April 12, 2018 | Author: Citra Ariani Edityaningrum | Category: N/A
Agenda Penelitian Smart City Djunaedi 2014-03-01...
Smart City: Solusi Permasalahan Masa Depan Perkotaan di Indonesia (Sebuah Agenda Penelitian)
Achmad Djunaedi 1 1
Dosen Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fak. Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Abstract Rapid urbanization increases the complexity of urban problems, encoraging cities to find a new way in managing their urban areas. One of the methods to solve the problems is to build a smart city. Indonesia is also experiencing the same problems, therefore smart city concepts become one of many solutions Indonesia may adopt. This paper suggest Indonesia to prepare smart cities for the future of its urban areas. The preparation includes knowledge building through a research agenda on smart city. Proposed research agenda in this paper consists of four research areas: (1) research on cyberculture in Indonesia, (2) research on cyberspace, cybercity and cyber-region, (3) research on technologies supporting smart city, and (4) research on smart city modelling applied to Indonesia. The research agenda is multidisciplinair in nature; it needs collaboration among researcher from many fields. This paper proposes once every two years we conduct a national seminar on smart city in Indonesia to share research findings. Keywords: Smart City, research agenda, Indonesia
1. Mengapa Indonesia perlu mengembangkan Smart City? Kota-kota di dunia berkembang pesat, dan dalam Milenium Ketiga ini akan banyak kota-kota di negara berkembang yang akan menjadi kota besar. Kota besar di negara berkembang seringkali menghadapi banyak masalah, terkait kepadatan penduduk yang tinggi dan juga pengangguran. Hal ini antara lain mungkin karena manajemen kotanya yang belum baik. Kota yang dikelola dengan (lebih) cerdas akan mengurangi permasalahan yang dihadapinya. Apa arti “cerdas”? Menurut Nam & Pardo (2011): (1) dalam bidang perencanaan kota, “cerdas” diartikan sebagai strategis, terutama dalam memilih prioritas, arah, kebijakan, dan sebagainya, dan (2) terkait teknologi, maka “cerdas” mengandung prinsip komputasi otomatis (self-configuration, self-healing, self-protection, self-optimization); ditunjukkan dengan antara lain memiliki sensors dan actuators. Dalam keilmuan perencanaan wilayah dan kota serta ilmu-ilmu yang terkait, telah dilakukan upaya terus-menerus untuk memberikan solusi cerdas terhadap permasalahan perkotaan. Upaya Dipresentasikan dalam Seminar Nasional “Smart City: Solusi untuk Permasalahan Perkotaan di Indonesia?”, diselenggarakan di Yogyakarta, tanggal 1 Maret 2014. Kontak penulis: Achmad Djunaedi, Profesor dalam bidang Perencanaan Wilayah dan Kota, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, FT Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Tel: (0274) 580095 Fax: (0274) 580852. E-mail:
[email protected];
[email protected]
mengembangkan solusi tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: (1) cerdas tanpa teknologi, misalnya gerakan smart growth; dan (2) cerdas dengan dukungan teknologi, antara lain gerakan smart city (kota cerdas). Memilih untuk menggunakan atau tidak menggunakan teknologi bagi negara berkembang menjadi persoalan tersendiri. Bila tidak ikut menggunakan teknologi terkini dalam manajemen perkotaan maka dalam kehidupan global akan terisolasi dan tertinggal; terisolasi dari komunikasi dunia. Sebaliknya, bila mengikuti teknologi terkini, memang akan mempunyai peluang untuk mewujudkan smart city, tetapi bila tidak waspada mungkin akan timbul ketergantungan terhadap teknologi impor, dan dapat terjadi “lompat kata teknologi” (technology leapfrog) dan masalah-masalah lainnya. Menurut penulis, sebaiknya kita memilih untuk mengikuti perkembangan teknologi dan memanfaatkannya untuk meningkatkan kualitas manajemen perkotaan kita. Bila ada masalah-masalah yang timbul karena pemilihan tersebut, maka kita akan cari solusi untuk mengatasinya. Berdasar kajian literatur sampai saat ini, terdapat alasan yang berbeda dari kota-kota di negara maju dan negara berkembang dalam menggunakan teknologi dalam smart city. Di negara maju, alasannya antara lain untuk mengatasi masalah polusi udara, mengupayakan penurunan emisi karbon, juga mensubstitusi infrastruktur yang sudah tua (contoh kota cerdas: Amsterdam). Di negara yang sedang
1
tumbuh cepat dan tergolong negara kaya, dibangun kota-kota baru yang sejak awal dirancang sebagai smart city, menggunakan teknologi tinggi dan berdaya saing kuat, misalnya: kota Masdar di Abu Dhabi, dan kota Songdo di Korea Selatan. Bagi negara berkembang, termasuk Indonesia, mengembangkan smart city (dalam arti mengelola kota secara cerdas) ditujukan untuk mengatasi berbagai permasalahan perkotaan, antara lain: peningkatan jumlah penduduk perkotaan yang pesat dan berdampak pada timbulnya kemacetan, kepadatan tinggi, polusi udara dan air tanah, dan sebagainya. Alasan ini memperkuat pilihan untuk mengikuti perkembangan teknologi dan memanfaatkannya untuk meningkatkan kualitas manajemen perkotaan kita, terutama menuju pewujudan smart city. 2. Apa itu Smart City? Di atas telah dibahas panjang lebar alasan kita perlu mewujudkan smart city untuk kota-kota di Indonesia, tapi belum dijelaskan “apa itu smart city?”. Secara sederhana, sebuah kota cerdas adalah kota yang sistem manajemen kotanya secara otomatis mampu memberitahu kita: (1) bahwa sedang timbul suatu masalah perkotaan (diberitahu oleh sensor yang dipasang di kota), (2) bahwa akan timbul suatu masalah perkotaan (diberitahu oleh sensor dan sistem prediksi), dan (3) sistem manajemen perkotaan mampu memberikan usulan tindakan otomatis (dimungkinkan oleh sistem aktuator) atau tidak-otomatis untuk mengatasi masalah. Sebetulnya kecerdasan tidak hanya dalam hal-hal tersebut, tapi menyangkut juga kecerdasan pada warganya, perekonomiannya, mobilitasnya, dan sebagainya. Secara lebih lengkap, menurut salah satu situs (yaitu: www.media.firabcn.es), smart city merupakan “visi yang mengintegrasikan energi, teknologi, mobilitas, perencanaan kota, lingkungan hidup dan tata kelola pemerintahan serta manajemen kota untuk mengembangkan solusi-solusi bagi kota-kota inovatif dan berkelanjutan”. Senada dengan definisi di atas, Mortensen dkk (2012: 15) mendefinisikan kota cerdas (smart city) sebagai “a city which systematically makes use of ICTs to turn its surplus into resources, promote integrated and multi-functional solutions, and improve its level of mobility and connectedness. It does all this through participatory governance based on collaboration and opensource knowledge.” Berdasar definisi atau pengertian di atas, sebuah kota cerdas mempunyai enam dimensi, yaitu: smart economy, smart people, smart governance, smart mobility, smart environment, dan smart living (Giffinger dkk, 2007). Dimensi smart economy terkait daya saing, yang mencakup antara lain semangat berinovasi, kewirausahaan, pencitraaan dan trademark ekonomi, produktivitas, keluwesan pasar kerja, embeddedness internasional, dan kemampuan untuk bertransformasi. Dimensi smart people terkait modal sosial dan sumberdaya manusia, yang mencakup:
tingkat kualifikasi, kemauan untuk terus-menerus belajar seumur hidup, pluralitas sosial dan etnis, keluwesan, kreativitas, kosmopolitanisme/ keterbukaan fikiran, dan partisipasi dalam kehidupan publik. Dimensi smart governance terkait partisipasi, yang mencakup: partisipasi dalam pengambilan keputusan, layanan publik dan kemasyarakatan, transparansi tata kelola kepemerintahan, strategi dan perspektif politik. Dimensi smart mobility terkait transportasi dan TIK (teknologi informasi dan komunikasi), yang mencakup unsur-unsur: aksesibiltas lokal, aksesibilitas nasional (dan internasional), ketersediaan infrastruktur TIK, serta sistem transportasi yang berkelanjutan, inovatif dan aman. Dimensi smart environment terkait sumberdaya alam, yang meliputi unsur-unsur: daya tarik kondisi alam, polusi, kelestarian lingkungan, dan manajemen sumberdaya berkelanjutan. Dimensi smart living terkait dengan kualitas kehidupan, yang meliputi unsur-unsur: fasilitas kultural, kondisi kesehatan, keselamatan perorangan, kualitas perumahan, fasilitas pendidikan, daya tarik pariwisata, dan kohesi sosial. Penjelasan enam dimensi tersebut di atas mengikuti Giffinger dkk (2007: 12, Fig. 3). Selain enam dimensi tersebut, kita perlukan juga dimensi smart disaster management¸ karena negara kita terletak di atas “cincin api” bencana alam. 3. Bagaimana cara wewujudkan Smart City? Dalam hal ini dibedakan dua cara mewujudkan kota cerdas, yaitu: (1) membangun kota baru yang dari awal dirancang sebagai smart city, atau (2) kota yang sudah lama ada, kemudian diperbaiki dan dibangun lebih lanjut menjadi smart city. Untuk negara berkembang yang umumnya terbatas pendanaannya maka pilihan untuk membangun kota baru yang cerdas biasanya tidak menjadi prioritas. Tinggallah pilihan untuk melakukan reorientasi pengembangan kota menuju kota cerdas, sesuai permasalahan perkotaan yang dihadapi, yang umumnya berbeda dengan permasalahan yang dihadapi oleh kota-kota di negara maju. Misalnya, manajemen kota di negara maju sudah cukup lama mengalami reformasi birokrasi, dan selain itu, tingkat kemajuan pemanfaatan TIK di pemerintahan maupun di masyarakatnya sudah cukup tinggi. Dengan kata lain, di kota-kota negara maju, perjalanan menuju pewujudan enam dimensi smart city lebih dekat. Contoh kota lama di negara maju yang di-reorientasi ke smart city: Amsterdam, Barcelona dan New York City (antara lain dibahas dalam tesis Ponting, 2013). Pengembangan kota lama yang dibangun menjadi smart city di negara berkembang umum menghadapi masalah, antara lain dalam hal pemanfaatan teknologi, yaitu: ketergantungan pada teknologi impor dan terjadi “lompat katak teknologi”. Fenomena lompat katak ini terjadi karena masyarakat sebelumnya hanya terbiasa menggunakan teknologi yang sederhana, tiba-tiba loncat langsung harus menggunakan 2
teknologi tinggi. Salah satu literatur yang membahas “lompat katak teknologi” adalah tulisan Davison dkk (2000). Selain itu masalah kesiapan untuk mewujudkan enam dimensi kota cerdas mendorong kota-kota lama di negara berkembang mengikuti proses pengembangan menuju smart city yang berbeda dengan proses pewujudan smart city di negara maju. Contoh penelitian terkait proses pewujudan menuju smart city di Indonesia, antara lain, dilakukan oleh Widyaningsih (2013) dengan mengambil kasus kota Surabaya. 4. Agenda Penelitian: Menyiapkan kota-kota cerdas di Indonesia Berdasarkan pembahasan di atas, dalam bagian ini dilontarkan usulan agenda penelitian sebagai “payung” bagi pengembangan pengetahuan terkait smart city di Indonesia. Agenda penelitian yang bersifat multidisipliner ini mempunyai empat kelompok besar, yaitu (1) kelompok penelitian terkait cyberculture, (2) kelompok penelitian terkait cyber city & region, yang didalamnya termasuk juga topik cyberspace, (3) kelompok pengembangan teknologi pendukung smart city, dan (4) kelompok penelitian berfokus pada smart city. Empat kelompok ini mempunyai hubungan seperti terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1: Kerangka Agenda Penelitian Smart City
4.1. Agenda Penelitian Cyberculture Pengetahuan yang berkembang atau dikembangkan dalam agenda penelitian cyberculture diperlukan sebagai dasar pemahaman untuk penelitian terkait cybercity and region serta smart city. Alasan agenda penelitian ini diperlukan karena pemanfaatan TIK dalam kehidupan kita mendorong perubahan cara hidup (cyberculture). Cyberculture yang terjadi perlu dikaji, terutama dalam hubungannya dengan keruangan siber (cyber city and region). Perlu juga dikaji antara lain pengaruh “loncat katak teknologi” terhadap “kultur” kita. Pengkajian ini dapat dilakukan di bidang-bidang
ilmu, antara lain: Sosial & Budaya, dan Geografi, atau kerjasama antarbidang ilmu tersebut (penelitian multidisipliner). Beberapa referensi tersedia untuk mendukung agenda penelitian ini, antara lain: buku The World is Flat (karya Friedman, 2006), dan Grown-up Digital (karya Tapscott, 2009). . 4.2. Agenda Penelitian Cyberspace, Cybercity & Region Dapat dikatakan bahwa bidang pengetahuan ini didasari oleh pengetahuan cyberspace. Telah lama kita merasakan keberadaan cyberspace yang berjalan beriringan dengan real-space (dunia nyata). Sudah banyak literatur yang membahas cyberspace, diantaranya buku Graham (2004). Pengembangan pengetahuan di bidang cybercity sudah cukup banyak. Telah lama disadari bahwa kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah mempengaruhi kegiatan manusia dan selanjutnya kegiatan manusia mempengaruhi wadah kegiatan mereka yang berupa keruangan kota, termasuk pembentukan kota dan manajemennya. Penelitian disertasi yang terkait hal ini, antara lain oleh Rachmawati (2011) berjudul: "Perubahan Pola Spasial Pergerakan Penduduk dan Lokasi Pelayanan Ekonomi yang Tersubstitusi oleh Teknologi Informasi dan Komunikasi (Studi Kasus Perkotaan Yogyakarta)”. Pengembangan penelitian cybercity & region dapat dilakukan oleh berbagai bidang ilmu karena bersifat multidisipliner, antara lain terkait ilmu-ilmu: Geografi, Perencanaan Wilayah dan Kota serta Sosial-Budaya. Pengetahuan cybercity & region diperlukan sebagai dasar bagi pengembangan pengetahuan smart city. 4.3. Agenda Penelitian Pengembangan Teknologi pendukung Smart City Smart city memerlukan teknologi tertentu, antara lain sensor, aktuator, dan sebagainya. Ragam teknologi dapat mencakup dari yang relatif sederhana sampai dengan yang “canggih” (teknologi tinggi). Misalnya ada gerakan human smart city yang mengembangkan pengetahuan kota cerdas berdasar teknologi yang relatif sederhana, dan banyak juga kota-kota cerdas dalam praktek saat ini yang berkembang didukung oleh peralatan canggih. Bagi negara-negara berkembang yang umumnya bukan produsen teknologi tinggi, maka jangan sampai upaya pengembangan smart city menjadi pendorong ketergantungan ke negara maju produsen teknologi tinggi. Terkait ini, penelitian pengembangan teknologi yang diperlukan smart city perlu banyak dilakukan di Indonesia. Bidang-bidang ilmu yang diharapkan berpartisipasi dalam agenda penelitian ini, antara lain: Ilmu Komputer, Elektronika dan Instrumentasi, serta Teknik Elektro dan Teknologi Informasi. 4.4. Agenda Penelitian Pemodelan Smart City Agenda penelitian ini merupakan “hilir” dari ketiga agenda penelitian di muka (yang berperan sebagai
3
“hulu”). Selain itu, agenda penelitian keempat ini menjadi “medan besar perjuangan” pengembangan penelitian smart city, sehingga perlu dirinci lebih lanjut langkah-langkahnya seperti terlihat pada Gambar 2.
Indonesia: ditarik pelajaran bagi kota-kota lainnya di Indonesia. Penelitian yang sudah dilakukan terkait dengan hal ini, antara lain tesis Widyaningsih (2013). 4.4.3. Pemodelan Deskriptif Smart City Dalam hal ini tidak hanya lessons learned, tapi sampai dengan memodelkan secara deskriptif kota-kota cerdas yang sudah ada. Kegiatan yang dapat masuk langkah ini, antara lain: (a) Tipologi/model-model deskriptif Smart City di negara-negara maju. (b) Tipologi/model-model deskriptif Smart City di negara-negara berkembang. (c) Model deskriptif Smart City di Indonesia: berangkat dari kasus satu atau beberapa kota; model yang didapat dapat dikembangkan lebih lanjut dengan kasus-kasus berikutnya. Mungkin juga diperoleh beragam model atau tipologi untuk kota-kota cerdas yang sudah ada di Indonesia.
Gambar 2: Langkah-langkah Agenda Penelitian Pemodelan Smart City di Indonesia
4.4.1. Pengembangan Teori/Konsep Smart City Sudah cukup banyak tulisan tentang konsepsi smart city, yang perlu dikumpulkan, dikaji dan dikembangkan lebih lanjut untuk kebutuhan Indonesia. Kegiatan yang dapat masuk langkah ini, antara lain: (a) Pengkajian pustaka terkait teori/konsep smart city yang sudah ada sampai terumuskannya menjadi kajian perkembangan sampai ujung pengetahuan, atau sering disebut sebagai “state of the art” topik tersebut. (b) Pengujian teori/konsep smart city yang ada pada kasus-kasus empiris. (c) Pengkayaan teori/konsep smart city yang ada dengan kasus-kasus unik (sehingga teori/konsep menjadi lebih kaya; teori/konsep dimodifikasi, dirinci lebih lanjut). 4.4.2. Belajar dari Pengalaman Smart City yang ada Sampai saat ini sudah banyak smart city yang dikembangkan di dunia, maka kita dapat melakukan kaijan-kajian yang menghasilkan lessons learned dari kasus-kasus di negara maju, dan negara berkembang, termasuk di Indonesia. Pembelajaran ini akan menjadi pengetahuan berharga dalam rangka mengembangkan kota-kota cerdas di masa depan untuk Indonesia. Kegiatan yang dapat masuk langkah ini, antara lain: (a) Evaluasi/studi kasus-kasus smart city di negara-negara maju: ditarik pelajaran bagi kota-kota di Indonesia. (b) Evaluasi/studi kasus-kasus smart city di negara-negara berkembang lainnya: ditarik pelajaran bagi kota-kota di Indonesia. (c) Evaluasi/studi kasus-kasus smart city di
4.4.4. Pemodelan Preskriptif Smart City dan Uji Coba Dalam hal ini kita siapkan formula/model kota cerdas masa depan untuk Indonesia. Salah satu hal yang perlu diwadahi oleh model-model preskriptif ini adalah tujuh dimensi smart city, yaitu: smart economy, smart people, smart governance, smart mobility, smart environment, smart living dan smart disaster management. Kegiatan yang dapat masuk langkah ini, antara lain: (a) Pemodelan (preskriptif) & simulasi dengan bantuan aplikasi komputer, dan/atau diskusi dengan stakeholders. (b) Action Research: menguji model preskriptif di suatu kasus atau kasus-kasus, sampai terwujud, lalu dievaluasi (lessons learned) untuk memperbaiki model. 5. Penutup dan Saran Pengatasan problema perkotaan yang semakin komplek memerlukan solusi yang cerdas. Salah satu solusi yang berkembang saat ini adalah pengembangan smart city. Tulisan ini mengusulkan suatu agenda penelitian untuk mengembangkan pengetahuan smart city di Indonesia. Untuk menjalankan agenda penelitian yang bersifat multidispiliner ini diperlukan kerjasama berbagai pihak, antara lain para peneliti berbagai bidang keilmuan, pemerintah, pihak swasta (termasuk pengembang perumahan dan kota baru), serta masyarakat. Disarankan diadakan seminar nasional tiap dua tahun sekali untuk berbagi hasil penelitian dan pengembangan terkait agenda penelitian smart city ini. Selain itu, disarankan juga agar ada lembaga-lembaga penelitian yang bersedia mengawal pelaksanaan agenda penelitian smart city yang diusulkan ini (lembaga tersebut di UGM, misalnya PSPPR). 4
Referensi Davison, Robert; Vogel, Doug; Harris, Roger & Jones, Noel (2000). Technology Leapfrogging in Developing Countries—An Inevitalel Luxury?. The Electronic Journal on Information Systems in Developing Countries (http://www.ejisdc.org), 1, 5, pp. 1-10. Friedman, Thomas L. (2006). The World Is Flat. Terjemahan. PT Dian Rakyat, Jakarta. Giffinger, R.; Fertner, C.; Kramar, H.; Kalasek, R.; Pichler-Milanovi, N. & Meijers, E. (2007). Smart cities Ranking of European Medium-sized Cities. Final report. October 2007. Centre of Regional Science, UT, Vienna. Graham, Stephen (2004). Cybercities Reader. Routledge, London. Mortensen, Jonas; Rohde, Frederik Jonsbak; Kristiansen, Klaus Rovsing; Kanstrup-Clausen, Maria & Lubanski, Marianna (eds) (2012). Danish Smart Cities: Sustainable Living in an Urban World. Copenhagen Capacity, A part of Copenhagen Cleantech Cluster (http://www.cphcleantech.com), Copenhagen. Nam, Taewoo; & Theresa A. Pardo (2011). “Conceptualizing Smart City with Dimensions of Technology, People, and Institutions”, The Proceedings of the 12th Annual International Conference on Digital Government Research. Ponting, Anna (2013). High-Tech Urbanism: The Political and Economic Implications of the Smart City. Honors Thesis, Program on Urban Studies, Stanford University, Stanford, CA. Rachmawati, Rini (2011). Perubahan Pola Spasial Pergerakan Penduduk dan Lokasi Pelayanan Ekonomi yang Tersubstitusi oleh Teknologi Informasi dan Komunikasi (Studi Kasus Perkotaan Yogyakarta). Disertasi Doktor, Fakultas Geografi, Yogyakarta. Tapscott, Don (2009). Grown Up Digital: How the Net Generation is Changing Your World. McGraw-Hill Professional, New York. Widyaningsih, Dwita (2013). Kota Surabaya Menuju Smart City. Tesis S2 Magister Perencanaan Kota dan Daerah FT UGM, Yogyakarta.
5