73067719 Penatalaksanaan Cairan Dan Gangguan Elektrolit
March 17, 2018 | Author: Fathurrohim Rois Fathoni | Category: N/A
Short Description
Download 73067719 Penatalaksanaan Cairan Dan Gangguan Elektrolit...
Description
Penatalaksanaan Cairan dan Gangguan Elektrolit Linda L. Maerz, MD; Lewis J. Kaplan, MD, FCCM
Tujuan
Meninjau prinsip fisiologis yang memberi dasar bagi terapi cairan, seperti total air tubuh dan kompartemen cairan; komposisi cairan tubuh; sifat cairan
dan dinamika cairan, karena terkait dengan aktivitas osmosis
cairan tubuh; mekanisme pengendalian volume; dan kebutuhan air dan elektrolit normal
Menerapkan prinsip-prinsip tersebut dalam penatalaksanaan cairan klinis dalam kaitannya dengan tujuan pemeliharaan dan resusitasi/teraupiutik pada
pasien
yang
sakit
kritis:
larutan
parenteral,
terapi
cairan
pemeliharaan, dan terapi cairan resusitasi.
Memahami
hubungan
antara
gangguan
keseimbangan
air
dan
metabolisme sodium
Memahami fisiologi dan penatalaksanaan gangguan sodium, potassium, kalsium, magnesium, dan metabolisme fosfor.
Kata kunci : aquaporin; aquaresis; pati hidroksietil; resusitasi; vaptan Pemahaman menyeluruh tentang fisiologi cairan dan elektrolit penting artinya bagi praktisi yang merawat pasien-pasien yang sakit kritis. Studi tentang cairan tubuh sudah berabad-abad usianya, dan cairan sudah diberikan secara intravena selama lebih dari 100 tahun. Penelitian penting dari Alfred Blalock mengenai syok mengungkapkan bahwa kehilangan cairan yang terkait dengan luka
dapat diobati dengan replesi (keterpenuhan)
volume intravaskular, yang memberi dasar terapi intravena
untuk
penatalaksanaan hipovolemia. Pada dekade-dekade terakhir, pemahaman tentang interaksi yang kompleks di antara komponen-komponen cairan tubuh 1
telah meningkat secara substansial. Bab ini membahas prinsip-prinsip fisiologis yang mendasari penatalaksanaan cairan dan elektrolit dan menerapkan prinsip-prinsip tersebut
pada penatalaksanaan gangguan
terkait. Total Air Tubuh (TBW) dan Kompartemen Cairan Total body water (TBW) adalah total volume air dalam tubuh. TBW diukur sebagai suatu prosentase berat tubuh, dan hubungannya tergantung pada kandungan lemak tubuh dan usia. TBW sebagai suatu prosentase berat badan menurun seiring dengan peningkatan lemak tubuh serta seiring dengan pertambahan usia. Secara umum, TBW pada laki-laki adalah 60% dari berat badan dan pada wanita adalah 50% dari berat badan. TBW dibagi menjadi kompartemen intraseluler dan ekstraseluler. Intracellular fluid (ICF) bertanggung jawab terhadap dua pertiga dari TBW, sementara extracellular fluid (ECF) menyusun sisanya sebesar dua pertiga. Cairan ekstraseluler pada gilirannya dibagi lagi menjadi ruang intravaskuler dan interstitial. Ruang intravascular mengandung volume plasma dan meliputi 25% dari ECF (8% dari TBW). Ruang interstitial terdiri dari 75% dari ECF (25% dari TBW) dan mengandung suatu fase bebas (air yang sepenuhnya dapat bertukar) (Gambar 1). Kompartemen ECF tambahan kadang-kadang digambarkan—kompartemen
transelular
(cairan
serebrospinal,
cairan
synovial, air pada kartilago/tulang, cairan mata, lubrikan selaput serosa), yang pada umumnya kurang dapat bertukar dan, ketika diperhitungkan secara spesifik, kira-kira terdiri dari 4% dari TBW. Komponen-komponen yang dapat bertukar dari berbagai kompartemen yang merupakan TBW berada dalam ekuilibrium dinamis. Volume yang bersirkulasi efektif adalah porsi ECF yang mem-perfusi organ-organ dan biasanya sesuai dengan volume intravaskular dibawah
2
kondisi fisiologis. Bagaimana pun juga, pada keadaan penyakit tertentu, hubungan ini berubah secara signifikan. Pada gagal jantung kongestif dan pada pasien dengan fistula arteriovena, volume intravaskular (dan acapkali total garam dan air tubuh) tinggi, tapi volume yang bersirkulasi efektif adalah rendah. Contoh lain perturbasi volume yang bersirkulasi efektif terjadi pada skenario klinis, seperti obstruksi usus, pankreatitis, dan sepsis syndrome. Pada kondisi-kondisi tersebut, total ECF tetap konstan atau pada awalnya meningkat, tapi volume intravaskular menurun nyata karena kehilangan eksternal atau vasodisregulasi. Entitas-entitas tersebut memberi suatu karakteristik yang kemudian dikenal sebagai kehilangan ruang-ketiga (thirdspace loss).
GAMBAR 1. Total air tubuh
Konsep ini bermula hampir setengah abad lalu, ketika perubahanperubahan kompartemen cairan tubuh
diteliti dalam kaitannya dengan
respon fisiologis terhadap syok hemoragik dini dan trauma jaringan operasi dari diseksi dan mobilisasi. Juga diamati penurunan total ECF diluar apa yang
dapat
dijelaskan
melalui
kehilangan
terukur
volume
plasma. 3
Dikemukakan hipotesa bahwa syok atau trauma operasi menyebabkan cairan ekstraselular
terisolasi
sebagai
akibat
dari
kebocoran
kapiler
pada
kompartemen ―yang tak dapat bertukar‖ yang hingga saat ini tidak terdefenisikan. Kompartemen cairan ekstraseluler yang hilang ini kemudian dikenal sebagai hilangnya ruang ketiga, defisit volume ekstraselular fungsional, atau hilangnya ruang ketiga non-anatomis. Konsep dan terminologi ini menjadi konvensi, yang melahirkan resusitasi agresif yang tidak perlu dan strategi penatalaksanaan cairan periopersi dalam usaha meresusitasi ruang ketiga elusif. Literatur yang ada yang menganjurkan konsep ruang ketiga dalam hubungannya dengan syok perdarahan dini dan prosedur bedah elektif baru-baru ini ditelaah oleh Brandstrup dan rekan-rekannya. Mereka menyatakan bahwa bukti-bukti yang mendukung hipotesa kalau syok perdarahan dini atau operasi elektif mengakibatkan kontraksi total volume ektraseluler kurang didukung dan kurang didasarkan pada metodologi yang cacat. Meski demikian, entitas-entitas, seperti obstruksi usus, pankreritis dan sepsis (khususnya, sepsis berat dan shock sepsis), secara jelas menjamin strategi penatalaksanaan cairan yang agresif, karena skenario klinis tersebut mengakibatkan hipoperfusi dan mengambil manfaat dari restorasi volume yang bersirkulasi dan juga penatalaksanaan vasodisregulasi (bila ada) dengan agen pressor (penekan). Pada awalnya, total ECF tetap konstan atau meningkat, tapi volume intravaskuler menurun nyata. Pada akhirnya, terjadi perubahan selaput sel, dengan pergeseran cairan potensial kedalam ruang intraselular; pergeseran
kompartemental tersebut ditangani dengan
baik dengan ekspansi volume plasma. Dari sudut pandang praktis, perubahan volume intravaskular yang signifikan
kurang
ditoleransi
jika
perubahan-perubahan
tersebut
mengakibatkan menurunnya rata-rata tekanan arterial, meskipun volume intravaskular merupakan prosentase TBW yang relatif kecil. Sebuah contoh didemonstrasikan pada konsekuensi klinis pada berbagai tahap syok akibat 4
perdarahan: klas I (kehilangan 40% volume darah). Shock kelas III mengakibatkan hipotensi, suatu manifestasi kehilangan darah akut yang relatif telat; cardiac arrest biasanya terjadi jika >50% total volume darah hilang. Di sisi lain, hipervolemia sebesar 20-30% dapat mengakibatkan edema 5pulmonaris. Sebaliknya, ruang interstitial sangat tunduk dan buffer meningkat atau menurun pada ruang intravaskular yang betul-betul lebih bertahan. Oleh karenanya, volume ruang interstitial berfluktuasi secara luas. Hubungan ini memungkinkan
karena
sifat
unik
selaput-selaput
yang
memisahkan
kompartemen-kompartemen cairan tubuh (Gbr. 2).
Komposisi Cairan Tubuh ECF Sodium adalah kation utama pada ECF. Jadi, ECF mengandung mayoritas kandungan sodium tubuh; pada rata-rata orang dewasa, jumlahnya sebesar 60 mEq/kg. merupakan
sisa
Sejumlah kecil potasium, kalsium, dan magnesium
dari
kation
ECF
major.
Kation-kation
tersebut
diseimbangkan secara elektrokimia terutama oleh anion laktat dan klorida; ion bikarbonat, fosfat, dan sulfat juga berkontribusi terhadap muatan negatif selain pada kuantitas kecil albumin penghuni EFC dan protein ekstraseluler bermuatan negatif lainnya. Bila dibandingkan dengan plasma, cairan interstitial berkontribusi terhadap protein anionic yang relatif kecil.
ICF Potasium adalah kation dominan pada ICF. Mayoritas kandungan potasium tubuh terkandung dalam ICF dan rata-rata sebesar 42 mEq/kg. magnesium dan sodium merupakan sisa dari kation ICF major. Muatan
5
negatif diberikan oleh konsentrasi fosfat yang tinggi dan protein intraseluler, dan juga konsentrasi klorida dan bikarbonat yang lebih sedikit.
Distribusi Kation
Distribusi Anion
GAMBAR 2. Komposisi cairan tubuh
Aktivitas Osmosis Gerakan air diantara kompartemen-kompartemen cairan tergantung pada prinsip osmosis. Ekuilibrium osmosis tercapai bila 2 larutan yang dipisahkan oleh selaput semipermeable menyamakan konsentrasi partikelpartikel yang aktif secara osmosis di salah satu sisi selaput sebagai akibat dari
pergerakan
air
di
sepanjang
gradien
konsentrasi.
Osmolaritas
(milliosmole per liter; mOsm/L) atau osmolalitas (milliosmole per kilogram; mOsm/Kg H2O) menentukan aktivitas osmosis partikel-partikel pada larutan. Jika konsentrasi solute sangat rendah, maka osmolaritas dan osmolalitas dianggap ekuivalen. Plasma osmolality (Posm) adalah suatu ukuran total osmolalitas tubuh. Karena
sodium merupakan
kation
ekstraseluler yang dominan
dan
konsentrasi BUN dan glukosa adalah signifikan pada keadaan penyakit tertentu, sehingga digunakan formula berikut ini: Posm (mOsm/kg H2O) = 2 x serum [Na+] + Glukosa/18 + BUN/2,8
6
Meskipun generalisasi seperti itu, dalam kaitannya dengan osmosis dan selaput semipermeable penting artinya sebagai framework pemahaman, tapi selaput sebenarnya yang memisahkan kompartemen-kompartemen cairan tubuh adalah kompleks. Sebagai contoh, kompartemen intravaskular dan intersitital dipisahkan oleh endotelium kapiler, yang memperlihatkan karakteristik berbeda pada organ-organ yang berbeda; khususnya, lebih permeable pada paru-paru dan hati dibandingkan pada jaringan periferal. Semakin besar permeabilitas dasar (bed) kapiler, maka semakin sedikit dipengaruhi oleh hemodilusi. Secara umum, endotelium kapiler sangat permeable dan memungkinkan molekul-molekul kecil melewatinya. Ini memungkinkan terjadinya ekuilibrasi yang kecil antara ruang intravaskular dan interstitial, suatu sifat yang penting secara klinis sebagaimana dirinci di atas. Kebocoran albumin tergantung pada karakteristik endotelial jaringan; dan itu terbilang tinggi pada paru-paru dan hati dan rendah pada jaringan periferal. Sebaliknya, selaput permukaan sel tidak permeable pada protein tapi permeable pada air, bikarbonat, dan klorida. Pompa sodium-potasium (Na+, K+-ATPase) secara aktif mengangkut sodium keluar sel-sel dan mengangkut potasium kedalam sel. Oleh karena itu, fungsionalisasi penghalang permukaan sel tergantung pada energi. Pada syok berat, gangguan (penyakit jiwa) yang diakibatkan oleh terganggunya penghantaran dan pemanfaatan oksigen mengacaukan integritas selaput sel yang tergantung-enzim. Sebagai akibatnya, entri sodium passif memprakarsai migrasi air intraseluler, yang mendorong terjadinya pembengkakan seluler—suatu proses yang, jika tidak diperiksa, mengakibatkan kematian sel.
7
Mekanisme Kontrol Volume Osmoreseptor Osmolalitas plasma terkontrol ketat, yang rata-rata 289 mOsm/kg H2O. regulasi konsentrasi solute dan air yang baik terjadi sebagai respon terhadap perubahan kecil pada volume sel, yang dideteksi oleh sel-sel osomoreseptor pada nukleus paraventrikula dan supraoptik hipotalamus. Osmoreseptor tersebut mengaktivasi pusat-pusat neuronal yang mengendalikan rasa haus dan sekresi antidiuretic hormone (ADH, arginine vasopressin), yang merupakan 2 regulator primer keseimbangan air (Gbr. 3). Perubahan kecil pada Posm mengakibatkan perubahan besar pada urine osmolality (Uosm): Uosm = 95 x Posm Baroreseptor pada medulla dan aktivitas angiotensin II juga dapat memengaruhi sekresi ADH maupun rasa haus. Akan tetapi, perubahan osmolalitas yang dirinci diatas pada umumnya memiliki pengaruh yang jauh lebih besar terhadap sekresi ADH daripada perubahan hemodinamis (yaitu, perubahan tekanan darah). Oleh karena itu, osmoreseptor mengendalikan fine-tuning hubungan volume. Stimulan sekresi ADH yang terkenal adalah nikotin, eter, morfin, barbiturate, dan injuri jaringan. Sebaliknya, etanol menghalangi sekresi ADH dan aktivitas resorpsi airnya pada sistem pengumpulan ginjal. Hubungan aquaporin dengan fisiologi ADH akhir-akhir ini menjadi sorotan dan penelitian. Penemuan aquaporin dilakukan oleh Peter Agre, MD, seorang dokter medis pakar biologi molekular yang memenangkan Hadiah Nobel 2003 di bidang Kimia atas prestasi tersebut. Secara sederhana, aquaporin adalah protein yang terlekat dalam selaput sel yang meregulasi aliran air. Saluran-saluran air tersebut adalah protein pori-pori selaput yang integral dan ada dimana-mana dalam tubuh manusia dan di tempat lain pada alam. Protein aquaporin tersusun dari 6 transmembran α-helik yang tersusun dalam bundel sebelah kanan, dengan amino dan karboksil termini yang 8
berlokasi pada permukaan sitoplasma
selaput. Aquaporin yang berbeda-
beda berisi perbedaan rangkaian peptidanya, yang memungkinkan terjadinya perbedaan ukuran ―pori-pori air.‖
Kelebihan Air Bebas
Deplesi air bebas
Osmolalitas E C F
↑ Osmolalitas E C F
(Posm 280 mOsm/kg H2O)
(Posm 280 mOsm/kg H2O)
Haus
ADH
↓ Permeabilitas tubula pengumpul renal ke H2O
Dilute urin secara maksimal (Uosm 1200 mOsm/kg H2O) Eksresi air bebas
↑ Haus
↑ ADH
↑ Permeabilitas tubula pengumpul renal ke H2O H2O juga melakukan reabsorbsi sebagai respon terhadap gradien konsentrasi di intersititium medulari renal
Urin terkonsentrasi secara maksimal (Uosm 1200 mOsm/kg H2O) Eksresi Air Bebas
Posm Posm GAMBAR 3. Rasa haus dan ADH dalam regulasi keseimbangan air. 9
Diketahui ada 13 tipe aquaporin pada mamalia, dan 6 diantaranya berlokasi pada ginjal. Sel-sel utama yang melapisi duktus pengumpul mengontrol fine-tuning homeostasis air tubuh dengan meregulasi resorpsi air melalui aquaporin-2 (AQP), aquaporin-3 (AQP3), dan aquaporin-4 (AQP4). AQP3 dan AQP4 secara berurutan diekspresikan dalam selaput plasma basolateral. ADH mengikat reseptor vasopressin-2 (V20 pada selaput basal duktus pengumpul renal, yang dengan demikian menyesuaikan kuantitas AQP2 pada selaput plasma dengan memicu redistribusinya dari vesikel intraseluler kedalam selaput plasma apical. Oleh karena itu, ADH memberi duktus pengumpul renal yang sangat permeabel ke air.
Mekanisme ini
memungkinkan air masuk kedalam sel ia AQP2 dan air keluar melalui AQP3 dan AQP4. Mekanisme
aksi hormon
antidiuretik dalam
kaitannya
dengan
permeabilitas air dari duktus pengumpul renal memiliki implikasi dan aplikasi teraupiutik. Banyak antagonis nonpeptida V2 (vaptan) sedang dikembangkan (saat ini pada percobaan klinis fase III): tolvaptan, lixivaptan, satavaptan. Sampai saat ini, hanya conivaptan antagonis V2/1a campuran yang sudah disetujui oleh FDA Amerika Serikat untuk penggunaan intravena pengobatan
hiponatremia
hipervolemik
dan
euvolemik.
dalam
Conivaptan
menghasilkan aquaresis cadang-elektrolit tergantung-dosis (ekskresi air yang bebas solute), yang dengan demikian meningkatnya level serum sodium, clearance air bebas, arus urin dan osmolitas plasma. Baroreseptor Baroreseptor mengendalikan volume via koneksi simpatetik dan parasimpatetik melalui cara yang kurang tepat dibandingkan yang dilakukan oleh osmoreseptor. Reseptor yang diperluas mendeteksi perubahan pada tekanan, dan juga perubahan volume yang termanifestasi melalui perubahan tekanan.
10
Reseptor volume pembuluh kapasitansi intrathoraks (yaitu, vena cava) dan atria meresponi peningkatan volume dengan menurunkan tone simpatetik pada ginjal, yang meningkatkan aliran darah renal dan menurunkan resorpsi sodium tubula. Sebaliknya, penurunan volume mengakibatkan menurunnya tone pada ginjal, yang demikian menurunkan aliran darah renal dan meningkatkan resorpsi sodium tubula. Reseptor tekanan arkus aorta dan arteri carotid penting artinya pada perubahan ekstrim tekanan arterial (yaitu, perdarahan). Baroreseptor intrarenal dari arteriola afferent meresponi peningkatan tekanan melalui penurunan pelepasan rennin dan menurunkan tekanan dengan cara penurunan pelepasan rennin. Reseptor volume hepatic dan reseptor volume serebrospinal juga sudah digolongkan dan memiliki responsivitas serupa terhadap perubahan rata-rata tekanan arterial. Faktor Endokrin/Homon Sistem rennin-angiostensin-aldosterone adalah mediator hormonal primer dari kontrol volume (Gambar 4). Sumbu ini mengilustrasikan kesalingterkaitan mekanisme fisiologis yang berinteraksi untuk mencapai kontrol volume yang optimal. Sistem peptida natriuretik, yang ditemukan pada tahun 1980-a, adalah suatu mekanisme endokrin yang meregulasi volume darah dan keseimbangan elektrolit. Sistem ini diekspresikan di semua vertebrata. Famili peptida natriuretik mamalia memiliki tiga anggota: atrial natriuretik peptide (ANP) (juga dikenal sebagai faktor natriuretik); otak atau Btype natriuretic peptide (BNP); dan C-type natriuretic peptide (CNP). ANP dan BNP terutama diproduksi oleh jantung; CNP diproduksi pada otak, ginjal, tulang dan pembuluh darah. ANP dan BNP dilepaskan, yang mengaktivasi reseptornya, natriuretic peptide receptor-A (NPR-A), yang mengakibatkan natriuresis, diuresis, dan vasodilasi; pelepasan rennin dan endotelian juga tersupresi. CNP mengikat natriuretic peptide receptor-B (NPR-B), yang menghalangi proliferasi sel otot lunak. natriuretic peptide receptor-B (NPR-C) 11
mengikat keseluruhan 3 peptida dan menghilangkannya dari sirkulasi. Menariknya, fragmen aktif prohormone ANP juga memiliki aktivitas natriuretik. Contohnya adalah peptida natriuretik renal (urodilatin), yang disintesa oleh sel pengumpul kortikol dan dilepaskan secara luminal sebagai respon terhadap distensi atrial dan pemuatan saline. Kemudian ia berperan dalam nephron distal guna menyebabkan diuresis sodium, klorida, dan air. Prostaglandin
secara teknis adalah hormon,
meskipun
jarang
diklasifikasi seperti itu. Prostaglandin renal (PGE2 dan PGI2) dapat memainkan peran dalam pengontrolan volume, khususnya pada keadaan penyakit, seperti sepsis dan jaundice. Dibawah kondisi fisiologis normal, inhibisi produksi prostaglandin memiliki sedikit efek terhadap fungsi renal. Akan tetapi, agen anti-inflamatoris nonsteroidal (inhibitor sikooksigenase) yang diberikan kepada pasien dengan disfungsi renal dapat mempresipitasi renal failure karena hilangnya efek protektif prostaglandin renal. Endotelian adalah family vasokonstriktor peptida yang terlibat dalam regulasi volume dan tekanan. Oksida nitrat (NO) adalah radikal bebas yang diproduksi oleh sintesis oksida nitrat. Diantara fungsi-fungsi biologisnya yang banyak sekali, NO terlibat dalam regulasi volume dan tekanan. Juga ada interaksi antara sistem NO dan endotelin. Meskipun literatur tentang topiktopik tersebut subur dan diluar lingkup bab ini, tapi sebuah contoh mutakhir adalah inhibisi resorpsi sodium yang dimediasi endotelin-1 pada anggota badan yang menurun tebal via stimulasi produksi NO. Secara umum, aktivitas NO dan endotelin berlawanan satu sama lain. Kebutuhan Elektrolit dan Air Normal Kehilangan air ada yang sensible (dapat diukur) dan insensible (tidak terukur). Kehilangan yang sensible terjadi melalui urin (800-1.500 mL/24 jam), stool (0-250 mL/24 jam), dan keringat (0 mL/24 jam). Khususnya, berkeringat adalah suatu proses aktif yang mengakibatkan sekresi campuran
12
hipotonik elektrolit dan air serta tidak berkontribusi signifikan terhadap kehilangan air harian kecuali kalau individu bermukim di daerah yang agak gersang (kering) atau di daerah yang beriklim sangat panas. Pada keadaankeadaan semacam itu, kehilangan evaporasi air dan juga kehilangan elektrolit bisa signifikan. Ada perbedaan kehilangan yang insensible dari kulit dan paru-paru, yang bertanggung jawab terhadap 600-900 mL/24 jam (8-12 mL/kg/hari). Kehilangan air yang insensible meningkat 10% untuk setiap derajat suhu tubuh >37,20C. Kebutuhan sodium harian normal adalah 1-2 mEq/kg/24 jam; kebutuhan potasium kurang dari setengah dari kebutuhan sodium, yaitu 0,25-0,5 mEq/kg/24 jam. Larutan Parenteral Cairan intravena digunakan secara rutin untuk mempertahankan dan resusitas pasien yang sakit kritis. Banyak pilihan yang ada dalam kaitannya dengan larutan kristaloid (Tabel 1). Pemilihan yang tepat tergantung pada kebutuhan cairan pemeliharaan, defisit cairan, dan kehilangan cairan secara terus-menerus. Larutan Ringer Laktat (RL) adalah salah satu cairan kristaloid yang tersedia secara komersial yang lebih fisiologis, dengan komposisi yang serupa dengan plasma. Ini secara tipikal merupakan cairan resusitasi, yang digunakan untuk mengganti kehilangan cairan dengan komposisi plasma ionik dan ideal untuk situasi yang didalamnya konsentrasi serum elektrolit dalam keadaan normal. Kekurangan larutan RL adalah kandungan sodium yang relatif rendah (130 mEq/L), yang membuat larutan ini agak hipotonik. Hiponatremia dapat terjadi dengan penggunaan yang lama atau pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
dan gangguan yang terganggu untuk
mengekskresi air bebas. Laktat pada larutan RL diberikan sebagai sodiumlaktat—sepasang ion kuat yang mudah terpisah pada pH fisiologis. Anion laktat mudah dimetabolisasi menjadi bikarbonat, yang oleh karena itu, tidak berkontribusi terhadap asidosis. Pada kenyataannya, dalam meninggalkan 13
kation sodium yang tidak berpasangan, larutan Rl melakukan alkanisasi bila dibandingkan dengan 0,9 normal saline solution (NSS).
Angiotensinogen Tekanan arterial Penghantaran Na+ ke macula densa
(distal convulated
tubule) cAMP
Renin
Angiotensinogen I
Enzim Konversi Angiotensinogen
Angiotensinogen II
Aminopeptidase A
Sel juxtaglomerular (arteriola afferent)
Sel endotelial vaskular Anglotensin III
Vaskular tone Pelepasan katekolamin dari medulla adrenal dan terminal saraf simpatik ↓Arus plasma ginjal dan GFR ↑Resorpsi Na+ Aksi tubula langsung Aldosterone pelepasan dari glomerulosa zona kortek adrenal
Resorpsi tubula renal Na+ Ekskresi potasium renal GAMBAR. Aksis Renin-angiotensin-aldosterone 14
Larutan salin normal adalah cairan resusitasi lain yang mengandung 154 mEq/L dari sodium maupun klorida. Meskipun berguna untuk mengobati alkalosis metabolik hipokloromik hiponatremik, tapi kelebihan dan jumlah sodium dan klorida yang sama dapat mengakibatkan gangguan asam-basa dan elektrolit yang signifikan pada pasien tanpa abnormalitas elektrolit sebelumnya. Dengan demikian, NSS diketahui menyebabkan hyperchloremic metabolic acidosis (HCMA), yang dapat memperburuk asodosis preexisting karena asam laktat yang berasal dari hipoperfusi atau asam tertentu yang bersumber dari gagal organ.
TABEL 1. Komposisi elektrolit larutan kristalloid yang umum digunakan
Untuk menghindari beban klorida dari NSS bila diperlukan cairan isotonik yang benar, setengah-NSS (1/2 NSS) yang dicampur dengan 75 mEq NaHCO3L dapat diberikan (1/2NSS+75 mEqNaHCO3). Kandungan sodium pada dasarnya setara dengan NSS, tapi kandungan klorida terbagi dua. Cairan ini secara khusus berguna dalam mengoreksi defisit volume plasma, dan juga HCMA dari pemberian salin eksesif. 15
Larutan salin hipertonik digunakan untuk mengganti defisit sodium pada pasien yang mengalami hiponetremia simptomatik (paling umum 3% NaCl, meskipun 1,5% larutan juga digunakan). Hypertonic saline (HTS) juga sudah disarankan digunakan pada resusitasi dini hipovolemia pada pasien trauma dan terbakar; volume intravascular meningkat secara lebih cepat, dan total volume resusitasi dapat menurun bila dibandingkan dengan resusitasi yang hanya kristaloid standar. Akan tetapi, lebih dari 250 mL dosis tunggal dari 3% HTS harus diusahakan dengan penuh kehati-hatian karena potensi perturbasi elektrolit dan asam-basa yang signifikan.
TABEL 2. Komposisi elektrolit larutan koloid yang umum digunakan
Expander (pemekar) volume plasma yang terjadi secara alamiah meliputi preparasi albumin manusia dan bovine/sejenis sapi (4%, 5%, 20%, dan 25%), dan juga plasma beku segar. Hanya 5% dan 25% albumin yang tersedia di Amerika Serikat. Preparasi tersebut biasanya dipersiapkan dalam NSS, dan pemberian volume yang besar juga dapat mengakibatkan HCMA. Lagi pula, karena albumin memiliki 60 kDa berat molekular, sehingga memiliki suatu volume yang akan mudah memungkinkan lewatnya pori kapiler (ukuran 16
7 nm) yang membuka pada kondisi yang menciptakan kebocoran kapiler. Ada beberapa data dimana pemberian albumin sebagai “safe as saline” (SAFE trial) dan bahwa hipoalbuminemia lebih banyak merusak dibandingkan hanya
tekanan
oncotic
koloid,
termasuk
kereta
agen
farmakologis,
detoksifikasi, suatu responsivitas immun pada kondisi-kondisi tertentu. Koloid
sintetik
juga
dimanfaatkan
sebagai
cairan
resusitasi
(penggunaan di luar Amerika Serikat lebih banyak daripada penggunaan di Amerika Serikat), khususnya pada pasien bedah (Tabel 2).
Preparasi
hydroxyethyl starch (HES) adalah yang paling umum dan digolongkan berdasarkan rata-rata berat molekularnya, degree of substitution (DS) (substitusi molar; jumlah kelompok hidroksietil per 100 kelompok glukosa), dan konsentrasi. Semakin besar berat molekular dan semakin besar derajat substitusi, maka semakin lama paruh hidup, khususnya bila dibandingkan dengan preparasi albumin. Pati (starch) saat ini meliputi hetastarch (DS=0,7), pentastarch (DS=0,5), atau tetrastarch (DS=0,4). Enam persen larutan adalah yang paling umum, tapi 10% larutan dapat ditemukan di Uni Eropa. Demikian
pula
dengan
konstruksi
farmakologis
yang
berbeda-beda,
wahana/kendaraan untuk pati juga berbeda-beda. Hespan® adalah 6 larutan dari pati berat molekular besar (hetastarch) pada wahana NSS, sementara Hextend® memanfaatkan pati identik tapi menghantarkannya dalam larutan dengan perbandingan yang mirip dengan larutan RL. Oleh karena itu, penggunaan Hextend kemungkinan mengakibatkan permasalahan dengan HCMA. Sementara penelitian observasi sudah menyatakan tidak ada peningkatan risiko luka akibat ginjal akut dan gagal ginjal akut dengan penggunaan preparasi pati, meskipun beberapa percobaan intervensi mengklaim adanya suatu kaitan. Bagaimana pun juga, pembaca harus ingat bahwa ekspansi volume plasma pati memberi sedikit hingga tanpa air bebas. Oleh karena itu, pemberian pati semacam itu harus digandengkan dengan pemberian cairan pemeliharaan guna menghindari terjadinya luka ginjal 17
hiperonkotik. Percobaan intervensi yang menggambarkan suatu hubungan antara injuri renal dan pati adalah tidak jelas dalam hubungannya dengan pemberian cairan pemeliharaan atau air bebas. Terapi Cairan pemeliharaan Tujuan terapi cairan pemeliharanan adalah untuk mengganti cairan yang biasanya hilang selama seharian. Perhitungan ini tidak mencakup penggantian defisit preexisting atau kehilangan tambahan terus-menerus, yang ditangani dengan cairan resusitasi. Terapi cairan pemeliharaan bisa dengan mudah menyertai pemberian cairan resusitasi tapi memerlukan 2 preskripsi cairan berbeda secara bersamaan. Terdapat banyak formula berbasis-berat untuk menghitung kebutuhan air pemertahanan, yang bertanggung jawab terhadap kehilangan yang senaiblel dan inaensible. Salah satu yang paling umum digunakan adalah ―Aturan 4-2-1.‖
10 kg berat badan pertama: 4 mL/kg/h
10 kg berat badan kedua: 2 mL/kg/h
Setiap 10 kg berat badan tambahan: 1 mL/kg/h
Jadi, kebutuhan volume setiap jam untuk pasien 70 kg adalah 110 mL/h. Formula ini menyesuaikan perbedaan berat badan dan TBW. Sebagaimana yang dibahas sebelumnya, orang yang lebih kecil (atau lebih muda) memiliki prosentase TBW yang lebih tinggi dalam kaitannya dengan berat badan dan, oleh karenanya, memerlukan volume cairan pemeliharanan yang lebih besar per kilogram dibandingkan pada orang yang lebih besar (atau lebih tua). Perkiraan
lain
yang
mudah
tersedia
adalah
dengan
hanya
menambahkan 40 pada berat badan seseorang untuk sampai pada angka pemertahanan. Oleh karena itu, bagi pasien dengan berat 70 kg, berarti menambahkan 70 + 40 guna sampai pada 110 mL/jam. Ada formula lain dan sama-sama digunakan dengan baik.
18
Satu kewaspadaan adalah perhitungan angka cairan pemeliharaan bagi mereka dengan obesitas yang parah secara klinis. Pada umumnya, berat badan yang disesuaikan harus digunakan. Sebuah formula umum adalah dengan menambahkan sepertiga perbedaan antara berat badan sebenarnya dan berat badan ideal dengan berat badan ideal (IBW) untuk sampai pada berat badan yang disesuaikan (ABW): ABW = IBW + 1/3 (sebenarnya – IBW) Cairan pemeliharaan adalah hipotonik dan mengandung 5% dextrose sebagai suatu bantuan dalam gluconeogenesis dan langkah reduktif untuk katabolisme massa tubuh yang kurus bagi pasien yang merupakan NPO. Cairan prototypenya adalah D51/2NSS + 20 mEq KCl/L pada orang dewasa, karena preskripsi cairan ini memberi jumlah sodium dan potasium yang tepat, yang didasarkan pada kebutuhan harian yang digambarkan sebelumnya. Secara umum, pasien dengan gangguan renal atau anuria seharusnya pada awalnya
tidak
memiliki
potasium
yang
dimasukkan
dalam
cairan
pemertahanannya. Penyesuaian preskriptif yang tepat seharusnya diarahkan melalui respon terhadap terapi dan konsentrasi elektrolit yang terukur. Terapi Cairan Resusitasi Tujuan terapi resusitasi adalah untuk mengganti defisit preexisting dan kehilangan cairan tambahan secara terus-menerus. Kristalloid adalah kategori paling umum dari cairan resusitasi dan terdiri dari larutan garam isotonik (atau hampir isotonik) tanpa tambahan dextrose. Dextrose dikecualikan
sehingga
tidak
menaikkan
output
urin
secara
artifisial
berdasarkan diuresis osmosis, seharusnya pemberian dextrose eksogen membanjiri kapasitas renal untuk pengangkutan glukosa. Larutan LR adalah cairan resusitasi paling umum yang digunakan dalam perawatan kritis bedah. Kristalloid tersebar diantara ruang intravskular dan interstitial yang sebanding dengan volume awal ruang-ruang tersebut, karena endotelium
19
kapiler tidak membatasi pergerakan komponen-komponen larutan garam isotonik. Sebagaimana yang digambarkan sebelumnya, ruang intravascular terdiri dari 25% ECF, sementara ruang interstitial terdiri dari 75% ECF, yang menghasilkan rasio 1:3. Oleh karena itu, dibawah kondisi fisiologis, untuk setiap liter kristaloid yang diinfusi secara intravena, 250 mL tetap di ruang intravascular dan 750 mL tersebar kedalam ruang interstitial. Kristaloid, khususnya larutan RL, memiliki efek proinflamatoris dalam kaitannya dengan aktivasi neutropil dan apoptosis. Ini telah mendorong dilakukannya penelitian
terhadap berbagai strategi untuk membatasi efek
inflamatoris yang terkait dengan resusitasi cairan kristaloid. Issu dengan resusitasi kristaloid tersebut, yaitu ekspansi volume intravascular yang terbatas
dan karakteristik proinflamatoris, merupakan
pusat perdebatan antara kristaloid besar versus koloid. Jika 1 L larutan koloid, seperti 5% albumin, diinfusi secara intravena, maka kebocoran albumin kedalam ruang interstitial akan sebanding dengan kebocoran
bersih
albumin
pada
tubuh.
Sebagaimana
yang
dicatat
sebelumnya, ini sangat bervariasi, tapi rata-rata 25-35% angka kebocoran dibawah kondisi fisiologis. Mengekstrapolasi, ini akan benar dari larutan isooncotic lain juga; kebocoran kedalam interstitium akan terjadi pada angka yang sama sebagaimana kebocoran albumin. Oleh karena itu, jika 1 L dari 5% albumin diinfusi secara intravena, maka kira-kira 750 mL tetap di ruang intravascular dan 250 mL tersebar kedalam ruang interstitial. Proporsi ini berlawanan dengan proporsi infusi larutan garam isotonik kristaloid, yang menghasilkan rasio pengisian intravascular sebesar 3:1 antara larutan koloid dan kristaloid. Akan tetapi, model ini mengasumsikan tidak adanya suatu kondisi yang menciptakan peningkatan angka kebocoran kapiler dan, oleh karena itu, terlampau disederhanakan. Sebagaimana disebut sebelumnya, bahkan dibawah kondisi-kondisi fisiologis, ada begitu banyak variabilitas angka kebocoran albumin, yang 20
tergantung pada lokasi dasar (bed) kapilaris spesifik yang diteliti. Selain itu, abnormalitas pada permeabilitas mikrovaskular hampir selalu ada di beberapa taraf pada orang yang sakit kritis: sirkulasi pulmonaris pada sindrom distress respiratoris akut, dasar sirkulatoris regional pada infeksi dan terbakar, dan sirkulasi sistemik pada sepsis. Pada skenario klinis tersebut, ekstravasasi eksesif protein kedalam ruang interstitial dapat mengakibatkan meningkatnya edema interstitial. Dibawah kondisi tersebut, kira-kira setengah dari albumin yang diberikan secara eksogen pada akhirnya tersebar kedalam ruang interstitial. Paruh hidup biologisnya hanya 11 hari, yang secara signifikan lebih singkat dibandingkan paruh hidup protein endogen, sementara paruh hidup plasmanya diukur dalam hitungan jam. Hipoalbuminemia terdapat hampir secara seragam pada penyakit kritis dan diakibatkan oleh kebocoran transcapillaris, menurunnya sintesis, konsumsi, kehilangan cairan, dan dilusi yang terkait dengan resusitasi. Koreksi terhadap faktor-faktor dasar tersebut
seharusnya menjadi fokus,
daripada koreksi hipoalbuminemia itu sendiri. Penggunaan albumin yang diberikan secara eksogen pada pasien yang sakit kritis dianalisa dalam sebuah laporan Cochrane. Pada 3 kategori pasien
yang
diteliti
(mereka
dengan
hipovolemia,
terbakar,
atau
hipoalbuminemia), risiko kematian pada kelompok yang diobati-albumin lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok perbandingan. Dikritik luas yang didasarkan ada karakteristik inklusi dan keterbatasan efek volume yang kecil, pemberian albumin dinilai kembali dalam percobaan SAFE.
Percobaan
SAFE (Saline versus Albumin Fluid Evaluation) menunjukkan tidak ada perbedaan antara albumin dan larutan saline (garam) dalam studi doubleblind randomized terhadap hampir 7.000 pasien. Albumin tercatat sama amannya dengan larutan saline pada populasi pasien yang tidak memerlukan pemberian volume plasma yang massif. Oleh karena itu, pemberian albumin nampaknya aman pada sebagian besar kelompok tapi tidak dapat memberi 21
manfaat survival. Pada setidaknya 1 group nampaknya ada peningkatan risiko kematian dengan pemberian albumin eksogen—mereka dengan injuri otak traumatik. Expander (pemekar) plasma sintetik adalah alternatif terhadap albumin, yang mencakup kategori HES yang luas, sebagaimana disebutkan di bagian awal. Meskipun terdapat gelatin dan kombinasi HS dan HES, tapi para dokter AS dibatasi pada 3 pati yang disetujui FDA AS (Hextend [6% 650/0,7], Hespan [6% 650/0,7], dan Voluven® [6% 130/0,4). Hextend memiliki profil efek samping yang lebih baik dibandingkan Hespan. Penelitian sudah mendemonstrasikan manfaat via penggunaan Hextend
pada
resusitasi dalam kaitannya dengan perkembangan luka multipel dan perbaikan mortalitas yang dipengaruhi-sepsis, bila dibandingkan dengan NSS. Voluven memiliki rata-rata berat molekular dan derajat substitusi yang lebih rendah dan, oleh karena itu, memiliki paruh hidup yang lebih singkat. Terdapat manfaat selektif dengan menggunakan pati (starch) semacam itu dimana persistensi biologis nampaknya tidak menjadi permasalahan. Akan tetapi, Voluven dipersiapkan dalam NSS. Produk serupa (Volulyte®) tengah dikembangkan untuk pasar Amerika Serikat dan menghantarkan pati identik dalam larutan garam yang diseimbangkan melalui cara yang mirip dengan perubahan formulasi Hespan hingga Hextend. Keadaan khusus dari terapi cairan perioperasi patut mendapat uraian, karena topik ini telah dan tetap kontroversial. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Brandstrup dan rekan-rekannya baru-baru ini mempertanyakan konsep ruang-ketiga, yang didalamnya terapi cairan perioperasi volume-tinggi telah
didasarkan
secara
tradisional.
Ini
telah
melahirkan
suatu
kecenderungan bagi pemberian cairan yang lebih konservatif, dengan pembatasan kristaloid dan dimasukkannya koloid sintetik. Secara khusus, penekanan sudah ditempatkan pada penghindaran perolehan berat yang dipengaruhi kristaloid (yaitu, overload volume). 22
Hubungan Antara Gangguan Keseimbangan Air dan Metabolisme Sodium Perubahan konsentrasi solute ekstraseluler mencerminkan perubahan kandungan TBW. Sodium adalah kation ekstraseluler primer dan, oleh karenanya,
merupakan
faktor
penentu
utama
konsentrasi
solute
ekstraseluler. Melalui ekstrapolasi, konsentrasi serum sodium ([Na+]) adalah cerminan dari kandungan TBW.
Khususnya, perubahan kandungan TBW
menyebabkan perubahan yang berbanding terbalik pada ([Na+]). Dari sudut pandangan praktis, abnormalitas ([Na+]) menunjukkan kandungan TBW yang abnormal. Dengan kata lain, [Na+] adalah suatu refleksi tonisitas cairan tubuh, bukan cerminan dari total kandungan sodium tubuh.
Prinsip fisiologis ini
barangkali merupakan salah satu konsep paling sulit bagi dokter. Dari istilah yang mungkin pada sederhana: secara umum, abnormal [Na+] menunjukkan suatu permasalahan air, bukan permasalahan sodium. Tentu saja, ada kondisi dimana total sodium tubuh adalah abnormal, tapi itu jauh lebih sedikit dibandingkan kondisi-kondisi dimana total sodium tubuh adalah abnormal dan total air tubuh adalah abnormal. Gangguan Metabolisme Sodium Gangguan ([Na+]) sudah umum pada pasien yang sakit kritis. Seringkali gangguan tersebut asimptomatik, tapi simptom dapat terjadi dan berkisar dari minor hingga berat. Penatalaksanaan harus diindividualisasi, dan risiko pengobatan harus diseimbangkan dengan risiko gangguan. Hiponatremia didefinisikan sebagai [Na+] yang lebih kecil dari 135 mEq/L dan merupakan gangguan elektrolit yang paling umum dalam ilmu kedokteran klinis. Ini terjadi pada 2 hingga 4% pasien yang masuk rumah sakit dan pada 30% pasien pada ICU. Mortalitas dilaporkan sebesar 50%
pada
hiponatremia akut dan 10 hingga 15% pada hiponetremia kronis, yang lebih 23
mencerminkan pengaruh gangguan dasar daripada pertambahan mortalitas akibat konsentrasi sodium yang terganggu. Pada hiponatremia, gap (celah) osmolar menyebabkan air bergerak dari ruang ekstraseluler ke ruang intraseluler, yang mengakibatkan pembengkakan sel. Oleh karena itu, edema serebral mengakibatkan simptom yang terkait dengan hiponatremia: nausea, emesis, letargi, kebingungan, koma, seizure, herniasi serebral, dan kematian. Keputusan pengobatan didasarkan pada ada atau tidak adanya simptom dan apakah hiponetremia sudah akut (perkembangan lebih dari rangkaian 48 jam). Pengobatan harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian agar dapat meminimalkan kemungkinan sindrom demielinasi osmosis (juga dikenal sebagai sindrom demyelinasi sentral dan syndrome demyelinasi pontine sentral). Gangguan ini lebih umum dengan terapi untuk hiponatremia kronis sebagai akibat dari overkoreksi yang agresif dan cepat, termasuk koreksi konsentrasi yang besar (>12-15 mEq/L per 24 jam) dan perubahan konsentrasi yang cepat (>1-2 mEq/L per jam). Populasi pasien khusus yang berisiko adalah pecandu alkohol dan mereka dengan malnutrisi kalori-protein, hipokalemia, dan injuri termal, dan juga wanita tua yang menggunakan thiazida. Encephalopati umum diikuti dengan simptom klasik 2 hingga 3 hari setelah [Na+] dikoreksi: perubahan perilaku, palsi saraf cranial, dan quadriplegia. Lesi diagnostik yang nyata pada imaging resonansi magentik bisa butuh 2 minggu untuk berkembang setelah onset simptom.
24
HIPONATREMIA (Na+20 mmol/L KEHILANGAN RENAL ↓ mineralcorticoid Wasting garam serebral bikarbonaturia ketonuria
UNa < 20 mmol/L KEHILANGAN EKSTRARENAL Diuretik ↓mineralcorticoid Wasting garam serebral bikarbonaturia
PENGOBATAN #1 Obati penyebab utama kehilangan cairan #2 NSS (cairan resusitas isotonik)
EUVOLEMIA (bukan edema) Total air tubuh Total Na+ tubuh
UNa>20 mmol/L ↓ glukokortisoid Hipotiroidisme Stres obat SIADH
PENGOBATAN #1 obati penyebab utama #2 pembatasan air #3 jika osmolalitas urin tinggi: diuretik loop atau demeclosiklin dan garam tambahan #4 ? vaptan
HIPERVOLEMIA (bukan edema) Total air tubuh Total Na+ tubuh
UNa >20 mmol/L Renal failure akut dan kronis
UNa < 20 mmol/L Sindrom nefritik sirosis cardiac failure
PENGOBATAN #1 obati penyebab utama menurunnya volume yang bersirkulasi efektif #2 pembatasan garam dan air #3 diuretik loop bagi sebagian pasien #4 ? vaptan
PENATALAKSANAAN HIPONATREMIA ASIMPTOMATIK
25
Secara umum, semua pasien dengan hiponatremia simptomatik seharusnya diobati. Defisit sodium dihitung sebagai berikut: Defisit sodium = 0,5 x berat badan tak berlemak x (120([Na+]) yang terukur Infus NaCl 3%
digunakan untuk mengoreksi defisit.
Kekhususan
regimen tergantung pada apakah hiponatremia akut atau kronis. Pada umumnya, kecepatan koreksi seharusnya sebanding dengan kecepatan onset: hiponatremia simptomatik akut seharusnya dikoreksi lebih cepat daripada hiponatremia simptomatik kronis (Gbr. 6). Karena hiponatremia dilusi lebih umum dibandingkan total defisit tubuh yang sebenarnya, pemberian 3% NaCl seringkali disertai dengan kehilangan air bebas yang terpaksa (preskripsi diuretik, khususnya vaptan) dan pembatasan air bebas. Sebagian besar pasien hiponatremia adalah asimptomatik, dan koreksi agresif [Na+] dengan HTS tidak terindikasi. Pengobatan didasarkan pada etiologi utama dan status volume (Gambar 5). Sebagaimana yang dirinci pada bagian awal, antagonis reseptor vasopressin baru-baru ini sudah diakui sebagai sarana potensial dalam penatalaksanaan hiponatremia euvolemik dan hipervolemik. Mayoritas pasien hiponatremia adalah euvolemik, dan diagnosa paling umum adalah syndrome of inappropriate antidiretic hormone (SIADH). Ini merupakan diagnosa ekslusi, dan kriteria khusus harus dipenuhi agar dapat menentukan diagnosa: osmolalitas plasma 100 mOsm/kg H2O; euvolemia; naiknya konsentrasi sodium urin; tidak adanya adrenal, tiroid, atau insufisiensi renal dan tidak adanya penggunaan diuretik. 26
Hipernatremia didefinisikan sebagai [Na+] > 145 mEq/L. Hipernatremia diidentifikasi pada 2% pasien yang masuk rumah sakit dan 15% pasien di ICU. Angka mortalitas sebesar 70%. Hipernatremia diakibatkan oleh defisit air bebas atau ekses/kelebihan total sodium tubuh, dan pasien apakah mengalami hipovolemik, euvolemik, atau hipervolemik. Penilaian status volume dan konsentrasi sodium urin membantu menentukan etiologi hipernatremia, yang melahirkan pendekatan pengobatan yang rasional (Gbr. 7). Simptom hipernatremia bersifat non-spesifik tapi paling umum dapat dikaitkan dengan sistem saraf pusat, konfusi, kelemahan leteragi yang berlanjut menjadi seizure, koma dan kematian. Pengobatan hipernatremia dapat berkembang jika koreksi terjadi terlalu cepat. Sebagaimana pada kasus pengobatan hiponatremia, kecepatan koreksi hipernatremia seharusnya sebanding dengan kecepatan onset. Replesi air adalah tonggak pengobatan hipernatremia.
Defisit air
bebas dihitung sebagai berikut: Defisit air bebas = [0,6 xtotal berat badan] x [(Na+]/140) yang terukur-1] Setengah defisit yang dihitung seharusnya diganti dalam 12 hingga 24 jam pertama, tidak lebih cepat daripada 2 mEq/L/jam. Sisa defisit seharusnya diganti pada 48 jam berikutnya. Penting artinya dicatat bahwa hipernatremia juga dapat terjadi pada pasien yang memiliki total garam tubuh dan overload air yang menerima terapi diuretik dalam pengaturan pemulihan renal dari ATN. Pada kondisi ini, edema tengah ditangani melalui pemberian diuretik loop (paling umum furosemida) dan pasien berkembang menjadi hipernatremia. Ini terjadi karena ginjal yang sedang mengalami pemulihan tetap mampu menjernihkan air secara
efektif
tapi tetap
ada
bukti gangguan
pembersihan
solute. 27
Pengamatan ini memperkuat konsep kunci bahwa semua gangguan elektrolit ―tipikal‖ tersebut dan terapi-terapinya mengasumsikan suatu sistem renal utama yang normal. Yang jelasnya, gangguan ginjal dapat mengubah perkiraan hasil dari suatu intervensi, dan pengamatan yang dekat dengan sampling elektrolit berulang penting artinya dalam memberi terapi yang aman dan efektif.
Gangguan Metabolisme Potasium Hipokalemia didefinisikan sebagai konsentrasi serum potasium (K+) yang kurang dari 3,6 mEq/L. Hipokalemia mencerminkan homostatis potasium
yang
abnormal
dengan
1
pengecualian
yang
jarang:
pseudohipokalemia terjadi pada penderita leukemia dengan jumlah sel darah putih yang naik nyata (potasium dimulai oleh sel abnormal secara in vitro setelah sampel darah diambil). Hipokalemia biasanya disebabkan oleh intake yang tidak adekuat, meningkatnya eksresi atau pergeseran kedalam sel, dan yang kurang umum disebabkan oleh dilusi. Meningkatnya eksresi terjadi terutama dari kehilangan gastrointestinal dan kehilangan ginjal (spontan atau dipengaruhi secara farmakologis). Pergeseran potasium kedalam sel dimediasi oleh obat-obat tertentu dan kondisi klinis (Tabel 3). Diuretik adalah penyebab paling umum dari hipokalemia pada pasien yang masuk rumah sakit. Meskipun sebagian besar pasien hipokalemia adalah asimptomatik, tapi abnormalitas kardiak dan neuromuscular adalah yang paling umum pada pasien yang mengalami simptom. Gangguan aktivitas listrik kardiak yang mencapai kulminasi pada cardiac arrest hampir selalu terjadi pada pasien dengan penyakit kardiak utama atau pada mereka yang menggunakan digitalis. Pemburukan hipokalemia yang progresif mengakibatkan perubahan ECG yang khas: flat T waves, depresi ST, gelombang U, prolongasi (lamanya) interval QT, dan aritmias ventrikula. Dalam kaitannya dengan 28
simptom muskuloskelatal, kelemahan umum dapat mengalami kemajuan menjadi nekrosis otot dan rhabdomyolisis. Paralisis otot yang menurun dapat mengakibatkan respiratory failure dan respiratory arrest. Paralisis periodik hipokalemia keluarga sudah dilaporkan sebagai suatu entitas unik.
Penghitungan defisit sodium
Periksa osmolalitas urin
Periksa elektrolit serum setiap 4-6 jam
Pemeriksaan neurologis
Akut
Kronis
Tujuan
Resolusi simptom
Tujuan
10-15% peningkatan [Na+] Pengobatan
Angka koreksi
3% NaCl
Resolusi simptom 10-15% peningkatan [Na+]
Pengobatan
3% NaCl
Diuretik loop jika
Diuretik loop jika
osmolalitas urin tinggi
osmolalitas urin tinggi
4 mg/dL dan mencakup
abnormalitas
muskuloskelatal,
neurologis
dan
kardiak.
Menurunnya refleks tendon dalam dapat mengalami kemajuan menjadi paralisis otot, seperti depresi respiratoris. Letargi dan somnolence adalah karakteristik depresi neurologis. Bradikardia, hipotensi, dan blok jantung komplit mengalami kemajuan menjadi cardiac arrest juga dapat terjadi. Jika terdapat instabilitas hemodinamis, maka dapat diberi kalsium intravena. Hidrasi yang disandingkan dengan furosemida dapat menambah ekskresi renal. Dialysis kemungkinan diperlukan pada setting renal failure dan intoksitasi magnesium akut. Seharusnya dicatat bahwa hipermagnesemia yang dipengaruhi sangat jarang di ICU diluar pasien yang menjalani tocolysis, meskipun ada dosis harian yang besar (8-10 g). Gangguan Metabolisme Fosfat Mayoritas terbesar total fosfor tubuh ditemukan pada tulang sebagai hidroksiapatite (yang benar adanya untuk kalsium), dan mayoritas fosfat adalah intraselular. Fosfat adalah komponen esensial adenosine triphosphate (ATP). Fosfat juga merupaan komponen fosfolipid yang merupakan selaput sel dan berperan sebagai buffer asam-basa. Homeostatis fosfat bersandar pada metabolisme tulang (yang terhubung dengan homeostatis kalsium), absorpsi intestinal, dan resorpsi renal. Konsentrasi serum fosfat yang rendah lebih disukai karena hipofosfatemia, yang digolongkan ringan (2,5-3,0 mg/dL), moderat (1-2,5 mg/dL), dan berat (4,5 mg/dL. Penyebab paling umum adalah gagal ginjal dan pemberian yang berlebihan. Meningkatnya
resorpsi
ginjal
terjadi
pada
hipoparatiroidisme
dan
tirotoksicosis. Kondisi klinis yang mengakibatkan kerusakan sel ekstensif juga merupakan penyebab dan termasuk rhabdomuolisis, sindrom lisis tumor, dan hemolisis. Penyalahgunaan laksatif dan terapi bisfosfanat juga patut disalahkan sebagai penyebab. Simptom klinis yang paling sering terkait dengan hipokalsemia (lihat bagian sebelumnya). Hiperfosfatemia menyebabkan hipokalsemia dengan : (1) mengendapkan kalsium, (2) mengganggu PTH, dan (3) menurunkan level vitamin D. Sumber utama pengobatan untuk hiperfosfatemia adalah peningkatan ekskresi urin yang memanfaatkan hidrasi dan diuresis (khususnya asetazolamida). Dialysis kemungkinan diperlukan. Pengikat fosfat oral digunakan untuk pencegahan dan pengobatan hiperfosfatemia pada pasien yang mengalami renal failure kronis. Pengikat oral dapat berguna bagi pasien dengan gagal ginjal akut yang mendapat preskripsi nutrisi enteral konsentrasi fosfat yang tinggi agar dapat menghindari hiperfosfatemia jika formulanya
tidak
dapat
berubah.
Ini
terjadi
paling
umum
dengan
meningkatnya suplementasi protein pada setting akut.
43
TABEL 7. Etiologi Hipofosfatemia Pergeseran transelular ***refeeding syndrome (inisiasi karbohidrat menyebabkan spike insulin → meningkatkan uptake fosfat seluler) Alkalosis respiratoris Pemberian insulin Kehilangan renal Diuretik Diuresis osmosis (sebagaimana pada ketoasidosis diabetik) Hiperparatiroidisme
(primer
atau
sekunder)
(menurunkan
resorpsi fosfat urin) Disfungsi tubula renal proksimal : Fanconi’s syndrome Absorbsi intestinal yang tidak memadai Malnutrisi Antacid pengikat-fosfat Defisiensi vitamin D Diare kronis Penyedotan nasogastrk Malabsorbsi Keadaan katabolic ekstrim (total deplesi fosfat tubuh) Terbakar Trauma Sepsis
44
View more...
Comments