Analisis Bahaya Dan Penentuan Titik Kendali Kritis

May 26, 2021 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Analisis Bahaya Dan Penentuan Titik Kendali Kritis...

Description

ANALISIS BAHAYA DAN PENENTUAN TITIK KENDALI KRITIS ”IKAN SARDEN TUNA KALENG MERK KING’S FISHER” disusun guna memenuhi tugas praktikum mata kuliah Pengendalian Mutu Pangan

Kelompok 4 : Intan Caesaria S.

(101710101019)

Dyah Ayu Savitri

(101710101021)

M. Amirul Ghiffari

(101710101106)

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS JEMBER 2012

I.1 Deskripsi Produk Pengalengan, yaitu salah satu cara penyimpanan dan pengawetan bahan pangan yang dikemas secara hermetic dalam suatu wadah yang disebut can (kaleng) dan kemudian disterilkan, sehingga diperoleh produk pangan yang tahan lama dan tidak mengalami kerusakan baik fisik, kimia maupun biologis. Ikan merupakan salah satu komoditi hasil perairan yang paling banyak dimanfaatkan oleh manusia karena beberapa kelebihannya. Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang sangat potensial dan biasanya kandungan protein sekitar 15-24% tergantung dari jenis ikannya. Protein ikan mempunyai daya cerna yang sangat tinggi yaitu sekitar 95% (Rahayu, 1992). Ikan segar merupakan salah satu komoditi yang mudah mengalami kerusakan (high perishable food). Kerusakan ini dapat disebabkan oleh proses biokimiawi maupun oleh aktivitas mikribiologi. Kandungan air hasil perikanan pada umumnya tinggi mencapai 56.79% sehingga sangat memungkinkan terjadinya reaksi-reaksi biokimiawi oleh enzim yang berlangsung pada tubuh ikan segar. Sementara itu, kerusakan secara mikrobiologis disebabkan karena aktivitas mikroorganisme terutama bakteri. Kandungan protein yang cukup tinggi pada ikan menyebabkan ikan mudah rusak bila tidak segera dilakukan pengolahan dan pengawetan. Pengawetan bertujuan untuk memperpanjang masa simpan bahan pangan tersebut. Salah satu usaha untuk meningkatkan daya simpan dan daya awet pada produk ikan adalah dengan pengalengan ikan (Winarno, 1980). Teknik pengawetan pangan yang dapat diterapkan dan banyak digunakan adalah pengawetan dengan suhu tinggi, contohnya adalah pengalengan ikan tuna. Tujuan utamanya adalah untuk memperpanjang umur simpan, dan meningkatkan nilai ekonomis dari ikan serta dapat memperbanyak penganekaragaman pangan yang berbahan baku ikan. I.2 Komposisi Produk Salah satu produk industri ikan yang banyak ditemukan di pasaran adalah ikan kaleng (Sardines) kemasan, yang komposisinya terdiri dari ikan, pasta tomat, saus pepaya, garam dan pengawet. Ikan yang digunakan untuk produk ikan kaleng (Sardines) kemasan ini ada bermacam-macam antara lain ikan Sarden, ikan Tuna, ikan Kembung, ikan Kakap dan ikan Salam. Moeljanto (1990) menyatakan lemak merupakan salah satu komponen yang menyebabkan rasa enak. Ikan yang cocok diolah dengan pengalengan adalah ikan yang memiliki kadar lemak tinggi yaitu 10-15%. Dalam 100 gram porsi makanan ikan sarden

mengandung berbagai macam nutrisi antara lain: energi 902 kcal atau 3774 kj, total lemak 100 g, vitamin D 332 IU, asam lemak jenuh saturated 29.829 gr, asam lemak tak jenuh monosaturated 33.8 gr dan asam lemak tak jenuh polysaturated 31.867 gr. I.3 Pengemas Primer Pengemas dari logam banyak digunakan sebagai pengemas primer dalam bentuk kaleng. Sebenarnya bahan pembuat kaleng adlah plat tipis (tinplate) yang terdiri dari lapisan baja,timah putih,cairan timah dan besi serta lapisan enamel. Selain plat tipis,alumunium juga dapat dibuat pengemas. Keunggulan alumunim disbanding plat tipis adalah bobotnya lebih ringan, mudah dibentuk dan lebih tidak korosif. Kekurangannya adalah kurang tahan tekanan dan jika terlipat membentuk patahan-patahan yang dapat menyebabkan bocor. Modifikasi bentuk pengemas primer logam dari plat tipis dan alumunium adalah munculnya alumunium foil yang berupa lembatran tipis dengan ketebalan sekitar 0,000025 – 0,006 inchi. Penggunaan alumunium foil sekarang sudah meluas karena fleksibilitas dan kemudahannya dalam pemakaian. I.4 Pengemas Sekunder Pengemas sekunder merupakan pengemas lapis kedua setelah lapisan primer,dengan tujuan untuk lebih memberikan perlindungan kepada produk. Kemasan ini tidak bersentuhan langsung dengan produknya. Pada produk daging ikan kaleng ini digunakan pengemas sekunder berupa kardus untuk melindungi produk pangan tersebut dari kerusakan. I.5 Metode Penyimpanan Penyimpanan produk sarden harus dilakukan pada suhu yang cukup rendah, seperti pada suhu kamar normal dengan kelembaban rendah. Akan menjadi lebih baik lagi bila disimpan pada lemari pendingin. Untuk mencegah kerusakan cita rasa, warna, tekstur, dan vitamin yang dikandung oleh ikan Sardines. Umur simpan makanan dalam kaleng sangat bervariasi tergantung pada jenis bahan pangan, wadah, proses pengalengan yang dilakukan, dan kondisi tempat penyimpanan. Jika proses pengolahan dan penyimpanan dilakukan dengan baik, makanan dalam kaleng umumnya awet sampai jangka waktu dua tahun. I.6 Cara Distribusi Perusahaan mendistribusikan produk tersebut melalui distributor supermarket dan toko-toko penjual bahan pangan. I.7 Masa Kadaluarsa

Umur simpan makanan dalam kaleng sangat bervariasi tergantung pada jenis bahan pangan, wadah, proses pengalengan yang dilakukan, dan kondisi tempat penyimpanan. Jika proses pengolahan dan penyimpanan dilakukan dengan baik, makanan dalam kaleng umumnya awet sampai jangka waktu dua tahun. I.8 Persyaratan Konsumen Produk ini dapat dikonsumsi oleh individu yang berumur diatas 5 tahun. Namun produk ini disarankan tidak dikonsumsi oleh orang yang memiliki alergi terhadap produkproduk makanan yang berasal dari laut. 1.9 Pengaruh HACCP pada Produk HACCP memberikan kesempatan pada pabrik makanan untuk meningkatkan efisiensi pengontrolan dengan menciptakan kedisiplinan pendekatan sistematik terhadap prosedur untuk keamanan pangan (Mortimore, 1995). HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point) merupakan suatu sistem yang mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengontrol setiap tahapan proses yang rawan terhadap risiko bahaya signifikan yang terkait dengan ketidakamanan pangan (Codex Alimentarius Commission, 2001). Sistem HACCP ini dikembangkan atas dasar identifikasi titik pengendalian kritis (critical control point) dalam tahap pengolahan dimana kegagalan dapat menyebabkan risiko bahaya (Wiryanti dan Witjaksono, 2001). a. Prinsip Sistem HACCP terdiri dari tujuh prinsip sebagai berikut : Prinsip 1 : Melaksanakan analisa bahaya. Prinsip 2 : Menentukan Titik Kendali Kritis (CCPs). Prinsip 3 : Menetapkan batas kritis. Prinsip 4 : Menetapkan sistem untuk memantau pengendalian TKK (CCP). Prinsip 5 : Menetapkan tindakan perbaikan untuk dilakukan jika hasil pematauan menunjukkan bahwa suatu titik kendali kritis tertentu tidak dalam kendali. Prinsip 6 : Menetapkan prosedur verifikasi untuk memastikan bahwa sistem HACCP bekerja secara efektif. Prinsip 7 : Menetapkan dokumentasi mengenai semua prosedur dan catatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip sistem HACCP dan penerapannya. b. Pedoman Penerapan Sistem HACCP Sebelum menerapkan HACCP untuk setiap sektor rantai pangan, sektor tersebut harus telah menerapkan Prinsip Umum Higiene Pangan dari Codex, Pedoman Praktis dari Codex yang sesuai, serta peraturan keamanan pangan terkait, Tanggung jawab manajemen

adalah penting untuk menerapkan sistem HACCP yang efektif. Selama melaksanakan identifikasi bahaya, penilaian dan pelaksanaan selanjutnya dalam merancang dan menerapkan sistem HACCP, harus dipertimbangkan dampak dan bahan baku, bahan tambahan, cara pembuatan pangan yang baik, peran proses pengolahan dalam mengendalikan bahaya, penggunaan yang mungkin dari produk akhir, katagori konsumen yang berkepentingan dan bukti-bukti epidemis yang berkaitan dengan keamanan pangan. Maksud dari sistem HACCP adalah untuk memfokuskan pada Titik Kendali Kritis (CCPs). Perancangan kembali operasi harus dipertimbangkan jika terdapat bahaya yang harus dikendalikan, tetapi tidak ditemukan TKK (CCPs). HACCP harus diterapkan terpisah untuk setiap operasi tertentu. TKK vang diidetitifikasi pada setiap contoh yang diberikan dalam setiap Pedoman praktek Higiene dari Codex mungkin bukan satu-satunya yang diidentifikasi untuk suatu penerapan yang spesifik atau mungkin berbeda jenisnya. Penerapan HACCP harus ditinjau kembali dan dibuat perubahan yang diperlukan jika dilakukan modifikasi dalam produk, proses atau tahapannya. Penerapan HACCP perlu dilaksanakan secara fleksibel, dimana perubahan yang tepat disesuaikan dengan memperhitungkan sifat dan ukuran dari operasi. c. Penerapan Prinsip-Prinsip HACCP Penerapam prinsip-prinsip HACCP

terdiri

dari

tugas-tugas

berikut

sebagaimana terlihat pada tahap-tahap penerapan HACCP (Gambar 1) 1. Pembentukan tim HACCP Operasi pangan harus menjamin bahwa pengetahuan dan keahlian spesifik produk tertentu tersedia untuk pengembangan rencana HACCP yang efektif. Secara optimal, hal tersebut dapat dicapai dengan pembentukan sebuah tim dari berbagai disiplin ilmu. Apabila beberapa keahlian tidak tersedia, diperlukan konsultan dari pihak luar. Adapun lingkup dari program HACCP harus diidentifikasi. Lingkup tersebut harus menggambarkan segmen-segmen mana saja dari rantai pangan tersebut yang terlibat dan penjenjangan secara umum bahaya-bahaya yang dimaksudkan (yaitu meliputi semua jenjang bahaya atau hanya jenjang tertentu). 2. Deskripsi produk Penjelasan lengkap dari produk harus dibuat termasuk informasi mengenai komposisi, struktur fisika/kimia (termasuk Aw, pH, d1l.), perlakuan-perlakuan mikrosidal/statis

(seperti

perlakuan

pemanasan,

pembekuan,

penggaraman,

pengasapan, dll.), pengemasan, kondisi penyimpanan dan daya tahan serta metoda pendistribusiannya. 3. Identifikasi rencana penggunaan Rencana penggunaan harus didasarkan pada kegunaan-kegunaan yang diharapkan dari produk oleh pengguna produk atau konsumen. Dalam hal-hal tertentu, kelompok-kelompok populasi yang rentan, seperti yang menerima pangan dari institusi, mungkin perlu dipertimbangkan. 4. Penyusunan bagan alir Bagan alir harus disusun oleh tim HACCP. Dalam diagram alir harus memuat segala tahapan dalam operasional produksi. Bila HACCP diterapkan pada suatu operasi tertentu, maka harus dipertimbangkan tahapan sebelum dan sesudah operasi tersebut. 5. Konfirmasi Bagan Alir di Lapangan Tim HACCP, sebagai penyusun bagan alir harus mengkonfirmasikan operasional produksi dengan semua tahapan dan jam operasi serta bilamana perlu mengadakan perubahan bagan alir. 6. Pencatatan semua bahaya potensial yang berkaitan dengan setiap tahapan, pengadaan suatu analisa bahaya dan menyarankan berbagai pengukuran untuk mengendalikan bahaya-bahaya yang teridentifikasi (lihat Prinsip 1) Tim HACCP harus membuat daftar bahaya yang mungkin terdapat pada tiap tahapan dari produksi utama, pengolahan, manufaktur, dan distribusi hingga sampai pada titik konsumen saat konsumsi. Tim HACCP harus mengadakan analisis bahaya untuk mengidentifikasi program HACCP dimana bahaya yang terdapat secara alami, karena sifatnya mutlak harus ditiadakan atau dikurangi hingga batas-batas yang dapat diterima, sehingga produksi pangan tersebut dinyatakan aman. Dalam mengadakan analisis bahaya, apabila mungkin seyogyanya dicakup halhal sebagai berikut : 

kemungkinan timbulnya bahaya dan pengaruh yang merugikan terbadap kesehatan;



evaluasi secara kualitatif dan/atau kuantitatif dari keberadaan bahaya;



perkembangbiakan dan daya tahan hidup mikroorganisme-mikroorganisme tertentu;



produksi terus menerus toksin-toksin pangan, unsur-unsur fisika dan kimia; dan



kondisi-kondisi yang memacu keadaan di atas. Tim HACCP harus mempertimbangkan tindakan pengendalian, jika ada yang

dapat dilakukan untuk setiap bahaya. Lebih jauh tindakan pengendalian disyaratkan untuk mengendalikan bahaya-bahaya tertentu dan lebih, jauh satu bahaya dikendalikan oleh tindakan pengawasan yang tertentu. 7. Penentuan TKK (CCP) (lihat Prinsip 2)2 Untuk mengendalikan bahaya yang sama mungkin terdapat lebih dari satu TKK pada saat pengendalian dilakukan. Penentuan dari TKK pada sistem HACCP dapat dibantu dengan menggunakan Pohon keputusan seperti pada Diagram 2, yang menyatakan pendekatan pemikiran yang logis (masuk akal). Penerapan dari pohon keputusan

harus

fleksibel,

tergantung

apakah

operasi

tersebut

produksi,

penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, distribusi atau lainnya. Pohon keputusan ini mungkin tidak dapat diterapkan pada setiap TKK. Contoh-contoh pohon keputusan mungkin tidak dapat diterapkan pada setiap situasi. Pendekatan-pendekatan lain dapat digunakan. Dianjurkan untuk mengadakan pelatihan dalam penggunaan pohon keputusan. Jika suatu bahaya telah teridentifikasi pada suatu tahap dimana pengendalian penting untuk keamanan, dan tanpa tindakan pengendalian pada tahap tersebut, atau langkah lainnya, maka produk atau proses harus dimodifikasi pada tahap tersebut, atau pada tahap sebelum atau sesudahnya untuk memasukkan suatu tindakan pengendalian.

8. Penentuan batas-batas kritis (critical limits) pada tiap TKK (CCP) (lihat Prinsip 3) Batas-batas limit harus ditetapkan secara spesifik dan divalidasi apabila mungkin untuk setiap TKK. Dalam beberapa kasus lebih dari satu batas kritis akan diuraikan pada suatu tahap khusus. Kriteria yang sering digunakan mencakup

pengukuran-pengukuran terhadap suhu, waktu, tingkat kelembaban, pH, Aw, keberadaan chlorine, dan parameter-parameter sensori seperti kenampakan visual dan tekstur. Batas kritis harus ditentukan untuk setiap PTK. Dalam beberapa kasus batas kritis kriteria pengukurannya antara lain suhu, waktu, tingkat kelernbaban, pH, Aw dan ketersediaan chlorine dan parameter yang berhubungan dengan panca indra (penampakan dan tekstur). 9. Penyusunan sistem permantuan untuk setiap TKK (CCP) (lihat Prinsip 4) Pemantauan merupakan pengukuran atau pengamatan terjadwal dari TKK yang dibandingkan terhadap batas kritisnya. Prosedur pemantauan harus dapat menemukan kehilangan kendali pada TKK. Selanjutnya pemantauan seyogianya secara ideal memberi informasi yang tepat waktu untuk mengadakan penyesuaian untuk memastikan pengendalian proses untuk mencegah pelanggaran dari batas kritis. Dimana mungkin, penyesuaian proses harus dilaksanakan pada saat hasil pemantauan menunjukkan kecenderungan kearah kehilangan kendali pada suatu TKK. Penyesuaian seyogianya dilaksanakan sebelum terjadi penyimpangan. Data yang diperoleh dari pemantauan harus dinilai oleh orang yang diberi tugas, berpengetahuan dan berwewenang untuk melaksanakan tindakan perbaikan yang diperlukan. Apabila pemantauan tidak berkesinambungan, maka jumlah atau frekuensi pemantauan harus cukup untuk menjamin agar TKK terkendali. Sebagian besar prosedur pemantauan untuk TKK perlu dilaksanakan secara cepat, karena berhubungan dengan proses yang berjalan dan tidak tersedia waktu lama untuk melaksanakan pengujian analitis. Pengukuran fisik dan kimia seringkali lebih disukai daripada pengujian mikrobiologi, karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan sering menunjukkan pengendalian mikrobiologi dari produk. Semua catatan dan dokumen yang terkait dengan kegiatan pemantauan TKK harus ditanda tangani oleh orang yang melakukan pengamatan dan oleh petugas yang, bertanggung jawab melakukan peninjauan kembali dalarn perusahaan tersebut. 10. Penetapan tindakan perbaikan (lihat Prinsip 5) Tindakan perbaikan yang spesifik harus dikembangkan untuk setiap TKK dalam sistem HACCP agar dapat menangani penyimpangan yang terjadi. Tindakantindakan harus memastikan bahwa CCP telah berada dibawah kendali. Tindakan-

tindakan harus mencakup disposisi yang tepat dan produk yang terpengaruh. Penyimpangan dan prosedur disposisi produk harus didokumentasikan dalam catatan HACCP. 11. Penetapan prosedur verifikasi (lihat Prinsip 6) Penetapan prosedur verifikasi. Metoda audit dan verifikasi, prosedur dan pengujian, termasuk pengambilan contoh secara acak dan analisa, dapat dipergunakan untuk menentukan apakah sistem HACCP bekerja secara benar. Frekuensi verifikasi harus cukup untuk mengkonfirmasikan bahwa sistem HACCP bekerja secara efektif. Contoh kegiatan verifikasi mencakup : · Peninjauan kembali sistem HACCP dan catatannya · Peninjauan kembali penyimpangan dan disposisi produk · Mengkonfirmasi apakah TKK dalam kendali Apabila memungkinkan, kegiatan validasi harus mencakup tindakan untuk mengkonfirmasi kemanjuran semua elemen-elemen rencana HACCP. 12. Penetapan dokumentasi dan pencatatan (Iihat Prinsip 7) Pencatatan dan pembuktian yang efisien serta akurat adalah penting dalam penerapan sistem HACCP. Prosedur harus didokumentasikan. Dokumentasi dan pencatatan harus cukup memadai sesuai sifat dan besarnya operasi. Contoh dokumentasi : · Analisa Bahaya · Penentuan TKK · Penentuan Batas Kritis Contoh pencatatan : · Kegiatan pemantuan Titik Kendali Kritis/TKK (CCP) · Penyimpangan dan Tindakan perbaikan yang terkait · Perubahan pada sistem HACCP · Contoh lembaran kerja HACCP seperti pada Diagram 3. (BSN, 1998). DIAGRAM 1

DIAGRAM 2

(BSN, 1998).

d. Proses Pengalengan Ikan Tuna Menurut SNI Proses pengalengan ikan tuna berdasarkan SNI 01-2712.2-1992, adalah sebagai berikut: 1) Penerimaan bahan baku Setiap bahan baku yang diperoleh harus diperiksa mutunya paling tidak secara organoleptik dan ditangani sesuai dengan persyaratan teknik sanitasi dan higiene. Ikan yang tidak memenuhi persyaratan bahan baku harus ditolak. Untuk bahan baku segar harus segera dilakukan pencucian menggunakan air mengalir dengan suhu maksimum 5oC. Bahan baku yang diterima dalam keadaan beku, apabila menunggu proses penanganan selanjutnya maka harus disimpan dalam es yang bersuhu -25 oC. Bahan baku yang dalam keadaan segar apabila menunggu proses penanganan selanjutnya harus disimpan pada suhu chilling (0oC) 2) Persiapan Apabila bahan baku masih dalam keadaan beku maka dilakukan pelelehan (thawing) dalam air mengalir yang bersuhu 10 o – 15o C. Untuk ikan dalam keadaan utuh, dilakukan pemotongan kepala, sirip dan pembuangan isi perut. Sedangkan ikan yang berukuran besar dilakukan pemotongan bagian badan menjadi ukuran yang sesuai dengan alat precooking dan selanjutnya ditempatkan dalam rak pre-cooking.

3) Pemasakan pendahuluan (pre-cooking)

Ikan tuna yang telah disiapkan dalam rak dimasukkan ke dalam alat pemasak menggunakan uap panas (steam). Waktu yang dibutuhkan untuk pemasakan pendahuluan tergantung pada ukuran ikan, namun umumnya berkisar 1 – 4 jam (mampu mereduksi 17,5 % kadar air dari daging ikan) dengan suhu pemasakan 100 o 105o C. 4) Penurunan suhu Ikan yang telah dimasak dikeluarkan dari alat pemasak dan diturunkan suhunya sampai ikan dapat ditangani lebih lanjut (30o C) dalam waktu maksimum 6 jam.

5) Pembersihan daging Daging ikan dibersihkan dari sisik, kulit, tulang dan daging merah menggunakan pisau yang tajam. Kulit, tulang dan daging merah yang terbuang ditampung dalam wadah yang terpisah. 6) Pemotongan Daging putih yang telah bersih dari kulit, tulang dan daging merah, dipotongpotong dengan ukuran yang disesuaikan dengan ukuran kaleng. Pada tahap pemotongan ini sekaligus dilakukan sortasi terhadap daging yang rusak. Daging putih yang telah dipotong secepatnya harus dimasukkan/diisikan ke dalam kaleng. 7) Pengisian Pengisian daging ke dalam kaleng dilakukan dengan cara menata daging ikan ke dalam kaleng sesuai dengan tipe produk (solid, chunk, flake, standard, grated). a) Solid : 1 – 2 potong daging putih, bebas serpihan. b) Standard : 2 – 3 potong daging putih, serpihan maksimum 2 %. c) Chunk : serpihan daging putih ± satu kali makan, sepihan flake maks 40 %. d) Flake : potongan daging kecil < chunk e) Grated : daging kecil (flake, tidak seperti pasta). 8) Penambahan medium

Medium ditambahkan sesaat sebelum kaleng ditutup. Suhu medium antara 70 – 80oC. Pengisian media hingga batas head space atau antara 6 – 10 % dari tinggi kaleng. 9) Penutupan kaleng Penutupan kaleng dilakukan dengan sistem double seaming dan dilakukan pemeriksaan secara periodik. 10) Sterilisasi Sterilisasi dilakukan di dalam retort dengan nilai Fo sesuai dengan jenis dan ukuran kaleng, media dan tipe produk dalam kemasan atau equivalent dengan nilai Fo > 2,8 menit pada suhu 120o C. Pada setiap sterilisasi harus dilakukan pencatatan suhu secara periodik. 11) Penurunan suhu dan pencucian Penurunan suhu dan pencucian menggunakan air yang mengandung residu klor 2 ppm. Setelah dikeluarkan dari retort, kaleng dipindahkan ke tempat yang terlindung (restricted area) untuk pendinginan dan pengeringan. 12) Pemeraman Kaleng yang telah dingin dimasukkan ke dalam suatu ruang dengan suhu kamar dan diletakkan dengan posisi terbalik, dan kemudian dilakukan pengecekan terhadap kerusakan kaleng. Kaleng yang dianggap rusak adalah kaleng yang menggembung atau bocor. Pemeraman dilakukan minimal selama 7 (tujuh) hari. (Pajri, 2012)

2. Diagram Alir Ikan segar Sortasi (ukuran ) Penghilangan kepala, sirip, ekor dan isi perut Dicuci dengan air

Pencucian

Air kotor (limbah cucian)

Pengisian (filling) Pre-cooking 100 oC – 105oC, lama 1-4 jam Penirisan (decanting) Penambahan saus cabai atau tomat dan minyak sayur suhu 800C Penghampaan (exhausting) Penutupan wadah kaleng (seaming) Pendinginan Sterilisasi suhu 115-1170C, tekanan 0,8 atm selama 85 menit (kaleng kecil) dan 105 menit (kaleng besar) Pendinginan selama 15 menit Pelabelan dan pengepakan

2.1 Tabel 2.1.1

No

Tabel Analisis Bahaya

Tahapan Proses

1.

2.

Penerimaan bahan baku

Sumber Bahaya

1. Kualitas ikan

segar

Sortasi serta 1. Kontaminasi penghilangan alat dan kepala, ekor, pekerja sirip dan isi perut

Potensial Bahaya

Apakah Bahaya Potensial Nyata Peluang terjadinya L/M/H (Low/Med ium/High)

Keparahan L/M/H (Low/Medi um/High)

Ya

Fisik : kecacatan produk Kimia : merkuri di lautan Biologi : mikroba

M

M



Fisik : kesalahan metode pembersihan Kimia : Biologi : Mikroba

L

L



Tindakan

Tidak

1. Ikan yang diterima harus diperiksa mu

paling tidak secara organoleptic ditangani berdasarkan persyaratan sanitasi dan higiene. Ikan yang memenuhi persyaratan bahan baku ditolak. 1. Pengecekan kualitas alat serta pengo pekerja

3.

Pencucian

1. Air yang digunakan

4.

Pengisian (filling)

1. Pekerja 2. Benda Asing

5.

6.

7.

Pemasakan Pendahuluan (pre-cooking)

Penirisan

1. Proses

pemasakan

1. Posisi/kemirin gan kaleng yang ditiriskan Penambahan 1. Kontaminasi medium pengisi dari medium (saus pengisi tomat/cabai,

Fisik : Kimia : Biologi : Mikroba

L

L



1. Penggunaan air yang berkualitas (memenuhi standar keamanan air).

Fisik: Kontaminasi M bahan asing (tulang, bahan pengotor lainnya, kontaminasi logam Cu dan Fe dari kaleng). Kimia : Biologi : Cemaran Salmonella 1. Pengaturan M suhu dan lama pemasakan kurang tepat.

M



1. Harus hati-hati dalam membersihkan b baku

2. Kaleng yang digunakan harus disterilis 3. Penggunaan suhu rendah

4. Pekerja memenuhi standar sanitasi den baik M



-

L

L



Fisik ; Kimia : Biologi : Mikroba

L

L



1. Pemeriksaan terhadap alat sehingga da digunakan untuk pemasakan mengguna uap secara optimal.

2. Metode pemasakan harus diperhatikan sehingga daging ikan yang dimasak da matang secara merata. 1. Pengontrolan terhadap peletakan posis miring kaleng berisi ikan (ketika ditiris

1. Pada saat pengisian medium dikondisik yang steril.

minyak sayur) 8.

Penghampaan (exhausting)

1. Alat

.

9.

Penutupan kaleng

1. Mekanisme kerja alat

Alat berfungsi benar. -

10. Pendinginan 11. Sterilisasi

1. Proses

M

M



tidak L dengan

L



-

-

-

Fisik : M Kimia : cemaran logam dari kaleng Biologi :M

M

M



M

M



-

-

-

M

M

L

M



M

M



M

M



1. Pengecekan alat secara berkala, apaka masih layak atau tidak untuk digunaka -

-



1. Dilakukan di ruangan yang steril da bebas bahan pencemar

2. Kaleng yang digunakan harus diste

3. Pengerjaannya harus cermat dan te

12. Pendinginan 13. Pengepakan dan pelabelan

-

-

1. Alat Pengepak 1. Alat rusak atau kualitas 2. Jenis menurun pengepak 2. Kemasan rusak/bocor 4. Bahan kemasan mengandung bahan kimia 3. Pekerja 5. Kontaminasi



1. Hati-hati dalam pengerjaannya 2. pekerjanya harus cermat dan teliti

bakteri 6. Pekerja kurang berhati-hati

L

M



Penentuan TKK No

Tahapan Proses 1. Penerimaan bahan baku 2. Sortasi serta penghilangan kepala, ekor, sirip dan isi perut 3. Pencucian

Bahaya 1. Kualitas ikan segar 1. Kontaminasi alat dan pekerja

P1 Ya

P2 Ya

P3 -

P4 Ya

No. CCP Bukan CCP

Ya

Ya

-

Ya

Bukan CCP

1. Air yang digunakan 1. Pekerja 2. Benda Asing

Ya

Tidak

Tidak

Tidak

CCP

Ya

Tidak

Ya

Ya

Bukan CCP

1. Proses

Ya

Ya

-

Tidak

CCP

1. Posisi/kemiringan Tidak kaleng yang ditiriskan 7. Penambahan 1. Kontaminasi dari Ya medium pengisi medium pengisi (saus tomat/cabai, minyak sayur)

-

-

-

Bukan CCP

Ya

-

Tidak

CCP

8. Penghampaan (exhausting)

-

-

-

Bukan CCP

4. Pengisian (filling) 5. Pemasakan Pendahuluan (pre-cooking)

pemasakan

6. Penirisan

1. Alat

Tidak

9. Penutupan kaleng 10. Pendinginan 11. Sterilisasi 12. Pendinginan 13. Pengepakan dan pelabelan

1. Mekanisme kerja Ya alat 1. Proses 1. Alat Pengepak 2. Jenis pengepak

3. Pekerja

Ya

-

Tidak

CCP

-

-

-

-

Bukan CCP

-

-

-

-

Bukan CCP

Tidak

-

-

-

Bukan CCP

Tabel Kerja Pengendalian HACCP No

CCP (Tahapan

Bahaya

Tindakan

Proses yang

Pengendalian

Tindakan

Tanggung

Langsung

Koreksi

jawab dan

Batas Kendali

wewenang

bagaimana)

CCP) Pencucian

Koreksi

siapa,

memerlukan

1.

Pemantauan (apa, dimana,

Air

yang Pengontrolan

digunakan

kualitas air

Apa : ikan Saat bahan Dimana : ruang dicuci pengolahan Siapa : pekerja Bagaimana : mengontrol proses pencucian

-Penggunaan

Quality

Kekeruhan

bahan baru untuk

Control

dengan

dicuci kembali. Menginvestigasi penyebab terjadinya penyimpangan.

melakukan metode BOD/COD, cemaran logam berat (Cu, Hg), cemaran mikrobiologis

2.

Pemasakan Pendahuluan (pre-cooking)

Proses pemasakan

Pengontrolan proses

Apa : ikan Saat bahan Dimana : ruang dimasak pengolahan Siapa : pekerja Bagaimana : mengontrol proses

-pemasakan

Quality

Suhu

kembali. -

Control

pemasakan dan lama

Menginvestigasi

pemasakan

penyebab terjadinya penyimpangan.

3.

4.

Penambahan Kontaminasi Pengontrolan medium pengisi dari medium proses (saus pengisi tomat/cabai, minyak sayur)

Penutupan kaleng

Mekanisme kerja alat

Pengontrolan proses

Apa : ikan Saat bahan Dimana : ruang diberi pengolahan medium Siapa : pekerja Bagaimana : pengisi

Menghentikan

Quality

Kecepatan

proses.

Control

pengisian

mengontrol

terjadinya

proses

penyimpangan.

Apa : ikan Saat kaleng Dimana : ruang ditutup pengolahan Siapa : pekerja Bagaimana :

Menghentikan

Quality

Ketepatan

proses.

Control

posisi kaleng

Menginvestigasi penyebab

Menginvestigasi

pada alat dan

penyebab

kecepatan

mengontrol

terjadinya

penutupan

proses

penyimpangan.

kaleng

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2011. Melihat Proses Pembuatan Ikan Sardines. http://informasibudidaya.blogspot.com/2011/07/melihat-proses-pembuatan-ikan-sardines.html. [Diakses tanggal 2 Desember 2012]. [DSN] Dewan Standarisasi Nasional. 1998. SNI 01-4852-1998. Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP) Serta Pedoman Penerapannya. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional Hariyadi, P. (Ed). 2000. Dasar-Dasar Teori dan Praktek Proses Termal. Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB. Bogor. Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta. Pajri, M. 2012. Mempelajari Proses Pengalengan Ikan Tuna dengan Prinsip Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). http://muhammadpajri1991.blogspot.com/2012/07/mempelajari-proses-pengalenganikan.html. [Diakses tanggal 2 Desember]. Putra, A. W. 2008. Identifikasi Bahaya dan Cara Pencegahannya. http://dc310.4shared.com/doc/otlFo3JR/preview.html. [Diakses 1 Desember 2012]. Toledo, R. T. 1991. Fundamentals of Food Process Engineering. Van Nostrand Rienhold. New York. Wirakartakusumah, M. A., Hermanianto, D. dan Andarwulan, N. 1989. Prinsip Teknik Pangan. PAU Pangan.

LAMPIRAN

Pengadaaan Bahan Baku Ikan Segar

Penghampaan (Exhausting)

Sterilisasi (Processing)

Pengguntingan (cutting)

Penutupan Wadah Kaleng (Seaming)

Pengepakan

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF