Akt & Pjk RS 130319p

November 2, 2017 | Author: Jose Miller | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

perpajakan rumah sakit...

Description

AKUNTANSI & PERPAJAKAN UNTUK RUMAH SAKIT Disampaikan oleh Prianto Budi S (Waka Biro PPL IKPI Pusat) dalam PPL IKPI, Rabu 20 Maret 2013 di Graha TTH Jakarta

Member of Russell Bedford International

BIODATA RINGKAS PEMBICARA Nama Lengkap Nama panggilan Asal Pendidikan Organisasi Profesi Pengalaman kerja

: : : :

Prianto Budi Saptono Prianto / Prie Purwokerto - S2 UGM - D4 - STAN : - Pengurus IAI Wilayah Jakarta - Pengurus Pusat IKPI (Biro PPL) Jakarta : - Ditjen Pajak cq Karikpa Jakarta Enam - KAP Kanaka Puradiredja & Rekan - PT Partner Utama Konsultan - PT Pratama Indomitra Konsultan

(1994 – 1999) (2000 – 2004) (2004 – 2010) (2010 – now)

Member of Russell Bedford International

Komunikasi

: HP 0811.90.6181 [email protected] YM: prianto_0809 GT: prianto.budi PIN: 293BE2D0 www.pratamaindomitra.co.id tax.russellbedford.co.id

i

D DA AFFTTA ARR IISSII

BAB I

ASPEK LEGAL UNTUK RUMAH SAKIT................................... 1 I.1. I.2.

BAB II

ASPEK AKUNTANSI UNTUK RUMAH SAKIT ............................ 3 II.1. II.2.

BAB III

Pembukuan Wajib Pajak.............................................................................12 Proses Rekonsiliasi Fiskal ..........................................................................14 Perhitungan PPh Badan dan PPh Pasal 29................................................15 Perhitungan Angsuran PPh Pasal 25..........................................................26

ASPEK PPh PASAL 21 UNTUK RUMAH SAKIT ....................... 28 IV.1. IV.2. IV.3. IV.4. IV.5. IV.6. IV.7. IV.8.

BAB V

Standar Akuntansi Keuangan Sebagai Dasar Penyajian Laporan Keuangan .....................................................................................................3 Perbedaan Umum Standar Akuntansi dan Peraturan Perpajakan ..............10

ASPEK PPh BADAN UNTUK RUMAH SAKIT........................... 12 III.1. III.2. III.3. III.4.

BAB IV

Dasar Hukum Rumah Sakit ..........................................................................1 Pembagian Rumah Sakit ..............................................................................2

Perbedaan Pengertian ................................................................................28 Pemotong Pajak..........................................................................................29 Penghasilan yang Terkait dengan PPh Pasal 21........................................30 Dasar Pemotongan PPh Pasal 21 ..............................................................38 Pengurangan yang Diperbolehkan..............................................................38 Tarif dan Penghitungan PPh.......................................................................41 Tarif dan Penghitungan PPh atas Pesangon ..............................................42 Saat Pemotongan PPh Pasal 21.................................................................42

ASPEK PPN UNTUK RUMAH SAKIT.................................... 44 V.1. V.2. V.3. V.4. V.5. V.6. V.7.

Objek PPN ..................................................................................................44 Penyerahan BKP dan Non Penyerahan BKP..............................................48 Pengusaha Kena Pajak ..............................................................................49 Tarif PPN serta Dasar Pengenaan Pajak....................................................51 Faktur Pajak (FP)........................................................................................52 Pengkreditan Pajak Masukan .....................................................................56 Saat Terutang PPN.....................................................................................59 ii

V.8. V.9. V.10. V.11.

Tempat Terutang PPN ................................................................................60 Pemungut PPN ...........................................................................................60 Kegiatan Membangun Sendiri.....................................................................61 Penyerahan Aktiva Menurut Tujuan Semula Tidak Untuk Diperjualbelikan ..........................................................................................62 V.12. Fasilitas di Bidang PPN ..............................................................................62

iii

BAB I ASPEK LEGAL UNTUK RUMAH SAKIT

I.1.

Dasar Hukum Rumah Sakit

Pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pelayanan ini harus diwujudkan dengan upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karateristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat. Tujuannya adalah agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Dalam rangka peningkatan mutu dan jangkauan pelayanan Rumah Sakit serta pengaturan hak dan kewajiban masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan, Rumah Sakit perlu diatur dengan Undang-undang. Untuk itu, pemerintah bersama DPR telah mengesahkan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Tabel I.1 Jenis Pajak di dalam Laporan Keuangan Wajib Pajak Badan 1

2

3 4

` Definisi Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat Gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut. Pelayanan Kesehatan Paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit Tujuan a. mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan; pengaturan b. memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah penyelenggaraan sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit; Rumah Sakit c. meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit; dan d. memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit Tugas Rumah memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna Sakit Fungsi Rumah a. penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar Sakit pelayanan rumah sakit b. pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis; c. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan d. penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan;

Sumber: UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

Aspek Legal untuk Rumah Sakit

1

I.2.

Pembagian Rumah Sakit

UU No. 44 Tahun 2009 juga membagi Rumah Sakit sesuai dengan kategori, seperti terlihat pada Tabel I.2. Kategori tersebut didasarkan pada siapa pendirinya, jenis layanan, bagaimana pengelolaannya, dan klasifikasinya. Tabel I.2 Pembagian Rumah Sakit No Perihal 1 Pendiri

Uraian a. Pemerintah Pusat b. Pemerintah Daerah c. Swasta

2

a.

Jenis pelayanan

b.

3

Pengelolaan

a.

b. 4

Klasifikasi

a.

b.

Penjelasan lebih detil Kementerian Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi / Kabupaten / Kota Badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan Rumah Sakit Umum memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit Rumah Sakit Khusus memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya Rumah Sakit publik Pemerintah Pusat [Badan Layanan Umum atau BLU] Pemerintah Daerah [Badan Layanan Umum Daerah atau BLUD] Badan hukum yang bersifat nirlaba Rumah Sakit privat Perseroan Terbatas Persero Rumah Sakit Umum 1) RSU kelas A Izin oleh Menteri Kesehatan (termasuk untuk Rumah Sakit penanaman modal asing atau penanaman modal dalam negeri) 2) RSU kelas B Izin oleh Pemerintah Daerah Provinsi 3) RSU kelas C Izin oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota 4) RSU kelas D Izin oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Rumah Sakit Khusus 1) RSU kelas A Izin oleh Menteri Kesehatan (termasuk untuk Rumah Sakit penanaman modal asing atau penanaman modal dalam negeri) 2) RSU kelas B Izin oleh Pemerintah Daerah Provinsi 3) RSU kelas C; Izin oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

Sumber: UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

Aspek Legal untuk Rumah Sakit

2

BAB II ASPEK AKUNTANSI UNTUK RUMAH SAKIT

II.1.

Standar Akuntansi Keuangan Sebagai Dasar Penyajian Laporan Keuangan

Laporan keuangan yang disajikan oleh Wajib Pajak Badan tidak terlepas dari Standar Akuntansi Keuangan yang diterapkan oleh wajib pajak tersebut. Dalam hal ini, pasca konvergensi IFRS (International Financial Reporting Standards) yang berlaku efektif 1 Januari 2012, untuk entitas non-pemerintah yang merupakan Wajib Pajak Badan, terdapat tiga pilar akuntansi di Indonesia, yaitu: 1) SAK (yang merupakan hasil konvergensi IFRS); 2) SAK ETAP; dan 3) SAK Syariah. Berikut adalah adalah uraian ringkas dari masing-masing SAK tersebut. A. SAK Umum SAK yang merupakan hasil konvergensi dengan IFRS ini dikenal di dalam praktik sebagai SAK Umum, sebagaimana tertulis pada CD Interaktif IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) yang dibagikan secara gratis kepada anggota aktif IAI. SAK Umum ini diterapkan secara menyeluruh mulai tahun 2012. Dari total 58 PSAK (non syariah) yang diterbitkan per 1 Juli 2009 dan total 38 standar akuntansi internasional (30 IAS dan 8 IFRS), konvergensi IFRS yang IAI lakukan dalam periode 2009-2012 telah menghasilan 40 PSAK dengan rincian seperti terlihat pada Tabel II.1 dan Gambar II.1. Kolom 2009, 2010, 2011, 2012 pada Tabel II.1 merupakan kolom tahun berlaku efektif dan tanggal efektifnya adalah 1 Januari. Tabel II.1 Rekapitulasi PSAK pasca konvergensi IFRS `Deskripsi 1. Jumlah PSAK per 1 Juli 2009 2. Jumlah IAS/IFRS per 2009 3. Jumlah PSAK pasca konvergensi IFRS a. PSAK per 1 Juli 2009 yang direvisi dgn mengacu pada IAS/IFRS b. PSAK baru sesuai IAS/IFRS c. PSAK per 1 Juli 2009 yang direvisi, tapi tidak mengacu pada salah satu IAS/IFRS d. Sub total PSAK pasca konvergensi IFRS [a+b+c] e. PSAK per 1 Juli 2009 yang dicabut/ digabung dgn PSAK lain [13.a-3.c] 4. IAS/IFRS yang belum diadopsi dalam PSAK [2-3.a-3.c]

2009 55 38

2010 -

2011 -

2012 -

Total 55 38

1 -

-

16 -

14 5

31 5

-

-

-

4

4

1

-

16

23

40

-

-

-

-

20

-

-

-

-

2

Sumber: dikutip dari buku Konvergensi IFRS dan Pengaruhnya terhadap Perpajakan, hal. 173 (Saptono, 2012)

Secara sederhana, Gambar II.1 menjelaskan bahwa pada akhir tahun 2012 ada 31 PSAK per 1 Juli 2009 yang direvisi dgn mengacu pada IAS/IFRS (77%), 5 PSAK baru yang sesuai dengan IAS/IFRS (13%), dan 4 PSAK per 1 Juli 2009 yang direvisi, tapi tidak mengacu pada IAS/IFRS (4%). Secara total, ada 38 PSAK baru yang sudah sesuai dengan IAS/IFRS atau ekuivalen dengan 90% (=77%+13%). Aspek Akuntansi untuk Rumah Sakit

3

Gambar II.1 PSAK pasca konvergensi IFRS dalam Diagram

Sumber: dikutip dari buku Konvergensi IFRS dan Pengaruhnya terhadap Perpajakan, hal. 173 (Saptono, 2012)

B. SAK ETAP SAK ETAP atau SAK Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik identik dengan IFRS for Small & Medium sized Enterprises (IFRS for SMEs). IFRS for SMEs merupakan Simplified IFRS, demikian pula SAK ETAP secara umum merupakan simplifikasi standar akuntansi yang ada di dalam SAK Umum. Pada awalnya SAK ETAP menggunakan Standar Akuntansi Keuangan Usaha Kecil dan Menengah (SAK UKM) saat Exposure Draft (ED) SAK tersebut diterbitkan oleh DSAK IAI. Dalam perjalanannya, akhirnya DSAK IAI mengesahkan ED SAK UKM tersebut menjadi SAK ETAP. Sementara itu, IFRS for SMEs didefinisikan menurut www.ifrs.com sebagai berikut. “IFRS for SMEs is a modification and simplification of full IFRS aimed at meeting the needs of private company financial reporting users and easing the financial reporting burden on private companies through a cost-benefit approach. IFRS for SMEs is a self-contained global accounting and financial reporting standard applicable to the general-purpose financial statements of, and other financial reporting by, entities that in many countries are known as small-and-medium-sized entities. Full IFRS and IFRS for SMEs are promulgated by the International Accounting Standards Board ("IASB").” (IFRS for SMEs merupakan suatu modifikasi dan simplifikasi IFRS yang utuh dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pengguna dalam pelaporan keuangan perusahaan swasta dan untuk meringankan beban pelaporan keuangan perusahaan swasta melalui suatu pendekatan biaya manfaat. IFRS for SMEs merupakan suatu standar pelaporan keuangan dan standar akuntansi global yang dapat diaplikasikan untuk laporan keuangan bertujuan umum entitas di banyak negara dan pelaporan keuangan lainnya oleh banyak banyak negara yang dikenal dengan Usaha Kecil Menengah (UKM). IFRS yang utuh dan IFRS for SMEs dikeluarkan oleh IASB). Sesuai dengan paragraf 1.1 SAK ETAP, SAK ETAP dimaksudkan untuk digunakan entitas tanpa akuntabilitas publik. ETAP adalah entitas yang: a. tidak memiliki akuntabilitas publik signifikan; dan b. menerbitkan laporan keuangan untuk tujuan umum (general purpose financial statement) bagi pengguna eksternal. Contoh pengguna eksternal adalah pemilik yang tidak terlibat langsung dalam pengelolaan usaha, kreditur, dan lembaga pemeringkat kredit.

Aspek Akuntansi untuk Rumah Sakit

4

Di dalam paragraf 1.2 SAK ETAP disebutkan bahwa entitas memiliki akuntabilitas publik signifikan jika: a. entitas telah mengajukan pernyataan pendaftaran, atau dalam proses pengajuan pernyataan pendaftaran, pada otoritas pasar modal atau regulator lain untuk tujuan penerbitan efek di pasar modal; atau b. entitas menguasai aset dalam kapasitas sebagai fidusia untuk sekelompok besar masyarakat, seperti bank, entitas asuransi, pialang dan atau pedagang efek, dana pensiun, reksa dana dan bank investasi. Yang dimaksud fidusia sesuai Pasal 1 angka 1 UU No. 42/1999 tentang Jaminan Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Surat Edaran Bapepam LK No. SE-06/BL/2010 tanggal 30 Desember 2010 berisi tentang penggunaan SAK ETAP bagi entitas yang melakukan kegiatan di pasar modal atau menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat melalui pasar modal, perusahaan publik, dan lembaga keuangan non-bank. Di dalamnya disebutkan bahwa entitas-entitas berikut ini tidak bisa menggunakan SAK ETAP karena memiliki akuntabilitas publik yang signifikan: 1) Entitas yang melakukan kegiatan di Pasar Modal, yaitu Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek, Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang menjadi Anggota Bursa Efek, Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Manajer Investasi, Perusahaan Pemeringkat Efek, dan Lembaga Penilaian Harga Efek; 2) Entitas yang menghimpun dana masyarakat melalui Penawaran Umum Efek di Pasar Modal (Emiten); 3) Entitas yang menjadi wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio investasi meliputi Reksa Dana, Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset, dan Kontrak Investasi Kolektif Dana Investasi Real Estat; 3) Entitas yang merupakan Perusahaan Publik; dan 4) Entitas Lembaga Keuangan Non-Bank yang merupakan Perusahaan Asuransi/Reasuransi, Pialang Asuransi/Reasuransi, Dana Pensiun, Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, dan Perusahaan Penjaminan. Dalam tulisan tentang Dampak Implementasi IFRS bagi Perusahaan, sebagaimana dikutip dari http://staff.blog.ui.ac.id, Dwi Martani (Staf pengajar Akuntansi FEUI, anggota tim implementasi IFRS) menjelaskan sbb.: “Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) merupakan standar yang digunakan untuk menyusun laporan keuangan perusahaan yang memiliki akuntabilitas publik signifikan. BUMN termasuk perusahaan yang memiliki akuntabilitas publik signifikan karena laporannya diberikan kepada masyarakat. Untuk BUMN yang memiliki transaksi syariah juga harus menggunakan PSAK Syariah untuk melaporkan transaksi tersebut” Berdasarkan uraian di atas, sebagian entitas telah ditentukan oleh SAK ETAP dan regulator terkait hanya bisa menggunakan SAK Umum dan SAK ETAP. Secara ringkas uraian di atas terlihat pada Tabel II.2. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa perusahaan pertambangan umum yang

Aspek Akuntansi untuk Rumah Sakit

5

tidak tercakup dalam tabel tersebut masih dapat memilih untuk menggunakan SAK Umum atau pun SAK ETAP, sepanjang konsisten sesuai dengan salah satu prinsip kedua SAK tersebut. Tabel II.2 Daftar Entitas dan SAK yang Dipilih No. Nama Entitas A. Entitas “go public” 1. entitas telah mengajukan pernyataan pendaftaran pada otoritas pasar modal atau regulator lain untuk tujuan penerbitan efek di pasar modal 2. entitas dalam proses pengajuan pernyataan pendaftaran pada otoritas pasar modal atau regulator lain untuk tujuan penerbitan efek di pasar modal 3. Entitas yang merupakan Perusahaan Publik B. Entitas menguasai aset dalam kapasitas sebagai fidusia untuk sekelompok besar masyarakat 1. Bank 2. Bank Perkreditan Rakyat 3. 4. 5. 6. 7.

8. 9. 10. 11. 12. 13. C. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 8. 9. 10. D. E.

Entitas asuransi (termasuk reasuransi) Pialang dan atau pedagang efek Dana pensiun Reksa dana Entitas yang menjadi wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio investasi meliputi Reksa Dana, Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset, dan Kontrak Investasi Kolektif Dana Investasi Real Estat Pialang Asuransi/Reasuransi Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, Perusahaan Penjaminan Entitas yang melakukan kegiatan di Pasar Modal Bursa Efek Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek, Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang menjadi Anggota Bursa Efek, Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Manajer Investasi, Perusahaan Pemeringkat Efek, Lembaga Penilaian Harga Efek BUMN Koperasi dan UKM

Jenis SAK

Referensi

SAK Umum

Par. 1.2 SAK ETAP & SE06/BL/2010 Par. 1.2 SAK ETAP & SE06/BL/2010

SAK Umum

SAK Umum

SE-06/BL/2010 Par. 1.2 SAK ETAP

SAK Umum SAK ETAP

SE-06/BL/2010 SE No. 11/37/DKBU tgl 31 Des 2009 SE-06/BL/2010 SE-06/BL/2010 SE-06/BL/2010 SE-06/BL/2010 SE-06/BL/2010

SAK Umum SAK Umum SAK Umum SAK Umum SAK Umum

SAK Umum SAK Umum SAK Umum SAK Umum SAK Umum SAK Umum SAK Umum SAK Umum SAK Umum SAK Umum SAK Umum SAK Umum

SE-06/BL/2010 SE-06/BL/2010 SE-06/BL/2010 SE-06/BL/2010 SE-06/BL/2010 SE-06/BL/2010 SE-06/BL/2010 SE-06/BL/2010 SE-06/BL/2010 SE-06/BL/2010 SE-06/BL/2010 SE-06/BL/2010 SE-06/BL/2010

SAK Umum

SE-06/BL/2010

SAK Umum SAK Umum SAK Umum SAK ETAP

SE-06/BL/2010 SE-06/BL/2010 -Per.Menneg KUKM No. 4/Per/M.KUKM/VII/2012

Di dalam beberapa hal, SAK ETAP memberikan banyak kemudahan untuk perusahaan dibandingkan dengan SAK Umum yang ketentuan pelaporannya yang lebih komplek. Perbedaan secara kasat mata dapat dilihat dari ketebalan SAK-ETAP yang hanya berisi 182 halaman dengan menyajikan 30 bab. Dari ke-30 bab tersebut, rincian judul bab terlihat pada Tabel II.3

Aspek Akuntansi untuk Rumah Sakit

6

Tabel II.3 Isi SAK ETAP dan Keterkaitannya dengan SAK Umum Bab 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

Judul Bab SAK ETAP Ruang Lingkup Konsep dan Prinsip Pervasif Penyajian Laporan Keuangan Neraca Laporan Laba Rugi Laporan Perubahan Ekuitas dan Laporan Laba Rugi dan Saldo Laba Laporan Arus Kas Catatan atas Laporan Keuangan Kebijakan Akuntansi, Estimasi, dan Kesalahan Investasi pada Efek Tertentu Persediaan Investasi pada Entitas Asosiasi dan Entitas Anak Investasi pada Joint Venture Properti Investasi Aset Tetap Aset Tidak Berwujud Sewa Kewajiban Diestimasi dan Kontinjensi Ekuitas Pendapatan Biaya Pinjaman Penurunan Nilai Aset Imbalan Kerja Pajak Penghasilan Mata Uang Pelaporan Transaksi dalam Mata Uang Asing Peristiwa setelah Akhir Periode Pelaporan Pengungkapan Pihak - pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa Ketentuan Transisi Tanggal Efektif

SAK Umum PSAK 1 PSAK 1 PSAK 1 PSAK 1 PSAK 1 PSAK 2 PSAK 1 PSAK 25 PSAK 50, PSAK 55, PSAK 60 PSAK 14 PSAK 15 & PSAK 4 PSAK 12 PSAK 13 PSAK 16 PSAK 19 PSAK 30 PSAK 57 PSAK 1 PSAK 23 PSAK 26 PSAK 48 PSAK 24 PSAK 46 PSAK 10 PSAK 10 PSAK 8 PSAK 7

Sumber: SAK ETAP (IAI, 2010)

C. SAK Syariah SAK Syariah menjadi landasan operasional/praktik bagi para pengguna ketika mereka melakukan transaksi yang berbasis syariah Islam. Sesuai paragraf 27 KDPPLK (Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan) Syariah, implementasi transaksi yang sesuai dengan paradigma dan asas transaksi syariah harus memenuhi karakteristik & persyaratan sbb.: (a) transaksi hanya dilakukan berdasarkan prinsip saling paham dan saling ridha; (b) prinsip kebebasan bertransaksi diakui sepanjang objeknya halal dan baik (thayib); (c) uang hanya berfungsi sebagai alat tukar dan satuan pengukur nilai, bukan sebagai komoditas; (d) tidak mengandung unsur riba; (e) tidak mengandung unsur kezaliman; (f) tidak mengandung unsur maysir; (g) tidak mengandung unsur gharar; (h) tidak mengandung unsur haram; (i) tidak menganut prinsip nilai waktu dari uang (time value of money) karena keuntungan yang didapat dalam kegiatan usaha terkait dengan risiko yang melekat pada kegiatan usaha tersebut sesuai dengan prinsip al-ghunmu bil ghurmi (no gain without accompanying risk); (j) transaksi dilakukan berdasarkan suatu perjanjian yang jelas dan benar serta untuk keuntungan Aspek Akuntansi untuk Rumah Sakit

7

semua pihak tanpa merugikan pihak lain sehingga tidak diperkenankan menggunakan standar ganda harga untuk satu akad serta tidak menggunakan dua transaksi bersamaan yang berkaitan (ta’alluq) dalam satu akad; (k) tidak ada distorsi harga melalui rekayasa permintaan (najasy), maupun melalui rekayasa penawaran (ihtikar); dan (l) tidak mengandung unsur kolusi dengan suap menyuap (risywah). Transaksi syariah dapat berupa aktivitas bisnis yang bersifat komersial maupun aktivitas sosial yang bersifat nonkomersial. Transaksi syariah komersial dilakukan antara lain berupa: investasi untuk mendapatkan bagi hasil; jual beli barang untuk mendapatkan laba; dan atau pemberian layanan jasa untuk mendapatkan imbalan. Transaksi syariah nonkomersial dilakukan antara lain berupa: pemberian dana pinjaman atau talangan (qardh); penghimpunan dan penyaluran dana sosial seperti zakat, infak, sedekah, wakaf, dan hibah. SAK Syariah yang sudah diterbitkan oleh DSAK IAI terlihat pada Tabel II.4. Tabel II.4 Daftar PSAK Syariah dan Keterkaitannya dan SAK Umum No. PSAK Judul PSAK 59 Akuntansi Perbankan Syariah [Revisi 2003] 101 Penyajian Laporan Keuangan Syariah 102 Akuntansi Murabahah

103

104

105

106

107

108

Deskripsi --

SAK Umum --

--

PSAK 1

Murabahah adalah akad jual beli barang dengan harga jual sebesar biaya perolehan ditambah keuntungan yang disepakati dan penjual harus mengungkapkan biaya perolehan barang tersebut kepada pembeli Akuntansi Salam Salam adalah akad jual beli barang pesanan (muslam fiih) dengan pengiriman di kemudian hari oleh penjual (muslam ilaihi) dan pelunasannya dilakukan oleh pembeli pada saat akad disepakati sesuai dengan syarat-syarat tertentu. Akuntansi Istishna’ Istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’). Akuntansi Mudharabah adalah akad kerjasama usaha dua pihak dimana pihak Mudharabah pertama (pemilik dana) menyediakan seluruh dana, sedangkan pihak kedua (pengelola dana) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan dibagi di antara mereka sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian finansial hanya ditanggung oleh pemilik dana.

PSAK 23

PSAK 23

PSAK 23

PSAK 12

Akuntansi Musyarakah

Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk PSAK 12 suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian berdasarkan porsi kontribusi dana. Dana tersebut meliputi kas atau aset nonkas yang diperkenankan oleh syariah. Akuntansi Ijarah Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu PSAK 30 aset dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah) tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan aset itu sendiri. Sewa yang dimaksud adalah sewa operasi (operating lease) Ijarah muntahiyah bittamlik adalah ijarah dengan wa’d perpindahan kepemilikan aset yang di-ijarah-kan pada saat tertentu. Akuntansi -PSAK 28, Transaksi Asuransi PSAK 36,

Aspek Akuntansi untuk Rumah Sakit

8

Tabel II.4 Daftar PSAK Syariah dan Keterkaitannya dan SAK Umum No. PSAK 109 110

Judul PSAK Syariah Akuntansi Zakat & Infak/Sedekah Akuntansi Sukuk

Deskripsi

SAK Umum PSAK 62 --

--

Sukuk adalah efek syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan PSAK 50, yang bernilai sama dan mewakili bagian yang tidak tertentu (tidak PSAK 55, terpisahkan atau tidak terbagi) atas (a) aset berwujud tertentu; (b) PSAK 60 manfaat atas aset berwujud tertentu baik yang sudah ada maupun yang akan ada; (c) jasa yang sudah ada maupun yang akan ada; (d) aset proyek tertentu; atau (e) kegiatan investasi yang telah ditentukan.

Sumber: PSAK Syariah (IAI, 2009) dan CD Interaktif PSAK (IAI, 2012)

D. Perbandingan Karakteristik Kualitatif Informasi dalam Laporan Keuangan Tabel II.5 memberikan gambaran perbandingan karakteristik kualitatif informasi dalam laporan keuangan antara SAK ETAP, SAK Umum, IFRS 2009, SAK Syariah, dan PSAK per 1 Juli 2009. Berdasarkan perbandingan tersebut, terlihat masing-masing SAK tidak berbeda. Tabel II.5 Perbandingan SAK ETAP, IFRS 2009 dan PSAK per 1 Juli 2009 1. 2. 3. 4. [4. 5. [4. 6. 7. 8. 9. 10.

SAK ETAP Dapat Dipahami Relevan Materialitas Keandalan keandalan] Substansi Mengungguli Bentuk keandalan] Pertimbangan Sehat Kelengkapan Dapat Dibandingkan Tepat Waktu Keseimbangan antara Biaya dan Manfaat

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

IFRS 2009 / SAK Umum Understandability Relevance Materiality Reliability Faithful representation Substance over form Neutrality Prudence Completeness Comparability Timeliness Balance between benefit and cost

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

SAK Syariah / PSAK 1 Juli 2009 Dapat Dipahami Relevan Materialitas Keandalan Penyajian jujur Substansi Mengungguli Bentuk Netralitas Pertimbangan Sehat Kelengkapan Dapat Dibandingkan Tepat Waktu Keseimbangan antara Biaya dan Manfaat

Sumber: SAK ETAP (IAI, 2010), IFRS 2009 (IASCF, 2009), PSAK per 1 Juli 2009 (IAI, 2009), KDPPLK Syariah (IAI, 2007)

E. Unsur Laporan Keuangan Unsur-unsur laporan keuangan menurut SAK ETAP tidak berbeda dengan PSAK per 1 Juli 2009, seperti terlihat pada Tabel II.6. Sementara itu, dari sisi perpajakan, sesuai dengan Pasal 3 dan Pasal 28 UU KUP, laporan keuangan yang diperlukan dalam pelaporan pajak hanya terdiri dari neraca dan laba rugi. Perbandingan unsur laporan keuangan antara SAK ETAP, SAK per 1 Juli 2009, SAK sesuai IFRS, dan ketentuan perpajakan terlihat pada Tabel II.6. Tabel II.6 Perbandingan Unsur Laporan Keuangan

1. 2. 3. 4.

PSAK per 1 Juli 2009 dan SAK ETAP Neraca Laporan Laba Rugi Laporan Arus Kas Laporan Perubahan

SAK sesuai IFRS 1. 2. 3. 4.

Aspek Akuntansi untuk Rumah Sakit

Laporan posisi keuangan pada akhir periode Laporan laba rugi komprehensif selama periode Laporan arus kas selama periode Laporan perubahan ekuitas selama periode

Ketentuan Perpajakan 1. Neraca 2. Laporan Laba Rugi ---

9

Tabel II.6 Perbandingan Unsur Laporan Keuangan PSAK per 1 Juli 2009 dan SAK ETAP Ekuitas 5. Catatan atas Laporan Keuangan --

SAK sesuai IFRS

Ketentuan Perpajakan

5. Catatan atas laporan keuangan, berisi ringkasan kebijakan akuntansi penting dan informasi penjelasan lainnya 6. Laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif yang disajikan ketika entitas menerapkan suatu kebijakan akuntansi secara retrospektif atau membuat penyajian kembali pos-pos laporan keuangan, atau ketika entitas mereklasifikasi pospos dalam laporan keuangannya

--

--

Sumber: SAK ETAP (IAI, 2010), PSAK 1 (Revisi 2009) (IAI, 2009), PSAK per 1 Juli 2009 (IAI, 2009), Pasal 28 UU KUP.

Dalam hal entitas atau wajib pajak telah menerbitkan laporan keuangan lengkap dan laporan tersebut diaudit oleh kantor akuntan publik, ketentuan perpajakan mensyaratkan agar laporan audit tersebut juga harus dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh). Hal ini diatur di dalam Pasal 4 ayat (4b) UU KUP 2007. Ketentuan tersebut mensyaratkan bahwa dalam hal laporan keuangan wajib pajak diaudit oleh Akuntan Publik, laporan tersebut harus dilampirkan dalam SPT. Jika tidak ada lampiran dimaksud, SPT dianggap tidak lengkap dan tidak jelas sehingga SPT dianggap tidak disampaikan. Selanjutnya, kantor pajak akan menyampaikan pemberitahuan kepada wajib pajak. Dalam hal ini kantor pajak dapat melakukan pemeriksaan ketika entitas atau wajib pajak tetap tidak melampirkan laporan keuangan yang dipersyaratkan setelah jatuh tempo Surat Teguran dari kantor pajak terlampaui (Pasal 3 PerMenkeu No. 199/PMK.03/2007). II.2.

Perbedaan Umum Standar Akuntansi dan Peraturan Perpajakan Tabel II.7 Hubungan antara Perlakuan Akuntansi dan Perpajakan SAK Pengukuran Pengakuan Penyajian Pengungkapan

UU KUP --Pembukuan dan unsur laporan keuangan yang dilampirkan dalam SPT --

UU PPh Penghitungan pajak terutang Penentuan saat terutang (pemotongan, pemungutan, dan penyetoran pajak) ---

Sumber: “Konvergensi iFRS dan Pengaruhnya terhadap Perpajakan”, (Saptono, 2012, h. 174)

Seperti terlihat pada Tabel II.7, ketika perlakuan akuntansi dan perlakuan perpajakan ditandingkan, acuan utamanya adalah Pasal 28 ayat (7) UU KUP 2007, khususnya penjelasannya. Ketentuan pajak tersebut di antaranya menyebutkan bahwa “...Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain”. Dengan kata lain, ketentuan pajak tersebut dapat diilustrasikan dengan matriks sebagaimana terlihat pada Tabel II.7. Berdasarkan Tabel II.7, ketentuan PPh hanya mengatur aspek pengukuran dan pengakuan. Sementara itu, ketentuan KUP mengatur aspek penyajian dan pengaturannya pun juga tidak mendetil. Pengaturan di UU KUP hanya menyangkut unsur laporan keuangan yang terdiri dari neraca (harta, kewajiban, dan modal) serta laporan laba rugi (penghasilan dan biaya). Aspek Akuntansi untuk Rumah Sakit

10

Dari sudut pengaruh konvergensi IFRS terhadap perpajakan, pengaruh tersebut juga harus dikaitkan dengan penjelasan Pasal 28 ayat (7) UU KUP 2007. Secara sederhana, pengaruh konvergensi IFRS terhadap perpajakan terlihat pada Tabel II.8. Aspek perpajakan dalam konteks ini adalah aspek PPh dan KUP. Dalam hal perpajakan tidak memiliki aturan secara khusus atas suatu perlakuan akuntansi, perlakuan perpajakan akan mengikuti perlakuan akuntansi yang mengalami perubahan akibat penerapan IFRS. Tabel II.8 Kerangka Pengaruh Utama Konvergensi IFRS terhadap Perpajakan No Pajak Akuntansi 1. Ada ketentuan Ada perubahan khusus dalam perlakuan perpajakan akuntansi akibat konvergensi IFRS

2.

Tidak ada ketentuan khusus dalam perpajakan

Ada perubahan perlakuan akuntansi akibat konvergensi IFRS

Penjelasan Pengaruh Konvergensi IFRS terhadap Perpajakan Konvergensi IFRS tidak berpengaruh terhadap perpajakan karena aspek perpajakan memiliki aturan sendiri Hanya muncul perubahan koreksi fiskal saat penyusunan SPT PPh Badan karena masih ada perbedaan antara perlakuan akuntansi & pajak. Jika koreksi fiskal tersebut merupakan perbedaan temporer, akan terjadi perubahan perhitungan pajak tangguhan Konvergensi IFRS berpengaruh terhadap perpajakan karena perlakuan perpajakan akan menyesuaikan dengan perlakuan akuntansi Tidak akan muncul koreksi fiskal saat penyusunan SPT PPh Badan karena tidak ada perbedaan perlakuan akuntansi dan pajak.

Sumber: “Konvergensi iFRS dan Pengaruhnya terhadap Perpajakan”, (Saptono, 2012, h. 16)

Aspek Akuntansi untuk Rumah Sakit

11

BAB III ASPEK PPh BADAN UNTUK RUMAH SAKIT

III.1. Pembukuan Wajib Pajak Secara terminologis, Pasal 1 UU KUP 2007 (UU No. 28/2007) di antaranya mendefinisikan pajak, Wajib Pajak, dan pembukuan sebagai berikut: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. “Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”. Pembukuan dalam perspektif ketentuan perpajakan memiliki definisi tersendiri. Hal ini diatur secara eksplisit di dalam Pasal 1 angka 29 UU KUP 2007, yaitu “Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut”. Dalam terjemahan bahasa Inggris untuk pengertian pembukuan sesuai ketentuan di atas, buletin Business News nomor edisi 7545-7546 tanggal 8 Agustus 2007 menyamakan istilah pembukuan dengan accounting, yaitu: “Accounting shall be a process of recording in a regularly way to collect financial data and information, covering assets, liabilities, capital, income and expenses, as well as acquisition and delivery prices of goods or services, which is closed by making a financial statement in the form of balance sheet and profit/loss statement during the tax year”. Pengertian menurut aturan pajak di atas tidak berbeda secara signifikan dengan pengertian financial accounting atau akuntansi keuangan menurut Kieso dkk (2012: hal. 3), yaitu “Financial accounting is the process that culminates in the preparation of financial reports on the enterprise for use by both internal and external parties”. Pembukuan menurut ketentuan perpajakan dan akuntansi keuangan menurut Kieso dkk merupakan suatu proses yang berujung pada penyusunan laporan keuangan. Perusahaan sebagai Wajib Pajak badan wajib menyelenggarakan pembukuan. Di dalam Pasal 28 UU KUP 2007 diatur beberapa hal terkait dengan pembukuan, seperti diuraikan berikut ini: 1) Pembukuan harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan Aspek PPh Badan untuk Rumah Sakit

12

keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya [Pasal 28 ayat (3) UU KUP 2007]; 2) Pembukuan diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan [Pasal 28 ayat (4) UU KUP 2007]; 3) Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas. Taat asas mengandung pengertian harus sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Stelsel akrual berarti suatu metode penghitungan penghasilan dan “...pembukuan harus biaya dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan diselenggarakan dengan biaya diakui pada waktu terutang. Stelsel kas cara atau sistem yang lazim mengandung arti suatu metode yang penghitungannya dipakai di Indonesia, didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya yang misalnya berdasarkan dibayar secara tunai [Pasal 28 ayat (5) UU KUP 2007]. Standar Akuntansi Keuangan, kecuali 4) Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku peraturan perundangharus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. undangan perpajakan Perubahan tersebut harus diajukan kepada Direktur menentukan lain.” Jenderal Pajak sebelum dimulainya tahun buku yang bersangkutan dengan menyampaikan alasan yang logis dan dapat diterima serta akibat yang mungkin timbul dari perubahan tersebut [Pasal 28 ayat (6) UU KUP 2007]; 5) Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain [Pasal 28 ayat (7) UU KUP 2007]; 6) Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan [Pasal 28 ayat (8) UU KUP 2007]; dan 7) Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kedudukan Wajib Pajak badan [Pasal 28 ayat (11) UU KUP 2007]. Gambar III.1 memberikan penjelasan alur pembukuan menurut akuntansi dan perpajakan. Jika dilihat dari ketentuan perpajakan tentang definisi dan kewajiban menyelenggarakan pembukuan bagi Wajib Pajak badan, sebagaimana diuraikan di atas, pada dasarnya pembukuan mengacu pada SAK (Standar Akuntansi Keuangan), kecuali ada ketentuan pajak yang mengatur secara khusus. Seperti terlihat pada Gambar III.1, data/informasi keuangan dicatat dalam suatu jurnal transaksi sesuai dengan kode akun yang cocok. Berdasarkan kode akun tersebut, jurnal transaksi tersebut diikhtisarkan dalam suatu buku besar. Pada saat penyusunan laporan keuangan, saldo akhir buku besar ditampilkan dalam suatu neraca lajur (trial balance). Seluruh kode akun dan nama akun ditampilkan dalam suatu kertas kerja (working sheet) sehingga berdasarkan akun-akun laporan laba rugi dapat dihitung pajak terutang. Penjelasan Pasal 28 ayat (7) UU KUP secara detil menjelaskan bahwa selain dapat dihitung besarnya PPh, pajak lainnya juga harus dapat dihitung dari pembukuan tersebut. Agar PPN dan PPnBM dapat dihitung dengan benar, pembukuan harus mencatat juga hal-hal berikut: 1) jumlah harga perolehan atau nilai impor, 2) jumlah harga jual atau nilai ekspor, 3) jumlah harga jual dari barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Aspek PPh Badan untuk Rumah Sakit

13

Gambar III.1 Pembukuan Menurut Ketentuan Pajak

Sumber: Diolah dari Pasal 1 angka 29 dan Pasal 28 UU KUP 2007 dan “Konvergensi IFRS dan Pengaruhnya terhadap Perpajakan” (Saptono, 2012; h. 19)

4) jumlah pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, 5) jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan tidak dapat dikreditkan III.2. Proses Rekonsiliasi Fiskal Pelaporan pajak dan pelaksanaan kewajiban pajak di Indonesia menganut sistem SelfAssessment . diatur di dalam Pasal 12 UU KUP 2007. Di dalam ketentuan tersebut, dinyatakan bahwa setiap Wajib Pajak, yang terdiri dari orang pribadi dan badan, wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Kewajiban ini tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang. Berdasarkan hal tersebut, setiap perusahaan sebagai wajib pajak dituntut harus menyesuaikan laporan keuangannya dengan ketentuan perpajakan. Hal ini disebabkan ketentuan perpajakan tidak selamanya sejalan dengan standar akuntansi yang berlaku. Dengan penyesuaian tersebut, dapat diketahui jumlah pajak yang sebenarnya terutang. Proses inilah yang disebut dengan rekonsiliasi fiskal. Melalui proses rekonsiliasi fiskal ini, laba akuntansi dapat ditandingkan dengan penghasilan kena pajak yang menjadi dasar penghitungan PPh Badan. Proses rekonsiliasi fiskal tidak terlepas dari proses akuntansi pada wajib pajak yang telah menyelenggarakan pembukuan. Gambar III.1. yang menggambarkan proses pembukuan pada Wajib Wajib bisa lebih disederhanakan lagi, seperti terlihat pada Gambar III.2.

Aspek PPh Badan untuk Rumah Sakit

14

Gambar III.2 Proses Rekonsiliasi Fiskal dan Pembagian Koreksi Fiskal

Dokumen sumber

Jurnal

Buku Besar

Laba Rugi Komersial

Rekonsiliasi Fiskal

Laba Rugi Fiskal

Koreksi Positif

Koreksi Fiskal

Koreksi Negatif

Beda Waktu

PSAK 46

Beda Waktu

Beda Tetap

Beda Tetap

Dokumen sumber pada Gambar III.2 berasal dari transaksi atau peristiwa ekonomi yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Selanjutnya, Wajib Pajak akan menjurnal transaksi tersebut ke dalam buku besar. Pada akhir periode, transaksi-transaksi yang sudah terekam di dalam buku besar dan telah terklasifikasikan berdasarkan kode akun, diikhtisarkan dalam bentuk neraca lajur yang pada akhirnya akan menghasilkan laporan keuangan. Sebagaimana telah diuraikan pada Gambar III.1, laporan keuangan menurut ketentuan perpajakan hanya berupa Neraca dan Laporan Laba Rugi. Untuk kepentingan rekonsiliasi fiskal, informasi yang lebih banyak dibutuhkan berasal dari laporan laba rugi. Di dalam Gambar III.2, laporan laba rugi yang dijadikan sebagai dasar untuk rekonsiliasi fiskal lebih sering dikenal dengan istilah laba rugi komersial. Istilah ini digunakan untuk membedakannya dengan laba rugi fiskal, yang berarti bahwa laporan laba rugi berdasarkan standar akuntansi telah disesuaikan dengan ketentuan perpajakan sehingga muncul koreksi fiskal. Untuk keperluan perpajakan, koreksi fiskal dibagi menjadi koreksi positif dan koreksi negatif, sedangkan untuk keperluan penerapan PSAK 46, dibagi menjadi Beda waktu (temporary difference) dan perbedaan permanen (permanent difference). Ilustrasinya terlihat pada Gambar III.2. Dari sudut perpajakan topik beda waktu dan beda tetap tidak dikenal. Kedua istilah tersebut masuk dalam domain Akuntansi Pajak Penghasilan (lihat PSAK 46 (Revisi 2010). III.3. Perhitungan PPh Badan dan PPh Pasal 29 Rekonsiliasi fiskal, sebagaimana diuraikan di atas, dilakukan oleh semua wajib pajak yang menyelenggarakan pembukuan, baik wajib pajak orang pribadi maupun wajib pajak badan. Dalam pembahasan selanjutnya, hal-hal yang terkait dengan wajib pajak orang pribadi tidak dibahas. Pembahasan lebih difokuskan pada kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi oleh wajib pajak badan, yang rinciannya terlihat pada Tabel III.1. Tabel III.1 Pengertian Subjek Pajak Badan Subjek Pajak Badan

Pengertian Sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi a. perseroan terbatas,

Aspek PPh Badan untuk Rumah Sakit

15

Tabel III.1 Pengertian Subjek Pajak Badan Subjek Pajak

Bentuk usaha tetap

Pengertian b. perseroan komanditer, c. perseroan lainnya, d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, e. firma, f. kongsi, g. koperasi, h. dana pensiun, i. persekutuan, j. perkumpulan, k. yayasan, l. organisasi massa, m. organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, n. lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif, dan o. bentuk usaha tetap [Pasal 1 angka 3 UU KUP 2007 dan Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh] Bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa: a. tempat kedudukan manajemen; b. cabang perusahaan; c. kantor perwakilan; d. gedung kantor; e. pabrik; f. bengkel; g. gudang; h. ruang untuk promosi dan penjualan; i. pertambangan dan penggalian sumber alam; j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi; k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan; l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; n. orang/badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tak bebas; o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet. [Pasal 2 ayat (5) UU PPh]

Sumber: Pasal 1 angka 3 UU KUP 2007 dan Pasal 2 ayat (5) UU PPh dan “Konvergensi IFRS dan Pengaruhnya terhadap Perpajakan” (Saptono, 2012; h. 24)

Pasal 20 ayat (1) UU PPh menyebutkan bahwa pajak, yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri. Dengan kata lain, seperti terlihat pada Gambar III.3, ada dua mekanisme pembayaran PPh Badan, yaitu: 1) dipotong atau dipungut pihak lain, dan 2) dibayar sendiri.

Aspek PPh Badan untuk Rumah Sakit

16

Gambar III.3 Mekanisme Pembayaran PPh Badan

Sumber: Pasal 20 ayat (1), Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 29 UU PPh dan “Konvergensi IFRS dan Pengaruhnya terhadap Perpajakan” (Saptono, 2012; h. 25)

Gambar III.3 menjelaskan mekanisme pelunasan PPh Badan sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) UU PPh. Di dalam penjelasan Pasal 20 ayat (1) UU PPh, disebutkan bahwa pajak yang dipotong atau dipungut pihak lain terdiri dari: 1) pemotongan pajak oleh pihak lain dalam hal diperoleh penghasilan oleh Wajib Pajak dari pekerjaan, jasa atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU PPh (Pajak ini berkaitan dengan Wajib Pajak Orang Pribadi. Dalam hal Wajib Pajak Badan, pajak ini tidak termasuk dalam pelunasan PPh Badan dalam tahun berjalan. Karena itu, di Gambar II.5 PPh Pasal 21 tidak termasuk dalam kategori pajak yang dipotong/dipungut pihak lain). 2) pemungutan pajak atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UU PPh, dan 3) pemotongan pajak atas penghasilan dari modal, jasa dan kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 UU PPh. Gambar III.3 juga menjelaskan bahwa PPh Pasal 24 merupakan bagian dari pajak dipotong/dipungut pihak lain. Ini terlihat dari klausul Pasal 24 ayat (1) UU PPh yang menyebutkan bahwa pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan PPh dalam tahun pajak yang sama. Untuk pajak yang dibayar sendiri, Pasal 20 ayat (1) UU PPh menyebutkan bahwa pajak tersebut mengacu pada Pasal 25 UU PPh. Namun demikian, di Pasal 29 UU PPh disebutkan juga bahwa apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) UU PPh, kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan. Pasal 20 ayat (1) UU PPh juga menyebutkan bahwa pelunasan pajaknya dilakukan dalam tahun pajak berjalan. Pengertian tahun pajak dalam hal ini telah dijabarkan dalam penjelasan Pasal 1 UU PPh, yaitu: “Yang dimaksud dengan “tahun pajak” dalam Undang-Undang ini adalah tahun kalender, tetapi Wajib Pajak dapat menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender, sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan”. Aspek PPh Badan untuk Rumah Sakit

17

A. Cara Menghitung PPh Badan Di dalam UU PPh terdapat tiga mekanisme perhitungan PPh untuk Wajib Pajak badan. Ketiga perhitungan tersebut terlihat di Tabel III.2, yang terdiri dari 1) perhitungan PPh untuk penghasilan yang menjadi objek PPh final (dalam tabel disebut “PPh Final”), 2) perhitungan PPh menggunakan norma khusus (dalam tabel disebut “Norma”), dan 3) perhitungan normal menggunakan teknik rekonsiliasi fiskal (dalam tabel disebut “Normal”). Ketiga mekanisme perhitungan PPh Badan di atas tidak terlepas dari proses rekonsiliasi yang sudah dijelaskan sebelumnya. Di dalam formulir SPT PPh Badan, rekonsiliasi fiskal ini juga tergambar pada salah satu formulirnya (lihat Tabel III2). Tabel III.2 Ilustrasi Penghitungan PPh untuk Wajib Pajak Badan (dalam Rp jutaan) No Deskripsi 1 2 A Penghitungan penghasilan neto fiskal 1 Penghasilan neto komersial dalam negeri a) Peredaran usaha b) Harga pokok penjualan c) Biaya usaha lainnya d) Penghasilan neto dari usaha [a-b-c] e) Penghasilan dari luar usaha f) Biaya dari luar usaha g) Penghasilan neto dari luar usaha [e-f] h) Jumlah penghasilan neto komersial dlm negeri [d-g] 2 Penghasilan neto komersial luar negeri 3 Jumlah penghasilan neto komersial [1+2] 4 Penghasilan yang dikenakan PPh final dan yang tidak termasuk objek pajak 5 Penyesuaian fiskal positif 6 Penyesuaian fiskal negatif 7 Fasilitas penanaman modal berupa pengurangan penghasilan neto 8 Penghasilan neto fiskal [3-4+5-6-7] a) berdasarkan pembukuan normal b) berdasarkan norma penghitungan khusus [misalnya 6%] B Kompensasi kerugian fiskal C Penghasilan kena pajak [A.8-B] D PPh terutang 1 Sesuai tarif Pasal 17 ayat (1) UU PPh [25% x butir C] 2 Sesuai tarif Pasal 4 ayat (2) UU PPh dan peraturan pelaksanaannya [misalnya 10% x butir A.1.a] E Pengembalian/pengurangan kredit pajak luar negeri (PPh ps. 24) yang telah diperhitungkan tahun lalu F Jumlah PPh terutang [D+E] G Kredit pajak 1 PPh ditanggung pemerintah (proyek bantuan luar negeri) 2 PPh dipotong/dipungut pihak lain a) PPh Pasal 22 b) PPh Pasal 23 c) PPh Pasal 24 d) PPh final e) Jumlah PPh dipotong/dipungut pihak lain [a+b+c+d]

Aspek PPh Badan untuk Rumah Sakit

PPh Final 3

Norma 4

100.000

Normal 5

100.000

100.000

100.000 70.000 10.000 20.000 2.000 1.500 500 20.500 4.500 25.000 3.000 10.000 2.000 0

0

30.000 6.000 2.000 4.000

2.000 28.000

1.000

7.000

0

0

1.000

7.000

10.000

10.000

0 0 1.800 0

500 1.500 0

1.800

2.000

9.000

18

Tabel III.2 Ilustrasi Penghitungan PPh untuk Wajib Pajak Badan (dalam Rp jutaan) No Deskripsi 1 2 3 PPh yang harus Dibayar Sendiri (PPh yang lebih Dipotong/ Dipungut) [F-G.1-G.2.e] 4 PPh yang Dibayar Sendiri a) PPh Pasal 25 b) STP PPh Pasal 25 c) PPh final disetor sendiri d) PPh yang Dibayar Sendiri [a+b+c] H PPh Kurang (Lebih) Bayar [G.3-G.4.d]

PPh Final 3 1.000

1.000 1.000 0

Norma 4 (800)

Normal 5 500

0 0

0 0

0 (800)

0 500

Sumber: diolah dari formulir SPT PPh Badan, baik formulir 1771 dan 1771-I maupun 1771$ dan 1771$-I dan “Konvergensi IFRS dan Pengaruhnya terhadap Perpajakan” (Saptono, 2012; h. 27-28)

Sistematika penyajian perhitungan PPh Badan di Tabel III.2 mengacu pada perhitungan normal yang terdapat di dalam formulir SPT PPh Badan (khususnya formulir 1771 dan 1771-I serta 1771$ dan 1771$-I). Perbedaan antara kode formulir 1771 dan 1771$ tersebut terletak pada metode pembukuan yang digunakan, sedangkan informasi yang disajikan kedua formulir tersebut tidak berbeda. Formulir 1771$ digunakan khusus untuk Wajib Pajak badan yang menyelenggarakan pembukuannya dalam bahasa Inggris dan menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat sesuai PerMenkeu No. 196/PMK.03/2007 s.t.d.d. (sebagaimana telah diubah dengan) PerMenkeu No. 24/PMK.011/2012. Sistematika perhitungan normal tersebut mengacu pada Pasal 16 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 20 ayat (1), Pasal 28 ayat (1) UU PPh serta pasal-pasal terkait lainnya. 1. Penghitungan PPh Badan untuk Wajib Pajak dengan tarif PPh Final Untuk rekonsiliasi fiskal Wajib Pajak Badan yang peredaran usahanya telah dipotong PPh final, misalnya persewaaan tanah/bangunan dan jasa konstruksi, prosesnya lebih sederhana. Dalam contoh pada Tabel I.2, dimisalkan PT A mendapatkan penghasilan sewa kantor dari para tenan yang terdiri dari Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan senilai Rp 100 miliar. Seluruh tenan badan telah menunaikan kewajibannya memotong PPh final sebesar 10% dari total nilai sewa sebesar Rp 9 miliar sehingga PT A memperoleh bukti potong PPh final sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU PPh sebesar Rp 9 miliar. Sementara itu, tenan orang pribadi yang tidak memiliki kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tidak berkewajiban memotong PPh final 10%. Sebagai konsekuensinya, PT A membayar sendiri PPh finalnya. Dalam contoh di Tabel II.2, total omzet PT A yang belum dipotong pajaknya sebesar Rp 10 miliar dan PT A harus membayar sendiri PPh finalnya sebesar Rp 1 miliar. Karena penghasilan PT A telah dipotong pajak final, penghasilan PT A sebesar Rp 100 miliar dikoreksi fiskal, seluruh biayanya juga dikoreksi fiskal, dan PPh yang telah dipotong tenan juga dikoreksi fiskal. Kekurangan PPh sebesar Rp 1 miliar dibayar pada bulan diperolehnya penghasilan tersebut. Pada akhirnya, ketika melaporkan SPT PPh Badan, PT A tidak mencatat adanya PPh kurang bayar. 2. Penghitungan PPh Badan untuk Wajib Pajak dengan Norma Khusus Penghitungan Neto Untuk rekonsiliasi fiskal Wajib Pajak Badan yang menerapkan norma khusus penghasilan neto sesuai dengan Pasal 15 UU PPh, prosesnya setingkat lebih kompleks dibandingkan PPh final. Contoh Wajib Pajak Badan yang menerapkan norma khusus ini adalah maskapai penerbangan tidak berjadwal (chartered flight). Dimisalkan dalam contoh pada Tabel III.2, PT B mencatat pendapatan sewa pesawat senilai Rp 100 miliar. Para penyewa yang merupakan Wajib Pajak Aspek PPh Badan untuk Rumah Sakit

19

Badan telah memotong PPh Pasal 15 sebesar 1,8% atau Rp 1,8 miliar. Hal ini diatur di dalam Pasal 15 UU PPh juncto Kepmenkeu No. 475/KMK.04/1996. Berdasarkan ketentuan yang sama, norma penghasilan neto untuk PT B adalah 6%. Selanjutnya, PPh terutang (lihat butir D.1 Tabel III.2) diperoleh dengan mengalikan tarif PPh (25%) dengan penghasilan neto. PPh terutang tersebut dilunasi dengan cara pemotongan PPh oleh pihak lain, yaitu penyewa, yang menggunakan tarif pemotongan PPh sebesar 1,8% (lihat G.2.b Tabel III.2). Meskipun ketentuan pajaknya mengacu pada Pasal 15 UU PPh, perlakuan PPh yang dipotong sebesar 1,8% tersebut disamakan dengan pemotongan PPh Pasal 23. Dalam ilustrasi tidak ada PPh dibayar sendiri sehingga terdapat kelebihan pajak sebesar Rp 800 juta (lihat butir H Tabel III.2). Dalam hal ini, wajib pajak bisa mengajukan restitusi pajak atau kompensasi ke tahun pajak berikutnya. 3. Penghitungan PPh Badan dengan Cara Normal Perhitungan PPh secara “normal” dalam Tabel III.2 juga masih bisa dibagi lagi menjadi tiga, yaitu: a. perhitungan PPh Badan untuk pengusaha yang tergolong UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah); b. perhitungan PPh Badan untuk Bentuk Usaha Tetap; dan c. perhitungan PPh Badan untuk selain UMKM dan BUT (Bentuk Usaha Tetap). Perhitungan PPh Badan untuk UMKM mengacu pada Pasal 31A UU PPh, yaitu “Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)”. Sementara itu, perhitungan PPh Badan untuk Bentuk Usaha Tetap secara umum tidak berbeda dengan wajib pajak badan lainnya, tapi secara spesifik mengacu juga pada Pasal 5 UU PPh. Di dalam Pasal 5 UU PPh tersebut terdapat tambahan penghasilan yang menjadi objek pajak dan tambahan biaya yang bisa dikurangkan. Objek pajak BUT menurut Pasal 5 UU PPh tersebut adalah a. penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai; b. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia; c. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 UU PPh yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud. Istilah rekonsiliasi fiskal sering digunakan untuk perhitungan PPh secara “normal”. Mengacu pada Tabel III.2, butir A.1 s.d. A.3 didasarkan pada pembukuan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan dan pembukuan tersebut menghasilan penghasilan neto komersial yang diambil dari laporan laba rugi. Selanjutnya, untuk menghitung PPh Badan, penghasilan neto komersial tersebut disesuaikan menjadi penghasilan kena pajak. Proses penyesuaian dari penghasilan neto komersial menjadi penghasilan kena pajak seringkali disebut di dalam praktik sebagai REKONSILIASI

Aspek PPh Badan untuk Rumah Sakit

20

FISKAL. Penyesuaian tersebut terdiri dari butir A.4, A.5, A.6, A.7, dan B pada Tabel I.2, yaitu: a. Penghasilan yang dikenakan PPh final dan yang tidak termasuk objek pajak; b. Penyesuaian fiskal positif; c. Penyesuaian fiskal negatif; d. Fasilitas penanaman modal berupa pengurangan penghasilan neto; dan e. Kompensasi kerugian fiskal. Kelima bentuk penyesuaian di atas merupakan implementasi dari ketentuan Pasal 28 ayat (7) UU KUP 2007, khususnya penjelasannya yang menyatakan bahwa “...pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain”. Penyesuaian pertama di dalam Tabel III.2, khususnya butir A.4 tentang Penghasilan yang dikenakan PPh final dan yang tidak termasuk objek pajak berasal dari ketentuan Pasal 4 Undangundang No. 36/2008 (UU PPh). Pengertian penghasilan menurut ketentuan tersebut adalah “...setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun”. Di dalam penjelasan Pasal 4 UU PPh, di antaranya bisa dideskripsikan pada Gambar III.4. Penjelasan Pasal 4 UU PPh di antaranya menyatakan bahwa apabila suatu jenis penghasilan dikenai pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari objek pajak, penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenai tarif umum. Di dalam Gambar III.4 tersebut, penghasilan dibagi menjadi dua jenis, yaitu: 1) penghasilan yang menjadi objek pajak dan 2) penghasilan yang bukan merupakan objek pajak. Gambar III.4 Pembagian Penghasilan Sebagai Objek PPh dan Non Objek PPh

Sumber: diolah dari Pasal 4 UU PPh dan “Konvergensi IFRS dan Pengaruhnya terhadap Perpajakan” (Saptono, 2012; h. 22)

Untuk penghasilan yang bukan merupakan objek pajak, pengaturannya mengacu pada Pasal 4 ayat (3) UU PPh. Sementara itu, untuk penghasilan yang menjadi objek pajak, penghasilan tersebut masih terbagi lagi menjadi dua, yaitu: Aspek PPh Badan untuk Rumah Sakit

21

1) penghasilan yang dikenakan pajak final sesuai Pasal 4 ayat (2) UU PPh dan 2) penghasilan yang tidak dikenakan pajak final atau yang dikenakan tarif umum sesuai Pasal 17 ayat (1) huruf b UU PPh. Penghasilan yang menjadi objek pajak dan pajak tersebut tidak bersifat final mengacu pada Pasal 4 ayat (1) UU PPh. Namun demikian, tidak seluruh objek pajak di Pasal 4 ayat (1) UU PPh tersebut dikenakan pajak tidak bersifat final. Contoh hal ini terlihat pada Lampiran 1 tentang Pembagian Penghasilan Sebagai Objek Pajak Non Final, Objek Pajak Final dan Non Objek Pajak, yang membagi penghasilan sesuai dengan Gambar III.4. Hal yang perlu diperhatikan dalam merujuk ketentuan pajak yang bersifat final adalah bahwa semua peraturannya tidak mengacu pada Pasal 4 ayat (2) UU PPh. Dalam hal ini, Lampiran 1 dari buku “Konvergensi IFRS dan Pengaruhnya terhadap Perpajakan” (Saptono, 2012; h. 195-201) di antaranya menjelaskan referensi peraturan untuk PPh final. Lebih lanjut di dalam penjelasan Pasal 4 UU PPh, diuraikan bahwa contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam Pasal 4 UU PPh tersebut dimaksudkan untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas dan tidak terbatas pada contoh-contoh dimaksud. Dari sudut akuntansi, penentuan jenis penghasilan seperti terlihat pada Gambar III.4 akan mempengaruhi perlakuan akuntansi dari sudut pengukuran dan pengakuan. Hal ini dikarenakan standar akuntansi tidak mengatur bagaimana mengukur pajak terutang dan kapan harus mengakuinya. Selanjutnya, kedua perlakuan akuntansi tersebut akan tersaji dalam laporan keuangan dan dijelaskan lebih detil dalam pengungkapan di catatan atas laporan keuangan. Gambar III.5 Pengurang Penghasilan Masa manfaat lebih dari 1 tahun Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan Biaya Pengurang Penghasilan Kompensasi Rugi

Masa manfaat tidak lebih dari 1 tahun

Biaya tidak untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan

Fasilitas penanaman modal di KAPET berupa pengurangan penghasilan neto

Sumber: diolah dari Pasal 6 ayat (1), Pasal 6 ayat (2), Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 31A UU PPh 2008

Penyesuaian kedua s.d. kelima yang terkait dengan pengurangan penghasilan terlihat pada skema di Gambar III.5. Penyesuaian kedua dan ketiga berupa penyesuaian fiskal positif dan negatif di dalam praktik lebih dikenal dengan istilah KOREKSI POSITIF untuk penyesuaian fiskal positif dan KOREKSI NEGATIF untuk penyesuaian fiskal negatif. Istilah positif dan negatif dalam istilah tersebut dilihat dari sudut pandang Ditjen Pajak. Jadi, jika setelah dilakukan suatu koreksi fiskal, penghasilan neto komersial lebih besar dari penghasilan kena pajak, koreksi fiskal tersebut disebut koreksi negatif. penghasilan neto komersial lebih kecil dari penghasilan kena pajak, koreksi fiskal tersebut Aspek PPh Badan untuk Rumah Sakit

22

disebut koreksi positif. Dengan bahasa yang lebih sederhana dan sering dipakai di dalam praktik, koreksi negatif menguntungkan wajib pajak, sedangkan koreksi positif menguntungkan Ditjen Pajak. Koreksi fiskal positif dan koreksi fiskal negatif di dalam praktik tersebut tidak hanya meliputi biaya, tapi juga penghasilan yang telah dibahas sebelumnya. Ringkasan dari koreksi fiskal tersebut terlihat pada Tabel III.3. Tabel III.3 Rincian Koreksi Fiskal Unsur yg dikoreksi Penghasilan Penghasilan Biaya Biaya

Hasil koreksi fiskal Penghasilan scr komersial > Penghasilan scr pajak Penghasilan scr komersial < Penghasilan scr pajak Biaya scr komersial > Biaya scr pajak Biaya scr komersial < Biaya scr pajak

Jenis koreksi fiskal Koreksi negatif Koreksi positif Koreksi positif Koreksi negatif

Khusus untuk koreksi fiskal yang berasal dari biaya, koreksi tersebut merujuk pada Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (1) UU PPh 2008. Pasal 6 ayat (1) UU PPh 2008 mengatur bahwa “besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, ...”. Di dalam praktik, biaya-biaya yang tercantum dalam Pasal 6 ayat (1) UU PPh 2008 ini sering dikenal dengan istilah “deductible expense” [lihat Tabel III.4]. Sementara itu, Pasal 9 ayat (1) UU PPh 2008 mengatur tentang pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap. Ketentuan ini lebih sering dikenal dengan istilah “non-deductible expense” [lihat Tabel I.4]. Penyesuaian keempat, yaitu fasilitas penanaman modal berupa pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman modal yang dilakukan, diberikan kepada pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di dalam: 1) Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET); 2) Bidang-bidang usaha tertentu, yaitu bidang usaha di sektor kegiatan ekonomi yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional; dan 3) Daerah-daerah tertentu, yaitu daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan. Tabel III.4 Deductible Expense & Non-Deductible Expense Perihal Deductible Expense

1)

Deskripsi Deductible Expense untuk Wajib Pajak Badan dan BUT a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain: 1. biaya pembelian bahan; 2. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang; 3. bunga, sewa, dan royalti; 4. biaya perjalanan; 5. biaya pengolahan limbah; 6. premi asuransi; 7. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan [PerMenkeu 02/PMK.03/2010 tanggal 8 Januari 2010] 8. biaya administrasi; dan 9. pajak kecuali Pajak Penghasilan; b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih

Aspek PPh Badan untuk Rumah Sakit

23

Tabel III.4 Deductible Expense & Non-Deductible Expense Perihal

2)

Non Deductible Expense

1)

Deskripsi dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A UU PPh 2008; c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan; d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan; e. kerugian selisih kurs mata uang asing; f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia; g. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan; h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat: 1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; 2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan 3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu; 4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k UU PPh 2008 [juncto PP No. 130/2010 tanggal 15 Desember 2000]; yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan [yaitu PerMenkeu No. 57/PMK.03/2010 tanggal 9 Maret 2010]; i. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah [yaitu PP No. 93/2010 tanggal 30 Desember 2010]; j. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah [yaitu PP No. 93/2010 tanggal 30 Desember 2010]; k. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah [yaitu PP No. 93/2010 tanggal 30 Desember 2010]; l. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah [yaitu PP No. 93/2010 tanggal 30 Desember 2010]; dan m. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah [yaitu PP No. 93/2010 tanggal 30 Desember 2010]. Deductible Expense khusus untuk BUT Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan yaitu biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak Non deductible expense untuk wajib pajak dalam negeri dan BUT a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota; c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali: 1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang; 2. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; 3. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan; 4. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan; 5. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan 6. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan [yaitu PerMenkeu No. 81/PMK.03/2009 tanggal 22 April 2009];

Aspek PPh Badan untuk Rumah Sakit

24

Tabel III.4 Deductible Expense & Non-Deductible Expense Perihal

2)

Deskripsi d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan; e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan [yaitu PerMenkeu No. 83/PMK.03/2009 tanggal 22 April 2009]; f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan; g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b UU PPh 2008, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m UU PPh 2008 serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah [yaitu PP No. 18/2009 tanggal 9 Februari 2009]; h. Pajak Penghasilan; i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya; j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham; k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan Non deductible expense khusus untuk BUT Pembayaran kepada kantor pusat berupa : a. royalti atau imbalan lainnya sehubungan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya; b. imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya; c. bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan

Sumber: Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (1) UU PPh beserta peraturan pelaksanaannya seperti dikutip di tabel di atas.

Fasilitas untuk KAPET di atas mengacu pada Pasal 31A UU PPh 2008 juncto Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 147 tahun 2000. Sementara itu, fasilitas untuk bidang/daerah tertentu mengacu pada Pasal 31A UU PPh 2008 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2008. Pengertian penanaman modal di atas dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 2007 sebagai investasi berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah yang digunakan untuk kegiatan utama usaha, baik untuk penanaman modal baru maupun perluasan dari usaha yang telah ada. Yang dimaksud dengan perluasan dari usaha yang telah ada adalah suatu kegiatan dalam rangka peningkatan kuantitas/kualitas produk, diversifikasi produk, atau perluasan wilayah operasi dalam rangka pengembangan kegiatan dan produksi perusahaan. Penyesuaian kelima, yaitu kompensasi rugi, merujuk pada Pasal 6 ayat (2) UU PPh 2008. Di dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) UU PPh 2008 didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun. Selain itu, kompensasi kerugian fiskal juga bisa terjadi karena Wajib Pajak Badan Aspek PPh Badan untuk Rumah Sakit

25

memperoleh fasilitas penanaman modal berupa kompensasi kerugian fiskal, yang lebih lama mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai paling lama 10 (sepuluh) tahun, sesuai Pasal 31A UU PPh. B. Kredit pajak Seperti diuraikan sebelumnya terkait penjelasan Pasal 20 ayat (1) UU PPh, pelunasan PPh Badan dilakukan melalui pemotongan/pemungutan pihak lain dan pembayaran sendiri (lihat Tabel III.2 butir G). Di dalam praktik, istilah kredit pajak ini merupakan pelunasan yang dilakukan sebelum batas akhir penyampaian SPT Tahunan PPh Badan. Secara akuntansi, pelunasan PPh sebelum batas akhir penyampaian SPT Tahunan PPh Badan akan dicatat sebagai uang muka pajak atau prepaid tax. Namun demikian, pencatatan sebagai uang muka pajak tidak berlaku jika sifat pemotongan pajaknya bersifat final. Dengan kata lain, pembayaran PPh final melalui pemotongan oleh pihak lain dan pembayaran sendiri hanya akan dicatat sebagai beban pajak atau tax expense. Sebagai konsekuensinya, tidak akan ada pajak kurang (lebih) bayar pada akhir tahun (lihat ilustrasinya pada Tabel III.2 butir H kolom 3). III.4. Perhitungan Angsuran PPh Pasal 25 Selain menghitung PPh Badan, Wajib Pajak Badan juga berkewajiban menghitung angsuran PPh Pasal 25. Angsuran pajak ini merupakan bagian mekanisme pembayaran PPh Badan untuk tahun berikutnya yang dilakukan dengan cara cicilan pembayaran tiap bulan. Ketentuan perpajakan terkait dengan pelunasan PPh Badan, khususnya PPh Pasal 25 yang dibayar sendiri berdasarkan PPh, yang terutang menurut SPT Tahunan PPh tahun pajak lalu, dikurangi dengan PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 24 dan dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak. Hal ini diatur di dalam Pasal 25 UU PPh 2008 juncto PerMenkeu No. 255/PMK.03/2008. Selain ketentuan umum terkait cara menghitung angsuran PPh Pasal 25, seperti diuraikan pada paragraf di atas, ketentuan pajak juga mengatur cara tersendiri untuk menghitung angsuran PPh Pasal 25, yaitu: Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak bank dan sewa guna usaha (SGU) dengan hak opsi adalah sebesar PPh yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut laporan keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan dikurangi PPh Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas). Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak masuk bursa dan Wajib Pajak lainnya, yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala, adalah sebesar PPh yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut laporan keuangan berkala terakhir yang disetahunkan dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan PPh Pasal 22 dan Pasal 23 serta Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas). Ilustrasi perhitungan angsuran PPh Pasal 25 dengan cara khusus di atas terlihat pada Tabel I.5 Perhitungan angsuran PPh Pasal 25 pada Tabel III.5 sedikit berbeda dengan perhitungan untuk Wajib Pajak pada umumnya. Perbedaan terletak pada butir 1 dan butir 4 di dalam Tabel I.5. Untuk butir 1, Wajib Pajak pada umumnya menggunakan laporan keuangan tahunan sebagai basis perhitungan laba neto komersial. Untuk butir 4, tidak perlu ada lagi penyetahunan laba neto fiskal bagi Wajib Pajak pada umumnya. Aspek PPh Badan untuk Rumah Sakit

26

Tabel III.5 Ilustrasi Perhitungan Angsuran PPh Pasal 25 Uraian 1) 2) 3) 4) 5) 6)

Laba neto komersial berdasarkan LK interim periode Jan-Mar 20X1 Koreksi fiskal positif (negatif) Laba neto fiskal [1+2] Laba neto fiskal disetahunkan [12/3 x no. 3] PPh badan terutang (misalnya 25%) Kredit Pajak a) PPh Pasal 22 b) PPh Pasal 23 c) PPh Pasal 24 d) Jumlah kredit pajak [a+b+c] 7) PPh yg masih harus dibayar sendiri [5-6.d] 8) Angsuran PPh Pasal 25 untuk periode April-Juni 2010 [1/12 x no. 7]

Wajib Pajak Wajib Pajak masuk Bank/SGU dgn hak bursa & Wajib Pajak opsi (Rp jutaan) lainnya (Rp jutaan) 250.000 250.000 50.000 50.000 300.000 300.000 1.200.000 1.200.000 300.000 300.000 0 0 60.000 60.000 240.000 20.000

50.000 70.000 60.000 180.000 120.000 10.000

Sumber: diolah dari Peraturan Menkeu No. 255/PMK.03/2008 dan “Konvergensi IFRS dan Pengaruhnya terhadap Perpajakan” (Saptono, 2012; h. 61-62).

Aspek PPh Badan untuk Rumah Sakit

27

BAB IV ASPEK PPh PASAL 21 UNTUK RUMAH SAKIT

IV.1. Perbedaan Pengertian Undang-undang (UU) No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memiliki beberapa perbedaan pengertian dengan UU No. 36 Tahun 2008 yang mengatur masalah Pajak Penghasilan (PPh). Di dalam UU No. 13/2003 di antaranya dipakai istilah tenaga kerja, pekerja/buruh, dan upah. Sementara itu, di dalam UU PPh dan peraturan pelaksanaannya, khususnya Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PerDirjen Pajak) No. Per-31/PJ/2009, dipakai istilah pegawai dan bukan pegawai serta penghasilan. Meskipun objek yang dimaksud sama, tapi ada sedikit perbedaan makna. Berikut ini adalah uraiannya. A. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 1. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. 2. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. 3. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain 4. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan B. PerDirjen Pajak No. Per-31/PJ/2009 1. Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, baik sebagai pegawai tetap atau pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan pemberi kerja, termasuk orang pribadi yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. 2. Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu sepanjang Aspek PPh Pasal 21 untuk Rumah Sakit

28

pegawai yang bersangkutan bekerja penuh (full time) dalam pekerjaan tersebut [Psl 1 angka 10]. 3. Pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja Contoh: Ali mulai bekerja sebagai pegawai kontrak 5 bulan mulai Ags 20X0 di PT ABG. Apakah dalam perhitungan PPh Pasal 21-nya di tahun 20X0 dia dikategorikan sebagai pegawai tetap? Apakah dia berhak mendapatkan biaya jabatan? Ataukah dia merupakan pegawai tidak tetap? Jawab: Secara umum sesuai dengan UU Ketenagakerjaan, perusahaan menganggapnya sebagai pegawai tidak tetap. Akan tetapi, sesuai dengan Pasal 1 UU No. 13/2003 tersebut, Ali dianggap sebagai pegawai tetap sehingga bukti potongnya berupa 1721-A1 dan ia berhak mendapatkan biaya jabatan. Dari sudut tax planning, penetapan Ali sebagai pegawai tetap menjadikan kemudahan administrasi bukti potong karena tidak perlu dibuat tiap bulan serta pengurangan PPh karena ada biaya jabatan. IV.2. Pemotong Pajak A. Siapakah Pemotong PPh Pasal 21? Di dalam Pasal 21 UU PPh 2008 juncto PerMenkeu No. 252/PMK.03/2008, ditegaskan bahwa Pemotong PPh Pasal 21 atau disebut Pemotong Pajak terdiri dari: 1. pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh a. pegawai atau b. bukan pegawai, yaitu orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja sehubungan dengan ikatan kerja tidak tetap, misalnya artis yang menerima atau memperoleh honorarium dari pemberi kerja; 2. bendahara atau pemegang kas pemerintah termasuk bendahara atau pemegang kas kepada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang membayarkan imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan; 3. dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua; 4. orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar :

PPh Pasal 21

29

a. honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya. b. honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri; c. honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan magang; dan 5. penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan. B. Non Pemotong Pajak Pemberi kerja yang tidak wajib melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 21 sesuai dengan UU PPh adalah 1. kantor perwakilan negara asing 2. organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, (215/PMK.03/2008) dengan syarat: a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan b. Organisasi tersebut tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota 3. pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas IV.3. Penghasilan yang Terkait dengan PPh Pasal 21 Pemotongan PPh Pasal 21 terkait dengan ketentuan dalam Pasal 21 UU PPh yang mengatur tentang pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima (cash basis) atau diperoleh (accrual basis) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Tabel IV.1 Perbedaan Objek PPh Pasal 21 dan Objek PPh Pasal 23 Penerima penghasilan a. KAP Adigang b. KKP Adigung & Adiguna c. Kantor Pengacara Ani Pulagi, SH., LLM d. Notaris Ketty Puterus SH, MKn

Jenis WP Orang Pribadi Badan Orang Pribadi Orang Pribadi

Jenis PPh yang dipotong PPh Pasal 21 PPh Pasal 23 PPh Pasal 21 PPh Pasal 21

Sebagai ilustrasi sederhana, pada bulan Januari 2013 PT MBR membayarkan biaya profesional kepada konsultannya yang terdiri dari kantor akuntan publik (KAP), kantor konsultan pajak (KKP), dan kantor pengacara seperti terlihat pada Tabel IV.1. Walaupun keempat profesional di atas memiliki kantor, atas penghasilan KAP Adigang, Kantor Pengacara Ani Pulagi, SH., LLM, PPh Pasal 21

30

dan Notaris Ketty Puterus, SH., MKn. tetap dipotong PPh Pasal 21 karena ketiga wajib pajak tersebut merupakan orang pribadi. Lain halnya dengan KKP Adigung & Adiguna yang merupakan WP Badan. Dengan demikian, penghasilan yang dibayarkan oleh PT MBR dipotong PPh Pasal 23 A. Benefit in Cash versus Benefit in Kind Menurut Pasal 4 UU PPh, penghasilan didefinisikan sebagai setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima (cash basis) atau diperoleh (accrual basis) Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Di dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPh diatur bahwa penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang PPh merupakan objek pajak, dalam hal ini objek PPh Pasal 21. Di Pasal 4 ayat (3) huruf d UU PPh disebutkan bahwa penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. Objek pemotongan PPh Pasal 21 adalah penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Secara rinci teknis pemotongan PPh Pasal 21 dijabarkan di dalam beberapa peraturan pelaksanaan, seperti: Peraturan Menteri Keuangan No. 252/PMK.03/2008, Peraturan Menteri Keuangan No. 246/PMK.03/2008, Peraturan Dirjen Pajak No. Per-31/PJ/2009 s.t.d.d. (sebagaimana telah diubah dengan) Per57/PJ/2009 dan Per-31/PJ/2012, Peraturan Pemerintah No. 68/2009, Peraturan Pemerintah No. 80/2010 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 262/PMK.03/2010 Tabel IV.2 Objek Pemotongan PPh Pasal 21 Pemberi Penghasilan 1) 2) 3) 4)

Pemerintah Non Wajib Pajak Wajib Pajak yang dikenakan PPh final Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit) 5) Wajib Pajak Lainnya (selain di atas)

Jenis Penghasilan Benefit in cash (BIC) Benefit in kind (BIK) Objek Pajak Non Objek Pajak Objek Pajak Objek Pajak Objek Pajak Objek Pajak Objek Pajak

Objek Pajak

Objek Pajak

Non Objek Pajak

Sumber: Diolah dari Pasal 4 ayat (1) huruf a dan ayat (3) huruf d UU PPh

Secara ringkas ketentuan di atas tergambar pada Tabel IV.2. Pemberi penghasilan non wajib pajak yang dimaksud di dalam tabel di atas di antaranya adalah kantor perwakilan negara asing dan PPh Pasal 21

31

organisasi internasional yang digolongkan sebagai non subjek pajak menurut Keputusan Menteri Keuangan. Untuk WP yang dikenakan PPh final, contohnya adalah perusahaan yang bergerak di dalam persewaan tanah/bangunan dan perusahaan konstruksi, sedangkan WP dengan deemed profit di antaranya adalah Perusahaan charter pesawat (475/KMK.04/1996), Perusahaan pelayaran dalam negeri (416/KMK.04/1996), Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) yang bergerak di bidang pelayaran/penerbangan dalam jalur internasional (632/KMK.04/1994), dan WPLN yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia (634/KMK.04/1994). Pengenaan deemed profit ini sesuai dengan Pasal 15 UU PPh yang pengaturan lebih detilnya melalui Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana diuraikan ringkas di atas. B. Objek PPh Pasal 21 Gambar IV.1 Pembagian Penghasilan sebagai Objek PPh Pasal 21 Objek PPh Pasal 21 terdiri dari penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh WP orang pribadi dalam negeri. Ringkasannya terlihat pada Tabel IV.3. Tabel tersebut mengacu pada peraturan terbaru terkait dengan perhitungan PPh Sumber: Diolah dari Pasal 4 UU PPh Pasal 21, sebagaimana diatur di dalam PerDirjen Pajak No. Per-31/PJ/2012 yang berlaku mulai 1 Januari 2013 (Lihat Lampiran 1). Hal ini terkait dengan perubahan PTKP sebagaimana diatur di dalam PerMenkeu No. 162/PMK.011/2012.

Secara garis besar penghasilan yang terkait dengan Pasal 21 UU PPh terlihat pada Gambar IV.1. Sesuai dengan PerMenkeu No. 252/PMK.03/2008, objek pemotongan PPh Pasal 21 terinci sebagai berikut. 1. penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur; 2. penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya; 3. penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis; 4. penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan; 5. imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan; 6. imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apa pun;

PPh Pasal 21

32

Tabel IV.3 Ikhtisar Objek PPh Pasal 21, Pengurang yang Diperbolehkan, Dan Tarif PPh Pasal 21 No Jenis penghasilan Pengurangan 1 Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap berupa: Biaya jabatan Iuran pensiun a) penghasilan teratur Iuran Tunjangan Hari Tua / Jaminan Hari Tua yaitu penghasilan bagi pegawai tetap berupa gaji atau upah, segala macam tunjangan, dan imbalan dengan nama apapun yang diberikan secara periodik PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi kerja, termasuk uang lembur. b) penghasilan tidak teratur yaitu penghasilan bagi pegawai tetap selain penghasilan yang bersifat teratur, yang diterima sekali dalam satu tahun atau periode lainnya, antara lain berupa bonus, Tunjangan Hari Raya (THR), jasa produksi, tantiem, gratifikasi, atau imbalan sejenis lainnya dengan nama apa pun. 2 a) uang pensiun atau Biaya pensiun b) penghasilan sejenisnya PTKP 3 Uang pesangon [Peraturan Pemerintah No. 68/2009] --

4

5

a. Uang Manfaat Pensiun, -b. Tunjangan Hari Tua, atau c. Jaminan Hari Tua [Peraturan Pemerintah No. 68/2009] Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, sepanjang tidak dibayarkan secara bulanan, berupa (1) upah harian, (2) upah mingguan, (3) upah satuan, (4) upah borongan atau (5) uang saku harian: a) penghasilan sehari atau rata-rata penghasilan sehari belum melebihi Rp 200.000,00 -(Ketentuan lama Rp 150.000,00 menurut PerMenkeu No 254/PMK.03/2008) b) penghasilan yang melebihi Rp 200.000,00 sehari (ketentuan lama Rp 150.000,00 Rp 200.000,00 sehari (ketentuan lama Rp sehari), sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan 150.000 sehari) kalender belum melebihi Rp 2.025.000,00 (ketentuan lama Rp 1.320.000,00) Iuran JHT/THT c) penghasilan yang dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang PTKP yang sebenarnya, yaitu PTKP untuk diterima selama 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp 2.025.000,00 (ketentuan jumlah hari kerja yang sebenarnya dan PTKP lama Rp 1.320.000,00), tapi tidak melebihi Rp 7.000.000,00 (ketentuan lama Rp sehari adalah PTKP dibagi 360 hari. 6.000.000,00 menurut PerDIrjen Pajak Per-31/PJ/2009 s.t.d.d. Per-57/PJ/2009) Iuran JHT/THT

Aspek PPh Pasal 21 untuk Rumah Sakit

Tarif PPh Tarif Pasal 17 UU PPh x penghasilan kena pajak disetahunkan

0% atas Ph bruto s.d. Rp 50 juta; 5% atas Ph bruto di atas Rp 50 juta s.d. Rp 100 juta 15% atas Ph bruto di atas Rp 100 juta s.d. Rp 500 juta 25% atas Ph bruto di atas Rp 500 juta 0% atas Ph bruto s.d. Rp 50 juta; 5% atas Ph bruto di atas Rp 50 juta

Tidak dipotong PPh 5%

5%

33

Tabel IV.3 Ikhtisar Objek PPh Pasal 21, Pengurang yang Diperbolehkan, Dan Tarif PPh Pasal 21 No

6

7

8

Jenis penghasilan d) penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender melebihi Rp 7.000.000,00 (ketentuan lama Rp 6.000.000) Penghasilan pegawai tidak tetap yang dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima selama 1 (satu) bulan kalender telah melebihi jumlah PTKP sebulan untuk wajib pajak sendiri Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi antara lain: 1) tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris; 2) pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya; 3) olahragawan 4) penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator; 5) pengarang, peneliti, dan penerjemah; 6) pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan; 7) agen iklan; 8) pengawas atau pengelola proyek; 9) pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara. 10) penjaja barang dagangan yang tidak berstatus sebagai pegawai; 11) petugas dinas luar asuransi; dan 12) distributor perusahaan multi level marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya. Imbalan kepada peserta kegiatan antara lain meliputi: a) perlombaan olahraga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya; b) peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja; c) peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu; d) peserta pendidikan, pelatihan, dan magang; e) peserta kegiatan lainnya

Aspek PPh Pasal 21 untuk Rumah Sakit

Pengurangan PTKP setahun Iuran JHT/THT PTKP setahun Iuran JHT/THT

Tarif PPh Tarif Pasal 17 UU PPh x penghasilan kena pajak yang disetahunkan Tarif Pasal 17 UU PPh x penghasilan kena pajak disetahunkan

PTKP (sepanjang yang bersangkutan telah mempunyai NPWP dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan Pemotong Pajak dan tidak memperoleh penghasilan lainnya)

o Tarif Pasal 17 UU PPh x 50% x jumlah kumulatif penghasilan bruto dalam satu tahun kalender dari sepanjang penghasilan tersebut bersifat berkesinambungan, yaitu dibayar atau terutang lebih dari satu kali dalam satu tahun kalender. o Tarif Pasal 17 UU PPh x 50% x jumlah penghasilan bruto sepanjang penghasilan tersebut tidak bersifat berkesinambungan.

Tidak ada

Tarif pasal 17 UU PPh x jumlah bruto untuk setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan tidak dipecah

34

Tabel IV.3 Ikhtisar Objek PPh Pasal 21, Pengurang yang Diperbolehkan, Dan Tarif PPh Pasal 21 No

9

10

11 12 13

14

Jenis penghasilan dan imbalannya antara lain berupa 1) uang saku, 2) uang representasi, 3) uang rapat, 4) honorarium, 5) hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun, dan 6) imbalan sejenis dengan nama apa pun Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diberikan oleh: a. bukan Wajib pajak; b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau c. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit) Honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama; Jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai; Penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan Penghasilan yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan belanja daerah yang diterima atau diperoleh pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota TNI/POLRI dan pensiunannya Penghasilan yang diterima oleh orang pribadi yang tidak memiliki NPWP

Pengurangan

Jenis pengurangan yang diperbolehkan Tarif Pasal 17 UU PPh x penghasilan kena disesuaikan dengan jenis penghasilan pada butir 1 pajak disetahunkan s.d. 6 di atas karena penerimaan dalam bentuk natura ini digabungkan dengan jenis penghasilan tersebut. Tidak ada

Tarif Pasal 17 UU PPh x penghasilan bruto kumulatif

Diatur tersendiri dalam PP No. 80/2010 dan PerMenkeu No. 262/PMK.03/2010

--

Disesuaikan dengan jenis penghasilannya

Tarif Pasal 17 UU PPh x 120% (hanya berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final Tidak dipotong pajak karena bukan objek pajak

15 a. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi -sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa b. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apa pun yang diberikan oleh Pemerintah dan Wajib Pajak [selain Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit)]

Aspek PPh Pasal 21 untuk Rumah Sakit

Tarif PPh

35

Tabel IV.3 Ikhtisar Objek PPh Pasal 21, Pengurang yang Diperbolehkan, Dan Tarif PPh Pasal 21 No

Jenis penghasilan c. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja; d. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; e. Beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf l Undang-Undang Pajak Penghasilan dan persyaratan teknisnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 246/PMK.03/2008.

Pengurangan

Tarif PPh

Sumber: Pasal 21 UU PPh, PerMenKeu No. 246/PMK.03/2008, PerMenKeu No. 252/PMK.03/2008, PerMenKeu No. 254/PMK.03/2008 s.t.d.d. PerMenkeu No. 206/PMK.011/2012, PerDirjen Pajak No. Per-31/PJ/2009 s.t.d.d. PerDirjen Pajak No. Per-57/PJ/2009 dan PerDirjen Pajak No. Per-31/PJ/2012 Peraturan Pemerintah No. 68/2009 juncto PerMenkeu No. 16/PMK.03/2010 Peraturan Pemerintah No. 80/2010 juncto PerMenkeu No. 262/PMK.03/2010 ,

Aspek PPh Pasal 21 untuk Rumah Sakit

36

7. penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh a. bukan Wajib pajak; b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau c. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit) Penghasilan berupa penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya di atas didasarkan pada harga pasar atas barang yang diberikan atau nilai wajar atas pemberian kenikmatan yang diberikan Penghasilan sebagaimana dimaksud di atas yang diterima atau diperoleh orang pribadi Subjek Pajak luar negeri merupakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26. Dalam hal penghasilan di atas diterima atau diperoleh dalam mata uang asing, penghitungan PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 didasarkan pada nilai tukar (kurs) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran penghasilan tersebut atau pada saat dibebankan sebagai biaya. C. Non Objek PPh Pasal 21 Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 sebagaimana telah diuraikan pada Tabel I.3 adalah: 1. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan a. asuransi kesehatan, b. asuransi kecelakaan, c. asuransi jiwa, d. asuransi dwiguna, dan e. asuransi bea siswa 2. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan, termasuk Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi kerja, yang diberikan oleh a. Wajib Pajak atau pemerintah, b. Wajib Pajak yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan c. Wajib Pajak yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit); 3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan 4. Iuran Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara Jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja. 5. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; 6. Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; 7. Beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (3) huruf l Undang-Undang Pajak Penghasilan 2008 juncto PerMenkeu No. 246/PMK.03/2008, yaitu a. Beasiswa diterima atau diperoleh Warga Negara Indonesia dari Wajib Pajak pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan di dalam negeri pada tingkat 1) pendidikan dasar, 2) pendidikan menengah, dan 3) pendidikan tinggi.

Aspek PPh Pasal 21 untuk Rumah Sakit

37

b. Warga Negara Indonesia penerima beasiswa tersebut tidak mempunyai hubungan istimewa dengan : 1) Pemilik; 2) Komisaris; 3) Direksi; atau 4) Pengurus, dari Wajib Pajak pemberi beasiswa. c. Komponen beasiswa terdiri dari 1) biaya pendidikan yang dibayarkan ke sekolah (tuition fee), 2) biaya ujian, 3) biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang studi yang diambil, 4) biaya untuk pembelian buku, dan/atau 5) biaya hidup yang wajar sesuai dengan daerah lokasi tempat belajar. IV.4. Dasar Pemotongan PPh Pasal 21 Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 sesuai dengan Pasal 21 UU PPh juncto PerMenkeu No. 252/PMK.03/2008 adalah sebagai berikut: 1. Penghasilan Kena Pajak, yang berlaku bagi : a. pegawai tetap; b. penerima pensiun berkala; c. pegawai tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima selama 1 (satu) bulan kalender telah melebihi jumlah PTKP sebulan untuk wajib pajak sendiri; d. bukan pegawai meliputi: 1) distributor multi level marketing atau direct selling; 2) petugas dinas luar asuransi yang tidak berstatus sebagai pegawai; 3) penjaja barang dagangan yang tidak berstatus sebagai pegawai; dan/atau 4) penerima penghasilan bukan pegawai lainnya yang menerima penghasilan dari pemotong PPh Pasal 21 secara berkesinambungan dalam 1 (satu) tahun kalender. 2. Jumlah penghasilan yang melebihi bagian penghasilan yang tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 berlaku bagi pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan, atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi jumlah PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri. 3. Jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi penerima penghasilan selain penerima penghasilan sebagaimana dimaksud pada butir 1 dan butir 2 di atas. IV.5. Pengurangan yang Diperbolehkan A. Biaya Jabatan, Biaya Pensiun, dan Iuran Pensiun/Jaminan Hari Tua Bagi Pegawai Tetap Pengurang yang diperbolehkan untuk penghasilan bruto pegawai tetap terdiri dari biaya jabatan dan iuran pensiun/Jaminan Hari Tua. Sementara itu, untuk penerima pensiun, pengurang yang diperbolehkan hanya terdiri dari biaya pensiun. Berikut ini adalah uraian lebih detilnya untuk tahun pajak mulai 2009.

Aspek PPh Pasal 21 untuk Rumah Sakit

38

1. Biaya jabatan, yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sebesar 5% dari penghasilan bruto, dengan jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp 6.000.000,00 setahun atau Rp 500.000,00 sebulan (PerMenkeu No. 250/PMK.03/2008). 2. Iuran pensiun, yaitu iuran yang terkait dengan gaji yang dibayarkan oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan 3. Iuran Jaminan Hari Tua, yaitu iuran yang terkait dengan gaji yang dibayarkan oleh pegawai kepada badan penyelenggara Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan 4. Biaya pensiun, yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara uang pensiun sebesar 5% dari penghasilan bruto berupa uang pensiun dengan jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp 2.400.000,00 setahun atau Rp 200.000,00 sebulan (PerMenkeu No. 250/PMK.03/2008). B. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi Pegawai Tetap, Pegawai Tidak Tetap, dan Bukan Pegawai 1. Besaran PTKP Sesuai dengan Pasal 6 ayat 3 UU PPh 2008, kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa PTKP, yang besarnya menurut Peraturan Dirjen Pajak No. Per-15/PJ./2006 yang berlaku mulai tahun 2006 s.d. 2008 beserta perbandingannya sesuai dengan Pasal 7 UU PPh 2008 terlihat pada Tabel IV.4 dan Tabel IV.5. Untuk penghitungan PPh Pasal 21, besarnya Penghasilan Kena Pajak dari seorang pegawai dihitung berdasar penghasilan netonya juga dikurangi dengan PTKP dengan jumlah seperti pada Tabel IV.4. Tabel IV.4 Perbandingan PTKP Uraian Wajib Pajak Wajib Pajak kawin Tanggungan (maks 3 orang)

tahun 2009 - 2012 Setahun (Rp) Sebulan (Rp) 15.840.000 1.320.000 1.320.000 120.000 1.320.000 120.000

mulai tahun 2013 Setahun (Rp) Sebulan (Rp) 24.300.000 2.025.000 2.025.000 168.750 2.025.000 168.750

Sumber: Pasal 7 ayat (1) UU PPh 2008 dan PerMenkeu No. 162/PMK.011/2012 Tabel IV.5 Penerapan Perbandingan PTKP Berdasarkan Status Perkawinan Status Perkawinan TK/0 atau HB/0 TK/1 atau HB/1 TK/2 atau HB/2 TK/3 atau HB/3 K/0 K/1 K/2 K/3

Penjelasan Status Perkawinan PTKP mulai 2013 PTKP (2009-2012) Tidak Kawin / Hidup Berpisah tanpa tanggungan 24.300.000 15.840.000 Tidak Kawin / Hidup Berpisah dengan 1 tanggungan 26.325.000 17.160.000 Tidak Kawin / Hidup Berpisah dengan 2 tanggungan 28.350.000 18.480.000 Tidak Kawin / Hidup Berpisah dengan 3 tanggungan 30.375.000 19.800.000 Kawin tanpa tanggungan 26.325.000 17.160.000 Kawin dengan 1 tanggungan 28.350.000 18.480.000 Kawin dengan 2 tanggungan 30.375.000 19.800.000 Kawin dengan 3 tanggungan 32.400.000 21.120.000

Sumber: diolah dari Pasal 7 ayat (1) UU PPh 2008 dan PerMenkeu No. 162/PMK.011/2012

Tanggungan yang dimaksud dalam Tabel IV.5 adalah tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat yang menjadi tanggungan Aspek PPh Pasal 21 untuk Rumah Sakit

39

sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang. Contoh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus adalah anak kandung dan orang tua kandung. Untuk keluarga semenda dalam garis keturunan lurus, contohnya adalah mertua dan anak tiri. Besarnya PTKP di atas ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun takwim. Bagi pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun takwim, besarnya PTKP tersebut dihitung berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun takwim yang bersangkutan. Contoh 1: Tn. Ali bekerja di PT MBR dan pada tahun 2013 memiliki informasi keluarga seperti terlihat pada Tabel IV.6. Berdasarkan informasi pada Tabel I.6, status Tn. Ali pada tahun 2013 adalah K/2 dengan PTKP sebesar Rp 30.375.000. Anak kedua yang lahir pada tanggal 3 Februari 2013 tidak dimasukkan sebagai tanggungan karena pada awal tahun pajak belum ada. CC akan menjadi tanggungan mulai tahun pajak 2014. Tabel IV.6 Ilustrasi Penentuan Jumlah PTKP Nama Anggota Keluarga AA BB CC DD

Tanggal Lahir 1 Januari 1974 2 Februari 2010 3 Februari 2013 4 April 1954

Hubungan dengan WP Istri Anak Pertama Anak Kedua Orang Tua AA

Contoh 2: Merujuk pada Tabel IV.6, misalnya, orang tua AA meninggal dunia pada tanggal 14 Februari 2013. Tn. Ali tetap berstatus K/2 dan PTKP-nya sebesar Rp 30.375.000 karena pada awal tahun pajak 2013 DD masih hidup. Dalam hal ini Tn. Ali mulai tahun 2014 sudah tidak memiliki tanggungan mertua lagi. 2. PTKP Karyawati Besarnya PTKP bagi karyawati berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Bagi karyawati kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri; b. Bagi karyawati tidak kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri ditambah keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya Dalam hal karyawati kawin dapat menunjukan keterangan tertulis dari pemerintah daerah setempat serendah-rendahnya kecamatan yang menyatakan suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya PTKP adalah PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk status kawin dan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya 3. PTKP Bukan Pegawai Penerima penghasilan bukan pegawai dapat memperoleh pengurangan PTKP sepanjang a. yang bersangkutan telah mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan b. hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan Pemotong Pajak serta c. tidak memperoleh penghasilan lainnya. Untuk dapat memperoleh pengurangan PTKP, Aspek PPh Pasal 21 untuk Rumah Sakit

40

a. penerima penghasilan bukan pegawai harus menyerahkan fotokopi kartu NPWP, dan b. penerima penghasilan bukan pegawai, untuk wanita kawin, harus menyerahkan fotokopi kartu NPWP suami serta fotokopi surat nikah dan kartu keluarga. C. Pengurang bagi Pegawai Harian dan Mingguan, serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya Pengurang bagi pegawai harian dan mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya sebelumnya diatur menurut PerMenkeu No. 254/PMK.03/2008 (lihat penjelasan sebelumnya Tabel I.3). Ketentuan ini berakhir pada tanggal 31 Desember 2012 seiring dengan pemberlakuan PTKP baru mulai 1 Januari 2013. Ketentuan penggantinya adalah PerMenkeu No. 206/PMK.011/2012, yang di antaranya mengatur sbb.: 1. Penghasilan bruto sampai dengan Rp 200.000,00 sehari, yang diterima atau diperoleh pegawai harian dan mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) UU PPh 2008, tidak dikenakan pemotongan PPh. 2. Ketentuan di atas tidak berlaku dalam hal a. jumlah penghasilan bruto dimaksud melebihi Rp. 2.025.000,00 sebulan atau b. penghasilan dimaksud dibayar secara bulanan. IV.6. Tarif dan Penghitungan PPh Secara umum tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) UU PPh adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) UU PPh, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah. Tarif umum PPh Pasal 21, sebagaimana diatur dakan pasal 17 UU PPh 2000 dan UU PPh 2008 (UU No. 36/2008), terlihat pada Tabel IV.7. Tabel IV.7 Lapisan Penghasilan Kena Pajak dan Tarif PPh Lapisan Penghasilan Kena Pajak S.d. Rp 50 juta Di atas Rp 50 juta s.d. Rp 250 juta Di atas Rp 250 juta - Rp 500 juta Di atas Rp 500 juta

Tarif UU PPh 2008 5% 15% 25% 30%

Sumber: Pasal 17 UU PPh

Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 UU PPh, jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh. Besarnya tarif PPh berdasarkan UU PPh 2008 yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan NPWP. Salah satu variasi perhitungan PPh Pasal 21 adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi bukan pegawai. Dalam hal ini, Pasal 10 PerDirjen Pajak No. Per31/PJ/2012 di antaranya mengatur sbb.: 1. Dalam hal penerima penghasilan adalah wajib pajak orang pribadi bukan pegawai selain tenaga ahli yang mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya, besarnya jumlah penghasilan bruto

Aspek PPh Pasal 21 untuk Rumah Sakit

41

sebagaimana dimaksud di tabel di bagian akhir dari bab ini adalah sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi dengan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut maka besarnya penghasilan bruto tersebut adalah sebesar jumlah yang dibayarkan; 2. Dalam hal penerima penghasilan adalah wajib pajak orang pribadi bukan pegawai selain tenaga ahli yang melakukan penyerahan material atau barang, besarnya jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud di tabel di bagian akhir dari bab ini hanya atas pemberian jasanya saja. Akan tetapi, apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material atau barang, besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk pemberian jasa dan material atau barang. 3. Dalam hal jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud di tabel di bagian akhir dari bab ini dibayarkan kepada dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik, besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jasa dokter yang dibayar oleh pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik. IV.7. Tarif dan Penghitungan PPh atas Pesangon Ketentuan PPh atas pesangon diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 68/2009 juncto PerMenkeu No. 16/PMK.03/2010 dengan ringkasan sbb.: 1. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final. 2. Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender. 3. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan sebagai berikut : a. sebesar 0% atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000,00; b. sebesar 5% atas penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000,00 sampai dengan Rp 100.000.000,00; c. sebesar 15% atas penghasilan bruto di atas Rp 100.000.000,00 sampai dengan Rp 500.000.000; d. sebesar 25% atas penghasilan bruto di atas Rp 500.000.000.00. 4. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut: a. sebesar 0% atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000.00; b. sebesar 5% atas penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000,00 IV.8. Saat Pemotongan PPh Pasal 21 Pasal 21 UU PPh 2008 di antaranya menyebutkan bahwa pemotongan pajak dilakukan atas penghasilan yang “diterima atau diperoleh” Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Jika kalimat

Aspek PPh Pasal 21 untuk Rumah Sakit

42

“diterima atau diperoleh” tersebut dikaitkan dengan isi Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 94/2010, pemotongan PPh dilakukan pada dilakukan pada akhir bulan: a. terjadinya pembayaran; atau b. terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu. Ketentuan ini tidak ada di dalam standar akuntansi sehingga entitas harus merujuk pada aturan pajak tersebut. Kata “diterima” terkait dengan saat terjadinya pembayaran atau basis kas (cash basis), sedangkan “diperoleh” terkait dengan saat terutangnya penghasilan atau basis akrual (accrual basis).

Aspek PPh Pasal 21 untuk Rumah Sakit

43

BAB V ASPEK PPN UNTUK RUMAH SAKIT

V.1. Objek PPN Undang-undang PPN baru ditetapkan berdasarkan UU No. 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. UU ini ditetapkan tanggal 15 Oktober 2009 dan berlaku mulai 1 April 2010. A. Kaidah Umum Di dalam UU PPN tidak diatur secara jelas tentang objek PPN. Hal ini terlihat pada Pasal 4 dan 4A UU PPN, seperti dijelaskan pada uraian di bawah ini. Objek PPN terdiri dari Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang definisinya dijelaskan dalam Pasal 1 (lihat Tabel V.1). UU PPN hanya mengatur barang dan jasa yang tidak terutang PPN. Dengan demikian, UU PPN menganut kaidah sebagai berikut:

1. Semua barang kena PPN kecuali yang ditentukan lain oleh peraturan 2. Semua jasa kena PPN kecuali yang ditentukan lain oleh peraturan Tabel V.1 Ilustrasi Pengenaan PPN dalam Rantai Distribusi Istilah Barang Barang Kena Pajak Jasa

Jasa Kena Pajak

Deskripsi adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud. adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini

Sumber: Pasal 1 UU PPN Gambar V.1 Pembagian Barang dan Jasa Menurut UU PPN

Sumber: Diolah dari Pasal 4 dan Pasal 4A UU PPN

Kaidah umum di atas dapat diilustrasikan dalam Gambar V.1. Dari sekian banyak jasa atau barang kena pajak, UU PPN hanya mengatur 4 jenis Barang tidak kena pajak (non BKP) dan 17 jenis jasa tidak kena pajak (Non JKP). Dengan kata lain, Barang Kena Pajak adalah barang selain Aspek PPN untuk Rumah Sakit

44

barang tidak kena pajak atau selain barang yang tidak terutang PPN, sedangkan Jasa Kena Pajak adalah jasa selain jasa tidak kena pajak atau selain jasa yang tidak terutang PPN. Pasal 7 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah (PP) No. 1/2012 mengatur bahwa ketentuan mengenai kriteria dan/atau rincian barang dan jasa yang termasuk dalam jenis barang dan jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sesuai Pasal 4A UU PPN diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Dalam hal ini, sejak PP No. 1/2012 terbit, telah ada beberapa PerMenkeu yang terbit seperti terlihat pada Tabel V.2. Tabel V.2 PerMenkeu tentang Kriteria dan/atau Rincian Non BKP dan Non JKP No. Peraturan 80/PMK.03/2012 82/PMK.03/2012 83/PMK.03/2012 93/PMK.03/2012 122/PMK.03/2012 252/PMK.011/2012

Tgl Terbit Perihal 29 Mei 2012 Jasa Angkutan Umum di Darat dan Jasa Angkutan Umum di Air yang Tidak Dikenai PPN 6 Juni 2012 Kriteria dan/atau Rincian Jasa yang Disediakan oleh Pemerintah dalam Rangka Menjalankan Pemerintahan Secara Umum yang Tidak Dikenai PPN 6 Juni 2012 Kriteria dan/atau Rincian Jasa Tenaga Kerja yang Tidak Dikenai PPN 12 Juni 2012 Penyerahan Jasa Pengiriman Surat Dengan Perangko yang Tidak Dikenai PPN 17 Juli 2012 Kriteria Jasa Penyediaan Tempat Parkir yang Termasuk dalam Jenis Jasa yang Tidak Dikenai PPN 28 Des 2012 Gas Bumi yang termasuk dalam jenis barang yang tidak dikenai PPN

B. Objek PPN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Pasal 4 UU PPN menyebutkan bahwa PPN dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; impor Barang Kena Pajak; penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; atau ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

C. Non Barang Kena Pajak Pasal 4A ayat (2) UU PPN dan penjelasannya menyebutkan bahwa jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut: 1. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya a. minyak mentah (crude oil); b. gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat [PerMenkeu No. 252/PMK.011/2012]; c. panas bumi; d. asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit; e. batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan Aspek PPN untuk Rumah Sakit

45

f.

bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.

2. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak a. beras; b. gabah; c. jagung; d. sagu; e. kedelai; f. garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium; g. daging, yaitu daging segar yang diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus; h. telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas; i. susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; j. buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan k. sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah; 3. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari pengenaan pajak berganda karena sudah merupakan objek pengenaan Pajak Daerah ; 4. uang, emas batangan, dan surat berharga. D. Non Jasa Kena Pajak Pasal 4A ayat (3) UU PPN dan penjelasannya menyebutkan bahwa jenis jasa yang tidak dikenai PPN adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut: 1. jasa pelayanan kesehatan medik a. jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi; b. jasa dokter hewan; c. jasa ahli kesehatan sperti ahli akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli fisioterapi; d. jasa kebidanan dan dukun bayi; e. jasa paramedis dan perawat; f. jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium; g. jasa psikologi dan psikiater; h. jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal; 2. jasa pelayanan sosial a. jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo; Aspek PPN untuk Rumah Sakit

46

b. c. d. e. f.

jasa pemadam kebakaran; jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan; jasa lembaga rehabilitasi; jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk krematorium; dan jasa di bidang olahraga kecuali yang bersifat komersial;

3. jasa pengiriman surat dengan perangko a. jasa pengiriman surat dengan menggunakan perangko tempel dan b. jasa pengiriman surat dengan menggunakan cara lain pengganti perangko tempel [PerMenkeu No. 93/PMK.03/2012]; 4. jasa keuangan; a. jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu; b. jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya; c. jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa: 1) sewa guna usaha dengan hak opsi; 2) anjak piutang; 3) usaha kartu kredit; dan/atau 4) pembiayaan konsumen; d. jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia; dan e. jasa penjaminan 5. jasa asuransi; Yang dimaksud dengan "jasa asuransi" adalah jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan reasuransi, yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai kerugian asuransi, dan konsultan asuransi 6. jasa keagamaan; a. jasa pelayanan rumah ibadah; b. jasa pemberian khotbah atau dakwah; c. jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan d. jasa lainnya di bidang keagamaan 7. jasa pendidikan; a. jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional; dan b. jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah 8. jasa kesenian dan hiburan yang meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan; 9. jasa penyiaran yang bukan bersifat iklan; Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan meliputi jasa penyiaran radio atau televisi yang Aspek PPN untuk Rumah Sakit

47

dilakukan oleh instansi pemerintah atau swasta yang tidak bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial 10. jasa angkutan umum di darat, di air, dan jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri [PerMenkeu No. 80/PMK.03/2012]; 11. jasa tenaga kerja; a. jasa tenaga kerja; b. jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut; dan c. jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja [PerMenkeu No. 83/PMK.03/2012] 12. jasa perhotelan; a. jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap; dan b. jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel 13. jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum; Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, antara lain pemberian Izin Mendirikan Bangunan, pemberian Izin Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, dan pembuatan kartu Tanda Penduduk [PerMenkeu No. 82/PMK.03/2012] 14. Jasa penyediaan tempat parkir; Yang dimaksud dengan "jasa penyediaan tempat parkir" adalah jasa penyediaan tempat parkir yang dilakukan oleh pemilik tempat parkir dan/atau pengusaha kepada pengguna tempat parkir dengan dipungut bayaran [PerMenkeu No. 122/PMK.03/2012] 15. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam; Yang dimaksud dengan "jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam" adalah jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam atau koin, yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta 16. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos. 17. Jasa catering V.2. Penyerahan BKP dan Non Penyerahan BKP Pasal 1A UU PPN mengatur penyerahan BKP dan bukan penyerahan BKP, seperti diuraikan berikut ini 1. Penyerahan BKP a. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian; b. pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa Aspek PPN untuk Rumah Sakit

48

guna usaha (leasing); c. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang; d. pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak; e. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan; f. penyerahan Barang Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar Cabang; g. penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan h. penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak. 2. Non Penyerahan BKP a. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang; b. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang; c. Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f UU PPN dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang; d. pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak; dan e. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c UU PPN. V.3. Pengusaha Kena Pajak Istilah yang dipakai untuk pihak yang wajib melakukan kewajiban PPN-nya disebut Pengusaha Kena Pajak (PKP). Hal ini diatur di dalam UU No. 28 Tahun 2007 yang mengatur tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atau KUP. Di dalam ketentuan tersebut dan juga UU PPN, Pengusaha Kena Pajak didefinisikan sebagai 1. orang pribadi atau 2. badan (sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi a. perseroan terbatas, b. perseroan komanditer, c. perseroan lainnya, d. Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, e. firma, f. kongsi, g. koperasi, h. dana pensiun, i. persekutuan, j. perkumpulan,

Aspek PPN untuk Rumah Sakit

49

k. yayasan, l. organisasi massa, m. organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, n. lembaga dan o. bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan Bentuk Usaha Tetap) 3. yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya a. menghasilkan barang, b. mengimpor barang, c. mengekspor barang berwujud, d. mengekspor barang tidak berwujud, e. mengekspor jasa, f. melakukan usaha perdagangan, g. memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, h. melakukan usaha jasa, atau i. memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undangundang PPN, 4. tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Peraturan tentang Pengusaha Kecil mengacu pada PerMenkeu No: 68/PMK.03/2010 tanggal 23 Maret 2010, yaitu Pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,00. Jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tersebut adalah jumlah keseluruhan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh pengusaha dalam rangka kegiatan usahanya. Diagram perbedaan antara pengusaha, pengusaha kena pajak, dan pengusaha kecil di atas terlihat pada Gambar V.2. Gambar V.2 Perbedaan Wajib Pajak dan Pengusaha Kena Pajak

Sumber: Diolah dari Pasal 2 UU KUP

Pasal 3 PP No. 1/2012 menyatakan bahwa bentuk kerja sama operasi (KSO) merupakan bagian dari bentuk badan lainnya sebagaimana dimaksud dalam pengertian Badan dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Untuk itu, bentuk kerja sama operasi wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam hal melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak atas nama bentuk kerja sama operasi. Aspek PPN untuk Rumah Sakit

50

Penetapan bentuk KSO dalam cakupan pengertian Badan ini berbeda dengan penetapan di dalam ketentuan PPh. Dari sudut Subjek PPh, bentuk KSO ini bukan merupakan badan lainnya sehingga tidak dianggap sebagai Subjek Pajak dan Wajib Pajak Badan. V.4. Tarif PPN serta Dasar Pengenaan Pajak A. Tarif PPN 1. Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen). 2. Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas: a. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud; b. penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam daerah pabean ke luar daerah pabean oleh pengusaha kena pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor barang kena pajak berwujud atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar daerah pabean; atau c. ekspor Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud. Dengan Peraturan Pemerintah (PP), tarif pajak di atas dapat diubah menjadi serendahrendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen). Sampai saat ini (20 Desember 2012), belum ada PP yang diterbitkan B. Dasar Pengenaan Pajak 1. PPN yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif PPN dengan Dasar Pengenaan Pajak. 2. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. a. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. b. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan atau ekspor Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak, atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan atau Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. c. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundangundangan kepabeanan dan perundang-undangan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang PPN; d. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau

Aspek PPN untuk Rumah Sakit

51

seharusnya diminta oleh eksportir; e. Nilai Lain adalah nilai berupa uang yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dalam hal Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai Impor, dan Nilai Ekspor sukar ditetapkan dan/atau untuk menjamin rasa keadilan dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak. Rincian DPP Nilai Lain terlihat pada Tabel V.3. Tabel V.3 Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan PPN Penyerahan BKP/JKP 1. pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak 2. pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak 3. penyerahan media rekaman suara atau gambar 4. penyerahan film cerita 5. Pemanfaaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean berupa Film Cerita Impor 6. penyerahan produk hasil tembakau 7. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan 8. penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang 9. penyerahan Barang Kena Pajak melalui pedagang perantara 10. penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang 11. penyerahan jasa pengiriman paket 12. penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata

DPP Nilai Lain Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor perkiraan harga jual rata-rata perkiraan hasil rata-rata per judul film uang yang ditetapkan sebesar Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) per copy Film Cerita Impor harga jual eceran harga pasar wajar

harga pokok penjualan atau harga perolehan

harga yang disepakati antara pedagang perantara dengan pembeli harga lelang 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih

Sumber: PerMenkeu No. 75/PMK.03/2010 juncto 102/PMK.011/2011

V.5. Faktur Pajak (FP) A. Ketentuan Umum Faktur Pajak 1. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak. 2. Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat: a. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak; b. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak; c. Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; d. Jumlah Harga Jual atau Penggantian; e. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut; Aspek PPN untuk Rumah Sakit

52

f. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut; g. Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak. 3. Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap a. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a atau huruf f UU PPN dan/atau b. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16D UU PPN dan/atau c. penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c UU PPN, dan/atau d. penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf g UU PPN, dan/atau e. penyerahan Jasa Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak tidak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf h UU PPN. 4. Faktur pajak gabungan a. Pengusaha Kena Pajak dapat membuat satu Faktur Pajak yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama sebulan takwim. b. Untuk meringankan beban administrasi, Pengusaha Kena Pajak diperkenankan untuk membuat Faktur Pajak gabungan paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak meskipun di dalam bulan penyerahan telah terjadi pembayaran baik sebagian maupun seluruhnya. Contoh 1: Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 1, 5, 10, 11, 12, 20, 25, 28, dan 31 Juli 2010, tetapi sampai dengan tanggal 31 Juli 2010 sama sekali belum ada pembayaran atas penyerahan tersebut, Pengusaha Kena Pajak A diperkenankan membuat 1 (satu) Faktur Pajak gabungan meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan pada bulan Juli, yaitu paling lama tanggal 31 Juli 2010 Contoh 2: Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28, 29 dan 30 September 2010. Pada tanggal 28 September 2010 terdapat pembayaran oleh Pengusaha B atas penyerahan tanggal 2 September 2010. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A menerbitkan Faktur Pajak gabungan, Faktur Pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2010 yang meliputi seluruh penyerahan yang terjadi pada bulan September. Contoh 3: Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30 September 2010. Pada tanggal 28 September 2010 terdapat pembayaran atas penyerahan tanggal 2 September 2010 dan pembayaran uang muka untuk penyerahan yang akan dilakukan pada bulan Oktober 2010 oleh Pengusaha B. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A menerbitkan Faktur Pajak gabungan, Faktur Pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2010 yang meliputi seluruh penyerahan Aspek PPN untuk Rumah Sakit

53

dan pembayaran uang muka yang dilakukan pada bulan September 5. Faktur Pajak yang hilang, rusak atau cacat atau salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan dapat diganti atau dibetulkan yang tata caranya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan, yaitu PerMenkeu No. 84/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak (Psl 9 ayat 8 UU PPN 2009). 6. Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material dan Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak. Dalam hal ini dokumen tertentu tersebut diatur di dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-27/PJ/2011 dan terdiri dari: a. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah diberikan persetujuan ekspor oleh pejabat yang berwenang dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dilampiri dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PEB tersebut; b. Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat/dikeluarkan oleh BULOG/DOLOG untuk penyaluran tepung terigu; c. Paktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuatkan/dikeluarkan oleh PERTAMINA untuk penyerahan Bahan Bakar Minyak dan/atau bukan Bahan Bakar Minyak; d. Bukti tagihan atas penyerahan jasa telekomunikasi oleh perusahaan telekomunikasi; e. Tiket, tagihan Surat Muatan Udara (Airway Bill), atau Delivery Bill, yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri; f. Nota Penjualan Jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa kepelabuhanan; g. Bukti tagihan atas penyerahan listrik oleh perusahaan listrik; h. Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak/Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang dilampiri dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak/Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, untuk ekspor Jasa Kena Pajak/Barang Kena Pajak Tidak Terwujud; i. Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang mencantumkan identitas pemilik barang berupa nama, alamat dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan dilampiri dengan Surat Setoran Pajak, Surat Setoran Pabean, Cukai dan Pajak (SSPCP), dan/atau bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, yang mencantumkan identitas pemilik barang berupa nama, alamat dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PIB tersebut, untuk impor Barang Kena Pajak; j. Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak terwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean; k. Bukti tagihan atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh Perusahaan Air Minum: l. Bukti tagihan (Trading Confirmation) atas penyerahan Jasa Kena Pajak oleh perantara efek; dan m. Bukti tagihan atas penyerahan Jasa Kena Pajak oleh perbankan. B. Ketentuan Teknis Faktur Pajak Ketentuan teknis tentang faktur pajak diatur di dalam PerDirjen Pajak No. 13/PJ/2010 tentang bentuk, ukuran, prosedur pemberitahuan dalam rangka pembuatan, tata cara pengisian keterangan, tata cara pembetulan atau penggantian, dan tata cara pembatalan faktur pajak. Mulai 1 April 2013, ketentuan ini diubah dengan PerDirjen Pajak No. 24/PJ/2012 yang merupakan petunjuk teknis dari Aspek PPN untuk Rumah Sakit

54

PerMenkeu No. 84/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak. Hal-hal yang mendasar di dalam petunjuk teknis terkait dengan PerDirjen Pajak No. 24/PJ/2012 diuraikan di dalam Tabel V.3. Tabel V.4 Tahapan Penerapan Faktur Pajak Baru Mulai 1 April 2013 Tahapan 1. Registrasi Ulang PKP

2. Verifikasi oleh KPP

3. Pengajuan surat permohonan Kode Aktivasi dan Password ke KPP

4. Penerbitan surat pemberitahuan Kode Aktivasi dan Password oleh KPP 5. Permintaan Nomor Seri Faktur Pajak

6. Pemberitahuan nama PKP atau pejabat/pegawai yang berhak menandatangani Faktur Pajak

7. Pemberitahuan

Deskripsi Registrasi ulang PKP ini merupakan suatu program yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan, penertiban administrasi, pengawasan, dan untuk menguji pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif Pengusaha Kena Pajak sesuai PerDirjen Pajak No. Per-05/PJ/2012 s.t.d.d. Per-20/PJ/2012; Tujuannya adalah dalam rangka meningkatkan pelayanan, penertiban administrasi, pengawasan, dan untuk menguji pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif Pengusaha Kena Pajak Verifikasi adalah serangkaian kegiatan pengujian pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif atau penghitungan dan pembayaran pajak, berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau berdasarkan data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktur Jenderal Pajak, dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak, menerbitkan/menghapus Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan/mencabut pengukuhan Pengusaha Kena Pajak Verifikasi ini mengacu pada PerMenkeu No. 73/PMK.03/2012 tentang Jangka Waktu Pendaftaran dan Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara Pendaftaran, Pemberian, Dan Penghapusan NPWP, serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan PKP PKP mengajukan surat permohonan Kode Aktivasi dan Password ke KPP tempat PKP dikukuhkan sesuai dengan formulir sebagaimana diatur dalam Lampiran IVA PerDirjen Pajak No. Per-24/PJ/2012; Surat permohonan Kode Aktivasi dan Password harus diisi dengan lengkap dan disampaikan secara langsung ke KPP tempat PKP dikukuhkan; Permohonan Kode Aktivasi dan Password dan permintaan Nomor Seri Faktur Pajak dapat diajukan oleh PKP mulai tanggal 1 Maret 2013 KPP menerbitkan surat pemberitahuan Kode Aktivasi yang ditandatangani oleh Kepala Seksi Pelayanan atas nama Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana diatur dalam Lampiran IVB PerDirjen Pajak No. Per-24/PJ/2012 dan surat dikirim melalui pos dalam amplop tertutup ke alamat PKP; KPP mengirimkan Password melalui surat elektronik (email) ke alamat email PKP yang dicantumkan dalam surat permohonan Kode Aktivasi dan Password PKP menyampaikan surat permintaan Nomor Seri Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam Lampiran IVD PerDirjen Pajak No. Per-24/PJ/2012 ke KPP tempat PKP dikukuhkan. Surat permintaan Nomor Seri Faktur Pajak harus diisi secara lengkap dan disampaikan langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan. KPP menerbitkan surat pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam Lampiran IVE PerDirjen Pajak No. Per-24/PJ/2012 ke PKP yang telah memenuhi syarat sebagai berikut : a. telah memiliki Kode Aktivasi dan Password; dan b. telah melaporkan SPT Masa PPN untuk 3 (tiga) masa pajak terakhir yang telah jatuh tempo secara berturut-turut pada tanggal permintaan disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak. PKP wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis nama PKP atau pejabat/pegawai yang berhak menandatangani Faktur Pajak disertai dengan a. contoh tandatangan b. fotokopi kartu identitas pejabat/pegawai penandatangan Faktur Pajak yang sah yang telah dilegalisasi pejabat yang berwenang Pemberitahuan kepada Kepala KPP paling lama pada akhir bulan berikutnya sejak bulan pejabat/pegawai tersebut mulai melakukan penandatanganan Faktur Pajak, dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VA PerDirjen Pajak No. Per-24/PJ/2012. Nomor Seri Faktur Pajak yang tidak digunakan dalam suatu tahun pajak tertentu dilaporkan ke

Aspek PPN untuk Rumah Sakit

55

Tabel V.4 Tahapan Penerapan Faktur Pajak Baru Mulai 1 April 2013 Tahapan Deskripsi Nomor Seri Faktur Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan bersamaan dengan SPT Masa PPN Masa Pajak yang tidak Pajak Desember tahun pajak yang bersangkutan dengan menggunakan formulir sebagaimana digunakan diatur dalam Lampiran IVF PerDirjen Pajak No. Per-24/PJ/2012. Sumber: PerMenkeu No. 73/PMK.03/2012, PerDirjen Pajak No. Per-05/PJ/2012 s.t.d.d. Per-20/PJ/2012, dan PerDirjen Pajak No. Per-24/PJ/2012

V.6. Pengkreditan Pajak Masukan Pedoman pengkreditan Pajak Masukan diatur di dalam Pasal 9 UU PPN. Berikut ini adalah uraian ringkasnya. A. Pedoman Pengkreditan 1. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama. 2. Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan. Dalam hal Pajak Masukan yang telah dikreditkan dan telah diberikan pengembalian, pajak tersebut wajib dibayar kembali oleh Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pengusaha Kena Pajak mengalami keadaan gagal berproduksi, yang saat, penghitungan dan tata caranya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, yaitu 81/PMK.03/2010 tentang saat penghitungan dan tata cara pembayaran kembali pajak masukan yang telah dikreditkan dan telah diberikan pengembalian bagi pengusaha kena pajak yang mengalami keadaan gagal berproduksi. 3. Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan Pasal 13 ayat (9) UU PPN. 4. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan PPN yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak. 5. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. Kelebihan Pajak Masukan tersebut juga dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku. Dikecualikan dari ketentuan tersebut, atas kelebihan Pajak Masukan dapat diajukan permohonan pengembalian pada setiap Masa Pajak oleh: a. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud; b. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai; c. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak dipungut; d. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dalam rangka menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean; Aspek PPN untuk Rumah Sakit

56

e. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; f. Pengusaha Kena Pajak yang ditetapkan sebagai Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya; dan/atau g. Pengusaha Kena Pajak dalam tahap belum berproduksi. 6. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak. 7. Apabila dalam suatu Masa Pajak, selain melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pengusaha Kena Pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan, yaitu Per.Menkeu No. 78/PMK.03/2010 tentang pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan bagi pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak. 8. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha yang dikenakan Pajak Penghasilan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang PPh dan perubahannya, dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. 9. Besarnya Pajak Masukan, yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu selain pengusaha yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan. Pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan dan kegiatan usaha tertentu ini diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, yaitu PerMenkeu No. 79/PMK.03/2010. Kegiatan Usaha Tertentu adalah kegiatan usaha yang semata-mata melakukan : a. penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran; atau b. penyerahan emas perhiasan secara eceran 10. Penghitungan dan tata cara pengembalian kelebihan Pajak Masukan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PerMenkeu No. 71/PMK.03/2010 dan 72/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010). 11. Dalam hal terjadi penggabungan usaha, Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan yang belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pengalihan, dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima pengalihan, sepanjang Faktur Pajaknya diterima setelah terjadinya penggabungan usaha dan Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau dikapitalisasi.

Aspek PPN untuk Rumah Sakit

57

12. Pajak Masukan, yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan. B. Pajak Masukan Tidak Dapat Dikreditkan Menurut Pasal 9 ayat (8) UU PPN, Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur di atas bagi pengeluaran untuk: 1. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; 2. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha; 3. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan dan station wagon kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan; 4. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; 5. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau Pasal 13 ayat (9) UU PPN atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan NPWP pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak; 6. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan formal dan material; 7. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak; 8. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan; 9. perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi. C. Tanggung Jawab Renteng Kembali Berlaku 1. Pasal 33 UU KUP 2000 (berlaku 2001-2008) Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya bertanggungjawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar. Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa. Oleh karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi jasa

Aspek PPN untuk Rumah Sakit

58

2. Pasal 16F UU PPN 2009 (berlaku mulai April 2010) Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar. Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa. Karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi jasa. V.7. Saat Terutang PPN 1. Terutangnya pajak terjadi pada saat: a. penyerahan Barang Kena Pajak; b. impor Barang Kena Pajak; c. penyerahan Jasa Kena Pajak; d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d; e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e; f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud; g. penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah; atau h. ekspor Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak. 2. Saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran dalam hal a. pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau b. pembayaran diterima sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak, atau c. pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau d. pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean. 3. Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan saat lain sebagai saat terutangnya pajak dalam hal saat terutangnya pajak sukar ditetapkan atau terjadi perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan ketidakadilan Pengaturan tentang pengertian penyerahan terdapat di dalam Pasal 17 PP No. 1/2012. Secara garis besar saat penyerahan mengacu pada perlakuan akuntansi yang dianut oleh Pengusaha Kena Pajak.

Aspek PPN untuk Rumah Sakit

59

V.8. Tempat Terutang PPN 1. Tempat terutang PPN adalah tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha dilakukan atau tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha dilakukan yang ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak untuk penyerahan sbb.: a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha b. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha c. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak d. penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean. Atas permohonan secara tertulis dari Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan satu tempat atau lebih sebagai tempat pajak terutang. 2. Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 3. Tempat terutang PPN adalah tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha untuk orang pribadi atau badan yang a. memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan atau b. memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean 4. Sesuai dengan Perdirjen Pajak No. Per-19/PJ/2010, Pengusaha Kena Pajak yang memiliki lebih dari satu tempat PPN terutang dapat memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai Tempat Pemusatan Pajak Pertambahan Nilai Terutang. Pengusaha Kena Pajak tersebut harus menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat-tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang yang akan dipusatkan. 5. Tempat tinggal, tempat kedudukan, atau tempat kegiatan usaha Pengusaha Kena Pajak yang : a. berada di Kawasan Berikat; b. berada di Kawasan Ekonomi Khusus; c. mendapatkan fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor. tidak dapat dipilih sebagai Tempat Pemusatan PPN Terutang atau tempat PPN terutang yang akan dipusatkan. V.9. Pemungut PPN 1. Pemungut PPN adalah bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah tersebut Aspek PPN untuk Rumah Sakit

60

2. Sesuai dengan Keputusan Menkeu No. 563/KMK.03/2003 dan Peraturan Menkeu No. 73/PMK.03/2010 dan 85/PMK.03/2012, Pemungut PPN terdiri dari: a. Instansi Pemerintah, terdiri dari : 1) Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN). 2) Bendaharawan pemerintah pusat dan daerah. b. Badan-badan Tertentu Selain Instansi Pemerintah, yang terdiri dari Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin, yaitu: 1) kontraktor kontrak kerja sama pengusahaan minyak dan gas bumi; dan 2) kontraktor atau pemegang kuasa/pemegang izin pengusahaan sumber daya panas bumi, 3) kontraktor kontrak karya sesuai dengan kontrak karya yang ditandatanganinya, yang meliputi kantor pusat, cabang, maupun unitnya c. Badan Usaha Milik Negara, yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Hal ini diatur khusus di dalam PerMenkeu No. 85/PMK.03/2012. V.10. Kegiatan Membangun Sendiri Perlakuan PPN untuk kegiatan membangun sendiri diatur di dalam Pasal 16C UUPPN dan terakhir dengan Peraturan Menkeu No. 163/PMK.03/2012. Tabel V.5 memberikan gambaran atas perbandingan perlakuan PPN atas kegiatan membangun sendiri. Tabel V.5 Perbandingan Perlakuan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri 554/KMK.04/2000 320/KMK.03/2002 39/PMK.03/2010 163/PMK.03/2012 1 Januari 2001 1 Juli 2002 1 April 2010 22 Okt 2012 (mulai 20 Nov. 2012) 1. Kegiatan 1. Kegiatan 1. Atas kegiatan membangun 1. Atas kegiatan membangun membangun Membangun sendiri terutang PPN bagi sendiri terutang PPN bagi orang sendiri adalah Sendiri orang pribadi atau badan yang pribadi atau badan yang kegiatan adalah melakukan kegiatan melakukan kegiatan membangun kegiatan membangun sendiri. membangun sendiri. sendiri bangunan membangun 2. Kegiatan membangun sendiri 2. Kegiatan membangun sendiri yang diperuntukkan sendiri adalah kegiatan membangun adalah kegiatan membangun bangunan bagi tempat tinggal bangunan yang dilakukan tidak bangunan yang dilakukan tidak atau tempat usaha yang dalam kegiatan usaha atau dalam kegiatan usaha atau dengan luas diperuntukkan pekerjaan oleh orang pribadi pekerjaan oleh orang pribadi bangunan 400 m2 bagi tempat atau badan yang hasilnya atau badan yang hasilnya (empat ratus meter tinggal atau digunakan sendiri atau digunakan sendiri atau persegi) atau lebih tempat usaha digunakan pihak lain. digunakan pihak lain. Bangunan dan bersifat dengan luas Bangunan tersebut berupa satu tersebut berupa satu atau lebih permanen. bangunan atau lebih konstruksi teknik konstruksi teknik yang ditanam 2. Atas kegiatan 200 m2 atau yang ditanam atau dilekatkan atau dilekatkan secara tetap membangun lebih dan secara tetap pada satu pada satu kesatuan tanah sendiri dikenakan bersifat kesatuan tanah dan/atau dan/atau perairan dengan PPN dengan tarif permanen. perairan dengan kriteria: kriteria: 10% dikalikan a. konstruksi utamanya terdiri a. konstruksi utamanya terdiri dengan Dasar dari kayu, beton, pasangan dari kayu, beton, pasangan Pengenaan Pajak, batu bata atau bahan batu bata atau bahan

Aspek PPN untuk Rumah Sakit

61

Tabel V.5 Perbandingan Perlakuan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri 554/KMK.04/2000 320/KMK.03/2002 39/PMK.03/2010 163/PMK.03/2012 1 Januari 2001 1 Juli 2002 1 April 2010 22 Okt 2012 (mulai 20 Nov. 2012) sejenis, dan/atau baja; yaitu 40% dari sejenis, dan/atau baja; b. diperuntukkan bagi tempat jumlah biaya yang b. diperuntukkan bagi tempat dikeluarkan dan tinggal atau tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan atau yang kegiatan usaha; dan c. luas keseluruhan paling dibayarkan untuk c. luas keseluruhan paling sedikit 200m2. membangun sedikit 300 m2. 3. PPN yang terutang dihitung 3. PPN yang terutang dihitung bangunan tersebut, dengan cara mengalikan tarif dengan cara mengalikan tarif tidak termasuk 10% dengan Dasar Pengenaan 10% dengan Dasar Pengenaan harga perolehan Pajak, yaitu 40% dari jumlah Pajak, yaitu 20% (dua puluh tanah. biaya yang dikeluarkan persen) dari jumlah biaya yang dan/atau yang dibayarkan dikeluarkan dan/atau yang untuk membangun bangunan, dibayarkan untuk membangun tidak termasuk harga perolehan bangunan, tidak termasuk harga tanah. perolehan tanah. Sumber: KepMenkeu No. 554/KMK.04/2000, KepMenkeu No. 320/KMK.03/2002, PerMenkeu No. 39/PMK.03/2010, dan PerMenkeu 163/PMK.03/2012

V.11. Penyerahan Aktiva Menurut Tujuan Semula Tidak Untuk Diperjualbelikan Pasal 16D UU PPN menyatakan bahwa PPN dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c UU PPN, yaitu: 1. perolehan Barang Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha; 2. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan; Berdasarkan ketentuan di atas, PPN tidak terutang atas penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan jika aktiva tersebut merupakan Barang Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha; atau Kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, yang bukan merupakan barang dagangan atau disewakan. V.12. Fasilitas di Bidang PPN 1. Fasilitas PPN sesuai dengan Pasal 16B UU PPN 2009 tidak mengalami perubahan. Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya, atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu atau selamanya, untuk: a. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean; b. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu; c. impor Barang Kena Pajak tertentu; d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

Aspek PPN untuk Rumah Sakit

62

e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. 2. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan.

Aspek PPN untuk Rumah Sakit

63

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF