Analgesik Opioid
July 5, 2018 | Author: Kraftchez | Category: N/A
Short Description
Analgesik Opioid...
Description
Analgesik opioid Analgesik opioid digunakan untuk mengurangi nyeri sedang sampai berat, terutama yang pada bagian viseral. Penggunaan berulang dapat mengakibatkan ketergantungan dan toleransi, tapi ini bukan alasan tidak digunakannya dalam mengatasi nyeri pada penyakit terminal. Penggunaan opioid kuat mungkin sesuai untuk beberapa kasus nyeri kronis non-keganasan; pengobatan sebaiknya diawasi oleh dokter spesialis dan kondisi pasien sebaiknya dikaji setiap interval tertentu EFEK SAMPING. Berbagai analgesik opioid memiliki m emiliki banyak efek samping yang sama walaupun ada perbedaan kualitatif dan kuantitatif. Yang paling sering, diantaranya mual, muntah, konstipasi, dan rasa mengantuk. Dosis yang lebih besar menimbulkan depresi napas dan hipotensi. Overdosis, lihat Perawatan Darurat pada Keracunan. INTERAKSI. Lampiran 1 (analgesik opioid) (penting: bahaya khusus pada interaksi dengan petidin dan mungkin juga opioid lain, dan dengan MAOI). MENGEMUDI. Rasa mengantuk dapat mempengaruhi kemampuan kerja seseorang (misalnya mengemudi); efek alkohol diperkuat. PILIHAN. Morfin tetap merupakan analgesik opioid pilihan untuk nyeri berat walaupun sering mengakibatkan mual dan muntah. Morfin merupakan standar yang digunakan sebagai pembanding bagi analgesik opioid lain. Namun selain menghilangkan nyeri, morfin juga menimbulkan keadaan euforia dan gangguan mental. Morfin merupakan opioid pilihan untuk pengobatan oral nyeri berat pada perawatan paliatif. Obat diberikan tiap 4 jam (atau tiap 12 atau 24 jam sebagai sediaan lepas lambat). Buprenorfin memiliki sifat agonis opioid maupun antagonis dan dapat memperburuk gejala putus obat, termasuk nyeri, pada pasien yang bergantung pada opioid lain. Buprenorfin berpotensi untuk disalahgunakan dan dapat menimbulkan ketergantungan. Buprenorfin memiliki lama kerja yang jauh lebih panjang dari morfin dan pemberian secara sublingual merupakan analgesik yang efektif untuk 6-8 jam. Kemungkinan timbulnya muntah dapat menjadi masalah. Tidak seperti kebanyakan analgesik opioid lainnya; efek buprenorfin hanya dapat dihilangkan secara parsial oleh nalokson. Kodein efektif untuk mengurangi nyeri ringan hingga sedang, tetapi terlalu sering menimbulkan konstipasi bila dipakai untuk jangka panjang. Difenoksilat (dikombinasi dengan atropin, sebagai co-phenotrope) co-phenotrope) digunakan pada diare akut (lihat 1.4.3) Dipipanon yang digunakan secara tunggal kurang menimbulkan sedasi dibanding morfin, tetapi merupakan satu-satunya sediaan yang mengandung antiemetik dan oleh karena itu tidak sesuai sebagai regimen reguler pad a perawatan paliatif. Diamorfin (heroin) adalah opioid analgesik yang sangat kuat. Diamorfin dapat menyebabkan lebih sedikit mual dan hipotensi dibanding morfin. Pada perawatan paliatif kelarutan diamorfin yang lebih besar memungkinkan dosis efektif disuntikkan dengan volume yang lebih kecil dan hal ini penting pada pasien yang sangat kurus. Dihidrokodein memiliki khasiat analgesik mirip kodein. Dosis dihidrokodein
per oral biasanya 30 mg tiap 4 jam, menggandakan dosis menjadi 60 mg dapat meningkatkan efek analgesiknya, tetapi mual dan muntah juga meningkat. Alfentanil, fentanil, dan remifentanil biasanya digunakan melalui injeksi sebagai penghilang nyeri dalam intra-operasi; fentanil tersedia dalam sediaan transdermal seperti plester yang diganti setiap 72 jam. Meptazinol dinyatakan jarang menimbulkan depresi pernapasan. Lama kerjanya 2-7 jam dan mula kerja 15 menit. Metadon kurang menimbulkan sedasi dibanding morfin dengan masa kerja lebih lama. Pada penggunaan jangka panjang, metadon tidak boleh diberikan lebih dari 2 kali sehari untuk menghindari risiko akumulasi dan overdosis opioid. Metadon dapat digunakan sebagai pengganti morfin pada penderita yang mengalami reaksi eksitasi (atau eksaserbasi rasa nyeri) dengan morfin. Oksikodon mempunyai khasiat dan efek samping yang mirip dengan morfin. Biasanya digunakan pada penanganan nyeri pada perawatan paliatif. Pentazosin memiliki sifat agonis maupun antagonis dan memicu timbulnya gejala putus obat; termasuk nyeri pada penderita yang bergantung pada opioid lain. Bila disuntikkan efek pentazosin lebih kuat dibanding daripada dihidrokodein atau kodein, tetapi dapat timbul halusinasi dan gangguan pikiran. Tidak dianjurkan, dan khususnya sebaiknya dihindari oleh penderita pasca infark miokard karena obat ini meningkatkan tekanan darah aorta dan paru-paru; dan meningkatkan kerja jantung. Petidin merupakan analgesik yang cepat tetapi bertahan hanya untuk waktu singkat; kurang menimbulkan konstipasi dibanding morfin; tetapi kurang kuat sebagai analgesik, bahkan dalam dosis tinggi. Tidak cocok untuk nyeri hebat yang berkepanjangan. Digunakan untuk analgesia dalam proses melahirkan; namun demikian, opioid lain seperti morfin dan diamorfin sering lebih disukai untuk nyeri obstetrik. Tramadol bekerja sebagai analgesia melalui dua mekanisme yaitu efek opioid dan memacu jalur serotoninergik dan adrenergik. Memiliki efek samping khas opioid yang lebih sedikit (depresi napas, konstipasi, dan potensi kecanduan yang lebih sedikit). Telah dilaporkan terjadi reaksi psikiatrik. DOSIS. Dosis opioid yang tercantum mungkin perlu disesuaikan sesuai masingmasing individu tergantung pada derajat penghilang rasa nyeri dan efek samping. Respon pasien terhadap analgesik opioid sangat beragam. ANALGESIK PASCA BEDAH. Penggunaan opioid selama pembedahan mempengaruhi peresepan analgesik pasca bedah dan pada banyak kasus mungkin diperlukan penundaan penggunaan analgesik pasca bedah. Opioid pasca bedah sebaiknya digunakan secara hati-hati karena kemungkinan dapat memicu depresi pernafasan residual. Analgesik non opioid juga dapat digunakan untuk mengatasi nyeri pasca bedah. Morfin dan papaveretum digunakan paling luas. Tramadol tidak seefektif opioid lain untuk mengatasi nyeri hebat. Buprenorfin mungkin dapat melawan efek analgesik dari analgesik yang digunakan sebelumnya dan karenanya tidak direkomendasikan. Petidin dimetabolisme menjadi norpetidin yang dapat terakumulasi, terutama pada gangguan fungsi ginjal; norpetidin menstimulasi sistem saraf pusat dan dapat menyebabkan kejang. Meptazinol jarang digunakan. NYERI GIGI DAN MULUT. Analgesik opioid relatif kurang efektif pada nyeri gigi dan mulut. Seperti opioid lain, dihidrokodein sering menimbulkan mual dan muntah yang membatasi manfaatnya pada nyeri gigi dan mulut; jika digunakan sedikit lebih, dapat berpotensi menimbulkan konstipasi. Dihidrokodein tidak terlalu efektif dalam
mengatasi nyeri gigi dan mulut pasca bedah. Petidin dapat digunakan per oral, namun untuk memperoleh efek optimal, perlu diberikan melalui injeksi. Khasiat dalam mengatasi nyeri gigi dan mulut pasca bedah tidak terbukti dan penggunaannya pada sekitar gigi dan mulut menjadi sangat sedikit. Efek samping petidin sama dengan dihidrokodein dan kecuali efek konstipasi, petidin lebih banyak menyebabkan efek samping lainnya. PECANDU. Walaupun perlu hati-hati, pecandu (dan mantan pecandu) dapat diobati dengan analgesik dengan cara yang sama seperti orang lain bila kebutuhan klinisnya nyata. Ketergantungan dan penghentian obat Ketergantungan psikologi jarang muncul pada anak jika opioid digunakan untuk penanganan nyeri, tetapi toleransi dapat terjadi selama penggunaan jangka panjang, oleh karena itu obat sebaiknya dihentikan secara bertahap untuk menghindari gejala putus obat. Monografi: FENTANIL Indikasi: nyeri tiba-tiba pada pasien yang sudah dalam terapi opioid untuk nyeri kanker kronik; nyeri kronik yang sukar ditangani; indikasi lain. Peringatan: lihat pada Garam Morfin dan keterangan di atas. Interaksi: Lampiran 1 (analgesik opioid). Kontraindikasi: lihat pada Garam Morfin, dan keterangan di atas. Efek Samping: lihat pada Garam Morfin dan keterangan di atas; penggunaan dengan patches, reaksi lokal seperti ruam kulit, eritema dan gatal dilaporkan. DEMAM atau PANAS DARI LUAR. Monitor pasien untuk efek samping yang meningkat bila timbul demam (absorpsi mungkin meningkat); hindarkan tempat aplikasi dari sengatan panas (dapat menambah absorpsi). LAMA KERJA YANG PANJANG. Mengingat kerjanya yang lama; pasien yang mengalami efek samping berat harus dimonitor hingga 24 jam setelah tapel ( patch) dilepas. Penggunaan: Durogesic (Janssen, Belgia/ Kimia Farma) 2,5 mg, 5 mg, 7,5 mg, 10 mg/cakram transdermal; self-adhesive; transparan; tapel fentanil; '25' (melepaskan kira-kira 25 mcg/jam untuk 72 jam); '50' patch (melepaskan kira-kira 50 mcg/jam untuk 72 jam); '75' patch (melepaskan kira-kira 75 mcg/jam untuk 72 jam); '100' patch (melepaskan kira-kira 100 mcg/jam untuk 72 jam). CARA PAKAI: Tempelkan pada permukaan kulit yang kering; tidak terkena sinar matahari; dan tidak berambut di daerah pinggang atau lengan atas; dilepaskan setelah 72 jam; dan tempelkan tapel baru di tempat lain (hindarkan penempelan tapel pada tempat yang sama untuk beberapa hari).
Penderita yang belum pernah menerima analgesik opioid kuat; dosis awal; satu patch '25 mcg/jam' diganti setelah 72 jam; penderita yang pernah menerima analgesik opioid; dosis awal didasarkan kebutuhan opioid dalam 24 jam sebelumnya (morfin sulfat oral 90 mg per 24 jam- satu tapel '24 mcg/jam'; lihat lembaran informasi untuk perinciannya); ANAK tidak dianjurkan. Catatan: Bila baru mulai menggunakan Durogesic penilaian efek analgesiknya jangan dilakukan sebelum cara ini dipakai selama 24 jam (untuk menaikkan kadar plasma fentanil sedikit demi sedikit) pemberian analgesik sebelumnya sebaiknya dihentikan bertahap sejak aplikasi tapel yang pertama; penyesuaian dosis umumnya dilakukan setiap 72 jam dengan '25 mcg/jam'. Boleh dipakai lebih dari satu tapel sekaligus bila dosis lebih besar dari '100 mcg/jam' (tetapi tempelkan pada saat yang sama supaya tidak bingung) pertimbangkan pengobatan analgesik tambahan/ alternatif bila dosis yang dibutuhkan melebihi 300 mcg/jam (penting: mungkin diperlukan 17 jam/ lebih untuk berkurangnya kadar fentanil sebanyak 50%; karena itu pengobatan opioid pengganti sebaiknya dimulai dengan dosis rendah; dinaikkan sedikit demi sedikit). KODEIN FOSFAT Indikasi: nyeri ringan sampai sedang; diare; antitusif. Peringatan: lihat pada Garam Morfin; penggunaan antitusif yang mengandung kodein atau opioid analgesik sejenis tidak direkomendasikan pada anak-anak dan sebaiknya dihindari seluruhnya pada anak di bawah satu tahun. Interaksi: Lampiran 1 (analgesik opioid). Kontraindikasi: lihat di bawah Garam Morfin dan catatan di atas. Efek Samping: lihat pada Garam Morfin dan catatan di atas. Dosis: per oral , 30-60 mg setiap 4 jam ketika dibutuhkan, hingga maksimal 240 mg sehari; anak 1-12 tahun, 3 mg/kg bb sehari dengan dosis terbagi. Melalui injeksi intramuskular , 30-60 mg setiap 4 jam ketika dibutuhkan. GARAM MORFIN Indikasi: lihat keterangan di atas; udema paru-paru akut; analgesia perioperatif lihat 15.1.4. Peringatan: hipotensi, hipotiroidisme, asma (hindari selama serangan), dan turunnya cadangan pernapasan, hipertrofi prostat; wanita hamil (lampiran 4) dan menyusui (lampiran 5); dapat memicu koma pada gangguan fungsi hati (kurangi dosis atau hindari, namun banyak pasien demikian dapat menerima morfin); kurangi dosis atau hindari pada gangguan fungsi ginjal (lihat juga Lampiran 3); penderita lansia dan sakit parah (kurangi dosis); gangguan konvulasi, ketergantungan (gejala putus obatnya berat); penggunaan antitusif yang mengandung analgesik opioid secara umum tidak dianjurkan pada anak dan sebaiknya dihindari seluruhnya pada mereka di bawah 1
tahun. PERAWATAN PALIATIF. Pada pengendalian nyeri penyakit terminal; peringatan ini tidak boleh menjadi suatu penghalang bagi penggunaan analgesik opioid. Interaksi: Lampiran 1 (analgesik opioid). Kontraindikasi: hindari pada depresi napas akut, alkoholisme akut, dan bila terdapat risiko ileus paralitik; juga hindarkan pada peningkatan tekanan kranial atau cedera kepala (mempengaruhi respon pupil yang penting untuk penilaian neurologis); hindari injeksi pada feokromositoma (ada risiko tekanan darah naik sebagai respons terhadap pelepasan histamin). Efek Samping: mual dan muntah (khususnya pada permulaan), konstipasi, dan rasa mengantuk; dosis lebih besar menyebabkan depresi napas, hipotensi, dan kekakuan otot; efek samping lain termasuk kesulitan kencing, spasme bilier atau ureter, mulut kering, berkeringat, sakit kepala, muka memerah, vertigo, bradikardia, takikardia, palpitasi, hipotensi postural, hipotermia, halusinasi, disforia, perubahan suasana hati (mood), kertergantungan, miosis, menurunnya libido atau potensi, ruam kulit, urtikaria, dan pruritus; overdosis: lihat Perawatan Darurat pada Keracunan; untuk memperbaiki depresi napas yang ditimbulkan oleh opioid; lihat 15.1.7. Dosis: nyeri akut, melalui injeksi subkutan (tidak cocok untuk penderita udem) atau injeksi intramuskular, 10 mg setiap 4 jam bila perlu (15 mg untuk pasien bertubuh lebih kekar); ANAK: hingga 1 bulan 150 mcg/kg bb; 1-12 bulan 200 mcg/kg bb; 1-5 tahun 2,5-5 mg. 6-12 tahun 5-10 mg; melalui injeksi perlahan intravena, dosisnya seperempat hingga setengah dosis intramuskular. Pramedikasi, melalui injeksi subkutan atau intramuskular, sampai 10 mg pada 60-90 menit sebelum pembedahan; anak, melalui injeksi intramuskular, 150 mcg/kg bb. Nyeri pasca bedah, melalui injeksi subkutan atau intramuskular, 10 mg setiap 2-4 jam jika diperlukan (15 mg pada pasien kekar); anak hingga 1 bulan 150 mcg/kg bb, 1-12 bulan 200 mcg/kg bb; 1-5 tahun 2,5-5 mg; 6-12 tahun 5-10 mg. Catatan: selama pasca bedah, pasien sebaiknya dimonitor secara saksama pada penghilangan rasa nyerinya juga efek samping yang mungkin timbul, terutama penekanan pernapasan. Pasien analgesia terkendali, rujuk ke protokol rumah sakit. Infark miokard; dengan injeksi perlahan intravena (2 mg/menit); 10 mg diikuti dengan 5-10 mg bila perlu; PASIEN LANSIA atau pasien yang lemah, kurangi dosis hingga setengahnya.Udem paru akut, melalui injeksi perlahan intravena (2 mg/menit) 5-10 mg. Nyeri kronis, per oral atau injeksi subkutan (tidak cocok untuk penderita udem) atau dengan injeksi intramuskuler, 5-20 mg secara teratur tiap 4 jam; dosis dapat ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan; dosis oral harus sekitar dua kali dosis intramuskular dan tiga kali dari dosis diamorfin intramuskular; per anal, sebagai supositoria, 15-30 mg secara teratur tiap 4 jam. Catatan. Dosis yang dinyatakan di atas adalah untuk morfin hidroklorida, sulfat, dan tartrat; lihat di bawah untuk dosis sediaan lepas lambat.
Nyeri berat yang tidak dapat dikendalikan dengan opioid yang lebih lemah; 30 mg tiap 12 jam; ditingkatkan hingga 60 mg tiap 12 jam bila diperlukan; kemudian peningkatan lebih lanjut 30-50% bila perlu. Tentang dosis awal yang lebih rendah untuk pasien yang belum menerima opioid lain. ANAK: nyeri yang bandel (intractable) pada kanker; mula-mula 200-800 mcg/kg bb tiap 12 jam; lalu penambahan lebih lanjut 30-50% bila perlu. HIDROMORFON HIDROKLORIDA Indikasi: nyeri sedang hingga berat pada pasien kanker. Peringatan: tidak disarankan untuk remaja, hati-hati penggunaan pada lansia, risiko ileus paralitik, depresi pernapasan, PPOK, pasien yang mendapat anestesi, pasien yang mengalami cedera kepala dan peningkatan tekanan intrakranial, konstipasi kronik, radang atau gangguan obstruktif usus besar, pankreatitis akut, penyakit saluran empedu atau menjalani operasi saluran empedu, pasien dengan insufisiensi ginjal atau hati ringan hingga sedang, insufisiensi adrenokortikal, miksedem, hipotiroidisme, hipertrofi prostat atau striktur uretra, depresi SSP, kifoskoliosis, psikosis toksik, alkoholisme akut, tremens delirium, gangguan konvulsi, penghentian secara tiba-tiba dapat menyebabkan gejala putus obat, dapat mengganggu kemampuan mengemudi dan menjalankan mesin. Interaksi: penggunaan bersama penghambat MAO dapat menyebabkan perangsangan atau depresi SSP, meningkatkan atau menurunkan tekanan darah, agonis/antagonis morfin (buprenorfin, nalbufin, atau pentazosin) dapat menurunkan efek analgesik sehingga mengarah ke risiko gejala putus obat, obat penekan SSP, alkohol, dan relaksan otot. Kontraindikasi: hipersensitivitas, nyeri akut dan setelah operasi, asma, anak, kehamilan, saat proses melahirkan, menyusui, penurunan fungsi hati berat, insufisiensi pernapasan, nyeri perut akut, dalam terapi penghambat MAO atau masih dalam 14 hari setelah penggunaan penghambat MAO, terapi dengan buprenorfin, nalbufin, atau pentazosin, pasien koma. Efek Samping: konstipasi, mual dan muntah, mengantuk, sakit kepala dan pusing, diare, pruritus, astenia, udem. Dosis: 4 mg tiap 24 jam, dapat dinaikkan sesuai kebutuhan. Pada pasien yang belum pernah menggunakan opioid, dosis awal tidak boleh lebih dari 8 mg per 24 jam. Dosis dapat dinaikkan atau diturunkan tergantung respon, dan dosis tidak boleh dititrasi kurang dari 2 hari. Hentikan penggunaan analgesik opioid around-the-clock lainnya. Dapat digunakan bersamaan dengan analgesik non opioid. OKSIKODON HIDROKLORIDA Indikasi: nyeri sedang hingga berat pada pasien kanker, nyeri pasca bedah; nyeri berat.
Peringatan: lihat pada garam morfin dan keterangan di atas; hindari pada porfiria. Interaksi: lihat lampiran 1 (analgesik opioid). Kontraindikasi: lihat pada garam morfin dan keterangan di atas; gangguan fungsi hati sedang hingga berat, gangguan fungsi ginjal. Efek Samping: lihat pada garam morfin dan keterangan di atas. Dosis: oral, awal, 5 mg setiap 4-6 jam, ditingkatkan jika perlu menurut tingkat keparahan nyeri; maksimal 400 mg sehari, namun beberapa pasien memerlukan dosis yang lebih tinggi. ANAK di bawah 18 tahun, tidak direkomendasikan. Injeksi intravena lambat, 110 mg setiap 4 jam jika diperlukan. Injeksi subkutan, dosis awal 5 mg setiap 4 j am jika diperlukan. Infus subkutan, dosis awal 7,5 mg/24 jam, disesuaikan menurut respon. Catatan. 2 mg oksikodon oral setara dengan 1 mg oksikodon parenteral. PETIDIN HIDROKLORIDA Indikasi: nyeri sedang sampai berat; analgesia obstetrik; analgesia perioperatif. Peringatan: lihat pada Garam Morfin dan keterangan di atas; tidak cocok untuk nyeri berat yang berkepanjangan. Interaksi: Lampiran 1 (analgesik opioid). Kontraindikasi: lihat pada Garam Morfin dan keterangan di atas; gangguan fungsi ginjal berat. Efek Samping: lihat pada Garam Morfin dan keterangan di atas; konvulsi dilaporkan pada overdosis. Dosis: nyeri akut, oral 50-150 mg tiap 4 jam; anak: 0,5-2 mg/kg bb; anak-anak 0,5-2 mg/kg bb. Injeksi subkutan atau intramuskular, 25-100 mg, diulang setelah 4 jam; ANAK, injeksi intramuskular, 0,5-2 mg/kg bb. Injeksi intravena perlahan, 25-50 mg, diulang setelah 4 jam. Analgesia obstetrik, injeksi subkutan atau intramuskular, 50-100 mg, diulang 1-3 jam kemudian bila perlu; maksimum 400 mg dalam 24 jam. Pramedikasi, injeksi intramuskular, 25-100 mg 1 jam sebelum pembedahan; anak 0,5-2 mg/kg bb. Nyeri pasca bedah, injeksi subkutan atau intramuskular, 25-100 mg setiap 2-3 jam jika diperlukan; anak, injeksi intramuskular, 0,5-2 mg/kg bb.
Catatan: selama pasca bedah, pasien sebaiknya dimonitor secara saksama pada penghilangan rasa nyerinya juga efek samping yang mungkin timbul, terutama penekanan pernapasan. SUFENTANIL Indikasi: Intravena: analgesik tambahan selama induksi dan pemeliharaan keseimbangan anestesi umum, anestesi induksi dan anestesi pemeliharaan pada pasien yang menjalani prosedur operasi besar. Epidural: pengendalian nyeri pasca operasi umum, operasi toraks atau tulang dan operasi caesar. Peringatan: Gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, lansia, kondisi lemah, anak, penggunaan bersama penghambat sitokrom P4503A4, kehamilan, menyusui, mengemudi dan mengoperasikan mesin. Interaksi: Barbiturat, benzodiazepin, neuroleptik, gas halogenik dan nonselektif depresan sistem saraf pusat: dapat meningkatkan depresi pernapasan. Enzim penghambat sitokrom P4503A4 seperti ketokonazol, itrakonazol, ritonavir: menghambat metabolisme sufentanil yang meningkatkan risiko perpanjangan atau terlambatnya depresi pernapasan. Kontraindikasi: Pemberian intravena pada persalinan, intoleransi. Efek Samping: Umum: sedasi, tremor neonatal, pusing, sakit kepala, takikardi, hipertensi, hipotensi, muka pucat, sianosis neonatal, mual, muntah, pruritus, perubahan warna kulit, otot berkedut, retensi urin, inkontinensi urin, pireksia. Tidak umum: rinitis, hipersensitivitas, apati, gugup, ataksia, diskinesia neonatal, distonia, hiperrefleksia, hipertonia, hipokinesia neonatal, somnolen, gangguan penglihatan, aritmia, abnormal elektrokardiogram, hambatan atrioventrikular, bradikardi, sianosis, bronkospasme, batuk, disfonia, cegukan, hipoventilasi, gangguan pernapasan, dermatitis alergi, kulit kering, hiperhidrosis, ruam, ruam neonatal, nyeri punggung, hipotonia neonatal, kaku otot, panas dingin, hipotermia, penurunan suhu tubuh, nyeri lokasi injeksi, reaksi lokasi injeksi, nyeri, peningkatan suhu tubuh. Sangat jarang : syok anafilaktik, reaksi anafilaktik, reaksi anafilaktoid, koma, konvulsi, kontraksi otot paksa, miosis, henti jantung, syok, henti pernafasan, apnoe, penekanan pernafasan, udem paru, lariospasme, eritema, kejang otot. Dosis: Analgesik tambahan: dosis 0.5-5 mcg/kg BB, tambahan dosis 10-25 mcg perlu disesuaikan pada kebutuhan masing-masing pasien dan untuk mengantisipasi sisa waktu operasi. Anestesi : dosis lebih dari 8 mcg/kg BB, dosis tambahan 25-50 mcg cukup untuk mempertahankan kestabilan kardiovaskular selama anestesi. Pengendalian nyeri pasca operasi : dosis awal 30-50 mcg, tambahan 25 mcg dapat diberikan bila terdapat pengurangan efek analgesia. Analgesik tambahan selama proses persalinan: 10 mcg tambahan pada bupivakain epidural, dapat diberikan 2 injeksi kombinasi berikutnya dengan total dosis tidak lebih dari 30 mcg.
Antikolinergik dosis kecil intravena diberikan sebelum pemberian sufentanil intravena untuk mencegah bradikardi. Dosis disesuaikan dengan usia, berat badan, status fi sik, kondisi patologis, penggunaan obat lain, dan tipe prosedur pembedahan dan anestesi. TRAMADOL HIDROKLORIDA Indikasi: nyeri sedang sampai berat. Peringatan: lihat pada garam morfin dan keterangan di atas; riwayat epilepsi (dilaporkan timbulnya konvulsi, biasanya setelah injeksi intravena yang cepat); hindari pada kehamilan (lampiran 4) dan menyusui (lampiran 5); tidak sesuai sebagai terapi pengganti pada pasien ketergantungan opiat. Anestesi Umum: Tidak direkomendasikan sebagai analgesik pada awal kerja anestesi umum (menyebabkan meningkatnya risiko pembatalan pembedahan). Interaksi: lihat Lampiran 1. Kontraindikasi: Lihat pada garam morfin dan keterangan di atas. Efek Samping: lihat pada garam morfin dan keterangan di atas, perasaan tidak nyaman di perut, diare, hipotensi, dan hipertensi okasional, dilaporkan juga terjadi paraestesia, anafilaksis, dan kebingungan. Dosis: oral, 50-100 mg tidak boleh lebih sering dari 4 jam; tot al pemakaian lebih dari 400 mg per hari tidak selalu dibutuhkan. Anak-anak tidak direkomendasikan. Intramuskular atau intravena (lebih dari 2-3 menit) atau infus intravena, 50-100 mg setiap 4-6 jam. Nyeri pasca bedah, dosis awal 100 mg kemudian 50 mg tiap 10-20 menit, jika diperlukan selama 1 jam pertama hingga total maksimum 250 mg (termasuk dosis awal) pada 1 jam pertama, kemudian 50-100 mg tiap 4-6 jam, maksimum 600 mg per hari. Anak-anak tidak direkomendasikan.
View more...
Comments