Anorexia Nervosa

December 19, 2017 | Author: Datten Bangun | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Anorexia Nervosa...

Description

BAB II KAJIAN PUSTAKA

II.1 Anorexia Nervosa II.1.1 Pengertian Anorexia Nervosa Davison, Neale, dan Kring (2004) mengartikan anorexia sebagai hilangnya nafsu makan, dan nervosa sebagai alasan-alasan emosional yang mendasari hilangnya nafsu makan tersebut. Anorexia nervosa adalah suatu gangguan yang dicirikan dengan menolak untuk mempertahankan berat badan normal, penderita memiliki ketakutan luar biasa bahwa dirinya akan mengalami kegemukan, dan merasa gemuk meskipun tubuhnya kurus (Halmi, 2003). Penggunaan istilah anorexia kurang tepat karena banyak penderitanya tidak banyak kehilangan nafsu makan bila dibandingkan dengan ketakutan akan meningkatnya berat badan (Achenbach, sitat dalam Neale, Davison, & Haaga, 1996). Sebaliknya, ketika berada pada masa melaparkan diri (membiarkan diri mereka kelaparan) kebanyakan penderita gangguan ini menjadi terfokus pada makanan. Mereka dapat membaca buku resep masakan dan mempersiapkan hidangan spesial untuk keluarga mereka (Davison et al., 2004).

II.1.2 Diagnosis Anorexia Nervosa Diagnosis adalah penentuan bahwa sekumpulan simtom atau masalah pada pasien mengindikasikan suatu gangguan tertentu (Davison et al., 2004).

15

16

Diagnosis anorexia nervosa berdasarkan Diagnostic Statistical Manual-IV Text Revision (DSM-IV TR) (sitat dalam Davison et al., 2004) adalah sebagai berikut: a. Menolak untuk mempertahankan berat badan yang normal, dalam artian memiliki berat badan yang kurang dari 85% dari berat badan normal berdasarkan usia dan tinggi badan individu. Pengurangan berat badan umumnya dilakukan dengan cara diet, meskipun purging dan olahraga berlebihan juga mungkin dilakukan. b. Mempunyai ketakutan yang sangat kuat terhadap kegemukan. Ketakutan ini tidak berkurang seiring dengan menurunnya berat badan. Penderita tidak pernah dapat merasa bahwa diri mereka telah cukup kurus. c. Adanya distorsi mengenai bentuk tubuh. Sekalipun penderita sudah kurus, penderita memandang bahwa diri mereka overweight atau setidaknya beberapa bagian dari tubuh mereka terlalu gemuk. Mereka sangat sering mengukur berat badan, mengukur bagian tubuh yang berbeda, dan memandang bayangan mereka di cermin dengan kritis. d. Amenorrhea. Pengurusan badan yang berlebihan pada perempuan yang telah menstruasi dapat menyebabkan amenorrhea yaitu tidak mendapatkan menstruasi (berhenti menstruasi). DSM IV-TR membedakan dua tipe anorexia nervosa (sitat dalam Davison et al., 2004), yaitu : a. Restricting type. Tipe ini ditandai dengan penurunan berat badan dengan cara membatasi asupan makanan secara berlebihan.

17

b. Binge-eating-purging type. Tipe anorexia nervosa yang ditandai dengan adanya binge eating, yaitu makan secara berlebihan dan purging, yaitu mengeluarkan makanan yang sudah dimakan dengan berbagai cara, seperti memuntahkan, meminum laxatives atau diuretics secara berlebihan.

Bentuk gangguan makan yang lain adalah bulimia nervosa. Menurut Brumberg (2000), bulimia berasal dari bahasa Yunani yang berarti lapar seperti sapi (ox hunger). Bulimia nervosa sering diartikan sebagai binge-purge syndrome yang terdiri dari episode makan berlebihan (overeating) dan diikuti dengan cara atau proses kompensasi atas jumlah makanan yang dikonsumsi. Proses kompensasi ini dapat berupa olahraga yang berlebihan atau tidak makan selama beberapa waktu, tetapi penderita bulimia biasanya mengeluarkan makanan dengan meminum laxatives atau memuntahkannya (Neale et al., 1996). Penderita bulimia nervosa memiliki beberapa kesamaan dengan penderita anorexia nervosa, yaitu ketakutan untuk menjadi gemuk, pemikiran yang tidak tepat terhadap bentuk dan ukuran tubuh. Berbeda dengan penderita anorexia nervosa, penderita bulimia nervosa tidak memiliki berat badan di bawah normal dan mereka menyadari bahwa pola makan mereka yang tidak terkontrol itu tidak normal. Mereka seringkali merasa jijik, tidak berdaya, dan panik pada periode binge (Neale et al., 1996; Weyandt, 2006). Dapat dibuat simpulan kecenderungan anorexia nervosa adalah suatu gangguan yang dicirikan dengan menolak untuk mempertahankan berat badan normal umumnya dilakukan dengan cara diet, meskipun purging dan olahraga berlebihan juga mungkin dilakukan, penderita memiliki ketakutan luar biasa

18

bahwa dirinya akan mengalami kegemukan, adanya distorsi kognitif merasa gemuk meskipun tubuhnya kurus, dan pengurusan badan yang berlebihan pada perempuan yang telah menstruasi dapat menyebabkan amenorrhea yaitu tidak mendapatkan menstruasi.

II.1.3 Pengukuran Kecenderungan Anorexia Nervosa Kecenderungan anorexia nervosa dapat diungkap dengan menggunakan Eating Attitute Test (EAT). EAT adalah skala yang digunakan untuk mengungkap kecenderungan anorexia nervosa yang disusun oleh Garner dan Garfinkel (1979). Aspek-aspek skala EAT antara lain: a. Food preoccupation, yaitu memiliki perhatian berlebih (terpaku) terhadap makanan. Contohnya ialah individu merasa bahwa makanan mengendalikan hidupnya. b. Body image for thinness yaitu citra tubuh untuk menjadi lebih kurus. Salah satu tandanya ialah merasa takut mengalami kelebihan berat badan. c. Vomiting and laxative abuse, yaitu upaya mempertahankan berat badan dengan menggunakan obat pencahar atau memuntahkan makanan. d. Dieting atau perilaku diet, yaitu membatasi asupan makanan yang dikonsumsi seperti mengkonsumsi makanan diet (diet foods) dan tidak mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung gula. e. Slow eating, yaitu makan secara perlahan sehingga waktu yang diperlukan lebih lama daripada orang lain dalam menghabiskan makanan. f. Clandestine eating, yaitu makan secara rahasia atau sembunyi-sembunyi.

19

g. Perceived social pressure to gain weight atau tekanan sosial untuk meningkatkan berat badan. Contohnya ialah individu merasa orang lain menginginkan dirinya untuk makan dalam jumlah yang lebih banyak.

The Eating Attitude Test (EAT) terdiri atas 40 aitem dengan nilai concurrent validity sebesar 0,89 dan nilai internal consistency reliability sebesar 0,94. Interpretasi skala ini adalah bila skor total > 30 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat kecenderungan anorexia nervosa (Garner & Garfinkel, 1979).

II.1.4 Onset dan Prevalensi Anorexia Nervosa Onset adalah asal mula munculnya suatu gangguan (Davison et al., 2004). Anorexia nervosa umumnya terjadi pada awal hingga pertengahan masa remaja, dan seringkali timbul setelah episode diet dan terjadinya stres kehidupan (Davison et al., 2004). Prevalensi adalah kemungkinan munculnya suatu gangguan pada suatu populasi dalam satu waktu (Davison et al., 2004). Beberapa tahun terakhir kemungkinan munculnya gangguan anorexia nervosa makin meningkat dan dapat dialami oleh siapapun (Sokol & Gray, 1998). Gangguan anorexia nervosa lebih sering dialami perempuan bila dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 1 : 10 (Santrock, 2003). Kebanyakan penderitanya (90% hingga 95%) adalah perempuan yang berasal dari kelas sosial menengah dan kelas sosial atas serta memiliki pemikiran yang sangat terfokus pada makanan (Howatt & Saxton, sitat dalam Dusek, 1996). Gangguan ini dapat terjadi pada laki-laki tetapi gambaran klinisnya sangat berbeda dengan anorexia pada perempuan. Kaum laki-laki penderita

20

anorexia yang jumlahnya tidak banyak menampilkan tingkat psikopatologi yang lebih tinggi, cenderung mencapai kondisi sangat gemuk (massively obese) sebelum menjadi sangat kurus, dan memiliki kemungkinan untuk sembuh yang lebih buruk (Brumberg, 2000).

II.1.5 Penyebab (etiology) Anorexia Nervosa Etiologi adalah semua faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan suatu penyakit atau gangguan (Davison et al., 2004). Terdapat beberapa penyebab anorexia nervosa, antara lain sebagai berikut:

II.1.5.1 Faktor Biologis II.1.5.1.1 Genetik Perempuan muda generasi pertama dari sebuah keluarga yang anggota keluarganya mengalami anorexia nervosa kemungkinan mengalami anorexia nervosa 10 kali lebih banyak bila dibandingkan dengan perempuan seusia yang mengalami anorexia nervosa tetapi anggota keluarganya tidak ada yang mengalami (Strober, Freeman, & Morrel, sitat dalam Davison et al., 2004). Studi anak kembar juga menunjukkan adanya pengaruh genetik terhadap gangguan ini (Fichter & Naegel; Holland et al., sitat dalam Davison et al., 2004). Gen memiliki pengaruh yang lebih besar bila dibandingkan dengan pengaruh lingkungan untuk terjadinya gangguan anorexia nervosa (Wade et al., sitat dalam Davison et al., 2004). Penelitian menunjukkan bahwa hal-hal yang mendukung eating disorder seperti ketidakpuasan terhadap tubuh, keinginan kuat untuk kurus,

21

binge, preokupasi (pemusatan perhatian) terhadap berat badan adalah bersifat menurun (herritable) (Klump, McGue, & Iacono; Rutherford et al., sitat dalam Davison et al., 2004). Studi tambahan mengungkap fakta bahwa faktor-faktor genetik tertentu dapat memberikan sumbangan dalam hubungan karakteristik kepribadian tertentu, seperti emosi-emosi yang negatif, dengan eating disorder (Klump, et al., sitat dalam Davison et al., 2004). Studi pemetaan genetik menunjukkan bahwa ada keterkaitan kromosom 1 pada penderita anorexia nervosa (Grice et al., sitat dalam Davison et al., 2004).

II.1.5.1.2 Otak Bagian otak yang mengatur perasaan lapar dan perilaku makan adalah hypothalamus. Penelitian menunjukkan bahwa kerusakan pada bagian lateral hypothalamus mengindikasikan menurunnya berat badan dan hilangnya nafsu makan pada hewan ujicoba (Hoebel & Teitelbaum, sitat dalam Davison et al., 2004). Diduga hypothalamus mempunyai peranan terhadap munculnya anorexia nervosa. Beberapa hormon yang diatur oleh hypothalamus, seperti kortisol didapatkan dalam kondisi yang tidak normal pada penderita anorexia nervosa. Namun, kondisi kortisol yang tidak normal ini bukan penyebab terjadinya anorexia nervosa. Sebaliknya, kelainan kortisol disebabkan karena tubuh menderita kelaparan yang berlebihan yang akan kembali normal kalau berat badan bertambah (Doerr et al.; Stroving et al., sitat dalam Davison et al., 2004). Pada penelitian selanjutnya kaitan antara hypothalamus dan anorexia nervosa menjadi

22

diragukan karena hypothalamus yang dilukai pada hewan uji menunjukkan ketidaktertarikan pada makanan dan berkurangnya nafsu makan. Sedangkan pada penderita anorexia nervosa, mereka sebenarnya masih merasa lapar dan tertarik akan makanan (Davison et al., 2004). Endogeneous opioids adalah zat yang diproduksi oleh tubuh yang dapat mengurangi rasa sakit, meningkatkan mood, dan menekan selera makan pada mereka yang memiliki berat badan yang rendah. Opioids dihasilkan saat seseorang dalam kondisi kelaparan dan memainkan peranan dalam memunculkan anorexia nervosa. Kondisi kelaparan pada penderita anorexia nervosa meningkatkan endogenous opiods yang secara positif menghasilkan keadaan euphoria (Marazzi & Luby, sitat dalam Davison et al., 2004). Lebih lanjut, olahraga berlebihan pada beberapa penderita anorexia nervosa meningkatkan opiods dan menguatkan munculnya perilaku tersebut (Davis; Epling & Pierce, sitat dalam Davison et al., 2004). Beberapa penelitian memfokuskan pada peranan neurotransmitter yang terkait dengan perilaku makan dan perasaan kenyang. Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa serotonin menimbulkan perasaan kenyang. Oleh karena itu, penderita dalam periode binge dapat dikatakan sebenarnya sedang kekurangan serotonin yang menyebabkan mereka tidak merasa kenyang. Beberapa studi memberikan hasil rendahnya tingkat serotonin pada penderita anorexia nervosa (Kaye, Ebert, Raleigh, & Lake, sitat dalam Davison et al., 2004). Penderita anorexia nervosa yang belum mencapai berat badan normal menunjukkan rendahnya tingkat serotonin dibanding dengan penderita yang telah kembali

23

memperoleh berat badan normal (Attia et al.; Ferguson et al.; Kaye et al., sitat dalam Davison et al., 2004). Data-data lain menunjukkan bahwa kekurangan serotonin sangat terkait dengan anorexia nervosa. Obat antidepresan yang diyakini efektif diberikan pada penderita anorexia nervosa mempunyai efek meningkatkan serotonin (Davison et al., 2004).

II.1.5.2 Pengaruh Sosiokultural (Davison et al., 2004) Standar sosial mengenai tubuh yang ideal, khususnya perempuan sangat bervariasi sepanjang sejarah. Pada abad 17an, tubuh yang ideal adalah tubuh yang sedikit gemuk. Hingga saat ini, anggapan mengenai bentuk tubuh ideal dari waktu ke waktu menunjukkan adanya kecenderungan untuk menjadi semakin kurus. Hal ini juga berlaku bagi laki-laki meskipun tidak sekuat pada perempuan. Paradoks yang terjadi adalah, di saat budaya semakin menekankan kekurusan, jumlah orang yang menjadi overweight meningkat dari tahun ke tahun. Kondisi ini juga disebabkan adanya perubahan dalam industri makanan dan perubahan gaya hidup atau pola makan. Saat masyarakat mulai menyadari pentingnya kesehatan dan bahaya kegemukan, diet untuk mengurangi berat badan menjadi semakin umum. Persentase orang yang berdiet terus meningkat dari tahun ke tahun, baik pada perempuan maupun laki-laki namun persentase perempuan lebih banyak bila dibanding dengan persentase laki-laki. Standar sosial yang menekankan pada

24

bentuk tubuh yang kurus sebagai ideal memainkan peranan penting dalam perkembangan gangguan ini. Perempuan yang takut menjadi gemuk biasanya mempunyai perasaan tidak puas terhadap tubuh mereka. Ketidakpuasan dan tingginya IMT (Indeks Massa Tubuh) merupakan faktor penyumbang terhadap gangguan anorexia nervosa. Tubuh ideal yang kurus seperti yang distandarkan oleh masyarakat menyebabkan orang belajar untuk takut menjadi atau merasa gemuk. Menjadi gemuk memiliki konotasi yang negatif, contohnya seperti orang yang tidak mampu mengendalikan diri atau tidak sukses. Orang yang gemuk cenderung dianggap sebagai kurang pandai dan mempunyai stereotipe sebagai orang yang kesepian, malu, dan rakus akan afeksi dari orang lain. Perubahan sosial kultural menyebabkan tubuh perempuan dilihat dengan lensa seksual dan dampaknya perempuan banyak dinilai berdasarkan tubuhnya. Tubuh perempuan dijadikan sebuah objek dan ini menjadikan perempuan melihat dirinya sebagai objek (self objectifity), perempuan melihat tubuhnya menurut pandangan orang lain. Perasaan malu dapat timbul saat terdapat ketidaksesuaian antara diri ideal dan diri sebagai objek. Objektifikasi diri dan perasaan malu akan tubuh sangat terkait dengan munculnya anorexia nervosa. a. Gender influences Eating disorder lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Sosiokultural mempunyai standar bentuk tubuh dan penilaian terhadap perempuan banyak dipengaruhi dari bentuk tubuhnya sedangkan laki-laki lebih dihargai

25

karena kemampuan-kemampuan mereka (Garner et al., sitat dalam Davison et al., 2004). b. Cross cultural studies Eating disorder lebih sering muncul pada negara-negara dengan masyarakat industrialis daripada negara-negara nonindustrial. Selain itu terdapat perbedaan persepsi mengenai kekurusan dan citra tubuh pada beberapa negara barat. Beberapa kebudayaan justru menghargai perempuan yang mempunyai badan yang agak gemuk karena hal itu menandakan kesuburan dan kesehatan. Perbedaan budaya menyebabkan prevalensi eating disorder juga bervariasi sehingga hanya bisa diperkirakan dan terkadang masih diperdebatkan. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa bila perempuan yang berasal dari masyarakat dengan prevalensi gangguan makan yang rendah pindah ke masyarakat dengan prevalensi gangguan makan yang tinggi, maka kemungkinan besar akan mengalami gangguan makan akan makin besar (Nasser; Yates, sitat dalam Davison et al., 2004).

II.1.5.3 Kepribadian Kepribadian mendasari munculnya gangguan anorexia nervosa, seperti self esteem yang rendah dan sifat perfeksionisme. Anorexia nervosa juga mungkin dialami seseorang sebagai sarana pemenuhan kebutuhan, seperti perasaan efektif yang diperoleh saat berdiet atau menekan seksualitas dengan menjadi sangat kurus.

26

Sebuah penelitian dilakukan untuk melihat kepribadian sebelum seseorang mengalami anorexia nervosa. Studi tersebut menunjukkan bahwa pasien anorexia nervosa memiliki kepribadian perfeksionis, pemalu, dan penurut (Vitousek & Manke, sitat dalam Davison et al., 2004). Beberapa studi yang lain mengukur kepribadian dengan Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI) saat seseorang sedang mengalami anorexia nervosa. Ditemukan kesamaan antara penderita anorexia nervosa dan bulimia nervosa, yaitu tinggi pada neuroticism dan anxiety, dan memiliki self esteem yang rendah. Mereka juga memiliki skor yang tinggi berkaitan dengan tradisionalisme yang menandakan adanya pengaruh keluarga dan standar sosial yang kuat (Vitousek & Manke, sitat dalam Davison et al., 2004).

II.1.5.4 Karakteristik Keluarga Anorexia nervosa disebabkan adanya pola pengasuhan yang menyebabkan munculnya perasaan tidak kompeten, tidak berdaya, helplessness, tidak efektif dalam kehidupan dan sebagainya. Anak-anak seperti ini menjadi bingung akan siapa dirinya dan berdiet dapat dijadikan sumber perasaan kontrol dan identitas diri (Davison et al., 2004). Lingkungan keluarga tertentu mengembangkan metode penyimpangan pasif dan mempersulit anggota untuk menunjukkan individualitasnya (Minuchin, sitat dalam Brumberg, 2000). Orang tua dari penderita anorexia seringkali tidak mengembangkan kemandirian dan perasaan akan self-determined identity. Mereka mengontrol kehidupan remaja dan mengembangkan ketergantungan. Akibatnya,

27

remaja yang berkecenderungan menderita anorexia merasa bahwa tekanan dari luar mengontrol hidup mereka (Dusek, 1996). Penelitian menunjukkan bahwa orangtua yang anaknya mengalami anorexia nervosa ini kurang kemampuan komunikasi, seperti kurangnya kemampuan untuk mengklarifikasi pernyataan-pernyataan dari orang lain yang tidak jelas (Van Den Broucke, Vandereycken, & Vertommen, sitat dalam Davison et al., 2004). Menurut Minuchin (sitat dalam Davidson et al., 2004) anak-anak dengan eating disorder hidup dalam keluarga yang menunjukkan karakteristik berikut: a. keterikatan, keluarga memiliki bentuk ekstrim keterlibatan yang berlebihan dan keintiman. Orangtua mengambil keputusan untuk anak-anak karena mereka merasa yakin bahwa mereka mengerti apa yang diinginkan anak-anak mereka, b. overprotektif, anggota keluarga memiliki tingkat kepedulian yang ekstrim terhadap kesejahteraan anggota keluarga satu sama lain, c. rigiditas, keluarga cenderung mempertahankan kondisi yang sudah ada dan menghindari adanya perubahan, misalnya seperti tuntutan yang diajukan remaja untuk memberikan otonomi, d. kurangnya penyelesaian konfllik, keluarga yang cenderung menghindari konflik atau berada dalam situasi konflik yang kronis. Pandangan Minuchin (sitat dalam Davidson et al., 2004) anggota keluarga yang mengalami anorexia nervosa disebabkan karena mengalihkan perhatian dari berbagai konflik yang terjadi dalam hubungan antar anggota keluarga. Perempuan yang memiliki relasi negatif dengan kedua orangtuanya cenderung menunjukkan pola makan yang buruk bila dibandingkan dengan

28

perempuan yang memiliki relasi positif dengan salah satu atau kedua orangtuanya (Swarr & Richards, sitat dalam Santrock, 2003). Relasi orangtua dan anak yang tidak harmonis, berkaitan dengan meningkatnya perilaku diet pada perempuan di awal masa remaja (Archibald, Graber, & Brook-Gunn, sitat dalam Santrock, 2003). Self report mengenai keadaan keluarga pada penderita anorexia nervosa menyatakan bahwa adanya konflik dalam keluarga memiliki korelasi yang tinggi dengan anorexia nervosa yang dialami. Relasi dalam keluarga yang tidak harmonis juga nampaknya berkaitan dengan gangguan ini karena dalam relasi yang tidak harmonis, seseorang tidak memiliki dukungan sosial yang cukup. Kaitan antara karakteristik keluarga dan anorexia nervosa masih belum jelas manakah diantara keduanya yang merupakan faktor penyebab dan mana yang merupakan akibat (Wonderlich & Swift, sitat dalam Davison et al., 2004).

II.1.5.5 Kekerasan pada Masa Kecil (Child Abuse) Beberapa studi menyatakan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan pada masa kecil mempunyai kecenderungan lebih tinggi untuk mengalami anorexia nervosa. Namun adanya kekerasan pada masa kecil ini juga belum terlalu jelas keterkaitannya karena kekerasan sendiri sangat bervariasi sifatnya. Kekerasan yang nampaknya paling berkaitan dengan anorexia nervosa adalah kekerasan yang diterima saat usia masih sangat muda dan dilakukan oleh anggota keluarga (Everill & Waller, sitat dalam Davison et al., 2004).

29

II.1.5.6 Pandangan Kognitif Perilakuan Ketakutan akan kegemukan dan body image yang terdistorsi memotivasi seseorang untuk membiarkan dirinya kelaparan dan menurunnya berat badan memperkuat perilaku tersebut. Perilaku mempertahankan kekurusan memperoleh penguatan negatif berupa berkurangnya kecemasan mengenai kegemukan. Penguatan positifnya adalah perasaan memiliki kontrol terhadap diri (Fairburn, Shatran, & Cooper; Garner, Vitousek, & Pike, sitat dalam Davison et al., 2004). Faktor kepribadian, sosiokultural, teman kelompok, dan orangtua juga berperan dalam penyimpangan kognitif mengenai bentuk tubuh yang ideal. Perfeksionisme dan rasa ketidakmampuan diri dapat membuat seseorang sangat khawatir akan penampilannya dan menjadikan diet sebagai penguat yang berpengaruh. Melihat gambar-gambar di media yang menunjukkan kelangsingan sebagai

sesuatu

yang

ideal,

kondisi

kegemukan,

dan

kecenderungan

membandingkan diri sendiri dengan orang lain yang sangat menarik berkontribusi dalam ketidakpuasan seseorang terhadap bentuk tubuhnya (Stormer & Thompson, sitat dalam Davison et al., 2004). Kritik dari teman sebaya dan orangtua tentang berat badan juga menjadi faktor penting untuk menghasilkan dorongan yang kuat untuk langsing dan citra tubuh yang terganggu (Paxton et al.; Thompson et al., sitat dalam Davison et al., 2004).

II.1.6 Dampak Anorexia Nervosa Anorexia nervosa dapat mengakibatkan pengaruh yang kurang baik terhadap tubuh. Dampak dari gangguan anorexia nervosa antara lain tekanan darah

30

menurun, detak jantung menurun, massa tulang berkurang, kulit kering, kuku rusak, masalah gastrointestinal, perubahan hormon, beberapa pasien rambutnya rontok, dan cairan tubuh berkurang (Davison et al., 2004). Drevelengas dan koleganya (sitat dalam Weyandt, 2006) menyatakan bahwa penderita anorexia nervosa dapat mengalami pembesaran ventricel dan sulci. Katzman, Zipursky, Lambe, dan Mikulis (sitat dalam Weyandt, 2006) mengukur volume cairan cerebral gray dan white matter pada remaja perempuan penderita anorexia nervosa dengan MRI dan hasilnya menunjukkan di bawah rata-rata normal. Tubuh dapat menjadi semakin lemah dan malas, lebih mudah lelah, jantung lemah, bahkan dapat mengakibatkan kematian. Anorexia nervosa merupakan gangguan yang dapat menyebabkan kematian. Angka kematian yang disebabkan oleh gangguan anorexia nervosa sepuluh kali lebih besar dibandingkan populasi umum yang tidak mengalami gangguan dan dua kali lebih besar bila dibandingkan dengan penderita gangguan psikologis lain (Davison et al., 2004). Beberapa studi menunjukkan bahwa angka kematian pada penderita anorexia nervosa besarnya sekitar lima persen setelah gangguan muncul selama 5-8 tahun, setelah dua puluh tahun sejak gangguan muncul tingkat kematian berkisar antara 13-20%. Penyebab kematian biasanya adalah kelaparan, gangguan pada elektrolit tubuh, dan bunuh diri (Sokol & Gray, 1998).

II.1.7 Prognosis Anorexia Nervosa Prognosis adalah kemungkinan suatu gangguan untuk sembuh (Davison, et al., 2004). Dua per tiga penderita anorexia mengalami perkembangan atau dapat

31

disembuhkan, sisanya tetap mengalami gangguan yang kronis (Coupey, sitat dalam Dusek, 1996). Data lain menyebutkan sekitar tujuh puluh persen penderita anorexia nervosa dapat menjadi sembuh. Durasi penyembuhan bersifat relatif, bisa berlangsung selama enam sampai tujuh tahun dan kekambuhan umumnya terjadi sebelum tercapainya pola makan yang stabil dan dipertahankannya berat badan (Strober et al., sitat dalam Davison et al., 2004). Proses kesembuhan untuk penderita anorexia nervosa sangat tergantung pada beberapa kondisi, diantaranya durasi gangguan yang telah dialami, usia munculnya gangguan, seberapa banyak kehilangan berat badan, perilaku memuntahkan makanan, relasi interpersonal, dan penanganan yang diberikan (Sokol & Gray, 1998).

II.1.8 Penanganan Anorexia Nervosa Penanganan anorexia nervosa terbagi ke dalam dua bagian karena gangguan ini melibatkan faktor fisik dan psikologis (Dusek, 1996). Aspek pertama bertujuan untuk mengatasi stres terhadap kondisi fisik pada individu dengan harapan hal ini dapat memperbesar tingkat keselamatannya. Program modifikasi perilaku ditujukan untuk meningkatkan pemasukan makanan telah terbukti manfaatnya (Halmi, sitat dalam Dusek, 1996). Aspek kedua berfokus pada faktor psikologis yang

mendasari

munculnya

anorexia

nervosa.

Bagian

ini

mencakup

mengembangkan kepribadian yang merasa memiliki kontrol, konsep diri yang kuat, relasi yang sesuai dengan anggota keluarga yang dapat dilibatkan dalam penanganan, dan perasaan mampu bertanggung jawab atas hidupnya.

32

Terdapat beberapa bentuk penanganan (treatment) bagi penderita anorexia nervosa antara lain dengan medikasi (pemberian obat), penanganan psikologis, dan gabungan antara medikasi dan penanganan psikologis (Sokol & Gray, 1998; Davison et al., 2004). Jenis obat yang sering digunakan untuk menangani anorexia nervosa antara lain jenis antidepresan seperti fluoxetine (prozac) dengan dosis antara 20 hingga 60 mg. Pengobatan menunjukkan hasil peningkatan yang signifikan untuk membantu pasien meningkatkan berat badannya dan menurunkan simtom utama gangguan. Dalam melakukan perbaikan nutrisi harus dipastikan adanya penyediaan yang seimbang dalam kadar protein, karbohidrat, lemak, kalsium, dan vitamin D (Davison et al., 2004). Penanganan psikologis dapat berupa terapi kognitif perilakuan, terapi interpersonal, dan terapi keluarga. Terapi kognitif perilakuan bertujuan untuk merestrukturisasi citra tubuh negatif yang dimiliki penderita dan memperbaiki pola makan. Terapi interpersonal ditekankan pada penderita yang mengalami anorexia nervosa disebabkan karena konflik interpersonal yang terjadi, misalnya dengan teman atau anggota keluarga. Terapi keluarga digunakan untuk membantu penderita bila pola relasi dalam keluarga yang mendasari munculnya gangguan anorexia nervosa.

II.2 Remaja II.2.1 Definisi dan Batasan Usia Remaja Remaja (adolescence) berasal dari kata adolescere dalam bahasa Latin, yang berarti bertumbuh (to grow up) atau tumbuh menjadi dewasa (to grow to maturity). Adolescence juga dipandang sebagai tahap dimana individu melakukan

33

adaptasi (adapt) dan penyesuaian (adjust) pada perilaku masa anak-anak ke bentuk perilaku dewasa yang dapat diterima secara kultural. Remaja adalah transisi perubahan biologis antara masa anak-anak dan dewasa. Masa remaja juga dilihat sebagai tahap dimana individu diharapkan mampu beradaptasi dan menyesuaikan perilaku masa anak-anak menjadi perilaku manusia dewasa (Dusek, 1996). Masa remaja (adolescence) adalah periode awal perkembangan transisi dari masa anak-anak hingga masa awal dewasa, yang dimasuki pada usia sekitar 10-12 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun (Santrock, 2003).

II.2.2 Proses Perkembangan Remaja II.2.2.1 Perkembangan Fisik Pertumbuhan pada anak laki-laki terjadi kira-kira dua tahun lebih lambat daripada pada anak-anak perempuan. Anak-anak perempuan rata-rata memulai pertumbuhan fisiknya pada usia 10,5 tahun sedangkan anak laki-laki rata-rata pada usia 12,5 tahun. Perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi pada masa remaja adalah: tinggi badan, berat badan, otot, dan organ-organ seksual (Dusek, 1996). Sedangkan perubahan internal meliputi sistem pencernaan, sistem peredaran darah, sistem pernafasan, sistem endokrin, dan jaringan tubuh (Hurlock, 1999). Pertumbuhan fisik ini juga mempengaruhi perkembangan kepribadian. Terdapat perbedaan pandangan remaja laki-laki dan perempuan bila pertumbuhan mereka lebih lambat atau lebih cepat dari teman-teman seusianya (Dusek, 1996).

34

Tabel 1 menggambarkan dampak pertumbuhan fisik yang lebih awal atau terlambat pada remaja laki-laki dan remaja perempuan.

Tabel 1 Dampak Pertumbuhan Fisik yang Lebih Awal atau Terlambat pada Remaja LakiLaki dan Remaja Perempuan Pertumbuhan Fisik Lebih awal

Lebih lambat

Dampak Pada Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Cenderung positif, Cenderung negatif karena dianggap lebih maskulin, kurang mempunyai teman untuk saling menguntungkan dalam menceritakan perubahan kompetisi-kompetisi fisik yang terjadi. olahraga, lebih populer, self esteem lebih tinggi. Kemungkinan patologis seperti kecenderungan depresi dan gangguan makan lebih besar. Cenderung negatif, dipandang kurang kompeten, kurang bisa berkompetisi dalam bidang olahraga, kurang diberi kesempatan memimpin, self esteem lebih rendah.

Tidak terlalu mempengaruhi proses perkembangan.

Remaja memperlihatkan minat yang semakin besar pada citra tubuhnya (Santrock, 2003). Hanya sedikit remaja yang mengalami kepuasan terhadap bentuk

tubuh

(Hurlock,

1999).

Kecenderungan

untuk

menjadi

gemuk

mengganggu sebagian besar remaja. Remaja menyadari bahwa daya tarik fisik berperan penting dalam hubungan sosial. Kesadaran akan adanya reaksi sosial terhadap berbagai bentuk tubuh menyebabkan remaja tidak puas terhadap bentuk tubuhnya yang tidak sesuai dengan standar budaya yang berlaku.

35

Ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh ini dapat menyebabkan body image negative dan kecenderungan gangguan makan (eating disorder). Citra tubuh (body image) adalah gambaran mental yang dimiliki seseorang tentang tubuhnya yang meliputi pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, penilaian-penilaian, sensasi-sensasi, kesadaran, dan perilaku yang terkait dengan tubuhnya (Rice, sitat dalam Sukamto, 2006). Citra tubuh merupakan suatu konsep psikologis yang bersifat subjektif, sehingga konsep ini sebenarnya tidak tergantung pada penampilan fisik. Jadi, seseorang yang telah berhasil menurunkan berat badan mungkin saja masih memiliki citra tubuh yang negatif (Rosen, sitat dalam Sukamto, 2006). Secara lebih spesifik Littleton dan Ollendick (sitat dalam Skemp-Arlt, Rees, Mikat, & Seebach, 2006) menyatakan bahwa citra tubuh negatif didefinisikan sebagai perasaan subjektif individu terkait dengan ketidakpuasan terhadap tubuh secara fisik. Citra tubuh yang negatif merupakan salah satu pencetus gangguan anorexia nervosa (Davison et al., 2004). Kecenderungan gangguan makan seperti anorexia nervosa, bulimia nervosa, ataupun binge eating umumnya muncul pada masa remaja (Dusek, 1996; Davison et al., 2004).

II.2.2.2 Perkembangan Kognitif Berdasarkan tahap perkembangan kognitif Piaget, remaja telah memasuki tahap pemikiran operasional formal. Remaja lebih mampu untuk berpikir abstrak, idealistis, dan logis daripada pemikiran operasional konkret. Remaja semakin mampu menggunakan pemikiran deduktif hipotesis. Masa remaja ialah masa semakin meningkatnya pengambilan keputusan. Kemampuan untuk mengambil

36

keputusan tidak menjamin keputusan itu akan diterapkan, karena dalam kehidupan nyata, luasnya pengalaman adalah penting. Remaja perlu lebih banyak peluang untuk mempraktekkan dan mendiskusikan keputusan yang realistis (Santrock, 2003).

II.2.2.3 Perkembangan Sosioemosional Perkembangan sosioemosional remaja terutama dipengaruhi oleh keluarga, terutama orang tua, dan teman-teman sebaya. Remaja memang memasuki suatu dunia yang terpisah dari orang tua, tetapi attachment dengan orang tua meningkatkan kemungkinan remaja untuk menjadi kompeten secara sosial dan menjelajahi dunia sosial yang lebih luas dengan cara-cara yang sehat. Konflik dengan orangtua pada taraf yang ringan dapat berfungsi untuk meningkatkan otonomi dan identitas, tetapi pada taraf yang berat beberapa kasus menunjukkan adanya dampak negatif pada remaja. Tekanan yang dialami remaja tidak hanya bersumber dari relasinya dengan orang tua tetapi juga dengan rekan-rekan sebayanya. Tekanan untuk mengikuti teman-teman sebaya sangat kuat pada masa remaja. Keanggotaan dalam kelompok atau klik tertentu berpengaruh terhadap peningkatan harga diri. Di sisi lain, remaja yang mandiri juga memperlihatkan harga diri yang tinggi (Santrock, 2003). Perbedaan pola emosi remaja dan anak-anak terletak pada pengendalian remaja terhadap ungkapan emosi. Remaja disebut memiliki kematangan emosi bila tidak ’meledakkan’ emosi di hadapan orang lain, tetapi menunggu saat dan tempat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih

37

dapat diterima. Kriteria kematangan yang lain adalah remaja harus menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional (Hurlock, 1999). Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah. Penyesuaian yang dilakukan remaja disertai dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru, dan nilai-nilai baru dalam dukungan sosial, penolakan sosial, dan seleksi pemimpin (Hurlock, 1999).

II.2.2.4 Perkembangan Moral Salah satu tugas perkembangan penting yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok dan membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti masa anak-anak (Hurlock, 1999). Bila ditinjau dari tahap perkembangan moral Kohlberg, masa remaja sudah memasuki tahap conventional¸ penerimaan sosial dan pemenuhan harapan orang lain lebih menjadi fokus penilaian moral daripada konsekuensi fisik. Perilaku pada tahap ini berbeda dengan tahap sebelumnya (preconventional level) karena anak tidak hanya bertindak secara konsisten dengan harapan orang lain, tetapi juga mengidentifikasi diri dan terlibat dalam aturan-aturan orang lain sekaligus menganggap penting penilaian yang dibuat oleh orang lain (Dusek, 1996). Remaja yakin bahwa harus ada kelenturan dalam keyakinan moral sehingga dimungkinkan

38

adanya perbaikan dan perubahan standar moral apabila menguntungkan anggota kelompok secara keseluruhan. Remaja menyesuaikan diri dengan standar sosial dan ideal yang diinternalisasi. Pada tahap ini moralitas didasarkan pada rasa hormat kepada orang lain dan bukan pada keinginan yang bersifat pribadi (Hurlock, 1999).

II.2.3 Ciri-Ciri Umum Masa Remaja Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan tahapan perkembangan yang lain. Ciri-ciri tersebut antara lain (Hurlock, 1999): a. Masa remaja sebagai periode yang penting. Perkembangan fisik dan mental yang dialami oleh remaja membutuhkan penyesuaian mental, perlunya membentuk sikap, nilai, dan minat baru. b. Masa remaja sebagai periode peralihan. Setiap periode peralihan status individu tidak jelas dan terdapat keraguan peran yang harus dilakukan. Pada masa ini remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan orang dewasa. Pada umumnya timbul pertentangan dan perselisihan pendapat maupun pandangan antara remaja dan orang tua. Di satu sisi remaja memiliki keinginan hebat untuk melepaskan diri dari orang tua, di sisi lain, mereka tidak berani mengambil resiko dari tindakan meninggalkan lingkungan yang aman dalam keluarga.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan. Pertama meningkatnya emosi. Kedua perubahan secara fisik, minat, dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial. Ketiga perubahan nilai-nilai yang dimiliki. Keempat sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan. Remaja menginginkan

39

dan menuntut kebebasan, tetapi seringkali takut bertanggungjawab dan meragukan kemampuan diri untuk mengatasi tanggungjawab tersebut. d. Masa remaja sebagai usia bermasalah. Setiap periode perkembangan memiliki masalah, namun masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi. Kondisi ini disebabkan oleh karena sepanjang masa anak-anak masalah sebagian besar diselesaikan orangtua sehingga remaja tidak memiliki pengalaman untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Namun remaja merasa dirinya telah mandiri sehingga mereka berkeinginan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri dan menolak bantuan orangtua dan orang dewasa lainnya. e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas. Masa remaja mulai terbentuk identitas diri yang bisa membedakan individu dengan orang lain. Namun pada masa remaja ini aktivitas berkelompok masih cukup besar dilakukan oleh remaja. Sehingga bila remaja tidak mampu mengembangkan identitas dirinya akan terjadi krisis identitas. Beberapa cara yang umumnya dilakukan remaja untuk mengembangkan identitas dirinya adalah menggunakan simbol status seperti menggunakan mobil, pakaian, dan pemilikan barang-barang lain yang mudah terlihat. Dengan cara ini remaja menunjukkan identitas dirinya sebagai individu dan mempertahankan identitas dirinya sebagai anggota kelompok sebaya. f. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistis. Remaja cenderung melihat dirinya dan orang lain sesuai dengan cara pandangnya sendiri. Sehingga seringkali remaja menjadi kecewa ketika idealisme atau keinginannya tidak sesuai dengan kenyataan.

40

g. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa. Remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan identitas belasan tahun dengan semakin mendekatnya usia dewasa. Remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dikaitkan dengan usia dewasa seperti merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat terlarang, dan berhubungan seksual.

II.2.4 Tugas Perkembangan Masa Remaja Tugas perkembangan masa remaja menurut Havighurst (sitat dalam Hurlock, 1999): a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik laki-laki maupun perempuan. Hakikat tugas ini meliputi: 1.

Belajar melihat kenyataan, remaja wanita sebagai wanita dewasa dan remaja pria sebagai pria dewasa.

2.

Berkembang menjadi orang dewasa di antara orang dewasa lainnya.

3.

Belajar memimpin orang lain tanpa mendominasi dan bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama.

b. Mencapai peran sosial laki-laki dan perempuan. Hakikat tugas ini adalah remaja dapat menerima dan belajar peran model sosial sebagai pria atau wanita yang diakui oleh masyarakat. c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan secara efektif. Hakikat tugas ini adalah remaja merasa bangga, puas, serta menggunakan dan memelihara fisiknya secara efektif. d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab.

41

e. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa lainnya. Tugasnya meliputi: 1.

Membebaskan diri dari sikap dan perilaku yang kekanak-kanakan dan bergantung pada orang lain.

2.

Mengembangkan afeksi (cinta kasih) dan sikap respek kepada orangtua dan orang dewasa lainnya tanpa bergantung (terikat) kepadanya.

f. Mempersiapkan karir ekonomi. Hakikat tugas ini adalah memilih suatu pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya dan mempersiapkan diri dengan pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan bidang pekerjaan tersebut. g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga. h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai dasar untuk berperilaku

II.3 Terapi Kognitif Perilakuan II.3.1 Definisi Terapi Kognitif Perilakuan Terapi kognitif perilakuan merupakan gabungan antara terapi kognitif dan terapi perilaku. Terapi perilaku menerapkan prinsip perilaku untuk memodifikasi perilaku manusia yang tidak adaptif. Terapi kognitif menekankan pada asumsi bahwa masalah psikologis yang dialami oleh individu didasari oleh adanya kesalahan dalam proses berpikir (Hazlett-Stevens & Craske, 2002). Terapi kognitif perilakuan didasarkan pada asumsi bahwa perilaku manusia secara resiprok dipengaruhi oleh pemikiran, perasaan, proses fisiologis, serta konsekuensinya pada perilaku (Craighead et al., 1994). Melalui terapi kognitif

42

perilakuan, penderita dibantu untuk mengenali pola pemikiran yang negatif dan perilaku yang tidak adaptif (Hawton, Salkovskis, Kirk, & Clark, 1991). Dapat disimpulkan bahwa terapi kognitif perilakuan adalah teknik terapi yang bertujuan mengubah perilaku yang kurang adaptif dengan cara mengubah penyimpangan pemikiran dan mempelajari perilaku yang lebih adaptif.

II.3.2 Proses dalam Terapi Kognitif Perilakuan Terdapat dua komponen terapi kognitif perilakuan, yaitu behavioral activation dan automatic thoughts (Jacobson, Dobson, Truax, Addis, Koerner, Gollan, Gortner, & Prince, sitat dalam Yuwanto, 2006). Behavioral activation (BA), yaitu proses mengidentifikasi perilaku yang maladaptif dan mempelajari perilaku yang lebih adaptif. Automatic thoughts (AT), yaitu proses yang mengidentifikasi penyimpangan pemikiran dan melakukan restrukturisasi pemikiran. Jadi bila ingin mengubah perilaku yang maladaptif, maka tidak hanya sekedar mengubah perilakunya saja, namun juga menyangkut aspek kognitifnya. Terapi kognitif perilakuan terdiri dari berbagai prosedur yang berbeda-beda gabungan dari terapi kognitif dan terapi perilaku, termasuk di dalamnya antara lain adalah relaksasi, kontrol diri, penangkapan pemikiran, pengujian pemikiran, dan restrukturisasi kognitif. Terdapat beberapa macam teknik terapi kognitif perilakuan yang dapat diterapkan pada beberapa macam gangguan psikologis, namun prinsipnya tetap sama. Tujuan terapi kognitif perilakuan adalah mengubah perilaku yang kurang adaptif dengan cara mengubah penyimpangan pemikiran dan mempelajari

43

perilaku yang lebih adaptif (Craighead et al., 1994). Misalnya gangguan psikologis dipahami sebagai hasil mekanisme belajar dan pemrosesan informasi (Hazlett-Stevens & Craske, sitat dalam Bond & Dryden, 2002). Penanganan untuk gangguan psikologis tertentu dengan menggunakan pendekatan terapi kognitif perilakuan menekankan pada perubahan perilaku dengan mempertimbangkan pada kondisi lingkungan dan kondisi internal. Perubahan perilaku yang tidak adaptif harus disertai dengan perubahan kognitif (Goldfried & Davison, sitat dalam Bond & Dryden, 2002). Restrukturisasi kognitif merupakan istilah umum untuk mengubah pola pemikiran yang diduga menyebabkan gangguan emosi atau perilaku (Davison et al., 2004). Pengenalan terhadap kognisi yang dimiliki oleh individu merupakan hal yang penting dalam restrukturisasi kognitif untuk menemukan pemikiran yang menyimpang, menjadi dasar untuk perubahan pemikiran dan perilaku. Prinsip umumnya adalah klien memonitor perilakunya meliputi menetapkan perilaku yang hendak diubah dan mencatat perilakunya, menerapkan teknik intervensi terapi kognitif perilakuan, dan memberikan reward atau tidak tergantung pada kebutuhan (Taylor, 2006). Terapi kognitif perilakuan biasanya berlangsung singkat dan dibatasi oleh waktu, umumnya sekitar 10-20 sesi. Kebanyakan terapi ini menghasilkan perbaikan secara klinis yang signifikan dan pengurangan simtom-simtom bila dibandingkan dengan psikoterapi lainnya. Kelebihan terapi kognitif perilakuan bila dibandingkan dengan teknik intervensi lain adalah lebih efisien, biaya yang lebih terjangkau, dan keefektifannya. Terapi kognitif perilaku memungkinkan untuk menerapkan penanganan individual ke dalam bentuk kelompok, materi

44

intervensi bisa diterapkan secara mandiri oleh klien dengan didampingi pemberi intervensi, materinya dapat berupa biblioterapi, atau materi-materi yang bisa diberikan melalui program komputer (computer assist therapy). Jumlah sesi dalam terapi kognitif perilakuan sifatnya fleksibel bisa ditambah atau dikurangi bila diperlukan (Bond & Dryden, 2002). Garner dan Bemis (sitat dalam Bowers, Evans, Le Grange, & Andersen, 2003) merekomendasikan beberapa langkah dalam menangani penderita anorexia nervosa dengan menggunakan terapi kognitif perilakuan. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah : (1) kecenderungan penderita untuk menolak mendapatkan penanganan, (2) interaksi antara elemen fisik dan psikologis, (3) konsep diri yang negatif, (4) keyakinan yang tidak tepat mengenai makanan dan berat badan, dan (5) keyakinan penderita yang dapat mempertahankan simtom-simtom gangguan. Manual penanganan secara detail anorexia nervosa dengan menggunakan terapi kognitif perilakuan belum dipublikasikan, namun beberapa penulis telah mengembangkan program terapi kognitif perilakuan untuk penderita anorexia nervosa (Garner, Vitousek, & Pike; Wilson, Fairburn, & Agras, sitat dalam Bowers, Evans, Le Grange, & Andersen, 2003). Salah satunya Vitousek dan Edwald (sitat dalam Spangler & Hoyal, 2005) yang mengajukan beberapa tahapan terapi kognitif perilakuan untuk menangani penderita anorexia nervosa. Tahap pertama membentuk komitmen dan motivasi penderita untuk berubah. Tahap ini merupakan dasar terapi karena penderita anorexia nervosa seringkali mengikuti terapi atas paksaan atau ancaman orang lain. Motivasi dapat ditingkatkan melalui psikoedukasi mengenai metabolisme, nutrisi, berat badan, dan dampak dari

45

dietary restriction. Tahap kedua bertujuan untuk menormalkan pola makan dan berat badan penderita. Setelah motivasi dan relasi kolaboratif terbentuk, terapis memberikan penjelasan terhadap penderita terkait dengan indeks massa tubuh yang sehat, dan meminta penderita untuk mencatat berat badannya setiap minggu. Selain itu, penderita diminta untuk melakukan self-monitoring dan mencatat makanan yang dikonsumsi atau dimuntahkan, penggunaan obat pencahar, serta pikiran dan perasaan yang muncul melalui perilaku tersebut. Metode yang dapat digunakan untuk memperbaiki pola makan antara lain pendekatan yang baik (well-planned) terhadap makanan tertentu dan jumlah makanan yang dihindari, menunda perilaku memuntahkan makanan, mengalihkan pemikiran yang mengganggu atau menimbulkan kecemasan ketika makan, dan melakukan aktivitas menyenangkan yang mengikuti perilaku makan. Tahap ketiga mengidentifikasi, evaluasi, dan modifikasi pemikiran atau keyakinan penderita terkait dengan berat badan, makanan, dan citra tubuh. Beberapa cara yang dapat dilakukan melalui analisis cost-benefit, decatastrophizing, decentering, dan Socrates question. Tahap keempat mempersiapkan penderita untuk mencegah kambuhnya gangguan. Cara yang dapat digunakan adalah mendiskusikan seberapa efektif atau kemajuan yang telah dicapai dengan menggunakan terapi yang telah diberikan, dan mendiskusikan komitmen untuk terus mempertahankan berat badan, pola makan, dan citra tubuh yang positif. Beberapa tahapan standar terapi kognitif perilakuan yang dapat digunakan untuk menangani penderita anorexia nervosa menurut Garner dan Bemis (sitat dalam Bowers, Evans, Le Grange, & Andersen, 2003) adalah sebagai berikut.

46

1. memonitor pikiran dan perasaan penderita, serta meningkatkan kesadaran penderita terhadap pemikiran otomatis yang dimiliki terkait dengan gangguan, 2. membantu penderita menyadari keterkaitan antara pikiran, perasaan, dan perilaku yang tidak adaptif, 3. mengidentifikasi pemikiran otomatis yang sifatnya negatif, 4. membantu penderita meningkatkan kemungkinan untuk memiliki interpretasi atau pemikiran yang lebih tepat, dan 5. mengidentifikasi dan merestrukturisasi pemikiran yang mendasari gangguan.

Fairburn dan Hope (sitat dalam Hawton, Salkovskis, Kirk, & Clark, 1991) mendeskripsikan tahapan-tahapan terapi kognitif perilakuan untuk menangani penderita bulimia nervosa yang meliputi: 1. Tahap pertama Tahap pertama membutuhkan waktu sekitar empat minggu dengan frekuensi pertemuan dua kali seminggu. Tahap pertama ini memfokuskan pada pengungkapan kondisi penderita saat ini. Hal-hal yang harus dilakukan antara lain: a. Pertemuan pertama 1) Pandangan kognitif terhadap penyebab gangguan yang dialami 2) Monitoring. Penderita mendapatkan tugas untuk melakukan monitoring terhadap perilaku makannya meliputi kebiasaan makan, situasi saat gangguan makan terjadi, pikiran, dan perasaan yang muncul.

47

b. Pertemuan kedua 1) Melakukan review (pembahasan) terkait dengan hasil monitoring 2) Identifikasi terhadap pemikiran yang tidak tepat 3) Berat badan mingguan. Penderita mendapatkan tugas untuk melakukan monitoring dan pencatatan terhadap berat badannya seminggu sekali. c. Pertemuan ketiga sampai kedelapan 1) Klarifikasi pandangan kognitif terhadap penyebab gangguan 2) Education. Penderita harus mendapatkan beberapa informasi yang terkait dengan berat badan dan pengaturannya, dampak dari gangguan makan, ketidakefektifan memuntahkan makanan sebagai upaya untuk mengontrol berat badan, dan dampak dari diet ketat 3) Pemberian saran terkait dengan makan, memuntahkan makanan, dan penggunaan obat pencahar 4) Mengevaluasi kemajuan dari tahap pertama

2. Tahap kedua Tahap kedua membutuhkan waktu sekitar sembilan minggu. Hal-hal yang dilakukan meliputi: a. Mengubah perilaku diet b. Restrukturisasi kognitif c. Mengungkap kemungkinan distorsi kognitif lain yang dimiliki penderita terkait dengan gangguan d. Melatih penderita untuk menyelesaikan permasalahan secara efektif

48

e. Mengungkap persepsi yang tidak tepat terkait dengan citra tubuh f. Mengevaluasi kemajuan dari tahap kedua

3. Tahap ketiga Tahap terakhir dari penanganan membutuhkan tiga waktu pertemuan dalam interval dua minggu. Tujuan dari tahap ketiga adalah untuk meyakinkan, mempertahankan kemajuan yang telah tercapai, dan mempersiapkan penderita dari kemungkinan kekambuhan.

II.3.3 Kemanfaatan Terapi Kognitif Perilakuan Beberapa literatur menunjukkan tidak banyaknya bukti yang mendukung validitas terapi kognitif perilakuan pada anorexia nervosa (Leung, Waller, & Thomas, 1999). Menurut Waller dan Kennerley (2003) terbatasnya bukti yang mendukung keefektifan terapi kognitif perilakuan pada anorexia nervosa dapat disebabkan oleh kurangnya model kognitif dan perilaku untuk restrictive behavior. Penting pula untuk diperhatikan bahwa beberapa studi hanya meneliti penderita anorexia nervosa tipe restrictive, sedangkan studi yang lain melibatkan kelompok gabungan antara penderita anorexia nervosa tipe restrictive dan bulimic. Robin dan koleganya (sitat dalam Patel, Pratt, & Greydanus, 2003) meninjau literatur mengenai gangguan makan pada anak, remaja, dan dewasa. Penelitian mereka menyatakan bahwa ego-oriented individual therapy, behavioral family systems therapy, family-oriented interventions, dan parent counseling

49

merupakan intervensi yang efektif untuk remaja. Mereka menyimpulkan bahwa tidak ada bukti empiris yang mendukung keefektifan terapi kognitif perilakuan pada remaja. Waller dan Kennerley (2003) mengemukakan bahwa tidak semua pasien dapat memperoleh manfaat dari terapi kognitif perilakuan. Safran dan Segal (sitat dalam Waller & Kennerley, 2003) mengidentifikasi karakteristik tertentu pada klien diperlukan untuk menyesuaikan terapi kognitif perilakuan dengan style dan kebutuhan klien. Karakteristik tersebut antara lain: 1.

Kemampuan untuk mengakses kognisi yang relevan (relevant cognitions).

2.

Kesadaran akan dan kemampuan untuk membedakan kondisi emosi.

3.

Penerimaan terhadap pandangan rasional akan penanganan.

4.

Penerimaan atas tanggung jawab personal untuk perubahan.

5.

Kemampuan untuk membentuk working alliance yang sebenarnya dengan terapis. Hal ini menunjukkan bahwa ada klien-klien yang lebih sesuai dengan

bentuk psikoterapi yang lain (seperti pendekatan analitis, sistemis, sosial, dan farmakologis) dan tugas terapis ialah menentukan penanganan yang paling tepat untuk diberikan pada klien. Literatur yang lain menyatakan bahwa terapi kognitif perilakuan dapat digunakan untuk menangani gangguan makan. Salah satunya dikemukakan oleh Freeman, Felgoise, Nezu, Nezu, dan Reinecke (2005). Mereka menyatakan bahwa terapi kognitif perilakuan dapat digunakan untuk menangani beberapa macam gangguan psikologis, misalnya addictive behavior, perilaku agresi, anger

50

management, perilaku antisosial, depresi, anxiety disorder, eating disorder, psikosis, dan beberapa permasalahan yang muncul pada usia lanjut seperti demensia. Terapi kognitif perilakuan juga merupakan perlakuan yang efektif untuk gangguan depresi pada berbagai macam pasien lanjut usia (Laidlaw, Thompson, Gallagher-Thompson, & Dick-Siskin, 2003). Terapi ini dapat digunakan pula untuk menangani gangguan citra tubuh termasuk anorexia nervosa (American Psychiatric Association; Wilson & Fairburn, sitat dalam Bowers, Evans, Le Grange, & Andersen, 2003). Menurut Faucher (n.d.) terapi kognitif perilakuan telah diterapkan pada individu yang mengalami gangguan makan, obesitas, body dismorphic disorder, dan mereka yang memiliki berat badan normal serta memiliki perasaan negatif terhadap tubuhnya (Faucher, n. d.).

II.3.4 Prinsip Penerapan Terapi Kognitif Perilakuan pada Penderita Anorexia Nervosa Williams, Goodie, dan Motsinger (2008) mengusulkan prinsip-prinsip penanganan anorexia nervosa (eating disorder) dengan menggunakan terapi kognitif perilakuan sebagai berikut : a. Melakukan self-monitoring terkait dengan konsumsi makanan (initiate selfmonitoring of food consumption). Tujuannya untuk menyadari kebiasaan makan, mengenali lingkungan, pikiran, dan perasaan yang menjadi pencetus gangguan, serta mengenali perilaku binge dan purging. Caranya dengan

51

mencatat waktu, tempat, situasi, dan jenis makanan yang terkait dengan perilaku makan. b. Mengajarkan keterkaitan antara makan, berat badan, dan mengembangkan jadwal makan yang standar (educate about relationship between eating, weight, and establish standard eating schedule). Tujuannya untuk mencegah memuntahkan makanan setelah makan atau mengurangi kontrol terhadap makan. Strategi yang bisa digunakan adalah memberikan informasi terkait dengan berat badan ideal yang sehat, dampak fisik dan psikologis dari gangguan makan. Mengubah pemikiran negatif yang dimiliki terkait dengan berat badan, bentuk badan, dan perilaku makan. c. Mengembangkan cara alternatif untuk mencegah perilaku binge dan purging (develop alternatives to bingeing and purging). Tujuannya menghambat munculnya perilaku binge dan purging. Strategi yang bisa dilakukan dengan cara mencari alternatif aktivitas yang menyenangkan yang dapat mengalihkan atau mencegah keinginan untuk binge dan purging. Misalnya dengan berjalanjalan, mengembangkan hobi, atau bertelepon dengan seseorang. d. Mengembangkan strategi menyelesaikan masalah (develop problem-solving strategies). Tujuannya membekali penderita untuk mengenali penyebab dari suatu permasalahan yang dapat menstimulasi munculnya perilaku gangguan makan dan mengembangkan cara untuk mengatasi masalah tersebut tanpa melakukan perilaku yang terkait dengan gangguan makan. Misalnya dengan melakukan relaksasi.

52

e. Mengurangi perilaku diet ketat (reduce strict dieting). Mendorong munculnya perilaku makan yang sehat dan mencegah terus berlangsungnya perilaku diet ketat penderita. f. Mengembangkan strategi untuk mencegah kekambuhan (develop relapseprevention

strategies).

Membuat

perencanaan

untuk

mengantisipasi

kekambuhan perilaku gangguan makan yang mungkin muncul. Misalnya membekali penderita untuk mempunyai inisiatif sendiri untuk melakukan selfmonitoring, membuat perencanaan untuk bertemu dengan terapis secara periodik.

II.4 Hubungan Terapi Kognitif Perilakuan dengan Remaja yang Mengalami Kecenderungan Anorexia Nervosa Terapi kognitif perilakuan (Cognitive Behavior Therapy atau CBT) adalah pendekatan psikoterapeutik yang dapat digunakan untuk menangani gangguan citra tubuh termasuk anorexia nervosa (American Psychiatric Association; Wilson & Fairburn, sitat dalam Bowers, Evans, Le Grange, & Andersen, 2003). Terapi ini dilakukan dalam kelompok dengan seorang terapis atau program dapat dikelola oleh pasien secara mandiri melalui kontak yang cukup dengan terapis. Terapi kognitif perilakuan seringkali dimodifikasi ke dalam format yang berbeda dengan tujuan menjangkau populasi yang spesifik, seperti penderita bulimia atau perempuan yang sangat mencemaskan berat badannya. Citra tubuh adalah gambaran yang dimiliki seseorang dalam pikiran mengenai penampilan tubuhnya (misalnya ukuran dan bentuk) dan sikap yang

53

dimiliki terhadap karakteristik tubuhnya (Gardner, sitat dalam Faucher, n. d.; Rosen, sitat dalam Sukamto, 2006). Citra tubuh yang negatif memiliki asosiasi dengan anorexia dan bulimia nervosa. Distorsi kognitif pada penderita anorexia nervosa membuat mereka memiliki citra tubuh yang negatif. Mereka selalu merasa kurang puas dengan tubuhnya karena apa yang ada di benak mereka adalah bahwa mereka belum cukup kurus. Mereka tidak dapat melihat penampilan tubuh sesuai kenyataan yang sebenarnya. Anorexia nervosa umumnya terjadi pada awal hingga pertengahan masa remaja dan gangguan ini lebih sering dialami perempuan bila dibandingkan laki-laki (Dusek, 1996; Davison, et al., 2004). Model kognitif perilakuan menggambarkan gangguan makan dari perspektif perkembangan dan menekankan peran kognisi sebagai perantara dari emosi yang negatif dan perilaku tidak adaptif (Garfinkel & Garner, 1982; Garner, 1985; Garner & Bemis, 1982; Garner et al., 1997; Vitousek & Orimoto, 1993, Wilson et al., sitat dalam Bowers, Evans, Le Grange, & Andersen, 2003). Terapi kognitif perilakuan bertujuan untuk mengubah proses kognitif individu dan membantu individu mempelajari perilaku baru yang lebih adaptif. Terapi ini dapat mengatasi distorsi kognitif yang umumnya dijumpai pada penderita anorexia nervosa (Garner, Garfinkel, & Berris, sitat dalam Craighead et al., 1994). Terapi kognitif perilakuan pada citra tubuh terbukti efektif untuk memperbaiki ketidakpuasan terhadap tubuh. Terapi ini telah diterapkan pada individu yang mengalami gangguan makan, obesitas, body dismorphic disorder, dan mereka yang memiliki berat badan normal serta memiliki perasaan negatif terhadap tubuhnya (Faucher, n. d.).

54

Penerapan terapi kognitif perilakuan telah digunakan secara luas untuk menangani gangguan penderita anorexia nervosa, namun selama tidak banyak mengenai studi tersebut yang dipublikasikan (Garner et al., sitat dalam Bowers, Evans, Le Grange, & Andersen, 2003). Sebaliknya penerapan terapi kognitif perilakuan pada penderita bulimia nervosa hasil penelitiannya lebih banyak dipublikasikan (Wilson et al., 1997). Pike, Walsh, Vitousek, Wilson, dan Bauer (2003) melakukan penelitian mengenai keefektifan terapi kognitif perilakuan pada penderita anorexia nervosa yang telah mendapatkan penanganan medis di rumah sakit. Mereka membagi subjek ke dalam dua kelompok dengan perlakuan berbeda, yaitu terapi kognitif perilakuan dan konseling gizi (nutritional counseling). Hasil yang diperoleh adalah terapi kognitif perilakuan memberikan hasil yang lebih baik dan lebih efektif dalam mencegah kambuhnya gangguan bila dibandingkan dengan konseling gizi.

II.5 Hipotesis Ada pengaruh terapi kognitif perilakuan terhadap penurunan kecenderungan anorexia nervosa pada remaja perempuan.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF