskipun bukan berarti bahwa Agung Sedayu tidak dapat menyimpan rahasia. “Kiai,“ berkata Untara kemudian, “kita memang harus berbuat sesuatu. Aku kira usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk mencelakai Agung Sedayu itu tidak akan berhenti sampai kematian ketiga orang yang mayatnya tidak dapat diketemukan itu.” “Ya ngger. Aku kira memang demikian,“ jawab Kiai Gringsing, “seperti yang telah terjadi, maka dendam itu bagaikan mengikuti Agung Sedayu kemana ia pergi.” “Karena itu Kiai. Aku mohon Kiai dapat membantu aku. Aku akan bekerja sama dengan orang-orang yang memang dapat aku percaya. Sementara aku ingin memancing orang-orang yang terutama dari lingkungan prajurit Pajang di Jati Anom, untuk berbuat sesuatu. Dalam perkembangan terakhir, menurut ceritera Agung Sedayu dan Sabungsari, maka Sabungsarilah yang dianggap orang paling berbahaya saat ini bagi mereka. Karena itu, biarlah kita mengumpankannya.” Kiai Ggringsing mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah kita akan mengorbankannya ?” “Tentu tidak Kiai. Kita harus melindunginya,“ berkata Untara dengan serta merta, “karena itu, kita harus merencanakannya dengan penuh tanggung jawab. Jika terjadi sesuatu atas anak itu, maka kitalah yang bersalah.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling kepada Agung Sedayu, maka dilihatnya anak muda itu menjadi tegang. “Kiai,“ berkata Untara kemudian, “aku ingin mempersilahkan Kiai membawa Sabungsari kepadepokan kecil itu.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun segera ia mengerti maksud Untara. Karena itu, maka katanya, “Jika itu yang sebaiknya kita lakukan, akupun tidak berkeberatan.” “Aku akan meletakkan orang-orangku dalam tugas sandi disekitar padepokan kecil itu. Sementara akupun akan

membuat tempat yang dapat melakukan pengawasan langsung, dalam gelar keprajuritan seperti yang pernah aku katakan kepada Agung Sedayu.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Iapun mengerti, bahwa dengan demikian maka perhatian orangorang yang bermaksud jahat terhadap isi padepokan itupun akan tertuang kepada sekelompok pengawasan yang nampak dalam ujud mereka sebagai prjurit, sementara pengawasan yang sebenarnya akan dilakukan oleh petugas-petugas sandi khusus, yang oleh para prajurit Pajang sendiri tidak banyak dikenal. Namun yang akan mereka lakukan memang tidak hanya semudah yang mereka bicarakan. Untarapun mengerti kesulitan-kesulitan yang bakal tumbuh dengan rencananya. Karena itu, maka Untarapun telah membicarakannya dengan Kiai Gringsing segala kemungkinan yang dapat terjadi dengan bersungguh-sungguh. Kadang-kadang mereka menemukan satu cara, tetapi kadang-kadang mereka harus merubahnya karena ada kemungkinan lain yang lebih baik. Akhirnya mereka menemukan juga kemungkinan terbaik yang dapat mereka lakukan. Mereka akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu atas Sabungsari yang akan mereka jadikan umpan untuk menjebak orang-orang yang mereka anggap telah terlibat dalam usaha-usaha yang bukan saja sekedar dendam pribadi, tetapi akan menyangkut masalah yang lebih luas lagi bagi Pajang dalam keseluruhan. Demikianlah, maka Untara dan Kiai Gringsingpun mulai mempersiapkan diri dengan kewajiban mereka masing-masing. Tugas Kiai Gringsing adalah membawa Sabungsari kepadepokan dengan alasan mempermudah perataan, sementara Untara mempunyai tugas yang cukup berat dalam hubungan yang luas. Atas persetujuan Untara, maka Sabungsaripun wajib mengerti rencana itu, karena ia bukan lagi seorang anak muda yang hanya hanyut dalam arus perasaan. Sabungsari yang mengalami berbagai masalah dan perkembangan jiwa itu telah tumbuh semakin dewasa menanggapi keadaan. “Kau harus tetap seorang yang sakit parah,“ berkata Kiai Gringsing, “meskipun kau berangsur baik, tetapi kau harus tetap dalam keadaan yang nampaknya sangat buruk.” Sabungsari termenung sejenak. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Kiai Gringsing. “Orang diluar padepokan, bahkan para cantrik yang tidak mengerti seluk beluk dari persoalan ini harus tetap menganggap bahwa kau masih memerlukan perawatan yang sungguh-sungguh. Dengan demikian, maka orang-orang yang bermaksud buruk terhadapmu, tetap menganggap bahwa kau masih sangat lemah dan tidak dapat berbuat apa-apa.” “Apakah sebenarnya aku sudah boleh berbuat sesuatu ?“ bertanya Sabungsari.

“Sekarang tidak,“ jawab Kiai Gringsing, “sekarang kau masih belum boleh banyak bergerak. Tetapi setiap hari keadaanmu berangsur baik. Namun kau tidak boleh memberikan kesan demikian.” Sabungsari mengangguk-angguk. Jawabnya, “Baik Kiai. Aku akan mencoba melakukannya. Mudah-mudahan dengan demikian akan terbuka jalan untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.” Demikianlah, maka pada hari yang sudah ditentukan, Untara telah menyediakan sebuah pedati untuk membawa Sabungsari yang sakit parah itu kepadepokan kecil yang dihuni oleh Kiai Gringsing dan Agung Sedayu. Kepada setiap orang Untara mengatakan, bahwa atas permintaan Kiai Gringsing Sabungsari telah dibawa kepadepokannya, agar ia dapat merawatnya dengan baik. “Tetapi aku tidak sampai hati melepaskannya tanpa pengawasan,“ berkata Untara kepada para perwira yang berkumpul pada saat-saat tertentu dipendapa rumahnya, “aku akan menempatkan sebuah gardu perondan di padukuhan terdekat. Aku akan menempatkan setiap malam tiga orang prajurit yang akan dapat membantu mengawasi keadaan padepokan itu. Jika orang-orang yang bermaksud buruk itu datang lagi ke padepokan, maka ketiga orang prajurit itu akan dapat membantu mereka jika mereka mendengar satu isyarat.” Sebenarnyalah bahwa Untara telah menempatkan sebuah gardu perondan dipadukuhan terdekat. Ia menugaskan setiap malam tiga orang prajurit berkuda untuk mengawasi padepokan Kiai Gringsing yang didalamnya terdapat Sabungsari. Ki Pringgajaya yang ikut mendengarkan keterangan Untara itu tersenyum didalam hatinya. Ketika ia kembali kebaraknya, maka iapun berkata kepada pengikutnya, “Kita harus tetap berhati-hati.” Pengikutnya tertawa pendek. Katanya, “Apa artinya tiga prajurit digardu penjagaan itu.” Tetapi Ki Pringgajaya berkata, “Jangan terlalu percaya. Untara bukan seorang Senapati yang bodoh. Ia memang mungkin melakukannya kesalahan. Tetapi kita harus meyakinkan, bahwa Untara menganggap persoalan ini sekedar persoalan kecil, sehingga ia benar-benar hanya menempatkan tiga orang pengawas.” “Kita dapat melihat, apakah perkembangan berikutnya menunjukkan bahwa diluar tiga orang itu, Untara memberikan perlindungan yang lain,“ berkata pengikutnya. “Ya. Kita tidak boleh tergesa-gesa. Kita juga tidak boleh melakukan kesalahan lagi, seperti yang terjadi sehingga Sabungsari berhasil mengkhianati kita. Untunglah bahwa kita cepat berhasil menghapus kemungkinan yang dapat memberikan jalan untuk menelusurinya,, sehingga keterangan Sabungsari tidak cepat dapat dipercaya. Meskipun demikian kita harus tetap berhati-hati. Untara tentu akan berusaha menelusuri juga meskipun ia tidak akan yakin bahwa ia akan dapat membuktikannya. Keterangan Sabungsari dan Agung Sedayu tidak cukup kuat untuk alasan menangkap dan apalagi menghukum aku.”

Pengikutnya mengangguk-angguk. Katanya, “Kita memang kurang teliti mengamati keadaan. Tetapi kesalahan yang sama tidak akan terjadi lagi.” Ki Pringgajaya tersenyum. Katanya, “Untuk beberapa saat kita tidak akan berbuat apa-apa. Kita menunggu perkembangan tindakan Untara selanjutnya. Jika ia benar-benar hanya menempatkan tiga orang peronda digardu yang dibuatnya dipadukuhan sebelah padepokan kecil itu, maka kita yakin bahwa Untara adalah seorang-Senapati yang bodoh. Atau bahwa ia menganggap persoalan itu adalah persoalan kecil dan bersifat sangat pribadi, sehingga ia tidak merasa perlu untuk melibatkan diri terlalu jauh.” “Mudah-mudahan,“ sahut pengikutnya, “namun bagaimanapun juga, kita akan dapat menembus dinding padepokan itu, dan membunuh pengkhianat itu sekaligus Agung Sedayu.” “Jangan menganggap bahwa hal itu akan mudah kita lakukan. Jika Sabungsari dan Agung Sedayu bersama-sama berdiri disatu pihak, maka mereka akan merupakan kekuatan yang luar biasa.” “Mumpung Sabungsari masih belum sembuh. Agaknya racun yang diberikan oleh prajurit yang terbunuh itu sudah jauh mencengkam tubuh prajurit muda itu, sehingga Kiai Gringsing mengalami kesulitan untuk menyembuhkannya.” “Tetapi adalah suatu kebodohan, bahwa Kiai Gringsing telah membawanya ke padepokan kecilnya. Meskipun Untara menempatkan prajurit yang sama sekali tidak akan berarti apa-apa itu.“ ia berhenti sejenak, lalu. “mungkin Untara juga bermaksud menjebak orang yang berniat buruk dengan menempatkan tiga orang prajurit itu diluar padepokan. Karena itu, ia mengatakan, bahwa tiga orang prajurit itu akan bertindak jika ia mendengar isyarat. Agaknya Agung Sedayu sudah dipesannya untuk memberikan isyarat jika diperlukan.” “Isyarat itu tentu akan bersambut dan bersambung.” Ki Pringgajaya tertawa. Katanya, “Bodoh sekali. Apakah orang yang berniat buruk itu akan memberi kesempatan isyarat itu dapat menjalar ?” Pengikut Pringgajaya itupun tertawa juga. Namun ia tidak menjawab lagi. Ia sudah mulai membayangkan, bahwa akhirnya padepokan kecil itu akan dapat dimusnahkan bersama segala isinya. Namun dalam pada itu, Widura ternyata telah berada dipadepokan itu pula mengunggui anaknya. Sementara itu, ada dua orang cantrik baru yang ikut tinggal bersama Widura dipadepokan itu. Mereka adalah dua orang kakak beradik yang meskipun umurnya bukan lagi dapat disebut muda, namun mereka ingin menambah pengetahuan mereka dipadepokan. Hanya Kiai Gringsing, Widura, Sabungsari dan Agung Sedayu sajalah yang mengetahui. Siapakah sebenarnya mereka. Sementara Sabungsari yang berbaring didalam biliknyapun telah diberitahu pula segala rencana yang sedang dilaksanakan itu termasuk kehadiran Widura dan dua orang cantrik baru dipadepokan kecil itu.

Namun dalam pada itu, dalam waktu-waktu yang terasa sangat berdesakan bagi Agung Sedayu, ia berusaha meningkatkan ilmu Glagah Putih. Ia tidak boleh mengecewakan anak muda itu. Jika niatnya yang menyala itu tidak diimbangi oleh Agung Sedayu, maka Glagah Putih akan dapat menjadi kecewa dan kehilangan tekadnya untuk menempa diri dengan sejauh kemampuan tenaganya. Tetapi disamping Agung Sedayu membimbing adik sepupunya, maka iapun menyisihkan waktu sedikit untuk kepentingan dirinya sendiri. Ia tidak dapat ingkar dari kenyataan, bahwa maut telah memburunya kemana ia pergi. Karena itu, maka ia merasa wajib untuk meningkatkan kemampuannya, agar ia dapat melindungi dirinya sendiri dari bencana. Selebihnya untuk mengamalkan ilmunya bagi sesamanya. Namun ternyata bukan saja Glagah Putih dan dirinya sendiri. Tetapi iapun berusaha untuk memberikan sedikit dasar olah kanuraga kepada anak-anak muda yang berada di padepokannya. Cantrik-cantrik itupun ternyata mengikuti segala tuntutannya dengan sungguh-sungguh pula. Mereka merasa berbahagia sekali, jika mereka dapat memiliki sekedar ilmu untuk melindungi diri mereka sendiri. Tetapi sebagaimana dikatakan oleh Agung Sedayu, bahwa jika kemudian ternyata mereka memiliki serba sedikit ilmu kanuragan, maka mereka harus mempergunakan sebaik-baiknya, sesuai dengan martabat mereka diantara sesama. Hanya dua orang cantrik yang baru itu sajalah yang masih belum bersedia ikut dalam olah kanuragan. Mereka merasa diri mereka sudah terlalu tua untuk ikut serta mempelajari ilmu yang menurut mereka khusus hanya diperuntukkan bagi orang-orang muda. “Aku hanya ingin mempelajari kawruh kajiwan dari Kiai Gringsing,“ berkata salah seorang dari mereka, “sementara kalian yang muda-muda dapat mempelajari kawruh kanuragan dari Agung Sedayu.” “Apa salahnya,“ sahut salah seorang cantrik dipadepokan itu, “tidak untuk mencari musuh. Tetapi sekedar untuk mengerti.” Tetapi keduanya tetap merasa diri mereka sudah tidak pantas lagi untuk mulai dengan mempelajari ilmu kanuragan. Meskipun demikian, akhirnya merekapun ikut pula berada didalam sanggar. Dengan sisa-sisa tenaga mereka yang mulai menjadi lemah, mereka menirukan satu dua unsur gerak. Namun mereka segera berhenti jika nafas mereka telah menjadi terengah-engah. Anak-anak muda yang berada didalam sanggar itupun tersenyum saja melihat kedua orang itu. Mereka menganggap bahwa keduanya benar-benar telah terlambat untuk mulai berlatih. Sementara Agung Sedayu hanya menahan senyumnya saja melihat kedua orang itu duduk terbatukbatuk disudut sanggar. Karena sebenarnyalah Agung Sedayu mengetahui, bahwa kedua orang yang dikirim oleh kakaknya itu adalah petugas sandi khusus yang tidak banyak dikenal oleh kalangan

keprajuritan Pajang sendiri. Dalam tugas yang dibebankan kepada mereka, maka keduanya berusaha untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan di padepokan itu. Merekapun berusaha untuk berbuat seperti yang dilakukan oleh para cantrik yang lain. Namun dalam saat-saat khusus, jika para cantrik yang masih muda berada disanggar bersama Agung Sedayu, maka kedua orang itu kadang-kadang berada didalam ruang dalam bersama Kiai Gringsing, yang menurut pengertian anak-anak muda yang berada dipadepokan itu, keduanya sedang menyadap kawruh kajiwan dari Kiai Gringsing. “Kalianpun akan melakukannya pada suatu saat,“ berkat Agung Sedayu, “kalianpun harus mengetahui serba sedikit kawruh kajiwan, agar hidup kalian tidak terasa kosong tanpa arti.” Sebenarnyalah pada saat-saat tertentu, keduanya berada didalam ruang tersendiri bersama Kiai Gringsing dan Ki Widura untuk mengurai perkembangan keadaan. “Belum terasa sesuatu akan terjadi,“ berkata Kiai Gringsing. “Ya Kiai,“ jawab yang seorang, “tetapi bukan berarti bahwa tidak akan terjadi.” “Ya Ki Lurah Patrajaya,“ sahut Kiai Gringsing, “kita memang tidak boleh lengah sama sekali. Mungkin kita harus menunggu untuk waktu yang lama. Mudah-mudahan Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda kerasan tinggal dipadepokan ini.” Keduanya tersenyum. Wirayuda menjawab, “Menyenangkan sekali. Aku merasa mendapat kesempatan untuk benar-benar menikmati kehidupan disini. Semuanya nampak wajar dan tidak dibuat-buat. Terasa anak-anak muda yang berada dipadepokan ini adalah anak-anak muda yang bersih dan jujur. Mereka tidak terlalu banyak dipengaruhi oleh keburaman hati manusia yang menjadi tamak dan dengki, justru semakin banyak yang mereka kenal dari dunia ini. Mudah-mudahan kehadiranku tidak mengotori kebeningan kehidupan disini.” Kiai Gringsing tertawa. Katanya, “Apakah Ki Lurah mengira bahwa setiap hati dipadepokan ini sebenarnya bening seperti yang Ki Lurah bayangkan. Cobalah Ki Lurah melihat, betapa keruhnya hatiku yang penuh dengan cacat dan noda, sehingga karena itulah maka aku takut melihat kedalam diriku sendiri. Agung Sedayu yang masih muda itupun telah melumuri dirinya dengan seribu macam noda. Sementara Sabungsari adalah warna yang kusam dari jalur kehidupan seorang yang kecewa. Meskipun pada saat-saat terakhir ia telah berusaha untuk mencucinya dengani perbuatanperbuatan yang baik.” Kedua orang petugas sandi khusus itupun tersenyum sementara Widura berkata, “Kiai Gringsing

dengan sengaja tidak menyebut sesuatu tentang aku, dan tentang anakku.” Kiai Gringsingpun berpaling kepadanya. Katanya, “Biarlah Ki Widura berkata tentang dirinya sendiri.” Mereka yang ada didalam ruang itu tertawa. Mereka berusaha untuk mengisi saat-saat yang melelahkan karena menunggu sesuatu yang tidak pasti akan terjadi. Namun mereka tidak boleh mengabaikannya. Yang mereka anggap belum tentu akan terjadi itu memang dapat terjadi setiap saat. Bahkan pada saat-saat yang tidak mereka sangka sama sekali. Dengan demikian, maka Ki Lura Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda yang mendapat tugas untuk membantu mengawasi keadaan dipadepokan itu tidak dapat meninggalkan tugas mereka barang sekejap. Karena itu, maka merekapun benar-benar telah hidup didalam padepokan kecil itu seperti para cantrik yang lain. Sementara itu, keadaan Sabungsaripun menjadi berangsur baik. Ia sudah tidak lagi dipengaruhi oleh racun apapun juga, sementara luka-lukanyapun telah merapat. Didalam biliknya Sabungsari telah mulai melatih tubuhnya untuk bergerak. Ia berjalan hilir mudik didalam biliknya. Kemudian meloncatloncat dan menggerakkan tangan serta lambungnya. Semakin lama semakin banyak dan keras. Namun demikian, Sabungsari masih memberikan kesan seperti orang yang sakit parah. Jika ia pergi ke pakiwan, maka Agung Sedayu menolong memapahnya. Meskipun kadang-kadang sambil tertawa Agung Sedayu berbisik, “Kenapa kau tidak minta didukung saja ?” “Agaknya akan menyenangkan sekali,“ desis Sabungsari. Namun jika yang memapahnya Glagah Putih, maka Sabungsari berusaha untuk memberikan kesan bahwa ia benar-benar masih belum mampu berjalan sendiri, karena menurut Agung Sedayu dan Ki Widura sendiri, bahwa Glagah Putih masih belum cukup dewasa untuk mengetahui persoalan yang sebenarnya. Meskipun demikian. Agung Sedayu berusaha untuk memberikan kesan bahwa keadaan padepokan itu benar-benar dalam keadaan bahaya. “Kenapa Sabungsari tidak tinggal dirumah kakang Untara saja ?” bertanya Glagah Putih. “Disini ia mendapat perawatan yang cukup dari Kiai Gringsing,“ jawab Agung Sedayu. “Dipersilahkan kepada Kiai Gringsing untuk tinggal di rumah kakang Untara pula.” berkata Glagah Putih seterusnya. “Tentu Kiai Gringsing merasa kurang enak. Tetapi dipadepokan ini ia merasa berada dirumah sendiri,“ sahut Agung Sedayu. Namun iapun berkata, “Tetapi dengan akibat yang membebani kita semua. Kita harus selalu berhati-hati.

Kita harus merawat Sabungsari sebaik-baiknya. Juga kita harus melindunginya jika ada orang bermaksud jahat terhadapnya dan terhadap kita.” “Seperti yang terjadi dibulak panjang itu ?” bertanya Glagah Putih. “Ya,“ jawab Agung Sedayu pendek. “Tetapi kenapa kakang Untara tidak mengambil tindakan sesuatu terhadap orang yang menyuruh orangorang Gunung Kendeng itu untuk mencegat kakang Agung Sedayu.” “Tidak seorangpun yang mengetahui. Ia dapat saja menyebut nama siapapun juga. Tetapi itu belum dapat menjadi bukti dari satu kebenaran.” Glagah Putih termenung sejenak. Ada beberapa hal yang tidak dapat dimengertinya. Sikap Sabungsari saat itu dan berbagai masalah yang didengarnya dalam pembicaraan sebelum perkelahian itu terjadi. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Apalagi kali Agung Sedayu selalu berkata, “Jangan banyak memikirkan sesuatu yang tidak kita ketahui dengan pasti. Yang penting bagi kita, bagaimana kita meningkatkan ilmu kita masing-masing.” “Ya. Aku sependapat,“ berkata Glagah Putih. Karena itulah, maka iapun telah mempergunakan segenap kesempatan yang ada padanya untuk berlatih tanpa mengenal lelah. Namun yang dilakukan oleh Glagah Putih itu tidak sia-sia. Ilmunya telah meningkat dengan cepat. Ia sudah menguasai sebagian besar dari ilmu yang ada dalam jalur warisan ilmu Ki Sadewa lewat Agung Sedayu yang menguasai ilmu itu pula meskipun tidak langsung. Bahkan seolah-olah ilmu itu didalam diri Agung Sedayu telah dilengkapi dengan berbagai unsur yang dapat meningkatkan nilai dari ilmu kanuragan itu. Untara yang juga menguasai ilmu itu sepenuhnya, ternyata kemajuannya tidak sepesat Agung Sedayu. Meskipun Untara juga tidak berhenti pada batas penguasaannya, karena iapun masih selalu berusaha meningkatkan ilmunya, tetapi kemajuan yang dicapainya telah ketinggalan dari Agung Sedayu. Apalagi setelah Agung Sedayu membaca dan mengingat semua isi kitab Ki Waskita. Seolah-olah ia telah terangkat semakin tinggi dengan segala yang ada padanya. Bukan saja Glagah Putih. Tetapi seisi padepokan itu telah berusaha untuk meningkatkan pengetahuannya tentang olah kanuragan. Para cantrikpun menjadi semakin rajin mempelajarinya. Di waktu sore, ketika mereka tidak lagi mempunyai pekerjaan tertentu, mulailah mereka masuk kedalam sanggar. Jika Agung Sedayu belum sempat menunggui mereka karena kesibukannya dengan Glagah Putih, maka kadang-kadang Ki Widuralah yang menuntun para cantrik itu. Bahkan jika Ki Widura berada didalam sanggar, maka bukan saja olah kanuragan yang telah dipelajari oleh para cantrik, tetapi juga serba sedikit tentang pengetahuan keprajuritan. Sementara padepokan kecil itu menjadi hangat oleh gairah peningkatkan diri dalam olah kanuragan,

maka di padukuhan sebelah padepokan itu, Untara benar-benar telah meletakkan satu kelompok prajurit yang bertugas untuk mengawasi padepokan kecil itu. Terutama dimalam hari, maka kelompok yang sedang bertugas di gardu itu, kadang-kadang meronda memutari padepokan yang nampak sunyi sekali. “Tidak ada apa-apa dipadepokan itu,“ berkata salah seorang dari para peronda itu. “Tetapi Ki Untara mencemaskannya. Karena itu, kita harus mengawasinya,“ sahut yang lain. “Sebenarnya kami tidak perlu memutarinya. Ki Untara sudah berpesan, jika terjadi sesuatu, penghuni padepokan itu dimintanya untuk membunyikan isyarat. Kita wajib melanjutkan isyarat itu, sementara kita juga harus berusaha melindungi mereka.” Kawannya yang diajak berbicara hampir saja tidak dapat menahan diri untuk tertawa meledak sekeras-kerasnya. Katanya, “Perutku menjadi sakit menahan tertawa.” “Kenapa ?“ bertanya kawannya. “Kau tidak tahu apa yang kau katakan ? Siapa yang harus kita lindungi ? “ yang lain bertanya, “Agung Sedayu, Sabungsari atau Kiai Gringsing ?” Kawannya yang berbicara untuk melindungi padepokan itu termangu-mangu sejenak, sementara kawannya berkata selanjutnya, “Cobalah melihat tengkukmu sendiri. Agung Sedayu dan Sabungsari, keduanya pernah mengalahkan Carang Waja, meskipun Sabungsari yang membunuhnya. Nah, apa katamu ? Meskipun Sabungsari itu prajurit pada tataran terendah dalam lingkungan keprajuritan, tetapi ia memiliki kemampuan yang luar biasa. Apalagi orang bercambuk yang bernama Kiai Gringsing itu. Adalah menggelikan sekali jika kita harus melindungi mereka, karena kemampuan kita bukanlah apa-apa dibanding dengan mereka.” “Jadi apa gunanya kita berada disini ?“ bertanya kawannya. “Tentu hanya dalam tugas yang sebenarnya mampu kita lakukan. Yaitu menunggui kentongan itu. Jika kita mendengar isyarat, maka kita akan menyambungnya sehingga sambung bersambung akan terdengar dari rumah Ki Untara.” “Jika demikian, kenapa harus kita yang melakukannya ? Tugas itu dapat dilakukan oleh anak-anak muda padukuhan ini.” “Kita bertanggung jawab sepenuhnya atas tugas kita. Berbeda dengan anak-anak muda yang dengan suka rela meronda padukuhannya.”

Yang lain tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk mengerti. Meskipun demikian, prajurit itu merasa bahwa tugasnya tentu bukan sekedar menunggui kentongan digardu itu. Hari-hari yang dilewati terasa menegangkan bagi seisi padepokan kecil yang sedang di bayangi oleh tangan-tangan yang bernafas maut. Namun justru karena itu, maka padepokan itu rasa-rasanya telah bergejolak semakin dahsyat. Meskipun dari luar dinding tidak nampak sesuatu, tetapi gelora yang ada didalamnya bagaikan dahsyatnya deburan ombak pesisir Selatan. Glagah Putih menghabiskan waktunya untuk berlatih. Para cantrikpun dengan sepenuh hati menempa diri betapapun sederhananya, disamping kerja mereka sehari-hari. Dalam suasana yang buram itu, Galah Putih tidak pernah pergi ke sawah seorang diri. Ia pergi kesawah bersama satu dua orang cantrik dibawah pengamatan Agung Sedayu atau Widura. Karena bagaimanapun juga akan dapat terjadi sesuatu di bulak-bulak panjang atau di pategalan. Sementara itu Sabungsari masih tetap berbaring didalam biliknya. Betapa menjemukan sekali. Jika pintu bilik itu tertutup, maka iapun segera bangkit dan berjalan hilir mudik. Sekali-sekali ia mengumpat keadaan. Bahkan kadang-kadang ia berkata kepada Kiai Gringsing, “Aku tidak akan betah lebih lama lagi dalam keadaan seperti ini Kiai.” Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Baiklah. Sekali-sekali kau dapat berjalan-jalan keluar. Duduk diserambi. Tetapi kau tetap seorang yang sakit parah.” “Itulah yang aku tidak telaten Kiai,“ jawab Sabungsari. “Dimalam hari kau dapat melatih dirimu serba sedikit, agar keadaanmu segera pulih kembali. Tetapi sudah tentu, diluar penglihatan para cantrik.” “Sulit sekali Kiai. Hampir setiap saat ada cantrik yang mengamati halaman padepokan ini dari sudut sampai kesudut yang lain. Aku tidak akan mendapat tempat untuk berlatih meskipun dimalam hari.” Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Cobalah memaksa diri untuk berusaha sedikit ngger. Kita memang sedang dalam usaha untuk menyingkapkan rahasia yang melibatmu sehingga kau luka parah.” “Bukankah sudah aku katakan dengan gamblang, siapa yang melakukannya, Kiai. Tetapi Ki Untara tidak dapat berbuat hanya atas dasar keteranganku saja,“ jawab Sabungsari. “Justru karena itu, kita harus mencari jalan lain,“ desis Kiai Gringsing. Sabungsari hanya dapat menarik nafas. Ia mengerti apa yang harus dilakukannya. Tetapi kejemuan yang luar biasa telah mencengkamnya, sehingga hampir tidak dapat teratasi.

Dalam pada itu, Untarapun telah berusaha mempercepat peristiwa yang diharapkan akan terjadi. Kepada para perwira ia mengatakan, bahwa Sabungsari menjadi berangsur baik. Jika ia sudah sehat benar, maka ia akan dipanggil dan memberikan kesaksiannya dihadapan para perwira, terutama mereka yang mungkin akan dapat ikut memecahkan persoalannya karena bukan saja tugasnya, tetapi pengenalan mereka atas keadaan lingkungan. “Mungkin ia akan dapat memberikan sedikit gambaran apa yang telah terjadi dan latar belakang dari peristiwa itu. Agung Sedayu ternyata tidak terlalu banyak mengetahui. Yang diketahuinya adalah ada orang yang mencegatnya diperjalanan. Ia harus bertempur bersma Sabungsari yang hadir pula pada waktu itu.“ ia berhenti sejenak, lalu. “tetapi yang lain ia tidak dapat mengatakan apa-apa.” Beberapa orang perwira yang mendengar penjelasan itu mengangguk-angguk. Namun ada diantara mereka yang menjadi berdebar-debar. “Jika Sabungsari telah mampu untuk duduk dan berada dipendapa ini barang sebentar, maka aku akan segera memanggilnya dibawah pengawasan Kiai Gringsing. Kini ia masih belum dapat bangkit. Ingatannya nampaknya masih belum pulih karena racun yang kuat telah mempengaruhinya. Untunglah, bahwa racun itu masih belum merusakkan syarafnya, sehingga ia kehilangan kesadaran dan ingatannya sama sekali.” Para perwira itu masih saja mengangguk-angguk. Merekapun berharap, agar hal itu akan dapat segera dilakukan, sehingga peristiwa yang diselimuti oleh rahasia itu segera terungkap. Namun dalam pada itu, seorang diantara para perwira itu menjadi berdebar-debar. Ia harus berbuat sesuatu sebelum Sabungsari mampu melakukannya dihadapan beberapa orang perwira, karena prajurit itu tentu akan menyebut namanya. “Untara memang gila,“ gumam Ki Pringgajaya, “prajurit muda itu tentu sudah menyampaikan laporan. Tetapi ia ingin agar Sabungsari mengulangi menyebut namaku dihadapan orang banyak.” Tetapi Ki Pringgajaya masih tetap merasa dirinya mampu menghindari segala tuduhan. Ia akan dapat menggugat Sabungsari jika prajurit itu tidak dapat membuktikan, bahwa yang dikatakannya itu bukan sekedar fitnah. “Meskipun ada dua orang yang akan dapat menyebut kesaksian yang sama, tetapi akupun dapat menuduh bahwa keduanya telah bersepakat untuk memfitnah aku dihadapan para perwira,“ berkata Ki Pringgajaya didalam hatinya. Namun dalam pada itu, iapun tidak tinggal diam. Meskipun ia masih merasa mampu mengelak, dan bahkan akan dapat melontar balikkan tuduhan itu, tetapi iapun berusaha untuk mencari jalan lain. Betapapun juga Sabungsari adalah orang yang sangat berbahaya baginya disamping Agung Sedayu

yang merupakan salah seorang dari deretan orang-orang yang harus dibinasakan sebelum sampai saatnya Raden Sutawijaya sendiri. “Anak itu akan menjadi duri didalam tubuh lingkunganku di Jati Anom. Ia bukan saja dapat memberikan tuduhan, tetapi iapun agaknya anak yang mampu berpikir dan mengurai masalah yang dihadapinya, sehingga tidak mustahil ia dapat menelusuri persoalan ini, sehingga dapat diketemukan bukti-bukti yang dapat menjebakku,“ berkata Ki Pringgajaya pula didalam hatinya. Karena itulah, maka ia telah mempunyai rencana yang lain. Ia sudah mulai dengan tindak kekerasan meskipun gagal. Ia sudah berhubungan dengan orang-orang Gunung Kendeng. kematian kedua orang itu akan dapat dipergunakannya untuk membakar dendam mereka, seperti yang selalu terjadi. Dendam yang membara karena kematian seseorang. Darah yang harus dibayar dengan darah. Dan nyawa yang harus dibayar dengan nyawa. Alangkah panasnya bumi yang dihuni oleh titah terkasih dari Yang Maha Agung, namun yang telah dijilat oleh nafsu kebencian dan dendam. Tetapi Ki Pringgajaya tidak menghiraukannya. Orang-orang yang sejalan dengan tujuannya, pernah mempergunakan orang-orang dari Pesisir Endut, tetapi ternyata merekapun tidak berhasil. Bahkan Carang Waja yang berusaha menyerang Sangkal Putung, justru telah terbunuh oleh Sabungsari. “Aku harus mengumpulkan orang-orang yang penuh dengan dendam. Kemudian mengirimkan mereka kepadepokan kecil itu dan memusnahkan segala isinya. Sabungsari yang masih belum mampu bangkit itu tentu akan dengan mudah dapat dibunuh. Yang harus diperhitungkan, adalah Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Ki Widura. Selebihnya adalah tikus-tikus yang tidak berarti apa-apa termasuk Glagah Putih,“ geram Ki Pringgajaya. Kemudian, “Para prajurit yang berada di padukuhan sebelah itupun harus dibungkam pula.” Demikianlah maka Ki Pringgajayapun segera menghubungi beberapa pihak. Seorang pengikutnya telah diperintahkannya membuat hubungan dengan kawan-kawannya di Pajang. Bahkan seorang yang mempunyai kedudukan yang tinggi di Pajang, telah dengan diam-diam datang ke Jati Anom untuk menemuinya. Ia telah menjanggil Pringgajaya untuk berbicara ditempat yang terasing. “Anak itu memang harus segera dibinasakan,“ berkata orang itu kepada Ki Pringgajaya.

“Ya. Tetapi di padepokan itu ada tiga orang yang pantas diperhitungkan,“ jawab Ki Pringgajaya yang kemudian memberikan beberapa penjelasan tentang isi padepokan kecil itu. “Tetapi usaha Untara membuat gardu pengawas justru dipadukuhan itu memang menarik perhatian tersendiri. Kenapa ia tidak menugaskan saja beberapa orang prajurit langsung tinggal dipadepokan itu,“ bertanya orang yang datang dari Pajang itu. “Aku juga sudah memikirkannya. Aku mempunyai beberapa dugaan. Untara tidak ingin mempergunakan kekuasaannya untuk dengan terang-terangan bagi kepentingan keluarganya sendiri. Rasa-rasanya ia segan untuk mempergunakan prajurit Pajang seolah-olah khusus menjaga adik kandungnya,“ Pringgajaya berhenti sejenak, lalu. “sedang kemungkinan lain, bahwa Untara menganggap, para prajurit itu lebih baik berada diluar padepokan sehingga mereka akan dapat mengawasi padepokan itu. Tetapi jika mereka berada didalamnya, maka mereka akan terlibat langsung jika padepokan itu disergap oleh mereka yang bermaksud buruk terhadap Sabungsari dan Agung Sedayu, sehingga mereka tidak dapat berbuat banyak termasuk hubungan dengan induk pasukannya.” Orang yang datang dari Pajang itu mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan Pringgajaya, dengan pertimbangan bahwa kemungkinan Untara memang mempunyai perhitungan tersendiri. Namun bagaimanapun juga, bukan mustahil untuk membinasakan padepokan kecil itu dengan seluruh isinya. Padepokan itu terpisah dari Kademangan Jati Anom. Gardu terdekat yang dibuat Untara tidak akan banyak membantunya, jika prajurit yang berada digardu itu telah diperhitungkan sebaik-baiknya. Tetapi keduanya sepakat, bahwa mereka harus sangat berhati-hati. Mereka harus memperhitungkan segala kemungkinan yang dapat terjadi dengan rencana mereka. Jika benar mereka akan membinasakan seisi padepokan kecil itu, maka yang terjadi adalah pertempuran yang akan cukup mendebarkan jantung. “Kita harus bekerja cepat, sungguh-sungguh dan cermat,“ berkata Ki Pringgajaya, “aku memerlukan bantuanmu. Jika kita terlambat, maka kedudukanku akan terancam. Bahkan mungkin pada suatu ketika mereka dapat membuktikan, meskipun bukan dalam hubungan yang luas, tetapi khususnya persoalan pembunuhan atas Agung Sedayu.” “Kita akan selalu membuat hubungan dalam segala rencana,“ sahut orang yang datang dari Pajang. “Mudah-mudahan kita segera berhasil. Aku harus dapat memberikan kesan yang dapat menggeser tuduhan itu dari padaku. Mungkin orang dari Gunung Kendeng dan dalam hubungan kematian Carang Waja, orang-orang Pesisir Endut, karena mereka mempunyai hubungan yang sangat baik.

Ditambah lagi karena kematian kedua orang kawannya, yang mayatnya berhasil kami sembunyikan dan kami kuburkan dengan diam-diam, sehingga mengurangi bobot tuduhan yang dilontarkan oleh Sabungsari dan Agung Sedayu.” “Persoalannya harus dihhat dari kepentingan kita secara keseluruhan. Pajang sudah mematangkan diri untuk menarik garis perang dihadapan Raden Sutawijaya. Dengan demikian maka segala rencana yang bersangkut paut dengan hal itu harus berjalan lancar.” Ki Pringgajaya mengangguk-angguk, ia mengerti bahwa orang itu tentu lebih mementingkan persoalan yang besar dalam hubungan persoalannya yang lebih kecil. Tetapi iapun berkata, “Tetapi kau jangan mengabaikan persoalan yang terjadi di Jati Anom. Yang kami jalankan adalah salah satu rencana dalam hubungan dengan keseluruhannya pula.” “Aku mengerti. Dan aku tidak akan melepaskan setiap persoalan dalam pemecahan sendiri-sendiri,“ sahut orang itu. Ki Pringgajaya mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan berusaha sesuai dengan kemampuan dan hubungan yang ada padaku.” “Tugas itu masih tetap tidak bergeser selama kau belum dapat menyelesaikannya dengan baik. Tetapi persoalanpersoalan yang timbul karenanya harus diperhitungkan dengan saksama, agar semuanya dapat berlangsung seperti yang kita harapkan.” Ki Pringgajaya mengangguk-angguk. Katanya, ”Aku mengerti. Tetapi harus ada kesan bahwa kita tidak berdiri sendiri-sendiri.” “Ya. Sudah aku katakan berapa puluh kali. Tetapi juga aku katakan bahwa masing-masing harus berusaha menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya. Hanya dalam keadaan yang khusus seperti yang kau hadapi sekarang ini, kami tidak akan melepaskan tanggung-jawab. Tetapi itu bukan berarti bahwa kami mengambil alih segala persoalan,“ jawab orang yang datang dari Pajang. Ki Pringgajaya mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa ia harus meneruskan segala upaya untuk menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya. Menyingkirkan Agung Sedayu, Swandaru dan Kiai Gringsing berturut-turut. Karena Agung Sedayu yang berdiri terpisah dari lingkungan yang dapat mehndunginya, maka menurut perhitungan, ia adalah orang yang paling lemah, meskipun ia sendiri memiliki kelebihan. Sementara pada Swandaru masih harus diperhitungkan lingkungannya, karena Kademangan Sangkal Putung mempunyai kekuatan yang cukup besar. Sepasukan pengawal yang siap setiap saat. “Tetapi jika Swandaru dapat dipancing keluar, maka tidak ada salahnya jika ia menjadi sasaran pertama,“ berkata Ki Pringgajaya dalam hatinya. Namun yang kini nampak dihadapan matanya adalah sebuah padepokan kecil yang sekaligus akan dapat di selesaikan Agung Sedayu dan Kiai Gringsing.

Kemudian prajurit muda yang telah melibatkan diri dan yang sangat berbahaya baginya justru karena penghianatannya, Sabungsari. Sepeninggal orang yang datang dari Pajang itu, Ki Pringgajaya dengan para pengikutnya telah mengatur diri. Ia harus membuat hubungan khusus dengan orang-orang Gunung Kendeng dan segala sesuatunya diberitahukannya kepada pimpinannya di Pajang yang akan meneruskannya kepada beberapa orang terpenting disekitar orang yang disebut Kakang Panji. Ternyata Ki Pringgajaya berhasil memancing dendam orang-orang Gunung Kendeng. Tetapi lebih dari itu, Ki Pringgajayapun telah menjanjikan hadiah yang cukup besar bagi mereka. “Aku akan bertemu dengan Ki Pringgajaya,“ berkata Kiai Gembong Sangiran, yang menjadi pemimpin dari padepokan Gunung Kendeng kepada utusan Ki Pringgajaya. Kedatangan Kiai Gembong Sangiran ke Jati Anom telah disambut oleh Ki Pringajaya ditempat yang terasing, seperti saat-saat ia menerima tamu-tamunya yang datang dari luar Jati Anom untuk membicarakan masalah yang bersifat rahasia. “Aku memerlukan datang dan bertemu dengan Ki Pringgajaya sendiri,“ berkata Gembong Sangiran, “aku sudah kehilangan dua orang pengikutku.” “Ya. Kau harus mengerti, bahwa dengan demikian Agung Sedayu dan Sabungsari bukannya anak-anak yang masih ingusan,“ jawab Ki Pringgajaya. Tetapi ia tidak mengatakan bahwa seorang pengikutnya yang khusus mengawasi peristiwa itu dengan busur dan panah juga terbunuh. “Tetapi saat itu yang kita bicarakan hanya Agung Sedayu. Ternyata ada orang lain yang datang bersamanya, yang ternyata adalah prajurit muda yang bernama Sabungsari, yang telah membunuh Setan Pesisir yang bernama Carang Waja itu.” “Ya. Itu adalah ukuran bagi Sabungsari. Ia pernah membunuh Carang Waja. Dan kini, Sabungsari, Agung Sedayu, Kiai Gringsing berada di padepokannya bersama Ki Widura, bekas seorang perwira prajurit Pajang di Sangkal Putung dan Glagah Putih yang tidak berarti apa-apa.” “Tetapi semuanya harus diperhitungkan,“ berkata Gembong Sangiran. “Ya. Dan prajurit di gardu itupun harus diperhitungkan pula,“ berkata Pringgajaya, “karena itu disamping beberapa orang yang harus menyelesaikan orang-orang terpenting dipadepokan itu, kau akanmenyiapkan sekelompok pengikutmu untuk bertempur dengan para cantrik dan para prajurit. Sementara sebelum semuanya mulai, isyarat yang ada digardu dipadukuhan sebelah harus sudah dibungkam lebih dahulu.” Kepada Gembong Sangiran Ki Pringgajaya memberikan keterangan yang diperlukan. Mereka berdua telah membicarakan segala kemungkinan yang dapat terjadi dengan memperhitungkan segala macam segi. Sabungsari yang sakit parah itu memang tidak dapat diabaikan begitu saja. Tetapi ia bukan orang yang sekuat dirinya sendiri dibulak panjang, justru karena ia masih belum dapat bangkit dari

pembaringannya. “Aku akan membawa pasukan segelar sepapan,“ berkata Gembong Sangiran. Ki Pringgajaya tersenyum. Katanya, “Bagaimana kau membawa orang-orangmu sebanyak itu dari Gunung Kendeng?” “Jika yang kau sanggupkan tidak meleset, maka semuanya itu akan dapat aku lakukan sebaik-baiknya,“ jawab Gembong dari Gunung Kendeng. “Tentu tidak Kiai Gembong Sangiran,“ jawab Ki Pringgajaya, “jika usaha ini berhasil, maka tentu akan ada perombakan menyeluruh dalam tata pemerintahan. Banyak orang-orang yang sekarang memegang pimpinan, ternyata tidak mampu bertanggung jawab atas kewajiban yang dibebankan kepadanya, sehingga dengan demikian, maka mereka tidak akan dapat dipergunakan lagi dalam tata pemerintahan yang akan datang. Juga dalam lingkungan keprajuritan, sehingga kedudukan bagimu akan terbuka.” Janjimu memang semanis gula buat anak-anak yang sedang menangis karena terkunyah cabe rawit. Yang merupakan mimpi biarlah aku nikmati selagi tidur. Tetapi bagaimana dengan lima keping emas ?” Ki Pringgajaya tersenyum. Katanya, “kau kira aku seorang yang selalu menelan ludah sendiri? Apalagi hanya lima keping emas. Isi istana Pajang yang kami kuasai meliputi beratus-ratus keping emas. Tetapi emas tidak begitu penting bagi kami. Yang penting adalah kesempatan untuk menentukan nasib tanah ini bagi masa depan. Kerinduan kami kepada keberasan yang pernah hidup di tanah ini, membuat kami melepaskan segala macam pamrih pribadi kami. Segala yang ada pada kami semua, jiwa dan raga kami, apalagi sekedar harta benda, telah kami sediakan buat masa depan yang kami inginkan, berdasarkan kerinduan kami kepada satu masa yang cemerlang di tanah ini.” Tetapi Kiai Gembong Sangiran berkata, “Terserahlah kepadamu. Jika kau rindu pada suatu masa, maka kami rindu pada suatu kesempatan untuk memiliki emas dan uang. Jika kau memiliki berkepingkeping emas, maka biarlah emas itu kami mihki, sedang kau boleh memiliki kesempatan untuk mengatur tanah ini. Untuk langkah pertama ini, aku hanya memerlukan lima keping emas seperti yang kau janji kan.” “Baiklah. Aku akan memberimu dua keping emas setelah Agung Sedayu kau selesaikan. Dua lagi jika salah seorang lagi kau singkirkan. Yang terakhir akan kami berikan emas keping kelima,“ Ki Pringgajaya berhenti sejenak, lalu. “aku kira itu adil.“ “Tetapi kau harus memikirkan orang keempat yang ada dipadepokan itu, Sabungsari. Ia adalah orang yang kini kau anggap paling berbahaya. Karena itu, maka lima keping emas itu kau peruntunkkan bagi seisi padepokan kecil itu. Sementara orang-orang Sangkal Putung harus diperhitungkan tersendiri.” “Kau membuat nilai baru pada perjanjian kita,“ berkata Ki Pringgajaya.

“Tentu bukan apa-apa bagimu dan bagi orang-orang yang merindukan satu masa yang pernah hidup di tanah ini,“ berkata Gembong Sangiran. Ki Pringgajaya termenung sejenak. Wajahnya nampak tegang. Sedang bibirnya mulai bergerak-gerak. “Lima keping. Lima keping untuk isi padepokan itu,“ desisnya. “Bukankah dipadepokan itu ada Widura? Ia harus diperhitungkan pula. Demikian pula anak muda yang bernama Glagah Putih. Aku sudah kehilangan dua orangku yang terbaik. Apakah kau kira kau dapat menawar nyawa orang-orangku?” Ki Pringgajaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ingat. Yang kau lakukan di padepokan itu tidak menyangkut namaku dan nama siapapun juga. Kau akan menerima lima keping emas jika pekerjaanmu sudah selesai.” “Jangan takut. Aku akan melakukannya secepatnya setelah aku mengetahui dengan pasti isi padepokan itu. Aku memerlukan waktu tiga empat hari untuk mempersiapkan diri. Selebihnya akan aku selesaikan sebaik-baiknya. Aku tidak boleh gagal dan mengorbankan nyawa tanpa arti seperti yang pernah terjadi.” “Jika prajurit muda itu tidak berkhianat, maka segalanya memang sudah selesai. Tetapi pengkhianatannya telah berumah segala-galanya. Bahkan kedudukankupun kini mulai disoroti oleh bukan saja Ki Untara. Tetapi tentu beberapa orang perwira terdekat dengan Untara. Bahkan pada suatu saat, Untara akan memanggil Sabungsari untuk duduk diantara sidang para perwira, yang tentu akan bersama dengan Agung Sedayu, untuk menyebut siapa saja yang telah tersangkut dalam persoalan ini.” Kiai Gembong Sangiran tertawa. Katanya, “Tetapi aku harus memperhitungkan dua nyawa orangorangku yang telah terbunuh. Dan aku melakukan rencana berikutnya dengan lebih cermat.” “Jangan hanya berbicara,“ berkata Ki Pringgajaya. “Lakukanlah. Sebentar lagi, prajurit Pajang akan mulai bergerak dengan kekuatan yang tidak akan terbendung. Mataram akan segera lenyap dari bumi. Sementara itu, maka Pajangpun akan segera kami kuasai.” Gembong Sangiran tertawa. Katanya, “Betapa bodohnya aku, namun akun dapat mengerti apa yang sedang berkecamuk sekarang antara Pajang dan Mataram. Pajang ingin meyakinkan, bahwa jalan yang akan dilaluinya ke Mataram menjadi bertambah licin dan rata.”

“Kau tidak perlu menghiraukan apapun juga jika kau memang tidak ingin melihat satu masa depan yang baik selain lima keping emas. Jika kau menganggap bahwa mimpi hanya sebaiknya dinikmati dalam tidur, maka lakukanlah untuk lima keping emas.“ Kiai Gembong Sangiran tertawa semakin keras. Katanya, “Baiklah. Aku akan melakukannya. Aku akan membuat perhitungan seimbang dengan nilai lima keping emas. Mimpi yang menakutkan telah terjadi dimana-mana. Dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Di Sangkal Putung dan di daerah ini. Tetapi aku belum terlambat untuk mengambil kesempatan dalam keadaan terjaga. Aku akan membinasakan mereka atas pertimbangan emas dan dendam. Diantara dendam yang kini tersebar di mana-mana. Pesisir Endut telah hangus karena dendam yang kau manfaatkan seperti juga Gunung Kendeng. Tetapi yang terjadi atas Carang Waja adalah satu pengalaman yang sangat baik buat kami perhitungkan.” Ki Pringgajaya kemudian memberikan kesanggupan untuk memberikan setiap keterangan dan perkembangan. Ia memberikan gambaran tentang kekuatan prajurit digardu di padukuhan sebelah. Demikianlah maka Kiai Gembong Sangiran mulai memperhitungkan segala sesuatu yang paling baik dilakukan. Kematian dua orang pengikutnya yang paling baik merupakan suatu peringatan, siapakah sebenarnya yang dihadapinya. Setiap saat ia tidak lepas mengadakan hubungan dengan Ki Pringgajaya, agar ia dapat mengetahui perkembatngan yang terjadi. Tetapi menurut keterangan setiap orang, bahkan orangorang yang tinggal dipadepokan kecil itu sendiri, Sabungsari masih tetap dalam keadaan yang gawat. Meskipun ada juga perkembangannya dan berangsur baik, tetapi itu memerlukan waktu yang sangat lama. Sementara Kiai Gembong Sangiran mempersiapkan segala-galanya, maka Ki Pringgajayapun membuat perhitungan tertentu. Ia telah mengetahui dengan pasti saat orang yang setia kepadanya, mendapat perintah bertugas dipadukuhan sebelah padepokan itu. “Kesempatan itu dapat dipergunakan oleh Gembong Sangiran,“ desis Ki Pringgajaya. Dan agaknya Ki Pringgajaya benar-benar telah memperhitungkannya sehingga dengan demikian, maka kesempatan bagi Gembong Sangiran akan menjadi lebih baik. Namun ternyata bahwa orang-orang yang lebih tinggi kedudukannya didalam lingkungannya di Pajang, mempunyai rencana yang lebih mapan dari rencana Ki Pringgajaya. Setelah mereka mendengar laporan tentang segala persiapan untuk membungkam Sabungsari dan sekaligus melenyapkan Agung Sedayu dan Kiai Gringsing di padepokan kecil itu, maka mereka telah mempersiapkan segalanya sebaik-baiknya. Ki Pringgajaya yang merasa dirinya dibawah pengamatan Untara merasa segan untuk melakukan

sesuatu yang dapat menambah kecurigaan Senopati muda itu kepadanya. Karena itu, ketika orangorang di Pajang menganjurkan agar pada hari yang telah ditentukan itu ia tidak berada di Jati Anom, maka ia merasa kesulitan untuk minta ijin kepada Untara. “Jika aku meninggalkan Jati Anom, maka kecurigaan mereka akan bertambah-tambah. Bahkan mungkin, Untara akan mencegah jika aku minta ijin kepadanya. Ia tentu dapat saja membuat alasan untuk menahanku,“ berkata Ki Pringgajaya kepada seorang petugas yang datang dari Pajang, “dan akupun tidak dapat pergi dengan diam-diam dari Jati Anom. Ia akan mempunyai alasan lain untuk berbuat sesuatu atasku, karena aku telah meninggalkan tugasku tanpa sepengetahuannya. Apalagi aku baru saja mengambil waktu beberapa hari untuk beristirahat dan meninggalkan Jati Anom.” “Jika demikian, biarlah orang-orang yang berada di Pajang mengaturnya,“ berkata petugas yang datang ke Jati Anom. Demikianlah, maka pada saat-saat menjelang hari yang sudah ditentukan itu, datanglah perintah dari Pajang untuk memanggil Ki Pringgajaya menghadap Tumenggung Prabadaru. Seorang Tumenggung yang mendapat tugas untuk pergi ke daerah Timur dalam kunjungan seperti yang selalu dilakukan setiap tengah tahun untuk memelihara kelestarian hubungan dengan Pajang. Untara yang menerima utusan dari Pajang itu terkejut. Dengan wajah yang tegang ia bertanya, “Kenapa harus Ki Pringgajaya ? Aku memerlukannya disini, justru pada saat ini.” “Aku tidak tahu,“ jawab utusan itu, “mungkin karena Tumenggung Prabadaru menganggap, bahwa Ki Pringgajaya telah beberapa kali mengikuti para petugas yang dikirim dalam tugas serupa sebelumnya.” Untara menjadi ragu-ragu. Yang dikatakan utusan itu memang benar. Beberapa kali Ki Pringgajaya pernah ikut dalam tugas serupa, seperti ia sendiri beberapa kali pernah melakukannya pula. “Tetapi Ki Pringgajaya kini ada dalam pasukanku,“ berkata Untara kemudian, “selagi aku memerlukannya, maka ia tidak akan dapat meninggalkan lingkungannya. Ia aku perlakukan disini dalam waktu dekat ini. Justru karena keadaan di Jati Anom menjadi hangat. Ia adalah seorang perwira yang terhitung memihki pengalaman yang luas, sehingga aku perlu pikirannya dan mungkin tenaganya.” “Perintah ini datang dari lingkungan yang lebih tinggi dari kekuasaanmu Ki Untara,“ berkata Utusan itu, “terserah kepadamu. Aku hanyalah seorang utusan yang menyampaikan perintah itu. Seterusnya adalah masalah mu.” Untara mengatupkan giginya rapat-rapat. Ia harus menahan gejolak perasaannya. Bahkan terbersit kecurigaan didalam hatinya, bahwa Tumenggung Prabadaru mengetahui apa yang telah terjadi di Jati Anom dan berusaha melindungi Ki Pringgajaya.

Karena itu, maka Untarapun kemudian berkata kepada utusan itu, “Baiklah. Perintah ini sudah aku terima. Aku akan menyampaikannya kepada yang berkepentingan. Besok ia akan menghadap.” Tetapi demikian utusan itu meninggalkan Jati Anom, maka Untarapun segera memanggil Ki Pringgajaya, tetapi tidak seorang diri. Beberapa orang yang sudah menghadapi Ki Untara kemudian harus mendengarkan, bagaimana Untara merasa gelisah, bahwa belum ada tanda-tanda yang dapat dipergunakannya memulai penyelidikannya atas peristiwa yang menimpa prajurit muda yang bernama Sabungsari itu. “Jika aku menunggu ana itu sembuh dan dapat dimintai keterangannya, maka itu berarti aku akan kehilangan banyak waktu,“ berkata Untara. “Kenapa tidak sekarang saja Ki Untara bertanya kepadanya, agar kita dapat mulai dengan satu penyelidikan yang tidak sekedar meraba-raba dan menunggu,“ berkata seorang perwira. ***

Buku 130 KIAI GRINGSING selalu menghalangi. Kiai Gringsing berkeberatan jika anak yang sedang dalam tingkat pertama dari penyembuhannya itu harus mengalami ketegangan jiwa.“ sahut Untara. “Apakah serba sedikit kita tidak akan dapat mendengar keterangannya yang paling sederhana sekalipun ?“ bertanya seorang perwira yang lain. Untara menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak ingin menjadi sasaran penyesalan jika terjadi sesuatu pada anak itu. Kemungkinan yang paling buruk masih dapat terjadi. Yang aku minta dari kalian adalah, agar kalian meningkatkan pengamatan kalian atas segala peristiwa yang mugkin merupakan akibat dari peristiwa itu, sehingga dengan demikian kita akan mendapat jalur pengamatan yang lebih dekat.” Para perwira itu mengangguk. Akhirnya mereka harus meninggalkan rumah Ki Untara tanpa tugastugas tertentu. Beberapa orang menjadi heran, bahwa Untara seolah-olah telah bertindak hanya karena kebingungan bahwa masalah yang dihadapinya itu tidak akan terpecahkan. Tetapi sebenarnyalah bahwa Untara telah berusaha secara khusus berbicara dengan Ki Pringgajaya, apakah ia secara pribadi telah mendengar tugas yang akan dibebankan kepadanya. Jika demikian, maka tentu sudah ada jalur hubungan antara Pajang dan Ki Pringgajaya. Namun ternyata Ki Pringgajaya sama sekali tidak menunjukkan kesan apapun juga, bahwa ia akan mendapat tugas diluar Jati Anom. “Orang licik itu dapat saja mengelabuhi aku,“ Berkata Untara. Karena itulah, maka tiba-tiba saja Untara telah minta diri kepada beberapa orang perwira kepercayaannya, bahwa ia akan pergi untuk satu tugas yang hanya dapat dilakukannya sendiri. “Apakah yang akan Ki Untara lakukan ?“ bertanya salah seorang perwira. “Aku akan pergi ke Pajang, menghadap Ki Tumenggung Prabadaru. Tetapi jangan katakan hal ini kepada siapapun. Aku akan segera kembali. Meskipun aku akan kemalaman diperjalanan, tetapi sebelum esok pagi, aku sudah berada di Jati Anom kembali. Dengan demikian, maka tidak banyak orang yang mengetahui kepergian Untara. Beberapa orang mengira, bahwa Untara sedang nganglang seperti biasanya, mengitari Jati Anom dan sekitarnya, diiringi oleh beberapa orang pengawal khususnya.

Namun sebenarnyalah bahwa Untara telah berpacu ke Pajang. Ia mempergunakan sisa hari yang masih ada dan satu malam suntuk untuk menempuh perjalanan ke Pajang dan kembali lagi ke Jati Anom. Ada niat Untara untuk singgah di Sangkal Putung sejenak. Namun niat itu diurungkannya. Jika ia berbicara serba sedikit tentang Agung Sedayu, Kiai Gringsing dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Jati Anom, agar saudara seperguruan Agung Sedayu itu menjadi semakin berhati-hati dan mengamati Kademangannya, maka mungkin sekali tanggapan Swandaru menjadi sangat berlebihan. Dan sebenarnyalah bahwa Untara mempunyai anggapan yang agak kurang mapan terhadap Swandaru. Karena itu, maka Untarapun langsung berpacu ke Pajang, mengambil jalan melintas yang paling dekat diiringi oleh tiga orang pengawal kepercayaannya. Mereka bertiga hampir tidak beristirahat sama sekali di perjalanan, kecuali sekedar memberi kesempatan kepada kudanya untuk minum dan beristirahat barang sebentar. Kedatangan Ki Untara langsung menuju kerumah Ki Tumenggung Prabadaru ternyata telah mengejutkannya. Dengan hati yang berdebar-debar Ki Tumenggung Prabadaru mempersilahkan Untara naik kependapa. “Aku tidak mengira, bahwa aku akan mendapat tamu dari Jati Anom,“ berkata Ki Tumenggung Prabadaru. “Ya, Ki Tumenggung. Aku sengaja datang pada saat Ki Tumenggung sedang menikmati ketenangan ujung malam,“ sahut Untara. Tumenggung Prabadaru tertawa, meskipun ia tidak dapat menyembunyikan perasaannya untuk segera mengetahui apakah keperluan Untara yang nampaknya datang ke Pajang khusus untuk menemuinya. Setelah menanyakan keselamatan Untara diperjalanan seperti kebiasaannya, maka Ki Tumenggungpun segera bertanya, “Kedatanganmu agak mengejutkan aku Ki Untara.” “Ya, Ki Tumenggung. Kedatanganku memang membawa kepentingan yang agak khusus.” Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Lalu iapun bertanya, “Nampaknya memang mendebarkan hati. Katakanlah, apakah keperluanmu Ki Untara.” “Ki Tumenggung akan mendapat tugas baru untuk mengunjungi beberapa daerah di sebelah Timur ?“ bertanya Untara kemudian. Ki Tumenggung Prabadaru mengerutkan keningnya.

Namun kemudian ia menjawab, “Ya. Aku akan pergi kebeberapa daerah di sebelah Timur untuk mengunjungi beberapa Kadipaten. Tetapi aku tidak membawa tugas khusus, selain kunjungan seperti kebiasaan yang berlaku. Bukankah kau juga pernah melakukannya bersama dengan para perwira dimasa sebelum ini?” “Ya, ya Ki Tumenggung. Aku memang pernah melakukannya. Tetapi yang ingin aku tanyakan bukannya kepergian Ki Tumenggung itu sendiri. Tetapi masalah lain meskipun berhubungan langsung dengan tugas Ki Tumenggung.” Ki Tumenggung Prabadaru memandang Ki Untara dengan penuh pertanyaan disorot matanya, meskipun tidak diucapkannya. Ia menunggu Untara meneruskan keterangannya, “Ki Tumenggung, apakah benar Ki Tumenggung telah menunjuk Ki Pringgajaya untuk ikut serta dalam perjalanan ke Timur itu ?” “O,“ Ki Tumenggung mengerutkan keningnya, “aku tidak pernah menunjuk seseorang yang akan berada didalam tugas bersamaku. Aku memang mendapat perintah untuk memimpin sekelompok kecil petugas dari Pajang untuk mengunjungi beberapa Kadipaten didaerah Timur. Tetapi aku tidak menunjuk seorangpun yang akan pergi bersamaku. Ketika aku mendapat perintah langsung dengan tanda kekuasaan Sultan, maka sudah tercantum beberapa nama yang akan mengikuti perjalanan itu. Memang diantaranya termasuk Ki Pringgajaya yang saat ini sedang bertugas di Jati Anom dibawah pimpinanmu. Aku kira kau telah mendapat perintah pula dalam hubungan kepergian Ki Pringgajaya itu.” Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya, kemungkinan itu memang dapat terjadi.” “Bukan satu kemungkinan. Memang itulah yang terjadi.“ Ki Tumenggung Prabadaru berhenti sejenak, lalu. “tetapi apakah ada sesuatu keberatan yang akan kau ajukan atas penunjukan itu ?” Ki Untara termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku sedang memerlukan semua kekuatan yang ada di Jati Anom, termasuk Ki Pringgajaya. Keadaan di Jati Anom saat ini tidak begitu cerah, sehingga aku memerlukan semua orang.” “Ki Tumenggung tersenyum. Katanya, “Bukankah Ki Pringgajaya hanya seorang. Menurut keterangan yang aku terima, ia pernah melakukan perjalanan serupa. Tetapi tidak bersamaku disaat yang lalu, karena sebelum tugasku kali ini, aku pernah mendapat tugas serupa satu kali. Mungkin ada baiknya aku membawa Ki Pringgajaya.” “Ya Ki Tumenggung. Agaknya memang ada baiknya bagi Ki Tumenggung. Tetapi tidak bagiku.” Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Jika kau keberatan, kau dapat mengajukan keberatanmu kepada orang yang telah menunjuk agar Ki Pringgajaya pergi bersamaku. Karena selain Ki Pringgajaya, aku juga membawa seorang perwira yang sedang berada dalam tugas di Kadipaten Jipang.”

“Apakah Ki Tumenggung mengetahui, siapakah yang telah menunjuk para perwira yang akan pergi bersama Ki Tumenggung ?” “Aku tidak tahu. Tetapi siapakah yang memberikan surat perintah kepadamu ?” “Surat itu bertanda kekuasaan Sultan,“ jawab Untara. Ki Tumenggung tersenyum. Katanya, “Semuanya sudah ditentukan. Tetapi apakah keberatanmu sebenarnya Ki Untara ? Aku kira tentu bukan sekedar karena ia kau perlukan.” Untara termenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Tidak ada alasanku yang lain. Tetapi jika semuanya itu harus berlaku atas tanda kekuasaan dan atas nama Kangjeng Sultan, maka aku tidak akan dapat berbuat apa-apa.” Ki Tumenggung Prabadaru mengangguk-angguk. Tetapi nampak sebuah pertanyaan yang tidak terjawab membayang di wajahnya. “Ki Untara,“ berkata Ki Tumenggung Prabadaru kemudian, “apakah kau akan menyampaikan keberatanmu kepada Kangjeng Sultan ?” Ki Untara menarik mafas dalam-dalam. Jawabnya sambil menggeleng, “Tidak Ki Tumenggung. Jika Ki Tumenggung yang akan berangkat bersama Ki Pringgajaya bukan orang yang memilihnya, maka aku tidak dapat mencegahnya lagi.” Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Apakah maksudmu, akulah yang harus menyampaikannya ?” “Tidak Ki Tumenggung. Tidak perlu. Tetapi sesudah Ki Tumenggung selesai dengan tugas itu, maka aku mohon untuk mengembalikan Pringgajaya kepada tugasnya yang sekarang,“ desis Untara. “Baiklah, aku akan berusaha. Perjalananku tentu tidak akan terlalu lama. Tidak akan lebih dari satu bulan,“ jawab Ki Tumenggung Prabadaru. Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya. Kira-kira memang sebulan. Ki Tumenggung akan memerlukan waktu sepanjang itu.” Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Betapapun juga, ia melihat sesuatu yang tidak terucapkan oleh Ki Untara. Namun ia tidak memaksanya, karena Ki Tumenggung Prabadarupun seorang prajurit yang mengetahui, bahwa kadang ada sesuatu yang tidak dapat dikatakannya kepada siapapun juga. Sejenak kemudian, maka Ki Untara minta diri sambil berkata, “Yang aku sampaikan kepada Ki Tumenggung bukan satu hal yang perlu didengar oleh Ki Pringgajaya sendiri.”

“Aku mengerti Ki Untara,“ jawab Ki Tumenggung, “dan akupun akan bersikap sebagaimana sikap seorang prajurit.” “Terima kasih,“ desis Untara, “selamat jalan. Besok Ki Pringgajaya akan menghadap Ki Tumenggung seperti bunyi perintah yang aku terima untuk dilanjutkan kepada yang berkepentingan. Namun aku tetap menunggu ia kembali ke Jati Anom.“ “Aku akan mengusahakannya Ki Untara,“ jawab Ki Tumenggung Prabadaru, “waktu sepanjang itu memang terasa lama sekali pada saat kita mulai. Tetapi akan terasa sangat pendek disaat terakhir.” Untara mengangguk-angguk. Iapun kemudian berkata, “Aku menyerahkan seorang perwira bawahanku kepada Ki Tumenggung atas perintah Kangjeng Sultan di Pajang. Namun pada suatu saat aku memerlukannya lagi.” Ki Tumenggung Prabadaru mengangguk sambil menjawab, “Terima kasih. Aku akan menerimanya dan aku akan mengingat pesan-pesanmu.” Demikianlah maka Untarapun meninggalkan rumah Ki Tumenggung dengan hati yang berdebaran. Ia sadar, bahwa ada orang lain yang telah mengatur, menarik Pringgajaya dari Jati Anom untuk menghindarkan persoalan yang sedang dihadapinya. “Aku harus menyelesaikan masalah ini dengan tuntas. Jika tidak sekarang, tentu sesudah Ki Pringgajaya kembali. Aku harus tahu latar belakang dari tindakannya itu. Apakah sekedar dendam, karena tingkah laku Agung Sedayu yang terlalu banyak melibatkan diri dengan kepentingan Mataram, sehingga satu dua orang yang pernah dibunuhnya adalah keluarga dari Ki Pringgajaya, atau karena alasan-alasan lain yang lebih luas jangkauannya,“ berkata Untara didalam hatinya. Demikianlah, maka Ki Untarapun segera berpacu kembali ke Jati Anom bersama pengawal khususnya. Tidak banyak yang mereka percakapkan di perjalanan. Seperti saat mereka pergi, maka saat mereka kembalipun tidak ada hambatan diperjalanan. Mereka berhenti sekedar memberi kesempatan kuda mereka beristirahat dan minum. Selebihnya mereka berpacu agar mereka segera sampai di Jati Anom. Namun Untara tidak langsung kembali kerumahnya. Ia mempunyai ketajaman perhitungan sebagaimana yang sering dilakukannya. Seolah-olah ia memiliki ketajaman firasat, sehingga perhitungannya bagi masa mendatang tidak terlalu jauh dari kenyataan yang terjadi kemudian. Meskipun dasar pengamatannya berbeda dengan yang dapat dilakukan oleh Ki Waskita, karena Untara mendasarkan pada perhitungan dan uraian dari peristiwa demi peristiwa dalam hubungannya dengan satu persoalan. Kedatangan Untara jauh lewat tengah malam dipadepokan kecil itu telah mengejutkan penghuninya. Dengan tergopoh-gopoh Kiai Gringsing yang dibangunkan oleh cantrik yang bertugas meronda segera menerima Senapati muda itu dipendapa. “Apa aku harus membangunkan orang lain ?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Tidak perlu Kiai. Tetapi paman Widura sajalah yang sebaiknya Kiai panggil kemari untuk sedikit berbincang,“ sahut Untara. Ki Widurapun kemudian duduk pula bersama mereka. Dengan pendek Untara mengatakan, bahwa Ki Pringgajaya ternyata telah dipanggil ke Pajang untuk satu tugas bersama Ki Tumenggung Prabadaru. “Apakah ada hubungan antara Ki Pringgajaya dengan Ki Tumenggung Prabadaru ?“ bertanya Widura. Untara menggeleng sambil menjawab, “Menurut penjajaganku, untuk sementara, aku menganggap tidak paman. Tidak ada hubungan apapun, karena Ki Tumenggung hanyalah sekedar menerima orang-orang yang akan diperbantukan kepadanya. Ia bukan orang yang menyusun kelompok yang akan pergi bersamanya.” Ki Widura mengangguk-angguk. Lalu iapun bertanya, “Jadi bagaimana menurut pertimbanganmu ?” “Tentu ada orang lain paman, tetapi aku tidak dapat mengetahuinya. Aku tidak mungkin menghadap Kangjeng Sultan dan menanyakan, siapakah yang telah menyusun nama-nama didalam kelompok itu,“ jawab Ki Untara, lalu. “namun demikian, kepergian Ki Pringgajaya bukan berarti bahwa persoalan ini sudah selesai. Kepergiannya justru telah menguatkan dugaanku, bahwa yang dikatakan oleh Sabungsari dan Agung Sedayu, adalah benar. Ki Pringgajaya telah terlibat dalam usaha pembunuhan itu, meskipun latar belakangnya masih harus diselidiki sampai kedasarnya.” Widura menarik nafas, sementara Kiai Gringsing menggangguk-angguk sambil berkata, “Aku sependapat ngger. Bahkan aku sependapat, bahwa kepergiannya bukan pertanda bahwa tidak akan terjadi sesuatu selama ia tidak berada di Jati Anom. Mungkin ia sudah mengatur segala sesuatunya yang justru harus dilakukan pada saat ia pergi.” “Kiai benar,“ sahut Untara, “karena itulah aku singgah kepadepokan ini langsung dalam perjalananku dari Pajang ini.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sekilas ia melihat Widura yang tepekur. Nampaknya ia sedang memikirkan keterangan Untara itu dengan sungguh-sungguh. Untara yang juga melihat Widura sedang termenung, justru bertanya, “Apakah ada pertimbangan lain paman ?” “Tidak Untara. Aku juga sependapat.“ ia berhenti sejenak, lalu. “namun demikian, kau jangan melepaskan prasangkamu terhadap Tumenggung Prabadaru.” “Memang segalanya mungkin sekali terjadi. Mungkin Ki Tumenggung juga sekedar mengelabui aku, seperti Ki Pringgajaya yang seolah-olah tidak tahu-menahu tentang tugas yang akan dibebankan

kepadanya. Namun menurut penjajaganku agaknya Ki Prabadaru memang tidak terlibat. Meskipun demikian, aku memang harus berhati-hati melihat segalanya pada saat seperti sekarang ini. Aku juga harus berhati-hati terhadap sikap Ki Tumenggung Prabadaru. Karena itu, aku tetap tidak mengatakan alasan yang sebenarnya, kenapa aku berusaha mencegah kepergian Ki Pringgajaya. Namun seandainya ia benar-benar ada sangkut pautnya dengan Pringgajaya, ia tentu akan mengatakannya, bahwa aku telah menghubunginya dan mencurigai Ki Pringgajaya.” “Seperti tentu sudah terasa pula oleh Ki Pringgajaya, bahwa Sabungsari tentu telah mengatakannya,“ desis Widura. Lalu. “Karena itu, kita semuanya harus berhati-hati. Benar atau tidak benar, Ki Pringgajaya akan menanggapi kecurigaan itu. Jika ia benar melakukan, maka yang harus dikerjakannya adalah menghapus jejak dan menggeser tuduhan itu dari dirinya. Jika ia benarbenar tida melakukan seperti yang dikatakan oleh Sabungsari, maka ia tentu belum menyadari, bahwa semua mata di padepokan ini sedang tertuju kepadanya.” Untara mengangguk-angguk. Desisnya, “Ya paman. Namun kita harus bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Kedua orang petugas khusus yang aku serahkan kepada paman dan Kiai Gringsing akan dapat dipergunakan sebaik-baiknya. Keduanya benar-benar dapat dipercaya. Dan kedua-duanya tidak banyak dikenal oleh prajurit Pajang yang berada di Jati Anom. Sementara keduanya memiliki kemampuan yang akan dapat membantu isi padepokan ini jika terjadi sesuatu.“ Untara berhenti sejenak, lalu. “tetapi bagaimana dengan Sabungsari sendiri ?” “Ia sudah berangsur baik. Ia sudah mulai memulihkan kekuatan dan kemampuannya. Meskipun ia masih memaksa diri dipembaringannya, namun pada saat-saat tertentu di malam hari, aku membawanya ke sanggar untuk memberi kesempatan kepadanya, memulihkan segenap kemampuannya.“ jawab Kiai Gringsing. “Sokurlah. Agaknya untuk sementara sasaran akan bergeser dari Agung Sedayu ke Sabungsari, atau kedua-duanya,“ gumam Untara, “karena itu maka aku mohon seisi padepokan ini tetap berhati-hati. Jangan biarkan Agung Sedayu pergi kesawah atau pategalan seorang diri meskipun siang hari. Karena semuanya akan dapat terjadi, dimanapun dan disaat yang tidak kita duga sama sekali.” “Baiklah ngger. Kedua petugas sandi itu akan mengawasi Agung Sedayu disamping para cantrik yang lain,“ jawab Kiai Gringsing. “Mudah-mudahan kita masih menapat kesempatan untuk mengatasi usaha yang jahat itu,” desis Untara kemudian, “kita masih mempunyai keyakinan yang cukup, bahwa segala kejahatan akan dapat kita kalahkan.”

“Ya ngger,“ sahut Kiai Gringsing, “tetapi nampaknya angger Untara juga harus memperhatikan prajurit yang meronda dipadukuhan sebelah. Mereka akan menjadi sasaran utama bagi para penjahat yang berniat buruk di padepokan ini, karena mereka tentu akan berusaha membungkam prajurit-prajurit itu lebih dahulu, agar mereka tidak memberikan isyarat kepada induk pasukannya jika terjadi sesuatu dipadepokan ini.” “Ya Kiai. Aku bermaksud memancing perhatian mereka hanya kepada prajurit itu saja. Tidak kepada isi padepokan ini sendiri. Aku harap mereka tidak mengetahui bahwa disini ada dua orang petugas sandi, dan merekapun tidak mengerti bahwa Sabungsari telah mampu mempertahankan dirinya sendiri,“ berkata Untara kemudian, “namun demikian, aku masih juga memerintahkan petugas-petugas khusus untuk mengawasi padepokan ini dari arah yang lain sekali dari prajurit-prajurit itu.” “Terima kasih ngger. Mudah-mudahan kita selalu mendapat perlindungan dari Yang Maha Kasih, sehingga akan dapat terhindar dari segala bencana.” Demikianlah, maka Untarapun segera minta diri. Betapapun juga, ia menanggapi persoalan yang gawat itu melampaui persoalan-persoalan lain, karena yang menjadi sasaran adalah adiknya sendiri. Lebih dari itu, maka yang akan terjadi itu tentu akan dapat berpengaruh terhadap kedudukannya di Jati Anom, karena Untara sendiri mulai condong untuk mempercayai bahwa ada orang-orangnya yang terlibat dengan maksud tertentu. Sejenak kemudian, sebelum pagi menjadi terang, Untarapun segera minta diri untuk kembali kerumahnya. Namun seperti Kiai Gringsing dan Widura, ia berpendapat bahwa kepergian Ki Pringgajaya justru pertanda bahwa mereka harus menjadi lebih berhati-hati. Tetapi dilingkungan para prajurit sendiri, selain orang-orang khusus yang benar-benar dipercayainya, Untara tidak mengatakan sesuatu tentang kepergiannya ke Pajang dan segala kesimpulan yang sudah dibicarakannya dengan Kiai Gringsing dan Ki Widura. Ternyata Untara hanya sempat beristirahat sejenak, sebelum matahari terbit di Timur. Setelah membersihkan diri maka iapun memanggil Ki Pringgajaya untuk menyampaikan perintah kepadanya agar ia pergi ke Pajang dan menghadap Ki Tumenggung Prabadaru. Ki Pringgajaya terkejut mendengar perintah itu. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah ada persoalan yang harus aku pertanggung jawabkan terhadap Ki Tumenggung Prabadaru ?” “Pergilah dan menghadaplah. Aku tidak tahu apakah kau merasa senang atau tidak, bahwa kau akan mendapat perintah untuk mengikutinya dalam sebuah perjalanan,“ berkata Untara. “Perjalanan ke mana ?“ bertanya Ki Pringgajaya. “Aku tidak tahu pasti. Tetapi kebeberapa Kadipaten di daerah Timur.”

“Ki Pringgajaya mengangguk-angguk. Tidak ada kesan apapun diwajahnya. Apalagi ia menjawab, “Bagi seorang prajurit, perintah itu harus aku jalankan. Senang atau tidak senang.” “Orang ini memang gila,“ pikir Untara. Sebenarnyalah Ki Untara memang tidak berhasil menangkap sesuatu kesan diwajah Ki Pringgajaya. Nampaknya orang itu sama sekali tidak mempunyai tanggapan pribadi atas perintah yang harus dijalankan. Ia menerima tugas itu seperti ia menerima tugas-tugas lain sebelumnya. “Ki Pringgajaya,“ berkata Untara kemudian, “sebenarnya aku mempunyai keberatan untuk melepaskan salah seorang pembantuku yang terbaik sekarang ini dari Jati Anom. Sebagaimana kau ketahui bahwa kita di Jati Anom sedang menghadapi persoalan yang rumit. Kita masih belum dapat memecahkan peristiwa yang terjadi, sehingga salah seorang prajurit Pajang dari Jati Anom terluka parah.” Tetapi tanggapan Ki Pringgajaya benar-benar menggetarkan hati Untara, sehingga Senapati muda itu harus mengatupkan giginya rapat-rapat untuk menahan gejolak perasaannya. “Ki Untara,“ berkata Ki Pringgajaya, “yang terjadi itu agaknya bukan sesuatu yang memerlukan sikap khusus. Bukankah sudah sering terjadi hal yang serupa. Tetapi agaknya tidak terlalu banyak menggoncangkan perasaan Ki Untara seperti sekarang ini. Berapa kali terjadi peristiwa yang malahan lebih besar dari peristiwa yang baru terjadi itu. Tetapi segalanya kita tanggapi dengan wajar.” Sejenak Ki Untara justru terdiam. Ketika hatinya telah mengendap, maka iapun menjawab, “Kau benar Ki Pringgajaya. Beberapa kali telah terjadi peristiwa yang menggoncangkan Jati Anom dan sekitarnya. Tetapi dalam peristiwa yang telah terjadi itu, kita mendapat gambaran yang jelas, siapa pelakunya. Di Sangkal Putung misalnya, kita tahu pasti, bahwa orang-orang Pesisir Endut dan bahkan kemudian Carang Waja telah turun kemedan, sehingga ia terbunuh oleh Sabungsari.” Ki Pringgajaya mengangguk-angguk. “Tetapi peristiwa ini adalah peristiwa yang masih perlu dipecahkan. Jika kita tahu, siapakah pelakunya, maka kita tidak perlu dengan susah payah mencarinya. Misalnya orangorang Pesisir Endut, atau orang-orang dari Tambak Wedi, atau orang-orang dari sekitar Watu Gundul disebelah Barat Kembang Mancawarna, atau dari daerah lain. Kita tinggal membuat perhitungan, apakah kita akan datang untuk menghancurkan padepokan itu atau tidak, atau kita mempunyai perhitungan lain. Tetapi kita tidak dibayangi oleh teka-teki seperti yang terjadi. Justru dihadapan hidung kita sendiri,“ berkata Untara selanjutnya. Ki Pringajaya termenung sejenak. Lalu katanya, “Justru hal seperti yang baru saja terjadi itulah yang wajar sekali untuk sekedar diingat sebagai satu pengalaman. Jika kita berhasil menemukan orangorang yang terlibat dengan bukti-bukti yang cukup meyakinkan, itu baik sekali. Tetapi jika tidak, itupun bukan satu hal yang aneh. Dapat saja terjadi perselisihan diantara Sabungsari dan Agung

Sedayu disatu pihak, dan orang-orang yang terbunuh itu dipihak lain, siapapun mereka. Jika kita ingin jujur, justru Sabungsari dan Agung Sedayu itulah yang pantas dicurigai dan dituduh telah melakukan pembunuhan dengan menghilangkan jejak kematian dua orang korbannya.” Darah Untara terasa mendidih. Tetapi ia justru mengangguk angguk. Katanya, “Ya, ya. Kau benar Ki Pringgajaya. Kenapa aku tidak berpikir demikian sebelumnya, meskipun Agung Sedayu itu adikku.” Mendengar jawaban Untara Ki Pringgajaya justru mengerutkan keningnya. Namun ia berkata, “Dengan demikian maka Ki Untara tidak usah dengan susah payah mencari-cari orang yang paling pantas untuk dituduh melakukan kejahatan itu. Karena, dalam kebingungan dapat saja Sabungsari atau Agung Sedayu menyebut nama seseorang yang sebenarnya tidak tahu menahu sama sekali tentang peristiwa ini.” Untara mengangguk semakin mantap. Katanya, “Kau benar. Dengan demikian aku harus selalu mengamati Kiai Gringsing, agar Sabungsari benar-benar dapat disembuhkan, sehingga ia akan dapat mengatakan yang sebenarnya. Memang mungkin ia bersama Agung Sedayu telah melakukan pembunuhan dan untuk menghapus jejak penyelidikan, maka mereka telah menyembunyikan mayatnya.” Ki Pringgajaya mengangguk-angguk kecil. “Tetapi aku yakin, bahwa beberapa hari lagi, Sabungsari akan sudah dapat berceritera tentang peristiwa itu. Ia harus mengatakan yang sebenarnya terjadi. Aku akan bertanya kepada kedua anak muda itu secara terpisah. Apakah jawab mereka sesuai.” “Mereka sudah bersepakat,“ desis Ki Pringgajaya. “Tetapi aku akan dapat melihat apakah yang mereka katakan itu benar atau tidak. Kesempatan mereka untuk berbicara dan merancang kebohongan sangat kecil justru karena Sabungsari terluka. Sementara sesudah berada dibawah perawatan Kiai Gringsing, anak itu tidak diperbolehkan terlalu banyak berbicara.” Ki Pringgajaya hampir saja membantah, karena kesempatan untuk berbicara antara kedua orang itu tentu cukup luas. Tetapi jika keadaan Sabungsari pada tingkat pertama justru memburuk, maka mungkin ia memang diasingkan dari orang lain. Sementara Ki Untara berkata seterusnya, “Mudah-mudahan disaat Ki Pringgajaya kembali kelak, semuanya sudah selesai. Sebagai satu pengertian, aku perlu mengatakan, bahwa aku tidak akan dapat menolak apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu. Bukan Sabungsari. Jika pembicarakan mereka tidak sesuai, maka aku lebih percaya kepada Agung Sedayu, karena aku mengenal sifatnya sejak kanak-kanak.” Wajah Ki Pringgajaya menegang sejenak. Tetapi kemudian iapun tersenyum sambil berkata, “Mudahmudahan Ki Untara, segalanya cepat dapat dilihat dengan terang. Namun yang perlu dipertimbangkan,

bahwa sifat seseorang dimasa kanak-kanak, dan disaat ia menginjak masa dewasanya, mungkin sekali terdapat perkembangan. Jika semula ia seorang penakut, maka ia akan dapat tumbuh menjadi raksasa yang tiada taranya. Sebaliknya jika ia seorang yang jujur dan tidak pernah berbohong, akan dapat menjadi seorang yang licik dan tukang fitnah.” “Tepat sekali,“ desis Untara, “pikiranmu memang bening sekali Ki Pringgajaya. Yang kau katakan telah merangsang aku untuk menghadap Sultan Pajang, agar perintah bagimu dibatalkan saja, agar kau dapat membantuku disini untuk memecahkan masalah ini.” Wajah Ki Pringgajaya itu menegang sesaat. Dan ketegangan itu sempat ditangkap oleh pandangan Untara yang tajam, yang memang menunggu saat yang sekilas itu. Tetapi kesan diwajah itupun segera lenyap. Sambil tersenyum Ki Pringgajaya berkata, “Ki Untara terlalu memuji aku.” Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia bukan saja menangkap kesan sekilas pada wajah Ki Pringgajaya, tetapi suaranyapun terdengar bergetar. Karena itu, maka untuk meyakinkannya ia berkata, “Ki Pringgajaya. Aku tidak berpura-pura. Kau sebenarnya memang aku perlukan. Apakah kau sependapat jika aku menghadap Sultan di Pajang, dan mohon agar kau tidak perlu meninggalkan Jati Anom.” Betapapun juga, Untara berhasil menangkap kesan yang lebih meyakinkan. Sementara itu Ki Pringgajaya menjawab, “Sebenarnya aku tidak mempunyai keberatan apapun. Pergi atau tidak pergi. Tetapi jika itu sudah menjadi perintah, apakah hal itu tidak akan membuat Kangjeng Sultan marah. Meskipun tanggung jawab hal ini ada pada Ki Untara, tetapi mungkin juga Kangjeng Sultan dapat salah paham, karena disangkanya atas permohonankulah, maka perintah itu harus dirubah.” Untara mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku tidak akan melakukannya meskipun sebenarnya aku ingin. Akupun menjadi cemas, bahwa Kangjeng Sultan akan marah kepadaku.” Ki Pringgajaya menarik nafas panjang sambil berkata, “Sekali lagi aku katakan, bahwa aku hanyalah tinggal menjalankan perintah.” Demikianlah, maka Ki Untarapun kemudian mempersilahkan Ki Pringgajaya mempersiapkan diri dan selanjutnya pergi ke Pajang menghadap Ki Tumenggung Prabadaru. Untara memang tidak benar-benar ingin mencegah Ki Pringgajaya. Namun ia sudah menangkap kesan, bahwa sebenarnya Ki Pringgajaya tidak ingin ia membatalkan kepergiannya. “Hanya salah satu kemungkinan,“ berkata Untara didalam hatinya, “mudah-mudahan karena kepergiannya, aku akan dapat melihat sesuatu yang berarti. Aku tidak dapat menutup kenyataan bahwa memang ada niat buruk dari antara para prajurit dan pemimpin pemerintahan di Pajang yang nampak buram ini.”

Dalam pada itu maka Ki Pringgajaya segera kembali ke baraknya. Ketika ia membenahi mereka sedang berbincang tentang keadaan yang sedang mereka hadapi. “Untara memang anak iblis,“ geram Ki Pringgajaya, “ia melihat sesuatu pada perintah bagiku untuk meninggalkan Jati Anom. Aku hampir saja terpancing untuk menolak ketika ia berniat untuk membatalkan kepergianku.” “Apakah benar-benar ia akan menghadap Kangjeng Sultan ?“ bertanya prajurit itu. “Kaupun gila. Tentu tidak. Tetapi ia memang pandai memancing pembicaraan. Aku kurang menyadari saat itu, sehingga nampaknya ia menemukan yang dicarinya. Untunglah aku segera menyadari keadaanku,“ desis Ki Pringgajaya. “Tetapi bukankah Ki Pringgajaya sudah akan meninggalkan Jati Anom ?“ bertanya prajurit itu. “Jangan kau kira bahwa Untara tidak akan mengejar aku sampai kemanapun. Namun aku sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan,“ jawab Pringgajaya, “aku mempunyai perisai berlapis sembilan. Ia tidak akan berhasil menembusnya. Jika ia memaksakan diri, maka nasibnya tidak akan dapat tertolong lagi. Aku akan mempergunakan cara yang lebih keras lagi baginya.” Prajurit itu tidak menjawab. Tetapi ia masih saja sibuk mengemasi barang-barang Ki Pringgajaya. Ki Pringgajayalah yang kemudian berkata, “berhati-hatilah. Saat itu akan segera datang. Orang-orang Gunung Kendeng itupun sudah siap. Ia memang menunggu aku pergi dan menunggu saat gardu itu dijaga oleh orang-orang yang sudah dapat kita genggam. Betapapun juga, gardu itu akan mempunyai pengaruh.” “Ya. Mudah-mudahan segalanya akan dapat berjalan dengan baik. Mudah-mudahan segalanya berjalan sesuai dengan rencana,“ jawab prajurit itu, “nampaknya segalanya sudah dipersiapkan dengan masak. Orang-orang Gunung Kendeng sudah mendapat gambaran yang jelas tentang orang-orang yang tinggal dipadepokan itu. Orang-orang Gunung Kendeng sudah mendapat penjelasan tentang kemampuan dan tataran orang-orang yang harus diperhitungkan di padepokan itu. Terutama Kiai Gringsing. Agung Sedayu sendiri dan Ki Widura.” “Jangan gagal lagi,“ pesan Ki Pringgajaya, “jika semuanya sudah selesai, maka berikan lima keping emas itu kepada mereka, agar mereka percaya bahwa kita tidak mengingkarinya, karena mungkin kita masih akan memerlukannya. Sangkal Putung masih harus diperhitungkan. Tentu tidak akan dapat kita sapu dengan prajurit segelar sepapan, karena keadaan yang masih belum masak. Jika orang-orang Gunung Kendeng itu berhasil membersihkan padepokan itu, maka mereka

akan dapat melakukannya atas Swandaru, isteri dan adiknya di Sangkal Putung, meskipun di Sangkal Putung ada sepasukan pengawal.” Prajurit itu mengangguk-angguk. Ia masih tetap berdiam diri sambil mengemasi beberapa lembar pakaian. Ketika seorang kawannya datang mendekat, maka pembicaraan merekapun terputus. “Ki Pringgajaya jadi berangkat sekarang ?“ bertanya prajurit yang datang mendekat. “Tentu. Perintah itu datang dari Kangjeng Sultan sendiri,“ jawab Ki Pringgajaya. “Apakah masih ada yang dapat aku bantu ?“ bertanya prajurit itu. “Sudah cukup. Barang-barangku memang hanya sedikit,“ jawab Ki Pringgajaya sambil tersenyum. Disamping beberapa lembar pakaian, Ki Pringgajaya mempunyai dua buah keris pusaka, selain sebilah pedang keprajuritan. Iapun mempunyai segulung ikat pinggang kecuali yang dipakainya. Dalam keadaan tertentu ia memakai ikat pinggang khusus dengan timang bermata berlian. “Titipkan timang itu kepadaku,“ desis prajurit yang lain, yang datang mendekat pula. Ki Pringgajaya tertawa. Katanya, “Kau kira timang ini sekedar perhiasan ? Jika aku memerlukannya, maka barang-barang seperti ini cepat dapat dijual.” Prajurit-prajurit itupun tertawa. Sementara Ki Pringgajaya berkata, “Sudah barang tentu aku akan singgah dirumah. Barang-barang ini akan aku tinggal saja. Aku tidak memerlukannya dalam perjalanan ke Timur itu.” Para prajurit yang mengerumuninyapun tertawa pula. Tetapi mereka sama sekali tidak pernah membayangkan, bahwa disamping senyum dan tertawanya, Ki Pringgajaya telah menyimpan rencana yang akan dapat menggetarkan setiap dada prajurit Pajang di Jati Anom. Dalam pada itu, ternyata bahwa keterangan Untara tentang Ki Pringgajaya, bahwa perwira itu akan ditarik dari Jati Anom, telah benar-benar membuat mereka semakin berhati-hati. Bukan tidak mustahil bahwa saat-saat Ki Pringgajaya itu tidak ada di Jati Anom, maka ia telah menggerakkan sekelompok orang yang bertugas untuk membungkam Sabungsari dan Agung Sedayu. Karena itulah, maka Agung Sedayupun merasa, bahwa ia harus benar-benar mempersiapkan diri, tetapi disamping dirinya sendiri, iapun harus mempersiapkan Glagah Putih, agar ia tidak sekedar hanya dapat berlari-lari dengan pedang ditangan, tetapi anak muda itu harus dapat mempertahankan

dirinya sendiri. Dengan demikian, maka Agung Sedayupun berusaha untuk mempertinggi kemampuan anak muda itu dengan latihanlatihan yang berat. Dalam pada itu. Kiai Gringsing dan Ki Widura dengan hati-hati telah memberitahukan segalanya kecuali kepada Agung Sedayu, juga kepada Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda. Bahwa kemungkinan yang paling pahit itu akan dapat segera terjadi setelah Ki Pringgajaya meninggalkan Jati Anom. “Orang itu memang sangat licik,“ berkata Ki Lurah Patrajaya, “secara pribadi aku belum mengenal Ki Pringgajaya. Tetapi aku pernah mendengar namanya. Dalam lingkungan keprajuritan di Pajang, aku menemukan keterangan bahwa Ki Pringgajaya pernah mendapat tegoran keras dari Ki Tumenggung Respati yang bergelar Singayuda karena kecurangan yang pernah dilakukan dipeperangan saat pasukan Pajang masih sibuk mempersatukan bekas kekuasaan Demak yang berusaha memisahkan diri.” “Ki Tumenggung Singayuda,“ ulang Ki Widura. Lalu. “Tetapi Ki Tumenggung Wirayuda itu sudah gugur dipeperangan.” “Aku kehilangan lacak waktu aku menelusur sebab kematiannya. Ia gugur dipeperangan tanpa luka yang berarti. Meskipun pengawalnya mengatakan bahwa didadanya terdapat luka karena ujung tombak, tetapi ia tidak mati seketika. Ada orang yang menghubungkan kematiannya dengan peringatan dan bahkan ancaman yang pernah diberikan oleh Ki Tumenggung Singayuda itu kepada Ki Pringgajaya.“ Ki Patrajaya berhenti sejenak, lalu. “tetapi tidak seorangpun dapat melacak buktinya.” Ki Widura mengangguk angguk. Katanya, “Kecurigaan tentang kematian Ki Tumenggung itu memang pernah aku dengar.” “Karena itu, kita wajib berhati-hati menghadapinya sekarang,“ berkata Ki Lurah Wirayuda, “ia seorang prajurit yang pilih tanding. Tetapi yang lebih berbahaya adalah kelicikannya itulah.” Dalam pada itu, maka Kiai Gringsing yang mengobati Sabungsaripun telah memberitahukan kepadanya pula, bahwa Ki Pringgajaya telah mendapat perintah untuk meninggalkan Jati Anom. “Kita terlambat,“ desis prajurit muda itu. “Tidak. Kita tidak terlambat. Kemanapun ia pergi, kita masih akan dapat menelusuri jejaknya, karena kepergiannya itu atas perintah.“ jawab Kiai Gringsing. “Tetapi tidak mustahil bahwa ia akan depat melarikan diri saat ia berada didaerah Timur, atau dengan sengaja meninggalkan tugasnya bergabung dengan kelompok yang tersembunyi untuk meneruskan tindakan-tindakannya yang licik itu diluar lingkungan keprajuritan.” “Itu memang mungkin sekali terjadi,“ berkata Kiai Gringsing,

“tetapi dengan demikian, ia akan banyak kehilangan kesempatan untuk menikam pajang dari dalam. Dengan demikian ia telah berterus terang melawan pemerintahan Pajang dan melakukan pemberontakan.” Sabungsari mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Kiai. Tidak mustahil bahwa Ki Pringgajaya telah membakar dendam orang-orang Gunung Kendeng seperti orang-orang Pasisir Endut yang gila itu.” “Ya. Itu memang tidak mustahil,“ sahut Kiai Gringsing. “Bukankah dengan demikian kita akan berhadapan dengan kelompok yang kuat seperti yang pernah Kiai dengar tentang orang-orang Gunung Kendeng,“ desis Sabungsari. “Aku memang pernah mendengar serba sedikit tentang Gunung Kendeng,” jawab Kiai Gringsing. “Kiai,“ berkata Sabungsari kemudian, “aku adalah orang yang Kiai angkat dari lumpur yang paling kotor. Namun agaknya aku sudah berhasil menyadari arti dari sisa hidupku ini.“ ia berhenti sejenak, lalu. “jika Kiai dan Agung Sedayu percaya, aku mempunyai beberapa orang pengikut yang masih berada di Jati Anom. Dari sekelompok pengikutku ada beberapa orang yang masih tinggal disini atas perintahku.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud Sabungsari. Orang-orangnya yang masih tinggal di Jati Anom itu akan dapat membantu menghadapi orang-orang Gunung Kendeng. “Kiai,“ berkata Sabungsari kemudian, “tetapi aku lebih baik berterus terang, bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak lebih baik dari orang-orang Gunung Kendeng itu sendiri. Mereka adalah orang-orang yang kotor seperti aku pada saat itu. Tetapi aku yakin, bahwa aku masih mempunyai pengaruh yang cukup atas mereka.” “Apakah mereka tidak akan kembali kepadepokan Telengan ?“ bertanya Kiai Gringsing. “Sebagian memang sudah kembali untuk memberitahukan tentang perubahan sikapku. Tetapi masih ada satu dua orang yang tinggal atas permintaanku disini.“ jawab Sabungsari. Kiai Gringsing tidak segera dapat menjawab. Bahkan iapun bertanya pula, “Seandainya kita ingin berhubungan dengan mereka, bagaimanakah cara yang sebaik-baiknya kita lakukan.” “Aku akan memanggil mereka,“ jawab Sabungsari. “Tetapi perananmu sekarang adalah seorang prajurit yang sakit, yang tidak dapat bangkit dari pembaringan.” “Aku akan melakukannya dimalam hari. Aku dapat keluar dari padepokan ini tanpa dilihat oleh seorangpun dan seperti laku seorang pencuri aku akan menemui mereka. Aku akan memerintahkan mereka seorang demi seorang memasuki padepokan ini tanpa mencurigakan. Meskipun kekuatan mereka kecil, tetapi mereka akan dapat sekedar membantu.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk mendengar tawaran Sabungsari. Dengan demikian ia semakin yakin, bahwa Sabungsari benar-benar telah menyadari tingkah lakunya sepanjang perjalanan hidupnya. Dan Kiai Gringsingpun percaya, bahwa Sabungsari benar-benar akan menyerahkan pengikutnya dalam perjuangan yang berat melawan orangorang Gunung Kendeng. “Tetapi pengikut Ki Gede Telengan itu tidak lebih baik dari orang Gunung Kendeng sendiri,“ Kiai Gringsing bergumam didalam hatinya mengulangi pengakuan Sabungsari. Selagi Kiai Gringsing mempertimbangkan tawaran Sabungsari, maka prajurit muda itu mendesaknya, “Apakah Kiai setuju ? Jika Kiai setuju, biarlah malam nanti aku keluar dari padepokan ini. Besok siang, seorang demi seorang pengikutku akan datang. Tetapi mereka tidak akan keluar lagi dari padepokan ini. Mereka adalah keluargaku yang datang menengokku. Orang-orang padesan yang harus berperan sebagai orang-orang dungu, lebih dungu dari kedua cantrik yang tidak lain adalah lurah-lurah prajurit itu.” Kiai Gringsing merenungi tawaran itu. Kemudian katanya, “Aku akan berbicara dengan Ki Widura dan kedua lurah prajurit itu.” “Aku menunggu Kiai,“ sahut Sabungsari. Kiai Gringsingpun kemudian menjumpai Ki Widura dan Ki Lurah Patrajaya dan Wirayuda. Sejenak mereka berbincang tentang tawaran Sabungsari tentang pengikut-pengikutnya yang masih ada di Jati Anom. “Apakah Kiai dapat mempercayai mereka ?“ bertanya Ki Widura. “Aku percaya sepenuhnya kepada Sabungsari. Dan akupun percaya bahwa Sabungsari masih mempunyai pengaruh yang kuat atas mereka,“ jawab Kiai Gringsing. Ki Widura mengangguk-angguk. Sementara Ki Wirayuda bertanya, “Ada berapa orang yang masih ada di Jati Anom Kiai ?” “Sabungsari tidak dapat menyebutnya dengan pasti. Sebagian dari para pengikutnya sudah diperintahkannya kembali. Jika disetujui, ia akan datang menemui mereka dan memberikan beberapa pesan bagi mereka,“ jawab Kiai Gringsing. “Jika Kiai percaya, kamipun sama sekali tidak berkeberatan. Setiap kekuatan akan memperingan tugas kita masing-masing, jika benar-benar kelak terjadi sesuatu,“ jawab Ki Lurah Patrajaya. Ternyata orang-orang penting dipadepokan itu tidak berkeberatan meskipun mereka mengetahui bahwa orangorang itu adalah termasuk orang-orang kasar. Tetapi mereka ada dibawah pengaruh dan tanggung jawab Sabungsari, sementara prajurit muda itu telah mengenal dirinya sendiri dan menyesali tingkah lakunya dimasa lampau. Keputusa itu telahdisampaikan oleh Kiai Gringsing kepada Sabungsari dan diberitahukannya pula

kepada Agung Sedayu. Tetapi dengan pesan, bahwa setiap orang dipadepokan itu akan mengenal mereka sebagai sanak dan kadang Sabungsari yang menengok keadaannya. Orang-orang itu sama sekali tidak boleh memperkenalkan dirinya sebagai seorang yang memiliki kemampuan. Jika hal itu didengar oleh orangorang Pringgajaya dan orang-orang Gunung Kendeng, maka mereka akan membuat perhitungan yang lebih cermat, sehingga kedatangan mereka akan lebih berbahaya lagi. “Kita masih belum dapat mempercayai orang-orang dipadepokan ini seutuhnya,“ berkata Kiai Gringsing kepada Agung Sedayu, “bukan karena mereka bermaksud buruk, tetapi karena mereka masih terlalu bersih, sehingga mereka tidak mempunyai prasangka buruk terhadap orang lain,“ berkata Kiai Gringsing, “karena itu, jika mereka mengetahui persiapan kita disini, maka mungkin sekali, sengaja atau tidak sengaja mereka akan mengatakannya kepada orang lain, sehingga hal itu akan dapat menjalar sampai ketelinga Pringgajaya dan orang-orang Gunung Kendeng, atau orang manapun juga yang telah dihubungi oleh Pringgajaya” Demikianlah, maka ketika malam menjadi semakin dalam, Sabungsari telah meninggalkan padepokan diluar pengetahuan para cantrik, kecuah oleh kedua orang cantrik yang sebenarnya adalah Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda. Dengan diam-diam Sabungsari keluar lewat dinding belakang, seperti laku seorang pencuri, agar tidak dilihat oleh siapapun juga. Dengan hati-hati ia kemudian merayap diantara sawah dan ladang menuju kesebuah padukuhan di Kademangan Jati Anom, tempat para pengikutnya tinggal. Kedatangan Sabungsari telah mengejutkan pengikut-pengikutnya. Mereka menganggap bahwa Sabungsari masih benar-benar sakit parah. Tetapi ternyata tiba-tiba saja anak muda itu telah berada diantara mereka. “Kau sudah nampak sehat,“ berkata salah seorang pengikutnya. “Aku sudah sembuh,“ jawab Sabungsari. “Tetapi setiap orang mengatakan, bahwa kau masih memerlukan perawatan di padepokan kecil itu,“ desis pengikutnya yang lain. Sabungsari tidak menjawab. Bahkan ia bertanya, “Ada berapa orang diantara kalian sekarang yang berada disini ?” “Empat orang,“ jawab salah seorang diantara mereka, “aku berdua telah kembali kepadepokan untuk menyampaikan semua pesanmu kepada kawan-kawan kita. Meskipun sedikit timbul persoalan diantara kami, tetapi aku dapat mengatasinya.” “Ada yang tidak dapat menerima sikapku ?“ bertanya Sabungsari. “Ya. Sebenarnya sikapmu memang mengejutkan. Kita masih dibayangi kesetiaan kita kepada Ki Gede Telengan.

Kau adalah anak laki-lakinya yang telah mewarisi segala-galanya.“ ia berhenti sejenak, lalu. “tetapi aku berhasil meyakinkan mereka. Meskipun demikian, mereka tetap menunggu untuk langsung mendengar penjelasanmu.” Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Anak Ki Gede Telengan sudah mati. Anak yang dibakar oleh dendam itu ternyata telah dibunuh oleh Agung Sedayu karena ternyata bahwa dalam perang tanding ia sudah dikalahkannya. Yang ada sekarang adalah Sabungsari yang lain, yang telah kehilangan jiwanya yang lama dan telah hidup jiwa yang baru.” Para pengikutnya mencoba untuk mengerti gejolak jiwa anak muda itu. Meskipun sebenarnya merekapun kecewa atas sikap itu, tetapi karena mereka langsung melihat dan merasakan perkembangan jiwa Sabungsari, maka merekapun telah berusaha untuk mendalaminya. “Tetapi kemampuanku tidak susut,“ geram Sabungsari, “meskipun aku telah dikalahkan oleh Agung Sedayu, tetapi aku masih tetap mampu membunuh kalian seorang demi seorang tanpa menyentuh sama sekali.” Para pengikutnya tidak membantah. Bagaimanapun juga mereka percaya bahwa Sabungsari masih tetap pada tingkat kemampuannya, meskipun menurut pengakuannya ia tidak dapat mengalahkan Agung Sedayu. Tetapi adalah suatu kenyataan bahwa Sabungsari telah berhasil membunuh Carang Waja meskipun hampir saja terjadi sampyuh. Demikian pula dengan orang-orang dari Gunung Kendeng. “Kenapa kalian diam saja ?“ bertanya Sabungsari, “apakah kalian tidak percaya ?” Salah seorang pengikutnya menjawab perlahan, “kami masih tetap pada kepercayaan kami kepadamu Sabungsari. Yang kami kehendaki adalah, bahwa kau dapat memberikan penjelasan kepada para pengikut Ki Gede Telengan dipadepokan, karena sepeninggal Ki Gede, kau adalah harapan satu-satunya. Sedangkan kau sekarang agaknya sudah merasa kerasan di Jati Anom menjadi seorang prajurit, apalagi menurut pengakuanmu, kau ternyata tidak lagi bermaksud membunuh Agung Sedayu untuk membalas dendam. Bahkan kau sendiri mengatakan, bahwa kau sudah dikalahkan oleh Agung Sedayu itu.” “Ya. Pengakuanku adalah pernyataan kebenaran. Aku sudah dikalahkan, dan aku tidak lagi ingin melakukan pembunuhan itu,” berkata Sabungsari, “seterusnya aku justru berdiri dipihaknya dalam beberapa persoalan, seperti yang baru saja terjadi.” Para pengikutnya hanya mengangguk-angguk saja. Dengan terus terang Sabungsari kemudian mengatakan apa yang dapat terjadi dipadepokan kecil itu. Karena itu, maka jika para pengikutnya itu masih setia, maka tiba waktunya bagi mereka untuk berbuat sesuatu.

“Aku sekarang memerlukan bantuan kalian,“ berkata Sabungsari, “jika kalian masih menganggap aku pemimpinmu, maka kalian akan melakukannya. Tetapi jika tidak, dan kalian justru menganggap aku telah berkhianat kepada padepokan dan ayahku, maka kalian dapat berpihak orang-orang Gunung Kendeng, atau orang manapun yang tentu akan segera datang kepadepokan itu untuk membunuhku.” Para pengikutnya termangu-mangu. Sekilas Sabungsari memberikan penjelasan tentang sikapnya agar para pengikutnya semakin yakin bahwa langkahnya adalah benar. Katanya, “Cara yang aku tempuh memang agak lain dari cara yang pernah aku katakan. Tetapi cara yang aku lakukan sekarang, dengan mengabdikan diri dalam lingkungan keprajuritan, melindungi mereka yang lemah dan memerlukan pertolongan, membantu kesulitan yang tidak teratasi oleh orang kebanyakan, adalah cara yang paling baik untuk membersihkan noda pada nama ayah dan seluruh padepokan Telengan.” Para pengikutnya hanya mengangguk-angguk saja. Mereka sudah pernah mendengar penjelasan seperti itu, dan merekapun telah mengatakannya kepada kawan-kawannya dipadepokan. Kemudian dengan jelas, Sabungsari memberikan penjelasan apa yang harus mereka lakukan. Mereka harus sudah berada dipadepokan kecil itu sebelum malam berikutnya. Tetapi mereka tidak boleh menarik perhatian banyak orang. Mereka dapat datang berdua dan menyebut diri mereka sebagai sanak kadangnya yang akan menengok, karena mereka mendengar bahwa Sabungsari sedang sakit gawat. Bagaimana juga, ternyata para pengikut Sabungsari masih tetap berada dibawah pengaruhnya. Mereka masih wajib untuk mematuhi segala perintahnya, betapapun mereka pernah merasa dikeicewakan. Karena itu, maka merekapun telah menyatakan kesediaan mereka melakukan segala pesan Sabungsari. Bagaimana mereka memasuki padepokan, dan apa saja yang harus dikatakan kepada para cantrik dipadepokan itu. “Tidak seorangpun dari para cantrik itu yang pantas dicurigai. Tetapi mereka belum terbentuk untuk bersikap sebagai seorang pengikut yang setia dalam keadaan yang keras. Mereka terlalu jujur dan bersih, sehingga mereka bukan orang yang merasa wajib menyembunyikan sesuatu yang mereka mengerti, yang mereka dengar dan yang mereka lihat. Karena itu, maka bukan satu hal yang mustahil, bahwa yang kita anggap rahasia akan segera diketahui oleh orang lain apabila hal ini didengar oleh para cantrik dipadepokan yang lugu itu, tanpa maksud buruk dan apalagi sebuah pengkhianatan.“ Sabungsari menjelaskan. Para pengikutnya mengangguk-angguk. Dan merekapun telah berjanji untuk berbuat demikian. “Kalian adalah orang yang hidup dalam dunia yang berbeda. Kalian adalah orang-orang yang sadar akan arti sebuah rahasia. Aku tetap bersikap seperti saat aku berangkat dari padepokan. Aku akan menghukum siapa yang berkhianat terhadapku dengan cara yang sama pula,“ geram Sabungsari. Para pengikutnya tidak menjawab. Mereka masih tetap melihat Sabungsari pada sifat dan wataknya,

sehingga sulit bagi mereka untuk mengamati bahwa Sabungsari yang lama telah mati, dan telah lahir Sabungsari yang baru dengan jiwa yang baru. Namun demikian, betapapun kaburnya, orang tertua diantara para pengikutnya itu dapat menjajagi, bahwa yang baru itu adalah sikap dan pandangan hidup. Tetapi tingkah laku dan sifat anak muda itu dalam kehidupannya sehari-hari masih saja tidak berubah. Keras dan kasar. Sepeninggal Sabungsari, maka orang tertua dan kawan-kawannya berusaha untuk mengurai sikap dan tingkah laku Sabungsari. Dengan pengertian yang samar-samar, maka pada sifat dan tingkah laku lahiriah, dan sikap serta pandangan hidup yang tidak segera dapat disentuh oleh pancaindera. Sementara itu, maka Sabungsaripun telah kembali kepadepokan dengan laku seperti saat ia meninggalkannya. Ketika ia memberikan tanda sandi di belakang rumah, dengan ketukan-ketukan lemah, maka Kiai Gringsinglah yang membuka pintu dan mempersilahkannya masuk, langsung kedalam biliknya. “Apakah kata mereka ?“ bertanya Kiai Gringsing. Sabungsaripun kemudian meceriterakan apa yang telah di jumpainya diantara para pengikutnya dan tanggapan mereka terhadap perubahan sikap Sabungsari. “Namun ternyata bahwa mereka masih tetap mengakui aku sebagai pemimpin mereka dan mereka bersedia sesuai dengan perintahku,“ berkata Sabungsari kemudian. Kiai Gringsing yang mendengarkan ceritera Sabungsari itu mengangguk-angguk. Empat orang akan hadir dipadepokan kecil itu. Dan mereka pada mulanya adalah orang-orang yang keras dan kasar, yang cara hidupnya tidak jauh berbeda dengan orang-orang Pesisir Endut dan orang-orang Gunung Kendeng. Agaknya Sabungsari dapat meraba perasaan yang tumbuh didalam dada Kiai Gringsing itu. Karena itu maka katanya, “Kiai, orang-orangku memang orang-orang kasar dan dalam keadaan tertentu mereka dapat menjadi buas dan liar. Tetapi selama masih ada aku, maka aku berharap, bahwa aku akan dapat mengendalikannya.” “Ya, ya. Aku mengerti,“ desis Kiai Gringsing, lalu. “nah sekarang kau berbaring lagi dipembaringan. Tidurlah. Kau adalah seorang yang sakit gawat.” Sabungsari tersenyum. Iapun kemudian berbaring dipembaringannya sambil berkata, “Aku mulai jemu dengan peranan ini Kiai. Mudah-mudahan yang akan terjadi, segeralah terjadi.” “Tetapi agaknya tidak malam ini. Orang-orangmu masih belum berada disini.”

Sabungsari hanya tersenyum saja. Namun iapun mulai memperbaiki letak tubuhnya, mulai mengerutkan dahinya dan mulailah peranannya menjadi orang yang sedang sakit gawat. Ketika Kiai Gringsing keluar dari biliknya, ia terhenti sejenak. Dilihatnya Agung Sedayu berdiri disudut ruang dalam sambil meneguk air dari dalam gendi yang terletak di bancik disudut dinding. “Kau dari sanggar ?“ bertanya Kiai Gringsing. “Ya guru,“ jawab Agung Sedayu. “Dengan Glagah Putih ?“ bertanya gurunya pula. “Tidak guru. Glagah Putih telah lama tidur nyenyak. Ia memang berlatih sejak sore. Tetapi baru setelah ia lelah dan tertidur, akulah yang kemudian berlatih.” “Dari mana kau masuk ?“ bertanya Kiai Gringsing heran. “Lewat pintu butulan. Aku memang tidak menyelaraknya, agar jika aku masuk, aku tidak perlu membangunkan guru lagi,“ jawab Agung Sedayu. “Aku belum tidur. Aku tidak mendengar gerit pintu, dan aku sama sekali tidak mendengar langkahmu.” “Guru sedang asyik berbicara dengan Sabungsari. Agaknya iapun baru datang.” “Kau mengetahui bahwa Sabungsari meninggalkan padepokan ?” “Ya. Aku melihatnya. Dan akupun melihat ia kembali.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian didekatinya Agung Sedayu! Sambil menepuk bahunya ia berkata, “Kau telah memasuki makna isi kitab Ki Waskita lebih dalam lagi. Segala yang kau miliki telah meningkat dengan pesatnya. Kau telah berhasil menyerap bunyi yang bergetar karena sentuhan tubuhmu dan pernafasanmu, sehingga hanya orang-orang yang dengan sengaja memusatkan perhatiannya pada kemampuan pendengarannya dan dilambari dengan ilmu yang mapan sajalah yang akan dapat menangkap getaran sentuhan wadagmu, apabila kau sedang menyerapnya.” Agung Sedayu menunduk. Dengan suara lemah ia berkata, “Maaf guru. Aku memang sedang meyakinkan diriku sendiri, apakah aku mampu menyerap bunyi yang tergetar oleh sentuhan tubuhku pada benda-benda lainnya serta getar pernafasanku.” “Dan kau telah berhasil. Agung Sedayu,“ sahut Kiai Gringsing, “aku yakin bahwa yang kau dapatkan bukan saja menyerap getar bunyi itu, tetapi mungkin hal-hal lain yang akan sangat mengherankan.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Aku telah melihat sebagian dari ilmu yang pernah dipelajari secara khusus oleh Rudita.”

“Kekebalan ?“ bertanya Kiai Gringsing. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Mungkin ilmu itu dapat melindungi diriku tanpa menyakiti orang lain.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Agung Sedayu memang memiliki sentuhan watak dengan Rudita, meskipun pada bagian lain keduanya dipisahkan oleh jarak dari tempat mereka berpijak. Namun jika Agung Sedayu kemudian memiliki kemantapan untuk mempelajari ilmu kekebalan tubuh, maka mungkin ia akan bergeser dari tempatnya berpijak sekarang. “Tetapi ilmu yang dimilikinya sepatutnya diamalkannya,“ berkata Kiai Gringsing kepada dirinya sendiri. “Apakah ada kesalahan yang telah aku lakukan Kiai ?“ bertanya Agung Sedayu. “Tidak. Tidak Agung Sedayu,“ jawab gurunya, “apakah kau sudah mendapatkan kemajuan dari pendalamanmu atas makna kitab Ki Waskita pada bagian yang menarik perhatianmu itu ?” “Aku baru mulai guru. Aku tidak ingin terjadi sesuatu pada diriku. Karena itu, aku mulai dengan sangat perlahan-lahan sekali. Jika ternyata ada sesuatu yang kurang mapan, aku segera dapat melangkah surut.” “Bagus. Kau sudah berjalan dijalan yang benar. Kau memang tidak boleh terburu oleh nafsu untuk segera dapat menguasai satu segi dari makna kitab itu,“ berkata gurunya, “lakukanlah seperti yang sudah kau mulai.” Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, “Pada suatu saat, jika tidak dalam suasana yang panas ini, aku akan mohon guru menunggui caraku menempa diri mendalami makna kitab Ki Waskita.“ pinta Agung Sedayu. “Tentu. Tentu Agung Sedayu. Tetapi yang sudah kau capai sampai saat ini tentu sudah mengejutkan semua orang. Akupun terkejut bahwa kau telah berada diruangan ini tanpa aku ketahui.” Agung Sedayu tidak menjawab. “Aku sekarang akan beristirahat,“ berkata Kiai Gringsing, “masih ada sedikit sisa malam.” “Aku juga guru,“ sahut Agung Sedayu.

Keduanyapun kemudian memasuki bilik masing-masing. Agung Sedayu yang kemudian berdiri disisi pembaringannya, memandang wajah adik sepupunya yang sedang tidur nyenyak. Wajah yang bersih. Tetapi nampak garis-garis kekerasan wataknya. Kemauannya yang keras dan hatinya yang membara. “Aku harus meletakkan dasar-dasar yang kuat jika aku akan membawanya merambah keluar dari garis ilmu ayah dan paman Widura,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Perlahan-Lahan Agung Sedayupun kemudian duduk disebelah Glagah Putih yang sedang berbaring. Tetapi ia tidak perlu menyerap bunyi yang bergetar dari sentuhan tubuhnya, karena agaknya Glagah Putih sedang tidur dengan nyenyaknya. Sejenak kemudian Agung Sedayupun berbaring pula. Lelah dan kantuknya mulai menjalari tubuhnya, sehingga akhirnya iapun tertidur pula. Dihari berikutnya, padepokan kecil itu terbangun seperti biasanya. Glagah Putih masih menyapu halaman dengan cara yang khusus. Ia tidak melangkah maju, tetapi ia melangkah surut seperti yang dianjurkan oleh Agung Sedayu, sehingga tidak ada bekas telapak kaki pada bekas sapu lidinya. Para cantrik telah melakukan kerja masing-masing. Di kebun, di pakiwan dan dibelumbang. Beberapa orang diantara mereka telah pergi ke sawah untuk mehhat aliran air di parit yang membelah tanah persawahan mereka. Agung Sedayu memang menjadi sangat jarang pergi ke sawah. Kiai Gringsing tidak dapat mengabaikan pesan Untara, agar Agung Sedayu selalu menjaga dirinya. Jika terjadi sesuatu dengan Agung Sedayu, maka Untara tentu akan merasa kehilangan, karena anak muda itu adalah satu-satunya saudaranya. Ketika minuman hangat telah dihidangkan dipendapa, maka Kiai Gringsing dan Ki Widura duduk sambil berbincang tentang padepokan mereka. Kepada Ki Widura, Kiai Gringsing menceriterakan apa yang telah dilakukan oleh Sabungsari. Ampat orang akan memasuki padepokan ini dan akan tinggal bersama mereka untuk beberapa saat lamanya. “Ada juga baiknya,“ berkata Ki Widura, “mereka akan dapat membantu kita dalam beberapa hal. Terutama, jika sesuatu terjadi atas padepokan ini.” “Agung Sedayu telah mengetahuinya,“ berkata Kiai Gringsing. Iapun menceriterakan apa yang telah dicapai oleh anak muda itu dalam usahanya untuk mendalami makna kitab Ki Waskita. Ki Widura mengangguk-angguk. Diluar sadarnya ia berkata, “Ia sudah meninggalkan orang-orang lain jauh dibelakangnya.”

“Ya,“ sahut Kiai Gringsing, “tetapi anak muda itu tidak mencemaskan aku. Meskipun ilmunya membubung tinggi, tetapi sampai saat ini ia masih tetap menyadari keadaan dirinya sendiri dalam hubungan datar dengan sesama dan dalam hubungan tegak dengan Yang Menciptakannya.” Ki Widura mengangguk-angguk. Iapun sependapat, bahwa perkembangan kemampuan Agung Sedayu justru memberikan isyarat baik bagi sesamanya. “Mudah-mudahan ia tidak berubah,“ desis Ki Widura. Kiai Gringsing tidak menyahut, meskipun ia mengangguk-angguk. Demikianlah, selagi mereka asyik berbincang, maka telah datang kepadepokan itu dua orang laki-laki yang berwajah keras. Namun keduanya nampak bertingkah laku lembut dan bahkan ragu-ragu. Ketika seorang cantrik bertanya kepada keduanya, maka salah seorang dari mereka menjawab, “Kami adalah paman dari seorang muda yang bernama Sabungsari. Kami mendengar berita bahwa anak itu kini sedang sakit. Apakah kami diperkenankan untuk sekedar menengoknya.” “O,“ Cantrik itu mengangguk-angguk, “temuilah Kiai Gringsing dan Ki Widura yang duduk dipendapa itu. Cantrik itupun kemudian membawa kedua orang itu naik kependapa. Namun dalam pada itu, sebelum keduanya mengatakan sesuatu. Kiai Gringsing telah mendahuluinya, “Sabungsari sudah mengatakan kepadaku segala-galanya.” Kedua orang itu hanya mengangguk dalam-dalam. Salah seorang berdesis, “Jika demikian, terserahlah kepada Kiai, apakah yang harus aku lakukan.” “Kau harus pergi kebilik Sabungsari untuk menengok kemanakanmu yang sakit itu,“ berkata Kiai Gringsing. Kedua orang itu tersenyum. Tetapi merekapun kemudian dibawa oleh Kiai Gringsing memasuki bilik Sabungsari. “Kalian harus tinggal disini untuk beberapa hari,“ perintah Sabungsari. Keduanya mengangguk-angguk. Salah seorang dari keduanya menjawab, “Apakah kami tidak akan mengganggu ?” “Kalian harus menyesuaikan cara hidup kalian yang liar itu dengan kehidupan dipadepokan ini. Disini semuanya berjalan tertib, lembut dan penuh pengertian. Tidak seorangpun dipadepokan ini yang mementingkan diri sendiri, dengki dan apalagi tamak,” Kedua orang itu mengangguk-angguk. Namun yang langsung menghunjam kedalam hati mereka adalah

satu tuduhan, bahwa mereka adalah orang-orang mementingkan diri sendiri, dengki dan tamak. Sabungsaripun kemudian menyerahkan keduanya kepada Kiai Gringsing. Sementara mereka masih menunggu dua orang lagi yang akan datang pula kepadepokan itu. Seperti yang diharapkan, kedatangan orang-orang yang tidak bersamaan dan dalam keadaan yang nampaknya wajar itu, sama sekali tidak menarik perhatian. Padepokan itu memang padepokan yang terpisah dari padukuhan. Namun jalan yang menuju kepadepokan itu, bukannya jalan yang terlalu sepi, karena jalur jalan yang memanjang lewat padepokan itu akan dapat sampai pula kepadepokanpadepokan lain disekitar Kademangan Jati Anom. Dengan demikian, maka dua orang yang datang kepadepokan dengan ujud sebagaimana para petani itu sama sekali tidak tertangkap oleh pengamatan orang-orang yang bermaksud buruk terhadap padepokan itu. Kedua orang yang datang berikutnyapun tidak menarik perhatian mereka. Demikian pula dalam kehidupan sehari-hari dipadepokan itu. Kiai Gringsing, Ki Widura, Agung Sedayu serta Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda telah berusaha untuk mengatur para cantrik dengan tanpa nnereka sadari untuk tidak menunjukkan kesan dan perubahan apapun juga di padepokan kecil itu. Demikianlah, sejak hari itu, padepokan kecil itu telah bertambah dengan empat orang penghuni yang mengaku sanak kadang Sabungsari yang datang dari jauh. Mereka adalah petani-petani yang kasar, karena setiap hari harus bergulat dengan lumpur seperti juga para cantrik dipadepokan itu. Namun dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa padepokan itu tidak terlepas dari pengamatan orangorang Gunung Kendeng dan para pengikut Ki Pringgajaya. Meskipun Ki Pringgajaya sendiri sudah tidak ada di Jati Anom, tetapi beberapa orang yang akan melaksanakan rencananya telah mendapat pesan untuk melakukan sebaik-baiknya, agar mereka tidak akan mengalami kegagalan lagi. Persoalannya bukan lagi sekedar melenyapkan Agung Sedayu untuk memperlemah pengaruh Mataram didaerah yang terbentang dalam jalur lurus antara Pajang dan Mataram, tetapi juga karena dendam dan kebencian yang meluapluap. Demikian juga terhadap Sabungsari yang dianggap oleh Ki Pringgajaya dan pengikutnya sebagai pengkhianat yang harus dibunuh. Menjelang saat-saat yang ditentukan, sesuai dengan tugas yang tepat pada para pengikut Ki Pringgajaya untuk berjaga-jaga digardu dipadukuhan sebelah padepokan itu, maka mereka telah melakukan pengawasan dan perhitungan yang lebih cermat. Seorang pengikut yang kebetulan lewat didepan padepokan itu tertegun sejenak, ketika mereka melihat beberapa orang penghuni padepokan itu berdiri berjajar dihalaman. “Orang-orang gila,“ geram orang itu. Namun sambil tersenyum iapun kemudian memperhatikan apa yang dilakukan oleh para cantrik dari padepokan itu termasuk Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda dalam kedudukan mereka sebagai cantrik.

Ternyata bahwa para cantrik itu sedang melakukan latihan oleh kanuragan. Agung Sedayu yang mengajari mereka berlatih, nampaknya dengan sungguh-sungguh mencoba meningkatkan ilmu para cantrik itu. Tetapi pengikut Ki Pringgajaya yang kemudian meneruskan perjalanannya itu bergumam didalam hati, “Ternyata Agung Sedayu telah dicengkam oleh keputus asaan. Agaknya ia memperhitungkan, bahwa pembalasan memang akan datang. Karena itu, maka ia mencari kawan untuk mempertahankan diri. Tetapi adalah bodoh sekali, bahwa ia dengan tergesa-gesa ingin membentuk para cantrik itu untuk menjadi perisai jika terjadi sesuatu.” Kawan-kawannya tertawa berkepanjangan ketika pengikut Ki Pringgajaya itu menceriterakan apa yang dilihatnya. Namun pengikut yang menyaksikan latihan itu berkata, “Tujuh atau delapan orang dihalaman itu nampaknya dengan sungguh-sungguh sedang berlatih. Agung Sedayupun nampaknya telah mengerahkan kemampuannya untuk melimpahkan ilmunya kepada para cantrik. Tetapi agaknya ia terlalu kecewa, karena kemampuan para cantrik itu tidak bertambah-tambah juga.” Kawan-kawannya masih tertawa. Sementara orang yang menyaksikan latihan itu meneruskan, “Meskipun demikian, kita tidak dapat mengabaikan sama sekali tentang mereka. Dalam beberapa hal, mereka tentu akan dapat membantu. Aku melihat dalam latihan itu, mereka telah belajar menggerakkan pedang. Mendatar, terayun tegak, kemudian menyilang dan menusuk lurus. Agaknya Agung Sedayu telah memberikan beberapa petunjuk, bagaimana mereka harus menangkis serangan mendatar, tegak dan tusukan lurus kedada.” Seorang kawannya yang bertubuh tinggi tertawa sambil berkata, “Mereka sedang diajari bermimpi oleh Agung Sedayu. Mungkin Agung Sedayu sendiri merupakan orang yang paling diperhitungkan di padepokan itu disamping gurunya. Tetapi para cantrik itu tidak akan lebih dari seekor sulung yang masuk kedalam api. Mereka tidak akan lebih dari membunuh diri apabila mereka berani keluar dari biliknya pada saat orang-orang Gunung Kendeng memasuki padepokan itu.” Namun orang berambut keriting diantara mereka berkata, “Dugaan semacam inilah pangkal dari kegagalan yang paling pahit. Jangan mengabaikan para cantrik. Dalam keadaan gawat, mereka akan menempa diri siang dan malam. Dalam waktu empat hari mendatang, mereka tentu sudah meningkat. Dan dihari kelima, mereka sudah siap menghadapi segala kemungkinan.“ Kawan-kawannya tertawa semakin keras. Katanya, “Kau ini sedang mengigau atau berkelakar. Apa artinya lima hari dalam menimba ilmu kanuragan.” Yang lain menyambung, “Aku telah berlatih lebih dari dua tahun. Namun aku masih tetap seperti sekarang ini.”

Orang berambut kerinting itu menyahut, “Aku bersungguh-sungguh. Tidak mengigau dan tidak berkelakar. Aku hanya minta agar orang-orang Gunung Kendeng nanti jangan mengabaikan orangorang itu.” Orang yang menyaksikan latihan dihalaman padepokan itupun berkata, “Aku sependapat. Latihan itu tentu bukan baru dimulai hari ini. Aku melihat, bahwa mereka sudah nampak cermat menggenggam senjata. Mereka memang harus diperhitungkan baik-baik.” “Ya, ya. Akupun sependapat,” desis yang lain. Tetapi ia masih tersenyum, katanya selanjutnya, “seekor tikus-pun harus diperhitungkan. Tiba-tiba saja bagian tubuh kita yang paling lemah dapat digigitnya, sehingga kita terkejut. Pada saat itulah, segalanya dapat terjadi.” Demikianlah, dari hari kehari berikutnya maka latihanlatihan para cantrik itupun nampaknya semakin meningkat. Kadang-kadang di tempat terbuka, tetapi kadang-kadang mereka berada didalam sanggar. Dengan sungguh-sungguh para cantrik itu mengikuti segala petunjuk Agung Sedayu, sehingga betapapun lambannya, namun ilmu merekapun telah meningkat pula. Namun yang terpenting dari latihan-latihan itu adalah kesan, bahwa padepokan itu memang dalam keadaan gelisah. Sementara orang-orang terpenting dari padepokan itu tidak lebih dari Kiai Gringsing, Ki Widura dan Agung Sedayu. Disamping mereka masih ada Sabungsari. Tetapi Sabungsari masih belum sembuh benar dari lukalukanya. Saat-saat yang paling mendebarkan itupun menjadi semakin dekat. Dari tugas bagi para pengikut Ki Pringgajaya itupun hampir datang pula. Segala sesuatunya telah diperhitungkan dan direncanakan sebaik-baiknya, sehingga mereka tidak akan gagal lagi, betapapun dahsyatnya ilmu yang dimiliki oleh Kiai Gringsing, Ki Widura dan Agung Sedayu. “Betapapun tinggi ilmu mereka, tetapi tiga orang tidak akan dapat melawan kekuatan puncak dari perguruan di Gunung Kendeng. Perguruan yang pilih tanding, serta memiliki orangorang terbaik yang sukar dicari bandingannya, meskipun dua diantara mereka telah berhasil dibunuh oleh Agung Sedayu dan Sabungsari,“ berkata orang-orang Pajang yang berada di Jati Anom menjadi pengikut Ki Pringgajaya. Namun adalah dengan sengaja, bahwa isi padepokan kecil itu telah membuat kesan yang lain dari yang sebenarnya. Dengan demikian, maka perhitungan orang-orang Gunung Kendeng itupun tidak akan tepat seperti yang ada sebenarnya.

Sementara itu, dengan diam-diam penghuni padepokan itu selalu memberikan laporan terperinci kepada Untara. Merekapun memberitahukan, bahwa disamping Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda yang menyatu dalam lingkungan para cantrik, maka dipadepokan itu terdapat pula ampat orang pengikut Sabungsari. “Tetapi berhati-hatilah,“ pesan Untara kepada Ki Wirayuda yang kebetulan mendapat tugas untuk menemui seorang petugas sandi di pasar sambil berbelanja bagi kepentingan padepokannya, lewat petugas sandi itu, “Ki Untara sudah mencium kegiatan yang mencurigakan disekitar Jati Anom. Di padukuhan lain dari padukuhan yang dijaga oleh para prajurit itu, Ki Untara telah meletakkan penjagaan sandi. Seorang petugas sandi selalu berada ditempat itu. Tugasnya hanyalah sekedar memukul kentongan atau melepaskan panah sendaren. Karena itu, jika terjadi sesuatu, jangan lupa, bunyikan isyarat, meskipun sudah diketahui, bahwa prajurit yang bertugas digardu itu tidak akan dapat melakukannya, karena mereka tentu akan di bayangi pula oleh kekuatan dari Gunung Kendeng itu.” “Tetapi apakah para prajurit itu akan diumpankan ?“ bertanya Ki Lurah Wirayuda, “agaknya itu tidak adil.” “Tidak,“ jawab petugas sandi itu, “nampaknya Ki Untara telah mencium laporan dari petugas sandinya yang berbaur dengan para prajurit, bahwa ada beberapa prajurit yang karena satu dan lain hal, telah mengajukan permohonan untuk bertugas dalam waktu yang bersamaan digardu itu, meskipun mereka tidak berasal dari satu kelompok. Permintaan itu sudah dikabulkan. Dan hari yang mereka mintapun telah di tandai oleh Ki Untara dengan kesiagaan sepenuhnya meskipun tersamar.” “Bagaimana mungkin mereka dapat dicurigai ?” “Beberapa orang yang seharusnya bertugas pada saat lain, mengajukan permohonan karena alasan pribadi untuk merubah hari-hari tugas mereka. Karena ada tidak orang prajurit yang minta untuk waktu yang sama, maka Ki Untara telah memperhitungkannya. Meskipun mungkin pula itu hanya satu kebetulan saja.” “Kapan hari yang mereka minta itu ?“ bertanya Ki Lurah Wirayuda. “Malam kliwon mendatang,“ desis petugas sandi itu sambil memandang keadaan disekelilingnya. Ki Lurah Wirayuda tidak segera menjawab. Ia sedang memilih sebuah cangkul yang dijajakan didepan gubug pembantunya, pande besi yang mengerjakan pekerjaannya diujung pasar. Ketika perapiannya mengepulkan api dan dengan tangkasnya ia memanasi besi yang kemudian membara, maka Ki Lurah Wirayuda meneruskan sambil melihat-lihat beberapa buah cangkul yang sedang dijajakan itu, ”sekarang hari apa ?” “Hari pasaran di Jati Anom. Pahing.”

“Masih ada waktu tiga hari. Baiklah. Aku akan memberitahukan kepada Kiai Gringsing,“ berkata Ki Lurah Wirayuda. “Tetapi itu bukan berarti bahwa sebelum hari itu tidak akan dapat terjadi sesuatu,“ desis petugas sandi itu. “Ya, kami akan selalu berhati-hati,“ sahut Ki Lurah Wirayuda. Petugas itupun kemudian membeli pula sebuah cangkul seperti juga Ki Lurah Wirayuda. Beberapa saat setelah petugas itu pergi, maka barulah Ki Lurah Wirayuda pergi meninggalkan pande besi itu. Beberapa saat Ki Lurah masih berada dipasar sebagai seorang cantrik padepokan kecil diujung Kademangan Sangkal Putung. Ia membeli beberapa jenis rempah-rempah yang tidak dapat ditanamnya sendiri. Garam dan ikan air yang sudah kering. Ia terkejut ketika seorang laki-laki yang bertubuh tegap mendekatinya dan kemudian bertanya, “Bukankah kau cantrik dari padepokan kecil itu ?” Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya sambil tersenyum seolah-olah lepas dari segala prasangka, “Ya. Aku adalah cantrik dari padepokan itu.” “Apakah kau mengenal Sabungsari ?“ bertanya orang itu. “Tentu. Tentu aku mengenalnya. Ia berada dipadepokan. Tetapi ia sedang sakit parah. Meskipun ia sudah dapat bangkit dan duduk dibibir pembaringan, tetapi Kiai Gringsing masih belum memperkenankannya berdiri dan apalagi berjalan. Luka-lukanya agak aneh. Ketika ia dibawa kepadepokan itu, nampaknya tidak seberat beberapa hari setelah ia tinggal bersama kami. Namun berkat ketekunan Kiai Gringsing, ia kini menjadi berangsur baik.” Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi ketika Ki Lurah Wirayuda akan berbicara lagi, orang itu mendahului, “Sudah cukup. Terima kasah. Tetapi apakah Ki Widura masih selalu berada dipadepokan itu ?” “Ya. Ia berada disana. Ia merasa perlu menjaga anaknya yang bernama Glagah Putih. Kau kenal Glagah Putih ?“ bertanya Ki Wirayuda. “Ya. Tentu aku mengenalnya.“ jawab orang itu. “Apakah kau akan berpesan atau barangkali kau mempunyai kepentingan ?“ bertanya Ki Lurah Wirayuda.

“Tidak. Aku tidak mempunyai kepentingan apapun juga. Aku adalah kawan Sabungsari. Kelak, jika ia sudah sembuh, aku akan datang menengoknya,“ berkata orang itu. “Aku akan menyampaikannya,“ sahut Ki Lurah Wirayuda. “Itu tidak perlu. Kau tidak usah mengatakan apapun kepadanya, agar tidak mengganggu perasaannya.“ berkata orang itu. Ki Lurah Wirayuda mengangguk-angguk. Ia tidak bertanya lebih banyak lagi ketika orang itu kemudian meninggalkannya. Namun Ki Lurah Wirayuda bukan seorang cantrik kebanyakan yang bodoh dan dungu. Ia adalah seorang prajurit sandi yang mempunyai panggraita yang tajam, sehingga dengan demikian, iapun mengerti, bahwa orang itu tentu berusaha meyakinkan, apakah tidak ada orang lain lagi dipadepokan itu kecuali orang-orang yang sudah dikenalnya. Meskipun ia tidak bertanya, tetapi ia berharap bahwa seorang cantrik akan dengan sendirinya berceritera tentang apa saja yang diketahuinya. Demikianlah, maka ketika ia kembali kepadepokan dengan membawa cangkul dan beberapa jenis kebutuhan dapur, maka iapun dapat memberikan beberapa keterangan kepada Kiai Gringsing dan Ki Widura. Keterangan itu memang sangat menarik perhatian. Dengan demikian Kiai Gringsing seakan-akan telah mendapat ancar ancar waktu, kapan padepokan kecil itu harus bersiaga sepenuhnya. Meskipun seperti pesan petugas sandi itu, bahwa bukan berarti isi padepokan itu dapat lengah pada saat-saat sebelum hari yang sudah ditentukan. Kiai Gringsing dan Widurapun kemudian dengan diam-diam telah memberi tahukan hal itu kepada Agung Sedayu dan Sabungsari. Sementara Sabungsaripun kemudian memberitahukannya kepada keempat orang pengikutnya. “Apakah Glagah Putih tidak sebaiknya dipersiapkan untuk menghadapi keadaan itu,“ berkata Agung Sedayu kepada Ki Widura, “jika ia tidak bersiap badan dan perasaannya, maka ia tentu akan menjadi sangat terkejut.” Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Ada baiknya juga kau memberitahukan agar ia bersiap menghadapi segala kemungkinan. Tetapi Glagah Putih tidak perlu mengetahui keadaan seluruhnya. Aku berpendapat bahwa ia sudah cukup dewasa untuk mengenal rahasia.” “Ya paman,“ Agung Sedayu menyahut, “akupun berpendapat demikian. Aku kira, justru sebaiknya kita mulai berterus terang kepada anak itu apabila sesuatu rahasia wajib

diketahuinya. Dengan demikian ia akan mempertanggung jawabkannya.” “Terserah kepadamu Agung Sedayu. Kaulah yang membimbing anak itu, lahir dan batinnya,“ jawab Widura. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sebenarnya merasa sangat berat untuk menerima tanggung jawab itu. Ia sendiri masih selalu diombang-ambingkan oleh keragu-raguan dan ketidak pastian, sehingga sudah tentu bahwa ia tidak akan dapat memberikan arah yang pasti pula kepada Glagah Putih. Meskipun demikian Agung Sedayu berniat untuk mencobanya. Dengan hati-hati Agung Sedayu memberitahukan kemungkinan yang bakal terjadi. Namun Agung Sedayu terkejut mendengar jawab Glagah Putih, “Aku sudah menduga. Orang yang berniat buruk itu tidak akan terhenti sampai pada kegagalan itu saja. Apalagi peristiwa itu telah menyangkut nama orang-orang penting di Jati Anom,“ anak itu berhenti sejenak, lalu. “demikian pula persiapan yang kita lakukan pada saat-saat terakhir dipadepokan ini. Kakang kadang-kadang memberikan latihan terbuka, justru dengan unsur-unsur yang datar dan kurang berarti. Tetapi kadang-kadang kakang membawa para cantrik masuk kedalam sanggar dan menempa mereka dengan sungguh-sungguh.” “Apakah menurut pendapatmu, hal itu ada maksudnya ?“ bertanya Agung Sedayu. “Tentu kakang sedang mencoba memperlihatkan satu kelemahan kepada sesuatu pihak, tetapi kemudian menjebaknya dengan kekuatan yang sebenarnya ada dipadepokan ini, termasuk para cantrik itu.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ternyata kau mempunyai tanggapan yang cermat terhadap peristiwa yang terjadi disekitarmu. Kemampuanmu mengurai keadaan melampaui dugaanku.” “Kakang selalu memuji. Tetapi sebenarnya aku bukan apa-apa,“ desis Glagah Putih. “Jangan selalu merasa dirimu terlalu kecil,“ sahut Agung Sedayu, “meskipun kau juga tidak boleh merasa dirimu lebih besar dari keadaanmu yang sebenarnya. Tetapi bagaimanapun juga, cobalah berlatih dengan sungguh-sungguh untuk seterusnya.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Bukan saja sekedar kesanggupan, tetapi iapun kemudian melakukannya. Dengan sungguh-sungguh ia mempersiapkan dirinya menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi dipadepokan kecil itu menjelang hari-hari yang diisyaratkan, meskipun kemungkinan itu akan dapat berkisar. Maju atau mundur. Dalam pada itu, dipihak yang lain, orang orang Gunung Kendeng dan pada pengikut Ki Pringgajayapun telah mengatur segala sesuatunya dengan cermat pula. Mereka memang berusaha untuk menyesuaikan waktunya dengan kemungkinan yang paling baik. Mereka telah menentukan hari yang

telah mereka anggap terbaik, karena para petugas digardu yang dipasang oleh Ki Untara itu adalah para pengikut Ki Pringgajaya. Seandainya ada seorang dari antara mereka yang tidak sejalan, maka yang seorang itu sama sekali tidak berarti. “Kita sudah berhasil seluruhnya,“ berkata salah seorang dari mereka. “Kita sudah mendapatkan kepastian, bahwa kita bertugas pada hari yang ditentukan itu bersama-sama.” “Satu langkah yang baik,“ sahut yang lain, “kemenangan pada langkah pertama. Gardu itu akan tetap bungkam meskipun seandainya ada orang-orang padepokan yang sempat membunyikan isyarat.” “Tetapi isyarat yang dilontarkan dari padepokan itu akan didengar oleh orang-orang padukuhan sehingga merekapun akan dapat menyambut dan kemudian menjalar sampai ke Jati Anom, dan didengar oleh Untara.” desis yang lain. Kawannya tertawa. Katanya, “Kita bukan anak-anak dungu seperti kau. Pada saat yang ditentukan, akan ada peristiwa yang terjadi di padukuhan lain. Sekelompok perampok akan datang kepada orang yang paling kaya. Merampok dan membakar rumahnya, sementara isyarat harus dibunyikan. Dengan demikian, maka semua perhatian akan tertuju kepada peristiwa itu. Suara isyarat yang lain tidak akan banyak berpengaruh dan tentu akan membingungkan. Demikian pula suara kentongan digardu yang dijaga oleh para prajurit itu, karena para prajurit itu adalah kita sendiri.” Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Segalanya memang sudah direncanakan sebaik-baiknya. Perampokan itu dapat saja terjadi, karena dilakukan oleh pihak yang sama. Tetapi yang penting bukannya hasil rampokan itu sendiri, meskipun seandainya dapat juga diperhitungkan. Namun kebakaran dan kebingungan akan mengelabui beberapa pihak. Hari-hari yang pendek itu telah dipergunakan oleh orangorang Gunung Kendeng untuk mematangkan persiapan mereka. Orang-orang terbaik dari perguruan itu sudah berhimpun. Yang sudah meninggalkan padepokan dan tersebar didaerah yang luas, telah dihubungi dan dipanggil kembali. Mereka yang terbaik telah dipersiapkan untuk memasuki padepokan kecil yang hanya ditunggui oleh tiga orang terpenting. Kiai Gringsing, Ki Widura dan Agung Sedayu. “Tetapi kita tidak boleh terjebak seperti saat yang lalu,“ berkata pemimpin tertinggi padepokan Gunung Kendeng itu. Semakin dekat dengan saat yang ditentuken, maka pengawasan atas padepokan itu menjadi semakin ketat. Beberapa orang telah ditugaskan untuk mengamati, apakah ada yang dapat mempengaruhi perhitungan mereka terhadap kekuatan di padepokan kecil itu. Bahkan, adalah sangat mengejutkan bahwa terjadi kunjungan dua orang prajurit Pajang di Jati Anom

untuk menengok Sabungsari yang sedang sakit. “Kawan-kawan menjadi gelisah, karena menurut pendengaran mereka, kau tidak menjadi semakin baik, tetapi justru sebaliknya,“ berkata salah seorang prajurit yang menengoknya didalam biliknya. Sabungsari menyeringai menahan sakit ketika ia mencoba beringsut dan kemudian bangkit untuk duduk dibibir pembaringan. “Berbaring sajalah,“ prajurit itu mencoba mencegah. Tetapi Sabungsari duduk betapapun ia nampaknya mengalami kesulitan. Katanya, “Aku sudah berangsur baik. Aku sudah diperbolehkan makan jenang cair.” Kedua prajurit itu mengangguk angguk. Salah seorang dari mereka berkata, “Kami adalah utusan dari para prajurit yang merasa senasib. Meskipun secara pribadi kami belum dapat disebut sahabat yang sangat rapat, tetapi kita sudah saling mengenal. Adalah kebetulan bahwa kawan-kawan menunjuk kami berdua yang saat ini sedang mendapat kesempatan beristirahat setelah bertugas malam tadi.” Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengucapkan banyak terimakasih.” “Kami sedang sibuk untuk mencari jejak kejahatan yang telah membuatmu terluka parah. Tetapi sampai saat ini, kami masih belum dapat menemukan tanda-tanda yang akan dapat menunjukkan jalur pengamatan kami selanjutnya,“ berkata salah seorang dari kedua prajurit itu. “Terima kasih. Tetapi agaknya kematian kedua orang yang belum dapat diketemukan mayatnya itu telah membuat mereka jera,“ berkata Sabungsari, “aku berani bertaruh bahwa mereka tidak akan berani mendekati tlatah Jati Anom. Apalagi mengusik aku dan Agung Sedayu.” Kedua orang prajurit itu mengerutkan keningnya. Namun yang seorang kemudian berkata, “Agaknya memang demikian.” Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Sabungsari tidak lagi mampu duduk lebih lama lagi. Ketika ia kemudian berbaring lagi, iapun berkata, “Tolong, katakan kepada kawan-kawan bahwa aku sudah baik.” “Ya. Kami akan mengatakannya,“ kedua orang prajurit itu hampir berbareng menyahut. Dalam pada itu, maka percakapan merekapun menjadi semakin panjang. Prajurit-prajurit itu sempat menyebut isi padepokan itu. Dan seolah-olah tidak sengaja mereka menanyakan, apakah ada orang lain kecuali Kiai Gringsing dan Ki Widura, disamping Agung Sedayu dan Sabungsari sendiri. “Ada beberapa orang cantrik,“ berkata Sabungsari, “tetapi mereka adalah manusia-manusia yang paling dungu yang pernah aku kenal.” “Apakah tidak ada seorang cantrikpun yang dapat dianggap mewarisi ilmu Agung Sedayu ? Bukankah

ia dengan sungguhsungguh telah mencoba melatih para cantrik dalam olah kanuragan disamping Glagah Putih ?” “Sekali,“ desis Sabungsari. Sejenak ia terdiam, namun kemudian ia berbisik, “Yang sebenarnya bodoh adalah Agung Sedayu. Apakah yang diharapkan dari para cantrik itu ? Mungkin sekedar pengisi waktu. Namun sebenarnya ia dapat mencurahkan waktunya bagi Glagah Putih. Namun agaknya Agung Sedayu bukan seorang guru yang baik. Ia tidak terbuka bagi adik sepupunya, karena agaknya Agung Sedayu menjadi cemas, bahwa pada suatu ketika anak itu dapat menyaingi kemampuannya.” Kedua prajurit itu mengangguk-angguk, untuk beberapa saat mereka masih bercakap-cakap didalam bilik Sabungsari. Namun kemudian merekapun dipersilahkan untuk pergi kependapa, duduk bersama Kiai Gringsing, Ki Widura dan Agung Sedayu. Sementara beberapa orang cantrik nampak berkeliaran di halaman. Diantara para cantrik yang sibuk membelah kayu di halaman samping adalah Ki Lurah Patrajaya. Dalam pada itu, kedua prajurit itu menganggap bahwa pengamatan mereka atas padepokan itu sudah cukup. Ia tidak melihat orang lain yang pantas diperhitungkan di padepokan itu kecuali orang-orang yang sudah mereka kenal dengan baik, sementara keadaan Sabungsari masih sangat parah. Ketika kedua orang prajurit itu meninggalkan pendapa padepokan dan turun ke halaman, mereka melihat seorang cantrik yang memasuki regol sambil menjinjing cangkul. Kakinya dikotori oleh lumpur yang belum sempat dibersihkannya. Kedua prajurit itu sama sekali tidak menghiraukannya. Namun agaknya mereka sama sekali tidak mengerti, bahwa orang itu adalah Ki Lurah Wirayuda. Demikianlah, kedua prajurit itu akhirnya meninggalkan padepokan. Diregol Kiai Gringsing dan Agung Sedayu masih sempat mengucapkan terima kasih atas perhatian para prajurit terhadap kawannya yang terluka parah dan untuk sementara tinggal dipadepokan. Beberapa puluh langkah dari regol padepokan, maka prajurit itu tidak dapat menahan senyum mereka. Salah seorang dari mereka berkata, “Kesombongan Sabungsari akan menenggelamkan kedalam kesulitan yang paling pahit. Ia menganggap bahwa tidak ada lagi orang yang berani mengusiknya setelah ia berhasil membunuh kedua orang lawannya yang tidak berhasil diketemukan mayatnya itu.” Kawannya tertawa. Katanya kemudian, “Iapun menganggap Agung Sedayu terlalu bodoh. Tetapi agaknya Agung Sedayu memang bodoh dan dengki seperti yang dikatakannya, sehingga Glagah Putih tidak akan mendapat kesempurnaan ilmu seperti Agung Sedayu. Dengan sengaja Agung Sedayu tentu membuat Glagah Putih tetap bodoh dan kurang memahami ilmunya.”

Yang lainpun tertawa pula. Katanya, “Agaknya Gembong Sangiran terlalu berhati-hati. Ia mengerahkan segenap kekuatan yang ada di Gunung Kendeng, seolah-olah ia berhadapan dengan sepasukan prajurit yang memiliki kemampuan seperti Sabungsari.” Keduanyapun tertawa semakin keras. Namun salah seorang dari mereka berdesis, “Jangan terlalu keras. Kita akan dianggap orang gila oleh para petani yang ada disawah.” “Semuanya akan berjalan lancar,“ berkata yang lain, “Ki Pringgajaya tidak akan kecewa lagi.” Keduanya sama sekali tidak menganggap bahwa padepokan itu merupakan persoalan lagi. Keduanya menganggap bahwa Gembong Sangiran tentu akan menyelesaikan tugasnya dengan baik. Kemudian orang itu akan menerima tiga keping emas yang nilainya memang cukup tinggi. “Terlalu mahal untuk kepala Sabungsari yang sudah hampir mati itu dan Agung Sedayu yang dengki,“ desis salah seorang prajurit itu. “Kau lupa memperhitungkan Kiai Gringsing dan Ki Widura,“ sahut yang lain. “Kiai Gringsing tidak akan menang melawan Gembong Sangiran. Sedang Widura akan mati berhadapan dengan Putut Panjer. Sementara Putut Tanggon akan dengan mudah membunuh Agung Sedayu. Selebihnya tidak ada orang yang berarti. Tiga orang Putut di Gunung Kendeng sebenarnya telah cukup disamping Gembong Sangiran sendiri. Namun agaknya Ki Banjar Aking dari pesisir Lor telah dipanggilnya pula. Seorang Jejanggan yang tidak ada duanya di Gunung Kendeng akan ikut serta bersama Gembong Sangiran.” “Siapa ?“ bertanya kawannya. “Jandon.” jawab kawannya. “Jandon ? Jadi Jandon ada di Gunung Kendeng ? “ kawannya mendesak. “Ya. Apakah kau baru mendengarnya ? Aku telah mendengarnya beberapa saat yang lalu. Seorang dari dua korban yang terbunuh dalam perkelahian antara orang-orang Gunung Kendeng melawan Agung Sedayu dan Sabungsari adalah adik Jandon.” “Hancurlah padepokan itu,“ desis prajurit itu, “jika nama Jandon telah disebut pula, maka berakhirlah ceritera tentang Kiai Gringsing dan Agung Sedayu. Kemudian akan menyusul Swandaru, isteri dan adik perempuannya.” “Jandon yang telah meninggalkan Gunung Kendeng telah mendengar kabar kematian adiknya. Ia datang tidak ada hubungannya sama sekali dengan tiga keping emas. Tetapi karena adiknya yang terbunuh

itulah.” “Apapun alasannya, tetapi Agung Sedayu akan dibantai sampai lumat. Setan itu tidak ada duanya di Demak,“ sahut kawannya, “mungkin ilmunya belum setingkat Gembong Sangiran. Tetapi ia memiliki jantung yang agaknya berbulu seperti jantung iblis.” “Nasib Agung Sedayulah yang buruk,“ berkata kawannya, “jika Putut Tanggon gagal, maka Jandonlah yang akan mengelupas Agung Sedayu seperti sebuah pisang.” Keduanya sudah membayangkan, apakah yang akan terjadi di padepokan itu. Karang abang. Kematian dan abu yang bertebaran. Sementara itu waktupun merambat dengan lambannya. Matahari berpendar dilangit sambil beredar dengan malasnya. Namlin waktupun berjalan betapapun lambatnya. Dimalam hari, padepokan kecil itu sama sekali tidak lelap. Bergantian orang-orang terpenting dari padepokan itu berjaga-jaga. Didalam rumah. Kiai Gringsing, Ki Widura dan Agung Sedayu bergantian duduk diruang dalam. Sementara itu meskipun Sabungsari disiang hari berbaring dengan jemu dipembaringannya, justru dimalam hari ia sering duduk bersama Agung Sedayu diruang dalam sambil bermain macanan. Diluar rumah, para cantrik memang mendapat giliran untuk berjaga-jaga. Namun diantara mereka, Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda telah mengatur diri untuk bertugas bergantian, sementara itu kedua orang itu telah mengatur keempat orang pengikut Sabungsari yang dengan sungguhsungguh berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan di padepokan itu. Tetapi mereka berempat melakukan kewajiban mereka masing-masing dalam keadaan khusus, karena mereka bukannya cantrikcantrik dari padepokan itu. Mereka berempat telah berjaga-jaga bergantian didalam bilik yang disediakan bagi mereka. Namun sementara itu, pada setiap kesempatan, Glagah Putih telah menempa diri sekuat dapat dilakukannya. Pagi, siang, malam dan kapan saja ada waktu baginya. Sedangkan yang tidak diketahui oleh orang lain, adalah saat-saat yang diperlukan oleh Agung Sedayu untuk mendalami makna isi kitab Ki Waskita. Setiap kali Agung Sedayu berlandaskan ilmu yang ada padanya, berusaha menyadap makna isi kitab Ki Waskita, maka kemampuannya seolah-olah telah bertambah seusap lebih tinggi. Hari telah sampai kehari berikutnya. Tidak terjadi sesuatu yang menarik perhatian. Namun ketegangan di padepokan kecil itu menjadi semakin meningkat. Dalam pesan khususnya Ki Untara memberitahukan kepada Kiai Gringsing lewat petugas sandinya yang menjumpai Ki Lurah Patrajaya

di pasar, bahwa agaknya saat yang diperhitungkan itu akan benar-benar terjadi. Ketika matahari terbit pada hari pasaran yang ditentukan, maka Kiai Gringsing telah mengadakan pertemuan khusus dengan Ki Widura dan Agung Sedayu didalam bilik Sabungsari. Para cantrik menjadi berdebar-deljar, karena mereka menganggap bahwa keadaan Sabungsari menjadi bertambah buruk dengan tiba-tiba. “Kita sudah sampai pada saat yang kita tunggu,“ berkata Kiai Gringsing, “malam nanti menurut perhitungan, mereka akan datang kepadepokan ini. Karena itu, kita harus mengatur diri sebaikbaiknya.” “Apakah yang sebaiknya kita lakukan guru ?“ bertanya Agung Sedayu. “Biarlah dua orang pengikut Sabungsari berada didalam bilik ini. Mereka harus menunggui Sabungsari yang menjadi semakin parah dengan tiba-tiba. Dua orang lainnya berada bersama Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda ditempat yang berbeda. Sementara Ki Widura akan berada bersama Glagah Putih,“ desis Kiai Gringsing dengan kerut didahi. “Aku guru ?“ bertanya Agung Sedayu. “Kau berada ditempat yang memerlukan. Demikian pula aku,“ berkat Kiai Gringsing. “Bagaimana dengan para cantrik guru ? Jika mereka mencoba melihatkan diri, maka mereka akan menjadi korban semata-mata tanpa berbuat sesuatu,“ bertanya Agung Sedayu. “Perintahkan menjelang terjadi peristiwa nanti, mereka tidak boleh keluar dari barak masing-masing. Kecuali dalam keadaan memaksa. Jika barak mereka dimasuki lawan, apaboleh buat. Mereka tidak boleh menyerahkan leher mereka tanpa perlawanan,“ berkata Kiai Gringsing. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak mengatakan sesuatu. Ketika terpandang olehnya wajah Sabungsari, maka iapun berkata didalam hati, “Ia telah terlibat kedalam keadaan yang mirip dengan keadaanku. Sasaran dendam dan kebencian.” Setelah Kiai Gringsing memberikan beberapa pesan, maka iapun kemudia mempersilahkan mereka yang berada didalam bihk Sabungsari itu berjaga-jaga dengan penuh kewaspadaan menjelang peristiwa yang menegangkan itu. Setiap jengkal tanah dipadepokan itu harus mendapat pengawasan. Ki Widura mendapat tugas untuk menyampaikan hal itu kepada Ki Wirayuda dan Ki Patrajaya. Sementara Sabungsari harus memberikan pesan-pesan itu kepada keempat orang pengikutnya yang akan segera masuk kedalam bilik itu. Demikianlah, maka seisi padepokan itupun telah mempersiapkan diri. Para cantrik yang tidak mengetahui dengan pasti, apa yang akan terjadipun merasa, ketegangan yang samar-samar telah mencengkam padepokan kecil mereka.

Sementara itu, sisa waktu yang pendek itupun telah dipergunakan oleh Agung Sedayu untuk berada didalam sanggar bersama Glagah Putih. Untuk mengusir kegelisahan selama menunggu saat-saat yang belum pasti, maka Agung Sedayu telah menempa Glagah Putih dengan menyempurnakan kemampuannya pada tingkat terakhir. “Dalam keadaan tertentu, tingkat ini telah memadai,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya, “ia sudah bekerja keras pada saat-saat terakhir. Dan nampaknya ilmunya telah meningkat semakin tinggi.” Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih adalah seorang anak muda yang tidak mengenal lelah. Namun setelah Agung Sedayu menganggap cukup, ia berkata, “Sudahlah. Beristirahatlah sepenuhnya menjelang malam hari. Mungkin kau harus mengerahkan segenap kemampuanmu untuk waktu yang panjang. Kau harus menyimpan tenagamu sebaik-baiknya.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia sudah mendengar apa yang dapat terjadi malam nanti. Karena itu, iapun menghentikan latihan-latihannya yang berat. Ia tidak boleh menjadi terlalu lelah. Atas petunjuk Agung Sedayu, maka Glagah Putihpun mengerti, siapakah sebenarnya yang akan dapat ikut serta menghadapi kemungkinan yang paling buruk dipadepokan itu. “Beristirahatlah,“ berkata Agung Sedayu kemudian. “aku akan tinggal sebentar di sanggar ini.” Glagah Putih memandang wajah Agung Sedayu sejenak. Namun iapun kemudian meninggalkan sanggar itu untuk beristirahat sepenuhnya. Sepeninggal Glagah Putih, maka Agung Sedayupun duduk sambil menyilangkan tangannya. Dengan mata hatinya, ia melihat segalanya yang pernah terjadi atasnya. Seperti saat-saat yang pernah dialami, maka iapun mulai merenungkan keadaannya yang buram itu. Agung Sedayu merasa bahwa hidupnya selalu dibayangi oleh permusuhan yang tidak berkeputusan. “Tetapi aku tidak dapat melepaskan diri dari keadaan ini,“ katanya kepada diri sendiri. Sejenak Agung Sedayu duduk tepekur. Seolah-olah diluar sadarnya, maka iapun mulai meraba ingatannya atas isi kitab Ki Waskita. Perlahan-lahan matanya terpejam, sementara mata hatinya telah melihat dengan jelas huruf demi huruf dari isi kitab itu. Sesaat kemudian Agung Sedayupun telah tenggelam dalam pemusatan pikiran, menelaah makna isi kitab Ki Waskita, seperti yang dilakukan pada saat-saat tertentu di malam hari.

Seperti yang diberikan kepada Glagah Putih, kesempurnaan ilmu yang dipelajarinya terakhir, demikian pula yang dilakukan oleh Agung Sedayu. Ia mulai mendalami dan meresapi makna ilmu yang terakhir di pelajarinya. Kiai Gringsing yang mendengar dari Glagah Putih, bahwa Agung Sedayu masih berada didalam sanggar, sama sekali tidak mengusiknya. Namun nampaknya orang tua itupun menjadi gelisah. “Marilah, kita melihat-lihat kebun padepokan kita Glagah Putih,“ berkata Kiai Gringsing. Glagah Putih kemudian mengikutinya bersama Ki Widura memutari halaman dan kebun padepokan kecilnya. Sementara itu. Ki Lurah Patrajayapun melepaskan ketegangannya dengan menyandang cangkul untuk pergi kesawah. Disepanjang jalan, iapun merenungi apa yang dapat terjadi malam nanti. Sementara Ki Lurah Wirayuda yang seolah-olah mempunyai kesukaan tersendiri, telah menenggelamkan diri dengan kapaknya, membelah kayu disebelah barak para cantrik. Dalam pada itu, Ki Lurah Patrajaya yang pergi kesawah, sempat memperhatikan keadaan diseputar padepokannya. Pandangannya yang tajam terhadap keadaan, telah menunjukkan kepadanya, kegelisahan yang serupa seperti yang terdapat didalam padepokannya. Disepanjang jalan kesawah, ia telah berpapasan dengan orang yang selalu memperhatikan. Tidak hanya satu orang, tetapi lebih dari tiga orang, meskipun mereka tidak berjalan bersama-sama. Tiga orang yang berjalan dijalan yang melalui bagian depan dari padepokannya, meskipun tidak tepat dimuka gerbang. Ketika Ki Patrajaya melihat seorang laki-laki duduk dibawah sebatang pohon turi dipinggir jalan, maka iapun berhenti pula. Terdorong oleh keinginannya untuk mendapatkan beberapa keterangan, maka iapun kemudian duduk disamping orang itu sambil bertanya, “Nampaknya kau bukan orang Jati Anom Ki Sanak ?” Orang itu menjadi tegang. Tetapi kemudian ia tersenyum sambil menjawab, “Aku memang bukan orang Jati Anom. Aku orang Patran yang akan pergi ke Macanan. Tetapi panasnya bukan main, sehingga aku harus beristirahat barang sejenak disini.” Ki Patrajaya mengangguk-angguk, untuk beberapa saat ia duduk disebelah orang itu. Namun kemudian katanya, “Aku akan pergi ke sawah. Memang malas sekali. Panasnya bukan main.” Ki Lurah Patrajaya hanya dapat menarik nafas, ketika kemudian ia melihat orang itupun meninggalkan tempatnya, demikian ia melangkah pergi. Sementara Ki Partajaya berusaha untuk mengisi waktunya disawah, mataharipun merayap perlahan-

lahan ke Barat. Semakin lama semakin rendah. Namun dalam pada itu, ketegangan di padepokar kecil itupun semakin lama menjadi semakin meningkat. Menjelang senja, maka seisi padepokan itupun telah berkumpul dan mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Pada saat-saat terakhir itulah, Kia Gringsing mengumpulkan semua cantriknya dan memberitahukan kemungkinan yang bakal terjadi. “Tetapi kalian jangan gelisah. Apapun yang akan terjadi, kita akan bersama-sama menghadapinya,“ berkata Kia Gringsing. Namun demikian, ketegangan benar-benar telah mencengkam setiap orang. Mereka menjadi berdebardebar ketika Kiai Gringsing menceriterakan siapakah sebenarnya kedua orang cantrik yang baru didalam padepokan itu, dan siapakah keempat orang sanak Sabungsari yang menengoknya dan menungguinya. “Sabungsaripun sebenarnya telah sembuh sama sekali,“ berkata Kiai Gringsing, “tetapi kami memang ingin mendapat kesan, betapa lemahnya padepokan ini.” Para cantrik itupun mengangguk angguk. Mereka menyadari, apa yang sedang terjadi didalam padepokannya. Merekapun mengerti dan sama sekali tidak merasa tersinggung, bahwa baru pada saat terakhir mereka mengerti keadaan seluruhnya, karena merekapun merasa, bahwa mereka tidak akan dapat berbuat banyak menghadapi keadaan. “Tetapi bukan berarti bahwa kalian tidak dapat berbuat apa-apa. Kalianpun harus bersiaga. Kalian harus bersiap-siap untuk melindungi diri kalian sendiri, jika kalian tidak mempunyai pilihan lain. Namun demikian, sebelum hal itu terjadi, sebaiknya kalian berada didalam barak kalian. Jika ada orang yang memasuki barak itu dan berusaha untuk mencelakai kalian, barulah kalian bertindak bagi keselamatan kalian sendiri,“ berkata Kiai Gringsing. “Kami sudah siap melakukan apa saja,“ tiba-tiba seorang cantrik muda memotong keterangan Kiai Gringsing. “Ya,“ yang lain menyambung, “kami akan menyerahkan segala yang ada pada kami untuk kepentingan padepokan kami.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Belum waktunya bagi kalian. Kalian sedang mulai dengan olah kanuragan, meskipun sebenarnya kalian telah memiliki dasar-dasarnya. Tetapi jika yang datang adalah orang-orang terpenting dari Gunung Kendeng, maka kalian masih jauh ketinggalan. Meskipun demikian, jika orang-orang

Gunung Kendeng itu memasuki barak kalian, bertahanlah sekuat tenaga.” Demikianlah, maka para cantrik yang merasa ikut bertanggung jawab atas keselamatan padepokan kecil itupun telah bersiaga meskipun seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, bahwa sebaiknya mereka tetap berada didalam barak. Namun setiap orang diantara mereka telah mempersiapkan senjata dipembaringan. Setiap saat mereka akan meloncat turun dengan senjata ditangan. Dalam pada itu, maka orang-orang terpenting dipadepokan itupun telah mempersiapkan diri sepenuhnya. Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda, bukan lagi cantrik yang menjinjing cangkul dan kapak pembelah kayu. Namun mereka telah menyandang senjata dilambung. Ki Patrajaya telah menggantungkan pedang panjangnya, sementara Ki Wirayuda sebenarnyalah memang lebih senang menggantungkan kapak. Tetapi bukan kapak pembelah kayu. Ia memilih senjata yang khusus berupa kapak yang tajamnya agak lebih melebar dari kapak pembelah kayu. Disamping kapak, ternyata Ki Wirayuda menyembunyikan perisai pula di pembaringannya. Pada saat terakhir itulah, ia telah menggantungkan kapaknya di lambung sebelah kiri dan perisainya dilambung sebelah kanan. Dalam pada itu, keempat pengikut Sabungsaripun telah mempersiapkan senjata mereka pula. Karena mereka datang ke padepokan itu sama sekali tanpa senjata dan mereka tidak sempat menyusupkan senjata mereka, maka yang kemudian mereka siapkan adalah senjata yang dapat mereka pinjam dari padepokan itu, karena sebenarnyalah didalam sanggar di padepokan itu terdapat bermacam-macam senjata. Namun ternyata keempat orang itu lebih senang mempergunakan pedang atau parang. Hanya seorang dari antara mereka yang memilih sebuah tombak pendek. Widura dan Glagah Putihpun telah menyiapkan pedangnya masing-masing. Sementara Kiai Gringsing dan Agung Sedayu tidak melepaskan cambuk mereka yang melilit lambung Sedangkan Sabungsari telah bersenjata pedang pula. Ketika gelap malam mulai membayang dilangit, maka seperti biasa para cantrik dipadepokan itu telah menyalakan lampu minyak di setiap ruangan. Dipendapa-pun telah menyala lampu minyak yang digantungkan ditengah, sementara di regolpun lampu telah menyala pula. Dari luar padepokan, sama sekali tidak nampak perubahan apapun dipadepokan kecil itu. Lampu yang biasa menyala telah menyala, Para cantrik telah melakukan kerja masing-masing. Dan pada saatnya gelap malam turun menyelubungi padepokan itu, maka para cantrikpun telah memasuki baraknya seperti yang dipesankan oleh Kiai Gringsing. Yang kemudian tersebar di halaman dan di kebun belakang, adalah orang-orang terpenting dari padepokan itu yang memang telah mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Kemungkinan terbesar, mereka akan berhadapan dengan orang-orang Gunung Kendeng atau orangorang yang diminta bergabung dengan mereka. Tetapi tidak mustahil, bahwa orang yang bernama Pringgajaya akan hadir pula di padepokan kecil itu.

Dalam pada itu, ternyata Untarapun menjadi gelisah. Ia sudah mempersiapkan pasukan khususnya, yang langsung dibawah perintahnya. Ia tidak mempercayainya lagi setiap orang yang tidak dikenalnya sebagik-baiknya untuk menghadapi keadaan yang khusus itu. Iapun tidak akan memberikan isyarat secara umum kepada prajurit Pajang di Mataram, apabila ia sudah mendapatkan tanda-tanda dari orang-orang yang ditugaskannya mengamati padepokan kecil itu. Jika keadaan memerlukan, maka ampat orang pengawal khususnya telah siap dengan kuda masingmasing untuk berpacu menuju ke padepokan itu, tanpa menggerakkan prajurit Pajang yang sedang bertugas seorangpun juga dari tempat masing-masing. Sehingga yang dilakukannya itu benar-benar merupakan tugas-tugas khusus bagi orang-orang tertentu. Sementara ketegangan mencengkam padepokan kecil itu serta Untara dirumahnya, maka keadaan di Jati Anom berjalan seperti biasa. Para prajurit sama sekali tidak mengerti, apa yang sedang bergejolak dengan diam-diam. Namun beberapa orang tertentu, pengikut Ki Pringgajayapun menjadi tegang pula. Mereka dengan berdebar-debar menunggu, apa yang akan terjadi dipadepokan kecil itu. “Tetapi Ki Untara nampaknya sama sekali tidak mencium gerakan ini,“ berkata seorang prajurit yang menjadi pengikut Ki Pringgajaya. “Memang tidak ada perintah apapun. Agaknya Ki Untara memang tidak menduga, bahwa akan terjadi sesuatu pada adik kandungnya yang hanya satu-satunya itu,“ jawab kawannya. Keduanya tertawa pendek. Namun terasa ketegangan mencengkam jantung mereka pula. Ketika malam menjadi semakin dalam, maka keteganganpun semakin memuncak pula. Prajurit yang meronda digardu yang tersedia dipadukuhan terdekat dengan padepokan kecil itu telah bersiap-siap pula. Tidak untuk memberikan isyarat bahwa padepokan kecil itu akan didatangi oleh sekelompok pembunuh, tetapi mereka telah bersiap untuk membunyikan tanda yang lain. Selagi ketegangan menjadi semakin mencengkam, maka empat orang yang tidak dikenal telah berjalan dengan hati-hati menuju kesebuah padukuhan yang terhitung besar selain padukuhan induk di Kademangan Jati Anom. Dengan penuh kewaspadaan mereka melintasi jalan sempit menuju kesebuah rumah yang besar dan berhalaman luas dipadukuhan itu. Ketika mereka telah berada disudut belakang dari halaman rumah itu, maka terdengar bunyi burung kedasih memecah sepinya malam. Salah seorang dari keempat orang itu ternyata telah membunyikan isyarat dengan suara burung kedasih yang ngelangut. Sesaat kemudian, dari sudut yang lain, terdengar bunyi burung bence menyahut dengan nada tinggi. Suaranya membelah sepinya malam yang menjadi semakin kelam. Didalam rumah itu, seorang saudagar ternak, telah berbaring dipembaringannya. Ketika terdengar suara burung kedasih, maka iapun menarik nafas dalam-dalam. Namun saudagar itu terkejut ketika kemudian terdengar bunyi burung bence memecah sepinya malam. Demikian dekatnya jarak antara

suara burung itu, dan tiba-tiba saja burung bence itu menyahut keluh burung kedasih. Saudagar itu menjadi curiga. Iapun kemudian bangkit dan pergi kebilik anak laki-lakinya. “Sst,“ desisnya, “bangunlah. Kau dengar suara burung yang aneh itu ?” Ternyata anaknya itu masih belum tidur juga. Ketika anaknya itu bangkit, maka terdengar suara burung bence itu sekali lagi memekik tinggi. “Berhati-hatilah,“ berkata saudagar itu. Tentu ada orang jahat disekitar rumah ini. Siapkan kentongan, dan panggil para penjaga agar mereka berada diruang dalam. Biarlah biyungmu berada disentong tengah.” Anak laki-laki itupun kemudian pergi keruang belakang. Ternyata seorang dari dua penjaga, masih duduk dengan gelisah. Agaknya iapun merasa aneh dengan suara burung itu. “Bangunkan kawanmu,“ berkata anak saudagar itu, “kita berada diruang dalam. Siapkan kentongan. Mungkin kita memerlukannya.” Penjaga itupun kemudian membangunkan kawannya. Merekapun kemudian menyiapkan senjata mereka dan salah seorang dari mereka telah membawa kentongan keruang tengah. Sejenak mereka menunggu dengan gelisah. Namun sejenak kemudian yang mereka tunggu itupun telah terjadi. Perlahan-lahan mereka mendengar pintu diketuk orang. Tetapi mereka sama sekali tidak menyahut. Sehingga dengan demikian, maka suara ketukan itu semakin lama menjadi semakin keras. “Buka pintu,“ terdengar suara salah seorang diluar pintu dengan kasar, “atau aku akan memecahkannya.” Tidak terdengar jawaban. “Aku memberi peringatan sekali lagi. Kemudian aku akan memecahkan pintu ini.” Masih tidak ada jawaban. Karena itu, maka sejenak kemudian terdengar pintu itu gemeretak dengan kerasnya. Agaknya mereka benar-benar telah berusaha memecahkan pintu rumah itu. Saudagar, anaknya dan kedua penjaga rumah itu telah berkumpul disebelah pintu. Senjata mereka telah

merunduk, siap untuk menyambut orang-orang yang akan memasuki pintu yang telah dipecah dengan paksa itu. Demikian pintu itu pecah, maka senjata-senjata itu hampir berbareng telah menyambar bayangan yang berada di balik pintu. Namun yang terdengar adalah teriakan nyaring, “Setan alas. Kalian berusaha melawan he ?” Saudagar itu terkejut. Ternyata orang-orang yang memecahkan pintunya bukan orang-orang dungu yang sekedar mengandalkan jumlah mereka yang banyak untuk merampok. Sejenak saudagar itu termangu-mangu. Yang nampak didalam gelapnya malam hanyalah bayangan yang tidak jelas. Jumlahnyapun tidak jelas pula. “Jangan melawan. Serahkan semua harta benda, atau kalian akan mati.” Tetapi saudagar itupun berteriak, “Kami akan pertahankan milik kami.” Yang terdengar adalah suara tertawa. Namun tiba-tiba salah seorang dari para perampok itu meloncat maju dengan senjata terayun menyambar saudagar yang berdiri didepan pintu. Namun saudagar itu sempat mengelak, dan bahkan iapun sempat menyerang dengan senjatanya pula. Namun serangannya sama sekali tidak berarti, karena bayangan diluar itu meloncat kesamping sambil berkata, “O, kau dapat juga bermain senjata.” Saudagar itu menjadi cemas menghadapi keadaan. Karena itu maka katanya kemudian kepada anaknya, “Bunyikan isyarat.” Sejenak kemudian, maka terdengar suara kentongan memecah heningnya malam dipadukuhan itu. Suara kentongan yang memekik dari ruang tengah rumah saudagar itu. Suasana yang tegang itu menjadi semakin tegang. Namun kemudian terdengar perampok itu tertawa. Katanya, “Bagus. Kau sudah melakukan seperti yang kami inginkan. Bunyikan tanda bahaya itu sekeras-kerasnya.” Saudagar dan anaknya sama sekali tidak menghiraukannya. Mereka bersiaga menghadapi segala kemungkinan, sementara suara kentongan itupun berteriak semakin keras. “Kau tidak akan dapat berbuat apa-apa disini,“ berkata saudagar itu, “kau akan dikepung oleh pengawal-pengawal padukuhan dan anak-anak muda yang segera akan keluar dari rumah mereka. Bahkan jika suara kentongan ini menjalar sampai ketelinga para prajurit, maka nasibmu akan menjadi semakin buruk.” “Aku akan melawan siapapun yang mencoba menghalangi kami,“ berkata perampok itu.

Namun dalam pada itu, suara kentongan itupun telah didengar oleh peronda yang ada digardu. Segera suara itupun bersambut. Suara kentongan digardu ternyata jauh lebih keras dari suara kentongan kecil ditangan anak saudagar itu. Dengan demikian maka suara kentongan itupun segera menjalar. Dari gardu kegardu dan dari rumah kerumah berikutnya. Dari padukuhan yang satu kepadukuhan yang lain. Para perampok itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu, anak-anak muda dan para pengawal di gardu-gardu telah bersiap. Beberapa orang diantara mereka telah berlari-lari mencari sumber suara kentongan itu. Namun dalam pada itu, saudagar itupun terkejut, ketika ia mendengar suara beberapa orang justru dibelakang rumahnya, “Api, api.” Meledaklah suara tertawa para perampok itu. Salah seorang dari mereka berteriak, “Rumahmu akan dimakan api. Kau kira kau akan dapat menyelamatkan harta bendamu ? Adalah bodoh sekali jika kau tidak mau memberikan harta bendamu kepadaku. Agaknya itu akan lebih baik dari pada musna dimakan api.” Saudagar itu termangu-mangu. Ia tidak berani berkisar karena ia masih harus memandangi dengan tajam senjata-senjata para perampok yang siap menerkam mereka. Namun dalam pada itu, para perampok itu berkata diantara mereka, “Ternyata saudagar ini terlalu lemah hati. Sebelum kita berhasil memasuki rumahnya, ia sudah memerintahkan memukul kentongan. Dengan demikian, hanya satu segi sajalah yang dapat kita capai dirumah ini. Suara kentongan. Kita tidak akan dapat membawa sekeping uangpun, karena sebentar lagi, anak-anak muda itu akan datang.” Tidak seorangpun yang menjawab. Namun sejenak kemudian, maka para perampok itupun segera melangkah surut. Ketika anak-anak muda mulai memasuki regol dengan hati-hati, maka para perampok itupun berloncatan lewat dinding halaman samping dan hilang kedalam gelap. Mereka meloncati dinding-dinding halaman dari satu halaman kehalaman berikutnya, menghindari para pengawal dan anak-anak muda yang berlari-lari mendekati arah api yang semakin lama menjadi semakin besar. Sementara itu, demikian para perampok melarikan diri, maka saudagar itupun segera berlari turun kehalaman sambil berteriak, “Mereka lari kehalaman samping.” Beberapa anak mudapun termangu-mangu. Namun merekapun kemudian berlari mengejar para perampok itu. Sementara itu, saudagar itupun menjadi bingung. Ia sudah melangkah untuk mengejar perampok yang menghilang didalam gelap, namun ketika terlihat bayangan api yang menjilat langit ia menjadi termangu-mangu. Bahkan iapun kemudian berlari kebelakang.

Dalam pada itu, isteri saudagar itupun telah berlari keluar dari dalam persembunyiannya. Ia hanya sempat membawa apa yang dapat di sambarnya. Sedikit uang dan peti simpanannya, yang berisi perhiasan. Saudagar itu masih sempat berlari masuk lewat pintu butulan. Ia mencoba untuk menyelamatkan barang-barangnya bersama anaknya. Tetapi yang dapat disingkirkannya hanya sebagian kecil dari miliknya. Dalam pada itu, apipun menyala semakin besar. Para tetangga yang berdatangan berusaha untuk memadamkan api yang menjilat langit itu. Batang-batang pisang dihalaman dan dihalaman sekitarnya telah ditebas dan dilemparkan kedalam api. Namun api cepat sekali membesar karena rumah yang terbuat dari kayu itu memang mudah sekali terbakar. Sementara itu, suara kentongan telah memenuhi bukan saja Kademangan Jati Anom. Tetapi terdengar pula di Kademangan-kademangan sebelah menyebelah. Merekapun melihat bayangan api yang bagaikan membakar langit. Sementara itu, Untarapun telah mendengar suara kentongan itu. Seorang penjagapun telah memberikan laporan tentang api yang membakar langit. Sesaat Untara menjadi bingung. Isyarat itu adalah isyarat kebakaran dan perampokan. Tidak ada hubungannya dengan isyarat yang dilontarkan dari padepokan kecil itu. Sementara ia menunggu isyarat, maka telah terjadi sesuatu diluar perhitungannya. Karena itu, maka iapun segera memerintahkan beberapa orang prajurit yang bertugas untuk pergi ketempat kejadian, karena warna merah dilangit akan menuntun mereka. Namun yang dipikirkan Untara adalah padepokan kecil itu. Apakah yang telah terjadi. Seandainya saat itu terdengar isyarat dari padepokan kecil itu, maka suaranya tentu akan tenggelam dalam gelora suara kentongan yang membahana, mengumandang diseluruh Kademangan Jati Anom dan sekitarnya. Sebenarnyalah saat itu, Gembong Sangiran tertawa berkepanjangan sambil berjalan mendekati gerbang padepokan kecil diikuti oleh beberapa orang pengikutnya. Diantara derai tertawanya ia berkata, “Tidak akan ada orang lain yang mengetahui apa yang telah terjadi dipadepokan ini. Kita akan membunuh anak muda yang bernama Sabungsari dan Agung Sedayu. Kemudian guru Agung Sedayu yang bernama Kiai Gringsing. Karena dipadepokan itu ada Ki Widura dan anak laki-lakinya, maka merekapun akan kita bunuh pula. Sementara para cantrik terserah pada sikap mereka. Jika mereka menyerah, maka kita akan membiarkan mereka hidup.” “Serahkan Sabungsari dan Agung Sedayu kepadaku,“

geram seorang yang berkumis dan berjambang lebat. Ki Gembong Sangiran tertawa. Katanya, “Sabungsari tidak usah dibicarakan lagi. Tinggal memijit hidungnya saja, maka ia akan mati lemas.” “Bagaimana dengan Agung Sedayu, “orang itu bertanya. “Anak itulah yang wajib diperhitungkan,“ jawab Gembong Sangiran, “tetapi Tanggon atau Panjer akan dapat membunuhnya.” “Tidak,“ jawab orang berjambang itulah, “ia sudah membunuh adikku. Salah seorang dari keduanya. Sabungsari atau Agung Sedayu.” Sementara itu orang yang bertubuh agak gemuk berkata, “Apa kerjaku disini, setelah aku memenuhi panggilan Ki Gembong Sangiran ?” Gembong Sangiran tertawa. Katanya, “Terserahlah kepadamu. Dipadepokan itu ada beberapa orang yang perlu diperhitungkan. Tetapi jika Jandon memilih Agung Sedayu sebagai lawannya karena dendam, maka kau dapat menangkap siapa saja dan membunuhnya sekali.” Ki Banjar Aking tertawa. Katanya, “Mungkin aku tidak terlalu bernafsu membunuh seperti Jandon. Setelah beberapa tahun ia meninggalkan Gunung Kendeng, maka kini ia kembali dengan dendam membara.” “Aku masih keluarga Gunung Kendeng,“ jawab orang berjambang itu, “kepergianku sekedar untuk mematangkan dan memperkaya ilmu yang dasarnya aku pelajari di Gunung Kendeng.” “Tetapi namamu sudah melampaui nama setiap orang di Gunung Kendeng,“ berkata Ki Banjar Aking. “Apapun, yang penting bagiku adalah membunuh Agung Sedayu. Kemudian menghancurkan tubuh Sabungsari yang masih sakit itu,“ geram orang berjambang yang bernama Jandon itu. Merekapun terdiam ketika mereka sudah berdiri didepan gerbang padepokan kecil itu. Sejenak mereka memandangi lampu-lampu minyak yang menyala diregol yang pintunya masih terbuka seleret. Perlahan-lahan Gembong Sangiran mendorong pintu itu. Demikian pintu itu terbuka, maka iapun melihat lampu yang menyala dipendapa padepokan kecil itu. Namun iapun menjadi berdebar-debar ketika ia melihat dua orang berdiri di tangga pendapa itu. “Suara kentongan yang mengumandang diseluruh Kademangan inilah yang telah memaksa mereka untuk berjaga-jaga,“ berkata Gembong Sangiran, “tetapi nampaknya hanya dua orang saja.” “Kita akan masuk, mumpung suara kentongan itu masih terdengar gemuruh diseluruh Kademangan.

Sebentar lagi suara kentongan itu akan mereda. Namun jika kita sudah memaksa mereka menyerah, maka mereka tidak akan sempat membunyikan isyarat apapun juga,“ geram Jandon. Gembong Sangiran tidak menjawab. Iapun kemudian melangkah memasuki halaman padepokan itu diikuti oleh beberapa orang pengikutnya. Orang yang berdiri ditangga pendapa padepokan itupun terkejut melihat beberapa orang memasuki halaman. Namun merekapun segera mengetahui bahwa yang mereka tunggu telah datang. “Mereka cukup cerdik guru,“ berkata Agung Sedayu yang berdiri ditangga pendapa, “mereka telah memancing suara kentongan itu.” “Kita akan melihat, apakah kita perlu membunyikan isyarat. Seandainya kita harus membunyikan isyarat, maka suara kentongan itu akan tenggelam dalam gemuruh suara kentongan yang telah memenuhi Kademangan ini,“ desis Kiai Gringsing yang bersama-sama dengan Agung Sedayu berada di tangga pendapa itu. Dalam pada itu, merekapun kemudian menunggu. Dengan saksama Kiai Gringsing dan Agung Sedayu memperhatikan beberapa orang yang memasuki halaman itu dan kemudian berdiri agak berpencar. “Lima orang,“ desis Agung Sedayu, “agaknya selebihnya adalah pengikut-pengikut yang kurang berarti.” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Iapun melihat lima orang yang berdiri pada jarak beberapa langkah. Kemudian dibelakang mereka, beberapa orang lain berdiri dengan tegangnya. Dalam pada itu, Gembong Sangiran yang berdiri dipaling depan bertanya dengan suara lantang, “He, siapakah pemimpin padepokan ini ?” Kiai Gringsing memandang orang itu dengan tajamnya. Kemudian katanya, “Akulah orang tertua disini.” “Kaukah yang bernama Kiai Gringsing ?“ bertanya Gembong Sangiran. “Ya, aku yang disebut Kiai Gringsing,“ Gembong Sangiran mengangguk-angguk. Kemudian iapun bertanya pula, “Siapa anak muda itu ?” “Agung Sedayu,” jawab Kiai Gringsing. “O, jadi anak muda itulah yang telah membunuh adikku,“ geram Jandon. “Siapakah adikmu ?“ bertanya Agung Sedayu.

“Ia dan seorang kawannya kau bunuh dibulak panjang itu,“ geram Jandon. “O,“ Agung Sedayu mengangguk-angguk, “jadi salah seorang dari kedua orang itu adalah adikmu.“ Agung Sedayu mengangguk-angguk, “tetapi apakah kau mengetahui, kenapa aku tplah membunuhnya ? Atau mungkin Sabungsari.” “Persetan,“ geram Jandon sambil menggeretakkan giginya, “kita harus segera mulai. Ki Gembong Sangiran, mereka berusaha memperpanjang waktu, agar suara kentongan itu mereda, dan mereka dapat memberikan isyarat.” “Tidak ada gunanya,“ desis Gembong Sangiran, “Kademangan Jati Anom telah menjadi kacau karena kentongan yang sudah bergemuruh. Apalagi gardu khusus yang dijaga oleh prajurit Pajang itu tidak akan dapat menangkap isyarat dan kemudian melanjutkannya. Gardu itu akan tetap bungkam, atau justru kentongannya akan mengumandangkan isyarat kebakaran itu.” “Kami tidak perlu isyarat apapun,“ desis Kiai Gringsing, “tetapi apakah maksud kalian datang kepadepokan kami ?” “Pertanyaan yang bodoh sekali. Cepat berlutut dihadapanku. Aku akan membunuh Agung Sedayu dan Sabungsari. Kemudian kawan-kawanku akan membunuh Kiai Gringsing dan Ki Widura. Mungkin juga anak Widura yang bernama Glagah Putih itu.“ teriak Jandon yang sudah tidak sabar lagi. “Jangan tergesa-gesa,“ jawab Kiai Gringsing, “kami akan melayani. Kamipun sudah siap. Kamipun tahu, bahwa prajurit-prajurit yang bertugas digardu itu adalah para pengikut Ki Pringgajaya. Kamipun sudah menduga, bahwa kalian akan mengaburkan isyarat yang mungkin dapat kami bunyikan dengan perampokan dan pembakaran.” Gembong Sangiran mengerutkan keningnya. Dipandanginya Kiai Gringsing dengan tajamnya, seolah-olah ia ingin menjajagi apakah orang yang disebut orang bercambuk itu memiliki kemampuan yang benar-benar dapat diandalkan. “Kiai Gringsing,“ berkata Gembong Sangiran kemudian, “nampaknya kau terlalu yakin akan dirimu.” “Aku tidak mempunyai pilihan lain Ki Sanak,“ jawab Kiai Gringsing. Kemudian, “tetapi sebelum kami kehilangan kesempatan untuk berbicara, apakah kau bersedia menyebut namamu, kedudukanmu dan alasan kedatanganmu kemari ?” “Aku kira aku dapat menyediakan waktu barang sedikit. Aku bernama Gembong Sangiran. Yang

datang bersamaku adalah murid-muridku. Yang berdiri disebelah itu adalah Ki Banjar Aking. Muridku yang sudah lama meninggalkan padepokan yang kemudian telah memiliki pengaruh yang luas dipesisir utara. Sementara yang berdiri disebelah ini, adalah Jandon. Seorang muridku yang telah meninggalkan padepokanku pula. Ia datang karena adiknya terbunuh seperti yang telah dikatakannya. Tetapi ternyata dirantau ia telah menemukan ilmu yang tidak ada duanya, yang tidak didapatkannya di padepokan kami di Gunung Kendeng.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi kalian datang dari Gunung Kendeng atas permintaan Ki Pringgajaya. Berapa kalian mendapat upah untuk pekerjaan ini ?” “Persetan,“ geram Jandon, “aku akan membunuh Agung Sedayu sekarang.” “Jangan tergesa-gesa. Justru aku akan menjawab pertanyaan itu,“ potong Gembong Sangiran. Lalu. “Dengarlah Kiai Gringsing, ternyata nyawamu cukup mahal. Aku mendapat upah tiga keping emas murni apabila aku dapat menyerahkan tiga buah kepala. Kiai Gringsing, Sabungsari dan Agung Sedayu. Kepala Widura mungkin akan mendapat penghargaan sendiri, sementara kepala Glagah Putih masih belum ada harganya.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sama sekali tidak nampak perubahan diwajahnya. Seolah-olah wajah itu menjadi beku, seperti juga wajah muridnya. “Perasaan mereka sudah mati,“ teriak Jandon, “tidak ada gunanya untuk banyak berbicara lagi dengan mereka. Aku akan membunuh mereka sekarang. Terutama Agung Sedayu.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya menjadi semakin murung dan dengan nada dalam ia berkata, “Kematian akan disusul dengan kematian. Dendam akan bertimbun. Tetapi ketamakan kalian benarbenar membuat hati berdebar-debar. Kalian telah memanfaatkan dendam untuk mendapat upah yang cukup banyak. Namun upah yang akan kalian terima belumlah akhir dari rentetan peristiwa ini.” “Apa pedulimu,“ teriak Gembong Sangiran, “biarlah yang hatinya dibakar oleh dendam menuntut balas. Tetapi aku akan membunuh kalian karena emas tiga keping.” “Alangkah murahnya harga nyawa,“ desis Agung Sedayu. “Jangan merajuk. Nyawamu terhitung mahal dengan nilai upah yang akan aku terima. Tetapi sudahlah, dimana kawan-awanmu. Jika mereka berpencar panggillah. Mungkin mereka mengira bahwa kami adalah sebangsa pengecut yang akan menyerang padepokanmu lewat dinding-dinding halaman samping dan kebun belakang.”

“Kau benar,“ sahut Kiai Gringsing, “kami menduga bahwa kalian akan menyerang kami dari berbagai penjuru. Dan kamipun akan bertempur disegala tempat dan disegala sudut halaman padepokan ini.” “Sekarang kami disini. Panggilah mereka,“ teriak Gembong Sangiran, “akupun sudah menjadi jemu berbicara. Suara kentonganpun akan segera mereda.” “Aku tidak peduli. Aku akan membunuh Agung Sedayu.” ***

Buku 131 KIAI BANJAR AKING tertawa. Katanya, “Agung Sedayu yang malang. Aku adalah murid Gunung Kendeng yang lebih tua dari Jandon. Tetapi pada saat terakhir, aku harus mengakui bahwa Jandon telah menemukan banyak sekali kemungkinan didalam perantauannya. Ia datang untuk menuntut balas kematian adik kandungnya. Bukan saja adik seperguruannya. Tentu nilai dendamnya jauh lebih mahal dari tiga keping emas.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun sikapnya benar-benar mengejutkan lawannya. Ia melangkah beberapa langkah kesamping. Katanya, “Baiklah. Jika itu dapat memberikan kepuasan. Meskipun aku tidak yakin bahwa kepunganmu itu akan memberikan penyelesaian.” “Persetan,“ geram Jandon, “aku tidak peduli apakah ini merupakan penyelesaian, atau justru baru permulaan dari permusuhan antara padepokan ini dengan padepokan kami di Gunung Kendeng.” Agung Sedayu menarik napas dalam-dalam. Sekilas terbayang usahanya yang pendek untuk memahami makna isi kitab Ki Waskita. Tetapi karena lembaran ilmunya sudah cukup tinggi, maka yang sebentar itu ternyata telah mencakup banyak kemungkinan didalam dirinya dan peningkatan ilmunya. Tetapi yang dihadapi oleh Agung Sedayu adalah orang yang memiliki bekal paling lengkap dari Gunung Kendeng. Karena itu, iapun harus berhati-hati. Dibulak panjang ia bertemu dengan adik orang yang bernama Jandon itu. Iapun sadar, bahwa Jandon adalah orang yang lebih baik dari adiknya. “Betapa pengecutnya aku,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya, “untuk menghadapinya aku tidak dapat semata-mata mencari sandaran kepada isi kitab Ki Waskita. Mudah-mudahan pada saat yang gawat, aku tetap bersandar kepada perlindungan Yang Maha Agung, apapun caranya.” Sementara itu, Jandonpun telah bergeser mendekati Agung Sedayu yang memisahkan diri beberapa langkah dari sekelompok orang yang berada dipendapa itu. Sementara Gembong Sangiran berteriak sekah lagi, “Manakah orangorang yang lain, agar aku tidak disebutnya pengecut? He, mana Widura dan Glagah Putih dan manakah para cantrik padepokan yang setiap hari berlatih perang dihalaman?” Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Ia memandang Agung Sedayu yang berkisar mencari tempat yang lapang disusul oleh Jandon yang dibakar oleh kemarahan. Dengan garangnya Jandon itu menggeram, “Kau memang sombong dan dungu. Kau belum pernah mendengar namaku.” “Jika sudah, apakah aku harus menyatakan ketakutanku dan mohon maaf. Apakah jika demikian, kau akan mengurungkan dendammu?” Jandon menggeram. Sikap Agung Sedayu bagi Jandon rasa-rasanya bagaikan suatu penghinaan yang sangat sombong. Justru karena Jandon tidak mengenal sifat-sifat Agung Sedayu yang sebenarnya. Karena itu, maka iapun kemudian menggeram, “Kau memang harus diperlakukan dengan kasar

sehingga kau segera mengetahui bahwa kau bukan orang yang luar biasa meskipun kau atau Sabungsari telah berhasil membunuh adikku. Adikku adalah anak ingusan yang baru mulai belajar olah kanuragan. Adalah wajar sekali, bahwa ia tidak akan mampu bertahan. Bukan karena kelebihanmu, tetapi karena ia memang belum waktunya hadir dipertempuran.” “Apa saja yang kau katakan, sulit untuk aku mengerti. Jika orang yang terbunuh itu adikmu, maka ia telah melakukan beberapa kesalahan,“ jawab Agung Sedayu, kemudian, “ia bersalah karena menyerang aku tanpa sebab. Dan ia bersalah, bahwa sebelum ia memiliki bekal yang cukup, ia telah memancing permusuhan hanya karena upah yang ditawarkan oleh Ki Pringgajaya, seperti juga yang ditawarkan kepada gurumu itu sekarang.” Yang terdengar kemudian adalah justru suara tertawa Gembong Sangiran. Katanya, “Kaulah yang tidak sabar lagi mendengar pembicaraan kami. Sekarang, kau sendiri hanya berbicara saja sepanjang malam.” Jandon tidak menjawab. Iapun segera bersiap. Dalam pada itu, ternyata pembicaraan dihalaman itu telah memanggil beberapa orang isi padepokan itu yang tersebar. Ki Lurah Patrajaya dan seorang pengikut Sabungsari telah bergeser dari tempatnya, mendekati halaman. Bahkan ia telah tertegun ketika ia melihat Ki Widura-pun telah berada dihalaman samping memperhatikan apa yang terjadi dipendapa bersama Glagah Putih. “Agaknya mereka datang dari depan, lewat pintu gerbang,“ desis Widura. Ki Lurah Patrajaya mengangguk. Katanya, “Ternyata mereka merasa terlalu kuat.” “Kita tidak akan dapat memberikan isyarat apapun juga,“ desis Glagah Putih, “suara kentongan itu masih saja bergema diseluruh Kademangan.” Ki Widura mengangguk-angguk. Jawabnya, “Mudah-mudahan kita tidak perlu membunyikan isyarat apapun juga.” Sementara itu disisi lain dari halaman itu, Ki Wirayudapun telah mendekati halaman. Iapun mendengar pembicaraan di halaman. Namun ia sempat memasuki barak para cantrik dan berpesan, agar mereka tetap berada didalam barak. “Jika mereka memasuki barak ini, terserah kepada kalian,“

berkata Ki Lurah Wirayuda. Yang berada didalam biliknya dengan gelisah adalah Sabungsari. Iapun mendengar pembicaraan di halaman meskipun tidak begitu jelas. Namun ia mengerti, bahwa orangorang Gunung Kendeng itu telah datang dengan sombong dan penuh keyakinan akan dapat menguasai padepokan kecil itu. Karena itu, maka ia telah menggeram, “Aku akan turun kehalaman.” “Tunggulah,“ salah seorang pengikutnya mencoba mencegahnya, “bukankah Kiai Gringsing memerintahkan agar kau tetap didalam bilik ini.” “Tetapi perhitungan kita salah,“ jawab Sabungsari, “kita menduga bahwa orang-orang Gunung Kendeng itu akan datang dari segala penjuru. Memanjat dinding dan menyerang isi padepokan ini dari segala arah. Diantara mereka akan memasuki bilik ini karena mereka menduga bahwa aku masih sakit. Ternyata mereka tidak berbuat demikian. Mereka akan bertempur dihalaman dan mengabaikan aku yang mereka kira masih sakit parah. Dengan demikian, maka mereka akan dapat membunuhku dengan mudah.” Pengikutnya termangu-mangu sejenak. Namun merekapun sependapat dengan Sabungsari. Karena itu, maka akhirnya merekapun sepakat untuk keluar dari dalam bilik itu dan langsung terjun kedalam pertempuran. Kehadiran Sabungsari di pintu pringgitan memang menarik perhatian. Jandon yang sudah siap menyerang Agung Sedayupun terpaksa mengurungkan niatnya. “Siapakah anak itu,“ bertanya Gembong Sangiran kepada Kiai Gringsing ketika ia melihat Sabungsari keluar dari ruang dalam langsung kependapa. “Itulah Sabungsari,“ jawab Kiai Gringsing. “Gila,“ teriak Jandon, “kemarilah. Biarlah ia bertempur bersama Agung Sedayu. Aku akan membunuh kalian berdua.” Sabungsari melangkah maju. Lamat-lamat ia melihat Jandon berdiri dihalaman. Agak menepi, karena agaknya ia sudah siap bertempur melawan Agung Sedayu. “Siapakah orang yang terlalu sombong itu,“ geram Sabungsari. “Tutup mulutmu,“ teriak Jandon, “kemarilah. Aku bunuh kau pertama kali.” Sabungsari yang baru saja sembuh dari lukanya, yang oleh kebanyakan orang masih dianggap luka parah, dan memang tidak diperhitungkan oleh Gembong Sangiran itu berkata, “Agung Sedayu. Siapakah yang sebaiknya membunuhnya? Kau atau aku.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia menjawab, Jandon berteriak, “Aku bunuh kau pertama kali. Jika kau masih sakit, maka membunuhmu tidak akan lebih sulit dari menepuk seekor semut. Karena itu jangan membuka mulutmu terlampau lebar. Kemarahanku akan dapat membuat aku berbuat aneh-aneh terhadapmu.” “Sudahlah,“ potong Agung Sedayu, “kita akan bertempur. Marilah. Aku sudah siap. Sementara itu, biarlah Sabungsari mencari lawan yang lain.” Jandon menggeram. Dipandanginya wajah Agung Sedayu. Meskipun tidak begitu jelas, namun ia tidak melihat kesan apapun diwajah itu. Seolah-olah ia tidak sedang berhadapan dengan maut yang mengintai dan siap memeluknya. “Kiai,“ berkata Sabungsari kemudian, “siapakah yang harus aku hadapi sekarang ini.” “Berbaring sajalah di bilikmu. Salah seorang dari kami akan datang kepadamu dan mencekik lehermu,“ berkata Gembong Sangiran. Sabungsari termangu-mangu sejenak. Sekilas dipandanginya orang-orang yang berdiri dihalaman. Memang ada beberapa orang pilihan diantara orang-orang Gunung Kendeng yang datang kepadepokan itu selain Gembong Sangiran sendiri. Beberapa langkah Sabungsari menyeberangi pendapa. Kemudian ia berdiri tegak sambil merenungi lawan-lawannya. Katanya, “Jika aku harus mati, maka biarlah aku mati dipertempuran. Tidak dipembaringan. Sudah lama aku sembuh. Tetapi aku memang berpura-pura sakit untuk memancing kedatangan kalian. Aku dan seisi padepokan ini yakin, bahwa kalian akan datang untuk membunuhku dan Agung Sedayu. Karena itu, setiap malam aku sudah melatih diri, mengembalikan segala kemampuanku dan kekuatan tubuhku. Sekarang aku sudah siap untuk bertempur melawan siapapun juga.” “Kau gila,“ geram Banjar Aking, “kau kira kami termasuk anak-anak yang dapat kau kelabui dengan sekeping gula aren? Jika kau memang merasa dirimu sudah cukup mampu untuk berkelahi, marilah. Kita akan mencobanya.” “Bagus, siapa kau?“ bertanya Sabungsari. “Banjar Aking dari pesisir Lor.” “O, jadi kaukah orangnya? Baiklah. Kita akan bertempur. Mungkin kau adalah orang yang lebih baik dari orang-orang Gunung Kendeng yang telah aku bunuh.

Tetapi akupun kini menjadi bertambah baik pula setelah aku mempersiapkan diri beberapa lama dipadepokan ini.” Kini Banjar Akingpun kemudian berkata lantang, “Kemarilah. Jangan ribut disitu.” Ternyata Sabungsari tidak menunggu. Iapun segera berlari menuruni tangga sambil berkata kepada orang pengikutnya, “Kau dapat menempatkan dirimu diantara para pengikut orang Gunung Kendeng ini. Berhati-hatilah. Jangan salah menilai lawanmu.” Kedua orang pengikutnya termangu-mangu. Namun mereka menjadi tegang ketika tiba-tiba saja Sabungsari telah langsung menyerang lawannya. “Anak setan,“ geram Kiai Banjar Aking. Ternyata bahwa ialah yang pertama-tama harus bertempur. Sementara itu Gembong Sangiran tertawa sambil berkata, “Pantas. Ia dapat disebut prajurit yang baik.“ Ia berhenti sejenak, lalu, “baiklah Kiai. Biarlah orangorangku yang lain membuat padepokan ini menjadi karang abang. Aku datang bersama Putut-pututku terbaik. Mereka akan segera menempatkan diri dalam keadaan yang tidak akan banyak berarti bagi mereka. He, dimana Widura? Apakah ia bersembunyi? Salah seorang Putut yang datang bersamaku. Panjer atau Tanggon, akan segera menyelesaikannya. Sementara murid-muridku yang lain akan menemui para cantrik, apakah mereka akan menyerah, atau akan membunuh diri.” Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling kearah Agung Sedayu, maka ia melihat Jandon sudah siap untuk menyerang sambil berteriak, “Jangan menyesal Agung Sedayu. Aku akan menagih hutangmu kepada adikku, sekaligus dengan bunganya. Kau akan menderita sebelum kau mati.” Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia meloncat dengan tangkasnya menghindari serangan yang tiba-tiba itu. Sejenak kemudian dihalaman padepokan kecil itu telah terjadi dua lingkaran pertempuran. Sabungsari melawan Kiai Banjar Aking dan Agung Sedayu melawan Jandon, orang terbaik dari perguruan Gunung Kendeng. Dalam pada itu. Gembong Sangiranpun berteriak kepada para pengikutnya yang sudah bersiap, “Hancurkan padepokan ini. Hanya para cantrik yang menyerah dan tidak melawan sajalah yang kalian

beri kesempatan untuk hidup. Tetapi tidak seorangpun boleh keluar dari halaman ini.” Kedua Putut yang ikut serta bersama Gembong Sangiran termangu-mangu. Namun kemudian Gembong Sangiran itu berkata, “Masih ada Widura di padepokan ini. Cari orang itu dan bunuh sama sekali bersama anaknya yang bernama Glagah Putih. Meskipun kekuatan di padepokan ini melampaui perhitungan kita, tetapi kehadiran Jandon yang tidak kita rencanakan, telah membuat padepokan ini tidak berarti sama sekali.” Dalam pada itu, orang-orang Gunung Kendeng segera berpencar. Mereka siap untuk memasuki setiap ruang di padepokan itu. Namun ketika Putut Tanggon naik kependapa, maka terdengar suara dari samping pendapa itu, ”Inilah yang kau cari Ki Sanak.” Putut Tanggon berpaling. Dilihatnya seorang berdiri disebelah pendapa dengan kaki renggang, “Kemarilah. Kita mencari tempat tersendiri.” “Apakah kau Widura?“ bertanya Putut Tanggon. “Ya. Aku Widura.” Putut Tanggon termangu-mangu. Ia melihat beberapa orang berdiri disebelah orang yang menyebut dirinya Widura. Namun iapun kemudian melangkah mendekatinya, sementara beberapa orang lain telah mendekatinya pula. “Aku akan mencari orang-orang padepokan ini dari arah lain,“ berkata Putut Panjer dengan lantang, “jika aku tidak menemukan seseorang, maka aku akan membakar seluruh isi padepokan ini.” “Tunggu,“ berkata Gembong Sangiran, “jangan memanggil orang lain mencampuri persoalan ini. Kita bunuh saja orangorang yang melawan padepokan ini. Baru kita membakarnya.” “Itu bagus sekali,“ yang terdengar adalah suara didalam gelap, “lakukanlah. Aku menunggu kalian disini.” Putut Panjer memperhatikan suara itu dengan saksama. Lamat-lamat ia melihat seseorang berdiri dibalik sebuah gerumbul perdu. “Bagus. Aku kira cantrik padepokan ini cukup jantan untuk mati. Marilah. Aku akan mengantarkanmu kedunia langgeng.” Putut Panjer tidak menunggu lebih lama. Diikuti beberapa orang murid dari Gunung Kendeng maka iapun mendekati arah suara itu. Namun dalam pada itu, para pengikut Sabungsaripun telah berpencar. Merekapun telah bersiap

menghadapi orang-orang Gunung Kendeng. Bagaimanapun juga, namun mereka masih tetap merasa terikat oleh perintah Sabungsari yang menjadi orang terpenting sepeninggal Ki Gede Telengan. Putut Panjer yang kemudian berhadapan dengan seseorang yang berdiri dalam bayangan gerumbul perdu itupun termangu-mangu sejenak. Nampaknya orang itu telah bersiap sepenuhnya untuk bertempur. Ditangannya digenggam sebuah kapak, sementara sebuah perisai berada ditangan kirinya. Karena itu, maka Putut Panjer menjadi ragu-ragu. Apakah benar ia berhadapan dengan seorang cantrik dari padepokan Kiai Gringsing. Jika seorang cantrik yang sudah mulai mapan dalam olah kanuragan, maka yang paling sesuai bagi mereka adalah senjata yang mirip dengan senjata gurunya, sebuah cambuk. Atau senjata yang paling banyak dipergunakan, pedang. Tetapi orang yang berdiri dalam bayangan gerumbul perdu itu bersenjata sebuah kapak yang khusus, yang memang sebuah kapak yang dipersiapkan untuk bertempur. “Siapa kau sebenarnya?” bertanya Putut Panjer. “Aku cantrik dari padepokan ini.“ jawab orang bersenjata kapak itu, “dan kau? Siapa namamu?” “Aku Putut Panjer. Aku heran bahwa cantrik dan padepokan ini bersenjata sebuah kapak,“ desis Putut Panjer. Yang terdengar adalah suara tertawa. Orang bersenjata kapak itu kemudian menjawab, “Aku Putut Wirayuda. Aku termasuk murid tertua dari padepokan ini.” Putut Panjer termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Akupun termasuk Putut yang dipercaya dipadepokan Gunung Kendeng. Mungkin kita akan dapat mengukur, siapakah yang lebih baik. Putut dari Gunung Kendeng, atau Putut dari padepokan orang-orang bercambuk, tetapi bersenjata kapak ini.” Wirayuda mengerutkan keningnya. Namun ia tidak menjawab lagi. Disiapkannya perisainya dan kapaknya untuk menyongsong Putut Panjer yang kemudian menyerangnya dengan garang. Ketika murid-murid yang lain dari Gunung Kendeng membantunya, maka dua orang pengikut Sabungsari telah membantunya pula, sehingga dengan demikian maka telah terjadi beberapa lingkaran pertempuran. Di bagian lain, Putut Tanggon telah bertempur pula melawan Widura. Seperti yang diduganya, meskipun Widura sudah bukan prajurit lagi karena umurnya yang semakin tua, namun dimedan yang garang itu, ia masih tetap seorang yang harus diperhitungkan. Pertempuran kemudian terjadi dimana-mana. Masing-masing menghadapi lawan yang masih harus dijajagi kemampuannya. Sementara Kiai Gringsing dan Gembong Sangiran sendiri masih tetap berdiri sambil memperhatikan arena yang berpencaran. “Aku tidak mengira, bahwa kau mempunyai sekian banyak orang yang dapat membantumu bertempur,

Kiai,“ desis Gembong Sangiran. “Tidak banyak yang dapat mereka lakukan,“ jawab Kiai Gringsing, “namun aku berharap bahwa mereka dapat melindungi diri mereka sendiri.” “Tetapi jumlah orang-orangku lebih banyak,“ berkata Gembong Sangiran, “Selain yang bertempur melawan Agung Sedayu dan Sabungsari, masih ada dua orang Putut yang akan dapat menyapu semua cantrik-cantrikmu.” Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Mudah-mudahan tidak Ki Sanak. Aku juga mempunyai seorang pelindung yang tangguh. Ki Widura. Kau tentu sudah pernah mendengar namanya. Selain Ki Widura, tentu Sabungsari tidak kau perhitungkan, karena kau mengira, bahwa ia masih sakit. Selebihnya, beberapa orang cantrik akan bertahan dengan taruhan nyawanya.” “Mungkin kau tidak menyombongkan diri hal isi padepokanmu. Tetapi yang akan terjadi sebenarnyalah, kematian demi kematian.“ Gembong Sangiran berhenti sejenak, lalu, “tetapi Kiai, apakah tidak ada cara lain yang lebih baik bagi padepokanmu?” “Apakah cara itu?“ bertanya Kiai Gringsing. “Kau, Agung Sedayu, Sabungsari dan Widura, menyerahkan diri dan mengorbankan nyawanya untuk kepentingan para cantrik dipadepokan ini. Karena kematian kalian berarti keselamatan jiwa bagi para cantrik yang lain. Karena jika kami harus mengakhiri perkelahian ini dengan bertempur mati-matian, maka darah kami akan mendidih. Mungkin kami terpaksa membunuh banyak orang yang tidak bersalah sama sekali.” Kiai Gringsing termangu-mangu. Ia memang melihat jumlah orang-orang Gunung Kendeng agak lebih banyak dari orangorang yang sedang mempertahankan padepokan itu. Ki Patrajaya agaknya harus bertempur melawan dua orang Gunung Kendeng, sementara seorang pengikut Sabungsaripun harus berbuat serupa. Sekilas Kiai Gringsing melihat seorang anak muda yang bertempur dengan garangnya. Sambil mengerutkan keningnya ia melihat pertempuran yang keras itu. Ada semacam kecemasan yang menjalar dijantungnya, jika Glagah Putih mengerahkan segenap kekuatannya pada langkah-langkah pertama dari pertempuran itu, maka mungkin sekali ia akan kehabisan tenaga. “Tentu ia sudah mendapat pesan dari ayahnya,“ berkata Kiai Gringsing didalam hatinya, “tetapi ia masih terlalu muda untuk mengekang diri.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk ketika ia melihat dua orang pengikut Sabungsari telah menyatu dalam lingkaran pertempuran melawan tiga orang lawan. Agaknya mereka merasa lebih aman dengan bertempur berpasangan dari pada salah seorang dari mereka harus melawan dua orang sekaligus.

“Kiai,“ berkata Gembong Sangiran yang masih belum mulai menyerang, “aku sebenarnya agak curiga, bahwa yang nampak di arena pertempuran ini adalah cantrik-cantrik dari padepokan Jati Anom ini. Aku melihat bermacam-macam cara dan sikap. Aku juga melihat beberapa sifat yang berbeda.” “Mungkin kau benar,“ jawab Kiai Gringsing, “Ki Widura memang bukan murid Padepokan ini. Sabungsari juga bukan.” “Masih ada yang lain,“ desis Gembong Sangiran yang memiliki penglihatan yang tajam. “Yang mana?“ bertanya Kiai Gringsing. “Setan,“ geram Gembong Sangiran, “apakah kau sudah menjebakku? Tentu aku sudah berhadapan dengan sifat-sifat licik disini. Bahkan mungkin sebentar lagi akan datang sekelompok prajurit Pajang yang khusus dipersiapkan oleh Untara.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia masih memandang berkeliling. Meskipun ada sepercik kecemasan didalam hatinya, namun sama sekali tidak nampak diwajahnya. Orang-orang Gunung Kendeng memang lebih banyak dari orang-orang yang telah bersiaga menunggu mereka dipadepokan itu. Dan Kiai Gringsingpun masih belum mengetahui, apakah orang-orang yang berada di padepokan kecilnya memiliki kemampuan yang akan dapat mengimbangi lawannya, termasuk Sabungsari, Agung Sedayu dan dirinya sendiri. “Kiai,“ terdengar suara Gembong Sangiran yang garang, “kenapa kau masih termangu-mangu saja? Kau tentu menunggu Untara datang dengan pasukannya.” “Tidak Ki Sanak,“ jawab Kiai Gringsing, “aku tidak dapat mengharapkan siapapun juga. Aku tahu, bahwa kau sudah berhasil mengacaukan perhatian siapapun juga dengan memancing kerusuhan itu, sehingga dengan demikian, kami disini tidak dapat lagi membunyikan tengara apapun juga, karena suaranya tentu akan tenggelam dalam gelombang suara titir yang telah bergema diseluruh Kademangan bahkan sampai ke Kademangan tetangga.” “Jadi kau sadari hal itu Kiai?“ bertanya Gembong Sangiran. “Aku sadari,” jawab Kiai Gringsing. “Jika demikian, kenapa kau masih berusaha mengadakan perlawanan? Bukankah kau sudah tahu, bahwa hal itu tidak akan ada gunanya?” “Kami akan mempertahankan diri kami sejauh dapat kami lakukan,“ berkata Kiai Gringsing, “karena itu, bersiaplah Ki Sanak. Mungkin kitapun akan terlibat dalam permainan yang mengasyikkan ini.” “Kau berpendapat demikian?“ bertanya Gembong Sangiran, “sebenarnya aku mengharap bahwa kita tidak perlu bertempur. Aku mengharap kau menyerahkan sisa umurmu dengan ikhlas, karena hal itu

akan terjadi juga, apapun yang kaulakukan.” “Kau sudah tahu, bahwa hal itu tidak akan mungkin terjadi.“ sahut Kiai Gringsing. Gembong Sangiran tertawa. Suaranya semakin lama menjadi semakin tinggi. Katanya, “Baiklah jika kau tidak mau menyerah. Perhatikan untuk yang terakhir kali, apa yang dapat dilakukan oleh muridmu menghadapi muridku yang bernama Jandon, yang telah menyempurnakan ilmunya disepanjang perantauannya.” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ia masih belum mendengar suara cambuk Agung Sedayu. Dan ternyata Agung Sedayu memang belum mempergunakan cambuknya untuk melawan Jandon yang juga tidak bersenjata. “Senjata tidak diperlukan oleh muridku yang seorang itu,“ berkata Gembong Sangiran, “meskipun ia membawanya juga, tetapi ia akan dapat menyelesaikan persoalannya tanpa senjata. Kulit Agung Sedayu tidak akan mampu menahan sentuhan jari-jarinya yang bagaikan lidah api yang menjilat kelaras kering.” Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi terbersit juga kecemasan didalam hatinya. Ia dalam sekilas melihat, betapa perkasanya murid Gunung Kendeng yang bernama Jandon itu. Namun Kiai Gringsingpun tetap berpengharapan, bahwa justru disaat-saat terakhir menjelang peristiwa yang menegangkan itu. Agung Sedayu berusaha mempergunakan waktunya yang sempit untuk menekuni dengan sungguh-sungguh makna kitab Ki Waskita dengan lambaran ilmu yang sudah ada padanya. “Jangan menyesal. Muridmu yang seorang itu akan mati malam ini,” geram Gembong Sangiran. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia melangkah maju mendekati lawannya sambil berkata, “Jika muridku terdesak, adalah kewajibanku untuk melindunginya.” “Kau tidak akan mungkin berkisar dari tempatmu. Sebentar lagi kau akan mati pula. Mungkin lebih cepat dari muridmu.” Kiai Gringsing memperhatikan Gembong Sangiran dengan saksama. Ketika Gembong Sangiran maju selangkah pula, Kiai Gringsing berhenti. Agaknya orang yang menjadi pemimpin tertinggi di Gunung Kendeng itupun akan menyerangnya tanpa senjata. Sejenak Gembong Sangiran berdiri tegak Tiba-tiba saja tangannya bergerak-gerak perlahan-lahan, terangkat kedepan setinggi dadanya. Kiai Gringsingpun kemudian mempersiapkan dirinya. Ia sadar, bahwa lawannya telah bersiap untuk menerkamnya.

Apalagi ketika ia melihat jari-jari tangan Gembong Sangiran itu terkembang. “Jari-jarinya itu tentu berbahaya,“ berkata Kiai Gringsing didalam hatinya. Sekilas ia sempat memandang Jandon yang bertempur dengan Agung Sedayu dalam cahaya obor yang samar-samar. Iapun melihat jari-jari tangan orang itu terkembang. Kiai Gringsing tidak sempat memperhatikannya lebih lama lagi. Sejenak kemudian pemimpin tertinggi dari Gunung Kendeng itu telah meloncat menyerangnya. Sambil menggeram seperti seekor harimau, Gembong Sangiran menerkam lawannya dengan tangan terjulur dan jari-jari terkembang. Tetapi Kiai Gringsing yang telah bersiaga menghadapi segala kemungkinan itupun sempat mengelak. Dengan demikian, maka serangan Gembong Sangiran itu tidak menyentuhnya. Gembong Sangiran memang tidak mengharapkan perkelahian itu selesai dalam sekejap. Namun demikian, dengan garangnya ia memburu loncatan lawannya dengan serangan kaki yang garang dalam ayunan melingkar mengarah lambung. Kiai Gringsing bergeser pula setapak. Namun ia masih harus meloncat menghindari seranganserangan yang kemudian mengejarnya. Dalam pada itu, Sabungsari telah bertempur dengan sengitnya melawan Ki Banjar Aking. Dengan lantang orang Gunung Kendeng yang telah berada di pesisir Lor itu berkata, “Ternyata kau tidak sedang sakit parah. Kau mampu bertempur dengan baik meskipun tidak banyak gunanya.” Sabungsari menggeram. Katanya, “Siapa yang mengatakan aku masih sakit. Bukankah sudah aku katakan, bahwa aku tidak sakit. Aku sudah siap menghadapi siapapun juga yang bakal datang kepadepokan ini untuk menyerahkan nyawanya.” Ki Banjar Aking tidak segera menjawab. Ia harus menghindari serangan Sabungsari yang datang dengan garangnya. Namun kemudian ia berkata, “Aku mengerti Sabungsari. Kau tentu berpura-pura sakit. Kau tentu membuat kesan yang lain, agar perhitungan Ki Gembong Sangiran tentang kekuatan di padepokan ini keliru.” “Lalu, apakah sebenarnya memang demikian?“ bertanya Sabungsari, “apakah kalian sudah merasa bahwa perhitungan kalian keliru?” “Ya,“ jawab Banjar Aking sambil menyerang, “kami memang merasa salah hitung. Tetapi karena kekuatan kami memang sudah berlebihan, maka padepokan ini tetap akan musna. Satu hal yang ada diluar perhitungan kami pula, selain kau sebenarnya sudah tidak sakit lagi. Pada saat terakhir tiba-tiba saja Jandon datang kepadepokan kami dan menyatakan diri untuk ikut serta datang kepadepokan ini. Ialah yang paling berkepentingan untuk membunuhmu dan Agung Sedayu. Mungkin, ia akan melakukannya. Karena itu, aku akan memberikan kepuasan kepadanya. Aku hanya akan menahanmu dalam perkelahian yang tidak menentukan.

Setelah Agung Sedayu terbunuh oleh Jandon, maka aku akan menyerahkan kau kepadanya yang hatinya membara karena dendam. Aku akan mencari lawan lainnya. Mungkin Widura. Mungkin orang lain. Mungkin aku dapat membantu Kiai Gembong Sangiran untuk membunuh Kiai Gringsing atau bahkan orang tua dipadepokan ini akan terbunuh lebih dahulu dari Agung Sedayu.” Sabungsari tidak menjawab lagi. Iapun bertempur semakin garang. Meskipun demikian kedua belah pihak nampaknya masih terlalu berhati-hati. Mereka masih berusaha menyembunyikan kemampuan mereka yang sebenarnya sehingga pada saatnya mereka akan dapat mengakhiri pertempuran dengan membunuh lawannya. Demikian pula Agung Sedayu yang bertempur melawan Jandon. Agaknya ia masih sangat berhati-hati. Ia sadar, bahwa Jandon tentu memiliki kelebihan dari adiknya. Bahkan mungkin Jandon memang seorang yang tidak ada bandingannya. Orang-orang Gunung Kendeng nampaknya sangat hormat kepadanya, meskipun ia juga murid dari perguruan itu. Namun perantauan yang dilakukannya, agaknya telah memberikan pengalaman dan kemampuan yang banyak sekali, sehingga ia telah melampaui segala murid yang pernah menyadap ilmu dari perguruan Gunung Kendeng. Tetapi Jandonpun harus berhati-hati pula. Namun agak berbeda dengan Agung Sedayu. Jandon merasa bahwa dirinya memang seorang yang tidak terkalahkan. Ia merasa memiliki ilmu yang lengkap, jauh lebih baik dari adiknya yang terbunuh. Padahal adiknya telah mampu melukai Sabungsari. Jika ia bertempur melawan Agung Sedayu, maka pasti ada satu kesalahan yang telah dilakukan oleh adiknya. Mungkin ia terlalu merendahkan lawannya, sehingga ia menjadi lengah. Meskipun demikian bukan berarti Jandon mengabaikan sama sekali murid padepokan kecil itu. Ia sudah pernah mendengar nama orang bercambuk, guru dan kedua muridnya. Karena itu, maka iapun merasa wajib untuk berhati-hati, meskipun dengan penuh keyakinan ia merasa akan berhasil membunuh Agung Sedayu dan kemudian Sabungsari. Dalam beberapa saat kemudian. Agung Sedayu mulai merasakan, betapa berat kemampuan ilmu lawannya. Agaknya Jandon memiliki kemampuan yang sangat besar, tenaga yang sangat kuat dan kecepatan bergerak bagaikan burung srikatan. Apalagi Agung Sedayupun mengerti, bahwa Jandon masih belum sampai kepuncak ilmunya. Ia masih berusaha untuk mengerti, bagaimana ia harus menghadapi Agung Sedayu. Beberapa kali Agung Sedayu memang sudah terdesak. Beberapa kali Agung Sedayu harus berloncatan menjahui lawannya untuk memperbaiki kedudukannya. Namun sementara itu, Jandonpun tidak tergesa-gesa. Ia mengerti, bahwa mungkin ia memerlukan waktu yang panjang

untuk menyelesaikan Agung Sedayu sehingga ia memerlukan tenaganya untuk waktu yang agak lama. “Tetapi tentu tidak terlalu lama. Betapapun tinggi ilmu anak ini, aku akan menghancurkannya. Jika ia mampu bertahan terlalu lama, aku terpaksa menghancurkannya dengan ilmu dari hutan Larakan diujung hutan Roban,“ berkata Jandon didalam hatinya. Namun agaknya Jandon masih menyimpan ilmu puncaknya itu. Ia masih berusaha untuk mengalahkan Agung Sedayu dengan ilmu sewajarnya, meskipun ia sudah mulai mengalirkan tenaga cadangannya. Sementara itu, Ki Widurapun sudah terlibat kedalam pertempuran yang sengit. Sementara Glagah Putih dengan sepenuh tenaga berusaha mendesak lawannya. Dibagian lain dari halaman padepokan itu, pertempuran benar-benar telah menyala. Orang-orang Gunung Kendeng memang lebih banyak dari orang-orang padepokan kecil diujung Kademangan Jati Anom itu. Bahkan kelebihan dari mereka, masih ada yang berkeliaran di sebelah menyebelah, sehingga akhirnya mereka menemukan barak para cantrik. Dua orang murid dari Gunung Kendeng yang masih belum memiliki banyak kelebihan itu telah mengamat-amati barak para cantrik. Mereka melihat lampu menyala. Mereka melihat pintu tertutup. Namun kemudian mereka mendengar suara dari balik pintu yang tertutup itu. “Gila,“ geram salah seorang dari kedua orang Gunung Kendeng itu, “masih ada orang didalam barak. Orang yang tidak kita ketahui, siapakah sebenarnya mereka.” “Kita pecahkan pintu,“ desis yang lain, “kita akan mengetahui siapakah mereka.” “Jangan memancing semut api bubar dari sarangnya. Kau akan terpaksa menyingkir. Meskipun satu demi satu dapat kau tepuk sampai mati dalam sekejap tanpa kesulitan apapun juga, tetapi jika mereka sama-sama keluar dari sarangnya, maka kau akan kebingungan.” “Jadi?” “Biarkan saja mereka disana. Mereka tidak melakukan apa-apa. Bahkan membunyikan tengarapun tidak.” “Lalu apa yang akan kita kerjakan?“ bertanya kawannya. “Kita membantu kawan-kawan kita. Kita bersama-sama membunuh seorang demi georang dari para penghuni ini. Kita tidak sedang berperang tanding, sehingga kita tidak harus bertempur seorang demi seorang.” “Kawan-kawan kita sebagian sudah bertempur berpasangan. Kita tidak peduli, apakah kita dianggap licik atau tidak. Semua orang memang harus melibatkan diri.” Kedua orang itupun kemudian mengurungkan niatnya untuk memasuki barak para cantrik yang gelisah dibagian belakang padepokan kecil itu. Merekapun segera menggabungkan diri dengan kawan-kawan mereka yang telah bertempur lebih dahulu, sehingga dengan demikian, maka orang-orang dari

padepokan Jati Anom itu harus menghadapi jumlah yang lebih banyak lagi. Tetapi mereka bukanlah cantrik-cantrik seperti yang diduga oleh orang-orang Gunung Kendeng. Mereka tidak mengira bahwa dipadepokan itu terdapat Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda yang dipasang oleh Untara untuk membantu kesulitan seperti yang terjadi saat itu. Ternyata bahwa Putut Panjer yang berhadapan dengan orang yang mengaku seorang Putut dan bersenjata kapak itu menjadi berdebar-debar. Tenaga orang itu ternyata sangat besar, serta kecepatannya bergerakpun sangat mengagumkan. “Putut padepokan Jati Anom memang mendebarkan jantung,“ berkata Putut Panjer, “tetapi aku masih merasa aneh dengan jenis senjatamu.” “Jangan bicara tentang senjata,“ berkata orang yang menyebut dirinya Putut dari padepokan Kiai Gringsing itu, “para cantrik di Jati Anom dapat mempergunakan senjata apa saja.” “Tetapi seharusnya senjata yang paling dekat adalah sebuah cambuk,“ desis Putut Panjer. “Jangan hiraukan apakah aku membawa cambuk, kapak atau tiba-tiba saja aku melepaskan senjataku sama sekali dan bertempur dengan tangan meskipun lawannya bersenjata.” Putut Panjer tidak menjawab lagi. Dengan segenap kemampuannya ia bertempur melawan orang bersenjata kapak yang menyebut dirinya seorang Putut itu. Tetapi sebenarnyalah bahwa Ki Lurah Wirayuda adalah seorang petugas sandi yang memiliki kelebihan. Ia adalah orang yang tidak banyak dikenal justru karena tugasnya. Para prajurit Pajangpun tidak banyak yang mengenalnya sebagai seorang petugas yang khusus dan mendapat kepercayaan dari Untara, sehingga karena itulah, maka Ki Lurah Wirayuda bersama Ki Lurah Patrajaya telah ditarik oleh Untara untuk tugas khususnya ditempat yang seolah-olah terasing dari kegiatan para prajurit Pajang yang lain. Dengan demikian, maka beberapa saat kemudian mulai nampak, bahwa senjata kapak Ki Lurah Wirayuda telah membingungkan lawannya. Dengan perisai ditangan kiri, Ki Lurah Wirayuda mampu melindungi dirinya, seolah-olah perisai itu telah menutup seluruh tubuhnya. Tidak ada kesempatan sama sekah bagi lawannya, Putut Panjer, untuk menembus perisai yang karena kecepatan geraknya, dapat melindungi segenap bagian tubuh Ki Wirayuda itu. “Senjata yang paling gila yang pernah aku jumpai,“ berkata Putut Panjer didalam hatinya. Namun Putut Panjer masih belum kehilangan kesempatan.

Iapun kemudian mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengatasi senjata lawannya yang aneh itu dirangkapi dengan sebuah perisai untuk melindungi dirinya. Dibagian lain dari arena pertempuran yang berpencar itu, Widura telah bertempur melawan seorang Putut pula dari Gunung Kendeng. Meskipun sudah lama Widura seakan-akan telah meletakkan senjatanya, namun ia masih tetap Widura yang pernah memimpin sepasukan prajurit di Sangkal Putung yang berhadapan dengan pasukan Jipang dibawah pimpinan Tohpati sebelum Untara datang. Ia masih tetap seorang yang garang dengan ilmunya yang dahsyat. Karena itulah, maka Putut Tanggonpun segera merasakan tekanan yang berat dari bekas Senapati Pajang yang telah menyisihkan diri dari lingkaran keprajuritan itu. Tetapi Putut Tanggonpun memiliki pengalaman yang luas dalam olah senjata. Ia pernah menghadapi berbagai jenis senjata dan ilmu, sehingga dengan demikian, maka iapun berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kemampuan lawannya, bukan saja dengan kecepatan bergerak dan kekuatan tenaganya. Tetapi juga dengan cara dan akal yang didasari atas pengalaman tetapi juga kelicikannya. Itulah sebabnya, maka Widura harus berhati-hati. Ternyata Putut Tanggon bertempur dengan loncatanloncatan panjang. Kadang-kadang justru ia telah dengan sengaja memancing lawannya berkisar dari arena. Namun kemudian dengan tibatiba ia telah berusaha untuk mendesaknya kearah yang diperhitungkannya, dengan baik. Mula-mula Widura tidak begitu menghiraukannya. Tetapi ketika tiba-tiba saja terasa kakinya menyentuh rerumputan yang dikenalnya baik-baik, karena kadang-kadang ia ikut menyiramnya dimusim kering, barulah ia sadar, bahwa lawannya telah memancingnya dan mendesaknya kearah kolam disebelah kebun bibit di halaman samping. “Ia akan berusaha menjebakku kedalam kolam,“ desis Widura didalam hatinya. Tetapi ia lebih mengenal tempat itu daripada lawannya. Apalagi mereka sudah keluar dari sinar lampu minyak sehingga kegelapan malam rasa-rasanya menjadi bertambah pekat. “Tetapi mata orang itu cukup tajam,“ berkata Widura kepada diri sendiri. Namun Widurapun bukannya seorang yang tidak dapat mempergunakan akalnya. Ia masih belum nenentukan sikap. Tetapi ia sudah cukup mengerti, bahwa lawannya akan mendesaknya sehingga ia dapat tergelincir kedalam kolam. Sementara itu, Glagah Putih ternyata bukan lagi anak-anak yang mulai belajar mengenal hulu senjata. Ketekunannya bukanlah kerja yang sia-sia. Demikian ia menghadapi lawannya, maka iapun telah mengerahkan segenap kemampuannya. Anak itu memang agak tergesa-gesa. Tetapi ia sudah sedemikian ingin mengukur puncak dari

kemampuannya dalam pertempuran yang sebenarnya setelah ia menempa diri dengan tidak mengenal waktu. Itulah sebabnya, sejak benturan senjata yang pertama, lawannya segera merasa betapa anak muda itu memiliki kecepatan dan kekuatan bergerak yang mengagumkan. Glagah Putih memang mampu membuat lawannya menjadi bingung. Tetapi ketika datang seorang lagi yang bergabung dengan lawannya, maka keseimbangan pertempuran itupun telah berubah. Betapapun juga, namun Glagah Putih masih terlalu muda pengalamannya. Karena itu, maka ketika ia harus bertempur melawan dua orang sekaligus, maka ia mulai mengalami kesulitan. Hanya karena latihan yang sangat berat yang pernah dilakukan sajalah, maka ia masih tetap dapat bertahan, betapapun berat tekanan yang dialaminya. Ki Lurah Patrajaya yang bertempur tidak terlalu jauh dari anak muda itupun melihat kesulitan yang mulai menekan Glagah Putih. Namun ia tidak segera dapat membantunya, karena ia sendiri harus bertempur melawan dua orang pula. Sejenak Ki Lurah Patrajaya melihat medan disekelilingnya. Beberapa orang pengikut Sabungsaripun telah terlibat dalam pertempuran yang berat pula. Dua orang yang bertempur berpasangan, harus melawan tiga orang murid dari Gunung Kendeng. Namun dalam pada itu, meskipun dalam kehidupan sehari-hari mereka dengan susah payah mencoba menyesuaikan diri, ketika tekanan-tekanan yang berat mulai mengancam keselamatan mereka, maka diluar sadar, tumbuhlah sifat dan kebiasaan mereka. Semakin lama merekapun bertempur semakin kasar, mengimbangi kekasaran orang-orang Gunung Kendeng. Bahkan ketika orang-orang Gunung Kendeng mulai berteriak, maka para pengikut Sabungsaripun telah berteriak pula tidak kalah kerasnya. Putut Tanggon yang bertempur melawan Widura terkejut melihat sikap dan cara para pengikut Sabungsari itu bertempur. Semakin lama justru semakin kasar. Hampir diluar sadarnya, Putut Tanggon itupun berdesis, “Cantrik-cantrik Jati Anom ini ternyata jauh berbeda dengan yang aku bayangkan.” “Kenapa?“ bertanya Widura sambil bertempur. “Mereka mempunyai sifat dan watak yang jauh berbeda dari yang aku duga. Ternyata bahwa padepokan ini merupakan padepokan yang tidak berbeda dengan padepokan kami di Gunung Kendeng, meskipun seolah-olah orang-orang padepokan ini adalah orang-orang yang baik, yang bersifat lembut dan baik hati. Tetapi dalam keadaan yang memaksa kita masing-masing menunjukkan sifat-sifat kita, maka nampaklah betapa kasarnya orang-orang dari padepokan ini,“ berkata Putut Tanggon sambil bertempur. Widura tidak menjawab. Sebenarnyalah bahwa iapun mulai terganggu karena para pengikut

Sabungsari telah bertempur dengan caranya. Namun Widurapun menyadari, tanpa mereka, maka orang-orang dari padepokan kecil itu akan segera mengalami kesulitan. Karena bagaimanapun juga, empat orang pengikut Sabungsari itu dengan caranya telah bertempur dengan garang sekali, meskipun terlalu kasar dan keras. Namun dalam pada itu, Widura masih harus memperhitungkan keadaan dirinya sendiri. Ternyata bahwa Putut Tanggon tidak dapat mendesaknya sesuai dengan yang diinginkannya. Widura yang menyadari, bahwa ia sudah berada tidak jauh dari sebuah belumbang, justru berpikir seperti yang dipikirkan oleh lawannya. “Akulah yang akan mendesaknya masuk kedalam kolam,“ berkata Widura didalam hatinya. Sementara Widura bekerja keras untuk mendesak lawannya, maka Glagah Putih terpaksa berloncatan surut. Bahkan sekah-sekali ia harus menghindar dengan langkah-langkah panjang dan jauh. Tetapi kesulitan itu justru telah membakar jantung Glagah Putih. Dengan demikian ia merasa, bahwa ilmunya benar-benar sedang diuji, justru untuk menghadapi dua orang lawan. Ki Lurah Patrajayalah yang sekali-sekali sempat memperhatikan anak muda itu, sehingga justru karena itulah maka iapun menjadi gelisah. Pengamatannya yang tajam segera mengetahui, bahwa Glagah Putih telah mengalami kesulitan menghadapi dua orang lawannya. “Jika anak itu tidak segera mendapat bantuan, maka ia akan menjadi korban yang pertama kali dari kehadiran orangorang Gunung Kendeng ini,“ berkata Ki Lurah Patrajaya kepada diri sendiri. Karena itu, maka iapun kemudian telah menghentakkan kemampuannya. Sebagai seorang kepercayaan Untara, maka iapun segera dapat menempatkan dirinya. Dua orang lawannyalah yang kemudian telah berhasil didesaknya. “Aku harus berlomba dengan waktu. Aku lebih dahulu yang dapat mengalahkan lawanku, atau dua orang Gunung Kendeng itulah yang lebih dahulu dapat mematahkan perlawanan Glagah Putih,“ berkata Ki Lurah itu pula didalam hatinya. Namun Ki Lurah itupun menyadari, bahwa Ki Widura tidak sempat melihat perkelahian anaknya karena jarak mereka menjadi semakin jauh, apalagi karena Ki Widura telah terpancing sampai ketepi kolam, meskipun akhirnya ia menyadari kedudukannya. Selagi Ki Lurah Patrajaya berjuang untuk mematahkan perlawanan kedua lawannya, agar ia dapat membantu Glagah Putih, maka dibagian lain dari halaman padepokan kecil itu, Sabungsari telah bertempur dengan sengitnya melawan Ki Banjar Aking, yang telah meninggalkan padepokan Gunung Kendeng dan tinggal dipesisir Lor. Ternyata bahwa Sabungsari yang dianggapnya masih dalam keadaan sakit itu, benar-benar merupakan seekor harimau yang sangat garang. Jika semula Ki Banjar Aking menganggap bahwa ia akan dapat menguasai lawannya dengan mudah, karena keadaannya, meskipun ia mengatakan bahwa luka-lukanya

telah sembuh, namun ternyata bahwa kelengahannya itu hampir saja menyeretnya kedalam kesulitan yang parah, justru pada permulaan dari pertempuran itu. “Anak gila,“ geram Ki Banjar Aking, “itulah agaknya bersama Agung Sedayu ia telah dapat membunuh dua orang kepercayaan Ki Gembong Sangiran.” Karena itulah, maka untuk selanjutnya, Ki Banjar Aking tidak akan membiarkan dirinya dihancurkan lebih dahulu oleh Sabungsari. Dengan sangat hati-hati, ia mulai menjajagi kemampuan Sabungsari. Namun dalam pada itu, maka keduanya semakin lama telah terhbat dalam perkelahian yang semakin sengit. Ilmu mereka masing-masing perlahan-lahan telah meningkat selapis demi selapis. Sehingga akhirnya, mereka sampai pada suatu kenyataan tentang lawan mereka. Ternyata bahwa masing-masing adalah benar-benar orang yang pilih tanding. Orang yang memiliki kelebihan dari orang lain. Anak Ki Gede Telengan yang pernah membunuh Carang Waja itu salah seorang murid Gunung Kendeng itu merasa, bahwa lawannya yang dihadapinya itu memang seorang lawan yang sangat berat baginya. Dalam pada itu, selagi di padepokan kecil itu terjadi pertempuran yang sengit dan mencemaskan, maka beberapa orang prajurit yang dikirim oleh Untara kearah suara kentongan, diluar dugaan dan kebetulan saja, telah bertemu dengan empat orang yang dengan tergesagesa meninggalkan padukuhan yang sedang sibuk karena api yang masih belum terkuasai. Sebagai prajurit, maka segera mereka mehhat kelainan pada keempat orang itu. Sehingga dengan curiga, maka salah seorang prajurit itupun menegurnya, “Siapakah kalian?” Keempat orang itu termangu-mangu. Namun kemudian yang seorang menjawab, “Kami orang-orang Jati Anom.” “Siapa? Aku mengenal hampir setiap orang Jati Anom,“ sahut prajurit itu, “sebut namamu.” Keempat orang itu tidak segera dapat menjawab. Namun agaknya mereka tidak mendapat kesempatan lagi untuk mengelak. Apalagi prajurit yang mereka jumpai hanya dua orang saja. Maka salah seorang dari mereka berkata, “Kalian adalah prajurit yang malang. Pergilah. Jika tidak, maka nyawamu akan melayang.” Kedua prajurit yang memang sudah curiga itu bergeser surut. Tetapi mereka tidak melarikan diri. Dengan serta merta mereka telah menarik pedang sambil berkata, “Jangan menghina kami. Kami adalah prajurit yang sedang bertugas. Menyerahlah, sebelum kami mengambil tindakan kekerasan.”

“Kau hanya berdua. Apa yang dapat kalian lakukan atas kami? “bertanya salah seorang dari keempat orang itu. “Kami memang hanya berdua. Tetapi disekeliling tempat ini tersebar beberapa orang prajurit yang sedang menuju ketempat kebakaran itu. Dua tiga orang dari mereka tentu akan melalui jalan ini pula,“ berkata salah seorang prajurit itu. “Mungkin. Tetapi setelah kalian terbunuh disini,“ geram salah seorang dari keempat orang yang ducurigai itu. Tetapi prajurit-prajurit itu tidak menjawab lagi. Mereka tiba-tiba saja telah menyerang keempat orang yang mereka curigai itu. Mereka menganggap bahwa keempat orang itu terlibat langsung dalam kebakaran yang telah terjadi. Tetapi keempat orang itu ternyata cukup tangkas. Merekapun segera berpencar dan justru merekapun telah mengepung kedua prajurit yang menyerang mereka itu. Kedua prajurit itu terkejut. Ternyata keempat orang itu memiliki ilmu yang cukup menggetarkan jantung mereka. Dengan loncatan-loncatan yang cepat keempat orang itu sudah berada didalam libatan pertempuran yang sangat membahayakan jiwa mereka. Namun dalam pada itu, perkelahian itu tidak segera dapat diakhiri oleh keempat orang itu. Kedua prajurit itu ternyata memiliki kemampuan yang tinggi pula. Mereka mampu bertahan dengan ilmu pedang yang cukup garang. “Gila,“ geram salah seorang perampok, “bunuh mereka secepatnya.” Tetapi usaha untuk membunuh kedua prajurit itu telah terbentur pada perlawanan yang sangat gigih. Kedua prajurit itu sama sekali tidak menyerah menghadapi kenyataan, bahwa keempat orang itu tidak akan dapat mereka kalahkan. Namun dalam pada itu, ternyata didalam kekisruhan suara kentongan yang bergema diseluruh Kademangan dan sekitarnya, maka jalan-jalanpun menjadi tidak sesunyi saat-saat yang lain. Masih saja ada sekelompok orang yang dengan tergesa-gesa menuju ke padukuhan yang diwarnai oleh merahnya nyala api yang bagaikan menjilat langit. Karena itu, maka orang-orang itupun segera tertegun melihat perkelahian yalig sedang terjadi. Bahkan sejenak kemudian beberapa orang yang bersenjata telah mendekat sambil mengacukan senjata mereka. “Mereka harus ditangkap,“ geram salah seorang prajurit yang sedang bertempur itu. “Siapakah mereka?“ bertanya orang yang baru datang itu.

“Aku tidak tahu. Tetapi mereka sangat mencurigakan. Mereka tentu terlibat dalam kebakaran yang terjadi itu,“ jawab prajurit yang masih saja bertempur itu. Orang-orang itupun kemudian segera melibatkan diri, meskipun salah seorang dari keempat orang perampok itu berteriak, “Siapa yang melibatkan diri berarti mati.” Namun dalam pada itu, beberapa orang bersenjata itu tidak menyingkir. Dengan garangnya merekapun beramai-ramai melibatkan diri melawan keempat orang yang ternyata adalah para perampok yang sedang menyingkir dari padukuhan yang terbakar itu. Tetapi melawan orang yang jumlahnya terlalu banyak, mereka tidak akan dapat bertahan terlalu lama. Karena itu, maka salah seorang dari merekapun segera bersuit nyaring, memberikan isyarat kepada kawan-kawannya agar mereka melarikan diri. Isyarat itu tidak perlu diulangi. Keempat orang itupun kemudian dengan senjata yang berputar ditangan mereka, telah menerobos kepungan dan berusaha untuk meninggalkan lawan-lawannya. Tetapi kedua prajurit itu tidak membiarkan mereka terlepas. Demikian keempat orang itu berlari kedalam kegelapan, maka salah seorang prajurit itu dengan tangkasnya menarik sebuah pisau belati kecil dan segera melontarkan kepada salah seorang dari keempat orang itu. Yang terdengar adalah sebuah keluhan. Meskipun beberapa puluh langkah, orang itu masih berlari, tetapi akhirnya orang itupun terjatuh dipematang. Beberapa orang segera memburunya. Dengan kemarahan yang sangat, mereka hampir saja membunuh orang itu. Namun kedua prajurit itu segera mencegahnya. “Kita perlu mendapat keterangan daripadanya. Kita bawa orang ini ke Jati Anom. Ia harus segera dihadapkan kepada Ki Untara yang gelisah,“ berkata salah seorang prajurit. Dengan tergesa-gesa merekapun segera berusaha untuk mendapatkan kuda dipadukuhan terdekat. Meskipun jarak induk Kademangan tidak begitu jauh, namun membawa seorang yang terluka tentu akan memerlukan waktu yang panjang, jika mereka harus berjalan kaki. Sejenak kemudian, maka kedua prajurit itupun telah berderap diatas punggung kuda bersama orang yang terluka itu. Meskipun orang itu telah menjadi semakin lemah, namun kedua prajurit itu harus berhati-hati. Mungkin kawan-kawannya tiba-tiba saja telah menyergapnya, untuk membebaskan kawannya yang tertangkap. Tetapi sampai saatnya mereka memasuki rumah Untara, mereka tidak mendapat hambatan apapun juga.

Kedatangan kedua prajurit yang membawa tawanan itu telah mengejutkan Untara yang gehsah, yang sedang berbincang dengan orang-orang kepercayaannya. Bahkan Untara sedang membicarakan untuk memerintahkan dua orang diantara mereka, mengamati keadaan padepokan kecil itu. “Tidak mustahil bahwa segalanya ini telah diatur sebaik-baiknya oleh Ki Pringgajaya atau orangorangnya yang diperintahkannya,“ berkata Untara. Orang orang yang ikut serta dalam pembicaraan yang terbatas itupun membenarkannya, sehingga karena itu, maka merekapun bersepakat mengirimkan dua orang untuk melihat keadaan dipadepokan itu. Namun pada saat itulah, dua orang prajurit datang membawa seorang tawanan yang terluka. “Siapakah orang itu?“ bertanya Untara. “Kami menangkapnya dibulak sebelah. Mereka ndmpak mencurigakan dan datang dari arah kebakaran,“ berkata prajurit yang menangkapnya. Dengan singkat iapun menceriterakan apa yang telah terjadi dengan prajurit yang terluka itu. Untara mengangguk-angguk. Iapun kemudian menyuluruh salah seorang dari kepercayaannya itu untuk mencoba menolong sedapat-dapatnya agar luka orang itu tidak bertambah parah, sementara ia memerlukan orang itu untuk memberikan keterangan tentang dirinya dan tentang tugas yang harus dilakukannya. Setelah pada luka itu ditaburkan obat untuk memampatkannya, maka mulailah Untara bertanya kepadanya, siapakah ia sebenarnya dan apakah yang telah dilakukannya. Untuk beberapa saat lamanya, orang itu berusaha untuk tidak mengatakan sesuatu. Ia mencoba untuk mengingkari segalanya yang telah dilakukannya. “Baiklah,“ berkata Untara, “jika ia tidak mau mengatakan sesuatu bawalah orang itu ketempat kebakaran itu terjadi. Lepaskan ia diantara orang-orang yang sedang marah sebagai salah seorang yang telah melakukan kejahatan yang mengakibatkan kebakaran itu terjadi.” “Jangan,“ tiba-tiba orang itu memohon. “Itu akan lebih baik bagimu. Kau akan berhadapan dengan orang-orang yang marah, yang tidak lagi dapat mengendalikan diri. Mungkin kau akan diikat dan dilemparkan pula kedalam api yang menyala itu. Atau kau akan mengalami nasib lebih buruk dari kentongan yang dipukul dengan nada titir itu,“ desis Untara pula. Betapapun ia mencoba bertahan, namun ketika tiba-tiba dengan keras Untara memerintahkan agar orang itu dibawa saja ketempat kebakaran, maka sekali lagi orang itu memohon, “Jangan, jangan bawa aku kesana.”

“Ada dua pilihan,“ berkata Untara, “kau dilemparkan kepada orang-orang yang sedang marah itu, atau kau harus berbicara.” Orang itu merenung sejenak. Tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Sehingga karena itu, maka iapun berkata, “Aku akan berbicara sepanjang aku mengetahuinya.” “Katakan apa yang kau ketahui tentang dirimu dan apa yang telah kau kerjakan,“ geram Untara. “Aku hanya menjalankan perintah untuk merampok dan membakar rumah itu,“ jawab orang yang terluka itu. “Siapa yang memerintahkan itu?“ bertanya Untara. “Gembong Sangiran. Pemimpin tertinggi dari padepokan Gunung Kendeng,“ jawabnya. “Apalagi yang sedang dilakukan oleh Gembong Sangiran sekarang ini,“ desak Untara. “Aku tidak tahu. Aku hanya menjalankan perintah. Yang aku ketahui adalah perintah yang harus aku lakukan,“ jawab orang itu. “Dalam hubungan apa? Jawab pertanyaanku. Kenapa kau harus merampok dan membakar rumah itu?“ Untara hampir kehilangan kesabaran. “Aku tidak tahu.” Tiba-tiba saja Untara meloncat menangkap lengan orang itu. Katanya, “Kau sudah terluka. Aku masih tetap pada pendirianku untuk melemparmu kepada orang-orang yang marah itu jika kau tidak berbicara. Jangan kau kira beihwa aku hanya menakut-nakutimu. Tetapi aku benar-benar akan melakukannya, karena dengan demikian aku akan dapat mencuci tangan seandainya kerangka mayatmu diketemukan didalam api, bahwa yang melakukan itu adalah orang-orang yang marah. Bahkan prajurit Pajang di Jati Anom.” “Jangan, aku mohon, jangan.” “Jika kau mau berbicara, aku akan mempertimbangkan lagi.” “Tetapi aku benar-benar tidak mengetahui apapun juga. Aku hanya menjalankan perintah. Tidak lebih dan tidak kurang.” Untara menggeretakkan giginya. Tiba-tiba saja ia berkata kepada seorang prajurit, “Lakukan. Kau hanya menjalankan perintahku. Kau tidak perlu tahu sebab dan akibatnya. Bawa orang ini dan serahkan kepada orang-orang yang marah ditempat kebakaran itu. Mereka tentu sedang sibuk memadamkan api yang menelan rumah yang besar dan seluruh isi dan perabotnya itu.” “Tidak, tidak, “ orang itu hampir berteriak.

“Kau membuat aku jengkel dan kehilangan kesabaran,“ geram Untara. “Ya, baiklah. Aku mengerti, bahwa pada saat ini, beberapa orang telah mendatangi padepokan kecil selagi Kademangan Jati Anom dicengkam oleh kekisruhan akibat kebakaran itu.” Untara menarik nafas. Katanya, “Benar telah dilakukannya. Karena itu, lakukan tugas kalian yang telah aku tentukan.” Yang kemudian bersiap untuk berangkat bukan hanya dua orang, tetapi keempat orang yang memang sudah dipersiapkan oleh Untara. “Hati-hatilah. Mungkin orang-orang Pringgajaya telah melibatkan diri pula, sehingga kau harus berbuat sesuatu sebelum kau sampai di padepokan itu. Berikan isyarat jika perlu. Tidak dengan kentongan, tetapi dengan panah sendaren.” Sejenak kemudian maka empat ekor kuda telah berderap meninggalkan rumah Untara menuju kepadepokan kecil yang sedang di cengkam oleh ketegangan yang memuncak. Tetapi sebenarnyalah bahwa para pengikut Ki Pringgajaya telah bergerak pula. Meskipun menurut pembicaraan yang telah diadakan oleh Ki Pringgajaya dan orang-orang Gunung Kendeng, bahwa hanya orang-orang Gunung Kendeng sajalah yang akan memasuki padepokan itu dan membunuh orangorang yang sudah ditentukan, namun beberapa orang pengikut terpercaya dari Ki Pringgajaya harus mengawasinya dari luar, jika ada pihak lain yang ikut campur dalam persoalan itu, merekalah yang akan mencegahnya. Seperti juga para prajurit diparondan, yang sama sekali tidak berusaha untuk melihat suasana yang sebenarnya, bahkan telah ikut pula mengaburkan isyarat kentongan dengan isyarat kebakaran dan perampokan. Maka beberapa orang prajurit pengikut Ki Pringgajaya telah siap pula untuk menghambat orang-orang yang berpacu dari rumah Untara yang memang sudah mereka perhitungkan. Karena itulah, maka ketika keempat orang berkuda itu sampai di bulak, mendekati padepokan itu, mereka telah ditunggu oleh beberapa orang yang berusaha mengaburkan wajah mereka dengan berbagai cara. Ada yang menutup wajah mereka dengan ikat kepala, atau dengan kain berwarna putih atau dengan cara apapun juga. Namun dalam pada itu, keempat orang berkuda itupun telah memperhitungkan kemungkinan itu pula. Karena itu, maka merekapun tidak terlalu terkejut ketika mereka melihat beberapa orang menghentikan mereka dibulak dekat dengan padepokan yang sedang dibakar oleh api pertempuran itu. “Siapakah kalian?“ bertanya salah seorang dari keempat prajurit itu. “Kalian tidak perlu mengetahui siapa kami. Sebaiknya kalian kembali saja ke Jati Anom. Bukankah

kau prajurit Pajang di Jati Anom.” “Ya, aku memang prajurit Pajang di Jati Anom seperti kalian. Tetapi kami mengemban tugas dari Senapati kami. Tidak seperti yang sedang kalian lakukan sekarang.” Orang-orang yang menghentikan para prajurit itu terkejut. Salah seorang bertanya, “Apakah kalian menyangka bahwa kami juga prajurit Pajang di Jati Anom?” “Jika tidak, kalian tidak akan mengaburkan wajah-wajah kalian,“ jawab salah seorang dari prajurit berkuda itu. “Persetan dengan igauanmu. Kembali atau kalian akan mati disini sebelum kalian melihat apa yang terjadi dipadepokan itu.“ bentak seseorang dari mereka yang bertutup kain pada wajahnya. “Kami akan berusaha untuk membunuh salah seorang dari kalian, agar kami dapat membuktikan bahwa kalian adalah prajurit-prajurit seperti kami, tetapi bahwa kalian sudah sesat dan meninggalkan darma seorang kesatria, maka kalian harus dihukum,“ berkata salah seorang prajurit berkuda itu. “Jangan terlalu berbaik hati terhadap isi padepokan itu. Meskipun salah seorang dari mereka adalah adik Untara. Bahkan karena itulah maka kalian adalah pejuang yang sia-sia. Kalian akan bertempur tidak karena darma seorang kesatria. Tetapi kalian sudah diperalat oleh Untara untuk melindungi adiknya yang terlibat dalam persoalan pribadi. Adalah berlebihan jika kalian harus mengorbankan nyawa kalian untuk kepentingan Agung Sedayu. Jika kalian berjuang untuk Pajang, maka kematian kalian masih dapat dihormati. Tetapi kematian yang kalian hadapi sekarang adalah kematian yang sia-sia saja.” “Jangan menganggap aku kanak-kanak. Aku mengerti apa yang kalian lakukan,“ jawab prajurit berkuda itu, “sedangkan siapapun orangnya yang terancam kejahatan, adalah termasuk kewajiban kami. Apakah ia seorang petani, seorang pedagang atau seorang adik Senapati.” “Persetan,“ geram orang yang bertutup kain putih pada wajahnya, “jika kalian tidak mendengarkan peringatan kami, maka kahan akan kami bunuh.” Pertempuran tidak dapat dihindarkan lagi. Beberapa orang diantara mereka yang menyembunyikan wajah mereka itupun segera menyerang. Keempat prajurit itupun segera berloncatan turun dari kuda mereka. Didalam gelap dan di jalan sempit, mereka menganggap bahwa bertempur diatas punggung kuda agak kurang menguntungkan.

Karena itu, maka merekapun segera melepaskan kuda-kuda mereka dan dengan senjata ditangan, mereka menghadapi beberapa orang yang menyerang mereka, yang ternyata jumlahnya agak lebih banyak. Tetapi keempat orang itu sama sekali tidak gentar meskipun mereka harus melawan enam orang sekaligus. Merekapun menyadari, bahwa keenam orang itu adalah pengikut Pringgajaya yang tentu sudah terpilih. Meskipun demikian, para prajurit itu telah dirayapi oleh kegelisahan. Bukan karena diri mereka sendiri. Tetapi karena mereka mendapat tugas untuk mengamati apa yang terjadi di padepokan kecil itu, maka yang telah terjadi itu, agak menggelisahkan diri mereka. “Orang-orang ini harus cepat dikalahkan, mati atau meninggalkan arena perkelahian,“ geram salah seorang prajurit berkuda itu. Namun ternyata bahwa keenam orang itupun telah bertempur dengan gigihnya. Dengan demikian, maka pertempuran itupun tentu tidak akan segera dapat diselesaikan. Keenam orang itu tentu akan berjuang sejauh dapat mereka lakukan untuk menghambat, agar para prajurit itu tidak sempat menyelamatkan para penghuni padepokan itu. Tetapi bagi para prajurit berkuda itu, satu atau dua orang dari keenam orang itu tentu akan dapat menjadi bukti, siapakah sebenarnya yang berada dibalik segala peristiwa yang terjadi beruntun di Jati Anom itu. Dalam pada itu, ditempat yang terpisah, telah terjadi lingkaran-lingkaran pertempuran yang semakin dahsyat. Dihalaman padepokan kecil itupun pertempuran menyala semakin panas. Tangan-tangan yang telah berkeringat membuat darah seolah-olah menjadi mendidih karenanya. Dengan cemas Ki Lurah Patrajaya melihat Glagah Putih yang semakin terdesak. Sementara ia sendiri masih belum dapat membayangkan, apakah ia akan segera dapat mengalahkan lawan-lawannya. Dalam pada itu, Kiai Gringsing yang merupakan orang tertua, bukan saja umurnya, tetapi juga tingkat ilmunya dipadepokan itu, tengah bertempur dengan dahsyatnya melawan Gembong Sangiran. Keduanya menyadari keadaan mereka, sehingga mereka tidak banyak bertempur dengan memeras tenaga. Tetapi keduanya telah menghimpun segala kemampuan dan pengerahan tenaga cadangan. Meskipun gerak dan benturan-benturan yang terjadi nampaknya sederhana dan tidak terlalu keras, tetapi sebenarnyalah benturan-benturan itu bagaikan beradunya dua raksasa yang sedang mengamuk. Gembong Sangiran yang nampak lebih kasar dari lawannya, kadang-kadang melambari seranganserangannya dengan hentakan dan bahkan teriakan-teriakan keras bagaikan membelah langit. Namun Kiai Gringsing tidak terpancing dengan gerakan-gerakan serupa. Ia selalu menyadari kemungkinan untuk memelihara kekuatannya untuk waktu yang tentu tidak terlalu singkat.

Namun Gembong Sangiranpun tidak tergesa-gesa. Ia memperhitungkan kekuatan dari Gunung Kendeng jauh lebih besar dari kekuatan yang ada dipadepokan itu. Jika Sabungsari mampu bertahan melawan Banjar Aking, maka tentu tidak akan demikian dengan Agung Sedayu. Menurut perhitungan Gembong Sangiran, Agung Sedayulah orang yang pertama-tama akan mati. Jika demikian, maka Jandon akan segera menggulung lawan-lawannya yang lain. Ia akan bertempur bersama dengan Banjar Aking, sehingga dapat sekejap, Sabungsari akan mati. Sekejap berikutnya, maka bertiga dengan Gembong Sangiran sendiri, akan berarti kematian bagi Kiai Gringsing. Selebihnya tidak-akan lebih sukar dari memijit buah ranti. Karena itu, setiap kali Gembong Sangiran berusaha untuk dapat melihat pertempuran yang dahsyat antara Jandon yang dibakar oleh dendam, melawan Agung Sedayu. Demikianlah, maka pertempuran antara keduanya sebenarnya merupakan puncak dari pertempuran di padepokan itu. Keduanya memiliki tenaga yang segar dilambari oleh ilmu yang luar biasa. Jandon yang merasa dirinya mumpuni, dengan penuh keyakinan, merasa akan segera dapat mengakhiri perlawanan Agung Sedayu. Ia yang merasa memiliki ilmu yang tidak ada bandingnya, didasari dengan ilmu yang diterima di Gunung Kendeng, namun yang Kemudian disempurnakannya sendiri dalam perantauan dengan mesu diri dan penyerapan kekuatan dari berbagai macam pengalaman dan pengenalan atas ilmu yang diamatinya dari perguruan-perguruan yang dapat disadapnya, maka ia merasa, dirinya adalah orang yang luar biasa, dan memiliki kemampuan melampaui setiap orang yang pernah dikenalnya. “Anak muda ini tidak akan mampu bertahan lebih dari sepenginang,” katanya didalam hati. Karena itu, oleh dendam yang tidak terkendah, maka Jandonpun kemudian meningkatkan ilmunya semakin tinggi, semakin tinggi. Tetapi lawannya adalah Agung Sedayu. Adalah diluar dugaan dan sama sekali tidak pernah dibayangkan, bahwa Agung Sedayu adalah anak muda yang aneh. Yang secara kebetulan telah mendapat kesempatan untuk menyadap ilmu dari berbagai pihak, dan terutama kesempatan baginya, membaca dan memahatkan isi kitab Ki Waskita didalam hatinya. Karena itulah, maka seolah-olah Agung Sedayu tidak pernah tergoyahkan. Meskipun ilmu Jandon menjadi semakin meningkat, namun rasa-rasanya Jandon masih saja membentur kekuatan yang tidak teratasi. “Anak setan,“ geramnya, “pantas ia mampu membunuh adikku. Pada tataran ini adikku itu tentu sudah tidak akan dapat bertahan lagi.” Tetapi Jandon masih mampu meningkatkan ilmunya lebih tinggi lagi. Pada tataran berikutnya, ia bermaksud menyelesaikan perlawanan Agung Sedayu, sebelum ia akan membunuh pula Sabungsari, apabila Banjar Aking masih belum dapat menyelesaikannya. Bahkan kemudian Kiai Gringsingpun akan dapat diakhirinya sama sekali.

Peningkatan ilmu lawannya, telah menggetarkan hati Agung Sedayu. Namun ia masih belum menjadi silau karenanya. Pada tataran berikutnya. Agung Sedayu semakin melambari perlawanannya dengan permohonan perlindungan kepada Yang Maha Adil. Agung Sedayii terkejut ketika tiba-tiba saja ia telah terdorong oleh sentuhan tangan lawannya. Demikian cepatnya meskipun tidak begitu menggetarkan. Namun baginya kecepatan bergerak lawannya itu merupakan satu peringatan bagi ketinggian ilmu yang dimilikinya. Karena itu, maka Agung Sedayupun menjadi semakin berhati-hati. Ketika serangan berikutnya meluncur kedadanya, ia sempat mengelak selangkah kesamping. Bahkan dengan kecepatan yg tidak kalah dengan kecepatan gerak lawannya, ia telah menyerang dengan juluran tangannya menghantam lengan lawannya. Sekali lagi Agung sedayu terkejut, ia merasa tangannya menyentuh lawannya. Tetapi seolah-olah orang yang mendendamnya itu sama sekah tidak merasakannya. Sekali lagi Agung Sedayu berusaha menyerangnya. Pada saat lawannya memutar tubuhnya, memperbaiki kedudukannya karena serangannya yang tidak mengenai sasaran, bahkan lengannya langsung dapat dikenai oleh Agung Sedayu, maka anak muda dari Jati Anom itu telah menghantam lambungnya dengan tumitnya. Agung Sedayu memang tidak mempergunakan segenap kekuatannya, karena kecepatannya bergerak memburu lawannya. Tetapi sekali lagi Agung Sedayu terkejut. Lawannya seolah-olah dengan sengaja tidak menghindarinya sama sekali. Bahkan dengan sengaja ia ingin menunjukkan bahwa serangan Agung Sedayu itu tidak menyakitinya. “Ia mempunyai ilmu kebal,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Karena itulah, maka Agung Sedayu harus berhati-hati. Teringat olehnya murid-murid Gunung Kendeng yang terbunuh di bulak panjang, yang mayatnya tidak dapat diketemukannya. Ternyata mereka juga mempunyai ilmu kebal meskipun belum sempurna. Dengan demikian, maka Agung Sedayupun menjadi semakin berdebar-debar. Ia sadar, bahwa orang ini tentu mempunyai ilmu yang lebih tinggi dari orang-orang yang telah berhasil dibunuhnya itu. Dalam pada itu, terdengar lawan Agung Sedayu itu menggeram, “Ternyata kau tidak sebesar namamu yang pernah merambat ketelingaku. Kau tidak akan dapat menyakiti aku. Dan kau tidak akan dapat berbuat apa-apa jika aku melangkah maju, menjulurkan tanganku dan mencekikmu. Karena serangan-seranganmu tidak akan berarti apa-apa bagiku.” Setingkat demi setingkat pertempuran dipadepokan itu menjadi semakin dahsyat. Masing-masing sudah mendekati puncak kemampuannya. Bahkan Glagah Putih telah memeras tenaganya untuk sekedar bertahan melawan kedua orang lawannya yang justru menjadi semakin garang dan kasar.

“Menyerahlah anak muda,“ geram salah seorang dari kedua lawannya. Tetapi Glagah Putih membentaknya, “Kau sajalah yang menyerah.” Justru lawannya tertawa. Memang tidak ada harapan lagi bagi Glagah Putih untuk menghindarkan diri dari tangan kedua orang yang jauh lebih banyak pengalamannya. Meskipun kemampuan Glagah Putih sudah jauh meningkat, tetapi melawan dua orang dari padepokan Gunung Kendeng ternyata ia masih mengalami kesulitan. Tidak ada seorangpun yang dapat membantunya. Masing-masing telah terikat dalam pertempuran yang sengit. Sementara Ki Lurah Patrajaya yang menyaksikan keadaan itu, hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi iapun tidak dapat meninggalkan lawan-lawannya yang menyerangnya beruntun seperti ombak dipesisir. Susul menyusul. Sekali-sekah Ki Lurah Patrajaya mencoba mencari arena perkelahian Widura yang menjadi semakin jauh. Justru karena usaha lawannya memancingnya untuk disudutkan kepinggir kolam, maka jarak antara Widura dan Glagah Putihpun menjadi semakin jauh. Adalah mungkin sekah bahwa Widura memang tidak dapat melihat, apa yang telah terjadi dengan anak laki-lakinya. Karena itulah, maka Ki Lurah Patrajaya yang merasa melihat kesulitan itu, telah dibebani oleh perasaan tanggung jawab pula, karena ia tahu, anak itu masih terlalu muda. Bukan saja umurnya, tetapi juga dalam olah kanuragan. Oleh karena kegelisahannya, disamping perlawanannya yang berat melawan lawan-lawannya, maka hampir diluar sadarnya, ia berusaha untuk membesarkan hati anak muda itu dengan berteriak, “bertahanlah Glagah Putih. Sebentar lagi aku akan menyelesaikan lawan-lawanku ini. Aku akan mengambil seorang dari lawan-lawanmu.” Glagah Putih menggeram. Tetapi ia tidak menjawab. Ternyata Widura mendengar teriakan itu. Tiba-tiba saja darahnya serasa mengalir semakin cepat. Kata-kata itu tentu satu isyarat, bahwa keadaan Glagah Putih menjadi semakin sulit. Karena itu, maka iapun telah bertempur semakin sengit. Ialah yang kemudian berusaha mendesak lawannya kearah kolam yang berair cukup dalam. Namun demikian iapun menyadari, bahwa tidak terlalu mudah untuk melakukannya. Kata-kata Ki Lurah Patrajaya itu tiba-tiba saja telah disahut oleh Ki Banjar Aking yang sedang bertempur dengan sengitnya melawan Sabungsari sekedar untuk menghilangkan ketegangan dihatinya sendiri, “Sebutlah nama ayah bundamu Glagah Putih. Agaknya kau sudah tersudut kedalam kesulitan yang tidak akan

teratasi.” Glagah Putih menghentakkan senjatanya. Tetapi ia benar-benar berada didalam kesulitan. Apalagi ternyata bahwa jumlah orang-orang Gunung Kendeng itu memang lebih banyak, sehingga hampir setiap orang harus bertempur melawan lawan rangkap, kecuali beberapa orang yang dianggap memiliki kemampuan mumpuni, yang sudah mendapat lawannya masing-masing, seolah-olah dalam perang tanding. “Namun dalam pada itu, selagi orang-orang dipadepokan itu dicengkam oleh kegelisahan, selagi Widura berjuang dengan sekuat tenaganya mendesak lawannya, karena ia merasa mempunyai tanggung jawab pula terhadap Untara, maka Glagah Putih benar-benar telah kehilangan harapan. Hanya karena hatinya yang tidak mengenal patah, maka ia masih mampu bertahan, meskipun kadangkadang ia harus berloncatan dengan langkah-langkah panjang dan jauh. Tetapi akhirnya, goresan demi goresan telah mulai menyentuh tubuhnya. Pada saat yang demikian Widura menghentak-hentak lawannya dengan segenap kemampuannya. Ia telah mengerahkan segenap yang ada padanya. Dengan demikian, maka perlahan-lahan iapun mulai mendesak Putut Tanggon yang tidak mengira, bahwa bekas prajurit itu masih saja garang. Selagi Ki Patrajaya digelisahkan oleh hitungan, siapakah yang akan lebih dahulu menyelesaikan lawannya, Widura, ia sendiri atau justru Glagah Putih yang tidak mampu lagi bertahan meskipun sambil berlari-lari, maka sesosok tubuh telah meloncati dinding halaman padepokan itu dengan tergesa-gesa. Ternyata iapun mendengar dentang senjata dan kadang-kadang hentakkan kekuatan yang disertai teriakan-teriakan pendek. “Menyerahlah Glagah Putih,“ terdengar lawan Glagah Putih itu berkata lantang, “kematianmu akan jauh lebih cepat dan lebih baik dari pada tubuhmu akan menjadi arang kranjang. Justru kau akan mati dengan perlahan-lahan dan tidak menyenangkan sama sekali.” Glagah Putih tidak menjawab. Luka-lukanya mulai terasa pedih. Sementara keadaannya benar-benar telah menggelisahkan beberapa orang lain. Bahkan Ki Lurah Patrajaya kadang-kadang harus meloncat surut, mendekati arena pertempuran antara Glagah Putih dan dua orang lawannya. Tetapi kedua lawan Glagah Putihpun telah berusaha mendesak anak muda itu semakin jauh. Dalam pada itu, maka orang yang meloncati dinding itupun mulai mendekati arena pertempuran. Ia mendengar bagaimana lawan Glagah Putih mengancam anak muda yang sudah tergores oleh senjata dibeberapa bagian tubuhnya itu. Darah yang mulai mengalir, rasa-rasanya telah menghisap pula kekuatannya, sehingga Glagah Putih menjadi semakin lemah. Tetapi pada saat-saat yang menentukan, selagi lawannya berusaha untuk mengakhiri perlawanan anak

muda itu, tiba-tiba sajalah orang yang memasuki halaman itu tejah berdiri disamping anak yang masih sangat muda itu sambil berkata, “beristirahatlah. Kau telah terluka. Bahkan cukup parah.” Glagah Putih terkejut. Namun ia masih juga dikejutkan oleh lawannya yang tidak memberi kesempatan kepadanya untuk meninggalkan arena. Karena itu, selagi Glagah Putih belum menyadari sepenuhnya atas kehadiran orang itu, maka seorang lawannya telah menyerangnya. Tetapi yang terjadi adalah sangat mengejutkan. Orang yang datang itulah yang meloncat membentur serangan itu. Demikian kuatnya. Dengan satu putaran pedang senjata orang itu terlepas. Tetapi bukan saja melepaskan senjata lawannya. Namun ujung pedang itu telah merobek pundak lawannya. Orang Gunung Kendeng itu terkejut. Terasa perasaan pedih menyengat pundaknya yang tersayat. Dengan serta merta iapun kemudian meloncat menjauhinya, sementara kawannya berusaha untuk mencegah agar orang yang baru datang itu tidak sempat memburu lawannya. “Lawanlah yang seorang Glagah Putih,“ berkata orang itu, “menurut pengamatanku, kau akan dapat mengimbanginya. Biarlah yang seorang aku selesaikan.” Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berdesis, “Kakang Untara.” Orang yang baru datang itu tidak menyahut. Bahkan ia tidak memperhatikannya lagi. Dengan tangkasnya ia memburu orang yang telah terluka itu sambil berkata, “Jangan terpukau begitu Glagah Putih. Berbuatlah sesuatu.” Glagah Putih seolah-olah terbangun dari sebuah mimpi. Ia melihat orang Gunung Kendeng itu sudah bersiap memburu Untara pula. Karena itu maka Glagah Putihpun segera menyerangnya sehingga orang itu harus menghadapinya. “Kita akan bertempur seorang lawan seorang,“ berkata Glagah Putih kemudian. Lawannya menggeram. Namun iapun segera menyerang Glagah Putih dengan garangnya. Tetapi Glagah Putih seolah-olah telah mendapat kesempatan untuk bernafas. “Kau telah terluka,“ ancam lawannya, “darahmu akan terperas habis seperti juga tenagamu.” “Aku akan membunuhmu sebelum darahku kering,“ geram Glagah Putih.

Sebenarnyalah, meskipun Glagah Putih telah terluka, namun ia masih mampu bertempur dengan garangnya. Ki Lurah Patrajaya menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ia tidak mempunyai kesempatan terlalu banyak, namun ia melihat kehadiran orang lain diarena itu. Justru Untara sendiri. Sambil bertempur Untara berkata kepada Ki Lurah Patrajaya, “Aku sudah mengira akan terjadi seperti ini. Beberapa orang prajurit telah dicegat oleh beberapa orang sebelum mereka mencapai padepokan ini.” “Ki Untara sendiri?“ bertanya Ki Lurah Patrajaya. “Tidak ada yang tahu bahwa aku disini. Hanya isteri-ku dan seorang pengawal khusus dirumah,“ sahut Untara. Ki Lurah Patrajaya tidak menjawab lagi. Tetapi keningnya berkerut ketika ia melihat seorang yang lain lagi telah datang dan bergabung dengan lawan Glagah Putih, sehingga dengan demikian Glagah Putih harus melawan dua orang lagi. Namun itu tidak berlangsung lama. Sejenak kemudian lawan Untara itu telah terlempar dan jatuh ditanah. Dibiarkannya ia mengerang dan bertahan untuk tetap hidup meskipun ia sudah tidak mampu lagi untuk bangkit. Sementara Untara telah mendekati adik sepupunya lagi, dan mengambil seorang lawannya pula. Dengan demikian, meskipun jumlah orang Gunung Kendeng itu lebih banyak, namun dengan kedatangan Untara di arena itu, maka kesempatan mereka menjadi semakin sempit. Pada saat-saat yang demikian, orang-orang Gunung Kendeng itupun mulai memperhitungkan keadaan Putut Tanggon yang bertempur melawan Widura melihat kesulitan yang mulai membayang. Karena itu, maka iapun telah memberikan isyarat kepada kawan-kawannya, bahwa mereka yang bertempur disebelah menyebelah rumah itu, mulai mengalami kesulitan. Isyarat itu telah didengar pula oleh orang-orang yang bertempur di halaman depan. Gembong Sangiran, Banjar Aking, Jandon dan disebelah lain Putut Panjer telah mendengar pula. Bahkan dua orang yang mengawasi padepokan itu diluar regolpun telah mendengar pula. Karena itu, maka orang-orang Gunung Kendeng itu mengambil kesimpulan untuk mengerahkan segala kekuatan yang ada pada mereka, agar mereka segera dapat menguasai keadaan, justru pada saat terdengar isyarat bahwa mereka mulai dibayangi oleh kesulitan. Dalam pada itu, ternyata kemudian Untaralah yang mendapat tidak hanya dua orang lawan. Selagi ia

bertempur melawan seorang yang direnggutnya dari pasangannya yang bertempur melawan Glagah Putih, maka dua orang yang lain telah mendekatinya dan langsung mengepungnya. Dengan demikian, maka Untara itupun harus bertempur semakin seru. Ia harus mengatur kemampuannya, melawan tiga orang lawan, yang mungkin masih akan dapat bertambah dan berlangsung lama. Namun ketiga orang itu ternyata tidak segera dapat menguasainya. Bahkan perlahan-lahan semakin nampak, bahwa mereka tidak akan dapat mendesak Untara yang garang itu. “Kalian menyingkir atau mati,“ geram Untara yang mulai marah. Ketiga lawannya tidak menjawab. Ada semacam kecemasan dihati masing-masing. Suara Untara yang dalam dan berat itu, rasa-rasanya bagaikan suara maut yang memanggil mereka dari dasar neraka. Namun mereka bertiga tidak meninggalkannya. Bahkan mereka bertiga telah berusaha untuk mengerahkan segenap kemampuan mereka. Tetapi dengan demikian Ki Lurah Patrajaya dan Ki Widura sudah dapat memperhitungkan, apa yang akan terjadi. Namun ia tidak dapat meramalkan, apakah yang sedang terjadi atas Sabungsari, Kiai Gringsing dan Agung Sedayu. Jika salah seorang saja dari mereka dapat dikalahkan oleh lawan lawannya, maka itu berarti bahwa padepokan itu akan punah, termasuk Untara didalamnya. Sementara itu, Sabungsari telah bertempur dengan garangnya. Banjar Aking yang tidak menduga bahwa Sabungsari tidak lagi dicengkam oleh luka-lukanya yang parah, telah mengerahkan segenap kemampuannya. Namun ternyata bahwa Sabungsaripun telah sampai pada tingkat tertinggi dari ilmunya. Seperti yang telah terjadi, Sabungsari merasa mulai membentur kemampuan yang luar biasa dari daya tahan lawannya. Bahkan ia mulai merasa berhadapan dengan ilmu kekebalan. Karena itu, ia tidak mau terlambat lagi. Pengalamannya telah mengajarinya, bahwa jika ia tidak mulai dengan puncak ilmunya, maka kelambatan yang sekejap akan dapat membahayakannya. Dengan demikian, maka ketika serangan-serangan wadagnya seolah-olah tidak dapat menyentuh ujungujung syaraf perasa lawannya, maka mulailah Sabungsari mempertimbangkan untuk melepaskan ilmu puncaknya, sebelum tangan lawannya yang kuat meremas lehernya. Karena itu, maka pada saat yang tepat, Sabungsari telah meloncat justru menjauhi lawannya. Sejenak ia berdiri tegak memandang lawannya dengan tajamnya. Dengan segenap daya dan kekuatan lahir dan batinnya, maka mulailah Sabungsari mengungkap ilmunya lewat sorot matanya. Luka parah yang dialaminya ketika ia bertempur melawan Carang Waja dan kemudian melawan orang Gunung Kendeng di bulak panjang, adalah karena kelambatannya. Ia menungggu setelah lebih dahulu ia mencoba mempergunakan ilmunya yang bertumpu kepada wadagnya.

Tetapi ketika ia berhadapan dengan Banjar Aking, ia tidak mau terlambat sekali lagi, sehingga ia akan mengalami luka parah lagi. Banjar Aking yang melihat sikap Sabungsari itupun segera mengetahui, bahwa lawannya akan menyerangnya dengan ilmu puncaknya. Karena itu. maka iapun segera mengetrapkan segenap ilmunya untuk melindungi dirinya. Sabungsari yang tidak mau terlambat itu, berdiri tegak dengan tangan bersilang didadanya. Dengan sorot matanya, Sabungsari langsung mencengkam tubuh lawannya dengan kekuatan ilmunya. Banjar Aking tersentak mengalami serangan itu. Ia sadar, bahwa ia mulai dikenai oleh ilmu lawannya. Namun dengan kemampuan ilmunya melindungi dirinya, maka ia masih mampu untuk tetap bertahan. Ia sadar, bahwa ia tidak seluruhnya dapat melenyapkan pengaruh serangan itu, seperti ia melenyapkan akibat dari serangan wadag lawannya atas wadagnya. Namun dengan ilmunya, ia dapat memperkecil akibat itu sampai batas yang tidak melumpuhkannya. Tetapi ia tidak dapat bertahan terus-menerus. Seperti juga kekuatan air pada batu karang, meskipun perlahan-lahan, jika dibiarkan benturan yang terus-menerus, maka akhirnya karang itupun akan aus sedikit demi sedikit. Karena itu, selagi kekuatan ilmu lawannya belum meremukkan jantungnya, maka iapun maju selangkah demi selangkah mendekati Sabungsari. Ia akan langsung menghentikan serangan itu dengan mematikan sumbernya. Sabungsari. Sabungsari melihat betapa tinggi ilmu lawannya. Ia mampu melindungi dirinya, seolah-olah tidak terkena akibat apapun karena tatapan matanya. Namun Sabungsari tidak berputus asa. Ia menghentakkan kemampuan ilmunya sampai tuntas untuk meremas daya tahan lawannya. Banjar Aking yang mulai merasa denyut jantungnya terpengaruh itupun mengerahkan ilmunya pula. Ia sadar, bahwa ilmu Sabungsari berhasil menyusup pada perisai ilmu kebalnya. Namun belum mampu menghentikan langkah Banjar Aking yang mendekatinya. Sabungsari melangkah surut ketika Banjar Aking semakin mendekatinya tanpa menghentikan serangannya dengan tatapan matanya. Ia sadar, bahwa jika ia tidak berhasil menembus ilmu lawannya, maka ia akan berada dalam keadaan yang gawat. Namun ternyata bahwa Banjar Aking mampu bertahan sampai pada langkah terakhirnya untuk mencapai Sabungsari. Iapun kemudian mampu mempersiapkan diri menyerang dengan wadagnya. Sabungsari tergetar juga hatinya menghadapi daya tahan lawannya. Apalagi ketika kemudian lawannya

telah menyerangnya. Tidak saja dengan tangannya, namun Banjar Aking telah menusuk lambung Sabungsari dengan senjata. Sabungsari harus melihat kenyataan itu. Ia tidak dapat berdiri saja dengan tangan bersilang, sementara tatapan matanya tidak mampu menghentikan langkah Banjar Aking. Karena itu, maka Sabungsaripun harus berbuat sesuatu. Bagaimanapun juga, ia harus melepaskan serangannya dengan sorot matanya. Dengan langkah panjang ia meloncat surut. Kemudian mempersiapkan diri menghadapi serangan senjata lawannya dengan senjatanya pula. Banjar Aking tidak membiarkan lawannya lepas dari tangannya. Iapun kemudian merasa, betapa tekanan pada dadanya menjadi jauh berkurang dan bahkan lenyap sama sekali. Sehingga dengan demikian, maka tubuhnya merasa bebas dari beban yang harus ditahankannya dengan segenap ilmu pelindungnya Saat-saat Banjar Aking merasa dirinya bebas dari himpitan serangan tatapan mata Sabungsari itu, tidak terlepas dari pengamatan lawannya yang masih muda. Sabungsari melihat, bahwa meskipun ilmunya tidak dapat menahan lawannya, tetapi pengaruhnya cukup kuat dan menegangkan. Karena itu, maka Sabungsari telah memutuskan untuk mempergunakan segenap kemampuan yang ada padanya, wadag dan yang bukan wadag untuk bertempur sampai tuntas. Ia belum tahu , siapakah yang akan tetap bertahan hidup sampai akhir dari pertempuran itu. Tetapi ia tidak akan menyerah dalam keadaan yang bagaimanapun juga. “Aku adalah anak Telengan,“ geram Sabungsari didalam hatinya, “menang atau kalah dalam pertempuran ini akan ditentukan sampai tuntas.” Ketika kemudian Banjar Aking menyerangnya, maka dengan segenap kekuatannya pula Sabungsari sengaja membenturkan senjatanya. Dengan demikian, maka dua kekuatan telah beradu. Namun dalam pada itu, sesuatu telah bergejolak dijantung Sabungsari. Meskipun ia belum dapat menentukan, tetapi ia merasa, bahwa kekuatan lawannya telah susut. Benturan-benturan kekuatan, meskipun tanpa senjata sebelum ia menekan lawannya dengan sorot matanya, terasa jauh lebih berat dan mantap. “Apakah pengaruh itu terasa pada lontaran kekuatannya,“ sebuah pertanyaan telah tumbuh dihati anak muda yang berotak cerah itu. Dengan cermat, Sabungsaripun kemudian berusaha untuk mengenal perubahan itu. Karena ia merasa, bahwa bertempur dengan kekuatan dan kemampuan saja, agaknya terlalu sulit baginya untuk mengalahkan orang yang namanya menghantui Pesisir Lor dengan ilmu kebalnya itu.

“Aku harus mengerti, dimanakah letak kelemahannya,“ berkata Sabungsari didalam hatinya. Namun dalam pada itu, Banjar Aking telah menyerang dengan dahsyatnya. Senjatanya berputaran seperti angin pusaran melibat Sabungsari. Tetapi Sabungsaripun mampu bergerak secepat lawannya, sehingga karena itu, maka ujung senjata lawannya tidak segera menggores kulitnya. Bahkan dengan cerdik, Sabungsari berhasil memancing perhatian lawannya pada arah gerak yang sekedar mengelabuinya, namun pada serangan yang sebenarnya, meskipun dengan tergesa-gesa, Sabungsari berhasil menyentuh lengan lawannya dengan senjatanya. Sabungsari meyakini sentuhan senjatanya atas tubuh lawannya. Iapun menyadari, bahwa seharusnya, ujung senjatanya itu akan dapat melukai tubuh lawannya. Tetapi ternyata bahwa tubuh lawannya sama sekali tidak terluka karenanya. Bahkan sambil tertawa Banjar Aking berkata, “Anak yang malang. Sebaiknya kau belajar memilih senjata. Senjatamu sama sekali tidak dapat merobek kulit ranti. Apalagi kulitku.” “Kau mempunyai ilmu kebal,“ desis Sabungsari meyakinkan. “Itu pertanda bahwa nasibmu memang sangat buruk. Aku dapat membunuhmu kapan aku mau tanpa menghiraukan senjatamu,“ desis Banjar Aking. Namun dalam pada itu, terdengar isyarat sekali lagi dari Putut Tanggon. Ternyata bahwa dibagian yang terpisah, orang-orang Gunung Kendeng mengalami kesulitan. Untara tidak melepaskan setiap kesempatan untuk mengurangi jumlah lawannya. “Aku harus mulai dari tempat yang paling lemah,“ berkata Untara kepada diri sendiri, “yang kuat untuk beberapa saat tentu masih akan mampu mempertahankan dirinya.” Sebenarnyalah bahwa isyarat itu telah menggelisahkan Banjar Aking. Karena itu, maka katanya kepada Sabungsari, “Aku terpaksa mengakhiri perlawananmu dengan segera anak yang malang. Agaknya dibagian lain orang-orang Gunung Kendeng mengalami kesulitan. Mungkin aku tidak akan perlu menunggu Jandon yang sebenarnya ingin membunuhmu dengan tangannya. Tetapi agaknya keadaan telah memaksaku untuk melakukannya atasmu sehingga aku akan dapat membantu kawan-kawanku yang lain.” Sabungsari tidak menjawab. Tetapi ia menyerang Banjar Aking dengan segenap kemampuan ilmu kanuragannya. Ternyata bahwa Banjar Aking tidak membiarkan serangan itu menyentuh tubuhnya. Meskipun ia berilmu kebal, tetapi ia masih berusaha untuk menangkis, kemudian menyerang kembali dengan cepatnya. Meskipun demikian Sabungsari masih juga mampu menghindar dan bahkan sekali lagi Sabungsari dapat mengenai lawannya. Namun seolah-olah ujung pedangnya telah menyentuh batu.

“Kau masih akan melawan?“ bertanya Banjar Aking. Namun diluar dugaan, ternyata Sabungsari menjawab, “Kau belum menguasai ilmu kebal sepenuhnya. Kau masih menangkis dengan senjatamu. Jika kau benar-benar memiliki ilmu kebal yang matang, kau akan mengembangkan tanganmu, membiarkan dadamu terbuka tanpa berusaha untuk mehndunginya dengan senjata.” Wajah Banjar Aking menegang. Namun kemudian jawabnya, “Jangan salah mengartikan sikapku. Aku masih mencoba menghargaimu. Agar kau tidak merasa terhina oleh sikapku, maka aku tidak membiarkan kau menusuk dadaku sementara aku hanya bertolak pinggang.” Sabungsarilah yang kemudian tertawa. Betapapun hatinya bergejolak, namun ia berusaha untuk menghadapi lawannya dengan hati yang terang dan perhitungan yang matang, termasuk sentuhansentuhan pada perasaannya. Katanya kemudian, “Kau jangan menganggap aku kanak-kanak yang masih belum mengerti dan mengenal daerah jelajah orang-orang berilmu. Meskipun aku tidak berilmu kebal, tetapi aku mengerti tataran orang-orang berilmu kebal.” “Persetan,“ geram Banjar Aking, “apapun yang kau katakan, tetapi kau akan mati malam ini.” Sebelum orang itu selesai dengan jawabannya, Sabungsari telah meloncat dengan pedang terjulur. Dengan tangkasnya orang itu menangkis serangan itu. Namun Sabungsari telah menyerangnya pula dengan patukan senjata yang langsung mengarah kedadanya. Sekali lagi orang itu menangkis. Bahkan kemudian Banjar Akinglah yang menyerang dengan dahsyatnya. Sabungsari meloncat surut. Ia mengambil jarak untuk dengan tiba-tiba melepaskan serangan dengan sorot matanya. Ternyata serangannya itu mengejutkan Banjar Aking. Ia harus berhenti memburu dan berusaha melindungi dirinya dengan ilmunya atas serangan Sabungsari yang tidak kasat mata itu. Sabungsari berdiri tegak. Ujung pedangnya tertunduk ketanah, sementara tangan kirinya terjulur kedepan. Sesaat Banjar Aking berdiri tegak. Namun kemudian ia melangkah maju setapak demi setapak, seolaholah ia sedang berjalan menempuh badai yang dahsyat. Sabungsari memperhitungkan setiap kejadian atas lawannya. Demikian lawannya semakin dekat. Maka iapun dengan tiba-tiba melepaskan serangan sorot matanya.

Dengan tangkasnya ia telah meloncat menghantam lawannya dengan serangan mendatar pada lengannya. Banjar Aking terkejut. Ia tidak dapat menghindar dan tidak siap untuk menangkis, karena ia masih sedang memusatkan perlawanannya pada serangan sorot mata lawannya yang langsung menghentak isi dadanya. Banjar Akmg mencoba untuk bergeser surut. Tetapi ternyata bahwa ujung senjata Sabungsari yang dihentakkan dengan segenap kekuatannya itu masih mengenainya. Kulit Banjar Aking tidak terluka karena goresan pedang. Namun Sabungsari melihat, orang itu menyeringai menahan sakit yang sesaat telah menyengatnya pada saat senjata lawannya mengenainya. Tetapi Banjar Aking cepat berusaha melenyapkan kesan itu dari wajahnya. Bahkan ia mencoba tertawa sambil berkata, “Kau akan mati dalam kesia-siaan.” Tetapi Sabungsaripun tertawa pula. Katanya, “Aku mengerti, bahwa ilmu kebalmu hanya selapis tipis. Kau ternyata merasa betapa sakitnya sabetan senjataku yang mengenai kulitmu, meskipun kau tidak terluka.” Wajah Banjar Aking menjadi tegang. Dipandanginya Sabungsari dengan tajamnya. Namun ia telah gagal berusaha menyembunyikan perasaan sakitnya, ketika pedang Sabungsari yang terayun dengan dorongan sepenuh kekuatannya itu mengenainya. Meskipun demikian Banjar Aking masih juga berkata, “Jangan salah menilai kemampuanku anak manis. Tetapi bagaimanapun juga, kau akhirnya akan mati sebelum kau tahu arti dari ilmumu yang sebenarnya.” Sabungsari yang mempergunakan akalnya, bukan saja kemampuannya, tiba-tiba saja telah menyerang lawannya sekali lagi dengan sorot matanya dari jarak yang terlalu dekat. Demikian tiba-tiba, serangan itu telah menghentak dada lawannya, selagi Banjar Aking bersiap untuk menyerang Sabungsari. Terasa ilmu yang memancar dari sorot mata Sabungsari itu telah mendorongnya, bahkan meskipun tidak sepenuhnya, terasa sampai kejantungnya. “Gila,“ geram Banjar Aking, “kau benar-benar anak gila yang tidak tahu diri. Apa yang kau lakukan itu benar-benar tidak berarti apa-apa bagiku.” Sabungsari tidak menjawab. Ia mendorong dan meremas jantung lawannya dengan segenap kemampuannya. Meskipun ia menyadari, bahwa Banjar Aking masih berperisai dengan ilmunya, tetapi

serangan dengan sorot matanya itu telah berhasil menyentuh tubuhnya. Banjar Aking menjadi semakin marah. Ia telah mengerahkan kemampuannya, bukan saja pada usaha melindungi dirinya, tetapi ia kemudian melangkah selangkah maju. Dengan marah ia mengangkat senjatanya siap untuk menusuk jantung Sabungsari. Sekali lagi Sabungsari menghentak melepaskan ilmunya ketika serangan Banjar Aking terayun kearahnya. Hentakan itu memang berpengaruh. Ayunan senjata Banjar Aking terganggu sejenak, selagi ia menyesuaikan diri dengan keadaannya. Pada saat itulah, Sabungsari mendahului menyerangnya. Sekali lagi ia mengayunkan senjatanya menghantam pundak lawannya. Bagaimanapun juga. Banjar Aking harus menyeringai menahan sakit. Meskipun kulitnya masih tetap liat, tetapi seakan-akan perasaan sakit itu telah menyengat daging dibawah kulitnya. Bahkan perasaan sakit itu rasa-rasanya menghunjam sampai ketulang. Kemarahan Banjar Akingpun semakin menyala. Iapun memiliki ketangkasan berpikir yang tinggi. Demikian Sabungsari menyerangnya, maka Banjar Akingpun menyerangnya pula. Ia sadar, betapa perasaan sakit akan menggigitnya, tetapi kulitnya tidak akan terluka, sementara serangannya akan dapat menyobek kulit Sabungsari. Tetapi Sabungsari benar-benar lincah dan cepat. Pada saat senjatanya mengenai lawannya, sementara Banjar Aking menusuk tubuhnya, ia sempat mengelak, meskipun ia tidak berhasil melepaskan diri seluruhnya. Dengan demikian, maka senjata lawannya telah menyobek lengannya segores. Tidak terlalu dalam dan tidak terlalu panjang. Tetapi luka itu telah menitikkan darah. Titik-titik darah itu telah membakar jantung Sabungsari. Kemarahannya seolah-olah telah meretakkan dadanya. Namun ia menyadari keadaannya, ila tidak boleh tenggelam kedalam arus perasaannya. Ia harus tetap bertempur dengan mempergunakan nalarnya, sehingga perhitungannya tidak inenjadi kabur, karena ia mengerti, bahwa Banjar Aking tidak akan dapat dikalahkan dengan ilmunya saja. Dengan demikian, maka Sabungsaripun telah mengguncang lawannya dengan serangan yang berubahubah. Ia memancing lawannya mendekat dengan sorot matanya. Kemudian dengan tiba-tiba menyerangnya dengan senjatanya. Ia yakin, bahwa perasaan sakit itupun akan dapat mempengaruhi ketahanan tubuh lawannya. Bahkan iapun semakin lama semakin meyakini, bahwa usahanya bukannya sama sekali tidak berhasil. Namun dengan demikian, maka iapun harus menanggung akibat yang gawat. Dalam perkelahian dengan ujung senjata, maka Banjar Aking sekali-sekali dapat pula menyentuhnya. Luka ditubuhnya bukannya sekedar seleret dilengannya.

Tetapi kemudian digores dibahunya. Darah mengalir dari pundaknya pula ketika ujung senjata lawannya menyentuhnya. Dan bahkan lambungnya telah dilukainya pula. Tetapi dalam pada itu, meskipun kulit Banjar Aking tidak terluka segorespun, tetapi rasa-rasanya dagingnya menjadi lumat. Tulang tulangnya bagaikan retak, dan jantung didadanya telah dihimpit oleh remasan sorot mata lawannya. Ternyata bahwa lawannya, prajurit muda Pajang yang bertugas di Jati Anom itu, adalah seorang prajurit yang berotak terang. Ia bertempur dengan perhitungan yang cermat dengan bekal ilmunya yang mapan. Sekali-sekali Banjar Aking mengumpat. Ia memang tidak menduga, bahwa ia akan bertemu dengan lawan yang masih muda. tetapi memiliki kemampuan yang tinggi dan otak yang cerah. Dengan demikian, maka di saat-saat terakhir, meskipun Sabungsaripun telah diwarnai dengan merah darahnya, hampir diseluruh tubuhnya, namun Banjar Akingpun merasa, bahwa tubuhnya dibagian dalam telah menjadi hancur, sehingga dengan demikian kemampuannyapun menjadi susut. Daya tahannya tidak lagi rapat, dan bahkan kadang-kadang ia telah kehilangan kemampuan untuk memusatkan ilmunya. Sabungsaripun menjadi semakin lemah. Titik-titik darah dari tubuhnya membuatnya kehilangan sebagian dari kemampuannya. Namun ia akhirnya merasa keadaannya masih lebih baik dari lawannya. Sementara isyarat dari Putut Tanggon masih terdengar. Bahkan semakin dalam memanggil orang-orang terbaik dari Gunung Kendeng untuk membantu lingkungan pertempuran yang terpisah itu. Namun isyarat itu telah bersambut dengan ledakan cambuk yang bagaikan membelah isi dada. Ternyata bahwa Kiai Gringsing harus mempergunakan senjatanya melawan Gembong Sangiran yang memiliki ilmu yang hampir tuntas. Namun ternyata bahwa Gembong Sangiranpun masih harus memperhitungkan ujung cambuk Kiai Gringsing dengan cermat. Ilmu kebal dari Gunung Kendeng itu masih harus diuji kemampuannya melawan ujung cambuk yang digetarkan oleh kemampuan ilmu seorang yang bernama Kiai Gringsing. Dibagian lain dari arena pertempuran itu, Agung Sedayu berhadapan dengan murid terbaik dari Gunung Kendeng yang sedang dibakar oleh dendam. Bahkan dalam pergeseran pertempuran itu, Jandon justru menjadi semakin dekat dengan arena pertempuran antara Sabungsari dan Banjar Aking, sementara Kiai Gringsing yang bertempur melawan Gembong Sangiran justru menjadi semakin jauh, mendekati regol halaman. Dalam keremangan malam, Jandon dan Agung Sedayu sempat melihat, apa yang terjadi antara

Sabungsari dan Banjar Aking. Bahkan terdengar Jandon mengumpat, “Setan alas. Bagaimana mungkin anak sakit-sakitan itu dapat bertahan.” Namun Jandon hampir saja berteriak ketika ia melihat Banjar Aking yang terdorong beberapa langkah, dan kemudian diluar dugaannya, jatuh pada lututnya. Sementara Sabungsari terhuyung-huyung mendekatinya sambil mengacungkan senjatanya. Tetapi Banjar Aking sempat bangkit dan dengan susah payah melangkah menjauhi lawannya. Sementara itu, sekali lagi terdengar isyarat yang dilontarkan oleh Putut Tanggon. Keadaannya dan orang-orang Gunung Kendeng disekitarnya, berada dalam kesulitan. “Orang-orang gila ini harus segera dihabisi,“ geram Jandon dengan kemarahan yang menghentakhentak dadanya. “Jangan mengumpat-ngumpat,“ sahut Agung Sedayu yang mendengarnya pula. “Kau adalah orang yang bernasib buruk,“ berkata Jandon sambil bertempur, “karena kau yang berada dihadapanku, maka kaulah orang yang pertama-tama akan mendapat hukuman karena kemarahanku terhadap seluruh isi padepokan ini.” Agung Sedayu tidak menyahut. Ia mengerti, bahwa Jandon memang seorang yang luar biasa. Dalam benturan-benturan pertama yang terjadi, maka ia dapat mengetahui, bahwa Jandon memang memiliki ilmu yang tinggi. Apalagi ketika kemarahan Jandon telah sampai kepuncaknya. Ketika ia melihat keadaan Banjar Aking yang menjadi semakin lemah sebelum ia berhasil mengalahkan Sabungsari. Sementara itu lisyarat yang didengarnya tentang kesulitan-kesulitan yang dialami sekelompok orangorang Gunung Kendeng diputaran pertempuran yang lain, sementara Gembong Sangiran telah mendapatkan lawan yang tangguh. Karena itulah maka Agung Sedayupun kemudian merasa, kemarahan Jandon itu telah tersalur dalam sentuhan-sentuhan tangannya dan kecepatan geraknya. Dengan penuh nafsu Jandon benar-benar telah sampai kepuncak ilmunya. Ia ingin dengan cepat membunuh Agung Sedayu, sehingga ia akan dapat melakukannya pula atas orang-orang lain, sebelum keadaan orang-orang Gunung Kendeng menjadi semakin buruk. Seperti orang-orang Gunung Kendeng yang lain, yang telah sampai pada tingkat kematangan ilmunya, maka Jandonpun ternyata memiliki pula ilmu kebal seperti murid-murid terbaik yang lain, bahkan seperti yang diakui oleh setiap orang di perguruan Gunung kendeng, setelah Jandon merantau beberapa lama, maka ilmunya seolah-olah telah menjadi semakin sempurna, melampaui setiap murid dari Gunung Kendeng yang lain. Oleh kemarahannya yang menghentak-hentak jantungnya, maka segenap ilmu yang ada padanyapun telah terungkap. Karena itulah, maka Agung Sedayupun kemudian merasakan, betapa kulit daging orang itu bagaikan

mengeras seperti baja. Dengan tanpa menghiraukan lawannya, Jandonpun menyerang dengan dahsyatnya. Ia tidak menghiraukan, apakah Agung Sedayu akan menghindar atau tidak. Apakah Agung Sedayu akan ganti menyerangnya atau tidak. Apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu, tidak akan banyak bermanfaat terhadap dirinya yang telah mengerahkan segenap ilmu kebalnya sampai pada tataran yang tertinggi yang dimilikinya. Ketika Agung Sedayu sempat menghindari serangannya, dan kemudian dengan loncatan panjang menyerangnya, maka Jandon hanya menggeretakkan giginya saja tanpa tergetar sama sekali. Bahkan seolah-olah ia tidak merasa betapa kulitnya telah dihantam oleh serangan Agung Sedayu dengan sepenuh kekuatannya, dan seolah-olah ia sama sekah tidak merasa didorong oleh hentakkan kekuatan anak muda itu. “Jangan menyianyiakan waktu dan tenaga. Kau akan mati. Karena itu, hentikan perlawananmu dan matilah dengan tenang,“ berkata Jandon sambil melangkah maju dengan garangnya, tanpa mempersiapkan diri menghadapi serangan-serangan yang dapat dilontarkan oleh Agung Sedayu. “Gila,“ geram Agung Sedayu yang sudah mengerahkan segenap kekuatannya. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu baru sampai kepada pengerahan segenap kekuatan dan kemampuan dari tenaga dan tenaga cadangan yang ada didalam dirinya. Dalam keadaan yang gawat, maka ia tidak akan dapat menyerah pada batas-batas kemampuannya. Namun ketika ia melihat Jandon melangkah mendekatinya dengan tatapan mata iblis yang buas dan liar, maka Agung Sedayu merasa, bahwa ia masih terlalu muda untuk mati. Lebih daripada itu, maka iapun merasa berkewajiban untuk berjuang menghentikan segala tingkah laku dan perbuatan orang-orang Gunung Kendeng, termasuk orang yang sedang dihadapinya itu. Apalagi dengan dukungan ilmu yang luar biasa, maka Gunung Kendeng pada masa-masa mendatang, akan dapat menjadi hantu bagi sesama. Karena itu, sekali lagi Agung Sedayu menghubungkan dirinya dengan Yang Maha Agung dalam pasrah. Baru kemudian ia mehhat kepada dirinya sendiri dengan ilmu yang telah dikurniakan kepadanya. Semakin dekat Jandon kepadanya, maka Agung Sedayupun menjadi semakin berdebar-debar. Ia mulai nampak menjadi semakin tegang. Beberapa hal telah ditelaahnya pada makna kitab Ki Waskita. Ia telah mempelajari, bagaimana ia menyerap segala macam bunyi yang ditimbulkan oleh sentuhan wadagnya. Namun selain itu, iapun telah melihat pada makna kekuatan yang dapat melindungi dirinya, seperti yang pernah dipelajari oleh Rudita. Dengan demikian, maka ketika kemudian Jandon yang sudah selangkah dihadapannya, langsung menghantam dadanya diarah jantung, maka Agung Sedayu tidak berusaha menghindar. Tetapi ia telah

membentur serangan itu dengan lambaran ilmu yang dipelajarinya dan disadapnya setelah ia mengalami makna isi kitab pada bagian yang dapat melindungi dirinya, dengan menyilangkau tangan didadanya. Benturan yang terjadi benar-benar telah mengejutkan, Jandon seolah-olah tidak percaya bahwa ia melihat seolah-olah Agung Sedayupun menjadi kebal pula. Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu telah mengetrapkan ilmu yang disadapnya dari makna kitab Ki Waskita. Meskipun ia masih belum menguasainya sepenuhnya, tetapi lambaran dari ilmu yang ada pada dirinya, maka ternyata bahwa Agung Sedayu memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa. Dari Kitab Ki Waskita, ia telah mempelajari kemungkinan perlindungan pada kulitnya, sebagaimana ilmu kekebalan, sementara ia sendiri memiliki kekuatan yang luar biasa, didorong pula oleh penelaahannya terhadap isi kitab itu pula. Karena itu, maka kemampuan yang luluh pada dirinya itu benar-benar telah mengejutkan lawannya. Meskipun demikian, masih terasa pada tubuh Agung Sedayu, sengatan rasa sakit pada benturan yang telah terjadi. Namun ternyata bahwa kekuatannya agak lebih besar dari Jandon, orang terbaik dari perguruan Gunung Kendeng. Karena itulah, maka Agung Sedayu dalam benturan itu masih harus berdesis menahan sakit, meskipun tidak nampak oleh lawannya, sementara Jandon justru terdesak selangkah surut. “Gila,“ geram Jandon, “kau tidak lumat oleh seranganku. Bahkan kau justru berusaha untuk menyombongkan diri, membentur seranganku. He, Agung Sedayu. Kau ingin memperlihatkan, bahwa kau memiliki daya tahan tubuh setingkat dengan ilmu kebal?” “Aku sedang bertempur,“ jawab Agung Sedayu, “aku sama sekali tidak menyombongkan diri atau berusaha memperlihatkan kelebihan apapun juga. Yang aku lakukan, adalah melindungi diriku, agar aku tidak mati karena tergilas oleh kekuatan ilmumu.” “Persetan,“ geram Jandon. Namun ia harus melihat suatu kenyataan, bahwa dipadepokan itu terdapat seseorang yang mampu mengimbangi ilmunya, yang dikiranya tidak ada duanya. Jangankan dipadepokan-padepokan kecil seperti di padepokan Agung Sedayu itu. bahkan di Pajangpun ia mengira, bahwa jarang ditemui orang yang mampu mengimbanginya. Tetapi kini ia bertempur melawan Agung Sedayu yang selain ilmu yang diterimanya dari gurunya, dan ilmu yang tumurun dari ayahnya lewat cara yang aneh, juga ilmu yang disadapnya dari sebuah kitab yang dipinjamnya dari Ki Waskita.

Kemarahan Jandon yang dilandasi oleh dendam yang membakar jantungnya, telah mendorongnya untuk mengerahkan segenap kemampuan, ilmu dan kekuatannya. Kemampuan tenaga dan tenaga cadangannya, dilambari dengan kekuatan daya tahan dan ungkapan ilmunya yang nggegirisi. Dengan demikian, maka pertempuran antara Jandon dan Agung Sedayu itupun kemudian menjadi semakin seru dan garang. Ternyata keduanya memiliki ilmu yang sulit dicari bandingnya, sementara mereka seolah-olah telah dibakar oleh kejaran waktu dan isyarat-isyarat yang terdengar dari Imgkaran pertempuran yang lain di halaman padepokan itu pula. Dalam pada itu. Kiai Gringsing dan Gembong Sangiranpun telah terhbat dalam pertempuran yang sulit dimengerti. Ledakan cambuk Kiai Gringsing benar-benar menggetarkan jantung. Ujung cambuknya yang menggelepar, seolah-olah telah mengguncang udara malam, sehingga dedaunan dan pepohonanpun telah berguncang pula. Namun dalam benturan kekuatan dan ilmu yang dahsyat itu, Gembong Sangiran yang cerdik itu telah sempat mengurai keadaan. Ia mendengar isyarat yang diberikan oleh Putut Tanggon yang semakin mendesak. Iapun melihat kesulitan yang kemudian dialami oleh Banjar Aking, orang yang dibanggakannya, yang dipanggilnya dari Pesisir Lor Sementara Jandon, orang yang dianggapnya tidak ada duanya itu, masih belum dapat mendesak Agung Sedayu. Bahkan kemudian Gembong Sangiran melihat, bahwa Agung Sedayu ternyata memiliki kemampuan untuk mengimbangi ilmu Jandon yang dikagumi oleh seluruh isi padepokan Gunung Kendeng, termasuk Banjar Aking yang sudah membuat kekaguman yang luar biasa di Pesisir Lor sehingga namanya tidak kalah mengerikan dari hantu dan iblis. Ternyata betapa cerdiknya pemimpin tertinggi dari Gunung Kendeng itu, dan betapa ia berhasil membangunkan kesetiaan yang luar biasa. Setiap orang dari perguruan Gunung Kendeng, adalah orang yang bersedia mengorbankan apa saja bagi kepentingan pemimpinnya. Demikian juga, pada saat-saat yang paling gawat seperti yang dihadapi oleh Kiai Gembong Sangiran pada saat itu. Dengan lambaran kesetiaan yang tinggi, maka Gembong Sangiran telah mendengar beberapa isyarat. Bukan saja permintaan perlindungan, seperti yang diduga oleh orangorang padepokan Jati. Anom, tetapi justru pemberitahuan, bahwa keadaan mereka menjadi semakin sulit. Terdengar Gembong Sangiran menggeram. Sekali lagi ia merasa, bahwa langkahnya telah salah Ia tidak dapat mengharapkan apapun juga dari arena pertempuran itu. Seandainya Jandon segera dapat mengalahkan lawannya, ia masih berharap, bahwa Jandon akan dapat menghancurkan setiap orang dipadepokan itu, sementara Kiai Gringsing akan dapat ditundukkannya pula. Tetapi perhitungannya atas Jandon ternyata keliru. Pada tingkat ilmu yang mengagumkan itu,

maka Agung Sedayu masih dapat mengimbanginya. Karena itu, yang tidak terduga oleh orang-orang Jati Anom itupun telah terjadi. Isyarat yang diperdengarkan oleh Putut Tanggon menjadi agak berubah. Semula ia memang memberi isyarat akan kesulitan yang dialaminya bersama beberapa orangnya. Tetapi kemudian telah berubah menjadi semacam isyarat, bahwa keadaan tidak akan tertolong lagi. Untara, telah menyapu orang-orang Gunung Kendeng tanpa ampun. Sementara dilain tempat, Putut Panjerpun tidak dapat berbuat banyak. Sehingga iapun telah memperdengarkan isyarat yang sama pada saat-saat terakhirnya. Pada saat yang sulit itu, maka nampaklah betapa besar nama Gembong Sangiran bagi orang-orang Gunung Kendeng. Mereka dengan setia mengorbankan apa saja bagi pemimpin tertingginya. Itulah sebabnya, maka setiap orang diantara merekapun telah menghentakkan segala kemampuan terakhirnya pada saat-saat yang gawat. Dengan demikian, maka pertempuran itu telah meningkat menjadi semakin sengit. Namun orang-orang Jati Anom tidak begitu mengerti, apakah yang sebenarnya akan terjadi. Bahkan diantara mereka telah mengira, bahwa isyarat-isyarat itu telah mengundang orang-orang baru yang berada diluar padepokan itu. Karena itu, maka ketika terdengar derap kaki kuda, maka orang-orang padepokan kecil itu menjadi berdebar-debar. Mereka menyangka bahwa orang-orang Gunung Kendenglah yang akan datang memasuki regol halaman. Mereka tidak sempat memperhitungkan, bahwa suara isyarat yang diperdengarkan oleh Putut Tanggon dan Putut Panjer itu tidak akan terdengar dari jarak yang jauh. Demikian derap kaki kuda itu berdiri didepan regol, maka orang-orang yang bertempur dihalaman itu melihat sesosok bayangan yang bagaikan terbang kearah regol, menunggu setiap orang yang akan memasuki regol itu dengan niat apapun. Jantung Agung Sedayu berdebaran melihat orang itu. Demikian pula Sabungsari dan Kiai Gringsing. Mereka melihat, betapa tmggi kemampuan orang itu. Dan terlebih-lebih lagi ketika mereka mehhat siapakah orang yang telah berdiri tegak didepan regol padepokan itu. “Kakang Untara,“ desis Agung Sedayu. Sebenarnyalah Untara yang juga mendengar derap kaki kuda, memperhitungkan beberapa

kemungkinan. Mungkin yang datang itu adalah orang-orangnya yang telah terlebih dahulu berkuda menuju kepadepokan kecil itu, tetapi ditengah jalan ternyata telah bertemu dengan beberapa orang prajurit Pajang yang telah berpihak kepada Ki Pringgajaya. Tetapi mungkin juga pihak lain yang mendengar isyarat orang-orang Gunung Kendeng jitu. Namun dalam pada itu, orang-orang Gunung Kendeng mengetahui lebih pasti, bahwa orang-orang yang datang berkuda itu tentu bukan kawan-kawan mereka. Itulah sebabnya, maka Gembong Sangiran telah mengambil keputusan. Keputusan seorang pemimpin tertinggi yang tidak akan dapat diganggu gugat oleh murid-muridnya yang setia. Bahkan yang dilakukan itulah memang yang diharapkan oleh murid-muridnya yang bertempur matimatian menghadapi kemungkinan yang paling parah sekalipun. Ketika dua orang berkuda muncul diregol halaman, maka Gembong Sangiran telah mengambil kesempatan untuk meloncat, meninggalkan arena pertempurannya melawan Kiai Gringsing, Tindakan yang sama sekali tidak diduga oleh lawannya, sehingga karena itu, Kiai Gringsing yang terkejut, menduga, bahwa Gembong Sangiran telah melakukan satu gerak yang akan dapat menjebaknya. Namun ketika Kiai Gringsing yakin, apa yang dilakukan oleh lawannya, maka dengan serta merta iapun berusaha untuk memburunya. Namun keragu-raguan Kiai Gringsing yang sekejap itu ternyata sangat berarti bagi Gembong Sangiran yang berilmu tinggi. Dalam sekejap, ia telah berhasil meninggalkan lawannya beberapa langkah sehingga Kiai Gringsing tidak dapat memburunya lagi. Dengan tangkasnya Gembong Sangiran telah melenting meloncat keatas dinding. Ketika Kiai Gringsingpun menyusulnya seperti seekor burung garuda yang melayang mendaki lereng pegunungan, maka Gembong Sangiran telah meluncur dan meghilang kedalam gelap. Sementara Kiai Gringsing yang tidak ingin kehilangan lawannya, berusaha untuk menyusulnya. Iapun meluncur pula dengan derasnya dan menghambur kedalam gelap. Tetapi Gembong Sangiran yang mendapat kesempatan lebih baik itu, tidak dapat disusulnya. Gembong Sangiran yang memiliki ilmu yang mumpuni itu berhasil melepaskan diri dari pengamatan Kiai Gringsing yang mengejarnya. Terdengar orang tua itu menggeram. Bahwa Gembong Sangiran telah lepas dari tangannya, akan dapat berakibat kurang baik bagi padepokan kecil itu, karena Gembong Sangiran yang dibakar oleh dendam itu akan dapat berbuat banyak pada kesempatan lain. Ia mempunyai banyak pengikut, banyak kawan dan mungkin saudara-saudara seperguruannya. Kegagalannya itu akan menjadi pengalaman baginya. Sebagai seorang yang ditakuti didaerah yang luas, kegagalannya yang terulang dua kah atas sasaran yang sama, berarti gejolak gemuruhnya api diperut gunung yang setiap saat akan dapat meledak. Kiai Gringsing seolah-olah terbangun dari mimpi buruknya ketika ia menyadari keadaannya. Iapun belum sempat melihat, siapakah yang datang berkuda kedalam halaman padepokannya.

Karena itu, maka iapun segera berlari bagaikan terbang kembali memasuki halaman. Seperti saat ia keluar, maka iapun tidak masuk lagi melalui regol halaman, tetapi ia telah meloncat keatas dinding, kemudian meluncur kedalam halaman. Ternyata ia tidak melihat kesulitan yang berkembang dihalaman itu. Bahkan ia melihat Untara berbicara dengan dua orang prajurit berkuda yang telah menyusulnya kepadepokan itu. Sementara itu, Sabungsari masih bertempur melawan Banjar Aking. Namun keduanya seolah-olah tidak lagi dapat menguasai diri masing-masing. Setiap kali, Banjar Aking terdorong beberapa langkah surut. Meskipun kulitnya masih tidak terluka, namun tulang-tulangnya serasa telah menjadi remuk. Kekuatannya telah jauh susut, dan bahkan ia hampir tidak mampu lagi bergerak ketika Sabungsari datang menghunjamkan pedangnya kedadanya. Banjar Aking jatuh terlentang. Tetapi dadanya tidak terluka. Sabungsari sendiri terdorong selangkah surut. Sambil menggeretakkan giginya ia menggeram. Selangkah ia maju. Terhuyung-huyung ia mengangkat pedangnya. Ketika Banjar Aking bangkit, sekali lagi ia menghantam lawannya dengan pedangnya. Tidak lagi dengan kekuatannya yang dahsyat, yang seolah-olah telah terperas habis. Namun ia hanya dapat menjatuhkan pedangnya karena berat pedang itu sendiri. Kekuatan raksasapun tidak dapat menembus lapis-lapis ketahanan ilmu Banjar Aking, pada saat-saat ia masih mampu memusatkan daya tahannya dengan lambaran ilmunya. Namun dalam keadaan yang paling pahit, ia tidak lagi memiliki kekuatan yang cukup selain untuk mempertahankan agar kulitnya tidak sobek karenanya. Bahkan dendam yang menyala didada Jandon menjadi semakin membakar jantung, karena kegagalan yang mulai membayang. Namun dalam pada itu, terdengar Agung Sedayu berkata, “Apakah kau masih ingin bertempur terus Ki Sanak?” “Setan alas,“ geram Jandon, “aku akan membunuh kalian. Kepergian Ki Gembong Sangiran adalah pertanda perintah, bahwa aku harus segera menyelesaikan pertempuran ini.” Agung Sedayu tidak menyahut. Ia merasa bahwa Jandon telah mengerahkan segenap ilmunya. Bahkan ilmu yang paling kasar sekalipun. Sentuhan kakinya, seolah-olah telah menghembus debu dan gumpalan tanah menghambur kearah Agung Sedayu. Disusul dengan lontaran angin prahara menghantam dadanya. Tetapi Agung Sedayu yang telah meloncati garis kemampuannya karena landasan ilmmu yang disadapnya dari kitab Ki Waskita, mampu melindunginya dari terkaman ilmu yang dahsyat itu.

Dalam pada itu, ternyata bahwa murid-murid terbaik dari Gunung kendeng yang lain, tidak mampu lagi bertahan lebih lama lagi. Beberapa orang telah terkapar ditanah. Mereka tidak mampu lagi bangkit karena luka-lukanya. Bahkan dua orang diantara mereka, bukan saja telah pingsan, tetapi mereka tidak akan dapat lagi bangkit untuk selamanya. Diantara mereka yang dilumpuhkan adalah Putut Tanggon dan Putut Panjer. Meskipun mereka sama sekali tidak ingin menyerah, tetapi karena mereka sudah kehilangan segala kemampuannya untuk melawan, menghadapi lawan-lawan tangguhnya, maka merekapun seakan-akan telah jadi lumpuh. Bahkan Putut Tanggon telah menjadi pingsan, sementara Putut Panjer tidak lagi mampu berbuat sesuatu. Bahkan untuk membunuh diripun ia tidak lagi mempunyai kesempatan. Di halaman, Sabungsari benar-benar sudah kehabisan tenaga. Ketika ia melihat Banjar Aking terhuyung-huyung dan jatuh terkapar, maka ia mencoba untuk mendekatinya. Tetapi pedangnya tidak lagi dapat dipergunakan, bahkan ia terpaksa mempergunakannya sebagai tongkat ketika ia tertatihtatih. Namun akhirnya Sabungsaripun jatuh pada lututnya. Dan sejenak kemudian, iapun jatuh terbaring ditanah. Nafasnya menjadi terengah-engah. Lampu-lampu minyak menjadi semakin lama semakin buram, sehingga akhirnya, semuanya tidak lagi dapat dilihatnya. Hampir bersamaan, Sabungsari dan Banjar Aking telah menjadi pingsan pula. Yang masih saja bertempur dengan dahsyatnya adalah Jandon dan Agung Sedayu. Mereka berloncatan, berputaran dan desak mendesak. Tenaga raksasa yang terlontar dari ungkapan ilmu masing-masing telah menimbulkan angin pusaran yang memutar pepohonan dan dedaunan dihalaman itu. Kiai Gringsing masih sempat memperhatikan pertempuran itu sejenak. Dengan dada yang berdebardebar ia mencoba menilai kemampuan ilmu Agung Sedayu. Sambil berdesah ia berkata didalam hatinya, “Pada saat terakhir, Yang Maha Kuasa telah mengkurniainya dengan landasan ilmu yang luar biasa. Agaknya dengan demikian, maka ia memang mendapat kesempatan dan perlindungan dari kedengkian dan ketamakan.” Dalam ketegangan itu Untara telah mendekatinya. Disamping Kiai Gringsing ia memperhatikan, betapa Agung Sedayu sedang bertempur dalam puncak kemampuan yang telah dicapainya. Sejenak Untara tercengkam oleh keheranan. Ia tahu bahwa Agung Sedayu memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi ia tidak pernah melihat sampai seberapa jauh kemampuan adik kandungnya itu. Adik kandungnya yang masih selalu dianggapnya sebagai seorang adik yang selalu memerlukan bimbingannya, selalu memerlukan petunjuk dan bahkan kadang-kadang masih juga dimarahinya. Kini ia menyaksikan, betapa tinggi ilmu adiknya itu.

Seorang laki-laki yang pada masa kanak-kanaknya adalah seorang penakut yang sangat mencemaskan. Bahkan Untara pernah merasa berputus asa untuk membentuk adiknya itu menjadi seorang laki-laki. Sekilas terbayang, bagaimana ia memaksa adiknya untuk pergi ke Sangkal Putung, ketika ia sedang terluka di Dukuh Pakuwon. Ia terpaksa mengancam Agung Sedayu untuk membunuhnya jika ia tidak berani pergi sendiri ke Sangkal Putung, menemui pamannya Widura yang saat itu memegang pimpinan prajurit Pajang di Kademangan yang dibayangi oleh pasukan Tohpati itu. Anak yang ketakutan itu, kini dilihatnya bertempur melawan seorang murid terbaik dari perguruan Gunung Kendeng. Sehingga jika Untara tidak mengenal adiknya itu seperti ia mengenal dirinya sendiri, maka ia tidak akan percaya kepada penglihatannya, bahwa yang sedang bertempur itu adalah Agung Sedayu. Sejenak kemudian, maka Widurapun telah berada di dekatnya pula. Disusul oleh Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda. Meskipun Ki Lurah Wirayuda ternyata telah terluka, tetapi luka itu tidak membahayakan dirinya. Disebelah pendapa orang-orang yang tertawan duduk dengan lemahnya, sementara beberapa orang diantara nya masih terbaring ditempatnya. Dua orang prajurit Pajang yang datang kemudian, telah mengawasi mereka dengan saksama dibantu oleh tiga orang pengikut Sabungsari. Seorang dari mereka, ternyata telah terluka parah, dan telah terbaring pula dipendapa. Dalam pada itu, Glagah Putihpun telah berdiri dengan tegangnya disebelah ayahnya di halaman, memperhatikan pertempuran yang masih terjadi antara Agung Sedayu dan Jandon yang memiliki ilmu yang luar biasa. “Yang terjadi bukan perang tanding,“ teriak Jandon, “karena itu, jika ada diantara kalian yang ingin membantu Agung Sedayu, aku tidak berkeberatan. Aku akan segera membunuh kalian. Semakin cepat semakin baik.” “Kau tidak mempunyai kesempatan lagi,“ sahut Agung Sedayu,“ berpikirlah dengan bening.” “Kau menjadi ketakutan. Tidak ada ampun lagi bagimu Agung Sedayu. Demikian orang-orang lain yang ada dipadepokan ini,“ geram Jandon. Agung Sedayu tidak menjawab. Pertempuran itupun masih berlangsung dengan dahsyatnya. Ternyata kedua-duanya seakan-akan tidak dapat disakiti oleh lawannya. Dalam pada itu, selagi Agung Sedayu dan Jandon bertempur mempertaruhkan segenap kemampuan masing-masing, maka telah datang dua orang prajurit Pajang yang lain dengan membawa beberapa orang tawanan pula dengan tangan terikat. Mereka adalah prajurit-prajurit yang telah menjadi pengikut Ki Pringgajaya dan berusaha mencegat prajurit-prajurit Pajang yang akan datang kepadepokan kecil itu. Para tawanan itupun kemudian ditempatkan disisi pendapa itu pula, sementara para pengikut

Sabungsari sempat mengangkat prajurit muda yang terluka dan pingsan itu kependapa. “Awasi lawannya yang mungkin juga hanya pingsan itu,“ pesan Untara, “dan usahakan memberikan kesegaran kepada Sabungsari. Carilah air. Titikkan kebibirnya. Kiai Gringsing nanti akan menanganinya. Ia sekarang masih dicengkam oleh pertempuran yang dahsyat itu.” Sebenarnyalah bahwa Kiai Gringsing seolah-olah tidak sempat mengejapkan matanya. Ia mengamati pertempuran itu dengan jantung yang rasa-rasanya berdegup semakin keras. Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Jandon yang sudah memeras segenap kemampuannya itu rasarasanya masih belum dapat meraba, apakah yang akan terjadi atas mereka. Masing-masing tidak dapat melukai dan menyakiti lawannya. Meskipun mereka menyadari, bahwa kekebalan yang melindungi kulit mereka itu, bukannya kekebalan yang mutlak, karena bagian dalam tubuh mereka akan dapat diremukkan oleh kekuatan yang terlalu besar bagi daya tahan tubuh mereka. Namun ternyata kemampuan Jandon memang lebih tinggi dari Banjar Aking. Sementara Agung Sedayu yang baru mulai dengan ilmu kekebalan itu, rasa-rasanya memang mulai merasa, bahwa bagian dalam tubuhnya telah tersentuh oleh kekuatan lawannya, sehingga perasaan sakit mulai menjalari daging dan tulang-tulangnya. Tetapi kemampuan Agung Sedayupun melampaui kemampuan Sabungsari, sehingga karena itu, maka Jandonpun tidak dapat segera mengalahkannya. Apalagi Agung Sedayu masih dapat menahan perasaan sakit yang mulai menyengat bagian dalam tubuhnya. Bahkan seolah-olah ia tidak merasa sama sekali sentuhan-sentuhan kekuatan Jandon yang pilih tanding, betapapun rasa nyeri itu sebenarnya telah menjalari tulang-tulangnya. “Anak iblis,“ geram Jandon, “tidak seorangpun yang pernah memberitahukan kepadaku, bahwa iblis inipun memiliki ilmu kebal.” Agung Sedayu tidak mendengar dengan jelas. Namun iapun mulai mempertimbangkan, bahwa jika ia tidak mengambil sikap yang menentukan, maka ia akan segera terdesak dan bahkan mungkin ia akan dapat dilumpuhkan. Dalam pada itu, Agung Sedayupun mulai memikrkan kemampuan ilmunya yang masih belum dipergunakan. Ia belum menyerang lawannya pada jarak yang melampaui jarak jangkau wadagnya. Agung Sedayu menyadari, bahwa ilmu yang terpancar pada sorot matanya pada tataran terakhir telah jauh meninggalkan kemampuan yang dapat dilakukan oleh Sabungsari. Dengan demikian, maka meskipun Jandon pun memiliki kelebihan dari Banjar Aking, maka ia masih berharap bahwa ilmunya akan dapat menembus ketahanan ilmu kebal murid Gunung Kendeng yang paling dipercaya itu. Dalam pada itu, orang-orang yang mengerumuni pertempuran itupun menjadi semakin tegang. Kiai

Gringsing, yang mengenal betul kepada muridnya, melihat betapa hentakkan serangan lawannya terasa sakit pada bagian dalam tubuhnya. Dan Kiai Gringsingpun melihat, kerut wajah Agung Sedayu, betapa ia berusaha untuk menahan sakit itu. Namun harga diri Agung Sedayu tentu akan tersinggung jika seorang dari antara mereka yang berdiri dilingkaran pertempuran itu mencoba membantunya. Bahkan seandainya ia sendiri sebagai gurunya. Karena itu, maka Kiai Gringsing benar-benar menjadi gelisah. Agaknya Agung Sedayupun tidak mau mempergunakan senjatanya, karena lawannya juga tidak bersenjata. Tetapi seperti Agung Sedayu, maka Kiai Gringsing masih mempunyai harapan. Harapan yang tidak dilihat oleh orang lain, karena tidak setiap orang mengetahui bahwa Agung Sedayu memiliki ilmu yang dapat dipergunakannya untuk menyentuh lawan tanpa wadagnya. Dalam pada itu, maka tiba-tiba saja telah terjadi benturan yang dahsyat ketika Jandon meloncat menyerang Agung Sedayu dengan sepenuh kekuatan, sementara Agung Sedayu tidak sempat menghindarinya. Demikian kerasnya benturan itu terjadi, sehingga Jandon telah terlempar tiga langkah surut, sementara Agung Sedayu ternyata telah terlempar lebih jauh lagi. Bahkan nampaknya Agung Sedayu tidak dapat menahan keseimbangannya lagi, sehingga iapun telah jatuh terguling ditanah. Ketika Jandon siap menyerangnya, ternyata Agung Sedayu belum sempat bangkit. Ia masih duduk ditanah bersandar pada kedua tangannya. Setiap orang menjadi berdebar-debar. Kiai Gringsingpun menjadi berdebar-debar pula. Namun tibatiba orang tua itu mengerutkan keningnya. Ia melihat sesuatu pada muridnya. Agaknya Agung Sedayu bukannya tidak sempat bangkit atau bahkan bukan karena ia tidak mampu lagi untuk bangkit. Tetapi dalam keadaan yang demikian, Agung Sedayu telah mengetrapkan ilmunya yang dahsyat, yang dilontarkan lewat sorot matanya. Agung Sedayu sendiri tidak mengetahui, apakah kemampuan ilmunya itu akan dapat menembus perisai yang melindungi lawannya. Jika ia gagal, maka ia akan mengalami kesulitan karena justru ia masih tetap duduk ditanah. Tetapi jika ia berhasil, meskipun tidak mutlak, maka ia akan dapat mengaturnya lebih jauh lagi. ***

Buku 132 DALAM kebimbangan, ternyata Agung Sedayu telah menghentakkan segenap kekuatannya, segenap kemampuannya, dan segenap daya ungkapnya atas ilmu yang dimilikinya. Ia tidak ingin mengalami kesulitan yang lebih parah lagi pada keadaan yang demikian. Meskipun ia tidak berharap akan dapat menyelesaikan pertempuran itu dengan serta merta, namun ia berharap bahwa ia akan dapat mempergunakan kemampuannya itu untuk bertahan lebih rapat dari lawannya. Pada saat yang gawat itu, Jandon telah bersiap untuk melontarkan serangannya langsung menghantam tubuh Agung Sedayu yang masih duduk ditanah bersandar pada kedua tangannya. Bahkan Jandon telah yakin, bahwa serangannya itu akan menentukan akhir dari perkelahian yang telah berlangsung terlalu lama baginya. Tidak pernah ada seorangpun yang dapat bertahan selama itu, selain Agung Sedayu, Namun tepat pada saat Jandon meloncat menyerang Agung Sedayu yang masih duduk ditanah itu, dengan lontaran kakinya datar menyamping, maka Agung Sedayu telah menyerangnya pula dengan tatapan matanya, menghantam dadanya. Ternyata bahwa lontaran ilmu Agung Sedayu yang luar biasa itu, telah berhasil menembus perisai ilmu Jandon yang membetengi dirinya. Karena itu maka pada saat ia melayang, terasa dadanya bagaikan dihentakkan oleh kekuatan yang sangat berat, bahkan kemudian seolah-olah isi dadanya bagaikan telah diremas. “Gila,“ Jandon mengumpat. Tetapi ia sudah meluncur dengan derasnya. Agung Sedayu sudah memperhitungkan keadaan itu dengan cermat. Ia melihat Jandon menyeringai menahan sakit. Dengan demikian ia yakin, bahwa ilmunya berhasil menembus tirai yang seolah-olah menyekat segala macam serangan atas murid terpercaya dari Gunung Kendeng itu. Tetapi Agung Sedayupun tidak mau dikenai serangan Jandon yang dilontarkan dengan segenap kekuatannya. Ternyata bahwa ketahanan ilmu Agung Sedayu masih belum mampu membebaskannya dari rasa sakit. Karena itu, jika serangan Jandon itu menghantam dadanya, meskipun ia sudah melambarinya dengan ilmu kebal yang baru mulai dipelajarinya, namun nafasnya tentu masih terasa sesak. Dan isi dadanyapun tentu akan diremukkannya. Karena itu, demikian serangan itu meluncur mendekati sasaran, Agung Sedayu telah melepaskan serangannya pula. Ia masih sempat berguling kesamping, menghindarkan diri dari sentuhan kaki Jandon. Jandon mengumpat dengan kasarnya ketika serangannya tidak menyentuh lawannya. Apalagi perasaan sakit masih saja terasa meremas dadanya, meskipun tiba-tiba telah menjadi jauh berkurang setelah

Agung Sedayu terpaksa menghindar. Namun ketika kaki Jandon menginjak tanah, ia masih harus berjuang sesaat untuk mengatur pernafasannya yang sesak karena remasan ilmu Agung Sedayu atas isi dadanya. Kesempatan itu telah dipergunakan pula oleh Agung Sedayu dengan sebaik-baiknya. Ia kini meyakini, bahwa ilmunya yang dapat dilontarkannya lewat tatapan matanya, ternyata telah jauh lebih mapan dari ilmu kebalnya. Karena itu, dilandasi dengan kemampuannya yang telah luluh didalam dirinya dari beberapa unsur ilmu, maka ia berniat untuk mempergunakannya pada saat-saat yang paling gawat itu. Ketika Jandon kemudian bersiap untuk memburunya, maka Agung Sedayupun telah bersiap pula. Seperti semula ia masih duduk ditanah, seolah-olah ia memang belum sempat berdiri karena keadaannya yang tidak menguntungkan setelah terjadi benturan yang terdahulu. Sekali lagi Jandon ingin melumatkan isi dada Agung Sedayu selagi Agung Sedayu belum sempat berdiri. Ia masih belum yakin, bahwa kesakitan didadanya itu adalah karena serangan lawannya yang tidak kasat mata. Ia masih belum menyadari, bahwa sebenarnya perasaan sakit itu bukannya karena benturan-benturan yang telah terjadi, sehingga bagian dalam tubuhnya menjadi pedih dan nyeri. Namun agaknya Agung Sedayu lebih cepat sekejap dari lawannya. Pada saat Jandon telah bersiap meloncat, maka Agung Sedayu telah meremas isi dadanya dengan sorot matanya, menembus perisai ilmu lawannya. Terasa nafas Jandon menjadi sesak. Meskipun ia masih sempat meloncat menyerang, karena daya lontarnya yang sudah siap mendorongnya, namun seakan-akan perasaan sakit telah tidak tertahankan lagi. Hanya karena ilmu kebalnya sajalah yang menyebabkan Jandon masih tetap mampu menyerang. Tanpa perisai ilmunya, ia tentu sudah terkapar ditanah. Yang dilakukan Agung Sedayu kemudian agak berbeda dengan yang terdahulu. Ia memang melepaskan ilmunya, tetapi ia tidak berguling menghindar. Ia tahu, lontaran serangan Jandon tidak sekuat serangannya sebelumnya, karena perasaan sakit yang telah menyengatnya lebih dahulu. Karena itu, maka Agung Sedayu itupun segera membenahi letak duduknya. Tangannyapun segera menyilang didadanya. Ketika serangan lawannya menghantamnya, maka yang terjadi adalah benturan yang dahsyat. Kaki Jandon telah menghantam tangan Agung Sedayu yang bersilang. Tetapi sebenarnyalah bahwa kekuatan Jandon bukannya sepenuh kemampuannya. Itulah sebabnya, maka ia tidak berhasil membanting Agung Sedayu terlentang ditanah. Bahkan ia sendirilah yang kemudian terhuyung-huyung surut. Hampir saja ia jatuh terlentang, jika ia tidak dengan sepenuh sisa tenaganya menjaga keseimbangannya.

Namun dalam pada itu. Agung Sedayu tidak melepaskannya. Ilmunya yang luar biasa itu ternyata telah benar-benar dapat dikendalikannya. Ia tidak mempergunakan waktu yang panjang untuk melontarkannya, seperti ia menyerang dengan tangan atau kakinya saja. Pada saat Jandon terhuyung-huyung itulah, Agung Sedayu telah menyerangnya dengan segenap ungkapan ilmu yang dimilikinya. Demikian kuatnya menembus perisai ilmu lawannya. Jandon yang masih terhuyung-huyung itu terkejut. Tetapi ia tidak sempat berbuat sesuatu. Ketika ia mencoba berdiri tegak, maka jantungnya bagaikan telah remuk oleh serangan ilmu lawannya. Sejenak Jandon termangu-mangu. Namun kemudian matanya menjadi berkunang-kunang. Tetapi ia tidak menyerah kepada perasaan sakit itu. Dihentakkannya segenap ilmu. Sekali lagi ia berusaha untuk meloncat menyerang. Namun perhitungan Agung Sedayu nampaknya telah benar-benar mengakhiri pertempuran itu. Jandon memang bersiap untuk menyerang. Tetapi Agung Sedayu tidak mau melepaskan lagi serangannya. Tatapan matanya bagaikan pusaran yang mengorek menembus ilmu kebal Jandon yang dibangga-banggakan. Namun ternyata dengan bekal ilmunya, beralaskan unsur-unsur dari ilmu yang telah dipelajarinya pula dengan menyadap makna isi kiab Ki Waskita, maka Agung Sedayu telah berhasil menembus perisai lawannya sampai kepusat jantung. Darah Jandon seakan-akan telah membeku karenanya. Dengan demikian maka kakinya tidak sempat lagi melangkah. Terhuyung-huyung ia maju. Betapa perasaan sakit mencengkamnya, namun tangannya masih juga mengembang, menerkam Agung Sedayu yang masih duduk ditanah. Agung Sedayu melihat bagaimana lawannya menerkamnya. Ia memang dihadapkan pada pilihan yang sulit. Menghindari terkaman lawannya, atau sama sekali tidak melepaskannya. Menurut perhitungan Agung Sedayu kwadaan Jandon sudah semakin parah. Ia merasa bahwa ilmunya lewat sorot matanya dapat mengorek dan menembus perisai ilmu lawannya. Karena itu, maka Agung Sedayupun memilih untuk tidak melepaskan serangannya lewat sorot matanya, meskipun tangan-tangan lawannya akan mencekik lehernya. Sebenarnyalah bahwa Jandon seolah-olah tidak mampu lagi untuk tetap tegak. Namun ketika ia akan jatuh tertelungkup, maka ia sempat memaksa kakinya melangkah maju, sehingga ketika ia benar-benar jatuh, maka tangannya masih sempat mencengkam leher lawannya. Terasa perasaan pedih dan panas bagaikan tersentuh bara telah menyengat leher Agung Sedayu.

Namun pada saat terakhir, tatapan matanya justru telah menyerang bagian yang lebih lemah lagi dari tubuh lawannya, yaitu matanya yang sedang menatap wajah Agung Sedayu dengan penuh keberanian. Demikian dahsyat serangan Agung Sedayu yang sudah berhasil menembus benteng ilmu lawannya, yang justru menjadi semakin lemah, maka sesaat kemudian, maka Jandonpun telah kehilangan segenap kemampuannya. Serangan Agung Sedayu seolah-olah telah menembus sampai kepusat syaraf dikepala Jandon, sehingga Jandon telah kehilangan segenap pengamatan diri, bahkan akhirnya setelah menggeliat sambil mengumpat, ia telah kehilangan segenap kemungkinan dapat bertahan untuk tetap hidup. Namun demikian Jandon jatuh terkulai disisi Agung Sedayu, maka terdengar anak muda itu mengeluh. Rasa-rasanya lehernya benar-benar seperti terbakar. Tangan Jandon yang dilambari dengan hentakkan sisa kekuatan dan puncak ilmunya, benar-benar telah membakar leher Agung Sedayu. Tetapi pertempuran itu sudah berakhir. Kiai Gringsing dengan tergesa-gesa telah berlari mendekatinya. Namun bagaikan terbangun dari sebuah mimpi yang mengerikan, maka Kiai Gringsingpun segera teringat kepada Sabungsari dan kepada orang-orang lain yang juga terluka parah. Tanpa berpikir tentang hal yang lain, maka Kiai Gringsingpun kemudian berteriak, “Bawa mereka kependapa.” Dengan serta merta, maka orang-orang yang terlukapun segera dibawa kependapa, termasuk Agung Sedayu. Pada saat itu, Untara berdiri termangu-mangu dibawah tangga pendapa padepokan kecil itu. Disampingnya Widura memandang Agung Sedayu dan Sabungsari yang terbaring diantara orang-orang lain yang terluka dengan hati yang gelisah. Sementara Glagah Putih dengan wajah yang tegang bersimpuh diantara Agung Sedayu dan Sabungsari. Keduanya terluka parah. Sabungsari masih pingsan, meskipun titik-titik air yang menyentuh bibirnya membuatnya agak segar. Bahkan perlahan-lahan anak muda itu sudah mulai menggerakkan bibirnya yang basah. Namun sementara itu, ternyata keadaan tubuh Agung Sedayupun sangat mencemaskan. Lehernya bagaikan terluka oleh sentuhan api. Agaknya hentakkan ilmu Jandon telah menyusup pula diantara ilmu kebal Agung Sedayu yang masih belum sampai ketingkat yang memadai, sehingga pada saat Agung Sedayu mengerahkan ilmunya pada sorot matanya, maka ternyata kulitnya telah dibakar oleh sentuhan tangan api murid terpercaya dari Gunung Kendeng itu. Sejenak kemudian. Kiai Gringsingpun telah bekerja dengan sibuknya, sementara beberapa orang lain telah mengumpulkan korban yang berjatuhan di padepokan kecil itu.

Glagah Putihpun kemudian sibuk membantu Kiai Gringsing, menyiapkan segala macam keperluannya untuk memperingan penderitaan Agung Sedayu, Sabungsari dan beberapa orang lain. Sementara mereka yang terluka tidak terlalu parah, telah dipersilahkan untuk mengobatinya sendiri untuk sementara, sebelum Kiai Gringsing sempat melakukannya. Dalam pada itu, perhatian Untara telah tertumpuk kepada orang-orang yang dapat ditawannya hiduphidup pada pertempuran itu. Selain prajurit-prajurit Pajang yang telah mencegat prajurit berkuda yang telah dikirim oleh Untara, ternyata juga bahwa Banjar Aking, yang bertempur melawan Sabungsari, masih hidup. “Kiai,“ berkata Untara kepada Kiai Gringsing, “usahakan, agar orang Gunung Kendeng itu tetap hidup. Agaknya ia termasuk orang yang cukup penting bagi padepokannya.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya, “Mudah-mudahan aku berhasil ngger. Orang itu memang penting untuk mencari keterangan yang agak lengkap tentang Gunung Kendeng, dan tentang hubungan Gunung Kendeng dengan orang-orang yang telah tertangkap diluar padepokan ini.” Untara mengangguk pula. Tangkapan-tangkapan itu harus segera diselamatkan, agar mereka tidak mengalami nasib buruk, jika kawan-kawannya mengambil sikap lain apabila mereka yakin tidak akan dapat membebaskan mereka. Beberapa kali telah terjadi, orang-orang yang mungkin dapat disadap keterangannya, telah dibunuh dengan kejamnya. Bahkan Sabungsaripun hampir menjadi korban pula dari orang yang dianggapnya memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Justru orang yang dipercaya untuk mengobatinya, telah dengan sengaja meracunnya. Untunglah Kiai Gringsing sempat menyelamatkannya. Tetapi demikian Sabungsari telah sembuh, kini sebelum anak muda itu sempat menikmati kesembuhannya, karena ia masih harus selalu berada didalam biliknya dan berpura-pura masih sakit, kini ia benar-benar telah terluka lagi. Tidak kalah parahnya dengan yang pernah dialaminya. Bahkan agaknya Agung Sedayupun mengalami luka yang sangat parah dilehernya. Dalam kesibukan itu, maka Untara telah memanggil dua diantara empat prajurit berkuda yang berada dipadepokan itu. Diperintahkannya kedua orang itu menghubungi seorang perwira yang paling dipercaya oleh Untara, agar ia segera datang kepadepokan kecil itu bersama beberapa orang prajurit yang dapat dipercaya pula. “Ia tahu, apa yang harus dikerjakannya menghadapi keadaan ini,“ berkata Untara aku harap ia segera datang. Mungkin keadaan ini masih akan berkembang. Jika saat ini Gembong Sangiran kembali bersama sisa murid-muridnya, maka kita akan mengalami kesulitan, justru karena kita ingin menyelamatkan para

tawanan itu.” Sejenak kemudian, maka dua ekor kuda telah berderap menembus gelapnya malam. Suara kentong dalam nada titir telah berhenti sama sekali. Apipun telah lama padam. Namun dipadepokan kecil itu ketegangan justru semakin memuncak karena anak-anak muda yang terluka parah. Beberapa orang lain juga terluka. Tetapi mereka masih dapat berbuat sesuatu bagi dirinya sendiri. Bahkan sejenak kemudian merekapun sudah dapat membantu kesibukankesibukan yang terjadi di padepokan itu. Namun seorang dari mereka yang bertahan di padepokan itu telah menjadi korban. “Jika kau tidak datang tepat pada waktunya,“ berkata Widura, “maka mungkin sekali keadaannya akan berbeda. Glagah Putih sama sekali sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Dengan demikian, maka kekalahan demi kekalahan akan merambat pada lingkaran-lingkaran pertempuran yang lain. Mungkin aku lebih dahulu, kemudian Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda. Baru kemudian, orang-orang yang terhitung memiliki ilmu yang tinggi diantara mereka akan mendekati arena pertempuran Agung Sedayu dan Sabungsari.” Untara menarik nafas dalam-dalam. Hampir diluar sadarnya ia bergumam, “Tetapi aku sama sekah tidak menduga paman, bahwa tingkat ilmu Agung Sedayu sudah demikian tinggi. Bahkan aku tidak mengerti, bagaimana cara ia dapat membunuh lawannya.” Widura mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab. Yang kemudian menjadi pusat perhatian Untara, selain adiknya dan Sabungsari yang terluka parah, adalah para tawanan. Ia berharap bahwa Banjar Aking tidak mati. Mungkin ia dapat memberikan beberapa keterangan tentang Gunung Kendeng, sementara beberapa orang prajurit Pajang yang tertangkap, akan ditelusurinya dalam hubungan mereka dengan Ki Pringgajaya. Namun Untara harus cepat bertindak. Bahwa pimpinan tertinggi padepokan Gunung Kendeng sempat melarikan diri, adalah suatu isyarat yang kurang menguntungkan. Mungkin berita kegagalan ini akan segera sampai ketelinga Ki Pringgajaya. Karena itu, maka ketika prajurit yang dipanggilnya dari Kademangan induk Jati Anom telah datang, maka atas persetujuan Kiai Gringsing, maka orang-orang yang tidak terancam jiwanya, akan dibawa oleh Untara kerumahnya dibawah pengawasan yang sangat ketat oleh orang-orang yang dipercayanya. Sementara, Untarapun telah meletakkan beberapa orang prajurit pilihan di padepokan itu untuk ikut serta mengawasi beberapa orang tawanan yang berada didalam perawatan. Namun yang penting bagi para prajurit itu adalah justru melindungi jika Gembong Sangiran datang kembali untuk mengambil orang-orangnya yang tertinggal. “Dua orang kuat dipadepokan ini sedang terluka parah,“

berkata Untara kepada orang-orang pilihannya, “meskipun kalian tidak sekuat mereka, tetapi dalam jumlah yang cukup, kalian akan dapat menjaga dan sekaligus membantu melindungi para tawanan itu.” Dengan demikian, maka selagi Kiai Gringsing sibuk mengobati orang-orang yang terluka, maka Untarapun sibuk memindahkan para tawanan ke rumahnya. Ternyata Untara tidak mau terlambat. Ia berharap, bahwa ia akan dapat mendahului berita kegagalan Gembong Sangiran itu sampai ketelinga Ki Pringgajaya, meskipun Untara merasa ragu. Karena iapun sadar, bahwa Gembong Sangiran bukan anak-anak. Orang itu mampu bergerak cepat, yang agaknya akan dapat mengimbangi kecepatannya bergerak. Tetapi Untara tetap berusaha. Ia tidak menunggu sampai matahari terbit. Malam itu juga, ia memaksa prajurit yang tertawan untuk mengatakan, siapakah yang memerintahkan mereka melakukan pengkhianatan itu. Prajurit-prajurit itu mengenal dengan baik, siapakah Untara. Maka merekapun tidak menunggu keadaan mereka menjadi semakin sulit. Karena itu, maka mereka segera mengaku, bahwa mereka adalah pengikut-pengikut Ki Pringgajaya. Untara menggeretakkan giginya. Meskipun hal itu sudah diduganya, bahkan hampir diyakininya, namun pengakuan itu telah membuat jantungnya bagaikan semakin cepat berdetak. “Aku akan memanggil Ki Pringgajaya dari perjalanannya,“ berkata Untara, “aku akan menghadapkan kalian dengan Ki Pringgajaya.” Wajah para prajurit itu menjadi semakin pucat. “Aku sudah berprasangka sejak lama. Aku sudah mendapat laporan. Tetapi kalian adalah saksi hidup yang tidak akan dapat diingkarinya lagi, disamping Sabungsari sendiri.“ geram Untara kemudian. Lalu. “Dihadapan Pringgajaya kalian tidak usah takut. Aku akan bertanggung jawab atas keselamatan kalian jika Pringgajaya berusaha melakukan kekerasan. Betapa saktinya orang itu, tetapi dihadapan sepasukan prajurit pilihan, ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jika ia mencoba melakukannya, maka tubuhnya akan menjadi arang kranjang. Bahkan seandainya ia memiliki ilmu kebal sekalipun, maka perisai ilmunya tidak akan dapat menangkis ujung kerisku. Kiai Sasak. Betapa tebalnya ilmu kebal seseorang, maka ujung Kiai Sasak akan dapat menembus sampai kepusat jantungnya.” Prajurit-prajurit itu menundukkan kepalanya. Mereka sudah berada dalam keadaan yang paling sulit. Mereka tidak mengira, bahwa akhirnya merekalah yang tertangkap. Prajurit-prajurit berkuda yang dicegatnya itu ternyata benar-benar orang pilihan. Untara benar-benar ingin bergerak cepat. Ketika matahari terbit, maka iapun segera mempersiapkan diri. Ia harus berbicara dengan Kiai Gringsing, bahwa ia akan pergi menyusul Ki Pringgajaya dan

memanggilnya untuk mempertanggung jawabkan segala perbuatannya. “Apakah angger akan menghadap ke Pajang ?“ bertanya Kiai Gringsing. “Aku merasa curiga dengan beberapa orang perwira di Pajang Kiai.“ jawab Untara, “tetapi jika aku akan langsung menyusul Ki Pringgajaya, aku tidak tahu, sampai dimanakah perjalanannya hari ini. Dan kemana besok ia akan pergi.” “Tetapi tentu ada juga Senapati Pajang yang masih dapat dipercaya. Mungkin angger Untara mengenal satu dua orang yang meyakinkan angger, bahwa mereka tidak dipengaruhi oleh mimpi yang buruk itu.” Untara termangu-mangu. Tetapi ia memang mempunyai pertimbangan tertentu. Diam-diam ia menilai beberapa orang perwira yang memiliki kekuasaan yang luas di Pajang. Beberapa orang petugas sandi, seperti Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda dapat membantunya memberikan beberapa petunjuk, karena ia mengenal beberapa nama dan keadaan mereka di Pajang. “Kiai,“ berkata Untara, “aku minta maaf, bahwa aku tidak dapat menunggui kesibukan padepokan kecil ini. Tetapi aku akan memperbantukan orang-orangku untuk menyelenggarakan mereka yang terbunuh dipertempuran semalam. Aku ingin menemui orang-orang yang dapat memberikan beberapa petunjuk kepadaku, apakah yang sebaiknya aku lakukan atas Ki Pringgajaya.” “Silahkan ngger. Mungkin kecepatan angger bergerak akan dapat membantu memecahkan persoalan ini,“ jawab Kiai Gringsing. “Ya Kiai. Apapun yang akan terjadi, aku harus dengan cepat bertemu dengan Ki Pringgajaya,“ berkata Untara kemudian, “jika perlu, maka aku akan mempergunakan kekerasan untuk membawanya kemari.” “Tetapi apakah angger akan pergi seorang diri ?“ bertanya Kiai Gringsing. “Tidak. Aku akan membawa dua orang pengawal khususku. Aku tidak dapat memperhitungkan, apakah yang akan terjadi jika Ki Pringgajaya merasa curiga, bahwa aku sudah mengetahui segalanya. Jika ia sudah mendengar kegagalan ini, maka ia tentu akan mengambil sikap.” “Apakah yang akan angger lakukan jika ia menolak? “ “Aku akan melaporkannya kepada Tumenggung Prabadaru, tanpa menyembunyikan satu hal yang paling kecil sekalipun. Aku akan mohon kepada Tumenggung Prabadaru untuk membantuku, memaksa Ki Pringgajaya kembali ke Jati Anom.“ jawab Untara. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia tidak dapat memberikan pendapatnya terlalu banyak, karena ia memang tidak banyak mengetahui tentang lingkungan keprajuritan di Pajang yang telah goyah itu. Demikianlah, setelah minta diri kepada Ki Widura, Glagah Putih dan orang-orangnya yang berada dipadepokan itu, maka Untarapun meninggalkan Jati Anom. Ia tidak dapat minta diri kepada

Sabungsari dan Agung Sedayu, karena keduanya seolah-olah masih belum menyadari keadaannya. Hanya kadang-kadang mereka mengerti tentang diri mereka. Namun pada suatu saat, mereka seolaholah menjadi pingsan kembali. Sepeninggal Untara, padepokan kecil itu menjadi terlalu sibuk Kiai Gringsing yang sama sekali tidak sempat beristirahat, masih selalu sibuk dengan orang-orang yang terluka. Bukan orang-orang padepokan itu sendiri saja, tetapi juga orang-orang Gunung Kendeng. Banjar Aking yang parah, juga dirawatnya baik-baik, meskipun orang itu selalu berada dibawah pengawasan yang kuat. Dibagian lain, orang-orang dipadepokan itu sibuk menyelenggarakan orang-orang yang terbunuh dipeperangan. Siapapun mereka, maka mereka harus dikuburkan sebaik-baiknya seperti yang seharusnya dilakukan. Dengan dua orang pengawal, maka pada saat itu Untara berpacu ke Pajang, setelah ia berbicara dengan Ki Lurah Patrajaya, Ki Lurah Wirayuda dan beberapa orang yang dipercayanya, maka Untara memutuskan untuk singgah di Pajang. Dari beberapa orang ia akan mendapat keterangan, sampai dimana perjalanan Ki Tumenggung Prabadaru bersama pengiringnya. “Hari ini adalah hari pasowanan,“ berkata Untara kepada para pengiringnya, “dari pemimpin dan Senapati tertinggi di Pajang akan menghadap di paseban.” “Apakah kita akan dapat bertemu dengan orang-orang yang kita perlukan ?” bertanya pengiringnya. “Menjelang tengah hari, pasowanan akan dibubarkan jika tidak ada persoalan yang penting sekali. Bahkan dalam persoalan-persoalan yang khusus, maka tidak semua orang diwajibkan ikut membicarakannya,“ jawab Untara, “apalagi pasowanan hari ini bukannya pasowanan Agung.” Pengiringnya mengangguk angguk. Jika mereka datang terlalu awal, maka mereka tentu akan menunggu sampai pasowanan dibubarkan. Namun ketika mereka berada di Pajang, ternyata para pemimpin dan Senapati tidak menghadap, karena Sultan Pajang sedang dalam keadaan sakit. Seperti yang sering terjadi, maka hari-hari menghadap bagi para pemimpin pemerintahan dan Senapati telah ditunda. Hanya orang-orang terpenting sajalah yang dipanggilnya untuk membicarakan tentang beberapa masalah terpenting di Pajang. Namun karena keadaannya, maka pengamatan Sultan Pajang atas keadaan negerinya sudah tidak dapat menyeluruh lagi. Tetapi Untara terkejut ketika ternyata ia mendapat berita bahwa Ki Tumenggung Prabadaru berada di Pajang pula. Tetapi ia tidak datang bersama seluruh pengiringnya. “Dimanakah Ki Tumenggung Prabadaru sekarang ?“

bertanya Untara. “Ia sedang menghadap Ki Patih, untuk melaporkan bagian dari perjalanan yang telah dilakukan,“ jawab orang itu. Untarapun menjadi berdebar-debar. Namun ia akhirnya memutuskan untuk pergi kerumah Ki Tumenggung Prabadaru. “Aku akan menunggu sampai Ki Tumenggung pulang dari Kepatihan,“ berkata Ki Untara. “Mungkin ia lama berada di Kepatihan. Ia sedang mengalami kejutan perasaan, karena salah seorang pengiringnya terbunuh diperjalanan,“ berkata orang itu. Seorang perwira yang dikenalnya dengan baik, segera menceriterakan bahwa dalam perjalanan pulang dari Madiun, pengiring Ki Tumenggung Prabadaru yang bernama Ki Pringgajaya telah terbunuh didalam pertempuran yang kurang seimbang. “Pertempuran dengan siapa ?“ Untara mendesak. “Tidak seorangpun mengetahui. Tetapi iring-iringan kecil prajurit Pajang itu telah dicegat. Setelah berjuang dengan gigihnya, maka Ki Pringgajaya yang terluka arang keranjang itu telah gugur. Namun ia telah membawa berapa lima orang korban dipihak lawan,“ jawab perwira itu. “Dari siapa kau dengar berita itu ?“ bertanya Untara. “Langsung dari Ki Tumenggung Prabadaru,“ jawabnya. Wajah Untara menjadi tegang. Karena itu maka katanya, “Aku akan menyusul ke Kepatihan. Apakah Ki Patih tidak menghadap Sultan ?” Perwira itu menggeleng. Dengan suara datar ia menjawab, “Rekyana Patih mengetahui bahwa Sultan sedang sakit. Dan ternyata Sultan tidak memanggilnya menghadap secara khusus. Karena itulah maka Tumenggung Prabadaru telah menghadap di istana Kepatihan.” Untara mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Jika demikian, akupun akan menghadap ke Kepatihan. Adalah kebetulan jika Ki Tumenggung Prabadaru masih berada di Kepatihan.” Dengan tergesa-gesa, maka Untarapun segera pergi ke Kepatihan. Ia mengharap bahwa ia akan dapat mendengar, apakah yang telah terjadi atas Ki Pringgajaya sejelas-jelasnya. Ketika ia tiba dikepatihan, dari para pengawal Kepatihan, ia mengetahui bahwa Ki Tumenggung Prabadaru masih berada di Kepatihan dan justru baru diterima oleh Rekyana Patih.

Karena itu, maka Untarapun segera mohon untuk dapat menghadap pula, justru pada saat Ki Tumenggung sedang melaporkan peristiwa yang sangat menarik baginya itu. Ki Patih sama sekali tidak berkeberatan. Untarapun kemudian dipersilahkan oleh para pengawal untuk menghadap ke ruang dalam. Atas perkenan Ki Patih, maka Ki Tumenggung Prabadarupun telah mengulangi laporannya. Ia menceriterakan apa yang telah terjadi dengan Ki Pringgajaya diperjalanan seperti yang pernah didengarnya. Wajah Untara menegang. Namun kemudian ia berdesis, “Apa boleh buat.” “Kenapa ?“ bertanya Tumenggung Prabadaru. “Sebenarnya aku memerlukannya,“ jawab Untara. Namun kemudian ia bertanya, “Tetapi apakah Ki Tumenggung dan Ki Pringgajaya memang sudah selesai dengan tugas perjalanan didaerah Timur itu ?” “Belum,“ Ki Tumenggung Prabadaru menggeleng, “aku sebenarnya hanya ingin menghadap Kangjeng Sultan untuk satu persoalan khusus. Setelah menyampaikan masalah itu, aku akan segera kembali. Sebagian besar dari pengiringku masih tetap berada di telatah Timur. Hanya aku, Pringgajaya dan dua orang sajalah yang kembali ke Pajang. Tidak pernah aku jumpai sesuatu diperjalanan yang nampak selalu tenang. Tetapi tiba-tiba saja kami telah mengalami bencana itu. Kami harus bertempur melawan sekelompok orang yang tidak dikenal. Sampai kami meninggalkan tempat pertempuran itu, kami tetap tidak mengetahui, siapakah yang telah mencegat kami, karena diluar kemauan kami, kami telah membunuh mereka. Aku memang berusaha untuk dapat menangkap mereka hidup-hidup. Tetapi dua orang yang masih hidup, ternyata telah membunuh diri. Sementara Ki Pringgajaya telah gugur dalam pertempuran itu. Sementara aku sendiri juga mengalami luka-luka.” Untara mengangguk-angguk. Hampir diluar sadarnya ia memandang tubuh Ki Tumenggung Prabadaru. Tetapi ia tidak melihat segores lukapun ditubuh itu, karena Ki Tumenggung memakai baju yang lain dari yang telah dipergunakannya bertempur. Untara menggeleng lemah sambil menjawab, “Terima kasih Ki Tumenggung. Aku kira tidak perlu.” Ki Tumenggung yang menawarkan untuk membuka bajunya itu tersenyum. Katanya, “Dengan melihat luka-lukaku, mungkin kau akan dapat membayangkan apa yang telah terjadi. Mungkin kau pernah mendengar serba sedikit tentang aku dan tentang bawahanmu yang bernama Ki Pringgajaya itu. Dengan demikian, kau akan dapat membayangkan, kekuatan yang luar biasa ternyata sedang mengancam Pajang. Bahwa mereka berhasil membunuh Ki Pringgajaya yang luar biasa itu, dan melukai aku, berarti bahwa diantara merakapun terdapat kekuatan-kekuatan yang harus diperhitungkan.”

Untara mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa Ki Pringgajaya adalah seorang prajurit linuwih. Ia memang menduga, bahwa Pringgajaya memiliki kemampuan melampaui kebanyakan prajurit, seperti juga kelebihan yang terdapat pada Sabungsari yang masih berada pada tataran yang terendah. Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya didalam hati, “Mudah-mudahan peristiwa pahit ini tidak menimpa Sabungsari. Tiga kali ia telah terluka, sementara kenaikan derajadnya sedang dalam persiapan. Mudah-mudahan ia sempat menghayatinya.” Dalam pada itu, Ki Tumenggung Prabadarupun telah berceritera lebih terperinci lagi, bagaimana Ki Pringgajaya dengan kemampuannya yang luarbiasa, bertahan sampai nafasnya yang terakhir. “Aku mengaguminya,“ berkata Ki Tumenggung Prabadaru, “seharusnya aku memang memberitahukan hal ini kepadamu. Tetapi aku baru datang dari perjalanan yang mengalami nasib buruk itu. Setelah laporan-laporanku selesai di pusat pemerintahan ini, baru aku akan menemuimu dan memberitahukan hal ini kepadamu, atau lewat saluran yang seharusnya, karena Ki Pringgajaya adalah bawahanmu.” Untara mengangguk sambil menjawab, “Terima kasih Ki Tumenggung. Yang aku dengar ini memang telah mengejutkan aku. Aku sangat berkepentingan dengan Ki Pringgajaya. Tetapi karena ia telah gugur, maka tidak sebaiknya aku menjelekkan namanya.” “Apakah sebenarnya yang telah terjadi atasnya,“ bertanya Ki Tumenggung Prabadaru, “ketika Pringgajaya akan berangkat, kau sudah menunjukkan sikap yang aneh. Sekarang, kau masih selalu mempersoalkannya.” Untara menarik nafas dalam dalam. Katanya, “Persoalan yang khusus terjadi dalam pasukanku.” Ki Tumenggung Prabadaru mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Karena yang ingin diketahui sudah didengarnya, maka Untarapun kemudian mohon diri kepada Tumenggung Prabadaru dan kepada Rekyana Patih. Ia akan segera kembali ke Jati Anom, untuk mengatur segala sesuatunya karena peristiwa yang telah terjadi. Ki Untara sengaja tidak mengatakannya kepada Ki Prabadaru. Ia ingin membuat laporan lewat saluran yang seharusnya. Apalagi ia tidak berada langsung dibawah kepemimpinan Ki Tumenggung Prabadaru. “Nampaknya Ki Patih tidak menaruh perhatian khusus terhadap peristiwa yang terjadi atas Ki Pringgajaya,“ berkata Untara didalam hatinya. Apalagi ia mengetahui, bahwa nampaknya perhatian Ki Patih terhadap pemerintahanpun sangat dipengaruhi oleh keadaan Kangjeng Sultan Hambar. Ada perasaan kecewa yang bergejolak dihati Untara.

Pringgajaya adalah rambatan untuk menelusur ketingkat yang lebih tinggi, atas orang-orang yang mempunyai sikap yang dapat merugikan Pajang dalam keseluruhan. Bukan saja karena ancaman terhadap adiknya, tetapi Untara tidak dapat melepaskan persoalannya dengan bayangan sekelompok orang yang merindukan masa kejayaan Majapahit. Apakah hal itu hanya sekedar dipergunakan untuk mempengaruhi banyak orang yang akan dapat dipakai sebagai alas tujuan mereka, ataukah memang benar-benar suatu mimpi atas kejayaan masa lampau, namun sikap itu tentu tidak akan dapat dibenarkan. Dengan berbagai macam dugaan dan pertimbangan, Untara mencoba mengurai keterangan Ki Tumenggung Prabadaru. Ki Tumenggung tidak dapat memberikan keterangan yang jelas tentang tempat peristiwa itu terjadi. Ia hanya mengatakan, bahwa peristiwa itu terjadi diujung sebuah hutan yang lebat. Namun jalur jalan yang lewat di pinggir hutan itu adalah jalur jalan yang banyak dilalui orang. Ki Tumenggungpun mengatakan, bahwa jarang sekali terjadi peristiwa yang serupa. Apalagi hutan itu sudah tidak terlalu jauh lagi dari Kota Raja meskipun masih terletak disebelah Timur Bengawan. “Ia harus dapat mengingat dimana Ki Pringgajaya dikuburkan,“ berkata Untara didalam hatinya, “pada suatu saat keluarganya tentu akan menjenguknya atau bahkan memindahkannya.” Tetapi Untara tidak mengatakan sesuatu. Ketika Untara sampai kerumahnya, malam telah menyelubungi Jati Anom. Tetapi ia tidak ingin beristirahat. Setelah minum beberapa teguk, maka iapun segera pergi kepadepokan Kiai Gringsing. Kecuali ia ingin segera menceriterakan tentang Ki Pringgajaya yang terbunuh, ia juga ingin segera melihat keadaan adiknya. Ternyata Agung Sedayu dan Sabungsari telah berangsur baik. Mereka telah menyadari keadaan mereka sepenuhnya, meskipun mereka masih nampak lemah sekali. Leher Agung Sedayu benar-benar bagaikan terbakar. Betapa dahsyatnya sentuhan tangan Jandon. Seandainya Agung Sedayu sama sekali tidak dapat melindungi dirinya dengan ilmu kebal yang masih baru saja dipelajarinya, maka seluruh tubuhnya tentu sudah terbakar oleh sentuhan-sentuhan tangan Jandon. Selain kedua anak muda itu. Banjar Akingpun ternyata sudah menjadi bertambah baik pula. Betapa kecewa dan kemarahan nampak membayang diwajahnya ketika ia menyadari, bahwa ia menjadi tawanan prajurit Pajang di Jati Anom. “Maaf, Ki Banjar Aking,“ berkata seorang perwira pembantu Untara yang menjaga orang itu, “aku terpaksa mengikat kaki Ki Banjar Aking. Aku tahu, bahwa Ki Banjar Aking adalah orang yang tidak ada taranya. Jika keadaan Ki Banjar Aking berangsur baik, aku kira dadung yang mengikat kakimu itupun tidak akan ada artinya.” Banjar Aking hanya dapat mengumpat. Tetapi ia tidak menjawab. Dalam pada itu, maka Untarapun kemudian duduk dipendapa bersama Kiai Gringsing dan Widura.

Mereka mulai membicarakan berita yang dibawa oleh Untara tentang Ki Pringgajaya. Kiai Gringsing dan Ki Widura mendengarkan keterangan Untara dengan saksama. Sementara Untarapun menceriterakan segalanya yang didengar dari Ki Tumenggung Prabadaru. “Ada beberapa hal yang menarik,“ berkata Widura, “bukankah kau juga pernah melalui jalan itu ke Madiun seperti aku juga pernah melakukannya meskipun sudah lama sekali.” “Ya paman,“ jawab Untara, lalu iapun bertanya kepada Kiai Gringsing, “apakah Kiai pernah juga melalui jalan yang disebut oleh Ki Tumenggung Prabadaru ?” “Ya. Aku juga pernah melaluinya, meskipun juga sudah lama,“ jawab Kiai Gringsing. “Menurut Ki Tumenggung Prabadaru, keadaan Ki Pringgajaya tidak memungkinkan lagi untuk dibawa ke Pajang. Karena itu, dengan bantuan orang-orang padukuhan terdekat, maka tubuh itupun dimakamkannya,“ berkata Untara kemudian, “jika diperlukan, Ki Prabadaru akan menunjukkan, dimanakah Ki Pringgajaya itu dimakamkan.” “Ia harus dapat mengingat dengan baik,“ berkata Widura, “setiap saat, apakah ia pimpinan prajurit Pajang, ataukah keluarganya, tentu ingin melihat makam itu.” “Tidak sulit. Mungkin Ki Tumenggung sudah memberikan tanda apapun juga. Mungkin sebatang pohon, mungkin batu yang besar atau tanda-tanda lain yang tidak mudah hilang dan rusak,“ berkata Kiai Gringsing. Namun ia meneruskan, “meskipun demikian, berita itu memang harus mendapat pertimbangan yang khusus.” Ki Untara dan Ki Widura mengangkat wajahnya. Hampir bersamaan mereka bertanya, “Maksud Kiai ?” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin tanggapan kita tidak jauh berbeda. Apakah kita dapat menganggap berita itu meyakinkan.” Untara bergeser setapak. Katanya, “Itulah yang aku pikirkan Kiai. Tiba-tiba saja Ki Tumenggung sudah berada di Pajang dengan berita kematian Ki Pringgajaya. Tetapi bagaimanapun juga, aku harus memperhitungkan. Seandainya Gembong Sangiran yang lolos dari kematian di padepokan ini berusaha memberitahukan hal ini kepada Ki Pringgajaya, maka aku kira, Ki Tumenggung Prabadaru tidak akan sudah berada di Pajang, pada pagi harinya dari peristiwa di

padepokan ini, sekaligus membawa berita kematian Ki Pringgajaya.” “Memang ada beberapa kemungkinan dapat terjadi ngger,“ berkata Kiai Gringsing, “sebaiknya kita harus berhati-hati. Kita akan dapat melihat apakah yang dikatakan oleh Ki Tumenggung itu benar.” “Apa yang dapat kita lakukan Kiai ?“ bertanya Untara. “Menelusuri jalan ke Madiun. Kita akan dapat mendengar ceritera kematian itu. Jika peristiwa itu benar terjadi, maka hampir setiap orang akan mengetahuinya. Berita itu dalam sehari akan menjalar dari seseorang keorang lain, dari satu padukuhan ke padukuhan lain,“ jawab Kiai Gringsing. Untara mengangguk-angguk. Perlahan-lahan ia berdesis, “Tugas baru bagi Ki Lurah Patrajya dan Ki Lurah Wirayuda.” Demikianlah, maka untuk beberapa saat lamanya, Untara masih berbincang dengan Kiai Gringsing dan Ki Widura. Mereka merencanakan cara yang manakah yang paling baik akan ditempuh. Namun mereka berkesimpulan untuk melihat, apakah yang dikatakan oleh Ki Tumenggung Prabadaru itu benar, atau karena Ki Tumenggung mempunyai perhitungan lain atas Ki Pringgajaya, sehingga ia mengatakan apa yang tidak sebenarnya terjadi. “Rasa-rasanya ada sesuatu yang pantas dicurigai pada Ki Tumenggung Prabadaru. Mungkin ia memang terlibat langsung dalam gerakan yang sama. Tetapi mungkin ia sekedar ingin memecahkan masalah yang timbul karena sikapku atas Ki Pringgajaya,“ berkata Untara kemudian. “Nampaknya segala sesuatu di padepokan ini memang sudah selesai ngger,“ berkata Kiai Gringsing, “yang terbunuh sudah dikuburkan, yang terluka berat, sedang aku rawat, sementara yang terluka kecil, telah dibubuhi obat yang akan dapat segera menyembuhkannya. Karena itu, maka orangorang yang ada dipadepokan ini akan dapat angger perintahkan untuk tugas-tugas lain, sementara angger telah menempatkan secara terbuka sekelompok prajurit disini.” Untara mengangguk-angguk. Ia memang ingin berbuat dengan cepat. Karena itu, maka iapun segera memanggil Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda. Meskipun ada juga goresan-goresan luka ditubuh mereka, namun tidak mempunyai pengaruh yang dapat menghambat tugas-tugas mereka. Dengan singkat Untara memberikan beberapa petunjuk apa yang harus mereka lakukan. Bahkan kemudian Untarapun bertanya, “Apakah salah seorang dari kalian mempunyai sanak kadang yang tinggal di Madiun ?” “Aku mempunyai seorang kadang seperguruan yang tinggal di Mediun,“ jawab Ki Lurah Patrajaya, “aku akan dapat mengunjunginya tanpa prasangka orang lain.” “Nah, segera berangkatlah. Besok kalian akan menelusuri jalan ke Mediun. Kalian akan

mendengarkan ceritera orang disepanjang jalan, apakah benar-benar telah terjadi seperti yang dikatakan oleh Ki Tumenggung Prabadaru.” Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda mengangguk-angguk. Mereka sadar, bahwa tugas baru itupun merupakan tugas yang cukup berat bagi mereka. Demikianlah, setelah sekali lagi Ki Untara menengok Agung Sedayu dan Sabungsari, maka iapun segera minta diri. Kepada pimpinan pasukan yang dipercayanya mengawasi padepokan kecil itu, iapun memberikan beberapa pesan, agar mereka selalu berhati-hati. Seperti yang dikatakan oleh Untara, maka malam itu juga. Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda segera mempersiapkan diri. Mereka masih mendapat kesempatan untuk beristirahat beberapa saat menjelang matahari terbit. Ketika langit di Timur menjadi merah oleh cahaya fajar, maka kedua orang itu telah bersiap. Dengan membawa sekedar bekal, maka merekapun meninggalkan padepokan kecil itu, setelah minta diri kepada semua penghuninya, termasuk Agung Sedayu dan Sabungsari yang terluka. Sementara Glagah Putih telah didera oleh suatu keinginan untuk ikut dalam perjalanan yang demikian. Namun Ki Widura telah melarangnya, karena yang berangkat ke Mediun itu adalah petugas-petugas yang sedang mengemban kewajiban yang berat. Mereka memang agak berbeda dengan Agung Sedayu yang masih kadang sendiri. Ki Lurah Patrajaya Ki Wirayuda itu telah mendapat pesan pula dari Kiai Gringsing, agar mereka singgah di Sangkal Putung. “Tidak perlu Swandaru, isterinya dan Sekar Mirah menengok kepadepokan ini. Katakan, bahwa keadaan Agung Sedayu berangsur baik. Sementara itu yang aku kehendaki, justru agar mereka bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Mungkin sekali Gembong Sangiran mengarahkan dendam mereka kepada Swandaru seperti yang pernah dilakukan oleh Carang Waja. Karena itu, maka sebaiknya Sangkal Putung meningkatkan pengawasan atas Kademangan mereka. Tidak mustahil bahwa mereka harus berusaha untuk menentang sirep,“ berkata Kiai Gringsing. Kedua orang yang berangkat dari Padepokan kecil di Jati Anom itu mengangguk-angguk. Merekapun kemudian menuju ke Sangkal Putung untuk menyampaikan pesan Kiai Gringsing itu, baru kemudian mereka akan meneruskan perjalanan ke Timur. Namun seperti yang telah disepakati, mereka harus menghindarkan diri dari pengenalan orang-orang Pajang, apalagi mereka yang terlibat bersama Ki Tumenggung Prabadaru. Perjalanan ke Sangkal Putung, bukanlah perjalanan yang terlalu jauh. Karena itu, maka kedua orang itupun setelah berpacu beberapa lamanya, telah memasuki Kademangan Sangkal Putung.

Kedatangan mereka berdua memang mengejutkan. Apalagi ketika mereka mengatakan, bahwa mereka mendapat pesan dari Kiai Gringsing. Dengan jelas Ki Lurah Wirayuda menceriterakan apa yang telah terjadi di padepokan kecil itu. Iapun kemudian menyampaikan pesan Kiai Gringsing, bahwa mereka tidak perlu pergi ke Jati Anom. Justru mereka harus berhati-hati dan meningkatkan pengawasan. Swandaru menggeram menahan gejolak perasaannya. Namun kemudian ia berkata, “Terima kasih Ki Sanak. Kami akan melakukan segala pesan guru. Dengan demikian, kami akan dapat dengan hati-hati mengamankan Kademangan ini, seandainya orangorang Gunung Kendeng itu memalingkan wajahnya ke Kademangan ini. Ternyata Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda tidak terlalu lama berada di Sangkal Putung. Merekapun segera mohon diri untuk melanjutkan perjalanan mereka. “Apakah Ki Sanak berdua akan pergi ke Pajang ?“ bertanya Ki Demang. “Aku akan menengok keluargaku Ki Demang,“ jawab Ki Lurah Patrajaya. Orang-orang Sangkal Putung itu tidak bertanya lebih lanjut. Sementara kedua orang itu tidak mengatakan, bahwa mereka akan pergi ke Mediun meskipun kepada murid Kiai Gringsing. Perjalanan ke Mediun itu merupakan perjalanan yang cukup berat. Mereka tidak sekedar melalui jalan-jalan panjang, melintasi bengawan degan rakit, kemudian berpacu dijalan yang menyelusuri tepi huan. Tetapi mereka harus mencari berita, apakah benar, telah terjadi seperti yang dikatakan oleh Ki Tumenggung Prabadaru. Karena itu, maka yang penting bagi kedua orang itu bukannya kecepatan mereka mencapai tujuan, tetapi justru mereka akan sering berhenti diperjalanan. Terutama didaerah seperti yang dikatakan oleh Untara menurut pendengarannya dari Ki Tumenggung Prabadaru. Karena itu, maka mereka justru memperhitungkan, bahwa mereka akan kemalaman di jalan justru di padukuhan itu. Keduanya akan bermalam di banjar apabila keduanya diperkenankan oleh Ki Demang atau orang yang dikuasakannya. Ternyata bahwa mereka dapat melakukan rencana itu sebaik-baiknya. Mereka sampai kepadukuhan yang disebut oleh Untara, disebelah ujung hutan, pada saat matahari mulai terbenam. Kedatangan kedua orang yang kemalaman diperjalanan itu, telah diterima oleh orang yang dikuasakan menunggui banjar Kademangan. Dengan merendahkan diri keduanya mohon agar diperkenankan bermalam dipadukuhan itu.

Namun dalam pada itu, ketajaman tanggapan Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda dapat menangkap kecurigaan yang memancar pada sorot mata orang itu. Bahkan kemudian terasa betapa teliti orang itu bertanya tentang kedua orang yang mohon untuk diijinkan bermalam. Tetapi Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda sudah bersiap-siap menjawab pertanyaanpertanyaan yang memang sudah diperhitungkan. Karena itu maka keduanya dapat menjawab dengan lancar tanpa melakukan kesalahan. “Baiklah,“ berkata orang yang menunggui banjar itu, “kalian berdua aku ijinkan tinggal dibanjar ini semalam. Kalian dapat bermalam disini, tetapi dengan pengertian sebelumnya, mungkin kalian terganggu, ehingga kalian tidak akan dapat tidur dengan nyenyak.” “Apakah yang akan mengganggu kami Ki Sanak ?“ bertanya Ki Lurah Patrajaya. “Setiap malam banjar ini penuh dengan anak-anak muda. Kadang-kadang sampai lima belas orang, sementara yang lain tersebar di gardu-gardu,“ jawab orang itu. “O,“ kedua orang yang akan bermalam itupun terkejut, “apakah Kademangan ini termasuk Kademangan yang tidak aman ?” “Sebelumnya tidak pernah terjadi,“ berkata orang itu, “tetapi baru saja terjadi peristiwa yang mengejutkan kami semuanya. Karena itulah maka aku terpaksa bersikap hati-hati menerima kalian berdua bermalam di banjar ini.” Kedua orang itupun seakan-akan mendapat jalan untuk menyampaikan beberapa pertanyaan, sehingga keduanya telah mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Dari orang itu, Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda mendengar bahwa telah terjadi perampokan atas sekelompok prajurit dari Pajang. “Aneh,“ berkata Ki Patrajaya, “kenapa justru mereka merampok sekelompok prajurit ? Apakah mereka menganggap bahwa prajurit Pajang itu membawa bekal yang cukup ? Atau barangkali mereka menginginkan pusaka yang dibawa oleh para prajurit itu ?” Orang itu menggeleng. Jawabnya, “Kami tidak tahu. Tetapi agaknya para perampok itu telah keliru memilih sasaran.” “Kenapa ? Apakah mereka kemudian menyesal ? “ Orang itupun kemudian menceriterakan, bahwa yang terjadi adalah pertempuran yang sengit. Sekelompok prajurit Pajang dalam perjalanan kembali

ke Kota Raja. Kelompok prajurit itu melewati padukuhan itu lewat senja. Tetapi diujung hutan sekelompok prajurit itu telah bertemu dengan sekelompok perampok yang ganas.” “Tetapi perampok itu telah dihancurkan. Lebih dari lima orangnya telah terbunuh. Sementara seorang prajurit telah tewas pula,” berkata orang itu kemudian. Hampir diluar sadarnya. Ki Lurah Wirayuda bertanya, “Apakah Ki Sanak mengetahui, siapakah nama prajurit yang tewas itu ?” “Menurut keterangan pemimpin kelompok prajurit itu, justru yang telah gugur itu adalah seorang prajurit linuwih setelah ia sendiri dapat membunuh lawan-lawannya. Menurut para prajurit itu, namanya adalah Ki Pringgajaya,“ jawab orang itu Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Ki Pringgajaya benar-benar telah terbunuh dalam keadaan yang sama sekali tidak terduga, dan yang barangkali sama sekali tidak ada hubungannya dengan peristiwa di Jati Anom. “Kami telah membantu mengubur mayatnya,” berkata orang itu. “Bersama-sama dengan para perampok yang tewas ?“ bertanya Ki Lurah Wirayuda. “Tidak, Mayat-mayat dari para perampok itu kemudian dapat diselamatkan oleh kawan-kawannya yang jumlahnya tidak seimbang. Namun ternyata bahwa jumlah yang banyak itu tidak dapat mengimbangi kemampuan para prajurit. Agaknya para perampok itu mengira, bahwa yang lewat adalah sekelompok pedagang dari daerah Timur yang akan memasuki kota Pajang dengan membawa bermacam-macam barang dagangan.” Kedua Lurah dalam tugas sandi Pajang itu mengangguk-angguk. Ceritera itu cukup jelas. Orang itupun dapat menceriterakan, bahwa beberapa prajurit Pajang telah terluka selain yang terbunuh. Bahkan pemimpin prajurit Pajang itupun telah terluka parah. Tetapi karena tanggung jawabnya, maka ia tetap memegang pimpinan dan setelah penguburan itu selesai, mereka melanjutkan perjalanan. Semuanya menjadi jelas. Karena itu, maka sebenarnya tugas perjalanan mereka telah selesai. Namun demikian, mereka masih memerlukan keterangan lebih banyak lagi. Dimalam hari, seperti yang dikatakan oleh penjaga banjar itu, banyak anak-anak muda yang berkumpul dengan senjata dilambung. Dari mereka Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda juga mendengar ceritera tentang kematian seorang prajurit Pajang. Bahkan mereka dapat menceriterakan lebih banyak dan lebih jelas lagi. Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda tidak mempunyai alasan lagi untuk tidak mempercayainya. Anak-anak muda dipadukuhan itu tahu benar apa yang telah terjadi. Sebagian dari mereka telah ikut membantu menguburkan seorang prajurit Pajang yang bernama Ki Pringgajaya. Namun demikian, ketika fajar menyingsing, maka keduanya telah mohon diri untuk melanjutkan

perjalanan. Mereka tidak dapat langsung kembali ke Pajang, karena dengan demikian, maka orangorang di padukuhan itu akan mencurigainya. Disegarnya matahari pagi, maka kedua orang petugas sandi dari Pajang yang tidak banyak dikenal oleh prajurit-prajurit Pajang sendiri itu telah melanjutkan perjalanan mereka ke Mediun. Tidak ada lagi yang harus mereka lakukan, selain menghapus kecurigaan orang-orang padukuhan yang ditinggalkan. Meskipun demikian, kedua orang itu masih saja selalu memperhatikan setiap keadaan disepanjang jalan. Namun agaknya kehidupan berjalan seperti biasa. Tidak ada akibat yang langsung mengganggu ketenangan hidup rakyat disepanjang jalan karena peristiwa itu. Ternyata jalan menuju ke Mediun bukanlah jalan yang sepi di siang hari. Ada beberapa orang berkuda lewat disepanjang jalan itu pula. Bahkan mereka telah bertemu dengan beberapa pedati dan cikar yang membawa barang-barang dari daerah Timur menuju ke Pajang. Namun dalam pada itu, Ki Lurah Patrajaya bertanya kepada Ki Lurah Wirayuda, “Kau merasa sesuatu yang pantas mendapat perhatian kita ?” “Orang berkuda dibelakang kita,“ jawab Ki Wirayuda. Ki Patrajaya mengangguk-angguk. Nampaknya keduanya merasa bahwa seseorang sedang mengikuti mereka sejak mereka meninggalkan padukuhan tempat mereka bermalam. Mereka tidak tahu pasti sejak kapan orang berkuda itu mengikutinya. Atau secara kebetulan orang berkuda itu menuju ketujuan yang sama. Mereka merasa curiga karena jarak antara keduanya dan orang berkuda itu seakan-akan tidak berubah. Tetapi Ki Patrajaya dan Ki Wirayuda tidak berbuat sesuatu. Mereka membiarkan orang berkuda itu mengikutinya. Bahkan keduanya mengira, bahwa orang itu adalah salah seorang pengawal padukuhan tempat mereka bermalam untuk mengamati apakah keduanya benar-benar pergi ke Mediun. Namun, beberapa saat kemudian, menjelang memasuki jalur jalan menuju ke pintu gerbang kota Mediun, orang berkuda itu mempercepat lari kudanya. Tanpa menghiraukan kedua orang petugas sandi itu, orang berkuda itu telah mendahului mereka. Meskipun Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda ingin memperhatikan orang itu, namun mereka tidak dapat melihat wajah itu dengan jelas. Namun agaknya mereka masih belum mengenal orang yang nampaknya telah menjelang usia tuanya. Meskipun demikian, nampaknya tubuh dan sikapnya, masih kokoh dan utuh. Untuk beberapa saat Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda tidak lagi menghiraukan orang berkuda yang semakin jauh meninggalkan mereka. Bahkan ketika sekali-sekali Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda berhenti dan singgah di kedai yang terletak dipinggir jalan itu, sama sekali tidak ada kesan apapun yang dapat mengganggu perasaan mereka dan mengungkit kecurigaan.

Dengan tanpa prasangka apapun keduanya kemudian memasuki kota Mediun. Ki Patrajaya memang mempunyai seorang saudara seperguruan, sehingga ada tempat yang langsung dapat mereka kunjungi. Namun Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda terkejut ketika mereka sudah berada diregol halaman rumah itu, seekor kuda berlari mendahului. Apalagi ketika ternyata bahwa penunggang kuda itu adalah orang yang mereka sangka telah mengikuti mereka disepanjang jalan menuju ke Mediun. Sejenak keduanya berhenti. Dengan suara datar Ki Lurah Wirayuda berkata, “Bukan sekedar kebetulan.” “Ya,“ sahut Ki Lurah Patrajaya, “aku akan mengatakan kepada kadang seperguruanku.” “Tetapi apakah dengan demikian kita sudah melibatkan orang lain yang mungkin tidak tahu menahu sama sekali dengan tugas kita ?“ bertanya Ki Lurah Wirayuda. Ki Lurah Patrajaya termenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Ia adalah kadang seperguruanku. Ia akan dapat mengerti keadaanku, meskipun aku tidak perlu mengatakan bahwa kita adalah petugas sandi dari Pajang.” Ki Lurah Wirayuda mengangguk-angguk. Iapun mengerti arti kadang seperguruan, yang tidak ubahnya dengan saudara kandung sendiri. Apalagi didalam menghadapi kesulitan. Maka kesetia kawanan seorang kadang seperguruan, kadang-kadang lebih besar dari saudara kandung sendiri. Demikianlah, maka keduanyapun telah meloncat turun dari kudanya dan memasuki regol halaman. Adalah kebetulan sekali bahwa orang yang mereka cari itupun sedang berada dirumah pula. Kedatangan Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda telah disambut gembira oleh saudara seperguruan Ki Lurah Patrajaya itu. Sudah lama mereka tidak bertemu. Karena itu, pertemuan itu merupakan pertemuan yang menyenangkan. “Pantas, hampir sehari penuh burung perenjak berkicau dihalaman. Ternyata ada tamu yang sudah lama aku tunggu-tunggu,“ berkata saudara seperguruan Ki Patrajaya itu. Ki Lurah Patrajaya kemudian memperkenalkan kawan seperjalanannya. Meskipun mereka berdua tidak memperkenalkan tugas mereka yang sesungguhnya. Tetapi saudara seperguruan Ki Lurah Patrajaya itu berkata, “Kedatanganmu ke pondok ini sebenarnya sangat mengejutkan. Meskipun aku senang sekali atas kunjunganmu, tetapi hatikupun menjadi berdebar-debar.” Ki Lurah Patrajaya tersenyum. Jawabnya, “Aku tidak mempunyai tujuan tertentu selain sekedar ingin bertemu dengan saudara-saudara kita yang sudah lama berpisah.”

Saudara seperguruannya tidak mendesak meskipun nampak juga dari sorot matanya, bahwa masih ada beberapa pertanyaan yang tersembunyi di dasar hatinya. Dalam pada itu, dengan sungguh-sungguh seisi rumah itu telah menjamu kedua tamunya. Mereka merasa gembira pula, ketika mereka mengetahui bahwa tamu mereka akan bermalam dirumah itu pula. Namun dalam pada itu, ketika mereka kemudian duduk bercakap-cakap dipendapa, maka Ki Lurah Patrajayapun mulai menyebut orang berkuda yang mencurigakan itu. “Orang itu mengikuti aku sejak aku menyeberang bengawan,“ berkata Ki Lurah Patrajaya. Saudara seperguruannya mengangguk-angguk. Namun kemudian ia bertanya, “apakah ketika kau sekali-sekali berhenti di warung, atau berhenti memberi minum kudamu, orang itu juga berhenti ?” “Mendekati kota Mediun, orang itu telah mendahului kami,“ jawab Ki Lurah Patrajaya, “tetapi demikian kami berdua berhenti diregol, orang itu telah melampaui kami dengan cepatnya tanpa menoleh sama sekali.” Saudara seperguruan Ki Lurah Patrajaya itu mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Sebaiknya kita tidak usah terlalu dipengaruhi oleh peristiwa itu. Mungkin orang itu memang bermaksud jahat. Mungkin kau dikiranya seorang pedagang atau seorang yang memiliki harta benda. Tetapi ketika ia melihat, bahwa kau singgah dirumah yang tidak berarti apa-apa ini, maka orang itu tentu tidak akan menaruh perhatian atasmu lagi.” Ki Lurah Patrajaya mengangguk-angguk. Namun saudara seperguruannya itupun berkata, “Meskipun demikian, tidak ada salahnya, jika kita harus berhati-hati. Aku mempunyai dua orang pembantu dirumah ini. Biarlah mereka ikut mengawasi suasana malam ini. Mungkin sesuatu akan terjadi. Meskipun demikian, kalian dapat beristirahat sebaik-baiknya. Jika terjadi sesuatu, biarlah orangorangku itu memberitahukan kepada kalian. Hanya orang yang kehilangan akal sajalah yang akan berani mengganggu kalian berdua.” “Ah,“ desis Ki Patrajaya, “rumah ini agaknya rumah hantu pula bagi orang-orang yang bermaksud jahat. Karena itu, maka ketika aku berhenti dimuka rumah ini, maka orang berkuda itu segera berpacu.” Orang-orang yang sedang bercakap-cakap dipendapa itupun tertawa. Bahkan kemudian mereka berbicara tentang beberapa masalah, tentang diri masing-masing dan pengalaman mereka selama mereka berpisah. Meskipun demikian, Ki Patrajaya sama sekali tidak menyinggung tugasnya sebagai seorang petugas sandi dari Pajang dibawah perintah langsung Ki Untara. Ia mengatakan, bahwa selama ini ia adalah seorang petani yang memiliki tanah yang cukup dan bahkan mempunyai sebidang tanah yang dapat dibuatnya menjadi belumbang. Dari belumbang itu ia mempunyai penghasilan yang cukup untuk membeli garam dan gula. “Kau tidak nderes sendiri ?“ bertanya saudara seperguruannya.

Ki Patrajaya menggeleng. Jawabnya, ”Dahulu. Sekarang tidak lagi, karena kakiku telah menjadi cacat. Aku pernah terjatuh.” Pembicaraan merekapun kemudian bergeser dari satu persoalan kepersoalan yang lain. Sekali-sekali terdengar mereka tertawa tergelak-gelak. Sekali-sekali mereka nampak berbicara dengan sungguhsungguh. Namun akhirnya, ketika malam menjadi semakin dalam, kedua orang tamu itupun dipersilahkan beristirahat digandok sebelah kanan. Sementara saudara seperguruan Ki Lurah Patrajaya itupun telah memanggil dua orang pembantunya. “Awasi keadaan,“ perintah saudara seperguruan Ki Lurah Patrajaya itu. Dengan singkat ia berceritera tentang orang berkuda yang mengikuti tamunya dari sebelah Timur bengawan sampai ke pinggir kota. Bahkan kemudian orang itu melintas pula didepan regol rumahnya ketika kedua tamunya itu telah berada didepan regol. “Baiklah Ki Lurah,“ jawab salah seorang pembantunya. “Jangan berada diregol,“ berkata saudara seperguruan Ki Lurah Patrajaya, “beradalah di serambi gandok yang terlindung. Kalian dapat mengawasi halaman dan regol itu. sementara kalian tidak segera dapat dilihat oleh orang yang berada di halaman. Kalian harus bergantian tidur, agar kalian dapat melihat apa yang terjadi. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa. Besok kalian dapat tidur sehari penuh. Tetapi jika terjadi sesuatu, kalian dapat membangunkan tamutamu itu, sebelum kalian membangunkan aku. Tamu-tamuku itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tidak ada bandingnya.” Kedua orang itupun dengan sungguh-sungguh telah melaksanakan perintah-perintah saudara seperguruan Ki Lurah Patrajaya. Keduanya telah duduk diamben bambu diserambi berkerudung kain panjang berwarna kelam. Karena keduanya terlindung dari cahaya lampu minyak, maka keduanya memang tidak nampak dari halaman atau dari regol. Kedua orang itu telah mengatur waktu mereka. Yang seorang akan tidur dahulu sambil bersandar pada sandaran amben bambu, sementara yang lain duduk mengawasi keadaan. Kemudian pada waktu yang telah disepakati, yang seorang akan membangunkan yang lain, dan bergantian ia akan tidur sampai pagi. Namun dalam pada itu, Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayudapun tidak kehilangan kewaspadaan. Merekapun ternyata tidak dapat tidur bersama-sama. Sambil tersenyumpun telah membagi waktu mereka seperti penjaga di serambi. “Ternyata hati kami terlampau kecil,“ desis Ki Lurah Wirayuda sambil tertawa, “peristiwa yang barangkali hanya kebetulan itu telah membuat kami gelisah.” “Kami adalah orang-orang yang penuh dengan curiga, cemas dan kadang-kadang berprasangka. Itu

adalah pengaruh dari tugas-tugas kami selama ini. Karena, jika umurku sudah menjadi semakin tua, aku ingin berganti pekerjaan menjadi juru misaya mina. He, bukankah tanahku yang terbentang di pinggir bengawan itu dapat dijadikan belumbang ikan air tawar?“ desis Ki Lurah Patrajaya. Ki Lurah Wirayuda mengangguk-angguk. Tetapi desisnya, “Jika aku masih menjawab berarti aku tidak akan sempat tidur. Demikian pembicaraan tentang belumbang selesai, maka waktuku telah habis.” Ki Lurah Patrajaya tertawa tertahan. Namun iapun kemudian duduk dibibir pembaringannya, sementara Ki Lurah Wirayudapun berbaring disebelahnya. Sesaat kemudian terdengar desah nafas Ki Wirayuda yang teratur. Matanya terpejam, dan iapun telah tertidur. Seperti yang direncanakan, maka pada saatnya Ki Patrajayapun berganti beristirahat, sementara Ki Wirayuda duduk terkantuk-kantuk. Namun ternyata malam itu mereka lampaui tanpa persoalan yang dapat mengusik ketenangan rumah itu. Tidak ada seorangpun yang datang dengan maksud yang kurang baik. Sehingga orang-orang yang ada didalamnya sama sekali tidak merasa terganggu sama sekali. Dipagi hari yang cerah, Ki Patrajaya dan Ki Wirayuda telah bersiap untuk mulai lagi dengan perjalanannya. Mereka telah mohon diri untuk kembali ke Pajang setelah semalam mereka berada di tempat saudara seperguruan Ki Patrajaya. “Sebenarnya, apakah keperluanmu datang kerumah ini ?“ bertanya saudara seperguruan Ki Lurah Patrajaya itu. Lalu. “Jika kau benar-benar hanya ingin menengok setelah sekian lama kita tidak bertemu, maka aku benarbenar mengucapkan banyak terima kasih.” Ki Lurah Patrajaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Kakang, aku memang hanya ingin menengokmu disini. Aku ingin agar hubungan kita tidak terputus. Selama ini seolah-olah diantara kita tidak ada tali pengikat sama sekali.“ Ki Lurah Patrajaya terdiam sejenak, namun kemudian katanya, “Tetapi mungkin pada suatu saat aku akan datang lagi dalam keadaan yang agak berbeda. Mungkin pada suatu saat aku datang sambil menangis, mohon agar kakang bersedia membantu aku.” “Uh, kau memang kurang waras,“ sahut saudara seperguruannya, “baiklah. Mungkin sekarang kau masih segan untuk mengatakannya. Datanglah lain kali. Aku senang sekali jika aku mendapat kesempatan membantumu. Dengan demikian, jika aku memerlukan bantuanmu, akupun tidak akan segan-segan mengatakannya.”

Ki Lurah Patrajaya tertawa pendek. Namun iapun kemudian sekali lagi mohon diri kepada seluruh keluarga saudara seperguruannya untuk kembali bersama seorang kawannya, yang telah mengucapkan banyak terima kasih atas perlakuan yang sangat ramah. Demikianlah, maka kedua orang itupun segera menempuh perjalanan kembali ke Pajang. Tidak seperti saat mereka berangkat. Mereka tidak perlu berhenti dan apalagi bermalam dijalan. Mereka akan menempuh perjalanan langsung sampai ke Jati Anom, meskipun malam hari mereka baru akan tiba. Bahkan tengah malam. Tetapi sekali-sekali merekapun merasa perlu untuk berhenti. Bukan saja untuk memberi kesempatan kuda mereka beristirahat. Tetapi kedua orang itupun perlu juga singgah di kedai-kedai dipinggir jalan untuk melepaskan haus dan lapar. Namun yang penting, mereka masih ingin mendengar serba sedikit, persoalan yang barangkah ada hubungannya dengan kematian Ki Pringgajaya. Tetapi mereka tidak mendengar ceritera apapun lagi yang dapat melengkapi pendengaran mereka tentang kematian Ki Pringgajaya. Ketika mereka berhenti disebuah kedai, dekat peristiwa itu terjadi, maka yang mereka dengar tidak lebih dan tidak kurang dari ceritera yang pernah mereka dengar sebelumnya, bahkan dari orang-orang yang langsung ikut membantu menguburkan mayat perwira yang memiliki ilmu yang luar biasa itu. Demikianlah, maka kedua orang itu berniat untuk tidak bermalam diperjalanan. Meskipun mereka harus sering berhenti, namun lewat tengah malam, maka mereka telah memasuki Kademangan Jati Anom. Kedua orang itu tidak langsung menghadap Ki Untara. Mereka menuju ke padepokan kecil tempat tinggal Kiai Gringsing, yang masih dijaga oleh beberapa prajurit. Ketika kedua orang itu datang, maka prajurit yang bertugaspun segera mempersilahkan mereka masuk. Setelah membersihkan diri, maka keduanya langsung diterima oleh Kiai Gringsing yang terbangun. “Rasa-rasanya aku tidak sabar menunggu sampai esok,“ berkata Kiai Gringsing. Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayudapun mengangguk-angguk. “Jika kalian berdua tidak terlalu letih, aku ingin mendengar serba sedikit, berita perjalanan yang telah kalian lakukan,“ berkata Kiai Gringsing. Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayudapun mengangguk-angguk. Sambil beringsut setapak, Ki

Lurah Patrajaya berkata, “Baiklah Kiai. Barangkali aku dapat mengatakan, maksud pokok dari perjalanan kami.” “Ya, ya, khususnya mengenai Ki Pringgajaya,“ desis Kiai Gringsing. “Mendahului laporanku kepada Ki Untara,“ berkata Ki Lurah Patrajaya, yang kemudian menceriterakan serba sedikit pendengarannya disepanjang jalan mengenai kematian Ki Pringgajaya. Bahkan iapun sempat menceriterakan seseorang yang nampaknya dengan sengaja telah mengikutinya. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Aku tidak tahu tanggapan angger Untara tentang berita ini. Tetapi aku menduga, bahwa bukanlah suatu kebetulan bahwa perjalanan Ki Tumenggung Prabadaru dan pengiringnya bertemu dengan sekelompok orang-orang yang telah berusaha mengganggu mereka. Apalagi seorang diantara mereka yang terbunuh adalah Ki Pringgajaya.” Kedua orang yang baru datang dari perjalanan itupun mengangguk-angguk. Dalam pada itu, seorang pengawal yang mendapat kepercayaan sepenuhnya dari Untara, telah berpacu kerumah Senapati muda itu di Jati Anom, sesuai dengan permintaan Kiai Gringsing. Prajurit itu diminta untuk memberitahukan, bahwa Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda telah datang. “Sampaikan langsung kepadanya,“ berkata Kiai Gringsing, “jika ia tidak sempat dibangunkan, maka kaupun harus menunggu sampai esok pagi.” Tetapi ternyata bahwa Untarapun tidak menunggu sampai fajar. Diiringi oleh beberapa orang pengawalnya, maka iapun pergi kepadepokan untuk menerima laporan dari kedua orang yang diutusnya menyelusuri perjalanan dan berita kematian Ki Pringgajaya. Ternyata setelah ia mendengar laporan dari kedua petugas sandinya, ia berkata seperti yang telah dikatakan oleh Kiai Gringsing, “Aku menjadi curiga. Ada beberapa hal kecil yang agak berbeda dengan ceritera Tumenggung Prabadaru. Mungkin ada kesengajaan untuk memutuskan jalur yang melintasi Ki Pringgajaya, dari bawah, menuju keatas, yang tersembunyi didalam lingkungan istana Pajang.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Iapun berpendapat demikian. Tetapi yang harus diketemukan kemudian, siapakah yang telah berusaha memutuskan jalur itu. Ki Tumenggung Prabadaru sendiri, atau ia hanyalah sekedar peraga dari satu permainan yang tidak dimengertinya. “Kita harus mencari, dimanakah otak dari permainan ini,“ berkata Kiai Gringsing. “Bukan orang lain,“ sahut Untara, “tetapi kami, prajurit Pajang sendiri.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Untunglah bahwa ia mengenal Untara dengan baik, sehingga ia tidak merasa tersinggung karenanya. Bahkan katanya kemudian, “Angger benar. Persoalannya menyangkut persoalan didalam lingkungan prajurit Pajang. Tetapi bahwa seorang prajurit Pajang atau lebih telah menyentuh padepokan kecil ini, maka sepantasnya kami terlibat langsung kedalam persoalannya.” Untara mengerutkan keningnya. Tetapi ia menjawab, “Itupun menjadi kewajiban kami untuk mengusutnya. Dan kami akan melakukannya sebaik-baiknya. Kecuali jika kami memandang perlu, sehingga kami mohon bantuan dari pihak yang manapun juga.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Sementara ini kami hanya dapat berdoa. Mudah-mudahan usaha angger untuk memecahkan persoalan ini cepat selesai. Namun menurut pendapatku, yang angger hadapi ini adalah tugas yang sangat berat.” “Ya Kiai,“ jawab Untara, “kami akan lebih sulit mencari cacat ditubuh sendiri. Tetapi itu harus kami lakukan. Mudah-mudahan aku dapat menemukan orang yang dapat kami bawa bekerja bersama-sama didalam lingkungan kami. Tetapi jika kami terpaksa, maka kami tentu akan mohon bantuan dari siapapun yang menurut pertimbangan kami akan dapat memberikan pemecahan.” “Angger,“ berkata Kiai Gringsing, “jika angger memerlukan, sudah barang tentu aku bersedia untuk melakukan apa saja yang dapat aku lakukan. Namun sebenarnyalah, bahwa lebih dahulu angger dapat melihat kedalam diri dan tubuh keprajuritan Pajang.“ “Terima kasih Kiai,“ jawab Untara, “aku akan memikirkannya. Sementara ini kami, masih belum dapat berbuat apa-apa. Aku masih harus menilai semua peristiwa yang telah terjadi. Kematian Ki Pringgajaya bagiku merupakan teka-teki. Mungkin Ki Tumenggung Prabadaru sengaja membawa Pringgajaya kedalam satu kelompok orang yang sudah dipersiapkan, dan menjerumuskannya kedalam keadaan yang paling pahit setelah ia dianggap tidak berguna lagi, dan bahkan akan dapat menjadi jalur penghubung untuk mencari otak dari permainan yang memuakkan ini.” “Mungkin ngger,“ desis Kiai Gringsing, “namun yang perlu diperhitungkan, bahwa peristiwa itu terjadi, sebelum atau selambat-lambatnya bersamaan dengan kegagalan Gembong Sangiran.” “Malam itu, tugas Ki Pringgajaya sudah dianggap selesai. Kematian Agung Sedayu dan seisi padepokan ini adalah tugas terakhir yang harus ditunaikannya. Karena itu, demikian tugas terakhirnya selesai, maka iapun harus dibinasakan. Tetapi mungkin juga, Ki Pringgajaya telah melakukan kesalahan dalam tugasnya, atau hal-hal lain yang masih harus dicari,“ jawab Untara. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Memang ada seribu kemungkinan yang dapat terjadi atas

kematian Ki Pringgajaya. Tetapi sasaran pertama yang akan diamati oleh Untara, sudah barang tentu adalah Ki Tumenggung Prabadaru. Demikianlah, maka ketika Untara telah mendengar laporan kedua orang petugas sandi itu, maka iapun segera kembali ke rumahnya di Jati Anom, setelah ia menengok Agung Sedayu dan Sabungsari sesaat. Agaknya keduanya sudah dapat tidur meskipun masih nampak gelisah. Sementara orang-orang lainpun dipadepokan itu, tidak juga dibangunkannya. Sepeninggal Untara, maka Kiai Gringsing tidak lagi kembali ke pembaringannya. Beberapa saat lamanya ia berada didalam bilik Sabungsari yang ditunggui oleh seorang pengikutnya, meskipun sambil tidur pula di atas sehelai tikar disebelah pembaringan. Kemudian Kiai Gringsingpun beringsut kebilik Agung Sedayu. Glagah Putih yang biasa tidur bersamanya pada amben yang samar telah tidur dilantai pula beralaskan tikar. Ia tidak mau mengganggu Agung Sedayu. Jika didalam tidur tanpa sengaja ia menyentuh luka Agung Sedayu, maka luka itu tentu akan terasa sakit sekali. Ketika Kiai Gringsing keluar dari bilik Agung Sedayu, maka terdengar ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kali. Dilangit sebelah timur sudah terbayang warna merah. Beberapa orang cantrik telah terbangun dan melakukan kerja masing-masing. Ki Widura dan Glagah Putihpun segera terbangun pula. Setelah mereka membersihkan diri, maka sekilas Kiai Gringsing memberitahukan kepada Ki Widura, apa yang sudah dibicarakannya dengan Untara. “Memang mencurigakan sekali,“ berkata Ki Widura, “tetapi untuk dapat mengatakan dengan pasti apa yang telah terjadi, memang memerlukan waktu dan ketekunan.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun pembicaraan merekapun tidak mereka teruskan, karena Kiai Gringsing dan Ki Widurapun segera berada didalam kesibukan masing-masing. Namun pada satu kesempatan lain, mereka masih akan berbicara lebih panjang. Namun dalam pada itu. Kiai Gringsing tidak dapat melepaskan angan-angannya kepada peristiwa itu. Ia memandang peristiwa yang penuh dengan rahasia itu dari segala segi. Tetapi akhirnya ia menarik nafas sambil berdesah, “Aku tidak mempunyai bahan yang cukup untuk mengurai peristiwa ini.” Sebenarnya ada keinginan Kiai Gringsing untuk pergi ketempat yang dikatakan oleh Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda. Tetapi ia tidak akan sampai hati meninggalkan Agung Sedayu dan

Sabungsari yang terluka parah. Bukan karena kemungkinan datangnya orang-orang Gunung Kendeng, karena di padepokan itu telah terdapat beberapa orang prajurit pengawal pilihan disamping Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda. Namun jika terjadi perubahan keadaannya dengan tiba-tiba, sementara ia tidak berada dipadepokan itu, maka kemungkinan yang paling gawat akan dapat terjadi pada kedua orang yang terluka parah ilu. Tetapi dalam pada itu, ketika Kiai Gringsing sedang melintas dihalaman, ia melihat Glagah Putih berdiri termangu-mangu di regol halaman, seolah olah sesuatu sedang diperhatikannya dengan saksama. Langkah Kiai Gringsingpun terhenti. Iapun kemudian pergi keregol sambil bertanya, “Apa yang kau lihat Glagah Putih ?” Glagah Putih berpaling. Namun kemudian jawabnya, “Orang berkuda itu. Kiai.” Ketika Kiai Gringsing sampai keregol, maka ia masih melihat orang berkuda beberapa tonggak dari regol. “Siapa ?“ bertanya Kiai Gringsing. “Aku tidak tahu Kiai. Kuda itu melintas. Namun kemudian berhenti ditempat itu. Memang sangat menarik perhatian,“ jawab Glagah Putih. Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Sementara itu, langit bagaikan dihembus oleh cahaya pagi, menguak kekelaman. Namun dalam keremangan pagi, orang berkuda yang berhenti beberapa tonggak dari regol itu masih belum dapat dilihat dengan jelas. Kiai Gringsingpun kemudian teringat kepada orang berkuda yang mengikuti Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda. Karena itu, maka iapun menduga, bahwa orang berkuda itulah yang telah mengikuti kedua orang pe tugas sandi Pajang itu sampai ke Mediun. Sejenak Kiai Gringsing merenung. Namun akhirnya ia berkata kepada Glagah Putih, “Kau disini saja, aku ingin mendekati. Nampaknya penunggang kuda itu ingin mengatakan sesuatu.” Kiai Gringsingpun kemudian melangkah mendekati orang berkuda itu. Rupa-rupanya ia ragu-ragu ketika ia melihat kuda itu bergeser menjauh. Namun ketika kuda itu berhenti dan penunggangnya nampak menunggunya, maka iapun melangkah terus. Glagah Putih memandangi saja Kiai Gringsing dari tempatnya. Tetapi ia tidak memberitahukan kepada siapapun juga. Justru karena ia menjadi asyik dan bahkan tegang.

Ternyata orang berkuda itu memang menunggu. Ketika Kiai Gringsing menjadi semakin dekat, maka kuda itupun melangkah perlahan-lahan mendekatinya. Beberapa langkah kemudian, Riai Gringsingpun tertegun. Dengan suara tertahan ia berdesis, “Pangeran Benawa.” “Sst,“ desis orang berkuda itu, “kau tidak usah menyebut aku dan mengatakannya kepada siapun juga. Jangan mengatakan pula kepada Untara. Kepada orang-orang dipadepokanmu jika masih belum kau anggap perlu. Kedua petugas sandi dari Pajang itupun tidak perlu mengetahuinya.” “Ya, Pangeran,“ sahut Kiai Gringsing. “Bukankah kedua orang petugas dari Pajang itu baru saja kembali dari Mediun ?“ bertanya Pangeran Benawa. “Ya Pangeran, meskipun sebenarnya mereka tidak ingin pergi ke Mediun.“ Namun Kiai Gringsing justru bertanya, “Pangeran mengetahui?” “Aku mengerti. Tetapi apakah benar-benar Pringgajaya sudah mati?“ tiba-tiba saja Pangeran itu bertanya. “Menurut pendengaran Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda, Ki Pringgajaya memang sudah mati terbunuh,“ jawab Kiai Gringsing. “Tetapi agaknya Untara dan barangkali Kiai Gringsing menjadi curiga?“ bertanya Pangeran Benawa. “Ya Pangeran. Kami menganggap kematian itu bukanlah kematian yang sewajarnya,“ jawab Kiai Gringsing. Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Jika kau berkesempatan Kiai, maka kau dapat melakukan penyelidikan itu lebih cermat. Tentu yang sehari di Mediun, yang dilakukan oleh Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda itu kurang memadai. Ia hanya mendengar kebenaran berita kematian Ki Pringgajaya. Tetapi sebabnya, tandatanda yang lain dan kematian itu, kemungkinan-kemungkinannya, masih belum dapat diungkapkan.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Disini ada dua orang yang terluka parah Pangeran. Agung Sedayu dan Sabungsari.” “Ya, aku sudah mendengar. Apakah keduanya itu agaknya tidak dapat kau tinggalkan ?”

“Luka mereka sangat parah,“ jawab Kiai Gringsing. Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Lalu iapun bertanya, “Bagaimana dengan Untara.” Kiai Gringsingpun kemudian mengatakan serba sedikit tentang sikap Untara. “Baiklah Kiai,“ berkata Pangeran Benawa, “anak itu mendekat kemari. Agaknya ia curiga bahwa Kiai Gringsing terlalu lama bercakap-cakap dengan orang yang tidak dikenal. Sikap Untara sebagai prajurit dapat dimengerti. Karena itu, biarlah aku mencoba membantumu tanpa menumbuhkan persoalan bagi Untara. Namun aku akan tetap minta kepadamu, setelah kedua orang itu dapat kau tinggalkan, pergilah barang sehari dua hari ke Mediun.” Pangeran Benawa tidak dapat berkata lebih panjang lagi, karena Glagah Putih sudah menjadi semakin dekat. Bahkan kuda itupun kemudian berputar dan berlari meninggalkan Kiai Gringsing seorang diri. “Siapa Kiai ?“ bertanya Glagah Putih. Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak tahu.” “Aku bertanya, siapakah dia, dan apakah maksudnya?“ jawab Kiai Gringsing. “Apa jawabnya ? “ desah Glagah Putih. “Ia menyebut sebuah nama. Tetapi itu sama sekali tidak berarti bagiku. Aku memang mencurigainya. Karena itu, aku usir orang itu pergi.” “Seharusnya Kiai tidak mengusirnya,“ berkata Glagah Putih kemudian. “Lalu?” Kiai Gringsinglah yang bertanya. “Kita persilahkan orang itu masuk. Kemudian kita akan dapat bertanya kepadanya. Kalau perlu, dihadapan prajurit-prajurit Pajang yang diletakkan kakang Untara disini,“ desis Glagah Putih. “Ah,“ jawab Kiai Gringsing, “jika terjadi perselisihan, maka kita hanya akan menambah lawan saja.” “Kiai aneh,“ desis Glagah Putih, “bahwa ia hadir secara aneh itupun tentu bukannya tanpa maksud ?” “Sudahlah,“ Kiai Gringsing kemudian menepuk bahu Glagah Putih, “Marilah. Orang itu sudah pergi. Aku memang melihat sesuatu yang pantas dicurigai. Tetapi tidak harus bertindak sekarang atasnya.” Glagah Putih tidak menjawab meskipun Kiai Gringsing mengetahui, bahwa anak muda itu tidak puas dengan jawabannya. Meskipun demikian Glagah Putihpun melangkah kembali ke regol padepokannya. “Lanjutkan saja kerjamu Glagah Putih,“ berkata Kiai Gringsing, “lihat, matahari telah memancar.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia sudah selesai menyapu halaman seperti yang selalu dikerjakannya setiap hari. Tanpa jejak kaki, karena ia melangkah surut seperti yang dianjurkan oleh Agung Sedayu. Karena itu, maka Glagah Putihpun segera pergi ke belakang. Hari itu, perasaan Kiai Gringsing selalu dibayangi oleh berita kematian Ki Pringgajaya dan keraguraguan atas kebenaran berita itu. Seandainya Ki Pringgajaya benar-benar telah mati seperti yang dikatakan oleh Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda, namun kematiannya itu sendiri memang perlu untuk diselidiki. Mungkin memang ada rencana yang matang untuk membunuhnya. Tetapi karena Ki Pringgajaya adalah perajurit linuwih, maka untuk membunuhnya, telah jatuh beberapa orang korban jiwa. “Pada saat Ki Pringgajaya merencanakan untuk membunuh Sabungsari dan Agung Sedayu, maka orang lain telah merencanakan membunuhnya,” berkata Kiai Gringsing didalam hatinya, “Tetapi ternyata justru pembunuhan atas Ki Pringgajaya sajalah yang berhasil, sementara pembunuhan atas Agung Sedayu dan Sabungsari telah gagal.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia membayangkan, betapa buruknya nasib Ki Pringgajaya. Tetapi Kiai Gringsing tidak mempersoalkan dengan siapapun juga. Dengan Widura dan kedua petugas sandi itupun tidak. Meskipun dengan demikian, hal itu telah menambah beban perasaannya. Sehari itu. Kiai Gringsing telah bekerja keras. Sabungsari dan Agung Sedayu sudah menjadi berangsur baik meskipun keduanya masih harus tetap berbaring di pembaringannya. Meskipun demikian Kiai Gringsing masih belum berani meninggalkan keduanya, karena perubahan keadaan masih memungkinkan. Jika tubuh mereka menjadi panas dan terdapat kelainan pada luka-luka mereka, maka ia harus cepat bertindak. Karena itu, maka betapa ia ingin memenuhi pesan Pangeran Benawa, namun ia harus tetap menahan diri untuk tetap berada dipadepokannya. Berbeda dengan keadaan Kiai Gringsing, maka ternyata Untara telah bertindak lebih jauh. Ia tidak berhenti pada keterangan yang diterima dari Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda. Namun ia berusaha untuk mendapat keterangan lewat jalur keprajuritan. Karena Ki Pringgajaya adalah bawahannya, maka Untarapun telah pergi ke Pajang untuk mendapat keterangan tentang kematian Ki Pringgajaya. Ternyata bahwa pihak keprajuritan Pajang telah menganggap dengan beberapa bukti, bahwa Ki Pringgajaya telah mati terbunuh oleh sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab. “Hanya cukup begitu ?“ bertanya Ki Untara kepada seorang perwira yang memberikan keterangan kepadanya. “Apa maksud Ki Untara ?“ bertanya perwira itu.

“Apakah kita sama sekali tidak berusaha untuk mengetahui latar belakang dari pembunuhan itu ?“ bertanya Untara pula. “Latar belakang apakah yang kau maksudkan ?” “Misalnya, apakah kita menganggap dengan beberapa bukti dan saksi, bahwa yang terjadi adalah perampokan. Mungkin sekelompok perampok telah keliru menyergap korbannya,“ jawab Untara, lalu. “tetapi mungkin pembunuhan itu berlatar belakangkan dendam atau iri dan dengki. Ki Pringgajaya adalah orangku yang memiliki banyak kelebihan. Karena itu, aku sangat memerlukannya. Ketika ia berangkat, aku sudah mengatakannya kepada Tumenggung Prabadaru.” Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tentu Ki Untara. Kalau itu yang kau maksud. Kami bukan kanak-kanak.” Untara mengangguk-angguk. Nampaknya memang meyakinkan, bahwa Ki Pringgajaya benar-benar telah mati. Ada beberapa bukti yang dapat diberikan kepadanya. Senjatanya, pakaiannya dan saksi padukuhan terdekat, yang telah membantu menyelenggarakan korban yang terbunuh itupun dapat menyebut, bahwa orang yang terbunuh itu adalah Ki Pringgajaya. Karena itu, maka usaha Untara untuk menyelidikinya lebih jauh menjadi agak mengendor, meskipun ia tetap ingin mengetahui, apakah sebenarnya latar belakang dari pembunuhan itu. Sambil menunggu hasil penyelidikan yang dilakukan oleh pimpinan keprajuritan Pajang, maka Untarapun berniat untuk berusaha mencari jejak sendiri meskipun tidak terlalu tergesa-gesa. Untuk sementara, Untara menganggap bahwa ancaman bagi keselamatan Sabungsari dan Agung Sedayu sudah menurun. Orang-orang yang berusaha untuk menyingkirkannya lewat Ki Pringgajaya tentu sedang mencari cara lain yang lebih haik dari yang pernah dilakukan oleh Ki Pringgajaya, yang ternyata telah gagal. Meskipun demikian, Untara tidak ingin menarik prajuritnya yang berada di padepokan. Setidaktidaknya untuk sementara, selagi Agung Sedayu dan Sabungsari masih belum dapat berbuat sesuatu jika bencana masih akan mengejarnya. Sementara itu, kegelisahan ternyata telah menjalar ke Sangkal Putung. Sekar Mirah mulai tidak sabar menunggu. Ia ingin menengok apa yang telah terjadi dengan Agung Sedayu. Meskipun ia yakin bahwa Agung Sedayu akan sembuh dibawah perawatan Kiai Gringsing, namun rasa-rasanya ia tidak dapat menunda keinginannya untuk pergi ke Jati Anom. Tetapi setiap kali Swandaru dan Pandan Wangi menasehatinya, agar ia menunggu kabar berikutnya

dari Jati Anom. Mungkin keadaannya masih belum memungkinkan. “Jika kabar itu tidak kunjung datang ?“ bertanya Sekar Mirah. Akhirnya Swandaru mengambil sikap lain, setelah disepakati oleh Ki Demang dan Pandan Wangi. Swandaru akan menugaskan dua orang pengawalnya untuk pergi ke Jati Anom, sebagaimana dua orang petani yang sedang bepergian, agar perjalanan mereka tidak menarik perhatian, seandainya keadaan di Jati Anom masih tetap gawat. Dalam pada itu, keadaan Sabungsari dan Agung Sedayupun menjadi semakin baik dihari-hari berikutnya. Meskipun mereka masih lemah, tetapi sudah membayang, bahwa keadaan mereka akan menjadi semakin baik, sehingga merekapun akan segera menjadi sembuh. Meskipun mereka tentu masih akan membutuhkan waktu yang panjang untuk dapat dianggap sembuh sama sekali, dan apalagi memulihkan segala kekuatan. Namun sementara itu, Kiai Gringsing yang selalu dibayangi oleh keterangan yang didengarnya dari Pangeran Benawa, rasa-rasanya selalu digelitik oleh satu keinginan untuk melakukan satu perjalanan. Meskipun Kiai Gringsing juga harus mempertimbangkan pendapat Untara, namun ia akan dapat memberikan penjelasan sehingga Untara tidak akan keberatan jika untuk beberapa saat lamanya ia meninggalkan padepokan kecil itu. Karena itu, maka pada saatnya, Kiai Gringsing telah menghadap Untara untuk menjelaskan maksudnya, meskipun ia tidak mengatakan bahwa ia telah bertemu dengan Pangeran Benawa. “Apakah Kiai tidak bermaksud menunggu hasil penyelidikanku ?“ bertanya Untara, “aku telah melakukan beberapa pengamatan melalui berbagai jalur. Tetapi sampai sekarang, yang dapat aku dengar, barulah kematian Pringgajaya. Aku belum mendapatkan suatu keterangan tentang latar belakang dari kematiannya.” “Bagaimana dengan Ki Tumenggung Prabadaru ?“ bertanya Kiai Gringsing. “Aku tidak dapat secara langsung mengamatinya dan apalagi mencurigainya,“ jawab Untara. “Angger Untara,“ berkata Kiai Gringsing, “jika angger tidak berkeberatan, aku ingin menitipkan padepokan itu sementara kepada para prajurit Pajang. Aku yakin, bahwa yang berada dipadepokan saat ini adalah orang-orang yang dapat dipercaya, sementara Ki Widura juga akan selalu mengawasi padepokan itu.” “Sebenarnya Kiai akan pergi kemana ?“ bertanya Untara lebih jauh. “Aku akan pergi ke sekitar peristiwa itu terjadi, kemudian pergi ke tempat-tempat yang mungkin dapat

aku telusuri. Aku belum tahu pasti, kemana aku akan pergi,“ jawab Kiai Gringsing, “namun aku berusaha untuk segera kembali, karena aku tidak akan sampai hati meninggalkan angger Sabungsari dan Agung Sedayu terlalu lama, meskipun aku sudah menyediakan obat-obatnya.” “Tetapi yang Kiai lakukan adalah tanggung jawab Kiai sendiri,“ berkata Untara kemudian, “maksudku, tugas yang Kiai bebankan pada diri Kiai sendiri, bukanlah tugas keprajuritan Pajang.” “Aku mengerti ngger. Aku memang bukan seorang prajurit.” “Dan juga tidak diminta oleh pimpinan keprajuritan jenjang yang manapun juga,“ sahut Untara. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya, “Aku mengerti ngger.” “Terserahlah kepada Kiai. Kiai dapat melakukan atas nama Kiai sendiri, karena sikap dan pandangan Kiai secara pribadi terhadap peristiwa ini,“ berkata Untara, lalu. “namun aku tidak ingkar, bahwa sudah banyak yang Kiai lakukan bagi kepentingan prajurit Pajang. Jika kali ini Kiai masih akan berbuat sesuatu yang akhirnya dapat membantu kami, kami akan sekali lagi mengucapkan terima kasih.” “Apa yang aku lakukan tidak banyak berarti. Juga kali ini sebenarnya aku hanya ingin memanjakan perasaan sehingga aku didorong untuk melakukan sesuatu yang tidak pasti, dan barangkali sama sekali tidak bermanfaat bagi siapapun juga,“ jawab Kiai Gringsing. Ternyata Untara memang tidak berkeberatan untuk menempatkan prajuritnya dipadepokan itu untuk sementara. Terutama selama Kiai Gringsing tidak ada dipadepokan dan Sabungsari serta Agung Sedayu masih sakit. Ketika Kiai Gringsing kembali dari rumah Untara, maka ternyata dua orang utusan Swandaru telah berada dipadepokan. “Sangkal Putung dalam keadaan cemas,“ berkata Ki Widura yang menerima kedua orang itu. Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Itu dapat dimengerti. Tetapi bukankah Ki Widura sudah mengatakan tentang kedua anak yang terluka itu, bahwa keadaan mereka telah berangsur baik ?” “Ya. Aku telah mengatakannya, dan keduanyapun telah menengok mereka dibilik masing-masing,“ jawab Ki Widura. “Sokurlah,“ berkata Kiai Gringsing lebih lanjut, “keadaan berangsur pulih kembali. Meskipun demikian, kami masih memerlukan sekelompok prajurit untuk membantu melindungi padepokan ini selama Agung Sedayu dan Sabungsari masih belum sembuh sama sekali.

“Agaknya itu lebih baik,“ berkata utusan dari Sangkal Putung itu, “yang paling gelisah adalah Sekar Mirah. Dah tentu hal itupun dapat dimengerti pula.” Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Katakan kepada Ki Demang, kepada Swandaru, Pandan Wangi dan terutama Sekar Mirah, bahwa Agung Sedayu sudah berangsur baik seperti yang kalian lihat. Tetapi biarlah mereka tidak perlu menengoknya, seperti yang aku katakan, bahwa ada banyak kemungkinan dapat terjadi. Karena itu, lebih baik bagi mereka untuk tetap berjaga-jaga di Sangkal Putung.” Demikianlah utusan dari Sangkal Putung itu kembali dengan berita yang dapat mengurangi kegelisahan. Meskipun demikian, rasa-rasanya memang sulit bagi Sekar Mirah untuk menahan diri. Namun setiap kali Swandaru dan Pandan Wangi selalu mencoba untuk menenangkannya. Dalam pada itu, Kiai Gringsing yang sudah bertekad untuk mengadakan perjalanan seorang diri itupun telah minta diri kepada Ki Widura, Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda yang untuk sementara masih tetap berada dipadepokan itu bersama beberapa orang prajurit Pajang. Dengan sedikit bekal keterangan tentang tempat terjadinya peristiwa yang telah menyebabkan Ki Pringgajaya terbunuh, dan sedikit keterangan tentang perguruan di Gunung Kendeng dari orang-orang Gunung Kendeng yang tertawan, maka Kiai Gringsing mulai dengan sebuah perjalanan. Perjalanan seorang diri yang sudah lama tidak dilakukannya, sejak ia mempunyai dua orang murid. “Berapa lama Kiai akan pergi ?“ bertanya Agung Sedayu yang ditunggui oleh Glagah Putih. “Tidak terlalu lama,“ jawab orang tua itu. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengerti bahwa gurunya, tentu tidak akan sampai hati meninggalkannya terlalu lama dalam keadaannya. Namun agaknya gurunyapun mempunyai perhitungan tersendiri tentang Ki Pringgajaya. Dengan deniikian, maka pada suatu pagi yang cerah, Kiai Gringsing telah berangkat meninggalkan padepokannya. Ki Widura dan Glagah Putih serta beberapa orang penghuni padepokan itu, termasuk pimpinan prajurit yang diperintahkan oleh Untara menjaga padepokan kecil itu, melepaskannya sampai keregol halaman. “Perjalanan yang aneh,“ desis Ki Widura. “Apakah sebenarnya yang dicari oleh Kiai Gringsing ?“ bertanya Glagah Putih. “Aku tidak tahu,“ jawab Widura, “mungkin ia ingin satu kepastian, kenapa Ki Pringgajaya telah dibunuh, dan siapakah sebenarnya yang telah membunuhnya. Bertolak dari sana, maka ia ingin sampai kepada satu kesimpulan, siapakah sebenarnya orang yang telah menggerakkan semua peristiwa yang menyangkut ketenangan Pajang disaat terakhir.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia memang bukan kanak-kanak lagi, sehingga iapun dapat mengerti,

apa yang dikatakan oleh ayahnya. Namun dalam pada itu, penghuni padepokan kecil itupun merasa, bahwa mereka harus menjadi lebih berhati-hati sepeninggal Kiai Gringsing. Apalagi orang terkuat yang lain, Agung Sedayu dan juga Sabungsari, masih dalam keadaan sakit. Sehingga dengan demikian, maka keselamatan padepokan itu, harus mereka pertanggung jawabkan bersama-sama. Sementara itu. Kiai Gringsing yang meninggalkan padepokannya, telah berkuda seorang diri melintasi bulak-bulak panjang. Meskipun orang tua itu tidak berpacu terlalu cepat, namun kudanya telah berlari semakin jauh dari padepokannya. Untuk beberapa saat Kiai Gringsing menjadi ragu-ragu, kemana ia akan pergi. Apakah ia akan langsung menuju ketempat yang ditunjuk oleh mereka yang telah mencari keterangan lebih dahulu, atau ia akan menemui orang-orang yang mungkin akan dapat membantunya memberikan keterangan. Hampir diluar sadarnya, kudanya telah menuju ke dukuh Pakuwon. Untuk beberapa lama, pernah tinggal dipadukuhan itu sebagai seorang dukun yang selalu menolong mengobati orang-orang yang sakit di sekitarnya. Terasa perasaannya tersentuh pula ketika ia memasuki padukuhan yang pernah dihuninya itu. Namun tetangga-tetangganya tentu tidak akan dapat mengenalnya dalam keadaannya itu. Meskipun ia juga sering pergi berkuda, namun ia telah memberikan kesan yang sangat berbeda tentang dirinya pada waktu itu, dengan pada waktu ia berkuda sebagai seorang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing dari padepokan kecil diujung Kademangan Jati Anom. Tetapi Kiai Gringsing tidak berhenti dipadukuhan kecil, ia melintas saja beberapa puluh tonggak dari rumah yang pernah menjadi tempat tinggalnya, yang ternyata masih saja menjadi rumah dan halaman yang kosong. Namun dalam pada itu, demikian ia meninggalkan padukuhan kecil itu, tiba-tiba saja terbersit keinginannya untuk bertemu dengan Pangeran Benawa. Pangeran Benawalah yang telah menggerakkan hatinya untuk mencari keterangan lebih jauh tentang Ki Pringgajaya yang telah mengancam keselamatan jiwa muridnya. “Apakah aku akan singgah di Pajang ?“ bertanya Kiai Gringsing didalam hatinya. Sekilas ia mulai membayangkan tentang dirinya sendiri dalam berbagai bentuk penyamaran. Bahkan sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata kepada diri sendiri, “Apakah Kiai Gringsing itupun sudah merupakan kebenaran tentang diriku ?” Namun akhirnya Kiai Gringsing tidak dapat mengetahui lagi, dimanakah sebenarnya kakinya ingin berdiri. Ia telah menyebut dirinya dengan beberapa sebutan. Ia sudah pernah merasa dirinya berpurapura dengan peranannya. Namun kemudian ia menganggap bahwa ia sudah melakukan sesuatu atas

namanya, sehingga ia telah merubah dirinya sendiri dalam ujud yang berbeda. Bahkan akhirnya ia tidak mengerti, jika ia harus menemukan dirinya sendiri sebagaimana pada alas yang seharusnya, ia harus berada pada dirinya yang mana. Diluar sadarnya, Kiai Gringsing memandang lebih dalam lagi kepada dirinya sendiri. Kepada bentuk yang tergores dipergelangan tangannya. Dan bahkan diluar sadarnya ia memandang surut kekejayaan Majapahit yang telah lama lalu. Namun akhirnya orang tua itu bergumam kepada diri sendiri, “Aku akan menjumpai Pangeran Benawa.” Demikianlah maka Kiai Gringsingpun menuju ke Pajang tanpa singgah lebih dahulu ke Sangkal Putung. Ia tidak ingin menumbuhkan persoalan-persoalan baru pada muridnya yang seorang lagi beserta keluarganya di Sangkal Putung. Namun Kiai Gringsing tidak akan dapat memasuki Pajang dalam keadaannya. Sudah banyak orang yang mengenalnya sebagai guru Agung Sedayu, sehingga kedatangannya ke istana Pangeran Benawa tentu akan banyak menarik perhatian. Sedangkan mungkin sekali Pangeran Benawa tidak ada diistananya. Dengan demikian ia telah membuat perjalanannya sia-sia, apabila orang yang justru sedang dicarinya itu telah mehhatnya lebih dahulu, sehingga mereka akan menjadi lebih berhati-hati. Lebih dari itu, maka merekalah yang akan mepgawasi perjalanannya, dan bukan ia yang akan mendapat keterangan tentang kematian Ki Pringgajaya. Karena itu, maka Kiai Gringsing harus hadir diistana Pangeran Benawa dalam ujud yang lain. Bukan sebagai Kiai Gringsing. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia masih harus melakukannya lagi. Jika ia dikenal sebagai Kiai Gringsing, karena terlalu lama ia menyatakan diri sebagaimana ia dikenal tanpa diketahui asalusulnya, maka ia harus hadir dalam penyamaran ganda, karena Kiai Gringsing itupun bukanlah ia sendiri pada mulanya. “Pangeran Benawa juga sering melakukannya,“ berkata Kiai Gringsing didalam hatinya, sebagaimana ia bertemu disaat terakhir, sehingga mendorongnya untuk meninggalkan padepokan kecilnya. Karena itulah, maka dalam perjalanannya, Kiai Gringsing tidak langsung menuju ke Pajang. Ia masih mempunyai waktu cukup, karjena ia ingin memasuki istana Pangeran Benawa setelah senja. “Aku punya waktu sehari,“ berkata Kiai Gringsing. Yang sehari itu dipergunakan oleh Kiai Gringsing untuk menjelajahi daerah yang pernah dilihatnya beberapa saat sebelumnya. Bahkan ada juga keinginannya untuk melihat tlatah yang sudah lama tidak dilihatnya. Untuk menghabiskan waktunya Kiai Gringsing telah beristirahat dipinggir sebuah belumbang, dibawah sebatang pohon yang besar, namun yang agaknya jarang dikunjungi orang.

Adalah kebetulan sekali, bahwa orang tua itu dapat dengan bebas bercermin diair belumbang yang bening meskipun agak kotor oleh dedaunan yang berjatuhan. Namun ketika angin tenang, orang tua itu dapat melihat wajahnya sendiri dipermukaan air. Demikian matahari turun kekaki langit. Kiai Gringsing tersenyum melihat wajahnya sendiri. Seleret kumis yang tebal keputih-putihan melekat diatas bibirnya. Sementara ia tidak lagi mengenakan ikat kepalanya seperti kebiasaannya, tetapi ia mengenakannya dengan rapi. Demikian juga baju dan kain panjangnya. Sambil tersenyum Kiai Gringsing berkata kepada diri sendiri, “Aku masih pantas mengaku seorang priyayi.” Sebenarnyalah bahwa Kiai Gringsing nampak seperti seorang priyayi. Tetapi sebuah pertanyaan tibatiba saja terbersit dihatinya, “Apakah aku hanya sekedar nampaknya saja seperti seorang hamba istana ?” Tetapi Kiai Gringsing kemudian menarik nafas dalam-dalam. Katanya kepada diri sendiri, “Aku sudah memilih jalan hidup yang sudah sekian lama aku jalani.” Demikianlah, maka Kiai Gringsing dengan cara berpakaian yang lain dan sebuah kumis yang tebal keputih-putihan segera meloncat naik kepunggung kudanya. “Untunglah, kumis itu masih aku simpan baik-baik,“ katanya didalam hati. Seperti yang diperhitungkan, maka ia memasuki Pajang ketika matahari sudah tenggelam. Ia sengaja memilih waktu yang buram, agar orang tidak akan dengan mudah dapat mengenalnya, seandainya ia bertemu dengan seseorang yang sudah mengenalnya dengan baik. Dengan ujudnya yang agak berbeda, maka Kiai Gringsingpun langsung menuju ke istana Pangeran Benawa. Kepalanya tidak tertunduk seperti biasanya yang dilakukan dalam perjalanan. Tetapi ketika ia mendekati regol, maka iapun mengangkat wajahnya sambil menegakkan dadanya. “Sikapku harus patut,“ katanya didalam hati. Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing itupun sudah berada di muka regol istana Pangeran Benawa. Dengan sikap seorang yang berkedudukan ia bertanya kepada penjaga regol, “Apakah Pangeran Benawa ada diistana ?” Penjaga itu memandanginya sejenak. Namun karena keremangan malam ia tidak dapat memandang wajah orang yang datang itu dengan jelas. Tetapi menilik ujudnya sekilas dalam bayangan senja, orang itu adalah orang yang berkedudukan baik. “Apakah tuan akan bertemu dengan Pangeran ?“ bertanya penjaga regol itu. “Ya. Aku akan menghadap Pangeran,“ jawab Kiai Gringsing, “aku mempunyai kepentingan yang tidak

dapat ditunda sampai esok pagi.” “Siapakah tuan,“ bertanya penjaga regol itu. Pertanyaan itulah yang digelisahkan oleh Kiai Gringsing. Bagaimana ia menyebut dirinya sendiri, sehingga justru tidak membuatnya harus mengurungkan niatnya, karena Pangeran Benawa menolak. “Aku adalah saudara seperguruannya,“ berkata Kiai Gringsing hampir diluar sadarnya. “Saudara seperguruan ?“ penjaga regol itu menjadi heran, “tuan agaknya berselisih umur cukup banyak dengan Pangeran.” “Ya. Aku memang jauh lebih tua,“ Kiai Gringsing terpaksa berbohong lebih lanjut, “agaknya aku bukan saja cepat menjadi tua, tetapi aku memasuki padepokan tempat aku berguru, aku memang sudah menjelang hari tuaku. Sementara Pangeran Benawa hanya seperti orang lewat, sekedar singgah. Namun ilmunya jauh melampaui ilmu saudara-saudara seperguruannya yang lain.” “Baik tuan. Tetapi jika Pangeran bertanya, siapakah nama tuan?” orang itu bertanya lebih jauh. Kiai Gringsing menjadi agak bingung. Namun kemudian katanya, “Risang Jati Pakuwon.” Penjaga regol itu mengerutkan keningnya. Sementara itu sambil tersenyum Kiai Gringsing berkata, “Apakah itu nama yang aneh? Namaku memang bukan itu. Tetapi aku mendapatkannya dipadepokan. Dan nama itulah yang dikenal oleh Pangeran Benawa.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu katanya, “Jika Pangeran masih juga bingung, katakan, bahwa aku adalah orang yang mendapat pesan langsung dari Pangeran untuk mengantarkan pusaka Kiai Cemeti. Dengan demikian, maka Pangeran tentu akan segera mengenal, siapakah tamunya ?” Penjaga regol itu mengangguk-angguk. Meskipun ia masih regu-ragu, maka iapun berkata, “Baiklah. Aku akan menyampaikannya. Silahkan.” Ketika orang itu meninggalkan regol, maka seorang kawannya yang lain bergeser mendekat, meskipun ia tetap berdiri beberapa langkah dari Kiai Gringsing yang kemudian turun dari kudanya, dan melangkah memasuki regol halaman. Namun ia masih tetap berdiri saja di bawah sebatang pohon sawo sambil memegangi kendali kudanya. Adalah suatu kebetulan, bahwa saat itu Pangeran Benawa tidak sedang pergi. Ia berada di ruang dalam, ketika seorang hamba datang menghadap untuk kepentingan menyampaikan pesan, bahwa seseorang ingin menghadap. Ketika hambanya menyampaikan nama dan kepentingan orang yang datang itu, Pangeran benawa berpikir sejenak. Ia belum pernah mendengar nama yang aneh itu, dan iapun sama sekali belum pernah memesan sebuah pusaka kepada orang yang mengaku saudara seperguruannya.

Tetapi justru nama dan keperluan yang aneh itu telah menarik perhatian Pangeran Benawa yang memang ingin banyak mengetahui. Karena itu, maka Pangeran Benawapun segera memerintahkan agar tamunya segera dipersilahkan masuk, justru keruang dalam. Demikianlah, maka orang yang menyebut dirinya Risang Jati Pakuwon itupun kemudian menyerahkan kudanya kepada penjaga istana itu, dan dengan sikap seorang berkedudukan iapun naik tangga pintu samping, langsung masuk keruang dalam. “Silahkan Ki Sanak,“ Pangeran Benawa mempersilahkan. “Aku benar-benar datang menghadap Pangeran,“ jawab orang yang menyebut dirinya Risang Jati Pakuwon. Demikian Pangeran Benawa mendengar suara orang itu, dan demikian cahaya lampu yang lebih terang jatuh kewajahnya, maka Pangeran Benawapun tersenyum sambil berkata, “Silahkan. Silahkan Risang Jati Pakuwon.” Kiai Gringsingpun menahan tertawanya. Ia sadar, bahwa Pangeran Benawa segera dapat mengenalnya. Suaranya dan mungkin sikap dan wajahnya meskipun ia sudah memakai kumis yang keputih-putihan. Para pengawal dan pelayan istana itu tidak tahu, siapakah sebenarnya tamu Pangeran Benawa. Karena itu, maka ketika mereka melihat, bahwa Pangeran Benawa nampaknya memang sudah mengenalnya dengan baik, maka merekapun tidak lagi bertanya-tanya didalam hati. Orang itu tentu benar-benar seperti yang dikatakannya, saudara seperguruan Pangeran Benawa. Setelah tak ada orang lain didalam ruang itu, maka Pangeran Benawapun kemudian bertanya, “Kiai sengaja mengejutkan aku ?” Kiai Gringsingpun tertawa pula. Jawabnya, “Aku kira aku lebih baik datang dengan cara ini. Agaknya tidak ada seorangpun yang mengetahui kehadiranku disini.” “Bukankah para penjaga regol yang mempersilahkan Kiai masuk ?“ bertanya Pangeran Benawa. “Ah, aku tidak mempunyai aji penglimunan. Maksudku, tidak seorangpun yang curiga, bahwa penghuni padepokan kecil di Jati Anom telah datang menghadap Pangeran Benawa,“ jawab Kiai Gringsing. Pangeran Benawapun tertawa semakin panjang. Katanya kemudian, “Menarik sekali. Kiai lebih pantas dengan cara berpakaian demikian. Kiai memakai kain sebagaimana seharusnya. Dengan wiron yang tidak begitu lebar dan teratur. Sabuk dan kumis yang Kiai pakai dengan tertib. Baju yang rapat dan ikat kepala yang rajin.” “Pangeran memuji,“ desis Kiai Gringsing, “tetapi itu bukan kebiasaanku.”

“Kiai dapat membiasakannya,“ sahut Pangeran Benawa. “Tetapi pada saat yang diperlukan seperti ini, aku tidak mempunyai kesempatan lagi,“ jawab Kiai Gringsing, lalu. “dan agaknya, cara berpakaian seperti ini tidak pantas bagi seorang penghuni padepokan.” Pangeran Benawa tertawa pula. Lalu, “Baiklah. Aku tidak akan dapat merubah sifat dan tabiat Kiai.” “Demikianlah, agaknya Pangeranpun merasa perlu untuk berbuat demikian seperti kebiasaanku seharihari, pada saat-saat Pangeran memerlukan,“ berkata Kiai Gringsing. Pangeran Benawa tertawa semakin keras. Sementara Kiai Gringsingpun tertawa pula tertahan-tahan. Demikianlah, setelah Pangeran Benawa bertanya tentang keselamatan orang-orang yang tinggal dipadepokan, serta kesehatan Agung Sedayu dan Sabungsari, maka sampailah Kiai Gringsing pada maksud kedatangannya. “Pesan Pangeran memang sangat menarik, sehingga aku benar-benar ingin melihat-lihat daerah sebelah Timur Kota Raja ini,“ berkata Kiai Gringsing kemudian. “Aku sudah menduga,“ sahut Pangeran Benawa, “dan akupun sebenarnya juga menunggu, mudahmudahan Kiai singgah dirumah ini. Ternyata Kiai benar-benar singgah, sehingga aku dapat menyampaikan maksudku untuk pergi bersama-sama dengan Kiai menjelajahi beberapa daerah yang mungkin sangat menarik.” “Pangeran juga akan pergi ?“ bertanya Kiai Gringsing dengan kerut merut dikening. “Ya. Apa salahnya ? Kematian Ki Pringgajaya memang sangat menarik untuk bukan saja diperbincangkan, tetapi untuk diketahui. Tumenggung Prabadaru memang memberikan laporan terperinci atas kematian Ki Pringgajaya. Bahkan ia sudah membawa keluarga Ki Pringgajaya mengunjungi makamnya,“ berkata Pangeran Benawa. “Apakah keluarganya tidak mempunyai keinginan apapun terhadap makam Ki Pringgajaya yang terpisah dari makam keluarganya yang lain ?“ bertanya Kiai Gringsing pula. “Mereka berpendapat, bahwa sebaiknya makam itu dipindahkan. Tetapi sudah barang tentu tidak dalam waktu yang dekat,“ jawab Pangeran Benawa. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Seperti Pangeran Benawa, iapun berniat untuk mengetahui lebih banyak. Adalah kebetulan sekali bahwa Pangeran Benawa ternyata ingin pergi pula bersamanya, sehingga ia mempunyai kawan berbincang, bukan saja disepanjang jalan, tetapi di tempat-tempat ia harus bermalam. Bahkan mungkin bermalam di pinggir hutan atau di makam Ki Pringgajaya itu sendiri. “Kiai,“ berkata Pangeran Benawa kemudian, “malam ini Kiai tidur di rumahku. Besok kita akan pergi

bersama.” Kiai Gringsing tidak dapat menolak. Bahkan dengan bergurau Pangeran Benawa berkata, “Disini Kiai akan sempat bersolek lebih baik.” Kiai Gringsing tertawa sambil menjawab, “Terima kasih Pangeran. Aku akan mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya.” Dengan demikian, maka pada malam itu. Kiai Gringsing bermalam diistana Pangeran Benawa. Seperti yang sudah mereka sepakati, maka didini hari berikutnya, keduanyapun meninggalkan istana itu, justru sebelum jalan-jalan menjadi ramai, agar kepergian mereka berdua tidak menarik perhatian orangorang Pajang. Demikianlah, maka Kiai Gringsing dan Pangeran Benawapun telah mulai dengan sebuah perjalanan khusus, karena mereka ingin mengetahui lebih banyak tentang kematian Ki Pringgajaya yang mereka anggap penuh dibayangi oleh rahasia. Tidak seorangpun yang mengetahui, bahwa dua orang yang kemudian keluar dari regol Kota Raja adalah Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa. Ternyata demikian Pangeran Benawa keluar dari halaman rumahnya, maka iapun sempat berganti baju. Dimasukkannya baju Pangerannya kedalam kampil yang tergantung dipelana kudanya. Dirubahnya pula caranya memakai ikat kepala, sehingga ia tidak lebih dari seorang kebanyakan. Demikian pula Kiai Gringsing yang di saat memasuki regol istana Pangeran Benawa mengenakan pakaian yang rapi dan tertib, telah berubah pula menjadi seorang tua yang tidak lebih dari orang kebanyakan pula seperti Pangeran Benawa. Namun ia masih juga mempertahankan kumisnya yang keputih-putihan di atas bibirnya. Namun dalam keseluruhan, maka dua orang berkuda itu sama sekali tidak menarik perhatian. Bahkan seseorang akan dapat mengira bahwa keduanya adalah ayah dan anak yang sedang menempuh perjalanan. Kedua orang itu keluar dari regol Kota Raja ketika matahari masih sedang nampak sebagai bayang bayang yang kemerah merahan. Tetapi bukan karena keduanya ingin menempuh perjalanan jauh dan tergesa-gesa. tetapi semata-mata untuk menghindarkan diri dari pengamatan orang lain. Ternyata demikian mereka keluar dari regol Kota Raja, maka merekapun justru mulai membicarakan, apa yang akan mereka lakukan. “Kita pergi ketempat yang telah lebih dahulu didatangi oleh kedua petugas sandi itu,“ berkata Pangeran Benawa, “tetapi sudah barang tentu tidak dengan segera. Waktunya masih panjang. Kita akan memasuki daerah itu disore hari.” “Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang ?“ bertanya Kiai Gringsing. “Berputar-putar,“ jawab Pangeran Benawa, “atau beristirahat ditempat yang sepi. Dipinggir hutan atau di kuburan.”

Kiai Gringsing tersenyum. Namun mereka berduapun kemudian memilih untuk beristirahat ditepi hutan. Mereka memasuki hutan yang tipis, tetapi tidak terlalu dalam. Mereka sempat terkantuk-kantuk dibawah sebatang pohon yang besar dan berdauh rimbun, meskipun mereka harus berhati-hati terhadap hadirnya seekor ular yang mungkin berkeliaran direrumputan liar. Baru setelah matahari mulai turun, keduanya melanjutkan perjalanan, dengan perhitungan bahwa mereka akan sampai ketempat tujuan disore hari. Yang mula-mula sekah mereka masuki adalah sebuah kedai nasi dipinggir jalan, disebelah sebuah pasar yang sudah sepi. Tetapi agaknya kedai itu terbiasa dibuka sampai sore hari. Kiai Gringsing sama sekali tidak mempersoalkan berapa keduanya akan membayar, karena bersamanya adalah Pangeran Benawa, yang tidak akan kesulitan uang disepanjang perjalanan. Meskipun ujudnya ia tidak lebih dari,orang-orang kebanyakan, tetapi sebenarnyalah bahwa Pangeran Benawa membawa bekal secukupnya. “Jika aku sendiri,“ bisik Kiai Gringsing, “aku harus memperhitungkan dengan sungguh-sungguh, apa saja yang akan aku kunyah sebelum aku menyuapkannya kedalam mulut.” “Kenapa ?“ bertanya Pangeran Benawa. “Aku harus menghitung-hitung, apakah masih ada uang didalam kampilku,“ sahut Kiai Gringsing, “Tentu agak berbeda dengan Pangeran.” Pangeran Benawa tertawa. Katanya tanpa didengar oleh orang lain yang kebetulan ada didalam kedai itu juga, “Cobalah Kiai mengukur isi perut Kiai.” Orang tua berkumis putih itupun tertawa pula. Demikianlah keduanya makan dan minum secukupnya. Namun keduanyapun mulai berbicara juga tentang keadaan dipadukuhan itu, meskipun baru sekilas, karena mereka memang harus berhati-hati. “Sampai kapan kedai ini dibuka ?“ bertanya Pangeran Benawa, “sampai malam, atau bahkan semalam suntuk ?” “Siapa yang akan membeli ?“ penjual dikedai itu ganti bertanya. Lalu katanya, “Setelah senja kami akan menutup pintu kedai kami. Tidak banyak orang keluar rumah di malam hari.” “Kenapa ?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Padukuhan ini padukuhan kecil. Mungkin Ki Sanak pernah menjelajahi padukuhan-padukuhan yang ramai dan besar. Bahkan mungkin kota-kota, yang memungkinkan kedai-kedai dibuka sampai jauh malam. Tetapi disini tidak. Tetangga-tetangga kami akan segera menutup pintu rumahnya jika malam turun. Hanya kadang-kadang saja diterang bulan mereka duduk-duduk disudut padukuhan.” Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Ternyata dugaan mereka keliru. Mereka ingin mendengar keterangan pemilik kedai itu, bahwa keamanan disaat terakhir agak terganggu. Namun ternyata alasan pemilik kedai itu adalah alasan yang wajar sekali. Namun ketika dikedai itu mulai dipasang lampu, dan nampaknya pemiliknya sudah bersiap-siap untuk mengemasi dagangannya, empat orang berwajah garang telah memasuki kedai itu dengan kasar. Bahkan sebelum kakinya melangkahi tlundak, terdengar suara tertawa mereka bagaikan mengguncang kedai yang kecil itu. “Siapa ?“ bertanya Kiai Gringsing perlahan-lahan sebelum orang-orang itu masuk. “Penjaga kuburan,“ jawab pemilik kedai itu, “mereka adalah benggol yang ditakuti dipadukuhan sebelah. Tetapi mereka bekerja untuk kepentingan Ki Demang.” “Kuburan siapa yang harus dijaga ?“ bertanya Pangeran Benawa. Tetapi pemilik kedai itu tidak sempat menjawab, karena orang-orang itu telah berada dimuka pintu. “Apakah kedaimu sudah akan tutup ? “ salah seorang dari mereka bertanya. “Hampir saja,“ jawab pemilik kedai itu, “aku kira kalian tidak singgah malam ini.” “Aku tentu singgah, meskipun hanya sebentar,“ jawab yang lain, “beri aku minuman hangat. Air sere dengan gula kelapa.” “Aku juga,“ desis yang lain. Lalu yang seorang, “bungkus untuk kami beberapa potong makanan. Seperti biasanya.” Pemilik kedai itu tidak menjawab. Tetapi iapun segera sibuk menyiapkan minuman dan makanan bagi keempat orang yang disebutnya penjaga kuburan itu. Dalam pada itu, Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa masih ada didalam kedai itu juga. Tetapi mereka sama sekali tidak bertanya kepada orang-orang yang berwajah garang itu. Keduanya hanya kadang-kadang saja memandangi mereka yang minum dan makan sambil bergurau. Ternyata orang-orang itupun sama sekali tidak menghiraukan Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa. Mereka melihat kedua orang itu sekilas, namun kemudian mereka tidak memperhatikan mereka lagi.

Sejenak kemudian, nampaknya mereka telah selesai. Sebungkus makanan telah disediakan pula. Orang yang paling besar diantara merekapun kemudian berkata, “berapa hutang kami ? Kemarin kami membayar makanan dan minuman bagi tiga hari terdahulu.” “Tinggal kemarin dan hari ini,“ jawab pemilik warung itu. “Besok atau lusa kami akan membayar,“ berkata orang yang paling besar. “Terima kasih,“ sahut pemilik warung itu. Sejenak kemudian keempat orang itupun minta diri. Namun dimuka pintu salah seorang dari mereka berkata kepada kawan-kawannya, “Masih ada dua orang didalam kedai ini. He, apakah diluar itu kuda kalian ? “ iapun kemudian bertanya. “Ya Ki Sanak,“ Kiai Gringsinglah yang menjawab. “Kuda yang sangat bagus. Jarang aku melihat kuda sebagus ini,“ desis orang itu. Kiai Gringsing tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Keempat orang itupun kemudian melangkah meninggalkan kedai itu, sementara Kiai Gringsing menarik nafas sambil berdesis, “Aku kira ia ingin memiliki kuda itu.” Pangeran Benawa tersenyum. Namun pemilik kedai itu berkata, “Mereka tidak mau berbuat demikian di Kademangannya sendiri. Diwarung ini pun mereka selalu membayar hutangnya. Mereka tidak pernah mengingkari janjinya. Jika mereka berkata dua tiga hari lagi akan membayar, maka mereka benar-benar membayar.” Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Sementara pemilik kedai itu berkata, “Bagi mereka uang dua tiga keping sama sekali tidak berarti. Mereka tinggal mengambil saja seperti mengambil milik sendiri.” “Apakah mereka masih melakukannya sekarang ?“ bertanya Pangeran Benawa. “Ya. Tetapi ditempat yang jauh. Tidak didaerah sendiri. Mereka baik terhadap tetangga-tetangganya disini.“ jawab pemilik kedai itu, “apalagi sekarang. Ia mendapat tugas yang cukup menarik bagi mereka.” “Ya. Tadi kau katakan, mereka adalah penjaga kuburan. Kuburan siapakah yang mereka jaga?“ bertanya Kiai Gringsing.

Pemilik kedai itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Hari sudah malam. Kami akan menutup kedai kami. Maaf, bahwa kami tidak dapat melayani Ki Sanak terlalu lama.” “O, silahkan,“ sahut Kiai Gringsing, “tetapi kau belum menjawab pertanyaan kami. Kecuali jika memang hal itu tak kau ucapkan.” Orang itu termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Sebenarnya juga tidak tahu dan tidak terlarang.” “Jika demikian, apakah kau tidak berkeberatan menyebutnya ? “ desak Pangeran Benawa. Pemilik kedai itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Baiklah. Mungkin kau pernah mendengar, bahwa belum lama telah terjadi bencana didaerah ini bagi beberapa orang prajurit Pajang. Seorang diantara mereka telah gugur dan dimakamkan dipadukuhan sebelah.” “O, aku mendengar,“ sahut Pangeran Benawa. “Apakah kuburan prajurit Pajang itulah yang dijaga ?” “Ya,“ sahut pemihk kedai itu. “Kenapa dijaga?“ bertanya Kiai Gringsing. “Aku tidak tahu. Tetapi pimpinan prajurit Pajang itu minta kepada Ki Demang, agar memerintahkan beberapa orang untuk menjaga kuburan itu sampai ampat puluh hari. Maksudku ampat puluh malam. Sebelum waktu itu lewat, maka masih dicemaskan bahwa seseorang akan mengambil jenazah prajurit Pajang yang gugur itu,“ jawab pemilik kedai itu sambil mengemasi barang-barangnya. Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa saling berpandangan sejenak. Namun kemudian merekapun berdiri sambil minta diri setelah mereka membayar harga makanan dan minuman yang telah mereka habiskan. Demikian keduanya keluar dari kedai itu, maka kedai itupun kemudian telah ditutup oleh pemiliknya. “Kuburan itu menarik sekali untuk diperhatikan,“ gumam Pangeran Benawa demikian mereka meloncat naik kepunggung kuda. “Kenapa harus dijaga sampai ampatpuluh malam,“ desis Kiai Gringsing. Namun kemudian dijawabnya sendiri, “Tentu ada sesuatu yang tidak wajar pada kuburan itu.” “Mungkin sekali,“ berkata Pangeran Benawa.

“Pangeran, pertanda apa sajakah yang telah diserahkan kepada keluarga Ki Pringgajaya, sebagai bukti bahwa ia benar-benar telah meninggal dalam pertempuran itu ?“ bertanya Kiai Gringsing. “Ada beberapa keganjilan dalam laporan yang aku dengar,“ berkata Pangeran Benawa, “Tumenggung Prabadaru mengatakan, bahwa ia telah membunuh semua orang yang mencegatnya. Tetapi kemudian iapun menceriterakan bahwa tidak seorangpun diantara lawan-lawannya yang dapat ditangkap, bahkan mayat merekapun tidak, karena kawan-kawan dari para perampok itu sempat datang dan membawa mayat-mayat itu. Prajurit Pajang yang tersisa tidak dapat mencegahnya, karena jumlah mereka terlalu banyak, meskipun mereka tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk melawan prajurit-prajurit Pajang.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia memang mendengar perbedaan tafsiran itu, meskipun sesuai dengan keterangan Untara, bahwa semua orang yang mencegat itu telah terbunuh, tetapi tidak dapat mereka tunjukkan sesosok mayatpun, karena kawan-kawan mereka segera berdatangan untuk menyelamatkannya. “Keganjilan yang lain,“ berkata Pangeran Benawa, “kepada keluarga Ki Pringgajaya, tidak diserahkan pertanda pribadi seorang prajurit. Bahkan pertanda pribadi seorang kesatria, karena kepada keluarganya tidak diserahkan pusaka keris Ki Pringgajaya.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Nampaknya Pangeran Benawa yang berada di Pajang itu telah mendengar laporan yang kurang cermat dari Ki Tumenggung Prabadaru, yang memimpin sekelompok kecil prajurit yang telah mengalami pertempuran sehingga Ki Pringgajaya terbunuh. Sebenarnyalah bahwa bukan saja Pangeran Benawa yang menjadi curiga. Untarapun telah menjadi curiga pula. Tetapi agaknya Pangeran Benawa mendengar keganjilan-keganjilan lebih banyak dari Untara. “Pangeran,“ bertanya Kiai Gringsing kemudian, “apakah sebenarnya yang telah diserahkan kepada keluarganya, sehingga seolah-olah semuanya menjadi yakin bahwa yang terbunuh itu adalah Ki Pringgajaya.” “Pertama, yang melaporkan adalah Prabadaru. Mustahil bahwa Prabadaru tidak mengenal siapakah yang mati terbunuh itu. Kemudian kepada keluarganya telah diserahkan beberapa barang milik Ki Pringgajaya, tetapi justru bukan pusakanya. Tentu tidak mungkin orang seperti Ki Tumenggung Prabadaru melupakannya sehingga pusakanya ikut terkubur, atau dimiliki oleh orang lain,“ jawab Pangeran Benawa. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Bahwa kuburan itu telah dijaga, agaknya juga menarik perhatian.” “Tepat. Aku justru ingin melihat, apakah sebenarnya yang dilakukan oleh orang-orang yang garang itu,“ desis Pangeran Benawa.

Melihat orang-orang yang menjaganya atau melihat isi kuburan itu. Agaknya beberapa orang padukuhan telah membantu menguburkan mayat Ki Pringgajaya sehingga mustahil bahwa kuburan itu tidak berisi seperti yang dikatakannya. “desis Kiai Gringsing. “Kiai benar. Didalam kubur itu tentu berisi sesosok mayat yang disebut Ki Pringgajaya. Tetapi orangorang padukuhan itu tidak akan dapat membedakan, apakah orang yang berpakaian seorang prajurit itu bernama Ki Pringgajaya atau bernama siapapun juga,“ sahut Pangeran Benawa. Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ia adalah seorang dukun yang banyak bergaul dengan orangorang sakit dan bahkan orang-orang yang tidak terobati lagi, sehingga meninggal. Tetapi untuk melihat kuburan yang telah beberapa hari, agaknya segan juga rasanya. “Kita memang agak terlambat,“ berkata Pangeran Benawa kemudian, “jika hal ini kita lakukan dua tiga hari setelah mayat itu dikuburkan, kita akan dapat melihat dengan jelas. Tetapi sekarang, akupun tidak yakin bahwa kita masih akan dapat melihat bentuk.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kita memang sudah terlambat Pangeran. Tetapi bahwa ada orangorang yang bertugas menjaga kuburan itu, agaknya memang cukup menarik. Mungkin kita akan mendapat beberapa keterangan tanpa melakukan kerja yang mendebarkan jantung itu.” Pangeran Benawa tersenyum. Jawabnya, “Akupun segan melakukannya. Mungkin ada cara lain. Tetapi jika perlu, apaboleh buat. Rasa rasanya ada satu dorongan untuk mengetahui, apakah yang dikatakan oleh Prabadaru itu benar atau tidak. Meskipun aku tidak banyak mencampuri persoalan pemerintahan, tetapi aku masih tersinggung juga, jika seseorang telah dengan sengaja mengelabui para pemimpin di Pajang. Terlebih-lebih lagi karena pamrih yang terkandung didalamnya.” Kiai Gringsing yang mengerti perasaan Pangeran Benawa itupun mengangguk angguk. Katanya kemudian, “Baiklah Pangeran. Aku akan mengikuti Pangeran. Akupun mempunyai kepentingan yang langsung karena persoalan ini akan menyangkut diri muridku. Jika yang terbunuh itu ternyata bukan Ki Pringgajaya, maka keadaan Agung Sedayu akan selalu dibayangi oleh ancaman yang gawat.” “Kita akan pergi kekuburan itu Kiai,“ berkata Pangeran Benawa. Kiai Gringsing tidak menjawab lagi. Meskipun ada juga keinginannya untuk memastikan siapakah yang terkubur itu, tetapi sebenarnya ia masih ingin mencari jalan lain. “Kita memang, sudah terlambat,” katanya didalam hati. Kedua orang itupun kemudian berkuda kekuburan. Meskipun mereka belum pernah pergi kekuburan itu, tetapi beberapa petunjuk telah pernah mereka dengar, sehingga merekapun segera dapat menemukan arahnya. Dari jarak yang masih cukup panjang, ketajaman penglihatan kedua orang itu lelah melihat sebatang pohon randu alas yang besar dan berdaun lebat. Karena itu, maka mereka tidak lagi harus mencaricari arah.

Beberapa tonggak dan kuburan itu, keduanya turun dari kudanya dan menambatkannya pada sebatang pohon perdu dibelakang sebuah gerumbul. Dengan berjalan kaki keduanya mendekati pintu gerbang kubur yang dimalam hari nampak semakin menyeramkan. Bunyi seekor burung kedasih yang ngelangut membuat hati mereka tergetar. Tetapi yang dua orang itu adalah Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa. Karena itulah, maka keduanya tidak terlalu banyak dipengaruhi oleh perasaan mereka, meskipun suasana kuburan dimalam hari agak menggetarkan juga. Ternyata Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa tidak mendekati kuburan itu dengan diam-diam. Tetapi mereka langsung menuju kepintu gerbang meskipun mereka mengetahui, bahwa kuburan itu telah dijaga oleh ampat orang yang disebut sebagai benggol sekelompok penjahat yang memiliki ilmu yang tinggi. Seperti yang mereka perhitungkan, bahwa didepan regol kuburan seseorang telah membentaknya, “He, siapa kalian ?” Pangeran Benawalah yang menyahut, “Kami orang-orang dari padukuhan sebelah.” “Jangan mengigau,“ bentak penjaga yang lain, “kami mengenal setiap orang dari padukuhan kami. Kau sangka kami orang asing disini ?” Tetapi Pangeran Benawa tertawa. Katanya, “Kami memang bukan tetangga kalian. Kami adalah prajurit-prajurit Pajang.” “Bohong,“ bentak penjaga itu, “kalian sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda seorang prajurit.” “Apakah tanda-tanda seorang prajurit ?“ bertanya Pangeran Benawa. Pertanyaan itu membuat penjaga itu agak kebingungan. Namun iapun kemudian menjawab, “Seorang prajurit akan memakai pakaian yang khusus dan tandatanda yang khusus.” “O, jika itu yang kau anggap pertanda seorang prajurit, aku memang tidak mengenakannya,“ jawab Pangeran Benawa. Para penjaga kuburan itu menjadi bingung mendengar jawaban Pangeran Benawa. Seolah-olah ia berkata asal saja membuka mulutnya. Karena itu, salah seorang dari para penjaga itu justru membentak. “Siapakah sebenarnya kalian, dan apakah keperluan kahan ?” ***

Buku 133 PANGERAN Benawa menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Ki Sanak. Aku memang tidak menyangka, bahwa kuburan ini dijaga. Karena itu, ketika kalian tiba-tiba saja muncul, aku menjadi bingung dan menjawab asal saja tanpa memikirkan akibatnya.” “Sebut, siapa kalian,“ penjaga yang bertubuh paling tinggi membentak semakin keras. “Begini Ki Sanak,“ jawab Pangeran Benawa, “sebenarnya kami hanya ingin menyepi di kuburan ini. Kami mendengar bahwa seorang prajurit linuwih telah gugur dan dimakamkan di kuburan ini oleh kawan-kawannya dibantu oleh para penghuni padukuhan sebelah menyebelah. Dengan demikian, maka kami akan mohon berkahnya, agar kami dapat diterima menjadi seorang prajurit di Pajang.” “Siapa yang akan menjadi seorang prajurit ?“ bertanya penjaga itu. “Sudah tentu bukan aku,“ jawab Kiai Gringsing, ”aku sudah tua.” “Aku,“ sahut Pangeran Benawa, “ayah hanya mengantar aku mohon berkah kepada prajurit linuwih yang gugur dan dimakamkan disini. Kami berharap bahwa dengan demikian, usaha kami akan dapat tercapai.” Para penjaga kuburan itu tidak pernah memikirkan kemungkinan itu. Mereka mendapat tugas untuk menjaga kuburan itu sampai ampat puluh malam, karena kemungkinan akan dapat terjadi, bahwa mayat itu akan dicuri orang. Mungkin musuh-musuhnya yang mendendam. Tetapi mungkin juga seseorang yang menganggap bahwa prajurit itu mempunyai tuah yang dapat memberikan kelebihan. Namun yang kemudian dalang, bukan seseorang atau sekelompok orang yang akan mencuri mayat itu, tetapi dua orang yang akan menyepi untuk mendapatkan berkah. Selagi orang-orang itu masih termangu mangu, maka Pangeran Benawa telah mendesaknya, “Maaf Ki Sanak. Apakah aku boleh masuk ?“ Namun tiba-tiba Pangeran Benawa bertanya, “Apakah benar kalian penjaga regol kuburan seperti yang kami duga.” “Ya,“ sahut salah seorang dari mereka. Lalu katanya kepada kawan-kawannya, “Apapun yang akan mereka lakukan, bukankah sebaiknya kita tidak mengijinkannya ?” “Ya,“ jawab yang lain, “selama ampat puluh hari ampat puluh malam, tidak seorangpun yang boleh mendekat. Jika kalian akan minta berkahnya, dapat kau lakukan setelah ampat puluh hari.”

“Ah,“ desis Pangeran Benawa, “itu terlalu lama. Sebelum ampat puluh hari, aku harus sudah memasuki pendadaran. Aku harus dapat menunjukkan bahwa aku pantas menjadi seorang prajurit seperti Senapati yang telah gugur disini.” Sejenak para penjaga kubur itu berpandangan. Namun kemudian yang seorang telah menggeleng sambil berdesis, “Jangan memaksa Ki Sanak. Kami tidak mengijinkan kalian memasuki kuburan ini.“ Lalu, tiba-tiba katanya, “He, bukankah kalian berdua adalah orang yang kami temui di kedai itu ?” “Ya,“ sahut Pangeran Benawa dengan serta merta, “akupun sedang mengingat-ingat, dimana kami pernah bertemu dengan kalian. Apakah dengan demikian, kami diperkenankan memasuki kuburan ini.” “Tidak. Kami tidak mengijinkan,“ jawab penjaga itu. Pangeran Benawa menarik nafas didam-dalam. Sambil berpaling kepada Kiai Gringsing, ia berkata, “Jika demikian ayah, apakah kita akan nenepi diluar dinding saja ? Bukankah tidak akan banyak bedanya ? Kita dapat duduk bersama para penjaga ini.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Lalu sambil mengangguk ia berdesis, “Apaboleh buat. Jika kita tidak diijinkan masuk, baiklah kita mohon agar diijinkan tinggal diregol ini.” Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Jika demikian Ki Sanak. Aku mohon ijin untuk dapat ikut duduk bersama diregol ini. Mudahmudahan dengan demikian, kami sudah dapat dianggap nenepi di kuburan ini, karena memang demikianlah maksud kami sejak kami berangkat dari rumah, sehingga hendaknya maksud kamilah yang berlaku, bukan apa yang telah kami lakukan karena kami tidak dapat mengatasi keadaan.” Para penjaga kubur itu saling berpandangan sejenak. Kemudian orang yang terbesar diantara mereka menjawab, “Jika itu yang kau maksud, aku tidak berkeberatan. Kau dapat berada di regol ini bersama kami. Tetapi jika kalian melakukan sesuatu yang tidak kami sukai, maka kami akan memperlakukan kalian sebagaimana kami memperlakukan orang-orang yang memusuhi kami.” “Terima kasih,“ jawab Pangeran Benawa, “kami akan duduk saja disini tanpa berbuat apa-apa.” Ternyata para penjaga kubur itu telah memberikan sehelai tikar kepada Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa, sementara mereka mulai membagi diri. Dua orang diantara mereka segera berbaring diatas sehelai tikar pula, sementara yang dua orang lainnya duduk diregol itu untuk berjaga-jaga. Setiap kah salah seorang dari mereka bangkit dan berjalan memasuki kuburan, melihat, apakah kuburan prajurit

linuwih itu tidak diganggu orang. Sementara Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing duduk bersama para penjaga yang tidak tertidur, mereka sempat berbicara panjang lebar tentang prajurit yang dikubur itu. “Kami, hampir semua orang dipadukuhan kami, ikut membantu mengubur mayat itu,“ jawab salah seorang penjaga regol kubur itu. “Aku membayangkan, bahwa orang yang dikuburkan itu tentu tinggi kekar dan berkumis meskipun tidak terlalu lebat,“ berkata Pangeran Benawa. “Tidak. Orangnya kecil, pendek. Ia mengenakan pakaian seorang perwira,“ sahut salah seorang penjaga itu. “Apakah ia sempat dimandikan ? “ bertanya Pangeran Benawa. “Tidak. Tubuhnya luka arang keranjang. Pakaiannya compang camping, sehingga tidak mungkin lagi menyelenggarakan sebagaimana seharusnya. Karena itu, kami hanya membungkusnya dengan kain putih dan kemudian menguburkannya,“ jawab salah seorang dari penjaga itu. “Bersama dengan pusakanya ? Bukankah ia mengenakan pusaka kerisnya meskipun mungkin ia juga berpedang ?“ bertanya Pangeran Benawa. Orang itu berpikir sejenak. Dengan nada datar ia menjawab, “Tidak banyak orang memperhatikannya. Tetapi aku kira tidak. Aku kira tidak ada pusaka yang ikut dikuburkannya.” Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Orang yang menjaga kuburan itu termasuk orang yang ditakuti dipadukuhannya. Agaknya ia mendapat kesempatan terbanyak untuk menyaksikan peristiwa yang bagi orang kebanyakan termasuk mendebarkan. Bahkan kemudian oleh Ki Demang orang-orang itu telah dimanfaatkan untuk menjaga kuburan itu atas permintaan prajurit-prajurit Pajang yang lain. Tetapi Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing yang telah berada di kuburan itu ternyata tidak ingin membongkarnya. Jika demikian maka hal itu tentu akan sampai ketelinga para prajurit Pajang yang telah minta kepada Ki Demang untuk mengawasi kuburan itu. Bahkan kemudian mareka tentu akan mengambil kesimpulan, bahwa ada beberapa pihak yang menaruh kecurigaan terhadap kebenaran berita bahwa Ki Pringgajaya telah terbunuh. Karena itu, maka yang dilakukan oleh Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing adalah sekedar duduk diregol kuburan itu sebagaimana mereka katakan, seolah-olah mereka sedang nenepi, mohon berkah agar mereka dapat diterima menjadi prajurit di Pajang.

Namun dengan demikian, kecurigaan kedua orang itu atas kebenaran ceritera tentang meninggalnya Ki Pringgajaya menjadi semakin besar. Beberapa ciri dengan orang yang dikuburkan itu memang agak berbeda dengan ciri orang yang bernama Ki Pringgajaya. Persoalannya kemudian adalah, apakah dengan sengaja Tumenggung Prabadaru membuat berita kematian Ki Pringgajaya dengan maksud tertentu dalam hubungannya dengan gerakan yang besar dan luas didalam lingkungan pimpinan pemerintahan dan keprajuritan Pajang, atau atas pengaduan Ki Pringgajaya dalam lingkungan yang sempit setelah kegagalannya membunuh orang-orang dipadepokan kecil di Jati Anom yang mungkin menurut pengertian Ki Tumenggung Prabadaru sebagai persoalan dendam pribadi, sehingga Tumenggung Prabadaru telah dapat dibujuk untuk membantu melepaskannya dari tuntutan dendam itu. Tetapi jika demikian, siapakah yang telah dikorbankan dan bahkan benar-benar telah mati dibunuh untuk menyembunyikan nama Ki Pringgajaya itu. “Peristiwa itu terjadi hampir bersamaan waktunya dengan kegagalan Gembong Sangiran di Jati Anom,“ berkata Kiai Gringsing didalam hatinya. Ketika pada suatu kesempatan hal itu disampaikan kepada Pangeran Benawa, maka Pangeran itupun telah merenunginya pula. “Kita memang harus membuat uraian tentang peristiwa ini secara menyeluruh,“ desis Pangeran Benawa ketika orangorang yang menjaga kuburan itu tidak sedang memperhatikan mereka. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Apakah kita masih akan berada dikuburan ini besok malam ? Rasa-rasanya memang ada sesuatu yang dicemaskan, bahwa kuburan ini akan digali orang.” Pangeran Benawa mengangguk-angguk jawabnya, “Aku kira, besok kita akan kembali.” Menjelang pagi, maka Kiai Gringsnig dan Pangeran Benawa sempat bertanya kepada para penjaga itu, apakah mereka pernah melihat tanda-tanda bahwa ada pihak yang memang ingin membongkar kuburan itu. “Aku tidak dapat mengatakannya,” jawab penjaga yang sedang mendapat giliran berjaga-jaga, “tetapi kami disini pernah melihat bayangan yang mendekati kuburan ini. Dua malam yang lalu, kami mengejar seseorang yang berada di sebelah dinding dari arah belakang. Tetapi kami tidak dapat menangkapnya.” “Kenapa justru disiang hari kuburan ini tidak dijaga ?“ bertanya Pangeran Benawa, “apakah tidak mungkin mereka akan melakukannya justru disiang hari ?” “Meskipun disiang hari kuburan ini tidak kami jaga, tetapi kami sepakat untuk setiap kali datang menengoknya.” jawab penjaga itu. Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing menjadi semakin tertarik kepada kuburan itu. Sehingga akhirnya, ketika bayangan fajar mulai nampak, keduanya minta diri.

“Mungkin untuk satu dua malam lagi kami masih akan nenepi disini,“ berkata Pangeran Benawa. “Asal kalian tidak mengganggu kami, kami tidak akan berkeberatan,“ jawab penjaga itu. Meskipun demikian, ketika Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing meninggalkan tempat itu, penjaga itupun berdesis kepada kawannya, “Bagaimanapun juga, kita wajib mencurigainya. Tetapi sepanjang mereka tidak berbuat onar, kita tidak akan berbuat sesuatu agar kita tidak membuang tenaga tanpa arti. Nampaknya mereka adalah orang-orang yang lemah dan dungu, sehingga kuburanpun telah menarik perhatian mereka untuk mendapatkan berkah. Meskipun mereka nenepi dikuburan ini setahun, tetapi dalam pendadaran anak muda itu tidak akan dapat bertahan sehingga iapun tidak akan dapat diterima sebagai prajurit. Jika anak muda itu ternyata dapat diterima, adalah pertanda bahwa saatnya Pajang akan runtuh, karena prajurit-prajuritnya adalah orang-orang yang masih dibayangi oleh berkah dari kuburan ini meskipun kuburan seorang prajurit linuwih.” Dalam pada itu, setelah mengambil kuda mereka yang tersembunyi maka Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa itupun segera pergi menjauh. “Kita akan pergi kemana ?“ bertanya Kiai Gringsing. Pangeran Benawa tertawa. Katanya, “Kita akan berputar-putar tanpa tujuan. Berhenti di kedai-kedai untuk makan dan minum. Malam hari kita akan pergi kekuburan itu.” Kiai Gringsingpun tertawa. Sambil menepuk leher kudanya ia berkata, “Mudah-mudahan kuda-kuda ini tidak kelupaan.” “Kita harus menemukan tempat untuk menitipkan kuda-kuda ini.“ gumam Pangeran Benawa, “nampaknya akan menarik, bahwa kitapun dapat bertemu dengan orang yang dikatakan oleh penjaga kuburan itu. Mungkin kita akan dapat mulai dari orang yang akan mengganggu kuburan itu, apapun maksudnya.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ternyata kerja yang mereka lakukan adalah kerja yang menarik juga, meskipun dengan demikian, ia tidak dapat kembali kepadepokannya dalam waktu dua tiga hari saja. Dalam pada itu, seperti yang dikatakan oleh Pangeran Benawa. maka keduanya telah berusaha mendapatkan tempat untuk menitipkan kuda mereka. Mereka sengaja mencari orang yang agaknya memerlukan tambahan penghasilan, sehingga dengan memberikan sedikit upah. maka Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa tidak mencemaskan lagi bahwa kuda mereka akan kelaparan. “Kami sedang nenepi di kuburan itu untuk beberapa malam,“ berkata Pangeran Benawa yang berpakaian seperti orang kebanyakan, “karena itu, kami titipkan kuda kami kepada Ki Sanak. Bahkan mungkin disiang hari, kamipun ingin menumpang beristirahat dirumah ini.” “Tetapi rumah kami kecil buruk dan kotor,“ berkata orang itu.

“Rumahkupun kecil, buruk dan kotor,“ jawab Pangeran Benawa. “Terserahlah kepadamu,” berkata pemilik rumah itu, “jika kalian bersedia tidur di amben dengan selembar tikar yang telah sobek.” “Sudah menjadi kebiasaan kami. Apalagi kami justru dimalam hari akan berada dikuburan itu,“ jawab Pangeran Benawa. Dengan demikian, maka Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa tidak lagi merasa terganggu oleh kudakuda mereka. Disiang hari mereka tidak mempunyai pekerjaan apapun kecuali berjalan-jalan, tidur diamben dengan tikar yang kumal dan makan dikedai-kedai. Demikianlah, maka pada malam berikutnya. Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa berada dikuburan itu. Seperti malam sebelumnya, mereka duduk saja sambil berbicara panjang lebar, sehingga ketika para penjaga itu menjadi jemu dan lelah mereka telah berkisar menjauh. Namun lewat tengah malam, telah terjadi satu keributan kecil di kuburan itu. Ketika salah seorang dari penjaga kubur itu memutari dinding kuburan, sekali lagi ia melihat sesosok tubuh yang mengendap-endap. Dengan serta merta, maka orang itupun segera memberikan isyarat kepada kawan-kawannya. Sejenak kemudian, maka dua orang dari para penjaga telah berloncatan berlari meninggalkan regol, sementara yang seorang lagi tetap berada diregol untuk mengawasi keadaan. Namun yang seorang itupun kemudian berkata kepada Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa, “Kau disini. Jangan berbuat sesuatu yang dapat mencelakai dirimu sendiri. Aku akan berada dikubur itu.” Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing tidak menjawab. Mereka memandangi saja orang itu hilang kedalam gelapnya malam dikuburan. Baru sejenak kemudian Pangeran Benawa menarik nafas sambil berdesah, “Menarik juga.” “Siapakah kira-kira orang itu Pangeran ?“ bertanya Kiai Gringsing. “Sst, jangan panggil aku demikian, mungkin suaramu dapat didengar,” desis Pangeran Benawa. Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Baiklah. Tetapi bagaimana dengan orang itu.” “Kita akan menunggu. Mungkin para penjaga itu mempunyai dugaan terhadap orang yang datang itu, setelah dua kali mereka mengejarnya.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dan ternyata para penjaga itu tidak terlalu lama melakukan pengejaran. Sejenak kemudian mereka tetah berkumpul kembah diregol dengan nafas terengah-engah.

Demikian pula salah seorang dari mereka yang tidak ikut berlari-larian, tetapi sekedar menunggu kuburan itu. “Aneh,“ berkata Pangeran Benawa, “ternyata benar-benar ada orang yang ingin membongkar kuburan itu. Apakah mereka tidak takut kena kutukannya? Maksudku, kutukan dari yang dikubur itu ?” “Mereka sama sekali tidak menghiraukannya,“ desis salah seorang penjaga kubur itu. “Tetapi apakah benar-benar kalian tidak dapat menduga, siapakah orang yang akan membongkar kuburan itu, atau setidak-tidaknya menduga maksudnya.“ bertanya Kiai Gringsing kemudian. Orang yang bertubuh paling besar diantara mereka berkata, “Orang-orang itu tentu mengira bahwa ikut serta dikubur bersama mayat yang luka arang keranjang itu, segala macam pakaian dan perhiasannya. Mungkin mereka mengira, bahwa pada mayat itu masih terdapat kamus dengan timang bermata intan atau berban, karena saat mayat itu dikuburkan, semua pakaiannya sama sekali tidak dilepaskannya. Kecuali kerisnya. Aku memang tidak melihat kerisnya.” “Dan apakah benar, timang mayat itu bermata berlian atau intan ?“ bertanya Pangeran Benawa, “atau mungkin barang-barang berharga itu sudah diambil lebih dahulu untuk diserahkan kepada keluarganya.” “Omong kosong,“ desis orang yang bertubuh paling kekar, “tidak ada barang-barang berharga pada mayat itu.” “Darimana kau tahu ? “ tiba-tiba saja Kiai Gringsing bertanya. Orang itu tergagap. Namun kemudian katanya, “Aku tidak melihatnya sama sekali saat orang itu dikuburkan. Tidak ada timang berlapis emas apalagi bermata berlian.” Kiai Gringsing tidak bertanya lagi. Tetapi ketika ia memandang Pangeran Benawa, samar ia melihat Pangeran itupun memandangnya. Ternyata prajurit yang terbunuh itu telah dikubur dengan pakaiannya, dan seolah-olah mereka mendapat kesan bersama, bahwa barang-barang berharga itu tentu sudah diambil oleh para penjaga itu sendiri apabila memang ada. Seperti sebelumnya, maka Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing berada digerbang kuburan itu sampai menjelang pagi. Namun pada hari-hari berikutnya, keduanya tidak lagi datang kepintu gerbang. Tetapi keduanya mengawasi kuburan itu dari arah yang lain. Mungkin merekapun pada satu saat dapat melihat orang yang sudah untuk kedua kalinya datang kekuburan itu. “Malam ini kuburan itu justru menjadi semakin sepi,“ desis Pangeran Benawa yang duduk sambil memeluk lututnya disebelah gerumbul perdu. “Para penjaga itu merasa tidak terganggu lagi,“ sahut Kiai gringsing, “agaknya mereka telah membagi

tugas mereka. Dua orang tidur nyenyak, dua orang lainnya terkantuk-kantuk.” Namun kedua orang itupun kemudian melihat, salah seorang dari para penjaga itu berjalan perlahanlahan memutari dinding kuburan. Tetapi malam itu mereka tidak melihat sesuatu, sampai saatnya langit diwarnai oleh cahaya fajar. Tetapi Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa masih belum menjadi jemu. Malam berikutnya mereka masih tetap mengamati kuburan itu. Seperti yang selalu terjadi, setelah senja para penjaga itupun mulai menunggui kuburan itu, sambil membawa sebungkus makanan yang dibelinya dari kedai yang sama. Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa yang duduk digerumbul perdu sambil memeluk lutut, masih tetap berharap, bahwa pada suatu saat mereka akan melihat sesuatu terjadi di kuburan itu. Sebenarnyalah, lewat tengah malam, kedua orang itu terkejut oleh derap beberapa ekor kuda mendekati gerbang kuburan itu. Hampir bersamaan mereka mengangkat wajah mereka memandangi gerbang yang samar-samar dalam keremangan malam. “Siapakah mereka ?“ bertanya Pangeran Benawa. “Menarik sekali Pangeran,“ sahut Kiai Gnngsing, Kedua orang itupun kemudian dengan hati-hati bergeser mendekati gerbang kuburan itu. Namun merekapun segera berlindung dibalik pohon perdu liar yang berserakan disekitar kuburan itu, ketika mereka melihat beberapa ekor kuda berhenti didepan pintu gerbang, sementara empat orang penjagapun telah siap menyongsong mereka. Tetapi Kiai Gringsing menggamit Pangeran Benawa ketika mereka mendengar salah seorang penjaga kuburan itu bertanya, “Siapakah kalian Ki Sanak ?” Orang-orang berkuda itu berloncatan turun. Sambil mengikat kudanya pada pepohonan liar, salah seorang dari orang-orang berkuda itu menjawab, “Kami adalah kawan-kawan orang yang membunuh prajurit gila itu.” “O,“ penjaga itu mengangguk-angguk, lalu iapun bertanya pula, “Apa maksud kalian datang kemari?” “Kami ingin mengambil mayat prajurit itu.” jawab salah seorang pendatang itu. “Untuk apa ?“ bertanya penjaga itu. “Kami memerlukan mayat itu. Orang itu telah membunuh beberapa orang kawan kami. Karena itu, maka ia harus bertanggung jawab.” “Prajurit itu telah mati. Apa yang dapat dilakukannya untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya ?“ bertanya penjaga itu.

“Bukan urusanku. Aku mendapat tugas untuk mengambilnya. Dan aku bersama kawan kawanku ini harus melakukannya,“ orang itu berhenti sejenak, lalu. “He, siapakah kalian sebenarnya ?” “Kami penjaga kuburan ini,“ jawab salah seorang dari keempat penjaga itu. “Siapakah yang memerintahkan kepada kalian untuk menjaga kuburan ini ?“ bertanya pendatang itu. “Ki Demang dan atas perintah Senapati Pajang yang memimpin sekelompok prajurit yang lewat daerah ini dan telah dirampok oleh orang-orang yang ternyata adalah kawan-kawanmu itu. He, bukankah kau kawan orang-orang yang terbunuh menurut katamu sendiri, dan yang telah membunuh prajurit-prajurit itu ?” “Ya. Dan karena itu, jangan halangi kami. Kami memerlukannya. Memerlukan mayat itu. Seandainya mayat itu hilang dari kuburnya, dan kau tidak mengatakan kepada siapapun, maka tidak akan ada orang yang mengetahuinya.” Orang yang bertubuh paling besar diantara keempat penjaga itupun melangkah maju. Dengan suara bergetar ia berkata, “Ki Sanak. Kami sudah menyanggupkan diri menjaga kuburan itu. Karena itu, kami akan melakukannya dengan sepenuh hati.” “Kenapa kau mempertaruhkan segalanya untuk menjaga kuburan itu ?“ bertanya salah seorang dari orang orang berkuda itu. “Terus terang. Kami diupah untuk itu. Upah itu cukup menarik. Selama ampat puluh malam kami berjaga-jaga disini, maka untuk selanjutnya dalam waktu tiga bulan kami tidak perlu bekerja apapun juga, selain mengurusi sawah kami,“ jawab orang bertubuh paling besar itu. Tetapi ia menjadi tegang ketika orang-orang berkuda itu tertawa. Seorang diantara mereka berkata, “Aku kira kau bukan seorang yang terlalu bodoh untuk menghitung uang, tenaga dan apalagi nyawa kalian. Bagaimana jika aku mengusulkan agar kau mendapat uang yang lebih banyak tetapi tanpa mempertaruhkan tenaga dan nyawa kalian.” “Gila,“ geram penjaga itu, “apa maksudmu ?” “Aku dapat memberi kalian uang. Biarkan kami mengambil mayat itu dan mengembalikan kuburan itu seperti semula. Nah, bukankah tidak akan ada orang yang mengetahuinya bahwa kuburan itu telah dibuka asal kalian sendiri tidak mengigau tentang hal itu ?” “Hanya kalian berempat sajalah yang melihat dan mengetahui hal itu,“ berkata orang yang agaknya menjadi pemimpin dari sekelompok orang-orang berkuda itu. Lalu katanya, “Kami tahu, bahwa kalian adalah gegedug dari orang-orang sepadukuhan kalian. Bahkan kalian adalah orang-orang yang ditakuti karena pekerjaan kalian. Kalian mempunyai pengalaman yang luas diarena perkelahian yang

kasar dan liar. Tetapi kamipun sudah terlalu sering melakukannya. Bahkan daerah jelajah kami mungkin lebih luas dari daerah jelajahmu. Dan jumlah kamipun lebih banyak dari kalian yang hanya berempat. Coba pikirkan, apakah tidak lebih baik kita berbicara sebagaimana kita berbicara diantara kita yang hidup disela-sela kelamnya malam. Kami mendapatkan apa yang kami cari, dan kalianpun tidak merasa kami rugikan, karena justru kalian akan mendapat tambahan upah. Sementara orang lain tidak ada yang mengetahuinya bahwa mayat itu telah hilang. Setelah ampat puluh malam, maka kalian telah bebas untuk melepaskan tanggung jawab kalian.” Empat orang penjaga kuburan itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba salah seorang bertanya, “Kenapa kalian harus melakukannya sekarang. Kenapa tidak setelah ampatpuluh malam, sehingga kalian tidak perlu kehilangan uang untuk menyogok kami.” “Kami memerlukan segera. Kami tidak dapat menunggu sampai ampat puluh malam,“ jawab orang berkuda itu. Sejenak keempat orang itu termangu-mangu. Namun orang bertubuh terbesar itupun kemudian berkata, “Apakah kalian benar-benar berniat demikian ? Atau kalian sekedar ingin menipu kami ?” “Kami akan menyerahkan uang itu lebih dahulu. Kami tidak perlu cemas, bahwa kalian akan menipu kami, karena jika terjadi demikian, maka kami akan membunuh kalian berempat.” “Gila, jangan menghina kami,“ geram penjaga itu. Pemimpin dari orang-orang berkuda yang datang kekuburan itupun tersenyum. Kemudian jawabnya, “Bukan maksud kami menghina kalian. Tetapi cobalah pikirkan dengan tenang tanpa prasangka. Kami kali ini ingin berbuat sesuatu yang saling menguntungkan.” Keempat orang itu agaknya mulai tertarik pada tawaran itu. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun kemudian yang terbesar diantara mereka berkata, “Baiklah. Jika kalian memberi kami uang, maka kami tidak akan berkeberatan. Tetapi kerjakan pekerjaan yang tidak menarik itu. Kami tidak dapat membantu. Kemudian kalian wajib mengembalikan seperti semula.” “Baiklah Dengan demikian kita masing-masing telah mendapatkan sesuatu bagi diri kita,“ sahut pemimpin sekelompok orang berkuda itu, “dalam pada itu, kami tidak akan membawa mayat itu keluar dari kuburan ini.” Para penjaga itu menjadi heran. Yang bertubuh terbesar diantara mereka bertanya, “Lalu apa maksudmu sebenarnya ?” “Kami hanya akan memindahkannya,“ jawab pemimpin orang-orang berkuda itu.

Para penjaga itu termangu-mangu sejenak. Namun salah seorang dari mereka berkata, “Persetan dengan mayat itu. Berikan uang itu kepada kami.” Pemimpin orang-orang berkuda itu tertawa. Katanya, “Baiklah. Tetapi berhati-hatilah. Jangan sampai ada orang lain yang mendengarnya. Karena dengan demikian, nasib kalian sendirilah taruhannya. Jika prajurit Pajang itu mengetahui bahwa mayat itu telah hilang dari kuburnya, maka kalian tidak akan dapat mengelakkan hukuman dari mereka. Betapapun tinggi kemampuan kalian, namun kalian akan digilasnya seperti menggilas buah ranti.” Para penjaga kubur itu berpikir sejenak. Namun seorang diantara mereka telah berkata pula, “berikan uang itu.” Pemimpin dari orang-orang berkuda itupun kemudian mengambil sekampil kecil uang dari kantong ikat pinggangnya dan menyerahkannya kepada orang yang bertubuh paling besar diantara para penjaga kuburan itu sambil berkata, “Inilah. Dan kemudian duduklah ditempatmu. Kami akan melakukan pekerjaan kami. Semakin cepat semakin baik.” Orang itu menerima kampil uang sambil berkata, “Lakukanlah. Kami akan menunggu disini.” Orang-orang berkuda itupun kemudian memasuki kuburan itu dengan tergesa-gesa, sementara keempat orang penjaganya kemudian duduk kembali diregol, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Namun demikian, kuda-kuda yang terikat itu agaknya menjadi pertanda bahwa ada beberapa orang yang telah memasuki kuburan itu. Sementara itu, Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa yang menyaksikan peristiwa itu ternyata menjadi sangat tertarik kepada sekelompok orang-orang yang akan memindahkan mayat itu dari tempatnya. Yang mereka lakukan itu tentu bukannya tanpa maksud. Karena itulah merekapun kemudian beringsut menjauhi regol dan dengan hati-hati merayap diluar dinding kuburan itu. Mereka ingin melihat dan mengetahui apakah sebenarnya maksud beberapa orang berkuda itu. Ternyata bahwa Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa berhasil mendekati mereka tanpa mereka ketahui. Mereka meloncat dinding itu justru agak jauh dari kuburan yang sedang dibongkar itu. Dengan sangat hati-hati mereka merayap mendekat, sehingga mereka melihat dan mendengar semua yang telah terjadi dan yang mereka percakapkan. “Pekerjaan yang memuakkan,“ salah seorang dari mereka bergeremeng, “Apaboleh buat,“ sahut yang lain, “kita tidak dapat berbuat lain dari memindahkan kubur ini.” “Kenapa harus dipindahkan,“ yang seorang bertanya.

“Kau memang dungu. Ternyata Untara telah mencurigai, apakah mayat ini benar mayat Ki Pringgajaya. Ia tentu akan mengirimkan orang atau petugas sandinya untuk melihat. Karena itu, maka kuburan ini telah dijaga. Tetapi jika yang datang itu tidak tertahankan dan tidak dapat dicegah, maka itu akan sangat berbahaya. Mungkin Untara datang langsung dengan sepasukan prajurit dan memaksa para penjaga untuk mengijinkan mereka membongkar kubur ini,“ jawab kawannya yang agaknya lebih mengetahui persoalannya. “Tetapi Untara tidak berbuat apa-apa,“ jawab kawannya. “Sampai sekarang tidak. Tetapi siapa tahu, bahwa besok atau lusa ia akan melakukannya. Bukankah dengan demikian, rahasia ini akan dapat dibongkar. Meskipun mayat ini tidak lagi dapat dikenal, tetapi ciri-ciri utamanya, tinggi badannya, pakaiannya dan beberapa hal yang lain akan dapat memberikan keterangan yang agak terperinci tentang orang yang disebut Ki Pringgajaya ini,“ jawab yang agak mengetahui persoalannya itu sambil bekerja. Kawannya tidak bertanya lagi. Mereka mulai menutup hidung mereka dengan ikat kepala mereka yang mereka urai. Agaknya yang mereka lakukan itu memang sudah agak terlambat. Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa memperhatikan kerja orang-orang berkuda itu dengan saksama. Namun Pangeran Benawapun kemudian menggamit Kiai Gringsing dan memberikan isyarat untuk meninggalkan tempat itu. Sejenak kemudian mereka sudah berada diluar kuburan. Sambil menarik nafas dalam-dalam. Pangeran Benawa berkata, “Bagi kita semuanya sudah cukup jelas.” “Ya,“ sahut Kiai Gringsing, “kita sudah mendapat kepastian.” “Ternyata Pringgajaya memang licik. Dengan cerdik ia berusaha melepaskan jejaknya. Mungkin dengan demikian ia tidak lagi akan berurusan dengan Untara dan pimpinan keprajuritan Pajang, tetapi mungkin juga ia telah menghindari orang-orang yang diupahnya untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap Sabungsari dan Agung Sedayu. Tetapi agaknya yang pertamalah yang terpenting. Sementara yang kedua itu dapat juga dilakukan untuk mengingkari pembayaran upah. Namun agaknya karena tugas orang Gunung Kendeng itu gagal, maka ia tidak lagi bertanggung jawab untuk membayarnya,“ desis Pangeran Benawa. “Apakah kita akan berusaha menemukan tempatnya bersembunyi ? “ bertanya Kiai Gringsing. “Tentu sangat sulit. Tetapi kita akan dapat mencobanya,“ jawab Pangeran Benawa. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Diluar sadarnya ia berpaling kearah orang-orang yang sedang

memindahkan kuburan itu. Dan seolah-olah demikian saja terlontar dari mulutnya ia berkata, “Orangorang itu adalah orang orang yang berada dibawah jalur yang sama dengan Ki Pringgajaya.” Pangeran Benawa mengangguk. Jawabnya, “Ya. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai sangkut paut. Tetapi apakah mereka banyak tahu, masih belum dapat kita yakini. Jika kita mengambil salah seorang dari mereka, maka mereka tentu mengetahui bahwa kerja mereka telah kita ketahui sementara kita belum pasti akan mendapat petunjuk dimana Ki Pringgajaya berada. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun sementara itu Pangeran Benawa berkata, “Kita dapat menelusuri perjalanan Tumenggung Prabadaru ke daerah Timur. Tetapi itu akan memakan waktu yang panjang sekali.” “Ya Pangeran. Sementara itu, aku tidak akan dapat meninggalkan Sabungsari dan Agung Sedayu terlalu lama. Meskipun aku meninggalkan obat cukup untuk beberapa hari, namun rasa-rasanya gelisah juga untuk meninggalkan mereka terlalu lama,“ berkata Kiai Gringsing. Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Perjalanan kita kali ini sudah akan berakhir. Tetapi pada suatu saat kita akan menempuh perjalanan berikutnya. Mungkin perjalanan yang lebih panjang dari perjalanan kita kali ini.” Kiai Gringsing akan menjawab, tetapi suaranya tertahan. Keduanya mendengar gemeremang orang-orang dalam kuburan itu. Agaknya mereka telah selesai, dan akan segera meninggalkan kuburan itu. “Kita melihat, apakah masih ada yang mereka lakukan atas para penjaga di regol itu,“ berkata Pangeran Benawa. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sementara keduanyapun kemudian merayap mendekati regol kuburan. Sejenak kemudian, maka beberapa orang yang telah selesai dengan kerja mereka itupun melangkah keluar. Para penjaga di regol kuburan itu sama sekah tidak beranjak dari tempat mereka duduk, ketika orang-orang itu melangkah keluar. “Kami sudah selesai Ki Sanak,“ berkata pemimpin dari orang-orang berkuda yang datang itu. “Baiklah,“ jawab orang yang bertubuh paling kekar diantara para penjaga itu, “kami tidak akan berbicara tentang apa yang telah kalian kerjakan itu.”

“Terima kasih,“ sahut pemimpin kelompok orang-orang berkuda itu, “mudah-mudahan kalian tetap memegang janji itu, karena jika rahasia ini diketahui orang lain, maka kalianlah yang pertama-tama akan mengalami kesulitan.” “Ya. Kami menyadari. Sementara kami tidak akan dapat menyebut siapakah kalian sebenarnya,“ jawab penjaga regol itu, “selain sejumlah uang yang kalian tinggalkan ini.” Pemimpin dari orang-orang yang telah memindahkan kuburan itu tertawa. Katanya, “Pergunakan sebaik-baiknya. Agaknya kita dapat saling memanfaatkan keadaan.” Para penjaga kuburan itu tidak menyahut lagi. Mereka memandang saja beberapa orang yang kemudian mendekati kudanya dan sejenak kemudian melepas ikatan kuda-kuda mereka pada gerumbul-gerumbul liar didekat kuburan itu. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka berdesis, “Apakah mereka benar-benar dapat dipercaya ?” “Dapat atau tidak dapat, tetapi kerja kita telah selesai. Jika rahasia ini terbuka, maka merekalah yang benar-benar akan mengalami kesulitan. Bukan kita,“ sahut yang lain. “Tetapi dengan demikian, maka ada pihak tertentu yang mengetahui bahwa kuburan itu telah dipindahkan. Bukankah hal ini akan menimbulkan kecurigaan yang besar pada Untara di Jati Anom atau orang-orang yang berhubungan dengan Senapati muda itu ? Sejak berita kematian ini sampai ketelinga Untara, sudah nampak bahwa ia menjadi curiga karenanya.” “Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan ?“ desis salah seorang dari mereka. Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa yang mendekati merekapun menjadi tegang pula. Agaknya telah timbul keragu-raguan diantara mereka yang datang berkuda itu. “Jika kita menghilangkan jejak sama sekali dengan membungkam mereka, dan menguburkan pula dikuburan itu, apakah hal itu akan menguntungkan ?” tiba-tiba yang lain berdesis. “Bahwa mereka tiba-tiba hilang itupun tentu akan timbul kecurigaan. Sementara itu, apabila petugaspetugas sandi yang mengemban perintah Untara sempat menggali kubur yang kosong itu, kecurigaan merekapun akan meningkat, sama seperti jika mereka mendengar rahasia kubur yang kita pindahkan itu,“ sahut yang lain. “Baiklah. Kita biarkan saja mereka menikmati uang itu. Tetapi setelah ampat puluh hari berlalu, apakah sebaiknya kita membungkam mereka. Sudah pasti, tidak seorangpun yang akan berusaha membongkar kuburan itu sesudah ampat puluh hari, karena mereka tidak akan mendapatkan pertanda apa-apa lagi, selain kerangka. Sementara sebelum saatnya

tiba, mereka masih akan menjaga kubur itu seperti biasanya.” Namun dalam pada itu, selagi mereka sedang berbincang, orang yang agaknya pemimpin dari sekelompok orang berkuda itu berdesis, “Aku mendengar sesuatu.” Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa terkejut. Sejenak mereka menegang. Jika pemimpin kelompok itu telah mendengar langkah mereka, maka orang itu tentu bukan orang kebanyakan. Namun ternyata arah perhatian pemimpin kelompok itu tidak kepada Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa. Namun mereka memperhatikan gerumbul diseberang lain. sehingga karena itu maka Pangeran Benawa telah bergeser setapak. Kiai Gringsingpun kemudian menjadi berdebar-debar. Mungkin ada orang lain yang telah mendengarkan pembicaraan itu pula. Tetapi karena justru diseberang lain, sehingga Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa tidak mengetahui kehadiran mereka. Ternyata bahwa dugaan mereka benar. Orang-orang berkuda itu kembali menambatkan kuda-kuda mereka. Kemudian terdengar pemimpin mereka berdesis, “Kepung gerumbul itu. Aku melihat gerak yang mencurigakan.” Sekejap kemudian, maka tiba-tiba orang-orang itu telah berpencar dan mengepung gerumbul diseberang lain. Sementara itu Pangeran Benawa berbisik, “Perhatian kita sepenuhnya tertuju kepada orang-orang berkuda itu, sehingga kita tidak menghiraukan apapun juga. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Demikian asyiknya mereka memperhatikan orang-orang berkuda itu, sehingga mereka sama sekah tidak mehhat atau mendengar orang lain telah berada disekitar kuburan itu pula. Namun karena jarak mereka memang masih agak jauh, maka desir gerumbul di seberang memang masih belum dapat mereka dengar dari tempat mereka. Adalah kebetulan bahwa pemimpin sekelompok orangorang berkuda itu melihat dedaunan pada sebuah gerumbul berguncang. Dalam keremangan malam ia melihat guncangan itu tentu tidak disebabkan oleh angin, karena guncangan itu hanya terdapat disekelompok gerumbul saja. Setelah orang-orangnya mengepung gerumbul itu maka pemimpin sekelompok orang-orang berkuda itu berkata lantang, “Jangan bersembunyi lagi. Kami sudah mengetahui kedatanganmu. Jika kau tidak mau keluar dari gerumbul itu, maka kami akan melemparkan senjata-senjata kami kedalam gerumbul tempat kau bersembunyi, sehingga kau akan terbunuh dengan luka arang keranjang sebelum kami mengetahui namamu.” Sejenak tidak terdengar jawaban. Sehingga orang itu mengulangi, “Peringatan untuk yang terakhir kalinya. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Jika aku menghitung sampai sepuluh, maka kami akan

melontarkan beberapa jenis senjata kedalam gerumbul itu.” Masih belum terdengar jawaban. Namun ketika orang itu benar-benar menghitung, maka sampai pada bilangan kelima, terdengar gerumbul itu berdesir. Sebuah guncangan kecil telah menyeruak dedaunan yang rimbun pada gerumbul itu. Sejenak kemudian dua orang meloncat keluar sambil menggeram, “Kalian memang licik. Tetapi baiklah, aku tidak dapat bersembunyi lagi. Karena itu, kami akan menghadapi kalian dengan terbuka.” Pemimpin sekelompok orang-orang berkuda itu tertawa. Katanya, “Nasibmu memang buruk Ki Sanak. Sebut, siapakah kalian.” “Tidak perlu. Kalian tidak perlu mengetahui nama kami. Kami datang tanpa ada hubungannya antara kami dengan nama siapapun juga yang dapat kami sebutkan,“ jawab orang itu. “Ternyata kalian adalah orang-orang yang keras hati dan keras kepala. Baiklah. Apakah kehendak kalian bersembunyi dan mengintip kami dari dalam gerumbul itu ?“ bertanya pemimpin kelompok orang-orang berkuda itu. “Kelakuan kalian memang sangat menarik. Sebenarnya kami tidak ingin mengintip kalian, tetapi ketika kami lewat dan melihat beberapa orang serta kudanya didekat kuburan ini, kami telah tertarik kerananya, sehingga kamipun ingin bertanya, apa yang kalian lakukan disini ?“ jawab salah seorang dari kedua orang itu. Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa yang tertarik kepada peristiwa itupun telah beringsut mendekat pula. Sekilas mereka saling berpandangan, seolah-olah mereka ingin mengatakan perasaan mereka, bahwa agaknya kedua orang yang berada didalam gerumbul itu belum mengetahui apa yang dilakukan oleh orang-orang berkuda itu. Pemimpin dari orang-orang berkuda itupun nampak berpikir sejenak. Lalu iapun bertanya, “Ki Sanak. Menurut dugaan kalian, bahwa kami berada di kuburan ini bersama dengan beberapa orang kawan kami.” “Kamilah yang bertanya, “desis salah seorang dari kedua orang itu. Pemimpin sekelompok orang berkuda itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun menjawab, “Sebenarnya kamipun tidak ingin pergi kekuburan ini. Tetapi ketika kami sampai didepan regol. ternyata kami tidak dapat mencegah keinginan kami untuk melihat, sekedar melihat kubur seorang prajurit linuwih.” Kedua orang yang telah meloncat dari balik gerumbul itu mengangguk-angguk. Tetapi salah seorang dari merekapun berkata, “Yang kalian lakukan memang aneh. Sekedar singgah dimalam hari. Itu tidak masuk diakal kami. Sebaiknya kalian menjelaskan, apakah maksud kalian sebenarnya.”

“Kau sangka apa yang kalian lakukan itupun tidak mencurigakan ? Apakah kami harus percaya bahwa kalian sekedar lewat dan melihat kami berada di dekat kuburan ini ?“ sahut pemimpin kelompok itu, “yang kita lakukan memang tidak sewajarnya. Nah, jika demikian, maka kita memang dapat saling mencurigai dan saling berprasangka. Aku kira, sebaiknya memang demikian. Kalian sudah melihat kehadiran kami disini, dan kamipun telah melihat kehadiran kalian. Memang ada sekilas pikiran di kepala kami, bahwa kita akan saling menghilangkan jejak. Kami tidak mau kalian menjadi saksi kehadiran kami, dan barangkali kalianpun tidak ingin mendengar kesaksian kami atas kehadiran kalian. Karena itu, kalian berdua kami minta untuk ikut saja bersama kami sebagai tangkapan kami. Kami tidak tahu, apa yang akan kalian alami setelah kalian menghadap pemimpin kami.” Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka tertawa sambil berkata, “Nampaknya persoalan diantara kita akan dapat diselesaikan dengan mudah sekali. Tetapi kalian keliru. Kamilah yang akan menangkap kalian. Kami ingin mendengar tentang kalian. Siapa sebenarnya kalian dan untuk apa kalian berada ditempat ini. Kalian tidak akan mengatakannya selama kalian masih merasa bebas seperti sekarang ini. Tetapi jika tangan dan kaki kalian telah terikat, maka kalian akan mengatakannya apa yang sebenarnya telah atau akan kalian lakukan.” “Gila,“ geram pemimpin kelompok orang-orang berkuda itu, “kau berdua akan menangkap kami ? Betapapun tinggi ilmumu, maka kalian berdualah yang akan kami ikat dan kami seret dibelakang kuda kami sampai ke tempat tinggal kami.” “Kalian terlalu sombong dan kurang berhati-hati menghadapi keadaan. Tetapi kami masih ingin memperingatkan, sebaiknya kalian menyerah dan mengikut kami. Bukan kami yang harus mengikut kalian,“ berkata salah seorang dari kedua orang itu. “Persetan,“ geram pemimpin kelompok orang-orang berkuda itu, “kita tidak ingin dipermainkan orang-orang gila ini. Tangkap mereka, jika mungkin hidup-hidup agar kita dapat bertanya tentang mereka, meskipun kita harus memerasnya sampai darahnya kering. Tetapi jika terpaksa bunuh saja mereka tidak akan berbicara tentang kita.” Demikianlah sekelompok orang-orang berkuda yang mengepung kedua orang itupun segera bersiap, sementara yang dua orang itupun segera bersiap, sementara yang dua orang itupun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Orang-orang berkuda yang mengepung kedua orang itu mulai bergerak. Kepungan itu semakin lama

menjadi semakin rapat, sehingga kedua orang itu seakan-akan tidak mempunyai lagi ruang untuk bergerak. Namun nampaknya kedua orang itu sama sekali tidak gentar menghadapi lawan yang jumlahnya jauh lebih banyak. Hampir ampat kali lipat, karena yang mengepung kedua orang itu berjumlah tujuh orang. Dalam pada itu pemimpin dari orang-orang yang mengepung itu masih berkata, “Kalian masih mempunyai kesempatan beberapa saat. Jika kalian menyerah, maka kami akan memperlakukan kalian dengan baik, sehingga kalian akan dapat berhadapan dengan pemimpin kami.” “Terima kasih atas kebaikan hati kalian,“ salah seorang dari kedua orang yang terkepung itu menjawab, “tetapi aku kira itu tidak perlu, karena kamipun tidak mempertimbangkan untuk berlaku baik terhadap kalian.” “Gila,“ geram pemimpin kelompok itu, “ternyata kalian adalah orang-orang yang paling sombong yang pernah aku jumpai.” “Mungkin, tetapi sebaiknya kita tidak terlalu banyak bicara. Jika kalian ingin menangkap kami, lakukanlah. Juga sebaliknya,“ geram salah seorang dari kedua orang yang terkepung itu. Beberapa orang yang sedang mengepung kedua orang itu tidak sabar lagi. Mereka tidak menunggu perintah pemimpinnya. Dua orang diantara mereka telah menggerakkan senjata mereka yang telanjang. Tetapi kedua orang yang terkepung itu ternyata cukup tangkas. Mereka bergeser selangkah. Meskipun mereka tidak mempunyai banyak kesempatan untuk berloncatan, namun mereka berhasil menangkis serangan kedua orang yang mengepung. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saiah seorang dari kedua orang yang terkepung itu telah bersuit nyaring. Setiap orang yang mendengarnya segera mengetahui, bahwa suara itu adalah suatu isyarat bagi kawan-kawannya yang tentu menunggu mereka agak jauh dari tempat itu. Pangeran Benawa menggamit Kiai Gringsing yang menarik nafas dalam-dalam. Bahkan dengan berbisik Pangeran Benawa berkata, “Aku sudah memperhitungkan, bahwa tentu ada orang lain kecuah dua orang yang nampaknya acuh tidak acuh itu.” “Ya Pangeran. Memang agak aneh jika hanya dua orang itu sajalah yang akan menghadapinya, kecuali jika yang dua orang itu adalah Pangeran Benawa dan Senapati Ing Ngalaga. Bahkan bukan hanya melawan tujuh atau delapan orang. Meskipun dua puluh orang sekaligus, mereka tidak akan berdaya,“ jawab Kiai Gringsing. “Kiai memang senang bergurau,“ desis Pangeran Benawa.

Namun kemudian, “Itulah, mereka datang.” Sebenarnyalah, ternyata telah datang kearena perkelahian itu tiga orang yang sudah menggenggam senjata ditangannya. Dengan garangnya mereka langsung menyerang orang-orang yang mengepung kedua orang kawannya dari luar lingkaran, sehingga dengan demikian maka kepungan itupun telah pecah. Sejenak kemudian, maka pertempuranpun telah terjadi dengan sengitnya. Ternyata bahwa orang-orang yang datang kemudian itu jumlahnya tidak sebanyak orang-orang berkuda yang datang lebih dahulu. Meskipun demikian nampaknya mereka sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan sejenak kemudian ternyata bahwa mereka yang datang kemudian itu dalam jumlah yang lebih sedikit mampu mengimbangi lawannya yang jumlahnya lebih banyak. Dalam pada itu, Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa yang menyaksikan perkelahian itu menjadi tegang. Keduanya sama sekali tidak dapat menebak, dari pihak mana sajakah kelompok-kelompok yang sedang bertempur itu. Meskipun demikian, keduanya dapat memperhitungkan, bahwa kelompok yang pertama tentu mempunyai hubungan langsung dengan Ki Pringgajaya, sehingga mereka telah berusaha untuk menghilangkan jejaknya. Dalam pada itu, pertempuran itu telah mengundang orangorang yang bertugas menjaga kuburan itu. Semula mereka berusaha untuk tidak memperhatikan mereka dan tidak melibatkan diri sama sekali. Tetapi ketika pertempuran itu berlangsung semakin sengit, maka mereka mulai ragu-ragu. “Apakah yang akan terjadi kemudian,“ bertanya salah seorang dari mereka. “Entahlah, kita akan menunggu,“ desis yang lain. Untuk beberapa saat keempat orang itu berusaha untuk dapat menyaksikan pertempuran itu, meskipun sambil berlindung dibalik gerumbul. Namun Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa yang telah lebih dahulu mendekati arena dapat melihat keempat orang itu dengan jelas. Tetapi orang-orang itu tidak akan dapat melihat kedua orang yang telah bersembunyi lebih dahulu itu. Sementara itu pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin sengit. Ternyata orang-orang yang datang kemudian, yang jumlahnya lebih sedikit, telah memilih cara yang menguntungkan mereka. Mereka tidak bertempur terpisah. Mereka bertempur dalam satu kelompok, sehingga seakan-akan mereka tetap berada dalam satu kesatuan. “Gila,“ geram lawannya yang jumlahnya lebih banyak. Tetapi ternyata bahwa kelompok yang pertama tidak pernah berhasil untuk mengurangi lawannya agar

mereka bertempur terpisah. Dentang senjata beradu telah menghamburkan bunga api diudara. Dalam keremangan malam, maka pertempuran itu menjadi semakin seru. Ternyata bahwa mereka yang bertempur itu memiliki kemampuan yang cukup tinggi dan tenaga yang cukup besar, ternyata dari benturan-benturan yang terjadi. Sekali sekali nampak seseorang terdesak dari luar arena. Tetapi lawannya tidak segera dapat memburunya, karena yang lainpun segera terlibat. Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Sekali-sekali terdengar keduanya berdesis, bahkan terasa ketegangan yang semakin mencengkam. Ketika orangorang yang bertempur itu menjadi semakin garang, maka debar jantung kedua orang itupun rasarasanya menjadi semakin cepat. Namun dalam pada itu, ternyata bahwa kelompok yang datang kemudian, yang jumlahnya lebih sedikit, memiliki kemampuan yang lebih baik dari lawannya. Sekali-sekali nampak mereka berhasil mendesak lawannya yang meskipun jumlahnya lebih banyak. Namun jumlah yang lebih banyak itu memang ikut juga menentukan. Mereka dapat berpencar lebih luas sehingga mereka dapat menyerang dari arah yang berbeda. Tetapi lawan mereka setiap kali selalu dapat menyesuaikan diri sehingga dari arah manapun juga mereka menyerang, serangan mereka dapat dilawannya. Dengan demikian maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Ternyata mereka telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada mereka. Semakin lama menjadi semakin nyata, bahwa justru orang yang jumlahnya lebih sedikit itu berhasil mendesak lawannya. Meskipun perlahan-lahan tetapi nampaknya mereka yakin akan dapat memenangkan pertempuran itu. Ketika salah seorang dari orang-orang yang datang lebih dahulu itu mulai tergores senjata, maka pemimpin dari orangorang yang datang kemudian itu berkata, “Menyerahlah. Kalian harus mengatakan, apa yang telah kalian lakukan disini.” “Persetan,“ desis pemimpin kelompok yang datang lebih dahulu, “yang kau lakukan bukan apa-apa bagi kami. Kalianlah yang harus menyerah.” Tidak ada jawaban lagi. Tetapi pertempuran itu menjadi semakin seru. Orang yang terluka itu justru mengamuk dengan penuh kemarahan. Sejenak kemudian, ternyata darah telah menitik dari salah seorang kelompok yang datang kemudian. Tetapi luka itupun telah membuat mereka justru semakin garang dan bertempur semakin keras. Orang yang kedua telah terluka pula dari kedua belah pihak, meskipun tidak mengurangi kegarangan

mereka, justru sebaliknya. Namun dengan demikian pertempuran itu benar-benar telah menuntut taruhan yang lebih besar lagi. Namun dalam pada itu, ketika kelompok yang datang lebih dahulu itu terdesak semakin gawat, maka pemimpin kelompoknya telah berteriak, “He, para penjaga kuburan. Apakah kalian tidak mehhat apa yang terjadi ?” Tidak ada jawaban. Sementara pemimpin kelompok yang datang kemudian itu bertanya lantang, “Siapa yang kau panggil ?” “Orang-orang ini berusaha untuk mengetahui apa yang telah kita lakukan. Karena itu, untuk kepentingan kita semuanya, orang-orang ini harus dimusnakan.“ sambung pemimpin kelompok yang datang lebih dahulu. Untuk beberapa saat tidak ada jawaban. Tidak seorangpun nampak mendekati arena. Namun dalam pada itu agaknya keempat orang itu sedang berbicara diantara mereka. “Apa artinya kata-kata orang itu ?“ bertanya salah seorang dari mereka. “Orang-orang itu akan berbahaya juga bagi kita,“ sahut pemimpinnya, “jika mereka menang, mungkin mereka benar-benar akan membongkar kuburan itu pula untuk melihat apakah mayat prajurit itu masih ada di dalam kuburnya. Bukankah dengan demikian, kita akan dapat dianggap bersalah.” “Apakah mereka berhak ?“ bertanya yang lain. “Berhak atau tidak berhak, pedang merekalah yang menentukan. Jika kita harus mempertahankannya, maka kita tentu tidak akan mampu.” “Lalu apakah sebaiknya yang dapat kita lakukan ?“ bertanya yang lain pula. “Kita akan memanfaatkan mereka yang ada dan yang memiliki kepentingan yang sama,“ berkata pemimpin penjaga kuburan itu. “Bagaimana ?“ bertanya seseorang. “Kita melibatkan diri seperti yang mereka maksud,“ berkata pemimpin sekelompok penjaga kubur itu, “seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang telah mengupah kita itu dengan hanya sekedar berdiam diri.” “Kita ikut bertempur ?“ bertanya seorang penjaga yang bertubuh agak pendek.

“Ya. Orang-orang yang datang terdahulu itu sudah jelas bagi kita. Mereka tidak ingin berbuat buruk. Ternyata bahwa mereka menepati janji. Mereka benar-benar memberikan uang dan hanya memindahkan kubur itu. Sementara kita tidak tahu, apa yang akan dilakukan oleh mereka yang datang kemudian,“ sahut pemimpinnya. “Baiklah,“ berkata seorang yang lain, “aku sependapat. Itu tentu akan lebih baik daripada kita berempat melawan para pendatang yang kemudian, yang nampaknya memiliki banyak kelebihan.” Kawan-kawannyapun mengangguk-angguk. Agaknya merekapun sependapat. Lebih baik mereka berpihak daripada mereka berempat saja harus menghadapi salah satu kelompok yang mereka anggap terlalu kuat itu. Dalam pada itu, kelompok yang datang kemudian telah mendesak lawannya semakin berat. Dalam kelompok yang ketat dan tidak terpisahkan, mereka bertempur bagaikan segulung angin pusaran yang berputaran menghalau awan yang bertebaran. Namun dalam pada itu, maka sejenak kemudian keempat orang yang bersembunyi itupun segera berloncatan dari tempat persembunyian mereka. Dengan garangnya mereka mengacu-acukan senjata mereka dan langsung melibatkan diri kedalam pertempuran. “Bagus,“ teriak pemimpin sekelompok orang yang datang terdahulu, “kalian telah mengambil sikap yang tepat. Marilah, kita akan membantai orang-orang gila ini.” “Mereka akan mengganggu ketenangan kita dikemudian hari,“ desis pemimpin penjaga kuburan itu. “Benar. Tetapi berhati-hatilah. Mereka memiliki ilmu yang aneh. Mereka dalam kelompok yang tidak terpisahkan. Karena itu, kita akan mengepung mereka dan menghancurkan mereka dalam putaran mereka.” Keempat orang itu tidak menjawab. Mereka langsung mengambil arah dan menyerang sekelompok orang yang bagaikan telah menyatu itu. Ternyata keempat orang yang disebut gegedug itupun memiliki kemampuan bertempur yang tinggi. Meskipun mereka bergerak dengan kasar dan keras, namun kehadiran mereka segera terasa pengaruhnya. Mereka berempat menyerang lawannya dari arah yang berbeda dari arah yang diambil oleh orang-orang yang datang terdahulu dan yang telah memindahkan kubur orang yang disebut Pringgajaya itu. Dengan demikian pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin sengit, semakin kasar dan semakin keras. Senjata mereka berputaran dan berdentangan. Bunga api memercik diudara, sementara desah nafas menjadi semakin memburu. Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa yang menyaksikan pertempuran itu menjadi berdebar-debar pula. Namun ketajaman penglihatan mereka, segera menangkap kemungkinan yang bakal terjadi pada

pertempuran itu. Karena orang-orang berkuda yang datang terdahulu itu kemudian dibantu oleh para penjaga kubur, maka merekapun mulai merubah keseimbangan. Orang-orang yang jumlahnya jauh lebih banyak itu perlahan-lahan mulai mendesak lawannya. Dalam pada itu, orang-orang yang datang kemudian itu benar-benar merasa heran bahwa masih ada empat orang lagi yang datang menyerang mereka. Betapa kemarahan membakar dada mereka, namun tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa mereka menjadi semakin terdesak. “Siapakah kalian he ? Kalian tentu bukan sekelompok dengan orang-orang ini,“ teriak pemimpin dari mereka yang datang kemudian. “Apa pedulimu,“ jawab orang yang tubuhnya paling kekar diantara keempat orang itu, “siapapun kami, tetapi kami berkepentingan untuk menyingkirkan kalian.” Orang-orang yang datang kemudian itupun bertempur semakin sengit. Mereka mengerahkan tenaga dan kemampuan mereka. Tetapi jumlah lawan mereka yang berlipat itu benar benar tidak terlawan lagi. Pemimpin dari orang-orang yang terdesak itu ternyata masih mampu berpikir. Ia tidak ingin membunuh diri bersama dengan orang-orangnya. Karena itu, maka selagi mereka masih memiliki kemampuan dan tenaga, meskipun sebagian dari mereka telah tergores oleh luka, maka adalah lebih baik jika mereka menghindari akibat yang lebih buruk lagi. Karena itu, maka dalam kekalutan pertempuran didalam gelapnya malam, terdengar isyarat nyaring. Semua orang yang terlibat dalam pertempuran itu, bahkan Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa mengetahui, bahwa orang-orang yang datang kemudian itu merasa tidak lagi mampu mengatasi tekanan lawannya, sehingga, mereka akan menyingkir dari arena pertempuran. Namun yang terjadi kemudian ternyata demikian cepatnya. Orang-orang itupun segera berlarian kearah yang tidak menentu, sehingga untuk sesaat telah terjadi kekaburan arah. Baru sejenak kemudian maka orang-orang itupun seolah-olah telah terhisap kedalam gerumbulgerumbul dan kegelapan. Lawan mereka berusaha memburu. Untuk beberapa saat lamanya, kekalutan telah terjadi. Namun kemudian orang orang yang datang kemudian itu bagaikan lenyap terhisap kelamnya malam. “Gila,“ geram pemimpin dari orang-orang yang datang terdahulu, “cari mereka.” Tetapi dalam pada itu, Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa menyaksikan cara orang-orang itu melarikan diri dengan heran. Terdengar Pangeran benawa berbisik, “Luar biasa. Demikian terlatihnya orang-orang itu, sehingga mereka mempunyai cara melarikan diri yang cermat. Tentu bukan sekedar karena terdorong oleh perasaan cemas dan ketakutan. Mereka tentu mendapat latihan dan petunjuk, bagaimana mereka meninggalkan arena pertempuran yang gawat.”

“Ya Pangeran. Demikian cermat dan cepat, meskipun mereka harus menghambur lebih dahulu dalam kekalutan,“ sahut Kiai Gringsing. Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, “Meskipun demikian masih sulit bagiku untuk mengerti, pihak mana sajakah yang telah terlibat didalam pertempuran itu. Apakah mereka yang memindahkan kuburan itu prajurit prajurit Pajang yang berada dibawah pengaruh seseorang pada pihak Ki Pringgajaya atau sekelompok orang-orang upahan atau sepasukan lasykar yang dibentak khusus diluar kesatuan keprajuritan, atau siapa. Apalagi mereka yang datang kemudian, yang memiliki kemampuan tempur dalam kelompok yang sangat rapi dan cermat. Lawan mereka sama sekali tidak berhasil memecah mereka untuk bertempur terpisah. Bahkan pada saat mereka mengundurkan diri, nampak betapa rapi dan cermat, sehingga lawan mereka yang seolah-olah telah mengepung mereka itu tidak mampu menahan mereka sama sekali dan apalagi mengejar mereka.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Keduanya masih melihat usaha yang sia-sia dari beberapa orang yang mencari lawan mereka digerumbul-gerumbul liar. Namun karena daerah disekitar kuburan itu memang liar, mereka sama sekali tidak berhasil menemukan seorangpun dari sekelompok orang orang yang mereka cari. “Gila,“ pemimpin dari sekelompok orang-orang berkuda itu mengumpat-umpat, “kita tidak dapat menangkap seorangpun dari mereka.” “Mereka lari seperti menyusup kedalam bumi. Demikian cepatnya hilang,“ sahut seseorang. “Apakah mereka manusia sebenarnya seperti kita,“ tiba-tiba saja yang lain bergumam. “Pertanyaan gila,“ geram pemimpinnya, “kita sudah melukai beberapa orang dari mereka, seperti diantara kita ada juga yang telah terluka. Tentu mereka manusia yang terdiri dari tubuh wadag seperti kita.” “Tetapi mereka tiba-tiba saja seolah-olah menghilang,“ sahut orang yang meragukan lawannya itu. “Itu adalah karena kebodohan kita,“ pemimpinnya yang marah berteriak. Orangnya tidak ada yang menjawab lagi. Mereka menyadari, betapa kemarahan dan kegelisahan telah mencengkam jantung pemimpin mereka. Agaknya apa yang mereka lakukan telah dapat dilihat oleh pihak lain yang tidak diketahuinya. “Tetapi agaknya mereka belum tahu, apa yang sudah kami lakukan,“ berkata pemimpin orang-orang berkuda itu kepada para penjaga kuburan.

“Ya, merekapun masih bertanya-tanya, apa yang kalian lakukan disini jawab penjaga kubur itu. Karena itu, mungkin sekali mereka akan kembali. Kalian akan menghadapi mereka dalam keadaan yang tidak seimbang,“ berkata pemimpin kelompok orang-orang berkuda itu. “Ya. Mungkin mereka akan menangkap kami dan memaksa kami untuk berbicara. Seandainya tidak, apakah yang dapat kami lakukan seandainya merekapun mempunyai keinginan membongkar kuburan itu seperti yang sudah kalian lakukan.” “Gila,“ pemimpin orang-orang berkuda itu mengumpat. Tetapi untuk sesaat iapun tetap merenungi apa yang telah terjadi. Dalam pada itu, kegelisahan telah mencengkam orangorang yang kehilangan lawan mereka itu. Baik orang-orang berkuda yang datang membongkar dan memindah kuburan itu, maupun para penjaga kubur. Orang-orang yang tidak mereka kenal itu setiap saat dapat datang kembali dengan maksud yang belum mereka ketahui. Namun akhirnya pemimpin dari orang-orang berkuda itu berkata, “Siapa yang memerintahkan kalian menjaga kubur itu ?” “Ki Demang,” jawab penjaga kubur itu. “Atas permintaan kawan-kawan prajurit yang gugur itu ?“ bertanya pemimpin orang-orang berkuda itu pula. “Ya,“ jawab para penjaga kubur. “Nah, jika demikian,“ berkata pemimpin orang-orang berkuda itu, “kalian harus menghadap Ki Demang. Katakan bahwa ada orang-orang yang berniat membongkar kubur itu. Tetapi kalian dapat menghalau mereka. Kalian kemudian dapat memberikan beberapa kemungkinan setelah kalian berhasil mengusir orang-orang itu. Bagaimana jika mereka pada suatu saat kembali dengan kekuatan yang tidak dapat kalian lawan.” Pemimpin dari para penjaga kubur itu termenung sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Bagus. Aku akan berkata seperti itu. Aku akan minta agar para peronda dapat membantu aku jika aku berada dalam kesulitan. Aku akan mohon agar Ki Demang memerintahkan kepada para pengawal untuk bersiap dan mengerti isyarat kami.” “Lakukanlah. Dengan demikian kalian tidak akan menjadi korban dari ketamakan orang-orang itu. Mereka tentu datang dengan maksud tertentu. Bukan seperti yang kami lakukan. Kami justru telah berani membayar untuk maksud itu.

Sedangkan orang-orang yang datang ilu tentu mendapat upah untuk pekerjaan yang mereka lakukan,“ berkata pemimpin kelompok orang-orang berkuda itu. Kemudian, “Sekarang, kami minta diri. Berhatihatilah. Kalian bukan saja menjaga keselamatan mayat yang kami pindahkan itu. Tetapi kalian juga menjaga keselamatan kalian sendiri. Jika rahasia itu diketahui oleh orang lain, maka kalianpun akan mengalami kesulitan.” Para penjaga kubur itu mengangguk-angguk. Merekapun menyadari kesulitan yang baru mereka alami jika rahasia itu diketahui oleh orang lain. Sejenak kemudian, maka orang-orang berkuda itupun meninggalkan kuburan itu. Sejenak terdengar derap kaki kuda yang berlari kencang. Namun sejenak kemudian kuburan itu menjadi sepi. Seperti sepinya kebanyakan kuburan dimalam hari. Namun kemudian terdengar salah seorang penjaga kubur itu berdesah, “Prajurit itu agaknya memang orang aneh. Sampai mayatnyapun telah menimbulkan persoalan. Hampir saja mayatnya telah menelan korban.” “Mungkin ini bukan satu-satunya peristiwa aneh yang terjadi. Kami telah mendapat tambahan uang malam ini. Tetapi besok mungkin kami harus bertempur. Bahkan mungkin akan jatuh korban diantara kita,“ berkata yang lain. “Kita akan melaporkannya kepada Ki Demang meskipun tidak seluruh peristiwa. Tetapi kita akan mohon dengan sesungguhnya agar Ki Demang memberitahukan para peronda siap disetiap malam sampai genap ampat puluh hari ampat puluh malam sejak kematian prajurit itu.” “Itu adalah jalan yang paling baik,“ sahut yang lain. “Malam ini kita harus berhati-hati. Mungkin orang-orang yang terusir itu akan kembali. Dan kita tentu tidak akan dapat berbuat apa-apa. Karena itu, kita tidak akan menjaga kubur itu diregol kuburan. Tetapi kita akan mengawasinya dari kejauhan. Dengan demikian kita tidak akan terjebak, meskipun ada satu kemungkinan, bahwa mereka benar-benar akan membongkar kubur. Namun kita dapat berusaha untuk menghubungi para peronda meskipun mereka belum mendapat perintah dari Ki Demang, berkata pemimpin mereka. Para penjaga itu sependapat. Karena itu, mereka tidak lagi kembali ke gerbang kuburan. Tetapi mereka mencari tempat lain untuk mengawasi gerbang, meskipun mereka harus berada di sela-sela gerumbul perdu. Berapa sisa malam itu menjadi semakin dingin dan nyamuk yang rasa-rasanya selalu berdesing ditehnga, namun mereka bertahan ditempat mereka. Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa menyaksikan semua peristiwa yang terjadi itu. Merekapun menyaksikan bagaimana orang-orang itu mengawasi gerbang kuburan dari sela-sela gerumbul perdu. “Mereka benar-benar terpengaruh oleh peristiwa yang baru saja terjadi,” berkata Pangeran Benawa.

“Mereka memang sangat berhati-hati,“ desis Kiai Gringsing. Sejenak mereka berdua mengawasi orang-orang itu dari kejauhan. Namun kemudian Pangeran Benawa berkata, “Kita sudah melihat apa yang terjadi. Tetapi sekelompok orangorang yang melarikan diri itu benar-benar sangat menarik perhatian. Mereka nampaknya benar-benar sekelompok orang yang terlatih dalam perang berkelompok.” “Ya Pangeran. Tetapi justru karena itu. pertanyaan tentang diri mereka menjadi semakin sulit untuk dijawab,“ sahut Kiai Gringsing. Pangeran Benawapun mengangguk-angguk, kemudian sambil bergeser surut ia berkata, “Apakah kita akan bermalam disini ?” Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Kita akan kembali. Tetapi apa yang kita lakukan tidaklah sia-sia. Yang dikubur itu pasti bukan orang yang bernama Ki Pringgajaya. Itu sudah merupakan hasil yang baik bagi perjalanan kita, meskipun barangkali untuk menemukan orang yang bernama Pringgajaya itu sangat sulit.” “Bagaimana dengan Gunung Kendeng ? “ tiba-tiba saja Pangeran Benawa berdesis. “Maksud Pangeran, apakah Ki Pringgajaya bersembunyi di Gunung Kendeng ?” “Hanya salah satu kemungkinan. Tetapi hubungan mereka, antara Ki Pringgajaya dan orang-orang Gunung Kendeng adalah hubungan jual beli, sehingga kemungkinan itupun agaknya sangat kecil, meskipun mungkin pula terjadi.” “Pangeran benar. Tetapi kita belum melihat kemungkinan lain,“ sahut Kiai Gringsing. Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Gunung Kendeng hanyalah satu dari banyak tempat yang dapat dipergunakan oleh Ki Pringgajaya. Namun agaknya Gunung Kendeng adalah tempat yang cukup tersembunyi, karena Ki Pringgajayapun tentu menyadari, bahwa petugas sandi Pajang dapat berkeliaran dimanapun juga. Tetapi tiba-tiba saja Kiai Gringsing berdesis, “Tetapi Pangeran, mungkin justru salah seorang dari mereka yang telah membongkar dan memindahkan kuburan itulah Ki Pringgajaya.” Pangeran Benawa mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata, “Ya. Itu memang mungkin sekali. Tetapi kita terlambat menyadari kemungkinan itu, sehingga kita tidak berbuat sesuatu. Dalam keremangan malam dan pada jarak yang tidak terlalu dekat, memang sulit untuk dapat mengenal seseorang dengan pasti.“ Pangeran Benawa berhenti sejenak, lalu. “tetapi sebenarnya kita mempunyai tempat untuk bertanya tentang Ki Pringgajaya.” “Dimana ?“ bertanya Kiai Gringsing. “Pada Ki Tumenggung Prabadaru,“ desis Pangeran Benawa.

Kiai Gringsingpun kemudian mengangguk-angguk pula. Katanya, “Tetapi tentu sulit untuk bertanya secara langsung kepada Ki Tumenggung. Ia tentu sudah menyusun seribu macam alasan dan jawaban yang sulit untuk ditembus.” “Tentu ada cara lain,“ berkata Kiai Gringsing. “Ya. Dengan cara lain. Setelah Ki Tumenggung kembali dari perjalanannya, maka satukali Ki Pringgajaya tentu akan datang kepadanya, apapun yang akan dibicarakannya,“ berkata Pangeran Benawa. Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian berdesis, “Satu pengamatan yang memerlukan waktu yang panjang.” “Ya. Dan sudah barang tentu, biarlah orang lain yang melakukannya. Tetapi kita memerlukan laporan setiap saat karena kita berkepentingan.“ berkata Pangeran Benawa. Keduanya nampaknya mempunyai persamaan pendapat. Dengan demikian maka diperjalanan kembali ketempat mereka menitipkan kuda, mereka dapat banyak berbicara tentang rencana mereka mengawasi rumah Ki Prabadaru. “Aku tidak berkeberatan jika Kiai Gringsing memberitahukan hal ini kepada Untara, tetapi sudah barang tentu. Kiai Gringsing tidak perlu menyebut namaku. Ia agaknya akan bersedia menempatkan pengamatan pada rumah Ki Tumenggung Prabadaru dengan petugas-petugas sandi khusus yang telah dibentuknya, yang hanya diketahui oleh sebagian kecil dari bawahannya,“ berkata Pangeran Benawa kemudian. Dengan demikian, maka rencana perjalanan mereka terasa sudah cukup berhasil. Meskipun mereka tidak dapat menemukan Ki Pringgajaya, tetapi mereka sudah pasti, bahwa Ki Pringgajaya tidak gugur seperti yang dilaporkan oleh Ki Tumenggung Prabadaru. Sehingga dengan demikian maka merekapun dapat mengambil kesimpulan bahwa Ki Tumenggung Prabadarupun tentu terlibat dalam usaha menghilangkan jejak Ki Pringgajaya. Kesimpulan lain yang dapat diambil dari peristiwa itu adalah, bahwa jaringan yang luas dan teratur sebaik-baiknya telah menjalar didalam lingkungan keprajuritan Pajang. Bahkan mungkin disegenap lapisan pemerintahan. Meskipun tidak dikatakan, namun Kiai Gringsing seolah-olah dapat merasa apa yang dirasakan oleh Pangeran Benawa, yang sebenarnya adalah pewaris yang paling berhak atas Pajang. Betapapun juga, nampak pada sorot mata Pangeran yang masih muda itu, keburaman masa depan Pajang yang pada saatnya bangkit sebagai satu pusat pemerintahan yang dapat mempersatukan sebagian besar daerah Demak yang seolah-olah telah disayat oleh perpecahan diantara keluarga, meskipun dengan sangat disesalkan telah jatuh beberapa orang korban.

Namun Mas Karebet yang juga disebut Jaka Tingkir itu, telah berhasil menyusun pusat pemerintahan yang berwibawa. Tetapi hanya pada satu tataran keturunan. Pajang telah susut kembah secepat saat ia bangkit. Kadang-kadang Pangeran Benawa itu melihat kesalahan pada dirinya. Tetapi ia tidak berhasil mengusir kekecewaan yang mencengkam jantungnya. Jarak yang membatasi dirinya dengan ayahandanya terasa sangat sulit untuk dipersempit. Dengan demikian, maka apa yang dilakukan oleh Pangeran Benawa, seolah-olah sama sekali tidak terencana. Ia melakukan apa yang ingin dilakukan. Ia bekerja bersama orang-orang yang disukainya tanpa arah dan tujuan yang tertentu. Sehingga dengan demikian, ia muncul pada kesempatan yang dikehendakinya dalam peristiwa-peristiwa yang menarik perhatiannya saja. Salah satu peristiwa yang menarik baginya adalah kematian Ki Pringgajaya setelah ia mendengar peristiwa yang terjadi di Jati Anom atas Agung Sedayu dan seorang prajurit bernama Sabungsari. Dalam pada itu, maka Kiai Gringsing dan Pangeran Benawapun kemudian telah berada dirumah tempat ia menitipkan kudanya. Seperti yang dikatakan oleh pemilik rumah itu, maka tempat yang tersedia bagi mereka adalah sebuah amben yang besar dengan tikar yang sudah kumal. Namun ternyata keduanya adalah orang yang terbiasa hidup disegala tempat dan keadaan. Sudah terbiasa tidur diantara batang-batang ilalang atau diatas hangatnya jerami kering diatas kandang. Namun demikian, dihari berikutnya Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa ternyata masih belum meninggalkan rumah itu. Mereka ingin menempuh perjalanan setelah senja. Diperjalanan mereka tidak akan banyak menjumpai kemungkinan, bahwa seseorang akan mengenal mereka. Hampir sehari penuh kedua orang itu tidak beranjak dari rumah tempat mereka menompang. Baru menjelang senja mereka berkemas dan menyiapkan kuda mereka. “Aku tidak dapat memberi uang lebih banyak dari beberapa keping ini,“ berkata Pangeran Benawa. Tetapi yang beberapa keping itu telah membuat pemilik rumah itu sangat gembira. “Terima kasih Ki Sanak. Terima kasih,“ berkata orang itu. Sementara itu, maka Kiai Gnngsing dan Pangeran Benawapun meninggalkan rumah itu tanpa menyadari, bahwa dua orang telah datang kepada pemilik rumah itu dan bertanya dengan garang, “Siapakah mereka ?” Pemilik rumah itu terkejut. Demikian tiba-tiba orang itu datang sepeninggal dua orang yang menitipkan kudanya dan mengupahnya untuk menyediakan makan bagi kuda-kuda itu. Tetapi pemilik rumah itupun segera mengenal kedua orang berwajah garang itu. Bahwa mereka adalah

orang-orang yang ditakuti di Kademangannya. “Siapa,“ desak salah seorang dari kedua orang itu. “Aku tidak mengenal mereka,“ jawab pemilik rumah itu, “mereka datang untuk menitipkan kuda mereka dan mengupah aku untuk menyabit rumput. Tetapi keperluan mereka adalah nenepi di kubur prajurit linuwih yang telah gugur itu.” “Ya, justru karena itu, aku bertanya siapa mereka. Aku memang melihat keduanya datang kekubur,“ berkata salah seorang dari keduanya, “tetapi kami ingin mengenal mereka lebih banyak.” “Aku tidak tahu. Dan akupun tidak bertanya kepada mereka. Aku sudah merasa senang bahwa aku mendapat upah dari mereka,“ jawab pemilik rumah itu. Kedua orang itu berpandangan sejenak. Namun yang seorang berkata, “Agaknya ia benar-benar tidak mengetahuinya. Yang paling baik untuk mendapat keterangan tentang mereka adalah menyusul mereka dan memaksa mereka untuk berbicara tentang diri mereka.” “Selagi mereka masih belum terlalu jauh,“ sahut yang lain. Keduanyapun kemudian meninggalkan rumah itu. Ternyata diujung padukuhan ada beberapa orang lagi yang menunggu. Sehingga jumlah mereka menjadi enam orang. “Kita susul mereka,” desis orang yang bertubuh kekar. “Mereka menuju ke Barat.” Sejenak kemudian enam ekor kuda telah berderap berlari menyusur bulak panjang. Mereka berharap bahwa mereka masih akan dapat menyusul kedua orang yang meninggalkan padukuhan itu. “Kitalah yang bodoh,“ berkata orang bertubuh kekar itu kepada kawannya yang berkuda disampingnya, “kenapa kita tidak mencurigai mereka ketika mereka berdua berjaga-jaga diregol. Ternyata mereka merupakan cucuk sekelompok orang yang datang kemudian. Untunglah bahwa pada saat itu ada sekelompok lain yang baru saja memindahkan kubur itu. Jika tidak, maka kitalah yang akan mengalami kesulitan.” “Apakah kedua orang itu mempunyai hubungan dengan kelompok yang datang kemudian ?“ bertanya kawannya. “Aku tidak tahu pasti. Tetapi menurut perhitunganku, agaknya kedua orang itu tentu orang-orang yang dikirim untuk mengawasi keadaan, memperhitungkan kekuatan kita yang menjaga kubur itu dan kemudian memberi tahukan kepada kawan-kawannya yang datang kemudian. Tetapi agaknya mereka salah memilih waktu, sehingga mereka bertemu dengan sekelompok yang justru memberi kita upah tambahan itu.”

Kawannya mengangguk-angguk. Agaknya memang masuk akal. Jika kedua orang itu dapat mereka tangkap, maka mereka akan dapat menyelusuri siapakah yang telah memerintahkan mereka datang. “Dengan demikian, kita akan dapat mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk sisa-sisa hari menjelang malam ke empat puluh. Setelah itu bebas dari segala tanggung jawab apapun yang terjadi. Kita tidak akan dituntut lagi karena upah yang telah kita terima,“ berkata orang bertubuh kekar itu. Kawannya mengangguk-angguk. Sementara itu kuda mereka berpacu semakin cepat. Mereka tidak perlu terlalu banyak memperhitungkan jalan yang mereka lalui, karena jalan tidak banyak bercabang, dan cabang-cabang kecil yang ada adalah jalur-jalur menuju kepadukuhan sebelah menyebelah. “Kita akan segera menyusulnya,“ berkata orang bertubuh kekar itu. Dalam pada itu, Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa memang tidak mengira bahwa sekelompok orang-orang berkuda telah menyusul mereka. Karena itu. maka mereka berkuda tidak terlampau cepat. Mereka masih saja berbincang tentang berbagai hal yang terjadi. Dengan demikian, maka jarak antara Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa serta sekelompok orangorang berkuda itupun menjadi semakin pendek. Dalam pada itu, langitpun telah menjadi gelap. Bintang telah berhamburan dilangit yang biru gelap. Seleret awan kelabu nampak disudut langit. “Mudah-mudahan awan kelabu itu tidak tumbuh semakin banyak,“ berkata Pangeran Benawa, “aku tidak ingin menjadi basah kuyup oleh hujan yang mungkin turun.” “Angin bertiup dari Utara Pangeran. Agaknya awan itu justru akan tersapu keatas lautan. Jika hujan turun, biarlah hujan diatas genangan air laut,“ sahut Kiai Gringsing. Pangeran Benawa menengadahkan wajahnya kelangit. Angin memang bertiup dari Utara. Terasa sentuhan pada wajahnya yang mulai basah oleh keringat. “Udara terasa sejuk oleh angin Utara,“ berkata Pangeran Benawa, “Tetapi aku mulai berkeringat.” “Apakah kita berkuda terlalu cepat ?“ bertanya Kiai Gringsing. “Tidak Kiai,“ jawab Pangeran Benawa, “ada sesuatu yang mendesak dari dalam.” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertanya, “Apakah Pangeran mengetrapkan aji Sapta Pengrungu atau Sapta Pangrasa ?” Pangeran itu tersenyum. Katanya, “Aku tidak banyak mengetahui tentang ilmu itu. Kiai, meskipun aku mempelajarinya juga.”

“Tetapi Pangeran agaknya mengetahui sesuatu akan terjadi.” “Bukan karena aji Sapta Pangrungu. Dengarlah Kiai, bukankah ada derap kaki kuda dibelakang kita ?” “Ya, aku mendengar Pangeran,“ jawab Kiai Gringsing, “tetapi aku tidak mengetahui, apakah yang Pangeran ketahui tentang derap kaki kuda itu.” “Aku juga tidak mengetahui apapun juga. Tetapi ada semacam dugaan, mungkin firasat atau seperti itu, yang membuat aku menjadi berdebar-debar,“ jawab Pangeran Benawa. Tetapi Kiai Gringsing tertawa kecil. Katanya, “Pangeran mumpuni dalam berbagai macam ilmu.” “Itu bukan berarti bahwa tidak ada batas pengenalan kita terhadap keadaan disekitar kita Kiai,“ jawab Pangeran Benawa. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa Pangeran Benawa yang muda itu memiliki ilmu yang sukar dicari bandingnya. Tetapi Pangeran muda itupun menyadari, betapa keterbatasan seseorang meskipun ia memiliki seribu macam ilmu. Namun seperti yang didengar olel Pangeran Benawa, Kiai Gringsingpun mendengar derap kaki kuda itu dengan hati yang berdebar-debar. Sebenarnyalah bahwa iapun merasa bahwa sesuatu agaknya akan terjadi. “Kiai,“ berkata Pangeran Benawa kemudian, “aku kira lebih baik kita menunggu. Jika mereka memerlukan kita, biarlah kita segera mengetahinya. Jika mereka tidak memerlukan kita, biarlah mereka berjalan lebih dahulu.” Kiai Gringsing mengangguk sambil menjawab, “Aku sependapat Pangeran. Kita akan menepi.” Kedua orang itupun kemudian justru menunggu ditepi jalan. Mungkin orang-orang berkuda itu akan berpacu lewat didepan mereka, tetapi mungkin mereka akan berhenti dan bertanya tentang diri mereka berdua. Semakin lama derap kaki-kaki kuda itu menjadi semakin jelas, sementara kuda-kuda itupun menjadi semakin dekat. Dalam keremangan malam. Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa melihat sekelompok orang-orang berkuda berpacu beriringan. Namun agaknya merekapun segera melihat kedua orang yang justru menunggu iring-iringan itu. Orang yang berkuda dipaling depan telah memberikan isyarat, agar iring-iringan itu memperlambat kuda mereka, sehingga akhirnya merekapun berhenti beberapa langkah dihadapan Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa.

“Itulah keduanya,“ desis salah seorang dari mereka yang berada didalam iring-iringan itu. Pemimpin kelompok itupun kemudian maju mendekat sambil bertanya, “Ki Sanak, bukankah Ki Sanak berdua telah nenepi dikubur prajurit Pajang yang gugur itu?” Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Pangeran Benawa itupun mengangguk sambil menjawab, “Benar Ki Sanak. Kami adalah orang-orang yang telah nenepi dikuburan yang agaknya telah kalian awasi untuk selama empat puluh malam itu. Bukankah Ki Sanak ada diregol kuburan itu ketika kami sedang nenepi?” “Ya, kamilah penjaga kubur itu,“ jawab pemimpin kelompok itu. “Apakah kalian mempunyai kepentingan dengan kami atau kalian sekedar akan lewat mendahului kami?“ bertanya Pangeran Benawa. “Kami sengaja menyusul kalian, Ki Sanak,“ jawab pemimpin kelompok itu. Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Kemudian iapun bertanya, “Apakah kepentingan Ki Sanak dengan kami?” “Ki Sanak,“ berkata pemimpin kelompok itu, “sebaiknya kalian menjawab dengan jujur. Siapakah sebenarnya kalian? Dan apakah hubungan kalian dengan orang-orang yang telah datang kekubur itu, dan mencoba untuk mengganggu kami selama kami menjalankan tugas kami.” “Bukankah kami tidak berbuat sesuatu?“ bertanya Pangeran Benawa. “Jangan memperbodoh kami,“ jawab pemimpin kelompok itu, “kehadiran kalian telah menumbuhkan keadaan yang gawat. Kalian datang untuk mengamati keadaan, sementara sekelompok orang lain telah datang pula setelah mereka mendengar keterangan dari kalian.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Seperti Pangeran Benawa iapun mengerti, bahwa orangorang itu telah menuduh mereka mengamati keadaan menjelang kedatangan orang-orang yang telah bertempur melawan sekelompok orang berkuda yang datang lebih dahulu, yang kemudian dibantu oleh para penjaga kuburan itu. “Jawablah,“ berkata pemimpin kelompok itu, “jika kalian mengaku, maka kalian tidak akan banyak mengalami kesulitan. Tetapi jika kalian mencoba untuk ingkar, maka terpaksa kami akan memaksa kalian untuk berbicara.” “Ki Sanak,“ Pangeran Benawa yang menjawab, “sebenarnyalah bahwa kami tidak mengetahui tentang orangorang itu. Sudah kami katakan bahwa kami datang untuk nenepi. Aku ingin memasuki pendadaran untuk menjadi seorang prajurit.” “Jangan berbelit-belit. Kami memang orang-orang bodoh dan dungu. Tetapi bukan berarti bahwa kami

sama sekali tidak dapat memperhitungkan keadaan. Pengalaman telah mengajar kami untuk menarik kesimpulan atas satu perbuatan. Dan yang kalian lakukan agaknya tidak terlalu rumit untuk dicari maknanya.” “Benar Ki Sanak,“ berkata Pangeran Benawa, “kami benar-benar tidak mengetahui persoalan itu.” “Kenapa kalian tidak nenepi lagi setelah orang-orang itu gagal melakukan maksudnya pada malam itu? “ tiba-tiba pemimpin kelompok itu bertanya. “Aku harus segera berada di Pajang,“ jawab Pangeran Benawa cepat, “aku besok harus ikut dalam pendadaran di alun-alun. Jika kau tidak percaya, datanglah ke alun-alun Pajang. Diantara mereka yang ikut dalam pendadaran itu adalah aku.” “Sekali lagi aku peringatkan, jangan memperbodoh kami. Betapapun kami masih mempunyai nalar yang utuh.” jawab pemimpin sekelompok orang berkuda itu, “meskipun kami hanyalah penjaga kubur tetapi kami mempunyai pengalaman petualangan yang cukup. Karena itu, jangan mempersulit diri. Kami sebenarnya tidak ingin terlibat kedalam persoalan yang dapat mengganggu tugas kami selama empat puluh hari empat puluh malam, karena kami telah berjanji dan menerima upah untuk itu. Tetapi yang kami lakukan sekarang, adalah usaha kami untuk mencegah timbulnya persoalan yang dapat mempersulit keadaan kami. Kali ini kami ingin mendapat uang dengan cara yang baik, wajar dan tidak menimbulkan kerugian pada orang lain. Biasanya kami tidak berbuat demikian. Biasanya kami melakukan sesuatu yang dapat dianggap merugikan dan mengganggu orang lain. Aku harap kalian menyadari, dengan siapa kalian berhadapan. Jika kalian masih ingkar, kami akan bertindak sesuai dengan tabiat kami yang kasar. Apalagi kau belum diterima sebagai seorang prajurit.” Pangeran Bejiawa memandang Kiai Gringsing sekilas. Namun orang tua itu sama sekali tidak menunjukkan suatu sikap tertentu. Karena itu, maka Pangeran Benawa terpaksa menjawab menurut sikapnya sendiri. Katanya, “Ki Sanak. Apapun yang timbul pada keinginan kami untuk mengatakan sesuatu, tetapi sebenarnyalah kami memang tidak tahu menahu tentang orang lain kecuali diri kami berdua. Kami tidak mempunyai sangkut paut dengan siapapun juga. Kami datang atas dorongan niat kami untuk mendapat restu aga. aku dapat diterima menjadi seorang prajurit.” “Kau membuat kami kehilangan kesabaran,“ berkata pemimpin kelompok orang-orang berkuda yang menyusul Pangeran Benawa itu, lalu. “sudah aku peringatkan, bahwa jika kami tidak mampu mengekang diri lagi, maka sifat dan watak kami yang sebenarnya akan segera kalian lihat. Kami akan berbuat kasar, dan bahkan mungkin kami akan bertindak lebih jauh. Bukankah kalian membawa bekal bagi perjalanan kalian ? Setidak-tidaknya kami akan mendapat dua ekor kuda yang tegar.”

“Jika kalian ingin berbuat demikian, kami akan melaporkannya kepada Ki Demang yang telah memerintahkan kalian menunggui kuburan itu,“ jawab Pangeran Benawa. Kemudian, “Atau kepada prajurit di Pajang. Kalian tentu akan ditangkap dan dihukum.” Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa, “Kau juga dungu. Jika aku sudah bertindak demikian terhadap orang yang telah mengenal kami sekelompok ini, maka kami tidak akan tanggung-tanggung melakukannya. Kami akan membuat kalian tidak akan dapat melaporkan kepada siapapun juga.” “Apakah kalian akan membunuh kami ?“ bertanya Pangeran Benawa. Orang itu tertawa. Beberapa orang dalam kelompok itu tertawa pula. Bahkan seseorang berkata, “Kenapa kita tidak berbuat demikian saja ?” “Aku masih menunggu,“ jawab pemimpinnya, “jika ia berbaik hati dan mengatakan siapakah yang telah menyuruh mereka mengintai dan mengamati kami, maka mereka tidak akan kami ganggu. Selama ampat puluh hari ampat puluh malam, kami adalah orang baik-baik yang bekerja dengan baik. Tetapi jika mereka tidak mau mengatakan siapakah yang telah menyuruh mereka melakukannya, maka nasib mereka akan segera kita tentukan, dan kitapun justru akan mendapat tambahan penghasilan lagi.” “Jangan begitu Ki Sanak,“ minta Pangeran Benawa, “kami benar-benar tidak tahu apa-apa.” “Ya, kami tidak tahu apa-apa,“ ulang Kiai Gringsing, “kami benar-benar bermaksud baik. Seandainya kami bermaksud buruk, kami tentu sudah melarikan diri.” “Itulah kebodohan kalian. Kenapa kalian tidak melarikan diri bersama kawan-kawanmu ? Waktu yang aku berikan sudah cukup. Katakanlah, siapa yang menyuruh kalian. Prajurit Pajang, orang-orang yang membenci prajurit yang gugur itu, atau justru orang-orang yang telah membunuhnya,“ pemimpin kelompok orang-orang berkuda itu mulai membentak. “Bagaimana kami harus menjawab,“ Kiai Gringsinglah yang menjawab, “Apa yang kami ketahui tentang pertanyaan kalian ? Cobalah mengerti, bahwa kami benar-benar datang untuk nenepi.” “Tutup mulutmu. Ingat, jika kami kehabisan kesabaran, kami akan segera kambuh lagi dengan watak kami yang sebenarnya,“ geram orang itu. Kiai Griigsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan nada dalam ia bertanya kepada Pangeran Benawa, “Apa yang dapat kita lakukan ? Kita harus mengatakan apa yang tidak kita ketahui.” Tentu kita tidak akan dapat melakukan apa yang benar-benar tidak dapat kita lakukan,“ jawab Pangeran Benawa, lalu katanya kepada pemimpin kelompok yang menyusulnya itu.

“Ki Sanak. Bagaimanapun juga, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak dapat mengatakan sesuatu tentang orang-orang yang kau maksud.” “Kita sudah lerlalu sabar,“ geram salah seorang dari orangorang berkuda itu, “jangan terlalu berbaik hati kepada orang orang yang keras kepala. Mereka mengira bahwa kita hanya dapat berbicara dan menggertaknya.” “Aku sudah cukup memberi waktu kepada mereka,“ berkata pemimpinnya, “sekarang, aku sudah kehabisan kesabaran. Tangkap mereka, dan paksa mereka berbicara.” “Apakah maksudmu,” dengan serta merta Pangeran Benawa memotong. “Cukup jelas,“ bentak pemimpin kelompok itu, “kami akan menangkap kalian, mengikat kalian pada batang pohon dipinggir jalan itu, dan kemudian memukul kalian sehingga kalian berbicara. Atau bahkan kami dapat menggoreskan senjata kami pada kulit kalian untuk memaksa kalian berbicara.” “Itu tidak berperikemanusiaan. Dan bagaimana kami harus berbicara karena kami memang tidak mengetahuinya. Kalian hanya akan menyiksa kami tanpa mendapatkan sesuatu, karena kami memang tidak mengetahui.” “Cukup,“ bentak pemimpin kelompok itu, “kita akan melakukan apa yang kita ingini. Jalan ini adalah jalan yang sepi setelah gelap. Tidak akan ada orang yang akan menolong kalian meskipun kalian akan berteriak sekuat-kuatnya. Seandainya orang-orang dipadukuhan yang jauh itu sempat mendengar, mereka tidak akan berani berbuat sesuatu.” Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang-orang itu telah tidak lagi dapat diajak berbicara. Karena itu, maka mereka memilih jalan kekerasan. Mereka agaknya benar-benar ingin menyiksa Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing untuk berbicara. Karena itu, maka Pangeran Benawa dan Kiai Gringsingpun segera meloncat dari kuda mereka dan menambatkan kuda mereka pada sebatang pohon dipinggir jalan. “Kalian akan melawan,“ pemimpin orang-orang berkuda itu hampir berteriak, “jangan membuat diri kalian semakin sengsara.” “Aku tidak melawan Ki Sanak,“ jawab Pangeran Benawa, “tetapi bukankah sudah wajar, jika kami berdua ingin melindungi diri kami dari segala tindakan kekerasan. Apapun yang terjadi atas diri kami, maka kami wajib untuk berbuat sesuatu. Apalagi aku telah bertekad untuk ikut dalam pendadaran sebagai seorang prajurit.” “Persetan,“ geram pemimpin orang-orang berkuda itu, “kau membuat dirimu semakin sulit.“ lalu katanya kepada orang-orangnya, “tangkap kedua orang itu.”

Pangeran Benawa dan Kiai Gringsingpun kemudian bersiap menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi. Bagaimanapun juga, mereka harus memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang suht menghadapi keenam orang itu. Mereka adalah orang-orang yang sudah terbiasa melakukan petualangan. Menyaman orangdisepanjang jalan sepi dan merampok rumah-rumah yang nampak menyimpan harta kekayaan. “Ki Sanak,“ berkata Pangeran Benawa kemudian, “aku terpaksa membela diri. Tetapi sebenarnyalah bahwa kami berdua tidak tahu menahu tentang orang-orang yang datang seperti yang kau maksudkan. Yang aku tahu adalah, bahwa aku ingin menjadi seorang prajurit.” “Tutup mulutmu,“ geram orang berjambang, “menyerah, atau kau berdua akan mengalami nasib yang paling buruk dari orang-orang yang pernah berhubungan dengan kami.” Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apaboleh buat. Aku memang harus berbuat sesuatu buat keselamatan diriku.” Enam orang yang kemudian menambatkan kuda masing-masing itupun segera mengepung Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing. Setapak demi setapak kepungan itu menjadi semakin rapat. Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing berdiri beradu punggung. Sejenak mereka mengawasi orangorang yang mengepung mereka. Namun kemudian Pangeran Benawa berdesis, “Agaknya lebih senang berdiri diluar kepungan Kiai.” “Maksud Pangeran ?“ bertanya Kiai Gringsing. “Kita melihat, apa yang mereka lakukan. Kemudian kita berusaha untuk memecahkan kepungan ini. Diluar kepungan kita akan bebas berlari-larian,“ sahut Pangeran Benawa. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Sejenak kemudian kepungan itupun menjadi semakin rapat. Kemudian orang berjambang itu menggeram, “Jangan menyesal jika kalian akan mengalami nasib buruk.” Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa tidak menjawab. Namun mereka benar benar telah bersiap menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi atas mereka. Sejenak kemudian, maka orang berjambang itu bergeser cepat. Terdengar ia berkata lantang, “Sekarang.”

Terdengar pemimpin kelomok itu memberikan isyarat bunyi. Serentak keenam orang itu melangkah maju, menerkam kedua orang yang berada didalam kepungan itu. Tetapi yang terjadi, benar-benar telah mengejutkan keenam orang itu. Mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa kedua orang dalam kepungan itu, serentak telah berbuat sesuatu diluar pengamatan mereka. Yang mereka ketahui, tangan-tangan mereka merasa betapa kedua orang itu telah menangkis dan kemudian demikian cepatnya menyusup diantara mereka. Mereka kemudian menyadari, bahwa kedua orang yang berada didalam kepungan itu, ternyata telah berdiri diluar, daerah yang berbeda. “Gila,“ geram pemimpin sekelompok orang-orang berkuda itu, “kalian jangan mencoba menambah kemarahan kami. Sudah aku peringatkan, jika sifat dan watak kami kambuh, nasib kalian akan menjadi semakin buruk.” “Ki Sanak, kambuh atau tidak kambuh, tetapi kami tidak ingin kalian tangkap,“ jawab Pangeran Benawa. “Persetan,“ geram orang berjambang, “kenapa kita masih terlalu sabar menghadapi orang ini.” “Agaknya terserah kepada kalian. Tetapi tangkap mereka hidup-hidup.“ perintah pemimpin mereka. Keenam orang itupun kemudian berpencar. Tiga orang mengepung Pangeran Benawa yang lain dipimpin oleh orang berjambang itu mengepung Kiai Gringsing. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa iapun terpaksa membela dirinya menghadapi orangorang yang telah diperintahkan oleh Demangnya untuk menjaga kubur atas permintaan sekelompok prajurit Pajang yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru. Tetapi orangorang upahan ini bukannya pengawal-pengawal Kademangan. Mereka adalah orang-orang yang disegani di Kademangan mereka karena petualangan mereka. Ternyata menghadapi keadaan terakhir, mereka tidak lagi hanya berempat, tetapi mereka menjadi berenam. Sejenak kemudian, orang-orang itupun telah mulai menyerang. Tiga orang berusaha menangkap Pangeran Benawa, tiga lainnya berusaha menangkap Kiai Gringsing. Namun ternyata bahwa kedua orang itu benar-benar diluar dugaan. Mereka mengira bahwa mereka akan segera dapat menangkap keduanya dan memaksa keduanya berbicara. Tetapi ternyata perhitungan mereka kehru. Keduanya mampu bergerak cepat, menghindari tangantangan mereka yang terjulur. “Sekarang menjadi semakin jelas,“ geram pemimpin sekelompok orang-orang berkuda itu, “kalian

bukan orang kebanyakan. Kalian mampu menghindari tangkapan kami meskipun kami memang belum bersungguh-sungguh. Tetapi apa yang kalian lakukan menunjukkan kepada kami, bahwa kalian memiliki kemampuan untuk membela diri. Kalian memiliki ilmu yang dapat kalian banggakan, sehingga kalian berani menentang kehendak kami. Tetapi giambaran dibenak kalian itu keliru. Jika kalian mampu meloncat-loncat pada langkah-langkah pertama ini, bukan berarti bahwa kalian akan dapat melepaskan diri dari tangantangan kami. Semakin sulit kami menangkap kalian, maka nasib kalian akan menjadi semakin buruk. Namun kalian tidak akan mungkin lepas dari tangan kami.” Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi merekapun segera mempersiapkan diri. Kemarahan orang-orang itu agaknya menjadi semakin memuncak, sehingga yang akan mereka lakukanpun akan menjadi semakin garang. Ternyata bahwa dugaan mereka benar. Orang-orang itu nampaknya benar-benar ingin melumpuhkan kedua orang yang menurut perasaan mereka, telah menghina dan membuat mereka marah. “Asal aku tidak membunuhnya, maka mereka masih akan dapat diperas keterangannya. Tetapi mereka harus menyadari, bahwa mereka telah membuat kami marah,“ geram seorang yang bertubuh pendek didalam hatinya. Orang-orang yang marah itupun kemudian bergerak semakin cepat. Mereka mulai mengarahkan segenap kemampuan yang ada pada mereka, agar mereka segera dapat menyelesaikan pekerjaan mereka. Ternyata bahwa orang-orang yang sudah biasa melakukan petualangan itu memiliki kemampuan yang cukup. Bertiga, mereka memang harus diperhitungkan. Namun yang tidak segera dapat dimengerti oleh orangorang itu adalah, bahwa lawan mereka ternyata memiliki kemampuan untuk mengimbangi masing-masing tiga orang diantara mereka. Semula mereka mengira, bahwa setiap orang dari kedua orang itu, tidak akan mampu melawan jika mereka harus bertempur seorang melawan seorang. Jika mereka berpapasan tiga orang, maksud mereka agar mereka segera dapat menangkap kedua orang itu hidup-hidup. Ternyata bahwa kedua orang itu adalah orang yang luar biasa. Dengan cepatnya keduanya selalu berhasil menghindari serangan-serangan ketiga orang lawannya. Semakin lama, kemarahan orang-orang itu menjadi semakin memuncak. Mereka didalam petualangan, memang tidak terbiasa mengekang diri. Mereka terbiasa membiarkan kemarahan mereka membakar setiap tata gerak mereka, sehingga orang-orang yang menjadi sasaran akan segera mereka lumatkan. Untuk beberapa saat, mereka masih berusaha untuk mengalahkan lawan mereka tanpa membunuhnya. Tetapi karena yang mereka lakukan nampaknya sia-sia saja, maka merekapun mulai kehilangan

pengekangan diri. Seperti yang dikatakan oleh pemimpin mereka, bahwa sikap dan tata gerak merekapun menjadi semakin kasar, dan bahkan semakin liar. Mereka tidak lagi mengekang diri. Lambat laun mereka mulai terlupa, bahwa mereka memerlukan kedua orang itu sebagai bahan yang akan dapat banyak memberikan keterangan kepada mereka. Dengan demikian, maka pertempuran itupun menjadi semakin lama semakin cepat. Ketiga orang disetiap arena itupun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Tetapi sama sekali tidak terbayang, bahwa mereka akan segera dapat mengalahkan lawannya. Pemimpin kelompok itu semakin lama menjadi semakin kehilangan kesabaran. Dua orang yang disangkanya tidak akan dapat bertahan sepenginang itu, ternyata licin seperti belut. “Pantas ia mempunyai niat untuk memasuki pendadaran untuk menjadi prajurit,“ berkata pemimpin kelompok itu didalam hatinya, “agaknya ia memang mempunyai bekal. Bahkan mungkin sekali ia akan berhasil seandainya malam ini nasibnya tidak terlalu buruk.” Namun betapapun juga, maka keenam orang itu sama sekali tidak berhasil menangkap lawannya. Karena itu, maka satu dua orang diantara mereka menjadi tidak sabar lagi, sehingga orang bertubuh pendek itulah yang pertama-tama menarik pedangnya sambil berteriak, “Aku ingin mematahkan lenganmu. Kau akan kami paksa berbicara meskipun kau tidak lagi berlengan.” “Tetapi jangan kau bunuh mereka,“ geram pemimpinnya. “Kita memang bermaksud demikian. Tetapi jika mereka tetap berkeras kepala, maka lebih baik membunuh mereka daripada membiarkan mereka lari, karena akibatnya akan sama saja bagi kita. Kita tidak akan mendapat keterangan apa-apa,“ sahut orang bertubuh pendek itu. Ternyata kemudian, bukan saja orang bertubuh pendek itu sajalah yang menarik senjata mereka. Agaknya kemarahan telah memuncak dan mereka tidak lagi dapat bersabar menghadapi Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing yang selalu berhasil menghindari serangan-serangan lawannya. “Kami sudah bersenjata,” berkata orang berjambang, “karena itu jangan keras kepala. Kami masih mem.punyai sisa kesabaran jika kalian segera menyerah. Tetapi jika tidak, maka mungkin sekali senjata kami akan menggores tubuh kalian, sehingga kalian akan terluka. Bahkan mungkin lebih dari itu. Ujung senjata kami ternyata terlalu dalam menghunjam kedalamdada kalian sehingga kalian akan terbunuh dibulak ini. Dengan demikian maka anak muda itu tidak akan pernah mendapat kesempatan mengikuti pendadaran untuk menjadi seorang prajurit.” Pangeran Benawa melangkah surut. Dengan nada dalam ia menyahut, “Kalian memang orang-orang aneh. Sudah aku katakan, bahwa kami berdua tidak tahu menahu tentang orang-orang yang datang kekuburan itu. Tetapi kalian memaksa kami untuk menyerah dan berbicara. Seandainya kami mengerti,

apa yang harus kami katakan, maka aku kira kalian tidak perlu memaksa kami. Kami akan mengatakan apa yang kami ketahui. Sama sekali tidak perlu dengan segala macam cara seperti yang kalian lakukan, karena sebenarnyalah kami bukan anak-anak yang dapat kalian takut-takuti. Aku sudah cukup dewasa sehingga aku sudah siap untuk turun kaerena pendadaran. Karena itu, maka sebaiknya kalian urungkan saja niat kalian. Sarungkan senjata kalian, dan biarkan kami berdua meninggalkan tempat ini.” “Persetan,“ geram orang berjambang, “kau licik. Kau berusaha mempengaruhi kami. Tetapi usaha yang licik itu sama sekali tidak berarti. Kami tetap pada sikap kami. Menangkap kalian dan memaksa kalian untuk berbicara. Kecuali jika kalian akan melakukannya dengan suka rela, maka kami akan berlaku baik terhadap kalian.” “Kami tidak mengetahui apa-apa. Seandainya kami akan mati sekalipun, kami tidak akan pernah dapat mengucapkan sepatah katapun seperti yang kalian maksud,“ jawab Pangeran Benawa. Orang-orang itu menjadi semakin marah. Keenam orang itu sudah bersenjata. Mereka sudah siap untuk menyerang. Melukai tubuh kedua orang yang keras kepala itu. Jika perlu, dengan hukum picis, keduanya harus mengatakan siapakah mereka sebenarnya. Kiai Gringsing menjadi ragu-ragu. Jiga ketiga orang itu memiliki ilmu pedang yang baik, maka ia akan mengalami kesulitan. Tetapi sudah barang tentu ia tidak akan dapat mengurai cambuknya dan melawan dengan senjatanya, karena dengan demikian, maka orang-orang itu akan dapat mengenalnya, sebagai orang bercambuk. Orang bercambuk pada umur setua dirinya saat itu, tidak ada dua atau tiga yang berkeliaran didaerah Pajang, kecuali seseorang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing. Karena itu, maka Kiai Gringsing itupun tidak segera dapat mengimbangi senjata-senjata mereka dengan senjata. Yang dilakukannya kemudian adalah berusaha untuk menghindarkan diri dari patukan senjata-senjata lawan. Meskipun tidak berjanji, tetapi baik Pangeran Benawa, maupun Kiai Gringsing berusaha, agar lawanlawan mereka tidak menjadi curiga, bahwa keduanya adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang jarang ada bandingnya. Jika Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa dengan serta merta mengalahkan lawan mereka dengan ilmu mereka yang untuk menilaipun agaknya terlalu sulit bagi lawannya, maka keenam orang itu tentu akan makin bertanya-tanya, siapakah sebenarnya keduanya. Karena itu, bagaimanapun juga, maka mereka berusaha untuk menghindarkan diri dari senjata lawannya dengan cara yang wantah dan bahkan seolah-olah keduanya benar-benar terdesak. Meskipun demikian, bahwa keenam orang itu tidak segera dapat menguasai awannya, benar-benar membuat mereka menjadi sangat marah.

Kiai Gringsing yang mula mula merasa ragu akan kemungkinan bahwa lawannya memiliki ilmu pedang yang baik, ternyata tidak perlu mencemaskannya lagi. Ternyata bahwa kemampuan lawanlawannya memang sangat terbatas, meskipun mereka adalah petualang-petualang yang memiliki pengalaman yang luas. Dalam pada itu, ternyata Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing berhasil memaksa lawannya memeras tenaga mereka, sehingga keenam orang itupun kemudian semakin lama menjadi semakin kehilangan kemampuan untuk bergerak dengan cepat. Akhirnya, keenam orang itu benar-benar tidak berdaya lagi menghadapi kedua lawannya. Jika mereka masih melangkah satu-satu, ternyata bahwa mereka tidak lagi dapat berbuat apapun juga. Karena itulah, maka mereka tidak mampu lagi mencegah ketika Pangeran Benawa dan Kiai Gringsingpun kemudian meninggalkan mereka menuju kekuda mereka yang tertambat. “Jangan lari,“ teriak pemimpin kelompok orang berkuda itu. Tetapi ia tidak mampu melangkah secepat Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa. Ketika dengan tertatih-tatih orang itu maju satu dua tapak, maka Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing sudah berada dipunggung kuda mereka. “Sudahlah Ki Sanak,“ berkata Pangeran Benawa, “lebih baik aku menyingkir. Besok aku harus mengikuti pendadaran. Karena itu, sebaiknya kami berdua tidak terlalu lama melayani kalian. Lebih baik kalian segera kembali ketugas kalian, menjaga kubur itu. Bukankah kalian sudah menerima upah untuk itu.” “Licik, pengecut. Marilah, kita akan menentukan siapa yang menang diantara kita,“ geram orang berjambang yang berdiri bertelekan senjatanya. “Jangan berpura-pura tidak melihat kenyataan,“ jawab Pangeran Benawa, “sudahlah. Pada suatu saat aku akan kembali setelah aku diterima menjadi prajurit Pajang. Pertempuran kecil ini agaknya justru menjadi latihan terakhir menjelang hari pendadaranku. Terima kasih atas kesediaan kalian menemani aku berlatih.” “Gila,“ geram orang bertubuh pendek, “pada suatu saat kami akan mencincangmu.” “Terlambat. Besok lusa aku sudah prajurit. Jika kau mencincang seorang prajurit, maka kau akan menjadi buruan,“ jawab Pangeran Benawa. “Gila. Cegah mereka,“ teriak orang bertubuh pendek itu.

Tetapi tidak seorangpun yang dapat lari kekuda mereka dan mengejar kedua orang itu, ketika keduanya meninggalkan mereka. Keduanya sama sekali tidak tergesa-gesa. Tidak mencambuk kudanya agar berlari sekencang angin. Tetapi kuda-kuda itu berlari dengan kecepatan sedang, memasuki gelapnya malam. Orang-orang yang kelelahan itu saling berpandangan. Betapapun mereka berteriak-teriak, tetapi ada keseganan untuk benar-benar mengejar keduanya, karena mereka memang tidak dapat mengingkari kenyataan. Meskipun keenam orang itu didalam hati mengagumi lawan mereka yang bukan saja tidak dapat mereka kalahkan, tetapi keduanyasama sekali juga tidak berusaha menyakiti mereka berenam, namun mereka tidak mempunyai tanggapan yang berlebih-lebihan terhadap keduanya. Bagi mereka, kedua orang itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi karena keduanya tidak dengan sengaja memamerkan puncak ilmu mereka, maka mereka menganggap bahwa anak muda itu benar benar dalam perjalanan untuk memasuki pendadaran. Mereka sama sekali tidak sampai ketingkat dugaan yang lebih tinggi lagi, betapapun mereka menyimpan keheranan didalam hati. Karena itulah, maka mereka tidak akan pernah sampai kepada dugaan, bahwa salah seorang dari keduanya adalah Pangeran Benawa yang memiliki kemampuan tanpa tanding sehingga sulit untuk membayangkannya. “Orang-orang aneh,” desis pemimpin kelompok itu. “Mereka ternyata amat sombong,“ desis orang bertubuh pendek. “Yang muda itu sedang mempersiapkan diri untuk menjadi seorang prajurit. Karena itulah agaknya mereka menghindari perbuatan yang dapat mengganggu usahanya itu.” Tiba-tiba saja salah seorang dari keenam orang itu berdesis, “Mudah-mudahan anak muda itu dapat diterima.” Kawan-kawannya berpaling kepadanya. Yang berjambang bertanya, “Kenapa ?” “Mereka orang baik. Pada saat kami sudah kehabisan tenaga, mereka meninggalkan kami tanpa menyakiti tubuh kami,“ jawab orang itu. “Tetapi sikapnya itu sangat menyakiti hati kami,“ jawab orang bertubuh pendek. “Aku sama sekali tidak bersakit hati,“ jawab orang itu, “aku sudah lama kehilangan harga diri. Sejak kami berenam melawan keduanya, bukanlah kami tidak menghiraukan lagi harga diri kami.” Kawan-kawannya tidak menjawab. Mereka tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Apalagi merekapun sadar, jika kedua orang itu mau. maka mereka akan dapat dijadikan batang-batang tubuh yang tidak bernyawa lagi.

Akhirnya pemimpin kelompok itu berkata, “Kita kembali ke kuburan. Kita tidak lagi berempat. Kita tetap berenam. Bagaimanapun juga kita tetap mencurigai kedua orang itu.” “Aku tidak,“ jawab orang yang menganggap kedua “Orang itu orang-orang yang baik, jika benar-benar mereka berniat buruk, aku kira mereka tidak perlu sekedar mengamati, menilai dan kemudian memanggil kawan-kawannya. Keduanya sudah cukup mampu untuk melakukan tanpa orang lain.” Pemimpin kelompok itu tidak menyahut. Ia mengakui kebenaran jawaban itu, bahwa berdua mereka akan dapat berbuat sesuatu jika dikehendaki. “Sudahlah,“ berkata pemimpin kelompok itu, “kita kembali kepada tugas kita. Jika kita terlalu lama disini, mungkin seseorang telah mempergunakan kesempatan ini.” Sekelompok penjaga kubur yang gagal menangkap kedua orang yang mereka curigai itupun segera berpacu kembali. Mereka langsung menuju kekuburan dan meneliti keadaannya. “Tidak ada apa-apa,“ desis pemimpin kelompoknya. “Keenam orang itupun kemudian duduk diregol kuburan. Mereka bergantian beristirahat. Tubuh mereka yang letih terasa sangat lemah. Sehingga karena itu, maka tiga orang diantara merekapun segera tertidur nyenyak, sementara tiga orang yang lain berjagajaga dengan penuh kewaspadaan. Yang terjadi pada saat-saat terakhir membuat mereka merasa perlu untuk lebih berhati-hati, sehingga mereka telah memanggil dua orang kawan lagi, sehingga mereka menjadi berenam. Dalam pada itu. Kiai Gringsing dan Pangeran Benawapun telah menjadi semakin jauh. Sekali-sekali mereka masih menoleh. Tetapi mereka yakin bahwa tidak akan ada seorangpun yang akan mengejar mereka. “Mudah-mudahan mereka tidak melihat sesuatu yang dapat menumbuhkan keheranan yang berlebihlebihan,“ berkata Pangeran Benawa. “Tetapi pertanyaan yang timbul pada mereka, timbul pula dihatiku Pangeran,“ desis Kiai Gringsing. “Ya. Akupun bertanya-tanya pula,“ desis Pangeran Benawa, “terutama kelompok yang kedua, yang oleh para penjaga itu disangka bahwa kita termasuk diantara mereka.” “Apakah mungkin mereka prajurit yang mempunyai kecurigaan yang sama seperti kita dan angger

Untara,“ desis Kiai Gringsing. “Memang mungkin. Tetapi agaknya mereka tidak mendapat keterangan yang meyakinkan. Agaknya mereka tidak tahu, bahwa kelompok yang terdahulu telah memindahkan kubur orang yang disebut Ki Pringgajaya itu.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Tetapi mereka tidak akan kembali. Tentu merekapun tidak ingin diketahui bahwa mereka telah mencurigai kematian Ki Pringgajaya. Jika ada petugas lain yang melakukan, tentu dengan cara yang lain pula.” Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Mereka berduapun berkuda terus didalam kelamnya malam. Untuk sesaat mereka saling berdiam diri. Namun kemudian Pangeran Benawa itu berkata Kiai, bagaimana sebaiknya dengan Untara menilik perkembangan pertimbangan kita yang terakhir. Apakah Untara sebaiknya mengetahui atau tidak ?” “Pangeran, aku condong untuk melaporkan perjalanan ini kepada angger Untara, tetapi dengan satu permintaan,“ sahut Kiai Gringsing. “Permintaan apa ?” bertanya Pangeran Benawa. “Aku akan mohon agar angger Untara berpura-pura mempercayai bahwa Ki Pringgajaya benar sudah terbunuh,“ jawab Kiai Gringsing. Pangeran Benawa tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Bagus Kiai. Aku sependapat. Untara harus menunjukkan suatu sikap, bahwa ia percaya. Dengan demikian Ki Pringgajaya yang sebenarnya masih hidup itu akan merasa tidak mendapat perhatian lagi dari Untara, sehingga ia tidak akan terlalu rapat bersembunyi.“ Pangeran Benawa berhenti sejenak, lalu. “tetapi Agung Sedayu dan Sabungsaripun harus mengetahui bahwa Ki Pringggajaya masih hidup. Gembong Sangiranpun masih hidup. Bukankah begitu ?” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa orang-orang itu tentu mendendam semakin dalam terhadap Agung Sedayu dan Sabungsari. Demikianlah keduanya menempuh perjalanan didalam gelapnya malam. Tetapi mereka memang bertekad untuk langsung memasuki Kota Raja. Seperti saat-saat berangkat, maka disaat kembali kepadepokan kecil di Jati Anom, Kiai Gringsingpung hanya seorang diri. Setelah Kiai Gringsing mengenakan kebiasaannya kembah tanpa kumis yang keputih-putihan, maka iapun memasuki padepokannya setelah beberapa hari menempuh perjalanan bersama Pangeran Benawa dalam ujud yang lain, sehingga pada saat memasuki istananya. Pangeran Benawapun harus berganti baju pula dengan bajunya yang ditaruhnya didalam kampil yang tergantung pada kudanya. Tetapi para pengawal istana Pangeran Benawa tidak terkejut lagi melihat Pangeran itu datang dilewat tengah malam, atau didini hari, atau lewat senja, atau pada saat yang bagaimanapun juga.

Yang menjadi gembira adalah seisi padepokan kecil di Jati Anom ketika mereka melihat Kiai Gringsing memasuki regol padepokan. Beberapa orang telah menyongsongnya. Bahkan para prajurit yang ditempatkan dipadepokan itu oleh Untarapun telah menyambutnya pula. Demikian juga Ki Patrajaya dan Ki Wirayuda, dua orang lurah dari petugas sandi yang khusus ditempatkan dipadepokan itu oleh Untara. Setelah mencuci kaki dan tangannya, dan setelah menjawab beberapa pertanyaan dan ucapan selamat datang, maka Kiai Gringsingpun langsung pergi mendapatkan Agung Sedayu dan kemudian Sabungsari. Ternyata keduanya sudah berangsur baik. Keduanya sudah tidak lagi berbaring dengan wajah yang putih seperti kapas. Agung Sedayu dan Sabungsari telah dapat duduk dibibir pembaringan. Bahkan mereka telah mencoba untuk berjalan-jalan keluar dari dalam bilik mereka dan duduk bersama para cantrik dan para prajurit. Tetapi mereka masih belum dapat berbuat sesuatu yang mempergunakan kekuatan meskipun kecil, karena dengan demikian, maka luka-luka mereka akan tertanggu. Beberapa orang, terutama para prajurit telah menghujani Kiai Gringsing dengan berbagai pertanyaan. Tetapi sambil tersenyum Kiai Gringsing menjawab, “Aku akan beristirahat. Nanti setelah aku merasa segar kembali, aku akan berceritera tentang perjalanan yang sangat menarik.” Beberapa orang nampak kecewa. Tetapi mereka tidak dapat memaksa agar Kiai Gringsing menceriterakan perjalanannya. Karena itu, betapapun keinginan mereka mendengar, terutama yang bersangkutan dengan perkembangan terakhir di Kota Raja dan peristiwa-peristiwa lain yang menyangkut padepokan kecil itu. Sebenarnyalah bahwa Kiai Gringsing masih ingin berbicara dengan Widura dan kemudian Untara. Baru kemudian beberapa persoalan akan dapat dikemukakan kepada orangorang yang ingin mengetahui hasil perjalanannya. Karena itu, maka orang-orang di padepokan kecil itu merasa kecewa karena mereka masih harus menunggu lagi. Setelah beristirahat sejenak, maka Kiai Gringsing dan Ki Widura telah pergi menghadap Ki Untara. Demikian terbatasnya persoalan yang mereka bicarakan, maka tidak ada orang lain yang mendengar, kecuali Untara sendiri, apa yang telah diketahui dan dialami oleh Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa diperjalanan. “Jadi Kiai melakukan perjalanan ini bersama Pangeran Benawa ?“ bertanya Untara. “Ya ngger. Mungkin satu kebetulan telah terjadi, tetapi mungkin pula karena kami berdua sama-sama ingin mengerti, bagaimanakah persoalan yang sebenarnya tentang Ki Pringgajaya itu,“ jawab Kiai

Gringsing. “Dan Kiai yakin bahwa yang dikubur dan disebut Ki Pringgajaya itu sama sekali bukan Ki Pringgajaya,“ Untara meyakinkan. “Aku yakin dan pasti,“ jawab Kiai Gringsing, “tetapi seperti yang sudah aku katakan, aku mohon hal ini dapat dibatasi, sehingga Pringgajaya tidak terlalu rapat bersembunyi, karena ia mengira bahwa tidak ada orang lain yang mengetahui bahwa rahasianya telah didengar oleh angger Untara.” “Apakah sekelompok orang yang membongkar kuburan itu tidak membuat Ki Pringgajaya menyadari bahwa rahasianya telah terbuka ?“ bertanya Untara. “Kami mempunyai dugaan yang kuat, bahwa orang-orang itu adalah orang-orang Ki Pringgajaya sendiri,“ jawab Kiai Gringsing. Untara mengangguk-angguk, sementara Widurapun bertanya, “Apakah Kiai tidak dapat menduga sama sekali, kelompok yang manakah yang datang kemudian, tetapi yang ternyata telah terusir.” Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya, “Aku sama sekali tidak dapat menduga. Bahkan Pangeran Benawapun tidak. Namun demikian Pangeran Benawa menyinggung satu kemungkinan, menilik cara mereka bertempur yang tertib dan dalam ikatan yang hampir sempurna, bahwa mereka adalah petugas-petugas sandi khusus dari Pajang. Meskipun demikian, Pangeran Benawa tidak berani menyebutnya demikian.” Ki Widura dan Untara mengangguk-angguk. Namun merekapun dapat membayangkan, apa yang sudah terjadi dan dapat menarik beberapa kesimpulan yang tidak bertentangan dengan pendapat Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa. “Agaknya pendapat Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa itu benar. Kita harus berpura-pura bahwa rahasia kematian Ki Pringgajaya masih belum kita ketahui,“ berkata Untara, “karena itu, aku akan menyebarkan hal itu sebagai satu keyakinan, bahwa Ki Pringgajaya benar-benar sudah mati dan tidak perlu dipersoalkan lagi.” “Ya anakmas. Tetapi seperti pesan Pangeran Benawa, Agung Sedayu dan Sabungsari sendiri harus mengetahuinya, sehingga mereka akan tetap berhati-hati,“ berkata Kiai Gringsing. Untara mengangguk-angguk. Hampir semua yang dikatakan oleh Kiai Gringsing tidak ada yang bertentangan dengan pendapat Untara sendiri. Karena itu, maka Untarapun kemudian berkata, “Kiai, aku dapat mengikuti semua jalan pikiran Kiai dan Pangeran Benawa dalam persoalan ini. Karena itu, masalah Agung Sedayu dan Sabungsari aku serahkan kepada Kiai.” “Ya ngger. Dengan demikian, maka kepada orang-orang lain, bahkan kepada para prajurit, aku akan mengatakan bahwa aku telah yakin, Ki Pringgajaya telah mati.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu. “tetapi bagaimana dengan kedua petugas sandi yang angger letakkan di Padepokan kami.”

“Tolong Kiai, perintahkan mereka menjumpai aku. Keduanya bagiku adalah orang-orang yang dapat dipercaya. Namun agaknya mereka tidak melakukan penyelidikan secermat Kiai dan Pangeran Benawa. Aku sendiri akan memberitahukan kepada mereka tentang hal ini.” “Baik ngger. Biarlah mereka menghadap angger, sementara aku akan berceritera tentang perjalananku kepada orang-orang yang ada dipadepokan, termasuk para prajurit.” Kiai Gringsingpun memberikan pokok-pokok persoalan yang akan diceriterakannya kepada orangorang dipadepokannya, agar jika pada suatu saat seorang prajurit menghadap Untara dan berbicara tentang perjalanan Kiai Gringsing, maka Untara tidak akan terkejut lagi. Demikianlah setelah segalanya sesuai, maka Kiai Gringsing dan Widurapun minta diri, kembali kepadepokan kecil yang masih selalu mendapat pengawasan dari beberapa orang prajurit Pajang di Jati Anom. Dalam pada itu, ketika Kiai Gringsing kembali ke Jati Anom, maka ia tidak dapat mengelak lagi. Seribu pertanyaan beruntun datang seperti datangnya banjir, susul menyusul. Yang satu belum dijawab, maka yang lain telah mengajukan pertanyaan lain. Bahkan Glagah Putih telah mendesak orangorang lain yang duduk melingkari Kiai Gringsing di pendapa, sehingga orangorang lain itu terpaksa bergeser setapak. Pada kesempatan itu Agung Sedayu dan Sabungsari juga hadir dipendapa meskipun mereka hanya duduk-duduk saja sambil tersenyum-senyum. Ada sepercik kekecewaan dihati mereka, bahwa ternyata Ki Pringgajaya benar-benar telah mati, justru dalam peristiwa yang tidak ada hubunganya sama sekali dengan kecurangan-kecurangan yang pernah dilakukannya di Jati Anom. Dengan demikian, maka jalur pengusutan terhadap orang-orang lain yang mungkin terlibatpun telah terputus pula karenanya. Namun ternyata pada suatu saat yang lain, keduanya telah dipanggil menghadap oleh Kiai Gringsing dan Widura. Sekali lagi Glagah Putih merasa kecewa, bahwa ia masih saja dianggap anak anak yang tidak berhak mendengarkan persoalan-persoalan yang dianggap penting oleh orang-orang dewasa. “Kapan aku dianggap dewasa oleh ayah dan kakang Agung Sedayu,“ Glagah Putih menggeram. Tetapi ia tidak dapat memaksa untuk memasuki bilik Agung Sedayu, meskipun ia selalu tidur di dalam bilik itu pula. Oleh perasaan kesal, maka iapun kemudian memasuki bilik Sabungsari yang kosong dan mencoba untuk tidur dipembaringan anak muda itu. Tetapi Glagah Putih terkejut, bahwa sebelum ia sempat menyingkirkan perasaan kesalnya, Sabungsari telah memasuki biliknya. Ketika ia melihat Glagah Putih berbaring dipembaringannya, katanya, “Silahkan Glagah Putih. Jika kau sempat tidur disitu, tidurlah. Aku masih ingin duduk sejenak dipendapa bersama kawan-kawan.”

Glagah Putih yang kemudian bangkit dan duduk dibibir pembaringan bertanya, “Bukankah kau dipanggil Kiai Gringsing dan ayah dibilik Agung Sedayu ?” “Ya. Kiai Gringsing hanya melihat luka-lukaku sebentar. Kemudian aku diperbolehkannya pergi,“ jawab Sabungsari. “Dimana kakang Agung Sedayu sekarang ?“ bertanya Glagah Putih. “Didalam biliknya. Tetapi mungkin pula ia berada dipendapa,“ jawab Sabungsari. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Tetapi sebenarnyalah bahwa Sabungsari hanya berada beberapa saat yang pendek saja didalam bilik Agung Sedayu. Glagah Putih itupun kemudian justru dengan tergesa-gesa meninggalkan bilik Sabungsari untuk melihat bilik Agung Sedayu. Ia melihat bilik itupun terbuka, sementara Agung Sedayu tidak ada didalamnya. Ketika Glagah Putih pergi kependapa, ia melihat Agung Sedayu duduk bersandar tiang sambil bercakap-cakap dengan Ki Widura. Tetapi Kiai Gringsing tidak dilihatnya bersama mereka. Glagah Putih yang kemudian duduk bersama mereka tidak bertanya apapun juga kepada Agung Sedayu. Tetapi disorot matanya Agung Sedayu melihat pertanyaan itu bergelut dihatinya. Namun demikian Agung Sedayu tidak dapat mengatakan sesuatu tentang pertemuannya yang pendek dengan Kiai Gringsing dan Sabungsari. Agaknya Kiai Gringsing telah berusaha menghindari kecurigaan seseorang, bahwa mereka telah melakukan pembicaraan rahasia, setelah Kiai Gringsing mengatakan bahwa Ki Pringgajaya benar-benar telah mati. Karena itulah maka Kiai Gringsing hanya memerlukan waktu yang sangat singkat untuk menjelaskan kepada Agung Sedayu dan Sabungsari, bahwa sebenarnya Ki Pringgajaya masih hidup. Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa yakin akan hal itu. Karena itulah maka kedua anak-anak muda itu harus berhati-hati menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang masih akan datang. Selain Ki Pringgajaya, maka Gembong Sangiranpun masih hidup juga. Iapun tentu menyimpan dendam dihatinya. Kematian muridnya yang terpercaya dan bahwa ada pula yang telah tertangkap dipadepokan itu tentu tidak akan mudah dapat dilupakannya. Dalam saat yang pendek itu Kiai Gringsing berpesan, “Selama kalian masih sangat lemah, biarlah aku mohon Ki Untara membiarkan beberapa orang prajuritnya ada disini. Ki Untarapun telah mendengar tentang Ki Pringgajaya seperti yang aku katakan kepada kalian. Tetapi Ki Untarapun akan mengatakan kepada setiap orang, kepada prajuritprajuritnya, bahwa Ki Pringgajaya telah benar-benar dinyatakan mati, sesuai dengan pernyataan resmi dari lingkungan keprajuritan Pajang. Namun berita yang kemudian tersebar di Jati Anom adalah berita seperti yang dikehendaki oleh Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa. Meskipun dalam setiap keterangannya, kecuali kepada Untara, Kiai

Gringsing tidak menyebut-nyebut nama Pangeran Benawa. Seperti yang diperhitungkan, maka berita kepastian kematian itu sampai pula ketelinga para pengikut Ki Pringgajaya. Sebagian besar dari merekapun menganggap bahwa Ki Pringgajaya memang sudah mati. Namun satu dua orang terpenting yang mendapat kepercayaan, mengetahui dengan pasti apa yang telah terjadi. Ketika dua orang diantara mereka yang terpercaya dari lingkungan Ki Pringgajaya itu mendengar ceritera tentang perjalanan Kiai Gringsing tanpa menyebut nama Pangeran Benawa, maka kedua orang itu tertawa. Yang seorang berkata, “Ternyata orang tua bercambuk yang disebut mumpuni itupun tidak mampu mengungkap peristiwa yang terjadi itu.” “Iapun manusia terbatas seperti kita. Apakah kau kira orang tua itu memiliki penglihatan yang dapat menembus tirai baja ?“ desis kawannya. Yang lain mengangguk-angguk. Katanya, “Ki Pringgajaya harus mendapat laporan tentang kepastian pihak prajurit Pajang di Jati Anom, bahwa merekapun mengakui berita itu.” “Nampaknya mula-mula mereka memang curiga. Ternyata Untara telah mengirim orang yang paling mumpuni dilingkungan padepokan kecil itu,“ desis kawannya. “Tetapi mungkin atas kehendak Kiai Gringsing itu sendiri. Ialah yang mempunyai kecurigaan yang kuat, sehingga ia memerlukan pergi menelusuri jalan yang disebut oleh Ki Tumenggung Prabadaru, dimana Ki Pringgajaya itu terbunuh.” Keduanyapun tertawa pula berkepanjangan. Yang seorang berkata pula, “Yang kemudian akan tetap terselubung adalah Ki Pringgajaya. Dengan nama lain ia dapat berbuat apa saja tanpa pengawasan, karena tidak ada orang yang menganggapnya masih hidup.” “Tetapi bagaimana jika seseorang tiba-tiba saja menjumpainya, “bertanya yang seorang. “Ki Pringgajaya tentu akan mengenakan penyamaran yang rapat. Tetapi bahwa setiap orang telah menganggapnya mati, maka orang tidak akan mudah mengenalinya sebagai Ki Pringgajaya. Mungkin satu dua orang merasa bertemu dengan seseorang yang mirip dengan Ki Pringgajaya. Tetapi itu bukan berarti bahwa Ki Pringgajaya harus melepaskan kewaspadaan,“ jawab yang lain. Dalam pada itu, setiap orang pengikut Ki Pringgajayapun berpendapat demikian. Tetapi mereka sepakat bahwa Ki Pringgajaya untuk sementara masih harus bersembunyi, sampai saatnya orang lupa kepadanya, dan sama sekali tidak akan dapat mengenalnya lagi. jika ia memakai samaran sekedarnya saja. Tetapi Ki Tumenggung Prabadaru sendiri bertindak cukup hati-hati. Ia merupakan kecurigaan yang kuat dari Untara. Dan laporanpun telah sampai ketelinganya. beberapa peristiwa yang terjadi di

kuburan orang yang disebutnya Ki Pringgajaya itu. Tetapi keterangan terakhir mengatakan kepadanya, bahwa baik Untara maupun pihak-pihak lain yang menerima berita kematian Ki Pringgajaya dengan curiga, telah menjadi yakin, bahwa kematian Ki Pringgajaya itu adalah satu kenyataan. Karena itulah, maka ditempat yang terpencil, Ki Tumenggung Prabadaru yang datang dengan diamdiam telah menemui Ki Pringgajaya sendiri. “Kita berhasil,“ berkata Ki Tumenggung Prabadaru. Ki Pringgajaya tersenyum. Kemudian katanya, “Tugas kedaerah Wetan itu ternyata telah memberikan jalan keluar yang sangat baik bagiku. Tanpa perjalanan itu, aku tentu tidak akan dapat menghindarkan diri dari tangan Untara. Ia adalah seorang Senapati yang tidak dapat diajak berbicara dan mengambil langkah-langkah kebijaksanaan.” “Justru itu ia adalah seorang Senapati yang bijaksana,“ sahut Ki Tumenggung Prabadaru, “tetapi semuanya sudah lewat. Waktu akan menelan kecurigaan itu, sehingga akhirnya akan tidak pernah disinggung lagi.” Ki Pringgajaya mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Tetapi masih ada persoalan yang belum selesai.” Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Katanya, “Kau aneh. Kita baru dalam tingkat permulaan. Dipermulaan kerja besar ini kita sudah mengalami seribu kali kegagalan. Tetapi itu bukan apa apa dibanding dengan nilai yang ingin kita capai. Mungkin kita masih akan mengalami kegagalankegagalan lagi. Tetapi disamping kegagalan-kegagalan itu kita melihat kemajuan usaha kita pada lingkungan istana itu sendiri. Keterangan dan desakan yang tidak henti-hentinya, dan barangkali juga karena Sultan yang sakit sakitan itu sudah tidak dapat berpikir bening lagi. maka nampaknya benturan antara Pajang dan Mataram tidak akan dihindarkan lagi.” “Tetapi kapan hal itu akan terjadi ?“ bertanya Ki Pringgajaya, “Mataram nampaknya sudah menjadi semakin kuat. Bukankah benturan yang dimaksudkan adalah satu usaha untuk menghancurkan keduaduanya. Jika Mataram semakin lama menjadi semakin kuat sementara Pajang menjadi semakin ringkih, maka benturan itu tidak akan banyak berarti. Mataram akan dengan mudah mengalahkan Pajang, tanpa banyak memberikan korban dari prajurit-prajuritnya yang terbaik, sehingga setelah perang itu selesai. Mataram masih tetap kokoh dan tidak mudah untuk dikalahkan.” “Kakang Panji akan mengatur semuanya,“ jawab Ki Tumenggung Prabadaru, “tetapi kita memang wajib membuat perhitungan-perhitungan. Kita wajib menyampaikan pertimbangan-pertimbangan.” “Tidak mudah untuk bertemu dengan kakang Panji. Lewat kepercayaannya, kadang-kadang pendapat kita kurang mendapat perhatian,“ desis Ki Pringgajaya. “Kau terlalu mempersulit diri. Lakukanlah tugasmu. Pada saatnya kau akan bangkit dengan nama dan kedudukan yang lain. Kau harus merambah jalan menuju ke Mataram. Kau harus membersihkan rintangan-rintangan yang mungkin akan terdapat di jalur jalan ke Mataram itu. Pertempuran antara

prajurit Pajang dan Mataram harus merupakan pertempuran yang paling garang dan ganas dari segala pertempuran yang pernah kita saksikan, sepanjang kita menjadi prajurit. Korban harus jatuh sebanyakbanyaknya,“ berkata Ki Tumenggung Prabadaru. Ki Pringgajaya mengangguk-angguk. Sementara Ki Tumenggung Prabadaru itu berkata, “Prajurit Pajang harus berbenturan dengan prajurit Mataram langsung. Itulah sebabnya maka kekuatan kekuatan yang ada di Kademangan-kademangan dan padepokan-padepokan harus disingkirkan lebih dahulu.” Ki Pringgajaya tersenyum kecut. Katanya, “Itulah yang tidak mudah. Melakukannya jauh lebih sulit dari merencanakannya. Gembong Sangiran telah gagal. Ia telah kehilangan banyak pengikutnya. Meskipun dengan demikian kita akan dapat memanfaatkan dendamnya. Namun untuk waktu yang dekat, aku tidak akan dapat menemuinya. Kepada Gembong Sangiran, aku masih belum dapat mempercayainya sepenuhnya ia menjajakan kemampuannya. Dalam jual beli, maka akan berlaku pula kebiasaan menuntut harga setinggi-tingginya. Siapapun yang akan membelinya.” ***

Buku 134 TETAPI Ki Tumenggung Prabadaru menggeleng sambil berkata, “Kali ini tidak. Dendam Gembong Sangiran tidak akan dapat dibeli. Tetapi jika kita dapat memanfaatkannya, dengan dorongan janji beberapa keping emas, aku kira ia akan lebih garang lagi terhadap padepokan kecil itu. Tetapi tentu tidak sekarang, meskipun Agung Sedayu dan Sabungsari masih belum sembuh. Tetapi dipadepokan kecil itu terdapat banyak prajurit Untara yang berjaga-jaga, karena mereka mendapat alasan yang tepat dengan hadirnya Gembong Sangiran yang gagal itu.” Ki Pringgajaya hanya mengangguk-angguk. Tetapi nampak diwajahnya bahwa ia masih belum dapat meyakini pendapat Ki Tumenggung Prabadaru itu. Dalam pada itu, maka baik Ki Pringgajaya sendiri, maupun Ki Tumenggung Prabadaru berpendapat, untuk sementara Ki Pringgajaya masih harus memencilkan diri. Mereka masih menunggu, sehingga tidak lagi ada orang yang meragukan kematiannya. Dalam pada itu, Ki Tumenggung yang sudah berada kembali di Pajang itu sama sekali tidak menyadari, bahwa Pangeran Benawa sendiri ternyata menaruh banyak perhatian terhadapnya. Meskipun Pangeran Benawa belum pernah berhasil mengikuti kepergian Ki Tumenggung sehingga ia tidak mengetahui, hubungan apa saja yang pernah dilakukan orang-orang lain, namun Pangeran Benawa dalam penyamarannya pernah melihat Ki Tumenggung itu meninggalkan gerbang kota sampai dua kali. Yang menarik perhatian adalah, bahwa Ki Tumenggung Prabadaru itu pergi tanpa seorang pengawalpun, justru menjelang gelap. Pangeran Benawapun menyadari, bahwa Tumenggung Prabadaru bukan orang kebanyakan, sehingga untuk mengikutinya, diperlukan perhitungan yang lebih cermat. Apalagi dalam perjalanan berkuda, agaknya tidak mudah untuk melakukannya. Namun demikian. Pangeran Benawa mempunyai perhitungan bahwa kepergian Ki Tumenggung Prabadaru itu ada hubungannya dengan tempat persembunyian Ki Pringgajaya. Meskipun demikian, Pangeran Benawa tidak dapat bertindak dengan tergesa-gesa. Pada saat-saat tertentu ia masih ingin bertemu dengan Kiai Gringsing yang pernah diajaknya menempuh perjalanan yang khusus untuk menekuni sebuah kuburan. “Aku harus menemuinya,“ berkata Pangeran Benawa didalam hatinya. Tetapi Pangeran Benawa memang sangat berhati-hati. Perkembangan terakhir memang membuatnya berprihatin atas Pajang. Namun jika penyakitnya kambuh, maka ia menjadi acuh tidak acuh lagi terhadap keadaan di Pajang. Agaknya sikap ayahnya sebagai pribadi benar-benar telah mengecewakannya.

Tetapi Pangeran Benawa mempunyai sikap tersendiri untuk menyatakan kekecewaannya, sehingga karena itu, maka kadang-kadang orang menjadi sangat sulit untuk mengerti sikapnya. Sementara itu, dipadepokan kecil di Kademangan Jati Anom, Kiai Gringsing dengan tekun mengobati Agung Sedayu dan Sabungsari yang masih belum sembuh sama sekali. Meskipun demikian keadaannya setiap hari menjadi berangsur baik. Luka-luka mereka tidak terasa lagi. Namun tenaga mereka masih belum pulih kembali. Sementara itu padepokan Gunung Kendeng masih saja dibakar oleh dendam yang membara. Kematian orang-orangnya yang terbaik membuat Gembong Sangiran marah. Tetapi ia tidak dapat menolak kenyataan, bahwa padepokannya bagaikan telah menjadi lumpuh. Dengan cermat ia mempelajari kekalahannya. Kekalahan yang pernah dialami oleh orang-orang lain, termasuk Carang Waja, keluarga dari Pesisir Endut. “Jika aku berbuat sekali lagi, maka aku tidak boleh terperosok kedalam kegagalan yang sangat memalukan dan memunahkan isi perguruanku,“ berkata Gembong Sangiran didalam hatinya. Karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, serta kekhawatirannya bahwa prajurit Pajang akan datang kepadepokannya untuk menumpas apa yang tersisa, maka Gembong Sangiran telah menggeser padepokannya. Tidak terlalu jauh, tetapi jarak yang pendek itu, memungkinkannya untuk mengambil sikap tertentu jika benar-benar ada tindakan dari prajurit Pajang karena ia telah melakukan serangan atas padepokan kecil di Jati Anom itu, meskipun ia gagal. Tetapi Untara tidak mengambil tindakan demikian karena pertimbangan-pertimbangan tersendiri. Juga karena berita kematian Ki Pringgajaya serta atas dasar perhitungan-perhitungan lain. Untara ingin membiarkan padepokan Gunung Kendeng yang telah diketahui letak dan kegiatannya dari orang-orang yang berhasil ditangkap. Namun Untara masih berharap, bahwa padepokan itu akan menyerap beberapa orang yang penting dari dunia hitam dan mungkin akan dapat dipergunakan untuk mengamati kegiatan Ki Pringgajaya. Untara tidak menyadari, bahwa Ki Pringgajaya sendiri menaruh kecurigaan pula terhadap padepokan Gunung Kendeng, sehingga untuk sementara Ki Pringgajaya yang telah diberitakan mati itu, tidak membuat hubungan dengan padepokan Gunung Kendeng itu. Karena itu, maka petugas sandi yang dikirim oleh Untara khusus untuk mengamati padepokan Gunung Kendeng itu sama sekali tidak melihat hubungan itu, meskipun para petugas sandi itu berhasil mengetahui bahwa padepokan Gembong Sangiran telah bergeser. “Mereka telah membuka padepokan baru,“ berkata petugas sandi itu, “tidak terlalu jauh. Tetapi agaknya Gembong Sangiran cukup berhati-hati menghadapi perkembangan keadaan.”

Untara mendengarkan setiap laporan dengan saksama. Tetapi ia masih tetap menugaskan petugas sandinya untuk mengamati padepokan itu. “Biarlah padepokan itu tetap dalam keadaannya. Jangan diganggu. Justru kau harus mengawasi, apakah Ki Pringgajaya pernah datang ke padepokan itu,” pesan Untara, lalu. “tetapi ingat. Jika rahasia ini sampai merembes ketelinga orang lain, maka taruhannya adalah nyawamu.” Petugas sandi itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi mereka sudah menyadari, bahwa tugasnya memang memerlukan kesungguhan sikap dan pertanggungan jawab. Tetapi yang dilihat oleh para petugas sandi itu adalah kegiatan Gembong Sangiran yang semakin meningkat tanpa hubungan sama sekali dengan petugas-petugas dari Pajang, atau orang-orang lain yang datang dari lingkungan keprajuritan. Pada saat-saat tertentu yang nampak oleh para petugas sandi itu adalah orang-orang yang memiliki nafas kehidupan seperti orang-orang Gunung Kendeng itu sendiri, yang menurut dugaan para petugas sandi itu, bahwa mereka telah mempersiapkan padepokan itu untuk menjadi padepokan yang besar seperti masa yang lewat, sebelum padepokan itu kehilangan beberapa orang terbaiknya. Tetapi mengawasi padepokan Gunung Kendeng bukanlah tugas yang mudah. Karena itu, maka petugas sandi dari Jati Anom itu tidak dapat melihat keadaan padepokan itu setiap saat. Berganti-ganti para petugas mengamati keadaan padepokan itu dari jarak yang cukup jauh, sementara yang lain berada didalam hutan. Namun setelah beberapa hari hal itu mereka lakukan, sehingga mereka menjadi letih dan jemu, dengan kesimpulan bahwa Ki Pringgajaya tidak nampak datang kepadepokan itu, maka Untarapun mengambil sikap lain. Ia tidak dapat memaksa petugas sandinya untuk tinggal didalam hutan untuk waktu yang tidak terbatas. Karena itu, maka Untara mengambil cara lain untuk mengamati padepokan itu. Pada saat-saat tertentu sajalah petugas sandinya datang kepadepokan itu dan mengamatinya dari kejauhan. Dalam pada itu, selagi perhatian Untara sebagian besar ditujukan kepada Ki Pringgajaya, maka suasana Pajang menjadi semakin buram. Beberapa orang berhasil meniupkan kecurigaan yang meningkat terhadap Mataram. Meskipun beberapa kali Pajang mengirimkan beberapa orang ke Mataram, untuk meyakinkan, bahwa tidak ada persiapan perang di Mataram, namun sikap Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga yang keras itu, dapat dipergunakan untuk memperkuat setiap kecurigaan Pajang terhadap Mataram. Bahwa Senapati Ing Ngalaga tetap tidak mau datang menghadap ke Pajang, meskipun dengan alasan sentuhan atas harga dirinya, namun adalah satu kenyataan bahwa Mataram telah menggali jarak yang oleh pihak tertentu justru telah dengan sengaja memberikan gambaran bahwa jarak itu adalah jarak yang tidak dapat diseberangi. “Senapati Ing Ngalaga tidak mau datang menghadap,“

kenyataan itulah yang selalu disebut-sebut oleh beberapa orang dengan sengaja. Suasana itu membuat Sultan Pajang menjadi semakin berprihatin. Sikap Sutawijaya memang sulit untuk dimengerti oleh ayahanda angkatnya. Sementara itu sikap Pangeran Benawapun membuat Sultan Pajang menjadi semakin cemas. Dalam suasana yang demikian itulah Agung Sedayu dan Sabungsari berangsur menjadi pulih kembali kesehatannya. Mereka mulai membiasakan diri dengan gerak yang ringan. Setiap pagi mereka mulai jalan-jalan mengelilingi halaman dan kebun padepokan kecil itu. Namun semakin lama, mereka mulai dengan gerak yang semakin berat. Sementara itu, betapapun juga terasa oleh Sekar Mirah kegelisahan yang semakin meningkat. Ia tidak segera mendengar berita tentang keadaan Agung Sedayu. Apakah keadaannya sudah menjadi berangsur baik atau tidak. Akhirnya Sekar Mirah tidak dapat menahan hati lagi. Ketika desakan itu menjadi semakin kuat, maka ia mulai mengeluh kepada kakak iparnya. “Aku ingin menengoknya,“ berkata Sekar Mirah. Pandan Wangi dapat mengerti perasaan gadis itu. Karena itu, maka iapun berkata, “Aku akan menyampaikannya kepada kakang Swandaru.” Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Hati-hatilah. Kadang-kadang kakang Swandaru bersikap lain. Jika kau dapat menjelaskan perasaanku, agaknya ia tidak akan berkeberatan.” Pandan Wangi tersenyum. Katanya, “Aku akan mencobanya.” Demikianlah pada saat yang dianggap tepat oleh Pandan Wangi, maka iapun menyampaikan maksud Sekar Mirah untuk pergi ke Jati Anom, melihat keadaan Agung Sedayu. “Kita harus berjaga-jaga di Kademangan ini,“ berkata Swandaru. “Tetapi cobalah mengerti perasaan adikmu, kakang,“ berkata Pandan Wangi, “Agung Sedayu mempunyai tempat tersendiri didalam hatinya.” Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku mengerti. Tetapi apakah kepergiannya ke Jati Anom itu akan ada manfaatnya. Maksudku, dalam keadaan yang semakin gawat sekarang ini. Rasarasanya dendam terhadap padepokan itu masih tetap membara. Karena itu, maka perjalanan ke Jati Anom masih mungkin akan mengalami kesulitan, atau jika kita bersama-sama pergi Jati Anom, Kademangan inilah yang akan dapat mengalami kesulitan.” “Jarak antara Jati Anom dan Sangkal Putung tidak terlalu jauh. Kita dapat menyisihkan waktu

sebentar. Tentu disiang hari. Kita siapkan sejumlah pengawal terbaik untuk mengawasi keadaan Kademangan ini selama kita pergi,“ berkata Pandan Wangi, “jangan biarkan Sekar Mirah selalu dibayangi oleh mimpi buruk tentang seseorang yang selalu lekat dihatinya.” Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan. Dan iapun mulai memikirkan betapa gelisah adik perempuannya itu. “Baiklah,“ berkata Swandaru, “aku akan mengatur waktu yang paling baik.” “Tetapi jangan terlalu lama,“ berkata Pandan Wangi. Lalu, “Kau tentu mengerti, bahwa menahan perasaan rindu agaknya terlalu sulit bagi seorang gadis seperti Sekar Mirah.” Swandaru akhirnya tersenyum sambil berkata, “Baiklah. Aku akan berbicara dengan ayah.” Ketika kemudian Swandaru menyampaikan hal itu kepada ayahnya, maka Ki Demangpun tidak dapat menahannya. Tetapi ia minta agar Swandaru dapat mengatur segala sesuatu agar Kademangan yang bakal ditinggalkan tidak akan mengalami kesulitan. “Bukankah kau dan Pandan Wangi akan mengantarkan Sekar Mirah ke Jati Anom ?“ bertanya ayahnya. “Ya, ayah. Dalam keadaan seperti ini, aku tidak akan sampai hati membiarkannya pergi sendiri,“ berkata Swandaru. “Baiklah. Tetapi kapan kalian akan pergi ?“ bertanya ayahnya. “Agaknya Sekar Mirah sudah tidak dapat menahan keinginannya lagi untuk pergi ke Jati Anom,“ berkata Swandaru, “apalagi ia mengerti bahwa Agung Sedayu baru saja mengalami kesulitan yang gawat dalam pertempuran melawan orang-orang yang selalu membayanginya, meskipun mempergunakan tangan yang berganti-ganti.” “Jadi ?” “Biarlah besok kami akan pergi. Tidak sampai senja kami sudah akan kembali lagi,“ berkata Swandaru. Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-angguk. Katanya, “berhati-hatilah. Kau yang diperjalanan, dan persiapan yang kau tinggalkan harus kau yakini bahwa tidak akan mengalami sesuatu.”

“Kami bertiga bukan anak-anak lagi ayah,“ berkata Swandaru, “mungkin suatu kebetulan bahwa Sekar Mirah dan Pandan Wangi memiliki kemampuan untuk menjaga dirinya sendiri, sehingga tugasku diperjalanan tidak akan terlalu berat jika ada sesuatu yang mencoba mengganggu.” Ki Demang tidak dapat berbuat lain kecuali melepaskan mereka pergi di hari berikutnya. Namun seperti yang sudah dikatakan, maka Swandaru telah mempersiapkan segala-galanya Para pengawal terpilih berada ditempat yang ditentukan. Meskipun gardu-gardu perondan biasanya kosong disiang hari, Swandaru telah memerintahkan untuk mengisinya, meskipun tidak seperti dimalam hari. “Tetapi jangan membuat penduduk Kademangan ini gelisah. Jangan berbuat seolah-olah akan timbul perang. Lakukanlah tugas kalian tanpa menimbulkan kegelisahan dan menarik perhatian. Kalian dapat pergi kesawah seperti biasa. Kalian dapat melakukan pekerjaan seperti hari-hari yang lain. Namun kalian harus meningkatkan kewaspadaan dan siap bertindak jika terjadi sesuatu karena kepergian kami. Yang berada digardu-gardupun harus menyesuaikan dirinya, seolah-olah mereka hanya kebetulan saja duduk dan bergurau diantara mereka,“ pesan Swandaru kepada para pengawal. Sementara itu, Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah telah bersiap untuk menempuh perjalanan yang tidak terlalu panjang. Meskipun demikian, mereka harus berhati-hati, bahwa mereka termasuk orang yang dianggap mempunyai sangkut paut yang rapat dengan Agung Sedayu. Namun yang kemudian berkuda menyusuri bulak-bulak panjang itu adalah tiga orang yang memiliki kemampuan yang tinggi didalam olah kanuragan. Karena itulah, maka mereka tidak terlalu cemas seandainya mereka bertemu dengan orang-orang yang bermaksud buruk terhadap mereka. Namun ternyata bahwa perjalanan mereka sama sekali tidak terganggu. Mereka sampai ke padepokan kecil itu dengan selamat. Kedatangan Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah itu ternyata telah mengejutkan seisi padepokan kecil di Jati Anom itu. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa mereka akan datang. Namun merekapun kemudian dapat mengerti, bahwa Sekar Mirahlah yang paling mendesak untuk segera datang kepadepokan itu. Ketika Sekar Mirah melihat keadaan Agung Sedayu, bagaimanapun ia mencoba menahan diri, namun sifat kegadisannya tidak dapat disembunyikannya. Pada keadaan yang sudah berangsur baik. Agung Sedayu masih nampak pucat dan lemah. Karena itulah maka Sekar Mirah membayangkan, betapa parah luka Agung Sedayu pada saat itu. “Untunglah bahwa Kiai Gringsing masih sempat mengobatinya,” berkata Sekar Mirah didalam hatinya.

Setitik air telah mengembang dipelupuk matanya. Barangkali ia tidak akan menangis seandainya ia harus bertempur seperti apa yang dilakukan oleh penghuni padepokan itu pada saat Gembong Sangiran datang bersama kawan-kawannya. Namun melihat keadaan Agung Sedayu, maka rasa-rasanya hatinya tergores duri. Kedatangan Sekar Mirah memang dapat membuat Agung Sedayu melupakan keadaannya. Rasarasanya ia telah menjadi sembuh sama sekali. Meskipun demikian Kiai Gringsing masih memperingatkannya, agar ia menjaga diri karena luka-lukanya yang belum pulih sama sekali, dan bahwa kekuatannya masih terlalu lemah. Namun kegembiraan nampak dipendapa saat mereka duduk bersama. Sabungsaripun nampak lebih baik dari keadaan sebelumnya. Ia ikut gembira seperti Agung Sedayu menjadi gembira pula. Saat-saat berikutnya, ketika Swandaru dan Pandan Wangi berjalan-jalan dikebun belakang padepokan kecil itu, maka Sekar Mirah duduk bersama Agung Sedayu diserambi samping padepokannya. Banyak masalah yang telah mereka bicarakan. Masalah yang menyangkut perkembangan keadaan, dan masalah tentang diri mereka sendiri. “Kakang,“ berkata Sekar Mirah kemudian,“ berkali-kali kakang mengalami keadaan seperti ini.” “Ya Sekar Mirah. Keadaan yang sama sekali tidak aku bayangkan akan terjadi. Tetapi seolah-olah aku ditakdirkan untuk menjadi seorang pembunuh. Aku membunuh dan membunuh diluar mauku. Tetapi setiap saat aku dihadapkan pada pilihan membunuh atau dibunuh, ternyata aku memilih lebih baik aku membunuh,“ berkata Agung Sedayu. “Tetapi apa yang kakang lakukan itu seolah-olah tidak berarti apa-apa,“ sahut Sekar Mirah, “kakang sudah mempertaruhkan nyawa. Bahkan kakang telah berbuat jauh lebih baik dari seorang prajurit pada tataran permulaan. Tetapi yang kakang lakukan, hanya sekedar diketahui untuk segera dilupakan.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa gembira bahwa Sekar Mirah datang menengok keadaannya. Tetapi ia mulai berdebar-debar jika Sekar Mirah sudah menyinggung tentang keadaannya. “Sekar Mirah,“ berkata Agung Sedayu, “jika aku berjuang untuk menyelamatkan diri dari kematian, apakah hal itu perlu selalu diingat oleh orang lain,“ desis Agung Sedayu. “Kakang,“ berkata Sekar Mirah, “kau tidak perlu selalu merendahkan dirimu. Kau lihat Sabungsari. Ia melakukan tidak lebih dari yang kau lakukan. Tetapi setiap prajurit sudah menyebut-nyebut, bahwa ia akan mendapat kehormatan terdahulu dari kawan-kawannya dalam urutan kenaikan tataran.” “Mungkin hal itu terjadi atas Sabungsari Sekar Mirah,“ jawab Agung Sedayu, “tetapi ia memang seorang prajurit. Ia melakukan bukan karena ia secara pribadi terlibat kedalam persoalan-persoalan yang mengancam nyawanya. Tetapi ia melakukan kewajiban seorang prajurit. Berbeda dari yang aku

lakukan. Orang-orang itu justru mencari Agung Sedayu. Karena itu aku telah berbuat bagi diriku sendiri. Dengan demikian aku tidak dapat menuntut orang lain memberikan pujian atas perbuatanku dalam bentuk apapun juga.” “Kakang,“ berkata Sekar Mirah, “sebaiknya kau tidak perlu berbuat demikian. Apa salahnya orang memuji apa yang telah kau lakukan dengan bentuk dan ujud yang sesuai dengan keadaanmu. Jika kau seorang prajurit maka pujian ituakan berujud peningkatan tataran dalam jenjang kepangkatan.” “Tetapi itu tidak perlu Sekar Mirah. Biarlah yang aku lakukan itu aku ketahui sendiri tanpa pujian dan imbalan apapun, karena hal itu hanya berarti bagiku pula,“ desis Agung Sedayu. Dada Sekar Mirah mulai bergetar. Setiap kali ia berbicara dengan Agung Sedayu, maka rasa-rasanya ia menjadi sangat jengkel. Dengan suara yang bergetar pula ia berkata, “Tetapi kakang. Apakah yang kau lakukan itu bukan untuk mendapatkan pujian pula dalam ujud yang lain. Kau mengharap bahwa setiap orang akan memujimu, bukan saja karena kemampuan dan tingkat ilmumu. Tetapi mereka juga akan memujimu sebagai seorang yang rendah hati. Sebagai seorang yang tidak senang-menunjukkan kemampuan dan apalagi jasanya bagi siapapun juga. Bukankah dengan demikian akan sama saja artinya ? Meskipun kau lebih senang dipuji sebagai seorang yang rendah hati daripada sebagai seorang yang berilmu tinggi.” Agung Sedayu terkejut mendengar kata-kata Sekar Mirah. Sejenak ia terdiam. Bahkan iapun kemudian merenungi dirinya sendiri, seolah-olah ia ingin mengetahui apakah yang dikatakan oleh Sekar Mirah itu benar. Jika ia sama sekali tidak menuntut penghargaan dan imbalan atas segala yang pernah dilakukan, apakah itu bukan berarti bahwa ia telah menuntut dalam ujud dan bentuk yang lain. Ia menghendaki pujian dan sebutan sebagai seorang yang rendah hati, sebagai pahlawan yang senang menyembunyikan jasanya. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara yang dalam ia berkata, “Sekar Mirah. Aku akhirnya menjadisemakin ragu-ragu tentang diriku sendiri. Apakah yang kau katakan itu benar-benar telah bersemi didalam hatiku. Apakah benar-benar aku telah memilih ujud pujian sesuai dengan sifat dan watakku. Tetapi Sekar Mirah, selama ini aku sama sekali tidak memikirkannya. Apalagi memperhitungkan dan memihh bentuk pujian itu. Yang ada didalam hatiku hanyalah, bahwa aku tidak ingin meniup sangkakala karena kemenangan-kemenangan yang tidak berarti.” Sekar Mirah memandang Agung Sedayu dengan tatapan mata yang redup. Sejenak ia merenung. Namun kemudian katanya, “Kakang Agung Sedayu. Menurut pengamatanku, jika kau ragu-ragu tentang dirimu sendiri, bukanlah hanya pada saat-saat terakhir. Kau memang selalu ragu-ragu tentang dirimu sendiri. Mungkin kau memang seorang yang rendah hati, tetapi mungkin pula kau justru orang yang sangat tinggi hati.” Agung Sedayu terdiam sejenak. Dicobanya untuk melihat kedalam dirinya sendiri. Namun ia justru

menjadi semakin bimbang tentang dirinya. Meskipun demikian ia tidak dapat ingkar, bahwa dalam beberapa hal ia memang selalu ragu-ragu. Bukan hanya disaat terakhir. Tetapi sifat itu ada sejak ia menyadari kehadirannya. Meskipun demikian iapun kemudian berkata, “Sekar Mirah. Aku tentu tidak akan dapat menyebut, apakah diriku orang rendah hati atau justru seorang yang tinggi hati. Tetapi sebenarnyalah bahwa bagiku tidak ada gunanya untuk menunjukkan kepada orang lain, betapa aku mampu melakukan sesuatu melampaui orang lain. Bagiku, tidak ada gunanya untuk menempatkan diri pada baris-baris terdepan dalam keadaan tertentu. Hal itu tidak akan merubah kenyataan-kenyataan yang terjadi atas dan tentang diriku.” “Tentu ada gunanya,“ sahut Sekar Mirah, “seandainya kau melakukan sesuatu yang terpuji, maka mungkin sekali kau akan mendapat kesempatan untuk meningkatkan diri, apakah itu dalam kedudukan atau dalam urutan perhatian orang lain terhadap dirimu. Jika karena itu maka sesuatu kesempatan terbuka, maka kau akan mendapat tempat pertama dari orang lain yang tidak dapat berbuat seperti yang dapat kau lakukan. Tetapi jika kau dengan sengaja atau tidak dengan sengaja menyembunyikan segala perbuatan yang terpuji itu, maka kau tidak akan pernah mendapat kesempatan apapun juga.” “Sekar Mirah,“ jawab Agung Sedayu, “aku memang berpendirian, bahwa bukan sepantasnya seseorang dengan sengaja dan apalagi dengan memaksa diri menunjukkan hasil kerja dan perbuatannya kepada orang lain, apalagi dengan pamrih.” “Aku tidak sependapat,“ sahut Sekar Mirah, “sebenarnyalah aku tidak sependapat, pada saat tamu agung singgah di Sangkal Putung, kakang Agung Sedayu lebih senang berada di patehan, atau dikandang kuda atau ditempat-tempat lain yang tersembunyi. Tetapi seharusnyalah kakang Agung Sedayu berada diantara tamu agung itu, seperti juga kakang Swandaru. Jika kakang berpendirian tidak perlu dan bukan sepantasnya seseorang dengan sengaja menunjukkan hasil kerja dan perbuatannya, apalagi dengan pamrih, maka bukan pula sepantasnya kakang bersembunyi, menutup diri dan dengan sengaja dan memaksa diri untuk menghindar. Karena bagiku kakang, kita justru harus mempergunakan setiap kesempatan untuk mencapai tataran hidup dalam segala segi yang lebih tinggi. Mungkin derajat, mungkin pangkat, dan bahkan mungkin semat.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Setiap kali ia bertemu dan berbicara dengan Sekar Mirah tentang sikap dan pandangan hidup, maka tentu terdapat selisih dan batas. Bahkan nampaknya mereka berdua selalu memilih jalan simpang yang berbeda. Namun setiap kali Agung Sedayulah yang terpaksa berdiam diri. Ialah yang selalu mencoba mengerti perasaan Sekar Mirah. Dan ia pulalah yang harus mendengarkan pendapat-pendapat berikutnya

tentang masa depan mereka. Bahkan sudah dapat ditebak, bahwa Sekar Mirah selalu menyebut-nyebut tentang jenjang derajad dalam lingkungan keprajuritan. Sekali-sekali Sekar Mirah masih menyebut-nyebut juga kesempatan yang terbuka selagi Untara masih seorang Senapati yang terpercaya didaerah Selatan. Tetapi seperti biasanya pula, sikap itu selalu mengguncang perasaannya. Keragu-raguan dan kebimbangan yang tidak berkeputusan. Karena bagi Agung Sedayu, maka Pajang dan Mataram masih harus menjadi pertimbangan. Selebihnya, apakah ia memang tepat untuk menjadi seorang prajurit dengan segala pangerannya. “Kakang,“ suara Sekar Mirah akhirnya merendah, “mungkin aku termasuk seorang gadis yang tidak tahu diri. Tetapi justru karena aku merasa diriku terikat oleh satu janji dengan kakang Agung Sedayu, maka aku berani mengatakannya.” Agung Sedayu hanya dapat menundukkan kepalanya. “Kakang, mungkin bagi kakang, seorang laki-laki, hal ini tidak akan terlalu terasa. Tetapi bagi seorang gadis, maka waktu akan ikut serta menentukan. Umurku setiap hari bertambah, sehingga akhirnya aku akan menjadi seorang perawan tua. Cobalah kau ikut memikirkan kakang. Sebenarnyalah kedatanganku kemari sama sekali tidak bermaksud membuat hatimu menjadi risau. Akulah yang risau karena aku selalu ingin melihat keadaanmu. Tetapi setiap aku bertemu dengan kau, maka perasaanku tidak lagi dapat aku bendung lagi. Aku hanya ingin kau mengetahui perasaanku kakang.“ suara Sekar Mirah mulai bergetar. Agung Sedayu mengangguk kecil sambil menjawab, “Aku mengerti Sekar Mirah. Aku selalu memikirkannya. Tetapi hatiku yang lemah selalu gagal untuk menemukan keputusan.” “Kakang, kau bukan saja seorang yang rendah hati atau bahkan tinggi hati. Tetapi sebenarnyalah bahwa kau adalah seorang yang rendah diri,“ berkata Sekar Mirah kemudian, “cobalah kau bangkit dari mimpimu yang samar-samar itu. Cobalah mengambil sikap. Hidupku sebagian akan tergantung pula kepadamu.” “Sekar Mirah, “suara Agung Sedayu semakin merendah, “aku akan mencoba untuk mengambil sikap. Aku sadar, bahwa aku tidak akan dapat berdiri tanpa alas seperti sekarang ini. Apalagi dimasa mendatang, jika saat itu tiba. Saat kita tidak dapat mengelak lagi untuk melangkahi batas kemudaan kita.” “Aku harap hal itu tidak sekedar kau pikirkan dan kau sadari. Kau tiak perlu mencoba-coba mengambil sikap. Tetapi kau harus sebenarnya mengambil sikap. Aku jangan kau paksa terayun-ayun dalam angan-angan seperti sekarang ini untuk waktu yang tidak terbatas.“ tetapi tiba-tiba suara Sekar

Mirah menjadi lambat, “maafkan aku kakang. Aku datang untuk membantu agar kakang menjadi semakin cepat sembuh. Bukan sebaliknya. Tetapi kadang-kadang aku memang tidak dapat menyembunyikan kerisauan ini.” “Aku mengerti Sekar Mirah. Aku mengerti.“ desis Agung Sedayu. Sekar Mirah tidak berbicara lagi. Keduanyapun diam untuk beberapa saat sambil memandang dunia angan-angan masing-masing. Persoalan yang demikian selalu dan akan selalu terulang dalam setiap pertemuan, sebelum Agung Sedayu dapat mengambil sikap yang tegas dan pasti. Sekar Mirah yang memiliki sifat yang sejalan dengan sifat kakaknya, Swandaru, mempunyai pandangan yang agak berbeda dengan sikap dan pandangan hidup Agung Sedayu. Namun Agung Sedayupun dapat mengerti, bahwa Sekar Mirah adalah seorang gadis yang semakin dalam disekap oleh umurnya. Dalam kediaman itu, mereka melihat Swandaru dan Pandan Wangi mendekati mereka. Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian mempersilahkan mereka duduk bersama diserambi itu pula. Dengan demikian maka pembicaraan merekapun mulai berkisar. Sekali-sekali Pandan Wangi membicarakan buah-buahan yang segar yang tergantung dipadepokan. Kemudian membicarakan ikan emas yang berwarna kuning berenang di kolam yang jernih. Namun akhirnya Pandan Wangi bertanya, “Apakah prajurit Pajang itu akan selamanya berada disini ?” “Tentu tidak,“ jawab Agung Sedayu, “mereka akan segera ditarik jika keadaanku sudah baik.” “Dan prajurit-prajurit itu akan datang kebaraknya sebagai pahlawan,“ sambung Sekar Mirah, “tetapi kakang Agung Sedayu sendiri akan tetap seorang penghuni padepokan kecil ini. Seorang petani yang selalu kotor oleh lumpur dan gatal oleh jerami tanpa memiliki masa depan yang lain.” Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Sementara Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sudahlah. Tentu kakang Agung Sedayu sudah memikirkannya.” Sekar Mirah tidak menyahut lagi. Tetapi kepalanya menunduk dalam-dalam. Pandan Wangilah yang kemudian mulai lagi dengan pertanyaan yang menyentuh padepokan kecil itu. Hasil panen sawah yang dimiliki dan hasil tanaman di pategalan. Tetapi rasa-rasanya pembicaraan sudah tidak secerah saat-saat mereka datang. Betapapun Pandan Wangi berusaha mengangkat suasana, namun wajah-wajah telah menjadi muram. Setelah makan siang, dan matahari telah mulai condong ke Barat, maka Swandarupun mengajak isteri dan adiknya kembali ke Sangkal Putung. “Pada saat yang lain kita akan datang lagi,“ berkata Swandaru kepada Agung Sedayu.

“Kami mengharap kalian sering datang kepadepokan ini,“ minta Agung Sedayu, “kedatangan kalian memberikan suasana yang berbeda bukan saja bagi diriku sendiri, tetapi juga bagi padepokan ini.” “Tentu,“ sahut Swandaru, “kali ini kami hanya ingin melihat keadaanmu. Ternyata kau sudah berangsur baik. Mudah-mudahan dalam waktu dekat kau sudah puhh kembali, sehingga kau tidak perlu mendapat perlindungan lagi dari orang lain.” Agung Sedayu tersenyum. Namun ketika terpandang olehnya wajah Sekar Mirah yang muram, maka iapun berkata, “aku akan memikirkannya dengan sungguh-sungguh Sekar Mirah. Dalam waktu yang dekat aku akan dapat mengambil satu kesimpulan.” “Dekat bagimu dan dekat bagiku, mungkin agak berbeda,“ jawab Sekar Mirah. “Tetapi itu lebih baik daripada kakang Agung Sedayu tidak berusaha sama sekali,“ Swandarulah yang menyahut. Sekar Mirah hanya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Dalam pada itu, Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun segera minta diri pula kepada semua penghuni padepokan itu. Kepada Kiai Gringsing, Ki Widura dan beberapa orang prajurit yang berada di padepokan itu. “Apakah kau tidak ingin pergi ke Sangkal Putung ?“ bertanya Pandan Wangi kepada Glagah Putih. Glagah Putih tersenyum. Jawabnya, “Lain kali. Sebenarnya aku ingin menjelajahi setiap tempat. Tetapi aku belum mendapat kesempatan.” Pandan Wangi tertawa. Swandarupun tertawa pula. Katanya, “Kau sudah dewasa sekarang. Sebentar lagi kau akan segera mendapat kesempatan itu.“ Glagah Putihpun tertawa pula. Demikianlah, maka ketiga orang itupun segera kembali ke Sangkal Putung. Kiai Gringsing sempat memberikan beberapa pesan kepada Swandaru mengingat keadaan yang nampaknya masih belum tenang. Sepeninggal Sekar Mirah, maka Agung Sedayu menjadi banyak merenung. Ada hal-hal yang benar yang dikatakan oleh Sekar Mirah, sehingga karena itu, maka Agung Sedayupun menjadi semakin gelisah.

Agaknya Kiai Gringsing menangkap perubahan pada muridnya yang perasa itu. Ia sudah pernah mendengar beberapa hal tentang hubungan yang agak timpang antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Bahkan Kiai Gringsing pernah juga mendengar Ki Waskita mengeluh, bahwa ia melihat bayangan yang buram dalam hubungan antara kedua anak muda itu. “Mudah-mudahan Ki Waskita keliru,“ desis Kiai Gringsing didalam hatinya, “ia juga melihat bayangan yang buram dalam hubungan antara Swandaru dan Pandan Wangi. Namun nampaknya keduanya hidup rukun dan tenang, meskipun gejolak jiwa Swandaru kadang-kadang melonjak-lonjak. Tetapi agaknya Pandan Wangi dapat mengimbanginya dan bahkan kadang-kadang agak mengekangnya.” Tetapi hubungan antara Sekar Mirah dan Agung Sedayu nampaknya memang lebih sulit menurut pengamatan Kiai Gringsing. Agung Sedayu dan Sekar Mirah mempunyai watak yang jauh berbeda, bahkan agak berlawanan. “Mudah-mudahan pada saatnya, keduanya dapat saling menyesuaikan diri,“ berkata Kiai Gringsing didalam hatinya. Meskipun tidak langsung. Kiai Gringsing berusaha untuk mengurangi pahitnya perasaan Agung Sedayu, agar dengan demikian perasaan itu tidak mempengaruhi keadaan wadagnya. Ia sedang dalam usaha memulihkan keadaan tubuhnya yang masih lemah. Bahkan luka-lukanya belum sembuh sama sekali. “Pusatkan perhatianmu pada penyembuhan wadag dan hatimu,“ berkata Kiai Gringsing kepada Agung Sedayu, “semakin cepat kau sembuh dan pulih kembali, maka semakin cepat kau dapat melakukan tugastugasmu yang lain. Kau bukan lahir untuk sekedar berkelahi dan membunuh. Tetapi kau tentu akan sampai pada suatu batas kehidupan manusia sewajarnya.” Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Baginya berkelahi dan apalagi membunuh adalah pekerjaan yang paling dibencinya. Tetapi yang dibencinya itu ternyata harus dilakukannya juga. Bahkan beberapa kali. “Sudahlah Agung Sedayu,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “jangan terlalu risau. Meskipun bukan berarti bahwa kau tidak perlu memikirkan masa depan, tetapi kau harus memperhatikan keadaanmu sekarang.” “Ya guru,“ suara Agung Sedayu tiba-tiba saja menjadi parau. Sabungsari yang melihat keadaan Agung Sedayu yang nampaknya diselubungi oleh kegelisahan, tidak ingin menambah dengan beban-beban yang akan semakin menggelisahkannya. Karena itu, Sabungsari justru tidak bertanya sama sekali, kenapa Agung Sedayu sepeninggal Sekar Mirah menjadi muram. Tetapi ia justru mencoba mengalihkan perhatian Agung Sedayu terhadap keadaan dirinya sendiri. Dalam pada itu, Swandaru dan isteri serta adiknya tengah berpacu menuju ke Sangkal Putung. Tidak

banyak yang mereka percakapkan disepanjang jalan. Hanya kadang-kadang saja mereka berbincang tentang sawah dan ladang yang mereka lalui. Juga tentang hutan yang tidak terlalu lebat, meskipun masih menyimpan binatang buas didalamnya. Namun harimau sama sekali tidak menggetarkan hati anak-anak muda itu. Pandan Wangipun sangat membatasi pembicaraannya. Ia tidak ingin salah ucap, sehingga membuat hati Sekar Mirah menjadi semakin suram. Bagi Sekar Mirah, Agung Sedayu seolah-olah tidak memperhatikan sama sekali masa depan mereka. Atau bagi Sekar Mirah, Agung Sedayu adalah seorang yang tidak mempunyai gairah hidup sama sekali. Ia menerima apa yang datang kepadanya. Tetapi ia sama sekali tidak berusaha untuk mencapai sesuatu yang lebih baik. Apalagi berjuang dengan gairah dan penuh dengan nyala api kehidupan. Namun justru karena itu, maka perjalanan mereka rasa-rasanya menjadi semakin cepat. Sebelum matahari hilang dipunggung pegunungan disebelah Barat, mereka telah memasuki Kademangan Sangkal Putung. Namun demikian mereka memasuki regol halaman, maka mereka telah dikejutkan oleh beberapa ekor kuda yang terikat pada tiang-tiang pendek di pinggir halaman. Ketika kemudian mereka berloncatan turun, maka merekapun melihat seorang anak muda yang bertubuh sedang, dengan pedang panjang dilambung menyongsong mereka. Sebuah senyum yang segar membayang diwajahnya yang cerah. “Prastawa,“ hampir berbareng ketiga orang yang haru datang itu menyebut namanya. Prastawa tertawa. Katanya, “Hampir saja aku menyusul kalian ke Jati Anom. Tetapi Ki Demang menahanku disini, karena kalian akan segera datang.” “Kapan kau datang Prastawa ?“ bertanya Swandaru. “Lewat tengah hari. Aku sudah menunggumu terlalu lama,“ jawab Prastawa. “Marilah, duduklah kembali,“ ajak Swandaru. Merekapun kemudian naik kembali kependapa. Setelah Swandaru dan isteri serta adiknya membasuh kakinya, maka merekapun kemudian duduk dipendapa bersama Ki Demang dan tiga orang pengiring Prastawa yang datang dari Tanah Perdikan Menoreh. Setelah mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing, maka Swandarupun bertanya, “Kedatanganmu mengejutkan, apakah ada sesuatu yang penting yang akan kau sampaikan kepada kami disini, atau kau sekedar ingin menengok keadaan kami ?” Prastawa tersenyum. Katanya, “Tidak terlalu penting. Tetapi aku memang menyampaikan pesan dari paman Argapati bagi kalian.”

“Tetapi, bukankah ayah dalam keadaan baik, sehat dan tidak mengalami sesuatu ?“ bertanya Pandan Wangi tidak sabar. “Paman dalam keadaan baik,“ jawab Prastawa, “tetapi paman sudah lama ingin bertemu dengan kalian berdua. Sebenarnyalah paman Argapati telah rindu setelah untuk waktu yang lama tidak bertemu.” Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Sambil menundukkan kepalanya ia berdesis, “Aku agaknya telah mengecewakan ayah. Seharusnya aku sering menengoknya.” “Ya. Paman merasa kesepian,“ desis Prastawa. “Apakah ayah berpesan agar aku pergi ke Tanah Perdikan Menoreh ?“ bertanya Pandan Wangi. “Demikianlah. Tetapi tidak perlu tergesa-gesa. Paman berpesan, kapan-kapan saja jika waktu kalian longgar dan tidak mengganggu pekerjaan kalian disini,“ berkata Prastawa. Terasa sesuatu menyekat leher Pandan Wangi. Namun kemudian ia berkata sendat, “Aku akan segera pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.“ Namun kemudian ia berpaling kepada Swandaru, “apakah kita akan mendapat kesempatan ?” “Kita akan pergi. Bagaimanapun juga, kita akan menyediakan waktu. Paman Argapati tentu sudah rindu kepadamu. Ia tentu mengalami kesepian karena seolah-olah ia berada seorang diri di Tanah Perdikan yang luas.” “Aku selalu mengawaninya,“ berkata Prastawa, “aku hanya kadang-kadang saja kembali kerumah.“ “Sokurlah,“ desis Pandan Wangi, “kaulah yang harus menjaga pamanmu sebaik-baiknya. Meskipun ayah belum terlalu tua, tetapi justru karena hidupnya yang sepi sejak lama, maka nampaknya ia menjadi jauh lebih tua dari umurnya yang sebenarnya.” “Tetapi paman masih nampak segar,“ sahut Prastawa, yang kemudian bertanya, “Kapan kalian akan pergi ? Jika waktunya sudah dekat, kita akan pergi bersama. Tetapi jika waktunya masih agak jauh, maka aku besok akan mendahului kalian, kembali ke Tanah Perdikan, agar paman tidak menjadi gelisah, karena menurut pendengaran paman, daerah ini bukanlah daerah yang selalu tenang.” Pandan Wangi memandang Swandaru sejenak, seolah-olah ia menunggu keputusannya. Swandaru nampak berpikir sambil menghitung-hitung hari. Lalu iapun kemudian bertanya kepada ayahnya, “Apakah Kademangan ini dapat aku tinggalkan barang dua tiga hari ayah ?” “Tetapi sebelumnya kau harus mengatur keadaan. Kau harus menempatkan para pengawal pada tempat yang paling baik dalam keadaan seperti ini,“ jawab ayahnya.

“Ya Aku akan mengatur mereka sebaik-baiknya. Tetapi akupun harus minta diri pula kepada guru di Jati Anom,“ gumam Swandaru. Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-angguk. Meskipun sebenarnya ia t tinggalkan oleh Swandaru, apalagi untuk tiga atau ampat hari. Tetapi iapun mengerti, betapa rindunya orang tua terhadap anak perempuan satu-satunya meskipun sudah bersuami. Sebagai orang tua Ki Demang mengerti, bahwa tidak seharusnya ia melarang anak dan menantunya pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, bagaimanapun juga, ia tidak dapat menahannya. Karena itu, maka katanya, “Sebaiknya kau memang minta ijin kepada gurumu. Setidak-tidaknya kau memberitahukan bahwa kau akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Selama kau tidak ada, biarlah Sekar Mirah menggantikan kedudukanmu. Aku tahu, meskipun ia seorang gadis, tetapi ia lebih baik dari setiap pengawal yang ada di Sangkal Putung.” “Ya,“ sahut Swandaru, “biarlah Sekar Mirah mengamati setiap hari apakah pengawal yang sudah aku atur itu dapat melakukannya dengan baik.” Namun tiba-tiba saja Prastawa memotong, “Apakah Sekar Mirah tidak akan ikut serta ke Tanah Perdikan Menoreh ?” “Biarlah ia di rumah mengawani ayah dan para pengawal,“ berkata Swandaru. “Ya,“ sambung Ki Demang, “aku memerlukannya.” Tetapi ketika mereka berpaling memandang Sekar Mirah, maka nampak wajahnya menjadi suram. Karena itu, maka Prastawa telah bertanya pula, “Agaknya Sekar Mirah ingin ikut serta pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Apa salahnya jika Kademangan ini diserahkan kepada para pengawal dengan jumlah yang lipat ganda. Bukankah disini banyak anak-anak muda yang sudah memiliki kemampuan bermain pedang ?” “Tetapi tanpa seorang pendega yang memiliki kelebihan dari mereka, maka rasa-rasanya agak kurang mapan juga,“ sahut Ki Demang. “Biarlah ia tinggal,“ desis Swandaru, “ayah akan selalu gelisah jika kita semuanya pergi bersamasama.” “Itu tidak adil,“ berkata Prastawa, “seharusnya Sekar Mirahpun diperkenankan untuk pergi.” “Persoalannya lain Prastawa,“ berkata Pandan Wangi,

“sebenarnya ada baiknya jika Sekar Mirah tinggal di rumah. Perjalanan kamipun tentu tidak akan menyenangkan karena kegelisahan perasaan. Mungkin pada kesempatan lain, dalam perjalanan tamasya kita akan pergi bersama-sama. Tetapi tentu saja dengan mengingat keadaan Kademangan ini.” “Kecemasan kalian tentang Kademangan ini agak berlebih-lebihan,“ berkata Prastawa, “tetapi jika perlu kenapa kalian tidak memanggil Agung Sedayu dan menyuruhnya menjaga Kademangan ini.” “Tentu tidak mungkin,“ tiba-tiba saja Sekar Mirahlah yang menjawab, “sebenarnyalah bahwa aku memang ingin ikut serta bersama kalian menempuh perjalanan yang tidak terlalu jauh, tetapi juga tidak terlalu dekat. Aku sependapat bahwa Kademangan ini dapat diserahkan kepada para pengawal. Tetapi tentu bukan kakang Agung Sedayu. Ia bukan peronda upahan yang dapat disuruh melakukan sesuatu sekehendak hati kita. Dan apakah hak kita menyuruhnya menjaga Kademangan ini, kecuali atas kehendaknya sendiri, seperti aku tentu tidak akan dapat menyuruhmu tinggal disini selama kami pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.” Prastawa menegang sejenak. Namun iapun kemudian menyadari bahwa Sekar Mirah bukan orang lain bagi Agung Sedayu. Ada ikatan diantara mereka meskipun masih belum ditetapkan sebagai ikatan mati. Namun dengan demikian justru keinginannya untuk mengajak Sekar Mirah pergi ke Tanah Perdikan Menoreh menjadi semakin besar, sehingga katanya kemudian, “Sekar Mirah, aku minta maaf. Mungkin kata-kataku telah terdorong. Tetapi aku sebenarnya tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa Kademangan ini dapat mengambil cara apapun agar kau dapat pergi ke Tanah Perdikan Menoreh bersama kakang Swandaru berdua.” Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Yang kemudian berkata adalah Ki Demang, “Tetapi semuanya terserah kepadamu Sekar Mirah. Jika kau memang benar-benar ingin pergi, pergilah. Tetapi penjagaan para pengawal atas Kademangan ini harus benar-benar diperkuat.” Swandaru mengerutkan keningnya. Setiap kali ayahnya memang tidak dapat bertegang hati terhadap adik perempuannya. Apalagi jika mata Sekar Mirah kemudian menjadi kemerah-merahan. Pandan Wangilah yang kemudian menjadi gelisah. Ia tidak dapat dikelabuhi oleh sikap Prastawa yang bagaimanapun juga. Ia sudah dapat meraba betapa masih lembutnya perasaan Prastawa yang tertuju kepada Sekar Mirah. Sementara Sekar Mirah sudah dengan sepengetahuan beberapa pihak, terikat kepada Agung Sedayu. Tetapi Pandan Wangi tidak dapat mengatakannya. Justru karena Prastawa adalah adik sepupunya.

Dalam pada itu, maka akhirnya Sekar Mirah berkata, “Jika ayah memang mengijinkan, biarlah aku pergi bersama kakang Swandaru ke Tanah Perdikan Menoreh. Sudah lama aku tidak melihat telatah diluar Kademangan ini. Paling jauh, hari ini kami pergi ke Kademangan Jati Anom.” “Terserahlah kepadamu,“ jawab Ki Demang, “tetapi seperti yang kau katakan Swandaru, katakanlah rencana kepergianmu kepada gurumu.” “Besok aku akan pergi ke Jati Anom ayah. Aku akan minta diri kepada guru. Meskipun aku tidak akan mempersilahkan guru tinggal disini, tetapi aku memang ingin menitipkan Sangkal Putung kepada guru.” “Aku akan ikut pergi ke Jati Anom,“ berkata Prastawa, “sudah lama aku tidak bertemu dengan Agung Sedayu dan saudara sepupunya yang agak dungu itu.” “Terserahlah,“ berkata Swandaru, “besok aku akan pergi. Siang hari kita kembali. Kami masih mempunyai sisa waktu untuk mengemasi bekal kami karena dikeesokan harinya kita semuanya akan berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh.” “Jika demikian, kapan kau sempat mengatur para pengawal ?“ bertanya ayahnya. “Sekarang, atau malam nanti ayah. Untuk itu aku hanya memerlukan waktu sebentar. Aku akan mengumpulkan para pemimpin kelompok dari padukuhan-paduku-han dilingkungan Kademangan Sangkal Putung. Lewat mereka, aku akan mengatur para pengawal diseluruh Kademangan.” Ki Demang Sangkal Putung merenung sejenak. Nampaknya iapun sedang merenungi kemungkinan yang bakal dilakukan oleh Swandaru. Namun kemudian iapun mengangguk sambil bergumam, “Terserahlah kepada Swandaru. Kau tentu mempunyai perhitungan yang cukup matang.” “Serahkan kepadaku ayah,“ jawab Swandaru. Ki Demang tidak mempersoalkannya lagi. Memang baginya, Swandaru adalah anak muda yang sudah cukup dewasa, yang sudah memiliki wawasan yang matang bagi Kademangannya. Seperti yang dikatakan, maka Swandarupun segera memanggil para pemimpin kelompok untuk berkumpul dipendapa Kademangan malam itu juga. Dengan singkat Swandaru memberikan penjelasan tentang rencananya untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Kemudian dengan terperinci Swandaru memberikan pesan kepada para pemimpin kelompok untuk menjaga Kademangan Sangkal Putung sebaik-baiknya selama ia tidak berada di Kademangan. “Aku percaya kepada kalian,“ berkata Swandaru, “meskipun seandainya datang beberapa orang sakti yang pilih tanding.

Dengan kemampuan dan ketrampilan kalian dalam olah kanuragan, seorang demi seorangpun dalam kelompok kalian akan dapat mengatasinya. Betapapun tinggi kesaktiannya, namun jumlah kalian yang banyak, akan ikut serta menentukan. Bahkan seandainya ada diantara orang-orang sakti yang datang dengan ilmu sirep. Kalian, bersama-sama akan dapat melawan kekuatan ilmu itu. Para pemimpin kelompok itu mendengarkan semua pesan Swandaru dengan saksama. Merekapun sadar, bahwa Sangkal Putung telah beberapa kali dijamah oleh tangan-tangan yang sakti, tetapi berwarna kelam. Prastawa yang hadir juga dipendapa, merasa kagum atas kemampuan Swandaru mengatur anak-anak muda di Kademangannya. Swandaru memiliki kemampuan berpikir kemampuan dalam olah kanuragan, dan kemampuan menguasai mereka dengan kewibawaannya. “Jika di Tanah Perdikan Menoreh ada seseorang yang memiliki ketrampilan yang mumpuni seperti Swandaru,“ berkata Prastawa didalam hatinya, “maka Tanah Perdikan Menoreh itu tentu akan cepat menjadi besar, melampaui masa paman Argapati masih memiliki gairah perjuangan dimasa mudanya.” Tetapi sebenarnyalah bahwa Tanah Perdikan Menoreh yang memiliki daerah yang lebih luas dari Sangkal Putung itu nampaknya semakin lama semakin mundur. “Aku masih belum dapat berbuat seperti Swandaru,“ berkata Prastawa didalam hatinya. Namun ia berjanji kepada diri sendiri, bahwa ia akan berbuat sebaik-baiknya bagi Tanah Perdikan itu. “Aku akan mengimbangi perkembangan Kademangan Sangkal Putung,“ berkata Prastawa didalam hatinya, karena iapun merasa, bahwa ia memiliki tanggung jawab atas Tanah Perdikan itu. Demikianlah, ketika segalanya telah jelas dan pasti, maka para pemimpin kelompok itupun diperkenankan meninggalkan Kademangan. Namun Swandaru masih berpesan, “Besok malam penjagaan serupa itu harus sudah dapat aku lihat. Dengan demikian aku dapat memperhitungkan, apakah yang kalian lakukan itu sudah cukup baik.” Demikianlah, ketika para pemimpin kelompok itu kembali kepadukuhannya masing-masing, maka merekapun segera mempersiapkan para pengawal dipadukuhan-padukuhan itu. Seperti saat Swandaru memberikan keterangan kepada mereka, maka merekapun berusaha untuk memberikan keterangan sejelas-jelasnya mengenai keadaan padukuhan dan juga mengenai seluruh Kademangan. Malam itu juga, mereka mulai mengatur diri. Mereka membagi para pengawal padukuhan kedalam kelompok-kelompok yang lebih kecil. Setiap gardu harus terisi. Dan setiap tempat yang ditentukan,

harus dilengkapi dengan kentongan. Bukan hanya didalam gardu-gardu. Tetapi disetiap rumah para pengawal itupun harus siap dengan kentongan agar setiap isyarat dapat menjalar dengan cepat. Bahkan diantara mereka telah ditunjuk beberapa orang yang akan menjadi penghubung dari padukuhan yang satu kepadukuhan yang lain. Mereka harus menyiapkan beberapa ekor kuda yang terbaik yang ada dipadukuhan itu. Ternyata perintah dan petunjuk Swandaru, malam itu sudah tersebar kesetiap telinga para pengawal. Namun merekapun telah mendapat pesan pula dari Swandaru, jangan membuat rakyat Sangkal Putung menjadi gelisah, seolah-olah Sangkal Putung akan dibakar oleh peperangan yang dahsyat. Bagaimanapun juga, mereka masih belum dapat melupakan, saat-saat Sangkal Putung berhadapan dengan kekuatan Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan dari Jipang. Setelah itu, maka meskipun tidak terlalu sering tetapi Sangkal Putung kadang-kadang didatangi oleh orang-orang yang memiliki kemampuan melampaui manusia biasa. Pesan itupun telah disampaikan pula oleh setiap pemimpin kelompok kepada kawan-kawannya. Demikianlah, maka sejak malam itu, para pengawal sudah mencoba mengetrapkan penempatan kelompok-kelompok kecil yang sudah mereka atur dengan sebaik-baiknya, sehingga dengan demikian mereka akan dapat melihat, apakah pembagian yang mereka atur itu sudah cukup baik sesuai dengan petunjuk Swandaru. Ketika datang hari berikutnya, maka Swandaru dan Prastawa telah bersiap-siap untuk pergi ke Jati Anom, diikuti oleh para pengiring Prastawa yang dibawanya dari Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi Prastawa mendengar bahwa kadang-kadang didaerah itu masih timbul bermacam-macam peristiwa yang dapat menimbulkan keadaan yang gawat. Kedatangan Swandaru ke Jati Anom memang telah mengejutkan seisi padepokan. Namun ketika Swandaru telah menjelaskan kedatangannya bersama Prastawa, maka ketegangan itupun telah mengendor. “Baru kemarin kau datang,“ berkata Kiai Gringsing, “karena itu kami terkejut karenanya. Tetapi agaknya tidak terjadi sesuatu di Sangkal Putung.” “Aku hanya akan minta diri,“ sahut Swandaru. Kiai Gringsingpun kemudian memberikan beberapa pesan kepada Swandaru agar ia tidak terlalu lama meninggalkan Sangkal Putung. Namun iapun memberikan pesan, agar mereka berhati-hati diperjalanan, Swandaru tidak tinggal terlalu lama di Jati Anom. Setelah semua maksudnya diberitahukan kepada Kiai Gringsing, dan setelah segala persiapan dilaporkannya, maka iapun segera minta diri. Agung Sedayu dan Sabungsari yang sudah berangsur baik, sempat mengantarkan Swandaru dan Prastawa sampai kegerbang. Ketika keduanya sudah meloncat kepunggung kuda, Prastawa sempat berkata kepada Agung Sedayu,

“Mudah-mudahan kau cepat sembuh. Agaknya kau masih harus berlatih lebih tekun lagi, agar kau tidak dapat lagi dilukai oleh perampok-perampok yang berkeliaran di daerah ini.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia sudah mengenal Prastawa, sehingga karena itu, ia menjawab, “Terima kasih Prastawa. Mudah-mudahan aku akan segera sembuh.” Glagah Putih yang mempunyai kesan yang aneh sejak ia bertemu untuk pertama kali dengan Prastawa, sama sekali tidak senang melihat sikap dan mendengar pesannya. Tetapi ketika ia bergeser, Ki Widura telah menggamitnya sambil berdesis, “Kau mau apa ?” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mengurungkan niatnya. Namun dalam pada itu, Swandaru berkata, “Jika bukan kakang Agung Sedayu, dan bukan prajurit muda yang bernama Sabungsari itu, maka keduanya tentu sudah menjadi mayat.” Prastawa mengerutkan keningnya. Ia merasa tidak senang mendengar jawaban Swandaru. Tetapi Swandaru justru berkata, “Keduanya adalah orang aneh dari padepokan kecil ini. Orang-orang Gunung Kendeng itu tentu sudah jera untuk kembali lagi, bahkan seandainya para prajurit telah ditarik kembali.” Prastawa termangu-mangu sejenak. Namun ia sadar, bahwa Agung Sedayu adalah saudara seperguruan Swandaru. Jika ia merendahkan ilmu Agung Sedayu, itu berarti, bahwa iapun telah menganggap Swandaru demikian pula. Karena itu, maka Prastawa itupun tidak menyahut lagi. Ketika sekali lagi Swandaru minta diri, maka iapun mengangguk pula sambil menggerakkan kendali kudanya. Demikian kuda itu berderap menjauh, diiringi para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh, Sabungsari berdesis, “Anak muda itu agaknya kurang berhati-hati.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak memberikan tanggapan apapun juga. Demikianlah maka kuda Swandaru dan Prastawa kemudian berderap membelah tanah persawahan. Debu yang kelabu mengepul kebelakang kaki kuda yang brelari tidak terlalu kencang itu. Betapapun Prastawa berusaha menahan diri, namun terlontar pula pertanyaannya, “Apakah orangorang Gunung Kendeng itu benar-benar orang yang pilih tanding, sehingga Agung Sedayu dan prajurit muda yang bernama Sabungsari itu harus terluka ?” Swandaru memandang Prastawa sejenak. Lalu katanya,

“Kau tentu tidak dapat membayangkan, betapa tinggi ilmunya. Jika ia bukan orang yang berilmu tinggi, maka orang yang melawan kakang Agung Sedayu dan Sabungsari tentu tidak akan berhasil melarikan diri.” Prastawa mengangguk-angguk. Namun ia masih bertanya, “Apakah menurut penilaianmu. Agung Sedayu itu dapat menyamai kemampuanmu ?” “Ia adalah murid yang dianggap lebih tua dari aku,“ jawab Swandaru, “setidak-tidaknya kita berdua mempunyai alas kemampuan yang sama. Selanjutnya tergantung kepada kita masing-masing, apakah kita dapat mengembangkan ilmu itu dengan baik.” Prastawa mengangguk-angguk. Lalu, meskipun agak ragu-ragu ia masih juga bertanya, “Dan Agung Sedayu juga mampu mengembangkan ilmunya seperti kau ?” Swandaru mengerutkan keningnya. Namun ia menjawab, “Aku tidak tahu Prastawa. Aku tidak dapat menilai dengan tepat. Seandainya aku dapat menilai kemampuan kakang Agung Sedayu, namun aku tidak akan dapat menilai kemampuanku sendiri sebagai bahan perbandingan.” Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah, bahwa ia sendiri kurang menyadari, kenapa ia ingin mendengar kekurangan-kekurangan yang ada pada Agung Sedayu. Namun agaknya Swandaru sama sekali tidak menyebutkannya seperti yang diharapkan. Namun Prastawa masih bertanya, “Tetapi apakah Agung Sedayu berhasil menyusul kemampuan orangorang yang terdahulu daripadanya, Untara misalnya, atau orang-orang lain yang dapat kau sebutkan ?” “Sulit untuk mengatakannya Prastawa,“ jawab Swandaru. Namun kelanjutannya ternyata membuat Prastawa semakin kecewa. “Tetapi kakang Agung Sedayu memang orang luar biasa seperti prajurit muda yang terluka itu. Mereka ternyata mampu mengalahkan Carang Waja. Bahkan prajurit muda itu telah berhasil membunuhnya.” Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak bertanya lebih jauh. Ternyata Swandaru tidak mengerti maksudnya. Ia justru ingin mendengar Swandaru menunjukkan cela yang ada pada Agung Sedayu. Tetapi ia justru selalu kecewa. Demikianlah kuda-kuda itu berderap semakin jauh dari Jati Anom.Disepanjang jalan, tidak banyak lagi yang mereka bicarakan. Prastawa seolah-olah sibuk berangan-angan sendiri. Ia tidak lagi berusaha melihat kelemahan Agung Sedayu dari ceritera Swandaru. Tetapi Prastawa mulai membayangkan sendiri, kekurangan-kekurangan anak muda yang sedang terluka itu. “Orang-orang Gunung Kendeng bukan orang-orang yang pantas dikagumi. Namun Agung Sedayu tidak

dapat melepaskan diri dari luka-luka yang sangat parah. Seandainya ia tidak berada dalam perawatan gurunya, mungkin ia tidak akan sempat melihat matahari terbit di keesokan harinya,“ berkata Prastawa didalam hatinya, lalu. “agaknya Swandaru tidak ingin mengatakan kelemahan saudara seperguruannya itu.” Sementara itu, didalam perjalanan, mereka tidak mengalami sesuatu. Mereka sampai di Sangkal Putung dengan selamat. Sementara mereka masih sempat berbenah diri, karena di keesokan harinya mereka akan berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh. Namun dimalam hari, Swandaru masih memerlukan untuk melihat, apakah semua pesannya kepada para pengawal sudah dilaksanakan. Ia melihat sendiri, kesiagaan para pengawal dari padukuhan yang satu kepadukuhan yang lain. Bahkan kepada setiap pemimpin kelompok ia masih berpesan agar kesiagaan disiang haripun tetap diperhatikan seperti yang ia pesankan pula. Ternyata menurut pengamatan Swandaru, kesiagaan para pengawal Kademangan Sangkal Putung tidak lagi mengecewakan, seandainya benar-benar terjadi peristiwa yang gawat selama ia pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, maka hatinya tidak lagi diberati oleh Kademangan. Hanya dalam peristiwa yang luar biasa sajalah, maka para pengawal Kademangannya tidak dapat melakukan tugasnya sebaik-baiknya. Setelah melaporkan hasil pengamatannya kepada ayahnya, maka Swandaru itupun kemudian berkata kepada ayahnya, “Ayah, besok aku jadi berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh. Tidak ada yang perlu dikawatirkan lagi. Para pengawal akan dapat melakukan kewajibannya sebaik-baiknya. Namun mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu selama aku pergi.” “Baiklah,“ jawab Ki Demang Sangkal Putung, “tetapi jangan terlalu lama. Jika kalian merasa sudah cukup, maka sebaiknya kalian segera kembali. Daerah ini masih dibayangi oleh kemelut yang tidak habis-habisnya.” Swandaru-mengangguk-angguk, sementara Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun telah membenahi bekal yang akan mereka bawa ke Tanah Perdikan Menoreh. Demikianlah, ketika fajar menyingsing dikeesokan harinya, maka sebuah iring-iringan kecil telah meninggalkan Sangkal Putung. Pandan Wangi dan Sekar Mirah telah dengan sengaja memakai pakaian sebagai seorang lakilaki, agar tidak menarik perhatian orang disepanjang jalan, seperti saat-saat ia pergi berkuda kemanapun juga, sementara orang-orang Sangkal Putung sendiri sudah terlalu sering melihat mereka dalam pakaian seperti itu, sehingga mereka sama sekali tidak merasa heran karenanya. Tetapi pakaian mereka telah membuat mereka tidak dikenal sama sekali oleh orang-orang yang berpapasan dengar mereka disepanjang jalan, bahwa keduanya adalah perempuan.

Beberapa orang anak muda melepas mereka sampai keregol padukuhan, sementara dipadukuhanpadukuhan lain didalam lingkungan Kademangan Sangkal Putung, anak-anak muda memberikan salam dan ucapan selamat jalan. Demikian mereka meninggalkan batas Kademangan Sangkal Putung, maka kuda merekapun berpacu semakin cepat. Agar tidak terlalu menarik perhatian, maka Swandaru, Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Prastawa berkuda dalam kelompok kecil didepan, kemudian beberapa puluh langkah dibelakang mereka adalah para pengawal Prastawa yang menyertainya sejak dari Tanah Perdikan Menoreh. Swandaru sudah sepakat dengan Pandan Wangi dan Sekar Mirah, bahwa mereka tidak akan melewati kota Mataram. Rasa-rasanya tidak enak dihati jika mereka tidak singgah apabila satu dua orang yang dikenalnya melihat mereka lewat. Apalagi Ki Lurah Branjangan. Atau bahkan Raden Sutawijaya sendiri atau orang lain yang dapat saja memberitahukan kepadanya. Karena itu, maka mereka telah memilih jalan lain yang melingkari batas kota yang menjadi semakin lama semakin ramai itu. Ternyata perjalanan mereka tidak mengalami hambatan sama sekali. Mereka menempuh perjalanan yang cukup panjang itu, bagaikan perjalanan tamasya yang menyenangkan setelah beberapa lama mereka tidak pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Ketika mereka sampai ketepi Kali Progo, maka mereka telah beristirahat untuk beberapa lama. Meskipun mereka telah beristirahat pula sebelumnya, namun rasa-rasanya mereka menjadi semakin segar duduk diatas pasir tepian. Prastawa justru sempat berbaring diatas pasir yang kering, sementara kuda mereka mengunyah rerumputan segar beberapa langkah dari mereka, tertambat pada pepohonan perdu. Namun dalam pada itu, selagi orang-orang yang sedang dalam perjalanan itu menikmati segarnya udara ditepian, beberapa pasang mata tengah memandangi mereka dengan saksama dari seberang. “Apakah mereka yang dimaksud ?“ bertanya seseorang bertubuh tinggi tegap berdada bidang. “Mungkin,“ sahut yang lain, “aku masih belum dapat melihat wajah-wajah mereka dengan jelas.” “Kita mendekat,“ desis yang lain. “Tidak ada kawan menyeberang,“ desis orang bertubuh raksasa itu, “jika kita berempat saja menyeberang, maka mereka mungkin akan sempat memperhatikan kita.” “Mereka tidak akan menghiraukan orang-orang yang menyeberang,” jawab yang lain pula. Sejenak orang-orang itu merenungi beberapa orang yang sedang duduk ditepian diseberang. “Tentu mereka,“ desis orang bertubuh raksasa itu, “Prastawa, kemanakan Ki Gede Menoreh, pergi ke Kademangan Sangkal Putung untuk menjemput

anak perempuannya Ki Gede itu. Ia sudah terlalu rindu karena sudah terlalu lama anak perempuannya itu tidak menengoknya.” “Tetapi tidak seorang perempuan diantara mereka,“ berkata yang lain. Orang bertubuh raksasa itu tidak menyahut. Dari kejauhan mereka memang tidak melihat, bahwa ada diantara orangorang yang sedang beristirahat ditepian itu satu atau apalagi dua orang perempuan. “Yang paling baik bagi kita adalah mendekat,“ desis seorang diantara mereka, “kita memanggil tukang satang, kemudian menyeberang tanpa menarik perhatian mereka. Tetapi jika kita tetap disini sambil memperhatikan mereka, maka mungkin sekali mereka akan merasa, bahwa kita telah memperhatikannya.” “Marilah,“ desis orang bertubuh raksasa itu, “kita menyeberang dan menepi dekat dengan tempat mereka beristirahat, agar jika kita melintas didekat mereka, kita tidak akan menarik perhatian. Keempat orang yang berada diseberang sebelah Barat itupun kemudian memanggil tukang satang, dan minta agar mereka diseberangkan dan menepi ditempat yang mereka inginkan. “Dekat dengan pohon benda itu,“ desis yang seorang. “Pohon itu tidak berada ditepian. Tetapi beberapa puluh langkah lagi,“ jawab tukang satang. “Maksudku, diarah pohon itu,“ orang yang ingin menyeberang itu menegaskan. “Didekat orang-orang yang berhenti ditepian itu ?“ tukang satang itu menegaskan. “Ya. Ya. Kami agaknya tidak memperhatikan orang-orang itu,” sahut salah seorang dari mereka. Demikianlah, maka sejenak kemudian, sebuah rakit telah meluncur menyeberang kali Progo yang berair coklat berlumpur. Selama mereka berada diatas rakit, mereka hampir tidak berbicara apapun juga. Satu dua rakit yang lain, melintas didekat rakit mereka. Yang lain menyilang kearah yang berlawanan. Saat itu, agaknya jalan tidak terlalu ramai. Tetapi ada juga satu dua orang pedagang yang membawa barang dagangan menyeberang. Swandaru sama sekali tidak menghiraukan orang-orang yang berada diatas rakit. Yang menyeberang kearahnya maupun yang berlawanan. Angin yang lembut membuatnya mengantuk. Ketika ia melihat Prastawa memejamkan matanya, iapun tersenyum. “Apakah kita akan menunggu senja disini,“ desis Swandaru. “Tentu tidak,“ Pandan Wangilah yang menyahut, “kita akan langsung sampai ke induk Tanah Perdikan.”

“Tetapi Prastawa akan tidur sejenak. Atau barangkali kita tinggal saja anak itu disitu,“ desis Swandaru. Meskipun Prastawa memejamkan matanya, namun ia sempat tersenyum sambil menjawab, “Jika kalian akan pergi dahulu, pergilah. Tetapi beri aku kawan disini.” “Siapa?“ bertanya Swandaru. Prastawa hanya tersenyum saja. Namun ia masih tetap berbaring diatas pasir yang kering. Sementara itu, sebuah rakit telah merapat ditepian. Empat orang berloncatan turun. Setelah memberikan sejumlah uang kepada tukang satang, maka merekapun melangkah meninggalkan rakit yang masih tetap berada ditepian, sementara tukang satangnya telah menambatkan rakitnya pada sebatang patok yang banyak terdapat ditepian. Dengan hati-hati orang-orang itu mencoba mengamati beberapa orang yang berganti ditepian. Sambil menggamit kawannya, orang bertubuh raksasa itu bergumam, “Aku berani dipenggal leherku jika aku salah tebak. Ada diantara mereka orang perempuan.” “Ya,“ kawannya mengangguk-angguk, “aku sependapat.” Tetapi mereka tidak berhenti. Keempat orang itu melangkah terus sehingga mereka melintasi pasir tepian dan naik ke rerumputan yang tumbuh bercampur baur dengan batang ilalang. Swandaru sama sekali tidak menghiraukan orang itu, seperti ia tidak menghiraukan rakit yang lain yang merapat pula ditepian. Namun justru Pandan Wangilah yang memperhatikan keempat orang yang naik kepadang rumput. Mereka tidak meninggalkan tepian dan naik kejalan yang meskipun tidak terlalu ramai, tetapi jalan itu merupakan jalur untuk turun ketepian jika seseorang ingin menyeberang. Beberapa saat Pandan Wangi masih memperhatikan orang-orang itu. Meskipun yang dapat dilihatnya hanyalah kepala-kepala mereka, karena badan mereka telah terlindung oleh batang-batang ilalang. Namun demikian Pandan Wangi tidak mengatakannya kepada siapapun juga, karena ia tidak dapat mengatakan alasan apapun untuk mencurigainya kecuali satu pertanyaan, kenapa orang itu tidak melintasi tepian dan naik ke jalan, tetapi mereka menghilang di balik rerumputan dan batang-batang ilalang. Ternyata orang-orang lain dalam kelompok kecil itu tidak ada yang memperhatikan orang-orang itu pula. Sekar Mirah lebih tertarik meUhat rakit yang meluncur diatas air yang keruh. Sementara para pengawal Prastawa lebih senang duduk terkantuk-kantuk. Oleh perasaan yang kurang mantap, maka Pandan Wangipun kemudian bertanya kepada Swandaru, “Kapan kita meneruskan perjalanan? Agaknya kita sudah cukup lama beristirahat.” Swandaru kemudian bangkit berdiri. Dipandanginya air sungai yang mengalir dihadapannya.

Kemudian rakit yang masih tertambat. Dua orang tukang satang duduk ditepian sambil memeluk lututnya. Sekali-sekali keduanya mengerling kepada beberapa orang yang berhenti ditepian itu dengan penuh harap, agar orang-orang itu memanggil mereka dan menyuruh mereka membawa sekelompok orang itu bersama kuda-kuda mereka. “Rakit itu dapat kita pergunakan,“ berkata Pandan Wangi. “Baiklah,“ sahut Swandaru, “kita akan segera menyeberang.” Namun dalam pada itu Prastawa yang masih berbaring sambil memejamkan matanya berkata, “Aku masih segan bangkit.” “Tinggallah disini,“ desis Pandan Wangi. Prastawa terpaksa bangkit sambil menggeliat. Namun iapun kemudian membenahi pakaiannya meskipun ia masih menguap. “Aku hampir tertidur. Benar-benar tertidur,“ desisnya. “Jika kau tidur, kami akan meninggalkan kau disini tanpa seorang kawanpun,“ sahut Pandan Wangi. Prastawa tidak menjawab. Tetapi diluar sadarnya ia memandang Sekar Mirah yang sudah bersiapsiap pula untuk melanjutkan perjalanan. Namun dalam pada itu, selagi mereka sibuk dengan kuda-kuda mereka, maka sekali lagi Pandan Wangi tertarik perhatiannya kepada keempat orang yang lewat beberapa langkah dihadapannya. Ternyata keempat orang itu telah berada diatas rakit yang membawa mereka-kembali keseberang. Agaknya mereka telah melingkar dan kembali ketepian beberapa puluh langkah dari tempat Pandan Wangi dan orang-orang yang bersamanya berisirahat. Tetapi ternyata Pandan Wangi yang mencurigai mereka itu tidak lagi tinggal diam. Sambil menggamit Swandaru ia berdesis, “Kau perhatikan orang-orang itu kakang.” Swandaru mengerutkan keningnya. Katanya, “Kenapa dengan mereka ?” “Baru saja mereka menyeberang kemari. Bukankah mereka yang beberapa saat yang lalu berjalan beberapa langkah dihadapan kita ?” Swandaru mengerutkan keningnya. Sejenak ia memperhatikan orang-orang yang berada diatas rakit, namun yang sudah hampir sampai keseberang. Kemudian katanya, “Ya. Aku ingat kepada mereka.” “Bukankah sangat menarik, bahwa mereka dengan tergesa-gesa kembali keseberang ?“ bertanya Pandan Wangi. “Ya. Tetapi baiklah kita berpura-pura tidak mengetahui apa yang mereka lakukan,“ desis Swandaru.

Sekar Mirah dan Prastawapun kemudian bertanya pula, apa yang telah menarik perhatian mereka. Yang dengan singkat dijawab oleh Pandan Wangi, tentang empat orang yang mecurigakan itu. Prastawa mengerutkan keningnya. Kemudian iapun berdesis, “Kita memang harus berhati-hati.” Swandaru sekali lagi memandang keempat orang yang telah sampai keseberang. Ia melihat betapa keempat orang itu dengan tangkasnya meloncat kepasir tepian. “Apakah maksud mereka,“ desis Swandaru. “Apakah kau dapat menduga, siapakah mereka ?“ bertanya Pandan Wangi kepada Prastawa. “Biasanya Tanah Perdikan menoreh selalu tenang. Entahlah, siapa mereka itu,“ jawab Prastawa. Swandaru tidak bertanya lagi. Iapun kemudian menuntun kudanya kearah sebuah rakit yang berhenti. Dengan rakit itulah, maka iring-iringan itupun menyeberang. Perlahan-lahan mereka meluncur diatas air yang keruh. Sementara itu, di seberang yang lain, keempat orang yang telah melintasi sungai itu menunggu rakit itu dengan hati yang berdebar-debar. Salah seorang dari mereka bertanya, “Apakah kita akan memberitahukan kedatangan mereka kepada Ki Lurah ?” “Sebaiknya memang demikian. Panggillah Ki Lurah kemari,“ jawab orang tertua diantara mereka. Sejenak kemudian seorang diantara mereka menyelinap menghilang diantara pepohonan. Ketika ia kemudian kembali, maka ia datang bersama seorang yang sudah separo baya. “Anak-anak manis itu telah datang,“ desisnya. “Ya Ki Lurah,“ jawab salah seorang dari mereka. “Kita harus dapat mengambil keputusan, apakah kita akan bertindak atas mereka, atau kita akan menunggu,” desis orang yang disebut Ki Lurah. “Mereka berjumlah tujuh orang. Dua diantara mereka tentu perempuan,“ sahut yang lain. “Kita berlima sekarang,“ berkata kawannya. Orang yang disebut Ki Lurah itu termangu-mangu. Kemudian katanya, “Kita mempunyai beberapa pilihan. Kita dapat bertindak sekarang, atau nanti jika mereka kembali ke Sangkal Putung. Jumlah mereka tentu berkurang. Anak Tanah Perdikan Menoreh beserta pengawalnya itu tentu tidak akan ikut lagi ke Sangkal Putung.”

Kawan-kawannya berpikir sejenak. Namun seorang yang bertubuh raksasa itu berkata, “Tetapi kapan mereka akan kembali ke Sangkal Putung. Kita akan kehilangan waktu beberapa hari lagi.” “Tetapi kau jangan sekedar terburu nafsu. Kau harus menghitung kekuatan orang-orang itu. Yang seorang adalah murid orang bercambuk itu. Ia adalah saudara seperguruan Agung Sedayu, meskipun mungkin ia tidak mempunyai kemampuan setingkat Agung Sedayu yang telah dapat membunuh murid terbaik dari Gunung Kendeng.” “Dua orang perempuan itu tentu Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Keduanya adalah harimau betina yang harus diperhitungkan. Disamping mereka masih ada empat orang lagi. Ampat orang yang tentu harus diperhitungkan pula betapapun lemahnya mereka itu,“ berkata orang yang disebut Ki Lurah. “Kita semuanya berjumlah lima orang,“ desis orang bertubuh raksasa itu, “apakah kita tidak akan dapat mengalahkan mereka ? Serahkan kedua orang perempuan itu kepadaku.” Orang yang disebut Ki Lurah itu tertawa. Katanya, “Kau akan dibantai mereka sampai lumat. Sudah aku katakan, kedua perempuan itu adalah macan betina yang garang. Yang seorang adalah anak dan sekaligus murid Ki Gede Menoreh dengan pedang rangkapnya, yang seorang adalah muirid saudara seperguruan Patih Mantahun dari Jipang yang disebut orang bernyawa rangkap dengan senjata yang mengerikan, tongkat baja putih berkepala tengkorak berwarna kuning.” Orang bertubuh raksasa itu mengerutkan keningnya. Orang yang disebutnya Ki Lurah itu adalah orang yang luar biasa. Tetapi ia masih membuat perhitungan yang cermat terhadap lawan-lawan yang kurang meyakinkan itu. “Mungkin aku dapat bertempur melawan dua orang diantara mereka,“ berkata orang yang disebut Ki Lurah itu, “tetapi satu diantara kedua perempuan itu akan dapat membunuh dua orang diantara kita. Selebihnya, ampat orang yang lain akan melubangi perut kalian berdua yang lain.” Orang itu tidak berbicara lagi. Ki Lurah itu tentu mempunyai pertimbangan yang mapan sehingga ia harus memperhitungkan segalanya dari berbagai segi pandangan. “Biarlah mereka lewat,“ berkata orang yang disebut Ki Lurah itu, “tetapi kita akan menunggu mereka kembali. Lawan kita tentu sudah berkurang. Kita akan membunuh mereka yang sedang dalam perjalanan kembali ke Sangkal Putung itu.” Kawan-kawannya hanya mengangguk-angguk saja. “Mereka sudah sampai ketepian. Marilah, kita tinggalkan tempat ini. Jika mereka mencurigai kita dan bertindak lebih dahulu, kita akan mengalami kesulitan,“ berkata orang yang disebut Ki Lurah itu. Ternyata kehma orang itupun kemudian meninggalkan tepian memasuki padang perdu menyusup

dibalik gerumbul-gerumbul menuju kepadukuhan terdekat, yang hanya berjarak beberapa puluh langkah saja. Swandaru dan Pandan Wangi melihat kelima orang itu pergi. Prastawa dan Sekar Mirahpun diberitahukannya juga. Agaknya kelima orang itu tidak akan bertindak atas mereka. “Mereka agaknya hanya mengawasi kita saja,“ desis Sekar Mirah. “Mungkin mereka menunggu ditempat lain. Atau mereka membuat perhitungan tertentu,“ desis Swandaru, “yang penting kita harus berhati-hati.” Orang-orang dalam kelompok kecil itupun segera turun dari rakit beserta kuda-kuda mereka. Setelah membayar upah menyeberang, maka merekapun segera melanjutkan perjalanan. Yang kemudian berkuda dipaling depan adalah Prastawa. Ia merasa, bahwa ia berkewajiban untuk merintis jalan bagi tamu-tamunya, karena mereka sudah berada ditlatah Tanah Perdikan Menoreh.” Namun demikian, sekelompok orang-orang berkuda itu tidak kehilangan kewaspadaan. Bahaya dapat menyergap dimana-mana. Juga di Tanah Perdikan Menoreh yang biasanya dihputi oleh suasana yang tenang. Tetapi ternyata mereka tidak mengalami gangguan apapun juga. Mereka melintasi bulak-bulak panjang dengan kecepatan yang tidak terlalu tinggi. Namun tidak seorangpun yang datang mengganggu, atau bahkan mencegat perjalanan mereka. Pandan Wangi menjadi gelisah ketika mereka mendekati induk padukuhan dari Tanah Perdikan Menoreh. Rupa-rupanya ia memasuki daerah kenangan yang sudah lama sekali ditinggalkannya. Dengan demikian, diluar sadarnya, maka kudanya telah berlari semakin cepat. Rasa-rasanya ingin sekali ia segera datang menghadap ayahnya. Namun akhirnya sekelompok orang-orang berkuda itu sampai juga keregol rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Betapa debar jantung Pandan Wangi terasa semakin cepat. Hampir tidak sabar ia mendahului Prastawa memasuki regol dan kemudian meloncat turun dihalaman. Demikian ia menambatkan kudanya, maka iapun segera berlari kependapa. Dalam pada itu, seorang pengawal telah memberitahukan kehadiran Prastawa bersama beberapa orang dari Sangkal Putung, termasuk Pandan Wangi. Karena itulah maka iapun kemudian tergesa-gesa menyambut mereka kependapa.

Demikian Ki Gede Menoreh membuka pintu pringgitan, Pandan Wangi bergeser mendekat. Sejenak diamatinya orang yang berdiri dipintu. Dilihatnya wajah ayahnya yang nampaknya demikian cepat menjadi tua, meskipun tubuhnya masih nampak tegap dan segar. “Ayah,“ Pandan Wangipun kemudian berlari memeluk ayahnya. Seperti seorang ayah yang menyambut anaknya datang dari rantau maka Ki Gede Menoreh-pun mendekap kepala anaknya. Sambil membelai rambut Pandan Wangi ia berkata, “Selamat datang anakku. Marilah, duduklah bersama suamimu dan adikmu.” Terasa wajah Pandan Wangi menjadi basah. Iapun kemudian melepaskan pelukannya. “Duduklah,” sekali lagi ayahnya mempersilahkan. Pandan Wangipun kemudian melangkah kembali ketengah-tengah pendapa. Swandaru dan Sekar Mirah yang masih berdiripun mengangguk hormat pula kepada Ki Gede Menoreh. “Marilah ngger,“ Ki Gede berkata sambil tersenyum, “duduklah.” Ketiganyapun kemudian duduk diatas tikar pandan yang terbentang dipendapa. Sementara Prastawa bersama pengawalnya langsung membawa kuda mereka kebelakang. Namun dalam pada itu. Pandan Wangi melihat sesuatu yang mendebarkan pada ayahnya. Dengan raguragu ia bertanya, “Apakah kaki ayah sakit ?” Ki Argapati yang kemudian duduk pula bersama mereka tersenyum. Sambil memijit kakinya ia berkata, “Keadaan kakiku agaknya memang kurang baik pada akhir-akhir ini. Kadang-kadang kakiku terasa sakit tanpa sebab. Untuk lima sampai enam hari rasa sakit itu bagaikan mencengkam. Namun kemudian perasaan sakit itu hilang dengan sendirinya. Tetapi pada saat lain, rasa sakit itu kambuh untuk lima enam hari pula.” Wajah Pandan Wangi menegang. Ia sadar, bahwa kaki ayahnya memang sudah cacat. Dalam keadaan tidak kambuh sekalipun, apabila ayahnya terlibat dalam pertempuran yang keras, maka kakinya akan terasa sakit. Bahkan kadang-kadang kaki itu telah mengganggunya sehingga ia kehilangan sebagian dari kesempatannya. Dan kini, agaknya keadaan kaki ayahnya itu menjadi semakin buruk. “Tetapi jangan hiraukan kakiku,“ berkata Ki Argapati sambil tertawa, “katakan, bagaimana keadaan kalian diperjalanan. Dan bagaimana keadaan seluruh keluarga di Sangkal Putung.”

Swandarulah yang kemudian menjawab, “Kami dalam keadaan selamat dan baik Ki Gede. Keluarga di Sangkal Putungpun dalam keadaan sehat dan selamat.” “Sokurlah Menoreh juga dalam keadaan sejahtera. Meskipun barangkali tidak dapat menyamai sejahteranya Sangkal Putung,” berkata Ki Gede sambil tertawa. Swandarupun tertawa pula. Jawabnya, “Tentu Tanah Perdikan ini mempunyai beberapa kelebihan.” Ki Gede Menoreh masih tertawa. Ketika ia melihat Prastawa naik pula kependapa, ia berkata, “Prastawa, pamanmu Waskita ada disini. Panggilah. Ia berada digandok. Biarlah ia ikut menyambut anak-anak dari Sangkal Putung ini.” Prastawapun kemudian bergeser surut. Dengan langkah yang cepat ia menuju ke gandok sebelah kanan. Ki Waskita yang sedang sibuk dengan lampu yang agaknya kehabisan minyak terkejut melihat Prastawa masuk ke gandok. Apalagi ketika anak muda itu berkata, “Paman, aku datang bersama kakang Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah.” “O, dimana mereka sekarang ?” bertanya Ki Waskita. “Mereka berada dipendapa,“ jawab Prastawa. “Bagus. Aku akan datang setelah aku mencuci tanganku,“ desis Ki Waskita. “Biarlah anak-anak nanti menyalakan lampu ini.” Ki Waskitapun kemudian dengan tergesa-gesa mencuci tangannya, dan yang dengan tergesa-gesa pula pergi mendapatkan tamu-tamu dari Sangkal Putung yang telah berada dipendapa. “Paman sudah lama berada disini ?“ bertanya Swandaru. “Baru kemarin aku datang,“ jawab Ki Waskita, sementara Prastawa menyambung, “Ketika aku pergi ke Sangkal Putung, paman Waskita belum datang.” “Rasa-rasanya ada yang menggerakkan aku datang kemari,“ berkata Ki Waskita kemudian, “ternyata aku akan bertemu dengan anak-anak muda Sangkal Putung.” “Suatu kebetulan paman, atau paman memang sudah melihat bahwa kami akan datang hari ini,“ desis Pandan Wangi. “Ah, tentu tidak,“ jawab Ki Waskita sambil tersenyum, “tetapi agaknya ada juga sentuhan dihati ini, sehingga aku telah memerlukan datang kemari.”

“Tentu paman sudah melihat satu isyarat, bahwa kami bertiga akan datang hari ini dari Sangkal Putung,“ berkata Pandan Wangi pula, “atau barangkali ada isyarat lain yang harus paman sampaikan kepada kami, sehingga paman telah menunggu kami disini.” “Kau aneh-aneh saja Pandan Wangi. Kau kira aku melihat apa saja yang bakal terjadi ? Jika demikian, alangkah senangnya, karena aku tentu sudah melihat, kapan aku akan diundang oleh Ki Demang Sangkal Putung dalam peralatan perkawinan anak gadisnya,“ jawab Ki Waskita sambil tertawa. Yang lainpun tertawa pula. Tetapi Sekar Mirah telah menundukkan kepalanya dalam-dalam. Pipinya terasa menjadi hangat dan jantungnya menjadi semakin berdebar-debar. Namun akhirnya iapun tersenyum pula. Tanggapan yang lain nampak pada wajah Prastawa. Tetapi ia berusaha menghapus segala kesan diwajahnya. Ternyata kehadiran Pandan Wangi di Tanah Perdikan Menoreh itu membuat Ki Argapati menjadi gembira. Rasa-rasanya hidupnya yang terasa kering itu menjadi segar. Kehadiran anak gadisnya seakan-akan titik air yang menyiram tanah perdikan Menoreh yang kering dimusim kemarau. Atas permintaan Ki Gede Monereh, maka Pandan Wangi, Swandaru dan Sekar Mirah akan berada di Tanah perdikan Menoreh untuk beberapa hari. Rasa-rasanya Ki Gede Menoreh masih belum dapat melepaskan rindunya kepada anak dan menantunya. Selama di Tanah Perdikan Menoreh, Pandan Wangi mempergunakan waktunya untuk menjelajahi seluruh Tanah Perdikan seperti ketika ia masih tinggal bersama ayahnya. Ditemuinya kawan-kawannya bermain. Rasa-rasanya yang pernah dikenal dan hanya tinggal didalam kenangan itu, telah terulang kembali. “Kau masih tetap seperti seorang gadis,“ desis seorang kawannya yang sebaya. “Ah, tentu tidak,“ sahut Pandan Wangi. “Aku sudah mempunyai seorang anak laki-laki,“ berkata kawannya. Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ketika kemudian kawannya mengambil anaknya dari ruang dalam, seorang anak laki-laki yang sangat manis, terasa hatinya telah tersentuh. “Marilah, biarlah aku mendukungnya,“ minta Pandan Wangi. “Ah, kau hanya pantas bermain pedang,“ jawab kawannya sambil tersenyum. Pandan Wangi tersenyum pula. Namun betapa hatinya telah bergejolak. Ia sadar, bahwa kawannya hanya ingin bergurau. Tetapi gurau itu benar-benar telah terasa menghunjam dipusat jantung.

Betapa ia mampu menguasai ilmu pedang rangkap, namun ilmu itu justru hanya melibatkan kedalam pertentangan yang satu kepertantangan yang lain. Tiba-tiba terbersit perasaan iri dihatinya melihat kawannya dengan anak laki-lakinya yang manis. Ketika ia kemudian mendukung anak itu ditangannya, maka tiba-tiba saja ia telah menciuminya. Tanpa sesadarnya, pipi anak itupun menjadi basah. Tetapi Pandan Wangi masih mampu bertahan. Kawannya sama sekali tidak menyangka bahwa pipi anaknya telah dibasahi oleh titik air dari mata Pandan Wangi yang kemudian telah menyelubungi dengan sikap. Ia berjalan hilir mudik sambil mengayun-ayun anak itu ditangannya. Meskipun sekali-sekali ia mengusap matanya, namun kawannya menyangka bahwa justru anaknyalah yang telah mengotori wajah Pandan Wangi. “Marilah, biarlah aku gendong anak nakal itu,“ berkata kawannya. “Biarlah. Beri aku kesempatan sebentar lagi,“ jawab Pandan Wangi sambil membelakangi kawannya. Tetapi ia masih mengayun anak itu yang sekali-kali justru tertawa gembira. Ketika kemudian Pandan Wangi kembali ke rumahnya, kesan tentang seorang anak laki-laki yang manis itu masih terasa mencengkamnya. Bagaimanapun juga ia adalah seorang perempuan. Ia tidak akan dapat berkawan dengan pedang untuk selamanya. Pada suatu saat, ia akan merindukan seorang anak yang tidur disampingnya. Seorang anak yang akan dapat menyambung darah keturunannya. Ketika disore hari. Pandan Wangi duduk dipendapa bersama ayah, suami dan adik iparnya, maka ia tidak merahasiakan perasaannya. Dengan sepenuh perasaan ia menceriterakan betapa kawannya merasa bahagia dengan menimang anak bayinya. “Tidak selamanya aku harus menimang pedang,“ desis Pandan Wangi. Ki Argapati mengangguk-angguk. Ia mengerti perasaan anak perempuannya. Pada suatu ketika ia memang akan merindukan seorang anak laki-laki atau perempuan. Namun anaknya itu masih belum dikurniai momongan. Bahkan tanda-tandanyapun belum ada. “Apakah ia terlalu banyak mengisi waktunya dengan berlatih olah kanuragan,“ bertanya Ki Argapati didalam hatinya. Tetapi Ki Argapati tidak mengucapkannya. Ia yakin, bahwa anaknya akan dapat memilih saat dan menentukan keadaan. Namun apabila Yang Maha Kasih memang belum mengkurniainya, maka betapapun juga, Pandan Wangi masih harus bersabar. Dalam pada itu, setelah beberapa hari Pandan Wangi berada di Tanah Perdikan Menoreh, maka pada satu kesempatan yang baik, Ki Argapatipun berkata kepadanya dan kepada menantunya tentang keadaannya dan tentang keadaan Tanah Perdikan Menoreh yang semakin lama menjadi semakin

mundur. “Persoalannya tidak terlalu tergesa-gesa untuk dipecahkan,“ berkata Ki Argapati, “tetapi sudah pasti, bahwa kodrat seseorang akan sampai juga pada batasnya. Aku menjadi semakin tua. Keadaan tubuhku menjadi semakin lemah. Ternyata bahwa cacad kakiku menjadi semakin parah. Pada mulanya, kakiku lidak pernah kambuh jika aku tidak terlibat dalam pengerahan tenaga yang berlebih-lebihan. Tetapi kini ternyata rasa sakit itu datang tanpa sebab. Aku tidak menyesalinya karena hal itu adalah akibat yang wajar dari tingkah lakuku sendiri. Namun, sudah sewajarnya pula bahwa sejak saat ini aku mulai berpikir tentang masa datang bagi Tanah Perdikan ini. Pada saatnya aku akan tidak mampu lagi melakukan kewajibanku.” Swandaru mendengarkan keterangan Ki Gede Menoreh itu dengan saksama. Ia mengerti dan menyadari sepenuhnya perasaan mertuanya itu. Iapun tidak dapat ingkar, bahwa hari depan Tanah Perdikan Menoreh akan menjadi satu persoalan yang harus dipecahkan. Anak Ki Argapati hanya seorang, Pandan Wangi. Dan Pandan Wangi telah menjadi isterinya. “Apakah aku akan meninggalkan Sangkal Putung dan kemudian tinggal di Tanah Perdikan Menoreh ? “ pertanyaan itu tumbuh dihati Swandaru. Namun dari dasar hatinya yang dalam, ia tidak akan sampai hati meninggalkan Kademangan yang telah dibinanya. Ia adalah satu-satunya anak laki-laki. Saudaranya satu-satunya adalah seorang perempuan. Meskipun Sekar Mirah kelak akan kawin pula, dan bakal suaminya-pun telah dikenalnya dengan baik, tetapi, apakah ia akan dapat berpisah dengan Sangkal Putung. “Disini aku hanya seorang menantu. Jika aku tinggal disini, maka aku adalah seorang laki-laki yang menumpang pada isterinya,” berkata Swandaru didalam hatinya, sebagaimana sifatnya yang selalu dipengaruhi oleh harga diri. Tetapi sebenarnyalah bahwa Swandaru akan sangat berkeberatan untuk berpisah dengan Tanah Kademangan yang sudah lama dibinanya. Dengan demikian maka Swandaru itupun sama sekali tidak menjawabnya. Ia masih dicengkam oleh kekaburan sikap menanggapi masalah yang dilontarkan oleh mertuanya. Namun dalam pada itu, Ki Argapati berkata, “Sudah aku katakan, bahwa persoalannya tidak terlalu tergesa-gesa untuk dipecahkan. Karena itu maka aku tidak ingin mendegar jawabanmu sekarang. Kau masih mempunyai waktu untuk memikirkannya. Karena menurut kenyataan lahiriah aku masih sehat. Hanya kadang-kadang saja kakiku terasa sakit. Namun dalam waktu pendek akan segera sembuh kembali. Namun segalanya memang berada ditangan Yang Maha Kuasa.” Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Baiklah Ki Gede. Aku akan memikirkannya. Persoalan itu adalah persoalan yang wajar, dan yang memang harus mendapat perhatian. Pada saatnya

masalah itu memang harus mendapat jawaban, karena Tanah Perdikan Menoreh, maupun Kademangan Sangkal Putung tidak boleh berhenti tanpa berkelanjutan.” “Bagus sekali,“ sahut Ki Gede, “kau benar-benar sudah berpikir dengan matang. Aku sangat berbesar hati. Pemikiran yang sungguh-sungguh memang akan menghasilkan keputusan yang mapan. Apalagi masalahnya adalah masalah yang menentukan bagi satu daerah yang mempunyai masalahnya masingmasing, dan satu daerah yang menjadi wadah dari berbagai bentuk kehidupan dan persoalan.” Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Karena itu, maka Ki Gedepun berpesan kepada anak perempuannya, “Cobalah membantu suamimu. Apa yang baik menurut pendapatmu, sehingga pada saatnya suami-mu akan dapat mengambil satu keputusan yang baik, mapan dan menguntungkan segala pihak.” “Aku akan mencoba ayah,“ berkata Pandan Wangi. “Sekali lagi aku beritahukan bahwa persoalannya tidak sangat tergesa-gesa. Aku akan menunggu,“ berkata Ki Gede Menoreh. Swandaru dan isterinya menyadari, bahwa hal itu adalah hal yang penting sehingga ayahnya menyuruh Prastawa datang menjemputnya di Sangkal Putung. Meskipun ayahnya selalu mengatakan bahwa persoalannya tidak tergesa-gesa, namun persoalan itu memang harus sudah mulai dipikirkan. Demikianlah, setelah Ki Argapati menyampaikan masalah itu kepada anak dan menantunya, maka rasa-rasanya sebagian beban dihatinya telah diletakkannya diatas pundak anak dan menantunya, yang akan dapat membantu memikulnya. Swandaru dan Pandan Wangipun merasa, bahwa masalah yang terpenting telah disampaikan oleh Ki Argapati kepada mereka, sehingga mereka sudah dapat meninggalkan Tanah Perdikan itu apabila perasaan rindu mereka terhadap Tanah itu sudah terobati. Karena itu, maka dihari berikutnya, rasa-rasanya Pandan Wangi hanya sekedar menuntaskan rasa rindunya kepada Tanah Perdikan tempat ia dilahirkan. Ia mengunjungi kawan-kawannya dan tempattempat yang pernah memberikan kesan tertentu. Kadang-kadang ia pergi bersama suaminya, namun kadang-kadang ia pergi bersama Sekar Mirah. Namun dalam pada itu, agaknya Sekar Mirah kadang-kadang menentukan acaranya sendiri. Diluar pengetahuan Swandaru dan Pandan Wangi, kadang-kadang Sekar Mirah telah menentukan untuk melihat sesuatu yang menarik hatinya bersama Prastawa. Bahkan Prastawa dengan sengaja telah mengajak Sekar Mirah ketempat-tempat yang asing bagi gadis Sangkal Putung itu. Ada semacam perasaan kurang senang pada Swandaru melihat tingkah adiknya. Namun iapun merasa segan untuk menegurnya. Jika isterinya salah paham, seolah-olah ia tidak percaya kepada adik sepupunya, maka persoalannya akan bergeser menjadi persoalannya dengan isterinya. Karena itu, maka Swandaru hanya dapat menahan perasaannya itu didalam dadanya. Tetapi kadang-

kadang dengan sengaja ia telah membawa Sekar Mirah pergi bersamanya mengelilingi Tanah Perdikan Menoreh yang dibatasi oleh pegunungan yang membujur panjang, bersama Pandan Wangi. Namun dalam kesempatan yang demikian, Prastawa tentu ikut serta bersama mereka. “Aku tidak mengerti, apakah maksudnya,“ bertanya Swandaru kepada diri sendiri. Namun hal itu, seolah-olah telah mendesak Swandaru untuk segera meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh, membawa adik perempuannya itu kembali ke Sangkal Putung, sebelum sesuatu yang tidak dikehendakinya berkembang lebih jauh. “Prastawa memang mempunyai sifat dan watak yang lebih menarik dari kakang Agung Sedayu,“ berkata Swandaru didalam hatinya, “anak ini nampak gembira, terbuka dan sedikit sombong. Tetapi bagi seorang perempuan sifat yang demikian nampaknya memang lebih menarik.” Tanpa menimbulkan kesan yang kurang baik pada Pandan Wangi, maka Swandaru telah bertanya kepada isterinya, apakah mereka sudah cukup lama berada di Tanah Perdikan Menoreh. “Jika keadaan Sangkal Putung tidak sedang dibayangi oleh peristiwa yang terjadi di Jati Anom, maka aku kerasan tinggal disini untuk waktu yang lebih lama lagi,“ berkata Swandaru. Pandan Wangi menyadari, bahwa Ki Demang Sangkal Putung tentu sudah gelisah menunggu kedatangan mereka kembali. Bahkan jika terjadi sesuatu, maka semua pihak tentu akan menyesalinya. Karena itu, maka Pandan Wangipun sependapat, bahwa mereka akan segera kembali ke Kademangan Sangkal Putung setelah mereka berada di Tanah Perdikan Menoreh beberapa saat lamanya. “Kenapa kalian demikian tergesa-gesa kembali ?“ bertanya Ki Gede Menoreh. “Keadaan Sangkal Putung agak menggelisahkan akhir-akhir ini ayah,“ Pandan Wangi yang menjawab, “sementara kita bertiga disini, maka kemungkinan yang tidak kita kehendaki nnungkin sekali terjadi di Sangkal Putung.” Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Ia sudah mendengar ceritera anak-anak Sangkal Putung itu, tentang apa yang telah terjadi di Jati Anom. Karena itu, maka iapun tidak ingin menahannya lebih lama lagi. “Baiklah,“ berkata Ki Argapati, “sementara kau berada di Sangkal Putung, kau akan sempat memikirkan persoalan yang aku katakan. Tidak usah dengan hati yang risau, karena persoalannya sekali lagi aku katakan tidak terlalu tergesa-gesa. Demikianlah maka Swandaru dan Pandan Wangipun memutuskan, dikeesokan harinya, mereka akan kembali ke Sangkal Putung, setelah untuk beberapa lama mereka tinggal di Tanah Perdikan Menoreh. Dalam pada itu, dibagian yang agak terpisah dari daerah yang ramai, beberapa orang menunggu dengan tidak sabar lagi, seolah-olah Swandaru telah bertahun-tahun berada di Tanah Perdikan Menoreh.

Salah seorang dari mereka telah membujuk seseorang agar orang itu memberitahukan kepadanya, kapan Swandaru akan kembali. “Untuk apa ?“ bertanya orang itu ketika seseorang menemuinya di pategalan dan menyatakan keinginannya untuk mengetahui saat Swandaru kembali ke Jati Anom. “Tidak apa-apa,“ jawab orang itu, “aku hanya ingin mengejutkannya. Aku adalah kawannya yang sudah lama tidak bertemu.“ Orang itu termangu-mangu. Namun iapun kemudian tertegun melihat beberapa keping uang ditangan orang yang membujuknya itu. “Kau akan mendapat uang ini jika kau bersedia membantu aku. Kau tidak usah berbuat apa-apa. Kau hanya mengatakan kepadaku Jika kau mengetahui atau mendengar dari siapapun juga, kapan Swandaru akan kembali.“ bujuk orang itu pula, “dan kau tidak akan bertanggung jawab tentang apapun juga.“ Rasa-rasanya beberapa keping uang itu telah menggelitiknya pula. Karena itu, maka katanya, “Aku akan mengatakannya, jika aku mengetahuinya. Tetapi dimana aku dapat bertemu dengan kau lagi ?” “Aku akan menjumpaimu dipategalan ini setiap kali.” Demikianlah, seperti yang dikatakan, maka orang itu telah menemuinya pula dipategalan itu dihari berikutnya. Ternyata bahwa orang yang berada dipategalannya itupun sudah mendengar dari orangorang disekitar rumah Ki Gede, bahwa Swandaru akan kembali pada saat matahari terbit dihari berikutnya. “Darimana mereka megetahuinya,“ bertanya orang yang membujuknya itu. “Mereka mendengar dari para pembantu dirumah Ki Gede. Anak Demang Sangkal Putung, bersama isteri dan adiknya akan kembali besok. Mereka sudah mengemasi barang-barang yang akan dibawanya,“ jawab orang itu. Orang yang bertanya tentang Swandaru itu tertawa. Katanya, “Omong kosong. Mereka tentu belum akan mengemasi pakaian atau barang-barangnya yang lain sejak orang-orang itu mendengar berita itu.” “Tetapi mereka berkata begitu,“ orang itu bertahan. “Baiklah. Aku akan menepati janjiku. Aku akan menyerahkan uang ini kepadamu. Tetapi aku masih minta kau berjanji,“ berkata orang yang telah menimang uang ditangannya.

“Janji apa?” “Jangan mengatakannya kepada siapapun juga. Kepada isterimupun jangan agar kau tidak mendapat malapetaka karenanya.“ Orang itu termangu-mangu. Tetapi iapun menerima uang yang diberikan kepadanya. Uang beberapa keping itu tentu akan sangat berguna baginya. “Aku hanya berjanji untuk tidak mengatakannya kepada siapapun juga,“ berkata orang itu didalam hatinya, “sementara keberangkatan anak Sangkal Putung itu telah diketahui oleh banyak orang, terutama dipadukuhan induk.” Karena itu, maka orang itupun merasa, bahwa ia tidak bersalah dengan perbuatannya itu. Namun dalam pada itu, berita itu ternyata merupakan berita penting bagi orang-orang yang berada dipadukuhan kecil yang agak terpisah oleh bulak panjang dari padukuhan-padukuhan Tanah Perdikan Menoreh yang lain. “Kita akan mencegatnya,“ berkata orang yang tertua diantara mereka. “Kita sudah kehilangan banyak waktu Ki Lurah,“ berkata salah seorang dari mereka. “Sudah aku katakan sejak mereka datang ke Tanah Perdikan ini,“ sahut seorang yang bertubuh raksasa. “Baiklah,“ orang yang disebut Ki Lurah itu menjawab, “kita akan segera bertindak. Kita akan membinasakan mereka. Kita tidak usah memancing Swandaru keluar dari Kademangannya. Ia sendiri telah mengumpankan dirinya. Kali ini, yang kita hadapi bukan Agung Sedayu, bukan prajurit muda di Jati Anom yang bernama Sabungsari. Bukan pula Kiai Gringsing atau orang-orang lain yang memiliki kemampuan diluar nalar kita. Yang akan lewat hanyalah Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Meskipun kita gagal membunuh Agung Sedayu dan Sabungsari, karena kedunguan orang-orang Gunung Kendeng, maka kita sekarang akan berhasil membunuh yang lain. Namun sebenarnya tidak banyak bedanya. Yang penting, orang-orang yang sudah termasuk kedalam deretan nama dari mereka yang harus disingkirkan itu dapat dibinasakan, siapapun yang lebih dahulu.” “Tetapi agaknya Swandaru itu termasuk orang yang lebih penting. Karena ia mempunyai Sangkal Putung. Sementara Sangkal Putung berada digaris hubungan antara Pajang Mataram. Karena itu, maka Sangkal Putung akan dapat menjadi duri didalam garis pertempuran yang mungkin akan terjadi disekitar Sangkal Putung, Kali Wedi atau Taji. Tetapi mungkin juga terjadi di Prambanan atau sepanjang sungai Opak,“ desis salah seorang dari mereka. “Banyak kemungkinan yang dapat terjadi. Tetapi kematian mereka bertiga akan melumpuhkan Sangkal Putung, sehingga Sangkal Putung tidak akan dapat mengganggu lagi, jika pasukan Pajang akan menuju ke Mataram,“ berkata orang bertubuh raksasa. “Kita memang tidak akan dapat memperhitungkan Untara.

Kita tidak tahu pasti, apa yang akan dilakukan jika terjadi benturan antara Pajang dan Mataram,“ berkata orang yang dipanggil Ki Lurah. “Ia seorang prajurit yang setia dan siap menjalankan segala tugas yang diserahkan kepadanya. Jika Sultan memerintahkannya menyerbu Mataram, maka ia akan pergi,“ berkata salah seorang dari mereka. “Kau salah menilai Untara,“ berkata Ki Lurah, “ia adalah seorang yang berpegangan kepada paugeran. Kepada ketentuan yang berlaku dan benar menurut keyakinannya. Jika ia tahu, bahwa benturan kekuatan antara Pajang dan Mataram itu dipengaruhi oleh satu keadaan tertentu, maka ia akan dapat mengambil sikap sendiri.” Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka pernah mendengar sikap Untara. Karena itu, maka merekapun mempunyai penilaian khusus terhadap Senapati muda itu. Namun dalam pada itu, orang yang mereka sebut Ki Lurah itupun kemudian berkata, “Kita tidak perlu menilai siapapun. Kita tidak perlu memikirkan apa yang akan dilakukan oleh para pemimpin di Pajang. Yang harus kita lakukan sekarang adalah membinasakan Swandaru dan kedua orang perempuan itu.” Tetapi seorang dari antara mereka bertanya, “Tetapi apakah benar, bahwa mereka akan kembali ke Sangkal Putung hanya bertiga saja ?” “Aku kira demikian. Prastawa, kemanakan Ki Gede Menorehdan pengawalnya tentu akan tinggal di Tanah Perdikan Menoreh,“ jawab Ki Lurah. Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka menganggap bahwa mereka tentu akan dapat menyelesaikan tugas mereka, apalagi ketika orang yang disebut Ki Lurah itu berkata, “Jika kita masih ragu-ragu, biarlah aku mengajak dua orang gegedu dari Gunung Sepikul itu.” “Apakah kita harus memanggil mereka disebelah hutan Kepandak,“ bertanya salah seorang pengikutnya. “Kau bodoh sekali. Apakah kau tidak mengenal keduanya lagi ?“ bertanya Ki Lurah. “Aku sudah mengenal mereka,“ jawab orang bertubuh raksasa. “Keduanya berada diantara tukang satang,“ jawab Ki Lurah. Kawan-kawannya menjadi ragu-ragu. Tetapi Ki Lurah berkata, “Nanti malam aku akan memanggil keduanya. Besok pagi Swandaru akan kembali ke Sangkal Putung. Biarlah keduanya membantu. Mereka akan mendapat bagian pula sekedarnya.” “Jika mereka berada diantara tukang satang, aku akan mengenalnya,“ orang-orang itu masih saling

berbisik. Tetapi ternyata mereka memang tidak mengenal, selain orang yang disebut Ki Lurah. Katanya kemudian, “Nanti malam, aku akan membawa mereka kemari.” Ternyata seperti yang dijanjikan, maka ketika malam turun, Ki Lurah datang ketempat orang-orang yang besok akan mencegat Swandaru itu bersama dua orang tukang satang. “Inilah mereka,“ berkata Ki Lurah. “Kau berpakaian seperti benar-benar seorang tukang satang. He, apakah keuntunganmu dengan kerjamu itu he ? Apakah kau sedang bertugas untuk mengamati seseorang,“ bertanya yang bertubuh raksasa. “Tidak,“ jawab gegedug dari Gunung Sepikul itu, “aku sedang kekurangan buruan. Disini aku mencoba untuk mengadu nasib. Jika ada orang yang pantas aku rampas hartanya, maka aku akan melakukannya. Ditengah sungai atau setelah mereka turun.“ “Kau merusak kehidupan tukang-tukang satang yang lain,“ desis Ki Lurah. “Aku tidak peduli dengan mereka, Merekapun mengetahui bahwa aku akan merampok jika aku melihat korban yang memadai. Tetapi mereka tidak akan berani berbuat apa-apa.” “Tetapi penyeberangan ini akan menjadi sepi. Orang-orang akan mencari tempat penyeberangan yang lain.” “Aku juga akan berpindah tempat. Tidak ada seorang tukang satangpun yang akan berani mengganggu aku, dimanapun aku berada diantara mereka,“ jawab salah seorang dari kedua tukang satang itu. Ki Lurah itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Sebenarnya aku ingin menawarkan pekerjaan bagi kalian.” “Pekerjaan apa ?“ bertanya tukang satang itu. “Kita merampok. Kau akan mendapat harta benda nya, dan kami akan mendapat nyawanya.” “Maksudmu ?“ bertanya salah seorang tukang satang itu. Ki Lurahpun kemudian menceriterakan tentang tiga orang yang menurut pengamatan Ki Lurah, akan melintasi Kali Praga besok pagi.

“Apakah kau pasti bahwa mereka akan lewat jalan ini ? Bukan daerah penyeberangan lain ?“ bertanya tukang satang itu. “Aku sudah memperhitungkannya. Ketika mereka datang, perhitunganku tepat. Mereka pasti akan memilih jalan ini,“ jawab Ki Lurah, “sedangkan menurut perhitunganku, mereka akan kembali lewat jalan ini pula.” “Siapa mereka ?“ bertanya tukang satang itu. “Anak Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang bersuamikan anak Sangkal Putung itu, “jawab Ki Lurah. “Yang beberapa hari yang lalu lewat jalan ini pula.” “Sudah aku katakan,“ desis Ki Lurah. “Sebenarnya aku ingin menyelesaikan mereka tanpa kalian. Dengan demikian aku akan mendapatkan seluruhnya. Kalian tidak akan mendapat bagian apapun juga.” “Aku tidak membutuhkan apa-apa,” berkata Ki Lurah, “aku hanya menginginkan Swandaru tersingkirkan. Aku hanya akan menuntut kematiannya.” Keduaorang tukang satang itu termangu-mangu. Lalu katanya, “Kalian telah mengenal aku. Sepasang elang dari Gunung Sepikul. Kenapa kalian masih hanya memikirkan kepentingan kalian saja ? Kenapa kalian hanya menghendaki kematian saja ? Tetapi jangan dikira bahwa dengan demikian justru kalian sajalah yang telah mempunyai satu kepentingan yang luar biasa. Aku berduapun mempunyai kepentingan yang besar pada keduanya.” “Aku tahu. Kalian tentu menghendaki apa yang mereka bawa. Aku sama sekali tidak berkeberatan. Ambillah yang akan kalian ambil daripadanya. Kami hanya menghendaki nyawanya.” “Kenapa kalian menghubungi kami,“ tiba-tiba saja salah seorang dari kedua orang itu bertanya. “Kami dapat bekerja sendiri. Kalianpun dapat bekerja sendiri. Tetapi kita mungkin akan gagal karena yang akan lewat adalah murid orang bercambuk itu. Agar kita pasti, maka sebaiknya kita akan bekerja bersama. Terutama bagi kalian berdua. Kalian berdua sama sekali tidak akan berdaya menghadapi ketiga orang itu,“ berkata Ki Lurah. Kedua orang dari Gunung Sepikul itu termangu-mangu. Namun merekapun ternyata memang lebih senang bekerja bersama dengan tujuan yang berbeda daripada bekerja sendiri-sendiri, tetapi dibayangi oleli kegagalan. Demikianlah maka kedua orang dari Gunung Sepikul, disebelah alas Kepandak itu akhirnya

menyatakan diri untuk bersama-sama mencegat ketiga orang dari Sangkal Putung itu. Ki Lurah ingin meyakinkan kematian, ketiga orang itu, sementara kedua orang itu akan mendapat apa saja yang dibawa oleh ketiga orang dari Sangkal Putung itu. Demikianlah maka mereka telah berjanji untuk bekerja bersama-sama. Karena sebenarnyalah mereka mengakui didalam hati, bahwa masing-masing dari mereka tidak akan dapat berbuat banyak atas ketiga orang dari Sangkal Putung itu. Meskipun kedua orang dari Gunung Sepikul itu belum mengenal dengan baik anak Demang Sangkal Putung itu, tetapi ia percaya akan keterangan orang yang disebut Ki Lurah itu. Ketujuh orang itupun kemudian bersepakat untuk melakukan pencegatan itu diseberang Kali Praga, setelah ketiga orang itu meninggalkan tlatah Tanah Perdikan Menoreh. “Kita tidak usah mempedulikan, apakah ada orang yang melihat atau tidak. Kita akan segera menyelesaikan pekerjaan kita. Sementara berita perampokan itu terdengar oleh orangorang yang memiliki keberanian serba sedikit untuk membantu, ketiga orang itu sudah terkapar mati. Kita telah lenyap sementara kita dapat menikmati hasil yang kita inginkan,“ berkata salah seorang dari Gunung Sepikul itu. “Kehadiran orang lain hanya akan menambah korban,“ desis Ki Lurah, “kita akan mencegat mereka dipadang ilalang, dekat tepian. Kita dapat mendesaknya menjauhi jalan yang memang tidak terlalu ramai itu. Memang lebih baik jika tidak ada orang yang melihat perkelahian diantara kita dengan orang-orang itu. Tetapi jika ada orang yang ingin mencampuri persoalan ini, maka merekapun akan mati pula.” “Dan aku akan mendapat tambahan rampasan. Mungkin sarung keris dari emas, atau timang bertreteskan berlian,“ desis salah seorang dari kedua orang Gunung Sepikul itu. Dalam pada itu, di Tanah Perdikan Menoreh, Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun telah berkemas. Dipagi hari mereka akan berangkat meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh, kembali ke Sangkal Putung. “Besok kami akan mengantar kalian sampai ketepi Kali Progo,“ berkata Prastawa. “Demikian jauh,” sahut Swandaru. “Tidak apa-apa. Bukankah kami terbiasa nganglang keseluruh daerah Tanah Perdikan ini,“ berkata Prastawa. Swandaru tidak mencegahnya. Prastawa bersama beberapa orang pengawal akan mengantar mereka, sampai saatnya mereka menyeberang. Namun mereka sama sekali tidak memperhitungkan, bahwa di seiberang kali Praga beberapa orang telah siap menunggu mereka.

Tetapi yang juga tidak disangka-sangka oleh Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah adalah, bahwa ketika mereka duduk dipendapa dimalam hari, menjelang keberangkatan mereka dikeesokan harinya, maka Ki Waskita berkata, “Aku ingin melihat, bagaimana keadaan Agung Sedayu yang terluka parah itu.” “Jadi paman juga akan pergi ke Sangkal Putung?“ Pandan Wangi bertanya dengan serta merta. “Ya. Aku juga akan pergi ke Sangkal Putung untuk selanjutnya pergi ke Jati Anom. Kepadepokan kecil itu,“ jawab Ki Waskita. “Senang sekali,“ sahut Swandaru, “ada kawan berbincang di perjalanan. Dengan demikian perjalanan kami akan terasa sangat pendek.” Dengan demikian, maka Ki Waskitapun minta diri pula kepada Ki Gede Menoreh untuk di keesokan harinya pergi bersama-sama dengan anak Ki Demang Sangkal Putung itu setelah beberapa hari berada di Tanah Perdikan Menoreh. Rasa-rasanya ada perasaan rindu pula kepada Agung Sedayu yang sudah agak lama tidak dilihatnya. Bagi Ki Waskita Agung Sedayu bukanlah orang lain. Anak muda itu adalah satu-satunya orang yang dipercayainya untuk melihat isi kitabnya, selain anak laki-lakinya yang telah melakukannya pula diluar pengetahuannya. Namun yang ternyata telah memilih jalan sendiri. Ternyata Rudita telah menemukan ujud kedamaian didalam hatinya melampaui orang lain. Apalagi ketika Ki Waskita mendengar bahwa Agung Sedayu baru saja mengalami pertempuran yang membuatnya terluka parah. Maka keinginannya untuk bertemu dengan anak muda itu menjadi semakin besar. Didini hari, mereka yang akan berangkat ke Sangkal Putung itupun telah mengemasi diri. Bahkan didapur rumah Ki Gede Menoreh itupun telah sibuk beberapa orang yang menyiapkan makan pagi bagi mereka yang akan pergi ke Sangkal Putung. Sementara Prastawa dan beberapa orang pengawalnya telah siap pula untuk mengantarkan Swandaru sampai ketepi Kali Praga. Menjelang matahari terbit, maka sebuah iring-iringan kecil telah meninggalkan rumah Ki Gede Menoreh. Selain mereka yang akan pergi ke Sangkal Putung, maka mereka telah diiringi pula oleh beberapa orang Tanah Perdikan Menoreh sendiri, termasuk Prastawa. Ada semacam perasaan kecewa dihati Prastawa, bahwa Sekar Mirah demikian cepat meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi ia tidak dapat menahannya. Agaknya Pandan Wangi sendiri memang sudah berniat untuk kembali. Dengan demikian, maka keberangkatan mereka tidak akan dapat ditunda lagi. Ki Gede Menoreh yang memberikan beberapa pesar pada saat keberangkatan anak dan menantunya hanya dapat mengantar mereka sampai kegerbang halaman rumahnya. Selebihnya ia hanya melambaikan tangannya ketika iring-iringan itu mulai bergerak.

Cahaya pagi yang cerah, memantul pada daun-daun padi yang hijau segar. Seolah-olah daun yang bergetar disentuh angin itu bergemerlapan kekuning-kuningan. Tidak begitu jauh nampak pegunungan Menoreh membujur ke Utara, seolah-olah merupakan dinding raksasa yang mehndungi Tanah Perdikan itu dari amukan angin-angin dan badai. Sementara tatapan mata kearah Selatan, lepas bebas sampai pada batas langit, menyeberangi samodra yang seakan-akan tidak bertepi. Iring-iringan itu tidak maju terlalu cepat. Kuda-kuda itu berderap melalui bulak panjang dan pendek. Beberapa orang nampak sedang sibuk menggarap sawah mereka. Pandan Wangi merasa betapa semuanya itu telah dikenalnya sejak masa kanak-kanaknya. Anganangannya tiba-tiba saja telah melayang kemasa mendatang. Siapakah yang kemudian akan memimpin Tanah Perdikan yang pada saat-saat terakhir seakan-akan tidak berkembang lagi. Tanpa sesadarnya ia berpaling kepada adik sepupunya, Prastawa, yang berkuda disebelah Sekar Mirah. Ternyata tidak hanya pada Swandaru saja yang mempunyai tanggapan yang aneh atas sikap Prastawa terhadap Sekar Mirah. Pandan Wangipun kadang kadang merasa gelisah melihat sikap adik sepupunya. Pandan Wangi tahu benar, siapakah Sekar Mirah itu. Dan iapun tahu benar, bahwa ada hubungan yang khusus antara Sekar Mirah dan Agung Sedayu. “Jika Prastawa tidak dapat mengendalikan dirinya, apakah kira-kira yang akan terjadi,“ berkata Pandan Wangi didalam hatinya, “kakang Agung Sedayu bukan seorang yang keras hati. Mungkin ia tidak akan berbuat apa-apa. Jika terjadi sesuatu antara Sekar Mirah dan Prastawa yang pantas menjadi adiknya itu, tentu Agung Sedayu akan melepaskannya tanpa berbuat apa-apa, betapapun sakit hatinya. Mungkin Agung Sedayu akan pergi, menyepi atau bertapa seumur hidupnya. Ia akan semakin kehilangan gairah hidup yang dirasanya terlalu kejam baginya.” Tetapi Pandan Wangi tidak mengatakan sesuatu. Ia masih ingin melihat perkembangan lebih jauh. Apabila arah hubungan keduanya akan sisip dari hubungan pergaulan yang wajar, maka ia berhak untuk menegur adik sepupunya. Namun Pandan Wangi melihat pula kemungkinan yang dapat dilakukan oleh Prastawa atas Tanah Perdikan Menoreh. Apakah mungkin untuk dapat mempercayainya memegang kendali atas Tanah Perdikan yang cukup luas itu. Dalam pada itu, tumbuh pengakuan didalam hati Pandan Wangi, “Aku kurang mempercayainya. Mungkin ia masih terlalu muda. Mungkin pada saat mendatang, ia akan menemukan kepribadiannya. Namun aku masih menyangsikannya.” Dalam pada itu, iring-iringan itu berjalan terus. Sekali-kali Pandan Wangi dan Swandaru berpaling

jika mereka mendengar gurau yang segar antara Prastawa dan Sekar Mirah. Namun setiap kali dada mereka berdesir digores oleh kegelisahan hati. Akhirnya perjalanan itupun sampai ketepi Kali Praga. Mereka memilih tempat menyeberang dipenyeberangan yang mereka lewati disaat mereka berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh. Betapapun perasaan Prastawa dicengkam oleh kekecewaan, namun iring-iringan itu turun pula kedalam rakit yang akan membawa mereka menyeberang. Pandan Wangi yang sudah berada diatas rakit, masih juga memberikan pesan kepada adik sepupunya, agar ia menjaga Tanah Perdikan Menoreh sebaik-baiknya. “Ayah dan pamanmu sudah menjadi semakin tua,“ berkata Pandan Wangi. “Kedua-duanya memerlukan pengamatanmu.” Prastawa mengangguk sambil menjawab, “Sejauh dapat aku lakukan, aku akan melakukannya.” Pandan Wangi tersenyum. Katanya, “Bagus. Tidak ada orang lain yang akan dapat melakukannya diatas Tanah Perdikan Menoreh, selain kau.” Prastawapun tersenyum pula. Namun kekecewaannya masih tetap membayang ketika rakit itu mulai bergerak. Yang kemudian duduk dengan kepala tunduk diatas rakit itu adalah Ki Waskita. Ternyata iapun mengamati sikap Prastawa yang membuatnya menjadi gelisah pula seperti Swandaru dan Pandan Wangi. Bahkan lebih dari pada itu. Selain pengamatannya atas sikap kemanakan Ki Gede Menoreh itu, maka setiap kali penglihatan batin Ki Waskitapun dibayangi oleh kabut yang buram pada hubungan antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Tetapi seperti yang lain, Ki Waskitapun tidak mengatakan kepada siapapun juga. Seperti yang lain, maka yang mereka lihat dan mereka cemaskan barulah prasangka saja. Demikianlah, maka rakit yang mereka tumpangi itupun meluncur diatas air berwarna lumpur. Jarak yang mereka seberahgi memang tidak terlalu panjang, sehingga karena itu, maka mereka tidak memerlukan waktu terlalu lama. Ketika mereka turun diseberang, dan setelah mereka memberi upah kepada tukang satang yang mendorong rakit mereka melintas, maka mereka pun segera berkemas untuk meneruskan perjalanan. Diseberang masih nampak Prastawa dan pengawalnya melambaikan tangan mereka. Yang baru turun dari rakit itupun melambai pula. Namun merekapun kemudian mulai bergerak meninggalkan tepian. Tetapi demikian kuda mereka meninggalkan pasir tepian yang basah, dua orang yang berpakaian seperti tukang satang pula mendekatinya sambil berkata, “Kami mohon maaf, bahwa kami telah berani menghentikan perjalanan tuan.”

Swandaru yang berada dipaling depan menarik kendali kudanya. Kemudian iapun bertanya, “Apakah kalian mempunyai kepentingan dengan kami?” “Kami adalah tukang satang tuan,“ berkata salah seorang dari mereka, “kamilah yang beberapa hari yang lalu telah menyeberangkan tuan ke Tanah Perdikan Menoreh.” Swandaru mengerutkan keningnya. Namun ia berdesis, “Aku kira bukan kalian.” “Ya, bukan kedua orang itu,“ desis Sekar Mirah. Ternyata anak Sangkal Putung itu tidak mudah untuk melupakan pengenalannya atas seseorang pada sesuatu peristiwa. Bahkan Pandan Wangipun yakin pula, bahwa bukan kedua orang itulah yang telah menyeberangkan mereka beberapa hari yang lalu. Karena itu, maka salah seorang dari tukang satang itupun berkata, “Memang bukan kami berdua yang telah melakukannya. Maksudku, rakit yang kalian pergunakan adalah rakit kami. Sedang orang-orang yang waktu itu mendorong rakit tuan dengan satang, memang bukan kami, tetapi saudara-saudara kami.” Swandaru mengangguk-angguk. Dan orang itu berkata seterusnya, “ada sesuatu yang tertinggal dirakit kami tuan. Karena itu, kami mohon tuan dapat melihatnya jika barang itu milik tuan.” Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berkata, “Tidak ada barang kami yang ketinggalan. Tentu bukan milik kami.” “Sudah tiga orang yang kami minta untuk melihatnya. Setiap orang yang kami kira pernah kami seberangkan dibeberapa hari yang lalu, dan kemudian melintas kembali, telah kami persilahkan untuk mengenalinya. Tetapi tidak seorangpun yang merasa kehilangan,“ berkata orang itu. Swandaru memandang Pandan Wangi sekaligus. Yang nampak justru kebimbangan dan keragu-raguan. Ketika ia memandang Ki Waskita, orang tua itupun nampaknya ragu-ragu. “Paman,“ desis Swandaru, “apakah kita perlu menengoknya.” Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Jika kita memang tidak merasa kehilangan, maka sebaikya kita tidak perlu singgah.” “Mungkin tuan-tuan mengenal barang apakah yang kami temukan itu. Penting atau tidak penting atau barang yang tidak berharga sama sekali,“ desis salah seorang dari keduanya.

“Apakah ujudnya ? “ Sekar Mirahlah yang bertanya. “Sebilah keris,“ jawab orang itu. “Keris,“ Sekar Mirah mengulang, “benar-benar sebilah keris ?” “Ya. Sebilah keris. Apakah keris itu sebuah pusaka atau bukan, kami memang tidak mengetahuinya,“ jawab orang itu. Namun dalam pada itu Ki Waskita berkata, “Cobalah Ki Sanak bertanya kepada orang yang akan menyeberang kemudian. Mungkin mereka benar-benar telah kehilangan barang itu.” “Kita dapat melihatnya paman,“ berkata Sekar Mirah, “sekedar melihat.” “Sekedar melihat,“ orang yang berpakaian tukang satang itu mengulang, “atau barangkali tuan dapat memberikan beberapa petunjuk kepada kami, apakah yang sebaiknya kami lakukan atas barang-barang itu. Menyerahkan kepada Ki Demang, atau kepada siapa ?” “Kita akan melihat, sekedar melihat, karena kami memang tidak pernah merasa kehilangan “ desis Sekar Mirah. Swandaru tidak mencegahnya. Karena itu, maka merekapun kemudian mengikuti kedua orang itu menuntas jalan sempit diantara batang-batang ilalang. “Kita akan pergi kemana ?“ bertanya Swandaru kepada kedua orang itu. “Kami mempunyai sebuah gubug kecil dibalik pepohonan perdu itu. Tempat untuk sekedar beristirahat jika terik matahari membakar punggung,” jawab orang itu Swandaru sama sekali tidak bercuriga. Karena itu, maka iapun mengikut saja kemana orang itu pergi. Dalam pada itu, lima orang yang lain telah menunggu. Dari balik sebuah gerumbul keempat orang itu mengintip Swandaru yang datang berkuda bersama tiga orang lainnya. “Mereka berempat,“ desis orang yang dipanggil Ki Lurah. “Yang seorang bukannya kawan mereka seperjalanan ketika mereka berangkat,“ desis yang lain. “Persetan orang tua itu. Tetapi nasibnya ternyata sangat buruk, karena kami harus membunuhnya sama sekali,“ berkata Ki Lurah.

“Biar sajalah. Kehadirannya tentu tidak akan berpengaruh sama sekali,“ berkata seorang yang bertubuh tegap. Dalam pada itu, Swandaru yang berada dipaling depan bertanya pula, “Mana gubugmu he ?” Kedua orang itupun justru berhenti. Kemudian mereka berpencar beberapa langkah sambil bersiap menghadapi segala kemungkinan. Yang seorang dari mereka kemudian berkata, “Itulah gubug kami.” Semua orang berpaling kearah yang ditunjuk oleh orang itu. Tetapi mereka sama sekali tidak melihat sebuah gubugpun. Yang mereka lihat adalah sebuah gerumbul perdu yang bergerak-gerak mencurigakan. Ki Waskita segera melihat, apa yang ada dibelakang gerumbul itu. Ketajaman penglihatannya menangkap gerak yang tidak wajar dari dedaunan dan ranting-ranting perdu. Bahkan kemudian ia melihat ujung kaki yang mencuat diantara dedaunan dan batang-batang ilalang. “Kita tidak usah bermain sembunyi-sembunyian,“ berkata Ki Waskita kemudian, “silahkan tampil. Kami akan senang sekali berkenalan dengan Ki Sanak semuanya.” Kedua orang yang berpakaian seperti tukang satang itu mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia menjawab, maka orang yang disebut Ki Lurah itupun sudah meloncat dari balik gerumbul sambil berkata, “Kami sama sekali tidak bersembunyi. Kami sedang menunggu tuan-tuan dibayangan dedaunan yang rimbun.” Swandaru, Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Ki Waskita menjadi berdebar-debar juga ketika kemudian muncul pula ampat orang lainnya. Terlebih-lebih mereka yang segera dapat mengenali keempat orang yang pada saat mereka berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh telah membuat mereka menjadi curiga. “Itulah mereka,” desis Pandan Wangi. “Ya,“ sahut Swandaru, “kita sudah terpancing. Agaknya mereka sengaja menjebak kita.” “Gila,“ Sekar Mirah menggeram. Ia merasa bahwa kesalahan terbesar terletak padanya, sehingga mereka telah terjebak kedalam satu perangkap. Karena itu, maka iapun bergeser maju sambil berkata lantang, “Apa yang kalian kehendaki dari kami.” Orang yang disebut Ki Lurah itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia menjawab, “Luar biasa. Untunglah bahwa aku sudah mendapat beberapa keterangan tentang harimau betina dari Sangkal Putung ini, murid Ki Sumangkar yang mewarisi tongkat baja putihnya.” “Kau mengenal aku,“ geram Sekar Mirah.

“Aku mengenal kau, mengenal anak muda yang bernama Swandaru itu dan mengenal pula isterinya, anak perempuan Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang bersenjata pedang rangkap. Sungguh luar biasa. Seorang perempuan bertongkat baja putih, berkepala tengkorak yang kekuning-kuningan, seorang perempuan berpedang rangkap, dan seorang laki-laki bercambuk,“ berkata orang yang disebut Ki Lurah. Dalam pada itu Ki Waskitapun bertanya, “Bolehkah aku juga memperkenalkan diriku ?” “Jika namamu mempunyai arti dalam pengembaraan olah kanuragan sebut namamu. Jika tidak, kau tidak berarti apa-apa, selain sekedar menambah pedangku basah dengart darah,“ geram salah seorang dari tukang satang itu. “Aku adalah paman dari Pandan Wangi,“ berkata Ki Waskita, “sebenarnya aku hanya sekedar menompang perjalanan. Karena itu, aku bukan apa-apa bagi kalian.” Orang-orang itu memperhatikan Ki Waskita sejenak. Namun nampaknya orang itu tidak berarti apa-apa. Apalagi menurut pengakuannya, ia adalah paman Pandan Wangi yang sekedar ikut dalam perjalanan. Karena itu, maka Ki Lurah itupun berkata, “Aku tidak peduli siapa kau. Yang aku perlukan kehadirannya adalah Swandaru dan kedua perempuan itu. Tetapi karena kau sudah hadir disini pula, maka kaupun akan mati.” “Siapakah sebenarnya kalian, dan apakah keperluan kalian. Aku tidak pernah berhubungan dengan kalian sebelumnya, dan karena itu, maka aku tidak pernah mempunyai persoalan dengan kalian.“ desis Swandaru. Ki Lurah itu tertawa. Katanya, “Anak yang malang. Kau memang tidak mempunyai persoalan dengan aku. Kesalahanmu satu-satunya adalah bahwa kau murid Kiai Gringsing dan adik seperguruan Agung Sedayu. Ternyata kau berhasil mengembangkan kemampuanmu dengan membangun Kademanganmu.” “Aku tidak mengerti, kenapa hal itu kau sebut sebagai satu kesalahan. Bukankah yang aku lakukan itu sangat bermanfaat bagi banyak orang di Kademanganku.” sahut Swandaru. “Baiklah kita tidak berbantah tentang siapa yang bersalah dan siapa yang tidak bersalah.“ potong Ki Lurah, “tugas yang aku terima, aku harus membunuh Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Karena orang tua itu ada diantara kalian, maka terpaksa aku akan menghabisi nyawanya pula. Juga tanpa mempersoalkan apakah ia bersalah atau tidak bersalah.” Swandaru menggeram. Dengan nada berat ia berkata, “Kalian orang-orang upahan yang tidak tahu diri. Kenapa kalian tidak mencari makan dengan cara yang lain. Kenapa

kau harus makan dengan tangan yang penuh bernoda darah ?” “Kau salah mengartikan tugasku. Aku bukan orang upahan. Tetapi aku telah melakukan tugasku diatas cita-cita yang besar bagi Tanah ini,“ jawab orang itu, “karena itu, maka sebenarnyalah aku adalah seorang yang melakukan sesuatu atas dasar keyakinan.” Swandaru menjadi semakin tegang. Ia segera mengerti, siapakah yang dihadapinya. Orang yang menjebaknya itu tentu orang-orang yang berada didalam barisan yang menyebut diri mereka pendukung-pendukung tegaknya kewibawaan Majapahit. Karena itu, maka Swandaru tidak dapat menganggap persoalan yang dihadapinya itu sebagai persoalan yang tidak berarti. Orang-orang yang ditugaskan dalam rangka menegakkan kewibawaan Majapahit bukannya orang-orang kebanyakan. Menurut pengamatan Swandaru, orang-orang yang selalu memburu Agung Sedayu kemanapun ia pergi, adalah orangorang yang berkeyakinan serupa. Mungkin mereka meminjam tangan orang lain. Orangorang Pesisir Endut, orang-orang Gunung Kendeng atau orang manapun lagi Tetapi kadang-kadang juga orang-orang yang berada didalam lingkungan keprajuritan Pajang sendiri. ***

Buku 135 DALAM pada itu, maka orang yang disebut Ki Lurah itupun kemudian berkata, “Ki Sanak. Segera bersiaplah untuk mati. Aku sadar, bahwa kalian bukan orang-orang yang mudah menyerah menghadapi keadaan yang bagaimanapun juga gawatnya. Karena itu, maka aku persilahkan kalian bersiap untuk bertempur. Kita mempunyai waktu cukup tanpa diganggu oleh orang lain.” “Ternyata kalian telah melakukan pekerjaan ini dengan sepenuh kesadaran. Baiklah. Seperti kalian, akupun mempunyai kesadaran atas satu keyakinan, bahwa orangorang yang bermimpi tentang masa kejayaan Majapahit lama tidak akan mempunyai tempat untuk hidup dimasa ini. Bukan kebesaran Majapahit yang tidak dapat diterima lagi saat ini, bukan pula kesatuan yang pernah terujud, tetapi adalah ketamakan dan kedengkian yang mendukung cita-cita itulah yang harus ditentang.” “Hanya orang-orang yang tidak mengerti sajalah yang mengatakan, bahwa ketamakan dan kedengkian telah mendukung cita-cita yang besar itu,“ berkata orang yang disebut Ki Lurah. “Itu suatu keyakinan, seperti kalian meyakini perjuangan kalian,“ sahut Swandaru, lalu, “jika demikian, kita akan mempertahankan keyakinan kita masing-masing. Seperti kalian menyadari sepenuhnya apa yang kalian lakukan, maka akupun menyadari sepenuhnya apa yang aku lakukan.” Swandaru tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun kemudian segera bersiap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi. Demikian pula Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Mereka menambatkan kuda mereka pada batang perdu. Kemudian berdiri tegak dengan dada tengadah meskipun mereka agak berdebar-debar juga menghadapi persoalan yang lidak mereka perhitunhkan sama sekali. Dalam pada itu, Ki Waskita yang juga telah menambatkan kudanya, justru berdiri agak jauh dari ketiga orang yang sedang dalam perjalanan kembali ke Sangkal Putung itu. Sementara Swandaru yang mengenal siapa Ki Waskita itupun sama sekali tidak menegurnya. Swandaru menyadari bahwa Ki Waskita tentu mempunyai perhitungan tersendiri atas peristiwa yang sedang mereka hadapi. “Ki Sanak,“ berkata orang yang disebut Ki Lurah, “ternyata aku telah mempersiapkan orang-orangku melampaui kebutuhan. Disini ada tujuh orang. Sedang kalian hanya bertiga. Tetapi kesiagaan ini perlu, justru karena kami mengerti, bahwa orang-orang bercambuk adalah orang-orang yang berbahaya. Juga seorang perempuan yang bersenjata pedang rangkap dari Tanah Perdikan Menoreh, dan seekor macan betina yang mewarisi tongkat Ki Sumangkar.”

“Kami tidak hanya bertiga, tetapi berempat,“ desis Swandaru. “Baiklah, jika yang seorang itu harus diperhitungkan pula. Tetapi ia tidak mempunyai arti khusus didalam pertentangan ini.“ jawab orang yang disebut Ki Lurah itu. Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orangorang itu mempunyai perhitungan yang salah terhadap Ki Waskita. Namun Swandaru tidak mempersoalkannya. Ia percaya sepenuhnya apa saja yang akan dilakukan oleh Ki Waskita itu. Demikianlah, maka orang yang disebut Ki Lurah itupun kemudian berkata kepada para pengikutnya, “bersiaplah Kita akan bertempur beradu dada sebagai orang orang yang mempunyai pegangan dalam perjuangannya.” Kedua orang yang berpakaian tukang satang itu nnengerutkan keningnya. Namun ketika sepintas ia melihat perhiasan pada timang Swandaru dan permata di leher Pandan Wangi dan Sekar Mirah, maka gairah merekapun segera melonjak. Swandaru yang merasa bertanggung jawab atas keselamatan mereka semuanya, maju selangkah. Meskipun ia menyadari, bahwa kedua perempuan yang menempuh perjalanan bersamanya itu juga memiliki kemampuan bertempur, namun menurut tingkat dan tataran hubungan diantara mereka, maka Swandaru adalah orang yang tertua. Orang yang menyebut dirinya Ki Lurah itupun segera menempatkan diri untuk melawan Swandaru. Sambil memandang kawan-kawannya seorang demi seorang serta kedua tukang satang itu, iapun berkata, “Aku akan melawan anak ini. Kalian berenam mempunyai tiga orang korban. Kalian dapat memilih. Kita tidak akan memerlukan waktu lama. Aku hanya memerlukan waktu sepenginang untuk membunuh anak Demang Sangkal Putung ini, meskipun barangkali aku harus berpikir berulang kali untuk berperang tanding melawan gurunya.” Swandaru menggeram. Namun iapun menyadari, bahwa orang yang berdiri dihadapannya itu tentu tidak hanya sekedar menakut-nakutinya. Ia tentu mempunyai pertimbangan dan perhitungan yang mapan. Nampaknya ia telah mengenal tentang dirinya, tentang isteri dan adiknya. Swandaru menjadi berdebar-debar ketika ia melihat keenam orang yang lain telah berpencar. Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Ki Waskita harus menghadapi masing-masing dua orang lawan yang masih belum diketahui tingkat kemampuannya. Namun Swandaru tidak dapat berbuat lain. Jika ia menempatkan diri ditempat kedua perempuan itu, tetapi ternyata orang yang agaknya pemimpin dari kelompok itu memiliki kemampuan yang tidak terlawan, maka iapun akan menyesal.

Karena itu, ia tidak merubah keadaan yang dihadapinya. Ia harus berani mencoba beberapa saat untuk menjajaki keadaan. Jika keadaan memaksa, maka ia harus dapat mengambil keputusan dengan cepat. Namun demikian ia berkata didalam hatinya, “Mudah mudahan Ki Waskita mau juga melihat keadaan ini dalam keseluruhan.” Dalam pada itu, ketujuh orang yang telah menjebak Swandaru dan iring-iringan kecilnya telah bersiap bertindak atas mereka. Orang yang disebut Ki Lurah itupun berkata, “Aku sudah terlalu lama berada di daerah ini. Aku sudah menjadi jemu karenanya. Dan akupun ingin segera kembali ke Pajang dengan membawa berita kematianmu, kematian Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Ditambah lagi seorang tua yang bernasib buruk karena ia berada diantara kalian.” Swandaru tidak menjawab. Tetapi iapun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja orang yang bertubuh tinggi tegap diantara mereka itupun berkata, “Ki Lurah, apakah perempuan-perempuan ini harus dibunuh ?” “Ya. Semua harus dibunuh.“ jawab orang yang disebut Ki Lurah. “Sayang sekali. Kedua perempuan ini adalah perempuan-perempuan cantik yang barangkali dapat dimanfaatkan. Aku ingin mendapat salah satu daripadanya. Bagimana jika aku berjanji, bahwa aku akan mengambil perempuan-perempuan ini tanpa mengganggu tugas kita berikutnya.” “Apa maksudmu ?“ bertanya Ki Lurah. “Aku akan membawa mereka. Tetapi dengan janji, melumpuhkan mereka sehingga mereka tidak akan mungkin dapat berbuat sesuatu lagi,“ jawab orang itu. Tetapi Ki Lurah tertawa meskipun ia tetap berhati-hati menghadapi sikap Swandaru. Katanya, “Jangan menyimpan ular didalam kantong ikat pinggangmu. Pada suatu saat kau akan digigitnya.” “Aku akan mempertanggung jawabkannya,“ jawab orang itu. Namun jawab Ki Lurah kemudian singkat, tegas, “Bunuh semuanya.” Tidak ada lagi yang bertanya kepadanya. Yang terjadi kemudian adalah sikap-sikap tegang dari mereka yang sudah siap menghadapi benturan kekerasan. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Ki Waskita tertawa pendek. Hanya pendek. Tetapi ternyata suara tertawa itu mengejutkan orang yang disebut dengan Ki Lurah itu. Wajahnya tibatiba menjadi tegang. “He, siapa kau sebenarnya,“ tiba-tiba saja ia berteriak.

Tidak ada yang menjawab meskipun pertanyaan itu mengejutkan. “Siapa kau orang tua,“ sekali lagi terdengar orang yang disebut Ki Lurah itu bertanya. “Apakah yang kau maksud aku ?“ bertanya Ki Waskita. “Jangan berpura-pura. Marilah kita bersikap jantan. Aku tahu, kau bukan orang kebanyakan. Sikapmu sungguh meyakinkan,“ berkata orang yang disebut Ki Lurah itu. “Aku tidak dapat menyebut diriku dengan sebutan lain, kecuali seperti yang sudah aku katakan,“ berkata Ki Waskita, lalu katanya pula, “tetapi apakah seseorang seperti kau masih perlu bertanya tentang seseorang ? Jika demikian, apakah aku juga boleh bertanya siapakah nama tuan.” “Menarik sekali,“ desis orang itu, “ternyata aku lebih tertarik kepadamu daripada anak muda ini. He, kau berdua yang sudah siap menghadapi orang tua itu. Kemarilah. Orang tua itu perlu mendapat perhatian yang khusus. Meskipun dengan demikian pekerjaanku akan menjadi lebih panjang, tetapi lebih baik menyelesaikannya dalam waktu yang agak lama daripada kalian berdua akan menjadi bahan permainannya. Kawan-kawan Ki lurah itu menjadi heran mendengar keterangan yang tidak segera dapat mereka pahami. Namun mereka mempunyai keyakinan tentang orang yang disebut Ki Lurah itu. Orang itu tentu mempunyai perhitungan yang mapan atas apa yang dilakukannya. Karena itu, maka dua orang yang sudah siap untuk bertindak atas Ki Waskitapun bergeser. Mereka dengan hati-hati melangkah mendekati Swandaru sementara orang yang disebut Ki Lurah itupun perlahan-lahan mendekati Ki Waskita sambil berkata, “Untunglah, kau belum membunuh kedua kawanku. Dan akupun belum membunuh Swandaru. Agaknya aku harus menyelesaikan kau lebih dahulu, sebelum aku membunuh ketiga orang itu.” Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ketajaman penglihatannya telah memperingatkan kepadanya, bahwa orang yang disebut Ki Lurah itu memang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya yang lain. Bahkan Ki Waskita menduga, bahwa orang itu mempunyai kelebihan pula dari Swandaru. Karena itu, maka ia harus memancingnya, agar orang itu langsung berhadapan dengan dirinya sendiri. Meskipun ia tidak tahu apakah ia akan dapat menghadapinya, namun ia merasa akan dapat bertahan lebih lama dari Swandaru. Sementara menurut penglihatannya, orang-orang lain yang ada ditempat itu bukanlah orang-orang yang perlu dicemaskan meskipun bukan pula berarti dapat diremehkan. Apalagi mereka masing-masing bertempur berpasangan. Namun Ki Waskita yakin, bahwa yang seorang itu justru akan lebih berbahaya bagi Swandaru daripada yang dua orang, yang kemudian akan menghadapinya.

Dalam pada itu, Swandaru sendiri justru menjadi heran, bahwa orang yang disebut Ki Lurah itu demikian saja meninggalkannya, dan bersiap menghadapi Ki Waskita. Namun akhirnya ia menyadari, bahwa orang itu tentu mempunyai tanggapan yang tajam atas lawan yang dipilihnya. Orang yang disebut Ki Lurah itu tentu mencemaskan nasib kedua orang kawannya jika kedua orang itu harus berhadapan dengan Ki Waskita, yang agaknya dengan sengaja pula telah memancing orang yang disebut Ki Lurah itu untuk menghadapinya. Karena yang melakukan itu adalah Ki Waskita, yang dikenal oleh Swandaru dengan baik tingkat kemampuan dan pengalamannya, maka Swandaru sama sekali tidak merasa tersinggung. Dilepaskannya orang yang disebut Ki Lurah itu, dan iapun segera bersiap menghadapi dua orang lawannya. Sejenak orang yang disebut Ki Lurah itu memandangi Ki Waskita. Namun sejenak kemudian iapun berteriak kepada kawan-kawannya, “He, apalagi yang kalian tunggu ?” Keenam kawan-kawannya serentak bergerak. Dua orang tukang satang dari Gunung Sepikul itupun segera menghadapi lawan yang mereka pilih. Bukan karena perhitungan kemampuan kanuragan, tetapi karena pada Sekar Mirah tergantung perhiasan yang mereka anggap cukup berharga, maka mereka telah memilih gadis itu sebagai lawan. “Tanpa memperhatikanmu dengan saksama, kami tidak akan mengenalmu sebagai seorang perempuan,“ desis salah seorang dari kedua orang dari Gunung Sepikul itu, “ternyata bahwa kau cantik. Dan ternyata bahwa kau memakai perhiasan juga sebagai umumnya seorang perempuan.” Sekar Mirah tidak menghiraukannya. Namun untuk menjaga diri, karena ia sama sekali belum dapat menjajagi kemampuan lawannya, ditangannya segera tergenggam tongkat baja putihnya. “Senjata itu memang agak mendebarkan,“ desis salah seorang dari kedua tukang satang itu. Kawannya tidak menyahut. Tetapi ternyata bahwa keduanya telah menggenggam senjata mereka pula. Senjata yang khusus mereka pergunakan. Sebatang tongkat vang patah-patah, dihubungkan dengan rantai-rantai pendek. Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Senjata itu memberikan kesan tersendiri kepadanya. Senjata yang jarang ditemui itu menuntut perlawanan tersendiri pula. “Aku sudah sering berlatih dengan kakang Swandaru yang mempergunakan senjata lentur,” berkata Sekar Mirah didalam hatinya, “meskipun agak berbeda, tetapi tentu ada persamaan penggunaan antara senjata lentur dengan senjata yang patah-patah ini.” Sekar Mirah tidak sempat merenungi senjata lawannya terlalu lama. Tiba-tiba saja kedua lawannya meloncat memencar. Kemudian hampir bersamaan pula mereka menyerang.

Pada langkah-langkah pertama Sekar Mirah telah melihat, betapa kasar tata gerak mereka. Apalagi ketika keduanya kemudian mengumpat dengan kata-kata kotor ketika serangan mereka sempat dielakkan oleh Sekar Mirah. Kekasaran kedua orang itu menarik perhatian Swandaru dan Pandan Wangi pula. Agaknya dua orang itu mempunyai kebiasaan yang berbeda dengan orang-orang lain yang berada di arena itu. Dalam pada itu, Ki Waskita masih sempat juga bertanya, “Kedua kawanmu yang bertempur melawan Sekar Mirah itu nampaknya dua orang yang aneh.” “Siapapun mereka, kami akan membunuh kalian,“ jawab orang yang disebut Ki Lurah itu. “Baiklah,“ berkata Ki Waskita, “agaknya memang tidak ada pilihan diantara kita kecuali saling membunuh.” “Ya, memang tidak ada pilihan lain,“ desis orang itu. “Jika demikian,” berkata Ki Waskita, “kita berdualah yang akan menentukan akhir dari pertempuran ini. Siapa diantara kita yang dapat membunuh lebih dahulu, akan mempengaruhi keseluruhan dari pertempuran ini.” “Omong kosong. Kau kira orang-orangku tidak berarti apa-apa,” geram orang yang disebut Ki Lurah. Ki Waskita mengerutkan keningnya. Lawan Swandaru dan Pandan Wangipun mulai bergerak pula. Namun katanya, “Aku dapat memastikan, bahwa anak-anak Sangkal Putung itu akan dapat bertahan cukup lama. Lebih lama dari waktu yang aku perlukan untuk mengalahkanmu.” “Kau ternyata sombong sekali,“ orang itu menggeram sambil bergerak menyerang meskipun baru sekedar memancing sikap lawannya. Ki Waskita bergeser sambil menjawab, “Aku memang mencoba untuk menyombongkan diri dihadapanmu. Mudah-mudahan aku berhasil. Bukan saja sebagai satu kesombongan, tetapi benarbenar berhasil memenangkan perkelahian ini lebih dari waktu yang diperlukan oleh anak-anak Sangkal Putung itu untuk mempertahankan dirinya.” “Persetan,“ orang itu membentak. Serangannya menjadi semakin cepat. Sementara Ki Waskitapun segera meningkatkan tata geraknya. Namun justru karena lawannya tidak bersenjata, maka ia menganggap bahwa lawannya itu benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu ia harus benar-benar berhati-hati menghadapi setiap kemungkinan jang dapat terjadi atas dirinya dan atas anak-anak Sangkal Putung yang harus bertempur melawan lawan rangkap.

Dengan demikian maka pertempuran diantara batang-batang ilalang itupun menjadi semakin lama semakin seru. Orang-orang kasar dari Gunung Sepikul itu ternyata berhasil membuat Sekar Mirah menjadi ngeri. Bukan karena kemampuan tempur mereka yang tinggi, tetapi justru karena kekasaran mereka. Tidak henti-hentinya mereka mengumpat-umpat dengan kata-kata kasar. Dan bahkan kadang-kadang dengan kata-kata yang tidak pantas diucapkan. “Apakah keduanya juga pendukung cita-cita kejayaan Majapahit ?“ bertanya Ki Waskita kepada lawannya yang disebut Ki Lurah. “Kenapa perhatianmu tertuju kepada keduanya ?“ bertanya orang yang disebut Ki Lurah. “Keduanya sangat menarik. Agak berbeda dengan kau dan kawan-kawanmu yang lain.“ jawab Ki Waskita. “Keduanya adalah orang-orang gila yang dapat aku manfaatkan,“ jawab orang yang disebut Ki Lurah itu. Ki Waskita yang bertempur semakin cepat masih sempat berkata lagi, “Aku sudah menduga. Orangorang yang menyebut dirinya pendukung kejayaan Majapahit selalu memanfaatkan orang-orang yang dapat dijebaknya dengan cara apapun. Coba katakan, siapa saja yang telah menjadi korban ketamakan beberapa orang yang masih bermimpi tentang kejayaan Majapahit itu.” Tiba-tiba saja tata gerak lawan Ki Waskita itu mengendor. Sambil meloncat surut ia berkata, “Agaknya kau mendapat keterangan yang salah tentang cita-cita kami. Sebaiknya aku memberikan beberapa keterangan. Kau agaknya seseorang yang memiliki kemampuan yang cukup. Karena itu, tenagamu dan barangkali pikiranmu akan sangat bermanfaat bagi kami.” Ki Waskita tidak memburunya ketika lawannya meloncat surut. Bahkan seakan-akan ia memberi kesempatan lawannya untuk berbicara. “Ki Sanak,“ berkata orang itu, “apakah kau tidak mengakui kebesaran Majapahit ? Apalagi sebelum masa surutnya.” “Aku mengakui Ki Sanak,“ jawab Ki Waskita. “Majapahit yang meliputi seluruh Nusantara,“ desis orang itu pula. “Ya. Yang telah mempersatukan daerah-daerah yang berpencaran letaknya, namun dalam nafas kehidupan yang satu,“ jawab Ki Waskita. “Nah, bukankah kita semuanya merindukan masa seperti yang pernah terjadi pada masa kejayaan

Majapahit ? Tidak seperti Pajang yang kita lihat sekarang kecil, terpecah-pecah dan tidak ada kesatuan sikap dan perbuatan. Masing-masing ingin memaksakan kehendak sendiri tanpa memperhatikan kepentingan orang lain,“ geram orang yang disebut Ki Lurah itu. “Apakah demikian ?“ bertanya Ki Waskita, “apakah pengamatanmu cukup cermat ?” “Tentu Ki Sanak. Aku melihat segalanya yang berkembang sekarang Pajang yang kerdil. Dan Mataram yang dengki dan menuruti nafsu pribadi,” jawab orang itu. “Ki Sanak,“ berkata Ki Waskita, “apakah kau tahu pasti, siapakah yang berada dipaling ujung dari barisanmu ? Dari orang-orang yang merasa berkepentingan dengan bangkitnya Majapahit kembali pada masa sekarang ini ?” “Pertanyaanmu aneh. Kau tentu tahu bahwa pertanyaan itu tidak akan terjawab. Tetapi katakan, apakah kau tidak merindukan masa-masa yang gemilang itu ?“ bertanya orang yang disebut Ki Lurah. “Tentu. Tentu Ki Sanak. Aku dan aku kira seluruh rakyat Nusantara merindukannya. Persatuan yang utuh. Kesejahteraan yang adil dari ujung sampai keujung dari tanah yang dikurniakan oleh Yang Maha Agung ini,“ jawab Ki Waskita. “Lalu apa lagi ?“ bertanya orang itu. “Apakah kau kira cara yang kau tempuh itu dapat dibenarkan ?“ tiba-tiba Ki Waskita bertanya. Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab, “Apakah artinya cara dibanding dengan cita-cita yang luhur dan tidak ternilai harganya. Tidak ada yang pantas disesalkan dari cara yang telah kami tempuh. Setiap cita-cita harus dilambari dengan kesediaan berkorban. Bahkan mungkin kita sendiri yang menjadi korban.” Ki Waskita menggelengkan kepalanya. Katanya, “Ki Sanak. Aku sependapat dengan kerinduanmu atas kesatuan seperti yang nampak pada masa kejayaan Majapahit. Tetapi aku tidak sependapat dengan cara yang kau tempuh. Yang ditempuh oleh kawan-kawanmu dan bahkan mungkin karena sikap pemimpinmu. Justru karena kau mengabaikan arti dari cara yang kau tempuh itulah, maka kau sudah mulai dengan langkah yang salah.” “Kenapa ? Maksudmu, kita harus menunggu sampai kebesaran dan kejayaan itu datang sendiri ? Apakah kau maksud bahwa Pajang akan dengan sendirinya mengglembung menelan daerah-daerah lain yang sudah mulai memisahkan diri ? Tidak. Pajang harus dimusnahkan. Mataram harus di lumpuhkan sebelum mampu bangkit dan melangkah. Kekuatan baru harus bangkit untuk menaklukkan kembali daerah-daerah yang telah memisahkan diri.”

“Aku semakin banyak melihat kesalahan pada ucapan-ucapanmu,“ berkata Ki Waskita, “apakah artinya kebesaran dan kesatuan yang kaurindukan jika kau masih berpijak pada kekuasaan untuk mengalahkan bagian dari kesatuan yang kau sebut daerah-daerah yang memisahkan diri itu.” Wajah orang itu menegang. Namun kemudian katanya, “Sudahlah. Ternyata jiwamu terlalu kerdil dan cengeng. Karena itu, jika kau memang tidak dapat mengerti, maka kau harus dibunuh sekarang juga.” “Terserahlah kepadamu. Tetapi bagiku, kebesaran dan persatuan tidak akan diikat dengan kekerasan dan kekuasaan yang berlandaskan kekuatan. Nampaknya kau mulai dengan cara yang bagiku mustahil akan dapat berhasil itu, selain jatuhnya korban dan mungkin keberhasilan sementara bagi orang-orang yang diburu oleh nafsu ketamakan semata-mata.” “Pikiran kita tidak akan dapat bertemu. Baiklah. Ternyata aku telah melakukan satu perbuatan siasia,“ geram orang itu, “sekarang bersiaplah untuk mati.” Ki Waskita tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun dalam pada itu, ia masih sempat memperhatikan sekilas, apa yang telah terjadi. Pertempuran telah berlangsung dengan serunya dalam lingkaran-lingkaran pertempuran di padang ilalang itu. Namun yang agaknya mengalami kesulitan pertama-tama adalah justru Sekar Mirah. Sebenarnya kemampuan kedua orang tukang satang dari Gunung Sepikul itu tidak menggetarkan pertahanan Sekar Mirah. Tetapi Sekar Mirah telah menjadi ngeri karena tingkah laku orang-orang itu. Atas kekasaran yang liar dan buas. Kata-kata kotor yang diucapkannya membual jantung Sekar Mirah bagaikan berhenti berdenyut. Agaknya kedua orang itupun menyadari, bahwa Sekar Mirah telah terganggu dengan sikap dan keliaran mereka. Justru dengan demikian, maka mereka tidak segan-segan telah menyinggung perasaan Sekar Mirah dengan kata-kata yang tidak pantas, justru karena Sekar Mirah adalah seorang gadis. Karena itu, semakin lama pertahanan Sekar Mirah menjadi semakin lemah. Beberapa kali ia terpaksa berloncatan surut. “Kau lihat,“ desis Ki Lurah yang bertempur melawan Ki Waskita sambil menyerang semakin garang pula, “gadis Sangkal Putung itu sudah kehilangan kemampuannya menghadapi orang-orang gila dari Gunung Sepikul itu.” Ki Waskita tidak menjawab. Ia sadar, bahwa lawan yang pahng berat bagi Sekar Mirah saat itu adalah perasaannya sendiri.

Untuk beberapa saat, Ki Waskita harus memusatkan perhatiannya pada dirinya sendiri. Orang yang disebut Ki Lurah itu telah menyerangnya dengan cepat dan keras. Namun orang itu masih belum mempergunakan senjata apapun juga. Sekar Mirah benar-benar telah mengalami kesulitan dengan kedua lawannya. Senjata mereka yang aneh, kadang-kadang membuat Sekar Mirah menjadi gugup. Tetapi yang paling berat baginya adalah teriakan-teriakan yang bagaikan membakar telinganya. “Kalian licik dan liar,“ geram Sekar Mirah, “marilah kita memperbandingkan ilmu. Bukan kata-kata kotor dan liar.” Keduanya justru tertawa. Mereka sama sekali tidak menghiraukan, apa saja penilaian orang lain terhadap mereka. Yang penting bagi keduanya adalah berhasil mengalahkan lawannya dan merampas harta benda yang ada pada lawannya. Dalam pada itu, Swandaru ternyata harus mengerahkan segenap kemampuannya pula menghadapi dua orang lawannya. Ketika keringatnya mulai membasahi, maka ledakan-ledakan cambuknyapun menjadi semakin tajam menggores isi dada. Rasa-rasanya kedua lawannya telah tersobek selaput telinganya. Namun demikian kedua lawan Swandaru memang bukan orang kebanyakan. Mereka bertempur dengan garangnya. Menghindar dan berusaha menyusup diantara ujung cambuk Swandaru yang meledak-ledak. Pandan Wangipun nampaknya dalam keadaan yang serupa. Ia harus bertempur dengan segenap kemampuan ilmunya. Pedang rangkapnya berputaran, menyambar dan mematuk. Kecepatan geraknya telah banyak berhasil membuat lawannya kadang-kadang kehilangan sasaran. Namun demikian, karena ia harus melawan dua orang yang bertempur berpasangan, maka iapun harus menjadi sangat berhati-hati. Tetapi bagi Ki Waskita, keadaan Swandaru dan Pandan Wangi tidak begitu mencemaskannya. Menurut pengamatannya, keduanya masih mempunyai kesempatan untuk bertahan dan bahkan, jika keduanya mampu mengembangkan perlawanan mereka, maka agaknya keduanya akan berhasil. Namun sementara itu, Pandan Wangi semakin lama menjadi semakin terdesak. Kedua lawannya berteriak semakin keras dan semakin kotor. Kata-kata yang tidak pantas diucapkan, telah mereka teriakkan dengan sengaja. “Gila, o gila,“ geram Sekar Mirah. Lawannya tertawa berkepanjangan. Ki Waskita yang benar-benar menjadi cemas melihat keadaan Sekar Mirah yang bertempur melawan

dua orang yang liar, kasar dan bersenjata agak lain dari senjata yang banyak dipergunakan, tiba-tiba saja berteriak, “Sekar Mirah. Kau adalah pewaris tongkat besi baja berkepala tengkorak. Senjatamu adalah senjata pamungkas yang dapat kau pakai untuk menutup mulut mereka. Dengan demikian, mereka tidak akan dapat meneriakkan kata-kata kotor lagi.” “Diam kau,“ Ki Lurahlah yang membentak sambil menyerang dengan garangnya. Hampir saja Ki Waskita tersentuh dadanya, sehingga jantungnya akan dapat dirontokkannya. Untunglah, ia masih sempat mengelak, meskipun ia harus membantu Sekar Mirah. Suara Ki Waskita didengar oleh Sekar Mirah. Ternyata bahwa kata-kata Ki Waskita itu seakan-akan menumbuhkan pertanyaan didalam hatinya, “Kenapa aku tidak membungkam mulutnya yang kasar dan kotor itu.” Pertanyaan itu ternyata telah bergejolak didalam hatinya. Semakin lama semakin gemuruh, sehingga akhirnya Sekar Mirah diluar sadarnya telah berteriak pula, “Aku tutup mulutmu dengan pangkal tongkatku ini.” Suara Sekar Mirah itu ternyata telah mendebarkan jantung kedua lawannya. Seolah-olah Sekar Mirah yang ngeri mendengar kata-kata kasar lawannya itu telah mendapatkan tempat untuk bertumpu. Sebenarnyalah bahwa sejenak kemudian tongkat baja Sekar Mirah telah berputar semakin cepat. Tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan itupun menyambar-nyambar dengan cepatnya, seperti burung sikatan menyambar bilalang. Kedua lawannya terkejut melihat perubahan pada tata gerak Sekar Mirah. Nampaknya gadis itu telah mendapatkan satu kesadaran baru bahwa lebih baik baginya untuk menutup mulut kedua orang itu daripada ia harus mendengarkannya berkepanjangan, dan apalagi jika ia benar-benar dikalahkan. “Aku akan mengalami perlakuan yang kasar dan kotor seperti kata-kata yang diucapkan itu jika aku dapat mereka kalahkan,“ geram Sekar Mirah didalam hatinya. Dengan demikian, maka perlawanan Sekar Mirahpun kemudian menjadi semakin meningkat. Kecepatannya bergerakpun mulai dapat membingungkan lawannya. Tongkat baja putihnya dengan pangkal kepala tengkorak itu menyambar-nyambar dengan cepatnya. Sekali-sekali tongkat baja itu telah menghantam senjata lawannya. Pada benturan-benturan yang terjadi, maka perlahan-lahan Sekar Mirah menjadi semakin mengenal keseimbangan kekuatan antara dirinya dan kedua lawannya. Ketika dengan sengaja Sekar Mirah menangkis senjata lawannya yang menyambar keningnya, maka hampir saja Sekar Mirah berhasil melontarkan senjata lawannya itu. Namun agaknya betapapun tangannya merasa panas dan pedih, namun lawannya itu masih berhasil mempertahankannya.

Ketika Sekar Mirah memburunya dan bermaksud untuk sama sekali memukul dan melontarkan senjata lawannya itu, maka lawannya yang lain telah menyerangnya sambil berteriak kasar. Sekar Mirah terpaksa menghindari serangan itu. Namun dengan demikian ia menjadi semakin percaya kepada dirinya sendiri. Meskipun ia seorang perempuan, tetapi kekuatannya yang terlatih serta dukungan kekuatan cadangannya, maka ia mampu melawan bahkan melampaui kekuatan lawannya yang kasar dan liar itu. Dengan demikian, maka pertempuran antara Sekar Mirah dan kedua lawannya itupun menjadi semakin sengit. Sekar Mirah yang bertempur semakin mapan telah membuat lawannya menjadi gelisah. Beberapa kali mereka mencoba mempengaruhi lawannya dengan kata-kata kasar dan kotor. Namun Sekar Mirah tidak menghiraukannya lagi. Bahkan dengan marah ia menggeram, “Aku harus membungkam mulutnya yang kotor itu.” Sementara itu, Ki Waskita mulai tersenyum melihat keseimbangan pertempuran antara Sekar Mirah dan kedua lawannya. Dengan demikian maka iapun berkata, “Sekarang aku mendapat kesempatan untuk memusatkan perhatianku kepadamu Ki Sanak.” “O,“ desis orang yang disebut Ki Lurah, “apakah itu satu pemberitahuan bahwa selama ini kau masih belum sampai pada puncak ilmumu ?” Ki Waskita tersenyum. Namun ia harus meloncat mundur. Serangan lawannya datang bagaikan badai. Agaknya orang yang disebut Ki Lurah itu ingin mempergunakan saat Ki Waskita menjawab kata-katanya. Tetapi Ki Waskita sempat mengelakkan serangan itu, dan bahkan kemudian iapun telah bersiap menghadapi serangan-serangan berikutnya. “Gila,“ geram Ki Lurah, “kau memang seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi yang kau lihat padaku belum separo dari tingkat kemampuanku.” “Begitu ?“ bertanya Ki Waskita. Tetapi ia tidak mengabaikan peringatan lawannya itu. Mungkin tidak seluruhnya benar. Tetapi sebagian dari padanya tentu mempunyai kebenaran. Karena itu maka Ki Waskitapun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi ilmu yang tentu lebih dahsyat dari yang sudah diungkapkan dalam gerak oleh orang yang disebut Ki Lurah itu. Dalam pada itu. Pandan Wangi yang bertempur dengan pedang rangkap, agaknya masih dapat melindungi dirinya. Betapa kedua lawannya berusaha menekannya, tetapi kedua pedangnya yang berputar seperti balingbaling, masih mampu menjadi perisai yang seakan-akan tidak tertembus.” “Iblis betina,“ geram salah seorang lawannya yang hampir kehabisan akal. Apapun yang dilakukan, ternyata Pandan Wangi mampu mengatasinya. Serangan yang datang beruntun dari keduanya, selalu

dapat dielakkan. Bahkan dalam keadaan yang paling gawat. Pandan Wangi telah membenturkan senjatanya pula. Namun tenaga Pandan Wangi bukannya tenaga perempuan sewajarnya, sehingga karena itu, maka dalam benturan kekuatan, kedua orang lawan Pandan Wangi itu menjadi heran dan bahkan kemudian menjadi cemas. Sebenarnyalah bahwa pedang rangkap Pandan Wangi menyambar-nyambar seperti sayap seekor burung Srigunting. Namun yang setiap sentuhannya akan dapat merobek kulit dan daging. Sementara itu, Swandaru perlahan-lahan namun pasti, akan berhasil menguasai lawannya. Cambuknya yang meledak-ledak membuat lawannya menjadi ngeri. Suaranya bukan saja memekakkan telinga, namun semakin lama suara ledakkan cambuk itu bagaikan menyusup masuk kedalam rongga dadanya, dan mengguncang jantungnya. “Ilmu iblis yang manakah yang kau pergunakan ini he ?“ geram salah seorang dari kedua lawannya. Swandaru tidak menjawab. Tetapi cambuknya sajalah yang meledak dengan dahsyatnya. Kedua orang lawannya meloncat surut. Meskipun ujung cambuk Swandaru tidak mengenai kulit mereka, namun hembusan anginnya seakan-akan telah memperingatkan mereka, bahwa sentuhan ujung cambuk itu bukan saja dapat menyayat kulit mereka, tetapi bahkan akan dapat meremukkan tulang mereka. Hampir diluar sadarnya Swandaru menyahut, “Guruku.” “Anak setan,“ salah seorang dari kedua orang lawan Swandaru itu mengumpat, “darimana kau mendapat kemampuan bermain cambuk itu ?” “Ya, gurumu tentu kerasukan iblis sehingga ia mampu mengajarimu bermain cambuk,“ geram lawannya yang lain. Namun kemudian katanya, “Tetapi cambuk semacam itu hanya dapat menakut-nakuti anak kambing cengeng. Bukan untuk menakut-nakuti aku.” Swandaru menggeretakkan giginya. Tetapi ia masih menyadari, bahwa ia tidak boleh tenggelam dalam arus perasaannya. Bahkan dengan demikian ia masih sempat menjawab, “Aku kira, aku sekarang memang sedang berhadapan dengan anak-anak kambing cengeng.” Orang itulah yang kemudian menggeram. Namun yang lain masih sempat berkata, “Kita bertempur dengan kemampuan ilmu. Bukan sekedar saling menyindir agar lawannya kehilangan pengamatan diri.” Swandaru meloncat surut. Dengan demikian ia mendapat kesempatan untuk menjawab, “Baiklah. Bagaimana jika kita bertempur sambil berdiam diri ? Bukankah dengan demikian, kita benar-benar sedang beradu tingkat kemampuan dan kekuatan ?”

Kedua lawannya tidak menjawab lagi. Tetapi keduanya dengan serta merta telah menyerang dari dua arah yang berbeda. “Tidak ada aba-aba,“ berkata Swandaru didalam hatinya, “tetapi keduanya mampu bergerak serentak, seolah-olah keduanya telah digerakkan oleh otak yang sama.” Sebenarnyalah kedua orang lawannya mampu bertempur berpasangan dengan mapan sekali. Namun Swandaru adalah seorang yang memiliki ilmu yang cukup. Ia telah mewarisi semua dasar ilmu Kiai Gringsing, meskipun ia masih belum sampai kepuncak perkembangannya. Namun demikian, ia adalah seorang yang mengagumkan. Kekuatannya benar-benar mengejutkan lawannya disetiap sentuhan dan benturan senjata. Tetapi kedua lawannya ternyata memiliki kecepatan bergerak yang tinggi. Apalagi kemapanan kerja sama diantara mereka yang mengagumkan. Sehingga dengan demikian, maka Swandaru harus berjuang sekuat tenaganya untuk bertahan. Tetapi agaknya senjata Swandaru yang agak lain dari kebanyakan senjata itu sangat berpengaruh. Ujung senjatanya yang meskipun tidak tajam, tetapi lentur, kadang-kadang membuat lawannya menjadi bingung. Ujung cambuk Swandaru itu seolah-olah selalu mengejar keduanya kemanapun mereka menghindar. Meskipun demikian, keduanya bukan kanak-kanak lagi diarena petualangan olah kanuragan. Keduanya adalah orang yang berpengalaman dan mengenal berbagai macam tata gerak ilmu kanuragan. Karena itu, maka keduanya masih memiliki kesempatan untuk menghindari kejaran ujung cambuk Swandaru yang bukan saja berkarah baja seperti saat ia mendapatkannya dari gurunya. Tetapi karah baja yang melingkar pada ujung cambuk Swandaru ternyata sudah menjadi semakin rapat. Dengan demikian, maka setiap sentuhan ujung senjatanya akan dapat menyayat kulitnya sampai ketulang. Di arena pertempuran yang lain. Pandan Wangi yang bertempur dengan pedang rangkap ternyata membuat lawannya kadang-kadang tidak percaya akan penglihatannya. Perempuan itu seakan-akan benar-benar telah terbang dengan sayap pedangnya. Namun kemudian dengan cepat menukik dan mematuk dengan ujung sayapnya yang tajam, melampaui tajamnya paruh rajawali. Dengan demikian, maka kedua lawannya telah mempergunakan cara yang khusus pula untuk melawan sepasang pedang itu. Keduanya mengambil jarak yang cukup diarah yang berlawanan. Seperti berjanji keduanya menyerang berganti-ganti, bagaikan arus ombak yang menghantam tebing. Berurutan tidak henti-hentinya, sehingga mereka berharap bahwa Pandan Wangi tidak akan sempat menyerang mereka. Tetapi Pandan Wangi memiliki ketajaman pengamatan atas kedua lawannya. Ia tidak mau terperangkap kedalam serangan yang datang beruntun. Namun ia dengan tangkasnya melepaskan diri dari garis serangan

keduanya, dan dengan cepatnya memusatkan serangannya kepada salah seorang lawannya. Serangan Pandan Wangi benar-benar mengejutkan. Lawannya yang seorang itu terpaksa berloncatan menghindari serangan Pandan Wangi. Namun Pandan Wangi tidak melepaskannya. Serangannya datang tanpa terbendung. Tetapi sejenak kemudian Pandan Wangi terpaksa memperhitungkan lawannya yang lain yang dengan tergesa-gesa datang memburunya. Sehingga dengan demikian. Pandan Wangi terpaksa melepaskan kesempatan yang hampir saja terbuka baginya. “Perempuan ini benar-benar gila,“ geram lawannya yang hampir saja dadanya disayat oleh pedang Pandan Wangi. Dengan nafas yang terengah-engah iapun memperbaiki kedudukannya meskipun ia tidak sempat beristirahat sama sekali walau hanya sekedar untuk mengatur pernafasannya. Karena jika ia terlambat sekejap, maka kawannyalah yang akan menjadi korban puta ran pedang Pandan Wangi. Dalam pada itu, ternyata lawannya benar-benar telah kehilangan pengekangan diri. Mereka telah mengerahkan segenap ilmu dan kemampuan mereka. Sehingga dengan demikian, maka keduanya telah meningkat bukan saja sekedar bertempur dengan tenaga wajarnya. Keduanya telah mulai mengerahkan segenap tenaga cadangannya sampai kepuncak kemampuan. Pandan Wangi merasa,tekanan kedua lawannya memang menjadi semakin berat. Justru karena itu, maka sengaja atau tidak sengaja, iapun telaii memeras segenap tenaga, kemampuan dan ilmu yang ada padanya. Pada saat-saat terakhir, ketika lawannya mulai mendesaknya dengan tenaga yang terasa semakin besar, Pandan Wangi yang tidak mungkin menghindar dari arena itupun menghentakkan kekuatannya. Ketika serangan lawannya mematuknya, maka ia berusaha untuk meloncat kesamping. Namun justru pada saat itu, lawannya yang lain telah mengayunkan senjatanya dengan sepenuh kekuatannya menebas kearah leher. Tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak. Sementara itu Pandan Wangi sadar, bahwa lawannya telah mempergunakan segenap kemampuan yang ada padanya. Bukan saja tenaga wajarnya, tetapi juga tenaga cadangannya. Karena itu, maka Pandan Wangi yang tidak mempunyai kesempatan lain, kecuali menangkis serangan itu, telah mengerahkan segenap kemampuannya pula. Dengan sepenuh pemusatan ilmu, ia telah mengerahkan tenaga cadangannya untuk menangkis senjata lawannya yang langsung menebas lehernya. Bahkan demikian maka ungkapan kekuatan Pandan Wangi yang dihentakkan itu benar-benar telah mengungkap segenap kemampuan yang ada pada dirinya. Setelah beberapa lama ia mesu diri dengan cara yang agak berbeda dengan Swandaru dan Sekar Mirah, karena kekagumannya setelah ia mendengar bahwa iapun akan mampu menghentakkan ilmu dalam ungkapan yang agak lain dari ungkapan tenaga dan tenaga cadangan saja.

Dengan demikian, maka tanpa disadarinya, dalam ungkapan yang dilambari dengan sepenuh kemampuan yang ada padanya, telah terungkap pula kemampuan yang masih belum disadari kehadirannya. Ternyata bahwa getaran pemusatan ilmunya, seolah-olah telah menjadi alas dan pendorong dari kekuatan cadangannya, sehingga karena itu, maka seolah-olah tenaga cadangannya telah bertambah-tambah diluar pengetahuannya. Karena itulah, maka ketika senjatanya yang diayunkan dengan segenap kemampuan yang terhentak tanpa kekangan, dan menangkis senjata lawan, maka telah terjadi benturan yang sangat dahsyat. Diluar dugaan Pandan Wangi sendiri, bahwa dalam benturan itu, ternyata senjata lawannya telah terlempar dari tangan. Meskipun terasa tangan Pandan Wangi sendiri menjadi pedih, namun ia masih tetap menggenggam senjatanya. Terdengar keluhan tertahan. Agaknya perasaan sakit yang sangat telah menyengat tangan lawannya sehingga ia tidak mampu lagi bertahan untuk tetap menggenggam senjatanya. Ketika senjata lawannya itu terlempar, maka Pandan Wangi yang justru terkejut itu tidak segera dapat memanfaatkan keadaan. Ia terlambat sekejap, sehingga lawannya yang lain berhasil menolongnya. Baru sesaat kemudian Pandan Wangi menyadari keadaannya. Tetapi kedua lawannya telah bersiap sepenuhnya untuk menghadapinya. Lawannya yang senjatanya terlempar telah berhasil memungut kembali senjatanya pada saat Pandan Wangi harus memperhatikan serangan lawannya yang lain, yang berusaha memberi kesempatan kepada kawannya memperbaiki keadaanya. Namun dengan demikian Pandan Wangi telah mendapat satu pengalaman baru pada ilmunya. Ia mulai mengenal arti dari latihan-latihan khususnya. Memang ada kelainan yang terasa didalam perkembangan ilmunya disaat terakhir. Namun baru dalam hentakan kekuatan sepenuhnya sajalah ia dapat mengenalinya. Untuk menghadapi keadaan berikutnya, maka Pandan Wangi telah membuat perhitungan baru. Meskipun belum sepenuhnya diyakini, tetapi ia mulai berani mempergunakan dasar pengalamannya pada ilmunya sesaat sebelumnya. “Aku harus mencoba menangkis serangan-serangan mereka lebih banyak lagi,“ berkata Pandan Wangi kepada diri sendiri. Karena itulah, maka sejenak kemudian iapun mulai bergeser mendekati kedua lawannya yang sudah bersiap ditempat yang terpisah. Sekejap kemudian, maka pertempuran yang sengit itupun telah terulang kembali. Pandan Wangi justru menjadi semakin garang dengan senjata rangkapnya. Bukan saja ia dengan berani membenturkan senjatanya untuk menangkis serangan lawannya, namun iapun justru menjadi semakin mantap dengan serangan-serangannya yang berbahaya. Dengan demikian maka kedua lawannyapun menjadi semakin sibuk menghadapi senjata rangkap

Pandan Wangi yang menyambar-nyambar. Mereka harus berhati-hati karena setiap benturan senjata akan dapat melontarkan senjata mereka. Karena itulah maka kedua lawannya tidak lagi menganggap bahwa tenaga mereka tentu lebih besar dari tenaga seorang perempuan. Sehingga yang mereka lakukan kemudian untuk menangkis serangan Pandan Wangi harus mereka perhitungkan sebaik-baiknya. Dalam pada itu, Swandarupun semakin lama menjadi semakin garang. Ujung cambuknya meledakledak semakin keras. Dan bahkan semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin dekat dengan kulit lawan-lawannya. Kedua lawannyapun menjadi semakin cemas menghadapi senjata Swandaru. Mereka tidak dapat menangkis serangan Swandaru seperti mereka menangkis pedang atau tombak. Mereka harus membuat perhitungan tersendiri dengan ujung cambuk berkarah baja itu. Hanya karena lawan Swandaru berdua, maka mereka dapat memecah perhatian Swandaru sehingga dengan kerja sama yang mantap, mereka masih dapat memberikan perlawanan yang berat. Dilingkaran pertempuran yang lain. Sekar Mirah yang sudah mampu mengatasi perasaannya, bertempur dengan garang. Namun bagaimanapun juga, sebagai seorang gadis ia tidak dapat membebaskan seluruhnya pengaruh kekasaran lawannya. Mereka masih saja berteriak dengan katakata kotor. Tingkah laku dan sikap merekapun benar-benar mengerikan bagi Sekar Mirah. Senjata mereka yang patah-patah itupun dapat mereka pergunakan sebaik-baiknya, sesuai dengan kekasaran tingkah laku mereka. Dengan demikian, maka sebenarnyalah bahwa Sekar Mirah merasa terlampau berat menghadapi kedua orang Gunung Sepikul itu. Meskipun ilmu mereka bukannya tidak terlawan, tetapi sikap dan tingkah laku merekalah yang membuat Sekar Mirah menjadi ngeri. Kadang kadang kemarahan yang meluap berhasil mendorong Sekar Mirah untuk bertempur dengan garangnya, agar ia dengan segera dapat menutup mulut lawannya. Tetapi usahanya tidak segera berhasil. Kedua lawannya yang kasar itu ternyata mempunyai kemampuan untuk mengelakkan serangan-serangannya yang berbahaya. Tetapi justru perasaan Sekar Mirahlah yang telah meringkihkan perlawanannya. Perasaannya sebagai seorang gadis yang hampir tidak tahan lagi mendengar kata-kata kotor lawannya dan melihat sikapnya yang sama sekali tidak dikekang oleh harga dirinya sebagai orang yang memiliki ilmu kanuragan. Karena itulah, maka dalam keadaan terdesak, salah seorang dari mereka justru tidak menyerang dengan senjatanya yang aneh itu, tetapi justru memungut segenggam pasir dan melontarkannya kewajah Sekar Mirah. Untunglah bahwa Sekar Mirah cepat melihatnya. Ia sempat meloncat sejauh-jauhnya untuk mendapat kesempatan mengatupkan matanya sekejap dan menghindari pasir itu menghambur kewajah dan tubuhnya.

Sekar Mirah tidak merasa perlu untuk mencela perbuatan lawannya, karena ia sadar, bahwa kedua lawannya itu tentu tidak akan menghiraukannya. Nampaknya keduanya benar-benar telah kehilangan rasa harga dirinya sehingga cara yang manapun akan dapat mereka pergunakan untuk memenangkan pertempuran itu. Dengan demikian, bagaimanapun juga Sekar Mirah berusaha untuk tetap tabah, namun ternyata bahwa lambat laun, terasa olehnya, bahwa ia tidak akan dapat bertahan terlalu lama menghadapi kekasaran dan keliaran kedua lawannya itu. Hanya karena kesadarannya untuk tidak mau mati atau jatuh ketangan kedua orang yang berpakaian seperti tukang satang itu sajalah yang masih memaksanya untuk bertempur terus. Meskipun semakin lama Sekar Mirah menjadi semakin sering berloncatan menghindar. Sementara itu, Ki Waskita dan orang yang disebut Ki Lurah itupun masih bertempur dengan cara mereka. Keduanya nampaknya tidak banyak bergerak. Serangan-seranganpun jarang-jarang sekali dilontarkan. Namun setiap gerakan betapapun sederhananya, seolah-olah telah menimbulkan prahara dipadang ilalang Itu. Sekali-sekali keduanya melangkah bergeser setapak. Kemudian sebuah hentakkan serangan mengarah kebagian tubuh yang berbahaya. Tetapi sebuah gerakan kecil, telah membebaskan lawannya dari serangan itu. Meskipun kemudjan hampir tanpa kasat mata, serangan berikutnya menyusul, namun dengan gerakan secepat itu pula lawannya mengelak. Yang terjadi kemudian, maka kedua orang itupun seakan-akan berdiri saja saling mengamati untuk beberapa saat tanpa berbuat sesuatu. Disusul pula dengan geseran setapak. Lambat dan seolah-olah tidak berarti sama sekali. Baru kemudian terulang kembali gerakan-gerakan secepat kilat. Hanya satu dua gerakan. Kemudian merekapun berdiri tegak dan seolah-olah saling menunggu. Namun demikian, bekas dari sikap dan tata gerak mereka ternyata sangrt mengerikan. Batang ilalang berserakan dan berhammran kesegenap arah. Pasir yang tersentuh kaki mereka, tersembur bagaikan tiupan kabut prahara. Tetapi keduanya bagaikan tonggak-tonggak baja yang berdiri tegak dengan kukuhnya. Ketika orang yang disebut Ki Lurah itu kemudian meloncat menggempur pertahanan Ki Waskita yang menyilangkan tangannya, maka akibatnya benar-benar dahsyat sekali. Orang yang menyebut dirinya Ki Lurah itu terlontar tiga langkah surut. Sementara itu Ki Waskita masih tetap tegak ditempatnya. Namun ternyata bahwa kaki Ki Waskita bagaikan terhunjam masuk kedalam pasir tepian hampir sampai kelutut. Namun sejenak kemudian keduanya telah menghentakkan diri, bersiap menghadapi benturan-benturan kekuatan berikutnya.

Demikianlah, maka pertempuran dipinggir Kali Praga itu ternyata merupakan pertempuran yang sangat seru. Masing-masing memiliki kelebihan yang dapat diandalkan. Sehingga dengan demikian, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin mendebarkan. Meskipun Pandan Wangi dan Sekar Mirah adalah seorang perempuan, tetapi kemampuan mereka bertempur ternyata tidak kalah dahsyatnya dengan dua orang laki-laki yang melawannya. Namun justru karena Sekar Mirah seorang gadis sajalah, maka kadang-kadang perasaannya masih saja selalu mengganggunya. Ternyata yang digelisahkan oleh kedua lawan Sekar Mirah, bukan hanya gadis itu saja. Swandarupun semakin lama somakin memperhatikan adiknya yang nampaknya menjadi semakin terdesak. Karena itulah, maka Swandarupun kemudian bertekad untuk segera menyelesaikan kedua lawannya, agar ia masih sempat menyelamatkan adik perempuannya yang terdesak bukan karena ilmu lawannya yang lebih tinggi, tetapi justru karena keliaran dan kekasarannya. Dengan demikian, maka cambuknyapun menjadi semakin keras meledak. Swandaru yang menghentakkan segenap kemampuannya itu tersalur langsung pada senjatanya. Bukan saja meledak semakin keras, tetapi ujung cambuknya bergerak semakin cepat. Oleh dorongan kecemasannya melihat adik perempuannya, maka Swandarupun berusaha semakin keras, untuk segera mengakhiri pertempuran. Namun dalam pada itu, ia masih tetap mempergunakan nalarnya dengan pertimbangan-pertimbangan yang masak sehingga dengan demikian, ia mampu memilih gerak yang paling baik untuk menghadapi kedua orang lawannya. Dalam serangan beruntun ujung cambuk Swandaru yang berputaran semakin cepat, tidak lagi mampu dihindari oleh lawannya. Seperti angin pusaran, maka akhirnya ujung cambuknya sempat juga menyentuh salah seorang dari kedua lawannya, sehingga terdengar keluhan tertahan. Lawannya yang tersentuh ujung cambuk itu masih sempat meloncat menghindar, sementara yang lain masih sempat pula meloncat menyerang untuk membebaskan kawannya yang tersentuh senjata Swandaru itu. Namun bahwa ujung cambuk Swandaru telah berhasil menyayat lengan lawannya, maka kegeliasahanpun mulai membakar hati orang yang disebut Ki Lurah itu. Menurut pengamatannya yang sekilas, maka kedua lawan Swandaru agaknya memang sudah mulai terdesak oleh hentakkanhentakkan ujung cambuk anak Sangkal Putung itu. Sebenarnyalah, Swandaru yang ingin semakin cepat menyelesaikan pertempuran itu telah menjadi semakin cermat. Ia tidak terlempar kedalam arus perasaannya. Tetapi ia justru membuat perhitungan-perhitungan yang semakin mapan, agar ia dapat semakin cepat mengakhiri pertempuran. Pertempuran dan pertimbangan-pertimbangan yang mapan setelah ia bertempur beberapa saat dan dapat mengambil kesimpulan mengenai kemampuan dan tataran ilmu lawannya, telah membuat

kedudukan Swandaru menjadi semakin menentukan. Lawannya yang terluka dilengan itu, ternyata masih mampu bertahan. Meskipun darah mengalir dari lukanya, tetapi senjatanya masih tetap teracu sementara lawannya yang lain menggeram marah. Sejenak kemudian, kedua lawannya itupun telah menemukan keseimbangannya kembali. Sekali-sekali orang yang terluka itu mengusap lengannya. Namun kemudian luka itu seakan-akan tidak terasa lagi. Swandarupun telah bersiap pula menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang berat. Tetapi ia menyadari sepenuhnya akan keadaan lawannya. Bagaimanapun juga lawannya yang terluka itu tentu bertambah lemah. Karena itulah, maka dalam pertempuran selanjutnya, Swandaru telah memberatkan seranganserangannya pada lawannya yang terluka itu. Jika yang seorang itu dapat dilumpuhkan, maka yang lainpun tentu akan segera menyusul. Namun sebelum ia berhasil, Sekar Mirah sudah hampir tidak tahan lagi menghadapi kedua lawannya yang berteriak-teriak dengan kata-kata kotor. Bahkan dengan sengaja ia mengucapkan kata-kata yang paling tidak pantas didengar oleh seorang perempuan, apalagi seorang gadis. Betapapun Sekar Mirah mencoba untuk tidak menghiraukannya, bahkan untuk membungkamnya, namun perasaannya telah bergejolak. Sekali-sekali ia harus berteriak pula mengimbangi suara lawannya, agar ia tidak mendengar apa yang dikatakan oleh orang-orang liar dari Gunung Sepikul itu. Tetapi kedua lawannya itu justru tertawa berkepanjangan. Mereka nampaknya semakin berpengharapan, bahwa mereka akan segera dapat mengalahkan gadis cantik dari Sangkal Putung itu. “Jangan berpura-pura anak manis “ teriak lawannya yang seorang “ kau tentu senang pula mendengar kelakar kakangku ini.” “Kalian curang,“ teriak Sekar Mirah. Keduanya tertawa semakin keras. Dan merekapun semakin gila dengan caranya yang liar. Kemarahan Swandaru semakin membakar jantungnya. Tetapi ia selalu bertahan untuk tetap menyadari sepenuhnya, apa yang sedang dihadapi. Ia harus tetap sadar, jika ia tenggelam kedalam arus perasaannya, maka perlawanannya akan semakin tidak menentu, sementara lawannya adalah dua orang yang memiliki ilmu yang mendebarkan. Yang harus dilakukannya justru perhitungan dan pertimbangan yang semakin mapan, agar ia dapat semakin cepat menyelesaikan kedua lawannya.

“Aku harus berhasil lebih dahulu, sebelum Sekar Mirah kehilangan pengamatan diri,“ berkata Swandaru didalam hatinya. Ki Waskita, yang sekali-sekali sempat memperhatikan keadaan Sekar Mirahpun menjadi cemas. Ia tidak akan dapat mempengaruhi perasaan Sekar Mirah dengan cara seperti yang telah dilakukannya, karena ternyata keliaran lawannya benar-benar terasa sangat mengerikan bagi Sekar Mirah. Namun ia tidak dapat berbuat terlalu banyak. Ternyata lawanyapun adalah seorang yang luar biasa. Ketika Ki Waskita berusaha meningkatkan ilmunya, maka lawanyapun telah berbuat serupa. Bahkan kemudian terasa, betapa ilmu lawannya menjadi sangat berbahaya bagi Ki Waskita. “Ada yang tidak wajar,“ berkata Ki Waskita didalam hatinya. Sebenarnyalah bahwa lawannya telah mempergunakan ilmunya yang tidak banyak dikenal. Ki Waskita yang berusaha untuk menghindari setiap serangan, kadang-kadang merasa dadanya bagaikan dihentakkan oleh kekuatan yang tidak terduga. Namun akhirnya Ki Waskita yang mengamati tata gerak lawannya, dapat melihat kelebihan lawannya. Serangannya yang sebenarnya telah mendahului gerak tangan atau kakinya. Lawannya mampu menyentuh tubuhnya pada jarak dua tiga tapak tangan, sehingga betapa Ki Waskita berusaha menghindar, namun kadang-kadang terasa juga serangan lawannya menghantam tubuhnya, sehingga ia terdorong beberapa langkah surut. “Ilmu yang mendebarkan,“ jawab Ki Waskita didalam hatinya. Beberapa kali Ki Waskita mencoba meyakinkan dirinya, apakah dugaannya itu benar. Namun akhirnya ia mengambil kesimpulan, sebenarnyalah lawannya mempunyai ilmu yang sukar dicari bandingnya. Sentuhan serangannya ternyata telah menghantam lawannya pada saat tubuhnya belum tersentuh sasaran. Dengan demikian, maka lawannya akan selalu terlambat menghindar. Lawannya yang menduga, bahwa serangan itu masih berjarak dua tiga tapak tangan, ternyata dadanya telah terasa seakan-akan retak karenanya. Karena itulah, maka Ki Waskita yang berusaha mengimbangi kecepatan lawannya, beberapa kali telah terjebak. Ia terlambat menghindar dan menangkis, sehingga serangan lawannya beberapa kali telah menghantam dada dan lambungnya. Hanya karena Ki Waskita memiliki kemampuan dan daya tahan yang luar biasa sajalah, maka ia masih tetap mampu bertempur. Pengalaman dan pengenalannya atas lawannya, telah membuatnya memperhitungkan setiap kemungkinan. Meskipun mula mula ia berkesulitan untuk mengimbangi kecepatan gerak lawannya yang ternyata lebih

cepat dari tangkapan mata wadagnya, namun dengan sungguh-sungguh ia berusaha. Akhirnya Ki Waskitapun dapat mengetahui bahwa lawannya memang memiliki kemampuan untuk mengelabui tangkapan mata wadag lawannya, sehingga dengan demikian. lawannya tidak akan dapat berbuat banyak untuk menghindar atau menangkis serangannya. Tetapi yang bertempur melawannya adalah Ki Waskita. Setelah ia mengetahui kelebihan ilmu lawannya, maka iapun berusaha untuk mengimbanginya. “Tanpa berbuat sesuatu diluar kemampuan wadag, aku akan dihancurkan sampai lumat,“ berkata Ki Waskita didalam hatinya. Karena itulah, maka Ki Waskita yang memiliki kemampuan untuk membuat bentuk dan bayangan semu itu mulai mempertimbangkan untuk mengimbangi ilmu lawannya dengan ilmunya itu. Karena itu, maka sejenak kemudian, dengan kemampuan ilmunya, Ki Waskita telah mencoba mengelabui lawannya, dengan membuat dirinya seolah-olah berada ditempat yang lain dari tempatnya yang sebenarnya. Itulah sebabnya, maka untuk beberapa saat, serangan lawannyapun tidak mengenai sasaran. Justru sebahknya, pada saat-saat lawannya tersesat mengarahkan serangannya, Ki Waskitalah yang menyerangnya dengan garangnya. Beberapa kali Ki Waskitalah yang justru berhasil. Namun agaknya lawannyapun memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa. Beberapa kali ia terdorong jatuh, dan bahkan berguling diatas pasir dan batangbatang ilalang. Namun ia masih mampu meloncat berdiri dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. Tetapi ternyata bahwa lawannyapun memiliki penglihatan batin yang tajam. Setelah beberapa kali ia mengalami kegagalan, maka iapun menggeram, “Kau licik Ki Sanak. Kau bersembunyi dibalik satu permainan yang curang tanpa mengenal malu.” Ki Waskita yang sudah mengambil jarak dari lawannya itupun bertanya, “Kenapa kau menuduh demikian ?” “Kau mencoba bermain dengan ilmu sihir,“ sahut lawannya. “Aku bukan tukang sihir. Aku tidak mampu melakukannya, “jawab Ki Waskita. “Tetapi kau dapat mengelabui aku. Kau berdiri ditempat yang bukan sebenarnya menurut penglihatanku.” orang yang disebut Ki Lurah itu hampir berteriak. “Maaf Ki Sanak. Aku tidak merasa berbuat curang dan licik.

Aku hanya ingin mengimbangi kemampuanmu yang jarang dijumpai di dunia petualangan olah kanuragan. Kau mampu mengelabui mata wadagku juga,“ berkata Ki Waskita. “Tetapi jangan kau kira, bahwa kau dapat mengelabui aku terus menerus. Setelah aku menyadari keadaanku dan keadaanmu, maka akupun mampu menembus tirai bayangan semumu. Aku akan dapat melihat, dimana kau sebenarnya berdiri, meskipun mata wadagku masih akan dapat dikaburkan. Tetapi dengan segera mata hatiku akan dapat menunjukkan kepadaku,“ sahut orang yang disebut Ki Lurah itu. Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia percaya bahwa orang itu tentu memiliki kemampuan untuk melihat dibalik tirai ilmunya. Namun iapun kemudian berkata, “Baiklah Ki sanak. Kau mungkin sekali akan dapat melihat yang sebenarnya kau hadapi. Tetapi akupun akan mampu memperhitungkan kemampuan sentuhan seranganmu yang seakan-akan mendahului gerak tubuhmu.” Orang itu menggeram. Namun ia tidak menjawab lagi. Tibatiba ia meloncat menyerang dada Ki Waskita. Tetapi Ki Waskita telah bersiap menghadapinya. Iapun kemudian dengan tangkasnya meloncat menghindar sebelum serangan orang itu mencapai jarak tiga kali sepanjang tapak tangannya. Dengan demikian maka serangan itu tidak mengenai sasarannya. Tetapi ia cepat berkisar. Ketika ia melihat Ki Waskita meloncat kesamping sementara ia melihat seorang lagi tegak berdiri, maka ia sadar, bahwa ia harus melihat, yang manakah yang harus diserangnya. Meskipun akhirnya orang itu mengetahui juga, tetapi ia memerlukan waktu sekejap. Dan yang sekejap itu memberi kesempatan kepada Ki Waskita untuk mempersiapkan diri menghadapi serangan lawannya yang masih saja membuatnya agak bingung dan tergesa-gesa. Dengan demikian, maka kecepaan bergerak orang yang disebut Ki Lurah itu telah terganggu. Meskipun sentuhan serangannya dapat melampaui penglihatan wadag lawannya, namun setiap kali iapun harus memilih, sasaran yang juga membingungkan. Ia harus membedakan yang manakah Ki Waskita yang sebenarnya dan yang hanya bayangan semunya saja. Karena itulah, maka pertempuran antara kedua orang yang memiliki kelebihan ilmunya masing-masing itu menjadi semakin dahsyat. Keduanya kadang-kadang harus termangu-mangu. Namun kemudian serangan demi serangan meluncur dengan derasnya. Bahkan semakin lama semakin sering menyentuh lawan. Tetapi karena ketahanan tubuh keduanya, maka sentuhan-sentuhan itu seakan-akan tidak banyak berpengaruh terhadap mereka. Dengan demikian, maka pertempuran antara Ki Waskita dengan orang yang disebut Ki Lurah itu tidak segera dapat diketahui siapakah yang akan menang dan siapakah yang akan kalah, sementara kegelisahan Ki Waskitapun menjadi semakin meningkat karena keadaan Sekar Mirah. Swandaru yang sudah berhasil melukai seorang lawannya, berusaha untuk mendesak terus. Tetapi

ternyata kedua lawannyapun menjadi semakin berhati-hati. Mereka tidak ingin terjerat kedalam putaran cambuk Swandaru, sehingga karena itulah, maka keduanyapun berusaha selalu membuat jarak. Jika serangan Swandaru mengarah kepada salah seorang dari keduanya, maka yang lain dengan cepat berusaha membebaskannya. Betapapun kesabaran Swandaru menjadi semakin tipis, namun ia tetap berusaha untuk tidak kehilangan akal. Ternyata lawannya yang terluka itupun masih mampu bertahan dan bahkan menyerang. Ketika Swandaru terpaksa meloncat kesamping karena serangan lawannya justru pada saat ia memburu lawannya yang terluka, maka ia telah dikejutkan oleh keluhan tertahan. Sekilas ia berusaha untuk melihat, apa yang terjadi. Sebenarnyalah jantungnya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat seorang lawan Pandan Wangi terhuyung-huyung. , Ternyata Pandan Wangi yang memiliki kekuatan diluar pengenalannya sendiri sebelum ia terlibat dalam pertempuran itu, telah berhasil mempergunakan sebaik-baiknya. Setiap kali ia memang berusaha untuk membenturkan senjatanya. Sehingga dalam benturan yang kuat senjata lawannya itu telah terlepas. Pandan Wangi tidak mau terlambat lagi. Sekejap kemudian pedang di tangan kirinya sudah terjulur lurus mengarah kedada orang yang kehilangan senjatanya itu. Orang itu masih berusaha untuk mengelak. Ia memiringkan tubuhnya. Namun ia terlambat. Ujung pedang Pandan Wangi ternyata telah berhasil menyayat dadanya meskipun tidak langsung menembus jantung. Tetapi Pandan Wangi tidak sempat memburunya. Lawannya yang lain dengan tangkas telah berteriak sambil menyerangnya, sehingga dengan demikian Pandan Wangi harus meloncat menghindar selangkah. Lawannya yang seorang itulah yang justru memburunya Ketika Pandan Wangi bergeser, sekali lagi lawannya itu berteriak dan mengayunkan senjatanya dengan sekuat tenaganya. Pandan Wangi melihat senjata itu terayun. Tetapi sekali lagi ia ingin meyakinkan kemampuannya. Ia sadar bahwa kali ini lawannya telah mengerahkan segenap kemampuan dan tenaganya. Bahkan tenaga cadangannya. Yang terjadi kemudian adalah benturan yang dahsyat. Swandaru dan Ki Waskita berhasil melihat sepintas apa yang terjadi. Pandan Wangi yang sengaja membentur tenaga lawannya telah menyilangkan sepasang pedangnya.

Sementara lawannya yang percaya akan kekuatan dirinya, telah sengaja pula membenturkan senjatanya. Sepercik bunga api meloncat diudara. Terasa sepasang tangan Pandan Wangi menjadi pedih. Tetapi ia masih tetap menggenggam pedangnya dengan erat. Bahkan ia masih sempat memutar sepasang pedangnya dengan cepatnya. Putaran pedang Pandan Wangi itu tidak diduga sama sekali oleh lawannya. Ketika benturan itu terjadi, seperti Pandan Wangi, terasa tangannya menjadi sakit. Terlalu sakit, sehingga hampir saja senjatanya terlepas dari tangannya. Namun sebelum ia berhasil memperbaiki keadaan itu, senjatanya serasa telah direnggut oleh putaran yang kuat sekali, sehingga ia tidak mampu lagi untuk bertahan. Demikian senjata lawannya itu terlepas dari tangan, maka Pandan Wangi telah meloncat dengan cepatnya. Pedangnya tidak terjulur dan mematuk tubuh lawan, tetapi kali ini senjatanya terayun mendatar. Lawannya masih berusaha menghindar. Tetapi ternyata Pandan Wangi bergerak lebih cepat. Meskipun tangannya masih terasa pedih, tetapi ujung senjatanya telah berhasil menyobek lambung lawannya. Yang terdengar kemudian adalah sebuah keluhan panjang. Orang yang tersayat lambungnya itupun kemudian terjatuh ditanah. Sementara itu. orang yang dadanya terluka itupun masih berusaha untuk meraih senjatanya yang terlepas. Tetapi demikian ia berhasil menggapai hulu senjatanya, iapun telah terjatuh pula dengan lemahnya. Sejenak Pandan Wangi berdiri termangu-mangu. Dipandanginya dua sosok tubuh yang terbaring diam. Ia memalingkan wajahnya ketika terlihat olehnya darah yang mengalir dari luka-luka ditubuh yang terbujur diam itu. Terasa jantung Pandan Wangi bergetar semakin cepat. Kematian itu memang mengerikan meskipun pembunuhan itu bukan baru pertama kali dilakukannya Kematian kedua oi-ang itu sangat mempengaruhi keseimbangan pertempuran. Meskipun Pandan Wangi tidak segera berbuat sesuatu, tetapi pengaruh itu terasa langsung pada kawan-kawannya. Dua orang tukang satang dari Gunung Sepikul itu tiba-tiba saja telah tidak berteriak-teriak lagi. Agaknya merekapun berpikir, apakah yang kemudian akan dilakukan oleh Pandan Wangi. Jika perempuan itu kemudian berusaha untuk memisahkan sepasang tukang satang itu, sehingga mereka harus bertempur seorang melawan seorang, maka akibatnya sudah dapat dibayangkannya. Belum lagi Tukang Satang itu menemukan satu cara untuk menyelamatkan diri sendiri, terdengar sekali lagi pekik kesakitan menyusul satu ledakan cambuk yang dahsyat.

Meskipun mereka tidak melihat, tetapi mereka dapat membayangkan, satu dari lawan Swandaru tentu telah terluka pula. Bahkan mungkin terbunuh. Mungkin orang yang memang sudah terluka sebelumnya, tetapi mungkin pula yang seorang lagi. Kedua tukang satang itu tidak berpikir lebih panjang lagi. Dengan isyarat yang hanya dapat mereka mengerti, merekapun telah bersiap untuk melarikan diri. Namun dalam pada itu. selagi mereka meloncat menjauhi Sekar Mirah yang hampir saja kehabisan akal untuk mengatasi kengeriannya atas tingkah laku kedua lawannya, tiba-tiba saja terdengar derap kaki kuda yang dengan cepat mendekat. Bahkan sebelum kedua tukang satang itu berbuat sesuatu, sekelompok orang berkuda telah mengepung mereka yang sedang bertempur. “Letakkan senjata kalian,“ terdengar salah seorang penunggang kuda itu memerintahkan. Hampir tanpa disadari oleh mereka yang sedang bertempur, maka merekapun telah berloncatan mundur menjauhi lawan masing-masing. “Letakkan semua senjata,” sekali lagi terdengar perintah. Orang-orang yang sedang bertempur itu menjadi termangu-mangu. Dua orang lawan Pandan Wangi sudah tidak bergerak lagi. Seorang lawan Swandarupun telah terbaring diam, sementara yang lain sudah terluka. Sementara kedua tukang satang itu nampaknya sudah tidak berniat untuk berbuat sesuatu. “Apakah kalian tidak mendengar, letakkan senjata kalian,“ salah seorang dari orang-orang berkuda itu memerintah semakin keras. “Aku tidak bersenjata,“ orang yang disebut Ki Lurah itulah yang menjawab. “Semuanya yang memegang senjata, “ penunggang kuda itu menegaskan. “Mereka sudah tidak berdaya,“ desis Swandaru. “Termasuk kau,“ tiba-tiba penunggang kuda itu membentak. Swandaru mengerutkan keningnya. Dipandanginya orangorang berkuda itu sejenak. Kemudian katanya, “Kami terpaksa membela diri menghadapi mereka.” Tetapi orang yang disebut Ki Lurah itu tertawa. Katanya Siapapun dapat mengatakan, bahwa dirinya sedang mempertahankan hidupnya dari serangan orang lain. Akupun dapat mengatakan demikian. Tiga kawanku telali dibunuh tanpa aku ketahui sebab-sebabnya. Sementara anak itu sedang menyusun alasan untuk memutar balikkan keadaan. “Licik,“ geram Swandaru.

“Kawan-kawanku telah terbunuh,“ desis orang yang disebut Ki Lurah. “Jangan banyak bicara. Letakkan senjata kalian, dan ikuti kami menghadap Ki Lurah.” “Sudah aku katakan, aku tidak bersenjata. Biarlah mereka yang bersenjata meletakkan senjata mereka,“ jawab orang yang disebut Ki Lurah. “Cepat, sebelum kami mengambil sikap,“ bentak orang bertubuh tinggi kekar yang agaknya menjadi pemimpin orangorang berkuda itu. Swandaru termangu-mangu sejenak. Agaknya pemimpin dari orang-orang berkuda itu memandanginya dengan tajamnya. “Siapakah kalian,“ tiba-tiba saja Swandaru bertanya. “Kami pengawal dari Mataram. Kami mendapat laporan bahwa disini telah terjadi pertengkaran dan kemudian perkelahian, ketika kami sedang nganglang lewat daerah ini,“ jawab pemimpin orang-orang berkuda itu, “ternyata yang kami jumpai disini adalah kalian. Karena itu, tanpa menyebut siapa yang bersalah, kalian semuanya menjadi tawanan kami. Kalian akan kami bawa sebagai tawanan tanpa kecuali, bersalah atau tidak bersalah. Karena perkelahian ini sendiri telah menumbuhkan kegelisahan dan kecemasan.” “Ki Sanak,“ berkata Swandaru kemudian, “aku telah mempertahankan diriku dengan senjataku ini. Demikian pula isteri dan adikku. Sementara pamanku telah bertempur tanpa senjata ditangan.” “Siapapun kalian dan apapun yang telah kalian lakukan, jangan membantah. Kami dapat bertindak atas nama kekuasaan Matarann,“ jawab pemimpin orang-orang berkuda yang menyebut dirinya pengawal dari Mataram. Swandaru yang baru saja dipanasi oleh keadaan itupun rasa-rasanya masih terpengaruh oleh luapan panas jantungnya. Karena itu maka jawabnya, “Kami telah mempertahankan hidup kami dengan senjata kami. Karenanya kami akan mempertahankan senjata kami, siapa pun kalian.” “Gila,“ pemimpin orang-orang berkuda itu hampir berteriak, “kau berani menentang kekuasaan Mataram ?” “Aku tidak bermaksud menentang kekuasaan Mataram. Tetapi aku hanya sekedar mempertahankan milik kami. Orang-orang ini akan merampok dan menyamun milik kami. Kami telah mempertahankan dengan senjata kami. Sekarang kalian ingin merampas senjata kami. Kami tidak tahu, apa yang akan kalian lakukan kemudian. Jika ternyata kalianpun ingin berbuat sesuatu

atas kami, maka tanpa senjata, kami akan cepat kalian kuasai,“ jawab Swandaru. “Jadi kalian tidak mau meletakkan senjata ? “ ancam orang berkuda itu. Orang yang disebut Ki Lurah itupun tertawa pendek pula sambil menjawab, “Sudah aku katakan. Aku tidak bersenjata. Seandainya aku bersenjata, maka aku akan dengan senang hati melakukannya.” “Siapapun yang bersenjata, harus meletakannya,“ pemimpin orang berkuda itu membentak. Swandaru akan menjawab, tetapi Ki Waskitalah yang mendahuluinya, “Ki Sanak, para pengawal dari Mataram. Kami mengucapkan terima kasih, bahwa kalian datang tepat pada waktunya, pada saat kami harus bertempur melawan sekelompok penjahat yang ingin merampok kami.” “Dipihak mana kau berdiri ?“ bertanya salah seorang dari orang-orang berkuda. “Aku adalah orang yang disebut paman oleh anak muda yang bersenjata cambuk itu. Aku bertempur dipihaknya,“ jawab Ki Waskita, “nah, aku mohon untuk dapat melanjutkan keteranganku. Sebaiknya kalian bertanya kepada kami, siapakah kami masing-masing.” Para pengawal dari Mataram itu termangu-mangu. Nampaknya orang yang disebut paman itu dapat memberikan beberapa keterangan yang berguna. “Ki Sanak,“ berkata Ki Waskita selanjutnya, “jika Ki Sanak ingin mengetahui namaku, aku adalah Ki Waskita. Sementara anak-anak muda itu adalah anak-anak dari Sangkal Putung.” Para pengawal itu mengerutkan keningnya. Namun dalam pada itu, terdengar orang yang disebut Ki Lurah itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “Aku kadang-kadang merasa terhina jika seorang laki-laki sudah mulai ingkar akan dirinya sendiri. Bagaimana mungkin Ki Sanak dapat menyebut anak-anak muda itu anak-anak Sangkal Putung. Apakah kau kira, aku tidak mengenal anak-anak muda Sangkal Putung.” Wajah Swandaru menjadi merah mendengar kata-kata itu. Dengan serta merta ia berteriak, “Licik sekali. Aku adalah anak Demang Sangkal Putung.” Tetapi Ki Lurah itu tertawa semakin keras. Katanya, “Kau memiliki kemampuan yang tinggi untuk berpura-pura. Bahkan hampir pasti, bahwa kau benar-benar anak Demang Sangkal Putung. Tetapi hanya kelinci-kelinci yang bodoh sajalah yang percaya, bahwa kau adalah Swandaru. Meskipun kau menyebut namamu seratus kali dengan sebutan Swandaru, tetapi jangan kau kira bahwa para pengawal Mataram belum pernah mengenalnya. Anak muda bercambuk dari Sangkal Putung itu sudah dikenal

oleh semua pengawal, perwira, bahkan Senapati Ing Ngalaga sendiri. Karena itu, apakah artinya kau dan kedua orang yang besertamu itu. Apalagi orang tua yang menyebut dirinya bernama Waskita ini.” “Gila, licik,“ geram Swandaru. Namun Ki Waskitalah yang kemudian menyahut, “Kau benar Ki Sanak yang disebut Ki Lurah. Anak Demang Sangkal Putung itu memang sudah dikenal dengan baik oleh sebagian besar para pengawal di Mataram. Tetapi sudah barang tentu tidak semuanya. Ada juga para pengawal dan bahkan para Senapati yang belum mengenalnya. Tetapi para Senapati yang dekat dengan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga. meskipun belum jelas benar, tentu sudah pernah barang satu dua kali melihat atau setidak-tidaknya mendengar serba sedikit tentang anak muda bercambuk dari Sangkal Putung.” “Omong kosong,“ orang yang disebut Ki Lurah itu membentak. “Jangan gelisah,“ sahut Ki Waskita. “Diam semuanya,“ pengawal berkuda itulah yang membentak, “akulah yang mengambil keputusan. Aku perintahkan sekali lagi, semua senjata diletakkan.” Tetapi Ki Waskita cepat memotong, “Aku mohon untuk diijinkan memberikan penjelasan serba sedikit.“ ia berhenti sejenak. Tetapi karena pemimpin pengawal itu tidak menyahut, maka iapun melanjutkan, “cobalah Ki Sanak memperhatikan. Apakah Ki Sanak pernah mengenal atau setidaktidaknya mendengar serba sedikit, tentang anak muda bercambuk dari Sangkal Putung.” “Aku tidak peduli,“ teriak pemimpin pengawal itu, “kalian harus mendengar dan melakukan perintahku, siapapun kalian.” Ki Waskita menjadi semakin berdebar-debar. Agaknya para pengawal itu benar-benar tidak mau mendengarkan keterangannya. Namun Ki Waskita masih mencoba berkata, “Sebaiknya Ki Sanak jangan berbuat kesalahan yang dapat mengganggu nama baik Mataram sendiri. Jika kami harus menghadap, biarlah kami menghadap, bukan saja Senapati pengawal yang sedang bertugas didaerah ini, tetapi biarlah kami menghadap Senapati Ing Ngalaga.” Yang terdengar adalah suara tertawa orang yang disebut Ki Lurah. Katanya, “Kau memang dapat berkata yang aneh-aneh.” “Cukup bentak pemimpin pengawal itu,“ sekali lagi aku menjatuhkan perintah. Letakkan senjata. Perintah ini adalah perintah yang terakhir. Jika kalian tidak bersedia, maka kalian akan kami tuduh melawan kekuasaan Mataram, sehingga dengan demikian, kami akan bertindak dengan kekerasan.” “Yang ada ditangan kami bukan sembarang senjata,“ jawab Swandaru, “tetapi adalah senjata khusus yang tidak akan dapat berpisah dengan diri kami masing-masing, selagi kami masih mampu menggenggamnya.”

“Gila,“ geram pemimpin pengawal itu. Kami dapat mengambil tindakan apapun. Kami dapat membunuh kalian tanpa dikenakan tuntutan sama sekali, karena kalian telah melawan para petugas dari Mataram, yang sedang menjalankan kewajibannya.” “Apaboleh buat,“ Swandaru menyahut dengan nada yang meninggi, “siapapun kalian, kami akan mempertahankan senjata kami.” Para pengawal itu tilak dapat menahan diri lagi. Merekapun segera mempersiapkan diri. Mereka menambatkan kuda mereka pada batang-batang perdu. “Kalian telah melakukan satu kesalahan yang besar. Kalian tidak akan dapat melepaskan diri dari kekuasaan Mataram dengan cara apapun juga.” “Kalian telah mempergunakan kekuasaan yang ada pada kalian dengan berlebih-lebihan,“ jawab Swandaru. “jika kalian bertindak wajar dan membiarkan kami membawa senjatasenjata kami menghadap, maka kalian tidak akan mengalami nasib seburuk orang-orang yang terkapar diatas pasir itu.” “Persetan. Kau terlalu sombong,“ geram pemimpin pasukan berkuda itu, “kalianlah yang akan mati. Jika kalian terlepas dari tangan kami, maka seluruh Mataram akan mengejar kalian kemanapun kalian pergi. Bahkan seandainya kalian benar-benar orang Sangkal Putung, maka Sangkal Putung akan dikepung dan kalian tidak akan terlepas.” “Jangan mengurai persoalan ini sampai menjamah masalah yang tidak kau ketahui dengan pasti,“ berkata Ki Waskita, “di daerah Selatan ada seorang Senapati besar yang bernama Untara. Jika pasukan Mataram masuk sampai ke Sangkal Putung, itu berarti bahwa kalian akan berhadapan dengan Untara. Namun seandainya tidak, Mataram tidak akan berbuat apa-apa terhadap Sangkal Putung, yang kebetulan ada dijalur lurus antara Pajang dan Mataram.” “Gila. Kalian sudah gila,“ pemimpin prajurit itu berteriak. Ia memang tidak begitu memperhatikan perkembangan keadaan terakhir, karena ia lebih banyak menjalankan perintah daripada bertindak atas sikap sendiri dalam hubungannya dengan Pajang. Tetapi ketegangan itupun menjadi semakin memuncak, agaknya para pengawal itu berkeras hati untuk merampas senjata yang dibawa oleh setiap orang yang terlibat didalam perkelahian ilu tanpa meneliti persoalan itu sendiri. Namun agaknya Swandaru yang memiliki sebuah cambuk yang khusus, serta Sekar Mirah yang membawa tongkat baja peninggalan gurunya itupun akan berkeberatan. Dalam pada itu, pemimpin pengawal itupun berkata, “Jangan menganggap kami terlalu bodoh. Kami tahu siapa Untara. Tetapi kamipun tahu bahwa Untara bukannya orang yang tidak dapat diajak bicara. Jika ia mengetahui persoalannya, maka pasukannya tentu akan membantu kami menangkap kalian di Sangkal Putung, seandainya benar kalian adalah orang-orang Sangkal Putung.

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa para pengawal itupun tidak melakukan tindakan itu karena pertimbangan pribadi, tetapi mereka benar-benar berusaha melakukan tugas mereka sebaik-baiknya. Namun Ki Waskitapun mengetahui, bahwa Swandaru, Sekar Mirah dan Pandan Wangi tidak akan dengan suka rela menyerahkan senjata-senjata mereka, yang telah mereka terima dari guru mereka masing-masing. Tetapi Ki Waskita tidak dapat berbuat sesuatu untuk meredakan ketegangan itu. Ia sudah berusaha, tetapi nampaknya usahanya tidak berhasil. Dalam pada itu, maka sekali lagi pemimpin prajurit itu meneriakkan perintah, “Kesempatan terakhir. Aku sudah sampai keujung kesabaran.” Swandarulah yang menjawab sambil berteriak pula, “Kami tidak akan melawan. Tetapi kami berkeberatan untuk menyerahkan senjata kami. Jika kalian kehendaki, kami akan menghadap Raden Sutawijaya yang bergelar Senapiti Ing Ngalaga. Karena sebenarnyalah bahwa Senapati Ing Ngalaga mengenal kami.” “Siapapun kalian, kalian harus tunduk kepada perintahku. Meletakkan senjata, dan mengikut kemana kalian harus menghadap,“ geram pemimpin pengawal itu. “Aku berkeberatan,“ jawab Swandaru. “Jika demikian, kami akan memaksa,“ geram pemimpin pengawal itu, “tidak ada jalan lain. Jika kalian kemudian harus kami tangkap mati, itu bukan salah kami.” Dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja kedua orang tukang satang dari Gunung Sepikul itu melemparkan senjatanya sambil berteriak, “Aku telah melepaskan senjata.” “Minggirlah. Hanya orang-orang yang keras kepala saja yang harus dipaksa dengan kekerasan,“ geram pemimpin pengawal yang perhat annya telah tertumpah kepada Swandaru. Tetapi Swandaru yang marah itupun menyahut tanpa mengendalikan kata-katanya, “Senjataku sudah ditangan. Aku akan mempertahankan dengan senjata ini pula.” Pemimpin pengawal itu tidak menjawab. Ia maju selangkah. Namun pedangnyapun telah digenggamnya pula. Karena itu, maka kedua belah pihakpun segera bersiap. Pandan Wangi masih menggenggam pedangnya yang merah karena darah. Sementara ujung cambuk Swandaru telah mulai bergetar pula. Ki Waskita menjadi cemas. Jika kedua belah pihak benar-benar tidak dapat mengendalikan diri, maka keadaan akan menjadi semakin gawat. Apalagi jika kemudian akan jatuh korban.

Menurut pengamatan Ki Waskita, orang-orang yang datang itu benar-benar para pengawal Mataram, Mungkin mereka orang-orang baru, mungkin orang-orang yang untuk waktu yang lama bertugas ditempat yang terpisah, atau karena sebab-sebab lain, sehingga mereka tidak pernah bertemu dan mengenal anak-anak muda Sangkal Putung itu. Tetapi Ki Waskita tidak dapat berbuat sesuatu. Para pengawal itu telah mengepung Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Dalam pada itu, orang-orang yang mencegat mereka ternyata telah bergeser menepi. Mereka telah melemparkan senjata mereka, sehingga para pengawal dari Mataram itu tidak banyak menghiraukan mereka. Ternyata benturan kekerasan tidak dapat dihindari lagi. Ketika para pengawal itu mendekat, cambuk Swandaru telah meledak dengan kerasnya. Diantara para pengawal itu memang ada yang pernah mendengar tentang orang-orang bercambuk yang dikenal oleh para perwira pengawal Mataram. Tetapi karena menurut pendengaran mereka, orang orang bercambuk itu hanyalah anak Kademangan, maka sudah sewajarnya jika mereka harus tunduk kepada perintah para pengawal yang akan membawa mereka menghadap pemimpin kelompok mereka. Agaknya para pengawal itu benar-benar hanya memperhatikan mereka yang bersenjata. Namun karena Ki Waskita telah mengaku berdiri dipihak anak-anak Sangkal Putung itu, maka para pengawalpun telah melibatkannya kedalam pertempuran itu pula. Ki Waskita tidak dapat mengelak lagi. Ia harus menghadapi para pengawal yang berusaha menangkapnya. Meskipun ia masih membatasi tata geraknya pada usaha untuk mengelakkan setiap serangan. Namun pengawal yang jumlahnya berlipat dari jumlah anak-anak Sangkal Putung dan Ki Waskita itu, untuk beberapa saat mampu membatasi gerak dan perlawanan mereka didalam lingkaran kepungan yang rapat. Namun ternyata ledakan cambuk Swandaru, putaran pedang rangkap Pandan Wangi dan ayunan tongkat Sekar Mirah telah mampu mendesak lingkaran kepungan itu sehingga menjadi semakin luas. Para pengawal itu ternyata tidak dapat bertahan pada kepungan mereka. Diluar dugaan bahwa anakanak Sangkal Putung itu telah memberikan perlawanan yang sengit. ”Gila,“ geram pemimpin pengawal itu, “kau behar-benar telah memberontak.” “Memberontak terhadap siapa?” geram Swandaru yang marah. “Kepada Mataram,“ jawab pemimpin pengawal itu. “Aku orang Sangkal Putung. Apakah Sangkal Putung berada dibawah kekuasaan Mataram ?“ bertanya Swandaru yang marah tanpa memikirkan makna dari kata-katanya, “jika kau menganggap kami memberontak terhadap Mataram, maka kau sudah menyentuh kekuasaan Pajang.”

Tetapi kata-kata itu cukup menggetarkan jantung pemimpin pengawal itu. Sebelumnya ia tidak memikirkan, kata-kata kekuasaan Mataram dan Pajang. Namun sudah terlanjur, para pengawal telah mengepung anak-anak dari Sangkal Putung serta Ki Waskita. Karena itu, bagaimanapun juga, para pengawal itu tidak akan menarik diri. Bahkan pemimpin pengawal itu kemudian berkata, “Kau sekarang berada ditlatah Mataram. Siapapun kau, maka kau harus tunduk kepada ketentuan yang berlaku. Jika tingkah lakumu didengar oleh para prajurit Pajang, maka kau akan dihukum karena kau telah mencemarkan nama baik Pajang di Mataram.” Swandaru menggeretakkan giginya. Karena itu, maka cambuknyapun telah meledak semakin keras. Sementara itu Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun tidak ingin meletakkan senjata mereka. Senjata yang mereka dapatkan dari orang-orang yang mereka hormati. Bahkan Pandan Wangi telah mendapat sepasang pedang langkapnya bukan saja dari gurunya, tetapi juga ayahnya. Ternyata para pengawal dari Mataram itu tidak segera mampu menguasai anak-anak dari Sangkal Putung itu. Ledakan cambuk Swandaru telah membuat kepungan itu semakin lama semakin longgar. Sekali sekali ujung sepasang pedang Pandan Wangi telah mendorong lawannya meloncat surut. Sementara ayunan tongkat Sekar Mirah yang berdesing mengerikan, telah mengejutkan lawannya, sehingga mereka telah berloncatan mundur. Namun dalam pada itu, selagi pertempuran itu berlangsung dengan sengitnya, telah terdengar suara tertawa yang berkepanjangan. Ki Waskitalah yang kemudian melihat, orang yang disebut Ki Lurah itu ternyata telah mengambil satu langkah yang mengejutkan. Seorang pengawal Mataram yang menjaganya, telah terlempar dengan kerasnya diatas tepian yang ditumbuhi ilalang-ilalang itu. Yang terdengar adalah jerit yang panjang. Namun ketika jerit itu terputus, maka pengawal itu sudah tidak bernyawa lagi. “Gila,“ geram Ki Waskita, “kalian telah berbuat satu kesalahan. Orang itu melarikan diri.” Para pengawal itu termangu-mangu. Namun ketika Ki Waskita bergerak setapak, pengawal itu mengacukan senjatanya, “Jangai membunuh diri.” Tidak seorangpun yang mengetahui, apa yang telah terjadi. Tetapi dua orang antara pengawal yang mengepung anak-anak Sangkal Putung dan Ki Waskita itupun terdorong dengan keras dan jatuh menelentang. Pada saat itu Ki Waskita telah meloncat mengejar orang yang disebut Ki Lurah itu.

Beberapa saat, kedua belah pihak menjadi termangu-mangu. Para pengawal Mataram itu telah terpukau oleh peristiwa yang berturut-turut terjadi diluar kemampuan pengamatan mereka. Mereka tidak mengerti, bagaimana seorang diantara mereka yang mengawasi orang yang menyatakan diri tidak bersenjata, dan yang nampaknya sama sekali tidak ingin melawan itu telah terlempar dan terbunuh. Sedang dua orang diantara mereka yang mengepung dengan rapat, telah terdorong jatuh tanpa sempat berbuat sesuatu, sehingga salah seorang diantara mereka yang terkepung sempat berlari meninggalkan lingkaran kepungan itu. Ki Waskita benar-benar tidak ingin kehilangan orang yang disebut Ki Lurah itu. Karena itulah, maka iapun telah mengerahkan segenap kemampuannya pada langkah kakinya. Karena itulah, maka tubuhnya seolah-olah telah meluncur tanpa menyentuh tanah karena dorongan tenaga cadangannya. Tetapi Ki Lurah itupun orang yang luar biasa pula. Iapun mampu berlari secepat langkah Ki Waskita. Karena itu, maka jarak diantara mereka berdua sama sekali tidak menjadi semakin pendek. Beberapa lamanya mereka bekejaran ditepian yang panjang. Mereka menyusup diantara batang ilalang kemudian muncul diatas pasir yang membentang sepanjang sungai yang berair keruh itu. Namun ternyata Ki Waskita tidak berhasil mengejarnya. Betapapun ia mengerahkan kemampuannya, namun jarak diantara mereka tidak menjadi semakin pendek. Dalam pada itu, beberapa orang yang berada ditempat penyeberangan terkejut melihat bayangan yang bagaikan terbang diatas pasir. Sekilas lewat. Namun kemudian hilang didalam rimbunnya batang ilalang. Namun akhirnya Ki Waskitapun menghentikan langkahnya. Ia menyadari kenyataan yang dihadapinya, bahwa ia tidak akan dapat mengejar orang yang berlari itu. Karena itu, maka ia lebih baik kembali saja kepada anak-anak Sangkal Putung yang masih belum diketahui, apakah yang terjadi pada mereka, karena orang-orang Mataram itu nampaknya tidak berhasil diajak berbicara dengan baik. Oleh kegelisahan itu, maka Ki Waskitapun kemudian berlari lagi kembali karena pertempuran yang ditinggalkannya. Untuk sesaat para pengawal dari Mataram itu masih dicengkam oleh peristiwa yang terjadi dengan tiba-tiba itu. Ketika ia berpaling dilihatnya dua orang dari Gunung Sepikul dan seorang lagi yang telah terluka oleh cambuk Swandaru duduk dengan tegangnya. “Seorang kawanmu telah melarikan diri,” geram salah seorang pengawal, “kau akan memikul akibat

karenanya.” Kedua tukang satang itu menjadi gemetar. Tetapi dua orang pengawal Mataram lelah keluar dari kepungan untuk mengawasi mereka, agar tidak terjadi peristiwa seperti yang baru saja terjadi. Sementara itu, Swandarupun berkata, “Orang itu telah melarikan diri. Jika Ki Waskita tidak berhasil menangkapnya, maka kalian telah kehilangan sumber keterangan yang tidak ternilai harganya.” Tetapi jawab pemimpin pengawal itu mengejutkan Swandaru, “Kaulah yang bertanggung jawab. Jika kau tidak menentang perintahku, orang itu tidak akan sempat lari. Dan seorang kawanku tidak terbunuh olehnya.” Tiba-tiba saja darah Swandaru yang panas itu bagaikan menggelegak. Jawabnya dengan nada tinggi, “Itu adalah kenyataan tentang kalian Kalian tidak cukup mampu melibatkan diri dalam pertentangan ilmu kanuragan dalam tingkat tinggi. Dua orang kawanmu terdorong jatuh tanpa dapat menghalangi paman meninggalkan kepungan ini.” Kata-kata Swandaru itu membuat pemimpin pasukan pengawal dari Mataram itu semakin marah. Karena itu, maka jatuhlah perintahnya kepada para pengawal, “Tidak ada ampun lagi bagi orangorang ini. Tangkap hidup atau mati.” Kepungan itupun kemudian merapat lagi. Senjata-senjata mulai teracu dan seranganpun datang beruntun. Namun cambuk Swandarupun menggelegar seperti guntur dilangit. Semakin lama semakin cepat dan semakin keras. Ujungnya berputaran dan terayun-ayun mengerikan. Sementara itu Pandan Wangi tidak mempunyai pilihan lain. Ia adalah isteri Swandaru. Apapun yang dilakukan oleh swandaru merupakan perintah pula baginya. Dengan demikian, ketika Swandaru bertempur semakin garang, maka pedang Pandan Wangipun semakin cepat berputar. Sepasang pedangnya kemudian berputar bergulung-gulung seperti segumpal asap beracun yang semakin lama menjadi semakin mendesak. Diarah yang lain. Sekar Mirah memutar tongkat baja putihnya. Tengkorak yang berwarna kekuningkuningan ditangkal tongkat itu, kadang-kadang terayun pula dengan derasnya. Jika terjadi sentuhan senjata, maka Sekar Mirah selalu berhasil menyakiti tangan lawannya. Karena itulah, maka kepungan orang-orang Mataram itu tidak dapat dipertahankan pada lingkaran yang sempit. Semakin lama tidak semakin ketat dan sempit, justru menjadi semakin longgar. Ki Waskita yang berlari-lari kembali kearena itupun akhirnya sampai juga. Dari kejauhan ia sudah melihat bahwa pertempuran di arena itu semakin lama justru menjadi semakin sengit.

Dengan tergesa-gesa Ki Waskitapun mendekat. Hampir berteriak ia berkata, “Kenapa kalian masih bertempur ? Kalian sudah kehilangan sumber keterangan yang paling berharga. Aku tidak berhasil menangkapnya.” Pemimpin pasukan pengawal dari Mataram itu berteriak menyahut, “Menyerahlah. Lebih baik kalian meletakkan senjata, daripada kalian harus mati.” “Jika kalian berhasil membunuh kami, itu lebih baik.“ teriak Swandaru pula, “tetapi bagaimana jika kalian yang mati ? Mataram tidak akan dapat mengambil tindakan apa-apa terhadap kami. Apalagi jika kami sudah berada kembali di Sangkal Putung. Kami akan mohon perlindungan pasukan Pajang yang berada disekitar Kademanganku.” “Persetan,“ pemimpin pengawal itu menggeram. Serangannya menjadi semakin meningkat. Namun demikian kepungannya masih tetap tidak dapat dipersempit lagi. Justru serangan anak-anak muda Sangkal Putung itu semakin membadai, maka kepungan itu menjadi semakin lama semakin longgar. Ki Waskita yang menyaksikan pertempuran itu menjadi termangu-mangu. Ternyata para prajurit yang jumlahnya berlipat itu tidak mampu untuk segera menguasai ketiga anak Sangkal Putung itu. Bahkan cambuk Swandaru semakin lama menjadi semakin garang dan berbahaya. “Jika terjadi sesuatu pada para pengawal itu, maka persoalannya akan menjadi semakin gawat. Mungkin kami benar-benar tidak akan dapat keluar dari Mataram, jika Raden Sutawijaya menisa tersinggung karenanya. Tetapi jika Raden Sutawijaya bertindak atas kami, maka pasukan Pajang di daerah Jati Anom tentu akan tersinggung pula. Apalagi Swandaru adalah saudara seperguruan Agung Sedayu, adik Untara.” berkata Ki Waskita didalam hatinya. Untuk beberapa saat ia berdiri saja mematung. Namun kemudian iapun berteriak nyaring, “He, para pengawal. Aku disini. Kenapa kalian tidak mempedulikan aku. Atau barangkali kalian menunggu aku berbuat sesuatu atas pasukan kalian dari luar kepungan ?” Pemimpin pengawal itu menggeram. Ternyata ia mulai merasakan kesulitan. Jika satu atau dua orangnya menyerang Ki Waskita, maka kepungan itu tentu akan segera pecah. Orang-orang Sangkal Putung itu tentu akan segera berhasil menembus lingkaran kepungan para pengawal Mataram, sehingga dengan demikian, mereka akan dapat berbuat semakin jauh. Namun seandainya yang seorang dibiarkannya saja, ia tentu akan merupakan kekuatan yang ikut menentukan akhir dari pertempuran itu. Ia dapat saja menyerang kepungan itu dari arah luar, sementara dari dalam, ketiga orang itu seolah-olah gemuruhnya gelombang yang berurutan menghantam tebing. Semakin lama menjadi semakin aus. Demikian pula pertahankan para pengawal yang bertempur didalam lingkaran kepungan itu. Kekuatan

ilmu merekapun tidak lebih baik dari ketiga orang yang dikepungnya. Yang paling cemas kemudian adalah Ki Waskita. Nampaknya Swandaru benar-benar marah karena telah tersinggung harga dirinya untuk menyerahkan senjata. Karena itulah, maka iapun bertempur dengan sungguh-sungguh. Tidak ada lagi usahanya untuk mengendalikan diri. Jika lawannya itu lengah, maka ujung cambuknya akan benar-benar merobek dadanya. “Persoalan ini tidak boleh berkepanjangan,“ berkata Ki Waskita didalam hatinya. Tetapi agaknya para pengawal dari Mataram maupun Swandaru sudah terlalu sulit untuk berbicara. Untuk beberapa saat Ki Waskita hanya dapat memperhatikan pertempuran itu. Para pengawal dari Mataram itupun agaknya sudah kehilangan pertimbangan dan perhitungan. Tidak seorangpun diantara mereka yang menghiraukannya. Mungkin karena kekuatan mereka sangat terbatas, tetapi mungkin karena ia sendiri tidak berbuat sesuatu. Sekilas diperhatikannya dua orang yang mengawasi orangorang Gunung Sepikul dan seorang yang telah terluka. Kedua orang itu memang selalu memperhatikannya. Tetapi nampaknya keduanyapun lebih banyak memperhatikan orangorang Gunung Sepikul yang memang harus mereka jaga agar tidak terjadi seperti orang yang disebut Ki Lurah itu. Namun dalam pada itu, pertempuran itupun semakin lama semakin sengit. Cambuk Swandaru meledak semakin keras dan semakin sering. Berkah-kali lawannya yang mengepungnya terpaksa berloncatan menghindar. Namun Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah nampaknya masih belum ingin memecahkan kepungan itu. Namun dalam pada itu, pengawal dari Mataram itupun telah kehilangan pengekangan diri, sehingga mereka benar-benar ingin menangkap Swandaru itu hidup atau mati. Pertempuran yang semakin meningkat, semakin meningkat itu telah membuat Ki Waskita semakin cemas. Karena itu, ia tidak boleh menunggui lebih lama. Ia harus berbuat sesuatu. Tetapi ia tidak boleh menyinggung harga diri Swandaru, sehingga tidak membuat anak Sangkal Putung itu justru semakin marah. Karena itu, maka perlahan-lahan iapun melangkah mendekati arena. Tetapi langkahnya tertegun ketika salah seorang dari dua orang yang mengawasi dua orang dari Gunung Sepikul itu melangkah maju sambil mengacukan pedangnya dan berkata, “Jangan berbuat sesuatu yang dapat mencelakaimu sendiri.”

“Aku adalah paman dari anak-anak Sangkal Putung itu,“ berkata Ki Waskita, “adalah wajar sekali jika aku ikut bertempur bersama mereka.” “Tetap tinggal ditempatmu, atau kau akan mati lebih dahulu dari tiga orang Sangkal Putung yang dungu itu.“ bentak pengawal itu. “Aku akan bertempur bersama mereka,“ jawab Ki Waskita. “Kau bodoh sekali. Aku dapat membunuhmu.“ bentak pengawal itu. Ki Waskita tertawa. Katanya, “Kau memang aneh. Kita sudah terlanjur berhadapan. Bagaimana mungkin kau dapat melarang aku. Kami tidak mau menyerah. Akupun tidak.” Pengawal itu termangu mangu. Tetapi ketika Ki Waskita melangkah lagi, pengawal itu meloncat sambil berdesis kepada kawannya, “Jaga orang-orang itu. Aku akan menyelesaikan orang tua yang bodoh ini.” Tetapi Ki Waskita tidak menghiraukannya. Bahkan ia masih melangkah mendekati Ungkaran pertempuran. Ternyata pengawal itu benar-benar tidak membiarkannya. Dengan tangkasnya iapun segera meloncat menyerang. Namun Ki Waskita yang sudah bersiap itu sama sekali tidak menjadi terkejut atau bingung. Serangan itu baginya tidak banyak berarti. Dengan gerak yang sederhana ia telah berhasil menghindarkan diri. Tetapi pengawal itu tidak mau melepaskannya. Iapun segera memburu dengan serangan-serangan yang cepat dan mantap. Namun karena yang dihadapinya adalah Ki Waskita, maka serangan serangannya itu sama sekali tidak mengenai sasarannya. Yang sama sekali tidak diduga adalah dua orang Gunung sepikul yang duduk dengan gemetar. Ketika ia melihat tinggal seorang saja yang mengawasinya, maka timbullah niat mereka untuk berbuat sesuatu. Ketika yang seorang menggamit kawannya, ternyata kawannya mengerti apa yang dimaksudkannya. Sehingga dengan demikian, maka keduanyapun segera menyiapkan diri untuk melakukan sesuatu. Karena penjaganya itu sedang memperhatikan kawannya yang bertempur melawan Ki Waskita dengan saksama, maka ia agak kurang berhati-hati. Kedua orang dari Gunung Sepikul itu disangkanya telah tidak berdaya sama sekali. Namun yang tiba-tiba itu telah terjadi. Salah seorang dari kedua orang yang berpakaian seperti tukang satang itu telah menghantam kaki pengawal itu dengan kakinya pula, sehingga pengawal itupun telah terlempar beberapa langkah. Dengan sigapnya yang lain telah meloncat merampas senjata yang berada ditangannya.

Pengawal yang lengah itu tidak sempat berbuat sesuatu. Ketika ia menyadari keadaannya, maka ia telah terguling ditanah, sementara senjatanya telah berada ditangan salah seorang dari tukang satang dari Gunung Sepikul itu. Pengawal itupun tidak berdaya sama sekali ketika salah seorang dari orang-orang Gunung Sepikul itu meloncat sambil mengayunkan senjatanya. Kawannya, pengawal yang sedang mengancam Ki Waskita, hanya dapat berteriak tanpa beranjak dari tempatnya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sementara itu, orang-orang Gunung Sepikul itu sudah membayangkan, bahwa merekapun akan dapat lari meninggalkan tempat itu seperti orang yang disebut Ki Lurah. Ki Waskita tidak akan dapat mengejarnya lagi, karena seorang pengawal telah menjaganya, sementara yang sedang mengepung orang-orang Sangkal Putung itupun sibuk menolong diri mereka sendiri karena orang-orang Sangkal Putung itu justru telah mendesak kepungan itu menjadi semakin longgar. Telapi yang terjadi adalah diluar perhitungan orang-orang Gunung Sepikul. Senjatanya sudah terayun. Namun senjata itu tidak pernah berhasil menembus tubuh pengawal dari Mataram itu. Tanpa diketahui bagaimana terjadinya, orang Gunung Sepikul ilu telah terlempar dan terbanting jatuh. Sementara kawannyapun lelah mengaduh karena dadanya merasa bagaikan dihantam oleh reruntuhan ujung bukit. Pengawal yang sudah tidak berdaya itupun kemudian bangkit berdiri. Ia melihat kawannya masih termangu-mangu, sementara Ki Waskita berdiri beberapa langkah daripadanya. Namun sekali lagi terjadi sesuatu yang tidak diduga-duga. Prajurit yang telah bangkit itu. tiba-tiba saja memungut senjatanya. Dengan serta merta ia meloncat memburu kedua tukang satang yang sudah tidak berdaya itu. “Jangan,” cegah Ki Waskita, “keduanya akan kalian perlukan. Mungkin keduanya akan dapat memberikan keterangan tentang kawannya yang melarikan diri, meskipun aku yakin, keduanya datang dari kelompok yang berbeda.” Pengawal itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja terasa pengaruh orang tua itu telah mencengkam jantungnya. Karena itu. maka pengawal itu tidak melanjutkan niatnya untuk membunuh pengawal yang telah membuatnya sangat marah. Kedua orang dari Gunung Sepikul itu tidak segera dapat bangkit. Tubuh mereka bagaikan telah diremukkan tulang-tulangnya. Terdengar keduanya mengaduh perlahan-lahan. Peristiwa ilu telah menghentikan pertempuran anak-anak Sangkal Putung dengan para pengawal.

Pemimpin pengawal itu menjadi heran, bahwa Ki Waskita justru telah menolong kedua orang pengawal yang kehilangan keseimbangan karena kelengahannya itu. Ada sepercik keragu-raguan didalam hatinya. Namun rasa harga dirinya telah menyelubungi jantungnya yang panas karena sikap orang-orang Sangkal Putung yang tidak mau melepaskan senjatanya itu. Tetapi merekapun tidak dapat mengabaikan kenyataan. Orang-orang Sangkal Putung itu, dan terlebih-lebih orang tua yang bcrsannanya itu adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Dalam pada itu, yang terdengar kemudian adalah suara Ki Waskita, “Ki Sanak, para pengawal dari Mataram. Kalian jangan kehilangan nalar. Kalian sudah melihat apa yang terjadi. Kalian telah dapat membuat perhitungan dan pertimbangan atas kemampuan kami. Bukan maksud kami untuk menyombongkan diri, tetapi sudah pasti, bahwa kalian tidak akan dapat mengalahkan kami berempat.” “Omong kosong,” geram pemimpin pengawal itu. “Aku tahu, bahwa kau sedang terjerat oleh harga diri dan mungkin juga tanggung jawab. Tetapi jangan berpikir mati tanpa dapat memberikan arti dari keharusan kalian bertanggung jawab,” berkata Ki Waskita bawalah kami menghadap. Justru langsung menghadap Raden Sutawijaya. Tetapi jangan memaksa kami meletakkan senjata.” Pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Karena itu Ki Waskita berkata seterusnya, “Pikirkan baikbaik. Senjata kami tidak akan berarti apa-apa dihadapan Raden Sutawijaya. Jika kami bermaksud buruk, kami akan dapat melakukannya. Membunuh kalian sekarang juga. Telapi itu tidak kami lakukan.” “Persetan,“ geram pemimpin pengawal itu, “kalian tidak akan mampu mengalahkan kami.” “Mungkin memang begitu. Tetapi kalianpun tentu lidak akan dapal membawa kami menghadap siapapun juga tanpa kami kehendaki sendiri. Karena itu pertimbangkan pendapat kami sebaikbaiknya,“ berkata Ki Waskita. Pemimpin pengawal itu mencoba berpikir. Meskipun harga dirinya benar-benar tersinggung seperti yang dikatakan oleh Ki Waskita, namun iapun harus mempertimbangkan kenyataan. Jika ia tetap bertegang untuk bertempur terus, mungkin harga diri para pengawal itu justru akan semakin dihinakan oleh orang-orang Sangkal Pulung itu, karena sebenarnyalah sulit untuk dapat menundukkan mereka. Apalagi orang tua yang tidak bersenjata itu. Sejenak pemimpin pengawal itu menimbang-nimbang. Namun kemudian katanya, “Aku menjadi belas kasihan kepada kalian. Karena itu, aku beri

kesempatan kalian menghadap dengan senjata kalian. Tetapi tidak Raden Sutawijaya, karena hanya para perwira tinggi sajalah yang akan dapat menghadapnya setiap saat.” “Bawalah kami kepada orang orang yang telah mengenal kami,“ berkata Swandaru. Lalu, “He, apakah kau kenal Ki Lurah Branjangan.” “Tentu,” jawab orang itu, “Ki Lurah Branjangan adalah pemimpin langsung dari pasukan yang mengawal pusat Kota Raja termasuk Raden Sutawijaya.” “Nah, jika kau mengenalnya, bawalah kami kepadanya.” desis Ki Waskita pula. Pemimpin pasukan itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Ikutlah kami. Tetapi jangan berbuat sesuatu yang dapal menjerat kalian sendiri sehingga kalian akan menyesal.” “Jangan sebut lagi,” bentak Swandaru, “kalian tidak berdaya apa-apa menghadapi kami.” “Sudahlah,“ berkala Ki Waskita, “kita masing-masing harus mengekang diri. Bukankah kita ingin mendapat penyelesaian yang paling baik dan tidak saling menyinggung perasaan.” Pemimpin pengawal itu menggeretakkan giginya. Tetapi iapun mengakui atas kelebihan anak-anak Sangkal Putung itu. Karena itu, maka yang paling baik dapat dilakukan memang membawa orang-orang itu menghadap Ki Lurah Branjangan seperti yang dimaksud oleh anak-anak Sangkal Putung itu, sementara mereka, para pengawal masih tetap mengawal mereka dalam kedudukan mereka. Demikianlah, maka pemimpin pengawal itupun memerintahkan dua orang diantara mereka untuk mengurusi orang-orang yang terbunuh. Sementara para tawanan yang lainpun harus mengikut mereka pergi menghadap para pemimpin pengawai, meskipun mereka tidak akan langsung dihadapkan kepada Ki Lurah Branjangan. Sebenarnyalah Swandaru merasa kecewa juga, bahwa ia tidak dapat memaksa para pengawal itu benar-benar mengakui kekalahan mereka. Tetapi Swandarupun harus menghargai sikap Ki Waskita yang ingin melerai permusuhan itu, agar tidak menimbulkan persoalan-persoalan yang lebih besar lagi. Dengan senjata masih tetap pada pemiliknya masing-masing, maka Ki Waskita, Swandaru. Pandan Wangi dan Sekar Mirah Segera naik kepunggung kuda. Mereka sama sekali bukan lawanan yang sedang digiring menghadap seperti sepasang tukang satang dari gunung Sepikul itu. Kedatangan iring-iringan itu memang mengejutkan. Ketika mereka mendekati gerbang kota raja, maka para penjagapun segera mendekati mereka dengan kesiagaan. “Siapakah mereka?“ bertanya para pengawal. Pemimpin pengawal itu menjadi lagu-ragu. Ada niatnya untuk sekali lagi memaksa orang-

orang Sangkal Putung itu melepaskan senjatanya selelah mereka berada dipintu gerbang. Para pengawal dipintu gerbang itu akan dapat membantunya memaksa mereka melepaskan senjatanya. Namun ketika terpandang olehnya wajah Ki Waskita, maka hatinyapun segera berubah. Ki Waskita telah menolong seorang kawannya yang hampir saja terbunuh oleh orangorang yang dilawannya karena kelengahannya. Karena itu, maka niatnyapun diurungkannya. Bahkan kepada para pengawal ilu ia berkata, “Mereka adalah anak-anak muda Sangkal Putung yang akan menghadap Ki Lurah Branjangan.” Swandaru yang menjadi tegang, telah menarik nafas dalam-dalam. Ternyata para pengawal itu tidak sedang menjebaknya. Dengan demikian, maka pemimpin pengawal itu telah menceriterakan serba sedikit tentang dua orang tukang satang dari Gunung Sepikul dan seorang yang terluka. Bahkan kemudian katanya, “Aku serahkan mereka kepada kalian. Nanti selelah aku menghadap Ki Lurah Branjangan, kami akan mengambilnya dan mengurusnya.” Setelah menyerahkan para tawanan, maka para pengawal itu telah membawa anak-anak Sangkal Putung itu menghadap Ki Lurah Branjangan. Menilik sikap mereka, maka para pengawal itupun semakin percaya, bahwa keempat orang itu memang tidak berbohong. Ki Lurah Branjangan yang kemudian mendapat laporan, bahwa seorang pengawal ingin menghadap bersama dengan ampat orang, telah terkejut. Karena itu, maka katanya, “Bawa mereka kemari.” Pengawal yang membawa anak-anak Sangkal Putung itupun telah mulai menjadi berdebar-debar ketika mereka menunggu. Ternyata beberapa orang perwira pengawal segera mengenal mereka dan menyapanya. “Bukankah aku berhadapan dengan Swandaru dari Sangkal Putung,“ bertanya seorang perwira yang mengenalnya dengan baik. Swandaru tertawa. Katanya, “Ya. Aku adalah Swandaru dari Sangkal Putung.” “Apakah kau akan bertemu dengan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga ?“ bertanya perwira itu. “Sebenarnya tidak. Tetapi aku telah berada disini. Mungkin aku dapat menghadap Ki Lurah Branjangan. Apabila ini sudah dianggap cukup, maka akupun akan segera meneruskan perjalanan,“ jawab Swandaru. Perwira itu menjadi heran. Sambil memperhatikan pakaian Swandaru ia bertanya, “Apakah yang sudah terjadi atasmu ?” Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku bertemu dengan sekelompok orang-orang yang berniat buruk. Aku tidak mengenal mereka. Beberapa orang diantaranya berhasil

ditawan oleh pasukan pengawal Mataram yang sedang meronda.” Perwira itu mengangguk-angguk, sementara pemimpin pasukan pengawal yang meronda itu menjadi berdebar-debar. Ternyata seperti yang dikatakan, Swandaru mengenal beberapa orang perwira. “Sudahlah,“ berkata pemimpin pengawal yang sedang meronda, dan yang telah membawa Swandaru menghadap, “aku akan mengurus para tawanan itu. Tunggulah disini, Ki Lurah Branjangan akan segera menemuimu.” “Tunggu,“ berkata Swandaru kepada peminripin pasukan pengawal yang sedang meronda dan yang akan menangkapnya itu, “aku belum bertemu dengan Ki Lurah Branjangan.“ “Kaulah yang akan bertemu dengan Ki Lurah,“ jawab pemimpin pengawal itu, “aku sudah mengantarkan sampai ketempat ini.” Ada niat Swandaru untuk mengatakan sesuatu tentang tingkah laku pemimpin pengawal itu, tetapi niat itu diurungkannya. Meskipun demikian ia berkata, “Kau harus menyampaikan laporan kepada Ki Lurah, sebelum kau meninggalkan kami disini.” “Jalur laporanku seharusnya tidak langsung kepada Ki Lurah Branjangan. Tetapi kepada Ki Lurah Tangkilan.” jawab pemimpin pengawal itu, “jika aku sekarang membawamu kepada Ki Lurah Branjangan, itu karena permintaanmu.” Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Ki Waskita sekilas yang kemudian berkata, “Baiklah. Biarlah kita menghadap Ki Lurah Branjangan.” Swandaru termangu-mangu. Namun katanya kemudian, “Baiklah. Tinggalkan kami disini.” Pemimpin pengawal itupun kemudian minta diri kepada beberapa orang perwira yang menemui Swandaru, kembali kepada anak buahnya. “Bagaimana ?“ bertanya anak buahnya. Pemimpin pengawal itu mengumpat. Katanya, “Anak itu memang anak bengal. Ia benar-benar mengenal beberapa orang perwira dengan baik. Agaknya merekapun mengenal Raden Sutawijaya seperti mengenal kawannya sendiri.” “Bagaimana dengan Ki Lurah Branjangan ?“ bertanya pengawalnya. “Aku tidak menunggunya,“ jawab pemimpin pengawal itu,

“biarlah mereka menemuinya. Apa saja yang akan dikatakan, aku tidak peduli. Tetapi agaknya mereka tidak akan mengatakan yang tidak sebenarnya.“ “Bagaimana jika mereka mengatakan, bahwa kita berusaha melucuti senjata mereka ?“ bertanya salah seorang pengawal. “Biar saja. Aku tidak pernah merasa bersalah dengan usaha untuk melucutinya. Itu adalah kewajiban kita, siapapun orang yang kita hadapi. Kesalahan kita adalah justru kita tidak berhasil melucuti mereka,“ jawab pemimpin pengawal itu. Para pengawal, anak buahnya menarik nafas dalam-dalam. Mereka percaya bahwa pemimpin itu tidak akan mengingkari tanggung jawab. Karena itu, maka para pengawal itupun kemudian kembali kepada para pengawal di pintu gerbang untuk mengurus beberapa orang tawanan yang dibawanya dan menyerahkan mereka kepada pimpinannya langsung untuk diperiksa selanjutnya. Sementara itu, dua orang pengawal yang ditinggalkan dipinggir Sungai Praga untuk mengubur dan mengurus segala sesuatunya telah selesai dan telah rampai pula ke dalam gerbang kota. Dalam pada itu, Ki Lurah Branjangan telah berada diantara para perwira yang menemui Swandaru. Dengan serta meria Ki Lurahpun bertanya tentang keselamatan mereka dan sanak kadang di Sangkal Putung. Swandarupun menjawab dengan singkat, bahwa sanak kadang ternyata selamat dan sehat-sehat saja. Demikian pula keluarga Ki Gede Menoreh di Tanah Perdikan Menoreh. “Jadi kalian dan Ki Waskita baru kembali dari Tanah Perdikan Menoreh ?“ bertanya Ki Lurah Branjangan. “Ya.” jawab Swandaru. “Apakah kalian membawa pesan dari Sangkal Putung atau dari Tanah Perdikan Menoreh ?“ bertanya Ki Lurah Branjangan. Swandaru termangu-mangu. Namun kemudian sekali lagi ia memandangi Ki Waskita minta pertimbangan. Ki Waskita yang tanggap atas sikap Swandaru itupun kemudian berkata, “Ceriterakan apa yang kau ketahui dan kau alami.” Swandaru beringsut setapak. Kemudian katanya, “Sebenarnya kami tidak akan singgah di Mataram, karena perjalanan kami benar-benar perjalanan bagi kepentingan keluarga. Paman Argapati yang merasa kesepian, merasa rindu untuk bertemu dengan

anaknya. Bahkan ia telah mulai membicarakan masa depan Tanah Perdikan Menoreh, jika Paman Argapati telah tidak dapat lagi melakukan tugasnya dengan baik.” Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Sementara itu, Swandarupun kemudian menceriterakan apa yang telah dialaminya. Dicericerakannya tentang orangorang yang telah berusaha untuk mencegatnya dengan perencanaan yang baik, karena orang itu telah mengenal semua orang yang menempuh perjalanan bersamanya. Orang-orang itu mengenal Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Kecuali Ki Waskita. Ki Lurah Branjangan masih mengangguk-angguk, ia memperhatikan segala keterangan Swandaru dengan seksama. Bahwa orang yang disebut Ki Lurah itu sudah mengenal Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah dengan baik, adalah sangat menarik perhatian. “Tentu bukan sekedar seorang penyamun,“ desis Ki Lurah Branjangan. “Tentu bukan,“ jawab Swandaru, “meskipun ada dua orang diantara mereka yang mencurigakan diantara kawan-kawannya. Kedua orang yang nampaknya dari kelompok yang berbeda.” Yang dikatakan oleh Swandaru itu memang sangat menarik perhatian. Sekali-sekali Ki Waskita juga menegaskan ceritera Swandaru itu serta tanggapannya atas orang-orang yang telah mencoba menjebaknya itu. “Aku ingin mendengar keterangan dari orang-orang yang tertangkap itu,“ berkata Ki Lurah Branjangan. “Aku akan langsung minta agar orang-orang itu diserahkan padaku.” “Jika Ki Lurah tidak berkeberatan, apakah kami juga diperkenankan untuk mendengarkan keterangannya ?“ bertanya Swandaru. “Tentu tidak. Tetapi sebaikya kalian menghadap Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga. Sudah lama kau tidak bertemu. Mungkin akan timbul pembicaran yang menarik diantara kalian,“ berkata Ki Lurah Branjangan. Swandaru tidak dapat menyatakan keberatan. Karena itu, ketika Ki Lurah Branjangan menyampaikan kehadirannya di Mataram, Swandaru, isteri dan adiknya, serta Ki Waskita, terpaksa duduk menunggu dipendapa. Sementara mereka mendapat hidangan minuman hangat dan beberapa potong makanan. Ternyata Raden Sutawijaya telah memanggil mereka masuk keruang samping. Kedatangan mereka nampaknya telah memberikan kegembiraan bagi Senapati Ing Ngalaga itu. “Sudah lama kita tidak bertemu,“ berkata Senapati Ing Ngalaga setelah ia mempersilahkan tamutamunya duduk dan bertanya tentang keselamatan mereka.

“Ya Raden,“ jawab Swandaru, “agaknya seperti sudah diatur, bahwa kami memang harus menghadap hari ini.” “Kenapa ?“ bertanya Raden Sutawijaya. “Sebenarnya kami tidak ingin singgah,“ berkata Swandaru yang kemudian mengulangi ceriteranya tentang orang-orang yang mencegatnya dan para pengawal yang membawanya menghadap. Raden Sutawijaya tersenyum. Katanya, “Akulah yang minta maaf, bahwa para pengawal telah bertindak kasar. Tetapi sebenarnyalah keadaan daerah ini pada saat-saat terakhir ini juga kurang menguntungkan, sehingga para pengawal seolah-olah telah disudutkan untuk bertindak lebih berhatihati. Tetapi seandainya pemimpin peronda atau salah seorang dari para pengawal itu mengenalmu, mereka tidak akan memperlakukan kalian seperti itu.” Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak menjawab. Tetapi ia mengerti bahwa yang dilakukan prajurit ilu tidak dianggap salah oleh Raden Sutawijaya, sehingga iapun harus menerima seperti apa yang telah terjadi. Apalagi karena Raden Sutawijaya telah menyebut keadaan yang agak kurang baik ditelatah Mataram. Dalam pada itu, maka untuk beberapa saat lamanya, Swandaru, Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Ki Waskita dipersilahkan duduk sejenak, untuk menghirup minuman dan makanan yang telah dibawa masuk pula, sementara Raden Sutawijaya telah memanggil Ki Lurah Branjangan. “Aku ingin agar orang-orang itu dijaga baik-baik. Bukan karena mereka akan dapat melarikan diri, tetapi yang luka itu agar dapat disembuhkan sementara kedua orang tukang satang itu jangan mengalami perlakuan yang dapat membuat mereka kehilangan ingatan,“ berkata Raden Sutawijaya. “Mereka telah berada ditangan para petugas khusus,” berkata Ki Lurah Branjangan, “aku telah memerintahkannya. Aku telah mengatakannya pula, bahwa aku sendiri akan bertemu dengan mereka. Raden.” “Menarik sekali. Aku sebenarnya juga ingin bertemu dengan mereka. Tetapi silahkan Ki Lurah menemuinya lebih dahulu,“ berkata Raden Sutawijaya kemudian. Swandaru termangu mangu. Sebenarnya ia ingin juga mendengar apa yang dikatakan oleh orang-orang yang tertawan itu seperti yang pernah disampaikannya kepada Ki Lurah Branjangan. Namun Raden Sutawijaya yang agaknya mengerti maksudnya telah berkata, “Silahkan duduk dan beristirahat. Biarlah Ki Lurah Branjangan memeriksa mereka. Nanti, dalam persoalan yang khusus, kita akan membicarakannya.” Swandaru tidak dapat membantah. Betapa senyumnya menjadi hambar. Namun iapun menyahut, “Baiklah Raden.

Meskipun sebenarnya aku ingin sekali segera mengetahui latar belakang dari peristiwa ini.” “Latar belakang dari peristiwa ini tentu sudah dapat kita duga,” sahut Raden Sutawijaya, “hanya masalah masalah khusus yang barangkali tidak banyak bermanfaat sajalah yang akan kita dengar dari mereka.” Swandaru menarik nafas dalam dalam. Justru ia berpendapat agak lain. Mungkin sekali dari mulut mereka akan dapat didengar keterangan yang akan sangat penting artinya. Sementara Swandaru masih duduk diruang samping, maka Ki Lurah Branjangan telah menerima para pengawal yang mengantar para tawanan di tempat yang khusus, tidak dilingkungan halaman rumah Raden Sutawijaya. Bahkan Ki Lurah Branjangan ternyata telah menyampaikan persoalan itu kepada Ki Juru Martani pula yang hadir ditempat itu sebelum menemui anak-anak Sangkal Putung. Para tawanan itu telah menjadi gemetar. Meskipun yang terluka telah mendapat perawatan dan pengobatan, namun wajahnya justru nampak semakin pucat. Jantungnya rasa-rasanya berdenyut semakin cepat. Ki Lurah Branjangan yang ditunggui Ki Juru Martani, serta dua orang pengawal khusus mulai dengan beberapa pertanyaan yang tidak penting. Namun jawaban orang-orang itu membuat Ki Lurah dan Ki Juru kecewa. Meskipun seandainya kemudian mereka memaksa untuk memeras keterangan mereka, yang mereka ketahui nampaknya tidak terlalu banyak. Mereka hanya tahu bahwa mereka mendapat perintah dari orang yang mereka sebut Ki Lurah untuk membinasakan anak-anak Sangkal Putung. Kedua orang yang mengaku berasal dari Gunung Sepikul itu nampak betapa gugup dan bingung. Namun dalam beberapa hal Ki Lurah Branjangan kemudian mengetahui, bahwa keduanya benar-benar tidak akan dapat banyak memberikan keterangan. Keduanya adalah orang orang yang diajak melakukan rencana pembunuhan itu pada saat dekat dilakukan dengan janji, bahwa mereka akan mendapat apa saja yang ada pada orang-orang yang akan menjadi korban. “Kau begitu mudah percaya,“ berkata Ki Lurah, “Dan apakah keuntunganmu.” “Ada keuntungan kami tuan,“ jawab salah seorang dari kedua orang itu, “mungkin kami tidak akan pernah mendapat kesempatan menyamun anak-anak Sangkal Putung itu. Tetapi karena ada beberapa orang yang akan membantu kami, meskipun dari sudut pandangan yang lain, kamilah yang akan membantu mereka, maka hal itu kami lakukan juga. Kami berharap untuk mendapat bekal yang mereka bawa, dan terutama perhiasan dari anak Demang yang kaya itu.” Jawaban itu memang masuk akal. Beberapa kali mereka dipaksa untuk menjawab, jawaban mereka hampir tidak berubah. Karena itu, dari kedua orang Gunung Sepikul itu tidak dapat diharapkan keterangan yang memadai tentang orang yang disebut Ki Lurah itu. Hanya kepada seorang yang lain, yang kebetulan telah terluka, Ki Lurah Branjangan berusaha untuk mendapatkan keterangan tentang usaha mereka membunuh Swandaru dari Sangkal Putung.

Tetapi agaknya orang itupun tidak terlalu banyak mengetahui. Meskipun demikian orang itu dapat mengatakan bahwa Ki Lurah itu adalah seseorang yang banyak berhubungan dengan prajurit-prajurit Pajang. “Apakah orang itu bukan prajurit ?“ bertanya Ki Lurah Branjangan. Beberapa saat orang itu terdiam. “Jawablah,“ desak Ki Lurah Branjangan, “apakah orang itu bukan Prajurit ?” “Aku tidak tahu,“ jawab orang yang terluka itu. Jawaban itu justru telah memancing kecurigaan yang semakin dalam. Karena itu, maka Ki Lurah Branjangan-pun bertanya lebih keras, “Katakan. Kau hanya wajib mengatakan, apakah ia seorang prajurit Pajang ?” “Bukan,“ jawab orang itu. Ki Lurah Branjangan tersenyum. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati orang yang duduk dilantai dengan langan bersilang itu. Sambil menepuk bahunya ia bertanya sekali lagi dengan nada yang lembut, “Ki Sanak. Cobalah katakan. Apakah orang itu seorang prajurit Pajang ? Siapakah nama dan gelarnya dan dimanakah ia bertugas sekarang ?” Orang itu tidak segera nnenjawab. “Kau memang seorang laki-laki jantan,” Ki Lurah masih tersenyum, “kau berani mengingkari pengenalanmu atas pemimpinmu itu. Tetapi sebagai seorang pengikut yang setia, kau memang harus berlaku demikian. Aku kira para pengawal di Matarampun akan berbuat serupa, seandainya mereka jatuh ketangan lawan dengan sebuah rahasia yang harus disembunyikan. Meskipun seandainya tubuhnya diremukkan sekalipun, ia tidak akan menjawab.” Wajah orang itu menjadi semakin pucat. Sementara itu Ki Lurah masih berkata, “Kau tentu sudah ditempa sampai matang, bagaimana kau harus menghadapi keadaan seperti ini. Apapun yang akan kami lakukan, kau tentu tidak akan berbicara apapun juga.” Keringat dingin mengalir semakin deras dipunggung orang yang memang sudah terluka itu. “Tetapi sebenarnyalah bahwa mati akan lebih baik bagi Ki Sanak,“ berkata Ki Lurah Branjangan, “mati adalah akhir dari segala penderitaan yang nampaknya sangat menggembirakan bagi orang-orang yang dalam keadaan seperti kau sekarang.” Terdengar nafas orang itu semakin memburu. Dan Ki Lurah Branjangan membisikkan ditelinganya, “Namun ketabahanmu itu membuat kami gembira. Kami, di Mataram, memang sedang menyelidiki sampai dimana batas kemampuan seseorang untuk mempertahankan satu rahasia yang dimengertinya.

Kami sedang mengadakan percobaan, bagaimana kami harus memaksa seseorang untuk berbicara. Tetapi kami selalu kecewa, bahwa seseorang yang sedang kami pergunakan sebagai bahan percobaan, selalu tidak mampu bertahan lebih dari empat hari. Pada umumnya pada hari ketiga, dan hanya seorang sajalah yang dapat bertahan sampai hari keempat, meskipun ia sudah tidak mampu untuk duduk bersandar sekalipun. Dan sekarang, aku berharap bahwa kau dapat bertahan lebih lama, sebelum akhirnya kau akan mati. Mudah-mudahan kau dapat bertahan lebih dari hari kelima. Dengan demikian, kami akan dapat menemukan cara-cara baru yang lebih baik, yang akan kami trapkan pada hari kelima dan selanjutnya terhadap seseorang yang sudah tidak mampu lagi duduk dengan bersandar sekalipun. Karena dengan ...” “Cukup. Cukup,“ tiba-tiba orang itu berteriak. “Kenapa kau berteriak ?“ bertanya Ki Lurah Branjangan. “Aku akan mengatakan, apa yang aku ketahui,“ berkata orang itu. “O,“ desis Ki Lurah Branjangan, “kau akan berbicara ? Apa yang dapat kau katakan ? Bukankah kau tidak mengetahui apapun juga ?” “Aku memang tidak banyak nengetahuinya. Tetapi apa yang aku ketahui akan aku katakan,“ desisnya denpan gemetar. “Terserahlah,“ sahut Ki Lurah Branjangan, “jika kau ingin berkata katakanlah. Apakah orang itu seorang prajurit ?” “Ya. Ia seorang prajurit. Ia memiliki pangkat dan derajat seorang prajurit yang tinggi,“ jawab orang itu dengan gemetar. “O,” Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk, “ia sudah kehilangan kepercayaan untuk menyuruh orang lain tanpa mengawasinya langsung.” “Kau tahu namanya atau gelarnya.” “Pangkatnya memang Lurah. Aku dengar dari seorang yang dapat aku percaya. Ia mendapat perintah untuk membunuh anak-arak Sangkal Putung dari seorang prajurit yang lain, yang dalam susunan keprajuritan, pangkatnya lebih rendah. Tetapi ternyata bahwa ia memiliki kekuasaan lebih besar didalam susunan kewajiban perjuangan yang besar ini.” “Perjuangan apa ?“ bertanya Ki Lurah Branjangan. “Perjuangan untuk menegakkan kembali kebesaran Majapahit,“ desis orang itu.

“Sudahlah. Jangan mimpi. Tetapi siapakah Lurah itu.” Tawanan itu termangu-mangu. Sejenak ia memandang orang-orang yang berada disekitarnya. Kemudian kedua orang yang mengaku datang dari Gunung Sepikul itu. “Kenapa kau ragu-ragu ?” bertanya Ki Lurah Branjangan, “atau barangkali kau ingin bersikap sebagai seorang laki-laki jantan yang lebih baik hancur menjadi debu daripada berkhianat ?” “Tidak,“ desisnya dengan gemetar, “tetapi aku memang tidak banyak mengetahui.” “Bagus, bagus,” desis Ki Lurah Branjangan, “bertahanlah.” “Tidak, bukan maksudku. Tetapi baiklah. Orang itu adalah prajurit yang mumpuni dalam segala kawruh. Meskipun pangkatnya tidak lebih dari seorang Lurah.” orang itu berhenti sejenak. Ki Lurah Branjangan hampir tidak sabar lagi. Tetapi ia masih tersenyum sambil berkata, Ya, ya. Pangkatnya memang hanya seorang Lurah. Kau tahu bahwa aku juga seorang yang mempunyai pangkat Lurah Ketika aku berada didalam lingkungan keprajuritan Pajang? Sampai sekarang sebutan Lurah itu masih tetap aku pergunakan, meskipun aku bukan lagi seorang Lurah Prajurit Pajang.” “Tetapi Lurah Pengawal di Mataram,” desis orang itu. Ki Lurah Branjangan tersenyum. Katanya, Aku secara resmi belum pernah diangkat menjadi apapun juga di Mataram dalam susunan kepangkatan, meskipun aku sudah mendapatkan jabatan yang penting sekarang. Nah, sekarang katakan. Katakanlah Ki Sanak Mudah-mudahan aku masih dapat mendengar namanya dengan jelas.” Suara Ki Lurah Branjangan mulai bergetar. Dengan demikian tawanan itu mengetahui bahwa kesabaran Ki Lurah Branjangan memang sudah sampai kebatasnya. Karena itu. maka katanya, “Namanya Ki Lurah Pringgabaya.” “Pringgabaya ?” Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Dan hampir diluar sadarnya ia berkata, “Adik seperguruan Ki Lurah Pringgajaya ?” Orang itu menjadi tegang. Wajahnya menjadi merah membara. Seolah-olah ia merasa sangat menyesal, bahwa ia sudah menyebut nama orang itu. “Jawab. Apakah ia saudara seperguruan Ki Pringgajaya yang pernah berusaha membunuh Agung Sedayu dan yang kemudian dinyatakan telah mati oleh lingkungan keprajuritan Pajang ?“ desis Ki Lurah Branjangan. Orang itu tidak menjawab. Tetapi wajahnya kemudian tertunduk lesu. “Jika demikian, aku menjadi jelas. Ia tentu mendapat perintah, atau katakan saja, telah sepakat untuk

melakukannya seperti juga yang dilakukan oleh Ki Pringgajaya. Apakah Ki Pringgajaya berpangkat lebih rendah seperti yang kau katakan atau tidak, tetapi aku sudah dapat membayangkan apakah kirakira yang terjadi.“ Ki Lurah Branjangan kemudian mengangguk-angguk. Lalu, “Dimana Ki Pringgajaya sekarang.” “Ia sudah mati,“desis orang itu. “Katakan sekali lagi, bahwa ia sudah mati,“ desis Ki Lurah Branjangan. ***

Buku 136 “YA. Ia sudah mati. Bukankah berita kematian itu sudah tersebar sampai kesegala sudut tanah ini ?” “Jadi kematiannya sudah pasti ?“ desis Ki Lurah Branjangan. “Ya,“ jawab orang itu. “Seperti yang dikatakan Prabadaru ? “ sekali lagi Ki Lurah Branjangan mendesak. “Ya,“ orang itu menjawab semakin lambat. “Baiklah. Baiklah. Aku mengucapkan banyak terima kasih. Juga atas keteranganmu bahwa Ki Pringgajaya benar-benar sudah mati. Jadi laporan keadaan itu benar,“ Ki Lurah Branjangan berhenti sejenak, lalu, “ketahuilah Ki Sanak. Meskipun kami tidak menyaksikan apa yang terjadi, tetapi kami mengetahui segalanya yang terjadi di Sangkal Putung dan Jati Anom. Kami tahu, apa yang terjadi dipadepokan Agung Sedayu. Kami tahu siapakah Ki Pringgajaya dan siapakah Sabungsari. Juga saudara seperguruan Ki Pringgajaya yang bernama Pringgabaya itu. Karena itu, sebaiknya kau berkata sebenarnya.” “Ya, aku sudah berkata sebenarnya.“ jawab orang itu, “aku sudah mengatakan apa yang aku ketahui.” “Baik. Baik. Terima kasih. Karena kau sudah mengatakan semuanya yang kau ketahui, maka aku tidak memerlukan kau lagi,“ berkata Ki Lurah. “Maksud Ki Lurah ? “ orang itu menjadi pucat. “Jangan takut bahwa aku akan membunuhmu,“ berkata Ki Lurah, “aku bukan jenis pembunuh yang tidak berjantung. Tetapi aku tidak memerlukan kau lagi, maka aku silahkan kau meninggalkan Mataram. Aku akan melepaskan kau dan melepaskan kedua orang Gunung Sepikul itu.” Wajah orang-orang itu menegang. Namun tiba-tiba saja tawanan yang terluka itu berkata, “Jangan, jangan lepaskan kami. Biarlah kami di sini.” “Terima kasih atas kemurahan hati Ki Lurah,“ dengan serta merta kedua orang dari Gunung Sepikul itu menyahut. “Tidak, jangan,” tawanan yang terluka itu memohon, “jangan lepaskan kami.” “Kenapa ? Kau oran aneh. Bukankah seharusnya kau berterima kasih jika kami melepaskanmu,”

berkata Ki Lurah. “Dengan demikian, Ki Lurah benar-benar seorang pembunuh yang lebih kejam dari membunuh dengan tangan sendiri,” orang yang terluka itu memadi semakin gelisah. “Apakah kau takut, bahwa kedua orang Gunung Sepikul itu akan membunuhmu," bertanya Ki Lurah. “Aku tidak takut, bahwa mereka akan membunuhku. Tetapi bahwa aku sudah menyebut nama Ki Lurah Pringgabaya itulah, maka aku tidak akan dapat hidup lagi jika aku berada diluar lingkungan kekuasaan para pengawal Mataram,” berkata orang itu. Ki Lurah Branjangan tersenyum. Katanya, “Sayang. Aku tidak dapat mengabulkan keinginanmu untuk tingal disini. Jika sekiranya masih ada sesuatu yang dapat kau katakan, maka mungkin sekali aku masih akan memberi kesempatan kau berada dibawah perlindungan para pengawal Mataram.” Wajah orang yang terluka itu menjadi semakin pucat. Ketegangan telah mencengkam perasaannya. Justru karena itu. maka Ki Lurah Branjangan itupun tertawa sambil berkata, “Terima kasih atas segala keteranganmu. Sekarang, biarlah seorang pengawal mengantarmu sampai kepintu gerbang. “Tidak tidak,” orang yang sudah terluka itu hampir berteriak, “Ki Lurah akan membunuhku dengan cara yang yang paling keji. Kau serahkan aku ketangan orang yang tentu merasa pernah aku khianati, karena aku menyebut namanya dihadapan Ki Lurah.” “Ki Pringgabaya dan Ki Pringgajaya tidak tahu apa yang pernah kau katakan disini,“ berkata Ki Lurah. “Mereka mempunyai sejuta telinga dimana-mana. Mereka tentu akan mendengar apa yang telah aku katakan disini, apalagi jika kedua orang Gunung Sepikul itu juga akan dibebaskan.” Ki Lurah Branjangan tertawa semakin keras. Katanya, “Apakah sudah menjadi kebiasaan kalian, para pejuang yang memimpikan masa lampau tetapi hanya sekedar pada kulitnya saja itu.” “Biarlah aku disini. Jika Ki Lurah ingin membunuhku, bunuhlah dengan cara lain dari cara yang paling mengerikan itu,“ orang yang terluka itu hampir menangis. Ki Lurah memandang Ki Juru sejenak. Ki Juru yang selama itu memang hanya berdiam diri sambil mendengarkan. Ketika kemudian Ki Lurah berpaling kepadanya untuk minta pertimbangan, maka kataya perlahan-lahan dan sareh,

“Sudahlah. Biarlah ia berada ditempat ini apabila ia memang merasa aman disini. Tetapi karena kami tidak akan dapat begitu saja mempercayainya, maka ia akan berada didalam satu ruangan khusus yang tertutup. Apakah orang itu bersedia ?” Sebelum Ki Lurah Branjangan bertanya kepada orang itu, maka ia telah lebih dahulu menjawab, “Diamanapun aku akan ditempatkan, aku tidak akan menolak. Aku menyadari kedudukan sebagai seorang tawanan. Bahkan mungkin lebih buruk daripada itu.” “Baiklah,“ berkata Ki Lurah Branjangan. Namun tiba-tiba ia bertanya, “Dimana Ki Lurah Pringgajaya sekarang ?” Orang itu terkejut. Wajahnya menjadi merah. Namun kemudian katanya, “Sudah aku katakan. Ki Pringgajaya telah mati.” Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia berkata keras, “Baik. Aku akan menempatkan kau didalam sebuah ruangan tertutup rapat yang tidak akan mungkin dapat kau buka, tetapi tidak terjaga. Tegasnya, dengan sengaja kami akan memberikan kesempatan bagi siapapun yan akan bertindak atasmu, meskipun mereka adalah kawan kawanmu sendiri.” “Kau kejam sekali,” geram orang itu, “ternyata orang-orang Mataram jauh lebih kejam dari orang manapun juga.” “Penilaianmu tepat,” desis Ki Lurah Branjangan, “tetapi aku tidak melakukan dengan tanganku sendiri, sehingga aku tidak akan langsung melihat bagaimana kau menderita disaat terakhir, justru didalam ruangan tertutup. Mungkin kawankawanmu akan memasukkan seekor ular yang paling berbisa kedalam ruangan itu. Atau mungkin beberapa ekor lebah biru yang akan dapat menyengatmu dengan racunnya yang membunuh, atau dengan laba-laba bergelang putih dipinggangnya. Laba-laba yang perak itu dapat membuatmu pingsan dan ketika kau sadar, maka kau sudah tidak akan dapat mengucapkan satu katapun lagi.” “Tidak. Tidak.” geram orang itu, “bunuh saja aku sekarang.” Ki Lurah Branjangan tersenyum pula. Tetapi betapa kecutnya hati orang yang terluka itu. Namun dalam pada itu. Tiba-tiba saja Ki Lurah itu bertepuk keras-keras. Dua orang pengawal memasuki ruangan itu. “Bawa kedua orang dari Gunung Sepikul itu pergi. Masukkan ia kembali ketempatnya,” perintah Ki Lurah Branjangan. “Apakah Ki Lurah tidak jadi melepaskan kami ?“ hampir berbareng keduanya bertanya. “Aku akan mempertimbangkannya,” sahut Ki Lurah Branjangan.

Kedua orang itu memandang Ki Lurah Branjangan dengan penuh harapan. Namun karena Ki Lurah tidak memberikan perintah untuk melepaskan mereka, maka harapan diwajah kedua orang itupun segera berubah menjadi nyala dendam yang membara. Tetapi keduanya tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka sadar, bahwa mereka berada dilingkungan para pengawal di Mataram yang akan dapat bertindak apa saja atas diri mereka. Demikian kedua orang itu telah pergi, maka sekali lagi Ki Lurah Branjangan bertanya dengan nada pendek. Semuanya sama sekali tidak nampak lagi dibibirnya. “Katakan,“ katanya, “apa yang sebenarnya terjadi dengan Ki Pringgajaya. Jangan berbohong agar aku tidak mengambil tindakan yang dapat membuatmu menjadi gila.” Orang itu menjadi gemetar. Nampaknya Ki Lurah Branjangan tidak lagi bermain-main. Karena itu, maka dengan terbata-bata iapun berkata, “Ki Lurah. Sebenarnyalah bahwa aku bukan orang penting dalam urutan derajad para pengikut mereka yang ingin menegakkan kembali kejayaan Majapahit. Karena itu, apa yang aku ketahui memang sangat terbatas. Adalah sangat kebetulan bahwa aku mengenal Ki Lurah Pringgabaya sebagaimana namanya yang sebenarnya, dan kebetulan pula bahwa aku mengenal Ki Lurah sebagai saudara seperguruan Ki Pringgajaya.” “Katakan yang sebenarnya kau ketahui tentang Ki Pringgajaya,“ suara Ki Lurah Branjangan bagaikan menekan jantung. Orang itu rasa-rasanya tidak akan dapat mengelak lagi. Dengan ragu-ragu akhirnya ia berkata, “Adalah kebetulan pula aku mengetahui, bahwa Ki Pringgajaya sebenarnya masih hidup. Tetapi sebenarnyalah aku tidak tahu dimana ia berada. Sekali ia bertemu dengan Ki Lurah Pringgabaya. Namun sesudah itu, aku tidak pernah melihatnya lagi.” Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Baiklah. Kau akan kami tempatkan dalam pengawasan yang baik dari para pengawal. Mungkin kami masih memerlukan kau lagi.” Orang itu menegang sejenak. Namun baginya, lebih baik ia berada dalam tahanan orang-orang Mataram daripada jatuh kembali ketangan kawan-kawannya. Dalam pada itu, maka orang itupun kemudian dibawa kedalam ruang khusus baginya, sementara Ki Lurah Branjangan masih berbincang dengan Ki Juru Martani lentang keterangan orang itu. Untuk beberapa saat Ki Juru mencoba mengurai segala pembicaraan Ki Lurah Branjangan dengan tawanan yang terluka itu. Namun mereka mendapat kesimpulan, bahwa yang diketahui oleh tawanan

itu memang hanya sangat terbatas. Ketajaman tanggapan mereka atas kebenaran keterangan orang-orang yang diperiksanya pada umumnya mendekati kebenaran. Sehingga Ki Jurupun kemudian berkata, “Yang diketahui agaknya memang tidak lebih banyak dari yang dikatakannya. Ia tahu bahwa Pringgajaya masih hidup seperti yang kita duga, tetapi ia tidak tahu dimana orang itu bersembunyi. Sebenarnyalah bahwa Pringgajaya tentu tidak akan menetap disatu tempat. Agaknya ia memang termasuk orang yang dilindungi. Ia memiliki ilmu yang cukup tinggi, setidak-tidaknya setingkat dengan Ki Lurah Pringgabaya. Bahkan mungkin lebih baik meskipun hanya selapis tipis.” Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Pendukung dari mereka yang bermimpi untuk mengambil keuntungan dari kejayaan masa lampau itu agaknya cukup banyak. Aku tidak mengerti, bagaimana mungkin orang-orang yang memiliki nalar yang terang seperti Ki Pringgajaya, dapat juga terkelabui, bahwa alasan untuk menumbuhkan kembali kejayaan itu semata-mata tidak lebih dari satu jebakan untuk kepentingan beberapa orang saja. Beberapa orang yang justru mementingkan diri sendiri.” “Kau salah menilai Ki Lurah,” berkata Ki Juru, “bukan karena Ki Pringgajaya tidak mampu melihat yang sebenarnya dari gerakan itu, tetapi ia termasuk salah seorang dari mereka yang mementingkan diri sendiri itu.” Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya memang begitu Ki Juru. Sebaiknya aku melaporkannya kepada Raden Sutawijaya ia akan dapat mengambil manfaat dari pembicaraan ini. Meskipun tidak ada hal yang baru yang dapat kami ketahui, selain memperkuat keyakinan kita bahwa Pringgajaya memang masih hidup.” “Hati-hatilah,“ berkata Ki Juru, “mungkin angger Sutawijaya tidak ingin membicarakannya dihadadapan tamu-tamunya.” Ki Lurah mengangguk-angguk. Jawabnya, “Baiklah Ki Juru. Aku akan mencari kesempatan sebaik-baiknya. Namun agaknya tamu-tamu itupun tidak akan terlalu lama berada di Mataram.” Demikianlah, maka Ki Lurah Branjanganpun telah pergi mendahului Ki Juru menemui Raden Sutawijaya. Agaknya Raden Sutawijaya telah mempersilahkan tamu-tamunya untuk beristirahat di gandok. “Mereka aku persilahkan untuk bermalam,“ berkata Raden Sutawijaya ketika Ki Lurah Branjangan menghadapnya. Dengan demikian maka Ki Lurah Branjanganpun sempat melaporkan apa yang telah didengarnya dari orang yang terluka itu.

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk kecil. Desisnya, “Nampaknya kegiatan mereka sama sekali tidak menurun. Kegagalan demi kegagalan telah mereka alami. Namun mereka masih tetap bergerak tanpa menghiraukan berapa banyaknya korban yang telah jatuh.” “Mereka sama sekali tidak menghiraukan karena mereka tidak merasa dirugikan dengan korbankorban itu,“ desis Ki Lurah Branjangan. Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Itulah yang membuat kita berprihatin. Mereka sama sekali tidak menghiraukan cara yang mereka lakukan. Mereka tidak terikat pada kewajiban untuk bertanggung jawab atas segala perbuatan mereka sebagaimana terjadi dalam tata kehidupan bebrayan agung. Mereka dapat berbuat apa saja dan mengorbankan siapa saja untuk mencapai maksudnya.” Ki Lurah Branjangan hanya dapat mengangguk-angguk. Ia melihat keprihatinan yang benar-benar mencengkam perasaan Raden Sutawijaya. Apalagi ketika Raden Sutawijaya itu berkata, “Bahkan mereka dengan perlahan-lahan tetapi pasti, telah mengorbankan Pajang.” Ki Lurah Branjangan masih tetap berdiam diri. Tetapi seakan-akan iapun melihat, bagaimana Pajang yang semakin lama menjadi semakin muram. Namun demikian Ki Lurah tidak dapat berkata apapun juga. Ada keinginannya untuk berbicara tentang Raden Sutawijaya seperti yang pernah dikatakan oleh Ki Juru, bahwa Raden Sutawijaya akan dapat merubah keadaan apabila ia bersedia datang ke Pajang. Tetapi lidahnya bagaikan menjadi kelu. Bahkan jantungnya bagaikan diterpa oleh kecemasan yang amat sangat. Terlintas dihatinya, kata-kata Ki Juru kepadanya, “Pajang mengalami satu masa yang paling buruk. Dua orang yang sebenarnya dapat mempengaruhi keadaan, nampaknya sama sekali tidak tertarik untuk berbuat sesuatu. Setiap orang yang tersangkut dalam hubungan keluarga yang kurang serasi itu telah mengeraskan hatinya dalam sikapnya masing-masing. Raden Sutawijaya yang berpegang pada harga dirinya karena sumpahnya, benar-benar tidak mau menginjak paseban istana Pajang. Sementara itu Pangeran Benawa yang terluka hatinya melihat sikap ayahandanya dalam hubungan pribadi, seakan-akan menjadi acuh tidak acuh, meskipun kadang-kadang ia telah berbuat sesuatu tetapi yang dilakukan itu benar-benar menurut keinginannya yang timbul disatu saat, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan keadaan Pajang dalam keseluruhan. Karena itulah, maka Pajang itu kini bagaikan matahari menjelang senja. Perlahan-lahan, tetapi pasti, hahwa

saatnya akan datang, matahari itu akan terbenam dibalik cakrawala. Dan kita tidak tahu, matahari yang manakah yang besok lagi akan terbit.” Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Jika Ki Juru Martani tidak lagi mampu menggerakkan Senapati Ing Ngalaga itu untuk pergi ke Pajang, apalagi dirinya. Dua hal yang saling berhubungan antara sikap Raden Sutawijaya dan sikap Ki Juru Martani. Raden Sutawijaya menganggap, bahwa Pajang perlahan-lahan tetapi pasti akan dikorbankan. Sementara Ki Juru berpendapat bahwa perlahan-lahan tetapi pasti. Pajang bagaikan matahari diwaktu senja, akan tenggelam dibalik cakrawala. “Apakah tidak ada satu tindakan dari siapapun yang dapat menolong Pajang ?“ bertanya Ki Lurah itu didalam hatinya. Namun sebenarnyalah bahwa Ki Lurah Branjangan masih berpengharapan, seperti saat ia mengambil keputusan untuk ikut membangun Mataram. Jika Pajang memang tidak mungkin lagi dipertahankan, maka harus dapat diambil satu cara untuk menyelamatkan. Bukan Pajang sebagai satu lingkungan tempat pusat pemerintahan, tetapi harus ada tumpuan persatuan Nusantara yang berwibawa. “Jika Pangeran Benawa memang tidak dapat lagi didorong untuk mengambil sikap dalam kekalutan seperti ini, maka harus ada orang lain yang melakukannya,“ berkata Ki Lurah Branjangan didalam hati. Kesadaran itu ternyata tumbuh pula dihati Raden Sutawijaya. Meskipun ia tidak bersedia datang ke Pajang, tetapi ia mengikuti perkembangan Pajang dengan saksama. Agaknya iapun telah bertekad untuk berbuat sesuatu yang akan bermanfaat bagi Pajang sebagai satu tumpuan persatuan dari daerah yang luas meskipun ia tidak mengambil tempat Pajang itu sendiri sebagai pusatnya. Bbahkan sebenarnyalah didalam angan-angan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu juga terdapat satu kerinduan atas persatuan yang utuh dari seluruh Nusantara seperti yang pernah nampak pada masa kejayaan Majapahit. Tetapi ia bukan orang yang berkedok kejayaan masa lampau itu bagi kepentingan diri atau sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab. Tetapi sekali-sekali tidak terlintas didalam hatinya untuk mempercepat putaran peristiwa. Ia sama sekali tidak ingin nggege-mangsa, memberontak terhadap kekuasaan ayahanda angkatnya. Bahkan ia sama sekali tidak ingin merebut pengaruh seandainya Pangeran Benawa dengan kesungguhan hati berminat untuk mengendalikan pemerintahan dan bercita-cita melampaui ketinggian cita-cita ayahandanya. Namun agaknya Pangeran Benawa yang kecewa itu lebih baik menghindarkan diri dan berbuat sesuai dengan letupan-letupan perasaannya saja.

“Aku dapat juga berdiam diri dan sekedar berbicara tentang Mataram yang kecil ini tanpa menghiraukan apapun juga,” berkata Raden Sutawijaya didalam hatinya. Namun jika ia berbuat demikian, apakah ia akan sampai hati melihat persatuan yang semula bertumpu kepada Pajang akan berserakkan akan menjadi kepingankepingan kekuasaan yang justru sama sekali tidak berarti. Atau ia akan membiarkan beberapa orang yang didorong oleh nafsu ketamakan dan kepentingan diri pribadi menyusun tangga kekuasaan dengan lambaran kejayaan Majapahit dimasa lampau. Tetapi Raden Sutawijaya pun sadar, bahwa orang-orang yang tidak senang melihat perkembangan Mataram dan apalagi kemungkinan kemungkinan yang lebih jauh, telah menyebarkan prasangka bahwa Mataram memang akan memberontak terhadap Pajang. Apalagi jika ditilik dari satu kenyataan bahwa ia tidak bersedia menghadap. “Sebenarnya bukan tidak bersedia menghadap, tetapi satu janji didalam hati, bahwa aku tidak akan menginjakkan kakiku dipaseban istana Pajang.” geram Raden Sutawijaya yang keras hati itu. Dalam pada itu, maka Raden Sulawijayapun kemudian memerintahkan agar tawanan itu dijaga sebaikbaiknya. Mungkin orang itu masih diperlukan untuk memberikan keterangan yang meskipun tidak mendalam, tetapi mungkin akan dapat menjadi pancatan untuk mencari keterangan yang lebih jauh. Dalam pada itu, ternyata bahwa Raden Sutawijaya telah mendapat petunjuk dari Ki Juru Martani, untuk tidak mengatakan pendengaran mereka dari tawanan yang terluka itu kepada Swandaru sepenuhnya, sehingga dengan demikian akan dapat membatasi kemungkinan-kemungkinan yang tidak dikehendaki. Karena bagaimanapun juga, maka hal itu tentu akan didengar oleh banyak orang di Sangkal Putung. sehingga akhirnya akan sampai ketelinga Ki Pringgajaya dan Ki Pringgabaya. Sementara itu, maka Ki Jurupun menasehatkan agar untuk sementara orang-orang Gunung Sepikul itupun harus tetap berada dalam satu pengawasan di Mataram. Mereka akan dapat menjadi orang yang berbahaya. Bukan saja bagi tawanan yang terluka itu, tetapi juga bagi Mataram, karena ia akan dapat memberikan beberapa keterangan kepada Ki Pringgabaya. Demikianlah maka Swandaru, Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Ki Waskita telah bermalam satu malam di Mataram. Sebenarnya mereka sama sekali tidak ingin singgah. Tetapi karena keadaan memaksa, maka mereka tidak dapat menolak ketika Raden Sutawijaya mempersilahkan mereka untuk tinggal. Namun dalam pada itu, ketika senja mulai menyelubungi Mataram, sementara Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu sedang duduk di serambi samping bersama tamu-tamunya,

seseorang telah datang menghadap dan memberitahukan, bahwa ada utusan dari Pajang ingin bertemu. “Utusan dari Pajang,“ desis Raden Sutawijaya. “Ya Raden. Seorang utusan yang diiringi oleh dua orang pengawal dalam sikap kebesaran masingmasing.” jawab pengawal yang menghadap itu. Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Persilahkan menunggu. Aku akan membenahi diri dahulu. Sementara kau memanggil Ki Juru Martani. Aku ingin bertemu lebih dahulu sebelum aku menjumpai utusan itu.” Pengawal itupun kemudian minta diri, sementara Raden Sutawijaya berkata kepada tamunya, “Aku minta maaf. Aku minta waktu untuk menemui tamu yang justru datang pada saat senja. Duduk-duduklah dahulu disini sambil minum minuman hangat. Nanti kita berbicara lagi tentang bermacam-macam persoalan.” Swandaru mengangguk hormat sambil menjawab, “ Silahkan Raden. Kami akan duduk-duduk disini.” Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itupun kemudian meninggalkan serambi samping dan masuk keruang dalam. Sementara ia membenahi pakaiannya untuk menerima tamu resmi itu, maka Ki Juru telah datang. “Persoalan apa lagi yang dibawa oleh anak-anak itu,” desis Ki Juru. “Entahlah paman. Karena itu, aku mohon paman ikut menerima mereka,“ berkata Sutawijaya. Ki Juru mengangguk-angguk. Desisnya, “Baiklah. Akupun ingin tahu, apakah yang akan mereka katakan. Mungkin ada perkembangan baru yang terjadi di Pajang. Tetapi mungkin justru beberapa orang sedang memancing persoalan untuk mengembangkan keadaan yang buram di Pajang.” “Karena itu aku mohon paman hadir bersamaku,“ minta Raden Sutawijaya sekali lagi. Demikianlah, maka Raden Sutawijaya diiringi oleh Ki Juru Martani kemudian keluar menjumpai tamu dari Pajang itu. Setelah mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing, maka Raden Sutawijayapun bertanya kepada utusan itu, “Ki Sanak. Ki Sanak datang pada saat menjelang malam. Apakah dengan demikian dapat kami artikan bahwa kedatangan Ki Sanak membawa keperluan yang sangat penting?” Utusan itu tersenyum. Katanya, “Bukan terlalu penting. Tetapi agaknya perjalanan kamilah yang terlalu lambat.”

“O,“ Sutawijayapun tersenyum pula, “mungkin Ki Sanak tidak puas-puasnya menikmati segarnya tanaman di sawah, sehingga Ki Sanak lebih banyak berkuda lambat-lambat.” Tetapi utusan itu menggeleng lemah. Katanya, “Tidak Raden. Sebenarnya kami tidak berani melaksanakan tugas seenaknya. Tetapi memang terjadi sesuatu di perjalanan. Sesuatu yang tidak menarik untuk dikatakan.” “Apakah yang sudah terjadi?“ bertanya Raden Sutawijaya. “Kesombongan anak-anak Sangkal Putung,“ desis utusan itu. “He?“ wajah Raden Sutawijaya menjadi tegang. “Kami memang melewati Kademangan itu,“ berkata utusan itu, “ternyata bahwa anak-anak Kademangan itu merasa diri mereka terlalu berkuasa. Mereka telah menghentikan kami. Meskipun aku sudah mengatakan, bahwa aku adalah utusan Kangjeng Sultan untuk menyampaikan pesan dan nawala kepada Raden, tetapi mereka tidak percaya. Mereka ingin memeriksa segala yang kami bawa, termasuk rontal yang harus aku serahkan kepada Raden.” “Ah, apakah begitu?“ bertanya Raden Sutawijaya. “Ternyata memang demikian, sehingga kami terpaksa mempertahankannya. Tidak seorangpun yang boleh membuka rontal itu, selain Raden di Mataram,“ jawab utusan itu. Dada Raden Sutawijaya menjadi berdebar-debar. Namun ia berusaha untuk menghapus semua kesan yang kurang baik dari wajahnya. “Dengan demikian kalian menjadi lambat?“ bertanya Raden Sutawijaya pula. “Ya Raden. Kami harus mempertahankan diri dari perbuatan kurang unggah-ungguh dari anak-anak Sangkal Putung itu,“ jawab utusan itu. “Kalian terpaksa mempergunakan kekerasan? “ heilanya Raden sutawijaya. “Apa boleh buat. Meskipun hanya dengan satu dua langkah, mereka sudah lari bercerai berai. Namun hal itu telah menghambat perjalanan kami. Waktu yang kami perlukan untuk menjalankan tugas kami, dan usaha kami mencegah agar kami tidak perlu berbuat yang lebih kasar, ternyata cukup panjang. Namun hasilnya sama sekali tidak menguntungkan sehingga kami terpaksa bertindak atas mereka,“ berkata utusan itu. Raden sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Sekilas diperhatikannya orang-orang itu. Namun nampaknya mereka benar-benar orang-orang Pajang, dan bahkan orang yang memiliki kedudukan, meskipun agaknya orang itu bukan orang yang sudah berada diistana sejak lama, karena Raden sutawijaya masih belum mengenalnya.

Dalam pada itu, maka Raden Sutawijayapun kemudian berkata, “Keterangan Ki Sanak mengenai anakanak Sangkal Putung sangat menarik perhatian. Baiklah, aku akan mempersoalkannya kemudian, bahwa anak-anak Sangkal Putung telah berani mengganggu utusan dari Pajang yang membawa nawala bagi Mataram.” Tetapi orang itu tersenyum sambil berkata, “itu tidak perlu Raden. Aku sudah cukup memberikan pelajaran bagi mereka. Biarlah mereka menyesali apa yang sudah dilakukan. Raden tidak perlu memberikan hukuman lebih jauh lagi kepada anak-anak itu.” “Tetapi apa yang kau lakukan masih belum cukup,“ jawab Raden Sutawijaya, ”bahkan jika perlu aku akan datang sendiri ke Sangkal Putung mencari siapakah yang telah berani menghalangi perjalanan kalian. Itu berarti memperkecil nama Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga.” Orang itu tertawa. Katanya, “Sudah cukup. Raden tidak perlu berbuat apa-apa lagi. Biarlah mereka menganggap orang-orang Pajang sajalah yang bertindak kasar. Jangan orang-orang Mataram.” Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling memandang Ki Juru, maka dilihatnya sekilas senyum dibibirnya. Tetapi orang tua itu hanya menunduk saja tanpa mengatakan sesuatu. “Nah,“ berkata Raden Sutawijaya kemudian, “baiklah. Aku percaya kepada Ki Sanak. Sekarang, manakah rontal itu.” Utusan itupun kemudian menyerahkan seberkas rontal didalam bumbung kepada Raden Sutawijaya yang kemudian membacanya, setelah dibuka kantongnya. Nampak wajah Senapati Ing Ngalaga itu menegang. Tetapi kemudian bibirnyalah yang justru nampak tersenyum tanpa menunjukkan kesan ketegangan sama sekali. “Kau tahu apa isi rontal itu?“ bertanya Raden Sutawijaya kepada utusan itu. “Tentu tidak Raden. Rontal itu masih tersimpan didalam bumbung serta terbungkus didalam kantong yang tertutup. Mana mungkin aku dapat membacanya,“ jawab utusan itu, “sudah barang tentu, bahwa kantong tertutup itu hanya Raden sajalah yang dapat membukanya.” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Nampaknya kantong itu memang masih tertutup rapi ketika ia menerimanya. “Terima kasih,“ berkata Raden Sutawijaya yang kemudian berkata kepada Ki Juru, “paman, betapa rindunya ayahanda Sultan. Dalam keadaan terakhir, pada saat-saat kesehatan ayahanda menurun, maka ayahanda memerlukan aku barang sejenak untuk menengok keadaannya.”

Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, ketika Raden Sutawijaya berusaha melihat kesan diwajah utusan yang membawa rontal itu, nampak sekilas ketegangan yang menghentak. Tetapi orang itupun berusaha pula untuk menghapus kesan itu dari wajahnya, meskipun Raden sutawijaya yang sengaja menunggu saat yang sekejap itu dapat menangkap ketegangan itu. “Terima kasih Ki Sanak,“ berkata Raden Sutawijaya sekali lagi, “ternyata kasih ayahanda masih helum pudar. Akulah agaknya yang kurang sempat menanggapinya karena perkembangan tanah ini.” Utusan dari Pajang itu termangu-mangu. Untuk beberapa saat ia hanya dapat mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun tersenyum juga seperti Raden Sutawijaya. Dengan ragu-ragu, maka iapun kemudian bertanya, “Jadi, dalam rontal itu, Kangjeng Sultan mengharap Raden untuk menghadap ke Pajang ?” “Tidak,“ jawab Raden Sutawijaya, “bukan begitu. Tetapi maknanya adalah, bahwa ayahanda yang sedang sakit itu mengharap aku dapat menengoknya barang sejenak.” “Apakah ada bedanya ?“ bertanya utusan itu. “Agak berbeda Ki Sanak. Kangjeng Sultan tidak memanggil Senapati Ing Ngalaga untuk menghadap dipaseban. Tetapi seorang ayah yang rindu kepada anaknya yang dikasihinya.” Utusan itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia hanya mengangguk-angguk saja mengiakan. Bahkan kemudian iapun bertanya, “Dengan demikian apakah Raden akan pergi ke Pajang segera ?” Raden Sutawijaya memandang orang itu dengan tajamnya. Namun kemudian katanya, “Aku akan pergi menengok ayahanda yang sedang sakit. Tetapi aku belum dapat mengatakan, kapan.” Utusan itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Segalanya terserah kepada Raden.” “Baiklah. Aku akan melihat kemungkinan itu.“ jawab Raden Sutawijaya. “Apakah Raden akan memberikan jawaban ?“ bertanya utusan itu. “Aku pesankan saja kepadamu, bahwa aku akan memperhitungkan waktu sesuai dengan kemungkinan yang ada padaku,“ jawab Raden Sutawijaya. “Jadi Raden tidak akan memberikan jawaban sama sekali ?“ bertanya orang itu pula.

Raden Sutawijaya tertawa. Jawabnya, “Aku kira tidak perlu. Ayahanda tentu percaya bahwa kau sudah sampai di Mataram dan bertemu dengan aku.” Orang itu menjadi gelisah. Dengan nada rendah ia bertanya, “Tetapi apakah bukti yang dapat aku sampaikan kepada Kangjeng Sultan, bahwa aku sudah menghadap Raden.” Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun sekali lagi ia berkata, “Aku tidak perlu menjawab.” Tetapi dalam pada itu, Ki Juru Martanilah yang kemudian berkata, “Ki Sanak. Apakah aku boleh bertanya, apakah Ki Sanak akan bermalam, atau dengan tergesa-gesa akan kembali ke Pajang ?” Pertanyaan itu memang agak membingungkan. Utusan itu menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, “Sebenarnya aku ingin segera kembali. Tetapi jika ada titah lain, aku akan melakukannya.” “Baiklah. Ki Sanak dapat bermalam disini malam ini,“ berkata Ki Juru, “bukankah tidak sebaiknya Ki Sanak kembali dimalam larut. Nanti angger Sutawijaya akan memberikan jawaban atas nawala Kangjeng Sultan.” Wajah Raden Sutawijaya menegang. Tetapi ia tidak membantah kata-kata Ki Juru. Raden Sutawijaya sadar, bahwa Ki Juru tentu mempunyai maksud tertentu dengan sikapnya itu. Demikianlah, ketika utusan dan pengawalnya itu sudah dijamu sekedarnya, maka merekapun dipersilahkan untuk bermalam digandok sebelah yang lain dari yang dipergunakan oleh tamu Raden Sutawijaya dari Sangkal Putung. Ketika utusan dan pengawalnya itu sudah berada digandok, maka Ki Juru masih berbincang dengan Raden Sutawijaya diruang dalam. Dengan sareh Ki Juru berkata, “Sebaiknya kau menulis jawaban ngger.” “Tetapi aku tidak yakin, bahwa ayahandalah yang telah memerintahkan menulis nawala itu. Isinya terlalau kasar. Coba, aku persilahkan paman mengulangi membacanya.” Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang terlalu kasar. Akupun yakin, bahwa kalimatkalimat yang tertera itu tentu diluar pengamatan Kangjeng Sultan,“ Ki Juru berhenti sejenak. Namun kemudian, “Tetapi bagaimanapun juga, tercantum pertanda kekuasaan Sultan.” “Ah, itu mudah sekali paman. Setiap orang dapat mencuri untuk mempergunakan atau memalsukannya. Apalagi dalam keadaan seperti sekarang,” desis Raden Sutawijaya,

“bukankah satu penghinaan, bahwa Pajang telah memerintahkan Raden Sutawijaya kepaseban tanpa membawa sepucuk senjatapun. Bahkan kerispun tidak. Apakah itu masuk akal bahwa ayahanda memerintahkan demikian betapapun bengalnya Sutawijaya.” “Aku mengerti ngger. Tetapi baiklah kau menulis jawaban. Katakan seperti yang kau ucapkan kepada utusan itu,“ berkata Ki Juru. Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Baiklah paman. Aku akan menjawab seperti yang aku katakan kepada utusan itu. Aku akan menganggap bahwa yang dikatakan oleh ayahanda adalah seperti yang aku katakan pula kepada orang itu.” Ki Juru mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia berkata, “Kau agaknya mengerti apa yang aku maksudkan.” “Tetapi masih ada satu persoalan, paman,“ berkata Raden Sutawijaya kemudian. “Persoalan yang mana ?“ bertanya Ki Juru. “Bukankah utusan itu mengatakan, bahwa mereka lelah diganggu oleh anak-anak muda Sangkal Putung ?“ desis Raden Sutawijaya. “Menarik sekali. Mungkin orang itu sengaja memancing persoalan di Sangkal Putung. Tetapi mungkin pula karena salah paham.“ jawab Ki Juru. “Bagaimana kemungkinan yang akan dapat terjadi, jika mereka besok pagi bertemu dengan Swandaru disini ? Apakah tidak mungkin akan dapat timbul perselisihan,“ bertanya Raden Sutawijaya. Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Itu adalah tanggung jawab kita ngger. Kita yang menjadi pemilik rumah yang menerima mereka sebagai tamu kita. Kita harus dapat memelihara suasana agar tidak terjadi perselisihan itu.” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Jadi apakah sebaiknya kita mengatakannya kepada anak-anak Sangkal Putung itu ?” Ki Juru merenung sejenak. Ia masih mempertimbangkan beberapa kemungkinan yang dapat terjadi. Namun kemudian sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Agaknya memang demikian. Kita akan memberitahukan kepada anak-anak Sangkal Putung dan Ki Waskita, bahwa ada tamu dari Pajang.

Sebaliknya, kepada tamu-tamu kita dari Pajang, kitapun akan mengatakan, bahwa anak-anak Sangkal Putung ada disini sekarang.” “Ya paman,“ jawab Raden Sutawijaya, “orang-orang Pajang itu tentu akan terkejut, karena ia baru saja mengatakan bahwa perjalanannya telah diganggu oleh anak-anak Sangkal Putung.” “Sebaliknya kita pesankan kepada mereka, agar mereka tidak menyebut hal itu dihadapan anak-anak Sangkal Putung itu agar tidak timbul persoalan diantara mereka disini,“ berkata Ki Juru, “dan kitapun harus mengusahakan agar mereka tidak pulang bersama-sama. Biarlah orang-orang Pajang itu mendahului kembali ke Pajang. Baru kemudian anak-anak Sangkal Putung itu, sehingga tidak akan dapat timbul persoalan yang gawat diperjalanan mereka kembali.” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Iapun sudah memikirkan kemungkinan buruk itu terjadi diperjalanan. Tetapi agaknya yang dikatakan oleh Juru Martani itu akan dapat mengurangi kemungkinan buruk itu. “Ki Juru,“ berkata Raden Sutawijaya, “jika demikian, biarlah aku menemui orang-orang Pajang itu dan mengatakan kepada mereka tentang anak-anak Sangkal Putung itu. Baru kemudian aku akan menemui anak-anak Sangkal Putung itu untuk mengatakan, bahwa utusan dari Pajang berada di Mataram sekarang ini.” Ki Juru tersenyum. Raden Sutawijaya sendiri, yang masih muda itu, akan dapat mudah menjadi panas jika ia berbicara dengan orang-orang Pajang itu diluar pengawasannya. Karena itu, maka katanya, “Temui sajalah anak-anak Sangkal Putung itu. Aku akan datang kegandok sebelah, dan memberitahukannya kepada orang-orang Pajang tentang anak-anak muda Sangkal Putung itu, dan berpesan kepada mereka, agar mereka tidak usah mengatakan apa yang terjadi diperjalanan, agar tidak menimbulkan suasana yang gawat di rumah ini.” Raden Sutawijaya tidak membantah. Iapun sadar, bahwa Ki Juru berusaha untuk mencegah persoalanpersoalan baru yang dapat timbul antara dirinya sendiri dengan orang-orang Pajang yang menurut pendapatnya telah datang dengan sikap dan pesan yang tidak wajar. Meskipun barangkali orang itu tidak mengetahui sepenuhnya apa yang sedang dilakukannya, namun akan dapat timbul satu keinginan padanya untuk berusaha mengorek keterangan sejauh-jauhnya dari utusan itu. Karena itu, maka Raden Sutawijayapun segara mempersilahkan Ki Juru untuk menemui orang-orang Pajang itu, sementara Raden Sutawijaya sendiri pergi keserambi sebelah, untuk duduk bersama anakanak Sangkal Putung dan Ki Waskita, yang agaknya memang sedang menunggunya. “Maaf, aku terlalu lama meninggalkan kalian,“ berkata Raden Sutawijaya. “Ah, bukankah Raden sedang melakukan kewajiban,“ sahut Ki Waskita. “Ya, Aku telah menerima orang-orang Pajang yang datang sebagai utusan ayahanda Kangjeng Sultan.” “O,“ anak-anak Sangkal Putung itu mengangguk-angguk.

“Mereka akan bermalam disini. Mereka ditempatkan digandok yang lain,“ sambung Raden Sutawijaya. Anak-anak Sangkal Putung itu mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, Swandaru telah bertanya, “Jika berkenan dihati, apakah aku dapat mengetahui, siapa sajakah yang datang dan apakah ada perkembangan persoalan yang dapat diketahui oleh orang banyak?” Raden Sutawijayapun mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Mereka agaknya orang-orang baru di Pajang. Akupun belum mengenalnya. Apalagi kau. Sedangkan mereka datang untuk menyampaikan pesan, agar aku datang menghadap ayahanda. Hanya itu. Tidak ada pesan yang lain.” Swandaru mengangguk-angguk. Ia tidak berani bertanya lebih banyak lagi. Tetapi bahwa Pajang telah memanggil Raden Sutawijaya, agaknya memang satu perkembangan yang perlu mendapat perhatian. Selanjutnya mereka kemudian berbincang tentang satu dan beberapa hal yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan kedatangan utusan dari Pajang itu. Semantara Raden Sutawijaya duduk diserambi bersama anak-anak Sangkal Putung, maka Ki Juru Martani tengah duduk di gandok bersama para utusan dari Pajang. Mereka berbicara tentang berbagai hal yang timbul disaat terakhir di Pajang. Mereka berbicara tentang sikap beberapa orang prajurit dan perwira. Namun akhirnya, dengan hati-hati dan tidak menarik perhatian, Ki Juru bertanya. “Nampaknya ada juga orang yang berani menjamah kewibawaan prajurit Pajang Kematian Ki Pringgajaya tentu menggetarkan kemarahan para prajurit Pajang dimanapun mereka bertugas. Namun nampaknya prajurit Pajang yang terkenal itu sama sekali belum berhasil menemukan jejak pembunuh pembunuhnya. Apalagi menangkap mereka.” “Para prajurit yang marah tidak dapat mengendalikan diri saat itu,“ jawab utusan dari Pajang itu, “mereka membunuh segerombolan orang yang tiba-tiba saja menyergap dan membunuh Ki Pringgajaya.” “Mereka tentu terdiri dari orang-orang pilihan. Aneh sekali, bahwa diluar lingkungan keprajuritan Pajang, ada gerombolan yang memiliki kelebihan tiada taranya,“ berkata Ki Juru. “Tidak. Sama sekali tidak. Mereka telah dimusnakan, sehingga sulit untuk menelusuri jejaknya. Mereka bukan orang-orang yang memiliki kelebihan,“ jawab utusan itu. “Tetapi bahwa Ki Pringgajaya terbunuh itu tentu diantara mereka terdapat tangan yang kuat, meskipun hanya seorang saja. Tanpa tangan itu, tidak akan ada senjata yang dapat menyentuh tubuh perwira Pajang yang bertugas di Jati Anom.”

Utusan itu mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin. Mungkin sekali. Tetapi aku memang tidak mengikuti persoalan Ki Pringgajaya dengan saksama. Karena itu aku tidak mengerti secara terperinci apa yang telah terjadi.” “Tetapi apakah angger tidak tersinggung dengan peristiwa itu? Bukankah hal itu telah mencemarkan nama baik dan kewibawaan prajurit Pajang?“ bertanya Ki Juru Martani pula. Utusan itu menegang sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil berkata, “Pertanyaan Ki Juru Martani benar-benar menyentuh hatiku. Sebenarnyalah bahwa setiap prajurit Pajang tentu tersinggung karenanya. Tetapi sebagai seorang prajurit, maka kami tidak akan bertindak sediri-sendiri. Pimpinan kamilah yang akan mengatur, apa yang harus dilakukan oleh prajurit Pajang terhadap peristiwa yang sangat menarik .... Ki Juru Martani tersenyum. Ternyata orang itu pandai juga menyusun jawaban. Namun dalam pada itu, Ki Jurupun berkata, “Ki Sanak. Sebenarnyalah bahwa keterangan Ki Sanak tentang perjalanan Ki Sanak, sangat menarik perhatian kami. Masalahnya juga menyinggung kewibawaan prajurit Pajang. Bahwa perjalanan Ki Sanak dari Pajang ke Mataram telah diganggu oleh anak-anak muda Sangkal Putung.” “Ya Ki Juru,“ jawab utusan itu, “meskipun dalam keadaan yang berbeda dengan yang pernah terjadi atas Ki Pringgajaya, tetapi anak-anak Sangkal Putung itu memang perlu mendapat sedikit teguran dengan cara sebagaimana mereka melakukannya. Dan aku memang telah memberikannya.” “Sokurlah bahwa Ki Sanak melihat perbedaan yang mendalam dari kedua peristiwa itu. Aku kira, apa yang dilakukan oleh anak-anak muda Sangkal Putung itu justru karena kebodohan mereka,“ desis Ki Juru. “Mungkin sekali. Dan mudah-mudahan demikian, sehingga kami tidak akan perlu mengambil langkahlangkah lebih jauh daripada peringatan yang agak keras terhadap mereka,“ berkata utusan itu. “Sebenarnyalah Ki Sanak. Anak-anak muda itu tentu telah bertindak atas dasar kebodohan mereka, karena pada saat ini pemimpin mereka tidak berada di Kademangan,“ berkata Ki Juru lebih lanjut. Orang itu menjadi heran. Kemudian iapun bertanya, “Darimana Ki Juru mengetahuinya ?”

“Ki Sanak. Sebenarnyalah bahwa anak Demang Sangkal Putung, yang memimpin anak-anak muda dan pengawal Kademangan itu kini sedang berada disini,“ jawab Ki Juru. Wajah orang itu benar-benar menjadi tegang. Sambil bergeser sedikit ia berkata, “Maksud Kiai, Swandaru Geni ada disini ?” “Ya ngger. Swandaru dan isteri serta adiknya singgah sebentar selagi mereka dalam perjalanan kembali dari Tanah Perdikan Menoreh,“ jawab Ki Juru. Sejenak orang itu terdiam. Bahkan kemudian diluar sadarnya utusan itu berpaling kepada kedua orang pengawal yang duduk bersama mereka. Ada kesan, seakan-akan mereka tidak percaya atas keterangan Ki Juru Martani itu. Ki Juru melihat kesan yang aneh itu. Tetapi ia tidak mempersoalkannya langsung kepada orang itu. Tetapi didalam hatinya telah tumbuh pertanyaan-pertanyaan yang justru menggelisahkannya. “Apakah utusan ini sudah mengetahui rencana Ki Lurah Pringgabaya yang mencegat perjalanan Swandaru ? Tetapi ia masih belum tahu, bahwa usaha Ki Pringgabaya untuk membunuh Swandaru itu gagal ?” Namun kemudian Ki Juru Martani itu berkata, “Ki Sanak. Besok pagi-pagi benar, Ki Sanak tentu akan bertemu dengan anak-anak Sangkal Putung yang malam ini berada digandok yang lajn. Tetapi agaknya anak-anak Sangkal Putung itu tidak mengetahui, apa yang telah terjadi dengan Ki Sanak sebagai utusan dari Pajang untuk menghadap Senapati Ing Ngalaga.” Wajah orang itu masih nampak tegang. Dengan sendat ia bertanya, “Jadi, Swandaru itu berada disini sekarang ? Apakah ia mengerti apa yang telah terjadi di Kademangannya ?” “Tidak. Tentu tidak, karena ia baru datang dari Tanah Perdikan Menoreh. Ia sudah beberapa hari berada di Tanah Perdikan itu atas permintaan Ki Argapati yang sudah sangat rindu kepada anak perempuannya.” Utusan itu mengangguk-angguk, sementara Ki Juru melanjutkan, “Karena itu ngger, sebaiknya kau tidak usah menyinggungnya. Biarlah yang sudah terjadi itu terjadi. Besok sebaiknya kau mendahului perjalanan anak-anak Sangkal Putung itu, sehingga kau tidak akan terganggu oleh kehadiran anak itu. Jika Swandaru berangkat mendahului, dan kemudian ia mendengar laporan tentang peristiwa yang sudah terjadi disaat kau berangkat kemari, mungkin, Swandaru akan mengambil satu sikap disaat Ki Sanak kembali ke Pajang.” “Ki Juru,“ utusan itu tiba-tiba mengangkat wajahnya, “seandainya demikian, apakah Ki Juru mengira bahwa kami akan menjadi ketakutan.”

“Tidak. Tentu tidak Ki Sanak. Meskipun aku tahu, bahwa Ki Sanak tidak akan dapat menerobos para pengawal Sangkal Putung apabila mereka benar-benar ingin menghentikan perjalanan Ki Sanak,“ jawab Ki Juru, “tetapi yang aku inginkan, sebagai orang tua, hendaknya setiap perselisihan dapat dihindari sejauh-jauhnya.” Utusan itu justru termangu-mangu. Sementara Ki Juru berkata selanjutnya, “Bukankah lebih baik kita menempuh perjalanan dengan hati lapang dan tenang daripada harus didera oleh kemarahan dan apalagi jika kemudian akan timbul dendam dan kebencian.” Utusan itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia mengangguk kecil sambil berkata, “Baiklah Ki Juru. Aku akan memenuhi keinginan Ki Juru. Aku tidak akan mempersoalkannya, dan aku akan berangkat mendahului mereka besok pagi-pagi.” Ki Juru tersenyum. Katanya, “Terima kasih ngger. Mudah-mudahan dengan demikian setiap perselisihan yang tidak perlu akan dapat dihindari. Perjalanan angger kembali ke Pajang tidak akan mengalami hambatan, sementara anak-anak Sangkal Putung juga tidak didorong melakukan perbuatan yang tercela. Karena aku yakin, angger akan dapat memilih jalan menuju ke Pajang.” “Tidak melalui Kademangan Sangkal Putung ?“ bertanya utusan dari Pajang itu. “Apakah salahnya,“ desis Ki Juru, “banyak jalan yang dapat kau lalui tanpa menambah jarak.” Utusan dari Pajang itu mengerutkan keningnya. Ki Jurupun mengerti, bahwa utusan dari Pajang itu tidak akan dengan ketakutan mencari jalan memintas atau bahkan melingkar. Namun nampaknya utusan dari Pajang itu tidak ingin membantah pesan Ki Juru Martani, yang namanya sudah dikenalnya sebagai seorang yang memiliki pengaruh yang kuat atas Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga. Karena itu, maka iapun kemudian mengangguk sambil menjawab, “Baiklah Ki Juru. Aku akan menghindarkan diri dari kemungkinan-kemungkinan yang tidak baik itu.” “Terima kasih,“ Ki Juru mengangguk-angguk, “biarlah malam nanti Raden Sutawijaya menyiapkan jawaban yang dapat kau bawa besok pagi dan kau serahkan kepada Kangjeng Sultan di Pajang.” “Aku menunggu,“ jawab orang itu. Dalam pada itu, maka Ki Juru Martanipun kemudian minta diri untuk menemui Raden Sutawijaya yang tentu masih berada diantara anak-anak Sangkal Putung dan Ki Waskita, disisi yang lain dari rumah itu. Kepada anak-anak Sangkal Putung itu, dengan hati-hati Ki Juru berusaha untuk memberikan pesan, sebaiknya mereka kembali ke Sangkal Putung pada waktu yang berbeda dan biarlah orang-orang Pajang itu mengambil waktu lebih awal. Karena anak-anak Sangkal Putung itu sama sekali tidak berprasangka, maka tanpa sadar, merekapun telah menyatakan kesediaan mereka untuk berangkat lebih siang. “Kalian tidak boleh tergesa-gesa,“ berkata Ki Juru Martani,

“sudah lama kalian tidak singgah disini. Sementara orangorang Pajang itu mengemban perintah, biarlah mereka menepati kewajibannya.” Swandaru hanya tersenyum saja, ketika Ki Juru berkata lebih lanjut, “Jika kalianpun berangkat terlalu pagi, maka orang-orang didapur akan menjadi sangat tergesa-gesa dan barangkali hidangannya tidak akan berkesan bagimu. Bahkan seolah-olah masakan para juru masak di Mataram sama sekali tidak sedap bagi lidah kalian.” Ternyata Ki Juru Martani dan Raden Sutawijaya berhasil mencegah kemungkinan yang tidak dikehendaki. Ketika dipagi hari orang-orang Pajang itu bertemu dengan anak-anak Sangkal Putung, mereka sama sekali tidak mengatakan sesuatu tentang perselisihan yang pernah terjadi antara mereka dengan anak-anak Sangkal Putung pada saat mereka berangkat ke Mataram. Seperti yang dikehendaki oleh Ki Juru, maka utusan dari Pajang itu telah mohon diri lebih dahulu daripada Swandaru. Mereka membawa pesan balasan dari Raden Sutawijaya yang tertutup rapat, seperti saat naereka menerima dari Kangjeng Sultan di Pajang. Sikap mereka itu telah menumbuhkan perubahan sikap pada Ki Juru Martani, sehingga dengan berbisik ia berkata kepada Raden Sutawijaya. “Nampaknya mereka orang baik. Seandainya ada sesuatu yang tidak pada tempatnya, mungkin sekali bukan karena sikap dan tingkah laku orang itu. Ia sekedar menjadi alat tanpa sesadarnya.” Tetapi Raden Sutawijaya menyahut, “Mungkin itu adalah satu cara untuk mengelabui tanggapan kita atas mereka.” Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang mungkin sekali. Aku agaknya telah terpengaruh oleh sikapnya yang tidak banyak tingkah.” Raden Sutawijaya tersenyum. Tetapi ia tidak mengatakan apapun lagi tentang utusan dari Pajang serta dua orang pengawalnya itu. Sepeninggal orang-orang Pajang itu, maka Raden Sutawijaya. Ki Juru dan para pemimpin di Mataram, termasuk Ki Lurah Branjangan masih sempat berbicara tentang beberapa hal dengan Swandaru, isteri, adiknya dan Ki Waskita. Bahkan mereka masih sempat untuk bersama-sama seperti yang dijanjikan oleh Ki Juru, menikmati hidangan yang dipersiapkan dengan tidak tergesa-gesa. Sehingga karena itu, maka Swandaru masih berada di Mataram ketika Matahari sudah naik sepenggalah. Baru kemudian Swandaru berkata kepada Ki Waskita, “Perjalanan kami akan dipanasi oleh sinar matahari yang terik menjelang tengah hari.” Ki Waskita mengangguk-angguk, lalu katanya,“ Kita akan segera mohon diri.”

Demikianlah, ketika jamuan khusus dari Raden Sutawijaya itu sudah cukup, Swandarupun segera minta diri untuk kembali ke Sangkal Putung yang sudah beberapa lama ditinggalkannya. Ki Juru dan Raden Sutawijaya yang menganggap bahwa orang-orang Pajang itu sudah cukup jauh, tidak menahannya lagi. Menurut perhitungan Ki Juru, orang-orang Pajang yang menempuh perjalanan yang lebih jauh itu dengan kecepatan yang tentu lebih tinggi dari tamu-tamunya dari Sangkal Putung yang menempuh perjalanan lebih dekat. Karena itu, maka sejenak kemudian, Swandaru, Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Ki Waskitapun segera minta diri untuk melanjutkan perjalanan kembali ke Sangkal Putung tanpa mendapat kesempatan lagi untuk bertemu dengan orangorang yang telah ditangkap oleh para pengawal dari Mataram. Menjelang pintu gerbang keluar dari kota, Swandaru tertegun. Ia melihat pemimpin pasukan yang mencoba memaksanya meletakkan senjata dipinggir Kali Praga itu herdiri dipinggir jalan bersama dengan dua orang pengawal. Ketika ia melihat iring-iringan kecil itu, maka iapun bergeser selangkah maju. “Apa yang mereka kehendaki paman,“ desis Swandaru kepada Ki Waskita. “Entahlah ngger. Tetapi nampaknya mereka tidak bermaksud buruk,“ jawab Ki Waskita. Tetapi Swandaru tidak lepas dari sikap hati-hati. Banyak kemungkinan dapat terjadi. Meskipun nampaknya orang itu tidak bermaksud buruk, tetapi ia tidak boleh lengah menghadapi setiap keadaan. Ternyata seperti yang dikatakan oleh Ki Waskita, orang itu justru minta maaf kepada Swandaru dan orang-orang yang bersamanya menempuh perjalanan dari Tanah Perdikan Menoreh kembali ke Sangkal Putung. Namun dalam pada itu, yang sama sekali tidak diduga adalah sikap utusan dari Pajang, yang mengaku telah membawa pesan dari Kangjeng Sultan dengan tanda kekuasaannya. Ternyata bahwa hadirnya Swandaru di Mataram, membuatnya sangat resah, ia tidak mengerti, bagaimana mungkin Swandaru masih tetap hidup dan justru berada di Mataram. Ketika utusan dari Pajang itu sudah semakin jauh dari Mataram, maka iapun kemudian berhenti untuk beristirahat sejenak. “Jika demikian, maka Ki Pringgabaya tentu sudah gagal,“ berkata utusan itu. Kedua orang yang dinyatakan sebagai pengawalnya mengangguk-angguk. Tetapi yang seorang kemudian berkata, “Jadi, apa yang sebaiknya kita lakukan ?”

“Bagaimana menurut pertimbangan paman ?“ bertanya utusan itu. Orang yang disebut pengawalnya itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Kita dapat mengambil satu sikap yang dapat menebus kegagalan Ki Pringgabaya.” “Apa yang dapat kita lakukan.” bertanya utusan itu. “Kedua orang itu sebentar lagi tentu akan lewat jalan ini pula menuju ke Sangkal Putung,“ desis orang yang disebut sebagai pengawalnya itu. “Ya. Lalu ?“ bertanya utusan itu. “Kita dapat berbuat sesuatu atas mereka,“ jawab orang yang dianggap sebagai pengawal itu. Tetapi utusan itu menggeleng lemah. Katanya, “Jika Ki Pringgabaya telah gagal, apa yang dapat kita lakukan. Meskipun aku mengerti, bahwa paman berdua memiliki ilmu yang mumpuni, tetapi akupun mengerti bahwa paman berdua masih belum dapat menyamai tataran ilmu Ki Pringgabaya.” Kedua orang yang disebut sebagai pengawal utusan dari Pajang itupun menarik nafas dalam-dalam. Tetapi salah seorang dari mereka bergumam, “Mungkin akan sulit untuk mendapatkan kesempatan seperti yang sekarang kita temui. Swandaru atas kehendaknya sendiri telah terpisah dari lingkungannya. Seharusnya Ki Pringgabaya itu akan dapat membunuhnya.” “Tetapi ternyata orang-orang itu masih hidup. Swandaru, isterinya, Sekar Mirah dan bahkan datang bersama seseorang dari Tanah Perdikan Menoreh,“ berkata utusan dari Pajang itu. “Memang menarik sekali. Tetapi biarlah kita mencobanya,“ berkata salah seorang dari kedua orang yang disebut pengawal itu. Utusan itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Ada beberapa keberatan. Mungkin kita tidak akan dapat berbuat apa-apa atas Swandaru, karena Ki Pringgabayapun dapat gagal.” “Mungkin bukan satu kegagalan. Tetapi hanya satu kelengahan. Mungkin Ki Pringgabaya tidak melihat anak-anak itu menyeberang, atau mungkin Ki Pringgabaya menunggu ditempat penyeberangan yang lain, yang sama sekali tidak diduga bahwa anak-anak Sangkal Putung itu telah mengambil jalan penyeberangan yang lain.” Utusan itu mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Tetapi jika kita berhasil, dan Swandaru tidak kembali ke Sangkal Putung, Raden Sutawijaya akan dapat mengusut, apa yang sebenarnya telah terjadi. Mungkin mereka akan menuduh kita yang telah mendahuluinya.” “Bukankah keberangkatan kita mendahului anak-anak Sangkal Putung itu justru atas petunjuk Ki Juru

Martani, agar kita tidak diganggu oleh anak-anak Sangkal Putung ?” “Ya. Tetapi tentu tidak dengan prasangka bahwa kita akan berbuat sesuatu. Jika kemudian Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu mendengar bahwa Swandaru tidak pernah kembali, maka ia lentu akan mengusutnya.” “Tetapi sulit dibuktikan, bahwa kitalah yang telah melakukannya,“ berkata kedua orang yang disebut pengawalnya itu. Utusan itu termangu-mangu. Agaknya ia telah dicengkam oleh keragu-raguan yang sangat. Ia mengerti, bahwa kesempatan itu adalah kesempatan yang sangat baik. Tetapi ia meragukan, apakah mereka bertiga akan mampu melakukan sesuatu atas anak-anak Sangkal Putung itu. Seandainya mereka mampu, bagaimana tanggapan Raden Sutawijaya atas peristiwa itu. Tiba-tiba saja utusan itu berkata, “Kita tidak boleh terjerat oleh perasaan kita tanpa nalar. Pertama, kita harus yakin, bahwa jika kita berbuat sesuatu, kita akan berhasil. Kedua, kita harus dapat menghapus jejak, bahwa kita telah melampaui daerah Sangkal Putung.” “Terserahlah,“ jawab salah seorang dari kedua orang pengikutnya, “apapun yang baik kita lakukan. Tetapi yang penting, kesempatan ini jangan dilewatkan.” “Kita akan singgah di pusat pengawasan keempat, disebelah daerah Bukit Baka,“ desis utusan itu. “Untuk mendapatkan beberapa orang yang akan dapat meyakinkan kita, bahwa Swandaru dan kawankawannya akan binasa ?“ bertanya pengikutnya. “Ya,“ berkata utusan itu, “Kita akan menemui mereka dan menyerahkan kepada mereka, sesuai dengan cara yang akan mereka pilih.” Kedua orang itu hampir bersamaan menggeleng sambil menjawab, “Tidak mungkin.” “Kenapa ?“ bertanya utusan itu. “Siapakah diantara mereka yang akan mampu mengalahkan Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah ?“ jawab salah seorang dari kedua orang itu. “Maksud paman ?“ bertanya utusan itu. “Aku sendiri akan melakukannya,“ jawab yang seorang. “Dan aku,“ desis yang lain, “kami berdua akan dapat membinasakan mereka bertiga, bahkan berempat.” “Jangan lupa, bahwa Ki Pringgabaya telah gagal.“ desis utusan itu.

“Aku tidak yakin,“ jawab salah seorang dari kedua pengikutnya, “tetapi seandainya demikian, maka kita akan membawa beberapa orang terbaik di pusat pengawasan keempat didekat Bukit Baka itu.” “Baiklah,“ berkata utusan itu, “aku mempunyai satu cara. Kita akan singgah ke Bukit itu. Kita akan membawa beberapa orang bersama kita. Orang-orang yang kita ambil dari pusat pengawasan keempat itu, akan kita tinggal disatu tempat, sementara kita akan lewat Kademangan Sangkal Putung. Lewat padukuhan yang paling ujung, asal satu dua orang pengawas mengetahui hahwa kita telah lewat. Kita akan menghindari persoalan dengan anak-anak muda Sangkal Putung. Namun kita akan segera melingkar kembali kepada orang-orang dari pusat pengawasan keempat itu untuk menunggu Swandaru lewat.” Kedua orang yang menyebut dirinya pengawal itupun mengangguk-angguk. Mereka mengerti maksud utusan itu, agar mereka sempat menghilangkan jejak. Bahwa sesuatu telah terjadi atas Swandaru, tentu bukan oleh mereka yang sudah melalui Sangkal Putung. Tetapi tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Sangkal Putung masih jauh. Jika kita harus melingkar Kademangan itu, maka aku kira Swandaru telah melampaui Prambanan.” “Jangan bodoh. Orang-orang dari Pegunungan Baka itu tidak akan tinggal diam sambil menunggu disini. Mereka akan pergi bersama kita mendekati Sangkal Putung. Disanalah mereka akan menunggu, sementara kita memberikan kesan bahwa kita telah melampaui Kademangan itu,“ jawab utusan itu. Lalu,“ Kita akan dapat menunggu mereka dipinggir hutan dan kemudian memancingnya memasuki hutan itu agak dalam. Disana kita mendapat kesempatan untuk berbuat apapun juga tanpa diganggu orang lain meskipun disiang hari.” “Baiklah,“ jawab yang lain,“ Kita harus bergerak cepat. Jika kita terlambat, kita akan kecewa. Kesempatan seperti ini sukar untuk dicari lagi pada saat yang lain. Mungkin Ki Pringgabaya akan terkejut jika kemudian ia mendengar bahwa Swandaru, isteri dan adiknya telah terbunuh. Karena ia sendiri tidak dapat atau tidak sempat melakukannya.” Demikianlah, mereka bertigapun segera memacu kuda mereka berbelok kepegunungan Baka Mereka langsung menuju ketempat yang sudah dikenalnya baik-baik. Tempat yang diselubungi oleh rahasia, karena tempat itu merupakan tempat berkumpul sepasukan petugas sandi yang mengawasi perkembangan keadaan disekitar Mataram, dalam hubungannya dengan daerah disekitarnya. Pemimpin sekelompok petugas ditempat itu terkejut ketika ia menerima laporan, bahwa seseorang akan menemuinya. Dengan tanda-tanda sandi, akhirnya keduanya dapat berbincang langsung mengenai keadaan masingmasing.

Sementara itu utusan yang datang dari Pajang itu telah menguraikan maksudnya datang ketempat itu. “Jadi, apakah yang sebaiknya kami lakukan ?“ bertanya pemimpin kelompok itu. “Beri aku tiga orangmu yang terpilih. Mungkin kau sendiri akan ikut bersama kami,“ berkata utusan itu. Pemimpin kelompok orang-orang yang bertugas di sekitar Gunung Baka itupun mengangguk-angguk. Sebenarnyalah bahwa iapun merasa gembira jika ia mendapat kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya. Dengan demikian ia akan segera dikenal dan mungkin akan segera mendapat kesempatan yang lebih baik dari kesempatan yang ada padanya. Demikianlah, setelah mendapat penjelasan seperlunya, maka pemimpin kelompok itupun segera mempersiapkan tiga orangnya yang terpilih, sehingga mereka menjadi berempat dengan pemimpin kelompok itu sendiri. “Kami sudah siap.“ lapor pemimpin kelompok itu. “Ikut kami.“ perintah utusan itu, yang kemudian membawa keempat orang itu bersama mereka seperti yang sudah direncanakan. Untuk tidak didahului oleh Swandaru, maka merekapun telah berpacu dengan kencangnya. Mereka melintas jalan sempit langsung menyeberang Kali Opak. Baru kemudian mereka mendekati jalan yang akan dilalui oleh Swandaru. “Kita akan berhenti dihutan kecil didekat Kademangan Sangkal Putung,“ berkata utusan dari Pajang itu, “kalian menunggu, sementara kami akan menampakkan diri di Sangkal Putung. Jika kami belum kembali, dan ternyata Swandaru telah lewat, hentikan orang itu. Usahakan agar mereka tidak segera meninggalkan kalian dengan cara apapun juga.” Keempat orang dari Gunung Baka itu mengangguk-angguk. Mereka mengerti apa yang harus mereka kerjakan. Karena itu, maka merekapun segera mencari tempat yang paling baik untuk menunggu anak Demang Sangkal Putung itu bersama isteri dan adiknya. Sementara itu, ketiga orang dari Pajang itu segera melakukan rencananya. Mereka melintasi Kademangan Sangkal Putung. Dengan sengaja menarik perhatian anak-anak mudanya. Tetapi mereka tidak membuat persoalan yang dapat menghambat perjalanan mereka. Sehingga dengan demikian, maka merekapun segera dapat melingkar kembali ketempat yang sudah ditentukan. Ketika mereka sampai ketempat orang-orang Gunung Baka menunggu, ternyata bahwa Swandaru masih belum lewat. “Mungkin ia justru sudah lewat,“ berkata pemimpin petugas yang ditempatkan di Gunung Baka itu. “Aku kira belum,“ berkata utusan dari Pajang, “suasana Kademangan Sangkal Putung masih belum

menunjukkan bahwa Swandaru sudah kembali. Akupun tidak mendengar mereka mengatakannya.” “Kau tidak bertanya tentang anak itu ?“ bertanya pemimpin petugas sandi itu. “Tentu tidak. Jika kemudian Swandaru tidak kembali, maka mereka akan dapat mencurigai, kenapa justru aku bertanya tentang anak itu,“ jawab utusan dari Pajang itu. Para petugas sandi yang ditempatkan di Gunung Baka oleh para pemimpin yang menyatakan diri mereka berjuang untuk menegakkan Majapahit lama itu, mengangguk-angguk. Mereka menjadi semakin jelas, apakah yang harus mereka lakukan. Mereka tidak boleh meninggalkan jejak betapapun tipisnya, karena hal jtu akan dapat menjadi pancadan pengusutan. Jika hal itu dilakukan oleh Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga, maka kemungkinan besar sekali bahwa akhirnya akan sampai juga kepada mereka. Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Swandaru memang belum melintasi hutan itu. Adalah kebetulan sekali, bahwa ia telah dihentikan oleh sekelompok pengawal Mataram yang telah berusaha memaksa mereka untuk melepaskan senjata. Pemimpin kelompok pengawal itu telah minta maaf kepada Swandaru, Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Ki Waskita. Agar tidak menyakiti hati mereka, maka Swandaru tidak dapat dengan tergesa-gesa meninggalkan mereka. Swandaru, Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Ki Waskita terpaksa turun dari kuda mereka. Menepi dan berbicara untuk beberapa lamanya. Pemimpin sekelompok pengawal yang merasa bersalah, karena mereka telah memaksa Swandaru meletakkan senjata itu, berusaha untuk mengurangi kesalahannya setelah ia mengetahui, bahwa Swandaru adalah seseorang yang telah mengenal Raden Sutawijaya dengan baik. “Aku sedang tidak bertugas,“ berkata pemimpin pengawal itu, “disebelah ini adalah rumah saudara sepupuku. Aku sengaja menunggu kalian disini untuk mempersilahkan kalian singgah sebentar.” “Terima kasih,“ berkata Swandaru, “kami sudah melupakan apa yang telah terjadi itu.” “Tetapi kami merasa, seolah-olah kami telah berhutang budi kepada kalian semuanya,“ desis pemimpin kelompok itu-karena itu, “marilah. Singgahlah sebentar. Kami dan kawan-kawan kami ingin mohon maaf atas kelakuan kami.” Swandaru tersenyum. Jawabnya, “Kami ingin segera sampai kerumah setelah kami meninggalkan Sangkal Putung beberapa lama. Tetapi sebenarnyalah bahwa kami sudah melupakan semuanya yang terjadi.” Bagaimanapun juga orang itu meminta, tetapi dengan menyesal Swandaru terpaksa menolaknya, karena ia memang ingin segera pulang ke Sangkal Putung.

Pemimpin sekelompok pengawal itu merasa menyesal, bahwa Swandaru tidak mau singgah barang sebentar. Karena saudara sepupunya telah menyiapkan hidangan, maka katanya, “Maaf, bahwa karena kalian tidak bersedia singgah barang sebentar, biarlah hidangan yang kami sediakan, kami serahkan untuk bekal dijalan.” Swandaru tertawa. Tetapi agar ia tidak menambah orang itu semakin kecewa, maka ia tidak menolaknya. Bahkan Pandan Wangi yang juga tidak sampai hati melihat kekecewaan orang itu berkata, “Terima kasih. Biarlah aku membawanya.” Dengan tergesa-gesa saudara sepupu pengawal itu telah membungkus hidangan yang sudah disediakan, kemudian menyerahkannya kepada Pandan Wangi yang mengikatnya pada seikat bekal pakaian yang dibawanya dibelakang pelana kudanya. “Mudah-mudahan tidak berminyak,“ desisnya didalam hati, “sehingga pakaianku tidak kotor karenanya.” Demikianlah, maka anak-anak Sangkal Putung itupun segera melanjutkan perjalanannya. Namun karena mereka terpaksa berhenti beberapa saat, ternyata bahwa waktu yang beberapa saat itu telah memberi kesempatan kepada sekelompok orang yang telah mendahuluinya, untuk melakukan rencana mereka.” Seperti yang diduga oleh Raden Sutawijaya, Swandaru memang tidak tergesa-gesa. Ia bersama dengan isteri, udiknya dan Ki Waskita, tidak berpacu terlalu kencang. Namun karena mereka telah terhenti beberapa lama, maka kuda merekapun telah berlari pula. Dalam pada itu, dengan tidak diduga sama sekali, beberapa orang telah menunggu iring-iringan kecil itu, dekat dengan Kademangan mereka sendiri. Mereka akan memancing Swandaru memasuki hutan yang tidak terlalu lebat disebelah Barat Sangkal Putung dan kemudian membunuh mereka semuanya. Karena itulah, maka Swandaru yang tidak menyangka bahaya sedang menunggunya, masih sempat bergurau disepanjang perjalanan. Meskipun Ki Waskita telah melampaui setengah umur, tetapi ia masih dapat ikut serta dalam gelak anak-anak muda yang bersamanya menempuh perjalanan. Bekal yang diberikan oleh pemimpin pengawal itupun ternyata dapat membuat perjalanan itu bertambah gembira. Namun dalam pada itu, perjalanan merekapun semakin lama menjadi semakin dekat dengan sekelompok orang yang menunggunya. Sebenarnyalah, selisih merekapun tidak terlalu lama. Orangorang yang menunggunya di daerah berhutan itu baru saja mengatur diri, ketika iring-iringan itu mulai memasuki daerah berhutan itu. Utusan dari Pajang dan kedua pengawalnya masih sibuk mengemasi diri ketika seorang dari mereka berkata, “Aku mendengar derap kaki kuda memasuki jalan di tepi hutan ini.” “Ya,“ jawab yang lain, “mudah-mudahan mereka adalah orang-orang yang kami tunggu.”

Sebenarnyalah bahwa derap kaki kuda yang didengar oleh orang-orang yang menunggu itu adalah derap kaki kuda Swandaru bersama iring-iringan kecilnya. Mereka memasuki hutan itu tanpa berprasangka apapun juga. Apalagi hutan itu tidak terlalu jauh lagi dari Kademangan Sangkal Putung. Namun dalam pada itu, terasa oleh Swandaru, bahwa ada perubahan sikap pada Ki Waskita. Demikian mereka berkuda dijalan yang menyusuri tepi hutan itu, nampak dahinya mulai berkerut. Swandaru yang melihat perubahan itu segera bertanya, “Apakah ada sesuatu yang kurang pada tempatnya paman ?” Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Lihatlah. Agaknya jauh dibelakang kita.” Serentak Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah berpaling. Ternyata mereka melihat seekor kuda dengan penunggangnya yang mengambil jarak beberapa puluh lombak, sehingga karena itu, maka mereka tidak dapat melihat penunggangnya dengan jelas. “Siapa ?“ bertanya Swandaru. Ki Waskita menggeleng. Katanya, “Aku tidak tahu. Tetapi tanpa sengaja aku sudah melihatnya sejak lama. Sesudah kita meninggalkan gerbang Mataram, aku melihat kuda itu memasuki jalur jalan ini pula. Kuda itu mengikuti kita pada jarak yang tetap. Menurut dugaanku, kuda itu memang sengaja mengikuti kita. Jika tidak, maka jarak diantara kita dengan orang itu tentu menjadi semakin pendek, karena perjalanan kita ternyata tidak lerlalu kencang.” Swandaru mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian berdesis,“ Kita memang harus berhati-hati. Tetapi jika orang itu hanya seorang saja, maka aku kira mereka tidak akan berbuat apa-apa.” “Yang nampak oleh kita memang hanya seorang,“ berkata Ki Waskita. Lalu, “Tetapi kita benar-benar harus berhati-hati.” Swandaru, isteri dan adiknya mengangguk. Mereka mengerti, bahwa Ki Waskita adalah seorang yang memiliki pengalaman yang cukup luas, sehingga nampaknya ia memang tidak sedang mengada-ada. Sebenarnyalah bahwa Ki Waskita memang mendapat firasat yang kurang baik. Namun yang menjadi pusat perhatiannya justru orang berkuda yang diduganya sengaja mengikutinya. Kuda yang mengambil jarak tetap dalam perjalanan yang cukup jauh. Jika iring-iringan kuda itu beristirahat untuk minum, maka orang berkuda dibelakang mereka itupun berhenti pula. Tetapi Ki Waskita sama sekali tidak menduga, bahwa firasat buruk itu ternyata telah menyentuh perasaannya juga karena orang-orang yang menunggu dihadapannya.

Sekelompok orang yang belum dilihatnya. Namun demikian, yang seorang itupun agaknya memang seseorang yang bermaksud buruk pula terhadap iring-iringan itu. Dugaan Ki Waskita bahwa orang itu memang mengikuti iring-iringan kecil itu ternyata memang tidak salah. Karena perhatian Ki Waskita terpusat kepada seorang yang mengikutinya, maka iapun terkejut ketika tiba-tiba saja ia melihat beberapa orang bi-rdiri dihadapan mereka. “Paman,“ berkata Swandaru nampaknya sekelompok orang itupun menunggu seseorang. Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil bergumam, “Inilah agaknya. Aku mendapat firasat buruk. Tetapi perhatianku terpusat kepada orang yang berkuda dibelakang kita. Meskipun kita tidak dapat mengabaikannya, tetapi orangorang yang nampaknya sedang menunggu itupun harus mendapat perhatian.” “Baiklah,“ desis Swandaru, “perjalanan kembali ke Sangkal Putung kali ini agaknya memang rumpil. Tetapi apaboleh buat.“ Swandaru berhenti sejenak, lalu, “Pandan Wangi dan Sekar Mirah, bersiaplah menghadapi segala kemungkinan. Beruntunglah aku, bahwa meskipun aku berkuda bersama perempuan, tetapi masing-masing akan dapat menjaga dirinya sendiri.” “Ah,“ desah Sekar Mirah, “apa salahnya ?” “Tidak apa-apa,“ jawab Swandaru, “justru itu aku menganggap bahwa aku beruntung bersama kalian.” Sekar Mirah tidak menjawab lagi. Ia mulai merasa tongkat baja putihnya, sementara Pandan Wangi diluar sadarnya telah membenahi ikat pinggangnya, yang digantungi oleh sepasang pedang tipisnya. Namun merekapun berdebar-debar juga ketika mereka melihat tiga orang berdiri tegak dipinggir jalan sambil mengawasi mereka seakan-akan tanpa berkedip. Swandarulah yang kemudian berkuda dipaling depan. Pandan Wangi berada disamping Sekar Mirah, sementara Ki Waskita berada dipaling belakang. Sekali sekali Ki Waskita masih berpaling. Dan ia melihat orang berkuda dijarak yang tetap itu masih berada pada jarak yang sama. Nampaknya jalan memang lengang. Tidak ada orang lain yang kebetulan lewat. Karena itu, maka kemungkinan-kemungkinan yang tidak dikehendaki akan dapat terjadi.

Mungkin karena orang-orang yang berdiri dipinggir hutan itu, namun mungkin pula karena orang berkuda yang mengikuti mereka sejak lama. Ketika orang-orang yang berdiri dipinggir jalan itu melangkah ketengah dan menghentikan perjalanannya, Swandaru sudah tidak terkejut lagi. Dengan tajamnya ia memandangi ketiga orang itu dengan saksama. Satu demi satu. Namun ia belum pernah mengenal mereka semuanya. “Apakah kau yang bernama Swandaru ? “ salah Keorang dari ketiga orang itu bertanya. “Ya,“ jawab Swandaru. “Anak Kademangan Sangkal Putung ?“ bertanya arang itu pula. “Ya.” “Baiklah. Seseorang telah menunggumu dibawah pohon mahoni yang besar itu,“ berkata orang itu pula, “Ada satu persoalan yang penting, yang ingin disampaikannya.” “Jangan memakai cara itu lagi,“ jawab Swandaru, “di pinggir Kali Praga, mungkin kau, mungkin kawanmu atau siapapun, telah mempergunakan cara serupa memancing kami.” Wajah orang itu menjadi tegang. Namun kemudian katanya, “Terserahlah atas penilaianmu. Tetapi sebenarnyalah beberapa orang tengah menunggu kalian.” “Aku mengerti. Dan kami siap untuk menghadapi siapapun,“ geram Swandaru yang memang sudah berprasangka. Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun agaknya percakapan itu didengar pula oleh kawankawannya yang berada dibawah pohon mahoni itu. Karena itu, maka terdengar suara, “Kemarilah jika kau memang sudah mengetahui maksud kami. Sebenarnyalah memang kami berniat untuk membunuhmu disini.” “Bagus,“ geram Swandaru, “jangan pergi. Kita akan bertempur disini.” Swandarupun kemudian meloncat dari punggung kudanya, diikuti oleh Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Ki Waskita. Merekapun kemudian menambatkan kuda mereka dan dengan hati-hati bersiap menghadapi segala kemungkinan. “Kemarilah,“ terdengar suara, “itu katau kalian memang sudah bersiap menghadapi maut. Jika tidak, pergilah.” Swandaru menggeram. Tetapi ketika ia akan melangkah memasuki hutan itu, terdengar Ki Waskita berkata, “Udara sangat pengap dihutan itu ngger. Agaknya lebih baik kita menunggu disini. Jika orang-orang itu memerlukan kita, biarlah mereka datang kemari.”

Swandaru mengurungkan langkahnya. Namun salah seorang dari ketiga orang yang berdiri dipinggir jalan itu bertanya, “O, apakah kau takut mendekati suara itu ? Bukankah kau sudah menduga, bahwa kami memang ingin menjebakmu. Apalagi ?” Sebelum Swandaru menjawab, Ki Waskita telah mendahuluinya, “Ada dua pertanyaan yang mungkin diucapkan. Apakah kami takut memasuki hutan itu, atau kalianlah yang takut berhadapan dengan kita ditempat yang lebih lapang, tidak diganggu oleh pepohonan. Kecuali jika pepohonan itu sengaja dapat kalian pergunakan untuk berlindung sambil berlari-lari.” Ketiga orang yang menghentikan Swandaru itu termangu-mangu. Untuk sejenak mereka justru terdiam, karena mereka tidak segera dapat menjawab. Namun dalam pada itu, terdengar suara dari dalam hutan itu, “He, anak-anak Sangkal Putung. Barangkali kalian sengaja ingin bertempur untuk menyelamatkan jiwa kalian ditempat yang terbuka. Ditempat yang dapat dilihat orang lewat, agar mereka dapat mengatakan kepada para pengawal dipadukuhan sebelah hutan ini ?” “Menarik sekali,“ Ki Waskitalah yang menjawab, “apakah sebenarnya keberatan kalian ? Dilihat orang ? Diketahui oleh pengawal padukuhan sebelah ? Atau kalian tidak berani bertempur ditempat yang lapang seperti yang aku katakan tadi ?” “Persetan,“ tiba-tiba seseorang menggeram, “kalian memang harus dibunuh. Meskipun ada orang yang melihat dan menaruh belas kasihan kepada kalian, tetapi mereka tidak akan sempat menolong kalian.” Ki Waskita justru menggamit Pandan Wangi yang tanggap akan keadaan. Karena itu, maka iapun menarik lengan Sekar Mirah untuk melangkah mundur beberapa depa untuk mengambil sikap. Swandarupun ternyata mengerti pula sikap isteri dan adiknya. Iapun melangkah surut pula, menjauhi ketiga orang yang menghentikannya. Sejenak kemudian telah muncul beberapa orang dari dalam hutan. Kehadiran mereka memang, mengejutkan. Ternyata tiga orang diantara mereka adalah orang-orang yang ditemui oleh Swandaru di Mataram. “Kau,“ desis Swandaru dengan wajah tegang. “Persetan,” geram utusan dan Pajang itu, “siapapun aku dan siapapun kalian, aku tidak peduli.” “Apakah kau bertindak atas nama Pajang ?“ geram Swandaru. “Aku adalah seorang prajurit Pajang,” jawab orang itu. “Persetan dengan pakaian serta gelar keprajuritanmu.

Tetapi kau dapat bertindak atas namamu sendiri, atau atas nama sekelompok orang yang telah bertanggung jawab seperti orang-orang yang kami temui di pinggir Kali Praga,“ jawab Swandaru. Wajah orang yang menghentikan Swandaru itu menegang. Diluar sadarnya ia bertanya, “Kau berhasil lolos dari tangan orang yang mencegatmu dipinggir Kali Praga?” “Kau juga dari golongan mereka ?“ bertanya Ki Waskita. “Persetan. Siapapun kami, kami akan membunuhmu,“ geram orang itu. “Kami menjadi sedikit jelas. Kawanmu gagal membunuh kami. Sekarang kalian ingin melakukannya pula.“ berkata Ki Waskita lebih lanjut, “apakah kalian sudah mempertimbangkannya ? Apakah kekuatan kalian melampaui kekuatan sekelompok orang yang mencegat kami dipinggir Kali Praga ?” “Kami yakin,“ geram utusan dari Pajang itu. “Aku tidak tahu, apakah kau mengerti atau tidak. Diantara kawan-kawanmu itu terdapat dua orang tukang satang. Tentu bukan dari lingkunganmu. Meskipun dengan bantuan dua orang liar itu, mereka tidak berhasil membunuh kami,“ berkata Ki Waskita pula. Orang-orang yang mencegat perjalanan anak-anak Sangkal Putung itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian salah seorang dari kedua orang yang disebut pengawal itu berkata, “Kalian mencoba untuk menyelamatkan diri dengan licik. Berbuatlah seperti laki-laki. Hadapi kami dengan dada tengadah. Jangan mencoba membujuk kami dengan cara seorang pengecut seperti itu. Sikapmu telah mengecewakan kami yang mengira bahwa anak-anak Sangkal Putung adalah pahlawan-pahlawan yang bersikap jantan.” Darah Swandaru bergejolak didalam jantungnya. Tetapi Ki Waskita telah mendahului, “Kalian memang aneh. Sungguh sulit untuk mengerti mana yang lebih jantan dari perang tanding. Nah, apakah kalian ingin kami menantang perang tanding ?” Kata-kata itu ternyata telah menyentuh perasaan orangorang Pajang itu. Namun salah seorang dari mereka berkata lantang, “Jangan hiraukan. Cepat, kita bunuh mereka sebelum orang lain melihat peristiwa ini.” Orang-orang yang sudah siap menghadang anak-anak Sangkal Putung itupun segera bergerak. Mereka merenggang dan berusaha mengepung keempat orang itu. Swandaru melangkah surut beberapa langkah lagi. Demikian pula Pandan Wangi dan Sekar Mirah yang memencar. Dipaling belakang adalah Ki

Waskita. Kecuali orang-orang yang berada dipinggir hutan itu, ia masih saja memikirkan penunggang kuda yang menurut dugaannya, telah mengikutinya dari jarak yang agak jauh. Jika dugaan itu benar, maka sebentar lagi orang itupun akan berada diantara mereka yang sudah siap untuk bertempur itu. Namun ketika sekilas Ki Waskita sempat berpaling, ternyata ia tidak melihat lagi orang berkuda itu. Apalagi semakin dekat. Untuk sementara Ki Waskita harus melepaskan perhatiannya kepada orang berkuda itu. Yang berada dihadapannya ternyata berjumlah tujuh orang. Yang sudah pernah dilihatnya diantara mereka adalah tiga orang yang mengaku dirinya utusan dari Pajang dengan dua orang pengawalnya. Yang empat orang lainnya, sama sekali belum dikenalnya. Tetapi menurut dugaan Ki Waskita, mereka berasal dan lingkungan yang sama. Tidak seperti dua orang tukang satang dipinggir Kali Praga, yang mempunyai watak yang berbeda dengan kawan-kawannya. Namun dengan demikian, Ki Waskita merasa bahwa mereka harus menjadi lebih berhati-hati. Nampaknya orangorang itu cukup meyakini kemampuan mereka, sehingga mungkin perjuangan anakanak Sangkal Putung itu akan menjadi semakin berat. Sejenak kemudian, ketujuh orang itu sudah memencar. Mereka tidak berusaha menempatkan diri menghadapi seorang demi seorang dari keempat orang yang akan menuju ke Sangkal Putung itu. Tetapi nampaknya mereka akan bertempur bersama dalam satu lingkaran medan. “Mungkin hal ini akan lebih baik bagi kami,” berkata Ki Waskita didalam hatinya. Karena dengan demikian, maka ia akan dekat dengan anak-anak Sangkal Putung itu. Bagaimanapun juga, ia akan dapat berbuat sesuatu jika diperlukan, namun dalam batas-batas yang tertentu pula. Sebenarnyalah bahwa ketujuh orang itu merasa belum mengetahui tingkat ilmu lawan naereka masingmasing. Karena itulah maka mereka merasa lebih baik untuk bertempur bersama-sama dalam satu lingkungan. Dengan demikian mereka akan dapat memberikan imbangan kepada bagian-bagian yang lemah dari ketujuh orang diantara mereka. Baru jika mereka telah nengerti dan meyakini kemampuan lawan masing-masing, mereka akan dapat membagi diri. Namun sebenarnyalah diantara mereka terdapat dua orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Justru dua orang yang disebut sebagai pengawal utusan dari Pajang itu. Keduanya pulalah yang merasa akan mampu menyelesaikan anak-anak Sangkal Putung itu meskipun seandainya keduanya dapat lolos dari tangan Ki Pringgabaya. “Ki Pringgabaya memang seorang yang pilih tanding,“

berkata salah seorang dari kedua pengawal itu, “tetapi ia tidak akan dapat mengalahkan kami berdua.” Dengan demikian, maka keempat orang yang menuju ke Sangkal Putung itu sudah tidak dapat mengelak lagi. Mereka harus bertempur melawan ketujuh orang yang juga belum mereka ketahui tataran ilmunya. Dalam pada itu, Swandaru yang merasa bertanggung jawab atas isteri dan adiknya, tidak mau lengah oleh kelambatannya. Karena itu, maka sebelum segalanya mulai, ia sudah mengurai senjatanya. Justru karena ia belum mengetahui tingkat ilmu lawannya, yang hampir dua kali lipat jumlahnya. Dengan demikian maka Pandan Wangipun segera menggenggam pula sepasang pedang tipisnya, sementara Sekar Mirah mulai memutar tongkat baja putihnya. Ketujuh orang itu memang merasa heran melihat kedua perempuan itu. Ternyata keduanyapun merasa mampu untuk melibatkan diri dalam pertempuran. Apalagi dengan senjata-senjata mereka yang cukup meyakinkan. Sepasang pedang dan sebatang tongkat baja putih yang berkepala tengkorak berwarna kekuning-kuningan. “Gila,“ tiba-tiba salah seorang dari kedua orang yang disebut pengawal itu menggeram, “bukankah tongkat itu ciri kebesaran Patih Mantahun yang dimiliki oleh Macan Kepatihan ?” “Ya,“ desis yang lain, “nampaknya gadis ini mendapat warisan dari Sumangkar yang sudah mengkhianati perjuangan Macan Kepatihan meskipun ia adalah adik seperguruan Patih Mantahun.” “Diam,“ bentak Sekar Mirah, “kalian tidak tahu apa-apa tentang perjuangan Ki Sumangkar.” Kedua pengawal itu mengangguk anggguk. Katanya, “Inilah agaknya yang menyebabkan Ki Pringgabaya tidak mampu melakukan tugasnya. Ternyata kedua perempuan ini memiliki ciri-ciri perguruan yang menggetarkan.” “Persetan,“ geram Swandaru, “jangan banyak bicara. Kita akan segera mulai. Jangan menyesal, jika kalian melihat ciri-ciri kebesaran dan satu dua perguruan sebelum kalian membenturkan senjata kalian. Kami akan mempertahankan hidup kami dengan segenap kemampuan yang ada pada kami. Jika perlu. kami terpaksa harus membunuh.” Orang-orang yang mengepungnya itupun segera bersiaga sepenuhnya. Mereka sudah mendapat gambaran, siapa-siapa yang mereka hadapi terutama anak muda bercambuk dan perempuan bertongkat baja putih itu. Namun agaknya perempuan berpedang rangkap itupun harus mendapat perhatian mereka. Yang justru menjadi teka teki adalah seorang tua diantara keempat orang itu ia masih belum memegang senjata apapun juga. Meskipun demikian sikapnya benar-benar meyakinkan, sehingga karena itu, maka orang tua itu justru akan merupakan lawan yang cukup berat.

Sejenak kemudian, ketujuh orang itupun melangkah semakin dekat. Merekapun telah mengacukan senjata masing-masing. Sebagian besar dari mereka bersenjata pedang. Tetapi seorang dari mereka bersenjata sebatang tombak pendek berujung rangkap, sedang seorang lagi bersenjata bindi. Meskipun bindi tidak memiliki mata yang tajam, namun ditangan seorang yang bertubuh raksasa, senjata itu adalah senjata yang sangat berbahaya. Agaknya orang bersenjata bindi itu justru ingin membenturkannya dengan tongkat baja putih Sekar Mirah. Ia ingin menjajagi, apakah tongkat baja yang tidak sebesar bindinya itu akan mampu mengimbangi kedahsyatan senjatanya. Sekar Mirahpun mengerti maksud orang bertubuh raksasa itu. Namun iapun telah berlatih menghadapi segala macam senjata lawan. Dan sebenarnyalah Sekar Mirahpun telah memiliki pengalaman cukup, bukan saja didalam sanggar, tetapi benar-benar dimedan pertempuran. Karena itu, ia sama sekali tidak merasa ngeri berhadapan dengan orang bertubuh raksasa itu. Bagaimanapun juga, ia merasa memiliki bekal untuk menghadapinya. Tetapi Sekar Mirahpun tidak kehilangan kewaspadaan. Ia merasa perlu untuk menjajagi kekuatan lawannya, sebelum ia mengambil sikap pasti, bagaimana ia akan menghadapinya. Ketika kepungan itu menjadi semakin rapat, maka Swandarupun mulai menggerakkan cambuknya. Ia tidak mau lawannya itu mendekat lagi, sementara Pandan Wangipun mulai bersiap. Ia masih menyilangkan pedangnya dimuka dadanya. Sekar Mirahlah yang justru mulai bergerak maju. Ia menjulurkan senjatanya pada ujungnya, kemudian memutarnya perlahan-lahan. Orang yang berada dihadapannya adalah orang bertubuh raksasa itu. Ia benar-benar ingin mencoba kemampuan Sekar Mirah. Karena itu, maka ia adalah orang yang pertama meloncat maju sambil mengayunkan senjatanya dengan sepenuh kekuatannya mengarah ke kening lawannya. Sekar Mirah tidak menghindar. Iapun ingin mengetahui kemampuan lawannya. Tetapi karena ia sama sekali tidak mempunyai gambaran dari kemampuan lawannya, maka ia tidak membenturkan senjatanya sepenuhnya. Tetapi ia dengan sekuat tenaganya pula memukul senjata lawannya kesamping. Benturan yang pertama itu memang dahsyat. Sekar Mirah merasa tangannya bergetar. Tetapi ia sudah menduga, bahwa lawannya tentu mempunyai kekuatan raksasa seperti bentuk tubuhnya. Karena itu, ia tidak kehilangan senjatanya betapapun kuat benturan itu. Yang sangat terkejut justru adalah lawannya yang bertubuh raksasa. Ia merasa senjatanya telah didorong kesamping dengan kekuatan yang sama sekali tidak diduganya. Gadis bersenjata tongkat baja putih itu ternyata memiliki kekuatan jauh diatas dugaannya. Apalagi ternyata tongkat baja putih itu masih tetap didalam genggamannya dan tidak patah karena benturan itu. “Gadis yang luar biasa,” geramnya didalam hati, “ternyata ia sengaja menjajagi kekuatanku. Demikian yakin ia akan dirinya.”

Penjajagan itu membuat hati raksasa itu berdebar-debar. Jika gadis itu memiliki kekuatan yang demikian besarnya, bagaimana dengan anak muda yang gemuk itu. Namun benturan senjata itu bagaikan aba-aba yang telah menyeret setiap orang untuk menyerang. Kawan-kawan orang bersenjata bindi itupun segera berloncatan. Senjata merekapun segera teracu dari segala arah. Tetapi orang-orang yang menyerang Swandarupun telah berloncatan surut. Demikian mereka melangkah maju, tiba-tiba mereka telah dikejutkan oleh ledakan cambuknya yang dahsyat. Ternyata Swandaru tidak melepaskan kesempatan itu. Ialah yang justru memburu. Sekali cambuknya meledak. Dan sekali lagi lawan-lawannya berloncatan mundur. Dalam pada itu, dua orang yang disebut pengawal itu pun mulai menilai lawan-lawannya. Keduanya tidak terlalu tergesa-gesa untuk bertindak. Mereka sempat menyaksikan, bagaimana Sekar Mirah berhasil mengejutkan lawannya. Betapa dahsyatnya ledakan cambuk Swandaru. Namun kemudian keduanya menarik nafas dalamdalam. Sekejap keduanya saling berpandangan. Kemudian keduanya yang berdiri berseberangan itupun mulai melangkah maju. Ki Waskita sempat memperhatikan mereka. Dengan hati yang berdebar-debar ia mengikuti, apa saja yang akan dilakukan oleh kedua orang yang nampaknya memiliki kemampuan melampaui kawankawannya. Karena itu, Ki Waskita tidak lagi ingin sekedar mempertahankan diri. Jika benar kedua orang itu memiliki kemampuan yang tinggi, maka mungkin sekali ia akan terlambat apabila ia tidak segera mulai, karena kedua orang itu sudah bersenjata pedang ditangan mereka. Sejenak kemudian, Ki Waskita yang mencemaskan anak-anak Sangkal Putung itupun segera mengurai ikat kepalanya. Mengikatkannya dipergelangan tangan kirinya. “Gila,“ geram salah seorang dari kedua orang yang disebut pengawal itu. Ternyata cara Ki Waskita mempersenjatai diri sangat menarik perhatiannya. Orang itu segera mengetahui bahwa ikat kepala Ki Waskita itu akan dapat menjadi perisai yang mengagumkan. Tentu dengan kekuatan khusus yang jarang terdapat pada orang lain. Sejenak ia menunggu. Selain perisai, tentu orang itu akan segera mengurai senjatanya, karena orang itu tidak melihat sarung senjata apapun yang tersangkut dipinggang orang tua itu.

Sebenarnyalah, Ki Waskita yang benar-benar tidak mempunyai kesempatan untuk sekedar mengurusi dirinya sendiri itupun segera mengurai ikat pinggangnya. Ikat pinggang kulit, namun yang dapat dipergunakannya sebagai senjata pula. Orang yang disebut pengawal itu menarik nafas dalam-dalam, ia semakin meyakini bahwa orang tua itu tentu orang yang luar biasa. Sebenarnyalah bahwa Ki Waskita menghadapi lawan-lawannya berbeda dengan saat ia berhadapan dengan Ki Lurah dipinggir Kali Praga. Ki Lurah itu sendiri sama sekali tidak mempergunakan senjata apapun, sehingga Ki Waskita telah dicegah pula oleh harga dirinya, sehingga iapun tidak bersenjata pula karenanya. Tetapi kini, semua lawan-lawannya telah menggenggam senjata. Adalah sangat berbahaya baginya, apabila ia akan melawan senjata-senjata itu dengan tangannya. Apalagi jika yang bersenjata itu adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Dalam pada itu. maka sejenak kemudian Ki Waskitapun telah mulai melibatkan diri kedalam pertempuran. Selagi cambuk Swandaru meledak-ledak, maka salah seorang lawannya telah berusaha menembus pertahanan keempat orang itu menyerang Pandan Wangi. Tetapi pedang Pandan Wangi yang berputar seperti baling-baling telah membetengi dirinya. Seakanakan ujung duripun tidak akan sempat menyusup disela-sela gemerlapnya kilau pedangnya. Bahkan orang itulah yang kemudian harus meloncat surut. Pedang Pandan Wangi yang berputar disebelah tubuhnya itu, tiba-tiba saja telah mematuknya. Hampir saja dadanya koyak oleh ujung pedang perempuan Sangkal Putung yang berasal dari Tanah Perdikan Menoreh itu. Untunglah, bahwa ia masih sempat menyelamatkan dirinya. Dengan demikian, maka pertempuran itupun kemudian menjadi semakin dahsyat. Ketujuh orang itu bergerak dalam lingkaran yang berputar meskipun perlahan-lahan. Mereka seakan-akan menjajagi kelemahan yang akan dapat mereka tembus diantara keempat orang yang berada didalam kepungan itu. Namun ternyata mereka tidak menemukannya. Cambuk Swandaru benar-benar bagaikan petir yang menyambar-nyambar. Disebelahnya pedang Pandan Wangi berputar seperti baling-baling dikedua tangannya. Pada sisi yang lain tongkat baja putih Sekar Mirah bergulung bagaikan gumpalan asap putih. Namun yang setiap sentuhan daripadanya, akan berakibat maut. Sementara itu diarah yang lain, Ki Waskita telah bertempur dengan caranya. Ia tidak banyak menggerakkan senjatanya. Tetapi seperti yang diduga lawannya, maka ayunan senjata mereka, tidak mampu untuk menyobek ikat kepalanya yang dibalutkan pada pergelangan tangannya. Ikat kepala itu, seolah-olah telah berubah menjadi kepingan baja yang tidak lekuk oleh benturan senjata apapun juga. Tetapi dua orang yang disebut pengawal itu benar-benar orang yang luar biasa. Setelah ia mengetahui kemampuan keempat orang itu, maka mereka mulai mengatur diri. Mereka mulai mengarahkan

serangan-serangan mereka menurut sasaran yang sudah mereka perhitungkan. Namun demikian, keempat orang yang berada didalam kepungan itu bukannya tidak mempunyai perhitungan. Merekapun segera menyesuaikan diri setelah mereka menjajagi kemampuan lawan-lawannya. Karena itulah, maka setiap lingkaran kepungan itu bergeser, maka orang-orang yang berada didalam kepungan itupun bergeser pula. Ki Waskitalah yang kemudian seakan-akan mengatur perlawanan anak-anak Sangkal Putung itu. Sambil berdesis ia memberikan peringatan dan pesan-pesan kepada anak-anak Sangkal Putung yang masih terlalu muda menghadapi pusaran prahara ilmu kanuragan. Sebenarnyalah kedua orang yang disebut pengawal itu memiliki ilmu yang dahsyat. Setiap kali Ki Waskita berusaha untuk dapat menghadapi salah seorang darj keduanya. Jika keduanya terlepas dari perlawanannya, maka keduanya merupakan orang yang sangat berbahaya bagi anak-anak Sangkal Putung itu. Ternyata kedua orang itupun memiliki perhitungannya sendiri. Bagi mereka, sasaran yang paling lemah dari orangorang yang dikepungnya adalah justru anak-anak muda itu. Tetapi ternyata bahwa perempuan-perempuan yang berada didalam lingkaran kepungannya itupun memiliki ilmu yang seimbang dengan Swandaru. Hanya ternyata bahwa kekuatan dan lontaran tenaga Swandaru agaknya melampaui kekuatan dan lontaran tenaga kedua orang perempuan itu. Namun demikian, senjata Sekar Mirah itu mampu mempengaruhi kedua orang yang disebut pengawal itu. Kilatan senjata Sekar Mirah seolah-olah mengingatkan mereka kepada kemampuan yang tiada taranya dari mereka yang berada dijalur ilmu yang dahsyat itu. Sementara itu, setiap kali mereka berhadapan dengan perempuan yang bersenjata rangkap itupun terasa satu sentuhan kekuatan yang berbeda dari sentuhan ilmu sewajarnya. Getaran pedang Pandan Wangi rasa-rasanya mengandung getar kekuatan yang suht dijajagi. Meskipun pada sentuhan senjata, pedang rangkap itu tidak melontarkan kekuatan yang dapat melemparkan senjata lawannya, tetapi rasa-rasanya ada sesuatu yang menjalar lewat sentuhan itu, yang kemudian bagaikan menghisap betapapun kecilnya, tenaga perlawanan lawannya. Sehingga seakan-akan pada setiap benturan dengan pedang rangkap itu, tenaga lawannya tidak dapat menghentak sepenuhnya. Yang paling menggetarkan jantung ketujuh orang itu adalah justru orang tua yang mengikat pergelangan tangannya dengan ikat kepalanya, dan yang menyerang mereka dengan ikat pinggangnya. Orang itu ternyata termasuk orang aneh bagi mereka. Orang yang memiliki kemampuan ilmu yang sulit ditakar dengan ilmu kanuragan sewajarnya. Demikian pertempuran itu berlangsung dengan sengitnya.

Ternyata ketujuh orang itu telah salah menilai lawannya. Mereka menganggap bahwa mereka akan dapat menyelesaikan lawan-lawan mereka dengan cepat, meskipun mereka nemperhitungkan seandainya Ki Pringgabaya telah gagal. Tetapi mereka menyangka bahwa Ki Pringgabaya telah bertindak sendiri tanpa bantuan orang-orang dari Gunung Sepikul. Atas pertimbangan demikian, maka ketujuh orang itu merasa jauh lebih kuat dari kekuatan yang ada bersama Ki Pringgabaya waktu itu, tanpa orang-orang Gunung Sepikul. Namun ternyata yang mereka hadapi adalah kekuatan yang mendebarkan. Keempat orang itu memiliki kemampuan yang bukan saja akan dapat melepaskan mereka dari kekuatan Ki Pringgabaya bersama pengiringnya, bahkan setelah Ki Pringgabaya mendapat bantuan orang-orang kasar dan hampir liar dari Gunung Sepikul. Karena itu, maka anggapan mereka bahwa ketujuh orang itu akan dengan mudah mengalahkan keempat orang itupun mulai menjadi kabur. Namun itu belum berarti bahwa ketujuh orang itu tidak akan berhasil. Kedua orang yang disebut pengawal, yang ternyata memiliki ilmu yang paling tinggi diantara ketujuh orang itu, berusaha untuk menekan lawannya pada bagian-bagian yang paling lemah, siapapun dari ketiga orang anak Sangkal Putung itu. Tetapi justru setiap kali mereka harus menghadapi Ki Waskita yang selalu bergeser pada setiap keadaan yang sulit bagi mereka yang berada didalam kepungan itu. Ternyata dalam pertempuran yang demikian, cambuk Swandaru memberikan keuntungan kepadanya. Swandaru dengan ujung cambuknya dapat menyerang bukan saja orang yang berdiri berhadapan, tetapi juga mereka yang berada disebelah menyebelah. Sementara pedang rangkap Pandan Wangipun mampu mematuk kearah yang berbeda pada waktu yang bersamaan. Dibagian lain, tongkat baja putih Sekar Mirah yang berputar disekitar tubuhnya memberikan kesan yang menggetarkan. Kepala tongkat yang berwarna kekuning-kuningan dan berbentuk tengkorak itu bagaikan senjata khusus yang terpisah, yang mampu menyerang lawannya dari segala arah ke segala arah. Apalagi diantara mereka terdapat Ki Waskita yang mempunyai kemampuan yang luar biasa. Yang ternyata sulit dibakar dengan kemampuan lawan-lawannya, termasuk kedua orang yang disebut pengawal itu. Untuk beberapa saat ketujuh orang itu masih dapat bertahan pada kepungan yang jaraknya sesuai dengan keinginan mereka. Namun lambat laun, pada keadaan tertentu, kepungan itu justru menjadi longgar. Bahkan kadang-kadang Ki Waskita yang menyerang dengan kecepatan yang sulit diimbangi, telah berhasil melontarkan satu dua orang dari dinding kepungan. Meskipun demikian, keempat orang itu memang tidak berusaha untuk memecahkan kepungan itu dan meloncat keluar. Ternyata mereka merasa lebih tenang bertempur bersama-sama dalam satu lingkaran medan. Demikianlah pertempuran itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Orang-orang yang

mengepungnya, telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Yang menyebut dirinya utusan dari Pajang bersama kedua pengawalnya, yang sudah terlanjur melibatkan diri kedalam pertempuran itu, merasa bertanggung jawab sepenuhnya untuk membinasakan anak-anak Sangkal Putung itu. Jika mereka gagal, maka anak-anak Sangkal Putung itu tentu akan dapat menjadi sumber kesulitan bagi mereka. Anak-anak itu akan dapat menghadap ke Mataram atau ke Pajang dan menceriterakan apa yang mereka alami. “Anak-anak gila,“ geram utusan dari Pajang itu, yang merasa perhitungannya keliru, “bagaimanapun juga, kalian harus mati.” Swandaru mendengar kata-kata itu. Tetapi ia tidak menjawab. Cambuknya sajalah yang meledak semakin dahsyat. Sebenarnyalah bahwa ilmu Swandaru yang terlontar lewat cambuknya benar-benar telah mendebarkan hati lawan-lawannya. Ledakannya yang dahsyat bukan saja dapat memecahkan selaput telinga mereka, tetapi suara itu akan dapat menimbulkan kesulitan pada mereka. Apalagi apabila cambuk itu berhasil menyentuh kulit daging mereka. Maka tubuh mereka akan segera terkoyak oleh karah-karah besi baja dijuntai cambuk itu. Namun ketujuh orang lawan anak-anak Sangkal Putung yang mengepung itu tidak banyak mempunyai kesempatan. Setelah mereka mengalami kesulitan, barulah mereka sadar, bahwa sangat wajarlah jika Ki Pringgabaya tidak berhasil membinasakan mereka dipinggir Kali Praga. Tetapi mereka sudah terlambat untuk menarik diri. Jika mereka meninggalkan arena, maka tentu akan ada korban yang jatuh. “Apabila kami bertempur terus, apakah bukan berarti korban itu akan menjadi semakin banyak,“ berkata salah seorang pengawal itu didalam hatinya. Ia sendiri merasa, bahwa orang terberat diantara keempat orang itu adalah justru orang tua itu. Jika ia dapat menghindarinya, maka ia akan mempunyai kesempatan cukup. Mungkin untuk membunuh salah seorang dari ketiga lawannya yang lain, tetapi untuk melarikan diri. Tetapi dengan cara yang justru teluh dipilih oleh kawan-kawannya itu, ia tidak segera mendapatkan kesempatan itu. Orang tua itu selalu saja berada ditempat yang paling gawat. Keempat orang itulah yang justru kemudian seakanakan menentukan, lawan manakah yang mereka pilih seorang demi seorang dalam putaran pertempuran dalam satu medan itu. Karena itulah, semakin lama justru menjadi semakin jelas, bahwa ketujuh orang itu akan mengalami kesulitan pada akhir pertempuran. Bahkan masih mungkin sekali, suara cambuk Swandaru itu akau dapat memanggil kesulitan lebih banyak lagi. Ki Waskita yang berada didalam pertempuran itu, setelah ia terlibat pula dalam pertempuran di pinggir Kali Praga, sempat juga menilai ilmu anak-anak Sangkal Putung itu. Mereka ternyata telah

maju dengan pesat. Kekuatan Swandarupun semakin bertambah tambah. Kemampuannya mengerahkan tenaga cadangan lewat cambuknya telah memberikan kesan tersendiri. Sekar Mirahpun menjadi semakin trampil dengan tongkat baja putihnya. Kekuatan cadangannyapun mengagumkan. Pada saat-saat terakhir gadis itu tentu telah mampu menemukan cara yang paling baik untuk menghentakkan kekuatan dan kemampuannya pada tongkat baja putihnya. Tetapi yang paling menarik perhatiannya adalah Pandan Wangi. Getar pedangnya bukan saja menunjukkan kecepatannya bergerak dan lontaran tenaga cadangannya yang kuat. Tetapi gerak pedang rangkapnya lebih menunjukkan alas yang lebih meyakinkan dari Sekar Mirah dan Swandaru sendiri. “Perkembangan ilmu gadis ini agak lain,” desis Ki Waskita didalam hatinya. Diluar sadarnya, ingatannya telah menyentuh muridi Kiai Gringsing yang lain, yang pernah diberinya kesempatan membaca isi kitabnya. “Namun agaknya jarak antara mereka dengan Agung Sedayu akan menjadi semakin jauh,“ berkata Ki Waskita pula kepada diri sendiri setelah ia mengamati anak-anak Sangkal Putung itu. Namun dalam pada itu, selagi ketujuh orang itu mengalami kesulitan yang semakin menentukan, seseorang telah mengikuti pertempuran itu dari jarak yang agak jauh, namun yang dapat dijangkau oleh ledakan-ledakan cambuk Swandaru. “Bukan main,“ katanya, “anak Sangkal Putung itu memang memiliki kekuatan yang luar biasa. Sentuhan-sentuhan ujung cambuknya akan berakibat jauh lebih parah dari sentuhan ujung pedang.” Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian dituntunnya kudanya memasuki hutan, beberapa puluh langkah dari pertempuran yang semakin dahsyat itu. “Setelah sekian lama aku mengikutinya, agaknya aku akan mendapat kesempatan,“ berkata orang itu sambil mengikat kudanya. Sesaat ia masih menunggu. Ledakan-ledakan cambuk Swandaru terdengar semakin lama semakin mengerikan. Seakan-akan ledakan-ledakan itu menjadi semakin terasa mengumandang disela-sela pepohonan hutan itu. “Aku tidak boleh terlambat,” katanya kemudian, “jika Swandaru berhasil mengurangi jumlah lawannya, maka akibatnya tentu akan parah.” Namun orang itu masih juga ragu-ragu. Dengan hati-hati sekali ia mendekati arena pertempuran sambil bertanya didalam hatinya, “Siapakah lawan anak Sangkal Putung itu kali ini.” Setiap kali langkahnya tertegun. Namun iapun menjadi semakin lama semakin dekat. Dengan sangat hati-hati ia masih berusaha untuk tetap terlindung oleh dedaunan dan pepohonan.

Ketika dari sela-sela dedaunan dan pepohonan ia sempat melihat pertempuran itu, ia menarik nafas dalam-dalam. “Anak ingusan itu,“ desis orang itu. lalu, “ternyata ida juga Jayadilaga dan Suranata. Apa yang telah mereka lakukan bersama tikus-tikus itu. Tidak sampai sepenginang, mereka sudah akan menjadi bangkai.” Sejenak orang itu memperhatikan pertempuran yang semakin berat sebelah. Meskipun anak-anak Sangkal Putung dan Ki Waskita masih tetap tidak memecahkan kepungan, namun ketujuh orang itu merasa bahwa mereka tidak akan banyak lagi dapat berbuat. Dua orang terbaik diantara mereka, yang disebut sebagai pengawal utusan dari Pajang itu, tidak mampu mengatasi kemampuan lawanlawannya. Kelima kawannya hampir tidak dapat membantunya. Apalagi dihadapan orang tua yang bersenjata ikat pinggang dan yang dipergelangan tangannya terikat ikat kepalanya. Dalam keadaan yang paling gawat itulah, orang yang dengan hati-hati mendekat itu telah muncul. Kehadirannya memang sangat mengejutkan bukan saja orang-orang Pajang dan Gunung Baka, tetapi anak-anak Sangkal Putung itupun terkejut pula. Hampir diluar sadarnya, Swandarupun berdesis, “Ki Lurah di Kali Praga.” Ketegangan yang tiba-tiba mencengkam itu seakan-akan telah menghentikan pertempuran itu. Kedua belah pihak tengah memperhatikan, siapakah orang yang tiba-tiba saja telah hadir diantara mereka. Seperti yang disebut oleh Swandaru. orang itu benar-benar Ki Lurah yang telah gagal membunuh Swandaru di pinggir Kali Praga. “Aku memang orang yang disebut Ki Lurah di Pinggir Kali Praga,“ geram orang yang baru datang itu. Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia berkata, “Bukankah kau yang telah mengikuti kami sejak kami keluar dari pintu gerbang kota Mataram.” Orang itu tertawa. Jawabnya, “Kau memang cermat, Kiai. Jadi kau mengetahui bahwa aku mengikutimu ?” “Bukan satu pekerjaan yang sulit,“ jawab Ki Waskita. “Baiklah. Setelah kalian mengetahui bahwa aku telah mengikuti kalian, maka kini kami telah berhadapan. Sayang. Kalian memang bernasib buruk. Setelah kalian lepas dari tanganku di pinggir Kali Praga, kini kalian berhadapan dengan anak yang dikawal oleh Jayadilaga dan Suranata. Dua orang yang pilih tanding, yang mendapat kepercayaan untuk ikut serta menghadap ke Mataram,“ berkata orang yang disebut Ki Lurah itu. Ki Waskita mengangguk-angguk. Kemudian iapun bertanya, “Apakah ada hubungannya antara Ki Lurah dengan orang-orang ini ?”

“Itulah sebabnya, aku mengatakan nasib kalian memang buruk,“ desis Ki Lurah itu, “agaknya kalian telah bertemu di Mataram. Ketiga orang itu tentu merasa heran bahwa kalian masih tetap hidup. Dengan demikian mereka dapat menebak, apa yang telah terjadi di pinggir Kali Praga. Yaitu, bahwa aku sudah gagal.“ orang itu berhenti sejenak, lalu, “kegagalan orang-orang Gunung Sepikul itu pula.” “Bagus sekali,“ desis Ki Waskita, “orang-orang yang bertemu dengan kami di Mataram itu mencoba untuk menebus kegagalan yang pernah terjadi di pinggir Kali Praga itu. Mereka ingin menyelesaikan tugas Ki Lurah yang terbengkelai.” “Ya. Itulah yang mereka lakukan,“ sahut Ki Lurah. “Kami ternyata telah salah menilai lawan,“ berkata utusan dari Pajang yang dikawal oleh dua orang yang bernama Jagadilaga dan Suranata itu. “Meskipun kami telah membawa ampat orang dari pusat pengawasan ke empat, namun agaknya kami tidak segera dapat menyelesaikan tugas Ki Lurah yang terlantar itu.” Orang yang disebut Ki Lurah itu tertawa. Katanya, “tentu tidak akan dapat kalian selesaikan. Setelah aku menyaksikan pertempuran ini beberapa saat, maka aku mengambil kesimpulan, bahwa kalian tentu akan gagal, seperti yang pernah terjadi atas usahaku dipinggir Kali Praga itu.” “Jadi ? Bagaimana sebaiknya ?“ berkata utusan itu. “Jangan bodoh. Yang kau lakukan sudah benar meskipun seperti yang kau katakan, bahwa kau salah menilai lawan. Tetapi kini aku sudah hadir. Bukankah dengan demikian, kita akan dapat menyelesaikan tugas ini bersama-sama ?” Utusan dari Pajang itu tersenyum Katanya, “Baiklah Ki Lurah. Kau menyelesaikan tugasmu yang tersisa. Kami akan membantu. Karena tugasku yang sebenarnya telah aku laksanakan dengan baik.” “Marilah. Anak-anak Sangkal Putung ini memang harus mati. Sementara orang tua yang agaknya dalam perjalalan yang sama inipun terpaksa harus kita selesaikan pula,“ berkata orang yang disebut Ki Lurah. Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Menghadapi ketujuh orang itu rasa-rasanya sudah cukup berat, meskipun lambat laun terasa bahwa mereka akan dapat menyelesaikannya. Namun kini seorang lagi tampil diantara mereka. Justru orang yang paling berat. Ki Waskita menjadi berdebar-debar ketika orang itu berkata, “Biarlah aku mengambil orang tua itu antara anak-anak Sangkal Putung. Kalian bertujuh harus dapat segera menyelesaikan mereka. Jika tidak, maka apa artinya Jayadilaga dan Suranata ada diantara kalian.”

Swandaru menggeram mendengar rencana licik itu. Tetapi ia tidak dapat mengelak lagi. Bagaimanapun juga, maka ketujuh lawan itu memang harus dihadapi. Namun tanpa Ki Waskita, agaknya mereka akan memeras segenap kemampuan dan tenaga. Tetapi Swandarupun mengerti, orang yang disebut Ki Lurah itu adalah orang yang luar biasa. Jika Ki Waskita harus menghadapinya, maka ia tidak boleh terganggu sama sekali. Orang yang disebut Ki Lurah itu ternyata memiliki kemampuan yang dapat mengikat Ki Waskita dalam putaran pertempuran yang gawat. Namun tiba-tiba saja Ki Waskita itu berdesis, “Sayang, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan anak-anak itu.” Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak mendengar dengan jelas. Tetapi Ki Waskitapun kemudian menggamitnya sambil berbisik, “Marilah kita coba. Jangan bingung jika aku terpaksa melakukan pekerjaan yang aneh-aneh.” Swandaru tidak segera dapat mengerti maksud Ki Waskita. Tetapi ia tidak sempat bertanya lagi. Orang yang disebut Ki Lurah itu sudah melangkah maju sambil bertanya, “Kiai, apakah kau masih akan tetap bertempur bersama anak-anak itu, atau kau akan keluar dari lingkaran ? Bagiku nampaknya tidak akan banyak bedanya.” “Apakah aku harus menerima tantanganmu ?“ bertanya Ki Waskita kemudian. “Marilah, permainan kita belum selesai. Aku tahu kau memiliki ilmu aneh. Tetapi aku tetap pada pendirianku, bahwa aku akan dapat membunuhmu, sementara ketiga anak-anak itu akan dibantai oleh Jayadilaga dan Suranata bersama kawan-kawannya.” “Baiklah Ki Sanak,“ jawab Ki Waskita, yang kemudian melangkah meninggalkan ketiga anak-anak muda Sangkal Putung itu, “aku akan bertempur secara terpisah. Tetapi tidak begitu jauh.” Namun dalam pada itu, langkah Ki Waskita tertegun. Sejenak ia merenungi hutan disekelilingnya. Namun sejenak kemudian terdengar suara tertawa yang bagaikan bergema diseluruh hutan, menyusup disela-sela daun dan batang-batang pohon yang berdiri tegak bagaikan membeku. Sejenak orang-orang yang sudah siap untuk bertempur itu menjadi termangu-mangu. Bahkan Swandaru, Pandan Wangi Sekar Mirahpun merasa aneh mendengar suara itu. Tetapi sementara itu, orang yang disebut Ki Lurah itupun tertawa. Tidak sekeras suara tertawa yang bergema dihutan itu. Katanya kemudian, “Kau memang luar biasa Ki Sanak. Kau tidak saja mampu mempengaruhi indera penglihatan.

Tetapi kau juga mampu mempengaruhi indera pendengaran.“ ia berhenti sejenak, lalu katanya hampir berteriak, “jangan mudah tertipu. Tidak ada suara apapun. Bahkan mungkin kau tidak saja mendengar suara tertawa, tetapi kau akan dapat diganggu oleh penglihatan semu. Orang ini memang seorang tukang tenung, atau barangkali seorang dukun yang mampu menyerang kita dengan licik dengan getaran-getaran yang terpancar langsung dari pemusatan daya ilmunya, mempengaruhi getar pusat indera kita.” Ketujuh orang yang sudah siap bertempur melawan Swandaru itupun termangu-mangu, Namun orang yang disebut pengawal dan bernama Jayadilaga dan Suranata itupun kemudian menarik nafas dalamdalam sambil bergumam, “Luar biasa.” “Apa yang luar biasa ?” bertanya Ki Lurah, “apakah kau yang disebut Jayadilaga dan Suranata masih juga dapat dipengaruhi oleh pendengaran dan mungkin penglihatan semu.” “Aku belum siap menghadapinya Ki Lurah. Tetapi sekarang tidak mungkin lagi,” berkata Jayadilaga, “aku sudah siap menghadapi apapun juga yang dapat dilakukan oleh tukang tenung yang gila itu.” Ki Waskita menarik nalas dalam-dalam. Namun iapun kemudian melanjutkan langkahnya sambil berkata, “Kalian memang orang-orang yang berilmu tinggi. Penglihatan dan pendengaran batinmu tentu dapat melihat dan mengetahui, yang manakah yang sebenarnya ada dan yang semu. Tetapi lima orang kawanmu yang lain tentu tidak. Mereka akan terpengaruh oleh penglihatan dan pendengaran semu, sehingga dengan demikian, perlawanan anak-anak Sangkal Putung itu akan menjadi lebih baik.” “Itu perbuatan gila yang licik,” berkata Ki Lurah. Tetapi ia melanjutkan, “Namun kau salah hitung. Jika aku mampu memadamkan pengaruh itu pada pusat getaran ilmu itu sendiri, maka kau tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jika kita sudah bertempur, maka kau tidak akan sempat mempergunakan ilmumu yang gila itu untuk mempengaruhi siapapun juga.” Sekali lagi terdengar suara tertawa. Tetapi dengan senyum dibibir Ki Lurah itupun berkata, “Nah, kau sudah mulai lagi ? Tetapi bukankah kau sadari bahwa tingkah lakumu itu tidak ada gunanya.” Namun demikian, ternyata ketujuh orang yang sudah siap mengepung anak-anak Sangkal Putung itu menjadi berdebar-debar. Tiba-tiba saja disekeliling mereka nampak berpuluh puluh kera yang hinggap didahan pepohonan. “Gila, gila,“ terdengar gigi Jayadilaga gemeretak, “kau membuat permainan gila itu ?” Sebenarnyalah bahwa permainan itu benar-benar gila. Kera-kera itulah yang kemudian tertawa susul menyusul. Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ia memberi isyarat kepada isteri dan adiknya, bahwa yang terjadi itui adalah permainan Ki Waskita.

Pandan Wangi dan Sekar Mirah yang pernah mendengar kemampuan Ki Waskita itupun termangumangu. Benar-benar satu permainan aneh. Betapapun ketegangan mencengkam jantung mereka masingmasing dalam kesiapan menghadapi maut, namun Ki Waskita masih juga mempunyai kesempatan untuk bergurau meskipun dengan maksud tertentu. Kelima orang kawan Jayadilaga dan Suranata itupun yang menjadi bingung. Bahkan mereka merasa, apakah mereka memang sudah menjadi gila. Tetapi Ki Lurah yang masih saja tersenyum itu berkata, “Suatu permainan yang menarik. He, orang-orang Pajang. Tentu kalian belum pernah melihatnya. Ambillah kesempatan ini sebaik-baiknya. Kau akan dapat berceritera kepada anak cucu, bahwa kalian pernah melihat berpuluh puluh ekor kera hinggap didahan sambil tertawa.“ Namun tiba-tiba saja suara Ki Lurah itu berubah menjadi keras. Katanya, “Tetapi perhatikan, apa yang dilakukan oleh kera-kera itu. Mereka tertawa karena tingkah laku kalian. Kedunguan kalian. Dan lebih dari itu, kalian memang sudah gila. Kenapa kalian tidak mampu membedakan, yang manakah tangkapan indera kalian yang sebenarnya, dan yang manakah pengaruh getar kegilaan kalian?” Kelima orang itu justru bagaikan membeku. Seorang utusan dari Pajang dan empat orang dari Gunung Baka itu memang merasa terlalu sulit untuk membedakannya. “Jangan terpengaruh oleh kegilaan ini,“ berkata Ki Lurah kemudian, “Kita akan bertempur. Ki Lurah akan membungkam permainan yang licik dan tidak tahu malu ini.” Ketujuh orang itupun kemudian bersiap menghadapi anak-anak Sangkal Putung itu dengan senjata mereka. Mereka tidak lagi menghiraukan suara tertawa dan kera-kera yang hinggap didahan pepohonan. Yang menjadi pusat perhatian mereka kemudian adalah ketiga orang dari Sangkal Putung itu. “Bagus,” teriak Ki Lurah, “aku akan mulai. Biarlah orang ini tidak sempat berbuat gila itu lagi.” Sebenarnyalah, Ki Waskita tidak sempat melakukannya lagi. Orang itu telah menyerang dengan garangnya. Seperti yang terjadi di pinggir Kali Praga, maka orang itu akan mampu mengenal lawannya pada saat serangannya itu sendiri masih terpisah oleh jarak.“ Tetapi Ki Waskita sudah bersenjata. Karena itu, maka iapun sempat membuat perhitungan yang lebih mapan dengan jarak itu. Karena itulah, maka ia menjadi lebih mapan dalam pertempuran yang kemudian menjadi bertambah gawat. Namun sebenarnyalah, bahwa Ki Waskita tidak sempat lagi menolong ketiga anak Sangkal Putung itu dengan permainan-permainannya. Ia hanya dapat menolong dirinya sendiri, dengan membuat kejutan kejutan kecil yang semu untuk sekedar mendapat kesempatan karena kemampuan lawannya yang luar biasa. Namun kejutan-kejutan semu itu sebentar kemudian sudah dapat dikenal oleh lawannya yang mempunyai pengamatan batin yang cukup tajam.

Dengan demikian maka pertempuran antara Ki Waskita dan Ki Lurah itu menjadi semakin dahsyat. Masing-masing memiliki kelebihan. Tetapi bagi lawannya, masing-masingpun memiliki kelemahan. Pertempuran di pinggir Kali Praga itupun telah terulang kembali. Untuk mengimbangi senjata yang sudah berada ditangan Ki Waskita, maka Ki Lurah itupun telah menggenggam keris ditangannya. Seperti saat-saat ia memperhitungkan serangan tangan lawannya, maka Ki Waskitapun memperhitungkan jarak antara ujung keris lawannya dengan tubuhnya. Keris itu akan dapat menyobek kulitnya disaat menurut pengamatannya ujung keris itu masih dipisahkan oleh jarak. Pada keadaan yang demikian, maka Jayadilaga dan Suranata melihat saat-saat yang menentukan bagi anak-anak Sangkal Putung itu. Bersama kelima orang kawannya maka anak-anak Sangkal Putung itu semakin lama benar-benar menjadi semakin terdesak. Lingkaran yang mengepung mereka itupun seakan-akan menjadi semakin sempit. Swandarupun mulai merasa tekanan yang semakin berat itu. Betapapun ia mengerahkan segenap kemampuannya, namun Jayadilaga dan Suranata seakan-akan tidak dapat dijangkaunya dengan ujung cambuknya, bagaimanapun juga ia menghentakkan senjatanya itu. Sementara itu, tongkat Sekar Mirah yang berputar bagaikan gumpalan asap, sekali-sekali terasa seakan-akan telah terbentur oleh senjata lawannya yang mulai menyusup. Lawannya yang masih saja bergerak dalam putaran yang lamban, namun dengan serangan-serangan yang cepat, kadang-kadang memang membuatnya bingung. Hanya karena ketabahannya sajalah maka ia masih tetap dapat bertahan. Pedang rangkap Pandan Wangipun nampaknya tidak lagi dapat menggetarkan lawannya. Bahkan kadang-kadang Pandan Wangi merasa benturan-benturan yang menyakiti genggamannya. Betapapun ia mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya, namun semakin lama lawan-lawannya itupun semakin mendesaknya. Pada saat-saat terakhir, mulai terasa ujung-ujung senjata lawannya telah menyentuhnya. Pengerahan tenaga yang menghentak-hentak, membuat ketiga anak-anak Sangkal Putung itu cepat menjadi lelah. Tenaga mereka mulai susut, dan nafas mereka mulai memburu. Dalam keadaan yang gawat itu, terdengar Jayadilaga berdesis, “Sayang. Apakah perempuanperempuan cantik inipun harus mengalami nasib seburuk Swandaru itu sendiri ?” Suranatalah yang menyahut, “Tergantung sekali kepada kita. Apakah kita akan membunuhnya, melumpuhkannya atau memberikan kesempatan untuk tetap menikmati indahnya kehidupan, meskipun Swandaru harus mati.” Pandan Wangi menghentakkan pedangnya dengan gigi gemeretak. Tetapi sia-sia sajalah. Bahkan kemarahannya membuatnya semakin gelisah. Pemusatan ilmunyapun justru menjadi semakin kabur.

Ketika ia mendengar suara tertawa lawan-lawannya, maka Pandan Wangi rasa-rasanya ingin menjerit keras-keras. Bagaimanapun juga perkasanya pedang rangkapnya, tetapi ia tetap seorang perempuan. Kegelisahan itu seakan-akan telah menyentuh perasaan Ki Waskita. Dengan sekali-sekali berusaha melihat sekilas arena pertempuran antara anak-anak Sangkal Putung itu melawan ketujuh orang yang memdiki kemampuan yang tinggi, terutama Jayadilaga dan Suranata yang disebut sebagai pengawal utusan dari Pajang itu, maka seakan-akan Ki Waskitapun tidak dapat lagi melihat jalan keluar. Ia sendiri harus mengerahkan ilmunya untuk melawan orang yang disebut Ki Lurah itu, sehingga ia tidak mempunyai kesempatan untuk membantu ketiga anak-anak Sangkal Putung itu. Jika ia memaksa diri untuk melakukannya, maka ia adalah orang pertama yang akan mengalami nasib kurang baik. Sebenarnyalah Ki Waskita tidak mencemaskan dirinya sendiri. Tetapi jika ialah yang pertama-tama harus mati, maka ia pasti bahwa ketiga anak Sangkal Putung itupun akan mati atau mengalami nasib yang paling buruk bagi Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Tetapi jika ia masih tetap hidup, maka ia masih mempunyai kemungkinan-kemungkinan untuk menyelamatkan anak-anak itu. Karena itulah, maka pada kesempatan tertentu, ia masih mencoba untuk meloncat sejauh-jauhnya dari lawannya. Pada kesempatan yang sangat pendek, ia masih sempat mengejutkan orang-orang yang bertempur melawan anak-anak Sangkal Putung itu. Namun karena dilakukan dengan tergesa-gesa maka hasilnyapun sama sekali tidak dapat meyakinkan, terutama Jayadilaga dan Suranata. Namun pada saat-saat yang pendek itu, anak-anak Sangkal Putung itupun sempat memperbaiki diri, apabila mereka terdesak dalam keadaan yang paling gawat. Sekejap, disaat Jayadilaga mendesak Swandaru dengan serangan yang berbahaya, tiba-tiba saja seisi hutan itu bagaikan bergetar. Sebuah batu yang besar telah jatuh hampir saja menimpa mereka yang sedang bertempur. Betapapun juga, Jayadilaga terkejut pula, sehingga ia terhentak karenanya. Namun dalam saat-saat berikutnya, iapun segera sadar, bahwa tidak ada batu yang terjatuh dari langit. Juga dari dahan-dahan kayu dibagian tepi sebuah hutan yang membujur dipinggir jalan itu. Apalagi dengan ketajaman pengamatannya, bahwa sebenarnyalah batu itu adalah ujud semu karena permainan orang yang sedang bertempur melawan Ki Lurah itu. Ujud semu itupun tidak dapat bertahan lagi ketika Ki Waskita segera harus bertahan oleh seranganserangan lawannya yang membadai. Bahkan kemudian iapun sibuk menghindari ujung keris lawannya yang bagaikan memburunya melampaui jarak yang dapat dilihatnya dengan matanya. Namun dalam pada itu, Swandaru telah mendapat kesempatan untuk memperbaiki keadaannya. Meskipun tesaat kemudian, maka iapun telah terlibat pula dalam kesulitan.

Kegelisahanpun telah memuncak dihati Ki Waskita. Namun ia tidak berputus asa. Ia masih berusaha untuk mencari jalan, menyelamatkan anak-anak Sangkal utung itu, karena iapun pasti, bahwa anakanak itu tidak kan dapat bertahan lebih lama lagi. Apalagi apabila Jayadilaga dan Suranata benarbenar ingin menyelesaikan pertempuran itu dengan cepat. Sebenarnyalah, bahwa pertempuran itu memang sudah sampai pada batas kesabaran orang-orang Pajang itu. Nampaknya mereka sudah tidak igin menunda waktu lagi, karena setiap saat akan dapat terjadi perkembangan yang mungkin tidak akan menguntungkan bagi mereka. Karena itu, maka sejenak kemudian, Jayadilaga dan Suranatapun telah meningkatkan ilmunya pula, sehingga anak-anak Sangkal Putung itu benar-benar tidak akan mampu bertahan sepenginang lagi. Namun dalam saat-saat yang demikian, tiba-tiba telah terdengar lagi suara tertawa. Tidak terlalu keras, tapi rasa-rasanya telah menyusup langsung kesetiap jantung. “Jangan hiraukan,“ teriak Ki Pringgabaya yang dikenal sebagai Ki Lurah itu, “selesaikan anak-anak itu.” Tetapi Ki Pringgabaya sendiri ternyata tidak yakin lagi akan sikapnya. Ia dapat langsung membedakan, bahwa suara tertawa itu bukan sekedar permainan orang yang sedang dihadapinya itu. Jayadilaga dan Suranata semula tidak menghiraukan sama sekali. Merekapun mula-mula menganggap bahwa suara tertawa itu akan lenyap dengan sendirinya seperti batu yang jatuh dari langit, atau berpuluh-puluh ekor kera yang duduk didahan pepohonan sambil tertawa. Tetapi lambat laun, justru karena ketajaman pengenalan mereka atas indera mereka masing-masing, maka merekapun mulai menyangsikannya. Lambat laun mereka menyadari, bahwa suara tertawa itu bukan sekedar pendengaran semu, tetapi sebenarnyalah bahwa indera wadag mereka telah digetarkan oleh suara yang dilontarkan dengan dorongan ilmu yang sangat tinggi. “Tentu bukan dari orang yang sedang bertempur itu,” berkata kedua orang itu didalam hatinya. Dengan demikian, maka merekapun menjadi berdebar-debar. Ada sepercik kecemasan dihati mereka, bahwa ada pihak lain yang akan mencampuri pertempuran itu, seperti hadirnya Ki Pringgabaya yang tidak mereka perhitungkan sebelumnya. Sebenarnyalah, bahwa sejenak kemudian mereka yang sedang bertempur itu sempat melihat seseorang berdiri dibawah sebatang pohon yang tidak terlalu besar dipinggiran hutan itu. Satu tangannya berpegangan pada batang pohon itu, yang lain bertolak pinggang, seakan-akan sedang melihat satu tontonan yang sangat menarik hati. Dalam pakaian seorang petani, orang yang berdiri itu telah berusaha untuk menyembunyikan wajahnya dibalik sepotong kain berwarna putih. Sementara diatas kepalanya ia memakai sebuah caping yang

tidak terlalu lebar. “Pertempuran yang berat sebelah,“ orang itu berkata dengan suara yang seolah-olah bergumam saja dibalik kain putihnya, namun yang terdengar jelas. Dalam pada itu, Jayadilaga yang sudah hampir menyelesaikan pertempuran itupun menggeram, “Siapa kau he ? Tentu bukan sekedar bentuk semu yang dilontarkan oleh orang tua itu.” “O, tentu bukan. Bentuk semu yang dilepaskan oleh siapapun juga, tidak akan mempunyai akibat kewadagan. Tetapi jika aku mendapat kesempatan aku akan dapat mencekik orang yang bernama Jayadilaga, Suranata atau Ki Lurah Pringgabaya sampai mati. Yang lain sama sekali tidak termasuk kedalam hitungan, karena mereka memang tidak bernilai sama sekali.” Kata-kata itu benar-benar telah mengejutkan. Orang itu ternyata telah mengenal orang-orang yang bertempur itu dan bahkan dapat menyebut nama-nama mereka seorang demi seorang. Dan merekapun semakin heran ketika orang itu berkata lebih lanjut, “Dengarlah. Pertempuran ini tidak adil. Yang mula-mula bertempur adalah ketujuh orang itu, termasuk Jayadilaga dan Suranata melawan ampat orang. Tiga orang berasal dari Sangkal Putung. Anak Ki Demang bersama isteri dan adiknya, yang kebetulan dalam satu perjalanan dengan Ki Waskita. Seharusnya mereka menyelesaikan persoalan mereka tanpa orang lain. Tiba-tiba saja Ki Pringgabaya telah mengganggu dan merubah keseimbangan pertempuran itu.“ Ki Pringgabaya yang sedang bertempur melawan Ki Waskita itupun seolah-olah telah berusaha untuk mendapatkan kesempatan memperhatikan orang yang baru datang itu dengan mengambil jarak dari lawannya. Namun Ki Waskitapun tidak mengejarnya pula. Iapun ingin mengetahui siapakah orang yang baru datang itu. Tetapi orang itu seakan-akan mengerti perasaan beberapa orang yang sedang memperhatikannya. Maka katanya, “Kenapa kalian berhenti bertempur ? Aku tidak baru saja datang. Aku sudah melihat pertempuran ini sejak semula. Aku datang tidak terlalu lama dibelakang orang yang bernama Ki Lurah Pringgabaya itu. Akupun mengetahui, bagaimana ia mulai melibatkan diri.” “Persetan, siapa kau,“ geram Ki Lurah Pringgabaya. Orang itu tertawa. Katanya, “Tidak ada gunanya aku menyebut namaku karena kau tentu belum mengenal aku.” “Atau kau takut menyatakan dirimu sendiri karena berapa pertimbangan ?“ Ki Lurah itu mencoba memancing.

“Tepat,“ jawab orang itu tanpa diduga oleh Ki Lurah. Lalu orang itupun melanjutkan dengan suaranya yang seakan akan tertahan dibalik tutup mukanya, ”karena itu, aku tidak perlu menyebut siapa aku dan dari mana aku datang. Yang dapat kalian ketahui, aku menjadi curiga melihat Ki Lurah Pringgabaya mengikuti iring-iringan anak Sangkal Putung itu. Namun agaknya tanpa berjanji sebelumnya, orang-orang Pajang itu telah menghentikan perjalanan anak-anak Sangkal Putung itu. Karena itu maka dua kepentingan telah bertemu disini, sehingga Ki Pringgabaya telah menyatukan diri untuk membunuh anak-anak Sangkal Putung yang gagal dibunuhnya di pinggir Kali Praga.” “Cukup. Siapakah sebenarnya kau ?“ geram Ki Pringgabaya, “buka penutup wajahmu. Jangan berbuat licik seperti itu.” “O,“ orang itu justru tertawa lagi, “apakah artinya licik ? Mencampuri urusan orang lain, atau tidak mau menyatakan dirinya sendiri ? Atau apa ? Tetapi apapun kau menyebutnya, sebaiknya marilah kita kembalikan persoalannya kepada keadaan semula. Biarlah keempat orang itu bertempur melawan tujuh orang. Meskipun nampaknya tidak adil dan barangkali ada juga unsur licik seperti yang kau maksud.” Ki Lurah Pringgabaya menggeretakkan giginya. Dipandanginya orang itu dengan tajamnya. Namun ia tidak segera dapat mengenal. Tetapi ada satu kesan padanya, bahwa orang itu tentu masih muda. Ki Waskitapun berusaha untuk mengetahui siapakah orang itu. Tetapi agaknya memang sangat sulit untuk mengerti. Jika dengan sengaja orang itu mengaburkan dirinya, maka iapun akan berusaha untuk merubah sikap dan tingkah laku. Bahkan mungkin ia berusaha untuk melenyapkan segala kesan dan ciri-ciri yang ada pada dirinya. Karena itu, maka Ki Waskitapun kemudian menghentikan usahanya. Katanya didalam hati, “Jika ia ingin menyatakan dirinya, tentu akan dilakukannya. Jika tidak, maka bagaimanapun aku berusaha, tentu tidak akan dapat berhasil.” Dalam pada itu, terdengar suara Ki Lurah Pringgabaya yang marah, “He, orang yang licik. Apakah maksudmu sebenarnya ?”

Buku 137 “Mengembalikan keadaan ini seperti semula.” jawab orang itu, “adalah kebetulan saja kau dan orangorang Pajang itu bertemu dalam satu kepentingan. Dan adalah kebetulan pula aku melihat kau mengikuti perjalanan Swandaru. Marilah kita anggap, bahwa kebetulan-kebetulan itu tidak pernah terjadi. Biarlah mereka bertempur. Anak-anak Sangkal Putung dengan Ki Waskita, sementara orang-orang Pajang bersama orang yang mempunyai nama Jayadilaga dan Suranata.” “Jangan gila,“ geram Ki Lurah Pringgabaya, “jika kau ingin melibatkan dirimu, marilah. Kau dapat bertempur melawan aku, berdua dengan orang yang bernama Waskita ini.” Orang itu tertawa. Katanya, “Jangan aneh-aneh Ki Lurah. Kau tidak dapat mengalahkan Ki Waskita. Meskipun nampaknya kau masih mampu bertahan, tetapi kau akan kalah. Aku berani bertaruh jari kelingking.” “Persetan. Jangan banyak bicara. Kami tidak ingin mendengarkan lagi,“ lalu katanya kepada orangorang Pajang, “selesaikan tugasmu. Aku akan membunuh orang ini.” Tetapi orang itu menyahut, “Baiklah. Jika kau tidak mau membiarkan pertempuran ini berlangsung seperti semula, maka akulah yang akan mengganti kedudukan Ki Waskita diantara anak-anak Sangkal Putung ini. Aku akan bertempur bersama Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah Meskipun mungkin kemampuanku tidak setingkat dengan Ki Waskita, tetapi aku akan dapat berbuat sesuatu untuk mempengaruhi keseimbangan karena pertempuran yang tidak adil ini biarlah aku menjadikan pertempuran ini genap seperti semula. Ampat orang melawan tujuh orang.” Ki Lurah tidak sabar lagi. Tiba-tiba saja ia berteriak nyaring, “Bunuh semua lawanmu, cepat. Aku akan membunuh orang ini.” Dengan demikian maka pertempuranpun telah menyala kembali dipinggir hutan itu. Ki Waskita telah mendapat serangan yang cepat dan tiba tiba dari lawannya. Namun ia masih sempat menghindar dan bahkan menyerang kembali dengan sengitnya pula. Sambil menghentakkan kemampuannya ia mencoba untuk mengatasi kemampuan lawannya yang luar biasa itu. “Nah, bukankah seperti yang aku katakan,” berkata orang yang datang kemudian, “meskipun nampaknya Ki Waskita dan Ki Lurah Pringgabaya bertempur dengan kemampuan yang seimbang, tetapi aku yakin, ketahanan badani dan jiwani Ki Waskita, jauh lebih tinggi dari orang yang bernama Ki Pringgabaya itu. Jika sesaat lagi Ki Pringgabaya tidak mampu membunuh lawannya, maka ia sendirilah yang akan terkapar kehabisan tenaga, meskipun Ki Waskita tidak menyentuhnya dengan senjatanya yang luar biasa itu.”

“Gila,“ geram Ki Lurah Pringgabaya, “tutup mulutmu.” Tetapi yang terdengar justru suara tertawanya. Dalam pada itu, maka ketujuh orang yang mengepung Swandaru, isteri dan adiknya itupun mulai mempersiapkan dirinya pula. Mereka mulai bergerak setapak dan senjata mereka mulai bergetar. Swandarupun menggeram sambil memutar juntai cambuknya diatas kepalanya siap terayun kearah lawannya yang mendekatinya. Sementara Pandan Wangipun telah menyilangkan pedangnya dimuka dadanya. Nafasnya yang mulai memburu, telah menjadi teratur kembali, setelah ia sempat beristirahat beberapa saat. Sedangkan disampingnya Sekar Mirah telah mulai menggerakkan tongkat baja putihnya. “Bagus,” orang yang datang kemudian itupun berdesis, “marilah. Ijinkan aku ikut serta. Nampaknya memang menarik sekali bertempur bersama murid Kiai Gringsing, murid Ki Gede Menoreh dan murid Ki Sumangkar yang mempunyai nyawa rangkap didalam dirinya.” “Persetan,“ Ki Lurah itupun kemudian berteriak, “Jayadilaga dan Suranata. Apakah kau tidak dapat membunuh orang ini lebih dahulu.” “Biarlah ia memasuki lingkaran pertempuran ini,“ geram Suranata, “aku akan melumatkannya lebih dahulu.” “Bagus. Bagus,“ berkata orang yang wajahnya tertutup itu, “aku akan memasuki lingkaran pertempuran. He, beri aku kesempatan.” Dengan langkah-langkah aneh, seperti kanak-kanak yang dipanggil ibunya, orang yang bertutup wajah itu berlari-lari mendekati Swandaru. Langkah-langkah yang sungguh-sungguh tidak meyakinkan, bahwa ia akan dapat berbuat sesuatu di arena pertempuran itu. Sementara itu, pertempuran antara Ki Waskita dan Ki Lurah Pringgabaya itupun berlangsung semakin sengit. Keduanya telah mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk mengatasi lawannya. Ilmu yang jarang dikenal orang lain, berbenturan dengan dahsyatnya. Saling mendesak dan saling mengejutkan. Ditempat yang terpisah, ketujuh orang Pajang itupun telah mulai menyerang lawannya yang berada didalam kepungan. Swandaru yang belum mengetahui, siapakah orang baru yang datang membantunya itu, tidak dapat menumpukan kepercayaan sepenuhnya kepadanya. Mungkin ia seorang yang memang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi mungkin ia hanyalah seorang badut yang gila tanpa mampu berbuat apa-apa.

Namun arena pertempuran itu ternyata telah diherankan oleh langkah-langkah orang itu. Yang semula nampak aneh itu, ternyata telah mendebarkan jantung. Ia mampu bergerak cepat dan tangkas. Sementara ia telah mempergunakan senjata yang aneh pula. Dua potong gelang besi bulat panjang pipih yang melingkari genggaman tangannya. Melihat senjata itu, maka setiap orangpun segera menjadi yakin, bahwa orang itu justru orang yang telah mengenal segala bentuk medan pertempuran. Apalagi ketika terjadi benturan yang pertama. Dengan senjata khusus melindungi genggaman tangannya itu, maka orang itu dengan yakin telah menangkis senjata lawannya, seolah-olah ia justru memukul dengan tinjunya. Akibatnya memang mengejutkan. Senjata itu hampir terlepas dari tangan lawannya. Dengan demikian, maka lawan-lawannyapun segera mengetahui, bahwa orang itu memang orang luar biasa. Bahkan dalam beberapa hal, masih nampak, seolah-olah ia memang sedang bermain-main saja. Dengan hadirnya orang itu, maka keseimbangan pertempuran itupun segera berubah. Ketujuh orang yang bertempur melingkari tiga orang Sangkal Putung dan seorang yang tidak dikenal itupun mengalami banyak perubahan. Dalam waktu singkat ketujuh orang itu segera merasa bahwa mereka mulai terdesak, seperti saat-saat mereka bertempur melawan ampat orang termasuk orang yang sedang bertempur melawan Ki Lurah Pringgabaya itu. “Orang gila,“ geram Jayadilaga, “apa untungmu mencampuri persoalan ini ?” Orang itu tertawa pendek. Tetapi ia tidak menjawab. Dengan senjata anehnya ia menangkis segala macam senjata lawannya yang masih bergeser berputaran. Bahkan dengan tangkas dan cepatnya, kadang-kadang tangannya menggapai disela-sela senjata lawannya menyentuh tubuh meskipun tidak terlalu keras. “He, aku mengenalmu,“ tiba-tiba saja orang itu berteriak. “Persetan,“ desis orang yang disentuhnya. “Bagaimana jika aku mengenalmu sekali lagi, tetapi agak keras ? Aku takut iga-igamu akan rontok,“ berkata orang itu pula. Yang terdengar adalah gemeretak gigi. Kemarahan lawan-lawannya telah memuncak ketika orang itu berhasil menyentuh lawannya yang lain tepat didadanya. Tidak terlalu keras, tetapi orang itu telah terdorong beberapa langkah surut. Sekali lagi terdengar orang itu tertawa. Bahkan semakin lama semakin nampak, bahwa ia tidak

bersungguh-sungguh lagi. Setelah ia berhasil menjajagi kemampuan lawannya, maka kembali nampak langkah-langkahnya yang tidak bersungguh-sungguh. Jantung Jayadilaga dan Suranata hampir meledak. Mereka merasa lawannya sangat merendahkannya. Karena itu, maka merekapun segera mengerahkan kemampuannya pada tingkat tertinggi. Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah mulai merasa, bentakan-bentakan kekuatan kedua orang itu jika mereka bergeser menghadapinya. Namun bersama orang yang tidak dikenal itu, mereka sempat mengatur diri dalam puncak kemampuan mereka pula. Juntai cambuk Swandaru sempat meledak dengan kuatnya. Bahkan pada saat-saat yang tidak terduga-duga ujung cambuk itu telah menyentuh kaki seorang lawannya. Lawannya yang dikenai ujung cambuk Swandaru itu segera meloncat surut. Rasa-rasanya kakinya seperti tersentuh bara. Meskipun sentuhan ujung cambuk itu tidak mematahkan tulangnya, tetapi ujung cambuk itu bagaikan telah mengoyak dagingnya. Yang tertawa adalah orang yang tidak dikenal itu. Dengan nada tinggi ia berkata, “Minggirlah dahulu. Obati lukamu. Baru kau ikut dalam perkelahian ini kembali.” Orang itu menggeram. Suara itu adalah suara ejekan. Tetapi iapun sadar, bahwa ia harus memampatkan darahnya jika sempat, agar ia tidak menjadi lemas. Ternyata orang yang tidak dikenal itu memang aneh. Meskipun lawannya susut seorang, tetapi pertempuran itu masih tetap berlangsung dengan serunya. Seolah-olah orang itupun telah menyusut tenaganya pula. Karena itulah, bagaimanapun juga Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah mengerahkan segenap kemampuannya, namun keseimbangan pertempuran itu tidak berubah karenanya. “Tidak ada kesempatan lagi bagi kalian,“ berkata orang itu tiba-tiba, “sebaiknya kalian meninggalkan arena ini.” “Aku akan membunuhmu,“ geram Suranata. “Jangan mimpi. Apalagi orang yang bernama Suranata,“ jawab orang bertutup wajah itu, “sudahlah. Pergilah. Kalian lebih baik segera meninggalkan arena ini daripada kalian akan mati seorang demi seorang.” “Mereka tidak boleh pergi,“ teriak Swandaru tiba-tiba. “Jangan begitu,“ jawab orang itu, “biarlah mereka pergi.

Bukankah dengan demikian berarti bahwa mereka sudah mengakui kalah.” “Mereka akan membunuh kami. Jika mereka pergi, maka permusuhan ini tidak akan berakhir sampai disini.” geram Swandaru. “Apakah itu berarti bahwa mereka harus dibunuh ?“ bertanya orang yang bertutup wajah itu. “Bukan maksudku. Tetapi jika mereka terbunuh disini, apaboleh buat, karena tidak ada pilihan lain. Merekapun telah berniat dengan sungguh-sungguh membunuh kami,“ jawab Swandaru. “Tetapi bukankah pembunuhan itu belum terjadi ?“ bertanya orang itu sambil bertempur. “Tetapi aku tidak akan melepaskan mereka,“ suara Swandaru lantang. Orang itu tertawa. Katanya, “Jika aku meninggalkan arena ini, maka kalianlah yang akan mati. He, lihat. Orang yang kau kenai kakinya itu telah menaburkan obat. Sebentar lagi ia akan bangkit dan terjun kembali kepertempuran ini.” Terasa suasana yang aneh didalam pertempuran itu. Orang yang menutupi wajahnya itu telah menumbuhkan kesan yang tidak segera dapat dimengerti. Namun sekali lagi orang itu berkata, “Pergilah. Kalian lebih baik melanjutkan perjalanan kalian. Kecuali seorang saja yang memang tidak termasuk dalam kelompok kalian meskipun kalian mempunyai kepentingan yang sama. Ki Lurah Pringgabaya.” Pertempuran itu seolah-olah telah dibauri dengan teka-teki yang dibuat oleh orang yang bertutup wajah itu. Sebagian besar dari mereka tidak mengerti, siapakah yang sebenarnya mereka hadapi. Bahkan Ki Lurah Pringgabayapun menjadi heran mendengar keterangan orang itu. Karena kata-katanya telah menumbuhkan keheranan, maka orang itu menjelaskan, “He, orang-orang Pajang. Tinggalkan pertempuran ini. Aku minta kalian bertujuh untuk pergi secepatnya.” “Itu tidak mungkin,“ teriak Swandaru. “Jangan menahan kepergian mereka,“ berkata orang bertutup wajah itu, “jika kalian menahan kepergian mereka, maka aku akan berdiri dipihak mereka untuk membebaskan mereka dari tangan kalian.” “Gila, benar-benar satu permainan yang gila,“ geram Swandaru. “Tidak. Bukan permainan gila. Aku berkata sebenarnya,“ berkata orang itu, “namun aku mohon Ki Waskita untuk tetap menahan orang yang bernama Ki Lurah Pringgabaya itu, agar ia tidak dapat melarikan diri.”

“Ketujuh orang itu tidak akan pergi,“ geram Ki Lurah Pringgabaya, “mereka akan membunuh kalian semuanya, seperti aku akan membunuh orang yang bernama Waskita ini.” “Itu tidak mungkin,“ jawab orang bertutup wajah itu, “kalian tidak akan mungkin melakukannya. Kecuali jika anak-anak Sangkal Putung ini benar-benar ingin menahan kepergian orang-orang Pajang, termasuk Jayadilaga dan Suranata, maka mereka agaknya memang akan mati, karena aku akan tidak lagi membantu mereka, justru aku akan bertempur dipihak orang-orang Pajang.” Swandaru menggertakkan giginya. Namun dalam pada itu, terdengar suara Ki Waskita, “Silahkan Ki Sanak. Jika ketujuh orang itu harus kami lepaskan, silahkan mereka pergi. Aku akan menjaga agar yang seorang ini tidak akan terlepas dari tangan kita.” “Anak setan,“ geram Ki Pringgabaya yang mengerahkan kemampuannya dengan hentakan senjatanya kedada Ki Waskita. Tetapi Ki Waskita sempat memiringkan tubuhnya, terhadap keris Ki Lurah Pringgabaya Ki Waskita tidak mau menangkis langsung. Tetapi ia selalu menghindar atau menangkis kesamping untuk membelokkan arahnya. Namun selalu dengan perhitungan, bahwa keris itu seakanakan menjadi lebih panjang dua atau tiga jengkal. “Tetapi orang-orang ini tidak akan kami lepaskan,“ sekali lagi Swandaru berteriak. Yang menjawab adalah Ki Waskita, “Jangan membantah ngger. Biarlah mereka pergi.” Swandaru menjadi bimbang. Sementara Ki Lurah Pringgabayapun menjadi sangat gelisah. Namun ternyata meskipun orang yang bernama Ki Pringgabaya itu mampu mengimbangi ilmu Ki Waskita, tetapi ternyata bahwa panggraita Ki Waskita untuk menaggapi persoalan yang sedang mereka hadapi, lebih tajam. Karena itu, maka sekali lagi ia berkata, “Biarkan mereka pergi ngger. Mereka bukan orang yang berbahaya. Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa atas kita, tanpa orang yang bernama Ki Lurah Pringgabaya ini.” Selagi Swandaru masih termangu-mangu sambil mempertahankan dirinya bersama dengan istri, adik dan orang bertutup wajah itu, terdengar Pandan Wangi berdesis, “Aku tidak menghiraukan pendapat orang lain. Tetapi bukankah sebaiknya pendapat Ki Waskita itu dipertimbangkan.” Swandaru masih belum menjawab. Tetapi Sekar Mirah yang garang itupun berdesis, “Apakah maksud Ki Waskita itu sebenarnya.” Swandaru tidak segera menjawab. Ia masih bertempur dengan serunya. Namun iapun mulai mempertimbangkan, bahwa jika Ki Waskita mempunyai pendapat yang demikian, tentu bukannya tidak beralasan. “Mungkin orang ini ingin menangkap salah satu diantara lawan-lawannya dalam keadaan hidup dan mengetahui persoalannya,“ berkata Swandaru didalam hatinya, “karena itu, ia memilih Ki Lurah

Pringgabaya. Sementara yang lain tidak banyak memberikan apa-apa baginya, selain akan menjadi tanggungan yang merepotkan saja. Sementara orang itu tidak merasa perlu untuk membunuhnya, termasuk orang yang bernama Jayadilaga dan Suranata itu.” Karena itu, maka ketika sekali lagi Ki Waskita menyatakan pendapatnya itu, maka Swandarupun berkata, “Aku percaya kepada Ki Waskita yang tentu melakukannya dengan sadar.” “Aku sadar sepenuhnya ngger. Dan akupun akan tetap mempertahankan, agar orang yang satu ini tidak akan terlepas,“ berkata Ki Waskita kemudian. “Persetan,” geram Ki Lurah Pringgabaya. Sekali lagi ia menghentakkan kemampuannya dalam ilmunya yang tertinggi. Tetapi lawannyapun telah sampai pada puncak ilmunya, sehingga orang itu tidak berhasil. “Orang ini memang luar biasa,“ geram Ki Lurah Pringgabaya didalam hatinya, apalagi ketika ia menyadari, meskipun dalam perbandingan tingkat ilmunya keduanya seimbang, namun agaknya Ki Waskita masih mempunyai kemungkinan lebih baik. Ternyata setelah memeras segenap ilmunya, Ki Waskita masih tetap nampak dalam keadaan yang utuh. Ilmunya tidak terlalu nampak susut, meskipun keringatnya sudah membasahi seluruh tubuhnya. Sementara lawannya telah mulai berusaha menjaga pernafasannya agar tidak kehilangan pengamatan. “Jangan berusaha untuk lari,“ desis Ki Waskita, “kau tidak akan berhasil. Di pinggir Kali Praga kau mempunyai kelebihan waktu sekejap dari padaku, sementara aku terkejut melihat usahamu yang tibatiba itu. Tetapi sekarang tidak.” “Persetan. Aku tidak akan lari. Tetapi aku akan membunuh kalian. Ketujuh orang itupun tidak akan lari, karena dengan demikian, mereka akan dapat dihukum gantung,“ geram Ki Lurah Pringgabaya. “Tidak. Tidak seorangpun yang tahu, apa yang terjadi disini,“ sahut orang bertutup wajah itu, “mereka mendapat tugas untuk pergi ke Mataram. Dan itu sudah dilakukannya. Apalagi ? Tugas mereka sudah selesai.” Orang yang disebut Ki Lurah itu menggeram. Kemarahan yang sangat telah menghentak jantungnya. Sambil menggeretakkan giginya ia berkata, “Siapa yang meninggalkan arena pertempuran ini, akan mati dalam keadaan yang paling buruk.” Ki Waskita menyahut, “Jangan meratap. Ini adalah nasibmu. Kau telah memasukkan jarimu keliang seekor ular berbisa, sehingga wajar sekali jika jarimu telah dipatuknya.” “Tutup mulutmu,“ bentak orang itu sambil menyerang dengan serta merta. Tetapi Ki Waskita yang sudah mengenal ilmu lawannya itu sempat mengelak sambil berkata, “Terimalah nasibmu dengan pasrah.”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia mengerahkan segenap sisa kemampuannya. Dalam pada itu, orang-orang Pajang yang bertempur dalam lingkaran pertempuran melawan anak-anak Sangkal Putung itu termangu-mangu. Mereka menjadi ragu-ragu, bahwa mereka justru mendapat kesempatan untuk meninggalkan pertempuran. Sebenarnyalah sikap orang bertutup wajah itu sangat mengherankan. Swandaru dengan sungguhsungguh berusaha untuk mengetahui, apakah sebabnya maka putaran pertempuran itu menjadi aneh. Tetapi akhirnya Swandaru berkata didalam hatinya, “Ki Waskita bukan orang yang bodoh. Dan iapun tentu tidak akan menjerumuskan kami.” Karena orang-orang itu masih ragu-ragu, maka orang bertutup wajah itupun berkata sekali lagi, “Kami memberi kalian kesempatan untuk meninggalkan arena ini sekarang. Jika tidak, kami akan merubah keputusan ini, karena sebenarnyalah kami akan dapat dengan mudah membunuh kalian.” “Kalian bukan pengkhianat dan bukan pengecut,“ geram Ki Lurah Pringgabaya. Tetapi orang bertutup wajah itu menyahut, “Seorang yang bukan pengkhianat dan bukan pengecutpun akan bersedia untuk tetap hidup daripada mati. Apalagi mereka tidak berkewajiban untuk membantumu Ki Lurah. Mereka bukan orang yang mendapat tugas bersamamu. Mereka mendapat tugas yang lain. Dan tugas mereka telah mereka lakukan dengan baik.” “Persetan,“ Ki Lurah itu hampir berteriak, “aku dapat menghukum mereka menurut kehendakku.” Ki Waskita memotong, “Jangan berteriak begitu. Terasa olehku, pemusatan ilmumu mengendor dan susut jauh. Bukankah dalam keadaan yang demikian, kau sadari, aku dapat berbuat lebih banyak dari meloncatloncat saja.” “Gila, semuanya sudah gila,“ Ki Pringgabaya justru berteriak-teriak. “Sudahlah,“ berkata orang bertutup wajah kepada ketujuh lawannya, “Pergilah, sebelum kalian akan mati seorang demi seorang.” Ketujuh orang itu masih ragu-ragu. Namun perlahan-lahan mereka mulai bergeser surut, meskipun senjata mereka masih tetap teracu. “Kalian curiga, bahwa kami akan menjebak kalian dengan licik ?“ berkata orang bertutup wajah itu, “lihat. Aku akan menyimpan senjataku.” Lawan-lawannya ragu-ragu. Tetapi orang itu benar-benar melepas kepingan besi baja yang melingkari genggaman tangannya dan menyimpannya dikantong ikat pinggangnya yang besar dan tebal.

“Nah, pergilah, sebelum aku mengenakannya lagi,“ geramnya. Swandarulah yang justru menjadi seperti orang bingung. Ketika orang-orang itu menjauh, maka ujung cambuknya bagaikan berjuntai lemas diatas tanah, sementara pedang rangkap Pandan Wangipun telah menunduk dan tongkat baja Sekar Mirah justru telah digenggam dengan kedua tangannya. “Aku mohon kerelaanmu Swandaru,“ berkata orang itu, “biarlah mereka pergi. Mungkin kau menjadi kecewa. Tetapi agaknya hal ini akan bermanfaat juga bagi kita masing-masing. Sementara yang seorang itu akan tetap berada ditangan kita.” Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk kecil sambil berkata, “Aku ingin mendapat bukti, bahwa aku tidak melakukan kesalahan sekarang ini. Aku percaya kepada Ki Waskita.” Orang itu tersenyum. Katanya, “Terima kasih. Aku akan sanggup membuktikan, bahwa kau tidak melakukan kesalahan sekarang ini.” Swandaru tidak menjawab. Betapapun dadanya bergejolak, namun dilepaskannya orang-orang itu melangkah menjauh. “Gila, kalian gila,“ geram orang yang disebut Ki Lurah Pringgabaya itu. “Besok, lusa atau kapan saja, kalian akan digantung.” “Siapa yang akan menggantung mereka ?“ bertanya orang bertutup wajah itu, “kau, atau siapa ? Seandainya ketujuh orang itu telah melakukan kesalahan sekarang ini, tidak akan ada orang yang akan mengetahuinya. Tidak akan ada orang yang akan melaporkannya, kecuali jika benar-benar diantara mereka terdapat seorang pengkhianat. Seorang penjilat yang sampai hati menjual kawan-kawan mereka sendiri.” “Aku yang akan membunuh mereka,“ geram Pringgabaya. “Kau akan aku tangkap sekarang ini. Kau tidak akan dapat melepaskan diri lagi,“ jawab orang bertutup wajah itu. Ki Pringgabaya berteriak penuh kemarahan, “Aku bunuh kalian semua. Aku bunuh kalian.” Tetapi suaranya segera tenggelam dalam deru nafasnya. Ki Waskita telah menyerangnya semakin garang. Sementara ketujuh orang yang lain telah melangkah menjauh. “Ambil kudamu, dan pergi. Kembalilah ke Pajang dan lakukanlah tugasmu yang tersisa.“ orang berttitup wajah itu seolah-olah memerintah anak buahnya.

Orang-orang itupun tiba-tiba saja telah berloncatan berlari masuk kedalam hutan untuk mengambil kuda-kuda mereka. Sementara Ki Pringgabaya berteriak mengumpat-umpat. Tetapi ia memang tidak ingin melarikan diri. Dengan tangkasnya ia memutar senjatanya. Menyerang dengan cepatnya. Senjatanya menyambar mendatar, kemudian menikam mengarah kedada. Namun lawanyapun mampu mengimbangi kecepatan geraknya. Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah yang ditinggalkan oleh lawan-lawannya sesaat justru termangu-mangu. Sekilas ia memandang orang yang bertutup wajah itu. Sekilas ia memandang pertempuran yang sedang berlangsung dengan sengitnya. “Sudahlah Ki Sanak,“ berkata orang yang bertutup wajah itu, “jangan bingung. Biarkan mereka pergi. Setidak-tidaknya atas permintaanku. Kemudian, marilah kita beramai-ramai menangkap orang ini. Orang ini tidak boleh lepas dari tangan kita. Jika orang ini tertangkap, maka yang lari itupun akan segera dapat kita tangkap pula, setelah mereka menyelesaikan tugas mereka yang tersisa.” “Tugas apa ?“ bertanya Swandaru. Orang bertutup wajah itu termenung sejenak. Sementara itu terdengar derap kaki kuda yang menyusup diantara pepohonan. Kemudian berlari diatas jalan yang lengang itu. “Untunglah, tidak ada orang yang mengganggu pertempuran ini,“ berkata orang bertutup wajah itu, “jika ada orang lewat, apalagi orang yang merasa memiliki kemampuan berkelahi, akan segera tertarik melihat kesibukan dipinggir hutan kecil ini.” Swandaru yang bagaikan kena pesona, diluar sadarnya telah mengikuti orang bertutup wajah itu mendekati arena pertempuran, seperti juga Pandan Wangi dan Sekar Mirah. “Majulah. Bertempurlah bersama-sama,“ teriak orang yang disebut Ki Lurah Pringgabaya itu. Tetapi orang bertutup wajah itu berkata, “Tidak. Kami tidak akan bertempur bersama-sama. Yang akan kami lakukan adalah menangkap kau bersama-sama.” “Licik. Jika kalian mampu, bunuh aku,“ geram Ki Pringgabaya. “Tidak. Saudara seperguruanmu, Ki Pringgajaya telah mati. Apakah kau juga akan mati ?“ bertanya orang bertutup wajah itu. “Mati bukan sesuatu yang menakutkan,“ teriak Ki Pringgabaya. “Benar,“ berkata orang bertutup wajah itu, “mati memang bukan sesuatu yang menakutkan. Tetapi adalah sikap manusiawi jika kita menghindarkan diri dari kematian. Setiap yang hidup akan mempertahankan hidupnya. Hanya dalam hal-hal tertentu saja, yang hidup itu justru berusaha

mengakhiri hidupnya sendiri. Tentu saja mereka yang berhati kerdil.” “Cukup,“ bentak Ki Pringgabaya, “siapa kau he ? Dan apa kepentinganmu melibatkan diri dalam persoalan ini.” “Tidak terlalu penting. Tetapi aku memang mempunyai kepentingan. Karena itu, aku telah memohon agar orangorang itu dibebaskan dari kematian,“ berkata orang bertutup wajah itu. Ki Pringgabaya masih berusaha untuk memenangkan pertempuran itu. Ia sama sekali tidak menjadi gentar. Juga jika keempat orang yang mendekatinya itu melibatkan diri kedalam pertempuran, karena ia memang sudah bersiap menghadapi segala akibat yang dapat terjadi. Termasuk kematian. Sambil bertempur sekali lagi ia berteriak, “Siapa kau he ? Siapa ?” Orang itu tertawa pendek. Kemudian katanya, “Aku kira, aku tidak perlu lagi menyembunyikan diri sekarang mi. Dengan demikian, maka kau akan segera jelas dengan persoalan yang kita hadapi.” “Cepat,“ orang itu menggeram. Orang itu terdiam sejenak. Pandangan matanya seolah-olah memberikan isyarat kepada Ki Waskita, agar ia memberi kesempatan lawannya memperhatikannya. Karena itulah, maka Ki Waskitapun kemudian meloncat beberapa langkah surut, sementara lawannya tidak mengejarnya. Ia memang ingin melihat, siapakah orang yang menyembunyikan wajahnya pada sehelai kain putih itu, dengan pakaian seorang petani dan mempergunakan sepasang senjata khusus. Orang itupun kemudian berdiri tegak beberapa langkah dihadapan Ki Lurah Pringgabaya yang berkisar. Sambil membuka tutup wajahnya ia berkata, “Mudah-mudahan kau mengerti, apakah yang sedang kau hadapi sekarang ini.” Ketika tutup wajah itu terbuka, orang itu terkejut. Diluar sadarnya ia berpaling kepada Ki Waskita yang tersenyum. Bahkan Ki Waskita itupun berkata, “Panggraitamu memang tumpul Ki Lurah. Seharusnya kau dapat menduga, bahwa yang datang adalah Senapati Ing Ngalaga.” Orang itu menjadi tegang. Namun dalam pada itu, Swandarupun menjadi tegang pula. Memang sepercik dugaan telah terlontar didalam hatinya seperti juga Pandan Wangi dan Sekar Mirah.

Apalagi ketika Ki Waskita kemudian menasehatkan kepada ketiga anak Sangkal Putung itu untuk memenuhi permintaannya. Namun demikian, terasa jantung mereka menjadi berdebar-debar juga. “Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar,“ desis Ki Lurah Pringgabaya. “Aku sudah pindah dari tempat tingggalku di Lor Pasar itu, “sahut Raden Sutawijaya, “sementara ayahanda Sultan di Pajang telah memberikan aku gelar yang lain.” “Ya. Senapati Ing Ngalaga di Mataram,“ desis orang itu. Raden Sutawijaya itupun menarik nafas dalam-dalam. Ketika selangkah ia maju, maka nampak ia mulai bersungguh-sungguh. Sikapnya sebagai Senapati Ing Ngalaga mulai nampak pada tatapan matanya. “Menyerahlah,“ katanya pendek. “Tidak Senapati,“ berkata Ki Lurah dengan nada rendah. Betapapun juga, terasa perbawa Senapati Ing Ngalaga mulai menusuk sampai kepusat jantungnya. Jauh berbeda dengan seorang yang tidak dikenal dan menutupi wajahnya dengan sehelai kain putih. Berloncat-loncatan dan kadang-kadang terdengar suara tertawanya melengking. Sementara yang kemudian berdiri dihadapannya adalah seseorang yang masih mengenakan pakaian yang sama, tetapi dengan kerut wajah dan tatapan mata yang jauh berbeda. “Kau tidak mempunyai kesempatan lagi Ki Lurah,“ berkata Senapati, “karena itu menyerahlah.” Ki Lurah mundur selangkah. Namun tiba-tiba ia bertanya, “Tetapi kenapa Senapati memberi kesempatan hidup kepada ketujuh orang itu ? Termasuk Jayadilaga dan Suranata ?” Senapati Ing Ngalaga menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya dengan nada rendah, “Ada orang baru diantara mereka. Biarlah ia menyelesaikan tugasnya dengan baik.” “Apa maksud Senapati ?“ bertanya Ki Lurah. “Orang-orang itu membawa jawabanku yang aku tujukan kepada orang-orang Pajang,“ jawab Senapati. “Siapakah orang-orang Pajang itu ? “ desak Ki Lurah.

Senapati tersenyum. Katanya, “Kau tentu lebih tahu Ki Lurah. Menurut orang itu, aku telah mendapat pesan dari ayahanda Sultan. Karena itu, aku menyampaikan jawaban kepada ayahanda Sultan pula. Nah, apa katamu ? Kau tentu dapat menduga, bahwa masalahnya mirip dengan ceritera tentang kematian Ki Pringgajaya ?” Wajah Ki Pringgabaya menjadi semakin tegang. Namun kemudian ia menggeram, “Senapati Ing Ngalaga yang perkasa. Aku mengerti, betapa tinggi ilmu yang Raden miliki. Tetapi andaikan orang yang menyeberangi sungai, aku sudah terlanjur basah. Karena itu aku tidak akan melangkah surut.” Senapati Ing Ngalaga masih tersenyum. Katanya, “Kau tidak usah memuji Ki Lurah. Akupun tahu, bahwa kau memiliki ilmu yang luar biasa. Tetapi aku tidak sendiri disini. Aku, Ki Waskita yang tidak dapat kau kalahkan, dan ketiga orang anak-anak muda dari Sangkal Putung ini. Kau tahu, bahwa mereka bersumber dari cabang perguruan yang berbeda. Dan mereka akan ikut menentukan, seandainya kau tidak mau melihat kenyataan ini.” “Raden, apakah Raden masih menganggap bahwa dengan demikian aku akan berlutut dan mohon ampun ?“ bertanya Ki Lurah. “Tidak. Tentu tidak. Jika aku tidak berbicara dengan Ki Lurah aku akan berharap demikian. Tetapi Ki Lurah tentu tidak. Seperti juga Ki Pringgajaya. Ia memilih mati, maksudku, ia dapat membuat cara untuk menghindarkan dirinya dari pengamatan Untara dan orang-orang Pajang yang tidak sejalan dengan caranya berpikir,“ berkata Senapati Ing Ngalaga, “dan sekarang, apakah Ki Lurah akan melakukan sesuatu untuk menolak saranku, agar Ki Lurah menyerah saja ?” “Ada Senapati,“ jawab Ki Pringgabaya, “Aku mempunyai cara yang paling baik untuk menghindarkan diri dari tangan Senapati yang perkasa.” “Kau akan melawan ?” bertanya Raden Sutawijaya. “Sampai mati Raden, karena aku menyadari, bahwa aku tidak akan dapat melepaskan diri dari tangan Raden dan orang-orang ini,“ jawab Ki Lurah tegas. “Jangan membunuh diri dengan cara yang pahit,“ berkata Senapati Ing Ngalaga. “menyerahlah. Kau akan mendapat perlakuan yang baik. Aku sendirilah yang akan mengatur segalanya.” “Aku prajurit seperti Raden, meskipun tataran kita jauh berbeda. Raden berada ditataran yang paling tinggi di Mataram, sementara aku berada ditataran yang rendah. Namun aku kira ada persamaan diantara kita, bahwa kita adalah prajurit jantan yang tidak takut mati, meskipun Raden menyebutnya dengan bunuh diri.”

Senapati Ing Ngalaga mengangguk-angguk. Katanya, “Aku percaya. Aku percaya bahwa Ki Lurah Pringgabaya seperti juga kawan-kawannya tidak akan takut mati, untuk apapun ia mati. Tetapi apakah dengan demikian berarti bahwa seseorang yang tidak takut mati itu harus mati ? Seperti juga seorang prajurit yang turun dipeperangan, tidak akan pernah kembali meskipun sebenarnya ia dapat menghindari kematian itu ?” “Raden berbicara seperti tidak dengan seorang prajurit tua seperti aku. Mungkin Raden dapat membujuk seorang prajurit muda yang baru saja memasuki dunia keprajuritan apalagi seorang penganten baru. Tetapi Raden, aku sudah puluhan tahun menjadi prajurit. Rambutku mulai disulami dengan warna-warna uban yang putih, meskipun aku belum setua Ki Sanak yang tangguh ini,“ jawab Ki Lurah. “Baiklah,“ berkata Senapati kemudian, “aku harus menangkap Ki Lurah sebagaimana seharusnya dilakukan oleh seorang prajurit. Bersiaplah. Kami bersama-sama akan menangkapmu. Hidup atau mati. Tetapi sebenarnya aku ingin menangkapmu hidup-hidup, agar kau akan dapat menemani aku bercakap-cakap jika senja turun di Mataram. Aku sudah jemu berbicara dengan orang-orang yang setiap hari aku jumpai dirumahku. Kehadiran Ki Lurah akan memberikan kegairahan baru bagiku.” “Tentu Raden. Jika perlu Raden dapat memaksa aku berbicara dengan seribu cara. Itulah sebabnya, kematian adalah jalan yang paling baik untuk menghindarkan diri dari kegelisahan semacam itu.” “Tetapi kau adalah Ki Lurah Pringgabaya. Kau takut mengalami keadaan yang pahit seperti itu ? Dan apakah kau masih juga menganggap aku, paman Juru Martani dan orangorang yang berada di Mataram itu akan melakukan tindakan sekasar itu terhadap siapapun ?” Ki Lurah Pringgabayapun segera mempersiapkan diri. Tetapi ia masih menjawab, “Didalam keadaan seperti sekarang, semuanya akan dapat terjadi.” Senapati Ing Ngalaga tertawa. Katanya, “Baiklah. Marilah kita bersiap. Kita akan menentukan akhir dari pertempuran ini. Tetapi sekali lagi, aku inginkan Ki Lurah tertangkap hidup-hidup.” Ki Lurah bergeser setapak. Kerisnya masih erat didalam genggamannya, sementara Ki Waskitapun bergeser pula. Dalam pada itu, Raden Sutawijaya melangkah maju sambil berkata kepada Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah, “Tolong, jaga agar orang ini tidak melarikan diri. Aku akan menangkapnya. Kecuali jika ia menusuk dadanya sendiri dengan kerisnya. Dan itu bukan perbuatan seorang prajurit jantan.” “Tidak Raden,“ berkata Ki Lurah Pringgabaya, “selama kita tetap bersikap sebagai prajurit, aku akan bertempur dengan laku seorang prajurit pula. Aku akan membunuh semua lawanku, dan aku akan meninggalkan arena ini dengan kemenangan dan keris yang basah oleh darah.”

Senapati Ing Ngalaga tersenyum. Katanya, “Kau memancing aku turun kearena. Baiklah. Jangan ada orang lain yang mengatakan bahwa aku menangkapmu dengan tangan orang lain. Aku akan menggantikan tempat Ki Waskita.” Bagaimanapun juga, terasa debar jantung Ki Lurah Pringgajaya menjadi semakin cepat. Ia tidak bermimpi untuk tiba-tiba saja berhadapan dengan Senapati Ing Ngalaga dalam perang tanding. Yang diikuti dan akan dibunuhnya adalah murid Kiai Gringsing yang muda, yang berasal dari Sangkal Putung. Namun tiba-tiba saja diluar kehendaknya ia harus berhadapan dengan Senapati Ing Ngalaga. Tetapi ia tidak dapat melangkah surut. Ia harus memilih mati atau ditangkap hidup-hidup. Dan Ki Lurah Pringgabaya memilih mati. Sejenak kemudian Raden Sutawijaya telah berdiri disebelah Ki Waskita. Wajahnya nampak bersungguh-sungguh, sementara sorot matanya bagaikan menusuk langsung menembus sampai kepusat jantung. Ki Waskitapun menjadi berdebar-debar. Ia tidak tahu, apakah anak muda yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu juga memiliki ilmu seperti yang dimiliki Agung Sedayu, ilmu yang sulit dicari bandingnya. Yang lewat sorot matanya dapat menyentuh lawannya. Tetapi seandainya tidak. Senapati tentu memiliki kekuatan yang dapat mengimbangi, bahkan melampaui ilmu itu. Dengan jantung yang berdebar-debar ia melihat Senapati menempatkan dirinya. Katanya,“ Ki Waskita, aku akan berperang tanding. Tetapi aku tetap mohon agar Ki Waskita, Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah ikut membantu aku mengawasi, agar orang ini tidak melarikan diri.” “Aku telah memilih, Raden,“ berkata Ki Lurah Pringgabaya, “ternyata aku telah terjebak kedalam satu keadaan diluar perhitunganku.” “Sayang,“ berkata Raden Sutawijaya, “akupun tidak menyangka bahwa aku akan bertemu dengan Ki Lurah. Yang aku cemaskan, seperti yang memang terjadi, utusan dari Pajang itu dengan licik akan mencegat Swandaru. Karena itu, aku memerlukan untuk mengikuti perjalanan anak-anak muda Sangkal Putung itu. Ternyata bahwa kaupun sedang mengikutinya pula.” Ki Lurah Pringgabaya tidak menyahut lagi. Tetapi ia sudah bersiap untuk menyerang lawannya dengan kerisnya, ia berharap bahwa Raden Sutawijaya tidak mengetahui kemampuannya yang luar biasa, sehingga ia akan dapat melukainya pada serangan pertama. Ki Waskitapun menjadi berdebar-debar. Tetapi ia tidak dapat memberi tahukan, bahwa serangan Ki Lurah akan datang lebih dahulu dari ujud wadagnya dan senjatanya. Raden Sutawijaya yang masih muda itupun segera mempersiapkan dirinya pula. Setapak ia bergeser.

Dipandanginya ujung keris Ki Lurah Pringgabaya yang siap untuk menerkamnya. Ketika kemudian Ki Lurah itu meloncat menusuk dengan kerisnya, Raden Sutawijaya nampak terkejut. Anak muda itu dengan serta merta telah meloncat menjauh. Namun Ki Lurah tidak lagi memberinya kesempatan. Dengan cepat ia memburu sambil mengayunkan kerisnya mendatar. Sekali lagi Raden Sutawijaya meloncat mundur dengan wajah yang tegang. Namun kemampuan ilmu Ki Lurah Pringgabaya ternyata tidak sempat mencapainya. “Apa anak ini dapat mengerti ilmuku?“ bertanya Ki Lurah didalam hatinya. Sebenarnyalah, Raden Sutawijaya memang seorang yang luar biasa. Ketika serangan lawannya mematuknya, seakan-akan desir lembut yang didorong oleh getaran ilmu lawannya telah meraba syaraf perasaannya yang langsung memberitahukan kepadanya, bahwa serangan lawannya itu memang sangat berbahaya. Sementara itu, ilmu yang tidak dapat segera diraba oleh pengamatan lawannya, apalagi oleh sentuhan wadag, telah menyelubungi Raden sutawijaya, sehingga setiap bahaya yang menyentuh selubung ilmunya itu, segera dapat diketahuinya. Dengan demikian, maka anak muda itupun segera mengetahui, bahwa Ki Lurah Pringgabaya memiliki ilmu yang dahsyat pula. Bahwa ketajaman ilmunya itu akan dapat menjebak lawannya, karena sentuhan serangannya mendahului ujud wadagnya. Karena itulah, maka ternyata Ki Pringgabaya tidak dapat menjebak lawannya pada serangan-serangan pertamanya. Sehingga dengan demikian, Ki Pringgabayapun sadar, bahwa ia harus bertempur dengan pengerahan segenap kemampuan yang ada padanya. Pertempuran yang sengitpun kemudian telah terjadi. Agaknya Raden Sutawijaya dengan sengaja telah memancing lawannya untuk bertempur semakin dalam, memasuki hutan itu. Dengan sendirinya, maka Ki Waskita dan anak-anak Sangkal Putung itupun telah mengikutinya pula. Dengan demikian, agaknya Raden Sutawijaya tidak ingin pertempuran itu terganggu seandainya ada orang yang melihat dan kemudian ingin turut campur. Dengan segenap kemampuannya, Ki Pringgabayapun telah melibat lawannya dalam pertempuran yang garang. Seperti saat ia bertempur melawan Ki Waskita, maka ia telah melibat lawannya dengan serangan-serangannya yang mengejutkan. Tetapi seperti saat ia bertempur melalwan Ki Waskita, maka ternyata ia harus memeras segenap kemampuan, tenaga dan ilmunya. Namun ia sama sekali tidak berhasil berbuat sesuatu. Ki Waskita, Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Ada suatu yang sangat menarik bagi anak-anak muda Sangkal Putung itu. Mereka merasa heran, bahwa Raden Sutawijaya harus terlalu berhati-hati menghadapi senjata pendek lawannya.

Nampaknya Raden Sutawijaya terlalu tergesa-gesa menghindari setiap serangan. Namun lambat laun, mereka mengetahui serba sedikit tentang ilmu lawannya. Kecuali karena sikap Raden Sutawijaya, kadang-kadang mereka dikejutkan oleh dahan dan ranting-ranting pepohonan yang tersentuh serangan Ki Lurah Pringgabaya itu. Dengan bekal yang ada pada anak-anak Sangkal Putung itu, maka mereka mulai dapat melihat, bahwa sebenarnyalah Raden Sutawijaya sama sekali tidak tergesa-gesa menghindar. Tetapi Raden Sutawijaya dapat melihat, kemampuan ilmu lawannya. Anak-anak Sangkal Putung itupun kemudian dapat melihat, bahwa dahan dan kekayaan yang patah sebelum mata mereka melihat ujung keris Ki Lurah itu menyentuhnya. Bahkan akhirnya merekapun mengetahui dengan gamblang, apa yang sedang mereka hadapi. Bagaimanapun juga, mereka harus mengakui, bahwa Ki Lurah memang seorang yang luar biasa. Tanpa Ki Waskita, maka agaknya mereka tentu sudah diselesaikan di pinggir Kali Praga. “Tuhan masih melindungi kami,“ pengakuan itu membersit dihati anak-anak Sangkal Putung itu. Adalah kebetulan sekali, bahwa Ki Waskita telah mengikuti mereka pergi ke Sangkal Putung. Dalam pada itu, pertempuran antara Ki Lurah Pringgabaya dengan Raden Sutawijaya itupun menjadi semakin lama semakin seru. Namun demikian, apapun yang dilakukan oleh Ki Pringgabaya tidak banyak berarti bagi lawannya. Sehingga dengan demikian, maka lambat laun, menjadi semakin jelas, bahwa Raden Sutawijaya memang memiliki kelebihan dari lawannya. Betapapun juga Senapati Ing Ngalaga itu memang seorang yang aneh. Dalam usianya yang masih muda, ia memiliki kemampuan yang seakan-akan tidak dapat dijajagi. “Agung Sedayu sudah termasuk anak muda yang aneh,“ berkata Ki Waskita didalam hatinya, “tetapi ia masih terpaut, beberapa lapis dari Raden Sutawijaya. Meskipun Agung Sedayu memiliki kemampuan yang jarang ada duanya, dengan mempergunakan sorot matanya serta daya tangkapnya yang sangat kuat, sehingga apa yang pernah menjadi perhatiannya, seolah-olah tidak akan terhapus dari pahatan ingatannya, namun ia masih harus menempa diri dengan sangat tekun agar ia dapat mendekati kemampuan Raden Sutawijaya.” Tetapi karena Raden Sutawijaya adalah seorang anak muda yang pernah menjadi murid Sultan Hadiwijaya yang masa mudanya bernama Mas Karebet, maka kelebihan itu seakan-akan telah diwarisi dari gurunya dan yang juga menjadi ayah angkatnya, sekaligus rajanya. Karena dimasa mudanya. Sultan Hadiwijaya adalah seorang anak muda yang hampir tidak dapat dimengerti, bagaimana mungkin ia mampu menyadap berbagai macam ilmu yang hampir tidak terlawan. Demikianlah, pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin jelas. Ki Lurah Pringgabaya yang

telah mengerahkan segenap kemampuannya, merasa, bahwa tenaganyapun telah menjadi susut. Kekuatannya tidak lagi menghentak seperti saat ia mulai dengan pertempuran itu. Apalagi pemusatan pikirannyapun telah mulai menjadi kabur melihat sikap Raden Sutawijaya yang seolah-olah sama sekali tidak kehilangan setitik keringat-pun. “Anak ini memang luar biasa,“ geram Ki Lurah didalam hatinya, “nampaknya ia memiliki kemampuan ayah angkatnya yang sakit-sakitan itu.” Dengan demikian, betapapun juga Ki Lurah mengerahkan puncak-puncak ilmunya, namun ia tidak akan dapat mengimbangi kemampuan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu. “Ki Lurah,“ tiba-tiba saja terdengar Raden Sutawijaya berkata, “aku kira kita sudah cukup lama bermain-main disini. Marilah kita akhiri saja permainan yang kurang menarik ini.” Ki Lurah menggeretakkan giginya. Dihentakkannya sisa tenaganya untuk menyerang. Namun dengan loncatan pendek Raden Sutawijaya berhasil menghindar sambil berkata, “Kau masih bernafsu sekali Ki Lurah.” “Aku akan membunuh lawanku. Raden. Atau aku sendiri akan terbunuh,“ geram Ki Lurah. “Jangan begitu. Kita dapat bersikap lebih baik. Kau bagiku adalah seorang yang berhati baja, memiliki ilmu yang tinggi dan tekad yang tidak tergoyahkan. Aku tetap menghargainya,“ berkata Raden Sutawijaya. “Tetapi Raden tentu berpendirian, bahwa aku masih tetap seorang yang terdiri dari kulit dan daging yang dibasahi oleh darahku yang merah. Raden tentu masih memperhitungkan, bahwa jika darahku diperas sampai kering, maka akhirnya mulutku akan berbicara tentang segalanya yang aku ketahui. Tentang sikap dan pendirian orang-orang yang sedang berjuang untuk menegakkan keagungan tanah ini. Tentang kekalutan dan kemunduran Pajang. Tentang kakang Pringgajaya yang mati. Dan tentang banyak hal lagi,“ jawab Ki Lurah Pringgabaya. “Kau masih menganggap orang-orang Mataram orangorang liar yang tidak mengenal diri mereka sendiri sebagai kesatria,“ berkata Raden Sutawijaya kemudian, “apakah kira-kira kau akan memperlakukan demikian pula terhadap orangorang yang berada dibawah kekuasaanmu, dan sama sekali sudah tidak berdaya untuk melawan ?” Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia menyerang dengan sisa-sisa kemampuan dan tenaga yang masih ada padanya. Raden Sutawijaya bergeser menghindar. Ketika lawannya memburu, ia masih tetap menghindar sekali lagi.

Namun akhirnya Raden Sutawijaya itupun sampai saatnya untuk mengambil sikap. Agaknya ia merasa waktunya sudah terlalu banyak terbuang. Sehingga karena itu, maka sikapnya nampak menjadi semakin garang. “Sekali lagi aku peringatkan Ki Lurah,“ berkata Raden Sutawijaya, “semakin lama aku menjadi semakin jemu.” “Akupun menjadi jemu. Raden,“ sahut Ki Lurah, “karena itu, jika Raden ingin mengakhiri pertempuran ini, silahkan. Raden menyerah untuk mati, atau Raden akan membunuh aku.” Wajah Raden Sutawijaya menjadi merah. Sorot matanya mulai membayangkan gejolak didalam hatinya. Meskipun demikian, ia masih memperingatkan, “Kau masih mempunyai kesempatan berpikir. Pakailah pertimbangan nalarmu.” Tetapi jawaban Ki Lurah Pringgabaya adalah justru dengan hentakan serangan yang keras. Senjatanya terayun dengan derasnya. Hampir saja kulit Raden Sutawijaya tersentuh, meskipun nampaknya jarak ujung keris itu dengan tubuhnya masih cukup jauh. “Kau tidak dapat diajak berbicara lagi Ki Lurah,“ geram Raden Sutawijaya. “Memang bukan saatnya untuk berbicara panjang lebar,“ sahut Ki Lurah, “tetapi saatnya adalah membunuh atau dibunuh.” Terdengar gemeretak gigi Raden Sutawijaya. Tetapi ia masih tetap sadar, sehingga dengan jantung yang berdenyut semakin cepat ia berkata didalam hatinya, “Aku memerlukannya hidup-hidup.” Karena ternyata Ki Lurah Pringgabaya tidak lagi dapat diajak berbicara, maka Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalagapun kemudian mengambil keputusan yang menentukan. Ialah yang harus bertindak, menghentikan perlawanan itu. Sejenak kemudian, maka Raden Sutawijayapun telah mengambil langkah-langkah tertentu, ia meloncat lebih cepat mengelilingi lawannya. Kadang-kadang langkahnya menghentak menyerang Ki Lurah Pringgabaya. Namun tiba-tiba saja anak muda itu bergeser menjauh. Nafas Ki Lurah Pringgabaya semakin cepat mengalir. Lawannya memancingnya bertempur dengan langkah-langkah panjang. Jika ia bertahan dengan caranya, maka sentuhan-sentuhan yang mulai mengenai tubuhnya akan menjadi semakin sering dan semakin menghentak sampai ketulang. Apalagi ketika Raden Sutawijaya melingkari tangannya dengan senjatanya yang aneh, meskipun hanya sebelah. “Aku akan memaksamu menyerah,“ berkata Raden Sutawijaya, “kau tidak akan dapat membunuhku, tetapi akupun tidak akan membunuhmu, kecuali jika kau adalah

seorang yang tidak berani menghadapi kenyataan meskipun kau mengaku seorang laki-laki. Kau dapat membunuh diri untuk mengakhiri ketakutanmu.“ Ki Lurah Pringgabaya menggeretakkan giginya. Namun ia masih berusaha mengerahkan sisa tenaganya. Tetapi ia tidak banyak dapat berbuat lagi. Tenaganya bagaikan terhisap habis, sementara lawannya yang masih muda itu masih nampak kuat dan segar. Tenaganya sama sekali tidak berkurang, dan kecepatannya bergerakpun tidak menurun. Karena itu, maka Ki Lurah itupun menjadi semakin terdesak. Sentuhan sentuhan tangan Raden Sutawijaya semakin sering terasa ditbuhnya. Semakin lama menjadi semakin kuat. Dan karena itu maka terasa tubuh Ki Lurah Pringgabaya menjadi semakin banyak dikerumuni oleh rasa sakit, pedih dan nyeri. Tetapi tidak ada niat sama sekali untuk menyerah. Ki Lurah sudah bertekad untuk bertempur sampai batas kemungkinannya yang terakhir. Mati. Namun ternyata serangan-serangan Raden Sutawijaya bukannya serangan-serangan yang membunuh. Meskipun serangan-serangan itu agaknya melumpuhkannya. Namun Ki Lurah Pringgabaya tidak akan sampai pada batas hidupnya. Namun jusdu karena itu, kemarahan telah menyala, membakar jantung Ki Lurah yang garang itu. Dengan sisa tenaganya ia seolah-olah sengaja melakukan serangan-serangan tanpa menghiraukan hidup matinya lagi. Tetapi lawannya tidak mempergunakan kesempatan-kesempatan yang terbuka baginya. Raden Sutawijaya tidak berniat membunuhnya. Tenaga Ki Lurah yang semakin lemah, dibakar oleh kemarahan yang bergejolak, telah membuatnya kehilangan keseimbangan berpikir. Dengan putus asa ia mengamuk tanpa pengendalian diri. Semakin lama menjadi semakin kasar dan liar. Bahkan kemudian, seolah-olah orang itu bukan lagi orang yang bernama Ki Lurah Pringgabaya yang memiliki ilmu yang matang. Raden Sutawijayapun akhirnya menyadari, bahwa lawannya sudah kehilangan kemudi nalarnya. Karena itu, maka setiap kali Raden Sutawijaya hanya sekedar memancingnya untuk mengerahkan tenaganya yang tersisa, kemudian menghindar dengan langkah-langkah panjang. Akhirnya, Ki Lurah Pringgabaya yang memiliki ilmu yang sulit dicari bandingnya itu, benar-benar telah kelela-hanr Setiap kali ia justru terhuyung-huyung karena hentakkan kekuatannya sendiri. Pemusatan ilmunya menjadi pecah dan tersayat-sayat oleh kemarahan dan kegelisahan yang mencengkamnya. “Ki Lurah,“ berkata Raden Sutawijaya, “kau sudah kehilangan kepribadianmu. Cobalah mengamati dirimu.” “Tidak Raden,“ jawab Ki Lurah, “aku mengerti keadaanku. Bunuhlah aku agar pertempuran ini cepat berakhir.”

“Sudah aku katakan, aku tidak akan membunuhmu,“ sahut Raden Sutawijaya. “Ternyata kau adalah orang yang paling sombong yang pernah aku kenal, Raden,“ geram Ki Lurah. Raden Sutawijaya tidak menjawab. Ia meloncat memancing serangan Ki Lurah. Ketika ternyata Ki Lurah itu menyerangnya, maka Raden Sutawijaya sempat meloncat kesamping. Bahkan kemudian dengan gelang besi pipih ditangannya, ia menghantam punggung lawannya. Terasa betapa punggungnya seolah-olah telah dihantam oleh reruntuhan bukit. Ki Lurah Pringgabaya terdorong beberapa langkah kedepan, namun kemudian ia benar-benar telah kehilangan keseimbangannya dan jatuh tersungkur ditanah. Dengan susah payah ia berusaha untuk bangkit. Namun demikian ia bergerak, tiba-tiba saja terasa tangannya yang menggenggam keris itu telah terinjak oleh kaki yang kuat dan berat, seperti tertindih setumpuk batu di candi Prambanan. “Kau tidak berdaya lagi Ki Lurah,“ terdengar geram Raden Sutawijaya yang berdiri tegak dengan garangnya. Ki Lurah Pringgabaya sempat memandang orang yang berdiri sambil bertolak pinggang itu. Betapa kebenciannya menyala didalam dadanya. Namun sebenarnyalah bahwa ia memang sudah tidak berdaya lagi. Ki Lurah Pringgabaya benar-benar tidak dapat berbuat sesuatu. Ketika tangannya terasa semakin sakit, maka ia menggeram. Tetapi ia tidak dapat menghentakkan tangannya yang ditindih oleh kaki Raden Sutawijaya. “Kau jangan keras kepala Ki Lurah,“ berkata Raden Sutawijaya. “Bunuhlah aku, jika kau ingin membunuh, Raden,“ geram Ki Lurah. Tetapi justru Raden Sutawijaya mengangkat kakinya yang menginjak tangan Ki Lurah Pringgabaya. Dengan nada berat ia berkata, “Ki Lurah Sudah aku katakan. Aku tidak akan membunuhmu. Aku ingin menangkap kau hidup-hidup, agar kau dapat menjadi sumber keterangan tentang orang-orang yang mungkin aku perlukan nama dan kegiatannya di Pajang. Aku akan mempergunakan segala cara untuk memeras keteranganmu. Mungkin dengan tindakan yang sama sekali tidak pernah kau bayangkan.“ Raden Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, “tetapi jika kau takut menghadapi tanggung jawabmu sebagai seorang prajurit, dimanapun kau berdiri, sehingga kau harus tetap merahasiakan yang memang seharusnya kau rahasiakan, apapun yang akan kau alami, maka aku memberimu kesempatan untuk memilih jalan yang paling pengecut dari segala jalan yang ada, yaitu membunuh diri.”

Ki Lurah Pringgabaya mengumpat. Namun Raden Sutawijaya berkata, “Bunuhlah dirimu sendiri, jika kau memang menjadi ketakutan seperti perempuan. Bahkan perempuan cengeng, karena ada juga perempuan yang bersikap jantan seperti yang kau lihat berada dimedan ini pula.” “Kaulah yang pengecut,“ geram Ki Lurah Pringgabaya, “bunuhlah aku jika kau berani melakukannya.” “Aku memerlukan kau hidup-hidup.” Ki Lurah tidak menjawab lagi. Tetapi ia berusaha untuk bangkit dan mengayunkan kerisnya menyambar kaki Raden Sutawijaya. Raden Sutawijaya menyadari, bahwa keris itu tentu diulas dengan warangan yang sangat tajam, sehingga sentuhannya akan dapat membunuhnya. Karena itu, maka iapun melangkah menghindar. “Jika kau tidak berani membunuhku, akulah yang akan membunuhmu,“ Ki Pringgabaya tiba-tiba telah berteriak. “Aku tetap pada sikapku,“ jawab Raden Sutawijaya, “dan jika kau ingin bertingkah laku sebagai seorang pengecut, silahkan menusuk dadamu sendiri. Aku memang berbelas kasihan kepadamu, sehingga aku memberimu waktu.” “Gila, gila,“ Ki Lurah itupun kemudian berdiri dengan tertatih-tatih. Kerisnya masih erat didalam genggamannya. “Aku ingin membunuhmu Raden. Jika kau tidak membunuh aku sekarang, pada suatu saat kau akan menyesal, karena akan datang waktunya, kerisku ini tergores dikulitmu.” Raden Sutawijaya tidak menjawab. Tetapi ia bergeser selangkah mendekat. Namun Ki Lurah yang hatinya menjadi gelap, justru telah memaksa diri untuk melangkah sambil berusaha menikam dengan kerisnya. Raden Sutawijaya yang sudah menjadi jemu melihat tingkah laku Ki Pringgabaya itupun bergeser selangkah. Dengan kerasnya iapun kemudian memukul pergelangan tangan Ki Lurah yang menggenggam keris itu. Terdengar Ki Lurah itu mengaduh tertahan. Sementara itu kerisnyapun telah terlepas dari tangannya, jatuh beberapa langkah dari padanya. “Untuk membunuh diripun kau tidak mampu lagi,“ berkata Raden Sutawijaya, “kau sekarang tawananku. Mau tidak mau.” Ki Lurah mengumpat kasar. Namun tiba-tiba mulutnya telah terbungkam ketika dengan satu hentakkan

Raden Sutawijaya yang tidak sabar lagi itu menyentuh tengkuknya dengan ujung tiga jari tangannya. Ki Lurah itupun kemudian terhuyung huyung. Tetapi sebelum ia terjatuh, Raden Sutawijaya cepat menangkapnya dan kemudian meletakannya terbaring ditanah. Dalam pada itu, Ki Waskita, Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah hampir berbareng telah melangkah mendekat. Ketika Raden Sutawijaya berlutut disamping Ki Lurah Pringgabaya, maka merekapun kemudian telah berlutut pula. “Orang yang keras hati,“ berkata Raden Sutawijaya sambil menarik wrangka keris dilambung orang itu. Ki Waskita kemudian bangkit untuk mengambil keris Ki Lurah yang terjatuh dan menyerahkannya kepada Raden Sutawijaya yang kemudian menyarangkannya kedalam wrangkanya. “Bagaimana maksud Raden kemudian ?“ bertanya Ki Waskita. “Aku akan membawanya ke Mataram.” Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak, kemudian, “sebenarnya, aku ingin mohon pertolongan Ki Waskita untuk membantu aku membawanya ke Mataram. Bagaimanapun juga, kemungkinan yang tidak kita kehendaki dapat terjadi disepanjang jalan. Orang-orang yang pergi ke Pajang itu dapat menceriterakan apa yang terjadi disini.” “Tentu aku sama sekali tidak berkeberatan Raden,“ jawab Ki Waskita. “Tetapi bawalah anak-anak Sangkal Putung ini kembali ke Kademangannya,“ berkata Raden Sutawijaya kemudian. “Kademangan kami sudah terlalu dekat,“ sahut Swandaru, “biarlah kami kembali bertiga.” “Yang terlalu dekat itupun masih merupakan jarak. Biarlah Ki Waskita mengantarkan kalian sampai ke Kademangan. Aku akan menunggunya disini.” Jawab Raden Sutawijaya. “Apakah tidak sebaiknya orang itu dibawa saja ke Sangkal Putung ?“ bertanya Swandaru. “Terima kasih. Aku akan menunggu disini sampai Ki Waskita datang. Kemudian kami berdua akan membawa orang ini ke Mataram.” Swandaru tidak membantah lagi. Jika Raden Sutawijaya sudah mengambil keputusan, agaknya sulit untuk merubahnya lagi. Karena itu, maka Swandaru, isteri dan adik perempuannya itupun kemudian berkemas. Mereka membenahi pakaian mereka dan mengusap keringat diwajah mereka.

“Kami akan kembali ke Sangkal Putung, Raden,“ berkata Swandaru minta diri. “Silahkan. Hati-hatilah. Persoalannya telah berkembang demikian parahnya. Ada baiknya, kau berada diantara para pengawal Kademanganmu yang kuat setiap saat. Demikian pula isteri dan adikmu,“ pesan Raden Sutawijaya. Kemudian, “Orang-orang yang kembali ke Pajang itu tentu akan berceritera banyak. Mungkin mereka menambah yang mereka anggap perlu, tetapi mungkin juga mereka menguranginya sesuai dengan kepentingan mereka.” “Terima kasih Raden,“ sahut Swandaru, “hari ini Raden telah menyelamatkan kami.” “Kita saling memerlukan,“ jawab Raden Sutawijaya. Swandaru, isteri dan adiknyapun segera mengambil kuda mereka dan melanjutkan perjalanan bersama Ki Waskita. Jarak yang pendek antara hutan itu dan Sangkal Putung, masih menyimpan kemungkinan yang dapat mengejutkan mereka. Sementara Raden Sutawijaya masih berada di hutan yang tidak begitu lebat itu bersama Ki Lurah Pringgabaya yang tertidur diluar kehendaknya sendiri. Sangkal Putung memang tidak jauh lagi. Beberapa saat kemudian Swandaru dan iring-iringan kecilnya telah memasuki Kademangannya. Anak-anak muda yang melihatnya, menyambutnya dengan gembira. Seolah-olah Swandaru telah bertahun-tahun meninggalkan mereka. Kedatangannya di rumahnyapun telah disambut oleh keluarganya dengan penuh kegembiraan. Anakanak muda dan para pengawal berdatangan sesaat saja setelah anak Ki Demang itu membersihkan dirinya. Namun dalam pada itu Ki Demang terkejut ketika tiba-tiba saja Ki Waskita yang baru saja datang bersama anaknya telah minta diri. Dengan heran Ki Demang bertanya, “Apakah artinya kedatangan Ki Waskita ? Aku akan mempersilahkan Ki Waskita untuk tinggal. Tidak hanya satu hari satu malam. Tetapi untuk beberapa hari dan beberapa malam.” Ki Waskita tersenyum. Memang sulit untuk memberikan alasan. Tetapi ia terpaksa mengatakannya, “Ada keperluanku sedikit Ki Demang. Nanti aku akan kembali lagi ke Sangkal Putung.” “Nanti ? Maksud Ki Waskita hari ini juga ?“ bertanya Ki Demang. “Mungkin hari ini, mungkin besok. Tetapi aku pasti akan sampai di Sangkal Putung kembali,“ jawab Ki Waskita. Ki Demang benar-benar tidak mengerti, kenapa justru Swandaru yang datang bersama Ki Waskita itu sama sekali tidak menahannya. Bahkan setiap kah anak muda itu selalu mengelakkan tatapan matanya, jika Ki Demang berusaha untuk mendapatkan pertimbangannya.

Namun lambat laun, ia mulai berpikir, bahwa jika tidak ada sesuatu tentu anaknya itupun akan ikut menahannya agar Ki Waskita tidak segera meninggalkan Sangkal Putung. Karena itu, akhirnya Ki Demangpun tidak menahannya lagi. Tetapi ketika Ki Waskita meninggalkan Kademangan itu, maka sekali lagi Ki Demang berpesan, “Kami menunggu kedatangan Ki Waskita kembali. Nanti, atau besok pagi-pagi benar.” Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Baiklah Ki Demang. Aku akan berusaha. Tetapi tidak setiap usaha akan berhasil.” “Ah,“ Ki Demang berdesah. Tetapi akhirnya iapun tersenyum. Demikianlah Ki Waskita dengan tergesa-gesa menuju ketempat Raden Sutawijaya menunggu. Ketika ia sampai ditempat itu, ternyata Ki Lurah Pringgabaya sudah duduk dengan lemahnya disebelah Raden Sutawijaya. Kehadiran Ki Waskita membuat Ki Lurah Pringgabaya gelisah. Sambil bergeser ia berkata, “Apa pula yang akan dilakukannya ?” “Aku memintanya kembali setelah ia mengantarkan anak-anak Sangkal Putung,“ desis Raden Sutawijaya. “Raden benar-benar seorang yang pahng bengis yang pernah aku jumpai diseluruh Pajang,“ geram Ki Lurah Pringgabaya. “Mungkin Ki Lurah,“ jawab Raden Sutawijaya, “tetapi apakah Ki Lurah pernah bertanya kepada diri sendiri, kepada saudara seperguruan Ki Lurah dan kepada orang-orang yang mengaku ingin menegakkan kembali kejayaan masa silam itu ?” “Kami melakukan semuanya dalam batas kematian seseorang. Tidak sampai kepada kekejaman jiwani seperti ini. Raden telah menyiksa aku melampaui kematian itu sendiri,“ berkata Ki Lurah. Lalu, “Jika orang lain terbatas pada penyiksaan badani yang tentu akan dapat aku tanggungkan, tetapi Raden berbuat lain.” “Aku tidak yakin Ki Lurah. Jika jiwamu tersiksa itupun hanya karena kau sebenarnya takut menghadapi siksaan badani. Bukankah kau membayangkan bahwa aku akan memaksamu berbicara tentang kau, tentang Ki Pringgajaya, tentang orangorang lain yang bersangkut paut dengan kerja yang kau sebut perjuangan menegakkan kejayaan masa lampau itu ? Jika kau yakin, bahwa kau akan tabah dan tidak takut terjerat

kedalam pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan menuntut kekebalan kulit dan dagingmu, kau tidak usah merasa tersiksa. Kau dengan tenang akan menghadapi semuanya itu. Tanpa kecemasan sama sekali.” “Justru sikap Raden itulah pertanda kebengisan itu,“ geram Ki Pringgabaya. Raden Sutawijaya tidak menjawab. Ketika Ki Waskita kemudian duduk pula disampingnya ia berkata, “Kita akan segera meninggalkan tempat ini Ki Waskita. Jika orang-orang Pajang itu mengambil satu sikap yang tidak kita perhitungkan sebelumnya, mungkin kita akan justru terjebak.” “Marilah Raden. Aku ikuti Raden kembah ke Mataram,“ berkata Ki Waskita. Raden Sutawijayapun kemudian bangkit sambil berkata, “Marilah Ki Lurah. Kita bersama sama pergi ke Mataram.” Ki Lurah Pringgabaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian bangkit berdiri dan berjalan ketempat kudanya ditambatkan, diikuti oleh Ki Waskita dan Raden Sutawijaya. Setelah mereka mengambil kuda masing-masing, maka merekapun segera meninggalkan tempat itu. Arena pertempuran yang berserakan, yang telah mengoyak rimbunnya pepohonan dan batang perdu dihutan yang tidak begitu lebat itu. Terasa betapa letihnya tubuh dan hati Ki Lurah Prmggabaya. Ia sama sekali tidak memperhatikan apapun yang da disekitarnya. Kepalanya menunduk dalam-dalam, sementara kegelisahan mencengkam jantung. Tidak ada orang yang memperhatikan ketiga orang berkuda dalam pakaian petani dan orang-orang kebanyakan itu. Tidak seorangpun yang tahu bahwa salah seorang diantara mereka adalah Senapati Ing Ngalaga di Mataram. Sekali-sekali Ki Waskita berbicara juga dengan Raden Sutawijaya, sementara Ki Lurah berkuda dipaling depan. Sekali-sekali terbersit juga niat Ki Lurah untuk melarikan diri Memacu kudanya tanpa menghiraukan akibat yang dapat terjadi. Karena ia sama sekali tidak lagi menghiraukan kematian. Namun iapun mengerti, bahwa usaha itu akan sia-sia. Raden Sutawijaya dan Ki Waskita tentu akan dapat menangkapnya. Bahkan mungkin ia akan mengalami keadaan yang lebih parah. Malu dan sakit. Ia tidak akan menghiraukan sakit badani yang betapapun juga. Tetapi ia akan menjadi sangat menyesah dirinya karena sakit hati.

Karena itu, niat untuk melarikan diri itupun diurungkannya. Karena kerja itu tentu hanya kerja sia-sia. Dengan demikian, maka merekapun menempuh perjalanan ke Mataram tanpa hambatan apapun juga. Mere ka sempat beristirahat di pinggir Kali Opak Kemudian meneruskan perjalanan ke Barat, seolaholah mereka sedang menuju ketempat matahari akan terbenam. Langit yang bercahaya merah, menampar wajah-wajah yang berkeringat. Debu yang kelabu melekat pada keringat yang mengembun dikening. Ketiga orang berkuda dalam pakaian petani itu nampak lelah dan kotor. Namun dengan pasti mereka menuju kegerbang kota Mataram. Tetapi ternyata bahwa mereka tidak memasuki kota lewat pintu gerbang. Mereka memasuki kota lewat jalan kecil. Kemudian menyusup lewat celah-celah padesan dan sawah-sawah yang sempit dan hampir dipadati dengan halaman-halaman rumah dan kebun-kebun, langsung menuju kerumah yang menjadi pusat pemerintahan di Mataram. Raden Sutawijaya sama sekali tidak segan memasuki regol halaman rumahnya. Penjaga yang melihatnya, sekilas mengerutkan keningnya. Tetapi mereka sudah terlalu biasa melihat Raden Sutawijaya dalam ujudnya yang beribu macam, sehingga karena itu, maka merekapun mengangguk tanpa menyapanya dengan wajah heran. Ki Lurah Pringgabayalah yang merasa heran. Tetapi iapun kemudian menyadari, bahwa pengawalpengawal itu tentu sudah seringkali melihat. Raden Sutawijaya dalam pakaian yang demikian. Dimuka pendapa mereka turun dari kuda. Setelah menyerahkan kuda-kuda itu kepada para pengawal yang mendekat, maka Raden Sutawijayapun berkata kepada Ki Waskita, “Silahkan menemani Ki Lurah dipendapa sebentar Ki Waskita. Perkenankan aku membenahi pakaianku.” Ki Waskita mengangguk sambil menjawab, “Baiklah Raden. Silahkan.” Raden Sutawijaya memandang Ki Lurah Pringgabaya sambil tersenyum. Katanya kemudian, “Silahkan duduk Ki Lurah.” Ki Lurah Pringgabaya menggeram. Kebenciannya kepada anak muda itu benar-benar telah memuncak. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Sejenak Raden Sutawijaya masuk lewat seketheng. Sementara itu Ki Waskita duduk dihadapan Ki Lurah Pringgabaya yang selalu menundukkan wajahnya.

“Ki Lurah,“ tiba-tiba saja Ki Waskita berkata untuk menghalau kekakuan suasana, “banyak yang tidak kita ketahui tentang Pajang. Ki Lurah adalah satu dari untaian rantai rahasia itu. Agaknya memang sulit untuk mendapat keterangan dari Ki Lurah. Tetapi barangkali pertanyaanku tidak menyinggung persoalan pokok yang berkembang di Pajang sekarang. Apakah Ki Lurah bersedia menjawab ?” “Aku tidak akan memberikan keterangan apapun,“ geram Ki Lurah Pringgabaya. “Tidak menyinggung sama sekali dengan persoalan yang sedang kemelut sekarang ini,“ desis Ki Waskita, “aku hanya ingin mengetahui beberapa masalah pribadi Ki Lurah. Terutama tentang asal usul Ki Lurah. Seperti orang kebanyakan yang kurang saling mengenal kadangkadang bertanya, Ki Sanak dari mana ?” Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sambil menggeleng ia menyahut, “Tidak ada gunanya. Aku kira kau cukup mengetahui bahwa aku adalah seorang prajurit Pajang. Terserah, apa yang akan kau katakan tentang diriku. Apakah aku seorang pejuang atas satu cita-cita yang agung, atau kau akan menyebut aku seorang pengkhianat. Kita sudah berbicara cukup banyak dipinggir Kali Praga. Aku kira tidak ada lagi yang perlu kami bicarakan disini.” Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun dengan demikian suasana kembah menjadi hening kaku. Tiang-tiang pendapa itupun nampak tegak membisu, sementara Ki Lurah yang duduk menunduk itupun kemudian membisu pula. Ki Waskita tidak mempunyai cara apapun untuk memancing pembicaraan. Justru karena itu, maka rasa-rasanya ia telah duduk begitu lama dipendapa itu, menunggu Raden Sutawijaya yang menurut perhitungan Ki Waskita, tentu akan berganti pakaian sesuai dengan kedudukannya. Dalam pada itu, di dalam rumahnya. Raden Sutawijaya telah memanggil Ki Juru. Beberapa saat mereka berbincang tentang orang yang tertawan itu. “Ia orang luar biasa paman,“ berkata Raden Sutawijaya, “tidak ada bilik yang dapat menahannya. Ia akan dapat memecahkan dinding kayu yang tebal sekalipun.” “Tetapi ia bukan orang yang kebal ngger. Karena itu, maka bilik yang diperuntukkan baginya, akan dijaga oleh beberapa orang bersenjata. Tentu ia tidak akan dapat memecahkan dinding jika ujungujung tombak siap menusuk jantungnya,“ jawab Ki Juru. Tetapi Raden Sutawijaya tidak puas dengan jawaban Ki Juru Mertani itu. Karena itu, maka katanya, “Paman, orang itu tentu memilih mati. Ia tidak akan menghindar jika ujung-ujung tombak itu menusuk dadanya tepat pada saat ia memecahkan dinding tempat ia dikurung. Dengan demikian ia akan merasa

bebas dari penderitaan yang telah direka-rekanya sendiri.” “Penderitaan apa ?“ bertanya Ki Juru Mertani. “Penderitaan yang menghantuinya. Mungkin ia selalu melakukannya terhadap orang yang ditangkapnya untuk mendapatkan keterangan. Aku kira memang demikian gambaran setiap orang yang tertawan, ia akan diperas dengan segala macam cara agar keterangan yang dipertahankannya akhirnya akan terloncat pula setelah orang itu tidak tahan Jagi mengalami penderitaan,“ jawab Raden Sutawijaya. Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Apakah orang yang disebut Ki Lurah Pringgabaya itu akan diperlakukan demikian disini ?” “Ia sudah mengangankannya,“ jawab Raden Sutawijaya. Ki Juru Mertani mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Ia akan mendapatkan suatu pengalaman baru. Tetapi ia memang memerlukan penjagaan khusus. Jika ia memang menginginkan kematian, maka sebaiknya ditugaskan beberapa orang perwira khusus tanpa senjata. Tetapi kau harus berpesan, bagaimana harus menghadapinya.” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk pula sambil menjawab, “Ya. Ia memerlukan tiga atau empat orang pengawal khusus dalam tataran ilmu yang memadai. Aku akan memberikan petunjuk, bagaimana mengiiadapinya jika ia berusaha melepaskan diri. Sementara harus disediakan alat untuk memberikan isyarat kepada para penjaga dan jika aku ada, aku sendiri akan turun menanganinya.” Demikianlah, maka Raden Sutawijaya dengan persetujuan Ki Juru telah memerintahkan Ki Lurah Branjangan untuk mengatur, bagaimana menahan orang yang disebut Ki Lurah Pringgabaya itu. Beberapa pesan terpenting telah diberikannya. Petunjuk untuk mengatasi ilmunya yang dahsyatpun telah diberitahukannya kepada Ki Lurah Branjangan. Ki Lurah Branjangan memperhatikannya dengan saksama. Iapun termasuk orang berilmu. Tetapi ia tidak mengingkari kenyataan, bahwa menurut penilaian Raden Sutawijaya, ia masih berada dibawah tataran ilmu Ki Lurah Pringgabaya, sehingga Raden Sutawijaya berpesan kepadanya, agar ia menyiapkan empat orang didalam setiap kelompok penjagaan atas tawanan yang seorang itu. Setelah semua pesan penting disampaikan kepada Ki Lurah Branjangan, maka Raden Sutawijayapun segera membenahi diri, dan kemudian keluar dari ruang dalam kependapa. Dipendapa, Ki Waskita duduk dengan gelisah menunggui Ki Lurah Pringgabaya yang menunduk. Demikian ia melihat Raden Sutawijaya keluar dari ruang dalam, maka iapun menarik nafas dalamdalam.

“Maaf Ki Waskita,“ berkata Raden Sutawijaya, “mungkin aku terlalu lama membiarkan Ki Waskita duduk berdua saja dengan Ki Lurah Pringgabaya dipendapa.” Ki Waskita tersenyum. Jawabnya, “Ternyata Ki Lurah adalah seorang pendiam. Aku tidak sempat berbicara tentang apapun juga dengannya. Karena itu, rasa-rasanya aku sudah duduk disini satu bulan lamanya.” Raden Sutawijaya tersenyum. Katanya, “Ada sesuatu yang tidak sesuai pada Ki Lurah Pringgabaya. Tetapi mudah-mudahan ia akan segera dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapinya di tempat ini.” Ki Lurah Pringgabaya sempat mengangkat wajahnya dan memandang Raden Sutawijaya sekilas. Namun pada sorot matanya yang sekilas itu nampak, betapa hatinya yang membara melontarkan kebencian. Tetapi hal itu dianggap wajar sekali oleh Raden Sutawijaya. Karena itu maka ia tidak memberikan tanggapan apapun juga. Sementara itu, Ki Juru Mertanipun kemudian keluar pula kependapa menemui Ki Waskita. Beberapa saat lamanya mereka berbincang tentang berbagai persoalan. Mereka berbicara tentang perkembangan hubungan Pajang dan Mataram. Mengenai keadaan Sultan Hadiwijaya dan mengenai perkembangan Mataram sendiri. Namun pembicaraan itu terputus ketika dengar geram Ki Lurah Pringgabaya memotong pembicaraan itu, “Raden. Jangan menyiksa aku dengan pembicaraan yang tidak jujur itu. Aku mengerti, Raden berusaha untuk mempengaruhi perasaanku. Untuk memberikan gambaran yang lain kepadaku. Tetapi semuanya itu tidak ada gunanya. Karena itu, sebaiknya Raden membunuh aku saja, karena aku tidak akan berguna apapun juga. Akupun tidak akan dapat kau jadikan sumber keterangan apapun tentang orang-orang Pajang yang tentu kau sebut terlibat kedalam pengkhianatan menurut penilaianmu.” Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun sambil menarik nafas dalam-dalam ia berdesah, “Kau terlalu berprasangka buruk Ki Lurah. Aku berbicara tentang apa yang aku ketahui. Aku tidak tahu, yang manakah yang tidak benar dan tidak sesuai dengan kenyataan. Jika Ki Lurah mengetahui, bahwa didalam pembicaraan kami terdapat hal yang tidak sesuai dengan kenyataan, atau tidak sesuai menurut pengetahuan Ki Lurah, aku tidak-berkeberatan jika Ki Lurah memberikan keterangan yang sebenarnya menurut Ki Lurah.” “Jangan menganggap aku kanak-kanak yang baru pandai merajuk,“ jawab Ki Lurah, “itukah caramu yang pertama untuk mengorek keterangan dari mulutku ? Jangan mengharap sesuatu Raden. Tahu atau tidak tahu, aku tidak akan mengatakan sesuatu.” “Baiklah,“ jawab Raden Sutawijaya, ”kau agaknya memang sudah dibekali dengan pengertian yang keras tentang perjuangan yang sedang kau lakukan. Benar atau tidak benar.

Karena itu, kau selalu dibayangi oleh prasangka dan kecurigaan. Tetapi itu bukan salah Ki Lurah. Mungkin bahan yang Ki Lurah terima untuk menilai keadaan itu sendiri.” “Kaulah yang salah menilai dirimu sendiri Raden,“ jawab Ki Lurah, “Kau sangka bahwa dugaanmu tentang aku itu adalah kebenaran.” Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Ki Lurah bagi Raden Sutawijaya bagaikan pintu yang tertutup rapat. Tidak ada seorangpun yang boleh masuk. Tetapi Raden Sutawijayapun yakin, bahwa tidak akan ada seorangpun yang boleh keluar. Dengan demikian maka Ki Lurah itu tentu tidak akan mengatakan sesuatu, tetapi iapun tidak mau mendengarkan keterangan apapun juga. Tetapi Raden Sutawijaya tidak segera kehilangan satu harapan, bahwa pada batu yang betapapun kerasnya, titik-titik air hujan akan dapat mengoreknya. Karena itu, maka Raden Sutawijaya itupun berkata, “Ki Lurah. Aku mengerti bahwa Ki Lurah sudah menentukan satu sikap. Baiklah. Akupun sudah menentukan satu sikap. Aku terpaksa menempatkan Ki Lurah ditempat yang barangkali tidak menyenangkan.” “Aku tahu. Aku akan ditahan disini,“ jawab Ki Lurah. “Ya. Aku mohon Ki Lurah dapat menerima keadaan itu sebaik-baiknya. Jangan mencoba melakukan sesuatu yang dapat menyulitkan diri Ki Lurah sendiri,“ berkata Raden Sutawijaya. “Sulit atau tidak sulit tergantung atas pertimbanganku sendiri. Aku sudah memutuskan, bahwa mati tidak lagi dapat menghantui aku,” jawab Ki Lurah. Terasa sesuatu bergejolak dihati Raden Sutawijaya. Betapapun ia berusaha menahan hati, tetapi kadang-kadang darah mudanya melonjak sampai kekepala. Karena itu, iapun membentak, “Jangan terlalu sombong. Aku dapat berbuat apa saja menurut kehendakku atau Ki Lurah. Diakui atau tidak diakui, aku menang atasmu Ki Lurah. Aku masih berusaha bersikap manis. Tetapi aku dapat menjadi kasar dan buas. Aku bukan orang baik tanpa cacat. Juga bukan seorang pengampun berdarah putih seperti seorang pelaku dalam ceritera pewayangan. Aku masih dapat tersinggung. Masih dapat marah dan mendendam. Dan masih mempunyai nafsu har yang berbangga melihat orang lain menjadi korban kebiadaban.” Bagaimanapun juga, terasa sesuatu menekan jantung Ki Lurah Pringgabaya. Ia melihat sorot mata Raden Sutawijaya yang menjedi garang. Sehingga karena itu, maka iapun tidak menjawab lagi. Ia harus mengakui, bahwa seorang melawan seorang, ia tidak dapat menang atas putera angkat Sultan,

Sutawijaya. Bahkan iapun merasa, bahwa tataran ilmunya masih berada beberapa lapis dibawah anak muda yang aneh itu, seaneh ayahanda angkatnya dimasa mudanya. Seolah-olah demikian saja alam memberikan kemampuan yang tidak terbatas kepadanya sehingga anak muda itu menjadi seorang anak muda yang memiliki ilmu linuwih. Karena itu, maka ketika kemudian Raden Sutawijaya memanggil Ki Lurah Branjangan dan memerintahkan kepadanya untuk membawa Ki Lurah Pringgabaya itu ketempat yang sudah dipersiapkan, maka Ki Lurah itupun tidak membantah. Ia sadar, bahwa Raden Sutawijaya yang sudah menjajagi kemampuannya itupun tentu sudah mempersiapkan tempat dan penjagaan yang memadai sehingga ia memang tidak akan dapat berbuat apa-apa sama sekali. Sepeninggal Ki Lurah Branjangan dari pendapa, maka Ki Waskitapun segera minta diri. Tetapi Raden Sutawijaya masih menahannya. Katanya, “Aku mohon Ki Waskita bermalam saja disini. Aku kira, tidak akan terjadi sesuatu di Sangkal Putung.” “Tentu tidak Raden,“ jawab Ki Waskita, “orang-orang yang kembali ke Pajang itupun tentu tidak akan berbuat apa-apa, karena merekapun tentu sudah memperhitungkan, bahwa anak-anak Sangkal Putung itu sudah berada diantara para pengawal, Kademangan yang cukup kuat.” “Karena itu, biarlah Ki Waskita tinggal barang semalam disini. Besok Ki Waskita dapat kembali ke Sangkal Putung dengan beberapa orang yang akan mengawasi perjalanan Ki Waskita. Bukan karena aku mencemaskan Ki Waskita, bahwa Ki Waskita tidak akan dapat menjaga diri sendiri, tetapi tentu lebih senang mempunyai kawan diperjalanan daripada seorang diri. Ada kawan bergurau. Mungkin dapat sekedar mengurangi kejemuan diperjalanan meskipun tidak terlalu panjang.” Ki Waskita tersenyum. Tetapi ia tidak dapat menolak. Iapun merasa perlu untuk sekedar mengetahui perkembangan serba sedikit tentang tawanan khusus yang memiliki ilmu yang tinggi itu. “Tentu Ki Lurah Pringgabaya tidak akan dengan mudah memenuhi segala macam keinginan orang yang sedang menguasainya. Bahkan mungkin mulutnya akan benar-benar tertutup. Apapun yang akan terjadi atasnya,“ berkata Ki Waskita didalam hatinya, “tetapi mungkin pula Raden Sutawijaya tidak akan tergesa-gesa berbuat sesuatu terhadap Ki Lurah Pringgabaya.” Demikianlah, maka malam itu Ki Waskita tetap berada di Mataram, atas permintaan Raden Sutawijaya. Namun seperti yang diduganya, Raden Sutawijaya memang tidak tergesa-gesa berbuat sesuatu atas tawanan khususnya. Bahkan Raden Sutawijaya lebih banyak berbincang dengan Ki Waskita dan Ki Juru Martani dipendapa tentang berbagai macam persoalan yang berkembang disaat-saat terakhir. Dimalam hari, Ki Waskita tidak segera dapat memejamkan matanya. Ia membayangkan, bahwa

Sangkal Putung dan tentu juga padepokan kecil di Jati Anom selalu berada didalam bayangan yang buram. Dengan mengenal Ki Lurah Pringgabaya, maka Ki Waskita dapat membayangkan, bagaimana kira-kira kemampuan dan sikap orang yang bernama Ki Pringgajaya yang dikabarkan telah mati itu. Raden Sutawijaya telah menyinggung serba sedikit tentang orang yang bernama Pringgabaya dan Pringgajaya. Karena Raden Sutawijaya seolah-olah mengetahui semua yang terjadi seperti ia melihat sendiri peristiwa demi peristiwa. Laporan, pengamatan dan panggraita Raden Sutawijaya yang tajam telah merupakan urutan peristiwa yang lengkap sehingga dengan demikian, maka Raden Sutawijaya dapat menilai semuanya dengan sebaik-baiknya. Sementara itu, di Sangkal Putung, Swandarupun telah memberikan beberapa keterangan yang agak terperinci kepada ayahnya mengenai perjalanannya ke Tanah Perdikan Menoreh. Dengari demikian maka Ki Demangpun mengerti pula, apa yang sedang dilakukan oleh Ki Waskita. Namun karena itu, maka ia bertanya, “Jika demikian, apakah tidak justru keadaan Ki Waskitalah yang harus dipikirkan. Jika ia melakukan perjalanan dari Mataram ke Sangkal Putung seorang diri, apakah hal itu tidak akan berbahaya baginya.” “Ki Waskita adalah orang yang luar biasa. Meskipun nampaknya Raden Sutawijaya, orang yang aneh itu memiliki selapis kelebihan, namun nampaknya Ki Waskita juga tidak akan mudah dikalahkan oleh siapapun juga,“ jawab Swandaru. “Tetapi jika lawannya lebih dari seorang ?” bertanya Ki Demang pula. “Tetapi aku tetap percaya kepada kemampuan Ki Waskita,“ jawab Swandaru seterusnya, “meskipun demikian, Ki Waskita memang harus berhati-hati. Mudahmudahan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu memperhatikan pula.” “Jika Raden Sutawijaya memperhatikannya, apakah yang dilakukannya ? Apakah Raden Sutawijaya akan mengantarkan Ki Waskita datang kemari ?” “Tentu tidak perlu,“ jawab Swandaru. “Jadi ?” “Misalnya, ia dapat memerintahkan dua tiga orang Senapati terpercaya untuk mengawani Ki Waskita,“ jawab Swandaru. Ki Demang mengangguk-angguk. Tetapi ia masih saja dipengaruhi i oleh bayangan-bayangan yang mendebarkan tentang perjalanan Ki Waskita dari Mataram ke Sangkal Putung apabila orang itu benar-

benar akan datang seperti yang dikatakannya. Dalam pada itu, Swandaru yang telah berada ditengah-tengah para pengawal Kademangannya, telah mempersiapkan pengawalan yang kuat. Mungkin orang-orang Pajang yang sengaja dilepas oleh Raden Sutawijaya itu akan berbuat sesuatu. Mungkin mereka telah mendendam, dan menjatuhkan dendamnya kepada Sangkal Putung, karena mereka tidak mengetahui, siapakah orang yang aneh yang mereka hadapi dihutan kecil itu. “Tetapi bahwa mereka telah dilepaskan, seharusnya mereka mengucapkan terima kasih,“ berkata Swandaru kepada diri sendiri. Namun menurut pengalamannya, maka segala kemungkinan dapat terjadi. Orang-orang yang telah dilepaskan dari maut itu justru datang dengan dendam yang membara dihati mereka. Mungkin mereka membawa sekelompok prajurit atau apapun yang mampu untuk bertempur dengan keras dan kasar. Karena itulah, maka menjelang malam, Swandaru yang baru saja datang itu telah menyiapkan para pengawal dari semua padukuhan. Mereka harus berada didalam kesiagaan tertinggi. Selain pasukan pengawal terpilih yang harus berada di Kademangan induk, maka semua pengawal dan anak-anak muda harus berjaga-jaga dipadukuhan masing-masing. Gardu-gardu harus terisi, dan semua anak-anak muda yang tidak berjaga-jaga digardu, telah berada di banjar. Setiap saat mereka dapat bergerak sesuai dengan perkembangan keadaan. Para pemimpin kelompok dari setiap padukuhan hilir mudik disepanjang jalan padukuhan, dari gardu yang satu ke gardu yang lain. Ia selalu mengingatkan pada para pengawal dan anak-anak muda yang berada digardu. Siapa yang harus nganglang, siapa yang harus berada digardu dan siapa yang mendapat giliran beristirahat. “Jangan membuang tenaga sia-sia,“ berkata pemimpin-pemimpin kelompok itu, “jika ternyata tenaga kalian diperlukan, maka tenaga kalian masih segar dan utuh. Karena itu, maka yang tidak sedang bertugas, harus beristirahat sebaik-baiknya. Tetapi setiap saat diperlukan, kalian harus bersiap menghadapi segala kemungkinan.” Karena itu, maka penjagaan dipadukuhan-padukuhan didaerah Kademangan Sangkal Putung itupun dapat berlangsung dengan tertib. Tidak terlalu banyak anak-anak yang berkeliaran. Namun setiap saat diperlukan, mereka telah siap melakukan kewajiban mereka sebaik-baiknya. Beberapa anak-anak muda dan para pengawal yang harus berjaga-jaga dibanjar telah mengisi waktu mereka dengan berbagai macam permainan. Untuk mencegah kantuk, mereka telah bermain macanan, bas-basan, dan bahkan meskipun mereka adalah anak-anak muda, ada juga yang bermain dakon seperti anak-anak perempuan. Semalam suntuk. Sangkal Putung sama sekali tidak lengah. Swandaru sendiri telah memerlukan untuk melihat-lihat kesiagaan di induk Kademangan. Iapun mengunjungi gardu-gardu di sudut-sudut dan dimulut-mulut lorong padukuhan. Lewat tengah maJam baru ia memasuki halaman rumahnya dan

membaringkan dirinya di serambi gandok bersama beberapa orang pengawal yang sedang mendapat giliran beristirahat. Namun ternyata bahwa malam itu tidak terjadi sesuatu atas Kademangan Sangkal Putung. Tidak ada seorangpun yang datang mengganggu ketenangan malam. Sampai saatnya matahari terbit, Sangkal Putung tidak mengalami apapun juga. Tetapi Swandaru yang mempunyai pertimbangan yang jauh, tidak segera kehilangan kewaspadaan. Menurut pertimbangannya, oraug-orang itu akan dapat datang segera, tetapi mungkin pula mereka menunggu kesempatan menghimpun tenaga, atau mereka memang menunggu Sangkal Putung menjadi lengah. Dalam pada itu, ketika matahari terbit, di Mataram Ki Waskita telah membenahi diri untuk menempuh perjalanan ke Sangkal Putung. Ia meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh,dengan maksud untuk mengunjungi Sangkal Putung dan kemudian padepokan kecil di Jati Anom. Jika ia kemudian harus hilir mudik dari Sangkal Putung ke Mataram dan sebaliknya, itu sama sekali tidak pernah direncanakannya sebelumnya, namun ia tidak dapat menolaknya. Setelah minta diri kepada Raden Sutawijaya, Ki Juru Martani, Ki Lurah Branjangan dan para pemimpin yang lain, maka Ki Waskitapun segera berangkat meninggalkan Mataram. Dua orang pengawal terpilih mengawasinya. “Mereka justru akan menjadi momongan Ki Waskita,“ berkata Raden Sutawijaya, “tetapi mereka akan dapat diajak berbicara disepanjang jalan. Mungkin Ki Waskita ingin berhenti dipinggir Kali Opak untuk memberi kesempatan kuda Ki Waskita minum. Mereka akan dapat menemani Ki Waskita duduk direrumputan.” Ki Waskita tertawa. Sebenarnyalah bahwa ia tidak menginginkan menjadi beban orang lain. Tetapi karena hal itu timbul dari niat Raden Sutawijaya sendiri, maka Ki Waskita tidak dapat menolaknya. Demikianlah maka Ki Waskitapun kemudian berangkat meninggalkan Mataram bersama dua orang pengawal terpilih. Sebenarnyalah bahwa memang lebih baik ada kawan berbincang diperjalanan Meskipun jarak antara Mataram dan Sangkal Putung 'bukanlah jarak yang sangat panjang, tetapi berkuda seorang diri melalui jalan-jalan bulak yang lengang dan apalagi dijalan-jalan ditepi hutan, tentu akan terasa sepi. Tetapi bersama dua orang kawan, maka mereka bertiga masih sempat bergurau dan kadang-kadang berbicara dengan sungguh-sungguh mengenai banyak masalah yang sedang dihadapi oleh Pajang dan Mataram. Menurut penilaian Ki Waskita, pengawal dari Mataram itu tidak bersikap dan berpikir sempit. Mereka mempunyai pengertian yang agak menyeluruh tentang persoalan yang sedang dihadapinya. Mereka tidak dengan jiwa kerdil menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Raden

Sutawijaya tentu benar. Tetapi kedua orang pengawal itu melihat Raden Sutawijaya sebagai kebanyakan manusia yang lain. Kadang-kadang khilaf dan bahkan kadang-kadang keras kepala. Namun dalam keseluruhan, maka para pengawal di Mataram mempunyai keyakinan, bahwa sikap yang diambil oleh Raden Sutawijaya yang juga ada cacat celanya itu, merupakan sikap yang paling menguntungkan pada saat-saat seperti yang mereka hadapi. “Sikap mereka agak berbeda dengan sikap orang-orang yang berada didalam lingkungan mereka yang menyebut diri mereka pejuang bagi kejayaan Majapahit yang mereka dambakan akan berulang kembali, tetapi menurut cita-cita yang mereka kehendaki,“ berkata Ki Waskita didalam hatinya, “Mereka memandang sikap mereka berhadapan dengan sikap lingkungan diseputar mereka dengan pandangan yang sempit dan berpusar kepada kepentingan diri pribadi. Dengan demikian, maka mereka akan sulit melihat kebenaran yang lebih umum dari kebenaran menurut penilaian mereka yang sempit. Namun orang-orang yang demikianlah yang biasanya berjuang dengan gigih tanpa mengenal betapa besar nilai pengorbanan mereka dibandingkan dengan usaha yang akan mereka capai, dan bahkan kadang-kadang mereka tidak mau tahu, apakah kepentingan mereka itu akan membentur dan bahkan melanggar kepentingan orang lain.” Demikianlah, sambil berbincang, bergurau dan kadang-kadang bersungguh-sungguh maka ketiga orang itu telah melintasi Kali Opak. Mereka berhenti sejenak memberi kesempatan kuda mereka untuk minum beberapa teguk air dan makan rerumputan segar, sementara mereka bertiga duduk diatas bebatuan dibawah pohon yang rindang. Kemudian setelah kuda mereka puas dengan air dan rerumputan segar, maka merekapun segera melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Sangkal Putung. Kedatangan mereka di Sangkal Putung disambut dengan kesiagaan sepenuhnya oleh para pengawal meskipun disiang hari. Ki Waskita dan kedua pengawal dari Mataram itu tersenyum. Sebenarnyalah bahwa para pengawal Kademangan Sangkal Putung adalah kelompok pengawal Kademangan yang terhitung pahng baik di daerah sepanjang jarak Pajang dan Mataram. Swandaru yang gemuk, yang lebih suka melengkapi namanya dengan Swandaru Geni itu, ternyata telah berhasil membina kawankawannya di Sangkal Putung menjadi sekelompok pengawal yang memiliki kemampuan seorang prajurit. “Tetapi bukankah tidak terjadi sesuatu semalam ?“ bertanya Ki Waskita kepada seorang pemimpin kelompok yang telah mengenalnya. “Tidak Ki Waskita. Semalam Kademangan ini tidak terganggu,“ jawab pemimpin kelompok itu, “seandainya semalam ada sekelompok orang yang ingin mengganggu ketenangan Kademangan ini, maka akan malanglah nasibnya.” Sambil tertawa Ki Waskita berkata, “Tetapi bukankah pernah terjadi, para pengawal tertidur nyenyak ketika seseorang memasuki halaman Kademangan ?”

“Tetapi Swandaru, isteri dan adik perempuannya tidak terkena sirep,“ jawab pemimpin kelompok itu. “Jangan letakkan semua pertanggungan jawab kepada mereka. Kalian harus mesu diri. Berlatih dan berlatih, agar kalianpun dapat membebaskan diri dari pengaruh sirep. Tidak usah berlatih kepada siapapun. Asal kalian mengenal kepribadian kalian lebih mendalam, maka sirep tidak akan dapat menyentuh dan mempengaruhi kalian,“ berkata Ki Waskita yang kemudian meninggalkan pemimpin kelompok yang termangu-mangu itu. Namun kata-kata Ki Waskita itu diperhatikannya benar-benar. Ia mengetahui dengan pasti, siapakah Ki Waskita itu, sehingga iapun yakin bahwa kata-kata itu bukannya asal diucapkannya saja. “Aku akan mencobanya,“ berkata pemimpin kelompok itu, “lebih mengenal diri sendiri. Lebih mengenal diri sebagai satu pribadi.” Demikianlah, maka kedatangan Ki Waskita di Kademangan Sangkal Putungpun telah disambut dengan gembira. Ki Demang yang menerimanya dipendapa segera bertanya tentang keselamatan Ki Waskita diperjalanan. “Aku datang bersama dua orang pengawal dari Mataram,“ berkata Ki Waskita, “tentu tidak akan ada yang mengganggu perjalananku.” “Ah,“ salah seorang pengawal itu berdesah, “kami hanya menemaninya diperjalanan. Jika terjadi sesuatu, justru kamilah yang akan berlindung dibelakang Ki Waskita.” Ki Demang tertawa. Dengan demikian ia mengerti, bahwa sebenarnyalah tidak terjadi sesuatu apapun diperjalanan. Meskipun demikian Swandaru sama sekali tidak mengendorkan kesiagaannya. Ki Waskita dan kedua pengawal dari Mataram itupun menasehatkan kepadanya, agar Sangkal Putung tetap dalam kesiagaan tertinggi menghadapi perkembangan terakhir. “Yang harus kau perhatikan,“ berkata Ki Waskita kepada Swandaru, “dengan tertangkapnya Ki Pringgabaya, maka saudara seperguruannya yang telah dikabarkan mati itu tentu tidak akan tinggal diam. Banyak hal yang dapat terjadi karena pokalnya. Ia akan dapat mengairi semut yang berada disarangnya. Orang-orang Gunung Kendeng, orang-orang Pasisir Endut, orang-orang dari padepokanpadepokan yang pernah dilibatkannya langsung atau tidak langsung, akan dapat dimanfaatkannya, sebelum Pajang sendiri bergolak.” Bahkan, ternyata Ki Waskitapun telah mengingat pula kepentingan padepokan kecil di Jati Anom itu. Mungkin sasaran mereka bergeser lagi. Dari Sangkal Putung ke Jati Anom, setelah terjadi geseran sebahknya. Mereka mencoba mengambil Swandaru sebagai sasaran setelah mereka gagal membunuh Agung Sedayu.

Karena itu, maka Ki Waskitapun kemudian berkata kepada Swandaru, “Hai ini baik juga diketahui oleh saudara seperguruanmu, Swandaru.” Swandaru mengangguk. Iapun menyadari, bahwa padepokan kecil itu akan dapat terancam. Tetapi ia berkata, “Sekarang padepokan itu berada Jangsung dibawah pengawasan Untara. Meskipun demikian, tidak ada buruknya jika kakang Agung Sedayu dan barangkali lebih baik juga guru, mendapat penjelasan seperlunya.” “Aku akan pergi ke Jati Anom,“ berkata Ki Waskita. “Tetapi jangan tergesa-gesa,“ jawab Swandaru, “Ki Waskita sebaiknya bermalam barang satu dua malam disini.” “Aku senang sekali Swandaru. Tetapi bukankah hal ini penting segera diberitahukan kepada Agung Sedayu, atau langsung kepada Kiai Gringsing ?” “Benar Ki Waskita. Tetapi seperti sudah aku katakan. Tidak seorangpun dalam waktu dekat ini berani berbuat sesuatu atas padepokan kecil itu. Beberapa orang prajurit Pajang berada ditempat itu.” Ki Waskita mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa Untara tentu tidak akan sampai hati membiarkan adiknya dalam bahaya. Terutama pada saat adiknya tidak berkesempatan melindungi dirinya sendiri karena keadaannya. Sementara itu, orang-orang Pajang tentu tidak akan berbuat apa-apa, jika ada prajurit Pajang di padepokan itu. Prajurit Pajang yang tentu kepercayaan Untara. Prajurit yang tidak dikuasai oleh pihak yang berdiri pada satu sisi yang buram. Karena itu, maka Ki Waskitapun tidak berkeberatan untuk bermalam di Sangkal Putung. Dua orang pengawal dari Mataram itupun dipersilahkan bermalam pula satu malam bersama Ki Waskita. Dimalam hari mereka sempat melihat kesiagaan yang tinggi dari anak-anak muda Sangkal Putung. Lebih baik dari kesiagaan mereka disiang hari karena hampir semua anak-anak muda dapat ikut serta selain para pengawal. Sementara disiang hari sebagian mereka harus bekerja disawah dan ditempat kerja mereka masing-masing. Kedua pengawal dari Mataram itu sempat mengagumi ketangkasan anak-anak muda Sangkal Putung. Meskipun mereka sekedar pengawal Kademangan, namun kesigapan mereka tidak ubahnya seperti prajurit yang telah dengan segenap hati menyerahkan dirinya kedalam tugas-tugas keprajuritan mereka. Namun dalam pada itu, justru melihat kesiagaan yang tinggi pada para pengawal di Sangkal Putung, Ki Waskita teringat lagi akan Agung Sedayu. Ia sudah mendengar apa yang telah terjadi di padepokan kecil. Baik dari Raden Sutawijaya yang seolah-olah memiliki sejuta pasang mata disegenap sudut tanah ini, maupun dari Swandaru sendiri.

“Apakah prajurit Pajang itu masih belum ditarik dari padepokan kecil itu ? “ pertanyaan itu agak menggelisahkannya. Namun ia sendiri mencoba menjawab, “Tentu Untara mempunyai penilaian yang tepat atas keadaan adiknya. Jika padepokan itu masih terancam bahaya, tentu Untara masih akan melindunginya.” Tetapi dengan demikian Ki Waskita tidak dapat melupakan sama sekali kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di padepokan kecil itu. Dipagi hari berikutnya, maka kedua orang pengawal dari Mataram itupun mohon diri untuk kembah. Ketika Ki Demang Sangkal Putung minta agar mereka bermalam semalam lagi, maka dengan menyesal mereka terpaksa menolak. “Mungkin aku akan segera mendapat tugas baru,“ berkata salah seorang dari kedua pengawal itu. Karena itulah, maka keduanyapun terpaksa meninggalkan Sangkal Putung, yang menurut mereka, memiliki kemampuan melampaui dugaannya. Tetapi demikian kedua orang itu berpacu meninggalkan Kademangan Sangkal Putung, Ki Waskitapun menemui Ki Demang dan Swandaru untuk minta diri pula. “Ada semacam kegelisahan dihatiku,“ berkata Ki Waskita. “Sudah aku katakan,“ jawab Swandaru, “ada prajurit Pajang di Padepokan itu. Bukankah dengan demikian, tidak akan terjadi sesuatu atas mereka ?” “Mudah-mudahan. Tetapi mungkin prajurit-prajurit itu sudah ditarik. Mungkin juga belum. Tetapi biarlah aku pergi ke Padepokan itu barang semalam. Mungkin besok atau lusa, aku akan datang lagi kemari. Bukankah jarak antara Sangkal Putung dan Jati Anom tidak jauh ? Mungkin aku akan berada di Jati Anom dan Sangkal-Putung beberapa pekan,“ berkata Ki Waskita selanjutnya. Ki Demang Sangkal Putung dan Swandaru ternyata tidak dapat menahan orang tua itu. Ki Waskita memberikan beberapa alasan yang tidak dapat dielakkan lagi. Namun sebenarnyalah Swandaru sendiri juga ingin segera memberitahukan peristiwa yang terjadi itu kepada gurunya dan kepada Agung Sedayu. Karena itu, disamping keinginannya untuk menahan Ki Waskita agar tetap berada di Sangkal Putung, terselip pula keinginannya agar seisi Padepokan kecil itu segera mengetahui persoalannya. Dengan demikian mereka akan dapat menyiagakan diri menghadapi segala kemungkinan. Terlebihlebih lagi jika prajurit-prajurit Pajang yang ditempatkan Untara di Padepokan itu sudah ditarik. Bahkan hampir diluar sadarnya Swandaru bertanya, “Ki Waskita. Apakah kecemasan Ki Wsakita itu bersumber kepada penglihatan Ki Waskita atas apa yang bakal terjadi dipadepokan kecil itu ?” “O, tidak. Tidak,“ jawab Ki Waskita dengan serta merta,

“sama sekali bukannya penglihatanku atas isyarat yang dapat aku tarik artinya seperti yang kau maksudkan. Aku hanya cemas karena hubungan peristiwa yang terjadi. Dengan demikian, maka pertimbangan nalarkulah yang nampak, bukan isyarat penglihatan batinku.” Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Jika demikian, maka persoalannya tidak terlalu memberati perasaannya. Kemungkinan yang dicemaskan oleh Ki Waskita itu bukannya gambaran peristiwa dalam penglihatannya yang tajam dalam isyarat. Namun demikian, akhirnya Swandaru, Ki Demang dan keluarganya tidak dapat menunda lagi keinginan Ki Waskita untuk berangkat. Karena itu maka merekapun kemudian melepaskan orang tua itu pergi seorang diri. Semula Swandaru bermaksud menyerahkan dua atau tiga orang pengawal untuk menemani perjalanan Ki Waskita ke Jati Anom. Namun ternyata Ki Waskita menolaknya. “Tidak perlu,“ berkata Ki Waskita, “jarak ini terlalu pendek. Hanya beberapa kejap saja aku akan sudah berada di Padepokan kecil itu.” Karena itulah, maka sejenak kemudian Ki Waskita sudah berpacu seorang diri mehntasi bulak panjang dan pendek. Namun kemudian juga melalui jalan dipinggir hutan yang tidak terlalu lebat. Kudanya berpacu dengan kecepatan yang tinggi. Hanya apabila ia melewati bulak yang disebelah menyebelah sawahnya baru dikerjakan, ia memperlambat lari kudanya, agar tidak terlalu menarik perhatian orang-orang yang sedang sibuk bekerja disawah. Perjalanan ke Jati Anom memang tidak terlalu lama. Sebenarnyalah kedatangan Ki Waskita ke Jati Anom memang mengejutkan. Isi padepokan kecil itu tidak menyangka bahwa Ki Waskita tiba-tiba saja telah datang seorang diri. Dengan serta merta, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun berlari-lari menyongsongnya. Kemudian Sabungsari dan Kiai Gringsing serta Ki Widura yang berada dipadepokan itu pula. Setelah Glagah Putih menerima kudanya dan menambatkannya, maka Ki Waskitapun segera dipersilahkan naik kependapa. Kiai Gringsinglah yang kemudian menerimanya dan bertanya kepada tamunya tentang keselamatannya diperjalanan. “Sebagaimana Kiai lihat,“ jawab Ki Waskita sambil tersenyum, “aku selamat sampai kepadepokan kecil ini.

Mudah-mudahan padepokan inipun selalu mendapat perlindungan dari Yang Maha Kuasa.” Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Perlindungan Yang Maha Kuasa melimpah atas kami semuanya disini. Bagaimanapun juga badai melanda padepokan kecil ini, kami ternyata tetap selamat dan sehat-sehat saja.” Ki Waskita mengangguk-angguk. Agung Sedayu dan anak muda yang bernama Sabungsari itupun ternyata telah nampak sembuh dari luka-lukanya. Karena itu maka Ki Waskitapun berkata, “Meskipun aku tidak melihat, tetapi aku mendengar banyak tentang padepokan ini.” “Dari siapa ?“ bertanya Kiai Gringsing, “sumber keterangan itu ternyata sangat mempengaruhi keterangan yang disampaikan sesuai dengan kepentingan sumber itu sendiri.” Ki Waskita tersenyum. Jawabnya, “Sumbernya dapat dipertanggung jawabkan.” “Siapa ?” “Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga dan anak-anak Sangkal Putung.” jawab Ki Waskita. “O,“ Kiai Gringsing mengangguk-angguk, “benar. Jika nama-nama itu, maka mereka memang dapat dipercaya. Tetapi apa katanya ?” “Hampir lengkap. Ternyata Raden Sutawijaya mengetahui segalanya yang pernah terjadi. Sementara Swandarupun telah melengkapi segala keterangan itu. Bahkan kemudian mengalami peristiwa yang tentu belum kalian ketahui,“ berkata Ki Waskita kemudian. Yang mendengarkan keterangan itu menjadi berdebar-debar. Tentu bukan peristiwa yang biasa. Apalagi orang-orang dipadepokan kecil itu mengetahui bahwa Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Sejak mereka meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh, singgah di Mataram, kemudian kembali ke Sangkal Putung. Ternyata peristiwa itu sangat menarik. Agung Sedayu dan Sabungsari mendengarkannya dengan kerut merut dikeningnya. Kadang-kadang mereka menjadi tegang. Namun kemudian merekapun menarik nalas dalam-dalam. Ketika Ki Waskita selesai dengan ceriteranya. Kiai Gringsingpun menarik nafas dalam-dalam sambil bertanya, “Jadi di Mataram kini tertawan orang yang bernama Pringgabaya yang disebut Ki Lurah itu ?” “Ya Kiai,“ jawab Ki Waskita.

“Sokurlah. Tuhan masih melindungi Swandaru. isteri dan adiknya. Salah seorang lantarannya adalah Ki Waskita,“ berkata Kiai Gringsing. “Hanya lantaran,“ desis Ki Waskita, lalu, “akupun hampir kehabisan akal ketika orang-orang Pajang dan Ki Lurah itu muncul lagi dihutan yang hanya berjarak beberapa ratus tonggak dari Sangkal Putung. Ternyata Tuhan benar-benar mehndungi kami. Diluar dugaan, maka Raden Sutawijaya telah hadir pula dihutan itu.” “Kita wajib mengucap sokur sekali lagi dan sekali lagi,“ desis Kiai Gringsing. Agung Sedayu dan Sabungsaripun menjadi berdebar-debar Sementara Ki Widura berkata, “Persoalannya tentu masih panjang.” “Ya,“ sahut Ki Waskita, “persoalannya tentu masih akan berkepanjangan.” “Orang-orang Pajang itu tentu akan melaporkan apa yang diketahuinya tentang anak-anak Sangkal Putung itu,“ desis Ki Widura, “selebihnya, merekapun tentu memperhitungkan kemungkinan yang bakal terjadi dengan Ki Lurah Pringgabaya yang mereka tinggalkan itu. Meskipun mereka tidak mengerti dengan pasti, bagaimana dengan nasib Ki Lurah Pringgabaya, terlebih-lebih lagi karena mereka tidak tahu siapakah orang yang telah melibatkan diri kedalam pertempuran itu, namun beberapa orang ahli di Pajang, tentu akan berusaha mengurai persoalan itu dan menemukan beberapa kesimpulan. Biasanya salah satu kesimpulan itu sangat mendekati kebenaran.” “Memang mungkin,“ berkata Kiai Gringsing, “dengan demikian maka persoalannya justru akan meningkat semakin gawat. Bahwa Ki Pringgabaya berada di Mataram itupun pasti akan menimbulkan beberapa akibat. Berdasarkan keterangannya, Raden Sutawijaya tentu akan mengambil beberapa langkah penertiban dan meningkatkan kesiagaan.” “Bahkan mungkin akan lebih jauh lagi,“ gumam Ki Widura. Ki Waskita mengangguk-angguk. Kemungkinan-kemungkinan yang gawat memang dapat terjadi, justru karena Ki Lurah termasuk orang penting bagi lingkungannya. Berita tentang peristiwa yang dialami oleh Swandaru itu ternyata telah menggelisahkan hati seisi padepokan itu. Tindakan yang diambil oleh orang-orang yang menyusun satu kekuatan disamping kekuatan Pajang dan Mataram yang sedang tumbuh itu, agaknya benar-benar telah melangkah semakin jauh. “Sebenarnyalah, kita memang harus berhati-hati,“ berkata Kiai Gringsing, “pada suatu saat, mereka akan bertindak dengan terbuka tanpa bersembunyi-sembunyi lagi.”

“Jika demikian, bukan hal itu akan dapat disebut satu pemberontakan ?“ bertanya Agung Sedayu. “Kalau mereka sudah merasa kuat dan memiliki dukungan yang cukup, apa salahnya dengan sebutan itu ?” “Mereka tidak takut lagi kepada siapapun juga, termasuk Kangjeng Sultan dan Senapati Ing Ngalaga,“ jawab Kiai Gringsing. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia masih bertanya, “Bagaimana pendapat guru tentang kemungkinan yang demikian ?” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Jawabnya, ”Aku kira arah perjuangan mereka memang kesana. Namun mungkin mereka masih akan mencari kemungkinan lain. Jika mereka berhasil membenturkan kekuatan Pajang dan Mataram, maka mereka akan mendapat banyak keuntungan tanpa perlawanan terbuka itu.” “Agaknya hal itulah yang sedang mereka usahakan lebih dahulu,“ berkata Ki Waskita. “Nampaknya memang demikian,“ sahut Ki Widura. “setiap kali Pajang selalu dengan cara yang menyolok dengan sengaja menarik perhatian semua orang, melihat-lihat apa yang terjadi di Mataram.” “Sementara Raden Sutawijaya tetap berkeras dengan sikapnya. Tidak mau menghadap ayahanda Sultan yang sedang sakit-sakitan itu.“ sambung Kiai Gringsing. Yang lain mengangguk-angguk. Mereka melihat, bahwa persoalan, yang gawat sedang merayap mendekati hubungan Pajang dan Mataram. Semakin lama semakin gawat, dan bahkan kini mulai terasa sentuhan kegawatan itu semakin dalam. Karena itulah, maka seperti di Sangkal Putung, pada padepokan kecil itupun merasa perlu untuk bersiaga. Masih ada pengawasan yang dipasang oleh Untara dipadepokan itu dengan tidak langsung. Ternyata Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda masih ditempatkan dipadepokan itu bersama dua orang petugas sandi yang lain. Tetapi dipadepokan itu sudah tidak nampak prajurit Pajang di Jati Anom yang mehndungi padepokan itu dengan terbuka. Sementara itu, orang-orang Sabungsari masih berada ditempat itu pula. Mereka tidak lagi berniat meninggalkan padepokan kecil itu jika tidak atas perintah Sabungsari. Justru semakin Lama mereka ternyata semakin berhasil menyesuaikan diri dengan kehidupan dipadepokan itu. Mereka semakin lama menjadi semakin dekat dengan anak-anak muda yang menjadi cantrik dipadepokan itu disamping Agung Sedayu dan Glagah Putih. Peristiwa yang terjadi atas Swandaru itu semakin mendorong Glagah Putih untuk menempa diri. Meskipun kemajuan yang pesat telah dipanjatnya, namun ia masih tetap merasa, betapa lambatnya. Ia merasa tidak lebih dari seekor siput yag merambat diatas pasir. Bahkan seolah-olah tidak maju sama sekali. Ki Waskita yang kemudian berada dipadepokan itu melihat, betapa besarnya tekad yang bergejolak dihati anak muda yang bernama Glagah Putih itu.

“Ayahnya seorang perwira yang baik,“ berkata Ki Waskita didalam hatinya, “tentu ia akan menjadi seorang anak muda yang luar biasa. Agaknya tidak akan jauh berbeda dengan kakak sepupunya. Bahkan ada beberapa kesamaan, meskipun pada dasarnya keduanya bertolak dari arah yang jauh berbeda.” Ki Waskitapun telah mengetahui, betapa Agung Sedayu pada mulanya seorang penakut. Sementara Glagah Putih memiliki sifat yang jauh berbeda dimasa kanak-kanak dan remajanya. Namun keduanya adalah anak muda yang memiliki kecerdasan yang tinggi. Yang menarik perhatian Ki Waskita, bukan saja Glagah Putih. Tetapi ternyata anak-anak muda yang telah menyatakan dirinya menjadi cantrik dipadepokan itupun telah dengan tekun mematuhi segala perintah dan tugas mereka. Diantaranya adalah mempelajari ilmu kanuragan. Meskipun kemajuan mereka tidak sepesat Glagah Putih, tetapi bukan berarti bahwa mereka tidak meningkat. Dibawah pimpinan orang-orang berilmu dipadepokan itu, mereka meningkat selapis demi selapis. Meskipun masih pada tingkat permulaan, namun kerja keras yang mereka lakukan tidak mengecewakan. Ternyata Ki Waskita merasa lebih mapan berada dipadepokan itu daripada di Sangkal Putung. Ada beberapa hal yang rasa-rasanya lebih mengikatnya. Meskipun sekali ia memerlukan juga mengunjungi Sangkal Putung, namun ia segera kembah kepadepokan di Jati Anom itu. Padepokan kecil itupun ternyata telah berkembang pula. Kiai Gringsing dengan ijin Untara telah memperluas halaman dan kebun padepokannya. Ada beberapa orang anak muda yang menambah penghuni padepokan itu, sementara mereka telah mendapat ijin pula untuk membuka sawah secukupnya. Dengan demikian, maka kekuatan padepokan kecil itupun semakin hari semakin bertambah. Kecuali peningkatan ilmu yang disadap oleh para cantrik, ternyata bahwa orang-orang terpenting dari padepokan itupun masih bekerja keras untuk meningkatkan ilmu masing-masing. Glagah Putih berlatih tanpa mengenal lelah. Agung Sedayu sendiri selalu menyisihkan waktu bagi dirinya sendiri. Sementara Sabungsaripun tidak jemu-jemunya mengembangkan dasar-dasar ilmu ayahnya yang telah sepenuhnya tertuang kepadanya. Sementara itu, di Mataram Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga masih berusaha untuk dapat berbicara dengan Ki Lurah Pringgabaya tentang keadaan di Pajang. Tetapi Ki Lurah Pringgabaya benar-benar seorang yang keras hati. Bagaimanapun juga, ia sama sekali

tidak mau mengatakan apapun juga tentang dirinya sendiri dalam hubungannya dengan Ki Pringgajaya dan dengan kelompok yang sedang bermimpi tentang kejayaan masa lampau menurut cita-cita mereka sendiri. Dengan segala cara Raden Sutawijaya telah mencoba untuk memancing keterangan dari Ki Pringgabaya. Tetapi Raden Sutawijaya tidak pernah berhasil. Meskipun ia memang sudah menduga, bahwa Ki Lurah itu akan tetap pada sikapnya, tetapi kadang-kadang Raden Sutawijaya hampir kehabisan kesabaran. “Paman,“ berkata Raden Sutawijaya kepada Ki Juru Martani, “cobalah paman menemuinya sekali lagi. Aku kurang yakin akan diriku sendiri, apakah aku dapat menahan diri menghadapi orang yang keras hati seperti Ki Lurah Pringgabaya, meskipun orang itupun sudah melambari niatnya apapun yang akan terjadi atasnya.” Ki Juru Martani menarik nafas dalam-dalam. Namun jawabnya, “Baiklah ngger. Aku akan mencobanya, meskipun aku kira, ia akan tetap pada sikapnya.” “Ia memang teguh hati. Tetapi ada juga baiknya paman mencobanya,“ desis Raden Sutawijaya. Terasa betapa gejolak hati anak muda itu. Karena itu, Ki Juru Martanipun merasa khawatir pula jika pada suatu saat, Raden Sitawijaya itu kehabisan kesabaran sehingga ia melakukan tindakan kekerasan. “Itu tentu kurang bijaksana,“ desis Ki Juru didalam hatinya. Karena itulah, maka Ki Jurupun mencobanya sekali lagi. Dengan hati yang berdebar-debar ia memasuki bilik tempat Ki Lurah Pringgabaya tertawan. Ketika pintu terbuka, Ki Lurah yang duduk tepekur itu berpaling sekilas. Namun ia menjadi acuh tidak acuh melihat kehadiran Ki Juru Martani. Ia sama sekali tidak beringsut dari tempat duduknya. Bahkan iapun segera kembali tepekur merenungi dirinya sendiri. “Ki Lurah,“ desis Ki Juru yang kemudian duduk disampingnya, “sudah beberapa saat lamanya Ki Lurah berada dibilik ini. Sementara itu Ki Lurah masih belum bersedia memberikan keterangan tentang apapun juga. Apakah hal itu tidak berarti, bahwa penyelesaian mengenai diri Ki Lurah akan tertunda-tunda ? Sebenarnya ada niat kami untuk menyerahkan Ki Lurah kepada yang berwenang mengadili Ki Lurah di Pajang. Tetapi karena bahan bahan yang akan kami serahkan bersama Ki Lurah masih belum lengkap, maka kami masih memerlukan beberapa keterangan tentang kegiatan Ki Lurah. Tentu bukan tanpa maksud bahwa Ki Lurah ingin membunuh Swandaru. Pertama di pinggir Kali Praga. Kedua di hutan yang sudah dekat dengan Kademangan Sangkal Putung itu.” “Ki Juru benar,“ sahut Ki Lurah Pringgabaya, “jika aku melakukannya, tentu bukannya tanpa maksud.” “Nah, maksud Ki Lurah itulah yang ingin kami ketahui untuk melengkapi bahan pengantar penyerahan kami atas Ki Lurah Pringgabaya kepada yang berwenang di Pajang, karena Ki Lurah adalah Prajurit

Pajang,“ berkata Ki Juru. Ki Lurah tersenyum pahit. Katanya, “Jangan seperti anak-anak Ki Juru. Ki Juru Martani adalah orang yang pinunjul. Karena itu tentu Ki Juru mengerti, bahwa aku tidak akan berbicara apapun juga, sebagaimana jika Ki Juru mengalami.” “Apakah demikian yang dilakukan oleh orang-orang pinunjul ?“ bertanya Ki Juru. “Bertanyalah kepada diri Ki Juru sendiri,“ jawab Ki Lurah. Ki Juru menarik nafas panjang. Katanya, “Mungkin memang demikian yang dilakukan oleh orangorang pinunjul. He, dengan demikian bukankah Ki Lurah termasuk orang pinunjul ?” “Jangan bergurau seperti anak yang kurang waras,“ geram Ki Lurah, “aku sama sekali tidak tertarik dengan kesimpulan-kesimpulan cengeng seperti itu.” “Baiklah. Tetapi sikap Ki Lurah memang menarik. Mungkin Ki Lurah memang ingin disebut seorang yang pinunjul. Seorang yang memiliki kelebihan dari orang lain. Tetapi apakah Ki Lurah pernah bertanya kepada diri sendiri, seandainya Ki Lurah orang pinunjul. dalam hubungan apakah maka Ki Lurah mendapat sebutan itu.” “Cukup,“ geram Ki Lurah, “jangan membakar hatiku. Aku masih tetap seorang yang tidak takut mati.” “Jika Ki Lurah tidak takut mati ?“ bertanya Ki Juru. “Aku dapat berbuat apapun meskipun diruang sempit ini. Aku tidak peduli jika para pengawal itu menyergap masuk dengan ujung tombak menunjuk kearah dadaku.” jawab Ki Lurah tegas. “Kau akan melawan aku ?“ bertanya Ki Juru. Pertanyaan itu sederhana. Tetapi membuat jantung Ki Lurah menjadi berdebaran. Ia tidak segera menemukan jawab atas pertanyaan itu justru karena ia tahu, siapakah Ki Juru Martani itu. Seorang tua saudara seperguruan dengan Ki Gede Pemanahan. Ayah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga. “Ki Lurah,“ bertanya Ki Juru kemudian, “kau tentu mengenal aku. Kau sendiri sudah mengatakan bahwa aku adalah orang pinunjul menurut penilaianmu. Jika kau memang seorang yang pinunjul, marilah. Lakukanlah. Aku akan menutup pintu dan memerintahkan agar para pengawal jangan masuk

apapun yang akan terjadi atasku.” Ki Lurah menundukkan kepalanya. Meskipun Ki Juru menjadi semakin tua, tetapi suaranya masih tetap menghentak-hentak didadanya. Tantangan itu benar-benar merupakan satu tekanan yang berat baginya. Betapa ia tidak takut mati, tetapi ia tidak dapat ingkar dari satu pengakuan, siapakah Ki Juru Martani itu. Karena itu, maka Ki Lurah sama sekali tidak dapat menjawab. Ada semacam gejolak yang dahsyat didalam jiwanya. Karena Ki Lurah Pringgabaya itu tidak segera menjawab, maka Ki Jurupun berkata, “Lupakanlah Ki Lurah. Aku tidak benar-benar ingin berbuat demikian. Aku hanya ingin mencoba berbicara sebagai seorang yang berjiwa laki-laki meskipun rambutku sudah menjadi semakin putih. Tetapi cara itupun tidak akan mencapai hasil yang aku maksudkan. Sebenarnyalah bahwa aku hanya ingin mendapat keterangan serba sedikit tentang dirimu, tentang Ki Pringgajaya yang disebut-sebut telah mati itu dan orang-orang lain yang terlibat kedalamnya.” Tetapi Ki Pringgabaya telah menggelengkan kepalanya lagi. Katanya, “Tidak ada yang dapat aku katakan.” “Bagaimana jika Ki Pringgajaya itu aku hadapkan kemari ?“ bertanya Ki Juru tiba-tiba. Pertanyaan itu telah mengejutkan Ki Pringgabaya. Sekilas nampak wajahnya menegang. Namun kemudian kembali ia tepekur dengan sikap acuh tidak acuh. Katanya dengan suara datar, “Apakah Ki Juru akan membongkar kuburannya.” Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Yang sekilas itu telah cukup bagiku Ki Lurah. Ki Pringgajaya memang belum mati.” “Kau berbimpi,“ desis Ki Pringgabaya, “seperti kebanyakan orang maka Ki Juru Martani telah menyiapkan jawab sebelum mengucapkan pertanyaan. Dan itu adalah sikap orang kebanyakan.” “Aku memang orang kebanyakan. Kaulah yang menyebut aku orang pinunjul,“ sahut Ki Juru Martani, “tetapi jangan kau kira bahwa kesimpulan yang aku ambil itu adalah sekedar bermimpi. Seorang yang kami tangkap di pinggir Kali Praga itupun mengatakan demikian. Sementara penyelidikan kami atas kubur Ki Pringgajaya-pun telah mengarah kepada satu kesimpulan bahwa kubur itu sama sekali bukan kubur Ki Pringgajaya.” Sekali lagi wajah Ki Pringgabaya menegang. Namun kemudian katanya acuh tidak acuh, “Terserah kepada Ki Juru Martani. Jawab apa saja yang akan Ki Juru kehendaki.” Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Ki Lurah Pringgabaya benar-benar tidak dapat dipancingnya

untuk berbicara. Ia hanya mendapat kesan-kesan sekilas pada wajahnya. Tetapi ia sama sekali tidak mendapatkan pengakuan. “Baiklah,” berkata Ki Juru, “kau tidak mengatakan sesuatu tentang dirimu, hubunganmu dengan orangorang tertentu dan tentang alasan-alasan mengapa kau melakukan sesuatu, khususnya terhadap anakanak Sangkal Putung itu. Tetapi kaupun bukan anak-anak. Kaupun tentu sudah mengetahui, bahwa pertanyaan-pertanyaan kami sebenarnya tidak perlu bagi kami. Tetapi hanya perlu bagi Ki Lurah sendiri. Kami sudah tahu jawab dari segala pertanyaan kami. Jika pertanyaan itu terpaksa kami lontarkan dan kami ingin mendengar jawab Ki Lurah, maka itu hanyalah karena kami ingin mendengar pengakuan Ki Lurah yang akan melengkapi dan mempercepat penyerahan kami atas persoalan Ki Lurah kepada pimpinan keprajuritan di Pajang.” Ki Lurah Pringgabaya menarik nafas dalam-dalam. “Sudahlah Ki Lurah,“ berkata Ki Juru Martani, “Ki Lurah tidak ingin menolong diri Ki Lurah sendiri. Dengan demikian, maka Ki Lurah akan berada didalam bihk ini untuk waktu yang tidak terbatas.” “Aku tidak berkeberatan,“ jawab Ki Lurah Pringgabaya. “Aku tahu, Ki Lurah adalah orang yang berhati baja,“ sahut Ki Juru Martani, “pada suatu saat Ki Lurah akan kami tunjukkan kepada para pemimpin di Mataram, agar mereka mengambil teladan pada Ki Lurah.” “Jangan main-main Ki Juru,“ desis Ki Lurah Pringgabaya. “Tidak. Kami akan melakukan sebenarnya. Kami akan membawa Ki Lurah kepaseban dan menunjukkan kepada para pemimpin Mataram, inilah contoh seorang laki-laki,“ desis Ki Juru. “Di paseban mana ?“ bertanya Ki Lurah tiba-tiba, lalu, “apakah Ki Juru Martani sudah membayangkan, bahwa di Mataram akan terdapat paseban seperti di Pajang ?” Ki Juru tersenyum. Jawabnya, “Kesimpulanmu memang melontar terlalu jauh. He, kau sempat juga berpikir Ki Lurah.” “Tidak perlu dipikirkan Ki Juru,“ jawab Ki Lurah, “jadi kesimpulan yang diambil adalah benar. Mataram memang ingin memberontak terhadap Pajang. Karena orang-orang Mataram telah membayangkan untuk membuat sebuah istana lengkap seperti di Pajang, sementara itu Mataram juga sudah merintis satu tata cara seperti di istana Pajang.” Ki Juru tertawa. Katanya, “Kesimpulan yang memang berdasarkan atas perhitungan nalar. Tetapi baiklah aku mempergunakan istilah yang lain. Ki Lurah akan kami bawa kependapa pada saat para pemimpin di Mataram berkumpul.

Kami akan mempersilahkan Ki Lurah berdiri dan memberikan beberapa penjelasan tentang sifat dan sikap Ki Lurah. Karena sebenarnyalah Ki Lurah pantas menjadi contoh.” “Kau sangka orang-orang Mataram akan dapat memperlakukan aku demikian ? “geram Ki Lurah. “Kenapa tidak ?“ sahut Ki Juru, “aku dapat memaksa Ki Lurah dengan cara yang khusus. Angger Sutawijaya dapat juga memaksa Ki Lurah dengan caranya.” “Aku tidak akan beranjak dari bilik ini sampai mati,“ geram Ki Lurah. Tetapi Ki Juru masih tertawa. Katanya, “Baiklah. Jika demikian, maka pintu bilik ini akan kami buka. Setiap orang akan melihat Ki Lurah dari luar pintu. Mereka akan berjalan seorang demi seorang berurutan sambil menjengukkan kepalanya. Aku akan berdiri dipintu sambil berceritera tentang sifat seorang laki-laki seperti Ki Lurah ini.” Wajah Ki Lurah menjadi merah membara. Tetapi kemudian katanya datar, “Terserah, apa yang akan Ki Juru lakukan. Dengan perlakuan Ki Juru terhadap seseorang akan dapat ditilik, siapakah sebenarnya orang yang disebut Ki Juru Martani itu. Seorang saudara seperguruan Ki Gede Pemanahan, pimpinan prajurit Pajang pada waktu itu. Ayahanda Raden Sutawijaya yang kini bergelar Senapati Ing Ngalaga.” “Aku orang linuwih,“ berkata Ki Juru Martani sambil tertawa, “aku dapat mengambil sikap yang manapun juga. Dan kau boleh menilai sikapku itu sesuai dengan sudut pandanganmu. Aku tidak berkeberatan. Apalagi kau bukan atasanku yang akan menentukan anugerah kepadaku. Juga karena kau tidak akan keluar dari bihk ini, penilaianmu atas sifat dan sikapku akan tetap kau bawa duduk tepekur disini untuk waktu yang tidak terbatas.” Terdengar Ki Lurah menggeram. Gejolak jantungnya hampir tidak dapat ditahankannya lagi. Kemarahan yang menghentak-hentak didada itu hampir-hampir telah mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Tetapi ia tetap sadar, bahwa yang dihadapi itu adalah Ki Juru Maratani. Apapun yang akan dilakukannya, tentu akan sia-sia, dan barangkali hanya akan menambah kesulitan dan bahkan malu. Karena itu, yang terdengar hanyalah gigi yang gemeretak. Namun Ki Lurah Pringgabaya tidak berbuat apapun juga. Sejenak kemudian, Ki Juru itupun bangkit berdiri sambil berkata, “Untuk sementara, silahkan tinggal didalam bilik ini Ki Lurah.” Ki Lurah memandang Ki Juru sekilas. Ketika Ki Juru kemudian melangkah keluar, maka Ki Lurah Pringgabayapun kemudian kembali tepekur. Ia kembali acuh tidak acuh

terhadap keadaan disekehlingnya Didalam bihk yang gelap, dibatasi dengan papan kayu yang tebal. Sebenarnyalah jika Ki Lurah mencoba memecahkan dinding kayu itu, ia tidak akan banyak mengalami kesulitan. Tetapi tentu tidak akan ada gunanya. Demikian kayu itu retak, maka sepuluh ujung tombak tentu sudah menunggunya, siap untuk merobek dadanya. “Biarlah aku mati. Itu lebih baik daripada aku harus mengalami keadaan seperti ini,“ berkata Ki Lurah didalam hatinya. Tetapi ia masih ragu-ragu. Ia masih mencemaskan kehadiran Ki Juru Martani atau Raden Sutawijaya sendiri. Mereka tentu tidak akan membiarkannya mati. Mungkin mereka akan dapat membuatnya lumpuh, cacat atau keadaan lain yang sama sekali tidak menarik. Karena agaknya mereka masih ingin agar Ki Lurah itu berbicara tentang dirinya dan tentang kawan-kawannya. Karena itu, maka untuk sementara Ki Lurah berusaha untuk menahan diri. Mungkin ada perkembangan keadaan yang menguntungkan baginya, meskipun kemungkinan itu agaknya kecil sekali. Dalam pada itu, orang-orang Pajang yang terlepas dari maut dihutan sebelah Kademangan Sangkal Putung telah berada di Pajang dengan ceritera yang mendebarkan jantung bagi orang-orang Pajang. Surat yang dikirim oleh Raden Sutawijaya ternyata sangat menyakitkan hati mereka. Karena Sutawijaya yang pasti, bahwa surat yang diterimanya itu tidak berasal dari ayahanda angkatnya, maka iapun telah menjawabnya dengan cara yang khusus. Sutawijaya telah mengatakan bahwa ia tidak akan dapat datang ke Pajang apapun alasannya. Tetapi yang membuat orang-orang Pajang itu bagaikan tersentuh bara, ketika mereka membaca sebagian dari isi jawaban Raden Sutawijaya, “Segala pemberian ayahanda bersama nawala ayahanda telah ananda terima. Ananda mengucapkan terima kasih atas tiada terhingga. Segala pesan dari ayahanda akan hamba junjung, karena hamba adalah putera, murid dan hamba dari ayahanda yang duduk diatas Singgasana Demak. Semoga ayahanda memaafkan, bahwa hamba tidak hadir dipaseban sebagaimana yang pernah ayahanda ijinkan.” “Gila. Sutawijaya memang sudah gila,“ geram seorang yang diliputi oleh rahasia ketika surat itu akhirnya sampai ketangannya. Tidak banyak orang yang dapat berhubungan langsung dengan orang itu. Sementara orang-orang yang dapat berhubungan langsung tidak akan menyebut tentang orang itu dalam keadaannya sehari-hari.” Sementara surat itu telah membuat orang-orang yang berselubung diri dalam perjuangan untuk menegakkan masa kejayaan Majapahit lama menjadi marah, karma ternyata Raden Sutawijaya tidak mudah dikelabuhinya, maka berita tentang tertangkapnya Ki Lurah Pringgabaya telah menggetarkan orang-orang itu pula. “Orang yang menyamarkan dirinya itu tentu Sutawijaya,“

berkata salah seorang pemimpin mereka yang disepakati oleh kawan-kawannya. “Ada kemungkinan lain,“ berkata seseorang di antara mereka. “Siapa ?“ bertanya yang lain. Orang yang ditanya itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berdesis, “Pangeran Benawa.” Yang mendengar jawaban itu mengagguk-angguk kecil. Salah seorang dari mereka berkata, Memang mungkin sekali. Keduanya memiliki keanehan meskipun dengan alasan yang berbeda-beda dan tempat berdiri yang berbeda pula.” “Bagaimana dengan murid Kiai Gringsing yang lain dan prajurit muda yang bernama Sabungsari itu ?” seorang berdesis. Yang lain termenung sejenak. Namun kemudian seorang diantara mereka berkata, “Masih belum mencapai tingkatan yang mendebarkan seperti yang diceriterakan itu. Namun mungkin juga dapat diperhitungkan.” “Keduanyapun anak-anak muda yang aneh seorang mampu membunuh Carang Waja. yang lain dapat mengalahkan orang terpercaya dari Gunung Kendeng,” desis yang berwajah muram. Mereka terdiam sejenak. Agaknya beberapa orang memang harus diperhitungkan. Namun mereka cenderung untuk menentukan, bahwa orang itu adalah Raden Sutawijaya. “Jika demikian, kita akan melihat apakah Pringgabaya memang berada di Mataram,” berkata orang yang berwajah muram. “Jika ada ?“ bertanya yang lain. “Perintah katang Panji sudah jelas. Lepaskan orang itu, atau jika gagal, bunuh sajalah didalam biliknya dengan cara apapun,“ jawab orang yang berwajah muram. “Siapa yang akan kita tugaskan melakukan pekerjaan itu ?“ bertanya seseorang. Orang berwajah muram itu merenung sejenak. Dipandanginya orang yang duduk dengan gelisah disudut ruangan. Namun ia terpaksa menahan nafasnya ketika orang berwajah muram itu berkata. Bagaimana jika tugas ini kita serahkan kepada Pringgajaya ? Ia adalah orang yang cukup baik buat tugas yang demikian, apalagi karena namanya telah dianggap terkubur.”

“Aku adalah saudara seperguruannya,“ berkata Ki Pringgajaya, “bagaimana mungkin aku dapat membunuhnya.” “Terserah kepadamu. Jika kau tidak mau membunuhnya, kau harus dapat melepaskannya,“ berkata orang berwajah muram itu. “Serahkan kepada orang lain. Beri aku tugas yang lain. Dan jangan sebut lagi aku dengan Pringgajaya. Kebiasaan itu tidak menguntungkan,“ berkata Ki Pringgajaya. ***

Buku 138 ORANG berwajah muram itu menegang sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku mengerti. Pringgabaya adalah saudara seperguruanmu. Biarlah orang lain melakukannya. Tetapi untuk melakukan yang lainpun kau ternyata tidak mampu.” “Apa ?“ geram Pringgajaya. “Isi padepokan itu masih utuh. Orang-orang yang kau anggap akan dapat menyelesaikan mereka ternyata justru dihancurkan. Kau tidak akan dapat mengharap orang-orang Gunung Kendeng lagi.“ berkata orang berwajah muram, “karena itu, aku tidak tahu, kewajiban apa lagi yang dapat aku berikan kepadamu.” Wajah Pringgajaya menjadi merah. Tetapi ia masih menahan hatinya. Dalam pada itu, maka orang-orang yang berada didalam ruangan itu mulai saling menebak, siapakah yang akan mendapat tugas untuk melepaskan atau membunuh Ki Lurah Pringgabaya yang tertawan, yang menurut perhitungan mereka berada di Mataram. Orang berwajah muram itupun kemudian memandang berkeliling, seolah-olah sedang mencari orang yang paling tepat untuk melakukan tugas itu selain Pringgajaya. Namun ternyata orang berwajah muram itu kemudian berkata, “Sebaiknya, pertama-tama kita menyelidiki lebih dahulu, apakah Pringgabaya benar-benar berada di Mataram. Dengan demikian, maka kita akan dapat mengatur langkah-langkah berikutnya.” Orang-orang yang berada didalam ruangan itu mengangguk-angguk. Mereka pada umumnya sependapat, bahwa akan menyelidiki lebih dahulu. Apakah benar Pringgabaya berada di Mataram. Sambil memandang seorang yang bertubuh kurus, maka orang berwajah muram itu berkata, “Kau dapat melakukan itu.” Orang bertubuh kurus itu berkata, “Tentu aku tidak akan berkeberatan, apapun yang harus aku lakukan. Bahkan seandainya perintah itu berbunyi, melepaskan atau membunuhnya.” “Apakah kau sanggup melakukan ?“ bertanya orang berwajah muram itu. “Kenapa tidak? Aku mempunyai ikatan kesanggupan dan janji. Siapapun yang menjadi sasaran. Saudara seperguruan atau saudara kandung sendiri. Bahkan seandainya sasaran itu ibu dan bapakku sendiri,“ jawab orang bertubuh kurus itu, “karena itu, jatuhkan perintah yang tegas agar aku tidak harus berulang kali menunggu. Hanya orangorang cengeng sajalah yang berkeberatan melakukannya, siapapun orang yang harus dibunuh itu.”

Semua orang memandang orang bertubuh kurus itu. Namun kemudian mereka diluar sadar berpaling kepada orang yang duduk dengan gelisah, yang tidak mau lagi dipanggil dengan nama Pringgajaya. Terasa telinga Ki Pringgajaya itu bagaikan disentuh api. Dengan nada tinggi ia berkata, “Aku tidak senang mendengar sindiran semacam itu.” “Senang atau tidak senang,“ jawab orang bertubuh kurus itu, “kelemahan semacam itu akan menjalar diantara kita. Apalagi jika tidak ada perintah yang tegas. Setiap keragu-raguan ternyata mendapat jalur jalan untuk menghindarinya.” “Aku bukan bermaksud memanjakannya,“ berkata orang berwajah muram itu, “tetapi aku memang meragukan kemampuannya.” “Tepat,“ desis orang bertubuh kurus, “ia tidak berhasil melakukan segala perintah yang diberikan kepadanya.” “Gila,“ geram orang yang semula bernama Ki Pringgajaya itu, “kau sama sekali bukan seorang petugas yang teguh memegang janji. Jika kau bersedia melakukannya, karena kau mempunyai kepentingan pribadi.” Orang bertubuh kurus itu mengerutkan keningnya. Sementara orang berwajah muram itu berkata, “Disini kita tidak sempat berbicara tentang kepentingan pribadi.” “Tentu kita akan berbicara tentang masalah yang besar yang sedang kita hadapi. Tetapi jika diantara masalah-masalah yang besar itu ada pamrih pribadi yang justru dengan sengaja diselipkan dalam tugas-tugas yang nampaknya besar dan agung, maka pamrih yang bersifat pribadi itu harus dibicarakan dalam hubungan keseluruhan dari tugas kita bersama,“ sahut orang yang semula bernama Pringgajaya itu. “Omong kosong,“ orang bertubuh kurus itulah yang menggeram. “Pamrih yang mana ?“ bertanya orang berwajah muram. “Orang itu mempunyai pamrih. Ia akan dengan senang hati berusaha membunuh Pringgabaya, adik seperguruanku itu karena persoalan-persoalan pribadi. Bukan karena tugas yang harus dilaksanakan dalam hubungan kepentingan kita bersama.” “Bohong, omong kosong,“ orang bertubuh kurus itu hampir berteriak. “Tunggu,“ desis orang berwajah muram, “jangan berteriak.

Ia belum mengatakan apa-apa. Biarlah ia mengucapkan tuduhannya. Baru kau dapat menangkisnya, atau kawan-kawan kita yang lain akan menjadi saksi, apakah yang dikatakkan itu benar atau tidak.” “Aku tidak mau mendengar fitnah yang paling keji itu,“ geram orang bertubuh kurus, “atau aku harus membunuhnya sebelum aku membunuh Pringgabaya.” “Kau terlalu sombong,“ desis orang yang semula bernama Pringgajaya itu, “jika Pringgabaya masih bebas, kau tidak akan dapat membunuhnya dalam perang tanding. Aku adalah saudara tua seperguruannya. Karena itu, maka kau akan lebih banyak mengalami kesulitan membunuh aku, atau katakan, setidak-tidaknya kau akan mengalami kesulitan yang sama jika kau menantang aku untuk berperang tanding.” “Persetan,“ jawab orang bertubuh kurus itu dengan penuh kemarahan, “aku akan mencoba.” “Jangan cepat menjadi gila,“ potong orang berwajah muram,“ katakan, kenapa kau dapat menuduh kawan kita itu mempunyai pamrih pribadi untuk membunuhnya.” Orang bertubuh kurus itu hampir saja memotong, tetapi orang berwajah muram itu berkata, “Aku bertanya kepada orang yang semula bernama Pringgajaya itu.” “Sebut namaku sekarang,“ desis orang itu. “Ya. Namamu sekarang Partasanjaya. He, bukankah begitu ?“ bertanya orang berwajah muram. “Panggil dengan nama itu,“ jawab orang yang semula bernama Pringgajaya tetapi yang kemudian memilih nama Partasanjaya setelah nama Pringgajaya dikuburnya bersama mayat orang lain. “dan apakah kau masih ingin mendengar sesuatu tentang yang aku sebut dengan pamrih pribadi itu.“ “Aku bunuh kau,“ bentak orang bertubuh kurus itu. Tetapi orang berwajah muram itu berkata. “Katakan. Apakah sebenarnya keberatannya jika kau mengatakannya ?” “Ia berkeberatan justru karena yang aku katakan itu merupakan kebenaran,“ desis orang yang kemudian menyebut dirinya Partasanjaya itu. Orang berwajah muram itu mengerutkan keningnya. Sekilas dipandanginya orang bertubuh kurus itu dengan tatapan mata kecurigaan. Namun kemudian katanya, “Kau harus berani mendengar tuduhan Ki Partasanjaya. Dan kau harus dapat membuktikan bahwa tuduhan itu sama sekali tidak benar.” “Cara yang salah,“ bantah orang bertubuh kurus, “ialah yang harus membuktikan bahwa tuduhannya itu

benar. Bukan aku yang harus membuktikan.” “Aku akan menentukan kemudian, siapakah yang harus membuktikan,“ sahut orang berwajah muram itu. Kemudian, “katakan Ki Partasanjaya.” “Gila. Kita berada dalam kumpulan orang-orang gila,“ desis orang bertubuh kurus itu. Tetapi orang yang berwajah muram itu sama sekali tidak menghiraukannya. Katanya kepada Ki Partasanjaya, “Cepat, katakan.” Ki Partasanjaya bergeser setapak. Kemudian katanya, “Ia mempunyai kepentingan pribadi dengan Pringgabaya. Ia menginginkan kematian Pringgabaya, karena ia telah melakukan hubungan gelap dengan isteri Pringgabaya.” “He,“ orang berwajah muram itu terkejut. Wajahnya menegang sejenak. Sementara orang bertubuh kurus itu hampir berteriak, “Tuduhan gila. Kau harus dapat membuktikan tuduhanmu.” Ki Partasanjaya tersenyum. Katanya, “Tentu aku akan dapat membuktikan. Aku akan menunjukkan dimana rumah perempuan itu. Ia akan dapat berbicara.” “Gila. Benar-benar gila,“ geram orang bertubuh kurus. “Apakah benar demikian ?“ bertanya orang berwajah muram. “Fitnah. Orang itu ingin menjelekkan namaku,“ jawab orang bertubuh kurus. “Bagaimana jika perempuan itu aku panggil,“ berkata yang berwajah muram. “Tidak ada gunanya.“ potong orang bertubuh kurus, “aku tidak akan ingkar. Tetapi aku tidak dapat dianggap bersalah, karena perempuan itupun belum isteri Pringgabaya.” Partasanjaya tersenyum. Wajahya memancarkan kemenangan. Katanya, “Siapapun perempuan itu, tetapi kau mempunyai satu kepentingan pribadi. Kematian Pringgabaya memang sedang kau siapkan. Ada atau tidak ada perintah.” Wajah orang bertubuh kurus itu menjadi tegang. Sementara orang berwajah muram itu berkata, “Sampai hati kau merebut isteri kawan sendiri ?” “Ia bukan isterinya,“ orang bertubuh kurus itu hampir berteriak. “Siapapun perempuan itu, tetapi kau tengah memperebutkannya,“ orang berwajah muram itu membentak. Orang bertubuh kurus itu menggerelakkan giginya. Namun katanya kemudian, “Ya. Bukan aku merebutnya. Tetapi perempuan itu menerima kehadiranku didalam hidupnya.

Bukan salahku, jika ia menjadi jemu terhadap Pringgabaya. Tetapi Pringgabaya sama sekali tidak tahu diri dan memaksanya untuk tetap menerima kedatangannya.” “Karena itu kau ingin membunuhnya ?“ bertanya orang berwajah muram. Orang itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia menjawab tegas, “Ya. Aku akan membunuhnya, karena Pringgabaya juga mengancam akan membunuh aku. Ada atau tidak ada persoalan.” “Dan kau akan mengorbankan perjuangan kita dalam keseluruhan karena seorang perempuan? “desak orang berwajah muram itu. Orang bertubuh kurus itu tergagap. Namun katanya, “Aku sekedar membela diri. Pringgabayalah yang mengancam akan membunuhku lebih dahulu. Itu adalah satu kesalahan besar. Ia tidak dapat memaksa perasaan perempuan itu untuk tetap menerimanya. Perempuan itu memilih aku. Dan itu adalah haknya. Sementara mempertahankan hidupkupun adalah hakku.” Orang berwajah muram itu menegang sejenak. Dipandanginya Partasanjaya sejenak. Kemudian katanya, “Bagaimana menurut pendapatmu Partasanjaya ?” “Ia tidak melakukan perjuangan dengan jujur,“ jawab Partasanjaya, “menurut penilaianku, ia telah merebut istri orang lain. Dan orang lain itu adalah kawan sendiri. Sah atau tidak sah perkawinan Pringgabaya dengan perempuan itu, tetapi semula perempuan itu menerima kehadiran Pringgabaya didalam hidupnya. Namun kedatangannya telah merusak hubungan itu. Ia berusaha untuk memancing persoalan. Akhirnya ia berhasil merebut hati perempuan itu, apapun caranya, dan apapun yang dijanjikannya.” “Omong kosong,” bantah orang bertubuh kurus itu. Tetapi orang berwajah muram itu membentak, “Aku yang akan mengambil kesimpulan dari pembicaraan ini.” Orang bertubuh kurus itu memandang Partasanjaya dengan sorot mata yang menyala. Tetapi ia terdiam. Namun tiba-tiba ruang itu diherankan oleh suara tertawa orang berwajah muram, ia memang jarangjarang tertawa. Tetapi kawan-kawannya telah mengenalnya dengan baik. Justru jika ia tertawa, ia akan mengambil satu keputusan yang mungkin akan terlalu berat untuk seseorang. Katanya kemudian, “Aku telah menemukan satu penyelesaian yang paling baik. Dari dua orang laki-

laki yang sudah saling mengancam untuk saling membunuh, seorang diantaranya memang harus mati. Karena itu, maka salah seorang dari kedua laki-laki itu harus mati. Tanpa mengorbankan perjuangan kita dalam keseluruhan, justru akan dapat memberikan keuntungan dan keselamatan bagi kita semuanya, maka Pringgabayalah yang sebaiknya dikorbankan.” “Gila,“ Partasanjaya meloncat berdiri. Wajahnya membara sementara giginya gemeretak menahan gelora jantungnya. Tetapi orang berwajah muram itu tetap tenang saja ditempatnya. Bahkan seolah-olah ia sama sekali tidak mengacuhkannya. “Itu tidak adil,“ geram Partasanjaya. “Itu adalah tindakan yang paling adil yang dapat aku lakukan,“ desis orang berwajah muram itu, “bukankah itu lebih baik daripada aku memerintahkanmu ? Kau adalah saudara seperguruannya. Mungkin kau akan berusaha sekuat-kuat tenagamu untuk melepaskannya. Tetapi jika kau gagal, kau merasa berkeberatan untuk membunuhnya. Kau minta aku menugaskan orang lain. Dan aku sudah melakukannya. Jangan cepat menjadi gelisah. Jika Pringgabaya ternyata tidak berada di Mataram, maka kita akan mengambil langkah-langkah lain. Atau barangkali Pringgabaya justru sudah mati dihutan itu.” Partasanjaya yang pernah bernama Pringgajaya itu menggeretakkan giginya. Katanya, “Persolannya bukan pada kematian Pringgabaya. Tetapi perintah untuk membunuhnya dengan dasar-dasar yang tidak adil itu sangat menyakitkan hati. Perintah membunuhnya itu sendiri tidak pernah aku sesalkan. Tetapi bahwa dalam persoalan perempuan itu, seolah-olah Pringgabayalah yang bersalah. Orang yang merebut perempuan itu dari padanya, justru telah mendapat perlindungan dan dianggap satu langkah kebenaran.” Orang berwajah muram itu tersenyum. Senyum aneh. Katanya, “Kau memang seorang laki-laki yang pilih tanding. Tetapi ternyata kau adalah seorang laki-laki cengeng dan perasa. Sebaiknya kau tidak usah merajuk begitu. Masih banyak yang harus kita lakukan. Dan kau masih akan mendapat tugas yang cukup berat. Tugas yang sampai saat ini tidak dapat kau selesaikan. Adik seperguruanmu itupun tidak dapat menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya. Kau tidak berhasil membunuh Agung Sedayu dan Sabungsari, sementara Pringgabaya tidak mampu membunuh Swandaru, isteri dan adik perempuannya, yang merupakan tenaga penggerak yang tiada taranya bagi Sangkal Putung.“ orang berwajah muram itu berhenti sejenak, lalu, “yang kita lakukan bukan sekedar dendam sematamata. Tetapi sudah mencakup perhitungan yang masak. Sangkal Putung harus dibersihkan. Padahal ketiga orang itu telah berhasil membentuk Sangkal Putung seperti sebuah benteng yang sangat kuat. Pengawal Kademangan itu mendapat latihan dengan teratur, melampaui keteraturan pada latihanlatihan bagi para prajurit. Karena itu, maka para pengawal di Kademangan Sangkal Putung itu

mempunyai kemampuan seperti kemampuan seorang prajurit, Bahkan beberapa orang terpilih diantara mereka, ternyata memiliki kemampuan khusus yang langsung diterimanya dari salah seorang diantara ketiga orang itu.” “Kau hanya dapat menunjuk kelemahan dan kegagalan seseorang tanpa melihat segi-segi lain yang mungkin menyebabkan kegagalan itu tanpa dapat diatasi oleh siapapun,“ gumam Partasanjaya. “Aku hanya menilai hasil terakhir dari setiap tugas yang dibebankan kepada kita masing-masing,“ jawab orang berwajah muram itu, “mungkin Pringgajaya akan mengatakan sesuatu yang dapat dipakainya sebagai alasan. Kaupun dapat menyebutnya. Tetapi kami memerlukan bukti keberhasilan seseorang yang mendapat tugas.” Pertasanjaya menarik nafas dalam-dalam. Sementara orang berwajah muram itu berkata, “Atas nama kakang Panji, aku sudah memerintahkan untuk menyelidiki keadaan Pringgabaya. Jika benar ia berada di Mataram, maka ia harus dilepaskan atau dibunuh sama sekali. Sebenarnyalah bahwa nampaknya mustahil untuk dapat membawanya keluar dari tempatnya di Mataram jika benar ia tertawan. Maka jalan lain itulah yang agaknya lebih baik dapat ditempuh.” “Tidak ada gunanya,“ geram Pringgajaya yang kemudian bernama Partasanjaya, “coba kita menilai langkah kita dengan nalar. Jika Pringgabaya tidak tabah, maka ia tentu sudah menceriterakan apa yang dimengertinya tentang kita. Jika sampai hari ini ia tidak mengatakan apa-apa, itu berarti bahwa ia akan tetap bungkam sampai kapanpun.” Tetapi orang berwajah muram itu menggeleng. Katanya, “Ada keterbatasan pada seseorang. Mungkin dalam waktu sepekan, dua pekan, bahkan mungkin sampai satu bulan seseorang dapat bertahan mengalami tekanan lahir dan batin. Tetapi pada saatnya ia akan kehilangan daya tahannya. Mungkin dalam ketidak sadaran, sesuatu akan dapat terjadi. Nah, sebelum hal itu terjadi, maka kita harus membebaskannya dari penderitaan itu. Mungkin dengan membawanya keluar, tetapi mungkin dengan membunuhnya sekali.” “Tetapi dengan tugas yang kau berikan kepada orang yang mempunyai pamrih itu, maka hanya akan ada satu kemungkinan saja yang dapat terjadi atasnya,“ jawab Partasanjaya. “Jangan membuat aku kehilangan kesabaran,“ berkata orang berwajah muram, “aku mengemban tugas besar dalam keseluruhan. Dan yang keseluruhan bagiku itu hanya sebagian saja dari keseluruhan perjuangan kakang Panji. Karena itu jangan mengganggu. Jangan menghambat dan jangan menghalang-halangi. Aku akan dapat mengambil keputusan lain. Memerintahkan kau melakukan tugas itu misalnya, dengan akibat yang mungkin tidak kau senangi.”

Ki Partasanjaya menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah ia ingin mengendapkan hatinya yang bergejolak sampai keubun-ubun. “Kita tidak mempunyai persoalan lagi,“ berkata orang berwajah muram, “perintah bagi Partasanjaya masih tetap harus dilakukan. Membinasakan isi padepokan kecil itu. Emas masih tetap disediakan jika diperlukan. Bahkan ia masih diberi kesempatan untuk melakukan hubungan dengan pihak manapun juga yang dapat memberikan keuntungan dengan imbalan emas. Sementara tugas Pringgabaya untuk membinasakan anak-anak Sangkal Putung itu akan dibicarakan. Mungkin tugas itu akan dialihkan kepada orang yang akan membunuhnya dibilik tahanannya. Dengan demikian, maka jalan dari Pajang ke Mataram akan bertambah licin. Sementara ternyata Tanah Perdikan Menorehpun perlu mendapat perhatian. Tetapi itu bukan tugas kita disini. Ada orang lain yang mendapat tugas untuk itu.” Ki Pringgabaya yang kemudian bernama Partasanjaya itu tidak menjawab lagi. Betapapun hatinya bergejolak melihat orang bertubuh kurus itu menggenggam tugas yang sejalan dengan kepentingan sendiri, namun ia tidak dapat mencegahnya. “Mudah-mudahan Pringgabaya tidak berada di Mataram. Lebih baik ia sudah mati dihutan itu, atau sempat melarikan diri. Jika ia sempat berhadapan dengan orang gila itu, maka ia masih mempunyai kemungkinan untuk tidak dibunuh, tetapi membunuhnya,“ berkata Ki Partasanjaya didalam hatinya. Dalam pada itu, maka orang berwajah muram itupun berkata, “Kita akan mengakhiri pertemuan ini. Tetapi semua perintah harus dijalankan sebaik-baiknya. Semakin cepat semakin baik, karena pada satu saat yang tidak kita ketahui, kakang Panji akan mengadakan penilaian atas semuanya yang kita lakukan. Juga penilaian atas kita semuanya.“ ia berhenti sejenak, lalu, “laksanakan tugas kalian baik-baik. Juga tugas Partasanjaya. Kau sudah dibebaskan dari Untara oleh Prabadaru, Sementara kakang Panji sedang merintis satu kesempatan untuk mengadakan pertemuan besar dari beberapa orang terpenting. Mungkin kalian tidak akan serta dalam pertemuan itu. Akupun mungkin tidak. Tetapi segala keputusan akan mengalir kepada kita untuk dilaksanakan. Kakang Panji tidak ingin lagi mengadakan persiapan besar dengan pameran kekuatan sebelum segalagalanya siap, karena hal yang sama dalam takaran kecil telah gagal sama sekali dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu karena pokal Mataram.” Orang-orang yang ada diruang itupun mengangguk-angguk. Merekapun mengetahui, bahwa pertemuan antara orang-orang kuat bersama pasukannya tidak menghasilkan apa-apa, karena justru timbul kecurigaan diantara mereka. Dengan tumpuan pusaka-pusaka tertinggi yang sudah berada di Mataram, pertemuan serupa itupun masih diwarnai oleh kecurigaan dan bahkan pamrih pribadi. Karena itu, maka sikap orang-orang terpenting yang berada di Pajang dan sekitarnyapun menjadi

semakin berhati-hati. Mereka cenderung untuk mencari cara yang paling baik, untuk membenturkan kekuatan Pajang dan Mataram. Kedua-duanya akan hancur sama sekali, sehingga akan tumbuh kekuatan baru diatas reruntuhan itu. Orang bertubuh kurus yang mendapat tugas menyelidiki kemungkinan tertawannya Ki Pringgabaya ke Mataram itupun kemudian meninggalkan bilik itu pula. Dengan dada tengadah ia menuruni pendapa rumah yang tersembunyi dari penglihatan para petugas yang sebenarnya dari Pajang dan Mataram. Dengan tergesa-gesa ia mengambil kudanya dihalaman samping. Langkahnya tertegun ketika ia mendengar seseorang memanggilnya, “Ki Tandabaya.” Orang bertubuh kurus itu berpaling. Dilihatnya seorang bertubuh sedang berwajah keras seperti batu padas. “He, kau masih disitu ?“ bertanya orang bertubuh kurus yang bernama Tandabaya itu. Orang yang memanggilnya melangkah mendekat. “Aku kira kau sudah pergi, Dugul ?“ bertanya Tandabaya. “Aku masih menunggumu Ki Tandabaya. Mungkin ada perintah yang harus segera kita lakukan,“ jawab Dugul. Orang bertubuh sedang dan bernama Tandabaya itu menggeleng. Katanya, “Bukan perintah yang tergesa-gesa. Kita dapat melakukannya untuk waktu yang cukup.” “Sekarang ?“ bertanya Dugul. “Kita pulang. Kita masih sempat makan dan minum semalam suntuk. Memanggil kawan-kawan untuk beramal ramai dengan gamelan,“ jawab Tandabaya. Orang yang bernama Dugul itu mengangguk-angguk. Lalu, “Aku ikut pulang.” Dugulpun kemudian mengambil kudanya. Ketika keduanya melintasi halaman dimuka pendapa, Tandabaya tersenyum melihat Ki Pringgajaya yang kemudian bernama Partasanjaya. “Marilah orang baru. Kau ternyata lebih beruntung dari adik seperguruanmu. Jika kau masih sempat mengubur namamu saja, maka agaknya Pringgabaya benar-benar harus dikubur bersama tubuhnya,“ berkata Tandabaya

diantara senyumnya. “Mudah-mudahan kau berhasil,“ jawab Partasanjaya dengan nada yang aneh ditelinga Tandabaya. Sama sekali tidak berkesan kemarahan dan apalagi dendam. “Gila,“ pikir Tandabaya, “perubahan apa yang sudah terjadi didalam dirinya. Begitu cepatnya ia nampak berubah sikap.” Apalagi ketika ia melihat Ki Partasanjaya itu tersenyum. Namun orang itupun kemudian tidak menghiraukannya lagi. “Permainan gila,“ geram Tandabaya, “tentu iapun mengharap Pringgabaya mati. Perempuan itu nampaknya menarik perhatiannya pula.” Tetapi Tandabaya kemudian menghentak tali kekang kudanya. Kuda itupun kemudian berderap meninggalkan halaman diikuti oleh seorang penunggang kuda yang bernama Dugul itu. “Apakah kita tidak mendapat perintah apapun juga ?” bertanya Dugul diperjalanan. “Ada,“ jawab Tandabaya, “nanti kita berbicara. Aku memerlukan beberapa orang kawan yang lain.” Dugul tidak bertanya lagi. Iapun mengerti bahwa tugas yang dibebankan kepada Ki Tandabaya itu tentu bukan tugas yang dapat dikatakannya disepanjang jalan. Sepeninggal Tandabaya, Ki Pringgajaya yang kemudian bernama Partasanjaya itupun mengambil kudanya pula. Dengan pakaian seorang petani dan duduk diatas seekor kuda yang berpelana sederhana, meskipun kudanya cukup tegar, ia meninggalkan tempat itu. “Tandabaya memang gila,“ katanya kepada diri sendiri. Namun kemudian iapun tersenyum sambil bergumam, “Iapun harus kecewa karena perempuan itu tidak akan setia kepadanya.” Namun Partasanjaya tidak segera berniat berbuat sesuatu. Ia harus mempertimbangkan beberapa hal diantara lingkungannya. Bahkan ia tidak dapat menyembunyikan kecemasan tentang keberangkatan Tandabaya menjalankan tugasnya. Ada dua masalah yang mencemaskannya dengan keberangkatan Tandabaya. Yang pertama adalah kematian Pringgabaya. Jika Tandabaya benar-benar menemukan Pringgabaya di Mataram, maka ia tentu lebih senang membunuhnya daripada berusaha membebaskannya. Sedang yang kedua, ia lebih percaya kepada Pringgabaya daripada kepada Tandabaya. Jika bencana itu terjadi, justru Tandabaya

tertangkap, maka ia tidak akan dapat bertahan lebih lama dan lebih baik dari Pringgabaya. Pringgabaya agaknya akan bertahan dengan sikap diamnya, tetapi Tandabaya tidak. Sedangkan Tandabaya tahu pasti tentang dirinya. Tentang Pringgajaya yang telah mengubur namanya dan menggantinya dengan Partasanjaya. Karena itu, maka Partasanjaya itupu harus bersiap-siap jika sesuatu yang dicemaskannya itu terjadi. Mataram adalah satu tempat yang sangat gawat. Jika Tandabaya memasukinya, maka kesempatan untuk keluar tinggal separo. Sedangkan separo kemungkinan lagi, ia akan tertangkap. “Persetan,“ geram Partasanjaya, “aku masih mempunyai kerja yang lebih penting dari mengamati Tandabaya. Sementara aku menunggu hasil perjalanannya, aku dapat berbuat sesuatu atas isi padepokan itu. Tetapi tentu aku tidak bersalah, jika sekali-sekali aku menengok perempuan yang dikatakan oleh Tandabaya bukan isteri Pringgabaya itu.” Partasanjaya tertegun ketika ia mendengar seseorang melangkah dibelakangnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya orang berwajah muram itu berdiri tegak sambil memandanginya dengan tajamnya. “Kau jangan mengganggu tugas Tandabaya,“ berkata orang berwajah muram itu. Wajah Partasanjaya menegang. Selangkah ia mendekat sambil bertanya, “Kenapa kau berkata begitu ?” “Nampaknya kau tidak ikhlas dengan keputusanku.“ jawab orang berwajah muram itu. “Apakah kau pernah melihat aku berbuat demikian ?“ bertanya Partasanjaya pula. “Segala kemungkinan dapat terjadi karena kekecewaan. Tetapi ingat, kau jangan bermain-main dengan kami,“ orang itu memperingatkan. “Kau jangan membuat perkara,“ geram Partasanjaya, “aku bukan kanak-kanak lagi. Aku berada dilingkungan ini dengan penuh kesadaran bahwa kemungkinan-kemungkinan yang tidak terduga-duga dapat terjadi. Juga akupun menyadari bahwa pemanfaatan kedudukan dan hubungan pribadi antara kita seorang demi seorang akan dapat mempengaruhi segala macam keputusan. Tetapi aku sudah meletakkan dasar perjuanganku. Dan kau jangan mengada-ada.” Orang berwajah muram itu menegang. Dengan nada berat ia berkata, “Kau harus tetap menyadari pula urutan kekuasaan yang ada diantara kita.” “Aku mengerti. Tetapi itu bukan berarti bahwa kita dapat mengorbankan perjuangan ini bagi kepentingan seseorang hanya karena urutan kekuasaan dan wewenang,“ jawab Partasanjaya, “kaupun harus ingat, bahwa orang terpenting

diantara kita akan dapat menilai kita masing-masing atas pertimbangan-pertimbangan yang wajar. Bukan sekedar atas urutan wewenang. Sebagimana kegagalanku menyelesaikan penghuni padepokan itu. Ternyata kegagalan itu dapat dimengerti. Bahkan Tumenggung Prabadaru telah bersedia menghapus jejakku dari antara pasukan Pajang di Jati Anom yang dipimpin oleh anak muda yang tidak memiliki pandangan jauh itu.” “Banyak pertimbangan yang memaksa mereka mengambil sikap itu. Kenapa kau harus dinyatakan mati dengan mengorbankan orang dungu yang tidak berguna sama sekali itu,“ jawab orang berwajah muram itu, “karena itu kau jangan salah paham. Jangan merasa dirimu terlalu penting.” “Tidak. Aku memang tidak merasa demikian. Tetapi ada cara lain yang dapat dipergunakan untuk memutuskan jejak dan sebagai hukuman atas kegagalanku. Kenapa kau perhitungkan. Aku tidak akan melangkahi urutan wewenang. Tetapi kaupun jangan menjadi tekebur.” Orang berwajah muram itu menjadi semakin tegang. Namun nampaknya Ki Partasanjaya tidak ingin melayaninya lebih lama lagi. Iapun kemudian melangkah mengambil kudanya yang diikatkannya dihalaman samping, dibelakang seketheng. Sejenak kemudian terdengar kudanya berderap meninggalkan halaman rumah yang tersembunyi dari pengamatan beberapa pihak di Pajang dan Mataram. Orang berwajah muram itu tidak dapat berbuat banyak atas Ki Pringgajaya yang kemudian bernama Partasanjaya itu. Bukan saja karena orang itu memiliki kemampuan yang disegani. Tetapi iapun termasuk orang-orang yang diperlukan karena pengetahuannya yang cukup luas mengenai masalah-masalah keprajuritan. Agak berbeda dengak adik seperguruannya. Ia adalah seorang yang mempunyai ilmu setingkat dengan Pringgajaya. Tetapi pengetahuannya dan pengaruhnya tidak sebesar Pringgajaya yang kemudian bernama Partasanjaya itu. Tetapi orang berwajah muram itupun tidak mengabaikan kemungkinan, bahwa Partasanjaya akan berusaha menurut caranya, untuk membebaskan adik seperguruannya. Khususnya dari perintah untuk membunuhnya saja jika ia gagal mendapat pertolongan untuk dibebaskan. “Tetapi ia tidak akan sempat berbicara dengan kakang Panji,“ gumam orang berwajah muram itu. Meskipun demikian, ia tidak dapat mengabaikan nama-nama Tumenggung Prabadaru dan Tumenggung Giripura dan beberapa orang lain dilingkungan keprajuritan Pajang. Partasanjaya yang semula bernama Ki Pringgajaya itu memang ingin membicarakan masalah itu dengan Tumenggung Prabadaru. Seorang Tumenggung yang agaknya dapat mengerti persoalan yang

dihadapinya dan mempunyai perhatian yang besar terhadapnya. “Mungkin aku akan dapat berbicara tentang adik seperguruanku itu,“ berkata Ki Pringgajaya yang sudah beralih nama itu. Tetapi Ki Partasanjaya tidak dapat segera pergi kerumah Ki Tumenggung Prabadaru. Ia harus menyesuaikan waktu, karena orang tentu masih ada yang mengenalinya meskipun ia berusaha untuk menyamar wajah dan pakaiannya. Karena itulah, maka Partasanjaya itu menunggu senja turun diatas Pajang. Dalam keremangan ujung malam, Partasanjaya dalam pakaian orang kebanyakan berjalan menyusuri jalan yang sudah meremang menuju kerumah Ki Tumenggung Prabadaru. Kedatangan Partasanjaya memang mengejutkan. Untuk menghilangkan kecurigaan orang-orang dirumahnya, maka Partasanjaya yang memakai pakaian orang kebanyakan itupun telah diterima diserambi samping. “Apakah ada yang penting ?“ bertanya Tumenggung Prabadaru. “Ki Partasanjaya memandang berkeliling. Sebelum ia bertanya. Tumenggung Prabadaru sudah mendahuluinya, “katakan. Tidak ada orang yang dapat mendengar pembicaraan kita, asal kau tidak berteriak.” Partasanjaya beringsut sejenak. Katanya kemudian, “Aku datang dari sebuah pertemuan dengan Ki Racik.” “Racik yang berwajah gelap seperti wajah kuburan itu ?“ bertanya Tumenggung Prabadaru. “Ya,“ jawab Partasanjaya. “Aku tahu. Ia mendapat wewenang cukup dari kakang Panji,“ desis Tumenggung Prabadaru, “ia tentu berbicara tentang laporan terakhir, bahwa adik seperguruanmu tidak kembali pada saat yang dianggap cukup. Apalagi beberapa orang melihat, Pringgabaya terlibat dalam pertempuran yang sulit. Justru seorang diri.” “Ya. Orang-orang dungu itu sama sekali tidak berusaha membantunya. Mereka telah meninggalkan Pringgabaya sendiri dalam kesulitan,“ jawab Partasanjaya. “Orang-orang itu memang tidak diwajibkan untuk bekerja bersama dengan Ki Lurah Pringgabaya. Tetapi bukan berarti bahwa mereka tidak boleh membantunya.” jawab Prabadaru. Lalu, “Aku sudah mendengar laporan itu. Akupun tahu, apakah jawab Raden Sutawijaya atas nawala yang diberikan

kepadanya. Agaknya ia mengetahui, bahwa nawala itu tidak berasal dari ayahanda angkatnya.” Partasanjaya mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berkata, “Ki Tumenggung. Apakah menurut perhitungan Ki Tumenggung, Pringgabaya itu jatuh ketangan Senapati Ing Ngalaga ?” Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Katanya, “Kemungkinan terbesar memang demikian.” Partasanjayapun kemudian mengatakan, keputusan apakah yang sudah diambil oleh orang berwajah muram itu terhadap Pringgabaya. “Jika ia tidak mungkin dibebaskan, maka ia harus mati,“ berkata Partasanjaya. “Keputusan yang terlalu umum di dalam hubungan peristiwa seperti ini,“ berkata Ki Tumenggung Prabadaru. “Ya. Tetapi cara Ki Racik memilih orang yang ditugaskan untuk melakukan hal itulah yang tidak adil,“ berkata Ki Partasanjaya. “Kenapa ?“ bertanya Tumenggung Prabadaru. Partasanjayapun kemudian menceriterakan alasan yang tidak imbang dari orang yang ditugaskan oleh Ki Racik menyelesaikan maisalah Ki Pringgabaya di Mataram, apabila benar ia berada disana. Ki Tumenggung mendengarkan keterangan Partasanjaya itu dengan saksama. Namun kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ki Partasanjaya. Sebenarnya Ki Partasanjaya tidak dapat menuduh Ki Racik itu tidak adil.” “Ia memanfaatkan kepentingan pribadi seseorang untuk menyelesaikan tugas ini. Dan kita tahu, bahwa sikap yang diambil oleh Tandabaya itu tentu berat sebelah. Ia tidak akan berusaha membebaskan Ki Pringgabaya. Tetapi ia lebih senang membunuhnya, meskipun seandainya kesempatan untuk membebaskan itu ada,“ jawab Ki Partasanjaya. “Tetapi ia sudah memberi kesempatan kepadamu, meskipun kaupun akan dapat memanfaatkan hubungan antara saudara seperguruan. Jika kau bersedia melakukannya, maka kau tentu akan berusaha jauh lebih baik dari Tandabaya, karena kau tentu tidak akan sampai hati untuk membunuhnya. Mungkin kau akan melakukan usaha berlipat dari jika usaha itu kau lakukan untuk kepentingan orang lain,“ sahut Tumenggung Prabadaru. Wajah Ki Pringgajaya yang kemudian bernama Partasanjaya itu menjadi tegang. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ki Tumenggung. Mungkin tanggapan Ki Tumenggung itu benar. Tetapi aku mempunyai keyakinan, bahwa Pringgabaya tidak akan berkhianat.

Meskipun ia mengalami apapun juga didalam bilik tawanan, tetapi ia akan tetap pada sikapnya sebagai seorang prajurit yang baik. Karena itu. sebenarnya keputusan untuk membunuhnya itu tidak perlu. Betapapun sulit dan memerlukan waktu, sebaiknya usaha membebaskannya itulah yang harus dilakukan.“ “Aku tidak yakin,“ jawab Ki Tumenggung Prabadaru, “seseorang mungkin akan dapat bertahan. Tetapi untuk batas waktu tertentu. Sementara itu, orangorang di Mataram, bukan orang yang tidak mempunyai akal untuk memancing keterangan dari Pringgabaya. Mungkin dengan kasar. Tetapi mungkin dengan sikap yang justru sebaliknya.” Partasanjaya menggeretakkan giginya. Seolah-olah ia sudah tidak mempunyai cara apapun untuk membebaskan adik seperguruannya. Namun iapun tidak dapat ingkar, bahwa kemungkinan yang demikian itu memang dapat saja terjadi atas siapapun. Mungkin atas dirinya pula pada suatu saat. Bukan saja namanya yang dikubur. Tetapi benar-benar dengan tubuhnya. Namun agaknya Ki Tumenggung Prabadaru tidak membiarkannya dibakar oleh kegelisahan. Karena itu, maka katanya kemudian, “Meskipun demikian Partasanjaya, aku akan memperingatkan Ki Racik, agar ia memerintahkan kepada Tandabaya untuk berusaha membebaskan Pringgabaya sejauh dapat dilakukan.” Partasanjaya tidak menjawab. Agaknya pernyataan itulah yang paling mungkin didapatkannya dalam hubungannya dengan adik seperguruannya. Iapun harus mulai merasa, bahwa dirinya bukan lagi Pringgajaya yang sangat diperlukan. Kegagalannya di Jati Anom membuat orang orang yang semula mempercayainya dengan sepenuh hati, menjadi kecewa. Adalah satu keuntungan, bahwa Tumenggung Prabadaru mendapat akal untuk membebaskannya dari tangan Untara. Meskipun secara pribadi mungkin Untara tidak dapat mengalahkan Partasanjaya. tetapi dengan kekuasaannya ia akan dapat menangkap Pringgajaya dan memeras keterangan dari mulutnya. Tetapi ternyata yang hilang dari lingkungan mereka adalah justru Pringgabaya. “Mudah-mudahan ia tidak diketemukan di Mataram. Lebih baik ia mati dalam pertempuran didekat Sangkal Putung itu, atau mengalami nasib yanglaindaripada ditangkap oleh orang Mataram,“ berkata Partasanjaya didalam hatinya. Setelah sekali lagi Ki Tumenggung Prabadaru menyatakan kesanggupannya untuk menghubungi Ki Racik, maka Ki Partasanjayapun kemudian minta diri dari rumah Ki Tumenggung. Sebenarnyalah, bahwa Ki Tumenggung Prabadaru-pun kemudian menghubungi Ki Racik untuk menyampaikan pesannya, agar Tandabaya tidak menyalah gunakan tugasnya untuk kepentingan pribadi. Pesan itu merupakan satu pertanda, bahwa Partasanjaya telah melibatkan Tumenggung Prabadaru

kedalam masalah yang sedang dihadapinya. Betapapun ia merasa tersinggung, tetapi ia tidak dapat mengabaikan pesan itu. Tetapi tanggapan Tandabaya sendiri ternyata jauh berbeda dengan sikap Ki Racik. Ketika ia mendengar pesan itu dari seorang pesuruh Ki Racik yang menemuinya, maka iapun menyatakan kesediaannya. Tetapi demikian orang itu pergi, maka terdengar ia tertawa terbahak-bahak. “Ada apa?“ bertanya Dugul. “Ki Racik memang aneh,“ jawab Tandabaya, “ia begitu mudah di pengaruhi oleh Pringgajaya yang kemudian bernama Partasanjaya itu. Tetapi aku tidak peduli. Kita semuanya tidak memerlukan Pringgabaya lagi. Ia harus dibunuh sebelum ia membuka rahasia yang tersembunyi disekitar kita. Bahkan seharusnya Pringgajaya itupun mengerti, jika Pringgabaya tidak dibungkam untuk selamanya, pada suatu saat ia akan mengatakan pula, bahwa sebenarnyalah Pringgajaya masih hidup dan bernama Partasanjaya.” Dugul mengangguk-angguk. Dengan nada tinggi ia berkata, “Pringgajaya memang dungu. Tetapi, bagaimana kita mengetahui bahwa Pringgabaya benar-benar berada di Mataram.” “Kita akan memasang jaring-jaring. Untuk mengetahui hal itu nampaknya tidak begitu sulit. Jika benar Pringgabaya tertangkap, maka aku kira namanya akan banyak disebutsebut oleh para prajurit atau pengawal di Mataram,“ berkata Tandabaya. “Jika kita sudah mengetahui bahwa ia berada di Mataram ?“ bertanya Dugul. “Kau memang dungu. Tentu aku belum dapat mengatakan apa-apa sekarang,“ jawab Tandabaya, “tetapi sudah pa.sti bahwa kita akan mencari tempat penyimpanannya. Kemudian datang ketempat itu dengan alat pembunuh yang paling baik.” “Apa ?“ bertanya Dugul. “Bodoh. Kita akan menunggu sampai kita mengetahui dengan pasti keadaannya. Mungkin kita dapat mempergunakan beberapa ekor ular berbisa. Mungkin dengan senjata kecil beracun atau apapun juga,“ jawab Tandabaya, “tetapi mungkin aku akan mengumpankanmu pula.” “Ah,“ desah Dugul. Tandabaya tertawa. Katanya, “Jangan ributkan sekarang. Kita akan menyuruh dua tiga orang untuk mengetahui apakah Pringgabaya memang berada di Mataram.

Itu bukan pekerjaan yang sulit.” Dugul mengangguk-angguk. Betapapun dungunya, tetapi ia dapat membayangkan bahwa mencari keterangan tentang hal itu memang tidak terlalu sulit. Tertangkapnya seorang yang mempunyai pengaruh seperti Ki Lurah Pringgabaya itu tentu akan diketahui oleh banyak pengawal. Mereka tentu tidak akan dengan tertib merahasiakannya, jika hal itu memang dianggap sebagai satu rahasia. Tentu ada satu dua mulut yang berbicara tentang tawanan itu dan menyebut namanya. Seperti yang direncanakan, maka Ki Tandabaya lewat seorang kepercayaannya telah memerintahkan dua orang untuk mencari keterangan ke Mataram. Dua orang yang menyatakan kesediaan mereka, karena mereka memang mempunyai sanak kadang di Mataram. Dengan bekal uang yang cukup dan janji yang meng ikat, maka kedua orang itupun telah pergi ke Mataram. Seperti yang diduga, memang tidak sulit untuk mengetahui, apakah Ki Pringgabaya memang berada di Mataram. Bahkan rasa-rasanya hal itu sama sekali tidak dirahasiakannya. Baru dua hari dua orang itu berada di Mataram, maka mereka sudah mendengar dari dua orang pengawal yang dengan sengaja dijumpainya disebuah kedai, ketika keduanya sedang tidak bertugas. “Mereka selalu datang kemari,“ berkata pemilik warung itu. Kedua orang petugas Ki Tandabaya itu mengangguk-angguk. Dengan acuh tidak acuh salah seorang dari mereka bertanya, “Kau juga pernah mendengar nama Pringgabaya seperti yang dikatakannya itu ?” “Sekali-sekali ia memang pernah mengatakan seperti yang baru saja dikatakannya. Di dalam dinding halaman rumah Senapati Ing Ngalaga ada seorang tawanan khusus. Namanya Ki Lurah Pringgabaya,“ jawab pemihk kedai itu. “Siapa orang itu ?“ bertanya salah seorang dari kedua petugas itu. “Ah, tentu aku tidak tahu. Hanya nama itulah yang pernah aku dengar,“ jawab pemilik warung itu. Kedua orang yang ditugaskan oleh Ki Tandabaya itu mengangguk-angguk. Merekapun mengerti, bahwa pemilik warung itu tentu tidak akan tahu terlalu banyak. Jika ia mendengar nama orang yang tertawan itu, tentu karena satu dua orang pengawal yang makan dikedainya pernah berbicara tentang tawanan itu. Namun keterangan itu sudah cukup bagi mereka. Jika mereka sempat, maka mereka akan dapat mencari keterangan yang lebih jelas. Jika tidak, maka keterangan yang didedangarnya itu sudah cukup bagi mereka untuk disampaikan kepada Ki Tandabaya. Meskipun demikian keduanya masih tinggal beberapa lama di Mataram. Ternyata seperti saat mereka

berada dikedai itu, merekapun mendengar hal yang serupa dari orang lain. Bahkan saudaranya yang tinggal di Mataram, telah mempertemukannya dengan seorang pengawal yang telah dikenalnya dengan baik. “Ya,“ jawab pengawal itu ketika kepadanya ditanyakan, “apakah ada seorang tawanan yang bernama Ki Pringgabaya.” Katanya selanjutnya, “Orang menyebutnya Ki Lurah Pringgabaya.” “Kenapa ia ditawan ?“ bertanya salah seorang dari kedua orang yang ditugaskan oleh Ki Tandabaya. Pengawal itu menggeleng. Katanya, “Aku tidak tahu. Tidak seorangpun yang tahu kecuali Senapati Ing Ngalaga. Mungkin Ki Juru dan satu dua orang Senapati. Yang lain, sama sekali tidak mengetahui alasan penahanan itu.” “Bukankah Ki Lurah Pringgabaya itu prajurit Pajang ?“ bertanya pengikut Ki Tandabaya itu. “Ya. Tetapi agaknya ia telah melakukan kesalahan ditlatah kekuasaan Senapati Ing Ngalaga di Mataram,“ jawab pengawal itu. Kedua orang petugas yang dikirim oleh Ki Tandabaya itu tidak bertanya lebih banyak lagi. Tugas mereka adalah mengetahui kebenaran dugaan, apakah Ki Pringgabaya ada di Mataram atau tidak. Jika tugas itu sudah diselesaikan dengan baik, maka itu sudah cukup. Mereka sudah berhak menerima upah yang dijanjikan dan menyimpan harapan-harapan bagi masa depan, jika perjuangan mereka berhasil. Karena itu, maka keduanyapun kemudian dengan hasil yang mereka anggap cukup, segera kembali ke Pajang untuk menyampaikan laporannya kepada kepercayaan Ki Tandabaya yang memberikan tugas langsung kepada kedua orang itu. “Kau yakin akan kebenaran berita yang kau dengar ?“ bertanya kepercayaan Tandabaya itu. “Ya. Aku yakin,“ jawab salah seorang dari keduanya, “aku mendengar bukan dari satu pihak saja. Tetapi dari beberapa pihak.” “Baiklah. Laporan ini akan aku teruskan kepada 'orang yang memberikan tugas ini kepadaku.” “Terserahlah. Tetapi laporan ini dapat dipercaya,” sahut seorang yang lain. Demikianlah, maka Ki Tandabaya agaknya mempercayai laporan itu. Katanya, “Sesuai dengan perhitungan kami. Orang yang hadir dipertempuran sesuai dengan laporan itu tentu Raden Sutawijaya

itu sendiri. Ialah yang telah menangkap Ki Lurah Pringgabaya dan membawanya ke Mataram. Tidak ada orang lain yang akan dapat melakukannya, selain Raden Sutawijaya atau Pangeran Benawa. Mungkin ada orang lain yang dapat mengalahkannya. Tetapi mereka hanya akan dapat menangkap mati Ki Lurah yang keras kepala itu.” “Agaknya memang demikian,“ jawab orang yang dipercayanya itu. “Tetapi akhirnya Ki Pringgabaya itu akan mati juga. Agaknya itu lebih baik bagi dirinya. Terutama bagi kita. Dengan demikian ia tidak akan dapat berbicara tentang siapapun juga yang pernah dikenalnya diantara kita semuanya,“ berkata Ki Tandabaya. “Tentu ia sudah mengatakannya.” “Mungkin belum. Ia masih dapat bertahan barang satu dua pekan atau lebih. Tetapi lebih dari satu bulan, keadaannya tentu sudah gawat. Ki Lurah itu tentu sudah mulai dijamah oleh kejemuan dan perasaan muak terhadap pertanyaan-pertanyaan yang setiap saat didengarnya. Apalagi apabila kejemuan itu mulai mengganggu syarafnya, sehingga ia tidak akan dapat mengendalikan diri lagi,“ sahut Ki Tandabaya lebih lanjut. “Lalu, apakah yang akan kita lakukan ?“ bertanya kepercayaannya itu. “Kita akan membantunya, melepaskannya dari penderitaan itu,“ jawab Ki Tandabaya, lalu, “namun agar ia ikhlas menerima nasibnya tanpa hambatan, maka ia harus yakin bahwa isterinya tidak akan mengalami nasib buruk sepeninggalnya. Ia harus diyakinkan bahwa isterinya akan mendapat tempat yang baik.” Pangikut Tandabaya itu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tertawa berkepanjangan ketika Ki Tandabaya sendiri tertawa keras-keras. “Kapan kita membunuhnya ?“ bertanya kepercayaannya itu kemudian. “Kau kira kita akan membunuh cengkerik dipadang rumput ?“ jawab Ki Tandabaya, “dengar. Yang akan kita bunuh adalah seseorang seperti Ki Lurah Pringgabaya. Kemudian, yang lebih rumit lagi, ia berada dibawah pengawasan para pengawal di Mataram. Kau kira para pengawal itu akan membungkukkan kepalanya, mempersilahkan kita mendekati bilik penyimpanan itu, kemudian melepaskan dua atau tiga ekor ular berbisa kedalam bilik itu, atau lewat lubang dinding atau membuka satu dua genting, melepaskan paser beracun ?” Kepercayaannya mengangguk-angguk pula. Ia mengerti, bahwa tugas itu bukan tugas yang terlalu mudah dilakukannya. Tugas itu harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan dengan sangat

cermat, sehingga rencana itu tidak dapat diketahui oleh orang-orang Mataram. “Aku akan memanggil beberapa orang tertentu. Tentu saja yang dapat aku percaya. Aku akan membicarakan, bagaimana tugas itu dapat aku lakukan sebaik-baiknya,” berkata Ki Tandabaya. Kepercayaannya mengangguk-angguk. Tetapi terbersit juga senyum dibibirnya, karena ia tahu pasti, bahwa ada hubungan yang terjadi antara Ki Tandabaya dengan perempuan yang disebut isteri Pringgabaya. Di hari-hari berikutnya, Tandabaya telah bekerja dengan cermat. Ia memanggil beberapa orang kawan-kawannya yang dipercayai sepenuhnya. Mereka membicarakan cara yang dapat ditempuh untuk melenyapkan sama sekali Pringgabaya yang sebenarnya memang berada di Mataram. “Kita harus mengetahui, dimana ia disimpan,“ berkata salah seorang dari kawan-kawan Tandabaya itu. “Menurut laporan yang aku terima,“ jawab Tandabaya, “ia berada didalam lingkungan halaman rumah Senapati Ing Ngalaga.” Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Itu kesulitannya. Pagar dinding halaman rumah Raden Sutawijaya itu seolah-olah mempunyai mata dan telinga.” “Dan apakah kita tidak mempunyai kemampuan untuk menutup mata dengan telinga itu?“ bertanya kawannya yang lain. “Kita harus menemukan cara,“ berkata Ki Tandabaya, “aku akan pergi ke Mataram. Aku akan mencari cara yang pahng baik untuk memasuki halaman rumah itu. Mungkin aku akan menemukannya.” “Segalanya harus diperhitungkan sebaik-baiknya,“ desis salah seorang dari mereka, “yang kita hadapi adalah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga. Orang aneh yang memiliki kemampuan tidak terbatas.” “Omong kosong,“ potong Ki Tandabaya, “tentu kemampuannya ada batasnya. Kau kira orang seperti Senopati Ing Ngalaga itu demikian sempurna sehingga tidak ada cara untuk mengalahkannya atau bahkan hanya sekedar mencari kelengahannya saja?” “Tentu tidak ada orang yang sempurna,“ jawab kawannya, “tetapi apa yang telah dikerjakannya benar-benar menakjubkan. Kadang-kadang sama sekali tidak dapat dijangkau dengan nalar. Bagaimana ia berhasil mencengkam keris-keris kulit yang tertancap pada tiang-tiang pendapanya, sehingga orang yang dengan kekuatan yang luar biasa berhasil menancapkan keris dari kulit itu menghunjam pada sebatang kayu yang terpancang sebagai saka guru, tidak berhasil mencabutnya. Tetapi kemudian seolah-olah dengan acuh tidak acuh, ia mencabut keriskeris kulit itu dengan jepitan dua buah jarinya saja.” Yang lainpun menyahut, “Nampaknya iapun dengan mudah dapat menangkap Pringgabaya.”

“Tetapi bagaimanapun juga, aku akan mencobanya,“ berkata Tandabaya, “kitapun bukan anak-anak kecil yang baru belajar melangkah. Kitapun orangorang yang cukup makan pahit asinnya kehidupan dan menjelajahi luasnya padang olah kanuragan.” Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka percaya bahwa Ki Tandabaya itupun memiliki kemampuan yang cukup sebagai bekal untuk melakukan tugasnya. Sudah barang tentu, ia tidak akan dapat langsung berhadapan dengan Senopati Ing Ngalaga. Tetapi sekedar mencari kelengahannya saja. Sehingga dengan demikian, maka Tandabaya harus memperhitungkan dengan sebaik-baiknya saat-saat yang dicarinya itu. Demikianlah, maka Ki Tandabaya mulai mengatur orang-orangnya. Mereka akan pergi ke Mataram. Yang pertama-tama mereka lakukan adalah sekedar melihat keadaan dan mencari kemungkinan diselasela kesiagaan orang-orang Mataram. “Tidak banyak orang-orang Mataram yang memiliki ilmu yang tinggi,“ berkata Ki Tandabaya kepada orang-orangnya, “Raden Sutawijaya memang orang luar biasa. Tetapi selebihnya, adalah orang-orang yang memiliki kemampuan jauh dibawah tatarannya, kecuali Ki Juru Martani. Apa yang dapat dilakukan oleh orangorangnya yang tidak memiliki kemampuan cukup untuk melawan kami ?” Namun untuk melihat-lihat keadaan itupun Ki Tandabaya tidak boleh lengah. Orang-orangnya yang ditunjuk untuk pergi bersamanya telah mendapat pesan khusus dalam tugas mereka masing-masing. Pada saat yang ditentukan, maka merekapun telah berada di Mataram. Perjalanan dari Pajang ke Mataram memang bukan jarak yang amat jauh. Karena itu, maka bagi Ki Tandabaya, jarak itu akan dapat dicapainya hilir mudik. Satu hari di Mataram, dan dihari berikutnya ia sudah akan berada di Pajang. “Kenapa ia memilih cara yang demikian,“ bertanya seorang kawannya, “bukankah dengan demikian, kita-kita inilah yang harus dengan cermat mengawasi keadaan dan mencari kemungkinan untuk memasuki dinding halaman rumah Raden Sutawijaya, sementara Ki Tandabaya itu hanya akan menunggu dan mendengar laporan kita.” “Bukankah itu biasa ? Ia adalah seorang yang menganggap dirinya pemimpin kita. Ia berhak berbuat demikian,“ jawab kawannya, “tetapi persoalannya bukan sekedar karena ia seorang pemimpin yang mempercayakan tugas-tugas yang dianggapnya tidak begitu berat dan tidak begitu menarik kepada orang-orangnya, namun sudah barang tentu, ia mempunyai kepentingan-kepentingan yang lain.” “Apa ?“ bertanya yang lain. “Perempuan itu,“ desis kawannya. Yang mendengar jawaban itu mengangguk-angguk.

Merekapun mengerti, bahwa ada hubungan antara Ki Tandabaya dengan perempuan yang disebut isteri Ki Lurah Pringgabaya, yang menurut beberapa orang perempuan itu belum isteri Ki Pringgabaya yang sah, disamping dua isteri Ki Lurah yang lain. Demikianlah, maka orang-orang yang berada di Mataram dengan menyamar diri itu berusaha untuk mengetahui beberapa hal tentang kebiasaan Raden Sutawijaya. Mereka mulai usaha mereka dengan mengenal kebiasaan Raden Sutawijaya meninggalkan rumahnya, dan berada di pasanggrahannya. Kadang-kadang ia memang berada di Ganjur atau di tempat lain untuk beristirahat. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia terlalu senang bermain-main dengan kudanya. “Hari-harinya tidak menentu,” berkata salah seorang pengikut Tandabaya itu. “Tetapi tentu ada saat-saat yang dapat kau kenali,“ jawab Ki Tandabaya, “mungkin sepekan sekali. Mungkin sepuluh hari sekali. Atau ia mengambil hari-hari tertentu dalam sepekan.” “Aku akan menelitinya lebih lanjut. Mungkin ada saat-saat yang dapat diperhitungkan, sehingga kita akan dapat menentukan saat yang paling baik.” Dengan demikian, maka para pengikut Ki Tandabaya itu harus bekerja lebih cermat lagi. Mereka harus benar-benar memperhitungkan, saat-saat Raden Sutawijaya pergi. Meskipun kepergian Raden Sutawijaya ke pasanggrahan untuk kepentingan-kepentingan khusus, terutama bermain-main dengan kuda-kudanya yang banyak jumlahnya dan juga meningkatkan ketrampilan-nya bermain senjata diatas punggung kuda, namun kepergiannya itu tidak pernah dirahasiakan. Bahkan hampir setiap orang mengetahui, bahwa Raden Sutawijaya memang sering meninggalkan istananya. Yang sebagian besar malahan tidak untuk beristirahat, tetapi justru untuk mesu diri, meningkatkan ilmunya yang sudah terlalu sulit untuk dimengerti oleh orang lain itu. “Ia pergi, kapan saja ia ingin pergi,“ desis salah seorang dari pengikut Ki Tandabaya itu. “Sulit untuk diperhitungkan,“ jawab kawannya. “Tetapi marilah kita mencobanya memperhatikan sekali lagi. Tetapi tentu memerlukan waktu paling sedikit dua pekan,“ berkata pengikut itu. “Apa ?“ bertanya kawannya. “Dimalam Jum'at Raden Sutawijaya itu tentu pergi. Entah kemana. Meskipun baru sehari ia berada dirumahnya, tetapi malam Jum'at berikutnya ia tentu pergi,“ berkata pengikut Ki Tandabaya itu, “ia memang pergi untuk waktu yang tidak menentu. Tetapi tentu melalui malam Jum'at. Mungkin hari pertama, mungkin menjelang ia datang kembali, atau saat-saat apapun juga, namun mesti termasuk malam Jum'at.”

“Jika demikian, menurut pengamatanmu, disetiap malam Jum'at Raden Sutawijaya tentu tidak ada dirumahnya,“ bertanya kawannya. “Ya. Kecuali pada sat-saat yang penting. Misalnya ada tamu, atau ada upacara apapun juga yang menuntut Raden Sutawijaya itu berada dirumahnya. Karena itu, didalam ketidak tentuan itu, kita memang dapat melihat, hari-hari yang hampir dapat dipastikan.” “Katau demikian, hari itu akan menjadi patokan,“ desis kawannya, “meskipun pada saat terakhir, kita masih harus melihat, apakah benar Raden Sutawijaya meninggalkan rumahnya.” “Kita harus cepat bertindak. Kita sudah terlalu lama kehilangan waktu untuk menghitung saat-saat Raden Sutawijaya pergi. Jika kita berlarut-larut tanpa berbuat apapun juga, maka kita akan terlambat. Ki Pringgabaya sudah tidak dapat menahan kepahitan badani lagi, sehingga ia akan berbicara tentang apa saja yang diketahuinya tentang Pajang dengan segala macam isinya.” Demikianlah, maka ketika Ki Tandabaya datang lagi ke Mataram, maka pengikutnya itupun telah dapat menentukan saat-saat yang hampir pasti, bahwa Raden Sutawijaya tidak berada dirumahnya. “Kau tidak salah hitung ?“ bertanya Ki Tandabaya. “Demikianlah menurut pengamatan kami. Sebenarnyalah kami ingin Ki Tandabaya bersama kami disini, sehingga jika ada sedikit kesalahan dan kekurangan hitungan, Ki Tandabaya dapat ikut mempertanggung jawab-kannya,“ sahut pengikutnya. “Bodoh,“ geram Ki Tandabaya, “buat apa aku mempergunakanmu, jika aku masih harus bekerja sendiri ? Apalagi untuk tugas-tugas semacam itu, jika kalian tidak berhasil mengerjakan dan menyelesaikan, aku kira kalian sudah tidak berguna lagi bagiku.” Para pengikutnya saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka tidak menyahut. “Ketahuilah,“ berkata Ki Tandabaya, “Ki Racik sudah menganggap tugas ini terlalu lama belum dapat kita selesaikan. Aku sudah ditegurnya. Bahkan ia mulai ragu-ragu terhadap kemampuanku, seolah-olah aku tidak akan dapat menyelesaikan tugas ini, seperti tugas-tugas yang dibebankan kepada Pringgajaya yang kemudian bernama Partasanjaya itu.” “Kita memang harus segera bertindak,“ desis pengikutnya. “Sekarang hari apa ?“ desis Ki Tandabaya. “Malam Jum'at,“ jawab pengikutnya. “Malam Jum'at,“ ulang Ki Tandabaya, “jadi hari ini Raden Sutawijaya tidak berada dirumahnya ?”

“Ya. Aku sudah mencari keterangan. Sudah dua hari Raden Sutawijaya pergi. Hari ini ia masih belum kembali. Biasanya besok ia baru akan kembali,“ desis pengikutnya. “Kenapa kau pernah mengatakan, bahwa hari-hari kepergiannya tidak menentu?“ desak Ki Tandabaya. “Memang tidak menentu. Baru setelah kami meneliti sekali lagi, maka hari-hari yang tidak menentu itu tentu memuat hari Jum'at. Mungkin hari pertama saat ia meninggalkan rumahnya. Mungkin hari terakhir sebelum ia kembali.” Ki Tandabaya mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan mencari keterangan sekali lagi. Jika kita sudah pasti, bahwa ia tidak ada dirumah, maka kita akan mencoba menyelidiki, apakah mungkin kita memasuki halaman rumahnya. Jika mungkin, kita akan mencari dimana ia disimpan. Baru setelah kita mendapat kepastian, maka kita akan mengatur cara yang paling baik untuk membunuhnya.” “Apakah kita tidak berusaha untuk membebaskannya ?“ bertanya pengikutnya. “Kau gila,“ geram Tandabaya, “jika kau sudah tahu jawabnya, kenapa kau masih bertanya ?” Pengikutnya hanya tersenyum saja. Namun senyumnya itupun segera larut ketika Ki Tandabaya membentak, “Kita harus bertindak cepat. Cari keterangan sekali lagi. Aku sendiri akan melihat kedalam batas dinding halaman itu.” Para pengikutnya itupun segera bangkit dan meninggalkan Ki Tandabaya, untuk meyakinkan, apakah benar Raden Sutawijaya tidak berada dirumahnya. Dengan cara yang tidak menarik perhatian, mereka mendapat keterangan dari seorang pengawal yang bertugas diregol, bahwa Raden Sutawijaya memang sedang pergi. “Kami ingin menawarkan seekor kuda yang paling baik yang pernah kita miliki,“ berkata salah seorang peligikut Ki Tandabaya itu. “Raden memang seorang penggemar kuda. Tetapi sayang, sudah dua hari ini ia meninggalkan rumahnya. Mungkin ia berada di Ganjur. Ia memiliki seekor kuda yang baru pula,“ jawab pengawal itu. Para pengikut Ki Tandabaya itu pura-pura menjadi sangat kecewa, bahwa mereka tidak dapat segera menawarkan kuda yang dikatakannya paling baik yang pernah dimilikinya Namun akhirnya salah seorang diantara mereka berkata, “Baiklah Ki Sanak. Kami mohon diri. Jika kami tidak mepunyai seekor kuda yang benar-benar baik. Maka kami tidak akan berani datang untuk menawarkannya kepada Senapati Ing Ngalaga.” “Datanglah besok,“ berkata Pengawal itu, “mungkin Raden Sutawijaya itu sudah kembali.” “Terima kasih,“ jawab pengikut Ki Tandabaya itu yakin, bahwa sebenarnyalah Raden Sutawijaya

tidak berada dirumahnya. Ketika hal itu disampaikan kepada Ki Tandabaya, maka iapun mengangguk-angguk. Tetapi pertanyaannya telah mengejutkan para pengikutnya, “Senapati Ing Ngalaga tidak ada dirumahnya. Tetapi bagaimana dengan Ki Juru ?” “Ki Juru Martani ?“ bertanya para pengikutnya. “Ya. Ki Juru Martani. Siapa lagi ?“ geram Tandabaya. Para pengikutnya termangu-mangu. Mereka tidak mengetahui tentang Ki Juru Martani, karena mereka memang tidak memperhitungkannya. “Kalian memang bodoh,“ suara Ki Tandabaya datar, “seharusnya kalian juga mengetahui apakah Ki Juru mengikuti Raden Sutawijaya atau tidak.” “Kami tidak mencari keterangan tentang Ki Juru Martani. Tetapi menurut perhitungan kami, Ki Juru tidak meninggalkan Mataram, justru karena Raden Sutawijaya pergi. Meskipun mungkin dalam keadaan khusus kedua-duanya meninggalkan Mataram, tetapi pada saat-saat Raden Sutawijaya berada dipasanggrahannya atau justru sedang mesu diri berkeliling menuruni lembah dan menelusuri sungai, biasanya ia pergi seorang diri dan menyerahkan pimpinan Mataram kepada Ki Juru,“ berkata pengikutnya. “Dari mana kau tahu ?“ bertanya Ki Tandabaya. “Menurut ceritera orang yang aku dengar selama ini. Tetapi kali ini kami tidak mengetahuinya,“ jawab pengikutnya. Ki Tandabaya mengangguk-angguk kecil. Namun masih terdengar ia bergumam, “Kalian benar benar dungu. Kalian hanya mengerjakan apa yang diperintahkan tanpa mengingat hubungan persoalannya yang satu dengan lain. “Ki Tandabaya berhenti sejenak. Kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan menyelidiki keadaannya. Melihat kemungkinan-kemungkinannya dan aku akan mengambil satu sikap yang akan kita kerjakan bersama. Mungkin pekan yang akan datang, atau selambatlambatnya dua pekan mendatang, agar Ki Racik tidak salah menilai kita semuanya.” Para pengikut Ki Tandabaya kemudian memberikan beberapa keterangan yang mungkin diperlukan tentang para penjaga yang mereka ketahui berada disekitar rumah Raden Sutawijaya. “Pada dasarnya, rumah itu tidak terlalu ketat dijaga. Mungkin disekitar bilik yang mereka pergunakan untuk menawan Ki Lurah Pringgabaya. ada penjaga khusus yang sudah diperhitungkan. Bukankah Ki Lurah itu memiliki ilmu yang tinggi pula.” Demikianlah, ketika malam turun, Ki Tandabayapun telah menyiapkan dirinya. Diikuti oleh

kepercayaannya yang bernama Dugul, ia mendekati rumah Raden Sutawijaya. Mataram yang sedang tumbuh itu ternyata menjadi sepi lewat matahari terbenam. Demikian malam menyelubungi kota, maka jalan-jalanpun menjadi lengang, meskipun disimpang-simpang jalan terdapat lampu-lampu minyak yang menyala. Ki Tandabaya serba sedikit telah mengetahui keadaan rumah Raden Sutawijaya. Ditambah dengan beberapa keterangan dari para pengikutnya. Karena itu, maka iapun langsung menuju ketempat yang menurut perhitungannya tidak berada dibawah pengawasan para pengawal. “Kita menunggu sejenak,“ berkata Ki Tandabaya kepada Dugul, “jika malam menjadi semakin sepi, kita akan memasuki halaman. Kau dapat mencari jalan yang paling aman.” “Jangan cemas,“ berkata Dugul, “lebih dari duapuluh tahun aku melakukan pekerjaan seperti ini. Bahkan orang percaya bahwa aku seolah olah dapat menghilang karena aji penglimunan.” “Aku percaya bahwa kau adalah seorang benggol pencuri yang berpengaruh. Karena itu, maka aku memerlukan kau pada saat-saat semacam ini. Meskipun aku yakin akan ilmuku, asal saja aku tidak bertemu dengan Raden Sutawijaya atau Ki Juru Martani. Tetapi adalah lebih baik jika kita dapat memasuki halaman tanpa diketahui oleh para pengawal.” Dugul tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian berkata, “Tunggulah disini. Aku akan mendekati dinding halaman itu.” Untuk beberapa saat Dugul meninggalkan Ki Tandabaya. Dengan pengalamannya yang luas Dugul mulai mengenali medan yang akan ditempuhnya bersama Ki Tandabaya. Dengan pendengarannya yang tajam ia berhasil mengetahui, tempat tempat yang palin lemah pengawasannya. Ketika tengah malam telah lewat, maka Dugulpun memberikan isyarat kepada Ki Tandabaya untuk mengikutinya. Lewat sebatang pohon yang tumbuh diluar dinding halaman belakang rumah Raden Sutawijaya yang luas. mereka mulai memanjat. Dengan sangat berhati-hati. akhirnya keduanya meloncat keatas dinding dan melayang turun setelah mereka yakin, tidak ada seorang pengawalpun yang melihatnya. Sejenak mereka mengatur pernafasan dan perasaan. Kemudian Ki Tandabaya itu berbisik, “Kita mencari tempat yang paling kuat penjagaannya. Kita harus dapat mempelajari keadaan sebaik-baiknya, sehingga jika disaat lain kita memasuki halaman ini dengan perlengkapan yang cukup, kita akan dapat segera melakukannya. Mungkin kita memerlukan dua atau seorang lagi untuk melakukan tugas itu dalam keseluruhan.”

Dugul mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Ki Tandabaya. Karena itu, maka merekapun segera bergeser dari balik sebuah gerumbul kebahk gerumbul yang lain. Sekali-sekali mereka harus bersembunyi sambil menahan nafas, jika mereka melihat satu dua orang pengawai yang lewat dari regol yang satu keregol penjagaan yang lain pada dinding diseputar halaman yang luas itu.” Untuk beberapa saat keduanya mengalami ketegangan. Selain menghindari para pengawal, terutama yang sedang nganglang mengitari halaman, mereka masih harus mencari tempat yang dipergunakan oleh orang-orang Mataram untuk menahan Ki Lurah Pringgabaya. Ternyata mencari tempat penahanan itu tidak semudah saat mereka memasuki halaman. Tidak ada tanda-tanda khusus yang dapat mereka kenal. Bahkan, merekapun telah memperhitungkan, bahwa tempat itu tentu di jaga oleh beberapa orang pengawal terpilih, karena Ki Lurah Pringgabaya termasuk seseorang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Namun setelah mereka mengitari seluruh halaman, barulah mereka mencoba mengambil kesimpulan, bahwa penjagaan yang paling kuat dari seluruh isi halaman itu, ada pada sebuah pintu butulan diserambi gandok sebelah kanan. “Apakah mungkin Ki Lurah Piinggabaya berada disalah satu bilik digandok sebelah kanan ?“ bertanya Dugul. Ki Tandabaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Kemungkinan terbesar adalah demikian.” “Kita akan melihat,“ desis Dugul. “Bagaimana mungkin ?“ bertanya Ki Tandabaya. “Aku akan memanjat atap. Aku akan mendekati setiap bilik digandok itu lewat sebelah bumbungan bagian dalam, sehingga aku tidak akan terlibat dari bagian timur luar rumah ini,“ berkata Dugul. “Tetapi orang dilongkangan akan dapat melihatmu,“ desis Ki Tanabaya. “Memang ada kemungkinan. Tatapi jarang sekali ada seseorang dilongkangan disaat semacam ini. Mungkin para pengawal akan lewat. Dimalam yang gelap ini, aku tidak akan nampak jika aku bertiarap melekat atap yang hitam itu,“ desis Dugul. “Tetapi hati-hatilah,“ desis Ki Tandabaya. “Jika terjadi sesuatu,“ berkata Dugul, “tinggalkan aku. Cepat menyingkirlah.”

Ki Tandabaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Aku harap tidak akan terjadi sesuatu.” Dugul tersenyum. Sambil beringsut ia berkata, “Doakan saja agar aku berhasil.” Ki Tandabaya tidak menjawab. Ia melihat Dugul berkisar. Namun kemudian seolah-olah Dugul itu hilang ditelan gelap malam. “Setan,“ desis Ki Tandabaya, “orang menyangka ia mempunyai aji panglimunan.” Namun sejenak kemudian mata Ki Tandabaya yang tajam dapat melihat sekilas tubuh Dugul melekat dinding ditempat yang terlindung, sekejap lagi tubuh itupun telah hilang pula. “Ia sangat cekatan dan trampil,“ desis Ki Tandabaya, “kelebihannya agaknya justru pada kepandaiannya memiliki ilmu yang panglimunan.” Untuk beberapa saat Ki Tanabaya menunggu. Ketegangan terasa menekan jantungnya. Diluar sadarnya, iapun telah berdoa, agar Dugul dapat melakukan tugasnya dengan selamat. Tetapi ketika ia menyadarinya, ia menjadi ragu-ragu. Apakah untuk melakukan perbuatan seperti yang dilakukan oleh Dugul itu, ia dapat berdoa dan apakah doa itu akan didengar. Dalam pada itu, ternyata Dugul benar-benar seorang yang berpengalaman. Meskipun demikian ia harus melakukan perbuatannya itu dengan sangat hati-hati, karena menyadari, bahwa disekitar bilik tahanan itu tentu terdapat orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. “Asal Raden Sutawijaya benar-benar tidak ada dirumah, dan Ki Juru Martani tidak bermain digandok ini pula,“ katanya. Dengan kemampuannya, Dugul berhasil memanjat atap rumah tanpa diketahui oleh para pengawal, ia memilih sudut gandok yang dibayangi oleh dedaunan pepohonan yang rimbun. Dalam gelap malam, maka sudut itu rasa-rasanya menjadi semakin gelap. Beberapa lama Ki Tandabaya menunggu dalam ketegangan. Rasa rasanya semua urat dan syarafnya menjadi tegang pula. Jantungnya berdegup semakin lama semakin keras, sehingga Ki Tandabaya menjadi cemas, bahwa para pengawal akan dapat mendengar degup jantungnya itu. Ketika kesabaran Ki Tandabaya hampir habis, sementara Dugul masih belum nampak, timbullah niatnya untuk menyusul. Meskipun ia tidak berpengalaman seperti Dugul, tetapi iapun merasa memiliki kemampuan, sehingga ia akan mengerjakannya dengan landasan kemampuannya. Ia memiliki pendengaran yang cukup tajam, kecepatan bergerak dan tenaga yang besar.

Namun selagi ia beringsut, tiba-tiba ia mendengar desir lembut dari arah samping. Karena itu, maka iapun segera menahan nafasnya dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Tetapi dalam keremangan malam, iapun kemudian melihat bayangan mendekatinya sambil berdesis, “Aku, Dugul.” Ki Tandabaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan tergesa-gesa ia bertanya, “Bagaimana ?” “Aku menemukannya. Aku berhasil mengintip dari atap gandok itu. Ki Lurah Pringgabaya ada didalam salah satu bilik yang berdinding kayu. Nampaknya dinding bilik itu telah dibuat khusus, sementara para pengawal yang berada dipintu butulan itu benar-benar khusus mengawasi bilik itu,“ jawab Dugul hampir berbisik. “Aneh,“ desis Ki Tandabaya, “apakah tidak ada usaha Ki Lurah untuk melarikan diri. Bukankah ia dengan mudah dapat memecah dinding bilik itu ?” “Tentu ia menganggap tidak ada gunanya,“ jawab Dugul, “ia akan segera diketahui oleh para pengawal jika mereka mendengar dinding kayu itu berderak. Kehadiran Raden Sutawijaya akan memaksanya untuk kembali kedalam bilik itu lagi setelah diperbaiki.” “Bukan disaat-saat ini raden Sutawijaya tidak ada ?“ sahut Ki Tandabaya. “Tetapi Ki Lurah tentu tidak mengerti, kapan Raden Sutawijaya tidak berada dirumahnya.” Ki Tandabaya mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa dihadapan Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani, KiLurah Pringgabaya tentu akan mengalami kesulitan untuk melarikan diri. Namun tiba-tiba ia berkata, “Dugul. Jika Ki Lurah itu memecah dinding, memang akan dapat mengundang perhatian para penjaga. Tetapi bagaimana jika ia mempergunakan cara seperti yang kau katakan. Melarikan diri lewat atap ?” Tetapi Dugul menggeleng. Katanya, “Sulit. Ternyata bilik itu benar-benar telah dipersiapkan bagi orang-orang kuat seperti Ki Pringgabaya. Rusuk atap itupun terlalu rapat. Memang aku dapat mengintip lewat atap, tetapi untuk keluar, Ki Lurah harus memecah beberapa rusuk yang akan dapat didengar pula oleh para penjaga.” Ki Tandabaya menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Kita keluar sekarang. Kita menunggu untuk mendapat kesempatan serupa. Mungkin pada malam Jum'at yang akan datang. Atau kapanpun jika kita mengetahui bahwa Raden Sutawijaya tidak ada di rumahnya.” Dugul tidak menjawab. Keduanyapun kemudian bergeser meninggalkan tempat mereka bersembunyi, merayap mendekati dinding. Ketika mereka melihat dua orang pengawal yang sedang mengelilingi halaman itu lewat, maka keduanya telah berjongkok dibalik segerumbul perdu diantara pertamanan

dihalaman samping. Ketika kedua orang itu telah hilang, maka Ki Tandabaya dan Dugulpun segera merangkak kedinding. Sejenak mereka melihat keadaan. Setelah mereka yakin, tidak ada seorang pengawalpun yang akan melihat mereka, maka keduanyapun segera meloncat dinding. Ternyata bahwa malam itu, Ki Tandabaya telah mendapatkan banyak hasil yang akan dapat menjadi bekal usahanya melakukan perintah Ki Racik untuk melepaskan atau mengakhiri saja hidup Ki Lurah Pringgabaya yang dikawatirkan akan dapat membocorkan rahasia orang-orang Pajang yang terlibat dalam perjuangan untuk menegakkan kembali satu masa silam yang perkasa menurut citra mereka. Dengan bekal itulah, maka Ki Tandabaya telah merencanakan untuk melakukan tugasnya pada hari yang akan ditentukan, setelah ia yakin bahwa Raden Sutawijaya tidak ada dirumahnya. “Kita akan mempergunakan beberapa cara,“ berkata Ki Tandabaya, “aku sama sekali tidak akan mempertimbangkannya untuk mencari jalan keluar dari bilik itu. Yang akan aku lakukan adalah membunuhnya.” “Bagaimana ?“ bertanya seorang pengikutnya. “Kita akan melemparkan beberapa ekor ular kedalam biliknya. Tentu saja dengan diam-diam sehingga Ki Pringgabaya sendiri tidak akan mengetahuinya. Ular-ular berbisa itu pada suatu saat yang tidak terlalu lama akan mematuk dan membunuhnya,“ jawab Ki Tandabaya. “Tetapi Ki Lurah itu tentu mempunyai cara tersendiri untuk membunuh ular-ular itu,” jawab pengikutnya. “Jika ia sempat melihat ular itu. Tetapi mungkin sekali satu diantara beberapa ekor ular itu akan lepas dari pengamatannya.” “Mungkin sekali. Tetapi hal itu tentu sangat meragukan. Bagaimana jika kita membunuhnya langsung dengan senjata beracun?” Ki Tandabaya merenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Mungkin sekali. Itupun akan kita coba.” “Serahkan kepadaku,“ berkata Dugul. Lalu, “Aku akan dapat membunuhnya dengan cara itu. Lewat atap aku akan dapat meluncurkan anak panah beracun. Mudah sekali seperti saat aku mengintipnya.” “Kenapa tidak kau lakukan saat itu sama sekali ?” bertanya salah seorang pengikut Ki Tandabaya. “Pertanyaan yang bodoh,“ Ki Tandabayalah yang menyahut, “saat itu kami belum tahu pasti, apakah ia benar-benar ada dirumah itu atau ditempat lain. Jika dirumah itu, dibilik yang mana dan kemungkinan apa yang dapat kita lakukan.” Pengikutnya mengangguk-angguk. Namun dengan demikian, maka agaknya mereka tidak akan banyak

berperan jika hal itu akan dapat dilakukan oleh Dugul sendiri. Ketika hal itu dilaporkannya kepada Ki Racik, ternyata tanggapannya diluar dugaan Tandabaya. Ki Racik nampaknya tidak mengacuhkannya. Bahkan katanya, “Yang kau lakukan terlalu lamban. Aku hampir kehilangan kesabaran sehingga hampir saja aku memerintahkan kepada orang lain untuk melakukannya.” “Pekerjaan itu termasuk pekerjaan yang sangat sulit,” jawab Tandabaya. “Jika bukan pekerjaan yang sulit, aku tidak akan menunjukmu,“ jawab Ki Racik. Ki Tandabaya menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Racik berkata, “Laporan resmi telah datang. Justru Senopati Ing Ngalaga telah memberikan laporan kepada pimpinan Keprajuritan di Pajang, bahwa seorang Lurah prajurit telah ditangkap, ketika orang itu sedang melakukan satu kejahatan yang tercela.” “Apa katanya ?“ bertanya Ki Tandabaya. “Tuduhannya sangat keji. Perampokan dan pembunuhan di tlatah Mataram,“ jawab Ki Racik, “karena itu, maka ia perlu ditahan.” Ki Tandabaya menarik nafas dalam, sementara Ki Racik berkata, “Persoalannya menjadi lebih rumit. Jika kau dapat berbuat lebih cepat, maka Senopati tidak akan sempat membuat pengaduan itu, karena orang yang diadukannya tidak ada.” “Aku akan segera membnuhnya,“ geram Ki Tandabaya, “dengan demikian, maka pengaduan itu akan merupakan pengaduan palsu karena mereka tidak dapat membuktikan bahwa benar Ki Lurah ada di Mataram.” “Tetapi Senopati Ing Ngalaga telah mengundang pimpinan keprajuritan Pajang untuk melihat keadaan Ki Lurah Pringgabaya,“ Ki Racik tiba-tiba saja hampir membentak. Ki Tandabaya menjadi tegang. Dengan gagap ia berkata, “Jadi, apakah para pemimpin itu benar-benar akan berangkat?” “Kau memang bodoh tetapi keras kepala. Kau harus dapat melakukan tugasnya sebelum Pajang mengirimkan satu atau dua orang yang mungkin akan memenuhi undangan itu, karena hal itu telah didengar oleh Kangjeng Sultan pribadi,“ jawab Ki Racik. Wajah Ki Tandabaya menegang. Dengan suara bergetar ia berkata, “Atur sebaik-baiknya. Jangan datang ke Mataram sebelum malam Jum'at mendatang.” Ki Raciklah yang kemudian menegang. Dengan nada-nada marah ia bertanya, “Kenapa harus malam

Jum'at mendatang ?” “Sudah aku katakan, bahwa setiap malam Jum'at, Senopati Ing Ngalaga tidak berada dirumahnya, kecuah pada saat-saat yang khusus,“ jawab Ki Tandabaya. “Apakah kau tidak dapat mengerjakan jika Senopati Ing Ngalaga ada dirumahnya ?“ bertanya Ki Racik. “Sulit sekali. Mungkin aku akan gagal,“ jawab Ki Tandabaya. Ki Racik termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku akan mencoba berhubungan dengan beberapa orang pimpinan keprajuritan di Pajang, agar mereka tidak mengirimkan seorangpun sebelum lewat hari yang kau tentukan. Tetapi jika kau gagal sampai batas waktu yang ditentukan, maka untuk seterusnya aku tidak akan dapat mempertanggungjawabkannya lagi.” “Aku tidak akan gagal. Justru aku bekerja dengan sangat cermat, sehingga aku memerlukan waktu agak panjang,“ berkata Ki Tandabaya. Dengan demikian, maka Ki Tandabaya benar-benar hanya mempunyai waktu sampai hari yang disebutkan. Ia tidak boleh gagal pada hari yang sudah disebutkannya itu apapun yang terjadi. Seandainya pada hari itu Raden Sutawijaya tidak pergi meninggalkan rumahnya, maka Ki Tandabaya tidak akan dapat menunggu lagi. Dengan berdebar-debar Ki Tandabaya menunggu hari-hari yang sudah ditentukannya. Dalam ketegangan, rasa-rasanya hari-hari menjadi semakin panjang. Yang sehari, rasa-rasanya lebih dari sepekan. Sementara orang-orangnyapun menunggu pula dengan tidak sabar. Namun akhirnya, hari-hari itupun merayap perlahan-lahan. Siang, malam, siang dan kemudian malam, sehingga akhirnya yang ditunggu itupun menjadi semakin dekat. Dalam pada itu, untuk melepaskan kejemuannya menunggu hari-hari yang panjang, Ki Tandabaya telah mempergunakan waktunya untuk pergi kerumah seorang perempuan muda yang cantik, yang beberapa saat lagi akan ditinggal mati oleh laki-laki yang disebut suaminya. Sah atau tidak sah. Justru karena perempuan itulah, maka Ki Tandabaya lebih senang berusaha langsung membunuh Ki Lurah Pringgabaya daripada berusaha melepaskannya. Tetapi dadanya bagaikan dihentak oleh gumpalan batu padas, ketika ternyata dirumah itu terdapat seorang laki-laki lain yang datang lebih dahulu daripadanya. Ki Pringgajaya yang kemudian bernama Partasanjaya. “Gila, apa kerjamu disini ?“ bertanya Ki Tandabaya.

“Bertanyalah kepada perempuan itu,“ desis Ki Partasanjaya. Ki Tandabaya memandang perempuan yang cantik itu. Sebelum ia bertanya sesuatu, perempuan itu mendekatinya sambil tersenyum. Katanya, “Duduklah. Kenapa kau menjadi tegang ? Bukankah kau sudah mengenal Ki Pringgajaya.” “Sebut namaku,“ potong Ki Pringgajaya yang sudah berganti nama itu. “O, ya. Maksudku, Ki Partasanjaya,“ desis perempuan itu. Ki Tandabaya tidak menyahut. Tetapi iapun tidak menolak ketika tangan perempuan itu kemudian menggandengnya dan membawanya duduk disebuah amben yang besar, beberapa langkah disebelah Ki Partasanjaya yang datang lebih dahulu daripadanya. “Ia datang beberapa saat sebelum kau datang, kakang,“ berkata perempuan itu. “Untuk apa ?“ bertanya Ki Tandabaya. “Untuk apa ?“ perempuan itupun ganti bertanya, “bukankah ia saudara seperguruan kakang Pringgabaya ? Bukankah dengan demikian ia sudah mengunjungi saudaranya yang sedang kesepian karena ditinggal oleh suaminya.” “Persetan,“ geram Ki Tandabaya, “aku tidak senang melihat kunjungannya itu.” “Kenapa kau menjadi tidak senang? Ia tidak mengganggu aku. Ia tidak berbuat apa-apa. Ia datang karena ia saudara suamiku. Apakah itu salah ?” “Sudah aku katakan, Bahwa aku tidak senang melihat kedatangannya.“ sekali lagi Ki Tandabaya menggeram. “Kau memang aneh. Kau sendiri juga datang kemari. Aku menerimamu dengan senang hati. Apakah aku tidak dapat menerima kakang Partasanjaya ? Justru ia masih mempunyai sangkut paut dengan kakang Pringgabaya, karena ia adalah saudara tua seperguruannya.” Wajah Ki Tandabaya menjadi tegang. Dipandanginya perempuan cantik itu dengan sorot mata membara. Katanya, “Jadi kau samakan aku dengan Partasanjaya. bahkan kau menganggap bahwa ia lebih berhak datang ketempat ini daripada aku ?” “Bukan maksudku,“ jawab perempuan cantik, “aku hanya mengatakan sesuai dengan pengenalanku atas kalian berdua.” “Persetan,“ geram Ki Tandabaya, “kau dengan sengaja berolok-olok. Jangan mengatakan bahwa kau

tidak tahu menahu dengan kedatanganku kemari setiap kali. Aku sudah memberimu kalung, gelang, subang dan perhiasan-perhiasan yang lain. Apakah kau akan ingkar dan sekedar mengatakan sesuai dengan pengenalanmu atas kami berdua ?” Perempuan itu justru tertawa. Perlahan-lahan ia mendekati Ki Tandabaya dan berdiri dibelakangnya bersandar punggung sambil memijit-mijit pundak laki-laki itu. Katanya, “Jangan marah kakang. Sebenarnyalah ia datang hanya sekedar untuk menengok keselamatanku.“ “Bohong,“ bentak Ki Tandabaya Tetapi perempuan itu masih tertawa. Tangannya semakin sibuk memijit pundak Ki Tandabaya. Katanya, “Kau tentu lelah. Karena itu kau tidak sempat berpikir bening. Bertanyalah, apakah yang diperbuat kakang Partasanjaya selain menengok keselamatanku.” Betapapun juga, hati Ki Tandabaya rasa-rasanya menjadi luluh. Dibiarkannya perempuan cantik untuk memijit pundaknya. Sementara itu Ki Partasanjaya masih duduk berdiam diri. “Kau dapat mengatakannya kakang,“ berkata perempuan itu bahwa kau sekedar menengok keselamatanku saja disini.” “Ya,“ jawab Partasanjaya, “aku hanya menengoknya karena ia adalah isteri adik seperguruanku yang terpaksa tidak dapat pulang.” Ki Tandabaya menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai berpikir tentang sikap Ki Partasanjaya tentang rencana untuk membunuh Pringgabaya. “Mungkin orang ini akan membalas dendam karena kematian adik seperguruannya itu,“ berkata Ki Tandabaya didalam hatinya. Kemudian, “Tetapi apaboleh buat. Jika perlu orang inipun harus disingkirkan. Karena sakit hati, ia akan dapat berbuat apa saja yang mungkin berbahaya atas perjuangan yang besar ini.” Meskipun demikian Ki Tandabaya harus memperhitungkan hubungan dalam keseluruhan. Agaknya Pringgajaya yang berganti nama dengan Partasanjaya ini adalah orang yang sangat dekat dengan Tumenggung Prabadaru, sehingga Tumenggung itu bersedia melindunginya dengan mengubur namanya, disertai dengan seorang korban yang sama sekali tidak bersalah, tetapi harus mati dan dikubur dengan nama Pringgajaya. Tetapi Tandabaya harus menahan diri. Ia harus memperhitungkan segala macam keadaan. Bahkan iapun harus mengakui, bahwa Ki Pringgajaya dan Ki Pringgabaya adalah dua orang saudara seperguruan yang sulit dicari tandingnya. Karena itu, maka untuk beberapa saat ia lebih baik berdiam diri. meskipun harus menahan hati. Ki Partasanjayapun tidak berkata apapun juga. Tetapi sikapnya benar-benar memancing perhatian. Perlahan-lahan ia bangkit dan mengamati barang-barang yang ada didalam ruangan itu. Ajug-ajug

lampu minyak disudut. Sebuah geledeg kayu yang terletak didekat pintu keruang dalam. Namun kemudian sambil tertawa ia berkata, “Sudahlah Nyai. Aku kira kunjunganku sudah cukup lama. Aku akan kembali. Lain kali aku akan berkunjung lagi sebelum Pringgabaya dapat dibebaskan dari tempat penyimpanannya. Mudah-mudahan petugas yang akan melakukannya akan berhasil.” Ki Tandabaya menggeram. Namun ia tidak menjawab. Dibiarkannya perempuan muda yang cantik itu mengiringi Ki Partasanjaya keluar pintu sambil tertawa kecil. Katanya, “Terima kasih kakang. Mudah-mudahan kakang sempat berkunjung lagi kemari. Sepeninggal kakang Pringgabaya aku memang kesepian.” Ki Tandabaya yang berada didalam mengatupkan giginya rapat-rapat sambil menahan hati. Apalagi ketika ia mendengar tertawa perempuan itu diluar. “Perempuan gila,“ gumamnya. Sejenak Ki Tandabaya harus tetap bertahan ditempatnya, betapapun hatinya bergejolak. Baru sesaat kemudian perempuan itu masuk kembali sambil tertawa kecil. “Bukankah kau sudah mengenalnya dengan baik? “perempuan itu bertanya. “Justru karena aku mengenalnya dengan baik, aku tidak senang melihat kedatangannya disini,“ geram Ki Tandabaya. Perempuan itu tertawa semakin keras. Katanya, “Kenapa? Apakah salahnya ia datang kemari?” “Persetan. Jangan pura-pura dungu seperti itu. Aku tahu, kau bukan gadis belasan tahun yang tidak mengerti apa-apa tenlang seorang laki-laki. Bagiku kau adalah seorang perempuan yang pintar dan memiliki pengetahuan yang luas tentang laki-laki,“ geram Tandabaya. Perempuan itu tertawa semakin keras. Katanya, “Jangan begitu kakang. Sebaiknya kau tidak berpikir yang aneh-aneh. Sudahlah, silahkan duduk. Aku akan menyediakan semangkuk minuman panas bagimu. Kau tahu, bagi orang lain aku tidak menjamunya dengan apapun juga.” Perempuan itu tidak menunggu Ki Tandabaya menjawab.

Iapun segera melangkah masuk keruang dalam dan meninggalkan Ki Tandabaya duduk seorang diri merenungi keadaannya. Dalam pada itu, hari-hari yang ditunggu itupun menjadi semakin dekat juga. Di Pajang, peristiwa tertahannya Ki Pringgabaya menjadi bahan pembicaraan. Beberapa orang perwira menjadi marah karenanya. Tetapi ada juga orang yang berpikir dengan hati yang bening. Jika tidak terjadi sesuatu, tentu Senapati Ing Ngalaga tidak akan berani berbuat demikian. Tetapi kelompok tertentu, tahu pasti apa sebabnya maka Ki Lurah Pringgabaya telah ditahan di Mataram. Bahkan kelompok tertentu itu sudah melakukan usaha-usaha yang pasti, dengan membunuh orang yang telah tertahan itu. Dan tugas itu diserahkan kepada seseorang yang bernama Ki Tandabaya, yang dalam kedudukannya ia bukan seorang prajurit Pajang, meskipun ia mengenal banyak orang prajurit dan bahkan para perwiranya. Tetapi ia adalah seorang pengawal khusus yang mempunyai kedudukan serupa dengan seorang prajurit di Kepatihan Pajang. Namun yang telah menyerahkan diri dalam satu landasan perjuangan untuk menegakkan kejayaan masa lampau menurut citra mereka. Dengan licin ia berhasil mengelabuhi beberapa orang kawannya, sehingga ia mendapat kesempatan yang cukup untuk melakukan tugas-tugasnya yang justru tidak ada hubungannya dengan tugasnya sebagai pengawal khusus di Kepatihan. Sementara beberapa orang perwira dengan tidak sabar ingin datang melihat dan mendengar langsung, apa yang telah terjadi, sehingga Ki Lurah Pringgabaya harus ditahan di Mataram dengan tuduhan yang sangat menyakitkan hati itu, maka Ki Tandabaya telah berusaha untuk membunuh orang itu. Kematiannya tentu akan semakin membakar kemarahan orang-orang Pajang, atau karena kematiannya, Mataram tidak akan dapat membuat tuduhan-tuduhan berdasarkan atas pengakuan Ki Lurah Pringgabaya itu. Sama sekali tidak terbersit niatnya untuk membebaskan saja Ki Lurah Pringgabaya. Meskipun dengan demikian, Ki Pringgabaya yang sudah berada diluar itu akan dapat melontarkan tuduhan-tuduhan palsu atau semacam itu yang akan dapat menuntut hukuman bagi kelancangan Senapati Ing Ngalaga yang telah berani bertindak atas seorang prajurit Pajang. “Kematiannya akan memberikan penyelesaian yang lebih baik,“ berkata Tandabaya didalam hatinya. Sementara itu, maka beberapa orang dilingkungan keprajuritan Pajang telah berusaha untuk menunda setiap usaha untuk mengirimkan beberapa orang ke Mataram memenuhi permintaan Senapati Ing Ngalaga untuk melihat sendiri keadaan Ki Pringgabaya dan barangkali untuk berbicara langsung dengan orang yang tertawan dengan tuduhan yang sangat menyakitkan hati itu. “Kita menunggu penjelasan Senapati Ing Ngalaga,“ berkata salah seorang perwira yang dengan sengaja menghambat keberangkatan sekelompok perwira yang akan bertemu dengan Ki Lurah Pringgabaya. “Penjelasan yang mana,“ jawab mereka yang sudah siap untuk berangkat, “keterangan Senapati Ing Ngalaga sudah jelas. Kitalah yang akan mendapat penjelasan langsung dari Ki Lurah Pringgabaya jika kita akan dapat bertemu dengan orang itu.”

“Apakah Senapati menjamin bahwa Ki Lurah Pringgabaya akan berbicara sebenarnya ?“ desis orang yang pertama. “Kenapa ?“ bertanya kawannya. “Senapati Ing Ngalaga dapat saja mengancam Ki Lurah Pringgabaya agar memberikan keterangan yang tidak benar, sesuai seperti yang dikehendaki oleh Senapati Ing Ngalaga itu. Jika Ki Lurah tidak berkata seperti yang dikehendaki oleh Raden Sutawijaya, maka Raden Sutawijaya akan dapat berbuat apa saja sepeninggal kita dari Mataram,“ jawab perwira yang pertama. Kawannya mengerutkan keningnya. Namun katanya, “Aku mempunyai satu gambaran tersendiri tentang Ki Lurah Pringgabaya. Ia bukan seorang prajurit yang berjiwa kerdil. Agaknya ia akan bertahan pada harga dirinya. Apapun yang dilakukannya, ia akan mempertanggung jawabkannya.” “Sebagai perampok dan pembunuh ?“ desis perwira yang pertama. “Aku memang tidak yakin. Tetapi jika tuduhan itu tidak benar, maka akibatnya akan menjadi sangat gawat. Hubungan Pajang dan Mataram yang memburuk tanpa diketahui dengan pasti sebab-sebabnya ini akan bertambah buruk.” “Karena itu kita harus berhati-hati,“ berkata perwira yang pertama, “kita tidak boleh tergesa-gesa. Kita harus berusaha melihat latar belakang sikap Senapati Ing Ngalaga. Apakah ia dengan sengaja memancing kekeruhan, atau karena sebab-sebab yang lain. Bertemu dengan Ki Lurah itu tidak akan menjamin bahwa persoalannya akan menjadi semakin jelas.“ ia berhenti sejenak, namun tiba-tiba ia berkata, “apakah Senapati tidak sekedar mengada-ada dengan undangannya itu ?” “Mengada-ada bagaimana ?“ bertanya kawannya. “Memancing persoalan. Justru karena itu, kita harus berhati-hati dan tidak tergesa gesa.” Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi semuanya terserah kepada pimpinan tertinggi prajurit Pajang atau perintah langsung dari Kanjeng Sultan di Pajang atau Ki Patih yang mendapat kuasa dari Kanjeng Sultan karena kesehatannya yang kurang baik. Namun ternyata tidak segera ada perintah untuk berangkat. Agaknya beberapa pihak memang masih menunggu perkembangan keadaan yang lebih meyakinkan. Pada saat itulah, Ki Tandabaya dengan jantung yang berdebaran menunggu hari-hari yang menurut perhitungannya merupakan hari-hari yang paling aman untuk melakukan tugasnya.

Sebenarnyalah, dua hari sebelum hari yang ditentukan, Senapati Ing Ngalaga telah meninggalkan rumahnya dengan seekor kudanya yang baru. Kepada para pengawalnya ia telah mengatakan, bahwa ia akan mencoba kemampuan kudanya sampai hari Jum'at mendatang. “Malam Jum'at ia tidak ada dirumahnya,“ berkata seorang pengikut Ki Tandabaya yang telah mendapatkan keterangan itu. Ki Tandabaya mengangguk-angguk. Ia dapat mempergunakan malam sebelumnya atau malam Jum'at itu sendiri seperti yang diperhitungkan selama ia mempersiapkan diri dalam tugas yang dibebankan oleh Ki Racik kepadanya. Tugas yang memang sangat menarik baginya. Namun akhirnya Ki Tandabaya memilih hari-hari seperti yang sudah ditentukan, setelah ia mendapat kepastian, bahwa Pajang tidak tergesa-gesa mengirimkan beberapa orang perwiranya untuk menemui Ki Lurah Pringgabaya. Demikianlah, akhirnya hari yang ditunggu itupun datang. Ki Tandabaya telah mempersiapkan beberapa orang yang akan ikut mengamati tugasnya. Ia tidak akan sekedar datang melihat keadaan seperti yang pernah dilakukannya. Tetapi ia akan datang dan membunuh orang yang akan dapat menjadi sumber keterangan bagi orang-orang Mataram dan sekaligus akan memaksa Senapati Ing Ngalaga mempertanggung jawabkan peristiwa kematian Ki Lurah Pringgabaya yang berada dibawah kekuasaannya pada hari-hari terakhir, karena Senapati Ing Ngalaga telah menangkap dan menahannya. Seperti yang pernah dilakukannya, maka Ki Tandabayapun akan membawa bersama Dugul yang memiliki pengalaman khusus. Tetapi untuk membunuh Ki Lurah Pringgabaya, Ki Tandabaya agaknya kurang mempercayainya. Ki Lurah Pringgabaya adalah orang yang luar biasa, yang memiliki kemampuan yang tinggi. Karena itu, maka ia sendirilah yang akan datang ketempat Ki Lurah itu ditahan dan ia sendirilah yang akan membunuhnya. Selain anak panah beracun, Ki Tandabaya juga menyiapkan beberapa ekor ular berbisa. Jika ia tidak sempat membunuhnya langsung, maka ia akan melepaskan ular-ular berbisa itu kedalam bilik yang sempit dan tertutup. “Ada ampat ekor ular bandotan, seekor ular gadung dan dua ekor ular weling,“ berkata salah seorang pengikutnya. “Yang mana yang paling baik aku bawa ?“ berkata Ki Tandabaya. “Ular bandotan termasuk ular yang ganas. Tetapi ular gadung yang hijau itupun akan sangat berbahaya, karena ia akan menyerang sambil meluncur dari atas pepohonan jika ia berada diluar. Didalam bilik itu, ular gadung akan menyerang dari atap. Tetapi bisanya tidak setajam bisa ular bandotan,“ berkata pengikutnya. Ki Tandabaya mengangguk-angguk. Tetapi ia lebih percaya kepada ujung panahnya daripada bisa ular

itu, karena dalam keadaan yang khusus, orang-orang Mataram akan dapat mengobatinya. Meskipun mungkin orang-orang Mataram juga dapat mengobati bisa pada ujung anak panahnya. tetapi jika anak panah itu menghunjam kedalam tubuh, maka waktu yang tersisa dari hidupnya tinggal terlalu singkat, sehingga kemungkinan untuk menolongnya dengan obat yang betapapun tinggi kasiatnya, tentu akan terlambat. Apalagi Ki Pringgabaya adalah seorang yang berada didalam bilik tahanan yang tidak dengan cepat dapat ditolong. Tetapi Ki Tandabaya masih tetap mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang lain, sehingga ular-ular berbisa itupun akan dibawanya didalam kantong yang tebal, yang terbuat dari kulit. “Kalian harus bersiap menghadapi segala kemungkinan,“ berkata Ki Tandabaya kepada para pengikutnya, “juga kemungkinan bahwa kerja kami akan diketahui oleh para pengawal. Dalam keadaan yang demikian kalian harus dapat memecah perhatian para pengawal, sehingga kita masing masing akan mempunyai kesempatan lebih besar untuk melepaskan diri.” Dengan teliti Ki Tandabaya memberikan pesan kepada para pengikutnya. Dimana masing-masing harus menunggu dan apa yang harus mereka lakukan jika benar-benar para pengawal Mataram dapat melihat mereka. “Ki Tandabaya terlalu berhati-hati,“ berkata Dugul. “jika sekiranya Ki Tandabaya percaya, serahkan tugas itu kepadaku.” “Bukan aku tidak percaya kepada kemampuanmu Dugul,“ jawab Ki Tandabaya, “tetapi Ki Pringgabaya adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Jika kau harus bertanding ilmu meskipun Ki Pringgabaya ada didalam bilik tahanan, maka kau tidak akan dapat berbuat apa-apa.” “Aku tidak akan membenturkan ilmu kanuragan. Tetapi aku akan datang seperti yang aku lakukan pekan yang lalu. Membuka atap dan melepaskan anak panah ketubuh yang berada didalam bilik itu,“ berkata Dugul. “nah, apakah sulitnya ?” Tetapi keragu-raguan tetap membayang diwajah Ki Tandabaya. Tugas itu tidak dapat begitu saja dipercayakan kepada orang lain. Meskipun Dugul memiliki kemampuan berdasarkan pengalaman yang panjang didalam pekerjaannya sebagai seorang pencuri dan perampok, namun untuk dilepaskan begitu saja dalam tugas yang penting itu, agaknya masih diragukan. Karena itu, maka katanya, “Baiklah kita melakukan bersama-sama. Kau dengan pengalamanmu, dan

aku akan membayangimu, jika tiba-tiba saja diluar perhitungan kita, terjadi sesuatu yang perlu diatasi dengan kemampuan ilmu. Aku kira aku masih akan sanggup mengimbangi ilmu Ki Lurah Pringgabaya didalam dan diluar bilik tahanannya. Seandainya ilmunya selapis lebih baik dari ilmuku, namun kesempatankulah yang lebih baik dari kesempatannya. Dengan demikian aku berharap, bahwa dalam keadaan ini aku akan dapat menyelesaikan tugasku.” Demikianlah, maka segala sesuatu telah dipersiapkan dalam tugas yang akan segera dilaksanakan. Tugas yang cukup berat, meskipun segalanya sudah diperhitungkan. Ki Tandabaya dan Dugulpun segera mendekati halaman lumah itu ketika malam menjadi semakin malam. Beberapa orang pengikutnya telah menempatkan diri pula ditempat yang sudah ditetapkan. Jika sesuatu terjadi, maka merka harus bertindak cepat. Jika perlu mereka harus bertempur melawan para pengawal dihalaman itu. “Apakah Ki Tandabaya tidak mempergunakan ilmu sirep untuk mengamankan rencana yang penting itu ?“ bertanya salah seorang pengikutnya ketika mereka hampir berangkat. Ki Tandabaya menggeleng. Jawabnya, “Sirep justru akan merupakan isyarat yang dapat dimanfaatkan oleh orang orang Mataram. Demikian sirep itu mulai menyentuh rumah itu, maka orang-orang terpenting di Mataram, termasuk Ki Juru jika ia tidak mengikuti Senapati Ing Ngalaga pergi ke Ganjur, atau ketempat manapun yang dianggapnya paling baik untuk mencoba kemampuan kudanya yang baru, akan segera mengerti, bahwa sesuatu akan terjadi. Dan itupun akan segera mempersiapkan diri untuk menghadapinya.” Dengan demikian, maka Ki Tandabaya sama sekali tidak mempergunakan ilmu yang dianggapnya justru akan merugikan itu. Untuk beberapa saat Ki Tandabaya menunggu. Kemudian pada saat yang paling tepat iapun bergeser melekat dinding halaman. Busur dan anak panah dalam ukuran kecil yang akan dipergunakannya telah disiapkannya. Sementara Dugul membawa kantong kulit berisi beberapa ekor ular berbisa yang akan dilepaskan pula kedalam bilik Ki Lurah Pringgabaya. “Kita akan melakukan seperti apa yang pernah dilakukan di halaman ini,“ desis Ki Tandabaya, “jika Ki Racik sendiri pernah melakukannya dan berhasil, meskipun ia mempergunakan paser beracun untuk membunuh seseorang yang ditangkap oleh Raden Sutawijaya beberapa saat lampau, maka sekarang akupun harus berhasil,“ geram Ki Tandabaya. Dugul mengangguk-angguk. Namun iapun mengerti, bahwa Ki Racik mempunyai beberapa kelebihan. Namun iapun berkata didalam hatinya, “Mudah-mudahan Ki Tandabaya berhasil. Jika Raden Sutawijaya benar-benar tidak ada dirumahnya, maka Ki Lurah Pringgabaya itu untuk sesaat akan terlepas dari pengamatannya langsung. Jika demikian, maka kemungkinan itu akan dapat terjadi tanpa

kesulitan.” Dugul memang pernah mendengar ceritera seseorang, bahwa Ki Racikpun pernah membunuh seseorang yang dianggap berbahaya dan ditahan dihalaman rumah Raden Sutawijaya. Tetapi Dugul tidak tahu, apakah orang itu mempunyai bobot yang sama dengan Ki Lurah Pringgabaya sehingga pengamatan dan penjagaannyapun setingkat dengan yang dilakukan atas Ki Lurah Pringgabaya. “Entahlah,“ desis Dugul, “mungkin ceritera itu sekedar sebagai pendorong tugas Ki Tandabaya atau sekedar dongeng saja.” Sementara itu, maka keduanyapun bergeser semakin mapan. Dugul yang berpengalaman itupun segera meloncat dinding untuk memperhatikan keadaan dibagian dalam dinding itu. Ternyata bahwa dibagian dalam halaman itu rasa-rasanya cukup aman. Karena itulah maka iapun segera memberi isyarat kepada Ki Tandabaya untuk meloncat pula seperti yang dilakukannya. Sejenak kemudian, keduanya telah berada didalam halaman yang kelam dan terlindung oleh bayangan pohon perdu. Sejenak mereka menunggu.Kemudian kedua-nyapunmerayap kebalik sebatang pohon ceplok piring. “Kita akan memanjat seperti yang pernah kita lakukan,“ desis Dugul. Ki Tandabaya tidak menjawab. Tetapi iapun ikut beringsut kebalik sebatang pohon soka putih yang berdaun lebat. Sekali mereka melihat dua orang pengawal melintas. Namun mereka berhasil menahan pernafasan mereka, sehingga tidak menarik perhatian kedua orang yang lewat beberapa langkah saja dihadapan mereka. Seperti yang pernah mereka lakukan, maka keduanyapun kemudian telah memanjat keatap. Ketika mereka telah berada diatas atap gandok rumah Raden Sutawijaya, maka untuk beberapa saat yang lamanya keduanya menelungkup melekat tanpa bergerak sama sekali. Dengan pendengarannya yang tajam, Ki Tandabaya meyakinkan, bahwa tidak ada seorangpun yang mengetahui atau bahkan mengikutinya. Sejenak kemudian, setelah Ki Tandabaya yakin, bahwa tidak ada seorangpun disekitarnya, maka merekapun beringsut setapak demi setapak. Rasa-rasanya tugas itu tidak terhambat oleh apapun juga. Keduanya dapat melakukannya tugas yang berat itu dengan lancar. “Disini,” bisik Dugul kemudian.

Ki Tandabayapun masih mengenal, bahwa mereka berdua telah berada diatas bilik yang pernah dihhatnya pekan lalu. Bilik yang berdinding kayu yang tebal dan dijaga oleh beberapa orang secara khusus itu adalah bilik tempat Ki Pringgabaya disimpan. Dengan sangat berhati-hati, maka Dugul berusaha membuka atap. Sedikit demi sedikit. Ketika atap itu terbuka sedikit, maka keduanya dapat melihat kebawah. Dan keduanya melihat, seseorang yang telah tidur dengan nyenyaknya berselimut kain panjang. “Gila,” desis Tandabaya, “Pringgabaya itu dapat juga tidur nyenyak dalam keadaan seperti itu.” “Ia sudah pernah,“ bisik Dugul. “Tentu ia sudah bertekad untuk tidak berahasia lagi sehingga ia tidak merasa gelisah oleh keadaannya, ia tentu sudah memutuskan untuk berkhianat saja,“ sahut Tandabaya lambat sekali. Dugul tidak menjawab. Iapun mengerti, bahwa Ki Tandabaya ingin membunuhnya apapun alasannya, karena itu, bagaimanapun juga. maka dimata Ki Tandabaya, maka Ki Lurah Pringgabaya telah melakukan kesalahan yang tidak dapat dimaafkan. Karena itu, maka Ki Tandabayapun segera memerintahkan Dugul untuk membuka atap itu lebih lebar lagi. Sehingga akhirnya, Ki Tandabaya itu dapat membidik dengan anak panahnya yang berukuran kecil. “Aku siap membunuhnya,” geramnya, “tetapi siapkan pula ular-ular itu. Kita akan melontarkan ular itu kedalam, meskipun aku sudah membunuhnya dengan anak panah ini.” Dugul hanya mengangguk saja. Tetapi ia sudah siap melepaskan kantong kulitnya yang berisi beberapa ekor ular yang sangat berbisa. Untuk beberapa saat lamanya, Ki Pringgabaya memperhatikan keadaan. Dari celah-celah atap yang terbuka agak lebar ia melihat dinding kayu yang kokoh diseputar billik itu. Kerangka atap yang jaraknya terlalu sempit sehingga tidak mungkin seseorang dapat meloloskan diri tanpa memecahkannya. Meskipun kemampuan Ki Lurah Pringgabaya memungkinkan, tetapi para pengawal tentu akan mendengarnya dan siap untuk mengepungnya. “Tidak ada cara yang dapat ditempuh untuk menolongnya, melepaskannya dari bilik itu,“ gumamnya sambil memasang anak panahnya yang kecil itu pada busur yang juga dalam ukuran kecil, “karena itu, bukan salahku jika aku menempuh jalan terakhir. Membungkammu dan barangkali kaupun akan berterima kasih karena aku telah membebaskan dari penderitaan itu.” Dugul menarik nafas dalam-dalam. Namun nafasnya itu bagaikan terhenti ketika ia melihat Ki Tandabaya menarik busur kecilnya.

Dugul melihat bagaimana Ki Tandabaya membidik lewat lubang yang dibuatnya pada atap itu. Kemudian ketegangan itupun memuncak ketika ia melihat Ki Tandabaya melepaskan anak panahnya. Tidak terdengar keluhan apapun juga. Ia tidak melihat tubuh itu menggeliat. Sambil menarik nafas dalam-dalam, Ki Tandabaya berdesis, “Aku yakin bahwa aku telah berhasil.” “Tetapi aku merasa aneh,“ sahut Dugul perlahan-lahan, “orang itu sama sekali tidak bergerak. Bagaimanapun juga tajamnya racun pada anak panah itu, tetapi sentuhan ujungnya akan mengejutkannya. Setidak tidaknya ia akan menggeliat, meskipun ia tidak akan sempat berteriak.” “Tetapi kau lihat,“ sahut Ki Tandabaya, “anak panah itu tertancap pada tubuhnya. Pada Lambungnya.” Dugul menahan nafasnya. Ketika sekilas ia memandang wajah Ki Tandabaya, iapun melihat ketegangan yang sangat. Bahkan Ki Tandabaya beberapa kali telah mengusap keningnya yang nampaknya berkeringat. “Memang aneh,“ tiba-tiba ia berdesis. “Aku akan melihatnya,“ tiba-tiba Dugul berkata perlahan-lahan, “jika Ki Tandabaya tidak berkeberatan, aku akan turun.” “Bagaimana kau akan memasuki ruangan itu. Kerangka atap ini tidak akan dapat memberikan jalan kepadamu. Tetapi jika kita merusaknya, maka para pengawal akan mendengarnya.” Dugul termangu-mangu. Dirabanya kerangka yang rapat, yang tidak dapat memberikan jalan kepadanya untuk menyusup masuk keruang dibawahnya. Dalam pada itu, keragu-raguan merekapun semakin mendebarkan. Tubuh itu sama sekali tidak bergerak. Dan bahkan semakin lama keduanya memperhatikan, jantung mereka menjadi semakin keras berdetak. Untuk beberapa saat Ki Tandabaya justru membeku. Ia memusatkan pengamatannya kepada tubuh yang terbaring berselimut kain panjang itu. “Kita terlalu bodoh,“ geram Ki Tandabaya. “Kenapa ?“ bertanya Dugul. “Kita dicengkam oleh ketegangan dan ketergesa-gesaan, sehingga kita tidak sempat memperhatikan tubuh itu sebelum kita menusuknya dengan anak panah. Seharusnya aku mengetahui, apakah yang terbaring itu bernafas atau tidak sebelum aku melontarkan anak panah itu,” desis Ki Tandabaya. “Maksud Ki Tandabaya, bahwa Ki Lurah Pringgabaya telah mati sebelum Ki Tandabaya

membunuhnya ?“ bertanya Dugul. "Mungkin begitu, tetapi mungkin sekali yang berselimut itu bukan Ki Lurah Pringgabaya,“ geram Ki Tandabaya. Wajah Dugul menegang. Ia memang tidak dapat melihat dengan jelas karena lampu minyak yang suram. Tetapi juga jarak dari sisi bumbungan atap itu cukup panjang. Meskipun demikian, seharusnya mereka dapat melihat lebih saksama sebelum Ki Tandabaya melontarkan anak panahnya, apakah sebenarnya sasaran mereka itu sudah benar. Dalam ketegangan itu, tiba-tiba Ki Tandabaya berdesis. “Agaknya kita sudah terjebak Dugul. Bersiaplah. Mungkin kita akan menghadapi sesuatu yang tidak kita duga sebelumnya.” “Bagaimana dengan ular-ular ini ?“ bertanya Dugul. Tidak ada gunanya. Aku mempunyai dugaan kuat, bahwa yang ada didalam itu bukan Ki Lurah Pringgabaya. Bukan pula mayatnya. Tetapi kita sudah dikelabui, justru karena orangorang Mataram terlalu cerdik. Mereka mengerti, kehadiran seseorang disini tentu dicengkam oleh ketegangan dan ketergesa-gesaan, sehingga tidak sempat memperhatikan sasarannya sebaik-baiknya sebelumnya.“ bisik Ki Tandabaya, “untunglah bahwa kita sempat mencurigainya setelah kita melontarkan anak panah kita.” Dugul menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Marilah kita meninggalkan tempat ini.“ Tetapi ketika Dugul akan beringsut, Ki Tandabaya berdesis, “Jangan melalui jalan semula. Kita turun melalui arah lain.“ Dugul mengerutkan keningnya. Namun iapun nnengerti. Mungkin mereka benar-benar telah terjebak dan diawasi sejak mereka memanjat naik. Tetapi jebakan itu mungkin juga sekedar mengelabui orang-orang yang diperhitungkan oleh orang-orang Mataram, akan datang untuk membunuh tawanan mereka, tanpa mengetahui saat-saat yang pasti. Tetapi mereka memang harus berhati-hati. Karena itu, maka iapun sependapat dengan Ki Tandabaya untuk mengambil jalan lain saat mereka turun dari atas atap. Ternyata mereka membutuhkan waktu yang cukup panjang. Dugul yang berpengalaman itu harus memperhatikan keadaan sebaik-baiknya. Sementara kemampuan indera Ki Tandabaya yang terlatih telah membantunya, mengamati medan yang bagi mereka menjadi sangat gawat. Sampai saat mereka mencapai sudut atap gandok, mereka masih merasa terlepas dari pengawasan. Karena itu, setelah menunggu beberapa saat, maka merekapun segera meluncur turun.

Untuk beberapa saat mereka menunggu. Mereka berniat untuk merayap melintasi halaman samping dan berlindung dibalik pepohonan perdu yang memang ditanam sebagai pohon hiasan di halaman samping. Sekilas mereka melihat dalam keremangan malam, bunga ceplok piring yang berwarna putih mengkilap. Baunya yang tajam memenuhi seluruh halaman yang nampaknya sepi lengang. Namun bagi Ki Tandabaya yang berindera tajam, kesepian itu benar-benar sangat menegangkan. “Berhati-hatilah,“ desisnya sambil menggamit lengan Dugul. Dugulpun mempersiapkan diri sepenuhnya menghadapi segala kemungkinan. Ia masih membawa kantong kulit yang berisi ular-ular berbisa. Bahkan kemudian ia telah mengendorkan ikatan kantong kulit itu. Ternyata seperti yang diduga oleh Ki Tandabaya. Sambil menggamit Dugul sekali lagi ia berdesis, “Aku melihat ujung tombak dibalik batang kemuning yang rimbun itu.” Dugulpun menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memperhatikan pohon kemuning disudut halaman, iapun melihat, sebatang ujung tombak yang mencuat dari balik pohon itu. Tetapi akhirnya Ki Tandabayapun melihat, bukan hanya ujung tombak itu yang menunggunya, tetapi ketika sekelompok pohon perdu bergetar perlahan-lahan, iapun mengerti, bahwa dibalik pohon itupun bersembunyi seseorang. “Beberapa orang telah mengepung kita,“ desis Ki Tandabaya kemudian. Tidak ada gunanya kita bersembunyi lagi,“ berkata Ki Tandabaya kemudian, “kita akan bertempur. Tanpa Senapati Ing Ngalaga, orang-orang Mataram tidak banyak berarti bagiku, selain Ki Juru Martani. Mudah-mudahan Ki Juru Martani tidak ada diantara orang-orang itu atau bahkan pergi bersama Senapati Ing Ngalaga.” Dugul termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata, “Kita beri isyarat kepada kawan-kawan kita. Dengan demikian kita akan dapat memecah perhatian para pengawal. Seharusnya Ki Tandabaya dapat melepaskan diri justru ada dua orang disini yang akan dapat kita akan dapal memecah perhatian para pengawal. Seharusnya Ki Tandabaya dapat melepaskan diri dari tangan orang-orang Mataram. Jika Ki Tandabaya tertangkap, maka justru ada dua orang disini yang akan dapat menggelisahkan para pemimpin di Pajang.” Ki Tandabaya menjadi semakin tegang. “Aku tidak banyak mengetahui tentang orang-orang Pajang. Biarlah aku disini,“ berkata Dugul, “tetapi aku serahkan anak isteriku kepada Ki Tandabaya agar mereka tidak mengalami kesulitan hidup.”

Ki Tandabaya menjadi semakin berdebar-debar. Sebelum Ki Tandabaya memberikan pendapatnya, tiba-tiba saja terdengar Dugul itu bersuit nyaring. Suaranya menggeletar sampai keluar dinding halaman dan didengar oleh beberapa orang pengikut Ki Tandabaya. “Isyarat itu,“ desis seseorang. Ki Tandabaya sendiri menjadi tegang Tetapi isyarat itu sudah dilontarkan, sehingga ia harus segera menyesuaikan diri. “Berbuatlah sesuatu untuk menyelamatkan diri, Ki Tandabaya,“ berkata Dugul, “jangan hiraukan lagi aku dan kawan-kawan yang akan menarik perhatian para pengawal. Seandainya satu dua orang diantara kami tertangkap, maka tidak ada apapun yang akan dapat kami katakan, karena yang kami ketahui tentang Pajangpun hanya sedikit sekali.” Jantung Ki Tandabaya tergetar. Baginya Dugul tidak lebih dari seorang pengikut yang kurang berarti. Ia diangkat dari dunianya yang gelap. Pengalamannya sebagai seorang pencuri dan perampok yang disegani oleh lingkungannya, ternyata diperlukan oleh Ki Tandabaya. Namun ternyata Dugul adalah seorang yang memiliki kesetiaan dan tanggung jawab. Bahkan ia telah bersedia mengorbankan dirinya sendiri. Dalam waktu yang pendek itu terbersit satu kilasan perbandingan antara dirinya sendiri dengan Dugul, orang yang dianggapnya kurang berharga itu. Jika Dugul dengan setia bersedia mengorbankan dirinya, apakah yang telah dilakukannya terhadap kawannya yang justru sedang berada didalam kesulitan. Yang justru berada didalam bilik tahanan. “Aku justru membunuhnya tanpa usaha sedikitpun untuk membebaskannya,“ berkata Ki Tandabaya didalam hatinya. Seharusnya, yang dilakukan itu adalah usaha terakhir, setelah segala usaha tidak berhasil. Namun justru ia telah melakukannya sebagai satu-satunya usaha. Sementara itu, para pengikut Ki Tandabaya yang telah mendengar isyarat itupun segera mempersiapkan diri. Mereka menyadari, bahwa isyarat itu tentu menunjukkan, bahwa Ki Tandabaya mengalami kesulitan. Karena itu, maka merekapun segera bertindak sesuai dengan pesan-pesan yang telah diberikan oleh Ki Tandabaya itu sendiri. Beberapa orang pengikut Ki Tandabaya yang sudah disiapkan itupun segera meloncati dinding memasuki halaman. Mereka langsung menuju ketempat yang sudah diberitahukan oleh Ki Tandabaya. Tetapi mereka tidak menjumpai apapun juga. Tanpa mereka mengerti, apa sebenarnya yang telah terjadi. Ki Tandabaya tidak berada ditempat yang sudah disebutkannya. Sebenarnyalah, mereka tidak mengetahui bahwa Ki Tandabaya telah turun lewat sudut yang lain.

Namun, ternyata disudut yang lain itupun, para pengawal dapat mengetahuinya. Dugulpun agaknya mengerti, bahwa perubahan itu akan membingungkan para pengikut Ki Tandabaya. Karena itu, maka iapun telah bersuit sekali lagi, sebagai satu isyarat, dimana ia berada. Para pengikut yang telah berada didalam halaman itupun segera mengerti, bahwa perubahan telah terjadi, sehingga merekapun segera menyesuaikan diri. “Tentu para pengawal berkumpul ditempat itu pula,“ desis salah seorang dari mereka. Tetapi ketika para pengikut Ki Tandabaya itu mulai beringsut dari tempatnya, beberapa orang pengawal telah berlari-lari mendekatinya dengan tombak merunduk. Salah seorang dari mereka membentak, “berhenti ditempatmu.” Sejenak para pengikut Ki Tandabaya itu tertegun. Namun kemudian seorang yang tertua diantara mereka berdesis, “Tiga orang diantara kalian tinggal. Kami, yang lain akan mencari Ki Tandabaya.” Tanpa saling berjanji, tiga orang diantara mereka telah bersiap menghadapi para pengawal yang mendekat, sementara kawan-kawannya telah meninggalkannya. “Mereka tidak akan sempat berbuat sesuatu,“ geram salah seorang dari para pengawal itu. “Kawankawan kami telah siap menunggu kalian.” Ketiga orang itu tidak menjawab. Tetapi merekapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Meskipun pengawal yang mendekati mereka itu berjumlah lima orang, tetapi tiga orang pengikut Ki Tandabaya itu tidak meninggalkan mereka. Namun dalam pada itu, tiga orang pengikut Ki Tandabaya yang memasuki halaman itu dari arah lain, telah berlari-lari pula mendekat sambil berkata, ”Aku akan membantu kalian.” “Cari Ki Tandabaya,“ berkata salah seorang dari ketiga orang yang telah bersiap itu, “aku akan membunuh para pengawal yang dungu ini.” Ketiga orang yang baru datang itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian yang seorang berkata, “Aku akan tinggal membantu mereka. Carilah Ki Tandabaya dan Dugul.” Kedua orang kawannyapun segera berlari menghilang. Yang seorang diantara merekapun segera melangkah satu-satu mendekati kawan-kawannya yang sudah berhadapan dengan lima orang pengawal. “Jangan rendahkan kemampuan para pengawal,“ berkata pengikut Ki Tandabaya yang baru datang itu, “karena itu, aku akan membantu kalian.”

Ketiga orang kawannya tidak menjawab. Tetapi kehadiran orang itu tentu saja membuat hati mereka semakin tenang. Kelima orang itupun kemudian menebar. Mereka menghadapi para pengikut Ki Tandabaya itu dari arah yang berbeda. Seakan-akan mereka berusaha untuk mengepung pengikut Ki Tandabaya itu dari segala arah. Tetapi karena seorang dari mereka, justru yang baru datang itu tidak berada disisi ketiga orang kawannya, maka ia harus dihadapi secara khusus. “Aku tetap disini,“ berkata orang itu yang nampaknya dengan sengaja berdiri beberapa langkah dari kawan-kawannya. Para pengawal menghadapi orang keempat yang datang kemudian, sementara ampat orang yang lain telah mengepung tiga orang pengiltut Ki Tandabaya. Sejenak kemudian, para pengawal itupun mulai menggerakkan senjata mereka. Sehingga pertempuranpun pecah karenanya. Ternyata para pengikut Ki Tandabaya itupun merupakan orang-orang terlatih. Meskipun mereka bukan prajurit yang mendapat latihan khusus, tetapi rnereka secara pribadi telah memiliki kemampuan yang mereka pelajari secara khusus. Namun yang mereka hadapi adalah para penpawal Mataram. Pengawal yang dibentuk dalam suasana yang hangat dan prihatin. Sejak Mataram mulai dengan membuka hutan Mentaok sehingga perlahanlahan tumbuh menjadi daerah yang semakin ramai. Sehingga dengan demikian, maka mereka telah memiliki naluri pertempuran yang gigih. Karena itulah, maka pertempuran itupun segera menjadi semakin sengit. Namun, ternyata bahwa kemampuan para pengawal, apalagi dalam jumlah yang tidak sama. Namun ternyata salah seorang pengikut Ki Tandabaya yang datang kemudian itu memiliki kelebihan dari kawannya. Apalagi ia hanya bertempur seorang melawan seorang. Dengan demikian, maka ia mampu mengembangkan perlawanannya. Tetapi karena ketiga orang kawannya segera terdesak, maka iapun telah terpengaruh pula. Bahkan iapun menjadi gelisah dan tergesa-gesa ingin menyelesaikan pertempuran itu. “Bertahanlah sejenak,“ katanya kepada ketiga orang kawannya, “sebentar lagi, aku akan membunuh pengawal ini dan segera akan datang membantu kahan.” Tetapi kata-katanya itu hampir tidak dapat diselesaikan karena senjata lawannya hampir saja menyambar mulutnya. Dalam pada itu, selagi pertempuran itu berlangsung dengan serunya, maka beberapa orang pengikut Ki Tandabaya telah menemukannya. Dugullah meloncat kehalaman dengan senjata ditangan, sementara Ki

Tandabaya masih tetap melekat dinding, berlindung dalam bayangan teritisan yang tidak terlalu tinggi. Namun pada saat itu, beberapa orang pengawal telah mulai bergerak. Beberapa orang telah merayap mendekati tempat itu dari beberapa arah. “Berhati-hatilah,“ teriak Dugul, “mereka mulai mendekat.” Para pengikut Ki Tandabayapun segera bersiap. Tetapi mereka tidak berkumpul disatu tempat. Tiga orang telah berdiri disisi Dugul, sementara beberapa orang lainnya yang datang dari beberapa arah masih tetap tersebar. “Gila,“ geram seorang pengawal, “ternyata orang itu membawa pengikut cukup banyak. Mereka telah mempersiapkan diri untuk menghadapi satu pertempuran terbuka. Bukan sekedar datang seperi seorang pencuri.” “Berhati-hatilah,“ berkata kawannya, “tetapi jika perlu, kita akan membunyikan isyarat. Pengawal diluar halaman ini akan berdatangan, dan mereka tidak akan mempunyai kesempatan apapun lagi.” “Kita akan mencoba mengatasi mereka. Kecuali jika kita memang tidak mampu lagi,“ desis kawannya. Yang lain terdiam. Namun merekapun kemudian melangkah semakin dekat dengan senjata teracu. “Menyerahlah,“ desis salah seorang pengawal, “kami sudah mengetahui apa yang kalian lakukan sejak kalian masuk kehalaman ini.” “Aku tahu,“ teriak Dugul, “aku menyadari sejak aku mengetahui bahwa yang terbaring didalam bilik itu bukan Ki Lurah Pringgabaya.” “Karena itu, kalian tidak akan mempunyai kesempatan lagi,“ geram pengawal yang lain. Dugul tidak menjawab. Tetapi ia bergeser maju sambil berkata, “Kami sudah siap bertempur. Siapapun lawan kami, kami akan membinasakannya.” Para pengawal itupun telah bersiap sepenuhnya ketika mereka melihat Dugul mulai meloncat dengan garangnya sambil berteriak, “Kita bunuh mereka semuanya.” Para pengikut Ki Tandabaya yang lainpun segera mulai bergerak. Merekapun berada ditempat yang berpencar. Karena itu, maka para pengawal tidak dapat mengepung mereka, sehingga pertempuranpun kemudian terjadi dibeberapa tempat dihalaman samping rumah Raden Sutawijaya.

Namun sebenarnyalah, bahwa Ki Tandabaya sependapat dengan Dugul. Bukan sekedar menyelamatkan nyawa. Tetapi untuk kepentingan orang-orang Pajang dalam keseluruhan. Orang-orang Pajang yang tersangkut dalam usaha untuk menegakkan kembali satu masa yang pernah menjadi kebanggaan, meskipun menurut angan-angan mereka. Karena itulah, maka ia masih tetap berada ditempatnya. Dengan saksama ia memperhatikan keadaan diseputarnya. Ia harus dapat melarikan diri. Kemudian, iapun harus dapat memberikan isyarat, bahwa para pengikutnyapun harus berusaha melarikan diri pula sebanyak-banyaknya. Namun dalam pada itu, selagi ia masih sedang memperhitungkan keadaan, seorang pengawal telah menyusup diantara para pengikutnya dan menyerangnya dengan serta merta. Namun Ki Tandabaya adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itulah, maka ia tidak terlalu sulit untuk menghindarinya. Dengan loncatan pendek ia beringsut, sehingga senjata lawannya tidak menyentuhnya. Bahkan dengan tangkasnya ia telah menyerang kembali dengan dahsyatnya, sehingga pengawal itulah yang justru terkejut. Karena itu, maka iapun segera meloncat jauh-jauh menghindar. Namun ujung senjata Ki Tandabaya ternyata lebih cepat dari geraknya, sehingga senjata itu telah berhasil menyentuh pundaknya. Pengawal itu menggeram. Tetapi ia sadar sepenuhnya, siapa yang sedang dihadapinya. Karena itu, ia tidak tergesa-gesa bertindak. Sejenak ia menilai keadaan, sementara Ki Tandabaya telah siap menghadapinya. Sementara itu Dugul dan kawan-kawannya telah bertempur pula dengan para pengawal. Dengan garangnya mereka memutar senjata mereka. Sekali-sekali terdengar salah seorang dari mereka berteriak nyaring sambil menyerang dengan serunya. Tetapi para pengawalpun telah bersiap menghadapi mereka. Dengan demikian, maka kegarangan mereka sama sekali tidak mempengaruhi sikap para pengawal. Dalam pada itu, Ki Tandabaya yang mulai memperhitungkan setiap saat yang akan sangat berarti baginya itupun, telah mengambil satu sikap. Karena pengawal yang terluka itu tidak segera menyerangnya, maka ialah yang justru meloncat menyerang dengan garangnya. Pengawal itu bergeser menghindar. Serangan Ki Tandabaya benar-benar serangan yang dilambari dengan segenap kekuatannya. Namun yang mengejutkan pengawal itu, bahwa demikian serangan Ki Tandabaya itu tidak mengenai sasarannya, ia tidak memburunya meskipun pengawal itu sendiri harus mengakui, bahwa ia tidak akan dapat mengimbangi seorang lawan seorang. Tetapi Ki Tandabaya itupun segera meloncat meninggalkan arena. Namun baru beberapa langkah ia berlari, tiba-tiba seorang pengawal telah menghadangnya dengan tombak merunduk.

Pengawal itu tidak bertanya sesuatu. Tetapi tiba-tiba saja tombaknya telah terjulur menyerang kearah jantung. Ternyata Ki Tandabaya benar-benar tangkas. Ia berhasil meloncat menghindar sambil memukul tombak itu sehingga hampir saja tombak itu terlepas dari tangannya. Dalam keadaan yang demikian, Ki Tandabaya telah menjulurkan senjatanya. Demikian cepatnya sehingga pengawal itu tidak sempat menghindari. Ia hanya dapat memiringkan tubuhnya, sehingga senjata Ki Tandabaya sempat menyobek lengannya. Pengawal itu menggeram. Terasa lengannya menjadi pedih. Namun sebelum ia sempat memperbaiki keadaannya, Ki Tandabaya telah siap untuk menikamnya. Tetapi pada saat yang gawat itu, seorang pengawal telah meloncat berlari. Ia tidak sempat mencapai tempat kawannya yang sudah dalam keadaan yang sangat gawat itu. Karena itu, maka iapun telah melontarkan tombaknya mengarah kelambung Ki Tandabaya. Namun Ki Tandabaya benar-benar cekatan. Ia melihat tombak itu menyambarnya. Karena itu, ia sempat meloncat surut dan menghindari ujung tombak itu. Tetapi agaknya pengikut Ki Tandabaya tidak menghiraukan pengawal-pengawal itu lagi. Karena itu, maka iapun segera berlari meninggalkannya menuju kesudut halaman. Ketika seorang pengawal yang lain memburunya, ia sempat berhenti sejenak. Menghindari serangan pengawal itu kemudian melukainya, sehingga ia berkesempatan untuk meninggalkannya. “Gila,“ geram para pengawal. Tetapi mereka tidak dapat ingkar, bahwa seorang diantara mereka yang memasuki halaman itu adalah orang yang memihki ilmu yang luar biasa, yang tidak dapat mereka tundukkan. Karena itu, para pengawal itupun tidak dapat berbuat sesuatu. Mereka harus melihat kenyataan, bahwa tidak seorangpun yang dapat menghalanginya. Untuk menyerangnya bersama-sama dalam satu kelompok kecil yang terdiri atas tiga atau ampat orang, nampaknya sudah tidak sempat lagi. Meskipun demikian, seorang pengawal yang lain tidak membiarkannya. Apapun yang akan terjadi, ia merasa, bahwa menjadi kewajibannya untuk menahan orang yang sudah hampir mencapai sudut halaman itu. Dengan loncatan loncatan panjang ia berusaha memburu. Seperti yang sudah dilakukan oleh kawannya, maka karena ia tidak akan dapat menyusul langkah orang yang dikejarnya, maka iapun telah melontarkan tombaknya kearah punggung. Sekali lagi Ki Tandabaya disambar oleh ujung tombak. Namun sekali lagi pula ia berhasil menghindar. Tetapi justru karena itu, ia tidak melihat sebuah lubang didepannya. Demikian kakinya terperosok kedalam lubang itu, maka iapun telah jatuh berguling.

Tetapi ia benar-benar memiliki ketangkasan yang luar biasa. Demikian ia terguling, maka iapun segera meloncat tegak kembali. Pada saat itulah, pengawal yang melontarkan tombaknya berhasil menyusulnya. Ia sempat memungut tombaknya dan kemudian menyerang Ki Tandabaya. Kemarahan Ki Tandabaya tidak tertahankan lagi. Apalagi karena ia sudah terjatuh sehingga lengannya terasa sakit. “Aku akan membunuhmu,“ geram Ki Tandabaya. Pengawal itu tidak menjawab. Tombaknya terjulur lurus kedepan. Tetapi serangan itu seakan-akan tidak berarti. Dengan senjatanya, Ki Tandabaya menangkisnya. Kemudian sambil menggeram ia berkata, “Aku bunuh kau. Kau adalah pengawal yang paling menjengkelkan. Aku tidak melakukannya atas kawankawanmu, karena mereka tidak licik seperti kau.” Pengawal itu bergeser surut. Tetapi Ki Tandabaya tidak memberinya kesempatan. Senjatanya telah terayun siap menebas leher pengawal yang malang itu. Pengawal itu mencoba menghindar sambil memutar tombaknya. Ia masih berusaha menyerang dalam keadaannya yang paling gawat. Tetapi Ki Tandabaya telah menarik serangannya dan memukul tombak itu sekuat tenaganya, sehingga tombak itu terlepas dari tangan pengawal yang menyerangnya. Jaraknya terlalu jauh bagi kawan-kawannya yang sudah terluka untuk menolongnya. Meskipun mereka juga berlari-lari, tetapi dalam sekejap Ki Tandabaya akan dapat membunuh pengawal yang kehilangan senjata itu. Sebenarnyalah Ki Tandabaya tidak mau membuang waktunya lagi. Ia ingin menikam pengawal itu. Kemudian melarikan diri sebelum pengawal yang lain mencapainya, meskipun ia akan dapat membunuh dua atau tiga orang lagi. Namun pada saat yang demikian, tiba-tiba saja seorang pengawal telah meloncat, justru dari atas dinding. Agaknya ia bertugas ditempat yang lain. Namun karena hiruk pikuk telah terjadi di halaman itu, maka iapun telah meloncat memasuki halaman, tidak melalui pintu gerbang. Kehadiran pengawal yang meloncat dari atas dinding itu telah mengejutkannya. Karena itu, maka senjatanya yang sudah terjulur kearah pengawal yang sudah tidak bersenjata itu telah terpengaruh pula karenanya, sehingga tidak langsung menikam sampai kejantung. Meskipun demikian, pengawal itu telah mengaduh tertahan dan kemudian terhuyung-huyung beberapa langkah surut. “Cepat, obati lukamu,“ terdengar pengawal yang meloncat turun dari atas dinding itu bergumam. Pengawal yang terluka itu terdiam. Tetapi kedua tangannya telah menahan darah yang mengalir dari

lukanya. Dalam pada itu, seorang pengawal yang lain, yang telah terluka pula telah datang ketempat itu. Namun demikian ia menggerakkan tombaknya, pengawal yang meloncat dari atas dinding itupun berkata, “Tolonglah kawanmu dan kau sendiri. Cepat, cari obat atau barangkali kau sudah membawanya, agar tidak terlambat karena kehabisan darah.”

Buku 139 KEDUA orang pengawal itu termangu-mangu. Namun Ki Tandabayalah yang menggeram melihat sikap pengawal yang datang meloncati dinding itu. Seolah-olah pengawal itu tidak mengacuhkannya, meskipun ia melihat kawan-kawannya telah terluka. “Aku bunuh kau,“ Ki Tandabaya hampir berteriak. Demikian kata-katanya terucapkan, maka iapun segera meloncat menikam pengawal yang baru saja memasuki halaman itu lewat dinding batu. Namun berbeda dengan para pengawal yang lain, pengawal yang baru itu sempat mengelak dengan tangkasnya. Dengan langkah yang pendek ia berkisar sambil memiringkan tubuhnya. Ki Tandabaya tidak membiarkannya. Iapun segera merubah gerak senjatanya. Tiba-tiba saja senjata itu telah menyerang mendatar. Demikian cepatnya, sehingga pengawal yang baru itu tidak sempat mengelak. Tetapi pengawal itu sempat menangkis senjata Ki Tandabaya dengan senjatanya pula. Sehingga sejenak kemudian telah terjadi benturan yang keras. Ternyata benturan itu telah mengejutkan Ki Tandabaya. Ia mengira bahwa senjata pengawal itu akan terlempar dari tangannya. Namun ternyata bahwa ia keliru. Senjata itu sama sekali tidak terlempar dari tangan pengawal itu. Tetapi benturan itu justru telah menggetarkan tangannya. Ki Tandabaya benar benar telah terkejut karenanya, sehingga ia telah meloncat surut. Yang terjadi itu sama sekali diluar dugaannya. Bahwa seorang pengawal akan mampu mempertahankan senjatanya dalam benturan senjata dengan lambaran kekuatannya yang dihentakkannya. Tetapi Ki Tandabaya tidak mendapat kesempatan untuk memperhatikan pengawal itu. Demikian Ki Tandabaya meloncat mengambil jarak, pengawal itulah yang telah menyerangnya dengan garangnya. Demikian cepat, sehingga Ki Tandabayalah yang kemudian harus berloncatan menghindar. Dalam kegelapan malam, Ki Tandabaya ternyata tidak sempat mengenali wajahnya. Ia hanya mengetahui menilik ujud dalam keseluruhan, bahwa lawannya itu adalah seorang pengawal. Namun oleh keheranan atas pengawal yang baru itu. Sementara itu, dihalaman itu telah terjadi pertempuran dibeberapa tempat. Pengikut-pengikut Ki Tandabaya ternyata telah menebar pula, dan berusaha memancing perhatian para pengawal. Dengan demikian maka hanya satu dua orang sajalah yang telah berusaha untuk menangkap langsung Ki Tandabaya. Namun merekatah yang ternyata telah terluka karena senjata orang yang memiliki

kemampuan orang kebanyakan itu. Dugul dan beberapa orang kawannya tengah bertempur dengan sengitnya. Ketika ia terdesak, tiba-tiba saja ia telah melemparkan kantong kulit ditangannya, yang telah dikendorkan talinya. Demikian kantong itu terlepas dari tangannya, maka beberapa ekor ular telah terpelanting keluar. Lawan-lawannya terkejut. Mereka telah melonjak-lonjak menghindari ular-ular itu, karena merekapun menyadari, patukan ular itu berarti kematian, seperti patukan ujung senjata dijantungnya. Namun dengan demikian perhatian mereka terpecah. Kesempatan itulah yang telah dipergunakan oleh Dugul dan kawannya. Justru pada saat lawannya telah meloncat-loncat menghindari ular yang menggeliat hampir terinjak kakinya, maka senjata lawannya telah menyentuh tubuh mereka. Beberapa orang pengawal telah terluka pada saat demikian. Tetapi masih ada juga pengawal yang dengan cepat menanggapi keadaan. Ia melihat beberapa orang kawannya terluka. Namun ia masih sempat mengungkit seekor ular bandotan dengan ujung pedangnya, sehingga ular itu terlempar tepat tersangkut ditubuh seorang pengikut Ki Tandabaya. Orang itu demikian terkejut, sehingga ia telah terpekik keras-keras. Ia masih sempat mengibaskan ular itu. Namun malang baginya, karena ular itu sempat mematuk lengannya. Kemarahan yang meluap telah membuatnya seolah-olah kehilangan akal. Dengan pedangnya ia telah menyerang ular itu. Sekali ayun, kepala ular itu telah terpenggal. Bahkan kemudian ayunan-ayunan berikutnya, telah memotong ular itu menjadi beberapa bagian. Namun demikian tangannya terayun pada kesempatan terakhir, tubuhnya mulai dipengaruhi racun ular yang sangat berbisa itu. Tubuhnya terasa menggigil dan urat-uratnya bagaikan mengejang. “Gila, gila,“ ia berteriak, “bunuh aku dengan pedang.” Tetapi suaranya menggelepar dan hilang diudara malam yang dingin, tetapi terasa panas dihalaman rumah Raden Sutawijaya itu. Seorang kawan Dugullah yang kemudian kejang terbaring ditanah. Sementara beberapa ekor ular yang lain telah menelusur hilang didalam kegelapan, setelah seekor yang lain sempat dibunuh pula dengan ujung tombak. Ternyata bahwa ular-ular itu sempat mengganggu pertempuran itu sejenak. Namun kemudian, pertempuran itu telah berlangsung kembali dengan serunya. Dugul masih tetap bertahan. Untuk beberapa saat, ia bertempur sambil memperhitungkan kemungkinan waktu yang diperlukan oleh Ki Tandabaya untuk melarikan diri. Pertempuran yang terjadi dihalamaan itu, ternyata telah berkembang dibeberapa tempat. Para pengikut Ki Tandabaya sengaja tidak berusaha untuk menyatukan diri. Dengan bertempur berpencaran, maka mereka telah menghisap seluruh perhatian para pengawal, sehingga kesempatan Ki Tandabaya untuk melarikan diri menjadi semakin banyak.

Dalam pada itu, ternyata Ki Tandabaya telah tersangkut dalam pertempuran melawan seorang pengawal yang agak lain dari kawan-kawannya. Pengawal yang seorang ini tidak dapat dengan mudah didorongnya dengan ujung senjata, atau didesaknya menepi, sementara ia melarikan diri. Bahkan ternyata kemudian, telah terjadi pertempuran yang seru antara Ki Tandabaya dengan pengawal itu. “Anak iblis,“ geram Ki Tandabaya didalam hatinya, “pengawal ini mempunyai kelebihan dari kawan-kawannya.” Namun Ki Tandabaya tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi. Selagi kawan-kawannya masih bertempur, maka iapun ingin dengan cepat meninggalkan halaman itu. Karena itu, maka Ki Tandabaya itupun segera mengerahkan kemampuannya. Ia harus dengan segera menyelesaikan pengawal itu sebelum kawan-kawannya akan berdatangan semakin banyak, apabila Dugul dan kawan-kawannya tidak mampu lagi bertahan. Namun ternyata Ki Tandabaya justru terkejut. Sebelum ia dapat mengalahkan pengawal itu, ia telah mendengar satu isyarat nyaring. Ternyata Dugul telah keliru menghitung waktu. Agaknya Dugul menganggap, bahwa Ki Tandabaya telah dapat keluar dengan selamat. Tetapi isyarat itu sudah terlanjur. Karena itu, maka dalam sekejap, para pengikut Ki Tandabaya itupun berusaha untuk melarikan diri menurut cara mereka masing masing. Satu dua diantara mereka masih harus bertempur beberapa saat, sebelum mereka sempat meninggalkan arena. Bahkan ada satu dua diantara mereka yang justru sama sekali tidak berkesempatan untuk meninggalkan lawannya yang dengan garang melibat mereka dalam pertempuran yang sengit. Namun, ternyata ada beberapa orang yang sempat juga meloncati pagar dan berlari meninggalkan panasnya api pertempuran dengan para pengawal. Bahkan Dugul sendiripun ternyata justru sempat melarikan diri, meskipun ia ternyata telah terluka. Tetapi diantara mereka, beberapa orang ternyata telah dipaksa untuk melemparkan senjata mereka dan menyerah sebagai tawanan. Dalam pada itu, Ki Tandabaya mengumpat didalam hatinya. Ialah yang justru telah ditinggalkan untuk bertempur menghadapi para pengawal. Seperti yang diduganya, maka beberapa orang pengawal yang kehilangan lawannya itupun telah tertarik oleh hiruk pikuknya pertempuran disatu sudut halaman itu. Dentang senjata telah memanggil mereka untuk mencari, dimana dan siapakah yang masih bertempur dihalaman itu. Ternyata bahwa mereka menemukan Ki Tandabaya yang bertempur dengan dahsyatnya melawan seorang pengawal.

Para pengawal itupun menjadi heran, bahwa terjadi pertempuran yang demikian sengitnya. Merekapun heran, bahwa ada diantara mereka yang memiliki ilmu yang demikian tinggi, sehingga mereka menjadi ragu-ragu. Bahkan para pengawal itupun saling bertanya diantara mereka, “Siapakah pengawal yang seorang itu ?” Pengawal yang sedang bertempur itupun ternyata telah berkata kepada para pengawal yang kemudian mengerumuninya, “Jangan ganggu kami. Aku ingin menunjukkan kepada orang ini, bahwa pengawal dari Mataram akan mampu mengimbanginya pula.” Sementara pertempuran itu berlangsung dengan sengitnya, ternyata Ki Lurah Branjangan. yang telah ikut pula bertempur dan justru berhasil menguasai dua orang pengikut Ki Tandabaya, telah dengan tergesa-gesa mendekatinya. Sejenak ia memperhatikan, siapakah yang sedang bertempur itu. Gelapnya malam, dan gerak yang cepat cekatan, membuatnya agak ragu-ragu menghadapi orang itu. Namun kemudian ternyata Ki Lurah Branjangan lebih cepat dapat mengenali ilmu orang itu dari pada bentuk wajahnya. “Sipakah pengawal itu Ki Lurah ?“ bertanya seorang pengawal. Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia menjawab, “ia orang baru. He, apakah kalian belum mengenalnya. Ia bertugas di Kesatrian sejak ia diangkat menjadi pengawal beberapa hari yang lalu.” “Beberapa hari yang lalu ? “ seorang pengawal bertanya pula, “aku tidak mendengar bahwa baru saja ada pendadaran untuk menjadi seorang pengawal.” “Pendadaran khusus,“ desis Ki Lurah Branjangan. Pengawal itu tidak bertanya lagi. Dengan tegang ia mengikuti pertempuran yang semakin lama menjadi semakin sengit itu. Betapa tangkas dan tinggi kemampuan Ki Tandabaya. Namun pengawal itu mampu mengimbanginya. Bahkan setiap kah masih terdengar pengawal itu tertawa sambil bergumam. “Kau memang luar biasa Ki Sanak,“ berkata pengawal itu, “karena itulah maka kau memberanikan diri, memasuki halaman ini sebagai seorang pencuri. Pencuri yang membawa pasukan segelar sepapan.” “Persetan pengawal dungu,“ bentak Ki Tandabaya, “kau tidak mau belajar dari kenyataan. Aku dapat membunuh siapa saja yang menghajangi aku.” “Kau tidak dapat membunuh aku,“ desis pengawal itu.

“Aku masih mempunyai belas kasihan,“ geram Ki Tandabaya, “karena itu menyingkirlah, atau kau akan menjadi mayat.” “Aku adalah seorang pengawal. Aku berkewajiban menangkap setiap orang yang memasuki halaman ini dengan maksud buruk. Mencuri, merampok atau berbuat apa saja semacam itu. Karena itu, menyerahlah, agar aku dapat mengikatmu dan menyerahkan kepada Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati IngNgalaga,“ berkata pengawal itu. “Anak iblis,“ Ki Tandabaya yang marah itu hampir berteriak, “aku bunuh kau.” “Kenapa kau hanya berteriak-teriak saja. Lakukanlah jika ada kemampuan padamu. Agaknya kau terlalu sulit untuk dapat menang melawan pengawal dari Mataram. Apalagi jika kau berhadapan dengan para pemimpinnya. Kau harus menyadari, bahwa disini hadir Ki Lurah Branjangan, sehingga jika ia melibatkan diri, maka kau tidak akan sempat mengeluh lagi.” Wajah Ki Tandabaya menjadi tegang. Ia sadar, bahwa ia tentu tinggal seorang diri dilingkungan halaman rumah Raden Sutawijaya. Agaknya orang-orangnya telah salah memperhitungkan waktu, sehingga mereka telah menghentikan perlawanan mereka. Mungkin ada yang sempat melarikan diri, tetapi mungkin ada pula yang tertangkap. Namun Ki Tandabaya tidak ingin menyerah. Meskipun ia harus berhadapan dengan siapapun. Karena itu, maka iapun kemudian menjawab, “Apa peduliku dengan Ki Lurah Branjangan. Jika ia mempunyai keberanian, biarlah ia memasuki arena. Jangan sendiri, tetapi dengan pemimpin-pemimpin pengawal yang lain, termasuk Ki Juru Martani dan Senapati Ing Ngalaga sendiri.” Tetapi pengawal itu tertawa. Sangat menyakitkan hati. Katanya, “Tidak usah orang lain. Katahkan aku, pengawal Mataram dari tingkat terendah. Barangkali setingkat dengan jajar atau bahkan magang yang paling baru.” Ki Tandabaya benar-benar tersinggung. Karena itu, maka iapun telah mengerahkan segenap kemampuannya. Dengan tangkasnya ia meloncat sambil memutar senjatanya. Kemudian satu langkah bergeser maju dengan senjata terjulur lurus kedepan. Tetapi lawannyapun benar tangkas dan mampu bergerak cepat, sehingga serangan-serangan itu sama sekali tidak menyentuhnya. Dalam pada itu kemarahan Ki Tandabaya telah sampai kepuncaknya. Dalam hentakkan kekuatan dan kemampuannya, maka mulailah terasa, betapa tinggi ilmunya. Setiap sentuhan, senjata atau sentuhan apapun juga, rasa-rasanya telah dialiri panas yang menyengat

tubuhnya, dengan demikian jika pengawal itu menangkis serangan senjata Ki Tandabaya, maka telapak tangannya yang menggenggam senjatanya sendiri itu rasa-rasanya menjadi panas. Ketika mula-mula terasa oleh pengawal itu, ia terkejut. Hampir saja dengan gerak naluriah, senjata yang menyengat itu dikibaskannya. Namun ternyata kemudian bahwa hulur senjatanya sama sekali tidak panas seperti yang terasa. “Jenis ilmu apa lagi ini,“ geram Pengawal itu. “Persetan,“ geram Ki Tandabaya, “sebentar lagi seluruh tubuhmu akan hangus.” “Panas semu itu tidak akan dapat membakar apapun juga. Tidak akan berpengaruh atas kulitku. Jika aku menyadari, bahwa panas itu tidak sebenarnya menjalari kulitku pada aliran sentuhan apapun, maka aku tidak perlu cemas. Rasa sakit dan panas itu dapat aku abaikan, sehingga dengan demikian, perasaan itu tidak akan berpengaruh apa-apa,“ jawab pengawal itu. Ki Tandabaya menggeram. Tetapi ia menyerang semakin garang. Lawannya masih merasa panas ditelapak tangannya, jika senjatanya bersentuhan dengan senjata Ki Tandabaya. Tetapi seperti yang dikatakan, panas itu hanya ada didalam perasaannya. Sama sekali tidak akan berpengaruh atas kulitnya. Demikian sentuhan itu terlepas, maka itupun telah lenyap pula tanpa meninggalkan bekas. “Tentu berbeda dengan ilmu orang-orang Gunung Kendeng,“ tiba-tiba saja pengawal itu berkata, “tangan orangorang Gunung Kendeng benar-benar bagaikan membara. Sentuhan ilmunya dapat membakar kulit. Bukan sekedar semu seperti hentakkan bumi orang-orang Pesisir Endut.” “Persetan,“ geram Ki Tandabaya yang marah sampai keubun-ubun. Tetapi sebenarnya ia tidak memiliki kemampuan untuk mengimbangi ilmu pengawal yang luar biasa itu. Semakin lama semakin jelas, bahwa Ki Tahdabaya telah benar-benar terdesak. Akhirnya Ki Tandabaya tidak mempunyai pilihan lain, kecuali berusaha dan mencoba untuk melarikan diri dari halaman itu. Namun demikian ia meloncat surut, para pengawal yang lain, yang melihat gelagat itu, telah melingkarinya. “Persetan,“ geramnya, “jangan kau sangka bahwa kalian dapat menangkap aku. Aku akan bertempur sampai aku berhasil membunuh kalian semua, atau akulah yang akan mati.”

Pengawal itu tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja serangannya datang membadai. Senjatanya terayun deras sekali memutari tubuh lawannya. Bahkan dengan serta merta, pengawal itu telah melihat Ki Tandabaya dalam pertempuran pada jarak yang sangat dekat. Ki Tandabaya menjadi bingung. Ternyata ilmunya tidak mempengaruhi lawannya. Meskipun pengawal itu merasa juga sentuhan panas, tetapi karena ia sadar, bahwa panas itu tidak akan berpengaruh atas wadagnya, maka ia tidak menghiraukannya lagi. Karena itu, maka Ki Tandabaya benar-benar telah terdesak. Pada satu benturan senjata yang kuat, maka terasa tangan Ki Tandabayalah yang bergetar, bukan tangan lawannya yang disengat oleh perasaan panas. Ki Tandabaya berusaha untuk memperbaiki keadaannya. Tetapi lawannya benar-benar menggetarkan jantungnya. Ia bertempur pada jarak gapai tangannya tanpa senjata. Demikian cepatnya, sehingga Ki Tandabaya kehilangan langkah ketika pengawal itu kemudian telah melibatnya dengan tangkapan tangan. Ki Tandabaya mengerahkan ilmunya. Ia berharap bahwa meskipun lawannya menyadari, namun perasaan panas itu akan dapat mempengaruhinya. Tetapi dengan nada dalam ia berkata, “Perasaanku telah membeku. Aku tidak dapat dipengaruhi oleh perasaan apapun juga. Panas, dingin atau apapun juga.” Ternyata bahwa tangan pengawal itu bagaikan himpitan besi. Ternyata ia justru melepaskan senjatanya, sehingga keduanyapun kemudian telah bertempur dalam kemampuan tangkapan dan himpitan tangan. Sambil mengumpat Ki Tandabaya yang tidak menyangka, bahwa lawannya akan bertempur dengan cara itu, benar-benar telah kehilangan akal. Apalagi ketika terasa pilinan yang kuat pada pergelangan tangannya telah membuat jari-jarinya bagaikan tidak berdaya untuk bertahan menggenggam senjata. Namun Ki Tandabaya tidak menyerah. Ketika tangannya terpilin kebelakang, tiba-tiba saja ia menarik kakinya setengah langkah surut, justru menahan kaki lawannya. Dengan tubuhnya ia mendesak lawannya kebelakang dengan cepatnya, sehingga karena kakinya yang tertahan oleh kaki Ki Tandabaya, maka keduanya telah terjatuh ditanah. Hentakkan itu ternyata telah berhasil mengurai tangkapan tangan lawannya, sehingga tangan Ki Tandabaya telah terlepas. Dengan tangkasnya Ki Tandabayapun meloncat berdiri. Demikian ia berhasil berdiri diatas kedua kakinya, sementara lawannyapun baru saja bangkit pula, tiba-tiba saja Ki Tandabaya telah meluncur seperti anak panah. Tubuhnya bagaikan lurus sejajar dengan kakinya yang terjulur mematuk dada lawannya. Tetapi lawannya cukup cerdas. Ia sempat memiringkan tubuhnya. Kemudian menangkap pergelangan

kaki lawannya. Dengan satu hentakkan ia berhasil, memilin kaki lawannya dan memutarnya, sehingga lawannya itupun tidak sempat menginjakkan kakinya yang tertangkap itu diatas tanah. Bahkan demikian kakinya yang lain menyentuh-tanah, dan Ki Tandabaya itu bersiap menjatuhkan diri sambil bersiap menghantam lawannya dengan kakinya yang bebas untuk melepaskan kaki yang lain, ternyata lawannya bergerak lebih cepat. Diputarnya pergelangan kaki itu demikian kerasnya, sehingga seluruh tubuh Ki Tandabayapun terputar. Dengan satu tekanan yang kuat pada punggungnya, maka Ki Tandabaya telah jatuh menelungkup. Demikian cepatnya yang terjadi, maka Ki Tandabaya tidak sempat menolong dirinya sendiri ketika kedua kakinya bagaikan terlipat, yang satu menindih yang lain, sementara tubuh lawannya telah menekan kaki itu sekuat-kuatnya. Ki Tandabaya menggeram. Tetapi ia tidak berhasil berbuat sesuatu. Bahkan ia masih mencoba menghentakkan ilmunya untuk membakar tangan lawannya yang menyentuh tubuhnya, namun Pengawal itu sempat berkata sambil tertawa, “Sudah aku katakan. Perasaanku sudah membeku. Panas semumu tidak berarti apa-apa bagiku. Meskipun aku merasakan juga panasnya, tetapi karena kesadaranku mampu mengatasi cengengnya perasaanku, maka perasaan panas itu tidak berarti apa-apa bagiku, karena sama sekali tidak akan membawa akibat apa-apa.” Ki Tandabaya mencoba memaksa tubuhnya bergerak. Tetapi tekanan pada kakinya terasa semakin menghimpit, sehingga semakin terasa betapa sakitnya. “Gila, licik. Kau tidak bertempur dengan jantan, beradu dada untuk menentukan siapa yang akan mati,“ geram Ki Tandabaya yang masih mencoba meronta tetapi tidak berhasil. “Aku tidak ingin berperang tanding sampai salah seorang dari kita mati. Aku hanya menjalankan tugasku, sebagai seorang pengawal untuk menangkap seseorang yang memasuki halaman ini dengan cara yang tidak wajar dan untuk maksud-maksud yang sangat buruk,“ jawab pengawal itu. “Persetan. Lepaskan, dan kita akan bertempur dengan senjata,“ Ki Tandabaya hampir berteriak. “Jangan gila. Dengan susah payah aku menangkapmu, bagaimana mungkin aku melepaskanmu,“ jawab pengawal itu. Ki Tandabaya tidak berkata apapun lagi. Ia menyadari bahwa kata-katanya tidak akan berarti lagi bagi pengawal yang keras kepala itu. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja terasa oleh Ki Tandabaya tangan pengawal itu menyusuri uraturat kakinya diatas tumitnya. Betapa terkejutnya Ki Tandabaya yang sudah tidak berdaya itu. Sekali lagi ia menghentakkan kekuatan dan ilmunya. Namun sia-sia, tangan orang yang menyebut dirinya pengawal itu telah menekan jalur urat nadinya dan menelusurinya lambat-lambat. Terasa kaki Ki Tandabaya itu semakin lama semakin lemah. Bahkan kemudian terasa kakinya itu sudah tidak berdaya lagi.

“Anak iblis,“ ia berteriak. Tetapi pengawal itu sama sekali tidak menghiraukannya. Perlahan-lahan dilepaskannya kaki Ki Tandabaya, sehingga akhirnya dilepaskannya sama sekali. Namun demikian pengawal itu berdiri, Ki Tandabaya telah berguling. Dengan hentakkan sisa kekuatannya ia bangkit. Kakinya masih saja tidak berdaya sama sekali. Namun dengan cepat tangannya menggapai urat-urat diatas tumitnya. Iapun memiliki pengetahuan seperti pengawal itu, yang dapat melumpuhkan, tetapi juga memulihkan kembali kekuatan dengan tekanan-tekanan pada urat nadi. Tetapi pengawal itu lebih tangkas. Demikian tangan Ki Tandabaya terjulur, maka iapun dengan tangkasnya menangkap tangan itu. Satu tekanan dibawah ketiaknya, membuat tangan itu tidak berdaya sama sekali. Sementara tangannya yang lainpun kemudian rasa-rasanya telah dilumpuhkannya pula. “Ki Sanak,“ berkata pengawal itu, “aku tahu, kau tentu memiliki pengetahuan ini pula, karena pengetahuan ini memang bukan ilmu yang luar biasa. Banyak orang yang dapat melakukannya, termasuk kau. Tetapi agaknya aku lebih cepat melakukannya, sehingga dengan demikian, maka kaki dan tanganmu tidak akan berdaya lagi. Karena itu, maka biarlah aku serahkan kau kepada Ki Lurah Branjangan yang akan menahanmu, sambil menunggu Raden Sutawijaya kembali dari pesanggrahannya.” “Gila, licik. Bunuh aku,“ teriak Ki Tandabaya. Tetapi pengawal itu tidak menjawab. Katanya kemudian, “Biarlah Raden Sutawijaya yang mengadilimu. Kaupun tentu tahu, bahwa tekanan pada urat nadimu itu pada saatnya akan mengendor dengan sendirinya, dan kau akan terlepas karenanya.” “Anak setan,“ Ki Tandabaya masih berteriak. Tetapi pengawal itu tidak menjawab. Perlahan-lahan ia berdiri. Kemudian ia menggapai senjatanya. Memasukkan kedalam sarungnya, kemudian, yang mengejutkan orangorang yang mengitarinya, pengawal itu telah meloncat keatas dinding. Ketika ia siap meloncat turun keluar, ia masih sempat berkata, “Aku mempunyai tugas yang lain. Aku telah meninggalkan garduku. Mudah-mudahan aku tidak dianggap bersalah oleh peinimpin kelompokku.” Tidak seorangpun sempat menjawab. Orang itupun segera menghilang dibalik dinding. Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa ialah yang harus mengurusi tawanan itu. Karena itu, maka katanya kemudian, “Bawa tawanan ini masuk. Aku akan mengikatnya dengan janget yang tidak akan mungkin diputuskannya. Janget berangkap tiga. Betapapun tinggi ilmunya, tetapi ia kehilangan kekuatannya.” Ki Tandabaya benar-benar sudah tidak berdaya. Meskipun ia masih mampu berteriak dan membentakbentak, tetapi kekuatannya telah jauh susut, sehingga ia tidak dapat berbuat apa-apa, ketika para

pengawal dari Mataram itu membawanya kesebuah ruang tertutup yang rapat. Bahkan sampai kerangka atapnyapun dibuat demikian kuat dan rapat. Ki Tandabaya yang kemudian dibaringkan pada sebuah amben bambu masih saja mengumpat-umpat. Namun para pengawal dan Ki Lurah Branjangan seolah-olah tidak mendengarnya sama sekali. Bahkan iapun kemudian ditinggalkannya seorang diri. Dari pembaringannya Ki Lurah mendengar selarak yang berat telah menahan pintu biliknya itu. Sambil berbaring, Ki Tandabaya memperhatikan bilik itu. Rasa-rasanya mirip seperti bilik yang dapat dilihatnya dari atas atap ketika ia mencari Ki Lurah Pringgabaya. “Ternyata ada beberapa bilik seperti ini dirumah ini,“ katanya didalam hati. Namun bagaimanapun juga, hatinya masih saja mengumpat-umpat. Justru ia sendiri telah tertangkap di Mataram dan dimasukkan kedalam sebuah bilik, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Mataram terhadap Ki Lurah Pringgabaya. Apalagi untuk beberapa saat ia masih harus berbaring diam karena tangan dan kakinya terasa seolah-olah lumpuh karenanya. “Gila,“ geramnya, “dan Branjangan telah mengancamku untuk mengikat tangan dan kakiku dengan janget rangkap ganda.” Tetapi ternyata Ki Lurah Branjangan tidak datang untuk mengikat tangan dan kakinya. Meskipun dengan demikian Ki Tandabaya merasa bahwa orang-orang Mataram tentu menganggap bahwa bilik itu cukup kuat untuk menahannya, atau mungkin para pengawal yang dapat dipereaya telah ditugaskan diluar bilik itu. Namun bagaimanapun juga, yang terjadi itu benar-benar telah memanaskan hatinya. Ia lebih senang dibunuh saja oleh para pengawal daripada ia harus berada didalam bilik tahanan. “Raden Sutawijaya telah mempersilahkan beberapa orang pemimpin prajurit Pajang untuk datang melihat keadaan Ki Lurah Pringgabaya. Jika para pemimpin itu datang, agaknya orang-orang Mataram akan mempersilahkan mereka menemui aku juga,” geram Ki Tandabaya. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain kecuali menunggu dengan jantung yang berdebaran, apa yang akan terjadi atasnya. Meskipun demikian ia rnasih sempat menilai betapa seorang pengawal dari Mataram itu dapat mengalahkannya. Bahkan nampaknya dengan mudah. Pengawal itu tidak perlu menghentakkan segenap kemampuannya, bertempur dengan nafas yang memburu dan keringat yang seperti diperas. Tidak pula sampai susut kemampuannya sampai saat terakhir ia berhasil menangkapnya.

“Gila,“ geramnya berulang kali. Namun ia tak dapat mengingkari kenyataan bahwa dirinya benarbenar terbaring lemah didalam sebuah bilik yang terbuat dari kayu yang tebal dan kuat. Tentu dijaga oleh para pengawal pilihan pula. Terbersit didalam ingatannya, bagaimana dengan orang-orangnya. Bagaimana dengan Dugul dan kawan-kawannya. “Agaknya sebagian dari mereka berhasil melarikan diri,“ berkata Ki Tandabaya kepada diri sendiri. Sebenarnyalah pada saat itu, ditempat yang lain, beberapa orang pengikut Ki Tandabaya telah tertangkap pula. Tetapi sebagian dari mereka benar-benar telah sempat melarikan diri. Diantara mereka yang selamat adalah justru Dugul sendiri. Dalam pada itu, dengan sekuat tenaganya Dugul tengah melarikan diri menjauhi rumah Raden Sutawijaya yang bergelar Senopati Ing Ngalaga itu menuju ketempat yang menjadi tempat persembunyiannya selama ia berada di Mataram. Demikian ia sampai kerumah itu, maka iapun segera bersiap-siap meninggalkan Mataram. Dibenahinya kudanya dan dipersiapkannya bekal yang akan dibawanya, terutama senjata yang akan dapat dipergunakannya menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang paling buruk. Beberapa buah pisau belati yang akan dapat dilontarkannya jika diperlukan. Ketika ia sudah hampir siap, maka beberapa orang kawannyapun telah berdatangan. Merekapun segera mempersiapkan diri pula untuk meninggalkan Mataram. “Kita jangan pergi bersama-sama,“ berkata Dugul, “tentu akan sangat menarik perhatian, justru pada saat seperti ini.” “Jadi ?“ bertanya kawannya, “apakah kita harus keluar seorang demi seorang ?” Selagi mereka berbincang, maka seorang pengikut Ki Tandabaya yang dianggap sebagai orang yang paling berpengalaman, yang datang kemudian berkata, “Jangan bodoh. Pada saat seperti ini, para pengawal tentu sudah disebar. Semua pintu gerbang dan jalan keluar tentu sudah dijaga ketat. Pengawal Mataram mampu bergerak cepat.” “Kita harus menghindarkan diri dari buruan para pengawal,“ jawab Dugul. “Tentu jangan sekarang,“ sahut kawannya itu, ”kita lebih baik bersembunyi disini. Tidak ada yang mengetahuinya. Tetapi sebaiknya kita tidak berada diluar meskipun dikebun belakang.” “Apakah sebaiknya kita menunggu sampai besok pagi ?“

bertanya yang lain. “Itu lebih baik. Disiang hari, tidak banyak yang akan tertarik kepada seorang berkuda. Nah, besok, kita akan pergi, seorang demi seorang.” Dugul termangu-mangu. Ia masih mencemaskan kemungkinan pasukan pengawal akan mencari mereka malam itu juga disetiap pintu rumah. Tetapi kawannya berkata, “Kita lebih aman tinggal dirumah ini daripada kita berada di jalan-jalan, karena para pengawal tentu akan berkeliaran.” Dugulpun mengurungkan niatnya. Mereka memasukkan kuda mereka kembali kekandang dan yang lain disembunyikan dilongkangan, agar jumlah kuda yang terlalu banyak itu tidak akan menumbuhkan kecurigaan pula. Ternyata pemilik rumah yang memang sudah menyerahkan tempat tinggalnya untuk kepentingan orangorang Pajang itupun tidak berkeberatan. Katanya, “Kita sudah melakukannya dengan sadar. Kita tidak perlu mencemaskan akibat yang dapat terjadi atas kita.” Para pengikut Ki Tandabaya itu mengangguk-angguk. Mereka merasa bahwa pemilik rumah yang sejak sebelumnya sudah dikenal oleh Ki Tandabaya itu agaknya merasa ikut bertanggung jawab. Namun demikian, salah seorang dari para pengikut Ki Tandabaya itu masih tetap gelisah. Katanya kemudian sambil berbisik kepada Dugul, “Bagaimana dengan kawan-kawan kita yang tertangkap ? Apakah mereka tidak akan menyebutkan tempat tinggal kita disini ?” Dugul masih juga bimbang. Namun pemilik rumah yang mendengar juga desis salah seorang pengikut Ki Tandabaya itu berkata, “Jika mereka merasa bertanggung jawab, maka mereka tidak tahan mengalami tekanan. Tetapi aku kira pemeriksaan itu tidak akan segera berlangsung malam ini. Yang akan dilakukan oleh orang-orang Mataram tentu menutup semua jalan keluar dan mengadakan pengawasan keliling dengan peronda-peronda khusus.” Dugul mengangguk-angguk. Agaknya pendapat pemilik rumah itupun dapat dibenarkannya. Karena orang itu adalah kawan Ki Tandabaya, atau orang yang memang sudah dikenalnya, maka agaknya ia akan membantu sejauh dapat dilakukannya. Karena itu, maka para pengikut Ki Tandabaya itupun mencoba untuk menenangkan dirinya didalam rumah itu. Tetapi rasa-rasanya hati mereka tidak dapat tenang. Mereka bagaikan duduk diatas bara. Rasa-rasanya mereka telah dibayangi oleh para pengawal dari Mataram. “Apakah kita dapat berada ditempat lain,“ tiba-tiba saja Dugul bertanya kepada pemilik rumah itu.

“Dimana ? “ pemilik rumah itu justru bertanya. “Mungkin kau dapat menunjukkan,“ desis Dugul. Pemilik rumah itu menggeleng sambil berdesis, “Aku tidak tahu, apakah ada tempat yang lebih baik bagi kalian. Tetapi diluar, kalian tentu akan menjadi lebih berbahaya. Para pengawal tentu sedang meronda sekeliling kota.” Memang tidak ada yang aman bagi mereka. Jika mereka ingin keluar lingkungan Mataram, mereka tentu tidak akan dapat menembus penjagaan para pengawal yang kuat disetiap pintu dan jalan betapapun kecilnya. Agaknya perintah untuk menutup semua jalur jalan itu tentu sudah jatuh segera setelah peristiwa di rumah Raden Sutawijaya itu terjadi. Bahkan mungkin sebelumnya, karena agaknya kedatangan Ki Tandabaya dan para pengikutnya memang sudah diketahui sebelumnya. Dalam kegelisahan, para pengikut Ki Tandabaya itu berkumpul dengan senjata ditangan mereka. Mereka merasa seolah-olah setiap saat rumah itu akan diserang oleh para pengawal yang mendapat petunjuk dari kawan-kawan mereka yang telah tertangkap. Namun demikian, ada juga pengikut Ki Tandabaya itu yang sempat berbaring diamben bambu yang besar dan tidur mendekur, seolah-olah tidak menghiraukan apa saja yang akan terjadi atas mereka. Ternyata malam itu mereka tidak diusik oleh keadaan. Mereka dapat beristirahat sampai fajar menyingsing, meskipun ada satu dua diantara mereka yang tidak dapat memejamkan matanya sama sekali, disamping mereka yang memang mendapat giliran berjaga-jaga. Ketika terdengar ayam berkokok menjelang pagi, rasa-rasanya hati mereka telah dibasahi oleh embun yang sejuk setelah semalaman dibakar oleh panasnya api kegelisahan. Dugul yang termasuk salah seorang diantara mereka yang tidak dapat memejamkan matanya sama sekali, meskipun ia tidak mendapat giliran untuk berjaga-jaga, adalah orang yang pertama-tama berbicara diantara mereka yang dicengkam oleh ketegangan, “Sebentar lagi matahari akan terbit. Kita akan meninggalkan rumah ini, seorang demi seorang. Kita akan memencar menuju kearah yang berbeda. Kita akan keluar dari kota lewat jalan yang tidak sama, agar kita sama sekali tidak menarik perhatian. Disiang hari, maka kita tentu bukan satu-satunya orang berkuda yang keluar dari pintu gerbang dan mungkin juga jalan-jalan sempit yang lain. Meskipun tentu masih ada pengawasan ketat, tetapi kalian harus mempergunakan akal.” “Jika kita masih belum mungkin keluar ?“ bertanya salah seorang diantara mereka. “Jika perlu kita akan keluar dengan berjalan kaki. Apa salahnya kita kembali ke Pajang sambil

berjalan, tetapi menjamin keselamatan kita masing-masing, daripada berkuda tetapi dipintu gerbang kita ditunggu oleh para pengawal,“ berkata Dugul. Namun orang yang dianggap paling berpengalaman itu berkata, “Jangan tergesa-gesa mengambil keputusan. Kita harus melihat keadaan. Dua orang diantara kita, jika perlu aku sendiri, akan melihat-lihat suasana. Baru kita mengambil keputusan, apakah kita akan keluar dari Mataram atau kita masih harus menunggu ? Apakah kita akan berkuda atau berjalan kaki.” “Sejenak lagi, matahari akan terbit. Kita akan bersiap-siap,“ berkata Dugul kemudian. Kawan-kawannyapun kemudian mengemasi diri. Mereka yang masih tidur dengan nyenyak, telah mereka bangunkan. Sementara pengikut Ki Tandabaya yang dianggap paling berpengalaman itu berkata, “Aku akan mandi. Siapa yang akan ikut bersamaku, cepat mengemasi diri. Dengan rapi kita akan turun ke jalan, sehingga kita tidak akan berbeda dengan orang-orang lain yang berada di jalan-jalan.” Dugullah yang menyahut, “Aku pergi bersamamu.” Kedua orang itupun kemudian pergi ke ruang belakang. Mereka akan keluar lewat pintu butulan untuk pergi ke pakiwan. Namun mereka telah menjumpai keadaan yang sama sekali tidak mereka duga. Demikian mereka membuka pintu butulan, maka mereka telah dikejutkan oleh penglihatan mereka. Dengan serta merta mereka telah menutup pintu kembali. Ternyata di kebun, diujung longkangan mereka melihat dua orang pengawal berjaga-jaga. “Gila,“ geram Dugul, “apa sebenarnya yang telah terjadi ?” Pengikut Ki Tandabaya yang paling berpengalaman itu berkata, “Kita dihadapkan satu keadaan yang paling gawat sekarang ini. Marilah kita lihat, apakah ada juga pengawal ditempat lain.” Kedua orang itupun kemudian melintas kebagian lain dari rumah itu. Merekapun dengan hati-hati mendekati pintu butulan pula. Dengan sangat berhati-hati mereka mencoba mengintip lewat pintu yang dibukanya sedikit. “Gila,“ geram kawan Dugul, “kita sudah dikepung. Siapakah yang telah berkhianat ini ?” Dugul menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak ada yang berkhianat. Tetapi bukankah sudah wajar, bahwa kawan-kawan kita yang tertangkap itu akan mengatakan dimana kita bersembunyi ?

Tentu bukan hanya tempat ini saja yang dikepung. Persembunyian kawan-kawan kita yang satu lagi tentu sudah dikepung pula.” “Tidak ada lagi yang disana. Semuanya berada disini,“ jawab kawan Dugul. Lalu, “Ternyata akulah yang salah hitung. Jika semalam kita keluar, mungkin kita akan mengalami keadaan yang berbeda.” “Sudahlah. Kita tidak usah saling menyalahkan. Jika kalian semalam mengikuti aku keluar dari rumah ini, mungkin semalam kita sudah tertangkap,“ sahut Dugul “sekarang, bagaimana kita akan menghadapi mereka.” “Kita beritahu kawan-kawan,“ berkata kawan Dugul itu, seseorang yang dianggap paling berpengalaman diantara para pengikut Ki Tandabaya yang tersisa. “Mungkin kita tidak mempunyai cara lain, kecuali harus bertempur dengan sisa tenaga kami yang terakhir.” Dugul tidak menjawab lagi. Keduanyapun kemudian meninggalkan pintu butulan yang sudah menjadi rapat kembali. Kawan-kawan Dugul terkejut dan mendengar keterangan itu. Seorang diantara mereka berkata dengan gelisah. “Kenapa kita tidak pergi semalam saja ? Kita terkurung sekarang.” “Namun justru karena kita tidak pergi semalam, kita masih dapat beristirahat barang sejenak. Karena jika kita keluar semalam, kita tentu sudah mati juga pagi ini, maka umur kita sudah bertambah sepanjang akhir malam ini.” jawab Dugul. Kawan-kawannya menarik nafas. Tetapi merekapun segera mengemasi diri. Memang tidak ada jalan lain kecuali bertempur. Orang yang dianggap paling berpengalaman itupun segera membagi kawan-kawannya yang tersisa. Hanya beberapa orang saja yang tentu tidak akan banyak berarti bagi para pengawal Mataram. Namun mereka yang tinggal beberapa itu, tidak akan membiarkan tangan mereka diikat tanpa berbuat sesuatu. Demikianlah, maka sisa para pengikut Ki Tandabaya itupun telah bersiap sepenuhnya. Dugul yang berada diruang depan menghadap kepringgitan itupun berusaha untuk mengintip dari celah-celah dinding. Ternyata di halaman depan rumah itupun terdapat beberapa orang pengawal yang sudah bersiaga. “Gila,“ geram Dugul, “dimana pemilik rumah ini. Kawan-kawannyapun kemudian saling bertanya, “Dimana pemilik rumah ini, yang selama kita berada

dirumah ini, bersikap sangat baik dan membantu segala keperluan kita sesuai dengan permintaan Ki Tandabaya.” Tetapi orang-orang itu tidak melihatnya lagi diantara mereka. Sehingga dengan demikian, maka orangorang itu menjadi cemas. Mungkin pemilik rumah itu justru sudah tertangkap ketika ia berada diluar, atau di jalan dimuka rumahnya itu. “Ia kawan baik Ki Tandabaya. Bahkan masih ada hubungan sanak-kadang,“ berkata salah seorang dari mereka. “Tetapi ia menyadari sepenuhnya, apa yang sedang dihadapinya.” sahut yang lain, “ia tidak akan ingkar, jika akibat yang paling buruk itu menimpanya. Nampaknya ia bukan sekedar orang yang menerima upah dari Ki Tandabaya, tetapi ia menyadari sepenuhnya arti dari perbuatannya.” “Mungkin kesadarannya jauh lebih baik dari kita,“ berkata Dugul, “setidak-tidaknya aku sendiri. Aku lebih mementingkan kepentinganku sendiri dalam hal ini.” Kawan-kawannya tidak menyahut. Bahkan merekapun seakan-akan harus melihat kepada diri sendiri, apakah yang telah mendorong mereka melakukan semuanya itu, mempertaruhkan dirinya dan bahkan segala-galanya. Tetapi mereka tidak sempat merenung lebih lama lagi. Merekapun segera bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan kemungkinan yang paling buruk sekalipun. Namun agaknya para pengawal Mataram masih saja menunggu. Mereka sama sekali tidak berbuat sesuatu. Satu dua orang berjalan hilir mudik dihalaman, sementara yang lain berdiri dalam kelompokkelompok kecil. Dua atau tiga orang ditempat yang terpencar. “Gila,“ geram Dugul, “kenapa mereka tidak langsung menyerang dengan memasuki rumah ini ?” Kawannya yang berada disisinyapun menyahut, “Mereka memang orang-orang gila. Apakah keuntungan mereka dengan berdiri saja disana tanpa berbuat sesuatu ? Mereka hanya membuang-buang waktu saja.” “Ternyata mereka adalah pengecut yang paling licik,“ Dugul menggeretakkan giginya. Tetapi para pengawal itu masih tetap berada ditempatnya. Hanya satu dua saja yang masih tetap berjalan hilir mudik. Akhirnya orang yang dianggap paling berpengalaman diantara sisa-sisa pengikut Ki Tandabaya itu tidak sabar lagi.

Ketika cahaya matahari sudah mulai menembus lubang-lubang dinding bambu, maka iapun berteriak dibelakang pintu pringgitan, “He, orang-orang Mataram. Apa kerjamu disitu he ?” Suara itu telah menarik perhatian. Para pengawal itupun kemudian beringsut dan menempatkan dirinya dalam kepungan yang lebih rapat. Salah seorang dari mereka berdiri dihalaman menghadap kependapa. Sejenak ia memperhatikan keadaan. Namun kemudian pengawal itu berkata lantang, “Ki Sanak. Kami tahu Ki Sanak ada didalam. Karena itu, sebaiknya Ki Sanak keluar saja. Kita dapat berbicara dengan baik tanpa menarik senjata kita dari sarungnya.” “Persetan,“ jawab pengikut Ki Tandabaya itu, “senjataku sudah terlanjur telanjang. Kami akan membunuh setiap orang yang berani mengusik kami.” Jawaban itu telah menggetarkan jantung setiap pengawal yang mendengarnya. Namun mereka masih tetap menahan diri. Pemimpin pengawal yang berdiri di halaman itu masih tetap berpegang kepada satu niat untuk menangkap mereka tanpa menitikkan darah. Karena itu, maka pemimpin pengawal itupun kemudian berkata, “Ki Sanak, Kami tentu berkeberatan untuk memasuki rumah itu, karena dengan demikian keadaan kalian akan lebih menguntungkan, sementara kami tidak mengetahui iumlah kalian seluruhnya, maka kami akan dapat mengambil jalan lain. Kami dapat menunggu sampai kalian menjadi jemu. Mungkin justru kelaparan atau kehausan. Tetapi jika kamilah yang tidak sabar lagi, maka kami akan dapat membakar saja rumah itu. Kalian akan terpaksa memilih, keluar dari rumah itu, atau mati hangus menjadi abu.” “Licik, pengecut, tidak tahu malu,“ geram Dugul, “kami yang kalian buru itupun masih memiliki kejantanan. Kami akan bertempur sampai orang kami yang terakhir. “Itulah yang akan kami hindari,“ sahut pemimpin pengawal itu, “kenapa kita harus saling membunuh. Bukankah akhir dari perkelahian yang akan timbul itu sudah dapat kita perhitungkan ?” “Jangan sombong,“ geram Dugul, “kalian akan mengorbankan orang terlalu banyak untuk kesombongan kalian.” “Tetapi bukankah dengan demikian berarti bahwa kalian akan tumpas sampai orang terakhir?“ bertanya pemimpin pengawal itu, “Sebaiknya tidak usah demikian. Kalian menyerah dan kalian akan kami bawa dengan baik menghadap Raden Sutawijaya yang hari ini sudah disusul kepasanggrahannya.” “Aku tidak peduli. Kami sudah siap untuk mati bersama sejumlah kawan-kawanmu. Bahkan mungkin semua pengawal yang ada disini sekarang,“ jawab pengikut Tandabaya itu. Pemimpin pengawal itu menarik nafas dalam-dalam.

Kemudian katanya, “Cobalah berpikir. Aku akan memberimu waktu barang sejenak.” “Aku sudah berpikir dengan masak. Aku tidak perlu waktu lagi. Jika kalian akan bertindak atas kami, cepat, lakukanlah,“ teriak pengikut Ki Tandabaya yang marah itu. Tetapi pemimpin pengawal itu masih menyahut sareh, “Aku tidak tergesa-gesa. Aku akan menunggu sampai kalian sempat melakukannya.” “Tidak. Tidak perlu,“ pengikut Ki Tandabaya itu berteriak semakin keras, “sekarang lakukan.” “Kenapa kalian justru memerintah kami ? “ pengawal itu bertanya, dan pertanyaan itu membuat pengikut Ki Tandabaya semakin marah, sehingga ia berteriak pula, “Gila. pengecut, licik.” Tetapi pengawal itu justru tertawa. Katanya, “jangan mengumpat-umpat. Yang aku kehendaki, kalian keluar dari rumah itu. Kita dapat berbicara dengan baik, sehingga rnasalah yang kita hadapi ini akan dapat kita selesaikan dengan baik.” Pengikut itu masih akan berteriak lagi. Tetapi ternyata Dugul masih sempat mencegahnya. Katanya, “Jangan terpancing. Kita harus tetap menguasai diri. Jika kita kehilangan nalar, maka itu akan sangat berbahaya bagi kita.” Pengikut Ki Tandabaya yang dianggap paling berpengalaman itu memandang Dugul dengan tegang. Namun kemudian ia mengangguk-angguk sambil berkata, “Kau benar Dugul. Orang-orang Mataram memang memancing kemarahanku.” “Karena itu, biarlah mereka menunggu. Biarlah mereka yang menjadi jemu,“ berkata Dugul pula, “jika mereka menyerbu masuk, maka kita akan mendapat kesempatan lebih baik pada benturan pertama, sehingga meskipun kita harus mati, tetapi jumlah lawan yang akan mati bersama kita tentu cukup banyak.” Pengikut Ki Tandabaya yang dianggap paling berpengalaman itu mengangguk-angguk. Tetapi para pengikut yang lain, yang berjaga-jaga dipintu-pintu yang lain dan dipintu butulan, menjadi tidak sabar. Karena itu, maka Dugulpun mendatangi mereka satu persatu dan menjelaskan masalahnya. “Sampai kapan kita harus bersabar ?“ bertanya salah seorang pengikut itu. “Sampai orang-orang Mataram kehabisan kesabaran,“ jawab Dugul. “Aku tidak dapat menahan diri lagi,“ geram yang lain.

“Kematianmu akan sia-sia. Sebaiknya kalian menunggu dipintu. Kalian membunuh orang yang akan memasuki rumah ini sebelum kalian akan mati,“ jawab Dugul. Para pengikut Ki Tandabaya itu mencoba untuk menahan hati. Namun rupa rupanya waktu telah mencengkam mereka sehingga mereka menjadi hampir gila karenanya. Sementara itu para pengawal dari Mataram itu masih saja berjalan hilir mudik dihalaman. Beberapa orang yang lain, berdiri tegak mengawasi pintu-pintu yang tertutup. Sementara beberapa orang berada dipintu gerbang. “Mereka tidak berbuat apa-apa,“ geram salah seorang pengikut Ki Tandabaya. “Aku tidak sabar. Aku akan menyerang mereka,“ desis yang lain. “Apakah kau akan membunuh diri ?“ bertanya Dugul. Kawannya tidak menjawab. Tetapi ketegangan benar-benar telah mencengkamnya. Sementara itu, pengikut Ki Tandabaya yang paling berpengalaman itu masih bertanya, “Dimana pemilik rumah ini? Apakah ia sudah tertangkap ketika ia berada diluar rumah ?” Tidak seorangpun yang dapat menjawab. Namun pemilik rumah itu memang tidak ada diantara mereka, sementara dirumah itu memang tidak ada anggauta keluarganya yang lain, selama rumah itu dipergunakan sebagai tempat persembunyian para pengikut Ki Tandabaya. Ketegangan yang semakin memuncak telah mencengkam rumah itu. Rasa-rasanya udara didalam rumah itu menjadi semakin lama semakin panas. Sementara darah para pengikut Ki Tandabaya itupun bagaikan telah mendidih. Apalagi karena para pengawal Mataram itu nampaknya sama sekali tidak menghiraukan waktu. Untuk beberapa saat lamanya, para pengikut Ki Tandabaya itu masih dapat menahan hati. Namun semakin lama darah mereka semakin memanasi jantung, sehingga akhirnya Dugul sendiri menjadi tidak sabar. “Orang-orang Mataram memang gila,“ geram Dugul. Dan tiba-tiba saja ia telah berteriak, “He, orang orang Mataram. Kenapa kalian begitu pengecut dan penakut? Kenapa kalian tidak berani memasuki rumah ini jika kalian ingin menangkap kami.” Tetapi jawaban orang-orang Mataram itu benar-benar menyakitkan hati. Pemimpin pengawal itupun kemudian berkata, “Kami tidak tergesa-gesa. Bahkan mungkin hari ini Raden Sutawijaya masih belum dapat kembali karena ia

sedang sibuk dengan kuda barunya. Mungkin sehari dua hari lagi ia baru pulang. Nah, pada saat itu, baru kami merasa tergesa-gesa.” “Gila. Itu adalah sikap yang gila,“ teriak seorang pengikut Ki Tandabaya. “Mungkin. Mungkin sekali kami sudah gila. Tetapi sebenarnyalah kami menunggu kalian sempat berpikir bening, sehingga kalian akan menyerah tanpa setetes darahpun yang akan menitik dibumi Mataram.” “Persetan geram Dugul sampai tengah hari. Jika kalian tidak bertindak, maka kami akan keluar dari rumah ini dan membunuh siapa saja yang kami jumpai. Bukan hanya kalian para pengawal, tetapi juga orang-orang yang tinggal disekitar rumah ini.” “Orang-orang yang berputus asa memang dapat berbuat apa saja,“ jawab pemimpin pengawal itu, “kadang-kadang yang tidak terduga-duga sama sekali. Tetapi bukankah kalian tidak sedang berputus asa ? Aku kira kalian masih tetap menyadari keadaan kalian sepenuhnya.” “Anak setan,“ seorang pengikut yang lain berteriak. Rasa-rasanya dadanya bagaikan retak oleh kemarahan yang menghentak-hentak. Kesabaran para pengikut Ki Tandabaya itu sudah tidak tertahankan lagi. Meskipun demikian mereka masih menunggu sampai tengah hari atas permintaan Dugul. “Kitalah yang kehilangan waktu,“ geram kawannya, “jika kami semakin banyak pengawal yang datang, maka kesempatan akan tertutup sama sekali.” Tetap mereka masih tetap menunggu. Dugul masih mencoba untuk membakar hati para pengawal dan memancingnya memasuki rumah itu. Namun usahanya sama sekali tidak berhasil. Bahkan satu dua orang pengawal justru sempat duduk diregol dan disudut halaman depan, pintu-pintu butulan. Namun akhirnya sampai juga kebatas waktu yang ditentukan oleh Dugul, setelah sebelumnya mereka sempat makan apa saja yang terdapat dirumah itu, untuk mengisi perut mereka yang mulai terasa lapar. Dengan demikian, maka rasa-rasanya mereka telah mendapatkan kekuatan baru untuk melawan para pengawal yang mereka anggap licik dan tidak jantan itu.” Karena itu, ketika matahari kemudian sudah memanjat sampai kepuncak langit, maka orang-orang didalam rumah itu sudah tidak sabar lagi. Bahkan orang yang dianggap paling berpengalaman dari sisa para pengikut Ki Tandabaya itupun kemudian berkata, “Kitalah yang akan mengambil langkah. Kita tidak mau diombang-ambingkan oleh perasaan gelisah. Mereka dengan sengaja ingin melumpuhkan kemauan kita menghadapi perlawanan mereka.” “Baiklah,“ berkata Dugul, “kita akan mulai.“ Orang-orang yang berada didalam rumah itupun segera mempersiapkan diri. Ketika mereka sampai

kepada perhitungan untuk menyerang, maka mereka tidak lagi memencar lewat pintu butulan dan pintu pringgitan. Tetapi mereka memperhitungkan kemungkinan yang paling lemah dari kepungan orangorang Mataram itu. “Kita akan keluar lewat butulan disamping dapur. Mereka nampaknya tidak terlalu banyak menghiraukan butulan itu. Jika kita sempat dengan tiba-tiba menyerang mereka, maka masih ada kemungkinan dari kita, meskipun mungkin tidak seluruhnya, keluar dari halaman rumah ini. Mungkin kita harus berlari-larian menyusup jalan-jalan yang belum kita kuasai. Mungkin para pengawal akan memukul isyarat kentongan dan orang-orang padukuhan akan mengejar kita seperti mengejar tupai,“ berkata pengikut Ki Tandabaya yang berpengalaman itu. Dugul menjadi ragu-ragu. Desisnya, “Memang lebih mudah malam hari. Dan aku sudah menyianyiakan waktu yang lebih baik itu. Jika saja semalam aku berpikir untuk keluar tanpa seekor kuda.” “Sudahlah,“ potong pengikut Ki Tandabaya itu, “kita akan menyerang mereka dan menghadapi setiap kemungkinan yang akan dapat terjadi atas kita. Mungkin kita akan dicincang oleh orang-orang padukuhan. Namun dengan senjata ditangan, kita akan mendapat kawan dari antara mereka untuk mengarungi batas dengan maut.” Akhirnya, para pengikut itu telah mengambil satu sikap. Merekapun segera bersiap justru disatu pintu. Dugul yang berada dipaling depan berdiri tegak dengan pedang ditangan kanannya, sementara tangan kirinya memegang selarak pintu butulan itu. Kemudian dengan suara parau ia mulai menghitung, “Satu, dua, tiga.” Demikian mulutnya berhenti, maka selarak itupun telah terlempar sehingga pintupun segera terbuka. Dengan serta merta, maka para pengikut Ki Tandabaya itupun segera berloncatan turun lewat pintu butulan itu. Dalam pada itu, ternyata hanya ada dua orang pengawal yang mengawasi pintu butulan itu. Namun demikian pintu itu terbuka, dan beberapa orang berloncatan, terdengar salah seorang dari kedua pengawal itu bersuit nyaring. Alangkah marahnya para pengikut Ki Tandabaya itu. Demikian mereka mencapai kedua orang itu, maka beberapa orang pengawal telah berlari-larian mendekati kedua orang kawannya itu. Karena itulah, maka usaha mereka untuk langsung melarikan diri meloncati dinding kebun itupun tidak dapat mereka lakukan. Ternyata tidak jauh dari kedua orang itu, terdapat beberapa orang pengawal

yang lain. Dalam sekejap kemudian, maka terjadilah pertempuran yang keras dan kasar. Para pengikut Ki Tandabaya yang marah itu sama sekali tidak berusaha mengekang diri lagi. Mereka tidak sempat lagi memikirkan, apa yang sebaiknya mereka lakukan menghadapi masalah yang gawat bagi keselamatan mereka itu. Untuk beberapa saat, beberapa orang pengawal yang lain masih tetap berada ditempatnya. Mereka harus berhati-hati, apabila masih ada beberapa orang yang berada didalam. Namun dalam pada itu, karena pertempuran sudah mulai menyala, maka pemimpin pengawal yang berada dihalaman depan, segera membawa beberapa orang pengawal yang lain untuk memasuki rumah itu. Dengan hati-hati mereka mendekati pintu pringgitan. Kemudian dengan keras mereka memaksa membuka pintu itu. Ternyata selarak pintu yang sengaja dipasang oleh para pengikut Ki Tandabaya sebelum mereka meninggalkan tempat itu, telah dapat dipatahkan. Dengan serta merta, pemimpin pengawal itupun segera meloncat masuk dengan pedang terjulur kedepan, diikuti oleh tiga orang pengawal. Namun mereka tidak menemukan seseorang. Karena itu. maka merekapun segera melihat seluruh ruangan yang ada didalam rumah itu, yang ternyata telah menjadi kosong. Dengan demikian, maka merekapun segera berlari-larian keluar lewat pintu butulan, menyusul para pengikut Ki Tandabaya yang telah lebih dahulu meninggalkan rumah itu. Sementara itu, para pengikut Ki Tandabaya itu masih bertempur di halaman belakang. Ternyata bahwa semakin lama, para pengawal yang datang mengepung mereka menjadi semakin banyak. Apalagi ketika pemimpin pengawal itu memberitahukan, bahwa rumah itu telah kosong. “Tetapi jangan lengah,“ berkata pemimpin pengawal itu, “sebagian dari kalian harus tetap mengamati keadaan.” Meskipun beberapa orang berada disekitar rumah itu, tetapi ternyata jumlah para pengawal yang mengepung para pengikut Ki Tandabaya itu sudah terlalu banyak, sehingga para pengikut Ki Tandabaya itu seolah-olah sudah tidak mempunyai ruang gerak lagi. Namun demikian mereka masih tetap bertempur seperti orang kehilangan ingatan. Dugul mengamuk seperti orang kerasukan iblis. Sementara kawannya yang lainpun seakan-akan tidak lagi menyadari, apa yang telah terjadi. Perasaan putus asa telah membuat mereka kehilangan akal. Dalam pada itu, pemimpin pengawal yang berada dipinggir arena itupun kemudian berteriak,

“Sebenarnya kalian tidak perlu berbuat seperti itu.” “Persetan,” geram Dugul, “hanya ada dua pilihan. Membunuh atau tidak dibunuh.” “Masih ada pilihan ketiga,“ jawab pemimpin pengawal, “menyerah. Kenapa kalian tidak memikirkan kemungkinan itu. Tentu itu akan lebih baik daripada mati.” “Kalianlah yang akan mati.” teriak salah seorang pengikul Ki Tandabaya. “Meskipun kalian sudah berputus asa, tetapi cobalah masih melihat kenyataan yang kalian hadapi. Dan apakah keuntungan kalian jika kalian memilih mati.” “Itu lebih baik,” teriak Dugul, “kalian tidak akan dapat memeras keterangan apapun atas kami.” Tetapi pemimpin pengawal itu tertawa. Katanya, “Kau jangan terlalu tinggi menilai dirimu sendiri. Buat apa orang orang Mataram memeras keteranganmu ? Dan apakah yang kau ketahui tentang perkembangan keadaan terakhir, khususnya hubungan antara Mataram dan Pajang ?” “Persetan,“ teriak Dugul. “Agaknya kau belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.” Dugul tidak menjawab. Tetapi ia mengamuk semakin dahsyat. Senjatanya berputaran dengan cepatnya. Namun tidak lagi mengarah kesasaran yang memadai dengan pengarahan ilmunya. Untuk sesaat pertempuran masih berlangsung. Beberapa orang pengawal mengepung para pengikut Ki Tandabaya. Senjata yang berdentangan telah menaburkan bunga api di udara. Namun kemudian terdengar keluhan tertahan. Para pengikut Ki Tandabaya mulai tersentuh oleh senjata para pengawal. Ketika seorang diantara mereka tersobek lengannya, maka iapun mengumpat-umpat dengan kasarnya. Dalam pada itu, pemimpin pengawal itu berkata selanjutnya, “Dengarlah. Kalian tidak usah merasa diri kalian orang-orang besar yang kami butuhkan. Jika kami menangkap kalian, bukan karena kami memerlukan keterangan kalian. Kalian kami tangkap karena kalian telah melanggar tatanan hidup dan ketenteraman di Mataram. Jika kami memerlukan keterangan tentang kalian, kelompok dan orang-orang lain yang berada didalam satu lingkungan dengan kalian, maka di Mataram hari ini ada Ki Lurah Branjangan dan Ki Tandabaya.

Mereka tentu lebih banyak mengetahui daripada kalian, orangorang yang tidak berarti sama sekali, tetapi yang merasa diri terlalu besar dan penting, sehingga rela mengorbankan nyawa kalian.” Kata-kata pemimpin pengawal itu ternyata telah menyentuh hati para pengikut Ki Tandabaya itu. Apalagi ketika terdengar seorang diantara mereka berdesis menahan pedih, ketika senjata seorang pengawal menggores dadanya. “Kami sengaja memakai senjata yang tidak akan menimbulkan bahaya yang gawat bagi nyawa kalian, jika kalian hanya sekedar tergores,“ berkata pemimpin pengawal itu, “Lihatlah. Darahmu mengalir. Itu pertanda bahwa luka itu tidak apa-apa. Tetapi jika kulit dan dagingmu menganga, tetapi tidak sedikit darahpun yang keluar, maka itu pertanda bahwa goresan senjata itu akan meminta kematian.” “Persetan,“ teriak Dugul. “Perhatikan kata-kataku dan cobalah menilai dengan nalar bening,” berkata pemimpin pengawal. “Aku akan membunuh kalian,“ teriak Dugul, “aku tidak peduli apa yang telah terjadi. Tetapi kami hanya mempunyai dua pilihan. Membunuh atau dibunuh. Kami tidak akan memberikan pilihan lain dari keduanya.” Pemimpin pengawal itu menegang. Nampaknya para pengikut Ki Tandabaya itu sudah sulit untuk diajak berbicara. Namun ia masih ingin mencoba sekali lagi, katanya, “Ki Sanak. Sekali lagi aku peringatkan. Kalian sama sekali tidak berarti apa-apa bagi kami. Seandainya kami terpaksa menangkap kalian matipun kami tidak akan kehilangan sumber keterangan, karena Ki Tandabaya dan Ki Lurah Pringgabaya masih ada pada tangan kami. Jika kami memperingatkan kalian, semata-mata karena kami tidak ingin membunuh. Kami ingin menyelesaikan persoalan ini dengan tanpa melepaskan nyawa sama sekali. Apakah itu nyawa kawan kami, apakah lawan kami. Karena itu, jangan merasa diri kalian lebih besar dari Ki Tandabaya sendiri, seolah-olah kami ingin menangkap kalian, karena kalian mengetahui segala masalah yang berkembang di Pajang. Sebenarnyalah kami mengetahui, bahwa kalian adalah pengikut Ki Tandabaya yang tidak tahu menahu, apa yang sebenarnya sedang dilakukan oleh orang itu, kecuali karena kalian adalah orangorang yang dihidupinya dengan anak isteri kalian.” Sekali lagi hati para pengikut Ki Tandabaya itu tersentuh. Sekali lagi mereka dihadapkan pada satu kenyataan, bahwa mereka memang bukan orang-orang penting. Karena itu, apakah sudah sewajarnya jika mereka harus mempertaruhkan nyawa mereka tanpa tahu ujung dan pangkal dari persoalan itu seutuhnya ? Untuk beberapa saat tidak ada yang menjawab. Meskipun pertempuran itu masih berjalan terus, tetapi para pengikut Ki Tandabaya sebagian hanyalah berusaha untuk melindungi diri. Pemimpin pengawal dari Mataram yang berpandangan tajam itu melihat keragu-raguan dimata beberapa orang pengikut Ki Tandabaya. Karena itu, maka iapun kemudian memberikan perintah agar

para pengawal memberikan kesempatan orang-orang itu berpikir. Beberapa orang pengawal yang sedang bertempur itupun berloncatan surut. Ternyata para pengikut Ki Tandabaya itu tidak mengejar mereka dengan serangan-serangan. Tetapi merekapun telah berdiri termangu-mangu meskipun senjata mereka masih merunduk. “Pikirkan,“ berkata pemimpin pengawal, “lihatlah sebaik-baiknya. Ada berapa pengawal disini yang mengepung kalian. Kawan kalian telah terluka. Apalagi ? Jika kita harus bertempur terus, maka kalian sudah dapat membayangkan akhir dari pertempuran ini. Kalian akan kami tumpas habis,“ pengawal itu berhenti sejenak. Lalu, “Tetapi apakah itu niat kami datang kemari ? Membunuh tanpa menghiraukan apapun juga ? Tidak Ki Sanak. Kami bukan pembunuh-pembunuh yang ganas. Selama kalian masih sempat mendengarkan peringatan-peringatanku.” Keragu-raguan semakin mencengkam hati para pengikut Ki Tandabaya. Apalagi ketika mereka melihat, bahwa para pengawal itu benar-benar mentaati perintah pemimpinnya. Mereka berdiri mengitari para pengikut Ki Tandabaya itu dengan senjata masih ditangan. Sementara itu, seperti yang dikatakan oleh pemimpin pengawal itu, bahwa jumlah para pengawal itu jauh lebih banyak dari jumlah para pengikut Ki Tandabaya itu. Akhirnya orang yang paling disegani diantara para pengikut Ki Tandabaya itu berkata, “Kami menyerah.” Hal itu memang sudah diduga oleh pemimpin pengawal Mataram itu. Iapun semakin yakin ketika ia melihat, bahwa diantara para pengikut Ki Tandabaya itu nampaknya tidak seorangpun yang menolak pernyataan itu. Namun perhatian utama dari pemimpin pengawal itu diarahkannya kepada Dugul. Ialah orang yang dianggap paling keras menentang tawaran para pengawal Mataram untuk menyerah. Tetapi Dugul tidak dapat berbuat sendiri. Apalagi ternyata bahwa menurut pengawal itu, Ki Tandabaya sendiripun telah tertangkap. Pemimpin pengawal itupun kemudian berkata, “Letakkan senjata kalian.” Terbersit keragu-raguan pula dihati para pengikut Ki Tandabaya itu. Namun kemudian mereka tidak dapat berbuat lain. Merekapun kemudian melemparkan senjata-senjata mereka ketanah. Demikianlah para pengawal itu telah berhasil menyelesaikan tugas mereka, dengan tidak jatuh korban.

Meskipun diantara para pengikut Ki Tandabaya ada yang terluka, dan bahkan ada iuga pengawal yang tergores senjata, namun luka-luka itu tidak akan berbahaya bagi nyawa mereka. Pemimpin pengawal itupun kemudian memerintahkan para pengikut Ki Tandabaya itu berkumpul. Mereka mendapat beberapa penjelasan, apa yang harus mereka lakukan “Kami terpaksa mengikat tangan kalian, hanya selama diperjalanan,“ berkata pemimpin pengawal itu. Para pengikut Ki Tandabaya menggeram. Tetapi mereka tidak dapat menolak. Karena itulah, maka seorang demi seorang dari mereka telah diikat tangannya, meskipun didepan tubuh mereka sehingga mereka masih dapat mengendalikan kuda mereka dengan baik. “Kita akan menghadap Ki Lurah Branjangan,“ berkata pemimpin pengawal itu, “aku tidak tahu pasti, apakah Raden Sutawijaya sudah kembali. Agaknya Ki Lurah sudah memerintahkan dua orang penghubung untuk memberitahukan apa yang telah terjadi di Mataram. Mungkin sekarang, Raden Sutawijaya itu sudah berada dirumahnya. Tetapi mungkin pula belum.” Tanpa dapat membantah lagi, maka para tawanan itupun kemudian dibawa kerumah Raden Sutawijaya. Ketika mereka memasuki regol, maka pemimpin pengawal itu sempat bertanya kepada penjaga di regol, “Apakah Raden Sutawijaya sudah kembali ?” Pengawal itu menggeleng sambil menjawab, “Belum.” “Kenapa,“ bertanya pemimpin pengawal itu. “Aku tidak tahu,“ jawab pengawal itu. “Tetapi bagaimana dengan kedua penghubung itu ?“ bertanya pemimpin pengawal itu pula. “Mereka sudah kembali. Mereka telah menghadap Ki Lurah Branjangan.” Pemimpin pengawal itu tidak bertanya lagi. Iapun kemudian membawa tawanannya memasuki halaman samping dan menyerahkan mereka kepada seorang pembantunya. Pemimpin pengawal itu sendiri kemudian mencari kedua penghubung yang telah menyusul Raden Sutawijaya atas perintah Ki Juru Martani. Namun yang ditemukannya diserambi adalah Ki Lurah Branjangan. “K i Lurah,“ bertanya pemimpin pengawal itu, “bagaimana dengan Raden Sutawijaya ?” Ki Lurah Branjangan menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Raden Sutawijaya masih ingin bermain-main dengan kuda barunya. Besok mungkin ia

baru kembali.” “Apakah Raden Sutawijaya tidak menganggap penting peristiwa yang terjadi semalam ?“ bertanya, pengawal itu pula. Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Peristiwa itu sudah terjadi. Ternyata para pengawal dapat mengatasi kesulitan itu dan bahkan menangkap beberapa orang diantara mereka yang telah membuat kekacauan dihalaman ini. Karena itu, maka bagi Raden Sutawijaya tidak akan ada gunanya lagi tergesa-gesa. Apakah Raden Sutawijaya kembali sekarang atau besok, akibatnya akan sama saja.” Pemimpin pengawal itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ternyata peristiwa yang menggemparkan itu sama sekali tidak mengejutkan Raden Sutawijaya. Mungkin ia sudah cukup pereaya kepada para pengawal, kepada Ki Lurah Branjangan dan kepada Ki Juru. Namun nampaknya Ki Juru sendiri tidak banyak mencampuri persoalan masuknya beberapa orang kehalaman rumah itu. Tetapi pemimpin pengawal itu tidak bertanya lebih lanjut. Sedikit banyak ia mengerti sifat Raden Sutawijaya. Ia mengerti ketajaman penggraitanya, sehingga jika terjadi sesuatu yang berbahaya, maka tanpa ada orang yang menyusulnya, ia tentu sudah berada di Mataram. Dalam pada itu, maka para pengikut Ki Tandabaya itupun segera dimasukkan kedalam satu ruang tertutup yang dijaga kuat. Mereka tidak tahu, apa yang sebenarnya terjadi atas Ki Tandabaya. Meskipun mereka mendengar para pengawal mengatakan sesuatu tentang Ki Tandabaya, namun kepastian tentang dirinya tetap merupakan teka-teki. Dalam pada itu, Ki Tandabaya sendiri yang berada didalam sebuah bilik yang tertutup pula masih saja selalu mengumpat-umpat. Ia sadar, bahwa pada suatu saat, tangan dan kakinya itu akan pulih dengan sendirinya. Tetapi itu memerlukan waktu yang cukup panjang. Mungkin sampai menjelang senja, ia masih harus berbaring diam. Namun karena kemarahan yang mendorong Ki Tandabaya untuk berbuat sesuatu, maka agaknya kaki dan tangannya itu dapat pulih lebih cepat dari yang diduganya. Ketika matahari mulai condong, maka Ki Tandabaya sudah mulai dapat menggerakkan anggauta badannya. Sedikit demi sedikit. Namun karena kemauannya yang keras, iapun akhirnya dapat bangkit dan duduk dipembaringannya. “Gila,“ geramnya, “orang Mataram memang gila.” Namun suaranya yang membentur dinding kayu yang rapat itu bergaung tanpa arti. Tidak ada seorangpun yang akan menanggapinya, betapapun ia mengumpat-umpat. Bahkan seandainya ia berteriak-teriakpun tidak akan ada yang mempedulikannya. Ki Tandabaya menegang ketika ia mendengar selarak pintu berderak diluar. Rasa-rasanya ia ingin meloncat dan menerkam siapapun yang membuka pintu itu. Ia dapat melarikan diri, meskipun seandainya sebatang anak panah akan mengejarnya dan menembus punggungnya. Kematian merupakan penyelesaian yang paling baik baginya dalam keadaan yang demikian.

Sekali sekali ia mengumpat, Ki Lurah Pringgabaya. “Jika orang itu tidak tertangkap, dan jika saja isterinya yang tidak sah itu bukan seorang perempuan yang cantik, mungkin ia tidak akan begitu cepat terdorong kedalam neraka yang sempit itu.” Tetapi tenaga Ki Tandabaya tidak memungkinkan. Ia baru dapat bangkit dan duduk dipembaringannya. Ia belum dapat beringsut terlalu jauh dan apalagi berdiri tegak. Sejenak kemudian, maka pintu yang tebal dan berat itupun terbuka. Jantungnya bagaikan retak ketika ia melihat Ki Lurah Pringgabaya berdiri tegak dimuka pintu sambil memegang sebatang anak panah dalam ukuran kecil. Karena tubuh Ki Tandabaya yang masih belum pulih sama sekali itu masih belum dapat menghentakhentak, melepaskan gejolak perasaannya, maka hanya sorot matanya sajalah yang memancarkan betapa panas isi dadanya. “Selamat datang Ki Tandabaya,“ tiba-tiba saja Ki Pringgabaya telah menyapanya. Ki Tandabaya menggeretakkan giginya. Katanya, “Apakah aku melihat Ki Lurah Pringgabaya atau sekedar bayangan hantunya yang ngelambrang tanpa sandaran ?” Ki Pringgabaya tersenyum. Katanya, “Jangan marah. Aku telah berada ditempat ini lebih dahulu. Sejak aku datang ketempat ini, aku sudah minta agar aku dibunuh saja. Atau beri kesempatan aku sekali lagi berperang tanding melawan Senapati Ing Ngalaga. Tetapi permintaanku itu tidak pernah dikabulkan. Dengan berbagai cara aku sudah berusaha agar aku dibunuh saja. Melarikan diri, melawan para penjaga dan bahkan aku pernah menyerang Senapati Ing Ngalaga ketika ia menengokku di bilikku untuk memberitahukan kepadaku, bahwa ia telah mengundang beberapa orang perwira Pajang. Bukankah perbuatan itu sudah keterlaluan ? Namun sampai sekarang aku tetap hidup meskipun aku benar-benar ingin mati.” “Kenapa kau tidak lari sekarang ini ?“ bertanya Ki Tandabaya. “He, apakah kau tidak melihat, bahwa disekitar tempat ini terdapat beberapa orang pengawal?“ sahut Ki Lurah Pringgabaya. “Bukankah kau tidak takut mati ?“ bertanya Ki Tandabaya pula. Tetapi Ki Pringgabaya tertawa. Katanya, “Aku memang ingin mati. Tetapi itu sudah lewat. Sejak aku menemukan anak panah ini, maka keinginanku itu justru lenyap seperti embun dihapus oleh panasnya matahari.” Jantung Ki Tandabaya menggelepar. Rasa-rasanya isi dadanya telah terguncang oleh jawaban Ki Pringgabaya itu. Namun justru untuk sesaat Ki Tandabaya bagaikan terbungkam tanpa dapat mengucapkan sepatah

katapun juga. Pada saat-saat Ki Tandabaya tegak mematung dengan wajah tegang, Ki Lurah Pringgabaya justru tersenyum. Katanya, “Kau tidak usah terkejut mendengar jawabanku. Kau tentu mengerti maksudku.” “Tidak,“ tiba-tiba saja Ki Tandabaya menggeram. “Aku tidak mengerti. Apakah yang sebenarnya kau maksudkan ?” Ki Lurah Pringgabaya itu masih saja tersenyum. Katanya, “Jangan berpura-pura. Kau tentu mengenal anak panah ini.” “Darimana itu kau dapat ?“ Ki Tandabayalah yang kemudian bertanya. “Aku dapat anak panah ini dari bilik sebelah,“ Ki Pringgabaya berhenti sejenak, lalu, “maksudku, aku telah dibawa oleh para pengawal Mataram untuk memasuki bilik sebelah. Dan aku menemukan anak panah ini.” “Kau tahu, darimanakah asal anak panah itu ?“ bertanya Ki Tandabaya “Tentu. Para pengawal itu telah memberitahukan kepadaku, apa yang telah terjadi semalam. Memang aneh, bahwa seorang abdi Kepatihan Pajang telah datang ke Mataram, sekedar untuk melepaskan anak panah dengan sasaran seonggok jerami. Apa maksudmu ?“ bertanya Ki Pringgabaya. Bahkan dilanjutkannya, “Selebihnya kau telah mempertaruhkan badan dan nyawamu untuk permainan yang aneh itu.” “Jangan melingkar-lingkar,“ potong Ki Tandabaya yang masih tetap duduk dipembaringan. Betapapun darahnya menggelegak, namun ia masih dipengaruhi oleh sentuhan tangan pengawal disudut halaman itu. Namun yang lambat laun mulai terasa semakin longgar. “Aku berkata lurus,“ jawab Ki Pringgabaya. “Katakan, bahwa pengawal-pengawal itu sudah memberitahukan kepadamu apa yang sebenarnya terjadi. Dan kau datang untuk menuduhku sesuai dengan keterangan para pengawal itu, bahwa aku telah berusaha untuk membunuhmu,“ geram Ki Tandabaya. “O,“ Ki Lurah Pringgabaya terkejut, “apakah memang demikian ? Apakah kau datang dengan mengemban perintah untuk membunuhku ?” “Kau sudah gila,“ geram Ki Tandabaya, “marilah kita berbicara wajar, tanpa sikap pura-pura. Kau tentu sudah tahu bahwa aku datang dengan membawa perintah membunuhmu. Dan aku sudah mencoba melaksanakannya. Tetapi aku gagal.

Dan bahwa kau sudah mengetahui ternyata bahwa kau membawa anak panah itu kepadaku dan kaupun telah mengatakan bahwa justru karena itu, maka keinginanmu untuk mati itu telah lewat.” Ki Pringgabaya tertawa. Katanya, “Tepat. Kau menangkap sikapku dengan tepat.” “Lalu apa maksudmu ? Kau mendendam ?“ bertanya Ki Tandabaya. Sejenak Ki Pringgabaya termangu-mangu. Iapun kemudian berpaling, memandang para pengawal yang mengawasinya dari kejauhan. Namun nampaknya mereka sudah siap bertindak, apabila Ki Pringgabaya melakukan sesuatu yang mencurigakan. “Ki Tandabaya,“ berkata Ki Pringgabaya kemudian, “aku memang mendendam, karena aku tahu kenapa kau dengan sungguh-sungguh dan penuh gairah melakukan tugas yang dibebankan kepadamu.” Wajah Ki Tandabaya menjadi merah. Tetapi karena tubuhnya yang masih lemah, maka ia masih tetap berada ditempatnya. “Menurut pikiranmu ?“ bertanya Ki Tandabaya dengan suara berat. Ki Pringgabaya tertawa tertahan. Katanya, “Kita sekarang bersama-sama berada ditempat ini. Orang lainlah yang akan menemukan perempuan yang tentu menjadi kesepian.” “Persetan,“ geram Ki Tandabaya. “Kau tidak usah marah-marah. Keadaanmu tidak menguntungkan. Jika kau memaksa diri berbuat sesuatu, maka kau akan terjatuh dan mengalami kesulitan untuk bangkit dan kembali duduk dipembaringanmu.” “Kekuatanku sudah pulih,“ geram Ki Tandabaya. “Jangan kelabui dirimu sendiri,“ sahut Ki Lurah Pringgajaya. “Sekarang kau mau apa ?“ bertanya Ki Tandabaya, “kau akan membunuhku dengan anak panah itu ?” “Ki Tandabaya. Kedudukanmu sekarang sama seperti kedudukanku. Kau atau aku atau kita bersamasama, akan dapat menjadi sumber keterangan yang berbahaya bagi kawan-kawan kita di Pajang. Jika karena hal itu, maka pemimpin-pemimpin kita menentukan, bahwa aku harus mati, maka aku kira hal itu akan berlaku juga bagimu.” “Persetan,“ geram Ki Tandabaya. Ki Lurah Pringgabaya tertawa. Katanya, “Bukankah yang kau ketahui dan apa yang aku ketahui tidak akan bertaut banyak ? Karena itu, maka akibat dari nasib kita yang buruk inipun tidak akan jauh berbeda.” “Kau akan membunuh aku lebih dahulu ?“ bertanya Ki Tandabaya.

“Alangkah mudahnya membunuhmu sekarang,“ berkata Ki Lurah Pringgabaya, “aku akan dapat tanpa kesulitan apapun menghunjamkan anak panah yang mungkin beracun ini ketubuhmu yang masih belum mempunyai kekuatan itu sama sekali.” “Licik. Pengecut,“ geram Ki Tandabaya. Ki Pringgabaya masih tertawa. Katanya, “Kenapa hcik ? Bukankah yang kau lakukan itupun licik sekali jika kau berhasil ? Untunglah bahwa kau telah gagal.” “Aku sudah cukup kuat untuk melawanmu,“ geram Ki Tandabaya. “O, jangan mengelabui diri sendiri,“ Ki Lurah Pringgabaya justru tertawa semakin keras. “Baiklah,“ berkata Ki Tandabaya, “jika kau tidak berani menunggu kekuatanku pulih kembali, karena kau sudah mengetahui tingkat ilmuku yang jauh melampaui tingkat ilmumu, bunuhlah aku sekarang. Itu akan sangat baik bagiku.” Ki Lurah Pringgabaya merenung sejenak. Kerut merut dikeningnya nampak menjadi dalam oleh keresahan didalam hatinya. Namun akhirnya ia berkata, “Manakah yang lebih baik menurutmu. Apakah aku harus membunuhmu sekarang atau tidak.” “Kau memang seorang pengecut yang cengeng. Lakukan jika kau memang ingin melakukannya. Mengapa kau menjadi ragu-ragu, padahal membunuh adalah pekerjaanmu ?“ bertanya Ki Tandabaya. Ki Lurah Pringgabayalah yang kemudian menjadi tegang. Dipandanginya Ki Tandabaya dengan tajamnya. Orang itu masih tetap lemah meskipun Ki Pringgabaya-pun mengerti, bahwa sebentar lagi Ki Tandabaya akan terlepas dari akibat sentuhan tangan pada urat-uratnya. Perlahan-lahan kekuatan Ki Tandabaya akan pulih kembali sehingga akhirnya ia akan menemukan dirinya sewajarnya. Tetapi Ki Lurah Pringgabaya masih tetap berdiri. Bahkan kemudian sekali lagi ia berpaling. Ia melihat beberapa orang pengawal telah memandanginya pula. Agaknya waktu yang disediakannya untuk menjumpai kawannya itu sudah hampir habis. “Ki Tandabaya,“ berkata Ki Lurah Pringgabaya, “ternyata kau sudah terjerat oleh kesombonganmu Kau menganggap bahwa Mataram ini tidak mempunyai kekuatan sama sekali, sehingga kau memberanikan diri memasuki halaman rumah ini untuk membunuhku. Aku tahu apa yang bakal terjadi, ketika aku dipindahkan dari bilikku itu. Meskipun demikian, aku tidak dapat berbuat apa-apa. Seorang pengawal nampaknya dengan sengaja memberitahukan kepadaku, bahwa malam itu akan datang seseorang untuk membunuhku, sehingga karena itu aku harus dipindahkannya.”

“Untuk apa kau katakan semuanya itu ?“ bertanya Ki Tandabaya. “Dengarlah kelanjutannya,“ jawab Ki Lurah yang masih tetap berdiri dipintu, “hari ini aku mendapati anak panah ini didalam bilikku. Aku tahu apa yang terjadi dengan pasti setelah aku rnelihat bagaimana anak panah ini masih menancap ditempatnya dan lubang-lubang pada atap bilik itu.” “Cepat katakan, bahwa kau mendendam dan akan membunuhku sekarang dengan anak panah itu meskipun tanpa busurnya, justru karena aku tidak dapat melawan,” Ki Tandabaya hampir berteriak. Tetapi Ki Tandabaya terkejut ketika ia mendengar jawaban. “Tidak. Aku tidak akan melakukannya sekarang, meskipun aku telah digelitik oleh satu keinginan untuk melakukannya.” “Kenapa ? Kau sudah menjadi cengeng ? Licik atau pengecut ? Atau kau justru menjadi terlalu sombong dan merasa dirimu seorang pengampun ?“ geram Ki Tandabaya. Ki Pringgabaya menggeleng. Katanya, “Tidak. Aku bukan pengampun. Aku adalah pendendam yang akan melepaskan dendamku setiap ada kesempatan. Aku juga seorang pembunuh yang tidak mengenal ampun dan belas kasihan. Karena itu maka aku memang akan membuat perhitungan denganmu. Tetapi tidak sekarang. Justru pada saat kita mengalami nasib serupa.” “Kesombonganmu memang tidak dapat dimaafkan. Jika kau tidak mau melakukan sekarang dan menunggu kekuatanku pulih kembali, maka aku akan benar-benar membunuhmu,“ Ki Tandabaya hampir membentak. “Terserahlah apa yang akan kau katakan. Namun jika pada suatu saat kau membunuhku, maka itu berarti bahwa kau akan menanggungkan sendiri tekanan-tekanan orang Mataram untuk mengetahui segala sesuatu mengenai lingkungan kita di Pajang,“ jawab Ki Lurah Pringgabaya. “Gila. Kau memang orang gila. Apakah sebenarnya maksudmu dengan segala macam ceritera, ancaman dan sifat kegila-gilaanmu ini ?“ bertanya Ki Tandabaya yang sedang marah itu. “Sabarlah,“ berkata Ki Lurah Pringgabaya, “aku sendiri memang bukan orang yang dapat selalu bersabar. Tetapi dengarlah. Aku datang dengan alat yang dapat aku pergunakan untuk membunuhmu. Tetapi dengan demikian, seperti yang aku katakan, jika salah seorang dari kita mati, maka beban itu akan diletakkan seluruhnya diatas pundak salah seorang dari kita yang masih hidup. Lebih dari itu, sebenarnyalah orang Mataram memang menghendaki aku datang untuk membunuhmu. Tetapi sudah barang tentu bahwa dengan demikian, jika aku melakukannya, aku sudah berbuat satu kebodohan yang tidak dapat dimaafkan.” Ki Tandabaya menegang sejenak. Lalu, “Kenapa ? “ “Kecuali untuk membagi beban, kita harus membuktikan kepada orang-orang Mataram, bahwa kita

bukan serigala yang akan saling menggigit pada saat-saat kita kelaparan.” Sejenak Ki Tandabaya termangu-mangu. Ia mulai mengerti maksud Ki Lurah Pringgabaya sebenarnya. Meskipun iapun sadar bahwa hal itu hanya akan bersilat sementara. Ki Tandabayapun tahu pasti, bahwa Ki Lurah Pringgabaya adalah seorang yang tidak mudah melupakan peristiwa yang menyangkut dirinya, apalagi menyakiti hatinya. Iapun bukan orang yang harus berpikir dua tiga kali jika ia sudah bertekad untuk membunuh. Meskipun demikian, iapun mengerti, bahwa dihadapan orang-orang Mataram Ki Lurah Pringgabaya tidak bersedia untuk diperlakukan sebagai cengkerik aduan yang harus berkelahi diantara mereka untuk memberikan kepuasan kepada penontonnya. Karena itu, maka Ki Tandabayapun berkata, “Aku mengerti maksudmu. Tetapi apakah kau berkata dengan jujur ?” “Ya. Aku berkata dengan jujur. Akupun telah berkata dengan jujur pula, bahwa pada suatu saat aku akan membuat perhitungan denganmu, karena aku sadar, bahwa kemampuanmu tidak lebih baik dari kemampuanku. Setidak-tidaknya jika kita terlibat dalam perang tanding yang jujur, kesempatanmu dan kesempatanku akan sama,“ jawab Ki Lurah Pringgabaya. “Baik. Aku terima sikapmu sekarang. Tetapi jangan kau anggap bahwa aku minta belas kasihanmu sekarang ini,“ geram Ki Tandabaya. Ki Lurah tertawa. Katanya, “Terima kasih. Jika demikian, aku akan pergi. Mungkin kita pada suatu saat harus bersama-sama mencari jalan untuk keluar, meskipun di Pajang kita akan berkelahi sampai salah seorang dari kita mati, karena tidak mungkin seorang perempuan harus menerima kita berdua bersama-sama.” “Persetan,“ geram Ki Tandabaya, “sebaiknya kau menutup mulutmu. Jika persoalanmu sudah selesai, sebaiknya kau pergi. Ternyata keadaanku sudah berangsur baik. Sebentar lagi kekuatanku akan pulih kembali.” “Tentu tidak segera sehingga kita dapat bersama-sama melawan para pengawal,” desis Ki Lurah Pringgabaya. Ki Tandabaya mengerutkan keningnya. Ia mengerti maksud Ki Lurah Pringgabaya, apakah ia mampu berbuat sesuatu dalam waktu dekat untuk melepaskan diri bersama Ki Lurah Pringgabaya atau untuk mati bersama-sama. Namun iapun sadar, bahwa sebenarnya Ki Lurah Pringgabaya telah mendendamnya dan justru karena itu, ia segan mati sebelum ia sempat melepaskan dendamnya itu. Karena itu, maka Ki Tandabayapun kemudian menjawab, “Pergilah. Aku tidak akan dapat memulihkan kekuatan dan kemampuanku segera. Aku memerlukan waktu, meskipun seandainya kau mencoba memulihkan urat syarafmu yang telah disentuh oleh pengawal gila itu.”

Ki Pringgabayapun telah mendengar apa yang telah terjadi dengan Ki Tandabaya. Iapun merasa heran, bahwa ada seorang pengawal Mataram yang memiliki kemampuan sedemikian tinggi sehingga ia dapat memperlakukan Ki Tandabaya sesuka hatinya. Karena Ki Lurah itupun mengerti, bahwa Ki Tandabaya bukan seorang yang tidak memiliki bekal cukup. Ia berani memasuki halaman itu, tentu sudah memperhitungkan setiap kemungkinan. Sebenarnya perhitungan itu tepat sekali, karena pada saat-saat itu Raden Sutawijaya tidak sedang berada di Mataram. Namun ternyata usaha Ki Tandabaya itupun gagal. “Tentu bukan Ki Juru pula yang melakukannya,“ berkata Ki Pringgabaya didalam hatinya. Ki Juru sudah terlalu tua ditilik dari sikap, umur dan suara pengawal yang menangkap Ki Tandabaya itu menurut pendengarannya dari para pengawal yang mungkin dengan sengaja telah berceritera kepadanya. Karena itu, maka sejenak kemudian Ki Pringgabayapun melangkah surut. Namun ia masih sempat berkata, “Aku akan menyimpan kenang-kenangan ini untuk sepanjang umurku. Anak panah ini bukan saja melambangkan tugas yang harus kau emban, tetapi juga melambangkan pengkhianatanmu atas kawan sendiri.” “Kau tidak akan terlalu lama menyimpan anak panah itu,“ jawab Ki Tandabaya, “karena kau akar cepat mati. Demikian tenaga dan kemampuanku pulih, maka aku akan mencari kesempatan untuk membunuh mu, meskipun aku masih berada dibawah pengawasan orang-orang Mataram.” Ki Pringgabaya tertawa. Tetapi ia tidak menjawab sama sekali. Dalam pada itu, demikian Ki Pringgabaya mundur beberapa langkah menjauhi pintu bilik Ki Tandabaya, beberapa pengawalpun segera mendekatinya. Seorang diantara mereka segera menutup pintu yang tebal itu, dan menyelaraknya dari luar. “Sudah cukup ?“ bertanya seorang perwira pengawal. Ki Pringgabaya tertawa. Katanya, “Aku tidak dapat melakukannya.” “Apa ?“ bertanya perwira itu. “Membunuhnya, “jawab Ki Lurah Pringgabaya. “He,“ wajah perwira pengawal itu menjadi tegang, “apakah kau akan membunuhnya ?” “Bukankah itu yang kau maksud ? Bukankah kau memberi kesempatan kepadaku melihat keadaan Tandabaya dan memberikan anak panah ini agar aku membunuhnya ?“ bertanya Ki Lurah Pringgabaya.

Wajah perwira itu menegang. Katanya dengan nada datar, “Terima kasih bahwa hal itu tidak kau lakukan.” Ki Lurah Pringgabayalah yang terkejut. Ia mengharap bahwa perwira itu menjadi kecewa dan mengumpatinya bahwa ia tidak membunuh Ki Tandabaya. Tetapi agaknya perwira itu justru bersukur bahwa hal itu tidak dilakukannya. Selagi Ki Lurah Pringgabaya termangu-mangu, perwira itu berkata, “Ternyata aku salah hitung. Jika aku mengijinkan kau bertemu dengan Ki Tandabaya itu, karena aku mempunyai maksud yang lain.” “Bukan kau mengijinkan aku menemuinya. Aku sama sekali tidak berniat. Tetapi kaulah yang mendorong aku untuk datang kepadanya dan menunjukkan anak panah ini selagi keadaan Ki Tandabaya masih belum pulih kembali. Bukankah dengan demikian kau bermaksud aku membunuhnya,“ bertanya Ki Lurah Pringgabaya. Tetapi perwira itu menggeleng. Katanya, “Tidak. Aku tidak bermaksud demikian. Aku hanya ingin kau bertemu dan saling menyadari bahwa kalian berdua tidak akan ada gunanya lagi untuk saling melindungi. Kalian telah berhadapan sebagai dua orang yang akan saling membunuh, sehingga dengan demikian kalian harus menyadari bahwa tidak ada gunanya lagi kalian menyimpan rahasia diantara kalian masing-masing, dan saling menutupi.” Ki Lurah Pringgabayalah yang kemudian menggeram. Sekilas ia berpaling. Ketika terlihat olehnya wajah perwira itu menegang, maka iapun kembali memandang lurus kedepan. Namun dalam pada itu ia melihat beberapa orang prajurit yang mengiringkannya telah bersiap dengan senjata telanjang. Dalam pada itu, perwira itupun kemudian berkata, “Jika hal itu benar-benar terjadi, maka kematian Ki Tandabaya akan berarti keadaan yang gawat bagiku. Raden sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga tentu akan marah.” Ki Lurah Pringgabaya tidak menjawab. “Karena itu, cobalah pikirkan sebaik-baiknya,“ berkata perwira itu, “apakah menurut pertimbanganmu, kau masih akan saking mehndungi Sementara kalian masing-masing telah siap untuk saling membunuh ?” Ki Lurah Pringgabaya sama sekali tidak menjawab. Namun dalam pada itu, keduanya telah berada dimuka bilik Ki Pringgabaya. “Silahkan masuk Ki Lurah,“ berkata perwira itu, “sebaiknya anak panah itu kau letakkan saja. Jangan berbuat sesuatu yang akan dapat merugikan dirimu sendiri.”

Ki Pringgabaya tidak membantah. Dilemparkannya anak panah itu ketanah, karena anak panah itu tidak akan berarti banyak baginya. Kemudian dengan kepala tunduk ia memasuki biliknya kembali. Sejenak kemudian terdengar pintu berderit. Demikian pintu yang berat dan tebal itu tertutup rapat, maka pintu itupun segera diselarak pula. Kembali Ki Pringgabaya termenung. Ia telah salah mengartikan maksud pengawal itu, yang kemudian bahkan mendesaknya untuk tidak saling melindungi dengan Ki Tandabaya. Untuk beberapa saat ia merenung. Apakah ia akan dapat memenuhi desakan pengawal itu, sehingga itu akan berarti bahwa ia harus mengatakan apa saja tentang diri Ki Tandabaya dan sebaliknya Ki Tandabaya pun tentu akan mengatakan segala sesuatu yang diketahui tentang dirinya. Namun tiba-tiba Ki Lurah Pringgabaya menggeram. Katanya, “Aku masih mempunyai keyakinan, bahwa Ki Tandabaya tidak akan mengatakan apa-apa. Meskipun pada saatnya aku dan Ki Tandabaya akan saling membunuh, tetapi tentu karena sebab lain. Bukan karena kami harus saling membunuh akibat tugas kami masing-masing. Jika Ki Tandabaya akan membunuhku pendorong utamanya tentu perempuan itu, meskipun mungkin orang-orang tertentu memang memerintahkan demikian.” Dengan demikian, maka Ki Lurah Pringgabaya akan tetap pada sikapnya. Ia tidak akan mengatakan apa-apa. Ia akan diam apapun yang harus dialami. Ia sudah bertekad untuk tetap pada sikapnya itu, karena apa yang dialaminya itu adalah akibat yang wajar dari tugas yang sudah disanggupinya. Dibagian lain dari rumah itu, didalam bilik yang lebih besar, beberapa orang pengikut Ki Tandabaya duduk tepekur. Satu dua diantara mereka sempat mengumpat-umpat. Namun Dugul sendiri duduk disudut bersandar dinding. “Gila,“ kawannya menggeram. “Ternyata Dugul itu sempat tidur.” “Tidak ada masalah baginya,“ geram seorang kawannya, “ia sudah terlalu biasa mengalami hal seperti ini. Berpuluh tahun ia menjadi seorang pencuri yang disegani. Bahkan ada yang menganggap bahwa Dugul mampu melenyapkan diri dengan aji Panglimunan. Ada pula yang menganggap orang itu memiliki aji Welut Putih sehingga tidak akan mungkin dapat tertangkap.” “Tetapi sekarang ia tertangkap,“ sahut yang lain. “Ia berada ditempat yang tabu bagi kekuatan ilmunya sehingga ilmunya tidak dapat dipergunakannya,“ jawab kawannya. Kawan-kawannya tidak bertanya lagi. Ada seseorang yang mencoba untuk memejamkan matanya, tetapi ia justru mengumpat sendiri. Dalam pada itu, salah seorang dari mereka tiba tiba saja berdesis, “Dimanakah kira-kira pemilik

rumah itu ?” “Mungkin ia juga sudah ditangkap,“ sahut yang lain. “Orang itu tentu mendapat perlakuan yang khusus, ia akan mengalami hukuman yang tentu lebih berat dari kita, karena ia sudah berkhianat.” Kawan-kawannya tidak memberikan tanggapan. Mereka sibuk dengan diri mereka masing-masing. Namun sementara itu, Ki Tandabaya mencoba memperhitungkan keadaannya sebelum ia melakukan tugas itu. Tiba-tiba saja ia teringat kepada saudara seperguruan Ki Lurah Pringgajaya, yang merubah namanya menjadi Partasanjaya. “Apakah orang itu telah berkhianat,“ tiba-tiba saja Ki Tandabaya menggeram. Sekilas terbayang sikap Ki Partasanjaya yang semula bernama Ki Pringgajaya, yang telah berhasil menyelamatkan dirinya dari sorotan mata keprajuritan Untara karena berita kematiannya. “Apakah Ki Partasanjaya itu telah berkhianat,“ pertanyaan itu timbul di hati Ki Tandabaya berkalikali. Namun demikian ia meragukannya. Bagaimanapun juga, maka kepentingan mereka dalam satu kesatuan sikap akan lebih berharga dari kepentingan mereka secara pribadi. Tetapi tiba-tiba saja Ki Tandabaya itu memejamkan matanya, seolah-olah ia tidak mau melihat, peristiwa tentang dirinya. Bahwa ia justru telah memanfaatkan tugasnya untuk kepentingan pribadinya. “Persetan,“ geram Ki Tandabaya, “itu tugasku. Membunuhnya. Tugas itu semula akan diserahkan kepada Ki Pringgajaya yang bernama Partasanjaya itu. Tetapi adalah salahnya jika ia menolak.” Meskipun demikian, kecurigaan dihati Ki Tandabaya itu tidak dapat dilupakannya. Selain Ki Lurah Pringgabaya yang harus dibunuhnya itu adalah adik seperguruan Ki Pringgajaya yang kemudian bernama Ki Partasanjaya, juga karena Ki Partasanjaya itu nampaknya tertarik juga kepada perempuan yang ditinggalkan oleh Ki Pringgabaya itu. Selagi orang-orang yang tertawan itu sedang merenungi keadaannya, maka dipasangggrahannya Raden Sutawijaya sibuk memandikan kudanya. Kudanya yang baru itu nampaknya sangat menyenangkan, sehingga ia sendiri membawa kuda itu kesebuah behk dan memandikannya, dibantu oleh dua orang pengawalnya. Raden Sutawijaya terkejut ketika ia melihat dua orang berkuda menyusulnya. Bukan saja dari pesanggrahan, tetapi agaknya dari Mataram. “Ki Lurah Branjangan,“ desis Raden Sutawijaya.

Ki Lurah Branjangan segera meloncat turun ketika ia sudah mendekati belik itu. Sambil memandangi kuda itu ia bergumam, “Bagus sekali Raden. Tetapi kenapa Raden memandikannya sendiri.” “Aku senang sekali dengan kuda itu,“ jawab Raden Sutawijaya sambil mengelus bulu suri kudanya, “agaknya kuda ini akan dapat menjadi kuda yang cakap.” Ki Lurah Branjanganpun kemudian mendekati Raden Sutawijaya. Iapun mengamati kuda itu dengan saksama. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Kuda yang bagus sekali.“ Namun kemudian iapun bertanya, “langit mulai buram. Apakah Raden tidak akan kembali ke Mataram.” “Sudah aku katakan kepada utusan itu, aku akan pulang besok,“ jawab Raden Sutawijaya. “Ada beberapa orang tersimpan di Mataram. Selain Ki Pringgabaya dan Ki Tandabaya, maka pengikut-pengikutnyapun telah kami tangkap.” “Ya. Aku tahu. Aku sudah mendapat laporannya. Tetapi sudah aku katakan, aku akan kembali besok. Kau sajalah bermalam disini. Sebentar lagi hujan turun,“ berkata Raden Sutawijaya. Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu Raden Sutawijaya berkata, “Jangan gelisah. Paman Juru ada dirumah.” “Aku memang tidak gelisah, Raden. Sebagaimana ternyata bahwa Ki Tandabaya itupun dapat tertangkap dengan mudah,“ sahut Ki Lurah, “tetapi perkembangan masalahnya akan cepat menjalar sampai ke Pajang.” Raden sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tersenyum sambil bertanya, “Bagaimana dengan Ki Tandabaya?” “Aku mengenal Raden seperti aku mengenal diriku sendiri,“ berkata Ki Lurah Branjangan, “karena itu, aku segera dapat mengenal siapa yang telah menangkap Ki Tandabaya.” “Ya,“ jawab Raden Sutawijaya, “bukankah dengan demikian aku tidak perlu tergesa-gesa kembali ke Mataram?” Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Yang tertangkap kemudian adalah seorang pengawal Kepatihan Pajang. Bukankah dengan demikian Pajang akan menjadi sangat tertarik dengan peristiwa yang berturut-turut itu. Jika semula Raden

Sutawijaya mengundang beberapa orang perwira Pajang untuk bertemu dengan Ki Pringgabaya namun yang sampai sekarang belum seorangpun yang datang, maka dengan tertangkapnya Ki Tandabaya, maka mungkin sekali mereka akan segera merubah sikap.” “Tetapi tentu tidak sekarang atau malam nanti,“ jawab Raden Sutawijaya, “karena itu, beristirahatlah. Besok kita akan bersama-sama kembali ke Mataram.” Ki Lurah Branjangan tidak dapat memaksa. Karena itu, ia justru bermalam dipasanggrahan itu bersama seorang pengawal. Di esok harinya mereka akan kembali ke Mataram. Tetapi malam itu Ki Lurah merasa gelisah. Di Mataram ada dua orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Meskipun di Mataram ada Ki Juru Martani, namun yang digelisahkannya adalah justru jika orangorang Pajang mengambil tindakan sepihak untuk mengambil kedua orang yang mereka dianggap penting itu. Namun Ki Lurah Branjangan itu terkejut ketika lamat-lamat ia mendengar derap kaki kuda. Sudah agak jauh. Tidak menuju kepasanggrahan itu, namun justru menjadi semakin jauh. Hanya karena ketajaman pendengarannya sajalah maka ia dapat mendengarnya. Ki Lurah yang berbaring itupun kemudian bangkit dan duduk di bibir pembaringannya. Kawannya masih tidur dengan nyenyaknya. Sambil menarik nafas dalam-dalam Ki Lurah Branjangan itu berkata didalam hatinya, “Tentu Raden Sutawijaya sedang menuju ke Mataram. Luar biasa. Menurut pendengaranku, derap itu hanyalah derap kaki seekor kuda. Agaknya ia pergi seorang diri seperti ketika ia menangkap Ki Tandabaya itu.” Namun rasa-rasanya ada sesuatu yang aneh dihati Ki Lurah Branjangan. Dari Ki Juru ia mendapat perintah untuk mengatur bilik yang semula dipergunakan oleh Ki Lurah Pringgabaya untuk menjebak Ki Tandabaya. “Bagaimana munggkin Ki Juru itu dapat mengerti, apa yang akan terjadi?“ desis Ki Lurah Branjangan, “begitu rapatnya sumber keterangan itu, sehingga aku sendiri tidak mengerti, petugas sandi yang manakah yang telah berhasil memberitahukan kemungkinan datangnya Ki Tandabaya itu.” Dalam kegelisahan itu, hampir semalam suntuk Ki Lurah Branjangan tidak dapat tidur. Namun menjelang pagi, diluar sadarnya, ia telah terlena beberapa saat. Justru pada saat-saat ia ingin mendengar derap kaki kuda yang lamat-lamat itu datang mendekat. Ki Lurah Branjangan terkejut ketika ia mendengar desir langkah diluar biliknya. Tergagap ia bangun. Kemudian bangkit perlahan-lahan. Desir itu masih terdengar. Karena itu, maka perlahan-lahan ia membuka selarak pintu. Demikian ia membuka pintu dengan hati-hati terdengar suara diluar, “Kau sempat tidur Ki Lurah.” Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun melangkah keluar sambil berkata, “Selamat pagi Raden.” Raden sutawijaya tersenyum, katanya, “Nampaknya kau sempat tidur nyenyak.”

“Ya, ya Raden. Semalam suntuk aku tidur nyenyak,“ jawab Ki Lurah, “dan sepagi ini Raden sudah berada di serambi gandok.” “Menjadi kebiasaanku. Setiap pagi aku berjalan-jalan didini hari. Kadang-kadang mengelilingi halaman pesanggrahan ini. Tetapi kadang-kadang aku berjalan keluar mengelilingi padukuhan ini,“ jawab Raden Sutawijaya. “Dan pagi ini Raden mengelilingi daerah yang lebih luas?“ bertanya Ki Lurah. Tetapi Raden Sutawijaya menggeleng. Jawabnya, “Kebetulan aku hanya berjalan-jalan dihalaman saja.” “Tanpa seorangpun yang mengawani Raden?“ desis Ki Lurah. Raden Sutawijaya tertawa. Katanya, “Aku jarang dikawani oleh siapapun. Dan agaknya aku masih mempunyai cukup keberanian untuk berjalan jalan seorang diri didini hari. Biasanya hantu-hantu hanya turun ditengah malam. Jika langit sudah membayang warna fajar, hantuhantu menjadi ketakutan dan kembali kealamatnya.” “Ah, Raden.” desis Ki Lurah sambil tertawa, “mungkin Raden benar.” Ki Lurah berhenti sejenak, lalu, “tetapi bukankah hari ini Raden akan kembali ke Mataram?” “Ya,“ jawab Raden Sutawijaya, “kita akan kembali.” “Pagi, siang atau saat-saat lain?“ bertanya Ki Lurah pula. “Pagi-pagi. sebelum udara menjadi panas,“ jawab Raden Sutawijaya. “Jika demikian, baiklah aku berkemas Raden,“ berkata Ki Lurah. “Silahkan mandi Ki Lurah. Aku sudah mandi. Air sumur itu terasa hangat dan segar didini hari,“ berkata Raden Sutawijaya sambil melangkah, “aku akan berjalan-jalan lagi sampai matahari terbit. Kemudian kita akan segera berangkat.” Ki Lurah Branjangan hanya dapat mengangguk saja. Dipandanginya saja Raden Sutawijaya yang kemudian turun dihalaman dan berjalan-jalan dalam keremangan fajar menuju keregol dan hilang kebalik pintu regol turun kejalan.” “Luar biasa,“ berkata Ki Lurah Branjangan kemudian kepada diri sendiri. Namun iapun kemudian masuk kembali kedalam biliknya di gandok. Dibangunkannya kawannya yang tidur dengan

nyenyaknya. Sambil menggeliat kawannya bertanya, “Apakah sudah pagi?” “Kau tidur sejak matahari terbenam sampai matahari terbit. Bangunlah. Kita akan kembali ke Mataram pagi-pagi. Berkemaslah,“ berkata Ki Lurah. Kawannya masih menguap. Ketika ia memandang keluar, maka dilihatnya keremangan fajar yang kemerah-merahan. Sambil bangkit dari pembaringannya ia berkata, “Aku tidur nyenyak sekali. Udara disini demikian segarnya, tidak terlalu panas seperti di Mataram. Rasa-rasanya aku betah tidur lima hari lima malam.” “Tetapi kita akan segera kembali,” berkata Ki Lurah, “baru saja Raden Sutawijaya datang kemari dan bertanya, apakah kita sudah siap.” “He ? “ pengawal itu terkejut, “apakah kau berkata sebenarnya bahwa Raden Sutawijaya baru saja datang kemari ?” “Ya,“ jawab Ki Lurah, “kenapa ?” “Dan aku masih tidur mendekur ?” bertanya pengawal itu lagi. “Ya,“ jawab Ki Lurah. “Ah. Ki Lurah tidak mau memberitahukan kepadaku atau membangunkan aku,“ desis pengawal itu. “Untuk apa ?“ bertanya Ki Lurah Branjangan. “Tentu tidak baik jika Raden Sutawijaya itu masih melihat aku tertidur nyenyak disaat ia bertanya apakah kita sudah siap,“ desis pengawal itu. “Karena itu, kita harus segera bersiap. Jika kau hanya berbicara saja, maka jika sekali lagi Raden Sutawijaya datang dan bertanya kepada kita, maka kita-pun masih belum siap pula,“ bertanya Ki Lurah itu pula. “O. baik. Baiklah.“ pengawal itu tergagap. “Aku akan pergi ke pakiwan.” “Aku juga belum mandi,“ desis Ki Lurah Branjangan. Keduanyapun kemudian pergi kebelakang. Merekapun segera mandi dan membenahi dirinya. Ketika matahari terbit, maka seorang pengawal pasanggrahan itu datang memanggil Ki Lurah

Branjangan dan pengawal yang datang bersamanya untuk pergi kepringgitan. Sebelum mereka meninggalkan pasanggrahan itu, maka merekapun sempat dijamu makan pagi lebih dahulu. Demikian segalanya sudah siap, maka Raden Sutawijayapun berkata, “Marilah. Aku sudah selesai. Meskipun aku masih belum puas dengan kuda yang baru itu, namun beberapa hari lagi aku akan kemari lagi. Jika aku terlalu lama agaknya memang kurang baik karena mungkin setiap saat utusan dari Pajang itu akan datang.” “Ya,“ desis Ki Lurah, “apalagi atas undangan Raden sendiri.” Raden Sutawijayapun kemudian meninggalkan pasanggrahan itu. Ternyata Raden Sutawijaya hanya diikuti oleh seorang pengawalnya, sehingga karena itu, maka perjalanan itu hanya terdiri dari ampat orang saja. Disepanjang jalan. Raden Sutawijaya banyak sekali berbicara tentang kuda. Ia hampir tidak pernah menyebut-nyebut tentang Mataram, tentang Ki Tandabaya yang baru saja tertangkap dan tentang undangannya atas orang-orang Mataram. Karena itulah, maka Ki Lurahpun lebih banyak menanggapi saja setiap pembicaraan Raden Sutawijaya tentang kuda. Namun akhirnya Raden Sutawijaya bertanya, “Ki Lurah. Apakah kau tidak begitu senang dengan kuda ?” “Aku termasuk penggemar kuda pula Raden,“ jawab Ki Lurah Branjangan terbata-bata, “tetapi aku hanya sekedar penggemar. Aku kurang mengerti tentang beberapa hal yang harus dikenal pada seekor kuda.” “Nampaknya memang demikian,“ desis Raden Sutawijaya, “cobalah mengerti serba sedikit tentang katuranggan. Kau akan segera tertarik.” “Mungkin pada suatu saat aku akan mencobanya,“ jawab Ki Lurah pula. Raden Sutawijaya tertawa. Tetapi ia tidak memberikan tanggapan lagi. Keempat orang itupun segera berada di tengah-tengah bulak panjang. Mereka berpacu cukup kencang, sehingga ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka debupun mulai nampak terlontar dari kaki-kaki kuda yang sedang berpacu itu. Ki Lurah Branjangan tiba-tiba saja bagaikan orang terbangun dari mimpi ketika ia mendengar Raden Sutawijaya bertanya, “Kau sudah melihat keadaan Ki Tandabaya ?” Tergagap Ki Lurah berkata, “Sudah Raden. Tetapi hanya sekilas. Kemarin Ki Tandabaya nampaknya

masih belum tenang sama sekali ketika aku pergi. Oleh pengawal yang menangkapnya, ia telah dibuat lumpuh. Untuk membunuh diripun ia tidak akan mampu lagi.” “Orang-orang seperti Ki Tandabaya dan Ki Lurah Pringgabaya tidak akan membunuh diri,“ desis Raden Sutawijaya, “tetapi bukankah perlahan-lahan keadaan Ki Tandabaya akan pulih kembali ?” “Ya. Berangsur-angsur, ia sudah menjadi semakin baik. Tetapi agaknya iapun menjadi semakin gelisah,“ sahut Ki Lurah Branjangan. Raden sutawijaya mengangguk-angguk, sementara Ki Lurah berkata, “Nampaknya ia ingin benar mengetahui, pengawal yang manakah yang telah menangkapnya.” Raden Sutawijaya tertawa. Katanya, “Apakah ia bertanya kepadmu ?” “Tidak. Secara langsung ia tidak bertanya, “jawab Ki Lurah Branjangan. Kemudian, “namun setiap kali tersirat keinginannya untuk bertemu dengan pengawal yang memiliki kelebihan tanpa dapat dilawannya itu.” Raden Sutawijaya masih tertawa. Ia tidak memberikan tanggapan apapun. Sementara Ki Lurah berkata, “Nampaknya ada pengenalan orang-orang Mataram atas apa yang akan terjadi diluar batasbatas pengetahuanku.” “Ah,” desis Rade Sutawijaya, “itu hanya kebetulan. Agaknya seseorang telah langsung berhubungan dengan Ki Juru Martani. sementara Ki Juru kadangkadang lebih senang mengambil sikap langsung tanpa menghiraukan hubungan yang ada diantara para pemimpin Mataram. Demikian juga agaknya tentang Ki Tandabaya itu. Jika kita sudah berada di Mataram, kaupun akan segera mengetahui, siapakah yang sebenarnya orang yang telah berjasa itu.” Ki Lurah Branjangan hanya dapat mengangguk-angguk saja. Namun agaknya seperti yang dikatakan oleh Raden Sutawijaya, bahwa ia akan dapat mengetahui sumber keterangan itu, apabila ia sudah bera da di Mataram. Namun dalam pada itu, hampir berbisik ia bertanya kepada Raden Sutawijaya, “Raden, kenapa harus berahasia saat-saat Raden menangkap Ki Tandabaya ?” Raden Sutawijaya tertawa pula. Katanya, “Tidak apa-apa. Aku kira ada baiknya aku berbuat demikian. Juga sekedar memberi peringatan kepada para pengawal, bahwa sebenarnya mereka masih perlu meningkatkan kewaspadaan mereka.” Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam ia mengerti maksud Raden Sutawijaya. Agaknya dengan demikian, maka para pengawal akan bercermin tentang kemampuan mereka sendiri. Ki Lurah Branjangan tidak bertanya lagi. Untuk beberapa saat lamanya keduanya hanya saling berdiam diri saja.

Sementara dibelakang mereka, dua orang pengawal yang lain sedang asyik berbicara diantara mereka sendiri. Demikianlah perjalanan itupun dilakukan tidak terlalu tergesa-gesa. Kuda-kuda itu berlari tidak terlalu cepat. Bahkan kadang-kadang Raden Sutawijaya memperlambat derap kudanya untuk mengamat-amati sawah yang hijau subur terdampar sampai kecakrawala, diseling oleh padukuhanpadukuhan yang bagaikan pulau-pulau yang mencuat dari permukaan laut, yang bergelombang lembut oleh angin yang tidak terlalu kencang. Jika Raden Sutawijaya kemudian berbincang dengan Ki Lurah Branjangan disepanjang jalan, maka yang mereka bicarakan adalah sawah yang subur dan batang-batang padi yang mulai bunting. Beberapa orang petani mulai menyiapkan orang-orangan disawah mereka untuk menakut-naltuti burung yang akan dapat mengganggu tanaman padi mereka yang mulai berbuah. Dalam pada itu, akhirnya menjelang tengah hari, maka merekapun memasuki regol halaman rumah Raden Sutawijaya. Sambil mengerutkan keningnya Raden Sutawijaya melihat kesiagaan yang tinggi dihalaman rumah itu. Diregol ia melihat dua orang pengawal dengan senjata siap ditangan. Sementara diserambi gandok kanan ia melihat beberapa orang pengawal yang duduk diamben yang besar. Dua orang yang lain berada diserambi gandok kiri. Sedang dihalaman samping dua orang pengawal berjalan hilir mudik. Raden Sutawijaya tersenyum. Katanya, “Lihatlah, bukankah mereka benar-benar sudah siap?” “Ya Raden,“ jawab Ki Lurah, “mereka mengerti, apa yang harus mereka lakukan.” “Ya,“ sahut Raden Sutawijaya, “dan merekapun mengerti, bahwa mereka harus menyiapkan sekian banyak orang karena mereka merasa diri mereka terlalu kecil dibanding dengan Ki Lurah Pringgabaya dan Ki Tandabaya.” “Raden,“ Ki Lurah Branjangan terkejut. “Jangan ingkar tentang diri sendiri,“ berkata Raden Sutawijaya, “bahwa sebenarnyalah di Pajang terhimpun kekuatan yang besar sekali. Jika mereka memadukan kekuatan itu, maka Pajang akan menjadi sekuat Kerajaan-kerajaan sebelumnya. Tetapi seperti yang kau lihat sekarang. Pajang tinggalah bayang-bayang yang semakin pudar.” Ki Lurah tidak menjawab. Ketika ia memandang wajah Raden Sutawijaya, maka ia melihat betapa pahit kenyataan yang dihadapinya. Bahkan katanya kemudian, “Dan sebentar lagi, malam akan turun. Langit diatas Pajang akan menjadi hitam. Jika kita tidak menyediakan obor secukupnya, kitapun akan kegelapan.” Ki Lurah Branjangan terbungkam. Namun hatinya menjadi berdebar-debar. Nampaknya Raden Sutawijaya telah mengambil sikap didalam hatinya, meskipun belum dinyatakannya dengan terbuka.

Dalam pada itu, seorang pengawal telah mendekatinya untuk menerima kudanya. Karena itu, maka Raden Sutawijayapun segera meloncat turun diikuti oleh Ki Lurah Branjangan serta kedua pengawal yang mengiringinya dari Pasanggrahan. Ketika Raden Sutawijaya melihat Ki Juru berdiri dipintu pringgitan yang kemudian terbuka, maka iapun berkata, “Marilah. Naiklah kependapa. Kita menemui paman Juru.” “Marilah Raden,“ sahut Ki Lurah Branjangan. “Paman Juru mengetahui segala-galanya tentang Mataram, tentang orang-orang yang tertawan dan tentang Pajang,” desis Raden Sutawijaya. Ki Lurah Branjangan tidak menjawab. Iapun kemudian mengikuti Raden Sutawijaya naik kependapa. Ketika kemudian mereka duduk dipendapa, dan setelah Ki Juru bertanya tentang keselamatan mereka diperjalanan, maka Raden Sutawijayapun bertanya, “Bagaimana dengan Ki Majasranti ?” “Ia tidak mempunyai keberatan apa-apa. Ia berada diserambi dalam. Bahkan iapun bersedia untuk bertemu dengan orang-orang yang sudah tertangkap itu,“ jawab Ki Juru. Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Biarlah ia tetap merupakan teka-teki bagi para pengikut Ki Tandabaya. Sampai saat terakhir mereka tidak mengerti, bahwa pemilik rumah yang mereka pergunakan itulah yang telah memberikan beberapa kesaksian tentang diri mereka.” Ki Juru mengangguk-angguk. Katanya, “Untuk sementara ia akan berada dirumah ini.” “Biarlah ia berada disini,“ jawab Raden Sutawijaya yang kemudian berpaling kepada Ki Lurah Branjangan, “Ki Lurah. Orang itulah yang perlu kau ketahui.” “Dalam hubungannya dengan Ki Tandabaya ?“ bertanya Ki Lurah Branjangan. “Ya. Ia sahabat baik Ki Tandabaya. Tetapi Ki Tandabaya salah menilai tentang dirinya. Dikiranya Ki Majasranti masih tetap sahabatnya,“ desis Ki Juru Martani. “Ia masih tetap sahabatnya, paman. Tetapi tidak tentang hubungan antara Pajang dan Mataram. Maksudku, Pajang yang telah dipengaruhi oleh sikap yang menurut pendapatku, sangat keliru itu,“ berkata Raden Sutawijaya kemudian. Ki Juru Martanipun mengangguk-angguk. Bahkan kemudian katanya, “Ya. Begitulah kira-kira. Ki Majasranti tidak sesuai dengan jalan pikiran Ki Tandabaya.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Ia mengerti tentang apa yang telah terjadi. Agaknya Ki Tandabaya telah terjebak oleh sikap sahabatnya sendiri yang berpura-pura membantunya. Namun yang kemudian justru ia bersikap sebaliknya, karena ia yakin akan kebenaran sikap Raden Sutawijaya. Karena itulah, agaknya Mataram mengetahui dengan pasti, apa yang akan terjadi, sehingga Mataram sempat memindahkan Ki Lurah Pringgabaya dari biliknya dan menjebak Ki Tandabaya. Namun demikian ternyata seperti yang dikatakan oleh Raden Sutawijaya, bahwa para pengawal di Mataram merasa kecil berhadapan dengan Ki Lurah Pringgabaya dan Ki Tandabaya. Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Jika Raden Sutawijaya sendiri tidak urun ke medan malam itu, agaknya Ki Tandabaya akan berhasil melarikan diri meskipun para pengawal dari Mataram sudah siap mengepungnya. HalI itulah yang kemudian sangat mempengaruhi perasaan Ki Lurah Branjangan. Agaknya hal itu pula yang telah menggelisahkan Raden Sutawijaya. Ki Lurah Branjangan tahu, bahwa ada beberapa orang yang sedang dipersiapkan untuk menjadi Senapati-senapati terpilih di Mataram. Tetapi persiapan akan memerlukan waktu. Sedang kemelut antara Pajang dan Mataram nampaknya sudah menjadi semakin panas. Dalam pada itu maka Raden Sutawijayapun berkata, “Paman, apakah menurut pertimbangan paman, orang-orang Pajang yang aku undang itu akan datang ?” “Jika undangan itu disampaikan kepada Kangjeng Sultan, mungkin Kangjeng Sultan akan mengutus beberapa orang untuk datang. Tetapi jika tidak, mungkin orang-orang Pajang itu justru akan mengambil sikap lain.“ berkata Ki Juru. Aku harap orang-orang Pajang itu akan datang. Aku masih mengharap waktu sedikit untuk mempersiapkan diri, apabila beberapa orang Pajang itu benar-benar kehilangan akal.“ Raden Sutawijaya terdiam sejenak, “aku masih berharap. bahwa Kiai Gringsing dapat mengerti, apa yang sedang kita hadapi sekarang.” “Aku kira ia dapat mengerti, ngger.“ jawab Ki Juru. “aku kira ia dapat membedakan sikap Kangjeng Sultan dan orang-orang yang telah terbius oleh suatu mimpi yang berbahaya tentang kejayaan masa lampau itu, yang akan mereka trapkan menurut citra mereka.” “Tetapi masih ada masalah yang tentu akan membuat Kiai Gringsing harus membuat pertimbanganpertimbangan yang rumit,“ berkata Raden Sutawijaya, “muridnya yang seorang, yang nampaknya memiliki beberapa kelebihan dalam hal mematangkan ilmunya dari muridnya yang lain, adalah adik Untara. Sedangkan kita semuanya mengetahui, siapakah Untara dan bagaimanakah sikapnya, ia adalah seorang prajurit. Dan ia merasa, bahwa ia seorang prajurit Pajang dibawah pemerintahan Kangjeng Sultan Hadiwijaya.”

Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Ia mengerti bahwa hal itu tentu akan menjadi masalah bagi Kiai Gringsing. Namun bagaimanapun juga. Kiai Gringsing adalah orang yang penting. Apalagi muridnya yang seorang, anak Ki Demang Sangkal Putung, akan dapat menjadi kekuatan yang berarti dengan para pengawal Kademangannya. Sangkal Putung yang terletak digaris antara Pajang dan Mataram, akan mempunyai peran penting, jika benar-benar timbul persoalan yang apalagi apabila orang-orang Pajang berhasil menghasut Kangjeng Sultan di Pajang yang sudah semakin sering digumuli oleh penyakitnya itu. Tetapi setiap kali Ki Juru Martani juga menyesali sikap Raden Sutawijaya yang keras hati itu. Jika sejak semula Raden Sutawijaya tidak mengeraskan sikapnya, tidak mau menghadap ke paseban di Pajang, mungkin persoalannya akan berbeda. Namun semuanya sudah terlanjur. Apa yang sekarang terjadi itu sudah terjadi. Jarak antara Pajang dan Mataram menjadi semakin jauh. Didorong oleh sikap beberapa orang yang tamak, yang melihat masa depan dari sudut pandangan mereka dan kepentingan mereka sendiri. Meskipun demikian, agaknya Mataram tidak akan dapat berpaling dari Kiai Gringsing dan kedua muridnya. Sementara itu, Raden Sutawijayapun memandang keseberang Kali Progo. Apakah Tanah Perdikan Menoreh juga memiliki kemampuan untuk berbuat sesuatu seperti Sangkal Putung sekarang dibawah kesigapan tangan Swandaru. “Ki Gede Menoreh sendiri adalah orang yang pilih tanding,“ berkata Raden Sutawijaya didalam hatinya, “namun dalam kesendiriannya. Tanah Perdikan Menoreh menjadi semakin mundur.” Tetapi Raden Sutawijaya tidak mengatakan apa-apa. Nampaknya ia masih ingin membuat pertimbangan-pertimbangan tertentu, apa yang akan dibicarakan dengan Ki Juru Martani. Dalam pada itu, justru tiba-tiba saja Raden Sutawijaya berkata, “Aku ingin bertemu dengan Ki Tandabaya. Apakah ia mengenali pengawal yang telah menangkapnya.” “Silahkan ngger,“ sahut Ki Juru. “Marilah Ki Lurah. Ikutlah aku,“ ajak Raden Sutawijaya. Ki Lurah Branjanganpun kemudian mengikuti Raden Sutawijaya turun dari pendapa. Dengan berlarilari kecil Ki Lurah Branjangan memanggil pimpinan pengawal yang bertugas dan mengajaknya untuk mengikuti Raden Sutawijaya kebilik tempat Ki Tandabaya ditahan. Raden Sutawijaya berdiri beberapa langkah didepan bilik itu, ketika seorang pengawal menarik selaraknya. Demikian pintu itu terbuka, maka Ki Tandabaya telah meloncat keluar sambil berkata nyaring, “Bunuh aku, atau biarkan aku pergi.”

Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya wajah Ki Tandabaya yang tenaganya telah pulih kembali itu. Namun, demikian Ki Tandabaya melihat anak muda yang berdiri dihadapannya, tiba-tiba saja ia melangkah surut. Kepalanya menunduk tanpa mengatakan sesuatu. “Selamat bertemu Ki Tandabaya,“ sapa Raden Sutawijaya. Ki Tandabaya masih menunduk. Tetapi sapa itu membuat jantung Ki Tandabaya bergejolak semakin keras. Untuk sesaat ia justru terdiam. Namun kemudian ia menyahut tersendat-sendat, “Selamat Raden.” “Baru sekarang aku dapat menengok Ki Tandabaya,“ berkata Raden Sutawijaya, “kemarin aku telah disusul sampai dua kali dipesanggrahan. Namun, karena persoalannya sudah dapat ditangani oleh para pengawal, maka baru hari ini aku kembali.” Wajah Ki Tandabaya menjadi semakin tegang. Sekilas ia mengangkat mukanya memandang Raden Sutawijaya sekilas. Namun iapun kembali menundukkan kepalanya. Bagaimanapun juga, ia merasa terhina oleh kata-kata Raden Sutawijaya, seolah-olah persoalan yang timbul karena kehadirannya itu sama sekali tidak penting. Dalam pada itu, Raden Sutawijaya berkata selanjutnya, “Sebenarnya aku masih ingin mengajari kudaku yang baru itu untuk bermain lebih baik lagi. Tetapi karena beberapa orang mendesak, maka aku perlukan kembali barang satu dua hari.” Ki Tandabaya menggigit bibirnya. Rasa-rasanya jantungnya memang akan meledak. Namun ia masih tetap sadar, dengan siapa ia berhadapan. “Ki Tandabaya,“ berkata Raden Sutawijaya, “tentu tidak hari ini, karena aku baru saja kembali. Mungkin besok aku akan menggundang Ki Tandabaya untuk berbincang barang sebentar. Mungkin masalahnya penting, tetapi mungkin pula tidak.” Akhirnya Ki Tandabaya tidak dapat menahan hatinya lagi. Maka katanya, “Kenapa Raden harus berputar-putar. Katakan apa yang Raden kehendaki. Mungkin satu pengakuan dari mulutku tentang rencanaku membunuh Ki Lurah Pringgabaya, atau pengakuanpengakuan yang lain ?” Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil tersenyum ia menjawab, “Kau mengerti maksudku. Ya, demikianlah kira-kira apa yang ingin aku dapatkan darimu.”

“Sia-sia saja Raden. Aku tidak akan mengatakan sesuatu,“ jawab Ki Tandabaya tegas. “Luar biasa,“ sahut Raden Sutawijaya, “kalian memang orang-orang yang sudah ditempa untuk menjadi seorang pejuang yang tiada taranya. Kalian sudah berbuat apa saja untuk kepentingan keyakinan kalian atas citra negeri ini dimasa datang.” “Jangan menganggap kami kanak-kanak yang bangga dengan pujian,“ jawab Ki Tandabaya. “Tidak. Tidak Ki Tandabaya, “jawab Raden Sutawijaya, “aku tidak sekedar memuji. Tetapi sebenarnyalah demikian. Ki Lurah Pringgabayapun tidak mau mengatakan sesuatu tentang dirinya sendiri dan tentang tugas yang diembannya. Akupun yakin, bahwa kaupun akan berbuat demikian, sehingga aku akan sia-sia berharap untuk mendengar pengakuan dari mulutmu.” “Jika demikian, buat apa kami harus berada disini ? “ Kenapa kami tidak dibunuh saja semuanya.“ tantang Ki Tandabaya. “Itulah yang mengagumkan,“ jawab Raden Sutawijaya, “kalian sama sekali tidak takut mati. Karena itu, tentu kami tidak akan mempunyai kesempatan untuk mendengar meskipun hanya sepatah kata pengakuan dari kalian.” “Benar,“ Ki Tandabaya menegaskan, “karena itu, Raden dapat mengambil sikap dengan tegas terhadap kami semuanya.” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya memang harus demikian. Aku harus memperhitungkan segala kemungkinan dengan nalar yang waras. Sebenarnya aku ingin mendengar pengakuan kalian. Kau atau Ki Lurah Pringgabaya atau kedua-duanya. Tetapi jika kalian tidak ingin mengaku, maka agaknya memang lebih baik untuk mengambil langkah tertentu.” Jawaban itu tiba-tiba membuat wajah Ki Tandabaya menjadi semakin tegang. Dengan lantang ia berkata, “Apa maksud Raden sebenarnya ?” Raden Sutawijaya justru menjadi heran. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Bukankah aku hanya menirukan kata-katamu ? Aku dapat mengambil sikap tegas karena kami tidak akan mendapat kesempatan sama sekali untuk mendengarkan pengakuan kalian.”

“Sikap apa yang akan Raden ambil ?“ bertanya Ki Tandabaya. “Itulah yang belum aku pikirkan. Tetapi sudah barang tentu kami akan mengambil langkah-langkah untuk berbuat sesuatu. Sudah barang tentu kami tidak akan menyimpan kalian terlalu lama disini karena kalian tidak akan bermanfaat apa-apa bagi kami,“ sahut Raden Sutawijaya. “Ya, lalu apakah yang akan Raden perbuat atas kami ? Membunuh kami ?“ bertanya Ki Tandabaya. “Bukankah kalian tidak akan berkeberatan ?“ bertanya Raden Sutawijaya pula. “Tentu tidak. Lakukanlah jika itu bagi Raden adalah jalan yang paling baik,“ geram Ki Tandabaya. “Tentu bukan yang paling baik. Kami masih mempunyai cara yang lebih baik lagi,“ jawab Raden Sutawijaya sambil tertawa. “Cara apa ? Raden akan menyiksa kami ? Itupun tidak akan ada gunanya,“ geram Ki Tandabaya. “Tentu, Aku mengerti, bahwa menyiksa kalian tidak akan ada gunanya. Jika kalian memang tidak berniat untuk berbicara, maka apapun yang akan kami lakukan tentu tidak akan ada gunanya.” jawab Raden Sutawijaya. “Ya. lalu apa yang akan Raden lakukan ?” Tiba-tiba saja Ki Tandabaya yang menegang itu berteriak. “Kenapa kau berteriak ?” bertanya Raden Sutawijaya, “dengan demikian kau telah menarik perhatian orang banyak. Lihatlah. Semua orang telah menengok kepadamu.” “Aku tidak peduli,“ geram Ki Tandabaya, “aku ingin tahu apa yang akan Raden lakukan jika Raden ingin membunuh kami.” Raden Sutawijaya tertawa. Namun justru karena itu, maka rasa-rasanya jantung Ki Tandabaya itu benar benar akan meledak. Dengan garangnya ia membentak, “Kenapa kau tertawa he ? Apa yang perlu kau tertawakan ?” “Kenapa kau menjadi marah-marah Ki Tandabaya,“ jawab Raden Sutawijaya, “tenanglah. Aku belum berniat untuk berbincang panjang lebar dengan kau dan kawan-kawanmu. Beristirahatlah sebaik-baiknya.” Wajah Ki Tandabaya yang tegang menjadi semakin tegang.

Rasa-rasanya ingin ia meloncat menerkam. Tetapi setiap kali ia sadar, bahwa yang berdiri dihadapannya itu adalah Raden Sutawijaya maka niatnya itupun diurungkannya. Meskipun demikian ia masih menggeram, “Raden sudah mulai dengan cara yang paling tidak menyenangkan. Aku tahu. Raden ingin membuat aku gelisah.” “Tidak. Bukan maksudku Ki Tandabaya,” jawab Raden Sutawijaya, “tetapi apaboleh buat. Jika kau mendesak, mungkin aku dapat mengatakan salah satu cara yang dapat aku tempuh. Tetapi seperti yang aku katakan, aku belum memikirkannya masak-masak. Jika aku menyebut salah satu cara itu, baru satu kemungkinan dari kemungkinan-kemungkinan yang lain.” Sorot mata Ki Tandabaya bagaikan menyala. Dengan nada bergetar ia berkata, “Sebut apa saja.” “Yang paling mungkin aku lakukan, jika kalian memang sudah tidak ingin mengaku sama sekali, adalah menyerahkan kalian kepada para pemimpin di Pajang,“ berkata Raden Sutawijaya. Jawaban itu benar-benar mengejutkan. Untuk beberapa saat Ki Tandabaya jadi bingung. Apakah ia senang atau justru terhina mendengarnya. Adalah tidak masuk akal jika Raden Sutawijaya akan begitu saja menyerahkannya kepada para pemimpin Pajang. Namun demikian ia masih harus bertanya, siapakah pemimpin Pajang itu. Raden Sutawijaya melihat gejolak perasaan Ki Tandabaya pada tatapan matanya. Karena itu, maka iapun bertanya, “Apakah kau mempunyai pikiran lain ?” Tiba-tiba saja terdengar Ki Tandabaya itu menggeram. Katanya, “Raden memang termasuk orang yang paling sombong yang pernah aku kenal. Apakah artinya niat Raden menyerahkan kami kepada orang-orang Pajang. Apakah Raden ingin mempermainkan perasaanku agar timbul harapan-harapan kosong sehingga pada saatnya aku terbanting pada satu kekecewaan yang luar biasa, sehingga Raden akan sempat mempergunakan saat-saat yang demikian untuk meremas keterangan dari mulutku ?” “Kau memang terlalu berprasangka,“ jawab Raden Sutawijaya, “tetapi itu adalah sifat yang paling umum dari seseorang yang merasa bersalah. Namun, dengan demikian adalah pertanda masih ada sepercik kebijaksanaan didalam hatiku.” “Aku tidak mengerti,“ geram Ki Tandabaya. “Kau heran, atau barangkali berprasangka jika aku akan menyerahkanmu kepada para pemimpin di Pajang,“ jawab Raden Sutawijaya, “tetapi bukankah hal itu wajar ? Kau adalah abdi di Kepatihan Pajang, sedangkan Ki Lurah Pringgabaya adalah seorang prajurit Pajang. Bukankah wajar jika kami menyerahkan kalian kepada para pemimpin kalian ? Tetapi kau tidak dapat mengerti, justru karena kau menyadari diri berontak, bahwa kau yang sudah bersalah itu tidak mendapat hukuman, meskipun hal

itu ditrapkan kepada dirimu sendiri.” “Cukup cukup,“ sekali lagi Ki Tandabaya berteriak. Sementara Raden Sutawijaya berdesis, “Kau menarik perhatian para pengawal.” Ki Tandabaya menggeretakkan giginya. Namun ia benar-benar melihat beberapa orang disekitarnya telah berpaling lagi kepadanya. “Sudahlah Ki Tandabaya,“ berkata Raden Sutawijaya, “Kau agaknya masih belum tenang. Beristirahallah. Dan jangan berangan-angan terlalu jauh, sehingga akan dapat berakibat buruk pada perasaan dan badanmu.” Ki Tandabaya sama sekali tidak menjawab. “Sudahlah. Sudah aku katakan bahwa aku masih belum ingin berbicara tentang persoalan kita,“ berkata Raden Sutawijaya, “mungkin besok atau lusa. Baru kemudian, setelah kau benar-benar tidak ingin berbicara, aku akan mengambil satu sikap. Diantaranya seperti yang sudah aku katakan tadi. Menyerahkan kau kepada orang-orang Pajang, karena kehadiranmu disini tidak akan ada gunanya lagi.” “Raden akan menyesali kesombongan Raden itu,“ geram Ki Tandabaya. “Mungkin. Kau dan Ki Lurah Pringgabaya adalah orangorang yang pilih tanding. Yang melampaui tataran kemampuan orang-orang yang berada dalam kedudukan yang sama dengan kalian. Seperti juga Ki Pringgajaya yang terbunuh itu. Dan sudah barang tentu, hal itu bukan karena kebetulan saja,“ berkata Raden Sutawijaya. Ki Tandabaya tidak menjawab lagi. Iapun kemudian melangkah surut. Kemudian membalikkan tubuhnya dan melangkah memasuki biliknya. Seorang pengawal yang kemudian datang mendekat, menunggu perintah Raden Sutawijaya. Baru ketika Raden Sutawijaya menganggukkan kepalanya, maka pengawal itu menutup pintu yang berat dan menyelaraknya dan luar. Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam, ia sadar, bahwa Ki Tandabaya tentu akan dapat memecahkan dinding bilik itu jika dikehendakinya. Namun pengawalan yang kuat tentu akan dapat mencegahnya melarikan diri. Namun dengan hadirnya dua orang pilihan dari Pajang, maka para pengawal menjadi terlalu sibuk. Apalagi seperti Raden Sutawijaya sendiri menyahut, bahwa sebenarnyalah Mataram kurang memiliki orang-orang yang secara pribadi memiliki ilmu yang tinggi. Raden Sutawijaya yang kemudian kembali ke pendapa tiba-tiba saja teringat kepada padepokan kecil di Jati Anom. Namun setiap kali ia menjadi ragu-ragu, apakah padepokan kecil itu dapat diharapkan. Justru Agung Sedaya adalah adik Untara.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba pula telah timbul keinginannya untuk dapat bertemu dengan Kiai Gringsing dan murid-muridnya. Secara pribadi murid Kiai Gringsing yang tua memiliki kelebihan, sementara muridnya yang muda memiliki kekuatan yang dapat dibanggakan. Sangkal Putung ternyata tumbuh dengan pesat dan anak-anak mudanya adalah anak-anak muda yang cukup terlatih. Bahkan jika dalam keadaan yang memaksa mereka tidak akan gentar dihadapkan kepada prajurit-prajurit yang sebenarnya. Sementara itu, angan-angan Raden Sutawijaya juga melayang ke Tanah Perdikan Menoreh. Tanah Perdikan itu harus segera mendapat perhatian karena perlahan-lahan Tanah Perdikan itu mengalami kemunduran. Karena itu, maka tiba-tiba saja Raden Sutawijaya justru ingin bertemu dengan Ki Gede Menoreh di Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin ada sesuatu yang dapat dibicarakannya tentang Tanah Perdikan Menoreh itu. Namun dalam keseluruhan. Tanah Perdikan itu memang harus diselamatkan. Tiba-tiba saja keinginan itu menjadi demikian mendesaknya, sehingga dihari berikutnya, ia berkata kepada Ki Juru Martani, “Paman, aku akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.” Ki Juru sudah terbiasa mendengar, bahwa Raden Sutawijaya itu pergi kemana saja setiap saat. Namun justru karena Raden Sutawijaya itu akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, maka iapun bertanya, “Apakah ada sesuatu yang mendesak ?” “Tiba-tiba saja aku ingin menemui Ki Argapati. Aku rasa, Tanah Perdikan Menoreh yang tidak terlalu jauh dari Mataram itu akan dapat menjadi kawan yang baik pada saat-saat yang sangat gawat. Tanpa Tanah Perdikan Menoreh, maka seolah-olah Mataram tidak mempunyai dinding di halaman belakang rumahnya, paman,“ berkata Raden Sutawijaya. Ki Juru mengangguk-angguk. Namun ia bertanya, “Tetapi begitu tergesa-gesa ? Bukankah Raden mengundang beberapa orang Pajang untuk bertemu dengan Ki Lurah Pringgabaya ? Dan sekarang justru Ki Tandabaya ada disini pula.” “Aku kira belum hari ini paman. Bahkan mungkin mereka akan mengirimkan satu dua orang penghubung untuk memberitahukan, kapan mereka akan datang,“ jawab Raden Sutawijaya, “namun seandainya hari ini mereka datang, aku harap paman dapat mempersilahkan mereka menunggu. Jika mereka tidak mau menunggu, terserahlah kepada paman, untuk mengantar mereka bertemu dengan Ki Lurah Pringgabaya dan Ki Tandabaya. Aku kira paman mengetahui apa yang sebaiknya harus paman lakukan.” Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa niat Raden Sutawijaya memang sulit untuk dicegah. Demikian ia ingin pergi, maka iapun akan pergi. Namun demikian Ki Jurupun menyadari, bahwa Raden Sutawijaya adalah seseorang yang cukup bertanggung jawab terhadap Tanah Mataram yang dibangunnya itu. Karena itu, maka Ki Jurupun kemudian berkata, “Terserahlah kepada angger. Namun aku mohon ketegasan, apakah yang harus aku perbuat, jika

misalnya orang-orang Pajang itu datang dan minta agar kedua orang itu diberikan kepada mereka.” “Untuk sementara biarlah mereka disini paman. Mungkin, aku memang akan menyerahkan kepada orang-orang Pajang, jika persoalan mereka dengan kita sudah selesai.“ jawab Raden Sutawijaya. Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan berusaha sebaik-baiknya jika mereka benar-benar datang hari ini dan mereka tidak sempat menunggu Raden kembali.” “Terima kasih paman,“ sahut Raden Sutawijaya, “aku hanya akan pergi sehari ini. Nanti, aku tentu akan kembali meskipun mungkin sampai malam hari.” Ki Juru hanya dapat mengiakannya. Raden Sutawijaya yang sudah berniat untuk pergi itu, tentu akan pergi. Demikianlah, maka Raden Sutawijaya itupun kemudian meninggalkan Mataram bersama Ki Lurah Branjangan dan dua orang pengawal terpilih. Bagaimanapun juga, mereka tidak dapat mengabaikan kenyataan seperti yang pernah dialami oleh Agung Sedayu dipinggir Kali Progo. Sejenak kemudian, maka Kuda Raden Sutawijaya itupun telah berpacu. Seperti biasanya. Raden Sutawijaya tidak mengenakan pakaian khusus dan apalagi pakaian kebesaran Senapati Ing Ngalaga di Mataram. Tetapi ia lebih senang memakai pakaian seperti orang kebanyakan. Dengan demikian, maka ia sama sekali tidak akan menarik perhatian. Perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh dari Mataram memang tidak terlampau jauh. Namun perjalanan itu agaknya memang cukup menarik bagi Raden Sutawijaya. Sudah terbiasa bagi Raden Sutawijaya untuk melihat hijaunya sawah dan jernihnya air parit yang mengalir disela-sela pematang. Namun yang kemudian menarik perhatiannya adalah tanah yang mulai berpasir dibawah kaki kuda mereka berkata, “Kita sudah dekat dengan Kali Progo Raden Sutawijaya.” “Dibalik padukuhan itu, kita sudah akan turun ke tepian,“ desis Ki Lurah Branjangan “Ya. Dan kita akan segera menyeberang,“ jawab Raden Sutawijaya.

Buku 140 DEMIKIAN mereka muncul dari balik padukuhan kecil, maka dihadapan mereka terbentang tepian berpasir dan rumpun-rumpun batang ilalang. Melalui jalan setapak, kuda mereka mendekati arus sungai yang seperti biasanya, berwarna coklat lumpur. Tidak ada yang menarik perhatian mereka disaat mereka menyeberang sungai. Tukang satang yang membawa mereka diatas rakit bersama-sama beberapa penyeberang lainnya, tidak menumbuhkan kecurigaan apa-apa. Dengan selamat mereka turun diseberang dan melanjutkan perjalanan- Sesaat setelah mereka memasuki Tanah Perdikan Menoreh, mulai terasa pada Raden Sutawijaya, bahwa Tanah Perdikan itu memang sedang mengalami kemunduran, yang apabila tidak segera ditangani akan menjadi sangat mengecewakan bagi anak cucu mereka kelak. Parit-parit tidak lagi terpelihara. Sementara jalan-jalan yang semula cukup baik, menjadi sangat mengecewakan. Tanaman padi tidak lagi nampak hijau subur. Namun mulai nampak bahwa sawah itu agak kurang dipelihara. “Kemalasan telah timbul di Tanah Perdikan ini,“ desis Raden Sutawijaya. “Mungkin benar Raden,“ jawab Ki Lurah Branjangan, “Ki Argapati menjadi semakin tua. Mungkin umurnya masih belum setua Ki Juru Martani. Tetapi ia merasa sangat kesepian dirumah. Ceritera tentang hidup kekeluargaannyapun agaknya kurang menarik, sehingga semuanya itu agaknya telah mempercepat peredaran usianya.” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Iapun mengerti, bahwa disaat-saat terakhir Ki Argapati seolah-olah telah hidup sebatang kara. Kemenakannya yang seharusnya dapat membantunya nampaknya tidak terlalu tangkas berpikir dan tidak mempunyai banyak buah pikiran yang berarti bagi Tanah Perdikan Menoreh. Sebenarnyalah bahwa Raden Sutawijaya mempunyai satu pikiran yang barangkali baik bagi Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, maka ia telah memilih untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh lebih dahulu sebelum ia pergi ke Jati Anom untuk menemui Kiai Gringsing dan murid-muridnya. “Tetapi semuanya tergantung kepada Ki Gede Menoreh dan murid-murid Kiai Gringsing itu sendiri,“ katanya didalam hati. Sementara itu, iapun tidak mengatakan pikirannya itu kepada Ki Lurah Branjangan yang menyertainya, karena ia menganggap bahwa hal itu belum waktunya untuk dikatakannya. Ketika mereka memasuki padukuhan demi padukuhan, sebenarnyalah, ia masih melihat orang-orang

yang bekerja dengan sungguh-sungguh, tetapi keadaan padukuhan-padukuhan itu tidak lagi secerah beberapa saat lampau. Raden Sutawijaya masih melihat pande besi yang menempa alat-alat pertanian di sudut pasar. Dan iapun masih melihat beberapa buah pedati menelusuri jalan-jalan membawa hasil sawah dan pategalan. Namun yang dilihatnya itu tidak lagi seperti yang pernah dilihatnya sebelumnya. “Tetapi agaknya masih belum terlambat,” katanya didalam hati. Demikianlah, maka akhirnya Raden Sutawijaya dan para pengawalnyapun telah memasuki padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Sebenarnyalah kehadirannya memang mengejutkan. Ketika ia memasuki regol rumah Ki Argapati, maka seorang penjaga telah memberitahukan kepada Ki Argapati, bahwa ampat orang tamu telah datang. “Siapa ?” bertanya Ki Argapati. “Aku kurang tahu,” jawab penjaga itu. “Silahkan mereka naik kependapa. Aku akan segera datang,“ berkata Ki Argapati kemudian, lalu, “beritahukan pula kepada Prastawa, agar ia ikut menemui tamu itu.” “Prastawa tidak ada,“ jawab penjaga itu, “ia pergi ke pategalan.” Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil mengangguk ia berkata, “Baiklah. Persilahkan tamu itu duduk.” Raden Sutawijaya, Ki Lurah Branjangan dan pengawal-pengawalnya menunggu untuk beberapa saat dipendapa, sementara Ki Gede Menoreh telah membenahi pakaiannya. Demikian Ki Gede keluar dipintu pringgitan, iapun terkejut melihat tamu yang duduk dipendapa. Dengan tergopoh-gopoh iapun mendekat sambil berdesis, “Ternyata Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga.” Raden Sutawijaya tersenyum. Jawabnya, “Sudah lama aku tidak menengok paman Argapati. Rasarasanya aku menjadi sangat rindu kepada paman dan Tanah Perdikan ini.” Ki Argapati yang kemudian duduk bersama tamu-tamunya segera menanyakan keselamatan mereka diperjalanan dan selama mereka tidak bertamu, dan demikian sebaliknya. Ketika tamu-tamunya sudah dijamu dengan minuman hangat dan beberapa potong makanan, maka Ki Argapatipun mulai menyatakan keheranannya, bahwa tiba-tiba saja Raden Sutawijaya telah datang secara pribadi ke Tanah Perdikan Menoreh. “Itulah agaknya bunyi perenjak berkicau sepanjang pagi disebelah kanan pendapa,” berkata Ki Gede

Menoreh, “ternyata ada tamu Agung yang datang meskipun tidak dalam kelengkapan kebesarannya. Raden Sutawijaya tertawa. Katanya, “Tiba-tiba saja aku ingin menengok keadaan Tanah Perdikan ini.” Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Raden Sutawijaya sejenak. Lalu iapun bertanya, “Kesan apakah yang Raden lihat selama perjalanan Raden?” “Semuanya masih seperti sediakala,“ jawab Raden Sutawijaya. “Raden mencoba untuk mengelakkan penglihatan Raden,“ jawab Ki Gede Menoreh, “aku kira akupun tidak perlu mengingkari. Tanah ini mengalami kemunduran.” Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Sebaiknya akupun berterusterang Ki Gede. Aku memang melihat beberapa kemunduran. Tetapi tidak terlalu banyak. Aku kira jika Ki gede menghendaki, dalam waktu singkat, kemunduran itu akan segera dapat dipulihkan kembali.” Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja dilemparkannya pandangan matanya jauh kededaunan yang tumbuh dihalaman. Hampir berdesah ia berkata, “Aku sudah terlalu tua. Yang akan datang justru akan menjadi lebih suram.” “Ah, kenapa Ki Gede merasa demikian ?“ bertanya Raden Sutawijaya. “Tidak ada orang yang dapat membantu aku lagi,“ jawab Ki Gede. “Bagaimana dengan Prastawa ?“ bertanya Raden Sutawijaya pula. Ki Gede termenung sejenak. Kemudian katanya, “Anak itu baik. Tetapi tidak banyak yang dapat aku harapkan daripadanya. Justru karena anak itu terlalu cepat menjadi puas. Baik tentang dirinya sendiri, maupun keadaan disekitarnya. Bahkan kadang-kadang ia menilai dirinya terlalu tinggi, sehingga ia kehilangan keseimbangan.” “Bukankah demikian adat anak-anak muda ? Justru dengan demikian, maka gairahnya untuk hidup akan bertambah besar. Jika Ki Gede dapat memanfaatkannya, maka gelora yang terdapat didalam dirinya itu akan membual Tanah Perdikan ini pulih seperti sediakala,“ sahut Raden Sutawijaya. “Aku menangkap maksud angger terbalik,“ jawab Ki Gede sambil tersenyum, “jika ia cepat puas, maka tidak ada gelora itu didalam jiwanya. Gairah hidupnya kini tidak akan melonjak menggapai

masa depan yang jauh lebih baik, karena ia sudah puas akan keadaannya. Bukankah demikian ? Dan aku juga tidak mengerti, kenapa angger menganggap bahwa demikian itu adat anak-anak muda. Apakah perasaan yang demikian juga terdapat pada angger ?” Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun iapun tersenyum pula sambil berkata, “Aku keliru Ki Gede. Seharusnya aku sadar, dengan siapa aku berbicara.” “Bukan maksudku. Tetapi agaknya angger ingin menyenangkan hatiku. Namun, aku hampir menjadi berputus asa melihat perkembangan Tanah Perdikan yang justru semakin surut ini,“ desis Ki Gede. Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Ia mengerti, perasaan apa yang bergolak didalam hati Ki Gede Menoreh. Sementara ia tidak dapat mengharap terlalu banyak dari kemanakannya. “Jika ia menilai dirinya berlebih-lebihan, maka ia akan menjadi tinggi hati,” berkata Raden Sutawijaya didalam hatinya dan seperti yang dikatakan oleh Ki Gede. Perjuangannya bagi masa depan akan selalu dihambat oleh perasaan puasnya. Untuk beberapa saat Raden Sutawijaya justru terdiam. Ia mulai memikirkan sesuatu yang dianggapnya akan sangat bermanfaat bagi Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan bagi Mataram dalam keseluruhan apabila pendapatnya itu disetujui. Namun untuk beberapa saat ia masih dibayangi oleh keragu-raguan. Tetapi dalam pada itu, Ki Gede Menorehlah yang berkata dalam nada rendah, “Raden. Aku sedang mencari cara yang paling baik, bagaimanakah aku dapat membangunkan kembali Tanah Perdikan ini.” “Apakah Ki Gede sudah mencoba menunjukkan cara yang paling baik kepada Prastawa ? Mungkin Ki Gede sendiri masih sempat membawanya sekali dua kali, kemudian melepaskannya untuk melakukannya sendiri diatas Tanah Perdikan ini,” bertanya Raden Sutawijaya. Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah mencoba dengan berbagai cara. Tetapi agaknya Prastawa memang kurang dapat menanggapi perkembangan keadaan. Ia melakukan apa yang disukainya, bukan apa yang penting bagi Tanah Perdikan ini. Sementara itu, cacat kakiku rasa-rasanya menjadi semakin mengganggu.” “Bagaimana dengan cacat kaki paman ?“ bertanya Raden Sutawijaya. “Segala usaha sudah aku lakukan. Tetapi kakiku rasa-rasanya tidak akan dapat sembuh. Bahkan kaki ini menjadi sering kambuh,” desis Ki Gede sambit meraba-raba kakinya. “Bagaimana dengan anak-anak muda di Tanah Perdikan ini

?” bertanya Raden Sutawijaya pula. “Mereka adalah anak-anak muda yang baik. Tetapi aku memerlukan seseorang yang dapat memimpin mereka, tidak dengan cara seperti yang dilakukan oleh Prastawa,“ wajah Ki Gede tiba-tiba menunduk, “Ia mempunyai kebiasaan yang kurang baik yang meskipun banyak dilakukan oleh anak-anak muda sebayanya. Ia mudah sekali tertarik pada wajah-wajah cantik seorang gadis. Dengan demikian, maka sebagian dari waktunya telah dipergunakan untuk memamerkan diri dihadapan gadis-gadis itu. Ia senang sekali dipuji dan berusaha untuk selalu mendapat perhatian.” Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti bahwa Ki Gede itu sama sekali tidak bermaksud menyindirnya. Tetapi Raden Sutawijaya sendiri tidak akan dapat ingkar, bahwa iapun selalu tertarik pada wajah-wajah cantik seperti ayahanda angkatnya. Sultan di Pajang. Namun dalam pada itu. Raden Sutawijaya merasa, ada peluang yang dapat dipergunakannya untuk menyampaikan maksudnya meskipun ia masih tetap ragu-ragu. “Mudah-mudahan Ki Gede tidak menjadi salah paham,“ katanya didalam hati. Meskipun dengan ragu-ragu, namun akhirnya Raden Sutawijaya itupun berkata, “Ki Gede, sebenarnyalah aku mempunyai satu pendapat. Tetapi sebelumnya aku minta maaf. bahwa aku telah berani mencampuri persoalan yang tumbuh diatas Tanah Perdikan ini.” Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Jika hal yang akan Raden kemukakan itu bermanfaat bagi kami, tentu kami akan mengucapkan banyak terima kasih.” “Baiklah Ki Gede,“ berkata Raden Sutawijaya kemudian, “seperti yang Ki Gede katakan, jika pendapat ini bermanfaat, silahkan Ki Gede mempergunakannya. Tetapi jika Ki Gede menganggap sama sekali tidak sesuai, sebaiknya Ki Gede tidak ragu-ragu untuk melepaskannya saja seperti aku tidak pernah mengetahui sesuatu, karena sebenarnyalah segala hak dan wewenang ada pada Ki Gede.” “Ya Raden. Silahkan mengatakannya,“ desis Ki Gede. “Sebenarnyalah bahwa aku melihat kemunduran pada Tanah Perdikan ini. Aku mohon maaf. bahwa aku sudah berani memberikan penilaian. Tetapi sebagai tetangga terdekat, aku melihat apa yang telah terjadi.“ Raden Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, “sebenarnyalah aku ingin melihat Tanah Perdikan Menoreh akan dapat dipulihkan kembali. Untuk itulah aku telah datang kemari dengan satu landasan pikiran. Tetapi sekali lagi, aku mohon maaf, bahwa pikiran ini mungkin kurang sesuai dengan jalan pikiran Ki Gede, karena tentu Ki Gede lebih memahami daerah ini dengan segala isinya daripada aku.” Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Jawabnya, “Aku akan menerima segala sumbangan pikiran. Dan hal itu tentu akan aku pertimbangkan dari segala segi.”

“Ya Ki Gede,“ berkata Raden Sutawijaya pula, “sebenarnyalah, bahwa Ki Gede memang hanya mempunyai seorang anak perempuan yang menjudi isteri Swandaru di Kademangan Sangkal Putung. Seharusnya anak menantu Ki Gede itulah yang akan dapat membina Tanah Perdikan ini seperti pada masa lalu.” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sudah aku pikirkan Raden. Tetapi aku ragu-ragu. Apakah Swandaru akan bersedia meninggalkan Kademangannya dan tinggal di Tanah Perdikan ini. Nampaknya ia terlalu terikat kepada Kademangannya itu.” “Tetapi Ki Demang masih mempunyai anak yang lain.“ jawab Raden Sutawijaya, “Sementara Sekar Mirah akan mempuyai seorang suami yang dapat dipercaya pula. Bukankah dengan demikian. Swandaru akan dapat dengan tenang meninggalkan Kademangannya dan menyerahkannya kepada Agung Sedayu sebagai suami Sekar Mirah ?” Tetapi Ki Gede menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku kurang yakin bahwa Swandaru akan bersedia melakukannya. Meskipun barangkali aku akan mencobanya berulang kali untuk meyakinkannya. Namun seperti yang sudah aku katakan, ia terikat sekali kepada Kademangannya.” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Jika demikian, apakah Ki Gede pernah memikirkan untuk menemukan jalan lain yang masih tetap bersangkut paut dengan lingkaran keluarga Swandaru itu ?” Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya Raden Sutawijaya menjadi sangat tertarik kepada Tanah Perdikan itu, sehingga ia ikut memikirkannya sampai sedalam-dalamnya. Namun Ki Gedepun telah merasa, ada kepentingan Raden Sutawijaya dengan keadaan Tanah Perdikan itu. Ki Gedepun mengerti, perkembangan hubungan antara Mataram dan Pajang. Dengan demikian, maka Mataram tidak akan dapat melepaskan hubungannya dengan Tanah Perdikan Menoreh. Dalam pada itu, Ki Gedepun mengetahui hubungan baik antara Raden Sutawijaya dengan Swandaru dan lingkaran keluarganya, sehingga hubungan baik itu akan tetap dipeliharanya. Agaknya Raden Sutawijayapun mengetahui apa yang bergolak didalam hati Ki Gede yang masih terdiam itu. Maka katanya, “Ki Gede, untuk apa aku berpura-pura lagi dihadapan Ki Gede. Sebenarnyalah, Tanah Perdikan Menoreh memiliki kekuatan yang tiada taranya. Ki Gede pernah, bahkan berkali-kali memberikan bantuan kepadaku dalam beberapa masalah yang penting dan gawat. Sementara keadaan Mataram menjadi semakin genting dalam hubungannya dengan orangorang yang tidak bertanggung jawab dan yang berusaha memanfaatkan keadaan, agaknya Tanah Perdikan ini meryadi mundur.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sudah merasa ngger. Langsung atau tidak langsung Raden tentu berkepentingan. Sebenarnya akupun tidak berkeberatan, apalagi akupun telah dengan langsung melibatltan diri. sehingga aku yakin, pihak-pihak tertentu telah menganggap Tanah Perdikan ini sebagai lawannya.” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Demikianlah. maka aku telah memberanikan diri untuk menyampaikan satu pandapat yang barangkali dapat diterima. Tetapi seandainya tidak berkenan dihati Ki Gede, aku mohon Ki Gede berterus terang menolaknya, agar tidak terjadi persoalan yang akan berkembang di kemudian hari.” “Katakan Raden. Mungkin saran Raden akan bermanfaat,“ desis Ki Gede Menoreh. Raden Sutawijaya beringsut setapak. Kemudian katanya, “Akupun mengira, bahwa Swandaru akan berkeberatan meninggalkan Kademangannya yang sedang berkembang, meskipun disana ada Sekar Mirah dan bakal suaminya yang setidak-tidaknya memiliki tingkat ilmu setinggi Swandaru. Namun Swandaru adalah anak laki-laki, yang merasa bertanggung jawab atas tanah itu.” “Ya, aku mengerti Raden. Pada saat Swandaru dan isterinya datang kemari, aku sudah memberikan pesan, agar mereka bersedia memikirkan perkembangan Tanah Perdikan ini. Meskipun tidak dikatakan dengan terus terang, namun aku melihat, keberatan Swandaru. Tetapi keberatan itupun belum dikatakannya pula,“ sahut Ki Gede Menoreh. “Jika demikian Ki Gede. Apakah tidak sebaiknya Ki Gede menawarkan kemungkinan lain. demi perkembangan Tanah Perdikan ini,“ Raden Sutawijaya menjudi ragu-ragu. Tetapi ia berkata selanjutnya, “karena Swandaru tetap ingin berada di Kademangannya. Bagaimana jika untuk kepentingan Tanah Perdikan ini. Swandaru dapat berbicara dengan saudara seperguruannya.” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Aku sudah mengira bahwa Raden akan mengatakan demikian. Karena aku tahu. tidak ada orang lain yang dekat dengan Swandaru.” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, “Aku selalu ragu-ragu untuk mengatakannya. Tetapi jika yang aku katakan tidak berkenan dihati, segalanya terserah kepada Ki Gede.” “Raden,” suara Ki Gede Menoreh menjadi datar, “aku mengerti alasan apakah yang mendorong Raden menunjuk anak muda itu. Dan akupun melihat alasan yang cukup kuat untuk mengaitkan angger Agung Sedayu dengan Tanah Perdikan ini tentu saja dengan persetujuan Swandaru.”

“Ya Ki Gede.” jawab Raden Sutawijaya, “aku tidak usah ingkar dan berputar-putar. Agung Sedayu akan dapat menjadi kawan yang baik bagi Mataram.” “Sudah aku katakan, bahwa hubungan itu sudah berlangsung. Karena itu aku tidak akan berkeberatan sama sekali,“ sahut Ki Gede, “namun soalnya akan tergantung kepada Swamtaru dan Agung Sedayu sendiri.” “Swandaru akan dapat memilih,“ berkata Raden Sutawijaya kemudian, “apakah ia akan memilih Sangkal Putung dan memberikan wewenang atas Tanah Perdikan ini atas nama Pandan Wangi kepada saudara seperguruannya, atau Swandaru tampil diatas Tanah Perdikan ini, dan menyerahkan pimpinan Kademangannya kepada Sekar Mirah yang pelaksanaannya akan dibantu oleh Agung Sedayu.” Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Katanya, “Aku tidak mempunyai keberatan apa-apa. Bahkan akupun sebenarnya tengah mamikirkannya. Tetapi aku belum sempat mengatakannya kepada Swandaru dan Pandan Wangi.” “Apakah Ki Gede menganggap bahwa waktunya belum tiba ?“ bertanya Raden Sutawijaya. Ki Gede tidak segera menjawab. Tetapi iapun kemudian merenungi Tanah Perdikannya yang tidak dapat diingkari, sedang meluncur surut dengan derasnya. Jika hal itu tidak segera ditangani, maka akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan diatas Tanah Perdikan ini. sehingga untuk membangun kembali diperlukan waktu yaug cukup lama.” “Ki Gede,“ berkata Raden Sutawijaya, “karena aku juga berkepentingan, maka apa saja yang Ki Gede kehendaki, aku akan dapat membantu memecahkannya. Bahkan seandainya Ki Gede tidak sempat untuk bertemu dengan kedua saudara seperguruannya itu. atau sudah barang tentu dengan gurunya.” “Aku akan memperhitungkan waktu Raden,” jawab Ki Gede, “tetapi menurut pertimbanganku, semakin cepat akan semakin baik. Namun, aku belum tahu, seandainya Swandaru dan Pandan Wangi sependapat, apakah hal ini bukannya justru akan dapat menyinggung perasaan angger Agung Sedayu atau justru kakaknya angger Untara.” Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Untara memang harus diperhitungkan. Sebagai saudara tua, maka ia mempunyai pengaruh yang kuat terhadap adiknya. Sepeninggal orang tuanya, maka Untara adalah orang tua bagi Agung Sedayu. Meskipun Agung Sedayu sebenarnya sudah dewasa, tetapi pengaruh kakaknya masih nampak sangat kuat. Tetapi Raden Sutawijaya cenderung untuk mencoba menyampaikan persoalan itu kepada yang berkepentingan. Memang mungkin rencana itu dapat ditolak. Tetapi mungkin pula dapat diterima. “Ki Gede,“ berkata Raden Sutawijaya kemudian, “mungkin peran Kiai Gringsing akan ikut menentukan. Pengaruh Untara cukup besar terhadap adiknya. Tetapi pengaruh Kiai Gringsingpun

nampak sekali pada anak itu.” Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Sebenarnyalah ia tidak berkeberatan untuk membicarakannya dengan Swandaru dan Pandan Wangi, Kiai Gringsing dan Agung Sedayu sendiri. “Aku kira, kita akan dapat melakukan secepatnya Raden,“ berkata Ki Gede Menoreh, “tetapi aku masih harus mempertimbangkan seorang lagi. yang bagaimanapun juga akan langsung berkepentingan dengan keadaan di Tanah Perdikan ini.” “Siapa ?” bertanya Raden Sutawijaya. “Prastawa,“ jawab Ki Gede, “Ia adalah kemanakanku. Ia adalah anak adikku. Sebenarnyalah aku harus mempertimbangkan kedudukannya, meskipun seperti yang aku katakan. bahwa aku tidak akan dapat meletakkan harapan atas masa depan Tanah Perdikan ini kepadanya.” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, “Ki Gede benar, ia memang tidak boleh dikecewakan agar untuk seterusnya, ia tidak akan berbuat sesuatu yang akan dapat mengganggu usaha memperkembangkan kembali Tanah Perdikan ini.” “Apalagi ayahnya pernah kecewa menghadapi keadaan di atas Tanah Perdikan ini. Meskipun sekarang nampaknya sudah tidak lagi ada bekasnya, tetapi luka itu akan dapat kambuh lagi pada anak lakilakinya,“ berkata Ki Gede Menoreh. “Aku kira Ki Gede akan cukup bijaksana nenghadapi kemanakan Ki Gede itu. Karena sebenarnyalah bahwa ia bukan tidak berarti sama sekali. Ia memiliki kemampuan yang akan dapat dimanfaatkan diatas Tanah Perdikan ini,” sahut Raden Sutawijaya. Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baiklah. Mudah-mudahan semuanya akan segera menjadi jernih. Bagaimanapun juga. Raden harus berusaha bahwa hubungan antara Pajang dan Mataram akan menjadi semakin baik.” Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mudah-mudahan. Tetapi Pajang bagiku bagaikan obor yang sudah kehabisan minyak. Tidak banyak berarti lagi. Meskipun di Pajang terdapat orang-orang yang sebenarnya memiliki kelebihan, tetapi mereka seakan-akan selalu menuruti keinginan mereka masing-masing, sehingga jalan pemerintahan tidak akan dapat diharapkan untuk menjadi lurus kembali.” Ki Gede mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Tentu masih ada usaha yang dapat ditempuh. Meskipun itu bukan berarti bahwa kesiagaan menghadapi masa yang paling buruk dapat diabaikan.” “Ya Ki Gede,” desis Raden Sutawijaya, “itulah sebabnya maka aku datang kemari untuk memberatkan diri.

menyampaikan suatu pendapat. Sebenarnyalah aku ingin sekali bertemu dengan Kiai Gringsing. tetapi aku telah mementingkan datang kemari lebih dahulu sebelum aku pergi ke Jati Anom.” Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja ia bertanya, “Kapan Raden akan pergi ke Jati Anom ? Aku kira kita akan dapat pergi bersama-sama untuk membicarakan masalah ini. Jika Raden pergi tanpa aku dan aku pergi tanpa Raden, maka kita masih memerlukan waktu untuk dapat berbicara bersama-sama dikesempatan lain.” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, “Ki Gede benar. Kita sebaiknya pergi bersamasama. Tetapi aku masih harus memperhitungkan waktu Ki Gede. Dalam waktu dekat, aku akan menerima tamu dari Pajang. Bahkan mungkin hari ini. Tetapi menurut perhitunganku, tentu belum hari ini.” “O,“ Ki Gede mengerutkan keningnya, “siapa ? Pangeran Benawa ? Atau siapa ?” Raden Sutawijaya menceriterakan dengan singkat apa yang telah terjadi. Sehingga ada dua orang yang kini berada di dalam pengawasan para pengawal Mataram. Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian, maka peristiwa itu telah menyangkut anak dan menantunya saat mereka kembali ke Sangkal Putung. Bersukurlah ia bahwa tidak terjadi sesuatu dengan anak dan menantunya. “Untunglah Ki Waskita pergi bersama mereka saat itu,“ berkata Ki Gede didalam hatinya. “Pada saat terakhir,“ berkata Raden Sutawijaya selanjutnya, “aku sengaja mengundang satu atau dua orang pimpinan prajurit dari Pajang untuk datang dan bertemu dengan Ki Lurah Pringgabaya. Aku ingin tahu bagaimana tanggapan pimpinan prajurit Pajang atas peristiwa itu. Jika yang datang itu termusuk golongan Ki Lurah itu sendiri, tanggapannya tentu akan berbeda dengan jika yang dalang itu benar-benar prajurit Pajang seperti halnya Untara.” Ki Gede mengangguk-angguk. Namun katanya, “Tetapi angger akan dapat mengalami akibat yang gawat. Yang datang itu dapat saja menceriterakan hitam dan yang hitam dikatakan putih.” “Aku sudah memperhitungkan Ki Gede,” berkata Raden Sutawijaya, “karena itulah maka Mataram harus mulai mempersiapkan diri.” “Raden baru akan mulai, sementara Pajang sudah siap untuk bertindak lebih jauh.” berkata Ki Gede Menoreh, “apakah dengan demikian Mataram tidak akan terlambat?” “Pajang tentu tidak akan terlalu tergesa-gesa. Sementara ayahanda Sultan masih memiliki kesiapatan untuk membuat pertimbangan-pertimbangan betapapun lemahnya,“ jawab

Raden Sutawijaya, “tetapi akupun merasa bahwa pada suatu hari, ayahanda Sultan tidak akan dapat lagi mengelak. Kecuali jika adimas Pangeran Benawa berbuat sesuatu. Tetapi nampaknya adimas Pangeran Benawa lebih senang menuruti hatinya sendiri.” Hampir saja Ki Gede juga menunjuk Raden Sutawijaya berbuat demikian meskipun dengan alasan yang berbeda. Namun untunglah bahwa kata-kata itu tidak diucapkannya. Karena tindakan berikutnya memang berlainan antara Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa. Demikianlah ternyata memang ada beberapa persamaan sikap antara Raden Sutawijaya dan Ki Gede Menoreh menghadapi masa depan yang masih kabur bagi Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh sendiri. Masa yang masih harus diperjuangkan agar menjadi masa yang lebih baik dari masa sebelumnya. Akhirnya Raden Sutawijayapun berkata, “Ki Gede, apapun sebaiknya aku kembali ke Mataram. Aku akan melihat perkembangan keadaan. Pada suatu saat, aku akan memberitahukan kepada Ki Gede, bahwa aku siap untuk pergi ke Jati Anom. sehingga Ki Gede dapat berangkat dan singgah di Mataram untuk selanjutnya kita akan pergi bersama-sama.” Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Raden. Aku akan menunggu Raden sempat melakukannya.” Dengan demikian, maka nampaknya keduanya telah menemukan kesepakatan untuk dalam waktu dekat pergi ke Jati Anom untuk berbicara dengan Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Swandaru serta isterinya. Namun karena persoalan yang dihadapi oleh Raden Sutawijaya tentang kedua orang tawanannya, maka Raden Sutawijaya masih akan menunggu. Dalam pada itu. setelah pembicaraan itu dianggap selesai, serta Raden Sutawijaya yang berada di Tanah Perdikan Menoreh sampai siang itu telah dijamu dengan makan siang, maka iapun segera minta diri. “Raden tidak bemalam?“ bertanya Ki Gede. “Terima kasih Ki Gede,” jawab Raden Sutawijaya, “masih ada yang harus aku kerjakan di Mataram.” Ki Gede tidak dapat menahannya lebih lama lagi. Sementara itu ternyata Prastawa yang kemudian kembali dari pategalan masih sempat bertemu dengan Raden Sutawijaya barang sejenak, namun Raden Sutawijaya tidak mengatakan sesuatu tentang keperluannya menemui Ki Gede. Sejenak kemudian, maka Raden Sutawijayapun segera meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Sebenarnyalah bahwa Raden Sutawijaya memang mengharap agar Tanah Perdikan Menoreh akan tetap menjadi kawan seiring dalam perjalanan menuju kemasa depan yang baik bagi Mataram dan juga bagi Tanah Perdikan itu sendiri.

Tidak ada sesuatu yang terjadi di perjalanan. Raden Sutawijaya dan pengawalnya kembali dengan selamat sampai ke Mataram, yang ternyata seperti yang diperhitungkan. Pajang masih belum mengirimkan seseorang atau lebih untuk mengunjungi Mataram. Namun yang terjadi dihari berikutnya, telah mengejutkan Raden Sutawijaya. Yang datang di Mataram adalah seorang perwira yang tidak membawa pesan dan kuasa untuk bertemu dengan Ki Lurah Pringgabaya dan Ki Tandabaya. Tetapi perwira prajurit Pajang itu mendapat perintah untuk membawa kedua orang itu kembali ke Pajang untuk mendapatkan keadilan, karena keduanya adalah prajurit Pajang dan pengawal Kepatihan Pajang. Tetapi bagaimanapun juga Raden Sutawijaya harus menahan diri. Yang datang di Mataram itu adalah sekedar utusan. Karena itu, bagaimanapun juga. Raden Sutawijaya harus tetap bersikap baik kepadanya. “Ki Tumenggung Jayawiguna,“ berkata Raden Sutawijaya sambil menahan gejolak jantungnya, “apakah pendengaranku tidak salah, bahwa Ki Tumenggung mendapat tugas untuk membawa kedua orang itu kembali ke Pajang?” “Demikianlah Raden,“ jawab Ki Tumenggung, “aku mengemban tugas itu. Karena sebenarnyalah tidak ada manfaat apapun juga untuk bertemu dengan kedua orang itu disini. Tetapi jika aku dapat membawa mereka, maka kami akan segera dapat mengadilinya sesuai dengan kesalahan yaug telah mereka lakukan.” “Tetapi apakah itu mungkin,“ jawab Raden Sutawijaya, “siapakah yang akan memberikan keterangan, bukti dan saksi-saksi atas kesalahan yang pernah dilakukan oleh keduanya. Jika keduanya setelah berada di Pajang mengingkari segala tingkah laku mereka yang melanggar paugeran itu.” “Apakah Raden merasa curiga bahwa kami akan memperlakukannya tanpa mengingat keadilan?” bertanya Tumenggung Jayawiguna. “Bukankah hal itu mungkin sekali dilakukan oleh siapapun juga, termasuk orang-orang di Pajang? “ justru Raden Sutawijayalah yang bertanya. “Raden,“ desis Ki Tumenggung Jayawiguna, “bagaimanapun juga yang memegang Bawat Keadilan di Pajang adalah ayahanda Raden sendiri. Aku tidak menyangka sama sekali. bahwa Raden akan mencurigainya. Dan apakah Raden memang pernah melihat Pajang bertindak tidak adil? “ Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Ki Tumenggung telah mendesak aku untuk mengatakan sesuatu yang akan dapat Ki Tumenggung pergunakan untuk menjerat lidahku. Tetapi tidak mengapa.

Mungkin aku masih dapat menyebut beberapa hal yang mungkin dapat berarti untuk memperkuat sikapku.“ Raden Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, “Katakan Ki Tumenggung, apakah ayahanda Sultan pernah mendapat laporan tentang kedua orang yang kini berada di bawah pengawasan para pengawal di Mataram?” Sejenak wajah Ki Tumenggung Jayawiguna menegang. Namun sebelum ia berkata sesuatu, Raden Sutawijaya sudah mendahului, “Sebelumnyalah kecurigaanku tidak aku tujukan kepada ayahanda Sultan. Tetapi justru kepada orang-orang yang berada disekitarnya. Mataram melihat sikap yang tidak pasti dari para pemimpin di Pajang. Mataram melihat sikap yang tidak menunjukkan satunya pandangan dari para pemimpin di Pajang. Jika aku harus mengatakan. Apapun akibatnya. aku dapat menunjuk, apakah sikap Ki Patih dan adimas Pangeran Benawa sejalan? Apakah sikap Ki Tunumenggung Prabadaru dan sikap Senopati muda di daerah Selatan yang berkedudukan di Jati Anom sejalan? Apakah sikap para Adipati di daerah Timur sejalan pula dengan sikap para pemimpin di Pajang? Ki Tumenggung, jangan dikira bahwa aku tidak tahu bahwa beberapa pihak kini sedang sibuk mengembangkan pikiran untuk mengangkat masa kejayaan masa lalu menurut citra sekelompok orang yang justru lebih mementingkan diri sendiri.” “Raden,“ Ki Tumenggung Jayawiguna memotong, “sikap Raden agak kurang aku mengerti. Sebaiknya, kita batasi persoalan kita dengan kedua orang yang kini berada di Mataram itu saja. Karena memang hanya itulah wewenangku.” Raden Staawijaya mengerutkan keningnya. Tetapi gejolak didalam dadanya rasa-rasanya tidak lagi dapat ditahankannya. Karena itu, maka katanya, “Ki Tumenggung, sebenarnyalah bahwa tugas Ki Tumenggung memang hanya mengurus kedua orang itu. Tetapi aku ingin menjelaskan kenapa aku telah mengambil sikap pula terhadap kedua orang itu, sehingga aku berkeberatan untuk menyerahkannya kepada Ki Tumenggung, apalagi Ki Tumenggung tidak dapat menunjukkan pertanda bahwa Ki Tumenggung adalah utusan ayahanda Sultan.” “Tentu tidak Raden,“ jawab Ki Tumenggung Jayawiguna, “aku memang bukan utusan langsung dari Sultan yang berkuasa di Pajang. Jika dalam menangani segala masalah. Sultan sendiri langsung turun, maka apakah artinya segala orang yang telah diangkatnya sebagai pembantu-pembantunya ? Apakah arti para pengemban praja dalam kedudukan dan tugas masingmasing ? Karena itulah, aku adalah utusan dari Ki Patih di Pajang yang kuasanya dilimpahkan kepada pimpinan keprajuritan.” Raden Sutawijaya masih tetap pada sikapnya. Bahkan kemudian katanya, “Sudah aku katakan. Aku tidak mempunyai kepereayaan lagi kepada siapapun juga di Pajang, karena justru keadaan yang tidak

menentu. Jika aku minta satu atau dua orang dari para pemimpin di Pajang untuk datang dan berbicara langsung dengan kedua orang yang kini berada dibawah pengawasan para pengawal di Mataram adalah karena aku masih menghormatinya, sehingga aku akan dapat mengambil kesimpulan sikap apakah yang akan ditujukan oleh para pemimpin Pajang terhadap orang-orangnya yang bersalah. Tetapi kini justru Ki Tumenggung datang dengan membawa perintah yang tidak masuk akal. Ia melakukan kesalahan di Mataram atau orang-orang Mataram. Bukanlah wajar sekali bahwa ia harus diadili di Mataram.” “Raden sudah dengan tegas menyebut Mataram,“ berkata Ki Tumenggung, “seolah-olah bahwa Mataram tidak lagi berada dibawah lingkup keadilan Kangjeng Sultan di Pajang.” Darah Raden Sutawijaya yang telah panas itu rasa-rasanya hampir mendidih. Namun sebelum berkata sesuatu, terdengar pintu pringgitan berderit dan Ki Jurulah yang muncul dari ruang dalam. Sambil tertawa Ki Juru berkata, “Ah, nampaknya ada pembicaraan penting. Ternyata bahwa Ki Tumenggung Jayawigunalah yang harus datang ke Mataram.” Tumenggung Jayawiguna mengangguk dalam-dalam. Katanya, “Ki Juru. Ternyata aku hanya sekedar utusan, justru karena aku bukan orang penting di Pajang.” Ki Jurupun kemudian duduk diantara mereka. Sikapnya yang ringan dan senyumnya yang selalu nampak dibibirnya, telah merubah suasana pertemuan yang tegang itu. Seolah-olah tidak tahu pembicaraan sebelumnya Ki Juru bertanya, “Bagaimana dengan Kangjeng Sultan ? Apakah Kangjeng Sultan masih selalu dibayangi oleh penyakitnya itu sehingga tidak lagi sempat berbuat sesuatu ?” “Ya Ki Juru,“ jawab Ki Tumenggung, “setiap orang menjadi prihatin atas keadaan Kangjeng Sultan. Segala macam obat telah dicobanya, tetapi keadaannya masih belum menjadi lebih baik.” Ki Juru mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Mudah-mudahan dalam waktu dekat Kangjeng Sultan dapat segera baik kembali. Pajang akan segera bangkit seperti saat Pajang lahir dalam kancah pergolakan yang sengit pada waktu itu, karena sikap yang saling bertentangan diantara mereka yang merasa dirinya berhak atas tahta.” Wajah Ki Tumenggung Jayawiguna menegang sejenak. Namun karena Ki Juru masih saja tersenyum, maka Ki Tumenggungpun kemudian mengangguk-angguk pula, sementara Ki Juru berkata selanjutnya, “Tetapi keadaan memang cepat berubah. Umur Pajang terlalu pendek dibandingkan dengan panjangnya sejarah.“ “Ki Juru,” Ki Tumenggung tiba-tiba telah memotong, “apakah benar umur Pajang terlalu pendek?”

“Maksudku, jika Kangjeng Sultan tidak segera bangkit dan membenahi pemerintahan yang sekarang nampaknya menjadi buram ini,“ jawab Ki Juru, “karena itu. sebenarnyalah bukan salah orang lain jika kepercayaan terhadap Pajangpun telah jauh menurun.” Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Aku mengerti Ki Juru. Apakah hal ini menyangkut pula tugasku sekarang ini ?” “Aku sudah mendengar apa yang harus Ki Tumenggung lakukan,“ berkata Ki Juru, “dan akupun sudah mendengar sikap dari Raden Sutawijaya yang bergelar Senopati Ing Ngalaga.” “Jadi Ki Juru ingin mempertegas sikap Raden Sutawijaya ?” bertanya Tumenggung Jayawiguna. “Bukan begitu. Aku tidak akan mempertegas sikap itu, karena sikap itu sendiri sudah cukup tegas,“ jawab Ki Juru, “namun sebenarnyalah kami di Mataram, mohon sekedar pengertian bahwa kami akan mengalami kesulitan untuk menuntut keadilan atas tingkah laku kedua orang itu.” Ki Tumenggung Jayawiguna menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Aku memang sekedar utusan. Bukan Duta ngrampungi. Karena itu, maka aku tidak akan mengambil sikap apapun sebelum aku menyampaikan persoalan ini kepada para pemimpin di Pajang. Mungkin Ki Patih atas nama Kangjeng Sultan akan mengambil sikap, atau orang-orang lain yang mendapat limpahan wewenang.” “Ki Tumenggung,“ berkata Ki Juru kemudian, “aku mohon Ki Tumenggung dapat mengenyam kata-kata sehingga persoalannya dapat dimengerti oleh orang-orang Pajang, sehingga tidak akan menimbulkan salah paham. Kami sama sekali bukannya tidak percaya bahwa keadilan dapat pula di tegakkan di Pajang, tetapi bahan-bahan untuk mempertimbangkan sikap yang paling adil itu terdapat lengkap disini. Jika kami mengundang beberapa orang pemimpin dari Pajang, itu adalah karena kami merasa Pajang adalah induk kami pula. Dalam pada itu, jika saatnya keadilan akan dijatuhkan atas kedua orang itu. maka kamipun masih tetap akan mengundang satu dua orang perwira dari Pajang apabila mereka ingin menyaksikan, bahwa keadilan tidak akan disia-siakan disini.” Ki Tumenggung itupun mengangguk-angguk. Ketika ia sekilas memandang Raden Sutawijaya, nampak betapa Senopati Ing Ngalaga itu berusaha menahan hatinya. Sebenarnyalah bahwa Ki Tumenggug Jayawiguna itupun merasa tersinggung atas penolakan para pemimpin Mataram atas tugas yang dilaksanakannya. Tetapi seperti yang dikatakan, ia tidak mempunyai wewenang untuk bertindak lebih jauh, karena ia sekedar seorang petugas yang mempunyai kewajiban khusus, sehingga betapapun jantungnya bergejolak, ia tidak akan dapat berbuat lebih jauh lagi.

Karena itu, setelah ia meyakini sikap para pemimpin di Mataram, Ki Tumenggung itupun segera minta diri. “Kenapa tergesa-gesa ?“ bertanya Ki Juru Martani. “Aku sedang mengemban kewajiban Ki Juru,“ jawab Ki Tumenggung Jayawiguna, “mungkin pada kesempatan lain, aku akan datang atas nama pribadi, sehingga aku tidak akan dengan tergesa-gesa minta diri.” “Baiklah,“ jawab Ki Juru, namun kemudian, “tetapi apakah Ki Tumenggung benar-benar tidak ingin bertemu dengan Ki Lurah Pringgabaya dan Ki Tandabaya ?” “Aku tidak mendapat tugas yang demikian Ki Juru,“ jawab Ki Tumenggung, “sebaiknya aku tidak melakukannya. Tugasku membawa mereka ke Pajang. Jika aku tidak dapat melakukannya, maka sebaiknya aku tidak melakukan yang lain diluar tugasku.” “Tetapi apakah secara pribadi Ki Tumenggung tidak mengenal Ki Lurah Pringgabaya ? Atau mungkin pengawal Kepatihan yang bernama Ki Tandabaya itu?“ bertanya Ki Juru. Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tetap pada jawabannya, “Tidak Ki Juru. Aku tidak ingin bertemu dengan mereka, kalau aku gagal melaksanakan tugasku.” Ki Juru tidak memaksanya untuk menemui kedua orang itu. Karena itu. maka Ki Tumenggung itupun segera minta diri kepada Ki Juru dan kepada Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngidaga untuk kembali ke Pajang tanpa membawa dua orang yang sedang dalam pengawasan para pengawal di Mataram. “Hal ini terpaksa kami lakukan,“ berkata Ki Juru ketika Ki Tumenggung meninggalkan regol halaman. Ki Tumenggung tersenyum. Kemudian bersama pengawalnya ia memacu kudanya kembali ke Pajang. Ki Juru memandangi kuda yang berlari itu sejenak. Ketika ia berpaling kearah Raden Sutawijaya, maka nampak wajah itu masih tetap buram. Karena itu, maka Raden Sutawijaya tidak banyak berbicara lagi kepada Ki Tumenggung Jayawiguna, sampai saatnya Ki Tumenggung itu meninggalkan rumahnya. Untuk beberapa saat kemudian. Raden Sutawijaya masih berbincang dengan Ki Juru di pendapa. Betapa kesalnya hati Raden Sutawijaya menghadapi sikap orang-orang Pajang. “Sebenarnya aku ingin melihat, bagaimanakah sikap Ki Tumenggung terhadap kedua orang tawanan itu,“ berkata Ki Juru. “Aku tidak dapat mempereayainya lagi paman,“ sahut Raden Sutawijaya, “mereka dapat berpurapura.”

“Memang nggcr, tetapi pada ungkapan pertama, kita akan dapat menduga,“ jawab Ki Juru. “Mungkin paman, tetapi aku kira tidak ada gunanya lagi. Nampaknya orang-orang Pajang sudah benar-benar ingin bersikap kasar. Agaknya ayahanda tidak lagi mendapat perhatian, bahkan mungkin sebagian dari para pemimpin di Pajang telah berusaha untuk menyingkirkannya,“ geram Raden Sutawijaya. Ki Juru justru terdiam. Ia tidak mempunyai pendapat yang lebih baik daripada suatu sikap, agar Raden Sutawijaya bersedia datang menemui Kangjeng Sultan dan menerima perintahnya. Mungkin perintah itu akan berbunyi, “Selamatkan Pajang. Bimbing Benawa agar ia bersedia naik tahta.“ Tetapi jarak antara Raden Sutawijaya dengan Pajang nampaknya sudah sulit untuk ditautkan kembali. Salah paham antara Kangjeng Sultan dan ayahanda Raden Sutawijaya nampaknya mempunyai akibat yang menentukan. Karena itu, Ki Juru justru hanya berdiam diri. Bahkan iapun mulai merenungi dirinya sendiri. Kenapa ia tidak berani mengatakan perasaannya kepada Raden Sutawijaya. Tetapi sebagai orang tua. Ki Juru yang sudah mengetahui sikap Raden Sutawijaya merasa tidak perlu untuk mengusiknya. Ialah yang harus berusaha menyesuaikan diri. Bahkan kemudian iapun tidak dapat ingkar lagi atas sikap batinnya, apabila sebenarnyalah Pajang yang rasa-rasanya menjadi semakin tua dalam usianya yang terhitung masih sangat muda didalam perjalanan sejarah itu, memang perlu mengalami perubahan yang mendasar. Pajang. Mataram, Jipang atau Madiun dan Kediri atau tempat-tempat lain, bukannya alasan mutlak bagi perkembangan masa baru. Yang penting adalah sikap pembaharu yang akan berakibat baik bagi seluruh rakyat Pajang atau daerah Demak lama. Bahkan batas bayangan dari Kerajaan Majapahit, yang sudah menjadi semakin kabur. “Mungkm karena pandanganku terlalu picik,“ berkata Ki Juru didalam hatinya, “atau barangkali aku sudah dipengaruhi oleh kesetiaanku terhadap ayahanda Raden Sutawijaya yang disebut Ki Gede Pemanahan itu, sehingga menurut pengamalanku, pikiran yang paling jernih untuk melahirkan sikap yang baru adalah Mataram.” Dan karena itulah, maka Ki Juru berada di Mataram yang diharapkannya akan dapat melaksanakan gagasan-gagasan baru yang berguna bagi Pajang meskipun dilakukannya di Mataram. “Pajang atau Mataram sebagai tempat tidak penting,“ berkata Ki Juru itu didalam liatinya. Tetapi gagasan yang baik dan bermanfaat akan memancar kesegenap penjuru.” Dalam pada itu, Ki Juru yang sedang merenung itupun mengangkat wajahnya ketika Raden Sutawijaya kemudian berkata, “Paman. Nampaknya kita tidak boleh terlalu lamban. Kita harus berbuat lebih cepat untuk mengimbangi kecepatan gerak orang-orang yang terlalu bernafsu

untuk mempercepat beredarnya matahari. Pajang nampaknya telah didorong untuk segera terbenam. Mereka dengan tergesa-gesa menunggu terbitnya satu masa baru yang sesuai dengan citra mereka. Citra sekelompok manusia yang sekedar didorong oleh keinginan pribadi dengan segala macam cara. Terhormat atau tidak terhormat.“ Ki Juru hanya dapat mengangguk-angguk. Tetapi hatinya memang terasa pahit. Hubungan yang tersendat-sendat itu benar-benar akan terputus sama sekali. “Tetapi,“ katanya didalam hati, “sulit untuk menemukan cara yang lain untuk mambersihkan Pajang dari orang-orang yang telah terbius oleh satu mimpi yang hitam itu. Jika yang harus terjadi itu justru akan dapat membersihkan mereka, maka apaboleh buat, meskipun dengan demikian akan jatuh korban yang sangat mahal.” Dalam pada itu. maka Raden Sutawijayapun berkata, “Nampaknya Pajang tidak akan mengirimkan seorang-pun yang akan bertemu dengan Ki Lurah Pringgabaya dan Ki Tandabaya. Sikapku nampaknya akan mendapat tanggapan tersendiri dari mengirimkan utusan itu.” “Ya ngger. Aku kira memang demikian,“ jawab Ki Juru. “Karena itu paman, aku tidak dapat sekedar menunggu. Aku harus berbuat sesuatu,“ desis Raden Sutawijaya. “Apa yang akan angger lakukan ?“ bertanya Ki Juru. “Aku akan pergi ke Jati Anom,“ sahut Raden Sutawijaya. Ki Juru mengangguk-angguk. Ia sudah mengerti, apakah yang akan dibicarakan oleh Raden Sutawijaya dengan Kiai Gringsing dan kedua muridnya. Sementara itu, Raden Sutawijaya melanjutkan, “Besok aku akan mengirimkan utusan ke Tanah Perdikan Menoreh. Aku akan pergi bersama dengan Ki Gede Menoreh ke Jati Anom.” Ki Juru mengangguk-angguk. Rencana Raden Sutawijaya itu nampaknya akan memberikan arti bagi Mataram. Jika Tanah Perdikan Menoreh menjadi kuat, Maka Tanah Perdikan itu akan dapat membantu tegaknya Mataram jika yang memimpin Tanah Perdikan itu dapat mengerti tujuan perjuangan Mataram menghadapi masa depan.” Seperti yang direncanakan, maka dihari berikutnya Raden Sutawijaya telah mengirimkan dua orang pengawal ke Tanah Perdikan Menoreh. Keduanya mendapat perintah untuk menyampaikan pesan kepada Ki Gede Menoreh, bahwa Raden Sutawijaya sudah siap pergi ke Jati Anom kapan saja sesuai dengan waktu yang dapat diberikan oleh Ki Gede Menoreh sendiri.

Kedua utusan itu telah diterima di Tanah Perdikan Menoreh langsung oleh Ki Gede. Namun Ki Gede tidak dapat berangkat pada hari itu juga. Ia masih harus memberikan beberapa pesan kepada kemanakannya yang akan menunggui Tanah Perdikan itu. “Kapan saja Ki Gede sempat,” berkata utusan itu. “Baiklah,“ berkata Ki Gede, “besok aku akan datang ke Mataram. Mudah-mudahan aku sudah dapat menyerahkan tugas-tugasku disini kepada Prastawa.” “Segala-galanya akan kami sampaikan kepada Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga,“ jawab utusan itu, yang kemudian mohon diri untuk kembali ke Mataram. Sepeninggal utusan itu, maka Ki Gede Menorehpun segera memanggil Prastawa. Iapun segera memberitahukan bahwa ia akan pergi ke Mataram. “Untuk apa ?“ bertanya Prastawa. “Kami akan pergi ke Jati Anom dan Sangkal Putung,“ jawab Ki Gede. “Menyenangkan sekali,“ tiba-tiba saja Prastawa menjadi gembira, “Apakah maksud paman memberitahukan kepadaku bahwa aku harus ikut serta ?” Namun anak muda itu menjadi sangat kecewa ketika Ki Gede kemudian menjawab, “Tidak Prastawa. Maksudku, aku ingin memberikan beberapa pesan kepadamu selama aku pergi. Agaknya akan kurang bijaksana jika kita pergi bersama-sama. Tanah Perdikan ini akan menjadi kosong sama sekali.” “Banyak orang yang akan dapat diserahi. Bukankah paman hanya akan pergi untuk beberapa hari ?“ bertanya Prastawa. “Ya. Tetapi yang beberapa hari itu, sebaiknya justru kaulah yang mengawasi Tanah Perdikan ini sebaik baiknya,“ jawab Ki Gede. Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya iapun mengerti, bahwa sebaiknya ia tidak ikut pamannya ke Jati Anom dan Sangkal Putung. Namun rasa-rasanya, ada keinginan yang sulit untuk ditahannya sendiri. Meskipun demikian, ia tidak akan dapat memaksa. Karena itu betapapun ia merasa kecewa, iapun kemudian berkata, “Baiklah paman. Aku akan tinggal dan mengawasi Tanah Perdikan ini selama paman pergi.” Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Hati-hatilah. Meskipun pada saat terakhir Tanah Perdikan ini nampaknya tenang dan tidak terjadi sesuatu, itu bukan berarti bahwa kalian akan dapat melepaskan kewaspadaan. Barangkali ada baiknya kau ketahui, bahwa persoalan antara Pajang dan Mataram nampaknya menjadi semakin hangat. Karena itu, kaupun harus berhati-hati menghadapi perkembangan keadaan itu.”

“Baiklah paman,“ jawab Prastawa, “aku akan berhati-hati.” Ki Gedepun kemudian telah menunjuk dua orang pengawal terpilih untuk mengikutinya pergi ke Mataram. Ia sudah mendengar berita apa yang telah terjadi di Kali Praga, sehingga karena itu. maka kemungkinan yang buruk itu dapat saja terjadi atas dirinya. Dihari berikutnya. Ki Gedepun telah bersiap pagi-pagi benar. Sudah cukup lama Ki Gede tidak meninggalkan Tanah Perdikannya. Terutama sejak keadaan kakinya menjadi semakin buruk. Untunglah bahwa pada saat ia pergi ke Mataram, kakinya tidak sedang kambuh. Karena itu, maka sama sekali tidak ada kesan, bahwti Ki Gede Menoreh telah mendapat cacat kaki. Meskipun demikian, Ki Gede Menoreh adalah tetap seorang yang pilih tanding. Pada saat-saat kakinya menjadi semakin buruk, maka Ki Gede yang sudah menjadi semakin tua itu, masih sempat menyesuaikan diri dan ilmunya, dengan keadaan kakinya. Ki Gede telah mempersiapkan satu perkembangan ilmu sesuai dengan keadaannya, sehingga apabila keadaan memaksa. ia akan dapat bertempur dengan baik. Ki Gede sudah berhasil menitik beratkan gerak dan ungkapan ilmunya dengan tangannya dan sedikit sekali menggerakkan kakinya. “Mudah-mudahan kakiku tidak kambuh diperjalanan,“ desisnya ketika ia meninggalkan padukuhan induk. Demikian Ki Gede diiringi oleh dua orang pengawalnya menempuh perjalanan yang sebenarnya tidak terlalu jauh. Dengan selamat mereka menyeberang Kali Praga. dan kemudian menuju ke Mataram. Di Mataram, Raden Sutawijaya sudah menunggunya. Rasa-rasanya segalanya menjadi terlalu lamban. Kedatangan Ki Gede Menorehpun rasa rasanya sudah ditunggunya terlalu lama. Demikianlah Ki Gede Menoreh datang, maka Raden Sutawijayapun dengan tergopoh-gopoh telah menyambutnya dan mempersilahkannya naik kependapa. Demikian pula Ki Juru Martani dan beberapa orang pemimpin yang lain telah menerima mereka pula di pendapa. Betapapun gejolak hati Raden Sutawijaya untuk segera berangkat ke Jati Anom. namun ia sama sekali tidak menampakkannya pada sikap dan kata-katanya. Bahkan mengingat keadaan kaki Ki Gede Menoreh, maka agaknya lebih baik Ki Gede dipersilahkan untuk bermalam barang satu malam sebelum mereka dihari berikutnya berangkat ke Padepokan kecil di Jati Anom. Beberapa saat lamanya mereka saling mengucapkan selamat. Para pelayanpun segera menghidangkan tamunya bagi para tamu dari Tanah Perdikan Menoreh. Serabi dan emping melinjo, serta beberapa jenis makanan yang lain. Dalam pada itu, maka Ki Gede Menorehpun bertanya,

“Apakah angger Sutawijaya berniat untuk pergi ke Jati Anom hari ini juga ?” Raden Sutawijaya tersenyum. Jawabnya, “Sebenarnya aku memang ingin Ki Gede. Tetapi aku kira Ki Gede lebih baik beristirahat barang satu hari disini.” “Ah,” desis Ki Gede,” itu tidak perlu Raden. Semakin cepat persoalan ini selesai, akan semakin baik bagiku. Karena dengan demikian aku akan dapat segera kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.” “Tetapi Ki Gede perlu beristirahat. Jika Ki Gede terlalu lelah, maka kaki Ki Gede akan dapat kambuh kembali justru pada saat Ki Gede sedang dalam perjalanan.” “Tetapi bukankah aku tidak mempergunakan kakiku Raden,“ jawab Ki Gede, “aku tinggal duduk saja dipunggung kuda. Kaki kuda itulah yang akan menjadi letih. Tetapi jika kuda-kuda itu diberi kesempatan untuk beristirahat, maka aku kira kuda-kuda itupun tidak akan terlalu letih.” Tetapi Ki Jurulah yang berkata kemudian, “Tetapi sebaiknya Ki Gede bermalam satu malam disini. Besok pagi-pagi benar Ki Gede akan menempuh perjalanan dibawah sinar matahari pagi yang segar.” Ki Gede Menoreh tersenyum. Katanya, “Terserahlah kepada Raden Sutawijaya. Tetapi jika dikehendaki, aku sudah siap untuk berangkat sekarang.” Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Namun agaknya Ki Juru yang mengetahui kegelisahan itu justru berkata, “Sebaiknya Raden memang berangkat besok pagi.” Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Kata-kata itu memang dapat menolongnya mengambil keputusan setelah ia diombang-ambingkan oleh kebimbangan beberapa saat lamanya. “Ki Gede,” berkata Raden Sutawijaya kemudian, “sebenarnyalah aku memang ragu-ragu. Apakah aku akan berangkat sekarang, atau besok. Aku memang dibayangi oleh kegelisahan hati, sehingga rasa-rasanya aku ingin berangkat sekarang. Tetapi adalah tidak sepantasnya jika aku mempersilahkan Ki Gede dengan tergesa-gesa, apalagi aku tahu bahwa kaki Ki Gede tidak lagi wajar seperti semula.” “Tidak apa-apa Raden,“ desis Ki Gede sambil tersenyum, “tetapi baiklah, aku tidak akan menumbuhkan lagi kebimbangan dihati Raden itu. Aku berterima kasih bahwa aku mendapat kesempatan untuk bermalam semalam disini.” Malam itu, Ki Gede bermalam di Mataram. Dari Raden Sutawijaya dan Ki Juru, Ki Gede Menoreh mendengar apa yang dilakukan oleh para pemimpin di Pajang. Mereka tidak mengirimkan utusan seperti yang dikehendaki oleh Raden Sutawijaya, tetapi mereka justru mengirimkan utusan untuk mongambil kedua orang tawanan itu. “Bukankah itu tidak mungkin,“ geram Raden Sutawijaya.

Ki Gede Menorehpun mengangguk-angguk. Iapun menyadari, betapa gawatnya hubungan antara Pajang dan Mataram. Tentu bukan hubungan antara Raden Sutawijaya dan ayahanda angkatnya, tetapi justru karena orang-orang yang berada disekilar Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang sebagian sudah dipengaruhi oleh mereka yang menyebut diri mereka pewaris kejayaan Majapahit. “Mereka yang tidak tergolong lingkungan itu. seakan akan tidak mendapat tempat lagi,“ berkata Raden Sutawijaya. Ki Gede mengangguk-angguk. Karena itulah, agaknya Raden Sutawijaya seakan-akan menjadi semakin tergesa-gesa untuk membentuk satu kekuatan yang tangguh di Mataram, untuk mengimbangi orangorang yang ingin membuat Pajang dan Mataram hancur bersama-sama dan yang kemudian diatas reruntuhan itu membangun satu lingkungan yang sesuai dengan keinginan mereka. Ketika malam kemudian larut semakin malam, maka Ki Gedepun dipersilahkan untuk beristirahat. Raden Sutawijaya sudah menawarkan, apakah Ki Gede Menoreh ingin bertemu dengan kedua orang yang tertawan di Mataram itu. Tetapi Ki Gede menggeleng sambil menyahut, “Aku kira aku tidak usah bertemu dengan keduanya Raden. Aku belum mengenal keduanya. Apalagi yang seorang adalah pengawal Kepatihan. Mungkin kehadiranku di bilik mereka, akan dapat mereka anggap sebagai satu kesengajaan untuk menyinggung perasaan mereka.” Raden Sutawijayapun dapat mengerti, sehingga karena itu ia tidak mempersilahkan lagi. Sementara itu di pagi-pagi benar. Raden Sutawijaya telah siap untuk berangkat. Demikian pula Ki Gede Menoreh dan pengawal-pengawalnya. Untuk sesaat mereka masih sempat makan pagi. Kemudian, begitu matahari telah melontarkan sinar paginya. Raden Sutawijaya diiringi oleh seorang pengawalnya, telah meninggalkan Mataram bersama-sama Ki Gede Menoreh dan kedua pengawalnya. Seperti biasanya. Raden Sutawijaya tidak mengenakan pakaian dan tanda-tanda kebesarannya. Ia mengenakan pakaian orang kebanyakan seperti yang dikenakan pula oleh Ki Gede Menoreh. Namun demikian mereka sampai keluar regol kota Mataram, Ki Gede mulai dibayangi oleh keraguraguan. Kemana mereka akan singgah lebih dahulu. “Aku jadi bingung,” berkata Ki Gede Menoreh, “apakah sebaiknya kita pergi langsung ke Jati Anom atau kita akan singgah lebih dahulu ke Sangkal Putung.” “Kenapa Sangkal Putung ?“ bertanya Kaden Sutawijaya, “jika kita sudah berada di Jati Anom, maka kita tinggal memanggil Swandaru dan Pandan Wangi. Kita dapat menyuruh satu dua orang pengawal kita untuk pergi ke Sangkal Putung.” Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Katanya,

“Mungkin bagi Raden tidak ada persoalan apapun juga. Tetapi bagiku hal ini akan mengundang pertanyaan Pandan Wangi adalah anakku, jika aku lebih dahulu singgah ditempat orang lain. baru kemudian memanggil anak dan menantuku, agaknya akan menimbulkan pertanyaan dihati mereka. Juga pada Ki Demang Sangkal Putung.” Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya, ia pun sadar, bahwa Ki Gede Menoreh adalah ayah Pandan Wangi dan mertua Swandaru. Sedang dengan orang-orang yang tinggal dipadepokan kecil itu di Jati Anom. ia tidak mempunyai sambungan kekeluargaan sama sekali. Karena itu, maka katanya kemudian, “Jika demikian. baiklah aku menurut saja. mana yang baik bagi Ki Gede. Agaknya memang lebih pantas jika Ki Gede lebih dahulu singgah di Sangkal Putung. Baru kemudian kila pergi ke Jati Anom bersama-sama dengan Swandaru dan Pandan Wangi.” Ki Gede mengangguk-angguk. Desisnya, “Baiklah Raden. Kita pergi ke Sangkal Putung.” Demikianlah, maka iring-iringan kecil itupun segera memacu kudanya menuju ke Sangkal Putung. Di Prambanan. mereka sempat beristirahat sejenak untuk memberi kesempatan kepada kuda-kuda mereka minum dan makan rerumputan dipinggir Kali Opak. sementara penunggang-penunggangnya duduk dibawah sebatang pohon yang rindang. Tanpa disengaja Raden Sutawijaya memandangi sekelompok Candi yang berdiri dipinggir Kali Opak. Sekilas terbayang kebesaran masa lampau. Bagaimana sekumpulan manusia bekerja keras untuk membuat candi yang besar dan tinggi dari tumpukan-tumpukan batu berukir lembut. Namun dalam pada itu. Raden Sutawijaya yang duduk bersama Ki Gede itupun telah tertarik perhatiannya kepada dua orang berkuda yang tiba-tiba saja telah berhenti dan meloncat turun mendekati pengawal-pengawal Ki Gede dan Raden Sutawijaya yang duduk terpisah. “Apakah yang kalian lakukan disini ?“ bertanya salah seorang dari kedua orang itu. Pengawal itu termangu-mangu sejenak. Namun salah seorang dari mereka menyahut, “Kami beristirahat disini Ki Sanak.” “Kalian dari mana dan mau kemana ?“ bertanya orang itu pula. “Kami sedang dalam perjalanan kerumah seorang kawan kami di Kumuda,“ jawab salah seorang pengawal itu dengan serta merta, “kenapa ? Apakah kalian juga ingin bertanya, kenapa kami mengunjungi kawan kami itu ?”

Kedua orang itu menegang sejenak. Namun salah seorang kemudian berkata, “Jarang sekali kami melihat orang-orang yang duduk beristirahat dipinggir Kali Opak ini.” “Apakah kalian setiap hari mengamati orang-orang lewat ? “ salah seorang pengawal yang lain bertanya. Kedua orang itu tidak segera menyahut. Namun sekilas mereka memandang Raden Sutawijaya dan Ki Gede yang duduk beberapa langkah dari para pengawalnya. “Apakah kedua orang itu kawan kalian ?” bertanya salah seorang dari kedua orang itu. Para pengawal itu termangu-mangu sejenak. Namun salah seorang dari mereka tiba-tiba saja menjawab, “Kita berpapasan jalan. Kami akan ke Kumuda, namun agaknya mereka akan menempuh jalan ke Cupu Watu atau Temu Agal atau mungkin ke Tambak Baya atau malahan pergi ke Mataram. Bertanya sajalah kepada mereka.” Kedua orang itu menggeram. Yang satu berdesis, “Kau sengaja berteriak agar mereka mendengar. Tidak ada gunanya lagi aku bertanya kepada mereka.” “Siapa sebenarnya kau berdua ? Prajurit ? Petugas sandi atau apa ?” bertanya salah seorang pengawal. “Bukan apa-apa,“ jawab salah seorang dari kedua orang itu. “Sikap kalian sangat aneh. Jarang sekali orang bertanya dengan serta merta kepada orang yang belum dikenalnya seperti yang kalian lakukan ini,” desis pengawal yang lain. Tetapi kedua orang itu hampir bersamaan menjawab, “Tidak ada apa-apa.” Pengawal pengawal itu tidak bertanya lagi ketika kemudian kedua orang itu meninggalkan mereka. Keduanya kemudian meloncat kepunggung kuda masing-masing dan berlari ke arah Barat. Ketiga orang pengawal itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian merekapun mendekati Raden Sutawijaya dan Ki Gede. Salah seorang dari mereka bertanya, “Apa pendapat Ki Gede tentang mereka ?” “Belum jelass,” jawab Ki Gede, “tetapi nampaknya daerah yang berada digaris lurus antara Pajang dan Mataram ini selalu mendapat pengawasan. Baik oleh Pajang maupun oleh Mataram. Bukankah begitu Raden ?” Raden Sutawijaya tersenyum. Jawabnya, “Agaknya memang begitu Ki Gede. Tetapi keduanya tentu bukan dari Mataram.”

“Jika demikian kemungkinan terbesar, mereka adalah orang-orang Pajang. Untunglah mereka belum mengenal Raden dengan baik. Dan sudah barang tentu bahwa Senapat Ing Ngalaga tidak akan duduk dibawah sebatang pohon dipinggir Kali Opak seperti ini. Setidak-tidaknya menurut anggapan mereka,” berkata Ki Gede. Raden Sutawijaya tertawa. Namun kemudian iapun bangkit sambil berkata, “Bukankah kita sudah cukup lama beristirahat. Marilah kita akan melanjutkan perjalanan. Kuda-kuda kita tentu sudah tidak letih lagi.” Kelima orang itupun kemudian bersiap-siap untuk meneruskan perjalanan ke Sangkal Putung. Tidak ada hambatan apapun disepanjang perjalanan mereka. Dengan aman mereka memasuki padukuhan-padukuhan yang termasuk dalam lingkungan Kademangan Sangkal Putung. “Bukan main,” desis Ki Gede Menoreh, “kemajuan yang dicapai oleh Sangkal Putung memang dapat membuat Tanah Perdikan menjadi iri.” “Swandaru memang tangkas,“ sahut Raden Sutawijaya, “ia mampu membuat Kademangannya menjadi semakin baik. Dari hari kehari ia mendorong Kademangannya untuk tumbuh terus dalam segala segi.” “Sementara Tanah Perdikan Menoreh menjadi semakin lama semakin mundur.“ gumam Ki Gede. “Ah. tentu tidak sejauh yang Ki Gede cemaskan,“ jawab Raden Sutawijaya, “aku memang melihat kemunduran di Tanah Perdikan Menoreh. tetapi Ki Gede tidak perlu menjadi sangat cemas. Kemunduran itu tidak separah yang Ki Gede sangka. Selama ini Ki Gede telah berjuang untuk meningkatkan tataran hidup rakyat Tanah Perdikan Menoreh seperti yang dilakukan oleh Swandaru sekarang. Pada saat Ki Gede berhenti, maka rasa-rasanya kemunduranlah yang telah mencengkam dengan cepat atas seluruh Tanah Perdikan itu.” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin demikian. Tetapi kemungkinan yang lain adalah, bahwa Tanah Perdikan Menoreh telah mengalami satu masa yang parah sekarang ini. Sebaiknya kita tidak usah berusaha untuk menenangkan hati sendiri. Karena dengan demikian kita justru akan mendapat gambaran yang salah. Yang mundur itu akan kita sangka sekedar berhenti.” Raden Sutawijaya tidak menjawab lagi. Tetapi ia mengangguk-angguk kecil. Anak muda yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu ternyata berpikir cukup dewasa. Ia mengerti perasaan Ki Gede yang kecewa dan sepi. Rasa-rasanya ada semacam kerinduan pada suatu masa yang lewat. Namun yang dirasakannya pada suatu keinginan bagi masa mendatang. “Harapan bagi masa mendatang itu harus mendapat tanggapan sebaik baiknya,“ berkata Raden

Sutawijaya didalam hatinya, “jika tidak maka perasaan kecewa akan semakin menekan hatinya yang semakin pepat. Ia akan menjadi semakin cepat tua dan masa depan baginya adalah kegelapan justru ia sendiri sudah tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat banyak. Satu tataran keturunan berikut memang harus bangkit di Tanah Perdikan Menoreh.” Namun ternyata bahwa yang ada di Tanah Perdikan Menoreh dari tataran harapan itu adalah Prastawa yang kurang tanggap terhadap panggilan jamannya. Tetapi sebenarnyalah Ki Gede telah meletakkan harapan kepada rencana perjalanan mereka. Jika disetujui oleh Swandaru. Pandan Wangi dan Agung Sedayu sendiri, maka ia akan mengundang satu kekuatan yang mungkin akan dapat membantu membangunkan Tanah Perdikan Menoreh yang sebenarnya cukup menyimpan kemampuan didalam dirinya itu. Namun demikian, Prastawapun akan tetap menjadi satu masalah. Ia harus mengerti, apa yang sebenarnya terjadi diatas Tanah Perdikannya. karena iapun tentu merasa memiliki hak pula atas Tanah itu. Namun bagi Ki Gede, bahwa Tanah Perdikan harus tumbuh sejalan dengan masa yang mendatang, adalah tuntutan mutlak yang tidak dapat ditunda lagi. Demikianlah iring-iringan itupun semakin lama menjadi semakin dekat dengan padukuhan induk. Ketika kemudian iring-iringan itu memasuki regol, maka semakin terasa oleh Ki Gede bahwa Kademangan Sangkal Putung telah menjadi sebuah Kademangan yang besar, sehingga dengan demikian adalah tidak mustahil, bahwa Swandaru akan berkeberatan untuk meninggalkan Kademangannya. meskipun kedudukan sebuah Tanah Perdikan lebih kuat dari kedudukan sebuah Kademangan. Disepanjang perjalanan Ki Gede sempat melihat sawah yang subur karena air yang mengalir teratur. Pande besi yang bekerja keras untuk membuat alat-alat pertanian, serta pedati yang hilir mudik membawa barang-barang yang akan dijual belikan dari padukuhan yang satu kepadukuhan yang lain. atau bahkan dibawa keluar masuk Kademangan dalam hubungannya dengan daerah-daerah lain. Gardu-gardu peronda yang bersih dan tidak terlalu kecil, sehingga nampak jelas, bahwa gardu-gardu itu mempunyai arti dalam kehidupan sehari-hari kademangan Sangkal Putung. Ada sepercik kebanggaan dihati Ki Gede atas menantunya yang agak gemuk itu. Namun yang ternyata memiliki ketangkasan berpikir dan bekerja. Ketika iring-iringan itu menwsuki regol halaman Kademangan, maka beberapa orang yang berada di Kademangan itupun menjadi sibuk. Sejenak, mereka tidak segera mengetahui, siapakah tamu-tamu yang datang itu. Namun ketika Pandan Wangi menengok dari antara pintu pringgitan yang sedikit terbuka diluar sadarnya iapun telah memekik, “Ayah. Ayah dari Tanah Perdikan Menoreh.” Suaranya didengar oleh Ki Demang dan Sekar Mirah, yang kemudian dengan tergopoh-gopoh telah

ikut pula menyongsong mereka. Dan sebenarnyalah mereka menjadi semakin terkejut ketika mereka kemudian mengetahui, bahwa seorang yang lain adalah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga di Mataram, tetapi tanpa tanda-tanda kebesarannya sama sekali. Demikianlah, maka dengan serta merta. Ki Demang-pun telah mempersilahkan mereka untuk naik kependapa, sementara Pandan Wangi telah menyuruh seseorang untuk memanggil Swandaru yang agaknya baru berada di padukuhan sebelah dalam rangka kewajibannya. Kademangan Sangkal Putung itupun telah disibukkan karena kehadiran tamu-tamu yang tidak mereka sangka sebelumnya. Ki Demang di pendapa telah menerima tamu-tamunya dengan ucapan selamat dan saling menanyakan keadaan masing-masing. Sejenak kemudian, para pelayanpun telah menghidangkan jamuan bagi para tamu itu. sementara Swandarupun dengan tergesa-gesa memacu kudanya memasuki halaman rumahnya. Demikian ia meloncat dari kudanya dan menyerahkan kuda itu kepada seorang pelayannya, maka iapun dengan tergesagesa pula telah naik kependapa menemui tamu-tamu dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu. Ketika di pendapa terjadi percakapan yang riuh, maka didapurpun Pandan Wangi dan Sekar Mirah menjadi sibuk pula. Bukan saja karena tamu yang datang itu adalah ayah Pandan Wangi sendiri, tetapi bersamanya adalah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga. Tetapi agaknya Pandan Wangi dan Sekar Mirah tidak dapat berada didapur saja dengan kesibukannya sendiri, karena Ki Gedepun ingin segera bertemu. Karena itu, maka Pandan Wangi dan Sekar Mirah itupun telah menemui para tamu itu pula dipendapa atas permintaan Ki Gede. Untuk beberapa saat mereka berbicara tentang keadaan masing-masing. Tentang Tanah Perdikan Menoreh, tentang Mutaram dan tentang Kademangan Sangkal Putung. Ternyata bahwa di saat-saat terakhir daerah-daerah itu tidak lagi diganggu oleh peristiwa-peristiwa yang dapat mengguncang ketenangan. Tetapi kemudian Ki Demangpun bertanya, “apakah kedatangan Ki Gede Menoreh dan Raden Sutawijaya ini mempunyai maksud tertentu atau hanya sekedar singgah atau karena sesuatu hal yang lain ?” Raden Sutawijaya dan Ki Gede saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Raden Sutawijayalah yang menjawab, “Aku hanya sekedar singgah Ki Demang. Sebenarnya aku sedang melihat-lihat keliling daerah Mataram ketika Ki Gede singgah di Mataram dan berniat untuk pergi ke Sangkal Putung. Adalah sudah biasa kerinduan orang tua kadang-kadang tidak dapai ditunda-tunda lagi. Begitu tiba-tiba sangat mendesak. Adalah kebetulan bagiku, bahwa sudah

lama pula aku tidak mengunjungi Sangkal Putung dan barangkali Ki Gede juga akan pergi ke Jati Anom.” Ki Demang mengangguk-angguk. Jawabnya, “Sokurlah, jika tidak ada persoalan yang penting apalagi gawat. Jika demikian, maka aku akan mempersilahkan Ki Gede dan Raden Sutawijaya untuk berada di Kademangan ini unluk beberapa lama.” Tetapi Raden Sutawijaya tertawa kecil sambil menjawab, “Mungkin Ki Gede akan tinggal disini beberapa hari. Tetapi tentu tidak mungkin bagiku, karena aku mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu yang tidak dapat aku tinggalkan terlalu lama.” “Tetapi bukankah Ki Juru ada ?“ sahut Swandaru. Raden Sutawijaya masih tertawa. Jawabnya, ”Memang paman Juru Martani ada. Tetapi paman Juru Martani lebih senang jika ia sempat beristirahat.” “Tetapi untuk satu dua hari, aku kira tidak akan berpengaruh,“ berkata Ki Demang. Raden Sutawijaya tidak menjawab. Tetapi suara tertawanya sajalah yang terdengar, sementara ia memandangi Ki Gede yang tersenyum pula. Tetapi Ki Gede tidak segera mengatakan sesuatu. Rasarasanya ia masih belum siap untuk mengatakan bahwa mereka akan pergi ke Jati Anom untuk satu kunjungan yang bukan saja sekedar menengok keselamatan penghuni padepokan kecil itu. Tetapi karena ada sesuatu yang penting. Karena itu. maka pereakapan mereka kemudian sama sekali tidak mengarah kepada rencana kunjungan Ki Gede dan Raden Sutawijaya ke Jati Anom. Dalam pada itu ketika dalam kesibukannya masing-masing. Raden Sutawijaya dan Ki Gede Menoreh sudah duduk beberapa saat lamanya, maka Ki Demang dan Swandaru kadang-kadang beringsut pula meninggalkan mereka untuk menyiapkan segala sesuatu. Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun kemudian minta diri untuk membantu kesibukan didapur, sementara para pengawal lebih senang berada dihalaman yang sejuk daripada duduk dipendapa. Dihalaman mereka sempat menggeliat dan bahkan berjalan hilir mudik dan berbicara dengan pwgawal Kademangan di sebelah regol. Dalam pada itu, Ki Gede yang kemudian duduk berdua saja dengan Raden Sutawijaya sempat berdesah, “Aku tidak dapat segera minta diri untuk meneruskan perjalanan ke Jati Anom.” “Ki Gede akan bermalam disini ?“ bertanya Raden Sutawijaya. “Inilah contohnya seorang tua. Raden,“ berkata Ki Gede, “Raden sudah dapat menyebut, bahwa kerinduan orang tua kadang-kadang tidak dapat ditunda-tunda lagi. Dan jika orang tua sudah berada diantara anak-anaknya, tentu tidak akan dapat dengan serta merta minta diri. Nampaknya akan janggal karena justru begitu tergesa-gesa.”

“Jadi kita akan menunda perjalanan ke Sangkal Putung sampai besok ?” bertanya Raden Sutawijaya, “bukankah lebih cepat lebih baik, sehingga persoalan kita akan segera menjadi mantap.” “Kita sudah terlanjur mengatakan, bahwa perjalanan ini tanpa maksud. Dan bukankah Ki Demang akan menjadi sangat kecewa, jika seolah-olah lebih penting bagiku untuk mengunjungi orang lain daripada berada dirumah kadang sendiri ?“ berkata Ki Gede. Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia bergumam, “Agaknya memang demikianlah yang sebenarnya. Ki Gede masih belum dapat melepaskan rindu Ki Gede kepada anak dan menantu.“ Ki Gede tertawa. Katanya, “Agaknya memang demikian Raden. Aku mohon maaf.” Tetapi Raden Sutawijayapun tertawa pula. Karena itulah, maka ketika Ki Demang kemudian menunjukkan bilik-bilik mereka, maka mereka tidak menolak. Tetapi pengawal Raden Sutawijayalah yang kemudian bertanya kepada anak muda itu, “Kita bermalam disini Raden ?” Raden Sutawijaya mengangguk. Jawabnya, “Ya. Kita terpaksa bermalam disini. Mudah-mudahan kita besok tidak terpaksa bermalam lagi di Jati Anom, meskipun barangkali Ki Gede akan tinggal.” Demikianlah, maka merekapun telah bermalam di Sangkal Putung untuk satu malam. Sebenarnyalah bahwa Ki Gede memang ingin bermalam di tempat tinggal anak dan menantunya itu. Ternyata di malam hari Ki Gede sempat melihat kesiagaan anak-anak muda Sangkal Putung. Karena itulah, maka ia merasa semakin cemas tentang Tanah Perdikannya yang semakin surut. Dimalam hari, anak-anak muda tidak lagi berada di gardu-gardu, selain para pengawal yang sedang bertugas meronda. Itupun kadang-kadang ada satu dua diantara mereka yang malas dan tidak hadir dengan seribu macam alasan. “Tanah Perdikan Menoreh memang harus dibangunkan dengan segala macam cara,“ berkata Ki Gede didalam hatinya. Karena angan-angannya tentang Tanah Perdikannya itulah, maka Ki Gede tidak dapat segera tertidur, ia masih mendengar suara kentongan dengan nada dara muluk ditengah malam. Namun akhirnya. Ki Gede itupun dapat juga tidur dengan nyenyak. Dipagi hari berikutnya, maka Ki Gede tidak dapat menunda lagi perjalanannya ke Jati Anom. Karena itu, maka iapun telah minta diri untuk pergi ke Jati Anom. Namun ia ingin mengajak Swandaru dan Pandan Wangi menyertainya.

“Apakah tidak dapat ditunda saja sampai besok atau lusa ?“ bertanya Ki Demang. Ki Gede tertawa. Katanya, “Besok aku sudah berada disini lagi.” Swandaru yang tidak mengetahui maksud mertuanya itupun tidak berkeberatan untuk mengikutinya ke Jati Anom. Bahkan karena Pandan Wangi akan mengikuti pula. Sekar Mirahpun telah minta untuk pergi juga ke Jati Anom. “Bagaimana Ki Gede, apakah Ki Gede tidak berkeberatan jika Sekar Mirah pergi bersama kita ?“ bertanya Swandaru. “Tentu tidak. Jika ia ingin pergi, biarlah ia pergi bersama kita,“ jawab Ki Gede. Ki Demang tidak dapat mencegah lagi. Namun Swandaru masih harus menyiapkan beberapa orang pengawal khusus di Kademangan, selama ia berada di Jati Anom. Sejenak kemudian, maka sebuah iring-iringan kecil lelah berangkat dari Sangkal Putung. Tiga orang dari Tanah Perdikan Menoreh, dua orang dari Mataram dan tiga orang dari Kademangan Sangkal Putung. Namun dalam pada itu. diperjalanan Kaden Sutawijaya berkata, “Jangan memberikan kesan bahwa aku adalah Senapati Ing Ngalaga dari Mataram, karena kedatanganku tanpa memberitahukan kepada Untara. Ia akan dapat tersinggung atau barangkali merasa bahwa aku tidak tahu diri. karena aku tidak memberitahukan kepadanya.” “Apakah harus begitu ?“ bertanya Swandaru. “Ia adalah Senapati di Daerah ini. Seharusnya memang demikian,“ jawab Raden Sutawijaya, “apalagi jika kedatangan itu ada hubungannya dengan tugas-tugas keprajuritan.” Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian bergumam, “Tidak perlu Raden memberitahukan kepadanya. Raden adalah tamuku.” Raden Sutawijayalah yang kemudian termangu-mangu mendengar sikap Swandaru. Namun iapun kemudian sadar, bahwa sifat Swandaru memang berbeda dengan sifat Agung Sedayu. Tetapi Raden Sutawijaya tidak mempersoalkannya lagi. Ia berkuda diantara para pengiring dari Tanah Perdikan Menoreh dan Mataram, sehingga tidak akan ada seorangpun yang menyangka, bahwa diantara mereka didalam iring-iringan itu terdapat Senapati Ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram.

Karena itulah, ketika mereka berpapasan dengan dua orang prajurit Pajang yang meronda, maka yang mereka kenal pertama-tama adalah Swandaru dari Sangkal Putung yang mengaku mengantarkan mertuanya menengok Kiai Gringsing. “Aku kurang begitu mengenal anak Ki Demang Sangkal Putung itu,“ desis yang seorang dari kedua prajurit Pajang di Jati Anom itu. “Aku mengenalnya. Tetapi jika tidak, kedua perempuan itu adalah ciri yang paling mudah dikenal. Seorang yang gemuk dan berkuda bersama dua orang perempuan dalam pakaian laki-laki, adalah anak Ki Demang Sangkal Putung. Kedua perempuan itu adalah isteri dan adiknya.“ jawab kawannya. “Aku hanya pemah mendengar ceritera tentang kedua perempuan itu,” berkata yang lain, “tetapi mengenal dengan baik, agaknya memang belum.” “Kau belum terlalu lama disini,” desis kawannya. Keduanya tidak membicarakannya lagi. Keduanya melanjutkan perjalanan mereka, meronda daerah Jati Anom yang kadang-kadang masih dikejutkan oleh peristiwa-peristiwa yang tidak terduga.” Namun sebenarnyalah Untara memang meningkatkan kewaspadaan. Ia tidak dapat menutup mata, bahwa terjadi pergolakan yang seolah-olah menjadi semakin tajam antara Mataram dan Pajang. Namun Unrarapun tahu, bahwa ada beberapa orang yang mempunyai sikap tersendiri di Pajang. Untarapun tahu, bahwa ada satu jalur yang diantara bulir-bulir untaiannya adalah Ki Pringgajaya dan Ki Tumenggung Prabadaru. Tetapi Untara adalah seorang prajurit. Kecuali sikap yang tumbuh pada diriuya sendiri, maka iapun harus menyesuaikan diri dengan perintah-perintah yang diterima dari Pajang, meskipun ia sadar, bahwa ia mempunyai wewenang untuk menyaring perintah-perintah itu. justru karena di Pajang telah tumbuh perbedaan sikap diantara para pemimpinnya meskipun dengan diam-diam. Dalam pada itu. iring-iringan dari Sangkal Putung itupun telah menjadi semakin dekat dengan Padepokan kecil yang dihuni oleh Kiai Gringsing dan muridnya. Sementara itu, Ki Gede Menorehpun telah menjadi berdebar-debar. Ia berharap bahwa jika persoalannya itu disampaikan kepada Agung Sedayu dan Swandaru, hendaknya keduanya atau salah seorang daripadanya tidak akan tersinggung karenanya. Ki Gede yakin, bahwa Pandan Wangi sendiri tentu tidak akan berkeberatan, jalan manapun yaug akan dipilihnya. Namun, ia tidak tahu bagaimana tanggapan Swandaru dan Agung Sedayu sendiri. Sementara Ki Gede merasa, bahwa Prastawa akan dapat diberinya pengertian tentang cara yang telah dipilihnya itu. Ketika iring-iringan itu mendekati regol padepokan. maka seorang cantrik yang melihatnya, telah dengan tergesa-pesa memberitahukan kehadiran iring-iringan itu kepada Kiai Gringsing. “Siapa ?“ bertanya Kiai Gringsing. “Tidak jelas,” jawab cantrik itu, “tetapi diantara mereka terdapat Swandaru dari Sangkal Putung

dengan isteri dan adik perempuannya.” “O,“ Kiai Gringsingpun mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjadi gelisah, karena yang hadir itu adalah muridnya sendiri. Meskipun demikian iapun ingin segera mengetahui, apakah mereka sekedar datang untuk menengoknya atau ada kepentingan yang lain. Karena itulah, maka Kiai Gringsingpun kemudian dengan tergesa-gesa telah keluar kependapa. sementara ia telah menyuruh cantrik itu untuk memberitahukan kepada orangorang yang berada dipadepokan itu. bahwa Swandaru. isteri dan adiknya telah datang. Yang segera terlintas didalam angan-angan Ki Gede, kedatangan mereka itu justru atas keinginan Sekar Mirah. Bagaimanapun juga. hubungannya dengan Agung Sedayu kadang-kadang telah memaksanya untuk sekali-sekali bertemu apapun alasannya. Namun Kiai Gringsing itupun tiba-tiba telah tertegun ketika ia melihat, siapa saja yang telah memasuki regol padepokannya. Dan ternyata kehadiran tamu-tamunya itu telah membuat oreng tua itu menjadi berdebar-debar. Kiai Gringsing tidak saja menyambut tamunya dipendapa. Tetapi ia telah turun kehalaman dan berjalan tergesa-gesa mendekati tamu-tamunya, yang ternyata antara lain adalah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga dan Ki Gede Menoreh dari Tanah Perdikan Menoreh. “Kehadiran Raden dan Ki Gede benar-benar telah membuat jantungku berdebar-debar,“ berkata Kiai Gringsing. Raden Sutawijaya dan Ki Gede Menoreh tersenyum. Sambil membungkuk hormat. Raden Sutawijaya menyahut, “Maaf Kiai, mungkin kedatangan kami memang mengejutkan. Tetapi sebenarnyalah kami tidak mempunyai kepentingan yang akan dapat membuat Kiai terkejut, karena kami hanya sekedar singgah dari sebuah perjalanan.” “O,“ Kiai Gringsing mengangguk-angguk, “Raden baru saja menempuh perjalanan yang panjang bersama semuanya ini ?” “Tidak,“ jawab Raden Sutawijaya, “hanya aku dan Ki Gede. Kami telah singgah di Sangkal Putung dan mengajak Swandaru. isteri dan adiknya untuk datang kemari.”

“Sokurlah,“ Kiai Gringsing mengangguk-angguk, “marilah. Aku persilahkan Raden, Ki Gede dan anak-anak dari Sangka Putung ini untuk naik kependapa.” Setelah menyerahkan kuda-kuda mereka kepada para cantrik, maka para tamu itupun segera naik kependapa. Sejenak kemudian, dipendapa itu telah duduk pula selain para tamu dan Kiai Gringsing, Ki Widura yang kebetulan sedang berada di padepokan itu pula. Ki Waskita yang telah terlibat kedalam satu pergumulan ilmu dengan Agung Sedayu. Agung Sedayu sendiri dan prajurit muda yang bernama Sabungsari, yang menghabiskan sebagian waktunya dipadepokan itu. Sementara Glagah Putih telah sibuk membantu para cantrik menyiapkan jamuan bagi tamu-tamu mereka. Setelah mereka saling mempertanyakan keselamatan masing-masing, maka Kiai Gringsingpun telah bertanya, “Mudah mudahan kedatangan para tamu ini benar-benar tidak akan mengejutkan aku.” “Benar Kiai,“ sahut Raden Sutawijaya, “kami benar-benar hanya sekedar berkunjung dan karena sudah lama kami tidak bertemu, maka rasa-rasanya kami menjadi sangat rindu kepada padepokan ini dan seisinya.” “Padepokan yang sepi,” desis Kiai Gringsing, “tetapi kami sangat berterima kasih, bahwa Raden dan Ki Gede telah sudi datang berkunjung.” Raden Sutawijaya dan Ki Gede Menoreh tertawa. Sambil memandang berkeliling, Ki Gede berkata, “Padepokan yang manis. Tanaman-tanaman itu tumbuh subur. Bahkan pohon buah-buahan itu rasarasanya sudah tertanam puluhan tahun. Berapa sebenarnya umur padepokan ini ?” Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Sebelum tanah ini menjadi padepokan. Tanah ini adalah pategalan milik keluarga angger Agung Sedayu. Dalam pategalan itu sudah terdapat beberapa jenis pohon buah-buahan. Bahkan sudah ada pula yang berbuah. Ketika tanah ini menjadi sebuah padepokan kecil, maka pohon buah-buahan itu sama sekali tidak kami usik.” Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Dari pendapa nampak pula sebuah bangunan yang terpisah, yang agaknya adalah sanggar tempat penghuni padepokan itu berlatih olah kanuragan. Namun ditempat lain Ki Gede Menoreh membayangkan bahwa tentu ada sanggar tempat penghuni padepokan itu melakukan olah kajiwan. Namun dalam pada itu. padepokan itu benar-benar merupakan satu tempat yang sejuk. Pepohonan yang rimbun, pohon-pohon perdu yang mapan dan beberapa jenis pohon-pohon bunga. Sementara itu, sebuah kolam yang cukup luas dengan ikan peliharaan yang berenang hilir mudik didalam air yang jernih.

Dalam pada itu, Ki Gede tidak segera menyampaikan maksud kedatangannya. Bahkan seolah-olah ia memang tidak mempunyai satu kepentingan apapun juga, kecuali sekedar singgah seperti yang dikatakan oleh Raden Sutawijaya. Karena itu setelah duduk dipendapa beberapa saat, maka iapun dipersilahkan oleh para penghuni padepokan itu untuk melihat-lihat berkeliling. Swandaru dan Pandan Wangi yaug sudah terbiasa berada di padepokan itu, telah mengantarkan tamutamu dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu berkeliling. Dibelakang mereka, berjalan sambil menundukkan kepalanya. Sekar Mirah dan Agung Sedayu. Dipendapa, Ki Waskita masih duduk bersama Kiai Gringsing dan Ki Widura sejenak, sebelum merekapun kemudian menyusul tamu-tamunya. Dengan wajah bersungguh-sungguh, Ki Waskita berkata, “Hatiku menjadi berdebar-debar.” “Jika yang mengatakannya bukan Ki Waskita, aku kira kita tidak usah memikirkannya,“ sahut Kiai Gringsing. “Tetapi semakin tua, aku menjadi semakin sering mengalami kegelisahan. Tetapi nampaknya kehadiran tamu-tamu itu mempunyai satu kepentingan khusus,“ desis Ki Waskita kemudian. Lalu, “Hal itu terasa bukan saja karena isyarat didalam getaran perasaan. Tetapi menilik kehadiran mereka yang tiba-tiba dan bersama-sama, aku memang menduga, bahwa ada kepentingan bersama antara Mataram. Tanah Perdikan Menoreh, Sangkal Putung dan Padepokan kecil ini.” Kiai Gringsing dan Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya hampir bersamaan, “Aku sependapat.” Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berkata, “Silahkan Kiai Gringsing mengantar tamu-tamu itu. Aku akan pergi kebelakang kandang yang masih kotor itu. Agaknya perlu sedikit dibersihkan.” Kiai Gringsing tidak mencegah Ki Waskita yang langsung akan pergi ke belakang kandang. Sejak kehadirannya di padepokan kecil itu, sebagaimana kehadirannya yang terdahulu, Ki Waskita menganggap dirinya berada ditempat sendiri, sehingga iapun melakukan berbagai macam kerja seperti yang dilakukan oleh para penghuni padepokan itu sendiri. Sementara itu Kiai Gringsing dan Ki Widurapun telah turun dari pendapa dan menyusul tamu mereka diikuti oleh Sabungsari.

Dikebun yang sejuk, para tamu itu berhenti. Sebatang pohon jambu air yang buahnya lebat sekali nampaknya sangat menarik perhatian Ki Gede Menoreh. Dalam pada itu. Swandaru yang melihat perhatian Ki Gede atas buah yang bergayutan itu bertanya, “Apakah Ki Gede mengingininya?” Ki Gede tersenyum. Sementara Agung Sedayu telah mendekatinya dengan tergesa-gesa, “Biarlah aku mengambilnya.” Para tamu itupun kemudian duduk dibawah pohon jambu yang berdaun rimbun itu. sementara Agung Sedayu yang siap untuk memanjat telah mengurungkan niatnya karena Glagah Putihlah yang kemudian naik dengan cepatnya keatas dahan-dahan yang digayuti oleh buahnya yang lebat dan berwarna merah segar. Ternyata para tamu itu lebih senang duduk dibawah pohon jambu itu daripada dengan segera kembali ke pendapa. Suasananya yang sejuk segar dan buah jambu air yang manis membuat mereka merasa nyaman berada ditempat itu. Ketika kemudian Kiai Gringsing dan Ki Widura berada diantara mereka. maka semakin riuhlah pembicaraan dibawah pohon jambu itu. Namun ternyata Raden Sutawijayalah yang dengan hati-hati telah mengaarahkan pembicaraan itu justru kepada maksud kedatangannya bersama Ki Gede ke padepokan itu. Ki Gede Manoreh yang menyadarinya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun mengerti, bahwa Raden Sutawijaya tidak akan dapat meninggalkan Mataram terlalu lama, sehingga ia ingin segera menyelesaikan masalah yang mereka bawa. Bahkan nampaknya waktu yang satu malam, yang mereka pergunakan bermalam di Sangkal Putung itupun telah menggelisahkan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu. Bagaimanapun juga akhirnya pembicaraan itupun sampai juga pada satu pembicaraan tentang Tanah Perdikan Menoreh yang semakin lama semakin mundur. Tidak seperti padepokan kecil yang bangkit itu dan apalagi dibandingkan dengan Sangkal Putung. Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang isterinya sekilas, dilihatnya Pandan Wangipun menunduk dalam-dalam. Meskipun tidak berterus terang, namun terasa, bahwa ayahnya menjadi sangat prihatin atas keadaan ini. Hal itu terasa juga oleh Kiai Gringsing dan Ki Widura. sehingga keduanyapun telah mengangguk-angguk diluar sadarnya. “Keadaan Tanah Perdikan sekarang ini telah menjadi semakin parah,“ berkata Ki Gede. Swandaru termenung sejenak. Lalu hampir diluar sadarnya ia berdesis, “Kita harus mencari jalan keluar.”

“Tepat,” berkata Ki Gede, “kita harus menemukan satu jalan keluar yang dapat menyelamatkan Tanah Perdikan Menoreh itu dari kesulitan yang semakin dalam.” Tetapi Swandaru tidak dapat berkata apa-apa lagi. Ia tidak mengerti, jalan keluar yang manakah yang paling baik dilakukan. Namun rasa-rasanya sangat berat baginya. apabila ia sendiri harus meninggalkan Sangkal Putung yang dibinanya itu, dan tinggal untuk sementara di Tanah Perdikan Menoreh, meskipun itu juga kewajibannya. Kecuali bahwa dengan demikian ia adalah seorang lakilaki yang mengikut isterinya, namun yang penting baginya, Sangkal Putung yang baru tumbuh itu harus berkembang terus. Jika ia berada di Tanah Perdikan Menoreh, mungkin ia dapat menghentikan kemunduran yang semakin berlarut-larut di tanah Perdikan itu, tetapi Sangkal Putunglah yang akan mengalami masa surut. Dalam pada itu. dalam kebimbangan yang mencengkam, maka Ki Gede itupun tiba-tiba bertanya kepada Pandan Wangi, “Apa pikiranmu Pandan Wangi. Atau barangkali angger Swandaru mempunyai satu pemecahan yang baik bagi kita semuanya.” Pandan Wangi menjadi semakin tunduk. Tetapi iapun mengerti bahwa Tanah Perdikan itu tidak akan dapat diterbengkelaikan lebih lama lagi. Seperti ayahnya, maka Pandan Wangi tidak terlalu percaya terhadap kemampuan Prastawa. Tiba-tiba saja dengan betapapun ragunya. Ki Gede berkata, “Angger Swandaru. Sebelumnya aku minta maaf. apakah aku boleh mengajukan satu pendapat tentang jalan keluar itu. Tetapi sebelumnya sekali lagi aku minta maaf, mudah-mudahan hal itu tidak menyinggung perasaan segala pihak.” Swandaru dan Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian keduanya mengangguk kecil. Swandarulah yang menjawab, “Silahkan Ki Gede. Semua usaha yang baik dapat ditempuh.” Ki Gede mengangguk-angguk. Sekilas dipandanginya Raden Sutawijaya yang duduk tepekur. Ditangannya masih digenggam sebuah jambu air yang merah. Sementara Glagah Putih yang sudah turun dan duduk pula beberapa langkah dari mereka yang sedang berbincang itu masih membawa sekeranjang kecil buah jambu yang masak. “Agung Sedayu dan anakku Pandan Wangi,“ berkata Ki Gede kemudian dengan bersungguh-sungguh, “jika boleh aku ingin menyatakan perasaanku, bahwa aku iri terhadap perkembangan Kademangan Sangkal Putung. Jika di Tanah Perdikan Menoreh aku merasa sendiri dan kesepian, ternyata disini memiliki kemampuan yang melimpah. Di Sangkal Putung terdapat angger Swandaru yang sudah jelas berhasil membuat Sangkal Putung menjadi semakin maju. Namun di Sangkal Putungpun terdapat angger Sekar Mirah yang sebentar lagi akan terlibat kedalam satu masa hidup kekeluargaan.” “Ah,“ desis Sekar Mirah. “Nampaknya hal itu akan segera terjadi,“ berkata Ki Gede,

“Jika demikian, aku akan merasa menjadi semakin sepi di Tanah Perdikan Menoreh.” Sekar Mirah menunduk dalam-dalam. Agung Sedayupun menjadi berdebar-debar, sementara Swandaru dan Pandan Wangi tersenyum sambil memandang kedua anak-anak muda itu. Namun dalam pada itu. Kiai Gringsing sudah mulai melihat dengan mata hatinya, arah pembicaraan Ki Gede Menoreh. Bahkan didalam hati ia berkata, “Inilah yang dikatakan oleh Ki Waskita. Tetapi, agaknya akan menyangkut masalah yang akan memberikan ketegasan warna pada Sangka Putung dan Tanah Perdikan Menoreh.” Sementara itu Ki Gede Menorehpun meneruskannya. Karena itu, maka aku akan merasa sangat berbahagia bahwa Sangkal Putung akan menjadi semakin berkembang lahir dan batin,“ Ki Gede berhenti sejenak, lalu. “tetapi seperti yang aku katakan. Tanah Perdikan Menoreh justru akan menjadi semakin susut.” Swandaru dan Pandan Wangi menarik nafas panjang. Merekapun mulai mengerti maksud pembicaraan ayahnya. Keluhan semacam itu memang bukan yang pertama mereka dengar. Meskipun pada saat itu Ki Gede mengatakan kepada mereka, “Soalnya tidak terlalu tergesa-gesa.” Tetapi kini Ki Gede itu datang bersama Raden Sutawijaya. Ki Gede itu seolah-olah telah mengulangi apa yang pernah dikatakannya pada saat Swandaru dan Pandan Wangi datang menengoknya di Tanah Perdikan Menoreh. Sementara itu, Ki Gedepun berkata selanjutnya, “Swandaru, masalahnya memang tidak tergesa-gesa. Tetapi juga tidak dapat dilupakan dan ditunda sampai waktu yang tidak terbatas. Karena itu, maka aku telah datang kemari, adalah kebetulan bahwa Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga juga berkenan datang ke padepokan kecil ini. Dengan demikian, maka apa yang aku katakan ini telah didengar baik oleh Raden Sutawijaya, maupun oleh gurumu. Kiai Gringsing.” Swandaru menjadi tegang. Demikian pula Pandan Wangi. Bahkan Sekar Mirah dan Agung Sedayupun telah tertarik pula kepada pembicaraan itu. Karena itulah maka merekapun telah mendengarkannya pula dengan saksama. “Angger Swandaru,” berkata Ki Gede lebih lanjut, “bagaimana pendapatmu, jika dalam keadaan yang paling menggelisahkan ini, kau dapat memberikan

sekedar jalan keluar meskipun hanya bersifat sementara.” Debar jantung Swandaru menjadi semakin cepat. Ia tidak menduga, bahwa tiba-tiba saja ayah mertuanya itu bertanya langsung kepadanya. Beberapa saat lampau, ketika ia berada di Tanah Perdikan Menoreh. Ki Gede itu berkata, bahwa ia tidak memerlukan jawab segera. Tetapi hal itu dikatakannya beberapa waktu yang lampau. “Apakah Ki Gede menganggap bahwa waktuku untuk berpikir telah cukup ? “ pertanyaan itu timbul dihati Swandaru. Dalam pada itu. Kiai Gringsing, Ki Widura dan Agung Sedayu merasa tidak akan dapat memberikan pendapat mereka, karena masalahnya menyangkut persoalan yaug sangat khusus. Tanah Perdikan Menoreh itu sendiri. Namun Swandaru sendiri juga tidak segera dapat menjawab. Beberapa saat ia termenung. Namun kemudian ia berkata, “Pertanyaan ini terasa begitu tiba-tiba. Aku sama sekali tidak bersiap untuk menghadapinya. Karena itu. aku memang merasa terlalu sulit untuk menjawab.” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Raden Sutawijaya sejenak. Namun kemudian katanya, “Swandaru. Memang sulit untuk mengambil satu sikap. Aku minta maaf, bahwa aku ingin bertanya kepadamu, sementara aku minta kau menjawab seperti yang kau katakan didalam hatimu. Aku ingin melihat satu sikap yang sebagaimana adanya, sehingga aku akan dapat mengambilnya sebagai bahan untuk mengusulkan satu pemecahan kepadamu dan Pandan Wangi.” Dada Swandaru menjadi berdebar-debar. Namun akhirnya iapun mengangguk sambil menjawab, “Aku akan mencoba menjawabnya Ki Gede.” Ki Gede termangu-mangu sejenak. Narnun katanya kemudian, “Swandaru, Aku ingin mendapat satu kepastian, apakah dalam waktu dekat ini kau akan dapat berada di Tanah Perdikan Menoreh ? Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang biasa. Kau dapat menjawabnya atau tidak yang tidak akan mempunyai akibat apapun juga. selain sebagai bahan yang akan dapat aku pakai untuk mengusulkan satu sikap kepadamu. Jika kau dapat berada di Tanah Perdikan Menoreh, aku merasa gembira sekali. Tetapi jika tidak, akupun dapat mengerti. Kau sedang membangun Kademangan. Dan kita tidak akan ingkar, bahwa justru digaris antara Pajang dan Mataram, diperlukan satu sikap yang mapan menghadapi perkembangan terakhir ini. Karena itu. aku minta kau memberikan jawaban sesuai dengan kata hatimu.” Bagaimanapun juga jantung Swandaru tergetar pula oleh pertanyaan itu. Sementara itu. Pandan Wangipun menjadi gelisah, karena pertanyaan ayahnya itu. Pandan Wangipun menjadi gelisah. Namun dalam pada itu Ki Gede meneruskan, “Sebenarnyalah bahwa aku sudah mempunyai satu usul meskipun segala sesuatunya tergantung kepadamu dan kepada Pandan Wangi, apapun jawab yang akan kau katakan.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Pandan Wangi sejenak. Tetapi yang nampak diwajah Pandan Wangi adalah kebimbangan hatinya. “Ki Gede,“ berkata Swandaru kemudian, “sulit sekali bagiku untuk memberikan jawabnya sekarang. Sebenarnya aku merasa sangat berat untuk meninggalkan Sangkal Putung, yang seperti Ki Gede katakan, justru pada saat sekarang ini. Tetapi akupun mengerti, bahwa keadaan Tanah Perdikan Menoreh memerlukan penanganan yang segera pula. Semakin lama Tanah Perdikan itu akan menjadi semakin parah. Mungkin kelambatan satu dua bulan, akan berakibat sangat buruk bagi Tanah Perdikan itu.” Ki Gede mengangguk-angguk. Ia melihat kesempatan yang ditunggunya. Karena itu, maka katanya, “Angger Swandaru. Kau benar-benar sudah berpikir dewasa. Seperti yang pernah kau katakan di Tanah Perdikan Menoreh. Karena kau sudah berpikir dewasa itulah, maka aku ingin menyampaikan satu pendapat yang terserah kepadamu dan kepada Pandan Wangi, apakah pendapat ini dapat kalian terima.” Swandaru menegang sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk kecil sambil berkata, “Ki Gede. Mungkin pendapat itu sangat bermanfaat.” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga ia merasa ragu-ragu untuk menyampaikan pendapatnya kepada Swandaru. Ia merasa ragu-ragu. Apakah Swandaru tidak merasa tersinggung karenanya, seolah-olah Swandaru telah diperbandingkan dengan saudara seperguruannya. Tetapi mungkin justru Agung Sedayulah yang merasa tersinggung. Dengan demikian, maka ia akan berkedudukan sekedar sebagai pelaksana dari kekuasaan yang seharusnya berada ditangan Swandaru. Swandaru ternyata menunggu pendapat itu dengan hati yang berdebar-debar. Demikian pula orangorang lain yang berada ditempat itu. “Swandaru,“ desis Ki Gede, “sekali lagi aku minta maaf. Juga kepada segala pihak yang berkepentingan. Yang akan aku katakan itu adalah sekedar satu pendapat, karena aku menganggap bahwa kemampuan dan kecerahan pikiran disini berlebihan dan di Sangkal Putung benar-benar mengalami kekeringan. Dengan demikian, bagaimanakah pendapatmu dan juga pendapat Pandan Wangi dan Kiai Gringsing. jika satu diantara kemampuan yang melimpah itu aku persilahkan sementara berada di Tanah Perdikan Menoreh sambil menunggu. Maksudku, sampai angger Swandaru dan Pandan Wangi mengambil satu keputusan yang mantap.” Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih belum tahu pasti apakah yang dimaksud oleh Ki Geda Menoreh itu. Ki Gede melihat kebimbangan di sorot mata Swandaru.

Karena itu, maka katanya kemudian, “Tegasnya Swandaru. Jika kau masih terlalu sibuk dengan Kademangan Sangkal Putung, dan apalagi seperti yang aku mengerti sekarang ini. dalam hubungan antara Pajang dan Mataram, bagaimanakah pendapatmu jika untuk sementara aku persilahkan saudara seperguruanmu untuk berada di Tanah Perdikan Menoreh.” Swandaru mendengarkan setiap kalimat yang diucapkan oleh Ki Gede dengan jantung yang berdegup. Ia memang terkejut mendengar pendapat Ki Gede itu. Namun iapun kemudian mencoba merenunginya. Bahkan diluar sadarnya ia telah berpaling kepada Pandan Wangi. Pandan Wangi sendiri menundukkan kepalanya. Ia mendengar dan mengerti sepenuhnya pendapat ayahnya. Tetapi yang terasa dihatinya justru debar yang menggelora. Ia tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja jantungnya serasa berdenyut semakin cepat. Agung Sedayulah yang benar-benar terkejut, ia sadar, bahwa yang dimaksud adalah dirinya. Ki Gede Menoreh minta agar Agung Sedayu untuk sementara berada di Tanah Perdikan Menoreh sebelum Swandaru menentukan satu keputusan tertentu tentang Tanah Perdikan itu. Agung Sedayu tidak mengerti, perasaan apakah yang kemudian bergejolak didalam hatinya. Tetapi bagaimanapun juga ia merasa. bahwa ia akan mendapat tempat yang baginya tidak mapan. Ia akan berada di satu tempat atas nama Swandaru. Ia akan berada di suatu tempat yang seharusnya menjadi tempat kedudukan Swandaru sebagai suami Pandan Wangi. Karena Swandaru sudah mendapat tempat sendiri yang justru memberatinya, maka ia diminta untuk melakukan tugas-tugas adik seperguruannya itu atas namanya. Bagaimanapun juga, perasaan Agung Sedayu telah tersentuh. Tetapi ujud sentuhan itu justru adalah suatu panalangsa. Agung Sedayu tidak mengangkat wajahnya dengan sorot mata yang menyala. Tetapi Agung Sedayu justru menunduk melihat kedalam kekecilan diri. Bahkan ia merasa dirinya semakin kecil justru dihadapan Sekar Mirah. Jika hal itu terjadi, adalah karena ia mempunyai kaitan perasaan dengan Sekar Mirah. Adik Swandaru yang seharusnya mempunyai wewenang atas Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu jika memang demikian seperti yang dikatakan oleh Ki Gede, maka ia akan menjadi seorang yang menjalankan kewajiban sebagai calon adik ipar Swandaru yang menjalankan kewajiban atas hak isterinya. “Ah,” desah Agung Sedayu didalam halinya. “Apakah kata Sekar Mirah tentang diriku. Ia sudah terlalu sering menyatakan perasaanku tentang kekecilan diriku. Kini, ia langsung mendengar, betapa orang lain menganggap diriku memang terlalu kecil.” Tetapi ternyata tanggap Sekar Mirah agak berbeda. Ia menangkap semuanya itu pada kulitnya. Bahkan ia merasa, bahwa Agung Sedayu akan berada di Tanah Perdikan Menoreh dengan kedudukan yang tidak ada bedanya dengan Swandaru sendiri, karena ia akan memerintah atas namanya.

Yang mula-mula terbayang di angan-angannya, bahwa Agung Sedayu akan mempunyai kekuasaan yang penting di Tanah Perdikan Menoreh, sehingga sehari-hari, ia adalah orang tertinggi di Tanah Perdikan itu. Justru karena tanggapan yang berbeda-beda itulah maka keadaannyapun telah dicengkam oleh keheningan. Kiai Gringsing yang menjadi berdebar-debar memandangi wajah Agung Sedayu dan Swandaru berganti-ganti. Sebagai seorang guru, maka hatinyapun tersentuh pula ia merasa apa yang dirasakan oleh Agung Sedayu. Muridnya yang seorang ini adalah anak muda yang luar biasa. Tetapi justru karena sikap hidupnya, ia adalah seorang anak muda yang seakan-akan hanya sekedar pelengkap didalam satu lingkungan hidup. Raden Sjitawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga adalah seorang anak muda yang berpendangan titis. Ia melihat jauh kedalam pusat jantung Agung Sedayu. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, “Swandaru, soalnya memang tidak terlalu sederhana. Ki Gede memang berbicara atas nama Kepala Tanah Perdikan Menoreh, yang merasa dirinya sudah tidak dapat berbuat seperti saat mudanya, sehingga Ki Gede perlu bantuan seseorang. Tetapi baiklah aku berkata jujur dihadapan Ki Gede Menoreh, dihadapan Kiai Gringsing. dihadapan Ki Widura dan barangkali nanti akan didengar pula oleh Ki Waskita, bahwa sebenarnya segalanya itu ada sangkut pautnya dengan perkembangan keadaan yang lebih luas. Jika Swandaru merasa dirinya terikat di Kademangan Sangkal Putung, justru karena hubungan yang semakin rumit antara Pajang dan Mataram, maka persoalan yang sangat mendesak di Tanah Perdikan Menoreh itupun ada hubungannya pula dengan masalah itu. Jika aku berbicara tentang hubungan Pajang dan Mataram, maka aku berbicara dengan sadar. Aku adalah orang yang paling berkapentingan dengan hubungan antara Pajang dan Mataram itu. Dalam keadaan yang demikian itulah, maka Ki Gede menganggap bahwa Tanah Perdikan Menoreh harus dibina. Dan aku akan menipu diriku sendiri jika aku mencoba mengingkari, bahwa akupun sangat berkepentingan dengan Tanah Perdikan itu.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam mendengar pengakuan yang jujur dari Raden Sutawijaya. Namun pengukuan itu baginya merupakan satu sikap yang memang penting bagi perasaan Agung Sedayu seperti yang dimaksud oleh Raden Sutawijaya sendiri. Karena itulah, maka Kiai Gringsing yang lebih banyak mendengarkan itu kemudian berusaha untuk membantu menenangkan hati Agung Sedayu yang diketahuinya telah bergejolak. “Agung Sedayu. Persoalannya dapat dilihat dari banyak segi. Kau dapat melihat persoalan ini dari segi hubungan keluarga. Tidak ada orang lain diantara keluarga Swandaru yang pantas untuk melakukannya. Kau adalah saudara seperguruannya dan pada saatnya kau adalah keluarga dekat baginya. Namun kau akan dapat memandangnya dari segi yang lain pula. Segi yang barangkali mempunyai hubungan dengan sikap seseorang atas tanah ini. Bukan sekedar Tanah Perdikan Menoreh, tetapi lingkungan Pajang dalam keseluruhan sebagai penerus pemerintahan Demak. Dan sebagaimana kau ketahui. Demak lahir setelah Majapahit tidak dapat diselamatkan lagi. Karena itu, jika kau menangkap masalah ini dengan pandangan yang luas, maka kau akan mendapat kesan yang lain. Yang kau lakukan adalah satu usaha untuk menegakkan suatu keadaan yang lebih baik dari sekarang bagi tanah ini. Bukan sekedar karena Swandaru tidak dapat melakukan kewajibannya diatas Tanah Perdikan Menoreh, sehingga menunjukmu untuk melakukannya atas namanya. Tetapi dengan sadar,

mengingat kedudukan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh yang terletak berseberangan diantarai oleh Mataram.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Yang dikatakan oleh gurunya itu agak menenangkan hatinya. Dengan demikian ia mempunyai satu sudut pandangan yang lebih luas tentang kewajiban yang disebutsebut akan diserahkan kepadanya itu. Dalam pada itu. Raden Sutawijayapun berkata, “Agung Sedayu. Gurumu sudah menjelaskan masalahnya. Tegasnya, Mataram memerlukan bantuan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh didalam banyak hal. Mungkin didalam hal persediaan makanan dalam keadaan yang khusus, bahkan nnungkin bantuan yang lebih berarti lagi. Namun semuanya itu tentu tidak akan dapat kalian katakan apa-apa sekarang ini, karena sebenarnya kalianpun masih harus merenungi keadaan lebih dalam. Namun aku agaknya telah dibayangi oleh harapan-harapan yang baik bagi masa datang yang dekat. Tidak ada masalah lagi yang disembunyikan oleh Raden Sutawijaya. Mataram memerlukan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh untuk menghadapi Pajang yang tidak menentu. Sudah tentu tidak untuk menghadapi ayahanda angkat, Sultan Hadiwijaya. Tetapi tidak mustahil bahwa karena orangorang disekitar Sultan Hadiwijaya yang semakin berkuasa, dan keadaan Sultan sendiri yang tidak menguntungkan, bahwa perkembangan hubungan Mataram dan Pajang akan sampai kepuncak keretakan, sehingga keduanya harus memilih jalan masing-masing yang justru akan menghadapkan yang satu kepada yang lain. Namun soalnya bagi Agung Sedayu, apakah dalam kemelut antara Pajang dan Mataram, ia akan memilih pihak ? Ki Gede Menoreh melihat wajah Agung Sedayu yang tertunduk. Ia sudah mendengar penjelasan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga. Iapun sudah mendengar pendapat Kiai Gringsing yang langsung menghunjam kesasaran. Karena itu, ia tidak akan memberikan penjelasan lagi akan sikapnya. Ia tinggal menunggu, apakah yang akan dikatakan oleh Swandaru, Pandan Wangi atau Agung Sedayu. Tetapi anak-anak muda itu untuk beberapa saat hanya tertunduk diam. Nampaknya mereka sedang merenungi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi diatas Tanah Perdikan Menoreh, di Kademangan Sangkal Putung dan sudah tentu dalam hubungannya dengan persoalan Pajang dan Mataram. Seperti yang sudah diduga. Agung Sedayupun segera teringat akan kakak kandungnya. Untara. Ia adalah seorang Senapati Pajang yang berkedudukan di Jati Anom. Jika ia kemudian terlibat kedalam satu persoalan yang langsung dalam hubungannya dengan persoalan Pajang dan Mataram, dan apalagi jika ia berdiri di pihak Mataram, maka bagaimanakah hubungannya dengan kakak kandungnya. Tetapi kemudian timbul pula pertanyaan, “Apakah kakang Untara tidak dapat melihat, apakah yang

sebenarnya terjadi di Pajang ?” Diluar sadarnya ia memandang kearah Sabungsari yang duduk sambil menunduk dalam-dalam. Ia adalah prajurit Pajang. Meskipun ia tidak duduk terlalu dekat dengan mereka yang sedang berbincang, namun ia mendengar sebagian besar dari percakapan itu. Dan iapun mengerti apa yang sedang mereka perbincangkan dalam hubungannya dengan Pajang dan Mataram. Namun Agung Sedayu sama sekali tidak mencemaskannya, bahwa ia akan mengadukan persoalan itu kepada Senapati Pajang di Jati Anom, atau kepada orang lain dari lingkungan keprajuritan Pajang, ia percaya bahwa Sabungsari bersikap baik kepadanya dan mengerti segala persoalannya. Seandainya ia tidak sependapat dengan pembicaraan itu, maka prajurit muda itu tentu akan langsung berkata kepadanya dengan jujur, sehingga ia akan dapat menentukan sikap yang lebih baik. Sejenak suasana memang menjadi sepi. Tetapi degup jantung masing-masing terasa semakin cepat dan semakin keras. Dalam keheningan itu, tiba-tiba saja terdengar Raden Sutawijaya berkata, “Segalanya memang tidak dapat diputuskan sekarang. Mungkin kalian memerlukan waktu sampai sore nanti, atau bahkan sampai esok pagi. Kalian mungkin masih ingin membicarakan beberapa persoalan sampingan yang dapat terjadi, atau kalian masih akan memperbincangkan beberapa masalah yang tidak dapat kalian katakan dihadapanku, karena masalahnya sudah menyangkut sikap dan pendirian kalian mengenai hubungan antara Pajang dan Mataram. Karena itu, silahkan kalian memperbincangkannya tanpa aku. Ambillah satu keputusan yang paling baik sesuai dengan nurani kalian.” “Lalu, apakah yang akan Raden lakukan ?“ bertanya Ki Gede Menoreh. “Ki Gede. Waktuku tidak terlalu banyak,“ jawab Raden Sutawijaya. Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya. Tetapi ia mengerti maksud Raden Sutawijaya. Namun kecuali maksud Raden Sutawijaya untuk memberikan kesempatan kepada Agung Sedayu dan Swandaru mempelajari masalah itu tanpa kehadirannya, sebenarnyalah bahwa Raden Sutawijaya tidak akan dapat terlalu lama meninggalkan Mataram justru pada saat yang gawat ini. Apalagi di Mataram ada dua orang Pajang yang berada dibawah pengawasan para pengawal karena tingkah laku mereka. Dalam pada itu. Raden Sutawijayapun berkata, “Aku sudah mengutarakan masalah yang harus aku katakan. Terserah kepada segala pihak. Aku akan menunggu dengan sabar. Segala keputusan akan aku terima dengan senang hati, apakah keputusan itu sesuai atau tidak dengan kepentinganku, karena sebenarnyalah aku tidak akan dapat berbuat apa-apa atas Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Sangkal Putung.” “Kami mohon Raden bersedia bersabar sebentar untuk tinggal semalam saja dipadepokan kecil ini,“

berkata Kiai Gringsing. “Terima kasih Kiai,“ jawab Raden Sutawijaya, “seharusnya tidak dapat meninggalkan rumahku sama sekali karena keadaan yang gawat. Tetapi justru karena aku menganggap masalah yang akan disampaikan oleh Ki Gede ini menyangkut kepentinganku yang menentukan, maka akupun telah memerlukan untuk ikut serta membicarakannya. Aku mohon maaf, bahwa aku telah berani mencampuri masalah yang sebenarnya adalah masalah keluarga, karena aku menganggap masalah yang sebenarnya akan menyangkut kepentingan yang jauh lebih luas dari sekedar kepentingan keluarga.” “Jadi Raden benar-benar akan segera kembali ke Mataram ?“ bertanya Kiai Gringsing. “Ya Kiai,“ jawab Raden Sutawijaya, “kelak, pada saatnya Ki Gede kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, aku mohon Ki Gede bersedia singgah dan memberitahukan, apakah kalian sudah mengambil satu keputusan.” “Aku akan singgah Raden,“ berkata Ki Gede. Namun dalam pada itu. Kiai Gringsingpun berkata, “Baiklah Raden, Kami dapat mengerti, bahwa Raden mempunyai tugas-tugas yang tidak dapat Raden tinggalkan berlamalama. Memang agak berbeda dengan kami yang dapat pergi untuk waktu yang tidak ditentukan tanpa dituntut oleh satu kewajiban apapun.” “Ah setiap orang mempunyai kewajibannya masing-masing Kiai,“ jawab Raden Sutawijaya. “Namun demikian Raden, kami masih mohon Raden tinggal sebentar. Hanya untuk sekedar makan dipadepokan ini.“ minta Kiai Gringsing. Raden Sutawijaya tersenyum. Jawabnya, “Tentu aku tidak akan menolak. Terima kasih. Aku akan menunggu saatnya akan dijamu makan dipadepokan ini.” “Tetapi baiklah, kita kembali kependapa,“ Kiai Gringsing mempersilahkan. “Ah, kami belum tuntas mengelilingi halaman dan kebun dipadepokan ini,” sahut Raden Sutawijaya, “kami akan menunggu nasi masak sambil melihat-lihat. Disini kami menemukan sebatang pohon jambu air. Mungkin dibagian lain kami akan menemukan sebatang pohon manggis yang berbuah lebat.” “Jika demikian silahkan,“ berkata Kiai Gringsing, “tetapi yang ada bukannya buah manggis, karena belum musimnya. Namun disamping pohon manggis ada sebatang pohon srikaya yang barangkali cukup lebat buahnya.” “O. menyenangkan sekali,“ sahut Raden Sutawijaya. Sementara itu. merekapun segera bangkit dan meneruskan langkah mereka memutari kebun dipadepokan yang cukup luas itu.

Ketika saatnya makan telah tiba, maka dipersilahkannya para tamu dan penghuni padepokan itu, termasuk Ki Waskita untuk berada dipendapa. Para pengawal dari Mataram dan dari Tanah Perdikan Menorehpun telah makan bersama pula. Baru setelah beristirahat sejenak. Raden Sutawijayapun mohon diri untuk kembali ke Mataram. “Sekali lagi aku berpesan, bahwa kedatanganku di Jati Anom tidak setahu Senapati Pajang yang berkedudukan di Jati Anom ini,“ berkata Raden Sutawijaya, “karena kedatanganku memang bukan satu kunjungan resmi. Namun karena itu. maka aku kira kedatanganku ini tidak perlu diberitahukan kepada Senapati muda itu.” Penghuni padepokan itupun mengangguk-angguk. Mereka memang tidak merasa perlu untuk melaporkan kehadiran Raden Sutawijaya, sementara Ki Gede Menoreh nampaknya memang tidak terlalu menarik perhatian seperti kehadiran Raden Sutawijaya. sehingga kehadiran Ki Gede yang sekedar menengok anak menantunya di Sangkal Putung dan yang sekedar singgah di Jati Anom itu tidak perlu memberitahukan kepada Untara. Demikianlah, maka Raden Sutawijaya dan seorang pengawalnya telah meninggalkan padepokan kecil itu dengan meninggalkan beberapa masalah yang berhubungan dengan kepentingan Ki Gede Menoreh. Karena itu, sepeninggal Raden Sutawijaya, maka Kiai Gringsing telah minta Swandaru, Pandan Wangi, Agung Sedayu dan Sekar Mirah untuk membicarakannya dengan sungguh-sungguh, ditunggui oleh orang-orang tua yang berada dipadepokan itu. Agung Sedayu yang mulai menelusuri latar belakang dari penunjukkan atas dirinya, mencoba untuk mengerti, bahwa yang penting bukannya sekedar karena ia adalah bakal ipar Swandaru, tetapi justru dihubungkan dengan perkembangan Mataram dalam hubungannya dengan Pajang. “Memang tidak ada orang lain,” desis Ki Gede Menoreh. Swandaru mencoba merenungi baik dan buruknya. Tetapi iapun kemudian berdesis, “Memang tidak ada orang lain. Namun karena Pandan Wangilah yang langsung berada dalam garis keturunan Menoreh, maka iapun justru ikut menentukan.” “Sudah tentu,“ berkata Ki Gede Menoreh, “iapun wajib menyatakan pendapatnya.” Kiai Gringsing beringsut setapak. Lalu katanya. “Angger Pandan Wangi. Bagaimana pendapat angger tentang hal ini ? Angger sudah mendengar segala sesuatunya. Sebab dan pertimbangannya serta segala kemungkinan yang bakal terjadi.” Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Sebenarnyalah baginya memang tidak ada orang yang lebih

baik dan dapat dipercaya dari Agung Sedayu. Apakah ada hubungan keluarga atau tidak. Agung Sedayu bagi Pandan Wangi adalah seorang anak muda yang sangat baik. Baginya Agung Sedayu telah banyak berbuat sesuatu yang menuntut pengorbanan dan bahkan mempertaruhkan nyawanya tanpa pamrih pribadi. Tetapi Pandan Wangi tidak dapat mengatakannya, ia tidak akan dapat memuji Agung Sedayu dengan jujur seperti apa yang tersirat didalam hatinya. Karena itu. maka katanya kemudian, “Kiai, disini ada ayah dan kakang Swandaru. Aku kira apa yang baik bagi ayah dan kakang Swandaru akan baik juga bagiku.” Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi bukankah seharusnya kau ikut menentukan.” “Dengan demikian, aku sudah ikut menentukan,“ jawab Pandan Wangi. “Baiklah Pandan Wangi,“ berkata Ki Gede Menoreh. Lalu katanya kepada Kiai Gringsing, “Kiai, menurut pendapatku, jawab Pandan Wangi itu menyatakan bahwa ia tidak berkeberatan pula seperti Swandaru.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sementara Ki Gede Menoreh itupun meneruskan, “Nah, aku ingin mendengar jawab Agung Sedayu sendiri.” Jantung Agung Sedayu terasa berdenyut semakin cepat. Namun ia harus menjawab pertanyaan itu. Ketika ia memandang wajah Sekar Mirah sekilas, justru ia menjadi bertanya-tanya. Ia melihat mata itu bagaikan memancarkan harapan. “Apakah Sekar Mirah menerima penyerahan kewajiban ini dengan gairah ?“ bertanya Agung Sedayu kepada diri sendiri. Namun sekilas ia melihat sifat Sekar Mirah dan keinginan-keinginannya yang pemah dikatakannya tentang hari depan, maka agaknya Sekar Mirah memang mempunyai minat atas tugas yang dibebankan kepadanya itu. Karena bagi Sekar Mirah, hal itu akan berarti, bahwa ia akan menjadi seorang yang memerintah Tanah Perdikan Menoreh betapapun landasannya. Namun karena itu, maka rasa-rasanya Agung Sedayu memang tidak akan dapat mengelak lagi. Yang masih tetap menjadi persoalan baginya adalah sikap kakaknya. Apakah Untara akan dapat menyetujuinya. Apakah yang harus dilakukannya jika Untara tidak mengijinkannya. Agung Sedayu benar-benar merasa berdiri dijalan simpang. Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Kiai Gringsing yang seolah-olah mengetahui kesulitannya berkata, “Agung Sedayu. Kau adalah seorang adik bagi angger Untara.

Sudah seharusnya kau minta pertimbangannya. Tetapi sebelum datang menghadap, kau harus sudah bersikap. Kau sudah cukup dewasa, sehingga aku kira, kakakmu akan menghargai sikapmu.” Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera menjawab. “Cobalah melihat kedalam dirimu. Baru kau pertimbangkan apakah yang akan kau lakukan sehubungan dengan sikap angger Untara,“ berkata Kiai Gringsing lebih lanjut. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku masih sangat ragu-ragu untuk menentukan sikap.” Adalah diluar dugaan, ketika tiba-tiba saja Sekar Mirah berdesis seolah-olah tidak sengaja, “Kapan kakang Agung Sedayu tidak ragu-ragu menghadapi satu masalah. Apalagi masalah yang cukup besar.” Ki Gede Menoreh berpaling kepadanya sejenak. Namun orang tua itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, sementara Swandarulah yang menyahut, “ia perlu mempertimbangkan segala kemungkinan Sekar Mirah.” “Aku mengerti,” jawab Sekar Mirah, “tetapi akupun mengenal kakang Agung Sedayu. Hampir tidak pernah terjadi, bahwa kakang Agung Sedayu mengambil satu sikap yang mantap menghadapi masalahmasalah penting dalam hidupnya. Ia selalu ragu-ragu, dan karena itulah, maka banyak masalah yang tidak dapat diselesaikan. Selama ia membuat pertimbangan yang tidak berujung pangkal, maka masalah-masalah itu berjalan tanpa berhenti dan menunggunya. Dengan demikian, maka kakang Agung Sedayu banyak ditinggalkan oleh kesempatan-kesempatan baik yang tidak dapat ditangkapnya justru karena ia sibuk dengan pertimbangan-pertimbangan dan keragu-raguan.” Agung Sedayu tidak membantahnya. Meskipun Sekar Mirah mengucapkannya dengan nada rendah dan perlahan-lahan, namun terasa betapa perasaan yang tertahan selama itu bagaikan meledak tanpa dapat dikendalikan. Namun bahwa Sekar Mirah menyetujui untuk menerima tugas itu, membuatnya agak mantap. Nampaknya ia memang tidak boleh melepaskan harapan gadis itu lagi. Jika ia menolak, apapun alasannya, maka Sekar Mirah akan menjadi sangat kecewa dan bahkan mungkin akan berakibat kurang baik. Akhirnya Agung Sedayu itupun menjawab, “Ki Gede Menoreh. Agaknya memang tidak ada alasan lagi bagiku untuk menolak. Namun bagaimanapun juga, aku harus mengatakannya kepada kakang Untara. Aku berharap bahwa kakang Untara tidak akan menghalangiku.” “Aku akan mengantarkanmu,“ sahut Kiai Gringsing dengan serta merta. Agung Sedayu mengangguk.-angguk. Katanya, “Terima kasih guru. Mudah-mudahan semuanya dapat berlangsung tanpa hambatan apapun.”

Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk sambil berkata, “Tentu sudah sewajarnya bahwa kau akan berbicara dengan angger Untara. Namun agaknya anggar Untara-pun akan menghargai sikapmu sebagai seorang anak muda yang telah dewasa. Meskipun aku tahu, bahwa mungkin Untara mempunyai pertimbangan yang berkaitan dengan sikapnya sebagai seorang prajurit Pajang menghadapi Mataram. Namun kau akan dapat meyakinkannya.” “Aku akan mencoba meyakinkannya,“ berkata Kiai Gringsing, “mudah-mudahan aku dan angger Agung Sedayu tidak harus bersikap keras atas pendirian ini. Tetapi justru akan mendapat restu dan ijinnya karena pengertiannya.” “Mudah-mudahan. Namun bagaimanapun juga, rasa-rasanya Tanah Perdikan itu sudah akan mulai hidup lagi. Seolah-olah setelah mengalami musim kering yang panjang, diatas tanah itu telah jatuh hujan yang segar dan membasahi seluruh batang dan akar pepohonan.” Demikianlah, maka pembicaraan itu nampaknya sudah sampai pada satu kesimpulan. Meskipun masih dibayangi oleh kabut yang tipis, namun sudah dapat dilihat, bahwa Agung Sedayu akan berada di Tanah Perdikan Menoreh tidak lama lagi. Ki Gede Menoreh merasa bahwa dirinya menjadi semakin lama semakin lemah. Bukan saja tubuhnya, tetapi juga jiwanya. Cacat kakinya membuatnya semakin sepi di Tanah Perdikan yang luas. Apalagi jika senja mulai membayang dan lampu-lampu minyak sudah mulai menyala. Rumah yang besar di Tanah Perdikan Menoreh itu tidak ubahnya bagaikan kuburan. Ia terlalu merasa sepi dalam kesendiriannya. Meskipun di Tanah Perdikan itu ada Prastawa, tetapi jarang ia berada dirumah disenja hari. Ada saja alasannya. Dan Ki Gedepun tidak dapat mencegahnya, karena Prastawa selalu mengatakan, bahwa ia akan pergi kegardu perondan, atau akan nganglang mengelilingi Tanah Perdikan, atau akan melihat bagaimana para petani mentaati waktu pembagian air atau alasan-alasan lain yang memaksa Ki Gede Menoreh tidak menahannya untuk tinggal dirumah mengawaninya. Sementara itu, maka Kiai Gringsinglah yang telah menutup pembicaraan itu, katanya, “Ki Gede, nampaknya kita sudah sampai pada pokok masalahnya. Meskipun belum berarti bahwa segalanya akan berjalan rancak, namun kita akan dapat membicarakannya disaat-saat berikutnya. Biarlah pembicaraan seterusnya kita tunda, karena aku yakin bahwa Ki Gede tidak akan dengan tergesa-gesa meninggalkan padepokan ini.” Ternyata Ki Gedepun tidak berkeberatan. Bahkan katanya, “Aku akan berada disini sampai saatnya aku yakin, bahwa aku kembali ke Tanah Perdikan Menoreh dengan satu kepastian sikap bagi Tanah Perdikan itu.” “Baiklah,“ berkata Kiai Gringsing, “karena itu, maka kami ingin mempersilahkan Ki Gede untuk sekedar beristirahat.

Mungkin malam nanti kita masih akan berbicara lagi tentang masalah ini.” Ki Gede tersenyum. Jawabnya, “Terima kasih. Sebenarnyalah aku memang ingin beristirahat. Agaknya akan lebih senang beristirahat di kebun yang sejuk dibelakang padepokan ini.” Kiai Gringsingpun tersenyum pula sambil mengangguk-angguk. Katanya, “Ki Waskita akan menemani Ki Gede. Mungkin juga Glagah Putih yang akan dapat mengambil buah-buahan didahan jika Ki Gede menginginkan.” Demikianlah,maka Ki Gede diantar oleh Ki Waskita dan Glagah Putih telah meninggalkan pendapa. Sementara itu Agung Sedayupun telah mengambil kesempatan tersendiri untuk berbicara dengan Sabungsari. “Aku mengerti, bahwa tidak seharusnya aku menyampaikan hal ini kepada Senapati Pajang di Jati Anom,“ berkata Sabungsari, “terserah kepadamu, apakah yang akan kau lakukan.” “Aku berada dalam kebimbangan,“ berkata Agung Sedayu, “jika aku menerima hal ini seperti yang sudah aku katakan, tentu akan mempunyai akibat yang jauh. Kakang Untara adalah prajurit Pajang, dan kaupun seorang prajurit Pajang yang baik.” Sabungsari menurik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Kalau aku berbicara tentang Mataram, rasa-rasanya aku melihat satu kepastian sikap dan cita-cita, tetapi jika aku berbicara tentang Pajang, maka yang nampak adalah kekaburan. Namun aku percaya kepada Senapati Pajang di Jati Anom. Ki Untara bagiku adalah seorang prajurit. Karena itu, aku akan menerima segala perintahnya.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Karena itu katanya, “Terima kasih atas sikapmu Sabungsari. Mudah-mudahan aku mendapat terang untuk menentukan sikapku dikemudian hari.” “Kau memang harus bersikap. Aku kira apa yang dikatakan oleh Sekar Mirah sebagian memang benar. Meskipun sebagian yang lain, nampaknya Sekar Mirah kurang mengerti akan sikapmu,“ berkata Sabungsari. “Aku akan mencoba tidak mengecewakannya kali ini.” Jawab Agung Sedayu, “mungkin keinginan inilah yang telah mendorongku untuk menerima permintaan Ki Gede Menoreh.” “Memang mungkin. Tetapi dengan demikian bukannya berarti bahwa kau telah terlibat langsung dalam masalah yang gawat dalam kemelut antara Pajang dan Mataram,“ berkata Sabungsari.

“Ya. Aku mengerti,“ desis Agung Sedayu. “Baiklah. Sementara kita akan menunggu perkembangan keadaan. Tetapi bukankah yang akan kau lakukan itu masih akan terjadi dalam waktu yang tidak terlalu singkat. Maksudku, tidak besok atau pekan mendatang ?“ bertanya Sabungsari. “Mungkin tidak,“ jawab Agung Sedayu, “tentu akan ada beberapa persiapan.” “Baiklah. Selama ini aku tidak akan berkata apapun kepada siapapun sebelum kau sendiri mengatakannya. Khususnya kepada Ki Untara. Dan akupun akan berbuat seperti yang biasa aku lakukan. Aku mendapat ijin khusus untuk berada ditempat ini sejak aku terluka, dan ijin itu sampai sekarang belum pernah dicabut. Karena itu, maka aku akan banyak mempergunakan waktu seperti sekarang ini meskipun pada saat-saat tertentu aku akan berada dibarakku.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia percaya sepenuhnya kepada Sabungsari meskipun anak muda itu pernah merencanakan untuk membunuhnya. Tetapi perkembangan jiwanya telah meyakinkan bagi Agung Sedayu, bahwa ia akan berbuat baik untuk seterusnya. Dalam pada itu, ternyata Swandaru dan Pandan Wangi yang berada diserambi berdua saja, telah terlibat kedalam pembicaraan yang sungguh-sungguh. Betapapun beratnya, namun Swandaru telah menyampaikan perasaannya tentang adik sepupu Pandan Wangi yang mempunyai perhatian yang agak menarik perhatian terhadap Sekar Mirah. “Maaf kakang,” sahut Pandan Wangi, “sebenarnyalah akupun akan mengatakannya kepada kakang, bahwa aku melihat sesuatu yang kurang wajar pada Prastawa. Karena itu, terserahlah kepada kakang, kebijaksanaan apakah yang akan diambil, karena jika Agung Sedayu ada di Tanah Perdikan Menoreh, nnaka Sekar Mirahpun tentu akan sering berada disana pula. Sebenarnyalah bahwa hal itu harus mendapat perhatian seperlunya dari segala pihak.” Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ternyata isterinya juga mempunyai perabaan yang sama. Jika semula ia ragu-ragu. dan bahkan cemas bahwa Pandan Wangi akan tersinggung, ternyata dugaan itu keliru. Karena itu, maka Swandarupun justru berkata lebih lanjut, “Meskipun kakang Agung Sedayu dalam kedudukannya sebagai murid Kiai Gringsing lebih tua dari aku, tetapi didalam hubungan itu, maka aku adalah kakak Sekar Mirah.” Pandan Wangi mengangguk-angguk. Katanya, “Memang dalam hal ini, kita adalah orang tua dan wajib memberikan bimbingan. Apalagi Prastawa adalah adik sepupuku yang itu sudah aku anggap adikku sendiri.” “Kita harus berbicara dengan guru.“ berkata Swandaru, “apakah yang baik kita lakukan. Jika kita membiarkan hal itu berkepanjangan, sementara ternyata

kelak menimbulkan sesuatu yang tidak diinginkan. maka kita termasuk orangorang yang bersalah, karena kita tidak berusaha mengambil tindakan pencegahan.” “Apakah aku jusa harus berbicara dengan ayah? Jika ayah mengetahuinya, maka setidak-tidaknya ayah akan dapat membantu memberikan beberapa petunjuk meskipun tidak langsung kepada Prastawa. justru sebelum kakang Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan Menoreh.” Swandaru menjadi ragu-ragu. Katanya, “Tetapi jika hal itu sudah terlanjur kita sampaikan kepada Ki Gede. padahal hal ini hanya tumbuh karena prasangka semata-mata, apakah hal itu tidak akan berpengaruh ?” “Memang mungkin hanya satu prasangka,” jawab Pandan Wangi, “Tetapi kita mempunyai prasangka yang sama. Karena itu, hal ini akan dapat kita pertanggung jawabkan bersama. Sementara yang akan kita katakan kepada ayahpun tentu akan kita lambari dengan pengantar, bahwa ini hanya suatu dugaan.” “Aku tidak berkeberatan Pandan Wangi, tetapi bagaimana jika hal ini kita bicarakan dahulu dengan guru sebelum kita menyampaikannya kepada Ki Gede? Mungkin guru dapat membantu memberikan arah pembicaraan kepada kita, jika kita akan menyampaikannya nanti kepada Ki Gede,“ berkata Swandaru kemudian. Pandan Wangi tidak berkeberatan, karena itu maka merekapun menunggu kesempatan yang baik untuk dapat berbicara dengan Kiai Gringsing tanpa orang lain. Demikianlah untuk beberapa saat dipadepokan kecil itu telah terjadi pembicaraan yang terpisahpisah. Masing-masing menurut kepentingan mereka sendiri. Sementara itu, Ki Gede bersama kedua pengawalnya dan Ki Waskita berada di kebun belakang. Nampaknya udara dipadepokan itu terasa sangat segar bagi Ki Gede. Karena itulah, maka ia telah berbaring diatas sehelai tikar dibawah sebatang pohon kemuning yang rindang, sementara Ki Waskita yang duduk disebelahnya kemudian mempersilahkannya untuk beristirahat karena ia sendiri akan menemui Kiai Gringsing diruang dalam. “Silahkan,“ berkata Ki Gede, “aku akan beristirahat disini bersama angger Glagah Putih.” Ki Waskitapun kemudian meninggalkan Ki Gede yang sedang berbaring ditemani oleh Glagah Putih dan para pengawalnya. Namun dalam pada itu. Ki Waskita tidak langsung masuk keruang dalam untuk menemui Kiai Gringsing. Seolah-olah diluar sadarnya ia telah pergi kesanggar. Ketika ternyata bahwa sanggar itu sepi maka Ki Waskita pun telah menutup dan menyelarak pintu dari dalam. Ada semacam kegelisahan yang mengusik hatinya, ia tidak tahu apakah sebenarnya yang telah mengganggu perasaan itu, sehingga karena itulah ia ingin melihat kedalam alam isyarat yang kadangkadang justru dapat membingungkannya sendiri. Beberapa saat kemudian Ki Waskita itu telah duduk diatas tikar dilantai sanggar yang sepi itu.

Kemudian ia telah bersungguh-sungguh ingin melihat sesuatu yang mungkin akan dapat diurainya dalam hubungannya dengan rencana-rencana yang baru saja didengarnya tentang Tanah Perdikan Menoreh. Sebenarnyalah, dalam kegelisahan itu Ki Waskita telah melihat satu isyarat yang kabur. Bukan Tanah Perdikan Menorehnya, tetapi justru pada Agung Sedayu. Dengan hati yang berdebar-debar Ki Waskita berusaha untuk melihat lebih jauh lagi. Bayanganbayangan yang kabur itu justru bagaikan terurai dalam garis-garis warna yang berbeda. Kemudian cahaya yang berterbangan melintas dengan cepat. Sementara itu. kabutpun menjadi semakin gelap. Namun bayangan Agung Sedayu dibelakang kabut itu justru nampak semakin jelas. Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat satu isyarat. Dan ia harus mengurai isyarat itu. Sebagaimana yang sering dilakukannya. Namun dalam pada itu, kelemahan manusiawi telah mencengkam jantungnya. Justru karena yang dilihatnya itu adalah satu peristiwa yang menyangkut seorang anak muda yang menjadi pusat perhatiannya didalam pewarisan ilmunya. Agung Sedayu adalah satu-satunya anak muda yang pernah mendapat ijinnya untuk melihat isi kitabnya. Sehingga karena itulah, maka ia melihat isyarat itu tidak lagi dengan pandangan yang tanpa kepentingan. Tetapi Ki Waskita menyadari keadaannya. Karena itu, maka katanya kepada diri sendiri, “Aku akan berbicara dengan Kiai Gringsing. Meskipun Kiai Gringsing tidak terbiasa melakukan pekerjaan seperti ini. tetapi aku yakin, bahwa pandangan mata batinnya akan cukup tajam untuk membantu aku mengurai isyarat ini. Mungkin aku mempunyai kepentingan yang sama dengan Kiai Gringsing atas anak muda yang bernama Agung Sedayu itu. Namun dengan memperbincangkannya, maka akan aku dapat bahan-bahan lain kecuali isyarat yang sudah aku lihat. Mungkin peristiwa yang sudah terjadi, atau sedang terjadi dalam hubungan antara Pajang dan Mataram.” Karena itulah, maka Ki Waskitapun kemudian mengakhiri usahanya untuk melihat masa depan Tanah Perdikan Menoreh dalam isyarat seperti yang sering dilakukannya atas beberapa hal yang penting. Dengan gelisah ia ingin segera menemui Kiai Gringsing untuk menyampaikan penglihatannya itu. Namun dalam pada itu, ketika ia memasuki ruang dalam, dilihatnya Kiai Gringsing sedang sibuk berbicara dengan Swandaru dan Pandan Wangi. Ki Waskita yang melihat pembicaraan yang sungguh-sungguh itu tidak ingin mengganggunya. Karena itu, maka iapun telah menunda rencananya untuk bertemu dengan Kiai Gringsing. Dibiarkannya Swandaru dan Pandan Wangi berbicara sampai tuntas dengan Kiai Gringsing. Karena itulah, maka Ki Waskitapun kemudian justru beringsut dan meninggalkan ruang dalam. Ia ingin menunggu pembicaraan itu selesai di longkangan.

Dalam pada itu. Kiai Gringsing yang terlibat dalam pembicaraan yang sungguh-sungguh dengan Swandaru dan Pandan Wangi, menjadi berdebar-debar juga mendengarkan keterangan kedua orang suami isteri itu. Jika benar seperti yang mereka katakan, bahwa sikap Prastawa memang pantas mendapat perhatian, seharusnyalah bahwa hal itu tidak dapat diabaikan begitu saja. “Jadi menurut pendapatmu, apakah sikap Prastawa itu benar-benar akan dapat mengganggu?“ bertanya Kiai Gringsing. “Maaf Kiai,“ sahut Pandan Wangi, “ia adalah adik sepupuku. Menurut pendengaranku. Prastawa memang mempunyai kelemahan. Ia tidak boleh berdekatan barang sebentar saja dengan perempuanperempuan cantik. Apalagi seorang gadis yang riang dan peramah seperti Sekar Mirah. Ia akan mudah tertarik dan bahkan mungkin akan dapat kehilangan pertimbangan-pertimbangan nalar yang bening.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ternyata pendapat Pandan Wangi itu dikuatkan oleh pengamatan Swandaru. Katanya, “Mungkin aku hanya berprasangka saja guru. Tetapi aku berkepentingan dengan kedua-duanya. Kakang Agung Sedayu adalah saudara seperguruanku, sementara Sekar Mirah adalah adik kandungku. Jika terjadi sesuatu pada hubungan antara keduanya, maka akupun akan merasakan akibatnya pula.” Orang tua itu mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja hampir diluar sadarnya ia berkata, “Jika demikian, apakah sebaiknya hubungan antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah itu ditegaskan saja dalam waktu dekat.” Swandaru mengangkat wajahnya. Dipandanginya Kiai Gringsing dengan tajamnya. Namun ketika ia berpaling memandang Pandan Wangi, maka iapun telah mengangguk kecil sambil berkata, “Aku kira jalan itu adalah jalan yang paling baik.“ Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Kita akan dapat memikirkannya ngger. Alangkah baiknya jika Agung Sedayu hadir di Tanah Perdikan itu tidak lagi sebagai seorang yang masih belum berkeluarga. Mungkin ia dapat berada di Tanah Perdikan itu sebelumnya. Tetapi pembicaraan tentang hari-hari perkawinannya harus sudah masak lebih dahulu. Jika ia berada di Tanah Perdikan itu. maka Prastawapun sudah tahu dengan pasti, bahwa Agung Sedayu itu akan menjadi suami Sekar Mirah, yang karena itu, maka ia akan mengesampingkan semua perasaan yang akan menyangkut gadis Sangkal Putung itu.” “Jika demikian ngger, kita akan merintis pembicaraan tentang hal itu. Namun aku minta agar kau berdua tidak menyampaikan masalah ini kepada Ki Demang, sebelum aku membicarakannya dengan masak. Aku masih harus berbicara dengan Agung Sedayu sendiri dan akupun harus berbicara dengan orang yang paling berhak disebut pengganti ayah-bundanya, yaitu angger Untara.

Buku 141 Swandaru mengangguk-angguk. Ia tidak dapat menyangkal, bahwa Untara adalah pengganti ayah bunda Agung Sedayu. Meskipun Agung Sedayu sudah cukup dewasa, namun dalam beberapa hal, maka ia tidak akan dapat meninggalkan kakak kandungnya itu. Karena itu, maka Swandarupun kemudian berkata, “Aku kira Guru akan dapat menemui kakang Untara, mengatakan beberapa hal yang bersangkutan dengan kakang Agung Sedayu. Sudah tentu seperti yang kita sepakati, bahwa dalam hubungan ini, kakang Agung Sedayu akan berada di Tanah Perdikan Menoreh, karena aku minta pertolongannya. Bukan dalam hubungan dengan Mataram.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun sudah mulai terbayang, Untara akan menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut keputusan itu. Dan iapun tidak mengkesampingkan satu kemungkinan bahwa Untara akan tersinggung mendengar bahwa adiknya akan sekedar menjadi seorang yang berada di Tanah Perdikan untuk melakukan tugas bakal kakak iparnya, yang menyandang tugas tersebut karena isterinya. Tetapi Kiai Gringsing tidak dapat ingkar. Ia adalah guru Agung Sedayu yang akan berbuat sebagaimana ia berbuat bagi anak kandungnya sendiri. Karena itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian memberikan kesanggupannya untuk memberitahukan masalah Agung Sedayu kepada Swandaru setelah ia bertemu dengan Untara, sekaligus membicarakan kemungkinan anak muda itu melakukan tugas di Tanah Perdikan Menoreh. “Kami akan menunggu Guru,“ berkata Swandaru, “agaknya hal ini akan menggembirakan ayah pula. Sebenarnyalah bahwa ayah memang sudah menunggu kepastian hubungan antara kakang Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Sebagai orang tua dari seorang gadis yang sudah dewasa, maka ayah tentu menginginkan persoalan anak gadisnya itu cepat selesai.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya perasaan Ki Demang itu. Karena itulah, maka Pandan Wangipun kemudian berkata, “Aku mohon diri untuk keluar dan mungkin aku perlu mengawani Sekar Mirah yang sendiri diluar.” “Ia bersama Agung Sedayu,“ desis Swandaru. “Kakang Agung Sedayu masih berbicara dengan Sabungsari,“ jawab Pandan Wangi. “Bertiga. Sekar Mirahpun berada bersama mereka,“ sahut Swandaru. Namun demikian Pandan Wangipun kemudian meninggalkan ruang itu diikuti oleh Swandaru. Terasa oleh keduanya, jika sebenarnyalah persoalan Agung Sedayu dan Sekar Mirah cepat diselesaikan, maka hal itu akan terasa baik bagi segala pihak.

Dalam pada itu, setelah Ki Waskita melihat anak-anak muda dari Sangkal Putung itu keluar dari ruang dalam, maka iapun kemudian masuk keruang itu. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku mohon waktu sebentar Kiai. Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan.” “O, silahkan. Marilah,“ Kiai Gringsing mempersilahkan. Namun kemudian, “Ki Waskita membuat aku menjadi berdebar-debar. Jika Ki Waskita nampak demikian bersungguh-sungguh, tentu ada persoalan yang sangat menarik yang akan disampaikan.” Ki Waskita tersenyum. Tetapi ia tidak membantah. Memang ada persoalan yang penting yang akan disampaikannya. Sejenak kemudian, maka kedua orang tua itu telah duduk berhadapan. Namun agaknya Ki Waskita memang nampak bersungguh-sungguh, sehingga Kiai Gringsingpun menanggapinya dengan bersungguh-sungguh pula. Dalam pada itu, maka Ki Waskitapun segera mengatakan maksudnya. Ia datang menemui Kiai Gringsing dalam keadaan yang khusus, karena ia telah melihat satu keadaan yang baginya sangat menarik perhatiannya. “Kiai,“ berkata Ki Waskita, “aku telah melihat satu isyarat. Karena itu, aku ingin menyesuaikan diri dengan pendapat Kiai, apakah yang nampak dalam isyarat itu.” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Katanya, “Aku tidak terbiasa melakukannya Ki Waskita. Bukankah justru Ki Waskita telah melakukan hal serupa itu untuk bertahun-tahun lamanya ?” “Ya Kiai. Aku telah melakukannya untuk bertahun-tahun lamanya. Dalam beberapa hal aku dapat mengatakan dengan keyakinan yang hampir bulat akan arti dari isyarat yang aku lihat. Namun terhadap Agung Sedayu tiba-tiba saja aku menjadi ragu-ragu, seperti Agung Sedayu yang selalu ragu-ragu pula,“ jawab Ki Waskita. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun sambil tersenyum ia berkata, “Baiklah Ki Waskita. Kita akan berbicara tentang sesuatu yang kurang aku mengerti. Tetapi kita dapat mencobanya.” “Kiai,“ desis Ki Waskita kemudian, “masalahnya bukan sekedar isyarat yang aku lihat. Tetapi aku ingin menyesuaikan dengan persoalan-persoalan yang Kiai ketahui. Dengan demikian, maka kita akan dapat menelusuri penglihatan kita dengan dua jalur. Isyarat dan perhitungan.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Marilah, kita mencoba untuk menerobos kemasa mendatang.” Ki Waskita beringsut setapak. Kemudian iapun menceriterakan apa yang sudah dilihatnya pada isyarat

didalam penglihatan batinnya. Kemudian, iapun ingin mengerti, apa saja yang sudah diketahui oleh Kiai Gringsing tentang hubungan antara Agung Sedayu dengan Tanah Perdikan Menoreh, isinya dan segala yang bersangkut paut dengan Tanah Perdikan itu. Untuk beberapa saat keduanya berbincang. Namun ternyata bahwa jalur pembicaraan mereka berkisar pada kemungkinan yang buram bagi Agung Sedayu. “Nampaknya ada beberapa persoalan yang akan mengganggu usahanya di Tanah Perdikan itu,“ berkata Ki Waskita, “meskipun pada umumnya hanya sepintas, namun pada saatnya, ia benar-benar akan dicengkam oleh satu peristiwa yang mengaburkan kedudukannya.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Nampaknya memang demikian Ki Waskita. Menurut perhitungan nalar, hal itu memang mungkin terjadi. Di tanah Predikan Menoreh terdapat seorang anak muda yang Ki Waskita tentu sudah mengenalnya.” “Prastawa,“ desis Ki Waskita. “Ya. Dan ada beberapa sudut pertimbangan yang dapat mengganggu kedudukannya. Prastawa sebagai seorang kemanakan Ki Gede Menoreh yang dapat saja merasa dirinya berhak pula atas Tanah Perdikan itu. Ia dapat merasa lebih berhak dari Agung Sedayu. Ia dapat saja merasa bahwa jika Swandaru berhalangan, maka dirinyalah yang seharusnya menjalankan tugas. Sementara persoalan yang lain, yang dapat menjadi sebab timbulnya kabut diatas Tanah Perdikan itu adalah karena sikap Prastawa yang aneh terhadap Sekar Mirah.” Ki Waskita mengerutkan keningnya. Mulai terbayang lagi garis-garis warna yang berbeda-beda pada penglihatan batinnya. Sementara itu Kiai Gringsing telah menceriterakan pula apa yang didengarnya dari Swandaru dan Pandan Wangi tentang anak muda yang bernama Prastawa itu. Dengan bahan yang didengarnya dari Kiai Gringsing, maka Ki Waskita seolah-olah melihat gambaran masa-masa mendatang bagi Agung Sedayu di Tanah Perdikan Menoreh. Ia menjadi semakin cemas melihat bayangan masa mendatang itu. Ia tidak dapat lagi ingkar dari penglihatan dan uraian yang seharusnya dilihatnya. Agung Sedayu akan mengalami cobaan yang sangat berat selama ia berada di Tanah Perdikan Menoreh pada masa dekat atau jauh. Namun seolah-olah ada sedikit ketenangan yang terselip dihatinya. Agung Sedayu akan tetap pada suatu keadaan yang cukup baik betapapun ia mengalami goncangangoncangan yang sangat berat. Namun terselip juga pertanyaan dihati Ki Waskita, “Apakah penglihatanku masih belum tuntas, sehingga aku tidak dapat melihat akhir yang paling ujung dari keadaan Agung Sedayu itu ?” Tetapi Ki Waskita mencemaskan keterbatasan tekad Agung Sedayu. Ia termasuk seorang yang lemah

dan penuh dengan kebimbangan. Jika goncangan-goncangan itu terlalu keras baginya, maka kemungkinan untuk tetap bertahan baginya adalah terlalu kecil. Dalam pada itu, Ki Waskitapun mulai memperhitungkan hubungan antara Tanah Perdikan Menoreh dengan Mataram dan Pajang. “Ki Waskita,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “nampaknya Ki Waskita melihat hari-hari yang buram didalam kehidupan Agung Sedayu. Tetapi nampaknya yang Ki Waskita lihat adalah langkahlangkah yang panjang dari satu masa. Karena itu, mungkin ada gunanya untuk mempertebal satu keyakinan bahwa kesulitan-kesulitan itu akan teratasi.” “Kiai,“ berkata Ki Waskita, “apakah Kiai setuju, bahwa pertimbangan-pertimbangan dari kejadiankejadian yang mungkin akan dialami oleh Agung Sedayu itu dapat diberitahukan kepadanya secara bijaksana dan atas dasar perhitungan nalar. Bukan sekedar ceritera ngayawara menurut penglihatan isyarat semata-mata. Dengan demikian, maka Agung Sedayu akan dapat mempersiapkan diri dan kesiagaan batin untuk mengalami peristiwa-peristiwa yang cukup berat baginya itu.” “Mungkin ada juga gunanya,“ sahut Kiai Gringsing, “tetapi harus benar-benar disampaikan dengan bijaksana seperti yang Ki Waskita katakan. Agung Sedayu bukan orang yang mudah berprasangka buruk terhadap orang lain. Karena itulah, maka ia harus mendapat satu keyakinan yang dapat menggugah perasaannya, bahwa hal yang demikian itu akan dapat terjadi. Tentu saja seperti yang Ki Waskita katakan, masalahnya harus dapat diurai dengan nalar.” Ki Waskita mengangguk-angguk. Ia mengerti watak anak muda itu, hampir seperti yang diketahui oleh Kiai Gringsing sendiri. Dalam pada itu, maka keduanyapun akhirnya sepakat untuk memberikan bekal lahir dan batin kepada Agung Sedayu, sementara itu, keduanyapun sepakat, bahwa dalam waktu yang dekat Agung Sedayu harus mengikat hubungannya dengan Sekar Mirah dalam satu ikatan perkawinan. Dengan demikian diharapkan bahwa pihak-pihak lain tidak akan lagi mengganggu salah satu dari keduanya. Demikianlah, maka diluar pengetahuan Agung Sedayu, beberapa pihak telah membicarakan tentang dirinya. Bahkan kemudian atas kesepakatan mereka pula, hal itu disampaikan oleh Kiai Gringsing kepada Ki Gede Menoreh. Ki Gede Menoreh yang telah berada dipendapa, dilewat senja sambil minum minuman panas bersama dengan orangorang tua dipadepokan itu, mendengarkan keterangan Kiai Gringsing yang berterus terang. Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Widura menunggu, bagaimanakah sikap Ki Gede atas persoalan yang telah mereka sampaikan itu. Untuk beberapa saat Ki Gede justru terdiam. Namun ia mengerti, bahwa persoalan yang dikemukakan oleh Kiai Gringsing itu bukan persoalan yang dapat dikesampingkan. “Ki Gede,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “betapapun persoalan itu merupakan persoalan yang

cukup penting, namun bukan berarti bahwa rencana itu tidak akan dapat dilangsungkan.” Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Ya Kiai. Kitapun ikut memikul tanggung jawab jika terjadi sesuatu yang tidak kita kehendaki. Karena itu, kita yang tua-tua tidak akan melepaskan tanpa pengawasan sama sekali.” “Ki Gede benar. Selain semua masalah itu, Agung Sedayu bagi Tanah Perdikan Menoreh adalah orang baru. Meskipun Agung Sedayu pernah berada di Tanah Perdikan itu, namun secara keseluruhan ia memang bukan anak Tanah Perdikan itu,“ berkata Kiai Gringsing. “Benar Kiai. Tetapi itu bukan berarti bahwa Agung Sedayu tidak akan dapat berbuat sesuatu bagi Tanah Perdikan itu. Jika ia sudah berada di Tanah Perdikan Menoreh, maka ia akan mengenal Tanah Perdikan itu sebaikbaiknya. Jika ia memang berniat, maka ia akan dapat mengenali nilai-nilai yang terdapat diatas Tanah Perdikan itu. Dengan demikian ia akan dapat memilih. Nilai-nilai yang manakah yang perlu dipelihara, dikembangkan dan dibina. Meskipun ia tidak ikut serta sebelumnya, bukan berarti bahwa ia tidak akan dapat melakukannya,“ desis Ki Gede Menoreh. Kemudian, “Namun, persoalanpersoalan yang terlalu khusus dan pribadi itu kadang-kadang memang akan dapat mengganggu persoalan besar dalam keseluruhan.” Ternyata dalam pembicaraan selanjutnya, Ki Gede Menoreh sependapat, bahwa dalam waktu dekat. Agung Sedayu harus mengikat hubungannya dengan Sekar Mirah dalam satu ikatan perkawinan. Nampaknya pembicaraan itu sudah masak. Meskipun demikian, terlaksananya tergantung sekali dengan yang bersangkutan. Agung Sedayu dan Sekar Mirah harus ditemui dan mereka harus menyatakan pendapat mereka. Baru kemudian Kiai Gringsing akan datang kepada Untara untuk menyampaikan dua masalah sekaligus. Yang pertama mengenai perkawinan Agung Sedayu dan Sekar Mirah, dan yang kedua mengenai permintaan Ki Gede Menoreh dengan kesepakatan Swandaru dan Pandan Wangi untuk menyerahkan bimbingan membantu Tanah Perdikan Menoreh kepada Agung Sedayu seperti yang dilakukan oleh Swandaru atas Kademangan Sangkal Putung, terutama bagi anak-anak mudanya. “Bukankah Ki Gede tidak tergesa-gesa kembali ke Tanah Perdikan Menoreh ?“ bertanya Kiai Gringsing. “Aku akan menunggu, jika persoalannya akan cepat mendapat kepastian,“ jawab Ki Gede. “Aku akan mencobanya. Besok kita akan berbicara dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah,“ berkata Kiai Gringsing, “tentu saja tidak dengan maksud meninggalkan orang tua Sekar Mirah. Tetapi karena disini ada Swandaru, maka ia akan dapat mewakili ayahnya mengikuti masalahnya. Baru kemudian masalahnya akan kita sampaikan kepada Ki Demang, ayah Sekar Mirah.” “Terserahlah kepada Kiai Gringsing,“ jawab Ki Gede, “Kiai tentu lebih banyak mengetahui tentang

anak-anak itu.” “Baiklah. Aku harap, Swandaru besok tidak tergesa-gesa kembali ke Sangkal Putung. Nampaknya Kademangannya tidak dapat ditinggalkannya terlalu lama, justru pada saat-saat seperti ini. Untuk bermalam satu malam disinipun rasa-rasanya terlalu berat baginya. Aku harus menahannya dan sedikit memaksanya untuk menunggu perkembangan pembicaraan ini,“ berkata Kiai Gringsing. Dengan demikian, maka persoalannya semakin jelas. Kiai Gringsingpun telah minta kepada Ki Widura, menemui Untara. Sebelum ia mengantar Agung Sedayu menghadap. Bagaimanapun juga, Widura sebagai pamannya, tentu masih mempunyai wibawa dalam persoalan keluarga dalam hubungan rencana perkawinan Agung Sedayu itu. Namun karena itulah, maka Ki Gede tidak dapat segera kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Ia masih akan tinggal satu dua hari lagi. Bahkan jika mungkin menunggu kesempatan Kiai Gringsing berbicara dengan Widura. Tetapi sebelum itu dilakukan, besok Kiai Gringsing akan berbicara dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah langsung dibawah saksi orang-orang tua dipadepokan itu dan Swandaru bersama isterinya. Ketika dipagi hari berikutnya. Agung Sedayu dan Sekar Mirah dipanggil oleh Kiai Gringsing, tidak dipendapa, tetapi diruang dalam yang sementara itu beberapa orang tua telah ada didalamnya, mereka menjadi berdebar-debar. Agung Sedayu dan Sekar Mirah melihat Swandaru ada ditempat itu pula, sementara Pandan Wangi duduk disebelahnya sambil menundukkan kepalanya. Suasana yang nampaknya bersungguh-sungguh itu membuat kedua anak muda itu menjadi gelisah. “Kemarilah. Mendekatlah,” minta Kiai Gringsing kepada kedua anak-anak muda itu. Dengan ragu-ragu Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun mendekat. Mereka duduk dengan kepala tunduk. Seolah-olah mereka duduk dihadapan orang-orang yang akan mengadili mereka dalam satu perkara yang sangat gawat. Sejenak kemudian terdengar Kiai Gringsing berkata, “Jangan gelisah ngger. Meskipun suasana ini nampaknya sungguh-sungguh, namun kami hanya akan sekedar berbincang tentang persoalan yang sangat wajar. Yang tidak ada ikatan dan apalagi akibat yang akan dapat mengikat kalian.” Agung Sedayu mengangkat wajahnya sejenak. Namun kemudian kepalanya tertunduk lagi. Sekilas terbayang lagi pembicaraan tentang Tanah Perdikan Menoreh itu. Ia sudah menyediakan diri untuk berada di Tanah Perdikan Menoreh jika tidak ada persoalan khusus yang menghalanginya. Dan kini ia harus menghadap orang-orang tua itu lagi, yang tentu dalam persoalan yang ada hubungannya dengan tugas yang akan dibebankan kepadanya di Tanah Perdikan Menoreh. Dalam pada itu, dengan sangat berhati-hati, dan sama sekali tidak menyinggung persoalan yang

menyangkut Prastawa di Tanah Perdikan Menoreh, Kiai Gringsing mulai membayangkan kemungkinan yang lebih jauh lagi dalam hubungan antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Agung Sedayu menjadi sangat berdebar-debar. Akhirnya ia mengerti arah pembicaraan orang-orang tua itu. Pada dasarnya mereka menganjurkan agar Agung Sedayu dan Sekar Mirah bersedia untuk dalam waktu dekat melangsungkan perkawinan mereka, meskipun tidak harus sebelum Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan Menoreh. Tidak sepatah katapun dapat diucapkan oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Keduanya hanya menundukkan kepalanya saja. Bahkan menganggukpun rasa-rasanya keduanya tidak melakukannya. Meskipun demikian, orang-orang tua itu mendapat kesan, bahwa keduanya memang tidak menolak. Keduanya yang sudah tidak pernah mengingkari lagi hubungan diantara mereka, memang merasa bahwa sudah waktunya hubungan itu dikukuhkan dengan ikatan perkawinan. Dalam pada itu. Kiai Gringsing kemudian berkata, “Segalanya akan dilakukan sesuai dengan yang seharusnya. Pada satu saat, keluarga Agung Sedayu akan datang menyampaikan persoalan ini dengan resmi kepada Ki Demang di Sangkal Putung.” Jantung Sekar Mirah bagaikan berhenti berdenyut. Rasa-rasanya perjalanan yang telah ditempuhnya dalam waktu yang sangat lama itu, pada akhirnya akan sampai juga ketujuan. Meskipun dalam pembicaraan itu, hanya orang-orang tua sajalah yang berbicara tanpa jawaban sepatah katapun dari kedua anak-anak muda itu, tetapi persoalannya menjadi jelas. Dalam waktu dekat, segalanya akan dilaksanakan. Namun sebelum langkah-langkah berikutnya dimulai, Kiai Gringsing akan menghadap Untara sebagai saudara tua Agung Sedayu. Ketika pembicaraan itu dianggap sudah cukup, maka Kiai Gringsingpun kemudian berkata, “Baiklah Agung Sedayu. Kita akan mulai dengan langkah-langkah tertentu. Secepatnya, agar segalanya dapat berjalan dengan lancar dan selamat.“ Agung Sedayu masih tetap berdiam diri. “Agaknya pembicaraan kita kali ini sudah cukup,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “nanti, aku dan pamanmu Ki Widura akan menghadap kakakmu Ki Untara.” “Nanti ?“ berkata Agung Sedayu dengan satu-satunya kata yang terloncat dari mulutnya. “Ya, nanti. Hari ini,“ berkata Kiai Gringsing. Dada Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Ia tidak mengira bahwa segalanya akan berjalan demikian cepatnya. Seolah-olah ia tidak mendapat waktu sama sekali untuk berpikir.

Karena tidak ada lagi yang akan dibicarakan, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun kemudian meninggalkan ruangan itu. Keduanyapun kemudian duduk diserambi samping menghadap kelongkangan. Namun masing-masing ternyata hanya dapat berdiam diri sambil berangan-angan. Swandaru dan Pandan Wangipun kemudian meninggalkan ruang dalam itu pula. Rasa-rasanya mereka ingin mendengar, apa yang akan dikatakan oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Ketika terdengar keduanya melangkah kelongkangan, maka jantung Agung Sedayu dan Sekar Mirah menjadi semakin berdebar-debar. Namun kemudian Pandan Wangi muncul dari pintu butulan, tibatiba saja Sekar Mirah telah meloncat dan berlari memeluknya. Pandan Wangi terkejut. Namun iapun menyadari betapa perasaan gadis itu telah bergolak. Ketika Pandan Wangi kemudian memeluknya pula dan mengusap rambutnya, terasa air mata Sekar Mirah telah menitik dipundaknya. “Sudahlah Sekar Mirah,“ berkata Pandan Wangi, “segalanya akan berjalan dengan lancar.” Sekar Mirah justru telah terisak. Ia tidak tahu, perasaan apa yang bergejolak di dalam hatinya. Ia sendiri tidak mengerti, apakah ia menjadi gembira, gelisah, cemas atau perasaan apa lagi yang telah bergelut dihatinya. Pandan Wangipun kemudian membimbingnya kembali keamben diserambi. Berempat merekapun kemudian duduk diamben bambu. Namun merekapun tidak berbicara apa-apa. Diruang dalam, Kiai Gringsingpun kemudian telah bersiap-siap pergi menemui Untara bersama Ki Widura. Sejenak mereka masih memperbincangkan persoalan-persoalan yang akan disampaikan oleh Kiai Gringsing kepada Untara. “Terimakasih,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “nampaknya bekal yang akan aku bawa sudah lengkap.” “Salamku kepada angger Untara,“ berkata Ki Gede Menoreh, “aku mohon maaf, bahwa aku tidak dapat menghadap. Justru setelah persoalan penting itu disampaikan, aku mungkin sekali akan dapat bertemu barang sejenak jika angger Untara mempunyai waktu sebelum aku kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.” “Akan aku sampaikan Ki Gede. Tetapi aku sendiri-pun belum tentu dapat menemuinya kali ini, sebab kadang-kadang Ki Untara tidak berada ditempat karena tugasnya,“ jawab Kiai Gringsing. Demikianlah, maka Kiai Gringsing dan Ki Widurapun kemudian meninggalkan padepokan itu, sementara Ki Gede Menoreh ditemani oleh Ki Waskita menunggu perkembangan pembicaraan itu di padepokan. Sementara itu, Sabungsari telah pergi ke baraknya pula untuk melakukan tugas

keprajuritannya. Swandaru dan Pandan Wangi membantu Agung Sedayu melakukan kewajibannya di padepokan bersama dengan Sekar Mirah, meskipun gadis Sangkal Putung itu tidak begitu senang berada dipadepokan kecil itu. Karena jarak padepokan itu hanya dekat saja dengan rumah Untara yang sekaligus dipergunakan bagi kepentingan prajurit-prajuritnya, maka Kiai Gringsing dan Ki Widura menempuh perjalanan pendek itu dengan berjalan kaki. Dalam pada itu, keduanya sempat pula menilai keadaan Kademangan Jati Anom itu sendiri. Nampaknya Untara terlalu sibuk dengan tugasnya sehingga ia tidak dapat memberikan banyak waktu untuk membantu perkembangan Kademangannya. Sebagai Kademangan, agaknya Sangkal Putung mendapat kemajuan agak lebih baik dari Jati Anom sendiri. Ketika mereka mendekati rumah Untara, kedua orang tua itu menjadi berdebar-debar. Selain karena mereka masih belum tahu apakah Untara berada dirumahnya. juga karena persoalannya memang merupakan persoalan yang akan dapat menimbulkan salah paham. “Mudah-mudahan ia dapat mengerti,“ desis Ki Widura. “Tetapi angger Untara memiliki pengamatan yang tajam. Mungkin ia dapat mengerti dalam keseluruhan. Bukan saja mengerti tentang perasaan adiknya dan bakal adik iparnya, tetapi mungkin ia dapat mengerti pula, apa yang akan terjadi kelak dalam hubungan antara Pajang dan Mataram,“ gumam Kiai Gringsing. Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Memang mungkin Kiai. Tetapi mudah-mudahan kita dapat membatasi persoalan. Jika Untara menarik pembicaraan kesana, justru kitalah yang berpura-pura tidak mengetahuinya.” Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Ketajaman penglihatan batin angger Untara akan melihat pula, bahwa kita berpura-pura.” Ki Widurapun tertawa pendek. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Memang mungkin. Jika demikian, apa boleh buat.” Keduanyapun kemudian terdiam ketika mereka melangkah mendekati regol. Seorang pengawal di regol itupun mengangguk hormat ketika mereka melihat Kiai Gringsing dan Ki Widura memasuki regol itu, karena pengawal itu telah mengenal keduanya. Kepada petugas digardu penjagaan Kiai Gringsing dan Ki Widura menyampaikan maksudnya untuk bertemu dengan Ki Untara. Karena itulah maka pemimpin prajurit yang sedang bertugas itu segera memerintahkan kepada seorang pengawal untuk menyampaikannya kepada Untara, apakah ia dapat

menerima Kiai Gringsing dan Ki Widura. “Ki Untara nampaknya tidak akan keluar hari ini,“ berkata pemimpin prajurit yang sedang bertugas itu. “Sokurlah,“ berkata Kiai Gringsing. “Mudah-mudahan kami mendapat waktu untuk sekedar berbicara.” Ternyata kehadiran kedua orang tua itu telah mengejutkan Untara. Karena itu, dengan tergesa-gesa iapun pergi kependapa untuk menyambut kedua orang tamunya itu. “Silahkan keduanya naik kependapa,“ pesan Untara kepada prajurit yang memberitahukan kehadiran kedua orang itu kepadanya. “Aku menunggu.” Prajurit itupun kemudian menyampaikannya kepada Kiai Gringsing dan Ki Widura serta mempersilahkan mereka naik kependapa. Meskipun jarak antara padepokan dan rumah Untara di Jati Anom yang dipergunakannya untuk kepentingan para prajurit itu tidak terlalu jauh, namun Untarapun seperti lajimnya, menanyakan keselamatan Kiai Gringsing dan Ki Widura di perjalanan dan mereka yang ditinggalkannya dipadepokan. Sebaliknya Kiai Gringsing dan Ki Widurapun bertanya pula tentang keselamatan Untara sekeluarga. Baru kemudian, Untara yang nampaknya melihat sesuatu yang penting pada kedatangan kedua orang tua itupun ingin segera tahu, apakah yang akan mereka katakan. Kiai Gringsing yang sudah akan mulai mengatakan kepentingan kedatangannya tertegun ketika ia melihat isteri Untara sendirilah yang datang menghidangkan minuman dan makanan. “Lama paman dan Kiai Gringsing tidak datang,“ berkata isteri Untara. “Ada macam-macam kesibukan yang memaksa aku menunda kunjungan yang sebenarnya sudah lama ingin aku lakukan,“ berkata Ki Widura, “sekarang nampaknya kesempatan itu terbuka. Dan aku memang memerlukan untuk datang menengok keluargamu.” “Silahkan paman dan Kiai Gringsing mencicipinya,“ berkata isteri Untara itu, “hanya sekedar air panas.” “Terima kasih,“ jawab Kiai Gringsing. “Silahkan, aku akan menyelesaikan pekerjaanku dibelakang.“ isteri Untara itupun kemudian beringsut dari tempat dan seperti yang dikatakannya, iapun pergi kebelakang. Namun dalam pada itu Ki Widura berdesis, “Isterimu sudah mengandung Untara.” Untara tersenyum. Jawabnya, “Ya paman. Aku akan mempunyai seorang anak. Aku berharap laki-laki.

Tetapi apapun yang akan dikurniakan Tuhan, aku mengucapkan terima kasih.” Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan segalanya dapat berjalan dengan lancar dan selamat.“ “Terima kasih paman. Doa dan restu paman dan Kiai Gringsing sajalah yang kami harapkan.” “Tentu, tentu, kami akan berdoa bagi angger sekeluarga,“ sahut Kiai Gringsing. Lalu, suaranya merendah, “Nampaknya saatnya memang tepat bahwa kami berdua datang sekarang ini.” Untara mengerutkan keningnya. Desisnya, “Apakah ada sesuatu yang sangat penting dan mendesak ?” “Disebut penting memang penting. Jika dianggap tidak, persoalannya memang persoalan yang wajar dan lumrah sekali ngger. Persoalannya adalah persoalan yang pada suatu saat, memang tidak akan dapat dihindari lagi.“ jawab Kiai Gringsing sambil mengangguk-angguk. Untara mengerutkan keningnya. Namun rasa-rasanya ia menjadi semakin ingin tahu, apakah yang akan dikatakan oleh Kiai Gringsing dan pamannya Widura. Namun dalam pada itu, ia sudah dapat menebak bahwa persoalannya agaknya menyangkut Agung Sedayu. “Kiai,“ berkata Untara, “penting atau tidak penting, rasa-rasanya aku menjadi berdebar-debar.” Kiai Gringsing tersenyum. Kemudian katanya, “Persoalannya menyangkut adik angger. Agung Sedayu.” “Aku sudah menduga, Kiai,“ sahut Untara. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa iapun menjadi berdebar-debar. Namun ia tidak akan menunda-nunda lagi. Apapun yang akan terjadi, sebaiknya segalanya segera menjadi jelas. Karena itu, maka dengan sangat hati-hati dan bijaksana Kiai Gringsing telah menyatakan kepada Untara, bahwa saatnya telah datang bagi Agung Sedayu untuk menempuh satu kehidupan baru. Ia sudah cukup dewasa, sementara hubungannya dengan Sekar Mirahpun nampaknya tidak ada kesulitan lagi. Ki Demang Sangkal Putung nampaknya tidak berkeberatan. Swandaru, saudara tua Sekar Mirahpun tidak berkeberatan pula. “Pada saatnya aku akan mengantarkannya menghadap angger Untara untuk menyampaikan segalagalanya.” berkata Kiai Gringsing. Untara menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata, “Waktunya memang sudah cukup masak. Umur Agung Sedayu sudah cukup. Demikian pula Sekar Mirah. Keduanyapun nampaknya telah bersepakat untuk mengikat perkawinan. “ Untara terdiam sejenak, namun kemudian, “tetapi apakah yang akan mereka lakukan setelah itu ?”

Pertanyaan itu memang sudah diduganya. Karena itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian menyahut, “Sekar Mirah sudah mengenal Agung Sedayu luar dan dalam. Karena itu, Sekar Mirahpun tentu akan menerima Agung Sedayu sebagaimana adanya.” “Meskipun demikian Kiai,“ jawab Untara, “dalam kehidupan berkeluarga, maka diperlukan beberapa hal yang berbeda dengan keperluan mereka sebelumnya. Sementara Agung Sedayu sampai saat ini masih belum mempunyai pegangan tertentu.” “Angger Untara,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “padepokan kecil itu akan dapat memberinya makan dan pakaian sekedarnya. Hasil sawah dan pategalan untuk sementara akan mencukupi bagi kami seluruh penghuni padepokan itu.” “Ah,“ jawab Untara, “apa arti hidup seperti itu. Agung Sedayu masih muda. Ia perlu berkembang dan meletakkan harapan bagi masa datang. Sedang hidup di padepokan nampaknya tidak akan ada satu harapan apapun juga untuk menemukan hari depan yang lebih baik. Sepanjang umurnya, ia adalah penghuni padepokan semacam itu.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Widura berkata, “Aku sudah memperingatkan hal itu kepada Agung Sedayu. Nampaknya ia menaruh perhatian juga bagi masa depannya. Namun sementara ini ia masih belum dapat menentukan pilihan. Apakah yang pantas dan tepat bagi dirinya. Dalam pada itu. Sekar Mirahpun telah mengetahuinya pula, dan nampaknya gadis itu tidak berkeberatan. Menurut perhitunganku, apabila Agung Sedayu telah mempunyai sisihan, maka ia akan mendapat imbangan sikap. Sekar Mirah akan dapat memberikan pertimbangan dan kemudian mendorongnya untuk mengambil satu keputusan bagi masa depannya. Dalam hal ini, perkawinannya justru akan mempercepat langkah Agung Sedayu menuju kesatu pilihan bagi masa depannya.” Untara menarik nafas dalam-dalam. Iapun tidak menolak jalan pikiran pamannya. Bahkan iapun menganggap, bahwa perkawinan Agung Sedayu akan mendorongnya untuk berpikir lebih bersungguhsungguh bagi satu masa depan yang lebih baik dari sekedar hidup didalam sebuah padepokan kecil. Dalam pada itu, Ki Widurapun berkata selanjutnya, “Penundaan yang berkepanjangan akan membuat Agung Sedayu semakin tidak menghiraukan masa depan dan dirinya sendiri.” “Ya paman,“ jawab Uitara, “tetapi jika setelah Agung Sedayu kawin, ia masih tetap berpikir sempit seperti sekarang, apakah hidup kekeluargaannya akan baik ? Aku mengenal sifat Sekar Mirah serba sedikit. Karena itu, aku mohon paman mempertimbangkannya.” “Aku juga mengerti serba sedikit tentang gadis Sangkal Putung itu,Untara,“ jawab Ki Widura, “tetapi justru karena itu, ia akan menjadi cambuk bagi Agung Sedayu. Jika Agung Sedayu tidak mempunyai kemampuan apapun juga, maka sikap Sekar Mirah akan dapat membuatnya semakin jauh terdorong kebelakang. Tetapi sebenarnyalah Agung Sedayu memiliki kemampuan yang cukup, sehingga dorongan

Sekar Mirah akan dapat ditanggapinya dengan sikap yang mapan. Bahkan dorongan Sekar Mirah, dilambari dengan kemampuan yang dimiliki oleh Agung Sedayu, maka ia akan dapat menjadi seorang yang akan diperhitungkan kelak.” Untara mengangguk-angguk kecil, katanya, “Mudah-mudahan paman. Aku berharap demikian.” Dalam pada itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian menyampaikan satu permintaan dari Ki Gede Menoreh yang berada di padepokannya yang menyangkut Agung Sedayu. “Apa maksud Ki Gede Menoreh, Kiai ? Apakah dengan demikian berarti, bahwa Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan Menoreh sebagai orang yang akan sekedar menjadi semacam hantu sawah untuk menakut-nakuti burung, karena Swandaru berhalangan melakukannya ? Dan ia akan melakukan kewajiban saudara iparnya yang mendapat wewenang karena saudara iparnya itu memperisteri anak Ki Gede Menoreh ?“ bertanya Untara. Pertanyaan Untara itupun sudah diduga pula oleh Kiai Gringsing. Karena itu, maka jawabnya, “Bukan begitu ngger. Agung Sedayu diminta oleh Ki Gede untuk berada di Tanah Perdikan Menoreh bersamanya. Masih dalam pemerintahan Ki Gede Menoreh. Jika angger Agung Sedayu berada disana, karena Ki Gede minta tolong kepada Agung Sedayu untuk memimpin dan memberikan bimbingan kepada anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh yang kini nampak semakin mundur karena kesehatan Ki Gede yang juga semakin mundur.” Untara mengerutkan keningnya. Ia mencoba menterjemahkan keterangan Kiai Gringsing itu. Sementara Widurapun memberikan beberapa keterangan yang senada, “Ia diperlukan karena ia memiliki sesuatu. Bukan karena yang lain, sementara Tanah itu memerlukan pertolongan.” Untara termenung sejenak. Ia mencoba membayangkan, apa yang akan dilakukan oleh adiknya di Tanah Perdikan Menoreh. Apakah ia akan menjadi pemimpin di Tanah Perdikan Menoreh, atau ia adalah sekedar orang upahan untuk sekedar memberikan latihan-latihan olah kanuragan kepada anak-anak muda, atau ia akan berada di Tanah Perdikan itu karena ia masih mempunyai hubungan keluarga meskipun sudah berbelit, dengan Swandaru ? Dalam pada itu. Kiai Gringsingpun berkata, “Angger, sebenarnyalah angger Agung Sedayu akan menghadap. Tetapi aku berjanji untuk mengantarkannya kelak jika masalah ini sudah diketahui oleh angger Untara lebih dahulu. Aku cemas, bahwa karena sikapnya yang ragu-ragu yang penuh dengan kebimbangan, Agung Sedayu akan salah sikap dihadapan angger.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia mengangguk-angguk sambil berkata, “Sebenarnya aku mempunyai beberapa keberatan Kiai. Tetapi baiklah aku bersikap lain. Aku akan mencoba menanggapinya sebagai seorang anak laki-laki dewasa. Biarlah ia mencari dan menentukan sendiri, apa yang dianggapnya baik baginya.” Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Terima kasih ngger. Mudah-mudahan Agung Sedayu dapat mengerti, bagaimana sikap angger Untara terhadapnya. Dan iapun merasa, bahwa ia memang harus menentukan segala sesuatu yang dihadapi didalam perjalanan hidupnya, sebagai seorang laki-laki dewasa.” Untara mengangguk-angguk. Tetapi ia benar-benar menempatkan dirinya sebagai seorang kakak dari seorang laki-laki dewasa, yang akan menentukan langkah menuju kesatu harapan bagi masa depannya, meskipun masih terlalu kabur. “Kiai,“ berkata Untara kemudian, “biarlah ia melakukan apa yang akan dilakukan. Bukan berarti aku akan melepaskan tanggung jawabku sebagai seorang saudara tua. Tetapi biarlah ia belajar bergumul dengan hidup yang sebenarnya.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk, ia menjadi gembira bahwa Untara tidak bersikap keras sehingga iapun harus bersikap keras. Karena itu maka katanya, “Agung Sedayu akan sangat menghargai sikap angger Untara. Baiklah pada kesempatan lain, aku akan mengantarkannya untuk menghadap angger Untara. Karena pada dasarnya, angger Untara adalah pengganti ayah bundanya. Dalam hubungannya dengan Sekar Mirah, maka angger tentu dimohon untuk melakukan semacam upacara untuk melamar. Aku akan mendampingi angger, karena aku adalah gurunya.” “Baiklah Kiai. Aku tidak akan ingkar,“ jawab Untara, “aku akan melakukannya. Namun aku mohon, bahwa Kiai dapat memberitahukan kepadaku hari-hari yang Kiai perlukan itu tiga atau ampat hari sebelumnya agar aku dapat membagi waktuku sebaik-baiknya.” “Akan kami lakukan ngger. Pada saatnya aku tentu akan datang bersama Agung Sedayu, sekaligus jika mungkin untuk memberitahukan segala persiapan yang diperlukan. Dan menentukan waktu, kapan kita akan pergi ke Sangkal Putung, menemui Ki Demang untuk dengan resmi mohon anak gadisnya yang akan diperisteri oleh Agung Sedayu. Sekaligus menentukan waktu dan menyelesaikan persoalanpersoalan yang lain pula,“ berkata Kiai Gringsing. Namun dalam pada itu, Untarapun bertanya, “Kiai, yang manakah yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu ? Apakah ia akan kawin dahulu baru kemudian pergi ke Menoreh, atau ia akan pergi juga meskipun perkawinan itu belum dilakukan ?” “Mungkin ia akan pergi juga meskipun perkawinan belum dilaksanakan, namun persoalanpersoalannya telah selesai,“

jawab Kiai Gringsing. “Demikian tergesa-gesa ?“ bertanya Untara, “apakah keadaan Tanah Perdikan Menoreh sudah terlalu parah ?” “Ya ngger. Tanah Perdikan Menoreh susut dengan cepatnya. Sejak Pandan Wangi mengikuti suaminya ke Sangkal Putung, Ki Gede merasa kesepian, dan apalagi karena ia sering diganggu oleh kakinya yang kadang-kadang dicengkam oleh perasaan sakit,“ jawab Kiai Gringsing. “Baiklah,“ berkata Untara kemudian, lalu. “sekali lagi aku akan menganggap bahwa ia adalah seorang laki-laki dewasa yang tahu apa yang baik bagi dirinya.” Demikianlah, maka Kiai Gringsing dan Ki Widura tidak mengalami kesulitan apapun. Setelah berbincang-bincang beberapa saat lamanya, maka Kiai Gringsing dan Widura itupun segera mohon diri. Pertemuan antara Kiai Gringsing, Ki Widura dengan Untara itu telah membuka jalan untuk melakukan segala-galanya. Ketika keduanya kemudian kembali ke padepokan dan menceriterakan hasil pembicaraan mereka, maka Ki Gede Menorehpun merasa sangat gembira. “Segalanya akan berjalan dengan rancak,“ gumam Ki Gede Menoreh, “ia akan segera pergi dan melakukan apa yang aku inginkan di Tanah Perdikan Menoreh.” “Ya Ki Gede. Tetapi ia harus melakukan beberapa hal berhubung dengan rencana perkawinannya,“ sahut Kiai Gringsing. Sekilas membayang kekecewaan diwajah Ki Gede itu. Katanya, “Apakah aku harus menunggu, sampai hari perkawinan itu lewat ?” “Tidak Ki Gede. Tetapi segala pembicaraanlah yang harus diselesaikan dulu. Semuanya harus diatur. Sehingga seandainya Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan Menoreh, maka ia akan kembali tepat pada waktunya untuk melangsungkan hari-hari perkawinannya,“ jawab Kiai Gringsing. “Dan aku harus menunggu semua persiapan itu ?“ bertanya Ki Gede pula. Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya, “Tidak perlu Ki Gede. Kami akan menyelesaikan. Tetapi jika Ki Gede sempat menunggunya, maka aku kira semuanya akan cepat berlangsung. Tidak akan ada kesulitan apa-apa, kecuali jika terjadi satu peristiwa yang mengejutkan, seperti yang sudah terjadi beberapa kali.” “Maaf Kiai, Tentu akan memerlukan waktu yang sangat panjang. Biarlah aku melihat pada saatnya. Namun aku akan menepati janjiku, besok aku akan datang menghadap angger Untara, dan lusa aku akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.”

“Sebaiknya Ki Gede menunggu meskipun tidak akan sampai pembicaraan ini tuntas,“ berkata Kiai Gringsing. Tetapi Ki Gede tidak dapat terlalu lama meninggalkan Tanah Perdikannya yang sedang meluncur dari satu tataran ketataran yang lebih rendah. Bahkan rasa-rasanya terlalu cepat. Orang-orang yang semula merasa dirinya bertanggung jawab sepenuhnya atas Tanah Perdikan itu, dalam waktu singkat telah berubah. Mereka lebih senang mengurus diri mereka sendiri beserta keluarganya tanpa menghiraukan keadaan disekitarnya daripada berbuat sesuatu bagi Tanah Perdikan Menoreh. “Nampaknya Prastawa memberikan teladan yang kurang baik,“ berkata Ki Gede didalam hatinya. “Selesai seorang pemimpin seharusnya ia memberikan contoh dengan sikap, tingkah laku dan perbuatan-perbuatan yang nyata, karena teladan akan jauh lebih berharga dari seribu kali perintah.” Karena itu, maka Ki Gedepun kemudian berkata, “Maaf Kiai. Aku akan kembali ke Tanah Pedikan Menoreh. Tetapi aku berjanji bahwa pada waktu yang dekat aku akan datang lagi menjemput angger Agung Sedayu. Meskipun hari perkawinannya belum dapat dilaksanakan segera, tetapi aku harap bahwa semua pembicaraan akan sudah selesai, sehingga pada saat-saat berikutnya, tinggal pembicaraan-pembicaraan mengenai pelaksanaannya saja.” Kiai Gringsing tidak dapat menahannya lebih lama. Iapun menyadari apa yang sedang terjadi diatas Tanah Perdikan itu. Karena itu, maka katanya kemudian, “Jika demikian, baiklah Ki Gede. Kami akan melangsungkan pembicaraan-pembicaraan disini. Sementara dalam waktu yang terhitung pendek, Ki Gede akan datang lagi untuk menjemput Agung Sedayu. Aku harap bahwa persoalan yang menyangkut dirinya telah selesai dan kepergiannya tidak akan mengganggu lagi.” Demikianlah, maka dihari berikutnya Ki Gede memerlukan menghadap Untara diantar oleh Kiai Gringsing. Tidak banyak yang mereka bicarakan, kecuali mengulang apa yang pernah dikatakan oleh Kiai Gringsing. Namun pada kesempatan itu, Untara telah berpesan agar Agung Sedayu mendapat pengamatan sebaik-baiknya. “Aku titipkan Agung Sedayu kepada Ki Gede,“ berkata Untara, “ia adalah seorang anak muda yang memerlukan dorongan untuk bertindak. Anak itu selalu dibayangi oleh pertimbangan-pertimbangan yang kadang-kadang tidak perlu, sehingga ia sering sekali mengalami kelambatan untuk mengambil keputusan.” “Aku akan mencoba ngger. Mudah-mudahan aku dapat memenuhi harapan anakmas Untara,“ jawab Ki Gede. “Dan sekali-sekali Ki Gede jangan mengikatnya dengan cara apapun juga. Juga tidak dalam hubungannya dengan keluarga Pandan Wangi yang seharusnya mewarisi Tanah Perdikan itu,“ berkata Untara selanjutnya.

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sudah mengerti serba sedikit tentang sikap Untara yang terbuka dan berterus terang. Karena itu, maka Ki Gede Menoreh yang sudah masak dengan pengalaman hidup itupun mengangguk-angguk sambil berkata, “Tentu anakmas. Tidak ada ikatan apapun juga atas angger Agung Sedayu. Aku mohon sekedar pertolongan untuk membangunkan Tanah Perdikan yang sedang meluncur turun kemata tangga yang paling rendah dari tataran lingkungan disekitar Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi dibanding dengan Kademangan Sangkal Putung yang berkembang dengan pesatnya.” “Juga tidak terikat oleh upah dalam pekerjaan yang akan dilakukan itu,“ sambung Untara. Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku orang tua ngger. Aku hanya sekedar ingin mohon pertolongan. Seandainya aku harus mengupah seseorang yang memiliki kecakapan, kemampuan dan ketrampilan seperti angger Agung Sedayu, apakah seluruh penghasilan Tanah Perdikan Menoreh satu tahun akan cukup untuk mengupah orang yang demikian itu selama satu tahun tinggal di Tanah Perdikan Menoreh ?” Untara mengangguk-angguk. Sementara iapun agaknya percaya akan keterangan yang diberikan oleh Ki Gede Menoreh. Karena itu, maka katanya kemudian, “Jika demikian, biarlah ia mencoba melakukan seperti yang Ki Gede kehendaki. Tetapi jika ia tidak berhasil jangan seluruh kesalahan ditimpakan kepada anak itu.” “Tentu, tentu,“ jawab Ki Gede dengan serta merta. Untarapun kemudian menyatakan harapannya bagi adik kandungnya. Satu-satunya saudaranya, bahwa anak muda itu harus membangun masa depannya. Untuk itu, katanya, “Mudah-mudahan, kehadirannya di Tanah Perdikan Menoreh tidak menutup usahanya untuk membangun hari depannya. Jika ia terlalu lama melakukan kewajiban seperti yang dimaksud oleh Ki Gede, maka aku mencemaskannya bahwa waktunya akan semakin sempit. Ia tidak akan sempat mempersiapkan diri memasuki masa depannya. Sementara di Tanah Perdikan Menorph ia tidak menanamkan biji yang akan dapat tumbuh dan berbuah bagi masa depannya itu.” Ki Gede yang sudah cukup berpengalaman menghadapi seribu macam sikap karena umurnya yang sudah semakin tua itu menanggapi pesan Untara dengan dada yang lapang. Ia masih menjawab dengan sareh, “Baiklah anakmas. Aku akan memperhatikan keadaan angger Agung Sedayu. Jika mungkin dan ada kesempatan baik, aku akan berusaha membantunya, agar angger Agung Sedayu menemukan jalan yang cerah bagi masa depannya yang masih sangat panjang.” Untara mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, “Aku mencemaskannya Ki Gede. Ia adalah satu-satunya saudaraku. Barangkali aku terlalu cemas melihat sikapnya sebagaimana aku melihatnya dimasa kanak-kanak.” Ki Gede mengangguk-angguk. Iapun akhirnya mengerti juga, bahwa Untara terlalu mengasihi adiknya.

Meskipun sikapnya agak keras, tetapi sebenarnyalah terpancar kasihnya itu justru pada sikap kerasnya, sesuai dengan watak Untara sendiri. Akhirnya Ki Gede itupun mohon diri. Ada beberapa pesan Untara yang diberikannya juga kepada Kiai Gringsing sebagai gurunya. Namun dalam banyak hal Untara mempercayai Kiai Gringsing sebagai seseorang yang telah berbuat dengan sungguh-sungguh dan tanpa pamrih, meskipun dalam beberapa hal, ia tidak sependapat dengan jalan pikirannya. Kedua orang tua itupun akhirnya mohon diri. Dipadepokan kecil mereka masih berbincang sejenak. Swandaru dan Pandan Wangi tidak dapat tinggal terlalu lama pula di padepokan itu. Sementara Sekar Mirahpun akan mengikut kakaknya suami isteri kembali ke Sangkal Putung. “Swandaru,“ berkata Kiai Gringsing, “kau sudah tahu, apa yang sedang kita bicarakan disini.” Swandaru mengangguk-angguk. Sementara itu Sekar Mirah hanya dapat menunduk dalam-dalam. “Jika kau kembali dan bertemu dengani Ki Demang,“ berkata Kiai Gringsing, “katakan apa yang kau ketahui. Tetapi juga katakan kepada ayahmu, bahwa kami, maksudku keluarga Agung Sedayu, akan datang sebagaimana seharusnya. Kami mohon maaf, bahwa kami telah membicarakannya lebih dahulu sebelum kami datang ke Sangkal Putung. Namun dengan satu pengertian, bahwa Ki Demang telah mengetahui persoalannya dan tidak pernah menyatakan keberatannya, sementara disini ada kau yang termasuk salah seorang keluarga yang dapat mewakili Ki Demang di Sangkal Putung.” Swandaru mengangguk-angguk pula. Katanya, “Ayah akan mengerti persoalannya guru. Dan aku akan mengatakan sebagaimana pesan guru.” “Baiklah. Kami akan menyelesaikan segala pembicaraan sampai tuntas. Pada suatu saat yang dekat, Ki Gede akan kembali untuk menjemput Agung Sedayu. Dalam pada itu, kami harap semua pembicaraan sudah selesai, sehingga kami hanya tinggal menunggu saat pelaksanaannya saja,“ berkata Kiai Gringsing kemudian. Swandaru berpaling sekilas kepada Sekar Mirah. Namun Sekar Mirah masih menunduk dalam-dalam. “Baiklah guru,“ jawab Swandaru kemudian, “kamipun berharap bahwa segalanya akan cepat selesai.” Dengan demikian, maka Swandarupun mendahului Ki Gede kembali ke Sangkal Putung bersama isteri dan adiknya. Sepeninggal Swandaru bersama isteri dan adiknya, maka orang-orang tua yang berada di padepokan itupun masih berbincang beberapa lamanya. Ki Gede Menoreh yang sudah memenuhi janjinya menghadap Untara, telah merencanakan untuk kembali dikeesokan harinya. “Padepokan kecil ini akan kembali menjadi sepi,“ berkata Kiai Gringsing.

“Pada saatnya padepokan ini akan menjadi sangat ramai,“ jawab Ki Gede, “meskipun tidak seramai Kademangan Sangkal Putung jika hari perkawinan itu datang. Aku kira, Agung Sedayu akan melakukan upacara boyongan. Tetapi aku tidak tahu, apakah ia akan memboyong isterinya kepadepokan kecil ini, atau kerumah peninggalan orang tuanya yang sekarang dipergunakan oleh Untara dan sebagian dari prajurit-prajuritnya.” Kiai Gringsing tersenyum. Jawabnya, “Terserah kepada angger Untara. Namun mungkin sekali Agung Sedayu akan membawa isterinya pada upacara boyongan itu tidak kepadepokan kecil ini, dan tidak pula ke rumah penanggalan orang tuanya.” “Lalu kemana ?“ bertanya Ki Gede. “Ke Tanah Perdikan Menoreh,“ jawab Kiai Gringsing. Ki Gede Menoreh tersenyum. Katanya, “Bila dikehendaki, kami akan sangat senang sekali untuk menerimanya.” Namun segalanya masih akan dibicarakan kemudian. Sementara itu Ki Gede Menoreh benar-benar telah memutuskan untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh dikeesokan harinya. Sebenarnyalah setelah bermalam satu malam lagi di padepokan kecil itu, maka Ki Gede Menorehpun segera bersiap-siap untuk meninggalkan padepokan itu. Setelah memperhitungkan waktu sejenak, maka Ki Gede dan Kiai Gringsing bersetuju. bahwa sebulan lagi Ki Gede akan datang lagi untuk menjemput Agung Sedayu dan mendengarkan segala hasil pembicaraan tentang kemungkinan yang akan segera terjadi dalam saat-saat perkawinan Agung Sedayu dengan gadis Sangkal Putung. “Kami menunggu Ki Gede,” berkata Kiai Gringsing, “pada hari kesepuluh bulan depan, aku berharap bahwa segala pembicaraan sudah selesai. Kemudian teserahlah kepada Ki Gede, apakah Ki Gede akan datang dipertengahan bulan, disaat purnama sedang bulat dilangit, atau pada saat-saat lain setelah hari kesepuluh itu.” “Baiklah Kiai,“ jawab Ki Gede, “kami akan datang disekitar hari kesepuluh. Tentu tidak akan terlalu jauh dari hari-hari itu, karena kamipun menginginkan, angger Agung Sedayu segera berada di Tanah Perdikan Menoreh.” Demikianlah, maka Ki Gede bersama pengawalnya-pun telah meninggalkan padepokan kecil di Jati Anom. Mereka langsung berpacu menuju ke Mataram. Rasa-rasanya Ki Gede ingin segera bertemu dengan Raden Sutawijaya untuk menyampaikan hasil pembicaraannya yang terakhir dengan Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan anak-anak Sangkal Putung yang dapat dianggap sebagai wakil Ki Demang. Ketika mereka sampai di Mataram, ternyata Raden Sutawijaya tidak sedang meninggalkan rumahnya. Karena itu, maka Ki Gedepun langsung dapat menjumpainya.

“Sokurlah,“ berkata Raden Sutawijaya setelah Ki Gede menyampaikan hasil pembicaraannya, “mudah-mudahan semuanya dapat berjalan dengan rancak. Aku tidak akan bersembunyi, bahwa akupun berkepentingan. Namun agaknya hal ini tidak akan dapat dikatakan kepada Untara.” “Ya ngger,“ jawab Ki Gede, “namun agaknya Untara mulai mencoba mengerti perasaan adiknya. Ia mulai belajar untuk menganggap Agung Sedayu sebagai seorang anak muda yang telah dewasa. Sebelumnya ia masih tetap menganggap adiknya satu-satunya itu sebagai kanak-kanak yang masih harus dibimbingnya, dimarahi dan dilarang untuk melakukan banyak hal yang dianggai oleh kakaknya berbahaya. Sebenarnyalah bahwa Untara terlalu mengasihi adiknya, sehingga ia menjadi terlalu khawatir. Khawatir bahwa adiknya akan mengalami kesulitan dan khawatir, bahwa hari depan adiknya itu akan menjadi sangat suram.” Raden Sutawijaya mengangguk angguk. Katanya, “Namun pada satu saat Untara dapat memaksa Agung Sedayu untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya sangat gawat dan juga sangat menakutkan bagi Agung Sedayu. Tetapi yang dilakukan itu ternyata dapat menjadi sebab, meskipun tidak langsung, untuk membangunkan Agung Sedayu dari bayangan ketakutan dan kekerdilan.” “Mudah-mudahan seterusnya Untarapun akan tetap bersikap demikian, dengan menganggap bahwa Agung Sedayu memang sudah dewasa,“ berkata Ki Gede Menoreh. “Akupun berharap, bahwa segalanya akan berjalan dengan baik. Dengan demikian, maka kepentingan kita masing-masing akan terpenuhi.” Dalam pada itu, setelah Ki Gede menceriterakan apa yang diketahuinya selama ia berada di Jati Anom, maka iapun segera mohon diri untuk melanjutkan perjalanannya. “Apakah Ki Gede tidak bermalam saja di Mataram ?“ bertanya Raden Sutawijaya. “Terima kasih ngger. Perjalananku tidak jauh lagi. Akupun merasa bahwa aku sudah terlalu lama meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Rasa-rasanya memang tidak sampai hati meninggalkan Prastawa terlalu lama seorang diri di Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin ia mengalami kesulitan jika ia menghadapi persoalan-persoalan yang rumit. Namun mungkin pula ia akan berbuat sekehendak hatinya menghadapi keadaan yang sedang susut itu,“ jawab Ki Gede. Kemudian, “Karena itu, maka aku mohon diri untuk meninggalkan Mataram, meskipun mungkin lewat senja aku baru sampai kerumah.” Raden Sutawijaya termangu-mangu. Namun nampaknya Ki Gede mengerti, bahwa Raden Sutawijaya mencemaskan perjalanannya. Karena itu, maka katanya, “Nampaknya tidak akan ada orang yang mengganggu perjalananku. Orang tua yang sudah tidak berarti apa-apa ini, tentu sudah tidak akan masuk hitungan manapun juga.” “Ki Gede masih juga seorang jantan seperti masa mudanya. Meskipun aku tidak melihat, bagaimana

sikap Ki Gede dimasa muda, namun rasa-rasanya aku dapat membayangkannya,“ desis Raden Sutawijaya. Ki Gede tersenyum. Namun dibalik senyumnya, ia menahan segores perasaan yang menyentuh jantungnya. Masa mudanya bukan masa yang cemerlang. Namun Ki Gede sama sekali tidak memberikan kesan gejolak perasaannya. Dalam pada itu, ternyata Ki Gede benar-benar ingin melanjutkan perjalanan. Karena itu, maka Raden Sutawijaya tidak dapat menahannya. Setelah dijamu minum dan makan, maka Ki Gede dan pengawalnyapun segera melanjutkan perjalanannya. Dalam pada itu, Ki Gedepun telah mendengar apa yang terjadi atas anak dan menantunya di jalan penyeberangan di Kali Praga. Namun Ki Gede sama sekali tidak mencemaskannya. Rasa-rasanya ia akan berjalan di halaman sendiri meskipun hari akan menjadi gelap. Sebenarnyalah bahwa perjalanan Ki Gede sama sekali tidak terganggu. Dengan selamat Ki Gede sampai ke Menoreh. Ketika para pengawal sudah menyalakan obor di regol-regol padukuhan, maka Ki Gede dan pengawalnya berkuda di jalan-jalan bulak. Tetapi mereka sudah berada di Tanah Perdikan Menoreh. Namun dalam pada itu, ketika ia sampai diregol sebuah padukuhan kecil menjelang padukuhan induk, Ki Gede terkejut. Dilihatnya beberapa orang berkumpul diregol. Nampaknya mereka sedang terlibat dalam pembicaraan yang sungguh-sungguh. Karena itu, maka Ki Gedepun tertarik untuk mendekati sekelompok orang-orang yang sedang sibuk berbincang itu. Bahkan demikian sibuknya orang-orang itu berbicara, sehingga mereka tidak menghiraukan derap kaki kuda yang mendekat. Baru ketika Ki Gede menyapa, orang-orang itu terkejut dan berpaling, “Ki Gede,“ hampir berbareng orang itu berdesis. “Apakah kedatanganku mengejutkan kalian ?“ bertanya Ki Gede sambil meloncat turun dari kudanya. Orang-orang itu justru saling berpandangan. Ki Gedepun termangu-mangu sejenak. Ia melihat perbedaan sikap orang-orang itu. Biasanya mereka menyambut kedatangannya dengan gembira tanpa segan-segan. Namun nampaknya saat itu, mereka dibayangi oleh satu sikap yang tidak dapat dimengerti oleh Ki Gede dan kedua pengawalnya yang telah turun pula dari kudanya. Sejenak Ki Gede memandangi orang-orang itu.

Diedarkannya tatapan matanya berkeliling. Namun setiap orang yang dipandanginya telah menundukkan kepalanya dalam-dalam Ki Gede adalah orang yang memiliki ketajaman perasaan. Panggraitanya cukup tinggi, sehingga iapun segera dapat mengerti, bahwa telah terjadi sesuatu dipadukuhan itu. “Apakah yang telah terjadi disini ?“ bertanya Ki Gede. Orang-orang itu saling berpandangan lagi. Namun merekapun kemudian menunduk pula dalam-dalam. “Apa yang terjadi ?“ Ki Gede mengulang. Orang-orang itu nampaknya menjadi semakin segan dan bahkan ketakutan. Namun akhirnya, seorang yang sudah berambut dan berkumis putih melangkah kedepan sambil berkata dengan nada bergetar, “Ki Gede. Aku adalah orang tua. Jika apa yang telah terjadi, Ki Gede menganggap satu kesalahan yang harus dihukum, maka akulah orang yang paling pantas mendapat hukuman.” “Apa yang telah terjadi ?“ bertanya Ki Gede sekali lagi. “Sebenarnya bukan maksud kami menentang kehendak angger Prastawa. Tetapi kami sekedar ingin memperingatkannya. Mungkin yang disampaikan Ki Gede agak berbeda dari yang kami maksudkan,“ jawab orang tua itu, “Karena itu, jika kami dianggap bersalah, maka hukuman apapun akan kami jalani.” Ki Gede menjadi berdebar-debar. Kemudian tanpa disadarinya selangkah ia maju. Namun dalam pada itu. orang orang yang berkerumun itupun telah melangkah surut. Justru tiga langkah. Tetapi orang tua berambut dan berkumis putih itu masih tetap berdiri ditempatnya. Suaranya masih bergetar, “Akulah orang yang paling bersalah, jika angger Prastawa ternyata tidak dapat menahan kemarahannya dan menyampaikannya kepada Ki Gede, sehingga memaksa Ki Gede untuk datang sendiri kepadukuhan yang tidak berarti ini.” Ki Gede semakin berdebar-debar. Tentu ada sesuatu yang gawat telah terjadi. Karena itu, maka iapun menjelaskan, “Aku belum bertemu dengan Prastawa. Aku baru datang dari Mataram. Karena itu, aku benar benar tidak mengerti, apa yang telah terjadi disini dengan kalian dan yang mungkin sekali telah menyangkut nama Prastawa.” Orang-orang padukuhan yang berkerumun diregol itu nampak terkejut. Namun sekali lagi mereka saling berpandangan. Sekali lagi wajah mereka memancarkan keraguan dan keseganan. Bahkan ketakutan itu masih membayangi mereka. Sejenak Ki Gede memandangi wajah-wajah yang tegang dan cemas itu. Ketika ia memandang orang tua berambut putih dan berkumis putih itu, maka iapun bertanya lagi, bahkan seolah olah dengan tidak sabar, “Apa yang terjadi ? Katakan.

Katakan apa yang kau ketahui.” Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kami mohon maaf, jika kami telah membuat angger Prastawa marah.” “Cepat katakan,“ Ki Gede hampir membentak. Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Jika Ki Gede benar-benar belum mengetahui persoalannya, baiklah aku akan menceriterakan. Tetapi sebelumnya kami, penghuni padukuhan ini mohon maaf yang sebesarbesarnya.” “Sudah aku katakan. Aku baru datang dari Mataram. Bukankah kau lihat, dari arah mana aku datang ? Dan bukankah kau lihat, keadaan kami setelah menempuh perjalanan yang agak panjang. Sekali lagi aku tegaskan, aku belum bertemu dengan Prastawa,“ jawab Ki Gede. Orang tua itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Sebenarnyalah Ki Gede, angger Prastawa baru saja kembali dari padukuhan ini.” “Apa anehnya ? “ potong Ki Gede. “Seperti biasanya angger Prastawa berkeliling disepanjang lorong yang menghubungkan padukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain. Dan seperti biasanya pula, angger Prastawa singgah dipadukuhan ini.” sambung orang tua itu. Namun Ki Gede segera memotong, “Ya. Aku sudah tahu.” Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Dan kali inipun angger Prastawa singgah sejenak dipadukuhan ini. Bersama dengan pengawal-pengawalnya, angger Prastawa berhenti digardu disebelah regol itu. Pada saat itu, adalah waktunya anak-anak pulang dari sawah. Termasuk gadis-gadis. Diantara gadis-gadis itu terdapat seorang gadis yang agaknya sudah lama berkenalan dengan angger Prastawa. Bukan perkenalan biasa, tetapi perkenalan yang nampaknya semakin erat.” “Prastawa mengganggu gadis itu?“ bertanya Ki Gede tidak sabar. “Tidak secara langsung Ki Gede,“ jawab orang tua itu. “Maksudmu ?“ Ki Gede mendesak. “Gadis itupun pulang dari sawah. Namun agaknya gadis itu berjalan di iring-iringan yang paling belakang. Bahkan berjarak lima anam langkah dari kawannya. Adalah kebetulan bahwa ia berjalan bersama seorang anak muda padukuhan ini,“ jawab orang tua itu.

Ki Gede yang tidak sabar memotong lagi, “Prastawa marah kepada anak muda itu ?” Orang tua itu ragu-ragu sejenak. Lalu, “Ya Ki Gede. Angger Prastawa marah. Ketika keduanya dihentikan diregol ini dan kemudian terjadi pembicaraan diantara mereka, angger Prastawa justru menjadi semakin marah.” “Anak itu disakiti ?“ Ki Gede mendahului pembicaraan orang tua itu. Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika. Ki Gede sempat, silahkan Ki Gede mendengarkan ceritera orang orang yang berkerumun ini, agar bukan hanya aku seorang sajalah yang menyampaikannya.” Tetapi Ki Gede tidak sabar lagi. Ia sudah dapat membayangkan apa yang terjadi. Karena itu. maka katanya, “Bawa iku kerumah anak itu sekarang.” Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu. Namun mereka terkejut ketika sekali lagi Ki Gede berkata lebih keras, “Bawa aku kerumahnya.” Orang berambut putih itu menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia tidak dapat membantah. Karena itu, maka iapun segera melangkah diikuti oleh Ki Gede, pengawalnya dan orang-orang padukuhan itu, menuju kerumah anak muda yang dikatakan oleh orang tua berambut putih itu. Selama mereka berjalan beriring, Ki Gede sama sekali tidak berbicara apapun juga, sementara orangorang yang mengiringinya tidak berani untuk mulai dengan membicarakan sesuatu. Karena itu, maka merekapun hanya saling berdiam diri. Dalam pada itu, demikian Ki Gede memasuki regol halaman rumah anak muda itu, maka kedua orang tua anak muda itupun telah menjatuhkan diri bersimpuh dikaki Ki Gede. Dengan tangisnya ibu anak itu memohon, “Ampun Ki Gede. Aku mohon ampun. Anakku sama sekali tidak bermaksud melawan angger Prastawa.” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan suara rendah ia berkata, “Bawa aku kepada anak itu.” “Aku mohon ampun. Jika Ki Gede menganggapnya bersalah, biarlah hukumannya ditimpakan kepadaku berdua,“ mohon ayahnya.

Ki Gede tidak menghiraukan mereka, karena didesak oleh keinginannya yang bergejolak didadanya untuk segera melihat anak itu. Karena itu, katanya sekali lagi, “Bawa aku kepadanya. Cepat.” Karena itu, kedua orang tua, serta orang-orang yang mendengarnya menjadi semakin cemas. Justru karena mereka sadar, bahwa Prastawa adalah kemanakan Ki Gede Meskipun ayah Prastawa itu pernah berbuat sesuatu yang mengancam jiwa Ki Gede, tetapi Ki Gede sudah melupakannya, sementara Prastawa justru menjadi orang kepercayaannya. Tetapi orang-orang itu tidak dapat menolak keinginan Ki Gede. Bahkan Ki Gedepun kemudian melangkah naik kependapa yang tidak begitu besar langsung memasuki pintu pringgitan sambil bertanya, “Dimana anak itu sekarang ?” Ibunya menangis semakin keras. Sementara ayahnya mengikuti Ki Gede dengan wajah yang pucat. Dalam pada itu, Ki Gedepun tertegun ketika ia mendengar suara keluhan yang tertahan-tahan. Iapun segera mengetahui, bahwa tentu anak itulah yang sedang mengeluh. Karena itu, maka iapun segera memasuki pintu sebuah bilik yang tidak terlalu luas. Dibilik itu dilihatnya dibawah cahaya lampu minyak seorang anak muda yang sedang berbaring. Namun demikian anak muda itu melihat Ki Gede, maka tiba-tiba saja ia telah mencoba untuk bangkit. Tetapi badannya masih sangat lemah, sehingga yang dapat dilakukannya hanyalah meluncur turun dari amben bambunya sambil memohon, “Ampun Ki Gede. Aku tidak bersalah. Aku sama sekali tidak dengan sengaja melakukannya.” Ki Gede memandang anak muda itu. Seperti orang lain, anak itu tentu mempunyai dugaan tertentu karena kedatangannya. Anak muda yang masih sangat lemah itu merangkak mendekati Ki Gede sementara ia masih saja memohon dengan suaranya yang tersendat-sendat. Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ketika anak muda itu sudah menjadi semakin dekat, maka Ki Gedepun melangkah maju sambil berkata, “Berbaring sajalah di pembaringanmu.” “Aku mohon ampun,“ tangis anak muda itu. Ki Gedepun kemudian membungkuk untuk menolong anak itu bangkit. Dengan suara lembut Ki Gede berkata, “Sudahlah. Berbaring sajalah.” Anak muda itu menjadi semakin gemetar. Tetapi badannya yang terasa sangat lemah itu sama sekah tidak dapat berbuat sesuatu kecuali menurut saja, apa yang dilakukan oleh Ki Gede. Dalam pada itu, Ki Gede telah menarik anak itu berdiri.

Kemudian memapahnya dengan hati-hati dan meletakkannya di pembaringannya. Sekali lagi ia berkata, “Berbaringlah.” Anak yang bingung itu termangu-mangu. Namun dengan perlahan-lahan Ki Gede mendorongnya berbaring dipembaringannya. Tanpa meminta kepada siapapun juga, Ki Gedepun kemudian mengambil lampu minyak di ajug-ajug. Kemudian mendekatkan lampu itu ketubuh anak muda yang kesakitan itu. Ki Gede berdesis menahan gejolak perasaannya. Dalam cahaya lampu ia melihat, tubuh anak itu menjadi merah biru. Wajahnya membengkak dan pada matanya terdapat warna merah kebiru-biruan. Dibibirnya masih nampak bekas darah yang mengering. Ayah anak muda itu berdiri dengan pucat dipintu bilik. Sementara ibu anak muda itu masih terdengar menangis diluar bilik. “Apa yang sudah terjadi ?“ bertanya Ki Gede kepada anak muda itu. “Aku tidak sengaja berbuat sesuatu yang dapat membuat Prastawa marah Ki Gede,“ anak itu mencoba menjelaskan dengan kata-kata yang patah-patah dan gemetar. “Kau disakiti ?“ bertanya Ki Gede pula. Anak itu tidak berani menjawab. Matanya yang kemerah-merahan bergerak perlahan-lahan, sementara terdengar ia berdesis menahan sakit. Ki Gedepun kemudian berpaling kepada ayah anak muda yang berdiri gemetar. Kemudian dengan isyarat tangan, dipanggilnya orang itu mendekat. Terbungkuk-bungkuk orang itu berjalan mendekat. Sementara Ki Gedepun kemudian berkata, “Anakmu harus mendapat perawatan sebaik-baiknya. Aku akan mengusahakan, agar seorang tabib yang baik akan mengobatinya.” Ayah anak muda itu justru menjadi bingung. Karena itu, maka iapun hanya dapat berdiri termangumangu. “Dimana rumah gadis itu ?“ tiba-tiba saja Ki Gede bertanya. Ayah anak muda itu benar-benar bingung menghadapi sikap Ki Gede. Ki Gede tidak mengatakan apaapa tentang anak laki-lakinya. Semula ia menyangka bahwa Ki Gede yang telah mendapat laporan dari Prastawa itu akan datang untuk menangkap dan menghukumnya. Namun yang dilakukan Ki Gede sama sekali tidak dimengertinya.

“Dimana ?“ desak Ki Gede. Ayah anak muda itu menjawab terbata-bata, “Disebelah gardu disimpang ampat lorong padukuhan itu Ki Gede.” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya sambil meletakkan kembali lampu minyak diajug-ajug, “Pada saat aku akan kemari lagi. Jagalah anakmu baik-baik. Ia akan mendapat pengobatan yang baik sehingga ia akan segera sembuh.” Ayah anak muda itu masih bingung ketika Ki Gede minta diri untuk pergi kerumah gadis yang menjadi sumber persoalan. “Aku tidak mengerti sikap Ki Gede,“ desis ayah anak muda itu sepeninggal Ki Gede. “Nampaknya Ki Gede tidak marah,“ tiba-tiba saja isterinya yang masih terisak itu berkata. “Ia bersikap baik terhadap anak kita. Dan ia mengatakan akan mengirimkan seseorang yang akan dapat mengobatinya,“ berkata ayah anak muda itu pula. “Mudah-mudahan aku tidak tertipu oleh anggapanku sendiri terhadap Ki Gede,“ berkata isterinya, “sebenarnyalah bahwa Ki Gede akan marah ketika ia mendengar pengaduan angger Prastawa. Anak kita memang anak bengal. Jika ia tahu, bahwa gadis itu mempunyai hubungan dengan angger Prastawa, kenapa ia masih berani mendekatinya ?” Dalam pada itu, Ki Gede bersama orang-orang padukuhan itu beriringan pergi kerumah gadis yang menjadi sumber persoalan. Berbeda dengan semula, Ki Gede telah memanggil laki-laki yang berambut putih dan berkumis putih itu agar berjalan disampingnya. “Apakah kau tahu, bagaimana keadaan sebenarnya dari gadis itu ? Apakah ia memang benar kawan baik Prastawa atau bahwa ia bersikap dan berbuat baik karena Prastawa seorang anak muda yang disegani di Tanah Perdikan ini ?“ bertanya Ki Gede. “Berkatalah sebenarnya,“ minta Ki Gede, “agar aku dapat menentukan sikap.” Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Aku mohon maaf sebelumnya Ki Gede. Sebenarnya aku tidak berani mengatakannya. Tetapi karena Ki Gede minta aku berceritera tentang gadis itu, baiklah aku berkata sebenarnya.“ orang itu berhenti sejenak, lalu, “Kami, penghuni padukuhan ini sebenarnyalah mengetahui, bahwa gadis dan anak muda yang disakiti oleh angger Prastawa itu memang sudah dijodohkan oleh orang tua masing-masing. Sejak angger Prastawa belum sering datang kerumah gadis itu.”

“Kemudian Prastawa datang dan agaknya tertarik juga kepada gadis itu,“ sambung Ki Gede. Laki-laki tua itu mengangguk. “Agaknya Prastawa telah mendengarnya pula bahwa gadis itu telah dipertunangkan. Ketika ia melihat gadis itu berjalan bersama anak muda yang sudah dipertunangkan itu, hatinya terbakar. Dan terjadilah peristiwa yang patut disesalkan itu,“ berkata Ki Gede pula menebak. “Ya, ya. Ki Gede. Memang demikianlah adanya,“ jawab laki-laki tua itu. “Tetapi karena Prastawa adalah kemanakanku, maka seolah-olah kedua anak padukuhan inilah yang bersalah,“ berkata Ki Gede lebih lanjut. Orang berambut dan berjanggut putih itu memandang wajah Ki Gede sekilas. Namun didalam keremangan malam, ia tidak dapat menebak, perasaan apakah yang bergejolak didalamnya Meskipun demikian, orang tua itu mendapat kesan dari pertanyaan dan tanggapan Ki Gede atas peristiwa itu, bahwa Ki Gede tidak datang untuk membela kemenakannya. Tetapi seperti yang dikatakannya, bahwa ia masih belum tahu apa yang telah terjadi karena ia baru saja datang dari Mataram. Bahkan agaknya Ki Gede Menoreh justru menganggap sikap Prastawa bukan sikap yang benar. Sejenak kemudian, Ki Gede dan beberapa orang yang mengiringinya telah sampai kerumah gadis yang menjadi sumber sengketa itu. Sebuah rumah yang tidak begitu besar dengan halaman yang tidak begitu luas. Regol halamannyapun nampak sederhaha dan tidak terawat, karena nampaknya keluarga gadis itu adalah keluarga yang sederhana. Kedatangan Ki Gede seperti juga dirumah anak laki-laki yang malang itu, telah menimbulkan ketakutan. Namun sikap Ki Gede sama sekali bukan sikap seorang yang datang untuk menghukum mereka. “Aku ingin bertemu dengan anak gadismu,“ berkata Ki Gede kepada orang tua gadis itu. Betapapun juga kedua orang tuanya menjadi gemetar. Namun kedua orang tua itu tidak dapat berbuat lain. Dipanggilnya anak gadisnya yang berada didalam biliknya. Dengan ketakutan gadis itu mendekat. Matanya masih nampak kemerah-merahan. Nampaknya ia telah menangis untuk waktu yang lama.

“Mendekatlah,“ panggil Ki Gede. Gadis itu menjadi semakin gemetar. Namun ia beringsut juga mendekat dan duduk dilantai dihadapan Ki Gede. Tetapi Ki Gede telah bangkit dan menarik gadis itu agar duduk bersama orang tuanya dan Ki Gede diamben bambu yang cukup luas untuk mereka. “Aku ingin mendengar keteranganmu,“ berkata Ki Gede, “katakan yang sebenarnya, apakah kau sudah sepaham dengan ayah ibumu, bahwa kau akan kawin dengan anak laki-laki yang bernasib malang itu ?” Pertanyaan itu membingungkan. Mereka tidak tahu pasti, apakah maksud Ki Gede yang sebenarnya. Dalam pada itu Ki Gedepun mendesak mereka, “Katakan yang sebenarnya. Dengan demikian aku akan dapat mengambil satu sikap yang benar pula.” Kedua orang tua itu ragu-ragu. Tetapi melihat sikap dan pertanyaan Ki Gede, mereka mulai menilai, bahwa Ki Gede tidak datang dengan maksud seperti yang mereka bayangkan. Karena itu, akhirnya ayah gadis itupun mengambil keputusan didalam hatinya untuk mengatakan yang sebenarnya. Apapun yang akan dialaminya, ia tidak akan dapat mengorbankan anak gadisnya sendiri, sehingga masa depannya akan menjadi sangat suram melampaui kesuraman hidup keluarga yang sederhana itu. “Ki Gede,“ berkata ayah gadis itu dengan suara gemetar, “kami, keluarga yang tidak berarti ini, memang sudah mengikuti satu pembicaraan hubungan antara kedua anak-anak kami.” Ki Gede mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Aku ingin mendengar apakah anak gadismu memang sudah menerima hal itu dengan ikhlas.” Ayah gadis itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya kepada anak gadisnya, “Katakan perasaanmu yang sebenarnya kepada Ki Gede.” Gadis itu menunduk dalam-dalam. Namun kemudian kepalanya terangguk kecil. Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa gadis itu memang sudah menerima keputusan orang tuanya. Karena itu, maka Ki Gedepun mengerti, bahwa kehadiran Prastawa agaknya telah merusak perasaan gadis itu dan kedua orang tuanya. Bahkan juga keluarga anak muda yang malang itu. Namun demikian untuk meyakinkan pendapatnya itu Ki Gede masih bertanya, “Bagaimana perasaanmu terhadap Prastawa ? Bukankah ia sering datang kemari ?”

Gadis itu menunduk semakin dalam. Bahkan diluar sadarnya, air matanyapun telah menitik satu-satu. Ketika ia mengusap air mata itu dengan jari-jarinya, maka Ki Gede bertanya, “Apakah kau takut mengatakan yang sebenarnya ? Aku adalah orang tua. Dan aku juga mempunyai anak gadis pada waktu itu, yang sekarang sudah bersuami. Aku kira aku akan dapat mengerti perasaanmu jika kau katakan dengan jujur.” Sekali lagi gadis itu mengusap matanya. Baru kemudian setelah jantungnya terasa hampir berhenti, ia berdesis lambat, “Aku takut.” Jawaban itu sudah cukup bagi Ki Gede. Jika gadis itu menerima kehadiran Prastawa dirumahnya, semata-mata karena gadis itu takut untuk menyatakan perasaan yang sebenarnya. Dan hal yang demikian bukannya terjadi untuk pertama kali. Namun bahwa Prastawa telah menyakiti anak muda yang tidak bersalah itu, tentu benar-benar telah menyinggung perasaan orang-orang dipadukuhan itu. Meskipun Ki Gede belum menanyakan kepada orang-orang padukuhan yang sebagian berada dihalaman rumah gadis itu, tetapi Ki Gede sudah dapat membayangkan, bahwa orangorang padukuhan itu telah berusaha mencegah Prastawa untuk berbuat lebih jauh lagi. Yang karena itulah, maka kedatangannya telah membuat orang-orang padukuhan itu menjadi sangat cemas bahwa ia akan memberikan hukuman kepada mereka. Dalam pada itu, karena Ki Gede merasa bahwa persoalannya sudah cukup diketahuinya, maka iapun kemudian minta diri. Namun ia masih berpesan kepada orang tua gadis itu, “Lakukan apa yang baik menurut kalian. Aku menjamin bahwa tidak akan ada tindakan apapun juga oleh siapapun juga. Kalian berhak menentukan apa yang baik bagi keluarga kalian. Juga bagi anak gadismu.” Kedua orang tua itu termangu-mangu. Namun Ki Gede menegaskan, “Prastawa tidak akan mengganggu kalian lagi. Aku yang akan mencegahnya.” Gadis itu masih tetap menunduk dalam-dalam. Namun ayah gadis itulah yang menjawab, “Terima kasih Ki Gede. Namun kami sebenarnyalah hanya dapat berlindung dibawah kemurahan hati Ki Gede.” “Adalah menjadi kewajibanku. Dan aku akan berbuat yang paling baik yang dapat aku lakukan,“ berkata Ki Gede kemudian. Demikianlah, dengan kedua orang pengawalnya Ki Gede meninggalkan padukuhan yang memberikan kesan suram baginya. Dalam pada itu, kepercayaan Ki Gede terhadap Prastawa menjadi semakin susut. Ia memang sudah

mendengar, bahwa hal yang demikian itu termasuk kelemahan Prastawa. Tetapi dengan tidak sengaja ia telah melihat sendiri, apa yang telah terjadi. Anak muda yang tidak bersalah itu telah mengalami penganiayaan yang parah. Seandainya anak itu memiliki sedikit kemampuan untuk membela diri, agaknya ia tidak akan berani melawan, karena Prastawa adalah kemanakannya. “Mungkin Prastawa telah menakut-nakuti orang-orang padukuhan itu dengan menyebut namaku,“ desis Ki Gede. Pengawalnya yang berkuda disebelah menyebelah itupun mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka menjawab, “Nampaknya memang demikian Ki Gede. Kehadiran Ki Gede membuat mereka menjadi sangat ketakutan.” “Jika sikap Prastawa itu tidak dihentikan, maka semakin banyak orang yang kurang senang kepadanya,“ berkata Ki Gede kemudian, “dan hal ini akan sangat berpengaruh bagi kemajuan Tanah Perdikan ini.” “Jika anak padepokan Jati Anom itu kelak datang, mungkin keadaan akan berubah. Agung Sedayu sudah dikenal disini meskipun ia tidak terlalu lama berada di Tanah Perdikan ini,“ sahut salah seorang pengawalnya. “Sebaiknya jangan kalian sebut hal ini lebih dahulu dihadapan Prastawa dan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Biar aku sendirilah yang memberitahukannya kepada anak bengal itu dengan hati hati, agar ia tidak terlalu tersinggung karenanya,“ berkata Ki Gede, bahkan kemudian katanya, “ada beberapa hal yang dapat menyebabkan Prastawa kecewa dengan keputusanku untuk minta bantuan Agung Sedayu bagi kemajuan Tanah Perdikan ini.” Kedua pengawal itu mengangguk-angguk. Mereka mengerti akan kemungkinan itu, karena merekapun mengenal Prastawa dengan baik. Karena peristiwa dipadukuhan sebelah itulah maka Ki Gede menjadi semakin yakin, bahwa harus ada orang lain yang dapat membantunya membangunkan Tanah Perdikan itu dari suasana yang semakin suram. Ketika Ki Gede memasuki padukuhan induk maka malam sudah menjadi semakin gelap. Para peronda diregol padukuhan terkejut melihat tiga ekor kuda yang berpacu. Namun merekapun segera melihat, bahwa yang datang adalah Ki Gede bersama dua orang pengawalnya. Di regol padukuhan Ki Gede menghentikan kudanya. Para perondapun berloncatan turun dari gardu dan berdiri berjajar dipinggir jalan. “Selamat malam,“ sapa Ki Gede.

“Selamat datang Ki Gede,“ jawab orang-orang itu hampir bersamaan. “Bagaimana dengan Tanah Perdikan ini selama aku pergi ?“ bertanya Ki Gede kepada para peronda. “Baik-baik saja Ki Gede. Tidak ada hal-hal yang mencemaskan yang terjadi selama Ki Gede tidak ada di Tanah Perdikan.” jawab salah seorang peronda itu. “Bagaimana dengan Prastawa,” hampir diluar sadarnya Ki Gede bertanya. “Nampaknya tidak ada masalah dengan anak muda itu. Ia melakukan kewajibannya sebagaimana biasanya,“ jawab peronda itu. Ki Gede mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Lakukanlah kewajibanmu. Aku akan meneruskan perjalananku yang tinggal selangkah. Aku merasa sangat letih.” “Silahkan Ki Gede,“ jawab para peronda itu. Ki Gede dan kedua pengawalnya itupun meneruskan perjalanan mereka. Sejenak kemudian merekapun telah sampai kerumah Ki Gede yang besar dan berhalaman luas. Namun terasa oleh Ki Gede, betapa sepinya rumah itu. Setelah berbicara sejenak dengan para pengawalnya yang menanyakan keselamatannya, maka Ki Gedepun menyerahkan kudanya kepada salah seorang diantara mereka. Kemudian naik kependapa sambil berkata kepada para pengawal, “Tunggulah.” “Baik Ki Gede,” jawab hampir bersamaan kedua pengawal itu. “Apakah kalian akan berada disini sampai esok, atau kalian akan langsung pulang malam ini?” bertanya Ki Gede. “Kami sudah cukup lama pergi Ki Gede. Jika diperkenankan kami akan langsung pulang malam ini,“ jawab salah seorang dari mereka. “Biarlah dipersiapkan makan kalian. Kalian tentu terasa lapar seperti aku juga lapar,“ berkata Ki Gede. Para pengawal itu tidak membantah. Meskipun mereka ingin segera bertemu dengan keluarga, namun mereka tidak dapat menolaknya. Dalam pada itu, ketika Ki Gede memasuki rumahnya, terasa kesepian itu telah mencengkamnya seperti hari-hari yang selalu dilaluinya di rumah itu. Apalagi setelah ia ada untuk beberapa hari dipadepokan yang ramai menurut penilaiannya, meskipun padepokan itu hanyalah sebuah padepokan kecil.

Ki Gede yang termangu-mangu itu terkejut ketika seseorang menyusulnya sambil berkata, “Selamat datang paman.” Ki Gede berpaling. Dilihatnya Prastawa berdiri didepan pintu sambil tersenyum, “Aku kira paman tidak akan datang malam-malam begini. Menurut dugaanku, paman baru akan datang besok.” Ki Gedepun tersenyum pula. Katanya, “Aku singgah di Mataram, Prastawa.” “Apakah Senapati Ing Ngalaga juga baru kembali dari Jati Anom bersama paman hari ini ?“ bertanya Prastawa. “Tidak. Raden Sutawijaya telah mendahului. Karena itu aku singgah untuk menyampaikan beberapa pesan,“ jawab Ki Gede Menoreh. “Paman tentu ingin minum minuman panas,“ desis Prastawa. “Ya Prastawa. Juga kedua pengawal itu. Katakan kepada para pembantu didapur, kami memerlukan makan dan minum. Jika mereka sudah tidur, tolong, bangunkan mereka, karena kami memang merasa lapar dan haus,“ berkata Ki Gede. “Baik paman,“ jawab Prastawa sambil melangkah pergi. Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian meletakkan beberapa perlengkapan dan pusakanya dibiliknya. Kemudian iapun pergi kepakiwan. Dalam pada itu, rumah Ki Gede Menoreh yang sudah lelap itu seolah-olah terbangun. Beberapa orang perempuan mulai menyalakan api didapur untuk merebus air dan menanak nasi. Sementara Ki Gede membersihkan diri dipakiwan. Dua orang pengawalnya menjadi gelisah. Sebenarnya mereka ingin segera pulang kerumah yang sudah beberapa hari mereka tinggalkan. Tetapi mereka terpaksa menunggu orang-orang didapur menanak nasi. Tetapi akhirnya nasipun masak. Karena tidak ada lagi lauk yang dapat dihidangkan, maka para pembantu itupun telah mengambil beberapa butir telur dipetarangan. Baru setelah kedua pengawal itu dijamu makan dan minum, maka merekapun dipersilahkan pulang oleh Ki Gede. Meskipun malam menjadi semakin larut, namun mereka tidak ingin bermalam lagi. Sejenak kemudian, maka kedua pengawal itupun telah meninggalkan rumah Ki Gede yang terasa menjadi semakin sepi. Diregol para peronda telah membagi diri. Sebagian telah terbaring untuk tidur digiliran pertama. Sementara yang lain, duduk bersila dibibir regol bagian dalam. Pada waktu-waktu

tertentu dua diantara mereka meronda disekeliling halaman dan kebun berganti-ganti. Namun dalam pada itu, meskipun sisa makan telah disingkirkan, Ki Gede masih saja duduk dipendapa, meskipun malam telah menjadi semakin dalam. Seolah-olah memang ada yang ditunggunya. Dalam pada itu, Prastawa yang melihat Ki Gede masih saja duduk dipendapa telah mendekatinya dan duduk pula disampingnya sambil bertanya, “Apakah paman tidak lelah dan ingin segera tidur ?” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Prastawa sejenak. Lalu katanya, “Kemarilah. Duduklah disini, Prastawa.” Prastawa mengerutkan keningnya. Ia menjadi heran, bahwa Ki Gede nampaknya masih akan berbicara meskipun malam telah larut. Namun Prastawa tidak membantah. Iapun kemudian duduk dihadapan Ki Gede meskipun dengan hati yang berdebar-debar. “Prastawa,“ berkata Ki Gede, “demikian aku sampai dirumah ini, kembali aku merasakan kesepian yang mencengkam. Dirumah ini dahulu ada Pandan Wangi yang kadang-kadang sempat bergurau dengan kau dan para pembantu didapur. Aku kadang-kadang masih sempat mendengar kau dan Pandan Wangi tertawa dalam kelakar yang segar. Namun sekarang, rasa-rasanya rumah ini benar-benar sepi.” Prastawa mengangguk-angguk. Iapun merasakan betapa pamannya merasa kesepian. Sementara ia tidak terlalu banyak dapat bergaul dengan pamannya, karena ia terlalu sering berada diluar rumah. Tidak dirumah pamannya dan tidak dirumahnya sendiri. “Apalagi Prastawa,“ berkata Ki Gede, “satu-satunya kawanku dirumah ini, kau, jarang-jarang berada dirumah.” Terasa jantung Prastawa berdesir. Ia merasa kebenaran kata-kata pamannya. Dan jantungnya menjadi semakin berdebar-debar ketika pamannya bertanya, “Apakah kau juga merasakan kesepian itu dirumah ini Prastawa ?” Prastawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia mengangguk kecil sambil menjawab, “Ya paman. Sebenarnyalah akupun merasakan kesepian itu. Aku mohon maaf paman, bahwa aku tidak berani mengganggu paman terlalu sering. Karena itulah agaknya aku sering keluar rumah.” “Prastawa,“ berkata Ki Gede kemudian, “coba katakan kepadaku, apakah yang kau kerjakan diluar rumah. Apakah kau benar-benar mendapat kesempatan untuk mengisi kekosongan dan kesepianmu ?” Pertanyaan itu membuat Prastawa semakin berdebar-debar. Karena itu untuk sesaat ia tidak menjawab. “Prastawa,“ suara Ki Gede menjadi dalam, “kau nampaknya ingin juga mengetahui, apakah yang aku

dapatkan dengan perjalananku kali ini ke Jati Anom.” Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia menjawab, “Ya paman. Sudah tentu aku ingin segera mengetahuinya.” “Baiklah. Aku masih belum terlalu letih. Rasa-rasanya aku justru tidak dapat segera tidur. Baru saja aku makan, sehingga aku perlu duduk barang sejenak. Kesempatan ini dapat aku pergunakan untuk sekedar memberikan oleh-oleh bagimu,“ berkata Ki Gede. “Jika paman belum letih, aku senang sekali mendengarnya,“ jawab Prastawa. “Sebenarnyalah aku mengerti, bahwa kau tidak akan kerasan dirumah ini jika kau seorang diri. Dirumah ini ada aku, tetapi aku rasa umur kita terpaut terlalu banyak untuk saling menyesuaikan diri dalam bermacam-macam hal. Perhatianku dan perhatianmu tentu jauh berbeda. Apa yang ingin aku percakapkan dan apa yang ingin kau percakapkan, tentu jauh berbeda pula. Caramu bergurau dan caraku tentu akan lain,“ Ki Gede berhenti sejenak, lalu. “Karena itu, aku telah berusaha untuk mencari seorang kawan buatmu, agar kau tidak terlalu kesepian dirumah ini.” Wajah Prastawa menegang sejenak. Diluar sadarnya ia beringsut sejengkal. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Siapakah orang itu paman ?” Ki Gede merenungi wajah Prastawa sejenak, lalu katanya, “Agung Sedayu. Aku minta ia berada di Tanah Perdikan ini, sehingga ia akan dapat menjadi kawanmu. Umurnya lebih tua sedikit dari umurmu. Pengetahuan dan ilmunyapun barangkali lebih sedikit pula dari pengetahuan dan ilmumu.” Ternyata jawaban itu mengejutkan Prastawa. Sejenak ia menegang. Kemudian dengan nada yang tinggi ia bertanya, “Maksud paman, Agung Sedayu dari Jati Anom.” “Ya Prastawa. Aku kira ia akan dapat mengisi rumah ini untuk beberapa lamanya,“ jawab Ki Gede. “Apakah artinya itu paman ? “ suara Prastawa mulai bergetar. “Bukankah bagimu lebih baik pula ada kawan dirumah, daripada kau harus berada di jalan-jalan disepanjang sore dan tengah malam pertama disetiap malam,“ desis Ki Gede, “bahkan kadang-kadang dengan demikian akan dapat menimbulkan persoalan dan salah paham, sehingga dalam gelap hati, sulit untuk dapat mengendalikan perasaan.” Terasa jantung Prastawa bagaikan berdentangan. Iapun segera teringat, apa yang baru saja terjadi.

Apa yang telah dilakukan atas anak muda yang pulang dari sawah berjalan beriringan dengan gadis yang telah menarik perhatiannya. Sejenak Prastawa bagaikan mematung. Dipandanginya Ki Gede sekilas sambil menebak, apakah maksud Ki Gede mengatakan hal itu kepadanya. Namun nampaknya Ki Gede memang sudah sampai pada batas kesabarannya tentang kelakuan Prastawa yang sering didengarnya dari beberapa pihak, sementara ia telah melihat sendiri salah satu dari hasil perbuatannya. Karena itu, maka katanya, “Prastawa. Diperjalanan kembali dari Mataram, aku telah melihat salah satu akibat salah paham itu. Seorang anak laki-laki telah kau sakiti. Bahkan cukup parah.” Wajah Prastawa menjadi merah padam. Bahkan dalam sekilas Ki Gede melihat dendam yang menyala, seolah-olah Prastawa telah berteriak, “Awas kalian yang telah menyampaikan hal ini kepada paman.” Tetapi seolah-olah Ki Gede dapat menangkap isi hati yang memang telah membara didalam dadanya. Karena itu, maka katanya, “Jangan menyalahkan orang-orang itu Prastawa. Ketika aku lewat, aku melihat beberapa orang yang berkerumun diregol sebuah rumah yang sederhana. Aku tertarik kepada mereka yang nampaknya sedang mengalami sesuatu. Sebenarnyalah mereka sedang mengalami satu kejutan batin karena peristiwa yang baru saja terjadi. Kedua orang tua anak muda yang kau sakiti itu menangisi anaknya dengan putus asa,“ Ki Gede berhenti sejenak, lalu. “kedatanganku merupakan titik embun dalam teriknya padang yang kering. Aku berjanji kepada mereka bahwa kau tidak akan berbuat seperti itu lagi. Di padukuhan itu dan dimanapun juga di tlatah Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, aku minta keikhlasanmu Prastawa. Agar kata-kataku dapat dipercaya oleh orang-orang di Tanah Perdikan ini, mudah-mudahan kau dapat mengertinya.” Wajah Prastawa menjadi semakin tunduk. Pamannya tidak langsung melarangnya. Tetapi ia mengerti sepenuhnya, apa yang dimaksud oleh pamannya. Kemudian Ki Gede itupun berkata, “Besok pagi-pagi, aku akan mengirimkan seorang yang pandai dalam ilmu obat-obatan untuk menyembuhkannya. Mudah-mudahan ia tidak menjadi cacat.” Prastawa sama sekah tidak menyahut. Kata-kata pamannya itu langsung menghunjam ke jantungnya. Sakit. Tetapi iapun mengerti sepenuhnya dan mengerti, bahwa yang dilakukan itu dapat menyakiti hati orangorang Tanah Perdikan Menoreh. “Sudahlah,“ berkata Ki Gede kemudian, “aku yakin bahwa kau dapat mengerti. Dalam usiamu yang muda itu, hendaknya kau dapat memilih langkah. Meskipun aku tidak dapat mengingkari, bahwa dalam usia muda bagi seorang laki-laki, tentu akan selalu mengerling cantiknya seorang gadis. Namun hendaknya kita dapat sedikit mengekang diri sebagaimana martabat kita di Tanah Perdikan ini.”

Prastawa masih tetap menunduk dalam-dalam. Sementara Ki Gedepun berkata, “Sebenarnya ada masalah lain yang ingin aku katakan. Seperti tadi aku sudah menyinggungnya, aku akan mencari kawan bagimu Prastawa. Kawan yang sebaya meskipun agak lebih tua sedikit daripadamu. Niatku ini timbul bukan karena peristiwa yang baru saja terjadi. Sebelumnya aku memang sudah membicarakannya dengan yang bersangkutan, dengan Kiai Gringsing dan dengan kakakmu Swandaru berdua. Semuanya setuju, bahwa untuk sementara Agung Sedayu akan berada di Tanah Perdikan ini. Ia akan dapat mengawanimu. Dirumah, maupun dalam tugas-tugasmu dilapangan. Jika kau meronda dimalam hari, atau melihat-lihat padukuhan-padukuhan yang pada saat-saat terakhir nampak mundur dalam banyak hal. Bukan saja dilihat dari gairah anak-anak mudanya, tetapi juga kemunduran di bidang-bidang yang lain.” Terasa jantung Prastawa berdentangan. Tetapi justru karena pamannya baru saja menyatakan kekecewaannya tentang sikapnya, maka rasa-rasanya ia tidak mempunyai kesempatan untuk menyatakan perasaannya. Karena itu, maka kekecewaan itu hanyalah didekapnya didalam jantungnya. Namun yang demikian itu, akan dapat merupakan api yang membara didalam sekam. Ki Gede dapat melihat hal itu. Ki Gedepun mengetahui kemungkinan yang demikian. Namun ia berharap, bahwa dalam waktu mendatang, ia akan mempunyai kesempatan untuk berbicara lagi dengan anak itu dan memberikan sekedar petunjuk-petunjuk agar ia dapat menempatkan dirinya sebaikbaiknya. Setelah hal itu dikatakannya, rasa-rasanya beban yang menyumbat dada Ki Gede telah dapat diletakannya. Rasa-rasanya hatinya menjadi sedikit lapang dan malam-pun tidak lagi terasa kelam dan pepat. “Sudahlah Prastawa,“ berkata Ki Gede, “masih ada waktu untuk membicarakannya lebih panjang lagi. Agaknya aku benar-benar letih dan ingin segera tidur. Setelah nasi diperutku tidak lagi terasa menyumbat pernafasan, maka aku akan beristirahat.” Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah ia ingin mendinginkan jantungnya yang membara dengan menghirup sejuknya udara malam. Namun iapun kemudian mohon diri untuk kembali ke gandok. “Beristirahatlah pula,“ desis Ki Gede. “Ya paman,“ sahut Prastawa perlahan sekali. Dalam pada itu, ketika Prastawa masuk kedalam gandok, maka dihentakkannya tangannya pada tiang sehingga seakan-akan seluruh gandok itu berguncang.

“Gila,“ geram Prastawa, “kenapa paman memanggil anak dungu itu kemari. Ia tidak akan berarti apaapa disini selain akan mengganggu saja.” Tetapi Prastawa tidak kuasa menentang maksud pamannya. Betapapun ia kecewa atas keputusan itu. Namun tiba-tiba ia menarik nafas sekali lagi. Ia mulai membayangkan seorang gadis yang namanya dihubungkan dengan Agung Sedayu. Gadis Sangkal Putung yang sangat menarik. Sekar Mirah. “Apakah gadis itu juga akan selalu datang kemari ?“ berkata Prastawa didalam hatinya, “secara resmi gadis itu belum mempunyai ikatan dengan Agung Sedayu. Jika pada suatu saat hatinya berpaling kepadaku, maka aku kira akan dapat bersaing dengan anak padepokan kecil itu. Aku mempunyai kemungkinan hari depan yang jauh lebih baik dari anak padepokan kecil itu. Apalagi jika Sekar Mirah sendiri telah menjatuhkan pilihan.” Tiba-tiba saja Prastawa tersenyum. Rasa-rasanya ia sudah siap berlomba melawan Agung Sedayu karena ia merasa memiliki banyak kelebihan. Namun dalam pada itu, Prastawa menjadi berdebar-debar jika dikenangnya keterangan pamannya tentang sikapnya. Meskipun tidak langsung, namun pamannya telah memberikan penilaian atas tingkah lakunya. Betapa dendam menyala dihatinya, tetapi Prastawa tidak akan berani berbuat sesuatu, karena segalanya sudah diketahui oleh pamannya. Jika ia datang lagi kepadukuhan itu, dan memaki-maki atau bahkan menyakiti orang-orang yang dianggapnya telah menyampaikan laporan itu kepada pamannya tentu akan menjadi semakin keras terhadapnya. “Baiklah,“ berkata Prastawa kemudian didalam hatinya, “aku akan menunjukkan kepada paman, bahwa anak muda yang bernama Agung Sedayu itu tidak akan berarti apa-apa disini. Ia bahkan hanya akan menimbulkan persoalan yang tidak menguntungkan, dan bahkan perpecahan saja. Namun yang aku harapkan adalah, bahwa gadis Sangkal Putung itu akan sering juga datang kemari, sehingga aku akan dapat menentukan siapakah diantara aku dan Agung Sedayu yang lebih menarik baginya, bukan saja karena ujud jasmaniah, tetapi juga ilmu dan kemampuan nalar.” Prastawa memaksa bibirnya untuk tersenyum. Kemudian, iapun membaringkan dirinya dipembaringannya. Namun demikian ia tidak segera dapat memejamkan matanya. Pikirannya masih saja mondar mandir tidak menentu. Sementara itu, Ki Gedepun telah masuk kedalam biliknya. Justru setelah ia menyampaikan masalah-masalah yang memepatkan dadanya kepada Prastawa, maka Ki Gedepun merasa tenang dalam tidurnya.

Tetapi dalam pada itu, gejolak hati Prastawa tidak mengguncang hatinya hanya dalam saat-saat menjelang tidurnya. Ketika matahari naik dilangit, maka iapun telah berada diantara beberapa orang kawannya yang terdekat. Beberapa orang anak muda yang dengan sengaja mengambil perhatian Prastawa untuk kepentingan mereka masing-masing. Dengan demikian, maka dalam beberapa hal mereka mendapat kedudukan lebih baik didalam pandangan Prastawa dari kawan-kawan mereka yang lain. “Kita akan mendapat tamu,“ berkata Prastawa kepada kawan-kawannya itu. “Siapa ?“ bertanya salah seorang dari mereka. “Kalian tentu sudah mengenalnya. Namanya Agung Sedayu,“ jawab Prastawa. “O, Agung Sedayu. Saudara Swandaru.“ hampir berbareng kawan-kawannya menjawab. “Hanya saudara seperguruan,“ sahut Prastawa, “Swandaru adalah anak seorang Demang yang mempunyai daerah yang luas dan besar. Tetapi Agung Sedayu adalah anak padepokan yang kecil dan tidak mempunyai kedudukan apapun juga.” Tetapi Prastawa terkejut ketika salah seorang kawannya berkata tanpa maksud apa-apa, “Bukankah Agung Sedayu itu saudara tua seperguruan Swandaru, tetapi juga saudara muda Untara Senapati Pajang di Jati Anom.” Prastawa menggeram. Katanya, “persetan. Darimana kau mengetahuinya ?” “Beberapa orang mengatakan demikian,“ jawab anak muda itu. “Ia memang adik Untara. Tetapi ia sama sekali tidak lagi dihiraukan oleh kakaknya karena pokalnya sendiri.” Beberapa orang kawannya itu mengerutkan keningnya. Ia mulai menangkap sikap Prastawa. Mulamula mereka menyangka bahwa Prastawa merasa senang bahwa ia akan mendapat seorang tamu. Namun ternyata bahwa Prastawa mempunyai sikap yang lain. Dengan hati-hati seorang kawannya bertanya, “Apakah ia akan menjadi tamumu ?” Prastawa menggeleng sambil menjawab, “Tidak. Aku tidak memerlukannya.” “Jadi ? “ yang lain berdesis. “Paman telah mengundangnya untuk tinggal beberapa lama di Tanah Perdikan ini,“ jawab Prastawa, “memang aneh. Aku tidak mengerti maksud paman yang sebenarnya, menurut paman. Agung Sedayu diundang ke Tanah Perdikan ini untuk mengawani aku. Menurut paman, aku kesepian disini.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja Prastawa membentak, “Itu adalah sikap yang bodoh dari seorang Kepala Tanah Perdikan.” Tidak seorangpun yang menanggapinya. Kawan-kawan Prastawa itu tidak tahu apa yang sedang bergejolak dihati Prastawa yang sebenarnya. Karena itu, maka mereka menunggu saja apa yang akan dikatakan oleh Prastawa. “Nah,“ berkata Prastawa, “jika benar Agung Sedayu akan datang, maka kita akan dapat menentukan sikap. Aku akan menunjukkan kepada paman, dan kepada anak-anak muda Tanah Perdikan ini, bahwa kehadiran Agung Sedayu sama sekali tidak ada artinya.” “Apa yang harus kita lakukan ?“ bertanya seorang kawannya. “Aku akan melihat kemampuan anak Jati Anom itu. Jika ia tidak memiliki kemampuan serendahrendahnya setingkat dengan ilmuku, maka kehadirannya hanya akan membuat Tanah Perdikan ini menjadi kotor.“ namun tiba-tiba Prastawa berkata, “Tetapi aku tidak berniat untuk mengusirnya. Biarlah ia disini, tetapi dengan pengertian, bahwa ditanah ini, terdapat anak-anak muda yang memiliki kemampuan melampaui kemampuannya, sehingga ia tidak akan memandang kita terlalu rendah. Apalagi jika niat paman Argapati memberikan kesempatan kepada anak muda itu untuk memberikan latihanlatihan kanuragan disini.” Kawan-kawan Prastawa itu mengangguk-angguk. Seorang diantaranya melangkah maju sambil berkata, “Ia akan menyad iri dirinya sendiri. Bahwa kehadirannya tidak ada gunanya. Ia tidak akan dapat meningkatkan kemampuan anak-anak perdikan yang sudah lebih baik daripadanya.” “Bodoh,” Prastawa hampir berteriak, “ia memiliki kemampuan yang tentu lebih tinggi dari kemampuan kalian.” Anak-anak Tanah Perdikan itu menjadi heran. Namun Prastawa meneruskan, “Tetapi ilmukulah yang lebih tinggi dari ilmunya. Tidak semua anak-anak muda disini.” Anak anak itu mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka berdesis, “Nah, memang begitulah maksudnya. Tetapi nampaknya kawan kita itu salah ucap.” “Ya, ya. Begitulah,“ sahut anak muda yang salah ucap itu dengan serta merta. “Aku ingin mengatakan, bahwa meskipun ia memilikikemampuan diatas kemampuan anak-anak perdikan ini, tetapi tidak akan dapat menyamai ilmu kenuragan yang dimiliki oleh Prastawa.” Prastawa mengerutkan keningnya. Namun iapun tertawa pula ketika ia melihat anak muda yang salah ucap itu menjadi pucat. Namun kemudian Prastawa itupun berkata, “Sudahlah. Kita akan menunggu kedatangannya. Mungkin ia tidak akan terlalu lama lagi berada disini. Tetapi anak yang malang itu akan kecewa atas kesombongannya. Dan paman Argapatipun akan merasa kecewa pula bahwa ia telah membawa orang yang tidak akan berarti apa-apa disini.”

Kawan-kawan Prastawa itupun mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka berkata, “Sebaiknya pada hari pertama ia berada disini kau sudah menunjukkan kepadanya, bahwa ia tidak akan ada artinya disini.” “Ya,“ Prastawa mengangguk. Dan yang lainpun berkata, “Kau harus memaksanya untuk mengakui kelemahannya. Kau tentu dapat melakukannya.” “Sudah aku katakan, aku akan berbuat demikian,“ jawab Prastawa. “Bagus,“ sahut yang lain pula, “Kita harus mempunyai kebanggaan atas Tanah Perdikan ini. Seolaholah Tanah Perdikan ini tidak memiliki putra-putra terbaiknya yang akan dapat menjadi takaran tingkat kemampuan dari Tanah Perdikan ini.” “Jangan khawatir,“ sahut Prastawa. “Kalian akan mendapat kesempatan untuk meyakinkannya, bagaimana anak itu dengan wajah yang pucat dan gemetar bersujud dibawah kakiku untuk menyatakan kekalahannya.” Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka masih sempat memuji-muji Prastawa sebagaimana biasa mereka lakukan. Dengan berbuat demikian maka Prastawa akan menjadi senang dan seperti biasanya, ia akan mengajak kawan-kawannya untuk membeli makanan dan kadang-kadang yang termasuk mahal bagi mereka sehari-hari. Dalam pada itu, selagi Prastawa di Tanah Perdikan Menoreh digelisahkan oleh berita kedatangan Agung Sedayu, dan sikap pamannya tentang perbuatannya yang bahkan menyakiti seorang anak muda dipadukuhan kecil di Tanah Perdikan itu, maka di Jati Anom Kiai Gringsingpun sedang sibuk dengan berbagai macam pembicaraan tentang Agung Sedayu. Orang tua itu telah merencanakan segala sesuatunya. Kapan ia akan pergi bersama Untara untuk dengan resmi datang menghadap Ki Demang Sangkal Putung untuk minta bahwa Sekar Mirah akan dijodohkannya dengan Agung Sedayu serta sekaligus memperhitungkan hari, meskipun tidak tergesa-gesa. “Pada hari kesepuluh semua pembicaraan harus sudah selesai, karena sekitar hari-hari itu Ki Gede Menoreh akan datang kepadukuhan ini,” berkata Kiai Gringsing kepada Widura dan Ki Waskita yang masih berada di padepokan kecil itu. “Masih ada waktu,“ berkata Widura, “sebelumnya kita harus menghubungi Ki Demang, agar Sangkal Putung bersiap-siap menerima kedatangan kita. Tetapi lebih dahulu kita harus mendapat kepastian waktu dari Untara. Kapan ia dapat pergi ke Sangkal Putung.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Mengenai angger Untara biarlah kita serahkan saja kepada pamannya, Ki Widura. Dalam kesibukannya, ia kami mohon untuk melapangkan waktu bagi kepentingan adiknya.”

Ki Widura tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku akan datang kepadanya untuk membicarakan, kapan ia dapat pergi ke Sangkal Putung. Tentu sebelum hari kesepuluh bulan depan.” “Untuk memberitahukan kepada Ki Demang di Sangkal Putung setelah kita mendapat kepastian hari untuk pergi ke Sangkal Putung, biarlah aku serahkan kepada Ki Waskita,“ berkata Kiai Gringsing pula. Ki Waskitapun mengangguk-angguk Jawabnya, “Baiklah. Tetapi bukankah aku tinggal menunggu ?” “Ya,“ sahut Ki Widura, “setelah aku bertemu dengan Untara.” “Mudah-mudahan Untara tidak disibukkan dengan persoalan dua orang tawanan yang tersimpan di Mataram,“ berkata Kiai Gringsing. “Apakah Untara mendapat kewajiban karena tawanan-tawanan itu ?“ bertanya Ki Waskita. “Sampai sekarang nampaknya tidak,“ jawab Kiai Gringsing, “tetapi mungkin ada perkembangan berikutnya. Jika Pajang tetap berniat untuk mengambil kedua orang itu, kemudian dengan sengaja menghadapkan Untara kepada kekuatan Mataram, maka mungkin sekali Untaralah yang kemudian mendapat perintah untuk mengambil kedua orang tawanan itu dengan cara apapun juga.” “Apakah mungkin Untara ?“ bertanya Ki Widura, “menurut perhitunganku. Pajang akan memerintahkan orang lain yang tidak akan dapat menimbulkan persoalan-persoalan khusus. Jika Untara yang mendapat perintah, maka mungkin sekali Untara akan memanfaatkan keadaan, karena Untarapun tentu mengenal Pringgabaya. Ia akan dapat menelusur keterangan tentang Pringgabaya yang sudah diberitakan mati itu.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia menganggap bahwa Widura yang bekas seorang prajurit itu tentu mempunyai wawasan yang lebih tajam daripadanya. Maka katanya, “Mudah-mudahan. Dengan demikian persoalan Agung Sedayu tidak akan terhambat oleh perkembangan hubungan Mataram dan Pajang yang nampaknya untuk beberapa saat akan tetap seperti saat ini. Bagaimanapun juga kedua belah pihak nampaknya masih tetap berusaha mengekang diri.” “Mudah-mudahan,“ berkata Ki Widura, “namun demikian, aku akan segera melakukan kewajiban ini agar tidak tertunda-tunda oleh keadaan yang mungkin saja dapat berubah setiap saat.”

Namun bagi Kiai Gringsing, sebenarnyalah semakin cepat persoalan itu diselenggarakan akan menjadi semakin baik. Mereka tinggal menunggu saat yang sudah disepakati bersama dengan Ki Gede Menoreh. Bahwa Agung Sedayu akan diambilnya dan dibawa ke Tanah Perdikan itu meskipun pelaksanaan perkawinan itu masih akan dilangsungkan kemudian. Sementara itu. Agung Sedayu yang gelisah menunggu segala macam pembicaraan tentang dirinya, berusaha mengisi waktunya didalam sanggar. Selain ia memberikan latihan-latihan kepada para cantrik, maka ia telah menempa Glagah Putih sejalan dengan gairah Glagah Putih yang sangat tinggi. Sehingga dengan demikian, maka Glagah Putihpun tumbuh dengan pesatnya pula dalam olah kanuragan. Bahkan ketika pada suatu saat ayahnya menyaksikan perkembangannya, maka orang tua itu hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Agak sulit bagi Widura untuk mengerti, bagaimana mungkin Agung Sedayu yang setiap hari menekuni ilmunya yang diterima dari gurunya dan usahanya untuk meluluhkan ilmu itu dengan ilmu yang diterimanya dari Ki Waskita, dapat memberikan dasar-dasar ilmu yang bersih dari cabang perguruan Ki Sadewa. Sementara itu. iapun menjadi kagum akan perkembangan ilmu Glagah Putih yang masih sangat muda itu. Semua dasar dan landasan ilmu yang bersumber dari ilmu Ki Sadewa telah dikuasainya. Dengan teratur ia mendapat tuntunan dari Agung Sedayu, bagaimana ia harus mengembangkan landasan ilmu itu sebaik-baiknya. Bagaimana Glagah Putih memanfaatkan pengaruh ilmu dari perguruan lain yang mempunyai bukan saja ciri-ciri yang berbeda, tetapi wataknyapun berbeda pula. Hati Glagah Putih yang memang tercurah sepenuhnya pada usaha penguasaan ilmu itupun berusaha dengan sungguh-sungguh untuk dapat melakukan segala petunjuk Agung Sedayu. Kejernihan akalnya telah membuatnya terlalu cepat mengerti dan bahkan menguasai setiap masalah yang dilontarkan oleh Agung Sedayu. Bahkan kadang kadang Agung Sedayu telah menuntut Glagah Putih dengan cara yang agak keras. Kadang-kadang Glagah Putih harus membela dirinya dari serangan-serangan yang sulit yang dilontarkan oleh Agung Sedayu, sehingga tidak jarang Glagah Putih benar-benar menjadi kesakitan oleh serangan-serangan Agung Sedayu. Namun sementara itu, dalam keadaan yang khusus, didalam sanggar itu hanya terisi oleh ampat orang saja. Kiai Gringsing, Ki Waskita, kadang kadang Widura dan Agung Sedayu. Tidak ada tujuan lain bagi Ki Waskita selain mewariskan segala-galanya kepada Agung Sedayu atas ijin Kiai Gringsing. Bahkan Kiai Gringsing yang dalam saat-saat tertentu menyaksikan latihan-latihan yang berat dari Agung Sedayu dalam usahanya meluluhkan berbagai macam ilmu yang dikuasainya, serta kekhususan yang dimilikinya, tidak dapat tinggal diam. Sehingga pada suatu saat diluar pengetahuan Agung Sedayu, maka orang-orang tua itu bergumam diantara mereka, “Tidak ada lagi yang dapat kita berikan kepadanya.” Bahkan Widura berkata, “Akulah yang sekarang harus berguru kepadanya.”

“Kiai,“ berkata Ki Waskita kemudian kepada Kiai Gringsing, “kepemimpinan Kiai ternyata sangat menentukan didalam hidup Agung Sedayu. Setelah ia memiliki ilmu yang tidak lagi dapat diperbandingkan dengan mak-anak muda sebayanya, kecuali dengan orangorang khusus seperti Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa yang lebih tua sedikit saja daripadanya, maka petunjuk-petunjuk Kiai justru akan menjadi semakin penting baginya didalam menentukan jalan hidupnya. Menjelang hari-hari perkawinannya, maka ia akan dihadapkan pada beberapa pilihan yang akan menentukan hari depannya. Karena itu dukungan pengaruh kajiwan akan sangat penting baginya, sehingga ia tidak akan kehilangan sifat-sifatnya yang baik yang selama ini menjadi ciri-ciri hidupnya. Tentu saja tidak ada seorangpun didunia ini yang tidak mempunyai cacat. Juga Agung Sedayu. Namun aku yakin bahwa Kiai sudah memberikan dasar yang kokoh bagi Agung Sedayu pada landasan sifat-sifat yang dimiliki sebelumnya.” Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Aku kurang jelas. Apakah Ki Waskita sedang memuji aku atau justru menuntut.” Ki Waskitapun tersenyum pula. Bahkan Ki Widura tertawa karenanya. “Kedua-duanya Kiai,“ jawab Ki Waskita, “aku memuji sekaligus menuntut. Untuk kepentingan Agung Sedayu.” “Baiklah,“ berkata Kiai Gringsing yang masih tersenyum, “aku akan mencoba berbesar hati karena pujian itu, dan sekaligus prihatin agar aku dapat memenuhi tuntutan yang berat itu.” Meskipun yang diucapkan oleh Ki Waskita dalam pembicaraan dengan Kiai Gringsing dan Ki Widura itu seolah-olah hanya gurau yang lepas begitu saja, namun sebenarnyalah hal itu merupakan kata hati yang memang tersirat didada orang-orang tua itu. Dalam pada itu, pembicaraan mengenai hari-hari perkawinan Agung Sedayupun berjalan terus. Ki Widura yang kemudian menemui Untara telah mendapat ketetapan waktu, sehingga dengan demikian, maka Ki Waskitalah yang harus pergi ke Sangkal Putung, untuk memberitahukan kepada Ki Demang, bahwa Kiai Gringsing, Untara dan beberapa orang pengiring akan datang ke Sangkal Putung untuk membicarakan dengan sungguh-sungguh saat saat yang ditunggu-tunggu oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah. “Besok aku akan pergi ke Sangkal Putung,“ berkata Ki Waskita. “Apakah Ki Waskita memerlukan kawan seperjalanan ?“

bertanya Kiai Gringsing. “Aku kira belum perlu. Bukankah aku hanya sekedar memberitahukan bahwa secara resmi keluarga Agung Sedayu akan datang ? Karena itu aku akan pergi saja sendiri,“ jawab Ki Waskita. Namun ternyata dikeesokan harinya, Ki Waskita tidak pergi sendiri. Glagah Putih yang ingin mengikutinya, telah mendapat ijin dari ayahnya. “Tetapi Ki Waskita tidak pergi tamasya,“ berkata Ki Widura, “karena itu, jika persoalan yang dibawa oleh Ki Waskita selesai, maka kau jangan merengek untuk tinggal lebih lama lagi di Sangkal Putung, meskipun barangkali Swandaru ingin membawamu berkeliling melihat-lihat Kademangannya.” Glagah Putih mengangguk, meskipun sebenarnya ia memang ingin melihat Sangkal Putung yang menjadi semakin mantap. Ternyata pembicaraan mengenai hari perkawinan Agung Sedayu dan Sekar Mirah itu berjalan rancak. Ketika Ki Waskita sampai di Sangkal Putung, maka ia telah disambut dengan gembira karena Ki Demang memang sudah menduga masalah yang dibawa oleh Ki Waskita. Dalam kesibukan sehari-hari, maka pembicaraan mengenai hari-hari perkawinan anaknya itu justru terasa sangat menarik bagi Ki Demang. Rasa-rasanya hadir suasana lain didalam hatinya. Bukan saja persoalan air, pematang dan tukang pande serta pasar-pasar yang menjadi semakin penuh sesak, tetapi dengan demikian seolah-olah Ki Demang sempat membicarakan masalah-masalah dirinya dan keluarganya secara khusus. “Jadi, dalam tiga hari mendatang. Kiai Gringsing, Ki Widura dan angger Untara akan datang ke gubugku ini ?“ bertanya Ki Demang meyakinkan. “Ya Ki Demang. Mungkin ada dua tiga orang pengiring yang akan menyertai mereka seperti kebiasaan yang berlaku. Orang-orang tua dan sanak kadang,“ jawab Ki Waskita. “Terima kasih. Aku akan menerima mereka dengan gembira sekali. Karena sebenarnyalah aku sudah menunggu saat-saat yang demikian,“ jawab Ki Demang. Ki Demang benar-benar merasa gembira. Bagaimanapun juga, ada perasaan khawatir dihatinya, karena hubungan yang menjadi semakin dekat antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah, justru karena Ki Demang adalah orang tua Sekar Mirah, seorang gadis. Memang agak berbeda dengan orang tua seorang anak muda dalam hubungan yang demikian. Ternyata bahwa Ki Waskita tidak terlalu lama berada di Sangkal Putung. Ketika pembicaraan diantara mereka telah selesai, maka Ki Waskitapun segera minta diri. Tetapi Ki Demang telah menahannya sampai saat mereka makan siang. Baru setelah makan siang, Ki

Waskita dilepaskannya kembali ke Jati Anom bersama Glagah Putih. “Kau tinggal disini saja Glagah Putih,“ ajak Swandaru, “bukankah tiga hari lagi, akan datang beberapa orang utusan dari Jati Anom? Nah, jika mereka kembali, kau dapat ikut bersama mereka. Disini kau dapat melihat-lihat perkembangan Kademangan ini. Besok menjelang matahari sepenggalah kita dapat pergi ke pasar. membeli jenis makanan apa saja yang kau sukai.” Rasa-rasanya ada juga keinginan Glagah Putih untuk tinggal. Tetapi Ki Waskita berkata, “Kau ingat pesan ayahmu ?” Glagah Putih tersenyum. Sambil mengangguk ia menjawab, “Ya paman.” Swandaru tertawa. Katanya, “Apakah ayah akan marah jika kau tinggal ?” Glagah Putih memandang Ki Waskita sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Aku mendapat pesan, agar aku kembali bersama Ki Waskita.” Swandaru tertawa semakin keras. Katanya, “Baiklah. Sebaiknya kau memang melakukan pesan ayah sebaik-baiknya.” Demikianlah maka keduanyapun kemudian meninggalkan Sangkal Putung kembali ke Jati Anom. Disepanjang jalan didalam lingkungan Kademangan Sangkal Putung, Glagah Putih melihat, betapa hijaunya sawah dan ladang. Parit menjalar menyusup tanah persawahan, sehingga tidak sejengkal tanahpun yang tidak dicapai oleh jalur air yang naik dari bendungan. Namun agaknya keberhasilan Swandaru, mempengaruhi pula beberapa Kademangan yang berbatasan dengan Sangkal Putung. Mereka mencoba untuk menyesuaikan diri dengan kemajuan yang telah dicapai oleh Swandaru. Beberapa bebahu Kademangan tetangga, tidak segan-segan untuk menghubungi Ki Demang di Sangkal Putung dan belajar dari padanya, untuk kemajuan Kademangan mereka masing-masing. “Biarlah Swandaru memberikan keterangan,“ setiap kali Ki Demang Sangkal Putung dengan bangga menyebut nama anak laki-lakinya. Ternyata bahwa Swandarupun tidak berkeberatan untuk menularkan kemajuan Kademangannya kepada Kademangan-kademangan tetangganya. Meskipun demikian, agaknya Kademangan-kademangan tetangganya tidak mampu mengejar ketinggalan mereka, terutama dalam hal peningkatan ketrampilan olah kanuragan bagi para pengawal Kademangan. Sementara itu, Ki Waskita dan Glagah Putih berpacu menyelusuri bulak-bulak panjang. Tidak ada sesuatu yang menghambat perjalanan mereka, sehingga merekapun telah tiba di padepokan kecil di

Jati Anom dengan selamat. Demikianlah, maka hari-hari berikutnya terasa menjadi sangat gelisah bagi Agung Sedayu. Setiap ia menyadari dirinya, maka iapun menjadi berdebar-debar. Jika hari perkawinan itu ditentukan terlalu dekat, apakah yang dapat dilakukannya bagi kepentingan keluarganya. Bahkan kedudukannya di Tanah Perdikan Menorehpun masih tetap kabur baginya. Apakah yang dapat dipetik dari kedudukannya itu bagi sebuah keluarga ? Bukankah bagi kepentingan keluarga kecilnya nanti, bukannya sekedar dapat dicukupi dengan kedudukan dan kehormatan ? Apalagi jika diingatnya sifat Sekar Mirah yang mempunyai kemiripan dengan sifat kakaknya, Swandaru Geni. Namun dalam pada itu, semakin ia gelisah, maka ia berusaha semakin menenggelamkan diri didalam sanggarnya, untuk kepentingan para cantrik, kepentingan Glagah Putih dan kepentingan sendiri. Dalam pada itu, Glagah Putih yang tidak tahu pasti perasaan yang bergejolak dihati Agung Sedayu, merasa mendapat keuntungan dengan kesempatan yang diberikan oleh kakak sepupunya. Glagah Putih menganggap bahwa kakaknya tentu memperhitungkan bahwa tidak lama lagi, ia akan ditinggalkannya. Karena itu, sebelum kakak sepupunya itu pergi, maka ia telah meninggalkan tuntunan sebanyakbanyaknya bagi Glagah Putih sebagai pembuka jalan untuk mengembangkan ilmunya setelah segala dasar dan landasannya telah diberikan oleh Agung Sedayu. Sebenarnyalah dalam waktu yang singkat itu, Glagah Putih mencapai kemajuan yang pesat, meskipun tubuhnya kadang-kadang merasa sakit dan tulangnya bagaikan retak. Nampaknya Agung Sedayu sudah sampai pada suatu cara yang terakhir yang dipergunakannya untuk meningkatkan kemampuan dan membuka pikiran Glagah Putih untuk mengembangkan ilmu yang sudah diterimanya. Sementara itu, prajurit muda sahabat Agung Sedayu masih juga selalu datang berkunjung pada saat senggang. Sabungsaripun telah mendengar segala-galanya. Juga tentang rencana kunjungan Untara dan beberapa orang tua ke Sangkal Putung. “Seharusnya kau merasa gembira Agung Sedayu,“ berkata Sabungsari. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah mencoba untuk bergembira. Tetapi aku justru menjadi sangat gelisah.” Sabungsari tersenyum. Katanya, “Menurut pendengaranku setiap orang yang akan memasuki saat perkawinannya memang menjadi gelisah.” “Akupun sudah mendengarnya pula,“ jawab Agung Sedayu, “tetapi kegelisahanku agak berbeda. Bukan saja karena aku gelisah menjelang dipersandingkan. Tetapi yang paling menggelisahkan adalah, bagaimana sesudah semalam aku dihormati dengan segala macam upacara itu ? Jika malam kemudian lewat dan hari-hari berikutnya mendatang, aku akan terlempar pada suatu kenyataan tentang diriku.”

“Bukankah kau akan berada di Tanah Perdikan Menoreh ?“ bertanya Sabungsari. “Ya. Tetapi apakah aku akan dapat bertanya kepada Ki Gede, bagaimana hidupku kemudian setelah aku berada di Tanah Perdikan Menoreh ? Apakah aku akan dapat membeli sepasang subang bagi Sekar Mirah, atau seuntai kalung atau perhiasan-perhiasan lainnya ?“ desis Agung Sedayu. Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti, betapa kegelisahan meronta dihati Agung Sedayu menghadapi masa depannya. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu sendiri tidak dengan sungguh-sungguh berusaha membina hari depannya. “Adalah satu kebanggaan bahwa Agung Sedayu dapat mewarisi ilmu gurunya seutuhnya,“ berkata Sabungsari didalam hatinya, “tetapi seharusnya ia mempunyai sikap yang lain pada segi kehidupan gurunya yang bertahan dalam pengembaraannya sampai hari-hari tuanya. Kiai Gringsing tidak mempunyai seorangpun yang dapat memberati perasaannya didalam pengembaraan dan hidup sebagaimana dijalani. Tidak seorangpun yang harus dipertanggung jawabkannya. Hidupnya yang terselubung oleh bayangan tirai kediriannya itu, memungkinkannya untuk berbuat demikian sampai batas yang dikehendakinya sendiri. Tetapi tentu tidak bagi Agung Sedayu yang masih ingin menyusun kehidupan sewajarnya, seperti kebanyakan orang. Berkeluarga dan menimang seorang anak.” Sebenarnyalah bahwa hal itulah yang telah menggelisahkan Agung Sedayu justru semakin dekat harihari perkawinannya. Pembicaraannya yang selalu kurang sesuai dengan Sekar Mirah adalah karena keduanya mempunyai arah berpikir yang berbeda. Agung Sedayu yang dibebani oleh seribu macam pertimbangan dan keragu-raguan sementara Sekar Mirah yang memandang masa depan dengan harapan dan bahkan keinginan-keinginan. Namun dalam pada itu, Sabungsari selalu berusaha untuk menghindari pembicaraan lebih lanjut yang akan dapat membuat Agung Sedayu semakin gehsah. Dalam keadaan tertentu, Sabungsari kadangkadang lebih senang mencari Glagah Putih dan menantangnya masuk kedalam sanggar. “Ayo, lawan aku hari ini,“ ajak Sabungsari. Agung Sedayu tidak pernah berkeberatan jika Glagah Putih berlatih dengan Sabungsari. Agung Sedayu mengerti, bahwa Sabungsari tidak akan mempengaruhi landasan ilmu Glagah Putih. Yang mereka lakukan adalah saling mengasah diri, seakan-akan mereka benar-benar telah bertempur. Namun karena Sabungsari memiliki kelebihan dari anak-anak muda sebayanya, justru ia menempa diri dalam dorongan dendam yang menyala. Tetapi ia kagum melihat kemajuan yang dicapai oleh Glagah Putih. Sementara itu hari yang dijanjikan telah tiba, bahwa Untara dan Widura sebagai keluarga terdekat dan Kiai Gringsing sebagai guru Agung Sedayu akan datang ke Sangkal Putung diiringi oleh beberapa orang tua.

Menjelang senja. Kiai Gringsing dan Widura telah berada dirumah Untara. Tiga orang-orang tua tetangga Untara telah hadir pula. Mereka akan bersama-sama pergi ke Sangkal Putung. Seperti yang mereka rencanakan, demikian senja turun, maka sebuah iring-iringan meninggalkan rumah Untara. Selain mereka yang termasuk keluarga dan orang-orang tua dari Jati Anom, Untara juga membawa tiga orang pengawal. Bagaimanapun juga, ia merasa wajib untuk berhati-hati. Segala sesuatunya akan dapat terjadi dalam keadaan yang kurang mapan itu. Sementara iring-iringan itu dalam perjalanan, Ki Waskita berada di Padepokan bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih. Dalam pada itu, Sabungsaripun telah datang pula kepadepokan itu seperti kebiasaannya, apabila ia tidak sedang bertugas. Seperti biasa pula mereka berbincang tentang berbagai macam persoalan yang kadang-kadang hilir mudik tidak menentu. Namun dalam pada itu, nampaknya mereka terikat oleh penghayatan mereka didalam olah kanuragan, sehingga sebagian besar dari pembicaraan mereka berkisar pada persoalan kanuragan. Glagah Putihlah yang paling banyak ingin mengetahui. Juga karena umur dan pengalamannya yang paling muda, maka ialah yang paling banyak mengajukan pertanyaan. Tetapi sementara mereka berbincang, tiba-tiba saja terasa jantung Ki Waskita berdesir. Sejenak ia menekan dadanya dengan telapak tangannya. Namun kemudian dengan suara sendat ia berkata, “Aku menjadi berdebar-debar.” “Kenapa ?“ bertanya Agung Sedayu. Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, “Entahlah. Tetapi justru pada saat aku memikirkan perjalanan angger Untara.” “Apakah mungkin akan ada hambatan ?“ bertanya Sabungsari. “Entahlah,“ jawab Ki Waskita, “nampaknya aku sekarang terlalu sering menjadi berdebar-debar tanpa sebab. Mungkin aku menjadi semakin tua sehingga dengan demikian, maka penglihatanku atas isyarat yang biasanya dapat aku lihat atas perkenan Yang Maha Murah, menjadi semakin kabur adanya. Tetapi aku tidak boleh menyesali hal itu, karena sejak semula aku harus sudah mengetahui keterbatasan kemampuan seseorang.” “Kakang Untara berada dalam satu iring-iringan yang kuat,“

desis Glagah Putih. “Diantara mereka terdapat Kiai Gringsing, ayah dan tiga orang pengawal, selain orang-orang tua yang tentu tidak akan banyak dapat berbuat apa-apa. Tetapi iring-iringan ini tentu akan dapat mengatasi jika mereka bertemu dengan hambatan apa pun juga.” “Jika hambatan itu pasukan segelar sepapan,“ bertanya Agung Sedayu. “Ah, tentu tidak mungkin,“ sahut Glagah Putih dengan serta merta. Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti bahwa Agung Sedayu hanya ingin bergurau saja dengan Glagah Putih. Namun dalam pada itu, tersirat pula kecemasannya. bahwa mungkin sekali mereka bertemu dengan sekelompok orang-orang jahat, dengan alasan apapun juga. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Sabungsari merenung. Nampaknya ada sesuatu yang diingatnya. Baru kemudian ia berkata kepada Ki Waskita, “Ki Waskita. Ada sesuatu yang aku lihat. Meskipun barangkali hanya karena kecurigaanku yang tidak beralasan. Demikian Ki Untara pergi, dua orang berkuda telah meninggalkan barak sebelah rumah Ki Untara. Adalah kebetulan bahwa aku melihatnya. Kedua orang itu bukan prajurit Pajang di Jati Anom. Tetapi agaknya keduanya adalah tamu dari salah seorang prajurit yang tinggal dibarak sebelah.” Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun nampaknya ia sedang merenungi keterangan Sabungsari. Baru sejenak kemudian ia berkata, “Memang mungkin tidak ada hubungan sama sekali antara dua orang tamu yang meninggalkan barak itu dengan kepergian Untara. Namun mungkin pula dua orang itu sengaja menunggu sampai Ki Untara berangkat.” “Menunggu untuk apa ?“ bertanya Glagah Putih. “Dengan maksud tertentu,“ jawab Ki Waskita. Namun kemudian, “Tetapi mudah-mudahan tidak demikian.” “Tetapi bagaimana jika demikian,“ desis Agung Sedayu tiba-tiba, “orang itu tentu tahu pasti, siapa sajakah yang pergi ke Sangkal Putung. Setiap prajurit tahu, bahwa kakang Untara pergi bersama tiga orang pengawal. Bukankah begitu ?” Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Para prajurit mengetahui bahwa Ki Untara pergi ke Sangkal Putung dalam kepentingan pribadi disertai oleh tiga orang pengawal dan Kiai Gringsing.” Ki Waskitapun mengangguk-angguk pula. Lalu katanya, “Kita dapat memberikan banyak arti pada peristiwa itu. Bahwa dua orang telah meninggalkan barak prajurit disebelah rumah Untara. Tetapi apakah kita akan tetap tinggal diam ? Bahwa aku tidak pergi bersama mereka yang secara resmi mengunjungi Ki Demang Sangkal Putung, karena aku harus menemani kalian dipadepokan ini. Tetapi aku kira, aku juga sebaiknya mengambil satu sikap dalam keadaan seperti sekarang.”

“Ya,“ sahut sabungsari, “Ki Waskita wajib mengambil satu sikap. Meskipun sekedar karena kita ingin berhati-hati.” “Baiklah. Bagaimana jika kita pergi juga ke Sangkal Putung ?“ bertanya Ki Waskita. Sabungsari dan Agung Sedayu segera menangkap maksud Ki Waskita. Orang tua itu menjadi cemas bahwa perjalanan iring-iringan yang pergi ke Sangkal Putung itu akan terganggu dijalan. Karena itu, maka hampir berbareng keduanya menjawab, “Baik Ki Waskita. Kita akan pergi juga ke Sangkal Putung.” Namun Glagah Putih masih bertanya, “Tetapi bukankah itu aneh ? Kiai Gringsing dan mereka yang pergi ke Sangkal Putung telah menimbang sebaik-baiknya, siapakah yang akan pergi dan siapakah yang tinggal. Apalagi jika kakang Agung Sedayu juga pergu ke Sangkal Putung, bukankah tidak seharusnya ?” Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, “Aku tidak akan menyusul guru kerumah Ki Demang di Sangkal Putung. Kita hanya akan pergi ke Sangkal Putung.” Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti.” “Nah, sebaiknya kau tinggal saja dipadepokan,“ berkata Agung Sedayu kemudian. “Tidak. Aku tidak mau,” jawab Glagah Putih dengan serta merta, “aku ikut menyusul mereka yang pergi ke Sangkal Putung.” Ki Waskita menimbang-nimbang sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah Kita bersama akan pergi ke Sangkal Putung. Tetapi kita harus berhati-hati. Jika kegelisahan kita ternyata memang beralasan, maka kita harus siap menghadapi segala kemungkinan. Termasuk Glagah Putih.” “Aku sudah siap,“ sahut Glagah Putih dengan serta merta. Sabungsari tersenyum. Ia memang kagum melihat sikap anak itu. Menurut pendapatnya, meskipun Glagah Putih masih harus banyak berlatih dan mengembangkan ilmunya, namun ia sudah mempunyai bekal yang cukup untuk membela diri. Meskipun baru pada tataran mula, tetapi Glagah Putih sudah dapat memanfaatkan tenaga cadangan yang ada pada dirinya. Satu hal yang memerlukan pendalaman yang khusus. Bahkan para prajurit pada tataran pertama jarang yang sudah memiliki kemampuan yang demikian.

“Baiklah,“ berkata Ki Waskita kemudian, “Kita akan bersiap. Sebentar lagi kita akan berangkat.“ “Aku tidak membawa seekor kuda,” desis Sabungsari. “Kau dapat mempergunakan kuda kami,“ jawab Agung Sedayu. Demikianlah, maka keempat orang itupun segera mempersiapkan diri. Meskipun semuanya masih dugaan, tetapi mereka benar-benar bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Sabungsari dan Agung Sedayu telah membawa senjata masing-masing. Demikian pula Glagah Putih. Meskipun ia berlatih pada Agung Sedayu, namun karena ia mengambil ilmu pada jalur Ki Sadewa, maka ia tidak mempergunakan cambuk seperti Agung Sedayu. Tetapi Glagah Putih telah membawa sebilah pedang dilambungnya. Sejenak kemudian, maka Agung Sedayupun memanggil cantrik yang tertua di padepokan itu. Katanya, “Aku akan pergi sebentar. Awasilah padepokan ini dan jagalah sebaik-baiknya. Jika ada sesuatu yang memang tidak akan dapat kalian atasi jangan memaksa diri. Tetapi jika kalian mengamati padepokan kecil ini dengan baik, aku kira tidak akan ada sesuatu.” Cantrik itupun kemudian memanggil beberapa orang kawannya yang memang tidak banyak. Meskipun segera membagi tugas. Sementara yang akan pergi ke sawah, untuk menyalurkan air kedalam sawah mereka, tidak mendapat tugas lain lagi. Dalam pada itu, maka keempat ekor kuda dengan para penunggangnyapun segera berderap meninggalkan padepokan kecil itu langsung menyelusuri jalan ke Sangkal Putung. Jarak antara kedua iring-iringan memang agak panjang. Jika tidak ada gangguan apapun diperjalanan, maka iring-iringan yang pertama tentu sudah sampai pada pertengahan jarak antara Jati Anom dan Sangkal Putung. Mungkin mereka sedang menuruni tebing sungai di Macanan atau lebih sedikit. Atau mungkin pula mereka sudah mulai menyusuri jalan dipinggir hutan kecil itu. Sementara kuda itu berderap dengan kencangnya, rasa-rasanya debar dijantung Ki Waskita menjadi semakin cepat. Rasa-rasanya memang ada isyarat bahwa sesuatu akan terjadi. “Atau bahkan sudah terjadi,” berkata Ki Waskita didalam hatinya. Dengan demikian maka iring-iringan itu bagaikan didorong untuk berpacu semakin cepat. Glagah Putih

berkuda didepan bersama Ki Waskita, sementara Agung Sedayu dan Sabungsari mengikuti mereka dibelakang. Ujung malam terasa terlalu cepat menjadi gulita. Meskipun dilangit bintang bergayutan, namun malam rasa-rasanya memang sangat kelam. Dalam pada itu, ternyata bahwa apa yang dicemaskan Ki Waskita memang terjadi. Seperti yang diperhitungkan, maka kedua orang berkuda yang meninggalkan barak disebelah rumah Untara, adalah orang-orang yang dengan sengaja mengamati Senapati muda itu. Untara memang tidak merahasiakan, dengan siapa ia akan pergi ke Sangkal Putung. Beberapa orang perwira bawahannya mengetahui bahwa Untara akan pergi ke Sangkal Putung membicarakan hubungan adiknya dengan gadis Sangkal Putung bersama Kiai Gringsing dan tiga orang pengawal serta paman Agung Sedayu, Widura. Dengan demikian, maka kekuatan itu dapat diperhitungkan dengan tepat.

Buku 142 UNTARA memang tidak berprasangka buruk kepada pihak manapun juga, karena kepergiannya itu adalah persoalan hubungan yang terlalu pribadi. Meskipun demikian ia sudah membawa tiga orang pengawal terpilih yang akan dapat membantunya menyelesaikan persoalan yang mungkin timbul diperjalanan, disamping Ki Widura dan Kiai Gringsing. “Sebuah iring-iringan yang kuat,“ berkata seseorang yang mendapat laporan dari kedua orang berkuda itu. “Ya. Lalu apakah perintah Ki Partasanjaya ?“ bertanya orang itu. Orang yang dipanggil Partasanjaya itupun mengerutkan keningnya. Nampaknya ia sedang berpikir, apakah yang akan dilakukannya. Namun kemudian ia berkata, “Panggil orangorang dungu itu. Aku sendiri akan memimpin mereka.” “Mencegat iring-iringan itu ?“ bertanya orang yang melaporkannya. “Ya. Aku akan membawa orang-orang terbaik yang ada sekarang. Bukankah kita tahu pasti, siapa saja yang berada didalam iring-iringan itu. Aku harus memperhitungkan kekuatan seorang demi seorang,“ Ki Pringgajaya yang sudah berganti nama dengan Partasanjaya itu menjawab. Lalu, “Dengar, aku akan menghadapi orang yang disebut Kiai Gringsing. Aku tidak yakin bahwa ia akan dapat mengalahkan aku, meskipun ia orang terbaik dipadepokan itu. Kepercayaan Ki Tumenggung yang bernama Bandung itu akan dapat dihadapkan kepada Untara, karena Bandung memiliki kemampuan khusus. sementara adiknya Dogol Legi tentu akan dapat mengalahkan paman Untara itu. Widura bukan orang yang pantas disegani. Ketika Tohpati masih berada disekitar Sangkal Putung, Widura tidak mampu berbuat apa-apa. Sementara tiga orang pengawalnya itu tidak perlu diperhitungkan. Jika mereka dihadapkan kepada lima orang, maka mereka bertiga tidak akan dapat melawannya.” “Jadi Ki Partasanjaya akan pergi dengan delapan orang ?“ bertanya orang yang melaporkannya. “Tidak. Aku baru berbicara tentang imbangan kekuatan. Tetapi aku harus meyakinkan, bahwa aku akan dapat membunuh Untara. Ia merupakan orang yang berbahaya bagiku. Agaknya ia sudah mengetahui bahwa aku belum mati. Ternyata bahwa masih ada saja orang yang mempersoalkan kuburan itu sampai hari ke ampat puluh. Setidak-tidaknya Untara curiga, bahwa aku tidak benar-benar mati. Sementara Kiai Gringsing memang sudah direncanakan. Termasuk kedua orang muridnya. Jika Widura termasuk dalam urutan nama mereka yang akan dihadapkan kepada maut, itu karena nasibnya memang buruk sekali.”

Kedua orang yang datang melapor kepada Ki Partasanjaya itu mengangguk. Namun salah seorang dari merekapun masih bertanya, “Lalu. apakah yang akan kita lakukan ?” “Aku harus membawa tiga orang lagi untuk meyakinkan, bahwa kita akan memenangkan pertempuran itu. Disamping delapan orang yang aku anggap sudah seimbang, maka aku masih akan membawa tiga orang yang disebut oleh Ki Tumenggung Prabadaru sebagai tiga ekor serigala dari Tal Pitu itu.” “O,“ pengikutnya mengangguk-angguk, “maksud Ki Partasanjaya tiga orang murid dari padepokan Tal Pitu itu ?” “Ya,“ jawab Ki Partasanjaya. “Apakah Ki Partasanjaya yakin akan mereka ?“ bertanya pengikutnya. “Mereka memiliki kelebihan. Jika Ki Tumenggung Prabadaru mengirimkan mereka kepadaku, apakah aku masih harus meragukan kemampuan mereka ?“ bertanya Ki Partasanjaya. Kedua orang yang melaporkan kepada Ki Partasanjaya itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja salah seorang bertanya, “Jika Ki Partasanjaya sendiri hadir, apakah tidak justru akan menjadi semakin jelas bagi Untara, bahwa Ki Pringgajaya masih hidup ?” Ki Partasanjaya tertawa. Katanya, “Tidak apa-apa, karena Untara sendirilah yang akan mati.” Kedua orangnya itu tersenyum pula. Lalu salah seorang dari mereka bertanya, “Kita akan mencegat mereka sekarang ?” “Sekarang ? Maksudku, saat mereka berangkat ?” “Ya,“ jawab pengikutnya. “Apakah kau bermimpi ?“ bertanya Ki Partasanjaya. Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil mengangguk-angguk pula ia berkata, “Ya. Mereka sudah mendekati Sangkal Putung. Jika demikian, kita akan mencegat mereka saat mereka kembali.” Ya. Jadi masih ada waktu. Kita tidak usah tergesa-gesa. Di Sangkal Putung, Untara dan Widura akan mengatakan dengan basa-basi yang panjang lebar. Kemudian orang-orang tua akan menambah dengan beberapa pesan dan nasehat. Baru kemudian akan dihidangkan makanan dan minuman. Nah, kau dapat membayangkan, bahwa mereka akan kembali ke Jati Anom menjelang tengah malam.” “Ya. Dan kita akan bertempur sampai tengah malam,“ desis pengikutnya.

“Tetapi tidak akan terlalu lama. Kita mempunyai kekuatan rangkap dibanding dengan kekuatan mereka,“ berkata Ki Partasanjaya, “Nah, sekarang panggil mereka, dan aku akan memberikan pesanpesan bagi mereka sebelum kita berangkat.” “Dimana kita akan mencegat mereka ?“ bertanya pengikutnya. “Tidak usah terlalu jauh dari Jati Anom. Kita akan menghadapkan para prajurit di Jati Anom yang setia kepada Untara satu kenyataan, bahwa Untara bukannya dewa yang turun dari langit. Ia akan mati terkapar di sebelah hutan di arah Lemah Cengkar. “Kenapa tidak di Macanan ?“ bertanya pengikutnya. Ki Partasanjaya menggeleng lemah. Katanya dengan dada tengadah, “Semakin dekat dengan Jati Anom semakin baik. Biarlah Untara mati dihidung para pengawalnya yang tidur mendengkur di sarangnya. Sementara di pinggir jalan. Senapati yang diagung-agungkan mati terkapar, maka dirumahnya isterinya yang muda dan cantik mengharap kedatangannya, yang ternyata adalah harapan tanpa akhir.” Para pengikutnya hanya mengangguk-angguk saja. Mereka percaya akan kemampuan orang yang menyebut dirinya Ki Partasanjaya itu. Sementara Ki Partasanjaya itu berkata selanjutnya, “Dengan demikian, menjelang mati Untara akan melihat, bahwa aku bukan prajurit kebanyakan didalam pasukannya. Dan akhirnya ia harus mengakui, bahwa akupun mampu membunuh orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing. Cambuknya sama sekali tidak berarti apa-apa bagiku.” Para pengikutnya menjadi semakin yakin, bahwa mereka akan berhasil membunuh Untara. Kiai Gringsing dan bekas perwira yang bernasib malang, Widura. Dalam pada itu, maka sejenak kemudian telah hadir beberapa orang yang akan melakukan kewajiban bersama dengan Ki Partasanjaya itu. Dengan gamblang Ki Partasanjaya memberikan beberapa petunjuk kepada mereka, agar yang mereka lakukan tidak akan gagal lagi seperti yang pernah dilakukan sebelumnya. Ki Partasanjaya itu sadar sepenuhnya, bahwa kegagalan demi kegagalan telah terjadi. Yang terakhir, kegagalan Pringgabaya dan kemudian disusul oleh kegagalan Tandabaya yang harus membungkam Pringgabaya untuk selama-lamanya. Iapun sadar, bahwa ada betapapun kecilnya, kecurigaan seolaholah ia telah melakukan satu perbuatan yang tidak terpuji, sehingga langsung atau tidak langsung, menyebabkan Tandabaya terjebak di Mataram. “Aku akan membuktikan, bahwa aku mampu melakukan satu pekerjaan besar,“ berkala Ki Partasanjaya kepada diri sendiri. Dalam pada itu, selagi Ki Partasanjaya menyiapkan orang-orangnya dengan perencanaan yang matang dan imbangan kekuatan yang dianggapnya berlipat, maka dijalan yang menuju ke Sangkal Putung. Ki Waskita berpacu diiringi oleh Glagah Putih, Agung Sedayu dan Sabungsari.

Namun dalam pada itu, mereka sama sekali tidak menemukan arena pertempuran yang mereka cemaskan. Bahkan bekas-bekasnyapun tidak. “Tidak ada apa-apa,“ desis Glagah Putih. “Ya. Tidak ada apa-apa,“ sahut Ki Waskita, “jika demikian, maka aku tidak lagi dapat mengenali isyarat yang bergetar dihatiku.” “Teiapi perjalanan kakang Untara belum selesai Ki Waskita,” berkata Agung Sedayu kemudian. “Sangkal Putung telah ada dihadapan hidung kita,“ jawab Glagah Putih. “Seandainya kakang Untara selamat sampai kerumah Ki Demang Sangkal Putung bersama iringiringannya, itu berarti bahwa ia baru menempuh separo dari perjalanannya. Bukankah ia masih harus menempuh jalan yang sama tetapi dengan arah yang berlawanan ?“ bertanya Agung Sedayu. “Kau benar ngger,“ sahut Ki Waskita, “kemungkinan masih dapat terjad)i diperjalanan kembali dari Sangkal Putung sampai ke Jati Anom. Karena itu, maka biarlah pekerjaan kita ini tuntas, kita akan menunggu sampai mereka kembali.” “Menunggu dimana ?“ bertanya Glagah Putih. “Dipinggir hutan itu,” jawab Sabungsari sambil tersenyum. “Ah, malas,“ jawab Glagah Putih, “Kita terus saja ke Sangkal Putung. Ki Demang tentu sudah menyediakan makan dan minuman yang pantas untuk menjamu kakang Untara.” “Yang dijamu adalah kakang Untara, paman Widura dan Kiai Gringsing,“ sahut Agung Sedayu pula, “bukan kita. Jika kita juga akan hadir, mungkin jamuan itu akan kurang.” “Ah, kakang Agung Sedayu tentu segan untuk mengunjungi Sangkal Putung sekarang, karena kakang Untara sedang berada disana,” desis Glagah Putih. Sabungsari tertawa. Katanya, “Tepat. Kau benar Glagah Putih. Tetapi Agung Sedayupun benar. Jika kita datang kesana, dan ternyata jamuan yang disediakan kurang, bukankah kita akan membuat Ki Demang menjadi bingung. Mungkin Ki Demang harus memburu seekor ayam lagi. Untuk memasaknya akan membutuhkan waktu yang lama.” Ki Waskita yang tertawa pula menengahi, “Baiklah kita menunggu. Tetapi tidak ditepi hutan. Memang menjemukan duduk diantara gerumbul-gerumliul perdu yang banyak dihuni nyamuk.”

“Jadi dimana ?“ bertanya Glagah Putih. “Dipategalan yang sepi. Tempat itu tentu jauh lebih bersih dari pinggir hutan. Seandainya dipagi hari pemiliknya melihat jejak beberapa ekor kuda, biarlah merupakan teka-teki baginya. Teka-teki yang mungkin akan sangat sulit dipecahkan. Tetapi asal kita tidak merusak tanaman, maka pemiliknya tentu tidak akan mengumpati kita.” “Itu lebih baik,“ berkata Glagah Putih, “apalagi jika ada pohon buah-buahan dipategalan itu.” “Nah, nampaknya kaulah yang akan mengganggu pategalan itu,“ berkata Sabungsari. Glagah Putih tertawa. Tetapi ia tidak menjawab. Demikianlah, ketika mereka sudah berada didekat padukuhan yang paling ujung dari Kademangan Sangkal Putung. sementara mereka tidak menemukan bekas-bekas satu peristiwa yang mencurigakan, maka merekapun memperlambat derap kuda mereka. Demikian mereka melihat sebuah pategalan yang hanya beberapa langkah saja dari jalan- jalan yang mereka lalui, maka merekapun segera berhenti. “Kita akan menunggu disini,” berkata Ki Waskita. Yang paling malas adalah Glagah Putih. Tetapi ia tidak dapat menolak. Ketika yang lain menuntun kuda mereka memasuki pategalan, maka Glagah Pulihpun ikut pula bersama merka. “Tidur sajalah,“ berkata Agung Sedayu. “Ini tidak adil,“ gumam Glagah Putih, “kakang Untara berbujana di Sangkal Putung, kita justru menjadi makanan nyamuk disini.” Sebenarnyalah pada saat Ki Waskita dan anak-anak Jati Anom itu sedang menunggu dipategalan, Untara dan para tamu dari Jati Anom lainnya yang sedang berada dipendapa Kademangan Sangkal Putung, sedang dijamu oleh Ki Demang yang memang sudah bersiap-siap untuk menerima mereka. Segala pembicaraan berjalan dengan lancar. Untara bukannya orang yang pandai berbasa-basi. Karena itulah, maka ia justru tidak banyak berbicara tentang adiknya. Segalanya diserahkannya kepada pamannya Widura dan orang-orang tua yang datang bersamanya dari Jati Anom. Orang-orang tua yang mengenal Agung Sedayu sejak masa kanak-kanak dan mengenal dengan akrab ayah bundanya. Dalam pada itu, Ki Demangpun telah memanggil beberapa orang-orang tua pula untuk menerima mereka. Yang dengan demikian, maka merekapun telah membicarakan segala sesuatunya yang berhubungan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Terutama hitungan hari, pekan dan hubungannya dengan tahun dan mangsa, diperhitungkan dengan hari-hari lahir kedua anak muda yang sedang dibicarakan untuk dipertemukan.

“Menurut hitungan bulan, maka keduanya memiliki saat yang baik untuk dipersandingkan pada bulan ke duabelas,“ berkata salah seorang dari ketiga orang tua yang datang bersama Untara dari Jati Anom. “Tepat,“ jawab salah seorang tua dari Sangkal Putung, “bulan keduabelas adalah bulan yang baik bagi keduanya.” Ki Demang mengangguk-angguk. Hampir bergumam seolah-olah kepada diri sendiri ia berkata, “Sekarang bulan ketujuh. Jadi masih ada waktu lima bulan lagi.” “Ya. Masih ada waktu lima bulan lagi,” desis Untara, “sementara itu segala persiapan dapat diselenggarakan.” Kedua belah pihak tidak berkeberatan, lima bulan lagi. Agung Sedayu dan Sekar Mirah akan menuusuki upacara perkawinan mereka, setelah sekian lama mereka berhubungan. Baru setelah segala pembicaraan mengenai saat-saat perkawinan dianggap selesai, maka Ki Demangpun telah melengkapi jamuannya dengan jamuan makan malam. Ia berusaha menjamu tamunya sebaik-baiknya, karena yang datang adalah Untara, Senapati pasukan Pajang di daerah Selatan. Apalagi Untara memang pernah berada di Sangkal Putung, pada saat pasukan Tohpati masih menguasai daerah penghasil padi yang subur sebagai landasan perjuangan mereka, yang mereka rencanakan akan berlangsung lama. Sementara itu. Glagah Putih yang duduk memeluk lututnya, menjadi semakin jemu menunggu. Dengan datar ia berkata, “Apakah kita masih akan lama menunggu disini ?” “Sampai iring-iringan dari Jati Anom itu lewat,” jawab Ki Waskita. “Sampai berapa lama lagi,“ sahut Glagah Pulih sambil bersungut-sungut, “Nampaknya tidak akan terjadi sesuatu. Seandainya ada orang berniat jahat, biarlah mereka menghentikan perjalanan kita jika kita mendahului. Aku sudah mengantuk sekali.” “Tidurlah,“ desis Agung Sedayu, “nanti kami akan membangunkanmu jika yang kita tunggu sudah lewat.” Glagah Putih justru berdiri sambil menggeliat. Katanya,

“Aku lebih senang berada dipendapa Kademangan Sangkal Putung sekarang ini. Ki Demang tentu sedang menjamu tamu-tamunya dengan wedang sekoteng. Atau barangkali wedang jahe. Kemudian nasi putih yang masih berasap, gudeg manggar dan daging ayam yang masih muda.” Sabungsari tidak dapat menahan tertawanya. Katanya, “Kau membuat aku menjadi lapar. Tidak pernah aku merasa selapar sekarang ini.” “Nah,“ sahut Glagah Putih, “apa kataku. Kita semuanya tentu lebih senang makan gudeg manggar.” Tetapi Agung Sedayu menjawab, “Tidurlah Glagah Putih. Mudah-mudahan dalam mimpimu, kau akan dijamu oleh Ki Demang dengan gudeg manggar dan daging ayam kemanggang.” “Ah,“ Glagah Putih berdesah sambil duduk kembali. Namun iapun kemudian tersenyum sambil berkata, “Besok aku minta ayah menebang sebatang pohon kelapa. Aku akan mengambil pondoh dan manggarnya. Aku menuntut ganti rugi karena malam ini aku tidak ikut ke Kademangan Sangkal Putung.” Sabungsari berusaha menahan tertawanya. Sementara Agung Sedayu mengulangi kata-katanya, “Tidurlah. Usahakan agar kau bermimpi hadir didalam bujana dipendapa Kademangan Sangkal Putung.” Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi iapun mencari tempat yang kering dan tidak terlalu kotor. Desisnya, “Anggap saja kita sekarang dalam pengembaraan. Kita akan dapat tidur disembarang tempat dan disembarang keadaan.” Tidak ada yang menjawab, meskipun yang lain berusaha menahan suara tawanya. Mereka memandangi saja Glagah Putih yang gelisah membaringkan dirinya diatas rerumputan kering. Dalam pada itu, ternyata pertemuan di pendapa Kademangan tidak berlangsung terlalu lama. Menjelang tengah malam, jamuan makan dan minumpun selesai. Sehingga dengan demikian, maka tamu-tamu dari Jati Anom itupun minta diri. “Kenapa demikian tergesa-gesa,“ bertanya Ki Demang. “Kami masih harus menempuh jarak yang cukup panjang,“ jawab Ki Widura. “Baiklah,“ berkata Ki Demang, “kami hanya dapat mengucapkan terima kasih atas kunjungan ini kepada angger Untara, kepada Ki Widura, Kiai Gringsing dan tetua dari Jati Anom. Mudah-mudahan segalanya dapat berjalan lancar. Sebenarnyalah momong seorang gadis yang meningkat dewasa, rasa-rasanya seperti membawa sebutir

telur didalam genggaman. Terlalu keras kita menggenggam, telur itu akan pecah. Tetapi jika terlalu longgar, telur itu akan terlepas.” “Kita akan bersama-sama berdoa,“ jawab Ki Widura, “mudah-mudahan semuanya dapat berlangsung seperti yang kita rencanakan. Meskipun kita tidak boleh mengabaikan keadaan disekitar kita yang kadang-kadang berpengaruh besar atas peristiwa dan rencana kita dalam hubungan pribadi seperti sekarang ini.” “Ya, ya,“ desis Ki Demang, “Kita akan bersama-sama berdoa.” Demikianlah, maka tamu-tamu dari Jati Anom itupun segera minta diri untuk kembali. Ternyata malam memang sudah larut. Bintang-bintang sudah bergeser dari tempatnya, sementara angin malam bertiup dari arah laut, membawa udara yang terasa hangat dimalam hari. Sejenak kemudian sebuah iring-iringan beberapa orang penunggang kuda telah meninggalkan Sangkal Putung. Mereka adalah Untara, Ki Widura dan Kiai Gringsing disertai oleh beberapa orang tua dari Jati Anom dan tiga orang pengiring dari pasukan pengawal terpilih. Diperjalanan kembali, mereka sama sekali tidak memikirkan kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Disepanjang jalan pikiran mereka masih diliputi oleh pembicaraan yang baru saja terjadi di pendapa Kademangan Sangkal Putung. Meskipun Untara tetap berhati-hati, tetapi iapun menganggap bahwa perjalanan yang terlalu bersifat pribadi itu agaknya tidak akan mendapat perhatian dari orang-orang yang bermaksud jahat. Namun demikian ia tetap membawa tiga orang pengawal terpilih disamping ia menyadari bahwa yang pergi bersamanya adalah pamannya Widura, bekas seorang perwira dan Kiai Gringsing. Dalam pada itu, Untara dan setiap orang didalam iring-iringannya sama sekali tidak mengerti, bahwa di dalam pategalan tidak jauh dari Kademangan Sangkal Putung, beberapa orang sedang menunggu mereka dengan gelisah. Bahkan Glagah Putih benar-benar telah menjadi jemu dan hampir saja ia memaksa untuk mengajak mendahului kembali ke Jati Anom. Namun untunglah bahwa Agung Sedayu sempat mencegahnya dengan mengatakan kepada Glagah Putih, bahwa ternyata ia masih harus menempa diri dengan latihan kesabaran. “Menunggu memang menjemukan sekali,“ berkata Agung Sedayu, “dan agaknya kau masih harus banyak berlatih menunggu dalam keadaan yang berbeda-beda. Kali ini kita menunggu dalam keadaan yang paling ringan dibandingkan dengan apabila kita harus menunggu dan mengawasi seseorang tanpa

mengetahui dengan pasti persoalannya. Misalnya jika kita melihat seseorang yang menarik perhatian dan pantas dicurigai. Kadang-kadang kita harus menunggu apa yang akan dilakukan. Bahkan mungkin sekali, ternyata orang itu tidak melakukan apa-apa.” Glagah Putih tidak menjawab. Namun terasa juga kebenaran kata-kata Agung Sedayu. Pada suatu saat, menunggu itupun memang harus dilakukan. Bahkan dalam keadaan yang lebih gawat dan menegangkan. Dalam pada itu, ketika terdengar derap kaki kuda dari arah Sangkal Putung, maka Glagah Putih terlonjak sambil berdesis, “Tentu kakang Untara.” “Tunggulah disini,“ berkata Ki Waskita, “biarlah aku melihatnya.” Glagah Putih tidak membantah. Sementara itu, Ki Waskita dan Agung Sedayu merayap mendekati jalan yang menghubungkan Sangkal Putung dengan Jati Anom. Meskipun ada jalan lain, tetapi jalan itulah yang lebih sering dilalui, karena jalan itu lebih baik dan bahkan lebih dekat dengan jalan yang lain. kecuali jalan setapak. “Apakah kita akan langsung bergabung dengan mereka,“ bertanya Agung Sedayu. Ki Waskita menggeleng. Jawabnya, “Kita tidak perlu mengejutkan mereka. Kita akan mengikuti pada jarak yang cukup. Sokurlah jika tidak terjadi sesuatu. Iring-iringan itu tentu akan langsung menuju kerumah angger Untara. Baru kemudian Kiai Gringsing dan Ki Widura akan kembali ke padepokan. Dalam pada itu. kita tentu sudah berada dipadepokan kembali.” “Dan kita tidak mengatakan apa-apa tentang perjalanan ini ?“ bertanya Agung Sedayu pula. “Itu tidak mungkin. Angger Glagah Putih tentu berceritera kepada ayahya tentang kejemuannya. Tetapi tidak apa-apa, karena hal itu akan terjadi setelah kita semuanya berada dipadepokan,“ jawab Ki Waskita. Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Iring-iringan itu sudah menjadi semakin dekat. Dalam pada itu, meskipun didalan gelapnya malam, namun Ki Waskita dan Agung Sedayu yang bersembunyi dipinggir jalan dapat melihat dengan pasti, bahwa iring-iringan itu benar adalah iringiringan dari Jati Anom yang dipimpin oleh Ki Untara. Demikian iring-iringan itu melintas, Agung Sedayu berdesis,

“Kakang Untara.” “Ya. Karena itu, kitapun akan segera meninggalkan pategalan ini. Tetapi jangan terlalu dekat. Di bulak panjang, mereka akan dapat mengetahui, bahwa ada orang yang mengikuti mereka. Dalam keadaan yang demikian, mungkin mereka akan justru berhenti menunggu,“ berkata Ki Waskita. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun kemudian bangkit berdiri ketika Ki Waskitapun bangkit pula. Perlahan-lahan mereka melangkah kembali ke tempat Glagah Putih dan Sabungsari menunggu. “Bukankah mereka benar kakang Untara ?“ bertanya Glagah Putih. “Ya,“ jawab Agung Sedayu. “Jika demikian, marilah, kita cepat menyusulnya,“ ajak Glagah Putih, “tetapi kenapa justru kakang Agung Sedayu nampaknya tidak tergesa-gesa sama sekali.” “Kita akan mengambil jarak,“ jawab Agung Sedayu, “jangan terlalu dekat. Ki Waskita berharap, bahwa kita tidak akan mengejutkan mereka. Jika tidak terjadi apa-apa, maka kita tidak akan menyusul mereka. Dengan diam-diam kita akan kembali ke padepokan.” Glagah Putih mengerutkan keningnya. Teiapi ia tidak membantah. Dengan demikian, maka merekapun sama sekali tidak tergesa-gesa. Setelah mengambil kuda masingmasing, maka merekapun menuntunnya dengan hati-hati, agar tidak merusakkan tanaman di pategalan itu. Baru ketika mereka telah berada di jalan, segera mereka meloncat kepunggung kuda. Namun dalam pada itu, Ki Waskita masih berkata, “Kita akan mengambil jarak yang cukup, sehingga mereka yang mendahului kita tidak akan merasa diikuti oleh sekelompok orang yang tentu tidak mereka ketahui, siapakah kita semuanya.” “Jika kita menghentikan iring-iringan itu demikian mereka lewat tadi, maka mereka tentu tahu, bahwa kita ada disini, dan tentu tidak akan mengejutkan,“ potong Glagah Putih. Yang mendengarnya tersenyum. Bahkan Sabungsari menyahut, “Baiklah. Nanti kalau iring-iringan itu lewat, kita akan menghentikannya.” “Kau hanya dapat mengganggu saja,“ geram Glagah Putih. Agung Sedayu tertawa semakin panjang, meskipun ia berusaha untuk menahannya. “Marilah,“ akhirnya Ki Waskita mengajak, “kita menyusul mereka. Tetapi kita tidak akan berpacu sekencang iring-iringan itu.” Keempat orang itupun mulai bergerak. Kuda-kuda mereka berlari tidak begitu kencang. Ternyata angin malam tidak terlalu dingin. Apalagi nampak awan yang hampir rata. Namun disela-sela awan yang kelabu nampak bintang berkeredipan.

Sementara itu Untara dan iring-iringannya telah berpacu semakin jauh. Mereka ingin segera sampai kerumah. Apalagi nampaknya awan menjadi semakin tebal, sementara angin bertiup dari arah laut. Sekali-sekali orang-orang didalam iring-iringan itu menengadahkan wajahnya kelangit. Nampaknya hujan akan turun. Satu-satu bintang tenggelam dibalik awan yang pekat. Sekali-sekali bunga api meloncat dilangit, menerangi seluruh permukaan bumi meskipun hanya sekejap. Namun suaranya menggelegar mengumandang diseluruh langit. Dalam pada itu, di tikungan disebelah Lemah Cengkar. beberapa orang telah siap menunggu. Ki Partasanjaya berdiri dengan gelisah. Sekali-sekali iapun menatap langit. “Apa salahnya jika hujan turun,“ berkata seorang yang bertubuh besar dan kekar, berambut pendek sekali, dan ikat kepalanya hanya disangkutkannya di lehernya. Wajah orang itu nampak keras sekali, dan ternyata wajah itu nampak jauh lebih tua dari umurnya yang sebenarnya. “Tidak apa-apa,“ jawab Ki Partasanjaya, “tetapi jika hujan itu dapat menghambat perjalanan Untara sehingga ia menunda perjalanannya kembali ke Jati Anom, maka kita tentu akan kecewa sekali.” “Apakah Senapati basar didaerah Selatan ini takut melihat lidah api meloncat dilangit ?“ bertanya orang bertubuh kekar itu. “Bukan begitu. Tetapi jika hujan turun dengan lebatnya, sementara mereka masih dihalaman, aku kira mereka tidak akan melanjutkan perjalanan. Mereka lebih senang duduk dipendapa sambil minum minuman panas.” “Tetapi agaknya mereka sudah berangkat sekarang,“ desis seorang yang lain, yang bertubuh tinggi dan kecil. Namun dengan demikian nampak ia seorang yang cekatan dan mampu bergerak cepat. “Mudah-mudahan,“ berkata Ki Partasanjaya. Kawan-kawannyapun kemudian justru mencari tempat untuk beristirahat. Orang yang bertubuh kekar itupun menguap sambil berkata, “Jika terdengar derap kuda, panggil aku.” “Kau tidak akan sempat memusatkan kemampuanmu. Demikian kau bangun dari tidur, demikian kau dihadapkan kepada ujung pedang,“ berkata yang bertubuh tinggi. “Siapa bilang bahwa aku akan tidur,“ sahut orang yang bertubuh kekar. Yang bertubuh tinggi tidak menyahut. Dipandanginya saja orang bertubuh kekar itu. Namun akhirnya ia sendiri-pun duduk bersandar pada sebatang pohon waru. Dalam pada itu, ketiga orang berjalan hilir mudik beberapa langkah dari Ki Partasanjaya. Seorang

diantara mereka berdesis, “Bandung dan Dogol Legi memang orang-orang yang sombong. Mereka mengira bahwa kemampuannya melampaui kemampuan kita.” “Aku ingin membuktikan, bahwa orang yang bernama Bandung dan Dogol Legi itu tidak lebih dari orang-orang dungu yang sombong,“ sahut yang lain. Tetapi yang seorang berkata, “Aku tidak peduli. Tetapi akulah yang ingin mencoba kemampuan Senapati didaerah selatan yang terkenal itu.” Kedua orang yang lain tidak menjawab. Namun mereka bertigapun melangkah mendekati Ki Partasanjaya sambil sekali-sekali memandang Dogol Legi. “Sampai kapan kita harus menunggu,“ bertanya orang tertua dari ketiga orang itu. “Mereka tentu segera akan lewat,“ jawab Partasanjaya. “Aku harap bahwa aku sempat memilin leher orang-orang Jati Anom itu. Mudah-mudahan mereka benar-benar lewat,” desis yang lain. “Aku pasti,“ sahut Ki Partasanjaya. Ketiga orang dari Tal Pitu itupun kemudian beringsut menjauh. Namun mereka berjalan saja hilir mudik dalam kegelapan. Yang berbaring beberapa langkah dari mereka adalah tiga orang pengikut Ki Partasanjaya, sedang dua orang lainnya duduk disebelah mereka yang berbaring. Ternyata mereka adalah orang-orang terpilih pula, sehingga menurut perhitungan Ki Partasanjaya, lima orang itu sudah jauh berlebihan dibanding dengan kemampuan tiga orang prajurit pengawal Untara yang terpercaya. “Bahkan setiap orang diantara mereka, akan jauh lebih baik dari setiap orang diantara para pengawal itu,“ berkata Ki Partasanjaya didalam hatinya. Menjelang tengah malam ketika kejemuan sudah mencengkam, orang-orang yang menunggu itu telah dikejutkan oleh derap kaki kuda yang lamat-lamat dibawa angin. Karena itulah maka Ki Partasanjaya segera memberi isyarat kepada orang-orangnya. Dogol Legi yang duduk bersandar pohon waru itupun telah memanggil Bandung yang berbaring didalam kegelapan, sementara tiga orang murid Padepokan Tal Pitu itupun telah bersiap pula. “Kita menunggu didalam gelap,“ berkata Ki Partasanjaya, “Kita akan menghentikan mereka dengan tiba-tiba.” “Kenapa ditempai gelap ?” jawab Bandung, “aku akan berdiri di tengah jalan.” “Tidak,“ jawab Ki Partasanjaya, “Kita menunggu ditempai gelap.”

Bandung nampaknya masih akan menjawab. Tetapi Ki Partasanjaya mendahului, “Dengar dan lakukan perintah ini. Aku sendirilah yang akan menghentikan mereka.” Bandung terdiam. Betapapun juga, pengaruh Ki Partasanjaya terasa menyusup sampai kejantungnya. Karena itu, maka iapun segera bergeser seperti orang-orang lain kedalam bayangan rimbunnya dedaunan. Sementara itu, Ki Partasanjaya berdiri dengan gelisah dipinggir jalan. Seolah-olah iapun tidak sabar menunggu derap kaki kuda yang sangat lamban. Ketika kilat memancar dilangit. maka Ki Partasanjaya melihat sekilas beberapa ekor kuda berpacu semakin dekat. Derap kakinyapun terdengar semakin jelas pula. Namun dalam pada itu, disaat kilat menyambar, orangorang yang berkudapun melihat sesosok bayangan yang berdiri dipinggir jalan. Karena itulah, maka tiba-tiba saja Untara berdesis, “Apakah paman melihat seseorang ?” “Ya,“ jawab Ki Widura. Lalu iapun berpaling kepada Kiai Gringsing, “Kiai juga melihat ?” “Ya. Akupun melihat. Seseorang berdiri dipinggir jalan ditikungan,” jawab Kiai Gringsing. Karena itulah, maka orang-orang didalam iring-iringan itupun mendapat peringatan dari Untara, agar mereka berhati-hati. Terutama ketiga orang pengawal yang menyertainya. “Hati-hatilah,“ berkata Untara, “jaga orang-orang tua itu sebaik-baiknya. Mudah-mudahan yang berdiri dipinggir jalan itu bukan seseorang yang menunggu kita.” Orang-orang tua yang menyertai Untara ke Sangkal Putung itu menjadi berdebar-debar. Namun karena bersama mereka adalah Untara. Widura dan Kiai Gringsing diiringi oleh tiga orang pengawal, maka merekapun menjadi agak tenang. Namun seandainya merekapun harus membela diri, maka apaboleh buat. Meskipun mereka bukan prajurit, tetapi mereka tidak sebaiknya untuk menundukkan kepala pada saat pedang lawan siap menghentak dilehernya. Tetapi para pengawal itu menyadari bahwa tenaga ketiga orang tua itu sama sekali sudah tidak memadai apabila benar-benar mereka harus berhadapan dengan orang-orang yang memiliki ilmu kanuragan. Karena itulah maka mereka merasa wajib untuk melindunginya. Semakin dekat iring-iringan itu dengan tikungan, maka Untara menjadi semakin berhati-hati. Diluar sadarnya, maka ia memperlambat derap kudanya. Bahkan sekali lagi ia memperingatkan, “Kita sudah

sampai ditempat orang itu berdiri.” Sebenarnyalah, sejenak kemudian, dalam keremangan malam yang gelap, Untara melihat bayangan bergerak dipinggir jalan. Dan sejenak kemudian, maka seseorang telah berdiri sambil mengangkat tangannya. Ketika sekali lagi lidah api meloncat dilangit, maka nampak jelas, ujud seseorang yang menghentikan iring-iringan itu, meskipun tidak segera dapat dikenal, siapakah orang itu. Untara sadar, bahwa yang berada dipinggir jalan itu tentu bukan hanya satu orang. Sehingga, ia tidak justru melarikan kudanya, karena jika demikian, maka orang-orang dibelakangnya mungkin sekali akan mengalami kesulitan, termasuk tiga orang-orang tua dari Jati Anom itu. Karena itu. maka Untarapun menarik kekang kudanya dan berhenti beberapa langkah dari orang itu. “Selamat malam Ki Untara,” terdengar orang yang berdiri dipinggir jalan itu menyapa, “apakah kau masih mengenal aku ?” Untara terkejut. Ia memang mengenal suara itu. Dan iapun akhirnya dapat mengenali orang itu pula. Apalagi ketika kilat memancar sekilas. “Ki Pringgajaya,” desis Untara. “Ya,“ jawab orang itu, “namaku sekarang adalah Partasanjaya. Ternyata ingatanmu baik Ki Untara.” “Aku masih belum pikun,“ jawab Untara. “Hadapilah kenyataan ini, bahwa aku memang belum mati seperti yang disangka banyak orang,“ berkata Ki Partasanjaya sambil tertawa. Tetapi jawaban Untara telah membuat kening Ki Partasanjaya itu berkerut, “Aku sudah tahu bahwa kau memang belum mati. Kuburan itu memang bukan kuburanmu. Yang belum aku ketahui adalah, siapakah orang yang telah kau korbankan, kau bunuh dan kau sebut orang bernama Pringgajaya itu.” “Jadi kau yakin bahwa Pringgajaya memang belum mati ?“ bertanya Pringgajaya. “Pertanyaan gila,“ desis Untara. “Maksudku, sebelum kau jumpai aku sekarang ini ?“ bertanya Ki Partasanjaya pula. “Setiap orang mengetahui bahwa kau memang belum mati,“ jawab Untara.

Ki Pringgajaya mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Nampaknya kau mempunyai penciuman yang sangat tajam. Mungkin orang tua dari padepokan kecil itulah yang telah meyakinkanmu bahwa aku memang belum mati. Tetapi sebenarnyalah sebagian besar dari prajurit Pajang percaya, bahwa aku sudah mati.” “Tetapi kehadiranmu sekarang nampaknya merupakan sikap putus asamu, bahwa kau tidak akun mungkin dapat bersembunyi lagi,“ geram Untara. “Kau salah anak muda,“ jawab Ki Pringgajaya, “aku sengaja menemuimu untuk yang terakhir kalinya, karena kau sebentar lagi akan mati. Semua orang didalam iring-iringan ini akan mati. Dengar, aku sudah memperhitungkan dengan cermat. Yang ada didalam iring-irigan Senapati muda yang sombong itu adalah Ki Widura, Kiai Gringsing. tiga orang pengawal terpilih. Selebihnya adalah orang-orang Jati Anom yang tidak perlu diperhitungkan. Sementara itu aku membawa kekuatan dua kali lipat dari kekuatan yang kau bawa. Aku sendiri, yang kali ini bukan lagi bawahan Senapati muda di Jati Anom. Tetapi aku telah bertekad untuk menunjukkan kepada Ki Untara, bahwa kemampuanku jauh melampaui kemampuanmu. Di jajaran keprajuritan Pajang aku memang berada dibawah kuasanya, tetapi ilmuku akan dengan mudah menguasaimu. Karena itu. aku akan memilih lawan yang seimbang diantara kalian. Kiai Gringsing. Selebihnya biarlah orang-orangku menyelesaikannya. Termasuk Senapati Untara yang bagi ilmuku, samasekali tidak berarti apa-apa.” “Persetan,“ Untara menggeram marah, “aku wajib menangkapmu betapapun tinggi ilmumu.” Jawaban Untara yang menghentak dan dilontarkan dengan kemarahan yang bagaikan meledak itu, justru disambut dengan suara tertawa oleh Ki Pringgajaya yang kemudian bernama Partasanjaya. Disela-sela suara tertawanya terdengar orang itu menjawab, “Bagaimana mungkin kau akan menangkapku kali ini, Untara. Kau akan mati. Kiai Gringsing akan mati dan Ki Widura akan mati. Bahkan semuanya akan mati. Tetapi bukankah kalian telah berbicara dengan Ki Demang Sangkal Putung tentang adikmu Agung Sedayu ? Bukankah pembicaraan itu sudah menghasilkan keputusan-kuputusan yang penting ? Dengan demikian, maka aku masih berbaik hati, memberikan kesempatan menyelesaikan tugasmu sebagai seorang saudara tua bagi Agung Sedayu. Adikmu yang tidak pernah sempat kau urus karena kau mempunyai gairah yang berlebihan dalam kedudukanmu, agar setiap saat kau mendapat kesempatan untuk naik pangkat dan mendapat kedudukan yang lebih baik.” Darah Untara bagaikan mendidih didalam jantungnya. Namun ia segera menyadari, bahwa ia tidak boleh bertumpu pada perasaannya saja. Karena itu, maka katanya, “Terima kasih atas peringatanmu Ki Pringgajaya. Meskipun kau adalah seorang prajurit

dibawah kekuasaanku. tetapi karena umurmu yang lebih tua. maka aku kira nasehatmu tentang hubunganku dan adikku akan sangata kuhargai.” Ki Pringgajaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Tetapi yang dapat kau lakukan atas adikmu tidak akan lebih banyak dari yang dapat kau lakukan sekarang.” “Itu menurut perhitunganmu,“ jawab Untara, “tetapi aku akan tetap sebagaimana aku sekarang. Aku akan menangkapmu, dan membawamu menghadap ke Pajang. Mungkin aku harus berhadapan dengan orang-orang yang telah berusaha melindungimu selama ini. Mungkin Ki Tumenggung Prabadaru, mungkin orang-orang lain. tetapi wibawa keprajuritan Pajang akan tetap tegak. Dan besok, setelah aku menyerahkanmu. aku akan diangkat bukan saja menjadi Senapati didaerah Selatan ini, tetapi aku akan mendapat tugas yang lebih besar, sehingga kuasaku akan bertambah-tambah.” “Kau memang seorang Senapati yang baik,“ desis Ki Partasanjaya, “kau selalu dapat menguasai diri. Tetapi kau tidak akan dapat menahan arus prahara yang akan menghantam kalian semuanya kali ini.” “Kau hanya pandai berbicara saja,“ jawab Untara, “cepat. Berbuatlah sesuatu, atau menguncupkan kedua tanganmu untuk diikat dan diseret dibelakang kuda-kuda kami.” “Luar biasa,“ geram Ki Partasanjaya, “aku berusaha membuat kau marah. Tetapi justru akulah yang hampir kehilangan nalar sehingga dalam pikiran yang kalut, tidak lagi dapat berpikir bening.” Untara tidak menyahut. Namun setiap orang didalam iring-iringan itu harus berhati-hati menghadapi segala kemungkinan. Karena itulah, maka merekapun kemudian berdiri tegak menghadapi kenyataan setelah mereka mengikat kuda mereka dipinggir jalan. Ternyata beberapa orang telah keluar dari dalam bayangan gerumbul-gerumbul yang gelap. “Siapakah mereka,“ bertanya Untara, “prajurit-prajurit Pajang yang telah kau racuni, atau orang-orang Gunung Kendeng yang tersisa, atau orang-orang mana lagi yang sempat kau bujuk dengan janji gila itu.” “Jangan berkata begitu,“ potong Ki Partasanjaya, “jangan kau anggap mereka orang-orang yang tidak tahu apa yang dilakukan. Mereka berbuat sesuai dengan kata nuraninya.” Tetapi Untara justru tertawa, “Nurani apa ? Sudah berapa orang kau korbankan. Sudah berapa orang berhasil kau bujuk untuk memasuki daerah maut. Bukan saja orang-orang bodoh seperti orang-orang Pesisir Endut, orang-orang Gunung Kendeng, atau dari lingkungan keprajuritan sendiri, tetapi kau lihat, Tumenggung Prabadaru sendiri, atau mungkin juga kau sendiri yang tidak tahu apa sebenarnya yang sedang kau lakukan sekarang ini.” Ki Partasanjaya mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Kau benar-benar telah menjadi sangat cemas.

Baiklah, marilah kita mulai dengan babak terakhir dan kebesaran nama Untara, Senapati besar yang dikagumi didaerah ini setelah kau berhasil mengalahkan Tohpati. Tetapi bagiku, Tohpati adalah kanak-kanak yang tidak berarti sama sekali.” Untara tidak menjawab. Tetapi ia sudah bersiaga. Beberapa orang yang bersamanya berdiri berjajar di tengah jalan dengan sikap yang meyakinkan. Namun diantara mereka terdapat tiga orang tua yang harus mendapat perlindungan dari para pengawal. Sementara itu, dengan nada tinggi Ki Partasanjaya berkata, “Untara, lihatlah. Orang yang bernama Bandung itu adalah calon lawanmu. Ia akan dapat membunuhmu. Tetapi agar kau yakin, bahwa kematianmu memang sudah dekat, aku akan memperkenalkan kau dengan salah seorang murid dari padepokan Tal Pitu. Satu diantara murid-murid dari Tal Pitu itu akan membunuhmu bersama Bandung. Bukan berarti masing-masing tidak mampu melakukannya. Tetapi aku tidak mau gagal lagi kali ini. Sementara adiknya yang bernama Dogol Legi akan bersama seorang dari Padepokan Tal Pitu pula untuk membunuh Widura. Aku dan salah seorang dari mereka, akan membunuh Kiai Gringsing.” “Cukup,“ potong Untara, “ceriteramu tidak menarik. Bersiaplah. Aku sudah muak mendengar kau berbicara.” Ki Partasanjaya tertawa, ia masih akan berbicara lagi. Tetapi adalah diluar dugaan mereka, bahwa tiba-tiba saja Untara telah menarik pedangnya dan langsung menyerang Ki Partasanjaya. Ki Partasanjaya terkejut. Tetapi ia masih sempat mengelak, sehingga senjata Untara tidak menyentuhnya. Sementara itu, setiap orangpun segera bergeser. Masing-masing menempatkan diri menghadapi lawan. Namun karena Ki Partasanjaya sudah mengatur orang-orangnya, maka sejenak kemudian orang-orang itu telah mapan dihadapan lawan masing-masing. Untara, Widura dan Kiai Gringsing masing-masing memang harus menghadapi dua orang, sementara tiga orang pengawal Untara berhadapan dengan lima orang yang nampaknya sudah siap bertempur dalam satu lingkaran. Dalam pada itu, tiga orang tua-tua dari Jati Anom itupun menjadi gelisah. Tetapi mereka merasa bahwa merekapun laki-laki. Karena itu, maka merekapun telah menarik keris mereka masing-masing. Meskipun dalam pertempuran itu, senjata mereka akan terasa terlalu pendek, tetapi itu lebih baik dari pada tidak mempergunakan sama sekali. Kemarahan Untara telah membakar jantungnya. Tetapi ia masih tetap menyadari kedudukannya. Dengan demikian maka ia masih tetap mempergunakan nalarnya. Menghadapi dua orang yang belum dikenalnya sama sekali Untara memang harus sangat berhati-hati.

Namun Untarapun sadar, bahwa kedua orang itu tentu sudah dipersiapkan. Ki Partasanjaya yang semula bernama Ki Pringgajaya itu tentu sudah mengetahui atau setidak-tidaknya mempunyai ukuran tentang kemampuannya. Meskipun Ki Partasanjaya itu tidak tahu dengan pasti, tingkatan-tingkatan dan tataran-tataran yang dicapainya setingkat demi setingkat dalam latihan-latihan khususnya, namun bahwa dua orang yang dianggap oleh Ki Partasanjaya bahwa masing-masing akan dapat mengalahkannya itu, tentu merupakan lawan yang berat. Demikian pula Widura yang sebelumnya pernah menjadi seorang Senapati prajurit Pajang. Iapun merasa, bahwa Ki Pringgajaya itu sudah mempunyai takaran tentang dirinya. Dan iapun telah mempunyai takaran pula tentang kedua orang yang ditempatkannya sebagai lawannya. Dalam pada itu, Ki Partasanjaya sendiri telah menempatkan dirinya untuk melawan Kiai Gringsing bersama salah seorang dari ketiga orang murid dari Tal Pitu. Dengan nada berat Ki Partasanjaya berkata, “Maaf Kiai. Aku terpaksa memberanikan diri untuk melawan Kiai yang memiliki nama demikian besarnya sebagai seorang guru olah kanuragan. Tetapi kami memang sudah bertekad, bahwa hari ini adalah hari terakhir yang akan dapat Kiai lihat. Sebentar lagi, tengah malam akan lewat. Tetapi aku kira Kiai sudah tidak akan sempat melihat hari baru yang akan datang itu.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sekilas ia melihat orang-orang lain yang sudah mulai membuka pertempuran. Untarapun telah mulai bertempur dengan kedua lawannya. Nampaknya ia tidak mau menunda nunda waktu lagi. Apapun yang dihadapinya, maka segalanya akan menjadi kian jelas. Demikian pula dengan Widura. Meskipun orang itu menjadi semakin tua, tetapi Widura justru menjadi semakin mantap. Senjatanya benar-benar telah menggetarkan jantung kedua orang lawannya. “Marilah Kiai,“ berkata Ki Partasanjaya, “tetapi jika Kiai masih ingin melihat tiga orang pengawal Untara itu menjadi mayat, kemudian Untara dan Widura sendiri, aku tidak berkeberatan untuk memberikan waktu. Atau dengan demikian Kiai ingin melihat hari baru meskipun baru ujungnya saja, sehingga Kiai sempat menghirup udara pada hari yang baru itu.” Kiai Grmgsing mengangguk-angguk. Sambil menunjuk kepada salah seorang murid padepokan Tal Pitu ia berkata, “Kau sudah siap mengimbangi angger Pringgajaya untuk melawan aku ? Kedua saudara seperguruanmu tidak akan terlalu banyak mengalami kesulitan, karena lawannya adalah orang-orang yang memiliki ilmu seimbang. Tetapi kau dan aku tidak mempunyai ilmu yang seimbang, sehingga karena itu, maka dalam pertempuran yang bakal datang, kau akan menjadi anak bawang.”

“Persetan,“ orang Tal Pilu itu menggeram, “kau yang sudah setua itupun masih sombong sekali.” Kiai Gringsing tertawa. Katanya, “Jangan marah. Tetapi nampaknya memang demikian.” “Jangan menghina orang itu Kiai,“ berkata Ki Partasanjaya, “ia memiliki kesempatan yang sama dengan aku.” “Tentu tidak,“ jawab Kiai Gringsing, “kau adalah saudara seperguruan Ki Pringgabaya yang sekarang berada di Mataram. Ki Waskita pernah berceritera tentang orang yang bernama Pringgabaya, yang memiliki ilmu yang sangat dahsyat. Yang dapat mendahului kesatuan waktu karena ilmunya yang luar biasa itu.” Ki Pringgajaya mengerutkan keningnya. Sementara Kiai Gringsing berkata terus, “Tetapi mungkin aku keliru menyebut. Ki Pringgabaya itu mampu mendahului waktu, atau sekedar satu permainan yang dapat mengelabui penglihatan. Nampaknya dua hal itu hampir sama, tetapi mempunyai makna yang sangat berbeda.” Ki Pringgajaya yang kemudian bernama Ki Partasanjaya itu dengan serta merta menyahut, “Ternyata kau memang terlalu sombong melampaui yang aku duga. Sebelumnya aku juga menduga, bahwa orang yang bernama Kiai Gringsing itu adalah seorang pendiam. Tetapi ternyata disamping kesombongannya, kau memang banyak berbicara tentang hal-hal yang tidak kau mengerti.” Kiai Gringsing tertawa pula. Katanya, “Baiklah. Marilah kita mulai. Yang lain telah terlibat dalam pertempuran yang semakin dahsyat. Masing-masing telah bertempur dengan senjatanya. Nah. akupun akan bertempur dengan senjata.” Ki Partasanjaya bergeser setapak, katanya, “Ternyata kau juga seorang pengecut. Belum lagi kita mencoba kemampuan ilmu kita, kau sudah tergesa-gesa mengurai senjatamu.” “Aku kira lebih baik aku bersenjata menghadapi dua orang yang tidak seimbang. Tetapi aku kira juga lebih baik untuk mengatasi permainanmu yang mungkin membingungkan bagiku, karena aku belum pernah melihatnya. Untunglah bahwa aku sudah mendengar dari Ki Waskita sehingga aku tidak akan terlalu terkejut karenanya,“ berkata Kiai Gringsing. Ternyata yang tidak dapat menahan kemarahannya adalah orang Tal Pitu itu. Dengan serta merta ia meloncat menyerang Kiai Gringsing. Namun, sebenarnyalah seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, bahwa kemampuan orang itu masih beberapa lapis dibawah kemampuan Kiai Gringsing. Demikian orang itu meloncat menyerang, maka cambuk Kiai Gringsing telah meledak. Hampir saja ujung cambuk itu menyambar ujung jari kakinya yang baru saja menyentuh tanah. Sehingga dengan serta merta orang Tal Pitu itu meloncat surut dengan tergesa-gesa.

“Berhati-hatilah,“ berkata Kiai Gringsing, “tunggulah Ki Pringgajaya memulainya. Baru kau menyesuaikan diri. Jika kau yang mengambil sikap yang pertama, maka sebelum Ki Pringgajaya mulai, maka tubuhmu tentu sudah terkoyak oleh ujung cambukku.” Orang Tal Pitu itu benar-benar menjadi marah. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan yang baru saja terjadi. Orang yang bernama Kiai Gringsing itu memang memiliki kemampuan yang luar biasa. Dalam pada itu, Ki Partasanjayapun menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa orang yang bernama Kiai Gringsing itu tidak akan dapat dianggap ringan meskipun ia akan bertempur berpasangan. Di lingkaran pertempuran yang lain, jelas terlihat, betapa Untara dan Widura segera menemui kesulitan. Demikian pula tiga orang pengawal Untara yang harus melawan lima orang yang bertempur dalam satu lingkaran. Nampaknya kelima orang itu masih belum menghiraukan orang-orang tua dari Sangkal Putung yang menggenggam kerisnya. Meskipun demikian orang-orang itu tidak akan melepaskan seorangpun dari mereka untuk meninggalkan arena. Memang tidak ada harapan sama sekali pada Untara dan Widura. Sepasang lawannya memiliki ilmu yang hampir seimbang dengan Untara dan Widura sendiri, sehingga karena itulah, maka merekapun telah terdesak. Meskipun kedua orang itu tidak berputus asa. tetapi mereka harus berloncatan dengan langkah-langkah panjang, sehingga dalam waktu pendek nafas mereka telah terasa semakin memburu. Kiai Gringsingpun kemudian terlibat pula dalam pertempuran melawan dua orang lawannya. Namun orang tua itupun tidak segera mendapat akal. bagaimana ia akan dapat berbuat sesuatu untuk menyelamatkan iring-iringan itu. Apalagi iapun sadar, bahwa Ki Pringgajaya yang kemudian bernama Partasanjaya itupun memiliki ilmu yang akan dapat mengimbangi ilmunya, disamping seorang kawannya murid Tal Pilu itu. Ternyata Ki Partasanjaya telah berhasil menguasai orangorang terpenting dari Jati Anom itu. Ia memang tidak mau gagal lagi setelah beberapa kali ia kehilangan kesempatan untuk melakukan sesuatu. Meskipun ia belum berhasil membunuh Agung Sedayu dan Swandaru, namun justru gurunyalah yang akan dapat dibunuhnya lebih dahulu disamping Untara dan Widura. karena Untara baginya akan dapat merupakan hambatan yang berbahaya. “Bukan pekerjaan yang sulit,“ desis Ki Partasanjaya, “aku sudah menyiapkan kekuatan dua kali lipat dari yang aku perlukan.” Namun sebenarnyalah kuasa Yang Maha Agung tidak akan dapat dipatahkan oleh rencana manusia, apalagi untuk menentukan hidup dan mati. Karena itulah, pada saat-saat Ki Partasanjaya tersenyumsenyum melihat Untara dan Widura mendekati akhir dari kemampuan pertahanannya. setiap orang dilingkaran pertempuran itu telah dikejutkan oleh derap kaki kuda. “Setan alas,“ geram Ki Partasanjaya, “siapa lagi berkuda dimalam begini.”

Namun Ki Partasanjayapun tersenyum. Katanya, “Dua atau tiga orang prajurit peronda. Merekapun akan kami binasakan jika mereka melalui jalan ini pula. Alangkah senangnya, melihat beberapa sosok mayat terkapar di tikungan ini.“ Lalu tiba-tiba saja terdengar suaranya lantang, “Cepat, lumpuhkan tiga orang prajurit itu, karena sebentar lagi kalian akan mendapat lawan baru. Sementara itu. Untara dan Widurapun harus segera kalian selesaikan pula.” Perintah itu membuat darah Untara bagaikan mendidih. Tetapi ia benar-benar tidak dapat berbuat banyak. Dalam pada itu, lima orang pengikut Ki Pringgajaya yang bertempur melawan tiga orang prajurit itupun benar-benar telah mengerahkan kemampuannya, sehingga ketiga orang prajurit itu benar-benar telah terdesak. Bahkan, tiba-tiba saja terdengar desah yang patah. Seorang dari ketiga pengawal Untara itu terloncat surut ketika terasa lengannya tergores oleh tajamnya pedang lawan. “Gila,“ geramnya. Namun luka itu terasa betapa pedihnya. Meskipun demikian, prajurit itu tidak meninggalkan gelanggang. Selangkah ia maju. Senjatanya masih kuat didalam genggamannya. Namun dalam pada itu. kedua prajurit yang lainpun telah terdesak pula, sementara orang-orang tua yang menggenggam keris itupun berdiri dengan tangan bergetar. Merekapun merasakan gejolak kemarahan yang menghentak didada. Tetapi mereka merasa bingung menghadapi kenyataan yang terjadi, meskipun ditangan mereka tergenggam keris. Sementara itu, ketika prajurit yang terluka itu memasuki kembali ke arena, kawannya yang seoranu lagi telah terdorong pula. Meskipun tidak terlalu dalam, tetapi ujung pedang lawannya telah melukai dada sebelah kawan. sehingga darahpun mulai menitik karenanya. “Sebentar lagi mereka akan mati,” teriak salah seorang dari kelima lawannya. “Cepat sedikit,“ teriak Ki Pringgajaya, “derap kaki kuda itu sudah mendekat. Kiai Gringsing tidak mampu berbuat banyak. Dihadapannya Ki Pringgajaya telah mulai menyerangnya dengan ilmunya yang sama seperti Ki Pringgabaya, saudara seperguruannya sebagaimana dikatakan oleh Ki Waskita. Dalam pada itu, keempat orang yang berkuda di bulak panjang sudah mendengar ledakan cambuk Kiai Gringsing.

Karena itu. maka Agung Sedayupun berdesis, “Guru. Mereka benar-benar terlibat dalam pertempuran.” “Dugaan kita benar,” desis Ki Waskita, “orang-orang berkuda yang dilihat oleh angger Sabungsari itu tentu petugas sandi yang mengamati angger Untara.” Karena itu. maka Agung Sedayupun telah melecut kudanya agar berlari lebih cepat lagi. Dibelakangnya Sabungsari menyusul diikuti oleh Glagah Putih, sehingga karena itu, maka Ki Waskitalah yang kemudian berada dipaling belakang. “Hati-hatilah,” Ki Waskita memperingatkan Glagah Putih, “kuasailah kudamu sebaik baiknya.” Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia tidak memperlambat derap kudanya. Sebenarnyalah mereka segera melihat pertempuran ditikungan disebelah Lemah Cengkar. Karena itu, Agung Sedayu yang dipaling depan segera meloncat dari punggung kudanya. Ia tidak sempat lagi mengikat kudanya pada sebatang pohon perdu. Dibiarkannya saja kudanya lepas, dan ia sendiri berlari-lari mendekati arena pertempuran yang semakin seru. Demikian Agung Sedayu hadir, maka seorang lagi prajurit pengawal Untara telah terlempar dan jatuh berguling ditanah. Lambungnya telah terluka lebih parah dari kedua orang kawannya yang lain. Bahkan seorang yang terluka lengannya, masih harus mengeluh lagi ketika pundaknya sekali lagi tersayat oleh senjata lawannya. Agung Sedayu segera melihat, bahwa yang terluka itu adalah prajurit-prajurit Pajang, pengawal Untara yang tidak dapat bertahan melawan lima orang lawan. Nampaknya lima orang pengikut Ki Pringgajaya yang kemudian bernama Ki Partasanjaya itu benarbenar ingin membinasakan tiga orang lawan mereka yang memang sudah tidak berdaya itu. Meskipun mereka bertiga masih tetap hidup, namun untuk membunuh mereka, tidak akan lebih sulit dari memijat buah ceplukan. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu telah hadir diantara tiga orang yang sudah tidak berdaya lagi itu. Sekilas terbersit kegembiraan dihati para prajurit ketika mereka melihat Agung Sedayu. Namun para prajurit itupun segera teringat, bahwa Agung Sedayu adalah seseorang yang sedang mereka bicarakan untuk pada suatu hari akan duduk bersanding. Karena itu, tiba-tiba saja prajurit yang meskipun sudah terluka tetapi masih tetap menggenggam pedang itupun berkata, “Minggirlah. Cepat tinggalkan tempat ini. Jangan campuri persoalan kami.” Agung Sedayu tidak beringsut. Ia sadar, bahwa para prajurit itu tidak akan dapat lagi melindungi nyawanya tanpa bantuan orang lain. Karena itu, maka ia tetap berada ditempatnya. Bahkan dengan serta merta Agung Sedayu telah mengurai cambuknya untuk menghadapi lima orang pengikut Ki Pringgajaya.

Sementara itu, Sabungsaripun telah meloncat turun pula disusul oleh Glagah Putih. Seperti Agung Sedayu, Glagah Pulih tidak sempat menghiraukan kudanya yang dilepasnya begitu saja. Namun Sabungsari masih mempunyai waktu untuk mengikat kudanya pada sebatang pohon perdu. Tetapi dalam pada itu, Ki Waskitalah yang melihat dua ekor kuda yang terlepas begitu saja. telah menyediakan sekedar waktu untuk mengikat kuda Agung Sedayu dan Glagah Putih agar kedua ekor kuda itu tidak merayap semakin jauh dari arena pertempuran. Dalam pada itu, Ki Partasanjaya telah terkejut bukan buatan ketika ia melihat bahwa yang datang itu adalah Agung Sedayu yang disusul oleh Glagah Putih, Sabungsari dan seorang tua yang nampaknya terlalu yakin terhadap kawan-kawannya, sehingga karena itu, justru sempat menambatkan selain kudanya sendiri, juga kedua ekor kuda yang lebih dahulu dilepaskannya oleh penunggangpenunggangnya. “Setan alas,” ia menggeram, “darimana mereka mendengar bahwa aku sedang mencegatnya disini.” Namun karena yang datang hanya ampat orang termasuk Glagah Putih, sementara tiga orang prajurit pengawal Untara sudah dilumpuhkan, maka Ki Pringgajaya yang kemudian bernama Ki Partasanjaya itu masih melihat kesempatan untuk menyelesaikan pertempuran itu. Kepada kawannya, salah seorang murid Tal Pitu ia berkata, “tinggalkan orang ini. Biarlah aku menyelesaikan. Kau akan mendapat lawan yang baru.” “Persetan, siapakah mereka ? Biarlah anak-anak menyelesaikannya,“ sahut murid dari Tal Pitu. “Ada yang tidak mungkin mereka selesaikan. Anak yang bercambuk itu adalah anak iblis. Ia murid orang tua ini yang terpercaya.“ desak Ki Pringgajaya. Orang Tal Pitu itu menggeram, “Apa kelebihannya murid orang ini. Kau sajalah yang menghadapi muridnya, aku akan menghadapi gurunya.” “Jangan menjadi gila. Kita masing-masing harus tahu diri.“ geram Ki Partasanjaya. Orang padepokan Tal Pitu tidak menjawab. Tetapi ia tidak dapat ingkar akan hal itu, sehingga karena itu maka iapun telah melepaskan Kiai Gringsing dan mendekati Agung Sedayu yang berhadapan dengan lima orang pengikut Ki Pringgajaya. Lima orang yang baru saja berhasil melumpuhkan tiga orang lawannya itu masih saja dibayangi oleh kemenangannya. Karena itulah maka merekapun menjadi sangat marah ketika mereka melihat Agung Sedayu seorang diri berdiri menghadapi mereka. Selangkah disampingnya. seorang diri tiga orang prajurit yang masih tetap menggenggam pedangnya itu berdiri dengan kaki bergetar, sementara dua orang kawannya yang lain telah terbaring

beberapa langkah dibelakang mereka. Sementara tiga orangorang tua dari Jati Anom itu berusaha untuk menolong mereka dan mengangkatnya menjauhi arena pertempuran. Ternyata dalam pada itu, orang Tal Pitu yang meninggalkan Kiai Gringsing itu melihat, bagaimana tiga orang tua-tua dari Jati Anom mengangkat para prajurit yang sudah tidak berdaya. Tiba-tiba saja timbul niatnya, sebelum ia membunuh orang yang telah dengan sombong menghadapkan dirinya melawan lima orang pengikut Ki Partasanjaya, maka ia akan membunuh kedua orang prajurit itu lebih dahulu. Bahkan jika perlu orang-orang tua dari Jati Anom itu sekaligus. Namun dalam pada itu, demikian ia melangkah mendekati mereka, seorang prajurit muda telah meloncat menghalanginya sambil berkata, “Jangan begitu. Mereka telah terluka parah. Barangkali kau lebih senang berhadapan dengan aku.” “Siapa kau ?” bertanya orang Tal Pilu itu. “Seorang prajurit pengawal seperti tiga orang yang telah dilumpuhkan itu. Namaku Sabungsari.” jawab orang itu. Orang Tal Pitu itu menggeram. Katanya, “Apakah kau ingin mati lebih dahulu dari kawan-kawanmu yang sudah tidak berdaya itu ?” “Aku adalah kawan mereka. Apapun yang akan terjadi, aku tidak peduli. Tetapi adalah kewajibanku untuk membantunya jika mereka mengalami kesulitan,“ jawab Sabungsari. Orang Tal Pitu itu tidak bertanya lebih lanjut. Ia tidak lagi menghiraukan dengan siapa ia berhadapan. Karena itu, meskipun ia tidak berhadapan dengan murid orang bercambuk itu, namun ia tidak peduli lagi. Orang Tal Pitu itu menganggap Sabungsari tidak lebih dari prajurit-prajurit yang telah terluka itu. Karena itu, maka dengan serta merta ia telah menyerangnya dengan perhitungan bahwa prajurit itu akan dapat segera dilumpuhkannya. Namun ternyata bahwa orang Tal Pitu itu telah terkejut bukan buatan. Ternyata Sabungsari tidak menghindari serangan itu. Sadar, bahwa lawannya menganggapnya terlalu kecil, maka ia telah membentur kekuatan lawannya itu dengan sebagian dari kekuatannya saja. Namun karena tidak menduga sama sekali, orang Tal Pitu itu telah terlempar surut. Sabungsari masih berdiri tegak. Dipandanginya orang Tal Pitu yang kebingunngan menghadapi kenyataan yang tidak pernah diduganya, bahwa seorang prajurit mampu mengimbangi kekuatannya dan bahkan mengejutkannya. “Jangan bingung,” berkata Sabungsari, “sekali lagi aku beritahu, bahwa aku adalah kawan dari prajurit-prajurit yang terluka itu. Karena itu, maka aku akan menuntut balas atas perlakuan kalian terhadap kawan-kawanku itu.” Orang Tal Pitu itu menggeram. Namun ia tidak lagi tergesa-gesa menyerang. Ia harus memperhitungkan keadaan sebaik-baiknya.

Dalam pada itu, Glagah Putih yang melihat ayahnya bertempur melawan dua orang dengan tergesagesa telah mendekatinya. Namun Ki Waskita menggamitnya sambil berdesis, “Jangan kau lawan salah seorang dari lawan ayahmu.” “Kenapa ?” bertanya Glagah Putih. “Bergabunglah dengan Agung Sedayu,“ berkata Ki Waskita. “Bagaimana dengan ayah yang terdesak ?“ desis Glagah Putih dengan cemas. “Lakukanlah yang aku katakan. Aku akan bergabung dengan ayahmu,” jawab Ki Waskita. Glagah Putih tidak menjawab. Ia percaya akan pengamatan Ki Waskita, sehingga iapun kemudian mendekati Agung Sedayu yang berhadapan dengan lima orang. Sementara itu Agung Sedayu berkata kepada prajurit yang terluka, “beristirahatlah agar lukamu tidak mengeluarkan darah semakin banyak. Apakah kau tidak membawa obat.” “Ya. Aku membawa,“ jawab prajurit itu. “Obati lukamu dan kawan-kawanmu,“ desis Agung Sedayu. “Persetan,“ salah seorang dari lima orang pengikut Ki Pringgajaya itu menggeram, “kau terlalu sombong anak muda.” Agung Sedayu tidak menjawab. Ketika kelima orang itu bergeser mencari arah masing-masing, Agung Sedayupun bersiap menghadapi segala kemungkinan sementara prajurit yang terluka itu bergeser menjauh. Tetapi seorang dari kelima orang itu tiba-tiba saja telah dihinggapi satu keinginan untuk memburu prajurit yang terluka itu dan membunuhnya. Karena itu, tiba-tiba saja ia meloncat meninggalkan Agung Sedayu dan bersiap untuk menyerang pengawal yang sudah tidak banyak mempunyai tenaga lagi itu. Agung Sedayu terkejut melihat sikap itu. Namun iapun menarik nafas dalam-dalam, ketika orang itu terhenti karena Glagah Putih berdesis, “Biarlah ia beristirahat. Ia telah terluka.” “Anak setan. Siapa kau he ? “ geram orang yang ingin memburu prajurit itu. Glagah Putih yang sudah siap menghadapinya menjawab singkat, “Aku lawanmu sekarang.” Pengikut Pringgajaya itu heran. Meskipun malam gelap, tetapi sesekali kilat memancar, sehingga nampak yang berdiri dihadapannya adalah seorang anak yang masih terlalu muda. Nampaknya senjatanya sangat meyakinkan teracu kepadanya.

Bahkan nampaknya Glagah Putih tidak ingin melepaskannya lagi. Sesaat kemudian senjatanya telah tergetar. Selangkah ia maju sehingga pengikut Ki Pringgajaya itupun harus bersiap-siap untuk melawannya dan melepaskan prajurit yang sedang menghindar dari arena pertempuran karena lukalukanya itu. Agung Sedayu sengaja memberi kesempatan kepada Glagah Putih untuk bertempur melawan orang itu. Namun iapun sadar, bahwa ia harus berusaha mengawasinya jika ternyata kemudian orang itu memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari ilmu Glagah Putih. Karena itu, ketika seorang lagi dari keempat orang yang menghadapinya akan beringsut mendekati kawannya yang sudah berhadapan dengan Glagah Putih, maka Agung Sedayupun tidak menunggu lagi. Seperti yang lain, yang telah mempergunakan senjatanya, maka meledaklah cambuknya dengan dahsyatnya seolah-olah mengimbangi ledakkan guntur dilangit yang sesekali terdengar. Namun dalam pada itu, ledakkan yang lainpun telah mengumandang. Kiai Gringsing yang bertempur melawan Ki Pringgajaya sekali-sekali harus mempergunakan senjatanya pula. Ledakkan cambuk Agung Sedayu dan Kiai Gringsing serta guntur dilangit, rasa-rasanya telah membentur setiap dada para pengikut Ki Pringgajaya. Seolah-olah ada hubungan yang saling isi mengisi antara ketiganya. Sementara itu, seperti yang dikatakan. Ki Waskita telah mendekati arena pertempuran antara Ki Widura dengan kedua orang lawannya. Nampak sekali betapa Ki Widura terdesak. Dan bahkan hampir saja ia telah kehilangan kesempatan untuk bertahan. Karena itu kehadiran Ki Waskita telah memberikan kesempatan untuk memperbaiki kedudukannya, karena lawan-lawannya itupun harus memperhatikan kehadiran orang baru itu. Namun dalam pada itu. Ki Waskitapun melihat, betapa Untara telah dikuasai pula oleh Bandung dan seorang dari Tal Pitu. Ruang geraknya menjadi sangat sempit karena senjata kedua lawannya telah mengurungnya. “Mudah-mudahan yang aku lakukan tidak menyinggung perasaan Ki Widura dan Ki Untara,“ berkata Ki Waskita didalam hati. Sejenak kemudian, ia telah berada dilingkaran pertempuran bersama Widura. Namun saat yang pendek itupun harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menolong Untara. Bandung benar-benar seorang yang kuat dan tangkas sementara orang Tal Pitu itupun mampu bergerak cepat sekali. “Ki Widura,“ berkata Ki Waskita, “tinggalkan kedua orang ini. Lihat, apa yang terjadi dengan Ki Untara.” Widura termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak sempat merenung terlalu lama. Karena itu, maka Ki Waskitapun mendesaknya, “Tidak ada waktu untuk menimbang-nimbang.”

Widura sadar. Ia melihat pula bahwa Untara benar-benar tidak mempunyai kesempatan lagi. Karena itu, maka iapun segera meloncat meninggalkan arena itu. Ketika salah seorang lawannya ingin mengejarnya, maka mulailah Ki Waskita melibatkan diri langsung menyerang orang itu dengan loncatan panjang, sehingga orang itu mengurungkan niatnya dan menghindari serangan yang mendebarkan itu. Demikianlah, maka Ki Waskitalah yang kemudian berhadapan dengan dua orang. Karena itu, maka iapun mulai mempertimbangkan untuk mempergunakan senjata pula. Ki Waskita terbiasa mempergunakan perisai pergelangan tangannya yang dibalut dengan ikat kepalanya atau dengan ikat pinggangnya. Tetapi jika ia ingin mempergunakan ikat pinggangnya sebagai senjata, maka yang dipergunakan bagi perisainya adalah ikat kepalanya. Demikianlah Ki Waskita kemudian mengurai ikat kepalanya dan melingkarkannya pada pergelangan tangannya, sementara ia juga mengurai ikat pinggangnya yang dipergunakannya sebagai senjata menghadapi senjata-senjata lawannya. “Orang ini sudah gila,“ geram Dogol Legi, “dikiranya aku sedang bermain-main.” Sementara orang Tal Pitu yang bertempur bersamanya itupun menjadi sangat marah melihat sikap Ki Waskita yang mereka anggap sangat merendahkan. Karena itu, maka kedua orang itupun segera mengerahkan segenap ilmunya untuk menekan lawan mereka yang baru. Namun ternyata lawannya yang baru ini agak berbeda dengan Ki Widura. Waskita memiliki ilmu yang lebih tinggi dari Ki Widura, sehingga untuk sesaat Dogol Legi dan orang Tal Pitu itu terkejut karena serangan-serangan mereka bagaikan membentur benteng baja. Ternyata ikat kepala yang melingkar di pergelangan tangan itu mempunyai kekuatan seperti sebuah perisai baja yang tidak koyak oleh tajamnya pedang dan ikat pinggang itupun berbahaya melampaui pedang. Sementara itu, Widura dengan tergesa-gesa telah mendekati arena pertempuran Untara yang berat sebelah. Untara yang benar-benar tidak mampu lagi bertahan, selalu berloncatan surut. Namun lawannyapun sempat memburunya dengan serangan-serangan yang garang. Kehadiran Widura membuat kedua lawan Untara menjadi marah. Mereka terganggu, karena hampir saja merasa berhasil mengurung dan membinasakan Untara. “Licik,“ geram orang Tal Pitu yang bertempur melawan Untara, “Kenapa Senapati muda yang memiliki nama besar ini memerlukan bantuan seseorang ?” Ki Widuralah yang menjawab, “Katakan sekali lagi, bahwa kehadiranku adalah pertanda kelicikan

kami. Lalu apakah artinya bahwa kalian juga bertempur berpasangan ? Dengan, kami akan menempatkan diri kita masing-masing pada sikap jantan seorang laki-laki. Kita akan bertempur seorang melawan seorang.” Bandung yang merasa dirinya memiliki ilmu yang tidak terlawan berkata, “Aku terima tawaranmu. Aku akan membunuh Senapati muda ini. Dan biarlah kawanku ini membunuh bekas Senapati yang pernah dihadapkan kepada Macam Kepatihan di Jati Anom.” Widura menjawab, “Bagus. Marilah.” Orang Tal Pitu yang bertempur bersama Bandung itupun kemudian meninggalkan Untara. Dihadapinya Widura yang telah bersiap menghadapinya pula. Untara menarik nafas dalam-dalam. Yang datang membantunya adalah pamannya. Meskipun ada juga setitik singgungan pada perasaannya, seolah-olah ia tidak dapat menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapinya, namun karena yang datang itu adalah Widura sementara iapun tidak dapat mengabaikan kenyataan bahwa ia tidak akan mampu melawan kedua orang yang telah dipersiapkan untuk membunuhnya itu, maka iapun akhirnya berkata, “Terima kasih paman. Aku akan segera membunuh orang ini.” Demikianlah, keseimbangan pertempuran itu telah berubah. Lingkaran pertempuranpun telah berubah pula. Yang harus menghadapi lawan rangkap adalah Ki Waskita dan Agung Sedayu. Bahkan Agung Sedayu harus berhadapan dengan ampat orang lawan. Dalam pada itu, langitpun menjadi semakin gelap. Kilat semakin sering meloncat dilangit, dan guruhpun menggelegar tidak henti-hentinya. Disebelah tikungan itu membujur jalan menuju ke Lemah Cengkar. Satu tempat yang menurut kepercayaan banyak orang, dihuni oleh seekor harimau putih yang mengerikan. Ternyata bahwa awan yang hitam dilangit itu tergantung semakin rendah dan seolah-olah semakin berat dibebani oleh titik-titik air yang semakin banyak. Karena itulah, maka sejenak kemudian, maka titik-titik hujan-pun mulai turun. Semakin lama semakin banyak. Dan hujanpun menjadi semakin lebat. Prajurit yang terluka dipinggir arena telah beringsut dan berusaha berlindung dibawah pepohonan. Betapa air hujan membuat luka mereka menjadi pedih. Namun serba sedikit rimbunnya dedaunan dipinggir jalan itu telah memberikan sedikit perlindungan kepada mereka. Dalam pada itu, jika dilangit lidah api menyambar, rasa-rasanya bumi bagaikan siang. Namun hanya sekilas. Dan dalam sekilas itu dapat dilihat ujung senjata berputaran. Ternyata Ki Pringgajaya benar-benar seorang yang luar biasa. Ia benar-benar memiliki ilmu seperti yang dikatakan oleh Ki Waskita. Bahkan sebagai saudara seperguruan, Ki Pringgajaya memiliki ilmu

itu lebih mantap dan mapan. Tetapi ilmunya tidak lagi dapat mengejutkan Kiai Gringsing yang sudah mengetahuinya. Apalagi dengan senjata cambuknya yang berjuntai dan lentur, Kiai Gringsing berusaha menyesuaikan dirinya. Ia menjaga agar arah serangan Ki Pringgajaya tidak menyusup di sela-sela putaran cambuknya, karena Kiai Gringsing sadar, serangan Ki Pringgajaya telah melampaui kecepatan waktu. “Gila,“ geram Ki Pringgajaya didalam hatinya, “orang tua ini benar-benar seorang yang berilmu iblis.” Sebenarnyalah sulit bagi Ki Pringgajaya untuk menembus putaran cambuk Kiai Gringsing. Namun Kiai Gringsingpun tidak mudah untuk dapat menyentuh lawannya. Sehingga dengan demikian maka pertempuran itupun telah berlangsung dengan dahsyatnya. Bukan saja karena keduanya memiliki kecepatan gerak yang tinggi, tetapi keduanya mulai melepaskan kekuatan cadangan mereka yang tidak banyak dikuasai oleh orang kebanyakan. Dalam hujan yang semakin deras, pertempuran itupun berlangsung semakin sengit. Air yang bagaikan dicurahkan dari langit kadang-kadang membuat malam menjadi semakin pekat. Wajah-wajah yang basah harus sekali-sekali diusap dengan tangan kiri, sementara tangan-tangan kanan menggenggam senjata masing-masing. Salah seorang dari prajurit yang terluka paling parah telah menggigil. Bukan saja karena curahan air hujan, namun juga karena tubuhnya yang semakin lemah oleh darah yang mengalir. Meskipun para prajurit itu juga membawa obat yang dapat dipergunakan untuk sementara dimedan pertempuran seperti itu, namun nampaknya air hujan telah melarutkannya. Meskipun demikian, obat-obat itu dapat juga membantu serba sedikit dalam keadaan yang gawat itu. Glagah Putih yang bertempur seorang melawan seorang telah menunjukkan kemampuanaya. Meskipun kekuatan lawannya masih berada diatas kekuatannya, tetapi ia memiliki kemampuan bergerak lebih cepat dan unsur-unsur gerak yang lebih lengkap. Dengan demikian, maka Glagah Putih itupun masih mampu mengimbangi lawannya dan bertempur dengan tangkasnya. Sementara lawannya kadangkadang masih saja di bayangi oleh keheranannya, bahwa lawannya itu masih sangat muda. Jika langit menyala, nampaklah wajah remajanya yang tegang. Namun anak itu sudah mampu menggerakkan senjatanya dan bahkan kadang-kadang sangat membahayakan. Arena pertempuran di tikungan itu semakin lama menjadi semakin meluas. Masing-masing bergeser kearah yang kadang-kadang tidak diperhitungkan. Bahkan satu dua orang telah bertempur di seberang parit, turun ke tanah persawahan yang basah dan berlumpur. Dengan demikian maka kaki mereka menjadi semakin berat dicengkeram oleh tanah yang basah sehingga gerak merekapun menjadi semakin lamban. Bandung yang dibanggakan itu memang memiliki kemampuan yang tinggi. Dengan garangnya ia melibat Untara dalam pertempuran berjarak pendek. Ia sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Untara untuk mengambil jarak.

Demikian kawannya dari Tal Pitu harus bertempur melawan Widura, maka Bandung harus mempercayakan diri kepada kemampuannya. Dan ia memang memiliki kecermatan gerak tangan untuk bertempur pada jarak yang terlalu dekat. Tetapi Untara memiliki pengalaman dibanyak arena dan cara untuk mempertahankan diri dan menyerang. Karena itu, maka iapun justru menyesuaikan diri dengan cara yang dipilih oleh lawannya. Bertempur pada jarak yang pendek. Bahkan Untara masih memiliki kelebihan dari lawannya yang hanya mampu menggerakkan tangannya dengan cepat. Tetapi dengan latihan-latihan yang berat pada saat-saat senggang, kaki Untarapun mampu mengumbangi kecepatan gerak lawannya, telah menempatkannya pada kesempatan yang lebih baik. Namun ternyata bahwa Untara harus mengamati tangan kiri lawannya. Selain senjatanya ditangan kanan ternyata bertempur pada jarak yang pendek itu mempunyai kemungkinan yang lain pada lawannya. Ternyata jari-jari tangan kiri lawannya mempunyai kekuatan yang luar biasa. Sesaat Untara lengah karena ia sekedar memperhatikan senjata lawannya, maka pundaknya telah tersentuh oleh tangan kiri lawannya itu. Semula Untara hanya merasakan pundaknya bagaikan disengat oleh rasa sakit. Namun kemudian pundaknya itu merasa pedih. Ketika ia sempat meraba pundaknya, terasa diantara basahnya air hujan, cairan yang hangat mengembun dipundaknya yang pedih. Sekilas kilat memancar, Untara menyadari bahwa pundaknya telah berdarah. “Kukunya setajam pisau,“ desis Untara didalam hatinya. Dengan demikian maka Untarapun menjadi lebih berhati-hati menghadapi lawannya. Ia sadar, kenapa lawannya berusaha untuk melibatnya dalam pertempuran tanpa jarak itu. Dengan demikian, maka Untarapun telah mengiimbangi kemampuan lawannya pada tangan kirinya dengan tekanan-tekanan kekuatan yang telah dikembangkannya pada tenaga cadangannya. Perlahanlahan kekuatan Untara bagaikan menjadi semakin besar. Dalam pada itu, Untara yang bertempur pada jarak yang pendek itu, memang sulit untuk mendapat kesempatan melihat arena pertempuran secara keseluruhan. Namun dengan sekali-sekali ia sempat juga melihat sekilas jika langit memancar. Namun kehadiran adiknya bersama Ki Waskita, Sabungsari dan Glagah Putih telah terasa akibatnya. Bahkan jika ia semula harus bertempur melawan dua orang yang hampir saja merenggut hidupnya seperti yang memang dikehendaki oleh Ki Pringgajaya, maka kemudian ia tinggal berhadapan dengan seorang saja meskipun yang seorang ini memiliki kemampuan yang mendebarkan. Sebenarnyalah Untara yang telah mendapat gambaran serba sedikit tentang kemampuan adiknya di padepokannya, tidak mencemaskannya lagi meskipun bukan berarti bahwa adiknya itu tidak akan mendapat lawan yang berat. Apalagi ketika ia melihat bahwa adiknya itu harus melawan ampat orang

sekaligus. Namun yang justru lebih diperhatikan adalah kehadiran Glagah Putih diantara orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. “Untunglah ia tidak bertemu dengan lawan yang menggetarkan,” berkata Untara didalam hatinya, setelah ia mengetahui bahwa Glagah Putih telah mendapat lawan salah seorang dari lima pengikut Ki Pringgajaya. Dalam pada itu, rasa-rasanya malam menjadi semakin kelam. Hujan justru menjadi semakin lebat, dan angin bertiup semakin kencang. Pepohonan bagaikan diguncang dan bahkan kadang-kadang bagaikan diputar oleh angin yang melingkar. Ledakan cambuk Kiai Gringsing dan Agung Sedayu masih saja bersahut-sahutan dengan guntur yang menggelegar. Sementara air mulai mengalir disepanjang jalan dan parit-paritpun mulai melimpah. Sabungsari bergeser beberapa langkah dari kawan-kawannya. Ia mencoba untuk bertempur pada jarak yang memungkinkannya melihat pertempuran itu dalam keseluruhan. Rasa-rasanya ingin sekali ia melihat, apa yang dapat dilakukan oleh Ki Pringgajaya dihadapan Kiai Gringsing meskipun ia pernah mendengar serba sedikit tentang orang yang bernama Ki Lurah Pringgajaya, yang juga saudara seperguruan Ki Pringgabaya. Lawan Sabungsari sendiri, bukanlah orang yang membuat prajurit muda itu silau. Meskipun orang itu memiliki bekal yang cukup, namun Sabungsari sendiri juga memiliki ilmu yang tinggi, sehingga karena itu, maka Sabungsari tidak terlalu cemas menghadapi lawannya. Namun iapun sadar, jika ia membuat satu kesalahan kecil saja, maka ia akan terjerumus kedalam keadaan yang sangat gawat. Sambil bertempur Sabungsari mengamati Ki Pringgajaya yang pernah dikenalnya dalam lingkungan keprajuritan Pajang di Jati Anom. Ternyata seperti yang dikatakannya, ia memang mampu mengimbangi ilmu Kiai Gringsing. Kecepatannya bergerak kadang-kadang memaksa Kiai Gringsing untuk bergeser surut mengambil jarak, kemudian meledakkan cambuknya untuk menahan agar lawannya tidak menelusup memasuki daerah pertahanannya. Tetapi malam sangat gelap. Hujan yang tercurah telah membatasi penglihatannya. Hanya jika sesekali kilat memancar, ia dapat melihat seluruh arena. Tetapi tidak lebih dari sekejap. Agung Sedayulah yang bertempur melawan jumlah orang yang paling banyak. Meskipun mereka bukan orang terpenting didalam kelompok orang-orang yang menghadang Untara, tetapi berempat mereka merupakan lawan yang cukup berat. Apalagi mereka berusaha memencar dan mengepung Agung Sedayu dari segala arah. Seperti Sabungsari, Agung Sedayu tidak terlalu cemas menghadapi keempat lawannya. Tetapi iapun tidak mau membuat kesalahan yang dapat menyeretnya kedalam

bencana. Karena itu, maka iapun bertempur dengan sangat berhati-hati. Keempat orang lawannya itu ternyata berusaha untuk bertempur sambil bergeser. Mereka mencoba membingungkan Agung Sedayu dengan serangan yang datang berganti-ganti, beruntun dan dalam gerak yang menggelombang. Tetapi usaha mereka sia-sia. Agung Sedayu tidak pernah menjadi bingung dan tidak pula kehilangan pengamatan arah serangan yang datang susul menyusul itu. Ia dapat menangkis serangan dari depan, sekaligus serangan berikutnya yang menyusul dari belakang, atau bahkan kedua-duanya dalam waktu yang bersamaan. Ternyata Agung Sedayu tidak tergesa-gesa. Menurut pengamatannya, meskipun malam gelapnya bukan kepalang, tetapi ia dapat menduga dan merasakan, bahwa Untara dan kelompoknya tidak banyak mengalami kesulitan melawan orang-orang Ki Pringgajaya termasuk Ki Pringgajaya sendiri. “Meskipun Ki Pringgajaya adalah orang yang pilih tanding, tetapi guru bukannya orang yang mudah untuk ditaklukkannya. Semula ia yakin karena ia bertempur berpasangan. Tetapi seorang diri, ia akan memeras segenap kemampuannya. Apalagi rahasia kelebihannya sudah diketahui oleh guru, seperti yang pernah dikatakan oleh Ki Waskita,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Sebenarnyalah Kiai Gringsing mendapat lawan yang sangat kuat dengan ilmunya yang dahsyat. Namun karena ia sudah mengetahuinya, maka dengan ujung cambuknya ia selalu berusaha memotong serangan Ki Pringgajaya yang seakan akan mampu melampaui kecepatan waktu. Secara keseluruhan, maka kehadiran Ki Waskita, Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Putih, membuat pertempuran itu tidak berat sebelah. Tidak lagi nampak tekanan-tekanan yang berbahaya seperti sebelumnya, yang bahkan hampir saja merenggut nyawa. Ternyata bahwa Agung Sedayulah yang nampaknya akan mengakhiri pertempuran itu paling cepat. Dengan ujung cambuknya ia membuat keempat lawannya tidak berdaya sama sekali untuk menyerangnya. Bahkan kadang-kadang mereka menjadi bingung, dan bersama-sama berloncatan surut jika Agung Sedayu memutar cambuknya lebih cepat. Dalam keadaan yang demikian, maka didalam gemuruhnya hujan yang tercurah dari langit, terdengar suara Agung Sedayu, “Menyerah sajalah. Kalian tidak akan dapat berbuat lebih banyak dari yang kalian lakukan ini.“ “Persetan,“ geram salah seorang dari mereka, “dalam keseluruhan, kami akan dapat menghancurkan kalian. Seorang saja kawanmu terbunuh, berarti semuanya akan terbunuh.” “Tetapi juga sebaliknya,“ berkata Agung Sedayu, “seorang saja diantara kalian lumpuh, maka berakhirlah pertempuran ini dengan cepat dan pasti.”

Lawannya tidak menjawab. Tetapi hampir bersamaan mereka menyerang dari segala arah. Namun putaran cambuk Agung Sedayu telah mendorong mereka untuk melangkah surut. Ternyata Agung Sedayu tidak perlu mengerahkan segenap kemampuannya. Ia masih bertempur wajar dengan kekuatan cadangannya untuk mengatasi kecepatan gerak keempat lawannya. Tetapi ia masih belum mengerahkan kemampuan ilmu yang tertinggi, apalagi yang terpancar dari getaran didalam dirinya dalam hubungannya dengan lambaran ilmu yang mampu menyerap kekuatan alam dilingkungannya bukan saja kemampuan kewadagan. Dalam waktu yang terhitung tidak terlalu lama, maka keempat lawannya benar-benar telah kehilangan kemampuan mereka untuk melawan. Mereka kadang-kadang menjadi bingung. Nafas mereka menjadi semakin memburu, apalagi air yang tercurah dari langit seolah-olah telah menyumbat lubang hidung mereka. Perlahan-lahan tetapi pasti, Agung Sedayu berniat untuk menundukkan mereka, meskipun tidak ada niatnya untuk membunuh. Namun keempatnya harus dilumpuhkan dan tidak dapat mengganggu arena pertempuran itu lagi. Namun dalam pada itu, selagi mereka terpukau dalam pertempuran melawan orang-orang tertentu, mereka sama sekali tidak menghiraukan seseorang yang mengamati pertempuran itu dari jarak yang cukup untuk tidak dengan mudah diketahui. Dengan saksama ia memperhatikan setiap orang didalam pertempuran itu. Meskipun malam kelam, namun dalam kilatan cahaya lidah api yang berloncatan, ia dapat menilai apa yang sebenarnya sudah terjadi. “Satu kesalahan telah terjadi,“ berkata orang itu, “seharusnya anak-anak Tal Pitu itu tidak bertempur berpencaran. Jika mereka mendapat kesempatan bergabung, maka kemampuan mereka akan luluh menjadi satu kekuatan yang tidak terlawan.” Sebenarnyalah, bahwa orang-orang dari Tal Pitu yang harus bertempur berpasangan dengan orang lain, merasa kurang dapat luluh dalam satu kesatuan. Seolah-olah mereka tidak mampu menghentakkan ilmu mereka sampai tuntas, karena kerja sama yang kurang mapan. Namun karena semula mereka dapat langsung menguasai lawan mereka, maka mereka tidak merasakan kesulitan dalam kerja sama. Tetapi ketika salah seorang dari mereka harus bertempur melawan Ki Waskita berpasangan dengan orang lain, barulah mereka merasa, bahwa mereka tidak dapat mengerahkan kemampuan masing-masing sampai kepuncak. Orang yang bersembunyi itu masih menunggu sejenak. Namun ketajaman penglihatannya, segera mengetahui, bahwa orang Ki Pringgajaya tidak akan dapat memenangkan pertempuran itu. Jika keseimbangan itu tidak dirubah, maka sekali lagi akan terjadi kegagalan. “Prabadaru memang kurang bijaksana,“ desis orang itu,

“atau ia menyerahkan segalanya kepada Pringgajaya, sehingga dengan demikian Pringgajayalah yang kurang bijaksana.” Sebenarnyalah bahwa orang itu tidak melihat kemungkinan apapun yang menguntungkan pihak Pringgajaya. Pringgajaya sendiri yang bertempur melawan Kiai Gringsing, harus mengerahkan segenap kemampuannya. Meskipun pertempuran itu demikian dahsyatnya, sehingga cambuk Kiai Gringsing meledak berurutan bahkan kadang-kadang terdengar gaung angin putaran cambuk itu. namun tidak nampak bahwa pada saat yang pendek, bahkan pada suatu saat yang manapun, bahwa Pringgajaya akan dapat menguasai Kiai Gringsing. Keduanya memiliki ilmu yang luar biasa. Keduanya memiliki kelebihan dan kemungkinan yang seimbang. Dalam pada itu, murid Tal Pitu yang seorang, tidak juga nampak akan segera dapat mengalahkan Sabungsari. Meskipun Sabungsari sudah sampai pada puncak kemampuannya dengan mengerahkan tenaga cadangan dan segala kemungkinan yang terlontar dari ilmunya, namun ia masih belum mempergunakan ilmu pamungkasnya. Ia masih berusaha untuk dapat menguasai lawannya dengan kemampuan sentuhan wadagnya. Dan ia memang merasa akan dapat melakukannya tanpa mempergunakan kekuatan ilmunya yang terpancar dari sorot matanya. “Kecuali jika orang Tal Pitu ini masih mempunyai simpanan ilmu yang akan dapat mendesakku,“ berkata Sabungsari didalam hatinya, “barulah aku akan mempergunakan ilmu itu.” Murid Tal Pitu yang bertempur melawan Widurapun tidak berhasil mendesaknya. Memang ada kemungkinan Widura akan terdesak. Tetapi nampaknya pengalamannya yang luas berhasil menolongnya, sehingga ia masih tetap mampu bertahan. Orang Tal Pitu yang ketiga, yang kebetulan bertempur bersama Dogol Legi melawan Ki Waskita, nampaknya tidak dapat berpasangan dengan mapan. Sekali-kali terjadi juga salah paham, dan bahkan keragu-raguan. “Sebaiknya ia bergabung dengan saudara seperguruannya,” berkata orang itu. Orang itu tidak menghiraukan lagi orang-orang lain. Ia lebih banyak memperhatikan ketiga murid dari Tal Pitu itu. Karena itu, maka iapun berusaha bergeser lebih mendekati orangorang Tal Pitu itu. Tetapi ia terkejut ketika ia mendengar keluhan diantara ledakkan cambuk seorang anak muda yang bertempur melawan ampat orang sekaligus. Karena itu ia justru tertarik kepada anak muda itu. Demikian tangkas dan cekatan. Dalam pada itu, seorang dari keempat lawannya telah berada diluar arena. Nampaknya ia sudah terluka. Pahanya telah terkoyak oleh ujung cambuk Agung Sedayu. Betapa perasaan pedih menyengat lukanya yang basah oleh curahan air hujan. “Anak ini memang luar biasa,“ desis orang itu. “Namun nampaknya ia dapat memperhitungkan

keadaan dengan cermat. Jika anak muda itu mendapat kesempatan bertempur lebih lama lagi, maka ketiga orang lawannya yang lainpun akan segera dipunahkannya.” Karena itu, maka ia merasa harus bertindak dengan cermat. Ia tidak peduli lagi, apakah yang akan terjadi. Namun iapun tidak ingin bahwa sekali lagi Pringgajaya yang telah berganti nama dengan Partasanjaya itu akan gagal. Sambil meloncat dari persembunyiannya orang itu berkata lantang, “Anak-anak Tal Pitu. Kenapa kalian tidak bertempur disatu arena ?” Suara yang lantang itu telah mengejutkan arena. Semua orang memperhatikannya. Lebih-lebih ketiga orang murid Tal Pitu. Bahkan hampir berbareng mereka menyebut, “Guru.” “Ya. Aku datang untuk melihat apa yang telah terjadi. Aku mendengar dari Prabadaru bahwa kalian telah dikirim kepada Pringgajaya. Tetapi Pringgajaya ternyata tidak bijaksana. Ia memasang kalian dalam arena yang tercerai berai. Mungkin Pringgajaya terlalu meremehkan kekuatan lawannya, sehingga ia tidak memikirkan latar belakang orang-orang yang membantunya,“ berkata orang itu. “Ajar Tal Pilu,“ desis Pringgajaya. “Ya. Aku memang sudah tidak percaya akan rencanamu,“ berkata orang yang disebut Ajar Tal Pitu. Lalu, “Kau selalu gagal dan kali inipun kau tidak mapan menempatkan orang-orangku yang aku berikan kepada Prabadaru.” “Semuanya sudah berubah,“ berkata Pringgajaya sambil bertempur, “ada yang hadir disini diluar perhitunganku.” Ajar Tal Pitu itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Kita atur kembali orang-orang kita. Aku akan ikut melibatkan diri. Aku tertarik kepada anak yang melawan empat orang sekaligus. Aku ingin menangkapnya dan mempelajari, ilmu apakah yang dimilikinya.” “Ia anak iblis. Ia murid lawanku ini,“ berkata Pringgajaya. “Ya. Justru ia anak iblis. Aku ingin memeliharanya, sekedar untuk mengerti tentang dirinya,“ jawab Ajar Tal Pitu. “Jika demikian, terserah kepadamu,“ jawab Ki Pringgajaya. Ajar Tal Pitu itupun kemudian berkata, “Anak-anak Tal Pitu. Berkumpullah. Lawanlah orang tua yang mempunyai lawan rangkap itu. Ia memiliki ilmu yang tinggi. Sementara lawannya yang lain, biarlah melawan bekas prajurit itu. Bukankah orang itu Widura ?

Sedangkan keempat prajurit ini, biarlah melawan anak muda yang seorang lagi, yang nampaknya kemampuan mereka tinggal tiga orang saja.” Untuk beberapa saat tidak terdengar jawaban. Yang terdengar adalah dentang senjata beradu dan gelegar guruh dilangit. Bahkan angin yang kencang bertiup semakin buas menerpa dedaunan yang berguncangan-guncang. Dalam pada itu, maka orang yang disebut Ajar Tal Pitu itu melangkah mendekati Agung Sedayu. Sejenak ia mengamati pertempuran diantara Agung Sedayu dan lawannya yang tinggal tiga orang, karena yang seorang telah terluka dan nampaknya sedang berusaha untuk mengurangi penderitaannya. “Tinggalkan lawanmu” geram Ajar Tal Pitu. Ketiga orang itu termangu-mangu. Mereka adalah orangorang yang berada dibawah perintah Ki Pringgajaya. Karena itu untuk beberapa saat mereka tidak beringsut dari tempatnya. Mereka masih tetap bertempur melawan Agung Sedayu. Namun dalam pada itu, terdengar perintah Ki Pringgajaya, “Lakukan. Ajar Tal Pitu ingin turun ke arena.” Ketiga orang itupun segera berusaha menarik diri. Mereka melangkah surut. Sementara Agung Sedayu tidak mengejarnya. “Bagus,“ desis Ajar Tal Pitu, “kau mengenal tatanan laki-laki jantan. Kau memberi kesempatan lawanmu untuk memperbaiki keadaannya.” Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Dipandanginya orang yang disebut Ajar Tal Pitu itu dengan saksama. Sementara orang itu berkata, “Ki Sanak bertiga. Ambillah anak muda yang seorang lagi itu sebagai lawan. Biarlah murid-muridku berkumpul menjadi satu menghadapi orang tua yang nampaknya memiliki ilmu yang tinggi itu. Sementara muridku yang bertempur melawan Widura biarlah bertukar tempat.” Dalam pada itu, terdengar suara Ki Pringgajaya, diantara gemuruh air hujan, “Lakukanlah apa yang dikatakannya.” Demikianlah ketiga orang lawan Agung Sedayu itupun segera mendekati Sabungsari. Sejenak mereka mengamati pertempuran itu. Namun kemudian mereka telah mengambil alih anak muda itu, sementara murid Tal Pitu yang melawannya telah memilih lawan yang lain. Nampaknya para murid Tal Pitu itu berusaha untuk menyusun satu perlawanan yang utuh terhadap Ki Waskita. Sehingga karena itu. maka Dogol Legipun telah beralih lawan. Seperti rencana semula, ia memang dihadapkan kepada bekas

prajurit yang bernama Widura. Demikianlah arena pertempuran itu sudah berubah. Tiga orang murid Tal Pitu telah berkumpul melawan Ki Waskita, sementara Sabungsari berhadapan dengan tiga orang lawan bersama-sama. Dalam pada itu. Kiai Gringsing, yang bertempur melawan Ki Pringgajaya menjadi berdebar debar. Ia sadar, bahwa Ajar Tal Pitu tentu bukan orang kebanyakan. Semula ia mengirimkan tiga orang muridnya. Namun ternyata bahwa ia sendiri telah hadir dipertempuran. Selain Kiai Gringsing, Ki Waskita, Widura dan Untarapun menjadi cemas. Bahkan Sabungsari dan Glagah Putihpun ikut memikirkannya. Ketika Untara sempat memandang sekilas ketika langit menyala sekejap, ia melihat Ajar Tal Pitu melangkah mendekati Agung Sedayu yang berdiri tegak. Bagaimanapun juga, Agung Sedayu adalah satu-satunya adiknya. Karerti itu, maka ia tidak akan dapat melepaskannya kegelisahannya meskipun ia sendiri menghadapi lawan yang berat. Dalam pada itu, Ajar Tal Pitu yang sudah berdiri berhadapan dengan Agung Sedayu itupun berkata, “Anak muda. Nampaknya kau memiliki kelebihan yang sulit dijangkau oleh anak anak muda sebayanya. Menilik senjatamu, kau memang murid orang bercambuk seperti yang dikatakan oleh Ki Pringgajaya.” “Ya,“ jawab Agung Sedayu, “aku memang murid Kiai Gringsing.” Ajar Tal Pitu mengangguk-angguk. Katanya, “Nama orang bercambuk itu memang sudah aku dengar. Ketika aku melihat, bagaimana ia bertempur melawan Ki Pringgajaya, maka akupun percaya, namanya memang besar sebagaimana kemampuannya. Bagiku Ki Pringgajaya adalah seorang yang pilih tanding. Melampaui saudara seperguruannya yang kini berada di Mataram, karena nasibnya yang malang. Jika ia tidak ketemu dengan Senapati Ing Ngalaga, atau Ki Juru Martani sendiri aku kira tidak seorangpun yang dapat menangkapnya. Dan ternyata sekarang, bahwa orang bercambuk itu mampu mengimbangi Ki Pringgajaya.” Agung Sedayu tidak menjawab. Bahkan ia sempat memandang sekilas pertempuran yang nampaknya semakin berserakan, karena setiap lingkaran pertempuran telah bergeser kearah yang berbeda. “Anak muda,” berkata Ajar Tal Pitu, “sebenarnya aku tidak ingin membunuhmu. Aku ingin menangkapmu dan jika kau bersedia bekerja bersama, maka aku akan mempergunakan pola latihanlatihan yang pernah kau lakukan bagi murid-muridku yang masih muda sehingga pada umur semuda kau, mereka akan memiliki kemampuan setingkat dengan kemampuanmu.” Agung Sedayu tidak segera menjawab. Tetapi ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Meskipun juntai cambuknya masih terkulai ditanah yang basah, namun setiap saat cambuk itu akan dapat meledak.

“Nampaknya kau tidak tertarik pada tawaranku,” berkata Ajar Tal Pitu, “Baiklah. Jika demikian aku akan menangkapmu. Cobalah kau berusaha membebaskan diri. Tetapi aku kira, aku perlu memberikan sedikit gambaran kepadamu, dengan siapa kau berhadapan. Dengan demikian, maka kau akan menyadari, apa yang akan kau lakukan seterusnya. Apakah yang akan kau lakukan itu akan punya arti, atau hanya sekedar kesiasiaan saja.” Betapapun juga, terasa debar jantung Agung Sedayu menjadi semakin cepat. Agaknya orang yang bernama Ajar Tal Pitu itu terlalu yakin akan kemampuannya, sehingga ia ingin memberiican sedikit gambaran tentang tingkat ilmunya. “Anak muda,“ berkata Ajar Tal Pitu, “aku akan segera bermain-main. Cobalah kau ikut dalam permainan ini. Aku akan mengambil cambuk dari tanganmu. Dan kau harus mencoba mempertahankan. Kau mengerti maksudku ? Meskipun seandainya aku berhasil merampas cambukmu, cambuk itu akan aku kembalikan kepadamu, karena aku hanya ingin sekedar memberikan gambaran, siapakah yang sebenarnya kau hadapi.” Dada Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Ia tidak dapat mengabaikan kata-kata Ajar Tal Pitu itu. Jika ia tidak mempunyai bekal yang pantas maka ia tidak akan mengatakannya. Karena Agung Sedayu tidak menjawab, maka Ajar Tal Pitu itu tertawa sambil berkata selanjutnya, “Kau tidak perlu gelisah. Apalagi jika kau mau mendengar kata-kataku. Kau ikut ke Tal Pitu dan memberi tahukan kepadaku, cara-cara yang selama ini kau tempuh sehingga kau memiliki ilmu yang tinggi pada usiamu yang muda. Jangan takut kepada gurumu, karena gurumu tidak akan dapat melihat matahari terbit esok pagi.” Kata-kata itu tidak hanya didengar oleh Agung Sedayu. Meskipun gemeresak hujan yang semakin lebat menderu bercampur suara guruh, tetapi sebagian besar dari orangorang yang sedang bertempur itu mendengar apa yang dikatakan oleh Ajar Tal Pitu yang agaknya dengan sengaja diucapkan dengan lantang. Sebenarnyalah bahwa orang-orang itu menjadi gelisah. Tetapi mereka memang tidak banyak mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu, karena mereka masing-masing sedang sibuk menghadapi lawan yang berat. “Agung Sedayu,“ berkata Ajar Tal Pitu itu kemudian. “Marilah kita akan mulai dengan permainan kita. Aku akan mengambil cambukmu, dan kau berusaha untuk mempertahankannya. Jika permainan ini selesai, kau akan dapat mengambil satu kesimpulan dan sudah tentu kau akan cukup bijaksana untuk menentukan sikap.”

Agung Sedayu tetap diam. Namun dalam pada itu, kegelisahan yang merayap dijantungnya, sengaja atau tidak sengaja, telah mendesak Agung Sedayu untuk bersiap sepenuhnya menghadapi keadaan. Lambaran ilmu yang ada didalam dirinya telah bergetar sampai mendasar. Apa yang pernah dipelajarinya dari Kiai Gringsing dengan segenap unsur gerak dan tenaga cadangannya, semua yang pernah dipelajarinya tentang ilmu yang tumurun pada orang tuanya yang tidak sengaja ditemuinya pada dinding goa, kemudian beberapa unsur yang terdapat didalam kitab yang pernah dibacanya dan kemudian dipelajarinya, kekuatan yang tumbuh pada getaran yang paling dalam dari dirinya dalam hubungan timbal balik dengan alam diseputarnya yang didapatkannya di saat ia mesu diri didalam goa dan pada kesempatan-kesempatan yang lain, dalam kesempatan yang demikian, seolah-olah telah bergolak dan menggelegak didalam dirinya. Seperti air yang mendidih oleh panasnya api, maka bergejolaklah ilmu itu didalam dirinya dan mengalir kesegenap urat darahnya sampai keujung yang paling lembut. Diluar sadarnya, tiba-tiba tangan Agung Sedayu yang menggenggam cambuknya itu menjadi bergetar. Jika benar apa yang dikatakan oleh Ajar Tal Pitu, bahwa ia akan mengambil cambuk itu dari tangannya, maka genggaman tangannya itu bagaikan membatu dan mengeras menjadi satu dengan tangkai cambuknya itu. Dalam pada itu, terdengar suara tertawa Ajar Tal Pitu diantara kata-katanya, “Bersiaplah Agung Sedayu. Kau tidak usah menjadi gemetar, apalagi ketakutan. Aku tidak akan bersungguh-sungguh seperti yang aku katakan pada taraf permulaan. Tetapi jika kemudian kau menjadi keras kepala, maka mungkin aku akan mengambil sikap lain. Agung Sedayu tetap diam. Namun kekuatan berbagai ilmu yang luluh didalam dirinya itu seakan-akan telah membuat hujan yang semakin lebat dan angin prahara yang mengguncang pepohonan itu tidak menyentuh tubuhnya lagi. Tetapi Ajar Tal Pitu tidak sempat melihatnya. Ia terlalu bangga akan dirinya dan sekaligus ia menganggap lawannya adalah kanak-kanak yang betapapun tinggi ilmunya, namun masih belum pantas untuk diperhitungkan. Namun Ajar Tal Pitu memang ingin mengejutkan Agung Sedayu. Dalam kesempatan pertama, ia memang ingin menunjukkan kepada anak muda itu, siapakah dirinya dan betapa tinggi ilmunya. Karena itu, secepat lidah api yang menyala dilangit, hampir tidak dapat dilihat dengan tatapan mata kewadagan, Ajar Tal Pitu telah bergerak. Tangannya terjulur menggapai ujung cambuk Agung Sedayu kemudian menghentak merenggutnya dengan satu loncatan panjang. Teiapi yang terjadi, benar-benar diluar dugaan Ajar Tal Pitu. Hentakkan tangannya bagaikan ledakan yang dahsyat didalam dirinya. Sebuah teriakan nyaring telah mengejutkan orang-orang yang sedang bertempur di tikungan sebelah Lemah Cengkar itu. Sekilas didalam kilatan cahaya tatit, mereka melihat Ajar Tal Pitu itu bagaikan terlontar. Sekali ia berputar diudara. Kemudian beberapa langkah dari Agung Sedayu itu terjatuh tepat pada kedua kakinya yang bagaikan menancap diatas tanah yang basah.

Pertempuran yang semakin seru itu bagaikan terhenti sejenak. Dengan jantung yang berdebar-debar mereka melihat Ajar Tal Pitu berdiri tegak dengan kaki renggang. Namun beberapa langkah daripadanya, mereka melihat Agung Sedayupun berdiri tegak dengan kaki yang renggang pula. Sementara itu, cambuknya masih tetap berada ditangannya. “Anak iblis,“ geram Ajar Tal Pitu, “darimana kau memiliki ilmu dari dasar neraka itu.” Agung Sedayu masih tetap berdiri tegak. Ia merasa renggutan yang kuat menghentak tangannya. Namun genggaman tangannya memang mengeras menyatu dengan tangkai cambuknya sehingga hentakkan tangan lawannya rasa-rasanya telah memutuskan urat nadinya sendiri. Namun Ajar Tal Pitu adalah orang pilihan. Betapapun ia terkejut dan tersentak, namun ia berhasil menyelamatkan dirinya sendiri. Ia sempat melepaskan juntai cambuk Agung Sedayu sehingga urat nadi pada pangkal lengannya tidak benar-benar putus karenanya. Orang-orang Jati Anom yang terlibat dalam pertempuran itu menarik nafas dalam-dalam. Meskipun sekejap kemudian mereka sudah terlibat lagi dalam pertempuran yang sengit, namun mereka melihat satu kenyataan bahwa Agung Sedayu telah memenangkan permainan permulaan dengan orang yang disebut Ajar Tal Pitu itu. “Anak muda,“ berkata Ajar Tal Pitu, “kau benar-benar luar biasa. Kau memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari yang aku duga. Kau mampu mempertahankan cambukmu. Hampir saja kau justru akan melumpuhkan tanganku yang tidak berhasil merenggut cambuk dari tanganmu. Tetapi ketahuilah. Bahwa hal itu bukan ukuran terakhir.” Seluruh arena pertempuran itu diliputi oleh suasana yang sulit dimengerti. Kegelisahan, keheranan dan keharuan. Namun juga kemarahan dan dendam yang membara. Orang-orang tua yang mengikuti Untara pergi kerumah Ki Demang Sangkal Putung untuk membicarakan hari-hari yang dinanti oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah, tiba-tiba telah melihat Agung Sedayu dalam suasana yang tidak dapat mereka mengerti. Debar jantung mereka yang tidak menentu, bukan saja karena mereka tidak mengerti kemungkinan apa yang dapat terjadi didalam pertempuran yang bagi mereka terlalu kisruh, juga karena deru hujan dan angin serta basah kuyup yang bagaikan merendam mereka. Keris ditangan mereka bergetar oleh tangan-tangan mereka yang menggigil kedinginan. Sementara tangan-tangan mereka seolah-olah telah membeku. Dalam pada itu, diantara deru air hujan dan gemuruhnya angin yang kencang, terdengar suara Ajar Tal Pitu yang marah, “Anak muda. Agaknya kau sama sekali telah mengeraskan hatimu. Apalagi dengan satu kebanggaan bahwa kau berhasil mempertahankan cambukmu. Tetapi ketahuilah, bahwa justru karena itu, maka kau benar-benar telah membakar hatiku. Jika semula aku hanya ingin menangkapmu, maka kini aku ingin mengetahui sampai dimana daya tahan tubuhmu yang kau lambari dengan ilmu

iblismu. Menarik sekali untuk dapat mengetahui batas kemampuan seorang anak muda seperti kau. Batas antara kemampuan daya tahan ilmumu dan saat-saat kau harus berhadapan dengan saat-saat terakhir dari hidupmu.” Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Tetapi darahnya yang bagaikan mendidih itu masih saja memanasi seluruh urat nadinya sampai keujung-ujung rambut. Ketika Ajar Tal Pitu bergeser, Agung Sedayupun bergeser pula. Sementara Ajar Tal Pitu yang mulai menyadari, bahwa lawannya yang masih muda itu mempunyai ilmu yang tinggi, telah memperhatikan setiap gerak anak muda itu dengan saksama. Ketika terpandang olehnya cambuk Agung Sedayu yang berjuntai di tanah, dan yang telah gagal direnggutnya, maka Ajar Tal Pitu itupun mulai memikirkan kemungkinan untuk mengimbangi senjata itu dengan senjata. Ada keragu-raguan didalam hatinya. Sebagai seorang yang telah menempatkan dirinya sendiri dalam jajaran orang-orang terpandang, maka agak segan juga rasanya untuk mempergunakan senjata melawan anak-anak seperti yang dihadapinya itu. Namun ia tidak dapat ingkar bahwa yang dihadapinya itu adalah anak muda yang lain dari anak muda kebanyakan. Karena itulah, maka ternyata kemudian Ajar Tal Pitu itu tidak lagi mengikuti perasaannya. Ia mencoba untuk mempergunakan nalarnya menghadapi Agung Sedayu. Ia tidak dapat mengabaikan kenyataan tentang kemampuan anak muda itu. Agung Sedayu menjadi berdebar-debar melihat Ajar Tal Pitu itu menggeser ikat pinggangnya. Ketika kilat memancar, maka ketajaman matanya dapat melihat, disebelah pedang yang tergantung dipinggang, maka pada ikat pinggang itu terdapat pisau-pisau kecil yang tentu merupakan senjata lontar yang berbahaya. Dengan demikian, maka Agung Sedayupun segera mempersiapkan diri melawan senjata-senjata yang akan meluncur dari tangan Ajar Tal Pitu yang mampu bergerak secepat kilat itu. Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi diarena yang semakin meluas itupun menjadi semakin seru. Sabungsari yang kemudian bertempur melawan tiga orang pengikut Ki Pringgajayapun telah bertempur dengan garangnya. Meskipun ia tidak memiliki ilmu setinggi Agung Sedayu, tetapi ia mampu mengimbangi ketiga lawannya dalam tingkat kemampuan yang sama seperti yang dilakukan oleh Agung Sedayu. Apalagi jumlah orang itu telah berkurang dengan seorang. Maka ketiga orang itu tidak berhasil menguasai Sabungsari. Seorang prajurit Pajang yang menurut jenjang kepangkatannya, masih berada pada tataran terendah, meskipun beberapa orang perwira telah menaruh perhatian dan mulai membicarakan kemungkinan untuk mempercepat kenaikan pangkatnya.

Bahkan dalam pada itu, Sabungsari masih sempat melihat, apa yang dapat dilakukan oleh Ki Pringgajaya. Ternyata bahwa Ki Pringgajaya tidak sekedar membual dengan ilmunya. Ketika ia menakut-nakuti seorang prajurit yang menurut pengamatannya, tentu pengikut Ki Pringgajaya dengan membunuh seekor kambing dengan tatapan matanya, maka Ki Pringgajaya sama sekali tidak menjadi cemas. Dan ternyata bahwa berhadapan dengan Kiai Gringsing, Ki Pringgajaya masih mampu untuk bertahan. Ilmunya yang terpercaya adalah kemampuannya bergerak seolah-olah mendahului waktu. Dengan demikian maka serangan-serangannya menjadi sangat berbahaya. Namun karena Kiai Gringsing sudah mengetahui sebelumnya, maka ia telah mampu menyesuaikan diri. Namun sementara itu, Sabungsari masih sempat membuat pertimbangan. Bahkan orang yang disebut Pringgabaya yang tertawan di Mataram, mampu mengimbangi ilmu Ki Waskita. Sehingga dengan demikian, maka wajarlah bahwa Ki Pringgajaya itu mampu menempatkan dirinya sebagai lawan Kiai Gringsing yang tangguh. Bahkan seandainya Kiai Gringsing belum mengetahui kemampuan ilmu Ki Pringgajaya, maka pada bagian-bagian pertama dari pertempuran itu. Kiai Gringsing tentu akan terdesak, meskipun kemudian ia akan berhasil memperbaiki kedudukannya. Tetapi jika ia terlambat menyadari keadaan, maka ia tentu akan berada pada keadaan yang gawat. Sementara itu, Ki Waskita berhadapan dengan tiga orang murid dari Tal Pitu yang telah bergabung. Dengan demikian, maka mereka memang dapat menyusun kekuatan dalam kerja sama yang mantap, sehingga seakan-akan mereka itu terdiri dari satu kehendak yang terungkap dalam tiga wadag. Tetapi sayang bahwa yang dihadapi adalah Ki Waskita. Karena itu meskipun ketiganya seolah-olah telah luluh menjadi satu, namun mereka ternyata telah membentur kekuatan yang mengejutkan. Jika semula mereka menganggap, bahwa setelah mereka berhasil bertempur dalam satu lingkaran, maka mereka akan menyapu lawannya, ternyata mereka harus melihat satu kenyataan yang lain. Sementara itu kedudukan Untara dan Widura tidak mencemaskan. Senapati muda di daerah Selatan itu ternyata memiliki kemampuan yang mengejutkan bagi Bandung, yang menganggap kedudukan Untara hanyalah karena nasibnya yang baik saja. Namun ternyata bahwa apa yang dimiliki Untara sudah jauh meningkat daripada saat ia berhasil mengalahkan Macan Kepatihan. Meskipun dalam kesibukan tugasnya sehari-hari, Untarapun masih selalu berusaha meningkatkan ilmunya sebagaimana dituntut oleh tugasnya itu sendiri. Sedangkan Widura yang meskipun menjadi semakin tua, namun berlandaskan ilmu yang ada padanya, serta pengalaman dan hatinya yang sudah mengendap, maka ia berhasil mengimbangi lawannya. Yang menarik adalah betapa Glagah Putih bertempur melawan seorang pengikut Pringgajaya yang menyebut dirinya Partasanjaya itu. Lawannya sama sekali tidak menyangka, sebagaimana Ajar Tal Pitu tidak menyangka, bahwa lawannya yang sangat muda itu telah memiliki bekal ilmu yang mengejutkan. Glagah Putih yang dengan sungguh-sungguh dan tidak mengenal lelah menempa diri itu, ternyata telah memiliki bekal yang cukup untuk turun ke arena.

Dalam benturan-benturan yang dahsyat antara kedua belah pihak, maka Agung Sedayu benar-benar menghadapi lawan yang mendebarkan. Ajar Tal Pitu adalah orang yang menganggap dirinya melampaui kemampuan kebanyakan orang. Karena itu, maka ia masih tetap merasa dirinya,tidak akan terlalu banyak mengalami kesulitan untuk mengalahkan Agung Sedayu meskipun tidak akan semudah yang diduganya semula. “Anak muda,“ berkata Ajar Tal Pitu, “senjata bagiku adalah pelengkap yang tidak menentukan didalam pertempuran. Karena betapapun baiknya senjata ditangan kita, akhirnya kita jugalah yang menentukan apakah senjata itu akan berarti atau tidak.” Agung Sedayu masih tetap diam. Tidak ada minatnya sama sekali untuk berbicara dengan Ajar Tal Pitu. Namun dalam pada itu, ia telah memperhatikan benar-benar. apa yang akan dilakukan oleh lawannya yang sedang marah itu. Agung Sedayu menjadi berdebar-debar ketika perlahan-lahan tangan Ajar Tal Pitu itu menarik sebilah pisau belati kecilnya. Sambil mengangkat pisau itu perlahan-lahan ia berkata, “Sekali lagi aku ingin melihat, siapakah lawanku kali ini. Kau telah menunjukkan kepadaku, betapa kuat tanganmu, sehingga aku tidak berhasil merenggut cambukmu dan tidak mematahkan tanganmu. Sekarang aku ingin melihat, apakah kau juga mampu bergerak secepat sambaran pisau kecilku ini.“ orang itu berhenti sejenak, lalu,“ bersiaplah. Aku masih berbaik hati memberimu peringatan. Dalam pertempuran yang sebenarnya hal ini tidak akan dilakukan oleh siapapun. Dan ketahuilah, bahwa aku akan dapat melakukannya beruntun sampai lebih dari sepuluh lontaran, hanya dalam sekejap. Agung Sedayu masih tetap diam. Namun sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu adalah seseorang yang memiliki kurnia ketepatan bidik yang jarang dicari bandingnya. Tetapi, ia sama sekali tidak ingin mengimbangi lawannya dengan lontaran-lontaran senjata apapun juga, meskipun ia akan mampu juga melakukannya. Bahkan seandainya hanya sekedar mempergunakan batu-batu kerikil. Yang dilakukan oleh Agung Sedayu kemudian adalah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ajar Tal Pitu itu nampaknya benar-benar akan mengujinya. Apa yang akan dilakukan, jika Ajar Tal Pitu itu menyerangnya dengan lontaran-lontaran. Bahkan Agung Sedayupun sudah memperhitungkan, jika ia berhasil menghindari lontaran pertama, maka akan segera disusul oleh lontaran-lontaran berikutnya. ”Aku akan mengambil cara lain untuk melawannya,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Demikianlah, maka Agung Sedayupun segera bersiap. Tangan Ajar Tal Pitu telah terangkat tinggi. Namun dengan nada tinggi ia masih memberi peringatan lawannya, “berhati-hatilah. Jangan mati pada lontaran pertama. Aku tentu akan menjadi sangat kecewa.” Sejenak kemudian, maka tangan Ajar Tal Pitu itupun terayun dengan cepatnya, namun dengan daya

lontar yang luar biasa. Jika pisau itu mengenai dada seseorang, maka pisau kecil itu akan menghunjam masuk sampai ke jantung. Tetapi sekali lagi Ajar Tal Pitu terkejut bukan buatan. Ia tidak berhasil melihat, bagaimana Agung Sedayu meloncat menghindari serangannya. Bahkan Ajar Tal Pitu itulah yang kemudian meloncat beberapa langkah surut sambil mengumpat. Ternyata Agung Sedayu telah memotong serangan itu. Demikian tangan Ajar Tal Pitu terayun, maka Agung Sedayu telah meloncat maju sambil menggerakkan cambuknya dengan kecepatan yang tidak kalah dengan kecepaan gerak tangan Ajar Tal Pitu. Dengan juntai cambuknya Agung Sedayu seolah-olah langsung memungut pisau kecil yang demikian terlepas dari tangan Ajar Tal Pitu. Sehingga dengan demikian, maka pisau itupun telah terkibaskan dan terlempar jauh keluar arena. “Kau benar-benar anak iblis,“ geram Ajar Tal Pitu dengan kemarahan yang memuncak. Katanya kemudian, “sekarang aku sudah dapat menjajagi ilmumu, kekuatanmu dan kecepatanmu bergerak dan berpikir. Aku menyatakan sekali lagi kekagumanku terhadap anak yang masih semuda kau. Namun kelebihanmu itu pulalah yang akan menyebabkan kau mati muda, karena tidak ada pilihan lain daripada membunuhmu sekarang. Dengan membunuhmu, maka pertempuran ini akan segera berakhir. Dan aku akan minta pertanggungan jawab Prabadaru, bahwa ia telah menyesatkan anak-anakku kedalam pertempuran seperti ini. Untunglah bahwa ada firasat yang menuntunku mengikuti anak anakku itu. Jika tidak, maka mereka tentu akan mengalami bencana, karena ilmu iblismu itu.” Agung Sedayu masih tetap diam. Namun ia sadar, bahwa ia akan segera mulai dengan pertempuran yang sebenarnya. Ajar Tal Pitu itu tentu tidak akan menjajaginya lagi, tetapi benar-benar akan membunuhnya. Karena itulah, maka Agung Sedayu tidak sekedar menunggu. Demikian Ajar Tal Pitu bersiap, maka cambuk Agung Sedayupun mulai berputar. Ada diluar sadarnya, dan sama sekali bukan satu sikap sombong seperti lawannya, namun terdorong oleh gejolak perasaannya. Agung Sedayu telah meledakkan cambuknya. Tidak terlalu keras seperti yang sudah dilakukannya saat-saat ia melawan empat orang pengikut Ki Partasanjaya, tetapi ternyata bahwa getar juntai cambuknya yang dihentakkan dengan lambaran getar dari dasar kemampuannya itu telah menggetarkan jantung lawannya. Ajar Tal Pitu seakan-akan telah mendapatkan gambaran yang semakin jelas tentang anak muda yang dihadapinya. Ia tidak saja memiliki kekuatan dan kecepatan gerak kewadagan. Tetapi ternyata bahwa Agung Sedayu benar-benar memihki lambaran yang kokoh tangguh. Karena itu, maka untuk menghadapi cambuk Agung Sedayu, Ajar Tal Pitu telah menarik pedangnya. Tidak terlalu besar dan tidak terlalu panjang. Namun pedang itu tidak terbuat dari besi baja seperti kebanyakan pedang yang tajam mengkilat. Tetapi pedang itu adalah seperti sebuah luwuk yang berwarna kelam. Seperti sebilah keris yang besar dengan pamornya yang menyala kemerah-merahan

didalam gelapnya malam dan basahnya air hujan. Agung Sedayupun menyadari bahwa keris yang besar ditangan Ajar Tal Pitu itu tentu mempunyai kekuatan yang terpercaya. Karena itu, maka ia benar-benar harus berhati-hati. Apalagi Ajar Tal Pitu itu sendiri adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Ketika Ajar Tal Pitu beringsut setapak, maka Agung Sedayupun beringsut pula. Keduanya bergeser saling mendekati, sementara cambuk Agung Sedayu berputar perlahan-lahan ditangannya, dan Ajar Tal Pitu pun menggenggam pedangnya erat-erat. Kedua-duanya dengan cermat mengamati setiap gerak lawannya dengan hati-hati. Meskipun malam menjadi semakin gelap, namun daya pengamatan mereka yang tajam, bukan saja dengan mata wadagnya, maka masing-masing seakan-akan dapat melihat setiap gerak lawannya sampai keujung jarinya. Sekejap kemudian, maka Ajar Tal Pitu telah mulai meloncat sambil menjulurkan ujung pedangnya. Ia sadar, bahwa cambuk Agung Sedayu akan segera bergetar, karena itu, ketika benar-benar terjadi demikian, ia sudah siap menarik serangannya. Tetapi dengan cepat Ajar Tal Pitu merubah serangannya mendatar. Agung Sedayu bergeser setapak surut. Namun dalam pada itu, cambuknya telah meledak, tidak terlalu keras bagi telinga sawantah. Namun sebenarnyalah, mereka yang bertempur itu dapat mengetahui betapa besarnya kekuatan yang terlontar pada cambuk yang meledak tidak terlalu keras itu. Dalam pada itu, air hujan yang memercik dari hentakkan ujung cambuk itu telah menyentuh tubuh Ajar Tal Pitu, dan membuatnya menarik nafas dalam-dalam karena air itu seakan-akan telah menjadi air yang mendidih. “Dengan kekuatannya, jika anak itu meledakkan cambuknya dengan sasaran air di dulang, maka air itu tentu benar-benar akan mendidih,“ berkata Ajar Tal Pitu didalam hatinya. Tetapi dengan demikian, maka Ajar Tal Pitu itupun tidak tanggung-tanggung menghadapi Agung Sedayu. Getar ilmunya yang menyala dalam hubungannya yang luluh dengan kekuatan pedangnya, maka seolah-olah telah menimbulkan kekuatan yang luar biasa pula. Pamor pedang yang nampak kemerah-merahan itu menjadi semakin menyala, sehingga dalam puncak kemampuannya yang bagaikan minyak menyiram bara pada mata pedangnya, maka lembaran pedangnya itu benar-benar bagaikan berubah menjadi lidah api yang menyembur dari hulunya yang tergenggam ditangan. Dalam pada itu, ternyata didalam hujan yang lebat, angin yang kencang dan hati yang bergelora, telah terjadi pertempuran yang dahsyat antara dua kekuatan yang pilih tanding. Seorang yang telah menyebut dirinya Ajar Tal Pilu, melawan anak muda yang bernama Agung Sedayu, yang sebenarnya malam itu harus tinggal dirumah dengan hati yang berdebar-debar menunggu keluarganya dan orang-orang tua pergi melamar seorang gadis bagi jodohnya. Namun ternyata bahwa Agung Sedayu itu telah bertemu dengan kekuatan yang luar biasa, yang tidak diduganya semula.

Ajar Tal Pitu, yang mula-mula hanya tertarik melihat kemampuan Agung Sedayu bertempur melawan ampat orang, sehingga tumbuh keinginannya untuk menangkap anak itu sebagaimana ia ingin menangkap seekor kelinci untuk memberi mainan kepada anak-anak muridnya, ternyata harus menghadapi anak itu sebagai lawan yang mendebarkan. Dengan tangkasnya Ajar Tal Pitu telah bergerak dan bergeser diseputar Agung Sedayu. Ujung pedangnya benar-benar bagaikan nyala api yang menyembur semakin panjang mematuk tubuh lawannya. Sentuhan lidah api itu tentu akan dapat membakar kulitnya dan membuatnya tercengkam dalam perasaan panas dan pedih. Karena itu, maka Agung Sedayu benar-benar telah mengerahkan kekuatan dan kemampuannya pada juntai cambuknya. Dengan kekuatan ilmunya yang tinggi, maka ujung cambuknya itu seolah olah dapat membuat air hujan menjadi mendidih dan memercik berhamburan. Namun dalam pada itu, ternyata bahwa lidah api ditangan Ajar Tal Pitu itu tidak mampu membakar juntai cambuk Agung Sedayu. Dalam saat-saat tertentu. Agung Sedayu merasa ujung juntai cambuknya menyentuh senjata Ajar Tal Pitu yang bagaikan semburan api itu. Namun sentuhan juntai cambuk anak muda itu merasakan sentuhan lembaran pedang, dan bukan sentuhan lidah api yang menyala dan menyembur dari tangannya. Karena itu dengan kemampuannya. Agung Sedayu masih dapat melawan lidah api itu sebagaimana ia melawan selembar pedang. Benturan kedua senjata yang telah dijalari ilmu yang mendebarkan itu benar-benar telah membakar air hujan yang tercurah dari langit, hingga melontarkan bunyi seperti desis seekor ular raksasa yang kelaparan. Dalam pada itu. Ajar Tal Pitu yang bergerak dengan cepat mengelilingi lawannya, berusaha untuk dapat menyelinapkan ujung lidah apinya melintasi sambaran ujung cambuk lawannya. Namun nampaknya pertahanan Agung Sedayu menjadi sangat rapat. Sehingga dengan demikian maka Ajar Tal Pitu masih belum berhasil menyusupkan ujung senjata kedalam lingkaran putaran cambuk lawannya. Meskipun demikian, kekuatan lidah api ditangan lawannya itu mulai terasa. Meskipun pedang itu sendiri tidak mampu menyusup putaran cambuknya, namun lidah api itu benar-benar bagaikan menyembur, sehingga panasnya mulai terasa menyentuh tubuhnya. “Luar biasa,“ desis Agung Sedayu didalam hatinya. Dengan demikian iapun sadar, bahwa ia harus memelihara jarak antara dirinya dengan lidah api yang bagaikan menyembur menjilatnya itu. Dalam pada itu, maka Agung Sedayupun menjadi semakin berhati-hati. Iapun mengerti, bahwa semakin lama Ajar Tal Pitu itu justru menjadi semakin berbahaya. Ilmunya seakan-akan mengalir semakin lancar menjalari tangannya yang luluh dengan kekuatan pedangnya, sehingga dengan demikian kekuatan yang terpancar daripadanya merupakan kekuatan yang luar biasa. Sebenarnyalah justru karena itu, maka seolah-olah api yang bagaikan terpancar dari senjata Ajar Tal

Pitu itupun menjadi semakin panas. Sentuhan-sentuhannya terasa semakin tajam ditubuh Agung Sedayu. Meskipun hujan masih turun dengan derasnya, namun semburan panasnya kekuatan Ajar Tal Pitu yang luluh dengan pedangnya itu, sama sekali tidak menyusut karenanya. Bahkan semakin lama airpun rasa-rasanya menjadi panas pula. Agung Sedayu menghadapi keadaan yang gawat. Jika ia mendekati lawannya, panas itu terasa semakin tajam. Tetapi jika ia memberi jarak akan berarti memberi kesempatan Ajar Tal Pitu semakin leluasa mengetrapkan ilmunya. Karena itulah, maka Agung Sedayupun berusaha untuk bertempur pada jarak yang tidak tetap. Sekali waktu ia meloncat menjauh karena perasaan panas yang bagaikan membakar. Namun tiba-tiba ia melejit mendekat sambil mengayunkan cambuknya dan menghentakkan dengan segenap kekuatannya. Bagaimanapun juga, hentakkan ujung cambuk Agung Sedayu itu dapat menggoyahkan kekuatan Ajar Tal Pitu. Arus yang mengalir dari dalam dirinya, seolah-olah telah terganggu oleh getar tangannya yang mempertahankan pedangnya, karena sentakan ujung cambuk Agung Sedayu. Namun dalam sekejap kemudian. Ajar Tal Pitu telah mampu memperbaiki keadaannya, dan panaspun bagaikan membakar udara disekelilingnya. Udara dan air yang menjadi panas itu benar-benar telah mengganggu Agung Sedayu. Rasa-rasanya ia tidak dapat bertahan oleh panas yang semakin panas. Meskipun ia sadar, bahwa panas itu adalah pancaran ilmu lawannya, tetapi panas itu menurut tanggapan Agung Sedayu, bukannya sekedar perasaannya saja, seperti goncangan bumi oleh Carang Waja. Tetapi panas itu benar-benar panasnya lontaran ilmu yang luar biasa. Karena itu, maka panas itu tentu akan selalu mengejarnya sesuai dengan usaha Ajar Tal Pitu untuk membinasakannya. Dalam pada itu, bagaimanapun juga Agung Sedayu berusaha, namun panas itu tidak dapat disingkirkannya. Setiap kali ia telah menyusup kedalam panasnya udara dan air hujan yang tercurah sambil menyerang lawannya dengan dahsyatnya, namun panas itu masih saja membakar udara disekelilingnya. Karena itulah, maka untuk sesaat Agung Sedayu telah mulai terdesak. Setiap kali ia harus meloncat mengambil jarak, jika panas itu tidak tertahankan lagi olehnya. “Bukan main,“ desah Agung Sedayu, “panas itu seperti panasnya api neraka.” Dalam pada itu. Kiai Gringsingpun mulai melihat keadaan muridnya. Dari jarak yang tidak terlalu dekat. Kiai Gringsing tidak merasakan panasnya udara. Yang dilihatnya, hanyalah bahwa Agung Sedayu selalu terdesak surut. Sekali-sekali ia melihat Agung Sedayu meloncat dengan cepat

menyerang. Namun sejenak kemudian, Agung Sedayu itupun telah meloncat pula menjauh. Dengan demikian maka hati Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar. Menurut pengamatannya, ilmu Agung Sedayu sudah meningkat dengan pesatnya, sehingga ia merasa, bahwa ia tidak akan dapat lagi menuntunnya untuk meningkatkan lebih jauh lagi. Agung Sedayu hanya dapat meningkat atas sikap dan pengamatannya sendiri atas ilmu yang telah dimilikinya. Namun demikian Kiai Gringsingpun menyadari, bahwa anak muda itu tentu kalah luas pengamatannya dan kurang pengalamannya dibanding dengan orang yang menyebut dirinya Ajar Tal Pitu itu. Namun dalam pada itu, ternyata Ki Pringgajaya yang juga menamakan dirinya Ki Partasanjaya itupun memiliki ilmu yang tinggi. Kemampuannya seakan-akan mendahului waktu, kadang-kadang memang membuat Kiai Gringsing terkejut. Namun dengan cambuknya iapun segera menguasai keadaan kembali. Meskipun demikian, seperti juga Ki Waskita, yang tidak segera dapat mengalahkan Ki Pringgabaya, maka Kiai Gringsingpun harus berjuang dengan sepenuh kemampuannya untuk berusaha mendesak lawannya. “Aku harus berpacu dengan waktu,“ berkata Kiai Gringsing, “jika aku tidak dapat mengalahkan orang ini sebelum Agung Sedayu tidak mampu lagi bertahan, maka segalanya akan menjadi sangat gawat. Agung Sedayu yang sedang menunggu hari-hari yang mendebarkan dalam kehidupan dewasanya itu, akan tidak sempat melihat hari esok. Apalagi untuk duduk dipersandingkan dengan Sekar Mirah.” Yang menjadi gelisah, bukan saja Kiai Gringsing. Tetapi Ki Waskitapun menjadi berdebar-debar. Ketiga lawannya masing-masing memang belum memiliki ilmu yang mendekati kemampuan Ki Waskita. Tetapi bertiga mereka harus diperhitungkan. Mereka sempat membuat Ki Waskita berloncatan menghindari serangan mereka yang datang beruntun dan saling mengisi. Tetapi kesempatan Ki Waskita memang lebih baik dari Kiai Gringsing. Jika semula Ki Waskita masih memperhitungkan segala kemungkinan ketiga lawannya, maka karena keadaan Agung Sedayu, ia tidak lagi mempertimbangkan kemungkinan yang dapat menjadi terlalu buruk bagi ketiga lawan-lawannya. Karena itulah, maka anak-anak Tal Pitu itu kemudian merasakan, bahwa tekanan Ki Waskita menjadi semakin berat. Dengan ikat pinggangnya Ki Waskita berusaha untuk dengan cepat mengakhiri pertempuran sebelum Agung Sedayu mengalami cidera. Bukan hanya tekanan-tekanan wadag, namun karena kegelisahan yang mendesak jantungnya, Ki Waskita telah membuat ketiga murid Tal Pitu itu menjadi bingung, karena dalam bayangan hujan yang lebat, tiba-tiba saja mereka seolah-olah melihat beberapa orang yang datang berlari-lari dan mengelilingi arena itu sambil berjongkok. Mereka telah melihat pertempuran itu seperti melihat arena sabung ayam tanpa menghiraukan hujan dan angin yang bertiup berputaran. Ketiga orang murid Tal Pitu yang kebingungan itu telah terdesak sehingga berloncatan memencar. Dengan demikian mereka berusaha untuk memecah perhatian Ki Waskita. Jika Ki Waskita

memberikan tekanan kepada salah seorang diantara mereka, maka keduanya yang lain menyerang dari arah yang berbeda. Namun orang-orang yang menonton itu benar-benar telah mengganggu mereka. Bahkan beberapa orang dian tara mereka yang menonton pertempuran itu telah bersorak-sorak sambil meloncat-loncat. Tepat seperti orang-orang yang menyaksikan sabung ayam. Dalam pada itu, ternyata Ajar Tal Pitu yang memiliki ketajaman penglihatan batin, telah melihat pula apa yang terjadi atas ketiga muridnya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berteriak diantara gemuruhnya air hujan dengan getar suara yang membahana, “Jangan takut anak-anak. Yang kau lihat itu adalah permainan licik dari lawanmu yang memiliki ilmu yang tinggi. Orang itu ternyata memiliki kemampuan membuat ujud-ujud dan peristiwa-peristiwa semu untuk mempengaruhi perlawanan kalian. Jangan hiraukan perbuatan licik itu.” Suara Ajar Tal Pitu itu bergetar didalam jantung ketiga orang murid-muridnya. Suara itu ternyata telah berpengaruh atas mereka, sehingga perlahan-lahan penglihatan semu mereka itupun menjadi semakin kabur. Sejenak kemudian yang mereka lihat diseputar mereka adalah air hujan yang tercurah dari langit. Sekali-kali kilat memancar menyilaukan. Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ternyata sekelompok orang-orang Jati Anom itu menjumpai lawan yang benar-benar tangguh. Kiai Gringsing yang sudah bertempur dengan segenap kemampuannya, masih belum berhasil menguasai lawannya yang memiliki kecepatan gerak, yang seolah-olah melampaui kecepatan waktu. Untara yang bertempur melawan Bandungpun telah mengerahkan segenap ilmunya. Senapati itupun melihat, bahwa adiknya memang sudah terdesak. Semakin lama ia melihat. Agung Sedayu semakin kehilangan kesempatan dan ruang gerak. Sementara Widura juga terlalu sibuk melayani lawannya. Dalam pada itu, udara yang panas rasa-rasanya telah memburu Agung Sedayu kemana ia pergi. Bahkan rasa-rasanya suara teriakan Ajar Tal Pitu kepada murid-muridnya itupun telah menggetarkan udara dengan gelombang panas yang menyerangnya beruntun. Bahkan ternyata kemudian, orang yang bernama Ajar Tal Pitu itu telah menghentak selain dengan serangan-serangannya, tetapi juga dengan teriakan-teriakan nyaring. Karena itulah, maka Agung Sedayu menjadi ragu-ragu untuk menentukan jenis ilmu lawannya. Dengan cemas ia berkata kepada diri sendiri tentang ilmu lawannya. “Gelap Ngampar atau Sangga Dahana.” Sebenarnyalah bahwa keduanya tidak mempunyai perbedaan yang jauh. Tetapi bentakan-bentakan yang nampak pada Ajar Tal Pitu itu, seolah-olah ia memang sedang melontarkan ilmu Gelap Ngampar. Ilmu yang menjadi semakin dahsyat jika terjadi sentuhan-sentuhan dengan cuasa yang seolah-olah mendukungnya. Lidah api dilangit seakan-akan telah disadap panasnya dan membakar udara disekitar anak muda itu. Namun seandainya Ajar Tal Pitu itu memiliki ilmu Sangga Dahana, maka bumilah yang bagaikan membara sehingga udarapun bagaikan panasnya nyala api. Untuk beberapa lamanya Agung Sedayu mengalami serangan-serangan yang menggelisahkan. Gulungan panas yang melibatnya dan serangan-serangan pedang ditangan Ajar Tal Pitu sendiri yang

bagaikan semburan lidah api. Namun dalam pada itu. Agung Sedayu tidak ingin membiarkan dirinya terbakar oleh panasnya api yang terlontar dari ilmu lawannya. Apakah Gelap Ngampar atau Sangga Dahana. Karena itu, maka iapun mulai menelusuri kemungkinan yang terdapat pada dirinya. Yang mula-mula ditrapkan oleh Agung Sedayu adalah ilmu yang dapat melindungi dirinya dari getaran yang menyentuhnya dari luar dirinya. Ia sudah mulai menjelajahi ilmu yang terdapat pada kitab Ki Waskita, dan mempelajarinya beberapa bagian daripadanya. Diantaranya adalah ilmu kebal. Meskipun belum sempurna, namun ilmu itu akan dicobanya ditrapkan untuk melawan panas yang bagaikan membakar kulit. Sejenak Agung Sedayu yang menjauhi lawannya untuk mengambil kesempatan itupun menghentakkan getaran didalam dirinya dalam sentuhan dengan lontaran ilmu kebalnya. Dari pusat jantungnya, serasa ilmu itu mulai menjalar mengikuti arus darahnya keseluruh permukaan kulitnya. Dalam pada itu, dengan ilmu yang masih belum sempurna itu. Agung Sedayu berusaha untuk melindungi dirinya dari perasaan panas karena ilmu lawannya. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. ketika terasa kulitnya mulai mendingin. Ketika ia bergeser maju mendekat, mulailah ia yakin bahwa ilmu kebalnya berhasil melapisi kulitnya dari panasnya api yang terpancar dari kemampuan lawannya, meskipun belum sempurna. Namun panas yang dirasanya membakar kulitnya telah jauh susut setelah anak muda itu menerapkan ilmu kebalnya. Namun Agung Sedayu tidak tergesa-gesa merasa bahwa ilmu lawannya itu tidak berbahaya lagi baginya. Ia yakin, selama langit masih kadang-kadang menyala, maka ilmu lawannya itu akan menjadi semakin dahsyat. Panas apinya akan semakin tajam sehingga kemampuannya menembus Ilmu kebalnyapun akan menjadi semakin besar. Tetapi perlindungan yang meskipun belum sempurna itu sebenarnya sudah lebih banyak memberikan keleluasaan Agung Sedayu untuk menyerang lawannya dengan ujung cambuknya. Dengan demikian pertempuran antara kedua orang itu-pun menjadi semakin lama semakin sengit. Agung Sedayu masih nampak terdesak, sementara Ajar Tal Pitu masih tetap menyerang anak muda itu dengan gulungan udara panas. Dan seolah-olah Agung Sedayupun merasa panasnya api itu membakar kulitnya. sehingga karena itu. maka ia masih saja berloncatan menjauh.

Buku 143 NAMUN dalam pada itu, datang saatnya Agung Sedayu mempergunakan kesempatan. Selagi lawannya yang merasa, bahwa anak muda itu tidak akan mampu mendekatinya, tiba-tiba saja Agung Sedayu telah menyerangnya dengan cambuknya yang menggelepar dengan dahsyatnya. Sambil meloncat mendekat, Agung Sedayu menghentakkan cambuknya mendatar menyerang lambung. Lawannya terkejut. Namun ia masih sempat meloncat surut. Ia menganggap bahwa Agung Sedayu tidak akan berani memburunya karena udara yang panas. Tetapi dugaannya ternyata salah. Agung Sedayu ternyata meloncat mengejarnya, tanpa menghiraukan udara yang bagaikan membakar. Ketika sekali lagi cambuknya meledak, maka terasa ujung cambuk itu memercikkan air. Justru yang terasa panas oleh Ajar Tal Pitu. Ajar Tal Pitu terkejut. Dicobanya menghentakkan ilmunya untuk menyemburkan panas diseputarnya. Namun Agung Sedayu yang disangkanya masih dipengaruhi oleh udara yang panas itu, telah mendesaknya dengan gerakan-gerakan yang cepat dan berbahaya. “Anak setan,“ Ajar Tal Pitu itu mengumpat. Sambil meloncat mundur ia berteriak, “Kau benar-benar memiliki ilmu iblis.” Agung Sedayu tidak menjawab. Ia justru menyerang semakin dahsyat. Cambuknya berputaran dan sekali-sekali meledak menggetarkan darah di jantung lawannya. Dengan demikian maka pertempuran itu telah berubah. Ajar Tal Pitu yang merasa hampir menguasai lawannya sepenuhnya, ternyata harus melihat kenyataan. Udara yang panas itu, seakan-akan tidak terasa oleh Agung Sedayu yang mengetrapkan ilmu kebalnya. Meskipun demikian Agung Sedayu tidak melepaskan kewaspadaan. Ia masih menduga. bahwa kemungkinan lain akan dapat terjadi. Jika lawannya masih memiliki ilmu yang lain, yang akan dapat mengejutkannya. maka ia harus bersiap menghadapinya. Sejenak kemudian, ternyata Agung Sedayulah yang telah berhasil mendesak lawannya. Meskipun kekebalannya masih belum sepenuhnya dapat menghindarkannya dari udara yang dibakar oleh ilmu lawannya, namun ia mampu mengatasi perasaan panas yaug menembus ilmunya itu. Dengan cambuknya yang meledak melampaui dahsyatnya ledakan cambuk gurunya, Agung Sedayu berusaha mengurung kebebasan gerak lawannya. Putaran yang cepat dan ayunan tegak, benar-benar bagaikan memagari loncatan-loncatan lawannya yang cepat. Tetapi lawannya ternyata benar-benar seorang yang tangguh. Pedang ditangannya kadang-kadang terjulur lurus mengarah jantung. Meskipun ujung pedang itu tidak

menyentuh kulitnya, tetapi rasa-rasanya jilatan api telah menyentuh tubuhnya, menembus ilmu kebalnya. “ Pedang ini sangat berbahaya,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Sebenarnyalah Agung Sedayupun kemudian berusaha untuk merampas pedang lawannya. Dengan tidak menghiraukan sentuhan api yang seakan-akan menyambar dari senjata lawanwa. Agung Sedayu mempergunakan ujung cambuknya untuk mengejar tangan lawannya yang menggenggam pedang. “Anak ini memang gila,“ geram Ajar Tal Pitu yang kemudian telah terdesak. Perubahan keseimbangan itupun dapat dilihat pula oleh orang orang Jati Anom yang lain. Kiai Gringsing telah menarik nafas dalam-dalam. Kegelisahannya bagaikan larut oleh curahan air hujan dari langit. Sementara Ki Waskita jantungnya tidak lagi terasa berdentangan didalam dadanya. Untara dan Widurapun melihat, bahwa Agung Sedayu telah berhasil menguasai keadaan. Bahkan Kiai Gringsing merasa bahwa jika perlu, Agung Sedayu masih akan mampu meningkatkan perlawanannya karena ia masih belum mempergunakan salah satu ilmunya yang dahsyat, ilmu yang memancar pada sorot matanya. Namun dalam pada itu, timbul pertanyaan pada Kiai Gringsing, “Kenapa ia tidak mempergunakannya ?” Sebenarnyalah, pada saat-saat sebelumnya. Agung Sedayu tidak mempunyai kesempatan untuk melakukannya. Jika ia berusaha untuk memaksa diri, memusatkan kemampuannya untuk melepaskan ilmunya, maka tubuhnya tentu akan menjadi hangus karena panasnya ilmu lawannya sebelum ia sempat meremas jantung lawannya. Namun dengan mengetrapkan ilmu kebalnya, maka meskipun sesaat tubuhnya bagaikan membara, namun demikian ia berhasil mengetrapkan ilmunya, tubuhnya justru terasa menjadi semakin dingin. Karena itu, setelah ia dapat mengatasi udara panas diseputarnya, maka memang timbul niatnya untuk sekaligus menghancurkan pertahanan lawannya dengan ilmunya yang mendebarkan. Ternyata dalam pada itu. Sabungsari yang bertempur melawan tiga orang sekaligus itupun mulai mempertimbangkan untuk melakukannya. Ternyata ia tidak setangkas Agung Sedayu dengan cambuknya dalam lambaran ilmu yang telah luluh didalam dirinya. Karena itu, untuk dengan cepat mengatasi ketiga orang lawannya, maka Sabungsari mulai memperhitungkan untuk mempergunakan ilmunya yang mirip dengan ilmu Agung Sedayu namun dalam tataran yang semakin ketinggalan. Namun dalam pada itu. Agung Sedayu yang telah mulai mempertimbangkan untuk melepaskan ilmunya yang serupa, mulai diganggu oleh kemampuan lain dari Ajar Tal Pitu. Karena ia tidak mampu lagi mempengaruhi anak muda itu dengan ilmunya yang mampu membakar udara, maka Ajar Tal Pitu itu mulai dengan serangan-serangannya yang lain yang tidak kalah

dahsyatnya. Dalam keadaan yang gawat bagi Ajar Tal Pitu itu, maka mulailah ia menyebut nama dirinya. Berbeda dengan kemampuan Ki Waskita yang dapat menciptakan ujud dan peristiwa semu, maka Ajar Tal Pitu itu seakan-akan dapat melakukan sesuatu yang tidak masuk akal dengan wadagnya. Namun Agung Sedayu sudah memperhitungkannya. Pisau-pisau kecil itu tentu bukan tidak berarti dalam keadaan yang sulit. Ternyata bahwa Ajar Tal Pitu itu memiliki kemampuan bergerak dengan kecepatan yang sulit untuk dimengerti. Seperti yang dikatakannya, ia dalam sekejap dapat melontarkan beberapa buah pisau beruntun. Susul menyusul seperti pancaran air. Tetapi sebagaimana Ajar Tal Pitu dapat melakukannya, maka Agung Sedayupun dapat melakukan sesuatu yang sulit dimengerti pula oleh Ajar Tal Pitu. Demikian tangan Ajar Tal Pitu itu mulai melepaskan pisau-pisaunya, maka ujung cambuk Agung Sedayupun mulai menggelepar, seakan-akan telah berubah menjadi cambuk yang berjuntai bercabang-cabang yang mampu bergerak sendiri-sendiri memungut pisau-pisau kecil yang begitu terlepas dari tangan lawannya. “Iblis, gendruwo, thethekan,“ Ajar Tal Pitu itu mengumpat-umpat. Ternyata anak muda itu benar-benar menguasai medan. Ia tidak hanya sekedar dapat menjadi sasaran pengamatannya. Tetapi anak muda itu benar-benar mampu mengimbangi ilmunya. Karena itulah, maka Ajar Tal Pitu itu menjadi bagaikan telah kepanjingan. Kemarahannya benar-benar tidak terbendung lagi. Tangan kirinya yang mampu bergerak, seperti tangan kanannya, telah menggenggam pedangnya. Kemudian sekali lagi dari tangannya menghambur beberapa buah pisau. Namun yang sekali lagi pisau-pisau itupun telah terpelanting karena sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu demikian pisau itu lepas dari tangan. Namun Ajar Tal Pitu masih belum puas. Iapun tiba-tiba saja telah meloncat surut. Disarungkannya pedangnya. Kemudian kedua belah tangannya telah bergerak bersama-sama melontarkan pisau-pisau kecil yang bagaikan tidak habis-habisnya itu. Tetapi sekali lagi Ajar Tal Pitu kecewa. Ujung cambuk Agung Sedayu berputar dengan cepatnya, sehingga seolaholah telah berubah menjadi sebuah perisai yang bulat dan tidak tertembus oleh lontaran-lontaran pisaunya dari kedua belah tangannya. Sekali lagi Ajar Tal Pitu mengumpat-umpat. Ia harus mengakui kenyataan yang dihadapinya. Seorang anak yang masih muda, namun yang memiliki ilmu yang tiada taranya. Ajar Tal Pitu yang sudah menjajagi kemampuan Agung Sedayu dengan ilmunya yang wadag maupun yang halus, menyadari bahwa anak muda itu mampu mengatasinya.

Karena itu, maka Ajar Tal Pitu itupun tidak mempunyai pilihan lain kecuali mempergunakan ilmunya yang terakhir. Ilmu yang jarang ada bandingnya, karena untuk menguasai ilmu itu diperlukan syarat yang sangat berat, yang hanya satu dua orang sajalah yang akan mampu melakukannya meskipun banyak orang yang berusaha. Dalam keadaan yang pahit menghadapi anak muda yang bernama Agung Sedayu itu, tiba-tiba saja Ajar Tal Pitu meloncat jauh surut. Ia memang berusaha untuk mengambil jarak, agar ia mampu mengetrapkan ilmunya. Agung Sedayu yang melihat lawannya mengambil jarak, tertegun sejenak. Ketajaman panggraitanya sudah menangkap, bahwa lawannya akan mengetrapkan ilmu yang terakhir karena usahanya dengan ilmu yang masih belum dimengertinya, apakah Gelap Ngampar atau Sangga Dahana, namun yang dapat diatasinya dengan ilmu kebalnya. Kemudian dengan kecepatan gerak wadagnya dengan lontaran-lontaran pisau yang mampu pula diimbanginya. Dalam pada itu, seperti diduga oleh Agung Sedayu, Ajar Tal Pitu itupun berdiri tegak sambil menyilangkan tangannya. Hanya sekejap. Dalam pada itu Agung Sedayu terkejut melihat Ajar Tal Pitu itupun seolah-olah mekar dan tumbuh dari dirinya, ujud yang serupa benar dengan dirinya dalam sikap yang sama. Seorang disebelah kiri dan seorang disebelah kanan. “Bukan main,” geram Agung Sedayu, “inilah ilmu Kakang Pembareb dan Adi Wuragil.” Sekejap Agung Sedayu justru terpukau oleh ujud itu. Dan iapun pernah mendengar akan kemampuan ilmu itu. Dengan demikian ia benar-benar berhadapan dengan kelipatan tiga dari kemampuan lawannya, karena kedua ujud itu akan mampu melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ajar Tal Pitu itu sendiri. Mereka tidak hanya ujud semu yang dapat membingungkan. Tetapi ilmu itu memiliki kelebihan dari ujud-ujud dan peristiwa-peristiwa semu karena ujud-ujud itu benar-benar akan mampu berbuat sesuatu dengan akibat kewadagan. Ujud-ujud itu akan dapat berdiri pada jarak terpisah dan bersama-sama melontarkan pisau-pisaunya. Jika pisau-pisau itu mengenainya, maka pisau-pisau itu mempunyai akibat yang sama dari pisau Ajar Tal Pitu yang sewajarnya. Agung Sedayu sejenak menjadi ragu-ragu. Ilmu yang manakah yang paling baik dipergunakan untuk melawan kemampuan lawannya yang ternyata sangat menggetarkan jantung itu. “Apakah ilmu kebal yang masih belum mapan ini akan dapat melawan kekuatan daya lontar tangan Ajar Tal Pitu ?“ pertanyaan itu tumbuh dihati Agung Sedayu. Untuk melawan seorang Ajar Tal Pitu ia mampu

memungut pisau-pisau itu seolah-olah langsung dari tangannya. Tetapi untuk melawan tiga orang Ajar Tal Pitu yang mampu bergerak dengan kecepatan yang sama, maka ia akan mengalami kesulitan. Dalam pada itu. bukan saja Agung Sedayu yang menjadi berdebar-debar melihat ilmu lawannya. Namun orang-orang lain yang hadir di arena pertempuran itupun menjadi gelisah. Jika semula mereka merasa, bahwa Agung Sedayu akan dapat menguasai keadaan, maka mereka mulai ragu-ragu kembali. Bahkan mereka mulai dibayangi oleh kekhawatiran. Ki Pringgajaya yang kemudian menyebut dirinya Ki Partasanjaya itupun menjadi berdebar-debar. Diluar sadarnya iapun berdesis, “Kakang Pembarep dan Adi Wuragil. Jarang orang yang dapat melawannya. Ternyata iblis Tal Pitu itu memiliki ilmu yang dahsyat itu.” Dalam pada itu, Ki Waskitapun menjadi sangat cemas. Ia tidak akan mampu membantu Agung Sedayu dengan ujud-ujud semunya, karena ketiga ujud Ajar Tal Pitu dalam ilmunya yang dahsyat itu memiliki ketajaman penglihatan yang sama, sehingga ketiganya akan dapat dengan mudah membedakan ujudujud semu dan ujud sebenarnya. Namun dalam pada itu. Agung Sedayu tidak akan menyerah terhadap kenyataan itu. Apapun yang terjadi, ia harus melawannya dengan ilmu yang ada padanya. Karena itu. Agung Sedayupun mulai mempertimbangkan segala kemungkinan. Perlahan-lahan ia tidak akan melepaskan ilmu kebal yang sudah ditrapkannya, agar ia tidak terbakar oleh ilmu Gelap Ngampar atau Sangga Dahana yang akan menjadi berlipat. Bahkan ia ingin mencoba untuk mengetahui, apakah ilmu kebalnya cukup kuat untuk melawan lontaran pisau Ajar Tal Pitu dalam ujud yang manapun juga. Baru kemudian ia akan menentukan cara yang lain yang akan dapat dipergunakannya untuk melawan ketiganya. Namun dalam pada itu, satu hal yang justru dapat menjadi petunjuk bagi Agung Sedayu. Ketika ketiga ujud Ajar Tal Pitu itu mulai bergerak, maka merekapun berusaha untuk membaurkan diri, sehingga dengan demikian lawannya akan sulit untuk mengetahui, yang manakah Ajar Tal Pitu yang sebenarnya, dan yang manakah ujud-ujud yang hadir kemudian karena kemampuan ilmunya. Sementara itu, Kiai Gringsing yang gelisah berdesis didalam hatinya, “Jadi inikah Ajar Tal Pitu itu ?” Ternyata ilmu yang terakhir dari Ajar Tal Pitu itu telah memperkenalkan orang itu kepada Kiai Gringsing, atau jika bukan Ajar Tal Pitu itu sendiri, juga perguruannya, karena Kiai Gringsing juga pernah mengenal jenis ilmu itu. Sehingga dengan demikian, maka Agung Sedayupun pernah mendengarnya pula dari Kiai Griigsing dan juga dari Ki Waskita, karena keduanya merasa perlu untuk memperkenalkan Agung Sedayu dengan jenis-jenis ilmu untuk melengkapi pengalamannya. Justru karena itulah, maka Kiai Gringsing benar-benar menjadi gelisah. Karena sebenenarnyalah ilmu

itu memiliki kemampuan tiada taranya. Seakan-akan orang yang memiliki ilmu itu akan dapat melipatkan kemampuannya menjadi tiga kali, seperti ujud yang kemudian nampak seolah-olah menjadi tiga orang. Namun dalam pada itu, Agung sedayu yang telah basah oleh keringatnya dibawah curahan air hujan itu. seakan-akan telah memanaskan darahnya. Karena itulah, maka rasa-rasanya segalanya telah berjalan lancar didalam dirinya. Demikianlah dengan ilmu-ilmunya. Ia hanya memerlukan waktu sekejap untuk mengetrapkan ilmu yang pernah dipelajarinya dengan caranya. Usaha ketiga ujud lawannya untuk membaurkan diri ternyata telah menjadi petunjuk bagi Agung Sedayu, bahwa ketiga ujud itu menganggap perlu untuk menyembunyikan siapakah yang asli diantara mereka. Dengan demikian, maka Agung Sedayu harus berusaha untuk dapat menemukannya. Dalam pada itu, ketika ketiga orang lawannya mulai menyerangnya, maka Agung Sedayu mulai mencoba, apakah lontaran-lontaran pisau dari lawannya itu dapat ditangkisnya dengan ilmu kebalnya, seperti panas yang mereka lontarkan. Ketika pisau meluncur menyambarnya, maka Agung Sedayupun berusaha menangkis dan kadangkadang, karena datang dari tiga arah, ia harus berloncatan menghindar. Namun dengan hati-hati ia telah dengan sengaja berusaha untuk menyentuh satu dari pisau-pisau itu dengan lengannya, yang telah dilambarinya dengan ilmu kebalnya. Ternyata bahwa Agung Sedayu berhasil menyelamatkan kulitnya. Namun ia dapat merasa hentakkan pada bagian dalam tubuhnya, meskipun tidak terlalu keras. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian, maka ia mengerti, bahwa ilmunya yang telah meningkat itu mampu melindunginya, meskipun tidak mutlak, sehingga ia masih harus berusaha untuk menghindari sejauh mungkin sentuhan-sentuhan pisau-pisau kecil yang terlontar seperti derasnya hujan dari langit. “Tanpa ilmu ini, aku akan menjadi lumat,“ desis Agung Sedayu. Sementara itu, ternyata Ajar Tal Pitu itupun melihat, bahwa pisau-pisaunya tidak dapat melukai Agung Sedayu meskipun pada lontaran-lontarannya dapat dilihat dengan pasti, bahwa pisau itu telah menyentuh tubuh anak muda itu. Karena itu, maka iapun menggeram. “Kau memiliki ilmu kebal anak muda. Tetapi jangan terlalu bangga dengan ilmu itu. Aku mengerti watak dari ilmu kebal. Meskipun kulitmu tidak terluka, tetapi daging dan tulangmu akan dapat diremukkan oleh ujung-ujung pisauku yang nampaknya tidak melukai kulitmu.” Agung Sedayu menggeram. Yang dikatakan oleh Ajar Tal Pitu itu memang benar. Kulitnya tidak terluka. Tetapi setiap

sentuhan pisau yang dilemparkan dengan kekuatan yang tiada taranya itu memang terasa nyeri pada daging dan tulangnya. Karena itu, maka Agung Sedayu harus mengambil sikap. Ia tidak akan dapat menangkis dan menghindari semua pisau yang terlontar tidak henti-hentinya, seakan-akan pisau itu tidak akan dapat habis dari persediaan ketiga ujud lawannya. “Selagi aku masih dapat menahan diri dari patukan pisau-pisau itu,“ berkata Agung Sedayu. Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu itupun meloncat menjauhi lawannya. Sejenak ia berdiri tegak. Kemudian, rasa-rasanya airpun mulai menyibak dari wajahnya. Dan sorot matanyapun mulai menyala. Agung Sedayu telah mempergunakan sorot matanya untuk melawan ketiga ujud Ajar Tal Pitu yang mengerikan itu. Bersamaan dengan itu, ternyata Sabungsaripun telah memutuskan untuk melakukan hal yang serupa melawan ketiga orang pengikut Ki Pringgajaya. Ia ingin dengan cepat menyelesaikan perlawanannya, karena iapun menjadi cemas melihat nasib Agung Sedayu menghadapi ilmu lawannya yang sangat dahsyat itu. Berbeda dengan Sabungsari yang dapat memilih lawan yang manapun juga sebagai sasarannya. Agung Sedayu harus menemkcan Ajar Tal Pitu yang sebenarnya diantara ketiga lawannya. Baru dengan demikian ia dapat memadamkan sumber ilmu lawannya yang dahsyat itu, sehingga ilmu itu akan dapat kehilangan kekuatannya. Namun dalam pada itu, Sabungsaripun ternyata tidak semudah yang diduganya untuk membinasakan lawannya. Sabungsari tidak memiliki ilmu kebal sebagaimana Agung Sedayu. Karena itu. maka ia harus membuat perhitungan yang sangat cermat menghadapi ketiga lawannya. Sehingga serangan-serangannyapun harus disesuaikan dengan kedudukan ketiga orang lawannya. Tetapi pada dasarnya Sabungsari memiliki jenis ilmu yang melampaui kemampuan lawannya. Meskipun ia harus berusaha mengambil jarak, namun demikian ia berhasil, maka iapun telah meluncurkan serangan lewat sorot matanya. Meskipun hanya sepintas, karena Sabungsari harus menghindari serangan lawannya yang lain, namun yang sepintas itu telah menyusut tenaga dan kemampuan lawannya. Dengan demikian, ketika Sabungsari mengulanginya dengan seleret serangan menyentuh lawannya, maka kemampuan lawannya itupun mulai terasa semakin lemah, karena yang seleret sentuhan serangan dari sorot mata anak muda itu seakan-akan telah meremas isi dada. Karena itulah, maka dengan pasti, Sabungsari akan dapat mengalahkan lawannya meskipun perlahanlahan.

Glagah Putih ternyata tidak sia-sia menempa dirinya dengan sungguh-sungguh dipadepokan. Meskipun ia masih sangat muda, tetapi ternyata bahwa ia telah mempunyai kemampuan melampaui lawannya yang garang, sehingga dengan demikian, maka iapun telah mendesak lawannya itu. Dalam pada itu. Agung Sedayupun harus mengambil sikap yang tepat untuk tidak terjerumus kedalam kesulitan menghadapi ilmu lawannya. Namun Agung Sedayu yang dilindungi oleh ilmu kebalnya itupun. mencoba untuk membuat perhitungan. Ia harus mencari satu diantara ketiga orang lawannya itu. Ajar Tal Pitu yang sebenarnya. Tetapi iapun sadar, bahwa dalam pada itu. lawannya tentu akan menyerangnya dengan kemampuan yang tiada taranya itu. Ketiganya tentu akan membakarnya dengan panas yang dapat dipancurkan lewat ilmunya dan lontaran-lontaran pisau-pisau kecil dengan ketrampilan tangannya dan kekuatan daya lontar yang luar biasa. Setelah beberapa kali Agung Sedayu dikenai oleh pisau-pisau kecil lawannya didalam selubung ilmu kebalnya, maka akhirnya ia memutuskan untuk melakukan bagian yang paling berbahaya dari benturan ilmu yang garang itu. Meskipun ia akan merasa sakit dan panas, tetapi jauh lebih ringan dari rasa sakit dan nyeri itu sendiri karena ia memiliki ilmu kebal. Sementara itu, ia haras dapat mencari dan menemukan Ajar Tal Pitu yang sebenarnya. Agung Sedayupun sadar, bahwa ia harus berpacu dengan waktu. Jika ia terlambat, maka akibatnya akan parah baginya. Atas dasar perhitungan itulah, maka sorot matanya yang mulai menyalakan ilmunya itupun mulai memancar kearah lawannya. Sambil berdiri tegak dengan tangan bersilang, ia memandang dengan lontaran ilmunya yang dahsyat lewat sorot matanya. Serangannya itu diarahkan kepada salah seorang ujud Ajar Tal Pitu yang seakan-akan paling garang diantara ketiga ujud itu. Ujud yang paling dekat berdiri disebelahnya dengan lontaran-lontaran pisau yang seakan-akan tidak terhitung jumlahnya. Dalam pada itu, Agung Sedayu telah melepaskan usahanya untuk menghindar dan menangkis seranganserangan itu, karena ia sedang memusatkan kemamputan lahir batin pada ilmu kebalnya dan pada serangan lewat sorot matanya. Sejenak kemudian, barulah Agung Sedayu menyadari, bahwa ia telah menyerang ujud yang salah. Ajar Tal Pitu itu seakan-akan tidak merasa sama sekali sentuhan serangan sorot matanya. Bahkan ujud itu berdiri semakin dekat dan melontarkan pisaunya pada jarak yang sangat pendek, sehingga lontaran itu benar-benar terasa sakit oleh Agung Sedayu yang dilindungi oleh ilmu kebal itu, meskipun pisau-pisau itu tidak menembus kulitnya. Menyadari kesalahan itu, maka Agung Sedayupun telah memindahkan serangannya pada ujud yang kedua. Namun seperti yang pertama maka ujud yang kedua ini seakan-akan tidak terpengaruh sama

sekali oleh serangan sorot matanya. Seperti ujud yang pertama-tama. maka ujud yang kedua ini justru merasa leluasa untuk menyerangnya. Bahkan ternyata ujud itu telah melakukan sesuatu yang sangat berbahaya bagi Agung Sedayu, karena ujud itu telah menarik pedangnya yang seolah-olah menyala. Sejenak Agung Sedayu disambar oleh keragu-raguan. Apakah lawannya juga memiliki kekebalan sehingga sorot matanya tidak mampu menyentuhnya. Tetapi Agung Sedayu masih tetap berusaha. Ia melihat ujud yang ketiga. Ujud yang agak kurang garang dari kedua ujud yang lain. Namun panggraita Agung Sedayu cukup tajam untuk justru menduga bahwa ujud ketiga itu adalah Ajar Tal Pilu yang sebenarnya. Karena itu, maka iapun berasaha menyerangnya pula dengan sorot matanya sambil berdiri tegak dengan tangan bersilang didada. Dalam pada itu, kedua ujud yang lain itupun menyerangnya pula dengan garangnya. Yang satu telah melemparinya dengan pisau-pisau kecil kearah jantungnya, sementara yang lain justru dengan pedangnya yang bagaikan menyala. Terasa betapa serangan-serangan itu bagaikan meretakkan tulang-tulang ditubuh Agung Sedayu. Meskipun kulitnya tidak terluka, namun kekuatan lawannya hampir tidak tertahankan lagi. Hampir saja Agung Sedayu terdorong oleh serangan-serangan lawannya. Namun ia mencoba bertahan untuk tetap berdiri tegak, sambil memandang ujud ketiga. Sorot matanya yang memancarkan ilmunya yang dahsyat itu telah menyentuh dan langsung menyusup meremas jantung. Terasa oleh Agung Sedayu, bahwa serangannya yang terakhir telah menyentuh sasaran. Ia merasa betapa ujud itu berusaha untuk meloncat mengelak. Namun Agung Sedayu tidak melepaskannya. Bahkan ia telah menghentakkan kekuatannya mengikuti setiap gerak lawannya. Dalam pada itu, kedua ujud yang lain telah menyerangnya dengan sangat dahsyatnya. Yang melemparinya dengan pisau itupun telah menarik pedangnya pula. Namun sementara itu. Agung Sedayu seakan-akan tidak menghiraukannya. Tetapi ia tidak mau melepaskan cengkeraman sorot matanya kepada lawannya. Agung Sedayu melihat dan merasa, ujud yang satu itu berusaha untuk menjauhinya. Ujud itu meloncat dengan langkah-langkah panjang, sementara kedua ujud yang lain masih tetap menyerangnya dengan kekuatan yang sangat tinggi sehingga seakan-akan tulang-tulang Agung Sedayupun menjadi retak dan patah-patah. Kulitnya yang tidak terluka itu sama sekali tidak berhasil melindungi dagingnya yang menjadi lumat. Namun dalam pada itu. serangan sorot mata Agung Sedayu yang memiliki kekuatan yang tiada taranya itu ternyata telah mencapai sasaran yang sebenarnya. Ujud itu adalah ujud yang sebenarnya dari Ajar

Tal Pitu. Dengan tidak diduganya sama sekali, ia telah mendapat serangan Agung Sedayu yang sangat dahsyat. Betapapun ia berusaha untuk mematahkan serangan itu dengan kedua ujudnya yang lain yang dilontarkan lewat ilmunya Kakang Pembarep dan Adi Wuragil, namun masih terasa serangan lewat sorot mata Agung Sedayu itu mengejarnya dan mencengkam isi dadanya. “Benar anak iblis,“ geramnya. Serangan itu tidak dapat dilawannya. Betapapun kuat daya tahan tubuhnya, namun terasa isi dadanya teremas. Tetapi ia masih tetap berusaha. Ia berharap bahwa pengaruh jarak akan terasa pada serangan sorot mata Agung Sedayu itu, sementara kedua ujud yang terlontar dari ilmunya itu akan dapat mematahkan pemusatan serangan dari sumbernya. Kedua ujud itu berusaha untuk menghancurkan Agung Sedayu itu sendiri, sementara Ajar Tal Pitu yang sebenarnya berusaha untuk mengambil jarak. Tetapi Agung Sedayu berusaha untuk tidak melepaskan lawannya. Karena itu maka iapun berusaha untuk mengikutinya. Sambil memandang lawannya dalam lontaran ilmunya, maka Agung Sedayupun melangkah maju. Namun dalam pada itu. kedua ujud Ajar Tal Pitu yang lain telah menyerangnya dengan dahsyatnya. Serangan pedang yang tidak berhasil melukai kulit itu bagaikan telah meremukkan tulangnya. Kedua orang yang sedang bertempur dengan ilmu masing-masing itu berusaha langsung memadamkan serangan lawannya dengan melumpuhkan sumbernya. Serangan Agung Sedayu lewat sorot matanya itupun tidak kalah dahsyatnya dengan serangan kedua ujud Ajar Tal Pitu itu. Dalam pada itu, ternyata bahwa kemampuan daya tahan Agung Sedayu yang dillambari dengan ilmu kebalnya itupun masih juga terbatas. Serangan lawannya yang dilontarkan lewat kedua ujud yang selalu menyerangnya itu akhirnya berhasil menghentikan. Langkah Agung Sedayu menjadi semakin berat, sehingga karena itu, maka iapun mulai terhuyung-huyung. Tetapi sementara ia masih dapat melihat lawannya, maka dihentakkannya ilmunya yang dilontarkan lewat sorot matanya itu. Ternyata ilmu yang sudah mapan itu. benar-benar memiliki kekuatan tiada taranya. Lawannya yang berusaha untuk melarikan diri dan berlindung dari tatapan mata Agung Sedayu itu masih sempat mempergunakan sisa tenaganya yang terakhir. Namun ternyata hentakkan kekuatan Agung Sedayu bagaikan menghantam jantungnya, sehingga orang itupun bagaikan kehilangan kekuatannya. Sejenak ia tertatih-tatih. Namun kemudian iapun terjatuh. Tetapi ternyata bahwa ia masih bernasib baik. Demikian ia terjatuh, maka ia telah berada dibalik sebongkah batu padas sehingga Agung Sedayu tidak dapat melihatnya lagi. Sementara itu, Agung Sedayu yang telah menghentakkan kekuatannya itupun seakan-akan lelah kehabisan tenaga. Tulangnya bagaikan telah diremukkan dan dagingnya menjadi lumat. Karena itu, maka rasa-rasanya ia tidak mampu lagi melangkah mengejar lawannya.

Telapi dalam pada itu, daya lontar Ilmu Kakang Pembarep dan Adi Wuragil yang dahsyat dari Ajar Tal Pilu itupun telah pudar. Tubuhnya yang terkulai dibalik batu padas itu, justru saat Agung Sedayu kehilangan keseimbangannya, ilmu itu bagaikan telah padam. Ketika Agung Sedayu kemudian terduduk dengan lemahnya, maka ujud Ajar Tal Pilu itupun menjadi semakin kabur. Perlahan-lahan ujud itu berubah menjadi asap dan seakan-akan telah terhisap oleh sumbernya dibalik batu-batu padas. Agung Sedayu mengetahui, bahwa lawannya berada dibalik batu padas. Tetapi ia tidak mampu lagi untuk bangkit dan berjalan mendekatinya. Dalam pada itu. Ajar Tal Pitupun menjadi terengah-engah. Tetapi ia tidak mau jatuh ketangan orang-orang Jati Anom. Karena itu. maka dengan sisa tenaganya, iapun merayap meninggalkan tempatnya, masuk kedalam semak-semak dan merangkak semakin lama semakin jauh. Dipaksanya sisa tenaganya yang lemah untuk menyeret tubuhnya diantara pohon-pohon perdu. Sementara beruntunglah Ajar Tal Pitu karena hujan yang tercurah itu seakan-akan memberikan sedikit kesegaran kepadanya. Sementara Ajar Tal Pitu merangkak diantara pohon-pohon perdu, maka Agung Sedayu telah duduk sambil menyilangkan tangannya didadanya. Matanya seolah-olah terpejam dan dipusatkannya segenap sisa kemampuannya untuk bertahan. Dicobanya memperbaiki pernafasannya yang memburu dan menenangkan gejolak darahnya didalam jantungnya. Agung Sedayu telah mengheningkan diri untuk menolong keadaannya sendiri yang gawat. Sementara itu, ternyata Sabungsaripun telah berusaha secepatnya untuk mengakhiri pertempuran. Dengan sorot matanya, ia seakan-akan tidak memberi kesempatan lagi kepada lawannya. Seorang demi seorang, ketiga orang lawannya itupun jatuh terkulai tidak berdaya menahan hempasan ilmu yang seakan-akan telah meremas jantung. Namun dalam pada itu, yang mengejutkan adalah sikap Ki Pringgajaya yang menyebut dirinya Partasanjaya. Ia melihat apa yang telah terjadi atas Ajar Tal Pitu, sehingga dengan demikian ia dapat menduga akhir dari pertempuran itu. Sementara Sabungsaripun telah berhasil melumpuhkan pengikutnya seorang demi seorang, sementara Bandung dan Dogol Legi masih bertempur dengan sengitnya, sehingga masih belum dapat dilihat satu kemungkinan untuk menang. Karena itu, maka ia telah mengambil satu keputusan. Ia sendiripun sadair, betapa tinggi ilmunya. Kemampuannya bergerak sangat cepat, sehingga seolah-olah melampaui kecepatan waktu itupun tidak memberikan harapan untuk dapat mengalahkan orang bercambuk itu.

Demikian perhatian Kiai Gringsing sejenak ditujukan kepada Agung Sedayu yang terduduk lemah, maka Ki Pringgajaya itu telah mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Tanpa memberikan pertanda apapun juga kepada orang-orang yang dibawanya maka iapun telah meloncat kedalam gelap dan langsung berlari memasuki lebatnya hujan dan gemuruhnya petir. “Gila,“ geram Kiai Gringsing. Dengan serta merta, maka iapun berusaha untuk mengejarnya. Namun gelap malam, pohon-pohon perdu dan batu-batu padas yang berserakkan, telah memberikan kemungkinan bagi Ki Pringgajaya yang juga memiliki ilmu yang tinggi itu untuk melarikan diri dan hilang bagaikan terhisap bumi. Kiai Gringsing memang kehilangan waktu sekejap. Seperti Ki Waskita di pinggir Kali Praga telah kehilangan Ki Lurah Pringgabaya, maka Kiai Gringsing itupun telah kehilangan Ki Pringgajaya pula. Akhirnya Kiai Gringsing menyadari, bahwa ia tidak akan berhasil mencari Ki Pringgajaya, sementara ia menjadi cemas atas nasib Agung Sedayu. Karena itu. maka iapun segera berlari kembali langsung mendekati Agung Sedayu yang duduk sambil memejamkan matanya dengan tangan bersilang didada. Ketika kiai Gringsing mendekatinya. Sabungsaripun telah selesai pula dengan ketiga orang lawannya yang terkapar ditanah yang basah. Sementara itu, maka iapun dengan tergesa-gesa telah mendekati Agung Sedayu pula dan kemudian berjongkok disamping Kiai Gringsing. “Ia akan berhasil,” desis Kiai Gringsing. Sabungsari mengangguk-angguk kecil. Sementara Kiai Gringsing berkata, “Tungguilah. Jangan diganggu.” Sekali lagi Sabungsari mengangguk. Sementara itu Kiai Gringsingpun kemudian bangkit dan meninggalkan Agung Sedayu yang sedang berusaha untuk membenahi diri, ditunggui oleh Sabungsari. Dalam pada itu. Kiai Gringsing sempat melihat bahwa ternyata Glagah Putih sudah cukup mampu menyelamatkan diri sendiri. Ia justru berhasil mendesak lawannya, seseorang yang telah memiliki pengalaman yang cukup dilingkungan kerasnya olah kanuragan. Karena itu, maka Kiai Gringsing tidak ingin mengganggunya. Ia tidak akan membuat Glagah Putih kecewa. Sementara iapun akan dapat melihat, sikap Glagah Putih terhadap lawannya yang dikalahkannya. Yang masih bertempur dengan sengitnya adalah Untara melawan Bandung yang memang sudah dipersiapkan untuk membunuhnya. Di putaran pertempuran yang lain, Widura bertempur pula dengan serunya. Seperti Bandung, Dogol Legipun memang dipersiapkan untuk melawan Widura. Bekas prajurit yang dianggap sudah menjadi semakin tua. Namun ternyata penilaian Pringgajaya terhadap Untara dan Widura masih kurang cermat. Ki Pringgajaya menduga, bahwa justru karena kewajibannya, Untara tidak sempat berbuat bagi dirinya sendiri, apalagi berusaha untuk meningkatkan ilmunya.

Tetapi ternyata bahwa Untara jauh melampaui dugaannya, sehingga Bandung tidak dapat mengalahkannya, apalagi membunuhnya. Demikian Dogol Legi yang berhadapan dengan Widura. Rasa-rasanya ia memang dijerumuskan kedalam putaran kekuatan yang tidak diduganya. Sementara itu, ketiga lawan Ki Waskita justru sudah kehilangan gairah untuk bertempur. Apalagi mereka menyadari, bahwa gurunya telah meninggalkan mereka begitu saja, sehingga mereka benarbenar menjadi kecewa. Merekapun tidak akan dapat mengingkari kenyataan, bahwa yang akan menjadi lawan mereka adalah orang-orang yang pilih tanding, yang memiliki kemampuan setingkat dengan gurunya. Jika semula mereka bertiga yang dianggap oleh Ajar Tal Pitu sebagai murid terbaik yang memiliki kekuatan yang dapat dibanggakan, karena segala macam ilmu gurunya telah tertumpah kepada mereka, namun yang masih harus dikembangkan, tetapi yang ternyata ketiganya tidak berdaya berhadapan dengan Ki Waskita. Sejenak Kiai Gringsing termangu-mangu. Ia menjadi bimbang, apakah yang harus dilakukannya. Jika ia membantu salah seorang dari antara mereka yang bertempur, apakah tidak justru menyinggung perasaan. Namun dalam pada itu. sebelum Kiai Gringsing bertindak lebih jauh, maka ia melihat, lawan Untara lelah terdesak sehingga tidak lagi sempat menyerang. Dengan sisa kemampuannya ia mencoba bertahan. Namun keadaan tidak menguntungkannya sama sekali. Ki Pringgajaya begitu saja meninggalkannya, seperti Ajar Tal Pitu yang lari tanpa menghiraukan murid-muridnya. Karena kenyataan itulah, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin kendor. Bandung dan Dogol Legi merasa tidak perlu lagi mempertaruhkan nyawanya bagi orang-orang yang mereka anggap justru telah menjerumuskannya. Dengan demikian, maka tidak ada pilihan lain lagi bagi mereka kecuali mengambil jalan yang paling pendek untuk menyelamatkan diri. Mereka yakin bahwa mereka tidak akan mampu melarikan diri dari arena itu, justru beberapa orang yang memiliki ilmu yang tinggi telah bebas dari lawan-lawan mereka. Karena itu, maka Bandunglah yang mula-mula berani mengambil sikap. Ketika ia sempat meloncat menjauhi lawannya, maka iapun telah melemparkan senjata sambil berkata, “Aku menyerah.” Untara tertegun sejenak. Dipandanginya lawannya dengan sorot mata kemarahan. Namun ternyata bahwa Untara masih tetap seorang Senapati. Demikian lawannya menyerah, betapapun kemarahan membakar jantungnya, maka iapun kemudian telah menahan diri untuk tidak berbuat sesuatu. Karena Bandung menyerah, maka yang lainpun telah mengambil sikap serupa. Sepeninggal Ki Pringgajaya yang menyebut dirinya Partasanjaya itu. maka tidak akan ada artinya lagi, apapun yang mereka lakukan. Juga ketiga orang murid Tal Pitu yang telah kehilangan gurunya itupun tidak lagi

berniat untuk melawan lebih lama lagi. Dengan demikian, maka satu demi satu, mereka yang masih bertempur beberapa saat itupun telah menyerah. Bahkan lawan Glagah Putihpun telah menyerah pula. “Pengecut,“ teriak Glagah Putih, “lawan aku sampai akhir.” “Aku menyerah,“ jawab lawannya yang telah melepaskan senjatanya. “Ambil senjatamu,“ geram Glagah Putih. Tetapi lawannya sama sekali tidak melakukannya. Sementara itu, Kiai Gringsing sama sekali tidak berusaha mempengaruhinya. Sedangkan Widura sendiri masih sibuk dengan lawannya yang juga menyerah. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam, ketika ia melihat Glagah Pulih itu tidak berbuat lebih jauh lagi. Bahkan ia berkata, “Kau mengecewakan aku. Kau tidak bertempur sampai perlawanan yang terakhir seperti ketiga orang kawanmu yang bertempur melawan Sabungsari itu.” Lawannya masih tetap berdiam diri. “Jika kau menyerah, aku terpaksa menyerahkan kau kepada kakang Untara,“ desis Glagah Putih. Dalam pada itu. maka orang-orang yang menyerah itupun segera dikumpulkan. Kiai Gringsing masih memerlukan untuk melihat ketiga lawan Sabungsari yang terkapar. Nampaknya mereka sudah tidak mungkin lagi ditolong jiwanya. Dalam keadaan yang gawat, Sabungsari tidak dapat mengendalikan lagi kekuatan yang terpancar dari matanya. Sejenak kemudian, maka pertempuran itupun telah selesai. Orang-orang yang terluka, termasuk para pengawal Untara telah dikumpulkan. Seorang pengikut Ki Partasanjaya masih mungkin untuk diselamatkan meskipun darah cukup banyak mengalir dari tubuhnya. Orang-orang tua yang menyertai Untara dari Jati Anom itupun masih berdiri gemetar. Bukan saja oleh dinginnya air hujan yang bagaikan tercurah dari langit, namun juga karena gejolak hati mereka menyaksikan pertempuran yang tidak mereka mengerti sama sekali. Dalam pada itu. Kiai Gringsingpun telah berada disisi muridnya bersama Sabungsari dan Glagah Putih yang kecemasan. Dalam pada itu Agung Sedayu masih tetap duduk sambil berdiam diri. Namun ia agaknya mulai berhasil mengatur pernafasannya. Darahnyapun mulai terasa semakin dingin dan mulai mengalir dengan wajar. Meskipun demikian tubuhnya menjadi terasa semakin nyeri. Seakan-akan tulang dan

dagingnya benar-benar telah hancur lumat sama sekali. Melihat keadaan muridnya, ditilik dari jalan pernafasannya. Kiai Gringsing menjadi semakin tenang. Perlahan-lahan ia berdesis, “Lakukanlah sebaik-baiknya Agung Sedayu. Kau akan berhasil.” Agung Sedayu mendengar suara gurunya. Rasa-rasanya suara itu dapat mendorong harapannya yang tumbuh semakin besar, bahwa keadaannya akan semakin baik. Dalam pada itu, Untarapun mulai berunding dengan Widura dan Ki Waskita, apakah yang sebaiknya mereka lakukan. Ditempat itu adalah beberapa orang yang menyerah dan ada beberapa orang yang terluka. Bahkan ada pula yang telah tidak tertolong lagi jiwanya. “Aku akan pergi ke Jati Anom,“ berkata Untara, “aku akan memerintahkan beberapa orang prajurit untuk membenahi keadaan ini.” “Tetapi jangan pergi sendiri,“ desis Widura. “Keadaan sudah semakin baik,“ jawab Untara. “Masih belum,” sahut Widura, “orang-orang yang melarikan diri itu, mungkin masih berkeliaran disini.” “Lawan Agung Sedayu sudah tidak berdaya lagi. Aku kira orang itu benar-benar ingin melarikan diri. Keadaannya sudah parah seperti juga keadaan Agung Sedayu sendiri.” “Maksud paman, Ki Pringgajaya ?” bertanya Untara. “Ya,“ jawab Widura, “ternyata ia memang memiliki kelebihan.” “Jadi maksud paman bagaimana ?“ bertanya Untara. “Kita membagi kerja ngger,“ ternyata yang menyahut adalah Ki Waskita, “jika angger ingin pergi ke Jati Anom. marilah bersama aku. Biarlah Kiai Gringsing dan Sabungsari berada disini. Mungkin Glagah Putih juga dapat tinggal bersama ayahnya sendiri.” Untara termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Kita akan kembali membawa sekelompok prajurit.” Ternyata Kiai Gringsingpun sependapat. Namun sebelum Untara dan Ki Waskita pergi, maka telah dilakukan tindakan pengamanan terhadap mereka yang menyerah. Dengan ikat kepala mereka sendiri, maka mereka telah diikat tangannya dan mereka harus duduk berjajar dipinggir jalan.

“Jangan berbuat sesuatu yang dapat menghancurkan dirimu sendiri,“ berkata Untara. “Berhati-hatilah,“ berkata Ki Waskita pula, “bagaimanapun juga, kau akan berhadapan dengan orangorang yang mumpuni. Ikat kepala itu sendiri tidak berarti apa-apa bagi kalian. Dengan hentakkan yang tidak terlalu kuat, kalian masing-masing akan dapat memutuskan ikatan tangan kalian. Namun waktu yang sekejap itu diperlukan sekedar untuk menunjukkan siapakah diantara kalian yang harus diselesaikan lebih dahulu.” Orang-orang yang menyerah itu tidak menjawab. Mereka memang menjadi heran, bahwa tangan mereka hanya sekedar diikat dengan ikat kepala. Namun merekapun kemudian menyadari, bahwa hal itu tentu sudah diperhitungkan. Meskipun orang-orang itu dengan sekali hentak dapat melepaskan ikatannya, tetapi orang-orang yang mengawasi itupun akan segera mengetahui, siapakah diantara mereka yang harus diselesaikan dengan segera. Apalagi orang-orang itu mengetahui, bahwa orang-orang Jati Anom itu memiliki kemampuan yang tidak dapat dijajagi. Lawan ketiga orang pengikut Ki Pringgajaya itu dengan kemampuannya berhasil membunuh ketiga lawannya. Sementara orang tua bercambuk itu mampu mengimbangi ilmu Ki Pringgajaya, bahkan ternyata bahwa orang tua itu memiliki kelebihan barang selapis. Bahkan anak yang masih terlalu muda itupun telah mampu melawan salah seorang pengikut Ki Pringgajaya yang nampaknya terpilih dengan saksama itu. Karena itu, mereka tidak merasa perlu untuk berbuat sesuatu. Meskipun Bandung dan Dogol Legi serta ketiga murid Tal Pitu itu benar-benar merasa dihinakan oleh ikatan tangannya yang sebenarnya tidak berarti itu. Dalam pada itu, sementara Kiai Gringsing menunggui Agung Sedayu maka iapun memberikan petunjuk kepada Sabungsari untuk membantu meringankan penderitaan orangorang yang terluka. dibantu oleh Glagah Putih, sedangkan Widura harus mengawasi dengan saksama, orang-orang yang duduk berjajar membelakanginya. Sejenak kemudian beberapa ekor kuda telah berderap menyusup lebatnya hujan yang masih belum mereda. Angin masih bertiup dengan kencang, sementara lidah api menjilat-jilat dilangit. Orang-orang tua yang ikut bersama Untara pergi ke Sangkal Putung itupun telah dipersilahkan untuk mendahului bersama Untara dan Ki Waskita, agar mereka tidak membeku kedinginan. Namun merekapun menjadi gemetar dipunggung kuda, karena tangan mereka seolah-olah telah kehilangan syaraf perasa. Dalam pada itu, maka jarak yang sudah terlalu pendek itu, dapat mereka lalui dengan selamat. Ternyata orang yang paling dicemaskan, Ki Pringgajaya, tidak menunggu mereka dipinggir jalan. Kedatangan Untara dalam hujan yang lebat itu memang mengejutkan. Nampaknya ia sangat tergesagesa, dan orang didalam kelompok kecil itu ternyata telah berubah dari saat mereka berangkat.

Demikian Untara naik kependapa dalam keadaan basah kuyup, maka iapun segera memerintahkan para pengawal yang bertugas untuk memanggil beberapa orang terpenting. Sementara itu, Untarapun mempersilahkan orang-orang tua itu untuk berada di rumah itu lebih dahulu. “Jangan tergesa-gesa pulang. Hujan masih terlalu lebat,“ berkata Untara, “aku akan menyediakan pakaian yang dapat kalian pakai untuk sementara. Dan kalian akan mendapat hidangan minuman panas yang akan dapat menghangatkan tubuh.” Ketika ia menyerahkan beberapa potong pakaian kepada orang-orang tua yang kedinginan itu. Untara sendiri tidak berganti pakaian, ia masih akan kembali ke tikungan didekat Lemah Cengkar itu untuk menyelesaikan masalah yang dianggapnya cukup penting. Sejenak kemudian, ketika orang-orang yang dipanggil telah berkumpul, maka Untarapun segera memerintahkan mereka untuk bersiap-siap. Tanpa memberikan penjelasan panjang lebar, Untara kemudian membawa mereka pergi ketikungan disebelah Lemah Cengkar. Mereka hanya sekedar menerima perintah untuk mengikutinya dan membenahi bekas pertempuran. Prajurit-prajurit itupun tidak terlalu banyak bertanya. Mereka sadar bahwa Untara tentu tergesa-gesa. Karena itu, maka merekapun dengan patuh mengikuti Untara dan Ki Waskita dalam lebatnya hujan yang masih tercurah dari langit. Baru ketika mereka telah berada di Lemah Cengkar, Untara sempat memberikan sedikit penjelasan tentang peristiwa yang baru saja terjadi. “Uruslah mereka,“ perintah Untara, “bawalah yang terluka lebih dahulu, baru kemudian tawanantawanan itu. Aku berkepentingan dengan mereka. Beri mereka pakaian, terutama yang terluka. Jangan menambah jumlah kematian. Rawatlah yang telah terbunuh. Para prajurit itupun kemudian bekerja dengan cepat. Ketika mereka kemudian membawa para tawanan, maka semua orang yang berada di arena itupun bersiap-siap pula. termasuk Agung Sedayu. Meskipun ia masih terlalu lemah, sementara keadaan didalam tubuhnya masih parah, ia telah duduk pula dipunggung kuda. dijaga oleh Glagah Putih dan Sabungsari disebelah menyebelah. Atas ijin Untara, maka Agung Sedayu itupun langsung dibawa kembali ke padepokan bersama isi padepokan itu yang lain. sementara Untara dan para prajuritnya membawa para tawanan ke Jati Anom. Dengan tegas Untara memerintah untuk mengawasi para tawanan itu sebaik-baiknya. Tidak boleh ada

orang lain yang menghubungi mereka tidak setahu Untara. Meskipun mereka para perwira dari Pajang, maka semua hubungan dengan para tawanan harus lewat aku,“ berkata Untara. Perintah Untara yang tegas dan sikapnya yang keras, menunjukkan bahwa ia bersungguh-sungguh dengan perintahnya itu. Dalam pada itu. Agung Sedayu yang terluka parah dibagian dalam tubuhnya itu telah dibawa dengan hati-hati ke padepokan. Demikian ia turun dari kudanya, maka iapun langsung dipapah oleh Sabungsari, Glagah Putih dan gurunya kedalam biliknya. Dengan hati-hati pakaian-nyapun telah diganti dengan pakaian yang kering, sementara minuman yang hangat telah dititikkan kebibirnya. Dengan saksama Kiai Gringsing kemudian merawatnya. Dilihatnya keadaan tubuhnya yang bagaikan lumat didalam itu. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu masih berdesis perlahan, “Kiai, barangkali Kiai perlu mengobati mereka yang lebih parah dari aku.” “Mereka telah berada di Jali Anom. Tabib pasukan angger Untara tentu akan mengobati mereka dengan saksama pula. Sementara kau tidak usah memikirkannya, agar hatimu menjadi lebih tenang.” Agung Sedayu tidak menyahut. Seluruh tubuhnya memang terasa nyeri dan sakit. Karena itu, maka iapun berusaha untuk beristirahat sebaik-baiknya dipembaringannya. Pakaiannya yang telah diganti dengan pakaian yang kering dan titik-titik minuman hangat, terasa segar. Dalam hujan yang masih saja turun meskipun sudah tidak selebat saat-saat pertempuran itu terjadi di Lemah Cengkar, udara menjadi semakin lama semakin dingin. Karena itu, maka Sabungsari telah menyelimuti Agung Sedayu dengan kain panjang. Namun sentuhan pada tubuh Agung Sedayu yang kebal itu membuatnya menyeringai kesakitan. Yang terjadi itu merupakan satu pengalaman pula bagi Glagah Putih. Ia melihat kulit Agung Sedayu tidak terluka, meskipun ia bertempur melawan senjata tajam yang dalam beberapa kali tidak dapat dihindarinya. Karena itu, Glagah Putih yang muda itupun dapat mengambil kesimpulan bahwa Agung Sedayu memiliki ilmu kebal atau sejenisnya. Namun ilmu itu hanya mampu membuat kulit Agung Sedayu menjadi liat. Namun masih belum berhasil melindungi bagian dalam tubuhnya dari lawan yang memiliki ilmu yang tinggi pula. “Jika kakang Agung Sedayu melawan orang-orang seperti aku. mungkin keadaan bagian dalam

tubuhnyapun tidak akan terluka seperti itu,“ berkata Glagah Putih didalam hatinya. Namun dengan demikian, Glagah Putih semakin merasa dirinya terlalu kecil. Dalam arena pertempuran antara kekuatan-kekuatan raksasa seperti Agung Sedayu, Ajar Tal Pitu, Ki Pringgajaya, Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Untara serta ayahnya dan yang lain-lain, terasa dirinya memang tidak berarti sama sekali. Karena itu. ia semakin berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa ia akan berlatih dengan lebih tekun lagi. Setiap saat. Siang dan malam. Kapan saja ia sempat melakukannya. Sabungsari yang menunggui Agung Sedayu pula, benar-benar mengagumi anak muda yang terbaring itu. Ketika ia bertemu dengan Agung Sedayu dalam perang tanding, selisih antara kemampuannya dengan Agung Sedayu rasa-rasanya masih belum terlalu besar. Namun kini terasa, bahwa Agung Sedayu telah meninggalkannya semakin jauh. “Luar biasa,“ berkata Sabungsari didalam dirinya, “waktunya telah dihabiskannya untuk bekerja dipadepokan ini dan mengajari Glagah Putih. Namun disela-sela waktu yang sempit itu, ia masih sempat meningkatkan ilmunya demikian pesat.” Namun seperti yang lain, kecuali gurunya, Sabungsari kurang memahami cara dan kesempatan yang diperoleh Agung Sedayu dari isi kitab Ki Waskita yang telah dibacanya, dan seolah-olah telah dipahatkannya pada dinding jantungnya. Yang nampak oleh prajurit muda itu betapa Agung Sedayu yang umurnya masih sangat muda itu telah berhasil menempa dirinya menjadi seorang yang luar biasa, yang telah berhasil mengimbangi kemampuan Ajar Tal Pitu. Tetapi Sabungsari tidak lagi dibayangi oleh perasaan iri dan dengki. Dengan tulus ia mengakui, bahwa Agung Sedayu adalah orang yang luar biasa, yang jarang ada duanya. Namun demikian, hal itu seperti Glagah Putih, telah mendorongnya untuk lebih menekuni ilmu yang pada dasarnya sudah dimilikinya sampai tuntas. Tetapi yang masih harus dikembangkannya lebih jauh lagi. Di Jati Anom Untara masih sibuk dengan para tawanannya. Ia sendiri yang mengatur tempat bagi mereka, dan mengatur para prajurit yang harus menjaga mereka, karena orang-orang yang tertawan itu adalah orang-orang yang mumpuni. Meskipun Untara menyadari, bahwa orang-orang yang tertawan itu bukan jalur lurus kepada para pemimpin dari satu lingkungan yang mempunyai pendirian dan sikap yang menyimpang, sehingga lewat orang-orang itu ia tidak akan sampai ke puncak pengamatannya. Namun demikian, mereka tentu akan dapat memberikan beberapa keterangan tentang diri mereka sendiri dan lingkungan mereka.

Dalam persoalan yang dihadapinya, Untara telah menemukan satu kepastian, bahwa jalur yang dapat ditelusur adalah hubungan antara Ki Pringgajaya yang kemudian menyebut dirinya Partasanjaya, dan Tumenggung Prabadaru. Bagaimanapun juga Tumenggung itu tidak akan dapat ingkar. Ia adalah orang yang telah berusaha menghapus jejak Pringgajaya dengan melaporkannya bahwa orang itu telah terbunuh. Kemudian, dalam hubungan dengan peristiwa yang baru saja terjadi di dekat Lemah Cengkar itu. Tetapi ia tidak akan dapat langsung mempersoalkan Tumenggung Prabadaru. Ia yakin, bahwa Tumenggung itu tentu mempunyai kekuatan yang cukup untuk melindungi tingkah lakunya. “Perjalanannya kedaerah Timur memang harus dipersoalkan,” berkata Untara kepada diri sendiri. Untara mulai curiga, bahwa kepergian Tumenggung Prabadaru kedaerah Timur adalah dalam rangka memperkuat kedudukan golongannya dalam pandangan mata para Adipati di daerah Timur.” Dengan segala macam pertimbangan, maka Untara menyadari, bahwa ia harus bersikap hati-hati. Dalam pada itu, ketika para tawanan itu sedang diatur dan kepada mereka diberikan pakaian kering untuk mengganti pakaian mereka yang basah kuyup, maka di Lemah Cengkar, Ki Pringgajaya sedang sibuk merawat Ajar Tal Pitu yang pingsan. Ketika Ki Pringgajaya sudah berhasil melepaskan diri dari pengamatan Kiai Gringsing, maka ia berusaha untuk mencari Ajar Tal Pitu yang menurut pengamatannya tentu dalam keadaan parah. Beruntunglah. bahwa Ki Pringgajaya akhirnya dapat menemukannya meskipun sudah hampir terlambat. Demikian orang-orang Jati Anom meninggalkan tikungan. maka Ki Pringgajaya telah kembali ketempat itu serta berusaha mengikuti jejak Ajar Tal Pitu. Ranting-ranting perdu yang patah dan batang-batang ilalang yang seakan-akan terseret tubuh Ajar Tal Pitu yang lemah itu telah menuntun Ki Pringgajaya untuk mengikuti jejaknya. Sehingga akhirnya Ki Pringgajaya itupun dapat menemukan Ajar Tal Pitu yang pingsan. “Orang ini memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa,“ gumam Ki Pringgajaya, “dalam keadaan yang parah, ia berhasil nenyingkir cukup jauh dari lawannya yang berilmu iblis. Adalah tidak dapat dimengerti, bagaimana mungkin Agung Sedayu dapat mengalahkan Ajar Tal Pitu. Namun yang terjadi itu adalah satu kenyataan. Ajar Tal Pitu tidak dapat mengalahkan Agung Sedayu meskipun ia berhasil melarikan diri. Sementara Ki Pringgajaya itupun tahu, bahwa keadaan Agung Sedayu sendiri tentu juga menjadi sangat buruk, hampir seburuk keadaan Ajar Tal Pilu itu sendiri. Dengan hati-hati, Ki Pringgajaya berasaha untuk menolong Ajar Tal Pitu. Hujan yang sudah mereda, masih jatuh satu-satu. Titik air yang kemudian diusapkan pada bibir Ajar Tal Pitu. membuatnya menjadi sedikit segar.

Ketika Ajar Tal Pilu itu kemudian membuka matanya, maka yang dilihatnya adalah malam yang pekat. Hujan masih belum berhenti meskipun sudah jauh berkurang. Namun langit masih nampak gelap merata dari ujung sampai keujung. Ki Ajar Tal Pitu itu berdesis lambat sekali, “Siapa kau ?” “Partasanjaya, maksudku Pringgajaya. Kau kenal namaku ?“ bertanya Ki Pringgajaya. Ajar Tal Pitu itu mengangguk. Kemudian bisiknya. “Apakah yang sudah terjadi ?” “Kau terluka Ki Ajar. Coba kenanglah, apa yang baru saja terjadi atasmu di dekat Lemah Cengkar ini,“ jawab Ki Pringgajaya. “Jadi aku berada di Lemah Cengkar sekarang ?“ bertanya Ajar Tal Pitu. “Ya. Kau berada di Lemah Cengkar. Kau baru saja bertempur,“ sahut Ki Pringgajaya. Ajar Tal Pitu itupun mencoba mengingat-ingat, apakah yang baru saja terjadi. Perlahan-lahan ia mulai dapat melihat didalam kenangannya, apa yang sudah dilakukan. Mengikuti ketiga muridnya, kemudian melibatkan diri bertempur melawan anak muda yang memiliki ilmu yang luar biasa. “O, anak iblis itu. Dimana anak itu ? Apakah kau berhasil membunuhnya ?“ bertanya Ajar Tal Pitu itu pula. Ki Pringgajaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku juga meninggalkan neraka itu.” “Apa artinya ?” bertanya Ajar Tal Pitu. “Aku tidak bertempur terus dalam keadaan yang tidak akan tertolong lagi.” desis Ki Pringgajaya. “Kau melarikan diri ?“ bertanya Ajar Tal Pitu itu pula. “Ya,“ jawab Ki Pringgajaya singkat. “Dimana ketiga orang muridku ?“ suara Ajar Tal Pitu itu tiba-tiba meninggi. “Aku tidak tahu,“ jawab Ki Pringgajaya. “Apakah mereka telah terbunuh ?“ tiba-tiba saja nada suara Ajar Tal Pilu itu menurun. “Aku tidak tahu. Ketika aku kembali ke arena itu, semuanya sudah dibersihkan. Semuanya dibawa oleh prajurit Pajang di Jati Anom. Seandainya ada yang terbunuh, mayatnyapun telah dibawa pula.unluk dikuburkan. Atau barangkali, langsung dibawa ke kubur yang aku tidak tahu dimana.” Atar Tal Pitu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Ki Pringgajaya sejenak. Kemudian

desisnya, “Aku akan minta pertanggungan jawab Tumenggung Prabadaru.” “Jangan kau pikirkan sekarang,“ potong Ki Pringgajaya, “cobalah kau tilik keadaanmu. Badanmu, nafasmu dan darahmu.” Ajar Tal Pitu itupun kemudian mencoba untuk memperbaiki letak tubuhnya. Perlahan-lahan ia beringsut dan duduk bersandar kedua tangannya yang lemah. Kemudian sambil mengangguk-angsuk kecil ia bergumam, “Anak itu mempunyai ilmu iblis. Aku tidak tahu, bagaimana mungkin dadaku bagaikan terhimpit gunung Merapi dan Merbabu.” “Kita harus menyingkir dari tempat ini,” berkata Ki Pringgajaya, “ternyata orang-orang Jati Anorn itu benar-benar memiliki kemampuan diluar dugaan kami. Untara sendiri tidak terlalu mengejutkan, meskipun ia telah berhasil meningkatkan kemampuannya dengan cepat. Widura ternyata sudah tidak lagi dapat mengembangkan dirinya. Namun karena pengalamannya yang luas, ia mampu mempertahankan hidupnya. Yang tidak terduga pula adalah prajurit muda yang memiliki kekuatan yang luar biasa lewat sorot matanya.” “Yang mana ?” bertanya Ajar Tal Pitu. “Yang melawan ketiga orang pengikutku. Mereka adalah orang-orang terpilih. Tetapi mereka tidak berdaya melawan Sabungsari,” desis Ki Pringgajaya. “Karena itu, aku akan minta pertanggungan jawab Tumenggung Prabadaru,“ geram Ajar Tal Pitu berulang kali. “Kita harus pergi. itu adalah tugas kita yang pertama. Jika fajar menyingsing, maka kita akan mengalami kesulitan,” desis Ki Pringgajaya, “hujan telah mereda. Sebentar lagi. langit akan menjadi merah, dan matahari akan terbit.” “Tulang-tulangku bagaikan patah,” keluh Ajar Tal Pitu, “aku tidak pernah bertemu dengan orang yang memiliki ilmu iblis. Aku adalah orang yang tidak terkalahkan. Tetapi aku tidak berhasil membunuh anak itu meskipun aku sudah mempergunakan ilmu pamungkasku. Ilmu yang jarang dimiliki orang lain. Aku terbiasa membunuh lawanku, tanpa mempergunakan ilmu puncak itu. Tetapi melawan anak ingusan itu. aku dapat dikalahkan.” “Usahakan, agar kita dapat pergi,“ berkata Ki Pringgajaya. Ajar Tal Pitu tidak menjawab, ia mengerti, bahwa mereka berdua harus meninggalkan tempat itu. Jika fajar menyingsing, mungkin sekelompok prajurit akan meronda daerah yang semalam menjadi ajang pertempuran. Jika para prajurit itu menemukan mereka, maka mereka akan mengalami kesulitan. Apalagi Ajar Tal Pitu ada dalam keadaan yang sangat parah. “Apakah tidak ada seekor kudapun ?“ bertanya Ajar Tal Pilu.

Sejenak Ki Pringgajaya termangu-mangu. Mereka membawa beberapa ekor kuda. Namun nampaknya kuda-kuda itu telah dibawa pula oleh para prajurit ke Jati Anom. Namun hal itu telah mengingatkan Ki Pringgajaya atas seekor kuda. Apakah dipadukuhan sebelah tidak seorangpun yang mempunyai seekor kuda ? Tetapi apakah orang itu akan memberikan kudanya dengan sukarela. “Aku tidak peduli,“ geram Ki Pringgajaya, “aku memerlukan seekor kuda.” Karena itu, maka iapun berbisik, “Aku akan mencari seekor kuda.” “Dimana ?“ bertanya Ajar Tal Pitu. “Dipadukuhan terdekat. Tunggulah disini,“ jawab Pringgajaya, “aku tidak lama.” Ajar Tal Pitu membiarkan Ki Pringgajaya meninggalkannya menuju kepadukuhan. Meskipun ada juga kekhawatiran bahwa Ki Pringgajaya akan meninggalkannya. Namun jika ia memang ingin berbuat demikian, ia dapat meninggalkannya ketika ia masih pingsan. Demikianlah, maka Ki Pringgajaya itupun segera berlari ke padukuhan. Ternyata ia memang memiliki kemampuan yang bukan saja dapat dipergunakan dalam pertempuran, tetapi kemampuannya telah mendorongnya untuk berlari secepat langkah-langkah kijang dipadang perburuan. Karena itu, maka iapun segera berada disebuah padukuhan. Padukuhan yang masih sepi. Meskipun digardu ada juga dua tiga orang, tetapi nampaknya mereka lebih senang berselimut kain panjang duduk berdesakan disudul gardu. Udara malam yang basah itu dinginnya bagai menusuk tulang. Dengan hati-hati Ki Pringgajaya menyusup kebun dan halaman. Ketika ia menemukan sebuah halaman rumah yang cukup besar dengan sebuah kandang kuda. maka iapun menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menjadi sangat kecewa ketika ia mendengar langkah di dalam dapur. Bahkan iapun kemudian menyadari, bahwa seseorang telah bangun dan menyalakan api untuk merebus air. Bahkan ternyata tidak hanya seorang. Ia mendengar orang yang sedang bercakap-cakap. “Gila,” katanya didalam hati, “masih belum fajar, mereka sudah bangun.” Tetapi Ki Pringgajaya tidak mau mengurungkan niatnya. Namun iapun tidak mau terjadi keributan. Karena itu, maka iapun telah mengambil cara yang paling mudah dilakukannya. Sejenak kemudian ia berdiri disudut rumah itu. Dirabanya tiang disudut rumah itu sambil melepaskan ilmunya. Ilmu yang sebenarnya masih belum dikuasainya dengan baik. Jika ilmu itu dilontarkan bagi orang-orang yang memiliki kepribadian yang cukup kuat dilambari dengan sedikit

kemampuan dalam olah kanuragan sehingga daya tahan tubuhnya terbina, ilmu itu tidak akan berpengaruh. Tetapi terhadap orang-orang padukuhan yang tidak mempelajari jenis ilmu apapun, maka ilmu itupun segera menyelubunginya. Ilmu itu adalah ilmu sirep. Orang-orang yang haru saja terbangun itupun tiba-tiba telah tidak lagi dapat bertahan. Bahkan rasa-rasanya mereka tidak sempat kembali ke biliknya, sehingga mereka menjatuhkan diri dimana-pun mereka sedang berada. Seorang telah berbaring disebuah amben di dapur, seorang di amben bambu yang besar diruang tengah dan seorang lagi yang sedang bersiap-siap untuk kepakiwan, telah tertidur di lincak panjang diserambi belakang. Dengan demikian, maka Ki Pringgajaya tidak mendapat kesulitan lagi untuk mengambil seekor kuda dari kandang orang itu. Meskipun kuda itu bukan kuda yang terlalu tegar, tetapi kuda itu akan cukup memadai. Setelah memasang pelananya yang juga berada didalam kandang, maka Ki Pringgajayapun segera membawa kuda itu keluar halaman. Sementara itu, ilmu sirepnya telah dipergunakannya pula ketika ia mendekati gardu dimulut lorong. Demikian para peronda yang memang sedang bertahan dari kantuknya yang hampir tidak tertahankan, telah disentuh oleh ilmu sirep Ki Pringgajaya, sehingga merekapun telah terbaring dan tertidur didalam gardu sambil berselimut kain panjang sampai keujung kaki. Tetapi dinginnya dini hari tidak terasa oleh Ki Pringgajaya. Iapun kemudian memacu kudanya ketempat Ajar Tal Pitu menunggu. Ajar Tal Pitu yang seakan-akan tidak lagi mempunyai kekuatan yang tersisa ditubuhnya itu telah di bantu oleh Ki Pringgajaya naik keatas punggung kuda. Kemudian iapun naik pula bersama Ajar Tal Pitu yang lemah itu. Dengan demikian, kuda yang mendapat beban terlalu berat itu tidak dapat lari kencang. Meskipun demikian, kuda itu telah berhasil membawa kedua penunggangnya menuju ke tempat persinggahan Ki Pringgajaya. “Aku harus menyingkir,“ desis Ki Pringgajaya. “Kenapa ?“ bertanya Ajar Tal Pitu dengan suara yang lemah. “Pengikutku ada yang tertangkap. Ia akan menunjukkan persembunyianku. Dan karena itu, aku tidak boleh terlambat,“ jawab Ki Pringgajaya. Ajar Tal Pitu mengerti. Karena itu, ia tidak bertanya lagi.

Meskipun agak terlalu berat, tetapi kuda itu dapat juga berlari. Ketika fajar menyingsing keduanya telah berada ditempai persinggahan Ki Pringgajaya dan orang-orangnya. Dengan tergesa-gesa Ki Pringgajaya memerintahkan orang-orangnya yang berada di tempat itu untuk berkemas dan segera meninggalkannya. “Kenapa ?“ bertanya seseorang. “Cepat. Kita harus pergi,“ desis Ki Pringgajaya sambil berganti pakaian, “tentu ada satu dua orang kita yang tertangkap yang akan dapat menunjukkan tempat ini.” Orang-orangnya tidak bertanya lagi. Mereka segera mengosongkan tempat yang selama itu mereka pergunakan sebagai tempat persembunyian yang tidak diketahui oleh Untara dan para prajuritnya. Sambil membawa Ajar Tal Pitu. maka Ki Pringgnjaya yang juga menyebut dirinya Ki Partasanjaya itupun meninggalkan tempat persembunyiannya diikuti oleh para pengikutnya yang tinggal. Agar tidak menimbulkan kecurigaan orang lain, maka merekapun tidak pergi bersama-sama. Ki Pringgajaya yang membawa Ajar Tal Pitu yang sudah berganti pakaian pula hanya diikuti oleli seorang pengikutnya saja. Tetapi mereka tidak pergi terlalu jauh. Mereka singgah disatu rumah yang tidak terlalu besar untuk menitipkan Ajar Tal Pilu yang dalam keadaan yang parah. “Berhati-hatilah. Kawan-kawan kita ada yang tertangkap,“ desis Ki Pringgajaya. “Apakah mereka juga akan menyebut pondokku ini ?“ bertanya penghuni rumah itu. “Nampaknya tidak. Mereka tidak tahu rumah ini dan tidak mengenal penghuninya. Meskipun demikian, berjaga-jagalah. Orang terluka itu adalah Ajar Tal Pitu. Keadaannya memang parah. Tetapi ia adalah orang yang memiliki ilmu yang luar biasa. Jika keadaannya berangsur baik, ia akan dapat menolong dirinya sendiri.” berkata Ki Pringgajaya. Ajar Tal Pitupun kemudian dipapah masuk kedalam rumah itu. Dengan tergesa-gesa Ki Pringgajayapun kemudian meninggalkan tempat itu sambil berpesan, “Kau akan aman disini Ajar Tal Pitu. Maka suatu saat kita akan bertemu pula ditempat ini. Jika kau sudah dapat meninggalkan rumah ini, sebutlah, waktu yang dapat kau pilih untuk satu pertemuan. Aku akan sering dalang pula kerumah ini.” Ajar Tal Pitu mengangguk sambil menjawab, “Aku tidak berkeberatan. Aku kira, kita akan bersamasama menyelesaikan persoalan kita dengan anak iblis dan kawan-kawannya itu.”

“Kau mendendam ?“ bertanya Ki Pringgajaya. “Hanya orang gila dan lemah hati sajalah yang tidak mendendam. Tetapi jangan bermimpi memanfaatkan dendamku untuk kepentinganmu tanpa imbalan yang memadai,“ desis Ajar Tal Pitu. “Kaupun iblis,“ geram Ki Pringgajaya sambil melangkah pergi. Sejenak kemudian, maka Ki Pringgajayapun telah meninggalkan rumah itu. Hujan tinggal sisa-sisanya saja yang nampak diatas tanah yang basah dan air yang tergenang. Beberapa dahan yang patah menyilang dihalaman. Nampaknya angin yang besar semalam telah memutar pepohonan hingga berpatahan. Betapapun juga. kepergian Ki Pringgajaya telah meninggalkan kesan khusus dihati Ajar Tal Pitu. Ki Pringgajaya telah menolongnya sehingga ia tidak mati dibawah lebatnya hujan yang tercurah dari langit disaat-saat ia pingsan. Meskipun demikian Ajar Tal Pitu itu menggeram Hanya orang-orang cengeng sajalah yang merasa berhutang budi kepada sesama. Pringgajaya tidak menolongku. Tetapi ia memerlukan aku.” Pada saat Ki Pringgajaya dan seorang pengikutnya berpacu semakin jauh, demikian pula pengikutnya yang lain memencar, maka seperti yang sudah diperhitungkannya, Untarapun bertindak cepat. Orangorang yang tinggal dipadukuhan tempat Ki Pringgajaya tinggal, telah dikejutkan oleh hadirnya sekelompok pasukan berkuda yang dipimpin langsung oleh Untara sendiri. Seorang yang tertangkap telah memberikan keterangan tentang persembunyian Ki Pringgajaya. Namun betapa mereka menjadi kecewa, bahwa rumah itu telah kosong. “Apakah kau tidak berbohong ?“ bertanya Untara kepada orang yang menunjukkan tempat itu. “Tidak,“ jawab orang itu, “tetapi sebagaimana kau lihat, rumah ini telah kosong. Mereka telah pergi.” “Kemana ? Kau tentu dapat menunjukkan tempat-tempat berikutnya.“ Bentak Untara. Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, “Aku hanya mengenal rumah ini. Sejak aku berada disini.” Wajah Untara menjadi merah. Kemarahannya yang memuncak hampir tidak terkendalikan lagi. Sambil mencengkam baju pengikut Ki Pringgajaya yang tertangkap dan menunjukkan tempat itu. ia menggeram, “Kau jangan mempermainkan kami.” “Tidak. Tidak Senapati,“ orang itu menjadi gemetar, “aku berkata sebenarnya. Aku adalah salah seorang yang ditempatkan disini. Ki Partasanjaya sendiri jarang-jarang berada ditempat ini. Ia berada di tempat-tempat yang tidak diketahui oleh para pengikutnya. Pengikutnya yang berada ditempat lain, tidak akan mengetahui bahwa disini ada juga tempat persinggahannya. Hal itu kami sadari.” “Dan kalian tidak pernah berusaha mengetahui kenapa Ki Partasanjaya berlaku demikian ?“ bertanya Untara.

“Tidak seorangpun yang akan berani berbuat demikian,” jawab orang itu, “hanya satu dua orang terpenting sajalah yang mengetahui dua atau tiga tempat persinggahannya.” Untara menghentakkan tangannya yang menggenggam baju orang itu. Tetapi kemudian orang itupun dilepaskannya. Ia terpaksa mempercayai keterangan orang itu, karena memang masuk akal. Sejenak para prajurit Pajang di Jati Anom itu meneliti seisi rumah itu. Ia masih menemukan beberapa macam peralatan. Bahkan perapian didapur masih hangat. “Mereka meninggalkan tempat ini dengan tergesa-gesa,“ desis salah seorang perwira muda. “Ya,” sahut Untara, “agaknya Partasanjaya sudah menduga, bahwa kita akan datang ketempat ini. Ternyata gerak kelompoknya lebih cepat dari kita, sehingga kita hanya menemukan tempat yang sudah kosong.” “Kita dapat menelusur jejak kepergian mereka,“ berkata seorang prajurit. “Sulit sekali,” sahut perwira muda, “dimana-mana air tergenang.” “Dan mereka nampaknya telah meninggalkan tempat ini dengan tujuan yang berbeda-beda, atau dengan sengaja berpisah-pisah. Di lorong didepan rumah ini kita lihat jejak kaki kuda yang menuju kearah yang berlawanan.” Untara mengangguk-angguk. Katanya, “Ki Partasanjaya memang tangkas berpikir. Memang sulit untuk mengikuti jejaknya. Di jalan-jalan simpang mereka tentu akan berpisah-pisah lagi sehingga sulit untuk mengetahui yang manakah jejak Ki Partasanjaya itu.” Karena itu. dengan jantung yang berdegupan semakin cepat Untara meninggalkan tempat itu. Ia gagal lagi mengikuti jejak Ki Partasanjaya. sehingga ia kehilangan satu kesempatan karena kelambatannya. Untuk mendapatkan kesempatan berikutnya. Untara memerlukan waktu yang tidak menentu. Bahkan dengan demikian Ki Partasanjaya akan menjadi semakin berhati-hati dan ia akan bersembunyi lebih rapat lagi, sehingga para pengikutnya tidak akan mengetahuinya. Pada saat sekelompok prajurit Pajang di Jati Anom berderap kembali, maka di padepokan kecilnya. Agung Sedayu yang terluka parah sempat tidur sekejap. Glagah Putih dan Sabungsari masih menunggu. Namun sejenak kemudian, Widura telah memanggilnya. “Mumpung Agung Sedayu dapat tidur, kita pergi ke Jati Anom sejenak. Melaporkan keadaannya

kepada Untara,“ berkata Widura. Sabungsari dan Glagah Putihpun segera berkemas. Sabungsari yang banyak hal mendapat kesempatan khusus, akan minta ijin pula berada beberapa saat dipadepokan menunggui Agung Sedayu yang sedang sakit. Dalam pada itu, Ki Waskita dan Kiai Gringsing yang tinggal dipadepokan, duduk diruang tengah. Jika Agung Sedayu terbangun, mereka akan dapal mendengarnya dan mungkin anak muda yang sedang terluka dibagian tubuhnya itu memerlukan pelayanan. Sejenak kemudian, maka Ki Widura telah meninggalkan padepokan kecil itu. Langit nampak cerah setelah semalam hujan bagaikan diperas dari langit. Matahari memancar terang, memanasi dedaunan yang kedinginan. Titik-titik air yang masih bergayutan dilembar-lembar daun memantulkan cahaya matahari yang bening. Beberapa orang yang beriringan pergi ke pasar, nampaknya sama sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi semalam. Bahkan bekas pertempuran yang dahsyat itupun seakan-akan lelah dihapus oleh hujan yang deras dan angin yang kencang. Meskipun beberapa orang petani menjadi heran melihat keadaan sawah dan ladangnya yang menjadi ajang pertempuran, tetapi mereka mencari-cari jawab pada angin dan hujan. “Nampaknya petir meledak ditempat ini,” berkata seseorang. “Tetapi dedaunan tidak terbakar meskipun kerusakan yang aneh telah terjadi disini,“ jawab yang lain. “Petir api memang membakar,” sahut kawannya, “tetapi ada beberapa jenis petir. Petir paju sama sekali tidak mengandung api, tetapi menghancurkan sasarannya.” Tetapi para petani itu tetap berteka-teki. Sementara itu, Ki Waskita dan Kiai Gringsingpun sedang berbincang tentang Agung Sedayu. Mereka harus mengakui, bahwa kemampuan Agung Sedayu telah meningkat dengan pesat. Seolah-olah setiap ia menghadapi lawan baru, maka justru Agung Sedayu sempat mencoba kemampuannya yang menjadi lebih tinggi. “Ketika Ajar Tal Pitu sempat menyelinap. Agung Sedayu sudah tidak mampu lagi berbuat lebih banyak,“ desis Ki Waskita. “Ya. Ia sudah sampai pada batas kemampuannya, sehingga Ajar Pitu sempat meninggalkan arena. Tetapi aku yakin, bahwa Ajar itupun terluka parah meskipun ia mempunyai daya tahan dan ilmu yang luar biasa,” sahut Kiai Gringsing. “Nasibnya masih beruntung,“ berkata Ki Waskita kemudian,

“jika saja kemampuan Agung Sedayu masih utuh, maka batu-batu itupun akan hancur dan tidak akan ada tempat baginya untuk melepaskan diri dari sorot matanya.” “Ya. Ia sudah terlalu letih. Kekuatan ilmunya tidak lagi utuh. Seperti Ajar Tal Pitu yang kehilangan kekuatannya mempertahankan kemampuan yang dilontarkan lewat ilmunya yang dahsyat itu,” sahut Kiai Gringsing. “Ternyata Ajar itu memiliki ilmu yang sangat berbahaya. Ia masih menguasai dengan baik ilmu yang jarang lagi terdapat saat ini.” Kedua orang tua itu mengangguk-angguk. Sebagai orang yang berilmu, maka keduanya mengerti, betapa dahsyatnya ilmu yang dimiliki oleh Ajar Tal Pitu itu. “Ilmunya melampaui permainanku dengan ujud-ujud semu. Ujud-ujud semu itu sekali tidak mempunyai kemampuan wadag. Tetapi ilmu Ajar Tal Pitu itu agaknya dapat menyentuh lawannya. Bahkan dengan senjata sekalipun,“ berkata Ki Waskita kemudian. “Tetapi kelebihan ilmu Ki Waskita, Ki Waskita sempat membuat ujud apapun yang Ki Waskita kehendaki sesuai dengan saat dan peristiwa,“ jawab Kiai Gringsing, lalu. “tetapi tidak demikian dengan ilmu Ajar Tal Pitu. Yang hadir disetiap saat dikehendaki adalah ujud yang ajeg. Ujud yang tidak berubah sama sekali. Namun pada dasarnya tidak ada kelebihan mutlak dari ilmu yang manapun juga.” Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia bergumam, “Benar Kiai. Tidak ada kelebihan mutlak. Yang baik tentu ada juga kekurangannya.” Kedua orang tua itu masih berbincang panjang lebar sambil menunggui Agung Sedayu. Mereka terhenti, ketika mereka mendengar desah perlahan. Agaknya Agung Sedayu telah terbangun dan merasakan betapa sakit tubuhnya. Kiai Gringsing dan Ki Waskita itupun kemudian bangkit dan mendekati pembaringan Agung Sedayu. Mereka melihat wajah anak muda itu sangat pucat. Pada tubuhnya nampak noda-noda biru merah. Agaknya luka-luka dibagian dalam itu semakin nampak. Darah yang mengental dan daging yang bagaikan menjadi lumat. “Kau harus makan,“ berkata Kiai Gringsing, “biarlah seorang cantrik membantumu. Kemudian kau minum obat agar bagian dalam tubuhmu menjadi semakin baik.” Agung Sedayu yang beringsut itu menyeringai. Tubuhnya benar-benar terasa sakit sekali. Namun iapun kemudian mengangguk. Ia sadar, bahwa Kiai Gringsing tahu pasti apakah yang sebaiknya dilakukannya. Seorang cantrik kemudian membantunya makan bubur yang sangat cair. Setitik-setitik bubur yang cair itu diteteskanuya kebibirnya. Betapapun segannya, tetapi Agung Sedayu berusaha untuk dapat menelannya.

Setelah ia berhasil menyerap beberapa tetes bubur cair itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian membantunya minum obat yang telah disiapkannya. Obat yang berwarna hijau kecoklatan. Obat itu terasa pahit sekali dilidah Agung Sedayu. Tetapi ia harus menelannya jika ia ingin lebih cepat sembuh. Demikian ia makan beberapa titik bubur cair dan obat yang diberikan oleh gurunya. badannya terasa sedikit segar. Terasa badannya seolah-olah dirayapi oleh arus yang segar meskipun tidak dapat menyingkirkan sama sekali perasaan pedih dan sakit. Namun dalam pada itu, atas ijin Kiai Gringsing selama usaha penyembuhan itu, Ki Waskita sempat memberikan beberapa petunjuk kepada Agung Sedayu tentang ilmu kebalnya. “Aku tidak mempunyai kesempatan untuk mempelajarinya sebaik kau ngger, tetapi aku dapat memberikan beberapa peringatan yang barangkali bermanfaat bagimu.” Agung Sedayu memandang Ki Waskita dengan kerut dikeningnya. Namun kemudian dengan lemah ia menyahut, “Terima kasih Ki Waskita.” “Adalah bukan seharusnya kita melukai bagian tubuh kita sendiri untuk menjajagi kemungkinan dan mengenal watak ilmu kebal. Tetapi keadaanmu sekarang sudah demikian. Keadaan yang tidak menyenangkan itu akan dapat kau ambil manfaatnya,“ berkata Ki Waskita kemudian. Lalu setelah ia berhenti sejenak, “mungkin kau sedang dicengkam oleh perasaan sakit diseluruh bagian tubuhmu. Namun jika kau dapat mempelajarinya, maka kau akan dapat mengenal watak ilmu itu lebih dalam lagi.” Agung Sedayu menggigit bibirnya. Ia tidak ingin terlalu sering berdesis oleh perasaan sakit. Namun pesan Ki Waskita itu sangat menarik perhatiannya. Ia memang sedang dalam keadaan luka parah. Namun agaknya ia memang dapat mempelajari keadaannya itu. Sampai pada batas yang manakah ia dapat mengetrapkan ilmu kebalnya. Kemudian ia sempat melihat kelemahan-kelemahan yang nampak di saat ia mengalami luka parah di bagian dalam tubuhnya. Sambil menahan sakit Agung Sedayu berusaha untuk mengerti apa yang dikatakan oleh Ki Waskita. Namun hal itu menuntut ketabahan hati dan kesungguhan untuk mengesampingkan rasa sakit. Tetapi ternyata bahwa dalam keadaan yang demikian, telah menyala gejolak didalam jantung Agung Sedayu satu niat yang mantap untuk melakukannya. Karena itu, maka dengan suara yang berat ia berkata, “Aku akan berusaha Ki Waskita. Mudah-mudahan aku dapat melakukannya. meskipun tidak sepenuhnya.”

“Cobalah,” berkata Ki Waskita, “tetapi kau jangan memaksa diri. Jika kau merasa perlu untuk beristirahat, beristirahalah. Keadaanmu akan berlangsung untuk waktu yang cukup panjang, sehingga kau tidak akan tergesa-gesa. Kau dapat mencari keseimbangan dalam usaha penyembuhan dan sekaligus usaha pengenalan atas keadaan yang kau alami. Ingat. Kau tidak menimbulkan keadaan yang parah ini untuk menilai kemampuan dan kemungkinankemungkinan lain dari ilmumu, tetapi sebaliknya, bahwa kau lebih dahulu telah jatuh kedalam keadaan ini. Kau hanya memanfaatkan keadaan yang sudah kau alami bagi satu kepentingan yang bermanfaat bagimu.” “Ya Ki Waskita,“ jawab Agung Sedayu, “aku mengerti.” “Aku akan mencoba membantumu Agung Sedayu,” desis Kiai Gringsing, “mudah-mudahan kau berhasil. Tetapi kau harus selalu ingat pesan Ki Waskita. Kau jangan memaksa diri. Kau harus mengingat keadaan wadagmu. Lakukanlah, tetapi wadagmu menuntut saat-saat untuk beristirahat. Disinilah letaknya keseimbangan yang harus kau ingat.” “Ya guru,“ jawab Agung Sedayu, “aku mengerti.” “Sokurlah,” jawab gurunya, “dengan demikian, yang kau lakukan akan dapat diterima, karena kau sekedar seakan-akan menilai kembali apa yang telah terjadi. Kau tidak melakukan satu kekejaman atas dirimu sendiri bagi kepentingan ilmumu. Tetapi kau berusaha untuk mengenal keadaanmu dalam hubungan dengan ilmumu. Kau mengerti ?” Agung Sedayu megangguk. Sekali lagi ia menjawab, “Aku mengerti guru.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Baiklah. Aku yakin kau mengerti maksudku dan maksud Ki Waskita. Mudah-mudahan akan ada manfaatnya bagimu.” Agung Sedayu memandang gurunya dan Ki Waskita berganti-ganti. Komudian desisnya, “Ya guru. Mudah-mudahan aku dapat melakukannya.” Kiai Gringsmg dan Ki Waskitapun kemudian meninggalkan Agung Sedayu yang sudah merasa tubuhnya agak segar setelah minum obat, meskipun perasaan nyeri dan sakit masih mencengkam tulang sungsum. Sementara itu, Ki Widura diiringi Sabungsari dan Glagah Putih telah kembali pula dari Jati Anom. Mereka sempat bertemu dengan Untara yang telah kembali bersama beberapa orang prajuritnya yang gagal menangkap Ki Partasanjaya. “Untara sudah termasuk bergerak dengan cepat,“ berkata Ki Widura, “tetapi Ki Pringgajaya nampaknya telah berhasil mendahuluinya. Sehingga Untara terlambat datang.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ternyata bahwa Ki Pringgajaya memang seorang yang licin.

Karena itu, maka untuk menghadapinya, diperlukan perhitungan yang cukup cermat. Dalam pada itu, di saat-saat tertentu. Sabungsari dan Glagah Putih sering berada di bilik Agung Sedayu. Keduanya berusaha untuk melayani Agung Sedayu sebaik-baiknya. Namun kadang-kadang mereka merasa aneh, bahwa Agung Sedayu telah minta mereka untuk meninggalkannya sendiri untuk waktu-waktu tertentu. “Mudah-mudahan aku dapat tidur nyenyak,“ berkata Agung Sedayu. Sabungsari dan Glagah Putih tidak berprasangka apapun juga. Meskipun timbul juga pertanyaan, tetapi mereka menganggap bahwa Agung Sedayu benar-benar ingin tidur untuk beristirahat. Kehadiran mereka di bilik itu akan dapat mengganggunya, sehingga ia tidak dapat tidur dengan nyenyak. Namun dalam pada itu, kadang-kadang Agung Sedayu telah memanggil mereka untuk berada didalam bilik itu sekedar berbicara tentang apapun juga yang dapat dipergunakan untuk sekedar mengisi waktu dan sedikit melupakan perasaan sakit yang menggigit. Sebenarnyalah Agung Sedayu berusaha untuk melakukan petunjuk Ki Waskita dan Kiai Gringsing. Ia mencoba mengingat apa yang telah terjadi atasnya. Kemudian iapun mencoba menilai, sampai pada batas manakah ia borhasil mengetrapkan ilmu kebal yang dipelajarinya dari isi kitab Ki Waskita. Ketajaman ingatan Agung Sedayu telah memberikan gambanm kepadanya, seolah-olah ia melihat apa yang telah terjadi pada dirinya sendiri. Namun pada saat-saat ia akan menukik lebih dalam lagi untuk menilai ilmunya, maka rasa-rasanya badannya masih terlalu letih, sehingga keringatnya telah membasahi pakaian dan pembaringannya, sementara rasa nyeri ditubuhnya masih saja selalu menyengatnya. Jika ia sudah merasa keletihan yang sangat, maka seperti pesan gurunya dan Ki Waskita, maka iapun melepaskan usahanya untuk menilai keadaannya dalam hubungannya dengan ilmu kebalnya lebih jauh lagi. Pada saat-saat yang demikian, maka ia harus beristirahat sebaik-baiknya. Meskipun demikian. Agung Sedayu sadar, bahwa penilaiannya kembali atas ilmunya itu, memang sebaiknya dilakukan pada saat tubuhnya masih dicengkam oleh perasaan nyeri dan sakit. Dengan demikian ia akan mendapat petunjuk dan takaran yang tepat yang dapat dipergunakannya untuk menilai ilmunya itu. “Aku tidak akan sembuh dalam satu dua hari,“ desis Agung Sedayu. “sehingga dengan demikian ia tidak tergesa-gesa sehingga kehilangan waktu untuk beristirahat sebaik-baiknya.” Namun dalam pada itu. pada saat-saat Agung Sedayu mengalami masa penyembuhan. Kiai Gringsing kadang-kadang telah digelitik oleh perkembangan keadaan. Pada saat-saat tertentu, jika ia berada seorang diri didalam sanggarnya, kadang-kadang ia sempat melihat kepada dirinya sendiri. Kepada orang-orang disekitarnya. dan kepada lingkungan luas yang sedang bergejolak semakin dahsyat. “Keadaan itu tercermin dalam hubungan antara Mataram dan Pajang sekarang ini,” berkata Kiai

Gringsing kepada diri sendiri, “rasa-rasanya udara diatas Pajang membujur sampai ke Mataram menjadi semakin panas. Air di sungai-sungai rasa-rasanya telah mendidih dan tanahpun bagaikan menjadi retak-retak dan menyemburkan api yang menyala.” Kadang-kadang terasa jantung orang tua itupun menjadi panas. Tetapi ia masih tetap berusaha untuk mengekang diri. Membatasi tingkah lakunya yang sebagaimana dikenal orang pada saat itu. Namun kadang-kadang tanpa sesadarnya terlonjak pula sentuhan dihatinya orang-orang itu mulai bermunculan. Ilmu yang sudah mengendap berpuluh tahun tiba-tiba telah muncul kembali. Kemampuan yang melampaui kemampuan yang sudah dikagumi. Kesaktian yang mengatasi kesaktian yang pilih tanding. Yang dianggap tidak terkalahkan telah dikalahkan. Tetapi Kiai Gringsing itu menggelengkan kepalanya. Jika sekali dirabanya pergelangan tangannya, maka iapun selalu berusaha untuk mengalihkan pikirannya kepada yang lain. “Agung Sedayu harus segera sembuh,” desisnya, “apakah pantas orang-orang tua berlomba menyombongkan diri dalam ungkapan ilmu yang paling aneh sekalipun. Biarlah yang muda bangkit menyusun masa depan yang jauh lebih baik.” Tetapi jauh didasar hatinya terdengar suara lamat-lamat, “Tetapi jika keadaan telah menyudutkan, apaboleh buat.” Namun dalam pada itu, yang kemudian nampak adalah usaha yang sungguh-sungguh dari Kiai Gringsing untuk mengobati Agung Sedayu. Namun sementara itu. Agung Sedayupun telah mempergunakan waktu dengan sungguh-sungguh pula menjelang kesembuhannya, agar ia dapat mengambil manfaat dari keadaannya. Sementara Atung Sedayu mendapat perawatan dari Kiai Gringsing, maka Ajar Tal Pitupun telah mendapat perawatan pula. Ki Pringgajaya telah mengirimkan seorang yang memiliki kemampuan untuk mengobati luka didalam tubuh Ajar Tal Pitu. Sehingga dengan demikian, maka keadaannyapun berangsur sembuh. Namun keduanya bagaikan sedang berpacu. Ajar Tal Pitu berusaha untuk secepatnya sembuh. Rumah itu bagaikan neraka baginya. Karena iapun telah dibayangi oleh kegelisahan, bahwa setiap saat prajurit Pajang akan datang menyergapnya. Mereka tidak mengenal tempat ini orang yang tinggal dirumah itu selalu berusaha untuk menenangkannya. “Mereka bukan orang-orang bodoh,” jawab Ajar Tal Pitu. “Tetapi tidak banyak orang yang mengenal tempat ini.

Hanya beberapa orang kepercayaan Ki Pringgajaya saja,“ jawab penghuni rumah itu. “Tetapi aku lebih senang cepat sembuh daripada harus tinggal disini,“ berkata Ajar Tal Pitu itu pula, “kecuali aku akan segera bebas dari kecemasan untuk ditangkap oleh prajurit-prajurit Pajang, akupun segera dapat mempersiapkan diri. Bahwa anak ingusan itu sudah dapat mengusir aku dari medan, adalah dendam yang tiada taranya dalam hidupku.” “Masih cukup waktu. Kau tidak perlu tergesa-gesa.” Ajar Tal Pitu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia selalu bergumam, “Tumenggung Prabadaru ternyata tidak cermat mengamati lawan yang akan dihadapkan kepada murid-muridku. Aku sendiri tidak mampu berbuat banyak dimedan itu. Apalagi murid-muridku yang nampaknya mengalami nasib sangat buruk.” “Mereka masih tetap hidup,“ berkata penghuni rumah itu, “kawanku yang berhasil mendengar keterangan para prajurit mengatakan bahwa tiga orang murid Tal Pitu tertangkap hidup.” “Sulit untuk membedakan antara mati dan tertangkap. Tetapi memang masih ada kemungkinan betapapun kecilnya untuk mengambil murid-muridku dari tangan orang-orang Pajang,” desis Ajar Tal Pitu itu. Penghuni rumah itu mengangguk-angguk. Tetapi sebenarnyalah, sulit sekali bagi Ajar Tal Pitu untuk membebaskan murid-muridnya yang tertangkap. Kecuali dalam keadaan yang khusus. Namun selama mereka masih hidup, kemungkinan itu memang masih ada. Dengan usaha yang sungguh-sungguh dan gelora didalam hati, Ajar Tal Pitu yang seakan-akan tidak terkendali maka nampaknya keadaan Ajar Tal Pilu itu dengan cepat berangsur baik. Dalam waktu beberapa hari saja ia sudah dapat berjalan-jalan dikebun belakang tempat ia dirawat. Bahkan ia telah mulai mencoba menggerakkan anggauta badannya. Dimalam hari ia sudah mulai meloncat-loncat untuk memulihkan keadaannya. Sedikit demi sedikit. Mula-mula sekedarnya. Semakin lama menjadi semakin banyak dan semakin berat. “Aku sudah hampir pulih kembali,“ berkata Ajar Tal Pitu itu. Orang yang tinggal dirumah itupun melihat, seakan-akan Ajar Tal Pitu telah utuh kembali. Meskipun demikian, menurut Ajar Tal Putu itu sendiri, masih ada yang belum pulih seperti sediakala. Ia masih belum dapat memu.satkan kemampuannya seutuhnya, sehingga ilmunya yang paling dahsyat dapat

terpancar sepenuhnya. Namun perlahan-lahan kemampuannya itupun telah berkembang disetiap hari sejalan dengan perkembangan keadaannya yang menjadi semakin baik. Agak berbeda dengan Ajar Tal Pitu, Agung Sedayu tidak terlalu tergesa-gesa untuk sembuh. Meskipun keadaannya juga berangsur baik, tetapi Agung Sedayu justru mengambil manfaat dari keadaannya. Pada saat-saat tertentu ia sempat menilai keadaannya dalam hubungannya dengan pengetrapan ilmunya. Meskipun ia tidak berada di Sanggar, tetapi ia mengambil kesempatan untuk berada didalam biliknya seorang diri. Ia masih tetap pada alasan untuk dapat beristirahat sebaik-baiknya, sehingga tidak seorangpun yang berada didalam biliknya. Pada saat yang demikian, Agung Sedayu sempat menilai dan membuat pertimbangan tentang ilmunya. Seolah-olah ia mendapat bahan banding atas usahanya membangunkan ilmu kebal didalam dirinya dengan kenyataan yang dialaminya. Pada setiap kesempatan yang demikian. Agung Sedayu mencoba untuk menelusuri kembali, saat-saat ia mulai mempelajar ilmu itu. Kemudian perkembangannya setapak demi setapak. Sehingga akhirnya sampai pada suatu tataran dimana Ajar Tal Pitu masih berhasil meremukkan bagian dalam tubuhnya. Pengamatan dan penilaian kembali, serta keadaan tubuhnya yang bagaikan lumat itu, telah menuntun Agung Sedayu menemukan jalan yang tepat meningkatkan ilmunya lebih lanjut. Khususnya ilmu kebalnya. Disaat-saat ia merenung. maka rasa-rasanya ia menemukan lapisan-lapisan yang akan dapat didakinya sehingga tataran yang jauh lebih baik dari tataran yang telah diinjaknya. Ketika Agung Sedayu sudah dapat bangkit dari pembaringannya dan berjalan-jalan satu dua langkah di halaman, maka mulailah ia memasuki sanggarnya. Justru ketika tubuhnya masih belum sembuh benar, mulailah ia menempa diri. Dengan sentuhan-sentuhan lemah pada bagian tubuhnya yang bagaikan lumat didalam. Agung Sedayu mencari kelemahan-kelemahan yang masih ada padanya dan berusaha menemukan lambaran yang dapat menutup kelemahannya itu sesuai dengan ilmu yang dipelajarinya, seperti yang pernah dibacanya dalam kitab yang dipinjamkan oleh Ki Waskita kepadanya, dan isinya terpahat pada dinding jantungnya. Karena itulah, maka keadaan Agung Sedayu agak berbeda dengan keadaan Ajar Tal Pitu. Ketika Ajar Tal Pilu telah menemukan kekuatannya kembali sehingga hampir pulih seperti sedia kala. Agung Sedayu masih nampak lemah dan merasa sakit dan pedih pada bagian dalam tubuhnya meskipun sudah berangsur berkurang. Namun dengan demikian, sejalan dengan kesembuhannya yang lambat, maka ilmu kebal Agung Sedayu pun meningkat pula semakin mapan, hingga ilmunya akan benar-benar mampu melindungi dirinya terhadap gangguan atas tubuhnya. Namun dalam pada itu, ia selalu menyadari seperli yang dikatakan oleh gurunya, bahwa tidak ada kelebihan mutlak pada siapapun. Betapapun 'tnggi ilmu seseorang, namun pada suatu saat, ia akan

terpaksa melihat satu kenyataan, bahwa ada kemampuan lain yang dapat melampauinya. Lebih dari itu, apa yang dimiliki itu adalah satu kurnia sehingga penggunaannya harus dikembalikan bagi satu kepentingan yang sejalan dengan kurnia itu sendiri. Sementara itu, ternyata Untara tidak menemukan apa-apa dari orang-orang yang dapat ditangkapnya. Orang-orang itu hanya dapat menyebut Ki Partasanjaya dan Ki Tumenggung Prabadaru. Selebihnya tidak. Namun dengan demikian, Untara sudah mempunyai bahan cukup untuk menilai keadaan Tumenggung Prabadaru. Untara sendiri masih belum tahu dengan pasti, apakah yang sebenarnya bergejolak di Pajang, ia menyadari bahwa ada satu kekuatan yang mempunyai sikap dan pendirian tersendiri. Namun iapun masih belum dapat menilai dalam keseluruhan yang menyangkut kekuatan yang samar itu. Pajang sendiri yang mulai rapuh, dan Mataram yang baru tumbuh. Karena itu. Untara menyadari, bahwa ia harus melangkah dengan hati-hati. Iapun mengerti, bahwa diantara prajurit-prajurit Pajang yang berada di Jati Anom itupun harus dimulainya dengan cermat. Sementara itu, keadaan Ajar Tal Pitu telah sembuh sama sekali. Kekuatannya telah pulih dan dendamnyapun menjadi semakin membara, karena itu, maka ia bertekad untuk dapat melepaskan dendamnya terhadap anak muda yang baginya merupakan sasaran dendam yang tidak akan dapat dilupakannya. “Aku harus melakukan tempaan diri itu,“ berkata Ajar Tal Pitu didalam hatinya, “ilmuku harus menjadi sempurna, dan aku akan melumatkan anak muda itu menjadi seonggok debu yang tidak berarti lagi.” Namun Ajar Tal Pitupun sadar sepenuhnya, kepentingannya dapat sejalan dengan kepentingan Ki Pringgajaya. Dan ia tidak mau Ki Pringgajaya justru mengambil keuntungan dari dendamnya tanpa imbalan timbal balik. Karena itu. maka Ajar Tal Pilu itupun telah bersedia berbicara dengan Ki Pringgajaya dan Ki Tumenggung Prabadaru. Bahkan berkepentingan dengan Tumenggung yang dianggapnya telah, menjerumuskan murid-muridnya kedalam kesulitan. “Aku sendiri tidak dapat berbuat apa-apa pada waktu itu,” berkata Ajar Tal Pitu itu didalam hatinya. Ki Pringgajaya yang memenuhi pesannya sebelum ia meninggalkan Ajar Tal Pitu itu, memang telah datang menemuinya. Mereka mulai membicarakan kepentingan bersama itu. Mereka masing-masing mulai membicarakan imbalan yang paling pantas atas pertimbangan keuntungan pada semua pihak. “Harus diperhitungkan ketiga muridku yang tertangkap atau terbunuh di pertempuran itu,” berkata Ajar Tal Pitu, “jika tidak, aku akan menemui Ki Tumenggung sendiri untuk mengajukan persoalanku kepadanya atas ketiga anak anak itu.”

“Kita akan membicarakannya,“ berkala Ki Pringgajaya. Tetapi pembicaraan itu sendiri tidak dapat diselesaikan dalam sebuah pembicaraan, karena persoalannya menyangkut pihak lain yang ikut menentukan. Karena itu, Ki Pringgajaya minta agar Ajar Tal Pitu jangan meninggalkan tempat itu. “Kau kira aku tidak mempunyai kaki yang dapat aku pergunakan untuk menjelajahi seluruh wilayah Pajang. Kenapa aku harus tinggal disini ? Apakah kau kira jika aku pergi, aku tidak akan dapat kembali lagi kemari pada hari-hari yang ditentukan, atau bertemu ditempat lain yang lebih baik?” Ki Pringgajaya tersenyum. Katanya, “Terserah kepadamu. Tiga hari lagi aku akan datang kemari dengan membawa keterangan dari Ki Tumenggung.” “Tiga hari lagi, saat matahari terbenam aku akan datang,” sahut Ajar Tal Pilu. Lalu. “Setelah itu, aku memerlukan waktu ampat puluh hari ampat puluh malam untuk menempa diri. Sebelum aku bertemu dengan anak ingusan yang mencoreng arang dikeningku itu, aku masih merasa segan untuk mencapai kesempurnaan ilmu karena syaratnya cukup berat. Ampat puluh hari ampat puluh malam aku harus berpuasa tidak makan beras biji-bijian yang lain, ubiubian apapun juga dan garam dalam bentuk apapun. Kemudian tiga hari terakhir aku harus pati geni. Baru kemudian, ilmuku akan menjadi sempurna, dan tidak seorangpun akan dapat mengalahkan aku dalam perang tanding.” “Juga Agung Sedayu ?“ bertanya Ki Pringgajaya. “Tentu,“ jawab Ajar Tal Pitu dengan serta merta, “pertempuran di sebelah Lemah Cengkar itupun telah menyatakan, bahwa ilmuku lebih baik dari ilmunya. Bertanyalah kepada orang-orangmu yang sempat berada di sekitar padepokan kecil itu. apalagi bertemu dengan cantrik padepokan itu.” “Untuk apa ?“ bertanya Ki Pringgajaya. “Agung Sedayu sampai saat ini masih belum sembuh. Bahkan ia masih dalam keadaan parah. Bukankah dengan demikian terbukti bahwa keadaanku lebih baik dari keadaan Agung Sedayu pada saat pertempuran itu berlangsung,“ desis Ajar Tal Pilu.

“Dari mana kau tahu ?“ bertanya Ki Pringgajaya itu pula. “Aku sudah mengelilingi padepokan kecil itu dan bertemu dengan cantrik yang pergi kesawah. Aku mendengar dari cantrik itu, apa yang telah terjadi atas Agung Sedayu,“ jawab Ajar Tal Pitu. “Jika demikian, kenapa kau saat itu melarikan diri dari arena dan bahkan aku ketemukan kau sudah pingsan ?“ bertanya Ki Pringgajaya. Wajah Ajar Tal Pitu itu menegang sejenak, lalu katanya, “Aku salah duga atas anak muda itu. Aku kira ia masih cukup kuat untuk melawanku. Juga karena pengaruh keadaan pada waktu itu, sehingga aku kurang dapat mengamati keadaan lawanku yang sebenarnya. Karena itu aku meninggalkan arena. Sementara air hujan yang tercurah dari langit mempersulit usahaku untuk memperbaiki pernafasanku sehingga aku justru menjadi pingsan. Tetapi apa kau kira Agung Sedayu tidak pingsan dan bahkan hampir mati. Gurunya adalah seorang yang tiada bandingnya dalam ilmu obat-obatan. Dibawah perawatannya, anak itu masih memerlukan waktu yang lebih lama dari waktu yang diperlukan untuk menyembuhkan lukalukaku.” Ki Pringgajaya mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Baiklah. Tiga hari lagi setelah matahari terbenam.” Aku tidak akan dapat bertahan dirumah ini. Aku akan kembali kepadepokanku. Aku harus mempersiapkan diri menjelang saat-saat aku berusaha mencapai tingkat ilmuku yang sempurna. Ki Pringgajaya tidak berkeberatan apapun yang akan dilakukan oleh Ajar Tal Pitu. Tetapi keduanya sudah berjanji untuk bertemu dalam tiga hari lagi. Keduanya akan membicarakan, persetujuan yang paling menguntungkan. Ki Pringgajaya memerlukan bantuan Ajar Tal Pitu untuk mengurangi hambatan jalan menuju satu masa yang dicita-citakan yang sudah tentu tanpa Pajang dan Mataram, sementara Ajar Tal Pitu memang ingin melepaskan dendamnya yang membara didalam dadanya. Tetapi justru ia sadar, bahwa Ki Pringgajaya memerlukannya. Namun dalam pada itu, ternyata Ki Pringgajaya ingin juga membuktikan, apakah yang dikatakan oleh Ajar Tal Pilu itu benar, bahwa Agung Sedayu masih belum sembuh benar. Untuk itu Ki Pringgajaya telah mengirimkan dua orang dengan sandi untuk berbicara dengan cantrik dari padepokan itu jika mereka pergi ke sawah. Tetapi dengan pesan agar mereka tidak menimbulkan kecurigaan. Ternyata yang dikatakan oleh Ajar Tal Pilu itu benar. Pada saat Ajar Tal Pilu sudah pulih seperti sedia kala, ternyata bahwa Agung Sedayu masih belum sembuh.

Dari para cantrik yang ditemuinya disawah. maka para pengikut Ki Pringgajaya itu mengetahui bahwa meskipun Agung Sedayu sudah dapat bangkit dari pembaringannya. tetapi masih belum sembuh dari luka-lukanya. Ia masih terlalu lemah dan kadang kadang bahkan nampak letih sekali. “Apakah gurunya tidak berusaha untuk menyembuhkannya dengan cepat ? “ bertanya orang itu. “Tentu. Kiai Gringsing sudah memberikan obat apa saja. Bahkan dengan pengobatan khusus. Tetapi perkembangan kesehatannya sangat lambat,” jawab cantrik itu. “Kasihan,” desis pengikut Ki Pringgajaya. “Siapa kau ?“ bertanya cantrik itu. “Aku. Kau belum pernah melihat aku ? “ pengikut Ki Pringgajaya itu ganti bertanya. Cantrik itu menggeleng. Jawabnya, “Belum.” “Aku anak Jati Anom.” jawab pengikut Ki Pringgajaya, “kita sering berpapasan. Jika kau pergi kesawah dan kebetulan aku pulang dari sawah.” “Dimana letak sawahmu ? Begitu jauh ?“ bertanya cantrik itu. “Aku juga harus mengerjakan sawah pamanku di paling ujung dari bulak ini. Bukankah sawah padepokanmu terletak diseberang parit dari petak padas yang ditumbuhi perdu itu.” sahut pengikut Ki Pringgajaya. Cantrik itu mengangguk-angguk sambil menjawab, “Disanalah kami diperbolehkan membuka hutan.” “Ya. Tetapi sekarang daerah itu nampak subur. Tidak bedanya dengan sawah pamanku yang aku garap itu. Nampaknya semula orang mengira bahwa diseberang petak padas itu, tidak akan dapat ditemukan tanah yang subur. Dikiranya tanah itu juga berpadas dengan gerumbul-gerumbul yang jarang. Tetapi kalian berhasil menggarapnya menjadi tanah pertanian yang subur.” “Kami mengolahnya dengan sungguh-sungguh,“ jawab cantrik itu. Namun cantrik itu memang tidak curiga sama sekali, bahwa orang-orang itu adalah para pengikut Ki

Pringgajaya yang sekedar ingin mengetahui keadaan Agung Sedayu. Dengan demikian cantrik itupun segera melupakannya ketika orangorang itu telah meninggalkannya. Sebenarnyalah bahwa keadaan Agung Sedayu memang masih belum pulih seperti sedia kala. Ia masih nampak lemah dan kadang-kadang, bahkan ia menjadi letih seperti orang yang kehabisan tenaga. Seolah-olah luka didalam tubuhnya itu menjadi bertambah parah. Namun kadang-kadang ia nampak lebih baik sehingga ia dapat berjalan-jalan di kebun dibelakang padepokannya bersama Sabungsari dan Glagah Putih. Namun seperti para cantrik itu tidak menyadari bahwa ia telah memberikan keterangan kepada orangorang yang justru lawan Agung Sedayu, maka merekapun juga tidak mengerti, bahwa selama itu Agung Sedayu justru telah memanfaatkan keadaannya. Meskipun tidak ada kesengajaan untuk memperlambat kesembuhannya, tetapi karena pada saat-saat tertentu ia harus menempa diri sehingga menuntutnya mengerahkan tenaganya yang masih belum pulih benar itu, maka kesembuhannyapun menjadi lambat. Dan itupun telah disadarinya, seperti juga disadari oleh Kiai Gringsing dan Ki Waskita. Namun Kiai Gringsing dan Ki Waskitapun mengetahui, jika nanti Agung Sedayu sembuh, maka ia tentu sudah memiliki ilmu kebal yang mapan. Meskipun ilmu itu tidak setingkat dengan daya tahan ilmu yang pernah dimiliki oleh Sultan Hadiwijaya di Pajang dan yang mungkin juga sudah dimiliki meskipun belum sempurna oleh Raden Sutawijaya. yaitu ilmu Tameng Waja, namun ilmu kebal yang dipelajari Agung Sedayu dan kemudian dimatangkannya justru pada saat-saat tubuhnya terluka didalam itu. akan bermanfaat baginya. Berita yang diterima oleh para pengikut Ki Pringgajaya itu memang menggembirakan bagi Ki Pringgajaya. Dengan demikian iapun sependapat bahwa ilmu Ajar Tal Pitu masih selapis lebih tinggi dari ilmu yang dimiliki Agung Sedayu. Jika kemudian Ajar Tal Pitu masih akan mesu diri. dengan berpuasa ampat puluh hari ampat puluh malam, dan kemudian pati geni selama tiga hari tiga malam, maka ilmunya yang dahsyat itu tentu akan mencapai tingkat sempurna. Dengan demikian maka Agung Sedayu tentu tidak akan berhasil melawannya. Yang menjadi persoalan kemudian, apakah Ajar Tal Pitu akan berhasil melibatkan Agung Sedayu kedalam perang tanding?. Namun dalam pada itu. Kiai Gringsingpun tidak dapat mengabaikan peredaran waktu yang berjalan demikian cepatnya. Seolah-olah orang-orang padepokan kecil di Jati Anom itu telah mengikat satu janji dengan Ki Gede Menoreh, bahwa pada suatu saat. Agung Sedayu akan pergi ke Menoreh menjelang hari-hari yang sudah dibicarakan dengan Ki Demang Sangkal Putung. Dengan demikian, maka segalanya harus cepat diselesaikan. Demikian pula peningkatan ilmu Agung Sedayu pada saat tubuhnya terluka parah. Karena itu, maka Kiai Gringsingpun telah berusaha mempercepat usaha Agung Sedayu itu agar rencana yang lain tidak tertunda.

Sementara itu. Ajar Tal Pitu lelah mengadakan pembicaraan-pembicaraan dengan Ki Pringgajaya sebagai kelanjutan pembicaraan yang pernah mereka lakukan. Atas persetujuan Tumenggung Prabadaru. maka Ki Pringgajaya yang kemudian menyebut dirinya Ki Partasanjaya itu telah membuat perjanjian-perjanjian baru dengan Ajar Tal Pitu. Jika semula hanya tiga orang muridnya sajalah yang diserahkan kepada Ki Tumenggung, namun yang tidak berhasil melakukan sesuatu, maka kemudian Ajar Tal Pitu sendirilah yang mengikat perjanjian itu. “Sudah aku katakan,“ berkata Ajar Tal Pitu, “aku berbicara khusus mengenai Agung Sedayu. Aku tidak peduli orangorang lain. Karena itu kesempatan yang aku cari adalah kesempatan untuk berperang tanding.” “Terserah kepadamu,“ jawab Ki Pringgajaya, “harga yang kita bicarakan juga hanya harga Agung Sedayu, meskipun kami tahu, seandainya kami pura-pura tidak mengetahui tentang hubunganmu dengan dendammu, maka kami tidak akan terlibat.” “Aku tidak akan berbuat apa-apa,“ desis Ajar Tal Pitu. “Kamipun dapat bersikap serupa. Apakah kau akan membalas dendam atau tidak bukan urusanku,“ jawab Ki Pringgajaya. “Kau licik,“ geram Ajar Tal Pitu, “tetapi baiklah. Aku akan membunuhnya dengan imbalan seperti yang kau katakan. Tetapi bagiku imbalan yang lebih berharga adalah satu kepuasan untuk dapat membunuh orang yang pernah menggagalkan usahaku. Yang pernah menyelamatkan diri dari tanganku.” Ki Pringgajaya tersenyum. Katanya, “Jangan kau sebut aku licik. Kaulah yang terlalu tamak. Kau ingin membalas dendam, orang lain kau paksa untuk memberikan upah untuk kerjamu itu.” “Persetan,“ geram Ajar Tal Pitu, “bukankah ini satu persetujuan.” “Ya. Satu persetujuan yang mengikat kita,“ jawab Ki Pringgajaya. “Aku akan melakukan. Tetapi aku harus meyakinkan diriku, bahwa aku akan berhasil. Aku memerlukan waktu ampat puluh hari ampat puluh malam dan tiga hari tiga malam untuk pati geni,“ berkata Ajar Tal Pitu. “Terserah,“ jawab Ki Pringgajaya, “tetapi jika sebelumnya ada orang lain yang berhasil melakukannya, jangan menyesal bahwa imbalan yang aku janjikan akan jatuh ketangan orang lain, dan sementara itu. dendammu akan tetap membara di jantungmu.” “Tidak ada orang yang dapat melakukannya,“ jawab Ajar Tal Pitu. “Apakah kau yakin bahwa aku tidak dapat melakukannya jika aku mendapat kesempatan untuk berperang tanding ?“

bertanya Ki Pringgajaya. “Kau tidak mampu. Jika kau mampu, kau sudah melakukannya,” jawab Ajar Tal Pitu. “Aku mempunyai persoalan tersendiri dengan Untara. Ia tentu akan menangkap aku tidak dalam kesempatan perang tanding, ia akan mengerahkan para pengawalnya, karena aku dianggapnya berkhianat sehingga aku tidak akan mendapat kesempatan untuk berperang tanding itu.” Ki Pringgajaya menjelaskan. “Aku tidak peduli. Tetapi apapun alasannya, kau akan dapat membunuhnya. Dan akulah yang akan melakukannya setelah satu selengah bulan mendatang,“ berkata Ajar Tal Pitu. “Sudahlah. Terserah kepadamu,“ jawab Ki Pringgajaya, “lakukan, dan kemudian hubungi aku ditempat ini. Aku akan selalu ingat waktu di sekitar satu setengah bulan itu.” Ajar Tal Pitu yang kemudian meninggalkan Ki Pringgajaya itu berjanji, akan melakukan seperti apa yang dikatakannya. Ia yakin, setelah ia melakukan kewajiban terakhir untuk menyempurnakan ilmunya, maka ia pasti akan dapat membunuh Agung Sedayu. “Seandainya aku bukan seorang pemalas, dan sudah melakukannya sebelum aku bertemu dengan akan iblis itu,“ geram Ajar Tal Pitu, “aku tidak akan menderita malu, bahwa aku telah gagal membunuh anak ingusan itu. Dengan syarat itu, maka ilmuku akan tidak terlawan oleh siapapun.” Namun dalam pada itu, Ajar Tal Pilu masih juga berusaha bertemu dengan seorang cantrik dari padepokan Kiai Gringsing. Pada saat-saat musim matun, maka ia berharap ada satu dua orang cantrik yang bekerja disawah. Seperti sawah-sawah yang lain, rumput yang tumbuh diantara batang padi, harus dicabut agar padi yang tumbuh tidak menjadi terdesak oleh batang-batang rumput liar. Ternyata Ajar Tal Pitu berhasil bertemu dengan cantrik seperti yang diharapkan. Sambil berjongkok dipematang, ia menunggui seorang cantrik yang sedang mencabuti rumput dengan tekunnya. “Jadi Agung Sedayu masih belum sembuh sampai hari ini ?“ bertanya Ajar Tal Pitu. “Ya. Nampaknya gurunya menjadi gelisah. Kiai Gringsing sudah berusaha dengan pengobatan khusus. Kadang-kadang keduanya berada disanggar untuk waktu yang lama. Namun justru Agung Sedayu nampaknya masih saja letih dan payah,“ jawab cantrik itu. “Kasihan,“ desis Ajar Tal Pitu, “ kalau demikian, aku tidak ingin mengganggunya. Mudah-mudahan ia lekas sembuh.

Lain kali sajalah aku menemuinya.” “Siapa kau ?“ bertanya cantrik itu. “Bukan apa-apa. Aku kawannya meskipun ia jauh lebih muda dari aku. Aku dan Agung Sedayu mempunyai kegemaran yang sama,” jawab orang itu, “kadang-kadang kami asyik berbantah dengan tidak ingat waktu lagi tentang beberapa jenis pusaka. Aku seorang penggemar wesi aji.” Seperti yang telah terjadi, cantrik itupun tidak banyak menaruh minat terhadap orang itu. Demikian orang itu pergi, maka cantrik itupun sudah melupakannya. Namun dengan demikian Ajar Tal Pitu itupun semakin yakin akan dirinya. Setelah ia mesu diri ampat puluh hari ampat puluh malam dan kemudian pati-geni tiga hari tiga malam, maka ia dengan mudah akan dapat mengalahkan Agung Sedayu. Tetapi sementara itu Agung Sedayupun telah sampai pada batas-batas pengamatannya. Atas bantuan gurunya dan Ki Waskita, ia dapat mengambil beberapa kesimpulan, sehingga iapun dapat menentukan langkah-langkah pemantapan ilmunya, dengan dasar-dasar tuntunan dari isi kitab yang pernah dibacanya. Karena itulah, ketika keadaannya sudah menjadi semakin baik, dan luka-luka didalam tubuhnya telah sembuh, maka mulailah ia dengan sungguh-sungguh melakukan pembajaan diri didalam sanggarnya. “Aku akan memerlukan beberapa waktu lagi agar aku benar-benar menjadi sembuh,“ berkata Agung Sedayu kepada Glagah Putih yang juga menjadi gelisah karena ia harus berlatih tanpa Agung Sedayu untuk waktu yang baginya sudah terlalu lama. Untunglah Sabungsari diluar tugas tugasnya sebagai seorang prajurit mendapat ijin khusus untuk berada diluar baraknya dan tinggal di padepokan itu. Lalu berkata Agung Sedayu pula, “Untuk mempercepat penyembuhan itu. maka aku memerlukan waktu-waktu khusus untuk berada di sanggar.” Glagah Pulih mengangguk kecil. Katanya, “Cepatlah sembuh kakang. Semua orang ilmunya meningkat, sementara aku tetap berhenti pada satu tataran yang masih terlalu rendah.” “Tidak,“ jawab Agung Sedayu, “tidak terlalu rendah sesuai dengan umurmu.” “Jangan bergurau. Ketika kakang Agung Sedayu seumurku, tentu kakang sudah mempunyai dasar ilmu yang matang.” desis Glagah Putih. “Seumurmu aku masih selalu takut lewat tikungan randu alas yang menurut ceriteranya ada gendruwo bermata satu itu. dan apalagi ke Lemah Cengkar yang ada harimau putihnya,“

jawab Agung Sedayu. Lalu katanya, “sehingga karena itu, aku tidak pernah berani ke Sangkal Putung sendiri meskipun paman Widura ada di Sangkal Putung waktu itu. Bukan karena pasukan Tohpati yang kurang aku mengerti, tetapi karena aku tidak berani melalui jalan yang ditikungannya ada sebatang randu alas dengan gendruwo bermata satu. Juga tidak tterani lewat Macanan.” “Bohong,“ desis Glagah Putih, “kakang hanya membesarkan hatiku.” “Bertanyalah kepada paman Widura. Paman tahu pasti keadaanku waktu itu,” jawab Agung Sedayu, “ketika kakang Untara terluka parah di jalan, maka ia memaksa aku untuk pergi ke Sangkal Putung di malam hari dengan cara yang aneh. Ia mengancam akan membunuhku jika aku tidak mau. Ternyata ketakutan yang sangat itu telah mendesak ketakutanku terhadap gendruwo bermata satu.” Glagah Pulih tertawa. Sabungsari yang mendengar ceritera itu tertawa juga. Tetapi Glagah Putih berkata, “Kakang selalu bergurau jika aku bersungguh-sungguh menuntut untuk mendapatkan waktu.” Agung Sedayupun tertawa. Katanya, “Sebentar lagi aku akan sembuh sama sekali. Kita akan mulai dengan latihanlatihan seperti sebelum aku terluka.” “Kapan kakang pergi ke Tanah Perdikan Menoreh ?“ bertanya Glagali Putih. “Masih lama. Setelah aku sembuh sama sekali,“ jawab Agung Sedayu. “Waktunya tinggal sedikit sebelum kakang pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, sementara aku belum sempat berbuat apa-apa,“ desis Glagah Putih. “Percayalah. Masih ada waktu,“ jawab Agung Sedayu. Glagah Putih tidak dapat memaksa. Ia harus berlatih sendiri bersama Sabungsari, atau bersama ayahnya. Ternyata bahwa sejak hari-hari itu. Agung Sedayu justru lebih banyak berada didalam sanggar. Kadang-kadang ia sendiri, tetapi kadang-kadang ia bersama dengan Kiai Gringsing dan Ki Waskita. Namun Glagah Putih menjadi berdebar-debar, ketika sejak ia bangun di satu pagi ia tidak melihat Agung Sedayu. Dipembaringannya tidak ada dan di pakiwan juga tidak ada. “Ia sudah berada di sanggar,“ berkata Kiai Gringsing. Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun iapun hanya mengangguk-angguk kecil. Ia sadar, bahwa Agung Sedayu sedang berusaha dengan caranya untuk menyembuhkan luka-lukanya. Tetapi Glagah Putih menjadi berdebar-debar, ketika matahari mulai condong. Ternyata Agung Sedayu

masih belum keluar dari sanggarnya. Bahkan sampai saatnya matahari terbenam. Dengan gelisah ia menemui Kiai Gringsing dan Ki Waskita untuk menanyakan, kenapa Agung Sedayu tidak keluar dari sanggarnya setelah sehari penuh ia berada didalam. “Ia berada pada saat-saat terakhir dari usahanya untuk menyembuhkan dirinya sendiri,“ berkata Kiai Gringsing, “mungkin ia akan berada di sanggarnya satu hari satu malam.” “Satu hari satu malam,“ bertanya Glagah Putih dengan heran. “Ya satu hari satu malam,“ jawab Kiai Gringsing. “Tidak makan dan tidak minum ?“ bertanya Glagah Putih pula. “Ya. Tidak makan dan tidak minum,“ jawab Kiai Gringsing, “bukan baru hari ini. Apakah kau melihat sejak beberapa hari yang lalu, kakangmu Agung Sedayu makan ?” “Ya,“ Glagah Putih mengerutkan keningnya, “kakang Sedayu masih belum mau makan.” Kiai Gringsing tidak bertanya lebih lanjut. Sebenarnyalah bahwa sudah sejak beberapa hari Agung Sedayu mengurangi makan dan minum sesuai dengan petunjuk yang didapatkannya dari isi kitab Ki Waskita. Namun ia mulai makan empon-empon dan dedaunan. Pada hari yang terakhir ia berada didalam sanggar tanpa makan dan tanpa minum sama sekali. Dipusatkannya segenap nalar budinya dalam usahanya untuk meningkatkan ilmunya, dengan sepenuh kesadaran bahwa apapun tidak ada yang dapat sempurna. Meskipun demikian, dengan kesungguhan hati Agung Sedayu menghadapkan permohonannya kepada Sumber dari segala sumber, untuk memohon perlindungan dalam ujud ilmu yang dapat membuatnya kebal. Namun dengan sadar, bahwa yang akan dimiliki itu bukannya satu sifat mutlak. Satu hari satu malam Agung Sedayu berada didalam sanggar. Dengan gelisah semua orang menunggunya. Terutama Glagah Putih. Hampir semalam suntuk ia tidak dapat memejamkan matanya. Sekali-sekali ia justru keluar dari biliknya, turun kelongkangan. Namun kemudian iapun kembali kedalam biliknya lagi. Glagah Putih mendengar dengan terang, saat-saat ayam jantan berkokok untuk yang pertama, kedua dan menjelang dini hari. Kemudian, ia sama sekali tidak tahan untuk tetap berada didalam biliknya. Menjelang matahari terbit, ia sudah berada di halaman samping, memandang seakan-akan tanpa berkedip kearah pintu sanggar yang tertutup.

Dalam pada itu, didalam sanggar padepokan kecil itu. Agung Sedayu masih duduk diatas sebuah batu disudut. Setelah sehari semalam ia duduk tanpa makan dan minum, terasa seolah-olah isi tubuhnya bergejolak. Darahnya seakan-akan mengalirkan arus panas dari pusat jantungnya, menjalar keseluruh tubuhnya sampai keujung-ujung uratnya. Kulit dagingnya bagaikan dipanggang diatas bara, sehingga menjadi matang karenanya. Sementara tulang-tulangnya seolah-olah telah bergemeretakkan didalam badannya. Ketika terdengar suara ayam jantan berkokok didini hari. Agung Sedayu bagaikan terbangun. Tubuhnya yang mulai sembuh itu telah menjadi sakit dan panas melampaui saat-saat ia terluka parah. Namun ketika Agung Sedayu mulai menenangkan hatinya dan berusaha mengatur pernafasannya, terasa yang sakit itu bagaikan terhisap menyusuri urat di seluruh tubuhnya kembali kepusat jantungnya. Sesaat terasa jantungnya yang menjadi sarang segala macam perasaannya itu akan meledak, namun lambat laun titik udara dingin mulai menyentuh jantung yang bagaikan membara itu. Perlahan-lahan perasaan sakit, pedih, nyeri dan panas itupun mulai susut. Namun perasaan letih dan lelah mulai terasa merayapi segala sendi-sendinya. Bahkan kemudian perasaan mual dan pening telah menjamahnya. Tetapi seperti yang seharusnya dilakukan, ia sudah melampaui batas yang ditentukan. Karena itu, maka perlahan-lahan ia mulai menggerakkan jari-jarinya. Jari-jari tangan dan kakinya. Kemudian ia mulai beringsut perlahan-lahan. Betapa perasaan letih dan lelah telah mencengkamnya, maka iapun berusaha untuk bangkit. Agung Sedayu harus berpegangan pada dinding sanggarnya agar ia tidak terjatuh. Rasa-rasanya tanah tempatnya berpijak bagaikan bergoyang oleh pening dikepalanya. Namun ia telah memaksa dirinya untuk merayap sampai kepintu sanggarnya. Perlahan-lahan ia mempergunakan sisa tenaganya tmtuk membuka selarak pintu. Kemudian dengan tangan yang lemah ia mulai menarik daun pintu sanggar itu. Glagah Putihlah yang melihat pertama kali daun pintu itu bergerak. Karena itu, maka iapun segera berlari-lari mendekatinya. Namun langkahnya tertegun ketika ia melihat Agung Sedayu berdiri berpegangan uger-uger pintu dengan wajah yang pucat pasi. “Kakang,“ desis Glagah Putih. Agung Sedayu bertahan untuk tidak jatuh. Sekilas ia teringat saat-saat ia mesu diri didalam goa. Perasaannya mirip dengan yang dirasakannya saat itu. Meskipun demikian, ia mencoba tersenyum. Dengan suara bergetar ia berkata, “Aku sudah selesai Glagah Putih.”

“Tetapi kakang nampaknya tidak menjadi sembuh,“ jawab Glagah Putih sambil melangkah mendekat. Agung Sedayupun kemudian berpegangan pada pundak adiknya. Katanya, “Tolong aku sampai ke dalam.” “Kakang menjadi bertambah parah,“ desis Glagah Putih. Yang terdengar adalah jawaban dari serambi, “Tidak Glagah Putih. Kakakmu akan sembuh.” Glagah Putih berpaling. Dilihatnya Kiai Gringsing. Ki Waskita, Ki Widura dan Sabungsari berdiri ditangga serambi. Agung Sedayupun memandang mereka sejenak. Namun kemudian desisnya, “Bantu aku.” Dengan dipapah oleh Glagah Putih, Agung Sedayu yang merasa tubuhnya letih sekali dan kepalanya bagaikan berputar telah naik lewat pintu samping masuk keruang dalam. Dengan tangan gemetar ia menerima semangkuk cairan berwarna putih agak kehijau-hijauan. “Minumlah,“ desis Kiai Gringsing memberikan minuman itu. Agung Sedayupun kemudian mengangkat cairan itu kemulutnya dengan tangannya yang lemah. Hampir saja ia gagal meletakkan mangkuk itu kebibirnya. Namun akhirnya seteguk demi seteguk cairan itu diminumnya. Terasa kesegaran merayapi seluruh tubuhnya. Badannya yang bagaikan tidak bertulang lagi itupun mulai terasa hidup kembali. “Beristirahatlah dahulu,“ berkata Kiai Gringsing, “mungkin kau merasa lapar. Tetapi kau tidak boleh tergesa-gesa makan.” Agung Sedayu tersenyum. Wajahnya yang pucat sudah mulai dijalari oleh warna darahnya. Untuk beberapa saat Agung Sedayu duduk dengan tenang. Namun kemudian Kiai Gringsing berkata, “Jika kau masih merasa sangat letih, kau dapat berbaring dipembaringanmu.” Agung Sedayu memang merasa sangat letih. Matanya menjadi berat oleh perasaan kantuk yang terasa mulai menjamahnya. Karena itu, maka iapun kemudian minta diri untuk masuk kedalam biliknya. Ketika ia bangkit dan berdiri, ternyata bahwa ia tidak lagi merasa gemetar. Beberapa teguk cairan yang diberikan oleh gurunya telah membuat tubuhnya agak segar. Meskipun kemudian ia masih berpegangan pada lengan Glagah Putih, namun ia sudah merasa dapat berjalan dengan tegak. “Berbaringlah kakang,“ desis Glagah Putih.

Agung Sedayupun kemudian berbaring dipembaringannya. Nampaknya cairan yang diminumnya masih bekerja terus. Tubuhnya menjadi semakin lama semakin segar. Perasaan kantuknya terasa semakin mencengkam. Namun sebelum ia tertidur, Sabungsari telah datang kepadanya sambil membawa semangkuk bubur cair. “Jangan tidur dahulu,“ desis Sabungsari. Agung Sedayupun kemudian bangkit dan duduk dibibir pembaringannya. Bubur cair yang masih hangat itupun kemudian dimakannya. Tidak terlalu banyak. Namun serasa tubuhnya segera menjadi semakin kuat. Urat-urat darahnya yang bagaikan membeku mulai bergetar dan rasa-rasanya seisi tubuhnya telah bergerak kembali. “Duduklah sebentar,“ berkata Sabungsari, “kemudian tidurlah sehari penuh.” Demikianlah maka Agung Sedayupun merasa perlu untuk beristirahat sepenuhnya dipembaringan. Namun ketika matanya sudah terkatub, terpaksa dibukanya kembali karena gurunya berdiri disisinya sambil berkata, “Tidurlah. Karena masih ada yang harus kau kerjakan nanti malam.” Agung Sedayu memandang wajah gurunya sejenak. Namun sambil tersenyum Kiai Gringsing berkata selanjutnya, “Sudahlah. Sekarang kau memang harus tidur sebaik-baiknya.” Agung Sedayu tidak bertanya lebih lanjut. Apalagi gurunya itupun segera meninggalkannya. Karena itu, maka iapun telah memejamkan matanya. Dan sejenak kemudian, iapun telah tertidur. Dengan demikian, maka tubuh Agung Sedayupun menjadi bertambah segar. Ketika ia bangun menjelang tengah hari. maka terasa tubuhnya telah pulih kembali. Rasa-rasanya segala macam perasaan sakit, pening, letih dan lelah telah lenyap. Perlahan-lahan Agung Sedayu bangkit. Kemudian ia menggeliat. Ia merasa bahwa ia lelah benarbenar pulih. Ketika ia kemudian keluar dari dalam biliknya, dan keluar ke pendapa, maka Glagah Putih yang sedang berada di halamanpun melihat. Berlari-lari kecil ia mendekatinya sambil bertanya, “Bagaimana keadaanmu kakang ?” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Aku sudah baik Glagah Putih.”

“Ketika kau keluar dari sanggar, kau bukannya menjadi sembuh, tetapi kau nampak semakin parah,“ berkata Glagah Putih. “Untuk beberapa saat. Tetapi sekarang aku sudah sembuh. Sudah benar-benar sembuh. Bahkan terasa segala perasaan yang mengganggu telah lenyap sama sekali,“ jawab Agung Sedayu. Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Sokurlah. Tetapi kau masih nampak pucat dan kurus.” “Itu sudah wajar,” jawab Agung Sedayu, “aku sudah lama tidak doyan makan. Rasa-rasanya mulutku menjadi pahit sekali.” “Dan kau tidak makan sehari semalam didalam sanggar,” sambung Glagah Putih. “Aku sampai pada taraf penyembuhan yang terakhir. Ternyata cara dan obat yang diberikan oleh Kiai Gringsing benar-benar telah menyembuhkan aku sepenuhnya,” sahut Agung Sedayu. Tetapi kau tentu masih belum dibenarkan untuk bekerja berat atau berbuat sesuatu yang dapat membuat sakitmu kambuh lagi. Duduklah,“ berkata Sabungsari kemudian. “Aku ingin berjalan-jalan di kebun,” berkata Agung Sedayu, “mudah-mudahan tubuhku menjadi semakin segar.” ”Mari, aku akan mengantarmu,“ desis Glagah Putih. Keduanyapun kemudian berjalan-jalan di kebun belakang padepokan mereka. Ketika Agung Sedayu melihat buah jambu air yang bergayutan, maka iapun tersenyum sambil berkata, “Tentu segar sekali.” “Kakang, pohon manggis itu juga berbuah lebat,“ berkata Glagah Putih. Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Perutku baru saja mengalami keadaan yang tidak teratur. Aku tidak berani makan buah manggis.” “Baiklah, duduklah. Aku akan mengambil buah jambu air itu saja,“ berkala Glagah Putih. Sambil makan buah-buahan, Agung Sedayu duduk dibawah pohon yang teduh. Tubuhnya terasa semakin segar.

Ia tidak merasa lagi bekas luka-luka yang parah didalam tubuhnya. Disiang hari. Agung Sedayu telah makan bersama dengan isi padepokan yang lain. Ia tidak lagi makan bubur yang lunak. Tetapi ia sudah makan nasi seperti yang lain. Namun demikian, setiap kali masih tetap terngiang di telinganya pesan gurunya, bahwa masih ada yang harus dikerjakan malam nanti. Menjelang sore hari, Sabungsari datang pula dari Jati Anom. Ia jarang tinggal didalam baraknya. Sebagian besar waktunya diluar tugasnya, ia selalu berada di padepokan. “Kau sudah kelihatan pulih,“ berkata Sabungsari. “Ya,“ jawab Agung Sedayu, “aku sudah benar-benar sembuh.” Namun dalam pada itu, ketika gelap mulai menyelimuti padepokan itu. Kiai Gringsing berkata kepadanya, “Masuklah kedalam sanggar. Taraf penyembuhan terakhir masih harus dilakukan.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, sementara Glagah Putih yang menjadi cemas. bertanya, “Kiai, apakah kakang masih harus mengalami sesuatu yang dapat membuatnya bertambah pucat dan kurus ?” Kiai Gringsing tersenyum. Jawabnya, ”Tidak Glagah Putih. Segalanya yang terasa berat baginya telah lampau. Tidak ada apa-apa lagi. Benar-benar hanya satu cara untuk melihat, apakah ia benar-benar telah sembuh.” Glagah Putih tidak bertanya lagi. Namun dengan jantung yang berdebar-debar ia melihat Agung Sedayu memasuki sanggarnya. diikuti oleh Kiai Gringsing dan Ki Waskita. Sementara ayahnya hanya berada diserambi samping bersama dengan Sabungsari dan kemudian Glagah Putih pula. Untuk beberapa saat sanggar itu menjedi sepi. Pintunya tertutup rapat. Sementara cahaya lampu minyak yang lemah nampak membayang didalamnya. Untuk beberapa saat Glagah Putih menunggu. Namun tiba-tiba ia terkejut ketika ia mendengar ledakan cambuk di dalam sanggar. “Apa artinya ayah ?,“ bertanya Glagah Putih yang terlonjak berdiri. “Kiai Gringsing tahu benar apa yang dikerjakan,“ jawab ayahnya. Glagah Putih yang menjadi tegang itu menarik nafas dalam-dalam, sementara Sabungsaripun menjadi tegang pula.

Dalam pada itu. didalam sanggar sebenarnyalah bahwa Kiai Gringsing telah meledakkan cambuknya. Di perintahkannya Agung Sedayu duduk diatas batu. Kemudian dengan cambuknya ia telah memukul Agung Sedayu yang duduk sambil mengetrapkan ilmu kebalnya. Mula-mula perlahan-lahan, namun semakin lama semakin kerab. “Kau sudah sampai pada tingkat yang lebih baik Agung Sedayu,“ berkata gurunya, “ilmu kebalmu telah mampu menahan ujung cambukku. Kau bukannya sekedar tidak terluka kulitmu, tetapi bukankah kau tidak merasa sakit pula didalam tubuhmu.” Agung Sedayu mengangkat wajahnya. Kemudian sambil menggeleng ia berkata, “Rasa-rasanya tubuhku benar-benar telah dilindungi oleh ilmu itu guru.” “Bagus,“ berkata Kiai Gringsing, “aku akan mencoba lagi dengan kekuatan yang lebih besar. Bersiaplah. Tetapi jika kau merasa bahwa ujung cambuk itu menembus ilmumu, katakanlah.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun yakin bahwa gurunya tentu mempunyai perhitungann yang mapan. Karena itu, maka katanya pasrah, “Terserahlah kepada guru, aku akan melakukannya.” “Agung Sedayu,” berkata Kiai Gringsing, “kau sudah memasuki tataran dari orang-orang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka aku akan mempergunakan seluruh kekuatanku untuk meledakkan cambuk ini meskipun tidak dengan serta merta. Karena itu, dalam peningkatan yang perlahan-lahan kau jangan ragu-ragu untuk menghentikannya, apabila terasa bahwa ilmumu masih tertembus oleh kekuatan yang terlontar pada ujung cambukku.” Agung Sedayu mengangguk. Yang terjadi bukannya perang tanding. Karena itu, ia tidak akan menahan diri, seandainya ia merasa perlu untuk menghentikan sentuhan ujung cambuk Kiai Gringsing. Dalam pada itu, Agung Sedayupun segera mempersiapkan diri. Sementara itu. Kiai Gringsing mulai memutar cambuknya. Ia tidak lagi mempergunakan kekuatan wajarnya. Tetapi ia mulai menghimpun tenaga cadangannya, meskipun setingkat demi setingkat. Sejenak kemudian cambuk Kiai Gringsing itupun meledak. Tidak begitu keras seperti ledakan sebelumnya. Namun dalam pada itu telah terlontar kekuatan yang tiada taranya. Agung Sedayu masih duduk berdiam diri. Ia merasa sentuhan ujung cambuk Kiai Gringsing. Tetapi iapun merasa bahwa ujung cambuk yang meledak tidak terlalu keras dalam tangkapan telinga wadag itu, tidak pula menembus ilmu kebalnya.

Dua tiga kali cambuk Kiai Gringsing meledak. Karena itu tidak melihat Agung Sedayu memberikan isyarat apapun, maka Kiai Gringsing telah meningkatkan kekuatannya. Tenaga cadangannya yang terhimpun menjadi semakin banyak! Sejenak kemudian cambuk itu meledak. Namun Agung Sedayu masih tetap duduk diam. “Luar biasa,“ berkata Kiai Gringsing didalam hatinya. Bahkan kemudian orang tua itupun telah memberanikan diri untuk mengerahkan segenap kemampuannya. Dihimpunnya segala tenaga cadangan yang dapat dilakukannya. Kiai Gringsing bertekad untuk mempergunakan segenap kemampuannya seakan-akan ia berhadapan dengan lawan yang memiliki ilmu yang tidak ada duanya. Sejenak kemudian, maka sekali lagi terdengar cambuk itu meledak. Terdengar suaranya justru menjadi semakin lambat. Namun dalam pada itu, terasa dijantung mereka yang mendengarnya, seakan-akan dada mereka telah terguncang pula karenanya. Ki Widura dan Sabungsari menahan nafasnya. Sementara Glagah Putih menjadi heran, bahwa seolaholah ia mendengar sesuatu yang lain didalam sanggar itu. Bahkan iapun menjadi bingung, bahwa jantungnya telah menggelepar pula didalam dadanya. Ki Waskita yang juga berada didalam sanggar itu menahan nafas. Ia mengenal dengan baik. tingkat ilmu dan kemampuan Kiai Gringsing. Dan iapun mengerti, bahwa Kiai Gringsing telah mempergunakan segala kekuatanmya untuk mencoba kemampuan muridnya. Dalam pada itu, ketika ujung cambuk Kiai Gringsing itu menyentuh kulit Agung Sedayu. maka Agung Sedayu itupun berkisar meskipun hanya setebal jari. Ia masih nampak menggigit bibirnya sesaat, meskipun kemudian seolah-olah ia tidak merasakan sesuatu.

Buku 144 KIAI Gringsing dengan tergesa-gesa mendekatinya. Dengan nada berat ia bertanya, “Bagaimana Agung Sedayu ?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengangkat tangannya dan kemudian menggeliat. Sementara Ki Waskitapun mendekatinya pula. “Ujung cambuk guru disaat terakhir terasa menggoyahkan pertahanan ilmuku. Jika guru mengulanginya, aku kira, aku akan merasakannya, meskipun tidak terlalu tajam,“ jawab Agung Sedayu. Kiai Gringsing menepuk bahu muridnya. Katanya, “Ilmumu sudah hampir sempurna. Tetapi ingat, bahwa yang sempurna itu tidak ada.” “Ya guru,“ sahut Agung Sedayu. “Kau sudah mempunyai bekal yang cukup untuk berada didaerah jelajah orang-orang berilmu tinggi dalam olah kanuragan. Kau mempunyai kemampuan melindungi dirimu dengan ilmu kebalmu. Sementara kau mempunyai kemampuan menyerang dengan tatapan mata yang jarang ada bandingnya,” berkata gurunya. Namun kemudian, “Tetapi itu tidak berarti bahwa ilmumu tidak ada yang dapat mengatasinya. Contoh yang paling mudah aku sebut adalah anak muda yang hampir sebaya dengan kau sendiri, yaitu Raden Sutawijaya. Pada saat kau hampir menjangkau tingkat ilmunya, Raden Sutawijaya telah berhasil meningkat lebih tinggi lagi.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia sama sekali tidak merasa iri. Ia merasa bahwa wajar sekali jika ia tidak akan dapat berdiri setingkat dengan Raden Sutawijaya dan mungkin juga Pangeran Benawa. Ia sudah merasa berterima kasih dengan keadaannya. Karena itu, maka katanya, “Kurnia yang aku terima sudah terlampau banyak guru. Karena itu, tidak sewajarnya aku merasa kecewa. Akupun sadar, bahwa tentu bukan hanya Raden Sutawijaya atau Pangeran Benawa. Masih banyak orang yang memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari ilmuku. Mungkin orang-orang yang berada disekitar Sultan Hadiwijaya, mungkin orang-orang Mataram atau orangorang di padepokan yang tersebar.” “Kesadaranmu itu akan bermanfaat bagi sikap dan pandangan hidupmu Agung Sedayu,“ berkata Ki Waskita, “peliharalah kesadaran itu didalam hatimu. Meskipun demikian, semuannya itu tidak menutup kemungkinan bagimu untuk meningkatkan ilmumu lebih tinggi lagi, asal kau tetap berpegang kepada ajaran gurumu. Kau tidak boleh melupakan Sumber dari segala sumber dari segala yang hidup dan terbentang di atas cakrawala ini. Kurnia itu kau terima dari pada-Nya, karena itu harus kau pergunakan bagi kebesaran nama-Nya.”

Agung Sedayu mengangguk sambil berdesis, “Aku akan selalu mengingatnya.” Dalam pada itu, Kiai Gringsingpun kemudian berkata, “Untuk sementara kita sudah selesai Agung Sedayu. Kau sudah meningkat selapis pada satu segi ilmu yang kau miliki. Ingat, pada satu segi saja, yaitu ilmu kebalmu. Hanya itu.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Terbersit pernyataan sokur dan terima kasih atas kurnia yang lelah diterimanya. Betapa banyaknya, disertai dengan segala tanggung jawab yang sebanyak itu pula. Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsingpun berkata, “Kerja hari ini sudah selesai Agung Sedayu. Kau sudah memiliki sesuatu yang jarang dimiliki orang lain. Kau sudah memiliki sesuatu yang jarang didunia ini. Namun kau sudah semakin dekat dengan yang sempurna menurut ukuran ilmu, meskipun kau masih belum dapat menahan hentakkan ujung cambukku, apalagi jika serangan semacam itu terulang sampai tiga ampat kali, maka ilmumu itu akan dapat tertembus juga. Dan itu sudah kau sadari.” “Ya guru,” jawab Agung Sedayu. “Jika demikian, beristirahatlah untuk beberapa hari. Kau masih mempunyai kewajiban terhadap Glagah Putih. Kau harus meningkatkan ilmunya. Mamun kemudian kaupun masih harus meningkatkan ilmumu pada segi yang lain. Disamping ilmu kebalmu, maka kau memerlukan peningkatan pada unsur serangan dengan sentuhan wadag dan bukan wadag,“ berkata gurunya kemudian. .4gung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya pula, “Ya guru.” “Sekarang, kita dapat meninggalkan sanggar ini,“ berkata Kiai Gringsing. Lalu katanya, “Kau memerlukan istirahat sebaik-baiknya Agung Sedayu.” Merekapun kemudian meninggalkan sanggar itu. Glagah Putih yang gelisah dengan tergesa-gesa segera menyongsong mereka. Namun ia menarik nafas panjang ketika dilihatnya, bahwa Agung Sedayu sama sekali tidak mengalami keadaan seperti saat ia keluar dari sanggar setelah sehari semalam ia menutup diri. Demikianlah, maka untuk beberapa hari kemudian. Agung Sedayu sendiri benar-benar telah beristirahat. Tetapi dalam istirahatnya, ia telah mulai lagi dengan latihan-latihan bagi Glagah Putih, karena anak itu rasa-rasanya tidak sabar lagi menunggu. Meskipun ia sadar, bahwa Agung Sedayu baru saja sembuh, namun dengan nada mendesak ia berkata, “Kakang tidak usah berbuat apa-apa. Kakang hanya memberikan aba-aba. Aku akan berlatih sendiri selama keadaan kakang masih belum memungkinkan.” Tetapi Agung Sedayu tidak melepaskannya, iapun telah terlibat dalam latihan-latihan yang semakin berat didalam sanggar dan kadang-kadang di kebun dibelakang padepokan di malam hari.

Namun keadaan Agung Sedayu sudah menjadi pulih kembali. Karena itu ia dapat berbuat seperti yang diinginkan oleh Glagah Putih. Bahkan kadang-kadang dengan Ki Widura dan Sabungsari. Malahan kadang-kadang Ki Waskita dan Kiai Gringsingpun ikut menungguinya pula. Tetapi untuk sementara Agung Sedayu masih mempergunakan unsur-unsur dari ilmu yang temurun lewat Ki Sadewa. Ia menghendaki agar Glagah Putih menguasainya dasar-dasar ilmu itu. Baru kemudian, ia dapat melengkapi ilmu itu dari sumber yang berbeda, meskipun Agung Sedayu menyadari, jika ilmu yang temurun lewat Ki Sadewa itu dipelajari sampai tuntas, dengan segala macam syarat keharusan dan pantangannya, ilmu itu sendiri sudah merupakan ilmu yang pilih tanding. Meskipun Agung Sedayu sendiri tidak menceriterakan apa yang telah dilakukannya, namun ternyata Glagah Putih dengan tidak langsung mengetahui bahwa Agung Sedayu telah memperdalam ilmu kebalnya. Sehingga dengan demikian, maka Glagah Putih itupun mengerti, bahwa Agung Sedayu adalah seorang yang kebal. Glagah Putih sendiri tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja ia ingin melakukan sesuatu. Ketika Agung Sedayu sehabis mandi sedang duduk di pendapa disore hari bersama Sabungsari yang datang ke padepokan itu pula, seolah-olah diluar kehendaknya sendiri. Glagah Putih telah mengambil upet yang membara didapur. Upet yang selalu menyala sehingga setiap kali diperlukan api, tidak perlu lagi membuatnya dengan balu thithikan. Tidak ada yang memperhatikan apa yang akan dilakukan oleh Glagah Putih. Namun tiba-tiba saja Agung Sedayu telah dikejutkan oleh ujung upet yang menyala itu telah menyentuh kakinya. Dengan serta merta iapun meloncat selangkah, sehingga Sabungsaripun terkejut pula dan dengan sigapnya telah meloncat bangkit. “O,” Glagah Putihpun terkejut. Wajahnya menjadi tegang. Namun kemudian terdengar suaranya gemetar, “Maaf kakang. Aku kira, aku tidak akan mengejutkan kakang.” “Apa yang kau lakukan Glagah Putih ?“ bertanya Sabungsari. Glagah Putih menjadi tergagap. Namun kemudian Sabungsaripun menarik nafas dalam-dalam. Dilihatnya kaki Agung Sedayu terluka bakar oleh ujung upet yang membara itu. “Aku kira. kakang Agung Sedayu telah menjadi kebal,“ desis Glagah Putih dengan jantung yang berdebaran. Agung Sedayu meraba kakinya yang terluka. Kemudian sambil tersenyum ia duduk kembali, meskipun hatinya masih berdebar-debar. Sementara Sabungsaripun tersenyum pula. Keributan kecil itu telah memanggil orang-orang tua yang berada di ruang dalam. Namun merekapun

tertawa pula ketika mereka mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Glagah Putih. “Aku minta maaf,“ desis Glagah Putih. Kiai Gringsing yang masih saja tertawa berkata, “Satu pengetahuan yang baik bagimu Glagah Putih. Ilmu itu tidak setiap saat berlaku. Ia memerlukan saat-saat tertentu, ketika diperlukan. Seseorang harus mengetrapkan ilmunya dengan pemusutan nalar dan budi. Sebagaimana kau mulai dengan mengetrapkan tenaga cadangan. Ia tidak langsung berlaku pada setiap saat diperlukan sebelum ditrapkan dengan sengaja dan sadar.” Glagah Putih hanya menundukkan kepalanya, namun iapun menjadi yakin. Baru kemudian ia sadar, bahwa sebenarnyalah ia ingin membuktikan arti dari kekebalan seseorang. Dan ternyata pada keadaan wajar, seorang yang disebut kebal itupun tidak kebal. Agung Sedayu telah disengat oleh panasnya api diujung upet, bahkan kulitnya-pun telah terluka pula. “Karena itu Agung Sedayu seperti juga orang-orang lain yang berilmu, masih tetap orang-orang lemah dan ringkih lahir dan batinnya,“ berkata Kiai Gringsing kemudian. Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun sekali-sekali ia memandang Agung Sedayu sepintas. Agaknya kata-kata Kiai Gringsing itu bukan saja ditujukan kepada Glagah Putih, tetapi juga kepada Agung Sedayu dan Sabungsari. Glagah Putih yang muda itupun mengerti, bahwa dengan demikian betapa seseorang berilmu tinggi, namun orang lain masih mempunyai kesempatan untuk melumpuhkannya, meskipun orang itu tidak berilmu sekalipun. Pada saat-saat yang lengah, maka serangan yang tiba-tiba akan dapat berakibat gawat. Namun dalam pada itu, Glagah Putihpun mengerti, bahwa ada cara untuk memperkecil kemungkinan semacam itu. Hanya memperkecil kemungkinan, karena tidak akan dapat terhapus sama sekali. Glagah Putih pernah mendengar ilmu Sapta Pangrungu, Sapta Pangrasa, Sapta Panggunda dan sentuhan-sentuhan lain pada indera seseorang, sehingga ketajaman indera seseorang seolah-seolah menjadi lebih tajam tujuh kali lipat. Sebenarnyalah bahwa ilmu itupun telah mulai dirintis oleh Agung Sedayu. Pada saat-saat berikutnya, Agung Sedayu mulai menilai inderanya. Pada saat sebelumnya ia sudah pernah menjadi heran sendiri, ketika diluar sadarnya, ia melihat sesuatu dikejauhan lebih jelas dari penglihatannya yang biasa. Diluar sadarnya, ia telah memusatkan ketajaman penglihatannya pada sasaran yang menjauh di antara tanaman di sawah. Sasaran itu tiba-tiba saja justru menjadi jelas, seolah-olah ia sempat melihat bagian-bagiannya yang kecil, lebih dari keadaan disekitarnya. Namun ketika ia kemudian memandang secara umum tanpa pemusatan perhatian, maka penglihatannya menjadi terbiasa kembali. Demikian juga pendengarannya. Pada saat-saat khusus ia dapat mendengar lebih jelas pada sasaran yang dikehendaki.

Dengan demikian, jika dikehendaki, maka ia dapat mendengar lebih jelas segala sesuatu yang ada disekitarnya. Kemungkinan yang tumbuh pada dirinya itu. terjadi sejak ia mulai merenungi isi kitab Ki Waskita, meskipun belum secara sungguh-sungguh. Karena itu. maka Agung Sedayupun yakin, setelah ia memperdalam ilmu yang dapat melindunginya, maka ia akan dapat meningkatkan bagian-bagian yang lain dari berbagai macam ilmu yang tertera pada kitab yang sangat berharga itu. Meskipun seperti yang dikatakan oleh gurunya, segalanya dalam keterbatasan kelemahan manusiawi. Selebihnya, meski pun ada beberapa tuntunan secara umum dan khusus dari berbagai macam ilmu, namun di dunia yang terbentang ini tentu masih ada berpuluh macam dan bahkan beratus macam ilmu yang tidak tercakup didalamnya, yang justru memiliki kelebihan-kelebihan yang menentukan. Dalam pada itu, ketika keadaan Agung Sedayu telah pulih seperti tidak pernah terjadi sesuatu, bahkan justru telah terjadi peningkatan ilmu yang tidak nampak dari ujud wadagnya. Agung Sedayu telah memulai dengan kehidupan sehari-harinya. Ia telah mulai berada disawah di siang hari. Bahkan kemudian dimalam hari. Namun setiap kali ia masih merasa berdebar-debar. Bukan karena ia merasa takut oleh dendam orangorang yang memusuhinya, namun sebenarnyalah ia merasa segan untuk terlibat dalam langkah kekerasan. Meskipun ilmunya justru meningkat, tetapi keseganannyapun telah mencengkamnya pula. Tetapi, ketika ia berada disawah seorang diri menunggui air. beberapa saat saja lewat senja, Agung Sedayu sudah dikejutkan oleh seseorang yang datang kepadanya. Didalam keremangan malam yang baru saja turun, Agung Sedayu melihat bayangan yang kehitam-hitaman. Namun seperti yang pernah dilakukan, tiba-tiba saja ia mengerutkan keningnya. Dipusatkannya daya penglihatannya pada sasaran yang mendekatinya itu. Meskipun tidak terlalu jelas, namun ia mulai dapat mengenali bayangan yang mendatang itu. Karena itu, maka iapun segera bangkit berdiri. Dengan tergesa-gesa ia menyongsongnya sambil berdesis, “Raden Sutawijaya.” “Sst,“ desis Raden Sutawijaya, “aku justru menemuimu karena kau hanya seorang diri. He, kenapa kau hanya seorang diri.” “Aku menunggui air,“ jawab Agung Sedayu, “entahlah, aku merasa bahwa aku ingin menunggui air yang kadang-kadang dengan tiba-tiba saja meluap dan dapat menimbulkan kerusakan. Hujan turun disaat-saat yang tidak dapat diperhitungkan. Tetapi sebentar lagi, Glagah Putih dan seorang cantrik akan menyusul.” “Baiklah,“ berkata Raden Sutawijaya sambil duduk dipematang, sehingga Agung Sedayupun duduk pula. “Aku melihat kau seorang diri. Karena itu, aku merasa lebih baik menemuimu disini daripada aku singgah di padepokanmu,“ berkata Raden Sutawijaya.

“Tentu aku akan mempersilahkan Raden singgah,“ desis Agung Sedayu. “Semula aku memang ingin singgah. Tetapi aku kira aku akan berjalan terus. Aku harus berada dirumah malam ini,“ jawab Raden Sutawijaya. “Malam ini ?“ bertanya Agung Sedayu. “Ya malam ini. kenapa ?“ bertanya Raden Sutawijaya. “Sekarang sudah malam,” desis Agung Sedayu. “malam baru saja mulai. Aku masih mempunyai kesempatan. Karena itu aku tidak akan singgah di padepokanmu. Aku akan berjalan pulang,“ berkata Raden Sutawijaya. “Tetapi dari manakah Raden ini ? Apakah Raden dari Pajang ?” bertanya Agung Sedayu. “Tidak.“ Raden Sutawijaya ragu-ragu sejenak, namun kemudian katanya, “aku hanya berkata kepadamu. Mungkin seumur kita, kesempatan semacam ini tidak baik kita lewatkan,” Raden Sutawijaya berhenti sejenak, lalu. “aku dari sendang Telu.” “Sendang Telu di Gendari ?” bertanya Agung Sedayu. “Ya, dialas Gendari. Aku sedang memperdalam ilmuku. Dan tiba-tiba saja aku ingin melakukan disendang Telu. Salah satu dari tiga sendang di Gandari itu,” jawab Raden Sutawijaya. “Apa yang Raden lakukan ? Dan kenapa begitu jauh dari Mataram ? Apakah di Mataram tidak ada sendang yang memenuhi syarat?” bertanya Agung Sedayu. “Mungkin ada. Tetapi sudah aku katakan, tiba-tiba saja aku ingin melakukan di sendang Telu. Pemenuhan keinginan tentang tempat itu akan dapat memberikan kepuasan tersendiri,“ jawab Raden Sutawijaya. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Apalagi ia memang mengetahui bahwa Raden Sutawijaya adalah seorang yang gemar menjelajahi tempat-tempat yang dapat dipergunakan untuk mesu diri dan dapat memberikan keheningan di saat-saat ia mesu budi. Meskipun demikian, ia masih juga bertanya, “Raden, apakah tempat itu sendiri dapat memberikan semacam dukungan atas usaha Raden untuk mesu diri ?” “Tentu,“ jawab Raden Sutawijaya, “jika yang kau maksud dengan dukungan itu adalah dorongan pemantapan jiwani.

Tetapi jika yang kau maksud, bahwa tempat itu sendiri akan dapat memberikan tuah atau semacam kekuatan tersendiri bagi usaha mesu diri. sudah tentu tidak. Karena itu, maka salah satu dari sendang Telu dialas Gendari itu merupakan tempat yang dapat memberikan kepuasan kepadaku. Aku pernah melewati ketiga sendang Telu itu sebelumnya, dan aku memang tertarik pada tempat itu. Salah satu dari ketiga sendang itu mempunyai mata air yang sangat menarik, seperti sebuah sumur yang tidak begitu besar, tetapi cukup dalam. Didasarnya pasir bagaikan dihembus dari dalam tanah, dan airpun memancar lewat pasir yang bagaikan air mendidih itu.” Agung Sedayu mengangguk angguk. Namun iapun bertanya, “Apa yang Raden lakukan di sendang itu ?” Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Agung Sedayu. Cara untuk mesu diri ada bermacam-macam sesuai dengan tingkat dan jalur ilmu yang dianut. Aku tidak akan mengatakannya kepada siapapun. selain kepadamu dan kepada Ki Juru di Mataram yang aku anggap sebagai orang tua yang merupakan tumpuan batin selama ini.“ Raden Sutawijaya berhenti sejenak, lalu. “He. kau tentu bertanya, kenapa aku berceritera juga kepadamu ?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. “Ada alasannya tersendiri. Kau adalah seorang anak muda yang memiliki kelebihan dari anak-anak muda sebayamu. Kau juga seorang anak muda yang suka mesu diri,“ jawab Raden Sutawijaya atas pertanyaannya sendiri. “Tetapi tidak ada yang pernah aku lakukan,“ sahut Agung Sedayu. Raden Sutawijaya tersenyum. Katanya, “Dengarlah. Sebelum Glagah Putih dan kawan-kawannya datang kemari.” Agung Sedayu tidak menyahut. “Aku mendapat petunjuk untuk melakukan pembajaan diri lahir dan batin. Aku harus mesu raga dengan bergantung pada sebatang dahan selama tiga hari tiga malam berturut-turut. Aku juga harus berendam didalam air selama tiga hari tiga malam berturut-turut. Kemudian aku harus pati-geni selama tiga hari tiga malam pula,“ jawab Raden Sutawijaya. “Pati-geni tiga hari tiga malam ?“ bertanya Agung Sedayu. “Ya,“ jawab Raden Sutawijaya. “Dan Raden melakukannya sembilan hari sembilan malam berturut-turut untuk memenuhi kewajiban

itu ?“ bertanya Agung Sedayu. “Aku dapat melakukan demikian. Tiga hari tiga malam untuk laku yang pertama. Kemudian beristirahat barang tiga ampat hari. Lalu dilakukan laku kedua dan seterusnya. Tetapi dengan demikian aku memerlukan waktu yang panjang.” “Jadi bagaimana Raden melakukannya ? “ bertanya Agung Sedayu. “Aku lakukan ketiga-tiganya sekaligus. Aku mesu raga dengan bergantung pada sebatang dahan. Di salah satu dari sendang Telu terdapat sebatang pohon yang miring, salah satu dahannya terdapat diatas sendang itu, sehingga di hutan Gendari itulah aku dapat melakukan ketiga laku itu sekaligus. Bergantung pada sebatang dahan sambil berendam di sendang dan sekaligus pati-geni.” “Tiga hari tiga malam ?“ bertanya Agung Sedayu pula. “Ya. Tiga hari tiga malam aku telah dapat menyelesaikan tiga laku sekaligus,“ jawab Raden Sutawijaya. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia bertanya pula, “Kapan Raden meyelesaikan ketiga laku itu ?” “Tadi pagi. Demikian aku selesai, maka aku telah mandi dan keramas di sendang itu pula,“ jawab Raden Sutawijaya. “Raden makan dan minum dimana setelah selesai dengan mesu diri di alas Gendari ? Di kedai ? Atau dimana?“ bertanya Agung Sedayu mendesak. “Kenapa ?“ Raden Sutawijaya menjadi heran, “kenapa kau tanyakan hal itu ? Disendang itu terdapat mata air yang bersih. Aku minum dari mata air itu. Dan kenapa kau bertanya tentang makan ? Mungkin kau pernah mendapat petunjuk, bahwa setelah saat-saat kau tidak makan, maka kau harus berhati-hati. agar perutmu tidak dirusakkan oleh makanan yang pertama kau makan. Begitu ?” Agung Sedayu mengangguk. “Nah, akupun melakukannya. Di hutan itu terdapat banyak sekali dedaunan. Aku telah meremas pupus daun melanding. Kemudian aku makan jenis ubi-uhian yang aku panasi dongan serbuk api,“ jawab Raden Sutawijaya, lalu. “dan sebagaimana kau lihat, aku nampak segar dan sehat bukan ?” “Ya. Ya,“ tiba-tiba saja Agung Sedayu tergagap. Yang dilakukan oleh Raden Sutawijaya pada waktu yang hampir

bersamaan dengan saat-saat ia mesu diri itu ternyata jauh lebih berat dari yang dilakukan. Apalagi setelah ia selesai melakukan pati-geni yang hanya satu hari satu malam itu. Tentu menurut pendapat Raden Sutawijaya, ia menjadi terlalu manja. Kiai Gringsing sudah menyediakan sejenis minuman, kemudian bubur cair yang hangat. Iapun mendapat kesempatan untuk tidur sehari penuh dipembaringannya. Raden Sutawijaya melihat sekilas loncatan kegelisahan di sikap Agung Sedayu. Karena itu. iapun bertanya, “Apakah ada yang tidak wajar menurut penilaianmu?” “Tidak Raden,“ jawab Agung Sedayu, “tetapi kemampuan wadag Raden memang luar biasa. Aku kira hanya Raden sajalah yang dapat melakukannya.” “Tentu tidak. Setiap orang yang bertekad dengan sungguh-sungguh akan dapat melakukannya,“ jawab Raden Sutawijaya. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Raden, apakah aku diperkenankan untuk menceriterakan hal ini kepada guru?“ Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya kepada Agung Sedayu, “Apakah gunanya kau ceriterakan hal ini kepada gurumu ?” “Mungkin ada gunanya Raden,“ jawab Agung Sedayu. “Ceritera itu akan tersebar kemana-mana. Apalagi jika Glagah Putih mengetahuinya, ia akan berceritera kepada para cantrik dipadepokanmu. Kepada kawan-kawannya di Jati Anom. Bahkan kepada Untara, kakak sepupunya,“ desis Raden Sutawijaya. “Tidak Raden. Hanya kepada guru dan mungkin Ki Waskita,“ jawab Agung Sedayu. “Dan mungkin Ki Widura,“ potong Raden Sutawijaya. “Ya. Tetapi hanya orang-orang tua saja. Aku akan berpesan kepada mereka, bahwa hal ini jangan disebarkan kepada siapapun juga,“ sahut Agung Sedayu. “Terserahlah kepadamu jika hal ini kau anggap berguna bagimu. Jika hal ini aku ceriterakan kepadamu, seperti yang sudah aku katakan, justru karena kita masih mungkin untuk tumbuh lebih besar lagi. Kemungkinanmu sama dengan kemungkinan yang aku dapatkan. Kau juga termasuk orang yang luar biasa,“ berkata Raden Sutawijaya. “Sebenarnya Raden sebaiknya singgah saja di padepokan sebentar,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “hanya sebentar. Raden akan bertemu dengan guru. Ki Waskita dan Ki Widura.” “Terima kasih. Sudah aku katakan, malam ini aku harus sudah berada di Mataram,“ jawab Raden Sutawijaya.

“Raden memang luar biasa. Baru pagi tadi Raden menyelesaikan satu tugas yang sangat berat. Sekarang Raden masih harus berjalan ke Mataram, sebelum keadaan Raden pulih kembali ?“ desis Agung Sedayu kemudian. “Pulih kembali ? “ justru Raden Sutawijaya bertanya, “kenapa pulih kembali ? Aku tidak mengalami sesuatu. Aku tidak sakit dan tidak terluka.” “Tetapi Raden mesu diri tiga hari tiga malam dalam tiga laku,“ jawab Agung Sedayu. “Ya. Kenapa ? Aku tidak mengalami sesuatu. Aku hari ini sudah beristirahat sehari penuh. Makan ubiubian dan minum seberapa saja aku mau. Aku tidak mengalami kesulitan apapun juga jika aku harus berjalan kembali ke Mataram, meskipun dimalam hari. Seandainya ada orang-orang jahat yang ingin mengganggu, aku masih sempat lari. Aku masih seorang pelari yang baik. Seperti dimasa kanak-kanak dalam permainan kejar-kejaran, anak yang jauh lebih besar dari akupun tidak dapat mengejar aku.” “Raden selalu merendahkan diri,“ gumam Agung Sedayu. Raden Sutawijaya tersenyum. Lalu katanya, “Sudahlah. Aku akan meneruskan perjalananku yang masih cukup panjang. Aku tidak berkuda, tetapi aku hanya berjalan kaki. Aku ingin melintasi lereng Gunung Merapi dan turun kesebelah Selatan. Aku akan turun dan menyeberang sungai Opak sebelah Utara candi.” “Perjalanan yang panjang. Apalagi Raden hanya berjalan kaki,” sahut Agung Sedayu. “Menyenangkan. Kadang-kadang aku lebih suka berjalan daripada berkuda. Apalagi setelah tiga hari tiga malam aku tidak berjalan selangkahpun, maka perjalanan ini akan dapat memulihkan urat-urat dikakiku,“ jawab Raden Sutawijaya. Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga, yang memiliki pengawal dan reh-rehan yang tidak terhitung jumlahnya, mesu diri seorang diri saja ditempat yang jauh, sepi dan terpisah karena letaknya didalam hutan, meskipun bukan hutan yang sangat lebat. Namun hutan Gendari memang jarang sekali dimasuki seseorang, sehingga karena itu, maka Raden Sutawijaya dapat melakukannya tanpa terganggu. Raden Sutawijaya benar-benar tidak mau singgah di padepokan ketika Agung Sedayu mempersilahkannya sekali lagi. Bahkan iapun segera minta diri untuk segera melanjutkan perjalanannya yang masih jauh. “Salam buat Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Widura. Juga bagi Glagah Putih, Sabungsari dan para

cantrik,“ berkata Reden Sutawijaya. Agung Sedayu menjadi termangu-mangu ketika Raden Sutawijaya kemudian berkata, “Aku sudah mendengar apa yang telah kau lakukan terhadap Ajar Tal Pitu. Berhati-hatilah. Ajar Tal Pitu adalah orang yang licik.” “Darimana Radep mengetahuinya ?“ bertanya Agung Sedayu. Raden Sutawijaya hanya tertawa saja. Namun iapun melangkah menjauh sambil berkata, “Lihat. Nampaknya langit mulai mendung. Jika dilereng turun hujan, berhati-hatilah dengan paritmu. Jangan kau biarkan air meluap merusakkan tanamanmu yang subur itu.” Raden Sutawijaya tidak menunggu jawaban. Iapun kemudian meninggalkan Agung Sedayu yang termangu-mangu dipematang. Dalam waktu yang pendek. Raden Sutawijaya sudah berjalan sampai kekotak sawah berikutnya. Ia menyusuri pematang yang disaput oleh gelapnya malam. Namun ia dapat berjalan dengan cepat meskipun sebagai seorang putera Sultan dan yang kemudian diangkat menjadi Senapati Ing Ngalaga, ia tidak terlalu sering bergaul dengan pematang, parit dan bulak-bulak panjang. Sepeninggal Raden Sutawijaya, Agung Sedayu duduk dipematang sambil merenung. Diluar kehendaknya, ia telah dihadapkan pada satu perbandingan atas apa yang telah dilakukan. Semula ia menganggap bahwa ia telah mesu diri dengan laku yang jarang, ditempuh oleh orang lain. Namun ternyata bahwa yang dilakukan oleh Raden Sutawijaya adalah sembilan kali lebih berat dari yang dilakukannya. Apalagi karena Raden Sutawijaya melakukan tiga laku itu sekaligus dengan mempersingkat waktu menjadi sepertiga. “Luar biasa,“ desis Agung Sedayu, “jadi apalah artinya ilmu yang sudah aku miliki itu, dibandingkan dengan ilmu Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu.” Dalam pada itu. Agung Sedayu mulai membayangkan pula, seorang Pangeran yang juga memiliki kemampuan seolah-olah tanpa batas. Pangeran Benawa. Seorang yang dalam tataran umur, dapat disebut sebaya dengan Raden Sutawijaya, meskipun lebih muda sedikit dan yang hanya lebih tua sedikit saja dari padanya. Agung Sedayu tidak tahu, berapa lama ia merenung tentang dirinya sendiri, tentang Pangeran Benawa dan tentang Raden Sutawijaya. Agung Sedayu itu bagaikan terbangun ketika ia mendengar langkah kaki mendekatinya. Ketika ia berpaling, dilihatnya dua orang berjalan dalam keremangan malam menuju kearahnya. Agung Sedayu segera mengenal keduanya. Glagah Putih yang dikawani oleh seorang cantrik dari padepokannya.

“Sudah lama kakang menunggu ?“ bertanya Glagah Putih. Agung Sedayu menggeliat sambil menjawab, “Belum. Aku baru saja sampai.” Glagah Putih tertawa. Katanya, “Maaf kakang. Aku agak terlalu lambat menyusul. Senggot timba sumur itu rusak. Aku harus memperbaikinya dahulu.” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Tidak apa-apa. Akupun hanya duduk saja di sini. Nampaknya langit tidak terlalu gelap, sehingga mungkin hujan tidak akan turun. Atau seandainya turun, baru besok didini hari dan agaknya juga tidak terlalu lebat.” Glagah Putih menengadahkan kepalanya. Ia memang melihat selembar awan dilangit. Tetapi seperti Agung Sedayu, iapun berpendapat bahwa hujan tidak akan segera turun. Meskipun demikian, mereka berada di sawah untuk beberapa lama. Sambil duduk dipematang keduanya berbicara berkepanjangan tentang tanaman mereka. Tentang hama yang kadang-kadang mereka dengar menyerang tanaman padi para petani di padukuhan, dan tentang para prajurit yang rasarasanya terumbang ambing oleh keadaan yang tidak menentu di Pajang. “Kakang Untara harus mengambil sikap,“ berkata Glagah Putih. “Ya,“ jawab Agung Sedayu, “tetapi kita tidak mempunyai bahan cukup untuk berbicara tentang mereka.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Ya. Agaknya memang demikian.” Karena itu pembicaraan mereka telah berkisar pula. Kadang-kadang Agung Sedayu hampir saja tidak teringat pesan Raden Sutawijaya. Setiap kali hampir saja terloncat dari bibirnya, ceritera tentang Senapati Ing Ngalaga yang baru saja lewat. Namun akhirnya ketika langit justru menjadi semakin cerah dan bintangpun nampak bergayutan dilangit, maka ketiga orang itupun kembali ke padepokan mereka. Berbeda dengan Glagah Putih yang pergi keruang belakang, Agung Sedayu mendapatkan gurunya diruang tengah. Seperti biasanya. Kiai Gringsing masih duduk bercakap-cakap dengan Ki Waskita dan Ki Widura jika ia tidak sedang pergi ke Banyu Asri. Tetapi ia sudah minta ijin kepada Raden Sutawijaya untuk menceriterakan tentang Senapati Ing Ngalaga itu kepada gurunya. Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Widura mendengarkannya dengan saksama. Sambil mengangguk-

angguk mereka memperhatikan setiap penjelasan yang diberikan oleh Agung Sedayu. Tanpa disadarinya telah tersirat didalam ceriteranya, perbandingan antara sikap dan laku Raden Sutawijaya dengan laku yang baru saja dijalaninya didalam sanggar. “Ternyata bahwa yang aku lakukan hanyalah sepersembilan dari yang telah dilakukan oleh Raden Sutawijaya,“ berkata Agung Sedayu. Kiai Gringsing nrengangguk-angguk. Namun jawabnya kemudian, “Kau mengambil perbandingan yang sebenarnya memang tidak dapat diperbandingkan. Meskipun tidak dapat diingkari, bahwa yang dilakukan oleh Raden Sutawijaya itu memang luar biasa. Aku kira tidak semua orang akan mampu melakukannya. Apalagi ia telah mengambil satu sikap yang berbahaya. Jika ia kehilangan keseimbangan sehingga ia tidak mampu lagi. maka ia akan terbenam dalam air. Bahayanya tentu jauh lebih besar dari jika itu terjadi di atas tanah. Karena jika ia terjatuh kedalam air, ia dapat tenggelam dan mati lemas.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara itu. Kiai Gringsing melanjutkan, “Agung Sedayu, sementara yang kau lakukan memang agak berbeda. Kau memang hanya melakukan pati-geni sehari semalam. Tetapi saat kau mesu raga harus diperhitungkan saat kau memulainya. Saat kau mengalami luka-luka parah didalam dirimu. Keadaan itu telah kau ambil manfaatnya tanpa dengan sengaja kau memperlakukan diri sendiri seperti itu. Kemudian kaupun telah mengatur jenis makananmu untuk beberapa hari justru selama kau sakit. Nah, keadaan sakit dan cara-cara yang kau lakukan itu. merupakan imbangan dari laku-laku yang lain dari Raden Sutawijaya, meskipun sekali lagi. yang dilakukan memang lebih berat dari yang kau lakukan. Tetapi yang kau lakukan tidak kalah nilainya dengan berpuasa empat-puluh hari ampat puluh malam dan kemudian pati-geni tiga hari tiga malam, dengan laku yang biasa. Tetapi akupun tidak sependapat dengan laku seseorang yang dengan sengaja menyakiti diri dengan cara yang berlebih-lebihan. Meskipun kau dapat mengambil akibat yang sama sebagai laku, tetapi kau tidak dengan sengaja mengupah orang untuk menyakiti dirimu dalam usaha mencapai kesempurnaan ilmu kanuragan.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jika semula ia merasa dirinya justru terlalu kecil, gurunya telah memberikan sedikit kesempatan bagi jantungnya untuk mekar. Bahwa yang dilakukannya itu bukannya tanpa arti. Dalam pada itu, pembicaraan itupun terhenti ketika Glagah Putih memasuki ruangan. Agung Sedayupun telah berpesan, bahwa yang dikatakannya tentang Raden Sutawijaya itu tidak perlu didengar oleh orang lain. Meskipun demikian Agung Sedayu masih juga membayangkan, selangkah demi selangkah Raden Sutawijaya berjalan dengan cepat menuju ke Mataram. Berjalan kaki, tanpa menunggang seekor kuda. Tetapi ia tidak dapat merenung terlalu lama. Glagah Putih telah minta kepadanya untuk turun ke sanggar.

“Kita berlatih sendiri kakang,“ berkata Glagah Putih, “Sabungsari malam ini mendapat tugas. Ia akan tidur di Jati Anom.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Glagah Putih yang nampaknya sangat mengharap kesediaannya untuk segera turun kesanggar. “Mumpung belum terlalu malam,“ desis Glagah Putih kemudian. Akhirnya Agung Sedayupun mengangguk sambil menjawab, “Marilah. Tetapi aku masih belum dapat berlatih terlalu lama.” Glagah Putih tidak menjawab. Ialah yang kemudian lebih dahulu pergi ke Sanggar. Baru kemudian Agung Sedayu menyusulnya diikuti oleh Ki Widura. Ternyata bahwa Ki Widurapun tengah merenungi ceritera Agung Sedayu tentang Raden Sutawijaya. Kemudian tentang Agung Sedayu sendiri. Jika Glagah Putih tidak bersungguh-sungguh, maka ia akan menjadi semakin jauh ketinggalan dari keduanya. Ternyata bahwa Raden Sutawijaya telah menempuh jalan yang jauh lebih berat dari laku yang ditempuh oleh Agung Sedayu. Dengan demikian, maka sudah barang tentu bahwa Glagah Putihpun harus menempuh laku yang serupa dengan laku dari kedua orang anak muda yang memiliki kelebihan jauh melampaui orang kebanyakan itu. Seperti biasanya, maka Glagah Putihpun telah berlatih dengan sungguh-sungguh. Ia mencoba untuk menunjukkan bahwa iapun telah berusaha dengan segenap kekuatannya untuk menempa diri dalam olah kanuragan. Tetapi ia tidak dapat memaksa Agung Sedayu untuk terlalu lama berada didalam sanggar. Glagah Putihpun mengetahui, bahwa Agung Sedayu masih belum waktunya mengerahkan segenap tenaganya dalam bentuk yang bagaimanapun juga. Ia masih harus banyak beristirahat agar ia segera pulih kembali seperti sediakala. “Setiap saat orang yang disebut bernama Ajar Tal Pilu itu akan dapat datang,“ berkata Glagah Putih didalam dirinya, “karena itu kakang Agung Sedayupun harus segera siap untuk menghadapinya.” Namun sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu telah bersiap. Bahkan ilmu kebalnya telah jauh meningkat. Di saat-saat ia mesu diri, terutama ia berusaha untuk meningkatkan ilmu kebalnya. Namun dalam pada itu, secara tidak langsung, maka kesungguhannya mesu diri itupun telah meningkatkan kemampuan-kemampuannya yang lain dalam rangkuman ilmu kanuragannya. Bahkan dalam pada itu, setiap saat Agung Sedayupun merasa, seolah-olah Raden Sutawijaya mentertawakannya.

bahwa ia adalah anak muda yang terlalu manja didalam usahanya meningkatkan ilmunya, ia sama sekali tidak berprihatin. Disaat ia mesu diri, maka seolah-olah orang di seluruh padepokan itu telah berbuat apa saja bagi kepentingannya. Dalam pada itu, ternyata apa yang telah terjadi di Jati Anom itu pada akhirnya terdengar juga oleh adik seperguruan Agung Sedayu di Sangkal Pulung. Meskipun Swandarupun mendengar bahwa isi padepokan itu ternyata berhasil menyelamatkan diri, namun ia terdorong juga untuk pergi ke Jati Anom. Setelah tertunda beberapa kali karena keadaan Kademangannya, serta justru karena iapun mendengar tidak terjadi sesuatu atas saudara seperguruannya, maka akhirnya Swandarupun telah memerlukan pergi ke Jati Anom. Tetapi seperti biasanya ia tidak dapat mencegah keinginan Sekar Mirah untuk ikut serta bersamanya. “Baiklah,“ berkata Swandaru, karena iapun dapat mengerti, kenapa Sekar Mirah mendesaknya untuk ikut serta pergi bersamanya, “ajaklah Pandan Wangi untuk menemanimu diperjalanan.” “Kenapa aku,“ jawab Sekar Mirah, “kakang sajalah yang mengajaknya.” Seperti yang sudah dilakukan, maka akhirnya mereka bertiga telah meninggalkan Kademangan Sangkal Putung untuk pergi ke Jati Anom. Merekapun sadar, bahwa bahaya akan dapat ditemuinya diperjalanan. karena merekapun sadar, bahwa ada pihak yang dengan sengaja telah berusaha untuk memasuhi Kiai Gringsing dan murid-muridnya. Namun Swandarupun tahu pula, bahwa hal itu bukannya tidak ada hubungannya dengan Mataram. Ketika mereka sampai di padepokan kecil di Jati Anom, mereka melihat bahwa Agung Sedayu benarbenar telah sembuh dan pulih kembali. Mereka melihat Agung Sedayu telah dapat melakukan kerjanya sehari-hari. Dalam pada itu. Kiai Gringsingpun telah mempersilahkan ketiga orang tamunya duduk dipendapa. Namun dalam pada itu. sebenarnyalah bahwa Kiai Gringsingpun menjadi cemas. Jika di perjalanan ketiganya bertemu dengan orang yang menyebut dirinya Ajar Tal Pitu, maka mereka akan dapat menjadi sasaran dendamnya, karena Ajar Tal Pitu itupun tentu mengetahui, bahwa anak muda Sangkal Putung itupun adalah muridnya. “Jika Ajar Tal Pilu seorang diri, mereka bertiga akan dapat mengalahkannya. Tetapi jika Ajar Tal Pitu membawa dua atau tiga orang pengikut yang meskipun hanya sekedar dapat mengganggu salah seorang dari keduanya, maka ilmunya yang dahsyat itu akan dapat menjadi bahaya yang gawat bagi mereka,“ berkata Kiai Gringsing didalam hatinya. Setelah mereka saling bertanya tentang keselamatan mereka, maka Swandarupun segera minta Agung Sedayu menceriterakan apa yang telah terjadi dengan dirinya. Dengan singkat Agung Sedayu menceriterakan apa yang telah dialaminya. Bagaimana ia mengalami

sakit parah karena ia harus berhadapan dengan orang yang menyebut dirinya Ajar Tal Pitu. “Sokurlah,“ Swandaru mengangguk, “ayahpun menjadi sangat gelisah, justru hari-hari yang ditentukan itu menjadi semakin pendek. Jika terjadi sesuatu atasmu, maka kami akan kehilangan.” “Tuhan masih melindungi aku,“ berkata Agung Sedayu, “ternyata bahwa disaat-saat yang menentukan, Ajar Tal Pitu telah kehabisan tenaga dan berusaha meninggalkan arena, sehingga akupun ternyata selamat. Atau barangkali ia menganggap bahwa tugasnya sudah selesai dan menganggap aku sudah dapat diselesaikannya pula.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun mengenal bahwa Agung Sedayu memang mempunyai cara tersendiri dalam berceritera. Namun dengan demikian. Kiai Gringsingpun telah menjadi cemas pula bahwa Swandaru selalu mempunyai tanggapan yang lain atas ceritera Agung Sedayu. Ia selalu menganggap bahwa nasib baiklah yang telah menyelamatkan Agung Sedayu, sebagaimana Agung Sedayu sendiri mengatakannya. Sehingga anak muda Sangkal Putung itu tidak mendapat gambaran yang sebenarnya dari kemampuan Agung Sedayu. Sejalan dengan itu, maka Kiai Gringsing sempat menangkap kesan yang tersirat dari pembicaraan kedua muridnya. Sebenarnyalah tanggapan Swandaru atas saudara seperguruannya seperti yang sudah diduganya. “Mungkin kakang Agung Sedayu memerlukan satu dua orang yang dapat mendorong kakang Agung Sedayu untuk berlatih bersama, sehingga kakang Agung Sedayu dapat melakukannya dengan bersungguh-simgguh,“ berkata Swandaru kemudian. “Ya. Agaknya memang demikian,“ berkata Agung Sedayu, “disini sekarang ada Sabungsari. Di saat-saat senggang ia datang kepadepokan ini atas ijin pimpinannya. Ia dapat menjadi kawan berlatih disamping Glagah Putih.” “Tentu tidak dengan Glagah Putih,“ jawab Swandaru, “jika kau berada didalam sanggar bersama Glagah Putih, itu sama sekali tidak berarti kau meningkatkan kemampuanmu. Tetapi kau justru menuangkan kemampuanmu. Itulah agaknya maka kau sendiri tidak pernah mempunyai waktu cukup untuk berlatih bagi kepentinganmu sendiri.” “Aku mempunyai banyak waktu,” sahut Agung Sedayu dengan serta merta, “sudah aku katakan, Sabungsari sering berada disini.” Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Sokurlah. Nampaknya memang ada baiknya kita selalu bersiaga. Aku sendiri pernah mengalaminya. Tentu kita tidak akan menyangka, bahwa tiba-tiba saja aku harus berhadapan dengan orang yang berniat jahat terhadap kita di pinggir Kali Praga, karena aku yakin bahwa sasarannya saat itu bukan sekedar aku.

Pandan Wangi atau Sekar Mirah. Tetapi kita.” Agung Sedayu menganguk-angguk pula. Jawabnya, “Agaknya memang demikian. Mudah-mudahan untuk selanjutnya kita akan dapat menjaga diri.” “Tetapi,“ berkata Swandaru kemudian, “dalam waktu dekat kakang akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Sebenarnyalah hal itu dapat menjadi masalah. Orang yang berniat jahat itu akan dapat mencari dan menyusul kakang ke Tanah Perdikan Menoreh.” “Disana ada Ki Gede Menoreh,“ berkata Agung Sedayu, “aku akan mendapat perlindungannya. Disamping itu, aku akan berada diantara sepasukan pengawal.” “Pasukan pengawal itu sedang mengalami masa surut,“ desis Swandaru. “Salah satu kewajibanku adalah membangunkan mereka jika aku berhasil,“ jawab Agung Sedayu. “Mudah-mudahan kau berhasil. Selain untuk kepentingan Tanah Perdikan Menoreh, juga untuk kepentinganmu sendiri,“ berkata Swandaru. Kiai Gringsing hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Namun justru tiba-tiba saja timbul niatnya untuk pada suatu saat menilik langsung kemajuan ilmu Swandaru. “Jika Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan, maka aku harus dengan cermat mengamati kemajuan Swandaru,“ berkata Kiai Gringsing didalam hatinya. Ia sadar, bahwa perhatian Agung Sedayu dan Swandaru jauh berbeda dalam usaha mengembangkan ilmu mereka. Sementara itu. Sekar Mirah yang melihat keadaan Agung Sedayu yang sudah menjadi baik dan pulih kembali itupun masih juga dibayangi oleh kegelisahan. Apakah orang-orang yang berniat buruk itu tidak akan mengejarnya kemana saja ia akan pergi. Ketika kemudian. Sekar Mirah sempat berbicara langsung dengan Agung Sedayu, maka iapun menyatakan kecemasannya, meskipun tidak secara langsung, keadaannya nanti di Tanah Perdikan Menoreh. Dengan samar-samar ia membuat perbandingan, bahwa di padepokan itu ada Kiai

Gringsing, Ki Waskita, Ki Widura dan kebetulan Sabungsari ada pula pada saat terjadi peristiwa itu. Sementara di Tanah Perdikan Menoreh hanya ada Ki Gede seorang diri. “Sudah aku katakan Sekar Mirah,“ jawab Agung Sedayu, “di Tanah Perdikan itu selain Ki Gede terdapat sepasukan pengawal yang akan segera bangun dari tidurnya.” Tetapi Sekar Mirah agaknya masih merasa cemas. Ia tidak yakin sebagaimana juga Swandaru bahwa para pengawal Tanah Perdikan Menoreh akan dapat dengan segera menyesuaikan diri menghadapi keadaan. Bahkan ia merasa, bahwa pasukan Pengawal di Tanah Perdikan itu, tidak akan segera dapat meningkat setataran dengan para pengawal di Kademangan Sangkal Putung. Namun dalam pada itu, agaknya Ki Waskita yang kemudian ikut pula duduk diantara mereka, dapat melihatnya. Karena itu, maka iapun telah menyahut, “Angger Sekar Mirah. Akupun telah memikirkannya pula, kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas angger Agung Sedayu. Namun sudah barang tentu, bahwa orang-orang tua ini tidak akan melepaskannya begitu saja. Aku memang sudah berniat, jika saatnya angger Agung Sedayu pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, maka akupun akan menyertainya pula. Meskipun dengan demikian. Kiai Gringsing akan menjadi kesepian di padepokan ini.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia memang sudah menduga sebelumnya bahwa Ki Waskita akan mengambil sikap demikian, karena ia tentu tidak akan terlalu lama berada di padepokan itu. Di Tanah Perdikan Menoreh, ia akan dapat setiap saat kembali ke keluarganya, atau malahan sebaliknya, ia dapat mengajak keluarganya ke Tanah Perdikan Menoreh. Pernyataan Ki Waskita itu sedikit memberikan ketenangan kepada Sekar Mirah. Seandainya ia tidak terikat oleh anggapan bahwa tidak baik bagi seorang gadis mengikut seorang laki-laki yang belum menjadi suaminya, ia tidak akan berkeberatan untuk pergi bersama Agung Sedayu ke Tanah Perdikan Menoreh dengan membawa harapan-harapan baru meskipun ia masih belum tahu pasti, apakah harapan itu bukan sekedar mimpi. “Tetapi keadaannya akan menjadi lebih baik daripada ia berada di padepokan kecil yang tanpa kemungkinan apapun bagi hari depan,” berkata Sekar Mirah didalam hatinya. Dalam pada itu, setelah anak-anak muda dari Sangkal Putung itu melihat sendiri keadaan isi padepokan kecil di Jati Anom, bahwa mereka telah menjadi baik kembali, merekapun segera minta diri. Setelah mereka dijamu sekedarnya, maka Swandaru bersama isteri dan adiknya itupun kembali ke Sangkal Putung. Ketiga anak muda itu adalah anak muda yang memiliki bekal ilmu yang cukup. Namun rasa-rasanya Kiai Gringsing menjadi cemas pula melepaskan mereka. Karena itu, maka disurulinya dua orang cantrik untuk mengamati mereka dari kejauhan. Cantrik itu sendiri tentu tidak akan diganggu oleh siapapun.

“Jika kau melihat sesuatu yang tidak wajar terjadi atas anak-anak itu, cepat, beritahukan kepada kami,“ pesan Kiai Gringsing. “Jika kau sudah dekat dengan Sangkal Putung, dan menurut pertimbanganmu kau lebih cepat pergi ke Sangkal Putung, pergilah ke Sangkal Putung,“ sambung Ki Waskita. “Ya. Sudah tentu kalian sendiri harus menghindari sesuatu yang terjadi itu. Sangkal Putung mempunyai sepasukan pengawal yang kuat dan siap bertindak setiap saat,“ Kiai Gringsing menjelaskan. Karena itu, diluar pengetahuan anak-anak muda Sangkal Putung, dua orang cantrik telah mengikuti dari kejauhan. Mereka hanya sekedar melihat dan meyakinkan bahwa ketiga anak-anak muda itu telah sampai dengan selamat di Kademangan mereka. Ternyata bahwa kedua orang cantrik itu kembali dengan selamat dan memberitahukan bahwa tidak terjadi sesuatu diperjalanan. Ketika ketiga anak-anak muda itu telah memasuki padukuhan pertama dari Kademangan Sangkal Putung, maka kedua orang cantrik itupun segera kembali. Namun sementara itu. Agung Sedayu mulai memikirkan keadaan Glagah Putih. Ia tentu tidak akan dapat membawanya pada saat-saat permulaan ia berada di Tanah Perdikan Menoreh. Ia akan berada di Tanah Perdikan itu untuk bekerja keras, membentuk Tanah Perdikan itu menjadi Tanah Perdikan yang hidup seperti beberapa saat yang lampau. Jika Glagah Putih ikut bersamanya, maka Glagah Putih justru akan terlibat dalam kerja, dan tidak akan sempat meningkatkan ilmunya sebaik-baiknya. Tetapi diluar pengetahuan gurunya, Agung Sedayu telah menyusun rencana sendiri. “Jika guru setuju, aku akan melaksanakannya,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Dengan demikian, maka iapun mulai dengan langkah-langkah persiapan. Ia ingin melengkapi bekal Glagah Putih sampai saatnya ia berangkat. Bekal yang cukup mantap untuk membentuk anak muda itu menjadi seorang pewaris ilmu dari jalur perguruan Ki Sadewa. Setelah itu. maka ia akan menunjukkan kepada Glagah Putih pemantapan dan pematangan ilmunya didalam goa yang pernah diketemukannya. Meskipun tidak dengan sengaja ia telah merusak bagian terakhir, justru bagian yang paling tinggi nilainya dari ilmu itu, namun dengan bekal kemampuannya dan ilmunya sendiri, serta ketajaman akal dan budinya, ia merasa akan sanggup memperbaikinya. “Dengan demikian, jika kemampuan daya tangkap Glagah Putih cukup tajam, ia akan dapat menguasai ilmu itu sebaik-baiknya,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya, “tetapi jika ia tidak sampai tuntas, maka pada suatu saat, aku tinggal menyempurnakannya saja.” Namun demikian. Agung Sedayu mempertimbangkan kemungkinan untuk memohon kepada Ki Widura mendampinginya, agar Glagah Putih melakukan latihanlatihan didalam goa itu dengan wajar.

“Ia belum siap untuk memasuki suatu cara pembajaan diri dengan cara seperti yang pernah aku lakukan,“ berkata Asung Sedayu didalam hatinya. “Namun sejalan dengan tingkat kedewasaannya, maka pada suatu saat, ia akan mengenalnya juga. Nampaknya ia lebih dekat pada cara yang aku tempuh daripada cara yang dilakukan oleh Swandaru.” Pada hari-hari berikutnya Agung Sedayu mulai mempersiapkan Glagah Putih untuk memasuki suatu cara latihan yang khusus. Ia mulai memperkenalkan Glagah Putih ujud dan gambar serta perlambangperlambang dari tata gerak dan sifat dari ilmunya. Sedikit demi sedikit ia mengarahkan Glagah Putih untuk menekuni lambang-lambang yang ditunjukkannya. Kiai Gringsing yang melihat cara yang mulai dilakukan oleh Agung Sedayu itu menarik nafas dalamdalam. Ketika ia sempat berbicara dengan anak muda itu, maka katanya, “Agung Sedayu, nampaknya kau telah bersiap-siap menjelang keberangkatanmu ke Tanah Perdikan Menoreh ?” Agung Sedayu termangu-mangu. Ia tidak segera mengetahui maksud gurunya. Namun kemudian Kiai Gringsing itu menjelaskan, “Selelah kau pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, agaknya kau ingin meninggalkan tuntunan ilmu kepada Glagah Putih. Apakah terpikir olehmu untuk menunjukkan goa yang pernah kau kunjungi itu ?” Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Namun ia menjawab, “Ya guru. Aku mohon maaf, bahwa aku belum menyampaikan rencana itu kepada guru meskipun aku sudah mulai mempersiapkannya.” Kiai Gringsing tersenyum. Jawabnya, “Itu adalah pertanda bahwa kau benar-benar sudah mempertimbangkannya masak-masak dengan sikap yang dewasa pula. Cara itu sama sekali bukannya satu kesalahan. Kau memang tidak perlu tergantung kepadaku terus-menerus. Pada suatu saat kau memang harus berdiri diatas kepribadianmu sendiri seutuhnya. Jika perlu saja kau dapat minta pertimbanganku. Karena didalam perkembangan selanjutnya, mungkin nalar dan budimu akan berkembang menjadi lebih baik dari aku.” Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara gurunya berkata, “Teruskan rencanamu. Kau menurut pendapatku, sudah melangkah kejalan yang paling baik bagi perkembangan ilmu Glagah Putih. Ia akan matang dengan ilmu yang tumurun dari Ki Sadewa. Jika ia benar-benar berhasil, maka ia sudah memiliki bekal yang cukup, meskipun bukan berarti bahwa ia harus berhenti. Karena masih mungkin ia melengkapi dirinya dengan berbagai macam ilmu yang lain. Mamun segalanya tergantung kepada perkembangan kepribadiannya pula.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ternyata bahwa gurunya justru memperkuat rencananya untuk membawa Glagah Putih ke sebuah goa yang pernah diketemukannya diluar kehendaknya sendiri. “Agung Sedayu,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “ada beberapa keuntungan jika kau tempuh cara itu. Ki Widura yang tidak lagi terikat atas sesuatu kewajiban itu akan dapat mengawasi Glagah Putih

sementara Glagah Putih memperdalam ilmunya. Bahkan hal itu akan berguna bagi Ki Widura sendiri. Meskipun ia menjadi semakin tua, namun tidak ada batas keterlambatan bagi seseorang untuk memperdalam ilmu. Sehingga dengan demikian, disamping mengawasi perkembangan ilmu Glagah Putih dengan tuntunan ilmu yang memang sedang dipelajarinya, Ki Widura sendiri akan dapat mengambil manfaat pula. Namun sudah barang tentu, bahwa keduanya harus dapat memegang rahasia sebaik-baiknya.” “Ya guru,“ jawab Agung Sedayu. Sementara itu gurunya berkata selanjutnya, “Disamping itu, aku akan mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu atas adik seperguruanmu. Meskipun aku tidak dapat melepaskan begitu saja Glagah Putih yang bagaimanapun juga, sedikit banyak aku merasa ikut bertanggung jawab atas perkembangannya jika kau tidak ada. namun perkembangan Swandarupun harus mendapat penilikan yang lebih saksama. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti sepenuhnya kecemasan gurunya tentang perkembangan ilmu Swandaru yang tidak seperti dikehendaki oleh Kiai Gringsing. Cara yang ditempuh oleh Swandaru condong kepada kekuatan dan ketrampilan kewadagan. Hal itu bukannya satu kesalahan mutlak. Tetapi perkembangannya tidak dapat pesat sebagaimana dilakukan oleh Agung Sedayu. Bahkan seandainya Swandaru berhasil meni ,ipai puncak kemampuannya, maka yang dicapai itu tidak ;:kan mengimbangi kemampuan Agung Sedayu. Bagaimanapun juga. Kiai Gringsing akan dapat dipersalahkan meskipun oleh batinnya sendiri. Seolah-olah ia memang lebih banyak memperhatikan Agung Sedayu daripada Swandaru. “Tetapi Agung Sedayu seakan-akan mencari jalannya sendiiri untuk mencapai tingkat ilmunya yang sekarang, Kiai Gringsing mencoba mencari sandaran. Namun jauh di dalam lubuk hatinya Kiai Gringsing merasakan satu keraguan, seandainya Swandaru memiliki ilmu setingkat dengan Agung Sedayu, apa sajakah yang akan dilakukannya.” Dalam pada itu. karena Kiai Gringsing telah menyetujuinya, maka Agung Sedayupun telah mengarahkan latihan-latihan Glagah Putih semakin jelas sebagaimana direncanakannya meskipun ia sendiri belum mengatakannya. Agung Sedayu semakin banyak mempergunakan gambar dan lambanglambang dari unsur-unsur gerak yang harus dimengerti oleh Glagah Putih. Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih merasa cara itu menjadi semakin sulit. Bahkan ia pernah bertanya kepada Agung Sedayu, kenapa ia mencoba cara yang lain bagi latihan-latihan yang diberikan. “Glagah Putih,” berkata Agung Sedayu, “pada suatu saat, mungkin kau akan memerlukan latihanlatihan tanpa seorang penuntunpun. Jika kau sudah terbiasa dengan latihan-latihan seperti yang aku berikan sekarang, sementara kau mempunyai tuntunan gambar, lukisan, pahatan atau sejenis itu dengan lambang-lambang gerak dan unsur-unsur gerak dari ilmu yang sedang kau pelajari, maka kau akan dapat melakukannya justru lebih jelas dan pasti dari cara yang pernah aku pergunakan sebelumnya.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun, ia bukan anak-anak lagi. Panggraitanya sudah cukup tajam menanggapi keadaan. Karena itu. maka seolah-olah dibawah sadarnya ia bertanya, “Kapan kau akan berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh ?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun tidak dapat lagi menganggap Glagah Putih sebagai anak-anak yang selalu harus dikelabui. Karena itu maka jawabnya, “Tidak lama lagi, seperti yang pernah dikatakan. Ki Gede Menoreh akan datang kemari. Aku mendapat kewajiban untuk membantu Ki Gede Menoreh, mengurangi kelesuan yang kini terasa menjalari Tanah Perdikan itu.” “Dan kakang hanya akan sekedar meninggalkan gambar, lukisan atau lambang-lambang itu untukku,“ bertanya Glagah Putih. “Tidak Glagah Putih,” berkata Agung Sedayu, “aku akan berbuat lebih banyak lagi, meskipun aku belum dapat mengatakannya kepadamu.” “Bagaimana jika aku ikut kakang saja ke Menoreh ?“ bertanya Glagah Putih. “Pada saatnya Glagah Putih,” jawab Agung Sedayu. “tetapi tentu tidak disaat-saat permulaan. Untuk beberapa saat lamanya, aku harus melihat-lihat keadaan. Kemudian aku akan menentukan langkah-langkah yang paling baik yang dapat aku lakukan untuk mengatasi keadaan. Jika kemudian semuanya sudah mapan, kau akan dapat menyusul aku ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi pada saat itu. aku kira kau sudah tidak memerlukan aku lagi.” “Ah. tentu tidak. Dalam waktu lima sampai sepuluh tahun mendatang, belum tentu aku dapat mencapai tingkat ilmu seperti kakang Agung Sedayu sekarang ini,“ berkata Glagah Putih. “Tidak. Jauh lebih cepat dari itu,” jawab Agung Sedayu, “asal kau selalu melihat kedalam dirimu. Bukan saja sebagai ujud wadagmu. tetapi kau dalam seutuhnya. Kau sudah mulai dengan mengenal tenaga cadangan didalam dirimu. Karena itu. kenalilah dirimu lebih banyak lagi.” Glagah Putih mengangguk-angguk, ia menangkap serba sedikit apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu. Didalam hati ia berjanji, bahwa ia akan mencari penjelasan dari kata-kata Agung Sedayu itu didalam dirinya. Karena itulah, maka Glagah Putihpun justru telah berusaha untuk memahami sebaik-baiknya cara yang dipergunakan oleh Agung Sedayu kemudian. Dengan ketajaman ingatannya. Agung Sedayu telah mempergunakan lambang, bentuk dan lambang-lambang seperti yang tertera didalam goa sesuai dengan urutan perkembangan ilmu yang sedang diberikan kepada Glagah Putih. Selain pengenalan atas gambar dan lambang-lambang dari unsur-unsur didalam ilmunya. Agung

Sedayu berusaha untuk menuntun Glagah Putih melihat dirinya pada kedalamannya. Bukan sekedar riak dipermukaan dengan kelebihan pada wadagnya. Perlahan-lahan Agung Sedayu mulai membayangkan, bahwa disuatu tempat ada sebuah dinding yang luas yang memuat gambar dan lambang-lambang dari unsur-unsur gerak ilmu yang sedang dipelajarinya itu. Tetapi Agung Sedayu masih belum menunjukkan tempat itu dengan jelas. “Glagah Putih,” berkata Agung Sedayu, “jika sampai saatnya aku pergi. maka aku akan membawamu kesuatu tempat dimana akan terdapat dinding yang luas. Pada dinding itu tertera lambang-lambang ilmu yang dapat kau pelajari sendiri dengan bekal ilmu yang telah kau miliki. Sampai saat ini tidak ada seorangpun yang pernah mehhat lukisan lambang-lambang itu kecuali aku. Sebelumnya tentu sudah ada orang yang memasukinya, setidak-tidaknya orang yang membuat pahatan lambang-lambang pada dinding yang luas itu. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Akan sangat ngelangut. Seorang diri didalam sebuah goa.” “Tetapi dengan demikian kau akan mendapat kesempatan untuk mengenal dirimu lebih banyak lagi. Mengenal dirimu dalam segala segi. sifat dan watak. Kau akan mendapat kesempatan untuk melihat yang baik dan yang buruk pada dirimu. Pada watak dan sifatmu,“ berkata Agung Sedayu. Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa Agung Sedayupun tentu pernah melakukannya. Bahkan ia tentu masih sering melakukannya dalam batas waktu dan keadaan tertentu. Dalam pada itu, selagi Agung Sedayu sibuk mempersiapkan Glagah Putih menjelang keberangkatannya ke Tanah Perdikan Menoreh, maka jauh dari padepokan kecil di Jati Anom, Ajar Tal Pitu sedang mesu diri. Ia telah memilih tempat yang memadai untuk melakukannya. Dengan tiga orang muridnya ia telah menyisih dari lingkungannya padepokan Tal Pitu. Dibuatnya sebuah gubug kecil dilereng Gunung Kelut di tempat yang jarang dikunjungi orang. Ditempat itulah Ajar Tal Pitu berpuasa ampat puluh hari ampat puluh malam, dengan tidak makan beberapa jenis bahan makanan. Pada akhir dan masa mesu diri itu. ia akan melakukan pati geni selama tiga hari tiga malam. Tiga orang muridnya itu harus melayaninya selama ia mesu diri dan menjaganya selama ia pada saatnya akan pati geni. Namun Ajar Tal Pitu tidak mengetahui, bahwa sebelum hari-hari terakhir dari masa ampat puluh hari itu. Agung Sedayu sudah tidak akan berada dipadepokannya lagi, karena ia akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Betapa dendam rasa-rasanya masih saja membakar jantungnya. Didalam mesu diri. tidak ada yang nampak sebagai sasaran dendamnya, kecuali anak muda dari Jati Anom yang dapat mengalahkannya. “Setelah ampat puluh hari ampat puluh malam serta tiga hari tiga malam mesu diri, maka anak itu akan menjadi lumat sama sekali. Meskipun pada dasarnya ia kebal, apakah karena ilmu kebal, atau karena

ilmu yang lain, namun ia tidak akan dapat bertahan dari ilmuku setelah aku selesai mesu diri dengan laku terakhir dari seluruh kewajibanku. Aku akan menjadi sempurna dan tidak ada orang yang akan mampu mengimbangi ilmuku, meskipun guru anak iblis itu sekalipun.” Sementara itu, saat yang dijanjikan oleh Ki Gede Menoreh untuk datang kembali ke padepokan kecil di Jati Anom itupun menjadi semakin dekat. Tidak sampai ampat puluh hari ampat puluh malam sejak ia kembali pada kunjugannya yang terdahulu. Dalam pada itu, ternyata telah terjadi satu pergolakan perasaan di padepokan kecil di Jati Anom itu. Masing-masing dibebani oleh persoalan yang berbeda-beda. Glagah Putih merasa sedih karena Agung Sedayu terpaksa meningalkannya. Ia belum tahu, untuk waktu berapa panjangnya, ia mendapat kesempatan untuk menyusul. Sementara itu. Kiai Gringsing sibuk memikirkan keadaan kedua muridnya yang semakin lama telah dipisahkan oleh jarak yang semakin panjang. Tetapi disamping itu. sebenarnyalah Kiai Gringsing telah dibebani pula oleh kebimbangan yang tiada taranya. Pada saat-saat terakhir ia melihat, pertentangan ilmu yang menjadi semakin meningkat. Orang-orang yang merasa ilmunya kurang memadai telah menempa diri dengan segala macam cara, sehingga dengan demikian, maka ilmu yang saling berbenturan itupun menjadi semakin meningkat pula. Dalam keadaan yang demikian, kadang-kadang Kiai Gringsing harus merenungi dirinya sendiri. Dalam keadaan serupa itu, ia tidak dapat berbicara dengan siapapun. Juga tidak dengan Ki Waskita. Namun Kiai Gringsingpun sadar, bahwa Ki Waskita yang memiliki sebuah kitab yang memuat berbagai macam tuntunan olah kanuragan dan kajiwan, serta petunjuk laku badani dan jiwani untuk mencapai satu tingkat dan jenis ilmu tertentu, jika ia merasa perlu, tentu akan dapat meningkatkan ilmunya meskipun ia sudah tua. Kiai Gruigsing menarik nafas dalam-dalam. Setiap kali ia meraba pergelangan tangannya, maka rasarasanya jantungnya berdegup semakin cepat. “Tidak pantas,“ tiba-tiba saja ia menggeram, “tidak seharusnya aku membiarkan ketamakan itu menggelora didalam hati. Aku sudah memiliki landasan ilmu yang cukup untuk melindungi diriku. Kenapa aku harus memikirkan sesuatu yang sudah aku simpan jauh didalam timbunan niatku sejak semula. Apakah dengan ilmu yang dahsyat itu, aku akan dapat menyelesaikan semua persoalan ?” Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Desisnya, “Tidak perlu. Selama ini aku masih tetap mampu bertahan tanpa mempergunakannya.” Tetapi Kiai Gringsingpun mulai digoda oleh satu pertanyaan, apakah ilmu itu akan dibiarkan lenyap bersama jazadnya yang pada suatu saat aku kembali kepangkuan bumi. “Apakah mungkin bagiku untuk memberikan hanya kepada salah seorang saja dari kedua muridku,“ pertanyaan itu telah pula bergejolak didalam hatinya.

Namun akhirnya Kiai Gringsing itu berkata didalam hatinya, “Ternyata aku belum dapat mengambil satu kesimpulan. Sifat dan watak kedua muridku berbeda, sehingga mereka harus mendapat perlakuan yang berbeda pula.” Saat-saat yang menggelisahkan di padepokan kecil di Jati Anom itupun berlalu dari hari ke hari. Agung Sedayu dengan sungguh-sungguh menuntun Glagah Putih sampai pada tahap-tahap terakhir dari latihan dasarnya. Dalam pada itu, Glagah Putihpun semakin mengenal dan terbiasa dengan gambar dan lambang-lambang dari tata gerak dalam jalur peningkatan ilmunya. Sementara itu. Agung Sedayu sendiri masih selalu menyediakan waktu meskipun hanya sedikit bagi dirinya sendiri. Meskipun ia telah meloncat sampai ketataran yang tinggi didalam ilmu kebal, namun ia masih merasa perlu untuk meningkatkan sedikit demi sedikit cabang ilmunya yang lain, karena Agung Sedayu masih merasa bahwa cabang ilmunya yang lain masih mungkin ditingkatkan. Bahkan kadang-kadang Agung Sedayu masih merasa cemas, bahwa ilmunya masih terlalu jauh dari memadai. Sebenarnyalah bahwa semakin banyak yang dimilikinya, maka ia merasa semakin banyak yang kurang pada dirinya. Dengan demikian, rasa-rasanya waktu yang sempit itu semakin sesak oleh kerja dan persiapan untuk satu masa perpisahan. Namun isi padepokan itupun samar, bahwa pada satu saat, mereka memang akan menentukan jalan hidup mereka masing-masing, sehingga mereka tidak akan dapat tetap berkumpul untuk seterusnya. Sebagaimana Agung Sedayu dan Swandaru yang berguru pada orang yang sama, namun pada suatu saat merekapun telah berpisah pula. Tetapi perpisahan itu datangnya terasa terlalu cepat bagi Glagah Putih. Ia merasa bahwa ia masih sangat memerlukan Agung Sedayu. Namun ia tidak akan dapat menghindari perpisahan itu. Tetapi dengan satu harapan bahwa ia akan dapat berkumpul lagi pada suatu saat dikemudian hari. Pada hari-hari terakhir, Glagah Putih telah menjadi masak dan siap untuk melakukan latihan-latihan dengan cara yang khusus. Dengan gambar dan lambang-lambang. Karena itu. maka Agung Sedayu menganggap bahwa ia tidak akan canggung lagi untuk ditinggalkannya dengan satu petunjuk tentang sebuah goa yang memuat gambar dan lambang-lambang yang dipahatkan pada dindingnya tetang ilmu yang dianut oleh Ki Sadewa. Tetapi hari-hari itu terasa cepat sekali berlalu. Ketika pada suatu hari padepokan itu dikejutkan oleh kehadiran sebuah iring-iringan kecil dari Tanah Perdikan Menoreh. Ternyata Ki Gede datang sebagaimana waktu yang dikatakannya diiringi oleh empat orang pengawalnya. Dengan jantung yang berdebar-debar Glagah Putih menanggapi kehadiran mereka. Ia sadar, bahwa kehadiran mereka akan berarti saat perpisahannya dengan Agung Sedayu menjadi semakin mendesak. Sebenarnyalah bukan saja Glagah Putih yang menjadi gelisah. Perpisahan memang tidak

menyenangkan. Kiai Gringsing, Ki Widura dan Sabungsari yang selalu datang kepadepokan itupun merasa, betapa mereka menjadi gelisah. Meskipun Agung Sedayu masih belum beranjak dari padepokan itu, tetapi terasa bahwa kesepian telah mulai meraba perasaan mereka. Berbeda dengan penghuni padepokan itu, Ki Gede Menoreh nampak datang sambil membawa harapan bagi Tanah Perdikannya. Ia membayangkan bahwa Agung Sedayu akan dapat berbuat sebagaimana dilakukan oleh Swandaru bagi Sangkal Putung. Setelah duduk dipendapa, dan setelah mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing, maka mulailah Ki Gede menyebut-nyebut maksud kedatangannya. “Aku memenuhi seperti yang sudah aku katakan kira-kira sebulan yang lalu,” berkata Ki Gede Menoreh. “Waktu itu datangnya terlampau cepat,” sahut Kiai Gringsing, “rasa-rasanya kami belum siap untuk melepaskan Agung Sedayu.” “Tetapi Kiai tidak akan melepaskannya untuk seterusnya,“ berkata Ki Gede, “setiap saat. anak muda itu akan dapat datang menghadap jika Kiai perlukan, atau jika kebetulan Kiai sempat datang ke Tanah Perdikan Menoreh, maka bukan saja Agung Sedayu, tetapi kami semuanya akan merasa senang sekali.” Kiai Gringsing tersenyum betapapun pahitnya. Sementara itu Ki Widura berkata, “Sebenarnya anakku masih sangat memerlukannya. Tetapi apaboleh buat. Saat-saat yang demikian akan datang juga, lambat atau cepat.” “Kenapa angger Glagah Putih tidak ikut saja ke Tanah Perdikan Menoreh,“ bertanya Ki Gede Menoreh. “Biarlah ia mempersiapkan dirinya lebih baik lagi,“ jawab Ki Widura, “pada suatu saat, aku memang akan melepaskannya pula. Tetapi tidak secepatnya.” Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk, ia dapat mengerti, betapa orang-orang yang akan ditinggalkan oleh Agung Sedayu itu merasa dibayangi oleh kesepian. Sebagaimana yang pernah dialami oleh Ki Gede sendiri. Meskipun ia dapat memanggil berpuluh-puluh anak muda setiap hari dirumahnya, tetapi kepergian Pandan Wangi ke Sangkal Putung, membualnya menjadi sepi dan seolah-olah terasing. Tetapi atas permintaan Kiai Gringsing. Ki Gede Menoreh tidak akan tergesa-gesa kembali ke Tanah Perdikannya bersama Agung Sedayu. Bahkan Kiai Gringsing telah bertanya kepada Ki Gede, “Bukankah Ki Gede akan menengok Pandan Wangi pula barang satu dua hari di Sangkal Putung?” “Ya Kiai,” jawab Ki Gede, “aku tentu akan menengok anakku. Tetapi rasa-rasanya aku lebih mapan berada di padepokan ini. Mungkin aku akan berada di Sangkal Putung disiang hari dan kembali ke padepokan ini dimalam hari.”

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Bagi kami disini, sama sekali tidak ada keberatannya.” “Ya, aku tahu maksud Kiai,“ sahut Ki Gede Menoreh. “Tetapi jika demikian apakah tidak akan terasa janggal oleh Ki Demang Sangkal Putung?” Kiai Gringsing tertawa, sementara Ki Gedepun tertawa pula. Bagaimanapun juga, tentu akan terasa oleh Ki Demang, seolah-olah Ki Gede kurang mapan tinggal di Sangkal Putung, justru pada anak menantunya sendiri. Demikianlah, seperti yang diperbincangkan itu, Ki Gede memang merencanakan untuk pergi ke Sangkal Putung. Meskipun belum lama berselang ia baru saja menemui anak dan menantunya, tetapi jika ia sudah berada di Jati Anom maka untuk bergeser ke Sangkal Putung tinggallah jarak yang pendek saja. Dalam pada itu, meskipun Agung Sedayu sudah mempersiapkan sebelumnya, ternyata kehadiran Ki Gede Menoreh itu terasa terlampau cepat. Karena itu, rasa-rasanya ia menjadi sangat tergesa-gesa untuk mempersiapkan Glagah Putih sebelum ia meninggalkan Jati Anom. Ketika ia mendengar keterangan bahwa Ki Gede Menoreh akan pergi ke Sangkal Putung barang dua tiga hari, maka Agung Sedayu merasa agak lapang. Ia mempunyai waktu untuk kesempatan yang terakhir kalinya sebelum ia meninggalkan Glagah Putih untuk memberikan pesan-pesan dan petunjuk-petunjuk yang sangat diperlukan. Tetapi Agung Sedayu menjadi berdebar-debar ketika Ki Gede bertanya, “Apakah kau tidak pergi ke Sangkal Putung bersama aku ? Kau tentu akan minta diri kepada Sekar Mirah dan keluarganya.” Agung Sedayu menjadi semakin bingung. Tetapi ia benar-benar tidak dapat pergi sebelum ia menyelesaikan pesan-pesan terakhirnya kepada Glagah Putih. Karena itu, maka katanya, “Aku masih akan menyelesaikan beberapa kewajibanku disini Ki Gede. Meskipun sudah aku persiapkan beberapa lama, tetapi pada saat terakhir, rasa-rasanya waktu berjalan terlampau cepat.” Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baiklah. Aku akan pergi lebih dahulu. Baru dikeesokan harinya kau akan menyusul.” Ketika Ki Gede pergi ke Sangkal Putung diiringi oleh para pengawalnya dan diantar oleh Ki Waskita karena perkembangan keadaan yang kadang-kadang sangat mendebarkan didaerah itu. maka Agung Sedayu mempunyai rencananya sendiri dengan Glagah Putih. “Waktuku sudah habis Glagah Putih,“ berkata Agung Sedayu, “namun sementara itu, kau sudah menjadi semakin dewasa. Kau sudah cukup masak untuk menentukan langkah-langkahmu sendiri. Kau harus menjadi seorang anak muda yang lebih tangkas berpikir dan bertindak dari aku. Seumurmu, aku masih sangat ketinggalan.”

“Apakah yang harus aku lakukan, kakang ?“ bertanya Glagah Putih. “Kita akan pergi kesuatu tempat,“ jawab Agung Sedayu. “Kemana ?“ bertanya Glagah Putih kemudian. “Kau sekarang sudah cukup dewasa,“ berkata Agung Sedayu pula, “dengan demikian maka sudah sewajarnya jika kau harus dapat bersikap dewasa pula.” “Aku akan mencoba,“ jawab Glagah Putih. “Baik,“ berkata Agung Sedayu, “yang akan aku tunjukkah kepadamu adalah satu rahasia. Rahasia yang tidak seorangpun yang mengetahui kecuali aku, guru dan Ki Waskita.” Glagah Putih menjadi tegang. “Karena itu, kaupun harus merahasiakannya. Kau tidak boleh mengatakannya kepada siapapun. Juga kepada Sabungsari. Meskipun aku sudah yakin, bahwa ia tidak akan berbuat jahat, tetapi untuk sementara biarlah ia tidak mengetahuinya,“ berkata Agung Sedayu. “Bagaimana dengan ayah ?“ bertanya Glagah Putih. “Aku tidak berkeberatan. Jika kau ingin memberitahukan kepada paman Widura, maka kaupun harus berpesan, bahwa tidak ada orang lain lagi yang boleh mengetahuinya. Kau mengerti ?“ bertanya Agung Sedayu kemudian. Glagah Putih mengangguk-angguk. Jawabnya lirih, “Aku mengerti kakang.” “Nah, aku kira kau masih ingat, bahwa pada suatu saat aku pergi untuk waktu yang agak lama ? Satu bulan ?” bertanya Agung Sedayu. Glagah Putih mengingat-ingat sejenak. Sementara Agung Sedayu berkata lebih lanjut, “Aku kembali dalam keadaan yang sangat lemah.” “Ya, ya. Aku ingat,” jawab Glagah Putih kemudian. “Aku pergi dari satu tempat yang aku sebut rahasia itu. Sebelum aku pergi ke Tanah Perdikan, aku ingin menunjukkan kepadamu tempat itu,“ berkata Agung Sedayu kemudian. “Untuk apa ?“ bertanya Glagah Putih. “Pada saatnya kau akan mengetahui,“ jawab Agung Sedayu. Glagah Putih tidak bertanya lebih lanjut. Ia mengerti, bahwa tentu Agung Sedayu mempunyai maksud tertentu. Jika tidak ada sesuatu yang sangat penting, maka ia tidak akan membawanya ke manapun

juga. “Kita akan berangkat menjelang pagi, agar tidak seorangpun yang melihatnya,“ berkata Agung Sedayu, “di saat matahari terbit, kita akan sampai ketempat itu. Tempatnya memang tidak terlalu jauh.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan berbuat apa saja yang baik menurut kakang.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia masih ingin berbuat lebih banyak lagi atas anak itu. Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan lagi. Demikianlah seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka menjelang dini hari. keduanya telah meninggalkan padepokan setelah mereka minta diri kepada Kiai Gringsing dan Ki Widura. Meskipun sisa-sisa malam masih gelap, tetapi ketajaman indera Agung Sedayu telah menuntunnya berjalan menuju ke goa ditepi sungai yang bertebing curam, setelah mereka melintasi sebuah hutan kecil. Ketika langit menjadi merah, keduanya telah berada dilereng sungai yang curam itu. Dengan hati-hati mereka menuruni tebing. Kemudian, keduanyapun telah mendekati mulut goa yang berada di lereng tebing sungai itu. “Kita akan memasuki goa itu Glagah Putih,“ berkata Agung Sedayu. “Goa apakah itu kakang ?“ bertanya Glagah Putih. “Kau akan mengetahuinya. Kali ini kita hanya ingin melihat isinya. Kemudian, kau sendirilah yang akan menentukan kelanjutannya.” Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Baiklah. Kita akan memasukinya. Tetapi apakah kakang pernah masuk sebelumnya?” “Sudah. Bukankah aku pernah mengatakan, bahwa aku pernah pergi kesatu tempat yang aku rahasiakan ? Ketika aku pulang, aku merasa sangat letih,“ jawab Agung Sedayu. Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Diluar sadarnya ia bertanya, “Apakah aku juga harus melakukan seperti yang kakang lakukan ?” “O. tidak. Tidak,“ jawab Agung Sedayu, “pada saat itu aku melakukan tanpa petunjuk, tanpa pengertian lain kecuali tekad yang menyala didalam dada ini.” “Jadi aku akan berbuat tidak seperti yang kakang lakukan ?” bertanya Glagah Putih pula. “Tidak. Kau tidak perlu berbuat seperti yang aku lakukan sehingga kau akan menjadi sangat letih,“ jawab Agung Sedayu, “nah, sekarang ikut aku memasuki goa itu.” Glagah Putihpun kemudian mengikuti Agung Sedayu memasuki goa itu. Meskipun matahari sudah

memanjat langit, tetapi udara didalam goa itu masih sangat lembab dan gelap. Dengan pengenalannya yang tajam Agung Sedayupun dapat langsung membawa Glagah Putih ketempat yang dicarinya. Setelah beberapa lama mereka merayap meloncat dan masuk kedalam sebuah lubang kemudian merangkak menelusuri jalur yang sempit, akhirnya mereka sampai kesebuah ruangan yang diterangi oleh cahaya dari lubang di atas ruang itu. Ketika Agung Sedayu berhenti di ruang itu, dan kemudian berpaling kearah Glagah Putih, dilihatnya anak muda itu berdiri bersandar dinding goa. Nafasnya terasa terengah-engah dan lututnya menjadi pedih. “Kenapa kau Glagah Putih,” bertanya Agung Sedayu dengan cemas. Glagah Putih menggeleng. Jawabnya, “Tidak apa-apa kakang.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Baru ia sadar, bahwa jalan menuju keruang itu memang terlalu sulit untuk dilalui. Agung Sedayupun teringat bagaimana pertama kali ia memasuki ruang itu. Lututnya menjadi terluka karena merangkak didalam sebuah lubang dari sebuah goa yang berdinding padas. “Beristirahatlah,“ berkata Agung Sedayu. Glagah Putihpun kemudian duduk dengan letih. Ketika ia menengadahkan wajahnya, iapun melihat dua buah lubang yang tidak terlalu besar. “Oleh lubang-lubang itulah, maka ruangan ini tidak menjadi pepat. Udara sempat masuk dan jika matahari memanjat semakin tinggi, maka sinarnyapun akan masuk pula kedalam ruangan ini,“ berkata Agung Sedayu. “Apakah kakang pernah berada di ruang ini ?“ bertanya Glagah Putih. “Ya. Aku menemukan ruang ini tidak dengan sengaja,“ jawab Agung Sedayu. “Apakah yang menyebabkan tempat ini memberikan arti bagi kakang Agung Sedayu, dan apa pula yang akan dapat aku sadap disini ?“ bertanya Glagah Putih yang segera ingin tahu. Agung Sedayu tersenyum. Katanya,“ beristirahatlah sebentar. Nanti aku akan menunjukkannya.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dalam pada itu, mataharipun memanjat semakin tinggi. Bayangannya mulai nampak pada lubang yang terdapat diatas ruang itu, sehingga ruangan itupun rasarasanya menjadi semakin terang.

“Glagah Putih,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “jika nafasmu telah teratur kembali dan ruangan ini menjadi semakin terang, marilah kita melihat, apakah yang dapat kita sadap didalam ruangan ini.” “Aku sudah tidak sabar lagi kakang,“ jawab Glagah Putih. Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, “Baiklah. Berdirilah.” Glagah Putihpun kemudiajn berdiri. Ia menjadi heran ketika ia melihat Agung Sedayu berdiri menghadap dinding. Ketika tangannya mengusap dinding goa itu, Glagah Putih bertanya, “Kenapa dengan dinding goa itu ?” “Debunya tidak setebal saat aku memasuki goa ini untuk pertama kali,“ berkata Agung Sedayu. “Debu apa ?” bertanya Glagah Putih pula. “Debu yang melekat pada dinding goa ini,“ jawab Agung Sedayu. Ketika sekali lagi ia meraba dinding goa itu, maka katanya, “Lakukanlah seperti yang aku lakukan. Kemarilah. Usaplah dinding goa ini. Disini.” Glagah Putih menjadi heran. Tetapi ia melakukan seperti yang dilakukan Agung Sedayu. Ketika Agung Sedayu mengusap dinding goa yang kotor itu, iapun melakukannya. “Apa yang terasa di tanganmu ?” bertanya Agung Sedayu. “Debu,“ sahut Glagah Putih. “Dibalik debu.“ Agung Sedayu menjelaskan. Glagah Putih mengerutkan keningnya. Kemudian iapun mulai merasa sambil memperhatikan apa yang terasa ditangannya. Hatinya menjadi berdebar-debar ketika terasa goresan-goresan pada dinding goa itu. Garis-garis. Bukan saja garis-garis. Tetapi tentu sebuah lukisan yang terpahat pada dinding itu. Dengan tergesa-gesa Glagah Putihpun kemudian menghapus debu pada dinding itu. Meskipun Agung Sedayu tidak pernah mengatakannya apa yang dilakukannya, tetapi Glagah Putih telah melakukan seperti apa yang pernah dilakukan itu. Dengan kain panjangnya Glagah Putih telah mengibas debu yang ada pada dinding goa, yang tidak setebal saat Agung Sedayu menemukannya. Sesaat kemudian, Glagah Putih telah melihat dengan jelas, lukisan yang terpahat pada dinding goa itu. Lukisan dan gambar-gambar seperti yang pernah diperkenalkan Agung Sedayu kepadanya. “Kakang,“ desis Glagah Putih, “bukankah ini lambang-lambang gerak dari ilmu yang sedang aku pelajari ?”

“Ya,“ jawab Agung Sedayu, “ketahuilah, dinding ini penuh dengan pahatan lukisan dan lambanglambang seperti itu.” Wajah Glagah Putih menjadi tegang dan jantungnya seolah-olah berdegup semakin keras. Dengan serta-merta iapun kemudian mengusap dinding itu dengan kain panjangnya. Agung Sedayu tidak mencegahnya. Dibiarkannya saja Glagah Putih berbuat demikian. Namun ketika sebagian besar dari dinding itu sudah dibersihkan, Glagah Putih itu berhenti. Sambil bersandar dinding goa itu, ia menarik nafas panjang. Beberapa kali, sambil menghentak-hentakkan tangannya. Katanya, “Menghapus debu pada dinding seluas ini ternyata memerlukan tenaga yang cukup banyak.” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Itu baru menghapus debunya. Kau belum mulai dengan gerak seperti yang terpahat pada dinding goa itu.” “Ya. Aku sekarang dapat membayangkan, kenapa kakang menjadi nampak sangat letih ketika kembali ke padepokan pada saat itu,“ berkata Glagah Putih. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak membantahnya, meskipun yang dikatakan oleh Glagah Putih itu kurang tepat. Ia justru menekuni ilmu yang lain dari yang terpahat pada dinding goa itu. Baru kemudian ia menemukannya dan memperhatikannya pahatan itu dengan saksama dengan menilainya. Bahkan hampir saja ia terdorong oleh gejolak perasaannya sehingga ia berniat untuk merusak saja gambar dan lambang-lambang yang terpahat pada dinding goa itu. Namun untunglah bahwa saat itu ia teringat akan Glagah Putih, serta kemungkinan bagi perkembangan ilmu anak muda itu selanjutnya, yang masih tetap berada pada jalur ilmu Ki Sadewa, sehingga iapun mengurungkan niatnya itu. Kini ia sudah membawa Glagah Putih kedalam goa itu. Dan iapun telah menghadapkan Glagah Putih pada pahatan didinding goa itu untuk memperdalam ilmunya yang masih tetap pada jalur ilmu Ki Sadewa. Dalam pada itu, maka Agung Sedayupun kemudian berkata, “Glagah Putih. Aku sekarang hanya ingin menunjukkan kepadamu, tempat yang harus kaurahasiakan ini. Kau dapat mempelajarinya dengan tidak usah tergesa-gesa. Jika pada saat aku pergi meninggalkan padepokan, guru hanya memberi waktu aku satu bulan, maka sekarang kau dapat melakukan jauh lebih lama. Kau mempunyai waktu yang jauh lebih lapang, sehingga ilmu yang kau sadap itupun akan menjadi lebih masak.” “Tetapi, apakah ilmu kakang Agung Sedayu kurang matang ?“ bertanya Glagah Putih. “Disamping ilmu yang gambar dan lambangnya terpahat pada dinding goa ini, aku juga mempelajari ilmu kanuragan dari saluran ilmu Kiai Gringsing. Karena itu aku dapat mematangkan ilmuku lewat dua saluran. Sudah barang tentu bahwa dalam keadaan yang gawat, ilmu yang nampak lebih banyak aku pergunakan adalah ilmu yang aku sadap dari Kiai Gringsing,“ jawab Agung Sedayu.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Iapun dapat mengerti, bahwa pada Agung Sedayu pengaruh ilmu yang tersalur lewat Kiai Gringsing akan nampak lebih banyak dari ilmu yang dipelajarinya dengan tergesa-gesa karena waktu yang sangat singkat didalam goa itu. Namun sebenarnyalah. Agung Sedayu tidak berbuat demikian ketika ia berada didalam goa itu. Dalam pada itu, maka Agung Sedayupun berkata pula, “Glagah Putih. Aku kira kewajibanku atasmu sebagian besar telah selesai. Selanjutnya aku berharap bahwa kau akan berkembang lebih jauh. Mungkin kau akan mendapat petunjuk dari Ki Widura. Namun ketahuilah, bahwa paman Widura masih belum mencapai tataran terakhir dari ilmu ini. Tataran terakhir yang masih mungkin kau pelajari, karena tataran berikutnya, tataran yang mendekati sempurna, ternyata telah rusak.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya kakang. Aku akan dapat mencapai satu tingkat yang sama dengan ayah. Kemudian kami akan bersama-sama mengembangkan ilmu ini dengan mempelajarinya pada gambar yang dipahatkan pada dinding goa ini.” “Mungkin kau dapat berbuat demikian,” jawab Agung Sedayu, “tetapi aku yakin bahwa kemajuanmu akan jauh lebih pesat dari paman Widura. Kecuali usiamu adalah usia yang paling baik bagi perkembangan ilmu, juga niat yang membakar jantungmu akan jauh lebih besar dari paman Widura. Meskipun demikian kau akan dapat mencobanya. Jangan kau cegah ayahmu meningkatkan ilmunya dan menunggumu. Biarlah paman Widura melangkah lebih dahulu dari permulaan yang lebih baik darimu. Tetapi aku yakin, pada satu saat kau akan menyusulnya dan bahkan melampauinya.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Desisnya, “Baiklah kakang. Aku akan melakukannya. Tetapi, bagaimana dengan kakang Untara ?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, kemudian. “Gambar-gambar yang terpahat pada dinding ini sudah tidak banyak artinya lagi bagi kakang Untara. Jika ia melihat pahatan ini, maka manfaatnya tidak akan terlalu banyak. Ia sudah sampai pada tingkat terakhir. Yang sebenarnya diperlukan adalah tataran tertinggi yang justru sudah rusak itu.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Iapun mengerti, bahwa ilmu kakak sepupunya itu lebih baik dari ilmu ayahnya. Sementara itu, Untara masih selalu berusaha mengembangkan ilmunya itu meskipun waktunya sangat terbatas. “Glagah Putih,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “dalam waktu dekat aku akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Kau dapat mengatur waktumu bersama paman Widura dan Kiai Gringsing. Tetapi menurut pendengaranku. Kiai Gringsing akan berada disamping Swandaru untuk menilai

perkembangan ilmunya pada saat-saat terakhir. Tetapi tentu tidak akan terlalu lama.“ Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu. “sekali lagi aku ingatkan. Tempat ini adalah tempat yang harus dirahasiakan. Sabungsari, meskipun aku yakin, ia adalah orang yang baik didalam hidup barunya, namun ia masih belum perlu mengetahui apapun tentang goa dan pahatan pada dinding goa ini.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya, kenapa goa itu harus dirahasiakan terhadap orang terdekat sekalipun. Sementara itu, Agung Sedayupun berkata, “Glagah Putih. Aku merasa kepergianku tidak lagi dibebani oleh kewajiban yang terlalu berat. Gambar dan lambanglambang yang terpahat di dinding goa ini telah banyak membantu aku menuntunku pada jalur ilmu Ki Sadewa. Tentu cara yang akan kau tempuh berbeda dengan cara yang pernah aku lakukan. Namun aku percaya bahwa kau akan dapat menyelesaikannya dengan sebaik-baiknya. Pada saat kita akan bertemu lagi, maka kita akan dapat mempelajari bersama bagian yang tertinggi dari susunan ilmu yang justru sudah rusak dan retak-retak itu. Tetapi itu bukan berarti bahwa yang sudah rusak itu tidak akan dapat dipelajari dan disusun kembali.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya. “Aku berharap bahwa kakang tidak akan terlalu lama lagi sudah kembali ke padepokan. Beberapa bulan lagi kakang akan melangsungkan perkawinan kakang. Tentu kakang akan berada di Sangkal Putung. Namun sesudah itu, apakah kakang mengerti, apa yang akan kakang lakukan ?” Agung Sedayu menggeleng lemah. Jawabnya, “Belum Glagah Putih. Aku belum tahu. Tetapi jika benar aku akan diserahi tugas seperti yang dilakukan oleh Swandaru bagi Sangkal Putung, aku akan memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga sesudah hari perkawinan itu, akupun akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh untuk beberapa saat.” “Seandainya, kakang. Hanya seandainya. Pada saat itu aku sudah selesai dengan mempelajari gambar dan lambang-lambang yang tertera di dinding goa ini, apakah aku diperkenankan untuk mengikuti kakang ke Tanah Perdikan Menoreh ?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku belum dapat menjawabnya sekarang Glagah Putih. Semuanya masih tergantung sekali kepada keadaan dan suasana.” Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Ia mengerti, bahwa di Tanah Perdikan Menoreh Agung Sedayu tidak dapat menentukan segala sesuatunya menurut kehendaknya sendiri. Dalam pada itu, maka Agung Sedayupun kemudian berkata, “Tugas kita hari ini sudah selesai. Kita akan kembali ke padepokan. Tetapi kita akan menunggu matahari turun dan senja menjadi gelap, agar tidak seorangpun yang bertanya kepada kita. atau seseorang yang menduga-duga tentang perjalanan pendek ini.” “Kita akan keluar dari goa ?“ bertanya Glagah Putih.

“Ya. Kita akan menunggu diluar,“ jawab Agung Sedayu. Keduanyapun kemudian menelusuri jalur sempit meninggalkan ruangan itu. Seperti saat mereka memasukinya, maka mereka harus merangkak dan merayap. “Kenalilah jalur ini sebaik-baiknya Glagah Putih,“ pesan Agung Sedayu. Lalu. “Jika kau tersesat memasuki jalur yang lain, kau tidak akan menemukan gambar dan lambang-lambang yang terpahat pada dinding ruangan itu.” “Tetapi mungkin aku menemukan sesuatu yang lain lagi kakang,” jawab Glagah Putih. “Memang mungkin,“ jawab Agung Sedayu, “tetapi mungkin pula kau akan menelusuri jalan yang sangat panjang tanpa akhir. Atau terperosok ke jalur yang melingkar-lingkar tanpa ujung dan pangkal.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Iapun melakukan seperti yang dipesan oleh Agung Sedayu. Ia mencoba untuk mengenali jalur yang ditelusurinya sebaik-baiknya, agar jika ia pada suatu saat akan kembali lagi, maka ia tidak akan kehilangan jalan. Ketika keduanya kemudian sampai kemulut goa, Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Seolaholah ia ingin menghisap semua udara didepan mulut goa itu. Namun dalam pada itu, seperti saat Agung Sedayu pertama kali memasuki goa, maka lututnya telah terluka dan berdarah. “Kau dapat mandi disungai itu,“ berkata Agung Sedayu. Glagah Putih mengangguk. Iapun kemudian turun kesungai dan mandi sambil mencuci kain panjangnya yang kotor oleh debu. Kemudian membentangkannya diatas rumput yang tumbuh ditepian sambil menunggu matahari turun. Dalam pada itu, menjelang senja, barulah mereka meninggalkan tempat itu. Meskipun mereka tidak makan sehari penuh, selain beberapa potong ketela pohon rebus dipagi hari, namun mereka telah terbiasa dengan keadaan, serupa itu. Bahkan merekapun telah berusaha melatih diri menghadapi keadaan-keadaan yang gawat dan terpaksa. “Besok aku akan menyusul Ki Gede ke Sangkal Putung,“ berkata Agung Sedayu, “aku akan minta diri kepada keluarga di Sangkal Putung untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Pada saatnya aku akan kembali lagi, dan seterusnya aku belum tahu apa yang akan aku lakukan.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia menyadari keadaan Agung Sedayu meskipun ia tidak tahu dengan pasti. Karena itu, maka ia tidak bertanya lebih lanjut.

Malam itu juga Glagah Putih berbicara dengan ayahnya berdua saja. Ia memberitahukan tempat yang oleh Agung Sedayu dinyatakan sebagai tempat yang harus dirahasiakan itu. “Kau sudah melihat gambar-gambar itu seluruhnya ?“ bertanya Ki Widura. “Ya, ayah. Aku sudah melihat semuanya,“ jawab Glagah Putih. “Apakah bukan Agung Sedayu sendiri yang memahatkannya pada dinding ruangan itu ?“ bertanya Widura pula. Glagah Putih merenung sejenak. “Hal itu memang mungkin sekali. Tetapi untuk melakukannya tentu dibutuhkan waktu yang lama.” “Tetapi kakang Agung Sedayu belum pernah meninggalkan padepokan itu, atau sebelumnya terpisah dari Kiai Gringsing untuk waktu yang cukup lama.” jawab Glagah Putih. “Ia pernah pergi untuk waktu satu bulan lamanya. Ketika ia kembali, ia menjadi sangat letih,“ jawab Ki Widura. Waktu itu tidak cukup ayah. Justru saat itu kakang Agung Sedayu hanya mempelajari gambar dan lambang-lambang yang terdapat pada dinding ruangan didalam goa itu. Untuk memahatkan gambargambar dan lambang-lambang itu tentu diperlukan waktu yang lama sekali.” Widura mengangguk-angguk lemah. Tetapi yang diceriterakan oleh anaknya itu memang sangat menarik perhatiannya. Jika benar apa yang dikatakan oleh anak laki-lakinya itu, maka hal itu akan merupakan satu teka-teki yang sulit untuk ditebak. Namun dalam pada itu Ki Widura itupun berkata, “Baiklah Glagah Putih. Kakakmu Agung Sedayu akan segera pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Namun kau telah mendapat kesempatan yang jarang bandingnya. Bahkan kau akan dapat mempelajari satu urutan ilmu sampai pada satu tingkat yang sulit dicapai. Meskipun seperti yang kau katakan, bahwa tingkat tertinggi dari ilmu itu justru telah rusak dan retak-retak, namun jika yang ada itu telah dapat kau sadap seluruhnya, maka kau akan menjadi seorang anak muda yang pilih tanding. Sementara pada suatu saat, jika kakakmu itu telah selesai dengan tugasnya di Tanah Perdikan Menoreh, kau akan dapat mendalaminya lebih jauh lagi.” “Mudah-mudahan kita dapat memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh kakang Agung Sedayu itu sebaik-baiknya ayah,“ desis Glagah Putih. “Kita akan mencobanya. Tetapi sudah barang tentu, kau adalah yang utama. Aku sudah tua. Segala perkembangan tentu sudah lamban. Tetapi semuda kau, segalanya harus berjalan cepat,” jawab ayahnya. Lalu. “Meskipun demikian bukan berarti bahwa yang tua ini harus berhenti. Tetapi yang

mudalah yang lebih berarti bagi masa depan.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia merasa berdebar-debar jika ia membayangkan dinding yang luas yang penuh dengan gambar dan lambang-lambang yang terpahat pada dinding itu. Malam itu. Glagah Putih hampir tidak dapat tidur sama sekali. Angan-angannya dipenuhi oleh berbagai macam persoalan. Dinding gua. Agung Sedayu yang akan pergi, kesepian di hari-hari mendatang, dan bermacam-macam persoalan lagi. Namun menjelang pagi, ternyata Glagah Putih itu menjadi lelap. Namun ia hanya sempat tidur beberapa saat, karena sebentar kemudian ia sudah terbangun oleh kesibukan Agung Sedayu yang akan pergi ke Sangkal Putung. “Kakang akan berangkat pagi-pagi benar,“ bertanya Glagah Putih. “Sebentar lagi matahari akan terbit, dan aku akan berangkat ke Sangkal Putung.” jawab Agung Sedayu. “Sendiri ?“ bertanya Glagah Putih. “Tidak. Aku akan pergi bersama guru. Sementara paman Widura yang agaknya sudah kau beritahu, akan mempunyai rencananya tersendiri. Kau akan dibawanya ke sungai itu.” jawab Agung Sedayu. “Sudah terlalu siang,“ desis Glagah Putih. “Belum. Masih cukup pagi. Agaknya paman Widura sudah siap. Tetapi karena paman tahu, bahwa hampir semalam kau tidak tidur, maka ia tidak sampai hati untuk membangunkanmu,“ jawab Agung Sedayu. “Tetapi jangan kesiangan,“ desis Glagah Putih, “bukankah tempat itu harus dirahasiakan.” Ternyata Glagah Putihpun segera mempersiapkan diri. Ketika ia bertemu dengap ayahnya, maka seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, ayahnya ingin melihat tempat yang diceriterakannya itu. Sejenak kemudian, maka merekapun telah siap untuk pergi ke arah yang berbeda. Mereka masih sempat untuk makan beberapa kerat ketela pohon yang direbus. Rasa-rasanya memang sedap sekali, menjelang fajar makan ketela rebus yang masih hangat dan minum minuman yang hangat pula dengan gula kelapa. Kepada para cantrik yang tinggal dipadepokan Agung Sedayu berpesan, bahwa ia akan pergi ke Sangkal Putung bersama gurunya, sedangkan Ki Widura dan Glagah Putih pergi ke Banyu Asri.

“Jika Sabungsari datang kemari, biarlah ia menunggu,“ pesan Agung Sedayu pula. Dalam pada itu. diperjalanan menuju ke Sangkal Putung, Kiai Gringsing sempat memberikan beberapa pesan kepada Agung Sedayu jika ia berada di Tanah Perdikan Menoreh kelak. Bagaimana ia harus menyesuaikan diri dengan daerah yang baru, meskipun pada masa lampau. Agung Sedayu pernah berada di Tanah Perdikan itu untuk beberapa saat lamanya. “Sementara itu, aku ingin menilik keadaan Swandaru,“ berkata Kiai Gringsing, “seperti yang pernah aku katakan, perkembangan ilmu Swandaru mempunyai arah yang berbeda dengan perkembangan ilmumu. Aku berkewajiban untuk menilik kedua-duanya. Mudah-mudahan aku akan dapat memberikan jalan agar ilmu kalian seimbang.“ Namun Kiai gringsing masih menambahkannya, “Maksudku, seimbang bagi ilmu yang kau sadap daripadaku. Sementara kau berhak untuk mendapatkan kemampuan dari manapun juga, asal tidak bertentangan dengan watak dan sifat dari ilmu yang telah kau dapatkan dari aku, serta tidak meninggalkan pegangan dan pandangan hidup sebagaimana aku ajarkan kepadamu.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya maksud gurunya. Agung Sedayu sendiri memang melihat, bahwa nampaknya Swandaru lebih condong untuk melihat unsur lahiriah pada ilmunya. Meski pun demikian jika ia berhasil menyempurnakannya, maka ledakan cambuknya akan dapat membelah batu hitam, dan melumatkannya menjadi debu. Sementara itu, Glagah Putih telah menabawa ayahnya mengikuti jalan yang dilaluinya bersama Agung Sedayu dihari sebelumnya. Ketika matahari naik, ternyata mereka sudah berada di hutan kecil yang sepi dan jarang dikunjungi orang. Dengan langkah yang cepat Glagah Putih meloncati pepohonan yang roboh melintang jalan, melintasi parit yang mengalir tidak terarah. Kemudian menyeberangi padang perdu yang sempit, sehingga akhirnya merekapun menuruni tebing sungiai yang cukup curam. “Kita sudah sampai,“ berkata Glagah Putih sambil menunjuk mulut goa ketika mereka sudah berada di tepian. “Aneh,“ berkata Ki Widura, “bukannya aku belum pernah melihat goa itu. Dimasa remaja, aku pernah memasukinya, meskipun tidak sengaja dan tanpa maksud apapun juga. Menurut ceritera, goa itu panjang sekali, sehingga ujungnya akan sampai kedasar samodra.” “Karena itu. tidak ada orang yang tertarik untuk menelusurinya,“ sahut Glagah Putih. Keduanyapun kemudian memasuki goa itu. seperti pada saat Glagah Putih mengikuti Agung Sedayu, maka iapun membawa ayahnya melalui jalur-jalur sempit menuju kesebuah ruang yang cukup luas. Pada dinding ruang itulah, gambar dan lambang-lambang itu terpahat.

Widura memperhatikan gambar dan lambang-lambang itu dengan jantung yang berdegupan. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa di dinding goa itu terdapat gambar dan lambang-lambang yang demikian jelas dan berurutan, sehingga bagi mereka yang memiliki dasar kemampuan, tentu akan dapat mempelajarinya untuk seterusnya sampai pada tingkat yang hampir mumpuni, karena justru tingkat terakhir telah rusak. “Glagah Putih,“ berkata Ki Widura, “ternyata meskipun Agung Sedayu meninggalkanmu untuk sementara, tetapi jiwanya dalam hubungan dengan peningkatan ilmumu, masih tetap ada padamu. Ternyata apa yang diberikan kepadamu ini, tidak ubahnya dengan hadirnya Agung Sedayu sendiri. Lepas dari siapapun yang telah membuat gambar dan lambang-lambang ini, tetapi adalah satu kenyataan bahwa Agung Sedayulah yang telah memberikan kepadamu. Karena itu, jangan mengecewakannya. Jika kau tekun dan sungguh-sungguh, maka kau akan dapat memenuhi harapannya.” “Ya ayah,“ jawab Glagah Putih, “aku akan membuktikan kepada kakang Agung Sedayu bahwa aku akan mempelajarinya dengan sebaik-baiknya sehingga sampai tingkat yang terakhir yang terdapat pada dinding goa ini. Untuk selanjutnya, kakang Agung Sedayu sudah menyanggupkan diri untuk memperbaiki yang rusak itu.” “Lakukanlah,“ sahut ayahnya, “meskipun aku sudah tua, tetapi ternyata bahwa ilmuku masih belum mencapai tingkat tertinggi dari gambar dan lambang-lambang yang ada. Karena itu, aku akan bersamasama mempelajarinya, meskipun sudah barang tentu dengan laju yang berbeda. Apa yang dapat kau pahami dalam waktu satu hari, aku akan dapat melakukan hal yang sama dalam sepekan karena umurku yang sudah terlalu tua untuk meningkatkan ilmu.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu ia berjanji kepada diri sendiri untuk melakukan seperti yang dikatakan oleh ayahnya. Ternyata mereka tidak terlalu lama berada di dalam goa. Merekapun kemudian merangkak keluar. Seperti Glagah Putih, maka lutut Widurapun menjadi terluka. “Kakang Agung Sedayu keluar dari daerah ini setelah gelap,“ berkata Glagah Putih. Ki Widura mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa justru setelah diketemukan isi dari goa itu, maka Agung Sedayu ingin merahasiakan goa itu. Atau tidak menarik perhatian orang lain untuk melihat-lihat isi goa itu. Tetapi untuk menunggu sampai senja, mereka akan memerlukan waktu yang lama. Karena itu, maka Widurapun berkata, “Kita akan menelusuri sungai ini. Kita akan naik di sebelah tikungan sehingga kita akan sampai ke pinggir hutan kecil di sebelah Banyu Asri. Kita akan benar-benar singgah di Banyu Asri meskipun hanya sebentar. Dalam pada itu. Agung Sedayu yang sudah berada di Sangkal Putung menyusul Ki Gede Menoreh, telah berbicara tentang berbagai persoalan tentang dirinya dengan Sekar Mirah, Bagaimanapun

persoalan tentang dirinya dengan Sekar Mirah. Bagaimanapun juga perpisahan itu tidak menggembirakan, meskipun keduanya mengetahui bahwa perpisahan itu hanya bersifat sementara. Namun bagi Sekar Mirah, yang dilakukan oleh Agung Sedayu itu terasa lebih baik daripada ia berada di padepokan kecil di Jati Anom tanpa berbuat apa-apa, selain mempertahankan diri dari usaha beberapa pihak untuk membunuhnya. “Ia telah membuat dirinya sendiri menjadi sasaran pembunuhan tanpa tahu sebabnya dan tanpa kemungkinan apapun juga. Seseorang mempertaruhkan jiwanya dengan harapan-harapan. Tetapi kakang Agung Sedayu sama sekali tidak. Ia mempertaruhkan jiwanya tidak untuk apa-apa.“ berkata Sekar Mirah didalam hatinya. Dengan demikian, betapapun perasaan sepi akan menjalari jantungnya, namun ia berusaha untuk mendorong Agung Sedayu melakukan tugas itu sebaik-baiknya. “Mungkin ada perkembangan lain dengan Tanah Perdikan itu,“ berkata Sekar Mirah didalam hatinya. Karena ia tahu, bahwa kakaknya tidak ingin meninggalkan Sangkal Putung yang sudah dibinanya dengan baik.” Tidak seorangpun yang mengganggu pembicaraan antara Sekar Mirah dan Agung Sedayu, karena mereka tahu keduanya akan berpisah untuk sementara. Namun jika Sekar Mirah telah sampai pada pembicaraan tentang harapan-harapan, maka Agung Sedayu mulai menjadi gelisah. Tetapi Sekar Mirah tidak berbicara seperti biasanya. Ia lebih banyak berbicara tentang Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan iapun kemudian bertanya, “Kakang, apakah kau tidak berkeberatan, jika pada suatu saat aku datang menengokmu ke Tanah Perdikan Menoreh ?” “Tentu tidak Sekar Mirah,“ jawab Agung Sedayu, “tetapi kau harus memperhitungkan jalan menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Kau pernah mengalami satu keadan yang gawat. Agaknya orang-orang yang selalu memusuhi kita. telah membuat pertimbangan-pertimbangan sebaikbaiknya. Mereka tahu apa yang akan kita lakukan, sehingga mereka selalu memilih saat-saat yang demikian. Tetapi Tuhan agaknya masih selalu melindungi kita, sehingga setiap kali usaha mereka telah gagal karena keadaan yang tiba-tiba dan kadang-kadang semata-mata kebetulan telah terjadi diluar perhitungan mereka.” Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Ia masih ingat jelas apa yang pernah terjadi atas dirinya bersama kakak dan kakak iparnya. Untunglah bahwa seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, secara kebetulan Ki Waskita telah ikut pula pergi ke Jati Anom bersama dengan mereka. “Karena itu Sekar Mirah,” berkata Agung Sedayu, “jika kau memang ingin pergi, pertimbangkan sebaik-baiknya.”

Sekar Mirah mengangguk kecil. Desisnya, “Aku mengerti kakang. Agaknya kita memang sedang menjadi pusat sasaran orang-orang dari lingkungan yang tidak kita ketahui ujung dan pangkalnya serta kepentingannya. Namun segalanya itu memang sudah terjadi.” Masih banyak yang dibicarakan oleh keduanya. Namun Sekar Mirah berusaha untuk tidak terdorong pada satu sikap yang dapat memberikan kesan yang kurang baik pada pertemuan yang terakhir sebelum mereka akan berpisah. Meskipun hanya untuk sementara. Dengan hati-hati Sekar Mirah menyatakan harapan-harapannya. Tidak seperti biasanya, ia berkata berterus terang akan kecemasannya atas masa datang yang buram. Demikianlah, maka pada saat terakhir sebelum Agung Sedayu berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh, ia bermalam satu malam di Sangkal Putung, karena Ki Gede Menoreh masih juga bermalam semalam lagi dirumah menantunya. Pada kesempatan itu, Agung Sedayu memerlukan melihat kesiagaan Sangkal Putung dimalam hari. Karena ia harus meningkatkan kemampuan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh pada khususnya dan gairah anak-anak muda pada umumnya di Tanah Perdikan Menoreh, maka sekali lagi ia ingin melihat keadaan Sangkal Putung yang sudah dikenalnya baik-baik itu, karena pada dasarnya Ki Gede Menoreh menganggap bahwa Swandaru telah berhasil membina Kademangannya. Agung Sedayu melihat gardu-gardu yang terisi oleh anak-anak muda bukan saja yang sedang bertugas. Tetapi gardu-gardu itu seakan-akan menjadi tempat mereka berkumpul, berbincang dan merencanakan kerja buat masa mendatang. Kadang-kadang hanya kelompok-kelompok kecil saja, tetapi kadang-kadang sebuah kelompok yang besar yang dapat menentukan bagi sebuah padukuhan dalam lingkungan Kademangan Sangkal Putung. Swandaru yang mengantar Agung Sedayu berkeliling di Kademangannya itu memberikan banyak keterangan dan contoh-contoh yang barangkali dapat ditrapkannya di Tanah Perdikan Menoreh. Namun demikian tentu ada hal-hal yang berbeda karena keadaan lingkungan di Sangkal Putung yang berbeda dengan keadaan di Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan dalam perjalanan mengelilingi Kademangan itu, Swandaru masih sempat memberikan pesanpesan khusus bagi Agung Sedayu sendiri. Bagi Swandaru, Agung Sedayu terasa terlalu lamban dan ragu-ragu. “Jika kau tetap pada keadaan seperti itu kakang, maka yang kau lakukan di Tanah Perdikan Menorehpun akan lamban dan ragu-ragu,“ berkata Swandaru, “kau tidak akan dapat melakukan tugas yang dibebankan kepadamu dalam waktumu yang tidak terlalu banyak. Kecuali apabila setelah hari perkawinanmu, kau akan kembali ke Tanah Perdikan itu dan menyempurnakan kewajibanmu di sana.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku belum tahu, apa yang akan aku lakukan kelak setelah hari-hari yang ditentukan itu. Namun aku akan berusaha sebaik-baiknya, meskipun aku

tidak akan mungkin dapat menyamaimu. Aku tidak terbiasa berdiri didepan. Aku juga tidak terbiasa memimpin sekian banyak anak-anak muda seperti yang kau lakukan, karena seolah-olah sejak dilahirkan kau sudah seorang pemimpin.” “Tetapi kau harus mencoba melakukannya,“ jawab Swandaru, “jika tidak, maka kau akan gagal sebelum kau mulai. Di Tanah Perdikan, kau akan sekedar menjadi perhiasan. Ibaratnya bunga, maka kau adalah kembang paes. Bunga yang tidak akan dapat menjadi buah.” Agung Sedayu hanya mengangguk-angguk saja. Ia tidak dapat membantah, karena Swandaru memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak dalam tugasnya sebagai anak seorang Demang di Kademangan yang besar. Justru ia memang ingin menyadap pengalaman-pengalaman itu yang tentu akan bermanfaat bagi tugasnya di Tanah Perdikan Menoreh. Dalam pada itu, hampir semalam suntuk Agung Sedayu melihat-lihat keadaan di Kademangan Sangkal Putung. Menjelang dini hari keduanya baru kembali ke Kademangan, sehingga dengan demikian waktu yang dipergunakan oleh Agung Sedayu untuk tidur, hanyalah sedikit sekali. Pada pagi hari berikutnya, maka Ki Gede Menorehpun minta diri kepada Ki Demang untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, meskipun ia masih akan singgah dan bermalam semalam lagi di padepokan kecil di Jati Anom. Sekaligus ia memberitahukan bahwa Agung Sedayu akan pergi bersamanya ke Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun Ki Demang masih berusaha menahannya, tetapi Ki Gede terpaksa meninggalkan Kademangan itu, agar ia tidak terlalu lama meninggalkan Tanah Perdikannya. Bagaimanapun juga. mata Sekar Mirah terasa menjadi panas. Meskipun ia tidak menangis, tetapi nampak hatinya menjadi gelisah. Bukan saja karena Agung Sedayu akan pergi meninggalkannya, tetapi sebenarnyalah ia masih belum melihat pegangan hidup yang mapan bagi bakal suaminya yang dalam waktu yang tidak terlalu lama, mereka akan mulai dengan satu kehidupan baru. “Mudah-mudahan hatinya terbuka setelah ia berada di Tanah Perdikan Menoreh,” berkata Sekar Mirah didalam hatinya. Dalam pada itu, maka sebuah iring-iringan kecil telah meninggalkan Kademangan Sangkal Putung. Pada hari terakhir Agung Sedayu berada di Jati Anom itu, diperlukannya untuk minta diri kepada kakaknya. Untara. Seperti yang pernah dikatakannya, maka Untara-pun mengulangi pesan-pesannya. Ia tidak lupa menunjukkan kepada adiknya, bahwa pada suatu saat ia akan membangun sebuah keluarga. Dan waktu untuk itu tinggal sedikit.

“Karena itu, kaupun harus mempersiapkan diri menghadapi masa-masa yang demikian,“ pesan kakaknya untuk kesekian kalinya. Namun disamping itu Untara-pun berpesan, “kecuali dari dalam dirimu sendiri, kau harus melihat hambatan-hambatan dan tantangan-tantangan dari luar dirimu. Kau tahu. bahwa ternyata Pringgajaya benar-benar masih hidup. Kau adalah salah satu sasaran yang pokok bagi orang itu meskipun aku tidak tahu dengan pasti alasannya. Kemudian Swandarupun ternyata telah diancam pula. Karena itu, kau harus berhati-hati di Tanah Perdikan Menoreh. Jarak itu bagi Ki Pringgajaya tidak akan menjadi rintangan. Ia akan datang ke Tanah Perdikan Menoreh, mungkin dengan orang-orang Tal Pitu, mungkin dengan orang-orang Padepokan Gunung Kendeng. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya. Ki Pringgajaya memang mengancam jiwanya. Dimanapun ia berada, maka ancaman itu tidak akan dapat diabaikan. Bahkan mungkin setelah ia berada di Tanah Perdikan Menoreh, ancaman itu akan menjadi semakin gawat baginya. Karena itu, maka kepada kakaknya ia berjanji akan mengingat segala pesan-pesannya. Ia akan berusaha memenuhinya sejauh kemampuannya. Demikianlah, ketika saatnya tiba, pada pagi hari berikutnya, maka Ki Gede Menoreh beserta kelompok kecilnya telah meninggalkan padepokan Jati Anom. Kiai Gringsing, Ki Widura dan anaknya Glagah Putih, bahkan Sabungsaripun melepas mereka sampai keregol padepokan. Mereka memandangi iring-iringan itu sampai hilang dibalik tikungan. Glagah Putih merasa seolah-olah jantungnya menjadi semakin lambat berdetak. Ia merasa kehilangan bukan saja saudara sepupunya yang terdekat. Tetapi juga gurunya, karena selama ini Agung Sedayu telah menuntunnya meningkatkan ilmunya. Namun ia akan selalu ingat pesan Agung Sedayu, bahwa jika ia berlatih dengan tekun dengan tuntunan gambar dan lambang-lambang yang terdapat pada dinding goa itu, maka ia akan dapat meningkatkan ilmunya sebagaimana jika ia ditunggui dan dituntun oleh Agung Sedayu. “Aku akan mencoba,“ Glagah Putih berjanji kepada diri sendiri, “aku tidak boleh mengecewakan kakang Agung Sedayu. Jika beberapa bulan lagi kakang Agung Sedayu datang pada hari-hari perkawinannya, ia harus melihat bahwa ilmuku maju dengan wajar. Tidak tersendat-sendat.” Sementara itu, Sabungsaripun merasa kehilangan seorang sahabat pula. Sahabat yang sangat baik. Bahkan Sabungsari merasa pernah berhutang budi kepada Agung Sedayu. Jika ia masih tetap hidup, itu hanyalah karena belas kasihan Agung Sedayu kepadanya. “Tetapi ia tidak akan pergi untuk seterusnya,“ berkata Sabungsari kemudian, “ia akan kembali beberapa bulan mendatang.”

Bahkan Sabungsari itupun berjanji pula kepada dirinya sendiri untuk berbuat sebaik-baiknya dalam tugasnya. Dalam pada itu, padepokan kecil itupun menjadi sepi. Kiai Gringsing sudah mengatakan niatnya untuk berada di Sangkal Putung beberapa saat lamanya, untuk menilik ilmu Swandaru setelah berkembang beberapa lama tanpa pengawasannya secara langsung. Dengan demikian, maka yang akan tinggal di padepokan itu hanyalah tinggal Ki Widura dan Glagah Putih saja, dikawani oleh beberapa orang cantrik, termasuk bekas pengikut Sabungsari yang telah menjadi kerasan tinggal dipadepokan itu, dan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan para cantrik. Seperti Sabungsari merekapun berusaha memperbaiki cara hidup dan bahkan sikap hidup mereka. Namun agaknya Untara yang mengetahui kekosongan padepokan itu tidak sampai hati membiarkannya. Atas persetujuan Kiai Gringsing dan Ki Widura, Untara telah menitipkan beberapa orang perwiranya untuk tinggal dipadepokan itu. “Kiai,“ berkata Untara yang datang kepadepokan itu sepeninggal Agung Sedayu, “dari pada padepokan ini kosong, sementara beberapa orang perwira prajurit Pajang berdesakkan di baraknya, apakah Kiai mengijinkan bahwa dua atau tiga orang perwira akan tinggal di padepokan ini.” “Silahkan,“ jawab Kiai Gringsing, “silahkan ngger. Aku justru sangat berterima kasih, bahwa para perwira itu sudi tinggal dipadepokan yang kotor ini.” “Biarlah mereka mulai besok berada di padepokan ini. Mungkin ada gunanya untuk mengawani Glagah Putih. Yang aku dengar, Sabungsari sudah terbiasa disini. Dengan demikian, maka ia akan mendapat kawan-kawan baru, para perwira muda dari pasukanku.” berkata Untara pula, “sementara itu, akupun sedang menyiapkan wisuda bagi kenaikan kedudukan dan drajat Sabungsari dalam tataran keprajuritan.” “Tentu akan menyenangkan sekali bagi angger Glagah Putih,“ jawab Kiai Gringsing kemudian. Namun iapun berkata, “Tetapi aku sendiri akan berada di Sangkal Putung untuk beberapa waktu ngger. Aku ingin menunggui perkembangan terakhir dari Swandaru setelah aku yakin akan perkembangan ilmu Agung Sedayu.” “Silahkan Kiai,” jawab Untara, “justru aku sudah mendengar tentang rencana Kiai itu, maka aku telah datang untuk minta pendapat Kiai tentang rencanaku menitipkan beberapa orang perwira muda dari pasukanku.” Namun justru dengan demikian. Kiai Gringsingpun menjadi semakin tenang meninggalkan padepokannya. Dengan hadirya para perwira itu bersama Sabungsari, maka seolah-olah ada kekuatan yang tinggal di padepokan itu, sehingga jika ada pihak-pihak yang ingin berbuat jahat, maka

padepokan itu akan terlindungi. Dalam pada itu. Ki Gede Menoreh beserta iring-iringan telah berpacu menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Mereka dengan sengaja tidak akan singgah di Mataram, agar mereka tidak harus bermalam satu malam lagi, karena mereka pasti, bahwa Raden Sutawijaya apabila ada di Mataram, tentu akan menahan mereka untuk singgah barang semalam. Dengan demikian, maka mereka telah memilih jalan yang melingkar sehingga mereka tidak melalui kota Mataram yang menjadi ramai. Tidak ada hambatan apapun yang mereka jumpai diperjalanan. Mereka dengan selamat menyeberangi Kali Praga dengan rakit. Kemudian mereka telah berkuda disepanjang jalan yang langsung memasuki Tanah Perdikan Menoreh. Kedatangan iring-iringan itu telah memanggil beberapa orang dipadukuhan-padukuhan yang mereka lewati untuk menyambut mereka dengan lambaian-lambaian tangan. Mereka tahu bahwa yang berkuda dipaling depan adalah Ki Gede Menoreh. Namun selain para pengawal yang mengiringi Ki Gede, orang-orang itu tidak segera mengenal, dua orang yang ada didalam iring-iringan itu pula. Agung Sedayu dan Ki Waskita, meskipun keduanya telah sering berada di Tanah Perdikan Menoreh. Namun ternyata bahwa ada juga anak muda diantara mereka yang dapat mengenalinya. Karena itu, maka meskipun agak ragu ia bergumam, “Agung Sedayu.” Sedang yang lain berdesis pula, “Yang seorang itu adalah Ki Waskita.” Seperti biasanya, orang Tanah Perdikan Menoreh merasa tenang jika Ki Gede telah kembali ke Tanah Perdikan itu. Jika Ke Gede tidak ada, kadang-kadang mereka, digelisahkan oleh sikap Prastawa yang kadang-kadang kurang disenangi oleh sebagian dari para penghuni Tanah Perdikan yang besar itu. Sebagian anak-anak mudapun menjadi bingung menanggapi sikapnya, karena ternyata bahwa Prastawa telah mengambil beberapa orang kawan terdekat sebagai satu kelompok yang paling berkuasa diantara anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun Ki Gede sudah sering kali mencoba menegornya dengan hati-hati, agar anak muda itu tidak justru semakin meledak-ledak, namun Prastawa masih saja sering mengulangi tingkah lakunya yang kurang terpuji. Nampaknya Ki Gede yang merasa sepi dan sendiri itu masih belum bersikap untuk mengambil sikap yang agak keras terhadap kemanakannya itu. Karena pada saat-saat terakhir, ia adalah satu-satunya orang yang dapat diajak berbicara tentang Tanah Perdikannya. Namun dalam pada itu, ternyata kepergian Ki Gede Menoreh ke Jati Anom untuk menjemput Agung Sedayu itu telah membuat Prastawa benar-benar tersinggung, ia merasa seolah-olah Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang memiliki kelebihan dari dirinya, sehingga pamannya memerlukan pergi ke Jati Anom memanggilnya untuk membantu membina Tanah Perdikan Menoreh. terutama anak-

anak mudanya. “Apakah menurut paman, aku tidak dapat melakukannya?“ berkata Prastawa kepada sekelompok kawan-kawannya. Terdengar mereka tertawa meledak. Seorang yang bertubuh tinggi besar, meskipun sangat muda, semuda Prastawa, berkata lantang, “Kau perlu membuatnya jera.” Prastawa tertawa. Katanya, “Ia akan mengerti, bahwa Tanah Perdikan ini bukan sarang gadis-gadis yang merindukan seorang suami yang tampan dan berkelakuan sehalus sutera dari tanah seberang. Tetapi Tanah Perdikan ini adalah kandang serigala kelaparan. Ia akan menyesal memasuki Tanah Perdikan ini. Namun yang harus kita perhitungkan, bagaimana sikap paman Argapati? Jika Agung Sedayu itu menghadap sambil merengek, maka paman akan marah dan mengancam aku.” “Anak itu harus kita takut-takuti,“ desis seorang bertubuh gemuk berkulit kehitam-hitaman, “jangan melapor kepada Ki Gade. Jika ia tumbak cucukan, maka ia akan kita pentheng dipinggir pategalan disiang hari ketika matahari terik, sampai saatnya matahari turun, sementara diperutnya kita taburkan semut ngangrang.” Anak-anak itu tertawa berkepanjangan. Seorang yang bertubuh kurus tertawa terguncang-guncang. Katanya diantara derai tertawanya, “Lucu sekali. Lucu sekali. Ia tentu akan jera. Dan ia akan menganggap kita sebagai penghuni Tanah Perdikan ini yang sebenarnya. Ia adalah pendatang yang tidak berhak untuk berbuat apapun di atas Tanah Perdikan ini.” Yang lainpun tertawa pula. Sementara Prastawa berkata, “Kita akan menunggu saja, apa yang akan terjadi.” Demikianlah, maka Prastawapun hadir pula ketika para bebahu Tanah Perdikan Menoreh menyambut kedatangan Ki Gede dipendapa rumah Ki Gede Menoreh. Kehadiran Agung Sedayu dan Ki Waskita membuat mereka gembira, karena dengan demikian mereka akan mempunyai kawan baru untuk membina Tanah Perdikan yang sedang bergerak surut itu. Bagaimanapun juga. mereka harus mengakui kenyataan, bahwa pada beberapa segi kehidupan telah terdapat kemunduran. Kesiagaan anak-anak muda menjadi jauh susut. Mereka lebih senang hidup seenaknya. Mereka nikmati hari ini tanpa tanggung-tanggung. Tetapi dengan demikian mereka tidak sempat memikirkan hari esok. Bukan saja bagi dirinya sendiri, tetapi bagi seluruh Tanah Perdikannya. Sebagian dari anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh menganggap bahwa hidup adalah hanya hari ini. Hari itu Agung Sedayu dan Ki Waskita sempat berbicara panjang lebar dengan para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh yang sedang berprihatin. Dari mereka Agung Sedayu mendapat banyak bahan untuk

mengenal Tanah Perdikan yang besar itu, yang pada suatu saat pernah mencapai masa kebesarannya. “Kecemasan orang-orang tua itu tidak wajar,” berkata Prastawa tiba-tiba, “sudah beberapa kali aku katakan, bahwa kecemasan itu terlalu berlebih-lebihan.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya, sementara Ki Gede bertanya, “Apa yang kau maksudkan Prastawa?“ “Memang ada kemunduran di beberapa segi paman,“ jawab Prastawa, “tetapi tidak dalam keseluruhan. Bahkan jika diambil dasar rata-rata Tanah ini maju meskipun tidak sepesat Kademangan Sangkal Pulung. Justru karena Kademangan Sangkal Putung daerahnya lebih sempit, sehingga lebih mudah untuk menanganinya.” Ki Gede termangu-mangu sejenak. Ia memang melihat beberapa orang anak muda yang datang bersama Prastawa. Dalam pada itu Prastawapun berkata, “Coba, silahkan paman bertanya kepada anak-anak muda yang terdiri dari bermacammacam golongan ini. Mereka akan dapat berbicara tentang keadaan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Mereka akan banyak memberikan bahan dari keadaan yang sebenarnya.” “Terima kasih,” jawab Ki Gede, “Agung Sedayu tentu akan mendengar dan melihat. Tetapi yang tidak dapat kita pungkiri, bahwa parit-parit di banyak tempat menjadi kering. Gardu-gardu menjadi kosong, bahkan ada beberapa gardu yang rusak tanpa diperbaiki lagi. Tanda isyarat tidak lagi terdapat di gardu-gardu itu. Kenthongan itu seolah-olah telah tidak lagi ada gunanya sehingga pantas untuk merebus air saja didapur. Nah, hal-hal semacam inilah yang perlu kita perhatikan. Tentu saja tanpa mengurangi hasil-hasil yang telah kita capai bersama seperti yang kau katakan itu Prastawa. Karena itu, maka apa yang dapat kau capai, kemudian dibantu oleh Agung Sedayu. Tanah Perdikan ini akan dapat mencapai kebesarannya kembali.” Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Meskipun rasa-rasanya ia masih belum puas, tetapi ia tidak dapat berbicara lebih banyak lagi, justru karena pamannya tidak membantahnya. Namun dalam pada itu, meskipun sekilas, Agung Sedayu dapat melihat kesan pada wajah para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh yang lain. Para pembantu Ki Gede itu nampaknya tidak puas dengan keterangan yang diberikan Prastawa, seolah-olah Tanah Perdikan Menoreh telah berkembang maju meskipun tidak sepesat Sangkal Putung. Menurut penilaian Agung Sedayu, orang-orang tua itu justru dengan jujur mengakui, bahwa Tanah Perdikan Menoreh sedang mundur. Tetapi Agung Sedayu tidak ingin berbantah justru pada hari-hari pertama ia berada di Tanah Perdikan Menoreh.

Sementara itu maka Ki Gedelah yang memberikan penjelasan lebih banyak lagi tentang rencana Ki Gede dengan Agung Sedayu. “Apa artinya satu orang bagi Tanah Perdikan ini,“ berkata Ki Gede, “katakanlah dua orang dengan Ki Waskita yang sudah terlalu sering berada disini. Namun yang aku lakukan ini semata-mata merupakan satu pertanda bahwa kita semuanya, seisi Tanah Perdikan Menoreh akan bergerak bersama. Apapun yang dilakukan oleh Agung Sedayu tidak akan berarti apa-apa tanpa bantuan kita semuanya.” Anak-anak muda yang ada di pendapa itu saling menggamit. Mereka menunjukkan sikap yang sama sekali kurang wajar terhadap kehadiran Agung Sedayu. Tetapi nampaknya Ki Gede juga mengerti, karena itu, maka iapun kemudian berkata, “Sekali lagi kami, orang tua-tua mohon keikhlasan kalian untuk menerima Agung Sedayu diantara kalian, agar ia dapat menjadi salah satu diantara roda-roda penggerak yang memang sudah ada di Tanah Perdikan ini.” Tidak seorangpun yang menjawab. Prastawapun tidak. Demikianlah setelah mereka berbicara beberapa saat, dan ketika kepada mereka telah dihidangkan berbagai macam hidangan, maka pertemuan itupun diakhiri. Para pembantu Ki Gede di Tanah Perdikan itupun kembali kerumah masing-masing, sementara anak-anak mudapun kemudian masih bergerombol di halaman dengan Prastawa. Untuk beberapa saat lamanya. Agung Sedayu masih berbincang dengan Ki Gede Menoreh dan Ki Waskita. Mereka melihat gelagat yang kurang baik dari Prastawa dan beberapa orang anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh, yang merasa diri mereka dikecilkan. “Aku dapat mengerti,“ berkata Agung Sedayu, “aku akan mencoba mendekati mereka. Mungkin mereka belum yakin, bahwa aku benar-benar hanya seorang pembantu mereka yang mungkin akan dapat mengusulkan beberapa kegiatan. Tetapi yang paling tepat adalah keterangan Ki Gede, bahwa kedatanganku adalah sekedar pertanda waktu. Tanah ini bersama-sama akan bangkit. Bukan karena ada waktu disini. Karena itu, kebetulan adalah aku yang datang. Mungkin Swandaru, mungkin Pandan Wangi sendiri, atau siapapun. Namun kedatangan itu adalah satu isyarat agar kita semuanya bangkit dan bekerja keras.” “Bagus Agung Sedayu,“ sahut Ki Gede, “kau memang harus sabar menghadapi anak-anak itu. Mereka termasuk sasaran yang aku cemaskan. Aku merasa sangat sulit untuk mengawasinya. Agak berbeda dengan kau. Kau adalah anak muda seumur mereka, meskipun kau lebih tua sedikit. Tetapi kau mungkin sekali akan cepat menyesuaikan diri. Yang penting, mengerti apakah yang mereka kehendaki sebenarnya.”

“Aku akan mencoba Ki Gede,“ jawab Agung Sedayu, “besok aku akan melihat-lihat keadaan di seluruh Tanah Perdikan ini. Aku yakin bahwa ada segi-segi lain dari wajah anak-anak muda di seluruh Tanah Perdikan Menoreh ini.” “Ya, ya. Kau akan dapat melihatnya sendiri,“ berkata Ki Gede, “biarlah besok kau diantar oleh para pengawal mengelilingi Tanah Perdikan ini dari ujung sampai keujung.” “Kenapa dengan para pengawal ?“ bertanya Agung Sedayu, “apakah menurut pertimbangan Ki Gede orang-orang Gunung Kendeng, atau orang Tal Pitu, termasuk Ki Pringgajaya demikian cepatnya menyusul aku?” “Aku tidak berpikir tentang mereka ngger,“ jawab Ki Gede. “tetapi aku berpikir tentang tingkah laku beberapa orang anak-anak muda di Tanah Perdikan ini.” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Besok biarlah aku seorang diri untuk menunjukkan bahwa aku adalah bagian dari mereka dimasa-masa mendatang. Sementara jika ada tanda-tanda orang Tal Pitu. atau Gunung Kendeng atau Ki Pringgajaya sendiri akan datang, aku akan mohon Ki Waskita dan Ki Gede sendiri untuk melindungi aku. Karena bagi mereka, tentu tidak akan ada orang lain yang disegani kecuali orang-orang tua itu.” “Aku sudah tidak banyak berarti lagi Agung Sedayu,“ sahut Ki Gede dengan nada rendah. “Tidak,“ jawab Agung Sedayu, “Ki Gede adalah orang yang setingkat dengan guru, dengan Ki Waskita, dengan orangorang yang sebaya dengan Ki Gede. Jika Ki Gede merasa terganggu karena cacat kaki, maka pada saat-saat tertentu Ki Gede tentu akan menemukan jalan untuk mengatasinya. Sebagaimana pernah kita dengar, orang yang cacat mutlakpun mempunyai kelebihannya tersendiri.” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Sambil tersenyum ia berkata, “Itulah yang menarik berbicara dengan angger Agung Sedayu. Jarang anak muda sebayanya dapat berbicara tentang orang-orang tua dan justru dapat menyentuh perasaan. Rasa-rasanya aku memang ingin berusaha untuk mengatasi cacat kakiku.” “Ki Gede sadar atau tidak sadar, tentu sudah berusaha,“ sahut Agung Sedayu, “tinggal mematangkannya.” Ki Gede tertawa. Katanya, “Terima kasih ngger. Mudah-mudahan aku dapat melakukannya.” Dalam pada itu, Ki Waskitapun memberikan beberapa pesan kepada Agung Sedayu jika ia benarbenar ingin mengelilingi Tanah Perdikan ini seorang diri. “Yang penting, kau harus menyadari, bahwa ada pihak yang tidak menerimamu dengan baik,“ berkata Ki Waskita,

“tetapi jangan kau musuhi mereka itu.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia menjawab, “Aku akan berusaha sejauh mungkin menimbuni jarak antara mereka dengan aku Ki Waskita.“ “Kau memang harus bersabar menghadapi kenyataan ini,” sambung Ki Gede pula. Demikianlah, maka Agung Sedayu sudah mendapat gambaran apa yang harus dilakukannya. Yang pertama adalah melepaskan pemisah yang ada antara dirinya dengan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang justru pernah dikenalnya dengan baik. Namun dengan mereka yang baru tumbuh sebaya dengan Prastawa, dan yang mereka sebelumnya tidak pernah berbuat mengenali mereka. Mungkin anak-anak muda itu mengenal Agung Sedayu pada waktu itu. tetapi mungkin pula tidak. Namun yang penting bahwa Prastawa yang sudah dewasa dan merasa memiliki kesempatan untuk berbuat sesuatu bagi Tanah Perdikan Menoreh, merasa kehadiran Agung Sedayu itu akan memperkecil arti dirinya. Dengan demikian, maka bersama kawan-kawan dekatnya ia telah berusaha untuk berbuat sesuatu yang menurut mereka, akan membuat Agung Sedayu menjadi jera, atau setidak-tidaknya akan tunduk terhadap kelompok mereka. Sebenarnyalah bahwa di Tanah Perdikan Menoreh, kelompok yang di pimpin oleh Prastawa itu kurang mendapat tempat dihati rakyat Tanah Perdikan Menoreh. Juga dilingkungan anak-anak mudanya. Tetapi karena kedudukan Prastawa yang dikenal sebagai kemanakan Ki Gede Menoreh, telah membuat sekelompok anak-anak muda itu disegani. Karena itulah, ketika berita kedatangan Agung Sedayu itu didengar oleh anak muda diseluruh Tanah Perdikan Menoreh, ternyata banyak juga diantara mereka yang merasa bersukur, bahwa akhirnya Agung Sedayu itupun datang. Mereka berharap bahwa Agung Sedayu akan membawa nafas baru dalam kehidupan anak-anak tnuda di Tanah Perdikan Menoreh. Sementara itu, para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh telah sepakat untuk memberi arti atas kehadiran Agung Sedayu itu sebagai satu pertanda waktu saja, agar Tanah Perdikan Menoreh terbangun dan bekerja bersama-sama untuk kepentingan Tanah Perdikan mereka. Jika kemudian ternyata Agung Sedayu dapat memberikan arti lebih jauh dari itu, rakyat Tanah Perdikan Menoreh akan berterima kasih kepadanya. Dalam pada itu, ketika malam turun, maka Agung Sedayu telah menahan dirinya untuk tetap tinggal di rumah Ki Gede. Ia melihat Prastawa dengan beberapa orang anak muda berada di gardu di depan regol. Nampaknya mereka sedang berjaga-jaga sebagaimana seharusnya dilakukan. “Nampaknya mereka masih tetap giat berjaga-jaga,“ berkata Agung Sedayu kepada Ki Gede di pagi hari berikutnya. “Biasanya tidak demikian ngger,“ jawab Ki Gede, “malam tadi agaknya ada beberapa gardu lain yang juga terisi, ternyata aku mendengar isyarat kentongan di tengah malam dari dua gardu lain.”

“Ya,“ jawab Agung Sedayu, “karena itu aku menyangka, bahwa di malam hari. Tanah Perdikan ini mendapat pengamatan yang baik.” “Hanya semalam saja ngger,“ jawab Ki Gede, “mudah-mudahan apa yang mereka lakukan semalam akan berkelanjutan di malam-malam mendatang.”

Buku 145 AGUNG SEDAYU mengangguk-angguk. Tetapi ia mengerti, bahwa Prastawa ingin menunjukkan kepada Agung Sedayu, bahwa sejak sebelum ia datang, Tanah Perdikan Menoreh telah cukup tenang dan aman karena kegiatan anak-anak mudanya. Seperti yang dikatakannya, maka setelah makan pagi Agung Sedayu minta diri untuk melihat-lihat Tanah Perdikan Menoreh seorang diri. Ia ingin bertemu dengan anak-anak muda yang pernah dikenalnya sebelumnya. “Hati-hatilah,“ berkata Ki Waskita, “dan kau harus menahan diri menghadapi segalanya.” Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, “Aku akan selalu berusaha.” Ki Gedepun kemudian mempersilahkannya, meskipun ia menjadi agak berdebar-debar, justru karena keinginan Agung Sedayu untuk pergi seorang diri. “Dengan demikian, mungkin ia berusaha untuk memberikan kesan bahwa ia sama sekali tidak ingin bermusuhan atau ingin dibayangi oleh kekuasaan di Tanah Perdikan ini Ki Gede,“ berkata Ki Waskita. Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin memang demikian. Jika ia seorang diri, maka agaknya memang tidak akan memancing banyak perhatian atau sikap permusuhan.” Namun ternyata Prastawa bersikap lain. Ketika ia mengetahui bahwa Agung Sedayu berkeliling Tanah Perdikan Menoreh atau sebagian daripadanya seorang diri, maka iapun segera menemui kawankawannya. “Sombong sekali,“ geram Prastawa. “Apa yang harus kita lakukan?“ bertanya seorang kawannya. “Satu kesempatan yang baik untuk membuatnya jera,“ geram Prastawa, “betapapun tinggi ilmunya, justru karena ia murid Kiai Gringsing dan kakak seperguruan Swandaru, namun aku rasa ilmuku masih akan dapat mengimbanginya. Panggil tujuh atau delapan orang terbaik diantara kita. Kita akan memberinya sedikit pelajaran.” Kawan-kawannyapun segera menjalankan segala perintah Prastawa. Bersama tujuh orang Prastawa kemudian berusaha untuk mencegat perjalanan Agung Sedayu itu di tengah-tengah bulak panjang yang sepi. Sementara itu, sepeninggal Agung Sedayu, Ki Waskita yang memasuki biliknya yang ditempatinya bersama Agung Sedayu, diluar sadarnya telah melihat juntai cambuk Agung Sedayu dibawah

pembaringannya. Ketika ia mengambilnya, sebenarnyalah Agung Sedayu memang tidak membawa senjatanya. “Apa maksudnya,“ berkata Ki Waskita kepada diri sendiri sambil mengembalikan cambuk itu. Yang kemudian dijawabnya sendiri, “Mungkin ia benar-benar ingin tidak memberikan kesan permusuhan.“ Namun kemudian, “tetapi bagaimana jika ia bertemu dengan musuh yang sebenarnya, yang mungkin saja memburunya sampai ke Tanah Perdikan ini.” Namun Ki Waskita menjadi agak tenang ketika iapun teringat usaha Agung Sedayu menyempurnakan ilmunya di saat terakhir. Cambuk itu memang sangat berbahaya ditangannya. Namun tanpa cambuk itupun, Agung Sedayu sudah termasuk tataran orang kuat didalam dunia olah kanuragan. Bahkan Ki Waskitapun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya Agung Sedayu memang ingin berbuat bijaksana. Bagaimanapun juga ia adalah seorang anak muda yang memiliki indera lengkap, termasuk sentuhan perasaan yang dapat membuatnya marah. Agaknya ia tidak ingin mengotori cambuknya apabila tingkah laku anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh ini sudah melampaui batas. Tetapi Ki Waskitapun percaya akan kesabaran Agung Sedayu menghadapi tingkah laku Prastawa dan kawan-kawannya. Sementara itu, Agung Sedayu mulai menelusuri jalan-jalan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Ketika di regol padukuhan induk ia bertemu dengan seorang anak muda, maka Agung Sedayupun berhenti. “He,“ anak muda itu menyapa, “kau Agung Sedayu.” Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Kau tidak lupa padaku.” “Tentu tidak. Kau sudah beberapa kali berada di Tanah Perdikan ini. Apalagi menurut pendengaranku, kau sekarang akan tinggal disini untuk waktu yang agak lama karena Ki Gede minta kepadamu untuk membantunya,“ bertanya anak muda itu. “Ya. Ki Gede minta membantu Prastawa,“ jawab Agung Sedayu. Anak muda itu mengerutkan keningnya. Desisnya, “Apakah kau tahu tentang Prastawa ?” Agung Sedayu menggeleng lemah. Namun jawabnya, “Ia adalah kemanakan Ki Gede.” “Tetapi ia telah salah langkah,“ jawab anak muda itu, “He, Agung Sedayu, apakah kau masih melihat para pengawal Tanah Perdikan ini sesigap dahulu ? Hanya tinggal beberapa orang saja yang masih tetap melakukan tugasnya sebagai pengawal yang langsung ditunjuk oleh Ki Gede. Namun dalam keadaan yang gawat, jumlah itu sama sekali tidak memadai, sementara anak mudanya bersikap acuh tidak acuh saja.” “Dan kau sendiri ?“ bertanya Agung Sedayu.

“Aku tidak termasuk sejumlah pengawal yang ditunjuk. Karena itu, aku lebih senang turun kesawah untuk kepentingan keluargaku sendiri,“ jawab anak muda itu. “Tetapi sawahpun nampaknya menjadi kering di musim kemarau,“ gumam Agung Sedayu “Ya. Tidak ada orang yang bersedia bangkit untuk mengajak kita memperbaiki bendungan yang rusak itu,“ geram anak muda itu. “Dan kau ?“ bertanya Agung Sedayu. “Aku tidak berarti apa-apa disini. Suaraku seperti gema yang memantul dilereng bukit. Mengaung sebentar, kemudian hilang ditelan angin.“ anak muda itu berhenti sejenak, lalu. “he, kau mau kemana Agung Sedayu ?” “Berkeliling Tanah Perdikan ini, atau jarak yang sempat aku tempuh untuk pagi ini. Aku ingin bertemu dengan kawan-kawan yang pernah aku kenal dan mengenal aku. Tetapi anak-anak muda yang baru tumbuh itu banyak yang tidak aku kenal,“ jawab Agung Sedayu. “Tetapi mereka mengenalmu. Anak-anak muda itu mengenal kau seperti mereka mengenal kawannya sendiri,“ jawab anak muda itu, “kecuali mereka yang terpengaruh oleh Prastawa. Ia tidak suka melihat kedatanganmu. Aku mendengar tentang hal itu.” “Akupun tahu,“ jawab Agung Sedayu, “tetapi aku ingin membuktikan kepadanya bahwa aku tidak ingin memusuhi siapa saja di Tanah Perdikan Menoreh ini.” Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan kau berhasil.” “Kita akan bersama-sama membangunkan Tanah Perdikan yang mulai tertidur ini. Kau setuju ?“ bertanya Agung Sedayu tiba-tiba. “Tentu. Aku setuju. Jika kau minta, aku akan bersedia untuk berbuat apa saja,“ jawab anak muda itu. Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Terima kasih. Marilah. Aku akan melanjutkan perjalanan keliling ini. Kau akan pergi ke sawah ?” “ya,“ jawab anak muda itu. Keduanyapun berpisah. Agung Sedayu mulai berjalan lewat bulak pendek diluar padukuhan induk. Ketika ia memasuki padukuhan kecil disebelah padukuhan induk, maka iapun bertemu dengan beberapa orang anak muda yang telah mengenalnya. Dan kesan yang didengarnya-pun serupa dengan anak muda yang ditemuinya di padukuhan induk.

Namun sering kali Agung Sedayu bertemu dengan sekelompok anak muda kawan-kawan Prastawa. Betapa telinga Agung Sedayu menjadi panas, tetapi ia harus menahan hati. Ia sama sekali tidak menanggapi sikap bermusuhan dari anak anak muda itu. Tetapi sikap anak-anak muda itu, ternyata baru sebagian dari tantangan yang dihadapinya di Tanah Perdikan Menoreh itu. Seperti yang diperhitungkan oleh Prastawa, maka Agung Sedayu telah melampaui padukuhan kecil disebelah padukuhan induk itu, lalu memasuki sebuah bulak panjang yang sepi di pagi hari. Ada satu dua orang yang bekerja di sawah mereka. Namun nampaknya gairah bekerjapun telah menurun karena parit sudah tidak mengantar air melimpah seperti beberapa saat yang lampau, sehingga mereka terpaksa mengatur, giliran untuk mempergunakan air, namun kadang-kadang timbul juga pertengkaran tentang air itu pula. Demikian Agung Sedayu berjalan di bulak panjang itu, maka Prastawa yang telah menunggunya ditengah-tengah bulak, di sebuah pategalan beberapa langkah dari jalan bulak itu segera bersiap-siap. “Anak itu lewat,“ desis seorang kawannya. “Kita pancing ia berbelok ke pategalan ini,“ desis Prastawa, “Kita akan mengajarinya sedikit sopan santun disini, agar tidak dilihat orang.” Kawan-kawannya tertawa. “Pergilah salah seorang ketepi jalan bulak itu,“ perintah Prastawa, “ajaklah ia singgah. Ia tidak akan menolak, justru karena kesombongannya. Ia merasa dirinya demikian penting disini, sehingga setiap orang akan membutuhkannya dan menghormati kedatangannya.” Sebenarnyalah salah seorang anak muda itupun segera menuju ke pinggir jalan bulak yang dilalui oleh Agung Sedayu. Ia tidak perlu bersembunyi atau berpura pura. Ia berdiri saja dipinggir jalan dengan tangan dipinggang. Agung Sedayu yang berjalan menelusuri bulak itu, untuk pergi kepadukuhan sebelah, melihat juga anak muda itu. Memang terbersit kecurigaannya. Tetapi ia melangkah terus. Demikian ia sampai didepan anak muda itu. maka iapun berhenti karena anak muda yang bertolak pinggang itu menghentikannya. “Agung Sedayu,“ berkata anak muda itu, “aku ingin mengucapkan selamat datang kepadamu.” “Terima kasih,“ jawab Agung Sedayu sambil mengangguk kecil, “selamat bertemu.”

“Ada beberapa orang kawan ingin bertemu denganmu Agung Sedayu,“ berkata anak muda itu berterus terang, “mereka ingin mengerti, apa maksud kedatanganmu sebenarnya.” “O,“ Agung Sedayu mengangguk-angguk, “dimana mereka sekarang ?” “Mereka berada di pategalan itu,“ jawab anak muda itu. “Kenapa di pategalan ? Sebaiknya aku persilahkan saja kalian pergi ke rumah Ki Gede. Kita akan dapat berbicara panjang lebar,“ jawab Agung Sedayu. “Kenapa harus pergi ke rumah Ki Gede?“ anak muda itupun justru bertanya, “kau sudah ada disini sekarang. Dan kawan-kawan sudah cukup lama menunggu. Jangan kecewakan mereka. Bukankah kau datang untuk kepentingan mereka ?” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun akhirnya iapun mengangguk kecil sambil menjawab, “Baiklah. Mungkin aku dapat menjawab beberapa pertanyaan.” “Marilah, ikut aku,“ ajak anak muda itu. Agung Sedayupun kemudian mengikutinya. Anak muda itu memang mengumpat didalam hatinya, “Anak ini benar-benar sombong. Kenapa ia bersedia begitu saja ikut aku, meskipun seharusnya ia mencurigai kenapa aku membawanya ke pategalan.” Tetapi anak muda itu mencoba menahan diri, betapa ia merasa muak melihat sikap Agung Sedayu itu. Ketika mereka memasuki pagar petegalan, maka Agung Sedayupun terkejut ketika ia melihat Prastawa beserta beberapa orang anak muda duduk diantara pepohonan menunggunya. Demikian ia muncul, maka anak anak muda itu tersenyum sambil mengangguk kecil. “Selamat datang Agung Sedayu,“ berkata Prastawa sambil tertawa, “aku sudah mengira bahwa kau tidak akan menolak singgah sebentar, karena kau cukup sombong untuk melakukannya.” “Aku tidak mengerti,“ jawab Agung Sedayu. “Jangan bohong,“ jawab Prastawa, “he, kenapa kau menjadi pucat. Bukankah kau sengaja datang dengan dada tengadah dan menunjukkan kepada anak-anak Tanah Perdikan Menoreh, bahwa kau adalah jenis anak muda yang paling baik yang akan dapat merubah Tanah Perdikan ini menjadi sebuah taman impian yang tenang, damai, kaya raya, penuh dengan seribu macam kenikmatan hidup. Sejahtera dan sentausa. Namun juga kuat lahir dan batinnya menghadapi segala macam mara bahaya.” “Ah,“ desah Agung Sedayu, “jangan berkata begitu. Kau tentu ingat apa yang dikatakan oleh Ki Gede. Kehadiranku sekedar pertanda waktu. Kita akan bangkit bersama-sama untuk membangun Tanah Perdikan ini.”

“Kalau demikian kenapa harus kau ?“ bertanya Prastawa. “Adalah kebetulan aku bersedia membantu sementara aku mempunyai kesempatan. Hanya kesempatan, bukan kelebihan apapun yang ada padaku,“ jawab Agung Sedayu, “jangan salah mengartikan niat Ki Gede memanggil aku. Meskipun Tanah Perdikan ini memiliki anak-anak muda yang baik, lebih baik dari aku, tetapi apa salahnya jika aku mendapat kesempatan untuk sekedar membantu. Mungkin aku dapat berbuat sesuatu yang berarti atau mengusulkan sesuatu yang dapat dipertimbangkan.” “Kau benar benar anak yang sombong,“ geram Prastawa, “kemari. Mendekatlah.” Agung Sedayu ragu-ragu. Tetapi Prastawa yang duduk diatas sebuah batu itu membentak, “Kemari, mendekat kau dengar ?” Agung Sedayu menjadi semakin bimbang. Tetapi ia melangkah beberapa langkah mendekati Prastawa. Tiba-tiba saja Prastawa tertawa. Diantara derai tertawanya ia berkata, “Kenapa kau gemetar he, anak kekasih para malaikat. Dahulu aku pernah kau katakan, kau ingat ? Tetapi waktu itu aku adalah anak ingusan yang tidak tahu arti unsur gerak apapun juga. Sekarang kau jangan bermimpi dapat mengalahkan murid Ki Gede Menoreh yang terpercaya. Karena itu, cepat, duduk dihadapanku. Duduk kau dengar ? Cepat.” Agung Sedayu masih tetap dicengkam oleh kebimbangan. Namun sekali lagi ia mendengar Prastawa berteriak, “Duduk, cepat.” Agung Sedayu tidak membantah. Iapun kemudian duduk didepan Prastawa yang sudah duduk diatas sebuah batu. Sementara itu, kawan-kawan Prastawapun telah duduk memutarinya. “Bagus,“ berkata Prastawa, “disini agak lain dengan di rumah paman Argapati. Disana kau terlalu dimanjakan, tetapi disini kau harus melihat kenyataan, dengan siapa kau berhadapan.” “Aku tidak tahu maksudmu Prastawa,” desis Agung Sedayu.

Prastawa tertawa berkepanjangan. Katanya, “Kau pucat, gemetar, tetapi lebih dari segala itu, kesombonganmu telah larut hanyut oleh sifat pengecutmu yang sebenarnya. Jangan menangis anak manis. He, kenapa kau menangis ?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sikap itu agak keterlaluan. Tetapi ia masih berusaha untuk menahan diri. “Agung Sedayu,“ berkata Prastawa kemudian, “kini kau baru berhadapan dengan kurang dari sepuluh orang anak muda di Tanah Perdikan Menoreh. Kau sudah menjadi pucat, gemetar dan bahkan menangis. Bagaimana kau dapat menghadapi seluruh anak muda di Tanah Perdikan ini.” “Kau memakai istilah yang keliru Prastawa,“ jawab Agung Sedayu, “apakah yang kau maksud dengan menghadapi ?” Prastawa memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Namun kemudian dengan lantang ia berkata, ”Kau sudah menantang kami, anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh dengan kesombonganmu. Seolah-olah kami tidak akan mampu berbuat bagi kepentingan kami di Tanah Perdikan ini, sehingga kau perlu datang kemari untuk menyelamatkan kami.” “Aku sama sekali tidak bermaksud demikian,“ jawab Agung Sedayu, “sudah berkali-kali aku katakan. Aku sekedar pertanda waktu kebangkitan dari Tanah Perdikan ini seperti yang dikehendaki oleh Ki Gede. Aku sendiri tidak banyak berarti. Tetapi bahwa rakyat Tanah Perdikan ini bersama-sama bangkit untuk membangun kembali Tanah Perdikan ini, itulah yang akan berarti bagi Tanah Perdikan ini.” “Kau memang pandai memutar balikkan kata-kata untuk sekali-kali. menutupi kesombonganmu. Tetapi di saat lain, dengan mengolah kata-kata yang sama, kau menunjukkan bahwa seolah-olah hanya kaulah manusia yang memiliki kemampuan untuk membangun Tanah ini,“ geram Prastawa. “Jangan salah mengerti Prastawa,“ jawab Agung Sedayu, “aku sama sekali tidak bermaksud demikian.” Tetapi Prastawa tidak menghiraukannya. Tiba-tiba saja ia berdiri sambil bertolak pinggang. Katanya, “Agung Sedayu, kau harus berani menunjukkan kepada kami, bahwa kau benar-benar mempunyai arti bagi Tanah Perdikan ini. Nah, apa yang dapat kau lakukan terhadap kami. Bukan kami bersama-sama, tetapi kami seorang demi seorang. Aku tahu, kau adalah murid Kiai Gringsing. Tetapi aku adalah murid Ki Gede Menoreh.” “Jangan terlalu jauh menanggapi kehadiranku disini Prastawa,“ berkata Agung Sedayu, “anggap saja aku datang untuk membantu apa yang kalian lakukan. Aku hanya seorang. Jika aku memang tidak berarti apa-apa, biarlah aku tidak berarti menurut pendapatmu. Tetapi jangan dihadapkan kepada cara seperti ini.“ “Persetan,“ geram Prastawa, “ayo berdiri. Berdirilah.”

Agung Sedayu masih tetap duduk, meskipun anak-anak muda kawan Prastawa itu sudah berdiri. “Berdirilah,“ bentak Prastawa. Namun demikian Agung Sedayu berdiri, tiba-tiba saja Prastawa telah memukul perut Agung Sedayu dengan sekuat-kuatnya. Yang terdengar adalah keluhan tertahan. Agung Sedayu terbungkuk oleh pukulan itu. Dalam pada itu, satu pukulan yang keras telah mengenai tengkuknya. Sisi telapak tangan Prastawa telah mendorong Agung Sedayu tertelungkup, meskipun ia mencoba bertahan pada kedua tangannya. “Bangunlah, bangunlah anak perkasa,“ geram Prastawa, “ayo bangkitlah agar kau tidak mati terinjak-injak disini.” Perlahan-lahan Agung Sedayu mencoba untuk bangkit. Namun dengan kerasnya Prastawa telah menendangnya tepat pada perutnya pula, sehingga Agung Sedayu terjatuh pula. Demikian Agung Sedayu menyeringai menahan sakit, maka terdengar Prastawapun tertawa. Kawankawannya yang menegang, tiba-tiba telah ikut tertawa pula berkepanjangan. Adalah diluar dugaan, bahwa tiba-tiba saja Prastawa itupun berkata, “marilah anak-anak, berbuatlah sesuatu. Ternyata kulitnya tidak sekeras kulit buaya seperti yang aku duga, tetapi kulitnya hanyalah selunak kulit kelinci.” Anak-anak muda itu menjadi ragu-ragu. Tetapi ketika sekali lagi Prastawa memukul Agung Sydayu, maka anak-anak muda itupun ikut pula memukulnya beramai-ramai. Bahkan kemudian merekapun saling berebutan memukul Agung Sedayu yang berdiri tertatih-tatih. Dalam pada itu, jantung Agung Sedayu rasa-rasanya telah terbakar oleh kemarahan atas sikap itu. Tetapi ia sudah berjanji untuk menahan diri dan tidak memusuhi anak-anak Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, maka iapun berusaha untuk mengekang diri tanpa membalas sama sekali. Sementara itu, anak-anak Tanah Perdikan Menoreh yang berada di pategalan bersama Prastawa itupun telah berbuat sesuka hati mereka. Mereka memukul, menendang, menghantam dengan siku, dengan lutut dan dengan apa saja. Prastawa yang justru tidak berbuat sesuatu lagi. dan berdiri selangkah dari anak-anak muda yang mengerumuni Agung Sedayu itu justru menjadi jengkel. Ia masih melihat Agung Sedayu tetap berdiri meskipun kawan-kawannya telah memukulinya. “Minggir,“ teriak Prastawa kemudian, “aku akan membuatnya jatuh mencium tanah. Tanah yang samasama kita hormati dari Tanah Perdikan ini.”

Suaranya yang menggelegar itu telah menyibakkan kawan-kawannya, sehingga kemudian Prastawa berdiri berhadapan dengan Agung Sedayu yang masih tetap berdiri tegak. “Gila,“ geram Prastawa, “kau mulai mencoba menakut-nakuti anak-anak ini dengan daya tahanmu yang luar biasa ?” Agung Sedayu sudah menggerakkan mulutnya untuk menjawab. Tetapi Prastawa telah mendahuluinya. Sekali lagi ia menghantam perut Agung Sedayu. Tidak hanya dengan tangannya, tetapi dengan tumit kakinya. Agung Sedayu bergeser setapak surut. Tetapi ia masih tetap berdiri saja meskipun ia memegangi perutnya yang dihantam oleh kaki Prastawa. Melihat sikap Agung Sedayu, Prastawa menjadi semakin marah. Sekali lagi ia menghantam dengan kakinya, justru pada dada. Namun seperti semula, Agung Sedayu hanya bergeser saja setapak surut. “Gila,“ geram Prastawa, “Kita harus menjatuhkannya. Kita harus membuatnya jatuh terbujur ditanah. Kita bersama-sama.” Sekali lagi anak-anak muda itu berebutan menghantam Agung Sedayu dengan sekuat tenaganya, termasuk Prastawa sendiri. Tetapi Agung Sedayu masih tetap berdiri tegak. Bahkan kadang-kadang terdengar giginya gemeretak menahan kemarahan yang hampir tidak terkendali lagi. Namun demikian, ia masih tetap berusaha untuk tidak melawan dengan terang-terangan, meskipun sikapnya itupun sudah cukup memberikan perlawanan. Justru kediamannya itu, tetapi ia tetap berdiri tegak dan tidak tergoyahkan. Karena sebenarnyalah, pukulan-pukulan itu tidak berarti apa-apa bagi kekebalan tubuh Agung Sedayu. Namun dengan demikian, Prastawa dan kawan-kawannya itu bagaikan menjadi gila. Mereka benarbenar kehilangan pengekangan diri. Mereka menghantam Agung Sedayu dengan segenap kekuatan mereka pada tubuh Agung Sedayu tanpa memilih. Dalam pada itu, barulah Agung Sedayu sadar, bahwa iapun telah hanyut kedalam arus perasaan mudanya. Seharusnya ia tidak bersikap demikian, sehingga membuat anak-anak itu bagaikan menjadi gila. “Aku harus jatuh,“ berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri, “jika tidak, maka anak-anak ini akan benar-benar menjadi gila dan kehilangan pengamatan diri.” Karena itu, untuk memberikan kepuasan kepada anak-anak itu, tiba-tiba saja kaki Agung Sedayu menjadi goyah.

Perlahan-lahan ia menjadi gontai. Akhirnya Agung Sedayu itupun jatuh pada lututnya. “Rasakan,“ geram Prastawa sambil menghantam dagu Agung Sedayu sehingga wajahnya terangkat. Tetapi pada saat itu dihantamnya kening Agung Sedayu dengan sekuat tenaganya, sehingga wajah yang terangkat itupun bagaikan diputar kesamping. Sehingga Agung Sedayupun bagaikan terputar pula dan jatuh ditanah. Demikian Agung Sedayu terbujur ditanah, Prastawa menarik nafas dalam-dalam sambil berdiri bertolak pinggang, “Nah, kau harus merasai, apa yang dapat kami lakukan atasmu.” Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Wajahnya tertelungkup dibayangi oleh kedua tangannya yang bersilang didahinya. “Agung Sedayu,“ Prastawa mengguncang tubuh itu dengan kakinya, “kali ini kami hanya ingin memberikan sedikit peringatan. Ada dua kemungkinan yang dapat kau tempuh. Pergi dari Tanah Perdikan ini, atau tunduk kepada segala perintahku. Jika tidak, maka pada saat lain jika dapat berbuat lebih banyak lagi.” Agung Sedayu tidak menjawab. Bahkan salah seorang dari anak muda itu berdesis, “Apakah ia mati ?” “Jika ia mati, akan kami kuburkan di pategalan ini,“ geram yang lain. Tetapi anak-anak itu menjadi gelisah. Namun Prastawa dengan kasar telah membalikkan tubuh Agung Sedayu dengan kakinya. “Ia masih bernafas,“ geram Prastawa, “marilah kita pergi. Jika sehari ini ia tidak datang ke rumah paman, maka ia mati disini. Dan kita harus mengambil langkah-langkah.“ lalu katanya kepada Agung Sedayu, “kau jangan mengadukan hal ini kepada paman, jika kau tidak ingin hal serupa ini terulang, jauh lebih parah bagimu sendiri.” Prastawa tidak menghiraukannya lagi. Iapun segera melangkah pergi. Diikuti oleh beberapa orang kawan-kawannya itu. Namun ternyata seorang diantara mereka telah datang kembali dengan tergesa-gesa sambil membawa air di tudung kepalanya. Untunglah bahwa Agung Sedayu masih terbaring ditanah. Ia merasa anak muda itu mengusap wajahnya dengan air yang segar. “Bangunlah. Jangan mati,“ desis anak muda itu. Agung Sedayu membuka matanya. Ia melihat wajah anak muda itu. Nampaknya iapun menjadi gembira melihat Agung Sedayu membuka matanya. Namun ia tidak menunggu terlalu lama. Iapun segera bangkit dan pergi menyusul kawan-kawannya.

Sepeninggal anak muda itu. Agung Sedayu masih berbaring beberapa saat. Bukan karena badannya menjadi sakit. Ia tidak merasakan apapun juga, karena ia telah melindungi dirinya dengan ilmunya, bahkan pukulan-pukulan itu menggetarkan kulitnyapun tidak. Tetapi rasa-rasanya ia masih ingin merenungi tingkah laku anak-anak muda itu beberapa saat ditempatnya. Namun akhirnya iapun bangkit. Dikibaskannya pakaiannya yang menjadi kotor. Ia tidak mau mengejutkan pemilik pategalan itu, jika tiba-tiba saja orang itu datang. Setelah membenahi dirinya, maka Agung Sedayupun segera keluar dari pategalan itu, meneruskan langkahnya. Tetapi karena pakaiannya yang menjadi kotor, iapun kemudian berbelok memintas jalan sempit ditengah bulak menuju kembali keinduk padukuhan di Tanah Perdikan Menoreh. Ia masih bertemu beberapa orang anak-anak muda sebayanya yang masih mengenalnya. Seperti sebelumnya sebagian besar dari mereka menyambut kedatangan Agung Sedayu dengan senang hati. “Kenapa pakaianmu ?“ bertanya seorang anak muda. “Aku tergelincir di tepi parit diujung galengan,“ jawab Agung Sedayu. Nampaknya kau jarang berjalan di jalan-jalan sempit diantara air dan lumpur,“ berkata anak muda itu sambil tertawa. “Tidak. Di Sangkal Putung, akupun setiap hari bergulat dengan lumpur. Tetapi sekali-sekali akupun tergelincir juga seperti sekarang ini,“ jawab Agung Sedayu. Anak muda itu tertawa. Lalu iapun bertanya, “Sekarang kau akan kemana ?” “Kembali ke induk padukuhan,“ jawab Agung Sedayu. “O, kau memang memilih jalan memintas ini ? Baik. Biasakan berjalan di jalan-jalan sempit seperti ini. Sayang, parit-parit sebagian menjadi kering, sehingga kesempatanmu tergelincir menjadi lebih kecil.“ anak muda itu bergurau. Agung Sedayupun tertawa. Katanya, “Terima kasih. Asal bukan dengan sengaja kau siram aku dengan lumpur.” Anak muda itupun tertawa. Lalu katanya, “Kapan kita bertemu dan berbicara tentang diri kita. Maksudku, diri kami, anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh. Juga tentang pengawal Tanah Perdikan dan tentang parit-parit.” “Aku akan datang. He, bukankah gardu-gardu masih dapat dipergunakan ?“ bertanya Agung Sedayu. “Gardu disudut padukuhanku itu sudah rusak,“ jawab anak muda itu.

“Kenapa tidak kau perbaiki ?“ bertanya Agung Sedayu. “Lain kali, aku akan memperbaikinya,“ jawab anak muda itu. Agung Sedayupun meninggalkannya. Setiap kali ia sempat bertanya tentang gardu. Tentang bambu yang dapat diambil disetiap sudut pekarangan. Tali ijuk yang dapat dibeli disembarang tempat. “Apa sulitnya memperbaiki gardu ? “ Agung Sedayu selalu bertanya kepada anak-anak muda itu tentang gardu. Ketika Agung Sedayu kemudian sampai di padukuhan induk, ia melihat sekelompok anak-anak muda kawan-kawan Prastawa itu menunggunya di depan regol rumah Ki Gede Menoreh. Ketika mereka mehhat Agung Sedayu mendekat, maka merekapun saling berbicara. Seorang diatara mereka masuk ke halaman untuk memberitahukan kehadiran Agung Sedayu itu kepada Prastawa. “Anak itu tidak mati,“ geram Prastawa, “akupun sudah menjadi berdebar-debar. Jika ia mati, paman tentu akan marah sekali. Untunglah kita masih dapat bersabar dan menahan hati, sehingga kita masih sempat membiarkannya tetap hidup.” Prastawapun kemudian pergi ke regol juga. Dipandanginya Agung Sedayu yang berjalan menuju keregol. Sambil mengerutkan keningnya ia berdesis, “Tidak nampak bekas-bekasnya sama sekali, bahwa ia baru saja mengalami perlakuan yang dapat membuatnya jera. Ia berjalan seperti biasa. Masih juga dengan mengangkat dada penuh kesombongan.” Agung Sedayu yang juga melihat anak-anak itu menjadi berdebar-debar pula. Apalagi yang akan diperbuat oleh anak-anak itu. “Tetapi mereka tidak akan berbuat apa-apa di hadapan Ki Gede Menoreh,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Dalam pada itu, semakin lama Agung Sedayupun menjadi semakin dekat. Prastawa dan kawankawannya menjadi semakin heran. Sama sekali tidak nampak bekas-bekas peristiwa yang terjadi di pategalan. Kening Agung Sedayu tidak menjadi biru kemerah-merahan, langkahnya, sikapnya, tidak menunjukkan sama sekali, bahwa ia baru saja mengalami perlakuan yang kasar. “Anak iblis,“ geram Prastawa. Namun katanya kemudian, “Ia berhasil menahan kesakitannya. Dengan sombong ia berusaha untuk nampak tetap segar. Tetapi sebentar lagi ia akan menangis di biliknya.” Kawan-kawannya hanya mengangguk-angguk saja. Sementara itu. Agung Sedayu telah sampai ke regol halaman. Prastawa yang berdiri di pintu regol menghentikan langkahnya. Sambil memandang Agung Sedayu dengan tajam Prastawa itupun berkata, “He, anak iblis. Ingat. Jangan kau katakan apapun yang terjadi atasmu, agar kau tidak mati di pategalan di kesempatan lain.”

Agung Sedayu mengangguk perlahan. Namun sementara itu, Prastawa masih terheran-heran bahwa tidak ada bekasnya sama sekali pada tubuh Agung Sedayu tetap bersih. Hanya pakaiannya sajalah yang kotor. “Apa yang akan kau katakan tentang pakaianmu yang kotor?“ bertanya Prastawa kemudian. “Apa saja. Tergelincir di pinggir parit barangkali,“ jawab Agung Sedayu. “Paman tidak akan percaya. Cari alasan yang lebih baik,“ bentak Prastawa. “Tolong, apa yang sebaiknya aku katakan kepada Ki Gede,“ bertanya Agung Sedayu. “Gila,“ Prastawa menggeram, “jika kau tidak berada didepan regol rumah paman, aku sobek mulutmu. Sudah tentu kaulah yang harus mancari alasan, bukan aku.” Agung Sedayu menarik nafas dalam. Lalu katanya, “Katau begitu, aku akan langsung menuju kebilikku, agar aku sempat membenahi pakaianku. Dengan demikian aku tidak akan mendapat pertanyaan yang sulit aku jawab.” “Pergilah anak iblis,“ gigi Prastawa gemeretak. Sementara Agung Sedayupun melangkah memasuki regol dan seperti yang dikatakannya, iapun langsung menuju kegandok. Sepeninggal Agung Sedayu, Prastawa bergumam diantara kawan-kawannya, “Ia sudah menjadi semakin jinak. Aku kira ia akan benar-benar menjadi jera. Jika ia tidak meninggalkan Tanah Perdikan ini, tentu ia tidak akan berani berbuat apa-apa lagi disini, sehingga usaha paman memanggilnya kemari, tidak akan berarti apa-apa. Kita, anak-anak Tanah Perdikan inipun tidak akan tercoreng orang karena kehadiran orang lain. Seolah-olah kita sendiri tidak mampu berbuat apa-apa.” Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun satu dua orang diantara mereka mulai dijalari oleh berbagai pertanyaan. Mereka melihat, bagaimana Prastawa dan diri mereka sendiri telah menyakiti Agung Sedayu, namun nampaknya Agung Sedayu itu sama sekali tidak mengalami kesakitan apapun juga. Atau seandainya ia mengalami kesakitan, maka dalam sekejap, ia telah dapat melupakannya. Namun Prastawa yang agaknya melihat keheranan di wajah kawan-kawannya itu berkata, “Untung aku tidak lupa diri, sehingga aku benar-benar menyakitinya. Jika aku menjadi kemuriten, dan tidak lagi dapat menahan diri, maka aku kira, wajahnya akan menjadi biru pengab. Tetapi jika demikian, apa yang dapat dikatakannya kepada paman Argapati?” Kawan-kawannya mengangguk angguk. Ada juga yang terpengaruh oleh kata-kata itu. Tetapi masih

ada satu dua yang ragu-ragu. Mereka melihat, betapa Prastawa sudah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Jika yang mengalami perlakuan itu adalah orang-orang kebanyakan, maka ia tidak akan dapat bangkit untuk sepekan. Dalam pada itu. Agung Sedayu yang langsung masuk kedalam biliknya itupun.telah membenahi pakaiannya. Yang kotor dilepasnya, dan iapun telah mengenakan pakaian yang dipakainya dan berada diserambi, maka sama sekali tidak ada bekas apapun juga yang dapat memancing pertanyaan kepadanya. Namun agaknya Ki Gede sedang sibuk didalam rumahnya dengan Ki Waskita. Karena itu, maka mereka tidak melihat kedatangan Agung Sedayu yang langsung menuju ke biliknya. Baru kemudian, ketika keduanya mendengar bahwa Agung Sedayu telah datang, maka anak muda itu telah mereka panggil masuk keruang dalam. Namun demikian Agung Sedayu melihat, tatapan wajah Prastawa masih saja mengancamnya. Ketika kemudian Agung Sedayu duduk bersama Ki Gede Menoreh dan Ki Waskita, maka iapun mulai berceritera tentang apa yang dilihatnya di Tanah Perdikan Menoreh. “Meskipun aku belum melihat seluruhnya, tetapi aku sudah melihat cukup banyak,“ berkata Agung Sedayu. “Itulah keadaan Tanah Perdikan ini Agung Sedayu,“ berkata Ki Gede, “Tidak ada lagi yang dapat diharapkan. Mudah-mudahan kau dapat membantu kami. Kedatanganmu akan dapat membangunkan mereka yang sedang tertidur nyenyak.” Agung Sedayu, mengangguk-angguk. Sebenarnyalah Tanah Perdikan itu perlu diguncang dengan kejutan-kejutan agar anak-anak mudanya bangkit bagi Tanah Perdikannya. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu sama sekali tidak menyinggung tentang tingkah laku Prastawa yang berusaha menyakitinya. Ia berniat hal-hal seperti itu akan dapat diatasinya sendiri. Bahkan Agung Sedayupun kemudian berkata kepada Ki Gede, “Aku ingin melihat kehidupan Tanah Perdikan ini di malam hari.” “Silahkan,“ berkata Ki Gede, “apa yang kau anggap penting untuk dilihat, lihatlah jika itu akan dapat menjadi bahan langkah-langkah yang kau ambil.” Hari itu Agung Sedayu belum dapat mengatakan apa-apa kepada Ki Gede. Dan Ki Gedepun tahu, bahwa Agung Sedayu memerlukan waktu untuk melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan Menoreh. Baru beberapa hari kemudian Agung Sedayu akan dapat mengajukan pendapat-pendapatnya yang mungkin bermanfaat bagi Tanah Perdikan itu.

Namun dalam pada itu, ketika Agung Sedayu dan Ki Waskita berada didalam bilik mereka, barulah anak muda itu menceriterakan apa yang telah dialaminya. Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah menduga.” “Tetapi biarlah paman. Aku akan mencari cara untuk mengatasinya. Memang mungkin pada. suatu hari aku terpaksa menyombongkan diri. Bukan sekedar menyombongkan diri, namun aku berharap bahwa dengan demikian kehadiranku disini ada gunanya,“ berkata Agung Sedayu. “Memang mungkin sekali,“ desis Ki Waskita, “tetapi kau harus memperhitungkan waktu dan keadaan. Jika dengan langkah itu kau justru dimusuhi oleh anak-anak muda Tanah ini, maka kau harus menghindarinya.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Benar Ki Waskita. Mudah-mudahan aku dapat memperhitungkan waktu keadaan itu.” Demikianlah, seperti yang sudah direncanakan. Agung Sedayu benar-benar ingin melihat keadaan Tanah Perdikan Menoreh di malam hari. Kepada Ki Gede ia berkata, “Aku akan pergi pada saat yang aku anggap tepat Ki Gede. Mungkin menjelang malam, mungkin tengah malam atau justru dini hari.” “Terserah kepadamu. Tetapi jika kau perlu, kau dapat mengajak Prastawa dan dua atau tiga orang pengawal,“ berkata Ki Gede. “Terima kasih Ki Gede,“ jawab Agung Sedayu. “Aku masih tetap ingin pergi seorang diri. Aku akan dapat bebas menentukan apa yang akan aku lihat dan apa yang akan aku perbuat.” Ki Gede yang sudah mempercayai Agung Sedayu itupun sama sekali tidak berkeberatan apapun yang akan dilakukan. Karena itu, maka iapun menyerahkan segala kebijaksanaan kepada anak muda itu. Karena itu, maka ketika malam turun, Agung Sedayu dan Ki Waskita telah berada didalam biliknya. Agaknya Agung Sedayu mencoba menjelaskan rencananya kepada Ki Waskita untuk mulai menggelitik hati anak-anak muda di padukuhan-padukuhan. “Aku akan memukul kentongan yang masih tersisa di gardu-gardu,“ berkata Agung Sedayu, “mudahmudahan suaranya akan menimbulkan pertanyaan, siapakah yang membunyikannya, akan memancing keinginan mereka untuk melihat, dan barangkali mengenang serba sedikit tentang gardu dan kentongan.” “Tetapi gardu-gardu itu sudah rusak. Tidak lagi ada kentongan di gardu-gardu yang rusak itu,“ berkata

Ki Waskita. “Jika demikian, aku akan membawa kentongan yang tergantung di serambi gandok itu. Meskipun kentongan itu kecil, tetapi suaranya cukup keras untuk membangunkan beberapa rumah diseputar gardu-gardu itu.” “Kau dapat mencobanya,“ berkata Ki Waskita, “mungkin besok atau lusa kau menemukan cara lain yang lebih langsung.” “Ya. Mudah-mudahan. Tetapi aku masih harus selalu memperhitungkan sikap Prastawa. Karena itu, nanti aku akan keluar dari halaman ini. tidak melalui regol depan,“ berkata Agung Sedayu. “Melalui butulan?“ bertanya Ki Waskita. “Juga tidak. Mungkin Prastawa meletakkan orang-orangnya disemua jalan keluar,“ jawab Agung Sedayu, “karena itu, aku akan meloncati dinding saja. Demikian pula jika aku nanti kembali.” Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi agaknya cara itu lebih baik dilakukan oleh Agung Sedayu untuk menghindarkan diri dari kemungkinan-kemungkinan buruk menghadapi Prastawa, justru karena Agung Sedayu sendiri masih muda pula, sehingga apabila darahnya tidak lagi dapat terkekang, maka anak itu akan dapat meledak. Jika Agung Sedayu marah, maka siapapun juga tidak akan berarti apa-apa baginya. Demikianlah, maka seperti yang direncanakan ketika malam menjadi semakin sepi. Agung Sedayu telah bersiap-siap untuk pergi meninggalkan Ki Waskita dalam biliknya. Namun Ki Waskita masih juga berpesan, agar ia berbuat dengan sangat berhati-hati. “Nampaknya Prastawa ada di regol bersama kawan-kawannya,“ berkata Ki Waskita. “Ya. Aku kira Prastawa masih tetap mencurigai aku meskipun ia sudah mengancam beberapa kali,“ berkata Agung Sedayu. Karena itu, maka yang dilakukannya kemudian sama sekali tidak diketahui oleh Prastawa. Dengan hati-hati Agung Sedayu mengambil kentongan kecil diserambi. Kemudian membawa kentongan itu keluar dari halaman dengan meloncat dinding. Ketika Agung Sedayu sudah berada diluar dinding halaman rumah Ki Gede, maka iapun menarik nafas dalam-dalam. Jalan sempit disebelah rumah Ki Gede itu rasa-rasanya sepi sekali. Bahkan jalan yang lebih besar di depan rumah itupun juga nampak sangat sepi. Agung Sedayu kemudian melangkah menyelusuri jalan kecil itu. Ia tidak akan berbuat apa-apa di padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh itu agar tidak menarik perhatian Prastawa. Agaknya seperti malam sebelumnya, Prastawa dan kawan-kawannya yang berada diregol, akan membunyikan

kentongan pula pada saat-saat tertentu menjelang tengah malam. Kemudian tepat ditengah malam, Prastawa akan membunyikan kentongan dengan irama dara muluk. Setelah lewat jalan sempit beberapa lama, maka Agung Sedayupun sampai ke jalan induk. Ia mengerti, bahwa di regol padukuhan induk itupun tidak ada orang yang berjaga-jaga. Karena itu, maka dengan tenang Agung Sedayu berjalan terus. Meskipun demikian, mendekati regol ia merasa perlu untuk berhati-hati. Seandainya secara kebetulan ada orang digardu. Namun ternyata gardu diregol yang sudah hampir rusak itupun sepi. Diluar regol padukuhan induk, Agung Sedayu berjalan semakin tenang. Seandainya ia bertemu dengan satu dua orang petani yang terpaksa pergi kesawah untuk menyadap air yang menjadi semakin sulit, maka ia tentu akan dapat melihatnya lebih dahulu, sehingga ia akan sempat menghindar agar tidak seorangpun yang mengetahui bahwa ia berkeliaran di malam hari di Tanah Perdikan Menoreh. Seperti yang direncanakan. Agung Sedayu pergi dari padukuhan yang satu ke padukuhan yang lain. Ternyata padukuhan-padukuhan itu benar-benar sepi. Anak-anak mudanya lebih senang tidur dirumah masing-masing. Tidak ada pengawal yang bertugas di gardu gardu secara bergiliran. Apalagi yang meronda nganglang dari padukuhan yang satu kepadukuhan yang lain. “Benar-benar satu kemunduran,“ desis Agung Sedayu. Namun agaknya Prastawa tidak mau mengerti. Pada dasarnya tanah yang subur, kebutuhan yang tercukupi, membuat Tanah Perdikan itu kurang berprihatin. Ketika Agung Sedayu sampai disebuah padukuhan kecil dan menemukan gardunya yang sudah rusak, maka timbul niatnya untuk menarik perhatian beberapa orang penghuni padukuhan itu, terutama anakanak mudanya. “Mudah-mudahan suara kentongan akan dapat memberikan sedikitnya satu kenangan pada masa-masa lampau dari Tanah Perdikan ini,“ berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri. Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Namun akhirnya. Agung Sedayu telah memukul kentongan kecilnya. Meskipun kentongan itu memang sebuah kentongan kecil, namun suaranya cukup keras melengking dimalam yang sepi. Sebenarnyalah seperti yang dimaksud oleh Agung Sedayu, suara kentongannya memang menarik perhatian.

Meskipun tidak banyak, tetapi ada beberapa orang laki-laki dan anak-anak muda yang mendengar kentongan melengking di malam hari. Sudah lama mereka tidak mendengar suara kentongan. Karena itu suara kentongan itu rasa-rasanya bagaikan lagu lama yang sudah tidak pernah lagi didendangkan, tiba-tiba saja mereka telah mendengarnya dalam irama yang sudah mereka kenal dengan baik. Karena itu, maka suara kentongan itu mendapat perhatian yang khusus dari anak-anak muda di padukuhan itu. Meskipun mereka tidak langsung keluar dari rumah mereka, namun suara itu telah menggelitik hatinya untuk bertanya diantara mereka, siapakah yang telah memukul kentongan itu. Ternyata Agung Sedayu tidak hanya melakukan di satu tempat. Ia memukul kentongan dibeberapa sudut padukuhan dan regol yang sepi. Di gardu-gardu yang rusak dan tidak lagi dipergunakan. Bahkan di simpang empat didalam padukuhan-padukuhan kecil. Tetapi karena kentongan Agung Sedayu memang hanya sebuah kentongan kecil, maka suaranya tak terdengar sampai ke padukuhan induk. Sehingga karena itu, maka Prastawa dan kawan-kawannya sama sekali tidak mendengarnya. Malam itu. Agung Sedayu telah berhasil menggelitik hati anak-anak muda dibeberapa padukuhan kecil. Ketika ia sudah merasa cukup, maka iapun segera kembali ke padukuhan induk. Dengan cara yang sama seperti saat ia memnggalkan rumah Ki Gede, maka iapun telah masuk kembali. Dengan hati-hati ia menggantungkan kentongan ditempatnya semula. Tanpa diketahui oleh Prastawa dan kawan-kawannya, Agung Sedayu telah masuk kembali kedalam biliknya di gandok. Ternyata Ki Waskita masih belum tidur. Justru dengan pendengarannya yang tajam, ia mendengar kedatangan Agung Sedayu mendekati pintu. Karena itulah, sebelum Agung Sedayu mengetuknya, Ki Waskita sudah membukanya. Dengan singkat Agung Sedayu menceriterakan apa yang sudah dilakukannya. Meskipun Agung Sedayu sendiri tidak yakin, apakah ada gunanya. Namun sebenarnyalah, ketika fajar menyingsing, dan padukuhan-padukuhan itu mulai bangun. Beberapa orang anak muda yang bertemu di pinggir jalan ketika mereka pergi ke sungai, saling bertanya yang satu dengan yang lain. “Aneh,“ berkata seorang anak muda, “gardu itu tidak lagi mempunyai kentongan.” Tetapi ternyata ada dugaan yang justru bertentangan dengan maksud Agung Sedayu. Seorang anak muda bertubuh kurus berdesis, “Mungkin di padukuhan ini ada hantunya sekarang.” “Ah,“ sahut kawannya, “ada hantu memukul kentongan ?” “Kentongannyapun tidak ada. He, jika bukan hantu kentongan manakah yang berbunyi semalam ? Kentongan diserambi rumahku suaranya tidak seperti itu. Yang aku dengar semalam adalah suara

kentongan bambu yang tidak cukup besar.” “Ya, memang hanya kentongan kecil. Tetapi aku kira bukan hantu. Tetapi aku tidak dapat menyebutnya, siapa,“ jawab yang lain. Namun bagaimanapun juga, suara kentongan itu telah menjadi bahan pembicaraan beberapa orang anak muda di beberapa padukuhan yang sempat di kunjungi oleh Agung Sedayu semalam. Agaknya dengan demikian maka sebagian dari maksud Agung Sedayu sudah dapat terpenuhi. Dengan membicarakan suara kentongan, maka anak-anak muda itupun mulai berbicara pula tentang gardugardu yang rusak. “Dengar,“ tiba-tiba seorang anak muda berkata, “kemarin aku bertemu dengan Agung Sedayu.” “Agung Sedayu,“ desis kawannya, “maksudmu Agung Sedayu dari Jati Anom yang datang bersama Ki Gede ?” “Ya. Kemarin aku bertemu dengan anak muda itu di bulak sebelah. Pakaiannya kotor, karena menurut keterangannya ia tergelincir jatuh diujung jalan sempit itu,“ jawab anak muda yang pertama. “Bagaimana dengan Agung Sedayu ?“ bertanya kawannya. “Entahlah, tetapi kenapa aku tiba-tba saja menghubungkan suara kentongan dengan Agung Sedayu.” “Ia kemarin bertanya kepadaku tentang gardu yang rusak.” “Bahkan ia menyebut-nyebut tentang rumpun-rumpun bambu yang banyak terdapat dipadukuhan kita. Dan iapun berbicara tentang tali ijuk yang sangat murah harganya.” “Apakah maksudnya agar kita memperbaiki gardu-gardu yang rusak itu ?“ bertanya kawannya. “ Mungkin,“ jawab yang pertama. “Buat apa ? Kita tidak memerlukannya lagi.” sahut yang lain. “Tetapi kawan-kawannya ternyata terpaksa merenungi kata-kata itu. Apakah benar bahwa mereka tidak memerlukan lagi.” Meskipun anak-anak muda itu tidak mengambil kesimpulan, namun mereka mulai merenunginya. Mereka mulai mengingat-ingat, apa saja yang pernah terjadi pada saat-saat terakhir, setelah mereka menganggap bahwa gardu-gardu itu sama sekali tidak berarti lagi. Seperti daerah-daerah yang lain, maka Tanah Perdikan Menoreh tidak bersih sama sekali dari kejahatan. Pencurian dan perampokan-perampokan kecil memang pernah terjadi. Sementara itu tidak ada lagi orang yang menghiraukannya. Hanya pada saat-saat tertentu, jika ada seseorang berteriak tentang pencuri dirumahnya, maka

tetangga-tetangganya dengan malas keluar rumah dan berusaha untuk membantu menangkap pencuri itu. Tetapi biasanya pencuri itu bergerak lebih cepat, sehingga hampir tidak pernah ada seorang pencuripun yang tertangkap. Namun anak-anak muda yang mulai merenung itu. ternyata tidak hanya berbicara tentang gardu. Seorang anak muda yang bertemu dengan Agung Sedayu, meskipun hanya sekilas, telah mendengar beberapa pertanyaan Agung Sedayu tentang parit yang kering. Jalan yang rusak dan segala kegiatan yang menurun. Meskipun demikian, anak-anak muda itu masih terbatas pada merenunginya. Bahkan ada satu dua yang tidak menghiraukannya lagi. Mereka merasa bahwa gardu hanya akan membuat mereka kedinginan di saat-saat mereka meronda, dan parit-parit yang kering akan merupakan panggilan bagi mereka untuk turun memperbaiki bendungan. Dalam pada itu, selagi beberapa orang anak-anak muda di beberapa padukuhan merenungi pendengaran mereka atas suara kentongan yang tidak mereka ketahui dengan pasti dari mana sumbernya itu, di rumah Ki Gede, para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh dan para pemimpin padukuhan telah berkumpul sebagaimana mereka lakukan setiap sepekan sekali. Nampaknya kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ki Gede untuk mulai dengan rencana besarnya, membangunkan Tanah Perdikan Menoreh. Dengan memperkenalkan Agung Sedayu kepada mereka, maka Ki Gede berkata, “Aku mengajak angger Agung Sedayu untuk membantu kita.” Sebagian besar dari para pemimpin Tanah Perdikan itu sudah mengenal Agung Sedayu. Karena itu, maka merekapun telah menyambut baik kedatangan anak muda itu di Tanah Perdikan Menoreh. Namun dalam pada itu, wajah Prastawa masih saja garang bagi Agung Sedayu. Setiap kali Agung Sedayu sempat memandangi wajah itu, selagi ia berhadapan dengan para pemimpin Tanah Perdikan itu dan para pemimpin padukuhan, maka nampak betapa anak muda itu mengumpatinya didalam hati. Prastawa menjadi semakin marah didalam hati ketika ia mendengar pamannya berkata, “Pada harihari mendatang yang pendek, kami akan datang ke padukuhan-padukuhan untuk melihat langsung, apa yang perlu dibenahi.” “Kami menunggu dengan senang hati Ki Gede,“ jawab para pemimpin padukuhan itu. Sebenarnyalah, ketika pertemuan itu selesai dan para pemimpin padukuhan meninggalkan rumah Ki Gede Menoreh, maka mulailah Ki Gede berbicara tentang rencana itu. “Kau sudah melihat-lihat seorang diri Agung Sedayu,“ berkata Ki Gede, “namun yang kau lakukan baru sekedar melihat. Tetapi kita bersama akan mengunjungi setiap padukuhan. Kita akan berbicara dan kemudian membuat rencana-rencana tertentu bagi padukuhan-padukuhan itu.” “Bagus sekali Ki Gede,“ jawab Agung Sedayu, “aku akan memanfaatkan segala kesempatan. Namun sekali lagi, bahwa kebangkitan Tanah Perdikan ini memang ternyata sekali atas usaha Tanah Perdikan

ini sendiri. Kehadiranku hanya sekedar pertanda seperti yang Ki Gede maksudkan.” Ki Gede tersenyum. Katanya, “Itu adalah kewajiban kami. Disaat kami menyadarinya, maka kami harus mengerjakannya. Aku berharap bahwa para pemimpin Tanah Perdikan ini akan melakukannya bersamaku.” Dihari berikutnya Ki Gede sudah akan mulai dengan rencananya. Ia sudah menunjuk beberapa orang yang akan menyertainya bersama beberapa orang pengawal. Ketika para pemimpin Tanah Perdikan itu pulang kerumah masing-masing, satu dua diantara mereka sempat berbicara diantara mereka, “Nampaknya gairah kerja Ki Gede telah timbul lagi. Anak muda itu dapat mengisi kekosongan hatinya, yang hampir saja memadamkan api didadanya, sepeninggal anak gadisnya.” Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun sebuah pertanyaan telah terlontar dari seorang pemimpin Tanah Perdikan yang masih tergolong muda usia, “Tetapi pada saat-saat yang demikian, apakah kita sudah berusaha untuk berbuat sesuatu ?” Seorang pemimpin lainnya menarik nafas dalam. Katanya, “Ya, kita sendiri juga tertidur selama ini. Untunglah bahwa kita belum terlambat. Masih mungkin bagi kita untuk mengejar ketinggalan kita selama ini.” “Bukan ketinggalan,“ jawab pemimpin yang masih muda itu, “Kita harus mengakui, bahwa kita justru telah bergerak mundur.” “Kemanakan Ki Gede itu kurang dapat menempatkan diri,“ desis seorang pemimpin yang lain. Namun pemimpin yang masih muda itu menyahut, “Sebaiknya kita tidak mencari kesalahan pada orang lain. Kita semuanya sudah bersalah. Sekarang waktunya untuk memperbaiki kesalahan. Anak muda dari Jati Anom itu akan bekerja bersama kita. Kita harus merasa malu bahwa orang lain akan bekerja bagi kita, sementara kita sendiri tidak berbuat apa-apa.” Dalam pada itu di hari yang sudah direncanakan, maka Ki. Gede telah bersiap untuk pergi ke padukuhan-padukuhan bersama beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan Menoreh. Bersama dengan mereka telah diajak pula Agung Sedayu dan Ki Waskita yang akan di temani oleh Prastawa dan beberapa orang anak muda yang lain.

Namun dalam pada itu, selagi iring-iringan itu sudah siap dihalaman, Prastawa sempat mendekati Agung Sedayu sambil berdesis, “Kau yang mengajukan rencana ini ?” “Tidak. Bukan aku,“ jawab Agung Sedayu. “Siapa ? Ki Waskita ? “ desak Prastawa. “Juga bukan. Ki Gede sendiri,“ jawab Agung Sedayu pula. Prastawa menggeretakkan giginya. Katanya, “Agaknya kau tidak lagi berani dengan sombong berkeliling Tanah Perdikan ini lagi seorang diri lalu kau membuat rencana terselubung, sehingga akhirnya paman Argapati telah mengambil satu kesimpulan untuk melakukan perjalanan ini.” “Sama sekali tidak,“ desis Agung Sedayu. Prastawa memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Sorot matanya mengandung ancaman. Namun Agung Sedayu menghindari tatapan mata itu dan memandang kearah yang lain. “Aku memang harus bersabar,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Tetapi ia tidak mau beradu pandang dengan Prastawa yang semakin lama memang terasa sangat menjengkelkan. Jika ia kehilangan kesabaran, maka sorot matanya akan dapat berbahaya bagi Prastawa. Dalam pada itu Prastawa tidak dapat bertanya lebih banyak lagi ketika Ki Gede Menoreh telah hadir dan kemudian bersiap untuk berangkat. Ia masih memberikan beberapa penjelasan kepada para pemimpin Tanah Perdikan yang mengikutinya beberapa saat. Baru kemudian iring-iringan itu mulai bergerak. Ternyata bahwa iring-iringan itu benar-benar telah menarik perhatian rakyat Tanah Perdikan Menoreh. Sudah lama mereka tidak melihat kesibukan yang demikian, sehingga karena itu maka hal itu telah menumbuhkan beberapa pertanyaan dihati rakyat Tanah Perdikan Menoreh. Namun dalam pada itu, dihati para pemimpin Tanah Perdikan yang mengikuti Ki Gede itu, telah timbul berbagai macam tanggapan terhadap keadaan di Tanah Perdikan mereka sendiri itu. Rasarasanya mereka baru melihat untuk pertama kalinya, keadaan yang sebenarnya terjadi di kampung halaman mereka sendiri, meskipun setiap hari ia berada di tempat itu. “Setiap hari aku lewat jalan ini,“ berkata salah seorang pemimpin itu didalam hatinya, “tetapi baru kali ini aku tahu pasti, bahwa parit itu bukan saja kering, tetapi sudah rusak sama sekali. Seandainya bendungan diperbaiki, maka air tidak akan dapat mengalir lagi lewat parit ini.” Ki Gede sendiri sebenarnya sudah cukup lama merasa prihatin. Tetapi setiap kali hatinya yang kosong telah menjebaknya sehingga ia menjadi tidak lagi bergairah untuk berbuat sesuatu. Namun kehadiran Agung Sedayu itu rasa-rasanya merupakan dorongan yang telah membuka hatinya pula. Perjalanan itu ternyata telah menimbulkan hentakan pada Tanah Perdikan yang lesu itu. Ki Gede

membawa para pemimpin itu menjelajahi satu padukuhan ke padukuhan yang lain. Mereka berhenti beberapa saat di padukuhan-padukuhan itu, untuk berbicara dengan beberapa orang penghuninya. Sementara itu. para pemimpin padukuhan yang memang sudah mengetahui bahwa Ki Gecde akan berkeliling menjelajahi padukuhan demi padukuhan telah menyambut pula kedatangan iring-iringan itu. Tetapi ternyata iring-iringan itu tidak berhenti terlalu lama di setiap padukuhan yang mereka lewati dihari pertama itu. Ki Gede dan para pemimpin Tanah Perdikan itu telah beibicara langsung dengan beberapa orang penghuni yang sempat menemui mereka. Ki Gede telah menanyakan keluhan-keluhan yang akan mereka sampaikan. “Katakan apa adanya,“ berkata Ki Gede. Namun sebagian besar dari mereka tidak dapat mengatakannya dengan jelas. Tetapi terbayang pada kata kata mereka yang kadang-kadang tumpang suh itu. bahwa mereka merasakan kelesuan dalam tatanan kehidupan mereka sehari-hari. Baik dalam lingkungan keluarga mereka, maupun dalam tatanan hidup bebrayan didalam padukuhan mereka. “Baiklah,“ berkata K i Gede, “sejak hari ini, kita akan bangkit dan bekerja lebih keras untuk menutup lubang yang selama ini telah kita gali sendiri. Para pemimpm padukuhan inilah yang pertama-tama harus bangkit. Kita bersama-sama akan bekerja keras bagi Tanah Perdikan ini.” Ternyata usaha Ki Gede untuk hadir di padukuhan-padukuhan itu memberikan pengaruh yang sangat besar. Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang malas menilai keadaan diri sendiri, seolah-olah telah dihadapkan pada sebuah cermin yang besar. Sementara itu. Agung Sedayupun sempat mehhat, bagaimana keadaan Tanah Perdikan itu sebenarnya. Bukan saja anak-anak mudanya menjadi lesu, tetapi orang-orang tuapun nampaknya tidak lagi bergairah untuk berbuat lebih banyak dari mencari makan bagi hidup mereka sehari-hari. Namun dalam pada itu, dalam perjalanan semacam itu pula Ki Gede melihat, ada beberapa orang yang justru mengambil keuntungan. Orang yang dengan mata tertutup menghisap tetangga-tetangganya yang semakin lama menjadi semakin sulit untuk hidup. Mereka telah menaburkan uang mereka untuk memancing bunga yang kadang-kadang dapat mencekik leher. Dalam perjalanan kembali ke padukuhan induk, Ki Gede itupun berkata kepada para pengikutnya, “Aku hampir terlambat. Tetapi kita masih mendapat kesempatan. Angger Agung Sedayu, kau sudah melihat keadaan ini. Terserah kepadamu, kepada Prastawa dan kepada anak-anak muda yang masih mempunyai gairah yang besar untuk membantu aku membangun Tanah Perdikan ini, bagaimana sebaiknya membangunkan anak-anak muda Tanah Perdikan ini yang sedang tertidur itu.” “Selama ini aku sudah berusaha, paman,“ sahut Prastawa,

“tetapi mereka memang malas sekali. Lebih dari itu, anak-anak muda di Tanah Perdikan ini, sudah dipengaruhi oleh kemalasan orang tua mereka, sehingga mereka sulit sekali untuk digerakkan. Meskipun demikian diantara anak-anak muda yang tidak lagi mau berbuat sesuatu, aku masih mempunyai kelompok anak-anak muda yang dengan gigih bekerja bagi Tanah Perdikan ini. Tanpa mereka, Tanah Perdikan ini benar-benar telah menjadi padang kehidupan yang sangat gersang.” “Bagus,“ jawab Ki Gede, “kau dapat meneruskannya. Sekarang ada Agung Sedayu pula yang mungkin dapat mengemukakan pikiran-pikiran baru disamping yang kau lakukan itu.” Wajah Prastawa menegang. Tetapi ia tidak berani menjawab kata-kata Ki Gede, sementara Ki Gede sama sekali tidak sempat berpaling untuk memperhatikan wajah kemenakannya yang berkuda di belakangnya. Bahkan Ki Gede itupun berkata kepada para pemimpin yang bersamanya, “Sekarang jelas bagi kita. Aku minta kalian membantu apa yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu dan kelanjutan kegiatan yang sudah dilakukan oleh Prastawa. Mudah-mudahan dalam waktu dekat, gairah untuk hidup itu mulai menjalar di Tanah Perdikan ini, meskipun aku tahu, bahwa kita semuanya tidak dapat mengharap untuk memetik hasilnya dalam waktu yang terlalu dekat. Seorang pemimpin Tanah Perdikan yang masih muda itupun menjawab, “Kami akan melakukannya Ki Gede. Kami seharusnya merasa malu. bahwa semuanya itu telah terjadi di Tanah Perdikan ini.” “Kau bangun kesiangan Ki Sanak,“ sahut Prastawa, “aku sudah melakukan segalanya tanpa putus barang seharipun. tetapi aku bekerja sendiri. Dan sekarang kau seolah-olah memikul tanggung jawab atas masa lampau yang suram itu dan tampil sebagai seorang pahlawan.” Pemimpin yang masih muda itu mengerutkan keningnya. Tetapi karena ia sadar, bahwa yang menyahut itu adalah Prastawa, kemanakan Ki Gede, maka iapun tidak menjawab. Tetapi yang menjawab Ki Gede Menoreh sendiri, “Apa salahnya melihat kesalahan masa lampau Prastawa. Bukankah dengan demikian akan timbul niat yang kuat untuk tidak melakukan kesalahan serupa. Yang sudah bekerja keras, sebaiknya itu dilanjutkan. Tetapi yang merasa dirinya belum berbuat apa-apa, biarlah ia bangun meskipun kesiangan. Itu lebih baik daripada tidur sepanjang hari.” Prastawa menjadi tegang. Tetapi ia masih menjelaskan, “Maksudku, tidak semuanya kita tertidur nyenyak. Tidak semuanya harus merasa malu. Apalagi yang merasa telah bekerja keras selama ini meskipun tidak mendapat tanggapan apapun dari para pemimpin

di padukuhan-padukuhan.” “Bagus. Bagus,“ sahut Ki Gede, “kau dapat melanjutkannya. Sementara kami yang bangun kesiangan akan membantumu mulai sekarang.” Prastawa tidak menjawab lagi. Tetapi ia bergeser mendekat Agung Sedayu sambil bergumam “Nah, kau dapat tampil sekarang, seolah-olah kaulah yang telah berbuat paling baik di Tanah Perdikan ini.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. “Ingat. Kau pergi dari Tanah Perdikan ini, atau menurut segala petunjukku,“ desis Prastawa. “Kita bekerja bersama-sama,“ sahut Agung Sedayu lirih. “Aku sobek mulutmu. Kau hanya menjawab salah satu dari dua kemungkinan. Pergi dari Tanah Perdikan ini, atau menurut petunjukku,“ geram Prastawa. “Aku akan menurut petunjukmu, karena kau yang selalu berada di Tanah Perdikan ini,“ jawab Agung Sedayu. “Bagus. Tetapi jika kau ingkar, kau akan menyesal, atau bahkan kau tidak akan mendapat kesempatan untuk menyesali perbuatanmu itu,“ desis Prastawa. Lalu. “Dahulu aku memang katah berkelahi melawanmu, tetapi sekarang aku adalah murid Ki Gede Menoreh. Satu-satunya setelah Pandan Wangi pergi.” “Ya, ya. Aku mengerti,“ jawab Agung Sedayu pula. Prastawa terdiam. Iring-iringan itu semakin lama menjadi semakin dekat dengan padukuhan induk. Namun dalam perjalanan kembali itupun, beberapa orang di padukuhan-padukuhan yang mereka lalui merasa tergugah pula hatinya. Nampaknya akan ada pembaharuan yang timbul di Tanah Perdikan yang sudah beberapa lama lesu itu. Namun dalam pada itu. Agung Sedayu menjadi gelisah. Prastawa benar-benar sangat menjengkelkan. Meskipun ia akan dapat saja tidak menghiraukannya, tetapi jika karena kehadirannya timbul kerusuhan dan perkelahian diantara anak-anak muda yang melihat dirinya, maka tentu bukan itulah yang dimaksud oleh Ki Gede. Tetapi Agung Sedayu kemudian menemukan cara yang barangkali dapat ditempuhnya. Ia akan menempatkan diri dalam lingkungan anak-anak muda yang dipengaruhi oleh Prastawa. Ia akan menurut apa yang hendak dilakukan oleh Prastawa, karena dalam keadaan itu. iapun tentu ingin menunjukkan kerja bagi Tanah Perdikan Menoreh. Dalam pada itu, meskipun Ki Gede Menoreh belum menyusun rencana terperinci untuk kerja yang besar bagi Tanah Perdikan Menoreh, namun ia sudah memerintahkan setiap pemimpin padukuhan untuk berbuat sesuatu.

Terutama, sebelum langkah-langkah yang nyata, para pemimpin padukuhan diwajibkan untuk menggugah hati rakyat Tanah Perdikan Menoreh agar mereka bersiap-siap menghadapi kerja yang berat. “Kita sudah cukup lama beristirahat,“ berkata Ki Gede, “marilah kita sekarang bangun dan bekerja kembali.” Dalam gejolak yang mulai terasa diseluruh Tanah Perdikan Menoreh itu, Prastawapun ternyata tidak mau ketinggalan. Meskipun ia mempunyai caranya tersendiri, tetapi iapun ingin tetap menjadi anak muda terpenting di Tanah Perdikan Menoreh. Seperti yang direncanakan. Agung Sedayu dengan sengaja telah berada didalam kelompoknya. Kepada Ki Gede ia mengatakan, bahwa ia akan melihat Tanah Perdikan itu lebih jelas lagi bersama anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang dipimpin oleh Prastawa. Ki Gede rnenarik nafas dalam. Katanya, “Aku percaya bahwa kau tentu akan menentukan sikap tersendiri. Sebenarnyalah, aku kurang setuju dengan sikap Prastawa. Baik dalam hubungannya dengan para pemimpin padukuhan dan para pemimpin Tanah Perdikan ini, maupun sikapnya sebagai seorang anak muda.” “Aku akan berusaha untuk ikut serta menentukan sikap anak-anak muda itu, Ki Gede,“ jawab Agung Sedayu, “aku memang memilih jalan yang tidak akan saling berbenturan.” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud Agung Sedayu. Meskipun Agung Sedayu tidak menceriterakannya, tetapi Ki Gedepun sudah dapat meraba, apa yang telah terjadi. Agaknya Agung Sedayu benar-benar seorang anak muda yang bijaksana. Ia ingin menempuh jalan yang paling baik bagi segala pihak, meskipun ia dapat berbuat lain dengan bekal yang ada padanya dan kuasa yang tentu akan diperolehnya bila ia minta langsung kepada Ki Gede. Tetapi nampaknya Agung Sedayu mengambil jalan lain, meskipun jalan itu agaknya akan lebih panjang. “Mudah-mudahan sikap itu bukan pertanda sikapnya yang lamban,“ berkata Ki Gede didalam hatinya, “segalanya sudah mulai. Jika Agung Sedayu masih saja ragu-ragu untuk bertindak, seperti watak dan sifatnya yang pernah aku dengar, maka kehadirannya disini akan kurang berarti.” Tetapi Ki Gede masih ingin melihat, apa yang dilakukan oleh anak muda dari Jati Anom itu. Sementara itu, kepada Ki Waskita Agung Sedayu mengatakan rencenanya lebih terperinci lagi. Ia

dengan terus terang berkata, “Aku tidak yakin, bahwa aku akan dapat bertahan untuk waktu yang terlalu lama Ki Waskita. Pada suatu saat, aku harus menunjukkan kepada anak itu, bahwa kelakuannya sudah sangat memuakkan. Tetapi apa kata Ki Gede jika karena kehadiranku telah terjadi pertengkaran. Justru dengan kemanakan Ki Gede itu sendiri, meskipun Ki Gede telah mengatakan kepadaku, bahwa ia tidak dapat membiarkan tingkah laku kemanakannya itu berkepanjangan.” “Kau harus mempertimbangkan kata-kata Ki Gede itu ngger. Mungkin Ki Gede justru ingin kau mengimbangi tingkah lakunya dengan caramu. Bukan justru ikut dalam arus tingkah lakunya,“ berkata Ki Waskita. “Aku memang akan berbuat demikian Ki Waskita, tetapi aku akan melakukannya dari dalam. Tidak dari luar dan langsung berhadapan beradu dada,“ berkata Agung Sedayu. Ki Waskita mengangguk-angguk. Ia mengenal Agung Sedayu dengan baik sehingga iapun sebenarnya harus sudah mengetahui, bahwa sikap itulah yang akan diambil oleh Agung Sedayu. Sementara itu, Agung Sedayu harus mulai dengan rencananya ketika Prastawa datang kepadanya dan berkata, “Ikut aku sekarang.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi iapun bertanya, “Kemana ?” “Jangan banyak bertanya,“ berkata Prastawa, “Tanah ini sedang bekerja keras. Apakah kau datang kemari sekedar untuk tidur digandok ?” “Tentu tidak,“ jawab Agung Sedayu. “Nah ikut aku sekarang,“ berkata Prastawa pula. “Baik. Aku akan berkemas,“ sahut Agung Sedayu. Sambil berbenah diri, Agung Sedayupun minta diri kepada Ki Waskita untuk mengikuti Prastawa. Ia belum tahu, kemana dan untuk apa. Sejenak kemudian, Prastawa dan tujuh orang kawannya telah meninggalkan padukuhan induk bersama Agung Sedayu. Mereka pergi ke padukuhan kecil diseberang bulak panjang. Ternyata di pintu gerbang padukuhan kecil itu telah terdapat beberapa anak muda yang telah bersiapsiap untuk melakukan sesuatu. Mereka membawa beberapa jenis alat untuk satu kerja. “Kita akan memperbaiki bendungan,“ berkata Prastawa, “disebelah padukuhan itu ada sebuah sungai kecil yang semula memberikan air bagi beberapa petak sawah. Tetapi bendungan itu sudah rusak. Kita akan memperbaikinya sekarang.”

“Ya,“ jawab Prastawa. “Kenapa tidak dimulai sejak matahari terbit di pagi hari ? Udaranya tentu masih segar dan kerja yang dihasilkan untuk satu hari akan nampak. Jika kita mulai dengan kerja yang besar lewat tengah hari begini, maka demikian kita mulai berkeringat, matahari sudah condong dan sebentar lagi tenggelam,“ jawab Agung Sedayu. “Pemalas,“ geram Prastawa,“ Kita akan bekerja kapan saja tanpa mengingat waktu. Kita harus bekerja keras bagi Tanah Perdikan ini. Aku tahu, kau bukan anak muda Tanah Perdikan ini, sehingga kau, merasa segan untuk bekerja keras. Tetapi jika tidak untuk bekerja keras, lalu apa gunanya kehadiranmu disini.” “Bekerja keras bukan berarti bekerja seingatnya,“ jawab Agung Sedayu, “tetapi perencanaan itu perlu, agar kerja kita menghasilkan sebagaimana kita kehendaki.” “Tutup mulutmu,“ bentak Prastawa, “kau harus melakukan apa yang aku katakan. Kau harus menunjukkan kerja melampaui anak-anak muda Tanah Perdikan ini.” Agung Sedayu menarik nafas panjang. Ia tidak ingin menjawab lagi agar tidak terjadi perselisihan. Ia akan melakukan apa saja yang dikehendaki oleh Prastawa. Ketika mereka sampai di pintu gerbang, maka Prastawa yang berada dipaling depan itupun berhenti dihadapan anak-anak muda yang sudah siap. “Apakah kita dapat mulai ?“ bertanya Prastawa kepada anak-anak muda itu. Anak-anak muda itu saling berpandangan. Tetapi tidak seorangpun yang menjawab. “He, bukankah aku sudah menyuruh seseorang untuk memberitahukan bahwa kita akan memperbaiki bendungan itu ?“ bertanya Prastawa pula. Anak-anak muda itu masih saja berdiam diri. Namun dalam pada itu, pemimpin padukuhan yang sudah separo baya, menyibakkan anak-anak muda itu dan kemudian berdiri dihadapan Prastawa. Katanya, “Anak-mas, aku sudah menerima utusan anakmas, dan akupun telah menyiapkan anak-anak muda untuk bekerja sebagaimana kau kehendaki. Tetapi, apakah tidak sebaiknya kita mulai dengan memperbaiki parit yang akan menampung air dari bendungan itu, jika air itu naik Jika kita memperbaiki bendungan, sementara parit yang akan menampung air itu rusak, maka kerja kita akan sia-sia.” “Tidak,“ jawab Prastawa, “jika bendungan itu selesai, maka air itu untuk sementara dapat di biarkan tergenang. Sementara itu kita memperbaiki parit yang akan menampung airnya.

Tetapi jelas, bahwa air itu sudah ada.” Pemimpin padukuhan itu tidak berani membantah lagi. Prastawa adalah kemanakan Ki Gede Menoreh yang berkuasa di Tanah Perdikan itu. Karena itu, maka katanya kemudian, “Jika demikian, terserahlah kepada anakmas. Kita sudah siap untuk melakukannya, yang manapun yang akan didahulukan.” “Kita akan pergi ke bendungan,“ berkata Prastawa. Prastawa bersama ketujuh orang kawannya, segera mendahului anak-anak muda padukuhan itu memasuki pintu gerbang dan melintasi jalan di tengah-tengah padukuhan itu menuju kesebuah sungai yang tidak terlalu besar. Meskipun demikian airnya yang mengalir di segala musim itu memang memungkinkan untuk dibendung dan dinaikkan ke parit yang akan dapat mengaliri sawah beberapa bagian dari tanah persawahan di padukuhan itu, seperti beberapa waktu yang lampau. Tetapi kerusakan pada bendungan dan parit yang menyalurkan air itu, tidak mendapat perhatian secukupnya sehingga semakin lama menjadi semakin parah. Sementara itu Agung Sedayu mengikuti pula bersama dengan anak-anak muda padukuhan itu. Namun sepanjang jalan, seolah-olah mereka tidak sempat berbincang, karena Prastawa yang berjalan dipaling depan semakin lama menjadi semakin cepat. Ketika mereka sampai di pinggir sungai, ternyata matahari sudah melampaui puncaknya dan mulai turun ke arah Barat. Namun Prastawa sama sekali tidak menghiraukannya. Dengan suara lantang ia berkata, “Kita akan mulai sekarang dengan memperbaiki bendungan ini.” Anak-anak muda itu termangu-mangu. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan untuk memperbaiki bendungan yang sudah rusak cukup parah itu. Dalam pada itu, maka Agung Sedayupun berkata, “Prastawa. Apakah tidak sebaiknya kita membuat persiapan-persiapan lebih dahulu. Mungkin kita memerlukan brunjung-brunjung bambu yang harus kita isi dengan batu. Mungkin juga slangkrah untuk menempatkan sela-sela brunjung itu. Baru kemudian kita akan menimbuninya dengan tanah dan pasir.” “Bodoh sekali,“ geram Prastawa, “kau memang bodoh sekali. Jika kehadiranmu hanya untuk memamerkan kebodohanmu saja, maka sebaiknya kau pergi. Kau hanya memperbanyak jumlah penduduk tanpa dapat berbuat apa-apa. Kau lihat, hanya kau yang tidak tahu apa yang harus dilakukan, sementara anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh sudah siap untuk bekerja.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dilihatnya anak-anak muda yang lainpun masih kebingungan. Mereka memegang cangkul, parang dan linggis ditangan. Tetapi apa yang pertama-tama akan mereka lakukan tidak diketahuinya. “Cepat,“ teriak Prastawa,“ Kita memperbaiki bendungan itu.” Pemimpin padukuhan itulah yang kemudian bertanya, “Yang mana yang harus kita lakukan dahulu ?” Prastawa menjadi bingung. Namun kemudian katanya, “Paman telah memanggil anak dungu itu kemari. He, katakan, apa yang harus kita lakukan sekarang ? Supaya ada gunanya kau di Tanah Perdikan ini, maka katakan, apa yang harus kita lakukan untuk memperbaiki bendungan ini.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Jika kau menyerahkannya kepadaku, biarlah aku mulai dengan mempersiapkan kelengkapan dari sebuah bendungan. Kita akan mencari bambu dan membuat brunjung. Kemudian brunjung itu akan kita isi dengan batu. Dengan brunjung dan slangkrah yang dapat kita cari dengan mudah, termasuk daun bambu yang kita tebang, maka kita akan membangun bendungan ini.” “Kau hanya akan menghindari kerja keras di bendungan ini,“ geram Prastawa. “Kita tidak akan dapat berbuat apa-apa sekarang,“ jawab Agung Sedayu. Dalam pada itu, pemimpin padukuhan itupun berkata, “Aku sependapat dengan angger Agung Sedayu. Kita sekarang mencari bambu. Besok kita membuat brunjung dan baru kemudian kita memperbaiki bendungan dengan brunjung-brunjung setelah kita isi dengan batu yang dapat kita cari disungai ini pula.” Wajah Prastawa menjadi merah. Namun kemudian katanya, “Terserah kepada kalian. Tetapi aku perintahkan Agung Sedayu untuk membantu pimpinan padukuhan ini untuk memperbaiki bendungan itu. Kau tidak boleh merasa dirimu pemimpin disini.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia mengangguk sambil menjawab, “Aku akan melakukannya.“ Prastawa memandangi anak-anak muda yang kebingungan di bendungan. Sejenak iapun menjadi kebingungan. Namun kemudian ia membentak, “Cepat. Lakukan sesuatu. Kita tidak dapat lagi bermalas-malas sekarang ini. Paman Argapati telah memutuskan, kita akan bekerja keras untuk kepentingan Tanah Perdikan ini.” “Baiklah,“ jawab Agung Sedayu. Lalu katanya kepada pemimpin padukuhan itu, “Apakah kita dapat mencari bambu di padukuhan ini.”

“Mari,“ jawab pemimpin padukuhan ini, “disini ada berpuluh-puluh rumpun bambu yang siap ditebang. Kita tidak akan berkeberatan memberikan bambu yang paling tua dan yang paling baik untuk bendungan.” “Bukan bambu yang besar-besar. Justru bambu apus,“ desis Agung Sedayu. “Seberapapun yang diperlukan, dapat diambil di kebun-kebun dipadukuhan ini,“ jawab pemimpin padukuhan. Karena itu, maka Agung Sedayupun berkata, “Marilah, kita akan mengumpulkan beberapa puluh bambu untuk brunjung-brunjung.” “Kau tidak hanya berbicara,“ bentak Prastawa, “kaupun harus pergi menebang bambu itu.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun sekali lagi ia mengangguk dan menjawab, “Aku juga akan ikut menebang bambu.” Demikianlah maka anak-anak muda itu telah meninggalkan bendungan kembali ke padukuhan. Sementara itu, Prastawa dan ketujuh orang kawannya mengikutinya di belakang. Tetapi mereka tidak ikut bekerja seperti Agung Sedayu yang bersama-sama dengan anak-anak muda padukuhan itu menebang bambu. Ternyata dalam waktu singkat, anak-anak muda itu telah mendapatkan bambu cukup banyak. Merekapun kemudian membawa bambu-bambu itu kebendungan. “Besok kita akan membuat menjadi brunjung-brunjung,“ berkata Agung Sedayu kepada anak muda itu. “Ya. Besok kita mulai pagi-pagi sekali,“ sahut pemimpin padepokan, “hari ini kita mulai terlampau siang. Angger Prastawa memberikan perintah menjelang tengah hari, sehingga baru setelah matahari turun, kita dapat mulai dengan kerja ini.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ketika ia memandang ke tanggul dipinggir sungai itu, ia melihat Prastawa dan kawan-kawannya berdiri memandangi mereka yang berada dibawah. “Besok kita mulai rnembuat brunjung,“ berkata Agung Sedayu kepada Prastawa. “Kita siapa ?“ bertanya Prastawa. Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Kita, ya kita. Anak-anak muda padukuhan ini, aku dan kalian.” “Persetan,“ geram Prastawa, “kau tahu tugasku hanya menunggui padukuhan ini saja he ? Anak dungu. Aku adalah kemanakan Ki Gede Menoreh yang mempunyai kewajiban tersebar di seluruh Tanah

Perdikan. Aku hanya memberikan dorongan agar kerja ini dapat dimulai pada saat Tanah ini sudah berjanji untuk bekerja keras. Sudah tentu aku akan berada ditempat lain dalam tugas yang sama sejak besok. Aku akan datang setiap kali ke bendungan dan melihat, apakah kalian benar-benar telah memenuhi perintah paman Argapati. Bekerja keras bagi Tanah Perdikan ini. Dan apakah kehadiran Agung Sedayu disini ada gunanya.” Agung Sedayu tidak menjawab. Gejolak didadanya hampir saja meledak. “Tetapi ia masih selalu menahan diri, karena ia tidak mau menyakiti hati Ki Gede Menoreh dengan pertengkaran dan apalagi perkelahian, meskipun ia dapat berbuat apa saja atas anak muda yang bernama Prastawa itu. Sejenak kemudian, ternyata seperti yang dikatakannya, Prastawa telah meninggalkan tempat itu bersama dengan ketujuh orang kawannya. Namun dengan demikian. Agung Sedayu merasa, bahwa ia akan dapat bekerja leluasa tanpa diganggu lagi. Sepeninggal Prastawa, maka Agung Sedayupun kemudian berkata kepada pemimpin padukuhan itu, “Kita dapat bekerja sekarang. Kita membuat brunjung bambu. Kemudian kita isi brunjung-brunjung itu dengan batu, sementara jika para penghuni padukuhan ini tidak berkeberatan, setiap laki-laki yang masih mampu bekerja, meskipun sudah berusia agak lanjut, dimohon untuk membantu memperbaiki parit. Tidak usah memaksa diri dengan memeras tenaga. Sejauh dapat dilakukan saja.” “Kita memerlukan waktu satu atau dua hari untuk menganyam brunjung,“ berkata pemimpin padukuhan itu. “Kita tidak tergesa-gesa. Jika ada satu dua brunjung yang siap, maka sebagian dari kita dapat langsung mengisinya. Kita tidak perlu menunggu semua brunjung siap,“ jawab Agung Sedayu. “Aku sependapat,“ berkata pemimpin padukuhan itu, “juga tentang setiap laki-laki yang masih mampu bekerja. Akupun sependapat, kita tidak akan memeras tenaga sebagai budak-budak yang diperlakukan tanpa pertimbangan kemanusiaan. Meskipun demikian, kita akan bekerja keras atas dasar kesadaran kita bagi Tanah Perdikan ini.” Dengan demikian, maka anak-anak muda itupun mulai membelah bambu untuk menganyam brunjung. Tetapi karena langit mulai suram, maka kerja itupun ditangguhkannya sampai besok. Sementara pemimpin padukuhan itu berkata, “Nanti, aku akan berkeliling dari rumah kerumah. Besok setiap laki-laki akan keluar dengan kerja masing-masing, sesuai dengan kemampuan tenaga yang ada. Perempuanpun akan mempunyai kewajiban. Menyiapkan minum dan merebus jagung dan ketela pohon.” Malam itu. Agung Sedayu hanya berada di rumah Ki Gede sebentar saja untuk memberitahukan kerjanya kepada Ki Waskita. Setelah makan dan beristirahat sebentar, maka iapun telah meninggalkan halaman itu diluar pengetahuan Prastawa, kembali kepadukuhan kecil yang sedang membangun bendungan itu.

Ternyata kehadiran Agung Sedayu telah memancing beberapa orang anak muda untuk berkumpul. Karena gardu sudah rusak, maka mereka berkumpul dirumah pemimpin padukuhan itu. Meskipun malam itu Agung Sedayu hanya berceritera saja tentang bermacam-macam pengalamannya, namun ternyata ia sudah berhasil mengikat hati beberapa orang anak muda yang berada dirumah pemimpin padukuhan itu. Ternyata Agung Sedayu berhasil memanfaatkan keadaan itu sebaik-baiknya. Ia berhasil menggelitik hati anak-anak muda untuk bekerja keras dihari-hari berikutnya sesuai dengan keinginan Ki Gede untuk memulihkan keadaan Tanah Perdikan yang mundur itu. Bahkan apabila mungkin untuk memacunya lebih cepat untuk maju. “Besok kita akan mulai dengan mengisi brunjung-brunjung,“ berkata Agung Sedayu, “sementara orang-orang yang sudah tidak dapat bekerja berat, akan memperbaiki parit-parit yang sudah rusak, longsor dan bahkan hampir tidak berbekas lagi.” “Kita sudah siap,“ jawab anak-anak muda itu. “Bagus,“ berkata Agung Sedayu, “sementara bendungan itu dibangun maka kita dapat membangun segi lain dari kegiatan padukuhan ini.“ “Apa,“ jawab anak-anak muda itu hampir bersamaan. “Gardu-gardu. Bukan hanya sekedar gardunya, tetapi juga kegiatan untuk menjaga padukuhan ini dari gangguan kejahatan,“ jawab Agung Sedayu. “Kami sependapat,“ desis beberapa orang anak muda. Bahkan pemimpin padukuhan itupun berkata, “Jika kalian benar-benar ingin melakukannya, tentu bagus sekali. Besok disamping kita yang membangun bendungan, ampat orang akan melakukan pekerjaan yang lain. Memperbaiki gardu dengan bambu-bambu yang dapat kita ambil seperti kita mengambilnya untuk memperbaiki bendungan. Aku masih mempunyai beberapa gulung tali ijuk sisa ketika aku memperbaiki dapur. Kalian dapat mempergunakannya. Kita akan memesan kentongan dari pangkal pohon kelapa dari Ki Senu disudut padukuhan ini, yang kelak akan kita pasang di gardu.” Anak-anak muda itupun sependapat. Agaknya mereka telah menemukan gairah untuk berbuat sesuatu bagi padukuhannya. “Gairah dan kemauan yang sudah mulai tumbuh dihati kita masing-masing harus kita pelihara sebaik baiknya agar tidak mati lagi. Besok atau pada saat lain jika Prastawa datang melihat hasil kerja kita, ia tidak akan kecewa,“ berkata Agung Sedayu. “Anak itu sebenarnya tidak berarti apa-apa bagi kami,“

desis seorang anak muda berambut keriting, “kami menghormatinya karena ia kemanakan Ki Gede.” Kawan-kawannya memandanginya dengan tatapan mata yang gelisah. Agaknya mereka menjadi berdebar-debar mendengar kata-kata itu. Sementara pemimpin padukuhan itu hanya menundukkan kepalanya saja. Tetapi anak muda berambut keriting itu justru melanjutkan, “Coba lihat, betapa sombongnya ia bersikap terhadap Agung Sedayu. Seolah-olah ia adalah Ki Gede sendiri. Bukankah kedatangan Agung Sedayu ini atas undangan Ki Gede seperti yang dikatakannya dalam pertemuan para pemimpin Tanah Perdikan ini dan para pemimpin padukuhan ?” Diluar sadarnya pemimpin padukuhan itu mengangguk. Namun Agung Sedayulah yang menyahut, “Aku tidak berkeberatan atas sikapnya. Mungkin diluar sadarnya ia bersikap demikian, sehingga kesannya seolah-olah ia adalah anak muda yang sombong. Tetapi kewajiban kita adalah menunjukkan, bukan saja kepada Prastawa, tetapi juga kepada Ki Gede, bahwa kita mampu melakukan sesuatu bagi padukuhan ini.” Demikianlah, Agung Sedayu berada di padukuhan itu sampai larut malam. Baru kemudian, setelah tengah malam lama berlalu, Agung Sedayupun minta diri. “Kita masih perlu beristirahat barang sebentar. Besok kita masih akan bekerja keras,“ berkata Agung Sedayu sambil minta diri. Sebenarnyalah ketika Agung Sedayu keluar dari rumah pemimpin padukuhan itu, ternyata diserambi beberapa orang anak muda sudah tidur mendekur. “Biar sajalah,“ berkata Agung Sedayu ketika kawan-kawannya akan membangunkan mereka, “tenaga mereka besok masih sangat diperlukan.” Demikianlah, diam-diam Agung Sedayu telah memasuki halaman rumah Ki Gede seperti saat ia pergi. Ki Waskita yang terbangun mendengar desir didinding, telah membuka pintu perlahan-lahan dan kemudian iapun masih sempat mendengarkan ceritera tentang anak-anak muda padukuhan kecil itu. “Bagus Agung Sedayu,“ berkata Ki Waskita, “teruskan. Tetapi kaupun harus bersiap-siap jika Ki Gede bertanya tentang rencana. Bukankah Ki Gede memerlukan satu rencana yang menyeluruh.” “Aku belum dapat menyusunnya sebelum aku mengenal dengan pasti keadaan Tanah Perdikan ini Ki Waskita. Namun yang terjadi di padukuhan kecil itu akan aku laporkan juga sebagai satu penjajagan khusus. Jika usaha dipadukuhan kecil itu berhasil, maka yang dilakukan di padukuhan itu dapat dijadikan pola, meskipun masih harus

disesuaikan dengan keadaan masing-masing padukuhan. Tidak setiap padukuhan dekat dengan sungai yang betapapun kecilnya. Dan tidak setiap padukuhan memerlukan perbaikan tata aliran air. Mungkin masih ada padukuhan yang tata aliran airnya masih baik. tetapi mempunyai kelemahan dihidang yang lain,“ jawab Agung Sedayu. “Tetapi nampaknya Prastawa itu akan dapat menghalangi kerjamu secara menyeluruh,“ berkata Ki Waskita. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin pada suatu saat, aku harus menyampaikannya kepada Ki Gede meskipun dengan sangat berhati-hati. Aku harus mendapat isyarat dari Ki Gede jika aku ingin berbuat sesuatu atas Prastawa.” Ki Waskita mengangguk-angguk. Ia mengenal sifat Agung Sedayu. Hati-hati dan sebenarnyalah agak lamban. Berbeda dengan Swandaru yang dapat berbuat lebih cepat, dengan pertimbangan yang tidak begitu rumit. Namun kadang-kadang agak terlalu mengambil kesimpulan atas sesuatu peristiwa sehingga kurang cermat. Namun dalam pada itu, tiba-tiba Ki Waskita berkata, “Untuk mengurangi persoalan yang dapat timbul antara kau dan Prastawa, maka biarlah aku ikut bersamamu. Agung Sedayu. Agaknya Prastawa akan menjadi segan untuk berbuat dengan berlebih-lebihan atasmu. Sehingga dengan demikian kau akan mendapat kesempatan lebih banyak untuk melihat dan mendengar keadaan Tanah Perdikan ini sebaik-baiknya.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia mengangguk-angguk sambil menjawab, “Baiklah Ki Waskita. Jika Ki Waskita tidak berkeberatan, aku berharap, tingkah lakunya akan dapat dibatasi.” Namun dalam pada itu, Agung Sedayu masih berniat ingin menyelesaikan bendungan itu tanpa Ki Waskita, sementara Ki Waskitapun menyetujuinya. Ternyata bahwa apa yang terjadi berbeda sekali dari yang dimaksud oleh Prastawa. Justru karena di hari-hari berikutnya ia tidak hadir di bendungan, maka ia tidak melihat apa yang telah dilakukan oleh Agung Sedayu. Dan ternyata yang dilakukan oleh Agung Sedayu kemudian telah menunjukkan pelaksanaan pembuatan bendungan, namun ia juga dapat melakukannya sendiri. Karena itu, maka anak-anak muda padukuhan itu justru semakin dekat dengan Agung Sedayu. Mereka tertarik kepada kepribadiannya yang rendah hati, tetapi menunjukkan kemampuan yang tinggi. Seperti yang direncanakan, maka akhirnya Agung Sedayupun menyampaikannya pula kepada Ki Gede meskipun dengan alasan yang berbeda. Agung Sedayu sama sekali tidak mengatakan, bahwa Prastawa telah memaksanya untuk ikut serta memperbaiki bendungan. Tetapi dikatakannya bahwa atas pertimbangan Prastawa maka bendungan itu telah diperbaiki. Dengan demikian ia akan mendapat satu pertimbangan untuk langkah-langkah selanjutnya. Pekerjaan itu adalah satu penjajagan terhadap kerja yang lebih besar.

Kerja secara menyeluruh di atas Tanah Perdikan Menoreh. Prastawa terkejut ketika tiba-tiba pada suatu hari Ki Gede telah mengajaknya untuk meninjau bendungan itu bersama Agung Sedayu dan Ki Waskita. Diluar dugaan Ki Gede berkata, “Menurut Agung Sedayu, kaulah yang memberikan pertimbangan kepadanya.” Prastawa tidak dapat menjawab selain menganggukkan kepalanya. Namun ia masih ragu-ragu, kenapa Agung Sedayu mengatakan bahwa ialah yang memberikan pertimbangan. “Agaknya ia sudah benar-benar menjadi ketakutan.” berkata Prastawa didalam hatinya. Namun kemudian, “Tetapi apakah kerja itu gagal dan tidak berarti sama sekali, sehingga ia minta agar paman melihatnya dan kemudian melihat kebodohanku ?” Namun Prastawa tidak sempat untuk merubah rencana Ki Gede. Dengan beberapa orang pemimpin padukuhan, Agung Sedayu dan Ki Waskita, Prastawa dan beberapa orang kawannya telah mengikut pula. Sekali lagi Prastawa terkejut melihat kenyataan, bahwa bendungan itu benar-benar telah berhasil mengangkat air. Meskipun tidak terlalu banyak, karena sungainyapun bukan sungai yang besar, namun air benar-benar telah mengalir melalui parit-parit yang menjelujur di tengah-tengah petak-petak sawah. “Parit itupun telah diperbaiki,“ desis Prastawa kepada kawan-kawannya. Kedatangan Ki Gede memberikan kegembiraan tersendiri kepada penghuni padukuhan itu. Seolaholah mereka merasa pekerjaan mereka mendapat nilai langsung dari pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh. Namun hati Prastawa menjadi sakit ketika ternyata pemimpin padukuhan itu dalam laporannya lebih banyak menyebut nama Agung Sedayu daripada dirinya. Pemimpin padukuhan itu memuji ketangkasan sikap dan sifat yang rendah hati dari Agung Sedayu, sehingga karena kepemimpinannya itu maka bendungan itu dapat diselesaikan. “Gila,“ geram Prastawa. Yang terjadi itu jauh dari yang diharapkan. Ia ingin menyudutkan Agung Sedayu pada satu kerja yang tidak berarti dan mengikatnya sehingga ia tidak akan dapat berbuat yang lain di Tanah Perdikan itu, namun ternyata ia justru berhasil mendapat pujian, bukan saja dari pemimpin padukuhan itu, tetapi langsung dihadapan pamannya dan para pemimpin Tanah Perdikan yang lain. Dalam pada itu, yang dilakukan itu adalah satu contoh keberhasilan Agung Sedayu. Karena itu, maka agak terpisah dari iring-iringan yang lain, yang sedang melihat-lihat bendungan itu, Prastawa berbisik

kepada kawan-kawannya, “Gila. Anak itu memang harus disingkirkan.” “Apakah kita akan menghajarnya sekali lagi, tetapi jauh lebih parah ?“ bertanya kawannya. “Aku justru takut jika paman mengetahuinya, “jawab Prastawa. “Jadi, bagaimana menurut kau ?“ bertanya kawannya pula. “Kita dapat meminjam tangan orang lain. Kita dapat menghubungi siapapun untuk mengusir anak itu dari Tanah Perdikan ini. Aku menjadi semakin muak.” Desis Prastawa. “Bagus,“ sahut kawannya, “kita meminjam tangan orangorang yang akan mampu mengusirnya, sementara kita tidak akan dapat dituduh berbuat sesuatu atasnya.” “Justru pada saat-saat yang ditentukan, aku akan berada didekat paman Argapati,“ desis Prastawa. Kawannya tertawa. Katanya, “Bagus. Orang-orang yang mengusirnya itu dapat memberikan kesan apa saja tentang perselisihannya dengan Agung Sedayu.” “Kita serahkan saja kepada orang-orang itu,“ jawab Prastawa. “Bagus. Semakin cepat semakin baik. Nampaknya Ki Gede semakin tertarik kepadanya,“ desis kawannya. “Kita memanggil orang yang paling terpercaya. Jangan tanggung-tanggung, karena anak itu adalah murid Kiai Gringsing. Mungkin aku sendiri dapat mengatasinya. Tetapi orang lain akan mengalami kesulitan. Karena itu, maka jika kita minta bantuan orang lain, maka orang-orang itu harus diyakinkan, bahwa yang dihadapi adalah murid Kiai Gringsing yang dikenal sebagai orang bercambuk, yang justru pernah berada di Tanah Perdikan ini pula, sehingga mungkin orangorang itu pernah juga mengenal, setidak-tidaknya mendengar tentang mereka. Dengan demikian, maka mereka akan dapat menyiapkan kekuatan yang memadai.” “Betapapun juga tinggi ilmunya, namun ia hanya seorang diri,“ berkata kawannya. Prastawa mengangguk-angguk. Namun ia tidak sempat berbicara lebih panjang, karena pamannya kemudian berkisar dari bendungan itu untuk melihat-lihat parit yang sudah diperbaiki, menjelujur di antara petak-petak sawah yang basah. Ternyata Ki Gede Menorehpun menjadi gembira. Satu pedukuhan telah berhasil bangun dari tidurnya yang nyenyak. Bukan hanya bendungan dan parit. Namun ternyata regol padukuhan, gardu dan jalan-jalanpun telah diperbaiki pula, meskipun hanya sekedar menutup kerusakan disana-sini.

“Padukuhan ini akan menjadi contoh,“ berkata Ki Gede. Lalu katanya kepada Agung Sedayu, “kau sudah berhasil menjajagi kemungkinan untuk melakukan kerja yang lebih besar di atas Tanah Perdikan ini ngger. Silahkan. Aku menunggu rencanamu yang menyeluruh. Semakin cepat kita besama-sama bangun diseluruh Tanah ini, akan Semakin baik. Jika sarana kehidupan menjadi semakin baik, maka kita akan segera dapat hadapi segi yang lain. Para pengawal sudah lupa, bagaimana cara membawa tombak. Merekapun perlu dibangunkan pula.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika sekilas ia memandang wajah Prastawa, ia melihat, betapa kebencian menyala di hati anak muda itu. Namun Agung Sedayu menjawab juga, “Aku akan berusaha Ki Gede. Tentu saja dengan bantuan dan petunjuk anak-anak muda Tanah Perdikan ini sendiri.” “Aku menunggu,“ desis Ki Gede sambil berjalan disepanjang jalan padukuhan. “Gardu yang sudah diperbaiki itu mempunyai sebuah kentongan baru, yang dibuat dari pangkal pohon kelapa.” Ketika Ki Gede mencoba memukul kentongan itu, terdengar suaranya nyaring dengan nada dara muluk. Dalam pada itu, orang-orang yang tidak melihat apa yang dilakukan Ki Gede, terkejut juga mendengar kentongan yang berbunyi tidak pada waktunya. Tetapi karena nada yang dilontarkan adalah nada yang tidak memberikan kesan khusus dan apalagi bahaya, maka orang-orang itupun menduga, bahwa seseorang sedang mencoba sebuah kentongan baru. “Siapa yang membuat kentongan itu ?“ bertanya seseorang yang sedang berada disawah bersama seorang kawannya. Karena keduanya bukan orang padukuhan yang sedang membangun bendungan, maka mereka tidak tahu, bahwa padukuhan itu sudah memesan sebuah kentongan baru kepada Ki Senu di sudut padukuhan. Dengan kebanggaan yang bergejolak di dalam hati, Ki Gedepun kemudian kembali ke padukuhan induk. Kepada para pemimpin Tanah Perdikan ia menekankan lagi agar merekapun berbuat sesuatu untuk ikut mempercepat kerja yang sudah dimulai. Dihari berikutnya. Agung Sedayu sudah tidak lagi berada di bendungan yang sudah diselesaikannya. Tetapi ia ingin melihat-lihat daerah yang lain dari Tanah Perdikan Menoreh. Untuk menghindari peristiwa-peristiwa yang tidak dikehendaki, maka Agung Sedayu telah memutari beberapa padukuhan bersama Ki Waskita. Sehingga dengan demikian, Prastawa menjadi segan untuk berbuat sesuatu atasnya. “Gila,“ geram Prastawa, “anak itu sekarang selalu ditemani oleh paman Waskita.”

“Tetapi pada suatu saat, ia akan sendiri, dalam keadaan apapun,“ jawab kawannya, “karena itu, kita harus secepatnya menghubungi orang-orang yang akan dapat mengusirnya.” “Atau menghapusnya sama sekali,“ geram Prastawa. Kawannya tidak menyahut. Bagaimanapun juga, sikap Prastawa yang terakhir itu membuatnya menjadi berdebar-debar. Ia tidak berniat melangkah begitu jauh. Ternyata kawan-kawannya yang lainpun menjadi termangu-mangu. Namun agaknya Prastawa tidak menghiraukannya. Dalam pada itu, selagi Prastawa berusaha untuk menemukan orang yang akan dapat mengusir Agung Sedayu, jauh dari Tanah Perdikan Menoreh, seseorang sedang berusaha untuk menyempurnakan ilmunya dengan laku terakhir menjelang laku puncaknya, pati geni. Ajar Tal Pitu yang merasa terhina karena kekalahannya, telah bertekad untuk menyempurnakan ilmunya dan sekali lagi menghadapi Agung Sedayu. Jika pada saatnya ia selesai dengan laku puncaknya, dan ternyata Agung Sedayu tidak diketemukannya lagi di padepokannya, maka Ajar Tal Pitu itu tentu akan mencarinya sampai ke ujung bumi sekalipun. Namun Prastawa sama sekali tidak mengerti persoalan antara Agung Sedayu dan Ajar Tal Pitu. Sehingga dengan demikian, maka ia telah berusaha untuk menemui orang yang diketahuinya, memiliki kemampuan yang luar biasa, meskipun orang itu dari lingkungan orang-orang yang hidup diluar tatanan hubungan manusia kebanyakan, lewat seorang anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang memang agak lain dari kebanyakan anak-anak muda. “Siapa anak itu ?“ bertanya seorang yang bertubuh tinggi, kekar dengan kumis, jambang dan janggut yang lebat. “Namanya Agung Sedayu,“ sahut Prastawa, “ia adalah murid orang bercambuk yang terkenal, dan pernah berada di Tanah Perdikan ini pula pada masa kakang Sidanti menyalakan api perlawanan di Tanah ini. Setelah itupun ia beberapa kali telah datang ke Tanah Perdikan ini untuk keperluan yang bermacam-macam.” “Apa peduliku dengan orang bercambuk itu ?“ geram orang bertubuh kekar dan berjambang lebat itu, “setiap orang tahu, bahwa aku adalah benggol kecu yang paling ditakuti.” “Tetapi ia memiliki bekal ilmu yang mapan untuk menghadapi keadaan yang paling gawat sekalipun melawan orang-orang yang telah memiliki nama,“ desis Prastawa. Lalu. “Sebenarnya aku sendiri dapat menyelesaikannya, karena aku adalah murid Ki Argapati. Tetapi dalam keadaan ini. paman tentu segera mencurigai aku dan mungkin paman akan sangat marah dan sampai hati menghukum aku.” “Apakah anak itu memiliki kemampuan seperti Ki Gede ?“ bertanya orang itu.

“Tentu tidak. Sudah aku katakan, akupun akan mampu mengatasinya.” Prastawa berhenti sejenak, lalu. “apakah kau merasa memiliki ilmu seperti paman Argapati ?” “Ah, tenu tidak,“ jawab orang itu, “tetapi jarang sekali ada orang yang mampu mengimbangi kemampuan Ki Gede. Ki Tambak Wedipun tidak mampu melawannya. Apalagi aku. Tetapi jika anak itu tidak setinggi Ki Gede kemampuannya, aku akan merasa dapat mengalahkannya. Aku yakin.” Prastawa mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Tetapi jangan seorang diri.” “Kau tidak percaya bahwa aku akan dapat mengalahkannya dan seandainya kau kehendaki membunuhnya ?“ bertanya orang itu. “Bukan tidak percaya,“ jawab Prastawa, “tetapi ia adalah orang yang sagat licik. Ia akan dapat melarikan diri dan menyampaikan persoalannya kepada paman Argapati.” “Jadi aku harus membunuhnya ?“ bertanya orang itu. Prastawa menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia menggeleng lemah, “Tidak perlu. Tetapi kau harus membuatnya jera, mengancamnya sehingga ia tidak akan berani lagi menginjakkan kakinya diatas Tanah Perdikan Menoreh.” “Tetapi jika diluar kemauanku, tanganku telah mengoyak kulit dagingnya atau mematahkan tulangnya ?“ bertanya orang itu. “Terserah kepadamu jika keadaan memang menuntut demikian. Maksudku jika karena perlawanannya kau terpaksa mengambil sikap yang tegas,” jawab Prastawa. “jika demikian, maka bawa saja ia ketlatah Mataram dan lemparkan ia di jalan-jalan agar diketemukan orang yang dapat membawanya ke Mataram dan selanjutnya mengembalikannya ke Jati Anom. Tetapi jika diluar niatmu, ia terbunuh, itu adalah karena nasibnya yang sangat buruk.” Orang berkumis, berjanggut dan berjambang lebat itu tertawa. Katanya, “Serahkan semuanya kepadaku.” “Sekali lagi aku peringatkan, bawalah dua atau tiga orang kawan agar anak itu tidak akan sempat melarikan diri,“ berkata Prastawa kemudian, “tetapi ingat, lakukan semua rencana jika ia seorang diri. Nampaknya karena ketakutannya kepadaku, ia selalu berdua dengan paman Waskita. Nah, ketahuilah, paman Waskita memiliki kemampuan setingkat dengan paman Argapati.” Benggol kecu itu mengangguk-angguk. Katanya, “Percayakan kepadaku. Tetapi jika kau kehendaki aku harus membawa satu dua orang kawan, maka aku akan membawanya. Mungkin benar, bahwa aku harus berjaga-jaga agar anak itu tidak sempat

melarikan diri.” “Kau harus menentukan waktu, kapan kau akan melakukannya,“ berkata Prastawa selanjutnya. “Kaulah yang menentukan,“ jawab orang itu. “Baiklah. Lakukanlah pekan depan. Carilah saat yang paling baik. Ingat, jangan kau lakukan jika ada paman Waskita bersamanya. Kau akan dapat menjadi endapan endog pangamun-amun,“ pesan Prastawa. “Bagaimana aku tahu kapan ia pergi seorang diri,“ bertanya orang itu. “Kita akan mehhat. Jika ia tidak pernah mengalami gangguan apapun lagi, agaknya ia akan berani pergi seorang diri. Atau kupancingnya, “kata Prastawa kemudian. Perjanjianpun telah disetujui bersama. Orang yang dikenal sebagai seorang benggol kecu yang ditakuti itu, akan membawa tiga orang kawannya untuk membuat Agung Sedayu jera dan mengusirnya dari Tanah Perdikan. Namun dalam pada itu. benggol kecu itu bergumam kepada diri sendiri, “Tetapi jika karena sesuatu hal anak itu terbunuh, bukan salahku. Aku sudah mengatakan kemungkinan itu. Agaknya lebih mudah untuk membunuh seseorang daripada menyakitinya dan kemudian mengancam, mengusir dan untuk selanjutnya mengawasi agar ia tidak kembali.” Karena itu, maka benggol kecu yang berkumis, berjanggut dan berjambang lebat itu sama sekali tidak berpikir untuk berbuat lain kecuali membunuhnya dan melemparkannya ke Kali Praga. Sementara itu.Prastawapun telah berusaha untuk tidak berbuat sesuatu yang dapat menakut-nakuti Agung Sedayu. Dalam saat-siat terakhir ia nampak tidak mengacuhkannya lagi. Seolah-olah ia sudah tidak mempunyai persoalan lagi dengan Agung Sedayu. Justru karena itu, seperti yang diharapkannya, ternyata Agung Sedayu berpendapat lain. Disangkanya bahwa Piastawa sudah jemu memusuhinya sehingga ia tidak menghiraukannya lagi. “Anak itu cerdik dan licik,“ berkata Ki Waskita, “hati-hatilah. Mungkin ia mempunyai rencana tersendiri. Menurut pengamatanku, ia tidak akan menjadi jemu. Bahkan mungkin ia akan bertindak lebih jauh lagi untuk mengusirmu, justru setelah kau berhasil dengan bendungan itu.” Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia tidak mempunyai prasangka seburuk itu terhadap Prastawa. Seperti yang diharapkan oleh Prastawa, maka pada saat-saat berikutnya Agung Sedayu telah keluar dari padukuhan induk seorang diri. Ketika ia berpapasan dengan Prastawa dan Prastawa tidak berbuat

sesuatu, meskipun ia menyapa dengan tidak ramah sama sekali. Agung Sedayu berpendapat, bahwa Prastawa telah berubah. “Mungkin Ki Gede telah menasehatinya,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Namun Agung Sedayu sama sekali tidak menduga, bahwa ampat orang telah bersiap untuk berbuat jahat terhadapnya pekan mendatang. Dan pekan mendatang itupun akhirnya menjadi semakin dekat pula. Namun dalam pada itu, setiap kali Ki Waskita masih selalu berpesan agar ia berhati-hati. Bahkan ia masih juga mengikutinya sekali dua kali dalam perjalanan keliling yang dilakukan Agung sedayu dalam rangka usahanya untuk menyusun rencana menyeluruh. Tetapi dalam pada itu, secara khusus Agung Sedayu menjadi semakin sering berkunjung ke padukuhan-padukuhan tertentu. Tidak hanya siang hari, kadang-kadang malampun ia pergi. Bahkan karena Prastawa seolah-olah tidak menghiraukannya lagi, maka ia tidak lagi meninggalkan rumah Ki Gede dengan diam-diam di malam hari. “Agaknya anak itu menjadi jemu,” desis Agung Sedayu ketika Ki Waskita memperingatkan sekali lagi. “Kau akan lengah menghadapi keadaan yang demikian,“ Ki Waskita masih tetap memperingatkan. Kemudian, “Bagaimanapun juga, kau harus tetap berhati-hati.” “Aku selalu berhati-hati Ki Waskita,“ jawab Agung Sedayu. “Mungkin penggraitaku salah. Justru bukan Prastawa yang akan datang menjumpaimu, tetapi orang lain. Bahkan mungkin Ajar Tal Pitu.” Sebenaranyalah benggol kecu yang disebut Sura Bureng itu mempersiapkan tiga orang kawan untuk bersama-sama melakukan tugas yang diberikan oleh Prastawa untuk mendapat upah yang cukup banyak. Tetapi ternyata bahwa Sura Bureng tidak mau mempersulit diri dengan ancaman-ancaman atau bahkan membawa Agung Sedayu ke sebelah Timur Kali Praga. Baginya lebih mudah untuk membunuhnya saja, kemudian melempar mayatnya ke Kali Praga. Ternyata ketiga orang kawannya sependapat. Apalagi ketika Sura Bureng itu berkata, “Prastawapun telah memberikan isyarat, jika anak itu melawan, dan tidak mungkin di tangkap hidup-hidup, maka kita dapat mengambil jalan lain. Jika anak itu terbunuh diluar niat kami, apaboleh buat.” “Jika demikian, kita jangan mempersulit diri,“ berkata seorang kawannya. “Apa yang sulit ?“ bertanya Sura Bureng, “anak itu bukan anak iblis. Aku sendiri dapat membunuhnya, jika anak itu tanggon. Maksudku jika anak itu berani menghadapi aku sampai mati, seperti dua orang yang berperang tanding.

Tetapi menurut Prastawa anak itu sangat licik. Karena itu aku perlukan kalian untuk menjaga agar anak itu jangan sampai terlepas dan melarikan diri. Mungkin ia memang memiliki kemampuan untuk berlari cepat.” Ketiga orang kawannya tertawa. Salah seorang dari mereka berkata, “Lucu sekali. Kenapa Prastawa memerlukan empat ekor serigala untuk membunuh seekor kelinci sakit-sakitan. Tetapi baiklah, jika memang hal itu yang dihendaki.” Sura Burengpun kemudian merencanakan waktu yang sebaik-baiknya untuk melakukan rencananya. Ia akan berbicara kepada Prastawa, agar pada waktu yang ditentukan, Agung Sedayu dapat dipancing keluar dari padukuhan induk. Misalnya, sekelompok anak-anak muda dari satu pedukuhan mengharapnya datang, atau barangkali dapat disebut, salah seorang dari anak-anak muda itu akan kawin atau alasan apapun juga. Akhirnya merekapun bersepakat untuk menentukan hari ketiga pekan mendatang. Malam akan sangat gelap, karena bulan lua akan hadir dilangit lewat tengah malam. Dihari berikutnya Sura Bureng telah menemui Prastawa dan membicarakan rencana itu serta pelaksanaannya sebaik-baiknya. “Baiklah,“ berkata Prastawa, “seorang kawanku akan memancingnya keluar dihari yang sudah ditentukan. Tetapi jangan salah hitung. Segalanya harus selesai pada saat itu juga.” “Percayakan segalanya kepadaku,“ jawab benggol kecu itu. Dalam pada itu. Agung Sedayu sama sekali tidak menduga bahwa hal semacam itu akan terjadi. Ketika Ki Waskita memperingatkannya, maka angan-angannya memang tertuju kepada Ajar Tal Pitu. Karena itu, maka iapun berusaha untuk memantapkan diri, jika benar pada suatu saat ia harus berhadapan dengan Ajar Tal Pitu yang menurut perhitungannya, seperti juga perhitungan Ki Waskita, tentu sudah berusaha menyempurnakan ilmunya. Itulah sebabnya. Agung Sedayu masih harus mempertimbangkan waktu sebaik-baiknya jika ia akan mulai dengan menggerakkan kembali para pengawal di Tanah Perdikan Menoreh dan memberikan latihan-latihan olah kanuragan, karena ia sendiri masih memerlukan waktu khusus, meskipun hanya dilakukan dalam biliknya. Namun yang dilakukan Agung Sedayu telah mulai nampak hasilnya di Tanah Perdikan Menoreh. Selain sebuah bendungan, maka sebagian terbesar dari padukuhan-padukuhan di Tanah Perdikan Menoreh telah memperbaiki dan menghidupkan kembali segala peralatan padukuhan-padukuhan itu. Gardu, jalan-jalan padukuhan, pagar-pagar dan parit-parit yang rusak. Bahkan diantara mereka sudah mulai mempersiapkan peralatan untuk menelusur kesalahan, apakah yang menyebabkan air di paritparit menjadi jauh berkurang. Sementara itu, Agung Sedayupun telah mulai menyusun rencana untuk membangun Tanah Perdikan itu

secara keseluruhan, dibantu oleh para pemimpin Tanah Perdikan dan para pemimpin padukuhan yang memberikan bahan-bahan yang sangat diperlukan. “Kami sudah terbangun dari tidur yang terlalu nyenyak,“ berkata salah seorang pemimpin padukuhan, “namun tidur yang terlalu nyenyak itupun ternyata sangat melelahkan.” Tetapi justru karena itulah, maka Prastawa menjadi semakin tidak sabar. Hari ketiga pekan mendatang rasa-rasanya menjadi sangat lama. Ia sudah terlalu muak melihat Agung Sedayu yang menurut pengamatannya menjadi terlalu sombong atas pujian yang diberikan oleh para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi Prastawa harus menahan diri. Ia harus sabar menunggu hari ketiga pekan mendatang. Dalam pada itu, di sela-sela kunjungannya ke padukuhan-padukuhan untuk sekedar berbincangbincang dan bergurau dengan anak-anak muda di gardu-gardu yang sudah diperbaiki, kadang-kadang Agung Sedayu masih melihat kedalam dirinya sendiri. Ia sadar sepenuhnya bahwa Ki Waskita tahu benar akan keadaannya. Karena itulah, maka kadang-kadang, lewat tengah malam. Agung Sedayu duduk di pembaringannya sambil menyilangkan tangannya. Pada saat-saat yang demikian Ki Waskita sama sekali tidak mengganggunya. Ia tahu apa yang sedang diperbuat oleh Agung Sedayu. Sementara itu, haripun berlalu dengan pasti. Saat yang ditunggu-tunggu oleh Prastawa itupun menjadi semakin dekat. Betapa ia tidak sabar lagi, ketika ia masih harus menunggu sehari lagi. Segalanya sudah diatur sebaik-baiknya. Ia sudah menetapkan seseorang untuk menemui dan memanggil Agung Sedayu di malam yang sudah disepakati. Namun dalam pada itu, ia sendiri menjadi bimbang. Ia ingin membuang kecurigaan pamannya dengan tetap berada dirumah. Tetapi la ingin melihat apa yang bakal terjadi. Sehingga dengan demikian ia harus membuat rencana sebaik-baiknya bagi dirinya sendiri. “Aku harus menyiapkan saksi palsu. Meskipun aku tidak berada dirumah, kawan-kawanku harus menyebutkan bahwa aku benar-benar tidak mengetahui apa yang telah terjadi atas Agung Sedayu. Demikianlah Prastawa telah berunding dengan kawan-kawan terdekatnya. Meskipun Ki Gede tidak bertanya, tetapi mereka harus memberikan kesan lewat cara apapun, bahwa Prastawa berada bersama mereka disatu tempat yang telah ditetapkan. Demikianlah, maka hari-hari yang ditunggu oleh Prastawa itupun akhirnya datang juga. Ketika

matahari terbit di hari yang ditentukan, rasa-rasanya waktu beredar sangat lamban. Namun betapapun lambatnya, akhirnya malampun turun juga di Tanah Perdikan Menoreh. Segalanya sudah direncanakan oleh Prastawa. Kawannya yang akan minta Agung Sedayu pergi kesebuah padukuhan telah siap pula. Benggol Kecu yang bernama Sura Burengpun telah siap dengan tiga orang kawannya. Tidak akan ada kesalahan lagi dalam rencana yang sudah disusun matang itu. Segalanya akan berjalan lancar. Dan sejak malam itu, Agung Sedayu akan hilang dari Tanah Perdikan. Mungkin dalam waktu tiga atau ampat hari, akan datang berita dan Jati Anom, bahwa Agung Sedayu telah kembali ke Jati Anom dan keberatan untuk datang lagi ke Tanah Perdikan Menoreh. Namun Prastawa tidak menyadari, bahwa Sura Bureng tidak akan memperlakukan Agung Sedayu itu demikian. Menghajarnya sampai lumpuh, dan melemparkannya kesebelah Timur Kali Praga. Atau setelah meremukkan tulang-tulangnya, kemudian dengan sisa tenaga yang ada. Agung Sedayu harus meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh dan tidak boleh kembali lagi, agar ia tidak akan mati tanpa arti apapun juga di Tanah Perdikan Menoreh. Sura Bureng ternyata menganggap bahwa membunuh anak muda itu akan jauh lebih mudah daripada sekedar menyakiti dan mengusirnya. Apalagi jika anak muda itu melawan. Demikianlah, pada saatnya, maka rencana itupun mulai berjalan. Ketika malam menjadi semakin dalam, dua orang telah mencari Agung Sedayu di gandok rumah Ki Gede. “Apakah ada sesuatu yang penting ?“ bertanya Agung Sedayu. Anak muda itu tersenyum. Jawabnya, “Tidak ada apa-apa. Tetapi apakah kau dapat datang ke padukuhan kami ?” “Ada apa ?“ bertanya Agung Sodayu pula. “Sekedar mengisi kekosongan malam ini. Anak-anak muda akan berjaga-jaga semalam suntuk. Bukan karena apa-apa. tetapi seorang penghuni padukuhan kami akan mengawinkan anak gadisnya besok,“ jawab anak muda itu sambil tertawa. Lalu. “Jika kau sempat datanglah. Atau lebih baik bersama kami karena mungkin sekali kau belum mengetahui rumah orang itu.” “Lalu, apakah ada hal yang dapat dibicarakan di pertemuan itu ?“ bertanya Agung Sedayu selanjutnya. “Tidak. Sekedar berjaga-jaga saja sambil berbuat apa saja yang dapat dipakai untuk mengisi waktu.

Agaknya anak-anak muda padukuhan kami sangat mengharap kau datang meskipun barangkali orang yang akan mengawinkan anak gadisnya itu tidak bermaksud demikian,“ jawab orang yang datang itu. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun rasa-rasanya ia tidak dapat menolak ajakan itu. Karena itu, maka katanya kemudian, “Baiklah aku berganti pakaian dahulu. Tunggulah sebentar di serambi.” Kedua orang anak muda itupun kemudian duduk di serambi menunggu Agung Sedayu membenahi pakaiannya. Ketika Ki Waskita mendengar dari Agung Sedayu tentang ajakan kedua anak muda itu, maka Ki Waskita tiba-tiba saja menjadi berdebar-debar. Karena itu, maka sekali lagi ia memperingatkan,“ berhati-hatilah Agung Sedayu.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil mengangguk ia menjawab, “Aku akan berhati-hati paman. Aku mempunyai dua orang kawan yang akan dapat membantuku diperjalanan jika terjadi sesuatu.” Ki Waskita memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Lalu katanya,“ berhati-hatilah terhadap satu kemungkinan bahwa Ki Ajar Tal Pitu akan mencarimu sampai ke tempat ini. Tetapi berhati-hatilah juga, justru terhadap kedua anak muda itu.” “Keduanya anak Tanah Perdikan ini,“ jawab Agung Sedayu. “Memang. Tetapi kemungkinan-kemungkinan buruk itu sering datang tanpa dapat diduga-duga sebelumnya,“ desis Ki Waskita. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sambil mendekati Ki Waskita ia berdesis, “Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu paman. Namun seandainya bahaya itu datang pula, aku sudah cukup berhati-hati untuk menyelamatkan diri.” Ki Waskita hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia bermaksud untuk mengikuti Agung Sedayu, namun menurut keterangan Agung Sedayu, anak-anak muda itu mengundangnya dalam pertemuan sekelompok anak-anak muda saja. Sejenak kemudian. Agung Sedayupun telah siap. Ketika ia sampai di pintu, ternyata Ki Waskita memanggilnya. Ketika Agung Sedayu berpaling, ia melihat Ki Waskita menyibakkan tikar dipembaringannya. “Apakah kau tidak akan membawanya ?“ bertanya Ki Waskita sambil menunjuk cambuk Agung Sedayu yang diletakkan di bawah tikar.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Aku kira, dalam keadaan seperti ini aku tidak memerlukannya Ki Waskita.” Ki Waskita menggeleng lemah. Katanya lirih, “Kau lebih berbahaya tanpa cambukmu, karena jika terpaksa kau akan mempergunakan senjatamu yang tidak akan dapat terlawan. Setiap sentuhan akan berarti maut. Tetapi agaknya tidak demikian dengan senjatamu ini.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun melangkah kembali dan kemudian membelitkan senjatanya di bawah bajunya seperti biasanya. Baru kemudian iapun telah minta diri. Demikian ia melangkahi pintu, kedua orang yang menjemputnya itupun berdiri. Kemudian mereka bersama-sama menuruni tangga gandok dan langsung menyeberangi halaman menuju regol. Ternyata Prastawa berdiri disebelah regol yang terbuka. Adalah diluar kebiasaannya, bahwa ia bertanya sambil tersenyum. “Kemana Agung Sedayu ?” Agung Sedayu merasa aneh atas sikap Prastawa itu. Meskipun pada saat-saat terakhir Prastawa tidak pernah bersikap kasar terhadapnya, namun sikap yang sangat ramah itu justru membuatnya berdebar-debar. Apalagi Agung Sedayu mempunyai panggraita yang tajam sehingga sikap itu telah dihubungkannya dengan pesan Ki Waskita, sehingga dengan demikian maka Agung Sedayupun benar-benar merasa harus berhati-hati. Namun demikian Agug Sedayu menjawab pula, “Aku akan mengikuti kedua anak muda ini. Agaknya senang juga berjaga-jaga dirumah seseorang yang sedang mempunyai keperluan untuk mengawinkan anaknya.” “Menyenangkan sekali,“ jawab Prastawa, “hidangan akan mengalir untuk semalam suntuk.” “Apakah kau tidak pergi juga kesana ?“ bertanya Agung Sedayu. Prastawa menggeleng sambil menjawab, “Kau sajalah pergi. Anak-anak itu ingin berbicara denganmu sepanjang malam.” Agung Sedayu tersenyum. Kemudian iapun minta diri meninggalkan regol halaman rumah Ki Gede. Prastawa memandang langkah Agung Sedayu yang semakin jauh dan kemudian hilang didalam gelapnya malam. Sambil menarik nafas dalam-dalam iapun kemudian beringsut meninggalkan regol yang masih tetap terbuka. Sambil menyembunyikan senyumnya iapun naik kependapa dan hilang dipintu pringgitan. Para peronda di gardu kemudian menutup pintu regol yang terbuka meskipun tidak menyelaraknya.

Namun demikian mereka kembali duduk di gardu, Prastawapun telah turun pula dari pendapa. Dua orang kawannya yang berada di gardu bersama para perondapun turun pula dan bersamanya keluar dari halaman. Sekali lagi pintu regol itu ditinggalkannya terbuka. Sekali lagi para peronda harus menutup pintu itu. “Jangan terlalu rapat desis pemimpin peronda itu, “biarlah mereka yang akan keluar masuk tidak usah membukanya lagi, sehingga justru terlampau lebar.” “Kemana anak itu ?” bertanya seseorang diantara para peronda. “Entahlah,“ sahut yang lain, “sudah menjadi kebiasaan Prastawa setiap malam berkeliaran. Bahkan kadang-kadang ketempat yang tidak dapat disebutkan.” “Apakah Ki Gede tidak mengetahuinya ?“ bertanya yang lain pula. “Tentu sudah mengetahuinya,“ desis pemimpin peronda itu, “tetapi entahlah. Kadang-kadang Ki Gede juga sudah memberikan beberapa nasehat kepada anak itu. Tetapi agaknya ia memang keras kepala. Sekarang perhatian Ki Gede lebih banyak tertuju kepada Agung Sedayu. Meskipun ia orang lain. tetapi ia berbuat lebih banyak dari Prastawa.” “Sikap Prastawa sudah berubah,“ berkata seorang kawannya, “biasanya ia bersikap kasar terhadap Agung Sedayu.” “Kita akan melihat, siapa yang akan lebih banyak memberikan arti kepada Tanah Perdikan ini meskipun Prastawa adalah anak Tanah Perdikan, sementara Agung Sedayu dapat dikatakan orang lain,“ desis pemimpin peronda itu. Kawan-kawannya hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi mereka seolah-olah melihat pada Prastawa, sikap yang tidak ramah terhadap Agung Sedayu pada hari-hari yang lewat. Namun agaknya sikap itu sudah berubah. Prastawa nampaknya tidak bersikap kasar lagi terhadap Agung Sedayu. Dalam pada itu, Agung Sedayu yang berjalan didalam gelapnya malam bersama dua orang anak muda yang mengajaknya, telah memasuki sebuah bulak pendek. Kemudian mereka mengikuti jalan simpang sebelum mereka memasuki padukuhan dihadapan mereka. Justru karena itu maka beberapa puluh langkah kemudian, mereka memasuki sebuah jalan kecil diantara tanah persawahan yang luas. Mereka ternyata tidak melalui padukuhan dihadapan mereka, tetapi mereka menempuh jalan kecil disebelah padukuhan itu. “Kita mengambil jalan memintas,“ berkata salah seorang dari kedua anak muda itu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Perasaannya semakin digelitik oleh sikap yang kurang wajar dari kedua orang anak muda itu. Apalagi ketika ia membayangkan sikap Prastawa yang tidak seperti biasanya. Karena itu, Agung Sedayu cukup berhati-hati. Bagaimanapun juga, hal-hal yang tidak diinginkan itu akan dapat saja terjadi di luar perhitungannya. Ketika sekali lagi mereka berbelok, maka mereka semakin menjauhi padukuhan itu. Mereka langsung turun disebuah jalan lain yang lebih besar di tengah-tengah bulak panjang. “Kita pergi ke padukuhan itu,“ berkata salah seorang anak muda itu sambil menunjuk sebuah padukuhan yang tidak nampak digelapnya malam. Agung Sedayu yang sudah mengenal Tanah Perdikan Menoreh dengan baik itupun bertanya, “Apakah kau tinggal dipadukuhan itu ? Menurut pengetahuanku, kau tidak tinggal di padukuhan itu.” “Aku memang tidak tinggal di padukuhan itu. Bibikulah yang tinggal disana. Tetapi karena aku juga sering berada di rumah bibi, maka seolah-olah aku adalah anak padukuhan itu pula.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun ia tetap bersikap hati-hati. Bulak yang panjang, gelap dan sepi itu rasa-rasanya mengandung seribu macam kemungkinan. Yang baik dan yang buruk. Sebenarnyalah, di bulak yang panjang, sepi dan gelap itu, Sura Bureng dan tiga orang kawannya telah menunggu. Seperti yang sudah direncanakan, Agung Sedayu akan dipancing lewat jalan itu. Jika ia tidak berhasil diundang dengan alasan peralatan, maka ia akan dipancing dengan cara lain, seolah-olah sekelompok anak muda minta ia memisah perselisilian diantara kawan-kawan mereka. Atau alasan lain yang akan dapat diterima oleh Agung Sedayu. Namun ternyata bahwa Agung Sedayu sudah berada di bulak yang panjang dan gelap itu. Ketika perjalanan anak-anak muda dari padukuhan induk itu sudah sampai ditengah-tengah bulak, maka yang dicemaskan Agung Sedayu itupun telah terjadi. Beberapa orang telah menghentikan langkah mereka dengan sikap yang kasar. Agung Sedayu tidak terlalu terkejut. Seolah-olah ia memang sudah menunggu akan terjadi sesuatu seperti yang dikatakan oleh Ki Waskita dan sebagaimana terbersit didalam panggraitanya sendiri. Justru karena itulah maka ia selalu berhati-hati. Sura Bureng yang berdiri ditengah jalan itupur kemudian bertanya dengan kasar. “Siapa kalian he ?” Kedua anak muda itu menjadi gemetar. Yang seorang bersembunyi dibelakang Agung Sedayu, sementara yang lain justru tergagap tanpa dapat menjawab.

“Siapa kalian he ?“ bentak Sura Bureng, sehingga kedua anak muda itupun menjadi semakin ketakutan. Namun dalam pada itu, dengan tenang Agung Sedayi menjawab, “Hal semacam inilah yang sebenarnya aku tunggu. Aku sama sekali tidak tertarik kepada peralatan dan ceritera tentang kawan-kawan yang menunggu aku. Tetapi kemungkinan-kemungkinan yang terselubung seperti inilah yang sebenarnya sangat menarik perhatianku.” “Gila, kau sudah menjadi gila. Apa maksudmu ?“ bertanya Sura Bureng. “Sudahlah.” berkata Agung Sedayu, “jangan bertanya tentang hal-hal yang sudah kau ketahui. Segala rangkaian peristiwa sebelumnya akhirnya dapat aku baca pada saat ini dengan jelas. Aku sudah tahu maksudmu, siapa yang berdiri di belakangmu, dan untuk apa hal ini kaulakukan.” Ketenangan Agung Sedayu membuat Sura Bureng hampir tidak dapat menahan diri lagi. Tetapi ia masih berkata, “Kenapa tiba-tiba kau mengigau tanpa arti.” Agung Sedayu menjawab sareh, “Jangan mencoba membohongi aku. Aku melihat dengan jelas, peranan apa yang sedang kau lakukan sekarang.” “Bohong,“ bentak Sura Bureng. “Jika kau tidak percaya, bertanyalah kepada kedua anak muda ini. Merekapun sebenarnya tidak perlu takut kepada kalian,“ berkata Agung Sedayu. Kedua anak muda itupun termangu mangu. Namun nampaknya Agung Sedayu begitu yakin tentang apa yang dikatakannya. Akhirnya Sura Burenglah yang tidak sabar lagi. Dengan kasar ia berkata, “Kau akan mati sekarang. Baiklah, kau boleh mengetahui apa yang sedang aku lakukan.” Kedua anak muda itu terkejut. Tetapi mereka tidak sempat berkata sesuatu ketika Sura Bureng berkata lebih lanjut, “Kau tidak usah menyesali nasib. Memang tugasku yang sebenarnya tidak untuk membunuhmu. Tetapi aku kira aku akan lebih puas jika aku melemparkan mayatmu ke Kali Praga.” Kedua anak muda itu termangu-mangu. Tetapi mereka tidak berani berbuat sesuatu, ketika Sura Bureng itupun berkata lebih lanjut, “Aku memang sudah bertekad demikian. Jika ada orang yang berusaha menghalangiku, akan aku bunuh sama sekali. Mayatnyapun akan aku lemparkan ke Kali Praga bersama mayatmu.” “Semuanya sudah jelas,“ berkata Agung Sedayu. “Sekali lagi aku katakan. Seolah-olah aku membaca

sebuah kitab, Ketika aku sampai pada halaman terakhir, maka aku menjadi jelas seluruh isi kitab itu.” “Persetan,“ geram Sura Bureng, “aku tidak peduli. Bersiaplah untuk mati.” Tetapi salah seorang dari kedua anak muda itu berusaha untuk memotong. “Tutup mulutmu,“ bentak Sura Bureng, “aku sudah bertekad untuk membunuh siapa saja yang menghalangi aku. Bahkan Prastawa sendiri.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah ia berusaha untuk memancing pengakuan itu. Meskipun ia memang sudah menduga, namun ia menjadi bertambah jelas, apa yang sedang dihadapinya. Dalam pada itu, sambil mengendap-endap Prastawa telah mendekati tempat itu. Ia mendengar namanya disebut, sehingga karena itu iapun mengumpat didalam hati. Namun kemudian ia mendengar Sura Bureng berkata, “Aku tidak mempunyai waktu banyak. Terserah kepadamu, apa kau akan melawan, atau tidak. Seandainya kau mengetahui persoalan yang kau hadapi, aku sama sekali tidak berkeberatan, karena kau akan mati. Sebenarnya bagi Prastawa sendiri, memang lebih baik jika kau mati daripada sekedar diancam dan memaksamu berjanji untuk tidak akan membuka rahasia ini. Karena pada suatu saat, dibawah perlindungan seseorang, kau akan dapat ingkar pada janji itu, sehingga rahasia ini akan terbuka juga. Tetapi jika kau mati, untuk selamanya rahasia ini tidak akan tersingkap dari balik tirai kematianmu.” “Gila orang ini,“ geram Prastawa. Namun kawannya berbisik perlahan sekali ditelinganya, “nampaknya masuk akal juga jalan pikiran Sura Bureng itu.” Prastawa merenung sejenak. Namun akhirnya iapun mengangguk-angguk sambil menjawab, “Kau benar. Aku mengerti.” Tetapi adalah diluar dugaannya, bahwa pada saat itu, Agung Sedayu yang mempunyai perhitungan dan pertimbangan yang cermat, memang sudah menduga bahwa ada satu dua orang yang mengawasi peristiwa itu dari kegelapan. Kartena ia sempat mempertajam pendengarannya sebagaimana ia dapat mempertajam penglihatannya pada satu sasaran. Karena itulah, betapapun lemahnya, ia dapat menangkap pembicaraan antara Prastawa dan kawannya. Sehingga dengan demikian maka semuanya sudah menjadi jelas sekali baginya. Namun Agung Sedayu bukannya seseorang yang bertindak dengan tergesa-gesa dalam menanggapi satu persoalan. Karena itu maka seperti biasanya, menghadapi masalah yang gawat iapun, ia masih tetap tenang dan berhati-hati. Dalam pada itu, maka Sura Bureng itupun berkata, “Jika kau sudah mengerti, nah apa yang akan kau

lakukan sekarang?” “Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu, “yang mula-mula akan aku lakukan adalah berbicara. Mungkin kau dapat mengerti, sehingga kau akan dapat bersikap lebih baik.” “Memuakkan,” bentak Sura Bureng, “he, bukankah menurut pendengaranku, kau adalah murid orang bercambuk yang terkenal itu. Sekarang adalah waktunya untuk membuktikan, apakah benar orang bercambuk itu mempunyai kelebihan dari orang lain.” “Tidak ada kelebihan apapun,” jawab Agung Sedayu. Jawaban itu memang mengejutkan Sura Bureng. Tetapi akhirnya ia menjadi semakin marah. Seolaholah Agung Sedayu dengan sengaja telah menghinanya. Namun Agung Sedayu berkata selanjutnya, “Banyak orang yang salah mengerti tentang orang bercambuk yang tidak lebih dari salah seorang diantara kumpulan gembala. Demikian pula murid-muridnya.” “Persetan,” geram Sura Bureng, “siapapun kau dan siapapun orang bercambuk itu, aku tidak peduli. Bersiaplah untuk mati.” “Jangan tergesa-gesa Ki Sanak,“ berkata Agung Sedayu, “apakah tidak ada jalan lain daripada membunuh.” “Tidak ada jalan lain. Jangan berbicara lagi. Setiap kata yang terloncat dari mulutmu, hanya membuat aku menjadi semakin marah, dan semakin membakar nafsuku untuk membunuhmu dengan cara yang tidak sewajarnya.” “Kau cepat dibakar oleh perasaanmu,“ desis Agung Sedayu. “Cukup. Kau membuat aku ingin mengikatmu dan menceburkan kau kedalam sungai itu hidup-hidup,“ desis Sura Bureng. Agung Sedayu tidak sempat menjawab, karena tiba-tiba Sura Bureng berkata lantang kepada kawankawannya, “Jaga anak ini agar tidak sempat lari.” Ketiga orang kawan Sura Bureng itupun segera memencar. Sementara itu Sura Burengpun berkata, “Bukan berarti bahwa aku memerlukan tiga orang kawan untuk membunuhmu. Aku akan membunuhmu seorang diri. Aku ingin menjajagi orang bercambuk itu sendiri lewat muridnya. Berapa lama kau mampu bertahan, sehingga dengan demikian aku akan mengerti, berapa lama gurumu mampu bertahan melawan aku.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Orang ini memang tidak dapat diajak berbicara lagi.

Karena itu. maka tidak ada jalan lain yang dapat dilakukannya kecuali mempertahankan diri. Betapapun juga ia tidak mau mengalami perlakuan yang kasar, apalagi benar-benar membahayakan jiwanya.

Buku 146 DALAM pada itu, Agung Sedayupun menyadari kebenaran pendapat Ki Waskita. Memang lebih baik baginya untuk membawa cambuknya, karena tanpa cambuk, ia akan dapat menjadi justru lebih berbahaya. Dalam pada itu, orang yang bernama Sura Bureng itu benar-benar telah mulai. Dengan langkah pendek ia maju. Tangannya terjulur kedepan, meskipun ia belum benar-benar mulai menyerang. Agung Sedayu masih belum bergerak. Ia masih berdiri tegak. Namun ia masih sempat berkata kepada kedua orang anak muda yang menjemputnya dengan lantang, “Minggirlah. Kau dapat menonton tontonan yang barangkali menyenangkan buat kalian berdua, dan barangkali juga buat Prastawa dan kawan-kawannya.” Dengan sengaja Agung Sedayu berusaha agar Prastawa dapat mendengarnya. Sehingga dengan demikian Prastawapun mengerti, bahwa apa yang telah terjadi itu dapat dimengerti pula sepenuhnya oleh Agung Sedayu. Sebenarnyalah Prastawa memang mendengar apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu itu, sehingga jantungnya rasa-rasanya berdentang semakin keras. Namun demikian ia dapat menghibur dirinya sendiri, bahwa Agung Sedayu tidak akan dapat mengatakan rahasia itu kepada siapapun juga. “Tetapi bukan aku yang bermaksud membunuhnya. Aku hanya menyuruh Sureng Bureng untuk mengusirnya,“ desis Prastawa kepada diri sendiri. Sikap Agung Sedayu benar-benar menyakitkan hati Sura Bureng. Karena itu, maka tiba-tiba saja kakinya telah terayun dengan kerasnya mengarah ke lambung Agung Sedayu. Baru Agung Sedayu bergeser. Selangkah ia surut sehingga kaki lawannya tidak mengenainya. Tetapi Sura Bureng telah memburunya. Demikian kakinya berpijak diatas tanah, maka kakinya yang lain telah terayun pula. Agung Sedayu tidak meloncat surut, tetapi ia bergeser kesamping. Demikian kaki lawannya terjulur dihadapannya, maka kaki itu telah didorongnya kesamping sehingga tubuh Sura Bureng telah terputar. Tetapi Sura Bureng cukup cepat. Ia bahkan meloncat selangkah surut, dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun ternyata Agung Sedayu tidak berbuat apa-apa. Ia masih saja berdiri tegak memandang lawannya yang tegang.

“Gila,“ geram Sura Bureng, “ternyata kau tidak mampu berbuat apa-apa. Kau hanya mampu berloncatan tanpa arti sama sekali.” Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia sudah bersiap menghadapi kemungkinan-kemungkinan berikutnya. Sura Bureng yang telah mulai dengan serangan-serangan yang meskipun belum bersungguh-sungguh itu, tentu akan segera meningkatkan serangannya. Sementara kawannya yang tiga orang, masih saja berdiri diam. Mereka hanya mendapat tugas untuk menjaga agar Agung Sedayu tidak melarikan diri. Seperti yang diperhitungkan oleh Agung Sedayu, maka Sura Burengpun telah bersiap untuk bertempur dengan sungguh-sungguh. Sejenak kemudian ia bergeser maju. Sebelah tangannya terjulur, yang lain menyilang didada. Sejenak kemudian terdengar ia berteriak sambil meloncat menyerang Agung Sedayu dengan tangannya langsung mengarah ke dahi. Tetapi Agung Sedayu sudah bersiap menghadapinya. Ia sempat bergeser sambil menarik tubuhnya condong kebelakang, sehingga tangan lawannya tidak menyentuhnya. Namun pada saat tangan Sura Bureng tidak mengenai sasaran, tiba-tiba saja tangan itu bergerak mendatar. Dengan sisi telapak tangannya Sura Bureng menghantam kening. Sekali lagi Agung Sedayu harus menghindar. Tetapi ia tidak membiarkan dirinya menjadi sasaran dan harus menghindar dan menghindar. Ketika tangan Sura Bureng menyambar diatas kepalanya yang menunduk, maka Agung Sedayu dengan cepat menyerang lambung lawan yang terbuka. Namun ternyata Sura Bureng cukup cekatan. Serangan Agung Sedayu dapat dihindarinya dengan loncatan panjang kesamping. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Sura Bureng itu cukup cepat pula bergerak. Meskipun Agung Sedayu masih belum bersungguh-sungguh, namun dengan demikian ia mengerti, bahwa lawannya termasuk orang berilmu. Karena itu, maka Agung Sedayu yang sudah berhati-hati itu menjadi semakin berhati-hati. Lawannya tidak hanya seorang. Meskipun tiga orang yang lain masih belum berbuat apa-apa, dan mereka hanya bertugas untuk menjaga agar Agung Sedayu tidak melarikan diri, namun pada saatnya mereka tentu akan melibatkan diri. Sekali lagi Agung Sedayu merasa berterima kasih kepada Ki Waskita yang sudah memperingatkannya agar ia membawa cambuknya. Sejenak kemudian, maka perkelahian itupun menjadi semakin cepat. Sura Bureng yang memang tidak mempunyai pertimbangan lain daripada membunuh Agung Sedayu itupun berusaha untuk

menyelesaikan pekerjaannya secepatnya. Dengan demikian, iapun segera mengerahkan segala kemampuannya, agar Agung Sedayu cepat dapat dikuasainya. Tetapi ternyata dugaannya tentang Agung Sedayu keliru. Murid orang bercambuk yang menurut Prastawa dapat dikalahkan jika Prastawa tidak segan menanganinya sendiri itu, masih mampu bertahan untuk beberapa saat. “Anak iblis,“ geram Sura Bureng, “kau membuat aku semakin marah. Kau akan membuat dirimu sendiri semakin tersiksa karenanya.” “Apa maksudmu ?“ bertanya Agung Sedayu. “Jika kau masih saja melawan, maka kau akan membuat dirimu sendiri semakin parah disaat terakhir,“ geram Sura Bureng. “Jadi kau bermaksud agar aku menyerahkan leherku ?“ bertanya Agung Sedayu. “Ya. Dengan baik-baik.“ bentak orang itu. “Jangan bergurau,“ berkata Agung Sedayu, “aku tidak menyangka bahwa dalam keadaan seperti ini kau masih sempat juga bergurau.” Kemarahan Sura Bureng menjadi semakin memuncak. Sikap Agung Sedayu itu dinilainya seakan-akan anak itu menjadi semakin sombong. Karena itu, maka iapun menjadi semakin garang. Langkahnya menjadi semakin cepat, dan ayunan tangannya menjadi semakin berat. Namun seolah-olah usahanya itu sama sekali tidak berpengaruh. Agung Sedayu justru masih sempat membalas serangan-serangannya dengan serangan pula. Dan yang paling menyakitkan hati Sura Bureng, justru serangan-serangan Agung Sedayulah yang telah mengenainya. Karena itu, maka Sura Bureng tidak mau mengalami kesulitan lebih lama lagi. Dengan serta merta iapun telah mencabut goloknya yang besar. Agung Sedayu melangkah surut. Golok itu memang terlalu besar. Karena itu, maka iapun mengerti, bahwa kekuatan orang itupun tentu cukup besar untuk menggerakkan goloknya Ketika orang itu memutar goloknya, maka Agung Sedayupun menjadi semakin yakin, orang itu menguasai ilmu pedang dengan baik. Golok itu berpular dengan cepat, kemudian tiba-tiba saja sambil melangkah maju, golok itu langsung terjulur kearah dadanya. Agaknya orang itu akan segera mengakhiri pertempuran dengan cepat.

Agung Sedayu yang meloncat mundur, terkejut melihat gerak orang itu. Cukup cepat. Selangkah ia memburu, dan goloknya telah terayun mendatar. Namun Agung Sedayu sempat merendah. Golok itu menyambar diatas kepalanya, tanpa menyentuhnya. Sura Bureng ternyata tidak mau melepaskan kesempatan berikutnya. Ketika goloknya tidak mengenai lawannya, ia telah menarik serangannya. Sekali lagi ia menusuk lurus selagi Agung Sedayu masih merendah. Geraknya Sura Bureng cukup cepat. Namun benar-benar diluar dugaan Sura Bureng, bahwa Agung Sedayu masih sempat mengelak. Namun dengan demikian, oleh kemarahan yang memuncak, maka serangan Sura Burengpun datang beruntun mengejar Agung Sedayu. Semakin lama semakin cepat. Meskipun demikian, serangan itu sama sekali tidak menyentuh sasaran. Agung Sedayu seolah-olah telah berubah menjadi bayangan yang tidak tersentuh. Sura Burengpun kemudian menyadari, sebenarnyalah Agung Sedayu memiliki ilmu yang cukup untuk menghadapinya. Ia sudah menghentakkan segala kemampuannya, dan bahkan ilmu pedangnya. Namun Agung Sedayu masih sempat mengelakkannya, dan bahkan ia sama sekali tidak melawannya dengan senjata. Kemarahan Sura Bureng mulai disentuh oleh perasaan gelisah. Ia sadar, bahwa seorang diri ia tidak akan dapat mengalahkan Agung Sedayu, yang disebutnya murid orang bercambuk. “Kenapa Prastawa mengaku dapat mengalahkannya seandainya ia tidak segan terhadap pamannya ?“ bertanya Sura Bureng didalam hatinya. Dan dalam pada itu, pertanyaan serupa telah bergejolak dihati Prastawa yang melihat perkelahian itu, meskipun malam cukup gelap. Tetapi karena mereka bertempur di bulak panjang, maka Prastawa masih dapat melihat pertempuran itu. Dan iapun melihat, bahwa dengan pedang Sura Bureng tidak dapat menguasai Agung Sedayu yang tidak bersenjata. “Apakah ia mempunyai ilmu iblis,” geram Prastawa yang menilai ilmu pedang Sura Bureng cukup menggetarkan. Prastawapun menjadi semakin gelisah. Bahkan ia menjadi jengkel, kenapa tiga orang kawan Sura Bureng itu masih saja menjadi penonton pada saat Sura Bureng mengalami kesulitan. Namun akhirnya Prastawa menarik nafas panjang ketika ia mendengar Sura Bureng berkata lantang kepada kawan-kawannya, “He, jangan menonton saja seperti menonton sabung ayam. Kau lihat betapa liciknya anak itu. Ia hanya dapat meloncat-loncat menghindar tanpa berani bertempur dengan mapan. Karena itu, apa artinya aku menantangnya berperang tanding. Kita harus beramai-ramai menangkapnya dan membunuhnya.”

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Jika ia harus menghadapi ampat orang bersenjata, maka ia tidak akan dapat melawan mereka tanpa senjata. Mungkin ia dapat berlari-lari menghindar dalam arena yang luas. Tetapi dengan demikian maka pertempuran itu tidak akan terselesaikan. Karena itu, maka Agung Sedayupun menunggu sejenak. Ketika ketiga orang lainnya telah menggenggam senjata ditangan masing-masing, maka justru mereka menjadi berdebar-debar melihat Agung Sedayu mengurai cambuknya. Sura Bureng yang memimpin kawan-kawannya itupun memperhatikan cambuk itu dengan jantung yang berdegupan. Sebelum menggenggam senjata, ia tidak dapat menyentuhnya sama sekali meskipun ia telah menggenggam goloknya. Dan kini Agung Sedayu itu telah memegang tangkai cambuknya. Senjata yang tidak terlalu banyak dipergunakan orang. “Tetapi aku sekarang berempat,“ berkata Sura Bureng didalam hatinya. Dalam pada itu, ketiga kawan-kawannya yang sudah bersenjata pula bergeser selangkah. Merekapun memperhatikan cambuk Agung Sedayu yang berjuntai cukup panjang. Agung Sedayu masih tetap berdiri ditempatnya. Sekali-sekali ia berpaling kepada lawan-lawannya yang sengaja mengepungnya dari segala arah. Agung Sedayu sadar, bahwa keempat orang itu adalah orang-orang kasar yang sudah terbiasa mempergunakan kekerasan. Namun Agung Sedayu sama sekali tidak ingin menunjukkan kelebihan-kelebihannya. Ia ingin bertempur dengan wajar. Ia ingin mengalahkan lawan-lawannya dengan ilmu cambuknya. Meskipun demikian, Agung Sedayu tidak menganggap lawan-lawannya terlalu ringan. Karena itu, ia telah melindungi kulitnya dengan ilmu kebalnya. Meskipun demikian ia tidak menampakkannya dengan semata-mata. Meskipun seandainya ia berdiri tegak tanpa bergerak sekalipun, keempat lawannya itu tidak akan dapat melukai kulitnya, namun ia sama sekali tidak akan memberikan kesan bahwa ia memiliki ilmu kebal. Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian telah bersiap untuk berkelahi dengan senjatanya. Ketika keempat orang itu mulai bergeser semakin dekat, maka Agung Sedayupun telah bersiap sepenuhnya. Iapun sadar, bahwa Prastawa sedang memperhatikannya didalam gelapnya malam, beberapa langkah dari arena perkelahian itu. Namun dalam pada itu, keempat orang itu telah terkejut sehingga mereka berloncatan surut. Tiba-tiba saja cambuk Agung Sedayu itu telah meledak. Dengan sengaja Agung Sedayu sekedar mengerahkan kekuatan wadagnya, sehingga dengan demikian cambuknya itupun telah menggetarkan telinga wadag keempat orang lawannya.

Untuk sesaat keempat kawannya itu masih tetap berada ditempatnya. Mereka sedang mengatur degup jantungnya yang tidak menentu karena terkejut. Sekali-sekali mereka menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan hatinya. Agung Sedayulah yang kemudian bergeser maju mendekati Sura Bureng. Sekali-sekali Agung Sedayu menggerakkan ujung cambuknya, sehingga. Sura Bureng itu terpaksa bergeser surut sambil mengumpat karena kawan-kawannya masih belum berbuat apa-apa. Namun akhirnya kawan-kawan Sura Bureng itupun sadar, bahwa mereka harus berbuat sesuatu. Karena itu, maka hampir bersamaan mereka telah berloncatan maju. Bahkan sejenak kemudian merekapun telah mulai menyerang Agung Sedayu dari segala arah. Namun serangan mereka terhalang oleh ujung cambuk Agung Sedayu yang diputarnya. Dalam pada itu Sura Bureng yang merasa bertanggung jawab atas tugas itupun telah mengambil sikap lebih berani dari kawan-kawannya yang semula hanya bertugas untuk menjaga agar Agung Sedayu tidak sekedar melarikan diri. Sambil merendahkan diri ia menyusup diantara putaran cambuk Agung Sedayu. Tangannya terjulur lurus langsung menyerang dada Agung Sedayu dengan goloknya yang besar. Tetapi Agung Sedayu tidak membiarkan dadanya disentuh oleh senjata lawannya atau sengaja memamerkan ilmu kebalnya. Tetapi Agung Sedayu telah menghindari serangan itu. Namun dalam pada itu, iapun telah menggerakkan cambuknya menyerang Sura Bureng yang gagal mengenainya. Serangan Agung Sedayu tidak begitu cepat, sehingga Sura Bureng berhasil meloncat dengan loncatan panjang menghindari ujung cambuk yang memburunya. Namun dalam pada itu, ketiga orang kawan Sura Bureng itu telah mengambil kesempatan. Mereka bersama-sama telah menyerang dari segala arah dengan senjata yang terjulur. Agung Sedayu yang sudah memperhitungkannya, sempat melihat serangan-serangan itu, sehingga iapun sempat meloncat mengelak. Namun dengan demikian ia menjadi semakin dekat dengan Sura Bureng. Dengan seria merta, Sura Burengpun telah berteriak nyaring sambil meloncat maju. Senjatanya menebas datar mengarah keleher Agung Sedayu. Dalam keadaan wajar, jika seseorang dikenai serangan itu tepat pada lehernya, maka lehernya tentu akan terputus karenanya. Namun Agung Sedayu yang sempat melihat golok itu menyambar lehernya, sempat merendahkan dirinya sehingga golok itu terayun diatas kepalanya. Demikian kerasnya ayunan itu, sehingga terdengar angin bagaikan berdesing nyaring. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu sempat pula mengayunkan cambuknya. Tidak terlalu keras. Namun ketika ujung cambuknya menyambar Sura Bureng, iapun telah meloncat dengan serta merta. Tetapi ternyata ujung cambuk Agung Sedayu bergerak lebih cepat. Meskipun Sura Bureng telah meloncat, namun ujung cambuk itu masih juga menyambar betisnya.

Terdengar Sura Bureng mengaduh tertahan. Perasaan sakit yang sangat telah menyengatnya. Namun demikian, ia masih sempat meloncat beberapa langkah surut. Kawan-kawan Sura Burengpun telah berusaha untuk membebaskannya dengan serangan-serangan yang datang beruntun sehingga Agung Sedayu harus berloncatan menghindar. Mula-mula Sura Bureng hanya merasa kakinya menjadi sakit. Tetapi ia terkejut bukan kepalang, ketika ia meraba kakinya yang sakit itu, terasa tangannya telah menyentuh cairan yang hangat. Apalagi ketika tangannya tepat meraba betisnya yang dikenai cambuk Agung Sedayu, hatinya bagaikan terbakar karenanya, karena kakinya itu ternyata telah terkoyak kulit dagingnya. “Gila,“ ia mengumpat. Namun perasaan sakit itu menjadi semakin mencengkamnya ketika ia sadar, bahwa luka dibetisnya itu telah menganga. Kemarahan Sura Bureng bagaikan membakar jantung. Giginya gemeretak dan matanya bagaikan membara. Meskipun demikian Sura Bureng tidak dapat menyembunyikan rasa sakit yang menggigit betisnya. Sementara itu, oleh kemarahan yang memuncak, Sura Bureng masih dapat bergerak dengan cepat menyerang Agung Sedayu yang sedang melindungi dirinya dari serangan ketiga orang lawannya yang lain. Dengan ayunan yang keras dan cepat. Sura Bureng menyerang lambung. Namun Agung Sedayu sempat menggeliat, sehingga serangan Sura Bureng tidak mengenai sasarannya. Bahkan Agung Sedayu masih juga sempat menghindari serangan ketiga orang lawannya yang lain tanpa menggerakkan cambuknya sama sekali. Seolah-olah Agung Sedayu sengaja menunjukkan kepada lawan-lawannya bahwa ia memiliki kemampuan bergerak yang luar biasa. Tanpa melawan dengan senjata, mereka sama sekali tidak mampu mengenainya. Yang kemudian merasa terhina, bukan saja Sura Bureng. Tetapi juga ketiga orang yang lain Karena itu, maka merekapun segera mengerahkan segenap kemampuan mereka. Sebagaimana sifat keempat orang itu, maka sejenak kemudian mereka bertempur dengan kasarnya. Apalagi Sura Bureng yang telah terluka betisnya. Untuk melawan keempat orang yang marah itu, maka Agung Sedayu ternyata tidak mengalami kesulitan. Apalagi ketika ia mempergunakan cambuknya sebaik-baiknya. Dalam perkelahian selanjutnya, maka ledakan cambuknya telah menyengat lawan-lawannya, seorang demi seorang, sehingga keempat orang itu telah dikenainya. Seorang terluka di pundaknya, seorang di punggungnya dan seorang lagi di lengannya. Bagaimanapun juga perasaan sakit itu akhirnya mempengaruhi perlawanan mereka. Pada saat-saat tubuh mereka menjadi semakin lemah dan tenaga yang semakin susut, oleh pertempuran itu sendiri, atau karena darah yang meleleh dari luka, maka keempat orang itu, akhirnya mengakui bahwa mereka tidak akan dapat mengalahkan Agung Sedayu.

Namun agaknya mereka terlambat mengambil keputusan. Agung Sedayu agaknya melihat kemungkinan yang bakal dilakukan oleh lawan-lawannya itu, sehingga justru karena itu, maka disaat terakhir itu, Agung Sedayulah yang telah menyerang lawannya dalam libatan kecepatan yang tidak teratasi. Ketika cambuk Agung Sedayu kemudian meledak-ledak, maka terdengar keluhan tertahan-tahan. Ujung cambuk Agung Sedayu telah mengenai mereka beberapa kali lagi, sehingga luka ditabuh keempat lawannya itu bagaikan silang melintang di tubuh mereka. Meskipun ayunan cambuk Agung Sedayu yang cepat itu tidak mempergunakan seluruh kekuatannya, tetapi luka-luka itu bagaikan telah membakar seluruh tubuh mereka. Sura Bureng ternyata tidak mampu lagi berbuat sesuatu. Dadanya terasa pedih, sementara lengannya telah terkoyak pula, selain betisnya yang masih saja berdarah. Sentuhan kecil di lehernya rasanya bagaikan sentuhan bara api. Sementara itu, kawan-kawan Sura Bureng itupun tidak luput dari gigitan cambuk Agung Sedayu. Merekapun telah terluka dibeberapa bagian dari tubuh mereka, sehingga hampir diseluruh tubuh itu pula telah ternoda darah. Tidak ada kesempatan apapun lagi yang dapat dilakukan oleh keempat orang itu, sementara tubuh mereka menjadi semakin lemah. Bahkan merekapun kemudian menyadari, bahwa mereka tidak akan mampu lagi melarikan diri. Ujung cambuk itu akan mengejar mereka, meskipun seandainya mereka berlarian ke jurusan yang berbeda. Tenaga mereka tidak akan mampu membawa mereka melampaui kecepatan lari seorang anak yang baru belajar berjalan. Dengan demikian, maka satu demi satu lawan Agung Sedayu itupun telah kehilangan kemampuan untuk melawan. Mereka akhirnya pasrah pada keadaan dan membiarkan Agung Sedayu menentukan nasib mereka. Sura Bureng yang masih mencoba untuk melarikan diri. Tetapi tanpa dikejar oleh Agung Sedayu, ia telah tergelincir dan terjatuh dipematang pada loncatan yang salah oleh karena kakinya yang terlalu lemah. Akhirnya perkelahian itupun berakhir dengan sendirinya ketika keempat orang itu sudah tidak mampu lagi melawan Agung Sedayu itupun kemudian melangkah mendekati Sura Bureng. Kemudian menariknya kembali ketempat ketiga orang kawannya terduduk lemah di pinggir jalan bulak yang panjang itu. Sura Bureng tidak dapat menolak. Tertatih-tatih ia ditarik oleh Agung Sedayu, sementara goloknya telah terlepas dari tangannya disaat ia terpelanting jatuh. Kemudian ketika Agung Sedayu mendorongnya maka iapun telah terduduk pula didekat kawan-kawannya.

Sambil berdiri tegak dihadapan keempat orang itu. Agung Sedayu mempermainkan ujung cambuknya. Jika ujung cambuk itu menyentuh kulit mereka yang terduduk lesu itu, terasa jantungnya bagaikan berhenti mengalir. Mereka baru mengerti sepenuhnya apa yang sebenarnya mereka hadapi. Anak muda murid orang yang disebut orang bercambuk itu ternyata tidak dapat dikalahkan oleh ampat orang yang merasa dirinya memiliki kemampuan tidak terlawan di Tanah Perdikan Menoreh, kecuali oleh Ki Gede sendiri. Dalam pada itu, meskipun tidak tersentuh cambuk Agung Sedayu, namun yang menggigil karena ketakutan adalah Prastawa. Ia sadar, bahwa keempat orang itu akan dapat berkata sebenarnya, apa yang sedang mereka lakukan. Namun kawannya telah membisikkan ditelinganya, “Kau dapat ingkar. Kau dapat menuduh hal itu sebagai satu fitnahan. Kau dapat mengatakan bahwa ada orang yang ingin mengadu domba antara kau dan Agung Sedayu.” Prastawa mengangguk-angguk. Sementara itu, maka iapun telah beringsut meninggalkan tempatnya. Agung Sedayu yang memiliki ketajaman pendengaran dan penglihatan pada saat yang dikehendaki itu dapat mengetahui bahwa Prastawa telah meninggalkan tempat itu. Namun ia memang melepaskannya pergi. Ia sama sekali tidak berniat untuk menangkapnya. Sementara itu Agung Sedayu masih berdiri tegak menghadapi keempat orang yang terluka itu. Dengan hada berat ia bertanya, “Apakah kalian masih ingin membunuh aku ? “ Bagaimanapun juga Sura Bureng dan kawan-kawannya tidak dapat meiiurlakkan diri dari satu kenyataan, bahwa mereka tidak akan dapat melawan lagi. Karena itu, maka tidak seoran^pnn yang menjawab pertanyaan Agung Sedayu itu. Karena tidak ada yang menjawal) maka Agung Sedayu berkata seterusnya Baiklah Jika kalian sempat melihat kenyataan tentang diri kalian, maka aku pcrsilah-kan kalian mengambil satu sikap.” Keempat orang itu menjadi biuRunj^ Mereka tidak tahu maksud Agung Sedayu. Namun yan^ terbersit didalam hati mereka adalah bayangan-bayangan yang mengerikan. Seolah-olah Agung Sedayu telah menyuruh mereka memilih jalan kematian masing-masing. Dengan demikian maka tidak seorangpun yang dapat menjawabnya. Dengan jantung yang berdegup keras mereka hanya dapat menunggu, apa yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu. Karena mereka masih tetap berdiam diri, maka Agung Sedayupun mendesak “ Ki Sanak. Apa yang akan kalian lakukan kemudian setelah kalian mengalami kenyataan ini. Apakah kalian masih akan meneruskan niat kalian, atau tidak, atau mungkin sikap lain yang kalian anggap menguntungkan. Cepat, aku sudah membuang waktu banyak untuk bermain-main dengan kalian.”

Dalam pada itu, Sura Burenglah yan'fe memberanikan diri untuk bertanya, “Kami tidak mengetahui maksudmu Agung Sedayu.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Maksudku, apakah kalian ingin bertempur terus, menyerah, atau apa ?” Sura Bureng menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau melihat kenyataan ini. Segalanya terserah kepadamu. Kami tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi.” “Jadi kalian menyerah ? “ desak Agung Sedayu. Terasa mulut Sura Bureng menjadi sangat berat. Namun akhirnya iapun mengangguk sambil menjawab, “Ya. Kami menyerah.” “Bukankah dengan demikian nasib kalian ada ditanganku ?“ bertanya Agung Sedayu. “Ya,“ jawab Sura Bureng. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Aku ingin mendengar pengakuanmu. Apa yang dijanjikan Prastawa jika kau berhasil melakukan tugasmu sekarang ini ?” Orang itu ragu-ragu. Tetapi akhirnya ia tidak dapat mengelak lagi. Jawabnya, “Uang dan jaminan bagi satu masa yang panjang dalam ujud tanah persawahan atau pategalan.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Kita belum pernah berhubungan. Aku dan kalian tidak mempunyai persoalan yang menuntut sikap yang keras dan kasar, meskipun kalian telah melakukannya. Tetapi bagiku, kalian masih perlu mendapat kesempatan untuk melihat kepada diri sendiri. Mangakui kesalahan dan bertaubat. Bukan saja terhadap aku dan barangkali orangorang yang berhubungan dengan aku. Tetapi juga dalam segala segi kehidupanmu.” Yang dikatakan oleh Agung Sedayu itu justru mengejutkan orang-orang yang sudah terluka itu. Mereka sama sekali sudah tidak berpengharapan karena mereka mengerti, bahwa sikap mereka telah pasti. Membunuh Agung Sedayu. Sehingga dengan demikian maka merekapun menyangka bahwa Agung Sedayu akan mengambil sikap serupa pula. Tetapi ternyata bahwa Agung Sedayu masih memberi mereka kesempatan.

Namun dengan demikian justru mereka menjadi ragu-ragu. Mungkin Agung Sedayu sengaja telah menyiksa perasaan mereka. Ia dengan sengaja telah memberikan pengharapan-pengharapan. Namun yang kemudian dengan tiba-tiba ia telah merenggut pengharapan itu dengan kejamnya. Dengan demikian, maka kematian akan terasa sangat mengerikan. Tetapi ternyata Agung Sedayu bersikap sungguh-sungguh. Bahkan katanya kemudian sambil menunjuk kedua orang yang kemudian benar-benar menjadi ketakutan, bukan sekedar berpura-pura seperti saat mereka bertemu dengan keempat orang yang berusaha membunuh Agung Sedayu itu, “Nah, ternyata bahwa kalian berdua masih mempunyai tugas malam ini. Kalian tidak perlu mengantar aku kemanapun juga. Tetapi kalian harus membawa keempat orang ini. Terserah apa yang akan kalian lakukan terhadap mereka. Apakah kalian akan menunggui mereka semalam suntuk disini, atau kalian akan melaporkannya kepada Ki Gede, atau cara lain.” “Jangan laporkan kami kepada Ki Gede,“ minta Sura Bureng. “Terserah kepada kedua orang itu. Aku tidak mempunyai waktu lagi untuk berurusan dengan kalian,“ berkata Agung Sedayu kemudian. Namun ia masih berpesan, “Tetapi ingat. Jangan mengganggu Tanah Perdikan Menoreh untuk seterusnya dengan tujuan apapun. Aku dapat membunuh kalian jika aku menghendaki. Atau membawa kalian menghadap Ki Gede dan membuka rahasia kalian sekaligus hubungan kalian dengan Prastawa. Tetapi untuk kali ini aku masih belum akan melakukannya. Aku yang mengemban tugas untuk membina masa depan Tanah Perdikan ini, aku melihat, apakah kalian mematuhi perintahku atau tidak.” Sura Bureng menjadi berdebar-debar. Bukan saja karena perasaan sakit yang menggigit seluruh tubuhnya. Namun ternyata bahwa yang terjadi adalah sebaliknya dari yang direncanakannya. Bukan ia dan kawan-kawannya yang mengancam dan menakut-nakuti Agung Sedayu, tetapi justru Agung Sedayulah yang mengancamnya. Tetapi ia tidak dapat memilih. Karena itu, satu-satunya yang dapat dilakukannya adalah mengangguk sambil menyahut, “Baiklah Agung Sedayu. Aku akan mematuhi segala perintahmu, sambil mengucapkan terima kasih bahwa aku masih berkesempatan untuk hidup.” “Namun kau akan menjadi saksi jika diperlukan untuk mengungkap segala tingkah laku Prastawa pada saatnya,“ berkata Agung Sedayu, “namun itu hanya satu kemungkinan. Kemungkinan yang lain, tidak sama sekali.”

Agung Sedayupun kemudian meninggalkan keempat orang yang terluka itu di bulak panjang bersama kedua orang anak muda yang menjemputnya. Kedua anak muda itu menjadi kebingungan. Namun akhirnya mereka berusaha menolong keempat orang itu untuk menyingkir perlahan-lahan. Untunglah bahwa malam menjadi sangat sepi, sehingga tidak seorangpun yang melihat apa yang telah terjadi. Namun dalam pada itu, langkah Agung Sedayupun telah terganggu pula. K etika ia meloncati tikungan, ia telah melihat bayangan yang melintas dengan cepat. Ketajaman penglihatan Agung Sedayu menangkap bayangan itu. Bahkan tiba-tiba saja Agung Sedayu telah tertarik untuk mengikutinya. Ternyata Agung Sedayu tidak mengalami kesulitan. Ketika bayangan itu melintasi pematang. Agung Sedayupun mengikutinya pula. Semakin lama semakin jauh. Ada juga kecemasan dihati Agung Sedayu bahwa ia akan dijebak oleh seseorang. Dan iapun sadar, bahwa orang itu tentu tidak ada hubungannya dengan Prastawa. “Ajar Tal Pitu,“ ia berdesis didalam hatinya. Namun Agung Sedayu tidak menghentikan langkahnya. Ia masih saja mengikuti bayangan itu yang nampaknya berjalan dengan wajar di pematang. Namun arahnyalah yang tidak wajar, apalagi dimalam buta. Agung Sedayu masih saja mengikutinya. Langkahnya tidak terlalu cepat, dan nampaknya ia sama sekali tidak berusaha untuk bersembunyi, atau melepaskan diri dari pengamatan Agung Sedayu. Justru dengan demikian Agung Sedayu menjadi semakin berhati-hati. Ia menganggap bahwa lawannya merasa terlalu yakin akan dirinya sehingga bayangan itu tidak merasa perlu untuk menghindar. Ketika bayangan itu berbelok di tikungan yang dihalangi oleh rumpun-rumpun pepohonan pategalan. Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Ia sadar, bahwa jika orang itu berniat buruk, tikungan itu akan dapat dijadikan landasan yang baik untuk menyerangnya, apabila orang itu tidak ingin bertempur beradu dada. Karena itu. Agung Sedayu tidak bertindak tergesa-gesa. Ia tidak langsung berjalan lewat tikungan. Jika yang berada dibalik tikungan itu Sura Bureng atau kawan-kawannya, Agung Sedayu sama sekali tidak akan mengalami kesulitan. Tetapi jika yang berada dibalik tikungan itu Ajar Tal Pitu, maka ia tidak akan mendapat banyak kesempatan untuk mengelak. Agung Sedayu telah menepi dan meloncati parit dipinggir jalan itu. Baru kemudian ia berjalan dengan hati-hati melalui tikungan. Jika seseorang bersembunyi dibalik gerumbul di tikungan itu, ia masih mempunyai kesempatan untuk mengelak. Namun jika yang berada di balik tikungan itu adalah Ajar Tal Pitu atau orang yang setingkat, maka Agung Sedayu telah mengetrapkan ilmu kebalnya untuk melindungi dirinya dari serangan yang tiba-tiba dari seseorang yang memiliki ilmu yang tinggi.

Namun, ternyata di tikungan itu tidak terdapat seseorang. Sementara bayangan yang diikutinya itu seolah-olah telah lenyap ditelan gelapnya malam. Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Berlari-lari kecil ia menelusuri jalan yang membujur panjang. Tetapi ia tidak melihat seseorang di sepanjang jalan itu. Bahkan ketika ia mempertajam penglihatannya menyusuri jalan itu, iapun tidak melihat apapun juga. Sepi. Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Ia menduga keras, bahwa orang yang diikutinya itu berada di pategalan yang rimbun di sebelah tikungan. Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian justru menunggu ditempat yang terbuka, sehingga ia akan segera mengetahui jika ada orang yang mendekat. Untuk beberapa saat lamanya Agung Sedayu menunggu. Tetapi tidak seorangpun yang datang mendekatinya. Sementara itu malam menjadi semakin dalam. Namun untuk mencari orang itu didalam gerumbul Agung Sedayu merasa segan. Selain karena ia menduga bahwa orang itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu dan sengaja ingin mencarinya, termasuk Ajar Tal Pitu, maka Agung Sedayupun tidak mau memburu lawan, seandainya orang yang diikutinya itu memang lawannya. “Jika ia ingin membuat perhitungan biar ia datang kepadaku,“ berkata Agung Sedayu. Namun Agung Sedayupun sama sekali tidak akan menjadi sakit hati, jika orang itu menganggapnya seorang pengecut. Namun ternyata orang itu tidak keluar dari gerumbul pategalan. Atau bahkan orang itu telah pergi jauh. Betapapun Agung Sedayu mempertajam pendengarannya dan penglihatannya, ia tidak melihat seseorang dan iapun tidak mendengar desah nafas. Tetapi Agung Sedayupun sadar, bahwa kemampuannya mendengar dan melihat itu bukan tidak ada batasnya. Ia tidak akan dapat melihat orang yang berdiri dibalik pepohonan atau gerumbul-gerumbul perdu yang lebat. Sementara telinganyapun tetap tidak akan dapat mendengar pada jarak tertentu. Karena itu, maka Agung Sedayupun hanya dapat menunggu. Sementara itu, malam menjadi semakin gelap. Prastawa yang tergesa-gesa kembali kerumah Ki Gede, rasanya masih saja gemetar. Ia tidak menyangka sama sekali, bahwa Agung Sedayu memiliki ilmu yang demikian dahsyatnya. Ia dapat melawan empat orang yang memiliki ilmu yang tinggi dengan cambuknya. Bahkan keempat orang itu benar-benar telah dilumpuhkan. Dengan demikian ia mulai menilai perlakuannya terhadap anak muda dari Jati Anom itu. Apa yang sebenarnya telah terjadi dengan Agung Sedayu pada waktu itu. Ketika ia bersama beberapa orang kawannya mengancam, bahkan memukulinya, nampaknya Agung Sedayu seolah-olah tidak mampu berbuat apa-apa. Bahkan ia telah jatuh terkapar di tanah, sehingga beberapa kawannya menjadi cemas, bahwa ia akan mati karenanya.

“Apakah pada waktu itu Agung Sedayu dengan sengaja membiarkan dirinya dipukuli,“ bertanya Prastawa didalam hatinya, “atau justru karena kesombongannya yang tiada taranya.” Namun bagaimanapun juga, Prastawa merasa bahwa dirinya ternyata terlalu kecil dihadapan Agung Sedayu. Meskipun Agung Sedayu tidak pernah menunjukannya langsung kepadanya, tetapi ia telah sempat menyaksikan betapa dahsyatnya cambuk anak Jati Anom itu. “Kecuali murid orang bercambuk, ia adalah adik Untara, Senapati muda yang besar didaerah Selatan,“ gumam Prastawa diluar sadarnya, sehingga kawannya yang berjalan di sampingnya bertanya. “Tidak apa-apa,“ desis Prastawa. Namun ia tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya. Agaknya kawannya dapat mengerti, bahwa yang baru saja mereka lihat itulah yang telah menggelisahkan Prastawa. Bukan saja Prastawa, tetapi anak-anak muda yang pernah menyakiti Agung Sedayu, baik tubuhnya maupun hatinya akan merasa sangat gelisah jika mereka mendengar apa yang telah terjadi itu. Dengan hati yang kecut, Prastawa memasuki halaman rumah pamannya. Di regol masih ada dua orang pengawal yang duduk terkantuk-kantuk. Sementara seorang yang lain berjalan hilir mudik di halaman. Prastawa sama sekali tidak menyapa mereka meskipun ia mengangguk kecil. Dengan lesu Prastawa langsung naik kependapa dan duduk di sudut pringgitan bersama kawannya yang mengikutinya. Namun agaknya Prastawa tidak berminat untuk berbicara terlalu banyak. Tetapi iapun sama sekali tidak merasa mengantuk meskipun malam menjadi semakin larut. Ia lebih senang duduk merenungi kekecutan hatinya karena tingkah lakunya terhadap Agung Sedayu. Dalam pada itu. Agung Sedayu masih duduk di sebelah pategalan. Rasa-rasanya ada yang menahannya untuk pergi. Seolah-olah ada yang memberitahukan kepadanya, bahwa bayangan yang diikutinya itu masih berada di dalam pategalan. Tetapi akhirnya Agung Sedayupun menjadi jemu. Bahkan ia merasa telah membuang waktu tanpa arti. “Orang itu tentu sudah pergi,“ desisnya. Namun ketika Agung Sedayu bangkit dan menggeliat, tiba-tiba saja ia mendengar sesuatu didalam pategalan itu. Gemerisik lembut, kemudian suara seruling yang mengalun perlahan-lahan sekali. Seolah-olah suara itu sengaja ditujukan hanya kepadanya.

Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Didengarkannya dengan teliti suara di pategalan itu. Suara seruling itupun mengalun dengan lembut dan lambat, seakan-akan takut menggetarkan udara malam yang hening. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia mulai mengenali suara itu. Suara seruling yang melontarkan nada-nada lembut penuh kedamaian. Tiba-tiba saja Agung Sedayu seolah-olah telah terlempar kedalam satu dunia yang asing. Ketegangan yang membawanya ketempat itu, segala macam ilmu yang tersimpan didalam dirinya, rasa-rasanya tidak berarti sama sekali bagi kelembutan kidung kedamaian yang terlontar pada suara seruling itu. “Rudita,“ Agung Sedayu berdesis. Hampir diluar sadarnya. Agung Sedayu melangkah mendekati suara seruling itu. Sambil membungkukbungkuk diantara pepohonan, ia masuk pategalan yang gelap. Gelap sekali. Rasa-rasanya ilmunya tidak mampu lagi menolongnya untuk mempertajam penglihatannya. Suara seruling itu telah menuntun Agung Sedayu mendekatinya. Semakin lama semakin dekat. Sehingga akhirnya Agung Sedayu berdiri tegak memandang kearah sebuah bayangan yang duduk disebongkah batu padas diantara pohon buah-buahan yang rimbun di pategalan itu. Agung Sedayu yang bagaikan tercengkam oleh pesona yang tidak terlawan itu terkejut ketika tiba-tiba saja suara seruling itu berhenti. “Kau Agung Sedayu,“ terdengar suara perlahan. Agung Sedayu yang terbangun dari cengkaman suara seruling itupun menarik nafas dalam-dalam. Beberapa langkah ia maju mendekat sambil berkata, “Aku sudah mengira, sejak aku mendengar suara serulingmu itu. Bahwa kaulah yang berada disini.” “Marilah, duduklah,“ berkata Rudita, “sudah lama kita tidak bertemu.” “Ya. Sudah lama kita tidak bertemu,“ jawab Agung Sedayu. “Ternyata dalam waktu sepanjang itu, kau sudah berhasil menjangkau ilmu yang sangat dahsyat. Aku yakin, bahwa yang kau pertunjukkan terhadap keempat orang itu baru sebagian kecil saja dari keseluruh ilmumu.” Agung Sedayu tidak menjawab. Anak yang duduk dihadapannya itu bagi Agung Sedayu adalah anak muda yang tidak dapat dimengertinya. “Duduklah,“ sekali lagi Rudita mempersilahkan. Agung Sedayupun kemudian duduk pula di samping Rudita. Namun rasa-rasanya jantungnya telah dibebani oleh kegelisahan yang sangat. Jantungnya itu tidak akan berdentang begitu cepatnya seandainya malam itu ia bertemu dengan Ajar Tal Pitu seorang dengan seorang.

“Kau tentu lelah,“ desis Rudita kemudian. Untuk menghilangkan kebekuan pada dirinya, Agung Sedayu menjawab, “Tidak. Aku tidak lelah.” “O, tentu. Aku salah menilai. Tentu kau tidak lelah. Apa artinya ampat orang itu bagimu,“ sahut Rudita diluar dugaan. Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas dalam panjang. Tetapi ia tidak menjawab. “Agung Sedayu,“ desis Rudita kemudian, “sebenarnya sudah lama aku berniat untuk menemuimu demikian aku mendengar bahwa kau berada disini bersama ayah. Tetapi baru saat ini aku mendapat kesempatan itu.” “Kenapa baru sekarang,“ bertanya Agung Sedayu, “dan dengan cara yang sangat aneh. Kenapa kau tidak dapat kerumah Ki Gede untuk bertemu dengan aku dan Ki Waskita ?” Rudita tertawa. Katanya, “Kalian baru sibuk. Aku bangga melihat usahamu meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat Tanah Perdikan ini. Kau sudah berusaha membantu mendorong rakyat Tanah Perdikan ini memperbaiki bendungan, parit-parit, jalan-jalan padukuhan dan banyak lagi yang sudah kau kerjakan. Tetapi disamping kebanggaan itu akupun menjadi ngeri, karena kau tentu akan membangun kemampuan anak-anak muda ini untuk saling berbenturan antara sesama. Kau akan membangun perasaan curiga dan saling membenci. Bukankah kau akan memberi tuntunan olah kanuragan yang selama ini menjadi kebanggaan kebanyakan anak-anak muda.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia mengerti, perasaan apa yang tersisip didalam hati anak muda itu. Rudita menganggap olah kanuragan adalah salah satu sebab meningkatkan kecurigaan dan kebencian antara sesama. Justru karena itu Agung Sedayu harus berhati-hati untuk menjawabnya. Ia berusaha untuk dapat memberikan penjelasan yang dapat ditelusur menurut jalan pikiran Rudita. “Rudita,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “apakah kau dapat membayangkan, seseorang yang membuat rumahnya ditempat yang ramai, yang aman dan tidak pernah mendapat gangguan dari apapun juga, cukup dengan dinding bambu selembar. Tetapi......” Sebelum Agung Sedayu melanjutkan kata-katanya, terdengar Rudita tertawa pendek sambil menyahut, “Tetapi jika kita membuatnya dipinggir hutan, didekat binatang buas berkeliaran mencari mangsa, maka kita harus membuat dinding rumah kita rangkap atau bahkan dari bahan yang lebih kuat dan tahan.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya,

“Ya. Demikianlah yang akan aku katakan.” “Aku sudah mendengar penjelasan seperti ini beberapa kali, meskipun dengan kata-kata yang lain. Untuk melawan kejahatan yang mempergunakan kekuatan dan ilmu kanuragan, maka harus dipersiapkan pula kekuatan dan ilmu kanuragan,“ sahut Rudita. “Ya,“ desis Agung Sedayu. “Jalan kita akan menjadi semakin jauh,“ berkata Rudita kemudian, “tetapi mudah-mudahan pada suatu saat, kita mengerti bahwa ada jalan yang lebih dekat untuk menemukan kedamaian.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. “Jika kita dapat mendasari hidup kita dengan cinta kasih diantara sesama, maka semuanya akan selesai. Tanpa kekerasan dan tanpa dinding rangkap,“ desis Rudita. Namun kemudian dilontarkannya pandangan matanya kearah yang sangat jauh. Dengan nada yang dalam ia berkata, “tetapi jalan yang paling dekat itu kini justru telah dijauhi, sedangkan jalan yang panjang itu agaknya semakin banyak dianut orang. Kekerasan semakin tegas mewarnai kehidupan, sedangkan cinta dan kasih telah menjadi semakin kabur. Kedamaian nampaknya menjadi semakin jauh. Dan bumi kita memang menjadi semakin tua.” Agung Sedayu menarik nafas panjang. Ia tidak dapat membantah. Sebenarnyalah bahwa nafas dari kehidupan menjadi semakin tajam di warnai oleh kekerasan. Benturan kepentingan sesama dan sentuhan-sentuhan dijalan silang. Dalam pada itu Rudita berkata, “Agung Sedayu. Bagiku kau adalah orang sana yang paling mengerti, karena betapapun suramnya, cahaya cinta kasih ada didalam hatimu. Dengan demikian, kepada orang sana hanya kepadamulah aku dapat mengatakannya.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti Rudita. Akupun mengerti bahwa kau berpijak pada satu keyakinan terhadap kebenaran hubungan antara sesama.” “Akupun mengerti, bahwa duniamu masih memerlukan kekerasan, kekuatan, ilmu kanuragan dan caracara yang paling baik untuk berkelahi diantara sesama,“ desis Rudita, “tetapi demikianlah dunia yang kau hadapi.” “Kau benar Rudita,“ jawab Agung Sedayu, “aku sudah terlanjur terlibat dalam pusaran warna kehidupan dunia sekarang.” Rudita menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Baiklah. Aku selalu tertarik untuk berbicara dengan kau. Meskipun ada hal-hal yang tidak sesuai menurut keyakinanku, tetapi justru karena kau mengatakan sebagaimana adanya, maka aku akan selalu mencari

waktu untuk berbicara meskipun tidak terlalu panjang.” “Datanglah ke rumah paman Argapati,“ ajak Agung Sedayu. “Jangan sekarang. Kaupun tidak perlu mengatakan kehadiranku disini kepada ayah, karena seharusnya aku berada dirumah untuk menunggui ibuku. Tetapi rasa-rasanya senang juga berkeliaran melihat-lihat kenyataan betapapun pahitnya,“ jawab Rudita, “tetapi lain kali, aku akan datang kerumah paman.” Agung Sedayu mengangguk-angguk pula. Katanya, “Aku menunggu Rudita. Meskipun kita berdiri di alas yang berbeda, tetapi setiap kali aku bertemu denganmu, aku merasa bahwa aku telah mendapatkan sesuatu. Sesuatu yang tidak dapat aku sebut, tetapi dapat aku rasakan.” Rudita tertawa. Katanya, “Sebaiknya kau kembali kerumah paman Argapati. Jangan terlalu lama, agar ayah tidak menjadi gelisah.” Agung Sedayu mengangguk. Tetapi ia bertanya, “Kau akan pergi kemana ?” “Sudah aku katakan, senang juga melihat kenyataan betapapun pahitnya,“ berkata Rudita, “perkelahian yang mendebarkan, dan barangkali melihat segi lain dari kehidupan yang lebih baik, segarnya tanaman yang telah mendapat air dari parit yang sudah diperbaiki itu. Dua sisi dari kehidupan yang berbeda warnanya.” “Baiklah,“ Agung Sedayupun kemudian bangkit, “biarlah aku kembali ke rumah Ki Gede. Aku benarbenar menunggumu dalam waktu dekat. Mungkin kita dapat berbicara tentang banyak hal. Mungkin kita akan dapat lebih banyak lagi tentang diri kita sendiri.” “Selamat malam,“ desis Rudita. Agung Sedayupun kemudian meninggalkan anak muda itu. Meskipun mereka berbeda jalan, tetapi setiap kali Agung Sedayu bertemu dengan anak itu, rasarasanya ia mendapatkan kekuatan baru. Kekuatan baru untuk tetap berdiri pada jalan hidup yang telah ditempuhnya selama ini. Meskipun menurut Rudita ia termasuk orang yang berdiri pada tempat yang lain, namun yang didengarnya dari anak muda itu telah mempertebal keyakinannya, bahwa ia mengemban satu kewajiban untuk menegakkan satu sikap dan pandangan hidup yang dianutnya, sebagaimana diajarkan oleh gurunya. Bahwa apa yang dimilikinya itu adalah kurnia yang harus dipergunakannya untuk keluhuran nama Sumber dari segala Sumber Yang Ada. Namun, langkah Agung Sedayu itupun tertegun ketika ia mendengar suara seruling yang bergetar menembus sepinya malam. Tidak terlalu keras, beralun menelusuri dedaunan, menyentuh dasar jantung yang paling dalam.

Suara lembut itu seolah-olah mengalunkan damba perdamaian yang dirindukan. Hampir setiap orang merindukan perdamaian, tetapi banyak orang yang telah merusaknya pula. Suara seruling Rudita seperti biasa yang pernah didengar oleh Agung Sedayu adalah melampaui keterikatan gending yang ada. Lepas bebas tanpa batas-batas sebagaimana lepasnya suara hatinya yang merindukan kedamaian yang sejati. Bahkan perlahan-lahan sekali terdengar Rudita bergumam menyelingi suara serulingnya, “Untukku, hidup ini bagaikan kidung bagi Yang Maha Agung.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Bahkan didalam hatinya seolah-olah ia telah mengisi cakepan lagu yang selanjutnya dilontarkan kembali lewat seruling, “betapa pahit dan pedihnya kehidupan, namun baginya, diantara tangis yang sendu, masih selalu terdengar lagu sorgawi yang Agung. Alangkah manisnya kedamaian yang sejati.” Namun tiba-tiba saja Agung Sedayu meloncat dengan langkah yang panjang meninggalkan tempat itu. Semakin dalam ia menyerap sentuhan suara seruling Rudita, semakin terasa hatinya menjadi gersang. Apalagi karena Agung Sedayu sendiri merasa,bahwa ia tidak akan berani menentang pahit getirnya kehidupan dengan menanggungkannya dengan ikhlas. Demikianlah, maka akhirnya suara seruling itu tidak didengarnya lagi. Suara yang mengikutinya kemudian adalah suara desir angin malam yang dingin. Ketika Agung Sedayu menengadahkan wajahnya, dilihatnya lintang Waluku sudah turun kesisi Barat pada lingkaran langit yang hitam. Dengan tergesa gesa Agung Sedayupun kemudian kembali kerumah Ki Gede Menoreh. Ketika ia sampai diregol, seorang penjaga menyapanya, “Kau tidak tinggal diperalatan itu sampai pagi ?” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Aku sudah tidak dapat menahan kantuk lagi.” “Kau kembali sendiri,“ bertanya penjaga yang lain. “Ya,“ jawab Agung Sedayu. “Dimana kedua anak muda yang menjemputmu ?“ bertanya penjaga itu pula. “Ia masih disana,“ jawab Agung Sedayu pula dengan singkat. Penjaga-penjaga itu mengangguk-angguk. Ketika Agung Sedayu melintas di halaman, ternyata Prastawa sudah tidak ada di pendapa. Namun ia masih mendengar dari biliknya percakapan pendek itu. Karena itu, jantungnya terasa menjadi semakin cepat berdentang. Agung Sedayu itu telah kembali. Apakah ia akan langsung melaporkannya kepada Ki Gede, atau menunggu sampai kesempatan lain.

Namun Prastawa sudah bertekad untuk mengelakkan setiap tuduhan bahwa ia terlibat dalam peristiwa yang terjadi di bulak itu. Ia akan menuduh hal itu sebagai satu fitnah yang dilontarkan oleh Sura Bureng untuk mengadu domba antara dirinya dengan Agung Sedayu, sebagaimana dikatakan oleh kawannya. Bahkan ia akan menuduh bahwa Sura Bureng tentu sudah di pergunakan oleh orang lain untuk tujuan tersebut. Meskipun demikian, namun Prastawa masih juga selalu berdebar-debar. Apakah ia akan dapat benarbenar menghindar. Apakah pamannya masih akan mempercayainya. Ketika terdengar ayam jantan berkokok di dini hari, Prastawa sudah bangun. Ketika ia pergi kepakiwan, jantungnya hampir berhenti berdegup. Ia melihat Agung Sedayu sedang membersihkan diri. Tetapi Prastawa tidak mungkin lagi untuk melangkah surut. Karena itu, maka betapapun jantungnya serasa terhimpit, ia memaksa diri untuk berjalan terus. Dadanya bagaikan retak ketika ia melihat Agung Sedayu yang sudah selesai itu memandanginya. Ketika anak muda itu tersenyum, rasa-rasanya anak itu telah menghinakannya. Tetapi ternyata Agung Sedayu menyapa seperti biasanya, “Masih sepagi ini kau sudah bangun Prastawa ?” Prastawa tergagap. Tetapi ia akhirnya menjawab pendek, “Ya. Bukankah kau sudah bangun pula.” Agung Sedayu tersenyum. Dan Prastawapun memaksa diri untuk tersenyum pula. Ketika Agung Sedayu kemudian kembali ke biliknya, ia menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah ia sudah terhindar dari pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Namun dadanya terasa berdentang kembali ketika ia mendengar langkah mendekatinya pula. Dengan sigap ia memutar diri, seolah olah ia berada ditempat yang gawat, yang setiap saat lawan akan dapat menerkamnya dari belakang. “O,“ Prastawa menarik nafas panjang. Ternyata Ki Waskita berdiri termangu-mangu memandanginya. Bahkan Ki Waskita itupun kemudian berkata, “Apakah aku mengejutkanmu ?” “O, tidak. Tidak paman,“ jawab Prastawa. Lalu iapun bertanya asal saja bertanya, “apakah paman juga akan membersihkan diri ?” “Ya. Bukankah sudah waktunya ?“ bertanya Ki Waskita.

“Ya. Ya. Silahkan.“ Prastawa mempersilahkan. Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah mendengar apa yang telah terjadi semalam dari Agung Sedayu. Namun seperti Agung Sedayu Ki Waskita bersikap wajar seolah-olah ia tidak mengetahui apapun juga dari peristiwa semalam di bulak panjang. Sehari itu Prastawa selalu gelisah. Apapun yang dilakukannya, seolah-olah selalu dibayangi oleh tuduhan-tuduhan yang akan dapat menjeratnya jika ia tidak berhasil mencuci tangannya dari peristiwa yang mengguncang hatinya itu. Namun sehari itu, Agung Sedayu telah melakukan kebiasaannya. Ia pergi ke padukuhan-padukuhan diujung Tanah Perdikan sebagaimana telah direncanakan, untuk meyakinkan rencana-rencana yang telah disusunnya bersama beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan. “Gila,“ geram Prastawa yang gelisah, “kenapa anak itu masih belum memberitahukan apa yang telah terjadi di bulak itu kepada paman Argapati.” Namun sebenarnyalah hari itu Agung Sedayu sama sekali tidak melaporkannya. Segala tingkah lakunya sama sekali tidak berkesan apapun tentang rencana Sura Bureng untuk membunuhnya. Justru dengan demikian Prastawa menjadi semakin gelisah. Seolah-olah Agung Sedayu sengaja menunda untuk mengumpulkan bahan-bahan secukupnya, sehingga ia tidak akan dapat mengelak lagi. “Kenapa ia tidak membawa salah seorang dari keempat orang yang siap untuk membunuhnya itu,“ Prastawa bertanya kepada diri sendiri, “atau bahkan keempat-empatnya untuk memperkuat kesaksiannya bahwa akulah yang memerintahkan kepada mereka.” Ternyata teka-teki itu membuat Prastawa hampir tidak tahan lagi. Tetapi ternyata pada hari-hari berikutnya Agung Sedayu tetap tidak melaporkannya kepada Ki Gede. Sehingga pada suatu saat, Prastawa menganggap bahwa agaknya Agung Sedayu benar-benar mengabaikan apa yang telah terjadi itu “Jika ia ingin melaporkan, tentu sudah dilakukannya. Semakin lama masalahnya tidak akan dapat dipercayai lagi, sebagaimana persoalannya baru saja selesai,“ berkata Prastawa kepada seorang kawannya. “Ya. Agaknya anak itu memang tidak akan melaporkannya,“ sahut kawannya. “Anak itu benar-benar sombong dan keras kepala. Ia menganggap Sura bureng dan ketiga kawannya itu tidak berarti apa-apa, sehingga ia tidak merasa perlu untuk memberitahukannya kepada paman Argapati,“ berkata Prastawa.

Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Orang-orang dianggapnya memiliki kelebihan sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa. Bahkan tidak hanya seorang, tetapi empat orang.” Sementara itu. Agung Sedayu sudah mulai mewujudkan rencananya yang sudah disusunnya bersama para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh. Menurut pengamatan Agung Sedayu dan para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh, ada beberapa bendungan yang perlu diperbaiki karena kerusakan. Parit-parit masih harus dibenahi, jalan-jalan yang rusak di ratakan dan dikeraskan dengan batu-batu padas. Dari hari ke hari, ternyata rencana itu mulai dapat diwujudkan. Tidak tergesa-gesa. tetapi juga tidak terlalu lamban. Satu demi satu bendungan itupun diperbaiki. Sementara orang-,orang yang tidak cukup kuat untuk bekerja di bendungan, telah membenahi paritparit. Sementara dipadukuhan lain, anak-anak muda telah bekerja keras untuk memperbaiki jalan induk padukuhan mereka. Rasa-rasanya Tanah Perdikan yang tertidur itu benar-benar telah terbangun. Ki Gede sendiri tidak jemu-jemunya mengelilingi padukuhan-padukuhan yang sedang sibuk. Sementara Agung Sedayu dan Ki Waskita telah terlibat langsung dalam kerja bersama anak-anak muda dan orang-orang tua di Tanah Perdikan itu. Dari hari kehari, terasa penghidupan di Tanah Perdikan itu semakin hidup. Pasar-pasar menjadi semakin ramai. Pedati tidak lagi mengalami kesulitan di lorong-lorong padukuhan dan pandai besi di sudut-sudut desapun mulai bekerja keras melayani permintaan para petani yang sibuk dengan kerja masing-masing. Bagi Prastawa tidak ada pilihan lain dari menghanyutkan diri dalam kerja yang riuh itu jika ia tidak ingin terlepas sama sekali dari tempatnya berpijak. Apalagi sikap pamannya selama itupun tidak berubah sama sekali. Dalam setiap pembicaraan Ki Gede masih selalu mencarinya dan minta pertimbangannya. Namun setiap kali ia duduk bersama Agung Sedayu dalam satu pertemuan dan pembicaraan, terasa jantungnya selalu berdebaran. Dalam pada itu, ternyata rencana Agung Sedayu tidak hanya terbatas pada bendungan, parit, jalan dan gardu-gardu. Namun ia mulai menyentuh kepada kegiatan anak-anak muda dimalam hari dan di saat-saat tertentu apabila diperlukan. “Susunan kelompok para pengawal di tertibkan lagi,“ berkata Agung Sedayu pada suatu saat kepada Ki Gede Menoreh. “Aku sependapat Agung Sedayu,“ jawab Ki Gede, “sampai saat terakhir, para pengawal yang khusus

sajalah yang masih tetap dalam tugasnya. Mereka adalah anak-anak muda dari padukuhan induk yang seakan-akan langsung aku tunjuk atas nama mereka masing-masing. Sementara yang lain tidak mau tahu lagi, apa yang telah terjadi.” “Tetapi Ki Gede,“ berkata Agung Sedayu. “Bagus. Semoga usaha ini barhasil dengan baik,“ jawab Ki Gede. “Tetapi perlahan-lahan,“ berkata Ki Waskita kepada Agung Sedayu, “kau tidak akan dapat memaksakannya dalam waktu dekat. Biarlah mereka berada di gardu-gardu. Kemudian dari sedikit kau ajak mereka mengingat kembali masa-masa lampau yang dapat memberikan kebanggaan kepada mereka.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa ia tidak akan dapat melakukannya dengan serta-merta. Untuk rencananya itu, ia memerlukan waktu. “Tetapi lebih baik kita mulai secepatnya,“ berkata Ki Gede, “meskipun perlahan-lahan kita sudah mulai dengan langkah kita yang pertama.” Dengan demikian, maka Agung Sedayupun mulai melakukan rencana khususnya itu dari para pengawal yang masih ada. Yang merasa diri mereka ditunjuk langsung oleh Ki Gede, sehingga mereka tidak dapat berbuat lain. Bahkan diantara merekapun masih terdapat orang-orang yang memiliki ketrampilan yang cukup untuk berolah senjata. “Apakah kalian masih ada kesempatan untuk bermain-main ?“ bertanya Agung Sedayu kepada para pengawal itu. “Maksudmu ?“ bertanya salah seorang dari mereka yang kebetulan bertugas di rumah Ki Gede. “Sudah lama kita tidak berlatih untuk meningkatkan ilmu kanuragan,“ jawab Agung Sedayu, “rasarasanya aku ingin mendapat kawan untuk melakukannya.” Ternyata bahwa diantara para pengawal yang tidak terlalu muda, ada juga yang telah mengenal kemampuan Agung Sedayu, murid orang bercambuk dari Jati Anom. Karena itu, salah seorang dari mereka dengan serta merta menyahut, “Mari. Agaknya menjemukan untuk selalu duduk merenungi regol itu. Dimana kita akan berlatih ?” “Terserahlah,“ jawab Agung Sedayu, “mungkin di halaman samping ?” Demikianlah, Agung Sedayu mulai berlatih bersama para pengawal yang bertugas, yang jumlahnya sangat terbatas. Di halaman samping Agung Sedayu bersama empat orang pengawal telah melakukan latihan untuk mengisi kekosongan waktu bagi para pengawal. Sementara dua orang yang lain masih

tetap berada diregol Tidak banyak yang dilakukan oleh Agung Sedayu. Ia sekedar melihat dan menilai tingkat kemampuan para pengawal. Dengan demikian ia akan dapat mencari alas, dari mana ia harus mulai. Malam itu, Agung Sedayu hanya memancing minat para pengawal. Ia memberikan beberapa petunjuk khusus tentang beberapa unsur yang ternyata belum diketahui oleh para pengawal. Sambil mempertunjukkan kemampuan unsur gerak itu, maka Agung Sedayu telah berhasil menarik perhatian mereka. “Ulangi,“ desis salah seorang dari keempat orang itu. “Tusuk aku dari arah samping,“ berkata Agung Sedayu untuk memperagakan unsur gerak itu. Lalu, “kemudian kau dapat menyerang dengan ayunan mendatar.” Pengawal itu ragu-ragu. Jika pedangnya menyentuh Agung Sedayu, maka ia akan melukainya. Karena itu, Agung Sedayupun kemudian mencari sepotong bambu. Katanya, “Pakailah bambu ini, agar kau tidak ragu-ragu.” Pengawal itupun kemudian mempergunakan sepotong bambu. Ia mempergunakannya sebagaimana ia mempergunakan pedang. Dengan tangkasnya ia menusuk lambung Agung Sedayu. Dengan jelas. Agung Sedayu memperegakan bagaimana ia menghindar. Karena tusukan itu tidak mengenainya, maka pengawal itu telah mengayunkan bambunya mendatar tepat setinggi dada. Sekali lagi Agung Sedayu memperlihatkan, bagaimana ia menghindarinya dengan tidak menghamburkan tenaga. Yang diperagakan Agung Sedayu itu hanya sekedar untuk memikat hati para pengawal. Karena itu. maka Agung Sedayupun berkata, “Kita akan mulai dengan latihan-latihan yang mapan jika kalian berminat. Aku akan berlatih bersama kalian.” “Ya. Aku ikut,“ sahut para pengawal itu dengan serta merta. “Tetapi sebaiknya tidak hanya berempat. Cari sepuluh orang kawan. Termasuk para pemimpin pengawal jika mereka bersedia,“ sahut Agung Sedayu. “Aku akan mengatakannya,“ jawab pengawal itu. “Kita akan menyusun rencana waktu bersama-sama,“ berkata Agung Sedayu. “Besok aku akan datang setelah aku bertemu dengan pemimpin pengawal,“ berkata para pengawal itu. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Jika ia berhasil, maka ia akan mendapat kesempatan untuk memperluas latihanlatihan itu di padukuhan-padukuhan. Dengan demikian maka gairah anak-anak muda itu akan menjadi semakin meningkat.

Pengawalan di Tanah Perdikan Menoreh akan berkembang kembali. Tidak hanya para pengawal khusus yang ditunjuk, tetapi anak-anak muda akan melakukannya dengan senang hati seperti pada masa-masa lampau di Tanah Perdikan itu. Dihari berikutnya, ternyata ampat orang pengawal itu benar-benar datang menemui Agung Sedayu. Mereka mengatakan, bahwa mereka telah melaporkannya kepada pemimpin pengawal yang juga sudah mengenal Agung Sedayu. “Apa katanya,“ bertanya Agung Sedayu. “Ia juga berminat sekali. Ia akan datang nanti malam,“ jawab para pengawal itu. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya ia akan berhasil. Ia akan dapat membangunkan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh untuk mengawal Tanah itu. Namun dalam pada itu, diluar perhitungan Agung Sedayu, Ajar Tal Pitu yang mesu diri, telah menyelesaikan laku terakhirnya. Ia sudah menyelesaikan segala-galanya. Pati Geni yang tiga hari tiga malam itupun telah dilakukannya. Dengan demikian, maka Ajar Tal Pitu itu merasa, bahwa ia adalah seorang yang memiliki ilmu yang sempurna. Ia merasa seolah-olah tidak ada orang lain yang dapat menyamainya dalam olah kanuragan. “Yang bernama Senapati Ing Ngalagapun akan bersimpuh dihadapanku jika harus melakukan perang tanding,“ berkata Ajar Tal Pitu itu kepada para muridnya. Beberapa orang yang masih berguru kepadanya menjadi semakin mantap. Dengan cara yang khusus, ia setiap kali memperlihatkan kepada muridnya, betapa ia merupakan orang yang tidak terkalahkan. Dengan bekal ilmunya yang menjadi semakin mapan, dan dendam yang selalu membara di jantungnya, ia berusaha untuk menemui Agung Sedayu. Ia ingin memperlihatkan kepada anak muda itu, bahwa ia memiliki kemampuan yang akan dapat mengimbangi kemampuan Agung Sedayu dan bahkan Ajar Tal Pitu itu akan sanggup membunuhnya. Namun betapa kecewa membakar jantungnya ketika ia mengetahui bahwa Agung Sedayu sudah tidak berada di padepokannya. Yang ada dipadepokan itu tinggallah orangorang yang tidak berarti baginya. “Gila,“ geram Ajar Tal Pitu, “aku harus menemukannya, dimanapun ia bersembunyi.” Dengan segala cara, membujuk, berpura-pura dan cara-cara yang lain terhadap cantrik-cantrik yang ditemuinya di sawah, akhirnya Ajar Tal Pitu mengetahui, bahwa Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan Menoreh. “Bagus,“ berkata Ajar Tal Pitu itu didalam hatinya, “aku akan mencarinya ke Tanah Perdikan itu. Aku

akan mendapat kesempatan untuk bertemu seorang dengan seorang.” Karena itulah, maka dengan bekal ilmu dan dendam, Ajar Tal Pitu telah menuju ke Tanah Perdikan Menoreh untuk mencari Agung Sedayu. Sementara itu, padepokan di Jati Anom itu menjadi semakin sepi. Kiai Gringsing selalu hilir mudik ke Sangkal Putung. Dengan tekun ia mengamati perkembangan ilmu muridnya yang muda itu. Namun Kiai Gringsing ternyata juga sempat mengamati perkembangan ilmu Sekar Mirah dan Pandan Wangi, yang kedua-duanya tidak lagi ditunggui oleh guru masing-masing. Dalam pada itu, semakin dalam Kiai Gringsing mengamati ilmu Swandaru, isteri dan adiknya, maka iapun melihat semakin jelas seperti yang dilihat sebelumnya, bahwa Pandan Wangi mempunyai cara tersendiri untuk memperdalam ilmunya. Ia bukan saja melakukan latihan-latihan yang berat, tetapi Pandan Wangi telah melihat kedalaman ilmunya. Ia sering merenungi setiap unsur gerak untuk mencari arti dan wataknya. Bahkan iapun telah menekuni betapa tenaga cadangan didalam dirinya mulai bangkit dan bekerja, sehingga tenaga wajarnya seolah-olah menjadi berlipat. “Diluar sadar dan mungkin juga secara kebetulan. Pandan Wangi menelusuri ilmunya sebagaimana pernah ditempuh oleh beberapa orang yang kemudian ternyata mempunyai kemampuan melontarkan kekuatan-kekuatan khusus diluar sentuhan wadag,“ berkata Kiai Gringsing. Sebenarnyalah mulai nampak kemampuan yang asing pada Pandan Wangi, yang semula tidak dikenalnya sendiri. Dalam ketekunannya berlatih, Pandan Wangi berusaha mengenal lontaran kekuatan cadangan yang ada didalam dirinya tanpa menyentuh sasaran dengan wadagnya. Dalam pemusatan ilmunya, dalam latihan yang tekun, ayunan tangan Pandan Wangi yang melontarkan kekuatan sepenuhnya, tiba-tiba telah menggetarkan beberapa benda disekitarnya. Gejala yang semula tidak dikenal dan justru mengejutkan Pandan Wangi itu, lambat laun justru dipelajarinya. Perlahanlahan Pandan Wangi dapat mengenalinya semakin baik, bahwa ia memiliki kemampuan melontarkan tenaga untuk mengenai sasaran tanpa menyentuhnya. Seolah-olah ia mampu memukul sesuatu pada jarak yang tertentu. Pengenalannya atas perkembangan ilmunya itu semula masih dirahasiakannya. Jika ia berlatih bersama Swandaru dan Sekar Mirah, maka ia tidak pernah menunjukkan kemampuan yang terjadi dalam perkembangan ilmunya itu. Namun dengan demikian, maka latihan-latihan yang dilakukan bersama Swandaru dan Sekar Mirah, nampak seolah-olah Pandan Wangi semakin lama semakin lambat dan mulai ketinggalan. Namun sejalan dengan itu, Pandan Wangi lebih sering berada di sanggar seorang diri. apalagi Pandan Wangi memang mempunyai waktu yang lebih banyak dari Swandaru. Kadang-kadang jika Swandaru meninggalkan Kademangan, nganglang di padukuhan-padukuhan, Pandan Wangi mempergunakan waktu untuk tenggelam didalam sanggar seorang diri.

Sekar Mirah menyangka, bahwa yang dilakukan oleh Pandan Wangi itu adalah usaha untuk memacu kemampuannya, mengejar ketinggalan-ketinggalan yang semakin nampak dalam latihan-latihan bersama. “Jika pengenalanku atas perkembangan ilmu ini telah mapan, aku tentu akan segera dapat mengejar ketinggalan itu,“ berkata Pandan Wangi kepada dirinya sendiri. Baru ketika Kiai Gringsing sering berada di Sangkal Putung, maka Pandan Wangipun mulai mencari sandaran yang lebih mapan lagi kepada orang tua itu. Kepada guru Swandaru. “Luar biasa,“ desis Kiai Gringsing ketika ia sempat menyaksikan betapa Pandan Wangi dapat memecahkan sebuah jambangan pada jarak beberapa langkah dengan pukulan tangannya dari tempatnya berdiri. Pandan Wangi berdiri termangu-mangu. Sementara Kiai Gringsing berkata seterusnya, “Kau dapat meningkatkan kemampuan ini Pandan Wangi. Apakah suamimu sudah mengetahuinya?” Pandan Wangi menggeleng. Kemudian iapun berkata dengan nada dalam, “Aku telah melakukan satu kesalahan yang besar Kiai.” “Kenapa ?“ bertanya Kiai Gringsing. “Dalam hal ini aku telah menyimpan satu rahasia yang tidak diketahui oleh suamiku,“ jawab Pandan Wangi, “padahal aku tahu, bahwa aku tidak boleh berbuat demikian. Tetapi bagaimana mungkin aku harus mengatakannya. Kakang Swandaru akan bertanya-tanya didalam hatinya seandainya tidak dikatakannya, darimana aku mampu memiliki ilmu seperti ini.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Aku akan mengatakannya. Kau telah menemukannya sebagaimana yang telah terjadi. Ia akan percaya kepadaku. Gejala yang telah kau kenal beberapa lamanya, telah kau kembangkan sehingga akhirnya kau mampu melakukan seperti yang kau lakukan. Sekarang kau dapat memecahkan belanga tanah liat itu. Tetapi jika kau tekun. pada suatu saat kau akan dapat memecahkan batu padas pada jarak tertentu tanpa menyentuhnya, sebagaimana dapat dilakukan meskipun pada ukuran yang berbda oleh Raden Sutawijaya. Dan barangkali beberapa orang lain dengan ujud yang berbeda pula.” “Segalanya aku serahkan kepada Kiai,“ desis Pandan Wangi. Sebenarnyalah, Kiai Gnnysing telah berusaha menemukan kesempatan yang paling baik, untuk menunjukkan kepada Swandaru suatu kemajuan ilmu yang dicapai oleh Pandan Wangi “Sebenarnya Swandaru dapat juga melakukannya,“ berkata Kiai Gringsing didalam hatinya. “Namun agaknya Swandaru tidak telaten melakukan pengamatan yang mendalam. Ia lebih percaya kepada kemampuan dan kekuatan jasmaniahnya.” Tptapi sejalan dengan cara yang ditempuh oleh Swandaru. maka kekuatan Swandarupun bagaikan berlipat dari kemampuan orang kebanyakan. Ketahanan

tubuhnyapun sangat mengagumkan. Jika ia melecutkan cambuknya dengan sepenuh tenaganya, maka sentuhan ujung cambuk itu akan berarti maut bagi lawan-lawannya. Apalagi juntai cambuk Swandaru telah di tambah dengan beberapa karah baja disamping yang telah ada. Sementara itu. Sekar Mirahpun telah menempuh cara seperti yang dilakukan oleh Swandaru. Tetapi sesuai dengan keadaan jasmaniahnya sebagai seorang perempuan, maka peningkatan kemampuan Sekar Mirah lebih condong kepada kecepatan geraknya. Gadis itu memiliki kecepatan gerak yang sangat mengagumkan. Jika ia bermain dengan tongkat baja putihnya, maka yang nampak bagaikan gumpalan awan yang bergulung-gulung mengerikan. Tetapi setiap sentuhan gumpalan awan itu, akan berakibat maut. Dalam pada itu, di Jati Anom, Glagah Putih telah mempunyai cara tersendiri pula. Bersama ayahnya, ia menekuni lukisan tanda-tanda dan lambang-lambang gerak yang terdapat pada dinding goa. Yang dilakukan oleh Glagah Putih hampir seperti yang dilakukan oleh Agung Sedayu. Namun Glagah Putih yang masih terlalu muda itu masih didampingi oleh ayahnya. Dengan demikian maka ilmu Glagah Putihpun telah berkembang dengan pesat. Kemampuannya yang keras dan dorongan ayahnya yang kuat, membuat anak muda itu semakin tekun menempa diri. Seharihari kerjanya adalah melatih diri di dalam goa yang terasing itu. Dalam pada itu, Widura yang mendampingi anaknya dan memberikan dorongan kepadanya, di luar kehendaknya sendiri, karena ia selalu berada didalam lingkungan pendalaman ilmu yang sejajar dengan ilmunya sendiri, maka dengan sendirinya, iapun telah meningkatkan ilmunya pula. Hal-hal yang tidak pernah diketahui di masa mudanya, seolah-olah telah terungkap pada pahatan lambang-lambang ilmunya di dinding goa itu. Sementara itu, Sabungsaripun merasa sepi sepeninggal Agung Sedayu. Menurut pengertiannya, sepeninggal Agung Sedayu, Glagah Putih yang jarang ditemuinya di padepokan, lebih sering berada di Banyu Asri. Sementara Kiai Gringsing sering pula berada di Sangkal Putung. Namun justru karena itu, maka ia sering berada di padepokan itu hanya bersama para cantrik, yang menurut pengamatannya merasa sepi pula seperti dirinya. Para cantrik yang karena kepergian Agung Sedayu itu mendapat kesempatan yang lebih kecil untuk berlatih dan menempa diri, karena hanya Kiai Gringsing sajalah yang kemudian menuntun mereka dalam olah kanuragan, justru Kiai Gringsing sering berada di Sangkal Putung. Tetapi dalam pada itu, Sabungsarilah yang lebih sering mempergunakan sanggar di padepokan kecil itu. Dalam kesepiannya, maka ia lebih banyak memandang kepada diri sendiri. “Aku tidak boleh berhenti,“ berkata Sabungsari didalam dirinya, “aku masih cukup muda untuk berkembang terus.” Dalam pada itu, Sabungsaripun sempat memikirkan keadaan Agung Sedayu. Ia menganggap bahwa tugas Agung Sedayu di Tanah Perdikan Menoreh itu telah menutup kemungkinan bagi Agung Sedayu

untuk mengembangkan dirinya lebih jauh, karena ia akan tenggelam dalam kerja yang berat. “Mudah-mudahan ia mendapat kesempatan,“ berkata Sabungsari didalam hatinya, “iapun masih muda. Kemungkinan untuk berkembang masih cukup banyak.” Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu sama sekali tidak berhenti seperti yang dicemaskan oleh Sabungsari. Dalam kesibukannya, ternyata ia masih sempat mematangkan ilmunya dengan caranya yang khusus bersama Ki Waskita didalam biliknya. Namun sekali-sekali Agung Sedayupun telah pergi ketempat yang sunyi dan jauh dari kemungkinan pengamatan orang lain untuk melihat kedalam dirinya sendiri dan untuk meningkatkan ilmunya. Pada kesempatan lain. Agung Sedayu ternyata telah berhasil memikat hati sepuluh orang yang dimaksud. Setiap malam mereka telah berada di samping rumah Ki Gede, di tempat terbuka. Agung Sedayu telah bekerja dengan sebaik-baiknya untuk meningkatkan ilmu mereka. Sepuluh orang pengawal itu telah diberinya beberapa petunjuk dan pengetahuan yang menyempurnakan ilmu mereka. Bahkan Agung Sedayupun telah dengan langsung berlatih dengan mereka untuk memperagakan petunjuk-petunjuknya. Bahkan kadang-kadang ia telah melakukan satu latihan yang berbahaya dengan memberi kesempatan kepada para pengawal untuk menyerangnya dengan senjata. Sehingga dengan demikian ia dapat memperlihatkan kepada mereka, bagaimana seseorang dapat menghindari serangan dengan mempergunakan tenaga yang sedikit saja. Sebaliknya Agung Sedayupun telah melatih mereka, bagaimana caranya menyerang. Unsur-unsur gerak yang telah dikuasai oleh para pengawal itu telah dikembangkannya, sehingga dengan demikian, maka para pengawal itu memiliki kemampuan yang meningkat. Namun sejalan dengan latihan-latihan yang tekun. Agung Sedayupun tidak lupa untuk membenahi segi kejiwaan mereka. Dengan hati-hati Agung Sedayu selalu meniupkan ketelinga mereka, bahwa yang mereka pelajari itu akan mereka pergunakan untuk kebaikan semata-mata. Seperti yang diharapkan oleh Agung Sedayu, ternyata yang sepuluh orang itu telah bercerita kepada lingkungan yang lebih luas, sehingga dengan demikian, maka yang telah dilakukan oleh kesepuluh orang itu telah menarik hati anak-anak muda yang lain, terutama para pengawal. Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian telah mengatur waktu sebaik-baiknya. Tetapi ia tidak dapat dengan begitu saja menyatakan kesediaannya untuk memberikan latihan-latihan kepada setiap anak muda yang menginginkan, karena tenaga dan waktu yang terbatas. Tetapi pertama-tama ia menyatakan kesediaannya untuk memberikan latihanlatihan kepada para pengawal yang telah ada. Dengan demikian, maka gairah anak-anak muda di Tanah Perdikan rasa-rasanya semakin hidup. Disiang hari mereka bekerja keras untuk membangun padukuhan-padukuhan masing-masing. Di malam hari, mereka berada di gardu-gardu, sementara para pengawal telah mengadakan latihanlatihan khusus dibawah tuntunan Agung Sedayu.

Dengan besarnya minat para pengawal, maka Agung Sedayu terpaksa mengadakan pembagian waktu sebaikbaiknya. Setiap kelompok tertentu telah mendapat waktu sepekan dua kali. Ada sekelompok pengawal yang mendapat waktu di dini hari, tetapi ada kelompok lain yang mendapat waktu setelah senja. “Aku tidak akan dapat memberikan latihan-latihan kepada semua anak-anak muda,“ berkata Agung Sedayu, “waktuku terbatas sekali sebagaimana yang mungkin aku pergunakan. Karena itu, aku akan mempergunakan cara yang akan dapat, menjangkau segala pihak. Sepuluh orang yang berlatih pertama kali itu, nanti akan membantu aku mengembangkan pengetahuannya kepada kawan-kawannya di padukuhan-padukuhan yang tersebar. Kemudian sepuluh orang lagi akan aku minta untuk melakukan hal yang sama, sehingga dengan demikian kemampuan para pengawal itu akan tersebar, tanpa menunggu aku lagi.” Dengan cara itu, maka yang diberikan oleh Agung Sedayu kepada para pengawal itupun berkembang lebih cepat. Meskipun ada juga satu dua orang yang kecewa karena tidak langsung mereka terima dari Agung Sedayu. Namun demikian, pada waktu-waktu tertentu Agung Sedayupun menyediakan waktu untuk melihatlihat para pengawal yang sedang berlatih dibawah tuntunan kawan-kawan mereka sendiri yang telah mendapat petunjuk langsung dari Agung Sedayu. Dengan demikian maka kekecewaan itupun telah berkurang. Perubahan-perubahan mulai nampak di Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun tidak secepat keinginan Agung Sedayu sendiri, namun selangkah demi selangkah Tanah itu mulai memperbaiki kemunduran yang terjadi sebelumnya. Hampir di segala lapangan, Tanah Perdikan Menoreh mulai membenahi diri. Wajah padukuhanpadukuhanpun sedikit demi sedikit mulai bertambah cantik. Jalan-jalan mulai rata sehingga pedatipedati yang lewat di dini hari tidak mengalami kesulitan lagi pada lubang-lubang di jalan yang menggenang jika hujan turun. Bendunganbendunganpun telah diperbaiki, sehingga air yang naikpun menjadi semakin banyak, sementara parit yang membelah tanah-tanah persawahan telah mengantarkan air sampai keujung-ujungnya, sehingga sawah yang menjadi kering telah dibasahi kembali. Dimalam hari, gardu-gardu mulai terisi. Gardu-gardu yang rusak dan kehilangan kentongannya, telah menjadi baik dan kentongan pangkal batang kelapa itupun telah tergantung di sudut. Harapan demi harapan mulai membayang. Ki Gede Menoreh sendiri menjadi semakin bergairah untuk mengelilingi Tanah Perdikannya. Perlahan-lahan ia telah berhasil mengusir kesepian di hatinya sepeninggal anak perempuannya. Apalagi jika ia melihat Prastawapun nampaknya telah hanyut pula

dalam kerja. Kadang-kadang bersama Ki Waskita disore hari, Ki Gede Menoreh berkuda menempuh jalan-jalan di sepanjang Tanah Perdikannya. Perubahan wajah Tanah Perdikan itu membuatnya seakan-akan menjadi muda kembali. Wajahnya yang cekung mulai nampak gembira. Sorot langit yang kemerah-merahan di sore hari, tidak lagi menjadi lambang kemuraman yang bakal turun di atas Tanah Perdikan. Obor-obor akan menyala di sudut-sudut padukuhan dan di gardu-gardu. Bahkan di regol-regol beberapa halamanpun akan terpasang obor-obor kecil yang menerangi jalan-jalan. Bahkan di halaman banjar padukuhan, anak-anak muda justru mulai turun dalam latihan-latihan apabila langit menjadi gelap. Dengan penuh minat mereka mulai mengenang kembali kewajiban mereka untuk mengawal Tanah Perdikan itu, setelah untuk beberapa lama mereka terlena dalam tidur yang nyenyak sejak gelap mulai turun. Para pemimpin Tanah Perdikan itupun menjadi semakin berpengharapan atas masa depan. Tanah Perdikan itu tidak lagi membayangkan kesuraman yang mencemaskan. Dalam kesempatan tertentu. Agung Sedayu berusaha untuk memilih orang-orang terbaik dari Tanah Perdikan itu untuk mendapat tempaan khusus. Mereka akan menjadi penggerak utama dalam tugas pengawalan Tanah Perdikan itu. Namun hal itu baru akan dapat dilakukannya, setelah ia berada lebih lama lagi di atas Tanah itu, sehingga ia benar-benar mendapatkan anak-anak muda yang bukan saja memiliki kemampuan jasmaniah, tetapi juga anak-anak muda yang memiliki ketrampilan berpikir. Lebih dari itu, mereka harus anak-anak muda yang tahu akan dirinya dalam hubungan antar sesama dan hubungan dengan Penciptanya, sehingga kemampuan yang akan mereka miliki, tidak akan menambah buramnya Tanah Perdikan Menoreh. Justru karena itu, maka Agung Sedayu tidak bertindak tergesa-gesa. Ia selalu menyampaikan segala persoalan yang timbul kepada Ki Waskita untuk mendapat petunjuk pemecahan. Namun Agung Sedayupun sadar, bahwa waktunya di Tanah Perdikan Menorehpun tentu akan sangat terbatas. Pada saatnya ia akan kembali ke padepokan kecilnya, jika ia sudah sampai pada saatnya menginjak hidup berkeluarga. Tetapi kadang-kadang masih timbul pula pertanyaan didalam dirinya, “apakah aku masih mendapat kesempatan seperti ini sesudah hari perkawinanku dan membawa Sekar Mirah ke Tanah Perdikan ini ?” Karena persoalan-persoalan yang menyangkut dirinya itulah, maka Agung Sedayu harus mengambil jalan tengah. Ia tidak boleh tergesa-gesa memilih anak-anak muda seperti yang dimaksud, tetapi iapun tidak boleh terlalu lamban, sehingga ia akan kehilangan kesempatan. Namun dalam pada itu, selagi Agung Sedayu sibuk dengan usahanya untuk meningkatkan Tanah Perdikan Menoreh, telah terjadi sesuatu yang mengejutkan seluruh Tanah Perdikan itu.

Sejak anak-anak muda di Tanah Perdikan itu bangkit, maka keadaannyapun menjadi semakin baik. Tidak lagi terjadi kerusuhan-kerusuhan di malam hari, apalagi disiang hari. Namun tiba-tiba saja, ketika seorang petani pergi kesawah di dini hari, ia telah dikejutkan oleh sesosok tubuh yang terbaring di jalan kecil yang membujur di sebelah sawahnya. Dengan tergesa-gesa ia berlari-lari memanggil beberapa orang anak muda yang masih berada digardu di sudut desa. Dengan demikian maka anak-anak muda itupun segera menghambur ketempat yang dikatakan oleh petani itu. Sebenarnyalah mereka menemukan seorang anak muda yang pingsan. Pada tubuhnya terdapat bekasbekas penganiayaan. Pada wajahnya terdapat noda-noda biru. Demikian juga pada beberapa bagian tubuhnya. Sementara itu, dipinggangnya terselip sebatang seruling bambu. Hal itu cepat didengar oleh Ki Gede Menoreh, Agung Sedayu dan Ki Waskita. Ketika Agung Sedayu mendengar ciri-ciri orang yang terbaring itu, apalagi sebuah seruling yang terselip di pinggangnya, maka ia tidak menunggu lebih lama lagi. Sebelum Ki Gede dan Ki Waskita bersiap. Agung Sedayu telah mendahului menuju ketempat itu. Sebenarnyalah, darah Agung Sedayu serasa berhenti mengalir. Anak muda itu adalah Rudita. “Gila,“ ia menggeram, “siapa yang telah menganiaya anak ini. Ia bukan sasaran penganiayaan karena ia tidak mempunyai rasa permusuhan meskipun hanya seujung duri.” Tiba-tiba saja jantung Agung Sedayu bagaikan menggelegak. Ia tidak pernah merasa betapa kemarahan menghentak-hentak dadanya seperti pada saat itu. Ketika panas yang membakar dadanya tidak lagi terkendali, maka Agung Sedayupun kemudian berdiri tegak sambil menggeram, “Aku akan mencari orang yang telah melakukan penganiayaan ini sampai ketemu.” Orang-orang yang mengerumuni Rudita itupun menyibak ketika Ki Gede dan Ki Waskita tiba ditempat itu. Di belakang mereka, Prastawa termangu-mangu menyaksikan apa yang telah terjadi. Ketika tibatiba saja tatapan mata Agung-Sedayu menyambarnya, maka Prastawapun segera menundukkan kepalanya. “Rudita,“ Ki Waskitapun segera berlutut di samping tubuh yang terbujur itu. Demikian pula Ki Gede dan disusul kemudian oleh Agung Sedayu. Beberapa orang anak mudapun telah mengenalnya pula, karena Rudita memang sering berada di Tanah Perdikan Menoreh. Kadang-kadang bersama ayahnya, tetapi kadang-kadang ia seorang diri, karena anak muda itupun masih mempunyai hubungan keluarga dengan Ki Gede Menoreh.

Namun dalam pada itu, ternyata tubuh yang pingsan itu sudah mulai bergerak. Perlahan-lahan Rudita membuka matanya. Sejenak ia masih dibayangi oleh kebingungan karena seolah-olah dengan tiba-tiba ia telah dihadapkan kepada orang banyak. Namun kemudian perlahan-lahan ia mulai mengingat kembali apa yang telah terjadi. “Rudita,“ desis Ki Waskita. “Ayah,“ sahut Rudita, “O, agaknya Ki Gede dan Agung Sedayu telah berada disini pula.” “Apa yang terjadi ?“ bertanya Ki Waskita. Sejenak Rudita merenung. Namun kemudian iapun tersenyum sambil menjawab, “Tidak ada apa-apa ayah.” “Tetapi kau pingsan. Ada bekas-bekas penganiayaan pada tubuhmu,“ sahut Ki Gede. Tiba-tiba saja Rudita bangkit. Meskipun ia masih sangat lemah, namun ia berusaha untuk duduk. Sambil tersenyum pula ia menjawab, “Tidak ada apa-apa ayah. Mungkin aku terlalu letih dan kantuk, sehingga aku tertidur disini.” Ki Waskita termangu-mangu. Namun katanya kemudian, “Aku tahu Rudita, bahwa kau sama sekali tidak menaruh dendam kepada siapapun, meskipun orang itu telah menganiayamu. Tetapi apakah didalam keyakinanmu, kau dibenarkan untuk berbohong ?” Rudita mengerutkan keningnya. Sambil menarik nafas panjang ia menggeleng, “Aku memang tidak perlu berbohong ayah.” “Nah, jika demikian, apa yang telah terjadi,“ bertanya ayahnya. “Ayah sudah mengetahui apa yang telah terjadi meskipun aku tidak menjawabnya,“ jawab Rudita. Lalu, “Dan itu bukannya satu kebohongan. Aku hanya tidak mau mengatakannya.” Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu Ki Gede berkata, “Marilah, kita bawa anak ini pulang. Kita akan dapat berbicara lebih panjang di rumah.” Ki Waskita tidak menolak. Maka iapun kemudian memapah anaknya menuju ke padukuhan induk. Beberapa orang anak muda mengikutinya. Agung Sedayu yang masih saja dibakar oleh kemarahan yang menghentak-hentak, ikut pula membawa Rudita ke rumah Ki Gede. Sementara itu, Prastawa mengikut pula beberapa puluh langkah dibelakang bersama beberapa orang kawan-kawannya. Di rumah Ki Gede, beberapa orang berusaha untuk mengetahui siapakah yang telah melakukan

penganiayaan itu. Namun Rudita hanya tersenyum saja. “Aku sudah sehat,“ katanya setelah minum beberapa teguk, “aku mohon kalian melupakan saja peristiwa yang baru saja terjadi. Mudah-mudahan orang yang berhati gelap itu segera mendapat kurnia kebeningan budi dari Yang Maha Agung.” “Tetapi ia berbahaya bagi orang lain Rudita,“ desak Agung Sedayu, “mungkin kau dapat melupakannya, memaafkannya dan bahkan berdoa agar orang itu mendapat petunjuk. Tetapi dengan demikian berarti kau melupakan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas orang lain. Mungkin lebih parah, dan bahkan mungkin orang itu akan merenggut nyawa seseorang.” Rudita menggeleng. Katanya, “Tidak. Ia tidak akan berbuat apa-apa, Akupun tidak mati karenanya.” Agung Sedayu menahan gejolak yang serasa meledak dijantungnya. Perasaan yang menghentak-hentak, kecewa, bahkan jengkel bercampur baur itu memang belum pernah dialaminya. Karena itu, maka bibirnya justru menjadi gemetar. Tetapi tidak seorangpun dapat memaksa Rudita mengatakan sesuatu. Ia hanya tersenyum saja. Kadangkadang tertawa. Bahkan akhirnya ia berkata kepada Ki Gede, “Paman, aku sebenarnya sangat lapar. Apakah paman bersedia memberikan semangkuk nasi kepadaku.” “O, tentu. Tentu Rudita,“ sahut Ki Gede. Tetapi sebelum Ki Gede beringsut. Agung Sedayu telah pergi ke dapur untuk memesan kepada seorang pelayan agar menyediakan makan buat Rudita. Namun dalam pada itu, Ki Waskita telah menyusulnya. Sambil berbisik ia bertanya, “Apakah mungkin Prastawa melakukannya seperti yang pernah dilakukan atasmu bersama-sama dengan kawan-kawannya ?” “Aku kira bukan Ki Waskita,“ jawab Agung Sedayu, “menurut ingatanku, Rudita mempunyai landasan ilmu kebal meskipun ia sendiri menyebutnya sebagai satu sikap munafik. Tetapi yang pernah terjadi, ia tidak mengalami cidera ketika terjadi salah paham. Terhadapnya, sehingga ia mengalami nasib yang buruk ditangan anak-anak muda. Namun ia dapat melindungi dirinya dengan ilmu kebalnya.” “Tetapi ia masih tetap mengalami pertumbuhan sikap dan keyakinan,“ sahut Ki Waskita, “jika

kemudian ia dengan sadar melepaskan ilmu yang dianggapnya munafik itu ? Bahkan ia membiarkan tubuhnya menjadi merah biru karena penganiayaan itu ?” Agung Sedayu menarik nafas dalam. Katanya kemudian, “Aku tidak melihat alasan, kenapa Prastawa memperlakukannya demikian.” “Jadi siapa menurut dugaanmu ?” bertanya Ki Waskita, Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Baginya teka-teki itu memang rumit. Tetapi ia sudah bertekad untuk mencari orang yang telah menganiaya Rudita sampai ketemu dan bahkan iapun telah berniat untuk membuat perhitungan apapun yang akan terjadi. Satu keputusan untuk membuat perhitungan apapun yang akan terjadi. Satu keputusan yang jarang dapat diambil dengan cepat oleh Agung Sedayu. Dalam pada itu, maka sejenak kemudian seorang pelayan telah menyediakan makan dan minum seperti yang diminta oleh Rudita. Karena itu, maka Ruditapun kemudian dipersilahkan untuk makan di ruang dalam. Agung Sedayu dan Ki Waskita menungguinya ketika Rudita makan. Sekali-sekali Ki Waskita masih juga bertanya. Tetapi setiap kali Rudita selalu mengelak. Namun tiba-tiba diluar dugaan Agung Sedayu Ki Waskita berdesis, “Baiklah Rudita, jika kau tidak mau mengatakan apa yang telah terjadi. Jangan kau kira bahwa aku tidak mengetahuinya. Bukan hanya kau yang pernah mengalaminya. Beberapa saat yang lalu, demikian angger Agung Sedayu datang ke Tanah Perdikan ini, iapun mengalami nasib yang sama.” Wajah Rudita menegang sejenak, sehingga iapun berhenti mengunyah makanan di mulutnya. Hampir saja Agung Sedayu akan menyahut. Namun Ki Waskita sudah mendahuluinya, “Karena itu, maka akulah yang akan membuat perhitungan. Aku tahu, kau memegang satu keyakinan yang berbeda dengan aku. Karena itu, biarlah aku yang bertindak.” “Apa yang akan ayah lakukan ?“ bertanya Radita dengan jantung yang berdebaran. “Aku akan memperlakukannya sama seperti yang dilakukannya atas mu,“ jawab Ki Gede, “bahkan karena kau tentu tidak melawannya, maka jika ia melawan aku akan membalas dua kali lipat.” “Ayah,“ potong Rudita, “apakah ayah mengira bahwa kekerasan akan dapat menyelesaikan semua masalah.” “Terhadap anak yang bengal maka tidak ada lain cara yang dapat aku lakukan, kecuali dengan kekerasan,“ jawab Ki Waskita. “Tetapi siapakah yang ayah maksud anak yang bengal itu ?“ bertanya Rudita.

“Prastawa,“ jawab Ki Waskita singkat. “Tidak. Bukan Prastawa yang memperlakukan aku demikian,“ sahut Rudita dengan serta merta. Lalu, “Nah, bukankah ayah lihat, bahwa cara yang akan ayah tempuh sudah salah sejak dalam rencana. Kenapa ayah menuduh Prastawa berbuat demikian ?” “Ia juga memperlakukan Agung Sedayu demikian,“ berkata Ki Waskita, “karena itu, jangan kau lindungi lagi anak itu.” “Bukan. Bukan anak itu. Bukankah aku tidak akan berbohong ?“ jawab Rudita kemudian. “Jika bukan Prastawa siapa ? Kau tidak akan berbohong ? “ desak Ki Waskita. “Sudah aku katakan bahwa berbohong dan tidak mengatakannya adalah berbeda,“ jawab Rudita. “Jika demikian aku menjadi semakin pasti, bahwa Prastawalah yang telah melakukannya. Karena itu, aku akan membuat perhitungan apapun yang akan dikatakan Ki Gede tentang kemanakannya itu. Aku bukan orang yang pantas dihinakan seperti itu. Dikiranya aku tidak mempunyai kemampuan apapun juga seandainya aku harus melawan seluruh Tanah Perdikan ini. Adalah sia-sia bahwa selama ini aku telah membantu pertumbuhan Tanah Perdikan ini, jika kemanakan Ki Gede itu juga memperlakukan anakku seperti itu. Meskipun anakku itu sendiri tidak menghendaki,“ geram Ki Waskita. “Ayah,“ suara Rudita menjadi gemetar, “sekali lagi aku katakan. Yang melakukan itu sama sekali bukan Prastawa. Betapapun tinggi ilmunya, tetapi ia tidak akan dapat menyakiti kulitku. Memang memalukan sekali, bahwa kemunafikan itu masih harus terjadi. Tetapi karena aku berbicara dengan ayah dan Agung Sedayu, maka aku tidak akan mengingkari kemunafikanku itu.” Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Agung Sedayu sejenak. Lalu katanya, “Rudita tetap tidak mau menyebut Prastawa. Tetapi anak muda itu memang pantas mendapat pelajaran.” “Tidak ayah. Sungguh tidak. Yang melakukan itu sama sekali bukan anak muda lagi. Aku benar-benar tidak tahu siapakah orang itu. Tetapi apakah gunanya masalah ini dipikirkan berkepanjangan. Aku sudah tidak apa-apa. Sehari dua hari, aku akan sembuh sama sekali. Lalu apakah yang perlu kita risaukan lagi ?“ sahut Rudita. Ki Waskita memandang anaknya dengan tajamnya. Namun kemudian sekali lagi ia berpaling kepada Agung Sedayu. Katanya, “Jika yang melakukan bukan orang yang dapat disebut muda lagi, maka akupun percaya bahwa orang itu bukan Prastawa.”

Agung Sedayu yang tegang itupun menarik nafas pula. Ia tahu kemudian apakah maksud Ki Waskita. Ia sudah berhasil memancing keterangan dari anaknya, bahwa yang memperlakukan itu bukan Prastawa. Tetapi seseorang yang sudah tidak dapat disebut muda lagi. Bahkan Ruditapun dengan tidak langsung mengatakan, bahwa ia sudah melindungi dirinya dengan ilmu kebalnya. Tetapi ternyata bahwa ia menjadi pingsan karenanya. Dengan demikian maka baik Agung Sedayu maupun Ki Waskita dapat memperhitungkan, bahwa yang memperlakukan Rudita demikian adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Rudita yang berhenti makan itupun kemudian berdesis, “Ternyata ayah berhasil memancing keteranganku. Tetapi tidak apa-apa. Aku mohon ayah dan Agung Sedayu melupakan saja apa yang telah terjadi. Tidak ada gunanya lagi untuk merenunginya. Bahkansebaiknya ayah dan Agung Sedayu memberitahukan kepada anak-anak muda di Tanah Perdikan ini untuk tidak melayaninya jika mereka bertemu pada suatu saat dengan laki-laki itu, agar dengan demikian tidak akan terjadi sesuatu atas mereka.” Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Makanlah sebaik-baiknya. Aku akan mempertimbangkan semua keteranganmu.” Rudita tidak menjawab lagi. Iapun melanjutkan mengisi perutnya yang memang terasa lapar itu. Seteguk air kemudian diminumnya ketika ia merasa perutnya menjadi kenyang. Namun dalam pada itu, keterangan Rudita itu telah memberikan jalan bagi Ki Waskita dan Agung Sedayu untuk memecahkan teka-teki, siapakah yang telah melakukan penganiayaan atas Rudita tersebut. Meskipun mereka masih belum pasti, namun mereka berkesimpulan bahwa orang itu tentu orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Orang yang mampu menembus perisai kekebalan Rudita. Agaknya hanya karena sikap Rudita yang diam tanpa melawan sama sekali itulah, maka orang itu tidak membunuhnya. Dalam kesempatan yang lain, ketika Ki Waskita dan Agung Sedayu berada di serambi setelah mereka membawa Rudita untuk berbaring melepaskan keletihannya didalam bilik di gandok, keduanya tidak dapat mengingkari dugaan mereka yang ternyata sesuai. “Agaknya Ajar Tal Pitu telah sembuh sama sekali. Tentu ia ingin membuat perhitungan dengan aku,“ berkata Agung Sedayu. Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, “Memang mungkin sekali. Tetapi juga mungkin orang lain yang di minta oleh Ki Pringgajaya. Atau justru Ki Pringgajaya sendiri.” “Banyak kemungkinan dapat terjadi. Tetapi menurut perhitunganku, yang paling mungkin melakukannya adalah Ajar Tal Pitu. Ia mungkin sekali masih terikat perjanjian dengan Ki Pringgajaya sekaligus untuk melepaskan dendamnya,“ sahut Agung Sedayu.

“Dengan demikian, kita harus mempersiapkan diri ngger. Bagaimanapun juga, tentu ada usaha Ajar Tal Pitu untuk meningkatkan diri, menyempurnakan ilmunya. Jika pada saat itu kau masih berada selapis tipis diatasnya, maka kau harus memperhitungkannya kali ini. Namun sebagaimana aku ketahui, bahwa keadaanmu setelah pertempuran itu, telah memungkinkanmu untuk menyempurnakan ilmu kebalmu. Kau telah berhasil memanfaatkan keadaanmu justru pada saat kau terluka parah. Namun disamping menyempurnakan ilmu kebalmu, kaupun harus meningkatkan kemampuan secara menyeluruh dalam batas kemungkinan yang sangat sempit.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dalam keadaan yang demikian terasa betapa jauh perbedaan yang terdapat antara dirinya dengan Rudita. Dengan sikapnya yang pasrah maka Rudita justru tidak pernah merasa gelisah menghadapi apapun juga. Namun setiap kali Agung Sedayu merasa, bahwa kelemahannya telah menyudutkannya kedalam keadaan yang berbeda dengan Rudita. Sementara itu, maka ketika senja lewat, anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh seperti biasanya telah menyelenggarakan latihan-latihan yang berpencar. Sementara Agung Sedayu berada di halaman samping rumah Ki Gede untuk memberikan latihan kepada anak-anak muda yang khusus, yang kemudian akan menyebarkan ilmu itu kepada kawan-kawannya. Namun dalam pada itu, terasa bahwa sikap Agung Sedayu agak berbeda dengan kebiasaannya. Ia nampak agak tergesa-gesa dan latihan-latihan itu diselesaikan dalam waktu yang lebih pendek dari biasanya. Tidak seorangpun yang bertanya. Mereka hanya mengira bahwa Agung Sedayu sedang letih, sehingga ia perlu beristirahat. Namun sebenarnyalah bahwa dalam keadaan yang demikian. Agung Sedayu telah mempergunakan waktu sebaik-baiknya bagi dirinya sendiri. Bersama Ki Waskita ia telah pergi ketempat yang tei pencil dan tidak banyak di kunjungi orang. Dalam sepinya malam, maka Agung Sedayu mehhat kedalam dirinya sendiri, seolah-olah ia ingin meneliti, apakah segalanya masih pada keadaan yang seharusnya. Beberapa kali Agung Sedayu mengamati ilmunya. Ternyata bahwa kemampuannya justru menjadi semakin mapan setelah ia tidak henti-hentinya merenungi pada saat-saat tertentu didalam biliknya, didalam malam yang hening, selama ia berada di Tanah Perdikan Menoreh. “Seandainya Ajar Tal Pitu itu berada di Tanah Perdikan Menoreh Ki Waskita, aku kira akulah yang paling bertanggung jawab atas kehadirannya,“ berkata Agung Sedayu kepada Ki Waskita. “Aku mengerti ngger. Dan agaknya kaupun sudah siap bertemu kapan saja,“ jawab Ki Waskita. “Apalagi setelah kau merambah dalam pengenalan ilmu yang lain yang kau temui didalam kitab yang pernah kau baca itu, meskipun baru kau mulai. Tetapi karena yang memulai itu adalah seseorang yang sudah dilandasi oleh kemampuan yang tinggi, maka nampaknya yang permulaan itupun sudah berada pada tingkat yang tinggi pula.”

“Aku sedang menjajagi kemungkinannya Ki Waskita,“ jawab Agung Sedayu, “namun ilmu yang mampu meningkatkan kecepatan gerak itu sangat menarik.” “Jika kau berhasil, maka kau akan dapat bergerak secepat angin sehingga bagi lawanmu, seolah-olah kau bukan lagi bersifat wadag, tetapi seperti bayangan yang berterbangan disekitarnya,“ berkata Ki Waskita. “Aku mohon, Ki Waskita bersedia untuk membantuku,“ berkata Agung Sedayu, “aku akan melihat lebih dalam pada kemungkinan yang terdapat dalam ilmu itu.” “Aku akan berusaha membantumu,“ berkata Ki Waskita. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa ia memang memiliki kemampuan untuk bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi, sehingga kadang-kadang lawannya menganggap seolah-olah kakinya tidak menyentuh tanah. Namun dilambari dengan ilmu yang ditemuinya pada kitab Ki Waskita, maka kemampuannya bergerak cepat itu akan menjadi semakin mantap. Seolah-olah ia telah didorong oleh kekuatan lain sehingga ia mampu bergerak lebih cepat lagi. Tubuhnya yang bersifat wadag itu bagaikan lenyap sehingga yang ada hanyalah bayangan yang berputar membingungkan. Demikianlah, Agung Sedayu perlahan-lahan mulai mencoba mengetrapkan ilmu yang dikenalnya dalam kitab Ki Waskita. Selain yang pernah dipelajarinya, maka ilmu itu ternyata telah menarik perhatiannya dalam keadaan yang gawat itu. Malam itu, seluruh waktunya telah di pergunakannya untuk mengenal ilmu yang akan dapat memperkaya kemampuannya. Meskipun waktu itu terlalu sempit bagi pengamatan atas ilmu yang akan mampu mendorong gerak dan kemampuannya, namun Agung Sedayu dapat mempergunakan sebaik-baiknya. Ia sadar, bahwa ia masih harus mengulangi dan mengulangi. Namun setiap langkah merupakan kemajuan yang pesat bagi Agung Sedayu yang pada dasarnya sudah memiliki ilmu yang tinggi. Baru menjelang pagi Agung Sedayu mengakhiri pengamatannya. Kemudian bersama Ki Waskita, Agung Sedayu memerlukan meronda padukuhan-padukuhan yang tidak terlalu jauh sambil menuju kembali ke padukuhan induk. Di padukuhan-padukuhan yang dilaluinya. Agung Sedayu dan Ki Waskita masih menjumpai anak-anak muda yang berada di gardu-gardu. Namun ada diantara mereka yang sudah bersiap-siap untuk kembali kerumah masing-masing karena langit sudah menjadi kemerah-merahan. Disiang hari Agung Sedayu melakukan kewajibannya sebagaimana dilakukan sehari-hari. Namun ia tidak meninggalkan kewaspadaan. Bagaimanapun juga ia tidak dapat mengingkari kemungkinan, bahwa orang yang merasa dirinya tidak terkalahkan sebagaimana Ajar Tal Pitu, akan dapat

menemuinya di siang hari tanpa menghiraukan orangorang lain yang mungkin akan memperhatikan mereka. Namun bagaimanapun juga, Agung Sedayu masih juga berpikir tentang Rudita. Meskipun Prastawa sendiri tidak melakukannya, karena ia tidak akan mampu menembus dinding kekebalan Rudita, namun anak muda yang dengki itu akan dapat meminjam tangan orang lain. Tetapi Agung Sedayu mencoba untuk menjawabnya sendiri, “Tetapi Prastawa tentu tidak mempunyai pamrih apapun terhadap Rudita.” Dengan demikian, maka Agung Sedayu condong kepada kemungkinan, bahwa yang hadir di Tanah Perdikan Menoreh adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi, yang mempunyai kepentingan dengan Agung Sedayu. Perbuatannya itu semata-mata untuk memancing agar Agung Sedayu dapat ditemuinya tidak dirumah Ki Gede Menoreh. Pada malam berikutnya. Agung Sedayu masih melakukan latihan-latihan yang sama setelah ia dengan tergesa-gesa menyelesaiakn latihan-latihan bagi para pengawal. Rasa-rasanya Agung Sedayu selalu dibayangi oleh orang-orang yang memburunya. Sementara itu, Rudita seolah-olah telah melupakan apa yang telah terjadi. Meskipun badannya masih belum pulih sama sekali, tetapi ia sudah dapat turun kehalaman dan berjalan-jalan keluar regol halaman itu. “Kau jangan meninggalkan halaman rumah ini,“ pesan Ki Waskita, “bukan karena kecemasan bahwa kau akan mengalami sesuatu, tetapi biarlah kekuatan tubuhmu pulih kembali.” Rudita tersenyum. Sambil mengangguk ia menjawab, “Baiklah ayah. Aku akan tinggal di rumah ini untuk beberapa lama, sehingga aku mampu keluar dengan kekuatan yang sudah pulih sama sekali. Mungkin ibu juga menunggu-nunggu, kenapa aku tidak segera pulang, karena aku hanya minta ijin untuk keluar barang satu dua hari saja.” “Baiklah, jika keadaanmu sudah menjadi semakin baik,“ jawab Ki Waskita. Lalu, “Tetapi jangan dalam waktu yang terlalu dekat.” Sebenarnyalah ada semacam perasaan aneh dihati Agung Sedayu. Semakin banyak ia menyadap ilmu, maka rasa-rasanya ia menjadi bertambah gelisah karena ia merasa selalu diburu oleh orang-orang yang mendendamnya. Sementara Rudita yang sama sekali tidak pernah memikirkan bagaimana ia harus melawan seseorang, rasa-rasanya justru selalu tenang dan tenteram. Bahkan rasa-rasanya Rudita telah mulai menjelajahi jalan menuju ke kedamaian. Tetapi Agung Sedayu sudah terlanjur ada di tengah-tengah arus yang kasar dari olah kanuragan. Betapapun juga ia sudah terlanjur basah. Surut atau melangkah lanjut.

Ternyata Agung Sedayu mendapat kesempatan tiga malam untuk mempelajari ilmu yang telah dibacanya dalam kitab Ki Waskita. Ia telah sempat menemukan hubungan yang luluh antara ilmu itu dengan ilmu yang telah dikuasai sebelumnya, sehingga dengan demikian, maka ilmu yang dipelajarinya itu telah terasa luluh menjadi satu dengan ilmunya yang lain. “Kau berhasil ngger,“ berkata Ki Waskita, “ilmumu tidak lagi dibatasi dalam kotak-kotaknya masingmasing. Tetapi kau telah berhasil membuatnya menjadi luluh yang satu dengan yang lain.” “Tetapi masih dalam tingkat permulaan Ki Waskita,“ sahut Agung Sedayu. “Sudah aku katakan, permulaan bagimu adalah tataran yang harus dicapai bertahun-tahun oleh orang lain,“ jawab Ki Waskita. Dalam pada itu, seperti biasanya, menjelang dini hari mereka meninggalkan tempat terpencil itu dan berjalan melalui padukuhan-padukuhan. Tetapi Agung Sedayu di setiap pagi telah menempuh jalan yang berbeda, sehingga seolah-olah ia memang dengan sengaja mengelilingi padukuhan-padukuhan yang berbedabeda di setiap malam. Pada malam berikutnya Agung Sedayu sudah tidak tergesa-gesa lagi ketika ia berlatih bersama para pengawal. Namun ketika ia sudah selesai, maka ia masih juga pergi ketempat yang dipergunakan untuk berlatih setiap malam, sekedar untuk memantapkan ilmu yang baru saja dipelajarinya itu. Tetapi justru menjelang pagi, telah terdengar isyarat yang mengejutkan seluruh penghuni Tanah Perdikan Menoreh. Pada saat Agung Sedayu berada di sebuah gardu di padukuhan kecil di perjalanan kembali ke rumah Ki Gede, langkahnya tertegun. Dari padukuhan di ujung Tanah Perdikan itu terdengar suara kentongan memecah heningnya dini hari. Rasa-rasanya udara diatas Tanah Perdikan itu telah tergetar oleh suara kentongan dalam nada titir. Agung Sedayu dan Ki Waskita menjadi tegang. Tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata lantang, “Siapa dapat memberikan kuda kepada kami ?” Dua orang anak mudapun telah berlari-lari pulang. Sejenak kemudian mereka telah kembali dengan kuda masing-masing. “Bersiagalah sepenuhnya. Kami berdua akan pergi ke sumber suara titir itu,“ geram Agung Sedayu sambil melecut kudanya. Sejenak kemudian kuda itupun telah berderap disusul oleh kuda yang dipergunakan oleh Ki Waskita. Keduanya bagaikan berpacu. Ketika mereka melintas padukuhan berikutnya, mereka melihat anakanak muda sudah bersiap-siap. Beberapa pedati yang akan pergi ke pasar, terpaksa berhenti di sudut

desa karena mereka tidak tahu, apa yang sedang terjadi. Dengan demikian mereka merasa lebih aman berada di dekat anak-anak muda yang bersiaga daripada berada di bulak panjang. “Dimanakah sumber suara titir itu ?“ bertanya Agung Sedayu kepada anak-anak muda yang berjagajaga. “Padukuhan sebelah, diseberang bulak panjang,“ jawab salah seorang peronda. Agung Sedaya dan Ki Waskitapun memacu kudanya kembali menuju kepadukuhan sebelah seperti yang ditunjukkan oleh peronda itu. Ketika ia mendekati padukuhan yang dimaksud, suara titir sudah tidak terdengar lagi. Bahkan di padukuhan-padukuhan lain suara itu justru masih menjalar. Sementara langit yang merahpun menjadi semakin terang. Dengan jantung yang berdebar-debar Agung Sedayu memasuki padukuhan itu. Padukuhan yang berada di ujung Tanah Perdikan Menoreh. Di gerbang padukuhan Agung Sedayu mehhat beberapa anak muda berjaga-jaga dengan senjata telanjang. Ketika anak-anak muda itu melihat Agung Sedayu dan Ki Waskita, maka merekapun segera menyongsongnya. “Apa yang terjadi ?“ bertanya Agung Sedayu sambil menarik kekang kudanya. “Marilah, kita pergi ke banjar,“ jawab salah seorang dari anak-anak muda itu, “sesuatu telah terjadi.” Agung Sedayu tidak bertanya lebih banyak lagi. Iapun kemudian mengikuti anak muda itu ke banjar padukuhan yang terletak tidak terlalu jauh dari mulut lorong itu. Ketika Agung Sedayu dan Ki Waskita memasuki regol halaman, maka keduanyapun segera meloncat turun dan menambatkan kuda mereka pada patok-patok yang sudah disediakan. “Marilah, silahkan masuk,“ anak-anak muda itu mempersilahkan. Demikian Agung Sedayu melangkah masuk keruang dalam banjar padukuhan itu, maka jantungnya berdegup semakin keras. Ia melihat beberapa anak muda terbaring diatas tikar yang dibentangkan di lantai ruang dalam banjar itu. “Kenapa ?“ bertanya Agung Sedayu. Sebelum anak muda itu menjawab. Agung Sedayu telah melihat, betapa tubuh anak-anak muda itu bernoda merah biru. Dengan demikian maka Agung Sedayupun mengetahui bahwa mereka agaknya telah dipukuli oleh seseorang. “Siapa yang melakukannya ?“ bertanya Agung Sedayu.

“Marilah, silahkan duduk di pendapa banjar,“ anak muda itu mempersilahkan. “Aku harus bergerak cepat. Mungkin aku dan Ki Waskita dapat berbuat sesuatu,“ jawab Agung Sedayu. Tetapi anak muda itu mempersilahkan Agung Sedayu dan Ki Waskita untuk duduk meskipun hanya sebentar. Demikian mereka duduk, maka anak muda itupun kemudian menceritakan apa yang telah terjadi di padukuhan kecil itu. “Sejak sore, kami sudah mencurigainya,” berkata anak muda itu, “ketika kawan-kawan kami sedang berlatih, maka orang itu melihat-lihat bagaimana kami berlatih.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. “Tetapi orang itu kemudian telah pergi,“ anak muda itu meneruskan, “dan kamipun sudah melupakannya. Tetapi menjelang dini hari, kami lihat orang itu lewat di jalan padukuhan ini. Kawankawan kami yang berada di gardu diujung yang lain dari lorong ini telah menghentikannya. Nampaknya dalam pembicaraan berikutnya telah terjadi perselisihan sehingga akibatnya sangat parah bagi kawan-kawan kami yang berada di regol di ujung yang lain dari lorong ini. Beberapa orang anak-anak muda itu ternyata tidak berdaya menghadapi orang itu. Akibatnya dapat dilihat pada anakanak muda yang terbaring di ruang dalam. Sementara hal itu terjadi, salah seorang diantara mereka sempat membunyikan kentongan, sehingga gardu di ujung lainpun telah menyahut. Demikianlah maka beberapa orang yang memang sudah bangun segera membunyikan kentongan mereka masing-masing, sehingga suara titir itu telah menjalar.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun kemudian mendapat keterangan, siapakah orang yang telah melakukannya. Meskipun anak anak muda itu belum mengenalnya, tetapi satu dua diantara mereka dapat menyebut ciri-cirinya. Agung Sedayu menarik nafas. Hampir diluar sadarnya ia bergumam, “Untunglah orang itu sempat melihat latihan yang kalian lakukan ?” “Ya,“ Ki Waskitapun mengangguk-angguk. “Jika orang itu belum melihat kalian berlatih, maka keadaannya akan lebih gawat lagi.” “Aku tidak mengerti, dan apakah kau mengenalnya ?“ bertanya anak muda itu kepada Agung Sedayu. Agung sedayu merenung sejenak. Kemudian katanya, “Justru orang itu melihat latihan yang kalian lakukan, maka ia tahu, bahwa kalian tidak berbahaya baginya. Karena itu, maka yang membekas itu sekedar sentuhan-sentuhan kekuatan wajarnya saja. Itupun telah membuat seluruh tubuh anak-anak muda itu menjadi merah biru.”

“Kalau orang itu tidak mengenal kemampuan kami ?“ bertanya anak muda itu. “Mungkin ia mempergunakan kekuatan yang berlebihan, sehingga tulang belulang kalian akan rontok karenanya. Jika aku tidak salah, orang itu adalah orang yang memiliki ilmu tiada taranya dari padepokan Tal Pitu,“ jawab Agung Sedayu. Anak muda itu termangu-mangu. Tetapi ia belum mengetahui padepokan Tal Pitu, sehingga iapun tidak mendapat kesan yang nggegirisi dari nama Padepokan itu. Namun dalam pada itu, Agung Sedayupun berkata, “Obati anak-anak itu sebagaimana dapat kalian lakukan. Aku akan berusaha untuk mencari orang itu.” Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Namun sebelum Agung Sedayu meninggalkan banjar, maka sebuah iring-iringan yang lain telah datang. Ternyata adalah Ki Gede Menoreh sendiri, diiringi oleh beberapa pengawal dan Prastawa. Ki Gede mengerutkan keningnya ketika ia melihat Agung Sedayu dan Ki Waskita sudah berada ditempat itu. “Kalian sudah mendahului,“ desis Ki Gede kemudian, “itulah sebaiknya kami tidak menemukan kalian di bilik kalian. Rudita mengatakan bahwa kalian telah pergi sebelum tengah malam dan belum kembali ketika terdengar tengara titir.” “Kami berjalan-jalan di bulak-bulak panjang Ki Gede,“ sahut Agung Sedayu, “ketika terdengar titir, kami berada di sebuah padukuhan sehingga kami dapat meminjam kuda.” Ki Gede mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu Agung Sedayupun segera minta diri bersama Ki Waskita untuk mencari orang yang mereka sangka Ajar Tal Pitu. “Tetapi berhati-hatilah,“ pesan Ki Gede. Demikianlah, Agung Sedayu dan Ki Gede meninggalkan padukuhan itu. Dari seseorang Ki Gede mendapat petunjuk kemana orang yang telah menggemparkan padukuhan itu pergi. Sejenak kemudian dua ekor kuda telah berderap menuju kearah yang sama seperti yang ditunjukkan oleh orang itu. Semakin lama semakin cepat, sehingga kedua ekor kuda itu akhirnya bagaikan sedang berpacu. Tetapi ketika mereka sampai kesebuah simpang tiga, maka merekapun telah berhenti. Mereka tidak dapat menebak, kemana arah orang yang mereka cari itu.

“Kita kemana paman ?“ bertanya Agung Sedayu kepada Ki Waskita. Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Sambil menggeleng ia menjawab, “Sulit untuk mencari Agung Sedayu.” Agung Sedayu memandang Ki Waskita dengan tajamnya, seolah-olah ia inggin meyakinkan, apakah benar Ki Waskita tidak mengetahuinya. Namun akhirnya iapun menyadari, bahwa Ki Waskita bukan orang yang dapat melihat segala-galanya. Yang dapat diketahuipun hanyalah hal-hal tertentu saja. Bahkan kadang kadang Ki Waskitapun tidak berhasil mengurai isyarat yang ditangkap dan terbatas itu. Akhirnya Agung Sedayupun berkata, “Tidak ada gunanya untuk menebak-nebak kemana orang itu pergi. Ia tentu sudah pergi jauh. Atau bahkan mungkin ia masih berada disekitar padukuhan itu.” Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Baiklah kita kembali saja kepadukuhan itu.” Keduanyapun kemudian berpacu kembali, setelah keduanya tidak berhasil menemukan orang yang dicarinya, karena mereka sudah terlambat terlalu lama. Ketika mereka sampai ke banjar, Ki Gede masih duduk dipendapa. Dengan demikian, maka merekapun kemudian duduk untuk berbincang di pendapa itu. Mereka berbicara mengenai peristiwa yang baru saja terjadi di padukuhan itu, dihubungkan dengan peristiwa yang telah menimpa Rudita beberapa hari yang lalu. “Ki Gede,“ Agung Sedayupun kemudian berkata dengan nada dalam, “nampaknya kehadiranku di Tanah Perdikan ini justru telah membawa bencana.” “Ah,“ desis Ki Gede, “kita akan bersama-sama mencari orang yang telah melakukan kejahatan itu. Jika bencana itu terjadi, maka itu bukan salahmu.” “Tetapi jika aku tidak berada disini, maka hal itu tentu tidak akan terjadi,“ jawab Agung Sedayu. “Hal itu mungkin tidak akan terjadi. Tetapi perkembangan keadaan di Tanah Perdikan inipun tidak akan terjadi juga,“ sahut Ki Gede kemudian. Lalu, “karena itu, jangan hiraukan. Bukan berarti bahwa kita tidak berusaha untuk mencegah hal itu terulang kembali. Maksudku, jangan menyalahkan diri sendiri.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Karena akulah yang dicari oleh orang itu, maka aku akan mencarinya pula sampai aku dapat menemukannya.”

“Tetapi jangan tergesa-gesa. Semuanya harus diperhitungkan sebaik-baiknya. Ketergesa-gesaan tidak banyak memberikan keuntungan,“ berkata Ki Geie. Lalu, “Lakukan apa yang harus kau lakukan. Jika dalam melakukan kewajiban itu kau bertemu dengan orang itu, apaboleh buat. Orang itulah yang mencarimu. Bukan kau.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Ki Gede. Namun akupun wajib untuk berusaha membatasi bencana-bencana serupa ini.” “Kita akan melakukan bersama-sama,“ sahut Ki Gede. Dengan demikian, maka peristiwa itu justru dapat menjadi cambuk untuk meningkatkan kewaspadaan. Namun beberapa orang menjadi kecut pula hatinya. Apalagi mereka yang telah menyaksikan sendiri, bagaimana orang itu dengan gerak yang sederhana dan seolah-olah tanpa mengacuhkannya, dapat melumpuhkan beberapa orang sekaligus. Sejak malam itu, maka semua anak-anak muda telah bersiaga. Para pengawal yang tersebar itupun telah memperkuat penjagaan di padukuhan masing-masing. Sementara itu, Agung Sedayu dan Ki Waskita dimalam hari selalu berada di padukuhan-padukuhan yang tersebar di Tanah Perdikan itu, diatas punggung kuda. Hanya kadang-kadang saja mereka beristirahat dan tidur beberapa saat di banjar-banjar padukuhan. Sementara itu kuda merekapun selalu siap untuk berpacu kemanapun juga. Dalam pada itu, Rudita yang sudah menjadi sehat benar, lelah bersiap-siap untuk meninggalkan Tanah Perdikan. Menjelang keberangkatannya, ia sempat berkata kepada ayahnya, “Ayah. Bukankah kita sendiri yang selalu diombang-ambingkan oleh perasaan kita? Apabila kita dapat melepaskan diri dari sikap bermusuhan itu, maka kita tidak akan terbelenggu oleh kegelisahan yang tidak berarti itu.” Ki Waskita hanya dapat mengelus kepala anaknya. Kemudian katanya, “Pulanglah ngger. Ibumu tentu sudah menunggu. Katakan bahwa aku berada di Tanah Perdikan Menoreh.” Agung Sedayu terperanjat mendengar kata-kata Ki Waskita itu. Karena itu, maka dengan serta merta ia bertanya, “Ki Waskita, apakah tidak berbahaya bagi Rudita untuk keluar dari rumah apalagi dan padukuhan ini.” Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Keyakinannya membuat aku yakin pula akan dirinya.”

Dalam pada itu Ruditapun tersenyum sambil berkata, “Agung Sedayu. Aku mengerti, bahwa kau mencemaskan keadaanku. Mungkin aku akan mengalami nasib buruk seperti yang pernah terjadi.” Agung Sedayu mengangguk kecil. “Tidak. Tidak akan terjadi apa-apa dengan aku. Hanya mereka yang merasa bersalah, langsung atau tidak langsung, atau mereka yang memang sudah mempersiapkan diri untuk bermusuhan sajalah yang menjadi ketakutan. Mereka diburu oleh bayangan sendiri sehingga setiap gerak dan sikap, mereka harus memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas dirinya,“ sambung Rudita. “Tetapi peristiwa buruk itu telah menimpamu pula,“ sahut Agung Sedayu. “Tetapi aku tidak mencemaskannya bahwa hal itu akan mencelakai aku. Ternyata aku tidak apa-apa,“ jawab Rudita. “Tetapi peristiwa semacam itu akan dapat berakibat maut,“ bantah Agung Sedayu pula. “Itu bukan persoalanku. Jika seseorang pada suatu saat membunuhku, itu adalah persoalannya. Aku tidak mempunyai persoalan apa-apa dengan orang itu,“ jawab Rudita pula. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak menjawab lagi. Ia harus mengerti atau mencoba mengerti, alas berpijak dari keyakinan Rudita. Karena itu, maka baik Agung Sedayu maupun ayahnya tidak akan dapat mencegahnya. Ruditapun kemudian minta diri kepada seisi rumah. Kepada Ki Gede, kepada Prastawa dan kepada anak-anak muda yang berada di halaman. Ki Waskita melepas anaknya diregol halaman. Nam pak kerut-merut di kening orang tua itu. Anaknya yang seorang itu telah menganut jalan yang berbeda dengan jalan yang telah ditempuhnya. Namun justru karena itu, maka agaknya Rudita telah menemukan kedamaian di hatinya. Agung Sedayu yang juga berdiri diregol memandang anak muda itu melangkah semakin lama semakin jauh. Ketika anak muda itu hilang ditikungan, maka Agung Sedayupun menarik nafas dalam-dalam. “Aku tidak dapat berbuat apa-apa atasnya,“ desis Ki Waskita. “Ia telah menemukan satu keyakinan yang tidak tergoyahkan,“ desis Agung Sedayu. Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, “Hatinya lebih teguh dari hatiku.” “Juga dari hatiku dan dari hati setiap orang yang pernah aku kenal sampai saat ini,“ sahut Agung Sedayu pula.

Keduanya terdiam sejenak. Kemudian Ki Waskitapun berkata, “Kita serahkan segalanya kepada Yang Maha Bijaksana Kita adalah orang yang terlalu banyak membuat persoalan bagi diri kita sendiri.” Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Tetapi setiap kali ia selalu melihat dirinya sendiri sebagai seseorang yang sudah berada di tengah-tengah sungai yang mengahr deras. Bagaimanapun juga, ia sudah terlanjur menjadi basah. Demikianlah maka kedua orang itupun kemudian melangkah memasuki halaman. Prastawapun telah masuk keruang dalam. Dengan demikian maka Agung Sedayu dan Ki Waskitapun langsung masuk kedalam biliknya. “Agung Sedayu,“ berkata Ki Waskita kemudian, “sebenarnyalah aku merasa iri terhadap Rudita. Tetapi apaboleh buat. Kita sudah memilih jalan kita sendiri. Karena itu, justru kita harus berusaha agar dengan jalan yang kita tempuh ini, kita akan dapat berbuat sesuatu yang paling baik.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Ki Waskita berkata ketika aku masih kanak-kanak, aku sering berangan-angan, agar aku dapat menjadi orang yang tidak terkalahkan. Orang yang memiliki kesaktian yang paling tinggi. Bahkan melampaui tataran manusia sewajarnya. Jika aku dalam keadaan yang demikian, maka aku akan menghancurkan semua kejahatan tanpa ragu-ragu karena tidak seorangpun akan dapat mengalahkan aku.” Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Angan-angan yang demikian pernah juga hinggap dikepalanya. Bahkan dengan jujur ia mengatakan kepada dirinya sendiri, “Angan-angan semacam itu masih tetap ada didalam dada ini.” Tetapi sebagian dari kemampuan yang di angan-angankan itu telah dimilikinya. Meskipun demikian, yang dimilikinya itu adalah masih jauh dari angan-angannya. Karena angan-angan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, keterbatasan kewadagan dan kajiwan. Namun dalam pada itu, segalanya itu justru telah mendorong Agung Sedayu untuk bekerja lebih keras lagi. Sebagairnana membayang di angan-angannya, semakin banyak dan semakin tinggi ia menguasai ilmu, maka iapun akan menjadi semakin banyak dapat beramal. Dalam pada itu, pada saat yang tegang di Tanah Perdikan Menoreh, maka Agung Sedayupun menganggap, bahwa tugasnya yang utama, setelah ia berhasil mengarahkan kemauan dan kemampuan kerja orang-orang Tanah Perdikan Menoreh, adalah peningkatan gairah kerja anak-anak mudanya, juga dalam pengamanan kampung halamannya. Namun sementara ia mulai, maka di Tanah Perdikan itu telah hadir seorang yang menganggap dirinya

sebagai lawan bebuyutan yang harus dibinasakannya. “Sikapku memang berbeda dengan sikap Rudita,” berkata Agung Sedayu didalam hatinya, “aku harus menghadapi orang yang bernama Ajar Tal Pitu itu, agar ia tidak berbahaya bagi orang lain.” Demikianlah maka kerja Agung Sedayu disetiap malam adalah mencari orang yang bernama Ajar Tal Pitu bersama Ki Waskita. Bukan karena Agung Sedayu tidak berani menghadapinya sendiri, tetapi kecurangan memang mungkin terjadi di mana-mana. Orang itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya anak muda yang bertanya kepadanya itu. Kemudian dipandanginya pula anak-anak muda yang berdiri termangu-mangu di muka gardu. Baru sejenak kemudian orang itu berkata, “Aku datang untuk satu kepentingan pribadi. Sama sekali tidak menyangkut siapapun juga. Karena itu, jika ada orang yang ingin menggangguku, maka ia akan menjadi korban yang pertama.” “Jika masalahnya tidak menyangkut kami, tentu kami tidak akan ikut mencampurinya,“ jawab anak muda itu, “yang justru ingin kami tanyakan, apakah kami akan dapat membantu Kiai.” Orang itu mengerutkan keningnya. Sejenak kemudian orang itu berkata, “Baiklah. Jika kau memang ingin membantuku, aku akan sangat berterima kasih.” “Nah, barangkali ada yang dapat kami lakukan ?“ bertanya anak muda itu. “Aku ingin bertemu dengan Agung Sedayu,“ jawab orang itu. “ Agung Sedayu ?“ ulang anak muda itu. “ Ya. Apakah kau mengenalnya ?“ bertanya orang itu. “Tentu. Aku mengenalnya dengan baik,“ jawab anak muda itu, “aku akan mengatakannya. Tetapi apakah yang harus aku katakan ?” “Aku ingin bertemu dengan Agung Sedayu. Aku ingin berperang tanding. Aku tidak berkeberatan jika ia membawa saksi-saksi. Tetapi tantanganku adalah perang tanding,“ jawab orang itu. Anak-anak muda itupun termangu-mangu. Yang berdiri di depan gardu itupun menegang. Tetapi anak muda yang berbicara langsung itu masih bertanya, “jadi apakah yang harus aku katakan kepadanya ? Perang Tanding ? Dimana dan kapan ?” “Aku siap melakukannya di manapun juga,“ jawab orang itu, “tetapi lebih baik jika kita akan melakukan perang tanding ditempat yang tidak banyak didatangi orang. Aku menunggu di ujung hutan dibawah sebatang pohon randu alas yang menurut keterangan beberapa orang disebut randu papak. Jika purnama naik, aku tantang Agung Sedayu di bawah randu papak diujung hutan. Aku masih

menghargai harga diri Agung Sedayu dan orang-orang Tanah Perdikan ini. Karena itu aku menganggap bahwa mereka tidak akan berbuat curang meskipun yang akan hadir di randu papak itu bukan hanya Agung Sedayu seorang diri. Aku tahu, bahwa Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan ini bersama Ki Waskita, dan sudah barang tentu Ki Gede sendiri adalah orang yang mumpuni.” Anak muda itupun mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Kiai, aku akan menyampaikannya. Aku tidak mengerti persoalan apakah yang sudah terjadi antara Kiai dan Agung Sedayu. Karena itu, kewajibanku hanyalah menyampaikannya saja kepadanya.” “Bagus. Aku mengucapkan terima kasih,“ jawab orang itu, “jangan lupa. Pada saat purnama naik, dibawah randu papak diujung hutan. Jika Agung Sedayu tidak datang, maka akibatnya akan sangat buruk bagi Tanah Perdikan yang sedang dibangunnya. Tetapi jika ia datang dan bahkan setelah kematiannya, Tanah Perdikan ini akan dapat bekerja terus meskipun tanpa anak itu. Sebenarnyalah bahwa anak itu tidak banyak berarti bagi Tanah Perdikan ini.” “Nampaknya Kiai banyak mengetahui tentang Agung Sedayu,“ desis anak muda itu. “Aku mengetahui segala-galanya tentang anak itu. Aku sudah mendapat keterangan tentang anak itu sampai hal yang sekecil-kecilnya. Karena itulah maka aku sudah siap untuk membunuhnya,“ jawab orang itu. Anak-anak muda yang berada di depan gardu itu menjadi semakin tegang. Rasa-rasanya mereka ingin menerkam orang itu. Tetapi mereka sadar, bahwa pernah terjadi, beberapa orang kawan mereka menjadi pingsan karena seseorang, yang menurut dugaan mereka, tentu orang itu pula. Tetapi anak muda yang langsung menghadapi orang itu telah bertindak bijaksana. Ia masih tetap menahan diri dan berbicara dengan cara yang baik, sehingga orang itu tidak menjadi marah dan berbuat sesuatu yang dapat mencelakai mereka. “Sudahlah,“ berkata orang itu, “katakan kepada Agung Sedayu, sebagaimana aku pesankan. Biarlah ia berkemas menghadapi hari kematiannya. Barangkali ia masih ingin memberikan pesan kepada seseorang menjelang kematiannya.” Anak muda itu tidak menjawab. Sementara orang itupun melangkah menjauh sambil berkata, “Aku tunggu di randu papak menjelang purnama naik. Aku tidak berkeberatan jika ia membawa saksi untuk kemudian membawa mayatnya dan menguburkannya.” Anak-anak muda di gardu itu bagaikan membeku. Mereka hanya memandangi saja laki-laki itu berjalan semakin lama semakin jauh memasuki gelapnya malam. Demikian orang itu hilang, anak-anak muda di gardu itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi seorang diantara merekapun berkata, “Kita beri isyarat. Agung Sedayu tentu sudah siap memburunya.” “Orang itu menantang perang tanding,“ jawab pengawal yang berbicara langsung. “Karena itu, kita hindari perang tanding itu. Jika kita menunggu purnama naik, maka yang akan tejadi

adalah perang tanding. Tetapi jika sekarang kita membunyikan isyarat titir, maka Agung Sedayu tidak perlu menghadapinya dalam perang tanding yang mungkin akan merenggut nyawanya,“ jawab anak muda itu. Pengawal itu termangu-mangu. Namun kemudian ia menggeleng, “Kita minta pertimbangan Agung Sedayu. Terserah apakah Agung Sedayu akan melayaninya dalam perang tanding, atau nanti pada saatnya, ia akan menangkap orang itu sebagai seorang penjahat.” Tetapi anak muda itu membantah, “Agung Sedayu tentu keberatan jika hal itu dilakukan pada saat perang tanding itu dilaksanakan.” “Meskipun demikian, aku tidak dapat menyetujuinya. Kita harus berbicara dahulu dengan Agung Sedayu sendiri,“ jawab pengawal itu. Karena itulah, maka niat untuk membunyikan isyarat itupun diurungkannya. Anak anak muda itupun kemudian bersepakat untuk menyampaikan hal itu kepada Agung Sedayu sebagaimana adanya. Demikianlah, maka rasa-rasanya anak-anak itu tidak sabar menunggu pagi. Tetapi mereka tidak dapat langsung menjumpai Agung Sedayu, karena merekapun tahu, bahwa Agung Sedayu biasanya juga tidak menetap. Baru setelah matahari terbit, ia berada kembali dirumah Ki Gede Menoreh. Dengan demikian, maka demikian matahari mulai naik keatas cakrawala maka dua orang anak muda dengan tergesa-gesa telah pergi ke rumah Ki Gede Menoreh. Mereka rasa rasanya tidak sabar untuk menemui Agung Sedayu sambil berjalan kaki. Karena itu, maka kedua anak muda itupun pergi ke padukuhan induk dengan berkuda. Kedatangan mereka telah mengejutkan para pengawal. Dengan wajah tegang dan tergesa-gesa mereka bertanya, apakah Agung Sedayu ada di rumah itu, “Ada apa ?“ bertanya seorang pengawal di regol halaman. “Aku ingin bertemu dengan Agung Sedayu segera,“ jawab anak muda yang baru datang itu. “Iapun belum lama datang,“ jawab pengawal di regol halaman. “Aku tahu bahwa ia selalu meronda di malam hari. Karena itu aku datang setelah matahari terbit.” Kedua orang anak-anak muda itupun kemudian langsung dibawa kepada Agung Sedayu di gandok. Nampaknya Agung Sedayu baru saja selesai mandi dan mengemasi dirinya. “Silahkan,“ berkata Agung Sedayu ketika kedua orang anak muda itu naik keserambi gandok.

Setelah menunggu sejenak, maka Agung Sidayupun kemudian duduk bersama kedua orang anak muda yang sudah dikenalnya itu. “Apakah ada sesuatu yang penting ? Bagaimana dengan latihan-latihan yang diselenggarakan di padukuhan kalian ?“ bertanya Agung Sedayu. Salah seorang dari kedua orang anak muda itu adalah anak muda yang langsung berbicara dengan orang yang aneh itu. Karena itu maka ia tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Kegelisahannya telah mendorongnya untuk berkata, “Agung Sedayu. Ada sesuatu yang sangat penting bagimu.” “Apa ?“ bertanya Agung Sedayu dengan hati yang berdebar-debar. Anak muda itupun kemudian menceriterakau apa yang ditemuinya ketika ia sedang meronda di padukuhannya. “Anak-anak yang berada di gardu itupun melihat dan mendengar percakapan kami,“ berkata anak muda itu. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Baginya menjadi semakin jelas. Orang itu tentu Ajar Tal Pitu yang mendendamnya sampai keujung rambut. “Bagaimana pertimbanganmu Agung Sedayu,“ bertanya anak muda itu. Agung Sedayu memandang kedua orang anak muda itu berganti-ganti. Kemudian dengan nada datar ia berkata, “Aku tidak dapat memilih jalan lain kecuali menerimanya.” “Maksudmu, kau akan menerima tantangannya ?“ bertanya salah seorang dari kedua anak muda itu. “Ya. Aku akan menerima tantangannya,“ jawab Agung Sedayu. “Perang tanding ?“ bertanya anak muda itu. “Tidak ada pilihan lain. Jika aku tidak menerima tantangan itu, kalianlah yang akan menjadi korban. Apa yang telah kita kerjakan selama ini akan menjadi berantakan,“ jawab Agung Sedayu. “Tetapi bukankah dengan demikian orang itu dapat dianggap sebagai seorang penjahat dan akan dapat ditangkap beramai-ramai ? Kau, Ki Waskita, Ki Gede sendiri dan kami, para pengawal,“ berkata anak muda itu. “Tetapi dengan demikian akan dapat mengundang persoalan yang lebih jauh lagi,“ jawab Agung

Sedayu, “karena itu biarlah aku menghadapinya. Bagiku, dengan demikian persoalan inipun tidak akan berkepanjangan. Apa yang akan terjadi, tetapi persoalanku dengan orang itupun akan berakhir dengan tuntas.” “Siapakah sebenarnya orang itu. Agung Sedayu ?“ bertanya anak muda yang lain. “Aku belum dapat mengatakannya karena aku belum bertemu dengan orang itu. Tetapi menilik ciri-ciri yang kalian katakan, orang itu agaknya adalah Ajar Tal Pitu yang mempunyai dendam kepadaku,“ jawab Agung Sedayu. “Tetapi apakah hal itu tidak akan sangat berbahaya bagimu Agung Sedayu. Orang itu mempunyai kemampuan yang tidak terhingga. Beberapa orang pengawal baginya tidak berarti sama sekali.”

Buku 147 DENGAN sekali ayun, ia dapat membuat dua tiga orang pingsan. Padahal, orang itu seolah-olah tidak berbuat apa-apa sama sekali. Bagaimana kira-kira akibat yang dapat timbul jika ia benar-benar mengayunkan tangan atau kakinya untuk menyerang,“ berkata salah seorang dari kedua anak muda itu. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, “Kita serahkan segalanya kepada Yang Maha Agung.” Kedua anak muda itu terdiam. Merekapun mengerti, bahwa akhir dari segalanya ada dalam tangan dan keputusan-Nya. Namun dalam pada itu. Agung Sedayu masih juga bertanya, “Menurut perhitungan kalian, purnama naik dalam berapa hari lagi ?” “Lima hari lagi,“ jawab anak muda yang langsung berbicara dengan orang yang disangka Ajar Tal Pitu itu. “Yang aku tidak tahu, apakah sebabnya ia menunggu sampai saatnya purnama naik,“ desis Agung Sedayu. “Aku tidak tahu. Tetapi mungkin pada saat bulan bulat, malam tidak terlampau pekat, sehingga ia dapat melihat lawannya dengan jelas. Hal itu akan menguntungkan baginya,“ jawab anak muda yang lain. “Tetapi bukankah lawannya juga akan mendapatkan keuntungan yang sama karena malam yang terang itu ?“ desis Agung Sedayu. Namun kemudian, “Tetapi baiklah. Aku tidak berkeberatan kapan ia akan turun dalam arena perang tanding. Aku lerima tantangannya. tempat dan waktunya.” Kedua anak-anak muda itu termangu2. Namun ia tidak dapat merubah lagi keputusan Agung Sedayu, karena hal itu agaknya menyangkut banyak masalah yang tidak mereka ketahui sebelumnya. Ketika anak-anak muda itu meninggalkan rumah Ki Gede, maka Agung Sedayupun telah membicarakan hal itu tidak saja dengan Ki Waskita, tetapi dengan Ki Gede Menoreh. “Kau dapat menangkapnya,“ berkata Ki Gede, “tanpa menghiraukan tantangan perang tanding. Aku dapat menganggapnya sebagai seorang penjahat yang dapat aku tangkap dengan seluruh kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh ini.” “Tetapi masalahnya adalah masalahku Ki Gede,“ jawab Agung Sedayu, “sebaiknya aku terima tantangannya dengan jantan. Bukan karena sikap yang sombong, tetapi semata-mata aku tidak akan menyangkut orang lain dalam kesulitan ini. Ajar Tal Pitu adalah orang yang memiliki kemampuan baik secara pribadi, maupun sebagai seorang pemimpin padepokan, la tentu tidak akan menerima keadaan apapun juga

kecuali perang tanding. Aku tahu, ia ingin melepaskan dendamnya. Tetapi tentu ada juga pembicaraan dengan Ki Pringgajaya yang memberikan dorongan kepadanya untuk melepaskan dendamnya itu.” Ki Gede Menorehpun tidak mempunyai kesempatan untuk mencegahnya. Agung Sedayu sudah bertekad untuk membatasi persoalannya dengan Ajar Tal Pitu tanpa menyeret orang lain. Apalagi anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang mulai bangun dari tidurnya yang nyenyak. Demikianlah, maka pada hari itu juga telah tersebar diseluruh Tanah Perdikan Menoreh tantangan yang ditujukan kepada Agung Sedayu. Setiap orang di Tanah Perdikan Menoreh mengetahui, bahwa besok pada saat purnama naik. Agung Sedayu akan melakukan perang tanding di randu papak diujung hutan. Namun sementara itu, yang lima hari itu adalah waktu yang dapat dipergunakan untuk mematangkan diri menghadapi perang tanding yang mendebarkan itu. Ketika malam kemudian tiba. Agung Sedayu sudah tidak merasa perlu lagi untuk mengelilingi Tanah Perdikan Menoreh mencari orang yang disangka Ajar Tal Pitu, karena orang itu justru sudah menyampaikan tantangan. Namun demikian Agung Sedayupun masih juga menyelesaikah jalan-jalan antara padukuhan untuk menjaga agar anak-anak muda tidak menjadi ketakutan karenanya. Jika mereka melihat bahwa Agung Sedayu sendiri tidak merasa cemas menghadapi tantangan itu, maka anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh itupun tidak akan terpengaruh karenanya. Sebenarnyalah bahwa anak-anak muda digardu-gardu yang melihat justru Agung Sedayu hanya seorang diri, saling berbisik, “Agung Sedayu sama sekali tidak gentar.” Namun dalam pada itu, meskipun bulan belum bulat, tetapi langit sudah nampak terang. Lewat senja, bulan yang sudah hampir bulat sudah memanjat langit, sementara awan yang tipis hanyut oleh angin malam yang dingin. Ketika Agung Sedayu kembali ke biliknya, baru saja ia duduk di pembaringannya, maka Ki Waskita berdesis, “Kau dengar suara itu Agung Sedayu.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian iapun bertanya, “Suara apa paman ?” “Aku tidak pernah memperhatikannya, tetapi rasa-rasanya suara itu jarang aku dengar sebelumnya. Mungkin sebelumnya aku kurang memperhatikan. Baru setelah aku mendengar rencana Ajar Tal Pitu untuk melakukan perang tanding pada saat purnama naik, aku tertarik pada suara itu.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi keinginannya untuk mengetahui semakin mendesaknya, sehingga ia bertanya pula, “Tetapi suara apakah yang paman maksud ?” “Kau mendengar suara serigala ?“ bertanya Ki Waskita. Tiba-tiba saja kulit Agung Sedayu meremang. Ia memang mendengar suara srigala yang mengaum panjang sekali.

Seolah-olah menelusuri pegunungan dari ujung sampai keujung. “Paman,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “kita dapat bertanya kepada anak-anak muda yang berada di regol, apakah di hutan-hutan didaerah Menoreh terdapat banyak srigala.” Ki Waskita mengangguk. Jawabnya, “Ada baiknya juga kau bertanya kepada mereka.” Agung Sedayu tidak menunggu lagi. Iapun segera bangkit dan melangkah keluar biliknya. Ketika ia turun dari serambi gandok, langit sudah menjadi suram. Bulan yang belum bulat telah turun di ujung Barat. Namun diregol masih ada beberapa orang peronda yang duduk sambil memeluk lutut, sementara dua orang diantara mereka berjalan hilir mudik sambil memanggul tombak pendek. Agung Sedayupun kemudian duduk diantara para peronda itu. Mereka sama sekali tidak heran, karena Agung Sedayu memang sering melakukannya. Setelah beberapa saat mereka berbincang, maka Agung Sedayupun kemudian bertanya tentang penghuni hutan di sekitar Tanah Perdikan Menoreh. “Ki Gede masih sering berburu harimau,“ jawab salah seorang diantara para peronda itu. “Apakah di hutan itu terdapat serigala ?“ bertanya Agung Sedayu. Para peronda itu mengerutkan keningnya. Seorang yang sudah berpengalaman dalam perburuan berkata, “Tidak. Di hutan itu tidak ada serigala. Yang ada hanya anjing-anjing liar yang memang mirip dengan tingkah laku serigala. Tetapi ujudnya agak berbeda.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia bertanya, “Jika demikian, apakah yang aku dengar ini suara anjing hutan ?” Para peronda itu mengerutkan keningnya. Merekapun mendengarkan dengan saksama. Sebenarnyalah mereka mendengar lolongan panjang. Seorang peronda yang masih sangat muda beringsut. Kulitnyapun terasa meremang. Hampir berbisik ia berkata, “Aku belum pernah mendengar suara itu.” Tetapi yang lebih tua tersenyum. Katanya, “Tentu suara anjing hutan. Mungkin mereka kelaparan, sehingga mereka melolong seperti itu.” “Apakah suara itu jarang terdengar ?“ bertanya Agung Sedayu. “Mungkin kami kurang memperhatikan saja sebelumnya,“ jawab yang lebih tua itu.

Tiba-tiba saja jantung Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Anak-anak muda yang meronda itu juga kurang memperhatikan sebelumnya, atau suara serigala itu memang tidak pernah terdengar kecuali malam itu. Demikianlah setelah berbicara sejenak, maka Agung Sedayu kembali lagi kedalam biliknya untuk memberitahukan apa yang diketahui oleh anak-anak muda itu kepada Ki Waskita. Ki Waskita yang masih duduk di pembaringannya itupun mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, “Akupun merasa aneh mendengar suara itu.” “Paman,“ bertanya Agung Sedayu kemudian, “seandainya suara itu belum pernah terdengar sebelumnya, apakah menurut dugaan paman, telah terjadi geseran kawanan serigala dari ujung hutan yang lain kebutan di tlatah Menoreh ?” “Mungkin juga hal itu dapat terjadi. Karena sesuatu hal maka sekelompok serigala telah memasuki hutan didaerah ini, sehingga lolongan itu merupakan jerit perkenalan dengan daerah barunya,“ Ki Waskita berhenti sejenak, namun kemudian katanya, “Tetapi cobalah kau renungkan Agung Sedayu. Mungkin kau pernah mendengar dongeng tentang seekor harimau jadi-jadian. Tentang seekor babi hutan jadi-jadian dan juga tentang serigala jadi-jadian ?” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Suara serigala itu sudah tidak didengarnya lagi. “Bulan yang belum bulat sudah tenggelam. Sebentar lagi fajar akan menyingsing,“ desis Ki Waskita. “Apakah tenggelamnya bulan itu ada hubungannya dengan hilangnya lolong anjing hutan atau serigala atau semacam itu yang Ki Waskita sebut jadi-jadian ?“ bertanya Agung Sedayu. Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Mungkin aku terlalu berhati-hati. Tetapi mungkin ada gunanya juga untuk menghubungkannya dengan tantangan orang yang kita sangka Ajar Tal Pitu itu. Bukankah ia akan menemukannya tepat saat purnama naik dibawah randu papak di ujung hutan.” Tiba-tiba wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Sejenak ia memandang Ki Waskita, kemudian katanya, “Apakah menurut Ki Waskita, orang itu dapat menjelma menjadi seekor serigala atau anjing hutan yang garang dan buas ?” Ki Waskita mengangguk kecil. Tetapi Agung Sedayu masih menjawab, “Paman. Kita adalah orang-orang yang bertualang didalam olah kanuragan. Bukankah seandainya kita bertemu dengan seekor harimau sekalipun kita tidak akan gentar ? Apalagi seekor serigala.

Jika aku harus berkelahi dengan Ajar Tal Pitu dalam ujud serigala, aku tidak akan gentar. Bahkan dengan demikian ia telah mempersempit kemungkinan geraknya, karena apa yang dapat dilakukan oleh seorang, maksudku seekor serigala adalah sangat terbatas. Apalagi jika aku bersenjata. Cambukku akan segera mengoyak kulitnya.” “Kau benar ngger. Tetapi kau harus ingat, dalam ujud seekor serigala maka ia akan dapat berbuat dengan cara yang paling buas dan liar. Ia akan dapat mempergunakan segenap tubuhnya, kukukukunya, giginya dan barangkali juga racun pada kuku-kukunya itu,“ Ki Waskita berhenti sejenak, lalu, “tetapi yang lebih buruk dari itu adalah satu ilmu yang dapat mempengaruhi binatang sejenis dari bentuk jadi-jadiannya itu.” “Maksud paman, bentuk serigala itu akan mampu menyeret serigala-serigala sebenarnya untuk menyerang aku ?“ bertanya Agung Sedayu. “Ya. Itulah yang harus diperhatikan. Betapapun tinggi ilmumu, kau akan mengalami kesulitan untuk melawan dua puluh atau duapuluh lima ekor serigala, atau bahkan anjing hutan yang buas dan liar. Binatang itu akan menerkam dari segala arah tanpa mengenal takut dan perhitungan apapun juga.” “Suatu ilmu yang aneh,“ desis Agung Sedayu. “Tetapi seseorang akan dapat melakukannya. Seseorang mempunyai kemampuan untuk memanggil beribu-ribu ekor ular dan memberikan perintah kepadanya. Bahkan ada seorang pawang ular yang mampu menemukan satu diantara beribu-ribu ular yang telah menggigit seseorang dan memerintahkan kepada kawan-kawannya, maksudku kawan-kawan ular itu untuk menghukum dan membinasakan. Di pinggir kedung yang terdapat di pinggir Kali Bagawanta aku mendengar ada seorang pawang yang dapat memanggil berpuluh-puluh ekor buaya dan memberikan perintah kepada buaya-buaya itu dengan cara yang khusus.” “Dan buaya-buaya itu dapat juga menyerang seseorang ?“ bertanya Agung Sedayu. “Ya. Demikian juga terjadi atas seseorang yang dapat menjelma menjadi seekor harimau,“ berkata Ki Waskita. Lalu, “Tetapi yang lebih mungkin dilakukan dan yang lebih tepat diperhitungkan adalah mereka yang mampu mempengaruhi binatang-binatang itu dengan semacam ilmu gendam.” Agung Sedayu merenung sejenak. Dengan demikian ia akan menghadapi satu persoalan baru. Ia akan menghadapi satu bentuk ilmu yang pelik dan yang tidak ditemuinya dalam kitab Ki Waskita.

Dalam pada itu, seolah-olah Ki Waskita dapat membaca pikiran Agung Sedayu sehingga iapun berkata,“ berjenis-jenis ilmu yang terdapat didalam kitab yang pernah kau baca itu tidak kau jumpai satu pun dari jenis ilmu yang dapat mempengaruhi binatang dalam bentuk apapun. Sementara itu, untuk melawan seekor binatang kau tidak akan dapat mempergunakan ilmu semu, karena binatang itu tidak akan terpengaruh karenanya.” “Jadi, bagaimana menurut pendapat Ki Waskita ?“ bertanya Agung Sedayu. “Kau harus menemukan jalan. Tetapi untuk sementara kau harus meningkatkan ilmu kebalmu. Selebihnya kau akan di paksa untuk menyapu lawanmu dengan kekuatan sorot matamu. Namun harus diperhitungkan, bahwa kau mungkin sekali akan menghadapi sekelompok serigala sekaligus Ajar Tal Pitu itu sendiri dalam bentuk dan ujudnya diatas alas segenap ilmu dan kemampuannya.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun dengan demikian ia sudah memperhitungkan, bahwa melawan Ajar Tal Pitu atau orang yang disangka Ajar Tal Pitu itu akan sangat berat baginya. Apalagi apabila benar orang itu dapat mempengaruhi beberapa ekor binatang. Yang suaranya sudah diperdengarkan disaat bulan ada dilangit adalah suara lolongan serigala. Seandainya Agung Sedayu mengetrapkan ilmu kebalnya, maka iapun harus memperhitungkan, apakah Ajar Tal Pitu itu secara pribadi disamping binatang-binatang yang dapat dipengaruhinya, mempunyai kemampuan untuk menembus ilmu kebalnya, atau bahwa Ajar Tal Pitu didalam ujud jadi-jadiannya juga mampu menembus ilmu kebalnya, sementara ia sendiri tidak dapat membedakan, diantara sekian banyak serigala, yang manakah bentuk jadi-jadian itu. Namun dalam pada itu, Ki Waskita yang sudah memiliki pengalaman yang lebih banyak dari Agung Sedayu itupun berkata, “Agung Sedayu. Jika kau sudah menerima tantangannya untuk berperang tanding, maka tidak seorangpun yang berhak untuk membantumu dalam ujud apapun setelah perang tanding itu berlangsung. Tetapi sebelumnya, tegasnya saat ini aku masih dapat memberikan petunjuk. Kau sudah membaca kitab itu, dan kau sudah memahatkan isinya didalam dinding hatimu. Nah, kau akan dapat melihat perkembangan yang dapat kau pelajari dari ilmu kebal yang terdapat didalam kitab itu. Semisal orang berjalan, kau tinggal melangkah satu dua langkah lagi, sehingga kau akan sampai ketujuan.” “Tetapi,“ wajah Agung Sedayu menjadi tegang, “apakah aku pantas melakukannya Ki Waskita.” “Kenapa tidak ?“ jawab Ki Waskita, “ilmu itu tidak akan terungkap disembarang waktu dan tempat, kecuali kau kehendaki. Karena itulah maka meskipun kau mempunyai ilmu kebal, Glagah Putih telah membuat kau terkejut dengan api upet yang tidak lebih besar dari jari tangan karena saat itu kau tidak sedang mengungkapkan ilmumu. Juga ilmu yang dapat kau capai selangkah lagi itu tidak akan banyak berpengaruh dalam kehidupanmu sehari-hari. Kau masih mempunyai waktu ampat hari ampat malam setelah malam ini. Dan kau akan mempergunakannya tiga hari tiga malam.” Agung Sedayu merenungi kata-kata itu. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk. Tiga hari tiga

malam ia akan berada di sanggar. Sudah tentu ia harus minta ijin kepada Ki Gede Menoreh agar tidak menimbulkan salah paham. Demikianlah, bersama Ki Waskita, Agung Sedayu menghadap Ki Gede Menoreh di pagi harinya. Mereka menyampaikan semua persoalan yang dihadapi dan akan dilakukan. Ki Gede mengangguk-angguk. Namun katanya, “Aku masih ingin mengemukakan sekali lagi satu rencana penangkapan terhadap seorang yang telah berbuat jahat di Tanah Perdikan Menoreh, bukan satu perang tanding.” Tetapi Agung Sedayu menjawab, “Aku akan menyerahkan segalanya jika perang tanding itu sudah selesai, dan aku tidak berhasil.” Ki Gedepun tidak dapat memaksa. Karena itu, maka yang dapat dilakukan adalah menyediakan sanggarnya bagi Agung Sedayu. Demikianlah, maka Agung Sedayu mulai dengan menempa dirinya khusus untuk menghadapi cara-cara yang dapat ditempuh oleh Ajar Tal Pitu. Didalam sanggar, ketika malam turun, dan bulan yang hampir bulat memancar dilangit, maka di kejauhan terdengar suara serigala yang melolong semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin keras. Jantung Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar, ketika ia mendengar lolong anjing yang lain, menyahut dari arah yang berbeda. Namun justru hal itu telah mendorongnya untuk lebih tekun dalam pembajaan diri. Ada bermacam-macam tanggapan di Tanah Perdikan Menoreh sejak Agung Sedayu tidak menampakkan diri. Bagaimanapun juga, Prastawa masih belum ikhlas sepenuhnya untuk menerima Agung Sedayu di Tanah Perdikan Menoreh dalam kedudukan yang lebih baik dari dirinya sendiri di hadapan anak-anak muda. Karena itu, ketika beberapa anak-anak muda bertanya kepadanya, maka Prastawa itu menjawab, “Anak itu menjadi sangat tertekan. Ia menjadi ketakutan dan tidak berani keluar dari biliknya sampai purnama lewat. Nanti, jika purnama telah lampau, maka ia akan kembali menyelusuri jalan-jalan Tanah Perdikan ini diatas punggung kudanya yang berwarna gelap itu.” “Tetapi, jika Agung Sedayu tidak memenuhi tantangan itu, kita akan menjadi korban,“ jawab anakanak muda itu. “Tidak. Sudah barang tentu dalam keadaan yang demikian, semua kekuatan akan dikerahkan. Tentu Paman Argapati tidak akan tinggal diam. Betapapun tinggi ilmu orang yang menantang Agung Sedayu dalam perang tanding itu, ia tidak akan dapat mengimbangi kemampuan paman Argapati itu sendiri. Apalagi disini ada Ki Waskita dan sudah tentu aku sendiri.” Anak-anak muda itu tidak menjawab. Tetapi mereka sebenarnya masih menyimpan persoalan didalam hati. Jika demikian kenapa mereka tidak beramai-ramai menangkap pada saat seperti yang disebut oleh orang yang menantang Agung Sedayu untuk berperang tanding. Demikianlah rasa-rasanya hari merambat dengan lamban.

Ada semacam keinginan dari anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh untuk menunggu apa yang akan terjadi. Bahkan dalam pada itu. Ki Gede yang masih selalu mengelilingi Tanah Perdikannya yang sedang bangkit itu bersama Ki Waskita, selalu mengatakan, Agung Sedayu akan turun ke arena sebagaimana dikehendaki oleh orang yang menantangnya. Akhirnya yang tiga hari tiga malam itu telah lewat. Ketika fajar menyingsing Agung Sedayu telah keluar dari sanggar. Ia langsung menuju ke pakiwan untuk mandi dan keramas sebagai mana harus dilakukan sesuai dengan petunjuk yang tertera didalam kitab. “Kau masih mempunyai waktu satu malam untuk beristirahat,“ berkata Ki Waskita kepada anak muda itu setelah Agung Sedayu mandi. Lalu, “kau dapat memanfaatkan waktumu sebaik-baiknya.” Agung Sedayu mengangguk. Ketika ia kemudian menghadap Ki Gede, maka Ki Gedepun berkata, “Kita semua berdoa kepada Tuhan. Tidak ada ilmu yang dapat membatalkan keputusannya. Mudahmudahan Tuhan selalu melindungi kita semuanya.” Satu malam yang tersisa telah dipergunakan oleh Agung Sedayu untuk beristirahat. Tetapi beristirahat sesuai dengan tugas Agung Sedayu adalah berkunjug dari gardu ke gardu. Anak-anak muda yang telah tiga malam tidak melihat Agung Sedayu terkejut. Apalagi Agung Sedayu malam itu hanya seorang diri. Sehingga dengan demikian, kesan seolah-olah Agung Sedayu menjadi ketakutan segera telah terhapus dari pikiran anak-anak muda itu. “Kemana kau selama ini ?“ bertanya seorang anak muda. “Menikmati hari-hari terakhir di pembaringan,“ jawab Agung Sedayu sambil tersenyum. “Ah, kau aneh ?“ desis anak muda yang lain. “Seperti kalian, akupun harus bersiap-siap. Sudah lama aku tidak mempergunakan ilmu kanuragan yang ada didalam diriku sepenuhnya. Aku berusaha mengungkapnya. Mungkin malam besok aku memerlukannya,“ jawab Agung Sedayu bersungguh-sungguh. Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Namun jantung merekapun ikut menjadi tegang, bahwa di malam hari esok akan terjadi perang tanding antara Agung Sedayu dengan orang yang tidak mereka ketahui, namun yang tentu menyimpan dendam terhadap Agung Sedayu. Ketika bulan yang hampir bulat sudah memanjat langit, maka seperti beberapa malam sebelumnya, terdengar suara sejenis anjing hutan melolong dikejauhan. Bukan sekedar anjing liar yang tidak terpelihara, tetapi anjing hutan yang buas dan garang. Agung Sedayu yang sedang berkuda dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain telah berhenti di

tengah-tengah bulak. Dipandanginya pegunungan yang uimaridikan oleh cahaya bulan yang kekuning-kuningan. Pohon nyiur dilereng yang bagaikan tertidur nyenyak. Namun suara anjing hutan itu bagaikan telah menggetarkan seluruh Tanaih Perdikan. Tetapi Agung Sedayu benar-benar telah siap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan seandainya malam itu, ia harus bertempur iapun telah siap pula. Sejenak kemudian Agung Sedayu melanjutkan perjalanannya. Namun ketika ia sampai di sebuah tikungan, ditengah-tengah bulak, tiba-tiba kudanya meringkik bahkan kemudian hampir melonjak berdiri. Untuk beberapa saat kuda itu sulit dikendalikan. Namun akhirnya kuda itupun dapat dikasainya meskipun masih nampak betapa kuda itu menjadi gelisah dan ketakutan. Bahkan kemudian, ternyata tengkuk Agung Sedayupun telah meremang. Kudanya yang gelisah dan kadang-kadang masih bergeser surut itu ternyata telah dikejutkan oleh sepasang mata yang bagaikan menyala. Dengan jantung yang berdebaran Agung Sedayu memandang seekor anjing yang luar biasa besarnya menunggu ditikungan. Seekor anjing yang bulu ditengkuknya memanjang dan moncongnya runcing melampaui anjing kebanyakan. Kuda Agung Sedayu meringkik lagi ketika anjing itu menyeringai. Gigi-giginya yang tajam runcing nampak mengerikan, sementara matanya masih saja menyala memandang Agung Sedayu yang masih duduk dipunggung kuda. Namun akhirnya Agung Sedayu menjadi tenang. Ia bahkan turun dari kudanya dan melepaskan kudanya begitu saja. Dengan demikian ia tidak akan terpengaruh jika kudanya menjadi ketakutan dan tidak terkendali. Demikian kudanya dilepaskan, maka kuda itupun telah berlari meninggalkan Agung Sedayu. Namun Agung Sedayupun yakin, bahwa kuda itu akan kembali ke kandangnya. Sementara itu Agung Sedayu telah berdiri menghadapi anjing yang luar biasa besarnya itu. Anjing hutan yang jarang sekali terdapat di Tanah Perdikan Menoreh, bahkan menurut penglihatannya, anjing yang sejenis itu baru dilihatnya untuk pertama kali. Tetapi anjing yang seekor itu kemudian tidak mampu menggetarkan jantung Agung Sedayu setelah ia berpikir mapan. Jangankan seekor anjing yang bagaimanapun besarnya, seekor harimaupun tidak akan membuatnya ketakutan dan kehilangan akal. Sejenak anjing itu berdiri sambil menggeram, sementara giginya masih saja menyeringai mengerikan. Ketika Agung Sedayu melangkah setapak mendekat, anjing itu merendah pada kaki depannya sambil menggeram lebih keras lagi. Agung Sedayu bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Tetapi ia akan mengambil jalan yang paling mudah seandainya anjing itu menyerang. Sambil bersiap menghadapi segala kemungkinan,

maka Agung Sedayu telah mengurai cambuknya. “Kecuali jika anjing hutan ini termasuk bukan anjing hutan sewajarnya, maka cambukku tidak akan dapat menyakitinya,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Tetapi tantangan Ajar Tal Pitu masih akan berlangsung besok. Karena itu, maka kehadiran anjing itu memang menimbulkan pertanyaan bagi Agung Sedayu. Apakah anjing ini mempunyai hubungan dengan tantangan Ajar Tal Pitu pada saat purnama naik, atau ada pihak lain yang telah mengambil kesempatan dengan tantangan Ajar Tal Pitu itu. Sejenak Agung Sedayu menunggu. Anjing itupun kemudian bergeser pula mendekat. Kepalanya semakin merunduk, dan ekornya menjelujur lurus kebelakang tubuhnya. Demikian anjing itu siap menyerang. Agung Sedayupun telah mempersiapkan dirinya dalam ilmunya. Ia telah melindungi dirinya dengan ilmu kebalnya, seandainya gigi anjing hutan raksasa itu menyentuh kulitnya. “Seandainya anjing hutan raksasa ini ada hubungannya dengan Ajar Tal Pitu, nampaknya ia sedang menjajagi kemungkinan yang dapat terjadi esok malam,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Seperti yang diperhitungkan, maka tiba-tiba anjing hutan raksasa itu mengaum keras sekali sambil meloncat menerkamnya. Mulutnya terbuka lebar, dan giginya yang tajam siap merobek kulit Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu sudah siap. Dengan loncatan pendek ia mengelak sambil berkata, “Kau sudah tahu, bahwa dengan ketajaman gigi dan kukumu kau tidak akan dapat melukai kulitku.” Anjing yang sedang mengaum itu, tiba-tiba menggeram keras sekali, seolah-olah telah menjawab katakata Agung Sedayu. Namun suaranya segera terputus, ketika tiba-tiba saja cambuk Agung Sedayu itu meledak. Ledakan cambuk Agung Sedayu itu telah mendesak anjing hutan raksasa itu untuk bergeser surut. Namun sejenak kemudian anjing raksasa itu telah menyerangnya kembali. Tidak dengan ancang-ancang. Tetapi anjing itu langsung melonjak dengan kukunya yang tajam, sementara giginya yang runcing siap untuk merobek kulit Agung Sedayu. Agung Sedayu bergeser surut. Tetapi ia masih tetap menghubungkan anjing raksasa itu dengan tantangan Ajar Tal Pitu. Karena itu, ia tidak mau terpancing. Sehingga dengan demikian, maka yang dilakukannya adalah sekedar perlawanan dengan kemampuannya yang sewajarnya. Jika anjing hutan itu juga anjing hutan sewajarnya, maka anjing itu tentu akan dapat dikalahkannya. Namun seandainya anjing itu adalah usaha penjajagan Ajar Tal Pitu, maka yang dapat di perhitungkan oleh Ajar Tal Pitu itu adalah sekedar tenaga wajarnya saja. Ketika sekali lagi anjing hutan itu menggeram sambil melonjak, maka sekali lagi cambuk Agung

Sedayu meledak. Tidak hanya sekedar untuk menakut-nakuti. Tetapi ujung cambuk itu benar-benar telah mengenai anjing raksasa itu. Namun jantung Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ternyata anjing itu tidak melengking dan melolong kesakitan. Meskipun terdengar seolah-olah anjing itu merintih, tetapi tiba-tiba anjing itu telah menggeram sekali lagi dengan dahsyatnya. Dengan tangkasnya anjing itu justru menerkamnya sekali lagi. Mulutnya terbuka lebar dengan gigi dan taringnya yang tajam, siap untuk merobek kulit wajah Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu masih mampu mengelak. Sekali lagi ia mempergunakan cambuknya. Tidak hanya sekali. Tetapi beberapa kali lecutan telah terdengar. Anjing raksasa itu bergeser surut. Tetapi dalam cahaya bulan yang hampir bulat. Agung Sedayu tidak melihat darah pada tubuh anjing itu, sehingga Agung Sedayu benar benar menjadi heran. Jika anjing itu anjing sewajarnya, betapapun liat kulitnya, maka anjing itu tentu akan terluka oleh ujung cambuknya. Tetapi Agung Sedayu masih menahan diri. Ia sama sekali tidak kehilangan akal dan dengan serta merta mengerahkan ilmunya. Ia masih tetap dengan tenaga wajarnya melawan anjing yang telah meloncat menerkamnya. Agung Sedayupun kemudian berloncatan ketika anjing itu memburunya dengan garang sambil menggeram dan berusaha menggigitnya. Ledakan cambuk Agung Sedayu menjadi semakin sering terdengar. Meledak-ledak. Setiap kali tepat mengenai sasarannya. Bahkan mengenai mulut, leher dan kepala anjing itu. Tetapi anjing itu tetap menyerangnya dengan garang. Tiba-tiba Agung Sedayu mendapat akal. Di pinggir jalan bulak itu ada sebatang pohon waru yang cukup besar meskipun tidak terlalu tinggi. Agung Sedayu tahu pasti, seekor anjing tidak akan dapat memanjat. Karena itu, maka iapun telah memutuskan untuk melihat keadaan anjing raksasa itu dengan caranya. Sambil berloncatan dan menahan serangan anjing raksasa itu, Agung Sedayu mendekati sebatang pohon waru itu. Demikian ia berada di bawah pohon itu, maka iapun segera meloncat dan dengan cepat memanjat pohon yang tidak terlalu tinggi itu. Kemudian dengan cambuknya tetap ditangan ia berdiri pada sebatang dahan yang cukup kuat. Namun sekali lagi jantung Agung Sedayu berdebar. Ternyata anjing itu berusaha melonjak menggapai Agung Sedayu. Namun ketika beberapa kali ia tidak

berhasil, maka tiba-tiba anjing itu telah mengambil ancang-ancang beberapa langkah. Melihat sikap anjing raksasa itu. Agung Sedayu benar-benar harus membuat perhitungan yang cermat. Jika ia salah hitung, maka ia tidak akan sampai pada saat purnama naik. Anjing raksasa itu akan membinasakannya lebih dahulu. Sebenarnyalah telah terjadi diluar kebiasaan. Anjing itupun kemudian berlari sambil mengaum keras sekali. Dengan kukunya yang tajam anjing itu telah berhasil memanjat pohon waru itu, menyusul Agung Sedayu pada dahan yang tidak dapat digapainya. Dengan demikian, maka Agung Sedayupun menyadari sepenuhnya, dengan siapa ia berhadapan. Karena itu, maka demikian anjing raksasa itu mencapai dahan tempat ia berdiri, maka Agung Sedayupun telah meloncat turun sambil menggeram, “Nampaknya kau tidak sabar lagi. Baiklah. Apa yang kau kehendaki. Aku tidak akan ingkar.” Anjing yang justru bertengger diatas dahan itu menggeram. Giginya seolah-olah menjadi bertambah panjang. Namun sejenak kemudian anjing yang kehilangan lawannya itupun telah bersiap untuk menerkam Agung Sedayu dari atas dahan. Tetapi Agung Sedayu benar-benar telah siap. Ia tidak dapat sekedar mempergunakan tenaga wajarnya. Meskipun ia masih harus berusaha untuk tidak sampai kepuncak ilmunya, tetapi ia tidak mau di koyakkoyak oleh anjing hutan raksasa itu. Karena itu, maka anak muda itupun mulai mengalirkan tenaga cadangannya pada ujung cambuknya. Bahkan kemudian iapun bertekad untuk menyaksikan kenyataan dari anjing hutan raksasa itu. “Jika aku berhasil membunuhnya, maka aku akan dapat mengungkap sebagian dari rahasia anjing hutan itu,“ berkata Agung Sedayu kemudian. Sejenak ketegangan telah mencengkam. Agung Sedayu berdiri tegak dengan hulu cambuknya ditangan kanan dan ujung cambuknya di tangan kiri. Tangannya yang dialiri oleh kekuatan ilmunya menjadi bergetar. Sambil menunggu anjing raksasa yang aneh, yang mampu memanjat pohon waru itu, ia telah mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya. Sejenak kemudian maka terdengar anjing itu mengaum keras sekali. Dengan garangnya anjing itu langsung menerkam Agung Sedayu dari atas dahan. Kedua kaki depannya terjulur lurus, seolah-olah ingin mencekik leher lawannya, sementara mulutnya terbuka siap untuk mengoyak wajah korbannya. Namun dengan tangkasnya, Agung Sedayu telah bergeser kesamping. Dengan demikian, kaki anjing itu sama sekali tidak menyentuhnya. Bahkan demikian anjing itu menyentuh tanah, maka dengan lambaran ilmunya Agung Sedayu telah mengayunkan cambuknya. Yang kemudian terdengar, cambuk Agung Sedayu itu meledak. Tetapi suara ledakannya menjadi berbeda. Suara ledakkan itu justru tidak lagi terlalu keras menurut pendengaran telinga wadag. Namun justru karena itu, maka kekuatan yang tersalur pada juntai cambuk itu merupakan kekuatan ilmu Agung

Sedayu yang memiliki kekuatan luar biasa, meskipun Agung Sedayu belum sampai kepuncak ilmunya. Juntai cambuk Agung Sedayu itu tepat mengenai punggung anjing raksasa itu. Demikian dahsyatnya, sehingga anjing raksasa itu seolah-olah telah terputar dan terangkat keudara. Kemudian dengan derasnya anjing raksasa itu telah terbanting ditanah. Terdengar anjing itu melolong panjang. Namun anjing itu masih sempat bangkit dan dengan lolongan yang menggetarkan bulu-bulu tengkuk anjing itu dengan kecepatan yang luar biasa telah berlari meninggalkan Agung Sedayu menyusup kedalam tanaman yang tumbuh subur di sawah sebelah menyebelah jalan. Agung Sedayu yang telah dijalari keinginan untuk membunuh anjing raksasa itupun telah meloncat mengejarnya. Meskipun anjing itu berlari terlalu cepat. Tetapi baru beberapa langkah Agung Sedayu berlari, tiba-tiba saja langkahnya telah terhenti. Telinganya yang tajam telah mendengar suara orang tertawa. Tidak terlalu keras. Namun jelas terdengar dihadapannya. Agung Sedayu berhenti. Dalam keremangan cahaya bulan yang hampir bulat ia melihat seseorang berdiri tegak di atas pematang. Kedua tangannya disilangkannya didadanya. “Kau akan kemana Agung Sedayu,“ terdengar orang itu bertanya. Agung Sedayu tegak berdiri memandang orang itu. Sebenarnyalah bahwa ia sudah menduga, bahwa ia akan bertemu dengan orang yang mendendamnya. Ajar Tal Pitu. “Jadi kau telah menyusulku Ki Sanak,“ desis Agung Sedayu, “dengan demikian benar yang aku dengar, bahwa orang yang telah berusaha menakut-nakuti anak-anak ingusan di Tanah Perdikan Menoreh adalah kau. “ Ajar Tal Pitu tertawa. Katanya, “Kali ini aku tidak berhasil menakut-nakuti kau.” “Aku sudah menduga pula, bahwa anjing-anjing itu adalah permainanmu,“ sahut Agung Sedayu. “Bukankah hanya seekor ?“ bertanya Ajar Tal Pitu. “Ya. Hanya seekor,“ jawab Agung Sedayu, “tetapi yang seekor ini adalah satu penjajagan ?” Ajar Tal Pitu tertawa semakin keras. Katanya, “Kau memang cerdik. Perhitunganmu tajam dan agaknya kau mengerti, apa yang aku rencanakan.” “Aku sudah mengerti,“ jawab Agung Sedayu, “ternyata kau memang orang luar biasa. Kau mampu mempengaruhi anjing hutan. Bukan saja solah tingkahnya, tetapi juga kebiasaannya.

Kau dapat memaksa anjing itu memanjat. Dan bahkan akupun mengetahui, bahwa dalam sekelompok anjing-anjing liar yang dapat kau gerakkan sesuai dengan keinginanmu, maka kau sendiri akan dapat berada diantaranya.” “Persetan,“ geram Ajar Tal Pitu. “Kau dapat berbangga karenanya. Tetapi jika bukan kau sendiri maka kau dapat mempergunakan wadag anjing-anjing raksasa itu dengan kekuatanmu didalamnya. Jika yang aku hadapi itu adalah anjing sewajarnya, maka ia tentu tidak akan dapat memanjat. Bahkan punggungnya tentu sudah aku patahkan dengan ujung cambukku. Demikian anjing itu terbanting ditanah, ia tidak akan lebih dari seonggok daging dan kulit yang tidak akan berdaya untuk bangkit, apalagi berlari meninggalkan tempat ini,“ geram Agung Sedayu. Lalu, “tetapi anjing yang baru saja mengalami lecutan cambukku tidak demikian. Ia dapat menyelamatkan dirinya. Dan ia bukan tidak berarti bagiku, karena yang ada disini sekarang adalah kau sendiri.” Ajar Tal Pitu tertawa semakin keras. Dengan naida tinggi ia berkata,“ jadi kau sangka aku dapat merubah diriku menjadi seekor anjing raksasa ?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak dapat mengatakannya dengan pasti. Apakah Ajar Tal Pitu itu telah merubah ujud wadagnya, atau wadag anjing itu telah disusupi oleh kekuatan ilmunya sehingga anjing itu memiliki daya tahan yang luar biasa. “Ajar Tal Pitu,“ berkata Agung Sedayu, “baiklah kita menunggu sampai esok. Apakah kau akan berperang tanding dengan jujur, atau kau akan bermain-main dengan sekelompok anjing hutan dan kau sendiri akan berada diantara mereka. Namun dengan demikian, maka kau bukan lagi seorang Ajar yang siap untuk berhadapan secara jantan.” “Kau memang pantas dikasihani Agung Sedayu,“ berkata Ajar Tal Pitu, “tetapi sangat memalukan bahwa kau telah merengek seperti itu. Sayang bahwa aku mempunyai ilmu yang dapat aku pergunakan dengan cara apapun juga. Apakah aku dapat mempengaruhi anjing-anjing liar itu, atau aku sendiri dapat berubah ujud seperti seekor anjing raksasa, diantara beberapa ekor anjing yang sebenarnya, namun itu bukannya satu kecurangan. Aku memang memiliki ilmu yang demikian.” “Bagaimana jika aku mempunyai ilmu yang dapat mempengaruhi orang lain. Bukan binatang seperti yang kau lakukan,“ bertanya Agung Sedayu. “Itu bukan ilmu. Tetapi itu benar-benar kecurangan. Tetapi jika kau memang ingin berbuat demikian, bertempur bersama-sama dengan isi Tanah Perdikan ini, akupun tidak berkeberatan. Kalian akan dikoyak-koyak oleh anjing-anjing liarku yang ganas melampaui ganasnya seekor harimau,“

geram Ajar Tal Pitu. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “terserahlah apa yang akan kau lakukan Ajar Tal Pitu. Permainanmu itu bukan sesuatu yang mengejutkan bagiku. Seandainya anjing hutan dan bahkan ditambah dengan anjing-anjing liar diseluruh pegunungan Menoreh itu kau kerahkan, maka aku sudah siap untuk mengahadapinya, termasuk kau sendiri didalamnya.” “Gila, “geram Ajar Tal Pitu, “jadi kau menganggap bahwa dirimu adalah orang yang tidak terkalahkan dengan ilmu apapun juga ?” “Tidak. Sama sekali tidak. Aku hanya berkata bahwa aku sudah siap.” Wajah Ajar Tal Pitu menjadi tegang. Terdengar giginya gemeretak. Yang telah terjadi itu sama sekali tidak menggetarkan jantung anak muda dari Jati Anom itu. Bahkan nampaknya Agung Sedayu sama sekali tidak menghiraukannya. Dengan nada tinggi Ajar Tal Pitu berkata, “Kau akan hancur oleh kesombonganmu.” “Siapakah yang sebenarnya sombong diantara kita ? Aku atau kau ? Atau kita berdua ?“ bertanya Agung Sedayu. “Tutup mulutmu,“ Ajar Tal Pitu itu membentak, “Aku dapat merobek mulutmu.” Namun justru jantung Ajar Tal Pitu itulah yang bergetar ketika Agung Sedayu yang berdiri tegak memandanginya dengan tajam itu berkata, “Kau kasar sekali. Tetapi jika kau tidak sabar menunggu besok, malam ini-pun bulan sudah hampir bulat. Kau dapat menggerakkan anjing-anjingmu yang hidup dan menjadi garang dalam cahaya bulan. Aku tidak berkeberatan kita pergi bersama-sama ketempat yang kau pilih, yang barangkali dengan susah payah sudah kau ajarkan pada anjing hutan itu.” “Persetan,“ Ajar Tal Pitu berteriak. Lalu, “Aku tetap pada pendirianku. Perang tanding akan dilakukan besok malam sampai salah seorang diantara kita mati.” “Aku menuntut sekarang,“ Agung Sedayu berkata lantang. Tetapi Ajar Tal Pitu menolak. Katanya, “Kau memang sudah menjadi seorang pengecut. Kau akan mengingkari sebuah perjanjian jantan ?” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Jika kau tidak berani menghadapi aku sekarang, pergilah. Kau membuat perutku menjadi mual.” “Jangan kau urusi aku dan apa yang akan aku lakukan,“ geram Ajar Tal Pitu. Namun iapun kemudian beringsut menjauh. Kemudian sambil melangkah pergi ia berkata, “Aku akan membunuhmu besok. Dan tidak seorangpun yang akan dapat menemukan mayatmu, selain onggokan tulang-tulang basah.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Dibiarkannya Ajar Tal Pitu itu kemudian menyelusuri pematang. Semakin lama menjadi semakin jauh. Agung Sedayu tersadar ketika ia mendengar derap kaki kuda. Ketika ia berpaling, dilihatnya dalam cahaya bulan yang kekuning-kuningan beberapa orang diatas punggung kuda berpacu semakin dekat. Dengan bebeapa loncatan panjang Agung Sedayu kemudian telah berdiri di pinggir jalan sambil memperhatikan orang-orang yang semakin dekat. “Ki Gede,“ desisnya. Sebenarnyalah, yang datang itu adalah Ki Gede Menoreh. Ki Waskita dan beberapa orang pengawal. “Kau tidak apa-apa Agung Sedayu,“ Ki Waskitalah yang pertama-tama meloncat dari punggung kudanya yang berhenti beberapa langkah dihadapannya, yang kemudian disusul oleh Ki Gede dan para pengawalnya. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Aku tidak apa-apa Ki Waskita.” “Kami terkejut ketika para pengawal diregol padukuhan melihat kudamu pulang tanpa penunggangnya. Kemudian pengawal yang lain melaporkan bahwa terdengar ledakan cambukmu, bahkan ketika kami sudah keluar dari padukuhan indukpun, kami masih mendengarnya pula satu dua kali,“ berkata Ki Gede. Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Katanya kemudian, “Sebenarnya tidak ada yang mengejutkan. Tetapi aku memang terpaksa mempergunakan cambukku.” “Untuk apa ?“ bertanya Ki Waskita. Dengan singkat Agung Sedayu berceritera tentang seekor anjing hutan. Tetapi ia berceritera dengan wajar. Dihadapan para pengawal ia tidak mengatakan keanehan yang dijumpainya pada anjing liar itu apalagi dalam hubungannya dengan Ajar Tal Pitu. Namun demikian, ketika mereka sudah berada di rumah Ki Gede Menoreh, maka secara khusus, Agung Sedayu telah berbicara dengan Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh. Agung Sedayu telah menceriterakan segalanya yang terjadi. Ki Gede Menoreh menarik nafas panjang. Dengan nada datar ia berkata, “Satu pengalaman baru bagi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Di atas bukit itu memang kadang-kadang terdapat sekelompok anjing-anjing liar. Tetapi nampaknya yang terjadi itu bukannya sekedar kebetulan bahwa Ajar Tal Pitu memanfaatkan apa yang ada di atas bukit.”

“Agaknya memang demikian,“ sahut Ki Waskita, “Ajar Tal Pitu memang memiliki ilmu yang berhubungan dengan peri kehidupan anjing hutan. Tetapi bahwa yang menyerang Agung Sedayu adalah sejenis anjing raksasa, agaknya memang sangat menarik perhatian.” “Juga mengenai waktu Ki Waskita,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “aku memang mencobanya untuk memaksakan perkelahian malam ini. Tetapi Ajar Tal Pitu masih menghindar betapapun kemarahan menghentak didadanya. Aku tidak tahu pasti, apakah memang ada hubungan antara ilmunya dengan cahaya bulan disaat purnama penuh.” “Mungkin demikian,“ berkata Ki Waskita, “agaknya anjing-anjing itu baru sampai kepada puncak kekuatannya pada saat purnama penuh.” “Ya,“ Ki Gede mengangguk-angguk, “semacam ilmu yang pernah aku dengar dalam dongeng orangorang tua. Orangorang kerdil di hutan Madenda adalah pemuja bulan. Mereka berperang pada saat bulan penuh justru karena pada saat yang demikian mereka memiliki puncak kemampuan ilmunya. Pada saat bulan pudar dan bahkan di malam-malam tidak berbulan, mereka bersembunyi, karena lawan lawan mereka akan memburunya. Namun pada puncak purnama, mereka adalah raja di hutan Madenda itu, sehingga tidak ada suku lain yang akan dapat mengalahkan mereka.” “Jika demikian,“ berkata Ki Waskita, “unsur cahaya bulan itu sangat penting. Kau dapat memperhitungkannya Agung Sedayu. Cahaya bulan itu bagaikan api yang membakar getaran ilmu didalam darah mereka. Semakin besar api itu, maka semakin panas pula gelora didalam tubuh mereka.” Agung Sedayu menundukkan kepala. Pendapat Ki Waskita itu ternyata telah mempengaruhi nalarnya. Bahkan hampir diluar sadarnya ia berkata, “Bagaimana dengan bayangan pepohonan meskipun pada saat puncak purnama ?” “Aku kira juga ada pengaruhnya,“ berkata Ki Gede, “meskipun pengaruh itu tidak terlalu menentukan. Tetapi itu bukan pegangan yang meyakinkan. Kita belum mengetahui dengan pasti ilmu yang aneh itu.” “Apapun yang dapat kau lakukan, lakukanlah Agung Sedayu, selama kau masih tetap berjalan pada jalan yang benar sambil menempatkan diri sebagaimana seorang mahluk dihadapan Penciptanya,“ berkata Ki Waskita, “kitapun yakin bahwa Ajar Tal Pitu telah menyadap ilmu yang langsung bertentangan dengan kedudukannya sebagai hamba Yang Maha Agung, bahwa ia telah menempatkan diri dibawah pengaruh dunia yang hitam dan hidup didalam bayangannya.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa ia telah berhadapan dengan kekuatan hitam yang maha dahsyat. Namun iapun mempunyai kepercayaan sepenuhnya, bahwa segalanya tidak akan dapat menyimpang dari keputusan Yang Maha Agung, karena betapapun besarnya kekuatan dunia kelam, namun kekuatan itu tidak akan berarti apa-apa di hadapan Yang Maha Tinggi.

Dalam pada itu, maka Ki Waskitapun kemudian berkata, “Sudahlah. Kaupun perlu beristirahat. Tidurlah.” Agung Sedayupun kemudian pergi ke biliknya. Setelah berganti pakaian maka iapun segera membaringkan dirinya di pembaringannya, sementara Ki Gede dan Ki Waskita masih berbincang untuk beberapa lamanya. “Besok aku akan hadir,“ berkata Ki Waskita kemudian. “Aku juga,“ desis Ki Gede, “jika Ajar Tal Pitu tidak berhasil dengan caranya, mungkin ia akan mengambil cara lain yang lebih curang sehingga kehadiran kita mungkin ada gunanya.” Kedua orang tua itupun akhirnya masuk kedalam biliknya masing-masing pula. Agung Sedayu menggeliat ketika ia mendengar pintu berderit dan Ki Waskita masuk kedalamnya. Agaknya derit pintu itu telah membangunkannya. “Tidur sajalah,“ desis Ki Waskita. Agung Sedayu tersenyum. Namun iapun kemudian telah tertidur lagi ketika Ki Waskita juga membaringkan dirinya di pembaringannya. Meskipun hanya sesaat. Seperti biasanya, mereka bangun pagi-pagi benar. Mereka langsung pergi ke pakiwan. Setelah mengisi jambangan dan mencuci pakaian kemudian merekapun membersihkan diri untuk menunaikan kewajiban mereka sebagai hamba Tuhannya. Hari itu adalah hari yang menegangkan bukan saja bagi Agung Sedayu, tetapi juga bagi anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh yang mengetahui apa yang akan terjadi malam mendatang, sehingga disetiap sudut padesan, jalan-jalan ke pasar dan bahkan hampir disetiap pintu rumah, mereka mempercakapkan apa yang dapat terjadi malam mendatang, saat purnama bulat dilangit. Namun purnama yang bulat itu tidak akan ditandai dengan kegembiraan bocah-bocah bermain gobag, kejarkejaran dan jamuran, tetapi purnama malam itu akan ditandai dengan perang tanding yang mengerikan. Hari itu Agung Sedayu tidak banyak membuang tenaga. Ia hanya berkunjung kebeberapa padesan yang paling dekat. Sebagian besar waktunya telah dipergunakannya untuk beristirahat dan merenungi kemungkinankemungkinan yang harus dihadapinya malam nanti. Sementara itu, Ki Gede dan Ki Waskita justru telah melakukan kunjungan sebagaimana sering dilakukan. Mereka mengunjungi padukuhan-padukuhan yang agak jauh dari padukuhan induk. Sebenarnyalah merekapun ingin tahu, bagaimana tanggapan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh tentang perang tanding yang akan diadakan malam mendatang. Ternyata berita itu adalah berita yang sangat mengerikan.

Mereka menganggap peristiwa itu sebagai pertanda yang kurang baik bagi masa-masa mendatang, apalagi jika Agung Sedayu kalah. Ki Gede mendengarkan pendapat orang-orang itu dengan sungguh-sungguh. Bahkan iapun telah teringat apa yang pernah dilakukannya beberapa puluh tahun yang lalu. Perang tanding. Tetapi alasannya jauh berbeda. Dan perang tanding itupun telah pernah diulanginya di tempat yang sama. Tetapi orang yang kemudian bernama Ki Tambak Wedi itu agaknya masih belum nggegirisi seperti orang yang menyebut dirinya Ajar Tal Pitu itu. Dalam pada itu, mataharipun melintas dengan lamban di langit yang bersih. Selembar awan yang putih hanyut tertiup angin kentara. Jalan-jalan yang panjang bagaikan terbakar oleh terik matahari yang berpijar di birunya langit. Namun akhirnya, matahari itupun turun ke Barat. Semakin lama semakin rendah. Sementara ketegangan-pun semakin meningkat. Anak-anak muda yang pergi kesawah telah pulang jauh lebih cepat dari kebiasaan mereka Pandepande besi telah memadamkan perapiannya lewat tengah hari, sementara pasarpun menjadi sepi karena kedai-kedaipun telah menutup pintunya. Menjelang senja. Tanah Perdikan Menoreh telah menjadi sangat sepi. Jalan-jalan tidak lagi dilewati orang. Air yang mengalir diparit melimpah ke sawah yang telah penuh, karena tidak seorangpun yang berbuat sesuatu atas air dan sawah mereka. Bulak-bulak panjang menjadi sepi bagaikan kuburan. Namun gardu-gardu justru menjadi penuh sebelum waktunya. Anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh, ternyata telah berada di gardu-gardu mereka. Para pengawal telah bersiaga sepenuhnya di setiap padukuhan dari ujung sampai keujung. Tanah Perdikan Menoreh seolah-olah tengah menghadapi perang yang akan menyergap setiap jengkal tanah. Dalam pada itu, Agung Sedayupun telah membenahi dirinya. Tubuhnya terasa segar setelah beristirahat secukupnya. Sambil membenahi pakaiannya, maka iapun berkata kepada Ki Waskita, “Sebentar lagi matahari akan tenggelam paman. Aku akan berangkat.” “Kita berangkat bersama-sama,“ berkata Ki Waskita, “aku dan Ki Gede sudah bersepakat untuk menjadi saksi dalam perang tanding di bawah pohon Randu papak itu. Beberapa orang pengawal akan pergi bersama kami.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, ia mengerli, bahwa kedua orang itu tentu ingin menyaksikan apa yang terjadi. Namun Agung Sedayupun tidak akan mengharap apapun juga dari keduanya, karena ia memang sudah bertekad untuk berperang tanding, kecuali jika Ajar Tal Pitu mulai dengan kecurangan.

Karena itu, maka Agung Sedayupun sama sekali tidak berkeberatan untuk pergi bersama Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh. Sejenak kemudian, kedua orang tua itupun telah siap. Ki Waskita telah mengenakan ikat kepala khususnya dan ikat pinggangnya yang setiap saat dapat dipergunakan nya, sementara Ki Gede Menorehpun telah membawa tombak pendeknya. Namun dalam pada itu, ternyata Prastawapun telah menemui Ki Gede dan mohon ijin untuk ikut bersamanya. “Aku ingin melihat, apa yang akan terjadi,“ berkata Prastawa kepada Ki Gede. Ki Gede termangu-mangu. Yang akan mereka saksikan adalah pertarungan ilmu yang tinggi. Jika ada pihak lain yang melibatkan dirinya, tentu orang yang berilmu tinggi pula. Namun nampaknya Prastawa benar-benar ingin menyaksikannya. Ketika Ki Gede memperingatkan, ia berkata, “Aku hanya ingin melihat apa yang akan terjadi paman. Tetapi jika kemudian terjadi kecurangan, sehingga aku harus terlibat, maka aku tidak akan ingkar.” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk ia berkata, “Jika kau sudah bertekad untuk menghadapi semua kemungkinan yang dapat terjadi, baiklah. Tetapi bersiaplah sepenuhnya.” Dengan demikian, maka sejenak kemudian mereka berempat telah meninggalkan rumah Ki Gede Menoreh. Matahari yang sudah terbenam meninggalkan sisa cahayanya yang kemerahan. Namun dalam pada itu, langitpun menjadi cerah oleh cahaya bulan purnama yang terbit di ujung Timur. Namun dalam pada itu, cahaya bulan itupun telah membuat jantung Agung Sedayu berdebaran. Seakan-akan terlontar pesan lewat garis-garis sinarnya yang kekuning-kuningan, bahwa sekelompok anjing hutan telah siap berbaris di ujung hutan di hadapan pohon randu alas yang disebut Randu papak. Anjing-anjing liar yang menunggu perintah lewat ilmu Ajar Tal Pitu untuk merobek robek tubuh Agung Sedayu dengan giginya yang runcing tajam. Ketika mereka berempat keluar dari padukuhan induk, maka terasa kulit mereka meremang, ketika tiba-tiba saja telah terdengar lolong anjing hutan dikejauhan. Tidak hanya suara seekor anjing hutan, tetapi sahut menyahut. Prastawa bergeser mendekati Ki Gede Menoreh yang berkuda agak didepan. Dengan nada dalam anak muda itu bertanya, “Apakah anjing hutan itu berbahaya ?” Ki Gede berpaling sekilas. Lalu katanya, “Kau sudah mendengar apa yang diceriterakan oleh Agung Sedayu tentang peristiwa semalam ?” “Ya,“ jawab Prastawa. Meskipun kurang Jelas.

“Karena itu, kita harus berhati-hati,“ pesan Ki Gede kemudian. Prastawa mengangguk kecil. Namun debar jantungnya seakan-akan menjadi semakin cepat berdentang didalam dadanya. Ketika mereka menjadi semakin dekat dengan Randu papak, maka Agung Sedayupun telah mengambil tempat dipaling depan. Kudanya berlari tidak terlalu kencang menyusuri jalan-jalan persawahan. Namun sekali-sekali mereka telah melewati jalan-jalan padukuhan. Beberapa orang anak muda yang memenuhi gardu-gardu telah menyapanya. Beberapa orang telah dengan bersungguh-sungguh berdesis, “Hati-hatilah Agung Sedayu.” Agung Sedayu tersenyum kepada anak-anak muda itu. Katanya, “Kita bersama-sama berdoa kepada Tuhan. Segalanya tergantung kepada keputusan-Nya. Sedangkan kita masih tetap percaya, bahwa Tuhan Maha Benar adanya.” Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Namun demikian Agung Sedayu lewat, diikuti oleh Ki Gede sendiri, Ki Waskita dan Prastawa, maka anak-anak muda itupun saling berbisik, “Kitapun dapat menyaksikan perang tanding itu, asal kita tidak mengganggunya.” “Apakah kita berhak ?“ bertanya yang lain. “Kenapa tidak ?“ desis yang lain, “kita akan menjadi saksi seperti Ki Waskita dan Ki Gede.” Beberapa orang anak muda yang memiliki keberanian akhirnya memutuskan untuk melihat dengan diam-diam perang tanding di bawah randu papak disebelah ujung hutan. Dengan demikian, maka merekapun minta diri kepada kawan-kawannya yang lebih baik tetap tinggal digardu-gardu. Namun merekapun berpesan, jika terjadi sesuatu, maka mereka harus membunyikan isyarat. “Tidak mustahil, selama perang tanding itu terjadi, ada pihak yang ingin memanfaatkan keadaan, atau justru kawan-kawan orang yang disebut dengan Ajar Tal Pitu itu sendiri,“ pesan seorang pemimpin pengawal pedukuhan yang terdekat dengan randu papak. “Sementara itu, jika terjadi sesuatu di arena perang tanding itu, kalianpun sebaiknya segera memberi tahu kepada kami,“ sahut anak muda yang tinggal di gardu.

Dalam pada itu, maka ketika cahaya purnama telah memenuhi Tanah Perdikan Menoreh, Agung Sedayupun telah mendekati sebatang pohon randu alas yang besar yang disebut Randu Papak. Namun, demikian anak muda itu mendekati arena yang disepakati, maka lolong anjing hutan itupun telah terdiam. Tidak seekor anjing hutanpun yang terdengar disekitar Randu papak itu. Bahkan terasa tempat itu menjadi sangat sepi. Beberapa puluh langkah dari pohon randu alas itu Agung Sedayu berhenti. Diamatinya keadaan disekitarnya. Namun tidak selembar daunpun yang nampak bergerak. “Aku akan mendekat Ki Gede,“ desis Agung Sedayu kemudian. “Tinggalkan kudamu disini,“ berkata Ki Waskita, “nampaknya kau akan menjadi lebih baik tanpa seekor kuda. Kami akan menyaksikan segalanya dari tempat ini. Jarak ini tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak terlalu jauh.” Agung Sedayu merenung sejenak. Kemudian iapun turun dari kudanya sambil berkata, “Nampaknya memang demikian paman. Aku mohon titip kuda ini.” Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh serta Prastawapun turun pula dari kuda masing-masing. Merekapun kemudian mengikat kuda mereka serta kuda Agung Sedayu pada sebatang pohon perdu. Ternyata mereka benrtigapun merasa lebih aman untuk tidak berada di punggung kuda. “Berhati-hatilah Agung Sedayu,“ pesan Ki Gede Menoreh, “kau akan melawan ilmu yang barangkali jarang dikenal saat ini. Tetapi kau harus yakin, bahwa Yang Maha Agung akan selalu melindungimu, karena dalam hal ini kau tidak bersalah sama sekali.” “Aku akan berhati-hati, Ki Gede,” jawab Agung Sedayu, “aku mohon doa restu Ki Gede dan Ki Waskita.” Kedua orang itu mengangguk. Namun bagaimanapun juga, terasa ketegangan telah menekan dada mereka. Sejenak kemudian Agung Sedayu melangkah mendekati pohon randu alas yang besar itu. Disebelah pohon randu alas itu, terdapat sebuah gumuk padas yang tidak terlalu tinggi, sementara disebelahnya berjarak beberapa puluh langkah, adalah ujung sebuah hutan yang menjorok. Hampir diluar sadarnya Agung Sedayu mengangkat wajahnya, memandang langit yang cerah.

Kemudian ditatapnya beberapa saat bulan yang berwarna kuning bulat penuh memancarkan cahayanya yang bening. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Semilirnya angin membuat udara menjadi sejuk. Namun demikian pakaian Agung Sedayu telah basah oleh keringat. Beberapa saat kemudian Agung Sedayu telah berdiri dibawah pohon randu alas. Dengan hati-hati ia mendekati pokok pohon randu yang besar itu. Mungkin Ajar Tal Pitu ada dibelakang batang yang besar yang berdiri tegak dalam kebisuannya. Tetapi ternyata Agung Sedayu tidak menemukan seseorang. Sehingga karena itu, maka iapun menjadi semakin tegang. Dalam pada itu, selagi Agung Sedayu berdiri termangu-mangu disebelah pohon randu yang besar itu, tiba tiba saja ia telah dikejutkan oleh suara tertawa. Perlahan lahan. Namun semakin lama menjadi semakin keras. Disela-sela suara lertawa itu terdengar suara seseorang. Ternyata kau memang seorang anak muda yang jantan. Agung Sedayu. Kau datang sebagaimana telah kau janjikan. Agaknya kau sama sekali tidak dapat membayangkan betapa tingginya ilmu Ajar Tal Pitu. Seharusnya kau bertigalah yang harus berdiri melawan aku, karena ilmuku sekarang sudah sundul langit. Setelah aku mesu diri dalam laku selama ampat puluh hari ampat puluh malam, serta menjalani pati geni selama tiga hari tiga malam, maka aku adalah manusia yang sempurna dalam ilmuku. Tidak seorangpun akan dapat mengalahkan aku, meskipun ia bernama Agung Sedayu.” Agung Sedayu menjadi tegang. Tetapi ia tidak melihat seorangpun disekitar tempat itu. Sementara itu, iapun belum berhasil mengetahui arah suara Ajar Tal Pitu yang seakan-akan melingkar-lingkar dari hutan gumuk, bulak panjang dan pegunungan yang membujur ke Utara. Namun akhirnya Agung Sedayu menyadari sepenuhnya bahwa ia memang berhadapan dengan orang yang mumpuni. Karena itu, maka iapun harus menghadapinya dengan sikap yang matang. Lahir dan batin. Karena itu, maka Agung Sedayupun sama sekali tidak menanggapinya. Ia berdiri saja seperti patung. Namun ia telah bersiaga sepenuhnya untuk menghadapi lawannya dari arah manapun datangnya. Dalam pada itu, suara itu masih terdengar pula mengumandang, “Marilah Agung Sedayu, kita akan mulai dengan permainan kita yang mengasikkan. Kau sudah tahu, siapakah yang akan kau hadapi.” Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Namun dalam pada itu, sebenarnyalah bulu-bulu diseluruh wajah kulit Agung

Sedayu telah meremang. Tiba-tiba saja ia mendengar anjing hutan melolong keras sekali beberapa langkah saja dari padanya. Ketika ia bergeser, maka dilihatnya diatas gumuk padas seekor anjing hutan raksasa berdiri sambil melolong panjang. Wajahnya tengadah memandang bulan dilangit yang menjadi semakin tinggi. Agung Sedayu mempersiapkan dirinya. Anjing hutan itu adalah anjing hutan yang dijumpainya di tengah tengah sawah. Anjing hutan yang ternyata pandai memanjat pohon waru. Tetapi anjing itu masih tetap melolong panjang, sementara Agung Sedayu masih juga ditempatnya. Agung Sedayu sama sekali tidak berniat untuk mendekati anjing raksasa itu, meskipun anjing itu seolah-olah telah menantangnya. Beberapa saat anjing itu tetap melolong-lolong. Sementara Agung Sedayupun tetap berdiri dibawah pohon randu alas, dibawah bayangan rimbunnya daun randu alas sehingga ia sama sekali tidak tersentuh dengan langsung cahaya bulan yang bulat dilangit. Anjing yang melolong itu melolong semakin keras. Dipandanginya Agung Sedayu dengan tatapan mata yang merah membara, seolah-olah anjing itu telah memaki-makinya karena Agung Sedayu tidak mau mendekatinya. Ketika anjing itu seakan-akan menjadi tidak sabar lagi, maka terdengar anjing itu menjerit panjang, kemudian menghilang dibalik gumuk padas. Demikian anjing itu hilang, terdengar suara mengumandang, “Agung Sedayu. Aku sangka kau seorang yang pilih tanding, yang tidak gentar menghadapi runtuhnya gunung sekalipun. Tetapi ternyata kau pengecut yang tidak berani mendekati anjing yang semalam telah dapat kau halau dari tikungan dibawah pohon waru itu.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak tinggal diam. Sejenak ia memusatkan kemampuan dan tenaga cadangannya. Kemudian dengan lambaran kekuatannya, ia menjawab. Meskipun mulutnya seolah-olah tetap terkatup rapat, namun bergulung-gulung bagaikan badai dari samodra terdengar jawabannya membentur hutan dan pegunungan, “Aku tetap memegang teguh perjanjian kita Ajar Tal Pitu. Kita akan bertempur dibawah randu papak ini. Aku siap menunggu, kapanpun kau datang mendekat. Aku sudah siap. Dan aku mulai curiga, bahwa aku menyesali tantanganmu itu, karena setelah kau menjajagi ilmuku dengan anjingmu itu, kau melihat satu kenyataan yang tidak kau duga sebelumnya.” Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa yang berkepanjangan. Semakin lama semakin keras, sehingga rasa-rasanya pohon randu alas yang besar itu telah berguncang. Prastawa yang mendengar suara tertawa itupun menjadi gemetar. Ia belum pernah merasakan pengaruh yang demikian kuatnya menghentak-hentak didadanya. “Aku tidak mengira bahwa Agung Sedayu adalah anak yang sedungu itu. Jika aku menyebut dibawah pohon randu alas, itu tentu mempunyai arti yang tidak sesempit jalan pikiranmu,“ jawab suara yang

berkumandang itu. Sementara jawab Agung Sedayu tidak kurang menghentak jantung, sehingga rasa-rasanya Prastawa ingin secepatnya meninggalkan tempat itu. Namun ia masih juga merasa malu meninggalkan arena yang mengerikan itu. “Ajar Tal Pitu,“ berkata Agung Sedayu, “seandainya demikian, apakah salahnya jika kita bertempur di bawah randu alas ini ? Kenapa aku harus pergi kegumuk untuk menyongsong anjing liar itu ? Biarlah aku menunggu disini. Biarlah anjing itu menyerang aku jika ia masih berani. Atau sekali lagi aku akan mencambuknya sehingga tulang punggungnya benar-benar menjadi patah. Sebenarnyalah bahwa aku sama sekali tidak merasa perlu untuk melayani seekor anjing meskipun anjing itu mempunyai kelebihan apapun juga. Karena itu, biarlah aku tetap disini.” “Anak iblis,“ terdengar suara itu mengumpat, “jangan menyesal. Anjing-anjing liar akan membunuhmu.” Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Tetapi iapun bersiap sepenuhnya. Ia sadar, bahwa Ajar Tal Pitu telah kehabisan kesabaran, sementara seperti yang dikatakannya, bahwa anjing yang akan menyerangnya bukan hanya seekor anjing. Tetapi anjing-anjing liar yang tentu sudah dipersiapkannya. Agung Sedayu tidak perlu menunggu terlalu lama. Sejenak kemudian anjing hutan raksasa itu telah kembali memanjat gumuk padas. Seperti semula anjing itu nampak menengadah, memandang bulan yang bulat dilangit. Sejenak kemudian terdengar anjing itu mulai melolong. Semakin lama semakin keras, sehingga suaranya benar-benar telah menggetarkan dedaunan di hutan yang menjorok itu, dan menggoyahkan cabang dan ranting pohon randu alas itu. Ki Waskita dan Ki Gede Menorehpun tergetar pula hatinya. Mereka tidak mengerti, apakah yang sebenarnya di hadapi oleh Agung Sedayu. Apakah anjing itu sebenarnya anjing hutan raksasa yang dapat dipengaruhi oleh ilmu Ajar Tal Pitu, atau Ajar Tal Pitu itu sendiri yang oleh ilmunya yang jarang diketahui oleh orang lain, mampu merubah dirinya menjadi seekor anjing raksasa. Namun Prastawa menjadi semakin gemetar. Apalagi anak-anak muda yang merayap-rayap mendekati arena itu. Ketika mereka mendengar lolong anjing di atas gumuk padas itu, rasa-rasanya mereka akan menjadi pingsan karenanya. Agug Sedayu yang bersiap di bawah randu alas itupun kemudian mendengar lolong anjing yang lain, yang seolah-olah menyahut dari dalam hutan. Meskipun Agung Sedayu tidak mengerti arti dari suara

anjing hutan itu, namun seolah-olah ia dapat mengerti, bahwa anjing hutan yang berada di gumuk itu telah memanggil kawan-kawannya dari dalam hutan. Sebenarnyalah, sejenak kemudian terdengar suara sekelompok anjing hutan yang saling menyahut. Kemudian yang terdengar adalah gemerasak seperti arus air. Jantung setiap orang yang menyaksikan menjadi bergetar karenanya. Ternyata dari dalam hutan itu telah muncul beberapa puluh ekor anjing hutan. Sambil menyalak mereka berlari menuju ke randu alas yang besar disebelah gumuk batu padas. Agung Sedayupun segera mengerti, sekelompok anjing hutan telah menyerangnya. Namun hati Agung Sedayu telah mapan. Ia memang sudah menduga, bahwa demikianlah yang akan terjadi. Karena itu, maka iapun tidak terlalu terkejut melihat sekelompok anjing hutan berlari-lari kearahnya. Namun demikian, sebenarnyalah hatinyapun telah berdesir melihat sekian banyak mulut anjing menganga dengan gigi-giginya yang runcing tajam. Meskipun anjing hutan yang berkelompok itu tidak sebesar anjing hutan yang melolong panjang di gumuk itu, namun dalam jumlah yang banyak, maka anjing bar itu menjadi sangat mengerikan. Sebelum anjing itu menyerang, Agung Sedayu telah menyiapkan cambuknya. Karena itu, demikian anjing yang pertama meloncat menerkamnya, maka tiba-tiba saja telah meledak suara cambuk Agung Sedayu. Sebenarnyalah bahwa kemampuan Agung Sedayu memang luar biasa. Untuk menjajagi lawannya, Agung Sedayu masih mempergunakan tenaga wajarnya, meskipun ia sudah melindungi dirinya dengan ilmu kebalnya. Ternyata bahwa anjing yang menyerangnya dalam kelompok itu tidak sejenis anjing yang menyerangnya dibawah pohon waru itu, yang kemudian telah berdiri diatas gumuk batu padas, melolong sambil memandang bulan bulan dilangit. Anjing yang pertama-tama tersentuh ujung cambuk Agung Sedayu itupun telah melengking kesakitan. Keras sekali, namun anjing itu tidak akan pernah dapat mengulanginya, karena setelah berguling beberapa kali, maka anjing itupun diam untuk selamanya. Mati dengan tulang punggung yang patah dan kulit yang terkoyak oleh ujung cambuk Agung Sedayu. “Mereka adalah anjing sewajarnya,“ geram Agung Sedayu. Namun anjing itu memang terlalu banyak. Ketika anjing yang kedua meloncat menyerangnya, maka nasibnya seperti anjing yang pertama. Namun dalam pada itu, anjing berikutnya telah menerkam pundak Agung Sedayu disusul dengan anjing-anjing berikutnya. Sebenarnyalah anjing-anjing itu tidak berhasil melukai kulit Agung Sedayu karena ilmu kebalnya. Tetapi karena banyaknya anjing yang menyerang, maka Agung Sedayupun menjadi ngeri. Namun ia masih dapat mengayunkan cambuknya. Tanpa diarahkannya lagi, maka setiap lecutan, cambuknya telah membunuh bukan saja seekor, tetapi dua ekor bahkan kadang-kadang tiga ekor Namun anjing itu

ternyata terlalu banyak. Anjing-anjing itu meloncat, menerkam, menggigit kaki, dan berbuat apa saja sambil menggeram, menggonggong dan melolong-lolong. Sementara Agung Sedayu sibuk mengayunkan cambuknya kesegenap arah. Ki Waskita, Ki Gede Menoreh menyaksikan hal itu dengan jantung yang berdebaran. Mereka sudah tidak melihat Agung Seayu lagi. Yang nampak adalah segerombolan anjing hutan yang bagaikan berebut mangsa. Namun setiap kali mereka masih mendengar ledakan-ledakan cambuk dan melihat anjing hutan yang terlempar. Prastawa benar-benar menjadi gemetar melihat peristiwa itu. Demikian pula anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang telah memberanikan diri menyaksikan dari jarak yang lebih jauh. Dalam pada itu, anjing hutan raksasa yang berdiri di atas gumuk padas itupun masih saja menggonggong dengan keras sekali sambil menengadahkan kepalanya memandang bulan bulat dilangit. Bahkan rasa-rasanya suaranya semakin lama menjadi semakin keras menggetarkan udara. Sementara itu, di Sangkal Putung, Sekar Mirah yang baru saja membaringkan dirinya dan memejamkan matanya, tiba-tiba saja telah berteriak-teriak dalam tidurnya. Swandaru dan Pandan Wangi yang pertama-tama mendengar adiknya berteriak-teriak telah berlari-lari kebiliknya. Dengan serta merta Swandaru telah mendorong pintu bilik Sekar Mirah sehingga suaranya berderak keras sekali. Agaknya suara pintu itu telah membangunkan Sekar Mirah pula. Iapun terkejut. Namun kemudian terasa tubuhnya menggigil. Ketika Pandan Wangi duduk disebelahnya dengan jantugya berdebaran, tiba-tiba saja Sekar Mirah telah memeluknya. Terasa oleh Pandan Wangi, tubuh adik iparnya itu masih gemetar, dan nafasnya terengah-engah. “Kakang Swandaru, tolong, ambilkan gendi itu,“ desis Pandan Wangi. Swandarupun kemudian mengambil gendi yang berisi air bersih, sementara Ki Demangpun telah datang kebilik itu pula. “Kenapa dengan Sekar Mirah ?“ Ki Demang bertanya. “Kami belum bertanya ayah,“ sahut Swandaru. Ketika Swandaru memberikan gendi itu kepada Pandan Wangi, maka Pandan Wangipun telah membantu Sekar Mirah sambil berkata, “Minumlah barang seteguk Sekar Mirah. Agaknya kau telah bermimpi buruk.” Sekar Mirahpun kemudian meneguk air dari dalam gendi itu. Namun iapun telah terbatuk-batuk sehingga air yang telah berada dimulutnyapun terlontar keluar. “Jangan tergesa-gesa,“ bisik Pandan Wangi, “tenanglah.

Kami ada disini.” Akhirnya Sekar Mirahpun telah minum beberapa teguk. Terasa dadanya menjadi agak sejuk dan nafasnya-pun menjadi lebih teratur. “Kau bermimpi ?“ bertanya Pandan Wangi. “Aku bermimpi mengerikan sekali,“ sahut Sekar Mirah. “Mimpi apa ?“ bertanya Swandaru. “Kakang Agung Sedayu yang sedang berburu dihutan telah diserang oleh sekelompok anjing hutan yang liar,“ jawab Sekar Mirah. Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “O, itu hanya mimpi saja Sekar Mirah. Bukankah Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan Menoreh ?” “Ayah,“ desis Sekar Mirah, “Apakah benar ada mimpi yang disebut dara-dasih ?” “Maksudmu mimpi yang sebenarnya terjadi ?“ bertanya Ki Demang. Sekar Mirah mengangguk. “Memang ada, Sekar Mirah. Tetapi itu jarang sekali terjadi. Dan apakah di Tanah Perdikan Menoreh Agung Sedayu sempat pergi berburu ? Dan apakah di Tanah Perdikan Menoreh terdapat kelompok-kelompok anjing hutan yang banyak jumlahnya,“ sahut Ki Demang. Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Katanya, “Memang ada hutan yang terbujur disebelah bukit di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi tidak banyak terdapat anjing-anjing liar. Mungkin di lereng bukit, di hutan-hutan yang tidak pernah di datangi oleh seseorang terdapat beberapa ekor anjing hutan. Tetapi tentu Agung Sedayu tidak akan pergi ke bukit itu.” “Sudahlah,“ berkata Swandaru, “tidurlah sekar Mirah.” Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi ketika lamat-lamat ia mendengar suara gejok lesung dengan lagu-lagunya yang gembira, ia bertanya, “Bukankah hari masih belum terlalu malam?” “Belum. Kau tidur belum lama. Kami justru masih belum tidur,“ sahut Swandaru, “gadis-gadis masih bermain lesung dengan lagu-lagu gembira.” Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Suara gejok lesung yang gembira itu masih terdengar terus. Justru rasa-rasanya semakin keras. Nampaknya beberapa orang gadis dan anak-anak muda sedang

bermain-main di bawah bulan purnama yang bulat dilangit. Sinarnya yang berwarna kuning cerah menyiram Kademangan Sangkal Putung, seolah-olah sengaja menyiramkan kegembiraan bagi para penghuninya. Gadis-gadis dan anak-anak muda bermain lesung dengan gembira. Anak-anak remaja bermain kejarkejaran dan sembunyi-sembunyian di tempat-tempat yang biasanya dicengkam oleh kegelapan. Di gardu-gardu para pengawal bergurau dengan riangnya, sehingga kadang-kadang orangorang yang lebih tua menahan mereka agar tidak tertawa terlalu keras. “Kau akan mengejutkan anak-anak yang sedang tidur lelap,“ berkata seorang pengawal kepada kawannya yang tertawa meledak tanpa tertahankan lagi. “Anak-anak bermain jamuran,“ jawab anak muda yang tertawa itu. “Tetapi bayi-bayi tentu tidak,“ sahut pengawal itu pula. Anak muda itu mengangguk. Tetapi ia masih tetap juga tertawa meskipun tidak terlalu keras. Dalam pada itu. Sekar Mirah yang sedang gelisah itupun telah mencoba untuk tidur lagi, sementara Swandaru, Pandan Wangi dan Ki Demang telah meninggalkan biliknya. Sedangkan suara gejok lesung masih terdengar dengan gending-gending gembira. Namun agaknya Sekar Mirah tidak dapat memejamkan matanya lagi. Mimpi itu masih saja terbayang. Agung Sedayu telah diserang oleh sekelompok anjing-anjing liar disaat anak muda itu berburu di hutan. “Hanya sebuah mimpi,“ desisnya. Meskipun demikian mimpi itu terasa sangat mengganggunya. Bahkan rasa-rasanya ia masih melihat betapa taring anjing-anjing liar itu menghunjam ditubuh Agung Sedayu. Namun dalam pada itu, sebenarnyalah Agung Sedayu sedang bergulat melawan sekelompok anjing hutan. Tetapi tidak sebuahpun gigi dari anjing hutan itu yang mampu melukai tubuh Agung Sedayu. Adalah satu keuntungan pula, bahwa Agung Sedayu telah membawa senjata lentur, sehingga dengan demikian, maka ujung cambuk itu mematuk kesegenap arah dan membunuh beberapa ekor srigala yang telah menyerangnya. Raung kesakitan dan gonggong yang memekakkan telinga, telah menggetarkan udara dibawah pohon randu alas itu, sementara anjing hutan raksasa yang berada di atas gumuk batu padas itu masih juga melolong-lolong sambil memandang bulan bulat dilangit. Semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin keras, sementara anjing yang menyerang Agung Sedayu itupun menjadi semakin buas meskipun jumlahnya semakin berkurang. Akhirnya anjing hutan raksasa itu agaknya tidak sabar lagi. Sejenak kemudian terdengar anjing itu menyalak keras sekali.

Suaranya mengguntur mengoyak suasana malam, mengatasi raung anjing hutan yang sedang berkelahi melawan Agung Sedayu. Dengan garangnya anjing hutan raksasa itupun segera melompat dengan mulut ternganga dan mata yang bagaikan menyala. Agung Sedayu melihat anjing raksasa itu telah meloncat kearahnya pula. Karena itu, maka ia merasa, bahwa ia harus mengkhususkan diri menghadapinya. Anjing-anjing hutan yang lain tidak boleh mengganggunya, karena ia yakin, bahwa melawan anjing hutan raksasa itu, berarti ia melawan Ajar Tal Pitu sendiri, dengan atau tidak dengan wadagnya sendiri. Karena itu, maka Agung Sedayupun segera mengerahkan segenap kemampuannya. Ia sudah menguasai sampai tuntas ilmu kekebalan yang disadapnya dari kitab Ki Waskita. Bahkan iapun mulai merambah pada perkembangan dari ilmu itu. Karena itu, maka ketika anjing raksasa itu mendekatinya, maka anjing-anjing hutan yang lainpun telah bergeser mundur. Anjing-anjing itu masih tetap menyalak dengan mengerumuni Agung Sedayu, tetapi mereka tidak berani menyerangnya. Dengan demikian maka kesempatan Agung Sedayu menjadi lebih luas. Dengan garangnya ia memutar cambuknya. Dalam satu putaran, maka anjing-anjing hutan yang berdiri dipaling depanpun telah memekik, meraung dan meronta untuk kemudian jatuh terkapar. Mati. Anjing hutan raksasa itu tidak sempat memperhatikan kawan-kawannya yang terdahulu. Anjing raksasa itupun langsung meloncat menerkam Agung Sedayu. Agung Sedayu mempunyai perhitungan lain menghadapi yang seekor ini. Ia tidak membiarkan anjing itu menyentuhnya. Karena itu, maka iapun telah bergeser dengan loncatan pendek. Demikian anjing itu meluncur, maka ia tidak melecutnya sebagaimana dilakukannya atas anjing-anjing hutan yang lain. Namun Agung Sedayu telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk melecut anjing raksasa yang menyerangnya itu. Ledakan suara cambuk Agung Sedayu tidak terlalu keras, apalagi karena ujung cambuknya telah membelit anjing raksasa itu. Dengan hentakkan yang sangat kuat, maka ia menarik cambuknya, sehingga anjing hutan raksasa itu terputar, seperti yang telah terjadi di tengah sawah pada malam sebelumnya. Terdengar anjing itu melengking keras sekali. Demikian anjing itu jatuh ditanah, maka dengan cepat anjing itu melenting berdiri. Namun sejenak ia termangu-mangu. Anjing-anjing yang lain masih mengerumuni Agung Sedayu sambil menyalak dengan buasnya. Tetapi mereka tidak berani menyerangnya. Barulah anjing hutan raksasa itu mengerti, kenapa kawan-kawannya tidak berani mendekati Agung Sedayu. Nampaknya perkembangan ilmu kebal Agung Sedayu itu telah menjadikan Agung Sedayu mampu membuat dirinya bagaikan bara api yang panas. Setiap sentuhan dari moncong binatang buas

dan liar itu, serasa telah membakarnya, sehingga merekapun tidak lagi berani menyentuh. Bahkan udara disekitar Agung Sedayu rasa-rasanya menjadi panas pula. Anjing hutan raksasa itu menggeram. Matanya benar-benar bagaikan api yang menyala, sementara taringnya yang besar runcing siap untuk merobek mangsanya. Namun yang dihadapi oleh anjing hutan raksasa itu adalah Agung Sedayu, sehingga karena itu, maka anjing hutan itu tidak akan mampu berbuat terlalu banyak. Tetapi sejenak kemudian anjing hutan raksasa itupun telah menyerangnya lagi. Udara yang panas, serta tubuh Agung Sedayu yang bagaikan bara sama sekali tidak dapat menahan serangan anjing hutan itu. Kuku-kukunya yang tajam telah terjulur langsung kearah leher Agung Sedayu, seolah-olah anjing itu ingin mencekiknya. Agung Sedayu masih mencoba menghindar. Tetapi anjing itu telah memburunya tanpa ancang-ancang. Kakinya melonjak dan menerkamnya. Giginyapun telah mencoba untuk mengoyak daging lengannya. Baju Agung Sedayulah yang menjadi rontang-ranting. Namun kulitnya sama sekali tidak tergores seujung rambutpun. Bahkan ia berhasil meloncat mengambil jarak. Sekali lagi ia mengayunkan cambuknya. Seluruh kekuatannya telah tersalur pada cambuknya. Sehingga ketika cambuk itu meledak, maka sekali lagi anjing hutan raksasa itu terlempar dan terbanting ditanah. Jauh lebih keras dari hentakkan yang pertama, sehingga terdengar anjing itu melolong dan untuk sesaat anjing itu tidak segera mampu bangkit. Namun anjing itu telah berguling-guling menjauhi Agung Sedayu keluar dari bayangan dedaunan randu alas, dan terlempar kedalam cahaya bulan bulat dilangit. Agung Sedayu yang melihat keadaan anjing itu tidak segera memburunya. Ia mengira anjing itu benarbenar menjadi kesakitan dan tidak mampu lagi untuk berbuat sesuatu. Namun tiba-tiba saja rasa-rasanya seluruh kulitnya meremang. Anjing yang kesakitan dan bergulingguling ditanah itu, demikian disentuh oleh cahaya bulan, maka seolah-olah telah mendapatkan tenaga baru. Anjing itupun segera melenting berdiri dan sambil menengadahkan kepalanya kelangit, terdengar anjing itu melolong keras sekali. Agung Sedayu tertegun ditempatnya. Ia mulai menghubungkan kekuatan anjing itu dengan sinar bulan yang penuh. Tentu ada pengaruh sinar bulan itu. Sekilas teringat oleh Agung Sedayu ceritera tentang orang-orang yang ditakuti justru pada saat purnama dihutan Madenda. Meskipun orangorang itu adalah orang-orang kerdil, tetapi pengaruh cahaya bulan, lebih-lebih bulan purnama, telah membuat mereka menjadi orang-orang yang tidak terkalahkan. Dalam pada itu Agung Sedayu sudah tidak menghiraukan lagi anjing-anjing hutan yang lain, yang hanya dapat menggonggong dan melolong-lolong. Anjing-anjing itu sama sekali tidak lagi berani mendekati Agung Sedayu karena tubuh anak muda itu seakan-akan telah membakar udara disekitarnya.

Tetapi Agung Sedayu tetap berdiri ditempatnya. Ia sama sekali tidak mau memburu anjing hutan raksasa yang berdiri di bawah cahaya bulan purnama sambil menengadahkan kepalanya. Dalam pada itu, anjing hutan raksasa itupun masih saja berdiri ditempatnya pula. Semakin lama anjing itu menggonggong dan melolong-lolong semakin keras. Kadang-kadang anjing itu merunduk, meloncat mondar-mandir sambil menggeram, kadang-kadang kaki depannya seolah-olah hendak mengaduk tanah dengan ekor yang terangkat tinggi-tinggi. Agung Sedayu merasa, bahwa anjing itu seolah-olah telah menantangnya agar ia menyerang. Tetapi Agung Sedayu tetap berada di bawah pohon randu alas, sehingga daunnya yang rimbun telah melindunginya dari sinar bulan purnama yang bulat. Namun dalam pada itu, Agung Sedayupun sadar, bahwa sinar bulan itu agaknya memang berpengaruh. Tetapi sudah barang tentu, bahwa pengaruhnya tidak mutlak. Ajar Tal Pitu dalam ujudnya yang bagaimanapun juga tentu masih mempunyai lambaran ilmu yang tidak semata-mata tergantung kepada cahaya bulan. Untuk sesaat anjing itu masih tetap ditempatnya, sementara anjing-anjing yang lain melonjak-lonjak sambil melingkari Agung Sedayu. Betapapun anjing-anjing itu menjadi marah, tetapi mereka tidak dapat mendekatinya. Dalam pada itu, Ki Gede Menoreh dan Ki Waskita bagaikan telah membeku menyaksikan pertempuran yang aneh itu. Merekapun telah mengambil kesimpulan pula, bahwa anjing hutan raksasa itu. ingin memancing agar Agung Sedayu memburunya dan mereka akan bertempur dibawah cahaya bulan. Sementara itu, Prastawa tidak tahu lagi apa yang sebenarnya sedang terjadi. Demikian pula anak-anak muda yang menyaksikan perang tanding yang mengerikan itu dari tempat yang agak jauh. Dalam pada itu, anjing hutan raksasa itupun menjadi semakin marah justru Agung Sedayu tidak juga mau mengejarnya dan menyerangnya dibawah cahaya bulan. Karena itu, maka anjing itupun tidak sabar lagi. Ekornya-pun tiba-tiba dikibas-kibaskannya, sementara anjing itu merunduk dalam-dalam. Sambil menggeram mulutnya menyeringai sehingga gigi dan taringnya yang runcing nampak semakin mengerikan. Agung Sedayu sadar, bahwa anjing itu sudah siap menyerangnya. Karena itu, maka iapun telah bersiap pula. Dengan segenap kemampuannya ia sudah siap meledakkan cambuknya seperti yang pernah dilakukannya. Seperti yang diperhitungkannya, maka sejenak kemudian anjing itu telah meloncat menerkamnya. Sambil menggeram keras, maka mulutnyapun menganga dan berusaha untuk menggigit langsung wajah

Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu yang sudah siap itupun telah menghindar pula. Seperti yang pernah terjadi, maka anjing itupun tidak berhasil menyentuhnya. Namun demikian anjing itu menginjakkan kakinya, maka anjing itupun segera meloncat berputar dan menyerang Agung Sedayu dengan meloncatinya. Kedua kaki depan anjing itu berhasil menerkam dada Agung Sedayu. Mulutnya yang terbuka itupun dengan cepat telah berusaha menggigitnya. Karena Agung Sedayu menarik wajahnya kebelakang, maka akhirnya anjing itu hanya dapat menggigit pundak Agung Sedayu. Tetapi ternyata ilmu kebal Agung Sedayu telah mapan. Gigi dan taringnya yang runcing sama sekali tidak dapat melukai Agung Sedayu yang bertempur dibawah lindungan bayangan dedaunan randu alas. Kemarahan anjing hutan raksasa itu nampaknya semakin menjadi-jadi. Karena giginya tidak berhasil melukai Agung Sedayu, maka anjing itupun telah melepaskannya. Dengan kedua kaki depannya anjing itu seakan-akan telah mendorong Agung Sedayu surut beberapa langkah kebelakang. Hampir saja Agung Sedayu sampai ke curahan cahaya bulan bulat dilangit. Namun ia tetap menyadarinya. Karena itu, maka dengan tangkasnya iapun meloncat mengambil jarak. Sekali lagi cambuknya meledak dilambari dengan segenap kekuatannya. Dan sekali lagi ujung cambuk itu membelit perut lawannya. Dengan hentakan yang dahsyat maka Agung Sedayu telah membanting anjing itu ke tanah. Anjing itu memang melengking. Namun demikian anjing itu menggeliat kesakitan, maka kepalanya telah berada diluar bayangan lebatnya daun randu alas. Agung Sedayu masih berusaha meraih anjing raksasa itu dengan ujung cambuknya dan menyeretnya kedalam bayangan daun randu alas, tetapi anjing itupun ternyata tangkas pula. Sinar bulan yang jatuh dikepalanya itu telah menyelematkannya. Anjing itu masih sempat melenting berdiri. Ketika ujung cambuk Agung Sedayu membelit kakinya, anjing itu meloncat mengibaskannya. Pada saat itu, Agung Sedayu menariknya dengan sekuat tenaganya. Namun terasa olehnya, seolah-olah kekuatan anjing itu menjadi berlipat ganda. Justru hampir saja Agung Sedayulah yang terseret oleh kekuatan anjing yang dengan sekuat tenaganya pula mengibaskan ujung cambuknya. Ternyata bahwa akhirnya ujung cambuk Agung Sedayulah yang terlepas dari tubuh anjing raksasa itu, sehingga karena itu, Agung Sedayu telah terdorong surut beberapa langkah. Tetapi anjing itu tidak memburunya. Anjing itu bagaikan menjadi gila. Sambil menggeram anjing itu melonjak-lonjak kekanan-kekiri didalam cerahnya sinar bulan. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa didalam cahaya bulan bulat dilangit, kekuatan anjing itu memang bagaikan berlipat. Meskipun apabila terpaksa ia tidak akan gentar bertempur melawan anjing

itu didalam cahaya bulan, tetapi selagi ia masih dapat memilih tempat untuk menghemat tenaganya, maka ia akan tetap berada didalam bayangan lebatnya daun randu alas. Sementara itu, hampir diluar sadarnya Ki Waskita berkata, “Untunglah bahwa musimnya musim randu tidak berbuah.” “Kenapa ?“ bertanya Ki Gede. “Jika musimnya randu berbuah, maka daun randu itu akan gugur selembar demi selembar pada saat randu menjadi tua. Dengan demikian maka pohon randu alas itu bagaikan menjadi gundul dan tidak berdaun lagi. Betapapun lebatnya buah randu, namun tidak akan dapat membuat bayangan sepepat daunnya,“ jawab Ki Waskita. Ki Gede mengangguk-angguk. Sebenarnyalah bahwa randu alas itu memang sedang berdaun lebat. Di musim yang lain, randu alas itu benar-benar bagaikan pohon kayu yang mati dan kering. Anjing hutan raksasa itu masih meraung-raung dengan marahnya. Namun Agung Sedayu tidak beranjak dari tempatnya, sementara anjing hutan yang lain, sama sekali tidak berani mendekatinya meskipun anjing-anjing itu juga meraung-raung. Namun tiba-tiba terjadi sesuatu yang mengejutkan. Anjing hutan raksasa itu telah berpaling. Didalam cahaya bulan nampak oleh Ki Waskita, Ki Gede dan Prastawa, bahwa anjing hutan raksasa itu memandang mereka dengan kilatan cahaya di matanya. Tibá-tiba saja anjing hutan itu meraung dahsyat. Tidak lagi tertuju kepada Agung Sedayu yang masih tetap berada didalam bayangan randu alas, tetapi anjing itu agaknya telah memberikan perintah kepada anjing-anjing hutan yang lain menyerang Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh. Sejenak anjing-anjing liar itu termangu-mangu. Namun ketika sekali lagi terdengar anjing hutan raksasa itu mengaum sambil memandang kearah Ki Gede dan Ki Waskita maka tiba-tiba saja anjinganjing liar itu berloncatan meninggalkan Agung Sedayu, menuju kearah ketiga orang yang menyaksikan pertempuran itu. Darah Agung Sedayu tersirap sampai kekepala. Hampir saja ia meloncat mengejar anjing-anjing liar itu. Namun tiba-tiba saja ia mendengar suara mengguntur seperti guruh yang meledak dilangit, “Kau tetap disitu Agung Sedayu. Biarlah kami menyelesaikan anjing-anjing liar ini.” Barulah Agung Sedayu kemudian menyadari. Suara itu adalah suara Ki Waskita. Karena itu, maka Agung Sedayupun mengurungkan niatnya, karena sebenarnyalah Ki Waskita dan Ki Gedepun bukan orang kebanyakan. Suara Ki Waskita telah memberikan kepercayaan kepadanya, bahwa Ki Waskita akan dapat mengatasi kesulitan itu. Apalagi bersama-sama dengan Ki Gede.

Yang mengaum keras sekali adalah anjing hutan raksasa itu. Dengan peringatan Ki Waskita itu, maka Agung Sedayupun mengerti, bahwa anjing hutan raksasa itu telah mencoba untuk memancingnya dengan satu cara yang lain. Jika Agung Sedayu mengejar anjing-anjing liar yang menyerang Ki Waskita dan Ki Gede itu,maka ia akan muncul dalam cahaya bulan. Meskipun Agung Sedayu sendiri sudah bertekad, apabila terpaksa ia tidak akan lari sekalipun harus bertempur dibawah cahaya bulan purnama langsung. Karena itu, maka anjing itupun menjadi sangat marah. Tetapi anjing hutan itu tidak dapat berbuat apa-apa untuk memaksa Agung Sedayu keluar dari bayangan lebatnya daun randu alas. Sementara itu, sekelompok anjing hutan yang jumlahnya sudah jauh berkurang itu telah menuju ketempat Ki Waskita dan Ki Gede menunggu. Prastawa yang menjadi ngeri melihat anjing-anjing itu bergeser mendekati Ki Gede. “Prastawa, jangan menjadi perempuan cengeng. Jika kau masih ingin hidup, lindungi dirimu sendiri. Bukankah kau bersenjata ? “ tiba-tiba saja Ki Gede membentak. Suara itu seolah-olah telah membangunkannya dari sebuah mimpi yang sangat buruk. Prastawapun kemudian menarik pedangnya dan siap menghadapi anjing-anjing liar itu. Ki Gede, Ki Waskita dan Prastawa memang berada pada jarak yang tidak terlalu dekat. Mereka berada di dalam sebuah gerumbul pategalan dibawah pohon yang berdaun lebat pula, sehingga merekapun telah terlindung dari sinar bulan bulat dilangit. Ki Waskitapun kemudian menggeram. Ia mengambil jarak beberapa langkah dari Ki Gede dan menempatkan dirinya dibawah perlindungan bayangan pula. Diurainya ikat kepalanya sekaligus ikat pinggangnya dan dipeganginya dengan kedua tangannya. Demikianlah ketika anjing yang pertama meloncat menyerang Ki Waskita, maka dikibaskannya ikat kepalanya di tangan kirinya. Tidak terlalu keras, tetapi anjing itu terlempar lima langkah dan terbanting jatuh. Anjing yang kedua bagaikan diremukkan kepalanya karena telah tersentuh oleh ayunan ikat pinggang Ki Waskita. Anjing yang menyerang Ki Gedepun mengalami nasib yang sama. Dengan tangkai tombaknya Ki Gede memukul anjing-anjing liar itu. Dengan satu putaran tangkai tombaknya, beberapa ekor anjing telah meraung dan mati terbunuh. Sementara itu, ada juga diantara anjing-anjing liar itu yang menyerang Prastawa. Tetapi hati Prastawa telah bangkit. Dengan pedang ditangan ia melawan anjing-anjing liar itu. Sabetan pedangnya telah membelah perut seekor anjing hutan. Sementara seekor yang lain, yang meloncatinya dengan mulut ternganga, mengalami nasib yang buruk pula, karena pedang Prastawa

telah menyayat kulit dilehernya. Anjing-anjing liar itu tidak banyak dapat berbuat menghadapi Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh. Karena itu. maka anjing-anjing itupun susut dengan cepatnya. Tetapi anjing-anjing liar itu bagaikan menjadi gila. Mereka sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu diluar kerangka perintah anjing raksasa yang mengaum keras sekali itu. Bahkan ketika anjing raksasa itu mengetahui, bahwa anjing-anjing hutan liar itu sudah hampir habis ditumpas, maka kemarahannya tidak terkendali lagi. Tiba-tiba saja ia meninggalkan Agung Sedayu dan berlari ke arah Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh. Karena sebenarnyalah anjing raksasa itu belum mengenal siapakah sebenarnya orang-orang yang berada di pategalan itu. Sekali lagi Agung Sedayu sudah hampir meloncat menyusul anjing raksasa itu. Namun sekali lagi suara Ki Waskita mengguntur, “Kau tetap disitu Agung Sedayu.” Anjing raksasa itu mengaum dahsyat sekali. Seolah-olah dedaunan di hutan, pategalan dan randu alas itu telah terguncang. Dedaunan yang menguning telah berguguran, terlepas dari pegangan tangkainya. Ketika anjing raksasa itu mendekat, maka anjing-anjing liar yang menyerang mereka telah berserakan disekitar ketiga orang itu dengan luka-luka yang parah ditubuhnya. Ada satu dua yang masih meraungraung. Tetapi anjing-anjing itu sudah tidak berdaya sama sekali. Menghadapi anjing hutan raksasa itu, Ki Waskita mempunyai perhitungan tersendiri. Ia tidak dapat membiarkan Prastawa menjaga dirinya sendiri. Satu kelengahan kecil, akan dapat berakibat gawat bagi anak muda itu. Karena itu, maka Ki Waskita telah bergeser mendekat. Agaknya Ki Gede Menorehpun berpikir demikian. Iapun bergeser selangkah, seolah-olah kedua orang itu telah sepakat untuk menutup serangan anjing hutan itu, sehingga tidak akan berbahaya bagi Prastawa. Sebenarnyalah, anjing hutan raksasa yang marah itu, langsung dengan ancang-ancangnya yang panjang telah meloncat menerkam Ki Gede Menoreh. Namun Ki Gede bukanlah orang kebanyakan. Demikian anjing itu menjulurkan kedua kaki depannya dengan mulut menganga, Ki Gede bergeser setapak sambil mendorong Prastawa yang berada dibelakangnya untuk menyingkir. Demikian anjing itu menginjakkan kakinya ditanah, maka tombak pendek Ki Gede Menoreh telah menghunjam kedalam tubuhnya. Namun ternyata Ki Gede terkejut bukan buatan. Anjing ini lain dengan anjing-anjing liar yang telah mati berserakan. Ujung tombak Ki Gede ternyata bagaikan mengenai kulit yang liat dan kuat. Ternyata ujung tombaknya yang dirasanya telah menghunjam kedalam tubuh anjing itu, sama sekali tidak melukai kulitnya, meskipun anjing itu melengking kesakitan.

Namun anjing itu justru melonjak dan dengan garangnya merunduk siap menerkam Ki Gede. Namun dalam pada itu, Ki Waskita tidak tinggal diam. Ki Gede dan Ki Waskita tidak terikat dengan perjanjian perang tanding. Sementara anjing hutan raksasa itu sendirilah yang mencari lawan. Sehingga karena itu, maka Ki Waskitapun telah menghentakkan ikat pinggangnya dengan sepenuh kekuatan, menghantam punggung anjing liar yang sedang merunduk itu. Anjing itu terkejut dan melonjak tinggi-tinggi. Sambil mengaum dahsyat sekali, maka anjing itupun kemudian jatuh menggelepar. Tetapi dengan cepat anjing itu bangkit meskipun tertatih-tatih. Ki Gede yang menyadari dengan siapa ia berhadapan, maka iapun telah menghimpun segenap ilmu dan kemampuannya. Ia tidak lagi menghunjamkan tombaknya dengan tenaga wajarnya, sehingga ujung tombaknya tidak berhasil melukai kulit anjing itu, meskipun seolah-olah ujung tombaknya telah terhunjam kedalam tubuh anjing liar itu. Dengan tangkas Ki Gede telah menyentuhkan ujung tombaknya di tanah, kemudian dengan kekuatan ilmunya sekali lagi ia menyerang anjing raksasa itu. Ia tidak langsung menusuk tubuh itu, tetapi ia menyerang dengan watak tombak pusakanya. Ujung tombak itu tidak mematuk lurus, tetapi terayun dan menggores kulit anjing liar itu. Sekali lagi anjing itu mengaum. Kemudian sambil melengking anjing itu berusaha melarikan diri. Namun sekali lagi Ki Waskita sempat memukul anjing itu dengan ikat pinggangnya, sehingga anjing itu terlempar sambil berguling. Tetapi ternyata bahwa anjing itu justru telah terlempar kedalam cahaya bulan. Sekilas nampak darah mengucur dari kulitnya yang berhasil dikoyak oleh bukan saja ilmu yang matang dari Ki Gede, namun juga watak tombaknya yang garang menghadapi kejahatan. Namun demikian anjing hutan raksasa itu berada di cahaya bulan bulat, maka anjing itu bagaikan menjadi segar kembali. Dengan lidahnya yang terjulur panjang, anjing itu menjilat bagian tubuhnya yang terluka oleh tombak Ki Gede Menoreh. Adalah sangat mendebarkan. Ternyata luka-luka itupun seolah-olah begitu saja lenyap dari kulitnya, sementara itu, anjing itupun berlari kearah Agung Sedayu. Namun kemudian ia berhenti dan menengok kembali ke arah Ki Gede dan Ki Waskita. Sementara itu, terdengar Agung Sedayu berkata lantang, “Akulah yang harus berperang tanding malam ini. Aku sudah siap siapapun yang harus aku hadapi.” Anjing hutan raksasa itu menggeram. Matanya bagaikan menyala sementara gigi-giginya menyeringai mengerikan.

Tetapi anjing itu masih termargu-mangu. Nampaknya anjing itu sedang menimbang-nimbang. Apakah sebaiknya yang akan dilakukannya. Dalam pada itu. Agung Sedayu yang menjadi gelisah. Ia menduga, bahwa disamping Ki Gede dan Ki Waskita yang diikuti oleh Prastawa, agaknya ada beberapa orang pengawal yang ingin menyaksikan perang tanding itu. Jika anjing raksasa itu kemudian memilih untuk menyerang anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu, maka ia tidak akan dapat tinggal diam. Namun dalam pada itu, terjadilah sesuatu yang sama sekali tidak diperhitungkan oleh anjing raksasa itu. Ketika, anjing raksasa itu mengangkat kepalanya memandang bulan bulat sambil melolong panjang, tiba-tiba saja nampak segumpal awan yang kelabu mengambang dilangit. Dengan dahsyatnya anjing hutan itu mengaum marah. Tetapi ia tidak kuasa menentang tingkah laku alam sesuai dengan kodratnya. Karena itu, maka anjing hutan yang merasa tidak mampu melawan Agung Sedayu maupun kedua orang tua-tua yang menonton perang tanding itu dibawah bayangan, harus memperhitungkan awan yang kelabu yang bergerak cepat mendekati bulan bulat dilangit. Awan itu tidak terlalu banyak. Namun beriringan. Dengan demikian ada pada saat-saat yang paling gawat dapat terjadi atasnya, justru pada saat awan yang agak panjang lewat dihadapan wajah bulan. Karena itu, maka anjing hutan raksasa itupun telah mengambil satu keputusan lain. Kecuali ternyata bahwa lawan-lawannya cukup cerdik untuk bertempur dibawah bayangan dedaunan, maka awan itupun tidak menguntungkan lagi baginya. Dengan demikian, maka tiba-tiba anjing hutan raksasa itu telah meloncat berlari menuju kegumuk padas dan kemudian menghilang dari pandangan mata Agung Sedayu dan orangorang yang menyaksikan perang tanding itu. Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ia juga melihat awan yang kelabu dilangit. Dan iapun mempunyai perhitungan tentang awan itu. Namun demikian ia melihat anjing hutan raksasa itu hilang dibalik gumuk padas, maka iapan harus memperhitungkan kemungkinan lain yang bakal terjadi. Ketika awan yang kelabu itu lewat di hadapan wajah bulan yang bulat, maka cerahnyapun menjadi buram. Dengan hati yang berdebar-debar Agung Sedayu memperhatikan awan yang cukup panjang. Memang ada kemungkinan, anjing hutan itu sengaja menunggu sampai awan itu lewat. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja sebuah bayangan telah meloncat keatas gumuk padas. Dalam cahaya bulan yang buram karena awan yang kelabu, Agung Sedayu melihat bayangan seseorang berdiri tegak dengan dada tengadah. Yang pertama terdengar adalah suara tertawanya yang menggelegar. Menghantam bukit-bukit yang membujur ke Utara, mengguncang dedaunan, dan bahkan seolah-olah telah menghentak-hentak isi dada. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya ia benar-benar akan berhadapan dengan Ajar

Tal Pitu sebagaimana keadaannya yang sesungguhnya. “Agung Sedayu,“ terdengar suara Ajar Tal Pitu itu mengguruh, “kau memang seorang anak muda yang cerdik jika kau segan disebut pengecut. Kau mampu memperhitungkan keadaan disekitarmu. Kau telah mengambil keuntungan dengan bayangan randu papak itu. Adalah kesalahanku, bahwa aku kurang memperhatikan sebelumnya.” Agung Sedayu memandang bayangan yang berdiri diatas gumuk padas itu. Ajar Tal Pitu yang berdiri tegak itu ternyata membawa sebuah senjata yang mendebarkan. Sebuah trisula bertangkai panjang, melampaui panjang tubuhnya sendiri. Sambil menggenggam tangkai trisulanya yang tegak disisinya dengan tangan kirinya. Ajar Tal Pitu itu berkata pula, “Baiklah Agung Sedayu. Aku tidak akan bermimpi lagi untuk memanfaatkan cahaya bulan yang ternyata sudah kau perhitungkan sebelumnya. Tetapi aku akan berhadapan denganmu sebagaimana Ajar Tal Pitu yang akan berhadapan dengan Agung Sedayu.” Agung Sedayu yang masih berdiri tegak dibawah pohon randu alas itupun menjawab dengan suara yang tidak kalah lantangnya, “Aku menunggu Ajar Tal Pitu. Bulan sudah menjadi semakin tinggi dilangit. Marilah, kita selesaikan persoalan kita malam ini.” “Bagus. Aku akan mulai justru dengan mempergunakan senjata. Aku tahu kau berilmu kebal. Tetapi aku ingin mencoba, apakah kebal kulitmu mampu menahan ujung trisulaku,“ berkata Ajar Tal Pitu. “Anjing hutanmu telah mencoba apakah kulitku benar-benar kebal. Apakah trisulamu itu lebih runcing dari taring anjing hutanmu ?” “Seandainya kau berdiri di terang bulan, mungkin akibatnya akan berbeda. Tetapi baiklah. Aku tahu bahwa kau pengecut. Karena itu aku akan menjajagi kulitmu yang kebal itu dengan trisula ini. Bukan saja ujungnya yang runcing dan terbuat dari besi baja yang khusus, tetapi kemampuan tenagaku yang mendorong ujung trisula itulah yang harus kau perhitungkan,“ jawab Ajar Tal Pitu. “Marilah. Jangan hanya berbicara. Kita akan bertanding dengan senjata. Mungkin justru kemudian kita akan melemparkan senjata kita masing-masing dan berhadapan sebagaimana kita adanya,“ berkata Agung Sedayu pula. Ajar Tal Pitu tertawa. Kemudian diangkatnya trisulanya tinggi-tinggi. Ketika awan dilangit bergeser semakin jauh, sehingga wajah bulan mulai nampak lagi dilangit. Agung Sedayu menjadi berdebar melihat ujung trisula Ajar Tal Pitu yang berkilat-kilat. Bahkan kemudian seolah-olah telah berubah menjadi nyala api yang merah membara. “Ajar Tal Pitu,“ geram Agung Sedayu kemudian, “lihat.

Awan telah lewat. Apakah kau akan bermain-main lagi dengan anjing hutanmu yang jinak itu ?” “Tidak Agung Sedayu. Sulit bagiku untuk melawan seorang pengecut. Tetapi kau akan melihat arti dari trisulaku ini.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya Namun ia sadar sepenuhnya, bahwa akan segera datang saat penentuan dari perang tanding yang sebenarnya. Namun dalam pada itu, agaknya trisula di tangan Ajar Tal Pitu itupun terpengaruh juga oleh cahaya bulan, betapapun kecilnya. Tetapi Agung Sedayu benar-benar sudah siap. Segala ilmu yang ada didalam dirinyapun telah dipersiapkannya pula. Ia tidak ingin terlambat dan menyesal. Ilmu kebalnya yang telah menjadi mapan dengan perkembangannya, kemampuan tenaga dan kecepatan geraknya, segala unsur gerak yang telah luluh didalam dirinya, dan kemampuannya mempergunakan sorot matanya yang mempunyai sentuhan wadag. Sementara itu, ditangannya masih tergenggam cambuk yang diterimanya dari gurunya. Cambuk yang tidak memiliki kekuatan apapun juga yang mandiri, sehingga karena itulah maka cambuk yang ditangannya itu tergantung sekali kepada siapa yang memegangnya. Namun, cambuk itu sebagai satu senjata, memang memiliki banyak kemungkinan ditangan orang yang memang menguasainya. Sejenak kemudian. Ajar Tal Pitu yang berdiri di atas gumuk padas itupun segera meloncat turun. Dengan trisula yang merunduk disisi tubuhnya Ajar Tal Pitu itu berjalan mendekati randu alas yang berdaun rimbun. Ki Waskita, Ki Gede dan Prastawa memandanginya dengan tegang. Merekapun melihat, bagaimana ujung-ujung trisula itu bagaikan menyala tersentuh oleh cahaya bulan. Diluar sadarnya Ki Waskita dan Ki Gede menengadahkan wajah mereka memandang kelangit. Awan yang kelabu telah hanyut oleh angin yang terasa semilir. Sesaat kemudian, Ajar Tal Pitu telah berada di bawah randu alas itu pula beberapa langkah dihadapan Agung Sedayu. Dengan lantang ia berkata, “Agung Sedayu. Puaskan hatimu memandang bulan untuk yang terakhir kalinya. Malam ini adalah malam kematianmu.” “Aku sudah siap Ajar Tal Pitu. Tetapi katakan, apakah kehadiranmu disini itu hanya karena dendam pribadimu, atau kau masih juga datang dalam hubungannya dengan Ki Pringgajaya yang pernah berusaha membersihkan namanya dengan ceritera kematian itu ?“ bertanya Agung Sedayu. Ajar Tal Pitu tertawa. Katanya, “Bagimu tidak ada gunanya. Apakah aku datang untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan Ki Pringgajaya, atau untuk kedua-

duanya. Yang penting bagiku adalah membunuhmu apapun alasannya. Kematianmu akan memberikan kepuasan kepadaku.” “Kepuasan ganda ? Karena kau adalah orang upahan Ki Pringgajaya ?“ desak Agung Sedayu. “Sudahlah. Kau tidak perlu merajuk seperti itu,“ sahut Ajar Tal Pitu, “bersiaplah untuk mati.” “Aku sudah bersiap untuk menghindari kematian itu,“ berkata Agung Sedayu, “agaknya itu sudah menjadi kodrat seseorang untuk berusaha menyelamatkan dirinya dari ancaman maut.” Ajar Tal Pitu tertawa. Suaranya menggelegar menghentak-hentak didalam dada. Prastawa yang juga mendengar suara itu seolah-olah merasa isi dadanya diguncang-guncang dari dalam, sehingga anak muda itu harus menahan dadanya dengan telapak tangannya. Dalam pada itu. Ajar Tal Pitu itupun telah menggenggam trisulanya yang bertangkai panjang dengan kedua tangannya. Sambil bergeser selangkah ia berkata, “bersiaplah Agung Sedayu, ujung trisulaku ini mempunyai watak yang khusus. Yang tengah dari ketiga mata trisulaku ini selalu haus akan darah seseorang. Itulah sebabnya, maka trisula ini mempunyai tabiat yang dapat mempengaruhi pemiliknya. Nampaknya akupun kini telah dijalari oleh watak itu, sehingga aku malam ini benar-benar ingin membunuhmu. Justru dihadapan orangorang yang nampaknya sangat bangga atas ilmumu.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak boleh lengah barang sekejappun. Ajar Tal Pitu dapat mulai disegala saat dengan menjulurkan trisulanya. Setelah bergeser selangkah lagi, maka Ajar Tal Pitu itu mulai menggerakkan trisulanya. Dengan gerak yang pendek ujung trisula itu terjulur. Namun agaknya Ajar Tal Pitu memang belum bersungguhsungguh. Agung Sedayupun belum menanggapinya. Ia melangkah selangkah surut. Namun kemudian iapun bergeser ketika Ajar Tal Pitu bergeser lagi. Namun Agung Sedayu itupun telah tertegun ketika Ajar Tal Pitu justru merendahkan diri pada lututnya. Trisulanya terangkat condong kedepan. Ketika ujung trisula yang bermata tiga itu semakin merunduk, maka Agung Sedayupun telah bersiaga sepenuhnya. Dengan gerak yang sederhana, Ajar Tal Pitu memancing gerak lawannya dengan sangat hati-hati, karena Ajar Tal Pitupun sebenarnya mengetahui bahwa anak muda yang bernama Agung Sedayu memiliki banyak kelebihan dari anak-anak muda kebanyakan. Dengan tangan kiri Ajar Tal Pitu mengarahkan ujung trisulanya, sementara dengan tangan kanan ia

menggerakkan trisulanya untuk mematuk lawannya, atau memutar ketiga mata senjatanya untuk menguasai senjata lawan. Tetapi senjata Agung Sedayu adalah senjata lentur yang mempunyai watak yang berbeda dengan pedang atau tombak. Sehingga karena itu, maka Ajar Tal Pitupun harus mempergunakan cara tersendiri untuk melawannya. Dalam pada itu, Agung Sedayu masih tetap berdiri tegak dan bergeser setapak demi setapak. Digenggamnya tangkai cambuknya dengan tangan kanannya, sementara ia masih memegangi ujungnya dengan tangan kirinya. Dengan tenang ia melihat sikap dan gerak Ajar Tal Pitu dengan senjata yang dahsyat bertangkai panjang. Ketenangan Agung Sedayu itulah yang membuat Ajar Tal Pitu justru menjadi berdebar-debar. Anak muda yang baju sudah rontang-ranting dikoyak oleh gigi dan taring anjing-anjing hutan itu sama sekali tidak nampak menjadi cemas dan apalagi ketakutan. Namun dalam pada itu, Ajar Tal Pitu tidak lagi sekedar ingin memancing gerak lawannya. Ketika ia bergeser setapak lagi, dan Agung Sedayu masih tetap berdiri ditempatnya, maka tiba-tiba saja Ajar Tal Pitu telah meloncat sambil menjulurkan trisulanya yang bertangkai panjang itu, langsung mengarah keleher Agung Sedayu. Agung Sedayu melihat gerak lawannya. Karena itu, maka iapun bergeser selangkah kesamping. Sambil memiringkan kepalanya maka ia telah menghindari patukan trisula yang mengarah ke lehernya itu. Namun dalam pada itu, Ajar Tal Pitu telah bergerak dengan tangkas. Ketika ia sadar bahwa trisulanya tidak menyentuh lawannya, maka iapun telah mengayunkan senjata itu mendatar. Namun sekali lagi Agung Sedayu menghindar. Dengan cepat ia berputar sambil merendahkan diri pada lututnya. Ajar Tal Pitu tertawa. Katanya, “Aneh. Kau masih juga ingin bermain-main seperti itu. Agung Sedayu. Kita sudah mengetahui, bahwa kita dapat berbuat lebih banyak dari permainan-permainan yang tidak berarti apa-apa ini. Aku tahu kau mempunyai ilmu kebal. Kau mampu menyerang dari jarak yang panjang sehingga aku gagal membunuhmu dengan ilmu Kembar Tigaku itu. Pedang apikupun tidak mampu melawanmu dan bahkan aku hampir mati kau bunuh di dekat Lemah Cengkar. Nah, sekarang datang gilirannya aku membunuhmu. Aku tidak membawa pedang api dan pisau-pisau kecilku. Tetapi aku datang dengan trisula bertangkai panjang.” Agung Sedayu bergeser. Dipandanginya ketiga ujung trisula yang berwarna kemerah-merahan itu. Memang mirip dengan cahaya yang menyala pada pedang api Ajar Tal Pitu yang dipergunakannya di Jati Anom. “Sekarang, apakah yang kau kehendaki ? Ilmu anjingmu itu sama sekali tidak berdaya melawanku. Nah, sekarang apa lagi yang dapat kau lakukan ?“ bertanya Agung Sedayu, “apakah kau akan

mengulangi ilmu yang pernah kau pamerkan di Jati Anom itu ? Ilmu Kakang Pembarep dan Adi Wuragil yang gagal itu ? Atau ilmu yang barangkali dinamai Gelap Ngampar atau Sangga Dahana ? Atau ilmu apa lagi ?” Ajar Tal Pitu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa lebih keras. Semakin lama semakin keras. Terasa hentakkan didada Agung Sedayu. Dan iapun sadar, bahwa Ajar Tal Pitu benar-benar telah mulai dengan ilmunya yang sebenarnya. Bukan sekedar berusaha menyentuhnya dengan ujung trisulanya. Tetapi daya tahan Agung Sedayu benar-benar telah dipersiapkan. Suara tertawa yang menghentakhentak itu sama sekali tidak berhasil mengguncang isi dadanya. Namun dalam pada itu, orang lainlah yang telah hampir menjadi pingsan. Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh mampu mengatasi hentakan-hentakan itu didadanya. Namun Prastawa rasa-rasanya hampir menjadi pingsan karenanya, sementara anak-anak muda, Tanah Perdikan Menoreh yang lain, mengalami hal yang sama dengan Prastawa. Justru karena jarak mereka agak jauh, maka mereka tidak menjadi kehilangan kesadaran karenanya. Meskipun demikian, nafas mereka bagaikan terhimpit oleh bukit-bukit padas yang menimpa dada mereka. Tetapi Agung Sedayu seolah-olah sama sekali tidak terpengaruh. Meskipun ia berdiri beberapa langkah saja dihadapan Ajar Tal Pitu. Namun Agung Sedayu justru tertawa sambil berkata, “Permainan yang itu lagi. Apakah kau tidak mempunyai cara lain untuk menggertak lawan ? Lolong anjing hutan, gema teriakanmu dari balik batu padas, dan sekarang suara tertawamu itu tidak berarti apa-apa sama sekali.” “Bagus, bagus,“ sahut Ajar Tal Pitu, “Aku hanya ingin memperingatkanmu tentang kemampuanku pada saat aku menghadapimu di Jati Anom. Tetapi ketahuilah Agung Sedayu. Setelah itu aku telah menyempurnakan ilmuku. Ampat puluh hari ampat puluh malam aku mesu raga. Kemudian aku akhiri dengan pati geni selama tiga hari tiga malam. Nah, kau dapat menduga, apa yang akan dapat aku lakukan sekarang ini.” “Tentu peningkatan ilmu yang dahsyat sekali,“ berkata Agung Sedayu. “Kau akui ? Lalu, apakah yang akan kau lakukan ?“ bertanya Ajar Tal Pitu, “menyerah, atau membunuh diri ?” “Ajar Tal Pitu,“ berkata Agung Sedayu, “kita memang dapat berusaha. Termasuk menyempurnakan ilmu. Tetapi segalanya tergantung kepada kuasa Yang Maha Agung. Nah, kepada kuasa Yang Maha Agung itulah aku bersandar setelah aku berusaha untuk mempertahankan hidupku menghadapi ilmumu yang dahsyat. Jika masih ada kesempatanku untuk tetap hidup, maka aku akan dapat keluar dari arena

ini dengan selamat.” Ajar Tal Pitu tertawa. Semakin lama semakin keras. Gejolak suara tertawa itu menghentak-hentak dan menghantam dinding jantungnya. Ajar Tal Pitu telah melepaskan ilmunya sepenuhnya. Justru setelah ia mesu diri di padepokannya. Agung Sedayu masih tetap berdiri tegak. Namun dalam pada itu, Ki Waskita dan Ki Gede yang bertahan dari gejolak didadanya itu, melihat Prastawa hampir tidak lagi mampu bertahan, sehingga keduanya harus berusaha menahan anak itu yang hampir saja jatuh terkulai, dan kemudian menolongnya duduk bersandar sebatang pohon. “Kau mampu mengatasinya jika kau berjiwa besar,“ desis Ki Gede. Prastawa memang masih berusaha. Dan ia berhasil untuk tetap sadar dan tidak pingsan karenanya, meskipun ia sudah tidak dapat lagi tegak diatas kedua kakinya. Sementara itu, anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh benar-benar telah menjadi pingsan karenanya, sehingga mereka tidak tahu lagi apa yang terjadi. Ajar Tal Pitu memang benar-benar meningkat. Ki Waskita dan Ki Gedepun akhirnya benar-benar harus berjuang untuk tetap bertahan. Ketika keduanya kemudian berdiri tegak memandang ke bawah randu alas yang disebut randu papak, mereka masih melihat Agung Sedayu berdiri, dan bahkan terdengar ia tertawa kecil, “Sudahlah Ajar Tal Pitu,“ berkata Agung Sedayu, “jangan kau pamerkan lagi permainan yang memuakkan itu.” Suara tertawa Ajar Tal Pitu masih menggetarkan dedaunan. Namun Agung Sedayu masih tetap berdiri tegak. Suara itu tidak berhasil mempengaruhinya. Namun sebenarnyalah Agung Sedayu harus bertahan agar jantungnya tidak berhenti berdentang. Suara itu sebenarnya terasa seolah-olah menyusup sampai ke pusat dadanya. Karena itulah, maka Agung Sedayu benar-benar harus mapan. Tetapi akhirnya bahwa Ajar Tal Pitu itu harus mengakui, bahwa ia tidak berhasil mengguncang isi dada Agung Sedayu dengan ilmunya itu, sebelum ia menghantam dengan ilmunya yang lain. Agung Sedayu masih tetap berdiri tegak dan sama sekali tidak nampak, akibat apapun yang menunjukkan kelemahannya. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam ketika terasa tekanan di dadanya itu menurun. Bahkan iapun kemudian berkata, “Ajar Tal Pitu. Aku kira kita hanya akan bermain-main seperti ini semalam suntuk.” “Persetan Agung Sedayu,“ jawab Ajar Tal Pitu, ”kau sudah pernah melihat betapa pedang apiku

mampu membakarmu di dekat Lemah Cengkar di Jati Anom. Sekarang kau harus melihat, betapa ujung trisulaku akan melumatkanmu.” “Aku sudah siap sejak anjing-anjing liar itu belum datang,” sahut Agung Sedayu. Ajar Tal Pitu menggeram. Ia mulai menggerakkan trisula bertangkai panjang ditangannya. Ujungnya bergerak mendatar. Namun kemudian trisula itu berputar berporos genggaman tangannya di tengahtengah tangkainya yang panjang. Agung Sedayu surut selangkah. Ternyata Ajar Tal Pitu memang seorang yang luar biasa. Ujung trisulanya yang berputar itu seolah-olah telah membara, sehingga yang nampaknya bagaikan putaran cahaya api yang kemerah-merahan. Seperti yang pernah di alami, udara dibawah pohon randu alas itupun menjadi panas. Ajar Tal Pitu memang mampu melepaskan ilmu yang seolah-olah dapat membakar udara. Agung Sedayu mulai merasa, betapa ia telah disentuh oleh udara panas. Namun dengan ilmu kebalnya, maka ia berhasil melindungi dirinya. Udara panas itu tidak banyak mempengaruhinya sehingga Agung Sedayu dapat mengabaikannya. Namun yang tidak dapat diabaikannya adalah senjata Ajar Tal Pitu. Ternyata setelah Ajar Tal Pitu menganggap bahwa udara panas telah mempengaruhi lawannya, mulailah ia mempergunakan senjatanya untuk menyerang. Ketika senjata yang berputar itu kemudian menyilang, dan tiba-tiba saja mematuk, Agung Sedayu sudah siap untuk mengelak. Namun ternyata tangan Ajar Tal Pitu benar-benar telah terlatih. Ujungujung trisula yang membara itu, telah berubah arah, terayun mendatar mengejarnya. Agung Sedayu masih belum mempercayakannya kepada ilmu kebalnya untuk melawan ujung trisula itu. Ia masih harus menjajagi kekuatan yang terlontar dari padanya, karena bagaimanapun juga, Agung Sedayu tetap sadar, bahwa kekuatan yang melampaui daya tahan ilmu kebalnya akan dapat mempengaruhinya. Terutama pada bagian dalam tubuhnya. Karena itu Agung Sedayu masih juga berusaha untuk mempergunakan kecepatan geraknya. Dengan tangkas ia meloncat menghindari ujung trisula yang membara itu. Namun demikian ujung itu lewat, justru Agung Sedayu telah meloncat maju. Sebuah ledakan cambuknya yang dahsyat telah menggetarkan pohon randu alas itu. Tetapi Ajar Tal Pitu dengan tangkas sempat juga mengelak. Dengan loncatan kecil ia surut selangkah. Namun ketika Agung Sedayu siap meloncat sekali lagi, ujung trisula Ajar Tal Pitu justru telah mematuk lurus kearah dada. Agung Sedayulah yang surut. Namun Ajar Tal Pitu telah memburunya dengan ujung trisula yang terayun. Bahkan kemudian berputar dengan cepatnya.

Agung Sedayu masih berusaha menghindar. Sekali-sekali ia justru mendekat. Cambuknya menggelepar. Meskipun ledakan cambuknya tidak terdengar terlalu dahsyat bagaikan ledakan gunung berapi, namun bagi lawannya, terasa hentakkan kekuatan yang tiada taranya telah terlontar dari ujung cambuk itu. Dalam pada itu, ternyata setelah mesu diri selama ampat puluh hari ampat puluh malam dan pati geni selama tiga hari tiga malam, ilmu Ajar Tal Pitu benar-benar telah meningkat. Lontaran ilmunya yang bagaikan membakar udara disekitar arena, terasa menyentuh bahkan menyusup diantara ilmu kebal Agung Sedayu. Meskipun ia masih mampu mengatasi perasaan panas yang menyentuhnya, namun dalam pada itu, rasa-rasanya keringatnya telah terperas habis. Karena itulah, maka Agung Sedayupun telah mengembangkan ilmu kebalnya sampai ke batas kemampuan yang berhasil dijangkaunya. Ia ingin mengimbangi ilmu lawannya dengan ilmu yang serupa, meskipun sumbernya dan dasar pengembangannya yang berbeda pula. Dalam pada itu, maka Agung Sedayupun seakan-akan semakin lama menjadi semakin panas pula. Seperti ilmu lawannya, maka lontaran panas ilmunya itu mulai terasa oleh lawannya. Jika semula hanya Agung Sedayu saja yang dipanggang dalam panasnya ilmu Ajar Tal Pitu, maka tiba-tiba saja Ajar Tal Pitu mulai merasa pula bahwa udara menjadi semakin panas. Anjing hutan raksasa yang tidak berdaya melawan Agung Sedayu itupun mengetahui pula, bahwa anjing-anjing liar yang mengerubut anak muda itu telah terusir oleh udara panas. Namun ternyata bahwa Agung Sedayu masih mampu mengembangkannya, sehingga udara dibawah pohon randu alas itu benar-benar bagaikan terbakar. Dengan demikian, maka kedua orang itupun seolah-olah telah bertempur di atas neraka. Mereka harus bertahan atas panasnya udara yang membakar, sementara itu, maka ujung-ujung senjata telah menyambar-nyambar. Ajar Tal Pitu yang telah dibekali dengan dendam yang tiada taranya itu berusaha untuk segera membinasakan lawannya. Ujung trisulanya ternyata memiliki kekuatan seperti pedang yang pernah dipergunakannya. Ketiga mata trisula yang bertangkai panjang itu bagaikan menyala menyembur kearah lawannya. Terasa panasnya memang bagaikan semburan lidah api. Tetapi ilmu kebal Agung Sedayu mampu menahan, dan ia masih terlindungi sehingga tubuhnya tidak menjadi hangus karenanya. Namun sementara itu, ternyata Ajar Tal Pitu menahan diri bagaikan dipanggang diatas api. Betapa Ajar Tal Pitu menahan diri dari panasnya ilmu Agung Sedayu, namun akhirnya ia merasa, bahwa ia tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi.

Pada saat-saat terakhir Ajar Tal Pitu berusaha menekan Agung Sedayu dengan lidah api yang menyala dari ketiga mata trisulanya, maka Agung Sedayupun menghentakkan ilmunya, sehingga udara di bawah randu alas itu benar-benar bagaikan terbakar. Dengan demikian, maka Ajar Tal Pitu tidak lagi mampu bertahan. Selangkah demi selangkah ia mundur meskipun trisulanya masih tetap berputaran dan mematuk-matuk jika Agung Sedayu memburunya. Dalam keadaan yang paling gawat, maka Ajar Tal Pitu itupun telah meloncat langsung keluar dari bayangan pohon randu alas. Agung Sedayu masih tetap ragu-ragu. Karena itu ia tertegun sejenak. Tetapi yang terjadi kemudian benar-benar sangat mengejutkan. Ajar Tal Pitu itu tiba-tiba saja telah berlari meninggalkan arena menuju ke gumuk padas. Agung Sedayu tidak memburunya. Ia masih belum tahu pasti, apakah didalam cahaya bulan, trisula itu akan mempunyai arti tersendiri. Namun seakan-akan ada beberapa pertimbangan yang mencegahnya untuk mengejar Ajar Tal Pitu. Dan bahkan masih ada firasat padanya, bahwa Ajar Tal Pitu itu masih akan kembali lagi. Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh menjadi berdebar-debar. Prastawa yang seakan-akan telah pingsan oleh getar suara Ajar Tal Pitu yang dilambari ilmunya itu, telah menyadari dirinya sepenuhnya. Ketika ia bangkit, maka iapun berdesis, “Kemana Ajar Tal Pitu itu paman ?” Ki Gede menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak tahu. Tetapi aku kira ia belum lari.” “Berhati-hatilah,“ desis Ki Waskita, “seperti anjing hutan raksasa yang kehabisan akal itu, tiba-tiba saja telah menyerang kita. Mungkin kitapun harus bersiap-siap, jika pada suatu saat Ajar Tal Pitu itu justru menyerang kita.” Beberapa saat lamanya Agung Sedayu berdiri dengan tegang. Ia masih tetap berada di bawah bayangan dedaunan yang rimbun. Meskipun bulan bergeser, dan bayangan itupun bergeser, tetapi Agung Sedayu telah ikut bergerak pula. Dalam pada itu, tiba-tiba saja telah terdengar suara menggelegar dari balik gumuk batu padas itu, katanya, “Agung Sedayu, kau anak muda yang luar biasa. Dalam usiamu yang muda itu, kau sudah memiliki ilmu yang luar biasa. Kau mampu menahan panasnya api ilmuku. Bahkan kau telah mampu membakar udara disekilingmu dengan api neraka.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Ajar Tal Pitu tentu akan membuat sebuah permainan yang tidak kalah dahsyatnya. Karena itu, maka iapun telah bersiap menghadapinya. “Tetapi anak muda,“ terdengar suara Ajar Tal Pitu itu lebih lanjut, “kau jangan terlalu bangga dengan

kemenangan kecilmu itu. Aku masih mampu mengembangkan ilmuku yang pernah gagal melawanmu di Jati Anom. Bukan ilmu baru, tetapi ilmu yang pernah kau kenal itu pula dalam ujudnya yang lebih sempurna.” Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Ia masih tetap berdiri tegak menghadap ke gumuk batu padas itu. Sejenak kemudian, terasa jantungnya menjadi berdebar-debar. Tiba-tiba saja ia melihat bayangan meloncat keatas gumuk padas itu. Dua orang dalam ujud yang serupa. Ajar Tal Pitu lengkap dengan trisulanya. “Hanya dua,“ Agung Sedayu berdesis. Namun ia tidak sempat berpikir lebih lama. Kedua bayangan itu sejenak kemudian telah menghambur, meloncat dari atas gumuk kecil itu bagaikan terbang dengan trisulanya terangkat tinggi-tinggi. Agung Sedayupun telah bersiap melawannya. Ketika kedua bayangan itu mendekatinya, maka cambuknyapun telah menggelepar menyongsongnya. Tetapi lecutan ujung cambuk Agung Sedayu itu seolah-olah tidak terasa ditubuh Ajar Tal Pitu, sementara yang seorang lagi telah menyerangnya pula dengan dahsyatnya. Agung Sedayu harus berloncatan menghindar. Yang dilawannya tidak hanya sebuah trisula berujung rangkap tiga, tetapi dua buah trisula bertangkai panjang, yang seolah-olah telah menyembur api dari ujung-ujungnya. Sejenak kemudian, cambuk Agung Sedayupun telah meledak-ledak. Memang tidak begitu keras, tetapi penuh dengan lontaran tenaga. Dengan ujung cambuknya Agung Sedayu ingin menjajagi, yang manakah diantara kedua bayangan itu, yang sebenarnya Ajar Tal Pitu. Namun keduanya ternyata seolah-olah kebal dari segala macam senjata. Ujung cambuk Agung Sedayu yang berkarah baja pilihan itu sama sekali tidak mampu menggores dikulit kedua bayangan Ajar Tal Pitu yang serupa itu. Untuk beberapa saat Agung Sedayu menjadi agak bingung. Sementara itu kedua Ajar Tal Pitu itu menyerangnya semakin lama semakin dahsyat. Ujung trisula merekapun menyambar-nyambar dari segala arah, sementara lidah api bagaikan menyala di manamana diseputar pohon randu alas itu. Ki Waskita dan Ki Gede yang menyaksikan pertempuran itupun menjadi berdebar-debar. Mereka melihat Agung Sedayu yang telah memeras tenaganya, melawan kedua orang dalam ujung trisula Ajar Tal Pitu dengan segenap kemampuan dan ilmunya. Untuk beberapa saat Agung Sedayu masih juga bertempur. Namun akhirnya ia tidak mau kehilangan tenaga terlalu banyak. Anak muda itu sadar, bahwa ia telah

mencapai satu tingkat yang paling tingggi dari penguasaan ilmu kebal. Dalam keadaan luka parah ketika ia bertempur melawan Ajar Tal Pitu yang terdahulu, ia sudah memanfaatkan keadaan itu untuk menyempurnakan ilmu kebalnya. Terakhir di Tanah Perdikan Menoreh, ia justru telah mengembangkan ilmu kebalnya, sehingga ia mampu membakar udara disekitarnya dengan ilmunya itu. Karena itu, maka Agung Sedayupun dengan hati-hati telah menjajagi kemampuan kedua orang lawannya yang serupa itu. Pada saat-saat tertentu ia sengaja tidak menangkis dan tidak menghindari serangan lawannya. Sebenarnyalah, bahwa kedua ujud Ajar Tal Pitu itu benar-benar tidak mampu menembus ilmu kebalnya. Meskipun masih juga terasa pada tubuhnya, hentakkan-hentakkan kekuatan yang menyentuhnya. Namun seperti juga udara panas yang dilontarkan oleh Ajar Tal Pitu, segalanya masih mampu diatasinya. Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian lebih banyak berpikir untuk menghadapi lawannya. Ia membiarkan beberapa serangan lawannya mengenainya. Namun baik udara panas maupun ujung trisula yang bagaikan semburan lidah api itu tidak dapat melukainya. Namun dalam pada itu, serangan-serangan kedua ujud Ajar Tal Pitu itu menjadi semakin marah. Mereka menghentakkan kekuatan mereka. Serangan-serangan merekapun menjadi semakin meningkat. Bukan saja kedua ujung trisula itu semakin sering mengenainya, tetapi hentakkan kekuatannyapun menjadi semakin terasa oleh tubuh Agung Sedayu yang kebal. Sedikit demi sedikit, rasa-rasanya serangan-serangan itu sempat menerobos perisai ilmunya. “Ajar Tal Pitu memang luar biasa,“ desis Agung Sedayu, “setelah mesu diri, kekuatannya telah meningkat dengan pesat.” Namun Agung Sedayupun sempat mengucap syukur. Jika ia tidak meningkatkan ilmu kebalnya, maka ia tentu sudah tergolek dibawah pohon randu alas yang besar itu. Tubuhnya meskipun tidak terkoyak oleh ujung trisula yang bagaikan menghembuskan api itu, namun bagian dalamnya akan segera menjadi remuk berkeping-keping. Tulang-tulangnya akan retak dan urat-urat darahnya akan pecah-pecah. Tetapi ternyata bahwa Agung Sedayu telah meningkatkan ilmu kebalnya, seperti juga Ajar Tal Pitu meningkatkan ilmunya. Seperti yang pernah terjadi di Jati Anom, maka Agung Sedayu masih juga mampu menahan serangan-serangan Ajar Tal Pitu yang dahsyat. Namun dalam pada itu, baik Agung Sedayu sendiri, maupun Ki Waskita yang pernah terlibat dalam pertempuran di Jati Anom itu merasa heran, bahwa yang hadir pada waktu itu hanya dua ujut Ajar Tal Pitu. Sementara itu. Agung Sedayu yang bertempur melawan keduanya, ternyata sempat juga membuat perhitungan-perhitungan setelah ia lebih mempercayakan perlawanannya pada ilmu kebalnya.

Agung Sedayu mulai membayangkan kembali, sekilas-sekilas diantara ledakkan cambuknya, bagaimana ia bertempur melawan tiga orang Ajar Tal Pitu di Jati Anom. “Seorang diantara ketiganya adalah Ajar Tal Pitu yang sebenarnya,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya, “sementara itu Ajar Tal Pitu yang sebenarnya itu justru selalu berusaha menghindari seranganserangannya.” Agung Sedayu akhirnya menemukan jawaban atas pertanyaan yang selalu bergejolak didalam hatinya, sejak ia bertempur melawan dua orang bayangan Ajar Tal Pitu itu. “Yang dua ini tentu bukan Ajar Tal Pitu yang sebenarnya,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya, “karena itulah, maka aku tidak akan mungkin dapat melumpuhkannya.” Karena itulah, maka Agung Sedayupun harus mengatur perlawanannya sebaik-baiknya. Iapun mulai melawan ilmu Ajar Tal Pitu itu bukan saja dengan ilmu kebalnya. Tetapi dengan satu keyakinan, bahwa yang dihadapinya itu adalah sekedar kekuatan ilmu Ajar Tai Pitu. Karena itulah, maka yang mampu dilakukan oleh ke dua ujud itu tentu tidak akan sebagaimana dilakukan oleh Ajar Tal Pitu sendiri. Agung Sedayupun kemudian berusaha untuk membuat dirinya meyakini apa yang sedang dihadapinya. Senjata ditangan kedua ujud itu bukannya senjata Ajar Tal Pitu yang sesungguhnya. Ketika Ajar Tal Pitu menggenggam pedang api ditangannya, maka kedua ujud kembarnya memegang pedang pula. Disaat Ajar Tal Pitu memegang trisula, maka kedua ujud itupun memegang trisula pula sebagaimana Ajar Tal Pitu itu sendiri. Dengan kekuatan daya pikirnya, maka Agung Sedayupun kemudian berusaha meyakinkan watak kedua lawannya. Dengan ujung cambuknya ia telah menyerang dengan garangnya. Namun ternyata bahwa kedua ujud itu seolah-olah tidak merasakan sama sekali sambaran ujung cambuknya. Keduanya tidak dapat dilukainya dan keduanya tidak dapat disakitinya. “Gila,“ geram Agung Sedayu. Meskipun ia telah memiliki ilmu kebal yang mapan, namun ternyata bahwa perasaannya masih juga mempengaruhinya. Sekilas Agung Sedayu menilai dirinya sendiri. Dibiarkannya ujung trisula lawannya mengenainya. Namun bukan saja ia melawan dengan ilmu kebalnya, namun dengan satu keyakinan, bahwa yang dihadapinya tidak akan memiliki kekuatan sebagaimana sumbernya.

“Jika aku tidak dapat menyakitinya, maka kedua bayangan ini tentu tidak akan mampu menyakiti aku, meskipun seandainya aku tidak memiliki ilmu kebal. Hanya orang-orang yang miris dan cemas sajalah yang akan jatuh kedalam pengaruh kedua ujud itu, sementara didalam pertempuran yang sebenarnya, ujud sumbernyalah yang akan melukai dan bahkan membunuh lawannya yang sudah kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri,“ berkata Agung Sedayu kepada dirinya sendiri. Dalam keyakinan yang penuh, maka ia berkata pula didalam dirinya, “Hanya ujud yang sebenarnyalah yang akan mampu menyakiti aku. Dan aku memang menunggu ujud yang sebenarnya itu.” Demikianlah, Agung Sedayu telah berhasil memecahkan teka-teki yang dihadapinya. Ia sudah yakin, bahwa ujud-ujud yang dihadapinya itu telah bersandar kepada kecemasannya sendiri. Dalam pada itu, maka segala macam sentuhan dan sayatan senjata ujud-ujud bayangan yang dilontarkan oleh kekuatan aji Kakang Pembareb dan Adi Wuragil itu telah tumbuh dari hatinya sendiri. Dengan demikian maka Ajar Tal Pitu yang sebenarnya, apabila ia tampil, maka sebenarnyalah orang itu yang melakukannya. Dalam perang, tanding yang dahsyat itu, ternyata Ajar Tal Pitu sendiri tidak tampil di arena. Agung Sedayupun segera dapat mengerti alasannya. Agung Sedayu akan dapat menyerangnya kemanapun ia melenting. Karena itu, maka Ajar Tal Pitu itu telah mencoba membiarkan Agung Sedayu bertempur dengan kekerdilan hatinya sendiri dengan lantaran kedua ujud bayangannya yang dilontarkan oleh ilmunya, yang mempunyai watak yang memang berbeda dengan ujud semu yang dapat dilontarkan oleh Ki Waskita, yang akan dengan cepat dapat diketahui oleh lawan-lawannya yang memiliki pandangan mata hati yang cukup tajam. Tetapi ternyata bahwa Agung Sedayu telah berhasil mengatasi perasaannya sendiri, sehingga dengan demikian, maka segala macam perasaan yang timbul karena kedua lawannya itu dapat diatasinya. Dengan yakin ia memastikan, bahwa sentuhan trisula itu sama sekali tidak akan menyakitkan. Api yang memancar itupun sama sekali tidak akan membuat udara menjadi panas. Yang terasa panas adalah justru karena dirinya sendiri. Karena perasaannya sendiri. Bahkan seandainya ia tidak memiliki ilmu kebal sekalipun, namun asal ia memiliki keyakinan yang teguh, maka kedua bayangan ujud Ajar Tal Pitu itu sama sekali tidak akan dapat berbuat apa-apa. Demikianlah maka Agung Sedayu telah membuktikannya. Ia membiarkan dirinya ditikam oleh trisula yang bagaikan menyala itu. Bahkan sedikit demi sedikit ia telah mengurangi kemampuan daya tahan ilmu kebalnya. Ternyata Agung Sedayu berhasil mengurai dengan tepat teka-teki ilmu lawannya. Dengan keyakinan yang teguh, tanpa lambaran ilmu kebalnya, maka kedua ujud Ajar Tal Pitu itu sama sekali tidak menyakitinya. Dengan demikian, maka Agung Sedayupun telah sampai kepada puncak permainannya. Setelah ia berhasil mengatasi kekerdilan jiwanya, sehingga seolah-olah kedua ujud itu mampu menyakitinya

sebagaimana telah dilakukan oleh Ajar Tal Pitu sendiri. Namun dengan satu kesadaran, bahwa terhadap Ajar Tal Pitu sendiri, ia harus mengenakan perisai ilmu kebalnya dalam puncak pengetrapannya. Dalam pada itu, betapa Agung Sedayu sudah berhasil mengurai watak ilmu lawannya, namun nampaknya ia masih saja bertempur dengan segenap kemampuannya. Sekali-sekali ia masih meloncat, melejid dan kemudian menghentakkan cambuknya. Namun kedua ujud Ajar Tal Pitu itu nampaknya sama sekali tidak terpengaruh oleh senjata Agung Sedayu yang meledak-ledak. Ki Waskita dan Ki Gede menjadi cemas. Justru karena mereka tidak berhadapan langsung seperti yang dilakukan oleh Agung Sedayu, maka merekapun tidak melihat watak yang sebenarnya dari ilmu yang nampaknya nggegirisi itu. Jantung mereka bagaikan berhenti berdetak, ketika keduanya melihat justru Agung Sedayulah yang kemudian mendesak. Bahkan kemudian anak muda itu terhuyung-huyung dan jatuh bersandar batang pohon randu alas. “Ki Gede,“ desis Ki Waskita. Wajah Ki Gede menjadi merah. Ujung tombaknya menjadi bergetar oleh kemarahan yang menghentak jantungnya. Dengan suara yang gemetar ia berkata, “Jika Agung Sedayu gagal, aku akan menantangnya dalam perang tanding. Akulah yang membawa Agung Sedayu kemari. Dengan demikian aku harus bertanggung jawab. Aku harus berhasil membunuh orang yang menyebut dirinya Ajar Tal Pitu itu, atau aku yang harus mati di arena. “Serahkan orang itu kepadaku Ki Gede, “geram Ki Waskita, “aku sudah mengenalnya sebelumnya. Sebagian dendamnya tertuju kepadaku, kepada orang-orang yang ikut bertempur di Jati Anom.” Ki Gede tidak menyahut. Namun terdengar giginya gemeretak, dan ujung tombaknya yang bergetar itu seakan-akan mulai menyala kebiru-biruan. Kemarahannya ternyata telah menjalar bukan saja sampai kegenggaman tangannya, tetapi sudah sampai keujung tombaknya. “Kita harus menunggu sampai tuntas,“ desis Ki Waskita, “baru kita mulai dengan babak yang baru, apapun yang akan terjadi dengan Agung Sedayu.” Ki Gede tidak menjawab. Tetapi kemarahannya benar-benar telah menyala dihatinya.

Buku 148 DALAM pada itu, kedua ujud Ajar Tal Pitu yang melihat Agung Sedayu terjatuh dan bersandar pada batang randu alas itupun telah mempergunakan saat itu sebaik-baiknya. Mereka telah menyerang Agung Sedayu tanpa perlawanan. Mereka menikam, menggores dan bahkan membakar tubuh Agung Sedayu dengan api yang tersembur dari ujung trisula mereka. Saat itulah yang ditunggu oleh Ajar Tal Pitu yang sebenarnya. Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa yang menggema di lereng-lereng perbukitan. “Ternyata hatimu hanya semenir Agung Sedayu,“ terdengar suara Ajar Tal Pitu, “justru karena itu, maka ajalmu akan sampai.” Sebenarnyalah, di atas gumuk padas telah nampak sebuah ujud lagi sebagaimana kedua ujud yang sedang sibuk menyerang Agung Sedayu yang sama sekali tidak melawan. Sambil mengangkat trisulanya dan menengadahkan wajahnya ke bulan yang sudah semakin bergeser ke Barat, Ajar Tal Pitu itupun berkata,“ berikan cahayamu kepadaku. Aku akan menyempurnakan kematian anak muda yang sombong ini.” Ki Gede Menoreh yang menyaksikan hal itu hampir tidak dapat menahan diri. Jika ia tidak terikat kepada perjanjian yang dibuat oleh Agung Sedayu dan Ajar Tal Pitu untuk berperang tanding, maka ia sudah tidak sabar lagi. Meskipun kemudian ia melihat trisula di tangan Ajar Tal Pitu yang berdiri diatas gumuk batu padas itu seakan-akan menyala semakin besar, namun diluar sadarnya iapun melihat cahaya kebiru-biruan di ujung tombaknya. “Tombakku tentu tidak kalah bertuah dari trisula yang bercahaya kemerah-merahan itu,” berkata Ki Gede didalam hatinya. Sebenarnyalah Ki Gede tidak gentar melihat betapa cara Ajar Tal Pitu melawan Agung Sedayu. Meskipun ia sadar, bahwa dalam keadaan yang gawat, kakinya sering mengganggunya, tetapi pada saat terakhir ia masih sempat mengembangkan ilmunya. sesuai dengan keadaan tubuhnya. Ki Waskitapun telah menjadi gemetar, Iapun harus menahan diri. Apapun yang akan terjadi atas Agung Sedayu, ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. karena Agung Sedayu sudah menyatakan dirinya memasuki arena perang tanding. Dalam pada itu, pada sisi yang lain. didalam gerumbul-gerumbul perdu disebelah gumuk batu padas itu, dua orang yang menyaksikan perang tanding itu sebagaimana Ajar Tal Pitu telah menentukan, bahwa perang tanding itu akan segera berakhir. “Ternyata Ajar Tal Pitu berhasil,” berkata yang seorang kepada kawannya. “Ya, Ki Pringgajaya,“ jawab yang lain, “Agung Sedayu sudah tidak berdaya. Padahal Ajar Tal Pitu

yang seorang masih baru akan turun kearena.” “Jangan panggil namaku,“ desis yang seorang. “Semua orang sudah tahu kalau Ki Pringgajaya sebenarnya masih belum mati,“ jawab kawannya. Ki Pringgajaya tersenyum. Katanya, “Biarlah. Tetapi tidak seorangpun akan dapat menemukan aku. Tanpa dapat mengajukan aku sebagai bukti, Ki Tumenggung Prabadaru juga tidak akan dapat dituntut oleh siapapun.” “Kita akan menyaksikan saat-saat terakhir dari kehidupan seorang anak muda yang pilih tanding,“ gumam kawannya. “Ya. Sebenarnyalah Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang jarang dicari bandingnya. Mungkin ia masih berada beberapa lapis dibawah Senapati Ing Ngalaga dan Pangeran Benawa namun kedua orang anak muda itu memang tidak dapat diperbandingkan dengan siapapun,“ desis Ki Pringgajaya, “mungkin pada masa muda Sultan Hadiwijaya yang bernama Mas Karebet dan yang juga disebut Jaka Tingkir itupun memiliki ilmu seperti Senapati Ing Ngalaga. Namun selain orang-orang ajaib itu, Agung Sedayu termasuk anak muda yang perkasa.” Kawannya mengangguk-angguk. Sementara itu. Ajar Tal Pitu yang berada diatas gumuk itu telah meloncat turun. Suara tertawanya masih terdengar menggema. Sementara itu, iapun melangkah perlahan-lahan mendekati pohon randu alas yang besar dan berdaun rimbun itu. Agung Sedayu yang tersandar pada pokok batang randu alas itu melihat Ajar Tal Pitu datang mendekatinya. Iapun melihat Ajar Tal Pitu itu sudah memastikan diri untuk dapat membunuh Agung Sedayu, sehingga karena itu, maka Ajar Tal Pitupun melangkah maju sambil menengadahkan wajahnya. Suara tertawanya masih saja terdengar. Bahkan semakin lama menjadi semakin keras. Beberapa langkah dihadapan Agung Sedayu ia berhenti. Kedua ujud Ajar Tal Pitu yang lainpun telah berhenti menyerangnya. Keduanya berdiri tegak seperti yang dilakukan oleh Ajar Tal Pitu itu sendiri. Agung Sedayu masih tetap bersandar pada batang pohon randu alas yang besar itu tanpa bergerak. Dalam pada itu. Ajar Tal Pitu itupun mulai merundukkan trisulanya mengarah kedada Agung Sedayu sambil berkata, “Agung Sedayu. Nasibmu buruk hari ini. Kau tidak dapat melawan ilmuku yang telah aku sempurnakan dengan mesu diri ampat puluh hari ampat puluh malam diikuti oleh pati geni tiga hari tiga malam. Ternyata ilmu kebalmu tidak sanggup menahan kekuatan ilmuku. Sekarang, trisulaku sendirilah yang akan menembus jantungmu. Mungkin lambaran ilmu kebalmu yang tersisa masih dapat melindungi luka dikulitmu untuk tusukan yang pertama, kedua atau yang ketiga. Tetapi aku akan menusuk kau berulang kali sampai dadamu berlubang tembus ke jantung. Dalam keadaanmu

serupa itu, maka kau tidak akan mampu mengetrapkan ilmu kebalmu sampai kepuncak kemampuannya.” Agung Sedayu masih saja tersandar. Namun ia melihat apa saja yang dilakukan oleh Ajar Tal Pitu. Iapun melihat Ajar Tal Pitu itu kemudian melangkah setapak surut. Trisulanya benar-benar telah siap menembus jantung Agung Sedayu. Sesaat Ajar Tal Pitu mengetrapkan puncak ilmunya. Kemudian sambil berteriak nyaring ia telah meloncat dalam ancang-ancangnya. Dengan sekuat tenaga maka iapun telah mendorong trisulanya lurus mengarah ke jantung Agung Sedayu. Namun yang terjadi adalah sangat mengejutkan. Ujung trisula itu sama sekali tidak menusuk dada Agung Sedayu dan mematahkan tulang iganya, apalagi menembus sampai kejantung. Tepat pada saatnya Agung Sedayu telah berguling menghindari serangan maut itu. sehingga trisula itu tidak mengenainya. Justru ujung trisula itu telah menancap pada pokok pohon randu alas yang tidak terlalu keras. Sehingga dengan demikian, berlandaskan kekuatan ilmu Ajar Tal Pitu, maka ujung trisulanya itu telah menghunjam cukup dalam pada pokok batang randu alas itu. Ajar Tal Pitu justru terkejut. Sementara itu, Agung Sedayu telah melenting berdiri selangkah disebelah Ajar Tal Pitu yang menjadi gugup. Yang terdengar kemudian adalah suara Agung Sedayu. Tidak terlalu keras, “Luar biasa.” Dalam pada itu, baik Ki Waskita maupun Ki Gede Menorehpun terkejut melihat sikap Agung Sedayu. Keduanya yang sudah kehilangan harapan, dan bahkan Ki Gede yang marah itu hampir saja memburu kearah Ajar Tal Pitu, rasa-rasanya telah melihat satu keajaiban telah terjadi. Namun dalam pada itu, Ki Waskitapun berdesis, “Apa yang dapat dilakukan oleh anak muda itu ternyata melampaui dugaan kita.” “Ya,” desis Ki Gede, “kitalah yang ternyata terlalu bodoh untuk mengerti apa yang telah terjadi.” Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun sesuatu masih terasa bergejolak didalam dadanya. Sementara itu, di arah yang lain Ki Pringgajaya dan seorang kawannya telah terguncang pula jantungnya melihat apa yang telah terjadi. Betapa keduanya terkejut ketika mereka melihat Agung Sedayu itu mengelak dan kemudian melenting berdiri selangkah disebelah Ajar Tal Pitu. “Anak Setan,“ geram Ki Pringgajaya, “jadi ia masih sempat mengelak.” Pengawalnya yang terkejut itu justru menjadi gemetar. Ia melihat Agung Sedayu itu berdiri tegak, utuh dan sama sekali tidak lumpuh sebagaimana diduganya setelah Agung Sedayu jatuh bersandar pohon

randu alas. “Benar-benar anak iblis,” sahut kawan Ki Pringgajaya itu. Sebenarnyalah Agung Sedayu masih berdiri tegak. Ajar Tal Pitu yang tidak menduga bahwa korbannya masih akan mampu mengelak itupun untuk beberapa saat bagaikan kehilangan akal. Namun ia bukan seorang yang berotak tumpul. Betapa jantungnya terguncang, namun ia dengan cepat dapat mengambil satu sikap. Ia telah menghadapi satu kenyataan tentang Agung Sedayu. Karena itu, maka ia harus segera berbuat sesuatu. Karena itulah, maka dengan segenap kekuatan ilmunya, ia telah menarik trisulanya dari pokok pohon randu alas itu. Adalah giliran Agung Sedayu untuk terkejut. Ia menduga, bahwa Ajar Tal Pitu memerlukan tenaga dalam ilmu puncaknya untuk mencabut senjatanya. Namun ternyata ia telah menarik senjata seolaholah senjatanya itu tercelup didalam air. Begitu mudahnya. Dalam keremangan cahaya bulan bulat yang dibayangi oleh rimbunnya daun randu alas, Agung Sedayu melihat dengan tatapan matanya yang tajam, lubang-lubang bekas ketiga ujung trisula itu masih mengepulkan asap. “Bukan main,” berkata Agung Sedayu didalam hatinya, “ternyata api diujung trisula Ajar Tald Pitu yang sebenarnya itu tidak main-main. Api itu mampu membakar pokok kayu randu alas sehingga dengan mudah ia mampu menarik trisulanya. Dalam pada itu, barulah Agung Sedayu merasa membuat satu kesalahan. Karena demikian Ajar Tal Pitu itu menyadari keadaannya dan setelah menarik trisulanya, maka ialah yang mengambil kesempatan untuk memulai lagi dengan satu perang tanding yang dahsyat. Dengan segenap kekuatannya Ajar Tal Pitu itu mengayunkan trisulanya mendatar menghantam dada Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu sempat meloncat mundur, sehingga trisula itu berdesing dihadapan dadanya. Tetapi demikian trisula itu tidak menyentuh tubuh Agung Sedayu, Ajar Tal Pitu segera memutar senjatanya berporos pada pangkal tangkai trisulanya. Dengan secepat kilat senjatanya itu telah menyambar sekali lagi. Agung Sedayu masih sempat mengelak. Namun ia merasa, bahwa Ajar Tal Pitu telah mengambil kesempatan untuk melibatnya dalam perkelahian jarak pendek. Sebenarnyalah Ajar Tal Pitu yang sudah pernah mengalami kekalahan dari Agung Sedayu itu mengerti, bahwa Agung Sedayu mampu menyerangnya pada jarak diluar jarak jangkau wadagnya. Pada saat yang demikian, ia seolah-olah hanya merupakan sasaran yang tidak mampu membalas. Kedua

bayangan ujudnya itu ternyata tidak berdaya menghadapi Agung Sedayu yang telah berhasil memecahkan teka-teki ilmunya, Kakang Pembarep dan Adi Wuragil. Karena itu, maka Ajar Tal Pitu tidak mau mengulangi kekalahan karena ia tidak mampu melawan pada jarak diluar jangkauan senjatanya. Dengan demikian maka Ajar Tal Pitu yang berada pada jarak jangkau senjatanya itu tidak mau melepaskan Agung Sedayu untuk keluar dari libatan pertempuran jarak pendek. Agung Sedayu yang sudah terlanjur berada dalam pergumulan berjarak pendek itu sulit untuk mengambil jarak dan melepaskan kekuatan ilmunya lewat sorot matanya. Ia tidak mempunyai kesempatan untuk melepaskan diri barang sekejap, membangun kekuatan dan ilmunya yang akan dilepaskan lewat sorot matanya. Pada saat-saat berikutnya ternyata tidak mudah bagi Agung Sedayu untuk membetulkan kesalahannya. Pertempuran jarak pendek itu bagaikan prahara yang melibatnya, sehingga sulit baginya untuk dapat keluar dari putarannya. Namun Agung Sedayu masih mempunyai perisai yang dapat melindunginya. Ia telah mengetrapkan ilmu kebalnya. Ia tidak mau hancur dicincang oleh ujung senjata Ajar Tal Pitu itu. Perang tanding itupun semakin lama menjadi semakin dahsyat. Kedua ujud Ajar Tal Pitu yang lain itupun masih ikut bertempur pula. Meskipun Agung Sedayu tidak menghiraukannya lagi, namun karena mereka justru berusaha berbaur, kadang-kadang Agung Sedayu kehilangan waktu sekejap untuk memilih lawannya yang sebenarnya. Sebagaimana yang dilakukannya terdahulu, karena Agung Sedayu tidak sempat mempergunakan sorot matanya dalam pertempuran yang berjarak pendek itu, maka Agung Sedayu telah mengembangkan ilmu kebalnya. Udara di bawah pohon randu alas itu menjadi semakin lama semakin panas. Maka terulanglah pertempuran yang dahsyat itu. Yang nampak oleh mata orang lain. Agung Sedayu telah bertempur melawan tiga orang yang sama ujud dan ilmunya. Dalam pada itu. Agung Sedayu yang telah berhasil memecahkan teka-teki ilmu lawannya itu sama sekali tidak menghiraukan kedua ujud yang lain dari Ajar Tal Pitu itu. Ia berusaha untuk mengenali Ajar Tal Pitu yang sebenarnya dan mengarahkan segenap serangannya kepada ujud yang sebenarnya itu. Namun bagaimanapun juga, kadang-kadang Agung Sedayu juga kehilangan jejak beberapa saat atas lawannya yang memang berusaha untuk membaurkan diri. Sekali-sekali mereka bertiga dengan sengaja telah berlari-lari saling menyilang. Tetapi sejenak kemudian Agung Sedayupun segera dapat mengenali lawan itu pula dengan senjatanya. Karena kedua ujud Ajar Tal Pitu yang bukan sebenarnya itu, seolah-olah tidak tersentuh oleh senjatanya betapapun juga ia menyerangnya.

Namun saat-saat yang sekejap-sekejap itu dapat dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ajar Tal Pitu. Karena itu, maka sekali-sekali ujung trisulanya telah mampu mengenai tubuh Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu telah dilambari oleh ilmu kebalnya. Karena itu maka serangan-serangan Ajar Tal Pitu itu tidak mampu melukai kulitnya. Justru dalam pada itu, ujung cambuk Agung Sedayulah yang mulai terasa menyentuh lawannya. Ajar Tal Pitu tidak dapat ingkar, bahwa kemampuan Agung Sedayu yang luar biasa itu telah dapat menggores kulitnya, melukainya dan menyakitinya. Kemungkinan terluka itu pulalah yang membuat Agung Sedayu mengenali lawannya. Ajar Tal Pitu yang sebenarnya selalu menghindari serangannya, sedangkan ujud yang lain seolah-olah tidak menghiraukan serangan-serangan yang betapapun dahsyatnya. Dalam pertempuran yang semakin sengit, serta telah terpecahnya ilmu Kakang Pembarep dan Adi Wuragil itu, maka terasa, baik oleh Ajar Tal Pitu sendiri, maupun oleh Agung Sedayu, bahwa keseimbangan pertempuran itu mulai bergeser. Udara panas yang terlontar dari kedua belah pihak ternyata mempunyai akibat yang berbeda. Dengan ilmu kebalnya Agung Sedayu mampu menahan serangan udara panas itu, sementara Ajar Tal Pitu semakin lama semakin mengalami kesulitan. Sementara Agung Sedayu semakin meningkatkan serangannya, maka Ajar Tal Pitu telah berusaha mencari jalan untuk mengatasi lawannya yang masih muda itu. Dengan segala cara ia berusaha untuk membuat lawannya kadangkadang menjadi bingung meskipun hanya sekejap. Yang sekejap itu telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ajar Tal Pitu. Meskipun trisulanya tidak dapat melukai lawannya, namun pada benturan yang keras, kekuatan Ajar Tal Pitu mampu mendorong Agung Sedayu satu dua langkah. Karena itu, maka Ajar Tal Pitupun yakin. jika ia mendapat kesempatan, maka dengan sepenuh kekuatannya, ia akan mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu. Setidak-tidaknya ia akan dapat menghancurkan bagian dalam Agung Sedayu seandainya ia tidak berhasil melukai kulitnya. Namun dalam pada itu, rasa-rasanya udara panas itupun semakin membakar tubuh Ajar Tal Pitu. “Aku harus mendapat cara untuk dengan cepat menyelesaikan pertempuran ini,” berkata Ajar Tal Pitu kepada diri sendiri. Karena itu, maka iapun telah mencari akal berlandaskan ilmu yang ada padanya. Sementara perkelahian itu menjadi semakin seru, maka pembauran diri dengan saling menyilang itupun dilakukan semakin sering. Namun akhirnya Agung Sedayu yang sedang kehilangan pengamatan atas lawannya itu menjadi bimbang, karena ketiga orang lawannya itu dengan serta-merta telah menjauhinya. Namun akhirnya Agung Sedayu mengambil kesimpulan, bahwa ia telah menemukan lawannya yang sebenarnya. Satu diantara ketiga ujud itu telah bergeser perlahan-lahan menjauhinya. Semakin lama semakin jauh, sementara kedua ujud yang lain masih tetap berdiri ditempatnya, bahkan siap untuk

menyerang. “Kau tidak akan dapat lari,“ geram Agung Sedayu. Karena itu, maka dengan serta merta Agung Sedayupun telah meloncat memburu ujud yang semakin lama semakin menjauhinya. Apalagi ketika ujud itu melihat Agung Sedayu yang siap menyerangnya itupun dengan cepat telah bergeser semakin jauh. Serangan Agung Sedayu telah datang membadai. Dengan ujung cambuknya Agung Sedayu ingin menangkap Ajar Tal Pitu dan menyeretnya kembali ke pusat arena dibawah randu alas itu. Namun ternyata Agung Sedayu telah membuat kesalahan sekali lagi. Agung Sedayu ternyata tidak berhasil menyentuh ujud itu dengan ujung cambuknya. Ketika ia melecut dengan sekuat tenaganya, maka ia melihat ujud itu menggeliat. Namun perasaannya tidak dapat tertipu lagi. Meskipun ujud itu menggeliat, tetapi tangannya tidak merasa sentuhan apapun juga pada ujung cambuknya. Agung Sedayu baru menyadari apa yang terjadi. Tetapi ia sudah terlambat. Ternyata bahwa Ajar Tal Pitu telah mengelabuinya. Yang berusaha menghindar itu bukan Ajar Tal Pitu yang sebenarnya, justru karena Ajar Tal Pitu sudah mengetahui bahwa Agung Sedayu sudah berhasil memecahkan teka-teki ilmunya. Dengan perhitungan yang cermat. Ajar Tal Pitu yakin, bahwa Agung Sedayu akan menyangka, bahwa ujud yang paling jauh menghindari senjata cambuknya adalah Ajar Tal Pitu yang sebenarnya. Namun dalam pada itu, kesalahan Agung Sedayu itu telah memberi kesempatan kepada Ajar Tal Pitu yang sebenarnya untuk mengerahkan segenap kekuatan dalam lambaran ilmunya untuk menyerang Agung Sedayu yang seakan-akan tidak menghiraukannya lagi. Dengan ancang-ancang yang cukup, maka Ajar Tal Pitu telah berlari dengan ujung trisulanya yang merunduk tepat mengarah kejantung Agung Sedayu. Agung Sedayu tidak sempat lagi untuk menghindar. Yang dapat dilakukan adalah melawan serangan itu dengan perisai ilmu kebalnya pada puncak kemampuannya. Demikianlah, telah terjadi benturan yang dahsyat sekali. Ilmu Ajar Tal Pitu yang sudah ditempa dalam laku terakhirnya, telah membentur ilmu kebal Agung Sedayu pada puncak kekuatannya. Sebenarnyalah bahwa ujung trisula itu tidak dapat mengoyak ilmu kebal Agung Sedayu, sehingga dengan demikian kulit Agung Sedayu memang tidak terluka karenanya. Namun kekuatan Ajar Tal Pitu yang tiada taranya itu telah berhasil menghantam bagian dalam tubuh Agung Sedayu dan mendorongnya sehingga Agung Sedayu itupun terpelanting jatuh. Betapa perasaan sakit sempat menggigit tulang-tulang Agung Sedayu. Rasa-rasanya tulang-tulangnya itu berpatahan, dan isi dadanya berguguran.

Namun Agung Sedayu masih tetap sadar. Karena itu, maka iapun melihat, bahwa Ajar Tal Pitu itu kemudian melangkah surut dua tiga langkah. Sekali lagi Ajar Tal Pitu mengambil ancang-ancang. Dengan sepenuh tenaganya ia kemudian mengayunkan trisulanya menghantam Agung Sedayu yang tergolek ditanah. Tetapi Agung Sedayu tidak membiarkan dirinya sekali lagi dikenai ujung trisula itu. Apalagi pada dahinya. Karena itu, meskipun untuk sesaat ia berbaring diam, namun mata trisula itu meluncur ke kepalanya, maka Agung Sedayupun telah bergeser setapak. Sehingga dengan demikian, trisula itu telah menghunjam justru kedalam tanah. Pada saat yang tepat, betapapun perasaan sakit mencengkam tubuhnya, namun Agung Sedayu masih sempat mengayunkan cambuknya membelit tangan Ajar Tal Pitu yang justru menggenggam trisulanya. Ajar Tal Pitu terkejut. Ia tidak menyangka bahwa Agung Sedayu masih sempat melakukannya. Pada saat yang tepat. Agung Sedayu itupun melenting bangkit. Ia sudah siap berdiri ketika Ajar Tal Pitu menyadari keadaannya sepenuhnya. Pada saat ia berusaha mencabut trisulanya, maka belitan cambuk Agung Sedayu merupakan kekuatan yang menghambatnya. Memang agak berbeda dengan saat Ajar Tal Pitu mencabut trisulanya dari pokok batang randu alas yang bagaikan terbakar, sehingga lubang-lubang pada mata trisulanya yang hangus itu bagaikan menjadi semakin lebar. Tetapi di saat trisula itu menghunjam di tanah, maka akibat panasnya ujung trisula itu hampir tidak berpengaruh karenanya. Untuk sejenak, keduanya telah saling menarik. Keduanya ternyata termasuk orang-orang yang memiliki kekuatan yang luar biasa. Ajar Tal Pitu yang menangkap ujung cambuk Agung Sedayu dengan tangannya yang lain pun berusaha untuk merampas cambuk itu, sementara Agung Sedayu mempertahankannya justru sekaligus merenggut trisula lawannya. Untuk beberapa saat nampak kedua kekuatan itu seimbang. Namun perasaan sakit ditubuh Agung Sedayu terasa mulai mengganggunya. Karena itu, maka ia merasa tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi jika ia mempergunakan cara yang demikian. Dalam pada itu, Ajar Tal Pitu sama sekali tidak menyangka, bahwa Agung Sedayu akan melepaskan cambuknya. Senjata yang paling dikuasai dan apalagi senjata itu adalah pusaka yang diterimanya dari gurunya. Karena itu, ketika tiba-tiba Agung Sedayu melepaskan cambuknya, maka Ajar Tal Pitu terkejut bukan buatan. Ia justru terdorong oleh kekuatannya sendiri beberapa langkah surut. Hampir saja ia justru jatuh terlentang. Namun Ajar Tal Pitu cukup sigap. Dalam sekejap ia segera dapat menguasai keseimbangannya.

Yang kemudian terasa aneh pada Ajar Tal Pitu adalah justru udara yang panas disekitarnya karena kekuatan ilmu kebal Agung Sedayu yang dikembangkan telah berkurang. Dengan demikian maka Ajar Tal Pitu mengira, bahwa kekuatan dan kemampuan Agung Sedayu menjadi susut. Apalagi anak muda itu sudah tidak mampu lagi mempertahankan senjatanya. Agaknya serangan trisulanya yang pertama, yang berhasil menghantam tubuh Agung Sedayu, meskipun tidak melukainya telah membuat kemampuan anak muda itu jauh berkurang. Tetapi sekejap kemudian barulah ia menyadari. Ajar Tal Pitulah yang kemudian membuat kesalahan. Dalam keadaan yang dianggapnya menguntungkan itu, ia melihat Agung Sedayu duduk sambil menyilangkan tangannya didadanya. Dengan kecepatan yang mungkin dilakukan Ajar Tal Pitu itu melemparkan cambuk Agung Sedayu yang sudah terurai. Dengan tergesa-gesa ia mengangkat ujung trisulanya mengarah kedada anak muda itu. Namun dalam pada itu, dadanya merasa mulai menjadi sesak. Bahkan kemudian jantungnya bagaikan diremas. Ternyata Agung Sedayu telah sempat mengetrapkan ilmunya yang paling dahsyat. Sorot matanya mulai memancarkan kekuatan yang tiada taranya langsung menyusup dan meremas isi dada Ajar Tal Pitu. Meskipun demikian, Ajar Tal Pitu masih dapat bertahan. Sambil berteriak nyaring ia berlari dengan trisula yang teracu lurus. Tetapi sementara itu. Agung Sedayu telah menghentakkan kemampuannya pula. Pada saat Ajar Tal Pitu berlari dengan ujung trisula yang lurus mengarah kedadanya, Agung Sedayu telah menghantam dada lawannya dengan puncak kemampuannya. Namun ujung trisula Ajar Tal Pilu itu masih sempat menghantam dadanya. Demikian kerasnya, sehingga terasa seolah-olah ujung trisula itu menghunjam kejantungnya. Tetapi sebenarnyalah bahwa kekuatan Ajar Tal Pitu sudah jauh susut. Agung Sedayu tidak menghiraukannya. Ia berusaha untuk tetap tegak. Ia sama sekali tidak melepaskan serangannya. Apalagi pada kesempatan yang terakhir. Jika ia lepas sekejap, maka yang sekejap itu tentu akan dipergunakan oleh Ajar Tal Pitu sebaik-baiknya. Karena itu, seperti yang pernah terjadi, Agung Sedayu sama sekali tidak melepaskan lawannya dari cengkaman sorot matanya. Ajar Tal Pitu yang tidak berhasil memecahkan ilmu kebal Agung Sedayu itu masih berusaha. Ketika ia

surut dua langkah untuk mengambil ancang-ancang, maka kekuatan Agung Sedayu lewat sorot matanya menjadi semakin dalam menghunjam kedalam dadanya. Tetapi Ajar Tal Pitu berusaha menghentakkan kekuatannya. Dengan sisa tenaganya ia mengarahkan trisulanya tidak kedada Agung Sedayu, tetapi langsung kemata Agung Sedayu yang sedang memandanginya sambil melontarkan serangannya. Agung Sedayu masih tetap pada sikapnya. Ia memang melihat Ajar Tal Pitu mengangkat trisulanya kearah matanya. Namun Agung Sedayu sama sekali tidak bergeser. Pada saat terakhir, ia melihat Ajar Tal Pitu melangkah sambil berteriak nyaring. Namun ketika kakinya maju selangkah. ia tidak lagi mampu bertahan atas serangan Agung Sedayu. Karena itu, iapun tidak lagi kuat menahan ujung trisulanya. Ketika ia mengayunkan kakinya pada langkah kedua, maka ujung trisulanya mulai menunduk. Tangannya benar-benar sudah gemetar dan kakinya bagaikan tidak dapat ditegakkan lagi. Ajar Tal Pitu jatuh tertelungkup dihadapan Agung Sedayu. Ujung trisulanya memang masih menyentuh Agung Sedayu, tetapi tidak berpengaruh sama sekali, karena trisula itu sudah tidak terlontar oleh kekuatannya yang sudah kering. Namun demikian Agung Sedayu yang menyadari bahwa lawannya adalah orang yang pilih tanding, tidak segera melepaskan serangannya. Ketika Ajar Tal Pitu itu menggeliat, Agung Sedayu masih tetap pada sikapnya. Serangan sorot matanya masih tetap mencengkam Ajar Tal Pitu yang kemudian terbaring diam. Sementara kedua ujud Ajar Tal Pitu yang lain bagaikan uap yang larut diudara. Untuk beberapa saat, keadaannya menjadi sepi. Tidak ada gerak dan suara sama sekali. Agung Sedayu yang perlahan-lahan melepaskan serangannyapun masih tetap duduk dalam sikapnya dengan penuh kewaspadaan. Pada saat yang gawat, ia masih tetap siap melontarkan ilmunya kepada siapapun juga. Dalam pada itu, di tempat yang tersembunyi, Ki Pringgajaya mengumpat kasar. Sementara pengawalnya berkata, “Apakah yang akan kita lakukan ? Menurut pengamatanku, meskipun Ajar Tal Pitu dapat dikalahkan, tetapi Agung Sedayu sudah terluka. Apakah Ki Pringgajaya tidak dapat menyelesaikan ? Aku akan siap membantu meskipun seandainya aku harus memberikan pengorbanan yang paling besar sekalipun. Agaknya sulit bagi Ki Pringgajaya untuk menunggu keadaan yang demikian.” “Kau gila,“ geram Ki Pringgajaya, “apakah kau dungu, lupa atau memang sudah gila ? Kau tahu bahwa Ki Gede dan Ki Waskita menunggui perang tanding ini pula.” Pengawal Ki Pringgajaya itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Ya. Ya. Kita memang tidak dapat membunuh diri di bawah pohon randu alas itu.”

“Kita gagal lagi,“ geram Ki Pringgajaya, “tetapi ini belum usaha terakhir. Masih banyak jalan, dan mungkin kita akan mengambil sasaran yang lain, tetapi masih dalam rangkuman usaha keseluruhan.” Pengawalnya tidak menyahut. Namun Ki Pringgajayalah yang kemudian bergumam, “Kita tinggalkan tempat jahanam ini.” Dalam pada itu, Ki Waskita dan Ki Gede yang melihat akhir dari pertempuran itu menarik nafas dalam-dalam. Ketegangan yang mencengkam jantung mereka, bagaikan tersentuh embun yang sejuk. “Pertempuran itu sudah berakhir,“ desis Ki Gede. “Marilah, kita mendekat,“ ajak Ki Waskita. Ki Gedepun kemudian berpaling kepada Prastawa sambil berkata, “Marilah kita mendekat.” Prastawa seolah-olah masih membeku. Karena itu, Ki Gede telah mengulanginya, “Marilah Prastawa. Pertempuran itu sudah selesai.” Prastawa nampak ragu-ragu. Tetapi ketika Ki Gede dan Ki Waskita melangkah mendekat, iapun mengikutinya pula dibelakang, meskipun ia masih tetap ragu-ragu. Dalam pada itu, Agung Sedayu yang telah menyelesaikan pertempuran itu, masih tetap duduk ditempatnya. Ia masih berusaha untuk mengatasi keadaan dirinya sendiri. Nafasnya yang menjadi sesak seolah-olah dadanya menjadi semakin sempit. Ternyata Agung Sedayu tidak dapat mengingkari, bahwa iapun telah terluka di bagian dalam dadanya. Tetapi Agung Sedayupun menyadari, bahwa keadaannya masih jauh lebih baik daripada ketika ia bertempur melawan Ajar Tal Pitu di Jati Anom. Meskipun sebagaimana dikatakan oleh Ajar Tal Pitu bahwa ia sudah melaksanakan laku terakhir dari ilmunya, namun peningkatan ilmu Ajar Tal Pitu itu masih belum sepesat peningkatan ilmu Agung Sedayu. Ki Waskita yang pertama-tama mencapai Agung Sedayu itupun segera berjongkok disampingnya. Perlahan-lahan ia bertanya, “Bagaimana Agung Sedayu.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa dadanya sudah menjadi semakin longgar. Karena itu, maka iapun kemudian mulai mengulur tangannya sambil berkata, “Tuhan masih melindungi aku.” “Ya. Kau berhasil mengalahkan lawanmu,“ desis Ki Gede yang sudah berdiri di belakangnya pula. Agung Sedayu menarik nafas sekali lagi. Panjang sekali. Kemudian dibantu oleh Ki Waskita iapun berusaha untuk bangkit dan berdiri. Ternyata ia tidak mengalami kesulitan yang parah.

Meskipun dadanya masih terasa sakit, dan tulang-tulangnya bagaikan retak, tetapi ia masih merasa mampu untuk berdiri dan berjalan sendiri. “Kau terluka di bagian dalam dadamu,” berkata Ki Waskita. “Ya,” sahut Agung Sedayu, “tetapi tidak terlalu parah.” “Kau berhasil mengatasi ilmunya yang paling dahsyat,“ desis Ki Waskita. “Tuhan telah memberikan petunjuk, bagaimana aku harus melawan ilmunya yang luar biasa itu. Namun ternyata bahwa dengan keteguhan hati, ilmunya itu dapat diabaikan,“ jawab Agung Sedayu. Ki Gede dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Ternyata bahwa kemajuan yang dicapai Agung Sedayu pada saat-saat terakhir merupakan satu langkah yang cukup panjang dalam ilmu kanuragan. “Marilah,” berkata Ki Waskita, “kau perlu beristirahat.” “Bagaimana dengan Ajar Tal Pitu ?” bertanya Agung Sedayu, “nampaknya aku telah terpaksa membunuh lagi kali ini.” Ki Gede dan Ki Waskitapun kemudian mendekati tubuh Ajar Tal Pitu yang terbaring diam. Sebenarnyalah Ajar Tal Pitu telah meninggal. Ia telah menebus dendamnya dengan kematian. Dendam yang didorong oleh ketamakannya untuk menerima upah bagi kematian Agung Sedayu dari Ki Pringgajaya. “Aku akan mengurusnya,“ berkata Ki Gede kepada Ki Waskita, “silahkan Ki Waskita membawa Agung Sedayu kembali. Biarlah ia beristirahat lebih dahulu.” “Tidak Ki Gede,“ jawab Agung Sedayu, “biarlah aku disini. Aku sudah merasa tubuhku semakin segar. Barangkali sebaiknya dipanggil anak-anak muda yang dapat membantu mengurus mayat Ki Ajar Tal Pitu.” Ki Gede termangu-mangu. Sementara itu, diantara anak-anak muda yang melihat perang tanding itu dari kejauhan, ternyata ada juga yang memiliki keberanian untuk mendekati Ki Gede dan Ki Waskita. Ketika mereka melihat bahwa Ki Gede dan Ki Waskita nampaknya sudah yakin bahwa Ajar Tal Pitu tidak berbahaya lagi, maka dua orang anak muda telah berlari-lari mendapatkannya. Langkah mereka telah mengejutkan Ki Gede dan Ki Waskita, sementara jantung Prastawa hampir terlepas karenanya. Anak-anak muda itu dengan terengah-engah mendekati mereka yang berada dibawah randu alas yang rimbun itu.

Sementara Ki Gede yang mengenali mereka segera bertanya, “Ada apa?” Anak-anak muda itupun kemudian mengatakan bahwa mereka telah melihat perang tanding itu, ”beberapa kawan, kami masih berada dipersembunyian kami, dibalik gerumbul-gerumbul itu. Ada diantara mereka yang masih belum sadar.” “Kenapa ?” bertanya Agung Sedayu. “Pingsan. Kami menjadi ketakutan melihat apa yang telah terjadi. Dan kami tidak tahu, kenapa kami menjadi gemetar mendengar orang ini tertawa,“ jawab anak muda itu. Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Segalanya telah selesai. Adalah menjadi kewajiban kalian untuk mengurus mayat ini. Baiklah kita membawanya ke banjar padukuhan terdekat. Besok kita akan menguburnya. Panggillah kawan-kawanmu yang tidak pingsan. Aku akan melihat, siapa saja yang masih belum sadar.” Ki Gedepun kemudian mengikuti anak-anak muda itu untuk melihat, siapakah yang masih pingsan diantara mereka. Dalam pada itu, dari kejauhan Ki Pringgajaya yang untuk beberapa saat memperhatikan tingkah laku anak-anak muda itupun segera melangkah pergi. Anak-anak itu agaknya telah menarik perhatiannya. Bahkan telah menggelitik hatinya untuk melakukan sesuatu atas mereka untuk mengurangi sakit hatinya. Namun kehadiran Ki Gede diantara mereka, tentu akan berakibat lain. Dengan pengalamannya yang luas, akhirnya Ki Gede berhasil membantu dua orang anak muda yang masih pingsan. Akhirnya keduanya itupun segera menjadi sadar. Namun masih ada kesan ketakutan di hati mereka. “Jangan takut,“ berkata Ki Gede, “aku ada disini. Ki Waskita berada di bawah randu alas itu bersama Agung Sedayu yang telah berhasil membunuh lawannya.” Namun bagaimanapun juga terasa ketakutan itu masih mencengkam jantung mereka. Oleh Ki Gede anak-anak muda itu dibawanya ke randu alas. Merekapun kemudian membawa tubuh Ajar Tal Pitu ke banjar padukuhan terdekat. Namun demikian, ada juga diantara anak-anak muda itu yang menyentuh mayatnyapun tidak berani. Sementara itu, karena keadaan tubuh Agung Sedayu, maka ia telah mengikuti anak-anak muda itu di punggung kudanya. Demikianlah, maka akhirnya sekitar randu alas itupun menjadi sepi. Yang ada kemudian adalah

bangkai-bangkai anjing hutan yang terbunuh berserakan. Anak-anak muda Tanah Perdikan Menorehpun mendapat tugas di keesokan harinya untuk mengubur bangkai-bangkai itu agar tidak menimbulkan persoalan tersendiri. Tidak terlalu banyak orang yang menyaksikan apa yang terjadi di bawah randu alas itu. Dan diantara yang sedikit itu, beberapa orang tidak melihat apa yang telah terjadi karena mereka menjadi pingsan. Namun demikian ketika kemudian anak-anak muda itu kembali ke padukuhan mereka, berita tentang peristiwa itupun mulai merambat dari seorang kepada orang lain. Dalaum keadaan yang masih lemah. Agung Sedayu berada di banjar padukuhan terdekat dengan randu alas itu, sementara mayat Ajar Tal Pitupun terbaring di banjar itu pula. Tidak ada yang aneh pada mayat orang yang memiliki ilmu yang tinggi itu. Sebagaimana orang-orang lain yang telah meninggal. Diam, membeku. Betapapun keajaiban pernah dilakukan pada masa hidupnya, tetapi yang pernah dilakukan itu masih tetap dalam bingkai keterbatasan. Ketika fajar mulai mengoyak gelapnya malam, maka seolah-olah seluruh Tanah Perdikan telah mendengar, apa yang pernah dilakukan oleh Agung Sedayu. Heran, kagum dan bangga serasa telah memenuhi dada anak-anak muda itu. Agung Sedayu bagi mereka adalah anak muda yang baik dan selalu dekat dengan mereka dalam kerja. Ternyata anak muda itu memiliki ilmu yang tidak dapat mereka bayangkan. Sementara itu, Prastawa tidak tahu lagi, bagaimana ia harus bersikap terhadap Agung Sedayu. Sekalisekali iapun teringat, bahwa ia bersama dengan kawan-kawannya pernah memukuli Agung Sedayu sampai anak muda itu terjatuh. Tetapi, apakah arti dari perbuatannya itu setelah ia melihat, betapa Agung Sedayu mampu bertempur melawan Ajar Tal Pitu dalam pertarungan ilmu yang dahsyat dan tidak dapat dimengertinya. Hari yang baru itu telah memanggil anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh untuk melakukan kerja yang sibuk. Sebagian dari mereka mengurusi tubuh Ajar Tal Pitu yang harus dikubur sebagaimana layaknya. Sedangkan yang lain telah pergi ke daerah sekitar Randu Alas yang besar itu untuk mengumpulkan dan kemudian mengubur pula sekelompok anjing hutan yang telah dipergunakan oleh Ajar Tal Pitu untuk mengacaukan pemusatan ilmu Agung Sedayu. Namun diantara anjing-anjing hutan itu sama sekali tidak terdapat anjing hutan raksasa yang selalu mengaum sambil memandang bulan yang bulat. Baru setelah segalanya selesai, maka Agung Sedayu yang terluka dibagian dalam tubuhnya itu, meninggalkan banjar padukuhan yang terdekat dengan randu papak. Bersama Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh serta Prastawa, Agung Sedayu berkuda kerumah Ki Gede Menoreh. Disepanjang jalan, anak-anak muda telah menyambutnya sebagaimana mereka menyambut seseorang yang telah melakukan sesuatu yang luar biasa bagi Tanah Perdikan itu.

Dalam pada itu, ternyata keadaan luka Agung Sedayu tidak terlalu, sebagaimana pernah terjadi di Jati Anom. Dengan obat yang ada, terasa tubuhnya menjadi semakin segar. Bahkan bagi orang lain yang tidak menyaksikan apa yang pernah terjadi, maka tidak nampak bahwa Agung Sedayu itu terluka dibagian dalam tubuhnya. Namun, sejalan dengan menjalarnya kabar tentang peristiwa yang pernah terjadi di bawah randu alas itu, maka semakin banyak anak muda yang telah datang menengoknya dari berbagai padukuhan. Dari padukuhan yang paling dekat dengan randu alas itu, sampai dengan padukuhan yang paling jauh. Mereka menyatakan kekaguman mereka terhadap kemampuan ilmu Agung Sedayu yang telah berhasil mengimbangi ilmu lawannya yang luar biasa, sehingga hampir tidak dapat dipercaya, bahwa hal itu pernah terjadi. Kekaguman orang-orang Tanah Perdikan Menoreh tidak saja disebabkan oleh ceritera dari beberapa orang yang menyaksikan sendiri apa yang telah terjadi. Namun Tanah Perdikan itu telah digemparkan oleh kenyataan, bahwa pada hari-hari berikutnya, ternyata pohon randu alas yang besar dan berumur berpuluh tahun itu menjadi layu. Daun-daunnya menjadi kekuning-kuningan. Kemudian satu demi satu rontok berjatuhan. “Luar biasa,“ desis anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh, “ternyata Agung Sedayu benar-benar seorang yang mumpuni. Ia seolah-olah mempunyai perbawa yang tidak terlawan. Bukan saja oleh Ajar Tal Pitu, tetapi juga oleh randu alas raksasa itu.” Ternyata bahwa panas yang terlontar baik dari Ajar Tal Pitu, maupun Agung Sedayu telah membunuh randu papak itu. Daunnya menjadi layu, dan ranting-rantingnyapun menjadi kering, sehingga randu alas yang disebut randu papak itupun kemudian menjadi mati. Pohon yang menjulang dengan batang, cabang dan ranting yang mengering itu seolah-olah menjadi perlambang kegagalan usaha orang-orang yang ingin membuat Tanah Perdikan Menoreh menjadi ringkih dan tidak berdaya. Satu-satu ranting itu berpatahan. Kemudian cabangnyapun runtuh sebatang demi sebatang. Yang tinggal kemudian hanyalah pokoknya saja yang tegak namun telah kering. Sementara itu, keadaan Agung Sedayu sudah menjadi berangsur pulih kembali. Pada hari-hari biasa, ia sudah berada diantara anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh yang semakin mengaguminya. Seperti yang dilakukan sebelum ia berhadapan dengan Ajar Tal Pitu, maka Agung Sedayu selain memberikan tuntunan kerja di segala lapangan, iapun telah membimbing beberapa orang anak muda terpenting di Tanah Perdikan Menoreh dalam olah kanuragan. Dari hari kehari semakin nyata kelihatan, hasil dari kehadiran Agung Sedayu di Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun semuanya itu dicapai bukan karena hasil kerja Agung Sedayu semata-mata, tetapi juga karena hadirnya Agung Sedayu itu bagaikan menjadi tanda waktu bagi rakyat Tanah Perdikan Menoreh sendiri untuk bangun dari tidur yang lelap.

Ki Gede Menoreh dan Ki Waskitapun tidak luput dari kekagumannya melihat anak muda yang rendah hati itu. Bahwa randu alas yang besar itupun kemudian menjadi mati dan kering, sebenarnyalah telah membuat Ki Gede menjadi heran tetapi juga kagum. Meskipun demikian, tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak berubah karenanya. Ia sama sekali tidak menunjukkan kepada anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh, bahwa ia adalah seorang anak muda yang luar biasa. Yang jarang dicari bandingnya. Namun dalam pergaulan sehari-hari, Agung Sedayu masih tetap sebagaimana Agung Sedayu. Jika ia berada diantara anak-anak muda yang membuat bendungan, maka iapun tidak segan-segannya ikut serta mengangkat brunjung-brunjung yang berisi batu. Kemudian menyisipkan sangkrah diantara brunjung-brunjung itu sebelum ditimbum dengan tanah dan pasir. Di malam hari, bersama anak-anak muda yang dianggapnya paling baik mewakili kawan-kawannya. Agung Sedayu memberikan tuntunan dalam olah kanuragan. Para pengawal yang sudah mulai bangkit lagi, telah berlatih semakin tekun. Sementara itu, anak-anak muda itupun telah memberikan tuntunan kepada kawan-kawan mereka yang lain di padukuhan-padukuhan. Dengan demikian, maka langkah mundur yang dialami oleh Tanah Perdikan Menoreh selangkah demi selangkah telah diperbaiki. Dari beberapa segi tatanan kehidupan Tanah Perdikan Menoreh telah berhasil menutup kekurangannya. Parit yang kering telah menjadi basah kembali. Jalan-jalan yang menjadi sendi hubungan antara padukuhan telah diperkeras. Bahkan, kekuatan pokok Tanah Perdikan dengan sekelompok pengawal pilihan telah dipulihkan kembali. Agung Sedayu telah memilih anak-anak muda, yang kebanyakan tersebar, untuk menjadi inti kekuatan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Dalam pada itu, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu antara dirinya dengan Prastawa, maka Agung Sedayu telah meminta kepada Prastawa agar bersedia memimpin kekuatan inti Tanah Perdikan ini. Karena permintaan Agung Sedayu itu diperkuat oleh Ki Gede Menoreh, maka Prastawa tidak dapat mengelak. Agaknya memang menjadi kewajibannya untuk secara langsung memimpin anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi kehadiran Agung Sedayu telah memalingkan perhatian anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu daripadanya. Tetapi Prastawa tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa Agung Sedayu memang memiliki kelebihan yang sangat jauh daripadanya yang semula menganggap bahwa ia akan dapat memaksa Agung Sedayu untuk berlutut dihadapannya. Apalagi setelah ia melihat sendiri bagaimana Agung Sedayu menghadapi orang yang disebut Ajar Tal Pitu. Ia melihat sendiri betapa dahsyatnya ilmu Ajar Tal Pitu yang seolah-olah dapat memecah diri menjadi tiga orang. Namun

ternyata bahwa Agung Sedayu berhasil melawan ketiganya dan membinasakannya. Dalam pada itu yang juga tidak dapat dibantah, kenyataan betapa dahsyatnya perang tanding dibawah pohon randu alas itu ialah bahwa randu alas yang dikenal sebagai randu papak itu telah menjadi kering dan mati. Tetapi dalam keadaan yang bagaimanapun juga, rasa-rasanya ada yang masih saja bergejolak didalam hatinya menghadapi kenyataan itu. Ia merasa kagum dan heran terhadap kemampuan ilmu Agung Sedayu, tetapi didalam lubuk hatinya yang paling dalam justru berkembang perasaan kurang mapan, atas kehadiran dan hubungannya dengan Agung Sedayu untuk selanjutnya. Perasaan bersalah, kecil dan tidak berarti terasa sangat mengganggunya. Namun tidak ada dorongan didalam dirinya untuk mendapatkan keberanian minta maaf kepada anak muda yang datang dari Jati Anom itu. Dengan demikian, maka hubungan antara kedua anak muda itu masih selalu terasa sebuah tirai yang membatasi, betapapun tirai itu tidak dapat dinyatakan dengan tegas. Ki Gede Menorehpun merasakan keterbatasan hubungan antara keduanya. Namun ia berharap bahwa pada suatu saat hubungan mereka akan menjadi semakin akrab. Sementara itu, dengan keadaan yang demikian, kedua anak muda itu memimpin Tanah Perdikan Menoreh. Namun Prastawa masih saja membawa cara hidupnya yang lama diantara anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun ia telah dibebani tugas untuk memimpin pasukan pengawal terpilih di Tanah Perdikan Menoreh, namun ia masih tetap mempunyai beberapa kawan terdekat. Beberapa orang anak muda masih tetap merupakan kelompok yang seolah-olah terpisah dari kawan-kawannya yang lain di mata Prastawa. Seperti yang terbiasa dilakukan, anak-anak muda itu mendapat perlakuan khusus dari padanya. Kadang-kadang bahkan Prastawa telah memberikan uang kepada mereka, atau apapun juga yang dapat mengikat mereka untuk menjadi kawan-kawannya yang paling akrab. Justru mereka bukan anak-anak muda yang terpilih menjadi pasukan pengawal khusus yang harus dipimpinnya. Meskipun demikian, namun pasukan pengawal terpilih itu dapat berkembang terus. Ki Gede sendiri telah membimbing Prastawa untuk tetap berada pada kedudukannya. Meskipun kadang-kadang masih juga harus diperingatkan dengan keras, namun lambat laun, Prastawa terbiasa pula dalam kedudukannya. Apalagi ketika ia sadar, bahwa anak-anak muda yang tergabung dalam pasukan pengawal khusus itu ilmunya menjadi semakin meningkat. Kecerdasan mereka menanggapi keadaannya telah berbeda dan yang penting mereka telah melihat satu kenyataan dihadapan mata mereka tentang Tanah Perdikan Menoreh yang maju selangkah demi selangkah, meskipun masih belum dapat mengimbangi keberhasilan Swandaru membina Kademangannya, Agung Sedayu sempat merenungi dirinya sendiri. Kadang-kadang, dengan Ki Waskita dan Ki Gede ia berusaha mengurai peristiwa yang baru saja

terjadi. Kematian Ajar Tal Pitu tentu bukan peristiwa yang paling akhir yang harus dihadapinya. Tetapi Agung Sedayu harus melihat, apakah benar kehadiran Ajar Tal Pitu itu hanyalah karena dendam semata-mata. Agung Sedayu tahu bahwa keterlibatan anak-anak dari padepokan Tal Pitu di Jati Anom, terutama diarahkan kepada Untara dan orang-orang yang pada waktu itu pergi bersamanya ke Sangkal Putung. “Kita melihat, tangan-tangan orang-orang Pajang yang termasuk kedalam kelompok mereka yang ingin mengembalikan satu masa kejayaan Majapahit dengan Citra mereka dan bagi kepentingan mereka sendiri terlibat langsung kedalamnya,“ berkata Ki Waskita. Ki Gede mengangguk-angguk. Iapun telah mendapat penjelasan selengkapnya tentang apa yang terjadi di Jati Anom itu dengan segala macam latar belakangnya. “Ada yang memanfaatkan dendam itu,“ berkata Ki Gede. Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, “Mereka saling memanfaatkan keadaan bagi kepentingan masing-masing.” “Itulah yang berbahaya,“ desis Agung Sedayu, “dengan demikian maka kadang-kadang mereka tidak lagi mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang wajar.” “Aku kira, kehadiran Ajar Tal Pitu tidak sendiri. Seandainya sendiri, maka kematiannya tentu sudah didengar oleh orangorang yang berkepentingan dengan orang itu, langsung atau tidak langsung.” “Hal ini perlu diketahui oleh angger Untara,“ desis Ki Waskita. “Guru juga perlu mengetahuinya,“ desis Agung Sedayu. Ki Waskita dan Ki Gedepun mengangguk-angguk. “Aku sudah cukup beristirahat,” berkata Agung Sedayu, “luka-luka dibagian dalam tubuhku telah sembuh sama sekali. Karena itu, jika diperkenankan, aku akan pergi barang dua tiga hari untuk memberitahukan hal ini kepada kakang Untara dan kepada guru. Mungkin juga penting bagi Swandaru. Karena sangkut-pautnya dengan aku. Bukan saja sebagai saudara seperguruan, tetapi dalam hubungan kami dengan Mataram.” “Kita akan pergi bersama-sama,” berkata Ki Waskita. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Jika Ki Waskita pergi bersamanya, maka tidak ada lagi yang akan mengawasi Ki Gede dalam kerja. Justru Tanah Perdikan Menoreh sedang mulai dengan kesibukan-kesibukannya. Tetapi karena rencana kepergian mereka hanya dua atau tiga hari, maka agaknya tidak akan terlalu

banyak mengganggu pekerjaan di Tanah Perdikan itu. Akhirnya didalam pembicaraan itu telah diputuskan, esok hari Agung Sedayu akan pergi bersama Ki Waskita ke Jati Anom. “Aku kira, selama kalian pergi, aku dan Prastawa akan melakukan pekerjaan di Tanah Perdikan ini,” berkata Ki Gede Menoreh, “meskipun barangkali kami tidak dapat berbuat setangkas Angger Agung Sedayu, namun tentu saja kami akan berbuat sebaik-baiknya.” “Ah,“ desah Agung Sedayu, “yang aku lakukan tidak lebih baik dari yang Ki Gede lakukan. Dua atau tiga liari lagi aku sudah berada di Tanah Perdikan ini jika tidak ada halangan suatu apa.” “Mudah-mudahan segalanya berjalan rancak,“ sahut Agung Sedayu, “dan mudah-mudahan tidak ada gangguan apapun diperjalanan.” Namun dalam pada itu, ketika matahari semakin condong ke Barat, tiba-tiba saja Tanah Perdikan itu dikejutkan oleh hadirnya seorang tamu. Dengan tergopoh-gopoh Ki Gede menyongsong tamunya turun ke halama dan mempersilahkannya naik ke pendapa. “Silahkan Raden,“ Ki Gede mempersilahkannya. Tamunya mengangguk hormat sambil menjawab, “terima kasih Ki Gede.” Keduanyapun kemudian duduk dipendapa. Agung Sedayu dan Ki Waskitapun segera diberi tahu bahwa Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga berada di Tanah Perdikan Menoreh. Keduanyapun kemudian ikut menemui tamunya yang di kawani oleh dua orang pengawalnya. Setelah saling menanyakan keselamatan masing-masing, maka akhirnya Ki Gedepun bertanya, “Raden, apakah kedatangan Raden ini sekedar melihat keadaan, atau memang ada satu keperluan yang mendesak sehingga Raden memerlukan datang sendiri ke Tanah Perdikan ini.” “Tidak ada satu kepentingan yang khusus Ki Gede,“ jawab Raden Sutawijaya, “namun aku hanya sekedar ingin menyampaikan selamat, bahwa Agung Sedayu telah berhasil melawan dan bahkan membinasakan Ajar Tal Pitu.” “Raden sudah mengetahuinya ?” bertanya Ki Gede. “Aku sudah mendapat laporan. Bukankah hal itu sudah diketahui oleh setiap orang ? Orang orangkupun telah mendengarnya. Di tempat penyeberangan, orang-orang membicarakannya. Tukangtukang satang, dan orang-orang yang menyeberang ke sebelah Timur Kali Pragapun membawa berita ini pula,“ jawab Raden Sutawijaya, “karena itu, maka akupun sudah mendengarnya.” “Tuhan masih melindungi aku,“ desis Agung Sedayu. “Ya,“ sahut Raden Sutawijaya, “tetapi bukan berarti bahwa kau tidak berusaha.”

“Aku memang hanya sekedar berusaha, sebagaimana yang dapat dilakukan oleh seseorang. Tetapi segalanya tergantung kepada Yang Maha Agung juga akhirnya,“ sahut Agung Sedayu. Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Ia sudah mengenal Agung Sedayu dengan segala macam sifatsifatnya. Namun dalam pada itu, maka Raden Sutawijayapun bertanya, “Apakah menurut pendapatmu, hal ini merupakan satu peristiwa yang berdiri sendiri ? Dendam atau semata-mata kepentingan Ajar Tal Pitu yang pernah kecewa di Jati Anom ?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah menduga bahwa kepentingan Raden Sutawijaya tentu lebih banyak ditujukan kepada persoalannya. Bukan pada benturan antara Ajar Tal Pitu dan Agung Sedayu itu sendiri, sehingga akhirnya Ajar Tal Pitu telah terbunuh. “Raden,” berkata Agung Sedayu, “baru hari ini aku berniat untuk pergi ke Jati Anom. Hal ini sudah aku nyatakan kepada Ki Gede, dan akupun telah mendapat persetujuan bahwa besok aku akan menemui guru dan Swandaru.” “O,“ Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku kira ada juga baiknya. Mungkin gurumu mempunyai wawasan yang luas tentang persoalan yang sedang kau hadapi ini dalam hubungannya dengan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya.” “Ya. Peristiwa ini tentu tidak berdiri sendiri,“ jawab Agung Sedayu, “karena aku dan Ajar Tal Pitu pernah juga bertemu di Jati Anom.” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Itulah sebabnya, aku ingin menemuimu setelah aku mendengar laporan tentang kematian Ajar Tal Pitu.” “Apakah ada hubungannya langsung dengan Raden atau dengan Mataram,” bertanya Agung Sedayu. “Aku tidak akan dapat menyembunyikannya lagi,“ jawab Raden Sutawijaya, “hubungan antara Pajang dan Mataram menjadi semakin buruk. Ayahanda semakin tenggelam kedalam cengkaman penyakitnya dan menjadi semakin tidak sempat melihat persoalan-persoalan yang berkembang diluar biliknya.” Ki Gede Menoreh dan Ki Waskita hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Seperti Ki Juru Martani, keduanya tidak tahu, kenapa Raden Sutawijaya tidak mau langsung masuk kedalam bilik ayahandanya dan menerima perintah untuk memperbaiki keadaan. Apalagi jika Raden Sutawijaya berhasil mengajak Pangeran Benawa bersamanya. Bagaimanapun juga kedua orang itu mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan keadaan pada saat-saat yang gawat. Tetapi agaknya keduanya lebih senang berada di luar istana, dalam satu lingkungan dan sikap yang berbeda. “Karena itu,“ berkata Raden Sutawijaya kemudian,

“rencanamu untuk pergi ke Jati Anom adalah baik sekali. Namun kedatanganku ke Tanah Perdikan ini, aku katakan atau tidak aku katakan, tentu sudah dapat ditangkap maksudnya, dalam hubungannya dengan keadaan yang semakin memburuk.” Agung Sedayu, Ki Gede Menoreh dan Ki Waskitapun mengangguk-angguk. Sebenarnyalah mereka sudah mengerti, apa yang dimaksud oleh Raden Sutawijaya. Pajang yang dikendalikan oleh orang-orang tertentu, karena Sultan Hadiwijaya sendiri seakan-akan telah kehilangan gairah untuk memerintah itu menjadi semakin keras berusaha menekan Mataram yang tumbuh. Karena bagi mereda, nampaknya Mataram menjadi tumpuan kekuatan baru yang akan dapat menggeser kedudukan Pajang. Sebenarnyalah bahwa Sutawijaya menganggap. Pajang tidak akan mungkin dapat diperbaiki. Terlalu banyak orang yang lebih senang memanjakan angan-angannya daripada berpijak kepada kenyataan keadaan rakyat Pajang yang sebenarnya. Sekelompok orang-orang yang bercita-cita untuk membangun satu masa kejayaan hanya dengan mimpi. Orang-orang yang demikian justru tidak segan-segan menyingkirkan orang-orang yang dengan jujur menunjukkan kepada mereka, bahwa sudah saatnya mereka terbangun dari mimpinya yang nikmat. Namun mereka harus menyingsingkan lengan baju dan bekerja dengan tekun untuk mencapai satu keadaan yang lebih baik sebagaimana dikehendaki. Dalam pada itu. Raden Sutawijayapun kemudian berkata, “Agung Sedayu, jika kau sempat, aku berharap bahwa kau besok singggah barang sekejap di Mataram. Aku akan menunjukkan kepadamu, apa yang sudah aku kerjakan. Terserah atas penilaianmu, apakah yang aku lakukan itu baik atau buruk. Tetapi aku tidak mempunyai pilihan lain untuk mengatasi keadaan yang menurut pendapatmu menjadi semakin memburuk ini.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling kearah Ki Waskita, maka Ki Waskita itupun mengangguk mengiakannya. “Raden,” berkata Agung Sedayu kemudian, “baiklah. Aku akan singgah besok, meskipun barangkali tidak terlalu lama.” “Terima kasih. Besok aku menunggu. Mudah-mudahan kau tidak terhambat diperjalanan, karena tidak mustahil orangorang yang mempersiapkan kehadiran Ajar Tal Pitu di Tanah Perdikan ini mempunyai rencana lain,“ sahut Raden Sutawijaya. Nampaknya Raden Sutawijaya memang tidak mempunyai kepentingan lain kecuali ingin mempersilahkan Agung Sedayu singgah. Namun dengan demikian ia berada di Tanah Perdikan Menoreh untuk waktu yang cukup lama, meskipun Raden Sutawijaya itu tidak bermalam.

Sepeninggal Raden Sutawijaya dari Tanah Perdikan Menoreh, maka Ki Gede, Ki Waskita dan Agung Sedayu sempat mengurai persoalan yang sedang berkembang. Mereka harus melihat satu kenyataan bahwa hubungan antara Pajang dan Mataram menjadi semakin buruk. “Satu peringatan dari Raden Sutawijaya kepada Tanah Perdikan Menoreh,” berkata Ki Gede, “saatnya sekarang bagi Tanah ini menentukan sikap dengan pasti. Jika kami memilih untuk terlibat kedalam usaha menegakkan Mataram, maka kita harus bersiap disini.” Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, “Tentu satu usaha yang berat. Ki Gede tahu, bahwa Pajang mungkin masih mempergunakan pengaruhnya atas nama Sultan Hadiwijaya meskipun barangkali Sultan itu sendiri tidak mengetahui. Kekuatan dari daerah Timur tidak dapat diabaikan. Pesisir Utara masih juga berada dibawah pengaruh Pajang.” “Tetapi sebagian dari mereka tentu menyadari apa yang mereka hadapi,” berkata Ki Gede, “karena para Adipati itupun tentu memiliki pertimbangan dan pengamatan yang tajam terhadap keadaan dalam keseluruhan. Bahkan kita tidak akan dapat ingkar dari penglihatan kita, bahwa ada Adipati yang memang sedang menunggu saatnya, kapan mereka dapat memisahkan diri dan berdiri sendiri sebagai satu pusat pemerintahan yang tidak tergabung pada ikatan-ikatan yang mereka anggap dapat membatasi kekuasaan mereka.” Ki Waskita menganguk-angguk. Sentuhan dalam hubungan pemerintahan tentu akan lebih peka pada Ki Gede Menoreh yang dalam ujud yang bagaimanapun juga, termasuk salah seorang yang memimpin pemerintahan. Dan sebenarnyalah Tanah Perdikan Menoreh adalah satu Tanah Perdikan yang cukup luas, meskipun terlalu kecil dibanding dengan sebuah Kadipaten. Meskipun demikian, jika Ki Gede berhasil dengan rencananya, maka Tanah Perdikan Menoreh akan mempunyai kekuatan yang cukup mengejutkan disamping Kademangan Sangkal Putung yang lebih sempit dari Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi bukan berarti bahwa Raden Sutawijaya akan dapat mengabaikan kekuatan para Adipati yang masih terikat kepada Pajang. Demikianlah, maka Ki Waskita dan Agung Sedayupun telah sepakat untuk singgah dan melihat sendiri apa yang dikatakan oleh Raden Sutawijaya. Namun sebenarnyalah bagi keduanya sudah jelas, bahwa Raden Sutawijaya tentu sudah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. “Angger Agung Sedayu,” berkata Ki Gede, “masih ada waktu satu malam bagi angger sebelum berangkat untuk memberikan pesan-pesan kepada para pengawal.” “Aku sudah membagi mereka dalam kelompok-kelompok latihan Ki Gede,“ jawab Agung Sedayu, “meskipun aku tidak ada ditempat, tetapi latihan-latihan itu akan tetap berjalan sebagaimana seharusnya.”

“Bagus,“ sahut Ki Gede, “selama dua tiga hari ini, aku akan melihat-lihat mereka bersama Prastawa. Mengingat pesan Raden Sutawijaya, maka kita sudah harus mulai dengan satu sikap.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia memang sependapat. Nampaknya persoalan yang dihadapi Raden Sutawijaya menjadi semakin bersungguh-sungguh. Malam itu Agung Sedayu masih sempat berada bersama para pengawal khusus di halaman rumah Ki Gede. Ia masih sempat memberitahukan, apa yang sebaiknya dilakukan oleh para pengawal itu pada dua atau tiga hari mendatang. “Segalanya harus ditingkatkan,” berkata Agung Sedayu, “peristiwa yang baru saja terjadi itu menjadi peringatan bagi kita, bahwa kita memang harus bersiaga. Kali ini yang datang hanyalah seseorang. Namun mungkin pada saat yang lain akan datang dua tiga orang, bahkan mungkin sepasukan yang kuat.” Para pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk. Mereka mengerti bahwa mereka adalah pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Pada suatu saat mereka tidak hanya sekedar mengintip peristiwa seperti yang terjadi di bawah pohon randu alas itu, namun mereka akan terlibat langsung. Namun para pengawal itu agak kurang mengerti dengan sikap Prastawa. Ada sesuatu yang terselip didalam hati anak muda itu. Tetapi agaknya ia tidak dapat menyampaikan kepada siapapun. Juga kepada Ki Gede sendiri. Beberapa orang anak muda yang pernah mendengar bahwa Prastawa pernah berbuat kasar terhadap Agung Sedayu menduga bahwa Prastawa merasa dirinya bersalah, sehingga ia menjadi sangat segan terhadap Agung Sedayu. Apalagi setelah mengetahui, bahwa kemampuan Agung Sedayu berada jauh diatas tingkat kemampuannya. Jika pada saat Prastawa itu bertindak kasar Agung Sedayu menjadi marah, maka akibatnya akan sangat gawat bagi Prastawa sendiri. Namun agaknya Agung Sedayu membiarkannya, sehingga dengan demikian Prastawa dibebani oleh penyesalan. Meskipun demikian, pada malam itu juga Agung Sedayu telah menemui anak muda kemanakan Ki Gede itu. Bagaimanapun juga Prastawa adalah anak muda yang memiliki ilmu paling baik diantara kawankawannya di Tanah Perdikan Menoreh. Sementara itu Prastawa adalah pemimpin pengawal khusus di Tanah Perdikan Menoreh. Kepada anak muda itu Agung Sedayupun memberikan beberapa pesan khusus. Pasukan yang dipimpinnya itulah yang merupakan pasukan yang harus dapat mengatasi segala masalah yang sudah tidak dapat diatasi oleh para pengawal Tanah Perdikan itu, termasuk para pengawal di padukuhanpadukuhan. “Masalahnya berkembang dengan cepat,” berkata Agung Sedayu.

Prastawa hanya mengangguk-angguk saja. Namun ia merasa bahwaia tidak akan dapat ingkar dari kewajiban itu. Pamannya telah menekankannya pula untuk melakukan tugas itu sebaik-baiknya. Apalagi justru setelah perkembangan Tanah Perdikan Menoreh sudah mulai nampak selangkah demi selangkah maju, sementara susunan tugas-tugas para pengawal telah tersusun menurut tatarannya. Demikianlah, maka Agung Sedayupun telah minta diri kepada para pengawal barang dua tiga hari. Ia tidak mengatakan kepada para pengawal kepentingannya yang sebenarnya. Ia hanya mengatakan, bahwa ia sudah merasa rindu kepada gurunya, saudara-saudaranya dan para penghuni padepokannya. Seperti yang direncanakan, maka pada pagi hari berikutnya Agung Sedayu dan Ki Waskitapun meninggal kan Tanah Perdikan Menoreh untuk waktu yang pendek. Namun dalam keadaan yang gawat, maka waktu yang pendek itu cukup mendebarkan. Bukan saja bagi Tanah Perdikan Menoreh, tetapi juga perjalanan yang akan ditempuh oleh Agung Sedayu dan Ki Waskita. Meskipun keduanya adalah orangorang yang memiliki ilmu yang mapan, namun seperti yang selalu dikatakan oleh Agung Sedayu, bahwa manusia itu selalu berada dalam keterbatasan. Namun dalam pada itu. Agung Sedayu dan Ki Waskita tidak mendapat gangguan apapun diperjalanan, sehingga ia menyeberang Kali Praga dan kemudian menginjakkan kakinya didaerah kekuasaan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga. Semula Agung Sedayu dan Ki Waskita tidak melihat sesuatu yang menarik perhatian di Mataram. Namun kemudian mereka mulai menyadari bahwa ternyata daerah Mataram telah diwarnai oleh kesiagaan yang lebih tinggi. Di beberapa tempat Agung Sedayu dan Ki Waskita merasa, bahwa keduanya selalu di awasi. Namun para petugas yang mengawasi keduanya tidak bertindak sesuatu, selain sekedar mengawasi. “Nampaknya Mataram benar-benar telah bersiap-siap,“ desis Ki Waskita. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun melihat orangorang yang justru menarik perhatiannya. Bahkan ada diantara mereka yang perlu mendapat peringatan, bahwa mereka telah menjalankan tugas mereka dengan cara yang kurang baik, sehingga dengan mudah dapat dikenali oleh orang lain, apa yang sedang mereka lakukan. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Agung Sedayu tertegun sambil berdesis, “Aku mengenal orang itu.” Ki Waskita mengerutkan keningnya. Dilihatnya seseorang yang duduk dibawah sebatang pohon asam di pinggir jalan. Disampingnya terdapat sebuah bungkusan kecil, yang memberikan kesan bahwa orang itu sedang beristirahat.

Agaknya orang itupun telah melihat Agung Sedayu. Karena Agung Sedayu memperhatikannya, dan agaknya telah mengenalinya, maka orang itupun tersenyum sambil bangkit berdiri. Beberapa langkah ia maju mendekati Agung Sedayu dan Ki Waskita yang menghentikan kudanya. Tetapi keduanya tidak meloncat turun. “Aku memang bertugas disini,” berkata orang itu sambil tertawa ketika dilihatnya Agung Sedayupun tertawa, “aku tidak dapat mengelak, karena kau mengenaliku.” “Kita sudah sering bertemu jika aku menghadap Raden Sutawijaya di rumahnya,“ desis Agung Sedayu. “Ya. Dan akupun mengenalmu. He, apakah kau akan pergi ke Jati Anom ?” bertanya orang itu. “Ya. Dan aku akan singgah di Mataram,“ jawab Agung Sedayu. “Senapati ada dirumahnya. Bukankah kemarin ia pergi ke Tanah Perdikan Menoreh ? “ orang itupun bertanya pula. “Ya. Kami telah bertemu. Tetapi aku ingin singgah memenuhi permintaannya,” berkata Agung Sedayu. “Silahkan. Senapati agaknya memang telah menunggumu,“ jawab orang itu. Namun Agung Sedayu sempat mengatakan kepada orang itu, bahwa beberapa orang kawannya terlalu bergairah dalam tugas mereka, sehingga justru mereka telah membuat dirinya sendiri dikenali orang. Orang yang semula duduk dibawah pohon asam itu tersenyum. Katanya, “terima kasih. Akulah yang bertugas untuk memimpin mereka.” Agung Sedayu juga tersenyum. Kemudian katanya, “Baiklah kami minta diri untuk melanjutkan perjalanan kami.” “Silahkan. Aku akan menemui kawan-kawanku yang berhasil kau ketahui bahwa mereka telah mengawasimu dan barangkali orang-orang lainpun mengetahui pula bahwa mereka sedang diawasi. Aku harus segera memberi mereka peringatan, agar orang-orang yang benar-benar perlu pengawasan tidak segera mengenali orang-orang dungu itu.” “Mungkin mereka terlalu bangga akan tugas-tugas mereka yang seharusnya dirahasiakan itu,“ desis Agung Sedayu. Orang itu tertawa. Jawabnya, “Mungkin sekali.“ Agung Sedayupun tertawa pula. Kemudian bersama Ki Waskita keduanya meneruskan perjalanan mereka menuju ke pusat pemerintahan Mataram. Sementara itu, petugas sandi itupun sambil bersungut-sungut melangkah kearah yang berlawanan untuk mencari kawan-kawannya yang kurang mengerti akan tugas masing-masing.

Dalam pada itu, sesaat kemudian Agung Sedayu dan Ki Waskita sudah memasuki gerbang kota Mataram. Kemudian merekapun mengikuti jalan induk kota itu langsung menuju ke rumah Senapati Ing Ngalaga di Mataram. Kedatangan mereka disambut dengan gembira oleh Raden Sutawijaya. Sebagaimana sudah dimengerti, bahwa Agung Sedayu dan Ki Waskita akan datang pada hari itu. Setelah berbincang sejenak tentang keadaan masing-masing, maka Raden Sutawijayapun mulai berbicara tentang keadaan Mataram pada saat-saat terakhir. Dengan sungguh-sungguh Raden Sutawijaya berkata, “Pajang sudah mengirimkan utusannya sekali lagi untuk minta agar Ki Pringgabaya dan Ki Tandabaya yang masih ada di tempat ini diserahkan kepada Pajang.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Ki Waskita bertanya, “Dan Raden tetap pada pendirian Raden ?” “Ya,“ jawab Raden Sutawijaya, “aku tetap pada pendirianku. Keduanya akan mendapatkan keadilan di sini. Tidak di Pajang. Meskipun aku belum dapat mengatakan, kapan keadilan itu akan ditetapkan.” Ki Waskitapun mengangguk-angguk. Namun ia sadar, bahwa hal itu tentu akan diulang lagi oleh Pajang. Bahkan mungkin Pajang akan mempergunakan masalah itu untuk membuka persoalan yang lebih luas. Sementara itu, Raden Sutawijayapun berkata lebih lanjut, “Selain kenyataan itu, maka petugas-petugas sandi di Pajang telah menemukan beberapa kenyataan, bahwa Pajang telah menyiapkan sepasukan prajurit khusus yang dapat digerakkan langsung oleh Panglimanya untuk segala kepentingan. Pasukan ini tidak berada didalam lingkungan kesatuan yang sudah ada di Pajang. Seolah-olah pasukan segelar-sepapan ini dibentuk khusus bagi maksud-maksud tertentu dengan cara tertentu untuk memotong jalur perintah dari Sultan Pajang yang turun kepada para Senapati, dengan memisahkan pasukan khusus itu. Sebenarnyalah para Senapati tidak lagi berkuasa atas pasukan itu, selain seseorang saja, yaitu Panglimanya.” “Siapakah Panglima pasukan khusus itu ?” bertanya Ki Waskita. Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Itulah yang sangat menarik perhatian. Panglima pasukan khusus yang terdiri dari prajurit pilihan segelar sepapan itu adalah Tumenggung Prabadaru.” “He ? “ hampir berbareng Ki Waskita dan Agung Sedayu mengulang, “Tumenggung Prabadaru ?”

“Ya,“ jawab Raden Sutawijaya, “bukankah sangat menarik perhatian ?” “Siapakah yang mengangkat Tumenggung itu menjadi Panglima ?” bertanya Ki Waskita. “Kangjeng Sultan Pajang,“ jawab Senapati Ing Ngalaga. Ki Waskita dan Agung Sedayu saling berpandangan. Sementara itu Ki Waskita berkata, “Bukankah hal itu sangat menarik bagi Mataram. Kita tahu, siapakah Tumenggung Prabadaru dalam hubungannya dengan Ki Pringgajaya. Tumenggung itulah yang telah berusaha menyembunyikan Ki Pringgajaya dengan berita kematiannya.” “Memang sangat menarik,“ desis Raden Sutawijaya, “karena itulah maka kita disini harus mengambil satu kesimpulan dengan sikap Pajang itu.” “Untuk itukah Raden mengharap kami singgah hari ini ?” bertanya Ki Waskita kemudian. “Ya,“ jawab Raden Sutawijaya, “aku tidak akan bersembunyi lagi. Masalahnya sudah semakin jelas. Bukankah dengan demikian akupun harus mengimbanginya ? “ “Raden juga akan membentuk satu pasukan khusus untuk mengimbangi kekuatan pasukan khusus dari Pajang itu ?” bertanya Ki Waskita pula. “Menarik sekali untuk melakukannya. Dan aku sudah tergelitik untuk menyusun pasukan khusus itu,“ jawab Raden Sutawijaya, “tetapi nampaknya terlalu menyolok jika aku lakukan di sini. Seolah-olah aku langsung menjawab tantangan Pajang itu.” Ki Waskita mengangguk-angguk. Sementara itu iapun bertanya, “jadi apakah yang akan Raden rencanakan dalam hubungannya dengan pasukan khusus itu ?” Raden Sutawijaya menarik nafas panjang. Kemudian katanya, “Sebenarnya aku masih ragu-ragu. Tetapi apaboleh buat. Aku tidak mempunyai waktu banyak sebelum pasukan khusus itu menghancurkan Mataram. Jika Ki Waskita dan Agung Sedayu ingin tahu, pasukan khusus itu terdiri dari beberapa golongan yang datang dari beberapa Kadipaten. Maksudnya jelas, bahwa Pajang seolah-olah masih mendapat dukungan yang kuat dari KadipatenKadipaten itu. Namun aku tidak yakin, bahwa para Adipati di daerah Timur dan Utara mempercayai

pembentukan pasukan khusus itu sebagai satu kebulatan.” “Tetapi bukankah dengan demikian berarti pasukan itu sangat kuat. Selain dari kemampuan secara pribadi setiap orang didalam pasukan itu, juga jumlahnya yang cukup besar,“ desis Agung Sedayu. “Ya. Karena itulah, maka aku harus memikirkannya dengan sungguh-sungguh untuk mengatasinya,“ jawab Raden Sutawijaya. Ki Waskita dan Agung Sedayu mengangguk-angguk. Mereka mulai mengerti arah pembicaraan Raden Sutawijaya yang ingin membentuk pasukan khusus sebagaimana yang ada di Pajang, tetapi ia tidak menghendakinya pasukan itu terbentuk di Mataram sehingga tidak akan menyolok dan terlalu langsung menjawab tantangan Pajang. Seperti yang sudah mereka duga, maka Raden Sutawijayapun berkata selanjutnya, “Karena itu Agung Sedayu, jika kau setuju, sebelum aku menyampaikannya kepada Ki Gede, meskipun kemarin aku sudah bertemu, aku ingin mendengar sikapmu.” Agung Sedayu dan Ki Wsakita menarik nafas dalam-dalam. Meskipun Raden Sutawijaya belum mengatakannya, tetapi keduanya dapat menangkap niat Raden Sutawijaya untuk membangun pasukan khusus itu dan sebagai ajang dipilihnya Tanah Perdikan Menoreh. Dengan demikian, maka Mataram sudah melibatkan Tanah Perdikan Menoreh langsung kedalam pergolakan antara Mataram dan Pajang. Namun bagaimanapun juga hal yang serupa itu pada akhirnya tidak akan dapat dihindari. Nampaknya Raden Sutawijaya memang tidak akan memilih Sangkal Putung yang lebih dahulu menemukan bentuk kemantapan bagi para pengawalnya, karena justru Sangkal Putung terletak langsung dihadapan Mataram dalam garis hubungannya dengan Pajang. Dalam pada itu, maka Raden Sutawijayapun berkata, “Bagaimanapun juga, akhirnya aku memang harus sampai pada sikap yang pasti dan tegas. Karena itulah aku tidak mempunyai pilihan lain dari menyusun alas kekuatan. Dan aku telah memilih Tanah Perdikan Menoreh.” Agung Sedayu menjadi berdebar. Sudah barang tentu Raden Sutawijaya ingin mendengarkan pendapatnya. Apakah ia sependapat atau tidak. Dan barangkali malahan Raden Sutawijaya akan bertanya kepadanya, apakah ia bersedia ikut didalam pasukan itu.” Tetapi Raden Sutawijaya terdiam untuk beberapa saat.

Agaknya ia memang memberi kesempatan kepada Agung Sedayu untuk berpikir, apakah yang sebaiknya dilakukan. “Sudahlah,” berkata Raden Sutawijaya lebih lanjut, “bukankah kau akan pergi ke Jati Anom. Pikirkan sepanjang perjalananmu. Aku mengerti bahwa kau harus membuat pertimbangan-pertimbangan yang panjang dan berulang kali. Jika sekali aku menyebut namamu, berarti kau dalam keseluruhan. Kau sebagai murid Kiai Gringsing, kau sebagai kakak seperguruan Swandaru Geni dari Sangkal Putung, dan yang paling berat bagimu adalah, kau sebagai adik Untara.” “Aku akan memikirkannya Raden,” berkata Agung Sedayu kemudian, “aku sudah mengerti selengkapnya apa yang Raden maksudkan. Tentang pasukan khusus, tentang alas pembentukan yang Raden maksud dan tentang hubungannya dengan aku sendiri.” “Terima kasih. Jika kau pergi ke Jati Anom, kau dapat membicarakannya dengan Kiai Gringsing. Bagiku sekarang, tidak ada waktu lagi untuk berpura-pura. Meskipun demikian, aku masih harus berhati-hati dengan segala langkah, agar aku tidak mempercepat bencana yang akan dapat menimpa Pajang, sebelum aku benar-benar masak untuk menghadapinya. Karena aku yakin, bahwa Pajang akan dihancurkan dari dalam oleh orang-orang Pajang sendiri. Karena itu aku harus bersiap-siap agar aku tidak akan ikut hancur bersama Pajang itu sendiri.” Agung Sedayu memandang Ki Waskita sekilas. Dilihatnya Ki Waskita mengangguk-angguk. Agaknya Ki Waskitapun dapat menangkap bukan saja yang terungkap lewat kata-kata dan sikap Raden Sutawijaya, namun seolah-olah Ki Waskita dapat melihat tembus sampai kepusat jantungnya. Karena itulah, maka tidak banyak lagi yang akan mereka perbincangkan. Agung Sedayu dan Ki Waskitapun menganggap untuk sementara kepentingannya singgah di Mataram telah selesai. Dengan demikian maka Agung Sedayupun segera minta diri. Bersama Ki Waskita ia masih akan melanjutkan perjalanan ke Jati Anom menemui gurunya untuk memberitahukan peristiwa yang telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh, namun sekaligus menyampaikan pesan Raden Sutawijaya bagi gurunya dan bagi Swandaru. Raden Sutawijayapun tidak berkeberatan. Setelah makan sepotong makanan dan seteguk minuman, maka Agung Sedayu dan Ki Waskitapun segera melanjutkan perjalanan mereka. Seperti pada saat mereka memasuki Mataram dari arah tanah Perdikan Menoreh, maka ke arah Timurpun Agung Sedayu dan Ki Waskita melihat satu dua orang yang mengawasinya dengan tajamnya. Nampaknya Mataram benar-benar mulai bersiap-siap menghadapi hubungannya yang menjadi semakin buram dengan Pajang.

“Langit menjadi semakin gelap,” berkata Ki Waskita, “jika kita sendiri tidak bersedia payung, maka kita akan kehujanan dan menjadi basah kuyup.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengerti yang dimaksud oleh Ki Waskita. Agung Sedayu sendiri memang harus menjatuhkan pilihan. Namun ia adalah tetap adik Untara, seorang Senapati Pajang yang bertugas di Jati Anom. Demikianlah keduanya berpacu menuju ke Jati Anom. Jalan yang pada saat-saat terakhir menjadi semakin ramai, nampaknya menjadi agak berkurang. Orang-orang yang hilir mudik lewat jalan itu harus mempertimbangkan perkembangan Pajang yang semakin garang menghadapi Mataram. Namun sikap pasukan Pajang di Pajang sendiri dan sekitarnya memang agak berbeda dengan sikap prajurit Pajang di Jati Anom. Untara yang mengetahui pula pembentukan pasukan khusus yang dipimpin langsung oleh Tumenggung Prabadarupun harus berpikir dengan sungguh-sungguh. Untara sadar, bahwa mau tidak mau Tumenggung Prabadaru telah dapat dianggap melakukan satu kecurangan dengan berusaha secara sadar menyembunyikan Ki Pringgajaya dengan menyatakannya telah mati. Namun yang akhirnya telah terungkap bahwa Pringgajaya masih hidup dan bahkan pernah berusaha membunuhnya. Dengan demikian, maka menghadapi perkembangan Pajang pada saat terakhir, Untara memang harus berhati-hati. Meskipun demikian ia masih tetap seorang prajurit Pajang. Namun dalam pada itu, keduanya tidak menemui kesulitan apapun diperjalanan. Agung Sedayu dan Ki Waskita telah langsung menuju ke Jati Anom tanpa singgah di Sangkal Putung. Baru kemudian mereka memang akan pergi ke Sangkal Putung bersama Kiai Gringsing. Ketika mereka memasuki regol padepokan kecil mereka, maka para cantrik yang melihat kedatangan merekapun terkejut. Hampir berbareng beberapa orang cantrik berteriak, “Agung Sedayu ?” Yang mendengar adalah Glagah Putih yang kebetulan ada di padepokan. Dengan serta merta iapun berlari kependapa. Sebenarnyalah yang datang adalah Agung Sedayu dan Ki Waskita. “Kakang Agung Sedayu,“ Glagah Putihpun berlari menyongsong kedua orang yang baru datang itu. Anak muda itu menjadi sangat gembira. Ia memang sudah rindu kepada kakak sepupunya itu. Karena itu, maka kedatangannya itu disambutnya sebagaimana ia menyambut seseorang yang sangat diharapkannya.

Setelah menambatkan kuda mereka, maka Agung Sedayu dan Ki Waskitapun segera naik kependapa. Setelah beberapa lama mereka meninggalkan padepokan itu, rasa-rasanya Agung Sedayu ingin segera melihat-lihat sampai ke ujung kebun yang paling belakang. Tetapi sebelum ia memasuki pintu pringgitan, mereka melihat Kiai Gringsing yang keluar dari lewat pintu itu. Sambil membenahi bajunya Kiai Gringsingpun telah menyambut muridnya dan Ki Waskita. “Baru kemarin aku kembali dari Sangkal Putung,” berkata Kiai Gringsing. “O,“ desis Agung Sedayu, “nampaknya akulah yang beruntung.” “Marilah. Kalian sekarang menjadi tamu padepokan ini,“ Kiai Gringsing mempersilahkan. Merekapun kemudian duduk dipendapa. Seperti biasanya jika ada tamu di padepokan itu, maka Glagah Putihlah yang kemudian pergi ke dapur menyiapkan minuman dan makanan bersama para cantrik. Kiai Gringsing pertama-tama menanyakan keselamatan kedua orang yang baru saja datang itu diperjalanan dan orang-orang yang mereka tinggalkan di Tanah Perdikan Menoreh. Sementara Ki Waskitapun telah bertanya pula tentang keselamatan isi padepokan itu. Baru kemudian Kiai Gringsing mempersilahkan Agung Sedayu dan Ki Waskita minum dan makan hidangan yang tersedia. “Silahkan. Untuk sementara kalian aku perlakukan seperti tamu. Seterusnya terserah kepada kalian, apakah kalian ingin tetap menjadi tamu, atau kalian ingin merasa seperti sebelum kalian meninggalkan padepokan ini,” berkata Kiai Gringsing. Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Aku lebih senang merasa tinggal di padepokan sendiri. Tetapi akupun sadar, jika demikian adalah tugasku untuk membelah kayu bakar dan mengisi jambangan di pakiwan sebagaimana selalu aku lakukan.” Kiai Gringsingpun tertawa. Agung Sedayu dan Ki Waskitapun tertawa pula. Demikianlah maka Agung Sedayu dan Ki Waskitapun telah minum dan makan jamuan yang dihidangkan oleh Glagah Putih. Sementara itu, Kiai Gringsing bertanya, “Kedatangan kalian memang agak mengejutkan. Apakah kedatangan kalian ini sekedar menengok padepokan yang sudah beberapa lama kalian tinggalkan, atau kalian memang mempunyai keperluan yang penting yang harus segera kalian selesaikan ? Jika kalian tidak tergesa-gesa, maka aku kira kita dapat berbicara nanti atau besok atau lusa.” Yang menjawab adalah Agung Sedayu, “Kami tidak terlalu tergesa-gesa guru. Tetapi rasa-rasanya kami ingin segera menyampaikan sesuatu yang sudah lama menyumbat dada ini.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Sementara Agung Sedayu berkata lebih lanjut, “Soalnya tidak begitu penting guru. Namun setelah dalam keberangkatan kami, kami singgah di Mataram, soalnya menjadi penting juga.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Sebelum kalian beristirahat, katakanlah. Barangkali keteranganmu perlu direnungkan. Nanti malam, besok atau lusa, kita akan dapat menelusuri lagi persoalan yang kalian bawa itu.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ketika dipadanginya Glagah Putih, maka tiba-tiba saja Agung Sedayu bertanya, “Dimana paman Widura ?” “Ayah baru ke Banyu Asri, kakang,“ jawab Glagah Putih. “Apakah Sabungsari masih sering datang kemari ?” bertanya Agung Sedayu pula. “Ya. Tetapi kadang-kadang ia justru menunggui padepokan ini sendiri. Aku dan ayah tidak berada di padepokan, Sementara Kiai Gringsing berada di Sangkal Putung,“ jawab Glagah Putih, “tetapi justru karena itu, maka sanggar padepokan ini menjadi selalu bersih.” “Sabungsari sering mempergunakannya ?” bertanya Agung Sedayu. “Ya. Sekali-sekali jika kebetulan kami bertemu, maka kami berdualah yang mempergunakannya,“ jawab Glagah Putih. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baiklah. Kau kali ini dapat mendengarkan keteranganku. Aku kira kau sudah menjadi semakin dewasa, sehingga kau sudah mengerti, manakah yang dapat kau ceriterakan kepada orang lain, dan manakah yang tidak.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Sementara itu, yang pertama-tama di ceriterakan oleh Agung Sedayu adalah peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Pertemuannya dengan Ajar Tal Pitu yang mendendamnya, dan menyusulnya ke Tanah Perdikan Menoreh. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia berkata,“ bersukurlah kepada Tuhan, bahwa kau masih mendapat perlindungannya.” Agung Sedayu mengangguk kecil sambil menjawab, “Ya guru. Aku memang merasa bersukur.” “Bagus. Kau tidak boleh melupakannya dalam keadaan yang bagaimanapun juga,” berkata guiunya

kemudian. Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk-angguk kecil. Sebagaimana biasa, gurunya memang tidak pernah merasa terpisah dari Yang Maha Agung dalam keadaan yang bagaimanapun juga. Baru kemudian Agung Sedayu menceriterakan apa yang dikatakan oleh Raden Sutawijaya. Baik pada saat Raden Sutawijaya berada di Tanah Perdikan Menoreh, maupun ketika Agung Sedayu dan Ki Waskita singgah di Mataram. Kiai Ggringsing mengerutkan keningnya. Kemudian sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Lambat atau cepat, hal itu tentu akan terjadi.” “Apa guru ? “ justru Agung Sedayulah yang bertanya. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Kita sudah dapat menebak maksud Raden Sutawijaya. Kecuali Raden Sutawijaya mengharap kerelaan Ki Gede untuk memberikan tempat bagi terbentuknya pasukan khusus itu, maka Raden Sutawijaya sudah pasti akan melibatkan Sangkal Putung dan daerah-daerah sekitar Mataram. Sudah tentu Raden Sutawijaya akan melibatkan daerah Perbukitan Seribu. Meskipun tidak ada seseorang yang dapat di kemukakan pada saat ini, tetapi anakanak muda dan bibit yang tersebar di daerah itu, akan memberikan kekuatan yang besar bagi Mataram.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Diluar sadarnya ia mengucapkan kembali, “Daerah Perbukitan Seribu. Daerah yang jarang disebut. Baik oleh Raden Sutawijaya sendiri maupun oleh orang-orang Pajang.” “Ya. Tetapi daerah itu menyimpan hubungan yang akrab dengan Raden Sutawijaya karena beberapa hal. Pengaruh Raden Sutawijaya akan terasa lebih besar daripada pengaruh Pajang,” berkata Kiai Gringsing, “sebagai daerah yang pernah dilalui arus pengungsian yang besar dari Majapahit yang kemudian justru menuju ke daerah Bergota, maka Perbukitan Seribu menyimpan bekas-bekasnya yang mempunyai kisah tersendiri.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun selama petualangannya di daerah olah kanuragan, ia masih belum pernah menjamah daerah Pebukitan Seribu. Bukit-bukit yang terbujur bagaikan sebuah dinding dari pulau ini memanjang di daerah Selatan, dari Timur ke arah Barat. Daerah Pebukitan yang terdiri dari tanah kapur, batu-batu karang dan diseling oleh daerah yang subur. Dataran-dataran yang membentang diantara batu-batu karang, merupakan daerah pangan yang tidak kering, terdapat diselasela puncak-puncak yang mencuat pada gugusan pegunungan itu. Tetapi Agung Sedayu tidak akan sempat menilai daerah itu sebagai daerah yang mempunyai kisahnya sendiri dalam hubungannya dengan sikap Raden Sutawijaya. Jika pada saatnya anak-anak muda daerah Daerah Pebukitan itu hadir di Tanah Perdikan Menoreh, maka mereka akan diterima sebagaimana anak-anak muda lainnya dari daerah manapun juga. Namun segalanya masih tergantung kepada Ki Gede Menoreh. Apakah Ki Gede akan dapat

menyerahkah ranah Perdikannya menjadi satu ajang pembentukan satu pasukan khusus. Dan itu berarti Tanah Perdikan Menoreh sudah bersikap menghadapi Pajang. Tetapi menurut dugaan Agung Sedayu, Ki Gede tidak akan berkeberatan. Ia akan menyerahkan Tanah Perdikan Menoreh tidak dalam keseluruhan. Tetapi ia menyerahkan Tanah Perdikan dari satu segi kepentingan. Selain Tanah Perdikan Menoreh, Agung Sedayu akan berbicara pula dengan Sangkal Putung sebagai satu penjajagan atas sikap Raden Sutawijaya menghadapi Pajang. Tetapi agaknya Sangkal Putung, khususnya Swandaru sudah menunjukkan sikap yang lebih jelas. “Agung Sedayu,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “sebenarnyalah bagi Raden Sutawijaya waktunya memang sudah tiba. Mataram tidak akan dapat berdiam diri menghadapi perkembangan didalam lingkungan istana Pajang. Namun sebuah pertanyaan bagimu sendiri Agung Sedayu. Bagaimana ?” Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Pertanyaan itu memang sudah diketahuinya akan didengarnya. Baik oleh gurunya sebelum ia berbuat sesuatu. Namun sebenarnyalah, bahwa usahanya untuk menjajagi sikap Swandaru di Sangkal Putung, dan Ki Gede di Tanah Perdikan Menoreh, adalah sudah menunjukkan sikap nuraninya meskipun masih berada di lingkaran yang paling bawah. Namun dalam pada itu, ia tidak akan dapat mengabaikan bahwa ia adalah adik Untara, seorang Senapati Pajang yang bertugas di Jati Anom. “Guru,” berkata Agung Sedayu, “aku kira guru sudah dapat membaca sikapku selama ini. Aku tidak pernah berhubungan dengan orang-orang Pajang selain kakang Untara. Aku tidak pernah mengerti keadaan Pajang yang sebenarnya. Tetapi aku dapat mengambil satu kesimpulan dari sikap beberapa orang prajurit Pajang, bahkan sikap seorang Pangeran yang seharusnya akan menerima warisan tahta. Pangeran Benawa. Sehingga dengan demikian, maka menurut penilaianku. Pajang memang merupakan satu tataran yang suram setelah Demak.” “Pajang berdiri diatas hiruk-pikuknya perebutan kekuasaan antara sanak kadang. Kini Pajang menjadi ajang berkembangnya ketamakan dari orang-orang tertentu, justru dari jalur yang berbeda dengan urutan keluarga yang pernah berebutan semasa Demak menjadi buram. Sultan Pajang, yang semasa mudanya bernama Jaka Tingkir dan memiliki kemampuan dan ilmu yang seakan-akan tidak terbatas, ternyata pada masa tuanya, tidak mampu mengatasi nafsu yang berkembang di sekitarnya,“ desis Kiai Gringsing. “Bukankah dengan demikian, berarti bahwa usaha menyelamatkan Pajang adalah satu usaha yang akan

sangat sulit guru ?” bertanya Agung Sedayu. “Ya. Aku kira memang demikian,“ jawab Kiai Gringsing, “karena itu, kita memang harus bersikap terhadap Pajang.” Agung Sedayu tidak segera menjawab. Dipandanginya Ki Waskita yang hanya berdiam diri saja. Namun yang menurut Agung Sedayu, sikapnyapun telah dapat dilihatnya pula. Kiai Gringsing itupun mengangguk-angguk. Ia memang sudah melihat sikap yang meskipun samarsamar, tetapi semakin lama menjadi semakin jelas. Dalam pada itu, Kiai Gringsing sendiri memang berpendapat, bahwa Sultan Pajang yang menjadi semakin lemah karena penyakitnya itu semakin lama menjadi semakin terbatas kemampuan pengamatannya. Ia memang melihat bahwa disekitarnya telah tumbuh benalu. Tetapi ia tidak mampu mengungkitnya dari batang yang menjadi kian rapuh. Kiai Gringsing itupun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Ki Waskita sudah mendengar pembicaraan kami serta barangkali pembicaraan Agung Sedayu dengan Raden Sutawijaya di Mataram. Sudah barang tentu Ki Waskita sudah dapat mengambil satu kesimpulan. Dan barangkali Ki Waskita telah mengambil satu kesimpulan bagi Ki Waskita sendiri.” Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, “Selama ini aku terasing dengan persoalan pemerintahan. Bergesernya pusat pemerintahan dari Demak ke Pajang, hampir tidak menarik perhatianku pada saat itu, justru pada waktu aku masih muda. Tetapi kini rasa-rasanya tertarik juga untuk ikut berbicara tentang Pajang. Nampaknya sikap Raden Sutawijaya memang dapat dimengerti. Agaknya Pajang sudah tidak akan mungkin dibenahi dari dalam.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, baiklah Agung Sedayu. Berbicaralah dengan bahasa yang paling jelas bagi adik seperguruanmu. Katakan bahwa Raden Sutawijaya ingin membentuk satu pasukan khusus. Sudah barang tentu pasukan itu akan diambil dari berbagai daerah yang setuju dengan perkembangan Mataram.” Agung Sedayu memandang gurunya sejenak. Namun iapun kemudian menundukkan kepalanya. Sementara itu sudah terpahat di jantungnya, sikap tegas gurunya. Mereka akan ikut ambil bagian dalam pergolakan antara Pajang dan Mataram. Sementara itu. Kiai Gringsing memang masih melihat persoalan didalam hati Agung Sedayu. Ia adalah adik Untara. Dan hal itu perlu mendapat pemecahan khusus. Apalagi baik Agung Sedayu sendiri maupun Kiai Gringsing masih belum tahu pasti, apa yang sebenarnya bergejolak di hati Senapati muda itu setelah ia melihat sikap Pajang dengan menempatkan Ki Tumenggung Prabadaru pada kekuatan yang disusun

khusus menghadapi pergolakan masa terakhir. Tetapi untuk mengetahui sikap Untara, bukan satu pekerjaan yang mudah dilakukan. Agaknya Kiai Gringsing akan menunggu kedatangan Ki Widura untuk membantunya memecahkan persoalan itu. Dalam pada itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian berkata, “Agung Sedayu. Aku kira, kau tidak perlu menunda-nunda lagi. Aku akan pergi bersamamu ke Sangkal Putung. Sementara biarlah Glagah Putih menemui ayahnya dan mendengar penjelasan langsung dari Ki Waskita, sebelum kita sempat menemuinya. Menurut pengamatanku selama ini, agaknya Ki Widura juga condong pada sikap kita. Apalagi setelah ia mengetahui, bahwa Tumenggung Prabadaru telah diangkat menjadi Panglima pasukan khusus yang baru disusun. Bukankah dengan demikian ada kesengajaan beberapa orang pemimpin Pajang untuk menempatkan sebagian kekuatan pokok Pajang berada dibawah perintah langsung dari Tumenggung Prabadaru yang bagi kita mempunyai sikap yang jelas ?” “Baiklah guru,“ jawab Agung Sedayu, “sebenarnyalah akupun hanya minta waktu dua tiga hari kepada Ki Gede untuk perjalanan ini. Meskipun Ki Gede sudah dapat membayangkan maksud Raden Sutawijaya, tetapi Raden Sutawijaya belum menyatakan dengan jelas, apakah yang dimaksud sebenarnya.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kau akan kembali setelah dua tiga hari. Kau harus mempersiapkan segala-galanya untuk maksud tersebut, karena tidak mudah untuk menyelenggarakan satu lingkungan bagi satu kesatuan yang besar seperti yang akan disusun itu.” Dalam pada itu, maka Kiai Gringsingpun segera mempersiapkan diri untuk pergi ke Sangkal Putung bersama Agung Sedayu yang datang ke Jati Anom bersama Ki Waskita. Tetapi Kiai Gringsing minta agar Ki Waskita tinggal di padepokan untuk berbicara dengan Ki Widura yang akan dijemput oleh Glagah Putih ke Banyu Asri. Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsingpun sudah siap. Keduanyapun segera turun ke halaman dan untuk selanjutnya meninggalkan padepokan itu pergi ke Sangkal Putung. Sepeninggal Kiai Gringsing, maka Glagah Putihpun kemudian berbenah diri. Dipersilahkannya Ki Waskita untuk tinggal di padepokan, sementara anak muda itu akan pergi menjemput ayahnya. “Tentu ayah akan segera datang,” berkata Glagah Putih,

“sudah beberapa hari berturut-turut ayah selalu pergi ke Banyu Asri. Tetapi sesudah panen selesai, ayah tidak akan hilir mudik lagi.” “O, apakah Ki Widura baru panen ?” bertanya Ki Waskita. “Ya. Panen jagung dan sedikit padi,“ jawab Glagah Putih. “Bersama-sama ?” bertanya Ki Waskita pula. “Ya. Jagung kami, kami tanam di pategalan. Bukan jagung yang kami tanam diantara tanaman padi di dua musim,“ jawab Glagah Putih. Ki Waskita mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Aku akan senang sekali jika Ki Widura dapat segera datang. Dengan demikian aku tidak terlalu lama sendiri.” “Ada beberapa orang cantrik. Mereka dapat diajak berceritera tentang musim,“ jawab Glagah Putih. Ki Waskita tersenyum. Sementara itu Glagah Putihpun segera meninggalkan padepokan, setelah ia berpesan kepada beberapa orang cantrik untuk menemani Ki Waskita di pendapa. Dalam pada itu, Kiai Gringsing dan Agung Sedayu telah berjalan menuju ke Sangkal Putung. Tidak banyak yang mereka perbincangkan di sepanjang jalan. Namun agaknya Kiai Gringsingpun berpendapat, bahwa persiapan itu lebih baik dilakukan secepatnya oleh Mataram. Kedatangan Agung Sedayu di Sangkal Putung telah mengejutkan. Swandaru yang sedang ada dirumah bergegas menyongsongnya. Sementara Sekar Mirahpun berlari-lari mendapatkannya sambil bertanya dengan serta-merta. “Apakah tugasmu di Tanah Perdikan Menoreh sudah selesai dan kau sudah kembali lagi ke Jati Anom ?” Agung Sedayu menggeleng lemah. Jawabnya, “Aku mendapat kesempatan untuk menengok padepokanku barang dua tiga hari.” “O,“ wajah Sekar Mirah nampak dibayangi oleh kecemasan. “Karena itu,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “sebenarnyalah Tanah Perdikan itu tidak terlalu jauh. Jika diperlukan, setiap saat aku dapat kembali ke Jati Anom, atau ke Sangkal Putung, kemudian kembali lagi ke Tanah Perdikan Menoreh.” Sekar Mirah mengangguk-angguk. Ia mencoba menghibur perasaan kecewanya dengan keterangan

Agung Sedayu itu. “Tanah Perdikan Menoreh memang tidak terlalu jauh.” Ki Demangpun kemudian menerima Kiai Gringsing di pendapa bersama Agung Sedayu, Swandaru Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun ikut menerima mereka pula karena ketiganya ingin mengetahui, apakah kepentingan mereka datang ke Sangkal Putung. Setelah berbincang tentang keselamatan masing-masing, maka akhirnya Ki Demangpun bertanya, apakah kedatangan mereka ke Sangkal Putung hanya sekedar menilik keselamatan keluarga Sangkal Putung, atau ada satu kepentingan yang khusus. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Sebaiknya aku tidak berahasia lagi Ki Demang. Kedatangan kami kali ini memang mengemban satu kepentingan yang sangat khusus. Apalagi dengan demikian, maka kitapun telah menentukan sikap terhadap perkembangan keadaan dalam hubungan dengan Pajang dan Mataram.” Ki Demang mengerutkan keningnya. Kemudian iapun bertanya, “Apakah Angger Agung Sedayu mendapat pesan khusus untuk hal ini ? Beberapa hari yang lalu Kiai Gringsing berada di sini tanpa menyebut sama sekali tentang sikap itu.” “Ya,“ jawab Kiai Gringsing, “Agung Sedayulah yang mendapat pesan khusus dari Raden Sutawijaya.” Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Cobalah katakan, apakah pesan khusus itu menguntungkan bagi kita semuanya.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Agaknya Ki Demangpun akan mempertimbangkan semua tindakannya bagi kepentingan Kademangannya. Jika ia mengambil sikap dalam hubungan antara Pajang dan Mataram, maka hal itupun tentu akan disesuaikan dengan keuntungan Kademangannya. Dengan hati-hati Agung Sedayupun mengatakan keputusan Raden Sutawijaya untuk menanggapi sikap terakhir dari para pemimpin di Pajang yang telah bertindak sesuai dengan kepentingan mereka tanpa menghiraukan keadaan Sultan yang sedang sakit. Bahkan semakin lama nampaknya menjadi semakin parah. Ki Demang nampaknya menjadi ragu-ragu. Ia harus berpikir dengan sungguh-sungguh jika ia ingin melibatkan Kademangannya dalam pertikaian yang menjadi semakin panas antara Pajang dan Mataram. Namun dalam pada itu, selagi Ki Demang merenungi keadaan itu, Swandaru dengan serta merta menjawab, “Aku sependapat. Dalam persoalan yang akan menyala antara Pajang dan Mataram, kita tidak akan dapat berdiri dengan ragu-ragu. Kita harus mengambil sikap. Tegas dan pasti.”

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia bertanya kepada anaknya, “Swandaru, bagaimana dengan sikapmu ?” “Aku bersedia mengirimkan anak-anak muda terpilih untuk menyusun pasukan khusus itu ke Tanah Perdikan Menoreh. Itu tentu lebih baik. Aku mempunyai perhitungan tersendiri mengenai Sangkal Putung ini. Kita tidak akan dapat bertahan dalam garis perang, seandainya Pajang datang menyerang. Kecuali jika Mataram akan menentukan satu garis pertahanan di sebelah Timur Sangkal Putung. Karena itu, seandainya Raden Sutawijaya mempunyai kebijaksanaan lain, maka kita harus menyesuaikan diri. Dalam pengertian lain, kita tidak akan dapat berpijak pada satu tempat tertentu sebagai landasan perjuangan tanpa perhitungan lain. Mungkin kita akan bergeser. Tetapi sudah tentu dengan satu tujuan. Sangkal Putung akan dapat kita kuasai pada saat terakhir dengan cara apapun yang pernah kita tempuh sebelumnya.” Ki Demang mengerutkan keningnya. Dengan suara berat ia bertanya, “Maksudmu, bahwa sebagai satu perhitungan peperangan, mungkin Sangkal Putung akan dilepaskan meskipun dengan satu tekad terakhir, Sangkal Putung harus dikuasai kembali ?” “Ya. Tetapi lebih dari itu. Pajang harus dikalahkan. Orang orang yang dibakar oleh nafsu pribadinya itu harus disingkirkan. Sultan Hadiwijaya dan kebijaksanaannya harus ditegakkan sebagaimana seharusnya,” berkata Swandaru. Ki Demang masih nampak ragu-ragu. Katanya, “Kenapa kita tidak bertekad untuk mempertahankan Sangkal Putung sebagai perisai yang dapat melindungi Mataram dari kekuatan orang-orang Pajang. Justru pasukan khusus itu kita letakkan disini, di Sangkal Putung.” “Ki Demang,” berkata Agung Sedayu kemudian, “bagaimanapun juga kita masih menghormati Pajang sebagai satu pusat pemerintahan. Kita tidak dengan serta merta menjawab tantangan itu dengan menunjukkan kekuatan yang tersimpan di Mataram. Raden Sutawijaya ingin mempersiapkan diri tanpa mengundang dan mempercepat benturan yang nampaknya memang agak sulit dielakkan. Namun dalam hal ini, Raden Sutawijaya tidak akan anggege-mangsa. Jika pasukan khusus itu disusun di Sangkal Putung, maka sebelum pasukan itu tersusun rapi, maka Pajang tentu sudah akan bertindak dengan dalih apapun juga. Bahkan mungkin dengan meninggalkan pertimbangan dari Kangjeng Sultan sendiri.” Ki Demang mengangguk-angguk. Akhirnya ia dapat juga mengerti perhitungan dan pertimbangan Raden Sutawijaya. Meskipun demikian, rasa-rasanya seperti yang dikatakan Swandaru itupun sulit untuk dielakkan.

Meskipun demikian Ki Demang merasa tidak dapat meninggalkan pertimbangan-pertimbangan yang rumit bagi Kademangannya. Hanya karena Swandaru sudah mengambil sikap yang pasti, maka agaknya Ki Demang tidak merasa perlu untuk mempersoalkannya lagi. Ia terlalu percaya kepada anak laki-lakinya yang memang sudah terbukti, mampu membentuk Sangkal Putung menjadi satu Kademangan yang besar. “Segalanya terserah kepada pertimbanganmu, Swandaru,” berkata Ki Demang kemudian. “Baiklah ayah,“ jawab Swandaru, “aku akan membicarakannya lebih lanjut dengan kakang Agung Sedayu.” “Seharusnya memang demikian,“ sahut Kiai Gringsing, “agaknya persiapan yang semata-mata kecuali akan mempercepat geseran yang mungkin terjadi karena kecemasan orang-orang yang memusuhi Mataram, akan dapat menimbulkan salah paham pula bagi Kangjeng Sultan. Karena agaknya Kangjeng Sulta memang tidak sempat melihat pergolakan ini secara keseluruhan.” Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Baiklah. Dalam hubungan yang demikian, agaknya aku memang kurang menguasai secara mendasar. Aku percaya kepada kalian.” Demikianlah akhirnya, Ki Demang menyerahkan segala-galanya kepada Swandaru dan Agung Sedayu. Meskipun ia minta pula kepada Kiai Gringsing untuk mengamati hasil pembicaraan kedua anak-anak muda itu. Dengan demikian, maka Agung Sedayu malam itu berada di Sangkal Putung. Ia masih akan mengadakan pembicaraan-pembicaraan yang panjang dengan Swandaru, dan tentu pula dengan Sekar Mirah dan Pandan Wangi. Namun dalam pada itu, ketika langit menjadi buram dan Agung Sedayu berada seorang diri di Pakiwan untuk mandi, maka mulailah ia berpikir tentang kakaknya Untara. Apakah yang akan dilakukannya seandainya Untara sebagai seorang prajurit Pajang berdiri di dalam lingkungan pasukan Pajang yang pada suatu saat akan memerangi Mataram. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang sulit untuk menghindarkan diri dari keraguraguan. Setiap kali ia selalu mempersoalkan satu masalah pertimbangan-pertimbangan yang rumit. Ia memandang satu masalah dari segala segi. Ditimbangnya untung dan ruginya. Dikajinya baik dan buruknya sampai limabelas kali. Namun setiap kali, ia tidak dapat mengambil satu keputusan yang mantap. Kadang-kadang ia masih harus menunggu perkembangan keadaan yang akan menghanyutkan kedalam satu sikap.

Ketika malam turun, sebelum ia berbicara dengan Swandaru, maka ia telah bertemu lebih dahulu dengan gurunya. Sebagaimana biasa maka Kiai Gringsing mulai melihat, keragu-raguan dihati Agung Sedayu. “Kaulah yang menyampaikan pesan Raden Sutawijaya kepadaku dan kepada Ki Demang di Sangkal Putung serta Swandaru. Di Jati Anom Ki Waskita tentu sudah berbicara pula dengan Ki Widura,” berkata Kiai Gringsing, “jika kau kemudian menjadi ragu-ragu, maka akan dapat menimbulkan salah paham.” “Aku mengerti guru,” berkata Agung Sedayu, “tetapi orangorang itu tidak mempunyai persoalan yang sangat khusus seperti yang aku alami. Mereka tidak mempunyai seorang kakak yang menjadi prajurit Pajang.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bagaimanapun ia tetap saudara tuamu. Namun sikap dan pendirian memang akan dapat berbeda. Selanjutnya, kau dan Untara harus memilih jalan yang paling baik untuk mengatasi perbedaan itu. Dengan demikian masalahnya bukan pada sikapmu menghadapi persoalan antara Pajang dan Mataram, tetapi bagaimana kau harus mengatasi persoalanmu dengan Untara apabila memang timbul persoalan yang demikian.” “Itulah yang membebani hatiku,“ desis Agung Sedayu. “Tetapi kau tidak boleh menghambat persoalan yang besar yang timbul antara Pajang dan Mataram. Sementara kau berusaha menemukan cara itu, maka segalanya harus berjalan sebagaimana telah diperhitungkan oleh Raden Sutawijaya. Yang dalam hubungan manusiawi, ia akan berhadapan dengan ayah angkatnya, dengan gurunya dan dengan sesembahannya,“ Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu. “tetapi bukan maksudku untuk memperbandingkan hubungan dengan Untara dengan hubungan antara Raden Sutawijaya dengan Sultan Hadiwijaya.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun akhirnya ia mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan berbicara dengan nalar dihadapan Swandaru. Biarlah yang bergejolak didalam hatiku aku simpan bagi diriku sendiri.” Kiai Gringsing memandang wajah muridnya itu sekilas. Orang tua itu mengerti sepenuhnya gejolak perasaan Agung Sedayu. Adalah sifatnya memang demikian, ia selalu dibayangi oleh keragu-raguan untuk mengambil satu keputusan. Apalagi dalam persoalan antara Pajang dan Mataram, kedudukannya memang sulit. Kakaknya satu-satunya adalah seorang Senapati Pajang. Sementara Agung Sedayu sendiri condong untuk berpihak kepada Mataram. Namun dengan demikian, maka Agung Sedayu berusaha untuk dapat menguasai perasaannya dengan nalarnya. Ia harus berbicara dengan Swandaru, Sekar Mirah dan Pandan Wangi. Karena itu, ia tidak boleh dipengaruhi oleh perasaannya saja. Setelah makan malam, maka Agung Sedayu dan Swandaru telah membicarakan pelaksanaan rencana

Raden Sutawijaya itu dengan lebih terperinci bersama Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Jika sebagian anak-anak muda harus dikirim ke Tanah Perdikan Menoreh, maka Sangkal Putung harus mengatasi persoalannya sepeninggal anak-anak muda itu. Karena keamanan Sangkal Putung sendiri tidak dapat diabaikan. “Aku akan memilih diantara anak-anak muda itu,“ berkata Swandaru. Lalu, “Namun sebelumnya aku akan membagi pengawal Kademangan ini menjadi tiga tataran. Mereka yang masih belum dewasa penuh. Mereka yang sepenuhnya telah dewasa, dan mereka yang umurnya mulai melampaui perempat abad. Bahkan sampai mereka yang berumur ampat puluh tahun.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia percaya bahwa bagi Sangkal Putung hal itu akan dapat dilaksanakan oleh Swandaru. Pada dasarnya para pengawal Kademangan Sangkal Putung memang terdiri dari tiga tataran. Orang yang pernah ikut dalam kegiatan oleh kanuragan di Sangkal Putung akan dapat dikerahkan kembali pada saat-saat diperlukan. “Tetapi aku memerlukan waktu barang satu bulan,” berkata Swandaru, “waktu yang akan aku pergunakan untuk mematangkan persiapan bagi kepentingan Sangkal Putung sendiri apabila Kademangan ini akan ditinggalkan oleh anak-anak muda sampai menjelang umur seperempat abad, atau satu dua tahun diatasnya menurut pertimbangan keadaan wadag mereka.” “Itu wajar sekali,” berkata Agung Sedayu, “tetapi kau harus segera mulai. Jika kau siap sebelum satu bulan, maka hal itu akan lebih baik bagi Mataram.” “Aku akan berusaha lebih cepat dari waktu itu,“ jawab Swandaru, “secepatnya aku akan mulai. Agaknya memang berbeda dengan daerah-daerah lain yang tidak langsung berhadapan dengan Pajang pada garis lurus antara Pajang dan Mataram. Jika Raden Sutawijaya akan mengambil anak-anak muda dari daerah Pegunungan Seribu, maka keadaannya memang berbeda. Daerah itu akan dapat dalam waktu satu dua pekan mengirimkan orang-orangnya. Tetapi kami disini mempunyai beberapa pertimbangan lain.” “Ya. Daerah Pegunungan Seribu tidak mempunyai persoalan langsung seperti yang dihadapi oleh Sangkal Putung,” berkata Agung Sedayu, “namun dalam pada itu, meskipun kedatangan anak-anak Sangkal Putung agak lambat, mereka akan segera dapat menyesuaikan dirinya karena pada dasarnya mereka sudah mempunyai kemampuan dalam olah kanuragan.” Agung Sedayu dan Swandarupun kemudian menemukan kesepakatan. Swandaru akan mempersiapkan anak-anak muda itu dalam waktu satu bulan. Ia akan mengirimkan anak-anak muda itu dengan bertahap, agar tidak menarik perhatian. “Sementara itu, aku akan menyiapkan Tanah Perdikan Menoreh. Selain anak-anak muda dari Tanah Perdikan itu sendiri, juga kami di Tanah Perdikan harus menyediakan segala-galanya. Barak, peralatan dan juga ladang yang cukup luas untuk menyelenggarakan latihan-latihan. Sudah barang tentu, aku tidak akan dapat melakukannya sendiri. Untuk kepentingan tersebut, diperlukan beberapa

orang yang akan dapat memberikan latihan-latihan khusus yang berat,” berkata Agung Sedayu. “Aku percaya kepada kebijaksanaan Ki Gede,“ berkata Swandaru, “kau dan Ki Gede akan dapat mengaturnya.” “Yang aneh,” berkata Agung Sedayu, “Ki Gede belum mengetahui dengan pasti, rencana yang dibuat oleh Raden Sutawijaya ini. Namun sebagai seorang tua yang memiliki pengalaman yang luas, Ki Gede tentu sudah dapat mengetahui, berdasarkan perhitungan nalar dan penggraitanya yang tajam.” Swandaru mengerutkan keningnya. Namun iapun mengangguk-angguk sambil berkata, “Raden Sutawijaya baru akan mengatakan kepada Ki Gede jika segalanya sudah pasti. Karena Raden Sutawijaya menganggap bahwa Ki Gede tidak akan berkeberatan.” “Mungkin memang demikian. Dan akupun menganggap bahwa Ki Gede tidak akan berkeberatan,“ jawab Agung Sedayu. Demikianlah, maka akhirnya pembicaraan merekapun menjadi semakin jelas. Tahap-tahap yang akan dilakukan oleh Swandarupun telah jelas pula. Namun anak muda itupun berkata, “Tetapi kakang harus memberi tahukan kepadaku, jika semuanya telah pasti. Sehingga tidak akan terjadi salah paham. Meskipun hanya satu kemungkinan dari seribu, namun dapat terjadi Ki Gede merasa berkeberatan untuk menjadi ajang pembentukan pasukan khusus itu.” “Aku akan memberi kabar,“ jawab Agung Sedayu. Dalam pada itu, setelah persoalan tentang pasukan khusus itu selesai, maka pembicaraan merekapun segera bergeser. Pertemuan diantara keluarga Sangkal Putung itupun menjadi semakin luas. Ki Demang dan Kiai Gringsing yang semula berada diruang dalam, telah hadir pula dipendapa, setelah Pandan Wangi dan Sekar Mirah justru menyiapkan minuman panas pula. Mereka mendengarkan keputusan yang diambil oleh anak-anak muda itu dengan sungguh-sungguh. Sekali-kali mereka mengangguk-angguk. Namun kadang-kadang nampak kerut merut di dahi mereka. Namun dalam menanggapi rencana itu dalam keseluruhan Kiai Gringsing berkata, “Kalian telah melakukan pengisian sebaik-baiknya atas kandang yang berkembang di Kademangan ini dan di sekitarnya. Bahkan keadaan Mataram dalam hubungannya dengan Pajang. Baiklah, kalian harus berusaha mewujudkan rencana ini sebaik-baiknya.” Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Aku yakin, bahwa pasukan ini akan terbentuk. Mungkin anak-anak muda dari berbagai daerah yang lain kurang mempunyai dasar oleh kanuragan. Namun jika mereka telah pasrah diri dalam satu kesatuan khusus, maka mereka tentu akan menyediakan hidup matinya dalam keseluruhan sehingga mereka akan dapat berlatih sebaik-baiknya.” “Memang bukan tugas yang ringan untuk membentuk satu kekuatan yang nampak dari kekuatan yang mempunyai latar belakang kemampuan yang berbeda-beda. Namun hal ini tentu sudah dipikirkan oleh Raden Sutawijaya. Raden Sutawijaya tentu sudah menyediakan beberapa tataran pelatih bagi kesatuan

khusus ini.” Ternyata bahwa dalam pembicaraan selanjutnya, mereka sudah dapat membayangkan apa yang akan terjadi di tanah Perdikan Menoreh. Merekapun sudah dapat membayangkan sikap Pajang terhadap Tanah Perdikan itu. Mungkin dengan surat kekancingan yang ditandai dengan tanda kekuasaan Sultan Hadiwijaya Tanah Perdikan itu akan dicabut. Namun segalanya tentu sudah diperhitungkan. Bahkan surat kekancingan dengan tanda apapun juga akan dapat ditolak dan tidak diakui, sebagaimana pada suatu saat Mataram tidak akan mengakui lagi kekuasaan Pajang sudah tidak murni lagi. ketika segalanya menjadi jelas dan kesimpulan-kesimpulan sementara sudah dapat diambil, maka Ki Demangpun kemudian mempersilahkan tamu-tamunya untuk beristirahat. Mungkin mereka merasa letih oleh perjalanan dan barangkali justru karena pembicaraan-pembicaraan yang panjang. Tetapi ketika Kiai Gringsing kemudian memasuki gandok. Agung Sedayu justru duduk diserambi ditemani oleh Sekar Mirah. Agaknya Sekar Mirah masih ingin penjelasan tentang rencana Raden Sutawijaya yang disampaikan oleh Agung Sedayu. Namun sebenarnyalah bahwa pembicaraan merekapun akhirnya telah bergeser. Sekar Mirah mulai berbicara tentang harapan-harapan bagi masa depan mereka. Pembicaraan yang dalam beberapa hal agak kurang serasi, sebagaimana yang selalu terjadi sejak waktu yang lama. Tetapi agaknya ada sesuatu yang ingin di tanyakan oleh Sekar Mirah, apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Rasa-rasanya ia masih saja dibebani oleh sebuah mimpi yang belum jelas. “Mimpi itu sangat menakutkan,” berkata Sekar Mirah, “seolah-olah kakang Agung Sedayu telah diserang oleh sekelompok serigala.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara dalam ia berkata, “Mimpimu dara-dasih Sekar Mirah. Sebagian dari peristiwa ini sudah aku katakan dihadapan Ki Demang dan Swandaru meskipun tidak sepenuhnya.” “Aku menjadi sangat cemas kakang,” berkata Sekar Mirah pula, “jika sebenarnya kakang diserang oleh sekumpulan anjing hutan maka aku yakin bahwa kakang akan dapat menghalau atau bahkan membinasakan anjing-anjing liar itu. Tetapi jika mimpiku ini bukanlah kenyataan sebagaimana adanya, tetapi sebuah sanepa yang mendebarkan.” “Apa maksudmu Mirah ?” bertanya Agung Sedayu. “Aku tidak mau siapapun merampasmu dari hatiku kakang,“

desis Sekar Mirah. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Yang terjadi adalah sebenarnya sebagaimana kau lihat dalam mimpimu. Mimpimu dara-dasih. Artinya, mimpimu benar-benar terjadi sebagaimana kau lihat didalam mimpi.” Sekali lagi Agung Sedayu berceritera tentang anjing-anjing hutan itu. Ia memang belum menceriterakan secara terperinci. Dengan demikian maka jantung Sekar Mirahpun menjadi berdebar-debar. Seolah-olah ia melihat seseorang yang dapat menjadikan dirinya seekor anjing hutan raksasa yang buas dan liar. Namun yang kemudian dalam sekejap dapat merubah dirinya kembali menjadi seorang yang bernama Ajar Tal Pitu. Kulit Sekar Mirah kemidian meremang. Namun terdengar ia berdesis, “Sokurlah bahwa kau dapat mengatasi kesulitan itu kakang.” “Tuhan masih melindungi aku,“ desis Agung Sedayu. Tetapi yang kemudian dikatakan oleh Sekar Mirah telah membuat jantung Agung Sedayu berdebardebar, “Soalnya kemudian kakang, apakah kelebihanmu itu akan dapat dijadikan kiblat harapan bagi masa depan ?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak segera dapat menjawab. “Bukankah aku tidak bersalah kakang, jika aku menggantungkan banyak harapan kepadamu? Kau adalah orang yang dekat dengan Raden Sutawijaya. Jika perjuangannya berhasil, maka kaupun telah ikut serta menyumbangkan tenaga dan pikiranmu,” berkata Sekar Mirah kemudian. “Agaknya memang demikian Mirah,“ jawab Agung Sedayu, “tetapi sebaiknya kita tidak meletakkan perjuangan kita pada harapan-harapan pribadi. Kita memang ingin melihat sesuatu yang lebih baik diatas bumi ini. Khususnya diatas Tanah kelahiran kita. Jika hal itu akan mengangkat kita pada suatu keadaan yang lebih baik, maka kita akan mengucapkan terima kasih ganda.” “Ah. Tentu saja hal itu dapat diucapkan dihadapan banyak orang. Tetapi apakah kita tidak akan berkata jujur terhadap diri kita sendiri ?“ sahut Sekar Mirah. Agung Sedayu tidak segera dapat menjawab. Ia memang melihat kejujuran sikap Sekar Mirah. Tetapi setiap kali ia berbicara tentang masa depan, maka kegelisahan akan selalu timbul dihati Agung Sedayu. Namun dalam pada itu, sebelum pembicaraan mereka berlanjut, terdengar Swandaru mendehem di pintu butulan. Kemudian anak muda yang gemuk itu telah melangkah keluar dan tertegun ketika melihat Agung

Sedayu dan Sekar Mirah duduk berdua diserambi. Sekar Mirah menundukkan kepalanya. Namun kemudian iapun berdesis, “Selamat malam kakang. Aku sudah mengantuk.” Agung Sedayu hanya mengangguk saja. Sementara itu, Sekar Mirahpun segera meninggalkan serambi. “Aku kira kau sudah tidur, kakang,” bertanya Swandaru. “Belum,“ jawab Agung Sedayu, “aku sedang menjelaskan apa yang pernah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh tentang diriku dan serigala serigala. Ia pernah bermimpi, yang agaknya mimpinya daradasih. Tepat pada peristiwa itu terjadi.” “O,“ Swandaru mengangguk-angguk, “anak itu berteriak pada saat itu. Mimpinya memang sangat mengerikan.” Agung Sedayu mengangguk. Namun kemudian Swandarupun berkata, “Silahkan beristirahat kakang.” Ketika Swandaru kemudian masuk keruang dalam, maka Agung Sedayupun menarik nafas dalam2. Ia sadar, agaknya Ki Demang kurang senang jika Agung Sedayu dan Sekar Mirah berdua di serambi yang suram hanya berdua saja. Jika malam sepi menjadi semakin sepi, maka adalah kurang baik bagi anak gadisnya duduk berdua dengan seorang laki-laki muda yang dicintainya. Meskipun telah ditentukan saat-saat yang akan menentukan hubungan mereka dalam waktu yang dekat. Justru dalam keadaan yang sangat khusus setelah Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan Menoreh untuk waktu yang agak lama dan mengalami satu peristiwa yang sangat menegangkan. Untuk sesaat Agung Sedayu masih duduk di serambi. Kemudian ia justru pergi ke gardu didepan Kademangan. Beberapa saat ia berbincang dengan para pengawal yang sedang bertugas meronda. Baru kemudian Agung Sedayupun masuk ke gandok. Ternyata Kiai Gringsing masih duduk di amben bambu bersandar dinding. Ketika ia melihat Agung Sedayu, maka, “Marilah. Apakah kau belum mengantuk ?” “Rasa-rasanya aku tidak mengantuk guru. Aku baru aja dari gardu diregol depan,“ jawab Agung Sedayu. Kiai Gringsingpun kemudian mengangguk-angguk, ketika Agung Sedayu duduk pula di amben itu, maka Kiai Gringsingpun berkata, “Jika kau ada waktu, kau sempat melihat kemajuan yang dicapai oleh Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Merekapun selalu berusaha untuk meningkatkan ilmunya. Dan usaha itu bukannya tidak sia-sia.

Namun ternyata bahwa kemudian yang mereka peroleh tidak dapat sepesat kemajuan yang dapat kau capai.” “Ah, mungkin hanya berbeda ujud. Sisi yang nampak meningkat pada ilmuku, berbeda dengan sisi yang di pahami oleh Swandaru,“ jawab Agung Sedayu. “Aku kira bukan sekedar itu,“ jawab Kiai Gringsing, “Swandaru memang lebih tertarik kepada yang kasat mata. Ia lebih menekuni kemampuan jasmaninya daripada mengamati kekuatan yang tersimpan didalam dirinya, yang dapat diungkapkannya pada saatsaat tertentu.” “Namun sudah barang tentu dengan mengenali sifat dan watak dari kekuatan itu.” Agung Sedayu tidak menjawab. Namun ia memang ingin melihat kemajuan adik seperguruannya. Dan agaknya iapun ingin melihat, apa yang dapat dilakukan oleh Sekar Mirah kemudian. Demikianlah dihari berikutnya. Agung Sedayu masih tetap berada di Kademangan Sangkal Putung. Atas persetujuan Swandaru, maka Agung Sedayu sempat melihat latihanlatihan yang dilakukan oleh adik seperguruannya itu bersama isteri dan adik perempuannya. Sebenarnyalah bahwa ketiganya telah mendapatkan kemajuan yang pesat. Namun ternyata bahwa Agung Sedayu melihat kekuatan yang agak berbeda pada Pandan Wangi. Meskipun Pandan Wangi belum mengembangkannya, namun benih dari kekuatan yang besar telah nampak padanya. Tetapi Pandan Wangi sendiri masih belum menunjukkan kemampuannya itu dengan terbuka. Hanya karena ketajaman penglihatan Agung Sedayu sajalah, maka ia dapat melihatnya. Namun dalam pada itu, kekuatan Swandaru benar-benar nggegirisi. Kekuatan yang terlatih telah berkembang didalam dirinya, seolah-olah tanpa batas. Tangannya yang gemuk mampu meremas batu padas sehingga pecah berhamburan. Dengan sisi telapak tangannya Swandaru mampu memecahkan kepingan-kepingan batu padas, bahkan papan kayu nangka yang tebal. “Mengagumkan,“ desis Agung Sedayu. Namun dalam pada itu, yang lebih penting bagi Agung Sedayu adalah melihat cara Swandaru mulai mempersiapkan tataran para pengawalnya. Dengan para pemimpin pengawal di padukuhanpadukuhan, Swandaru mulai berusaha untuk membagi mereka sesuai dengan tingkat umurnya dan kemudian tingkat kemampuan mereka sesuai dengan umur mereka. “Apakah ada kepentingan khusus ?” bertanya salah seorang pemimpin pengawal. “Ya. Pada saatnya aku akan memberitahukan kepada kalian,” Jawab Swandaru.

Kecepatan gerak Agung Sedayu memang mengagumkan. Sehari setelah ia mendengar rencana itu, maka seolah-olah ia sudah siap untuk melaksanakannya. “Tetapi segalanya masih akan menunggu keputusan Raden Sutawijaya,“ berkata Agung Sedayu. “Tentu, “jawab Swandaru, “seperti yang sudah aku katakan. Aku memerlukan waktu kira-kira satu bulan, atau kurang sedikit. Mungkin dalam waktu dua tiga hari aku dapat menentukan siapa yang akan berangkat. Tetapi yang penting bagiku, bukan sekedar siapa yang akan berangkat. Tetapi bagaimana dengan Sangkal Putung sendiri. Waktu yang satu bulan itu akan aku pergunakan untuk mematangkan kesiagaan para pengawal yang akan ditinggalkan.” Sebulan memang waktu yang singkat bagi persiapan satu kerja yang besar. Bahkan mungkin Tanah Perdikan Menoreh sendiri justru masih belum siap dengan waktu yang satu bulan itu. Dalam pada itu, sehari itu Agung Sedayu sempat melihat Sangkal Putung dalam keseluruhan. Sebenarnyalah bahwa Tanah Perdikan Menoreh masih harus belajar banyak dari Kademangan itu. Tetapi kelebihan Kademangan Sangkal Putung adalah wajar sekali, karena Sangkal Putung mulai jauh sebelum Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan Menoreh. Dengan demikian maka Agung Sedayu banyak mendapat tuntunan dari penglihatannya atas Kademangan Sangkal Putung. Agung Sedayu telah bermalam satu malam lagi di Sangkal Putung. Bahkan ia sempat ikut berlatih bersama dengan Swandaru. Dibawah penilikan gurunya, kedua saudara seperguruan itu telah mencoba ilmu mereka yang bersumber dari guru yang sama namun dengan perkembangannya masing-masing. Kiai Gringsing hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Yang tidak dapat dilihat oleh Swandaru, ternyata dapat ditangkap oleh Kiai Gringsing. Agung Sedayu hanya lebih banyak melayani. Meskipun sekali-sekali ia telah mengejutkan Swandaru, namun dalam keseluruhan. Agung Sedayu menyesuaikan diri dengan tingkat kemampuan adik seperguruannya. Namun Agung Sedayu terpaksa mengimbangi kekuatan Swandaru dengan tenaga cadangan yang jauh lebih matang dari adik seperguruannya itu, sehingga karena itu, maka kekuatan keduanya nampak seimbang. “Aneh,” berkata Swandaru didalam hatinya, “dari mana kakang Agung Sedayu memiliki kekuatan yang dapat mengimbangi kekuatanku ?” Namun Swandaru tidak bertanya. Meskipun demikian, anak muda itu masih tetap menganggap bahwa jika ia benar-benar mengerahkan segenap kemampuannya, ia masih memiliki kelebihan dari Agung Sedayu. Ternyata dengan latihan itu. Agung Sedayu telah dengan langsung dapat menjajagi kemampuan adik seperguruannya.

Tetapi sebaliknya, bahwa Swandaru tidak dapat melihat kemampuan Agung Sedayu yang sebenarnya. Tetapi hal itu telah dianggap cukup oleh gurunya. Dan ia mengucap sokur didalam hati, bahwa Agung Sedayu sebagaimana diduganya, telah berlaku bijaksana menghadapi adik seperguruannya. Sebab Kiai Gringsing mengetahui bahwa Agung Sedayu telah dapat membunuh Ajar Tal Pitu, dan Kiai Gringsing mengetahui betapa tinggi ilmu Ajar Tal Pitu itu. Karena itu, apabila Agung Sedayu tidak bertindak bijaksana, maka akan dapat terjadi salah paham. Swandaru akan dapat menganggap bahwa gurunya telah berbuat khilaf dengan emban cinde emban siladan, yang menganggap Agung Sedayu lebih baik dari Swandaru, sehingga membuat anak muda itu menjadi lebih sempurna dari Swandaru. Dengan demikian, maka Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah, menganggap bahwa mereka masih tetap dalam tataran yang sama dengan Agung Sedayu, meskipun mereka merasa, bahwa Agung Sedayu mempunyai pengalaman yang lebih luas. Dengan membunuh Ajar Tal Pitu maka Agung Sedayu memmpunyai pengalaman yang lebih baik dari mereka yang berada di Sangkal Putung. “Meskipun demikian, ternyata bahwa dasar ilmunya tidak terpaut dari ilmuku,” berkata Swandaru didalam hatinya. Lalu katanya pula kepada diri sendiri, “Guru telah berbuat adil. Meskipun sebagian besar waktunya berada di samping kakang Agung Sedayu, tetapi ia tidak membuat kakang Agung Sedayu mengejutkan kami. Yang selalu berada di Sangkal Putung, yang seolah-olah telah tidak berguru lagi.“ Dalam pada itu, di hari berikutnya, maka Agung Sedayupun telah minta diri kepada Ki Demang; di Sangkal Putung dan keluarga lainnya. Ia akan kembali ke Jati Anom, dan kemudian bersama-sama dengan Ki Waskita kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. “Aku akan singgah di Mataram,” berkala Agung Sedayu, “segala sesuatunya akan aku sampaikan kepada Raden Sutawijaya. Ia tentu akan bergembira dan berterima kasih kepada Sangkal Putung. Meskipun aku sudah menduga, bahwa ia lebih senang jika pasukan itu akan dapat disusun kurang dari sebulan lagi. Tetapi sebulan itu pun bukan waktu yang terlalu panjang bagi persiapan satu kerja seperti ini.” “Aku akan berusaha mempercepatnya,“ jawab Swandaru. “terima kasih,“ sahut Agung Sedayu yang kemudian bersama Kiai Gringsing segera bersiap-siap untuk berangkat. Ketika mereka berada di regol, Sekar Mirah berdesis. “Mudah-mudahan mimpiku tidak mempunyai arti lain kakang.” “Tidak Sekar Mirah. Jika mimpi itu menjadi satu kenyataan yang disebut dara-dasih, maka mimpi itu tidak akan mempunyai arti yang lain lagi.”

Sekar Mirah mengangguk kecil. Namun nampak kecemasan masih membayang di wajahnya. Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan gurunya itupun telah meninggalkan Sangkal Putung menuju ke Jati Anom. Jarak itu memang tidak terlalu jauh. Karena itu, maka mereka tidak memerlukan waktu terlalu lama. Di padepokan kecil Agung Sedayu telah ditunggu oleh Ki Waskita, Ki Widura, Glagah Putih dan Sabungsari yang telah datang pula setelah ia mengetahui bahwa Agung Sedayu berada di Jati Anom. Sabungsari yang telah sekian lama tidak bertemu dengan Agung Sedayu merasa seolah-olah ia bertemu dengan saudara sendiri. Baginya Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang sangat dikaguminya. Bukan saja kemampuannya dalam olah kanuragan, tetapi juga kematangannya berpikir dan kebijaksanaannya, meskipun Sabungsari juga mengetahui, kadang-kadang Agung Sedayu telah dilihat dalam keragu-raguan yang berkepanjangan sehingga sulit untuk mengambil satu keputusan. Karena itulah, maka merekapun segera terlibat dalam pembicaraan yang riuh. Sabungsari telah mendengar, bahwa Agung Sedayu telah membunuh Ajar Tal Pitu di Tanah Perdikan Menoreh dari Ki Waskita, sehingga karena itu, maka Sabungsaripun menyatakan kekagumannya. “Ilmumu maju dengan pesat,” berkata Sabungsari, “ternyata jarak diantara kita bukannya menjadi semakin pendek, tetapi justru menjadi semakin jauh.” “Ah,“ desis Agung Sedayu, “kau selalu memuji. Tetapi agaknya kaupun telah mencapai satu tingkat yang tinggi. Mungkin kau kurang mendapat kesempatan karena tugas-tugasmu. Tetapi aku yakin, bahwa kau tidak terhenti pada satu batas seperti yang kau kuasai sekarang ini.” “Aku mencoba,” berkata Sabungsari, “tetapi kadang-kadang aku menjadi buntu. Seolah-olah apa yang telah aku capai ini tidak lagi mampu aku kembangkan.” “Tentu tidak,“ jawab Agung Sedayu, “kau dapat melihat alam disekelilingmu. Kau akan menemukan pelajaran dari padanya.” Sabungsari menarik nafas dalam2. Iapun tahu bahwa Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang akrab sekali dengan alam dan kekuatan yang tersimpan di dalamnya sebagaimana telah di kurniakan Tuhan bagi penghuninya. “Aku akan berusaha Agung Sedayu,” berkata Sabungsari kemudian. Dalam pada itu, maka mengulangi pembicaraan Agung Sedayu dengan gurunya dan Swandaru, ia telah mengatakan segala pesan Raden Sutawijaya kepada Ki Widura tanpa prasangka sama sekali meskipun Sabungsari hadir. “Kau tahu, mana yang baik dan mana yang kurang baik untuk disampaikan kepada kakang Untara,” berkata Agung Sedayu, “sebenarnyalah aku sendiri kurang tahu tanggapan kakang Untara atas

perkembangan keadaan sekarang ini di Pajang.” Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu kepadanya. Dan iapun dapat mengerti, bahwa ia seharusnya tidak berlaku seperti kanak-kanak yang tumbak cucukan. Mengatakan apa saja yang diketahuinya tanpa disaring lebih dahulu. Ki Widura mendengarkan segala penjelasan Agung Sedayu dengan mengangguk-angguk kecil. Persoalannya memang berkembang ke arah satu pameran kekuatan yang berbahaya. Namun iapun tidak dapat mengelakan kenyataan bahwa di Pajang telah tumbuh satu kekuasaan yang merupakan kekuasaan tandingan dari Kangjeng Sultan Hadiwijaya, yang justru karena keadaan jasmaninya, semakin lama mengalami kemunduran yang semakin menggelisahkan. Nampaknya Raden Sutawijaya merasa tidak akan dapat berbuat apa-apa melalui kedudukannya sebagai seorang putera angkat dan seorang Senapati Ing Ngalaga dari dalam tubuh Pajang sendiri. Karena itulah maka ia harus memperbaiki keadaan yang semakin buram itu dengan Mataramnya. Ternyata bahwa Widurapun tidak melihat satu kemungkinan yang lain. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Aku dapat mengerti sikap Raden Sutawijaya seutuhnya. Tetapi aku tidak mengerti, apa yang akan dikatakan Untara tentang itu.” “Angger Untara bukannya orang yang tidak mempunyai pertimbangan,“ sahut Kiai Gringsing, “ia adalah seorang prajurit yang baik. Tetapi iapun memiliki pengamatan yang cukup tajam.” Widura mengangguk-anggguk. Katanya, “Mudah-mudahan. Tetapi aku kira masih belum waktunya untuk mengatakan kepadanya.” Diluar dugaan Agung Sedayu tiba-tiba saja berkata, “Paman, kami akan menyerahkan hubungan hal ini dengan kakang Untara kepada paman. Kami percaya akan kebijaksanaan paman, serta pengaruh paman terhadap kakang Untara,” Ki Widura mengerutkan keningnya. Katanya, “Satu tugas yang sangat berat. Tetapi aku akan mencobanya Agung Sedayu. Meskipun barangkali tidak dalam waktu dekat.” “Masih ada waktu paman,“ jawab Agung Sedayu, “Swandarupun memerlukan waktu. Ia baru akan dapat menyelesaikan kesepakatan ini dalam waktu sebulan mendatang. Mungkin daerah lain yang jelas berada dibawah pengaruh Matarampun baru akan dapat menyelesaikan kewajiban yang sama dalam waktu yang bersamaan pula.

Buku 149 KARENA daerah itu sendiri tidak akan dapat dengan serta merta ditinggalkan tanpa menyerahkan tugas kepada kelompok yang lain yang masih harus dibina lebih dahulu. Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku kira yang sebulan ini dapat kita jadikan waktu untuk ancang-ancang.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara itu, orangorang yang berada bersamanya melihat, seakan-akan Agung Sedayu sudah mantap berdiri pada satu sikap yang tegas. Namun sebenarnyalah, didalam diri Agung Sedayu sendiri masih selalu di bayangi oleh satu pertanyaan, terutama sikap kakak kandungnya sendiri. Tetapi dengan demikian, maka sikap orang-orang padepokan itu menjadi jelas pula. Mereka berdiri sebagaimana diinginkan oleh Raden Sutawijaya. Dan merekapun tidak melihat kegelisahan didalam diri Agung Sedayu, kecuali gurunya dan Ki Waskita. Bahkan Widura-pun menganggap bahwa sikap Agung Sedayu tugas itu merupakan satu perkembangan jiwani dari anak muda tersebut. Dalam pada itu, setelah pembicaraan itu rasa-rasanya didapat satu kesimpulan dan persesuaian sikap, maka Agung Sedayupun mulai dengan pengamatannya yang lain atas adik sepupunya. Bersama Sabungsari maka merekapun lelah memasuki sanggar. Ternyata bahwa Glagah Putih telah menemukan satu sikap yang matang dari Jalur ilmu Ki Sadewa. Tidak sia-sia usahanya untuk menekuni tanda-tanda yang tergores didalam goa yang tersembunyi itu. Meskipun perkembangan ilmunya agak berbeda dengan perkembangan ilmu didalam diri Agung Sedayu. namun Agung Sedayu melihat betapa Glagah Putih telah menguasai satu jalur ilmu yang nggegirisi. Pada batas umurnya, maka yang dicapai oleh Glagah Putih memang luar biasa. “Beberapa saat lagi. ia akan sampai pada batas yang tidak dapat ditembusnya karena kerusakan yang aku timbulkan didalam goa itu,” berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Justru karena itu ia merasa berkewajiban untuk menuntun Glagah Putih menembus batas yang dapat dijangkaunya dengan tanda-tanda dan perlambang-perlambang yang terdapat didalam goa itu. “Anak itu akan berada di Tanah Perdikan Menoreh bersama pasukan khusus itu,” berkata Agung Sedayu pula didalam hatinya, “dengan demikian aku akan dapat mempergunakan waktu yang khusus baginya justru untuk mengisi kerusakan tanda dan perlambang itu. Dengan demikian maka Glagah Putih akan tuntas dengan ilmu dari jalur Ki Sadewa itu. Dan iapun akan segera siap menerima petunjuk untuk pengembangannya lebih lanjut. Sebenarnyalah Sabungsaripun merasa heran, bahwa tanpa Agung Sedayu, Glagah Putih masih tetap maju dengan pesat.

Tetapi ternyata bahwa rahasia goa yang tersembunyi itu tidak pernah bocor terhadap siapapun juga. Juga tidak kepada Sabungsari betapapun akrabnya hubungan mereka. Namun dalam pada itu, Agung Sedayupun telah melihat kemajuan yang sangat pesat pula pada Sabungsari. Ia memang mendapat kesempatan khusus untuk mengembangkan ilmunya. Agaknya Ki Untara tahu pasti apa yang berkembang didalam dirinya. Sementara itu, ia sudah berhasil mendapat kedudukan setingkat lebih tinggi dalam jenjang keprajuritan, meskipun kemampuannya masih tetap berada diatas perwiranya sekalipun. Tetapi Sabungsari menyadari, bahwa ia berada dalam satu jenjang urutan kepangkatan yang tertib dan teratur, sehingga tidak dapat menuruti keinginan sendiri dan mengangkat dirinya sendiri sesuai dengan tataran kemampuannya. Dalam pada itu, Agung Sedayu tidak dapat berada di Jati Anom lebih lama lagi. Ia harus segera kembali ke Tanah Perdikan Menoreh dan dalam perjalanan kembali ia harus singgah di Mataram. Malam menjelang keberangkatan Agung Sedayu, maka sekali lagi ia berbicara dengan gurunya tentang Ajar Tal Pitu. Kematiannya tentu akan menumbuhkan persoalan bagi orangorang yang telah mempergunakannya. Mungkin sasaran mereka akan bergeser dari Agung Sedayu kepada orangorang lain yang dekat dengan padanya. Mungkin saudara seperguruannya, mungkin bahkan padepokan kecil itu dengan isinya. “Kami akan selalu bersiap-siap Agung Sedayu,” berkata gurunya, “jika aku sedang berada di Sangkal Putung, aku mohon angger Sabungsari sering berkunjung kepadepokan ini. Sementara jika aku berada disini, aku minta Swandaru tidak kehilangan kewaspadaan bersama para pengawal-pengawalnya. Banyak kemajuan telah dicapai oleh para pengawal. Beberapa orang secara khusus telah mendapat tuntunan langsung dari Swandaru sehingga mereka akan dapat menjadi kekuatan yang mapan di Sangkal Putung. Selebihnya, Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun telah mendapat kemajuan sejalan dengan kemajuan Swandaru sendiri. Bahkan pada Pandan Wangi nampak gejala yang lebih terang dari suaminya, karena ia berusaha memandang jauh kedalam dirinya sendiri, dalam hubungannya dengan alam di sekitarnya.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Sokurlah jika keadaan disini tidak mencemaskan. Aku kira segalanya tidak lepas dari usaha orang-orang Pajang yang diantaranya terdapat Ki Pringgajaya yang gagal mematikan diri, karena ia justru sudah membuka selubungnya sendiri dihadapan kakang Untara.” Dalam pada itu, Kiai Gringsingpun telah banyak memberikan pesan kepada muridnya. Dalam olah kanuragan. Agung Sedayu telah mencapai satu tnigkat yang sudah melampaui harapan gurunya. Namun bagaimanapun juga, pengalaman Kiai Gringsing masih jauh lebih banyak dari pengalaman Agung Sedayu, khususnya dalam olah kajiwan.

Demikianlah, ketika matahari terbit di hari berikutnya, maka Agung Sedayupun segera minta diri. Namun sebagai seorang adik, maka iapun berniat berkunjung kepada kakaknya, Untara. Tetapi kunjungannya itu benar-benar sebagai kunjungan seorang adik tanpa membicarakan masalah apapun juga, agar tidak justru memancing persoalan-persoalan yang masih belum berujud dengan rencana Raden Sutawijaya. “Tidak ada salahnya jika kau berbicara tentang kematian Ajar Tal Pitu,” berkata Kiai Gringsing. Agung Sedayu termangu-mangu. Namun Ki Widura-pun berkata, “Katakanlah. Sekedar untuk diketahui oleh Untara. Mungkin hal itu akan dapat menjadi alas sikapnya yang kemudian menghadapi Ki Pringgajaya dan terutama Tumenggung Prabadaru, yang kini menjadi Panglima pasukan khusus di Pajang.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah paman. Aku akan mengatakannya Tetapi sekedar memberitahukan apa yang terjadi tanpa menyebut sikap apapun juga.” “Aku kira kau cukup memberitahukan, “sahut Ki Widura “ segalanya yang menyangkut sikap dan pendiriannya, akan aku jajagi kemudian.” Demikianlah, maka Agung Sedayupun segera minta diri. Kepada Glagah Putih ia berjanji, bahwa pasukan khusus itu sudah terbentuk, ia akan membawa anak muda itu bersamanya ke Tanah Perdikan Menoreh. “Kau dapat menyempurnakan ilmumu lebih dahulu disini,” berkata Agung Sedayu. Tetapi justru puncak dari ilmu itu terhapus,” berkata Glagah Putih. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang merasa bersalah. Namun ia akan sanggup menyelesaikannya jika Glagah Putih telah berada di Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun hal itu masih belum dikatakannya. Dalam perjalanan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, Agung Sedayu telah singgah di rumah kakaknya. Seperti biasanya, kakak iparnya menerimanya dengan senang hati. Seolah-olah ia telah menerima kedatangannya seorang adik kecil yang sudah lama tidak pernah berjumpa. “Kau minum apa Agung Sedayu ? Air jahe ? Wedang sere atau dawet cendol ?” bertanya kakak iparnya. Agung Sedayu tersenyum. Dipandanginya Ki Waskita yang duduk bersamanya di gandok sambil

menunggu Untara. “Paman minum apa ?” bertanya Agung Sedayu. “Apa saja Nyai,“ jawab Ki Waskita. “Ya mbokayu, apa saja,“ jawab Agung Sedayu. “Tunggulah. Sebentar lagi kakakmu akan datang,” berkata kakak iparnya kemudian, “aku akan ke dapur.” “Tetapi jangan terlalu sibuk karenanya,“ pesan Agung Sedayu. “Tidak. Aku terbiasa melakukannya. Ada atau tidak ada tamu,“ jawab isteri Untara. Baru sejenak kemudian, setelah isterinya pergi ke dapur, Untara telah datang menjumpai adiknya di gandok, yang datang bersama Ki Waskita. Setelah bertanya serba sedikit tentang keadaannya dan mengucapkan selamat datang, maka seperti biasanya Untara segera bertanya kepada adiknya, apakah ia mempunyai keperluan khusus. “Tidak kakang,“ jawab Agung Sedayu, “aku memang ingin singgah karena sudah lama aku tidak menengok keselamatan kakang sekeluarga. Hari ini aku akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh setelah beberapa hari aku berada di Sangkal Putung dan di padepokan.“ “Sokurlali jika tidak terjadi sesuatu,berkata Untara. Namun tiba tiba saja Untara berkata, “Laporan tentang peristiwa di Tanah Perdikan Menoreh telah sampai kepadaku. Adalah kebetulan sekali kau dalang kemari. Dengan demikian aku akan dapat melihat apakah pendengaranku itu benar.” Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Berita apakah yang telah didengar oleh kakaknya itu. Tetapi Agung Sedayu tidak bertanya sesuatu. Ia menunggu saja kakaknya itu berkata seterusnya, “Agung Sedayu. Menurut pendengaranku. Ajar Tal Pitu telah menyusulmu ke Tanah Perdikan Menoreh. Menurut laporan yang aku dengar, kau telah membunuhnya dalam satu perang tanding yang seru. Bahkan menurut laporan yang aku dengar, karena perang tanding itu, maka kalian telah membakar sebatang randu alas raksasa dan daerah disekitar tempat itu telah menjadi kering dan tandus.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Itu sangat berlebih-lebihan kakang. Aku memang berkelahi dengan Ajar Tal Pitu yang menantangku, karena agaknya ia mendengar bahwa aku telah berada di Tanah Perdikan Menoreh. Ajar Tal Pilu telah dengan tidak sengaja menghunjamkan senjatanya ke pokok pohon randu alas itu, karena aku menghindari serangannya. Agaknya ujung trisula Ajar Tal Pitu itu mengandung racun yang dapat membunuh randu alas itu. Tetapi tidak terbakar seperti yang barangkali kakang dengar. Apalagi tanah disekitarnya menjadi tandus dan kering.”

“Agung Sedayu,” berkata Untara kemudian, “apapun yang terjadi, tetapi bahwa kau sudah dapat mengalahkan Ajar Tal Pitu adalah pertanda bahwa ilmumu benar-benar telah dewasa. Aku harus mengakui bahwa aku tidak akan dapat melakukannya. Karena itu, maka kau harus segera menemukan kepastian bagi masa depanmu sendiri. Jika pada beberapa bulan lagi. kau akan mengakhiri hidupmu sebagai seorang anak muda karena hari perkawinanmu, apakah kau masih saja akan hidup bertualang ? “ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak segera menjawab. “Agung Sedayu,” berkata kakaknya, ”berita tentang kematian Ajar Tal Pitu telah sampai kepadaku justru lewat jalur pemberitaan prajurit Pajang. Aku kira para petugas sandi di Pajang menangkap berita yang tentu dengan segera tersiar diseluruh Tanah Perdikan Menoreh dan bahkan menyeberang sampai kesebelah Timur Kali Praga. Tentu bukan rahasia lagi, bahwa ada petugas-petugas sandi Pajang yang berada di Mataram. Tetapi barangkali kaupun telah mendengar bahwa di Pajang sekarang ada pasukan yang khusus. Terlalu khusus, dibawah pimpinan Tumenggung Prabadaru yang juga meragukan kesetiaannya. Ia telah menyebarkan berita kematian Pringgajaya, yang ternyata sama sekali tidak benar. Bahkan Pringgajaya itu telah berusaha membunuhku pada waktu itu.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sama sekali tidak menjawab. Ketika ia mencoba memandang Ki Waskita, ternyata Ki Waskitapun menundukkan kepalanya. Karena Agung Sedayu tidak menjawab, maka Untara-pun kemudian berpesan, “Baiklah. Mungkin kau sudah mengerti apa yang sebaiknya kau lakukan. Berhati-hatilah. Kau harus segera mengambil sikap, karena kau akan segera menempuh satu jenjang hidup yang baru, yang tidak akan dapat kau anggap sebagaimana seseorang sedang bermain-main. Atau karena bakal isterimu itu juga memiliki ilmu kanuragan, kalian telah bertekad untuk menjadi sepasang suami isteri yang akan hidup mengembara ?” Agung Sedayu memandang kakaknya sekilas. Jawabnya kemudian, “Tentu tidak kakang. Aku tidak akan menempuh suatu cara hidup yang tidak sewajarnya sebagaimana kebanyakan orang.” “Karena itu, pikirkanlah sebaik-baiknya apa yang akan kau lakukan kemudian. Kau tidak akan dapat menghindarkan diri dari pengaruh keadaan disekitarmu. Kau harus mulai memperhitungkan, apakah saat-saat yang sudah ditentukan itu tidak akan dipengaruhi oleh hubungan yang semakin suram antara Pajang dan Mataram. Suram dalam pengertian yang sebenarnya, karena didalam tubuh Pajang sendiri telah tumbuh persoalan-persoalan yang perlu mendapat tanggapan khusus,” berkata Untara kemudian. Agung Sedayu memandang Ki Waskita sekilas. Agaknya Ki Waskitapun tertarik kepada pendapat Untara itu. Tetapi keduanya sama sekali tidak menyatakan tanggapannya. Meskipun demikian ada dua persoalan yang terkesan di hati Agung Sedayu. Yang pertama adalah sikap Untara terhadap Pajang yang nampaknya sudah dipengaruhi oleh penglihatannya terhadap beberapa orang yang justru mengeruhkan suasana didalam istana Pajang sendiri. Sementara yang kedua adalah pesan Untara untuk memperhitungkan waktu sebaik-baiknya. Memang

tidak mustahil bahwa pada bulan kedua belas di akhir tahun, adalah bulan yang akan diwarnai oleh benturan-benturan kekerasan antara Pajang dan Mataram, sehingga saat-saat perkawinan yang sudah diperhitungkan masak-masak itu akan terpengaruh juga karenanya. Namun dalam pada itu, sebelum Untara berbicara lebih lanjut, isterinya telah datang dengan membawa minuman hangat beberapa mangkuk dan beberapa jenis makanan untuk dihidangkan. “Marilah,” berkata kakak ipar Agung Sedayu, “bukankah kau gemar sekali wajik ketan ireng ? Kau tentu masih gemar juga gadung ? He, apakah kau masih ingat, kau waktu itu bertanya kepadaku, apakah aku mempunyai gadung goreng ? Tetapi aku menyesal sekali bahwa sekepingpun aku tidak mempunyai lagi. Sekarang, aku mempunyai sesenik kecil. Ayo habiskan. Jangan takut kau akan mabuk. Gadung itu sudah aku rendam di dalam abu sampai tuntas.” Agung Sedayu tersenyum. Sementara isteri Untara masih mempersilahkan, “Marilah Ki Waskita. Silahkan minum air jae hangat. Gulanya bukan gula kelapa, tetapi gula aren yang aku dapat dari lereng Gunung Merapi.” Ki Waskitapun mengangguk sambil tersenyum. Jawabnya, “Terima kasih Nyai.” Merekapun kemudian minum minuman hangat. Tetapi justru karena isteri Untara hadir, maka pembicaraan merekapun telah berkisar. Demikianlah, maka akhirnya Agung Sedayu dan Ki Waskita itupun minta diri untuk melanjutkan perjalanan mereka ke Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun isteri Untara berusaha untuk menahan mereka sampai makan siang, tetapi keduanya dengan minta maaf, terpaksa meninggalkan rumah itu. Untara dan isterinyapun kemudian mengantar mereka sampai keregol. Beberapa orang prajurit yang sudah mengenal Agung Sedayupun telah menyapanya. Namun dalam pada itu, diregol kakaknya masih berpesan, “Pertimbangkan pendapatku baik-baik Agung Sedayu.” “Aku akan merenungkannya dengan sungguh-sungguh kakang,“ jawab Agung Sedayu, “aku mengucapkan terima kasih atas peringatan itu.” Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan Ki Waskita telah meninggalkan Jati Anom. Sudah menjadi rencana mereka, bahwa mereka akan singgah di Mataram untuk menyampaikan tanggapan gurunya di Jati Anom dan Swandaru di Sangkal Putung. Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Ki Waskitapun merasa harus berhati-hati dalam perjalanan

kembali. Mungkin ada satu dua orang yang ingin berbuat sesuatu, sebagaimana pernah terjadi. Namun ternyata bahwa mereka tidak menjumpai hambatan apapun diperjalanan. Kedatangan mereka di Mataram ternyata sudah ditunggu-tunggu oleh Raden Sutawijaya. Karena itu, maka keduanyapun kemudian telah diterima di pendapa oleh Raden Sutawijaya bersama Ki Juru Martani. Setelah masing-masing menanyakan keadaannya dan mengucapkan selamat, maka Raden Sutawijayapun kemudian bertanya, “Apakah kau sempat menjajagi pendapat saudara seperguruanmu Agung Sedayu ? “ Agung Sedayupun kemudian menceriterakan pendapat gurunya, Swandaru dan bahkan Untara yang mulai melihat perkembangan di Pajang dengan prasangka, justru karena Tumenggung Prabadaru telah diangkat menjadi Panglima pasukan khusus yang telah di bentuk di Pajang. “Swandaru mohon waktu satu bulan untuk menyusun kekuatan untuk mengamankan Sangkal Putung, apabila diantara anak-anak mudanya harus berada dalam satu lingkungan khusus di Tanah Perdikan Menoreh,” berkata Agung Sedayu kemudian. Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti, bahwa Swandaru harus menyiapkan pasukan cadangannya, jika orang-orangnya yang terbaik akan meninggalkan Kademangannya. “Aku mengucapkan terima kasih kepadamu, kepada Kiai Gringsing dan sudah barang tentu kepada Swandaru. Mudah-mudahan rencana ini dapat berjalan lancar seperti yang kita kehendaki. Yang terakhir harus kau hubungi adalah Ki Gede Menoreh,” berkata Raden Sutawijaya. “Tentu bukan aku,“ jawab Agung Sedayu, “aku persilahkan Raden membicarakannya sendiri dengan Ki Gede. Tentu tanggapan Ki Gedepun akan lebih bersungguh-sungguh daripada akulah yang menyampaikannya.” Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun Ki Jurulah yang menyahut, “Tentu. Tentu harus Raden Sutawijaya sendiri yang menyampaikannya kepada Ki Gede Menoreh.” Raden Sutawijayapun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku sendiri akan menghadap Ki Gede untuk menyampaikan rencana ini. Yang kemudian akan berkumpul di Tanah Perdikan Menoreh adalah anak-anak muda dari Mataram sendiri, dari Tanah Perdikan Menoreh dan sudah barang tentu dari Sangkal Putung. Tetapi aku juga sudah menghubungi anak-anak muda dari Pagunungan Sewu. Nampaknya mereka sependapat dengan rencanaku. Mereka lebih dekat dengan Mataram daripada dengan Pajang. Apalagi Pajang dalam keadaan seperti sekarang ini. “ Agung Sedayu memandang Ki Juru sekilas. Nampaknya orang tua itupun bersungguh-sungguh pula.

Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian menjawab, “Jika demikian, apakah tidak sebaiknya Raden pergi ke Tanah Perdikan Menoreh bersama kami ?” Raden Sutawijayalah yang kemudian berpaling kepada Ki Juru. Seolah-olah diluar sadarnya ia bertanya, “Apakah sebaiknya demikian paman ?” Ki Juru mengangguk-angguk. Jawabnya, “Aku kira ada baiknya. Segalanya segera menjadi jelas. Tanah Perdikan Menoreh dapat bersiap-siap. Sementara Sangkal Putung, Mataram sendiri termasuk daerah di sekitarnya, dan Pagunungan Sewu akan mempersiapkan diri pula.” Raden Sutawijaya merenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan pergi bersama kalian. Tetapi aku mohon kalian bermalam satu malam lagi di Mataram. Aku akan menyelesaikan beberapa masalah malam ini.” Agung Sedayu berpaling kepada Ki Waskita, seolah-olah minta pendapatnya, apakah Ki Waskita sependapat untuk bermalam satu malam lagi. Ketika Ki Waskita mengangguk kecil, maka Agung Sedayupun berkata, “Baiklah Raden. Aku akan menunggu Raden sampai besok.” “Bagus, terima kasih,“ sahut Raden Sutawijaya. Lalu, “Jika demikian, aku akan mempersilahkan kalian beristirahat di gandok.” Agung Sedayu dan Ki Waskita tidak menolak. Agaknya Raden Sutawijaya kemudian memberitahukan kepada seorang pelayannya bahwa dua orang tamunya akan bermalam dan beristirahat digandok, sehingga tempat itu telah dibersihkan. Beberapa saat kemudian, maka Raden Sutawijayapun mempersilahkan tamunya beristirahat, karena ia sendiri akan melakukan sesuatu dalam kewajibannya. Agung Sedayu dan Ki Waskita sudah sering bermalam di Mataram. Karena itu, merekapun telah mengenal beberapa orang penting dalam lingkungan keluarga Raden Sutawijaya. Beberapa orang pelayan sudah dikenalnya dengan baik, dan bahkan Agung Sedayu dan Ki Waskita itu bagaikan telah menjadi keluarga sendiri. Namun dalam pada itu. ketika Agung Sedayu dan Ki Waskita sedang berbincang diruang depan gandok itu, telah hadir pula Ki Lurah Branjangan. Pembicaraan mereka menjadi bertebaran tanpa ujung pangkal. Setelah beberapa lama mereka tidak bertemu, maka Ki Lurahpun banyak bertanya tentang Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh. Namun akhirnya Ki Lurah itu berkata, “Dua orang tawanan yang memerlukan pengawasan khusus itu sungguh melelahkan.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Ki Waskita memandang Ki Lurah itu dengan saksama.

Keduanya telah mengerti, siapakah yang dimaksud. Dan keduanyapun mengerti sikap orang-orang Pajang atas keduanya. “Keduanya masih saling mendendam. Tetapi dalam beberapa hal, keduanya tentu akan dapat bekerja bersama,” berkata Ki Lurah kemudian, “karena itu, maka diperlukan pengamatan yang cermat terhadap keduanya.” “Apakah keduanya di tempatkan di satu tempat ?” bertanya Agung Sedayu. “Tidak. Jika demikian tentu akan lebih berbahaya lagi,“ jawab Ki Lurah Branjangan. Agung Sedayu dan Ki Waskitapun mengerti. Dan merekapun diluar sadar telah ikut merenungkan. Jika pecah pertentangan yang lebih keras antara Pajang dan Mataram, apakah keduanya masih akan tetap merupakan beban yang semakin menjemukan. Tetapi untuk melepaskan mereka, berarti Mataram telah melemahkan diri mereka sendiri, karena kedua orang itu adalah orang yang memiliki kelebihan. Tetapi keduanya tidak berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan yang bagahnanapun juga. Segalanya akan teserah kepada Raden Sutawijaya, yang mempunyai pandangan yang luas tentang persoalan yang dihadapinya. Dalam pada itu Ki Lurah Branjangan tidak berbicara banyak tentang rencana untuk menyusun satu kekuatan khusus sebagaimana dilakukan oleh Pajang. Bagi Ki Lurah, memang tidak ada pilihan lain. Dan Raden Sutawijaya sudah memutuskan untuk melakukannya. Kemudian untuk semalam Agung Sedayu dan Ki Waskita akan berada di Mataram. Ketika mereka duduk bersama di pendapa lepas senja, maka Raden Sutawijaya sudah menyebut rencananya serba sedikit. Ia sudah menyebut beberapa orang yang akan memberikan bimbingan khusus dan memberikan latihan-latihan olah kanuragan. “Anak-anak muda itu akan mengalami pembajaan diri yang berat,“ desis Agung Sedayu. “Ya. Hanya dengan demikian mereka akan menjadi prajurit pilihan. Bukankah apa yang harus mereka lakukan itu belum merupakan sebagian kecil dari apa yang pernah kau lakukan, Agung Sedayu ?” bertanya Raden Sutawijaya. “Dan yang aku lakuan, hanyalah sekuku ireng dibanding dengan apa yang pernah Raden Sutawijaya lakukan,“ sahut Agung Sedayu. “Ah, tentu tidak,“ Raden Sutawijayapun tertawa. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu telah mendapat gambaran, bagaimanakah pasukan khusus itu akan disusun.

Di pagi hari berikutnya, maka Agung Sedayu dan Ki Waskitapun telah siap begitu matahari mulai memancar. Ternyata Raden Sutawijayapun telah bersiap pula. Agaknya ia akan membawa dua orang pengawal khususnya untuk bersama dengan Agung Sedayu dan Ki Waskita pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Setelah makan pagi, maka merekapun meninggalkan Mataram menuju ke Tanah Perdikan Menoreh, Tidak banyak yang terjadi diperjalanan. Setelah mereka menyeberang Kali Praga dengan rakit, maka merekapun segera menyusuri jalan Tanah Perdikan. Kedatangan mereka di Tanah Perdikan Menoreh, telah disambut dengan senang hati oleh Ki Gede yang memang sudah menunggu kedatangan Agung Sedayu. Meskipun Agung Sedayu hanya beberapa hari saja meninggalkan Tanah Perdikan itu, rasa-rasanya sudah begitu lamanya. Apalagi yang datang bersama Agung Sedayu dan Ki Waskita adalah Raden Sutawijaya. Setelah mereka duduk dipendapa dan berbincang sejenak mengenai keselamatan masing-masing, maka agaknya Raden Sutawijaya ingin langsung pada persoalan yang akan dibicarakannya. “Maaf Ki Gede,“ katanya, “aku tidak dapat terlalu lama berada di Tanah Perdikan ini. Ada persoalan yang masih harus aku selesaikan di Mataram. Tetapi karena persoalan ini adalah persoalan yang aku anggap penting sekali, maka aku telah memerlukannya bersama Agung Sedayu dan Ki Waskita.” Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Sebaiknya Raden tidak usah tergesa-gesa. Bukankah di Mataram ada Ki Juru ?” Raden Sutawijaya tertawa. Katanya, “Paman Juru sudah harus banyak beristirahat.” Ki Gedepun tertawa pula. Dalam pada itu, maka Raden Sutawijayapun kemudian mengatakan rencananya kepada Ki Gede. Menyambung pembicaraannya terdahulu. Bahkan Raden Sutawijaya ingin mohon kerelaan Ki Gede untuk menempatkan pasukan khusus itu di Tanah Perdikan Menoreh. Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Sebagian persoalannya memang sudah diduganya. Namun dengan demikian, maka akan timbul beberapa akibat samping. Karena itu, Ki Gede yang sebenarnya telah menentukan sikap didalam hatinya, menyatakan tidak berkeberatan, tetapi iapun mohon agar Raden Sutawijaya bertanggung jawab tentang penyelenggaraan itu sendiri. “Untuk kepentingan itu diperlukan banyak dana,” berkata Ki Gede, “kami mohon Raden memikirkannya.” “Aku akan mengusahakannya Ki Gede,” berkata Raden Sutawijaya, “akupun telah menyusun sekelompok orang yang akan menjadi pelatih dalam pasukan khusus itu. Akupun akan memberikan

petunjuk cara-cara yang akan ditempuh untuk menyelenggarakan latihan khusus itu. Karena menurut pendapatku, pasukan ini bukan sekedar kumpulan orangorang terpilih. Tetapi harus mempunyai satu sikap dan tingkat kemampuan yang khusus pula. Agaknya rencana ini, meskipun baru merupakan satu mimpi, tetapi akan selapis lebih baik dari pasukan khususnya Tumenggung Prabadaru. Pasukan khusus di Pajang adalah kumpulan prajurit-prajurit yang memiliki kelebihan. Mereka berkumpul dan berada didalam satu pasukan. Tetapi aku belum yakin, bahwa mereka benar-benar memiliki satu tingkat tataran dalam ilmu kanuragan yang melampaui tataran prajurit dari kesatuan yang lain.” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian ia sudah benar-benar berada didalam satu lingkungan dalam persoalan antara Pajang dan Mataram. Tetapi apaboleh buat. Ia memang tidak akan dapat ingkar, bahwa ia memang sudah memilih. Dan iapun akan bertanggung jawab atas pilihannya itu. Karena itu, maka Ki Gede itupun kemudian berkata, “Raden, sebagaimana Sangkal Putung, maka akupun mohon waktu. Aku akan mempersiapkan tempat, barak dan barangkali lingkungan sehingga kehadiran pasukan itu tidak akan mengguncangkan tata kehidupan Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, maka untuk menjaga agar tidak terjadi persoalan dengan lingkungannya, aku mohon bahwa anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh akan mendapat tempat seimbang dengan anak-anak muda dari tempat-tempat lain.” “Tentu sama sekali tidak ada keberatannya Ki Gede,” berkata Raden Sutawijaya, “aku justru berterima kasih jika anak-anak Tanah Perdikan sendiri ikut ambil bagian didalam pasukan itu. Semakin banyak semakin baik.” “Baiklah Raden,” berkata Ki Gede, “aku mohon untuk kepentingan tersebut disiapkan satu rencana yang akan dapat memberikan petunjuk kepadaku secara terperinci, apa yang harus aku laksanakan di Tanah Perdikan ini.” “Aku akan mengirimkan beberapa orang untuk kepentingan tersebut Ki Gede,” berkata Raden Sutawijaya, “Ki Lurah Branjangan adalah salah seorang yang akan ikut bertanggung jawab. Selebihnya tentu aku mohon Ki Gede sendiri, Agung Sedayu dan juga Ki Waskita.” “Aku hanya akan dapat membantu Raden,“ jawab Ki Waskita, “karena aku tidak akan mungkin berada da lam lingkungan tersebut secara pasti.” Raden Sutawijayapun mengangguk-angguk pula. Katanya, “Aku mengerti Ki Waskita. Tetapi kesediaan Ki Waskita itu telah membuat hatiku sedikit tenang. Bahwa dengan demikian bantuan Ki Waskita akan dapat aku harapkan. “

Pembicaraan seterusnya masih belum menyangkut masalah-masalah yang terlalu khusus. Namun secara garis besar, di Tanah Perdikan Menoreh akan dapat disusun satu tempat pembajaan diri bagi satu pasukan khusus yang akan dapat digerakkan setiap saat oleh Mataram. Mengenai papan telah diserahkan kepada Ki Gede, agar Ki Gede bersama Agung Sedayu dapat menyiapkannya. Di bawah lereng bukit akan didirikan beberapa buah barak. Barak-barak itu akan berada dalam beberapa lingkungan, semacam padepokan-padepokan yang akan menampung anak-anak muda dari beberapa tempat yang akan di latih secara khusus dalam olah kanuragan dan olah kaprajuritan. “Tugasmu menjadi semakin berat Agung Sedayu,” berkata Ki Gede, “ketika aku minta kau datang di Tanah Perdikan, aku sama sekali tidak membayangkan bahwa kaupun akan terpercik tugas seperti ini.” “Tetapi bahwa ia hadir di Tanah Perdikan ini, sebenarnyalah secara umum hal seperti ini sudah membayang Ki Gede,” berkata Raden Sutawijaya, “tetapi bentuknyalah yang masih belum jelas pada waktu itu.” “Ya, ya ngger,“ sahut Ki Gede, ”bentuknya itulah memang yang aku maksudkan. Tentu kita semuanya tidak akan menyangka, bahwa kita akan sampai pada suatu bentuk yang demikian.” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ki Gede benar. Tetapi kita dihadapkan pada gejolak yang terjadi di Pajang. Dan sebenarnyalah kita dituntut untuk menyesuaikan diri. Tetapi karena Mataram ternyata tidak mampu berbuat sendiri, aku terpaksa lari kepada Ki Gede.” “Tidak mengapa,“ sahut Ki Gede, “kita sudah bersama-sama memancangkan satu tekad. Dan aku tidak menyesal karenanya.” Demikianlah, akhirnya Raden Sutawijaya menganggap bahwa pembicaraan itu untuk sementara sudah cukup. Karena itulah, maka Raden Sutawijaya itupun segera minta diri. Ia masih harus menghubungi daerah Pegunungan Sewu. Meskipun dalam beberapa hal Pasantenan sudah menyatakan sikapnya, namun masih perlu ditegaskan, apakah yang akan dilakukan oleh Raden Sutawijaya. Apalagi Pasantenan sudah menyatakan, bahwa Pasantenan hanya akan mengirimkan anak-anak mudanya, sementara pimpinan Tanah Pasantenan sendiri untuk sementara tidak akan dengan langsung melibatkan diri. Raden Sutawijaya itu benar-benar tidak terlalu lama berada di Tanah Perdikan Menoreh. Iapun kemudian mohon diri untuk kembali ke Mataram. Masih banyak yang harus ditangani di Mataram. Sepeninggal Raden Sutawijaya, maka Ki Gedepun harus merundingkan hal itu lebih masak lagi. Agung Sedayu dan Ki Gede sendiri akan mencari tempat yang paling baik bagi barak-barak pasukan khusus yang akan didirikan dalam beberapa kelompok itu. Tidak terlalu dekat dengan Padukuhanpadukuhan yang penting, tetapi juga tidak terlalu terpencil. Ki Gede harus mempertimbangkan, bahwa didalalm barak-barak itu akan terdapat anak-anak muda dari beberapa daerah dengan latar belakang sikap dan pandangan hidup masing-masing. Selebihnya, anak-anak muda itu sebagian terbesar tentu

belum mempunyai keluarga, meskipun tentu ada juga yang sudah berkeluarga, tetapi tentu belum terlalu lama. Anak-anak muda yang belum berkeluarga itu harus dipertimbangkan hubungannya dengan gadis-gadis Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, Ki Gede mempunyai permintaan, bahwa jumlah anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh sendiri didalam pasukan khusus itu harus imbang dengan jumlah anak-anak muda yang dalang dari luar Tanah Perdikan Menoreh, karena bagaimanapun juga, Tanah Perdikan itu tidak boleh kehilangan wibawanya. Jika jumlah anak-anak Tanah Perdikan sendiri cukup jumlahnya, maka Tanah Perdikan Menoreh akan tetap dapat menentukan sikapnya sebagai Tanah Perdikan Menoreh, karena penghuni barak itu tak akan dapat memaksakan kehendaknya atas Tanah Perdikan itu. Dengan demikian maka tugas Agung Sedayu benar-benar menjadi semakin berat. Ia harus membantu Ki Gede menyiapkan barak-barak bagi pasukan khusus itu. Tetapi iapun harus menyiapkan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang akan ikut serta dalam pasukan itu. “Angger Agung Sedayu,” berkata Ki Gede pada suatu saat, “kita harus menunjukkan kepada daerah lain, kepada Sangkal Putung, kepada Mataram, Mangir dan Pagunungan Sewu termasuk Pasantenan, bahwa anak-anak Perdikan Menoreh bukan anak-anak ingusan. Kita tidak boleh menyerahkan anak-anak muda hanya karena Raden Sutawijaya menyetujui permintaanku, bahwa jumlah anak-anak muda dari perdikan ini harus seimbang dengan anak-anak muda yang datang dari luar. Bukan pula anak-anak bawang yang tidak terhitung dalam lingkungan mereka yang sebenarnya mempunyai tingkat kemampuan pasukan khusus. Tetapi anak-anak muda dari Tanah Perdikan harus setidak-tidaknya sejajar dengan anak-anak muda yang datang dari daerahdaerah lain itu.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dan ia sadar, bahwa tugas itu dibebankan kepadanya. Tetapi ternyata Ki Gede tidak tinggal diam dan hanya sekedar memerintahkan tugas-tugas berat kepada Agung Sedayu. Pada hari-hari berikutnya, maka Ki Gede, ikut terjun langsung menangani peningkatan kemampuan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Agar tidak terjadi saling berbenturan karena ilmu yang berbeda, maka Ki Gede telah membagi kewajiban. Agung Sedayu harus meningkatkan kemampuan anak-anak muda itu secara pribadi. Ki Gede akan menuntun mereka dalam olah kaprajuritan dan gelar dalam perang. Sementara itu, Ki Waskita dimohon juga oleh Ki Gede untuk memberi tuntunan dalam olah senjata sehingga anak-anak muda itu akan dapat mempergunakan berjenis-jenis senjata yang terdapat di medan perang apabila mereka telah kehilangan senjata mereka masing-masing karena sesuatu hal. Demikian, selagi barak-barak dipersiapkan di Tanah Perdikan Menoreh, maka anak-anak mudanyapun telah mengadakan latihan-latihan khusus untuk waktu yang tidak terbatas disetiap hari. Rasa-rasanya kapan saja mereka sempat, mereka telah mempergunakan waktu itu sebaik-baiknya. Bahkan mendahului pasukan khusus yang akan tinggal didalam barak-barak, maka anak-anak muda Tanah Perdikan yang akan dipilih secara cermat, telah dimasukkan pula didalam barak-barak yang telah tersedia. Bukan barak-barak

khusus, tetapi mereka mempergunakan rumah-rumah yang besar bagi kepentingan itu. Agung Sedayupun kemudian telah mempergunakan sebagian besar waktunya bagi anak-anak muda yang telah berada didalam barak-barak sementara itu. Namun Ki Gede telah menentukan bahwa Prastawa tidak akan berada bersama mereka. “Kau harus tetap dalam kewajibanmu Prastawa. Bagaimanapun juga peningkatan tataran hidup rakyat Tanah Perdikan ini harus tetap terbina. Biarlah Agung Sedayu membagi sebagian waktunya untuk meningkatkan ilmu anak-anak muda itu. Namun kau akan tetap bekerja keras bersama waktu-waktu luang Agung Sedayu untuk kesejahteraan Tanah Perdikan ini.” Sebenarnyalah Prastawa memang tidak ingin untuk berada didalam lingkungan pasukan khusus itu. Ia akan menjadi terikat dan ia akan kehilangan banyak kesempatan dalam kedudukannya sebagai kemanakan Ki Gede Menoreh. Didalam barak itu ia harus tunduk pada banyak ketentuan-ketentuan yang tentu akan menjengkelkan, karena ia akan berada langsung dibawah perintah Agung Sedayu. Betapapun ia sadar, bahwa kemampuan Agung Sedayu ternyata melampaui kemampuan orang yang bernama Ajar Tal Pitu, dan bahkan dapat membunuhnya, namun didalam hati kecilnya masih tersimpan perasaan segan untuk berada di bawah perintahnya. Dalam pada itu, maka latihan-latihanpun telah dilakukan dengan tataran yang semakin lama semakin berat. Menjelang matahari terbit. Agung Sedayu telah membawa anak-anak muda itu berlari mengelilingi daerah tertentu, melampaui lereng-lereng bukit Menoreh, menuruni tebing yang terjal dan kemudian mendaki lagi lereng yang menanjak tinggi. Dengan demikian maka Agung Sedayu telah membentuk anak anak muda itu menjadi anak-anak muda yang mempunyai ketahanan tubuh yang tinggi. Latihan pernafasan menjadi bagian yang penting dalam latihan-latihan berikutnya. Kemudian latihan kecepatan bergerak dan ketrampilan, kekuatan dan kecepatan mengambil sikap menghadapi keadaan yang tiba-tiba didalam olah kanuragan. Pada saat lainnya, mereka bermain-main dengan senjata khusus sesuai dengan keinginan masingmasing dan kesesuaian mereka dengan jenis-jenis senjata. Namun pada kesempatan yang lain, mereka berlatih dengan segala macam senjata bersama Ki Waskita. Seolah-olah mereka tidak wenang untuk memilih senjata yang paling sesuai dengan pribadi mereka masing-masing. Mereka mempergunakan apa saja yang mereka ketemukan. Tali ijuk, tongkat, golok, ikat pinggang, ikat kepala, bahkan kain panjang mereka masing-masing. Namun khusus Ki Waskita telah memberikan tuntunan bagaimana mereka mempergunakan senjata yang dapat paling banyak mereka jumpai. Sepotong kayu darimanapun mereka dapat. Mungkin mereka sempat memungut di pinggir jalan, mematahkannya langsung dari dahan-dahan pepohonan, atau mencabut sebatang kayu metir di sepanjang pagar padukuhan.

Sementara itu, dalam waktu yang lain, Ki Gede telah mengajari mereka berbagai macam, gelar perang. Bagaimana mereka harus bertempur dalam gelar sehingga mereka tidak boleh mementingkan kepentingan diri sendiri, tetapi keterikatan mereka dengan gelar dalam keseluruhan. Dengan demikian, suasana Tanah Perdikan Menoreh menjadi semakin sibuk. Karena selain yang berada didalam barak-barak sementara itu, masih harus disiapkan pengawal bagi Tanah Perdikan Menoreh itu sendiri. Jika anak-anak muda terbaik itu nanti benar-benar berada dalam lingkungan pasukan khusus, Menoreh tidak boleh kehilangan kekuatannya sebagai satu Tanah Perdikan. Itulah sebabnya, selain mempersiapkan anak-anak muda yang akan memasuki kesatuan khusus itu, maka pasukan pengawal lain yang kuat pula harus disusun. Bahkan setiap laki-laki di Tanah Perdikan Menoreh harus merasa berkewajiban untuk berbuat sesuatu bagi ketenteraman Tanah Perdikannya. Yang kemudian ditangani, bukan saja anak-anak muda, tetapi juga anak-anak remaja menjelang dewasa, dan setiap laki-laki meskipun sudah berumur lebih dari seperempat abad, tetapi masih belum lebih dari ampat puluh tahun. Bahkan mereka yang lebih dari ampat puluh tahunpun, asalkan masih cukup kuat wadagnya, diwajibkan juga ikut menjaga ketenangan padukuhan masing-masing. Mereka masih diwajibkan untuk meronda di malam hari bergiliran diantara mereka, bersama-sama dengan mereka pada tataran masing-masing. Ternyata waktu serasa berjalan terlalu cepat. Tetapi mendekati saat-saat pasukan khusus itu benarbenar akan dibentuk. Tanah Perdikan sudah siap. Raden Sutawijaya tidak mengingkari kuwajibannya. Ia telah mengirimkan dana dan beberapa orang yang dianggapnya mampu untuk membantu Tanah Perdikan Menoreh membangun barak-barak di lingkungan yang telah ditentukan oleh Ki Gede. Ternyata bahwa barak-barak yang di bangun dalam kelompok-kelompok seperti padepokan-padepokan yang berpencar itu, justru memberikan kesegaran tersendiri pada Tanah Perdikan Menoreh. Namun dalam pada itu, Raden Sutawijayapun telah menyusun rencananya. Pada tataran pertama ia tidak memanggil anak-anak muda dalam jumlah yang terlalu besar. Tetapi ia akan menyiapkan sekelompok anak-anak muda yang akan menjadi pemimpin pada segala tataran di lingkungan pasukan khusus itu. Dalam hal itu, maka Raden Sutawijaya akan memanggil sekelompok kecil anak-anak muda dari beberapa daerah mendahului terbentuknya pasukan khusus itu. Demikianlah, maka rencana yang pertama itulah yang akan dilakukan lebih dahulu. Raden Sutawijaya segera menghubungi daerah-daerah yang sudah bersedia dan menyatakan kesanggupannya untuk mengirimkan sekelompok anak-anak mudanya. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, maka kelompok kecil itupun telah berada di Tanah Perdikan

Menoreh. Agung Sedayulah yang berkewajiban untuk menerima mereka dan menempatkan mereka pada barak yang sudah siap. Dalam kelompok yang mendahului terbentuknya pasukan khusus itu, sebagaimana saling disetujui, anak-anak Tanah Perdikan Menoreh mempunyai anak muda yang terbanyak, hampir seimbang dengan anak-anak muda dari daerah lain yang datang ke Tanah Perdikan itu. Ternyata kehadiran anak-anak muda dari berbagai daerah itu telah memberikan pengalaman tersendiri bagi Agung Sedayu. Iapun kemudian mengenali beberapa sifat dan watak yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang kehidupan mereka masing-masing. Namun sifat dan watak itu masih juga diwarnai oleh sifat dan watak pribadi-pribadi yang jumlahnya sebanyak jumlah anak-anak muda yang datang ke Tanah Perdikan Menoreh itu. Dengan cepat anak-anak muda itu saling berkenalan. Mereka berusaha untuk saling menyesuaikan diri. Namun disamping menyesuaikan diri. tidak dapat dihindari usaha anak-anak muda itu untuk saling mengetahui bobot masing-masing. Anak-anak muda dari Sangkal Putung yang sebagian besar dari mereka telah mengenal Agung Sedayu dengan baik, cepat dapat menempatkan diri. Apalagi anak-anak Tanah Perdikan Menoreh sendiri. Sementara anak-anak muda dari Mataram telah mendapat pesan mawantu-wantu dari Raden Sutawijaya sendiri, bahwa mereka harus dapat menjadi contoh yang baik yang bagi anak-anak muda yang berkumpul di Tanah Perdikan Menoreh itu. Mereka akan menjadi kiblat dari anak-anak muda yang berada didalam barak itu. Karena itulah, maka anak-anak muda yang datang dari Mataram justru menunjukkan sikap yang sangat baik. Sementara itu, anak-anak muda dari Mangir dan Pegunungan Sewupun berusaha untuk menempatkan diri ditempat yang baik diantara anak-anak muda itu. Merekapun mendapat pesan dari para pemimpin mereka, bahwa mereka akan membawa nama baik daerah asal mereka. Tetapi anak-anak muda dengan berbagai sifat dan watak itu, ada saja geseran-geseran yang kadangkadang membuat mereka mulai tersinggung. Agung Sedayu yang untuk sementara diserahi untuk memimpin mereka segera melihat keadaan itu. Karena itu, maka iapun merasa wajib untuk menjadi semakin berhati-hati. Ia semakin cermat mengamati, bukan saja tingkah laku anak-anak muda itu sehari-hari, tetapi juga hubungan mereka yang satu dengan yang lain. “Jika angger Agung Sedayu akan ditetapkan di barak itu menjadi pimpinannya, maka akulah yang kehilangan,” berkata Ki Gede kepada Agung Sedayu. “Tentu tidak Ki Gede,“ jawab Agung Sedayu, “tentu hanya sementara. Aku tidak akan sanggup melakukannya. Apalagi jika pasukan itu benar-benar sudah terbentuk.”

“Bukan tidak sanggup dalam pengertian kurang kemampuan,“ sahut Ki Gede, “tetapi tidak sanggup dalam pengertian, tidak mau. Jika angger berniat melakukannya, pekerjaan itu bukan pekerjaan yang sulit bagi angger.” Agung Sedayu hanya tersenyum saja. Tetapi Ki Gede Menoreh percaya, bahwa Agung Sedayu memang bukan ujud dari seseorang yang haus akan kedudukan. Meskipun demikian, kadang-kadang terbersit juga pertanyaan di hati Agung Sedayu, “Apakah aku akan menolak jika aku akan mendapat tempat pada salah satu tataran kepemimpinan pasukan itu ?” Banyak pertimbangan bergulat didalam hatinya. Kadang-kadang ia teringat akan keinginan Sekar Mirah bagi masa depannya. Bagi Sekar Mirah, kedudukan adalah sesuatu yang penting. Setiap kali ia bertemu dengan Sekar Mirah, maka masalah kedudukan dan masa depan rasa-rasanya tidak akan pernah ketinggalan untuk dibicarakannya. Tetapi sama sekali tidak ada dorongan dalam dirinya sendiri, untuk menuntut dengan sungguh-sungguh satu kedudukan. Jika ia melakukannya, maka dorongan itu datang dari bakal isterinya. Sekar Mirah. Namun dalam pada itu, pada keadaan yang sementara itu. Agung Sedayu sudah bekerja sebaik-baiknya. Dalam waktu singkat. Raden Sutawijaya telah berjanji untuk mengirimkan seorang yang sebenarnya akan memimpin pasukan khusus itu dengan beberapa orang yang akan menjadi pelatihnya. Namun diantara para pelatih itu sudah disebut juga nama Agung Sedayu. Sementara itu, Ki Gede sebagai pemimpin tertinggi di Tanah Perdikan Menoreh, tidak melepaskan Agung Sedayu begitu saja. Bersama Ki Waskita iapun ikut serta mengamati anak-anak muda yang telah berkumpul di Tanah Perdikan Menoreh itu. Beberapa hari kemudian, Mataram telah mengirimkan Ki Lurah Branjangan untuk membantu Agung Sedayu pula. Namun kedudukannya itupun hanya untuk sementara. Ia mendapat kewajiban untuk memberikan penjelasan-penjelasan pendahuluan. “Tetapi orang yang sebenarnya bukan aku,” berkata Ki Lurah Branjangan kepada Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh, “sebagai orang tua aku mendapat kewajiban untuk memberikan arah tanggapan anak-anak muda yang sudah datang ini menghadapi tugas-tugas yang berat.” Disamping Ki Lurah Branjangan, dua orang pembantunya telah berada di Tanah Perdikan Menoreh. Bersama Agung Sedayu, Ki Waskita dan Ki Gede, mereka telah menyusun pasukan kecil itu dalam

kelompok-kelompok tertentu Sesuai dengan jenjang kepemimpinan diantara mereka, maka Ki Lurah Branjangan telah menentukan susunan dan tataran kepemimpinan untuk sementara pula. Diantara mereka yang ditunjuk adalah anak-anak muda dari daerah yang tersebar, agar tidak menimbulkan kesan yang kurang baik bagi salah satu lingkungan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh itu. Untuk hari-hari permulaan, Ki Lurah masih belum mampu menyusun tataran kepemimpinan atas dasar kemampuan mereka, karena Ki Lurah masih belum dapat melihat kemampuan mereka seorang demi seorang. Namun sebenarnyalah, beberapa orang diantara mereka memang telah tersinggung karena susunan tataran yang kurang sesuai menurut pendapat beberapa orang anak muda. Terutama mereka yang sama sekali belum mengenal Agung Sedayu. Ki Lurah Branjangan telah menetapkan sebagaimana ditetapkan sebelumnya. Agung Sedayu biikan sekedar menerima mereka, menempatkannya dalam barak-barak dan melayani kebutuhan mereka, namun didalam banyak hal, maka peranan Agung Sedayu sangat nampak. Seolah-olah Agung Sedayu mempunyai kedudukan yang khusus diantara anak-anak muda itu. “Anak Tanah Perdikan yang seorang ini mendapat perhatian khusus dari para petugas di Mataram,” berkata salah seorang anak muda dari Pasantenan Pegunungan Sewu, “apakah ia memiliki kelebihan dari anak-anak muda kebanyakan ?” “Ia pemimpin anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh,“ sahut kawannya. “Baik. Jika ia melakukan seperti apa yang dilakukannya sebelumnya, kami tidak akan mempersoalkannya. Jika ia hanya menerima kami, memberikan petunjuk, diruang yang mana kami harus tidur, kemudian menunjukkan kepada kami, dimana kami harus mandi, aku tidak akan mempersoalkannya. Namun agaknya setelah orang Mataram itu datang, anak itu justru mendapat kedudukan yang lebih mantap. Nampaknya ia akan menjadi pimpinan yang paling menonjol diantara anak-anak muda yang datang kedalam barak ini,“ jawab anak muda yang pertama. “Tentu akan ada anak muda yang harus memimpin kami disamping para pelatih,” berkata kawannya, “jenjang kepemimpinan yang ada ini baru bersifat sementara. Tentu akan ada perubahan-perubahan jika para pelatih dan pimpinan yang sebenarnya telah melihat kemampuan kami masing-masing.” “Aku merasa tersinggung,“ desis kawannya yang pertama, “anak itu tidak menunjukkan kelebihan apa-apa. Seharusnya Ki Lurah Branjangan itu tidak memilih sembarang orang. Meskipun ia belum tahu dengan pasti, tetapi ia dapat melihat anak-anak muda yang manakah yang pantas menjadi pemimpin yang paling berpengaruh diantara kita. Aku tidak berkeberatan, jika pemimpin-pemimpin kelompok untuk sementara ditunjuk dari banyak daerah yang kemudian

dibaurkan. Tetapi yang seorang itu agaknya ikut menentukan. Dalam segala persoalan, anak itu ikut diajak berbincang.” “Ia telah bertindak untuk itu sejak kami datang. Ia memang mendapat tugas,“ desis kawannya yang mulai melihat isi hati kawannya itu, “aku kira, segalanya masih wajar. Ia menyiapkan penerimaan ini. Kemudian mengatur kehadiran kami. Bukankah wajar, jika dalam persoalan berikutnya ia ikut berbicara.” “Tidak tentu. Kedatangan Ki Lurah Branjangan sudah mengakhiri tugas-tugasnya. Ia harus berada di lingkungan ini seperti kita semuanya. Aku tidak berkeberatan ia menjadi pemimpin kelompok. Tetapi pengaruhnya tidak harus sebesar itu,“ kawannya yang pertama justru menggeram. “Kau tidak perlu menghiraukannya,“ sahut yang lain. “Kalian mengenal aku ? “ tiba-tiba anak muda itu membentak. “Justru aku mengenalmu, aku minta kau tidak usah menghiraukannya. Kita, anak-anak Pasantenan tidak perlu berbuat aneh-aneh disini. Meskipun kau adalah seorang anak muda yang tidak terkalahkan di Pasantenan, kau tidak petlu berbuat apa-apa. Nanti pada saatnya kemampuanmu akan dikenal,” berkata kawannya. “Aku ingin menempatkan kedudukan kami, anak-anak Pasantenan pada tempat yang wajar. Tidak hanya sekedar untuk menambah jumlah saja. Kita yang dikirim mendahului kawan-kawan kita, tentu bukan anak-anak muda kebanyakan,“ desis anak muda itu. Tetapi kawan-kawannya berusaha untuk memperingatkannya, bahwa sikapnya itu kurang menguntungkan pada waktu-waktu permulaan. Namun demikian, selain kawan-kawannya yang berusaha memperingatkannya, ada juga satu dua orang yang justru menganggap sikapnya itu adalah sikap yang paling baik. Sikap yang akan dapat menjunjung tinggi nama daerah asal mereka. “Aku sependapat. Kami tidak dapat menerima tanpa berbuat sesuatu atas sikap yang salah ini,” berkata seorang kawannya, “jika ada yang paling pantas untuk mewakili kita semuanya. Bukan saja anak-anak muda Pagunungan Sewu, tetapi semuanya yang ada dibarak ini. Sekelompok diantara kita yang mendahului kawan-kawan kita yang lain, yang pada saatnya akan datang pula ke Tanah Perdikan Menoreh ini.” Anak muda yang merasa iri itu menjadi semakin ber-besar hati. Anak-anak muda yang mendukung sikapnya itu justru telah membuatnya semakin berminat untuk menggeser kedudukan Agung Sedayu justru setelah Ki Lurah Branjangan ada di Tanah Perdikan Menoreh. Ketika hal itu dikatakannya kepada anak muda yang paling disegani diantara anak-anak muda yang

datang dari Mangir, maka anak muda dari Mangir itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apakah hal itu perlu dilakukan ? Aku belum mengenal Agung Sedayu. Tetapi namanya aku pernah mendengar. Ketika ia berhasil membunuh Tal Pitu, maka namanya terkenal disepanjang Kali Praga. Ternyata berita itu telah menyeberang di pinggir Selatan, dekat muara, sehingga kami yang berada di Mangirpun mendengarnya. Agung Sedayu di Tanah Perdikan Menoreh telah membunuh Ajar Tal Pitu.” “Apa kelebihannya dengan membunuh Ajar Tal Pitu ?” bertanya anak muda dari Pasantenan itu. “Aku juga belum mengenal Ajar Tal Pitu. Tetapi menurut pendengaranku. Ajar Tal Pitu adalah orang yang luar biasa. Ia mempunyai Aji yang bertumpuk didalam dirinya. Aji Kakang Pembarep dan Adi Wuragil. Aji Sangga Dahana, Aji Gadungan dan masih banyak lagi yang tidak dapat disebut,“ jawab anak muda dari Mangir itu. Sementara itu, kawannya dari Pasantenan yang mendengar pembicaraan itupun berusaha untuk menenangkan kawannya yang jantungnya bergejolak itu. “Kita tidak dapat untuk mencari lawan,” berkata kawannya. Tetapi anak muda yang seorang itu tidak menghiraukannya. Ia masih tetap menganggap bahwa Agung Sedayu perlu disingkirkan. “Ceritera itu pada umumnya jauh melampaui kenyataan yang terjadi sebenarnya,” berkata anak muda itu, “mungkin Agung Sedayu memang membunuh Ajar Tal Pitu. Tetapi Ajar Tal Pitu itu sama sekali bukan seseorang yang perlu diperhitungkan dalam dunia olah kanuragan. Ia sekedar mampu berkelahi. Dan secara kebetulan ia dapat menunjukkan sesuatu yang dianggap aneh. Tentu dibanding dengan guruku, ia belum sekuku ireng.” “Yang ada disini kau, bukan gurumu,“ jawab kawannya. “Aku hanya ingin membuat perbandingan. Karena itu, maka ia tidak pantas sama sekali untuk diajak berbicara oleh Ki Lurah Branjangan dan para pemimpin yang lain. Kawannya tidak dapat berbuat lain. Mereka sudah mencoba untuk memperingatkan. Tetapi agaknya kawannya yang seorang itu, didorong oleh beberapa orang kawan terdekatnya, benar-benar tidak mau menerima kehadiran Agung Sedayu dalam tugas-tugasnya setelah Ki Lurah Branjangan dan dua orang pemimpin pengawal dari Mataram itu datang. Ketika hal itu didengar oleh anak-anak muda Sangkal Putung, maka merekapun berusaha untuk menemui anak muda itu, agar ia tidak mempersoalkannya lagi. “Kenapa ?” bertanya anak Pasantenan itu.

“Kami mengenal Agung Sedayu dengan baik,“ sahut salah seorang anak muda Sangkal Putung, “kami tahu siapakah anak muda itu dengan pasti. Selebihnya, ia ada lah adik Untara, Senapati Pajang di Jati Anom.“ “Jadi anak muda itu adik seorang Senapati Pajang di Jati Anom ? Jika demikian, kenapa ia berada disini ? Ia akan dapat menjadi telik sandi yang akan menggagalkan semua usaha kita disini.” “Kau jangan berprasangka,“ jawab anak muda Sangkal Putung, “kami mengenal dengan pasti siapakah Agung Sedayu itu seperti yang sudah aku katakan. Jika kau tidak percaya, bertanyalah anak-anak muda dari Mataram. Merekapun banyak yang sudah mengenal Agung Sedayu. Jika bukan orangnya, tentu namanya.” Tetapi anak muda Pasantenan itu nampaknya sulit untuk mengerti. Agaknya ia tetap pada pendiriannya. Gumamnya, “Jika Agung Sedayu memiliki kemampuan melampaui kemampuanku, baru aku akan tunduk pada perintahnya.” Anak anak muda Sangkal Putung itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Namun tiba-tiba salah seorang diantara mereka berdesis diantara kawan-kawannya, “Biarlah ia membenturkan kepalanya pada sebuah batu hitam. Baru ia akan merasakan betapa kerasnya.” “Tetapi jika hal itu akan berakibat buruk ?“ sahut kawannya, “ia bukan satu-satunya anak Pasantenan yang datang mendahului kawan-kawannya yang lain. Jika timbul dendam diantara kita yang ada disini, maka akibatnya akan sangat buruk.” “Tidak. Bahkan kawan-kawannya sendiri sudah berusaha untuk mencegahnya. Tetapi anak itu memang keras kepala.“ jawab yang lain. Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Nampaknya merekapun kemudian sependapat, biarlah orang itu membenturkan kepalanya pada batu hitam. Dengan demikian, maka ia akan mendapat pengalaman yang sangat berharga. Dengan demikian maka anak-anak muda Sangkal Putung itu tidak lagi berusaha mencegahnya. Namun agar Agung Sedayu tidak terkejut karenanya, maka mereka menganggap perlu untuk memberitahukan kepadanya. Dengan demikian Agung Sedayu akan dapat menanggapinya dengan sebaik-baiknya. Sebenarnyalah, maka bahwa dua orang anak muda Sangkal Putung telah menjumpai Agung Sedayu dengan diam-diam. Mereka mengatakan apa yang mereka ketahui tentang sikap anak muda dari Pasantenan itu. “Kawan-kawannya sendiri telah mencegahnya,” berkata anak muda Sangkal Putung itu, “tetapi agaknya ia merasa dirinya terlalu besar, sehingga ia tidak menghiraukannya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, “Sebenarnya hal seperti itu tidak perlu terjadi. Aku kira, aku menjalankan kewajibanku dengan wajar. Tetapi masih saja ada orang yang salah paham.” “Bukan salah paham,“ jawab anak muda Sangkal Putung, “tetapi anak muda itu agaknya iri hati melihat kepercayaan yang kau terima dari Ki Lurah Branjangan, karena anak itu menganggap bahwa kau tidak mempunyai hak untuk mendapat kepercayaan itu.” “Menurut mereka, apakah dasarnya hak yang dimaksudkannya ?” bertanya Agung Sedayu. “Mereka menganggap bahwa kau tidak mempunyai kelebihan dari orang lain. Dengan demikian, maka agaknya menurut anak muda itu, hanya mereka yang memiliki kelebihan sajalah yang pantas untuk mendapat hak itu,“ jawab anak-anak muda Sangkal Putung itu. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia selalu diganggu oleh sikap seperti itu. Ketika ia datang di Tanah Perdikan Menoreh, ia harus berhadapan dengan Prastawa. Kemudian di antara anak-anak muda ini, ada juga yang bersikap seperti itu. “Agung Sedayu,” berkata anak muda Sangkal Putung itu, “kau memang perlu menunjukkan kelebihanmu. Dengan demikian, kau akan tetap mempunyai wibawa dan pengaruh yang besar atas anak-anak muda yang datang dari berbagai daerah ini. Bukan sekedar untuk menyombongkan diri, tetapi jika pengaruh itu dapat kau manfaatkan dengan baik. maka akibatnyapun akan baik pula.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Desisnya, “Baiklah. Aku akan berhati-hati.” Demikianlah ketika ia melaporkannya kepada Ki Gede, Ki Waskita dan Ki Lurah Branjangan, maka jawab ketiga orang tua itupun hampir sama dengan sikap anak-anak muda Sangkal Putung itu. Bahkan Ki Lurah Branjangan berkata, “Anak seperti itu memang perlu dihajar sampai jera. Baru ia akan tunduk dan patuh terhadap paugeran.” Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Namun ketika ia sendiri diserahi, maka ia mulai membayangkan, betapa tenangnya hidup Rudita yang sama sekali tidak menghiraukan ancaman orang lain terhadap dirinya. Ia berpegangan kepada sikap tidak memusuhi siapapun juga, sehingga ia tidak pernah merasa terganggu oleh permusuhan itu. Meskipun demikian, maka dihari-hari berikutnya Agung Sedayu melakukan kewajibannya seperti tidak akan terjadi sesuatu. Bersama orang-orang tua ia mengatur segala sesuatunya. Bagaimana anak-

anak itu mengatur diri dalam kelompok-kelompok masing-masing. Dalam pada itu, maka Ki Lurah Branjangan, dua orang pemimpin pengawal Mataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh mulai mengatur latihan-latihan tahap pertama bagi sekelompok kecil anakanak muda yang datang dari berbagai daerah itu untuk mengambil dasar bagi tahap-tahap berikutnya. Ki Lurah Branjangan ingin mengetahui kemampuan mereka sepintas, sehingga ia dapat mengambil satu sikap latihan yang lebih terperinci. Karena sekelompok kecil anak-anak muda itu akan menjadi pimpinan pada berbagai tataran pasukan khusus yang akan disusun kemudian. Pada latihan-latihan itu Ki Lurah mulai melihat, bahwa didalam hati anak-anak muda itu memang ada persaingan yang kuat. Namun jika persaingan itu dapat disalurkan sebaik-baiknya, justru akan dapat menjadi pendorong bagi mereka untuk bekerja lebih keras dalam latihan-latihan selanjutnya. Dalam latihan-latihan pertama itulah, Agung Sedayu kemudian melihat, bahwa anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh memang tidak ketinggalan dari anak-anak muda dari daerah lain. Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang dibentuk dengan tergesa-gesa itu telah mempunyai pengetahuan yang cukup dipergunakan sebagai bekal dalam latihan-latihan itu. Sehingga dengan demikian maka anak-anak muda yang berada di dalam kelompok pendahulu itu memang memiliki ilmu yang hampir sejajar. Namun dalam pada itu, justru karena Agung Sedayu ikut serta dalam kesibukan yang demikian berguna Ki Lurah Branjangan serta orang orang tua yang lain, maka anak muda dari Pasantenan itu semakin merasa tidak senang kepadanya. Ia merasa anak, muda yang terbaik yang datang dari Pasantenan. Bahkan iapun berkata kepada diri sendiri, “Aku siap untuk diadu dengan siapapun juga dalam lingkungan kelompok pendahulu ini. Bahkan dengan anak muda yang bersama Agung Sedayu itu.” Tetapi ia masih tetap menyimpannya didalam hati. Namun ia tidak dapat menyingkirkan niatnya, bahwa pada suatu saat. ia akan menunjukkan, bahwa ia mempunyai kelebihan dari siapapun juga. Pada hari-hari berikutnya, dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil, Ki Lurah Branjangan memang ingin menilik secara pribadi kemampuan anak-anak muda itu, sehingga dalam ruang tertutup ia mempersilahkan kelompok-kelompok yang lebih kecil itu untuk menunjukkan kemampuan mereka pribadi. Jika Ki Lurah Branjangan mempertemukan dua orang dari lingkungan yang berbeda, maka diperlukan pengawasan yang ketat, sehingga masing masing tidak ada yang merasa kalah dan menang. Dalam hal yang demikian, maka Ki Lurah memerlukan bantuan Agung Sedayu, Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh. Namun karena yang paling banyak kesempatannya untuk melakukan hal itu adalah Agung Sedayu, maka yang paling sering nampak didalam sanggar tertutup itu adalah Agung Sedayu dan Ki Lurah Branjangan sendiri. Ki Gede dan Ki Waskita mempunyai kepercayaan sepenuhnya bahwa

Agung Sedayu akan dapat melakukannya sebaik yang dilakukan oleh Ki Lurah Branjangan sendiri. Meskipun demikian, pada satu saat Ki Gede dan Ki Waskitapun ikut pula membantu tugas Ki Lurah Branjangan itu. Ada yang menarik bagi mereka berada di lingkungan anak-anak muda yang sedang tumbuh. Dalam pada itu, orang-orang tua itu mulai dapat melihat, meskipun belum dapat meyakinkan karena hanya sepintas, tingkat kemampuan anak-anak yang datang dari berbagai daerah itu. Pada saat yang demikian itulah, dalam sepintas Ki Lurah Branjangan dapat melihat, seorang anak muda dari Pasantenan memang mempunyai beberapa kelebihan dari anak-anak muda yang lain dari daerah asalnya. “Anak itu dapat diingat,” berkata Ki Lurah Branjangan, “ ia memang memiliki kelebihan.” Adalah kebetulan sekali bahwa pada saat itu diamati kemampuannya, Ki Gedelah yang hadir bersama Ki Lurah Branjangan, sehingga Agung Sedayu masih belum sempat melihatnya. “Ya,” berkata Ki Gede, “tetapi Ki Lurah tentu masih akan melihat perkembangan anak-anak itu untuk beberapa saat lamanya. Sehingga bersama-sama dengan pimpinan yang sebenarnya akan berada di barak ini, Ki Lurah akan dapat menyusun jenjang kepemimpinan bagi anak-anak muda itu lebih sempurna dari yang sekarang. Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Tugas ini harus segera aku selesaikan. Raden Sutawijaya sudah siap memanggil anak-anak muda dalam keseluruhan yang akan disusun dalam pasukan khusus itu. Bukankah itu berarti aku harus segera menyiapkan anak-anak ini untuk memimpin pasukan yang lebih besar ?” “Tugas Ki Lurah memang berat,” berkata Ki Gede. “Aku hanya mendapat dua orang pembantu. Untunglah disini ada Agung Sedayu, Ki Gede dan Ki Waskita,“ desis Ki Lurah. “Raden Sutawijaya mengetahui tentang kami. Agaknya Raden Sutawijaya memang ingin memanfaatkan kami,“ jawab Ki Gede. Ki Lurah tersenyum. Katanya kemudian, “Mungkin memang demikian. Tetapi aku akan kebingungan seandainya Ki Gede, Ki Waskita dan Agung Sedayu tidak bersedia, karena memang tidak ada ikatan bagi Ki Gede untuk melakukannya.” Ki Gedepun tersenyum pula. Katanya, “Kita semua bertanggung jawab, apakah rencana untuk menyusun pasukan ini akan berhasil atau tidak.” Demikianlah, maka Ki Lurahpun kemudian berusaha bersungguh-sungguh untuk menyiapkan anak-anak muda itu.

Setelah Ki Lurah dibantu oleh dua orang perwira yang datang bersamanya dari Mataram serta Ki Gede Menoreh, Ki Waskita dan Agung Sedayu mengetahui kemampuan dasar yang memang hampir setingkat itu, maka iapun akan segera mulai dengan latihan-latihan untuk meratakan dasar kemampuan mereka sebelum mereka akan ditunjuk menjadi pimpinan dalam segala jenjang tingkatan apabila pasukan khusus itu terbentuk. Yang diberikan oleh Ki Lurah mula-mula adalah latihan keprajuritan. Dengan alas kemampuan masing-masing, Ki Lurah ingin memberikan dasar bagi tugas-tugas mereka. Karena mereka telah berada didalam satu lingkungan. Satu kesatuan yang harus merasa mempunyai ikatan diantara mereka, yang seorang dengan yang lain. Dibantu oleh kedua orang perwira yang datang dari Mataram, maka Ki Lurahpun telah berusaha untuk membantu sekelompok anak-anak muda yang telah mendahului kawan-kawannya untuk menempa diri. Disamping kemampuan dalam olah keprajuritan, Ki Lurah juga menganggap perlu untuk memberikan dasar-dasar yang sama bagi perkembangan mereka seorang demi seorang. Diatas bekal yang berbeda-beda harus diletakkan alas yang sama bagi kepentingan mereka selanjutnya sebagai salah seorang dari pasukan yang akan disebut pasukan khusus. Yang mendapat tugas untuk melakukannya adalah Agung Sedayu. Agung Sedayu tidak dapat ingkar. Karena itu, maka iapun telah menyatakan diri bersedia melakukannya, tetapi bersama-sama dengan Ki Lurah yang memiliki pengalaman yang luas untuk membentuk anak-anak muda bagi salah seorang diantara sepasukan pengawal, tidak untuk berdiri sendiri-sendiri. Namun sejak hari pertama. Agung Sedayu sudah merasa, sikap anak muda yang pernah disebut oleh anak-anak muda Sangkal Putung itu memang agak aneh. Kadang-kadang anak muda itu tidak dapat menahan diri lagi, sehingga sikapnya menjadi kasar. Agung Sedayu menjadi bimbang menghadapinya. Apakah ia harus membiarkannya dan berusaha menghindarkan diri dari rencana anak muda itu untuk menjajagi kemampuannya, atau justru sebaliknya. Ia harus segera melakukannya, agar untuk selanjutnya sikap anak itu tidak membuatnya selalu gelisah. Bahkan kawan-kawannya menjadi gelisah. Dalam kebimbangan itu. Agung Sedayu mendapat kesan, bahwa anak itu memang menganggapnya tidak mampu mengatasi persoalan jika ia bersikap kasar. Menolak dan bahkan kadang-kadang memperolok-olok-kan bimbingan Agung Sedayu bagi anak-anak muda itu. “Kau harus mengambil langkah yang tepat tetapi cepat Agung Sedayu,” berkata Ki Lurah Branjangan ketika Agung Sedayu melaporkannya. Lalu, “Aku tahu, kau belum terbiasa melakukannya didalam lingkungan keprajuritan. Mungkin kau dapat mengambil cara yang kau lakukan sekarang ini bagi anakanak muda Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi tidak untuk ditrapkan pada anak-anak muda yang harus dilatih sebagai seorang prajurit gemblengan.”

“Apa yang harus aku lakukan Ki Lurah ?” bertanya Agung Sedayu. “Menegurnya. Lalu, bertindak tegas jika ia melawan,“ jawab Ki Lurah. “Apakah tindakan seperti itu dibenarkan ?” bertanya Agung Sedayu. “Dalam batas-batas kewenangan memang dibenarkan,“ jawab Ki Lurah. Tetapi kemudian katanya, “Namun nampaknya anak itu memang merasa memiliki bekal dari satu perguruan tertentu. Karena itu kau harus berhati-hati.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Setiap kali ia dihadapkan pada kekerasan. Tetapi ia menganggap, sebagaimana dikatakan oleh Ki Lurah Branjangan, persoalan itu secepatnya harus diatasi. Dengan demikian ia tidak membiarkan keragu-raguandan ketidak pastian berkelanjutan lebih lama lagi. Namun demikian. Agung Sedayupun harus memperhatikan pesan Ki Lurah Branjangan, bahwa anak muda itu nampaknya memang memihki bekal yang cukup dari sebuah perguruan. Sebenarnyalah bahwa sikap anak muda itu telah menarik perhatian beberapa orang anak muda yang lain. Bahkan kawan-kawannya dari daerah Pasantenanpun memperingatkannya. Tetapi karena anak muda itu memiliki kelebihan dari kawan-kawannya, maka tidak seorangpun yang kemudian berani mencegahnya. Apalagi jika anak muda yang seorang itu sudah mulai membentak. Tetapi anak-anak muda dari daerah lain, kadang-kadang hampir tidak sabar lagi. Seorang anak muda dari Mataram hampir saja bertindak sendiri. Untunglah kawannya dapat mencegahnya. “Biarlah Agung Sedayu sendiri mengatasinya,“ desis kawannya. “Ia tidak berbuat apa-apa. Tindakan anak Pasantenan itu sudah keterlaluan,“ desis anak muda yang hampir saja bertindak sendiri itu. “Kita sudah mengenal Agung Sedayu,“ jawab kawannya, “tentu ia mempunyai kebijaksanaan tersendiri. Ia memang selalu berusaha menghindari perselisihan.” “Tetapi tidak dalam keadaan seperti ini,“ jawab anak muda yang marah itu, “aku yakin dan pasti. Agung Sedayu adalah seorang yang memihki kemampuan tiada taranya. Mungkin hampir seperti Senopati Ing Ngalaga sendiri. Tetapi ternyata ia bukan seorang pemimpin yang tegas dan mampu bertindak.” “Ia mempunyai cara yang berbeda dengan caramu,“ sahut kawannya pula. Anak muda yang marah itu menarik nafas panjang. Seolah-olah udara diseluruh Tanah Perdikan Menoreh akan dihirupnya untuk menenangkan gejolak dijantungnya.

Dalam pada itu, anak-anak muda dari Tanah Perdikan Menorehpun menjadi gelisah. Sementara anakanak muda Sangkal Putung benar-benar tidak mengerti sikap Agung Sedayu. “Jika yang mengalami perlakuan itu Swandaru, maka anak itu tentu sudah babak belur,“ desis anak muda Sangkal Putung itu. Namun sebenarnyalah akhirnya Agung Sedayupun mengerti, jika ia tetap diam saja mengalami perlawanan dari anak muda Pasantenan itu, maka akibatnya akan menggoncangkan kewibawaan pasukan khusus itu sen diri. Karena itu, iapun mulai bersiap-siap untuk meng ambil sikap yang lebih pasti. Demikianlah, ketika Agung Sedayu memberikan bimbingan dalam olah ketahanan tubuh, mulailah anak muda itu dengan sikapnya. Demikian kawan-kawannya mulai berlatih diatas bebatuan disebuah sungai yang tidak terlalu besar, tetapi mengandung banyak batu-batu besar, mulailah anak itu menunjukkan sikapnya yang menentang. Anak-anak muda itu telah dibawa oleh Agung Sedayu dipagi-pagi buta untuk berloncatan sambil berlari-lari diatas bebatuan. Kecuali berlatih kecepatan gerak kaki, maka latihan itu berguna pula bagi latihan keseimbangan. Dalam keseluruhan, maka latihan itu akan dapat meningkatkan ketrampilan dan ketahanan tubuh karena latihan yang cukup berat. Namun demikian anak-anak muda itu mulai berlari-lari diatas bebatuan sambil berloncat-loncat, maka seperti biasa anak muda dari Pasantenan itu justru duduk ditepian sambil berteriak, “jangan ajari kami dengan permainan anak-anak ingusan. Kami tidak akan bermain kejarkejaran seperti itu. Ajari kami bertempur atau tingkatkan kemampuan kami dalam olah kanuragan.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun ia menganggap bahwa waktunya sudah tiba. Ia harus bertindak jika ia tidak ingin didahului oleh anak anak muda didalam pasukan kecil itu. Jika anak-anak muda itulah yang akan bertindak, maka akibatnya tentu akan berkepanjangan. Karena itu, maka Agung Sedayupun menghentikan latihan itu. Dengan langkah pasti ia mendekati anak muda yang duduk ditepian sambil memeluk lututnya itu. “Cepat, ikuti latihan ini,“ perintah Agung Sedayu kepada anak muda itu ketika ia sudah berdiri beberapa langkah dihadapannya. Tetapi anak muda itu justru tertawa. Katanya, “Kau kira latihan semacam itu akan bermanfaat ?” “Aku tahu, kau memiliki bekal ilmu yang cukup. Tentu kau mengetahui, bahwa latihan ketrampilan dan keseimbangan ini akan bermanfaat sekali. Aku kira kau sudah pernah mengalaminya meskipun mungkin dengan cara yang berbeda. Mungkin kau mempergunakan tonggak-tonggak yang kau tanam. Mungkin kau mempergunakan

lingkaran-lingkaran di tanah, atau mungkin pula kau mempergunakan penampi yang kau tebarkan di halaman perguruanmu atau cara-cara yang lain,“ jawab Agung Sedayu. “Justru karena itu aku sudah jemu. Anak-anak muda yang lainpun sudah jemu pula. Kau kira latihan semacam ini akan mempengaruhi kemampuanku ? Mempengaruhi ketrampilanku dan apalagi daya tahan tubuhku ?” berkata anak muda itu. Lalu, “Agung Sedayu, sudah lama aku ingin mengatakan kepadamu, bahwa kita memang harus bertukar tempat.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Agaknya waktunya memang benar-benar tepat untuk menunjukkan kepada anak muda itu, bahwa ia telah melanggar paugeran. “Apa maksudmu ?” bertanya Agung Sedayu. “Ternyata karena pengetahuanmu dalam olah kanuragan yang sangat sempit, maka kau mencoba mengajari kami dengan hal-hal yang sudah ketinggalan sepuluh tahun dari ajaran-ajaran diperguruanku. Karena itu, serahkan kepadaku, bagaimana seharusnya memberikan latihan-latihan kepada anak-anak muda yang akan menjadi pemimpin dalam satu pasukan khusus yang kuat.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja timbul keseganannya melayani anak muda itu, karena dengan demikian seakan-akan ia telah berebut tempat. Namun ketika ia melihat wajahwajah yang tegang disekitarnya, maka ia mulai membuat pertimbangan-pertimbangan lagi. Jika ia tidak melayahi sikap anak muda itu, maka mungkin justru orang lainlah yang akan melakukannya. Mungkin anak muda Mataram, Sangkal Putung atau anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan mungkin anak-anak muda dari Pegunungan Kidul sendiri akan mencegahnya bersama-sama, karena tidak seorangpun berani melakukannya sendiri. Karena itu, maka iapun berusaha untuk mengusir keragu-raguannya. Justru karena itu, maka meledaklah jawabnya, “Kau sangka bahwa latihan-latihan semacam ini hanya dilakukan pada saat-saat permulaan kau mengenal olah kanuragan ? Aku melakukannya sampai sekarang meskipun kemampuanku sudah jauh melampaui kemampuanmu.” “Omong kosong,“ jawab anak muda itu. Sambil berdiri dan bertolak pinggang ia berkata, “kau jangan menganggap dirimu mumpuni.” “Aku merasa demikian,“ jawab Agung Sedayu, “karena itu, aku diserahi tugas untuk melakukan hal ini oleh Ki Lurah Branjangan yang sudah mengenalku dengan baik. Kaupun harus menyadari, sikapmu ini akan dapat menghadapkan kau pada paugeran. Kau telah melawan perintah orang yang mendapat wewenang untuk melakukannya.” “Aku akan menegakkan wibawa pada sekelompok anak-anak muda yang dengan penuh pengabdian mendahului memasuki barak ini,“ jawab anak muda itu, “jika disini kami hanya di hadapkan kepada seseorang seperti kau, alangkah pahitnya perjuangan ini. Apa artinya pasukan khusus yang bakal

terbentuk.” “Jalankan perintahku,“ potong Agung Sedayu, “aku memiliki segala unsur yang diperlukan untuk memaksamu. Aku mempunyai kekuasaan sebagaimana dilimpahkan oleh Ki Lurah Branjangan. Dan aku mempunyai kemampuan cukup untuk memaksamu dengan kekerasan jika kau membantah.” “Aku menolak,“ jawab anak muda itu tegas. “Baik. Kawan-kawanmu menjadi saksi. Jika aku berusaha memaksamu, aku mempunyai alasan yang cukup,” berkata Agung Sedayu kemudian sambil melangkah mendekat. “Jangan mendekat lagi, supaya jantungmu tidak rontok,” berkata anak muda itu. Tetapi Agung Sedayu melangkah maju sambil berkata, ”Aku akan menyeretmu.” Wajah anak muda itu menjadi merah. Menihk sikap dan tingkah laku Agung Sedayu, maka ia tidak akan mengambil tindakan seperti itu. Namun bagi anak muda itu, justru merupakan satu kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya. Karena itu, demikian Agung Sedayu menangkap lengannya dan menyeretnya, anak muda itu berusaha untuk tetap tegak. Ia ingin menunjukkan kepada anak-anak muda yang menjadi saksi di tepian itu, bahwa tenaga Agung Sedayu tidak dapat menggoyahkan kekuatannya. Sebenarnyalah terasa oleh Agung Sedayu, bahwa anak muda itu memiliki kekuatan yang sangat besar. Ketika ia berusaha untuk menariknya, maka ia merasakan betapa kuatnya anak muda yang tegak berdiri ditepian itu. Agung Sedayu tidak segera menghentakkannya. Ia justru masih bertanya, “Kau akan bertahan dalam sikap yang demikian ?” “Gila,“ geram anak muda itu, “lakukan, apa yang akan kau lakukan.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ketika ia memandang anak-anak muda yang berdiri ragu-ragu memutarinya, maka iapun memutuskan untuk melakukannya, agar tingkah laku anak yang melawannya itu tidak meniadi contoh bagi anak-anak muda yang lain untuk melanganggar paugeran. Karena itu, maka Agung Sedayupun terpaksa menunjukkan bahwa ia memiliki kekuatan lebih besar dari anak muda itu. Dengan serta merta, maka anak muda yang telah berusaha melawannya itu ditariknya dengan paksa. Kaki anak itu berusaha untuk tetap melekat pada pasir tepian. Namun ia tidak berhasil bertahan. Bahkan kemudian Agung Sedayu telah mengibaskannya dengan kekuatan yang sangat besar sehingga

anak muda itu telah terdorong beberapa langkah. Namun ia tidak berhasil mempertahankan keseimbangannya, sehingga akhirnya iapun telah jatuh terjerembab. Adalah diluar sadar, bahwa beberapa orang anak muda telah bersorak. Apalagi anak muda Mataram yang marah, yang hampir saja mengambil sikap sendiri itupun dengan serta merta telah bertepuk tangan. Agung Sedayu menjadi semakin yakin, bahwa ia sudah berbuat sesuai dengan yang seharusnya dilakukan. Karena itu, maka ketika anak muda itu dengan tangkasnya berdiri, ia sudah berada selangkah saja dihadapannya. “Sekarang, ikuti perintahku,“ katanya. Tetapi anak muda yang menjadi kotor oleh pasir itu menjadi sangat marah, la tidak lagi menghiraukan apapun juga, Karena itu maka dengan serta merta ia telah menyerang Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu telah menduganya. Karena itu, ketika tiba-tiba kaki anak muda itu terjulur kearah lambungnya maka iapun sempat mengelak dengan langkah kecil kesamping. “Jangan menjadi gila,“ geram Agung Sedayu, “aku dapat menghukummu atas hak yang dilimpahkan kepadaku” “Persetan,“ geram anak muda itu, “jika kau mampu mengalahkan aku, aku tunduk kepada segala keputusanmu. Tetapi jika aku yang mengalahkanmu, kaulah yang harus tunduk kepadaku.” “Aku mendapat wewenang. Kau tidak,“ jawab Agung Sedayu. “Aku tidak peduli dengan wewenang. Tetapi aku tidak mau berada disini untuk mengikuti cara latihan sebagaimana harus aku lakukan sepuluh tahun yang lalu yang diberikan oleh seseorang yang kemarnpuannya jauh dibawah kemampuanku.” Bentak anak muda itu. Agung Sedayu memandang anak muda itu dengan tajamnya. Sebenarnyalah ia tidak ingin berbuat kasar. Tetapi bahwa nalarnyalah yang telah mendorongnya untuk melakukan kekerasan sesuai dengan tugasnya, meskipun agak bertentangan dengan perasaannya. Karena itu, maka Agung Sedayupun telah memaksa dirinya. Seakan-akan ia memang seorang pemimpin yang tegas. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia menggeram, “Aku menghitung sampai tiga. Jika kau masih tetap berkeras untuk menolak perintahku, aku akan mempergunakan kekerasan.” Tetapi belum lagi Agung Sedayu mulai menghitung, maka justru anak muda itulah yang mendahuluinya. Dengan garangnya ia telah meloncat menyerang, langsung menghantam kearah dada. Tetapi Agung Sedayu sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia sadar, bahwa yang dihadapinya adalah anak-anak muda yang ingin mengembangkan dirinya dalam satu pasukan khusus. Karena itu, maka ia tidak boleh menghadapi anak muda itu sebagaimana menghadapi Ajar Tal Pitu.

Karena itu, maka Agung Sedayu justru ingin lebih banyak menunjukkan kelebihan-kelebihan yang ada padanya bagi kepentingan kedudukannya sebagai salah seorang pemimpin dari anak-anak muda itu. Dengan demikian, maka ia tidak perlu menyakiti anak muda yang sedang bergejolak jiwanya itu. Ia tidak akan berkelahi dan apalagi dengan kemarahan yang meluap membalas setiap serangan dengan serangan. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu sempat melindungi dirinya dengan ilmu kebalnya meskipun hanya selapik tipis, sehingga seandainya serangan anak muda itu benar-benar mengenainya, maka ia telah terbebas dari akibat yang dapat berbahaya baginya. Tetapi Agung Sedayu tidak ingin menunjukjkan kekebalannya. Yang dilakukannya adalah menghindari serangan anak muda itu. Ketika serangannya yang pertama tidak menyentuh sasaran, maka anak muda itupun telah menyerangnya pula. Demikian Agung Sedayu menghindar, maka iapun segera memburunya. Mula-mula anak-anak muda yang melihat perselisihan itu menjadi heran dan bahkan ada yang kecewa bahwa Agung Sedayu hanya dapat meloncat-loncat menghindar tanpa mendapat kesempatan untuk membalas. Namun akhirnya mereka menyadari, bahwa Agung Sedayu memang tidak berusaha membalasnya. Meskipun demikian, walaulpun Agung Sedayu sama sekali tidak membalasnya, tetapi serangan anak muda itu tidak pernah berhasil mengenainya. Seandainya serangannya dapat menyentuhnya, seakanakan Agung Sedayu sama sekali tidak merasakan akibatnya. Anak muda yang tidak yakin akan kemampuan Agung Sedayu itu menjadi semakin marah. Iapun menyerang semakin garang. Tetapi kecepatan gerak Agung Sedayu justru membuatnya mulai pening. Dalam pada itu, anak-anak muda yang menyaksikan perkelahian itu mulai melihat permainan Agung Sedayu. Pada umumnya merekapun memiliki kemampuan meskipun baru pada tataran dasar. Karena itu, maka merekapun melihat, apa yang sebenarnya terjadi. Ada juga diantara anak-anak muda itu yang kecewa. Mereka ingin Agung Sedayu bertindak lebih keras. Membuat anak muda yang sombong itu menjadi benar-benar jera Tetapi ada juga yang melihat permainan Agung Sedayu itu sebagai satu lelucon yang menyenangkan. Mereka melihat cara Agung Sedayu mengatasi persoalannya dengan sikap dan gurau yang segar. Karena itu, beberapa orang diantara anak-anak muda itupun justru mulai bersorak-sorak. Bahkan ada yang bertepuk tangan dengan gembiranya. Mereka melihat wajah yang merah biru dari anak muda Pasantenan yang semakin lama menjadi semakin marah, karena iapun akhirnya sadar, bah w Agung Sedayu telah mempermainkannya.

“Gila “ geram anak muda itu, “kau terlalu sombong Agung Sedayu.” Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia masih saja berloncatan menghindari setiap serangan. Semakin lama semakin cepat, sehingga anak muda itupun menjadi ber tambali pening. Bahkan kadangkadang ia telah kehilangan sasaran serangannya. Ketika anak-anak muda yang menyaksikan bersorak semakin keras, maka iapun menjadi semakin marah. “Akhiri kegilaanmu ini,“ desis Agung Sedayu. “Persetan “ geram anak muda itu. Namun akhirnya terjadi yang tidak diduga-duga oleh Agung Sedayu dan anak-anak muda yang menyaksikan sambil bersorak-sorak itu. Jika mereka semula menganggap hal itu sebagai satu permainan yang Jenaka dari Agung Sedayu, maka merekapun tiba-tiba menjadi tegang. Anak muda dari Pasantenan yang marah itu, ternyata tidak dapat mengendalikan diri lagi. Ketika kemarahannya telah memuncak, maka tiba-tiba saja ia telah mencabut pisau belati dari bawah bajunya. Sambil mengacukan pisau itu ia menggeram “ Aku bunuh kau anak gila yang sombong.” Agung Sedayu berdiri termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, “Aku peringatkan sekali lagi. Jangan menjadi gila. Aku mengemban tugas dan wewenang disini. Kau tidak. Aku dapat bertindak dengan lembut, keras dan bahkan kasar. Aku masih ingin melihat kau menyadari kesalahanmu dengan permainan ini. Tetapi nampaknya kau justru menjadi semakin liar. Aku peringatkan, sarungkan pisau itu dan tunduk segala perintahku.” Anak muda itu tidak menghiraukannya. Tiba-tiba saja iapun telah meloncat menyerang Agung Sedayu dengan pisau ditangannya. Agung Sedayu yang menghindar menjadi ragu-ragu. Apakah ia masih harus bermain-main, atau dengan keras membuat anak itu menjadi jera. Sementara itu, anak-anak muda yang menonton perkelahian itu tidak lagi bersorak-sorak dan bertepuk tangan. Mereka mulai menganggap persoalan ilu menjadi sungguh-sungguh. Anak muda Pasantenan itu benarbenar telah lupa diri dan kehilangan pengamatan nalarnya. Sehingga karena itu, maka ia telah terdorong untuk berbuat sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan. Anak-anak muda Pasantenan yang lainpun menjadi tegang.

Mereka sama sekali tidak dapat membenarkan tingkah laku seorang diantara mereka yang justru mereka anggap paling baik diantara mereka. Dalam pada itu, akhirnya Agung Sedayupun telah mengambil keputusan. Ia tidak dapat memperlakukan anak itu seperti yang pernah terjadi atas Prastawa. Jika ia tidak bertindak atas anak itu, maka persoalannya akan berpengaruh atas kedudukannya. Kepercayaan kepadanya akan berkurang, seolah-olah ia tidak mampu bertindak tegas sebagai seharusnya seorang pemimpin. Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian bertekad untuk membuat anak muda dari Pasantenan itu menjadi jera. Dalam pada itu, anak muda yang marah itu masih menyerangnya dengan pisau ditangan. Ketika Agung Sedayu menghindar, maka iapun telah memburunya. Sementara itu. Agung Sedayu yang telah bulat niatnya untuk membuat lawannya jera, sekaligus menunjukkan kepadanya, bahwa kemampuannya itu sama sekah tidak berarti bagi Agung Sedayu. Karena itu, maka ketika seka-h lagi anak muda itu menyerang, maka dengan gerak yang sederhana Agung Sedayu bergeser menghindar. Sementara itu, demikian tangan anak muda itu terjulur, dengan sebagian saja dari kekuatannya Agung Sedayu telah memukul pergelangan tangan anak muda yang marah itu. Terasa pukulan tangan Agung Sedayu itu bagaikan hentakkan sepotong besi baja. Demikian kerasnya, sehingga tangannya bagaikan patah karenanya.Jari-iar!i. nya tidak lagi mampu mempertahankan pisau belatinya dalam genggaman, sehingga pisau belati itupun telah terlempar jatuh. Anak muda yang kesakitan itu meloncat surut. Matanya masih memancarkan kemarahan yang tidak tertahankan. Karena itu, maka Agung Sedayupun bergeser surut sambil berdesis “ Ambil pisaumu. Ambil. “ • Orang itu menjadi ragu-ragu. Namun sebenarnyalah kemarahannya masih membakar jantungnya. Selangkah lagi Agung Sedayu mundur sambil berkata, “Ambil senjatamu. Aku tahu, kau masih belum puas. Kau mungkin merasa, bahwa kebetulan sekali aku dapat menjatuhkan pisaumu.” Anak muda itu memang masih di bakar oleh kemarahan. Karena itu, maka perlahan-lahan ia melangkah mendekati pisaunya sambil bergumam “ Kau sombong sekali. Kau akan menyesal.” Dalam pada itu, tiba-tiba saja telah terjadi sesuatu yang tidak disangka-sangka sama sekali. Ternyata anak muda itu bukan saja kasar. Tetapi juga licik. Demikian ia meraih pisaunya, maka iapun telah menggenggam pasir ditangannya.

Diluar dugaan, tiba-tiba saja anak muda itu telah melemparkan segenggam pasir itu kemata Agung Sedayu. Agung Sedayu berdesis tertahan. Matanya menjadi kabur. Sementara itu iapun sadar, bahwa anak muda itu benar-benar licik dan tidak tahu diri, sehingga ia akan mempergunakan kesempatan itu untuk menyerang. Karena itu, maka Agung Sedayu meloncat mundur. Ia mendengar anak muda itu mengumpat kasar. Dan Agung Sedayupun sadar, bahwa anak muda itu sudah siap untuk menyerangnya. Agung Sedayu tidak sempat berpikir terlalu panjang. Hampir diluar sadarnya, ia telah mempertebal lapisan ilmu kebal yang melindunginya. Karena itu, maka pada saat Agung Sedayu kemudian sibuk membersihkan pasir dimatanya, sementara anak muda itu mempergunakan saat yang demikian untuk menyerang, sekali lagi anak-anak muda yang mengerumuninya itupun terkejut karenanya. Sementara Agung Sedayu masih belum sempat berbuat sesuatu karena matanya masih kabur, anak muda itu telah sempat menusuknya dengan pisau belati yang telah dipungutnya tepat dilambung. Anak-anak muda yang mengerumuninya hampir saja berloncatan untuk beramai-ramai bertindak atas anak muda itu. Namun mereka tertegun ketika ternyata anak muda itu telah meloncat mundur. Bahkan kemudian sekali lagi ia berusaha untuk menikam Agung Sedayu pada dadanya. Tetapi pisau itu sama sekali tidak melukai kulitnya. “Gila “ geram Agung Sedayu yang sebenarnya tidak ingin memperlihatkan betapa ia mempunyai ilmu kebal. Namun diluar kehendaknya, hal itu telah terjadi, karena pasir dimatanya itu telah mengaburkan pandangannya. Meskipun ilmunya telah membuatnya tidak merasa pedih karena pasir dimatanya, tetapi ia tetap tidak dapat melihat dengan jelas, karena segenggam pasir yang memenuhi kedua matanya itu. Anak muda itu berdiri tegak bagaikan patung. Ia merasa pisau belatinya bagaikan mengenai selapis besi baja. Bukan tubuh Agung Sedayu yang koyak karena pisaunya, tetapi tangannya justru merasa pedih. Ketika anak muda itu mehhat baju Agung Sedayu telah tersayat oleh pisau belatinya, maka iapun segera menyadari, bahwa sebenarnyalah kulit Agung Sedayu tidak dapat dilukainya. Sementara itu, tanpa menghiraukan anak muda yang menyerangnya, Agung Sedayupun telah melangkah kedalam air yang tidak begitu dalam. Sambil membungkukkan badannya, maka iapun membersihkan wajah dengan air sungai itu. Baru sejenak kemudian, matanya menjadi terang. Pasir di matanya itu telah larut oleh air sungai yang dipergunakannya untuk mencuci mukanya.

Ketika iapun kemudian berdiri tegak dan berpaling memandang anak muda yang masih menggenggam pisau itu, maka wajah anak muda itupun menjadi pucat. “Kau terlalu licik anak muda “ geram Agung Sedayu. Anak muda itu tidak menjawab. Tetapi tubuhnya mulai gemetar. “Itu bukan watak seorang laki-laki jantan. Aku menghargai segala macam cara untuk mempertahankan diri dalam olah kanuragan. Tetapi bukan cara yang licik dan tidak menghormati harga diri seperti yang kau lakukan itu,” berkata Agung Sedayu lebih lanjut. Lalu katanya kemudian, “Bukan maksudku untuk menyombongkan diri. Tetapi hal ini sudah terlanjur kau ketahui. Jika kau ingin menusuk bagian dari tubuhku, silahkan. Kau boleh memilih. Bahkan kau dapat menusuk kedua mataku yang baru saja kau baurkan dengan pasir itu.” Anak muda dari Pasantenan itu menjadi tegang. Wajahnya menjadi kemerah merahan. Ia baru menyadari kesalahannya. Ternyata bahwa anak muda yan^ bernama Agung Sedayu itu memiliki ilmu kebal atau ilmu yang lain yang sejenis. Ternyata pisau belatinya sama sekali tidak dapat tergores dikulitnya.. Hanya bajunya sajalah yang telah dapat dikoyakkannya. Tepian itupun kemudian menjadi hening. Anak-anak muda yang menyaksikan kejadian itupun menjadi berdebar-debar. Ketika mereka memandang wajah anak muda yang menjadi ketakutan itu, merekapun menjadi iba. Agung Sedayu telah benar-benar menjadi marah, karena anak muda dari Pasantenan itu telah berusaha untuk membunuhnya. Seandainya Agung Sedayu tidak memiliki ilmu kebal atau ilmu yang sejenis dengan itu, maka ia tentu sudah terbunuh ditepian itu. Ketika Agung Sedayu selangkah demi selangkah mendekatinya, maka rasa-rasanya jantung anak muda itu akan meledak. Langkah kaki Agung Sedayu bagaikan hentakan bukit-bukit yang membujur ke Utara itu menimpa dadanya. “Dengan licik kau sudah mencoba membunuh aku. Seseorang yang mendapat wewenang menjadi salah seorang pemimpin dari pasukan khusus yang bakal dibentuk. “ geram Agung Sedayu. Anak muda itu menjadi semakin pucat. “Marilah. Puaskan hatimu,” berkata Agung Sedayu kemudian, “jika kau sudah puas. baru aku akan membalas dengan senjata yang sama. Aku akan merebut senjata itu dari tanganmu, kemudian aku akan mengoyak perutmu sehingga ususmu akan keluar. Bukan salahku, karena aku hanya melakukan seperti

yang telah kau lakukan.” Anak muda itu surut selangkah. Tubuhnya benar-benar menjadi gemetar dan darahnya bagaikan terperas habis dari tubuhnya, sehingga wajahnya menjadi seputih kapas. “Jangan cengeng,” bentak Agung Sedayu, “cepat. Lawan aku sebagaimana seorang laki-laki. Aku adalah orang yang paling kasar di Tanah Perdikan Menoreh dan juga di Jati Anom sebelumnya. Aku membunuh lawan-lawanku dengan cara yang paling kejam, sebagaimana aku lakukan atas Ajar Tal Pitu di Tanah Perdikan ini.” Anak muda itu menjadi semakin ketakutan. Kakinya yang gemetar seolah-olah tidak lagi dapat menahan berat badannya. Ketika Agung Sedayu melangkah lagi mendekat, maka terhuyung-huyung anak muda itu berusaha melangkah mundur. Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh, Sangkal Putung dan Mataram yang pernah mengenal Agung Sedayu menjadi heran. Anak itu tidak pernah bersikap seperti itu. Bahkan menghadapi lawan yang paling gawat sekalipun. Sementara itu, yang dihadapinya adalah anak muda Pasantenan yang sama sekali tidak dapat diperbandingkan dengan Ajar Tal Pitu. Namun dalam keadaan marah Agung Sedayu telah menyebut nama Ajar Tal Pitu. “Kelicikan anak itulah yang telah membuat Agung Sedayu marah sekah,” berkata anak-anak muda itu didalam hatinya. Anak muda yang ketakutan itu hampir saja terjatuh ketika Agung Sedayu membentaknya, “Cepat. Lakukan sebagaimana sudah kau lakukan. Anak muda itu justru membeku. “Cepat “ Agung Sedayu hampir berteriak. Tetapi anak muda itu justru menggeleng sambil menjawab sendat “ Tidak. Aku tidak akan berbuat lagi.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan lantang ia bertanya, “Kau berjanji ?” “Aku berjanji,“ desis anak muda itu. “Bohong “ geram Agung Sedayu kau tentu mendendam. Kau tentu menunggu satu kesempatan yang akan dapat kau pergunakan. Aku tidak percaya. Kau terlalu licik.” “Aku berjanji. Aku bersumpah “ suaranya gemetar

“aku merasa telah bersalah. Dan aku tidak akan mengulanginya lagi.” “Omong kosong,” bentak Agung Sedayu. “Sungguh. Aku bersumpah. “ anak muda itu hampir menangis “ aku mohon maaf bahwa aku sudah melakukan kebodohan ini.” “Lahir dan batin ?” bertanya Agung Sedayu. “Lahir dan batin,“ sahut anak muda itu. “Tetapi kesalahanmu terlalu besar untuk dimaafkan. Kau sudah melakukan percobaan untuk membunuh “berkata Agung Sedayu. “Semuanya terjadi di luar sadarku. jawabnya. Namun sebelum ia melanjutkan Agung Sedayu memotongnya dengan suara keras Setiap saat kau dapat berkata begitu. Setiap kesalahan dapat saja kau tutupi dengan pengakuan diluar sadarmu. Seandainya aku sudah terkapar mati, dan Ki Lurah Branjangan datang menuntut pertanggungan jawabmu, maka kau dapat berkata sambil bertolak pinggang “ Semuanya terjadi diluar sadarku.” “Tidak “ Tidak. “ anak muda itu menjadi kebingungan. “Baiklah “berkata Agung Sedayu kemudian, “jika kau benar-benar merasa bersalah. Kali ini aku memaafkanmu. Tetapi jika kau berbuat kesalahan sekah lagi, maka aku tidak akan dapat mengulangi kemurahan ini. Aku sudah mengorbankan sifat-sifatku yang kasar dan barangkali bengis kah ini, karena kau masih terlalu bodoh dengan menganggap bahwa kau sudah memiliki bekal cukup untuk menjadi seorang prajurit dalam pasukan khusus.” “Aku berjanji,“ katanya pula terpatah-patah. “Jika kau berjanji, itu berarti kau akan tunduk kepada segala perintahku,” berkata Agung Sedayu. “Ya. “jawab anak muda itu. “Bagus,” berkata Agung Sedayu. Kemudian katanya kepada anak-anak muda yang lain “ kita akan meneruskan latihan-latihan kita yang terpotong oleh peristiwa ini. Tetapi ada juga manfaatnya. Siapa yang berusaha menentang perintah, dalam lingkungan pasukan khusus ini berlaku paugeran, bahwa mereka akan dihukum. Atau sama sekali menanggalkan niatnya untuk mengikuti latihan-latihan berikutnya dan kembali ke daerah masing-masing.” Anak ,- anak* muda itu menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya mereka telah terlepas dari ketegangan yang mencekik. Agung Sedayu telah memaafkan anak muda Pasantenan itu. Namun demikian, peristiwa itu akan tetap membekas dihati anak-anak muda itu, maupun dihati Agung Sedayu. Anak muda dari Pasantenan itu benar-benar telah berusaha membunuh Agung Sedayu.

Dengan demikian, meskipun Agung Sedayu sendiri tidak mengambil tindakan apapun dan memaafkannya, namun nama anak muda itu seakan-akan telah menjadi cacat. Sebenarnyalah, Agung Sedayu kemudian telah membawa anak-anak muda itu melanjutkan latihanlatihannya. Tetapi karena matahari telah naik semakin tinggi karena pokal anak muda Pasantenan itu, maka sebagian dari latihan-latihan itupun terpaksa dibatalkan. Dalam pada itu, ketika mereka sudah sampai di barak, maka Agung Sedayupun segera menemui Ki Lurah Branjangan untuk memberikan laporan laporan peristiwa yang baru saja terjadi. Ki Lurah itu sebaiknya mendengar langsung dari mulutnya lebih dahulu, daripada ia mendengarnya dari orang lain. Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya “Kau sudah melakukannya dengan baik. Agaknya anak-anak muda yang datang lebih dahulu sebagai persiapan pasukan khusus yang akan terbentuk itupun telah memberikan latihan kepadamu, bagaimana kau harus menjadi seorang pemimpin.” Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Iapun sadar, bahwa ia memang bukan seorang pemimpin. Karena itu, ia seolah-olah harus berpura-pura dengan sikapnya. Ia harus bertindak tegas dan bahkan jika perlu sedikit kasar. “Agung Sedayu,” berkata Ki Lurah Branjangan “ jika yang mengalami peristiwa itu bukan kau, tetapi seorang Senapati, maka ia tidak akan cukup memaafkannya dan mendengarkan janjinya bahwa ia tidak akan berbuat lagi. Tetapi seorang Senapati lain tentu akan menghukumnya.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun mengerti, bahwa setiap kesalahan memang harus dihukum. Tetapi adalah karena kelemahan hatinya bahwa ia tidak melakukannya. “Ki Lurah,” bertanya Agung Sedayu kemudian, “manakah yang lebih baik menurut Ki Lurah. Seperti yang aku lakukan, atau seperti yang dilakukan oleh seorang Senapati itu.” “Jika persoalannya menyangkut persoalan pribadi Agung Sedayu, maka sikapmu adalah sikap yang terpuji. “jawab Ki Lurah Branjangan “ tetapi jika persoalannya menyangkut paugeran satu kesatuan yang apalagi diharapkan untuk menjadi satu pasukan yang kuat dan taat akan kewajibannya, maka sebaiknya anak muda itu dihukum.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sambil •mengangguk-angguk ia berkata, “Aku mengerti Ki Lurah.” “Tetapi jangan berkecil hati,” berkata Ki Lurah “ seperti anak-anak itu berlatih olah kanuragan, maka kaupun berlatih kepemimpinan. Pengalamanmu akan memberikan banyak petunjuk kepadamu. Kau dapat melihat, apa yang kami lakukan dan apa yang dilakukan oleh Ki Gede Menoreh dan Ki Waskita. Kau melihat perbedaan sikap Ki Gede jika ia berdiri dihadapan anak-anak muda Tanah Perdikannya, dan juga ia berdiri dihadapan anak-anak muda di barak itu. Tetapi perbedaan itu t^u sedikit sekah

dapat kau lihat, karena Ki Gede dan Ki Waskita kesempatannya memang tidak begitu banyak. Ki Lurah berhenti sejenak, lalu “ barangkali kau dapat melihat contoh yang lain. Untara. Kau dapat mengingat apa yang dilakukan dihadapan prajurit-prajuritnya.” Agung Sedayu itupun mengangguk-angguk kecil, la memang dapat membayangkan sikap kakaknya dihadapan prajurit-prajuritnya. Namun dengan demikian justru ia menjawab “ Ki Lurah. Ternyata aku memang bukan seorang prajurit. Aku tidak akan dapat bersikap seperti kakang Untara. Aku juga tidak akan dapat menirukan sikap Ki Lurah. Karena itu, agaknya aku memang tidak sesuai dengan tugas ini.” Ki Lurah tertawa. Katanya, “Bukan tidak sesuai. Tetapi kau belum berusaha untuk menyesuaikan diri.” “Suht sekali Ki Lurah,” berkata Agung Sedayu. Seluruh tubuhku menjadi basah kuyup ketika aku berpura-pura marah dan mengumpat dihadapan anak muda dari Pasantenan itu. Sebenarnya akupun menyadari bahwa anak tersebut memang harus dihukum. Tetapi aku tidak dapat melakukannya.” “Kau harus mencoba. Tetapi dengan satu maksud yang baik. Bahwa hukuman itu bukan sekedar satu usaha untuk melepaskan kemarahan dan membalas sakit hati ataupun sakit tubuh. Tetapi yang penting hukuman adalah satu upaya untuk merubah sikap orang itu. Mula-mula ia akan menyesali kesalahannya. Kemudian ia menjadi jera dan tidak akan melakukannya lagi. Tetapi jika hukuman itu justru menumbuhkan dendam dan bahkan mendorongnya untuk berbuat lebih jauh lagi, maka hukuman itu tidak mengenai sasarannya. Tetapi mungkin juga hal itu terjadi karena orang yang dikenai hukuman itu memihki kelainan sifat sehingga upaya yang baik itu dapat berakibat sebaliknya. Jika demikian, maka terhadap orang yang khuSus itu harus dicari penyelesaian yang khusus pula. Agung Sedayu masih mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Ki Lurah. Tetapi iapun menyadari kelemahannya sendiri. Ia tidak akan mungkin dapat berbuat seperti kakaknya. Sehingga dengan demikian maka rasa-rasanya ia memang tidak akan dapat menjadi seorang pemimpin yang baik.” Dalam keadaan yang demikian, terbayang di angan-angan Agung Sedayu, Sekar Mirah dengan segala sifat-sifatnya. Seorang gadis yang mengagumi kedudukan, pangkat dan derajad. Yang membayangkan hari depan yang baik sebagaimana dilihatnya pada beberapa orang tertentu. “Apakah aku akan pernah dapat memberinya kepuasan dalam ujud gelar keduniawian. Pangkat, semat dan derajad ?” bertanya Agung Sedayu didalam dirinya sendiri. Dan iapun menjadi berdebar-debar jika ia mengingat, bahwa telah diputuskan, segalanya akan diselesaikan dalam upacara pengantin pada bulan

di akhir tahun mendatang. Semakin lama menjadi semakin dekat. Namun bagaimanapun juga yang terjadi pada Agung Sedayu itu adalah satu pengalaman. Bahkan Agung Sedayu telah berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri, bahwa sebaiknya ia menyesuaikan diri dengan kedudukan yang dihadapinya. ^ “ Seandainya bukan karena keinginanku sendiri atas satu kedudukan, namun dengan kedudukan itu aku sudah berusaha memenuhi salah satu keinginan Sekar Mirah,” berkata Agung Sedayu. Dalam keragu-raguan itu, maka tidak ada cara yang lebih baik baginya untuk mohon petunjuk kepada Ki Waskita. Jika tidak ada Kiai Gringsing, maka bagi Agung Sedayu, Waskita adalah gurunya yang ke dua. Apalagi keduanya mempunyai beberapa persamaan sikap meskipun ada juga beberapa perbedaannya. Ketika Agung Sedayu menceriterakan persoalannya kepada Ki Waskita, maka Ki Waskita itupun tersenyum. Namun ternyata jawabnya memang agak berbeda dengan jawaban Ki Lurah Branjangan. “Angger Agung Sedayu,” berkata Ki Waskita*” angger memang tidak sesuai untuk menjadi seorang Senapati prajurit” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi untuk meyakinkannya ia berkata, “Tetapi Ki Lurah Branjangan berkata lain paman. Ki Lurah mengatakan, bahwa akulah yang tidak berusaha untuk menyesuaikan diri.” Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, “Aku tidak dapat mengatakan dengan pasti, siapakah yang benar diantara kami berdua. Tetapi seandainya kau tidak sesuai dengan kedudukan itu, tetapi kau berusaha dengan sungguh-sungguh, memang mungkin akan terjadi pendekatan. Mungkin kau akan dapat melakukannya meskipun masih kurang selapis dari sikap seorang pemimpin yang sebenarnya dikalangan keprajuritan. Tetapi kekurangan itu akan dapat kau tutup dengan kelebihanmu yang lain. Mungkin dalam olah kanuragan. Sebab aku kira, dalam olah kanuragan kau sudah dapat meriyejajarkan diri dengan seorang Senapati.Bukan maksudku memujimu. Tetapi aku yakin, bahwa ilmu kanuraganmu secara pribadi lebih tinggi dari kakakmu Untara. Tetapi Untara mempunyai kelebihan yang lain. Ia memang seorang Senapati dalam sikap dan perbuatan. Dan iapun memiliki pengetahuan yang sangat luas dalam perang gelar dan perhitungan medan, yang sudah barang tentu kurang kau kuasai. Tetapi yang lebih nampak dari kekurangan dihidang ilmu adalah sifat-sifat jiwani. Sifat-sifatmu berbeda dengan sifat sifat Untara.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kepalanya tertunduk dan pandangannya menjadi buram. Ia

mengakui semua yang dikatakan oleh Ki Waskita. Namun karena itu, maka seolah-olah ia tidak mempunyai kesempatan untuk memberikan sesuatu yang diinginkan oleh Sekar Mirah. “Apakah dengan demikian, aku akan dapat menjadi seorang suamd yang baik ?” bertanya Agung Sedayu kepada dirinya sendiri. Justru karena itu, maka rasa-rasanya Agung Sedayu menghadapi sesuatu yang amat pelik dihari kemudian. Dalam pada itu, Ki Waskita seolah-olah melihat yang terpikirkan oleh Agung Sedayu. Meskipun anak muda itu tidak mengatakannya, tetapi sorot matanya seakan-akan memohon kepada Ki Waskita, untuk menolongnya menemukan jawaban atas kegelisahannya. “Angger,” berkata Ki Waskita, “mungkin aku mengerti kesulitan dihatimu. Tetapi apakah kau tidak akan berkecil hati jika aku salah tebak ?” Agung Sedayu memandang Ki Waskita sejenak. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku akan sangat berterima kasih paman.” “Agung Sedayu,” berkata Ki Waskita- kau agaknya berpikir tentang Sekar Mirah. Aku tahu, bahwa Sekar Mirah mempunyai sifat yang mirip dengan sifat kakaknya, Swandaru. Itu bukan salahnya. Agaknya terpengaruh dengan sikap orang tuanya, yang memberikan keyakinan kepada anak-anaknya sejak mereka kanak-kanak bahwa keduanya adalah anak seorang pemimpin. Karena itu, maka ketika mereka menjelang dewasa, maka sikap kepemimpinan merekapun nampak semakin jelas. Tidak selamanya hal ini kurang baik. Kau lihat. Sangkal Putung menjadi maju. Tetapi memang mungkin sekali hal ini akan dapat menumbuhkan sikap yang kurang menguntungkan.” -«» Aku mengerti “ Agung Sedayu mengangguk-angguk. ' “Agung Sedayu,” berkata Ki Waskita, “menjadi kewajiban seorang suami untuk memenuhi keinginan isterinya sejauh dapat dijangkaunya. Tetapi jika keinginan itu melampaui batas kemampuannya, sehingga memaksa seorang suami untuk mengambil jalan memintas tanpa memperhitungkan keadaan dan kemampuannya, apalagi memilih jalan sesat, maka hal itu harus di jauhi.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Waskita berkata, “Tetapi tidak selalu dalam hal yang demikian tidak teratasi. Jika seorang suami mampu menjelaskan, maka agaknya akan dapat dimengerti pula oleh isterinya. Kau dapat melihat banyak sekah contoh dari kehidupan ini. Dari ceritera pewayangan dan dari peredaran sejarah di negeri sendiri. Bahkan keinginan seorang isteri' akan dapat membuat suaminya mukti atau mati. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti Ki Waskita.” “Nah, karena itu, berusahalah. Tetapi jangan memaksa diri melampaui batas kemampuanmu dalam Kewajaran. Jika kau sudah keluar dari kewajaranmu, maka kau akan mengalami kesulitan,” berkata Ki

Waskita kemudian, “demikian juga tentang kedudukanmu. Kau dapat berusaha menyesuaikan diri. Tetapi dalam batas-batas kewajaran. Karena kedudukan bukanlah hanya dapat kau capai dihngkungan keprajuritan, dilingkungan pemerintahan, tetapi segala lapangan akan dapat memberi tempat kepadamu. Meskipun tidak semuanya akan dapat memberikan kepuasan kepada Sekar Mirah.” Agung Sedayu masih mengangguk-angguk “ Terima kasih Ki Waskita. Pengertian yang berharga bagiku. Aku akan mencari keseimbangan diantara berusaha dan kewajaran didalam diriku.” Demikianlah, dihari-hari berikutnya. Agung Sedayu berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan tugasnya, meskipun ia selalu ingat kepada pesan Ki Waskita, bahwa ia harus tetap berpijak kepada kewajarannya. Ia harus tetap dalam kepribadiannya. Ia tidak akan memaksa dirinya untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya bertentangan dengan nuraninya. Ternyata bahwa pengalaman telah menuntunnya meskipun dalam beberapa hal ia memang tidak dapat menempatkan dirinya. Meskipun demikian, ia justru mendapat tempat yang khusus dihari anak-anak muda yang datang dari beberapa daerah itu. Anak muda dari Pesantenan yang telah berusaha untuk melawannya itu justru telah berubah sama sekali. Ia benar-benar telah menyesal, sehingga ia menjadi murung dan menyendiri. Kadang-kadang ia nampak gelisah dan bingung. Kawan-kawannya yang dalang dari daerah yang sama, telah berusaha untuk mendekatinya. Seorang yang berhasil mendengarkan keluhannya mencoba menenangkannya, “Agung Sedayu sudah memaafkanmu. Menurut anak-anak muda dari Sangkal Putung yang mengenalnya dengan baik, juga anak anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh, jika ia sudah memaafkanjmu, maka ia benar-benar memaafkanmu.” “Mustahil,“ desis anak muda itu, “ia sekedar mempermainkan aku. Pada suatu saat, aku tentu akan dihukumnya.” “Yakinlah. Ia tidak akan berbuat seperti itu,“ desis kawannya yang lain. “Tetapi aku memang sudah pasrah. Hukuman apapun yang akan aku terima, aku tidak akan ingkar,” berkata anak muda itu, “mungkin ia menunggu kehadiran semua anak-anak muda yang akan memasuki barak ini dan menunjukkan kepada mereka, bahwa seseorang telah mencoba berkhianat sehingga harus dihukum. v “ Kau hantui dirimu sendiri dengan angan-angan,“ sahut kawannya. Tetapi semua usaha kawan kawannya tidak banyak bermanfaat. Meskipun anak muda itu tidak pernah melalaikan kewajiban sebagaimana harus dilakukan oleh semua anak-anak muda yang lain. sesuai dengan janjinya kepada Agung Sedayu, namun semakin lama anak muda itu menjadi semakin pendiam. Ternyata hal itu telah didengar oleh Agung Sedayu. Ia menyesal bahwa ia tidak memberikan hukuman

apapun juga. Jika ia memberikan hukuman kepada anak muda itu, maka setelah hukuman itu selesai dijalani, maka anak muda itu tentu sudah terlepas dari beban penyesalan yang terlampau berat baginya. Dengan hukuman, ia akan merasa bahwa hutangnya sudah dilunasinya. “Ia menduga bahwa pada saatu saat, kau akan menghukumnya,” berkata seorang anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang mendengar pengaduan anak-anak muda Pasantenan. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Aku akan menemuinya. Ia harus yakin, bahwa aku sudah menganggap persoalan itu selesai.” “Cobalah. Ia terlalu lama menderita batin,“ desis anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh itu. Sebenarnya, pada saat yang dianggap baik. Agung Sedayu telah memanggilnya. Sementara senja turun perlahan-lahan sehingga barak itupun telah diselubungi oleh warna-warna suram. Anak muda itu tidak menolak meskipun jantungnya menjadi berdegupan. Ia menyangka, bahwa hukuman yang selama itu tertunda, akan dilakukan oleh Agung Sedayu dengan cara yang khusus. Tetapi karena ia memang sudah merasa bersalah, maka ia tidak akan ingkar. Dengan tegang, anak muda itu telah menghadap Agung Sedayu dalam ruang yang khusus didalam lingkungan barak itu. Tidak ada orang lain dalam ruangan itu, selain Agung Sedayu. Nyala lampu minyak yang terayun oleh sentuhan angin senja, membuat hati anak muda itu semakin gelisah. “Duduklah,” berkata Agung Sedayu ketika anak muda itu sudah memasuki biliknya. Anak muda itu duduk sambil menundukkan kepalanya. Sementara itu, beberapa orang anak muda Pasantenanpun menjadi gelisah pula. Mereka tidak tahu, apa yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu. Merekapun tidak mengerti, bahwa anak-anak Tanah Perdikan Menoreh telah menyampaikan persoalan anak muda itu kepada Agung Sedayu. Dalam pada itu, di dalam ruangan yang khusus itu, jantung anak muda Pasantenan itu menjadi semakin berdegupan. Namun bukan saja jantungnya, tetapi Agung Sedayupun menjadi berdebar-debar pula. “Aku harus mencoba berlaku sebagai seorang pemimpin,” berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Ia berusaha untuk membayangkan sikap Swandaru di Kademangan Sangkal Putung, atau Raden Sutawijaya di Mataram. Bahkan sikap Prastawa di Tanah Perdikan Menoreh.

Baru setelah Agung Sedayu menjadi tenang, iapun mulai bertanya, “Aku melihat perubahan sikapmu sehari-hari dalam beberapa hari ini. Apakah ada yang kau pikirkan?” Ternyata anak itu tidak ingin menjawab dengan ber-belit-belit. Ia pun menjawab dengan berterusterang “ 9 Aku telah bersalah. Kapan aku akan mendapat hukuman. “Bukankah aku sudah mengatakan, bahwa kau aku maafkan? “ Bukankah kau menyesal dan minta maaf pada saat itu?” bertanya Agung Sedayu pula. Lalu “ Apakah kau tidak percaya bahwa aku benar-benar memaafkanmu?” Pertanyaan itu telah mengejutkan anak muda dari Pasantenan itu. Ia tidak menyangka. Apalagi ketika Agung Sedayu berkata lebih lanjut “ Setelah kau melakukan kesalahan, minta, maaf dan aku maafkan, kau sekarang sama sekali tidak mempercayai aku. Lalu apa maksudmu?” “Aku percaya kepadamu sepenuhnya, “jawab anak muda itu tergagap. “Jika kau percaya, kenapa kau menjadi murung dan menganggap bahwa pada suatu saat kau masih akan mendapat hukuman dari aku? “bertanya Agung Sedayu. Anak muda itu menundukkan kepalanya semakin dalam. Sementara Agung Sedayu kemudian berkata pula “ Aku sudah memaafkanmu. Tetapi jika kau masih membuat persoalan dengan alasan apapun juga, maka aku akan mempertimbangkannya lagi.” “Aku minta maaf,“ desis anak muda itu. “Dua kali kau minta maaf kepadaku - berkata Agung Sedayu, “aku masih akan memaafkannya. Tetapi kau tidak boleh menarik perhatian kawan-kawanmu dengan sikapmu. Kau harus menyadari, bahwa karena sikapmu setiap orang mulai menilai diriku. Seolah-olah aku adalah seorang pendendam. Juga para pemimpin yang tua-tua tentU menilai aku pula, justru karena aku adalah seorang pemimpin yang masih muda.” Anak muda itu mengangguk Dengan wajah tunduk ia menjawab “ Aku akan mencobanya.” “Kau harus melakukannya. Kembali kepada keadaanmu semula,” berkata Agung Sedayu pula. “Ya. Aku akan berusaha,“ desis anak muda itu. “Harus,“ desak Agung Sedayu. “Ya. Harus. “ ulang anak muda itu. “Bagus. Sekarang kembalilah kepada kawan-kawanmu. Kau harus menunjukkan sifat-sifat sewajarnya. Sebenarnya kau mempunyai sikap seorang pemimpin diantara kawan-kawanmu. Tetapi karena kau dibekali sifat sombong, maka kau tidak dapat lagi

menilai dirimu sendiri. Sekarang, kembali kepada kawan-kawanmu tanpa sifat sombong. Maka kau adalah seorang pemimpin yang baik,” berkata Agung Sedayu kemudian, “nah, sekarang kau boleh kembali ke tempatmu.” Anak muda ilupun kemudian bangkit dan mengangguk hormat. Kemudian meninggalkan Agung Sedayu seorang diri dalam bilik itu. Sepeninggal i anak muda itu Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian melepaskannya seolah-olah ingin mengosongkan seluruh isi dadanya. Ketika ia kemudian bangkit, terasa punggungnya menjadi basah. Bahkan kemudian ia tersenyum sendiri. Katanya didalam hati. “ Aku tidak tahu sikap seorang pemimpin. Dan aku menyebutnya seorang pemimpin yang baik.” Namun dalam pada itu, Agung Sedayu sendirilah yang sebenarnya ingin mencoba bersikap sebagai seorang pemimpin. Pemimpin bagi sekelompok anak-anak muda itu memang jauh berbeda dari sikapnya dihadapan anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh. Di Tanah Perdikan Menoreh ia bersama-sama dengan anak-anak muda itu bekerja dan melakukan kegiatan-kegiatan bagi kesejahteraan Tanah Perdikan sebagai mana masih dilakukannya meskipun waktunya 'menjadi jauh susut karena kewajiban-kewajibannya yang baru di barak itu. Tetapi di barak itu, ia tidak hanya sekedar membe-Rikan kemungkinan-kemungkinan atas air yang naik ke parit-parit, atau memberikan contoh dalam olah kanuragan dalam latihanlatihan khusus bagi anakanak muda Tanah Perdikan Menoreh, tetapi ia harus bersikap sebagaimana seorang pimpinan keprajuritan, dengan paugeran-paugeran yang tegas. Sejak hari itu, berangsur-angsur anak muda Pasantenan itu berusaha menyesuaikan dirinya kembali. Ada unsur ketakutannya kepada Agung Sedayu jika ia masih tetap murung dan menyendiri. Bahkan ia menjadi cemas bahwa ia akan dikembalikan ke Pasantenan dan untuk selanjutnya tidak boleh lagi mengikuti latihan-latihan bagi seorang yang akan menjadi bagian dari satu pasukan khusus yang kuat. Dalam pada itu, latihan-latihan yang berat telah mulai dilakukan atas sekelompok kecil anak-anak muda yang mendahului kawan-kawannya itu. Agung Sedayu yang bertekad menyesuaikan diri dengan kepemimpinan anak-anak muda itupun telah melakukan tugasnya dengan baik. Sementara Ki Lurah sendiri dan dua orang perwira pasukan pengawal dari Mataram telah membuat paugeran-paugeran yang ketat yang harus di jalankan dengan tertib dan penuh tanggung jawab. Latihan-latihan keprajuritan, perang gelar dani kemampuan secara pribadi, disamping pengetahuan secara umum beberapa macam ilmu olah senjata. Sementara itu, maka hubungan Agung Sedayu dengan anak-anak muda Tanah Perdikan diluar barak itupun menjadi agak berkurang. Tetapi pada saat-saat tertentu ia masih tetap melakukannya sebagaimana pernah dilakukannya. Bahkan diantara anak-anak muda Tanah Perdikan diluar barak, ia merasa hidup sebagaimana dilakukannya sesuai dengan kewajarannya. Namun setiap kah ia selalu teringat pesan Ki Waskita,”

berusahalah, tetapi iangan lepas dari kewaspadaanmu. Karena itu, maka setiap kali ia merenungi dirinya sendiri, maka Agung Sedayu itupun selalu berdesis “ Agaknya aku lebih sesuai bergaul dengan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh diluar barak itu daripada aku harus berada didalamnya.” Meskipun demikian Agung Sedayu masih tetap berusaha. Mungkin pada suatu saat, ia akan benar-benar dapat menyesuaikan diri dengan kedudukan seorang pemimpin. Sebenarnyalah pada saat-saat selanjutnya, latihan-latihan bagi anak-anak muda itupun menjadi semakin berat. Agung Sedayu mendapat kewajiban*men-jadi salah seorang diantara mereka yang harus memberikan pengetahuan olah kanuragan secara pribadi. Namun karena anak-anak muda itu dicakup dalam satu kesatuan, maka oleh Ki Lurah Branjangan, Agung Sedayu dan kedua perwira pengawal dari Mataram dan Ki Lurah Branjangan sendiri yang juga memberikan tuntunan olah kanuragan secara pribadi, telah diberikan garis-garis tertentu. Pada umumnya seseorang yang berilmu, akan dapat mengetahui tata gerak dalam batasan secara umum, sebelum masing-masing mengkhusus dengan ciri-ciri dan rahasia-rahasia bagi perguruan masing-masing. Dalam batasan yang umum itulah, mereka harus meningkatkan kemampuan pribadi ar^ak-anak muda yang telah berkumpul, mendahului kawan-kawan mereka yang lain. Secara khusus Agung Sedayu harus meningkatkan pengetahuan olah kanuragan anak-anak muda itu tanpa bersenjata. Sementara Ki Lurah Branjangan sendiri telah memberikan petunjuk, bagaimana anak-anak muda itu mempergunakan senjata panjang. Seorang perwira yang lain mempergunakan senjata pendek dan perisai. Demikianlah, semakin lama latihan-latihan di barak itupun menjadi semakin berat. Agung Sedayu yang berusaha menyesuaikan diripun menjadi semakin mapan. la berusaha untuk meningkatkan kemampuan anak-anak muda itu sebagaimana seharusnya. Dalam pada itu, iapur telah berusaha untuk bertindak tegas terhadap setiap pelanggaran. Namun dalam pada itu, ketika matahari memanjat langit semakin tinggi, Agung Snljiyu irlah mniuisuUi barak itu. Sebelumnya ia masih s
View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF