Akulturasi Budaya Jawa dan Islam.doc

November 19, 2017 | Author: safiraadnina | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Akulturasi Budaya Jawa dan Islam.doc...

Description

Akulturasi Budaya Jawa dan Islam MAKALAH Disusun Guna Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah: Islam dan Budaya Jawa Dosen Pengampu: Maftukhah, M.Si

Disusun oleh: Nama

: Ahmad Khamid Fajar

NIM

: 113711020

Jurusan : Tadris Kimia

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2014

0

I.

PENDAHULUAN Sebelum

masuknya

agama-agama ke bumi Indonesia termasuk Islam,

masyarakat Indonesia dikenal sebagai penganut animisme dan dinamisme. Selain itu, sebelum masuknya agama Islam masyarakat Indonesia telah menganut agama HinduBudha. Oleh karena itu, ketika masuk agama Islam komunikasi antara ketiga unsur antar kepercayaan animisme-dinamisme, Hindu-Budha dan ajaran agama Islam yang baru dalam kehidupan mereka tidak dapat dihindarkan. Dalam interaksi ini mereka memiliki latar belakang budaya yang berbeda akibat dari bedanya ajaran agama masing-masing. Komunikasi antar budaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan,misalnya antara suku bangsa, ras, etnik dan lain-lain. Dengan demikian para pembawa agama Islam yang oleh para sejarahwan dikatakan sebagai “pedagang dari Gujarat” dalam menyebarkan agama islam telah mengalami komunikasi dan interaksi yang intensif dengan penduduk lokal yang telah memeluk agama Hindu-Budha, yang tentu saja karena ajaran agama ini menciptakan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan pembawa ajaran agama Islam tersebut.1 Pada

awal

interaksinya

kebudayaan-kebudayaan

ini

akan

saling

mempengaruhi baik secara langsung atau tidak langsung. Pada akhirnya kebudayaan yang berbeda ini berbaur saling mempengaruhi antara budaya yang satu dan budaya yang lain. Sehingga, saat Islam sudah memiliki banyak pengikut dan legimitasi politik yang cukup besar, dengan sendirinya kebudayaan Islam-lah yang lebih dominan dan

melebur dalam satu kebudayaan

dalam satu wajah baru. Unsur kebudayaan islam itu di terima, diolah dan dipadukan dengan budaya Jawa. Karena budaya islam telah tersebar di masyarakat dan tidak dapat di elakkan terjadinya pertemuan dengan unsur budaya Jawa, maka perubahan kebudayaan yang terjadi selama ini adalyang masih dapat menjaga identitas budaya Jawa yakni dengan akulturasi2

II.

RUMUSAN MASALAH

1

Ja’far shodiq,Pertemuan antara tarekat dan NU,(Yogyakarta,2008).halaman 84

2

Sri Suhandjati Sukri,ijtihad Progresif Yadasipura II, (Yogyakarta:2004) halaman 327

1

A. Pengertian akulturasi? B. Proses akulturasi budaya jawa dan Islam? C. Hubungan antara budaya jawa dan Islam dalam aspek kepercayaan? D. Hubungan antara budaya jawa dan Islam dalam aspek ritual? III.

PEMBAHASAN A. Pengertian Akulturasi Istilah akulturasi berasal dari bahasa Latin acculturate yang berarti “tumbuh dan berkembang bersama”. Secara umum, pengertian akulturasi (acculturation) adalah perpaduan dua buah budaya yang menghasilkan budaya baru tanpa menghilangkan unsur-unsur asli dalam budaya tersebut. Misalnya. proses percampuran dua budaya atau lebih yang saling bertemu dan saling memengaruhi. Sedangkan, menurut Koentjaraningrat, akulturasi adalah proses sosial yang terjadi bila kelompok sosial dengan kebudayaan tertentu dihadapkan pada kebudayaan asing yang berbeda. Syarat terjadinya proses akulturasi adalah adanya persenyawaan (affinity) yaitu penerimaan kebudayaan tanpa rasa terkejut. Syarat lainnya adalah adanya keseragaman (homogenity) seperti nilai baru yang tercerna akibat keserupaan tingkat dan corak budayanya.3 B. Proses akulturasi budaya jawa dan Islam Dalam proses akulturasi ada dua pendekatan mengenai bagaimana cara yang ditempuh supaya nilai-nilai Islam dapat diserap menjadi bagian dari kebudayaan jawa yaitu : 1. Islamisasi Kultur Pendekatan ini budaya jawa diupayakan agar tampak bercorak islam baik secara formal maupun secara substansial yang ditandai dengan penggunaan istilah-istilah Islam, nama-nama Islam, pengambilan, peran tokoh Islam pada berbagai cerita lama, sampai kepada penerapan hukumhukum, norma-norma Islam dalam berbagai aspek kehidupan. 2. Jawanisasi Islam

3

http://www.pengertianahli.com/2014/04/pengertian-akulturasi-apa-itu-akulturasi.html#_ diakses pada tanggal. 20 september 2014 pukul 10:21 wib

2

Sebagai upaya penginternalisasian nilai-nilai Islam melalui cara penyusupan terhadap budaya-budaya jawa. Maksudnya disini adalah meskipun istilah dan nama jawa tetap dipakai, tetapi nilai yang dikandungnya adalah nilai Islam sehingga islam menjadi menjawa. Berbagai kenyataan menunjukkan bahwa produk-produk budaya orang jawa islam cenderung mengarah kepada polarisasi islam kejawaan atau jawa yang keislaman sehingga timbul istilah jawa atau islam kejawen.4 C. Hubungan antara budaya jawa dan Islam dalam aspek kepercayaan Setiap agama memiliki aspek fundamental yaitu aspek kepercayaan dan memiliki keyakinan, terutama kepercayaan terhadap suatu yang sacral, yang suci atau yang gaib. Dalam agama islam aspek fundamental terumuskan dalam aqidah atau keimanan sehingga terdapatlah rukun iman yang harus dipercaya oleh orang islam. Kemudian dalam budaya jawa pra islam yang bersumberkan ajaran hindhu terdapat kepercayan adanya pulau dewata, terhadap kitab-kitab suci. Orrang-prang (para resi), roh-roh jahat, lingkaran penderitaan (samsara), hokum karma dan hidup hokum abadi (muksa). Dalam agama budha terdapat kepercayaan mengenai empat kebenaran abadi (kesunyatan), yakni dukha (penderitaan), samudaya (sebuah pendritaan), nirodha (pemadam keinginan) dan morga (jalan kelepasan). Adapun pada agama primitif sebaga orang jawa sebelum kedatangan hindhu atau budha terdapat kepercayaan animisme dan dinamisme. Kepercayaan dari agama hindhu, budha maupun animisme dan dinamisme ini dalam proses pengembangan islam beriteraksi dalam kepercayaan dalam islam, yang meliputi aspek ketuhanan, prinsip ajaran islam telah tercampur dalam berbagai unsure kepercayaan hindhu, budha. Contohnya seperti sebutan Allah swt., orang kejawen biasa menyebutnya Gusti Allah. Berkaitan dengan sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme, kepercayaan mengesakan Allah itu sering menjadi tidak murni oleh karena tercampur dengan penuhanan terhadap bendabenda yang dianggap keramat, baik benda mati maupun benda hidup. Arti keramat disini bukan berarti mulia terhormat, tetapi memiliki memiliki gaya magis, sesuatu yang sacral bersifat ilahiyat. Dalam tradisi jawa terdapat berbagai jenis barang yang digunakan. Ada yang disebut azimat pusaka, dalam bentuk tombak, keris, ikat kepala, cincin, batu, akik dll. 4

Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta:Gama Media, 2000), Hlm. 119.

3

Mistik kejawen sesungguhnya merupakan manisfestasi agama jawa. Agama jawa adalah akumulasi praktik religi masyarakat jawa. Dalam pandangan jawa Geertz, agama jawa memiliki tiga variasi yaitu: 1. Varian Abangan Struktur sosial desa biasanya diasosiasikan kepada para petani, pengrajin dan buruh kecil yang penuh dengan tradisi animisme upacara slametan, kepercayaan terhadap makhluk halus, tradisi pengobatan, sihir dan menunjuk kepada seluruh tradisi keagamaan abangan. Bagi sistem keagamaan Jawa, slametan merupakan hasil tradisi yang menjadi perlambang kesatuan mistis dan sosial di mana mereka berkumpul dalam satu meja menghadirkan semua yang hadir dan ruh yang gaib untuk memenuhi setiap hajat orang atas suatu kejadian yang ingin diperingati, ditebus atau dikuduskan. Dalam tradisi slametan dikenal adanya siklus slametan : a. yang berkisar krisis kehidupan, b. yang berhubungan dengan pola hari besar Islam namun mengikuti penanggalan Jawa, c. yang terkait dengan intregasi desa, d. slametan untuk kejadian yang luar biasa yang ingin dislameti. Kesemuanya, betapa slametan menempati setiap proses kehidupan dunia abangan. Slametan berimplikasi pada tingkah laku sosial dan memunculkan keseimbangan emosional individu karena telah dislameti. 2. Varian Santri Mojokuto yang berdiri pada pertengahan akhir abad ke-19, jamaah muslimnya terkristal dalam latar abangan yang umum. Sementara mereka yang terdiri dari kelas pedagang dan banyak petani muncul dari utara Jawa memunculkan varian santri. Perbedaan yang mencolok antara abangan dan santri adalah jika abangan tidak acuh terhadap doktrin dan terpesona pada upacara. Sementara santri lebih memiliki perhatian terhadap doktrin dan mengalahkan aspek ritual islam yang menipis. Untuk mempertahankan doktrin santri, mereka mengembangkan pola pendidikan yang khusus dan terus menerus. Di antaranya pondok (pola santri tradisional), langgar dan masjid (komunitas santri lokal), kelompok tarekat 4

(mistik Islam tradisional) dan sistem sekolah yang diperkenalkan oleh gerakan modernis. Kemudian memunculkan varian pendidikan baru dan upaya santri memasukan pelajaran doktrin pada sekolah negeri. 3. Varian Priyayi Dalam kebudayaan Jawa, istilah priyayi atau berdarah biru merupakan satu kelas sosial yang mengacu kepada golongan bangsawan. Suatu golongan tertinggi dalam masyarakat karena memiliki keturunan dari keluarga kerajaan. Kelompok ini menunjuk pada elemen Hinduisme lanjutan dari tradisi keraton Hindu-Jawa. Sebagai halnya keraton, maka priyayi lebih menekankan pada kekuatan sopan santun yang halus, seni tinggi dan mistisme intuitif dan potensi sosialnya yang memenuhi kebutuhan kolonial Belanda untuk mengisi birokrasi pemerintahannya. Kepercayaan-kepercayaan religius para abangan merupakan campuran khas penyembahan unsur-unsur alamiah secara animis yang berakar dalam agama-agama Hinduisme yang semuanya telah ditumpangi oleh ajaran islam.5 Dalam praktek religi tersebut sebgian orang meyakini terhadap pengaruh sinkretik dengan agama lain, sedikitnya agama hindhu, budha dan islam. Senbaliknya ada yang meyakini secara puritan bahwa mistik kejawen adalah milik masyarakat jawa yang ada sebelum pengaruh lain. Masing-masing asumsi memiliki alasan yang masuk akal. Esensi agama jawa adalah pemujaan pada nenek moyang atau leluhur. Pemujaan tersebut diwujudkan melalui sikap mistik dan selametan. Meskipun secara lahiriyah mereka memuja para roh, namun esensinya tetap terpusat pada Tuhan. Jadi, agama jawa yang dilandasi sikap dan perilaku mistik tetap tersentral kepada Tuhan.6 Wirid Hidayat Jati mengajarkan paham antara manusia dengan Tuhan. Paham ini mengajarkan bahwa manusia berasal daru Tuhan oleh karena itu, harus bersatu kembali dengan Tuhan. Kesatuan kembali antara manusia dengan Tuhan didunia bias dicapai dengan penghayatan mistik, seperti pada umumnya seperti ajaran mistik. Akan tetapi kesatuan yang sempurna antara manusia dengan Tuhan menurut 5

Waro Muhammad, http://waromuhammad.blogspot.com, (2012)

6

Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen, (Yogyakarta:Narasi, 2006), Hlm. 75.

5

Wirid Hidayat Jati sesudah datangnya ajal atau maut istilah kawulo Gusti yang terdapat dalam Wirid Hiayat Jati kaitannya dengan istilah ‘abdun dan rabbun’ dalam Islam.7 Dalam kepercayaan terhadap makhluk jahat tidak saja pada agama Islam, tetapi ada juga dalam agama hindhu maupun kepercayaan primitif dan tampaknya telah saling mengisi. Namun setan, jin (islam) dan raksa (hindhu) telah dikategorikan sebagai jenis makhluk atau roh jahat penggoda manusia dan dapat menjelma seperti manusia atau hewan. Terdapat pula sejumlah makhluk halus, serta setan-setan berkelamin pria dan bermuka buruk seperti setan dharat, setan mbisu, setan mbelis, memedi, dll. Adapun setan yang sejenis kelamin wanita seperti wewe, kuntilanak, sundel bolong, setan yang menyerupai anak kecil atau kerdil adalah tuyul. Menurut keyakinan orang islam, orang yang sudah meninggal dunia ruhn ya tetap hidup dan tinggal sementara dialam kubur atau alam barzah, sebagai alam antara sebelum memasuki akhirat tanpa kecuali, apakah orang tua ataupun anakanak. Menurut orang jawa, arwah-arwah orang tua sebagai nenek moyang yang telah meninggal dunia berkeliaran disekitar tempat tinggalnya, atau sebagai arwah leluhur menetap dimakam. Dari sinilah kemudian timbul upacara bersih desa, termasuk membersihkan makam-makam disertai dengan kenduren maupun sesaji, dengan maksud agar sang dhanyang akan selalu memberikan perlindungan disisi lain atas dasar kepercayaan islam bahwa orang yang meninggal dunia perlu dikirimi doa. D. Hubungan antara budaya jawa dan Islam dalam aspek ritual Ritual atau Ritualistik adalah kegiatan yanng meliputi berbagai bentuk ibadah sebagaimana yang terdapat dalam rukun islam yaitu syahadat, sholat, zakat, puasa, dan haji. Agama islam mengajarkan kepada pemeluknya supaya melakukan kegiatan – kegiatan ritualistik diatas. Dalam ritual sholat dan puasa, selain terdapat sholat wajib lima waktu dan puasa wajib dibulan Ramadhan, terdapat pula sholat dan puasa sunnah. Yang intisari dari sholat adalah doa yang ditunjukkan kepada Allah SWT, sedangkan puasa adalah suatu bentuk pengendalian nafsu dalam rangka penyucian rohani. 7

Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Rangga Warsita, (Jakarta:UI-Press, 1998), Hlm. 278.

6

Dalam doa dan puasa mempunyai pengaruh yang sangat luas, mewarnai berbagai bentuk upacara tradisional orang jawa. Bagi orang jawa, hidup ini penuh dengan upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia sejak dari keadaannya dalam perut ibu, lahir, anak–anak, remaja, dewasa, sampai kematiaanya. Dalam kepercayaan lama upacara dilakukan dengan mengadakan sesaji atau semacam korban yang disajikan kepada daya – daya kekuatan gaib tertentu yang bertujuan supaya kehidupannya senantiasa dalam keadaan selamat. Setelah islam datang, secara luwes islam memberikan warna baru dalam kepercayaan itu dengan sebutan kenduren atau selamaran. Dalam upacara selamatan ini yang pokok adalah yang dipimpin oleh kiai. Dalam selamatan ini terdapat seperangkat makanan yang diidangkan pada peserta selamatan, serta makanan yang dibawa kerumah seperti berkat. Jenis-jenis akulturasi dalam ritual keagamaan 1. Selametan atau Kewilujengan Selametan berasal dari bahasa Arab “salamah” yang berarti selamat. Upacara selamatan ditujukan untuk meminta keselamatan bagi seseorang atau salah satu anggota keluarga. Upacara selametan biasanya diadakan di rumah suatu keluarga dan dihadiri anggota keluarga dan tetangga, kerabat dan kenalan. Selametan mengundang modin atau tokoh agama untuk memberikan doa. Koentjaraningrat berpendapat bahwa: “upacara slametan yang bersifat keramat adalah upacara slametan yang diadakan oleh orang-orang yang dapat merasakan getaran emosi keramat, terutama pada waktu menentukan diadakannya slametan itu, tetapi juga pada waktu upacara sedang berjalan.8 2. Upacara Daur Hidup Daur hidup adalah upacara yang terkait dengan upacara-upacara sepanjang lingkaran hidup manusia. A Van Gannep yang pendapatnya dikutip oleh Koentjaraningrat mengemukakan bahwa rangkaian upacara sepanjang lingkaran hidup merupakan bentuk tertua dari semua aktivitas keagamaan dan kebudayaan manusia. Dalam daur hidup terdapat suatu tradisi upacara yaitu sedekah untuk menghormati arwah keluarga yang sudah meninggal dunia. Macam-macam upacara daur hidup adalah: 8

Mundzirin Yusuf, dkk, Pokja Akademik Islam dan Budaya Lokal. (Yogyakarta,2005)

7

a. b.

Tingkeban: upacara yang diadakan saat usia kandungan mencapai 7 bulan. Melahirkan: orang tua mengumandangkan azan pada telinga anak yang baru

c.

lahir dan diikuti dengan upacara lek-lekan selama beberapa hari tertentu. Slametan Brokohan: upacara memberi nama pada bayi. Nama diberikan

d. e.

pada hari kelahiran. Kekah: inti upacara ini adalah pemotongan rambut bayi pada hari ke-7. Tedhak Siten: slametan pada saat bayi berumur 35 hari atau upacara

f. g. h. i.

menyentuh tanah. Khitanan: upacara sunatan atau mengislamkan. Pemakaman: upacara menyemayamkan mayit. Nyekar: mengunjungi, membersihkan dan berdoa.9 Sedekah Surtanah atau Geblag: diadakan pada saat meninggalnya

j.

seseorang. Sedekah nelung dina: upacara slametan yang diadakan pada hari ketiga

k.

sesudah saat meninggalnya seseorang. Sedekah mitung dina: upacara slametan yang diadakan pada hari ketujuh

l.

setelah meninggalnya seseorang. Sedekah matang puluh dina: upacara slametan yang diadakan pada hari

keempatpuluh setelah meninggalnya seseorang. m. Sedekah nyatus: upacara slametan yang diadakan pada hari keseratus n.

setelah meninggalnya seseorang. Sedekah mendhak sepisan dan mendhak pindo: upacara slametan yang diadakan pada

o.

waktu sesudah satu tahun dan dua tahun dari saat

meninggalnya seseorang. Sedekah nyewu atau nguwis-nguwisi: upacara slametan yang diadakan pada hari keseribu setelah meninggalnya seseorang atau upacara slametan yang terakhir kali.10

3. Upacara Tahunan a. Mauludan b. Suranan c. Syawalan

: Upacara peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. : Peringatan tahun baru Hijriyah. : Peringatan Hari Raya Idul Fitri.

4. Ziarah Kubur Kebiasaan yang sering kita lihat dan dipertahankan oleh masyarakat Islam Jawa khususnya adalah pada hari Kamis sore atau Jum’at pagi melakukan ziarah kubur. Yaitu dengan mengunjungi dan membersihkan makam serta mendo’akan jenazah keluarganya.

9

http://wongkidoel.wordpress.com (2014) 15/10/ pukul 15:38 wib

10

Mundzirin Yusuf, dkk, Pokja Akademik Islam dan Budaya Lokal. (Yogyakarta,2005)

8

5. Haul Kata “haul” berasal dari bahasa Arab, artinya setahun. Peringatan haul berarti peringatan genap satu tahun seseorang meninggal. Biasanya peringatanperingatan seperti ini kebanyakan dilakukan oleh masyarakat Islam Jawa. Gema Haul akan lebih terasa dahsyat apabila yang meninggal itu seorang tokoh kharismatik, ulama besar atau pendiri sebuah pesantren. Rangkaian acaranya biasanya dapat bervariasi , ada pengajian, tahlil akbar, mujahadah, atau musyawarah. 6. Tahlilan Tahlilan berasal dari kata hallala, yuhallilu, tahlilan artinya membaca kalimah La illa ha illallah. Di masyarakat Jawa sendiri terdapat pemahaman bahwa tahlilan adalah pertemuan yang didalamnya dibacakan kalimat thayyibah. Biasanya dilaksanakan di masjid, muhola, atau rumah.11 IV. KESIMPULAN Dalam kehidupan keberagaman orang jawa suatu upaya mengakomodasikan antara nilai-nilai islam dengan kebudayaan pra Islam. Upaya itu telah dilakukan sejak Islam mulai disebarkan oleh para mubaligh yang tergabung dalam walisongo dan dilanjutkan oleh para pujangga kraton serta dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari orang jawa islam. Upaya itu masih terus berproses hingga dewasa ini. Sebagian dari nilai-nilai islam itu sudah menjadi bagian dari udaya jawa. Jenis-jenis akulturasi dalam bidang keagamaan, yaitu: slametan atau wilujengan, Daur hidup, (Tingkeban, Melahirkan, Upacara memberi nama, Upacara kekah, Tedhak sinten, Pemakaman dan ritus kematian, Nyekar), PerayaanTahunan, Siyam, Tirakat, Bertapa.

V. PENUTUP Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Namun kami juga sadar makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan dimasa yang akan datang.

11

Waro Muhammad, http://waromuhammad.blogspot.com (2012)

9

DAFTAR PUSTAKA Sofwan, ridin,dkk. Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa. Yogyakarta : Gama Media. 2004. Amin, darori. Islam dan Kebudayaan Jawa. Semarang : Gama Media. 2000. Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Djambatan. 2002. Herusatoto, budiono. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta : Hanindita Graha Widya. 2003. Muhammad,

Waro.

2012.

Kepercayaan,

Ritual

dan

Pandangan

Hidup.

waromuhammad.blogspot.com Shodiq, Ja’far. 2008. Pertemuan antara Tarekat dan NU. Yogyakarta: Pustaka Belajar Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Rangga Warsita, (Jakarta:UI-Press, 1998), Hlm. 278. Sukri, Sri Suhandjati. 2004. Ijtihad Progresif Yasadipura II. Yogyakarta: Gama Media Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen, (Yogyakarta:Narasi, 2006), Hlm. 75. Yusuf, Mundzirin,dkk. 2005. Pokja Akademik Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga http://www.pengertianahli.com/2014/04/pengertian-akulturasi-apa-ituakulturasi.html#_ diakses pada tanggal. 20 september 2014 pukul 10:21 wib http://wongkidoel.wordpress.com (2014) 15/10/ pukul 15:38 wib 10

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF