Aflatoksin 1

November 3, 2021 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Aflatoksin 1...

Description

BAB I PENDAHULUAN

1.2.

Latar Belakang

Secara Secara umum, umum, istila istilah h “keracun “keracunan an makana makanan” n” yang yang sering sering digunak digunakan an untuk untuk menyeb menyebut ut gangg ganggua uan n yang yang dise diseba babk bkan an oleh oleh mikr mikroor oorgan ganis isme me,, menc mencak akup up gangg ganggua uann-ga gangg nggua uan n yang yang diakibatkan diakibatkan termakannya termakannya toksin toksin (racun) (racun) yang dihasilkan dihasilkan organisme-o organisme-organis rganisme me tertentu tertentu dan gangguan-gangguan akibat terinfeksi organisme penghasil toksin. Toksin-toksin dapat ditemukan secara alami pada beberapa tumbuhan dan hewan atau suatu produk metabolit toksik yang dihasi dihasilka lkan n suatu suatu metabo metabolis lisme. me. Selain Selain itu, itu, dikena dikenall pula pula dua istil istilah ah lain, lain, yaitu yaitu “intok “intoksik sikasi asi  pangan”, yang merupakan gangguan akibat mengkonsumsi toksin dari mikroorganisme yang tela telah h terb terben entu tuk k dala dalam m maka makana nan, n, sert sertaa “inf “infek eksi si pang pangan an”, ”, yang yang dise diseba babk bkan an masu masukn knya ya mikroorganisme ke dalam tubuh melalui makanan yang telah terkontaminasi dan sebagai akibat reaksi tubuh terhadap mikroorganisme atau hasil-hasil metabolismenya. Organisme penyebab gangguan-gangguan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu yaitu bakteri bakteri dan non-bakt non-bakteri eri.. Salah Salah satu satu organi organisme sme non-ba non-bakte kteri ri adalah adalah kapang kapang atau atau jamur. jamur. Kapang dapat menimbulkan penyakit, yang dibedakan atas dua golongan, yaitu: 1.

infeksi oleh fungi, yang disebut “mikosis”

2. keracunan, karena tertelannya tertelannya metabolik beracun dari fungi, yang disebut “mikotoksikosis” “mikotoksikosis” Mikotoksiko Mikotoksikosis sis biasanya tersebar tersebar melalui melalui makanan, makanan, sedangkan sedangkan mikosis mikosis tidak melalui makanan tetapi melalui kulit atau lapisan epidermis, rambut, dan kuku akibat sentuhan, pakaian, atau terbawa angin. Senyawa beracun yang dihasilkan fungi disebut “mikotoksin”. Toksin ini dapat menimbulkan gejala sakit yang terkadang fatal. Mikotoksin tidak terlihat, tidak berbau dan tidak dapat dideteksi melalui bau atau rasa. Beberapa contoh mikotoksin adalah Aflatoksin, Trichothecenes, Zearalone, dan Ochratoxin A. Aflatoksin merupakan mikotoksin yang ditemukan pertama kali di Inggris pada tahun 1960, saat lebih dari 10.000 ekor bebek dan kalkun tiba-tiba mati hanya dalam waktu 1 bulan akibat keracunan Aflatoksin pada tepung kacang tanah yang dijadikan pakan ternak (Williams et al., 2004). Kejadian luar biasa ini dikenal dengan nama “Turkey X-disease”. Istilah “Aflatoksin” sendir sendirii diambi diambill dari dari singka singkatan tan  Aspergillus flavus yang merupa merupakan kan penghas penghasil il utama utama racun racun tersebut. A. tersebut. A. flavus termasuk jamur berdivisi ascomycotina. Kapang penghasil Aflatoksin lainnya adalah  Aspergillus parasiticus dan  Aspergillus nomius. Aflatoksin merupa merupakan kan suatu suatu fraksi fraksi kecil kecil dari dari sejuml sejumlah ah metabo metabolit lit sekunde sekunderr yang dihasi dihasilka lkan n kapang tersebut dalam metabolismenya. Aflatoksin juga disebut sebagai hasil kegiatan fisika dan kimia dari corak tertentu dari jasad renik tersebut. Mereka mewakili suatu kelompok yang secara struktural berhubungan dengan turunan dari conmarin. conmarin. (Saksono, L. 1986). Lebih lanjut, Aflatoksin dapat dibagi dalam 13 jenis, di antaranya yang dikenal luas adalah B1, B2, G1, G2, M1, dan M2. Aflatoksin B1 dan B2 diproduksi oleh  A. flavus dan  A. 1

 parasiticus. Sedangkan Aflatoksin G1 dan G2 hanya diproduksi oleh A. parasiticus. Aflatoksin M1 dan M2 berturut-turut merupakan hasil metabolisme Aflatoksin B1 dan B2 dalam tubuh manusia dan hewan. Aflatoksin jenis ini muncul dalam susu. Di antara semua jenis Aflatoksin tersebut, Aflatoksin B1 merupakan Aflatoksin yang paling beracun. Menurut Dr. Ir Deddy Muchtadi Sinar harapan, Pada tahun 1960 di Inggris terjadi kasus 100.000 ayam kalkun mengalami kematian yang tidak diketahui penyebabnya, sehingga penyakit tersebut dinamakan “Turkey X disease” dan beberapa waktu kemudian kejadian tersebut terjadi kembali di Uganda dan Kenya. Para peneliti Inggris dari Tropical Product Institute menemukan  bahwa penyebab Turkey X disease berasal dari pakan ternak yang diberikan. Dengan penelitian lebih lanjut, ditemukan bahwa penyakit ini disebabkan oleh suatu zat hasil metabolit kapang (jamur)  Aspergillus flavus yang tumbuh di kacang tanah. Aflatoxin kemudian diresmikan menjadi nama racun atu micotoxin yang diambil dari singkatan nama genus ( Aspergillus) dan spesies (flavus). Pada tahun 1729, Michelli dapat menjelaskan genus dari Aspergillus. Species Aspergillus kurang lebih berjumlah 180 species. Kapang Aspergillus ini dapat tumbuh dengan baik dengan kadar air minimal 80%.  Aspergillus dapat menyebabkan penyakit yang disebut Aspergilosis. Hewan terserang kapang ini, dapat menyebabkan mucotic pneumonia, rhinitis kronis, penyakit sistemik yang disebabkan oleh jamur atau kapang, penyakit kulit, alergi, aspergilosis pada saluran pencernaan, mastitis dan keratomycosis. Ada dua species dari genus  Aspergillus yang menghasilkan senyawa berbahaya Aflatoxin yaitu Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus.  Aspergillus flavus dapat ditemukan di belahan dunia yang beriklim panas dan lembab diantaranya afrika sub-sahara dan asia tenggara. genus Aspergillus dapat menyerang biji kacang tanah yang rusak atau kulitnya terkelupas.

1.3.

Tujuan

Mengetahui jamur yang menghasilkan Aflatoksin dan dapat mengetahui bahaya dari Aflatoksin tersebut.

2

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Morfologi Jamur Penghasil senyawa Aflatoksin

Aspergillus parasiticus Klasifikasi

Super kingdom

: Eukaryota

Kingdom

: Fungi

Sub kingdom

: Dikarya

Phylum

: Ascomycota

Subphylum

: Pezizomycotina

Classis

: Eurotiomycetes

Sub classis

: Eurotiomycetidae

Ordo

: Eurotiales

Familia

: Trichocomaceae

Genus

: Aspergillus

Spesies

: Aspergillus flavus

Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan bagian grup Aspergillus yang sudah sangat dikenal karena peranannya sebagai patogen pada tanaman dan kemampuannya untuk  menghasilkan aflatoksin pada tanaman yang terinfeksi. Kedua spesies tersebut merupakan  produsen toksin paling penting dalam grup Aspergillus yang mengkontaminasi produk  agrikultur. Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus mampu mengakumulasi aflatoksin pada  berbagai produk pangan meskipun tipe toksin yang dihasilkan berbeda.

2.2. Aflatoksin A.

Sejarah

Aflatoksin ditemukan secara tidak sengaja pada insiden kematian seratus ribu ekor  kalkun di suatu peternakan di Inggris pada tahun 1960. Penyakit tersebut dikenal dengan nama Turkey X Disease karena belum diketahui penyebabnya pada waktu itu. Penyebab penyakit tersebut ditemukan berupa sejenis toksin yang terdapat dalam tepung kacang tanah pada ransum ternak. Pengujian yang melibatkan sampel ransum ternak mengungkapkan keberadaan sejenis kapang. Toksin tersebut berasal dari kontaminasi  Aspergillus flavus pada campuran ransum ternak tersebut.  Nama toksin tersebut diambil dari penggalan kata  Aspergillus flavus toksin yang disingkat menjadi aflatoksin karena  Aspergillus flavus dan  Aspergillus parasiticus merupakan spesies dominan yang bertanggung jawab atas kontaminasi aflatoksin pada tanaman sebelum dipanen maupun selama penyimpanan. 3

B.

Sifat dan Karakteristik 

Jenis aflatoksin dan spesies penghasilnya dijelaskan pada Tabel 1. Terdapat 18 jenis racun aflatoksin, empat yang paling kuat daya racunnya adalah aflatoksin B1, G1, B2, dan G2. Tahun 1988, International Agency for Research on Cancer menyatakan bahwa aflatoksin B1  bersifat karsinogen (menyebabkan kanker) pada manusia. Batas maksimum kandungan aflatoksin B1 dan aflatoksin total pada produk olahan jagung dan kacang tanah adalah masingmasing 20 dan 35 ppb (Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.1.1405, tahun 2004). Spesies  Aspergillus

Jenis aflatoksin B1, B2.

Ditemukan pada Kacang tanah, jagung,

 flavus

dan

 Aspergillus

 pakan

nomius  Aspergillus

B1, B2, G1, G2

 parasiticus

M1, M2 (metabolit aflatoksin)

olahannya

serta

Susu

Tabel 1. Jenis kapang dan jenis aflatoksin yang dihasilkan

Aflatoksin B1 dan B2 dihasilkan oleh  Aspergillus flavus dan  Aspergillus parasiticus. Sedangkan aflatoksin G1 dan aflatoksin G2 hanya dihasilkan oleh  Aspergillus parasiticus. Jika aflatoksin B1 dan G1 masuk ke dalam tubuh hewan ternak melalui pakannya, maka senyawa tersebut akan dikonversi di dalam tubuh hewan tersebut menjadi aflatoksin M 1 dan M2, yang dapat diekskresikan dalam susu dan urin. \

Aflatoksin Rumus molekul B1 C17H12O6 B2 C17H14O6 G1 C17H12O7 G2 C17H14O7 M1 C17H12O7 M2 C17H14O7 B2A C17H14O7 G2A C17H14O8 Tabel 2. Karakteristik Aflatoksin

4

Berat Molekul 312 314 328 330 328 330 330 346

Titik leleh (0C) 268-269 286-289 244-246 237-240 299 293 240 190

Aflatoksin diberi akhiran sesuai dengan penampakan fluorosensinya dibawah sinar UV  pada lempeng kromatografi lapisan tipis dengan silika gel yang disinari ultraviolet. Penampakan fluoresensi biru diberi akhiran B (blue) dan penampakan fluorosensi hijau diberi akhiran G (green). Berdasarkan mobilitas pada kromatografi lapisan tipis, penamaan aflatoksin diberi indeks angka tambahan menjadi B1, B2, G1, dan G2, masing-masing dengan struktur molekul yang berbeda namun mirip. Sifat senyawa aflatoksin stabil, sulit terurai, tidak larut dalam air, tidak rusak pada suhu  panas. Kondisi optimum untuk pertumbuhan kapang dan memproduksi aflatoksin yaitu: nilai water activity (Aw) > 0,7 ; kelembaban (RH) > 70% dan kisaran suhu 11-41°C dengan suhu untuk pembentukan aflatoksin maksimum sedikit di bawah suhu optimum untuk pertumbuhan kapangnya yaitu 24-30°C. Suhu pertumbuhan minimum dan maksimum ini dipengaruhi oleh faktor lain seperti konsentrasi oksigen, kadar air, nutrien dan lain-lain. Selain itu kapang akan berkembang biak pada kondisi lingkungan yang tidak higienis, misalnya banyak tikus, serangga gudang, burung dan lain-lain, dapat pula terserang komoditas lain yang sudah terserang penyakit tanaman atau Aspergillus. Tumbuhan yang terserang penyakit  biasanya juga mengandung aflatoksin. Jadi perkembangbiakan Aspergillus sudah terjadi saat  pertumbuhan komoditi di lahan petani, sampai penyimpanan di gudang. Produksi aflatoksin merupakan sebuah konsekuensi dari kombinasi berbagai faktor antara lain karakteristik biologis dan kimiawi spesies, substrat, dan lingkungan seperti iklim dan faktor  geografis. Faktor-faktor yang mempengaruhi meliputi temperatur, kelembaban, cahaya, aerasi,  pH, sumber karbon dan nitrogen, faktor stress, lipida, trace metal salt , tekanan osmosis, potensi oksidasi-reduksi, dan komposisi kimiawi dari nutrien yang diberikan. Beberapa faktor-faktor tersebut bisa mempengaruhi ekspresi gen yang meregulasikan  produksi aflatoksin (aflR) maupun gen struktural kemungkinan dengan mengubah ekspresi faktor-faktor transkripsi global yang merespons sinyal dari lingkungan dan nutrisi. Aflatoksin disintesis dari malonyl CoA dalam dua tahap. Tahap pertama ialah  pembentukkan hexaonyl CoA dilanjutkan tahap kedua berupa pembentukan decaketide anthraquinone. Beberapa seri reaksi oksidasi-reduksi yang sangat terorganisir kemudian menghasilkan aflatoksin. Skema produksi aflatoksin yang umum diterima saat ini ialah sebagai  berikut. Hexanoyl

CoA

precursor

—>

norsolorinic

acid,

NOR

—>

averantin,

AVN

—>

hydroxyaverantin, HAVN —> averufin, AVF —> hydroxyversicolorone, HVN—> versiconal hemiacetal acetate, VHA —> versi-conal, VAL —> versicolorin B, VERB —> versicolorin A, VERA

—>

demethyl-sterigmatocystin,

DMST

—>

sterigmatocystin,

Omethylsterigmatocystin, OMST—> aflatoxin B1, AFB1 dan aflatoxin G1, AFG1.2

C. Keberadaan aflatoksin pada pangan dan ternak 

5

ST

—>

Aflatoksin dapat dijumpai pada berbagai bahan pangan, misalnya jenis serealia (jagung, sorgum, beras, gandum), rempah-rempah (lada, jahe, kunyit), kacang-kacangan (almond, kacang tanah), susu (jika ternak mengkonsumsi pakan yang terkontaminasi aflatoksin), termasuk produk   pangan yang terbuat dari bahan-bahan tersebut, seperti roti dan selai kacang. S alah satu komoditi yang sangat rentan adalah kacang tanah dan produk olahannya, seperti kacang goreng, sambal  pecel, minyak goreng, oncom, bungkil kacang tanah, dan selai kacang tanah.  Namun, komoditi yang mempunyai tingkat risiko tertinggi terkontaminasi aflatoksin adalah kacang tanah beserta produk olahannya, seperti kacang goreng, sambal pecel, minyak  goreng, oncom, bungkil kacang tanah, dan selai kacang tanah, selain itu jagung, dan biji kapas (cotton seed ). Aflatoksin seringkali ditemukan pada tanaman sebelum dipanen. Setelah pemanenan, kontaminasi dapat terjadi jika hasil panen terlambat dikeringkan dan disimpan dalam kondisi lembab. Serangga dan tikus juga dapat memfasilitasi masuknya kapang pada komoditi yang disimpan. Aflatoksin sering kali terdifusi masuk ke dalam tenunan bagian-bagian dalam komoditi  pertanian melalui rambut-rambut kapangnya. Dengan demikian, biji, umbi, bungkil, dan bagian lain komoditi yang tercemari tidak serta merta tampak oleh mata. Keberadaan aflatoksin dipengaruhi cuaca seperti suhu dan kelembapan, sehingga tingkat kontaminasinya bervariasi tergantung lokasi geografis, cara bertani, budi daya, dan kerentanan komoditi. Racun aflatoksin seperti ochratoksin, Sterigmatosistis, dan asam panisilat diproduksi lebih aktif pada bahan yang mengandung karbohidrat tinggi (jagung, gandum, dan beras), kemudian diikuti oleh bahan yang kaya lipid dan peptide (protein).

2.3.

Efek Aflatoksin

A.

Efek Aflatoksin Terhadap Kesehatan Manusia

Aflatoksin dapat bersifat toksigenik, mutagenik, teratogenik, karsinogenik, dan immunosuppresif pada hewan percobaan. Aflatoksin mendapat perhatian yang lebih besar  daripada mikotoksin lain karena memiliki potensi efek karsinogenik terhadap tikus uji serta efek  toksisitas akut terhadap manusia. Pada sejumlah spesies hewan, aflatoksin dapat menyebabkan nekrosis akut, sirosis, dan karsinoma hati serta berpotensi mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Tidak ada hewan yang resisten terhadap efek toksik akut aflatoksin, oleh karena itu sangat logis jika diasumsikan bahwa manusia juga mungkin dapat mengalami efek yang sama. Pada kebanyakan spesies hewan, LD50 aflatoksin berkisar antara 0,5 hingga 10 mg/kg berat badan. Pada tahun 1988, IARC menggolongkan aflatoksin B1 pada daftar karsinogen terhadap manusia. Hal ini didukung dengan sejumlah hasil penelitian epidemiologi di Asia dan Afrika yang menunjukkan hubungan positif antara diet aflatoksin dan kanker sel hati ( Liver Cell Cancer  = LCC). Sebagai tambahan, timbulnya penyakit yang berhubungan dengan aflatoksin pada

6

manusia kemungkinan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti usia, status nutrisi, dan/atau  paparan bahan lain, seperti virus hepatitis (HBV) atau infestasi parasit. Aflatoksin mampu menyebabkan penyakit dalam jangka panjang (kronis) dan penyakit  jangka pendek (akut) bergantung pada dosis dan frekuensi paparan aflatoksin. Salah satu efek  yang paling sering terjadi ialah kehilangan sintesis protein, termasuk sintesis antibodi sesuai dengan dosis paparan. Toksisitas akut terjadi

tak

lama setelah

mengonsumsi bahan

makanan

yang

terkontaminasi racun dengan dosis relatif besar dan yang terserang adalah hati, pankreas, serta ginjal. Pada efek kronis, aflatoksin menyebabkan timbulnya kanker hati (hepatic carcinoma). Secara umum konsentrasi aflatoksin dan akibat yang ditimbulkannya dapat dilihat pada Tabel 3.

Konsentrasi Aflatoksin (ppb) 20

Efek yang Ditimbulkan Level maksimal yang diijinkan untuk   manusia Level maksimal yang diijinkan untuk  

50

hewan 100 Pertumbuhan lambat pada usia muda 200 – 400 Pertumbuhan lambat pada usia tua >400 Kerusakan hati dan kanker   Tabel 3. Konsentrasi Aflatoksin dan Akibat yang Ditimbulkan

Aflatoksin yang dikonsumsi secara terus-menerus, walaupun dalam jumlah kecil, mampu menyebabkan kanker hati, organ tubuh yang sangat penting dan juga berperan dalam detoksifikasi aflatoksin itu sendiri. Data dari berbagai rumah sakit di Indonesia menunjukkan ada 20% kasus kanker hati tidak menunjukkan kaitan dengan infeksi hepatitis B maupun hepatitis C. Diduga Aflatoksin B1 memegang peran sebagai faktor pemicu mutasi P53 gen sel hati yang seterusnya menimbulkan kanker sel hati, timbul dugaan bahwa kasus kanker hati itu  berhubungan dengan senyawa karsinogen termasuk Aflatoksin B1 (RASYID, 2006).5 Sampai saat ini obat yang diketahui dapat menyembuhkan kontaminasi Aspergillus adalah amphotericin B (AmB) dan itraconazole. Saat ini penggunaan voriconazole, posaconazole, dan caspofungin  juga telah diterima untuk pengobatan kontaminasi Aspergillus.

B.

Aflatoksikosis

Keracunan akibat mengkonsumsi pangan atau pakan yang tercemar aflatoksin disebut aflatoksikosis. Beberapa negara, terutama negara dunia ketiga, seperti Taiwan, Uganda, dan India telah melaporkan adanya bukti terjadinya aflatoksikosis akut pada manusia. Di negaranegara maju, kontaminasi aflatoksin pada pangan jarang terjadi pada tingkat yang dapat menimbulkan aflatoksikosis akut terhadap manusia. Penelitian toksisitas paparan oral aflatoksin terhadap manusia difokuskan pada potensi karsinogeniknya. Kerentanan relatif manusia terhadap

7

aflatoksin masih belum diketahui, meskipun pada studi epidemiologi di Afrika dan Asia Tenggara, tempat dimana banyak terjadi insiden hepatoma, telah ditemukan kaitan antara insiden kanker dengan kandungan aflatoksin dalam diet. Hasil penelitian tersebut tidak membuktikan adanya hubungan sebab akibat, tetapi dapat menjadi bukti adanya kaitan. Masalah yang timbul jika mengonsumsi makanan yang mengandung aflatoksin: a)

Keracunan akut (aflatoksikosis), dengan gejala mual, muntah, kerusakan

hati hingga

kematian pada kasus serius  b)

Perkembangan anak dan pertumbuhan janin terganggu.

c)

Metabolisme protein terganggu.

d)

Kekebalan tubuh menurun.

e)

Kanker hati

Pada manusia, kasus aflatoksikosis sesungguhnya jarang dilaporkan, tetapi kebanyakan kasus tidak selalu dikenali sebagai aflatoksikosis. Kita patut curiga bahwa telah terjadi aflatoksikosis jika ditemukan suatu penyakit yang menunjukkan karakteristik sebagai berikut: a)

Penyebab penyakit tidak dapat segera teridentifikasi.

 b)

Penyakitnya tidak menular.

c)

Penyebab penyakit diduga diakibatkan oleh jenis pangan tertentu.

d)

Pemberian antibiotik atau obat lainnya hanya memberikan sedikit pengaruh.

e)

Kejadiannya bersifat musiman (kondisi cuaca dapat mempengaruhi pertumbuhan kapang).

Efek berat aflatoksikosis pada hewan (yang diperkirakan bisa juga terjadi pada manusia) dikategorikan ke dalam dua bentuk utama, yaitu aflatoksikosis akut (jangka pendek) dan aflatoksikosis kronik (jangka panjang). a)

Aflatoksikosis akut dapat diakibatkan oleh konsumsi aflatoksin dalam tingkat sedang

hingga tinggi. Beberapa gejala umum aflatoksikosis adalah edema anggota tubuh bagian bawah, nyeri perut, dan muntah. Secara spesifik, paparan akut aflatoksin dapat menyebabkan  perdarahan, kerusakan hati secara akut, edema, perubahan pada pencernaan, dan kemungkinan kematian. Tertelannya aflatoksin dalam jumlah besar umumnya terjadi di peternakan. Organ target aflatoksin adalah hati. Setelah aflatoksin masuk ke hati, lipid menyusup ke dalam hepatosit dan menyebabkan nekrosis atau kematian sel hati. Hal ini terutama disebabkan oleh metabolit aflatoksin yang bereaksi secara negatif dengan protein sel lain, yang menyebabkan  penghambatan metabolisme karbohidrat dan lemak serta sintesis protein. Akibat penurunan

8

fungsi hati, terjadi gangguan mekanisme pembekuan darah, ikterus ( jaundice), dan penurunan  protein serum esensial yang disintesis oleh hati.  b)

Aflatoksikosis kronik disebabkan oleh konsumsi aflatoksin dalam tingkat rendah hingga

sedang. Efek yang ditimbulkan biasanya bersifat subklinis dan sulit dikenali. Gejala aflatoksikosis kronik dapat berupa penurunan laju pertumbuhan, penurunan produksi susu atau telur, dan imunosupresi. Beberapa pengamatan menunjukkan adanya karsinogenisitas, terutama terkait dengan aflatoksin B1. Tampak jelas terjadinya kerusakan hati karena timbulnya warna kuning yang menjadi karakteristik  jaundice, serta timbul pembengkakan kandung empedu. Imunosupresi disebabkan oleh reaktivitas aflatoksin dengan sel T, penurunan aktivitas vitamin K, dan penurunan aktivitas fagositosis makrofag. Pada hewan, efek imunosupresi akibat aflatoksin ini memberi kecenderungan terkena infeksi sekunder dari jamur lain, bakteri, maupun virus.

C.

Efek Aflatoksin bagi ternak.

Hasil-hasil penelitian (MANI et al., 2001; MUTHIAH et al., 1998) melaporkan bahaya aflatoksin dan dampaknya terhadap hewan yaitu dapat menghambat peningkatan bobot badan ternak unggas dan ruminansia, mengurangi produksi telur, menurunkan respon imun (daya kekebalan tubuh ternak), jumlah kematian ternak tinggi, mempengaruhi absorpsi unsur mineral Ca, Cu, Fe dan P, kerusakan organ hati serta menyebabkan residu pada produk ternak, yang akan  berbahaya bagi manusia.

2.4.

Upaya Pencegahan Aflatoksin

Produksi pangan yang benar-benar bebas mikotoksin merupakan hal yang sangat sulit dilakukan. Namun, metode penyimpanan dan penanganan komoditi yang baik dapat meminimalkan pertumbuhan kapang sehingga dapat menurunkan risiko pencemaran mikotoksin  pada produk pangan. Penyimpanan komoditi pangan tersebut sebaiknya di tempat yang kering (kelembaban rendah) dan sejuk (lebih baik jika disimpan di freezer ) Untuk mengurangi masuknya aflatoksin ke dalam tubuh melalui pangan, sangat bijaksana  jika konsumen bersikap selektif terhadap pangan yang akan dikonsumsinya, antara lain dengan menghindari mengkonsumsi pangan yang telah berjamur, telah berubah warna, telah berubah rasa atau tengik. Upaya menghindari pertumbuhan mikrobia pada bahan pakan bisa dilakukan dengan  jalan menjaga kelembaban yang rendah, kurang dari 80% sehingga pertumbuhan fungi akan terhambat. Hindari suhu optimum untuk pertumbuhan fungi A. Flavus maupun  A. parasiticus, yaitu 25 – 40 oC. Penyimpanan dalam keadaan kering, kira-kira kadar air 10-12% terhadap  bahan pakan sangat dianjurkan. Pemilihan bahan pakan yang baik dan utuh, terhindar dari kelukaan atau kerusakan oleh serangan hama harus ditegakkan, karena serangan serangga merupakan predisposisi bagi 9

 pertumbuhan fungi pada bahan pakan tersebut. Pada jagung yang terserang serangga menunjukkan kandungan aflatoksin hampir 90%. Hindari pH 5,5 – 7,0 yang optimum untuk   pertumbuhan A. Flavus. Seluruh pihak yang berkepentingan  (stakeholder ) perlu mengetahui tingkat cemaran aflatoksin melalui pengujian aflatoksin pada komoditi bahan pangan dan pakan yang menjadi komoditas perdagangan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencegah kontaminasi aflatoksin, tetapi hal ini masih tetap menjadi masalah. Berbagai negara telah mencoba membatasi  paparan aflatoksin dengan mengeluarkan peraturan batasan kadar aflatoksin pada komoditi yang akan digunakan sebagai makanan dan pakan. Food and Drug Administration di Amerika Serikat, misalnya, memberi batasan kadar aflatoksin maksimum 20 ppm pada makanan dan pakan, termasuk produk-produk kacang tanah.

2.5.

Upaya Mendiagnosis Aflatoksin

A.

Teknologi deteksi aflatoksin

Teknologi deteksi aflatoksin secara kuantitatif, teknik kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) merupakan cara pendeteksian yang umum digunakan dan merupakan metode konfirmasi. Sedangkan metode semi kuantitaf aflatoksin adalah kromatografi lapis tipis (KLT) dan Enzyme Linked Immunoassay (ELISA), telah pula dikembangkan di laboratorium Bbalitvet. Saat ini laboratorium Toksikologi Bbalitvet telah dapat menentukan cemaran aflatoksin untuk  kepentingan penelitian maupun pengujian diagnostik dengan KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi) atau HPLC ( High Pressure Liquid Chromatography) dengan detektor fluoresen, dimana metoda deteksi ini memerlukan tahapan derivatisasi untuk mengubah aflatoksin menjadi senyawa berfluoresensi kuat, serta teknik ELISA (RACHMAWATI, 2005). Analisis aflatoksin  pada pakan dan bahan pakan dengan kedua metoda tersebut (HPLC dan ELISA) telah masuk  ruang lingkup terakreditasi berdasar ISO guide 17025. Telah pula dikembangkan teknik deteksi menggunakan LCMS dapat memotong tahapan derivatisasi dan memberikan hasil konfirmasi yang lebih akurat dan diharapkan lebih sensitif. Untuk teknologi deteksi secara ELISA telah dapat dirakit berupa kit yang dapat di suplai ke para  pengguna, sehingga laboratorium lain dalam ruang lingkup kegiatan yang hampir sama dapat melakukan analisis aflatoksin pada laboratoriumnya. Analisis menggunakan kit ELISA lebih disukai, karena dapat menganalisis sampel dalam  jumlah banyak dalam satu waktu analisis dan ekstraksi sampel lebih sederhana, sehingga waktu analisis lebih cepat. Meskipun kit serupa produksi luar negeri tersedia di Indonesia (kit impor), namun kit hasil pengembangan Bbalitvet dapat diperoleh di dalam negeri dengan harga relatif  murah (3 kali lebih murah) (RACHMAWATI, 2005). Metode analisis aflatoksin secara ELISA dapat dikembangkan lebih lanjut untuk keperluan lapang, seperti ELISA dipstick atau ELISA test strip. Namun demikian baik metode ELISA maupun kromatografi untuk analisis aflatoksin,

10

dapat lebih luas dikembangkan untuk aplikasi dalam matrik bahan pertanian lain ataupun makanan (RACHMAWATI, 2006).5

B.

Teknik Dekontaminasi

Upaya menekan kandungan aflatoksin dapat dilakukan dengan menggunakan cendawan  Neurospoa sp. dan  Rhizopus sp. Selanjutnya untuk menghindari serangan cendawan A. Flavus  pada jagung dapat dilakukan dengan sesegera mungkin menjemur tongkol jagung yang sudah dipanen sampai kadar air 17%, lalu dipipil dan dikeringkan lagi sampai kadar air 11% kemudian disimpan. Pada kondisi kadar air rendah pada biji jagung, maka tidak terserang cendawan A.  Flavus. Upaya lain adalah penggunaan bahan kimia yaitu ammonia dan asam propionate dapat negurangi jumlah spora yang menempel pada jambul jagung, sehingga mengurangi sumber  inokolum untuk infeksi di penyimpanan. Upaya untuk mengatasi mikotoksin adalah dengan ekstraksi menggunakan pelarut organik, antara lain dengan kalsium klorida atau sodium bikarbonat atau dengan pemanasan dalam air garam. Penggunaan amonia atau monometylamine dan kalsium hidroksida juga efektif  dalam mengatasi toksin tersebut. NaOCl bisa digunakan untuk dekontaminasi pada kacang tanah, formaldehid dan NaOH pada tepung kacang. Perendaman atau pencelupan kacang tanah dalam  p-amino benzoat, kalium sulfit, kalium fluorida, ammonia 2%, asam propionat, Na-asetat, dan H2O2. Detoksifikasi dengan ammonia terhadap aflatoksin adalah sangat praktis dan mudah, sehingga banyak dipraktekkan. Toksin dapat juga dihancurkan dengan pemanasan, misal penggarangan kacang tanah  pada suhu 150oC selama 30 menit akan mengurangi aflatoksin B1 sebanyak 80% dan aflatoksin B2 sebanyak 60%. Penggorengan dengan minyak pada kacang tanah pada suhu 204oC akan mengurangi kadar aflatoksin B1 dan G1 rata-rata 40 -50%, sedangkan aflatoksin B2 dan G2 akan menurun sebanyak 20 – 40%. Aflatoksin dianggap stabil terhadap pemanasan, karena pada  pemanasan normal (100oC) tidak menyebabkan perubahan. Demikian pula trikhotesen, zeralenon, khloratoksin dan patulin. Sedangkan sitrinin mudah dirusak oleh pemanasan. Pemanasan bertekanan (autoklaf) dapat juga mengurangi kadar aflatoksin. Pada autoklaf suhu 120oC bertekanan 15 lbs selama 4 hari pada tepung kacang dengan kelembaban 60% akan menurunkan kadar aflatoksin dari 7.000 mg/kg menjadi 340 mg/kg. Penyinaran dengan sinar ultra violet selama 45 detik bisa menghancurkan spora  A.  Flavus. Akan tetapi penyinaran ini juga menyebabkan berkurangnya zat-zat gizi dalam bahan  pakan. Bahan-bahan kimia tertentu, seperti diklorvos akan menghambat pembentukan aflatoksin  pada gandum, jagung, beras dan kacang tanah. Pencegahan aflatoksin dapat dilakukan dengan  penggunaan feed aditiv yang dicampurkan dalam bahan pakan , sehingga secara in vivo feed aditiv ini akan aktif melawan mikotoksin. Beberapa mineral dapat memiliki kemampuan mengabsorbsi atau menangkap molekul mikotoksin sehingga tidak berbahaya bagi ternak. 11

Beberapa zat yang dapat bertindak sebagai feed aditiv antara lain activated charcoal , yeast  produk dinding sel. Beberapa produk sintetik dapat digunakan, antara lain zeolit, aluminosilikat dan Gamma Amino Butiric Acid (GABA). Zeolit aktif melawan aflatoksin T2.. Penambahan zeolit 2% sebanyak 1mg/kg bahan pakan terkontaminasi aflatoksin B1 akan menurunkan kadar  aflatoksin dalam hati sampai 30-40%.5

2.6.

Langkah Penanganan

Berikut merupakan beberapa langkah penanganan Aflatoksin, yakni : a)

Melakukan peningkatan manajemen bercocok tanam, penggunaan varietas tanaman tahan serangan kapang toksigenik pada proses pra panen, serta pemilihan terhadap bahan  pangan yang berkualitas baik dan tidak berkapang.

 b)

Mendidik petani, pedagang pengumpul, grosir, pengecer, industri pangan dan pakan mengenai cara penanganan pasca panen kacang tanah dan jagung yang baik, melalui media berupa brosur, artikel pada majalah ilmiah populer, dan lain-lain.

c)

Melakukan monitoring terhadap kadar aflatoksin pada pangan dan pakan secara kuantitatif  dan semi kualitatif pada berbagai tahapan.

d)

Melakukan survei yang lebih luas dan terpadu terhadap kontaminasi aflatoksin pada  berbagai bahan pangan dan pakan di berbagai daerah (kabupaten, provinsi) di Indonesia.

e)

Menangani masalah aflatoksin dengan koordinasi berbagai pihak meliputi pemerintah,  produsen, konsumen, praktisi, akademisi dan peneliti.

f)

Mendistribusikan informasi yang diperoleh dari laporan ini kepada penyuluh pertanian, importir, grosir, dan pengecer kacang tanah, serta industri pangan dan pakan yang  berbahan baku kacang tanah dan jagung.

g)

Mendidik konsumen untuk dapat mengenali dan tidak mengonsumsi kacang tanah yang tercemar aflatoksin dengan ciri biji berwarna coklat kehijauan hingga kehitaman, dan  berasa pahit.

12

BAB III PENUTUP

3.1.

Kesimpulan

 Aspergillus sp. merupakan kapang yang tersebar luas di alam. Kapang ini menghasilkan racun aflatoksin yang dapat mencemari bahan pangan maupun pakan ternak. Bahan pangan terutama kacang tanah, jagung, dan biji kapas. Terdapat 18 jenis racun aflatoksin, empat yang  paling kuat daya racunnya adalah aflatoksin B1, G1, B2, dan G2. Aflatoksin B1 bersifat karsinogen pada manusia. Kapang  A. flavus tidak selalu menghasilkan racun sehingga adanya kapang ini belum tentu memberikan pencemaran racun aflatoksin. Aflatoksin yang mencemari pakan ternak dapat membahayakan kesehatan dan produktivitas ternak. Sementara residunya pada hasil ternak dapat menyebabkan keracunan (aflatoksikosis) baik akut maupun kronis pada manusia bila hasil ternak  tersebut dikonsumsi.

3.2.

Saran

1.

Bagi berbagai negara telah mencoba membatasi paparan aflatoksin dengan mengeluarkan  peraturan batasan kadar aflatoksin pada komoditi yang akan digunakan sebagai makanan dan pakan.

2.

Bagi seluruh pihak yang berkepentingan  (stakeholder ) baik pemerintah, petani, produsen dan konsumen pada komoditi bahan pangan dan pakan yang berpeluang terkena cemaran aflatoksin untuk dapat melakukan Upaya pencegahan aflatoksin dengan sebaik-baiknya.

13

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2007.  Aflatoksin. http://www.pom.go.id/surv/events/afla2007Vol2.pdf , diakses pada tanggal 3 Mei 2012. Anonim. Mewaspadai Cemaran Aflatoksin pada Pangan. http://www.google.co.id/url? sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&ved=0CE0QFjAB&url=http%3A%2F %2Fbalitnak.litbang.deptan.go.id Dwooqkii.

2012. Info

tentang

racun

aflatoksin

yang

terdapat

pada

kacang

http://www.forumkami.net/cafe/207917-info-tentang-racun-aflatoksin-terdapat-kacangtanah.html, diakses pada tanggal 3 Mei 2012.

14

tanah.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF