6-Lembaga Pengelola Wakaf

May 18, 2018 | Author: yuli | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

BAB VI Lembaga Pengelola Wakaf...

Description

BAN VI LEMBAGA PENGELOLA WAKAF

A.

PENGERTIAN Secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf” yang berarti “al -  . Ia - Habs”    merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun)  noun)  yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan pembekuan hak milik untuk f aedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359). Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda (al-‘a (al- ‘ain) in) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (almanfa‘ah) (al-Jurjani: (al-Jurjani: 328). Dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam memberi pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut: 1. Hanafiyah

Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al- ‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan (Ibnu al-Humam: al-Humam: 6/203). Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya. 2. Malikiyah

Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang  berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif (al-Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja. 3. Syafi‘iyah

Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) (al- ‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini: 2/376) Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi  bendanya (al-‘ain) (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan (al-Syairazi: 1/575). 4.

Hanabilah Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185). Itu menurut para ulama ahli fiqih.

Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan  perbuatan hukum hukum Wakif untuk untuk memisahkan memisahkan dan/atau dan/atau menyerahkan menyerahkan sebagian sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Dari beberapa definisi wakaf tersebut, dapat disimpulkan bahwa wakaf  bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf  berfungsi untuk mewujudkan mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.

52

53

B.

DASAR HUKUM Menurut Al-Quran Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara jelas. Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan menjelaskan tentang infaq fi f i sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain: “Hai orang -orang -orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (Q.S. kamu.” (Q.S. al-Baqarah (2): 267) “Kamu sekali-kali sekali -kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai.” (Q.S. cintai.” (Q.S. Ali Imran (3): 92)

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang -orang -orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa  yang Dia kehendaki, kehendaki, dan Allah Allah Maha Luas (karunia(karunia- Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah al-Baqarah (2): 261)

Menurut Hadits Di antara hadis yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis yang menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika memperoleh memperoleh tanah di Khaibar. Setelah ia meminta meminta petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi menganjurkan menganjurkan untuk menahan asal tanah dan menyedekahkan hasilnya.

Hadis tentang hal ini secara lengkap adalah; “Umar memperoleh tanah di Khaibar, lalu dia bertanya kepada Nabi dengan berkata; Wahai Rasulullah, saya telah memperoleh tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya peroleh yang lebih tinggi nilainya dari padanya. Apa yang baginda perintahkan kepada saya untuk melakukannya? Sabda Rasulullah: “Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan sedekahkan manfaat atau faedahnya.” Lalu Umar menyedekahkannya, ia tidak boleh dijual, diberikan, atau dijadikan wariskan. Umar menyedekahkan kepada fakir miskin, untuk keluarga, untuk memerdekakan budak, untuk orang yang berperang di jalan Allah, orang musafir dan  para tamu. Bagaimanapun Bagaimanapun ia boleh digunakan dengan cara yang sesuai oleh pihak yang mengurusnya, seperti memakan atau memberi makan kawan tanpa menjadikannya sebagai sebagai sumber pendapatan.” Hadis lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diceritakan oleh imam Muslim dari Abu Hurairah. Nas hadis tersebut adalah; “Apabila seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah  jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya, dan anak soleh yang mendoakannya.” Selain dasar dari al-Quran al- Quran dan Hadis di atas, para ulama sepakat (ijma’) menerima wakaf sebagai satu amal jariah yang disyariatkan dalam Islam. Tidak ada orang yang dapat menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena wakaf telah menjadi amalan yang senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum Muslimim sejak masa awal Islam hingga sekarang.

Dalam Konteks Kenegaraan Dalam konteks negara Indonesia, amalan wakaf sudah dilaksanakan oleh masyarakat Muslim Indonesia sejak sebelum merdeka. Oleh karena itu pihak pemerintah telah menetapkan Undang-undang khusus yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undangundang tersebut, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 41 tahun 2004.

54

C.

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN WAKAF DI INDONESIA Salah satu faktor penting yang ikut mewarnai corak dan perkembangan wakaf di era modern adalah ketika negara ikut mengatur kebijakan wakaf melalui seperangkat hukum  positif. Di masa penjajahan, kegiatan perwakafan mengalami perkembangan yang pesat. Hal itu ditandai dengan banyaknya muncul organisasi keagamaan, sekolah madrasah, pondok  pesantren, masjid, yang semuanya dibangun dengan swadaya masyarakat di atas tanah wakaf. Politik pemerintah pada masa ini mengenai filantropi Islam tunduk pada rasionalitas politik Islam Hindia Belanda. Di mana Islam sebagai sistem nilai dibatasi sedemikian rupa sehingga ia dipraktekkan dalam kerangka ritual-personal semata. Rasionalitas semacam ini membuat tradisi wakaf sebagai lembaga pelayanan sosial.  Namun, karena aktivitas filantropi Islam seringkali bersinggungan bersinggungan dengan hubungan antarmasyarakat maka pemerintah kolonial pada akhirnya memandang perlu untuk mengatur dengan ketentuan-ketentuan hukum, seperti: a) Surat Edaran Sekretaris Guberneman Tanggal 31 Januari 1905 Nomor 435 sebagaimana termuat dalam Bijblad Nomor 6196 Tahun 1905, Tentang Toezicht Op Den Bouw Van Mohammedaansche Bedehuizen. Surat edaran ini ditujukan kepada  para kepala wilayah di Jawa dan Madura supaya bupati mendata rumah-rumah rumah-rumah ibadah.  b) Surat Edaran Sekretaris Gubernemen Tanggal 4 Juni 1931 Nomor 1361/A sebagaimana termuat dalam Bijblad Nomor 12573 Tahun 1931, Tentang Toezich Van De Regeering Op Mohammedaansche Bedehuizen, Vrijdagdiensten En Wakafs. Surat edaran ini mengatur mengatur tentang keharusan adanya keizinan bupati dalam berwakaf. Bupati memerintahkan agar wakaf yang diizinkan dimasukkan ke dalam daftar yang dipelihara oleh ketua Pengadilan Agama yang diberitahukan kepada Asisten Wedana yang selanjutnya dilaporkan ke Kantor Landrente. c) Surat Edaran Sekretaris Gubernemen Tanggal 24 Desember 1934 Nomor 3088/A sebagaimana termuat dalam Bijblad Nomor 12573 Tahun 1934, Tentang Toezich Van De Regeering Op Mohammedaansche Bedehuizen, Vrijdagdiensten En Wakafs. Dalam surat edaran ini diatur, tentang kewenangan bupati dalam menyelesaikan sengketa dalam pelaksanaan shalat jum’at  bila diminta oleh para pihak. pihak. d) Surat Edaran Sekretaris Gubernemen Tanggal 27 Mei 1935 Nomor 1273/A sebagaimana termuat dalam Bijblad Nomor 13480 Tahun 1935 Tentang Toezich Van De Regeering Op Mohammedaansche Bedehuizen, Vrijdagdiensten En Wakafs. Surat edaran ini hanya mempertegas surat edaran sebelumnya, dimana bupati dapat melakukan pendataan harta wakaf.

Sayangnya, peraturan yang dibuat tidak sepenuhnya didasarkan pada keinginan politik (political will) yang jujur serta pemahaman pemahaman yang benar tentang hakikat dan tujuan wakaf. Akibatnya, peraturan-peraturan ini mendapat reaksi dari organisasi-oraganisasi Islam karena orang yang akan berwakaf harus mendapat izin pemerintah. Sementara itu umat Islam memandang perwakafan merupakan tindakan hukum privat sehingga tidak perlu ada izin dari pemerintah. Reaksi ini merupakan penolakan terhadap campur tangan  pemerintah kolonial terhadap urusan-urusan yang berhubungan dengan agama Islam. Ini  berarti peraturan yang dikeluarkan pemerintah kolonial tidak memiliki arti penting bagi  pengembangan  pengembangan wakaf, selain untuk memenuhi memenuhi formalisme administratif semata. Formalisme ini terus berlangsung sampai masa kemerdekaan. Politik filantropi Islam  pada masa Orde Lama tidak mengalami mengalami perubahan mendasar. mendasar. Peraturan-peraturan yang mengatur perwakafan zaman kolonial, pada zaman kemerdekaan masih tetap diberlakukan, karena peraturan perwakafan yang baru belum ada. Ada pun peraturan yang mengatur wakaf pada masa orde lama adalah: (1) Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1949 yang memberikan kewenangan kepada Menteri Agama untuk mengurus wakaf. Selanjutnya PP ini ditindaklanjuti oleh Peraturan Menteri Agama Nomor 9 Tahun 1952 yang memberikan kewenangan kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten untuk menyelidiki, mendata, dan mengawasi penyelenggaraan perwakafan. Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam  Negeri Dan Menteri Agraria Tanggal 5 Maret 1959 Nomor Pem.19/22/23/7: Pem.19/22/23/7: S.K./62/Ka/59P., mengalihkan kewenangan bupati sebagai pengawas harta wakaf menjadi tugas Kepala Pengawasan Agraria. Secara hirarki peraturan hukum di

55

Indonesia, jelas peraturan-peraturan ini masih lemah. Kemudian, aturan tentang wakaf dimasukkan dalam undang-undang agraria. (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Dalam Pasal 49 undang-undang ini menyatakan, negara melindungi keberlangsungan perwakafan di Indonesia dengan mengaturnya secara khusus dalam  peraturan pemerintah, Namun, peraturan pemerintah itu baru lahir tahun 1977. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia berkaitan dengan  perwakafan seperti yang terjadi pada orde lama tidak memiliki memiliki arti penting bagi  pengembangan  pengembangan wakaf selain hanya untuk memenuhi memenuhi formalisme administratif semata. Hal ini dikarenakan pemerintah pada masa orde baru ini lebih berkonsentrasi untuk memperkuat diri di atas kekuatan-kekuatan sipil terutama Islam, sembari menjalankan agenda sekularisasi politiknya secara konsisten, malah Islam hampir termarginalkan. Keadaan ini terus berlangsung sampai paroh kedua dasarwarsa 1980-an ketika secara mengejutkan Islam mulai diterima di ruang publik. Ada pun peraturan perwakafan yang lahir pada masa orde baru adalah: (a) Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. Dengan adanya peraturan pemerintah ini, perwakafan tanah milik di Indonesia mulai memasuki babak baru. Perwakafan tanah milik di Indonesia mulai tertib dan terjaga. Ini merupakan peraturan pertama yang memuat substansi dan teknis perwakafan. Selama ini di Indonesia, peraturan yang mengatur perwakafan kurang memadai sehingga banyak muncul persoalan perwakafan di tengah masyarakat, seperti  banyaknya  banyaknya sengketa tanah wakaf. Tanah wakaf yang statusnya tidak jelas, banyak  benda wakaf yang tidak diketahui keadaannya, keadaannya, penyalahgunaan penyalahgunaan harta wakaf, dan sebagainya. Hal ini karena tidak adanya keharusan untuk mendaftarkan benda-benda wakaf. Barulah dengan ditetapkannya peraturan pemerintah ini perwakafan mempunyai dasar hukum yang kuat. Dengan keluarnya peraturan pemerintah ini, seluruh peraturan yang mengatur  perwakafan seperti yang tercantum dalam Bijblad Nomor 6196 tahun 1905, dan  bijblad tahun 1931 Nomor 12573, serta bijblad tahun 1935 Nomor 13480 sepanjang  bertentangan dengan Peraturan Peraturan Pemerintah Pemerintah nomor nomor 28 tahun 1977 ini dinyatakan tidak  berlaku lagi. Selanjutnya, peraturan pemerintah ini ditindaklanjuti dengan keluarnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 Tentang Pendaftaran Perwakafan Perwakafan Tanah Milik, dan Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 Tentang Peraturan Pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik dan peraturan pelaksana teknis lainnya. Walaupun peraturan pemerintah telah dikeluarkan, dalam perjalanannya ternyata perturan-peraturan perwakafan yang ada ini belum berjalan secara efektif dalam menertibkan perwakafan perwakafan di Indonesia. Untuk itu tanggal 30 November 1990 dikelurkan Instruksi Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor. 4 Tahun 1990 dan Nomor 24 Tahun 1990 Tentang Sertifikat Tanah Wakaf.

(b) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Instruksi yang dikeluarkan tangggal 5 Februari 1991 ini adalah pedoman bagi instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang perwakafan khususnya yang termuat dalam buku III. Kemudian inpres ini ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Menteri Agama No 154 Tahun 1991 Tanggal 22 Juli 1991, meminta kepada seluruh instansi di lingkungan Departemen Agama termasuk Peradilan Agama untuk menyebarluaskan KHI. Aturan yang dimuat dalam buku III tentang perwakafan ini membawa pembaharuan dalam  pengelolaan wakaf walaupun secara substansi masih berbentuk elaborasi dari aturan yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. Di sisi lain, instruksi presiden yang terdapat dalam buku III ini sebetulnya belum cukup merevitalisasi sektor wakaf. KHI masih mengadopsi  paradigma lama yang yang literal yang cenderung cenderung bersifat bersifat fiqh minded. minded. Hal ini terlihat dari materi hukum yang dicakup merupakan bentuk univikasi pendapat-pendapat mazhab dan Hukum Islam di Indonesia yang berkaitan dengan perwakafan. Sejalan dengan bergulirnya gelombang reformasi dan demokratisasi demokratisasi dipenghujung tahun

56

1990-an, membawa perubahan dan mengokohkan Islam sebagai salah satu kekuatan  politik di panggung nasional, sampai munculnya munculnya undang-undang yang secara khusus mengatur wakaf. Pemerintah RI mengakui aturan hukum perwakafan dalam bentuk undang-undang. Pada masa reformasi, peraturan perwakafan berhasil disahkan adalah Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang – undang undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Produk undang-undang ini telah memberikan pijakan hukum yang pasti, kepercayaan kepercayaan publik, serta perlindungan terhadap aset wakaf. Pensahan undang-undang ini merupakan langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, meningkatkan  peran wakaf, tidak hanya sebagai sebagai pranata keagamaan keagamaan saja, tetapi juga memiliki kekuatan kekuatan ekonomi yang potensial untuk memajukan kesejahteraan umum. Di samping itu, dengan disahkannya undang-undang ini, objek wakaf lebih luas cakupannya tidak hanya sebatas  benda tidak bergerak saja, tapi juga meliputi benda bergerak seperti uang, logam mulia, surat berharga, hak sewa dan sebagainya. Campur tangan pemerintah terhadap wakaf hanya bersifat pencatatan dan mengawasi  pemeliharaan  pemeliharaan benda-benda wakaf agar sesuai dengan tujuan dan maksud wakaf. Pemerintah sama sekali tidak mencampuri, menguasai, atau menjadikan benda wakaf menjadi milik negara. Kehadiran Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf secara simbolik menandai kemauan politik negara untuk memperhatikan permasalahan sosial umat Islam. Perkembangan peraturan perundang-undangan tentang wakaf hari ini sangat ditentukan oleh dinamika internal umat Islam serta hubungan harmonis antara Islam dan negara. Iklim politik yang kondusif ini memungkinkan berkembangnya filantropi Islam seperti wakaf. Selain itu, demokrasi menyediakan arena bagi artikulasi  politik Islam Islam secara konstitusional. Pada akhirnya, akhirnya, politik filantropi Islam ditentukan oleh oleh  proses integrasi/nasionalisasi integrasi/nasionalisasi gagasan sosial-politik Islam ke dalam sistem dan konfigurasi sosial politik nasional. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf ini menjadi momentum  pemberdayaan  pemberdayaan wakaf secara produktif sebab di dalamnya dalamnya terkandung pemahaman yang komprehensif dan pola manajemen pemberdayaan potensi wakaf secara modern. Dalam undang-undang wakaf yang baru ini konsep wakaf mengandug dimensi yang sangat luas. Ia mencakup harta tidak bergerak, maupun yang bergerak, termasuk wakaf uang yang  penggunaannya  penggunaannya sangat luas, tidak terbatas untuk pendirian tempat ibadah dan sosial keagamaan. Formulasi hukum yang demikian, jelas suatu perubahan yang sangat revolusioner. Jika dapat direalisasikan, akan memunculkan pengaruh yang berlipat ganda terutama dalam kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi umat. Dengan demikian, Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 diproyeksikan sebagai sarana rekayasa sosial (social engineering), melakukan perubahan-perubahan pemikiran, sikap dan perilaku umat Islam agar senafas dengan semangat undang-undang tersebut. Dengan disahkannya undang-undang wakaf, agenda politik umat bergeser dari orientasi ideologis menuju visi sosial ekonomi yang lebih pragmatis. Situasi ini membantu  pembentukan  pembentukan proses integrasi gagasan sosial politik Islam ke dalam sistem dan konfigurasi sosial politik nasional. Umat mulai menyadari bahwa eksistensi mereka lebih  bermakna.  bermakna. Apabila mereka kuat secara sosial dan ekonomi ekonomi dan tidak hanya sekedar unggul dalam statistik. Dengan posisi sosial ekonomi yang kuat, negara akan lebih memperhitungkan berbagai aspirasi, negosiasi, dan gerakan umat Islam. Dengan memperhatikan konteks dan latar belakang lahirnya undang-undang wakaf, sangat terkait dengan motif politik, ekonomi, dan tertib hukum. Selain bermaksud mengakomodasi kepentingan sosial-religius umat Islam, pemerintah menyadari bahwa  berkembanganya  berkembanganya lembaga wakaf dapat meningkatkan meningkatkan kesejahteraan kesejahteraan sosial masyarakat. masyarakat. Karenanya tidak mengherankan, pemerintah diwakili Departemen Agama memainkan  peranan yang signifikan dalam menginisiasi menginisiasi dan menfasilitiasi menfasilitiasi lahirnya seperangkat seperangkat  peraturan filantropi, khususnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Sesuai dengan kehendak politik yang tertuang dalam undang-undang ini pemerintah  bukanlah sebagai pelaksana operasional pengelola wakaf tapi pemerintah hanya berfungsi berfungsi sebagai regulator, motivator, fasilitator, dan publik servis bagi pengelolaan wakaf. Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah dibantu oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI). Setelah lahirnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, pemerintah (Departemen Agama) melakukan berbagai upaya dalam rangka mendorong dan

57

menfasilitasi agar pengelolaan wakaf dapat dilakukan secara profesional, amanah, dan transparan sehingga tujuan pengelolaan wakaf dapat tercapai. Untuk itu, sebagai langkah kongkrit Departemen Agama dalam merespon kebutuhan tersebut, dibentuklah Direktorat Pemberdayaan Wakaf yang berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. Dengan lahirnya Direktorat Pemberdayaan Wakaf yang terpisah dari Direktorat Pemberdayaan Zakat merupakan bentuk kesungguhan pemerintah dalam mendorong dan menfasilitasi bagi pemberdayaan wakaf secara lebih baik. Walaupun terlambat dari negara Islam lainnya, pembentukan Direktorat Pemberdayaan Wakaf di Indonesia merupakan bentuk political will pemerintah untuk menuju apa yang sudah dilakukan di negara-negara Islam yang terbukti berhasil mengelola wakaf. Seperti Mesir dan Yordania yang telah melimpahkan tugas ini pada Kementerian Wakaf. Di Turki Direktorat Jenderal Wakaf diberi tugas untuk mengelola dan mengawasi  pengelolaan  pengelolaan wakaf di negara tersebut. Arab Saudi negara Islam yang tergolong serius menangani wakaf, membentuk kementrian Haji dan Wakaf tahun 1381 H yang bertugas melaksanakan urusan terkait dengan wakaf, mengawasi, dan mengatur perwakafan. Tugas Menteri Haji dan Wakaf ini dibantu oleh Majelis Tinggi Wakaf yang dibentuk tahun 1386 H.

D.

RUKUN DAN SYARAT Rukun Wakaf  Rukun Wakaf Ada empat rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf. 1. Orang yang berwakaf (al-waqif). 2. Benda yang diwakafkan (al-mauquf). (al- mauquf ‘alaihi). 3. Orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf 4. Lafadz atau ikrar wakaf (sighah). Syarat-Syarat Wakaf 1. Syarat-syarat Syarat-syarat orang yang berwakaf (al-waqif) Syarat-syarat al-waqif ada empat, yaitu: a. Orang yang berwakaf memiliki secara penuh harta itu, artinya dia bebas untuk mewakafkan harta itu kepada siapa yang ia kehendaki.  b. Orang yang berakal, tidak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk. c. Baligh. d. Orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang muflis dan orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya.

2. Syarat-syarat Syarat-syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf) Harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindahmilikkan, kecuali apabila ia memenuhi  beberapa persyaratan persyaratan yang yang ditentukan oleh; a.  barang yang yang diwakafkan diwakafkan itu mestilah mestilah barang yang berharga berharga  b. harta yang diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya. Jadi apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah. c. harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif). d. harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan denga n istilah (ghaira shai’). 3. Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih) Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, a. tertentu (mu’ayyan) (mu’ayyan),, dan Yang dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak  boleh dirubah.  b. tidak tertentu (ghaira mu’ayyan). Yang tidak tentu maksudnya tempat berwakaf itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang sesorang untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll. Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia mestilah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al tamlik), Maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini

58

 boleh memiliki memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, bodoh, hamba sahaya, sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan; pertama ialah bahwa yang akan menerima wakaf itu mestilah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja. 4. Syarat-syarat Syarat-syarat Shigah Berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat. Pertama, ucapan itu mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukKan kekalnya (ta’bid). Tidak sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan disangkutkan atau digantungkan digantungkan kepada syarat tertentu. Ketiga, ucapan itu bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan. Apabila semua persyaratan diatas dapat terpenuhi maka penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan  penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.

E.

HARTA BENDA WAKAF DAN PEMANFAATANNYA PEMANFAATANNYA Menurut UU No. 41 tahun 2004 pasal 16 ayat 1, harta benda yang dapat diwakafkan terdiri atas benda tidak bergerak dan benda bergerak. 1. Wakaf benda tidak bergerak Menurut UU No. 41 tahun 2004 pasal 16 ayat 2, benda tidak bergerak yang dapat diwakafkan yaitu: a. hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang  berlaku baik yang sudah maupun yang yang belum terdaftar;  b.  bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana sebagaimana dimaksud pada huruf a; c. tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah; d. hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan  perundang.undangan  perundang.undangan yang yang berlaku; e.  benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan  perundang.undangan  perundang.undangan yang yang berlaku. 2. Wakaf benda bergerak Benda bergerak yang dapat diwakafkan adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi: a. uang;  b. logam mulia; mulia; c. surat berharga; d. kendaraan; e. hak atas kekayaan intelektual; f. hak sewa; dan g. benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan  perundang.undangan  perundang.undangan yang yang berlaku.

F.

BADAN WAKAF INDONESIA 1. Profil Badan Wakaf Indonesia

Kelahiran Badan Wakaf Indonesia (BWI) merupakan perwujudan amanat yang digariskan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Kehadiran BWI, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 47, adalah untuk memajukan dan mengembangkan perwakafan di Indonesia. Untuk kali pertama, Keanggotaan BWI diangkat oleh Presiden Republik Indonesia, sesuai dengan Keputusan Presiden (Kepres) No. 75/M tahun 2007, yang ditetapkan di Jakarta, 13 Juli 2007. Jadi, BWI adalah lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, serta bertanggung jawab kepada masyarakat. masyarakat. BWI berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota sesuai dengan kebutuhan. Dalam kepengurusan, BWI terdiri atas Badan Pelaksana dan Dewan

59

Pertimbangan, masing-masing dipimpin oleh oleh satu orang Ketua dan dua orang Wakil Ketua yang dipilih dari dan oleh para anggota. Badan pelaksana merupakan unsur pelaksana tugas, sedangkan Dewan Pertimbangan adalah unsure pengawas  pelaksanaan  pelaksanaan tugas BWI. Jumlah anggota Badan Wakaf Indonesia terdiri dari paling sedikit 20 (dua puluh) orang dan paling banyak 30 (tiga puluh) orang yang berasal dari unsur masyarakat. (Pasal 51-53, UU No.41/2004). Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Keanggotaan Perwakilan Badan Wakaf Indonesia di daerah diangkat dan diberhentikan oleh Badan Wakaf Indonesia. Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Untuk pertama kali, pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diusulkan kepada Presiden oleh Menteri. Pengusulan pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia kepada Presiden untuk selanjutnya dilaksanakan dilaksanakan oleh Badan Wakaf Indonesia. Indonesia. (Pasal 55, 56, 57, UU No.41/2004). 2.

3.

Tugas Dan Wewenang Sesuai dengan UU No. 41/2004 Pasal 49 ayat 1 disebutkan, BWI mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut: a. Melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf.  b. Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional. c. Memberikan persetujuan dan atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf. d. Memberhentikan dan mengganti nazhir. e. Memberikan Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf. f. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.

Terkait dengan tugas dalam membina nazhir, BWI melakukan beberapa langkah strategis, sebagaimana sebagaimana disebutkan dalam PP No.4/2006 pasal 53, meliputi: a. Penyiapan sarana dan prasarana penunjang operasional Nazhir wakaf baik  perseorangan, organisasi dan badan hukum. hukum.  b. Penyusunan regulasi, pemberian motivasi, pemberian fasilitas, pengkoordinasian,  pemberdayaan  pemberdayaan dan pengemba pengembangan ngan terhadap harta benda wakaf. c. Penyediaan Penyediaan fasilitas proses sertifikasi Wakaf. d. Penyiapan dan pengadaan blanko-blanko AIW, baik wakaf benda tidak bergerak dan/atau benda bergerak. e. Penyiapan penyuluh penerangan di daerah untuk melakukan pembinaan dan  pengembangan  pengembangan wakaf wakaf kepada Nazhir sesuai sesuai dengan lingkupnya. lingkupnya. f. Pemberian fasilitas masuknya dana-dana wakaf dari dalam dan luar negeri dalam  pengembangan  pengembangan dan pemberdaya pemberdayaan an wakaf. Visi, Misi dan Strategi BWI Visi dan Misi BWI: Visi BWI adalah “Terwujudnya lembaga independen yang dipercaya masyarakat, mempunyai kemampuan dan integritas untuk mengembangkan  perwakafan nasional dan internasional”. internasional”. I ndonesia sebagai lembaga Misi BWI yaitu “Menjadikan Badan Wakaf Indonesia  profesional yang mampu mampu mewujudkan potensi dan manfaat manfaat ekonomi harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan pemberdayaan masyarakat”. Strategi BWI Adapun strategi untuk merealisasikan Visi dan Misi Badan Wakaf Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan kompetensi dan jaringan Badan wakaf Indonesia, baik nasional maupun internasional. 2. Membuat peraturan dan kebijakan di bidang perwakafan. 3. Meningkatkan kesadaran dan kemauan masyarakat untuk berwakaf. 4. Meningkatkan profesionalitas dan keamanahan nazhir dalam pengelolaan dan  pengembangan  pengembangan harta wakaf. wakaf. 5. Mengkoordinasi dan membina seluruh nazhir wakaf. 



60

6. Menertibkan pengadministrasian harta benda wakaf. 7. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf. 8. Menghimpun, mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf yang berskala nasional dan internasional. Untuk merealisasikan visi, misi dan strategi tersebut, BWI mempunyai 5 divisi, yakni: Divisi Pembinaan Nazhir, Divisi Pengelolaan dan Pemberdayaan Wakaf, Divisi Kelembagaan, Divisi Hubungan Masyarakat, dan Divisi Peneltian dan Pengembangan Wakaf.     

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF