54702081-Laporan-Problem-Based-Learning-i.docx
March 14, 2019 | Author: yandaputri | Category: N/A
Short Description
Download 54702081-Laporan-Problem-Based-Learning-i.docx...
Description
LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING I BLOK MENTAL HEALTH SKIZOFRENIA
Tutor : Dr. Miko Ferrine Oleh : Kelompok X
Yuliana Dwi J.P.
G1A007002
Rica Anriz
G1A007004
Yuli Lestari
G1A007010
Kartiwan
G1A007017
Dimas Gatra Diantoro
G1A007021
Ichi Mayangsari
G1A007029
Ditia Fabiansyah
G1A007035
Dike H. Afifi
G1A007066
Gendis Ayu A.
G1A007099
Akhmad Fauzan
G1A007100
Leti Indah Oktaviani
G1A007127
KEMENTERIAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER PURWOKERTO 2010
BAB I PENDAHULUAN
Problem based learning (PBL) untuk menyiapkan mahasiswa dalam menghadapi suatu kasus yang nantinya akan timbul dalam masyarakat jika kita sudah menjadi DOKTER. Selain itu PBL juga menyiapkan mahasiswa agar mampu menggunakan prinsip-prinsip komunikasi yang efektif dalam hubungan antar teman saat berdiskusi. Dan dapat menggunakan komunikasi yang efektif saat berkomunikasi dengan pasien nantinya. Problem based learning akan menjadikan mahasiswa mampu untuk menggunakan sarana informasi yang sudah tersedia sepeti buku, internet, journal dan sarana komunikasi yang lain untuk mencari bahan dan menjadi acuan serta mencari jawaban tenrang masalah dan pertanyaan yang timbul saat diskusi berlangsung. PBL menjadikan mahasiswa akan mampu menjelaskan hubungan antara ilmu kedokteran dasar dengan ilmu-ilmu kedokteran klinis yang praktis sehingga mudah di pahami dan di mengerti. Adapun skenario PBL kasus 1, yaitu : Informasi 1:
Tn.S, seorang mahasiswa berusia 20 tahun dengan status belum menikah dibawa oleh ayahnya ke klinik dengan keluhan peningkatan aktivitas motorik. Ayahnya mengatakan bahwa S sering tertawa sendiri tanpa alasan yang jelas. Ia juga sering berbicara sendiri seolah-olah ada orang lain didekatnya yang mengajaknya bicara. S sering mengeluarkan kalimat-kalimat yang tidak jelas maknanya dengan suara keras. S percaya dan selalu mengatakan bahwa ia adalah penyanyi terkenal. Bahkan ia sering bernyanyi keras-keras lewat tengah malam. Informasi 2:
Masalah Tn. S mulai muncul kurang lebih 1 tahun yang lalu. Ia tidak lagi mengikuti kuliah sejak 7 bulan yang lalu karena gangguan mental yang dideritanya. Ayahnya mengatakan bahwa istrinya juga menderita gangguan mental Pemeriksaan fisik dalam batas normal Pemeriksaan psikiatrik S masuk kedalam ruang pemeriksaan sambil tertawa keras-keras. Ia memakai jaket kulit berwarna coklat, celana karet (kolor) bermotif bunga, sandal jepit, dan mengalungkan 3 buah medali serta kalung metal dilehernya. Pembicaraan inkoheren Afek tidak sesuai
Pikiran delusi Peresepsi visual dan auditory Orientasi dalam batas normal Konsentrasi terganggu Memori dalam batas normal Pemahaman abstrak terganggu Kesadaran berubah (pasien tidak pedduli dan megerti bahwa dirinya sakit, dia menyangkal dengan tefas kalau dirinya sakit) Penilaian pasien tidak mengerti akibat dari tingkah lakunya Informasi 3:
Tn. S dirawat inap setelah ayahnya menandatanani informed consent. Ia diberi terapi haloperidol 2x2 mg dengan psikoterapi Satu bullan setelah dirawat, semua tanda dan gejala hilang dan Tn. S diperbolehkan pulang dan kontrol rutin di bagian psikiatri
BAB II PEMBAHASAN
Informasi 1:
Tn.S, seorang mahasiswa berusia 20 tahun dengan status belum menikah dibawa oleh ayahnya ke klinik dengan keluhan peningkatan aktivitas motorik. Ayahnya mengatakan bahwa S sering tertawa sendiri tanpa alasan yang jelas. Ia juga sering berbicara sendiri seolah-olah ada orang lain didekatnya yang mengajaknya bicara. S sering mengeluarkan kalimat-kalimat yang tidak jelas maknanya dengan suara keras. S percaya dan selalu mengatakan bahwa ia adalah penyanyi terkenal. Bahkan ia sering bernyanyi keras-keras lewat tengah malam. Klarifikasi Istilah
Tidak Ada 1. Identifikasi Masalah dari informasi 1
a. Tn.S, seorang mahasiswa berusia 20 tahun dengan status belum menikah dibawa oleh ayahnya ke klinik dengan keluhan peningkatan aktivitas motorik b. Tn. S sering tertawa sendiri tanpa alasan yang jelas. c. Tn. S sering berbicara sendiri seolah-olah ada orang lain didekatnya yang mengajaknya bicara d. Tn. S sering mengeluarkan kalimat-kalimat yang tidak jelas maknanya dengan suara keras e. Tn. S percaya dan selalu mengatakan bahwa ia adalah penyanyi terkenal f. Tn. S sering bernyanyi keras-keras lewat tengah malam Pembahasan
Masalah Tuan S: a. Pasien, usia 20 tahun, dengan peningkatan aktivitas motorik b. Pasien sering tertawa sendiri tanpa alasan yang jelas
hyperaktivitas
diduga
pasien mengalami
ecstasy , yaitu merupakan salah satu gangguan mood ditandai dengan perasaan gembira yang luar biasa sehingga pasien tertawa. c. Pasien sering berbicara sendiri seolah-olah ada orang lain didekatnya yang mengajaknya bicara
halusinasi auditorik dan visual . Halusinasi adalah Persepsi
sensoris yang palsu dan tidak disertai dengan stimuli eksternal yang nyata. Dapat ditemukan interpretasi waham tentang pengalaman halusinasi. d. Tn. S sering mengeluarkan kalimat-kalimat yang tidak jelas maknanya dengan suara keras inkoherensi . Inkoherensi adalah gabungan kata-kata dalam satu kalimat yang tanpa tata bahasa sehingga tak dimengerti maknanya. e. Tn. S percaya dan selalu mengatakan bahwa ia adalah seorang penyanyi terkenal
waham kebesaran (grandeur delusi on). 2. Hipotesis dan Penjelasan Hipotesis
Diagnosis banding dalam menentukan sebuah gangguan jiwa perlu diketahui pembagian gangguan jiwa secara umum. Hipotesis yang dapat diambil dari informasi p ertama adalah sebagai berikut: psikosis dan neurosis. a. Psikosis
Di dunia psikiatrik, psikotik menjadi sinonim dengan gangguan berat dalam fungsi sosial dan pribadi yang ditandai oleh penarikan sosial dan ketidakmampuan untuk melakukan peranan rumah tanggadan pekerjaan biasanya. Penggunaan lainnya dari istilah tersebut adalah untuk menyebutkan derajat regresi ego sebagai kriteria untuk penyakit psikotik. Bukti langsung dari perilaku psikotik adalah adanya waham atau halusinasi tanpa tilikan ke dalam sifat patologisnya. Istilah psikotik seringkali sesuai jika perilaku jelas mengalami disorganisasi di mana dapat dibuat suatu kesimpulan yang beralasan bahwa tes realitas adalah terganggu. Contohnya adalah pembicaraan yang tidak jelas, tidak logis, dan tidak dapat dimengerti, serta perilaku yang teragitasi dan disorientasi (Maslim, 2001). b. Neurosis
Neurosis adalah suatu gangguan psikotik yang kronik atau rekuren yang ditandai dengan kecemasan, yang dialami atau diekspresikan secara langsung atau diubah melalui mekanisme pertahanan; kecemasan tampak sebagai gejala, seperti suatu fobia, atau suatu disfungsi seksual (Maslim, 2001).
Tabel 1. Perbandingan Neurotik dan Psikotik (Maslim, 2001) Dimensi
Neurotik
Psikotik
Umum
Menghindar, maladaptif,
Gangguan kepribadian berat,
kemunduran ringan pada
kontak dengan realitas
fngsi personal dan sosial
terganggu, fungsi personal dan sosial amat terganggu
Aneka simtom psikologis dan
Aneka simtom disertai
somatis, tak disertai
penyimpangan ekstrem
halusinasi atau
dalam berpikir, afeksi dan
penyimpangan ekstrem lain
perbuatan, seperti delusi,
dalam berpikir, afeksi atau
halusinasi dan perilaku tak
perbuatan.
terkendali.
Orientasi pada waktu,
Jika ada, gangguan orientasi
Sering terganggu, berupa
tempat dan orang
terhadap waktu, tempat, dan
hilang orientasi.
Simtom
orang lain hanya bersifat ringan. Pemahaman diri (insight )
Sering sadar bahwa tingkah
Tidak menyadari adanya
lakunya maladaptif, namun
simtom perilakunya.
tampak tak mampu mengatasinya
Perilaku yang secara fisik
Jarang berperilaku yang
Dalam kasus tertentu,
merusak
membahayakan atau dapat
perilakunya membahayakan
mencelakakan orang lain.
orang lain.
Gagal menguasai
Hasil belajar yang maladaptif
kempetensi-kompetensi yang
akibat stress atau gangguan
diperlukan atau terlanjur
biokemis.
Asal-usul
mempeajari perilaku-perilaku yang maladaptif.
Waham
-
+
Halusinasi
-
+
Realita testing
+
-
Berdasrakan pada pembagian gangguan jiwa secara umum, pasien dalam kasus dapat digolongkan dalam gangguan psikosis berdasar pada data informasi pertama yang didapatkan.
3. Patofisiologi
Penjelasan patofisiologi didasarkan pada gejala yang ada dalam kasus dan dikait kan dengan hipotesis, yakni skizofrenia. Patofisiologi dari skizfrenia masih dalam penelitian. Namun, terdapat hipotesis yang diduga sangat dekat kebenarannya dalam patofisiologi skizofrenia, yakni hipotesis dopamine. Jalur dopaminergik yang berperan dalam hipotesis dopamin pada penderita skizofren (Ikawati, 2009) : 1. Jalur nigrostriatal: dari substantia nigra ke basal ganglia yang berfungsi dalam fungsi gerakan, EPS. 2. jalur mesolimbik : dari tegmental area menuju ke sistem 7opami yang berfungsi dalam memori, sikap, kesadaran, proses stimulus 3. jalur mesocortical : dari tegmental area menuju ke frontal cortex yang berfungsi dalam kognisi, fungsi sosial, komunikasi, dan respons terhadap stress. 4. jalur tuberoinfendibular: dari hipotalamus ke kelenjar pituitary yang berfungsi dalam pelepasan prolaktin.
Gambar 1. Jalur dopeminergik saraf (Ikawati, 2009)
Jalur-jalur ini juga dikaitkan dengan simtom skizofren yang timbul pada penderita skizofrenia. Penjelasan patofisiologi simtom didasarkan pada pembagian simtom yang ada, yakni simtom postof dan simtom negatif. Simtom postif timbul akibat adanya peningktan reseptor D2 pada jalur mesolimbik sedangkan simtom negatif timbul akibat hipofungsi dari reseptor D1 pada jalur nigrostriatal dan mesokortikal. Simtom-simtom yang ada pada pasien memiliki kecocokan dengan fungsi jalur dopaminergik yang mendasarinya. Hal ini dapat dicontohkan dari adanya halusinasi akibat fungsi yang berlebih dalam proses stimulus pada jalur mesolimbik (Ikawati, 2009).
Gambar 2. Hipotesis dopamin dalam patofisiologi skizofren (Ikawati, 2009)
Defek pada protein genetik pembentuk reseptor NMDA (N-metil D-aspartat) juga dikaitkan
dalam patofisiologi timbulnya simtom positif dan negatif. Di bawah ini
dijabarkan bagan skema yang menjelaskan hubungan hipofungsi reseptor NMDA dan timbulnya gejala skizofren (Dawe, Hwang, and Tan, 2009).
Gambar 3. Skema hipotesis defek reseptor NMDA (Dawe, Hwang, and Tan, 2009)
4. Penjelasan rencana diagnostik yang diperlukan untuk pengelolaan pasien
Rencana diagnostik yang dapat dilakukan pada pasien dalam kasus dijabarkan sebagai berikut: a. Anamanesis Anamnesis yang dilakukan pada penderita gangguan jiwa berisi banyak pertanyaan yang berkaitan dengan kehidupan penderita. Anamnesis pada penderita dapat meliputi hal-hal sebagai berikut (Maramis, 1998): 1) Identifikasi pasien Identifikasi pasien ini meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa, atau latar belakang kebudayaan, status sipil, pekerjaan, dan alamat pasien. 2) Keluhan utama Keluhan utama merupakan sebab utama pasien datang berobat. Penjelasan keluhan utama ini dapat bersumber dari penderita selaku pasien atau keluarga pasien. 3) Kronologis keluhan sekarang Kronologis ini meliputi penceritaan dari awal gejala hingga keadaan sekarang. 4) Riwayat pribadi Riwayat pribadi yang perlu ditanyakan meliputi hal-hal sebagai berikut : perkembangan fisik dan mental, hubungan antar manusia, hidup emosi, sifat, minat, kemampuan dan prestasi, keterampilan, pengalaman penting, kepercayaan, gangguan jiwa yang pernah dialami, dan data mengenai graviditas ibu, masa-
masa usia yang pernah dilewati seperti masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, dan tua. 5) Riwayat keluarga Dalam riwayat keluarga perlu ditanyakan orangtua, sudara, susunan keluarga, susunana anggota rumah tangga dalam rumah yang ditempatinya, anggota keluarga yang pernah atau sedang menderita gangguan jiwa. b. Pemeriksaan status mentalis Dalam memeriksa pasien gangguan jiwa berat (Psikotik), ada 11 pemeriksaan (auto anamnesis) yang harus dikerjakan. 11 pemeriksaan tersebut diantaranya (Maramis, 1998): 1) Kesan Umum Kesan secara umum terhadap pasien dalam hal penampilan, sikap dan tingkah laku tanpa ada interview/intervensi apapun dari pemeriksa. Contoh : tampak sakit jiwa atau tak tampak sakit jiwa 2) Sikap Contoh : normal, merunduk, grandious, hostility, bizarre (katatonik), gelisah, tegang 3) Tingkah laku Contoh : normal, hiperaktif, hipoaktif, disaktif (stereotipi/agitasi) 4) Kesadaran Kemampuan untuk mengerti, memahami terhadap : orang, waktu, tempat dan suasana. Contoh : Kesadaran mengkabut, delirium, dreamlike state, twilight state, somnolen, stupor, koma 5) Orientasi orang/waktu/tempat : baik/buruk 6) Proses pikir a) betuk pikir
: normal/logis/realistis/tak realistis/autism
b) isi pikir
: normal, waham
c) alur pikir
: normal, reming, blocking, mutisme, logorrhea, irrelevansi,
inkoherensi 7) Roman muka Contoh : normo, tegang
8) Afek Contoh : normo afek. appropriate, tak serasi/in appropriate, disforik, elasi, euphoria, irritable, cemas 9) Gangguan Persepsi Contoh : halusinasi, ilusi, tak ada gangguan persepsi 10) Hubungan jiwa Contoh : baik, mudah, sukar 11) Insight Contoh : baik, kurang, buruk
Informasi 2:
Masalah Tn. S mulai muncul kurang lebih 1 tahun yang lalu. Ia tidak lagi mengikuti kuliah sejak 7 bulan yang lalu karena gangguan mental yang dideritanya. Ayahnya mengatakan bahwa istrinya juga menderita gangguan mental Pemeriksaan fisik dalam batas normal Pemeriksaan psikiatrik S masuk kedalam ruang pemeriksaan sambil tertawa keras-keras. Ia memakai jaket kulit berwarna coklat, celana karet (kolor) bermotif bunga, sandal jepit, dan mengalungkan 3 buah medali serta kalung metal dilehernya. Pembicaraan inkoheren Afek tidak sesuai Pikiran delusi Peresepsi visual dan auditory Orientasi dalam batas normal Konsentrasi terganggu Memori dalam batas normal Pemahaman abstrak terganggu Kesadaran berubah (pasien tidak pedduli dan megerti bahwa dirinya sakit, dia menyangkal dengan tefas kalau dirinya sakit) Penilaian pasien tidak mengerti akibat dari tingkah lakunya
5. Penjelasan diagnosis kerja berdasarkan temuan pada informasi tambahan
Berdasarkan informasi tambahan yang didapatkan, pasien menunjukkan gejala skizofren. Data tambahan bermakna yang memperkuat bahwa pasien menderita skizofren adalah data mengenai onset gejala dan riwayat keluarga. Hal ini sesuai dengan alur diagnosis dan kriteria diagnosis PPDGJ-III (Maslim, 2003)
Gambar. 4. Skema alur diagnosis gangguan psikosis (Maslim, 2003).
Diagnosis banding yang dapat dipikirkan dari kasus adalah sebagai berikut (Maslim, 2003 dan Kaplan, 1997): a. Skizoafektif Kriteria diagnosis : 1) dalam satu waktu dijumpai adanya gejala gangguan skizofrenia (waham aneh atau halusinasi, atau inkoherensia atau katatonik atau deteriosasi fungsi peran) yang bersamaan dengan gejala gangguan afektif tipe manic atau afektif tipe depresif tetapi tidak memenuhi criteria diagnosis masing-masing 2) berlangsungnya minimal selama 2 minggu 3) bukan akibat fisiologis zat b. Psikosis Atpikal c. Psikosis singkat d. Gangguan kepribadian Skizotipal atau Schizoid e. Gangguan waham Pengeliminasian diagnosis banding ini dilakukan berdasar pada alur diagnosis gangguan psikotik PPDGJ-III. Pemikiran dasar akan diagnosis banding didasarkan pada semua gangguan jiwa yang termasuk dalam gangguan psikotik yang merupakan hipotesis pertama kelompok. Pemeriksaan psikiatrik dari infromasi tambahan membantu mengarahkan pada jenis skizofren yang diderita pasien (Maslim, 2003).
6. Skizofrenia
Etiologi atau penyebab skizofrenia sebagai berikut (Purba, 2009; Gitayanti, 2010): a. Model diatesis-stress Suatu model untuk integrasi faktor biologis dan faktor psikososial dan lingkungan adalah model diatesis-stress. Model ini merumuskan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatesis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan stress akan memungkinkan perkembangan gejala skizofrenia. b. Faktor biologis Semakin banyak penelitian telah melibatkan peranan patofiologis untuk daerah tertentu di otak termasuk sistem limbik, korteks frontalis dan ganglia basalis. Ketiga daerah tersebut saling berhubungan sehingga disfungsi pada salah satu daerah tersebut mungkin melibatkan patologi primer di daerah lainnya sehingga menjadi suatu tempat potensial untuk patologi primer pasien skizofrenik. Skizofrenia diduga merupakan suatu gangguan neurodevelopmental dengan lesi awal SSP yang mempengaruhi proses maturasi normal. Dihipotesiskan bahwa trauma neurologik awal dapat berinteraksi dengan faktor risiko genetik untuk menimbulkan skizofrenia pada individu berisiko. Riset terakhir difokuskan pada dopamine, suatu neurotransmitter yang aktif di wilayah otak yang terlihat dalam regulasi emosi atau sistem limbik. Hipotesis dopamine menyatakan bahwa schizophrenia disebabkan oleh terlalu banyaknya penerimaan dopamine dalam otak. Kelebihan ini mungkin karena produksi neurotransmitter atau gangguan regulasi mekanisme pengambilan kembali yang dengannya dopamine kembali dan disimpan oleh vestikel neuron parasimpatik. Kemungkinan lain adalah adanya oversensitif reseptor dopamine atau terlalu banyaknya respon. c. Genetika Penelitian klasik awal tentang genetika dari skizofrenia dilakukan di tahun 1930-an yang menemukan bahwa seseorang kemungkinan menderita skizofrenia jika anggota keluarga lainnya juga menderita skizofrenia adalah berhubungan dengan dekatnya hubungan persaudaraan tersebut. Secara umum dapat dikatakan semakin dekat hubungan genetiknya dengan pasien, maka semakin besar pula kemungkinannya untuk menderita gangguan tersebut. Hal ini sering disebut concordant, yaitu anak kembar dari satu telur mempunyai
kemungkinan tiga sampai enam kali lebih besar untuk sama-sama menderita gangguan skizofrenia dibandingkan dengan anak kembar dari dua tel ur. d. Faktor psikososial Klinisi harus mempertimbangkan faktor psikologis yang dapat mempengaruhi skizofrenia karena para ahli telah membuktikan bahwa terapi obat saja tidak cukup untuk mendapatkan perbaikan klinis yang maksimal. Secara historis telah diperdebatkan bahwa suatu faktor psikososial secara langsung dan secara kausatif berhubungan dengan perkembangan skizofrenia. Stressor sosiolingkungan sering menyebabkan timbulnya serangan awal dan kekambuhan skizofrenia serta dapat diduga sebagai suatu terobosan kekuatan protektif dengan tetap mempertahankan kerawanan secara psiko biologik dalam pengendalian. Tiga tindakan emosi yang dinyatakan (EE) di lingkungan rumah: komentar kritis, permusuhan dan keterlibatan emosional yang berlebihan terbukti menyebabkan peningkatan angka kekambuhan skizofrenia. Skizofrenia dapat dilihat sebagai suatu gangguan yang berkembang melalui fase-fase (Loebis, 2007): 1. Fase premorbid Pada fase ini, fungsi-fungsi individu masih dalam keadaan normatif. 2. Fase prodromal Adanya perubahan dari fungsi-fungsi pada fase premorbid menuju saat muncul simtom psikotik yang nyata. Fase ini dapat berlangsung dalam beberapa minggu atau bulan, akan tetapi lamanya fase prodromal ini rerata antara 2 sampai 5 tahun. Pada fase ini, individu mengalami kemunduran dalam fungsi-fungsi yang mendasar (pekerjaan sosial dan rekreasi) dan muncul simtom yang nonspesifik, misal gangguan tidur, ansietas, iritabilitas, mood depresi, konsentrasi berkurang, mudah lelah, dan adanya defisit perilaku misalnya kemunduran fungsi peran dan penarikan sosial. Simtom positif seperti curiga mulai berkembang di akhir fase prodromal dan berarti sudah mendekati mulai menjadi psikosis. 3. Fase psikotik Berlangsung mulai dengan fase akut, lalu adanya perbaikan memasuki fase stabilisasi dan kemudian fase stabil. a. Pada fase akut dijumpai gambaran psikotik yang jelas, misalnya dijumpai adanya waham, halusinasi, gangguan proses pikir, dan pikiran yang kacau. Simtom
negatif sering menjadi lebih parah dan individu biasanya tidak mampu untuk mengurus dirinya sendiri secara pantas. b. Fase stabilisasi berlangsung selama 6-18 bulan, setelah dilakukan acute treatment . c. Pada fase stabil terlihat simtom negatif dan residual dari simtom positif. Di mana simtom positif bisa masih ada, dan biasanya sudah kurang parah dibandingkan pada fase akut. Pada beberapa individu bisa dijumpai asimtomatis, sedangkan individu lain mengalami simtom nonpsikotik misalnya, merasa tegang ( tension), ansietas, depresi, atau insomnia. Kay dan kawan-kawan membagi simtom skizofrenia (Loebis, 2007): 1. Simtom positif Simtom positif diartikan sebagai simtom yang ditandai dengan peningkatan perilaku dari normal. Simtom-simtom tersebut meliputi: waham, ekacauan proses pikir, perilaku halusinasi ,gaduh gelisah, waham/ide kebesaran, kecurigaan/kejaran, dan permusuhan. 2. Simtom negatif Simtom negatif diartikan sebagai simtom yang ditandai dengan penurunan perilaku dari normal. Simtom-simtom tersebut meliputi: afek tumpul, penarikan emosional, kemiskinan rapport, penarikan diri dari hubungan sosial secara pasif/apatis, kesulitan dalam pemikiran abstrak, kurangnya spontanitas dan arus percakapan, pemikiran stereotipik waham, ekacauan proses pikir, perilaku halusinasi ,gaduh gelisah, waham/ide kebesaran, kecurigaan/kejaran, dan permusuhan 3. Simtom psikopatologi umum Simtom psikopatologi umum meliputi : kekhawatiran somatic, ansietas, rasa bersalah, ketegangan (tension),mannerisme dan sikap tubuh, depresi, retardasi motorik, ketidakkooperatifan, isi pikiran yang tidak biasa, disorientasi, perhatian buruk, kurangnya daya nilai dan daya tilikan, gangguan dorongan kehendak, pengendalian impuls yang buruk, preokupasi, penghindaran sosial secara aktif. DSM-IV mempunyai kriteria diagnosis resmi dari American Psychiatric Association untuk skizofrenia. Seperti pada DSM-III-R, halusinasi maupun waham tidak diperlukan untuk diagnosis skizofrenia, karena pasien dapat memenuhi diagnosis jika mereka mempunyai dua gejala yang dituliskan di dalam gejala nomor 3 sampai 5 di dalam kriteria A. Kriteria B menghilangkan kata "pemburukan" (deterioration) di dalam variabel perjalanan skizofrenia di
antara pasien. Namun demikian, kriteria B masih memerlukan gangguan fungsi selama fase aktif penyakit. DSM-IV masih memerlukan gejala untuk minimal enam bulan dan tidak adanya diagnosis gangguan skizoafektif atau gangguan mood (Kaplan, 1997). Kriteria diagnosis skizofrenia (Kaplan, 1997) : A. Gejala karakteristik: Dua (atau lebih) berikut, masing-masing ditemukan untuk bagian waktu yang bermakna selama periode 1 bulan (atau kurang jika diobati dengan berhasil): 1. Waham 2. Halusinasi 3. Bicara terdisorganisasi (misalnya, sering menyimpang at a u i nk o he r e n) 4. Perilaku terdisorganisasi atau katatonik yang jelas 5. Gejala negatif, yaitu, pendataran afektif, alogia, atau tidak ada kemauan (avolition). Catatan: Hanya satu gejala kriteria A yang diperlukan jika waham adalah kacau atau halusinasi terciri dari suara yang terus menerus mengkomentari perilaku atau pikiran pasien, atau dua atau lebih suara yang saling bercakap satu sama lainnya. B. Disfungsi sosial/pekerjaan: Untuk bagian waktu yang bermakna sejak onset gangguan, satu atau lebih fungsi utama, seperti pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perawatan diri jelas di bawah tingkat yang dicapai sebelum onset (atau jika onset pada masa anak-anak atau remaja, kegagalan untuk mencapai tingkat pencapaian interpersonal, akademik, atau pekerjaan yang diharapkan). C. Durasi: Tanda gangguan terus menerus menetap selama sekurangnya 6 bulan. Periode 6 bulan ini harus termasuk sekurangnya 1 bulan gejala (atau kurang jika diobati dengan berhasil) yang memenuhi kriteria A (yaitu, gejala fase aktif) dan mungkin termasuk periode gejala prodromal atau residual. Selama periode prodromal atau residual, tanda gangguan mungkin dimanifestasikan hanya oleh gejala negatif atau dua atau lebih gejala yang dituliskan dalam kriteria A dalam bentuk yang diperlemah (misalnya, keyakinan yang aneh, pengalaman persepsi yang tidak lazim). D. Penyingkiran gangguan skizoafektif dan gangguan mood: Gangguan skizoafektif dan gangguan mood dengan ciri psikotik telah disingkirkan karena: (1) tidak ada epi sode depresif berat, manik, atau.campuran yang telah terjadi bersama-sama dengan gejala fase aktif; atau (2) jika episode mood telah terjadi selama gejala fase aktif,
durasi totalnya adalah relatif singkat dibandingkan durasi periode aktif dan residual. E. Penyingkiran zat atau kondisi medis umum: Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau suatu kondisi medis umum F. Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasif: Jika terdapat riwayat adanya gangguan autistik atau gangguan perkembangan pervasif lainnya, diagnosis tambahan skizofrenia dibuat hanya jika waham atau halusinasi yang menonjol juga ditemukan untuk sekurangnya satu bulan (atau kurang jika diobati secara berhasil).
Kriteria Diagnostik untuk Subtipe Skizofrenia (Kaplan, 1997) a. Tipe Paranoid Suatu tipe skizofrenia di mana kriteria berikut ini terpenuhi: 1. Preokupasi dengan satu atau lebih waham atau halusinasi dengar yang menonjol. 2. Tidak ada dari berikut ini yang menonjol: bicara terdisorganisasi, perilaku terdisorganisasi atau katatonik, atau afek yang datar atau tidak sesuai. DSM-IV menyebutkan bahwa tipe paranoid ditandai oleh keasyikan (preokupasi) pada satu atau lebih waham atau halusinasi dengar yang sering, clan ticlak ada perilaku spesifik lain yang mengarahkan pada tipe terdisorganisasi atau katatonik. Secara klasik, skizofrenia tipe paranoid ditandai terutama oleh adanya waham persekutorik (waham kejar) atau waham kebesaran. Pasien skizofrenik paranoid biasanya berumur lebih tua daripada pasien skiz ofrenik terdisorganisasi atau katatonik jika mereka mengalami episode pertama penyakitnya. Pasien skizofrenik paranoid menunjukkan regresi yang lambat dari kemampuan mentalnya, respon emosional, dan perilakunya dibandingkan tipe lain pasien skizofrenik. Pasien skizofrenik paranoid tipikal adalah tegang, pencuriga, berhati-hati, dan tak ramah. Mereka juga dapat bersikap bermusuhan atau agresif. Pasien skizofrenik paranoid kadang-kadang dapat menempatkan diri mereka sendiri secara adekuat di dalam situasi sosial. Kecerdasan mereka tidak terpengaruhi oleh kecenderungan psikosis mereka dan tetap intak. b. Tipe Terdisorganisasi Suatu tipe skizofrenia di mana kriteria berikut ini terpenuhi: 1. Semua yang berikut ini adalah menonjol: a) Bicara terdisorganisasi
b) Perilaku terdisorganisasi c) Afek datar atau tidak sesuai 2. Tidak memenuhi kriteria untuk tipe katatonik Tipe terdisorganisasi (sebelumnya dinamakan hebefrenik) ditandai oleh regresi yang nyata ke perilaku primitif, terdisinhibisi, dan tidak teratur dan oleh tidak adanya gejala yang memenuhi kriteria untuk tipe katatonik. Ons et biasan ya awa l, se bel um usia 25 tahun. Pasien terdisorganisasi biasanya aktif tetapi dengan cara yang tidak bertujuan dan tidak konstruktif. Gangguan pikiran mereka adalah menonjol, dan kontaknya dengan kenyataan adalah buruk. Penampilan pribadinya dan pe rila ku sosi al nya adalah rusak. Respon emosionalnya adalah tidak sesuai, dan mereka seringkah meledak tertawanya tanpa alasan. Seringis dan seringai wajah sering ditemukan pada tipe pasien ini, perilaku tersebut paling baik digambarkan sebagai kekanak-kanakan atau bodoh. c. Tipe Katatonik Suatu tipe skizofrenia di mana gambaran klinis didominasi oleh sekurangnya dua berikut ini: 1. Imobilitas motorik seperti yang ditunjukkan oleh katalepsi (termasuk fleksibilitas lilin) atau stupor. 2. Aktivitas motorik yang berlebihan (yang tampaknya tidak bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal). 3. Negativisme yang ekstrim (suatu resistensi yang tampaknya tanpa motivasi terhadap semua instruksi atau mempertahankan postur yang kaku menentang semua usaha untuk digerakkan) atau mutisme. 4. Gerakan volunter yang aneh seperti yang ditunjukkan oleh posturing (mengambil postur yang tidak lazim atau aneh secara disengaja), gerakan stereotipik, manerisme yang menonjol, atau seringai yang menonjol. 5. Ekolalia atau ekopraksia Ciri klasik dari tipe katatonik adalah gangguan nyata pada fungsi motorik yang mungkin berupa stupor, negativisme, rigiditas, kegembiraan atau posturing. Kadangkadang pasien menunjukkan perubahan yang cepat antara kegembiraan dan stupor. Ciri penyerta adalah stereotipik, manerisme, dan fleksibilitas lilin (waxy flexibility). Mutisme sering ditemukan. Selama stupor atau kegembiraan katatonik, pasien skizofrenik memerlukan pengawasan yang ketat untuk menghindari pasien melukai
dirinya sendiri atau orang lain. Perawatan medis mungkin diperlukan karena adanya malnutrisi, kelelahan, hiperpireksia, atau cedera yang disebabkan oleh diri sendiri. d. Tipe Tidak Tergolongkan (undifferentiated type) Suatu tipe skizofrenia di mana ditemukan gejala yang memenuhi kriteria A, tetapi tidak memenuhi kriteria untuk tipe paranoid, terdisorganisasi, atau katatonik. Seringkali, pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah dimasukkan ke dalam salah sate tipe. DSM-IV mengklasifikasikan pasien tersebut sebagai tipe tidak tergolongkan. e. Tipe Residual Suatu tipe skizofrenia di mana kriteria berikut ini terpenuhi: 1. Tidak adanya waham, halusinasi, bicara terdisorganisasi, dan perilaku katatonik terdisorganisasi atau katatonik yang menonjol. 2. Terdapat bukti-bukti gangguan, seperti yang ditunjukkan oleh adanya gejala negatif atau dua atau lebih gejala yang tertulis dalam kriteria A untuk skizofrenia, ditemukan dalam bentuk yang lebih lemah (misalnya, keyakinan yang aneh, pengalaman persepsi yang tidak lazim). 7. Diagnosis Multiaksial
Diagnosis multiaksial adalah pencatatan keadaan pasien gangguan jiwa. Diagnosis multiaksial memiliki tujuan, yakni (Kaplan, 1997 dan Maslim, 2003): a. Mencakup informasi yang komprehensif (Gangguan Jiwa, Kondisi Medik Umum, Masalah Psikososial dan Lingkungan, Taraf Fungsi Secara Global), sehingga dapat membantu perencanaan terapi dan membantu dalam meramalkan outcome atau prognosis. b. Format yang mudah dan sistematik akan membantu dalam menata dan mengomunikasikan informasi klinis, menangkap kompleksitas situasi klinis, dan menggambarkan heterogenitas individual dengan diagnosis klinis yang sama. c. Memacu penggunaan model biopsikososial dalam bidang klinis, pendidikan, dan penelitian. Diagnosis multiaksial terdiri atas lima aksis yang mewakili aspek yang berbeda. Antara aksis I, II, dan III tidak selalu harus ada hubungan etiologik. Hubungan antara aksis I-IIIII dan aksis IV dapat timbal balik saling mempengaruhi (Maslim, 2003). Aksis-aksis dalam diagnosis multi aksial (Maslim, 2003): Aksis I
: Gangguan klinis dan kondisi lain yang menjadi fokus perhatian klinis
Aksis II
: Gangguan kepribadian dan retardasi mental
Aksis III : Kondisi medik umum Aksis IV : Masalah psikososial dan lingkungan Aksis V
: Penilaian fungsi secara global
Diagnosis Kerja
: Skizofrenia Hebefrenik
Multiaksial Axis I
(klinis)
: F.20.1 Skizoprenia Hebefrenik
Axis II (kepribadian)
: Z.03.2 Tidak ada diagnosis Axis 2
Axis III(medis)
: Tidak ada (none)
Axis IV(psikososial)
: Tidak lagi mengikuti kuliah selama 7 bulan
Axis V (taraf fungsi)
: GAF = 40-31
8. Pengelolaan pasien
Terapi untuk pasien dengan skizofrenia bertujuan untuk (KTW, 2009 dan Maslim 2003): a.
Mengendalikan gejala
b.
Mencegah kekambuhan
c.
Mengembalikan fungsi pasien skizofrenia agar bisa mandiri dan produktif
d.
Memperbaiki kualitas hidup
Terapi skizofrenia dibedakan menjadi 3, yaitu (KTW, 2009; Maslim, 2003): a.
Terapi farmakologi. Antipsikotik merupakan obat-obatan yang digunakan untuk mengobati Skizofrenia. Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan pola fikir yang terjadi pada Skizofrenia. Pasien mungkin dapat mencoba beberapa jenis antipsikotik sebelum mendapatkan obat atau kombinasi obat antipsikotik yang benar-benar cocok bagi pasien. Obat antipsikotik telah terbukti efektif untuk meredakan gejala schizophrenia, memperpendek jangka waktu pasien di rumah sakit, dan mencegah kambuhnya penyakit. Namun, obat-obatan tersebut bukan untuk penyembuhan menyeluruh. Kebanyakan pasien harus melanjutkannya dengan perbaikan dosis pengobatan agar dapat berfungsi di luar rumah sakit. Obat-obatan antipsikosis yang dapat meredakan gejala-gejala schizophrenia adalah chlorpromazine (thorazine) dan fluphenazine decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut termasuk kelompok obat phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol (haldol). Obat ini disebut obet penenang utama. Obat tersebut dapat
menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan, tetapi tidak mengakibatkan tidur yang lelap, sekalipun dalam dosis yang sangat tinggi (orang tersebut dapat dengan mudah terbangun). Obat ini tampaknya mengakibatkan sikap acuh pada stimulus. luar. Obat ini cukup tepat bagi penderita schizophrenia yang tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak relevan). Tabel di bawah ini memperlihatkan beberapa obat antipsikosis beserta dosisnya. Tabel 2. Obat Antipsikotik beserta dosisnya (KTW, 2009 dan Maslim 2003)
No Nama Generik
Sediaan
Dosis
1.
Klorpromazine
Tablet 25 dan 100 mg Injeksi 25 mg/ml
150-160 mg/hari
2.
Haloperidol
Tablet 0,5 mg, 1,5 mg, 5 mg Injeksi 5 mg/ml
5 - 15 mg/hari
3.
Perfenazin
Tablet 2, 4, 8 mg
12 - 24 mg/hari
4.
Flufenazin
Tablet 2,5 mg, 5 mg
10 - 15 mg/hari
5.
Flufenazin dekanoat
Inj 25 mg/ml
25 mg/2-4 minggu
6.
Levomeprazin
Tablet 25 mg Injeksi 25 mg/ml
25 - 50 mg/hari
7.
Trifluperazin
Tablet 1 mg dan 5 mg
10 - 15 mg/hari
8.
Tioridazin
Tablet 50 dan 100 mg
150 - 600 mg/hari
9.
Sulpirid
Tablet 200 mg Injeksi 50 mg/ml
300 - 600 mg/hari
10. Pimozid
Tablet 1 dan 4 mg
1 - 4 mg/hari
11. Risperidon
Tablet 1, 2, 3 mg
2 - 6 mg/hari
Antipsikotik pertama diperkenalkan 50 tahun yang lalu dan merupakan terapi obat-obatan pertama yang efekitif untuk mengobati Skizofrenia. Terdapat 3 kategori obat antipsikotik yang dikenal saat ini, yaitu antipsikotik konvensional, newer atypical antipsycotics, dan Clozaril (Clozapine). a) Antipsikotik Konvensional Antipsikotik konvensional merupakan jenis bat antipsikotik yang paling lama penggunannya. Walaupun sangat efektif, antipsikotik konvensional sering menimbulkan
efek
samping
konvensional antara lain :
yang
serius.
Contoh
obat
antipsikotik
1) Haldol (haloperidol) 2) mellaril (thioridazine) 3) Navane (thiothixene) 4) Prolixin (fluphenazine) 5) Stelazine (trifluoperazine) 6) Thorazine (chlorpromazine) 7) Trilafon (perphenazine) Akibat berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan oleh antipsikotik konvensional, banyak ahli lebih merekomendasikan penggunaan newer atypical antipsycotic. Ada 2 pengecualian (harus dengan antipsikotok konvensional). Pertama, pada pasien yang sudah mengalami perbaikan (kemajuan) yang pesat menggunakan antipsikotik konvensional tanpa efek samping
yang
berarti.
Biasanya
para
ahli
merekomendasikan
meneruskan pemakaian antipskotik konvensional.
untuk
Kedua, bila pasien
mengalami kesulitan minum pil secara reguler. Prolixin dan Haldol dapat diberikan dalam jangka waktu yang lama (long acting ) dengan interval 2-4 minggu (disebut juga depot formulations). Dengan depot formulation, obat dapat disimpan terlebih dahulu di dalam tubuh lalu dilepaskan secara perlahanlahan. Sistem depot formulation ini tidak dapat digunakan pada newer atypic antipsychotic (Kaplan, 1997 dan Maslim, 2003). b) Newer Atypical Antipsycotic Obat-obat yang tergolong kelompok ini disebut atipikal karena prinsip kerjanya berbeda, serta sedikit menimbulkan efek samping bila dibandingkan dengan
antipsikotik
konvensional.
Beberapa
contoh
newer
atypical
antipsycotic yang tersedia, antara lain risperdal (risperidone), seroquel (quetiapine), dan Zyprexa (olanzopine). c) Clozaril Clozaril mulai diperkenalkan tahun 1990, merupakan antipsikotik atipikal yang pertama. Clozaril dapat membantu ± 25-50% pasien yang tidak merespon (berhasil) dengan antipsikotik konvensional. Sangat disayangkan, Clozaril memiliki efek samping yang jarang tapi sangat serius dimana pada kasus-kasus yang jarang (1%), Clozaril dapat menurunkan jumlah sel darah putih yang berguna untuk melawan infeksi. Ini artinya, pasien yang mendapat Clozaril harus memeriksakan kadar sel darah putihnya secara reguler. Para ahli
merekomendaskan penggunaan Clozaril bila paling sedikit 2 dari obat antipsikotik yang lebih aman tidak berhasil. Beberapa pertimbangan dalam penggunaan dan pemilihan obat antipsikosis diantaranya adalah (KTW, 2009 dan Maslim 2003): a) Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer (efek klinis) yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek samping sekunder. b) Pemilihan jenis obat anti psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalen. c) Apabila obat anti psikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan obat psikosis lain (sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis ekivalennya dimana profil efek samping belum tentu sama. d) Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti psikosis sebelumnya jenis obat antipsikosis tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik efek sampingnya, dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang. e) Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan: i.
Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu
ii.
Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2-6 jam
iii.
Waktu paruh 12-24 jam (pemberian 1-2 kali perhari)
iv.
Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak efek samping (dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu mengganggu kualitas hidup pasien
f)
Pemberian obat antipsikosis dimulai dengan menggunakan dosis awal yaitu dosis
anjuran yang dinaikkan setiap 2-3 hari hingga mencapai dosis efektif
(mulai peredaan sindroma psikosis), dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan dosis optimal dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) serta diturunkan setiap 2 minggu, dosis maintanance dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi drug holiday 1-2 hari/mingu) tapering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu) kemudian obat-obatan tersebut dihentikan pemakaiannya g) Untuk pasien dengan serangan sindroma psikosis multi episode terapi pemeliharaan dapat diberikan paling sedikit selama 5 tahun.
h) Efek obat psikosis relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah dosis terakhir yang masih mempunyai efek klinis. i)
Pada umumnya pemberian obat psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Penurunan obat ini dilakukan secara bertahap dan dilakukan setelah semua gejala hilang serta penurunan obat ini memerlukan waktu yang relatif singkat yaitu sekitar 2 minggu hingga 2 bulan.
j)
Obat antipsikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun diberikan dalam jangka waktu yang lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil sekali.
k) Pada penghentian yang mendadak dapat timbul gejala Cholinergic rebound yaitu gangguan lambung, mual muntah, diare, pusing, gemetar dan lain-lain. Keadaan ini akan mereda dengan pemberian anticholinergic agent (injeksi sulfas atrofin 0,25 mg IM dan tablet trihexypenidil 3x2 mg/hari) l)
Obat anti pikosis long acting (perenteral) sangat berguna untuk pasien yang tidak mau atau sulit makan obat secara teratur ataupun yang tidak efektif terhadap medikasi oral. Dosis dimulai dengan 0,5 cc setiap 2 minggu pada bulan pertama baru ditingkatkan menjadi 1 cc setap bulan. Pembarian anti psikosis long acting hanya untuk terapi stabilisasi dan pemeliharaan terhadap kasus skizopfrenia.
m) Penggunaan CPZ injeksi sering menimbulkan hipotensi ortostatik pada waktu perubahan posisi tubuh (efek alpha adrenergik blokade). Obat-obat antipsikotiklah yang digunakan dalam terapi penderita skizofrenia. Obat-obat antipsikotik yang digunakan dalam terapi skizofrenia dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu: a)
Dopamin reseptor antagonis. Contohnya chlorpromazine, trifluoperazine, haloperidol, dan thionidazine. Obat ini memiliki efek amping yang sering terjadi berupa Tardive Diskinesia dan Neuroleptik Malignan Syndrome.
b)
Risperindon (Risperidal). Obat ini efektif untuk mengurangi gejala positif dan gejala negatif. Keuntungannya efek samping obat jarang terjadi.
c)
Clozapine.
Keuntungan
dari
penggunaan
clozapine
adalah
tidak
menyebabkan terjadinya Tardive Diskinesia, sedangkan kekurangannya adalah harganya yang mahal dan dapat menimbulkan agranulositosis.
Selain obat antipsikotik tersebut, terdapat penelitian terbaru mengenai piracetam sebagai obat ajuvan dalam terapi skizofrenia. Piracetam yang merupakan neuroprotektor ini akan memperbaiki fungsi dari N-Methyl D-aspartate reseptor. Hal ini akan menyebabkan penurunan gejala positif, gejala negatifm gejala umum psikopatologis, dan skor PANSS. Penggunaan piracetam dikombinasikan dengan pemberian Haloperidol pada pasien skizofrenia (KTW, 2009 dan Maslim 2003). b.
Psikoterapi. Dilakukan terapi psikososial kepada pasien skizofrenia, berupa terapi perilaku, terapi keluarga, terapi berkelompok, dan terapi individu.
c.
Terapi rehabilitasi. Pasien dengan skizofrenia disarankan untuk dirawat di rumah sakit untuk mengurangi stress, meningkatankan ikatan efektif antara pasien dengan sistem pendukung, dan menyusun aktivitas pribadi. Indikasi dirawatnya pasien di rumah sakit adalah sebagai berikut: 1) Untuk keperluan diagnosis dan terapi 2) Untuk keamanan pasien dari ide bunuh diri atau homisidal 3) Disorganisasi yang jelas dan perilaku inappropiate termasuk hendaya dalam fungsi pribadi 4) Menyetabilkan dosis pemberian dan kepatuhan minum obat 5) Perilaku pasien dengan skizofrenia sangat kacau 6) Perawatan diri yang buruk
9. Prognosis
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa lebih dari periode 5 sampai 10 tahun setelah perawatan psikiatrik pertama kali di rumah sakit karena skiofrenia, hanya kirakira 10-20 % pasien dapat digambarkan memliki hasil yang baik.Lebih dari 50% pasien dapat digambarkan memiliki hasil yang buruk, dengan perawatan di rumah sakit yang berulang, eksaserbasi gejala, episode gangguan mood berat, dan usaha bunuh diri. Walaupun angka-angka yang kurang bagus tersebut, skizofrenia memang tidak selalu memiliki perjalanan penyakit yang buruk, dan sejumlah faktor telah dihubungkan dengan prognosis yang baik (Kaplan, 1997). Rentang angka pemulihan yang dilaporkan didialam literatur adalah dari 10-60% dan perkiraan yang beralasan adalah bahwa 20-30% dari semua pasien skizofrenia mampu untuk menjalani kehidupan yang agak normal. Kira-kira 20-30% dari pasien terus
mengalami gejala yang sedang,dan 40-60% dari pasien terus terganggu scara bermakna oleh gangguannya selama seluruh hidupnya. Secara umum prognosis skizofrenia tergantung pada (Kaplan, 1997): a. Usia pertama kali timbul ( onset): makin muda makin buruk. b. Mula timbulnya akut atau kronik: bila akut lebih baik. c. Tipe skizofrenia: episode skizofrenia akut dan katatonik lebih baik. d. Cepat, tepat serta teraturnya pengobatan yang didapat. e. Ada atau tidaknya faktor pencetusnya: jika ada lebih baik. f. Ada atau tidaknya faktor keturunan: jika ada lebih jelek. g. Kepribadian prepsikotik: jika skizoid, skizotim atau introvred lebih jelek. h. Keadaan sosial ekonomi: bila rendah lebih jelek.
DAFTAR PUSTAKA
Dawe, G. S., E. H. J. Hwang, and C. H. Tan. 2009. Pathophysiology and Animal Models of Schizophrenia. Annals Academy of Medicine atau Ann Acad Med Singapore. 38: 427 Gitayanti, H. 2010. Early-onset schizophrenia. Available repository.ui.ac.id/dokumen/lihat/3647.pdf. Diakses tanggal 2 mei 2010.
from
URL:
Kaplan, H.I; Benjamin J.S; Jack A.G. 1997. Sinopsis psikiatri ilmu pengetahuan perilaku psikiatri klinis. Edisi VII. Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara. KTW. 2009. Piracetam Sebagai Terapi Ajuvan Skizofrenia. Available from URL: http://www.kalbe.co.id/doctor-news/20377/piracetam-sebagai-terapi-ajuvanskizofrenia.html. Diakses tanggal 2 Mei 2010. Loebis, B. 2007. Skizofrenia: penanggulangan memakai antipsikotik . Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Psikiatri pada Fakultas Kedokteran, diucapkan di hadapan rapat terbuka Universitas Sumatera Utara. Maramis, W. F. 1995. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 1. Surabaya: Airlangga University Press. Maslim, Rusdi. 2003. Diagnosis Multiaksial dalam Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III . Jakarta: PT. Nuh Jaya Purba, Jhon Edison. 2009. Pengaruh intervensi rehabilitasi terhadap ketidakmampuan bersosialisasi pada penderita skizofrenia yang dirawat di rumah sakit jiwa daerah provinsi sumatera utara. Available fom URL: repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6915/1/09E01834.pdf. Diakses tanggal 2 Mei 2010.
View more...
Comments