Antara Aku Kau Dan Hujan

May 6, 2017 | Author: Muhammad Anhar | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

:: kumpulan cerita-cerita sederhana karya muhammad anhar, alumnus universitas muslim nusantara al-washliyah, fakultas ba...

Description

Antara Aku, Kau & Hujan Muhammad Anhar Copyright © 2013 by:

Muhammad Anhar Editor: [sigmAksara] Desain Sampul & Layout : Caca Kartiwa http://crimsonstrawberry.wordpress.com Diterbitkan oleh: Najwa Publisher e-mail:[email protected] Cetakan Pertama, Maret, 2013 Partner POD: nulisbuku.com Hak cipta dilindungi undang-undang. All Rights reserved

2

Daftar isi 1. Antara aku kau dan hujan__________________________7 2. Janji Haikal________________________________________15 3. Ihwal Kenangan___________________________________21 4 Hujan yang Membawaku___________________________29 5. Pilihan Hari________________________________________35 6. Mengeja Relung Nayla____________________________45 7. Rumah Hira________________________________________49 8. Menunggu Lara___________________________________55 9. Tanya yang Tak Tereja____________________________59 10. Dialog Dua Jiwa___________________________________63 11. Ti________________________________________________67 12. Sebingkai Cerita__________________________________73 13. Kembalinya Si Baen_______________________________79 14. Pak Uban________________________________________87 15. Catatan Sahari___________________________________99 16. Lelaki yang menunda damai______________________105 17. Pada Sebuah Perjalanan_________________________111 18. Aku dan Lelaki Sore Itu____________________________117 19. Malam Peramu Mimpi_____________________________123 20. Aku dan Mimpi yang Kutemu_______________________127 21. Labirin Mimpi_____________________________________133 22. Pak Yunyi________________________________________137 23. Semua Tentang Kita______________________________143

3

Membaca cerpen-cerpen seorang Anhar seperti membaca kehidupan lebih dekat dan lebih erat. Saat itu pula, ia seperti mengajak pembaca bertualang dalam dunia yang telah lama ada tapi dengan cara yang berbeda. Tak ragu saya menyatakan, Ia adalah cerpenis yang piawai meramu kehidupan dalam tiap ceritanya. Cerpen-cerpennya adalah potongan-potongan kehidupan yang sayang jika tak dibaca…. ~Fitri AB ( Penyair, Mahasiswi Pasca sarjana Unimed) Cerpen-cerpen Anhar memadukan realita dengan sentuhan imajinasi, perpaduan ini membuat cerpen-cerpen Anhar kaya akan nilai estetis tanpa harus kehilangan kontekstualitas zamannya. Cerpen-cerpen Anhar perlu dibaca semua pecinta sastra, dan menjadi renungan bersama. ~Jones Gultom ( Redaktur Sastra Harian Medan Bisnis) Santun, kesan pertama saya ketika mengenal seorang Anhar. Tulisannya terkesan ringan, tak perlu mengernyit dahi untuk menikmatinya, tapi selalu mampu membawa saya “berhenti” dari rutinitas berfikir untuk sejenak hanyut dalam alur ceritanya. Dan sepertinya lelaki penyuka hujan ini romantis… hehehe. “hujan adalah seribu tangan yang menjulur membawa kotak-kotak cerita, maka ceritakanlah hujanmu…” ~Seroja white (Seorang Ibu, Pendidik & Penulis) “Kurindui” karya yang tercipta dari seorang pujangga si peramu mimpi. Kata-kata indah namun sederhana. Setiap cerpennya memiliki roh, yang akan menghipnotis jiwa-jiwa yang kosong akan cerita-cerita imajinatif. ~Tri Periwi (Pecinta sastra, Mahasiswi UMN AW Medan) Kekuatan cerita-cerita seorang Muhammad Anhar adalah terletak pada cara Ia mengubah sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu cerita yang sulit ditebak, misterius, namun mengesankan! ~Irwansyah (Ketua KOMA Medan)

4

Sering kali menyayat, meski tak luput atas besarnya rasa cinta. Sederhana, punya ciri khas yang tidak luput dalam tiap ceritacerita yang ditulisnya… ~Ernisa Purba (Mata Pena NBC Medan, Owner Aeki T-Sirt) Anhar itu sahabat yang sejak dulu kukenal baik & sederhana. Dia adalah pemimpi tingkat tinggi yang tak pernah mau kehilangan api semangatnya untuk mewujudkan mimpi-mimpinya itu. Salut buatmu Anhar, semoga semua mimpi-mimpimu terwujud. Tetap sederhana ya! ~Azrina Purba (Mahasiswi Pasca sarjana Unimed, Guru) Melukis jejak lewat kata, itu lebiasaanmu. Kata demi kata mengalir apa adanya, tapi kali ini kumaknainya sebagai sesuatu yang sederhana & menghanyutkan. Teruslah berjejak lewat kata, aku menantinya… ~Lisa (Mahasiswi B.Inggris UMN AW, penulis) Hanya satu kata yang tepat saya katakan, “Indah!” karya yang mampu memberi kesan tersendiri bagi pembacanya. Pemilihan diksi yang manis dan romantis, selalu memaksaku untuk terus mengikuti alur cerita hingga aku terperangah di tiap ending cerita yang dibuatnya! ~Ayu Sundari Lestari ( Mahasiswi, Cerpenis Medan) Membaca tulisan Bang Anhar, tak ubahnya menikmati secangkir kopi. Belum akan berhenti sebelum tandas tegukan terakhir. Setelahnya juga tak henti, menyulut rasa penasaran, tentang siapa sebenarnya tokoh dalam cerita. ~Ulfa Zaini (Prosais, Mahasiswi Bahasa Indonesia Unimed) Berbicara tentang Anhar, tak lengkap jika tak bersinggungan dengan cerpen-cerpennya yang selalu khas, mengalir serta ending cerita-ceritanya yang menarik itu. Mantap! ~El Surya (Penggagas KOMA Medan)

5

Kumpulan cerita yang sangat menarik dengan bahasa yang indah membuat pembaca hanyut ke dalamnya. Sastranya amat terasa dengan ciri khas seorang Anhar” ~Venny Mandasari, Cerpenis) Membaca cerpen-cerpen Bang Anhar, ibarat memakan durian. Tak cukup sekali, pun harum baunya. ~ Maulana Satrya Sinaga (Penyair ) Alur cerita-cerita yang dibangunnya begitu bagus, diksinya juga memumpuni. Secara keseluruhan sangat imajinatif. ~Tiflatul Husna (Penyair, ) Seperti tengah menikmati hangatnya suguhan teh di sore hari yang basah. Menentramkan jiwa. Filosofi hidup dan cinta yang diolah secara sederhana namun sarat makna. Salute to Muhammad Anhar! Good job. Proud of you! ~Setiawati (Entreprenuer, Penulis) Muhammad Anhar, adalah penulis dengan kejernihan hati, kesederhanaan jiwa. Semua itu terasa dalam cerita-cerita yang ia tuturkan. ~Abdillah Putra Siregar (Guru, Novelis) Segala mimpi akhirnya menjadi nyata, “Bravo kak Anhar!” ~Wulandari Persiani, Guru TK Khalifah, penulis) Saya mengenal Mas Anhar dari blognya. Saya suka membaca tulisan-tulisan Mas Anhar karena gaya bahasanya memang bagus. Buku ini sangat menarik, saya harus punya buku ini. ~Din Afriansyah (Penggiat IT, Blogger Sumut ) Tulisan adalah saksi bisu sejarah, meski ia bisu, nyatanya ia berbicara lebih ketimbang lisan. Begitupula dengan buku ini. ~Nurmayani (Mahasiswi Bahasa UMN Medan)

6

Gerimis masih menggaris di etalase toko.Sama sepertiku yang kini menggarisi rindu. Ya, rindu padamu, perempuan pecinta hujan. 7

Dulu, kerapkali kudengar senandungmu tentang hujan dan seperti biasa aku pun larut di dalamnya. Sungguh, suaramu dan hujan adalah paduan suara yang indah, teramat indah. Sesuatu yang indah diingatan, setidaknya hingga hari ini. “Maaf,” Sepotong katamu saat itu terangsur. Aku tahu, dari gurat wajah yang mengeras, dari jari manismu yang kini telah terlingkar cincin sakral. Aku tahu, telah tertutup sudah asa untuk memilikimu. Ah! Segalanya seperti mimpi. Andai engkau sudi berkisah tentang lelaki pilihan keluargamu itu, tentu aku berlega hati dan bisa menerima kata maafmu, setidaknya saat ini. Kau, perempuan berparas manis datang sore ini ketika gerimis bertandang. Tepat ketika aku pulang dari kantor dan berteduh di emperan toko. Berdiri bersama tubuh-tubuh yang terjebak garis-garis hujan. Di sini, aku menunggu bus atau becak yang akan mengantar ke tempat reparasi sepeda motorku. Di tempat ini pula, kita bertemu, aku senang kamu datang. Hanya ulas senyum yang tersungging, tak ada tingkah lain. Hanya diam dan kagum yang menyemat. Betapa merasa sangat beruntung menemukanmu lagi di tempat ini. Perempuan bertubuh cahaya, gumamku. Dalam diammu yang dingin, kamu menyihir korneaku untuk senantiasa melirik. Oh! Mata berpelangi itu sangat magnetis! Batinku. Aku beruntung, mungkin lebih tepat dikatakan takdir. Baru tiga detik yang lalu, seorang ibu tua dengan bawaan banyak menabrakku. Kini ibu itu meminta maaf, berkali-kali seraya menyumpah-nyumpah dirinya yang kurang awas. Tangan yang keriput itu mencoba membersihkan kemejaku yang terkena saus dagangannya. Tanganku segera menahan. Pelan, sopan. Kurasa tidak pantas sesosok tua memperlakukanku begitu, apalagi bukankah ini tidak sengaja dilakukan. Aku bergumam, risih. 8

Sambil tersenyum teduh, aku membantu ibu tua itu mengemasi dagangannya. Tanpa disangka, kamu memerhatikan, turut jongkok mendengarku yang berceloteh ringan menghibur si ibu tua. Mata kita sempat beradu, ada beberapa detik, semacam magnet yang menahan kedipan. Selesai. Sebelum ibu itu beranjak, masih sempat aku selipkan beberapa lembar rupiah ke dalam lipatan daun pisang dagangannya, sembari menitip pesan agar lebih berhati-hati. Mataku masih mengekori sosok itu. Ah! Betapa aku tersentuh. Masih kutatap langkah ringkih itu hingga di tikungan pertokoan. Ibu tua berhenti dan menggelar dagangan di sudut emper yang terlindung dari tempias hujan. Sebentar saja, berkerubung pembeli. Pelangggannya mungkin, gumamku. Aku tak sadar, entah sejak kapan mata yang sesejuk hujan itu memerhatikanku. Aku melihatmu. kamu berpaling, aku pura-pura menyembunyikan wajah di balik koran. Selang beberapa waktu aku memejamkan mata. Meredup sejenak. Ada yang dingin merambat, mengalir lembut, suara itu. Perlahan kuturunkan koran. Sempat aku ingin melonjak saat wajahmu yang tiba-tiba menyembul di balik lembaran koranku. Berlagak kalem, sempat kuangsur tanya. Kau menjawab dengan seulas senyum bijak. ”Maaf bang, korannya kebalik!” katamu yang serta merta membuat wajahku pias. Tak mau berlama menanggung malu, bergegas kutembus hujan sembari mendekap tas yang berisi beberapa lembar tulisanku. Engkau memanggilku. Tepatnya memanggil namaku. “Hari! Kamu masih menulis cerpen?” Bait tanya menyerbu bak hujan, menimpa-nimpa kepala. Kamu mengejarku lalu mengimbangi langkahku yang cepat. “Masih,” jawabku pendek

9

“Ehem! Apakah masih menulis tentangku?” sambungmu. Aku menatap, kamu membulatkan mata, lucu. Aku menggeleng. Rambutku yang lumayan lebat membuat beberapa percik air membasahi wajah putihmu. “Eeh! maaf,” Ujarku gugup melihat ulah yang kubuat sendiri. “Sudah ada yang lain ya? Maaf kalau begitu, nggak apa, tapi aku suka lihat kamu bantu ibu tua tadi, jarang ada pemuda seperti itu,” “Oh... Iya, makasih,” sambungku datar. “Kau tahu, aku selalu bahagia saat hujan turun seperti ini,” Ujarmu seraya mendongakkan wajah. Tangan kaurentangkan seolah ingin memeluk hujan. Ah! Perempuan yang aneh. Bukankah bedak di wajahmu akan luntur? Tapi, hei! Aku tidak melihatnya menyeka wajah karena itu. Wajahmu benar-benar polos, tak merias muka. Masih ada perempuan sebegini cantik? Tanpa poles kosmetik? Gumamku sambil tetap memandangi wajah yang masih juga menengadah itu. Tubuh kita kian basah. Tulisanku yang baru saja kuketik pun akan bernasib sama. Entahlah! itu tak kupedulikan. Kurasa amat sayang meninggalkan saat-saat bersamamu. Sungguh, aku mencintaimu lagi dalam waktu sesingkat ini, dalam debur hujan yang kian deras. Kamu masih juga berceloteh. Tentang kisah hujan. Masih seputar hujan. Masih saat hujan. Rambutmu yang ikal itu kini lurus mengikuti air yang mengalir membasahi baju merah mudamu. Kamu mengajakku berlari, sesaat kita berhenti untuk melepas sepatu. Aku kerap berpesan agar hati-hati, kamu mengangguk sembari tertawa riang. Aku tak tega menahan, kuikuti larimu yang kini menuju lapangan.

10

Tampak sekerumunan anak kecil, kau mengitari mereka dan ikut larut bermain kecipak air. Anak-anak itu tak terusik sama sekali, mereka semakin riang bermain dan saling melempar lumpur. Kamu menarikku, mengajak turut berkecipak dalam satu kubangan. Aku terpeleset, kamu terkekeh sehingga menyembulkan deretan gigimu yang serupa awan terang. Ah! matamu yang serupa telaga membuatku urung menasehati, aku malah tertawa lepas. Aku mengejar, dapat! Tanganmu sempat kutangkap, tapi karena licin akhirnya pegangan itu terlepas dan kamu tergelincir, jatuh dalam genangan air yang bercampur guguran dedaun. Kamu meringis seraya merengek memintaku menarikmu bangkit dari kubangan itu. Aku iba, lekas kujulurkan tangan. Ow! Aku lengah, curang! Kamu membalasku. Kini kita berdua tercebur dalam kubangan itu. Kemeja kotak-kotakku kian lamur, celana flanelku pun bersimbah lumpur. Kamu menatapku. Dalam. Sekejap tersenyum, tapi licik! Kedua tanganmu menciduk air dan menyiramnya ke arahku. Tak pelak wajahku semakin tak karuan. Aku membalas. Kita berbalasan. Kita tergelak, bebas, bahagia. Ah, Ulahmu barusan tidak lantas buatku marah, kamu memang seumpama hujan, menyejukkan dan mengail rindu untuk menemuimu. Ya, perempuan hujan, aku memanggilmu. Walau kadang menyebalkan, engkau selalu kurindukan, benarbenar persis seperti hujan. Hujan bersalin gerimis. Sebentar lagi pasti akan reda dan senja yang merona merah saga itu akan menyapa kita. Kini kulihat wajahmu, tanganmu, tubuhmu, bibirmu, memucat. Aku tanya mengapa, kamu hanya membisu. Kedua bola matamu malah asyik menekuri rinai hujan yang masih membasah di rambutku. “Aku harus pergi,” ujarmu

11

“Ya, aku juga, pakaian ini sudah kotor sekali,” balasku mencoba mengeja jalan pikiranmu Gerimis mulai kudengar. Ya, kali ini gerimis itu mengalir darimu. “Mungkin kita sudah cukup bersama...” ujarmu yang perlahan mendaratkan usapan halus di wajahku. Aku terdiam, terpejam, sebentar. Perlahan kubuka mata. Semua masih sama, genang air masih kecoklatan. Rinai hujan masih setia membasah kepala, pakaian masih berlumur lumpur, juga sekawanan anak kecil bertelanjang dada yang kini menyambangi. Senyum mereka potret bahagia. Sembari memeras baju yang bau lumpur, mereka mendekat. “Bang! Enak kan main hujan sama kami?” sapa mereka polos “Oh eh, iya dek, kesinilah...” panggilku masih dengan wajah celingukan mencarimu. Mereka melingkar, merapat. Aku menatapi mereka satu persatu. “Abang boleh nanya nggak?” tanyaku sembari mengeluarkan beberapa bungkus gula-gula dari tas. Tanpa kutawari, semua sudah berpindah ke mulut-mulut kecil itu. Aku tersenyum melihat binar polos mata mereka saat mengulum gula-gula pemberianku. ”Abang mau nanya apa tadi?” tanya seorang anak kecil berkepang dua. Aku tersadar. ”Eh, kakak cantik yang bareng abang tadi mana ya? Kalian tahu kemana dia pergi?” ”Kakak cantik? Cewek abang ya?” ”Iya benar, ada lihat?” ”Nggak ada, dari tadi kan kita main hujan cuman sama abang”

12

”Beneran?” ”Masak kami bohong?” Gerombolan anak itu meninggalkanku. Sayup senandung mereka tentang hujan lirih mengalir. Aku terenyuh. Apa mungkin kualami halusinasi sebegini dalam? Ya, tepatnya setelah kamu berkabar akan menikah dengan lelaki yang tak lain sahabat dekatku sendiri! (Basah di kotamu, Januari 2011)

13

14

Janji Haikal O

Tidak sahabatku, tidak saja pada kenangan, tapi juga pada dirimu, seutuhmu. Aku berjanji! Pada ibumu yang dzuhur tadi barusan saja disemayamkan, yang tanahnya masih merah bata, masih basah. Aku berjanji dalam genggaman tangan keriput ibumu yang kian melemah kemarin, pada suara yang makin merendah itu. Aku akan menjagamu, membawamu ke sudut sempit kota tua ini. Aku berjanji sahabat, redakan raut lara itu, tenanglah. Masih kurengkuh wajah sayu itu, yang tangisnya seperti bocah.

15

*** Sahabatku, kamu masih ingat kan? Ketika kita kecil dulu, selepas mega ditelan malam, selekas suara kaset mengaji menggerayang telinga, menyeruku yang masih telanjang dada berendam di tepian sungai yang dangkal, yang berkali-kali menyerumu yang masih saja pamer salto belakang dari pohon jambu biji yang dahannya menjorok ke sungai. Para bangau di pematang sawah melintas di atas kepala, meninggalkan kita. Kepak sayap mereka pulang ke sarang, membawa sejumput rezeki hari ini. Saat itu juga, kita sudah berlari-lari, membawa belut-belut gemuk yang menggantung, terikat pada seutas tali dari ilalang tua. Kita menyusuri jalan setapak dengan hati-hati, karena kaki kita masih basah, karena jalan sudah serupa warna tanah yang disepuh merah pucat senja. Sambil sesekali berlari, kita memeras baju yang berbau lumpur, memutar-mutarnya seolah baling-baling helikopter. Kita cekikikan sampai di rumah untuk berganti sekenanya, lantas aku bergegas menyambar sarung yang mulai pudar warnanya, sangit baunya. Sambil memengunyah singkong goreng yang sedari tadi aku kantongi dan mengenakan sarung dengan gulungan yang asal jadi, mulutku yang penuh makanan itu memanggilmu dari halaman rumah. kali ini teriakanku disahuti omelan emakku, “nggak tahu maghrib Kal?” Untung saja emak masih sibuk dengan kepingan emping belinjo yang dari siang tadi dihamparnya di teras rumah. Oi, tentu saja kamu mendengarku, karena tiba-tiba sosokmu melesat, melompat dari daun jendela tak berjeruji dengan sarung melingkar, seperti maling saja kurasa, makin komplit gelar itu karena kamu dengan wajah cemas menenteng selop butut cunghai. Haha, itu kan selop bapakmu, selop awet! Aku berani bertaruh, kamu pasti baru saja memutuskan selop untuk ke-3 kali dalam seminggu ini.

16

“Parah benar kamu Wan, kakimu itu lasak bukan main ya!” ledekku yang tak kau gubris saat itu. “Wusss…!” Seperti angin kau beberapa meter, dalam sekejap.

meninggalkanku

“Woiii…!” seruku, yang tanpa ba-bi-bu mencincing sarung layaknya orang bercelana kedodoran. Beberapa saat kemudian kita berebut jalan setapak, jalan yang hanya bisa dilintasi satu-satu. Kamu selalu saja mendahuluiku, mengalahkanku dalam kecepatan. Sesampai di gerbang masjid, berdua kita buru-buru ke arah pancuran bambu guna mengambil wudhu. Di seberang, tepatnya di dekat beduk yang tiap Idul Adha diganti kulitnya itu, Pak Leman sudah berkacak pinggang, bulunya yang lebat terpamer di lengan, juga menyembul di bidang dadanya, sedikit. Buntelan sarungnya begitu menonjol dan membuat perutnya yang melar itu terlihat tambah gendut. “Wan, kayaknya balon di perutnya udah seperti orang hamil 7 bulan saja ya…” bisikku. Kamu membalas bisikanku dengan tawa lepas, memamerkan gigimu yang sekuning pepaya setengah masak itu. “Hei! cepat kelien dua!” pekik lelaki itu ke arah kami dengan nada yang serak-serak basah. Ah! Pak Leman, rambutmu yang keriting hampir sebahu, berewok yang rapi dengan jambang terpelihara itu, membuatmu seperti artis idolamu, kau memang mirip (tepatnya dimirip-miripkan) dengan penyanyi yang lagunya jadi lagu wajib anak muda saat digelar keyboard pesta di kampong ini, lagu Begadang-nya om Haji Rhoma Irama. “Oke Bang Roma!” sahutmu seraya melambai tangan. Aku menyikut, takut si lelaki itu tersinggung, marah. Tapi, sosok yang disebut begitu malah menyungging senyum, khas, senyuman meradang ala Bang Haji Oma. Ganteng versi jadul. Alamak!

17

Berwudhu dengan air berbau lumpur membuat ktia lekaslekas meninggalkan pancuran dengan wudhu satu menit, lalu kita masuk ke barisan sholat yang masih diawasi oleh Pak Leman. Kamu berakting kalem seraya menyodorkan mulut ke telingaku “Sudah kayak securiti Tuhan lama-lama beliau ni lah!” keluhmu, aku hanya nyengir dan bertakbir mengikut imam. Selepas Isya, selekas mengaji alif-ba-ta dengan Ustad Yono. Kita bermain-main di tanah lapang, menjunjung obor dari buluh bambu bersumbu kain perca. Tangan kita berayun naik-turun, kanan-kiri, menyabungnya dengan angin agar api tak kalah oleh dingin. Dan seperti biasa, kamulah jagoannya, yang paling berani memulai, menghasut aku dan anak lelaki lainnya untuk mengekor di belakangmu yang berdiri paling depan. Niat utama pasti untuk mengganggu, menakut-nakuti gerombolan anak perempuan, terutama Delisa, anak guru ngaji kita yang tersohor paling cantik di antara kawanannya, yang juga baik perangainya. Padahal kau tahu, besoknya pasti akan dijewer sama Ustad Yono sampai kupingmu memerah kulit rambutan masak. “Psst! Kal, kau jangan kasi tau ya sama yang lain” Bisikmu, aku mengangguk cepat. “Apa itu?” sahutku tak kalah berbisik, “Sebenarnya aku suka sama Delisa!” sahutmu makin pelan. Aku mencium bau tajam dari mulutmu. Ah, ya! Tadi sore kan kita baru saja makan pakai rendang jengkol. Lha, hahaha… pantasan tadi Ustad Yono nutup-nutup idung gitu pas giliran kita nyetor hafalan surat pendek. Terkekeh aku mengingat itu. Sumpah! Kau pede habis! Haha. “Apaa? Gak denger lah?” tanyaku beberapa saat, purapura tak mendengar, kamu merengut, melipat kening di wajahmu yang kian dewasa.

18

“Sip! Rahasiamu aman…” sahutku kemudian, kamu dengan sumringah mengacung jempol ke arahku. “Udah kau bilang ke dia?” bisikku ke telingamu. Kamu mematung, memainkan mata. Aku menerka, “Belum ya?” kamu mengagguk. “Kenapa? Kau kan ganteng…” “Iyalah aku ganteng…” “Tapi gantengan aku lah!” godaku dan kita berkejaran, lagi-lagi aku kalah. Rambutku siap-siap saja dikucel-kucel olehmu. Pernah kubilang, “kalau kau suka sama Delisa, janganlah kau bikin dia takut gitu Wan!” Tapi, kamu tak menggubris, tak peduli, kamu selalu senang saja, karena berhasil membuat gerombolan gadis kecil itu bertubruk ketakutan, berlari tak beraturan, saat itu kau selalu menceritakan ihwal hantu-hantu yang berkeliaran di rimbunan bambu yang terkenal angker itu, membuat sekerumunan anak gadis itu ketakutan. Wan, Kamu adalah keberanianku di kali sepuluh, bahkan lebih dari itu Wan. Sejak kecil, aku kagum padamu, kamu banyak menjadi perisaiku, dari gangguan anak kampung sebelah, yang banyak mengajariku menjelajah tiap sudut kampung, yang mengajariku berenang di bendungan, menangkap belut, naik sepeda onthel, juga membuat perangkap burung pipit dari batangan yang serupa rotan. “ Kau tentu masih ingat kan Wan?” Beranda ini sepi. Hanya rona oranye di barat yang masih setia menemani. Segerombolan bangau putih melintas, entah dari mana mereka, tapi yang pasti mereka seperti halnya hati, terkadang hati akan kembali, meski lama, meski dengan bentuk yang berbeda, “bukan begitu Wan?”.

19

Aku terus berbicara pada lelaki yang duduk di kursi roda tua itu. Lelaki yang tidak saja kehilangan fungsi kedua kakinya, tapi juga ingatannya. Komplikasi saraf di otaknya membuatnya jadi pendiam yang akut, trauma kecelakaan pun kerapkali merenggut ingatan sadarnya, hingga kini, kumasih berusaha mengembalikan ingatanmu. Aku akan membayar apapun untuk itu Wan, aku berjanji atas nama persahabatan kita yang indah, atas nama kekalnya baikmu padaku. Aku masih terus bercerita tentang masa lalu, padamu, saat senja kian mengiring kita pada pekat. Aku terus menguak memori kita, hingga, sebuah panggilan membuatku berhenti, sosok bersuara lembut itu menghampiri kita, “Mas, sudah mau petang, masuk saja yuk… ” Wanita itu berdiri di depan kita, tepat membelakangi senja. Wajahnya teduh, kepalamu menegak. Matamu memicing. Mulutmu tergerak-gerak, mengucap sesuatu, terbata. Yang kudengar kau berkata, “De… li…saa….” Tanah deli, 02 april - 10 mei 2012.

20

Ihwal Kenangan Seperti biasa. Aku, kau dan pagi dengan dua cangkir biru yang masih mengepulkan aroma coklatnya. Di sini, seperti biasa, kita bersila di depan meja kayu bundar, tempat kita kerapkali mengintip pagi dan arakan awan yang bergulung-gulung di timur.

21

Ini jumat pagi, sisa gerimis subuh tadi masih menempel di dedaunan. Ya, ini hari libur kita, saat kita bisa “bermalasan”. Kamu dan aku memang bekerja di rumah- SOHO (Small Office House Office). Ya, di beranda ini resmi kita buka tempat usaha masing-masing, kamu dengan dunia Craft dan fotografi, sementara aku dengan seabrek dunia kepenulisan. Sedari awal, kita sepakat memberi nama usaha dari nama kedua anak kita. Kamu sempat menolak, tapi akhirnya mengangguk, setelah teringatkan bahwa “Bukankah anak itu pembawa rezeki?” *** Seperti biasa pula, tiap pagi, selalu, ada saja kisah yang kita cakapkan. Di sini, kamu begitu bersemangat bercerita ihwal asyiknya kemarin sore saat berbecek-ria di Pajak Sukaramai. Takjub dengan pemandangan pajak yang turut diramaikan anak-anak kecil penjaja plastik kresek berukuran besar, takjub merasai bagaimana serunya berjingkrak-jingkrak melintasi jalan yang becek penuh kubangan di sana-sini sambil tawar-menawar dengan para penjual yang ramah-ramah. Ceritamu selalu mengalir, ya, kadang, sesekali aku yang bercerita, tapi tak pernah seseru dirimu. Kamu pencerita ulung di tiap pagi kita. Kejadian Ini terus kita lakukan, tiap hari, tiap pagi. Kita tahu, ini guna mengikat tali-tali hubungan kita agar tak terlepas sedikitpun. Tentu percakapan di beranda ini akan bermula, selepas kita beriring berjalan kaki pagi, mengantar si kembar Rai dan Najwa ke TK-nya yang tak lain TK milik Bu’de mereka, Bu’de Zulaika. Sejam lebih. Masih di beranda. Tangan yang selalu lembut itu menjulur. Memeluk punggung tanganku. Mata kita bertubrukan. Jelas, Ada bening di sana, dalam, sangat dalam. Sesuatu yang membuatku yakini, ada lara yang menyinggahi perempuanku ini, mahluk yang seumpama malaikat, sosok yang buatku selalu lekat. Ya, setahun berada serumah, dan masa-masa memintal rasa selama dua tahun lalu, buatku paham betul apa yang terjadi pada wanita di depanku ini.

22

Ya, ini tepat tahun yang ke-5 lelaki terhebat dalam hidupmu telah lebih dulu menuju surga. Aku sangat percaya, Air mata perempuanku bukan mengalirkan rasa sedih, tapi, sungguh sebuah kebahagiaan karena memiliki kerinduan yang hebat, karena bahagia, bangga , karena mempunyai rindu itu. Ya, kerinduan pada lelaki yang dalam diamnya berbicara, yang dalam diamnya menyayangi wanita yang sangat dijaganya, wanita yang kini kucintai. Di sini, kita. Masih di meja bundar. Lekat kutatap perempuanku, masih ada bulir air melandai di pipimu, bulir yang ditimpa kilatan bias mentari itu. Diam jadi teman. Celotehmu yang biasa menggemericik membincang: “mas, enaknya menu makan siang nanti apa ya?” atau Tentang kritik tulisan-tulisanku yang habis kamu baca, tentang kebiasaan aneh Rai dan Najwa yang buat kita saling selidik: “ini nurun dari siapa?”, tentang kerjamu, tentang, tentang dan tentang segala hal yang membuatku selalu merasa teduh, larut, tenggelam dalam ceritamu, tenggelam dalam tatap beningmu, tapi kini kamu diam. Aku bangkit. Masuk rumah dan kembali dengan membawa sebuah buku tebal, semacam diary. Kusodorkan itu padamu. “Ini apa?” tanyamu pelan, halus, nyaris bergumam. “Bacalah” kataku. Perempuanku hanya menatap kosong, ada tanda tanya, namun ia penasaran, apa sebenarnya buku bersampul hijau turkis itu? Tangan itu ragu menjulur. Aku lebih mendekatkan buku itu dan berkata, pelan sekali. “Ini diary tentang kita, yang kutulis diam-diam sejak awal kita ketemuan,” aku menatap sumber beningmu, ada cahaya, “Sudah saatnya kamu membacanya, mungkin ada yang terlewatku” sambungku sembari menyentuh lembut lenganmu. Kamu menatap, aku mengangguk, Kamu pun mengangguk. Ulas senyum tipis pun beradu. 23

01 Maret 2010 Di toko buku Sembilan wali. Aku berniat menuju kasir, membawa sebuah buku mungil hasil mengubek-ubek tumpukan buku yang berlabel diskon 30%. Dalam hati kutertawa, konyol rasanya berjam-jam berkubang buku, eh! Yang diboyong Cuma sebiji, kecil pula, murah lagi… ck ck ck. Selesai membayar, aku mau cepat-cepat pulang. Tapi, tak sengaja lenganku menyenggol sejumlah buku yang digenggam seorang gadis berperawakan sedang, berjilbab pink. “Oooh!” hanya kata itu yang meluncur dari bibir tipisnya. Matanya membulat, menaikkan bulu matanya yang lentik. Sisanya, yang terdengar adalah suara buku yang jatuh kelantai. “Braakk!” sejumlah orang melihat. Sekilas. Lalu berpaling dan kembali beralih pada kesibukanannya. “Eh, oh, anu…” aku tergagap, “ Em, maaf, maaf…” kataku terburu meminta maaf. Ada diam di raut itu, tapi tak keruh, sungguh! Ia mempesona dalam sederhananya. Benarbenar sosok yang sederhana. “Enggak papa…” balasnya datar, dingin. Aku berinisatif memunguti buku-bukunya, dan aku mematung pada sebuah buku. Gadis itu pun mematung heran, lantas ia bertanya. “kenapa dengan buku itu? Ada yang aneh?” tanyamu. “nggak… nggak… aku cuman suka sama novel ini” sahutku seraya menyodorkan kembali buku tebal bercover Sembilan padanya. “aku sudah baca, 3 kali” sambungku. “Oh ya? Kan bagus bukunya?” tanyanya Begitulah, dan pembicaraan pun mengalir, deras seperti air sungai, seolah pembicaraan ini seumpama itu, terus bergerak, menandakan ada yang sama, hidup, rasa, yang kian tumbuh.

24

2 april 2010. Sebuah kutipan dari salah satu novel kesukaanku. "...Cinta itu harus diungkapkan, kecuali oleh orang yang terlalu mencintai dirinya sendiri..." Boi! Aku belum bisa ngomong apapun. *** Kamu menutup buku, lantas tersenyum. Seolah beberapa lembar laramu menguap. “Abang masih ingat saat aku cerita tentang keluargaku, seluruhnya?” selidikmu seraya menatapku lekat-lekat. Aku mengangguk, meraih buku itu, lalu sibuk membolak-balik halaman dan menunjukkan satu lembar kusam di bagian pertengahan. Perempuanku lekas-lekas membacanya. 10 mei 2011 Kita sudah jadian. Dan sumpah! Sepertinya caraku mengutarakannya sangat konyol. Gadis itu mulai terbuka. Banyak ceritanya yang kian membuatku kagum, percaya, bahwa dilembutnya ada kekuatan yang luarbiasa, kekuatan seorang wanita, kekuatan yang dibangun dengan hati, dan cinta. Barusan ia bercerita tentang rinai hujan yang kerap menyapa beranda rumahnya, tempat ia dan lelaki terhebatnya khidmat menikmati pemandangan kolam mungil yang tak jauh dari rumah. Saat itu, ikan-ikan bermunculan kepermukaan dan menyuguhkan tarian terindah mereka, seolah merayu untuk ikut serta menikmati basahnya hujan. Saat-saat seperti inilah, senyum lelaki terhebatnya tersuguh begitu bersahaja, namun melihatnya begitu, itu cukup menghangatkan hatiku. Tuturnya lirih. Saat itu aku hanya mengangguk dan kagum dengan kedua anak-beranak ini. Pada ikatan yang ada pada mereka. 25

Lantasku bertanya lagi, “ada lagi yang berkesan?” Tanyaku pelan, seperti berbisik. Gadis itu mengiyakan dan mengalirkan ceritanya yang lain. “Saat itu aku masih SMP, lebaran sebentar lagi tiba, berhubung bunda kerja, sekolahku juga tak libur, jadi kami sekeluarga belum sempat buat roti lebaran. Sore itu tercetus ide antara aku dan bunda untuk buat roti, dan yang paling menggembirakanku, ayah bersedia untuk ikut serta dalam kerepotan kami. Aku bahagia sekali, soalnya ayahku adalah sosok pria yang sangat...hem... pokoknya enggak nyangka mau berpartisipasi dalam hal dapur. Anehnya lagi, besok ayah memberi kejutan yang hingga kini paling aku ingat, ia belikan mainan mobil – mobilan warna putih berukuran sedang, mainan kesukaanku, saat itu aku sangat bahagia, sangat.” Saat kau bercerita tentang itu, senja sudah mulai tenggelam di barat. Meski kelihatan lelah, gadis itu masih terus bercerita, seolah ia memang harus menumpahkan semuanya, segala isi hatinya. Ya, hari ini tlah ada yang mempercayakan hidupnya padaku, aku akan menjaganya, gumamku. *** Pagi ini. Masih kau rindui hujan itu? Basah yang menimpa-nimpa kepala, memantulkan percikan kenangan? Masih tergenang lara itu? Tempat berkaca, melihat masa lalu, merindu, meski kita yakini masa lalu adalah sesuatu yang hanya bisa kita miliki dalam bingkai kenangan. Kita. Masih di meja bundar. Di sini, jam yang sudah pada angka 10, langit sepi, udara pun enggan hilir-mudik membawa udara yang masih juga mendung. Ah, cocok benar siang nanti makan tempe mendoan dan sayur genjer khas buatanmu, batinku. Aku menatapnya lekat-lekat, mendekatkan wajahku dan berbisik lirih “Ti, bahuku kan selalu ada untukmu. Selalu.” Janjiku, kukuh.

26

Pagi sudah merangkak siang. Cuaca masih teduh. Kita melangkah meninggalkan beranda, memasuki rumah. Tak lama, celoteh riangmu terdengar, dari arah dapur. DuniaKOMA, 17.32.11.4.12.

27

28

Hujan yang Membawaku Aku mengamati bungkus permen transparan yang menggelinding di trotoar ini. Bersama segerombolan daun trembesi yang kering, menimbulkan gemerisik yang menenangkan. Sapuan angin senja, terlihat malas-malasan membawa aroma basah milik langit, aroma yang kini selalu mengingatkanku pada satu sosok, gadis berkepang dua dengan wajah oriental. Baju putih bermotif bunga lili merah yang kamu pakai sepadan dengan yang di bawahnya, rok merah marun.

29

“Manis,” pujiku. Mendengar kuberkata begitu kamu merundukkan wajah, persis sekali seperti perangai biji-biji padi yang mulai berisi, menyembunyikan yang jelas-jelas terbaca sepertimu, dengan raut merona merah-muda. Ada sesuatu yang selalu buatku rindu. Lesung pipit di kedua pipimu yang berisi. Tiap kali kamu tersenyum, ikut menyipitkan dua matamu yang semula sipit menjadi semakin sipit. Kuku-kukumu selalu rapi seolah pagar kerajaan yang saban hari dirawat. Kali ini kamu membawa sesuatu, sesuatu yang mencurigakan di balik tubuhnya yang semampai. Oh, aku menatap kakinya, kali ini ia memakai kets merah saga, di punggung sepatu itu tali putih terpilin rapi, menciptakan bentuk bulatan dan garis lurus. Aku membayangkan kedua sepatu itu disatukan, “persis sayap kupu-kupu!” gumamku. *** Sudah tiga hari aku duduk di sini, saat senja bertamu di kota yang mulai mengantongi karbondioksida yang banyak. Aku selalu duduk di sebelah timur taman kota, tempat yang paling sudut, yang seringkali jadi tempat pasangan muda-mudi kere melepas hasrat asmara mereka. Pertama kali menemukan pasangan seperti itu, aku mendengus dan mendamprat mereka dengan kata-kata serapah, aku beranggapan mereka telah menodai tempat ini, tempat kita terakhir kali membahas tentang sebuah legenda yang jarang didengar oleh manusia, tentang hujan dan genangan yang dicipta di ceruk-ceruk permukaan bumi, termasuk di tempat ini, ada ceruk sedang yang selalu setia menjadi tempat genangan singgah. “Kamu percaya… di sana ada kehidupan layaknya di sini” katamu. Aku menatapnya lekat-lekat, namun lebih tepat aku hanya memperhatikan bibir tipisnya yang bergerak-gerak, mengingatkanku pada seputong rembulan yang pendar.

30

“Ah, masak? Nggak percaya aku, Na…” timpalku kurang setuju sambil melonggarkan dasi yang sedari pagi mencekikku dengan alas an aturan kantor. Ia menatapmu, kali ini dengan mata yang benar-benar bulat, hitam dan sendu. “Suatu saat kamu pasti tahu, kenapa aku percaya ini…” katamu sembari menyodorkan deretan gigi yang putih dan rapi, tak lupa lesung pipitmu ikut muncul. Aku mengangguk beberapa kali, sebenarnya belum mengiyakan, sebenarnya masih mencerna, atau yang lebih tepatnya sebenarnya menghargai keyakinannya. aku lalu duduk berbalik menghadap ke arahmu, memindahkan sebelah kaki, menduduki bangku taman seolah menaiki kuda pacuan, “Emhh, ini kali ke tiga kita bertemu kan?” ujarku mengalihkan pembicaraan, sementar wajah di depanku menunduk, lantas mengangguk. Pelan. Untuk beberapa saat aku menunggu jawaban yang lebih dari sekedar anggukan, tapi Rahna tidak menjawab, kini ia malah menutup kedua wajah dengan telapak tangan, bebrapa saat kemudian ia menoleh dengan wajah yang digenangi air mata disertai sesengukan yang sesekali. Dalam. menyayat perasaan siapapun yang mendengarnya. Bening yang melandai di pipimu yang berisi, yang kemudian jatuh membasahi rok marun, meninggalkna bulatan kecil di beberapa tempat di sana.. Aku tertegun, segera aku meminta maaf dan menawarkan untuk pulang saja, ia mengangguk. kuat. Aku memintannya meredakan dahulu bening yang masih mengalir itu, ia merespon dengan mengayunkan telapak tangan untuk mengelapnya, pelan, di pipi dan dua kali di sudut matanya yang memerah. Seperti biasa kamu tak mau diantar, kali ini aku menawarkan sampai empat kali, namun semua kau tolak halus dengan alasan “tidak ingin merepotkan,” terdengar klise tapi sedaya upayaku gagal karena kamu tetap tak bergeming dengan sikapmu, akhirnya seperti dua pertemuan sebelumnya 31

aku menyerah dan menjejeri langkahnya menuju pintu barat taman kota. segera setelah mengantarnya hingga di ujung jalan, melihatnya hingga menghilang di sebuah tikungan salah satu gang dekat tamam, dan kenyataan pahit yang terus kurasakan saat ini adalah; hari itulah akhir aku bertemu kamu. *** Ini hari ke lima selepas pertemuan terakhir denganmu, hujan masih memberi tanda meski siang tadi sudah tiba dan membuat sebal rekanku Giny dan Hawa, rencana hang-out untuk merayakan proyek yang ‘gol’, makan siang di resto ternama, gagal. hujan membuat maan siang mereka disertai kerut dan lesu meski di hadapan mereka tersedia potongan rendang, cap cay, soto dan sambal udang gala tersedia. Mendung masih menggulung, menebal, angin terus gelisah, mendesau, menimbulkan gemersik daun-daun trembesi untuk saling berlaga dan menjatuhkan daun lain yang sudah kecoklatan, juga beberapa yang kekuningan. Hari ini aku meninggalkan tas kerja di lockerku, tepat jam dua tiga ppuluh dua menit aku memutuskan ke tempat ini, membiarkan pekerjaanku terbengkalai, juga beberapa surat yang mesti ku urus ke kantor pusat kutinggalkan dengan konsekuensi akan kena ceramah banyak dari bos keesokan pagi. Beberapa miss call ku-reject, “telepon-telepon yang memuakkan!” desisku. “Hari…” seperti sebuah suara terdengar, itu kamu, ya! Ya! Ya! Aku menoleh kanan-kiri, kenal betul pendengaranku pada panggilan itu, suara yang muncul dari arah depanku tadi. Jantung berdegup kencang, sangat kontras dengan gerakanku yang lamban, sangat pelan guna melongok, menjorokkan wajah ke sebuah ceruk trotoar di depanku yang berisi genangan sisa hujan tadi. “Owhh…!” seruku lantang, spontan. Sial! Ini tidak seperti yang aku kira. Kenyataannya adalah; Nihil. Tidak ada wajahmu di sana. Aku terpaku 32

beberapa saat, mengerjap, mengucek, lalu mencoba melihat lagi, hasilnay tetap sama. Ah, Rahna, kukira kamu akan hadir di sini, lewat genangan ini. Hati kian senada dengan mendung. Aku teringat, Tyas, sahabatku yang kuliah psikologi, “terkadang kita akan mengalami halusinasi yang berlebihan, adiktif, disebabkan kerinduan yag begitu dalam”, aku coba menepis kenyataan, berharap untuk kali ini aku tak salah. Aku tajamkan pandangan, ahh… hanya melihat wajah ini, aku sendiri yang kian menua dengan lipatan halus di beberapa tempat di wajah. Aku meremas telapak tangan, mengumpat sejadi-jadinya di hati. Sebelum hujan jatuh, aku meninggalkan tempat ini dengan memikul berkarung-karung rindu. Akal mengambil kendali, bergegas aku melangkah menuju kantor, menemui Mira. Ya, sebelum semuanya terlambat. “Dan ketika kerinduan itu sudah diikhlaskan, maka sisisisi imajiner itu akan hilang dengan sendirinya” terngiang ucapan Tyas di lain waktu. *** Di sebuah tempat, di mana langit berwarna kuning keemasan, di salah satu sudut, di sebuah kamar yang bening, ada sebuah cermin yang terbuat dari air hujan, ada satu sosok yang memunggungi langit dan bercerita sendiri sambil sesengukan. “Har, maafkan aku, lupa memberitahumu satu hal penting, bahwa kau baru bisa melihatku, bila ada air mata yang jatuh di genangan itu…” Medan basah, 2013

33

34

Pilihan Hari Entah sudah beberapa kali aku harus mencarikan cara agar emak tak sesering ini menanyakan, kapan berakhir statusku, duda beranak satu ini. 35

“Kapan kau kawin Har? Kau jangan mikirin dirimu sendiri, anakmu itu butuh seorang ibu, lho!” sembur emak saat baru saja kuluruskan kaki di dipan, mengurangi penat di perjalanan tadi. Emak yang notabenenya sudah lama menjadi single parent, paham betul bagaimana keadaanku setelah ditinggal Elis empat bulan lalu. “Lha, badanmu sendiri aja masih Mbok Tugi yang ngurusin!” sambung emak menyindir. Ya, alasan apapun yang kuberi, wanita yang dua minggu lagi usianya genap enam puluh tahun itu, sangat ulet meneror. Kukuh memintaku untuk segera menikah lagi. “Yang kayak mana sih yang kau suka, Har? Nanti mamak carikanlah buatmu, apa kayak...” “Mak, nggak usahlah. Hari lagi nyari kok, cuman nggak secepat inilah mak” potongku cepat sambil melempar pandangan ke pekarangan, melihat Rai yang kegirangan mengejar serombongan ayam kampung peliharaan emak. “Kayaknya Belum ada yang cocok, Mak,” kataku lagi. Wanita tua itu hanya geleng-geleng melihatku. Dalam pikirnya, betapa mudah bagi duda yang mandor kelapa sawit dan masih berusia tiga puluh dua tahun sepertiku ini untuk dapatkan istri lagi. ”Atau kau belum bisa lupakan Elis?” tanya emak menginterogasi sambil memotongi kangkung di tampahnya. Aku diam, menghela nafas. Elis, meski sudah tiada, nyatanya ia masih menyita hatiku. Biar bagaimanapun, Elis itu cinta sejatiku. Dulu alumnus psikologi itu benar-benar membuatku nekat menolak tawaran keluarga besarku untuk menikah dengan Helda yang tak lain paribanku. Oh tuhan! Wanita di depanku ini terlalu sulit untuk kubohongi.

36

“Iya, Mak,” aku mengaku dengan mata bening berkaca karena mengingat kecelakaan itu. “Kasi Hari waktu ya, Mak?” suaraku begitu serak, seperti ada yang mengganjal di kerongkongan. “Yaudalah, mamak bukannya memaksamu. Cuman kasian sama Rai, biar bagaimanapun anak itu butuh kasih sayang seorang ibu!” terang emak panjang lebar. Aku mengiyakan, seraya mereguk tandas teh tubruk sidamanik yang sudah tak panas lagi. *** Rencananya, seminggu ke depan Rai akan tinggal di rumah neneknya. Mumpung Playgroup tempatnya belajar sedang libur, mumpung juga aku sedang sibuk dengan pengiriman sawit ke kilang pengolahan dan sebenarnya, memberi kesempatan Rai untuk bermanja dengan neneknya. Toh begitu, sejumlah bekal, susu dan pakaian sudah kusiapkan. Mbok Tugi pun kusuruh turut tinggal. Ah, rasanya tak sampai hati membiarkan emak mengurus sendiri cucunya itu. Ya, aku besok pagi-pagi buta sudah harus kembali ke Laut Tador, sebuah daerah perkebunan di Batubara dengan perjalanan tiga jam dari kota Siantar. Kerjaan di perkebunan yang tak kenal istirahat, membuatku harus pintar-pintar mengatur waktu. Di sini hanya cuti yang ada, itupun dalam setahun hanya dijatah seminggu tiap orang. Dalam hati aku sudah berencana menghabiskan sisa jatah cuti nanti untuk lebaran tahun ini. Lebaran di kampung dengan harapan sudah didampingi pengganti Elis. Harapan untuk melihat senyum bahagia di wajah emak yang sudah berlipat merangkum waktu. Ya, lebaran yang tak kan sudi kutinggalkan. Kapan lagi kami sekeluarga bisa ngumpul lengkap dengan dua saudaraku yang berjanji akan datang dari pulau ***

37

Bulan bundar. Langit mendupa asap. Awan berarak lekaslekas. Sepertinya hujan akan jatuh petang ini. Semua lelap. Hanya binatang malam yang berkeliaran di pekatnya malam. Aku bermimpi. Ya, sepasang tahi lalat di kedua jemari manisku hilang! Aku panik dan ketakutan. Sepotong ucapan wanita yang kutemui di mimpi itu terdengar jelas. Sangat jelas! Aku terbangun. Hanya kerik jangkrik dan kecipak air pancur yang kudengar. Kuseka keringat yang membanjir di kening. Rai masih terlelap kelelahan di sampingku. Amat lasak tidurnya malam ini, kecapean sepertinya, batinku. Pelan-pelan aku melepas kaki Rai yang melintang di perutku. Aku duduk di pinggir dipan dengan tangan menopang wajah yang bertumpu di kedua pangkal pahaku. *** Aku masih ingat jelas. Dulu, emak sering berkata, ”Tahi lalat di tubuh itu ada maknanya masing-masing,” Seperti Bang Rimba yang tahi lalatnya di punggung, kelak ia bakal menjadi pemimpin. Kenyataannya sekarang, meski bukan skala besar, abangku itu sukses dan punya sebuah pabrik pengolahan jamur di Bogor. Abangku yang satu lagi, Bang Timur yang punya tahi lalat di bibirnya, dibilang emak bakal jadi orang yang berpengaruh. Terang saja, sekarang abangku yang satu itu jadi pengacara dan bermukim di Jogja. Nah, kalau aku, yang menonjol dan unik itu ada tahi lalat di kedua jari manis tanganku. Kata emak itu pemanis. Semula aku tak percaya, tapi kata-kata emak selalu mengiang mistis, ”Kelak, itu menunjukkan mudahnya kamu dapat kepercayaan dari siapapun,” Dulu, begitu mendengar takwil tahi lalatku, langsung hidungku kembang-kempis, kupingku memerah. Aku bahagia. Lantas kini, entah karena memang do’a orang tua itu lekas dikabulkan, atau memang karena mitos tahi lalat itu, atau kombinasinya, atau entahlah, yang pasti, berkaca pada perjalananku yang begitu cepat dan mulus menjadi mandor,

38

rasa-rasanya aku harus percaya. Setidaknya sampai detik ini. Makanya, mimpi kali ini begitu membuatku kalut. Ya, ini mimpi yang sama, seperti malam saat akan berangkat ke rumah emak. Persis. Sumpah! Aku terus terjaga. Mataku sulit sekali untuk mengatup, hingga sayup kokok ayam menggedor telinga. Saat itu pun aku belum bisa melanjutkan tidur. Kucoba memicingkan mata, merapatkan kelopak mata. Memaksa untuk terpejam sekejap saja, tapi rasa takut akan mimpi yang sama itu terulang lagi, membuatku urung untuk tidur kembali. Alhasil, pagi ini mataku sembab. Kelatnya kopi Kok Tong di meja makan hanya membuat terjaga sejenak. Ah! sebelum berangkat, aku harus ceritakan tentang mimpi ini pada emak. Ya, harus! Gumamku. Emak yang sedang menjerang air di perapian, terbatukbatuk saat asap dari kayu bakarnya mengepul hebat dari tungku bata. Beberapa kali semprong yang dibuat dari buluh bambu itu ditiupnya guna memantik api menyulut kayu bakar. Ah, kompor gas yang kubelikan empat bulan lalu rupanya tak terpakai, teronggok di atas bufet. ”Mak, Hari bisa ngomong sebentar?” tanyaku sembari menggeser diri menduduki kursi kayu di sampingku. Sesaat terdengar keryit kursi yang kududuki. ”Eeh, jangan kursi itu yang kau dudukin, itu mau patah!” seru emak yang seketika membuatku berdiri lagi. Ah, padahal aku ingin sekali duduk di kursi yang dulu selalu kurebutkan bersama dua saudara lelakiku. Ya, dulu kami memang begitu, karena jatah kursi sedikit, maka yang tak kebagian pasti harus rela duduk sila di lantai tanah, beralas tikar pandan. Aku berpindah menduduki sofa di sebelahnya. Sofa yang kubeli patungan dengan kedua saudaraku itu. Sofa empuk yang kuyakin jarang diduduki. ”Mau ngomong apa?” Tanya emak sembari menyodorkan sepiring emping belinjo yang barusan digorengnya. Kuseruput 39

kopi sembari menatap lekat wajah emak, aku menceritakan mimpiku tadi malam. Hening. Emak diam. Wajahku tegang, apa emak mengerti ihwal mimpi yang kualami ini? Berkelebat tanya di pikiran. Hatiku bergemuruh. ”Emak tahu makna mimpi itu, Mak?” kejarku tak sabar ”Ceritakanlah, Mak!” wajahku berubah menjadi Rai yang merengek meminta dibelikan permen warna-warni. Emak menatapku lurus. Lekat-lekat. ”Kau benar-benar memimpikan itu?” emak mencoba memastikan. Aku menganguk cepat. Emak menghela nafas dalam-dalam, lantas mengatakan sesuatu yang membuatku semakin sulit untuk segera menikah. Ough! *** Sore. Di kantor. Usman sahabat dekatku sesama mandor menyodorkan sebuah foto. ”Dia Rani, adik kandungku. Bulan kemarin baru lulus di UI ekonomi, sekarang dia sedang di Medan, bagaimana menurutmu? Aku sudah sedikit cerita tentangmu, dia sih nggak milih-milih, cuman dia ingin ketemu dulu, kalo cocok, bisa lebih serius,” papar Usman sembari menepuk-nepuk pundakku. Aku diam. Berfikir ulang. Bukan sekali ini saja Usman menawarkan calon untukku, meski semuanya kandas, karena belum juga aku menemukan kecocokan atau mungkin masih dibayang-bayangi wajah almarhumah, entahlah. Kini, ditambah lagi perihal takwil emak akan mimpiku itu. Semakin tipis saja kurasa peluang untuk segera menikah lagi. ”Duh, cemana mana ya Us, aku segan kali sama kau. Kau udah banyak bantu, tapi sampai sekarang belum juga ada yang

40

sreg dari calon-calon yang kau kasi itu,” ulasku agak sungkan, merasa serba salah. ”Halah! Macam bukan kawan aja kita. Udah, yang penting ikhtiar aja, oke?” Usman meyakinkanku. Nah, kalau kau pengen cepat jumpa, cocok kali! Sabtu ini si Rani datang ke rumah, cemana?” sambungnya bersemangat. Aku merasa kurang yakin. Memang, sekilas dari foto, Rani adalah gadis yang cantik, dan lebih cantik lagi saat kulihat jelas tahi lalat di kiri atas hidung. Foto itu kuletakkan di samping Foto Elis. Ada Kemiripan, gumamku sembari terus mengembangkan keyakinan. *** Hari yang ditunggu tiba. Sesuai rencana, saat jam makan siang, aku diundang Usman makan di rumahnya. Di perjalanan, dalam Jeep, aku sempatkan menghubungi emak. ”Oi mak! Minta doa restu dia bah!” Ledek Usman sambil terkekeh, tangannya mengelakson sapi-sapi ternak di depan kami supaya minggir. ”Haha, dasar kau!” sikutku, tapi tak kena. Aku tak melanjutkan obrolan dengan Usman, karena kini aku sudah terhubung dengan emak. Berbincang serius. Akhirnya, kami sampai. Di halaman rumah sudah cukup ramai. Wita, istri Usman sibuk melap beberapa piring porselen. Seorang perempuan muda ikut menata gelas-gelas di nampan. Usman mengelakson beberapa kali. Seolah mengisyaratkan ia sudah pulang. ”Narsis!” Gumamku. Kami turun dan turut bergabung. Takjub! Saat aku mengenali perempuan muda yang sedang menata gelas. Gadis itu lebih cantik dari yang kulihat di foto. Tapi sungguh! Aku tak akan lupa misiku, janjiku pada emak, yakni untuk melihat tanda yang sesuai dalam mimpi itu. Gusar, tentu saja. Harapan ada itu terus kusulut, ada yakin yang 41

meroket, saat kulihat wajah oriental gadis itu memiliki tanda seperti yang kucari. Ada getar yang menjalar. Ough! Acara makan besar rupanya sengaja digelar, karena beberapa kerabat Usman yang tinggal di perkebunan pun turut berdatangan. Maklumlah orang kampung, sedikit-banyak dirasa bersama. Makanya, sengaja Istri Usman menggelar makan bersama itu di halaman agar lebih leluasa. Membentang tikar pandan dan duduk melingkar di bawah naungan dua pohon jambu air yang tumbuh subur di dua sisi rumah, rasanya pilihan yang tepat ketimbang berjejal di dalam rumah. Usai makan, aku nimbrung dengan kerabat Usman yang kerja di perkebunan yang sama. Sembari mengupas dan mencicipi buah markisa, sesekali gelak tawa terdengar. ”Har, kemarilah!” Panggilan Usman dari dalam rumah menyitaku. Aku permisi sembari beringsut membungkukbungkuk badan melewati orang di depanku. Sesampaiku, hanya ada Usman dan adiknya, Rani. ”Nah, biar enak, saling kenalanlah kelen,” Hampir setengah jam berlalu, aku dan Rani saling bertukar cerita, beberapa kali Usman nimbrung sembari meledekku yang menurutnya kaku di hadapan adiknya itu. ”Saat minum nanti, itu yang kutunggu. Dengan menjulurkan tangannya, aku pasti bisa melihat tanda itu dengan jelas,” gumamku dalam hati. ”Hei! Kok pada diam? Ayo diminum sirupnya,” Usman menyela sambil menyambar gelasnya. ”Ayo Bang, silahkan...” tangan Rani menyodorkan gelas ke arahku. Aku melihatnya. Jelas sekali! Oh, nihil! Kecewaku meluap. Surut sudah asa. Meskipun lekas-lekas aku menyembunyikan kikuk dengan menyeruput sirup dan menyembunyikan gelisah di balik gelas yang kuteguk. Sempat kulirik jam di dinding, sudah mendekat ke angka dua sore. 42

Tiba-tiba muncul dari balik gorden kamar, tepat di atasnya tergantung jam di dinding yang barusan kulihat. Perempuan yang persis mirip Rani. Aku hampir tersendak. Air sirup sedikit tertumpah ke kemejaku. Aku segera melap dengan sapu tangan, dan tanpa sadar, aku mencuri pandangan mengikuti arah perempuan itu yang ke dapur. Usman terkekeh, ia menangkap keherananku, lantas memanggil sosok itu. “Oh, iya, aku lupa ngasi tau ke kau, kalau Rani ini punya saudara kembar. Ini dia, Rena . Sekarang lagi nyusun skripsi dia. Payah kali membedakan mereka berdua ini, ayo kenalan jugalah kelen!” Usman mengisyaratkan Rena. Aku terpaku melihatnya. Mataku tak lepas dari tangan gadis itu yang bertangkup sepuluh jari di depan dadanya. Adapun gerak gerikku mengamati itu, membuat Rani dan Rena heran dan tersenyum geli. Aku mematung. Pikiranku berkelebat mengingat mimpiku. “Bang, jika di jemari manisnya ada tanda itu, tanda yang sama dengan tanda milikku dan milikmu. Maka, dialah wanita yang layak menggantikanku,” kata wanita yang kedatangannya dalam mimpi membuat sendiku serasa lepas itu. Sosok yang begitu kukenali, dia Elis. Aku tak sabar, kedua telapak tangan Rena kutarik paksa dan kubuka lebar-lebar. Mataku liar menyusuri jari manisnya. Semua tercekat! Usman menggoyang-goyangkan badanku, kurasa ia mengira aku kerasukan jin. Aku melempar senyum padanya. Senyum yang pastinya kan mengambang juga di wajah emak. ”Tuhan, semoga ini bukan mimpi!” pekikku. (Rumah mimpi, Rainy September 2011)

43

44

Mengeja Relung Nayla Jika diejakan, maka ini tak akan selesai dalam kurun sebulan, mungkin lebih, sebab menyusuri jiwamu kurasa memerlukan investigasi, analisis, persepsi, lantas mengambil sample dan akhirnya membuat asumsi-asumsi sebelum mengambil pendapat yang mendekati tentang apa yang kau rasakan kini, Adinda Nayla. Duhai Nayla, pagi ini kamu mengguyurku dengan desah keluh, sebenarnya itu hal sepele yang tak semestinya kau tujukan kepadaku, sebuah kecemburuan tanpa alasan, tanpa ada hal yang bisa dibuktikan. Semua bermuasal dari asumsi yang berhulu dari cemburu buta. Beberapa hari kemudian. Aku tak tahu apa yang mengapitmu hingga begini? Aku juga kurang paham dirimu, kebersamaan kita masih berkisar sebulan sejak bertemu di pertokoan waktu itu. Bila kau sadari, aku masih baru dalam hidupmu, lantas apa yang buatmu begitu percaya aku akan 45

meluruhkan semua masalahmu itu? Terlalu memercayaiku yang belum lama kamu kenali itu berbahaya Nayla. Maaf, aku hanya mengingatkanmu. Mungkin aku akan tahu bila mampu mengeja denyut waktumu, aku akan paham jika mendekam dalam temaram hatimu. Tapi aku hanyalah aku yang hadir di dekatmu jika lelah menggelayut, jika mata indahmu meredup dan jika malas menunggang dengan culas. Terkadang ingin aku berkata, “Nayla, baiknya tuangkan saja semua ke dalam catatan harianmu,” kurasa itu lebih baik ketimbang kamu mengadu padaku yang tak akan menjawab semua tanyamu. Tapi jika itu ternyata bisa menyurutkan amarah, meluruhkan resah dan menyeka gundahmu, baiklah tak mengapa. Tadi kedua matamu berkaca, kamu mengadu tentang hati lelaki yang kau cintai, nyatanya telah bercabang, kau tersakiti. Ah ah, Itu wajar Nayla, bukankah hidup ini proses? Pacaran juga -bagi sebagian orang- adalah proses untuk menanjak ke jenjang yang lebih serius, pernikahan. Jadi, menurutku tak mengapalah dirinya menemukan tambatan hati yang lain, bukankah pacaran -seperti yang pernah kau tuturkan- adalah jalan menemukan yang terbaik. Lantas, jika ada yang lebih baik kenapa tidak beralih ke situ? Ini bukan untuk tidak setia, tapi lihatlah, mengapa bertahan sementara hatimu telah berpindah ke yang lain. Tapi ini tidak berlaku bila sudah ada ikatan pernikahan, tolong kau garis bawahi ini, aku tak ingin menjadi orang yang mendukung gonta-ganti pasangan pernikahan, ah! Ini baru tak setia namanya. Makanya, mencintai itu sebaiknya dari sifatnya, bukan sekadar fisik, gelar atau kaya semata, terus -itu tadibutuh proses untuk mengenal dan memahami. Ah, terlalu klise itu Nayla. Malam ini kau menghubungi seseorang, berkali-kali tak diangkat, wajarlah, waktu telah menanjak pagi, mungkin ia

46

sudah larut dalam bekap mimpi. Kau mendengus dan bercakap padaku bahwa lelaki itu memikatmu, lelaki yang mulai menyibak jalan hidupmu yang samar akan sebuah makna kehidupan, makna yang sebenarnya, yang hakiki. Lelaki yang membongkar sekat makna tentang arti kaya, memaknai kembali arti kaya dan bahagia yang sesungguhnya. Menurutku lebih baik kau coba berlabuh padanya, setidaknya untuk beberapa waktu ke depan gurat senyummu akan tergores selalu, dan hanya itulah yang ingin kulihat bila kau hadir dalam hidupku. Ingin aku bisikkan ”Kau cantik bila terus bahagia,” jadi cobalah kau pikirkan saranku. Mungkin aku terkesan mengajarimu, mendiktemu atau apalah terserah. Dirimu punya penilaian sendiri pada siapapun atau atas apapun, termasuk aku. Tapi, jika kau hadirkan dan memercayai aku sebagai peraduanmu, maka ijinkan aku menyampaikan saranku, semoga kau mendengar. Kalau kamu tak dengar, itu juga wajar. Aku tahu betapa sangat sulit memahami perkataan yang terhembus dari diri yang kaku ini, sulit menyerap makna yang tersirat dari sinar mataku yang tak hentinya menatap ke sudut pintu, memang sulit bagimu, kumaklumi itu. Nayla, kamu berhak menentukan garis hidupmu, tapi bagiku mengadu pada diriku seperti mengadu pada dinding mati, tak bergeming. Jadi kurasa baiknya kau menemukan peraduan yang lain, yang bisa menyelipkan aroma bahagia ke sukma, yang suka melejitkan semangatmu, atau setidaknya suka menyisihkan waktu mendengar keluh kesah yang kerap menghinggapimu. Nayla, aku tahu. Lelaki itu masih menunggumu, walau pada dirinya keraguan kini menyelimuti, karena kau terlalu tinggi untuknya, kau terlalu indah untuk mengecap sedikit pahitnya kenyataan hidup yang akan dihadapi bila kamu bersamanya, ia masih meragukan kesiapanmu. Tapi percayalah, hingga kini ia masih larut di sudut gelisahnya,

47

menimang dan mengenang kebersamaan kalian yang sejenak itu, aku yakin ia lelaki yang setia. Tapi sebentar, apakah rasa itu sama kamu rasakan? Kalau tidak, ya untuk apa aku meneruskan ujarku ini? Sudah, bergegaslah kamu temukan sosok lainnya. Tapi kalau iya, apakah dirimu sadar ini tak akan selamanya? Karena menanti adalah sesuatu yang sangat melelahkan jika kau sadari. Bisakah kamu siratkan padanya, sedikit saja pendar cintamu untuk menguatkan asanya, karena cinta itu seperti magnet, tarik menarik. Kelihatannya asyik juga ya? Entahlah. Ah, Nayla. Kenapa denganmu malam ini? Apa kamu marah padanya? Tapi kenapa jadinya kau membantingku? Apa salahku? Apa? Aku mau marah padamu, tapi kurasa itu tidak menyelesaikan masalah, bahkan ini akan menambah masalahmu. Tapi coba pikirkan sejenak? Aku tempat curhatmu, tapi kamu perlakukan aku seperti ini? Mana laku manusiawi yang kau rapal dalam untaian waktumu itu? Mana? Ah ah, maaf jika aku mengajarimu. Tapi coba renungkanlah kembali apa yang kusampaikan ini. Mungkin kamu akan menertawakanku saat kamu membaca ini, menyadari yang menyampaikan semua ini adalah sesuatu yang tak kamu anggap hidup. Tapi pernahkan kamu memaknai pepatah ”Jangan lihat siapa yang menyampaikan, tapi apa yang disampaikan,” Maaf Nayla, aku tak bisa berkata langsung padamu, tapi hanya gurat kata ini yang bisa kulayangkan padamu, karena aku hanyalah sosok bisu di kamarmu, aku bukan sepertimu yang bisa berpikir dan bertindak, aku cuma barbie-mu. Hilir Mei, 2010

48

Rumah Hira “Kota boleh mengubah kalian jadi apa saja nak, boleh beranggapan apa yang mengubah kalian itulah yang terbaik, tetapi sebaik apapun yang kalian bawa, Ayah tidak ingin itu mengubah rumah kita…” kata-kata mendiang ayah, dua tahun silam kembali terngiang-ngiang di telingaku. ***

49

Senja berbalut mendung, membaur dengan deru kereta api. Di sini, di gerbong tua yang mengantarku menuju kota kelahiran. Beberapa hela nafasku menghempas. Terasa benar ada beban yang tertanggung. Rasanya, lalu-lalang pedagang asongan yang menawari aneka rupa makanan dan minuman seakan tak ada. Sepi. Sendiri dengan pikiran yang melayang ke satu panggung kehidupan yang endingnya harus kuselesaikan. Selepas ayah dan Ibu wafat, ada satu hal yang terus jadi masalah dalam setahun terakhir ini. Perihal rumah yang menjadi hak waris bersama. Kakakku Citra, Kak Dila, Aku dan Alfi. Kami berempat adalah pemegang waris rumah tua yang letaknya tepat di bibir jalan desa, terletak di tanah yang berbukit, menjorok ke dalam dengan pohon-pohon bertumbuhan di sekitarnya. Kami semua sudah menikah. Kak Citra ikut suaminya di Kutacane, Si bungsu Alfi tinggal di Kota Siantar, dan Aku menetap di Medan. Jadi, rumah tua itu hingga kini dirawat dan dihuni oleh Kak Dila dan suaminya. Ini kali ke sekian aku pulang dengan masalah yang sama. Kali ini tanpa istriku, Rahna yang telah kunikahi dua tahun lalu tak bisa ikut serta, ia sedang membawa anak-anak muridnya meramaikan pagelaran sastra di pusat kota. Sebelum berangkat, aku berjanji padanya, bahwa urusan di kampung bakal kelar malam ini, jadi esok siang aku sudah sampai di Medan. Begitupun, Aku belum yakin masalah ini akan selesai dalam waktu semalam, mengingat kabar dari Kak Dila yang mengatakan Alfi sudah mendatangkan mesin keruk tiga hari yang lalu untuk meratakan tanah berbukit di sekitar rumah. “Ah, tapi kucoba menguat-kuatkan di hati, harus selesai dengan baik-baik. Ya, biar Ayah dan emak tenang di sana!” Gumamku. ***

50

“Kota boleh mengubah kalian jadi apa saja nak, boleh beranggapan apa yang mengubah kalian itulah yang terbaik, tetapi sebaik apapun yang kalian bawa, Ayah tidak ingin itu mengubah rumah tua ini…” Perkataan ayah terngiang lagi di kepalaku. Bingung, selaku anak lelaki paling tua, aku berkewajiban menjaga keutuhan keluargaku, di satu sisi ada pesan dari almarhumah. Aku bangkit dari duduk, beranjak menuju pintu kereta dan duduk di siku besi di sana, menghabiskan sisa rokok sembari menatap rimbunan rambung yang terus bergantian menemani. Aku masih di situ, sampai kereta berhenti, tepat di stasiun tua. *** “Rumah ini telalu luas bang, kalau kita bongkar, paling tidak delapan ruko akan terbangun megah! Oi, keluarga kita akan lebih dipandang bang!” ujar Alfi, tangannya menyambar sebuah kertas, berbentuk denah rumah toko, “ini lihat, abang nggak pernah ngerti sih, tengoklah di sekitar sini! Desa kita sudah berubah bang, sudah maju! Harusnya abang bangga...” terang Alfi panjang lebar. Ya, kampung memang sudah mulai berubah, sana-sini dibangun perumahan minimalis, yang di depan jalan sudah pasti disulap jadi ruko. Sebuah bisnis yang menggiurkan. “Abang nggak akan pernah bangga kalau ini bikin kita ingkari janji pada almarhum ayah Fi!” Aku langsung berdiri, darahku naik, Kak Citra memegang pergelangan tanganku, menahan agar tidak terjadi adu fisik. “Dek, disini kan masih ditinggali sama kak Dila, jadi kek mana nanti mereka tinggal?” tutur kak Citra coba menengahi. “Kak, justru karena itu, biar kak Dila tempatnya lebih permanen, lebih bagus!” ujar Alfi berargumen. Aku menatap Kak Dila, ia hanya diam, ia tak berucap apa-apa, ia pernah

51

bilang, ia percayakan semuanya padaku, anak lelaki terbesar keluarga ini. Aku menatap sekeliling, tiang-tiang berbalut cat coklat ini masih kokoh, tiang-tiang tempat dulu kakak-kakakku mengikat tali yang terbuat dari karet gelang. Tiang tempat kami bermain alip-cindong, Tiang tempat kami bermain kejar-kejaran. Ah! Masa lalu yang indah itu melintas lagi. “Lagipula, kalaulah jadi, darimana kamu akan dapat uang sebanyak itu?” selidikku, “membangun rumah sekarang bukan puluhan, tapi ratusan juta dek!” tekanku. Alfi membuka-buka map berwarna merah darah, tangannya menyodorkan lembaran fotokopian ke aku dan kakak-kakakku. Keningku berkerut. Aku dan Kak Citra berwajah pias, Alfi menghela nafas sebentar lalu berkata, “Juragan Rebo bersedia mendanai… ia hanya meminta jatah satu ruko dari delapan ruko yang dibangun, bagus bukan?” aku sontak berdiri dengan tangan menuding, “Kamu melakukan sejauh ini sendiri tanpa kesepakatan dari kami?” teriakku marah, mengepal tangan, “ abang sampai kapanpun nggak setuju!” sambungku seraya tangan mencampakkan kertas yang menyatakan bahwa adikku yang selama ini bekerja sebagai Kontraktor di kota itu menjadi pihak satu dan Juragan Rebo jadi pihak ke dua, sementara nama kami, abang dan kakaknya tertera sebagai saksi yag berarti menyetujui kesepakatan itu. Kopi-kopi sudah tandas. Malam pun bergegas lari, menuju pagi. Tapi di rumah tua itu masih saja beradu argumen, hingga, tak ada kata mufakat, Alfi bahkan mengancam tetap akan menggadaikan surat tanah esok hari dan memulai pembangunan rumah secepatnya. *** “Brengsek!” gerutuku seraya meninju telapak tangan sendiri. Raut tenang rembulan tak mampu menyusutkan

52

amarahku yang sedari tadi menggelegak. Di anak tangga ini aku terduduk. Menopang dagu, berdialog dengan diri sendiri, hingga tanpa sadar kak Citra menyentuh pundakku, “Belum tidur Hira?” tanyanya, Aku menggeleng, “kamu kecapean itu, tengok kantung matamu hitam begitu… ini minum teh dulu biar agak tenang…” tangan itu menyodorkan secangkir besar teh. Ia tahu kesukaanku. Ini teh tubruk. “Sidamanik?” tebakku saat menyambut cangkir berisi teh itu, “Nggak, teh biasa, dari warung…” ujar kakakku. Aku tersenyum kecut. Sekilas ingat kata seorang sahabat yang tinggal di Sidamanik, bahwa penggundulan kebun teh besarbesaran terjadi di daerahnya beberapa tahun lalu, diganti pohon sawit. “Kita nggak bisa terus-terusan bersikap begini pada Alfi,” ujar kakak yang duduk menyebelahku. Wajah itu menunduk, kutahu ada bening yang membulir di sana. “Mungkin dengan menyepakatinya, kita bisa membantu proyek Alfi, barangkali dia memang butuh proyek, juga buat kakakmu Dila, akan bisa memperbaiki ekonominya, bisa buka kedai, atau apalah nantinya…” Aku menatapnya lekat-lekat. menghela nafas. Dalam. Sangat dalam. Hening. Hanya suara jangkrik dan burung hantu yang terdengar. “Yah, setelah aku fikir-fikir, ada benarnya kata kakak, tapi …” ujarku sambil menunduk. “Ayah di sana pasti tahu akan ini, dan dia pasti berharap, anak laki-lakinya yang paling besar, bisa bijaksana…” ujar Kak Citra sambil tersenyum teduh, tangannya menepuk-nepuk bahuku. Meninggalkanku yang memikirkan esok pagi akan mengambil keputusan seperti apa. 53

“Ini masalah jangan berlarut-larut,” gumamku. *** Pagi di kereta api. Aku menatapi pohon-pohon rambung yang berjejer tertanam di pinggir rel yang kulintasi. Meski tumbuhnya pohon-pohon itu tidak pernah lurus, selalu bercabang, tetapi akarnya tetap menjalar dan menyatu di suatu tempat yang tak terlihat, hanya ada bagi yang merasakannya, meyakininya, bahwa seperti halnya rambung-rambung ini, kita hidup dari dan oleh sejarah. Aku menggerayangi saku, menemukan ponsel dan mencari-cari nomor seseorang. “Halo, Bang Nano, maaf ini pagi-pagi nelpon,” aku menggantung sebentar, mengatur nafas “gini, tentang rumah aku itu, besok rencananya ada yang mau kurombak, nanti malam bisa aku kasi gambaran sketsa nya bang?” “Oh itu, beres mas! Kita kan memang ikut rencana sampean toh…” ujar suara di seberang. Setelah mengucap terima kasih, sambungan kuputus. Di gerbong tua yang bergerak lamban ini, aku memilih untuk tidur, larut dalam mimpi, melemparku ke sebuah rumah yang menyimpan jutaan kenangan. U20.K3-2/3B, Hilir Desember 2013.

54

Menunggu Lara 30 November 2011 Secangkir cappuccino hangat menyentuh bibirku yang pucat. Ya, sedari tadi jemariku tak henti memainkan cangkir yang bergagang separuh love di depanku ini. Cangkir yang kalau bisa berekspresi mungkin akan cemberut melihatku yang terus memutar-mutarnya hingga kepul uap miliknya menjadi mengawang liar. Ya, ini persis seliar pikiranku saat ini, pikiran yang sedari tadi terbang entah kemana, pikiran yang membawa tumpukan luka mengenangmu pada tiap lesatan anganku, Lara. Di meja ini kulihati potretmu yang sedang duduk manis. Ya, sesosok yang duduk di meja bundar coklat bernomor 13, sama persis dengan meja yang kududuki. Di dalam gambar, kau tampak duduk menyilang kaki, mengadu lipatan jeans yang 55

kaupakai. Ada gusar di sana. Ya, gusar yang melekat pada dua kelopak kejoramu. Kau tahu? Melihatmu begini, aku lebih gusar. Aku merasa menjadi orang paling bersalah. Ah! “Srrruuuff…” kuredakan gelisah dengan menyeruput kopi. Berniat menyulut kretek, namun lekas-lekas kuurungkan. Seketika ingat, ruang kubus ini berAC, gumamku. Kini hanya jari yang menari-nari di atas keyboard laptop merah marun. Sesekali menerawang, menghela nafas lantas menunduk, mengetik. Acapkali Melihat sekitar, menunduk, mengetik lagi. Begitulah, sampai waktu merangkak maju ke garis merah di barat, mengiring sepotongan kenangan yang ditelan malam. Ya, Sejak coffe shop ini dibuka tadi pagi, aku telah hadir lebih dulu daripada para karyawannya. Ya, mereka tentu memaklumi, sudah hapal dan mengenaliku sebagai pelanggan tetap, makanya aku dibiarkan duduk manis di meja itu sementara di waktu yang sama, para karyawan menyapu, mengepel dan mengelapi meja serta tiap sudut kafe ini. Mereka maklum, ini sudah kali ke lima aku begini, duduk dari pagi hingga petang di tempat dan meja yang sama, sebuah cerita sedih yang mengantarku begini, menjadi buah bibir bagi mereka. Ya, telah lima tahun jarak merentang. Aral yang malah melipat cinta dan rinduku. Rasa yang menyakitkan, karena aku tak bisa menemukanmu, hingga lima tahun terakhir ini. Kau mungkin marah besar saat itu, ketika aku tiba-tiba saja membatalkan pertemuan kita di kafé ini. Aku tak tahu kalau pertemuan itu sangat penting. “Argh!” aku mengepal rambutku yang sudah tak pada sisirannya. Aku telah mengecewakanmu, Lara. Aku egois, memilih terbang ke Singapura berbekal mimpi dan dokumen perjanjian proyek perusahaan. Marah! Ya, sekarang aku marah pada diriku saat mengingat selembar kertas yang kau titipkan ke seorang writers yang berbaik hati, berjanji memberikannya padaku. Selang dua hari aku ke kafé ini dan mendapati kertas

56

bertandatangan dirimu berada di genggamanku. Kau tahu? Aku hilang kesadaran saat itu. Dear Harry,Aku harus memutuskan, sore ini adalah pertemuan terakhir kita. Tidak, tidak, aku tidak konyol dengan memilih bunuh diri atas kekecewaanku, tidak Harry, aku masih waras. Harry, meski aku putuskan kita tak sehaluan, kau harus percaya, dimanapun udara menyapamu, kau harus yakini, doaku ada untukmu, larut pada udara yang kau hirup, turut dalam impian-impian yang kau raut. Sukses selalu untukmu Harry. Rian. Ia menemaniku hari ini, kau tentu terkejut, ya, aku sudah menceritakan semua padanya dan ia begitu bijak, ia bisa saja dan rela membatalkan pernikahan kami asal memang engkau benar-benar menjamin akan menjagaku dan mencintaiku melebihi cintanya padaku. Kau tahu Harry, aku menangis, deras sekali, sama seperti hujan yang hadir sore ini, aku seolah menyatu dengan hujan, lama, sangat lama gerimis itu Harry. Ah, padahal sebenarnya hari ini adalah saat yang tepat bagiku mengenalkanmu padanya dan mengatakan kita saling mencintai, sehingga pernikahanku lusa dengan Rian bisa dibatalkan. Tapi, kautelah mengingkarinya. Saat ini, saat engkau membaca tulisan ini, aku sudah menjadi halal bagi Rian. Harry, jangan menyalahkan ia, oh! Adakah mungkin ini takdir? Tentang kita yang tak akan pernah bisa mengajari Tuhan untuk berpikir? Semoga, tak kau sia-siakan wanita pendampingmu kelak, wanita yang menggantikanku. Jangan mencariku, Salam terhangatku dari Melbourne. Larasati Ourora

57

“Krieeekk…” “Dreeettt…” Bunyi itu menyadarkanku dari lamunan. Kutatap sekeliling, para karyawan sudah merapikan kursi dan meja, membersihkan tiap inci ruangan ini. Tiba-tiba, ada sesuatu yang mengaliri tubuhku, halus sekali, sesuatu yang menyadarkan. Nafasku naik-turun. “Maaf, Mas. Mas masih lama lagi?” tanya si pelayan hatihati. Aku tak bergeming. Pelayan tentu heran, mungkin ia mengira aku kerasukan setan. “Terimakasih,” akhirnya kata itu meluncur memecah keheningan, kata yang sungguh-sungguh dan bulat dariku. Semua terkesiap dan serta-merta menghentikan pekerjaannya guna menyimak kata-kata selanjutku. Mataku hangat, dalam hati aku berkata-kata, “Terimakasih kawan-kawan, kalian mengajarkan satu hal padaku, kalian membersihkan tempat ini tiap hari, tempat yang acapkali melekat kenangan-kenangan indah dan sedih! Kalian mengajarkan aku bagaimana cara menyapu kenangan, lalu menjadikan diri seperti ruangan yang bersih dari kenangankenangan sedih itu sendiri!” Semua menatapku, benar-benar teduh dan seolah mengiyakan kata-kata yang kugumamkan barusan. Mata mereka masih memerhatikanku. “Lara, aku harus melupakanmu,” gumamku. Ya, aku hidup untuk masa depan, bukan malah terjebak pada kenangan, pada masa lalu, batinku. Sepotong foto dan suratmu telah terkepal dan berpindah ke tong sampah. Bergegas kukemasi barang-barangku dan berjanji tidak akan pernah ke tempat ini lagi. Janji! Dunia KOMA, 30 Rainy Nopember 2011

58

Tanya yang Tak Tereja Ada tanya yang terpendam, tak terejakan. Tanya yang kerap hadir saat garis senja terbenam. Bait atau syair gelisahmu itu menjalari malam yang menyibukkanku. Rerimbun tanya dan tanya yang tidak akan terjawab, sebab angin melarikan tanya dan pekat menyisipkan jawab, di saku mimpi.

59

Udara begitu menusuk. Sinar rembulan meredup terbalut pekatnya kabut. Jiwamu yang tersapa hampa kian gelisah oleh kata-kata yang sedari tadi tumbuh di mimpi. Kini, senyap mulai semai ribuan puisi kerinduan, tapi penuh kemayaan. Mengejaku, mengajak dirimu tersudut di siku malam yang sunyi. Mengejaku, membuat dirimu menuang ribuan tanya yang tak tereja. Tanya yang kerap meluncur untuk memahamiku. Inilah sebuah keentahan yang entah bagaimana lagi harus kukatakan. Sebuah keanehan yang terpelihara. Sengaja aku menabung tanyamu, perlahan menyudutmu dalam kebisuan, ketidakpastian yang akan amat maha dahsyat menerpamu. Mungkin sudah kaurasakan, iya kan? Akan kubiarkan begitu. Kubenamkan dirimu. Bukan inginku sebenarnya, namun mengejakan semua yang kulalui, tentu akan menenggelamkan dirimu dalam jejak nisbi yang semakin pekat. Aku katakan sejujurnya, aku sulit kaueja, jejakku terlalu terjal, jiwaku terlalu liar untuk kaususur. Namun, bila keingintahuan itu begitu maha dasyat membanjiri hatimu, keinginan untuk mengejaku, maka aku persilahkan kauikuti waktu yang telah kugurat, lihatlah jejakku. Dan tatkala kaumasih juga belum mengenalku, coba lihat saat debu menimbunku, coba kauangsur tanya pada mereka yang dekat denganku. Mungkin bisa jadi referensi untuk mengenaliku. Setidaknya aku ada dalam warna hidup mereka, mungkin beberapa tanyamu akan terjawab dari mereka, semoga. Namun, jika belum juga kautemukan jawab itu, maka katupkan mata, susurlah malam berjelaga, mimpi-mimpi fatamorgana akan kautemukan. Labirin dengan sekat putih akan menyapamu. Saranku, gunakan hati nurani agar tak tersesat saat mengenaliku. Bila sudah berada di sana, lekaslah menujuku. Iya, Di pucuk itu. Tataplah sedalam engkau tatap telaga, dan marilah bercengkrama, menandaskan tanyamu yang belum juga tuntas 60

itu.Tapi tolong, jangan tanya siapa diriku, karena aku akan hilang terbalut kabut, tolong jangan tanyakan hal itu. Bisakah? Mungkin engkau akan beranjak meninggalkanku, tapi sebentar, sekadar berkabar, nyatanya aku tak bisu, aku bisa menalar apa yang engkau katakan. Sungguh! Ini bukan peran gila yang kulakukan, aku ingin jadi diriku sendiri, dan kamu menemukanku seperti manusia yang hilang ingatan. Ah! Maaf, betapa tidak mengertinya dirimu. Aku mengunggumu di sini, mengeja bahagia yang kaucari, entah dan dengan keentahan yang bagaimana lagi aku akan mengejakan itu padamu, sebuah tanya yang kerap melesat dari bibir basahmu, ”Engkau sudah menemukannya?” Baiklah, mungkin akan terurai jika aku mengatakannya lewat deretan kata ini. Aku sudah menemukannya, tanpa terejakan olehmu! Aku menemukan di atas rubuhnya pagi, aku menemukannya di atas timpangnya sendi hidup ini, aku meraihnya saat berpeluk dengan sedih, aku mendapatkannya dan aku bahagia dengan segala hal yang tidak akan terejakan olehmu, entah sampai kapan dan dengan keentahan yang bagaimana engkau akan berkelana hingga ruh dirimu meregang dan jasad berbalut kafan. Semoga sebelumnya engkau dapati itu. Semoga. Dan sekarang masih kautanyakan makna itu? Masih juga belum tereja olehmu? Sudah aku katakan, mengeja tanya itu butuh perhatian yang tak sedikit, butuh rimbun tanya yang terbit. Butuh sabar yang menjalar. Tapi begitupun, aku hanya akan menanggalkan jawab itu bila semua semesta rela atas apa yang kurasa. Saat itu aku akan menanggalkan makna ini, akan kutinggalkan keramaian dan menyudut di sepi, merapal sujud kesyukuran yang tak terperi, karena kautelah menemukan jawab atas tanya yang membayangimu, selama ini. Namun, lihatlah kerut terlipat yang semakin berlipat. Rentang yang kian panjang itu menjauhkan titik temu antara

61

dua sisi kehidupan. Entahlah, hati yang melindap itu kerap menyundutku dengan untaian tanya dan tanya yang selalu menghiasi malam. Aku tak terganggu atas itu. Sungguh! Engkau berkaca di saat hujan, ketika rinai-rinai menimpamu. Kesejukan yang menghanyutkan harapan atas tanyamu yang ingin gegas tertunai. Memang, tetes hujan akan menandaskan dahagamu, tapi itu sementara saja. Sedangkan yang engkau butuhkan lesapnya dahaga untuk selamanya, iya kan? Baiklah, aku tak ingin berlanjut, aku ingin harimu berdenyut kembali seperti semula, sebelum engkau mengeja dengan puluhan tanya yang mengejarku. Aku lelah, baik, sekarang meringkuk dalam selimutmu. Larutlah kamu dalam mimpi, nah kamu melihat aku kan? Sekarang yang harus kamu sadari sesadar-sadarnya adalah bahwa aku adalah bayanganmu. (Dunia KOMA, Medio 2010)

62

.

Dialog Dua Jiwa Semula biasa saja, aku dan dirimu sudah terbiasa. Tidak ada yang istimewa mengikat hati kita. Hanya sepotong kata yang kerap menjadi bahan obrolan, itu pun sekadar, sungguh tidak ada yang istimewa. Namun kini, setelah kejadian itu, kita semakin jauh berlayar dari pandangan yang kian hambar.

63

Malam itu, engkau menemuiku disaat malam masih basah. Ketika bulir hujan masih menempel di dedaunan. Sosokmu menemuiku dengan tangis yang pecah, dibarengi hati yang koyak. Akh, adinda mengapa begini? Siapa mengalirkan air mata beningmu? Siapa? Ah!

yang

tega

Kau mengangsur jawaban, mencoba menggurat senyum walau kutahu itu menyesak di hatimu. Aku paham, jauh di sudut hatimu ada luka yang menganga lebar. Butuh waktu untuk menyembuhkan luka itu, walau kuyakin setelah sembuh pun bekas luka itu akan tetap ada. Aku tertunduk lusuh mendengar guyuran resahmu. Apa yang kamu ujar ibarat membuka lembar masa lalu. Sesuatu yang sempat kusimpan rapi di laci hati, berharap menjadi kenang sejarah yang cukuplah segelintir saja yang menyimpannya rapi. Tapi, ketika kau ujar perihmu, saat kurasa gundahmu, aku tak kuasa, aku terbawa, tercabik, tertipu. Ah! Sebenarnya semua itu bermula dari perasaan.Yah, jangan pernah menyalahkan perasaan orang lain terhadapmu, tapi harusnya orang lain pun harus menghargai perasaanmu. Harus imbanglah. Adinda, ingatkah akan tawaran sepotong hati yang sempat tertolak olehmu? Sadarkah, kini ia merentang jarak, mungkin samar atau tidak terlihat bagi yang lain, tapi tidak oleh kita, terutama kau. Yah, sekali lagi kita belajar untuk tidak mengajari orang berpikir dan bersikap, tapi cukuplah sekadar mengajaknya bercermin. Walau begitu, biarlah waktu yang mengejakan. Toh, jika kita baik tentu akan tetap baik di mata yang baik dan yang Maha Baik. Bukankah dengan begini kita akan jadi yang lebih baik? Embun menggantung di dedaunan. Pagi yang menakjubkan! Mataku masih berat terkuak tatkala telingaku terguyur ajakanmu untuk menyambung dialog yang sempat terputus oleh mimpi. Kembali-dan selalu kita beradu ujar serta

64

menyemat bahagia di relung masing-masing. Terimakasih telah bijaksana menjadikanku anugrah terindah itu, tempat yang kini kamu pilih untuk jadikan dermaga atas kapal resahmu. Yah, kusadari benar. Bahwa dermaga lain sering mencibirmu yang kerap memilih berlabuh di dermagaku. Sempat tidak engkau dengar? Selentingan kabar berujar, akulah dermaga yang lupa pasak. Ah! Tapi begitupun syukurlah engkau meyakiniku tidak begitu, dan nyatanya memang tidak bukan? Bagiku pasak tetaplah pasak. Ia menjadi pondasi dalam kehidupan sebuah dermaga, tetapi sadarkah? Tidak layak rasanya bila pasak diletakkan di permukaan dermaga. Bukankah ini akan menjungkal semua yang ada? Akh, adinda. Perkenalan kita memang masih cambah, bahkan sangat pagi. Sekadar mengenal satu sama lain saja masih mengeja, dialog kita kerap berbuntut tanya yang tak berujung, tapi lihatlah betapa kita menikmati tiap detik kebersamaan ini. Ah! aku bahagia melihatmu menyuguhkan senyuman. Benar-benar pelepas penat yang kerap menyengat. Kadangkala, hingga pagi menelan malam kita masih larut dalam dialog-dialog yang berujung dengan dengkur di kamar kita masing-masing. Lantas, tatkala garis pagi menyembul dan azan membangunkan kita, kembali mengingatkan akan dialog yang belum juga usai tadi malam. Dialog yang mungkin tidak penting, tapi bisa jadi penting. Adinda, gundah yang menyemat di hatimu tidak akan luruh jika kapalmu masih terombang-ambing di laut kehidupan. Bila belum juga kamu pastikan dermaga dan menambat kapalmu, tentu dermaga yang lain akan mencari kapal lain yang masih terombang-ambing di lautan, setidaknya berkuranglah. Kini, banyak mercusuar menyinarkan lampunya ke arahmu. Dengan kerlip yang terang. Menyorotmu dengan cahaya yang berbalut kabut. Ada berkas sinar yang keras, lembut dan samar. Hmm, Banyak benar pilihanmu untuk berlabuh. Aih! Enak betul. 65

Siang merambat. Peluh melekat di keningmu yang putih. Sepasang mata di sudut pintu menatap kita yang sedari tadi tidak menyadari keberadaannya. Sepasang mata yang tidak asing. Hei! Lihatlah, sinar itu lain, entahlah sinar apa yang ia pancarkan, sinar yang dingin dan menyelusup ke tulang. Tak menunggu lama, seperti tersihir kita melihatnya. Yah! Sepasang mata itu menyiratkan api. Hei! Baru kusadar itu api cemburu. Aih! Sepasang mata itu cemburu? Gawat! Senja merapat, lamat waktu merambat ke barat. Yah, baru kusadar sepasang mata itu adalah dermaga yang turut menyorotmu kemarin. Tak hanya ke arahmu, tapi juga ke dermagaku. Engkau tentu telah merasakan keras pendar sinarnya bukan? Sekarang, sekalipun dialog kita masih berlanjut, sesering apapun kita meraut rindu, seperti yang sudah kukatakan sedari awal, biarlah waktu mengejakan, aku tidak mengikatmu dengan ikatan yang terlalu kuat, aku juga tidak ingin lagi jadi dermagamu. Lihatlah, bila aku bersikukuh menjadi dermagamu, bukankah kita dipisahkan oleh pijakan? Dan aku pun riskan akan lepasnya ikatan oleh sayatan tajam pada tali penambat kita atau putusnya rantai jangkarmu. Jadi, ijinkan aku jadi selimut abadimu.

Dunia KOMA, 2010

66

Ti Ti, dimanapun udara menyapamu. Kau harus yakini, doaku ada di sana. Larut pada udara yang kau hirup, turut dalam mimpi yang kau raut. Ti, sunyi siang ini mengantarku untuk menatapmu. Ya, titik-titik gerimis mengantarku menujumu yang kini berpayung sendu. Ah, mengapa harus di saat begini kita bertemu. Saat lara menyemat di dirimu. Ketika gerimis hadir melandai di

67

cembung pipimu yang kuning langsat. Ingin kuseka bening itu, tapi ah, aku riskan. Ti, sedari tadi kulihat kamu di sini. Kau membawa selembar kain berwarna biru laut. Sapu tangan yang pernah kuberikan dulu kah? Mengapa tak kau gunakan menyusut alir air yang mengalir deras dari matamu. Ti, maaf, aku tak bisa melihatmu begini. Engkau tahu? Aku tak bisa melihat wanita menangis di dekatku, itu kelemahanku. Apa inginmu kini? Katakanlah, kiranya aku bisa bantu surutkan masalahmu. Ti, mengapa engkau diam saja? Bukankah seperti yang kau ujar dulu, air mata tak selesaikan masalah. Ya, sekalipun lelaki, aku pun kerap mengadu lara dalam tangis. Ya, air mata memang dicipta sebagai peraduan rasa yang ada pada tiap manusia, kau pun juga bukan? Ti, Engkau telah mengenalku. Meski sekejap memang. Rasanya kita bisa saling menjaga rahasia. Percayalah, apa aduanmu nanti tak kan pecah di mulutku. Tolonglah, aku tak bisa melihatmu begini terus. Ti, mengertilah. Sejak jam tiga tadi kita hanya mengapungkan diam. Hanya isak dan derak nafasmu yang sesak naik turun. Aku tak mengerti lagi akan berbuat apa, aku bingung. Bisa kau beritahu aku harus apa? Ti, jawablah tanyaku, engkau kenapa? Bantulah aku, lihat! Kini semua penjuru mata di tempat ini menatapku dengan tatapan menghakimi. Mereka mengira aku yang membuatmu menangis sebegini lama, sebegini dalam. Ah, manusia slalu saja melihat dari satu sisi. Apa karena aku memang salah? Ah, rasanya mencintaimu dan memendamnya hingga kini bukanlah sebuah kesalahan. Jadi, bisakah berhenti dan tumpahan padaku semuanya? Ayolah. 68

Ti, Senang melihatmu mau berdiri dengan wajahmu tegak. Meski dengan kantung mata yang hitam dan sembab, ah, yakinku sedari tadi pagi matamu basah dan mengalir landai di kedua sisi pipimu yang memerah. Kau menatap kearah langit sendu. Bibirmu yang merah muda pucat berkali-kali kau kulum. Kau menunduk lagi. Kau diam, kita diam. Ti, maaf jika aku memegang bahumu. Aku harus menguatkanmu, seberapapun rapuhnya dirimu, seberapapun terpuruknya dirimu. Aku tahu, tiap orang akan menemu masalah dalam hidupnya, toh, kita faham, itulah pembeda yang hidup dengan yang telah mati bukan? Ti, dengarlah aku. Segelap apapun waktu yang kau jalani. Setinggi apapun tanjakan hidup yang kau jejaki. Tumpahkan saja padaku, aku rela menjadi peraduanmu. Ti, kau tentu bingung mengapa aku begitu perhatikanmu? Ah, apa kau lupa? Pada malam-malam yang pernah kita isi dengan pesan-pesan pendek. Ya, dulu, saat kau belum berlabuh pada dermagamu. Kau bilang pesanku terlalu romantis, padahal, balasanmu yang kau tulis kerap menginspirasiku untuk menulis puluhan puisi di sini. Katakatamu bak amunisi, lesatkan imajinasiku kau inspirasiku dalam melahirkan sejumlah buku. Maka itu aku peduli padamu. Ti, kalau boleh aku jujur. Dulu, aku lelah menunggumu. Berkali engkau berganti dermaga, pun tak sekali aku berpaling, mungkin konyol bagiku yang terlalu memilihmu. Membiarkan diri terbenam cemburu saat melihatmu dengan yang lain. Menolak tawar cinta dari sejumlah jiwa yang secara terang merapatkan kapalnya. Aku setia padamu, bahkan di saat ini, sekalipun kau tak menyadari itu.

69

Ti, engkau pernah berkisah tentang kesederhanaan yang kau ingini. Kebahagiaan yang hakiki. Meski kuyakini itu hanya basa-basi. Oooh, nyatanya kau mengagungkan kemewahan hidup. Bahkan di tempat seperti ini pun engkau berdandan ala ibu pejabat, padahal... Ah! maaf, aku ngelantur dan malah menceritakan burukmu, maaf. Ti, mengapa engkau melepas penutup kepalamu itu? Apa yang kau lakukan? Seumur hidupku baru kali ini kulihat kau begini, rambut ikal sebahumu tergerai uapkan aroma pandan melati. Kau tak seharusnya sebegini putus asa, Mengertilah, tuhan punya rencana padamu. Ti, telah cukup lama kita diam dalam keheningan. Kebekuan kata yang kau eram dalam mulutmu masih juga kau jaga. Hari sudah mulai gelap, bentar lagi senja akan ditelan malam. Kau masih ingin di sini? Tempat ini semakin sepi, kau tak takut? Ti, bukannya aku ingin mengusirmu dari tempat ini, tapi mengertilah, berhenti di sini dan terbalut lara bukanlah pilihan yang tepat. Kau pintar, kau bisa mencerna tiap pelajaran yang terselip dari masalah-masalahmu. Tak hanya itu, kau cantik. Ti, kulihat tanganmu mengepal, kepalamu mengangguk. Engkau mendengarkan ujarku rupanya, ah, syukurlah, aku senang lihat kilat semangat di matamu. Sedikit, tapi terlihat olehku, ya! Ti, bangkitlah, berjalanlah ke arah cahaya mimpimu. Waktumu terlalu indah untuk kau habiskan larut dalam duku. Percayalah, dimanapun langit menyapamu. Yakini dengan sungguh-sungguh, doaku tergantung di sana, doa yang larut dalam arakan awan dan hujan, doa yang ikut serta pada langkah yang kau arah. Percayalah, aku ada di tiap waktumu.

70

Ti, tersenyumlah. Karena senyumanmulah yang kerap mengkanvas halaman-halaman putih di notes dan layar komputerku. Tersenyumlah seperti saat kau berbahagia melihatku berada di kerumunan desak orang berebut tandatangan di bukuku. Tersenyumlah sewaktu kau membaca tulisanku, tentang aku yang menulis diriku, dirimu di dalamnya, tentang kita. Tersenyumlah, ingatlah hal-hal yang menyenangkan saat lalu itu. Ti, di sini basah. Dingin. Tanahnya masih merah dengan uap aroma bunga pandan dan melati. Ya, sedari tadi kita memang berrada di sini, di depan pusara lelakimu. Aku turut berduka. Ia kemarin tewas tertembak aparat saat merampok seseorang yang tak berdosa. Ia salah, tapi kesalahan yang fatal juga ia lakukan, meninggalkanmu yang sedang mengandung. Ti, kini lelakimu berbaring dalam tanah bersebelahan dengan orang yang dibunuhnya. Ah, dunia orang mati ternyata lebih damai dan penuh keakraban, mungkin juga lebih bahagia dibanding duniamu yang katanya lebih hidup. Ti, lihatlah, di sini bersanding jasad pembunuh dan yang terbunuh, koruptor dengan yang dikorupsi, pemimpin dengan rakyat, kiai dengan umat, juragan dengan pembantunya. Oh, semua tak seperti di duniamu kan? Ti, kau tentu belum tahu, atau mungkin terlalu sibuk berurusan dengan aparat. Tak apalah bila harus aku yang memberitahukan ini padamu, tentang lelaki yang dirampok lelakimu kemarin. Sungguh benarlah adanya, lelaki itu adalah aku. (tanahbasah, 030711)

71

72

Sebingkai Cerita Cerita di balik jendela Dulu, aku adalah salah satu penikmat jelitamu. Betapa tidak? Akulah yang pertama sekali kamu sentuh kala pagi, saat mentari masih malu-malu berselimut kabut. Akulah yang mengetahui curahan hatimu yang kau tulis di meja tepat di depanku. Akulah yang paling leluasa menatap tubuhmu kala senja telah ditelan malam. Begitu seterusnya, berhari, berbulan, bertahun. Hingga kini semua berbalik seratus delapan puluh derajat.

73

Hanya aku dan kamu. Di sini, terperangkap di kamar yang pengap. Beruntung ada aku. Ya, sebingkai jendela yang kini berjeruji besi vertikal sebanyak enam buah. Benda yang memberikanmu potongan-potongan film tentang perjalanan waktu. Dulu kamar ini tak berjeruji. Angin sesuka hati menerobos, menyibak tirai kamar. Kini, jeruji-jeruji itu membuatmu tak bisa meloncat ke luar rumah. Sungguh! Aku sangat ingin membiarkanmu keluar dari ruangan ini. Melepaskanmu dari ruang pengap 6x4, memburu kebebasan, meski kamu harus mafhum, karena aku tidak akan pernah mampu. Sebenarnya kamu masih beruntung. Kenapa? Sebab kamarmu tepat berhadapaan dengan latar yang di seberangnya adalah jalan raya desa yang beraspal. Di sebelah rumah orangtuamu ini terdapat bangunan yang juga jadi warung serba ada milik Bi Tugi. Maka, tiada pernah sepi telingamu mendengar transaksi jual beli, celoteh ibu-ibu bergosip sembari memilih sayurmayur atau lauk pauk, juga rengekan anak-anak yang meminta dibelikan jajan. Setidaknya, sepimu akan pergi mendengar semua ini. Ya, bukankah kamu telah bosan bila hanya mendengar deritku? Hanya angin dan suara riuh anak-anak yang bisa menerobos ke kamarmu. Pintu, hanya tiga kali dibuka. Itupun bukan ibumu. Seorang perempuan yang lebih tua dari ibumu, datang membawa sepiring seng nasi yang berlauk itu-itu saja, daun singkong dan sebutir telur bebek rebus yang ditambah sejumput cabai diulek kasar. Kurasa lidahmu pun sudah mati selera, namun perut yang berkeriuk memaksa tanganmu yang kurus itu menyuapkan nasi ke mulut. Kamu, yang selalu menggigit bibir hingga sering berdarah, yang sering melonjak girang saat melihat anak kecil yang bermain engklek, cindong atau gobak sodor di halaman depan. Saat seperti itu, akan ada senyum mengambang di 74

wajahmu, meski tanpa kamu sadari ada bulir-bulir yang menuruni pipimu yang kian susut, dan tes! tes! Beberapa beningmu pun jatuh ke lantai. Dari balik jendela. Entah kenapa kini kamu meronta. Lengkinganmu mengalahkan celoteh di kedai dan riuh anakanak yang bermain di pelataran rumah orangtuamu. Sontak, berlarianlah anak-anak meninggalkan latar rumah yang luas. Cerita itu selalu datang kembali, tanpa diundang ia berkelebat dan menggerogoti senyummu yang sempat terkanvas tadi. Cerita yang membuatmu dikurung dalam kamar, sejak dua bulan lalu. Cerita Sepetak lapangan Tiga bulan lalu. Orang memanggilmu Juwita. Gadis kampung berperawakan tinggi yang periang. Wajah oval bersih, kulit seputih awan cerah. Tubuhmu yang sintal berisi acapkali mengenakan busana mini. Ah, rambut ikalmu yang sebahu itu, selalu saja kamu ikat ekor kuda. Dulu rambut itu selalu menebar aroma segar mawar. Mata beningmu dengan tahi lalat pas di bawah bibir kiri memastikanmu salah satu gadis termanis di kampung ini. Hobi pada voli membuatmu digadang-gadang, lantas direkrut salah satu perusahaan rokok ternama di kota. Bermodal tubuh setinggi seratus tujuh puluh delapan sentimeter dengan lompatan setinggi pembatas net. Kemampuanmu dalam passing yang terarah, smash yang terukur dan cara blocking serangan lawan sangatlah dikagumi, sempurna. Maka tak heran, tim volimu masuk ke final yang akan ditandingkan tiga minggu kemudian di kota. Sempat, waktu itu. seusai bertanding, datang beberapa sodoran kontrak kerja dari perusahaan-perusahaan sponsor. Tentu menggiurkan bagi seorang gadis yang baru saja menamatkan SMK-nya. Meski begitu, dengan tegas ia 75

meninggalkan wajah-wajah itu membatu mengatupkan tangan, isyarat ketidakinginan.

melihatmu

Cerita suatu malam Malam itu. Belum reda sorai-sorai seusai kemenangan tim volimu di final. Seharusnya engkau mengikuti saran Rina sahabatmu untuk bertahan hingga jam sepuluh nanti. Saat itu engkau menepis, pesta perayaan kemenangan yang seharusnya dirayakan olehnya meski disudahi, mengingat semenit yang lalu ia mendapat pesan singkat dari ayahnya. Wita, segera pulang, jantung ibu kambuh. Begitu pesan itu terbaca. Tanpa membuang waktu kau cari Gino, manager tim voli. Berbincang sebentar, lantas uang sekitar dua juta rupiah telah berpindah ke saku jaket merah jambumu. ”Aku tak ijinkan kamu pulang sendirian,” ujarnya seraya menahan langkahmu ”Ayo, aku antar,” sambungnya sembari pamit sebentar mengabari yang lain kalau ia akan kembali lagi setelah megantarmu pulang. Uang bagianku ini tentu cukup untuk membawa ibu ke rumah sakit. gumammu di teras halte. Tanganmu mencoba menghubungi nomor ayahnya. Masuk, tapi tidak diangkat. Kamu semakin cemas. Gino datang dengan membawakan helm untukku. ”Pakailah, biar aman,” sarannya Rx King distarter dan menembus pekat. Malam ini udara begitu beku, seolah paham akan hatimu yang gundah. Sesekali Gino menenangkan dengan mengatakan, ”Kamu tenang, semua baik-baik saja,” kamu hanya nyengir ragu. Berharap lekas sampai di rumah.

76

Cerita sebuah tikungan Rx King itu melaju 80 kilometer per-jam. Kira-kira, sampai di kampung masih sekitar tiga kilometer lagi. Pohonpohon rambung yang menjuntai ke jalan seolah memekatkan dan mempersempit jalan. Tiba-tiba dari arah berlawanan, dua sepeda motor yang dinaiki tiga sosok berperawakan tegap menghambat dan menodongkan pistol. Gino mencoba berkutik, tapi naas sebuah tembakan mengenai bahunya. Gino mengerem mendadak. Mereka oleng dan jatuh. Baru hendak bangkit. Naas, dua orang mencengkeramu. Kau meronta, melawan, meski kini tanganmu diikat tambang dan mulutmu disumpal sobekan bajumu. Sesosok lagi sudah sedari tadi, melompat mencengkeram Gino dan membenamkan sesuatu ke perutnya. Gino Ambruk. Semua sepeda motor dibenamkan ke semak-semak untuk menyamarkan keadaan. Dan kini, kau dimangsa mereka. Tepat di sebelah mayat Gino. Cerita sebingkai jendela Masih terbuka lembaran-lembaran diarymu. Angin seolah bersekutu denganku, menjumput potongan-potongan dan menarik simpulan dari catatan yang kau tulis dulu. Masih terputar dalam otakmu. Episode-episode saat tiga bajingan yang menelan bulat lekuk tubuhmu yang kemudian menegubahmu dari kembang ranum menjadi liar. Sepotong berita pada koran kusam menempel di lembar catatan terakhirmu, ”...Gino (27 tahun) Ditemukan mati mengenaskan dengan dua tusukan pisau di perut bagian kirinya. Sementara, Juwita (19 tahun) ditemukan dalam keadaan traumatis. Diduga kuat, korban telah... ”

77

Sebingkai Cerita yang tak sempat sampai Sebenarnya, di malam itu ada satu rahasia yang sampai kini belum terkuak. Di warung Bi Tugi yang lagi sepi pegunjung. Leo menguap, dari mulutnya mengeluarkan aroma minuman keras. Tanpa sengaja ia menemukan sebuah hp di meja dekat dispenser. Segera ia cek phonebooknya, ternyata milik Marno-Ayah Wita. Sekilas niat buruknya menggelegak. ”Halo, Bento, James...” ( Pulang ke rumah, 10 Mei 2011)

78

Kembalinya Si Baen Dia akan kembali! Kabar itu melesat bagai anak panah yang terlepas dari busurnya. Siapa tak kenal sosok itu? Kisahnya sewaktu di lapo tuak Amang* Togi seakan tak pernah putus, semacam dongeng. Secuil kisah itu sudah cukup menyurutkan nyali preman-preman di seantero kampung, bahkan di kotaku, Siantar. Baen, Begitu ia dipanggil. Sebab ia bergelar Baen kabarnya saat ngobrol, kerap meluncur kelebat kata ”Baen ma*!” dari bibirnya yang menghitam. Dijuluki begitu Ia tak ambil peduli, baginya panggilan itu cocok juga untuk dirinya yang berprinsip: berbuat dahulu berpikir belakangan, berprinsip cemana* nanti ketimbang nanti cemana? Nah, lho?

79

Rambut keritingnya tergerai memanjang sebahu, membaur dengan selembar singlet yang membungkus tubuh gempalnya. Beberapa gelang bertuliskan aksara Simalungun melingkar di tangan kirinya, manis. Gelang itu senada dengan kulit kecoklatannya yang menyamarkan beberapa gurat bekas luka. Dan satu hal yang kerap menyerta adalah kilat mata yang selalu nyala penuh kesangaran. Mencari sosoknya mudah saja. Cukuplah tiap sore bertandang ke lapo tuak di pojok-pojok kampung. Memang wajib baginya bertandang ke lapo tuak. Bergantian, dari lapo yang satu ke lapo yang lain. Inilah waktunya membunuh kesepian, membaur dengan orang kampung. Walau begitu tak ada ia tinggalkan hutang, tak pernah pula mabuk, baginya minum tiga-empat gelas itu cukuplah! Sesekali akan terdengar suaranya, kiranya tak menyakitkan telinga. Nada serak-serak basah itu kerap mengudarakan lagu-lagu Panbers dan lagu wajibnya ”Mengapa harus jumpa,” ”Kek mana? mainkan lagi bang?” tanya Ronal yang masih memeluk gitar. ”Baen ma!” tukasnya seraya bernyanyi sembari berjoget mempertontonkan pahatan tato yang melingkar di sekujur tubuh dan kedua tangannya. Jarang ada yang bersapa padanya. Walau sungguh, ia kerap menebar senyum bila keluar rumah. Tapi wajarlah orangorang takut bertegur padanya. Lihatlah, senyum yang diguratnya itu malah menjelma seringai yang mendirikan bulu roma siapapun yang memandangnya. Sekilas tak ada yang terlalu istimewa darinya. Tak sedikitpun bergaya parlente layaknya seorang preman kelas kakap. Namun, satu kisahnya yang melegenda, cukup menenggelamkan syarat itu. Satu cerita itu merayapi telinga warga di penjuru kampung dan Siantar.

80

Adalah sewaktu di lapo tuak Amang* Togi beberapa tahun lalu. Ramses, pemuda kampung lagi tenggen, ia berkoar seenaknya, sesekali anak muda itu memancing amarah peminum yang lain. Baen ada di situ, lama memerhatikan lantas mengajaknya duduk bersama. “Mantap kali kan, Lae*?” ujarnya seraya menuangkan tuak ke gelas Ramses. Sosok di depannya mengangguk penuh kesombongan. Baen hanya tersenyum. “Tuak amang Togi memang lain pulak rasanya,” seru Baen berseloroh seraya mereguk kembali gelasnya ”Mantap kali bah!” tukasnya seraya menyeka tetes tuak yang menggantung di tebing dagunya. Merasa tertantang, Ramses turut menenggak gelasnya, nikmat sekali. Namun, tanpa disadarinya sebuah tangan bertato melesat mendorong pangkal gelas yang sedang berlabuh di bibirnya. Sontak kedua tepi mulutnya terkoyak beberapa senti. Putihnya tuak bercampur darah yang mengental. ”Amang oi!” pekik orang-orang di sekitar. Seketika riuh menguak. Desing koar mengumbar diselingi lolong ketakutan Inang Lamhot-istri Amang Togi. Kini lapo tuak disesaki ocehan, tapi berselang tiga menit tempat itu jadi membisu, tatkala Baen menghardik yang lain agar diam. Ramses dengan wajah menegang tak kuasa menarik gelas yang menempel di mulutnya. Getah darah mengaliri dagu, lantas menganak sungai ke leher dan merembes di kaos oblongnya. Baen menandaskan tuaknya, seraya menghela nafas merayapkan langkah ke sosok itu dan menyelipkan pesan. ”Unang parjagoan ho*!” hardiknya dengan mata senyala bara. Segera ia beringsut menjauh. Meninggalkan sketsa menakutkan yang membekas di liang jiwa. Tiap mendengar cerita itu aku pasti menahan nafas, tegang. Orang kampung tak henti berdecak kagum dan takut. Kagum, karena keberanian Baen pada Ramses si biang onar. 81

Dan takut, bila kiranya tersangkut masalah pada sosok yang di akte kelahirannya bernama asli Brilian Sibarani itu. Sejak kejadian saat itu sering berhembus tanya para warga desa, merasa keheranan. Karena lelaki itu tak pernah berulah tak sopan di kampung ini, barang mencolek anak gadis pun tak pernah, mengompasi apalagi, mengganggu biduan di tempat hajatan pun tak sudi dilakoni. Bisa dibilang bertolak belakang dengan karakter Ramses dan kawan-kawannya. Maka bila boleh jujur, selama ia masih ada di sini, kampung Tambun akan lebih nyaman dihuni. Adalah kabar yang turut tak lapuk digunjing warga. Ketika menjamurnya lapo tuak di tepi jalan kampung. Ini tentu menyulut emosi pemuka agama di kampung ini. Tapi, tak kurang seminggu lapo-lapo tuak itu serentak merangsek mundur menjauh ke rerimbunan rambung yang sepi. Kabar berhembus Baen berfatwa pada semua pemilik lapo tuak itu. ”Awak juga penikmat tuak, Amang,” ujarnya seraya menenggak tuaknya tandas. ”Tapi baiknya lapo-lapo ini jauh dari anak-anak,” sambungnya. Sepenggal cerita itu langsung menimbulkan pro-kontra. Ajaibnya, tak menunggu dua hari. Semua pemilik lapo tuak pinggiran jalan itu membongkar lapo tuaknya dan memutuskan pindah ke rerimbun rambung yang benar-benar sepi. Alamak! Fatwa ustadz kampungku selama ini nyatanya tak lebih mujarab dari fatwa Baen. Bah! Baen tak suka berkoar. Namun sepatah katanya adalah komando bagi anak buahnya. Dan jujur, bila meluncur tanya semisal siapa yang berhak berkuasa dari segi keamanan di Pasar Horas, maka kami para pedagang Pasar Horas akan memilihnya, mutlak. Pasalnya pasar akan aman, setidaknya tak lagi berkeliaran pungutan liar dan pencopet. Cukup uang keamanan saja. Sehari tiga ribu rupiah, cukuplah. Tapi bila tanpanya, maka pungutan bisa membengkak berkali lipat akibat ulah dari anak Punk hingga oknum petugas

82

yang kerap menyambangi pedangang dengan kutipan yang tak rasional. Apapun, syukurlah saat ini masih dia yang megang Pasar Horas. Khusus pada keluargaku, secara pribadi sangat berterimakasih pada sosok itu. Setidaknya ia telah membantu menyelesaikan sengketa dengan tetanggaku, Mas Wandi yang waktu itu membuka warung tuak di samping rumahnya. Istriku yang sedang hamil tua selalu uring-uringan bila malam, saat koar suara kian lepas, saat uap tuak menerobos lewat daun jendela rumahku. Jujur, istriku paling eneg mencium bau tuak. Tapi syukurlah, setelah mendengar fatwa Baen, mau tak mau, suka tak suka, Mas Wandi pun bergegas menutup lapo tuaknya itu. Kini, keluargaku terbebas dari semerbak tuak yang -maaf- memualkan itu. *** Telah kupesankan Mira agar menyiapkan makanan kesukaan Mas Baen hari ini. Aku tahu ia suka makanan itu. Sebab, sebelum bersengketa dengan aparat berpangkat yang membuatnya mendekam di terali besi, kami sempat bertemu di pasar. Waktu itu kami berjumpa tak sengaja, lantas ia mengajakku makan, meneraktir malah. Saat itu ketahuanlah ia pecandu berat makanan aneh itu. ”Mantap kali!” ujarnya padaku di sela-sela ia menyisipkan potongan makanan kegemarannya itu ke mulutnya. ”Iya, Mas. Nambah lagi nasinya, Mas,” tawarku melihat nasinya yang tinggal sedikit. ”Ha, baen ma!” sambutnya seraya menciduki nasi, ”Ayo! ayo kau juga nambah,” sambungnya seraya menyodorkan tempat nasi ke arahku. Kuterima tawarannya. Jujur, kusadari betapa sangat supel sosok itu. Hingga tak terasa waktu mengabarkan untuk berpisah.

83

Maka, hari ini dengan niat baik, aku bernazar di hari pertamanya keluar dari penjara akan kujamu dia makan malam di rumahku. Makan malam yang sederhana, tapi setidaknya nazarku terbayarkan. Menu malam itu tentunya dengan menu kesukaannya, rendang Jengkol. Siang berkabar. Beberapa pemuda kampung sibuk memasang tratak, membuat pentas acara penyambutan sosok itu. Keyboard sudah datang, Biduan seksi dengan rok sebelas senti di atas lutut sudah dijemput, tak tanggung-tanggung, empat biduan seksi akan beraksi mulai malam nanti hingga pagi. Senja menelan siang. Para pemuda masih menanti. Berpuluh tanya merayapi mereka yang lama menanti Sang Legenda. Kabar kurang enak menyapa, beberapa orang yang ditugaskan ke penjara menjemputnya, barusan lewat telepon berkabar bahwa Baen sudah pulang beberapa jam yang lalu. Tapi, hingga matahari membenam di garis jingga, sosok itu belum juga terpajang di depan mata. Kesabaran tersulut gelisah. Malam menjemput gelap. Tarian erotis biduan tak meliurkan birahi. Hentakan musik bagaikan angin sepi. Di sudut hati mereka masing-masing merasa kehilangan. Kehilangan sesuatu yang berharga, keberanian di atas keberanian. Sesuatu yang hanya mereka temukan pada sosok Baen. Kesepian menyelimuti keramaian mereka. Seketika semua terhenyak, saat raungan sirine mengguyur telinga dan iringan kendaraan memasuki perkampungan. Suatu hal yang tak biasa terjadi di kampung yang terpelosok ini. Merasa ada sesuatu, maka segala aktivitas pemuda kampung itu terhenti. Segera mereka berburu tanya seraya meraungkan beberapa Rx King menguntit kendaraan yang baru masuk itu. Iringan kendaraan itu memasuki pelataran rumah Pak RT. Menguap asa, apakah iringan kendaraan itu membawa sosok yang mereka kagumi itu? Sosok bangkai bagi sebagian orang, 84

tapi bagi sebagian lagi adalah pahlawan? Atau malah membawa kabar lain tentang kenakalan apalagi yang diperbuat kawanan Ramses? Ah! Ingin segera terbayar semua tanya yang mengangkasa ini. Nyatanya, memang malam ini Baen telah kembali. Kini ia di sisi Bang Slamet -ketua RT- yang serius berbincang dengan beberapa orang berpakaian dinas. Baen memang telah kembali, tapi kini dengan tubuh terbaring dan kepala berlubang. Samar kabar menguar, sosok itu tewas ditembak orang tak dikenal sewaktu keluar dari penjara tadi sore. Entah kenapa, tiba-tiba gerimis menetes di sudut desaku. Entahlah!

Dunia KOMA, 15 Maret – 06 Mei 2010

85

86

Pak Uban Sosoknya tak layak dipanggil kiai, ustad atau mualim. Selalu berkaos oblong dengan blangkon yang setia menutupi rambutnya yang memutih. Raut wajahnya yang bersahaja tak menampakkan secuilpun pertanda bahwa ia punya pemahaman agama yang dalam.Tak seorangpun tahu nama sebenarnya, tiada juga tahu siapa keluarganya, yang orang tahu ia disapa Pak Uban. Kehadirannya belum genap setahun, tapi di Kampung Meranti Ia sangat berarti, sumbangsih ilmu agama yang mendalam membuat warga desa yang buta agama mulai merasakan hangatnya nikmat sang pencipta. Maka, sekejap saja sosoknya menjadi salah satu tokoh penting di kampung ini. 87

Namun, ada satu hal yang mulai berubah, saat Ustad Thalib – anak Haji Bajuri – pulang dari kuliahnya di luar negeri. Ustad muda ini menganggap ajaran Pak Uban merusak nilai-nilai keislaman, bahkan cenderung keluar dari ajaran. Maka dengan segera Ustad Thalib membangun kekuatan untuk melumerkan tiap-tiang pemahaman yang sudah dibangun Pak Uban beberapa bulan yang lalu. Ia adalah telaga bagi para pencari cahaya, sosok yang mewarisi sifat-sifat nabi ini dikenal dengan jargon “ Sugih tanpo Bondo, Digdoyo tanpo Aji, Ngaluruk tanpo Bolo, Menang tanpo Ngasorake” – di tiap-tiap ceramahnya. Sosok yang berbuat dahulu baru menyuruh, sosok bersahaja yang tak suka berkubang harta. Ia tak pusing memikirkan biaya hidupnya. Konon, anaknya ada yang berhasil di kota, acapkali mengirim uang untuknya. Ketika ditanya, mengapa ia memilih tinggal di desa, ia akan bercerita tentang keasrian alam yang belum terjamah tangan-tangan kotor, sejuknya udara, ramahnya warga desa yang selalu tenggang rasa, andaipun dibelikan istana di pusat kota, ia akan tetap berkeras tinggal di desa. ” Orang seumurku ini sudah tak layak tinggal di kota yang sumpek, penuh polusi lagi” ujarnya . *** Namun, dunia selalu berputar, sekarang banyak warga menjauhinya. Sebabnya Ustad Thalib menyebutnya sosok yang murtad, barangkali warga sudah lupa dengan jasa Pak Uban berbulan-bulan yang lalu. Sosok muda jebolan universitas ternama di mesir telah menyihir warga desa. Sikap ustad muda ini juga diamini ayahnya, Haji Bajuri. Dengan tegasnya kepala desa dan juragan tanah ini melarang ibu-ibu pengajian mendekati sosok itu. Bahkan Haji Ucok, dermawan yang semula mendukung Pak Uban, terang-terang berbalik arah mengancam tidak membantu warga yang belajar agama pada Pak Uban.

88

Tapi itulah Pak Uban, dengan segala keanehannya. Acapkali membuat orang mendekat untuk mengenal lebih jauh sosok misterius ini. Walau sudah segenap pemuka desa berfatwa, tak surut langkah pak uban untuk berdakwah, mengajak amar ma’ruf nahi munkar. Bahkan diam-diam tersiar kabar ada sejumlah pengusaha dan mahasiswa nyantri kalong padanya. Setelah dirasa tak bisa dengan kata-kata, Ustad Thalib bergegas ke kota, meminta doa dan bantuan sahabatnya semasa di mesir. Ternyata di kota, nama Pak Uban sudah dikenal sebagai sosok ulama yang dikagumi. “ Wah..bahaya !” batinnya. *** Pak Uban berada dilingkaran itu, tepatnya saat wirid-an di rumah Haji Ucok. diseberangnya Ustad Thalib sedang memimpin yasin. Pak Uban duduk menggelosor, kaosnya mulai dihinggapi keringat, blangkonnya tampak melorot menuruni dahinya. Kedua matanya mulai temaram diikuti senyap kedua mulutnya. Gelagatnya bukan tak menarik perhatian, Ustad Thalib acapkali melirik sesekali berdehem. Sementara hadirin saat itu menunggu debat apalagi yang terjadi selepas wirid nanti. Disela senda gurau, Ustad Thalib bersuara : “ Sesungguhnya, kits harus menghargai Allah dengan berpakaian yang sesuai syariah” “Berpakaian seperti apa ustadz ?” tanya satu jamaah “ Yah, bisa menggunakan gamis atau koko dan lengkap dengan sorban atau kopiah, kalau bukan kita siapa lagi coba yang menghargai islam ?” jelasnya. Pak Uban berdiri, tangannya menggenggam sebuah pisang. Ratusan pasang mata menatapnya.

89

“ Sesungguhnya pisang ini yang dimakan adalah isinya, bukan kulitnya “ ujarnya “ Maksud pak Uban ?” tanya seorang jamaah “ Nggak perlu dipaksakan berpakaian begitu, jauh lebih penting yang di dalam ini, hati!” “ Tapi gamis kan dipakai para nabi dan rasul ?” ujar Ustad Thalib “ iya benar, gamis memang dipakai nabi dan rasul, tapi kita kan tahu, karena mereka tinggal di daerah bergurun. Celana yang menggantung sesungguhnya untuk menghindari kotoran dan debu, sebab saat berjalan kaki akan tenggelam sekian senti ke dalam pasir “ . terang Pak Uban. “ Ooooh, gitu tho,“ sambung Mang Slamet si tukang baso. “ Tapi ada satu hal yang Pak Uban harus tahu, bahwa orang yang berpegang pada kebenaran itulah yang dijamin masuk surga ! “ Sambar Ustad Thalib “ iya… setuju. Asal kebenaran itu bukan pembenaran” seulas senyumnya tersuguh. Haji Ucok langsung memalingkan wajahnya seraya mengepul-ngepulkan asap putih dari mulutnya. Ustad Thalib tampak gelisah mengelus-elus jenggotnya yang mulai tumbuh liar. “Sebaiknya kita kajilah islam lebih dalam. Masuki gua kegelapan, agar tahu bahwa kita masih kekurangan cahaya “ tambah Pak Uban dingin. Ucapan itu tak digubris potongan-potongan nyawa di sekitarnya. Serta merta Haji Ucok melempar kopiahnya ke arah pak Uban. “Sesat! Enyah kau dari rumahku ini! “ amarahnya mulai menggelegak. Ustad Thalib menendangnya dengan umpatan

90

“ Murtad ! pergilah engkau dajjal ! “ refleks tangannya meraih gelas berniat memanahkannya ke wajah sosok di depannya, Seorang jemaah menahannya. Semua menyinarkan mata panahnya mengusir Pak Uban . dengan gontai sosok itu merambat menjauh ke tepi desa. *** Beberapa kali ia merasa terbanting dalam pergumulan logika. Sosok itu begitu membuatnya terpana dan kehabisan kata-kata. Saat pertama berjumpa, mereka berdua sudah bersengketa. Ketika Ustad Thalib mewajibkan jemaah harus bisa melagu dan menghafal Al-Qur’an. Dengan nada ditekan bahwa bahasa arab adalah bahasa terbaik di dunia, karenanya layak untuk dipelajari walau harus membuang umur di majelis khusus. Pak Uban ada di situ. Ia sosok yang tidak menggurui, sinar matanya bak telaga, bahasanya membumi, suaranya ringan tidak diberat-beratkan tapi selalu membuat hati berkelip, seakan ingin mengais-ais mutiara yang ada di relung jiwa. “ Sebelumnya maaf Ustad Thalib, bagi saya pribadi yang paling penting adalah pengamalan dari Al-Qur’an itu “ “Jelasnya …? “ Ada nada angkuh yang meluncur dari bibir ustad muda itu. “ Apalah artinya, hafal dan pandai melagu Al-Qur’an, tapi nggak diamalkan, membuat riya bahkan sering jadi alat politis. Apalah guna ? “ “Anda keliru, bukankah dalam Al-Qur’an sudah jelas ? ” “Ada penjelasan: bisa membaca yang tersirat dan tersurat dari Al-Qur’an lalu mengamalkan pada diri sendiri, lalu bisa melagukannya, menyampaikan dengan indah, agar keluarga dan umat islam turut mengamalkan, ini gimana? ” Yang terjadi saat itu, adalah pengusiran Pak Uban oleh jemaah yang dikomandoi syafei, centeng sang juragan tanah yang tak lain ayah Ustad Thalib. 91

Sejak saat itu, genderang perang sudah ditabuh, kini Pak Uban tak lebih seekor nyamuk yang kemunculannnya bagaikan malapetaka, pembawa penyakit ! Haji Ucok mewanti-wanti pengurus masjid agar mencoret pak uban dari daftar penceramah. Walau selama ini ceramahnya tak terbukti menyesatkan atau berbau terorisme, tapi demi kelangsungan pembangunan masjid yang baru setengah jadi, maka mat mun selaku ketua pengurus masjid ketar-ketir dan memutuskan memblacklist sosok itu. Sebagai ganti, Haji Ucok rela menggelontorkan ratusan ribu untuk mendatangkan ustad kota yang lidahnya tak pernah menjamah embun dan senja desa ini. Puncaknya, sehari sebelum idul fitri. Saat membayar zakat, tak sengaja kaki pak uban menyenggol Al-Quran – mungkin ada yang meletakkan sembarangan – . Sontak mata mat mun melotot sejadi-jadinya. Merasa cukup bukti, langkahnya mengayun menuju kumpulan laki-laki berjubah putih-putih. Diantara yang disambanginya adalah dua tokoh besar kampung meranti. Keduanya sudah menimbun amarah pada sosok itu. Mendengar pengaduan mat mun, segera mereka mencampakkan makian . “Tak dimana ..! disini pun kau hinakan agama !” sembur Haji Bajuri “Bah…! sudah sinting rupanya kau Uban gila !” sumpah Haji Ucok Pak Uban tetap duduk tenang, guratan senyum dibibirnya menyiratkan untuk bersuara dengan lembut. “ Bapak, maaf sekali lagi. Saya tak bermaksud lancang, tiada sebersitpun niat di hati untuk menghinakan agama sendiri, saya tidak tahu kalau ada Al-Qur’an di situ... “ “ lantas apa pula kau sepak Al-Qur’an, Hah …!!” erang Haji Ucok .

92

Orang – orang berkerumun mengelilingi seolah menyaksikan pengadilan seorang maling. Pak Uban tampak angkat bicara lagi. “ Lagipula, Hadirin pasti tahu, buku yang saya pegang ini – tangannya mengangkat buku catatan mat mun- dibuat dari bubur kertas, dicampur zat kimia dan bahan tertentu, diproses dan akhirnya jadilah kertas-kertas ini ! “ “Maksud kau apa lagi? Kurang ajar! “ maki Haji Bajuri “Yang tak sengaja tersepak ini adalah fisik saja, tapi pernahkah kita fikirkan umat islam yang selalu menendangnendang ajaran Al-Qur’an untuk kepentingan diri dan kelompoknya? Pernahkah? Atau diantara kita ada salah satunya? “ Ujaran terakhirnya menyekat kerongkongan semua hadirin. Tiba-tiba berkelebat syafei. “ Aaaah ! banyak cing-cong kau ! “ sambarnya. Lalu bertubi-tubi tinjunya bersarang ke wajah dan tubuh pak uban. Setelah puas menebar nafsu amarah, ia menyeret sosok lemas itu. “ Haram tempat ini oleh orang sepertinya !!” sumpah Haji Bajuri Dan, tubuh itu dibiarkan terkulai layu. Bersimbah darah di pelataran masjid. Tak ada yang berani menolongnya, ketakutan pada sosok penguasa membuat rasa iba mereka sirna. Akhirnya, pak uban merasa semua warga memunggunginya, hanya satu-dua yang masih mau bertegur sapa. Ia sadar pengaruh orang ternama punya andil besar mengucilkan dirinya. Ia seolah seongok bangkai yang bernyawa, berbau busuk dan membuat siapa saja yang melihat akan memalingkan muka lalu memuntahkan kata-kata yang jauh lebih menusuk dari

93

semerbak bangkai. Tapi begitupun, ia tetap menyemai senyum dan menebar keteduhan. *** Sosok itu menerobos semak ilalang yang meninggi, topeng menyamarkan sosok dibaliknya. Sarung hitamnya tampak membungkus sesuatu. Dikejauhan, puluhan nyala obor timbul tenggelam mencoba menepikan gelap. Samar terdengar teriakan . “ maliiiiiiing…maaaaaliiiiiiiiiing ! “ Sosok itu terhenti di sebuah rumah tua, ia menyelinap di belakang rumah, mencongkel jendela dan masuk tanpa disadari pemiliknya. Sementara pekikan warga mengguyur telinga yang sedang tertidur, termasuk pak Uban. Ia terkesiap dan membuka jendela mata. Ia menanggalkan kantuk dan menajamkan telinga. Lamat-lamat mendengar suara-suara langkah dari arah dapurn, semakin dekat menuju ke arahnya, dan…. Bayangan itu membuka pintu kamarnya, nafasnya tertahan saat bayangan itu meluncur ke bawah tempat tidurnya. Dalam diamnya, pak uban memutar otak, mengatur strategi bagaimana keluar dari ancaman maling ini. Kembali ia picingkan mata, selang beberapa menit, ia bangun dan menebar sajadah. Dikenakannya sarung, lalu melangkah perlahan berniat mengambil air wudhu. Sampai di pintu, secepat kilat ia mengayunkan tangan dan menguncinya. “TRRAK…!! Samar terdengar suara mengaduh dari dalam kamar. Pak Uban sadar, yang dihadapinya adalah maling amatir, mungkin karena desakan ekonomi. Yang pasti, maling untuk kebaikan sekalipun itu haram. Bukan ala Robin hood, tapi ala Ukhuwah Islami. Terngiang ia pada sepenggal khutbahnya beberapa bulan lalu. Fajar menyingsing, pak uban menunggu dua sosok yang masih mau berkabar dengannya, walau sembunyi-sembunyi,

94

Irul dan Hamdan melakoninya, mereka masih percaya pada pak uban. Selang tak lama, penantian Pak Uban berakhir. Langsung ia menceritakan duduk kejadian malam tadi. Mereka sepakat meringkus maling itu bersama-sama. Masing-masing memegang linggis dan besi panjang. Mereka memeriksa di balik pintu, bawah tempat tidur, belakang lemari….. nihil !. Seketika mata mereka bertubrukan. Salah satu langitlangit kamar pecah..! praduga mengintai lubang itu. Hamdan mengancam akan memanggil warga lebih banyak bila maling tak mau turun. Pak Uban menghampiri lubang itu. “Bersikap baiklah pada tamu yang datang. Anakku, kamu tak akan dipukuli, saya jamin. Secepatnya akan kami lepaskan, tapi dengan syarat, barang yang bukan hak-mu itu kembalikan ! “. “Kalau kamu warga desa ini, pasti kenal saya, Pak Uban. Tak pernah kutarik kata yang sudah terlepas ! “ sambungnya. Maling itu bimbang, lebih baik sebagaimana yang diusulkan bapak itu, bisa malu ia bila warga lainnya tahu siapa malingnya !. Perlahan tapi pasti,sosok itu muncul dan melompat bersama barang curiannya. Tanpa membuka topengnya, ia menyerahkan hasil curiannya. “ Apa yang kau curi …?” Tanya Hamdan dengan tangan masih siaga dengan linggis. “ Ee…e... se..see..semua ada dalam sarung ini “ ujar maling lirih, tangannya menyodorkan sarungnya. Saat dibuka, kelihatan perhiasan – perhiasan yang lumayan banyak. Pak Uban bangkit dari duduknya, tak lama tangannya menyanding teh hangat dan beberapa potong roti . Disodorkan ke maling itu, dengan cekatan tubuh yang terbungkus lapar itu menyambar. Ia mulai mau terbuka, ceritanya mulai mengalir menjernihkan dugaan yang ada. 95

“ Barang yang kucuri ini sebenarnya mahar yang sudah kuberikan ke keluarga wanita…, e…eee.. aku geram betul pada keluarga yang membuat tarif mahal pada putrinya, mereka lebih condong pada harta ketimbang agama, sungguh bila tak terbuai kemolekan putrinya tak mungkin aku rela begini…” “Lantas, mengapa kau ambil lagi mahar yang kau beri ? “ tanya Irul heran. “Perhiasan ini sebenarnya aku pinjam dari sahabatku di yang kebetulan punya toko emas, besok adalah janji buat kembalikan barang-barangnya “ terang maling itu parau. Setelah tahu duduk perkaranya, Pak Uban menanyakan nama dan alamatnya yang bisa dihubungi. Irul memeriksa sakunya , menemukan KTP dan mencocokkan dengan yang ditulis Pak Uban. “awas….!! Aku akan cari kau, jika ceritamu bohong !! “ ancam Hamdan dengan besi melintang. “BRAAK..!! , dan tak ada ampun untuk kedua kalinya …!! “ Irul menyambung seraya memukul meja Pak Uban angkat bicara. “Ada dua hal yang kami inginkan dari kamu, yang pertama tobatlah sebenar-benarnya. Dan yang kedua batalkan pinanganmu itu ! “ “ bagaimana, kau setuju? “ Hamdan menegaskan. Maling itu menyanggupi, itu pemikiran yang bijak baginya. Tangan itu membungkus perhiasan dengan sapu tangan, lalu menyerahkan ke maling itu. “ Kembalikan ke sahabatmu, ini miliknya. Pendamlah dalam-dalam kejadian malam tadi, lalu taburi benih kebaikan di atasnya, sebanyak-banyaknya “ saran Pak Uban. Maling itu mengangguk berkali-kali, belum pernah ia jumpai sosok searif ini, di mesir sekalipun ! batinnya. 96

“ Lho pak, bukannya di kembalikan ke…“ Tanya Irul keheranan “Saudara ini dan sahabatnya yang sesungguhnya sedang kehilangan, kehilangan ahlak mulia yang diwarisi nabi “ potong Pak Uban Maling itu tertohok mendengarnya, seolah ada batu besar yang mengganjal dadanya. Irul dan Hamdan tampak setuju dengan kata-kata pak Uban barusan. Pak Uban menyilakan sosok itu bergegas pergi, tapi sebelumnya ia memberinya sebuah peci. “ Buat kenang-kenangan ya !” ujar pak uban sambil tersenyum arif. Sosok itu membalas malu, matanya mulai panas, bulirbulir bening mulai menuruni wajahnya. Dibuka topeng, lalu Ia kenakan peci. Dipeluknya erat-erat Pak Uban, sosok yang begitu mengkerdilkan dirinya. Ia salami Hamdan dan Irul, lalu bergegas meninggalkan rumah sunyi itu. Kini sosoknya lebih mirip seorang guru ngaji yang baru pulang dari masjid. Malam menjelang, terdengar takbir bersahut-sahutan. Hujan turun satu-satu, angin menularkan hawa pagi, awan hitam mengepul berarak mengikut titah angin. Lalu membentuk layar hitam raksasa, menelan bintang dan sang dewi malam. Di teras masjid, sosok itu duduk menyendiri. Terbuang dari kumpulannya. Samar ia mendengar keluh -kesah jemaah yang menyesalkan batalnya hajatan besar di kampung mereka. Tersiar kabar, tunangan kepala desa membatalkan pinangannya, selepas keluarga orang terpandang itu kemalingan perhiasan kemarin malam ! “PERSIS..!!” gumamnya. Karang Sari, 02:40 /22-09-2009

97

98

Catatan Sahari Pukul 11.17 WIB Siang menelan pagi. Kusandarkan tubuhku pada pepohonan di pinggiran jalan raya. Sudah seminggu ini ada sesosok yang begitu menarik perhatianku. Sebenarnya tiap hari aku melihatnya, tapi entah kenapa belakangan ini serasa otak investigasiku berkerja lebih, hingga sosok itu masuk dalam daftar penelitianku. Bukan, bukan sosok Medina Kamil yang ingin ku kenal lebih dekat, bukan. Juga bukan sesosok avonturir yang hobi parkour . Ini begitu lain, entahlah… agak sukar menjelaskan untuk kau – aku : kita. Dunia kian hari kian membingunkanku sobat.

99

Ceritanya bermula saat aku pergi dan pulang kuliah. Selalu kulintasi ia. Sosok yang masih tetap begitu, berhari, berbulan, bertahun. Hingga kini, saat aku hendak menyesaikan kuliah magister psikologi, Ia tak bosan dengan gaya nyentrik layaknya sebuah arca. Maka demi menandaskan rasa penasaranku, hari Minggu ini, ku khususkan waktu untuk mengenalnya lebih jauh. Tapi untuk originalitas data yang kudapat, akhirnya kuputuskan utuk mengamatinya dari jarak yang cukup aman dan tak mencurigakan. Pukul 12.56 WIB Kuambil notes dari ranselku. Kutuangkan sosok itu dalam kata-kata. Wajahnya lusuh terbenam menghujam ke aspal yang ia duduki. Bulir matanya tak pernah bertatapan dengan sosok-sosok di sekitarnya. Sedetikpun ia tak mendongakkan wajahnya. Sementara puluhan lalat yang setia menemaninya dibiarkan menghinggapi tubuhnnya. Sebuah handuk hijau kecil melingkar di lehernya. Tangan kiri masih membentuk siku 90 ? . Ujung tangan itu membentuk mangkuk kecil yang tersusun dari ruas jemari berkuku panjang dan kotor. Ia hanya bercelana pendek dan bertelanjang dada, sehingga jelas terlihat pahanya yang tak mulus dan tubuh yang menonjolkan tulang-tulang berhiaskan koreng. Sebuah busa bekas yang kumal dan berlumur debu mengalasi duduknya. Sosoknya terhidang di gerbang sebuah pusat perbelanjaan dan bioskop ternama di Medan, tempat yang strategis untuk mendulang iba dari lalu-lalang sophaholic dan movieholic. Itu pun bagi yang iba, seringkali gadis – gadis genit berdandang eksotis mengamit-amit diri sambil meludah, memalingkan muka dari realitas yang tersuguh di dekatnya.

100

Siang kian melekat, mentari mulai tergelincir ke barat. Sosok itu bagaikan patung, tak peduli dengan ganasnya mentari membakar kulitnya yang hitam kelam. Pukul 13.14 WIB Waktu terus mengalir, tak satupun dari ribuan orang di sana mengetahui bahwa di seberang sana, di balik rerimbun pagar bonsai ada dua sosok yang sesekali memperhatikanku. Seorang pria bertopi kuning lusuh yang menyanding rokok dengan kepulan yang tiada henti dan seorang pria bertubuh kekar penuh tato dengan botol-botol hijau yang berserak di dekatnya. Keduanya meliarkan matanya yang memerah padaku. Tapi aku tak sadar akan hal itu. Pukul 14.45 WIB Awan menangis. rintik gerimis satu-satu menimpa. Beberapa sophaholic tampaknya tergesa, takut tersentuh tetes bening hujan atau takut baju mahalnya basah. Ah.. orang sekarang kian sulit dipahami. Kutatap sosok itu, masih tak bergeming. Tangannya mengapit kantung dari karung plastik. Ia bagaikan tembok yang tak peduli akan hingar-bingar lagu yang berhulu dari tenda-tenda berisi puluhan kaset CD bajakan di dekatnya. Kukira dunia sudah tak ada arti baginya, begitu pahitkah hidup ini?, hatiku miris juga teriris. Pukul 15.13 WIB Gerimis berganti hujan lebat. Sosok bertopi yang duduk di rerimbun pagar bonsai itu bergegas menghampiri sosok itu. Ia berbicara sepatah kata, mengambil karung plastik milik sosok itu dan segera ia menuntun lelaki itu. “Ah…! sosok itu buta!” malang nian kau pak tua jeritku dalam hati. Keduanya berjalan sangat cepat, pria bertopi menarik sosok tua itu dengan tarikan – tarikan paksa. Aku ingin

101

menghampiri, tapi kufikir apa aku ada hak atas itu?. Maka aku urungkan niat, lebih baik kuselesaikan investigasiku dengan membuntuti keduanya lewat selasar Mall. Pukul 15.57 WIB Hujan kian lebat. Seorang ojek payung menyumpahi sesosok wanita yang tak memberinya uang walau ia sudah ojekin ke mobilnya. “Bah ! pelit…. barang gopek sekalipun tak kau kas !“ umpatnya ditengah guyuran hujan. Kedua sosok itu berteduh di emperan ruko. Aku tak mau kehilangan momen, segera kuturut membelah hujan menguntit dan bernaung tepat di ruko sebelah kedua sosok itu. Sesekali kucuri pandang ke kedua sosok itu, lelaki bertopi lusuh itu tampak mengaduk-aduk karung goni mereka. Sosok tua dan buta itu hanya menggulung tangan mencoba mengibaskan dingin yang mulai menusuki kulit dan mendirikan bulu kuduknya. Pukul 16.18 WIB Mobil-mobil bermandikan air hujan. Begitu rapat seolah tak menyisakan celah untuk tak tersentuh ruang hampa. Angin masih mendesir. Keduanya masih berdiri tegak di emper ruko. Lelaki bertopi lusuh itu mengambil sesuatu dari sakunya, lalu ia duduk nongkrong sambil menikmati batangan tembakaunya. Seorang pria yang berteduh di situ, memberinya segenggam rambutan yang – sepertinya- ia beli. Lelaki bertopi lusuh itu menerimanya dan menyimpan semua rambutan itu. Sejurus kemudian ia mengambil sebuah, lalu ia kupas untuk si lelaki buta. “ Amang oi….!, si buta itu tak beralas kaki…. duh…!” jerit hatiku. Pukul 17.56 WIB

102

Hujan mereda. Air menggenang. Hanya tersisa titik-titik halus yang sekedar mampu membelai dan meninggalkan jejak embun di rambutku. Aku terduduk di halte sebuah kampus swasta yang posisinya tepat di belakang Mall. Ratusan sepeda motor berjejer rapi. Kedua sosok itu melintasi kampus ini, bergegas keduanya menuju satu gang sempit. Di depan ruko, pada lorong yang sunyi. Si pria bertopi membuka karung plastik, tangannya sibuk menghitung penghasilan hari ini. Puluhan lembar ribuan dan keping ratusan ia jumput dari dalam kantung itu. Mulutnya menggumam. “Seratus tujuh puluh enam ratus …!“ . ada nada tidak puas meluncur dari bibirnya. Matanya semakin memerah saga. Adrenalin memuncak menimbun emosi di ubun-ubun. Ditatapnya sosok tua itu. Tiba-tiba sesuatu yang tak kuduga terjadi. “Bug…!, Plak…!, plak…!“ Tinju dan tamparannya mengena pas di wajah tua itu. Darah muncrat dari hidung. Sosok buta itu juga berkumur darah. Satu giginya tanggal. “Kau…! biasanya dua ratusan lebih….!! ini kurang?, mana kau sembunyikan sisanya…. ?” “Mana …. ? hah!“ Lelaki bertopi lusuh itu masih membabi buta menanyainya. Sementara sosok buta itu sudah tersungkur, memeluk tanah basah. *** Dari balik tembok kulihat sosok tua itu tergolek kaku. Hatiku berontak memaksa untuk segera bertindak. “Sahari, kuatkan keberanianmu lekas kau tolong pria tua itu “ 103

Tapi, baru selangkah kakiku terayun. Sebuah cengraman kasar menyentuh pundakku. Aroma bahaya menyeruak dalam diriku. Tanpa berfikir panjang segera ku berbalik dan mencoba menepis tangan kekar itu. Berhasil…! aku bisa lepas dari cengraman sosok itu. Tapi terlambat, tubuhku oleng dan sosok itu tak membuang kesempatan. Dengan seringai bengisnya, bertubitubi ia daratkan kepalan tinju ke wajah dan perutku. Terakhir ia membenamkan sesuatu ke dadaku. Aku bersimbah darah. Pandanganku gelap. Alam mengirim sepi, angin menjemput amis. gerimis kembali hadir. Dunia KOMA UMN, 15 – 22 Januari 2010 Keterangan : Parkour : olah raga kemampuan melintasi medan/rintangan sulit,seperti melompat dari satu gedung ke gedung lain . Sophaholic: orang yang kecanduan belanja Movieholic : orang yang kecanduan nonton Dimuat di Medan Bisnis, 31 Januari 2010

104

Lelaki yang menunda damai Jika keterusterangan ini membuat hatimu pekat, baguslah. Bila gurat yang menyapamu ini menyayat, baik juga. Agar tersemat rasa bersalah di lindap sukma, agar tak terulang bila esok fajar tiba.

105

Sebaiknya aku katakan padamu, bahwa jiwa ini larut dalam duka yang mencengkram. Aku sadar, berhembusnya gelisah ini menguap dari realitas yang terhidang di hadapku. Aku mau bilang apa? orang yang kuanggap mulia ternyata menyimpan sesuatu yang mengerikan! Bagaimana tidak? di tangan merekalah kini terjadwal segala masalah mahasiswa tingkat akhir. Aku tak yakin bisa selesai secepat yang lain. Karena hatiku miris, melihat sekawanan ternak itu, tahukah kau? Isi kantongku sudah rompal untuk segala macam urusanmu yang semakin tak logis. Tak tahukah kau? biaya kuliah kuperoleh dari menjerang peluh sendiri? Ah, tak kau hargai itu. Sedikitpun. Dan kini, aku semacam dalam labirin, tatkala sebuah jalan tol terhampar luas secara terbuka digaungkan, dengan imingiming cepat selesai dan tak dipersulit. Tentunya ini mengundang liur mahasiswa yang memang kusadari tak memahami arti siapa dirinya. Belum lagi shock therapy yang dibuat beberapa dosen di semester akhir macam sekarang ini. Sosok -yang katanya simbol- akademisi itu kerap mencekoki dengan cara halus tentang pemahaman ”sogok-menyogok” berdalih ucapan terimakasih. Terlebih Pak Bakti, wajahnya yang sangar benarbenar dimaksimalkannya untuk menciutkan nyali kawankawanku, termasuk Yadi dan Mulia, ah! Aku tahu ini kawan, aku dalam dilema antara idealisme dengan keterdesakan, aku juga sadar, ingin segera menapak kehidupan baru dengan sebuah embel-embel: S.Pd. Tapi apa harus dengan cara sepertimu? Berkelebat argumen Yadi, sahabat dekatku pemilik suara merdu tatkala mengumandangkan adzan, sosok yang tidak pernah tinggal sholatnya – Paling alimlah di mata kawankawan.

106

”Kita harus ngejar penerimaan PNS akhir tahun nanti…” dalihnya. Dan entah mengapa, sebentar saja beberapa orang mendukungnya -ah, entah kenapa bisa begini? Mulia, mahasiswa yang loyal dan selalu mengingatkanku untuk membagi waktu kuliah dan kerja, jagonya diskusi panel, bahkan sempat jadi pembicara seminar yang diadakan kampus, pun sepakat dan ikut mengambil jalan ini. ”Nanti dipersulit, kalian tahu kan aku ke kampus menghabiskan tiga puluh ribu untuk ongkosku” Mulia mulai menguapkan alasan ”lagi pula bila cepat aku tamat aku bisa segera mengurus sertifikasi dan nantinya…” ah, ujarannya tak lagi kudengar. Hanya cerecau tanpa makna yang kulihat dari bibirnya. Kutatap nanar sekeliling kelas. Sepi. Nada kegetiran menyeruak, aku tahu ini akan menular ke yang lain, aku harus berbuat sesuatu, tapi apa? Mengandalkan lobi UKM? kujamin tak ada yang berani, walau menggunakan dalil yang benar sekalipun! Kurasa sama saja UKM di sini, obral kata-kata manis semacam: ”Kamilah yang mengayomi mahasiswa, kamilah yang peduli dengan Masalah, bakat dan kreatifitas mahasiswa, kamilah pembela…” bah! kata-kata itu semakin ”lugu” bila diucap oleh orang yang merasa dirinya benar itu. Atau lewat jalan lain? Mengadu ke presma atau gubernur fakultas? Ah, sama saja! mungkin lebih parah. Bagaimana tidak? urusan internal mereka saja tak becus diurus. Konon pula bila harus bertolakbelakang dengan kepentingan penentu kebijakan itu. Entah makian apalagi yang akan aku lontarkan!. Hari beranjak, waktu terus melangkah. Aku hanya menggumam, larut dalam kesenduan yang nisbi. Lebih dari setengah kawan-kawan di kelasku akhirnya menyerah -atau tergiur?- ikut memesan. Aku tahu, argumen Mulia dan kefasihan sosok Yadi -yang membenarkan cara itu- turut meyakinkan yang lain. Apalagi selentingan kabar kudengar

107

mereka berdua selaku penanggungjawab di ruanganku, tentunya ada kompensasinya, mungkin mereka digratiskan atau minimal bayar setengah. Ah, kabar itu saja sudah cukup menikam begitu dalam di ulu hatiku. Tak apa, tak jadi masalah. Apalagi, sempat kudengar tatkala Mulia mulai mengorek cerita tentang orang tua kami yang ada di kampung, mereka ingin anaknya cepat selesai, diwisuda dan cepat dapat kerja. ” Udah ikut saja, aku dan Yadi sudah sepakat ikut ini…” tutupnya dengan disambut beberapa tepukan tangan bergempita, seolah dirinya adalah penyelamat mereka. Aku hanya terdiam, tak ada guna aku mengguyur nasehat atas jiwa yang kerdil itu. Mungkin yang bisa aku lakukan hanya memaku diri. Memaki dalam hati sosok akademisi yang tak mematut diri pada arti sebuah hidup. Seminggu berlalu, aku dan segelintir mahasiswa yang masih insaf harus berjuang, bergumul dalam lautan idealisme yang seperti telur di ujung tanduk ini. Sebenarnya muak, serasa ingin aku menendangi orang-orang yang menggantungkan mimpi ”cepat selesai dan cepat bekerja” itu dengan umpatan yang akan menjungkalkan paradigma mereka sendiri seraya meraba gelar mereka yang – mungkin – mereka beli itu! Aku kian gontai, melihat masa depan orang yang akan digugu dan ditiru ini. Aku juga miris melihat mereka yang dengan nada dan tatapan sinis sering mencibirku ”sok idealis!” Ah, tak tahukah kau kawan aku merantau bukan untuk mengejar angka di atas lembaran transkip nilai itu, pun juga bukan pada selembar kertas keramat bernama: Izajah! Mimpiku jauh dari sekedar itu! Aku ingin jadi seorang lelaki yang tak pernah berdamai dengan kegelisahan, lelaki yang terus belajar pada alam, lelaki yang meninggalkan jejaknya di dunia lewat kemuliaan dan seorang yang bergelar S.Pd, bukan malah jadi SPD ( Sarjana Pengumpul Diktat ).

108

Waktu merayap, hingga tak tersadar sebulan telah berlalu. Sore ini kususur jalanan kampus. Keringat mengaliri dahi, kuseka dengan ujung baju. Serta merta langkahku terhenti, di depan sana mendadak ramai, ada apa ini? gumamku. Batinku bergumul tanya. ”Ada apa? apa yang terjadi?” tanyaku bertubi-tubi. “Tabrakan!” ujar seorang pemuda di dekatku. Ringkas. ”Laga kambing, sepeda motor sama truk” lanjutnya seraya menatapku ”kedua pengendara motor langsung tewas” tambahnya lalu kembali berdesakan di kerumunan itu. Wajahku menegang. Bulu kudukku meremang seraya menggurat senyum prihatin. Sebenarnya aku ingin turut serta di situ, sekedar mengarak mayat ke ambulan yang pasti sebentar lagi datang. Tapi aku harus bergegas ke tempat kost, seraya menyiapkan diri buat mengajar nanti malam. Lantas, aku bergegas meninggalkan tempat itu seraya menggantungkan doa pada korban kecelakaan itu. *** Mendung menyapa pagi. Kampus berduka. Tak kuasa kubendung air mata, saat nama itu parau kudengar, mengapa begini? Inikah pelajaran dari tuhan itu?. Berkelebat bayangan argumen mereka di kelas tentang PNS, tentang orang tua di sawah, cepat dapat kerja, cepat diwisuda, lantas ter- flashback kejadian kemarin sore. Sepasang tubuh yang terbujur kaku kemarin itu, mereka ternyata…. ( DUNIA KOMA, Medio Mei ) *DSAS : thanks untuk inspirasinya karib.

109

110

Pada Sebuah Perjalanan Mentari merangkak, teriknya belum sempurna. Berpuluh langkah aku dan Sukma mendaki waktu. Menuju ranah yang akan kami huni. Di tengah perjalanan, kendaraan melambat.Terhenti. Ada iringan lain yang menyekat jalan. Sempat kudenguskan kesal. Tapi kutepis seraya merayapkan mata. Sebuah tembok kokoh meninju langit terhampar membatasi pandangan. Rasa penasaran menggelitik. Sukma 111

menggeliat, aku segera mengedarkan pandangan. Dari celah sempit terlihat deretan rumah berdiri. Mewah. Tempat yang dikelilingi perkampungan ini hanya menyisakan beberapa jengkal tanah. Tak mungkin memperluasnya, kecuali andil tangan raksasa tentunya. Mungkin. “Rumah orang ternama ya?” Tanyaku memastikan, Sukma mengiyakan. “Kelihatan gak?” Sambungku. Sukma tak menanggapi. Kini ia turun menuju kerumunan yang ramai itu. ”Huh, dasar kampungan!” ejekku dalam hati. Sukma tak menggubrisku, langkahnya kian menjauh, terkayuh mendekati bibir gerbang yang kokoh. Rantai sebesar kepalan tangan yang melilit gerbang sudah terurai. Seketika gerbang menganga menyambut sebuah kendaraan mewah yang memasuki jalanan beraspal. Mulus. Gelombang massa berebut masuk bak amuk demonstran. Dua orang penjaga tak kuasa membendungnya. Beruntunglah, Sukma cukup sigap mencari celah dari desak-desakan itu. Ia pun turut terbawa arus kerumunan itu. Panas mulai terjerang. Gelombang manusia yang tadinya liar kini terpajang rapi. Beberapa orang berkemeja hitam-hitam menyodorkan secarik kertas- semacam kupon. “Nanti sehabis acara baru kelien tukar, oke!” ujar salah satu pria berkemeja itu. “Oh...” Sukma menggeleng. Kepalanya mendadak berat. Dengan gontai kakinya mulai menjauh dari kerumunan itu. “Hahaha... jangan heran gitulah!” tukas seseorang dari balik kendaraan itu. Sukma tahu, sosok itu berbicara padanya. Seorang pria beruban turun dari mobil mewah yang baru masuk tadi. Sosok itu mendekat dan mengenalkan diri.

112

“Saroha,” ujarnya singkat seraya menjulurkan tangannya yang putih dan gempal. Nama itu menalarkan imaji untuk mengenali sesosok pengusaha ternama. Sukma menyambut hangat dan mencoba merajut percakapan. “Pastinya enak, bisa tinggal di komplek semewah ini,” puji Sukma. Sosok itu menyuguhkan senyum. Bangga. “Ya, ini impian banyak orang, betul tidak?” ia tersenyum, memastikan. Sukma membalas senyum. Pandangannya menyapu kesekeliling. Lelaki di hadapan masih angkat bicara, “Lihatlah! keramik lengkap dengan batu giok ini dan… “ “Maaf, Pak. Gak takut dicuri?” Potong Sukma sopan. “Ah, keamanan disini terjamin, apalagi asuransinya ada, santailah,” sanggahnya masih dengan melambungkan congkak. “Eh, belum kau tengok plang rumahku?” tanyanya seraya menepuk pundak Sukma ”Ukiran khas Bali, sangat eksotik!“ Saroha mengumbar puji pada batu yang bertuliskan namanya. Sukma mengeja nama di plang itu, Drs. Ekron Saroha Tambunan. Merasa tertarik, matanya menyusur rumah yang lain. Batu ukir berbalut hijau turkis, Ir. Lamhot Sirait, M.A. Yang lain? ah... matanya sebentar mengatupkan. Ia menggumam sendiri melihat rumah-rumah mewah itu. “Oh ya, sebelum kemari udah nanya gak ke tetangga, Pak?” selidik Sukma mengalihkan pembicaraan. Belum sempat sosok di depannya menjawab, tiba-tiba berkelebat bayangan yang berasal dari rumah sebelahnya. “Lamhot?” seru Saroha terkejut. “Iya ini aku, bohong bila kami nyaman di sini!” tuturnya parau, nada sedih jelas tergurat. Saroha terperangah.

113

“Hei! Maksudmu? Jangan main-main kau Lamhot!” Sembur Saroha meninggi. Tak terima rasanya ia atas ucapan Lamhot barusan. “Kau belum alami, merasakan kesepian dan terlupakan, selamanya,” ujar Lamhot beku, seraya menunjuk dua anak kecil dan seorang wanita yang berkerudung kain hitam. Lamhot menepuk bahu Saroha dengan seringai yang tak terlukiskan. “Mereka akan lupa, sama seperti istri dan anakku!” tambahnya. Wajah putih di depanku kian pucat, tak bisa berucap. Kebekuan menyelusupi relung hatinya. Lamhot mengisyaratkan untuk meninggalkan Saroha yang mulai khusyuk menabung gelisah. Mentari mulai menjungkal di atas kepala. Sembilan menit sudah, rombongan kami belum juga bisa melintas. Terhambat sepeda motor yang parkir sesukanya. Lamat kudengar langkah Sukma yang kian mendekatiku. “Bah, beruntung kali dia!“ semburku tak puas. Sukma menatapku, helaan nafasnya berat menyiratkan sesuatu. Aku menunggu. Sukma duduk sebentar, menggeleng, lalu membaringkan tubuh di dekatku. Bibirnya mulai bergetar. “Ada sekat, di sini keheningan menyentuh tiap penjuru,” tuturnya berat. Aku terdiam. Menekuri tiap kata yang meluncur dari bibir sukma. Lama. Keheningan membungkusku. Lantas, setelah bergulirnya waktu dan pikiran, akhirnya dapat juga sebuah keputusan. “Ah! benar juga kau, Lae!” pekikku, lantang. “Nah, tak mungkin betah kau disini...!” Pukau Sukma. Aku mengangguk setuju. “Jadi lanjut?” tanya Sukma menggantung.

114

“Baen ma!” teriakku lantang. Akhirnya kendaraan terkayuh meninggalkan kompleks mewah itu. Kini kami dihadapkan pada jalanan berbatu cadas dan terjal. Medan yang cukup sulit dan berisiko besar. Kami bisa saja tergelincir lalu jatuh ke lembah curam di kanan-kiri jalan. Tapi, untunglah semuanya selamat. Langkah-langkah terhenti. Sukma bergegas turun dan mengamati sekeliling. Firasatku berkata, sudah sampaikah? Hatiku berdegup tak beraturan. Galau. Udara segar berkabar. Di depan kami terhidang kerumunan rumah yang bertabur tak teratur. Berdinding bata berbalut lumpur. Plang di tiap rumahnya sederhana. Dibuat dari kayu murahan yang kerap dimamah rayap. Rerumputan liar. Bertebar. Pohon-pohon kekar. Menjalar. Semrawut. Tapi ada sesuatu yang langsung membuatku betah di sini. Begitu terasa. Ya, itu dia! Tak ada sekat dan seperti tersengat listrik aku mencium suasana yang begitu aku kenal. Seraya menggumam, ”Ini kan tempat aku sering menggembala kerbau opung? Benarkah?” tanyaku penuh ragu. Sukma mengiyakan. Berkelebat memoriku mundur ke beberapa hari yang lalu. Kerap ada musafir berteduh di kampung ini, sekadar menanggalkan lelah. Juga para pengais rezeki yang berburu burung, jangkrik, ular bahkan kalajengking acap kali menjerat tangkapannya di sini. Dan tak lupa pula hewan gembalaanku. Mereka bebas menggasak rerumputan yang terhampar di sekitar sini. Bahkan kawanan itu kerap berhajat seenaknya, bau memang. Tapi begitupun, tak ada luapan marah. Yang ada, seakan alam mengabarkan tentang makna tenggang rasa, hidup bersama, damai dan bahagia. Ah, betapa harmonisnya kampung ini, gumamku senang.

115

Arakan putihnya awan membalur mentari. Terik sementara bersembunyi. Kini tepat di sebuah rumah yang sederhana. Pintu utama terbuka, dengan tergesa empat sosok pemuda membuka penutup kendaraan. Terlihat oleh mereka seonggok tubuh di dalamnya, bersidekap menyuguhkan seulas senyum penuh kelegaan. Wajah-wajah bertatapan, keheranan. Punggung KOMA, 28 Januari – 4 Juli 2010

116

Aku dan Lelaki Sore Itu Aku tahu. Sedari awal lelaki yang di depanku ini berbohong. Terlihat sekali gelagatnya. Oh, tapi demi tatap sendu itu, melihat uban yang menjamur di kepalanya, aku tak tega. Iba tiba-tiba menyergap, masuk menyusup ke rongga dada. Padahal biasanya aku hanya mengibaskan tangan pertanda penolakan. Terlalu banyak tipu daya di kota besar seperti ini. Terlalu banyak kepura-puraan yang membuatku harus waspada. 117

Melihatnya sekilas membuatku teringat ayah yang di luar kota. Ada getar yang menjalari nadi. Ah! Kali ini tak apalah aku berbaik hati, gumamku. Lekas-lekas kuajak lelaki itu menyeberangi jalan menuju satu ruko berarsitekstur rumah gadang. “Sreekk..!” kutarik kursi plastik hijau marmer di depan. Lelaki itu sudah lebih dulu duduk. Tangannya dilipat. Matanya jelalatan, wajahnya berbias cerah. Mata kami bertubrukan. Aku mengangguk. “Mau pesen pakai memanggil pelayan.

apa,

Pak?”

tanyaku

sebelum

“Apa aja, Nak. Yang murah-murah aja,” jawabnya dengan senyum, seolah berterimakasih yang sangat besar. Kutatap lagi lelaki itu. Oh, Pak, hanya ini yang bisa kubantu, bisik hatiku. “Bang!” panggilku pada pelayan dan segera memesan dua porsi nasi dengan lauk lele goreng, sambal hati dan sayurnya. Aku menekuri meja. Wajahku berhadapan dengan lelaki itu. Ah! Pak Tua, “Dari pagi tadi Nak, Bapak belum makan,” ujarnya bergetar, aku terdiam, padahal baru saja aku menghabiskan dua potong bistik ayam yang kubeli di depan kampusku. Kutatap matanya, ada keruh di sana. Aku menyabar-nyabarkan hati agar jangan gerimis melihat ini. Pesanan sampai, sebelum pelayan beranjak dari meja, kupesankan dua porsi nasi putih lagi untuk tambahan. Lahap sekali. Bahkan belum habis setengah nasi di piringku, lelaki itu sudah menambah. Ia menatapku, segan, mungkin. Aku mengangguk, mengiyakan, jangan sungkansungkan Pak, batinku. Dalam tiap suapan nasi aku masih berdiam, menekuri, betapapun keadaanku saat ini, aku masih lebih

118

beruntung ketimbang lelaki itu. Hufh! Sebuah tarikan panjang kuhela, lelaki itu melirik, aku tersenyum, melegakannya, “Anak sudah kerja?” tanyanya ditengah prosesi makan, “Nyambi Pak, pagi kerja siang kuliah…” jawabku sesegeranya “Kerja di mana, Nak?” “Ngajar, Pak,” sahutku “Wah, pasti gajinya besar ya… ada tiga juta?” Tanya Bapak itu kalem, Heks! Aku hampir tersendak. Tiga juta? Gaji guru di mana itu? Batinku, aku mesam-mesem dan menjawab, “Nggak sampai segitu, Pak,” balasku “Jujur lho, sedari tadi bapak mengamati Anak, Bapak lihat, Anak orangnya sosialnya tinggi, makanya Bapak berani minta tolong, hmmm… Siapa tadi namamu?” “Lilik, Pak,” sahutku “Iya, Lilik, tapi maaf ya Lik, kamu itu sebenarnya nggak cocok jadi guru,” unggah lelaki itu. Druk! Hampir aku mendelik, tapi kutahan. Sial! Sungut hatiku. Kenapa ada orang seperti ini. Ah! biar bagaimanapun, sekarang aku sudah mengajar dan aku menikmati itu, batinku. Aku mencoba mengalihkan percakapan kami, “Jadi Bapak sendirian ke sini?” selidikku “Iya, kemarin bapak dikabari kawan, ada lowongan kerja jaga malam di…” katanya sambil menyebutkan satu nama gudang besar di jalan H.M.Yamin ini, aku mengangguk mengiyakan, meski tak tahu persis tempatnya. “Terus…” tanyaku penasaran. “Sayangnya tempatnya sudah ditempati orang lain,” ujarnya lirih, sedih jelas tergurat di wajahnya yang pucat. 119

Hening. Hanya berdengung-dengung.

suara

kipas

angin

yang

seperti

“Sabar ya, Pak, belum rezeki sepertinya…” hiburku seraya mengajaknya menyambung makan kami. Lelaki itu hanya mengangguk. Aku mencoba tersenyum tapi gagal, hanya bisa mengangkat separuh bibir menyiku ke kanan. “Ya, walau gitu, besok-besok akan Bapak coba lagi. Oya,Lilik anak keberapa?” tanya lelaki tua itu “Saya anak ke empat, Pak. Nomor 2 dari belakang,” balasku mencoba merenyah, setidaknya mencoba mengusir angin gusarku. “Bapak mau minum teh manis?” tawarku saat melihat piringnya sudah licin, sementara matanya masih berkilat-kilat seolah masih lapar. Lelaki itu diam. Mungkin sungkan. Aku memutuskan memesan dua gelas besar teh manis hangat. Ini tentu berimbas, kami akan lebih lama lagi di rumah makan ini gumamku. “Kok ngerepotin gitu, Nak?” tuturnya halus, halus sekali. “Orangtua saya mengajari saya buat bantu siapa saja selagi mampu, anggap saja saya sedang mengamalkan amanah orang tua saya, Pak,” ujarku menenangkan pada lelaki itu untuk tidak perlu sungkan-sungkan. Sambil menyeruput teh manis obrolan terus mengalir, seirama dengan mengalirnya orang-orang yang menyinggahi rumah makan ini, sekilas kulihat tumpukan dus kotak nasi. Kubaca: Rumah makan Restu Bunda. seulas senyumku tersuguh mengagumi kata “Restu Bunda” “Jadi Bapak tinggal sendiri?” sambungku prihatin setelah mengetahui darinya bahwa ia sebatang kara. “Iya, Nak, Bapak sekarang tinggal di…” lelaki itu menyebutkan salah satu kawasan Medan Diski, aku mengangguk, mengiyakan meski tak tahu menahu tentang tempat itu. 120

“Anak-anak Bapak?” tanyaku kali ini berputar pada keluarganya. Sesaat matanya berbinar, aku tersenyum, lelaki itu sekarang tersulut semangatnya, meski sedikit. “Anak sudah kerja semua, satu di … dan satu lagi di…” ujarnya menyebutan dua pulau besar di seberang kota Medan. Aku mengangguk. “Istri Bapak masih…” “Kami sudah cerai,” potong lelaki itu seraya menuduk, Matanya menerawang, sayu. “Dia nggak tahan hidup denganku yang masih luntang-lantung,” parau suaranya merambat ke gendang telingaku. Menggeletarkan. Aku menelan ludah. Sebegini pahitkah hidup? Ketidakadilan seolah berada dekat dengan penciuman hidungku, konyol sekali negeri ini! Sosok tua seperti di depanku ini, seharusnya berada di lingkaran keluarganya yang hangat, diperhatikan. Bukan seperti ini, terbuang dan mencari sendiri sekadar menyambung sisa hidupnya. Miris, miris sekali! Kuremas celana flanelku, kusut. Ashar dalam gerimis. Azan sudah bersahut-sahut. Lelaki tadi sudah kunaikkan ke sebuah angkutan menuju Diski, hanya selembar dua puluh ribu yang bisa berpindah ke tangannya. Selepas membayar makan tadi, uang di saku milikku tinggal beberapa ribuan. Banjir menggenangi aspal. Aku seolah bisa berkaca melihat tubuhku yang basah kuyup diguyur hujan. Lekas-lekas aku menyebrangi jalan. Selepas wudhu langsung kuamankan ransel yang memuat laptop dan kamera tripod di dekat tiang penyangga mesjid. “Allahu akbar!” imam mulai membaca Al fatihah. Khusyuk hingga tahiyatul akhir. “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” Salam terakhir. Entah mengapa seketika bulu kudukku meremang. Aku menoleh, terperanjat! Hampir saja aku

121

melompat dan berteriak saat mengenali wajah itu, wajah yang seharusnya sudah pulang ke satu tempat di kota ini. Ada teduh di wajahnya. Aku menatap lelaki itu tak percaya. Lelaki itu kini bersorban dan memakai jubah putih, ia tersenyum, hanya tersenyum, dan entah bagaimana, tiba-tiba dengan perlahan sosoknya menghilang dalam kepulan kabut putih. Putih sekali. Aku menganga tak percaya dengan apa yang kulihat. Kususur sekeliling, semua sepertinya tak melihat sosok itu. Bergumul tanya dalam hati. Berarti hanya aku yang melihatnya? Getar bulu kudukku makin meremang. (duniakoma, 20-11-2011)

122

Malam Peramu Mimpi Bagi seorang manusia, malam berjelaga adalah kumpulan kaca yang retak. Menyerak asa yang tersamar ke penjuru hidupnya. Namun bagi peramu mimpi, malam adalah kesenyapan yang mengabarkan ketenangan, menyelipkan aroma bahagia selaksa di alam mayapada. Kalau boleh memilih, maka aku ingin meletakkan ramuan bahagia di tiap-tiap mimpi manusia. Tapi, aku tak kuasa, sebab manusia itu makhluk terpintar di dunia yang bisa memengaruhi, selain tentu mereka juga termasuk terbodoh di

123

dunia karena mudah dipengaruhi. Maaf, ini hanya penilaianku sebagai peramu mimpi selama adanya manusia di muka bumi. Ya, aku khusus menanak berbagai ramuan untuk mimpimimpi manusia. Terkadang aku bingung, apa yang dirisaukan manusia-manusia itu? Udara, tanah, air semua gratis, lantas apa yang mereka pusingkan? Maaf , ini hanya pengamatanku dari tiga abad yang lalu. Apapun, meramu mimpi adalah sebuah keasyikan tersendiri, setidaknya aku bisa membangun imaji, menyalakan semangat, memantik gurat bahagia di liang sukma. Tapi, bisa juga kebalikannya, terkadang aku menyurutkan nyali, meredupkan senyum dan menjelagakan bias wajah mereka di pagi harinya. Maaf, bukannya jahat, tapi bukankah manusia lebih jahat? Entahlah. Pernah aku keasyikan, saat seorang koruptor yang hendak tenggelam dalam mimpi, di sebuah hotel berbintang tentunya. Segera kuramu gelisah di sukmanya, dan lihatlah ia akan berguling-guling tak tentu arah di atas tempat tidur, semacam cacing kepanasan. Tapi, walau geram menelingkupi, tak sampai hati juga melihatnya tersiksa, maka kubiarkan ia lelap sekejap dalam mimpi penuh kehampaan, lantas lihatlah gurat hitam yang melingkar di bawah kelopak matanya di esok harinya. Nah! bisa kau lihat sendiri kan siapa yang lebih jahat? Maaf, ini pengalamanku kemarin sore. Pernah suatu saat aku mendengar keluh, telingaku terguyur setumpuk perih. Apalah mampuku? Saat aku harus menitipkan mimpi pulas selepas manusia serigala memangsa, juga pada seorang pejabat di dalam hotel ’merah’. Juga pada kupu-kupu malam yang meringkuk di sudut-sudut remang, apakah aku layak menitipkannya? Entahlah, entahlah dan entahlah. Maaf, aku sebenarnya kecewa. Selalu, hingga kini. Derap langkah-langkah itu menghentak di reruang penuh dengan lampu warna-warni,

124

sesak dengan manusia yang bermandi keringat, meliuk- liuk tubuh mereka dalam hentakan musik yang dimainkan DJ. Kerap hingga pagi dan selepasnya semua berujung pada mimpi yang terpaksa kuberikan, karena aku kasihan pada penelan pil terlarang itu, sekaligus aku ingin manusia belajar dari hal ini. Maaf, jika yang kulakukan salah menurutmu. Kemarin, aku meramu mimpi untuk seorang lelaki tua yang kerap kerkopiah kemana saja. Mimpi yang kusemat untuknya mimpi naik haji. Semoga bila apa yang ia cita itu tak kesampaian di alam nyata, setidaknya sudah ia rasa di alam mimpinya. Maaf, hanya ini mampuku. Saat ini, baru saja aku menuangkan mimpi pada sepasang muda mudi yang kasmaran, mereka kupertemukan di alam mimpi, entahlah, kuharap mereka lekas-lekas membangun rumah tangga yang bahagia. Setidaknya di alam mimpi mereka sudah merasakannya. Maaf, inilah aku. Tadi sempat aku iseng, akan kubuat kesamaan antara mimpi dengan nyata. Tadi sempat kulihat Dina menggantung pakaiannya, kelihatannya pakaian untuk berangkat kuliah besok pagi. Sebuah batik berwarna biru muda dengan padanan rok hitam. Dan kini dihadapanku adalah si Feri, pemuda yang menimbun cinta pada si Dina. Di mimpinya, si Dina menerima cintanya dengan berpakaian batik biru muda dengan rok hitamnya, persis dengan pakaian yang akan dikenakan Dina esok hari. Hahaha, entah apa yang terjadi besok. Yang pasti Feri akan terperanjat melihat sosok Dina. Hahaha! Maaf, beginilah aku terkadang. Tapi, satu hal yang buatku bahagia, tatkala masih ada jiwa-jiwa malaikat di sekitarku. Ya! Merekalah manusia malaikat, hati mereka begitu bercahaya, aku merasakannya. Memang ada kelelahan menggelayuti mereka, setelah penat seharian menabur benih makna, cita dan cinta.

125

Merekalah penikmat ramuan terbaikku. Ramuan berisi kenikmatan akan sebuah mimpi, penuh dengan keindahan mayapada yang akan memompa semangat mereka untuk berbuat lebih lagi keesok hari. Jadi maaf, bila ramuan terbaikku hanya untuk yang terbaik. Kalau sedari tadi aku mengatakan kata ”Maaf”, sebenarnya maaf itu untukmu kawan, kuceritakanlah padamu waktu itu dirimu terselubung kegalauan, tersemat keresahan, air matamu tak terbendung lagi, segera akan terderai gerimis. Saat itu jiwamu retak. Maaf, aku menyesal tak menuangkan mimpi indah di malam terakhirmu. Sekali lagi maaf, karena aku hanya Peramu mimpimu, bukan peramu takdirmu. Dunia Koma, 10 Mei 2010

126

Aku dan Mimpi yang Kutemui Masih menari. Ia menyatu dengan udara yang beku. Dinding rumah basah bersela dengan riuh dengkur. Geliat sore meredup, senja sedari tadi membenam dalam malam. Ia masih menarinari, di kamarku.

127

Kini ia merayapkan kayuh kaki, lamat ia mendekat. Udara seakan bersahabat dengannya, terlihat semilirnya membuatku lekas membenamkan wajah ke bantal. Sebentar saja aku larut dalam ramuannya. Entah apa yang kuimpikan, sesuatu yang membingungkanku dan tentu saja akan membingungkanmu bila aku menjelaskannya sekarang. Ah, begini saja. Mau dirimu ikut bersamaku? Iya, di kamarku ini, mau? Sebentar, kamu jangan berpikir aneh-aneh. Aku hanya mengjak sebentar saja, merasakan mimpi yang entah kenapa harus aku yang mengalaminya. Jika engkau memahamiku, betapa sulit keadaan aku saat ini. Jadi, bisakah engkau membantuku? Nah, kalau setuju marilah ikuti aku. Aku menggamit tanganmu yang putih. Seputih awan. Kamar itu terletak di lantai tiga pada rumah tua di pojok desa kita. Rumah yang penuh dengan sejarah. Betapa tidak! Di sinilah pernah tinggal orang hebat yang namanya tidak pernah terdengar atau sekadar tercatat dalam tinta emas perjuangan kemerdekaan, tapi itulah yang dituai dari sebuah keikhlasan. Nama yang tersapu oleh penguasa berjiwa materialis dan oportunitis. Hmm, namanya akan tetap aku simpan, karena masih ada teka-teki atas dirinya dan karena memang aku masih ingin mengejanya lebih jauh. Nanti suatu waktu engkau akan aku beritahu. Baiklah, kita sudah tiba di kamarku. Kawan, berbaringlah di kasurku, biarlah aku di sini, merebah diri pada dipan kayu berlapis tikar rotan. Tak mengapa kawan, semoga engkau bergegas merasakan mimpi itu, mimpi yang sama aku rasakan. Ah! Betapa sangat inginnya aku akan hal itu. Derap langkah itu, seret ayunannya dan aroma wewangi khas itu datang. Ya! Itu peramu mimpi, ”Dia datang!” bisikanku samar. Tapi sebentar, lihatlah apa yang dibawanya itu, mengapa lain dengan botol-botol yang kemarin?

128

Kenapa saat ini cairan itu berubah menjadi merah pekat? ada prasangka mengudara, tapi masih kusimpan rapi hingga jejak itu merapat mendekatiku. Ah ya! Kenapa ia mendekatiku? Mengapa tidak dirimu kawan? Tanya menyeruak memenuhi langit-langit pikiranku. Seperti dalam rahim. Ini pekat. Tak ada cahaya, walau kucoba memicingkan mata, masih juga gelap menyerta. Namun, perlahan cahaya menyapa dan hei! Lihatlah itu! Wajah yang bercahaya, bening, rapi. Tapi maaf, mengapa masih begitu abstrak untuk aku katakan di sini. Entahlah, sulit memang dilukiskan dalam kata-kata. Begini saja kawan, jika esok pagi engkau masih berdetak, maka lihatlah semburat mega pagi nanti. Benar, tepat ketika hanya secercah yang menyingsing pekat, seperti itulah cahaya si peramu mimpi ini. Bukankah susah engkau gambarkan? Benar kan? Sosok itu terus melangkah dan menempelkan bibir botolnya ke pucuk tangannya. Air itu terpercik ke tubuhku. Aku ambruk! seketika aku memulai lagi perjalanan mimpi yang kemarin. Tidak! Ini bukan mimpi yang kemarin. Ini berbeda, sangat berbeda! Astaga! Terdampar di manakah aku? Kini aku duduk di dalam kafetaria yang kurasa tak layak disebut begitu. Bayangkanlah, di sini berserak sampah membusuk, remahremah makanan sisa pun masih jelas terlihat dari kacamata minusku ini. Apalagi di pojok sana, lihatlah! Tikus got pun ikut memeriahkan malam ini. Hmm... Tapi dengarlah alunan jazz mengalir di gendang telinga. Entah kenapa musik itu menguapkan perasaan jijik pengunjung kafe ini, mereka terlihat lahap, menikmati sekali. Tapi bagi aku? Ini menyesakkan! Tempat apa ini? Aku masih bertanya-tanya dan belum bisa menjelaskannya padamu. Hei kawan! Kau belum beranjak

129

pergi kan? Baguslah, walau tak besertaku setidaknya engkau mendengar kisahku ini, sebentar lagi. Sosok yang pernah merasuk dalam mimpiku selama ini kembali muncul, sosok samar itu kini dengan wujud manusia. Dalam hatiku bergumul tanya ”Benarkah peramu mimpi itu manusia juga?” tanyaku terus mengalir dan terus menabung gelisah. Lelaki itu, ia duduk di pojok kanan kafe. Sebentar kemudian asap putih menyelimutinya. Rokok yang disulutnya lekas menyebar tatkala sebuah kipas angin tua memutar. Kencang. Lelaki itu, ia memesan minuman. Tangannya memainkan gelas yang tinggal setengah isi. Sepertinya ia gelisah, mungkin ia menanti seseorang, atau jangan-jangan kekasihnya? Namun entah kenapa tiba-tiba prasangka tertuang ke tubuhku. Jangan-jangan ia ingin merencanakan rencana buruk, tapi pada siapa? ”Ah!” Aku menepuk jidatku seraya membelalakkan mata dan serta-merta memosisikan diri untuk siaga. Aku sadar kini siapa yang ia tunggu. Lelaki itu menyengir ke arahku. Lama. Manis tapi sedingin es. Wajah samarnya tersapu sinar lampu bohlam, ada gurat di pipinya. Oi mak! Matanya meneteskan darah. Aneh, sungguh aneh. Semua pengunjung tak ada peduli. Ah! Bisa gila aku! Ingin aku menanyakan pada salah satu tamu tentang siapa sosok itu, tapi selalu kuurungkan niat melihat wajah yang tak bersahabat dari mereka. Aku masih gelisah, jujur penasaran masih menggelayut, walau dalam hati meyakini memang dialah peramu mimpi itu. Ciumlah aromanya yang masih kurasa, ia sama dengan yang kurasa tatkala sosok itu beberapa kali menyambangiku. Sosok yang kerap menuangkan mimpi tak berkesudahan, ia si peramu mimpi itu! Kesabaranku habis. Segera aku beringsut mengayuhkan langkah menemuinya dan hei! Dalam beberapa langkah tiba130

tiba ada sesuatu, kenapa ini? Asap putih raksasa-kuyakin bukan asap rokoknya- menyelubungiku dan entah kenapa tiba-tiba sebuah jendela perak tersuguh di hadapku. Angin mendorong tubuhku. Aku terpental masuk ke labirin yang serba putih. Kemana aku? Entahlah, rupanya mimpi ini masih berlanjut. ( Di suatu subuh, 2010)

131

132

Labirin Mimpi Aku kembali! Ya, setelah lama terkunci di labirin mimpi akhirnya aku bisa menyentuh pintu keluar. Syukurlah, batinku. Setidaknya mimpi-mimpi aneh yang selama ini menggerayang dan pertemuan dengan sosok-sosok aneh akhirnya bisa aku tandaskan.

133

Aku di sini. Di sebuah tempat tidur dengan dipan yang sudah puluhan tahun tak terganti. Dengan bantal yang sudah susut. Aku meringkuk di sini sejak semalam. Persis ketika sebuah celah terbuka dan aku melompat. ”Hup!” aku selamat, aku keluar dari labirin waktu itu. Engkau tentu masih ingat saat peramu mimpi bertandang ke sini membawa sebotol ramuan berwarna merah saga. Aku meringkuk dibalik tirai. Bukan aku sosok yang mereguk ramuan itu, bukan, tapi sahabatku, Ya, berarti masih ada satu mahluk lagi yang terjebak di sana, di ruang penuh imaji yang aku sendiri terkadang takut terkadang takjub. Entahlah. Kutatap celah itu. Masih menganga. Tapi entah kenapa sosok yang satu lagi belum juga muncul. Aku rindu padanya. Kami sudah terpisah sejak terseret ke labirin ini. Hufh! Semoga engkau baik-baik saja di sana sahabat. Hmmm, sembari menunggu maukah engkau mendengar kisahku? Ya kisah selama aku di sana. Mau kan? Sip! Begini ceritanya, saat pertama aku masuk ke labirin waktu itu aku menemui tempat yang indah. Sungguh indah sekali. Rumput yang kupijak semacam beludru. Udara yang kuhirup segarnya luarbiasa. Ah, sulit aku menceritakannya padamu, tapi yang pasti aku dapat makanan enak! Apa itu? Burung dara! Kalau aku tidak mengingat sahabatku, tentu aku akan menetap di situ, tapi mungkin naas juga, tatkala kantuk menyergap dan saat mataku terkuak, pemandangnan beda tersaji. Saat itu aku menemui sebuah tempat semacam pemakaman. Mencekam? Tentu. Takut? Pasti. Bagaimana tidak, latar langit yang gelap, sementara sebentar-sebentar 134

guruh disertai kilat menyambar. Ya, saat aku terjaga itu sepertinya waktu malam hari. Aduh! Sungguh aku takut. Perlahan kakiku terayun ke sebelah gundukan tanah. Masih merah. Tempat apa ini? Apa ada kehidupan lain di dunia imaji ini? Argh! Kukepal rambutku yang telah kusut masai. Selintas sempat kubaca pusara-pusara imaji yang terpahatkan pada sebatang kayu persegi. Tapi maaf aku tak mengerti aksara yang ditulis, tapi sahabatku –yang tersesat di labirin ini pasti mengerti maksud pajangan kata di papan pusra itu. Kelak, kau bisa tanyakan ke dia. Aku terus berjalan. Hinga puluhan kayuh masih juga kutemukan pusara semacam ini, sepanjang jalan, setiap sisi jalan. tubuhku lelah, mataku berkunang-kunang lantas aku pingsan. Aku terbangun! Mataku perlahan menahan sakit. Ya, sinar yang terang menyergapku. Badanku yang basah-seingatku-kini kering. Aku ada di sebuah kota. Hiruk-pikuk orang bersliweran. Mereka sebaya dengan sahabatku. Mataku sibuk ke sana-ke mari mencari sahabatku itu. Tapi belum lama aku menyusuri wajah di sekitarku, kini aku terpaku. Ada yang aneh, pada sumber terang yang menyinar kota ini, tidaklah bulat, tapi petak, persegi panjang tepatnya. Aih! Benda apa pula itu? Aku mengucek mata memastikan, tapi memang benar adanya, benda yang berpendar terang itu adalah semacam matahari. Lagi-lagi aku tersadar berda di alam imaji. Agak dongkol aku menjerit. Tapi tak ada yang peduli. Ya, tak ada yang peduli kecuali satu orang gadis kecil. Ia meghampiriku. Senyumnya yang serupa seringai membuatku takut-takut mendekat. Wajar, aku berada di tempat yang aneh, maka aku harus senantiasa waspada.

135

Ia menawarkan sepotong rotinya, aku langsung menyambarnya. Perjalanan dari kegelapan semalaman tentu menguras tenagaku. Lekas benar kuhabiskan sepotong roti itu. Ah, ternyata ada yang baik juga di sini. Seseorang memanggil anak itu dengan bahasa yang tak kumengerti. Gadis kecil membungkuk, menunjukkan deretan giginya yang hijau sembari berujar sesuatu padaku, mungkin berkata pamit. Ia melambaikan tangan dan meninggalkanku sendirian. Ingin rasanya aku ikut serta dengannya, tapi bergegas kuurungkan niat mengingat aku harus mencari sahabatku. Ya, sahabat dari dunia luar imaji ini, tentu ia pun mengalami kejadian mengerikan yang sama. Merasa terasing, kesepian dan menemukan kejutan-kejutan. Ah, sahabat semoga engkau baik-baik saja di sana. Nah, kawan. Itulah sedikit cerita singkatku. Sebenarnya masih sangat banyak tempat yang aku temui, tapi nantilah, suatu saat akan aku ceritakan semuanya, aku janji. Sekarang ijinkan aku meringkuk lagi di sini. Jujur, lelah masih menyemat di tubuhku. Biarlah sejenak kuhapus gundah yang menggantung ini. Maaf sahabat, aku harus isirahat dulu. Jendela berderik. Suara dengkurku masih terdengar samar. Entah dari mana, tiba-tiba sepotong tangan berlendir lengket berwarna hijau pekat mencengkeram! Aku melawan, menggigit, mencakar, tapi tiba-tiba tangan itu melemparku ke dinding Bugh!! ”Miiiaaaaaawww!” pekikku Sosok itu menghampiriku. Aku sadar, aku harus lari, tapi kakiku semacam patah. Tak lama sepasang tangannya menyeretku ke lubang tempatku keluar semalam. (Gazebo Imaji, 2010 )

136

Pak Yunyi “Tahu..tahu…” suara cempreng khas itu sayup terdengar, pertanda sosok itu sudah memasuki perumahan tempatku bermukim. Gerobak kayu bertenda hijau lusuh dengan sepasang ban usang tiap hari memang mondar-mandir di sini. Lelaki itu tinggal di rumah kontrakan tua di sudut perumahan ini kembali menyusuri gang sempit tempat rumah kami tinggal. Tak begitu peduli orang akan asal usulnya, apalagi nama aslinya, yang penting bagi mereka adalah dagangannya murah dan rasa tahu yunyi racikannya itu enak. Maka, tatkala beberapa pelanggan menjulukinya Pak Yunyi, hingga kini ia kerap disapa begitu. Tak ada yang tahu bahwa di akte kelahirannya, sosok itu bernama: Abdullah Sudiono.

137

Kini sosok itu berhenti di depan rumah bu RT. Beberapa pelanggannya sudah mengerumuni dan segera memilah, lantas membungkusnya di plastik seraya menebar gosip. ”Pak Yunyi, tahu di pasar naik lho? tahu bapak nggak ikut naik kan?” sempat berkelebat tanya bu Karti, satu langgan yang terkenal cerewet itu. Sosok itu hanya tersenyum, seraya mengangguk ”Yo, iyo bu... kangge langgananku hargane tetep wae lah, sepotong tetep tujuh ratus perak” ujar lelaki itu memastikan. Mengusir kegusaran. Ada kebahagiaan tersirat di wajahnya tatkala melihat wajah-wajah cerah pelanggannya itu. Sungguh amat sulit dilukiskan. ”Murahnya tahu yunyi ini sedikitnya bisa mengurangi kerut dahi uang SPP yang belum terbayar, harga beras, minyak, gas, tagihan listirik, air yang kerap melambung dari jangkauan masyarakat pinggiran seperti mereka. Wah!, kehidupan di kota besar ternyata tak seindah pesonanya” gumamnya dalam hati. Begitulah, walau hasil yang ia dapat tak sepadan. Kebahagiaan pelanggannya membuatnya tak mau beringsut meninggalkan pekerjaan yang sudah berpuluh tahun ia geluti ini. *** Tahu buatannya selalu dikejar pelanggan. Bagaimana tidak dikejar?, tahu yunyi buatannya terkenal enak, gurih. Belum lagi harganya yang bisa jauh di bawah harga pasar. Entah bagaimana ia menyiasati biaya produksinya, yang pasti rasa tahu racikannya selalu enak dan buat pelanggannya ketagihan. ”Pak Yunyi, pakai apa sih buat tahunya, kok lain sama yang di pasar, enak” tutur bu RT di suatu pagi. Mendengar tanya pelanggannya itu, pak Yunyi hanya mengulum senyum. 138

” Tahu saya nggak pake pengawet bu” terangnya seraya dengan cekatan membungkusi tahu ” Lagipula pewarnanya asli, cuman pakai kunyit” tambahnya. ”Oh gitu tho?, tapi kalau nggak habis gimana itu?.” Sambung bu RT. ”Insyaallah selalu habis bu” tukasnya ” Tapi kalau tak habis di makan sendiri bu, makanya diboronglah tahu saya ini” tambahnya berseloroh. Bu RT hanya tersenyum takjub, seraya tangannya memasukkan beberapa potong tahu lagi ke plastiknya dan membayarnya. *** Beberapa hari ini tahu racikannya banyak tak habis. Sebabnya lagi musim penghujan, dan bila hujan turun, maka air akan meluap dari selokan. Ini pertanda ia harus mengurung asa berjualan di kompleks yang selalu langganan banjir itu. Bukan karena tak berani, tapi ia harus menyadari bahwa gerobak satu-satunya tak akan sanggup menempuh jalanan yang terendam banjir. Bisa-bisa gerobaknya karam dan tahu yunyi buatannya akan melebur bersama lumpur selokan yang menghitam. Walau sering terjebak keadaan seperti itu, paling-paling tahunya tersisa duapuluh potong. Karena pelanggannya kerap menjemput ke rumahnya dengan menembus hujan dengan tubuh berbalut jaket dan bersembunyi di balik payung. Dan biasanya mereka akan membeli lebih banyak, ”Sekalian buat cemilan di sela hujan” tutur mereka saat ditanya. Sebenarnya Pak Yunyi tak ambil pusing bila tahu buatannya banyak tak terjual, karena ini jadi kesempatan untuk menggorengnya, lalu dibagikan pada jemaah di masjid. Jangan

139

berfikir ia mengharap pujian, malah sosok itu tak pernah mengatakan bahwa itu adalah pemberiannya. Hingga saat ini jemaah masjid masih menganggap bahwa tahu yunyi goreng yang disedekahkan ke masjid itu adalah pesanan orang, Pak Yunyi sekedar pengantar. *** Mentari menyibak pagi. Pak Yunyi masih meringkuk di kamarnya. Entah angin apa yang membuat badannya menggigil. Memang semalam sempat ia menembus guyuran hujan ke kedai Koh Tong. ”Persedianku habis koh!” ujarnya saat ia ditanya mengapa begitu nekat malam-malam ke kedai tauke itu. Tadi malam selepas isya ia dikagetkan saat sebuah avanza terparkir di depan rumahnya, dan belum sempat ia mencampur obat tahu ke adonan, pintunya sudah diketuk. Bergegas ia membuka pintu dan melihat sesosok dengan penampilan orang kantoran. ia menyilakan tamunya itu untuk masuk dan menjelaskan hasrat kedatangannya. ”Perkenalkan saya Heru, pemilik restoran Madinah” ujarnya singkat ”Mungkin bapak pernah dengar” lanjutnya seraya melirik ke sosok itu. ”Oh...” hanya itu yang meluncur dari bibir Pak Yunyi. ”Ehm, langsung saja ya pak” tuturnya ” Saya sudah merasakan tahu buatan bapak, saya sangat suka” suaranya terhenti sebentar ”Jadi maksud saya ke sini adalah mengajak bapak untuk bergabung di restoran saya” tangannya menyodorkan selembar kertas ”Bapak akan menjadi koordinator dapur dan bila sudah setahun bergabung...” lelaki itu menarik nafas lalu tersenyum dan melanjutkan ujarannya ” Insyaallah selang setahun bapak akan naik haji” ucapannya

140

terhenti sebentar ” semua ditanggung dari perusahaan”. tambahnya ” Bagaimana pak?” tanyanya lagi. ”subhanallah” desis lelaki tua itu. Allah memang maha pembuka jalan, batinnya. Lelaki tua itu menerawang, mulutnya masih terkatup. Lesat pikiran tak terbang ke Baitullah, namun entah kenapa malah memorinya memutar mozaik sewaktu berkeliling di tengah panasnya mentari, saat telinganya yang menjadi wadah keluh kesah pelanggannya. Memori itu terus memutar gurat senyumnya, ketika pekikannya mengguyur pelanggan untuk keluar rumah, saat ia mendulang senyum mendengar pujian pembelinya yang mengatakan tahunya enak, murah dan membantu mereka karena nggak perlu repot ke pasar. Tapi, bila ia menerima tawaran ini, siapa yang peduli akan gemuruh oceh, gelak- tawa dan keluh-kesah pelanggannya?, lantas bagaimana gizi anak-anak mereka ?. Bilapun ada yang gantikan, apakah akan peduli sepertinya? Apakah ia mau bersusah payah memarut kunyit ketimbang pewarna sintetis? Apakah ia rela mendapat hasil sedikit? apakah ia mengharamkan formalin pada tahu buatannya?, dan apakah ia mau menyisihkan potongan tahunya untuk mengganjal perut jemaah di mesjid?, ah!. Sejenak ia menimbang, lantas mulutnya mengudarakan sepatah kata. Setelah itu sosok di depannya menyambut dengan senyuman sembari berpatah beberapa kata seraya bergegas permisi dan melaju menaiki avanza biru. Gigilnya mendadak menguap tatkala ia sadar sudah pukul berapa. sekilas Jam ruangan sudah merapat ke angka sembilan, Pak Yunyi megnenakan pakaian rapi, berkemeja dan memakai celana baggy. ”mulai hari ini saya akan lebih rapi” gumamnya. 141

Bergegas ia mengeluarkan gerobaknya yang penuh dengan dagangan. Disertai luapan gembira dan gurat senyum bahagia ia menyusuri jalanan seraya meneriaki pelanggannya. ”Tahu...tahu...”. ( Dunia KOMA Medan 21 Sep ’09 – 05 April ’10)

142

Sebuah memoar putih abu-abu

Semua Tentang Kita Siang itu begitu teriknya, teriknya mentari begitu mudah melelehkan keringat. Suasana di SMU Teladan begitu tenang. Kami sedang menyerap ilmu pengetahuan. Bel berbunyi, tanda istirahat kedua. Anak-anak 2 Che berhamburan berebut kertas ulangan bahasa mereka. Zul dengan sigap membagi-bagikannya. ”Zul, kamu dapat berapa?” tanyaku pada Zul ”Lumayan, Delapan, kamu sendiri berapa?” ”Aku? Sembilan dong!” ujarku ”Iya deh, kamu memang jago BI, tapi tunggu tanggal main MM ya!” kata Zul tak mau kalah. Aku hanya tertawa seraya mengajak Zul keluar dari kelas ke perpustakaan. ”Iya deh, kamu memang jagonya eksak, kayaknya Anakanak plus dapat saingan nih?!” godaku. ”Eh, bukan gitu maksudku, tapi tiap orang itu kan punya keunikan sendiri!” bela Zul. ”He he, iya, karena ada makna di balik kelemahan dan kelebihan manusia kan?” tambahku belagak bersyair. ”Maksudnya?” sambar Zul. Kami masih di jalan trotoar yang pinggirnya ditumbuhi rumputan.

143

”Itu artinya, nggak ada manusia yang bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, karena itulah semua saling membutuhkan! Sama kayak kita!” sambar Tyo yang tiba-tiba dan entah dari mana muncul merangkul pundakku dan Zul. ”Bikin kaget aja!” serempak Aku dan Zul merutuk sohib yang terkenal usil itu. Si Tyo malah nyengir tanpa dosa. “O…bener juga ya!” gumam Zul, kepalanya manggutmanggut. ”Memang bener…” Aku meyakinkan. ”Iya…iya…, aku sih setuju,” balas Tyo yang mulai ngosngosan menaiki tanjakan beraspal. Langkah kami melambat. Apa sebab? Tika, Yani, Chai dan cs mereka, para “artis” lewat, alamat sayang tidak menyaksikan mereka, meski sekadar jadi penonton, meski sekilas pandang. Sejenak aku berhenti, kedua sahabatku pun turut serta. Sesosok berkuncir kuda yang pernah satu SMP dulu, tiba-tiba melintas di depanku, Ima. Sekejap berdua mengurai tawa, saling-sapa dan berpamit pisah. “Cewekmu, Har? Cantik juga…” Tyo mulai dengan usilnya. ”Kawan,” ujarku seraya menarik Zul mendahului Tyo yang masih penasaran dengan cewek barusan. Tak terasa langkah sudah merapat di perpustakaan. Kami mengantri untuk mengisi daftar hadir. Setelah itu, berkeliaran mencari buku favorit masing-masing. Di meja yang panjang, di sudut kiri perpustakaan yang dijejeri aneka rangka manusia. Kami bergabung dengan empat sahabat lain yang ternyata sudah nyelinap duluan ke ruangan itu, mereka si mahluk-mahluk cerdas, di meja kami sudah ada Syah, Fiqri, Kusuma, Ical dan Aryo yang selalu jadi andalan banyak teman saat ulangan.

144

”Zul, kau baca buku apa?”tanya Tyo setengah berbisik sambil menunjukkan ensiklopedianya. ”Nih! Cara cepat penyelesaian soal-soal Matematika,” balas Zul lebih pelan. Keduanya mengarahkan pandangan ke aku. ”Ini…” aku menunjukkan sampul buku yang berjudul ”Rubuhnya Surau Kami” Di seberang kami, duduk para peri yang kerap jadi juara kelas dan umum sekolah ini. Mereka sudah lebih duluan sampai dari kami. Lantas, langsung tenggelam dalam bukubuku tebal yang kebanyakan eksak-sains. Ya, saat istirahat, rak kimia, biologi dan cerita memang selalu jadi pilihan banyak siswa. Lihatlah, para juara itu: Dini, Sonta, Rena dan Reni. Mereka memang selalu begitu, dahi muda mereka sering berkerut menyerap ilmu. Bagi mereka, mudah saja memahami serangkaian rumus kimia, molekular dan setumpuk bagan siklus dalam pelajaran biologi. Tapi, di balik wajah serius mereka yang tampak dingin dan tak bersahabat itu, sesekali tertangkap senyum, yang kubaca, mungkin mereka geli melihat soal yang gampanggampang, atau menemukan jawaban atas pertanyaan yang mereka bangun dalam pemikiran mereka sendiri. Melihat senyum mereka, melihat sederet gigi mereka, adalah pemandangan yang langka, barisan senyum yang tulus, tidak dibuat-buat, tidak kecentilan, tidak berlebihan. Merekalah, satu hal penting yang membuat perpustakaan sekolah selalu ramai, satu hal penting yang membuat kamisiswa medioker- selalu punya alasan untuk menyarangkan waktu istirahat di antara ribuan buku-buku, satu hal yang memastikan kami tetap tertinggal oleh mereka. ”Mereka itu daya tariknya!” bisikku, Tyo dan Zul mengangguk sambil mengamati para peri dari celah buku ensiklopedi yang mereka baca. Syah, Fiqri, Kusuma, Ical dan 145

Aryo tentu mendengar, tapi mereka cuek bebek, meski kuyakin saat lengah kami, mereka pun akan curi pandang ke arah para juara itu. Bel meraung-raung. Nadanya yang seperti terompet raksasa itu membuat siswa di dalam kamar mandi di ujung sekolah pun mendengarnya. Begitu juga di ruang pustaka ini, semua siswa berhambur menuju kelas, keluar dari perpustakaan dengan posisi ngantri, posisi yang memang dikondisikan hanya satu per satu orang yang bisa melintasi pintu keluar. Penduduk Dua Che kembali berkumpul di kelas. Yang masuk kali ini adalah Pak Khairul, guru geografi yang humoris dan mempunyai pengalaman masa mudanya menjadi Tourist Guide. Pengalamannya yang banyak saat menemani wisatawan melanglang buana ke se-antero nusantara bahkan ke mancanegara seperti Malaysia juga China, membuat pelajaran geografi jadi hidup dan begitu mengasyikkan, selalu saja beliau mampu membuat kami terpana mendengarnya berkisah. Waktu begitu cepat berlalu, bel berdentang tanda pergantian mata pelajaran. Sejumlah penghuni 2 Che berpindah tempat, berlomba ke belakang. Kebiasaan pelajar, berlomba ke belakang, niat hati tentu ingin leluasa dengan opsi: main, ngobrol dan tidur diam-diam. Yang tampak, Eky heboh mencari bangku yang terdekat dengan pacarnya, si Ela. Sekarang saatnya mata pelajaran yang gurunya ”rajin nggak datang” Alhasil, mencatat di papan tulis sampai jam pelajaran habis adalah yang selalu terjadi. Guru pengganti datang, setelah menyuruh mencatat dan mewanti-wanti supaya tidak ribut. si guru pun melengos pergi tak tahu ke mana rimbanya. Rades dan gank-nya bebas ber-bising ria. Sampai tak terasa, sosok tegap berambut klimis tipis berdiri di depan kelas. Mata elangnya memelototi Rades yang serta merta kembali ke

146

kursinya sambil mendiri-dirikan rambutnya yang sebenarnya memang sudah selalu berdiri. ”Mana gurunya?” lontar lelaki itu. Hening, tak ada yang berani buka suara. Gugun yang suaranya paling menggelegar memberanikan diri menjawab, ”Keluar sebentar tadi, Pak!” Andri, Heru, Erfan, Koko dan Tama mengiyakan. ”Begini ya, kalian itu sudah dewasa, seharusnya jangan berkelakuan seperti anak TK, kalian kemari disekolahkan oleh orang tua, maka jangan bla…bla…” lelaki itu terus dengan pesan-pesan berawalan ”jangan” Beruntung, Vide anak kelas 2 a menjemput lelaki itu, karena beberapa anak-anak yang dihukum jemur di lapangan pada keliaran. ”Baik, kalau kalian masih ribut lagi, akan tahu nanti hukumannya! Supaya tidak ribut, lanjutkan membuat catatan kalian, nanti saya periksa!” tutup lelaki itu dengan tegas. ”Kamu, catat yang rebut,” tambahnya sambil menunjuk Ajrin yang duduk di belakang kami. ”Harus ada yang dicatat, kalau tidak kamu yang saya kasi hukuman!” sambungnya. Ajrin pias ”Iya, Pak,” ujar sahabat perempuan kami itu dengan nada suara serak dan pelan.Lelaki itu pun bergegas pergi. Selang beberapa menit, kelas kembali gaduh, ”Kamu sih, rese!” amuk Merry disertai anggukan teman sebangkunya, Masita. Rades yang nggak terima membalas ”Enak aja, dasar nenek kecentilan!” ”Kamu kekanak-kanakan!” Sambar Masita mendukung sahabatnya. ”Ye, biarin… wek! wek!” ejek Rades meliukkan tubuhnya yang kutilang. ”Huh! Beraninya sama cewek!” ujar Deli nggak terima teman satu gank-nya dihina.

147

”Hei! Apa-apaan ini?!” suara menggelegar dari sudut jendela kelas. Itu suara milik lelaki yang beberapa waktu tadi masuk dan menceramahi mereka sampai pening. Lelaki yang rupanya sedari tadi mengintip tindak-tanduk kami dari sudut jendela kelas sebelah. Kelas kembali hening. Seperempat jam berlalu. ”Sudah siap kan? Kumpulkan semua catatan kalian!” perintah lelaki itu. Ardha, Kumala, Ulan dan Yuyu berinisiatif mengumpuli buku-buku anak yang lain. ”Mana Des, bukumu…” tanya Yuyu dengan suara mendayu-dayu, yang kebagian mengutip di barisan Rades. Yang ditanya malah pasang muka memelas, ”Sori Yu, aku belum ada nyatat,” bisiknya. Yuyu pun berpindah ke meja yang lain dan mengumpulkannya di meja guru. ”Baiklah, sebelum saya periksa, siapa yang tidak mencatat?” dengan dingin lelaki itu memaksa kami jujur, toh, tidak mengaku juga bakal akan ketahuan belakangan saat nilainya dimasukkan. ”Kau tunjuk tanganlah!” bisik Rades sambil mendorong pelan kepala Tama. ”Akh, jangan pegang-pegang kepala, ini udah dipitrah tau!” sembur Tama nggak terima. ”Nggak tau lah yau!” balas Rades dengan cuek. ”Hei! Kalian berdua, kedepan!” ujar lelaki di meja guru. Kedua sohib itu terkejut. Dengan lesu mereka ke depan diiringi tatapan menang Heny cs. Keduanya disirami ceramah. ”Ikut saya!” perintahnya pada kedua sahabat kami yang kutilang pantai itu. Keduanya digiring keluar menuju kantor BP. Lelaki itu kembali ke kelas, tanpa Rades dan Tama. Hanya berselang beberapa menit, bel panjang terdengar, tanda jam pulang. Anak-anak 2 Che gaduh membereskan bukunya. Sesudah berdoa dan disiapkan dan tentu saja setelah lelaki itu keluar, anak-anak berebut menuju pintu menuju stasiun 148

lemari rumah yang berisi amunisi untuk menetralisir lambung yang para penghuninya sudah menjerit-jerit. Oh ya, kemanakah Rades dan Tama? Kabarnya mereka bakal telat pulang, keduanya diganjar membersihkan satu lorong kamar mandi siswa yang terkenal sedap aromanya, di bawah pengawasan langsung Guru BP. [Terimakasih pada sobat-sobat yang beberapa waktu kemarin menagih tulisan tentang sekolah kita dulu, thanks juga atas obrolan dan inspirasinya-maaf tidak tertuang di sini semua, semoga lain waktu bisa dituangkan dalam cerita lagi]

149

150

Segala Terima Kasih Kepada Allah Sang Maha Segala yang mencintaiku dengan cara sangat rahasia. Terima kasih atas segala yang telah dan masih Engkau beri padaku. Kepada Rasulullah Saw, yang menemani perjalanan hatiku dengan intim. Terimakasih atas segala tamsil dan teladanmu. Kepada Muhammad Husein-lelaki yang mengajari bagaimana semestinya aku tersenyum. Terimakasih atas cahaya cinta yang selalu memancur dari sepasang mata beningmu. Cintaku selalu, Ayah. Selalu! Kepada Siyami-perempuan paling ibu yang menemaniku belajar tentang hakikat cinta dan kehidupan. Terimakasih, Bunda, atas cinta yang selalu meruah dari segala arah tanpa takar untukku. Yang entah dengan apa dan bagaimana semestinya aku nyatakan. Rinduku selalu, Bunda. Selalu. Kepada yayuk-yayukku (Yuk Nur, Ika, Sofi) & keluarga besar di Karang Sari, terima kasih sudah menanamkan kebaikan, membekalkanku kelemah lembutan & kasih sayang yang selalu tulus. Kepada Pakde (alm) Ridwan, maturnuwun, ini nama paling indah. Terimakasih memilihkannya untukku, dan mengajariku menggambar dengan kapur-kapurmu. Kepada El Surya-sahabat paling hebat yang terus menemani dalam perjalanan dan mengingatkanku untuk terus bermimpi. Sungguh, entah bagaimana aku jika kamu tak ada semasa suka, semasa duka. Dan aku yakin masihlah lebih banyak duka dari sukanya persahabatan kita. Kagumku selalu, sahabat, selalu!

151

Kepada keluargaku yang berdiang di KOTAMAYA yang kini dikenal KOMA: Husna, Dina, Maya, Farida, Tiwi, Zulfa, Nanda, Ayu, Irwan, Ajeng, Dini, Wulan, Zuwi, Dwi, Lina, Irma, Sumi, Lisa, Lia dan tunas-tunas baru: Esya, Ismayyuni, Tri, Dewi, dan yang lainnya yang senantiasa meramu mimpi bersama meski berdiang beralas rumputan dan beratap awan dan dedaunan. Adakah yang lebih indah selain kebersamaan kita di masa lalu, masa kini dan (semoga!) di masa datang? Kepada guru-guruku, Rasulullah, Emha Ainun Najib, Joni Ariadinata, Buya Hamka, Kuntowidjoyo, Pramudya Ananta Toer ,Umar Kayam, Sapardi Joko Damono, WS. Rendra, Yanusa Nugroho, Akutagawa Ryunosuke, Rama Dira, Ayu Utami, Dee, Andrea Hirata, Ahmad Fuadi, Indra Tranggono, Bu Elvi, Pak Paisri, Bu J.Hutasoit, Terima kasih dan takzim selalu atas segalanya. Kepada semua yang menanam saham atas terbitnya buku ini: El Surya (yang rela meluangkan waktu untuk pelbagai diskusi tentang ide cerita), Caca Kartiwa (yang mendesain dengan indah dan mengawali inspirasi penentuan judul buku), SigmAksara (atas pindaian yang jeli), Embem (yang selalu baik dalam sederhananya), Citra Mardiati (yang menunjukkanku bahwa selalu ada jalan lain ke Roma), Geng Skynet: Sony, Endit, Windu Nasution (yang mengingatkanku untuk begadang yang bermanfaat :D), Evi Andriani (yang mengajariku jangan pernah menyerah), Azrina Purba, Ravina Zahara, Fatimah Saurina Purba, Justri, Ivo, Herlinda Bertha, Chairani, Fadli Arif Rumapea, Dewi Chairina, Dina Tritia, Syafrizal, Dou sejoli: Riki Andi & Nelva Yuni Harahap, Zulfan Amri, Abdi Prasetia, Acep Sunarya, Fikriansyah, Ali syahbanna, Ibnu, (betapa aku kangen kalian kawan!). Kawan dan adik sepermainanku; Abi, Edi gunawan, (alm) Wibi, (alm) Moteng, Fajar, Nardi, Rini, Fitri, Moko, Joko, Caren, Nining, Inok, Bambang, Ican, Andi, Wita, 152

Lambok, Mansya, Wito, Karmiadi, Anti, dan yang lain (sampai sekarang, aku tidak tahu bagaimana untuk berterimakasih, sebab sedari dahulu, bersama kalian langit bisa begitu berwarna ) Kepada semua yang berjasa pada lelaku kepengaranganku: Hasan Al Banna (yang menyulut keberanianku mengarang cerita), T.Agus Khaidir (yang percaya aku juga bisa mengarang cerita), Jones Gultom, YS Rat, Sunan Langkat, Suyadi San, Dewi Murni dan Jodhi Yudono (yang sering melapangkan rubriknya bagi tulisantulisanku), Nasib TS (yang melejitkan hasrat menulisku), Teja Purnama (yang menyalakan nyaliku untuk mengirim karya ke media), Afrion (yang memotivasi lewat event sastranya), Seroja White (yang selalu menagih cerita-cerita terbaruku), Nida Nafilah (yang pada matanya kutemukan keindahan dunia yang lain), Julinar Sinaga (yang menuntunku menemukan keindahan bertutur), M. Aan Mansyur (Yang membisikkan keindahan puisi), Ilham Wahyudi (yang percaya aku bisa nulis puisi), Rama Dira (yang membuatku jatuh cinta dua kali pada cerita pendek), Benny Arnas ( yang mengingatkanku pada bulan mei), Venny Mandasari ( yang ikhlas menyemangati dengan cara sederhana), Rudi Hartono Saragih (yang pertama kali memanggilku: Lae), Dani Sukma (Aku, Kau, Kita; yang selalu bersemangat tanpa pamrih), Win RG (yang meyakinkanku: Harus jadi yang terbaik, An!), Gol A Gong (yang mengingatkan: kamu hebat!), Ria Ristiana Dewi (yang tiada henti berkarya), Wahyu Wiji Astuti (yang ceritaceritanya memikat), Hesti Shartika (yang selalu manis puisipuisinya) Budianto dan Sri Rizki handayani (yang bahagia karena kata-kata), Fitri AB (yang puisi hujannya selalu indah), Ulfa Zaini (yang selalu doyan bercerita perjalanan), Keluarga kecilku KOMA (yang jadi api semangat. Terima kasih telah memberi energi ini), Sheila Gank ( kita kan selalu bersama: lihat, dengar dan rasakan), NBC Medan, Blogger SUMUT, Backpacker Medan (You’re never walk alone, salam 153

ransel!), Teman-teman penulis, di KOMPAK, KONTAN, KOMPENSASI, FLP Medan, FOKUS, LRS Medan, betapa sangat menyenangkan bisa mengenal pribadi dan rajutan karya kalian. Terimakasih pada Keluarga besar SMP AL-AZHAR. Bu Hj.Oly Dhana, Bu Hj.Agustina Siregar, Pak H. Sudjono, terimakasih banyak atas semuanya-yang tak kan terucap lagi oleh kata. Pak Fahmi Ilham, K’ Santi & Jelita (trims bimbingannya), Runa, Nila, Kang Hardi, Nisa, Uci, Bu Yulmi (trims motivasinya), bang Udin & kak Endah (mauliate bantuannya selama ini) Terimakasih untuk Civitas Universitas Muslim Nusantara Al-Washliyah Medan; Bapak Rahmat, Desril, Agus, Syahnan, Anggi, Bunda Rosmawati, Nurhidayah, Aisyah, (Alm) Rosdiana, Kawan berbagiku: Ilan Poel, Yusniati, Eva, Jili, Mena, Madi, Siska, Yuli, Ifah, Marati, Tiwi, Wulandari, Winda, Dwi, Rajab, para punggawa HMJ BSI UMN dan Sumut, Lab. Komputer UMN, Deli Nasheed, BenerANbisa fams! Dan Aeki T-sirt. Kepada Keluarga besar Mantel Siantar & teman-teman di Facebook yang pernah bersentuhan dan membaca karyaku. Sungguh, tanpa kalian aku mungkin tidak akan “getol” bercerita. Terima kasih, sungguh! Pematangsiantar, hari gerimis, di bulan paling romantis, 2013 Salam hangat, Anhar yang suka nulis

154

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” (Pramudya Ananta Toer)

155

Menggagas KOMA ( Komunitas Membaca dan Berkarya ) di kampusnya-UMN Al-Washliyah Medan. Lelaki taurus yang suka berimajinasi & membaca sejak kecil. Sejak medio 2009 intens menulis cerita-cerita pendek di media cetak & elektronik. Peramu mimpi, sebutan ini membuat dirinya terus mengembangkan keyakinan untuk menjadi orang yang berani bermimpi dan bersungguh-sungguh mewujudkan impian itu. Meski (acapkali diawali) dengan keterbatasan, walau harus dengan berkalikali jatuh. Baginya, orang yang punya impianlah yang benar-benar hidup. Penyuka anak-anak & Hujan ini berprinsip hidup: Ada, Bermakna dan Bahagia. Sangat senang bersahabat dengan orang yang mencintai dunia berbagi dan kemanusiaan. Silaturrahim bisa lewat facebook: muhammad anhar. Twitter : @ardamahira. blog: http://Peramumimpi.blogspot.com. Ia selalu mengingatkan pada adik-adiknya untuk terus berusaha, menikmati tiap-tiap proses yang ada. “Ikatlah Makna dan tinggalkan (sebanyak-banyaknya) jejak nyatamu di dunia!”

156

157

158

Catatan: …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… 159

160

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF