Abdul Aziz Muchammad_Syariah Dan Tafsir Al-Quran Elaborasi Maqashid Dlm Tafsir Ibn Asyur

April 20, 2017 | Author: Asrori | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Abdul Aziz Muchammad_Syariah Dan Tafsir Al-Quran Elaborasi Maqashid Dlm Tafsir Ibn Asyur...

Description

1

Syari'ah dan Tafsîr al-Qur’ân Elaborasi Maqâshid dalam tafsir Ibn ‘Âsyûr

TESIS Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam oleh:

Abdul Aziz Muchammad NIM: 06.2.00.1.14.08.0069

Pembimbing:

Dr. Yusuf Rahman, MA

KONSENTRASI ULÛM AL-QUR’ÂN SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008

2

SURAT PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Nama

: Abdul Aziz Muchammad

NIM

: 06.2.00.1.14.08.0069

Tempat, Tanggal Lahir : Surabaya, 04 Pebruari 1979 menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul “Syari'ah dan Tafsîr al-Qur’ân: Elaborasi Maqâshid dalam tafsir Ibn ‘Âsyûr” ini benar-benar merupakan karya asli saya kecuali kutipan-kutipan yang saya sebutkan sumbernya. Segala kesalahan dan kekurangan di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya dengan konsekuensi pencabutan gelar.

Jakarta, 18 Desember 2008

Abdul Aziz Muchammad

3

PERSETUJUAN PEMBIMBING Tesis saudara Abdul Aziz Muchammad NIM: 06.2.00.1.14.08.0069 yang berjudul “Syari'ah dan Tafsîr al-Qur’ân: “Elaborasi Maqâshid dalam tafsir Ibn ‘Âsyûr” telah diperiksa dan dinyatakan layak untuk diajukan ke Sidang Ujian Tesis.

Jakarta, 18 Desember 2008 Pembimbing

Dr. Yusuf Rahman, MA

4

PENGESAHAN Tesis saudara Abdul Aziz Muchammad NIM: 06.2.00.1.14.08.0069 yang berjudul “Syari'ah dan Tafsîr alQur’ân:

“Elaborasi Maqâshid dalam tafsir Ibn ‘Âsyûr” yang

diujikan pada tanggal 27 Desember 2008, dan telah diperbaiki sesuai saran serta rekomendasi dari Tim Penguji Tesis.

Jakarta, 30 Desember 2008

1. Dr. Yusuf Rahman, MA Pembimbing/Ketua/Merangkap Penguji

1…………………..

2. Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA Penguji I

2…………………..

3. Dr. Asep Saepuddin Jahar Penguji II

3………………….

5

PEDOMAN TRANSLITERASI DAN TRANSLASI A. Konsonan

‫ب‬ ‫ت‬ ‫ث‬ ‫ج‬ ‫ح‬ ‫خ‬ ‫د‬ ‫ذ‬ ‫ر‬ ‫ز‬ ‫س‬ ‫ش‬ ‫ص‬ ‫ض‬

= b

= th

= t

= zh

= ts

= ‘

= j

= gh

= h

= f

= kh

= q

= d

= k

= dz

= l

= r

= m

= z

= n

= s

= w

= sy

= h

= sh

= `

= dh

= y

B. Vokal Vokal Tunggal

:

‫ = ـــَــ‬a

‫ = ـــِــ‬I

‫ = ـــُــ‬u

Vokal Panjang

:

‫ = ـــَـﺎ‬â

‫ﻲ‬ ْ ‫ = ــِـ‬Î

‫ = ــُـ ْﻮ‬û

Vokal Rangkap

:

‫ﻲ‬ ْ ‫ = ــَـ‬ay

‫ = ــَـ ْﻮ‬aw

C. Lain-lain -

Transliterasi syaddah atau tasydîd ( ّ ) dilakukan dengan menggandakan huruf yang sama.

6

-

Transliterasi ta` marbûthah ( ‫ ) ة‬adalah “h”, termasuk ketika ia diikuti oleh kata sandang “al” ( ‫) ال‬, kecuali dalam transliterasi ayat al-Qur`an.

-

Nama-nama dan kata-kata yang telah ada versi populernya dalam tulisan latin, pada umumnya, akan ditulis berdasarkan versi populer tersebut. D. Translasi

-

Kecuali terjemahan al-Qur`an, dan kecuali dinyatakan sebaliknya, seluruh terjemahan dalam tesis ini adalah milik penulis.

-

Untuk terjemahan al-Qur`an, penulis mengutip Mushaf al-Qur`an Terjemah, Departemen Agama RI, edisi tahun 2006, dengan beberapa penyesuaian.

7

ABSTRAK Tesis ini membuktikan bahwa penafsiran dengan menggunakan Maqâshid al-Qur’ân akan membuahkan tafsiran makna lafadz secara elastis. Karena ia merujuk kepada keumuman dakwah, kandungannya mesti bisa dipahami oleh orang-orang yang hidup di masa penyebaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Kesimpulan diatas menguatkan gagasan Rasyîd Ridhâ dalam al-Wahyu al-Muhammady [Maktabah al-Islami], sebagaimana kedua gurunya Muhammad ‘Abduh dan al-Afghâni yang mewajibkan penerapan maqâshid al-Qur’ân dalam penafsiran [sebagaimana ditulis oleh al-Daghamin dalam karyanya manhaj alTa’amul ma’a al-Qur’ân fî fikri Syeikh Muhammad Rasyîd Ridhâ. Belakangan Muhammad Izzat Darwaza juga meformulasikan Maqâshid al-Qur’an dengan istilah al-Usus wa al-Wasa’il [pokokpokok/ fundamental dan instrumen]. Fokus utama penelitian ini bersumber dari prinsip-prinsip tafsir yang dirumuskan oleh Ibn ‘Âsyûr dalam dua buah karyanya, Maqâshid al-Syarî’ah al- Islâmiyyah dan al-Tahrîr wa al-Tanwîr. Penelitian ini juga berupaya untuk melakukan penilaian terhadap prinsip-prinsip tersebut berdasarkan kriteria rigiditas dan ortodoksi penafsiran kontemporer. Pendekatan struktural (analysis structure) digunakan diletakkan dalam kerangka yang bersifat historis dan komparatif_“historis” karena penelitian ini juga mengkaji kondisi-kondisi psikologis, sosial, politik, dan intelektual yang memengaruhi pemikiran Ibn ‘Âsyûr, dan “komparatif” karena ia mencoba membandingkan pemikiran Ibn ‘Âsyûr itu dengan al-Syâtibî seputar Maqâshid dan prinsip-prinsip tafsirnya. Penelitian ini juga ingin menunjukkan bahwa gagasan Ibn ‘Âsyûr sering digunakan untuk menggugat tekstualisme/rigiditas dalam tafsir. Selain itu, hasrat untuk mencari legitimasi dari masa lalu demi kepentingan masa kini bisa menyebabkan distorsi pada sejarah. Pembacaan terhadap karya-karya Ibn ‘Âsyûr melalui konteks sosial dan intelektual pada zamannya menyiratkan dugaan bahwa karya-karya tersebut sebetulnya diajukan sebagai kritik sosial-keagamaan bagi masyarakat Tunisia pada khususnya, dan masyarakat muslim dunia secara makro.

8

ABSTRACT This Thesis proves that interpretation by using Maqâshid alQur’ân will produce exegesis [lafadz] in elastic meaning. Because, Maqâshid al-Qur`ân refers to generally principle of missionary endeavors [‘umûm al-da’wah]. Consequently, al-Qur`ân must contain things that can be comprehended [understanding] by life people in a period of science and technology spreading. The Conclusion above strengthen of Rasyîd Ridhâ idea’s in alWahyu al-Muhammady, as the same manner as both his teachers; Mohammed ‘Abduh and al-Afghâni. They oblige applying Maqâshid al-Qur’ân in interpretation [as the same manner as written by alDaghamin in his works of manhaj al-Ta’amul ma’a al-Qur’ân fî fikri Syeikh Mohammed Rasyîd Ridhâ. Latter Mohammed Izzat Darwaza also formulates Maqâshid al-Qur’an with the basic specifics/fundamental media and instrument [al-Usus wa alWasa’il]. Concerning the source of interpretation principles that formulated by Ibn ‘Asyûr in two unit [of] his works there are; Maqâshid al-Syarî’ah al Islâmiyyah and al-Tahrîr wa al-Tanwîr. This Research also copes to conduct assessment to principles referred [as] base criteria of rigidities and orthodoxy contemporary interpretation. Structural Approach (analysis structure) in this research puts down in framework that has character of historical and comparability_“historical” because this research also assesses psychological set of circumstances, social, politics, and intellectual that influence idea of Ibn ‘Asyûr, and “comparability” because he tries to compare idea Ibn ‘Asyûr between/with al-Syâtibî around Maqâshid and his principles of interpretation/exegesis.

Finally, This research proves that Ibn ‘Âsyûr’s ideas are frequently used to criticize orthodoxy in Quran exegesis. And also the contention of this study that those criticisms can, perhaps, be adopted completely only if Ibn ‘Âsyûr himself is overstepped. In addition, the desire to seek legitimacy from the past for the sake of the present time can cause distortions in history. The reading of Ibn 'Âsyûr’s works suggestion through his social and intellectual context in the period that indicate and implies that those works are proposed primarily as suspected papers are actually filed as a criticism of social-religious society for Tunisia especially, and the world community as a whole.

‫‪9‬‬

‫ﺍﻟﻤﻠﺨﺹ‬

‫ﻫﺫﻩ ﺍﻟﺭﺴﺎﻟﺔ ﺘﺅﻜﺩ ﻋﻠﻲ ﺃﻥ ﺘﻔﺴﻴﺭ ﺍﻟﻘﺭﺁﻥ ﺒﻤﻘﺎﺼﺩ ﺍﻟﻘﺭﺁﻥ ﺘﺅﺩﻱ ﺇﻟﻲ ﻤﻌﺎﻥ ﻤﺘﻌﺩﺩﺓ‪ ،‬ﻷﻨﻪ‬ ‫ﺭﺍﺠﻌﺔ ﺇﻟﻲ ﻋﻤﻭﻡ ﺍﻟﺩﻋﻭﺓ ﻭﻫﻭ ﻤﻌﺠﺯﺓ ﺒﺎﻗﻴﺔ ﻓﻼ ﺒﺩ ﺃﻥ ﻴﻜﻭﻥ ﻓﻴﻪ ﻤﺎ ﻴﺼﻠﺢ ﻷﻥ ﺘﺘﻨﺎﻭﻟﻪ ﺃﻓﻬﺎﻡ ﻤﻥ‬ ‫ﻴﺄﺘﻲ ﻤﻥ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﻲ ﺇﻨﺘﺸﺎﺭ ﺍﻟﻌﻠﻭﻡ ﻓﻲ ﺍﻷﻤﺔ‪.‬‬ ‫ﻭ اﻟﺼﻴﺎﻏﺔ اﻟﺘﻔﺴﻴﺮ اﻟﺬي ﻃﺮﺣﻬﺎ اﺑﻦ ﻋﺎﺷﻮر ﺘﺅﻴﺩ ﻤﺎﻗﺎﻟﻪ ﺍﻟﺴﻴﺩ رﺷﻴﺪ رﺿﺎ ﻓﻲ آﺘﺎﺑﻪ‬ ‫اﻟﻮﺣﻲ اﻟﻤﺤﻤﺪي آﻤﺎ یﺮاهﺎ أﺴﺘﺎﺫﺍﻩ ﻤﺤﻤﺩ ﻋﺒﺩﻩ ﻭ ﺍﻷ ﻓﻐﺎﻨﻲ‪ ،‬ﻭﻴﻘﺩﻡ ﺼﻴﺎﻏﺔ ﺍﻟﺠﺩﻴﺩﺓﺘﻜﻤﻠﺔ ﻟﻤﺎ‬ ‫ﻗﺒﻠﻬﺎ‪ .‬ﻭﻓﻲ ﺍﻭﺍﻥ ﻋﺰة دروزة ﺃﺘﻲ ﺒﻤﻔﻬﻭﻡ ﺠﺩﻴﺩ )ﺑﻨﻤﻂ ﺟﺪیﺪ( ﺑﺄن ﻡﺤﺘﻮیﺎت اﻟﻘﺮﺁن ﻥﻮﻋﺎن‬ ‫ﻡﺘﻤﻴﺰان وهﻤﺎ اﻷﺱﺲ واﻟﻮﺱﺎﺋﻞ‪ ،‬وإن اﻟﺠﻮهﺮي ﻓﻴﻪ هﻮ اﻷﺱﺲ ﻷﻥﻬﺎ هﻲ اﻟﺘﻲ إﻥﻄﻮت ﻓﻴﻬﺎ‬ ‫أهﺪاف اﻟﺘﻨﺰیﻞ اﻟﻘﺮﺁﻥﻲ واﻟﺮﺱﺎﻟﺔ اﻟﻨﺒﻮة ﻡﻦ ﻡﺒﺎدئ وﻗﻮاﻋﺪ وﺷﺮاﺋﻊ وأﺣﻜﺎم‪.‬‬ ‫ﻴﻌﺘﻨﻲ ﻫﺫ ﺍﻟﺒﺤﺙ ﺒﻌﺭﺽ ﺠﻤﻠﺔ ﻤﻥ ﺃﺼﻭل ﺍﻟﺘﻔﺴﻴﺭ ﻭﻗﻭﺍﻋﺩﻩ ﺍﻟﺘﻲ ﺘﻨﺎﻭﻟﻬﺎ ﺍﺒﻥ ﻋﺎﺸﻭﺭ‬ ‫ﻓﻲ ﻜﺘﺎﺒﻴﻪ‪ :‬ﺍﻟﻤﻘﺎﺼﺩ ﺍﻟﺸﺭﻴﻌﺔ ﺍﻹﺴﻼﻤﻴﺔ ﻭﺍﻟﺘﺤﺭﻴﺭ ﻭﺍﻟﺘﻨﻭﻴﺭ‪ .‬ﻓﻴﺤﺎﻭل ﻫﺫﺍ ﺍﻟﺒﺤﺙ ﺃﻴﻀﺎ ﺒﺤﻜﻡ ﺘﻠﻙ‬ ‫ﺍﻷﺼﻭل ﺘﺤﺕ ﻤﻘﺎﻴﻴﺱ ﻭﺃﺭﺜﻭﺫﻜﺴﻴﺔ ﺍﻟﺘﻔﺴﻴﺭ ﺍﻟﻤﻌﺎﺼﺭ‪.‬‬ ‫ﻭﻴﻬﺩﻑ ﻫﺫﺍ ﺍﻟﺒﺤﺙ ﺘﻌﺒﻴﺭ ﺃﺴﺱ ﻨﻅﺭﻴﺔ ﺍﻟﻤﻘﺎﺼﺩ ﻋﻨﺩ ﺇﺒﻥ ﻋﺎﺸﻭﺭ‪ ،‬ﻭﻤﻨﻬﺞ ﻫﺫﺍ ﺍﻟﺒﺤﺙ‬ ‫ﺍﻟﺘﺭﺘﻴﺏ ﺍﻟﺘﺎﺭﻴﺨﻲ ﺍﻟﺘﻨﺎﺯﻟﻲ ﺤﻴﺙ ﻴﺒﺤﺙ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﺨﻠﻔﻴﺔ ﺍﻟﺘﺎﺭﻴﺨﻴﺔ ﻓﻲ ﻤﺠﺎل ﺍﻟﻨﻔﺱ‪ ،‬ﺍﻹﺠﺘﻤﺎﻋﻲ‪،‬‬ ‫ﻭﺍﻟﺴﻴﺎﺴﺔ‪ ،‬ﻭﺍﻟﺭﺤﻠﺔ ﺍﻟﻌﻠﻤﻴﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺃﺜﺭﺕ ﺁﺭﺍﺀ ﺇﺒﻥ ﻋﺎﺸﻭﺭ‪ ،‬واﻟﻤﻘﺎرﻥﺔ; ﻷﻥﻪ ﺣﺎول ﻡﻘﺎرﻥﺔ ﺑﻴﻦ‬ ‫أﻓﻜﺎر اﺑﻦ ﻋﺎﺷﻮر و اﻟﺸﺎﻃﺒﻲ ﺣﻮل اﻟﻤﻘﺎﺹﺪ‬ ‫ل ﻫﺫﺍ ﺍﻟﺒﺤﺙ ﻓﻲ ﺍﻷﺨﻴﺭ ﺃﻥ ﺁﺭﺍﺀ ﺍﺒﻥ ﻋﺎﺸﻭﺭ ﺍﺴﺘﺨﺩﻤﺕ ﻜﺜﻴﺭﺍ ﻓﻲ ﻨﻘﺩ ﺍﻟﻨﺼﻭﺹ‬ ‫ﻭﻴﺩ ّ‬ ‫ﻭﺍﻟﺼﻼﺒﺔ ﺃﻭ ﺍﻟﺼﺭﺍﻤﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﻔﺴﻴﺭ‪ .‬ﻭﺒﺠﺎﻨﺏ ﺫﻟﻙ ﺃﻥ ﺍﻟﻌﺯﻡ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﺤﺙ ﻋﻥ ﺍﻟﻘﻀﻴﺔ ﺍﻟﺸﺭﻋﻴﺔ ﻓﻲ‬ ‫ﺏ ﺍﻟﺘﺸﻭﻴﻪ ﻭﺍﻟﺘﺤﺭﻴﻑ ﻨﺤﻭ ﺍﻟﺘﺎﺭﻴﺦ‪ .‬ﻭﻜﺎﻥ‬ ‫ﻗﺩﻴﻡ ﺍﻟﺯﻤﺎﻥ ﻟﻸﻫﻤﻴﺎﺕ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺼﺭ ﺍﻟﺤﺎﻀﺭ ﻴﺴﺒ ّ‬ ‫ﺍﻟﺘﻔﺴﻴﺭ ﺃﻭﺍﻟﻘﺭﺍﺀﺓ ﻤﻥ ﻤﺅﻟﻔﺎﺕ ﺍﺒﻥ ﻋﺎﺸﻭﺭ ﻨﺤﻭ ﺘﻠﻙ ﺍﻟﻨﺼﻭﺹ ﻋﻨﺩ ﻋﺼﺭﻩ ﺍﺠﺘﻤﺎﻋﻴﺔ ﻜﺎﻨﺕ‬ ‫ﺃﻭﻓﻜﺭﻴﺔ ﻓﺘﺤﺕ ﺍﻟﻅﻨﻭﻥ ﺃﻥ ﺘﻠﻙ ﺍﻟﻤﺅﻟﻔﺎﺕ ﺘﻘﺩّﻡ ﻜﺎﻟﻨﻘﺩ ﺍﻻﺠﺘﻤﺎﻋﻲ ﻭﺍﻟﺩﻴﻨﻲ ﻟﻠﻤﺠﺘﻤﻊ ﺍﻟﺘﻭﻨﺴﻲ‬ ‫ﺨﺼﻭﺼﺎ ﻭﺍﻟﻤﺠﺘﻤﻊ ﺍﻟﻤﺩﻨﻲ ﻋﺎﻤّﺎ‪.‬‬

10

KATA PENGANTAR Tesis ini berutang kepada banyak orang yang tidak seluruhnya bisa disebutkan di sini. Kepada mereka semua, penulis menghaturkan terima kasih, penghargaan, serta permohonan maaf setulus-tulusnya. Pertama, Dr. Yusuf Rahman yang telah membimbing penulis selama melakukan penelitian. Kritik, saran, dan bantuannya membuat penulisan tesis ini menjadi sesuatu yang menghibur dan menggairahkan. Juga Dr. Fuad Djabali dan Prof. Suwito Dengan cara masing-masing, mereka telah membantu rencana penulisan tesis ini menjadi sedikit lebih “distingtif” dengan beberapa kali “work in progress” . Bahan-bahan penulisan tesis ini diperoleh dari pelbagai sumber di Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya, terutama di perpustakaan-perpustakaan UIN Jakarta dan Yogyakarta, PSQ Jakarta, Iman Jama’ Jakarta. Tesis ini rasanya tidak akan selesai sesuai harapan tanpa kemudahan akses yang diberikan oleh seluruh staf dan pegawai di perpustakaan-perpustakaan tersebut. Secara personal, penulis ingin berterimakasih kepada Syukron, pegawai Perpustakaan Pascasarjana UIN Jakarta, untuk segala bantuan dan keramahannya. Juga kepada teman-teman Ulûmul Qur’ân yang banyak memberi atensi dan motivasi semangat dan bantuan literatur-literatur yang mereka berikan, pinjamkan, atau kirimkan. Ada momen-momen tertentu ketika penulisan tesis ini terasa melelahkan dan menjemukan, terutama saat-saat ketika ia seakan-akan tiba pada sebuah cul-de-sac. Tetapi selalu ada sesuatu yang membuat semua itu menjadi tertanggungkan: kehadiran Ibuku Hj. Achmada Sholichah yang dengan tabah dan sabar dalam membimbing putra putrinya sepeningal ayah sebagai Single Parent yang tak kenal patah arang/semangat, selalu memotivasi dan mendo’aakanku setiap saat dalam meraih asa dan ridho-Nya, semoga segala kebaikannya dilipatgandakan oleh Allah Ta’âla dan mendapat ridho-Nya sebagai bekal menuju kebahagiaan Akhirat, amin. Tidak lupa penulis persembahkan al-Fâtihah kepada (almaghfurlah) H.M. Hidayat

11

Tauhid ayah saya sendiri, tujuh tahun yang lalu telah menghadap Ilahi Rabbi semoga segala amal kebaikan dilipatgandakan dan dosa-dosanya diampuni Allah ’Azza wa Jalla, semoga dikumpulkan kelak bersama orang-orang saleh. Untuk saudarasaudaraku Mas Rosyid, Mbak Sita, adikku Isa dan Anis yang selalu memberikan motivasi, semoga semuanya diberi kelancaran dalam segala hal atas motivasinya kepada penulis. Yang selalu mendampingiku dan mendoakanku setiap saat istriku tercinta; Yayuk Rachmawati dan anakku Salfa Salsabila Nadya Aziz, tetanggaku baik di kost, maupun di rumah terima kasihku kepada kalian semuanya. Bagian-bagian tertentu dari tesis ini dirumuskan, dipertajam, diperbaiki, dan disempurnakan berdasarkan inspirasi, diskusi, saran, serta kritik dari beberapa pihak. Selain Pak Yusuf, Pak Fuad Djabali, dan Pak Muchis Hanafi, dan mereka yang telah disebutkan di atas. Dalam satu dan lain hal, tesis ini juga harus dipandang sebagai bagian dari proses “perjalanan intelektual” penulis selama masa studi di Program Khusus Ulûm al-Qur’ân Beasiswa Depag, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Karena itu, penulis juga ingin berterima kasih kepada Prof. Dr. Quraish Shihab, Dr. Muchlis Hanafi, Dr. Sahabuddin, Prof. Dr. Zainun Kamal, Prof.Dr. Suwito, MA, Dr. Lutfi Fathullah, Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, Dr. Fuad Jabali, Prof. Dr. Salman Harun, Dr. Uka Tjandrasasmita, Prof. Dr. Matsna HS,MA, Prof. Dr. Tajuddin, Dr. Yusuf Rahman, Dr. Romlah, Dr. Faizah Ali Syibramalisi, serta untuk kuliah-kuliah yang inspiratif dan mencerahkan. Terakhir, guru-guruku mulai dari waktu kecil sampai sekarang yang namanya sudah hampir lupa semuanya semoga ilmu yang mereka berikan bermanfaat kelak. Semoga Allah memperkenankan doa yang seetiap kita panjatkan dan semoga Allah selalu mencurahkan Rahmat dan ridho-Nya untuk mereka dan kita semua khususnya pembaca dan penyempurna tesis ini, amin.

Ciputat, 18 Desember 2008

12

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................. i SURAT PERNYATAAN ........................................................... ii PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. iii PENGESAHAN PENGUJI ......................................................................................iv PEDOMAN TRANSLITERASI DAN TRANSLASI .......................... v ABSTRAK ........................................................................... vii KATA PENGANTAR .............................................................. x DAFTAR ISI ....................................................................... xii BAB I

PENDAHULUAN A.................................................................................................... Lat ar

Belakang

Masalah/Dasar

Pemikiran

......................................1 B. Permasalahan ................................................... 20 1. Identifikasi

Masalah

................................................................21 2. Pembatasan

Masalah

...............................................................21 3. Rumusan

Masalah

...................................................................22 C. Survei Literatur/Penelitian terdahulu yang relevan . 21 D. Tujuan Penelitian .............................................. 26 E. Signifikansi Penelitian ....................................... 27 F. Metodologi Penelitian ......................................... 27 1. Jenis Penelitian dan Sumber Data ................... 27 2. Pendekatan Masalah ...................................... 28

13

G. Sistematika Penulisan ....................................... 29 BAB II MAQÂSHID

DAN

PEMBACAAN

AL-QUR’ÂN

.............................31.......................................... A. Ibn

‘Âsyûr

dan

Penafsiran

kontemporer........................................33 B. Maqâshid

Perspektif

Ulama’

Salaf

dan

Khalaf.............................55 C. Kebebasan,

Kemaslahatan,

dan

batasan-

batasannya.................... 63 D. Rigiditas dan Elastisitas Tafsir: Generalitas dan Pengujian Teori 69

14

BAB III FORMULASI MAQÂSHID DAN PRINSIP-PRINSIP TAFSÎR IBN ‘ÂSYÛR …………………………………………………………….. 79 A. Prinsip-prinsip

dasar

penafsiran

Ibn

‘Âsyur

...................................79 B. Maqâshid

al-ashliyyah

dalam

tafsir

Ibn

‘Âsyûr.............................107 1) Memperbaiki

dan

mengajarkan

akidah..................................107 2) Penanaman

dasar

akhlak........................................................109 3) Menetapkan

hukum-hukum

syariat

[Umum

dan

(siyâsah

al-

Khusus].....110 4) Strategi

Pemberdayaan

Umat

ummah)................111 5) Maqâshid

al-ashliyyah

al-Qasas

al-Qur’ân

..........................112 6) Pengajaran Syari’at sesuai dengan perkembangan zaman.....113 7) Motivasi

dan

ancaman

[al-targhîb

wa

al-

tarhîb]................. .114 8) I’jâz

al-Qur’ân

sebagai

bukti

Kenabian.................... 114 C. Maqâshid al-Qur’ân/asliyyah dan urgensitasnya bagi ilmu al-Qur’ân .................................................................... 117

risalah

15

BAB IV APLIKASI MAQÂSHID DALAM PENAFSIRAN DAN RESPON AKADEMIK .................................................................................... ...123 A. Aplikasi

Maqâshid

al-asliyah

pada

ayat-ayat

Hukum...................126 1) Perintah

Shalat

dan

zakat

dalam

surah

al-

Baqarah................133 2) Perintah Puasa dan Hikmahnya dalam surah alBaqarah .....145 B. Respon akademik terhadap gagasan Maqâshid dan penafsiran Ibn ‘Âsyûr............................................................150 C. Ibn

‘Âsyûr

dan

ortodoksi

Kontemporer........................154

penafsiran

16

BAB V

PENUTUP

.......................................................................................... 160 A. Kesimpulan ……………………………………………………....160 B. Saran-saran ……………………………………………………....163 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 164

17

BAB I PENDAHULUAN

18

A. Latar belakang masalah Kajian Maqâshid pada umumnya mengikuti pada bagian kajian ilmu ushûl (fiqh), dan syarî’ah. Seperti halnya al-Syâtibî (730 H/1388 M),1 dia membangun kembali kerangka sistematika ilmu ushûl (fiqh) yang konvensional dari arsitek sebelumnya yaitu Al-Syâfi'i (w.204 H).2 Kemudian al-Syâtibî menambahkan bahwa “Dasar dan tujuan diletakkannya syari’at tidak lain, yaitu untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.3 Ruang lingkup Maqâshid Syarî’ah mencakup semua hukum publik, individual, kesehatan, bahkan kesopanan serta moral dan akhlak.4 Kemaslahatan disini dipahami sebagai bentuk kemanfaatan yang dikehendaki Allah yang Maha Bijak (Al-Hakîm) bagi hambanya [umat manusia] agar senantiasa

1

Nama lengkapnya adalah Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Mûsa ibn Muhammad al-Lakhmi al-Garnati al-Syâtibî . Lihat lebih lanjut Khayr al-Dîn al-Dzirikli, Al-A‘lâm: Qâmus Tarâjim li Asyhâr al-Rijâl wa al-Nisâ` min al-‘Arâb wa al-Musta‘ribin wa al-Mustâsyriqîn, vol. 1 (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, cet. 9, 1990), hal. 75. Bandingkan dengan ‘Umar Ridhâ Kahhalah, Mu‘jam al-Mu`âllifin: Tarâjim Musânnifi al-Kutub al-‘Arâbiyyah, vol. 1 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 1957), hal. 118. . Sementara itu, ‘Abd al-Muta‘âlî al-Sa‘îdî bahkan membandingkan jasa al-Syâthibî dalam perumusan maqâshid al-syarî‘ah dengan jasa al-Syâfi‘î dalam perumusan ushul fiqh. Lihat Hammâdî al-‘Ubaydî, Al-Syâthibî wa Maqâshid al-Syarî‘ah, hal. 132. 2 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb dalam Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad saw. Yang diutus Allah subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26 3 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb dalam Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad saw. Yang diutus Allah subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26 4 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb dalam Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad saw. Yang diutus Allah subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26

19

agamanya, jiwa dan raganya, akal dan keturunannya serta hartanya [secara hirarkis] terjaga dan terpelihara dalam pelbagai kondisi secara berkesinambungan."5 Selain itu, ketika Fahmi Huwaydi menyatakan bahwa pembacaan yang benar (al-qirâ`ah al-shahîhah) terhadap al-Qur`ân harus mempertimbangkan aspek Maqâshid al-Syarî’ah, selain aspek bahasa, dia menyandarkan pendapatnya itu kepada pandangan ‘Abdullah Darrâz dalam pengantar untuk kitab al-Muwâfaqât, karya al-Syâtibi.6 Al-Syâtibî (1388 M) tidak saja menandai pergeseran disiplin keilmuan di bidang ushul fiqh, melainkan juga di bidang tafsir dan hermeneutika al-Qur`ân.7 Ia menjadikan penyangganya (Maqâshid al-syarî’ah) kokoh serta mencapai kemapanan secara integral, hal tersebut terbukti bahwa substansi teori al-Syâtibî mampu memberikan pemahaman kepada kita tentang konstruksi intelektual mengenai hukum modern.8 5

Lihat lebih lanjut uraian Sa'id Ramadhân Al Bûty dalam Dhawâbit al-Maslahâh fi syarî’ah Islâmiyah (Mu’assasah Risalah, 1987) hal. 27-28, bandingkan dengan pandangan Mahmûd Syaltût dalam Islam 'Aqîdatan wa Syarî’atan , dar-el Syuruq 1975, hal. 496. Lihat juga Abd. Salam 'Arif mengeksplorasi pandangan hukum Syaltut dalam pembaruan pemikiran hukum Islam (pembaruan dan fakta), LESFI Yoyakarta, cet-1 2003, hlm 177-181, lihat, Al-Qaradhâwi, Dirâsah fî fiqhi Maqâshid al syarî’ah bayna al Maqâshid al kulliyah wa al-nushus al juzyiyyah ( Kairo, Dar al Syuruq cet I 2006 ) hal 19-20 6 Lihat Fahmi Huwaydi, Al-Qur`ân wa al-Sultân (Kairo: Dar al-Syuruq, cet. 5, 2002), hal. 5356. 7 Lihat dalam David Johnston, “A Turn in the Epistemology and Hermeneutics of Twentieth Century Usul al-Fiqh”, dalam Islamic Law and Society, Edisi 11, No. 2, Juni 2004, hal. 252-253. Lihat juga uraian Wael B. Hallaq tentang gagasan al-Syâtibî , A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Ushûl al-Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hal. 206. ‘Âbid al-Jâbiri menyatakan bahwa al-Syâtibî telah memodifikasi atas asumsi-asumsi dasar epistemologi bayâni—sebuah epistemologi yang salah satu proyek teoretisnya adalah penetapan aturan-aturan interpretasi bagi al-Qur`an, al-khitâb al-mubin. Lihat Muhammad ‘Abid al-Jâbiri, Bunyah al-‘Aql al‘Arabi: Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah li Nuzhûm al-Ma‘rifah fi al-Tsaqâfah al-‘Arabiyyah (Beirut: al-Dar al-Bayda`, cet. 7, 2000), hal. 534-536. 8 Ahmad Al Râisūny, ia menegaskan bahwa al-Syâtibî belum memberikan definisi Maqâshid syarî’ah secara jelas, sehingga Raisuny mengadopsi pandangan Ibnu ‘Âsyûr, dengan penyematan gelar “al-Mu‘allim al-Tsâni”. Lebih lanjut lihat Nazhâriyyah ……..hlm 17-18. Gagasan al-Syâtibî terlihat jelas dalam hal perumusan konsep Maqâshid al-syarî’ah yang kemudian menisbatkan gelar “alMu‘âllim al-awwâl”, Abdullah Darraz, “Muqaddimah”, dalam al-Syâtibi, Al-Muwâfaqât fi Ushûl alSyarî’ah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), hal. 5; mengatakan “Hujjah min hujaj al-syarî’ah wa ‘alam min a‘lâm Maqâshidihâ” kepadanya. lihat juga Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarîah al Islâmiyah, Dâr el Nafâis- Urdun, 2001. hal. 139. Lihat al-Syâtibî , Al-Muwâfaqât fi Ushûl

20

Maqâshid al-Syarî’ah yang dibangun al-Syatibi sebagaimana disebut ‘Âbid alJâbiri sebagai “I’âdah ta’shîl al-ushûl” (peletakan kembali dasar-dasar ilmu ushûl), kemudian pandangan ini diadopsi oleh muridnya yaitu ‘Abdul Majîd Turkiy, yang mengataan bahwa pendasarannya [ilmu ushul] sebagai pondasi titik awal bertumpunya dasar metodologi dalam [beristinbath] hukum.9 Berkaitan dengan pendasaran ilmu (ushûl) inilah Ibnu ‘Âsyûr mulai mengelaborasi gagasan pendahulunya yang kemudian ia sebut dengan “pendasaran Ilmu Maqâshid al-Syarî’ah.” Hal ini disinyalir, bahwa teori yang diusung Ibn ‘Âsyûr berusaha menggali dan menemukan cara pandang sejarah secara ilmiah dan metodologis yang digunakan untuk penelitian dan peletakan dasar ilmu Maqâshid alSyarî’ah yang komprehensif. Ibn ‘Âsyûr melihat bahwa kajian ilmu Maqâshid alSyarî’ah ini memilki perbedaan yang signifikan dengan kajian ilmu ushul.10 Menurutnya muara kajian [ilmu ushul] tidak kembali pada esensi dan Hikmah al-tasyrî’, namun ia hanya berputar pada permasalahan istinbath hukum dari nash sharîh melalui kaidah-kaidah yang digunakan pakar hukum (fuqahâ’) dalam beristinbath hokum, dari atau melalui cabang-cabang (furû’) maupun sifat-sifat (‘illat)

hukum

yang

disarikan

dari

Al-Qur’ân,

sebagai

kajian

untuk

al-Syarî’ah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), (Tahqîq 'Abdullah Darrâz), dalam “Muqaddimah”, hal. 5. Bandingkan, ‘Abid al-Jâbiri, dengan menyebut apa yang dilakukan al-Syâtibî dalam al-Muwâfaqât sebagai i‘âdah tâ`sil al-usul (pendasaran kembali ilmu usul fiqh). Muhammad ‘Abid al-Jâbiri, Wijhâh al-Nazhâr (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1994), cet. 4, hal. 547. Istilah ta`sil al-usul itu sebetulnya berasal dari al-Syâtibî sendiri. Lihat al-Syâtibî , Al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Syarî’ah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.), vol. 1, hal. 70. Bandingkan pula dengan Maribel Fierro, “Al-Shatibi”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition (Leiden: Brill Academic Publishers, 2003). 9 Lihat Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarîah al Islâmiyah, 2001. hal. 86-95 10 Lihat Abdul Majîd Turkî Manâzharat fî ushûl al-Syarî’ah bayna ibn Hazm dan al-Bâjî, oleh Abdul al-Shabûr Syâhin, Beirut Dâr al-Gharb al-Islamiy cet. 1414 H/ 1994, hal. 361,484. lihat Maqâshid al-Syarîah al-Islâmiyah hal. 5-6. lihat juga tahqîq dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah, 2001. hal. 96-99. baca juga Abdul Azîz bin ‘Ali Abd arRahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ Maktabah Muluk Fahd al-Wathaniyyah atsna al-Nasyr, hal. 41-43.

21

menginterpretasikan lafadz-lafadz yang diyakini sebagai kehendak Tuhan (tentunya sebatas kemampuan seorang Fâqih dalam berijtihad).11 Kajian ilmiah yang dilakukan Ibn ‘Âsyûr (1878-1973 M) mengenai ilmu Maqâshid al-Syarî’ah memiliki korelasi/hubungan erat dengan penelitian lain, keduanya disinyalir mempunyai muara dan esensi tujuan yang sama, yaitu penelitian tentang ”Norma-norma/aturan sosial Kemasyarakatan yang Islami” (ushûl an-Nizhâm al-Ijtimâ’î fi al-Islam/The rule of Islamic Civilization). Ibn ‘Âsyûr menyatakan bahwa pemerhati penelitian tentang tema besar ini membutuhkan kaidah-kaidah yang luas, rinci dan mendetail dari kaidah-kaidah ushul fiqh yang ada selama ini. Menurutnya; perihal-perihal yang ditampakkan lebih luas dan elastis yang tidak hanya sekedar mengaplikasikan kaidah-kaidah syarî’ah untuk menyelesaikan problematika hukum di masyarakat, ia juga mengkonversikan dan mengelaborasikannya dengan qiyâs, sebagaimana disinyalir memiliki persamaan muatan teori. Dengan menyingkap rahasia (hikmah) dibalik (tasyrî’) tersebut, maka konsep yang dihasilkan dari kajian Maqâshid ini tidak hanya sebagai sebuah wacana atau paradigma dalam bingkai kajian yang hampa [utopis].12 Sejatinya cara pandang Ibn ‘Âsyur (1878-1973 M), tentang nilai (ilmu Maqâshid) ini adalah mengulangi kembali pakar pendahulunya. Ahmad Raisûny menulis; bahwa Ibn ‘Âsyûr mengulangi kembali peletakkan ilmu Maqâshid sebagai disiplin ilmu yang mandiri, pandangan ini dikuatkan oleh Abdul Azîz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam karyanya ‘Ilm Maqâshid al-Syâri. Tentunya dengan mengelaborasi cara pandang ilmiah dan metodologis guna menjadikan 11

intisari

kajian

sebagai

dasar

ilmu

ushul

fiqh,

kemudian

Abdul al-Shabûr Syâhin Manâzharat fî ushûl al-Syarî’ah, hal. 361,484. lihat Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah hal. 5-6. lihat juga tahqîq dirâsah al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah, 2001. hal. 96-99. baca juga Abdul Azîz bin ‘Ali, ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ hal. 41-43. 12 Abdul Azîz bin ‘Ali,‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ hal. 41-43. Lihat juga Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr, ushûl Nizhâm al-Ijtimâ’iy fî al-Islam, al-Syirkah al-Tûnîsiyyah littawzî’ (Tunis) dan Dâr alWathaniyah lilkitab (al-Jazâir), 1985, hal. 21. Bandingkan dengan al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah, 2001. hal. 90-91.

22

diimplementasikan pada kurikulum-kurikulum belajar mengajar pada Madrasahmadrasah atau lembaga-lembaga pendidikan, sampai-sampai mereka (pengarang buku) menjumpainya dengan rasa jemu, semantara siswa yang belajar (ilmu ushûl fiqh) juga semakin bosan (dengan materi ini), kecuali mereka yang dianugrahi Allah kesabaran dalam mengkajinya secara terus menerus.13 Adapun tujuan yang hendak dicapai (dari kajian ilmu ushûl) pada pengajaran tingkat perguruan tinggi “kulliyyah Islam”; diharapkan mampu menyingkap petunjuk jalan yang ditempuh para Mujtahid (dalam berijtihad), mereka senantiasa menjaga stabilitas hukum syarî’ah berjalan sesuai dengan rule (neraca syari’at) dan sunnatullah. Sehingga keniscayaan upaya (para mujtahid) sampai pada tingkat kedudukan yang disebut Ibn ‘Âsyûr sebagai ‫ﺴ ِﻔﻴْﻨﺔ‬ َ ‫( ِإﺑْﺮة اﻟﻤﻐﻨﺎﻃﻴْﺲ ﻟ ُﺮ َﺑّﺎن اﻟ‬Ibrah alMaghnâtîs lirubbâni al-Safînah)14 Keberadaan Syari’ah dan pemberlakuan hukum-hukum syarî’ah pada abad pertama hijriah ini masih dipertanyakan/dimentahkan oleh sarjana hukum barat seperti Joseph Shacht dalam tesisnya, ia menyimpulkan kegelisahan pandangannya ini dengan menyatakan bahwa; Nabi Muhammad saw. tidak mempunyai otoritas atas hukum-hukum adat yang telah ada pada saat itu, demikian halnya hadits. Menurutnya, hadits baru muncul pada awal abad kedua hijriah. Dan pondasi hukum Islam dalam pandangannya baru diletakkan oleh para pakar Hukum Islam yang diangkat pada masa pemerintahan Khalifah Umayyah.15 13

Lihat Ibn ‘Âsyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al Islâmiyah, al-Syirkah al-Tûnîsiyyah littawzî’ (Tunis) dan Dâr al-Wathaniyah lilkitâb (al-Jazâir), 1979, hal. 165. lihat juga tahqîq dirâsah al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarî’ah 2001. hal. 90-91 dan 128-129. Abdul Azîz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ hal. 41-43 14 Lihat Ibn ‘Âsyûr, ushûl Nizhâm al-Ijtimâ’iy fî al-Islam hal. 21. lihat juga Al-Mâisâwî dalam Maqâshid al-Syarî’ah al Islâmiyah, 2001. hal. 90-91. 15 Bertumpu pada ide-ide pendahulunya C.Snouck Hurgronje dan Ignaz Goldziher, Joseph Shacht mengeksplorasi pandangannya dalam bukunya An Introduction to Islamic Law, (oxford:clarendon, 1964) hal.23-27. lihat juga ulasan Faisar Ananda Arfa dalam, sejarah pembentukan Hukum Islam, Pustaka Firdaus cet. Pertama 1996 hlm 5-27. dalam hal yang sama sarjana barat yang mendukung keberadaan hukum Islam pada awal hijriah diantaranya, M.M. al-Azami, Noel J. Coulson. SD. Goitein, dan Wael B. Hallaq. Lihat artikel Goitein yang diulas oleh Faisar dalam buku yang sama, 34-53.

23

Dalam konteks ini, Joseph Shact mengadopsi pandangannya ini dari Ignaz Goldziher.16 Ia bertolak dari pandangan bahwa kehidupan dengan segala problematika yang bertautan dengannya (ketika itu), nyaris tidak terdapat/ditemukan persoalan yang signifikan pada masa hidup Nabi Muhammad saw. Terutama persoalan yang menyangkut maksud/tujuan dan kandungan hukumnya, Muhammad shallawwah ‘alaih wasallam dengan segala otoritasnya sebagai mubayyin langsung memberikan penjelasan secara rinci dan mendetail.17 Bagaimanapun juga pandangan tesis Joseph Shact diatas perlu diuji dan dibuktikan melalui literatur-literatur yang berkenaan dengan sejarah, tentunya dengan data autentik pedoman hidup Al-Qur’ân dan Hadits, serta kajian kepustakaan yang komprehensif, dalam penelitian ini penulis mencoba membuktikannya melalui konstruksi teori ‘ilm Maqâshid dan prinsip-prinsip penafsiran Ibn ‘Âsyur (1973 M), selanjutnya perdebatan ini akan penulis uraikan pada sub judul seputar Maqâshid dan pembacaan al-Qur’ân di bab dua. Ahmad Raisuny memetakan dalam disertasinya, bahwa Maqâshid al-Syarî’ah telah dilakukan (ditelaah) oleh Al-Turmudzî (Abad III), Abu Mansur al-Mâturidî ( w. 333 H), Abu Bakar Al-Qâffal ( w.365 H ), Abu Bakar Al-Abhâry (w.375 H) alBaqillânî (w.403 H) dilanjutkan Imâm Al-Haramain [al-Juwaini] (w.478 H), Imam Al Ghazali (w.505 H), Al Râzî (w.606 H), Saifuddin Al-Âmidy (w.631 H), Ibn Hâjib (646H) Izzuddin Abdul al-Salâm ( 660H), al- Baidhâwî (w.685 H) Al-Asnawi (772H) Ibn al-Subkî (w.771 H), kemudian disinyalir mencapai kemapanan pada masa alSyâtibî. Pandangan ini didukung data dari ‘Abdur Rahmân Kaylâni, namun lanjutnya, mereka baru meletakkan (Maqâshid) pada tataran sebagai sub kajian dari ilmu ushul/Syarî’ah.18 16

Ignaz Goldziher, Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmî, terj. ‘Abd al-Halîm al-Najjâr (Kairo: Maktabah al-Sunnah al-Muhammadiyyah, 1955), hal. 73. 17 Abbâs Mahmûd al-‘Aqqâd, al-Falsafah al-Qur’âniyyah (Mesir; Lajnah Bayân al-‘Arabi, 1974), hal. 27. 18 Ahmad Al Raisyûni, Nazhâriyyah ... hal 40-68. bandingkan dengan tulisan ‘Abd al-Rahmân Ibrâhîm al-Kaylânî, Qawâ‘id al-Maqâshid ‘Inda al-Imâm al-Syâthibî ‘Ardlan wa Dirâsatan wa

24

Berangkat dari data diatas, penulis meyakini urgensi teori/konsep Maqâshid yang diusung Ibnu Âsyûr (1878-1973 M) akan nampak dan terlihat dalam peletakan Dasar-dasar Ilmu Maqâshid al-Syarî’ah. Sebagaimana ditekankan bahwa ia merupakan segala makna dan tujuan hukum (Tajâwuz al-Manhâ al-Tajzî’iy fî tafahhumi Ahkâm al-Syarî’ah bimurâtabihâ al-muhtalifah) yang diletakkan dalam pelbagai kondisi Tasyri’, secara makro dalam pelestariannya, diaplikasikan dan dimplementasikan secara khusus/partikular [tajzî’iy] sesuai neraca hukum syariat. Secara

Inheren

tujuan

umum

dan

sifat-sifat

syarî’ah

yang

luas

dapat

terimplementasikan secara menyeluruh, tidak hanya problematika yang berkaitan dengan masalah hukum melainkan segala problematika kehidupan didalamnya (dunia).19 Selanjutnya kajian diatas akan penulis sajikan dan paparkan uraian tentang teori, konsep Ibnu ‘Âsyûr tentang formulasi Maqâshid dan prinsip-prinsip komplementer dalam penafsiran Al-Qur’ân pada bab tiga.20 Setelah mengelaborasi teori dan konsep pendahulunya, Ibn Âsyûr juga mengkritisi prinsip-prinsip tafsir al-Syâtibî (730 H/1388 M) dalam Muwâfaqât nya mengenai tiga hal: pertama, status al-Qur`ân sebagai substansi ajaran Islam (kulliyyah al-syarî’ah); kedua, status al-Qur`ân sebagai kitab berbahasa Arab; serta ketiga, status al-Qur`ân sebagai kitab yang diturunkan kepada seorang rasul yang ummî dan di tengah bangsa Arab yang juga ummî.

Tahlîlan (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2000), hal. 14. lihat juga, ‘Abid al-Jâbiri dengan menyebutkan apa yang dilakukan al-Syâtibî dalam al-Muwâfaqât sebagai i‘âdah tâ`shîl al-ushûl (pendasaran kembali ilmu usul fiqh). Muhammad ‘Abid al-Jâbiri, Wijhâh al-Nazâr (Beirut: Markaz Dirâsat al-Wihdah al‘Arabiyyah, 1994), hal. 57. Istilah ta`sil al-Ushûl itu sebetulnya berasal dari al-Syâtibî sendiri. Lihat al-Syâtibî , Al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Syarî’ah (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.), vol. 1, hal. 70. Bandingkan pula dengan Maribel Fierro, “Al-Shatibi”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopedia of Islam, WebCD Edition (Leiden: Brill Academic Publishers, 2003). Bandingkan dengan tesis Ismaîl Hasani Nazhâriyyah al Maqâshid ind Imâm Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr, dalam penerbit yang sama hal. 60-73. 19 Baca kembali Ibn ‘Âsyûr dalam, Maqâshid syarî’ah, 1979. hal. 51. lihat juga versi tahqîq AlMaisawi, 2001, hal. 96-97. 20 Lihat Ibnu ‘Âsyûr “Muqâddimah al-Tâhrîr wa al-Tanwîr” Dâr-el Tunîsiyah linnasar. [T. th. hal. 38-46

25

Senada dengan Abid al-Jabiri, pengarang al-Tahrîr wa al-Tanwîr [Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr] mengcounter pandangan diatas, karena pandangan tersebut dapat dibawa ke titik ekstrem untuk menyatakan bahwa petunjuk al-Qur`ân hanya diperuntukkan kepada bangsa Arab abad 7 Masehi. Selanjutnya ia menambahkan bahwa ada hikmah-hikmah (hikmah al-Tasyrî’) di balik pilihan Allah untuk menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur`ân. Walaupun demikian, kenyataan bahwa al-Qur`ân diturunkan kepada bangsa Arab itu tidak berarti hukum-hukum syari’at hanya diperuntukkan bagi mereka atau untuk kepentingan-kepentingan mereka belaka, namun sebaliknya ia bersifat umum [general] dan abadi [berkesinambungan], dan al-Qur`ân sebagai mukjizat baik dari segi bahasa dan makna (lafdzan wa ma’nan) yang autentitas dan relevansinya diuji sepanjang masa, dengan demikian ketidak sesuaian (kebenaran anggapan) tersebut akan tertolak.”21 Delapan tujuan dasar (al-Maqâshid al-asliyyah) yang dirumuskan Ibn ‘Âsyûr (1878-1973 M) kemudian disebut sebagai prinsip tafsirnya yaitu; pertama, mengajarkan dan memperbaiki akidah; kedua, mengajarkan nilai-nilai akhlak yang mulia; ketiga, menetapkan hukum-hukum syariat; keempat, menunjukkan jalan kebenaran kepada umat Islam (Siyâsah al-Ummah); kelima, memberikan pelajaran dan hikmah dari kisah bangsa-bangsa terdahulu; keenam, pengajaran syari’at sesuai dengan perkembangan zaman; ketujuh, al-Targhîb wa al-Tarhîb; kedelapan, membuktikan kebenaran risalah Nabi Muhammad shallawwâh ‘alaih wasallam.22 Sering dikatakan bahwa kajian tentang penafsiran tidak dapat dilepaskan dari subyektifitas interpretasi dari penafsir dalam penafsirannya sampai akhir zaman. Hal ini disebabkan muatan-muatan bahasa/lafal-lafal yang terdapat dalam Al-Qur’an sangat kaya makna sehingga digambarkan dalam surah al-Kahfi [18:109-110]; 21

Ibnu ‘Âsyûr “Muqâddimah al-Tâhrîr wa al-Tanwîr” Dar-el Tunisiyah linnasar. T. th., vol. 1 [T. th. vol. 1] hal. 39. 22 Ibnu ‘Âsyûr “Muqâddimah, hal. 39-41. lihat juga uraian Quraish Shihab, bahwa penolakan alSyâtibî terhadap tafsir saintifik merupakan antitesis dari pandangan al-Ghazâli tentang al-Qur`ân yang mencakup seluruh jenis ilmu pengetahuan. Kedua pandangan tersebut, menurut Quraish Shihab, samasama berlebihan dan “sukar dipahami”. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, cet. 19, 1999), hal. 102.

26

$uΖ÷∞Å_ öθs9uρ ’În1u‘ àM≈yϑÎ=x. y‰xΖs? βr& Ÿ≅ö7s% ãóst6ø9$# y‰ÏuΖs9 ’În1u‘ ÏM≈yϑÎ=s3Ïj9 #YŠ#y‰ÏΒ ãóst7ø9$# tβ%x. öθ©9 ≅è% u!$s)Ï9 (#θã_ötƒ tβ%x. yϑsù ( Ó‰Ïn≡uρ ×µ≈s9Î) öΝä3ßγ≈s9Î) !$yϑ¯Ρr& ¥’n$|¡Ïm ÎötóÎ/ Νèδtô_r& tβρçÉ9≈¢Á9$# ’®ûuθム$yϑ¯ΡÎ) 375

Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 1 hal. 474. Bandingkan dengan penafsiran al- alQurtûbi (671 H) dalam, al-Jâmi’u al-Ahkâmi al-Qur’ân, (Dâr al-kutub al-Ilmiyyah, Beirut Libanon), hal. 252-255.

161

(shâbirun ‘alâ kadzâ), adapun sabar dalam arti yang mutlak seperti tertuang dalam surah al Zumar [39:10].376 ketiga; penyebutan shalat disini adalah pengkhususan ibadah shalat dari ibadah yang lain dari segi penekanan/pengulangan, disisi lain ia padu dengan kesabaranpenulis- dan shalat disini dalam ari ta’wil menurut al-Qurtûbi adalah al-syar’iyyah, sebagaimana dalam surah al-anfâl [8:45], al-tsabât dalam ayat tersebut adalah sabar, dan al-dzikr pada ayat tersebut adalah do’a. Keempat; sabar dari segala keburukan (al-adzâ) dan keta’atan menahan hawa nafsu dari pelbagai ujian dan problematika hidup, ini merupakan akhlaqpara Nabi dan orang-orang shaleh. Berkata al-Thabari sesungguhnya iman itu keyakinan dalam hati dan diucapkan oleh lisan dan diimplementasikan seluruh anggota tubuh, bagi mereka yang belum mampu bersabar dalam perbuatan dengan segala konsekwensinya,iman mereka belum kokoh (lam yasthiqq al-îmân bi al-ithlâq). Sabar dalam melaksanakan syariat-syariat agama merupakan pancaran sinar pada tubuh (nadhîr al-ra’s min al-jasadi li al-insâni) tidak akan dapat sempurna kecuali dengan penunaian syariat tersebut.377 Sementara khusyu’ merupakan (sifat) ketenangan hati dan keengganannya mengarah kepada kedurhakaan (sukûn wa inqibâdl ‘an tawajjuhi ilâ al-ibâyah aw al‘isyân). Yang dimaksud orang yang khusyu’ dalam ayat ini adalah mereka yang menekan hawa nafsunya (dzullila nafsuhu wa kasru sûratihâ) dan membiasakan dirinya menerima dan merasa tenang menghadapi ketentuan Allah (serta selalu mengharapkan kesudahan yang baik (wa tathlubu husnu al-‘awâqib) (berkhusnuzhzhan kepada Allah-penulis-). Ia bukanlah orang yang terpedaya oleh nafsu (an lâ taghtarr bimâ tuzayyinuhû al-syahwah), namun senantiasa mempersiapkan dirinya untuk menerima dan mengamalkan kebajikan. Orang yang khusu’ dimaksud oleh ayat adalah mereka yang senantiasa takut lagi mengarahkan pandangannya kepada kesudahan segala sesuatu sehingga dengan 376 377

Al-Qurthûbi, al-Jâmi’u al-Ahkâmi al-Qur’ân, hal. 252-255. Al-Qurthûbi, al-Jâmi’u al-Ahkâmi al-Qur’ân, hal. 252-255.

162

mudah ia meminta bantuan sabar yang membutuhkan tekanan gejolak nafsu dan mudah juga baginya melaksanakan shalat kendati kewajiban ini

mengharuskan

disiplin waktu serta kesucian jasmani, padahal boleh jadi ketika itu ia sedang disibukkan oleh aktifitas (al-isytighâl) yang menghasilkan (bimâ yahwî aw bima yuhashshilu) harta atau kelezatan (mâlan aw ladzdzah).378 Urgensitas penafsiran pada perintah shalat dan zakat ini terlihat ketika tujuantujuan ideal dari shalat diterangkan secara mendetail dan rinci oleh Ibn ‘Âsyûr, sebagaimana dia mengklasifikasikan shalat, sabar, dan khusu’ sebagai pondasi keimanan dalam meraih kesuksesan duniawi maupun ukhrawi. Intisari penafsiran dari ayat diatas sebagai berikut ; penekanan atas pentingnya ibadah shalat dan keutamaannya karena ia merupakan hubungan dialog (shilah wa liqâ) antara hamba dan Pencipta (al-Khâliq), iringan kesabaran juga merupakan satu kesatuan dengan shalat yang tidak dapat dipisahkan, khusu’ adalah dengan membiasakan untuk mendahulukan kewajiban kepada Allah dan memperbarui niat untuk selalu mengharap ridha-Nya.379 2) Perintah puasa dan hikmahnya dalam surah al-Baqarah Setelah dikemukakan panjang lebar pada sub judul pertama tentang al-Sinâm keistimewaan/ (puncak/zahrâ’/terang benderang) surah al-Baqarah, perintah puasa berikut

ini

juga

terdapat

pada

surah

al-Baqarah

[2:183-186],

perintah/ajakan/panggilan mesra ini Kepada setiap orang yang memiliki iman walau seberat apapun.380

378

lihat lebih lanjut penafsiran ayat ini dalam Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr vol. 1 hal. 47880. Bandingkan al-Qurtûbi (671 H) dalam, al-Jâmi’u al-Ahkâmi al-Qur’ân,(Dâr al-kutub al-Ilmiyyah, Beirut Libanon), hal. 254-5. 379 Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 1 hal. 474. 380 Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 2, hal. 154-160 bandingkan dengan lihat penafsiran Quraish Shihâb dalam Tafsîr al-Mishbâh, pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’ân, ( Lentera Hati, cet1 2000 M) Juz. 1. hal. 375-376.

163

Kemudian Ibn ‘Âsyûr (w. 1393 H) menjelaskan kewajiban puasa ia merupakan Ibadah (al-râmiyah) untuk melatih dan menyucikan diri. Redaksi perintah Diwajibkan atas kamu ini agaknya tidak menunjuk siapa pelaku yang mewajibkan. Ini untuk mengisyaratkan apa yang diwajibkan ini sedemikian penting dan bermanfaat pagi setiap orang/individu bahkan kelompok, yang seandainya bukan Allah yang mewajibkannya niscaya manusia sendiri yang mewajibkannya, demikian Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbâh.381 Para pakar mendefinisikan puasa sebagai menahan diri, sebagaimana maklum penetapan waktunya, ayat pertama menjelaskan secara global kemudian penjelasan rinci pada redaksi ayat berikutnya sampai [2:87]. Menahan diri dibutuhkan semua orang, kaya miskin, muda tua, lelaki perempuan, sehat atau sakit, orang modern atau primitif masa lalu, bahkan perorangan maupun kelompok, selanjutnya ayat ini menerangkan bahwa kewajiban yang dibebankan itu adalah, sebagaimana diwajibkan pula atas umat terdahulu sebelum kamu. Puasa orang-orang muslim berbeda dengan puasa orang Yahudi dan Nasrani, Budha dalam batasan dan prakteknya tidak sama. Mereka berpuasa berdasar kewajiban yang ditetapkan oleh tokoh-tokoh agama mereka, bukan melalui wahyu Ilahi atau petunjuk Nabi. Pakar-pakar perbandingan agama menyebutkan bahwa orang-orang Mesir kuno pun sebelum mereka mengenal agama samawi-telah mengenal puasa. Dari mereke preaktek puasa beralih kepada orang-orang Yunani dan Romawi. Puasa juga

381

Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 2, hal. 154-160 lihat penafsiran Quraish Shihâb dalam Tafsîr al-Mishbâh, pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’ân, ( Lentera Hati, cet-1 2000 M) Juz. 1. hal. 375-376. lihat juga Lihat Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, (al Ma'had Al-‘Â'limiy lil fikri al Islamiy, Herendun USA) cet. I thn. 1995 hal. 142-146, ditulis bahwa tujuan-tujuan puasa perspektif Ibn ‘Âsyûr ada dua; pertama adalah Nafsânî [ruhani] dapat mewujudkan manfaat dalam berperilaku (al-takhalluq) menahan keinginan-keinginan yang disukai, bersabar atas kelezatan [makanan] untuk perut dan al-farj, mengingatkan pada keadaan fakir, memantapkan spiritualitas ruhani diri, menguatkan instink untuk senantiasa mensyukuri nikmat Allah, kedua; Jismânî guna membiasakan dalam penyesuaian manajemen hidup (anzimat al-Ma’âsy), mengistirahatkan pola makan (irâhah Jihâz al-Hadlmî/metabolisme tubuh)guna membangun kesehatan secara optimal.

164

dikenal dalam agama-agama penyembah bintang. Agama Budha, Yahudi, dan kristen demikian juga.382 Ibn Nadhim dalam karyanya “al-Fahrasat” menyebutkan bahwa agama penyembah bintang berpuasa tiga puluh hari dalam setahun, ada pula puasa sunnah sebanyak 16 hari ada juga yang 27 hari. Puasa mereka sebagai penghormatan kepada bulan, kepada bintang Mars yang mereka percayai sebagai bintang nasib, dan demikian juga kepada matahari. Agama Budha dikenal puasa sejak terbit sampai terbenamnya matahari, dan puasa empat hari dalam sebulan, mereka menamainya “uposatha” (hari pertama, sembilan, ke lima belas, dan kedua puluh. Bagi Ibn ‘Âsyûr penafsiran “min qablikum” sebagaiman umat sebelum kalian (Islam datang) seperti Yahudi Puasa orang Yahudi 40 hari, dan dikenal beberapa macam puasa sebagai bentuk penghormatan pada peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah mereka, seperti mereka menamai puasa peleburan dosa dengan kabbûr, pada hari kesepuluh bulan ketujuh mereka sebut dengan tisrî dll. Demikian juga dengan agama kristen.383 Ibn ‘Âsyûr (w. 1973) melihat perbedaannya bukan hanya pada praktek, terdapat beberapa tujuan-tujuan (aghrâdlan) dari perbedaan ini: pertama; memperhatikan perintah ibadah ini dengan niat sungguh-sungguh (dalam pelaksanannya/ al-tanwîhi bihâ), yang telah diwajiban Allah sebelum umat muslim tidak lain karena kemanfaatan dan kemaslahatan, serta ganjaran yang besar, karena (ganjaran dan kebaikan didalamnya) sehingga menumbuhkan keinginan yang kuat untuk bertemu/melaksanakan ibadah puasa ini, agar mereka tidak membeda bedakan dengan umat sebelumnya -karena berbeda jauh-. Tujuan kedua; kemiripan/kesamaan perintah puasa dengan umat terdahulu sebagai bentuk peringanan terhadap (tahwînan ‘alâ) kaum muslimin (al mukallifin)

382

Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 2, hal. 154-160 lihat penafsiran Quraish Shihâb dalam Tafsîr al-Mishbâh, pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’ân, ( Lentera Hati, cet-1 2000 M) Juz. 1. hal. 375-376. 383 Quraish Shihâb dalam Tafsîr al-Mishbâh, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’ân, ( Lentera Hati, cet-1 2000 M) Juz. 1. hal. 375-376. bandingkan dengan Thâhir Ibn ‘Âsyûr dalam al Tâhrir wa al Tânwîr vol. 2, hal. 157.

165

pada pelaksanaan perintah ibadah puasa ini. Tujuan yang ketiga; pengaruh yang kuat atas (kewajiban puasa sebagaimana umat terdahulu) untuk menunaikan perintah puasa ini dengan optimistis ( dengan do’a harapan) (biquwwah tafawwuq), sebagaimana dilakukan umat terdahulu.384 Penjelasan tentang hikmah dari puasa ini sebagaimana redaksi yang terakhir pada ayat [2:183], keterangan mafûl liajlih pada kalimat ‫آﺘﺐ‬, dan kalimat ‫ﻞ‬ ّ ‫ﻟﻌ‬ merupakan bentuk istiârah untuk makna “‫”آﻲ‬

ataupun bentuk tamtsîliyyah untuk

menggambarkan hikmah dari kehendak Allah atas perintah puasa yaitu menjadi golongan orang-orang yang bertakwa. Taqwa berarti meninggalkan segala bentuk kemaksiatan, terdapat dua kategori kemaksiatan yang harus dijauhi dalam perspektif Ibn ‘Asyur pertama menjauhi hal-hal yang sudah maklum yang menjadikan ketenangan/jernih dalam berfikir (yanja’ fi tarkihi al-tafakkur) seperti; minum khamr, judi, mencuri, ghasb dll. Maka akan bermuara pada hasil yang telah dijanjikan Allah yaitu ‘menjadi orang yang beruntung’-penulis-, dan ancaman bagi mereka yang melakukan perbuatan tersebut. yang kedua; hal ini tumbuh dalam tabiat/karakter manusia yaitu tumnbuhnya syahwat nafsu yang menjadikannya marah, syahwat makan dan yang lain, yang menumbuhkan kekuatan hawa nafsu untuk berbuat ‘maksiat’. Karenanya seorang muslim mu’min hendaknya menjaga dan melindungi dirinya dari kekuatan kadar-kadar hewani ini muncul dengan melakukan puasa

384

Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 2, hal. 156-157, bandingkan dengan penafsiran alQurtûbi (671 H) dalam, al-Jâmi’u al-Ahkâmi al-Qur’ân,(Dâr al-kutub al-Ilmiyyah, Beirut Libanon) juz 2, hal. 183-184. dengan mengutip hadits Qudsi diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah: ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ‬ َ ‫ﻲ اﻟﱠﻠ ُﻪ‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﻦ َأﺑِﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر‬ ْ‫ﻋ‬ َ ‫ﺐ‬ ِ ‫ﺴ ﱠﻴ‬ َ ‫ﻦ ا ْﻟ ُﻤ‬ ِ ‫ﻦ ا ْﺑ‬ ْ‫ﻋ‬ َ ‫ي‬ ‫ﻦ اﻟ ﱡﺰ ْه ِﺮ ﱢ‬ ْ‫ﻋ‬ َ ‫ﺧ َﺒ َﺮﻧَﺎ َﻣ ْﻌ َﻤ ٌﺮ‬ ْ ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ِهﺸَﺎ ٌم َأ‬ َ ‫ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ‬ َ ‫ﻦ ُﻣ‬ ُ ‫ﻋ ْﺒ ُﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ‬ َ ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨِﻲ‬ َ ‫ﺢ‬ ِ ‫ﻦ رِﻳ‬ ْ ‫ﻋ ْﻨ َﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ِﻣ‬ ِ ‫ﺐ‬ ُ ‫ﻃ َﻴ‬ ْ ‫ف َﻓ ِﻢ اﻟﺼﱠﺎ ِﺋ ِﻢ َأ‬ ُ ‫ﺨﻠُﻮ‬ ُ ‫ﺟﺰِي ِﺑ ِﻪ َو َﻟ‬ ْ ‫ﺼ ْﻮ َم َﻓ ِﺈ ﱠﻧ ُﻪ ﻟِﻲ َوَأﻧَﺎ َأ‬ ‫ﻦ ﺁ َد َم َﻟ ُﻪ ِإﱠﻟﺎ اﻟ ﱠ‬ ِ ‫ﻋ َﻤ ِﻞ ا ْﺑ‬ َ ‫ﺱﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َل ُآﻞﱡ‬ َ ‫ﻋ َﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬ َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ‬ َ ‫ﻲ‬ ‫ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ‬ ْ‫ﻋ‬ َ ‫ﻚ‬ ِ‫ﺴ‬ ْ ‫ا ْﻟ ِﻤ‬ Kemudian ia menjelaskan dikhususkannya ibadah puasa ini karena ia milik Allah walaupun semua Ibadah dinisbahkan kepada-Nya, terdapat penekanan pada ibadah puasa ini, dari sekian ibadah yang lainnya. Rahasia tersebut diantaranya; pertama; puasa dapat mencegah dan menahan kelezatan pada diri beserta syahwatnya, hal ini tidak terdapat pada ibadah yang lain. Kedua; adanya rahasia antara (hamba dan Tuhannya) dibalik penunaian ibadah ini yang tidak ditampakkan kecuali bagi-Nya. Karenanya puasa dikhususkan dari sekian ibadah, yang boleh jadi dikerjakannya karena riya’ dan dibuat-buat, sekali lagi terdapat pengkhususan ibadah puasa dari yang lain.

166

sebagaimana mestinya, lebih-lebih seperti puasanya Nabi Dawud ‘alaihi al-shalah wa al-salam.385 Kemudian Ibn ‘Âsyûr menekankan dengan mengutip hadits Nabi “al-Sawmu Junnah” bahwa target yang hendak idcapai adalah ketakwaan, menurut para pakar terdahulu dari golongan (al mâliyyîn dan al-Hukamâ’u al- Isyrâqiyyîn) hikmah puasa menurut mereka yakni meminimalisir dengan upaya penyucian dan menghindarkan dari sifat-sifat Hewani dalam diri semaksimal mungkin (biqadri al-imkân), atas dasar/dikarenakan dalam diri manusia mempunyai dua kekuatan; pertama ia bersifat rohani yang melekat (rûhâniyyah munbatstsah) yaitu perasaan yang meliputi indra manusia, kedua; Hewani yang juga melekat (hayawâniyyah munbatstsah) pada setiap jasmani/anggota tubuh manusia. Karenanya akibat-akibat yang ditimbulkan bersumber dari keduanya karena ketidak seimbangan antara ruhani dan jasmani, untuk mencapai tujuan puasa yang dimaksud hendaknya menyeimbangkan makanan (al-ghidâ’u). Kalaupun kekuatan ruhani

yang dipupuk dengan menyedikitkan

makanan yang masuk, maka sifat-sifat kemalaikatan dalam diri manusia akan muncul bahkan mencapai pengetahuan ma’rifat (mengetahui hal-hal yang tidak mampu dicapai oleh nalar).386

385

Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 2, hal. 157. bandingkan dengan Quraish Shihâb dalam Tafsîr al-Mishbâh, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’ân, ( Lentera Hati, cet-1 2000 M) Juz. 1. hal. 377. ditulis bahwa kewajiban puasatersebut dimaksudkan agar kamu bertakwa yakni terhindar dari segala macam sanksi dan dampak buruk, baik duniawi maupun ukhrawi. Jangan diduga ia diwajibkan kepadamu sepanjang tahun. Tidak! Malainkan hanya beberapa hari tertentu, dan itupunmasih meliha kondisi kesehatan dan keadaan kalian, karenanya barang siapa diantara kamu yang sakit yang memberatkan baginya puasa, atau menduga kesehatannya akan terlambat pulih bila berpuasa atau benar-benar dalam perjalanan bukan perjalanan yang biasa yang mudah, sehingga ia berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa pada hari-hari yang lain, baik berturut-turut maupun tidak, sebanyak hari yang ditinggalkan itu. 386 Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 2, hal. 159

167

B. Respon akademik terhadap gagasan Maqâshid dan penafsiran Ibn ‘Âsyûr Sebelum penulis mengemukakan pandangan dan penilaian terhadap gagasan Ibn ‘Âsyûr, penulis menemukan satu tulisan tentang pengarang al-Tahrîr wa alTanwîr secara komprehensif, dia adalah Ismaîl Hasani dengan judul Nadhariyyatu alMaqâshid ‘ind Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr, dimana ia memaparkan sejarah hidupnya, rihlah ilmiahnya, mulai dari gagasan pendasaran ‘Ilm Maqâshidnya dan prinsip-prinsip penafsirannya, teman dan keluarganya, serta berbagai problematika tentang perjalanan hidupnya, selama masa peralihan (al-Isti’mâr ilâ al-Istiqlâl alSiyâsî).387 Ibn ‘Âsyûr (1296-1394 H/1879-1973 M) dikelompokkan Abdul Ghoffâr ‘Abdul Rahîm dalam Abnâ madrâsâh ‘Abduh, disebutkan dalam pandangannya corak pemikirannya dan penafsirannya sejalan dengan Muhammad ‘Abduh, Ibn ‘Asyûr telah meringkas pendapat dari mufassir klasik dan pandangan pakar tafsir modern (jama’a fîhi khulâshah Ârâ’i al- Sâbiqîn wa zubdatu afkâri al-Mu’âsirîn) yang kemudian dituangkannya dalam penafsiran dengan gaya bahasa sastra (uslûb adabiy) dan keindahan susunannya (wa taqsim ‘ala badî’). Abdul Ghofar Abdur al-Rahîm (guru besar tafsir di Universitas al-Muluk Jeddah) membagi gagasan Ibn ‘Âsyûr menjadi dua kesimpulan besar; pertama bahwa tujuan-tujuan (aghrâduhâ) penafsirannya dipusatkan pada titik tolak dari petunjuk agama yang agung (alQur’ân) sebagai petunjuk, sumber hukum dan sebagai upaya penyucian diri (sammû hâdzâ al-dîn mâ sabaqahû wa uluww hadiyyati wa ushûl tathhîri al-nufûs). Kedua; 387

Lihat Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, (al Ma'had Al‘Â'limiy lil fikri al Islamiy, Herendun USA) cet. I thn. 1995 hal. 75-82. dikutip dari al-Shahabiy al‘Atîq, al-Tafsîr wa al-Maqâshid ind Syaikh Muhammad Thâhir Ibn ‘Asyûr (Dâr Tûnis al-Sanâbil, 1410 H/1989 M) cet-1., hal. 11. Lihat juga dan baca lebih lanjut, Ayâd Khâlid Thabbâ’, ‘Ulamâu wa Mufakkirîn Mu’âshirîn, lanmahâtu min hayâtihim wa ma’rifatun bimu’allafâtihim, (Dâr al-Qalam, Damaskus, cet-1, 2005) hal. 7. lihat juga karya ‘Abdul Qâdir Muhammad Shâlih dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘Ashri al-Hadîts, ia mengelompokkan Ibn ‘Âsyûr dalam deretan pakar tafsir umum kontemporer (tafsîr al-‘Âm), disejajarkan dengan beberapa Mufassir diantaranya Muhammad Jamaluddin al-Qâsimî dengan karyanya Mahâsin al-Tâ’wîl, dan shafwatu al-Tafâsîr karya monumental ‘Ali al-Shâbûnî.

168

bagian yang menerangkan pokok-pokok syari’at agama sebagai pengawal dalam implementasi kehidupan (liatbâ’ihi) dan memperbaiki aturan-aturan masyrakat secara luas untuk mewujudkan kemaslahatan umum.388 Pandangan Abdul Ghaffâr diatas tidak seluruhnya diamini oleh penulis, terutama pada prinsip-prinsip penafsiran, dan dasar pemikiran antara keduanya terdapat perbedaan yang signifikan, terlihat pada aplikasi Maqâshid al-Qur’ân pada ayat-ayat hukum surah al-Baqarah sebelum sub bab ini.389 Iffat Syarqâwi menyimpulkan bahwa metode yang digunakan Thâhir Ibn ‘Âsyûr dengan karya tafsîrnya ia kelompokkan dalam corak penafsiran dengan nuansa modern,390 dimana Ibn ‘Âsyûr berupaya mengkombinasikan tafsir Riwâyat391 dan tafsir Dirâyat,392 cara ini dipakai pakar tafsir sebelumnya seperti; Fakhruddîn AlRâzi (1209 M/554 H) dalam tafsir al-Kabîr,393 Tafsir Jawâhîr karya Thântâwi Jauharî, Tafsir al-Manâr karya Muhammad 'Abduh (w.1905 M) yang ditulis oleh 388

Disebutkan dalam pengelompokannya Musthafâ al-Marâghî, Syaikh Muhammad Syaltût, Abdullah Darrâz, Muhammad Bâhi, Syaikh Muhammad Muhamamad al-Madanî dll. Lihat Abdul Ghoffâr, Abdurrahîm, Al Imam Muhammad 'Abduh wa mânhâjuhu fî al tafsîr, Mesir: Al markaz Al Arâbi li ats tsaqâfah wal ulûm, 1980, hlm 357. Bandingkan dengan apa yang ditulis oleh Abdullâh Mahmud Syahatah dalam karyanya manhaj al-Imam Muhammad Abduh fi tafsir al-Qur’ân al-karim (Kairo:al Majlis al a’lâli Ri’âyah al funûn wal adab wa al- Ulûm al Ijtimâ;iyyah 1963, hal. 33. dan karyanya yang berjudul ahdâf kulli sûrah wa maqâsiduhâ fî al-Qur’ân al Karîm, (Mesir; Haiah alMishriyyah, 1986), hal. 93-94. 389 Lihat prinsip-prinsip penafsiran Ibn’Âsyûr dalam al-Tâhrir wa al-Tânwîr vol. 1 hal. 38-41. dan lihat gagasan Ibn ‘Asyur dalam peletakan dasar ilmu Maqâshid al- syarî’ah karyanya berjudul Maqâshid al-syarî’ah al-Islâmiyyah, tahqîq Thâhir al-Maisâwi, Dâr al-Nafâis-Urdun 2001, hal. 90-93. bandingkan dengan tafsir al-Manâr juz.1. hlm 36, lihat foot note ke-14. 390 Iffat Syarqâwi, qâdhâya insâniyyah fi ‘âmâl al-mufassirin, Mesir: maktabah Syabâb, 1980 hal 80, lihat juga uraian Ali Iyâzi tentang Ibnu ‘Âsyûr dalam al mufassirun hayâtuhum wa manhajuhum, Mu'assah Thaba'ah wa an Nasyr wizârah al Islâmi, cet-1. hal. 240-246. 391 Tafsir Riwayat atau bi al ma’tsur adalah tafsir yang dikutip dari al Qur’an, Hadits, atsar sahabat dan tabi’in. Lihat: Muhammad Husain al Zahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Maktabah Mus’ab bin Umair al Islâmiyah, juz I h.112 392 Tafsir Dirâyat atau bi al-Râ’yi adalah tafsir al Qur’ân yang didasarkan pada ijtihad. Lihat: Muhammad Husain al Zahabi, al Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz I h.183. 393 Tafsir mafâtih al-Ghayb (al-Kabir) karya al-Imam Fakhruddin al-Razi (544 H) tafsir ini tergolong penafsiran bi al-Ra’y/dirâyah/ma’qul/bi al-ijtihad, tafsir ini mengutamakan penyebutan hubungan antar surah-surah Al-Qur’ân dan ayat-ayatnya satu sama lain, dengan membubuhkan pendapat para filosof, ahli ilmu kalam, sesekali menyimpang ke pembahasan tentang ilmu matematika, filsafat, biologi dan lainnya. Secara global tafsir ar-Razy lebih pantas untuk dikatakan sebagai ensiklopedia dalam ilmu alam, biologi, dan ilmu-ilmu yang berhubungan secara langsung atau tidak dengan ilmu tafsir dan semua ilmu yangmenjadi sarana untuk memahaminya (tafsir ‘Ilmi)

169

muridnya Râsyid Ridhâ (1865-1935), yang ketiganya disinyalir mengembangkan tafsir ‘ilmi, demikian juga Ibn ‘Âsyûr (fî istiâ’nah bi al-nadhariyyâh wa al-kusyûfât al-’ilmiyyah al-haditsah fî tawdîhidalâlah wa ma’âni al-âyâh) namun urgensi dari penelitian ilmiah ini memprioritaskan bahwa pengetahuan al-Qur’ân merupakan pengantar sebagai kitab hidayah bagi akal kepada ketauhidan dan petunjuk hati kepada pemantapan Iman.394 Kemudian Ibn ‘Âsyûr mengelaborasi sumber penafsirannya dengan metode Muqârin dan corak filologik (balâghiah) penulis melihat bahwa gagasan Ibn ‘Âsyûr berbeda dengan pandangan 'Abduh sebagaimana dinyatakan oleh ‘Abdul Ghoffâr Abdur Rahîm. Tafsir Ibn Âsyûr juga memiliki kekhasan dengan menambahkan penjelasan pada makna-makna mufradat (kata demi kata) dalam surah-surah dan ayatayat Al Qur'ân, serta membatasi, meneliti ulang, dan menambahkan/melengkapi dari yang telah dilakukan sebagian mufassir sebelumnya.395 Ahmad Raisuny dalam disertasinya (1995) “Nazhariyyah al-Maqâshid ind alImâm al-Syâtibi” menyebutkan bahwa Ibn ‘Âsyûr tidak hanya

mengelaborasi

gagasan al-Syâtibi, (laisa mujarrada taqdîm “tanbîhât jadîdah wa amtsilati jadîdah”, ia juga memberikan terobosan baru bagi disiplin keilmuan tentang Maqâshid. Kemudian gelar Al-Mu’allim al-Tsâni disematkan kepadanya oleh Ahmad al-

394

Komentar Golziher dalam penafsiran 'ilmi bahwa; "Al Qur'ân mencakup hal segala hakikat ilmiah yang diungkapkan oleh pendapat-pendapat kontemporer (pada masanya), terutama pada bidang filsafat dan sosiologi" lihat mazâhib al tafsir al Islamiy terj.dalam bahasa arab oleh 'Abd Mun'im al Najjâr, al Sunnah Muhammadiyyah, Kairo, 1955, h. 375. lebih lanjut lihat al-Syâtibi dengan komentarnya tentang tafsir ilmiy, muwafaqât,Dar al Ma'rifah, Beirut t.th. Jilid 2 hal. 80-2. dalam penafsiran ilmiy Ibnu Taimiyah juga mengomentari tafsir Ar-Râzi dengan mengatakan mengandung segala sesuatu kecuali tafsir itu sendiri. Kemudian belakangan komentar Ibnu Taimiyyah tersebut diulangi oleh Manna' Al Qatthan yang dinisbatkan pada karya Thanthâwi Jauhari. Lihat dalam mabâhits fi ulûm al-Qur’ân Mannâ’ Khalil al-Qaththân (Studi ilmu-ilmu al-Qur’ân), al-Mansyûrat al‘ashr al-hadits) cet. 3, 1973. 395 Ibn’Âsyûr, al-Tâhrir wa al-Tânwîr al-râbi’ah” hal. 8-9 Dar-el Tunisiyah linnasar. T. th. . perbedaan terebut seperti prinsip dan penafsiranya pada ayat-ayat hokum sebagaimana penulis uraikan, Ibn ‘Âsyur mengeksplorasi dengan teori gradual dan sementara Muhammad ‘Abduh dan Rasyîd Rihâ menggunakan prinsip-prinsip kaidah yang tidak kurang dari 33 (kaidah) yang dituangkanya sebelum menafsirkan sinâm al-Qur’ân atau surat al-Baqarah. Lihat foot note. 14.

170

Raisyûni, karena gagasannya dipandang menjembatani pengkajian maqâshid sebagai pendasaran ilmu Maqâshid al-syarî’ah.396 Ibn ‘Âsyûr (w.1973 M) sebagaimana dikatakan oleh Murid Abid al-Jabiri yaitu abdul Majîd al-Shaghîr bahwa ia telah mengumumkan (yu’linuhâ) cara pandang sejarah ilmiah dan metodologis yang digunakan untuk penelitian dan peletakan dasar ilmu Maqâshid al-Syarî’ah yang berbeda dengan kajian ilmu ushul al-syarî’ah (ushûlul fiqh) yang banyak dipengaruhi pendapat al-Syatibi (w.1388 M), gagasan ini mengelaborasi pandangan al-Syâtibi mengenai Maqâshid yang selama ini menginduk pada ilmu ushul fiqh dengan ilmu Maqâshid al-Syarî’ah. Ibnu ‘Âsyûr melihat bahwa peneliti yang berkecimpung pada ilmu ini membutuhkan kaidah-kaidah yang lebih luas dari sekedar kaidah yang selama ini digunakan pakar ushul (ahwaju ilâ qawâid awsa’ min qawâ’id ahl ushûl fiqh). Mereka yang menggunakan kaidah-kaidah ushul dalam dalam memberikan solusi kemaslahatan dengan memberikan contoh-contoh illat kemaslahatan problematika hukum-hukum kemudian dengan menggunakan metode qiyas untuk mengukur kesamaan (illat), namun tidak memperhatikan esensi dari

kesimpulan

hukum-hukum

(hikmah

al-tasyrî’)

yang

memungkinkan

bertumbuhnya problematika (illat-illat) hukumnya berkembang.397 Setelah melihat beberapa respon akademik dan penilaian terhadap gagasan dan konsep yang dibangun Ibn Âsyur dari konstruksi pemikiran Islam dan tafsirnya, paling tidak dalam prinsip-prinsip tafsirnya telah dituangkan sebelum menafsirkan dalam mukaddimah bab IV (fîmâ yahiqqu an yakûna gharad al-mufassir) hampir dari

396

Ahmad Al Raisyuni, cet IV th 1995 hal 335-341. bandingkan dengan gagasan yang dibangun oleh ustadz ‘Allâl al-Fâsi dalam Maqâshid al-syar’ah al- Islâmiyah wa makârimuha, Mu’assasah ‘Allâl al-Fâsi, wa mathba’ah al-Najâh al- hadîtshah (Dâr al-Baidhâ’, cet-4) 1411 H/1991 M, hlm 5. lihat juga al-Maysâwi Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyah , hal. 139. 397 Abdul Majîd Turkî Manâzharat fî ushûl al-Syarî’ah bayna ibn Hazm dan al-Bâjî, oleh Abdul al-Shabûr Syâhin, hal. 361,484 dan 511. lihat Maqâshid al-Syarîah al-Islâmiyah hal. 5-6. lihat juga tahqîq dirâsah al-Mâysâwî dalam Maqâshid al Syarîah al Islâmiyah, hal. 96-99. baca juga Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ hal. 41-43. lihat juga Ibn ‘Âsyûr dalam ushûlu al-Nizhâm... hal. 21.

171

setiap bagiannya Ibn ‘Âsyur mengkritik terhadap pemikiran, keyakinan, dan realitas kemasyarakatan yang menyimpang dari petunjuk Al-Qur’ân.398 C. Ibn ‘Âsyûr dan ortodoksi penafsiran Kontemporer Sebagaimana tulisan Abdul Ghaffâr ‘Abdur Rahîm mengelompokkan Ibn ‘Âsyur dalam Abnâ’ Madrasah Abduh, namun setelah penulis menelaah dengan seksama dari metode, corak, dan aplikasi Maqâshid al-Qur’ân dalam penafsirannya memiliki perbedaan sebagaimana penulis sampaikan pada bab sebelumnya, namun penulis juga menguatkan pandangan Abdul Ghaffâr disisi lain, penulis mensinyalir bahwa Muhammad ‘Abduh dan Râsyid Ridhâ selain pernah menjadi guru Ibn ‘Asyûr mereka [berdua] juga pioner dalam mengenalkan pendekatan metode penafsiran yang bercorak sosial kemasyarakatan (adab al-Ijtimâ’iy), yang nampaknya dalam tafsir Ibn ‘Âsyûr juga demikian.399 Demikian juga dengan ‘Abdul Qâdir Muhammad Shâlih dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘Ashri al-Hadîts, ia mengelompokkan Ibn ‘Âsyûr dalam deretan pakar tafsir umum kontemporer (tafsîr al-‘Âm), disejajarkan dengan beberapa Mufassir diantaranya Muhammad Jamaluddin al-Qâsimî dengan karyanya Mahâsin al-Tâ’wîl, dan shafwatu al-Tafâsîr karya monumentalnya ‘Ali al-Shâbûnî.400

398

Lihat prinsip-prinsip penafsiran Ibn’Âsyûr dalam al-Tâhrir wa al-Tânwîr vol. 1 hal. 38-41. bandingkan dengan prinsip-prinsip Muhammad Rasyîd Ridhâ dalam tafsir al-Manâr juz.11. hlm 104. lihat juga tilisan Mahmud Syahatah, Manhaj al-Imâm Muhammad ‘Abduh fî Tafsîr al-Qur’ân alKarîm, (Kairo:al-Majlis al-A’lâ li Riâyah al-Funûn wa al-adab aw al-Ulûm al-Ijtimâiyyah, 1963), hal.45; lihat juga Quraish Shihab, Studi Kritis, hal. 74. 399 Disebutkan dalam pengelompokannya Musthafâ al-Marâghî, Syaikh Muhammad Syaltût, Abdullah Darrâz, Muhammad Bâhi, Syaikh Muhammad Muhamamad al-Madanî dll. Lihat Abdul Ghoffâr, Abdurrahîm, Al Imam Muhammad 'Abduh wa mânhâjuhu fî al tafsîr, Mesir: Al markaz Al Arâbi li ats tsaqâfah wal ulûm, 1980, hlm 357. Bandingkan dengan apa yang ditulis oleh Abdullâh Mahmud Syahatah dalam karyanya manhaj al-Imâm Muhammad ‘Abduh fi tafsir al-Qur’ân al-Karîm (Kairo:al Majlis al a’lâli Ri’âyah al funûn wal adab wa al- Ulûm al Ijtimâ;iyyah 1963, hal. 33. dan karyanya yang berjudul ahdâf kulli sûrah wa maqâsiduhâ fî al-Qur’ân al Karîm, (Mesir; Haiah alMishriyyah, 1986), hal. 93-94. 400 Lihat lebih lanjut tulisan ‘Abdul Qâdir Muhammad Shâlih (Muhamad Shalih al-Alûsi) dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘Ashri al-Hadîts, (Dâr al-Ma’rifah Beirut Libanon), cet-1. 2003 M1424 H, hal. 109-152. lihat juga karya al-Fâdhil Ibn ‘Asyûr dalam al-Tafsîr wa rijâluhu, (Kairo; Dâr

172

Pembahasan terpenting untuk diperhatikan mengenai rigiditas/ortodoksi adalah bahwa ortodoksi/rigiditas kerap dihubungkan dengan dinamika sosial, politik, dan budaya pada masa tertentu. Dengan kata lain, sebuah teori, pendekatan, atau asumsi yang pada suatu masa tidak menjadi bagian dari ortodoksi bisa menjadi bagian darinya pada masa yang berbeda; begitu pula sebaliknya. Pada masa mihnah (218-234 H./833-848 M.),401 misalnya, pendapat bahwa al-Qur`ân merupakan sesuatu yang diciptakan (makhlûq) dianggap sebagai bagian dari ortodoksi.402 Sementara pada masa-masa berikutnya, pendapat sebaliknyalah yang dianggap ortodoks. Demikian pula dengan metode tafsir mawdhû‘î. Pada tahun 1967, ketika Muhammad Mahmûd Hijâzî menulis disertasinya yang kemudian diterbitkan dengan judul alWihdah al-Mawdhû‘iyyah fî al-Qur`ân al-Karîm, metode tafsir Mawdhû‘î masih ditolak oleh banyak petinggi Universitas al-Azhar.403 Belakangan, metode ini menjadi legitimasi ortodoks tafsir Sunni. Karya Muhammad Husayn al-Dzahabî al-Ittijâhât al-Munharifah fî Tafsir alQur`ân al-Karim: Dawâfi‘uhâ wa Daf‘uhâ, Analisis terhadap karya ini untuk menarik garis pembatas antara ortodoksi/rigiditas dengan deviasi dalam tafsir. al-Salâm 2007) hal. 242. ia adalah putra dari Thahir Ibn ‘Âsyur yang meninggal sebelum Ibn ‘Asyur wafat (1973) yaitu sekitar tahun 1970. 401 Mihnah adalah sebuah prosedur yang digunakan untuk menguji pendirian teologis seseorang menyangkut persoalan: apakah al-Qur`an diciptakan (makhluq) atau tidak. Prosedur ini diberlakukan oleh khalifah al-Ma`mûn serta dua khalifah lain setelahnya (al-Mu‘tashim dan al-Wâtsiq). Untuk detail yang lebih rinci, lihat M. Hinds, “Mihna”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition (Leiden: Brill Academic Publishers, 2003). Pencabutan dekrit mihnah oleh alMutawakkil pada tahun 234 H./848 M., berikut persekusi balasan yang dilakukan kaum tradisionalis Sunni terhadap kaum rasionalis Muktazilah, kerap dianggap sebagai momentum paling penting bagi terbentuknya ortodoksi Sunni. Lihat W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), hal. 253-254. Bandingkan dengan G.H.A. Juynboll, “Sunna”, dalam C.E. Bosworth dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition. Sejak saat itu, lawan politik dan ideologis terkuat kelompok Sunni praktis tinggal kelompok Syi‘ah. Dan tidak berapa lama kemudian, apa yang disebut kelompok Sunni, secara sederhana, menjadi identik dengan sebuah kelompok mayoritas di luar Syi‘ah. Lihat Jonathan P. Berkey, The Formation of Islam: Religion and Society in the Near East, 600-1800 (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), hal. 141. 402 J. R. T. M. Peters, God’s Created Speech: A Study in the Speculative Theology of the Mu‘tazilî Qâdhî l-Qudhât Abû l-Hasan ‘Abd al-Jabbâr bn Ahmad al-Hamadânî (Leiden: E. J. Brill, 1976), hal. 1-3. 403 Mohamed El-Thâhir El-Misawi, “The Meaning and Scope of al-Tafsir al-Mawdu‘i: A Comparative Historical Analysis” dalam Papers of the International Conference on the Qur`an and Sunnah: Methodologies of Interpretation, hal. 126-127.

173

Melalui penafsiran-penafsiran yang dianggap menyimpang, kita bisa mengetahui di mana batas-batas terluar dari ortodoksi sekaligus menilai apakah penyimpanganpenyimpangan itu telah cukup terliput dalam pemetaan yang telah dilakukan pada bagian sebelumnya. Al-Dzahabî membagi tafsir menjadi dua: bi al-ma`tsûr dan bi al-ra`y. Penyimpangan dalam tafsir bi al-ma`tsur terjadi akibat kesalahan pada sanadnya. Sementara itu, sebagian besar penyimpangan dalam tafsîr bi al-ra`y terjadi dalam dua hal berikut. Pertama, penafsir meyakini sesuatu lalu membawa lafaz al-Qur`ân untuk mendukung keyakinannya itu. Dengan kata lain, penyimpangan ini terjadi akibat perhatian yang terlampau besar kepada makna dengan mengabaikan lafaz. Kedua, penafsir melakukan interpretasi terhadap al-Qur`ân dengan hanya memperhatikan lafaznya dan mengabaikan konteksnya.404 Dari sini, dapat kita lihat bahwa al-Dzahabî mengembalikan sebagian besar penyimpangan tafsir kepada kegagalan sang penafsir untuk mengapresiasi prinsip orientasi tekstual (prinsip pertama) dalam tafsir al-Qur`ân. Maka ketika al-Sulamî (w. 412 H.) menyatakan bahwa perintah “uqtulû anfusakum” dalam surah al-Nisâ` [4]: 66 bermakna “memerangi hawa nafsu”,405 al-Dzahabî menganggapnya sebagai makna yang “tidak dikehendaki” (gayr murâdah) oleh teks al-Qur`ân.406 Akan tetapi, sebagaimana telah dijelaskan di atas, orientasi tekstual itu tidak sama dengan literalisme. Karena itu, penafsiran kata “mubsirah” dalam surah al-Isrâ` [17]: 59 dengan makna “[unta yang] bisa melihat”, meski sah secara literal, dianggap salah oleh al-Dzahabî lantaran ia tidak memperhatikan konteks ayat (siyâq alkalâm)—konteks yang sepenuhnya digali dari relasi antar bagian teks itu sendiri. Kata “mubsirah” dalam ayat tersebut seharusnya dimaknai sebagai “bukti yang jelas tentang kebenaran kenabian”.407 404

Al-Dzahabi, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 17-19. Al-Sulami, Haqâ`iq al-Tafsîr (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), hal. 154. 406 Al-Dzahabî, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 19. 407 Al-Dzahabî, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 22. Bandingkan dengan al-Qurthubi, Al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur`ân (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.) vol. 1, hal. 27. 405

174

Selanjutnya, al-Dzahabî menguraikan penyimpangan-penyimpangan tafsir yang dilakukan oleh tujuh kelompok, yaitu para penutur dongeng dan kisah (alakhbâriyûn wa al-qushsuas), para ahli nahw yang berafiliasi kepada mazhab nahw tertentu, orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa Arab, kelompok Muktazilah dan Syi‘ah, kelompok Khawârij dan para sufi, para pendukung tafsir saintifik (al-tafsir al-‘ilmî), serta para penyokong gerakan pembaharuan dalam tafsir. Penyimpangan yang dilakukan oleh kelompok al-akhbâriyyûn wa al-qushas sebagian besar disebabkan oleh fakta bahwa asumsi-asumsi teologis yang terkandung dalam penafsiran mereka itu bertentangan dengan apa yang dirumuskan dalam teologi Sunni (bertentangan dengan prinsip ketiga. Maka ketika al-Khâzin (w. 741 H.) mengutip sebuah kisah panjang tentang penderitaan Nabi Ayyûb dalam tafsirnya atas surah al-Anbiyâ` [21]: 73-74,408 al-Dzahabî menyangkal kandungan kisah tersebut dengan menulis, “Al-Qur`ân dan hadits (al-naql) telah menyatakan dengan tegas bahwa para pemimpin pasti memiliki sifat-sifat fisik yang istimewa, yang bisa melekatkan wibawa pada diri mereka….”409 Para penganut mazhab nahw yang fanatik, menurut al-Dzahabî, seringkali mengorbankan riwayat yang sahih demi teori linguistik yang mereka yakini (bertentangan dengan prinsip pertama). Al-Zamakhsyarî (w. 538 H.) dan Ibn ‘Athiyyah (w. 546 H.), dalam tafsir mereka berdua terhadap surah al-An‘âm [6]: 137,410 menolak sebuah qirâ’`ah yang mutawâtir dengan anggapan bahwa qirâ`ah

408

Al-Khâzin, Lubâb al-Ta`wîl fî Ma‘âni al-Tanzîl (ttp.: Dâr al-Fikr, tt.), vol. 3, hal. 268-273. Untuk mendukung pernyataannya ini, al-Dzahabî mengutip surah al-Baqarah [2]: 247, “Dan nabi mereka berkata kepada mereka, ‘Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thâlut menjadi raja kalian.’ Mereka menjawab, ‘Bagaimana mungkin Thâlut memperoleh kerajaan atas kami, sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan itu daripadanya, dan dia tidak diberi kekayaan yang banyak?’ [Nabi] menjawab, ‘Allah telah memilihnya [menjadi raja] kalian dan memberikan kelebihan ilmu dan fisik.’ Allah memberikan kerajaan-Nya kepada siapa pun yang Dia kehendaki, dan Allah Maha luas, Maha Mengetahui”. Lihat al-Dzahabî, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 35-36. 410 Lafadz ayat tersebut adalah sebagai berikut. 409

öΝèδäτ!$Ÿ2tä© öΝÏδω≈s9÷ρr& Ÿ≅÷Fs% šÅ2Îô³ßϑø9$# š∅ÏiΒ 9ÏWx6Ï9 š¨y— šÏ9≡x‹Ÿ2uρ

175

tersebut bertentangan dengan mazhab nahw yang mereka anut.411 Terhadap kecenderungan tersebut, al-Dzahabî menyatakan, “…Tidaklah layak bagi alZamakhsyarî maupun bagi orang lain untuk menjadikan mazhab nahw yang dia anut sebagai penilai kitâbullâh. [Sebaliknya], kitâbullâh adalah sumber yang harus dirujuk dan dijadikan argumen untuk menghakimi setiap pertentangan yang terjadi di antara para ahli nahw.”412 Diskursus penelitian tafsir yang mengkaji Maqâshid sebagai metodenya dengan tujuan dan maksud menyingkap kehendak al-Syâri’ dibalik makna teks perspektif Ibn ‘Âsyûr (w.1393 H), sejajar dengan pengkajian pendasaran normanorma hukum-hukum syari’ah dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, dalam pandangan Ibn Âsyûr dibagi menjadi dua tingkatan; pertama; Tujuan-tujuan ideal yang hendak dicapai dalam interaksi sosial kemasyarakatan (Maqâshid), dengan senantiasa melestarikan dan menjaganya serta mengaplikasikannya dalam konteks kehidupan sekarang dan akan datang. Kedua sebagai aspek perantara (wasîlah) yang selalu mengiringi dan mengikuti keadaan dari aspek pertama (Maqâshid) diatas.413 Penafsiran dan prinsip-prinsip yang dibangun Ibn ‘Âsyûr berupaya mewujudkan esensi dari problematika kehidupan sosial dengan tujuan-tujuan idealnya (Maqâshid) dengan (wasîlah) sebagai perantara pada kajian selanjutnya. Kajian mua’malah (tujuan dan segala aspeknya) diatas belum ada yang membahasnya secara mendalam dan rinci, kecuali yang telah diadopsi, seperti kajian yang pernah dilakukan oleh Izz al-Dîn bin ‘Abd al-Salâm dengan kaidah-kaidah-nya, dan mengelaborasinya dengan kajian al-Qarâfî. Kemudian Ibn Âsyûr menyederhanakan kajiannya, nampaknya disejajarkan dengan kajian Sadd Dzarî’ah (menutup celah yang

memungkinkan 411

terbukanya

pintu

kedurhakaan),

karena

terdapat

Al-Zamakhsyarî, Al-Kasysyâf, vol. 2, hal. 66-67 dan Ibn ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsir al-Kitab al-‘Azîz (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), vol. 2, hal. 349-350. 412 Al-Dzahabî, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 43. 413 Lihat Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr, ushûl Nizhâm al-Ijtimâ’iy fî al-Islam, al-Syirkah alTûnîsiyyah littawzî’ (Tunis) dan Dâr al-Wathaniyah lilkitab (al-Jazâir), 1985, hal. 21. lihat juga tahqîq dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarîah al Islâmiyah, Dâr el NafâisUrdun, 2001. hal. 413.

176

kemiripan/kesamaan, dan disebut demikian karena pencegahan bahaya sebagai perantara dan titik awal bertumpunya untuk mencapai tujuan-tujuan ideal yang dimaksud.414 Bagaimanapun juga Ibn’Âsyûr memiliki kekurangan sebagai mufassir disalah satu sisi, dan tegas dalam artian tidak menolerir misalnya pada mereka yang mengklasifikasikan ketidakrunutan tata letak surah sebagaimana dituangkannya pada mukaddimah, salah satu sisi ini ia dapat dikategorikan pada sebuah pandangan yang rigid, karena Ibn ‘Âsyûr tidak mengemukakan alasan-alasannya kenapa hal itu tidak layak diperbincangkan, disisi lain merupakan kontribusi pada kajian kequr’anan dalam wilayah tidak perlu diperdebatkan (tawqifi).415 Pada akhirnya elaborasi metode kontemporer/kontekstual dalam memahami al-Qur’an terus berkembang sejalan dengan berkembangya informatika dan globalisasi, mulai dengan mengklasifikasi tema-tema secara objektif, kemudian menata, melacak, (waktu maupun tempat) dengan memotret urgensitas asbâb al-nuzûl dalam melikat konteks turunnya ayat, (baik keumuman lafadznya maupun kekhususan sebabnya), penelusuran kemurnian/keaslian arti linguistik, yang kemudian dikonfirmasikan dengan karya-karya tafsir sebelumnya, sementara faham sektarian, dan riwayat berbau isrâiliyyât harus dihindarkan.416

414

Lihat tahqîq dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al-Syarîah alIslâmiyah, Dâr el Nafâis- Urdun, 2001. hal. 413. 415 Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 1, hal. 8. lihat juga uraian Ayâd Khâlid Thabbâ’, , ‘Ulamâu wa Mufakkirîn Mu’âshirîn, lanmahâtu min hayâtihim wa ma’rifatun bimu’allafâtihim, (Dâr al-Qalam, Damaskus, cet-1, 2005) hal. 7 416 Lihat ‘Âisyah ‘Abd Al-Rahmân Bint al-Syâthi’, al-Tafsîr al-Bayâni li al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo, Dâr al-Ma’ârif , 1968), cet-2, Jld. 1, hal.10. lihat juga Issa J. Boulatta dalam Modern Exegesis: A Study of Bint Shâthi’s Methods”, The Moslem World, vol. 64 (1974), hal. 107. baca juga disertasi Ahmad Syukri Shaleh dalam, Tafsir al-Qur’ân Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahmân (GP Press dengan Sultan Thaha Press 2007) cet-1, hal. 1-7.

177

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Elaborasi

Maqâshid

1393H/1879-1973

M)

yang

dibangun

tertuang

dalam

Ibn

‘Âsyûr

beberapa

(1296karyanya

dinyatakan bahwa keterpautan antara kajian Maqâshid al-Syarî’ah dan Pendasaran ilmu sosial kemasyarakatan Islam yang egaliter (ushûl Nizhâm al-Ijtimâ’i fî al-Islâmi) sangat erat, kajiannya-pun membutuhkan kaidah-kaidah yang lebih luas dari sementara kaidah-kaidah yang digunakan pakar ushûl fiqh (ahwaju ilâ qawâid awsa’u min qawâid ahl ushûl). Berbeda dengan kajian ilm ushûl yang disinyalir pembahasannya tidak kembali pada esensi Hikmah al-Tasyrî’, ia hanya berputar-putar pada problematika Istinbath hukum dari Nash Sharîh melalui kaidah-kaidah yang digunakan pakar (fuqahâ’) untuk beristinbath hukum, bersumber dari cabangcabang ataupun sifat-sifat (‘illat) hukum yang diambil dari AlQur’an. Hal inilah yang disinyalir penulis mempunyai korelasi dan keterpautan erat antara konsep Maqâshid al-Syari’ah dengan prinsip-prinsip penafsirannya [Maqâshid al-Ashliyyah]. Secara

makro,

karakter/cirikhas

dasar-dasar

penjelasan

fiqhiyyah (yatamayyaz mu’dhami ushûl al-istidlâliyyah) bersandar pada dugaan (al-dzann). Problematika al-Qath’iy dan al-dzannîy sebagai

dasar

[parameter]

perbedaan

dari

argumentasi-

argumentasi (Hujjiyyah), pengaruhnya terefleksi pada kajian fiqh (alladzî in’akasa atsaruhu fî fiqh). Bertolak dari penjelasan tersebut, Ulama

fikih

berupaya

mengeliminir

perbedaan-perbedaan

(argumentasi) sebagai dasar penegasan kaidah-kaidah/bukti-bukti

178

(al-istidlâl)

pada

kerangka

reformulasi

ilmu

ushûl

(fî

ithâri

‘amalihim al-Tajdîdî). Bagi Ibn ‘Âsyûr, pendasaran ilmu Maqâshid sebagaimana proyek ilmiah yang membuka kran/jalan pada orientasi al-syar’î (Masâlik al-tafaqquh) pada pendasaran tujuan ideal sebagai penyatuan pandangan dan gagasan teoritis para Fuqahâ’ (al-tawhîd fî al-tashawwurât al-nazhariyyah li al-Fuqahâ’). Kemudian Ibn ‘Âsyûr merumuskan delapan tujuan dasar (alMaqâshid pertama;

al-ashliyyah) memperbaiki

dari

diturunkannya

dan

mengajarkan

al-Qur`ân, akidah;

yaitu kedua;

mengajarkan nilai-nilai akhlak yang mulia; ketiga; menetapkan hukum-hukum syariat; keempat; menunjukkan jalan kebaikan kepada umat Islam (siyâsah al-ummah); kelima; memberikan pelajaran

dan

hikmah

keenam;

menyiapkan

dari

kisah

umat

bangsa-bangsa

Islam

untuk

terdahulu;

menerima

dan

menyebarkan ajaran-ajaran agamanya; ketujuh; al-Targhîb wa alTarhîb;

kedelapan;

membuktikan

kebenaran

risalah

Nabi

Muhammad saw. Melalui penilaian terhadap prinsip-prinsip tafsir Ibn ‘Âsyur dan gagasan elaborasi Maqâshid-nya dapat diinferensikan, secara lebih spesifik beberapa poin berikut ini; Pertama, Ibn Âsyûr merupakan pioner mufassir kontemporer, karya tafsirnya bersifat Umum dalam artian karyanya dapat dikelompokkan pada pelbagai jenis

penafsiran

tercermin

dari

klasik segi

dengan

resep

pembahasannya

modern, yang

hal

fleksibel.

tersebut Kajian

penafsirannya secara teoritis berupaya mewujudkan elastisitas makna, dengan menghindari penafsiran yang rigid hal ini dapat ditangkap dari asal judul kitab ini [Tahrîr ma’na al-sadîd wa Tanwîr al-‘aql jadîd] . Pendasaran dan upaya penafsirannya (disejajarkan

179

sebagaimana membangun tatanan norma-norma sosial/ushûl alNizhâm al-Ijtimâ’i) guna merealisasikan pencapaian kemaslahatan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan berkemanfaatan secara berkesinambungan. Kedua, hendaknya

Ibn

‘Asyûr

tujuan

penafsirannya]

mengingatkan

dan

maksud

didasari

pelbagai

dengan

seorang disiplin

menekankan;

mufassir keilmuan

[dalam mengenai

penafsiran kemudian diaplikasikan; dengan menjelaskan apa yang mampu dipahaminya dari kehendak Allah dalam al-Qur`ân dengan penjelasan sesempurna mungkin (bi atamm bayân), selaras dengan apa yang dikandung oleh maknanya (yahtamiluhû al-ma‘nâ) dan tidak bertentangan dengan lafaznya (walâ ya`bâhu al-lafdz). [Penjelasan

itu

bisa

berupa]

segala

sesuatu

yang

dapat

menjelaskan maksud dari Maqâshid al-Qur`ân, atau segala sesuatu yang menjadi dasar bagi pemahaman yang sempurna terhadapnya, atau apa pun yang bisa memerinci dan menjabarkan Maqâshid tersebut. Ketiga,

Maqâshid

al-Qur`ân

merujuk

kepada

[prinsip]

keumuman dakwah serta bahwa ia merupakan mukjizat yang abadi. Karena itu, al-Qur`ân mesti mengandung hal-hal yang bisa dipahami oleh orang-orang yang hidup di masa penyebaran ilmu pengetahuan, relevansi Al-Qur’ân sebagai kitab petunjuk umat Manusia (shâlih likulli zamân wa makân) semakin kokoh dengan pelbagai pendekatan dan pemahaman [tafsir]. guna

tercapainya

kemaslahatan

umat

Kesemuanya itu

manusia

(amra

al-Nâs

kâfatan), sebagai manifestasi ketentraman dan kesejahteraan hidup yang diperuntukkan mereka [umat Muhammad] sesuai

180

dengan

skenario

kehendak

Allah

[terhadap

makhluk-Nya],

(Rahmatan lahum litablîghihim murâdullâh minhum). Pada akhirnya, kajian Maqâshid al-Qur’ân dalam perspektif Ibn ‘Âsyûr,

dan

perkembangan

penelitiannya

ini

bukan

saja

mengedepankan cara kerja akal dan pemenuhan rasionalitas yang integral, namun dibalik itu juga terbersit ide-ide besarnya untuk mewujudkan

kemurnian

penafsiran,

dan

menghindari

mereka

mufassir yang tidak mengetahui tujuan penafsirannya (min al-Inhâi man yufassiru al-Qur’ân bimâ yadda’îhî bâtinan yunâfî maqshûdu al-Qur’ân), hematnya, bahwa yang membedakan diantara mereka (al mufassir) adalah konsep dan prinsip-prinsip yang mendasari penafsiran (al-Maqâshid allatî nazala al-Qur’ân libayânihâ) untuk menyingkap

tujuan-tujuan

yang

hendak

dicapai

dalam

penafsirannya. Selanjutnya,

suatu

penafsiran

(al-Mufassir)

dapat

kita

jangkau dan diketahui penjelasannya dari korelasi dengan tujuan (al-ghâyah) inheren dan integrated yang hendak dicapai [mufassir] dalam penafsirannya tersebut. Dengan kata lain, mengukurnya melalui prinsip-prinsip penafsirannya (miqdâru mâ awfâmin alMaqshad

wa



tajâwazahu).

Dari

sinilah

pembaca

dapat

membedakan mereka yang keluar dari koridor prinsip-prinsip dan tujuan penafsirannya, dan perbedaan dari uraian dan rincian makna tiap-tiap penafsirannya, yang kemudian mengutarakan kesimpulan beberapa pendapat Ulama’ yang menguasai dari pelbagai disiplin keilmuan.

B. Saran-saran/Implikasi penelitian

181

Kontribusi Ibn ‘Âsyûr bagi kajian-kajian ilmu tafsir dan pendasaran ilmu Maqâshid masa depan tidaklah terletak pada persoalan apakah dia ortodoks atau heterodoks, tetapi pada konsep dan gagasan teoretis yang guna mewujudkan tatanan disiplin metodologi keilmuan yang integral. Kajiannya mampu mempengaruhi pandangan dan pemahaman komunal cenderung primitive menjadi terbuka, elastis, dan liberal dalam artian [tidak alergi pada disiplin keilmuan & aplikasi metode produk barat], guna mencapai suatu kesimpulan general. Tentunya sejalan dengan upaya mewujudkan kemaslahatan umum/makro, berkesinambungan pada tatanan masyarakat madani, egaliter dan berperadaban secara Islami. Apa yang dilakukan dalam penelitian ini barulah pada tahap elaborasi terhadap beberapa konsep rumusan teoritis tersebut, dan mulai pada tahap pengembangan dan aplikasi. Salah satu yang menarik dari gagasan Ibn ‘Âsyûr adalah konsepsinya tentang keharusan mempertimbangkan kemaslahatan, kebebasan (Hurriyyah) dalam aplikasi teoritisnya. Ia bertitik tolak dari lintas batas yang particular, untuk mewujudkan makna elastis, tidak sekedar menggunakan kaidah-kaidah pakar [ahl] fiqh namun juga mengkorelasikannya pada sebuah “nilai” atau dengan kata lain hikmah al-Tasyrî’. Akan sangat berharga apabila dilakukan penelitian tentang bagaimana menafsirkan sebuah tema dalam al-Qur`an melalui, pertama, pengurutan ayat-ayat tentang tema tersebut secara kronologis, lalu, kedua, kategorisasi ayat-ayat yang bersifat general untuk dijadikan dasar bagi penafsiran ayat-ayat lain yang lebih partikular, untuk kemudian menghasilkan, ketiga, perumusan pandangan al-Qur`an tentang tema yang bersangkutan melalui sebuah analisa interpretatif yang sistematis. Dengan cara tersebut, teori Ibn ‘Âsyûr tentang tajâwaz al-manhâ al-Tajzî’î dalam memahami norma-norma hukum syarî’ah dengan susunan yang berbeda-beda, yang kemudian dapat diaplikasikan, dinilai, serta diuji. Dapat dilakukan penelitian lain yang lebih aplikatif, empirik dengan model bentuk kajian atas pengaruh gagasan Ibn ‘Âsyûr terhadap penafsiran ayat-ayat hukum oleh para ilmuwan dan pemikir Indonesia di masa modern. Kajian tersebut menarik,

182

sebab, Indonesia posisinya [sebagai Negara berkembang], dengan masyarakatnya yang heterogen; mulai agama, ras, suku, gerakan-gerakan dan aliran tertentu didalamnya terakomodir dibawah naungan Republik. Karenanya, hukum Islam dapat diterapkan lebih fleksibel, elastis dan liberal (tentunya tidak menafikan prinsipprinsip Hikmah Tasyrî’) melalui konsep ilmu Maqâshid al-syarî‘ah. Namun perlu pencermatan dan evaluasi [korelasi] dari pandangan Ibn ‘Âsyûr tentang gagasan dan pemahaman teks al-Qur`an (penafsiran), kemudian diinterpretasikan dan digunakan dalam konteks gerakan toleransi dan pengembangan keberagamaan di Indonesia. Mengingat Indonesia mayoritas pemeluknya adalah Islam. Agaknya tidak berlebihan penulis mengutip pandangan Shabbir Akhtar dalam Qur’ân and The Secular Mind, (British Library 2008, hlm. 164). Ia optimis bahwa Indonesia -dengan mayoritas pemeluk agama Islam terbesar di dunia-, disinyalir satu-satunya Negara dan penduduknya [diprediksi] mampu berkembang secara proaktif sinergis sejalan dengan misi dan tujuan-tujuan Syara’ (Maqâshid al-Syarî’ah).

183

DAFTAR PUSTAKA Abd Al-Salam, al-Imam Izzuddin, Abdullah Yahya al-Kamali "Maqâshid al syariah fi dhâu'I fiqh al Muwâzanah” (Dar Ibn Hazm,cet 1 Beirut-Lebanon) --------, Qawâid al-Ahkâm fî Mashâlih al-anâm, (Beirut; Lubnân Dâr al-Jîl 1980) Abduh, Muhammad, Rasalah tawhîd, (Dar al-Ihya’ al-ulum) cet.2 1977 Abdur, Rahmân, ’Abdur Rahîm Ibn Abdullah al-Dirwisy, al-Syarâ’i’al-Sâbiqâh, (Huqûq al-Thaba’ mahfûdzah li al-Mua’llif, Riyadh) Abdurrâhim, ‘Abdul Ghaffar, Al-Imâm ‘Abduh wa manhajuhu fî Tafsîr, Mesir: Al Markaz Al-Arâbi li ats tsaqâfah wal ulum, 1980 Abu Zayd, Naqd al-Khitâb al-Dînî (Kairo: Sina li al-Nashr, edisi Pertama, 1992). Abu Zayd, Nashr Hamid, Mafhûm al-nash: Dirâsah fi ‘ulûm al-Qurân (Beirut: alMarkaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, edisi II, 1994) . Al-Akk, Khâlid ‘Abd al-Rahmân, Usul al-Tafsir wa Qawâ‘iduhu, (Beirut: Dar alNafais, cet. 2, 1986) Ali, al-Shirâzi Abu Ishâk Ibrahîm bin syarh Luma’,ed. Abd Majîd Turki, (Dâr alGharb al-Islami, 1988 vol.I Al-Alûsi, Syihabuddîn Sayyid Mahmud, Rûh al-Ma’âni wa sab’ al-Matsâni, Idârah thab’ah al-munîriyyah wa dâr al-Turats al-‘rabiy Beirut Libanon Al-Âmidiy, Syaifuddîn, al-Ihkâm fî ushûl al-ahkâm, (Beirut; Dâr al-Kutub al‘Ilmiyah 1983) Al-Anshari, Zakariya, Al-Hudûd al ‘Anîqah wa al Ta’rifât al Daqîqah, Beirut: Dar al Masyari’,1425 H/ 2004 M. Arkoun, Mohammed, “Rethinking Islam Today” dalam Mapping Islamic Studies, [ed] Azim Nanji Al- Atîq, al-Shahabiy, al-Tafsîr wa al-Maqâshid ‘ind Syaikh Muhammad Thâhir Ibn ‘Asyûr (Dâr Tûnis al-Sanâbil, 1410 H/1989 M) Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur`an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

184

Al-Baidhâwi dalam, Anwâr al-Tanzîl wa asrâr al-Ta’wîl, (Beirut, Dâr al-Kutub al ‘ilmiyyah 1993/ 1413 H) Al-Bâji, Abu al-Wâlid bin khalaf, Ihkâm fushûl fî ahkâm al-ushûl, Abd Majîd Turki,ed. (Beirut, Dar al-Gharb al-Islami, 1986) Balbás, L. Torres dan G.S. Colin. “Al-Andalus”, dalam Bosworth, C.E., dkk. [ed.]. The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition. Leiden: Brill Academic Publishers, 2003. Baltâjî, Muhammad, Umar Ibn al-Khaththâb fî al-Tasyrî’, (Dâr al-Salam li alThaba’a wa al-Nasyar wa al-Tawzî’ wa al-Tarjamah) cet-2, 2003 M/1424 H Al-Banna, Gamal, tafsir al-Qur`ân al-Karim baina al-qudama’ wa al—muhadditsin, (terjemahannya, evolusi tafsir, Qisthi Press 2004 hal 138). Al-Bashri, Abu al-Husayn. Kitab al-Mu‘tamad fi Ushûl al-Fiqh. Damaskus: alMa‘had al-‘Ilmi al-Faransi li al-Dirasat al-‘Arabiyyah, 1964. Bausani, A. “Bab”, dalam The Encyclopedia of Islam, WebCD Edition, 2003. Berg, Herbert. The Development of Exegesis in Early Islam: The Authenticity of Muslim Literature from the Formative Period. Richmond: Curzon Press, 2000. Berkey, Jonathan P. The Formation of Islam: Religion and Society in the Near East, 600-1800. Cambridge: Cambridge University Press, 2003. Al-Biqâ‘i, Burhân al-Din Abû al-Hasan Ibrahim ibn ‘Umar. Nazm al-Durar fi Tansub al-Ayat wa al-Suwar. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995. Boullata, Issa.J. [ed.]. “Sayyid Qutb’s Literary Appreciation of the Qur’an”, Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’an. Surrey: Curzon Press, 2000. --------, Books Reviews: Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation” The Muslim World 67 (1977) --------, Modern Qur’an Exegesis’ A study of bint al-Syâti’ method’. The presents Status of Tafsir Studies’ in The Moslem World, vol. 72, 1982 Al-Bûty, Sa’îd Ramadhân, Dhawâbit al-Maslahah fî Syarî'ah Islâmiyah (muassasah Risalah, 1987) Calder, Norman, “Tafsir from Tabari to Ibn Kathir: Problems in the description of a genre, illustrated with reference to the story of Abraham”, dalam G.R.

185

Hawting dan Abdul-Kader A. Shareef [ed.], Approaches to the Qur’an (London dan New York: Routledge, 1993) Calder, Norman, “The Limits of Islamic Orthodoxy”, dalam Farhad Daftary [ed.]. Intellectual Traditions in Islam (London: I.B. Tauris, 2000) Dahlan, ‘Abdul ‘Aziz (editor) ”Ensiklopedia hokum Islam” (PT. Ichtiar baru van hoeve cet-7 2006) Darrâz, ‘Abdullah, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî‘ah. Beirut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyyah, T.th. Dirrâz, Al-Naba` al-‘Azim: Nazarat Jadidah fi al-Qur`ân. Kuwait: Dar al-Qalam, cet. 4, 1977. Darwaza, Izzat Muhammad, al-Tafsir al-Hadîts, Beirut Dâr al-Gharb al-Islâmi, 2000, cet-2 Dhaghâmin Ziyâd Khâlil, al-Tafsîr al-mawdhû’i wa manhajiyyah al-bahtsi Fîhi (‘Ammân:Dâr al-‘Ammâr 2007 M) --------, manhaj Ta’amul ma’a al-Qur’ân fi fikri syeikh Rasyîd Ridhâ,(Universitas Kuwait, dalam Majalah al-syarî’ah wa dirâsat al-Islâmiyyah). Duski. “Metode Penetapan Hukum Islam Menurut al-Syatibi”: Suatu Kajian tentang Konsep al-Istiqrâ` al-Ma‘nawî”. Disertasi pada Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2006. Al-Dzahabi, Muhammad Husein, Al-Tafsir wa al-Mufassirûn, juz I, (T.tp.: Mush’ab bin Umar: 2004) Dzirikli, Khayr al-Din Al-A‘lam: Qâmus Tarâjim li Asyhar al-Rijâl wa al-Nisâ` min al-‘Arâb wa al-Musta‘ribin wa al-Mustasyriqin, vol. 1 (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, cet. 9, 1990) Al-Farmawi, Abd Hayy, “al Bidâyah fi Tafsir al Maudu'I” Kairo, al- Haharah alarabiah, cet. Ke-2, 1977 Al-Fâsî, Ustadz ‘Allâl, Maqâshid Syarî’ah Islâmiyyah wa Makârimuhâ, Maktabah Wihdah al-‘Arabiyyah, al-Dâr al-Baidhâ’ 1963 Fayyûmi, Ahmad dalam al-Misbah mu’jam Arab-arabi (Beirut Maktabah Lubnân, 1990 Fierro, Maribel. “Al-Shatibi”, The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition, 2003.

186

Gätje, Helmut. The Qur'ân and Its Exegesis: Selected Texts with Classical and Modern Muslim Interpretations, terj. Alford T. Welch. Oxford: Oneworld Publications, 1997. Al-Gharmawiy, Ahmad, al-Islâm fî ‘ashr al-‘ilmiy, Dâr al-Kutub al-haditsah alSa’âdah, Kairo, 1978 Ghazali, A. Muqsith. “A Methodology of Qur`anic Text Reading”, dalam ICIP Journal, vol. 2, no. 4, Agustus 2005. Al-Ghazâli, Abu Hâmid, Al-Mustashfâ min ‘Ilm al-Ushûl, Beirut: Mu`assasah alRisalah, 1997. --------, al-Mankhûl min ta’lîqât al-Ushûl edt. Muhammad Hasan Haytu (Dar al-Fikr Damaskus, 1980) --------, Jawâhir al-Qur’ân wa Duraruhu (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), cet. Ke-1 --------, Syifâu al-Ghalîl fî bayâni al-Syibhi wa al-makhîl wa masâlik al-ta’lîl tahqîq Ahmad al-Kubaysî (Baghdad Mathba’ah Irsyâd 1971/1390 M) Al-Ghazâli, Muhammad, Nahw Tafsîr Mawdhû‘i li Suwar al-Qur`ân al-Karim. Kairo: Dar al-Syuruq, cet. 3, 1997. Goldziher, Ignaz. Madzâhib al-Tafsir al-Islami, terj. ‘Abd al-Halim al-Najjar. Kairo: Maktabah al-Sunnah al-Muhammadiyyah, 1955. Grunebaum, G.E. von. “I‘djaz”, dalam The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition, 2003. Günther, Ursula. “Mohammed Arkoun: “Towards a radical rethinking of Islamic thought”, dalam Suha Taji-Farouki [ed.]. Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an. Oxford: Oxford University Press, 2004. Al-Hafanawi, Muhammad Ibrahim. Dirâsat fi al-Qur`ân al-Karîm Kairo: Dar alHadits, T.th. Hallaq, Wael B. “A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh”. Cambridge: Cambridge University Press, 1997. Hamadah, Farûq, Madkhal ilâ ulûm al-Qur’ân wa al-tafsîr, Maktabah al-Ma’ârif, Rabat Marroco, 1997 Hammâdi Al- 'Ubaidi, Ibn Rusyd wa 'ulûm al-Syarî’ah al Islâmiyah, (Dar el Fikr al'Arabi-Beirut). Hans Whr, a Dictionary of Modern Written Arabic (Beirut Maktabah Lubnân, 1980), cet. Ke-3 Hasan, Muhammad Ali, al-Manâr fî ulûm al-Qur’ân, Dâr al-Arqâm, cet-I, amman

187

Hasani, Ismail. Nadzâriyyah al Maqâshid ind imâm Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr, cet-1 th 1995 Hawwa, Sa’îd, al-‘Asâs fî tafsîr, (Dâr al-Salâm li al-Thabâ’ah wa al-Nasyar wa altawzî’) cet.6, 1424 H-2003 M Hayyân, Abû (w. 745 H) dalam, al-Bahru al-Muhîth,(Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, cet-1 2001/1422 H)Hawting, G.R dan Abdul-Kader A. Shareef [ed.], Approaches to the Qur’an (London dan New York: Routledge, 1993) Hidayat, Komaruddin, Menafsirkan Kehendak Tuhan, (Teraju Jakarta) cet.II 1996 Hijâzi, Muhammad Mahmud, al-wahdat al-mawdhû’iyyah fî al-Qur’ân al-Karîm, (Zaqâziq: Dâr al-tafsir, 1424 H/ 2004 Ibn ‘Âsyûr, (tahqiq) Muhammad Thâhir Al-Maisâwi, Maqâshid al syaria'h Al Islâmiyah, (Dar al Nafais Urdun, cet-2 2001) --------, Alaisa al-Shubhu Biqarîb, (Dar-el Tunisiyah li al-Nasyar dan Dâr al-Salâm, cet-1 2006 M/1428). --------, al-Harakah adabiyyah wa al-Fikriyyah fî Tunis, (Kairo; Nasyr Ma’had alDirâsah al-‘Arabiah) --------, “ Al-Tahrîr wa at-Tanwîr” (Dar-el Tunisiyah linnasar. T. th). --------, Ushûl Nidhâm al-Ijtimâ’î, (Dâr al-Suhnûn li al-Nasyar wa al-Tawzî’ 2006) Ibn ‘Âsyûr, Muhammad al-Fâdhil, al-Tafsîr wa Rijâluhu, (Dâr Tûnisiyyah li alNasyr) --------, Tarâjum al-a’lâm (Dâr Tunisiyyah li al-Nasyr) --------, Kasyfu al-Mughtî ‘an al-Maânî wa al- alfâdz al-Wâqi’ah fî alMuwatha’(Syirkah al-Tunisiyyah li al-Tawzî’, 1976 Ibn ‘Atiyah, Muharrar al-Wajîz fî al-Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, tahqîq ‘Abdul al-Salâm ‘Abd al-Syâfî Muhammad (Beirut, Dâr al-Kutub al ‘ilmiyyah 1993/ 1413 H) Ibn al-‘Arabi, Abû Bakar, Ahkâm al-Qur’ân, (tahqîq ‘Ali Muhammad al-Bajâwî, (Beirut; Dâr al-Ma’rifah) Ibn al-Qayyim, Miftâh al-Dâr al-Sa’âdah wa Mansyûrah wilâyah al-‘Ilm wa alIdârah, (Mesir, Mathba’ah al-Sa’âdah) 1323 Ibn al-Qayyim, Syamsu al-Dîn Abû Abdillah Muhammad bin Abi Bakar, I’lâm alMu’awwiqîn ‘an Rabb al-‘âlamîn, tahqîq ‘Abd Rauf Saîd, (Maktabah Kulliyyah al-Azhariyah 1967)

188

Ibn Khaldûn , al-Muqaddimah (Beirut; Dâr al-Fikr T.th) Ibn Manzhûr (Abû Fadl Jamâluddîn Muhammad ibn Mukrim) (w. 117 H) “Dâr Lisân al-Arab” (Beirut:Libanon) Ibn Rabî’ah, ‘Abdul Azîz bin ‘Ali ‘Abd ar-Rahmân ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ (Riyadh, Maktabah Muluk Fahd al-Wathaniyyah atsnâ al-Nasyr, cet-1 2002 ) Ibn Taimiyyah, al-Fatawa ( al Ribath; Maktabah Maâ’rif) 32/324. baca juga al-Qiyâs fî al Tasyrî’al-Islâmi, (Beirut, Libanon,; Dâr al-âfâq al-jadîdah) cet-4 1980 Ibn Taimiyyah, I’lâm al-Muwaqqiîn ‘an Rabb al-‘Alamin, tahqîq Muhammad Muhyiddin ‘abd al-Hamîd (Beirut Libanon, Dâr al-Fikr, Mah’baah alSa’âdah). Ibn Taimiyyah, Muwâfaqât al-sharîh al-Ma’qûl li shahîh manqûl, Cairo 1321. Ibn, Sa’ad, Thabaqât al-Kubrâ, t.th. jld.5 Ikhwan, Muhammad Nur Kritik Kontemporer Atas Pemikiran Islam: Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003) Iyazi, Ali, Al-Mufassirun Hayâtuhum wa Manhajuhum, Mu'assah Thaba'ah wa an Nasyr wizârah al Islâmi, cet-1,1373 H. J.M.S Baljon, Modern Muslim Interpretation Leiden,: E.J.Brill 1968 Al-Jâbiri, ‘Abid, “Nahnu wa al-Turats Qirâ’ah Mu’âsirah fî turâtsinâ al-Falsafî”, (Casablangka:al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1986) --------, ‘Abid, Bunyâh al-‘Aql al-‘Arâbi: Dirâsah Tahliliyyah Naqdiyyah li Nuzum al-Ma‘rifah fi al-Tsaqâfah al-‘Arâbiyyah (Beirut: al-Dar al-Bayda`, cet. 7, 2000) --------, ‘Abid, Muhammad ‘Âbid al-Jâbiri, Wijhâh al-Nazâr (Beirut: Markaz Dirâsat al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1994), cet. 4 --------, ‘Abid, Turats wa al-Hadatsah Dirâsah wa al-Munâqasah (Beirut, Markaz alTsaqafî al-‘Arabi, 1991) Jansen, J.J.G, Diskursus Tafsir al-Qur’ân Modern, Tiara wacana, Yogyakarta, 1997 --------, The Interpretation of the koran in modern Egypt, Leiden,: E.J.Brill 1974) Johnston, David, “A Turn in the Epistemology and Hermeneutics of Twentieth Century Usûl al-Fiqh”, dalam Islamic Law and Society, Edisi 11, No. 2, Juni 2004

189

Al-Juwayni Abû al-Maâ’lî, al-Burhân fî ushûl al-fiqh, tahqiq Abd al-‘Azîm al-Dayb, (Mesir, Dâr al-Anshar 1400) cet-2 Kahhalah ‘Umar Ridha, Mu‘jam al-Mu`allifin: Tarâjim Musânnifi al-Kutub al‘Arâbiyyah, vol. (Beirut: Dar Ihyâ` al-Turâts al-‘Arâbi, 1957) Kamalî, S.A.Abu Kalâm Azad’s Commentary on The Qur’ân’, in The Moslem world, vol. 49, 1959 Al-Kaylânî, ‘Abd al-Rahmân Qawâ‘id al-Maqâshid ‘Inda al-Imâm al-Syâtibi, al Ma'had Al a'limiy lil fikri al Islamiy 1421 H/2000 M Khâlid, ibn ‘Utsman al-Sabt, ”Qawâ ‘id al-Tafsir Jam‘an wa Dirâsatan” (Kairo: Dar Ibn ‘Affan, 1421 H.) Al-Khâlidî, Shalâh ‘Abd al-Fattah, Al-Tafsir al-Mawdû‘î bayna al-Nazariyyah wa alTatbîq Makhluf, Husain, Syajarat al-Nûr al-Zakiyyah fî thabaqât al-Mâlikiyyah, (Beirut:Dâr al-Kitab al-’Arabiy, cet, 1, 1349 H Makhlûf, Louis, Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam (Beirut Dâr al-Masyriq, 1986) cet. Ke-28 Al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghi, (Syirkah maktabah wa mathba’ah musthafâ libâb al hilabi wa aulâduh Mesir) cet-1, 1946 M-1365 H Meftah, Jilani Ben Touhami, “Al-Fahm al-Hadatsi li al-Nash al-Qur`ânî: Âyata alMîrats Namûdzajan Tatbîqiyyan” dalam Buhûts Mu`tamar Manâhij Tafsir alQur`an al-Karim wa Syarh al-Hadîts al-Syarîf (Kuala Lumpur: Dept. of Qur`an and Sunnah Studies, Kulliyyah of IRKHS, IIUM, 2006) Muhajir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, [Yogyakarta: Rake Sarasin2000] . Al-Munawwar, Said Agil Husain, Al-Qur’ân membangun Tradisi Kesalihan Hakiki, (Ciputat Pers Jakarta, cet-1 2002) Naim, Abdullah Ahmed versi (terj.) "Dekonstruksi Syariah" (LKis Yogyakarta cet. IV 2004) Nasuhi, Hamid, Dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi), Jakarta: CeQDA Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, , 2007 M.

190

Al-Qaradhâwi, Yusuf, Dirâsah fî fiqhi Maqâshid al syarî’ah baina al Maqâshid al kulliyah wa al nushûs al juzi’yah ( Kairo, Dâr al Syurûq cet. I 2006 ) --------, Kaifa nata’âmal ma’a al-Qur’ân, diterj. Oleh (gema Insani Press. Cet 1 1999) Al-Qarâfi, Syarh tanqîh al-fushûlfî ikhtishâri al-Mahsûl, (Kairo Mesir; Dâ al-Fikr Lithaba’ah wa tawzi’wa al-nasyr 1973/1393 H) cet-1 Al-Qaththân Mannâ’ Khâlîl, mabâhits fî ulûm al-Qur’ân, Mu’assasah al-Risâlah, Beirut, 1983 Qutb, Sayyid, Fî Zilâl al Qur’ân, (Dar Ihya al Kutub al Arabiyah, t.th). Rahman, Fazlur, Islam and Modernity (University of Chicago Press, 1984) --------, the Major Themes of The Qur’ân, Minneapolis: Bibliotheca Islmamica, 1994. Al-Raisyuni, Ahmad. Nadzâriyyah al Maqâshid ind imâm Al Syatiby, cet IV th 1995 Al-Râzi, Muhammad Fakhruddîn, al-Mahsûl fî ilm ushûl al-fiqh, tahqîq Tahâ Jâbiri Fayâdh Alwâni (Mathbû’at Jâmiah al-Imam Muhammad Ibn Saûd al Islâmiyyah) cet-1. --------, Tafsîr Mafâtih al-Ghayb (al-Fakhru al-Râzi) , (maktabah al-tawtsîq wa aldirâsât fî Dâr al-Fikr, cet. 1, 2005) Ridhâ, Muhammad, Rasyid, Al-Wahyu al Muhammady, (Mesir: Az zahro li al-I’lam al-Araby 1988) --------, Tafsir al Manâr, Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 1420 H/ 1999 M. --------, Tafsir al-Qur’ân al-Hakim, (Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah, 1999) cet. 1 Rippin, Andrew, Muslims; Their Religious Beliefs and Practices, Vol II, (New York; Routledge; 1995) SG.Vesey- Fitzgerald, "Nature and Sources of the Shari'a" dalam Law in the middle East, Khadduri- Liebensny, T.th. Al-Shabûniy, Muhammad Ali, al-Tibyân fî ulûm al-Qur’ân, Maktabah al-Ghazâli Damaskus 1401 H Shadr, Baqr, Ijtihâd wa al-tajdîd fî fiqh al-Islâmiy (Beirut: Mu’assasah al-Dauliyyah cet.1 1419 H/1999 ) --------, al-Sunan al-Târîkhiyyah fî al-Qur’ân (Beirut: Dâr al-Ta’âruf li al-Mathba’ât) Shâlih, ‘Abdul Qâdir Muhammad, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘Ashri alHadîts,(Beirut; Dâral-Ma’rifah, 2003, T.th)

191

Shihab, M. Quraish, Membumikan al Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2006) --------, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2000 --------,Rasionalitas Al Qur’an, Studi Kritis atas Tafsir al Manar”, Jakarta: Lentera Hati1428 H/ 2007 M. Sumaih, Imrân Nazzâl, al-wahdat al-Târîkhiyyah li al-suwar al-Qur’ânîyyah, (‘Ammân:Dâr al-Qurrâ’ 1427 H/2006 M) Al-Suyûthi, Jalâluddîn Abdur Rahmân al-itqân fî ulûm al-qur’ân (Beirut; Maktabah al-Tsaqafiyyah, 1973 ) --------, Bughyah al-Wu’ât fî thabaqât al-lughawiyyîn wa al-Nuhat, tahqîq Abû Fadl Ibrâhîm, (’Isa al-Bâb al-Halabî 1384 H cet-1) --------, Lubâb al-Nuqûl fi asbâb al-Nuzûl (Dar Tunisiyyah li al-Nasyr Tunis 1981) Al-Syâfi'I, Abu Abdullah Muhammad bin Idris, al-Risâlah tahqîq Ahmad Muhammad Syâkir, (Kairo, cet-2 1979) --------, Al-Umm, (Kairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariah 1961) Syahâtah, ‘Abdullâh Mahmûd Bashâ`ir Dzawî al-Tamyîz fî Lathâ`if al-Kitâb al-‘Azîz, Ahdâf Kulli Sûrah wa Maqâsiduhâ fî al-Qur`ân al-Karîm (Kairo: al-Hay`ah al-Mishriyyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, cet. 3, 1986) --------, “Muqâtil ibn Sulayman: Dirâsah ‘an al-Mu`allif”, Al-Asybah wa al-Nadhâ`ir fî al-Qur`ân al-Karîm (Kairo: Al-Hay`ah al-Misriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, cet. 2, 1994) Syahrûr, Muhammad, al Kitab wa al Qur’an: Qirâ’ah Mu’asirah ( Damaskus: al ahali li al Tiba’ah wa al Nasyr wa al Tawzi’, 1990) Syaltût, Mahmud tafsir al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo: Dâr al –Syurûq, 1988), cet-11. --------, al-Islam ‘Aqidah wa al-Syari'ah’ (Matbaah al-Azhar-Kairo 1951) --------, min Hadyi al-Qur’ân (Dar al-Kutub al-‘arabiy li al-Thaba’ah wa al-Nasyr) --------, ilâ al-Qur’ân al-Karîm (Kairo; al-Idarah al-‘Ammah li al-Tsaqafah alIslamiyyah, t.th.) Syamsuddîn, Muhammad Syaikh Mahdi, al-Ijtihâd fî al-Islam, majalah Ijtihâd (Dâr al-Ijtihâd Beirut)1411/1990 Al-Syârâwî, Mutawalli, Tafsir al-Sya’râwi, (Dâr akhbâr al-Yaum, Mesir 1991) Syarifuddîn, Amir, Ushûl Fiqh, (penerbit Logos, cet-1 1997) Syarqâwi, Ahmad Muhammad, al-wahdat al-mawdhû’iyyah li al-Qur’ân al-Karîm,

192

Syarqâwi, Iffat, Qâdhâyâ Insâniyyah fi ‘amal al mufassirin, mesir: maktabah Syabâb, 1980 Al-Syâtibî, Abû Ishâk, al-I’tishâm tahqîq Muhammad Rasyîd Ridhâ. --------, al-Muw^afaqât fî ushûl al-Syarî’ah, dhabt wa ta’lîq Abdullâh Darrâz, (Beirut; Dâr al-Ma’rifah t.th) Al-Syirbashi Ahmad, Qisshah al-Tafsîr, (Qisshah Tafsir, (Kairo: Dâr al-Kalaâm, 1962) Al-Thabarî, Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr Jâmi’ al-Bayân ‘an ta’wîl ayy alQur’ân, tahqiq Ahmad Mahmûd Muhammad asyakir (Dâr al-Ma’arif, Mesir) Thabbâ’, Ayâd Khâlid, ‘Ulamâu wa Mufakkirîn Mu’âshirîn, lanmahâtu min hayâtihim wa ma’rifatun bimu’allafâtihim, (Dâr al-Qalam, Damaskus, cet-1, 2005) Al-Thahâwî, Musykil Atsar, jld. 3, hlm. 186. lihat juga komentar Fuat Sezgin dalam Târikh Turats ‘Arabiy Thanthâwi, Muhammad Sayyid, al-Tafsîr al-Wasîth, (Nahdhah Mishr, Mesir cet-1 Januari 1997) Al-Tirmidzî, âbu ‘Abdullah al-Hakim, as-Shalâh wa Maqâshidihâ, tahqîq Husni Nasrun Zaidan, Dâr el Kitâb al-‘Arabiy Mesir, 1965. Turkiy, Abdul Majid, Manâdharat fî ushûl al-Syarî’ah bayna ibn Hazm dan al-Bâjî, (Beirut Dâr al-Gharb al-Islamiy cet. 1414 H/ 1994) Ubaidi, Hammâdî dalam Ibnu Rusyd wa al-ulûm al-syarî’ah al-Islâmiyah,( Dar-el Fikr al-Arabiy, 1991) Ursula Günther, “Mohammed Arkoun: ”towards a radical rethinking of Islamic thought”, dalam Suha Taji-Farouki [ed.], Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an (Oxford: Oxford University Press, 2004) Ushama, Thameem, Metodologies the Qur’anic Exegesis, terj. Hasan Bashri dan Amroeni, Riora Cipta, Jakarta, 2000 Wafiq, Sonia, “Manhaj al-Tafsir al-Mawdhû‘i wa al-Hâjah ilayh”, Buhûts Mu`tamar Manâhij Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm wa Syarh al-Hadîts al-Syarîf Al-Wâjidi, Muhammad Farid, al-Mushaf al-Mufassar (Kairo: Mathâbi Dâr al-Sya’b, 1977), hal. 95.

193

Watt, W. Montgomery, Bell’s introduction to the Qur’ân, (Edinburgh University Press, Edinburgh, 1977) Yunus Mahmud, Kamus Arab- Indonesia (Jakarta:Hidakarya, 1990) Yusuf Hamid Al-Alim, Al-Maqâshid al-‘Âmmah li al-syariah Islâmiyah, (Darul Hadits, Cairo) Zafzaf, Muhammad, al-Ta’rîf bi al-Qur’ân wa al-hadits, Maktabah al-Falâkh, Kuwait 1984 Al-Zamakhsari al-Kasysyâf, (Dâr al-Kotob al-‘Ilmiyyah, 1995-1415 H) Al-Zarkasyi, Imam Abdullah, al-burhân fî ulûm al-Qur’ân , (Mesir, Dâr al- Ihyâ alkutub al-‘arabiy), 1957 Zarqâni Al-, Muhammad ‘Abdu al-Adhîm Manâhil al-Irfân fî ulûm al-Qur’ân, (Kairo:Dâr al-Hadits, 2001) Al-Zuhaili, Wahbah, al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj, (Dâr al-Fikr Mu’âsir, Beirut Libanon) http://www.saaid.net/bahoth/65.zip http://www.hadielislam.net http://www.tafseer.com http://www.waqfeya.com http://www.dar el-nafaes.com

194

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF