ACTH Dan Kortikosteroid(15092013)
May 23, 2019 | Author: Rizkia Fajrianoor | Category: N/A
Short Description
Makalah (Hormon Adrenokortikotropik)ACTH dan Hormon Kortikosteroid, Makalah ini berisi tentang tugas asisten kaka tingka...
Description
MAKALAH ACTH DAN KORTIKOSTEROIDA
Disusun oleh : 1. Meiriska NIM. J1E113 2. Rizkia Fajrianoor NIM. J1E113046
Asisten
Siti Rahayu NIM. J1E
PROGRAM STUDI S-1 FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARBARU 2013
LEMBAR PENGESAHAN
Makalah ini dibuat dan telah disetujui sebagai tugas asistensi mahasiswa baru Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Program Studi Farmasi tahun 2013. Judul ACTH dan Kortikosteroida
1. Meiriska NIM. J1E113
2. Rizkia Fajrianoor NIM. J1E113046
Banjarbaru, 12 September 2013 Asisten
Siti Rahayu NIM. J1E1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul "ACTH DAN KORTIKOSTEROID". Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas asistensi mahasiswa baru Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Program Studi Farmasi tahun 2013. Secara khusus, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada asisten pembimbing dalam penulisan makalah ini hingga dapat terselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penulisan makalah ini. Dalam makalah ini masih terdapat kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan, kritik dan saran demi perbaikan karya tulis ini di masa mendatang. Akhir kata, penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Banjarbaru, 12 September 2013
Penulis
DAFTAR ISI
COVER.................................................................................................... LEMBAR PENGESAHAN.................................................................... KATA PENGANTAR.............................................................................. DAFTAR ISI............................................................................................ BAB I
PENDAHULUAN
I.1
LATAR BELAKANG................................................................
I.2
TUJUAN......................................................................................
BAB II
PEMBAHASAN
II.1
PENGERTIAN............................................................................
II.2
MEKANISME KERJA...............................................................
II.3
PENGGOLONGAN OBAT........................................................
II.4
PENANGANAN DAN PEMILIHAN OBAT...........................
BAB III
PENUTUP
III.1
KESIMPULAN...........................................................................
III.2
SARAN........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
I.1
LATAR BELAKANG
I.2
TUJUAN Tujuan atas pembuatan makalah ini adalah untuk 1.
BAB II PEMBAHASAN
II.1
PENGERTIAN
1. ACTH (Hormon Adrenokortikotropik) Hormon Adrenokortikotropik (ACTH) merupakan suatu rantai lurus polipeptida yang pada manusia terdiri dari 39 asam amino. Pada keadaan basal kecepatan sekresi ACTH diatur oleh mekanisme umpan balik negatif hormon korteks adrenal dalam darah. Pengaturan sekresi adrenokortikotropik hormon (ACTH) dipengaruhi oleh corticotropin releasing hormone (crh) yang diproduksi di hipotalamus. Sekresi ACTH juga dipengaruhi oleh berbagai rangsangan saraf yang sampai pada median eminens hipotalamus melalui serabut aferen dan menyebabkan pengeluaran CRH. Reaksi emosi memalui saraf eferen yang menuju ke hipotalamus juga dapat merangsang sekresi hormon korteks adrenal. Mungkin ini dapat menjelaskan mengapa orang yang dilanda emosi cenderung menderita iritasi lambung, karena pada pemberian hormon kortikosteroid sering ditemukan iritasi lambung (Departemen Farmakologi dan Terapeutik, 2007). Nafrialdi ; Setawati, A., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.
2. Kortikosteroid Korteks adrenal mengubah asetat menjadi kolesterol yang kemudian dengan bantuan berbagai enzim diubah lebih lanjut menjadi kortikosteroid dengan 21 atom karbon dan androgen lemah dengan 19 atom karbon. Androgen ini juga merupakan sumber estradiol. Sebagian besar kolesterol yang digunakan untuk steroidogenesis ini berasal dari luar, baik pada keadaan
basal
maupun
setelah
pemberian ACTH (Departemen Farmakologi dan Terapeutik, 2007). Nafrialdi ; Setawati, A., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.
Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus disintesis terus menerus. Bila biosintesis berhenti, meskipun hanya untuk beberapa menit saja, jumlah yang tersedia dalam kelenjar adrenal tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan normal. Oleh karenanya kecepatan biosintesisnya disesuaikan dengan kecepatan sekresinya (Departemen Farmakologi dan Terapeutik, 2007). (Nafrialdi ; Setawati, A., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.)
Fungsi sekresi korteks adrenal sangat dipengaruhi oleh ACTH. Sistem saraf tidak mempunyai pengaruh langsung terhadap fungsi sekresi korteks adrenal. Ini terbukti pada percobaan transpalntasi kelenjar adrenal dimana fungsi sekresinya tetap normal (Departemen Farmakologi dan Terapeutik, 2007). Akibat pengaruh ACTH, zona fasikulata korteks adrenal akan mensekresi kortisol dan kortikosteron. Bila kadar kedua hormon tersebut dalam darah menignkat, terutama kortisol, maka akan terjadi pengahambatan sekresi ACTH. Keadaan ini tidak berlaku untuk aldosteron, yang disekresikan
oleh zona glomerulosa. Peninggian
kadar aldosteron dalam darah tidak menyebabkan penghambatan sekresi ACTH (Departemen Farmakologi dan Terapeutik, 2007). (Nafrialdi ; Setawati, A., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.)
II.2
MEKANISME KERJA
1. ACTH ACTH bereaksi dengan reseptor hormon yang spesifik di membran sel korteks adrenal, terjadi perangsangan sintesis adrenokortikosteroid pada jaringan target tresebut melalui peningkatan aktivitas adenil-siklase sehingga terjadi peningkatan sintesis siklik-AMP. Tempat kerja siklik-
AMP pada steroidogenesis ialah pada proses pemecahan rantai cabang kolesterol dengan oksidasi, proses ini menghasilkan pregnenolon (Departemen Farmakologi dan Terapeutik, 2007). (Nafrialdi ; Setawati, A., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen Farmakologi
dan
Terapeutik
Fakultas
Kedokteran
UI,
Jakarta.)
Pengaruh ekstra-adrenal ACTH antara lain dapat dilihat pada warna kulit kodok yang diisolasi. Hormon ini dapat menyebabkan warna kulit tersebut menjadi lebih hitam. Hal ini mungkin disebabkan karena pada hewan gugus asam amin ke-1 sampai ke-14 identik dengan gugus asam amino yangterdapat pada a-MSH. Pada manusia hiperpigmentasi akibat ACTH dapat terjadi pada penyakit Addison karena adanya aktivitas a-MSH intrinsik pada ACTH (Departemen Farmakologi dan Terapeutik, 2007). (Nafrialdi ; Setawati, A., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.)
2. Kortikosteroid Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif. Hanya di jaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel dan membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini yang akan menghasilkan efek fisiologik steroid (Departemen Farmakologi dan Terapeutik, 2007). (Nafrialdi ; Setawati, A., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.)
Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang transkripsi dan sintesis protein spesifik, pada jaringan lain. Misalnya sel limfoid dan fibrolas hormon steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek katabolik (Departemen Farmakologi dan Terapeutik, 2007).
(Nafrialdi ; Setawati, A., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.)
II.3
PENGGOLONGAN OBAT
II.4
PENANGANAN DAN PEMILIHAN OBAT
Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologik, umumnya potensi sediaan alamiah maupun yang sintetik ditentukan oleh besarnya efek retensi natrium dan penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat anti-inflamasinya. Sediaan kortikosteroid sistemik dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan masa kerjanya,
potensi
glukokortikoid,
dosis
ekuivalen
dan
potensi
mineralokortikoid. (Sularsito Adi Sri Dr, dkk. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Erupsi Obat Alergik. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 1995; 23 -26)
Tabel 1. Perbandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen beberapa sediaan kortikosteroid (E health links. S ynthetic Glucocoticoids. 2009. Diunduh dari http://www.endotext.org/adrenal/adrenal14/ch01s02.html)
Keterangan: * hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV. S = kerja singkat (t1/2 biologik 8-12 jam)
I = intermediate, kerja sedang (t1/2 biologik 12-36 jam) L = kerja lama (t1/2 biologik 36-72 jam)
Pada tabel diatas terlihat bahwa triamsinolon, parametason, betametason, dan deksametason tidak mempunyai efek mineralokortikoid. Hampir semua golongan kortikosteroid mempunyai efek glukokortikoid. Pada tabel ini obat disusun menurut kekuatan (potensi) dari yang paling lemah sampai yang paling kuat. Parametason, betametason, dan deksametason mempunyai potensi paling kuat dengan waktu paruh 36-72 jam. Sedangkan kortison dan hidrokortison mempunyai waktu paruh paling singkat yaitu kurang dari 12 jam. Harus diingat semakin kuat potensinya semakin besar efek samping yang terjadi. (Sularsito Adi Sri Dr, dkk. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Erupsi Obat Alergik. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 1995; 23-26 )
Efektifitas vasokonstriksi,
kortiksteroid (antimitosis)
berhubungan antiproliferatif,
dengan
4
hal
immunosupresif
yaitu dan
antiinflamasi. Steroid topikal menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah di bagian superfisial dermis, yang akan mengurangi eritema. Kemampuan untuk menyebabkan vasokontriksi ini biasanya berhubungan dengan potensi anti-inflamasi, dan biasanya vasokontriksi ini digunakan sebagai suatu tanda untuk mengetahui aktivitas klinik dari suatu agen. Kombinasi ini digunakan untuk membagi kortikosteroid topikal mejadi 7 golongan besar, diantaranya Golongan I yang paling kuat daya anti-inflamasi dan antimitotiknya (super poten). Sebaliknya golongan VII yang terlemah (potensi lemah).
Tabel 2. Penggolongan kortikosteroid topikal berdasarkan potensi klinis : Klasifikasi Golongan 1: (super poten)
Nama Dagang Diprolene ointment Diprolene AF cream Psorcon ointment Temovate ointment Temovate cream Olux foam
Nama Generik 0,05% betamethason dipropionate
0,05% diflorasone diacetate 0,05% clobetasol propionate
Ultravate ointment Ultravate cream 0,05% halobetasol propionate Golongan II: (potensi tinggi)
Golongan III: (potensi tinggi)
Golongan IV: (potensi medium)
Golongan V: (potensi medium)
Cyclocort ointment Diprosone ointment Elocon ointment Florone ointment Halog ointment Halog cream Halog solution Lidex ointment Lidex cream Lidex gel Lidex solution Maxiflor ointment Maxivate ointment Maxivate cream Topicort ointment Topicort cream Topicort gel Aristocort A ointment Cultivate ointment Cyclocort cream Cyclocort lotion Diprosone cream Flurone cream Lidex E cream Maxiflor cream Maxivate lotion Topicort LP cream Valisone ointment Aristocort ointment Cordran ointment Elocon cream Elocon lotion Kenalog ointment Kenalog cream Synalar ointment Westcort ointment Cordran cream Cutivate cream Dermatop cream Diprosone lotion Kenalog lotion
0,1% amcinonide 0,05% betamethasone dipropionate 0,01% mometasone fuorate 0,05% diflorasone diacetate 0,01% halcinonide
0,05% fluocinonide
0,05% diflorasone diacetate 0,05% betamethasone dipropionate 0,25% desoximetasone 0,05% desoximetasone 0,1% triamcinolone acetonide 0,005% fluticasone propionate 0,1 amcinonide 0,05% betamethasone dipropionate 0,05% diflorosone diacetate 0,05% fluocinonide 0,05% diflorosone diacetate 0,05% betamethasone dipropionate 0,05% desoximetasone 0,01% betamethasone valerate 0,1% triamcinolone acetonide 0,05% flurandrenolide 0,1% mometasone furoate
Locoid ointment Locoid cream Synalar cream Tridesilon ointment Valisone cream Westcort cream
Golongan VI: (potensi medium)
Golongan VII: (potensi lemah)
Aclovate ointment Aclovate cream Aristocort cream Desowen cream Kenalog cream Kenalog lotion Locoid solution Synalar cream Synalar solution Tridesilon cream Valisone lotion Obat topical dengan hidrokortison, dekametason, glumetalone, prednisolone, dan metilprednisolone
0,1% triamcinolone acetonide 0,025% fluocinolone acetonide 0,2% hydrocortisone valerate 0,05% flurandrenolide 0,05% fluticasone propionate 0,1% prednicarbate 0,05% betamethasone dipropionate 0,1% triamcinolone acetonide 0,1% hydrocortisone butyrate 0,025% fluocinolone acetonide 0,05% desonide 0,1% betamethasone valerate 0,2% hydrocortisone valerate 0,05% aclometasone 0,1% triamcinolone acetonide 0,05% desonide 0,025% triamcinolone acetonide 0,1% hydrocortisone butyrate 0,01% fluocinolone acetonide 0,05% desonide 0,1% betamethasone valerate
Peggunaan Klinik
Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat pilihan untuk suatu penyakit kulit. Perlu diperhatikan bahwa kortikosteroid topikal bersifat paliatif dan supresif terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan kausal. Biasanya pada kelainan akut dipakai kortikosteroid dengan potensi lemah contohnya pada anak-anak dan usia lanjut, sedangkan pada kelainan subakut digunakan kortikosteroid sedang contonya pada dermatitis kontak alergik, dermatitis seboroik dan dermatitis
intertriginosa.
Jika
kelainan
kronis
dan
tebal
dipakai
kortikosteroid potensi kuat contohnya pada psoriasis, dermatitis atopik, dermatitis dishidrotik, dan dermatitis numular. (Djuanda. A, Hamzah. M, Aisah. S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin . Edisi kelima, Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007; 337-347)
Pada dermatitis atopik yang penyebabnya belum diketahui, kortikosteroid dipakai dengan harapan agar remisi lebih cepat terjadi. Yang harus diperhatikan adalah kadar kandungan steroidnya. Dermatosis yang kurang responsif terhadap kortikosteroid ialah lupus eritematousus diskoid, psoriasis di telapak tangan dan kaki, nekrobiosis lipiodika diabetikorum, vitiligo, granuloma anulare, sarkoidosis, liken planus, pemfigoid, eksantema fikstum. Erupsi eksematosa biasanya diatasi dengan salep hidrokortison 1%. Pada penyakit kulit akut dan berat serta pada eksaserbasi penyakit kulit kronik, kortikosteroid diberikan secara sistemik. Pada pemberian kortikosteroid sistemik yang paling banyak digunakan adalah prednison karena telah lama digunakan dan harganya murah. Bila ada gangguan hepar digunakan prednisolon karena prednison dimetabolisme di hepar menjadi prednisolon. Kortikosteroid yang memberi banyak efek mineralkortikoid jangan dipakai pada pemberian long term (lebih daripada sebulan). Pada penyakit berat dan sukar menelan, misalnya toksik epidermal nekrolisis dan sindrom Stevens Jhonson harus diberikan kortikosteroid dengan dosis tinggi biasa secara
intravena. Jika masa kritis telah diatasi dan penderita telah dapat menelan diganti dengan tablet prednison. (Djuanda. A, Hamzah. M, Aisah. S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin . Edisi kelima, Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007; 337-347)
Pengobatan kortikosteroid pada bayi dan anak harus dilakukan dengan lebih hati-hati. Penggunaan pada anak-anak memiliki efektifitas yang tinggi dan sedikit efek samping terhadap pemberian kortikosteroid topikal dengan potensi lemah dan dalam jangka waktu yang singkat. Sedangkan pada bayi memiliki risiko efek samping yang tinggi karena kulit bayi masih belum sempurna dan fungsinya belum berkembang seutuhnya. Secara umum, kulit bayi lebih tipis, ikatan sel-sel epidermisnya masih longgar, lebih cepat menyerap obat sehingga kemungkinan efek toksis lebih cepat terjadi serta sistem imun belum berfungsi secara sempurna Pada bayi prematur lebih berisiko karena kulitnya lebih tipis dan angka penetrasi obat topikal sangat tinggi. Pada geriatri memiliki kulit yang tipis sehingga penetrasi steroid topikal meningkat. Selain itu, pada geriatric juga telah mengalami kulit yang atropi sekunder karena proses penuaan. Kortikosteroid topikal harus digunakan secara tidak sering, waktu singkat dan dengan pengawasan yang ketat. Kortikosteroid topikal tidak seharusnya dipakai sewaktu hamil kecuali dinyatakan perlu atau sesuai oleh dokter untuk wanita yang hamil. Pada
kasus
kelahiran
prematur,
sering
digunakan
steroid
untuk
mempercepat kematangan paru-paru janin (standar pelayanan). Percobaan pada hewan menunjukkan penggunaan kortikosteroid pada kulit hewan hamil
akan
menyebabkan
abnormalitas
pada
pertumbuhan
fetus.
Percobaan pada hewan tidak ada kaitan dengan efek pada manusia, tetapi mungkin ada sedikit resiko apabila steroid yang mencukupi di absorbsi di kulit memasuki aliran darah wanita hamil terutama pada penggunaan dalam jumlah yang besar, jangka waktu lama dan steroid potensi tinggi. Analisis yang baru saja dilakukan memperlihatkan hubungan yang kecil tetapi penting antara kehamilan terutama trisemester pertama dengan
bimbing sumbing. Kemungkinannya 1 % dapat terjadi cleft lip atau cleft palate saat penggunaan steroid selama kehamilan. Kortikosteroid sistemik yang biasa digunakan pada saat kehamilan adalah prednison dan kortison. Sedangkan untuk topikal biasa digunakan hidrokortison dan betametason. Begitu juga pada waktu menyusui, penggunaan kortikosteroid topikal harus dihindari dan diperhatikan. Belum diketahui dengan pasti apakah steroid topikal diekskresi melalui ASI, tetapi sebaiknya tidak digunakan pada wanita sedang menyusui. Kortikosteroid
dapat
menyebabkan
gangguan
mental
bagi
penggunanya. Rata-rata dosis yang dapat menyebabkan gangguan mental adalah 60 mg/hari, sedangkan dosis dibawah 30 mg/hari tidak bersifat buruk pada mental penggunanya. Bagi pengguna yang sebelumnya memiliki
gangguan
jiwa
dan
sedang
menggunakan
pengobatan
kortikosteroid sekitar 20% dapat menginduksi timbulnya gangguan mental sedangkan 80% tidak. (Hall W.C Richard, M.D. Psychiatric Adverse Drug Reactions
:
Steroid
Psychosis.
2009.
Diunduh
dari
http://www.janela1.com/vh/docs/v0002511.htm)
Dosis Dan Mekanisme Pemberian
Pada saat memilih kortikosteroid topikal dipilih yang sesuai, aman, efek samping sedikit dan harga murah, disamping itu ada beberapa faktor yang perlu di pertimbangkan yaitu jenis penyakit kulit, jenis vehikulum, kondisi
penyakit
yaitu
stadium
penyakit,
luas/tidaknya
lesi,
dalam/dangkalnya lesi dan lokalisasi lesi. Perlu juga dipertimbangkan umur penderita. Steroid topikal terdiri dari berbagai macam vehikulum dan bentuk dosis. Salep (ointments) ialah bahan berlemak atau seperti lemak, yang pada suhu kamar berkonsistensi seperti mentega. Bahan dasar biasanya vaselin, tetapi dapat pula lanolin atau minyak. Jenis ini merupakan yang terbaik untuk pengobatan kulit yang kering karena banyak mengandung pelembab. Selain itu juga baik untuk pengobatan pada kulit yang tebal contoh telapak tangan dan kaki. Salep mampu melembabkan stratum korneum sehingga meningkatkan penyerapan dan potensi obat. Krim
adalah suspensi minyak dalam air. Krim memiliki komposisi yang bervariasi dan biasanya lebih berminyak dibandingkan ointments tetapi berbeda pada daya hidrasi terhadap kulit. Banyak pasien lebih mudah menemukan krim untuk kulit dan secara kosmetik lebih baik dibandingkan ointments. Meskipun itu, krim terdiri dari emulsi dan bahan pengawet yang mempermudah terjadi reaksi alergi pada beberapa pasien. Lotion (bedak kocok) tediri atas campuran air dan bedak, yang biasanya ditambah dengan gliserin sebagai bahan perekat, lotion mirip dengan krim. Lotion terdiri dari agents yang membantu melarutkan kortikosteroid dan lebih mudah menyebar ke kulit. Solution tidak mengandung minyak tetapi kandungannya terdiri dari air, alkohol dan propylene glycol . Gel komponen solid pada suhu kamar tetapi mencair pada saat kontak dengan kulit. Lotion, solution, dan gel memiliki daya penyerapan yang lebih rendah dibandingkan ointment tetapi berguna pada pengobatan area rambut contoh pada daerah scalp dimana lebih berminyak dan secara kosmerik lebih tidak nyaman pada pasien. (Djuanda. A, Hamzah. M, Aisah. S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin . Edisi kelima, Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007; 337-347)
Pada umumnya dianjurkan pemakaian salep 2-3 x/hari sampai penyakit
tersebut
sembuh.
Perlu
dipertimbangkan
adanya
gejala
takifilaksis. Takifilaksis ialah menurunnya respons kulit terhadap glukokortikoid karena pemberian obat yang berulang-ulang berupa toleransi akut yang berarti efek vasokonstriksinya akan menghilang, setelah diistirahatkan beberapa hari efek vasokonstriksi akan timbul kembali dan akan menghilang lagi bila pengolesan obat tetap dilanjutkan. Lama pemakaian kortikosteroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 4-6 minggu untuk steroid potensi lemah dan tidak lebih dari 2 minggu untuk potensi kuat. Ada beberapa cara pemakaian dari kortikosteroid topikal, yakni : 1.
Pemakaian kortikosteroid topikal poten tidak dibenarkan pada bayi dan anak.
2.
Pemakaian kortikosteroid poten orang dewasa hanya 40 gram per minggu, sebaiknya jangan lebih lama dari 2 minggu. Bila lesi sudah membaik, pilihlah salah satu dari golongan sedang dan bila perlu diteruskan dengan hidrokortison asetat 1%.
3.
Jangan menyangka bahwa kortikosteroid topikal adalah obat mujarab (panacea)
untuk
semua
dermatosis.
Apabila
diagnosis
suatu
dermatosis tidak jelas, jangan pakai kortikosteroid poten karena hal ini dapat mengaburkan ruam khas suatu dermatosis. Tinea dan scabies incognito adalah tinea dan scabies dengan gambaran klinik tidak khas disebabkan pemakaian kortikosteroid. Kortikosteroid secara sistemik dapat diberikan secara intralesi, oral, intramuskular, intravena. Pemilihan preparat yang digunakan tergantung dengan keparahan penyakit. Pada suatu penyakit dimana kortikosteroid digunakan karena efek samping seperti pada alopesia areata, kortikosteroid yang diberikan adalah kortikosteroid dengan masa kerja yang panjang. Kortikosteroid biasanya digunakan setiap hari atau selang sehari. Initial dose yang dugunakan untu mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5 mg hingga beberapa ratus mg setiap hari. Jika digunakan kurang dari 3-4 minggu, kortikosteroid diberhentikan tanpa tapering off. Dosis yang paling kecil dengan masa kerja yang pendek dapat diberikan setiap pagi untuk meminimal efek samping karena kortisol mencapai puncaknya sekitar jam 08.00 pagi dan terjadi umpan balik yang maksimal dari seekresi ACTH. Sedangkan pada malam hari kortikosteroid level yang rendah dan dengan sekresi ACTH yang normal sehingga dosis rendah dari prednison (2,5 sampai 5mg) pada malam hari sebelum tidur dapat digunakan untuk memaksimalkan supresi adrenal pada kasus akne maupun hirsustisme. (Freeberg. M. Irwin, Eisen. Z. Atrhur, Wolff. Klaus, dkk. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Volume II B. Sixth Edition. Newyork; Mc
Graw-Hill Medical Publishing Division. 2003; 2381-2387, 2322-2327)
Pada pengobatan berbagai dermatosis dengan kortikosteroid, bila telah mengalami perbaikan dosisnya diturunkan berangsur-angsur agar
penyakitnya tidak mengalami eksaaserbasi, tidak terjadi supresi korteks kelenjar adrenal dan sindrom putus obat. Jika terjadi supresi korteks kelenjar adrenal, penderita tidak dapat melawan stress. Supresi terjadi kalau dosis prednison meebihi 5 mg per hari dan kalau lebih dari sebulan. Pada sindrom putus obat terdapat keluhan lemah, lelah, anoreksia dan demam ringan yang jaranng melebihi 39ºC. Penggunaan glukokortikoid jangka panjang yaitu lebih dari 3 sampai 4 minggu perlu dilakukan penurunan dosis secara perlahan-lahan untuk mencari dosis pemeliharaan dan menghindari terjadi supresi adrenal. Cara penurunan yang baik dengan menukar dari dosis tunggal menjadi dosis selang sehari diikuti dengan penurunan jumlah dosis obat. Untuk mencegah terjadinya supresi korteks kelenjar adrenal kortikosteroid dapat diberikan selang sehari sebagai dosis tunggal pada pagi hari (jam8), karena kadar kortisol tertinggi dalam darah pada pagi hari. Keburukan pemberian dosis selang sehari ialah pada hari bebas obat penyakit dapat kambuh. Untuk mencegahnya, pada hari yang seharusnya bebas obat masih diberikan kortikosteroid dengan dosis yang lebih rendah daripada dosis pada hari pemberian obat. Kemudian perlahan-lahan dosisnya diturunkan. Bila dosis telah mencapi 7,5 mg prednison, selanjutnya pada hari yang seharusnya bebas obat tidak diberikan kortikosteroid lagi. Alasannya ialah bila diturunkan berarti hanya 5 mg dan dosis ini merupakan dosis fisiologik. Seterusnya dapat diberikan selang sehari. (Djuanda. A, Hamzah. M, Aisah. S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin . Edisi kelima, Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007; 337-347)
Tabel 3. Berbagai penyakit yang dapat diobati dengan kortikosteroid beserta dosisnya: Nama penyakit
Macam kortikosteroid dan dosisnya sehari
Dermatitis Erupsi alergi obat ringan SJS berat dan NET Eritrodermia Reaksi lepra DLE
Prednison 4x5 mg atau 3x10mg Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg Deksametason 6x5 mg Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg Prednison 3x10 mg Prednison 3x10 mg
Pemfigoid bulosa Pemfigus vulgaris Pemfigus foliaseus Pemfigus eritematosa Psoriasis pustulosa Reaksi Jarish-Herxheimer
Prednison 40-80 mg Prednison 60-150 mg Prednison 3x20 mg Prednison 3x20 mg Prednison 4x10 mg Prednison 20-40 mg
Dosis yang tertulis ialah dosis patokan untuk orang dewasa menurut pengalaman, tidak bersifat mutlak karena bergantung pada respons penderita. Dosis untuk anak disesuaikan dengan berat badan / umur. Jika setelah beberapa hari belum tampak perbaikan, dosis ditingkatkan sampai ada perbaikan. (Djuanda. A, Hamzah. M, Aisah. S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin . Edisi kelima, Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007; 337-347)
Monitor
Dasar evaluasi yang digunakan sebelum dilakukan pengobatan kortikosteroid untuk mengurangi potensi terjadinya efek samping adalah riwayat personal dan keluarga dengan perhatian khusus kepada penderita yang memiliki predisposisi diabetes, hipertensi, hiperlipidemia, glaukoma dan penyakit yang terpengaruh dengan pengobatan steroid. Tekanan darah dan berat badan harus tetap di ukur. Jika dilakukan pengobatan jangka lama perlu dilakukan pemeriksaan mata, test PPD, pengukuran densitas tulang spinal dengan menggunakan computed tomography (CT), dual photon absorptiometry, atau dual-energy x ray absorptiometry (DEXA). Sedangkan selama penggunan kortikosteroid tetap perlu dilakukan evaluasi diantaranya menanyakan kepada pasien terjadinya poliuri, polidipsi, nyeri abdomen, demam, gangguan tidur dan efek psikologi. Penggunaan
glukokortikoid
dosis
besar
mempunyai
kemungkinan
terjadinya efek yang serius terhadap afek bahkan psikosis. Berat badan dan tekanan darah tetap selalu di monitor. Elektrolit serum, kadar gula darah puasa,
kolesterol,
dan
trigliserida
tetap
diukur
dengan
regular.
Pemeriksaan tinja perlu dilakukan pada kasus darah yang menggumpal.
Selain itu, pemeriksaan lanjut pada mata karena ditakutkan terjadinya katarak dan glaukoma. (Freeberg. M. Irwin, Eisen. Z. Atrhur, Wolff. Klaus, dkk. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Volume II B. Sixth Edition. Newyork; Mc
Graw-Hill Medical Publishing Division. 2003; 2381-2387, 2322-2327)
Tabel 4. Hal-hal yang perlu di monitor selama penggunaan glukokortikoid jangka panjang (Freeberg. M. Irwin, Eisen. Z. Atrhur, Wolff. Klaus, dkk. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Volume II B. Sixth Edition. Newyork; Mc Graw-Hill Medical
Publishing Division. 2003; 2381-2387, 2322-2327)
No. 1. 2. 3. 4.
5. 6.
7. 8.
Efek samping Monitor Hipertensi Tekanan darah Berat badan meningkat Berat badan Reaktivasi infeksi PPD, (12 hari setelah pemakaian Abnormalitas metabolik prednison) Elektrolit, lipid, glukosa (t.u penderita Osteoporosis diabetes dan hiperlipidemia) Mata Densitas tulang Katarak Glaukoma Pemeriksaan slit lamp (setiap 6 sampai 12 Ulkus peptik bulan) Tekanan intraokular (saat bulan pertama Supresi kelenjar adrenal dan ke enam) Pertimbangkan pengunaan antagonis H 2 atau proton pump inhibitor Dosis tunggal di pagi hari, periksa serum kortisol pada jam 8 pagi sebelum tapering off. Efek Samping
Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi klinis yang sangat luas. Manfaat dari preparat ini cukup besar tetapi karena efek samping yang tidak diharapkan cukup banyak, maka dalam penggunaannya dibatasi. (Djuanda. A, Hamzah. M, Aisah. S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin . Edisi kelima, Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007; 337-347)
Tabel 5. Efek samping kortikosteroid sistemik secara umum. (Abidin Taufik. Oral Corticosteroid. 2009. Diunduh dari http://www.scribd.com/doc/13461798/Oral-Kortikosteroid)
Tempat
Macam efek samping
Saluran cerna
Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster, ulkus peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional, Otot kolitis ulseratif. Susunan saraf pusat Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu. Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah, Tulang mudah tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis, kecendrungan bunuh diri), nafsu makan bertambah. Kulit Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra, skoliosis, fraktur tulang panjang. Mata Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise, dermatosis Darah akneiformis, purpura, telangiektasis. Pembuluh darah Glaukoma dan katarak subkapsular posterior Kelenjar adrenal Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit bagian kortek Kenaikan tekanan darah Metabolisme Atrofi, tidak bisa melawan stres protein, KH dan lemak Kehilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia,gula Elektrolit meninggi, obesitas, buffalo hump, perlemakan hati. Sistem immunitas
Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis, tetani, aritmia kor) Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi Tb dan herpes simplek, keganasan dapat timbul.
Efek samping pada tulang terjadi umumnya pada manula dan wanita saat menopause. Efek samping lain adalah sindrom Cushing yang terdiri atas muka bulan, buffalo hump, penebalan lemak supraklavikula, obesitas sentral , striae atrofise, purpura, dermatosis akneformis dan hirsustisme. psedudotumor hepatomegali
Selain
itu
serebri, dan
juga
gangguan
impotensi,
keadaan
menstruasi,
nyeri
kepala,
hiperhidrosis, flushing ,
vertigo,
aterosklerosis
dipercepat.
Pada
anak
memperlambat pertumbuhan. (Djuanda. A, Hamzah. M, Aisah. S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin . Edisi kelima, Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007; 337-347)
Efek Samping Dari Penggunaan Singkat Steroids Sistemik
(Abidin
Taufik.
Oral
Corticosteroid.
2009.
Diunduh
dari
http://www.scribd.com/doc/13461798/Oral-Kortikosteroid)
Jika sistemik steroids telah ditetapkan untuk satu bulan atau kurang, efek samping yang serius jarang. Namun masalah yang mungkin timbul berikut:
Gangguan tidur
Meningkatkan nafsu makan
Meningkatkan berat badan
Efek psikologis, termasuk peningkatan atau penurunan energi Jarang tetapi lebih mencemaskan dari efek samping penggunaan
singkat dari kortikosteroids termasuk: mania, kejiwaan, jantung, ulkus peptik, diabetes dan nekrosis aseptik yang pinggul.
Efek Samping Penggunaan Steroid dalam Jangka Waktu yang Lama (Abidin
Taufik.
Oral
Corticosteroid.
2009.
Diunduh
dari
http://www.scribd.com/doc/13461798/Oral-Kortikosteroid)
Pengurangan produksi cortisol sendiri. Selama dan setelah pengobatan steroid, maka kelenjar adrenal memproduksi sendiri sedikit cortisol, yang dihasilkan dari kelenjar di bawah otak-hypopituitary-adrenal (HPA) penindasan axis. Untuk sampai dua belas bulan setelah steroids dihentikan, kurangnya respon terhadap steroid terhadap stres seperti infeksi atau trauma dapat mengakibatkan sakit parah.
Osteoporosis terutama perokok, perempuan postmenopausal, orang tua, orang-orang yang kurang berat atau yg tak bergerak, dan pasien dengan
diabetes
atau
masalah
paru-paru.
Osteoporosis
dapat
menyebabkan patah tulang belakang, ribs atau pinggul bersama dengan sedikit trauma. Ini terjadi setelah tahun pertama dalam 10-20% dari pasien dirawat dengan lebih dari 7.5mg Prednisone per hari. Hal ini diperkirakan hingga 50% dari pasien dengan kortikosteroid oral akan mengalami patah tulang.
Penurunan pertumbuhan pada anak-anak, yang tidak dapat mengejar ketinggalan jika steroids akan dihentikan (tetapi biasanya tidak).
Otot lemah, terutama di bahu dan otot paha.
Jarang, nekrosis avascular pada caput tulang paha (pemusnahan sendi pinggul).
Meningkatkan diabetes mellitus (gula darah tinggi).
Kenaikan lemak darah (trigliserida).
Redistribusi lemak tubuh: wajah bulan, punuk kerbau dan truncal obesity.
Retensi
garam:
kaki
bengkak,
menaikkan
tekanan
darah,
meningkatkan berat badan dan gagal jantung.
Kegoyahan dan tremor.
Penyakit
mata,
khususnya
glaukoma
(peningkatan
tekanan
intraocular) dan katarak subcapsular posterior.
Efek psikologis termasuk insomnia, perubahan mood, peningkatan energi, kegembiraan, delirium atau depresi.
Sakit kepala dan menaikkan tekanan intrakranial.
Peningkatan resiko infeksi internal, terutama ketika dosis tinggi diresepkan (misalnya tuberkulosis).
Ulkus peptikum, terutama pada pengobatan yang menggunakan antiinflamasi.
Ada juga efek samping dari mengurangi dosis; termasuk kelelahan, sakit kepala, nyeri otot dan sendi dan depresi. Pada pengobatan jangka panjang harus waspada terhdap efek
samping, hendaknya diperiksa tekanan darah dan berat badan (seminggu sekali) terutama pada usia diatas 40 tahun dan pemeriksaan laboratorium Hb, jumlah leukosit, hitung jenis, L.E.D, urin lengkap kadar Na dan K dalam darah, gula darah (seminggu sekali), foto toraks, apakah ada tuberkulosis paru (3 bulan sekali). (Djuanda. A, Hamzah. M, Aisah. S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin . Edisi kelima, Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007; 337-347)
Pada penggunan kortikosteroid topikal efek samping dapat terjadi apabila : (Maftuhah. Husni, Abidin. Taufik, Oral Kortikosteroid. 2009. Fakultas Kedokteran
Universitas
Mataram.
Diunduh
dari
http://www.scribd.com/doc/13461799/kortikosteroid-topikal).
1.
Penggunaan kortikosteroid topikal yang lama dan berlebihan.
2.
Penggunaan kortikosteroid topikal dengan potensi kuat atau sangat kuat atau penggunaan sangat oklusif. Efek samping yang tidak diinginkan adalah berhubungan dengan
sifat potensiasinya, tetapi belum dibuktikan kemungkinan efek samping yang terpisah dari potensi, kecuali mungkin merujuk kepada supresi dari adrenokortikal sistemik. Dengan ini efek samping hanya bisa dielakkan sama ada dengan bergantung pada steroid yang lebih lemah atau mengetahui dengan pasti tentang cara penggunaan, kapan, dan dimana harus digunakan jika menggunakan yang lebih paten. Secara umum efek samping dari kortikosteroid topikal termasuk atrofi, striae atrofise, telangiektasis, purpura, dermatosis akneformis, hipertrikosis setempat, hipopigmentasi, dermatitis peroral. ( Maftuhah. Husni, Abidin. Taufik, Oral Kortikosteroid. 2009. Fakultas Kedokteran Universitas Mataram. Diunduh dari
http://www.scribd.com/doc/13461799/kortikosteroid-topikal)
Ef ek E piderm al
Ini termasuk : 1. Penipisan epidermal yang disertai dengan peningkatan aktivitas kinetik dermal, suatu penurunan ketebalan rata-rata lapisan keratosit, dengan pendataran dari konvulsi dermo-epidermal. Efek ini bisa dicegah dengan penggunaan tretinoin topikal secara konkomitan. 2. Inhibisi dari melanosit, suatu keadaan seperti vitiligo, telah ditemukan. Komplikasi ini muncul pada keadaan oklusi steroid atau injeksi steroid intrakutan.
Ef ek Dermal
Terjadi penurunan sintesis kolagen dan pengurangan pada substansi dasar. Ini menyebabkan terbentuknya striae dan keadaan vaskulator dermal yang lemah akan menyebabkan mudah ruptur jika terjadi trauma atau terpotong. Pendarahan intradermal yang terjadi akan menyebar dengan cepat untuk menghasilkan suatu blot hemorrhage. Ini nantinya akan terserap dan membentuk jaringan parut stelata, yang terlihat seperti usia kulit prematur. Ef ek V askul ar
Efek ini termasuk : 1. Vasodilatasi
yang
terfiksasi.
Kortikosteroid
pada
awalnya
menyebabkan vasokontriksi pada pembuluh darah yang kecil di superfisial. 2. Fenomena rebound. Vasokontriksi yang lama akan menyebabkan pembuluh darah yang kecil mengalami dilatasi berlebihan, yang bisa mengakibatkan edema, inflamasi lanjut, dan kadang-kadang pustulasi. Terjadi efek samping bergantung pada dosis, lama pengobatan macam kortikosteroid. Pada pendek (beberapa hari/minggu) umumnya tidak terjadi efek samping yang gawat. Sebaliknya pada pengobatan jangka panjang (beberapa bulan/tahun) harus diadakan tindakan untuk mencegah terjadi efek tersebut, yaitu : (Djuanda. A, Hamzah. M, Aisah. S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin . Edisi kelima, Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007; 337-347)
Diet tinggi protein dan rendah garam Pemberian KCl 3 x 500 mg sehari untuk orang dewasa, jika terjadi defisiensi K
Obat anabolik ACTH diberikan 4 minggu sekali, yang biasanya kami berikan ialah ACTH sintetik yaitu synacthen depot sebanyak 1 mg (qoo IU). Pada pemberian kortikosteroid dosis tinggi dapat diberikan seminggu sekali
Antibiotik perlu diberikan jika dosis prednison melebihi 40 mg sehari
Antasida Kontraindikasi pada kortikosteroid terdiri dari kontraindikasi
mutlak dan relatif. Pada kontraindikasi absolut, kortikosteroid tidak boleh diberikan pada keadaan infeksi jamur yang sistemik, herpes simpleks keratitis, hipersensitivitas biasanya kortikotropin dan preparat intravena. Sedangkan kontraindikasi relatif kortikosteroid dapat diberikan dengan alasan sebagai life saving drugs. Kortikosteroid diberikan disertai dengan monitor yang ketat pada keadaan hipertensi, tuberculosis aktif, gagal jantung, riwayat adanya gangguan jiwa, positive purified derivative, glaucoma, depresi berat, diabetes, ulkus peptic, katarak, osteoporosis, kehamilan.(Corticosteroid.
2009.
Diunduh
http://emedicine.medscape.com/article/1063590-treatment).
dari
BAB III PENUTUP
III. 1 KESIMPULAN
Hormon Adrenokortikotropik (ACTH) dan Kortikosteroid III.2
SARAN
Diharapkan hindarilah penggunaan kortikosteroid tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan dokter dan apoteker terpercaya. Ceritakanlah sejelas mungkin kepada dokter bila Anda sedang mengalami kondisi dimana kortikosteroid tidak boleh digunakan.
View more...
Comments