Andreas-jurnal Kualitas Pendidikan Di Indonesia

February 2, 2017 | Author: AndreasJuliskar | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Andreas-jurnal Kualitas Pendidikan Di Indonesia...

Description

JURNAL

KUALITAS PENDIDIKAN DI INDONESIA

DISUSUN OLEH: NAMA: ANDREAS JULISKAR

(5133122001)

PENDIDIKAN TEKNIK OTOMOTIF FAKULTAS TEKNIK UNIVERITAS NEGERI MEDAN 2014

i

KATA PENGANTAR Puji syukur atas kehadirat Tuhan yang maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia nya sehingga saya dapat menyusun jurnal ini. Jurnal ini membahas tentang keadaan kualitas pendidikan di Indonesia pada saat ini. Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan mendasar pada jurnal ini.. Oleh karena itu, saya mengajak para pembaca untuk memberi kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan jurnal yang saya buat ini.

Medan November 2014

Andreas Juliskar

i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii ABSTRAK ......................................................................................................................... 1 PENDAHULUAN ............................................................................................................. 2 PEMBAHASAN ................................................................................................................ 5 A.

Masalah Mendasar Pendidikan di Indonesia ..................................................... 5

B.

Kualitas Pendidikan di Indonesia ........................................................................ 7

C.

1.

Rendahnya Kualitas Sarana Fisik ................................................................... 7

2.

Rendahnya Kualitas Guru ............................................................................... 7

3.

Rendahnya Kesejahteraan Guru ..................................................................... 8

4.

Rendahnya Prestasi Siswa ................................................................................ 9

5.

Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan ....................................... 10

6.

Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan ............................... 10

7.

Mahalnya Biaya Pendidikan .......................................................................... 11 Upaya Pemerintah dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan di Indonesia 13

KESIMPULAN ............................................................................................................... 15

ii

ABSTRAK Kualitas pendidikan, menurut saya di Indonesia saat ini kualitas pendidikannya tergolong rendah, dibuktikan dengan adanya data dari UNNESCO dan Balitbang. Hal ini terjadi disebabkan karena rendahnya sarana fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan, dan mahalnya biaya pendidikan. Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia mempengaruhi berbagai sisi kehidupan di Indonesia, seperti Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia sangat tertinggal dari bangsa lain. Ciri pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia yaitu pengembangan pikiran dilakukan dengan cara pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah, menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya melalui bidang studi yang telah dipelajari. Ada 2 solusi dalam pemecahan masalah ini yaitu: solusi sistematik dan solusi teknis. Upaya pemerintah dalam mengatasi masalah tersebut adalah dengan meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan Indonesia, menghilangkan ketidak merataan dalam akses pendidikan, meningkatkan anggaran pendidikan, penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan Kata kunci: rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia

1

PENDAHULUAN Dictionary of Education menyatakan bahwa pendidikan adalah proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya didalam masyarakat tempat ia hidup, proses sosial yakni orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang dating dari sekolah), sehingga dapat memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimal. Sedangkan tujuan dari pendidikan nasional itu, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 bab II pasal 3 tentang sistem pendidikan nasional dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Mencerdaskan kehidupan bangsa itu mempunyai 3 komponen yang mempunyai arti yang sangat penting yaitu cerdas, hidup, dan bangsa. Namun tujuan pendidikan diatas yang mempunyai arti sangat penting bagi kelangsungan pendidikan di Indonesia belum tercapai secara optimal atau sepenuhnya, sehingga kualitas pendidikan di Indonesia saat ini dalam kategori rendah, hal ini dibuktikan berdasarkan data dari UNESCO (2000) tentang peringkat indeks pengembangan manusia yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan dan penghasilan per kepala yang menunjukan bahwa indeks pengembangan masyarakat Indonesia mengalami penurunan. Pada tahun 1996 Indonesia menempati peringkat ke-102, pengembangan masyarakat Indonesia mengalami kenaikan menjadi peringkat ke-99 pada tahun 1997, namun pada tahun 1998-1999 pengembangan masyarakat Indonesia mengalami penurunan hingga menjadi peringkat ke-105 dan ke-109. Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia bukan hanya dibuktikan berdasarkan data dari UNESCO (2000) saja, tetapi dibuktikan pula berdasarkan data dari balitbang yang menyatakan bahwa dari 146.052 Sekolah Dasar (SD) yang ada di Indonesia hanya 8 sekolah saja yang memperoleh pengakuan dari 2

dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP), ditingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) hanya 8 sekolah yang memperoleh pengakuan dari dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dari 20.918 Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang ada di Indonesia, sedangkan ditingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) hanya 7 sekolah yang memperoleh pengakuan dari dunia dalam kategori The Diploma Program (DP) dari 8.036 Sekolah Menengah Atas yang ada di Indonesia. Memasuki abad ke-21 bangsa Indonesia mulai sadar akan bahaya keterbelakangan atau ketertinggalan dalam kualitas pendidikan. Salah satunya adalah adanya gelombang globalisasi yang dirasakan semakin kuat dan terbuka serta kemajuan teknologi yang semakin pesat dan canggih itu memberikan kesadaran baru kepada bangsa Indonesia bahwa bangsa Indonesia itu berada ditengah-tengah dunia yang baru yaitu dunia yang lebih terbuka sehingga setiap orang bebas membandingkan kehidupan bangsa Indonesia dengan negara lain, dimana perkembangan teknologi dan kualitas pendidikan di negara lain lebih maju dibandingkan dengan Indonesia. Setelah kita membandingkan kualitas pendidikan Indonesia dengan negara lain yang kita rasakan sekarang adalah adanya keterbelakangan atau ketertinggalan didalam mutu pendidikan di negara kita ini, baik dalam pendidikan formal maupun non formal. Pada masa orde baru kehidupan bangsa indonesia berkembang pesat sehingga bangsa indonesia digolongkan sebagai salah satu dari Miracle Asia dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat. Dalam erea tersebut Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) memprioritaskan pada perekembangan ekonomi, menjadikan sektor pendidikan sebagai penunjang bagi perkembangan ekonomi dan stabilitas keamanan. Dengan demikian pendidikan nasional mementingkan kepada pemerataan agar semakin banyak rakyat indonesia yang memperoleh pendidikan. Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia dapat menimbulkan dampak yang mempengaruhi berbagai sisi kehidupan di Indonesia, misalnya : kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia sangat tertinggal. Hal ini dapat dilihat dari hasil riset ciputra yang menyatakan bahwa Indonesia hanya mempunyai 0,18 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Karena jumlah

3

pengusaha di Indonesia rendah maka jumlah pendapatan negara yang diperoleh dari pajak para pengusaha juga rendah. Pendapatan negara juga akan mempengaruhi kualitas pendidikan, misalnya : adanya Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diberikan oleh pemerintah untuk sekolah-sekolah yang dananya berasal dari pendapatan negara yang diperoleh dari pajak.

4

PEMBAHASAN

A. Masalah Mendasar Pendidikan di Indonesia Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada. Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam

pengembangan

dan

persaingan

bidang

industri

dan

teknologi.

Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan. Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak 5

membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru. Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa. Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini saya kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.

6

B. Kualitas Pendidikan di Indonesia Kualitas pendidikan di Indonesia dewasa ini tergolong rendah, dibuktikan dengan adanya data dari UNNESCO dan Balitbang. Hal ini terjadi disebabkan karena rendahnya sarana fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan, dan mahalnya biaya pendidikan

1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.

2. Rendahnya Kualitas Guru Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran,

melaksanakan

pembelajaran,

menilai

hasil

pembelajaran,

melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat. Kendati secara kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup memadai, namun secara kualitas mutu guru di negara ini, pada umumnya masih rendah. Secara umum, para guru di Indonesia kurang bisa memerankan fungsinya dengan optimal, karena pemerintah masih kurang memperhatikan mereka, khususnya dalam upaya meningkatkan profesionalismenya. Secara kuantitatif, sebenarnya jumlah guru di Indonesia relatif tidak terlalu buruk. Apabila dilihat ratio guru dengan siswa, angka-angkanya cukup bagus yakni di SD 1:22, SLTP 1:16, dan SMU/SMK 1:12. Meskipun demikian, dalam hal distribusi guru ternyata banyak mengandung kelemahan yakni pada satu sisi ada daerah atau sekolah yang kelebihan jumlah guru, dan di sisi lain ada daerah atau sekolah yang kekurangan

7

guru. Dalam banyak kasus, ada SD yang jumlah gurunya hanya tiga hingga empat orang, sehingga mereka harus mengajar kelas secara paralel dan simultan. Bila diukur dari persyaratan akademis, baik menyangkut pendidikan minimal maupun kesesuaian bidang studi dengan pelajaran yang harus diberikan kepada anak didik, ternyata banyak guru yang tidak memenuhi kualitas mengajar (under quality). Hal itu dapat dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang belum sarjana, namun mengajar di SMU/SMK, serta banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan seperti ini menimpa lebih dari separoh guru di Indonesia, baik di SD, SLTP dan SMU/SMK. Artinya lebih dari 50 persen guru SD, SLTP dan SMU/SMK di Indonesia sebenarnya tidak memenuhi kelayakan mengajar. Dengan kondisi dan situasi seperti itu, diharapkan pendidikan yang berlangsung di sekolah harus secara seimbang dapat mencerdaskan kehidupan anak dan harus menanamkan budi pekerti kepada anak didik. “Sangat kurang tepat bila sekolah hanya mengembangkan kecerdasan anak didik, namun mengabaikan penanaman budi pekerti kepada para siswanya. Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.

3. Rendahnya Kesejahteraan Guru Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Dengan pendapatan yang rendah, terang saja banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya. Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat

8

penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas. Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen . 4. Rendahnya Prestasi Siswa Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat. Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya. Dalam

skala

internasional,

menurut

Laporan

Bank

Dunia

(Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).

9

Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda. Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.

5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.

6. Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki 10

keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.

7. Mahalnya Biaya Pendidikan Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman KanakKanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah. Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta. Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok,

“sesuai

keputusan

Komite

Sekolah”.

Namun,

pada

tingkat

implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya. Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang

11

sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit. Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005). Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan

privatisasi

pendidikan

berarti

Pemerintah

telah

melegitimasi

komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

12

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi. Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan. Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan

C. Upaya Pemerintah dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan di Indonesia Ada beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia yaitu : 1. Meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk dapat menikmati pendidikan Indonesia 2. Menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan

13

3. Meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan dosen 4. Menambah jumlah jenis pendidikan dibidang kompetensi 5. Pemerintah berencana membangun infrastruktur seperti : menambah jumlah komputer dan perpustakaan disekolah 6. Meningkatkan anggaran pendidikan 7. Penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan. Selain upaya dari pemerintah dalam mengatasi rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia, ada 2 solusi dalam mengatasi masalah pendidikan di Indonesia yaitu : Pertama, solusi sistemik yaitu solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Contohnya untuk mengatasi rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru dan mahalnya biaya pendidikan. Seperti yang kita ketahui bahwa sistem pendidikan berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan Indonesia saat ini, menerapkan sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang mempunyai prinsip meminimalkan peran dan tanggungjawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan. Kedua, solusi teknis yaitu solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkaitan langsung dengan pendidikan. Contohnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa. Masalah teknis dikembalikan kepada upayaupaya praktis yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Solusi dalam mengatasi rendahnya kualitas guru dapat dilakukan dengan cara peningkatan kesejahteraan, dan pemberian pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Sedangkan solusi dalam mengatasi prestasi siswa dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kuantitas dan kualitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan

14

KESIMPULAN Berdasarkan analisis yang telah dipaparkan diatas banyak sekali factor yang menjadikan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Factor-faktor yang bersifat teknis diantaranya adalah rendahnya kualitas guru, rendahnya sarana fisik, mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Namun sebenarnya yang menjadi masalah mendasar dari pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikan di Indonesia itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek, sehingga manusia yang dihasilkan dari sistem ini adalah manusia yang hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Maka disinilah dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan mesyarakat untuk mengatasi segala permasalahan pendidikan di Indonesia. betapa tertinggalnya kualitas pendidikan di Indonesia dibandingkan dengan negara lain yang pendidikannya lebih maju. Hal tersebut dibuktikan oleh beberapa data hasil penelitian dari UNESCO dan Balitbang. Kesadaran bangsa Indonesia akan bahaya keterbelakangan atau ketertinggalan dalam kualitas pendidikan mulai dirasakan pada saat memasuki abad ke-21. Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia disebabkan oleh rendahnya sarana fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan, dan mahalnya biaya pendidikan. Profil pendidikan nasional di Indonesia menunjukan profil yang beragam, hal itu disebabkan karena adanya perbedaan yang mencolok antar daerah seperti perbedaan antar pulau, perbedaan antar kota dan desa, dan perbedaan antar daerah maju dengan daerah terpencil. Ada tiga komponen besar untuk menetukan standar pendidikan menurut teori perencanaan pendidikan yaitu komponen standar kurikulum, standarisasi performance dan kesempatan belajar. Dalam mengatasi masalah pendidikan di Indonesia upaya yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia adalah dengan meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk dapat menikmati pendidikan Indonesia, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, menambah jumlah jenis pendidikan dibidang kompetensi, menambah jumlah

15

komputer dan perpustakaan seekolah, meningkatkan anggaran pendidikan serta penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan. Semoga kita bisa bekerja sama untuk membangun kualitas pendidikan agar Indonesia dapat bangkit dari keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan generasi-generasi baru yang berSDM tinggi, berkepribadian pancasila dan bermartabat.

16

DAFTAR PUSTAKA

https://www.google.com https://www. van88.wordpress.com/permasalahan-pendidikan-di-indonesia/ https://www.mutu pendidikan

17

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF