50 Great Business Ideas From Indonesia

January 4, 2018 | Author: Hidrogel Hidro | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

50 Great Business Ideas From Indonesia...

Description

adalah salah satu lini produk penerbit Hikmah yang menghadirkan buku-buku umum dan populer yang bertujuan meningkatkan motivasi, menggugah semangat, serta mencerahkan secara intelektual dan spiritual.

50 Great Business Ideas from Indonesia Gebrakan Perusahaan-Perusahaan Indonesia yang Mendunia Karya M. Ma’ruf Copyright © M. Ma’ruf, 2009 Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved Penyunting: H. Sogir Penyelaras Aksara: Ike Sinta Dewi, Indah N. Desain Sampul: Ade Fery Riantara Penata letak: Alia Fazrillah Penerbit Hikmah (PT Mizan Publika) Anggota IKAPI Jln. Puri Mutiara No. 72 Cilandak Barat, Jakarta Selatan 12430 Telp. (021) 75915762-63 – Faks. (021) 75915759 http://www.mizan.com/hikmah E-mail: [email protected], [email protected] ISBN: 978-979-3714-64-6 Cetakan I: Maret 2010

Didistribusikan oleh Mizan Media Utama (MMU) Jln. Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146 Ujungberung, Bandung 40294 Telp.: (022) 7815500 (hunting) Fax.: (022) 7802288 E-mail: [email protected] _________________________________________________________

JAKARTA: Telp. 021-7874455, Faks.: 021-7508945 ~ SERANG: Telp./Faks.: 0254-214254 ~ SURABAYA: Telp.: 031-8281857, 031-60050079, Faks.: 031-8289318 ~ MALANG: Telp./Faks.: 0341-567853 ~ BALI: Telp./Faks.: 0361-462214 PEKAN­BARU: Telp.: 0761-20716, 0761-29811, Faks.: 076120716 ~ MEDAN: Telp./Faks.: 061-7360841 ~ PALEMBANG: Telp./Faks.: 0711-815544 ~ YOGYAKARTA: Telp.: 0274-885485, Faks.: 0274-885527 ~ MAKASSAR: Telp./Faks.: 0411-873655.

Ucapan Terima kasih

U

ntuk mengatasi keterbatasan waktu, buku ini ba­ nyak memakai sumber-sumber sekunder, sehingga akan tampak kisah yang ditulis merupakan kompilasi dari berbagai sudut cerita yang dikemas ulang dari su­ dut pandang penulis. Beberapa konfirmasi secara tidak langsung telah dijawab oleh berbagai media dan sumber penulisan yang dikutip penulis. Karenanya, dengan sega­la kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada media-media yang tidak bisa disebutkan satu per satu di sini. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada perusahaan-perusahan atas infor­ masi yang telah diberikan. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa teman jurnalis yang memberikan sum­ bangan ide dan bahan tulisan. Irvin Avriano (Bisnis Indonesia) atas tulisan mengenai dunia film Multivision, Susi Susanti (copy editor Seputar Indonesia) dan Ahmad Wahid Fauzie (Kontan) mengenai cara-cara me­ nulis “yang lebih santai”, Andreas Ismar (Reuters) pe­ rihal ide-ide perusahaan yang patut dipertimbangkan dalam buku ini. Tak dapat dilupakan pula rekan-rekan v

M. MA’RUF

wartawan di desk ekonomi Harian Seputar Indonesia. Terakhir adalah penerbit Hikmah, Iqbal Santosa dan Hasanah Putri Melati yang sangat menentukan hasil akhir penulisan buku ini.

vi

Isi Buku

Ucapan Terima kasih — v

Bagian I: Lihatlah Bagaimana Mereka Melakukannya Edward Forrer Temukan Bakat Anda — 2

Lion Air Kalau Bisa Murah, Mengapa Harus Mahal? — 8

Bloop, Bloopaka, Endorse Sepotong Kaos Akan Mahal Bila Dipakai Artis — 13

Sosro Belajarlah dari Kesalahan — 19

Multivision Plus Jangan Dengarkan Kata Orang — 25

Kapal Api Rasa Bukanlah Segalanya, Dibutuhkan Inovasi — 30

vii

Bagian II: Orang-Orang Spesial; Para Pionir Aqua Sebuah Kejadian Tidak Menyenangkan adalah Ide Bisnis yang Menggiurkan — 36

Detikcom Jangan Latah dan Berhati-hatilah — 43

Kem Chicks Paksalah Orang-orang Membeli Secara Sukarela — 50

National Gobel Sebuah Ide Besar Perlu Bantuan Orang Besar — 57

4848 Jadilah yang Pertama — 62

C59 Percayalah, Ide Original Akan Lebih Laku — 66

Olympic Furnitures Terbangkan Imajinasimu Setinggi-tingginya — 70

Bagian III: Biarkanlah Otak Anda Bekerja Primagama Sukses Harus Dimulai dari Bodoh dan Malas — 78

Es Teler 77 Yang Penting Heboh — 83

M. MA’RUF

Sido Muncul

viii

Orang Gila Sekalipun Tahu Jamu yang Enak — 90

Jawa Pos Group Perlu 1000 Kesalahan untuk Membuat Koran yang Laris — 95

Ayam Bakar Wong Solo Pers, Gosip, dan Kontroversi adalah Iklan Murah — 102

Bagian IV: Gagasan-gagasan Cerdas Bagteria Anda Tidak Hanya Membeli Sebuah Tas Tangan Anda Membeli Sebuah Karya Seni — 110

J.CO Ini Donat Asli Lokal — 114

NCS Lihatlah Bagaimana Komputer Mengubah Nasib Anda — 118

Hotline Advertising Hidup ini Seperti Tumpeng — 121

B&B Inc Anak Muda Selalu Ingin Bergaya — 126

Mizan Kombinasi yang Pas: Kualitas, Momentum, dan Keberuntungan — 130

Bagian V: Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk Purwacaraka Music Studio Indahnya Musik Justru Karena Duet Bebunyian Alat yang Berbeda — 138

Kompas The Dynamic Duo — 142

Ciputra Development Bangku Kuliah Tetap Bagian Penting dari Sebuah Bisnis Besar — 152 Bersatu Kita Teguh, Bercerai Tetap Utuh — 159

ABC Anak Muda Selalu Bisa Diandalkan — 167

CNI Empat Sekawan — 172

Isi Buku

TEMPO

ix

Bagian VI: Cinta Itu Dampaknya Luar Biasa Susi Air Nurani Bisa Menuntun pada Jalan Bisnis Baru — 180

Java Musikindo Hobi dan Bisnis adalah Kombinasi yang Dahsyat — 185

Maspion Membeli Produk Lokal Juga Sebuah Sikap Nasionalisme, Bung! — 188

Log Zhelebour Production Idealisme dan Komersialisme Rupanya Bisa Akur — 192

Bagian VII: Sedikit Rahasia itu Perlu Wings Stt... Ada Katuari di Dalam Sabunmu — 198

Mitra Adiperkasa Siapa Kami, Bukan Urusan Anda — 205

Ceres Darah Kami Cokelat — 211

Bagian VIII: Selalu Ada Jalan untuk Berubah Harvest Periksa Kembali Diary-mu, Mereka Menyukainya — 218

M. MA’RUF

Tung Desem Waringin Belajarlah dari yang Terbaik — 225

Mustika Ratu Alam adalah Sumber Kesehatan dan Bisnis — 233

Rudy Hadisuwarno Tandailah Keberhasilan Sejak Awal — 239

x

Sahid Hotel Menjadi Pegawai Negeri Sipil Tak Akan Membuatmu Kaya — 244

Martha Tilaar Ada Hal-hal Positif yang Bisa Dikerjakan — 251

Bagian IX: Tidak Ada Pemenang Abadi Matahari Ada Orang yang Ditakdirkan Hanya untuk Mencipta — 258

Astra Internasional Ada yang Lebih Bernilai daripada Angka-angka Triliunan — 264

MQ Corp Sebuah Bisnis Berbasis Figur itu Seperti Mode — 273

Bakrie & Brothers Dari Krisis ke Krisis; Bisnis adalah Komidi Putar Kawan — 281

Alfamart Tunggulah Saat yang Tepat untuk Lepas dari Bayang-bayang — 289

Blue Bird Jangan Remehkan Seorang Janda Sekalipun dalam Sebuah Kompetisi — 294

Indofood Selalu Ada Kesempatan untuk Berubah — 300

Penulis: Never Too Old to Learn — 307

Isi Buku

Catatan-Catatan — 309

xi

Lihatlah Bagaimana Mereka Melakukannya

bagian

1

Edward Forrer

Temukan Bakat Anda

P

astikan Anda sudah mengetahui apa sebetulnya bakat Anda. Itu sangat perlu dan penting. Setidak­ nya ini pesan pendiri dan pemilik sepatu merek Edward Forrer asal kota Kembang yang kini memiliki penggemar fanatik di luar negeri. Dia pada mulanya adalah anak muda miskin, dan seperti lulusan SMA di Tanah Air yang tanpa keahlian, hanya memiliki satu pilihan; bekerja sebagai buruh kasar. Lalu, bagaimana dia bisa menyulap bakatnya menjadi bisnis miliaran rupiah? Edward atau kerap dipanggil Edo pada usia 22 tahun masih seorang buruh bagian gudang sebuah pabrik sepatu di Bandung, Jawa Barat. Suatu hari, sebuah artikel di koran mengenai pengembangan talenta mengubah hidup Edo untuk selamanya. Artikel itu dibacanya ber­ ulang-ulang dan memaksanya berkontemplasi untuk waktu yang cukup lama guna menemukan sebuah bakat. Pencarian ini berakhir dengan temuan bahwa sejak sekolah dasar dia sudah sangat menyenangi pelajaran menggambar. Dia pintar menggambar apa saja. Itu satusatunya bakat yang dimiliki dan telah dilupakannya.

2

Bagian 1 – Lihatlah Bagaimana Mereka Melakukannya

Tidak sulit baginya menghidupkan bakat itu lagi dengan objek baru yang sudah tidak asing lagi, sepatu. Edo mengamati model-model sepatu di gudang tempat dia bekerja tampak begitu membosankan dan kuno. Dia mereka-reka desain sepatu pertamanya. Bermodal memodifikasi bertumpuk-tumpuk sepatu yang seharihari dilihatnya dengan sedikit tambahan imajinasi dan kreasi. Hasil desain sepatunya itu tampak lebih bagus. Bahkan, sang bos pun sebetulnya suka, tapi lebih memilih menolak tawaran agar desain itu diproduksi. Penolakan itu tidak membuat Edo jera. Dia tetap rajin membuat desain-desain baru untuk disimpan di laci meja. Pada 1989, dia mengambil keputusan, setelah melihat tidak adanya peluang mengubah nasib dari bagian gudang menjadi desainer. Anak muda ini nekat mengundurkan diri setelah 11 bulan bekerja. Kepada bosnya, Edo mengaku akan membangun usaha yang sama, tapi bersumpah tidak akan menjadi pesaing. Ini keputusan yang cukup gila untuk orang miskin pada zamannya, menjual sepatu hanya dengan gambar! Yup, hanya itu pilihan yang tersedia, tanpa sepeser pun uang. Dengan sepeda kumbang, Edo memulai aksi penjualan door to door, berkeliling kompleks menawarkan sketsa sepatu, dari pintu rumah tetangga, kerabat, dan teman. Sial bagi Edo, cara penjualan nan unik ini malah dianggap aneh. Banyak orang yang ditawarinya langsung menolak mentah-mentah. Menjual gambar benar-benar ide gagal. Terlebih lagi, Edo mensyaratkan uang muka untuk sebuah pesanan sepatu virtual itu, sehingga sejumlah ibu-ibu ketakutan dan menganggapnya penipu. Akhirnya Edo menemukan pelanggan pertama dari orangtua murid les privat-nya. Les ini dia buka untuk menutupi biaya hidup, setelah berbulan-bulan penjualan sepatu tidak membuahkan hasil. Mungkin karena belas kasihan, orangtua itu memesan sepasang sepatu dan bersedia membayar sejumlah uang muka untuk membeli

3

M. MA’RUF 4

bahan kulit. Edo girang bukan main saat mengerjakan pola, menjahit, menempel sol, hingga akhirnya meng­ antarkan sepatu untuk pemesan pertama. Sepatu itu sebenarnya tidak mudah dikerjakan, sebab Edo yang piawai mendesain, tidak begitu pintar mengesol sepatu. Karena itu, Edo terlebih dahulu belajar membuat sepatu dengan mesin jahit pinjaman. Produk perdana itu tidak lazim, tetapi orangtua anak didiknya itu puas. Sepatu itu unik dan terkesan kokoh karena dibuat dengan tangan. Model baru yang tidak ditemukan di toko itu dengan cepat mengundang rasa penasaran orang. Dari arisan ke arisan, obrolan gosip ibu-ibu, produk sepatu customized Edo mulai menjadi buah bibir yang memicu serangkaian pesanan. Ide Edo me­ manfaatkan peluang kecenderungan sepatu pabrikan yang dibuat massal membuat rekomendasi sepatu yang eksklusif jatuh ke tangannya. Apalagi, Edo lebih senang bila konsumennya memberikan ide seperti apa bentuk sepatu yang diinginkan. Selama setahun, dari hanya lima order seminggu menjadi lima pesanan dalam se­ hari. Berbekal uang hasil pesanan sekitar Rp 200.000 pada 1990, Edo mulai merekrut dua orang karyawan dengan sebuah mesin jahit milik sendiri. Pesanan semakin banyak karena konsumen mu­ lai berdatangan ke rumah sehingga Edo tidak lagi ber­ keliling dengan sepeda kumbang tuanya. Dia meng­ ubah ruang tamu rumahnya yang berukuran 2 x 2 meter menjadi sebuah bengkel kerja dan ruang pamer (show room). Usaha Edo terus berkembang dan dia berhasil mengumpulkan dana untuk menyewa sebuah toko di Jalan Saad, Bandung. Empat tahun kemudian, dia membuka gerai yang jauh lebih besar dan apik di Jalan Veteran No. 44, Bandung—sekarang menjadi kantor pusat Edward Forrer. Penjualan melalui sketsa lama-kelamaan ditinggalkan karena tidak sanggup lagi memenuhi padatnya jadwal produksi, kecuali untuk

Bagian 1 – Lihatlah Bagaimana Mereka Melakukannya

beberapa pelanggan tetap dan orang-orang cacat. Per­ ubahan pola produksi ini tidak memengaruhi penjual­ an karena Edo berjanji sepatu-sepatu itu masih dibuat dengan tangan dengan jumlah terbatas—hampir mus­ tahil Anda bertemu bawahan di kantor pada sebuah pesta dengan memakai sepatu yang sama. Model yang unik dan eksklusif ini membuat sepa­ tu Edward Forrer yang tadinya menyasar kelompok masyarakat menengah ke bawah justru berbalik. Gerai distribution outlet atau distro mulai dibanjiri orangorang dari Jakarta. Selain desain sepatu yang modis, orang-orang di luar Bandung itu tampaknya juga sangat nyaman dengan merek sepatu yang dilabeli dengan nama lengkap Edo; Edward Forrer. Mereka yang tidak tahu mungkin menyangka itu adalah sepatu impor mahal dari Italia. Padahal, sepatu-sepatu itu dibuat di Bandung dengan sejumlah bahan baku dari luar negeri. Sepatu itu laku keras, sehingga melecut koleksi produk yang semula hanya untuk wanita dewasa, ber­ tambah dengan sepatu ABG wanita. Sejak toko besarnya di Jalan Veteran dibuka, Edo memanfaatkan sisa-sisa bahan sepatu tak terpakai untuk memproduksi sepatu pria dan tas. Hingga lima tahun pertama, sepatu-sepatu itu masih kuat diproduksi sendiri, tetapi kemudian Edo kewalahan sehingga dipakai sistem pemasok dengan sejumlah standar ketat, mulai dari desain khusus, proses pengerjaan dan pilihan bahan baku berkualitas tinggi. Lambat laun, model produksi maklon ini justru mengembalikan Edo kepada khitahnya untuk cukup menempatkan sepatu Edward Forrer sebagai bisnis merek, bukan pabrik sepatu. Edo membentuk tim kreatif desain sebagai bagian paling penting dalam bisnis ini, sementara dia baru turun tangan bila diperlukan untuk memberi sentuhan terakhir pada sebuah desain baru. Meski ada saja karya­ wan yang mengeluh dengan sejumlah aturan besi, seperti

5

M. MA’RUF 6

sanksi pemecatan bila ketahuan merokok di kantor, tim kreatifnya tidak pernah mati gaya. Manajemen luwes dan tegas ini justru cukup berhasil untuk memastikan keluarnya 2 model sepatu dan sandal baru untuk setiap 10 hari di setiap gerai Edward Forrer yang memasang poster We Innovate Everyday. Sejumlah cara cerdik, seperti tidak mau berurusan dengan bank untuk per­ modalan dan prosedur pembelian bahan baku dengan sistem menumpuk di gudang—40% di antaranya adalah impor—membuat bisnis Edo selamat dari krisis moneter 1997. Stok bahan baku kulit yang cukup banyak, pekerja melimpah, dan kurs rupiah terpuruk dengan sendirinya memukul para pesaing. Alhasil, di saat para produsen sepatu terkapar oleh krisis, omzet Edo justru meloncat tiga kali lipat lantaran untuk setiap sepatu dan sandal dengan kualitas bahan baku sama, tidak ada kenaikan harga. Namun, karena sikap bisnisnya yang sangat konser­ vatif, baru pada 2003 Edo bisa memecah tabungan untuk membiayai ekspansi besar-besaran menambah gerai baru di berbagai sudut kota besar di Tanah Air dan luar negeri. Dimulai dari kawasan ramai di sudut-sudut kota Kembang, lalu menjalar ke seluruh kota besar di Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi. Uniknya, dia tetap enggan memakai jasa kredit bank dan lebih memilih mewaralaba gerai-gerai itu untuk mempercepat penetrasi pasar. Ide ini cukup berhasil berkat andil Hermana Yusuf, Direktur Waralaba Pemasaran yang masuk pada 1999. Lulusan Institut Kepariwisataan Nusantara ini menggodok konsep waralaba Edward Forrer dari nol dan sekarang sedang menggenjot penjualan on line via internet. Edo sang pemimpi kini telah memiliki gerai pen­ jualan di luar negeri untuk mengawali kenyataan seba­ gai pembuat sepatu terbaik di dunia. Satu gerai ada di Malaysia dan Hawaii, dan dua di Australia yang

Bagian 1 – Lihatlah Bagaimana Mereka Melakukannya

dijadikan sebagai kantor pusat urusan luar negeri yang tidak diwaralabakan. “Saya ini pemimpi dan vi­ sioner. Saya selalu punya mimpi dan berusaha untuk mewujudkan mimpi itu,” kata Edo. Impian itu timbul dari masa-masa kecil yang diliputi kepedihan. Sering kali dia menyaksikan bagaimana ibu­ nya harus membujuk adik-adiknya meminum air yang banyak untuk mengganjal perut. Sementara visi itu muncul saat pekerjaannya sebagai buruh sudah tidak memadai menopang statusnya sebagai kepala keluarga—Edo sudah menjadi tulang punggung keluarga ketika ayah dan ibunya bercerai. Kesengsaraan itu pula yang mungkin membuatnya sampai sekarang tidak pernah percaya pada prinsip bisnis, menunggu waktu yang tepat untuk memulai sebuah rencana besar. Edo lebih banyak menikmati hidupnya di Australia dan sesekali terbang ke Bandung untuk memecahkan masalah yang tak mampu dilakukan enam direkturnya.[]

7

Lion Air

Kalau Bisa Murah, Mengapa Harus Mahal?

M

enjual tiket pesawat seharga sepotong celana jins—low cost carrier—bukan hal baru dalam bisnis maskapai penerbangan sipil. Bisnis ini pertama kali diperkenalkan oleh Southwest Airlines di Amerika Serikat, pada 1971. Tiga tahun beroperasi, pendirinya, Herb Kelleher selalu meraup untung dengan penerbangan jarak pendek antara satu hingga dua jam, tanpa makan. Konsep itu kemudian ditiru oleh banyak pebisnis lain, seperti Stelios Haji-Ioannu yang memulai penerbangan EasyJet dengan dua pesawat Boeing 737-200 di Eropa. Di Asia, jasa ini dirintis oleh eksekutif Warner Music Group Tony Fernandes, yang mengubah maskapai bang­ krut menjadi Air Asia, si penguasa langit Asia karena tarif murahnya. Di Indonesia, awalnya itu adalah sebuah mimpi melihat kenyataan bepergian dengan pesawat terbang adalah milik orang-orang kaya—naik Garuda dan Merpati tentunya. Mimpi itu dibangunkan oleh dua bersaudara Rusdi dan Kusnan Kirana pada 20 Juni 2000 yang menjual tiket pesawat sama seperti tiket kereta api, kapal laut, dan bus. 8

Bagian 1 – Lihatlah Bagaimana Mereka Melakukannya

Rusdi adalah pria yang rendah hati, berkumis tebal dan suka mengkhayal sejak sekolah dasar, terutama sebelum tidur. “Mengkhayal tentang sesuatu yang positif itu sangat berguna,” katanya yang mengaku impian bisa mendorong seseorang melampaui kemampuannya. Pria kelahiran 1963 ini mengenal bisnis perjalanan ketika bekerja di biro perjalanan sembari kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Pancasila. Setelah lulus, dia mempersiapkan bisnis travel agent-nya, Lion Tour. Sampai dengan 10 tahun kemudian, orang-orang mas­ kapai masih mengenal Rusdi sebagai pemesan tiket pesawat untuk konsumen biro perjalanannya. Orangorang mungkin tidak tahu dalam benaknya terpendam khayalan tingkat tinggi, memiliki sebuah maskapai yang bisa memberi diskon lebih, plus tarif lebih murah, sehingga banyak orang bisa bepergian ke Kalimantan atau Sumatera dalam beberapa jam saja. Kesempatan itu datang ketika Departemen Perhu­ bungan membuat terobosan deregulasi industri pener­ bangan pada 1999. Bagaimana kemudian Rusdi bisa menemukan hitung-hitungan ala pedagang Pasar Glo­ dok untuk mendirikan maskapai murah tidak banyak diketahui—mungkin dari orang-orang visioner macam Kelleher dan Fernandes. Entah dari mana nyali itu da­ tang, pada mulanya, Rusdi memang benar-benar meng­ ajak para koleganya, sejumlah pedagang di Pasar Glodok untuk ikut menanam modal pada bisnis barunya ini. Ada yang tidak percaya, tetapi ada pula yang yakin bahwa penjelasan Rusdi memang masuk akal. Katanya, dengan memangkas banyak ongkos-ongkos siluman, bisnis yang rakus modal dan irit laba ini bisa sangat menguntungkan. Sebagian dari mereka kemudian turut memodali uang Rp 80 miliar untuk investasi awal Mentari Lion Airlines yang didirikan pada 2 September 1999. Perusahaan itu sebagian sahamnya dikuasai Rusdi yang menjadi Presiden Direktur, merangkap sejumlah

9

M. MA’RUF 10

kursi direktur dan selebihnya Kusnan yang tampak lebih berperan di belakang layar. Lion Air adalah nama yang mungkin sudah terpikirkan sejak lama, sama dengan Lion Tour yang masih dikelola. Ini tampaknya lebih kepada kesepakatan kakak beradik itu bahwa mereka memang berbintang Leo, sehingga mencontek kepala singa sebagai logo di ekor pesawat Markas Lion Air pertama adalah sebuah rumah toko sewaan seluas 5 x 20 meter di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat. Hari bersejarah itu terjadi pada Juli 2000, setelah delapan bulan Rusdi dibuat lemas dan menangis oleh para pesaing yang tidak rela tarif-pesawat diobral. Menggunakan pesawat Boeing 737-200 sewaan, Lion Air terbang perdana dari Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng ke Bandara Supadio, Pontianak. Tahun pertama adalah kondisi yang paling sulit, terlebih orang dengan mudahnya memberi contoh Awair dan Indonesia Air yang gugur tak lama setelah resmi dioperasikan, meskipun didirikan oleh orang-orang yang lama berkutat di bisnis penerbangan. Satu-satunya pengalaman Rusdi di bisnis maskapai adalah mantan calo tiket di Terminal II Bandara Soekarno Hatta. Setahun berjalan, cibiran itu berlalu dan berganti dengan isu keselamatan. Lion misalnya tidak memiliki keistimewaan dengan tarif murah itu, karena telah mengorbankan dana cadangan pemeliharaan setiap pe­ sawat. Para kritikus dan pesaing menganggap beberapa tahun lagi Rusdi tidak akan memiliki modal untuk peremajaan armada. Rusdi adalah tipe orang yang tidak banyak cakap dan peduli pada gosip-gosip itu. Sejak awal semua sudah diperhitungkan sampai detail, termasuk menyelesaikan tingginya biaya dengan banyak ide brilian. Sekadar contoh, pemilihan rute penerbangan Lion Air ditentukan dengan cukup mencari data rekap lalu lintas sambungan telepon jarak jauh. Bila dirasa cukup sibuk dan masuk

Bagian 1 – Lihatlah Bagaimana Mereka Melakukannya

hitungan, Rusdi akan membukanya. Dana anggaran mini diakali dengan iklan-iklan yang bombastis—selain harga tiket itu sendiri—mulai dari tiket berhadiah mobil BMW hingga membayar penyelenggara Miss Universe dan Putri Indonesia untuk menggunakan Lion Air se­ bagai maskapai resmi. Tak lupa, janji We Make People Fly yang benar-benar dipenuhi dengan tarif 10–20% lebih murah dari pesaing. Pernah, dia memerintahkan anak buahnya mema­ sang 500 spanduk di sepanjang jalan protokol di Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara, ketika hendak merintis jalur penerbangan Medan-Jakarta. Ditulis besar-besar, harga tiket Rp 500.000, jauh lebih murah dari tiket kapal laut yang Rp 600.000 dan maskapai lain yang Rp 1,2 juta. Kehebohan yang membuatnya diserbu orang yang sejak lama bermimpi naik pesawat. Rusdi yang serbabisa, mengerjakan sendiri pelbagai pekerjaan, mulai logo, desain pakaian pramugari dan yang terpenting promosi yang heboh. Sementara itu rumusan-rumusan baku low cost carrier, seperti tidak ada makanan untuk penerbangan jarak pendek, atau mengganti nasi dengan roti guna menggerus biaya pembelian bungkus nasi (alumunium foil) diterapkan. Segala cara dipakai untuk memangkas ongkos-ongkos siluman, disertai kebijakan-kebijakan yang berbeda dengan para pesaing. Lion misalnya selalu membeli suku cadang secara tunai, memakai aplikasi reservasi sendiri, dan tentu saja terus mencari pesawat berbadan lebar. Secara bertahap, Rusdi mengganti Boeing 737-200 dan Yak 42 buatan Rusia ke jenis MD 82—produksi Mc Douglas yang kini milik Boeing— sehingga bisa memuat kursi lebih banyak. Pada Agustus 2004, Lion Air sudah mengoperasikan 24 pesawat jenis Boeing 737-400, MD 82, dan Dash-8. Delapan burung besi jenis MD 82 tidak lagi dise­ wa, tetapi sudah dimiliki setelah melunasi cicilan

11

M. MA’RUF 12

sebesar USD5 juta per pesawat. Tahun itu pula, Rusdi membuat banyak orang mulai curiga dari mana dia bisa mendapatkan banyak modal, setelah memesan 60 pesawat Boeing 737-900 ER—sebuah pemesanan ter­ banyak maskapai Indonesia yang pernah ada. Ini mem­ buat Lion mencatatkan diri menjadi pengguna pertama pesawat berkapasitas 158 kursi itu di dunia. Tiga tahun berselang, Rusdi datang ke International Paris Airshow 2007 di Le Bourget, Paris, dan memesan lagi 40 unit jenis pesawat serupa seharga USD3 miliar. Tahun lalu, di Singapore Airshow dia menambah 56 unit lagi sehingga total armada Boeing 737-900 ER yang dipesan Lion Air menjadi 178 unit. Serangkaian kejutan ini kembali membuat Rusdi diterpa isu. Dia dikait-kaitkan dengan Singapore Airline sehingga bisa memiliki cukup banyak dana mendiskon tarif untuk menghancurkan industri penerbangan lokal. Atau juga isu peran keluarga Katuari si pemilik Wings Group, yang namanya dihubung-hubungkan dengan Wings Air, anak usaha Lion Air yang melayani rute Indonesia Timur. Bahkan, banyak orang yang mengira Rusdi sebenarnya merugi. Menanggapi hal itu, dia hanya berkata,“Kalau gue rugi, kenapa gue bayar pajak?” Sekarang, Rusdi telah mewujudkan impiannya un­ tuk benar-benar membuat banyak orang terbang. Pada 2001 penumpang penerbangan nasional hanya 6 juta orang, kemudian melonjak hingga 34 juta pada 2007— tentu saja dibantu oleh banyak maskapai yang mengikuti cara kerja Lion Air. Kesuksesan Lion Air sebagai pelopor low cost carrier mendapat pengakuan melalui penghargaan Best Brand Award 2004 dari Majalah SWA. Kini, Lion Air merupakan maskapai kedua di Tanah Air yang ter­ banyak membawa orang terbang, tepat di bawah Garuda Indonesia.[]

Bloop, Bloopaka, Endorse

Sepotong Kaos Akan Mahal Bila Dipakai Artis

J

ika ditanya, manakah kawasan Tebet, Jakarta Selatan yang paling macet? Orang-orang yang biasa melintasi jalanan di sana pastinya akan kompak menjawab, Jalan Tebet Utara Dalam. Beberapa tahun lalu, jalanan itu masih seperti kawasan pemukiman lainnya di Tebet yang sepi. Pengendara mobil dan motor dapat melewati­nya tanpa banyak mengeluh. Kemacetan di jalan itu masih bisa ditebak, saat jam berangkat atau pulang seko­ lah SMP 115 dan lembaga bimbingan SSC. Sekarang, hampir setiap hari, terlebih akhir pekan, anak baru gede (ABG) dan remaja tanggung seantero Jabodetabek rajin menyerbu kawasan yang beralih fungsi menjadi tempat belanja dan hang out tersebut. Bahkan, karena sering macet, sopir Bajaj hanya bersedia melintasi kawasan itu jika ongkosnya dinaikkan. Adalah A. Kardjono yang menemukan bisnisnya setelah puluhan tahun bekerja pada sebuah perusahaan swasta terkemuka di Jakarta. Dia mengajukan pensiun dini untuk menyemangati tiga anaknya yang sedang belajar memulai bisnis. Lima tahun berjalan, keluarga ini tampak kompak seperti kisah keluarga super hero 13

M. MA’RUF 14

di film The Incredibles, tetapi dalam bisnis distribution outlet (distro), restoran dan makanan siap saji yang menguasai Jalan Tebet Utara Dalam. Pasangan Kardjono dan FR Siwi dianugerahi anakanak berbakat wirausaha sejak kecil dengan kemam­ puan yang saling melengkapi. Martin Sunu Susetyo yang dipanggil Martin, ahli menemukan barangbarang bagus yang akan disukai orang. Alumni Cabra College, Adelaide, Australia Selatan ini kreatif serta pandai bergaul sehingga pintar menemukan orang yang bisa menciptakan produk bagus, tetapi tidak bisa menemukan konsumen. Adiknya, Bertolomeus Saksono Jati—dipanggil Berto—memiliki insting manajer yang baik. Berto yang lulusan GS Fame Institute of Business, Jakarta ini paham soal pengembangan bisnis, keuangan, dan sumber daya manusia. Adapun si bungsu Theresia Alit Widyasari atau Sari, setelah menimba ilmu fashion marketing di London, dia bisa memberi tahu mana saja produk yang akan membosankan dan desain yang diinginkan konsumen. Tak lupa ibu mereka, Siwi, adalah koki terbaik yang dimiliki keluarga ini. Martin pernah berbisnis sapi potong yang dida­ tangkan dari Solo dan kemudian distributor rokok. Keduanya gagal karena ditipu relasi dagang. Prestasi buruk juga diperoleh saat berbisnis tambak udang dan bandeng di Rengasdengklok. Sementara Berto pernah gagal merintis usaha distro di daerah Kelapa Gading, kedai martabak di kawasan Pulomas, serta lembaga pendidikan bahasa asing. “Setiap kali memulai bisnis, kami meminta bantuan Papa. Tapi, karena sudah berkalikali gagal, kami enggak berani untuk meminta bantuan Papa lagi,” kenang Sari. Toh, karena tidak juga bisa menemukan orang yang mau meminjamkan modal, ketiga kakak beradik itu kembali kepada ayahnya. Supaya berhasil, mereka mengajak sang ayah ke Bandung, melihat bagaimana

Bagian 1 – Lihatlah Bagaimana Mereka Melakukannya

suasana pengunjung mendatangi distro yang mirip antrean penerima dana bantuan langsung tunai (BLT). Kardjono terkesima dengan pemandangan itu. Mo­dal Rp 50 juta untuk kesekian kalinya keluar dari pinjaman bank atas nama Kardjono. Dana tersebut digunakan untuk mendirikan distro bernama Bloop. Menurut Sari, Bloop (baca: Blup) terdengar mirip bebunyian ketika kita berendam di bathtube, lantas ada udara yang keluar dari dalam air. Selain melambangkan harapan hidup, bunyi blup juga mudah disebut dan diingat. Bloop, yang dicetuskan Berto, semula berdiri di Kalimalang pada September 2003. Mereka memasok barangnya dengan sistem jual putus dari produsen kaoskaos pemasok distro di Bandung yang sudah terkenal seperi Cosmic, Ouval, dan Airplane. Setelah melalui masa-masa sulit dan nyaris gagal, Bloop menemukan titik terang setelah Berto menemukan tempat yang lebih strategis, yaitu di Jalan Tebet Utara Dalam. Jalan itu dilalui kendaraan dan dekat dengan tempat tinggal artis. “Kalau ada ATM, pasti pihak bank sudah menyurvei bahwa tempat itu memang ramai,” kata Berto. Kepindahan ini adalah awal bagi mereka untuk mengundang lebih banyak pengunjung. Dalam hitungan bulan, kaus, baju, dan jaket-jaket laku keras. Untuk menahan distro yang bermunculan, dibuka gerai baru bernama Endorse yang memasang sandang usia remaja dan kuliahan, sementara Bloop yang sejak awal untuk konsumen anak-anak SMP-SMA tetap dipertahankan— pada akhirnya pemisahan ini gagal dan keduanya justru dibuat bersaing satu sama lain. Awal 2004, Martin mulai memasarkan dagangan merek sendiri. Sekarang mereka menjual 200 merek dari berbagai clothing—pembuat, atau malah hasil kreasi karyawannya sendiri, termasuk milik Kardjono dan teman-teman pensiunannya. Selain Endorse, Bloop,

15

M. MA’RUF 16

ada pula merek Major, dan Babo. Sepotong kaos dijual bervariasi antara Rp 75.000-200.000 dan setiap hari satu gerai bisa menjual sekitar 5.000 potong. Ini ditambah dengan order beli putus ribuan potong per bulan oleh pembeli dari pelosok daerah, plus masa panen setahun sekali menjelang Lebaran, Natal, dan Tahun Baru. Dengan cepat barang-barang Bloop dan Endorse menembus kawasan lain mulai dari ujung Sumatera hingga Timur Indonesia. Termasuk pembelian besar dari Singapura dan Malaysia lewat agen tunggal Bloop dan Endorse di sana. Desain garmen yang dijual tidak melulu menunggu, tetapi diciptakan dengan riset mendalam untuk meng­ hasilkan baju, kaos, dan sepatu yang lebih modis dan variatif. Sari yang merangkap Direktur Pemasaran Bloop sering kali menyamar sebagai pembeli untuk mendengar komentar, kritik atau ungkapan jujur dari bisik-bisik antarkonsumennya. Dari info rahasia ini, dia mencipta­ kan desain-desain baru sesuai keinginan pembeli. Ka­ dang kala, digelar undian nonton konser di luar negeri atau Wow Factor Strategy yang menghebohkan—keti­ ka se­dang berbelanja, konsumen diberi amplop berisi voucher hingga Rp 1,5 juta tetapi harus dihabiskan dalam lima menit. Promosi ini cukup efektif membuat para gadis-gadis histeris, dan rela menghabiskan waktu lebih lama di sana. Desain kaos yang dipajang juga hanya bertahan tiga bulan untuk menjaga agar pengunjung tidak bosan. Bila tidak laku, disimpan di gudang dan diobral saat liburan panjang sekolah atau menjelang akhir tahun seharga pokok. Kardjono juga mewariskan kebiasaan ketika masih bekerja di perusahaan, dengan membuat forum setiap hari Rabu. Tetapi, promosi paling efektif justru muncul dari pergaulan luas Martin dan Sari dengan para selebritas Tanah Air. Mereka meyakinkan pembelinya bahwa kaos, jaket atau tas mereka itu adalah pakaian

Bagian 1 – Lihatlah Bagaimana Mereka Melakukannya

yang dipakai para pujaan remaja itu—tanpa banyak mengeluarkan ongkos promosi. Martin sering mengajak temannya yang artis nongkrong di distronya. Sebut saja Natalie Sarah, Nirina Zubir, Peggy Melati Sukma, Ichsan dan Dirly Indonesia Idol, termasuk sejumlah grup band seperti Ada Band, Peterpan, Naif dan Nidji. Sementa­ ra Sari cukup akrab dengan awak band Seventeen, D’Massive, artis Okky Lukman, Sandra Dewi, Tora Sudiro, dan Donnie vokalis Ada Band. “Produk kami dipakai oleh VJ MTV yang saat itu sedang naik, yaitu Nirina. Orang sering sekali datang ke toko dan mencari kaus yang dipakai Nirina,” ungkap Sari. Lagipula, dengan banyaknya manajemen artis dan rumah produksi (production house) yang bermarkas di Tebet, tak sulit menemukan selebritas wira-wiri di sana. Ini sangat menguntungkan. Martin tidak perlu membayar mahal manajemen artis, karena kaos atau topi itu diberikannya secara pribadi. Terserah temantemannya itu mau memakainya ketika berjalan-jalan di mal, konser atau manggung di televisi atau tidak. Majalah-majalah mode yang memakainya untuk proper­ ti pemotretan turut membantu sebagai iklan gratis. Ini berlanjut ke rumah produksi macam MD Entertainment, Avant Garde, Sinemart, juga Extravaganza Trans TV ikut-ikutan bekerja sama untuk mendapatkan properti yang sedang naik daun. Bisnis distro akan mati lima tahun lagi. Ini adalah jawaban yang diterima ketiganya saat merayu sejumlah teman untuk memodali Bloop, Endorse, dan sekarang bertambah Bloopaka. Mereka sudah membuktikan pre­ diksi itu salah. Setelah distro, Martin lantas memiliki ide untuk menyewa bekas warung steak di sebelah ge­ rai Bloop yang sudah tutup. Martin awalnya ingin membuka cafe yang dinamai DeJons Cafe untuk para pelanggan yang datang hanya sekadar kongkow. Ketika tidak kunjung ramai pada Februari 2006, cafe itu diubah

17

M. MA’RUF

menjadi DeJons Burger yang menjual burger, dan dengan segera menjadi meeting point ABG Jakarta. Menyusul pada Mei 2007 didirikan Rumah Makan Bebek Ginyo—yang pembukaannya dihadiri sejumlah artis. Ginyo adalah nama depan mendiang kakek Martin, Genyodihardjo, pembuat keris di Yogyakarta. Rumah makan baru itu diberi interior ala Jawa tempo dulu untuk menyasar konsumen yang lebih tua. Munculnya Bebek Ginyo secara tidak langsung membuat usaha keluarga ini seperti area belanja terintegrasi. Jika anakanak asyik memilih belanjaan di Bloop dan nongkrong di DeJons, para orangtua yang menunggu lebih memi­ lih waktu masuk restoran Ginyo sambil bernostalgia. Konsumen-konsumen tua itu dilayani ayah dan ibu Martin bersaudara yang lebih banyak terlibat untuk urusan ini. Mereka menyediakan lima menu, bebek goreng, bebek bakar, bebek kremes (dibalut tepung dan digoreng renyah), bebek balado (dibalut sambel cabe merah), serta bebek sambal hijau (dibalut sambal cabe hijau). Sang ayah kini lebih berperan sebagai konsultan dan mediator bagi ketiga anaknya, dan merencanakan bisnis baru dengan hitungan setiap tahun satu. Sementara Martin sedang mempersiapkan waralabanya. “Kalau sudah menikah, kami ingin mempunyai toko masingmasing yang lebih besar dengan nama Bloop. Pokoknya, kami ingin membuat Bloop seperti Topshop di Inggris atau Zara di Spanyol yang terkenal di seluruh dunia,” tutur Sari.[]

18

Sosro

Belajarlah dari Kesalahan

D

ua puluh tahun pertama, penjualan Teh Botol Sosro tidak langsung laris manis se­perti sekarang. Penemunya, Sosrodjojo pertama kali menjualnya pa­ da 1940, dalam bentuk kemasan teh kering siap saji bermerek dari sebuah kota kecil di Jawa Tengah, Slawi, ke sejumlah pasar di sana. Ini mulanya adalah strategi menghadapi penjualan hasil panen daun teh perkebunan milik sendiri yang terus merosot harganya, sehingga Sosrodjojo berupaya menjualnya secara eceran. Teh siap seduh merek Teh Cap Botol, yang merupakan jenis jasmine tea—campuran teh hijau dan bunga me­ lati—itu sebetulnya terasa enak dan segar, hanya saja cara-cara meracik minuman yang buruk kerap kali menenggelamkan cita rasanya. Ini mendorong anak-anak Sosrodjojo berkampanye mengenai takaran pas meracik teh yang enak. Hasilnya adalah sebuah kegagalan—karena pembeli rupanya tidak terlalu menganggap itu penting—tetapi dari situ keluarga ini justru menemukan ide penjualan yang lebih brilian, membotolkan teh! Kisah pembotolan Teh Sosro yang sukses ini sendiri tampak seperti dejavu 19

M. MA’RUF 20

legenda pembotolan Coca-Cola oleh dua pengacara asal Chattanooga, Tennessee, Amerika Serikat, Benjamin Thomas dan Josephe Witehead pada 1899. Bedanya, Coca Cola pada awalnya sudah dijual dalam gelas plastik siap minum, dan dua pengacara itu sama sekali tidak memiliki hubungan dengan John Stith Pemberton— penemu ramuan Coca Cola. Satu versi bercerita bila gagasan pembotolan itu diilhami oleh kebiasaan anak sekolah di Slawi yang kerap membawa minuman teh dalam botol. Namun, versi yang lebih resmi seperti dipasang dalam situs resmi Sosro menyebutkan ide pembotolan lahir dari beberapa kali kegagalan dalam mempromosikan teh itu ketika melakukan ekspansi penjualan ke Jakarta oleh anakanak Sosrodjojo pada 1953. Sosrodjojo mewariskan perkebunan dan pabrik teh itu kepada empat anaknya; Soetjipto, Soegiharto, Soemarsono (meninggal dalam usia muda), dan Surjanto. Surjanto yang baru pulang dari sekolah di Jerman, diserahi tugas membantu memasarkan ke pasar-pasar dan pusat keramaian dengan program Cicip Rasa. Program itu adalah semacam demo menyeduh teh yang benar sekaligus memberikan bukti teh wangi adalah minuman yang enak. Secara rutin tim promosi yang dipimpin Soetjipto mendatangi tempat-tempat keramaian membagi-bagikan teh siap minum. Mereka mengendarai mobil dan memutar lagu-lagu, mengundang dengan pengeras suara bahwa ada pembagian teh gratis. Setelah banyak orang terkumpul, para staf mulai mendemokan cara menyeduh Teh Cap Botol dengan benar. Para penonton menyukai teh itu, tetapi menunggu segelas teh untuk 30 menit tampak bukan promosi yang bagus. Lagi pula, membuat teh tidak membutuhkan keahlian khusus sehingga promosi itu menjadi tidak efektif. Orang-orang menjadi bosan dan tanpa apresiasi.

Bagian 1 – Lihatlah Bagaimana Mereka Melakukannya

Beberapa waktu kemudian, masalah itu diakali dengan memperpendek durasi demonstrasi menyeduh teh. Tidak ada jadwal merebus air dan menyeduh teh di lokasi. Air teh terlebih dahulu disiapkan di kantor, dan kemudian diangkut dengan panci-panci ke lokasi. Cara ini pada mulanya lebih efektif, tetapi masih menimbul­ kan masalah karena jalanan Jakarta yang berlubang membuat teh-teh dalam panci berceceran di kendaraan saat perjalanan. Baru pada cara ketiga ditemukan meto­ de paling jitu, dengan masukkan teh siap minum itu dalam botol-botol bekas limun yang telah dibersihkan terlebih dahulu. Cara ini cukup sukses dan promosi dijalankan beberapa tahun tanpa menyadari ada potensi besar di balik pembotolan itu. Lama-kelamaan konsumen justru ketagihan dengan teh siap minum yang ditawarkan dalam Cicip Rasa. Sopir dan orang-orang yang lalu lalang di sekitar Jalan Gajah Mada, Bandar Kemayoran, dan Pasar Senen, Jakarta Pusat yang tadinya malas mencicip lama-lama bergerombol ketika mobil promosi yang khas dengan lagu-lagu datang. “Lama-lama terasa lebih efisien kalau teh diseduh di rumah untuk kemudian disuguhkan kepada calon konsumen di pasar. Kebetulan, disajikan dalam botol-botol,’’ kata Soetjipto. Pada 1969, keluarga Sosrodjojo memulai penjualan teh siap minum dalam kemasan botol. Botol-botol limun yang awalnya dipakai untuk promosi diberi label tulisan Teh Cap Botol Soft Drink Sosrodjojo, mendompleng merek teh seduh Cap Botol. Di masa masa awal, pem­ botolan dilakukan secara manual. Teh dimasukkan memakai gayung, memakai corong plastik dan desain botol yang dipakai masih sangat sederhana. Pada 1972, masih dengan botol yang sama, label Teh Cap Botol diubah dengan penulisan “Cap” yang lebih kecil, sepintas orang hanya akan membaca Teh Botol—seperti yang kerap dibicarakan orang. Tulisan Soft Drink juga

21

M. MA’RUF 22

dihilangkan dan kata Sosrodjojo dipangkas menjadi Sosro dalam logo bulat merah. Ketika pengiriman mencapai 100 krat per hari (satu krat berisi 24 botol) pada 1974, keluarga sepakat men­ dirikan Sinar Sosro, untuk mengelola pabrik pembotolan di kawasan Ujung Menteng (waktu itu masuk wilayah Bekasi, tetapi sekarang masuk wilayah Jakarta). Setiap jam, pabrik mampu mengemas 6.000 botol per jam. Desain botol diubah seperti yang ada sekarang. Usaha ini sekaligus memisahkan dari induk usaha Perkebunan Teh Gunung Slamet yang memiliki ribuan hektar ladang di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Soetjipto memiliki cara unik memberi harga yang pas untuk setiap botol di tingkat agen dan eceran. Sebotol teh dihargai tidak melebihi harga parkir, Rp 25 ditingkat pengecer, dan pedagang kaki lima boleh menjual hingga dua kali lipatnya. Tetapi terobosan besar baru dimulai pada 1981 ketika mereka membagi-bagikan kotak pen­dingin (cooler box) di atas roda dorong kepada para pengecer, mulai dari perempatan CocaCola (sekarang ITC Cempaka Mas), sampai kawasan Pasar Senen. Teh yang dingin semakin menonjolkan kesegaran Teh Botol Sosro di tengah udara Jakarta yang panas. Hubungan manis antara penjual yang diberi margin keuntungan tinggi itu pada mulanya sebagai kompensasi setelah toko-toko besar masih menganggap aneh minuman teh dalam botol. Kedekatan dengan para pedagang kaki lima justru amat menentukan kesuksesan Teh Botol Sosro.

Bagian 1 – Lihatlah Bagaimana Mereka Melakukannya

Sosro membangun rantai distribusi yang sedemikian tertata dan terukur tanpa preseden kehabisan stok. Di titik ini, jalur distribusi Sosro memiliki tiga jenjang; agen, sub agen, dan pengecer. Sejak awal, inventaris botol-botol perusahaan telah ditetapkan minimal dua kali lipat dari jumlah teh botol yang berada di tangan distributor, sehingga terdapat proporsi seimbang antara botol di pabrik dengan botol di pasaran. Demikian pula, tenaga-tenaga penjual ditempatkan secara proposional disesuaikan dengan jumlah truk pengangkut krat-krat yang menyalurkannya ke 400 pos distribusi di Tanah Air. Sistem distribusi yang dikelola oleh tujuh perusahaan pribadi milik sendiri itu hampir menyentuh seluruh level kabupaten dan kota di Nusantara sehingga akan sulit disabotase oleh pesaing. Dengan sistem itu, kecua­ li ditilep oleh pesaing, Teh Botol Sosro selalu ada keti­ ka diminta konsumen. Pada 1984, Sosro bisa menjual 40.000 krat teh botol dan kardus setiap bulannya. Mereka menguasai 80% pasaran minuman sejenis dan menyisakan 20% lainnya bagi 11 merek saingan. Pangsa pasar Sosro nyaris tidak berubah, meski dikepung oleh merek-merek teh yang disokong per­ usahaan global legendaris, terutama Coca Cola dan Pepsi. Keperkasaan Sosro menghajar soft drink merek impor itu lebih tampak pada perebutan pengaruh di gerai-gerai makanan cepat saji (fast food). Kesan ini muncul setelah Rekso Nasional Food milik keluarga Sosrodjojo mengakuisisi Mc Donald. Ini pukulan telak bagi Coca Cola karena selama 18 tahun keberadaannya di Indonesia, restoran bermenu utama ayam itu hanya menyuguhkan minuman produksi Coca Cola. Di tahun lalu, Sosro telah mengalahkan Coca Cola Indonesia, yang di-back up penuh oleh Coca Cola Company. “Kami berada di atasnya,” kata Presiden Direktur Sinar Sosro Yoseph Sosrodjojo yang menyebut keuntungannya pada 2008 mencapai Rp 1,8 triliun.

23

M. MA’RUF

Kekaisaran bisnis Sosrodjojo, yang kini masuk gene­ rasi ketiga, kuat, dengan taksiran aset lebih dari Rp 10 triliun. Hanya perpecahan di tubuh keluarga yang bisa menghancurkan bisnis tersebut. Sejak berdiri, kepemilikan perusahan tidak pernah keluar dari ling­karan empat putra Sosrodjojo. Bahkan ketika ahli waris Soemarsono dan keluarga Surjanto melepas saham pada 1989 dan 1992, mereka hanya menjual kepada Soegiharto yang di masa tuanya menikmati 11,7% saham Sinar Sosro. Kini hanya dua putra Sosrodjojo yang menguasai Sosro, yakni Soegiharto bersama istri serta lima putranya dan Soetjipto bersama dua putranya.[]

24

Multivision Plus

Jangan Dengarkan Kata Orang

O

rang seperti Raam Jethmal Punjabi akan sangat rentan terhadap tudingan di balik moral masyarakat yang cenderung turun. Sinetron dan film-filmnya kerap dianggap telah menyebabkan keluarga Indonesia kehi­ langan rasionalitas dan menjadi naif akan kehidupan yang sebetulnya abu-abu, bukan hitam dan putih. Para kritikus akan sepakat bahwa sinetron-sinetron yang ditayangkan hampir 24 jam di layar kaca itu secara berlebihan telah mengeksploitasi cerita-cerita mistis, percintaan, dan religi. Tetapi, kritikus-kritikus tidak akan bisa mengelak bahwa Raam-lah orang terdepan yang menghidupkan industri film lokal dan menciptakan tren baru untuk tayangan hiburan di televisi. Lahir di Surabaya 6 Oktober 1943, Raam mulai bekerja di sebuah perusahaan tekstil pada 1964 hingga akhirnya meninggalkan sama sekali bisnis kain itu pada 1969. Kisah hidupnya mengingatkan kita pada jalan cerita film Nuovo Cinema Paradiso (1988) karya Giuseppe Tornatore, yang menggambarkan kedekatan seorang anak dengan dunia film di negeri pizza, Italia. Salvatore, si anak kecil, menjalin hubungan pertemanan dengan 25

M. MA’RUF 26

Alfredo, seorang proyeksionis bioskop dari sebuah kota kecil di Pulau Sisilia. Dari Alfredo-lah, Salvatore kecil mendekatkan dirinya pertama kali dengan dunia layar lebar hingga akhirnya menuai sukses menjadi sutradara film kenamaan di ibukota Roma. Beda halnya dengan Raam kecil yang tertarik dengan layar film ketika dirinya dekat dengan seorang penjaga pintu bioskop. Tak jarang Raam digratiskan masuk dengan imbalan pinjaman sepedanya. “Pernah sepeda saya dipinjam hingga tengah malam, sehingga saya terlambat pulang dan dimarahi,” ungkap Raam. Ketertarikan itulah yang akhirnya mengikat batin dan menarik Raam ke dunia perfilman. Perjalanan hi­ dup Raam Punjabi, yang sekarang sudah tenar sebagai saudagar sinetron dan jagad perfilman, memang tak jauh dari kisah si anak penjaga gedung bioskop. Langkah pertama Raam di ranah perfilman dimulai pada 1967, saat bersama Dhammoo Punjabi dan Gobind Punjabi mendirikan perusahaan importir film, Indako Film, dengan modal Rp 30 juta. Berselang tiga tahun, Raam yang tidak puas akhirnya mendirikan Panorama Film yang hanya bertahan tak lebih dari enam tahun. Rumah produksi itu bersama Aries Internasional Film, memelopori film nasional pertama yang menggunakan seluloid 70 milimeter, yaitu Mama (1972) karya Wim Umboh. Meski demikian, film itu tidak laku di pasaran dan mereka rugi jutaan rupiah. Namun, jiwa bisnis putra Jethmal Tolaram Punjabi dan Dhanibhai Jethmal Punjabi itu membuatnya tak kehabisan akal. Kesuksesan baru menjumpai ketika Raam mengon­ trak Trio Warkop DKI; Dono, Kasino, dan Indro untuk memainkan skenario-skenario lucu yang kasar. Leluconlelucon garing dibalut wanita-wanita cantik dengan berpakaian seksi, rupanya memicu orang kembali rajin pergi ke bioskop. Mengenai wajah-wajah rupawan yang mendominasi sinetron dan filmnya, barangkali ini terkait

Bagian 1 – Lihatlah Bagaimana Mereka Melakukannya

pengalaman unik di masa lalunya. Masih pada usia belasan, setelah ayahnya meninggal dunia, dengan restu sang ibu, Raam nekat pindah ke Jakarta untuk mengadu nasib. Awal kehidupan di Jakarta dia lalui dengan menjadi pegawai toko kain di kawasan Pasar Baru. Setelah itu Raam mencoba berjualan sendiri dengan cara door to door, menjual kemeja bermerek, dilanjutkan menjajakan lingerie alias pakaian dalam wanita. Berjualan lingerie itu sering dianggap sebagai bagian dari kesukaan Raam pada segi-segi kecantikan wanita. Dalam kurun waktu 17 tahun awal kariernya sebagai produser, Ram telah memproduksi lebih dari 100 film, termasuk lewat PT Parkit Film yang didirikan pada 1981. Tetapi, kritikus film sangat kejam kepada Raam. Malah, dia acap kali dituduh sebagai perusak tren perfilman nasional dan gaya candanya dianggap semakin vulgar. Tokohtokoh agama semakin keras bersuara pada beberapa seri Warkop akhir ‘90-an. Sekitar 1989, kondisi perfilman Indonesia benarbenar hancur oleh film-film impor yang membanjiri bioskop. Lagi-lagi Raam tidak kehilangan akal. Dia beralih ke dunia sinetron yang pada saat itu relatif baru bagi mayoritas penduduk Indonesia yang hanya mengenal TVRI dan siaran TV nasional negara tetang­ ga lewat parabola. Munculnya stasiun televisi swasta pertama, RCTI, membuat Raam melihat peluang yang lebih besar bagi perkembangan bisnisnya yang mulai suram. Itulah dunia sinetron yang mulai digelutinya

27

M. MA’RUF 28

pada 1990 dengan mendirikan rumah produksi baru, Tripar Multivision Plus. Langkah itu terbukti dengan suksesnya serial sinetron komedi Gara-Gara. Setelah Gara-gara yang memopulerkan nama Jimmy Gideon dan Lydia Kandou, siapa yang tidak mengikuti sinetron Lika-Liku Laki-Laki yang mengangkat kembali nama grup Empat Sekawan, Jin dan Jun yang memperkenalkan Syahrul Gunawan, atau Tuyul dan Mbak Yul yang melambungkan nama Onni Syahrial? Tak luput, sinetron drama yang menjadi langganan ibu-ibu rumah tangga setiap sore kala itu, seperti Pelangi di Hatiku, Bela Vista, Saat Memberi Saat Menerima, Shangrila, Untukmu Segalanya, Tersanjung, atau Janjiku. Memasuki era 2000-an, muncul rumah produksi sinetron lain yang mulai meramaikan sinetron. Namun, Raam memiliki strategi lain, dengan memasang judul-judul baru yang lebih menarik dan terus memasok sinetron baru dengan jumlah yang mencengangkan. Tercatat, sampai Agustus 2005, Raam telah memproduksi lebih dari 200 judul sinetron. Hingga kini, tidak ada yang bisa menyaingi ke­ besar­an Raam Punjabi dalam industri hiburan televisi, terutama film dan sinetron. Ini sempat membuatnya dijuluki kartel India dalam industri sinetron, karena setiap drama yang keluar di televisi itu tidak bisa lepas dari bayang-bayang keluarga Punjabi, dengan Raam yang berada di singgasana. Produksi sinetron Raam disertai beragam resep dan bumbu-bumbu yang tak jarang memicu konflik bagi sebagian orang. Mulai dari ide cerita yang dianggap menjiplak film maupun sinetron hingga pengandalan wajah-wajah rupawan. Kritikus sosial menganggap sinetron-sinetron itu mu­ rah­­an dan hanya menjual mimpi serta kehidupan me­wah kepada mayoritas pemirsa televisi yang miskin. Orangorang cukup mencemaskan fenomena dampak sinetron Raam yang dapat merusak moralitas generasi muda.

Bagian 1 – Lihatlah Bagaimana Mereka Melakukannya

Tetapi, pasar melawan opini ini dengan tinggi­nya rating sinetron-sinetron tersebut, sehingga Raam mene­mukan banyak alasan untuk menangkis kritikan yang ditujukan kepadanya. Baginya tidak ada rumah produksi yang memiliki tujuan dan niat merusak moral dan akhlak bang­ sa, serta merusak jalan pikiran orang. Dalam kamus­nya, mimpi tersebut tidak jelas, tetapi merupa­kan harapan yang dapat menjadi kenyataan. Harap­an serta semangat itu yang ingin dibangkitkan Raam sehingga terlihat jelas dalam film-film yang di­pro­duk­sinya.[]

29

Kapal Api

Rasa Bukanlah Segalanya, Dibutuhkan Inovasi

A

pa persamaan sabun mandi dengan kopi? Tanya­ kanlah kepada Soedomo Margonoto, dan dia akan menjawab bahwa mengemas kopi bubuk dalam kemasan mungil seukuran sabun telah membuatnya menjadi kaya raya. Itu ditemukan pada 1975, ketika anak kedua dari tujuh bersaudara dari pasangan almarhum Go Soe Loet dan Too Goan Cuan itu tertarik dengan kemasan sabun mandi Lux yang berukuran segenggaman tangan. “Setelah saya amati, kok enak ya dijual satu per satu,” ujar dia. ”” Domo—panggilannya—mengujicobakan model ke­ masan itu pada bubuk kopi dengan bentuk kemasan contongan. Tiap contong diisi bubuk kopi dengan berat 100 gram, menyusul kemudian 250 gram, 500 gram, dan sachet. Dari kemasan-kemasan kecil yang mudah diecerkan itu, Domo baru sadar bahwa orang-orang mungkin sudah lama suka dengan cita rasa kopi Kapal Api yang diproduksi sejak 1927. Alasan kopi itu tidak memiliki reputasi penjualan yang bagus tampaknya lebih karena kopi itu oleh ayahnya dikemas dalam karung seberat 30

Bagian 1 – Lihatlah Bagaimana Mereka Melakukannya

satu sak semen—kemasan kaleng seberat 50 kg—se­ hingga untuk membuat secangkir kopi tentu orang akan berpikir dua kali. Konsumen betul-betul menyukai kopi Kapal Api dalam kemasan baru tersebut, tak pelak, Kapal Api langsung mengungguli merek-merek yang sudah mapan dan jauh lebih tua, seperti Kopi Kedung Laju, Kopi Cap Gadis, Kopi Supiah, Kopi Wanita Utama, Kopi Gelatik, dan Kopi Cap Oto Terbang. Tetapi bagi Domo, yang kabarnya lebih menyukai kemeja seharga seratus ribuan, inovasi soal kemasan adalah satu dari beberapa ide yang membuatnya merajai sekurang-kurangnya 65% pasar kopi nasional. Ayah Domo adalah pemain anyar dan harus ber­ simbah peluh untuk menjajakan kopi racikannya dari toko ke toko di Surabaya, Jawa Timur. Kopi merupakan minuman wajib waktu itu, dan di setiap daerah nyaris sudah ada orang yang memproduksinya. Tapi bagi perantau Go Soe Loet yang menyeberang ke Jawa— ia berasal dari Pulau Fujian, China Daratan—masih ada peluang untuk berjualan kopi. Tentu untuk kelas masyarakat yang susah, sehingga di antara tumpukan sayur-mayur dagangannya diselipkanlah kopi yang di­ campur jagung yang dapat dijual dengan harga lebih terjangkau. Kopi itu diberi merek HAP Hootjan, yang dalam bahasa Indonesia berarti kapal api. Merek itu diilhami dari jenis teknologi kapal bertenaga ketel uap yang membawanya ke Jawa. Meski bukan kopi kelas premium, mencatut nama kapal api yang waktu itu adalah teknologi terbaru bisa menutupi kekurangannya. Usaha keluarga itu kemudian diserahkan kepada Domo yang sejak dini sudah rajin berjualan kopi dengan sepeda ontel berkeliling Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya dan keluar-masuk kampung. Dia senang berbisnis kopi dan mulai paham tentang seluk-beluk kopi dan mesin produksinya. Pada 1975, Domo memulai

31

M. MA’RUF 32

proyek ambisius untuk membangun pabrik kopi yang lebih modern. Mempercanggih mesin penggorengan, mempercantik kemasan eceran, promosi yang lebih agresif, dan memperbaiki pabrik adalah daftar utama restrukturisasi perusahaannya. Dia menyewa bangunan pabrik di Jalan Panggung IX/12, Surabaya, dan membeli mesin goreng lokal seharga Rp 150.000 serta mesin giling seharga Rp 10.000. Sementara waktu itu memecahkan masalah, tetapi lama-kelamaan tidak cukup. Inovasi mencari teknologi modern pengolah kopikopi Indonesia mungkin dimulai dari tangan Domo. Mula-mula dia membandingkan kopi Kapal Api dengan kopi kemasan asal Eropa dan mendapati aromanya jauh di bawah standar kopi olahan impor yang boleh jadi bahan bakunya dari Indonesia. Belakangan dia baru tahu dari Lembaga Ikatan Indonesia Jerman bahwa mesin pengolahan kopi miliknya sudah kedaluwarsa. “Begitu dapat kiriman, saya terkejut. Yang kami punya ternyata produksi tahun 1800-an,” kata Domo yang langsung mendatangi pameran mesin pengolahan kopi di Dusseldorf, Jerman pada 1978. Tetapi, dia tidak menyangka bahwa mesin ukuran sedang itu ternyata berharga Rp 123 juta, jauh dari yang dibayangkannya. Apa yang ada di benaknya seketika itu adalah mencuri metode kerja mesin mahal itu dan membawanya pulang ke Surabaya—Domo hanya mengingat detail mesin, karena pengunjung tidak diperbolehkan membawa kamera di area pameran. Walaupun kemudian dia bisa membuat mesin baru rekaan dengan modal Rp 870.000 dan mampu mengolah kopi sebanyak 180 kg/jam, itu tidak menyelesaikan masalah. Aroma kopi hasil ide curian itu sama sekali tidak mirip dengan produksi mesin aslinya. Satusatunya jalan mencari pinjaman. Bank Pembangunan Indonesia—dan sejumlah koleganya—adalah pihakpihak yang menganggapnya sudah tidak waras dengan

Bagian 1 – Lihatlah Bagaimana Mereka Melakukannya

proposal kredit untuk sebuah mesin penggilingan kopi seharga Rp 123 juta rupiah, yang buatan lokalnya hanya Rp 1,75 juta. Apalagi, produksi Kapal Api saat itu baru 200-300 kg/hari. “Ghendeng (gila) kamu, Domo. Kopi lokal saja pakai diproduksi dengan mesin Jerman,” kenangnya mengenai komentar orang kala itu. Akhirnya, lewat serangkaian negosiasi panjang dengan Triasa, agen mesin itu, Domo memiliki mesin modern pertamanya. Berton-ton stok kopi kemudian berhasil diolah dengan mesin baru itu. Domo memang banyak akal. Dialah pemilik pabrik­ an kopi pertama yang berpikir memasang iklan di televisi akan memberi efek luar biasa bagi penjualan. Pemirsa TVRI era 1980 pastinya masih ingat bintang lawak Srimulat, Paimo—dia memerankan wewe gom­ bel—yang dikontrak Domo mengiklankan Kapal Api. Meski kemudian Departemen Perdagangan menghenti­ kan program niaga di TVRI, iklan kopi itu sudah ter­ lanjur terkenal dan pada akhirnya kebijakan ini justru menguntungkan, karena pesaing yang baru tersadar tidak bisa lagi mengikuti cara promosi baru ini. Iklan pendek itu kemudian mempermudah penjualan kopi Kapal Api di Bandung, Semarang, Palembang, Medan, Pontianak, Makassar hingga Denpasar. Pada 1985, kopi Kapal Api mulai diekspor ke Timur Tengah dan menyusul kemudian ke Taiwan, Hong Kong, dan Malaysia. Satu masa di mana Domo harus berpikir ekstra adalah ketika Sinar Sosro—produsen Teh Botol Sosro— ingin menjajal bisnis kopi bubuk setelah sukses merajai bisnis teh. Domo tampak khawatir dengan rencana itu, sehingga memburu penjualan merek baru, kopi ABC, yang kemudian berhasil menghalau keluarga Sosrodjojo nimbrung di bisnis ini. Pada 1992 Domo mengembangkan kedai kopi (coffee shop) Excelso untuk kalangan atas. Mula-mula hanya ada dua gerai, di Plaza Indonesia (Jakarta) dan Plaza Tunjungan II (Surabaya).

33

M. MA’RUF

Kini, 36 gerai Excelso tersebar di beberapa kota besar Indonesia serta hadir di Vhina dan Taiwan. Namun, Excelso menghadapi persaingan serius dari kedai kopi asal Amerika Serikat, Starbucks, yang kini punya 62 gerai. Tampaknya ladang ini sulit dikuasai Domo kecuali dia kembali menelurkan inovasi yang brilian.

34

Orang-Orang Spesial; Para Pionir

bagian

2

Aqua

Sebuah Kejadian Tidak Menyenangkan adalah Ide Bisnis yang Menggiurkan

P

ada 1972, tidak ada yang sanggup mem­bayangkan bisa menjual sebotol air dengan banderol lebih mahal dari harga seliter bensin. Bagaimana mungkin menjual air, padahal setiap orang memiliki sumur di rumah? Adalah Tirto Utomo yang menemukan visi bahwa orang-orang masa depan akan lebih memilih mengeluarkan beberapa lembar pecahan ribuan untuk membeli sebotol air di jalan, daripada membawa air matang rebusan dari rumah. Tentu saja, ada kisah di balik visi itu. Awal 1970-an, Tirto adalah pegawai Pertamina yang sedang berpikir keras mengenai cara terbaik meng­ hilangkan kesan buruk tamu-tamu penting sehabis berkunjung ke perusahaan pelat merah itu. Dia bekerja serabutan di bawah tekanan Jenderal Pattiasina, meng­­ urusi hubungan masyarakat, masalah legal, meng­ koordinir keamanan, menghitung gaji karyawan, hingga urusan pertunjukan orkes untuk sebuah pesta. Walaupun bukan pejabat penting, perannya banyak menentukan keberhasilan kontrak bagi hasil minyak dan gas yang di­rintis Pertamina dengan perusahaan36

Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

perusahaan asing. Pekerjaan itu kerap membuatnya tidak bisa tidur nyenyak, harap-harap cemas karena sebuah kontrak penting rupanya ditentukan oleh halhal kecil. Pada 1971, sebuah negosiasi kontak bagi hasil minyak Pertamina dengan sebuah perusahaan Amerika Serikat berantakan gara-gara insiden istri ketua dele­ gasinya sakit perut. Kemungkinan diare, karena dokter yang memeriksanya menemukan istri Reimond Todd itu mengonsumsi air yang tidak bersih. Negosiasi itu gagal total, lantaran Tood lebih memilih pulang ke negaranya untuk mencari pengobatan. Meski beberapa tahun kemudian kontrak itu berhasil diperoleh Pertamina, kejadian sangat memalukan itu membuat Tirto semakin berpikir keras. Ini bukan kali pertama dia mengantarkan para tamu pergi ke dokter. Solusi baru muncul setelah diketahui orang-orang bule itu tidak biasa meminum air sumur yang direbus, tetapi air yang telah disterilkan. “Saya lalu berpikir, bagaimana menyediakan air bersih dalam botol yang praktis,” kata dia. Dia mengumpulkan saudara-saudaranya untuk mempelajari bagaimana cara memproses air mineral dalam kemasan (AMDK) yang belum ada di Indonesia waktu itu. Sebetulnya ilmu itu tidak sulit diperoleh karena pekerjaannya yang berhubungan dengan orangorang asing banyak memberikannya kontak orangorang penting dari pelbagai bidang. Mulanya, Tirto yang tidak mengerti sama sekali akan proses pemurnian air mengutus adiknya, Slamet Utomo, untuk magang di Polaris, perusahaan AMDK yang sudah beroperasi 16 tahun di Thailand. Tidak mengherankan bila pada mulanya semua hal mengenai Aqua menjiplak Polaris. Mulai dari bentuk botol kaca ukuran 500 mililiter sampai merek mesin pengolahan air dan mesin pencuci botol serta pengisi air.

37

M. MA’RUF 38

Tirto dan Slamet memulai proyek ambisius dengan membeli sebidang tanah bekas sawah di Pondok Ungu, Bekasi. Mereka menamai pabrik itu Golden Mississippi dengan kapasitas produksi enam juta liter per tahun dan jam kerja maksimal tiga jam sehari. Dua tahun berselang, Tirto berhasil menjual Aqua perdananya. Air-air itu dikemas dalam botol kaca ukuran 950 mililiter dan dijual seharga Rp 75—saat itu seliter (1.000 mililiter) bensin cuma dihargai Rp 46. Sasaran konsumen pertama adalah ekspatriat atau orang asing yang tinggal di Jakarta. Keputusan ini tepat karena mereka relatif sudah paham pentingnya membeli produk Tirto. Di negeri asalnya, mereka sudah terbiasa membeli AMDK yang dikenal sebagai bottled water atau mineral water. Beda dengan penerimaan warga Jakarta yang justru menertawakan. “Bayangkan, meski dibagikan gratis, saat itu banyak orang yang menolak” kenang Willy Sidharta—menantu penunggu rumah Tirto yang diangkat sebagai sales dan perakit mesin pabrik pertama Aqua. Soal nama, Tirto sempat ragu memberi nama perusahaannya dengan Golden Mississippi yang akan terdengar asing. Tetapi itu jelas lebih keren dan cocok dengan promosi kualitas air yang dijualnya sebagai pure artesia water. Sementara untuk nama produk, awalnya dipakai Puritas (asal katanya “purity”) dengan alasan bakal menunjukkan secara langsung makna kemurnian. Tetapi, konsultan asal Indonesia yang bermukim di Singapura, Eulindra Lim, berpikir lain. Menurut dia, nama Aqua mengandung asosiasi yang lebih tinggi terhadap imej air dalam kemasan botol. Lagi pula, lidah konsumen tidak mudah keselo mengucapkannya. Tirto setuju memakai nama temuan konsultannya itu. Baru pada 1982, Tirto memutuskan mengganti bahan baku yang semula dari sumur bor ke mata air pegunungan yang mengalir sendiri, self flowing spring. Para konsumen diperkenalkan sebuah positioning baru,

Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

tak perlu susah-susah mendaki gunung hanya untuk menengguk air yang murni dari sumbernya. Apalagi berbagai temuan klinis juga mendukung bahwa mata air pegunungan mengandung komposisi mineral alami yang sangat kaya nutrisi, seperti kalsium, magnesium, pota­ sium, zat besi, dan sodium. Tirto menganggap masalah bahan baku ini penting, meski sampai sekarang Aqua tidak pernah menggunakan mata air yang menyembur alami. Yang dilakukan adalah melakukan penelitian di sekitar mata air asli tersebut, baru ditentukan titik bor untuk sumur yang kemudian menjadi mata air buatan. Olahraga dan Aqua tidak terpisahkan, seperti halnya Tirto dengan bulu tangkis, golf, dan renang. Promosi ini pas dan cocok dengan kampanye hidup sehat yang diusungnya. Iklan-iklan di layar kaca, cetak, hingga sponsorship itu begitu efektif. Saking populernya, wa­ jar bila kemudian sampai sekarang orang menyebut air mineral sebagai Aqua. Nyaris tiada kegiatan olahraga level nasional dan internasional yang tidak digarap Aqua sebagai ajang promosi. Mulai dari Pekan Olahraga Nasional, Sea Games, Thomas & Uber Cup, World Cup, hingga World Golf Competition. Promosi paling spektakuler adalah mendatangkan pemain sepak bola legendaris asal Prancis, Zinedine Zidane. Sejarah Aqua mungkin akan mencatat Tirto se­ bagai legenda. Tetapi di tangan orang cekatan di balik pengiriman-pengiriman Aqua yang tepat waktu, seperti Willy-lah Aqua bisa menjadi raksasa. Si perakit mesin pada masa-masa awal pabrik beroperasi itu menemukan sistem pengiriman kemasan galon yang diproduksi khusus untuk rumah tangga modern dan kantor-kantor. Sampai dengan diangkat menjadi Presiden Direktur pada 1977 (sampai 2004) tidak banyak yang tahu peranperan penting Willy dibalik kesuksesan membangun jaringan distribusi Aqua. Bekas pedagang roti dan buruh pabrik biskuit Nissin inilah yang membangun sistem

39

M. MA’RUF 40

awal delivery door to door dan menjadi cikal bakal sistem pengiriman langsung Aqua. Konsep pengiriman kardus-kardus serta galon-galon Aqua memakai truk yang didesain khusus, kuat, dan disiplin itu membuat penjualan Aqua secara konsisten terus menanjak. Willy mulai membangun armada pengiriman de­ ngan memisahkan bagian pengiriman pertama yang di­ tugasi membagi-bagikan dispenser gratis. Petugas bagi­ an pengiriman pertama ini dibekali pengalaman untuk bisa menjelaskan apa itu manfaat air mineral yang akan membuat peminumnya hidup lebih lama daripada air rebusan. Bagian ini lalu memberikan laporan dan data kepada bagian pengiriman rutin, apabila konsumen ber­ sangkutan sudah ketagihan. Prestasi ini membuatnya menjadi orang kepercayaan Tirto dan sudah dianggapnya sebagai saudara. Toh, walaupun Willy adalah manajer terbaik yang pernah dimiliki Tirto, hubungan keduanya tidak pernah semesra yang bisa dibayangkan orang. Sangat amat formal, berbeda dengan orang dekat lain yang bisa ikutan bermain golf atau ngobrol sambil ngopi atau berkunjung ke rumah Tirto. Ketegangan keduanya berangsur-angsur mencair dan Willy dipercaya melakukan pelbagai ekspansi yang meroketkan angka penjualan menyentuh empat miliar per tahun. Ini setelah pendirian pabrik kedua di Pandaan, Jawa Timur, pada 1984 hingga mampu mendekati dua triliun rupiah. Efisiensi biaya lewat cara cerdas mendekatkan konsumen dengan sumber bahan baku membuat Aqua dengan cepat memiliki modal untuk mengembangkan konsep lisensi dalam ekspansi baru dengan masif. Lisensi itu dalam rangka ekspansi ke luar negeri tanpa ekspor, tetapi langsung mendirikan pabrik di Filipina dan Brunei Darussalam. Sementara ekspor air Aqua memakai kapal laut sudah dirintis medio 1987 dimulai dari Singapura, Malaysia, Maldives, Fiji, Australia, Timur Tengah, dan Afrika. Tahun itu pula

Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

Tirto setuju untuk segera menghambat sejumlah pesaing baru yang mulai muncul dengan mengakuisisi Varia Industri Tirta yang mempoduksi AMDK merek VIT. Hingga Willy mundur setelah 22 tahun menjadi Presi­den Direktur Aqua pada Juni 2008, ia masih meng­gunakan meja kerja yang dipakai Tirto pada 1973. Salah satu kegagalannya adalah mengembalikan status kepemilikan Aqua Golden Mississippi kembali sepenuhnya pada keluarga, setelah terlanjur melepas beberapa persen saham Aqua di bursa saham pada 1990 seharga Rp 7.500 saham per lembar. Usaha merayu para pemilik saham tak pernah berhasil, karena manajemen hanya mau membeli balik saham-saham itu tiga belas kali dari harga pertama. Namun, itu tidak aneh, karena para pemilik saham publik Aqua yang hanya berjumlah 350 orang dengan kepemilikan setara 7,4% total saham, tentunya tidak mau dianggap gila. Siapa yang rela me­ lepas hak milik atas produsen AMDK dengan volume penjualan terbesar di dunia? Mereka baru bersedia melepas saham itu seharga satu juta rupiah per lembar!

41

M. MA’RUF

Pada Maret 1994, Tirto yang lahir dengan nama Kwa Sin Biauw pada 9 Maret 1930 di Wonosobo, Jawa Tengah, mengembuskan napas terakhir setelah menyerahkan kendali kepemilikan Aqua kepada putrinya, Lisa Tirto Utomo. Berkat jasa-jasanya mengembangkan industri AMDK di Asia, namanya diabadikan dalam “Hall of Fame” industri air kemasan dunia, pada Oktober 1992, di Cincinnati, AS. Tirto mewariskan dua usaha yang berstatus non­ publik, Tirta Sebayakindo dan Tirta Investama sebagai induk perusahaan Sepeninggalan Tirto, Lisa menjual Aqua kepada grup Danone, produsen makanan raksasa asal Prancis melalui proses-proses negosiasi alot yang berakhir pada 2001 dan hanya menyisakan beberapa persen kepemilikan. Menurut Willy akuisisi itu adalah pilihan yang perlu, setelah beberapa cara pengembangan tidak cukup kuat membesarkan Aqua dari ancamanancaman pesaing baru. Dia yakin Aqua tidak sebesar sekarang kalau masih 100% dimiliki keluarga. Setelah akuisisi, kepemilikan keluarga Tirto memang tinggal 26% tapi produksi Aqua melonjak tajam, dari 1 miliar liter setahun menjadi 3,5 miliar liter. Pada 2005, Aqua memproduksi Mizone yang segera menjadi fenomena baru di semua lapisan masyarakat.[]

42

Detikcom

Jangan Latah dan Berhati-hatilah

A

da cerita menggelikan yang senantiasa membang­ gakan Budiono Darsono bila mengenang awal-awal merintis Detikcom. Adalah seorang komandan militer di Jakarta yang sangat membutuhkan berita terbaru di saat kegentingan melanda Ibu Kota setelah Soeharto lengser. “Coba tolong carikan detikcom, ada berita penting di situ!” perintahnya kepada bawahan. “Siap. Laksanakan Komandan,” jawab prajurit de­ ngan sigap lalu lari terbirit-birit mencari detikcom. Di setiap perempatan jalan, dia berhenti dan menanyakan kepada loper koran. “Ada Detikcom nggak?” Prajurit itu memperoleh jawaban yang sama pada semua loper koran yang dijumpainya. “Tidak ada,” dan tidak tahu, apa itu Detikcom. Mungkin dipikirnya media yang diinginkan komandannya itu sangat laris, prajurit itu menuju agen koran, tetapi kemudian tetap mendapatkan jawaban yang sama. Setelah putus asa, prajurit itu kembali dengan tangan hampa dan melapor pada komandannya, “Lapor komandan, Detikcom habis!”

43

M. MA’RUF 44

Ini adalah satu dari sekian banyak kisah lucu awal mula detikcom berdiri. Terjadi pasca tergulingnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada Mei 1998 yang menimbulkan kondisi genting, huru-hara dan rumor di mana-mana. Banyak orang waswas dan menunggu apa yang akan terjadi dengan negara ini lewat berita-berita di media esok hari. Koran, majalah, tabloid, selebaran muncul bak cendawan di musim hujan. Pada saat itu, kata “internet” bagi kebanyakan orang memang lebih dekat pengertiannya ke “eternit”—plafon atap rumah!. Sebaliknya, bagi sedikit orang yang melek teknologi, berita-berita pendek Detikcom terus dipantau. Situs berita Detikcom awalnya adalah proyek pri­ badi sebuah perusahaan penyedia jasa konsultasi, pe­ ngem­bangan, dan pengelolaan web, Agranet Multicitra Siberkom—disingkat Agrakom—untuk menghindari ke­ bangkrutan saat krisis ekonomi 1997. Agrakom, seperti banyak perusahaan lain, juga menghadapi per­soalan. Order jasa web site terhenti, sementara proyek-proyek e-commerce yang sudah di tangan ditunda oleh klien. Programmer-programmer bergaji mahal meng­anggur. Padahal, Agrakom baru berdiri dua tahun dengan investasi lumayan serius pada Oktober 1995. Dia termasuk salah satu pelopor industri bermuatan teknologi tinggi yang menyasar kue internet yang mulai dikenal di Indonesia pada 1993. Agrakom sempat beberapa kali mengecap manisnya kue bisnis itu dari beberapa klien besar seperti Kompas Gramedia yang meluncurkan Kompas Cyber Media untuk berita koran versi internet, dan sejumlah situs perusahaan seperti United Tractors, World Bank, dan Ciputra Group. Tetapi krisis membuyarkan semua impian. Pendirinya adalah sejumlah wartawan, Budiono Darsono (eks wartawan DeTik), Yayan Sopyan (eks wartawan DeTik), Abdul Rahman (mantan wartawan Tempo), dan Didi Nugrahadi (bukan wartawan, tetapi

Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

tetangga rumah Budiono yang tinggal di Pamulang, Tangerang). Empat sekawan ini berpikir keras mencari konsep jasa web baru yang tetap laku dalam situasi krisis. Ada cerita lain, bahwa ide ini sebetulnya adalah paket layanan baru dan pernah ditawarkan kepada salah satu penerbit koran besar, namun ditolak. Klien itu justru menyarankan agar Budiono dan kawan-kawannya menggarapnya sendiri. Dari serangkaian pertemuan, nongkrong di berbagai tempat, akhirnya konsep itu ditemukan. Yaitu sebuah media yang 100% berbasis internet dan memanfaatkan semaksimal mungkin keunggulannya—tersedia setiap saat dan interaktif. Namun, gagasan ini masih prematur, karena Budiono dan kawan-kawan masih bingung se­ perti apa wujudnya. Terdapat beberapa alternatif matang dan tinggal menjiplak saja. Misalnya memanfaatkan pengetahuan umum netter—pengguna internet—lokal yang ketika membuka internet, pastinya menuju halaman Yahoo!, atau sekadar email-email gratisan lain. Akan tetapi, pi­ lihan yang ada itu sama sekali tidak mungkin dilakukan, lantaran empat sekawan ini sebetulnya lebih unggul di­ bidang jurnalistik daripada teknologi. Mungkin insting jurnalistiklah yang kemudian menyadarkan mereka ada potensi besar dari sebuah teknologi world wide web yang dikawinkan dengan berita-berita. Mereka berkesimpulan harus menawarkan sesuatu yang tak ada di tempat lain, yang khas Indonesia. Pilihannya jatuh kepada situs yang menyediakan berita-berita hebat, susul-menyusul dalam hitungan detik, bukan lagi harian seperti koran. Budiono sangat yakin orang-orang sedang membutuhkan berita macam begini. Gagasan itu sepertinya mencontek gaya breaking news televisi CNN tetapi ala internet. Sama juga seperti Yahoo! yang sebetulnya sudah memakai konsep itu dengan berita update langganan dari pelbagai kantor berita. Sayangnya, mesin pencari ini masih berbahasa

45

M. MA’RUF 46

Inggris. Berapa sih yang menguasai bahasa Inggris di Indonesia? Budiono mengaku mulanya adalah gampang-gam­ pang susah. Dari sisi keunikan memang unik. Jangankan di Indonesia, di seluruh dunia pun waktu itu tidak ada portal macam itu, kata dia. Mula-mula, Budiono menjabat sebagai pemimpin redaksi sekaligus reporter dengan satu tape recorder. Lalu merekrut beberapa reporter, sembari rajin menelepon bekas teman-teman wartawan di media lain untuk ‘menyumbang’ berita. Beritanya tidak panjang-panjang, cukup sepenggal saja. Orang yang sering ‘diteror’ Budiono adalah A Sapto Anggoro, redaktur di harian Republika, yang kerap memberi info baru di lapangan kepadanya. Tidak lama, Sapto justru keluar dari koran itu dan bergabung— sekarang tercantum sebagai dewan redaksi Detikcom. Delapan hari setelah Soeharto lengser, 30 Mei 1998, server Detikcom sudah siap diakses, namun baru mulai on line dengan sajian lengkap pada 9 Juli 1998. Beritaberitanya segar, anyar, dan terus-menerus diperbarui dalam hitungan detik—itulah mengapa dipakai nama Detik. Desain website berbalut warna khas yang agak norak, hijau, biru, dan kuning. Warna ini sampai seka­ rang dipertahankan sebagai trademark. Baru sebulan, ada sekitar 15.000 hits alias yang mengklik situs baru itu. Perkiraan itu akhirnya terbukti karena dalam waktu singkat Detikcom menjadi sangat dicari. Satu tahun kemudian, jumlah pengunjungnya meledak hingga 50.000 orang per hari—sebuah pencapaian luar biasa menimbang pengguna internet yang baru sedikit saat itu. Banyak cerita yang mengungkapkan betapa sulitnya para wartawan Detikcom menyajikan berita-berita itu tepat waktu itu. Belum ada gadget macam blackberry, atau smarthphone yang bisa mengirimkan email berita dengan sekali pencet. Telepon genggam (handphone),

Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

apalagi PDA dan smartphone 11 tahun yang lalu amat mahal, dan terbatas. Satu-satunya jalan adalah memanfaatkan telepon umum dan setiap pagi para kuli tinta Detikcom terlebih dulu diwajibkan untuk masuk ke kantor mengambil beberapa kantung uang recehan. Yang terjadi adalah antrean panjang telepon umum dan para wartawan itu sering kena omel para pengguna telepon. Akhirnya, berita yang dikirimkan disiasati lebih singkat dan pendek. Detikcom melakukan revolusi cara pandang orang mengenai jagad maya, dan melecut demam internet di Tanah Air pada pertengahan 1999—situs forum inter­ aksi sepantarannya adalah Kaskus. Ini mengundang kecemburuan banyak konglomerat media yang me­ rasa kecolongan, tidak memanfaatkan kesempatan emas di waktu yang sulit itu. Lagi pula, membangun sebuah situs tidak perlu modal yang banyak, seperti mendirikan pabrik. Beberapa perusahaan internet yang serius didirikan—tentunya Anda masih ingat—seperti Satunet, Astaga!com. James Riyadi pemilik Lippo Life membuat Lippo e-Net dan Lippostar. Adapula Mweb, Kopitime, dan BolehNet. Bedanya, alumni-alumni portal seangkatan dengan Detikcom, banyak yang didirikan hanya untuk mendapatkan keuntungan sesaat. Investasi awal jor-joran dengan menawarkan pelbagai fasilitas canggih berbiaya besar yang digratiskan seperti email, chatting, kirim pesan singkat (SMS) dan bahkan webfax gratis, untuk mengundang pengunjung. Setelah mencatat banyak hits, mereka melepas kepemilikan di bursa saham untuk mendapatkan dana. Dikepung oleh pemodal besar membuat Agrakom pada akhirnya melepas 15% kepemilikannya pada akhir 1999. Setenar apa pun situs itu, rupanya tidak mampu membiayai berbagai peralatan mahal untuk bersaing, karena pemasukan murni hanya mengandalkan iklan. Investor asal Hong Kong, Pacific Tech membeli 15%

47

M. MA’RUF 48

saham itu seharga USD2 juta. Uang sebanyak itu berpuluh kali lipat dari investasi awal Detikcom yang hanya Rp 40 juta. Dana sebesar itu membuat Detikcom nervous harus seberapa besar pendapatan yang diperoleh kalau investasinya saja sudah hampir menginjak belasan juta dolar? Akhirnya, diputuskan belanja teknologi dikeluarkan seperlunya. Tenaga penjual iklan direkrut. Bahkan, iklan dotcom lain diterima, termasuk dari kompetitor! Awal Januari 2000, Detikcom merilis email gratis, chatting, ruang diskusi, dan menambah sejumlah kanal baru. Ciri khas jurnalistik lebih dipertajam dengan serangkaian kerja sama—di antaranya dengan organisasi kampus untuk memasok berita di daerah. Fasilitas SMS dan webfax gratis yang biaya operasinya mahal ditiadakan. Tidak ada promosi miliaran rupiah. Tidak ada content management system seharga ratusan ribu dolar, tetapi mengembangkannya sendiri. Langkah meniru nan hatihati itu akhirnya bisa menyelamatkan. Di awal milenium, krisis dotcom meledak di Amerika Serikat (dikenal dengan dotcom bubble). Saham-saham perusahaan berbasis teknologi amblas. Kekecewaan investor bahwa jaringan internet ternyata tidak mendatangkan keuntungan seperti yang dijanjikan terbukti sudah oleh kiamat dotcom yang datang lebih cepat. Dari sisi pendapatan, krisis dotcom tahun 2000 telah menyebabkan bukan hanya investor, melainkan banyak pemasang iklan tidak lagi mempercayai media berbasis internet. Satu per satu alumni portal yang tumbuh setelah reformasi gulung tikar karena tidak mampu memiliki penggemar. Maka, mulai awal 2001, situs-situs milik para pengusaha besar itu kehabisan modal (cobalah ketik nama-nama situs yang dulu populer itu, niscaya sekarang sudah tidak ada). Budiono dan kawan-kawan bertahan dengan modal pas-pasan setelah menutup kembali fasilitas “ikut-ikutan

Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

itu”. Detikcom masih memiliki napas hasil menyisakan modal dan sedikit dari penghasilan iklan—Oktober 2000 pendapatan iklan mereka mencapai lebih dari Rp 500 juta. Berita yang tak banyak pembacanya dan tak me­narik pemasang iklan dihentikan. Serangkaian bidang usaha baru dirilis—memanfaatkan demam teknologi se­ luler yang mulai menjadikan handphone seperti kacang goreng, laris manis. Memasuki 2003, terlihat bahwa dari beberapa bidang usaha baru, mobile data (layanan pengiriman berita melalui SMS) adalah yang paling cepat memberi hasil. Selanjutnya, Detikcom melenggang sendirian tanpa lawan. Khalayak media mengacungkan jempol, lantaran media ini mungkin satu-satunya yang bisa bertahan pada era industri media yang mulai bergerak ke arah konglomerasi. Ada Kompas Gramedia, Media Group, Para Group, MNC, Jawa Pos Group, dan Visi Media Asia. Namun, yang terjadi pada akhirnya adalah raksasaraksasa ini justru mengekor kepada semut. Kompas, mereborn Kompas.com-nya, MNC mendirikan Okezone. com, Visi Media milik Grup Bakrie melahirkan Vivanews. com, Tempo Inti Media mengaktifkan Tempointeraktif. co.id. Ini belum termasuk portal baru lain, seperti Inilah. com, Wartaone.com, dan lain-lain. “Dulu pun kami menghadapi pemain dengan modal besar, tapi Detik bisa menghadapinya. Bisnis ini dibangun dengan semangat jurnalistik, bukan dengan uang dan modal,” kata Budiono menanggapi banyaknya portal berita yang muncul. Konon, seorang politisi pernah mendatangi Budiono di kantornya dengan menawari sebuah koper berisi Rp 300 miliar untuk Detikcom. Budiono hanya ber­ kata, “Datanglah ketika Anda sudah membawa tiga triliun!”[]

49

Kem Chicks

Paksalah Orang-orang Membeli Secara Sukarela

P

akar manajemen dan kewirausahaan akan sulit menemukan nama selain Bambang Mustari “Bob” Sadino di urutan teratas orang sukses yang memulai usaha dari nol di negeri ini. Bob—panggilannya—juga adalah orang kaya yang langka dalam mengumpulkan pundi-pundi uangnya. Dia menyandang dua status yang banyak dimiliki orang di negeri ini; pengusaha dan petani. Benar bahwa ada banyak pengusaha dan petani di sini, tetapi Bob mungkin pionir pengusaha yang sukses dari berjualan produk pertanian dan peternakan. Kunci sukses Bob sebetulnya adalah ide-ide brilian­ nya soal menciptakan pasar, atau dalam bahasa teori ekonominya supply creates its own demand­. Bob yang mengaku bodoh sudah terbukti sukses menerapkan Hukum Say ini. Dimulai ketika dia menemukan cara paling jitu menjual sekilo kangkung lebih mahal dari harga daging yang ada di pasar tradisional. Bob memasarkan sayur-sayuran, berkualitas terbaik kepada para tetangga-tetangganya langsung dari pintu ke pintu. Bersama istrinya, berkeliling dengan gerobak di kawasan Kemang, Jakarta Selatan yang banyak didiami ekspatriat, pada 1970-an. Bob memanfaatkan kesulitan 50

Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

orang-orang bule yang tidak mudah mencari bahan pangan berkualitas di pasar-pasar Jakarta. Tetapi, produk fenomenal Bob yang pertama bu­ kanlah sayur-mayur, melainkan telur ayam. Mula-mula adalah ayam telur dalam negeri dan ayam impor. Ide itu mengalir begitu saja, karena Bob yang pernah melihat ukuran telur lebih besar dari telur ayam lokal, ketika tinggal di Amsterdam, merasa telah menemukan ide yang lebih baik. Tidak ada satu pun telur ayam Indonesia yang bisa berukuran lebih besar dari telur ayam bule. Dia berkirim surat kepada temannya di negeri Belanda untuk dikirimi anak-anak ayam petelor dan beberapa pekan kemudian anak-anak ayam pedaging. Jadilah Bob yang tidak pernah memiliki pengetahuan soal ternak itu menjadi peternak ayam petelur dan pedaging, atau yang sekarang tenar dengan nama broiler. “Sayalah orang pertama yang mengenalkan telur kepada bangsa ini,” kata Bob bangga. Telur-telur berukuran setengah lebih besar dari telur lokal itu ada yang berwarna cokelat dan putih sehingga sudah mengundang selera. Mula-mula memang tidak laku untuk konsumen lokal, tetapi sangat diminati untuk keluarga ekspatriat. Apalagi, dia membungkusnya dalam kemasan plastik disertai setangkai bunga anggrek. Ketekunan Bob menjaga hubungan baik dengan kritik-kritik pedas pelanggan yang dijawab perbaikan kualitas, membuat penjualan telur yang semula hanya satu-dua kilogram, terus melonjak. Dagangannya kemu­ dian semakin beragam, tidak hanya telur tetapi sayurmayur, merica, garam, dan belakangan berkembang ke bisnis daging olahan seperti sosis. Pada fase ini, Bob menganggap dirinya telah menemukan pekerjaan sebagaimana dia harapkan, dari pada bekerja untuk orang lain atau menghambur-hamburkan uang warisan. Bob muda adalah seperti impian banyak pe­muda, young and rich tetapi rebel. Dia lahir di Tanjung­

51

M. MA’RUF 52

karang, Lampung, Maret 1933. Sejak kecil dia hidup berkecukupan dari keluarga pegawai pemerintah Hindia Belanda. Ayahnya, Sadino, yang menjadi kepala sekolah SMA di Tanjungkarang meninggal saat dia berusia berusia 19 tahun. Sebenarnya Bob adalah anak yang cerdas, tetapi dia tampak mendewakan kebebasan. Setelah lulus SMA di Jakarta, sekitar 1953, Bob bekerja di Unilever selama beberapa bulan. Terpengaruh ajakan teman, dia memutuskan berhenti dan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Status mahasiswa jaket kuning hanya disandangnya beberapa bulan, dia keluar lagi dan kembali bekerja di Unilever. Setelah beberapa tahun bekerja di perusahaan asal Inggris itu, Bob menemukan kabar baik untuk menya­ lurkan jiwa petualangannya. Dia mendengar sebuah perusahaan pelat merah bidang pelayaran, Djakarta Lloyd, membutuhkan pegawai baru. Bob diterima dan dengan kapal uap, SS Jakarta Raya dan SS Djatinegara milik perusahan itulah, Bob merasakan dinginnya salju Eropa. Selama sembilan tahun dia tinggal di Hamburg, Jerman dan Amsterdam, Belanda. “Tahun 1964 di Eropa, saya masih banyak main, ngabisin uang, karena saya dapat uang warisan. Jadi, bukan untuk keperluan bisnis,” kenang Bob. Bob mendirikan toko Kem Chick pertamanya di Kemang pada 1969—nama ini menampakkan jelas per­ paduan antara lokasi dan ayam. Produk sayur-mayur menyusul sekitar 1982 dengan jenis yang sama sekali belum dikenal konsumen lokal. Dia mengenalkan sayurmayur yang ditanam dalam sebuah pot berisi air, tanpa tanah atau sekarang dikenal dengan nama hidroponik. Ketika gaya cocok tanam yang tidak lazim itu sudah ramai dibicarakan dan menjadi demam baru petani berteknologi tinggi, dia memilih meninggalkannya. Bob kemudian memilih menanam sayur-mayur yang benarbenar bersih dari pestisida atau organik—murni dari alam. Bob pula yang mula-mula membanjiri tokonya

Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

dengan impor berton-ton ragam sayur-mayur segar langsung dari Eropa dan Jepang. Sayur-mayur yang berukuran rata-rata jumbo, berbentuk tidak lazim di mata para ibu-ibu domestik itu didatangkan untuk memenuhi kekangenan para pelanggan ekspatriat. Dia memasarkan jagung manis, di saat orang ti­ dak tahu ada jagung muda yang rasanya seperti gula. Memasarkan buah yang masih famili cucurbitaceae, genus cucumis, atau kita kenal sebagai melon yang kabarnya berasal dari daerah tropis Afrika. Dari Jepang didatangkan pula terong berukuran jumbo yang berwarna-warni, putih, hitam, dan jingga. Orang-orang lokal juga terheran-heran dengan cabe berbentuk cebolgendut, yang ragamnya seperti lampu lalu lintas; Paprika. Selain impor, Bob berangsur-angsur menanam sendiri buah segar dan sayur-mayur di lahan ratusan hektare di Jawa. Dia juga memproduksi sendiri aneka ragam daging beku berbentuk sosis, burger, bakso. Tidak kurang dari 1.300 karyawan menggantungkan hidupnya dari usaha milik Tuan Sadino ini—belakangan dia lebih memilih pola kemitraan dengan petani dan peternak dan lebih berkonsentrasi pada pemasaran. Sayur buah, telur, dan daging beraneka jenis itu dipajang begitu saja di gerai Kem Chick, tanpa perlu merancang promosi yang aneh-aneh. “Saya suruh orang mencoba jagung manis saya, kemudian ada permintaan saya lanjutkan. Begitu juga orang saya suruh coba melon saya, terus dibeli. Dari permintaan ke permintaan begitu terus-menerus. Begitu pasar yang saya ciptakan ....” kata Bob. Tidak ada biaya promosi gila-gilaan di media yang menghabiskan dana besar, semuanya berjalan lambat tetapi menanjak. Catatan penjualan Kem Chick di awal 1985 menunjukkan, rata-rata per bulan antara 40-50 ton daging segar, 60-70 ton daging olahan, dan 100 ton sayuran segar ludes dibeli pelanggan.

53

M. MA’RUF 54

Supermarket spesialis sayur-mayur, buah, dan da­ ging itu melenggang sendirian puluhan tahun tanpa saingan berarti. Bob yang tampak tidak memiliki am­ bisi besar, hanya membuka satu gerai dia beralasan, “Rumah biasanya cuma ada satu. Kalau banyak, nanti jadi vila dan apartemen.” Sifat ini di luar kelaziman para pengusaha besar yang begitu sukses, punya penyakit kesetanan berekspansi dengan mempertaruhkan diri ke bank, untuk membangun gerai-gerai baru, atau di­ waralabakan biar cepat menjamur. Toh, keyakinan Bob berubah setelah bertemu Suzy Dharmawan yang anak pendiri jaringan ritel Matahari— ikon peritel Indonesia, Hari Dharmawan. Keduanya menjadi mitra mengembangkan gerai Kem Chicks di Pacific Place Sudirman. Ini pun setelah satu-satunya gerai di Kemang itu mendapat saingan dari pemain baru, Ranch Market, yang muncul pada 1998. Bob kini adalah pemilik tunggal Kems Grup (KG), perusahaan yang dibangunnya lebih dari 30 tahun silam. Dari berjualan telur, dia kini menguasai agrobisnis dari hulu ke hilir melalui Boga Caturrata (ritel/Kem Chicks), Kemang Foods Industries (produksi pengolahan ma­ kanan) dan Kems Farm Indonesia (perkebunan). Boga Caturrata bahkan sudah berekspansi ke luar jalur per­ tanian, lewat beberapa anak usaha, yaitu Lambung Andal (katering, restoran, kafe), Andal Citra Promotion (percetakan dan majalah), serta Kemang Nusantara Travel (agen perjalanan). Dalam berbagai kesempatan, Bob selalu mengatakan, tidak ada ilmu manajemen canggih yang digunakannya saat merintis bisnis. Dia lebih sering menyebutnya se­ bagai tindakan nekat dan bodoh, tetapi berhasil begitu saja. “Hal-hal bodoh itu” diajarkan dalam banyak ke­ sempatan seminar-seminar kewirausahaan, yang men­ jadikannya ikon sukses tanpa gelar. “Saya hidup dari fantasi,” kata Bob melukiskan keberhasilan usahanya.

Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

Perjalanan bisnisnya sudah banyak ditulis dan dikutip dalam teori-teori manajemen kontemporer. Sjamsoe’oed Sadjad menulis buku berjudul Agribisnis yang Membumi - Kisah Sukses Bob Sadino yang diterbitkan Grasindo, tahun 2001. Sementara Edy Zaqeus menulis buku Bob Sadino: Mereka Bilang Saya Gila! yang diterbitkan Kintamani Publishing, 2009. Sosok di balik Bob yang keras kepala dan mem­ buatnya tidak cengeng atas duka lara pada saat me­ mulai usaha itu adalah perempuan muda cantik, Soelami Soejoed yang bekerja sebagai sekretaris di Bank Indonesia cabang New York. Mereka berpacaran beberapa tahun setelah pertemuan mengesankan di Amsterdam, dan memutuskan pulang ke Jakarta untuk menikah pada 31 Juli 1967. Saat itu Bob dan Soelami— yang kemudian dikaruniai dua anak perempuan Myra Andiani dan Shanti Dwi Ratih—masih terikat kerja di Jakarta Lyod dan Bank Indonesia. Entah mengapa, Bob memutuskan segala macam kemewahan itu dan memilih menetap di Jakarta dan berhenti bekerja untuk memulai segalanya dari nol—istrinya hanya menjawab dengan diam keputusan gila ini. Bob menjual satu dari dua sedan Mercedes buatan 1960-an, hasil bekerja di Belanda untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan. Satu lagi dipakai untuk taksi gelap. Bob sendiri sopirnya. Masa-masa pahit adalah ketika sedan mobil satusatunya sumber penghasilan itu disewakan dan mengalami kecelakaan. Meski kehilangan sumber penghasilan satusatunya, Bob masih berkeras tidak mengizinkan istrinya kembali bekerja, dan memilih menjadi kuli bangunan dengan bayaran Rp 100.000 per bulan sampai tahun 1970. Dia memang mengaku tidak pernah menyesali keputusan berhenti bekerja setelah menikah, tetapi Bob yang keras kepala mengalami depresi hebat setelah kehilangan mobil itu. Sampai suatu saat dia berkenalan

55

M. MA’RUF

dengan Sri Mulyono Herlambang yang memberinya 50 ekor ayam untuk dipelihara, sebagai obat depresi katanya. Mulyono sendiri bukan sembarang orang, tetapi bekas Panglima Angkatan Udara TNI yang pensiun. Hadiah obat depresi dari Mulyono itulah yang memberi jalan sukses bagi pria yang tidak bisa melepaskan celana pendeknya ini.[]

56

National Gobel

Sebuah Ide Besar Perlu Bantuan Orang Besar

W

alapun Bapak Televisi dinisbatkan kepada Paul Nipkow, seorang mahasiswa di Berlin yang menemukan gagasan mengenai televisi sebagai transmisi elektrik dari elemen gambar dan suara secara simultan pada 1884, tetapi semua orang Indonesia yang menikmati layar televisi harus berterima kasih kepada Thayeb Mohammad Gobel. Gobel yang lahir di Gorontalo, 12 September 1930, menciptakan radio transistor per­ tamanya pada usia 24 tahun dan 8 tahun kemudian membuat “kotak ajaib” agar masyarakat Indonesia bisa menyaksikan tayangan spektakuler Asian Games IV di Jakarta dari rumahnya. Pada waktu itu, televisi adalah barang yang sangat langka dan benda mewah. Orangorang tua bercerita bagaimana di pelosok daerah, orang harus berkerumun di halaman kantor kecamatan atau kabupaten untuk menyaksikan siaran televisi. Gobel semula adalah tengkulak pisang di kampung halamannya. Setelah lulus Fakultas Ekonomi Universitas Krisnadwipayana, dia meniti karier dari tenaga admi­ nistrasi di Makassar, menjadi salesman di Dasaad Musin Concern, dan tercatat pernah menjadi kepala cabang di Fasco Surabaya. Tidak banyak diketahui, bagaimana 57

M. MA’RUF 58

perjalanan Gobel dari Makasar, Jawa Timur dan kemu­ dian ke Jakarta. Yang pasti, pada 1954 dia sudah men­ dirikan perusahaan Transistor Radio Manufacturing dengan pabrik pertama di daerah Cawang, Jakarta, dan menamai radio transistor pertamanya dengan merek daerah itu, Cawang. Radio itu berbentuk kotak, dengan tombol frekuensi besar di sudut kanan atas, dan tombol satu lagi untuk volume. Orang-orang tua saat ini, masih percaya kejernihan suara radio Cawang tidak pernah tersaingi. Dialog yang banyak dikutip sampai saat ini adalah ketika suatu kali Presiden Soekarno menanyakan kepada Gobel alasan memilih usaha pembuatan radio. Dia men­ jawab, agar rakyat bisa mendengarkan pidato luar biasa Presiden Soekarno. Jawaban itu menyenangkan hati Bung Karno. Sekitar 1 juta unit radio transistor Cawang berhasil diproduksi dan dipasarkan dalam kurun wak­ tu 1954-1964. Oleh pemerintah, Gobel diajukan se­ bagai penerima beasiswa Colombo Plan—sebuah orga­ nisasi bentukan negera maju dan berkembang untuk menyekolahkan anak-anak muda negara miskin ke Jepang. Di negeri Sakura itu, mahasiswa dari tanah bekas jajahan yang berusia 27 tahun itu mendapat ke­ sempatan bertemu secara langsung dengan pendiri dan pemilik Matsushita Electric Industrial Co. Ltd, Konosuke Matsushita yang kala itu sudah berusia 64 tahun. Anak muda dari bekas negeri jajahan Jepang ini cukup memberi kesan mendalam kepada Konosuke yang memulai usahanya pada pada 1927 sebagai produsen lampu sepeda bermerek National. Saat itu, Matsushita adalah produsen elektronik terbesar di Jepang dan pelbagai produk elektronik ke­ luarannya sudah dipasarkan di beberapa negara, sehingga amat terkenal di Amerika dan Eropa—Konosuke menjadi sampul majalah Time edisi 23 Februari 1962, dengan judul Industrialist Matsushita. Dia orang di balik Sanyo Electric yang didirikan adik iparnya.

Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

Pertemuan industrialis beda usia itu berlanjut ke tahap yang lebih serius, dengan kesediaan Konosuke memberi Gobel bantuan teknik untuk pengembangan teknologi baru; televisi. Bagi Matsushita sendiri, ini ada­ lah peluang ekspansi yang luar biasa, setelah hubungan bilateral Jepang-Indonesia yang memburuk. Pertemuanpertemuan dengan Konosuke menambah pengetahuan Gobel mengenai televisi. Ini tampak seperti botol yang menemukan tutupnya, sebab Bung Karno sedang merancang sebuah perhelatan akbar, Asean Games yang ditargetkan bisa menjadi hiburan oleh seluruh rakyat yang tengah kesusahan. Setelah pertemuan dengan Presiden, Gobel mengusulkan kepada Menteri Penerangan Maladi agar membangun pemancar televisi di Indonesia. Televisi Republik Indonesia pun didirikan pada 1961. Gobel mendapat berkah luar biasa dari usulan ini dan segera menghubungi Konosuke. Tak lama kemudian, televisi merek National tiba di Tanjung Priok. Sejumlah tenaga teknik dari Jepang didatangkan ke Jakarta un­ tuk merakitnya. Order dadakan pertama datang dari pemerintah yang memesan 10.000 unit dan harus ram­ pung sebelum Asean Games dimulai. Pesanan dapat dise­ lesaikan dengan televisi pertama diberikan kepada ibu negara, Fatmawati Soekarno. Selama 10 tahun kemudian, kerja sama bantuan teknik itu terus ditingkatkan berkat sukses penjualan televisi National. Tetapi, Gobel tidak sendiri mengurus bisnis yang sudah semakin menggelembung ini, ada Barlianta Harahap dan Lukman Hakim sebagai tangan kanan dan kirinya. Kesepakatan besar diambil kedua belah pihak pada 27 Juli 1970 dengan mendirikan perusahaan patungan yang mengambil nama merek televisi Konosuke dan marga Gobel, National Gobel. Dengan modal awal USD 15 juta (40% Gobel, 60% Matsushita) dan Gobel

59

M. MA’RUF 60

menjabat direktur utama. Empat tahun kemudian, didirikan Met Gobel, sebagai agen impor produk dari Matsushita ke Indonesia. Met juga mengimpor produkproduk elektronik yang tidak diproduksi oleh National Gobel. Sabtu, 21 Juli 1984, beberapa jam setelah menye­ lesaikan salat Isya dalam posisi berbaring, Gobel meninggal akibat komplikasi penyakit jantung, gagal ginjal, dan tekanan darah tinggi. Sejam sebelum meng­ embuskan napas terakhir, dia mengumpulkan ketujuh anaknya dari istrinya yang pertama (Annie Nento, wafat tahun 1968). Orang-orang merasa berduka atas wafatnya industrialis generasi pertama republik ini, termasuk Presiden Soeharto dan istrinya yang tampak hadir melayat. Sebuah kisah nyata yang menggambarkan kecintaan karyawannya kepada Gobel seperti dialami sesorang asal Makassar bermarga Gobel yang naik angkutan kota ke arah perumahan Lembah Hijau di daerah Cimanggis-Depok—tahun lalu. Pengemudi angkot jurusan Kampung RambutanCisalak itu adalah seorang pensiunan karyawan pabrik National Gobel di daerah Gandaria, Jakarta Selatan. Sopir itu menebak bahwa si penumpang yang bernama Amril Taufik Gobel itu adalah saudara pendiri National Gobel, lantaran menyebut akan turun di daerah Lembah Hijau. Dia bercerita, Gobel itu begitu disiplin, rendah hati dan sangat memperhatikan kesejahteraan karyawan. “Beliau menjadi panutan sekaligus kebanggaan kami semua,” kata si sopir. Ketika turun dari angkot, si sopir itu menolak ongkos yang diberikan. Baginya, kata penge­ mudi itu, adalah sebuah kehormatan mengangkut salah satu anggota keluarga dari pemilik perusahaan di tempat saya pernah bekerja dulu. Amril—cucu dari pamannya Gobel—tak pernah bisa menghilangkan pengalaman itu. “Saya terpana dan baru tersadar saat angkot yang tadi saya tumpangi berlalu,” kata dia.

Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

Sepeninggalan Gobel, posisi puncak National Gobel silih berganti. Hubungan antara Matsushita dan Gobel juga mengalami pasang surut kepemilikan. Ini tampak pada beberapa pergantian nama perusahaan, seperti 1980 berubah menjadi Gobel Dharma Nusantara, dan 1991 berubah menjadi National Panasonic Gobel dan akhirnya mulai 1 April 2004 berganti nama menjadi Panasonic Gobel Indonesia (PGI). Menurut Presiden Direktur PGI Ichiro Sagunama, perubahan terakhir terjadi seiring dengan perubahan komposisi pemegang saham yakni 60% Matsushita Electric dan 40% Gobel International. Sementara Rachmat Gobel—anak kelima dari tujuh anak Gobel—menjadi komisaris utama. Gobel yang aktif di Kamar Dagang dan Industri ini sering mengampanyekan antipenyelundupan ba­ rang elektronik asal China yang membanjiri pasar dalam negeri. Saat ini, lewat Gobel International yang dipimpinnya, generasi kedua ini mulai merambah bisnis telekomunikasi, melalui kemitraan dengan Qatar Tele­ com, yang kini menjadi pengendali Indosat (Rachmat Gobel saat ini juga menjabat Komisaris Indosat). Se­ mentara Matsushita Electric Industrial Ltd yang sudah berganti menjadi Panasonic Corporation adalah peng­ huni urutan ke-59 deretan 500 Forbes Global 2007. Pada 2004, penjualan PGI mencapai Rp 2,5 triliun dan menguasai 20% pasar elektonik nasional. Mereka menghadapi tekanan besar dari produk-produk asal Jepang yang lain, Korea, Taiwan, dan Eropa—yang masuk ke pasar Indonesia sejak awal 1990-an. Dari sekadar radio dan televisi, kini duet merek “NationalGobel” nyaris ditemukan untuk semua perabotan elek­ tronik rumah tangga, mulai dari alat perekam, hair dryer, sampai kulkas.[]

61

4848

Jadilah yang Pertama

S

angat sulit membayangkan untuk bisa memiliki usaha taksi antarkota atau travel yang trayeknya bukan la­ gi antarkota seperti Jakarta-Bandung, melainkan antar­ kota di Arab Saudi atau di Negeri Paman Sam. Dulunya obsesi itu juga tidak pernah terbayangkan oleh Irawan Sarpingi yang anak juragan petani dan pedagang di Bandung. Namun, 4848 yang didirikan Irawan setelah perang kemerdekaan, kini bukan lagi travel dengan jalur tetap Bandung-Jakarta, tapi telah menghubungkan kotakota di Singapura, Kuala Lumpur-Malaysia, JeddahSaudi Arabia, Los Angeles dan New York. Pada awal 2007, mereka sudah mempersiapkan jalur di Toronto, Vancouver, Las Vegas, San Diego, San Francisco, Dubai dan Kairo. Lahir di Singaparna, Jawa Barat, 13 November 1926, Irawan kecil sudah menyenangi delman dan gerobak kuda milik orangtuanya—dia kerap ikut ayahnya, M Sarpingi mengantarkan barang dan orang ke luar kota. Saat itulah Irawan kecil mulai memahami bahwa sarana angkutan sangat diperlukan banyak orang. Konsep transportasi itu semakin terasah dengan 62

Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

keterlibatannya pada masa perang kemerdekaan dan pecahnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Madiun pada 1948. Dalam peperangan, mobilisasi para pejuang rupanya sangat menentukan kemenangan sebuah pertempuran. Mobilisasi tentara pada masa perang telah memberi ide Irawan untuk menawarkan pelayanan premium antar jemput door-to-door dari rumah penumpang sampai tempat tujuan. Pada 1958, Irawan mendirikan perusahaan jasa angkutan bernama 4848 dengan modal satu unit Chevrolet Apache, bantuan dari komandannya, Mayor M. Riva’i dan Letkol Imam Sukarto. Ia bertindak sebagai sopir, dibantu karyawannya yang pertama, Hamidan. Trayek pertama adalah Bandung-Jakarta dengan pemesanan tiket di Bandung beralamat di Padalarang, sementara di Jakarta di Jalan Trunojoyo. Soal nama, Irawan memakai nomor telepon rumahnya 4848, karena terlanjur familier bagi penumpangnya. Layanan ini amat disukai, mengingat moda trans­ portasi masih sangat minim sementara orang-orang kaya di Jakarta dan Bandung takut berlama-lama di terminal atau kemalaman di jalan. Permintaan di segala penjuru dan bisnis travel yang masih perawan membuat Irawan dapat dengan mudah membuka trayek-trayek baru seperti ke Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Solo, dan Yogyakarta. Sementara untuk memenuhi kebutuhan armada tambahan, dimanfaatkan mobil dosen-dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) dan mobil menganggur milik sekolah tentara dan polisi untuk mendapatkan komisi 10% pada setiap mobil yang disewakan. Tahun 1971 Irawan sekeluarga pindah ke Jakarta dan mengalihkan pusat usahanya ke Jalan Prapatan. Berangsur-angsur, 4848 meremajakan armadanya un­ tuk memanjakan konsumen. Mobil Chevrolet diganti dengan jenis Holden Kingswood—karenanya 4848 turut menjadikannya mobil itu sebagai legenda otomotif.

63

M. MA’RUF 64

Sayangnya, mobil ini boros bahan bakar dan lambat laun menjadi persoalan serius. Khususnya pada 1982, ketika harga premium naik Rp 100 menjadi Rp 240 per liter. Untuk jarak tempuh pergi-pulang Jakarta-Bandung, Kingswood menghirup premium Rp 12.000. Sementara mobil berbahan baku solar seperti Mercy diesel 240D hanya butuh Rp 2.000 rupiah. Dari waktu ke waktu, masalah bahan bakar memang selalu menjadi masalah dan menjadi musuh utama. Ini masalah, tetapi servis-servis tambahan seperti inisia­tif kenek 4848 yang sigap membantu penumpang de­ngan bawaan, cukup menenangkan konsumen de­ ngan tarif—yang terus disesuaikan. Setiap hari, Holden Kingswood 4848 rata-rata masih sanggup mem­ berangkatkan 600 orang ke Bandung. Padahal, tiap penumpang dipungut tarif Rp 5.000—dua kali tarif KA Parahiyangan atau 10 kali karcis bus antarkota. Rupanya, Irawan cukup pintar dengan memberikan sejumlah potongan diskon tarif hotel yang efektif merayu penumpang-penumpang dari Bandung yang hendak ke Jakarta. Sampai sekarang, potongan-potongan ini masih diteruskan, seperti untuk penumpang 4848 yang singgah di executive lounge dan restoran di Bandara Soekarno Hatta, pastinya mendapat bonus diskon. Sejak 2002, 4848 tidak lagi melenggang sendiri. Lebih-lebih setelah Jalan Tol Cikampek-PurwakartaPadalarang (Cipularang) dibuka. Saingan tidak hanya datang dari pemain profesional dan travel amatiran, tapi juga dari pelanggan sendiri. Buat apa naik mobil orang kalau ke Jakarta cuma dua jam, begitu pikir mereka. Untuk masalah ini, biarlah generasi kedua yang mengatasinya—Irawan wafat awal tahun 2009, setelah mengidap kanker kantung kemih dan tumor otak. Ratusan pelayat menghadiri pemakaman pejuang, pebisnis dan politisi lokal ini.

Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

Walapun telah lama dipersiapkan sebagai putra mahkota, tidak mudah bagi Dadan Pahlawan Irawan Sarpingi langsung nyetel dengan gaya “kolonialisme” ayahnya. Dadan yang sekolah di Jurusan Bisnis Inter­ nasional Universitas San Diego, Amerika Serikat, tidak langsung mendapatkan kursi direktur utama setelah lulus pada 1990. Ayahnya sempat mengujicobakan kunci kontak, alias disuruh mengangkut penumpang. Lepas jadi sopir, diberi tugas belajar menghitung jumlah paket barang yang ada dan masih dibebani sejumlah pekerjaan kasar. “Model mendidik yang dipakai bapak saya itu berpola Jepang,” ujar Dadan. Buahnya adalah 4848 yang go international. Sejak Juli 2006, Dadan membawa taksinya ke berbagai kota mancanegara. Membayangkan logo 4848 di kaca de­ pan mobil yang berpelat asing di negaranya tentu tidak sembarangan. Dadan mengaku butuh dua tahun untuk memulai persiapan, dari menguji pasar, memilih mitra bisnis, menyiapkan sumber daya manusia, hingga membangun prosedur standar. Karena perbedaan iklim usaha, 4848 tidak mengen­ dalikan penuh bisnisnya di luar negeri. Di Singapura dan Malaysia investor lokal memiliki dan mengelola sendiri taksi 4848, sementara Dadan hanya menentukan standar minimum, seperti pelayanan dan kualifikasikualifikasi mobil yang layak pakai. Untuk model mirip franchise ini, 4848 mendapatkan bagian untung 30%. Sementara model kedua adalah kerja sama modal atau usaha patungan, seperti di Arab Saudi, AS, dan Kanada. Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah mencoba layanan 4848 di Arab Saudi yang menggandeng Shaayer, anak usaha Grup Showlaq, perusahaan transportasi milik pengusaha lokal yang berpengalaman 28 tahun pada bisnis serupa di sana.[]

65

C59

Percayalah, Ide Original Akan Lebih Laku

K

etika kuliah di Bandung, Marius Widyarto sebe­ narnya hanya ingin membuktikan bahwa dia bisa membuat sendiri sebuah kaos dengan desain yang lebih bagus. Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Parahyangan ini agak memandang aneh kegemaran teman-temannya pada desain-desain gambar asing di kaosnya. Beberapa teman di kampus sering tampak over acting dengan kaos bergambar Patung Liberty, artis bule atau sekadar gedung-gedung pencakar langit New York. Maurius yang memiliki keahlian menggambar di atas rata-rata dan menguasai cara-cara menyablon itu membuat sebuah desain imitasi yang hasilnya malah jauh lebih bagus. Gara-gara ini, dia kemudian lebih terkenal di kampus sebagai jago desain kaos. Sampai dengan bekerja di sebuah perusahaan kontraktor, Marius masih dikenal sebagai pembuat kaos yang bagus. Hobinya ini dibuat serius setelah menikahi pacarnya, Maria Goreti Murniati. Kado pernikahan dilego untuk modal membeli satu mesin jahit dan dua mesin obras. Di rumah petakan yang terletak di Gang Caladi 59, di salah satu sudut Kota Kembang, kedua pasangan muda 66

Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

itu mulai mengepak mimpi. Anda bisa mengerti, bahwa nama C59 adalah singkatan gang bernama Caladi 59 itu. Marius memulai memproduksi kaos C59 dari orderan sekolah-sekolah dan instansi pemerintah untuk kaoskaos olahraga. Desain gambar kaos itu masih disablon memakai tinta biasa, sehingga kualitasnya masih kurang bagus, kasar, dan bila dikucek pada waktu mencuci membuat gambarnya semakin kabur. Tapi, memang baru teknologi itulah yang tersedia. Baru pada 1985, teknologi cetak timbul memakai teknik sablon karet dan separasi warna membuat desain-desain C59 tampak semakin bagus. Meskipun produksinya masih memakai sistem order pesanan, bersama Maria, Marius mulai bergerilya mencari klien. Sebuah kebetulan membuatnya tersadar. Dia baru tahu banyak orang yang menyukai desain unik C59, ke­ tika melempar stok barang di gudang yang tidak diambil oleh pemesan dan sisa kaos bekas sortiran ke toko-toko eceran. Barang-barang itu rupanya laku keras dan memicu serangkaian pemesanan dari distro (distribution outlet) yang menjamur di Bandung. Dia lantas memindahkan pabriknya dari Gang Caladi ke jalan Tikukur No. 10 Bandung, dan memborong beberapa rumah di sana untuk dijadikan sebagai kantor sekaligus showroom pertama. Seorang konsumen yang tertarik dan mengubah cara kelola C59 adalah Robbie Djohan, Direktur Bank Niaga. Dari kesan puas atas pesanannya, Bank Niaga memberikan kredit bank untuk memperluas pabrik di atas tanah seluas 4.000 meter persegi di daerah Cigadung, Bandung. Tahun itu Maurius mengangkat dirinya se­ bagai Direktur Utama PT Caladi Lima Sembilan dan membuka sejumlah toko di Jakarta, Balikpapan, Bali, Yogyakarta, Ujung Pandang, Medan, Padang, Lampung, Malang. Dia juga memasarkan kaosnya di Ramayana dan Matahari Department Store. Pada periode inilah, orientasi desain mulai berubah dari basic t-shirt atau

67

M. MA’RUF 68

kaos oblong menjadi fashion apparel dengan segmentasi kalangan remaja usia 14-24 tahun. Kekuatan desain kaos Maurius adalah kreativitasnya yang orisinal. Untuk itu, bagian tim kreatif diberikan sedikit privilege agar gagasan-gagasan mengalir. Mereka dibolehkan tidak masuk kerja, menghabiskan jam kerja dengan berjalan-jalan ke mana mereka suka, asalkan ketika kembali sudah mendapatkan ide desain baru. Se­tiap desain yang akan dikeluarkan harus dipresen­ tasikan lebih dulu, dipilih, baru dilanjutkan dengan proses pro­duksi. Dia memiliki tim riset dan desain yang diwajibkan membaca arah tren. “Intinya, kreativitas jangan pernah mati dan kita harus jeli melihat pasar,” kata Maurius yang sekarang menempatkan C59 seperti perancang-perancang fashion dengan edisi-edisi khusus. Dia mulai menggarap pasar khusus yang mengangkat tema-tema suku-suku di Indonesia ke dalam desain kaos, misalnya suku Asmat. Kemudian isu-isu aktual, seperti korupsi, batik, dan wayang, atau peristiwa yang menjadi sorotan publik. Begitu pula dengan tema-tema sosial seperti gambaran kota Bandung yang terkenal dengan kecantikan kaum hawanya. Untuk konsumen luar negeri, mula-mula ceruk pasar ekspor ini diketahui dari stafnya yang bersekolah di luar negeri dan membawa oleh-oleh kaos C59. Setelah survei mendalam, pasar ekspor rupanya gurih. Karena ada empat musim, desain C59 tidak hanya yang menempel pada kaos, tapi juga sweater dan jaket. Krisis moneter 1997 sempat memukul C59 dan sebanyak 1.500 orang karyawan terancam menganggur. Untuk mengatasi penurunan order, Maurius bersedia membuat kaos orderan pengusaha lain, baik sampai jadi atau hanya sekadar order cetak, jahit, atau sekadar obras kaos. Sementara untuk menekan biaya produksi, dia mengeluarkan kebijakan yang meminta karyawannya bekerja di rumah masing-masing agar menghemat biaya

Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

listrik. Bagaimana Maurius memerhatikan karyawannya adalah dengan cara mendirikan koperasi yang sekaligus menjadi mitra usaha dengan omzet saat ini sekitar Rp 600 juta. Sekitar tahun 2000, C59 mulai memasarkan produknya ke Eropa Tengah. Di mancanegara, C59 me­ miliki puluhan showroom yang tersebar di Singapura, Malaysia, Timur Tengah dan bahkan kini sudah me­ rambah Slowakia, Polandia, dan Republik Ceko. Dia adalah orang yang ekspresif. Maurius akan senang bila orang-orang datang untuk menyaksikan bagaimana dia mewujudkan ide menjadi sebuah barang. Dia membuat divisi khusus untuk mengelola jadwaljadwal kunjungan turis berwisata ke pabrik C59. Karena kreativitas tidak bisa dicuri, dengan senang hati para pemandu akan memperlihatkan bagaimana proses kreatif mulai dari pembuatan desain, penyablonan, menjahit, sampai proses pengepakan kaos C59. Ini adalah salah satu cara untuk menambah klien. C59 juga memberikan tempat magang di pabrik dan tampak membuatnya terbantu mendapatkan staf yang cerdas. Kini, C59 bertahan dengan 300 karyawan resmi dan ratusan rekanan. Omzet mencapai 50.000 lembar kaos per bulan dan pada musim musim panen seperti pemilihan kepala daerah Bandung tahun lalu, C59 bisa mendapatkan pesanan sampai 8 juta potong. Sekarang Maurius menikmati kekayaannya dengan sesekali melakukan kegiatan touring Harley Davidson— dia adalah Ketua Harley Davidson Club Indonesia Chapter Bandung. Menikmati statusnya sebagai guru dari mayoritas pemilik usaha kaos di Bandung, karena kebanyakan dari mereka adalah bekas karyawannya yang dibantu untuk mandiri. Mereka-mereka ini rekan­ an C59 bila kebanjiran order. Maurius sendiri oleh Yoris Sebastian—si General Manager termuda di Asia— disebut sebagai pionir untuk kategori yang sekarang ini populer disebut sebagai industri kreatif.[]

69

Olympic Furniture

Terbangkan Imajinasimu Setinggi-tingginya

B

rilian dan bervisi masa depan. Au Bintoro adalah satu dari segelintir orang-orang hebat yang bisa mengubah imajinasi tentang sebuah meja belajar praktis menjadi bisnis furnitur revolusioner beromzet triliunan rupiah. Buah idenya itu sekarang membantu jutaan orang di dunia memiliki perabotan rumah yang ringkes, murah, dan bagus. Semua itu diawali pada 1980, ketika Au menemu­ kan fakta toko furnitur terlalu banyak membebani konsu­men dengan ongkos kirim untuk sebuah sebuah meja belajar yang terbuat dari kayu. Karena berat, untuk mengangkut satu pesanan saja dibutuhkan beberapa orang. Belum lagi, sebuah truk kecil hanya bisa mengangkut satu meja belajar sehingga tidak efisien. Bayangkan, bila meja-meja itu harus diantarkan ke alamat pelanggan yang berada di pelosok-pelosok daerah. Padahal, Indonesia ini terdiri atas ribuan pulau, sehingga bukan tidak mungkin biaya pengiriman akan lebih mahal dari harga meja belajar itu. Gara-gara pengamatan itu pula, Au bisa menyimpulkan bisnis mebel itu tak lebih dari usaha rumahan yang bakal 70

Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

sulit berkembang. Soalnya, mana mungkin melayani konsumen yang berada jauh di luar daerah. Pandangan kritis ini memutar keras otaknya agar bisa menemukan meja belajar yang lebih praktis, ringan, dan bisa diangkut dalam jumlah yang lebih banyak dalam satu truk. Sebuah visi masa depan menghampiri Au bahwa orang-orang modern adalah manusia pragmatis dan tidak mau repot. Dia menemukan ide sebuah meja belajar bongkar pasang yang mudah dirangkai sendiri oleh konsumen setibanya di rumah. Idenya itu malah beberapa langkah lebih maju, karena akan memudahkan pemiliknya ketika pindah rumah. Namun, Au yang sejak 1975 lebih dikenal sebagai pembuat box speaker masih memerlukan perenungan panjang untuk mewujudkan meja belajar versi bongkar pasangnya itu. Ini lantaran pemakaian kayu sebagai bahan meja rupanya tetap tidak efisien, karena bobot meja itu tidak akan bisa lebih ringan sehingga ditemui kesulitan membuat pasak-pasak yang cukup kuat untuk merekatkan bagian-bagian meja. Solusinya tidak jauh dari tempat dia berpijak. Suatu ketika, dia tidak bisa lagi menemukan alternatif lain, kecuali papan partikel berbahan baku serbuk kayu yang telah bertahun-tahun dipakainya untuk membuat box speaker. Setelah menemukan desain yang cocok, Au tidak banyak mengalami kesulitan untuk mengutakatik papan itu menjadi sebuah meja yang ukurannya lebih kecil dari biasanya. Perpaduan bahan yang ringan serta desain bongkar pasang itu benar-benar ide brilian. Meja belajar baru itu tersusun dari serpihan-serpihan papan partikel dengan perekat sekrup yang bisa di cucuk-cabut. Setiap bagian diberi tanda khusus untuk mencocokkannya dengan bagian lain. Ini mirip dengan mainan bongkar pasang anak-anak. Desain bongkar pasang itu kemudian juga memu­ dahkan para penjual yang cukup merakit satu meja

71

M. MA’RUF 72

belajar sebagai display. Adapun barang-barang pasokan yang ada di gudang tidak perlu dirakit, karena dalam setiap pembungkus telah disertakan selembar buku manual sebagai petunjuk pemasangan. Dengan itu, tidak diperlukan keahlian sekaliber tukang. Siapa pun pembelinya, bahkan ibu rumah tangga sekalipun, ting­ gal mengikuti instruksi, pasti jadi. Ini pastinya akan menjadi sebuah meja yang laris manis, seperti produk box speaker yang murah, enteng, dan bersuara bagus. Walau begitu, Au tampak belum cukup nyali untuk menjualnya secara eceran dan lebih memilih penjual­ an berdasarkan pesanan. Suatu kali, dia dibuat girang oleh seorang konsumen yang memesan ribuan meja belajar ala bongkar pasang itu. Setelah harga disepakati, pengerjaan meja dilakukan 24 jam nonstop agar selesai tepat waktu. Tiba-tiba kabar buruk datang karena order itu dibatalkan sepihak di tengah jalan, sehingga berkubikkubik papan partikel itu harus menumpuk di gudang. Setelah menunggu tiga bulan tanpa kepastian, Au nekad menjual meja pesanan itu secara eceran ke toko-toko furnitur. Ternyata, laku keras hingga semuanya habis terjual. Setelah peristiwa ini, Au semakin percaya diri bahwa konsumen telah lama menantikan sebuah meja belajar yang lebih praktis seperti buatannya. Pada 1983, Au lebih berkonsentrasi kepada produk furnitur dan mulai melupakan box speaker-nya. Setahun sebelumnya dia telah meresmikan sebuah pabrik Cahaya Sakti Multi Intraco yang khusus memproduksi meja. Menyusul kemudian tempat tidur, meja serbaguna, lemari hias, lemari pakaian, rak televisi, meja kantor, dan hampir semua jenis furnitur, mulai tahun 1990. Sampai sekarang, ide dan kreativitas para manajer Olympic telah menghasilkan lebih kurang 2.000 desain. Mengenai nama Olympic Furniture, Au menemu­ kannya tidak sengaja, terinspirasi Olimpiade XXIII yang berlangsung di Los Angeles pada 1984. Gaung

Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

perhelatan olahraga akbar yang dibuka di Stadion Los Angeles Coliseum itu begitu populer, menyedot perhatian masyarakat dunia termasuk Indonesia. Bahkan beberapa tahun sebelum Olimpiade itu dibuka secara resmi, gemanya sudah ada di mana-mana. Au mengutip momen olahraga itu sebagai label dengan harapan Olympic akan mewarisi spirit ajang tersebut—tentu saja ini tampak disebabkan oleh pemanfaatan momen­ tum. Inspirasi yang lagi-lagi tidak salah karena kuping konsumen lokal akan mengenalinya sebagai produk impor. Padahal, serpihan-serpihan perabot itu semuanya dibuat di pabrik yang berlokasi di Bogor dengan pekerja lokal. Lambat laun, furnitur yang modis-modis dengan nama ala barat itu menyebabkan tren mebel berbahan kayu akhirnya bergeser. Toh, Au pernah terempas hebat oleh krisis moneter 1997 yang menyungkurkan nilai tukar rupiah. Ongkos pembelian bahan baku membengkak gila-gilaan dan karyawan menginginkan kenaikan gaji, sementara ratarata 5 dari 10 konsumen membatalkan pembelian. Seperti banyak perusahaan lain, bisnis Au mengalami masa-masa paling suram untuk pertama kalinya dan membuat sejumlah rencana besar terbengkalai begitu saja. Gara-gara krisis, Au terpaksa menjual separuh lahan beserta gedung di daerah Sentul Jawa Barat yang direncanakan sebagai pusat produksi terpadu, mulai dari pengolahan kayu hingga pembuatan. Perlahan dia bangkit dengan serangkaian gebrakan penjualan. Bila sebelumnya mengandalkan toko-toko mebel, sejumlah kemitraan dibuat dengan para peritel modern, seperti Carrefour dan Giant. Kursi, meja dan semua produk furniture Olympic Furniture juga tampak menjejali gerai-gerai kredit Columbia di seluruh Indonesia dengan skema penjualan kredit. Penetrasi ekspor dilakukan ke sejumlah negara tetangga dan belahan bumi lain. Memasuki 2003, dia menggandeng

73

M. MA’RUF 74

perusahaan furnitur raksasa asal Jerman, Garant Mobel International. Garant Mobel berpengalaman di industri mebel sejak 1948 dan memiliki sekitar 4.000 gerai di Eropa dan Asia. Keduanya bersepakat mendirikan Garant Mobel Indonesia (GMI) dengan 75% saham dimiliki Olympic. GMI bertindak sebagai pemberi hak waralaba yang menghubungkan pemasok dan para peritel mebel untuk produk Garant asal Jerman, dan merek kelas atas milik Olympic. Usaha ini menciptakan merek baru MER untuk diwaralabakan dengan biaya minimal Rp 500 juta beserta show room seluas 100 meter persegi. Kerja sama ini mencatatkan Au sebagai peritel furnitur pertama di Indonesia. Sepuluh tahun belakangan, Au mulai mengibarkan merek-merek baru untuk mengepung pasar. Misalnya, Solid Furniture, Albatros, Procella, Olympia, dan furnitur berharga murah Jaliteng. Diversifikasi merek ini mewakili ketebalan dompet pembeli. Sejak mulai dipasarkan pada 2000, Albatros misalnya mencoba menampilkan desain klasik dan minimalis yang disesuaikan dengan tren perkembangan desain rumah masyarakat kelas atas yang berselera ala Eropa dan Asia modern. Bagaimana Au seorang bisa mengoordinir puluh­ an bagian perusahaan, mulai dari suplai, desain, per­ gudangan, distribusi dan penjualan adalah seperti yang dikemukakannya dalam suatu kuliah terbuka, 18 April 2007—di hadapan mahasiswa pasca sarjana Institut Teknologi Bandung (ITB). Dia memaparkan trust mana­ gement yang ditemukannya melalui pergulatan antitesis sikap ayahnya yang sulit memberikan kepercayaan ke­ pada anak buah. Sikap curiga itu, katanya justru mem­ buat orangtuanya kerap marah, kecewa, mudah stres, dan bisnisnya tidak maju-maju. Ketika sikap itu dibalik, Au mengakui hal tersulit bukanlah tentang bagaima­ na menyerahkan kewenangan, tetapi menata hati agar

Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

ikhlas dan pasrah setelah pendelegasian. Pikiran akan tergoda untuk memunculkan syak wasangka kepada anak buah, selalu muncul selepas tanggung jawab itu diserahkan. Tetapi, ini harus dicoba berulang-ulang sampai berhasil, karena hasilnya terbukti cukup bagus bagi Olympic. “Trust management dapat menurunkan biaya, meningkatkan efisiensi, dan efektivitas,” jelas Au. Tetapi, Olympic tetaplah bisnis keluarga. Kisah sukses Au menguasai setidaknya 70% pasar furnitur dengan omzet Rp 2 triliun sebetulnya tidak lepas dari peran adiknya, Simarba Atong Tjia. Au, yang lahir di Tembilahan, Riau, 1 Agustus 1952 memang berasal dari “keluarga perabotan rumah” yang awalnya me­ nekuni produk busa untuk kasur, sofa, dan matras di Palembang. Pada 1979, Au pindah ke Bogor untuk me­ nekuni usaha box speaker dan merekrut Atong sebagai direktur pemasaran sampai tahun 1995. Adiknya ini cukup berjasa besar mengatur distribusi produk-produk Olympic sampai bisa menembus ke daerah-daerah yang lain. Setelah keluar, Atong berbisnis produk yang tidak kalah populer yaitu kursi plastik merek Napolly dan spring bed merek Bigland. Adapun Edi kini menekuni bisnis properti. Au, sekarang duduk manis sebagai komisaris utama dan lebih banyak terlibat kegiatan filantropis. Dia mengaku imajinasi meja belajar itu tampak memiliki kaitan erat dengan bakat kreatifnya sejak sekolah dasar (SD). Nilai seni prakaryanya tidak pernah di bawah sembilan. “Dulu saya memang cerdas di bidang seni prakarya sebab nilai tertingginya hanya delapan, tetapi saya dikasih nilai sembilan,” kata ayah Miss Indonesia 2005, Imelda Fransisca ini. Sekarang dia mengontrol 20 anak usaha di bawah Olympic Group yang tersebar di seluruh nusantara melalui kantornya di Kawasan Industri Sentul. Di waktu

75

M. MA’RUF

luang, dia melakukan ceramah-ceramah kewirausahaan di berbagai tempat untuk mengajarkan apa yang di­ sebutnya sebagai kebajikan kapitalis spiritual.[]

76

Biarkanlah Otak Anda Bekerja

bagian

3

Primagama

Sukses Harus Dimulai dari Bodoh dan Malas

B

agi kebanyakan siswa, tes masuk perguruan tinggi negeri adalah milestone masa depan, sehingga cara apa pun akan ditempuh untuk bisa lulus. Tetapi, bagi Purdi E Chandra, anak tukang jahit di desa Tanggul Angin, Kecamatan Punggur, Kabupaten Lampung Te­ ngah, Provinsi Lampung, masuk Universitas Gadjah Mada, saja seperti memasuki sebuah mal, tak perlu repot. Malah, dengan mudah, Purdi dengan bangga mengatakan kepada bapaknya bahwa dia diterima kuliah pada empat fakultas yang kesemuanya berstatus negeri (dia diterima di Jurusan Psikologi, Elektro, Sastra Inggris, dan Farmasi di Universitas Gadjah Mada, [UGM] dan IKIP). Apa yang terjadi selanjutnya adalah Purdi justru memutuskan untuk keluar kuliah. Ide itu mengalir begitu saja, bahwa membantu siswa-siswa kurang pintar memecahkan soal-soal ujian masuk perguruan tinggi negeri itu pastinya menjadi sebuah bisnis yang gurih. Lagipula, sebagai anak rantau, hanya itu yang bisa membuatnya bertahan di Kota Gudeg. Purdi meninggalkan empat bangku kuliah untuk lebih serius 78

Bagian 3 – Biarkanlah Otak Anda Bekerja

memulai sebuah bimbingan belajar yang memberi garansi para siswa, 100% uang kembali bila tidak lulus ujian masuk. Ini terdengar sangat menjanjikan dan pasti. Pada 10 Maret 1982, bersama teman-temannya, Purdi membuka lapak les di rumah petakan sewaan yang kecil dan disekat menjadi dua, bernama Lembaga Bimbingan Tes Primagama. Dia memodali usahanya ini dengan melego sepeda motor. Murid pertama adalah dua anak tetangga sebelah rumah indekos. Janji uang kembali bila tidak lulus sangat manjur sebagai iklan. Untuk mengatasi kerugian-kerugian atas promo itu, Purdi lebih dulu merekrut mahasiswa-maha­ siswa UGM yang paling cerdas sebagai tutor paruh waktu. Hasilnya, 90% peserta bimbingannya lulus ujian masuk. Berita ini dengan cepat menyebar dari mulut ke mulut lewat selebaran di majalah dinding (mading) sekolah. Lima tahun kemudian, Purdi membuka cabang di Bandung, Jakarta, dan kota besar lain di Indonesia. Dia juga mewaralabakan merek bimbingan belajar (bimbel) Primagama untuk kota yang jauh, seperti Pekanbaru, Sampit, dan Tangerang. Cara ini dilakukan dengan agresif, sampai-sampai dalam waktu singkat Primagama masuk catatan Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai bimbel dengan cabang terbanyak di 96 kota besar di Indonesia. Siswanya mencapai 100.000 siswa tiap tahun. Sasaran Primagama tidak berpusat hanya kepada siswa-siswa kelas tiga SMA, melainkan semua kelas, termasuk siswa SD. Mereka menyediakan bimbingan mata pelajaran yang kurang dikuasai atau sekadar memberikan layanan tambahan membantu menyelesaikan pekerjaan rumah (PR) dari sekolah. Sekarang Purdi adalah Presiden Direktur Primagama Group yang sudah menjadi holding company dengan lebih dari 20 anak perusahaan. Bergerak di berbagai bidang, seperti pendidikan formal melalui IMKI dan AMIKOM, dan Sekolah Tinggi Psikologi di Yogyakarta. Dia juga merambah bisnis telekomunikasi, biro perja­

79

M. MA’RUF 80

lanan, katering, supermarket, asuransi, hingga lapangan golf. Salah satu orang di balik kesuksesannya adalah Wien Widjanarko, mahasiswa lulusan Fakultas Geologi UPN Veteran Yogyakarta. Meski masih menjadi tangan kanan Purdi, Wien dianjurkan mendirikan bisnisnya sendiri pada 1999 dengan mendirikan Yayasan Unggul Pasopati yang mula-mula menggarap pendidikan kom­ puter dan informatika, tapi kemudian banting stir sebagai Pusat Pengembangan SDM Farma Indonesia. Wien mengaku memakai ilmu-ilmu dari bekas bosnya— sebagaimana disarankan—dan kini tak kurang 70 per­ usahaan berhasil dirangkul menjadi klien untuk me­ masok karyawan. Bagaimana Primagama sukses adalah hasil eksperi­ men teori manajemen yang menghasilkan antitesa ins­ piratif tetapi mengejutkan. Purdi mungkin satu-satunya pakar manajemen yang menganjurkan suami-istri untuk bekerja dalam satu kantor. Ketika aturan yang ditentang mayoritas perusahaan itu diterapkan pada bisnisnya, hasilnya cukup mencengangkan; omzet Primagama naik 60%. Ide yang lebih gila, sebagaimana pakar manajemen ulung Rhenald Kasali menyebutnya, yaitu menyuruh anak buahnya memiliki usaha sendiri, di luar jam kantor. Contohnya adalah Wien dengan bisnis pendidikan far­ masinya itu. Nasihat penting untuk sukses bagi orang-orang— yang juga diberikan kepada dua anaknya—adalah pilih­ an mengenai masa depan itu perlu ditentukan lebih awal untuk menentukan seseorang perlu menjadi pintar di sekolah atau tidak. Purdi adalah orangtua yang tidak memberi iming-iming sepeda baru agar Faisa Muhammad dan Zidane Muhammad semangat menyabet rangking di sekolah, tetapi akan menghadiahkannya bila kedua anaknya itu menemukan ide-ide hebat tentang sesuatu.

Bagian 3 – Biarkanlah Otak Anda Bekerja

Katanya, sebagai orangtua dia hanya ingin anaknya sekolah untuk mengisi otak kiri, dan karenanya tidak memerlukan anak yang rajin, apalagi pintar di sekolah. Rajin dan pintar di sekolah adalah pilihan bagi orangorang yang hanya ingin bercita-cita sebagai buruh atau bahasa kerennya profesional. Sekarang, si sulung Faisa yang belum genap 17 tahun sudah cakap mengelola se­ buah restoran di Semarang. Pendidikan yang dimaksud Purdi adalah kecerdas­ an-kecerdasan ilmu jalanan—sreet smart, yang tidak membutuhkan gelar. Menurut teori ekstremnya ini— dengan bangga dia menyebut dirinya wirausaha ja­ lanan—kesuksesan justru harus dimulai dari sifat ma­ las. “Kalau kita rajin, jangan harap usaha akan ber­ kembang. Paling-paling kita akan menjadi karyawan seumur hidup,” katanya. Idealnya, tak perlu bersimbah peluh hingga tua untuk kaya raya. Lebih baik, cukup menemukan ide hebat, dilaksanakan dan ketika sudah berjalan serahkan saja kepada orang lain yang mampu mengerjakan. Purdi benar-benar menerapkan teori-teori ekstrem­ nya ini. Sekarang dia lebih banyak menyerahkan semua urusan bisnis kepada direktur-direkturnya dan lebih asyik dengan hobinya yang baru; dakwah enterpreneurship. Ya, pekerjaan barunya adalah motivator kewirausahaan dengan mendirikan Enterpreneur University. Di sana tak ada nilai, ijazah maupun gelar, karena bisnisnya adalah mencetak pengusaha. Awalnya Entrepreneur Univer­ sity yang kini membuka cabang di Jakarta, Bandung, Cirebon, Pasuruan, Bojonegoro hingga Sumatera ini adalah seminar-seminar yang diasuh sendiri oleh Purdi. Syarat masuk universitas ini unik, karena tanpa perlu riwayat pendidikan, dan kalaupun punya, diutamakan yang memiliki indeks prestasinya rendah. Sebagai pakar, dialah penemu tiga resep manjur yang bisa dijadikan orang merintis kekayaan: BODOL, BOTOL atau

81

M. MA’RUF

BOBOL. Bodol adalah Berani, Optimis, Duit, Orang Lain. BOTOL adalah Berani, Optimis, Tenaga, Orang Lain. Adapun BOBOL adalah Berani, Optimis, Bisnis, Orang, Lain.[]

82

Es Teler 77

Yang Penting Heboh

S

ukyatno Nugroho akan dikenang sebagai pen­jual es teler terhebat sepanjang masa. Tetapi, dia bukanlah pencipta adonan minuman es berisi potongan buah alpukat, kelapa muda, nangka matang, dan santan kelapa encer dengan pemanis berupa sirup itu. Bukan pula mertua Sukyatno, Ny Murniati Widjaja yang resepnya menjuarai lomba es teler Majalah Gadis pada Maret 1982. Es teler itu diciptakan oleh Tukiman Darmowijono, pedagang es campur dengan gerobak di Jalan Semarang, Jakarta Pusat, pada 1980-an. Es kreasi Tukiman itu laku keras, sehingga anak-anak muda yang sangat menggemarinya menambahi dengan istilah “teler”—seperti akibat mengonsumsi narkoba. Sementara Sukyatno mulai berjualan es teler pada 7 Juli 1982 bermodalkan uang Rp 1 juta dan resep mertuanya yang memenangi lomba itu. Ini adalah bisnis keluarga yang melibatkan istrinya, Yenny Setia Widjaja, dan kedua mertuanya; Murniati Widjaja dan Trisno Budijanto. Dagangannya digelar di emperan pusat per­ belanjaan Duta Merlin, Harmoni, Jakarta Pusat dan mulai buka pukul lima pagi hingga larut malam. Sampai 83

M. MA’RUF 84

beberapa tahun kemudian dia masih menjual Es Teler 77—angka itu disebut sebagai angka keberuntungan— dengan berpindah-pindah tempat, karena kerap ada razia penertiban pedagang kali lima. Bermodal nekat, pada 1987 Sukyatno membuka waralaba (franchise) Es Teler 77 di Solo dan Semarang, Jawa Tengah, sampai sekitar seratus buah. “Penghasilan tidak cukup, baru tujuh cabang, tiap hari tekor, tidak punya deposito, orang edan enggak?” katanya—bela­ kangan dia mengakui penjualan hak pemasaran itu gara-gara kebutuhan mendesak untuk membiayai se­ kolah anak-anaknya. Tetapi, kenekatannya itu justru membuatnya tercatat dalam sejarah sebagai pembuka jaringan waralaba makanan di Indonesia, karena fast food seperti Kentucky Fried Chicken dan McDonald’s dari Amerika Serikat baru masuk ke Indonesia pada 1979 dan 1991. Sukyatno sebenarnya tidak mengerti sama sekali apa dan bagaimana sistem waralaba, seperti masalah pembagian hak atas keuntungan dan posisi­ nya sebagai pemilik. Dia mengetahuinya sepenggalsepenggal dari literatur franchise yang kala itu masih berbahasa Inggris. Untungnya, Sukyatno yang hanya berkemampuan bahasa Inggris lulusan SMP masih bisa mengerti dari bagan dan skema di lembaran buku-buku itu. Tetapi, bagaimana kemudian dia bisa menaikkan derajat dagangan es campur kelas emperan menjadi minuman elite konsumen perlente adalah keyakinannya yang amat kuat terhadap kekuatan imej. Sukyatno amat yakin apa pun produknya bisa sangat dahsyat bila disertai kemampuan-kemampuan mengarahkan persepsi konsumen. Ini memaksanya mula-mula fokus hanya menjajakan menu es teler dan secara bertahap sejak 1994 memindahkan gerai-gerai Es Teler 77 ke plaza, atau mal. Pun, untuk membedakan diri dari penjual kaki lima—dia berdalih untuk melindungi penjual es teler kaki lima—

Bagian 3 – Biarkanlah Otak Anda Bekerja

Es Teler 77 mematok harga esnya lebih mahal. Karena gengsi pula—dan ini demi imej—Sukyatno hanya butuh waktu lima menit untuk menyetujui proposal anaknya Andrew Nugroho untuk membuka gerai di gedung megah Wisma BNI lantai 46 dan 47, di Jalan Jenderal Sudirman. “Padahal biaya yang saya keluarkan itu sama dengan beribu-ribu juta kelapa selama berpuluh-puluh tahun saya berjualan es teler, baru bisa untuk modal satu restoran (di sana). Saya orangnya edan, ini tempat tertinggi di Indonesia, berarti Juara Indonesia juga, pasti bisa membuat nilai plus,” tuturnya pada 2003. Simbol-simbol prestisius itulah ciri khas Sukyatno dalam memopulerkan Es Teler 77. Dia adalah jenis manusia heboh yang paling banyak masuk catatan Museum Rekor Indonesia (Muri). Orang-orang pasti­ nya tidak lupa bagaimana Sukyatno merancang ide unik lomba lukis anak-anak tuna netra (Anda bisa mem­ bayangkan hasil lukisan itu!) di Manado yang membuat Sukyatno dan Es Teler 77 ditulis oleh media serta masuk rekor Muri sebagai lomba pertama kategori itu. Atau saat membuat lomba membuat gado-gado khusus untuk istri tukang becak di Jakarta, dengan dalih ingin membantu orang-orang menemukan resep terbaik gadogado—seperti dia menemukan resep mertuanya. Entah apa pula hubungan es teler dengan kekerasan Israel di Timur Tengah, tetapi Sukyatno bisa-bisa saja memanfaatkan momentum masalah itu. Kali ini, dia mengumpulkan ratusan anak tuna netra untuk menye­ rukan perdamaian dalam tiga bahasa dari “warung es”-nya. Tidak lupa, kampanye dilengkapi dengan su­ rat kepada kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat. Puluhan sensasi yang dia ciptakan memang masih pada batas normal, tetapi beberapa ide publikasi itu tampak lebih efektif sebagai iklan gratis di media massa. Gagasan dan ide-ide pro­ mosi tampaknya memang sudah dipakai Sukyatno

85

M. MA’RUF 86

sejak menandai tenda Es Teler 77-nya dengan “Juara Indonesia”, mengutip kemenangan mertuanya yang di­ anggap sebagai perlombaan kelas nasional itu. Slogan ini kemudian ditambah menjadi “Juara IndonesiaSingapura-Malaysia-Australia”, saat gerai Es Teler 77 muncul di tiga negara tersebut. Namun, belakangan banyak klaim-klaim itu tam­ pak seperti bluffing tanpa ukuran yang jelas dan dapat di­pertanggungjawabkan—untungnya tidak ada yang menempuh jalur hukum. Pengamat wirausaha Bondan Winarno adalah salah satu sahabat Sukyatno yang cukup kritis mengulas isi buku 18 Jurus Sakti Dewa Mabuk Membangun Bisnis yang dalam sampulnya ditulis karya Sukyatno—tetapi anehnya ghost writer buku itu juga dicantumkan. Buku yang tercatat Muri sebagai buku pertama yang sudah dicetak empat kali pada saat peluncurannya itu mengandung banyak para­ doks—setiap cetakan rupanya diborong perusahaanperusahaan, termasuk Es Teler 77. Buku itu menceritakan bagaimana kerasnya hidup Sukyatno memulai usaha di Jakarta dan memaparkan 18 jurus baru untuk menjadi wirausaha sukses. Bondan menyebut klaim peringkat ke-40 di antara 50 murid di saat menjadi siswa SMP yang selalu dipakai Sukyatno untuk menunjukkan betapa bodohnya dia ketika sekolah tetapi bisa sukses di kemudian hari tampak sumir. “Seingat saya sebagai orang seusia dia, pada masa itu belum ada kebiasaan untuk melakukan pemeringkatan di sekolah,” kata Bondan. Pun, di salah satu halaman buku itu, Sukyatno mengklaim jurus “77P-nya lebih ampuh dari pada konsep pemasaran 4Pnya Philip Kotler, tanpa disertai penjelasan. Apa pun itu, Bondan menyebut buku bisnis yang ditulis dengan gaya buku silat tetapi kerap tidak nyambung itu merupakan contoh keunikan sahabatnya.

Bagian 3 – Biarkanlah Otak Anda Bekerja

Walaupun begitu, Sukyatno tidak terbukti hanya pintar membuat pengakuan-pengakuan menghebohkan. Beberapa persoalan bisa dipecahkan dengan sempurna, seperti komplain-komplain konsumen yang langsung ditanggapi. Dia pernah mengalami bahwa tempat yang lebih mewah tidak selalu sesuai dengan ekspektasi, karena menu tunggal es rupanya tidak dapat menarik pekerja kantoran mampir ke gerainya pada jam ma­ kan siang. Pada 1997, masalah ini dipecahkan dengan menggabungkan gerai mi tek-tek miliknya dengan Es Teler 77 sehingga menu semakin lengkap. Sekarang, ada menu-menu lain seperti mi ayam, mi baso, nasi goreng, roti bakar, pisang bakar, dan bahkan Es Teler 77 telah mengubah gerainya menjadi gerai restoran, bukan lagi sekadar penjual es. Sejak penggabungan menu, Es Teler 77 juga mulai melakukan serangkaian penyempurnaan sistem franchise, standardisasi mutu dan menyiapkan pusat pelatihan untuk calon rekanan. Orang yang dikenal dengan humor-humor segar ini juga tidak banyak mengalami kesulitan merangkul banyak pewaralaba. Bisa diduga, ini berkah dari fleksi­ bilitas mengejar pertumbuhan gerai-gerai. Tidak ada ketentuan tunggal mengenai cara-cara pembeli waralaba membuat adonan Es Teler 77, dan Sukyatno kerap kali malah menyarankan investornya yang jauh dari Jakarta, menambah takaran-takaran pemanis, atau mencampur adonan dengan tepung lokal. Mungkin, berkat keluwesan itulah Es Teler 77 bisa dengan cepat memiliki cabang di Malaysia, Singapura, Australia, dengan total pekerja lebih dari 3.000 orang. Tetapi, dari bukunya bisa diketahui, kesuksesan Sukyatno diperoleh setelah melalui kesulitan-kesulitan hidup. Ini dimulai ketika Sukyatno diungsikan oleh ayahnya ke rumah pamannya di Jakarta. Pamannya yang sengaja tidak mengarahkan Sukyatno untuk kembali bersekolah—seperti keinginan ayahnya—diakuinya se­

87

M. MA’RUF 88

bagai guru wirausaha. Sukyatno muda justru menjadi tukang catut keliling barang kelontong, seperti kancing baju, sisir, obat China, produk kimia, elektronik, pompa air, hingga kondom. Inilah kalimat yang dia kenang sepanjang hayatnya, ”Kalau kamu datang sekali enggak bisa, datangi seribu kali. Kalau itu saja kamu enggak bisa, berarti kamu goblok,” kata Sukyatno menirukan nasi­ hat pamannya. Penghasilannya sebagai perantara tran­ saksi itu dilanjutkan dengan membuka biro bangunan dan percetakan. Pada 1978, pengalaman pahit kembali menempanya. Sebagai pemborong, dia memenangkan tender pem­ bangunan rumah dinas sebuah departemen. Namun, ketika bangunan sudah hampir jadi, penduduk kampung sekitar berniat mengeroyoknya, karena ternyata tanah tempatnya membangun berstatus sengketa. Kerugian itu membuatnya tertimbun utang yang tidak sedikit, hingga membayar sekolah ketiga anaknya saja dia tak mampu. Semasa menjadi tukang catut itulah Sukyatno me­ nemukan cintanya di hati Yeni Setia Widjaja, pedagang elektronik di bilangan Kota. Hubungan yang singkat itu berlanjut ke pelaminan pada 1971. Pernikahan itu dikisahkan mampu membawa keberuntungan pada Sukyatno yang juga percaya pada keberuntungan sesuai dengan kombinasi angka kelahiran. Kombinasi hari lahirnya pada 3 Agustus ’48 dan istrinya pada 27 Januari ’53 dalam hitungan primbon menghasilkan formasi “Satria Wibawa”, yang artinya akan memperoleh ke­ muliaan dan keluhuran. Pernikahan pembawa keber­ untungan itu membuahkan tiga orang anak; Felicia, Andrew, dan Fredella. Setelah menyerahkan bisnisnya kepada tiga anak­­ nya, penyandang gelar doktor honoris causa ini meluang­ kan waktu berceramah di banyak universitas tentang bis­nis franchise, dan lebih memilih di belakang meja. Dan ketika Sukyatno mengembuskan napas terakhir,

Bagian 3 – Biarkanlah Otak Anda Bekerja

kedekatannya dengan banyak lapisan masyarakat mem­ buat banyak orang merasa kehilangan—ratusan rang­ kaian duka cita dari semua kolega dipasang berderet mulai dari ruas jalan di samping rumah duka, pelataran parkir, hingga lantai tiga gedung di kawasan Pluit Jakarta—termasuk mantan Presiden, Abdurrahman Wahid yang secara khusus menyampaikan ucapan belasungkawa. Ketika meninggal di usia 59 tahun, pada 11 Desember 2007, Sukyatno mewariskan hampir 300 gerai Es Teler 77 di empat negara dan sejumlah jaringan bisnis kepada tiga anaknya.[]

89

Sido Muncul

Orang Gila Sekalipun Tahu Jamu yang Enak

S

ido Muncul bila diartikan dalam bahasa Inggris adalah dreams come true, atau impian yang terwujud. Entah ada hubungannya atau tidak nama merek itu dengan Irawan Hidayat, namun ketika mewarisinya pada 1972, usaha jamu yang baru berkembang itu sudah di ambang kehancuran. Padahal, Irawan yang pernah bekerja di sebuah perusahaan farmasi sejak lama mengimpikan sebuah pabrik jamu yang setara dengannya. Namun, berbekal ketidaktahuan dan keberuntungan, Irawan yang sampai sekarang diabadikan gambarnya dalam setiap kemasan jamu Sido Muncul—logo ibu menggendong bayi pada kemasan jamu Sido Muncul itu adalah Irawan kecil yang digendong neneknya—akhirnya mampu mewujudkan impian masa mudanya. Irawan masih “bau kencur” ketika usaha jamu yang dirintis Nyonya Rakhmat Sulistio—nenek Irawan— pada 1940-an di Yogyakarta, sedang terlilit utang yang nilainya lebih besar dibandingkan aset-aset pabrik yang dimiliki. Pabrik pertama yang baru didirikan pada 1951 menanggung utang bahan baku jamu yang bila dikalkulasi baru lunas dengan hasil penjualan jamu dua setengah 90

Bagian 3 – Biarkanlah Otak Anda Bekerja

tahun ke depan. Dengan pabrik yang hanya menampung 100 pekerja, tanpa satu pun mesin, Sido Muncul benarbenar kritis. Situasi ini di luar kemampuan Irawan yang sejak membantu ibunya, tidak pernah bekerja dengan serius. Lulusan SMA berambut gondrong itu tampak lebih cuek, tidak menghiraukan seluk beluk jejamuan, dan bekerja seenaknya sendiri. Mentang-mentang anak bos, dia bisa masuk kerja pukul 10.00, lalu main catur di kantor dan pukul 13.00 pulang, sore hingga malam hari berkumpul dengan teman-temannya. “Itu masa lalu yang membuat geli bila mengingatnya,” kenang Irawan. Banyak kesalahan-kesalahan yang tidak perlu akibat ketidakpedulian pada waktu muda itu membuat usaha itu sulit berkembang. Irawan masih meneruskan resep warisan jamu bubuk, seperti Jamu Tolak Angin yang pahit dan tidak enak. Berpuluh-puluh tahun dia dan empat saudaranya bertahan dari persaingan produsen jamu yang semakin banyak, seperti Nyonya Item dan Nyonya Kembar keluaran Ambarawa, atau Nyonya Meneer dari Semarang. Pada mulanya, berbagai modifikasi jamu dan upaya Irawan belajar kepada banyak orang untuk memperbaiki volume penjualan tidak kunjung menemukan hasil bagus. Padahal, kualitas jamu Sido Muncul tidaklah buruk, seperti jamu tolak angin yang sudah terbukti bisa mengobati masuk angin. Titik balik masa depan Sido Muncul sebagai pionir di bidang industri jamu herbal berawal di suatu hari pada 1993 di pinggir jalan. Mungkin, Irawan yang sudah nyaris putus asa oleh orang-orang dianggap sudah kehilangan akal sehat ketika diketahui berbicara dengan orang gila dan menyuruhnya mencicipi racikan jamu bubuk itu. “Orang gila itu dengan terus terang mengatakan jamu saya pahit, tidak enak,” ungkap Irawan. Jawaban polos orang gila itu membuatnya berpikir cukup dalam untuk waktu yang lama. Bersama keempat adiknya yang turut

91

M. MA’RUF 92

diserahi meneruskan warisan ini, dia membahas soal jamu Sido Muncul yang pahit. Sebetulnya, tidak ada yang aneh dari jawaban itu. Seperti juga obat, mana ada jamu yang tidak pahit? Tetapi, semuanya sepakat agar perusahaan melakukan revolusi produk, yakni bagaimana memproduksi jamu enak diseduh. Riset aneh ini menuntun Irawan mencari reramuan baru agar rasa jamunya lebih manis dan dia begitu bersemangat karena tampak sebagai jalan untuk mendongkrak gengsi jamu menjadi setara dengan obat-obat modern keluaran pabrik farmasi. Miliaran rupiah dia keluarkan untuk riset-riset ilmiah meniru tren yang sudah ada di China; obat herbal alami tanpa bahan kimia. Sekali lagi, ketidaktahuannya tentang masalahmasalah ekonomi dan krisis moneter justru membuat­ nya bisa mewujudkan impiannya itu. Irawan memba­ ngun laboratorium modern untuk riset ramuan jamu herbal di tanah seluas 3.000 meter persegi di Ungaran, Semarang dengan biaya Rp 2,5 miliar rupiah justru di saat banyak perusahaan Tanah Air bangkrut oleh krisis ekonomi 1997. Irawan mengaku, ketidaktahuan justru menyelamatkannya, meskipun kemudian berakibat pada pembengkakan ongkos pembangunan pabrik hingga dua kali lipat dari anggaran semula. Pabrik di Ungaran itu selesai pada November 2000 dan diresmikan oleh Menteri Kesehatan dan Ke­sejah­ teraan Sosial, Achmad Sujudi. Hari itu mimpi pertama Irawan terwujud dengan dua sertifikat yang diberikan Depkes kepadanya, yaitu sertifikat Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) dan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) setara dengan farmasi. Sertifikat ini memosisikan Sido Muncul sebagai satu-satunya pabrik jamu yang berstandar farmasi. Dari pabrik yang dibangga-banggakan itu, Irawan mulai memproduksi jamu-jamu yang lebih enak, alami, dan lebih higienis. Jamu-jamu dengan istilah unik, seperti Susu Telor Madu

Bagian 3 – Biarkanlah Otak Anda Bekerja

Jahe plus ginseng atau populer dengan singkatan ESTEEMJE mulai dipasarkan. Ada pula Kuku Bima, Tolak Angin—yang rasanya lebih manis—Kunyit Asem, Jamu Komplit, Jamu Instan, Anak Sehat, dan lain-lain. Sebuah momentum kebetulan sekali lagi memban­ tu gagasan Sido Muncul, yaitu bermunculannya riset ilmiah yang menyadarkan masyarakat bahwa ada efek negatif dari mengonsumsi obat modern berbahan kimia. Di lain sisi, harga obat-obat modern melambung karena krisis moneter melecut biaya bahan baku impor. Ini turut berjasa memberi jalan bebas hambatan bagi Irawan memasarkan produk jamunya ke lapisan masyara­ kat paling tidak beruntung. Harga yang lebih murah dibandingkan obat dokter membuatnya bisa dengan cepat merangkul masyarakat yang sedang kesusahan dihajar krisis ekonomi. Orang-orang menengah ke ba­ wah waktu itu sangat terbantu oleh jamu-jamu ini, mulai dari tukang becak, sopir angkot dan bus kota, sampai kuli bangunan. Pemasaran dilakukan dengan agresif melalui ja­ ringan distribusi secara langsung. Irawan setidaknya sudah menemui langsung puluhan ribu distributor, agen, pedagang jamu gendong atau pemilik kios jamu. Dia tampak bersemangat untuk turun ke lapangan, melepas jas dan dasi untuk keluar-masuk pasar tradisional, termi­ nal atau penjual jamu di pinggir jalan untuk memas­ tikan peta pasar produk-produk Sido Muncul dari para p­esaing. Irawan—sepertinya mengulangi pertemuan de­ ngan orang gila itu—dalam setiap perjumpaan dengan penjual jamu menanyakan berbagai persoalan yang di­ hadapi para agen penjual dengan berdialog dan bertatap muka secara langsung. Hasilnya cukup bagus karena sampai 2004, ada 60 distributor tersebar di setiap kabupaten di Pulau Jawa menjadi mitranya. Ditunjang oleh sekitar 130.000 pedagang jamu gendong dan 30.000 depot jamu. Berbagai program untuk mengundang

93

M. MA’RUF 94

simpati penjual jamu dirilis, seperti mudik gratis bagi agen dan penjual jamu di Jakarta sejak 1999. Selanjutnya, promosi ambisius berbiaya miliaran rupiah tidak segan-segan dikeluarkan dari kantong per­ usahaan agar citra jamunya segera naik. Irawan meng­ aku, krisis justru waktu yang tepat untuk menggembargemborkan produk lewat layar kaca, media elektronik dan cetak. Dengan begitu, Sido Muncul lebih mudah diingat konsumen, karena pada saat yang sama produsen lain memilih tiarap. Iklan ESTE-EMJE misalnya, cukup familiar di telinga pendengar radio-radio hingga ke pe­ losok pedesaan. Begitu juga dengan iklan produk Kuku Bima yang menampilkan Mbah Maridjan, Juru kunci Gunung Merapi, juara tinju dunia Chris John, dan binaragawan Ade Rai. Sementara untuk jingle “Orang Pintar Minum Tolak Angin” tercatat, pernah dibintangi budayawan Setiawan Djodi, Sophia Latjuba, Agnes Monica hingga pakar pemasaran Rhenald Kasali. Jingle iklan jamu Tolak Angin yang dikemas dalam tablet dan cair itu seolah mengatakan, adalah hanya orang bodoh yang tidak meminumnya bila sedang masuk angin. Ide-ide kreatif promosi ini pernah membuat Sido Muncul me­ raih penghargaan Cakram Award 2002 dari Majalah Periklanan Cakram. Impian jamu herbal telah mengokohkan Irawan sebagai pengusaha jamu papan atas, dengan omzet setengah triliun rupiah hanya dari produk andalan Tolak Angin dan Kuku Bima. Belakangan impian itu bahkan meluas menjadi tren industri produk-produk herbal yang menyeret masuk para produsen obat, seperti Soho Industri Farmasi, Dexa Medica, Darya Varia, dan Pharos.[]

Jawa Pos Group

Perlu 1000 Kesalahan untuk Membuat Koran yang Laris

H

arian Jawa Pos yang sudah terbit 33 tahun itu su­dah bangkrut pada 1982, bila saja “Si Oom” panggilan Soeseno Tedjo, pemiliknya, tidak menjual koran itu ke Grafiti Pers. Eric Samola, Direktur Utama Grafiti Pers adalah orang kepercayaan pengusaha properti Ciputra yang mengurus masalah pembelian itu. Sebelumnya, Eric telah sukses mengorganisir se­ kelompok seniman dan aktivis, seperti Goenawan Muhammad, Fikri Jufri, Putu Wijaya, dan kawan-kawan untuk membuat majalah Tempo. Tidak diketahui pasti, mengapa kemudian Eric memilih Dahlan Iskan untuk mengurusi koran yang hampir bangkrut itu. Mungkin, dia yang dianggapnya paling tepat, karena Dahlan adalah orang asli Jawa Timur, dan waktu itu sudah menjabat sebagai Kepala Biro Majalah Tempo di Surabaya. Oplah Jawa Pos sedang terjun bebas, tinggal sekitar 6.000 eksemplar per hari, dan Dahlan dikejar oleh waktu. Sepuluh tahun kemudian, oplah koran pagi yang terbit di Surabaya itu menjadi berlipat-lipat dan tercatat sebagai harian dengan pertumbuhan oplah tercepat di Asia. 95

M. MA’RUF 96

Dahlan adalah orang yang tidak suka mengumbar bagaimana manajemen ala maverick style-nya mampu mendongkrak oplah Jawa Pos. Maverick style adalah gaya mengelola bisnis yang suka mendobrak aturan tradisional dan umum dalam bisnis. Orang ini penuh kejutan, dan nyeleneh dalam penampilan—dia lebih sering terlihat memakai kemeja lengan panjang yang tampak kedodoran, dan membiarkan ujung baju di luar celana panjang. Pernah, suatu ketika Dahlan me­ nyampaikan tugas penting dari bangku penonton saat menyaksikan pertandingan sepak bola kesebelasan Persebaya di Balikpapan. Pada mulanya, anak buahnya itu hanya diajak untuk menemaninya menonton, tetapi di situlah dia menyerahkan tugas akuisisi koran lokal di Kalimatan. Hasilnya adalah Grup Kaltim Post (GKP), yang kemudian beranak pinak menjadi Samarinda Pos, Pos Metro Balikpapan, Radar Banjarmasin, Radar Tarakan, Radar Sulteng, dan Kalteng Pos dan beromzet Rp 30 miliar pada 2003. Tidak jarang pula dia menempatkan orang tanpa tengok kanan-tengok kiri. Dahlan sempat menggeser seorang redaktur senior, yang lulusan SMA ke bagian keuangan. “Yang penting tertib, rapi, pelit, cerewet, dan peduli terhadap masalah-masalah sepele,” kata Dahlan. Dahlan memperlakukan orang-orang kepercayaan­ nya itu seperti anak ayam yang disapih. Tanpa job description yang jelas, tetapi memberi limit-limit ter­ tentu, seperti sampai batas kapan subsidi dari pusat akan dihentikan. Prinsip ini diberlakukan dengan ketat, sampai-sampai menimbulkan efek tidak sedap— kesejahteraan karyawan dan standar etika jurnalistik. Sampai dengan ulang tahun ke-60 Jawa Pos, Dahlan tetap yakin dia tidak perlu menceritakan kisah suksesnya. Setiap generasi memiliki zamannya sendiri, karena setiap zaman mempunyai generasinya sendiri. Apa yang di masa lalu sukses dilakukan, belum tentu bisa

Bagian 3 – Biarkanlah Otak Anda Bekerja

sukses untuk dilaksanakan sekarang. “Bahkan, saya bisa memastikannya: mustahil,” kata dia. Cerita-cerita sukses seperti isi buku ini, hanya akan membuat orang-orang sekarang terlalu mengagung-agungkan masa silam, lalu terlena untuk memikirkan masa depan. Kisah sukses itu seperti racun yang meneror generasi baru. Adalah lebih baik menceritakan kisah gagal dan Dahlan mengingin­ kan orang mengundangnya untuk topik “Kisah-Kisah Kesalahan dan Kegagalan Dahlan Iskan”. Kesalahankesalahan itu banyak dilakukannya—dia menyebut angka 1.000 yang bila diuangkan seharga lebih dari Rp 150 miliar—telah diperbuatnya selama mengelola Jawa Pos Group. Keberhasilan Jawa Pos sekarang adalah trial and error berulang-ulang dan kerugian-kerugian itu wajar sebagai “biaya sekolah” yang tidak bisa tidak harus dibayar. “Itulah biaya sekolah yang harus dipikul perusahaan untuk “menyekolahkan” saya hingga bisa menjadi seperti sekarang,” ujar Dahlan Orang-orang mungkin sudah lupa bagaimana se­ orang wartawan senior Jawa Pos membuat kesalahan fatal dengan menulis laporan fiktif, wawancara istri Dr Ashari via telepon. Kredibilitas Jawa Pos langsung dipertanyakan, ketika beberapa hari kemudian diketahui wawancara itu palsu, karena istri teroris ahli perakit bom itu rupanya memiliki penyakit radang akut sehingga tidak memungkinkan diajak berbicara. Tokoh-tokoh pers mengkritik bagaimana Jawa Pos mengabaikan etika jurnalistik untuk mendapatkan berita-berita eksklusif. Pada awal merintis Jawa Pos, Dahlan juga tidak sepi oleh tudingan-tudingan miring seperti masalah kesejahteraan karyawan. Mantan Direktur Keuangan PT Jawa Pos Radar Timur—salah satu anak perusahaan Jawa Pos—Widjojo Hartono alias Tony, yang dipecat pernah bercuap ke media dan melaporkan keburukan Dahlan mengelola koran. Mulai dari dugaan menerbitkan surat utang palsu, penggelapan pajak, rekayasa laporan keuangan, sampai tidak melindungi karyawan Jawa Pos

97

M. MA’RUF 98

dengan Jaminan Sosial Tena­ga Kerja. Tony, ber­­­ teriak bagaimana Dahlan membangun sistem oto­ riter, tanpa kompromi dengan pi­lihan tunduk, dipecat tanpa pesangon— se­perti dirinya yang sudah 22 tahun bekerja—atau mengundurkan diri. “Se­ mua itu bohong besar,” tepis Dahlan. Toh, Dahlan meng­­­ akui sistem pem­berian gaji murah dengan te­ kanan kerja berlebihan di Jawa Pos. Tidak mungkin membayar mahal wartawan yang andal dengan modal pas-pasan, sehingga Dahlan lebih memilih sumber daya bergaji murah ketika membangun korannya—di koran daerah bahkan sering tidak dibekali pelatihan memadai. “Tapi, saya punya semacam “dendam” bahwa kalau suatu saat Jawa Pos sudah mampu, kami akan merekrut tenaga-tenaga yang hebat,” kata dia. Pada akhirnya, janji itu mulai dipenuhi saat ini. Dahlan adalah jurnalis yang biasa saja, bukan pula punggawa Tempo yang menonjol. Lagi pula dia belum pernah memiliki pengalaman memimpin sebuah perusahaan media—kecuali sebuah biro saat ditunjuk Eric mengepalai Jawa Pos. Dia mengaku tidak memiliki warisan jiwa kewirausahaan kecuali mendapatkannya dari proses penularan yang intensif, dari Ciputra meng­ alir ke Eric, lalu mengalir kepadanya. Pesan moralnya adalah berkawanlah dengan orang yang tepat. Mulamula upaya menggenjot oplah itu diterapkan dengan gagasan yang menukil salah satu parameter berita;

Bagian 3 – Biarkanlah Otak Anda Bekerja

kedekatan, antara objek berita dan pembaca atau disebut proximity. Prinsip ini dia jadikan sebagai terobosan dalam bisnis media, di tengah rata-rata bisnis koran yang seperti raja-raja kecil di daerah. Satu per satu dia mendirikan koran di daerah, sebagian berkongsi de­ ngan investor setempat. Koran-koran lokal ini—umum­ nya memakai nama Radar di depannya—bermunculan di setiap daerah. Dahlan membeli media lokal yang nyaris bangkrut, atau mendirikan koran baru, nyaris di setiap jengkal administrasi pemerintahan. Mulai dari cakupan provinsi, kota, kabupaten, dan bahkan media komunitas. Koran-koran lokal—beberapa termasuk televisi lokal—ini ada di mana-mana, dari Aceh hingga Papua, menggurita dengan kepalanya ada di Graha Pena Sura­ baya yang berdiri megah. Jawa Pos di tangan Dahlan telah menjadi jaringan media terbesar di Indonesia, yang memimpin pasar koran-koran lokal dengan jumlah saat ini mencapai sedikitnya 134 penerbitan, mengepung harian Kompas yang tampak hanya berjaya di Ibu Kota, dan memukul koran-koran lokal. Daripada memba­ngun sebuah koran besar yang tersentralistik, Dahlan memi­lih terobosan luar biasa, karena setiap daerah membutuhkan berita versi masing-masing. Pembaca akan lebih senang membaca berita korupsi pejabat pemerintah setem­ pat daripada pejabat di daerah lain. Lagi pula, banyak pemasang iklan yang tidak mungkin membayar mahal untuk sebaris iklan kolom pada koran yang tidak terbit di kotanya. Bagaimana Dahlan membuat laku korannya adalah dengan memasang banderol eceran sangat murah untuk promo yang seperti candu bagi pembaca. Ini karena biaya operasional bisa ditekan seminimal mungkin melalui efisiensi besar yang dijalankan dengan membeli sendiri mesin cetak di daerah dan membangun infrastruktur berita murah lewat Jawa Pos National Network (JPNN). JPPN

99

M. MA’RUF 100

ini mampu memasok berita-berita berharga murah dari dan untuk seluruh jaringan korannya sendiri di daerahdaerah, tanpa perlu membeli dari Lembaga Kantor Berita Antara. Jawa Pos juga membangun sendiri pabrik kertas koran untuk memasok kertas cetakan. Pabriknya yang kedua—di bawah Adiprima Sura Perinta—mampu memproduksi kertas koran 450 ton per hari. Selebihnya, lokasi koran di daerah memungkinkan Jawa Pos Group membayar gaji wartawan lebih murah, dari pada di ibu kota. Pendirian koran baru dilakukan dengan membentuk tim kecil atau semacam pilot project untuk mendirikan koran itu di daerah. Menempatkan orang-orang keper­ cayaan yang ahli dari pusat—mereka-mereka ini redak­ tur atau sekelasnya yang telah mapan di harian Jawa Pos—untuk memimpin. Orang-orang lokal direkrut untuk menjadi bagian dari tim, dan setiap posisinya ditentukan oleh kedudukan dalam investasi koran daerah. Berkat pendekatan manajemen yang tidak lazim ini, Dahlan membuka era baru konglomerasi media. Dia disebut sebagai salah satu raja media, mungkin tidak berlebihan menyebutnya sebagai Rupert Murdoch dari Indonesia. Khusus untuk Jawa Pos yang menyasar pembaca di Jawa (di Jakarta diterbitan Indo Pos), dalam 10 tahun oplahnya mencapai 600.000 eksemplar per hari. Dahlan adalah seorang wartawan yang memulai kariernya sebagai calon reporter sebuah surat kabar ke­ cil di Samarinda, Kalimantan Timur, pada 1975. Setahun kemudian, dia diterima sebagai wartawan majalah Tempo. Dahlan lahir bertepatan pada perayaan hari kemerdekaan Indonesia keenam, dari sebuah keluarga miskin di Magetan. Dia tidak memiliki cita-cita, ke­ cuali kesukaannya kepada jurnalistik, sejak nyantri di pesantren dan lulus Madrasah Aliyah Pesantren Sabilil Muttaqien, Takeran, Magetan. Melanjutkan

Bagian 3 – Biarkanlah Otak Anda Bekerja

kuliah di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel cabang Samarinda sampai tahun kedua, sebelum memulai karier kewartawanannya. Sifat workaholic ketika membangun Jawa Pos— Dahlan dikabarkan bekerja keras tanpa libur, hampir selama 15 tahun—membuatnya kehilangan hati. Penya­ kit ini meneror Dahlan—dengan vonis hidup tak lebih enam bulan—terlebih sebelumnya tokoh cendekiawan Nurcholish Madjid gagal setelah melakukan trans­ plantasi, dan meninggal ketika dirawat di sebuah ru­ mah sakit di Singapura. Sejak 7 Agustus 2007 Dahlan hidup dengan liver baru, hasil pencakokan di sebuah rumah sakit di Tianjin, China. Kini dia mempunyai dua “Mercy”. Satunya adalah mobil Mercedes seri 500 seharga Rp 3 miliar. Mercy yang lain adalah lambang di perutnya, bekas operasi transplantasi hati yang harga­ nya konon lebih dari harga mobil itu.[]

101

Ayam Bakar Wong Solo

Pers, Gosip, dan Kontroversi adalah Iklan Murah

P

uspo Wardoyo menjadi musuh bersama nyaris seluruh perempuan saat memprakarsai Poligami Award 2003—penghargaan yang diberikan kepada lakilaki yang memiliki banyak istri. Di luar keyakinannya bahwa itu dianjurkan agama, Presiden Masyarakat Poligami Indonesia itu begitu yakin salah satu kemajuan bisnis rumah makan Ayam Bakar Wong Solo adalah karena dia memiliki empat istri. Karena itu, dia santai saja dengan kampanye-kampanye poligami yang terangterangan menantang kelompok feminis, dan memicu serangkaian boikot terhadap rumah makannya. Sampaisampai istri Gus Dur, Sinta Nuriyah memprotes makanan yang dihidangkan pada Muktamar Nahdlatul Ulama di Solo, pada 28 November 2004, gara-gara hidangan dipesan dari rumah makan milik Puspo. Gagasan mendirikan organisasi untuk orang-orang yang terlibat poligami ini sebetulnya juga tidak disetujui komunitas poligami. Sahabat Puspo, Direktur Grup Rufaqa—holding dari Hawariyun—Mohamad Rizal Chatib termasuk yang menyayangkan hal itu. Tetapi, Puspo tidak ambil pusing dan terus berkampanye bahwa 102

Bagian 3 – Biarkanlah Otak Anda Bekerja

suatu bisnis bisa sukses dengan banyak istri. Dia adalah bukti nyata bahwa polemik adalah promosi yang luar biasa. “Saya harus menciptakan konflik terus-menerus di benak orang supaya orang membicarakan saya. Ini positif dan paling efektif. Karena ada kebenaran, tapi tak semua orang berani mengungkapkannya,” ujar Puspo. Pada akhirnya, teori ini terbukti dan setiap orang yang membicarakan poligami, Puspo beserta Ayam Bakar Wong Solo turut menjadi buah bibir, hingga keluar negeri. Sejak kecil Puspo yang anak pedagang daging ayam di pasar pagi Kota Solo sudah terbiasa menentang kelaziman. Puspo sendiri heran mengapa ayahnya yang hanya pedagang tetapi mampu menyekolahkan delapan anak sampai SMA—dengan empat di antaranya tamat perguruan tinggi, termasuk Puspo—justru berpikir Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah profesi yang hebat. Padahal, Puspo sebetulnya mengagumi profesi ayahnya yang menjual daging ayam ke pasar pada pagi hari, dan siang hingga malam membuka warung ayam di dekat kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Warung makan itu menyediakan menu siap saji seperti ayam goreng, ayam bakar, garang asem ayam, dan masakan ayam lain yang memiliki banyak pelanggan fanatik. Puspo kecil yang umur 13 tahun telah bangun pagi-pagi selepas shalat subuh. Membersihkan ayam untuk dimasak bersama saudara-saudaranya yang lain. Dia berhenti ketika jam sudah menunjukkan waktu berangkat sekolah. Ini membuatnya kehilangan banyak waktu untuk bermain-main, meski itu kemudian dibayar oleh kemampuan interaksi yang baik, karena rata-rata pembeli ayam di toko adalah pelanggan yang sama. Dia kemudian benar-benar membuat orangtuanya bahagia setelah menjadi PNS guru pendidikan seni di SMA Negeri I Blabak Muntilan setelah lulus dari UNS. Mula-mula dia merasakan enaknya menjadi

103

M. MA’RUF 104

PNS dengan gaji yang pasti setiap bulan dan mendapat kehormatan. Namun, setelah tiga tahun mengajar, dia tidak menemukan gairah dalam statusnya ini. “Hati kecil mulai gelisah. Kok rasanya mulai tidak cocok dengan panggilan jiwa saya, dan itu terus menghantui jiwa saya,” kenang Puspo. Banyak orang, termasuk teman dan handai taulan menganggap Puspo kehilangan akal sehat, ketika secara mendadak menyatakan telah menanggalkan status PNS dan memilih pulang kampung ke Solo untuk membuka warung ayam goreng di seputar pasar tradisional Kleco, Solo, pada 1986. Masa-masa setelah itu adalah fase yang berat bagi Puspo karena gagasan memiliki warung ayam yang lebih laris daripada ayahnya rupanya tidak mudah. Perkembangan bisnisnya datar, karena kota kecil itu sudah dikepung oleh sedemikian banyak rumah makan yang rata-rata juga mengandalkan menu ayam. Orangorang telah mengenali Puspo sebagai orang keras kepala yang telah termakan oleh khayalan menjual sepotong ayam bakar biasa membuatnya jadi orang kaya. Sampai suatu ketika Puspo bertemu dengan seorang perantau yang baru pulang dari Medan, Sumatera Utara. Tukang bakso itu bercerita bagaimana mudahnya menghabiskan dagangannya di sana. Peluang bisnis masih terbuka lebar, lebih-lebih untuk ayam bakar milik Puspo yang dipastikan bakal laku keras, karena belum ada makanan seperti itu di sana. Dengan enteng, tukang bakso itu juga mengatakan, pergi ke Medan tidak lebih jauh dari jarak Solo-Semarang. Angin surga itu begitu saja dipercayai oleh Puspo dan menemukan kembali obsesinya menjadi penjual ayam bakar. Lagi lagi ke­ putusan ganjil dia ambil dengan menyerahkan usaha lesehan ayam bakarnya kepada seorang teman dan per­ gi ke Jakarta. Tanah impian Medan juga membuatnya terpaksa menjilat ludah setelah terlebih dulu menjadi guru di Perguruan Wahidin di daerah Pelabuan Bagan

Bagian 3 – Biarkanlah Otak Anda Bekerja

Siapi-api, Sumatera Utara, yang dijalaninya antara 1989– 1991 untuk mengumpulkan modal. Di situlah Puspo bertemu rekan sejawat Rini Purwanti dan menikahinya. Ketika memutuskan pindah ke kota Medan, Puspo dan Rini bermodal hasil tabungan bekerja dua tahun sebagai guru sebesar Rp 2,4 juta. Uang itu hampir habis untuk menyewa rumah kontrakan dan membeli sepeda motor. Hanya tersisa Rp 700.000 untuk modal kerja berjualan ayam bakar seperti di Solo, menyewa tempat di Jl. SMA 2 Padang Golf Polonia, Medan. Tempat ini ramai karena dekat dengan Bandara Polonia. Mengapa tetap ayam bakar? Menurut Puspo bi­ dang itu merupakan wasiat langsung dari almarhum ayahnya. Tiga hari sebelum meninggal, dia berpesan kepada Puspo agar meneruskan profesi berjualan ayam bakar. Tekanan mental terhadap Puspo kembali datang, setelah istrinya yang diterima sebagai dosen di Politeknik Universitas Sumatera Utara merasa malu dengan status Puspo sebagai pedagang ayam bakar Puspo. “Mertua saya pernah pesan kepada istri saya, agar saya bertobat berdagang dan menjadi guru kembali,” ungkap Puspo. Lambat laun, warung makan Puspo yang hanya menyajikan menu Ayam Bakar berkembang. Puspo hanya menjual nasi dan ayam bakar, dengan rata-rata penjual­ an tiga sampai empat ekor per hari. Ini dilakukannya sendiri hampir satu tahun, tanpa keterlibatan Rini. Dia mulai tampak berhasil—dan ini adalah sebuah awal— ketika telah merekrut dua karyawati pada 1992. Suatu hari, salah satu karyawati itu berkeluh kesah kepada Puspo setelah rumah keluarganya akan disita karena terjerat utang kepada rentenir. Puspo dan istrinya kemudian merelakan sebagian tabungan sebesar Rp 800.000 untuk melunasi utang itu. Tidak lama berselang, Puspo didatangi seorang wartawan lokal dari Harian Waspada. Belakangan diketahui, kuli tinta ini adalah kawan dari suami karyawati yang ditolongnya. Sebuah

105

M. MA’RUF 106

tulisan feature di rubrik profil berjudul Puspo Wardoyo, Sarjana Membuka Ayam Bakar Wong Solo di Medan dimuat di koran itu. Sepotong artikel itu pada keesokan harinya membuat 100 potong ayam di warungnya ludes terjual, dan omzetnya terus membengkak dari hari ke hari. Tahun itu, dalam sehari Puspo mengantongi pen­ dapatan Rp 350.000 “Dari sini saya sadar dampak pemberitaan,” kata dia. Selebihnya, kisah pelunasan utang rentenir itu dibakukan dengan menyisihkan 10% keuntungan untuk kegiatan sosial. Puspo menikah lagi pada 1996 dengan Supiyati, gadis berusia 26 tahun yang bekerja sebagai karyawati di restorannya. Pernikahan ini tanpa sepengetahuan Rini, yang belum siap dimadu. Ibu enam anak ini menangis, sampai akhirnya menerima dan menemani Puspo dan madunya itu mencatatkan perkawinan ke kantor urusan agama. “Sebagai muslimah, saya menerima kehalalan poligami. Cuma, waktu itu saya belum siap,” tutur Rini. Setelah Supiyati melahirkan seorang anak, Puspo lagi-lagi menikahi karyawatinya bernama Anisa Nasu­ tion yang saat itu berumur 24 tahun. Pernikahan ini ditentang orangtua Anisa, meski kemudian berlang­ sung mulus setelah Rini kembali turun tangan mendam­ pingi Puspo melamar Anisa. Pada 1999, rumah makan ayam bakar milik Puspo bertambah menjadi empat dan karenanya dia segera mengawini istri keempatnya, Intan Ratih atas pilihan istri keduanya. Intan adalah karyawan restoran Ayam Bakar Wong Solo cabang Semarang, Jawa Tengah. Korelasi kuantitatif inilah yang kemudian membuat Puspo mengeluarkan tagline “banyak istri banyak rejeki”. Sampai April 2003, dari keempat istrinya Puspo dikaruniai 10 anak, sementara restorannya beranak-pinak menjadi 26 cabang di kotakota besar di Indonesia.

Bagian 3 – Biarkanlah Otak Anda Bekerja

Kisah sepotong artikel di Medan mendorong Puspo mulai mendalami cara kerja media. Dia mulai paham, untuk muncul ke media secara gratis tidak harus dengan membayar iklan yang mahal, melainkan mem­­ beri isu hangat kepada para jurnalis. Dia mulai me­ ngerti mengapa jurnalis rela menunggu puluhan jam agar tidak ketinggalan suatu peristiwa hangat. Dari sini, muncul ide untuk membuat sensasi, sekaligus—menurut keyakinannya—bagian dari dakwah. Jadi, sekali men­ dayung, mulai dakwah, bisnis dan ketenaran dapat terlampaui. Teori ini diterapkannya pada 2003 dengan merogoh kocek hingga Rp 2 miliar untuk biaya Poligami Award. “Ini puncak promosi saya,” ujar Puspo. Untuk program kampanye ini, Puspo membentuk sejumlah tim yang terdiri atas para wartawan di beberapa kota, antara lain Jakarta, Badung, Surabaya, Solo, Malang, Bali dan Medan. Setiap dua pekan tim itu rapat untuk menetapkan isu dalam satu bulan. Gagasan ini sendiri cukup berhasil, dan nama Puspo tiba-tiba meroket bah­ kan jauh di atas popularitas Ayam Bakar Wong Solo. Ini tentunya menjadi masalah. Dia lantas mengangkat isu mengenai sosok Puspo yang baik, sabar, penuh kasih sayang dengan keluarga, dan dermawan. Ini untuk meredam dendam kesumat kaum feminis, dan boikot terhadap produk Ayam Bakar Wong Solo yang mulai berdampak. Mungkin, ini kurang terpikirkan oleh Puspo, boikot itu lambat laun tampak memengaruhi bisnis ayamnya. Seorang blogger pada September 2007 menulis dengan judul Wong Solo Bangkrut? Penulis itu iseng mengirimkan SMS kepada sepuluh temannya dengan pertanyaan apa yang terlintas di benak Anda ketika melintas di depan Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo. Enam di antaranya menjawab poligami. Namun, lambat-laun masyarakat mulai lupa dan sekarang boikot itu tidak bergema.[]

107

GagasanGagasan Cerdas bagian

4

Bagteria

Anda Tidak Hanya Membeli Sebuah Tas Tangan. Anda Membeli Sebuah Karya Seni

N

ancy Go tidak pernah mengira Paris Hilton akan meluangkan waktu beberapa menit di stan kecilnya pada sebuah perhelatan Fashion Week di New York, Amerika Serikat. Apa yang membuat ratu pesta itu tertarik adalah tas-tas display Bagteria yang desainnya unik, beda dari yang lain. Sang selebritas menatap cukup lama untuk sebuah tas, menimbang-nimbang dan mengatakan ingin memilikinya. “Padahal, kami belum ada cadangan produksi lainnya, ya kami beri saja,” kata Bert, suami Nancy mengenang. Kisah manis itu tidak pernah terlupakan oleh suami istri Nancy Go dan Bert Ng sebab dari situ selebritis Hollywood lain mulai menunggu koleksi-koleksi terbatas Bagteria. Sekarang, Emma Thompson, Princess Zara Phillips, Martine McCutcheon, Audrey Tautou, dan Anggun C. Sasmi kerap kali dipergoki paparazzi menenteng tas Bagteria. Paris misalnya langsung mengenakan tas itu begitu dibeli, sementara Anggun menentengnya saat menghadiri Festival Film Cannes di Prancis. Para pesohor dunia itu barangkali tidak tahu, se­ bagaimana banyak orang Indonesia tidak mengenal 110

Bagian 4 – Gagasan-Gagasan Cerdas

bahwa tas-tas itu dibuat di sebuah rumah di Jakarta Barat. Pun, Bagteria sebetulnya sudah dijual di dua gerai; Plaza Indonesia dan SEIBU Departement Store. Mungkin karena harga tas itu cukup mahal, dijual paling murah Rp 2,5 juta dan bisa sampai Rp 10 juta. Nancy mengisahkan bagaimana seorang pemilik butik asal Korea Selatan terkejut mengetahui Bagteria adalah tas buatan Indonesia, bukan dari negeri pizza sebagaimana awalnya dia kira. Tetapi gara-gara ini, pemilik butik itu menawar harga tas Bagteria separuh dari harga yang dibandrol di luar negeri—tetapi Nancy menolak penawaran itu. Bagi Nancy ini wajar karena Bagteria memang lebih banyak dijual di luar negeri, melalui 30 butik yang tersebar di Amerika, Prancis, Jerman, Swiss, Kuwait, Inggris, Spanyol, Jepang, dan negara-negara maju lainnya, di mana harga Bagteria bisa lebih mahal tiga kali dari harga di Indonesia. Ada banyak alasan yang menurut Nancy membuat Bagteria begitu disukai oleh para penggila mode. Ciri tas-tas itu tampak berkesan vintage sehingga tidak akan pernah lekang di makan waktu. “Anda tidak hanya membeli sebuah tas tangan. Anda membeli sebuah karya seni,” kata dia. Sebuah tas bagi seorang perempuan bukan hanya sebagai wadah untuk meletakkan berbagai barang, tapi lebih bersifat personal, begitu prinsip Nancy dalam membuat setiap rancangan. Bagi kaum hawa, tepatnya, adalah gengsi untuk menyatakan jika tas yang ada di genggamannya hanyalah tas biasa dan kemungkinan besar mirip dengan tas yang berada di genggaman perempuan lainnya. Selain itu, sebuah tas juga bisa mengekspresikan karakter pribadi pemiliknya. Di sinilah arti sentuhan pribadi itu menjadi sangat berarti karena setiap orang memiliki kepribadian berbeda. Termasuk tingkat eleganitas dan eksklusivitas. Setidaknya hal ini pula yang mengilhami sebuah tas bermerek Bagteria— nama ini mulanya dipilih untuk menampakkan kesan

111

M. MA’RUF 112

humor, tetapi mengandung harapan mewabah seperti kata asli sebelum dipelesetkan, bakteri. Semuanya berawal ketika Nancy memperhatikan betapa bagus dan indahnya tas buatan tangan ibu dan tantenya meskipun sudah dipakai sejak keduanya berumur remaja. Desain tas itu tetap unik dan kekuatan jahitannya tidak kendor meski telah dimakan usia. Ketika dia mencoba membuat, banyak yang terkagumkagum. Keahlian membuat tas diperoleh sejak ia menyukai merajut kain pada usia 10 tahun. Ketika di sekolah, Nancy sudah dekat dengan guru pelajaran PKK (Pendidikan Keterampilan Keluarga) dan karena keterampilannya, sering ditunjuk sebagai asisten. Pada mulanya anak kelima dari tujuh bersaudara ini lebih tertarik kepada desain baju. Dia pernah belajar di sekolah mode Bunka School of Fashion di Jakarta, dan melanjutkan ke sekolah mode Susan Budihardjo setelah lulus SMA dan tercatat sebagai mahasiwa Akademi Kesenian Jakarta. Di situ dia berkenalan dengan si pe­ ran­cang mode perfeksionis Adrian Gan, dan sekarang melakukan fashion show bersama. Pada 2000, Nancy dan suaminya menyewa sebuah rumah di seberang tempat tinggalnya di Jakarta Barat untuk mengerjakan tas dengan lebih serius. Dia mem­ pekerjakan lima pekerja untuk merajut material-material mahal, seperti gading mammoth atau gajah purba dari Siberia dan kulit ikan impor asal Islandia. Ada pula kulit burung unta yang didatangkan dari Afrika, dan kristal Swarovski. Termasuk pernak pernik lain macam mother of pearls, tanduk rusa, dan perhiasan mahal lainnya. Dia mencari barang-barang tersebut langsung ke daerahnya, dan memanfaatkan momen refreshing ke Venezia atau Lake Como saat mampir ke Eropa untuk mencari bahan asli tasnya. Kini, Nancy memiliki 3 rumah produksi dengan 250 karyawan dan mampu memproduksi hingga 1.000 tas per bulan bulan. Dari jumlah itu, hanya 100

Bagian 4 – Gagasan-Gagasan Cerdas

tas yang dijual di Indonesia, selebihnya diekspor ke butik-butik mancanegara. Dia menjaga kualitas dan nama besar Bagteria dengan pembuatan yang detail dan jumlah yang terbatas. Setiap jenis tas hanya dipro­duksi 299 buah dengan warna yang terbatas. Untuk produk tertentu, kadang hanya tiga buah untuk seluruh dunia. []

113

J.CO

Ini Donat Asli Lokal

J

.Co hadir di Indonesia dengan membawa revolusi yang membuat bisnis donat menjadi fenomenal. Donat-donat dengan nama eksentrik seperti Da Vin Cheez, MONA PIZA, Alcapone, dan Why nut. Interior cantik semisal menggunakan cangkir yang disusun secara asimetris seperti kancing. Tak ketinggalan, ben­ tuk promosi yang unik (setiap gerai J.Co di Jakarta pernah memasang replika penjara Al Capone untuk mempromosikan donat Alcapone). Di setiap gerai, pembeli juga bisa melihat langsung proses pembuatan donat, mulai dari pengadonan sam­ pai siap disajikan. Konsep toko donat yang open kitchen ini belum pernah ada di Indonesia sebelum J.Co memperkenalkannya—Krispy Kreme dikenal sebagai restoran donat yang gerainya open kitchen, tetapi itu di Amerika dan Kanada. Wajar banyak orang yang kecele saat Johnny Andrean membuka gerai donat dan kopinya yang pertama di Supermal Karawaci Tangerang. Banyak orang yang berpikir J.Co adalah waralaba dari luar negeri. “Lihat saja konter minumannya. Mirip Starbucks Coffee kan?” kata seorang pelanggan setia setahun lebih setelah gerai pertama J.Co dibuka. 114

Bagian 4 – Gagasan-Gagasan Cerdas

Johnny menciptakan waralaba donat dan kopi lokal berskala inter­nasional, J.Co Donuts and Coffee pada 26 Juli 2005. Mulanya, pemi­lihan gerai pertama di Super­mal Karawaci untuk menjalankan konsep awal yang telah dipersiapkan sejak beberapa tahun, yaitu menyasar pembeli ber­ kantong tebal dari kalangan anak muda usia sekolah dan universitas, serta ekspatriat. Pusat perbelanjaan itu dekat dengan Sekolah Pelita Harap­ an—sekolah elite milik Lippo Group. Beberapa bulan kemudian, donat itu justru menjadi tren yang meluas, dan kelembutannya memikat ibu-ibu muda. Perkiraan awal bahwa donat itu hanya akan dibeli sekelompok orang tertentu telah meleset. Semua kalangan tampak antusias dengan sensasi donat-donat J.Co. Pada tahun yang sama, J.Co sudah membuka dua gerai di Kuala Lumpur dan satu di Singapura. Di Tanah Air, gerai J.Co tumbuh seperti bayi ajaib—dalam waktu dua tahun telah berdiri 24 gerai, dan setahun kemudian jumlahnya menjadi dua kali lipat. Tahun ini diperkirakan gerai J.Co mencapai 100. Tiba-tiba saja, kafe butik J.Co yang menjual donat­ nya lebih mahal menjadikan Dunkin’ Donuts yang sudah ada di Tanah Air sejak 1985 tampak lebih kuno, dan turun kelas. Beberapa orang menyebut rasa donat Johnny itu terasa lebih luar negeri dari produk asal Amerika Serikat itu. Mungkin dengan kelembutan tangan dan kepekaan perasaan Johnny, donat-donat itu terasa lembut di mulut—Anda seperti memakan kapas. Donatdonat yang lebih lembut itulah ciri khas J.Co. Johnny

115

M. MA’RUF 116

menciptakan rasa orisinal seperti tren baru yang diburu, mirip potongan rambut baru yang dikenalkan kepada para pelanggan di salon. Bagaimana dia melakukan­ nya tidak lain karena Johnny adalah seorang stylist. “Agar donat bisa menjadi life style,” katanya. Ketika mendirikan J.Co, Johnny lebih dikenal sebagai pemilik 200-an gerai Johnny Andrean Salon. Tahun 2007, dia membawa 35 gerai waralaba roti merek BreadTalk dari Singapura ke Indonesia. Bagi anak rantau ini adalah sebuah kesuksesan yang luar biasa. Dilahirkan separuh abad silam, di Singkawang, Kalimantan Barat, Johnny adalah anak seorang penjual hasil bumi dan pengelola salon. Johnny menuju Jakarta tahun 80-an berbekal ilmu salon dari ibunya dan mampu bertahan hidup dengan mendiri­ kan salon kecil di Jakarta Utara. Berbagai temuan gaya rambut dan rias wajah itu dipelajarinya di Vidal Sasson Academy London, Alexander de Paris, Prancis, Tony & Guy Academi London serta Trevor Sorbie Academi London. Gita Herdi, sahabat dekat Johnny sekaligus Public Relation Johnny Andrean Corporate mencerita­ kan, bosnya itu pada mulanya terinspirasi donat-donat yang ditemuinya saban kali pergi ke Amerika Serikat. Mulanya, Johnny ingin melengkapi bisnis waralaba BreadTalk yang telah lebih dulu sukses sehingga tinggal mengulangi lagi dengan konsep serupa; membeli satu waralaba donat di Amerika Serikat dan membukanya di Indonesia. Namun, donat yang hendak dibeli hak waralabanya itu terlihat memiliki banyak kelemahan, mulai bahan baku hingga proses produksi yang kurang menjaga kualitas. Entah dari mana kepiawaian memasak donat yang lebih enak itu datang. Tetapi Johnny akhirnya lebih memilih mengambil beberapa konsep penjualan donat di luar negeri dan memodifikasi proses pembuatan donat di negeri itu. Sepulangnya ke Indonesia, dikembangkanlah

Bagian 4 – Gagasan-Gagasan Cerdas

toko donat dengan konsep, bentuk, dan rasa yang mirip dengan toko-toko donat di Negeri Paman Sam. Donatdonat itu dibuat dengan menggunakan mesin modern, mulai dari adonan, memasak hingga pengglasuran dan menutup permukaan donat dengan bahan-bahan yang menjadi ciri-ciri setiap jenis donatnya. Hampir separuh bahan baku diimpor, cokelat dari Belgia dan susu didatangkan dari Selandia Baru. Biji kopi untuk minuman didatangkan dari Italia dan Kosta Rika. Gerai J.Co adalah gabungan dari berbagai konsep yang dipelajarinya dari berbagai belahan dunia, Eropa untuk memelajari urusan penyajiannya, serta Jepang untuk urusan display. Untuk menu-menu baru, Johnny memiliki bebe­ rapa spesialis donat dan kopi. Para spesialis yang di­ tampung dalam pusat pengembangan dan riset ini se­ macam ilmuwan yang bertugas menemukan donat dan minuman baru. Usaha ini juga banyak dijalani oleh anak-anak muda. Fase manusia yang menurut Johnny tidak merepotkan karena tidak mudah ber­politik. “Kalau sudah senior, biasanya dia akan berpo­litik. Ini mengganggu pekerjaan,” kata dia. Untuk memasar­ kannya, Johnny lebih percaya kekuatan public rela­ tions daripada iklan-iklan mahal di televisi dan koran. Sistem getok tular tampak lebih efektif seperti membuat halaman fans di situs jejaring facebook. Ke depan, Johnny masih ingin bereksperimen dengan kue. Dia menyiapkan konsep kafe J. Lato dengan mengirimkan tim risetnya ke Remini dan Bologna Italia. “Remini itu pusat gelato paling enak,” tukas­nya. “Saya akan ciptakan gelato dengan rasa ketan item. Ini orisinal rasa Indonesia,” kata dia. Bila ini berhasil, maka akan tercatat sebagai bisnis keempat yang semakin mengokohkan kemampuan Johnny menggabungkan dandanan dan makanan dalam satu gaya hidup.[]

117

NCS

Lihatlah Bagaimana Komputer Mengubah Nasib Anda

B

udiyanto Darmastono, anak guru di Karang Anyar adalah orang yang menganggap bekerja dengan orang selama 15 tahun terlalu lama untuk bisa menjadi kaya. Ini dibuktikan dengan cara mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai akuntan perusahaan kartu kredit berlisensi internasional, Dinners Club, untuk menekuni usaha mengantar surat. Tak sampai 15 tahun kemudian, omzet bisnisnya sudah lebih dari Rp 9 miliar per bulan, dan Budiyanto bisa lebih sering menikmati aktivitas barunya sebagai politisi—dia Ketua Umum Partai Sejahtera Indonesia. Ide mengantar surat itu muncul tidak jauh dari tempat dia bekerja. Bertahun-tahun perusahaan yang menawarkan kartu kredit selalu membutuhkan orang— biasanya mengendarai sepeda motor dan masuk ke kantor tanpa melepas jaket—yang mengantar invoice, atau sekadar buletin bulanan. Pada mulanya, dia mengincar bank yang memang memiliki banyak nasabah kartu kredit dengan menawarkan jasa kurir. Sampai dengan 1997, jumlah pemegang kartu kredit masih di bawah angka 1 juta orang (pada 2008 118

Bagian 4 – Gagasan-Gagasan Cerdas

jumlahnya sudah melampaui 11 juta). Waktu itu, jasa kurir pengiriman surat-surat sudah ada, namun Budiyanto menemukan cara tepat untuk bisa memberi fitur pelayanan yang lebih baik dan berbeda. Desember 1994, dia mendirikan NCS, singkatan dari Nusantara Card Semesta dengan modal pinjaman sebesar Rp 24 juta. Dia mengontrak rumah di Jalan Tali, Jakarta Barat, untuk dijadikan kantor. Awal 1995, kantor NCS mulai beroperasi dan dikelola oleh istrinya, Reni Sitawati Siregar dengan beberapa staf, sementara tugas mencari klien dikerjakan Budiyanto dari kantor—dia menjadi sering berdalih sakit untuk mendapatkan izin tidak masuk. Tahun-tahun itu, kinerja Budiyanto sangat buruk dengan banyaknya absen, tetapi bosnya tidak mengetahui itu. Pada 1996 dia memutuskan keluar dari pekerjaannya, meskipun istrinya khawatir keputusan itu salah, karena omzet pengiriman surat masih kecil. Budiyanto lebih serius dan memperbaiki proses kerja pengiriman surat dengan mengoptimalkan komputer. Mungkin terinspirasi sistem kerja perusahaan ekspedisi besar, macam DHL dan TNT yang sudah lama memiliki fasilitas online tracking—untuk mengecek status barang kiriman klien. Gagasan briliannya itu mengandalkan dua komputer yang selama ini tampak hanya seperti pajangan kantor semata. Mula-mula Budiyanto memasukkan setiap data pengiriman surat milik klien ke komputer ke dalam satu kelompok database dan pelaporan. Setidaknya dengan itu dia bisa menjawab secara langsung bila sewaktuwaktu kliennya menelepon dan menanyakan status suratnya. Komputer ini membuatnya bisa bekerja lebih efektif, dan mengurangi kekhawatiran pelanggan. “Saya berpikir bahwa sistem computerized pasti akan lebih cepat, tepat, dan dipercaya klien” ujar Budiyanto. Dengan fitur baru ini, satu per satu klien mulai berpindah ke NCS, karena nilai tambah yang diberikan.

119

M. MA’RUF 120

Dengan informasi itu, para kliennya bisa menyampai­ kan kepada nasabah-nasabahnya tentang status “per­ jalanan” surat-surat yang akan diterimanya. Hasilnya, hampir semua bank papan atas kini menjadi klien, seperti Citibank, HSBC, BCA, Bank Mandiri, Bank Permata, Bank Bukopin, dan Bank Danamon. Kemudian Budiyanto merambah klien lain, perusahaan asuransi, yang pasti mengirimkan laporan bulanan unit link mi­ lik nasabahnya. Bisnis NSC kemudian semakin berkem­ bang. Karena kecepatan informasi yang ditawarkannya, pelanggan tidak hanya ingin mengirimkan surat, tetapi juga barang ke seluruh Indonesia, seperti produsen elektronik Sharp Indonesia dan Olympus. Sekarang, sistem komputerisasi pengiriman diper­ canggih dengan investasi miliaran rupiah. Satu cara yang membuat kecanduan bagi klien adalah instal gratis program untuk mengecek status barang kirimannya. Ini membuat pelanggan bisa mengecek setiap hari ratusan item barangnya dari kantor. Pelaporan-pelaporan yang akurat dan tepat waktu itu begitu disukai klien. Ini adalah layanan yang benar-benar membedakan mereka dengan kompetitor, lebih-lebih promo satu bulan gratis yang membuat mereka dikenal sebagai kurir yang tidak mata duitan, tetapi mementingkan pelayanan terlebih dahulu. Selain sistem komputer yang banyak membantu, Budiyanto memperkuat tenaga kurir yang kuat. Pada setiap kelurahan di Jakarta, terdapat empat kurir yang bertugas mengantar surat dan barang. Walaupun sukses di dunia kurir, kepiawaian Budiyanto mendapatkan hati konsumen belum cukup men­jadikannya sebagai politisi andal. Partai yang didirikan sebagai kontestan baru tidak terdengar gaungnya, meskipun NCS tampak berperan banyak dalam mengembangkan jaringan di daerah dalam waktu hanya setahun sehingga lolos verifikasi untuk mengikuti Pemilu 2009.[]

Hotline Advertising

Hidup ini Seperti Tumpeng

T

iga baris kata, Bersama Kita Bisa, mampu mem­ buat mantan menteri yang dipecat menga­lahkan presidennya pada pemilihan umum presiden 2004. Se­ mentara pilihan kata tidak lazim seperti Coblos Kumis­ nya, juga manjur memoles wakil gubernur incumbent yang susah tersenyum, mengatasi pesaing baru yang tampak lebih ramah dan didukung partai di basis pe­ milihnya—Partai Keadilan Sejahtera—pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2007. Itulah yang dikerjakan Subiakto Priosoedarsono dan istrinya Aan Anggraeni di Hotline Advertising, sebuah perusahaan pembuat iklan yang didirikan 1989. Kata kunci yang menyegel kemenangan itu dibuat sangat simpel, dan efektif justru karena kesederhanaannya. Memoles kembali—istilah Subiakto adalah rebrand­ ing—pejabat publik yang sudah dikenal menjadi orang yang benar-benar lebih baik di mata pemilih adalah pekerjaannya. “Semakin sederhana justru semakin sulit pengerjaannya,” katanya. Pada 21 April 2004 dia diundang tim sukses pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla—Kemudian 121

M. MA’RUF 122

dua nama ini dia permak menjadi lebih singkat; SBY-JK yang masih dikenal publik sampai keduanya pisah pada Pilpres 2009. Subiakto disodori daftar tim kampanye dan setelah riset diketahui, keduanya kurang piawai dalam hal politik, namun memiliki keahlian di bidang masing-masing. Kekurangan itu rupanya bisa ditutupi dengan slogan yang dia ciptakan, Bersama Kita Bisa. Rumus serupa dipakai saat disewa Fauzi Bowo dan Prijanto memenangi Pilkada DKI Jakarta. Untuk menggarap segmen politic marketing, Subiakto membentuk divisi khusus, Brand In Action (BIA). Pilpres 2004 adalah pengalaman pertama Subiakto me­nangani klien untuk urusan “memasarkan orang”, dan meskipun sudah berpengalaman 25 tahun di dunia kreatif, dia banyak menemukan kesulitan. Ada pameo di dunia periklanan bahwa iklan tak bisa membuat produk jelek menjadi baik, sebaliknya produk baik bisa jadi jelek karena iklan yang salah strategi. Dia bekerja siang malam untuk itu. Setelah mengamati spesifikasi kliennya dan mendapati bahwa Foke sudah bertahuntahun bekerja di pemerintah daerah dengan jabatan terakhir wakil Sutiyoso, sebuah hadis Nabi memberinya ide besar. “Apabila engkau menyerahkan urusan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.” Maka jadilah slogan Serahkan Pada Ahlinya untuk men­ dampingi slogan resmi Jakarta untuk Semua. Iklan ini cukup telak menohok saingannya, Adang Daradjatun. Sehari menjelang hari pencoblosan, Subiakto mengatur Foke makan siang di warung makan Soto Pak Kumis di Jalan Blora, Jakarta. Kliennya ini akhirnya menang. Dua klien kampanye politik ini cukup untuk membuat nama Hotline Advertising harum, setelah menghabiskan waktu puluhan tahun di belakang layar. Sebelum SBY dan Foke, sudah ratusan produk terjual untuk memberikan keuntungan luar biasa bagi para klien-kliennya. Hotlinetama Sarana yang menaungi

Bagian 4 – Gagasan-Gagasan Cerdas

Hotline Advertising didirikan pada 1989 sebagi sebuah konsultan agensi periklanan dengan seorang sekretaris dan satu pesuruh kantor. Anda tentunya masih ingat bunyi iklan, Sakura lebih indah dari warna aslinya. Orang dewasa sekarang juga masih ingat kapan pertama kali model cantik yang kemudian tenar Elma Theana mengucapkan Xon-Ce-nya maaannna? untuk memopulerkan tablet isap vitamin C keluaran Kalbe pada awal 1990-an. Atau, jingle Digitec memang mooi” untuk produk televisi dan kalimat “Extra Joss, ini biangnya buat apa beli botolnya”, dari Bintang Toedjoe untuk memasarkan minuman energi di tengah kepungan kemasan botol seperti Kratingdaeng. Di situs resmi perusahaan terpampang, klien-klien besar seperti Bank Mandiri, Telkomsel, dan Gubernur Sumatera Selatan Syamsul Arifin—yang didukung PKS—dan kemudian memenangi Pilkada 2008 dengan slogan Ayo Besarkan Sumatera Utara! Subiakto mengibaratkan perjalanan kariernya se­ bagai tumpeng, dan ingin selalu menjadi katak besar di kolam yang besar. Pria kelahiran Probolinggo, 24 Agustus 1949 ini jago membuat komik, dan masih mengerjakan hobinya itu sebagai kerja paruh waktu. Gambar komiknya memikat pemilik Guru Indonesia— perusahaan milik investor Eropa yang memproduksi pembungkus—yang kemudian menawari kerja penuh waktu. “Dia tanya berapa saya harus dibayar kalau bekerja fokus? Saya bilang, ya harus dibayar juga dengan penghasilan saya kalau bikin komik,” kata Subiakto. Perusahaan itu setuju, dan di usia yang masih belia, sekitar 1970-an, Subiakto mengantongi gaji USD 2.000 per bulan sebagai art director. Salah satu buah pikirnya di situ adalah kemasan deterjen Rinso, susu merek Ultra, dan Teh Botol Sosro, yang sampai sekarang botolnya belum diubah. Tetapi, klien Sinar Sosro itu sebetulnya adalah proyek pribadi, karena dia berperan bukan saja

123

M. MA’RUF 124

pada kemasan tetapi mengubah huruf Teh Botol yang meliuk seperti huruf merek Coca Cola. Ide-ide cerdas Subiakto itu membuat Menteri Per­ industrian mengirimnya untuk belajar desain produk di JK Design Centre, Tokyo, Jepang. Setelah Guru, dia pernah bekerja dalam posisi yang sama di PT Nirwana Ohoto dan akhirnya keluar berwiraswasta dengan ko­ leganya membuat konsultan agensi periklanan bernama B & B Advertising. Sepuluh tahun kemudian, pria yang masih memelihara rambut panjang dan bekas anak band ini mendirikan Hotlinetama Sarana, setelah melihat peluang besar di balik pendirian televisi swasta pertama, RCTI, yang mengudara pertama kalinya de­ ngan memasang sekitar 70.000 buah dekoder dengan waktu tayang selama 18 jam per hari pada 1989. Momen ini dimanfaatkan untuk mengembangkan jasa, dari sekadar agen periklanan hingga membangun rumah produksi sendiri. Subiakto menggarap ide-ide kreatif untuk produksi iklan sendiri, atau program di televisi-televisi swasta. “Saya tak cukup puas untuk men­ jual ide, tetapi bagaimana menjual story board yang hanya dua halaman bisa bernilai miliaran rupiah, itulah sebuah tantangan sebenarnya,” kata dia. Saat krisis ekonomi 1997, Hotline masih bisa bertahan dengan beberapa iklan-iklan layanan masyarakat, seperti “Yaa Nabi Yaa Salam”, “Indonesia Bersatu”, “Pemberantasan Nyamuk Berdarah” dan “Aku Anak Sekolah” yang kerap menghiasi layar kaca. Pada 1998, omzet Hotline masih bisa mencapai Rp 40 miliar. Tetapi memasuki era milenium, Subiakto yang sakit parah, dan perusahaan yang sangat tergantung kepada sosoknya itu nyaris bangkrut dengan utang hingga Rp 4 miliar, serta ditinggalkan oleh banyak tenaga profesionalnya. “Wah, aset kami habis satu per satu untuk melunasi utang” kenang Subiakto mengenai masa-masa sulit itu.

Bagian 4 – Gagasan-Gagasan Cerdas

Subiakto kini melibatkan seluruh anggota keluarga­ nya. Istrinya, Aan Anggraeni kini menjabat sebagai komisaris, produser eksekutif, dan manajer operasio­ nal. Sementara dia sendiri memangku jabatan Presiden Direktur. Ketiga anaknya kini juga bekerja sebagai profesional. Tya bertanggung jawab dalam pembuatan jingle iklan. Adapun Dion dan Sati dilibatkan pada pengelolaan keuangan, produksi, dan pascaproduksi. Selain pemasaran politik, Hotline Advertising tetap menawarkan jasa rumah produksi musik untuk jingle iklan, juga mencakup bisnis rumah produksi TVC dan program on air, coorporate positioning dan riset merek, public relation, dan lainnya dengan jumlah pegawai hampir 200 orang.[]

125

B&B Inc

Anak Muda Selalu Ingin Bergaya

P

endiri dan pemilik Blessed and Blessing Incorpora­ tion mungkin tidak seterkenal tas-tas punggung buatannya. Ya, siapa yang tidak kenal dengan merekmerek Eiger, Exsport, Neosack, dan Bodypack? Tetapi amat jarang orang mengenal pribadi low profile Ronny Lukito, seorang yang justru sukses membalas dendam kegagalannya melanjutkan kuliah, dengan mengawali sebagai pembuat tas yang disukai anak sekolahan pada 1980-an di Bandung, Jawa Barat. Kisah Ronny adalah satu dari puluhan kisah peng­usaha yang merintis perusahaannya dari nol— kini dia memiliki klub kuda, bisnis properti, resor, karaoke, hingga kelab malam di Bali. Anak ketiga pasangan Lukman-Kurniasih, ini ketika masih sekolah sudah memiliki bakat berusaha. Berjualan susu yang dibungkus dengan plastik-plastik kecil, diikat dengan karet untuk dijual kepada teman sebayanya. Selepas lulus Sekolah Teknik Mesin pada 1979, entah dari mana ide itu berasal—tetapi Bandung adalah pusatnya produksi jeans dan dia adalah anak penjual tas di Jalan ABC, Bandung—Ronny memulai impiannya dengan 126

Bagian 4 – Gagasan-Gagasan Cerdas

melego barang-barang pribadi, seperti radio tape, untuk membeli dua mesin jahit guna membuat tas. Kekurangan modalnya ditambal dari arisan dengan rekan-rekannya, sehingga terkumpul dana Rp 300.000. Ronny menggagas ide pembuatan tas setelah meng­ amati model tas anak-anak sekolah tampak membosan­ kan, jadul. Bagi anak-anak perempuan berseragam putih abu-abu, ini adalah persoalan serius karena tanpa tas-tas yang modis akan sangat kesulitan untuk tampil berbeda. Nah, tas mungkin satu-satunya aksesori yang bisa tampil beda tanpa sensor para guru. Maka lahirlah kemudian sebuah tas model baru yang tidak lazim dari Ronny. Tas itu aneh karena tidak biasanya berada di samping, melainkan di punggung. Tas desain Ronny adalah tas punggung dengan desain yang unik dengan kesan sangat sporty—anak-anak muda sangat menyukai sebutan ini. Tas itu memiliki desain yang simpel, pilihan warna yang tidak norak dan jahitan yang rapi tetapi kuat. Material kain juga lebih bagus dari yang ada di pasaran. Tiba-tiba saja, tas itu menjadi tren yang meluas dari hanya di lingkungan pelajar SMA ke bangku kuliah, tempat sebagaimana impian Ronny setelah STM. Di awal-awal, penggunaan label tas dengan kata Exxon (perusahaan minyak dan gas asal Amerika Serikat, Exxon Mobile) sebetulnya untuk menambah kesan kebaratbaratan dan memang cukup membantu penjualan— sebenarnya ini salah, sebab, imej kebarat-baratan lebih cocok dengan istilah import. Nama itu pada mulanya hasil keisengan Ronny dari sebuah katalog berisi profil perusahaan-perusahaan terkemuka di dunia, milik saha­ batnya yang baru pulang dari Amerika. Namun, ketika tas itu menjadi booming segera menimbulkan masalah karena manajemen Exxon keberatan namanya dicatut, dan meminta agar merek itu diubah. Oleh Ronny kata Exxon diubah menjadi Exsport, dengan menghilangkan suku kata xon. “Tambahan kata ‘sport’ itu menunjukkan

127

M. MA’RUF 128

produk tas kita cocok untuk kalangan muda yang sportif,” kata Ronny. Pada 1987, Ronny mendirikan pabrik yang lebih modern di daerah Kopo, Bandung, dan memulai ser­ angkaian diversifikasi model tas secara lebih serius. Rupanya, gagasan tas yang sportif sudah tidak bisa lagi menampung kompleksitas mode anak-anak sekolahan yang terbagi menjadi tiga, SLTP, SMA, dan kuliahan. Setiap fase disadari memunculkan kebutuhan masingmasing akan sebuah tas yang generik. Ini adalah ceruk pasar yang luar biasa, sehingga tas Exsport mulai di­ khususkan untuk pembeli remaja putri putih abu-abu dan kuliahan. Dia lantas merilis merek baru, Neosack bagi anak-anak SLTP yang tampak lebih membutuhkan fungsi-fungsi tambahan daripada sekadar gaya. Adapula Bodypack yang masih mengusung desain-desain sportif tetapi lebih unik dan simpel menyasar anak muda jalanan. Ronny membuat puber kedua pada bisnis tasnya setelah merilis tas Eiger yang mulai diproduksi pada 1993—brand ini mencatut sebuah nama gunung di Swiss. Tampaknya dia terlalu pintar untuk ditandingi ratusan pembuat tas di Bandung, karenanya dia bisa membaca pergeseran tren jiwa anak muda yang kian menggandrungi aktivitas olahraga yang lebih menantang, dan ekstrem rupanya adalah pasar baru yang luar biasa. Dalam tempo singkat, tas ini merajalela di kampuskampus, mungkin terdorong oleh imej pemberani dan rebel bila memakainya. Para mahasiswa justru menyukai pelbagai keruwetan aksesori tas Eiger yang kadang terlalu banyak saku dan tali, karena memang didesain untuk bisa mengangkut barang pendaki gunung. Bahkan sejumlah aksesori mulai dari topi, baju, kaos, sandal gunung hingga dompet lipat menjadi incaran, karena tentu saja murah dan bagus. Malah, percaya atau tidak, sekarang ini akan lebih mudah menemukan pekerja

Bagian 4 – Gagasan-Gagasan Cerdas

muda kantoran yang memakai tas punggung daripada koper ala eksekutif 1980-an. Saking tingginya permintaan, Ronny mendirikan anak usaha baru untuk memproduksi tas Eiger, setelah pesanan ala maklon membuat mutu Eiger merosot. Orang di balik tas fenomenal Eiger adalah Mamay S. Salim, seorang konsultan khusus yang dibayar Ronny untuk menciptakan desain tas-tas Eiger. Awalnya dengan mempelajari tas-tas mountainering dan climbing buatan luar negeri lalu memodifikasinya. Hanya butuh waktu dua tahun untuk membooming-kan tren tas baru ini, dengan tidak menggusur Exsport. Salah satu caranya adalah promosi murah dengan mensponsori para pecinta alam. Ini rupanya praktik promosi jitu yang lebih efektif dan murah ketimbang beriklan di televisi. Popularitas Eiger juga terbantu oleh department store yang marak menjelang 1990-an, meski Ronny sempat ditolak hingga 13 kali oleh manajemen Matahari untuk bisa memasarkan Exsport di sana. Dari sini meluas ke mana-mana, Ramayana, Robinson, Carrefour, hingga jaringan toko-toko buku seperti Gramedia, dan Gunung Agung. Belum lagi tokotoko resmi di setiap daerah. Sampai dengan 2006, Blessed and Blessing In­ corporation lewat pabrik Exsport dan Eiger melempar puluhan ribu tas di pasar untuk dikonsumsi anakanak sekolahan yang tidak pernah habis. Desain tas juga semakin beragam mulai dari tas kasual hingga se­ lempang. Mereka sudah menjual tasnya itu ke Libanon, Singapura, Filipina, dan Jepang. Baik Exsport maupun Eiger adalah produk premium, dan dijual agak lebih mahal dari produk sejenis. Sebagian bahan baku masih diimpor, yang menjadi hambatan besar Ronny mengalahkan produk tas buatan China yang sekarang membanjiri 80% pasar tas dunia.[]

129

Mizan

Kombinasi yang Pas: Kualitas, Momentum, dan Keberuntungan

S

iapa yang tidak tahu “Laskar Pelangi” baik versi ce­ tak maupun layar lebar? Kisah masa kecil Andrea Hirata, karyawan Telkom Bandung, di Pulau Belitong yang ditulisnya dalam beberapa pekan itu bak mantra baru yang menyihir semua orang, tua, muda dan re­ maja, entah itu penikmat sastra maupun orang yang baru pertama kali membaca novel. Pembacanya terbuai oleh gaya bertutur Andrea, dan terinspirasi oleh bagai­ mana pria lulusan Universitas Sorbonne, Prancis ini mengisahkan pendidikan di bangku sekolah dasar. Sementara versi bukunya diapresiasi pembaca de­ ngan sangat antusias, sebanyak 1,5 juta penonton men­je­ jali pemutaran perdana versi film itu di bioskop-bioskop dalam dua pekan. Adapun Andrea yang baru pertama kali menulis novel itu tak kurang langsung melejit sebagai novelis papan atas. Itu semua sepertinya mimpi yang menjadi kenyataan atau kebetulan, sebagaimana banyak diungkap bahwa kolega Andrea—teman di kantornya yang mengirimkan naskah itu ke Penerbit Bentang, Yogyakarta—sebagai kunci novel terbaik itu bisa dibaca jutaan orang. Tetapi 130

Bagian 4 – Gagasan-Gagasan Cerdas

bila menyebutnya sebagai keberuntungan, Haidar Bagir­ lah yang tampak sebagai pemilik pintu yang berse­dia membukakan gemboknya. “Ketika ke Yogya, saya ditun­ jukkan naskah buku itu. Saya langsung bilang, terbitkan. Sudah dengan judul Laskar Pelangi,” kenangnya. Haidar sekarang adalah CEO Mizan Group, induk usaha yang menaungi Penerbit Bentang. Dia berkata, keberhasilan buku Andrea itu adalah gabungan antara buku yang berkualitas, hadir di saat yang tepat, dan faktor keberuntungan yang jelas-jelas tidak bisa dimungkiri. Lepas dari segala gemerlap kesuksesan buku ter­ bitannya itu, tampaknya ketiga kombinasi sukses itu adalah dejavu Mizan ketika didirikannya bersama Ali Abdullah, dan Zaenal Abidin pada 1983 di Bandung. Ketiganya adalah anak-anak muda, aktivis Islam masjid yang tengah menikmati arus besar perubahan paradigma Islam di Indonesia, dan lebih memilih menyisihkan uang bulanan untuk membeli buku-buku. Bedanya mereka dengan cepat menangkap bahwa kegemaran mencari referensi baru untuk berdiskusi mengenai Islam adalah peluang bisnis masa depan. Tahun 1982, saat masih kuliah di Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Bandung, Haidar, Ali, dan Zaenal merintis Mizan—dengan dukungan modal dan manajemen dari dua mentornya, Abdillah Toha dan Anis Hadi. Buku terbitan perdana mereka adalah Dialog Sunnah-Syi’ah yang langsung membetot mata pembaca muslim, lantaran sentimen anti-syiah yang tengah me­ landa umat. Pada tahun pertama, menyusul Dialog SunnahSyi’ah langsung terbit enam buku terjemahan lain karya ideologis yang menggugah, Ali Syariati, Murtadha Muthahari, dan Muhammad Husain Thabathai. Bukubuku itu, bersama 22 terbitan lain pada tahun kedua membuat Mizan langsung tercatat sebagai penerbit

131

M. MA’RUF

bermutu, lantaran menerbitkan buku dengan bobot ke­ ilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Mizan bukanlah pioneer dalam urusan menerbit­ kan buku-buku bertema pemikiran Islam. Ada Pustaka Salman (1980) yang telah lebih dulu populer setelah menerbitkan karya-karya populer Fazlur Rahman, dan Edward Said. Di Yogyakarta, tahun 1983 juga muncul Shalahudin Press yang juga lahir dari rahim aktivis masjid Salman di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Keempatnya—bersama Gema Insani Press (1986) adalah penerbit yang muncul karena permintaan, seperti halnya paradoks hukum ekonomi demand created own supply. Dekade itu, kalangan terpelajar Islam, terutama di kampus-kampus “sekuler” tengah jengah dengan per­ tikaian Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang tak

132

Bagian 4 – Gagasan-Gagasan Cerdas

kunjung padam. Pun, depolitisasi kampus dan Islam oleh kebijakan Orde Baru justru membuat mereka ke­ ranjingan mencari pelampiasan aktualisasi nilai-nilai di luar dunia politik. Lebih-lebih keberhasilan revolusi Islam di Iran 1979 menggulingkan rezim Syah Pahlevi dukungan Amerika Serikat telah membakar semangat revolusioner kaum muda Islam Indonesia. Alhasil buku-buku impor intelektual dan ulama Timur Tengah laris manis—antara 1984 sampai 1987 ribuan bukubuku Islam beredar di pasaran—dan itulah momentum kejayaan pertama yang tidak pernah mereka lupakan. Tetapi bisnis penerbitan tidak pernah bisa dijalan­ kan dengan mudah, terutama untuk bangsa dengan rerata minat baca rendah. Lebih-lebih menemukan pe­ nulis bermutu yang sudah seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Mizan misalnya harus berburu pe­ nulis, jemput bola dan memesan sebuah naskah untuk diterbitkan—belum lagi, porsi keuntungan yang lebih besar justru diperoleh agen penjual. Ini misalnya dilakukan Haidar ketika harus berburu penulis lokal di Yogyakarta saat merintis usahanya— ini masih dilakukan sampai sekarang oleh anak-anak usaha Mizan. Seperti dituturkan Hernowo—staf redaksi pertama Mizan—yang mengenang bagaimana pada ta­ hun kedua Mizan lahir, Haidar menyambangi dirinya di rumah adiknya di Jalan Nyai H.A. Dahlan dan meng­­ utarakan niatnya untuk mendatangi para tokoh inte­ lektual di sana agar mau menulis untuk Mizan. Strategi jemput bola ini cukup efektif, menemukan naskah-naskah yang sesuai karakter buku yang dise­ nangi Mizan. Adalah intelektual muslim macam Cak Nun (Emha Ainun Nadjib), Nurcholish Madjid, Harun Nasution dan lain sebagainya menghiasi terbitan Mizan, dan memuncak pada 1986 dengan “Seri Cendekiawan Muslim” yang menggulirkan karya-karya pemikiran Islam lokal. Sebut saja, buku berjudul Merambah Jalan

133

M. MA’RUF 134

Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, karya Fachry Ali dan Bahtiar Effendi. Atau karya modernis Islam lain yang mewakili masingmasing kelompok seperti Amien Rais dan Ahmad Syafii Maarif (Muhammadiyah), Alie Yafie dan Masdar F Mas’ud (NU), Deliar Noer dan Jalaluddin Rakhmat (Syiah). Pun penulis yang tidak lekat oleh paham ter­ tentu. Tema-tema yang pas, disesuaikan dengan kebutuhan umat, menepis sikap sektarian, tampak membuat Mizan terus mampu beradaptasi dengan perubahan permintaan bacaan pembaca. Adalah fase di mana penerbit buku Islam angkatan 1980-an gugur satu per satu, karena masalah-masalah internal dan kekakuan atas “mazhab” yang dianut da­ lam memilih naskah terbitan. Menghadapi perubahan wacana, dan tren bacaan pola-pola adaptasi Mizan dila­ kukan tampak bisa menyelamatkannya dari situasi yang dihadapi oleh Penerbit Salman dan Shalahudin Press yang tenggelam oleh waktu. Haidar memilih strategi merestrukturisasi organi­ sasi usaha, untuk menjawab kebutuhan akan perubahan. Dia memecah-mecah tim-tim redaksi yang awalnya men­ dapat bagian satu tema menjadi perusahaan terpisah. Jadilah Mizan Pustaka sebagai perusahaan yang kokoh dengan karya-karya kuat seperti Dunia Sophie, Sheila (Qanita), dan kini berjaya dengan serial anak-anak KKPK (Kecil-Kecil Punya Karya) di bawah naungan DAR! Mizan; sedangkan Al-Bayan (untuk tema-tema keislaman praktis)—suatu strategi untuk mengisi ke­ butuhan pasar yang berbeda, Hikmah Publishing (tematema akhlak, kesalehan, dan spiritualitas), Pelangi Mizan yang mengeluarkan buku-buku referensi khusus seperti Ensiklopedia Balita yang tak lekang dimakan waktu, Lingkar Pena dengan kekuatan penulis-penulis lokalnya seperti Asma Nadia, Helvy Tiana Rossa, dll,

Bagian 4 – Gagasan-Gagasan Cerdas

hingga Penerbit Bentang yang tengah sukses dengan novel Laskar Pelangi-nya. Masih ada usaha lain yang bersifat mendukung seperti pendistribusian buku sendiri (Mizan Media Utama) yang kini telah menempatkan cabang di ber­ bagai kota-kota besar di Indonesia, usaha percetakan (Mizan Grafika Sarana), dan usaha penjualan langsung (Mizan Dian Semesta). Malah, kini, unit usaha yang tengah dikembangkan oleh Mizan Group adalah MP Book Point—sebuah toko buku yang dirancang berbasis komunitas dan bersifat terbuka—Mizan Production— unit usaha dalam bidang event organizing dan pro­­duct­ ion house—dan Mizan New Media—unit usaha baru yang akan memastikan produk-produk Mizan dapat diakses dengan berbagai media dan pada berbagai kesempatan. Atas kemampuan mengelola ini, Haidar sempat diganjar “Top Ten The Best CEO 2008” versi Majalah SWA. Di luar kemampuan adaptasi pada tuntutan zaman, boleh jadi posisi Mizan mengambil “mazhab” lah yang tampak di luar kasat mata menentukan keberhasilan­ nya. Mizan, “Kami tidak tertarik menerbitkan buku yang berhubungan dengan pendekatan syariah karena biasanya pendekatan hukum menyebabkan eksklusi­ visme. Bukan hanya antara orang Islam dengan orang di luar Islam, tetapi juga internal Islam sendiri. Atau buku yang memojokkan kelompok lain dari sudut pandang keagamaan,” katanya. Bahwa, ada tujuan-tujuan yang lebih mulia ketim­ bang membanggakan diri atas sebuah buku kontroversial yang merusak tetapi laris di pasaran. Dalam buku 20 Tahun “Mazhab” Mizan, Haidar menjelaskan mazhab Mizan, yang selalu dipakai sebagai tolok ukur menye­ tujui sebuah naskah untuk diterbitkan sangatlah seder­ hana, yaitu arti kata Mizan itu sendiri: Timbangan. “Akhirnya, hampir-hampir tak perlu ditegaskan lagi

135

M. MA’RUF

bahwa, kalau pun ada sesuatu yang bisa disebut sebagai mazhab Mizan itu, maka ia selamanya akan tentatif,” kata Haidar. Namun, akankah ketaatan akan mazhab ‘tengah’ ini akan terus dipegang teguh adalah waktu yang akan menjawabnya. Sebab, pendulum waktu saat ini tampaknya tengah memaksa Mizan berada pada pilihan antara bisnis dan idealisme. Meski tidak sama sekali mengesampingkan buku-buku serius dan ilmiah, Mizan kini lebih banyak menerbitkan buku-buku tradisional dan populer yang menekankan pada kesalehan pribadi dan sosial, serta self-help.[]

136

Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk

bagian

5

Purwacaraka Music Studio

Indahnya Musik Justru Karena Duet Bebunyian Alat yang Berbeda

S

etelah menamatkan SMA, Purwacaraka tidak bisa melanjutkan impiannya ke sekolah musik. Ayah­nya yang tentara tetapi penyuka musik—dan telah men­ jerumuskan Purwa pada dunia itu—masih berpendapat musikus bukanlah profesi yang tepat untuk masa depan. Padahal, Purwa yang masih berseragam abu-abu sudah memainkan pianonya hingga ke Malaysia dan Singapura. Purwa menyerah, dan memilih Jurusan Teknik Industri di Institut Teknologi Bandung (ITB). Pilihan ini adalah solusi tengah, karena dengan ini dia masih bisa ber­main musik sementara keinginan orangtuanya sudah terpe­ nuhi. Di kampus, Purwa mulai membisniskan kemam­ puan­nya pada pesta-pesta pernikahan hingga reuni anakanak sekolahan. “Ketika ujian skripsi, yang nggak bisa tidur babe gue. Dia khawatir tidak lulus, kita tenangtenang aja,” kata Purwa—tetapi kemudian dia lulus dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) di atas tiga. Kegemarannya pada musik tidak luntur setelah kuliah dan malah menjadi-jadi, karena dalam darahnya memang mengalir jiwa seni yang diwarisi ayahnya, Soedjono Atmotenojo. Purwa adalah anak sulung dari tiga bersaudara, yang lahir di Beograd, Yugoslavia, 31 138

Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk

Maret 1960—adik bungsunya adalah penyanyi Trie Utami. Sejak berusia empat tahun, Purwa sudah memiliki ritual wajib sebelum makan. Dia akan terlebih dulu menuju tempat di mana gramofon berada, dan meminta sebuah piringan hitam koleksi ayahnya ketika bertugas di Amerika Serikat diputar. Ketika berusia tujuh tahun, ayahnya memberikan kejutan dengan sebuah piano, dan membayar Alfons Becalef, seorang guru piano berkebangsaan Hongaria yang tinggal di Bandung untuk mengajari piano klasik. Kepiawaian Purwa bermain piano sebetulnya sudah terdengar oleh kolega bapaknya dari Amerika ketika suatu kali bertandang ke rumah. Bule itu kagum oleh bunyi piano yang dimainkan Purwa dan menyarankan agar meneruskan sekolah di luar negeri, tetapi hal ini ditentang ibunya. Purwa mengembangkan sendiri bakat­ nya dan sukses dengan Big Band. Pada masa keemasan­ nya, Big Band berulang kali mengiringi penyanyipenyanyi top di Indonesia. Dia, Elfa Secioria Hasbullah, dan Addie Muljadi Sumaatmadja adalah musisi-musisi kondang ketika televisi masih didominasi TVRI. Bila dicatat, bersama Big Band, rata-rata Purwa manggung 15 kali dalam sebulan dengan tarif Rp 25-50 juta per jam. Ide untuk mendirikan Purwacaraka Music Studio (PMS) itu tidak datang tiba-tiba. Sebelumnya, Purwa pernah bekerja di sekolah musik Lori Organ selama tujuh tahun dengan posisi terakhir sebagai Direktur Musik. Tetapi dia memutuskan untuk mendirikan seko­ lahnya sendiri, yang disebutnya sebagai sumbangan bagi pengembangan musik di Tanah Air. Berbekal ta­ bungan sebesar Rp 12 juta untuk biaya sewa rumah di Jalan Mangga, Bandung. Namanya yang sudah tenar membantu PMS cepat mendapatkan murid. Dengan permintaan murid sampai 300 orang per tahun, Purwa mampu membuka gerai kedua di Bandung.

139

M. MA’RUF 140

Walaupun begitu, sekolahnya masih kalah tenar dengan Sekolah Musik Yamaha yang jauh lebih tua. Ini memaksanya menanggalkan ketenaran sebagai mu­ sisi dengan memasang iklan dan biaya kursus yang lebih murah untuk kursus sepanjang 6 atau 12 bulan. Biaya kursus setiap siswa antara Rp 200.000-300.000 per bulan dengan pilihan olah vokal dan instrumen, seperti piano, kibor, biola, dan drum. Bisnis sekolah musik Purwa terbilang seret, untuk musisi sekelas dia. Hingga 2002, baru memiliki tiga cabang—dua milik pribadi di Bandung, dan satu cabang di Jakarta yang dibangun pertengahan 1990-an hasil kerja sama dengan rekan musisi. Tahun 1994 sekolah itu malah menjadi beban keuangan Purwa dan sudah ditutup bila dia tidak ingat tujuan awal membukanya. “Sebab, tak pernah mendatangkan untung,” kata dia. Di masa sulit itu, di tempat dan situasi yang sama sekali bertolak belakang, mantan manajer Bursa Efek Jakarta Koma Untoro sedang meniti karier barunya. Dia adalah salah satu murid terbaik Entrepreneur University di bawah asuhan langsung Purdi E. Chandra. Koma se­ dang diminta melaksanakan salah satu dari tiga ramuan magic Purdi, yakni Bobol alias Berani Optimis Bisnis Orang Lain. Ini jurus memulai usaha bagi orang nekad yang tak memiliki modal besar. Koma sama sekali tidak mengenal dunia musik, ketika Purdi mempertemukan­ nya dengan Purwa yang sedang dirundung persoalan. Koma adalah orang yang ahli di bidang keuangan, dan sedang ingin memiliki bisnis sendiri. “Ketika saya datang tahun 2002 dengan mengusung konsep waralaba, ga­yung memang bersambut,” ujar Koma. Butuh waktu sekitar enam bulan sebelum keduanya bisa menemukan konsep waralaba yang diinginkan. Satu tidak paham waralaba, satunya lagi bukan pemusik, sehingga diputuskan prima waralaba—Koma mengurus manajemen dan pemasaran, sedangkan Purwa tetap mengelola urusan musik.

Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk

Akhir 2002 keduanya mulai menawarkan PMS ke berbagai daerah tetapi hasilnya masih mengecewa­ kan, dengan peminat tak lebih dari 10 investor akibat banyaknya syarat dan modal yang musti dipenuhi. Selain lokasi, pembeli waralaba harus menyediakan modal awal hingga Rp 400 juta. Guru juga tidak boleh asal comot, melainkan diseleksi langsung oleh Purwa. Pun tempat kursus juga memiliki standar tertentu. Momentum tampaknya berpihak kepada kedua orang ini ketika Akademi Fantasi Indosiar di Indosiar, disusul Indonesian Idol di RCTI membuat demam selebritas karbitan menggilai rakyat jelata. Rating-rating program adu bakat ini membuat banyak remaja putra-putri tibatiba yakin memiliki suara emas. Anak-anak itu lantas menyerbu kursus dan sekolah musik, seperti PMS. Permintaan kursus musik melonjak di mana-mana, dan investor mulai mencari Koma dan Purwa. Selama empat tahun, jumlah waralaba PMS sudah mencapai 65 gerai, tersebar dari Medan hingga Makassar. Belakangan, para pembeli waralaba harus mengantre untuk disetujui. Baik Purwa maupun Koma berbagi royalti 10% dari pen­ dapatan bulanan tiap gerai waralaba. “Bisnis ini bukan bisnis yang bombastis. Hasilnya sedang-sedang saja,” kata Purwa merendah.[]

141

Kompas

The Dynamic Duo

B

agi orang-orang seperti Sri Mulyani Indrawati (menteri), Sofjan Wanandi (pengusaha), Anis Baswedan (intelektual) atau sebagian besar pembacanya, Kompas memiliki ceritanya masing-masing. Menteri Sri, ketika kecil tidak melewatkan karikatur Oom Pasikom, atau cerita bersambung seperti Musashi, dan Ronggeng Dukuh Paruk, meskipun waktu itu di Semarang, Kom­ pas pagi, sampai di rumahnya pukul empat sore. Atau bagaimana kritik Sofjan yang memandang terkadang kisah humanis—ini adalah julukan bagaimana Kom­ pas mengemas sebuah berita—hanya berhenti pada me­ nitikkan air mata dan mengundang rasa iba. Semen­tara bagi Anis, ciri khas gaya penulisan yang mendidik, tidak sensasional, tetapi substansial adalah bagian penting yang membuat koran berusia 44 tahun ini paling laku. Setiap orang memiliki pandangannya pada koran yang paling berpengaruh ini. Tetapi, kisah bagaimana Kompas bisa tetap eksis sampai sekarang banyak di­ tentukan keadaan dan keberuntungan. Di antaranya kehati-hatian membuat berita—kebijakan redaksinya dinilai sebagai jurus kepiting—dalam mengatasi sensor142

Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk

sensor Orde Lama dan tekanan Orde Baru, serta yang lebih penting kisah dua sahabat yang secara kebetulan mendapatkan berkah dari ide Jenderal Ahmad Yani mem­bendung propaganda Partai Komunis Indonesia (PKI). Lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat pada 25 Juli 1920, Peng Koen Auw Jong adalah anak seorang perantau dari Pulau Quemoy—kini Taiwan—yang ber­ nama Jong Pauw. Meski hidup berkecukupan sebagai anak juragan tembakau, Auw Jong dan 11 saudaranya dididik untuk hemat. Dikisahkan, mereka tidak boleh menyisakan sebiji nasi dalam piring setelah makan. Ketertarikan Auw Jong pada dunia jurnalis muncul saat merantau ke Jakarta untuk bersekolah di Hollandsche Chineesche Kweekschool Meester Cornelis, yang ter­ letak di Jalan Bekasi Timur, Jakarta. Di Asrama Auw Jong tidak hanya melahap habis berita-berita koran dan majalah, melainkan dengan saksama memperhatikan isi tajuk rencana, dan gagasan-gagasan tulisan kolom. Penampilannya yang kurus, dengan kacamata tebal semakin membuatnya identik dengan pelesetan nama­ nya Auw Jong, yang bila diucapkannya dengan aksen Padang akan berbunyi ouwe jongen alias perjaka tua. “Ia sering terlalu serius menanggapi segala hal. Kalau melucu, leluconnya kering,” kata Oei Tjoe Tat, teman kuliah Auw Jong yang kemudian menjadi politisi di era Soekarno. Guru jurnalis Auw Jong—dan sekaligus guru spi­ ritualnya—adalah seorang tawanan Jepang yang dibe­ baskan Sekutu pada 1945 dari Penjara Cimahi, bernama Khoe Woen Sioe. Selepas dari terali besi, Khoe yang sudah berumur 40-an beserta staf redaksi, kembali menghidupkan Harian Keng Po yang dibredel Jepang, sekaligus mendirikan majalah mingguan Star Weekly. Pria berpostur tubuh kecil dengan wajah agak masam— yang digambarkan Aw Jong berhati emas ini—merekrut

143

M. MA’RUF 144

Auw Jong untuk bekerja di Star Weekly. Karier Auw Jong berjalan dengan cepat. Meniti sebagai penulis lepas dia kemudian diberi kepercayaan sebagai redaktur pelaksana Star Weekly, dan setelah lulus dari Fakultas Hukum—yang diambilnya ketika menjadi wartawan— diangkat menjadi pemimpin redaksi. Posisinya sebagai pimpinan media membuatnya memiliki kolega yang luas, mulai dari pejabat negara, politisi, ekonom, serta mulai aktif di pelbagai organisasi sosial warga Tionghoa. Di luar kewartawanan, Auw Jong lebih dikenali seba­ gai aktivis asimilasi, terutama pascarencana pemerintah membuat undang-undang yang akan menganggap per­ anakan Tionghoa memiliki kewarganegaraan rangkap. Pemerintah memberi pilihan, kalau mau menjadi WNI, harus aktif menolak kewarganegaraan China. Dia sen­ diri kemudian mengubah namanya menjadi terdengar lebih Indonesia; Petrus Kanisius Ojong, disingkat PK Ojong—perubahan huruf Auw menjadi O kabarnya ka­ rena kesalahan penulisan sewaktu di sekolah. Aktivitas ini mempertemukannya dengan Jakob Oetama yang me­­miliki riwayat hidup hampir mirip dengannya. Pria ke­lahiran Borobudur, 27 September 1931, itu selepas menamatkan SMA Seminari di Yogyakarta, menekuni profesi sebagai guru di Jawa Barat dan kemudian di SMP Van Lith Jakarta. Jakob yang anak pensiunan guru di Sleman adalah alumni Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta tahun 1959 dan Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada 1960. Di­ sela-sela mengajar, Jakob juga bekerja sebagai redaktur mingguan Penabur. Persahabatan Ojong dan Jakob semakin kental, karena mereka memiliki banyak pandangan-pandangan yang sama soal sejarah, kebangsaan dan masalah asi­ milasi. Keduanya digambarkan sebagai pribadi yang berbeda namun melengkapi. Jakob adalah sosok sangat teliti dan penuh perhitungan, sementara Ojong pin­

Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk

tar memainkan strategi dan mengelola sumber daya manusia. Pada awal 1960-an, Ojong dan Jakob masuk dalam kepengurusan Ikatan Sarjana Katolik Indonesia. Jakob menjabat ketua dan Ojong sebagai bendahara. Seiring kuatnya cengkeraman PKI di tubuh peme­ rintahan Soekarno, lambat laun tekanan pembredelan semakin besar. Majalah Star Weekly termasuk media yang terakhir diberangus oleh Soekarno, meski sudah menasional dengan tiras 60.000. “Wij zijn dood (kita semua mati),” kata Ojong, mengumumkan kepada anak buahnya sepulang dipanggil pihak yang berwenang, yang memang dikuasai PKI. Tetapi, isolasi pers itu juga membuat berbagai koran asing disensor sehingga warga Indonesia praktis buta informasi. Ojong mencari gagasan bersama dengan Jakob untuk mencari celah yang lebih aman memiliki media baru. Diterima pasar, tetapi tidak bermain api dengan penguasa karena ongkos yang dibayar akan terlalu mahal; dibredel. Kebetulan, dunia internasional telah digegerkan oleh majalah berukuran 14 x 16,5 cm yang dibuat sepasang kekasih DeWitt dan Lila Wallace di Amerika Serikat, Reader’s Digest. Majalah yang diisi oleh hasil kliping setumpuk majalah bekas dan sebuah gunting itu sedang laku keras dan pada waktunya dapat mengalahkan oplah majalah bergengsi Time. Jakob dan Ojong sepakat membuat majalah seperti itu dengan nama Intisari. Beritanya jauh berbeda dari yang ada, dan yang pernah di buat Ojong di Star Weekly, yaitu tentang artikel feature yang menyentuh dan jauh dari hiruk pikuk berita politik. Ini sekaligus menolong percetakan PT Kinta yang turun drastis setelah Star Weekly diberangus. Sebagai balasan, PT Kinta menyediakan bekas kantor Ojong yang lama dan mengurus administrasi dan sirkulasi. Pengurusan izin yayasan ke Komando Distrik Militer Jaya diserahkan kepada Jakob yang praktis

145

M. MA’RUF 146

belum dikenal dan masuk daftar hitam Orde Lama. Akhirnya disepakati didirikan Yayasan Intisari, sebagai perusahaan penerbit Majalah Intisari dengan Pemimpin Redaksi Jakob dan Ojong sebagai pengasuh, disertai orang baru bernama Josephus Adisubrata. Teman baru ini dikenal oleh Jakob dan Ojong sebagai anak muda lulusan Universitas Leuven Belgia tahun 1962 yang fasih dan menguasai bahasa Inggris, Prancis, Belanda, dan Latin. Intisari terbit perdana pada 17 Agustus 1963 dengan cetakan hitam-putih tanpa kulit muka. Ukuran lebarnya sama dengan Reader’s Digest, hanya lebih panjang satu sentimeter, dengan tebal 128 halaman. Edisi perdana yang dicetak 10.000 eksemplar laris meski dijual seharga jual 60 perak untuk Jakarta dan 65 perak di luar Jakarta. Sampai di sini, Jakob dan Ojong belum berpikir kembali ke media politik, karena hanya dalam dua tahun pertama keduanya mampu menjaga oplah Intisari menembus angka 11.000 eksemplar. Intisari tidak ambil pusing dengan eskalasi politik yang semakin memanas setelah PKI terus merebut posisi kuat di samping Soekarno. Kompas lahir dari gagasan Menteri/Panglima Ang­ katan Darat Jenderal Ahmad Yani. Militer yang mulai khawatir dengan propaganda koran-koran milik PKI seperti Harian Rakyat ingin mengimbangi kekuatan itu—selain sudah ada Berita Yudha yang paling laris waktu itu. Dia melontarkan gagasan kepada Frans Seda agar kalangan Katolik juga memiliki sebuah koran, agar menambah kekuatan melawan propaganda korankoran merah itu. Frans menanggapi serius ide itu dan membicarakannya dengan koleganya di partai Katolik, Ignatius Josef Kasimo. Keduanya kemudian mendekati Ojong dan Jakob yang sudah terkenal dengan majalah barunya dan sepakat merealisasikannya. Yang terjadi kemudian, adalah kisah serupa Keng Po melahirkan Star Weekly, karena harian baru yang akan

Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk

diberi nama Bentara Rakyat itu menumpang fasilitas Intisari, mulai dari mesin ketik hingga ruangan kantor. Namun, proses perizinan tetap tidak diperoleh dengan mudah karena pihak aparat mensyaratkan koran itu harus punya 3.000 pembeli untuk bisa terus terbit. Ini hampir mustahil untuk koran baru, sebelum akhirnya Frans menemukan ide untuk pulang ke daerahnya, Flores, mengumpulkan 3.000 nama, lengkap dengan alamat dan tanda tangan. Sementara nama Kompas disematkan Presiden Soekarno yang mendengar Frans akan menerbitkan koran baru. Soekarno menjelaskan, Kompas adalah na­ ma yang cocok karena itu adalah alat penunjuk arah, dan itu harapan ke depan kepada koran baru ini; agar mampu dijadikan pegangan. Dengan modal awal Rp 100.000 yang sebagian diperoleh dari Intisari, Kompas edisi perdana pada 28 Juni 1965 dengan moto Amanat Hati Nurani Rakyat terbit. Pada masa awal, mereka harus mengantre cetak bersama koran-koran yang su­ dah lebih dulu berlangganan cetak di Eka Grafika yang terletak di Jalan Kramat Raya, Jakarta, sehingga sering kesiangan sampai ke pembaca. Sampai dengan me­miliki percetakannya sendiri, Kompas memiliki julukan, Komt pas morgen, yang artinya besok baru datang. Salah cetak dalam berita maupun iklan masih sering terjadi pada koran yang dicetak 4.800 eksemplar itu. Setelah satu bulan, mereka pindah ke percetakan Masa Merdeka milik BM. Diah, pemilik koran Merdeka. Percetakan yang digunakan ini lebih baik dan sudah memakai media rotasi, sehingga daya cetaknya lebih cepat. Perkembangan Kompas ini memicu propaganda PKI yang berdalih Kompas—karena didirikan oleh unsur pimpinan beberapa organisasi Katolik—membawa misi katolik, sehingga Kompas tidak lain adalah singkatan dari Komando Pastor. Tetapi, Ojong dan Jakob tidak menanggapinya dengan frontal dan lebih memilih ber­

147

M. MA’RUF 148

hati-hati dalam menulis, menjauhi sikap partisan, dan berpegang kepada fakta. Berita-beritanya malah lebih menekankan nilai human interest. Model penulisan berita ini membuatnya disukai banyak pembaca dari latar belakang yang berbeda. Kompas membuat Ojong kembali bersemangat. Sebelum pukul enam pagi dia sudah terlihat menjemput para karyawan dengan Opel Caravan. ”Jangan datang pukul sembilan, kalau ingin karyawan datang pukul tujuh,” katanya. Dua tahun pertama, pembaca Kompas menikmati tulisan Ojong dalam rubrik Kompasiana yang mengkritik pelbagai hal, baik situasi itu sendiri maupun pemerintah. Dia meneruskan gaya rubrik Gam­ bang Kromong di Star Weekly dengan tulisan sederhana, kadang jenaka, tapi kritis, sehingga membuat rubrik itu cepat populer dan berpengaruh. Misalnya pada edisi per­ dana membahas mengenai kebebasan pers, mengkritisi korupsi pembuatan KTP, sampai topik perbandingan Orde Lama dan Orde Baru rupanya tidak mengubah tabiat pemerintah. Entah karena alasan apa—menurut Jakob alasan kesibukan—rubrik itu hilang. Keputusan paling berat diambil pada akhir 1965, karena menjelang kudeta Gerakan 30 September, PKI yang semakin kuat memberi pilihan kepada semua me­ dia. Semua pimpinan media diminta untuk menentukan sikap menyatakan kesetiaan atau dibredel bila menolak. Untuk ini Ojong menolak berkompromi. “Jakob, kita tidak akan melakukannya. Sama saja ditutup sekarang dan mungkin juga menderita sekarang atau beberapa hari lagi,” tegasnya. Keputusan ini benar karena pem­ berontakan itu gagal dan seluruh media yang mendu­ kung kudeta itu diberangus. Ini menguntungkan Kom­ pas karena jumlah media yang ada jauh berkurang. Hasil audit SGV Utomo pada 1969 menyebutkan, ti­ ras Kompas melewati koran-koran lain di Indonesia, mengalahkan oplah harian paling laris waktu itu; Berita

Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk

Yudha. Hasil yang sebenarnya tidak begitu disukai oleh Ojong, karena dengan status itu, Kompas menjadi perhatian sensor Orde Baru. “Biar orang lain saja yang tirasnya paling tinggi. Kita menjadi nomor dua terbesar saja,” katanya. Pada 1971 Kompas mendidirikan percetakannya di kawasan Palmerah Selatan, Jakarta. Mungkin, karena teringat masa kelam dibredel, dan juga modal yang semakin banyak ke usaha baru. Pada 1972, mereka mendirikan radio Sonora dengan program unggulan­ nya Anda Meminta Kami Memutar. Lalu dua rubrik di Kompas mengenai anak-anak dan remaja disapih men­­ jadi majalah Bobo, dan Hai. Pada 1976, sempat didiri­ kan Gramedia Film. Perusahaan ini menghasilkan film Suci Sang Primadona dan sempat diganjar Piala Citra. Kompas yang menjadi induk mulai membeli hotel-hotel kecil di Bandung, Semarang, dan Bali yang kemudian disatukan dalam jaringan Hotel Santika. Ojong meninggal secara mendadak pada 31 Mei 1980 di samping benda kesayanganya, buku. Setahun kemudian, Gramedia menerbitkan kumpulan artikel Kompasiana dalam bentuk buku setebal 813 halaman. Judulnya Kompasiana: Esei Jurnalistik tentang Berbagai Masalah. Peninggalan lain yang kemudian menggurita adalah Toko Buku Gramedia yang didirikan pada 1970. Awalnya hanya ingin menjual buku-buku paperbacks, namun setelah penerbit Gramedia didirikan pada 1974, Toko Buku Gramedia mulai menjual buku terbitan sendiri, dan lambat laun mengalahkan Gunung Agung. Situasi yang lebih buruk dihadapi ketika topeng asli Orde Baru terbuka dengan kebijakan stabilisasi yang memberangus partai politik. Jakob yang menggantikan peran Ojong tampak lebih kalem dalam menghadapi perangai Soeharto yang menerapkan sensor lebih ketat. Sifat Jakob yang tidak seagresif Ojong tampaknya me­ nyelamatkan Kompas dari gelombang pembredelan ke­

149

M. MA’RUF 150

dua yang terjadi pada Juni 1994. Waktu itu menimpa majalah dan tabloid mingguan, masing-masing Tempo, Editor, dan Detik. Ignatius Haryanto dalam Majalah Pantau edisi Juni 2002 menyebut keberhasilan Kompas melewati Orde Baru dengan sebuah artikel berjudul Jurnalisme Kepiting Jakob Oetama. Ini mengutip wartawan senior Rosihan Anwar yang pernah menyebut jenis jurnalisme Kompas ini sebagai “jurnalisme kepiting”. Kepribadian Kompas bergerak ala kepiting, mencoba melangkah setapak demi setapak untuk mengetes seberapa jauh kekuasa­ an memberikan toleransi kebebasan pers yang ada. Jika aman, kaki kepiting bisa maju beberapa lang­kah, jika kondisi tak memungkinkan, kaki kepiting pun bisa mundur beberapa langkah. Sesuatu kesimpulan yang kemudian ditolak oleh Jakob. Pendapat lebih keras di­ kemukakan Benedict R.O’G Anderson dari Universitas Cornell, yang menyebut Kompas sebagai koran yang sangat Orde Baru (“New Order’s newspaper par exel lence”). Itulah strategi Kompas untuk menyiasati risiko pembredelan, mengingat statusnya adalah pemimpin pasar. Tetapi Jakob mengatakan sikap berhat-hati itu ditempuh untuk sekadar menahan diri, menunggu waktu yang tepat yakni kebebasan pers. “Kami tidak hanyut sama sekali tapi juga jangan mati. Kalau mati percuma, media jadi tidak berfungsi,” kata Jakob. Di bawah Jakob, sukses diversifikasi di awal 1980an membuat Kelompok Kompas Gramedia (KKG) men­ jadi kerajaan bisnis pers terbesar di Indonesia. Dengan 42 anak perusahaan yang bernaung di bawah payung KKG, omzet pada 2001 diperkirakan mencapai lebih dari Rp 1 triliun. Kompas juga mengamankan diri dari sepak terjang Jawa Pos News Network milik Dahlan Iskan dengan terus memperkuat jaringan pers di daerah lewat label yang umumnya bernama depan Tribun.

Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk

Jakob yang menurut para karyawannya sangat ngemong dan tidak mengambil jarak dengan satpam kantor ini memang menggaji para jurnalisnya jauh di atas rata-rata jurnalis koran lain. Kabarnya tertinggi dan hanya disaingi oleh koran Bisnis Indonesia. Kom­ pas sendiri di masanya telah mengalami dua kali per­ gantian pemimpin redaksi, Suryopratomo—yang kini menyeberang ke Media Indonesia, dan sekarang Rikard Bangun. Konon, ini sempat menimbulkan sedikit gesek­ an panas di level manajemen, namun ini masih bisa dilewati dengan keberadaan Jakob yang kini berusia 77 tahun.[]

151

Ciputra Development

Bangku Kuliah Tetap Bagian Penting dari Sebuah Bisnis Besar

J

alan penuh liku Ciputra menjadi konglomerat me­ rupakan satu dari sekian banyak kisah klise ratarata taipan keturunan Tionghoa di negeri ini. Biasanya dimulai dari prolog; merantau dari daratan China, atau ke­kurangan sejak kecil karena lahir dari sebuah keluarga miskin. Tumbuh dewasa dengan tekanan dan kecurigaan sentimen anti China Orde Lama, hingga hidup di bawah ketiak penguasa Orde Baru. Sebagai epi­log; saban tahun masuk daftar Forbes sebagai orang paling kaya. Tetapi apa yang membuat Ciputra berbeda adalah evolusi perjalanan hidupnya yang sempurna. Masa kecil nelangsa, berjuang menyelesaikan kuliah, merintis karier hingga menjadi pebisnis ambisius nan sukses. Lalu ditutup dengan taubat dan mendekatkan diri kepada Tuhan, sembari mendermakan ilmu kewira­ usahaan. Ciputra lahir di Parigi, Sulawesi Tengah, pada 24 Agustus 1931 dengan nama Tjie Tjin Hoan. Dia bungsu dari tiga anak pasangan Tjie Sim Poe dan Lie Eng Nio yang memiliki toko kelontong yang sekaligus menjadi tempat tinggal di kota kecil bernama Bumbulan, sekitar 152

Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk

150 kilometer sebelah barat Kota Gorontalo. Sampai 1990-an kota itu masih cukup dikenal, namun setelah pemekaran Gorontalo, kota Bumbulan seperti hilang ditelan bumi. Dulu di situ ada objek wisata Pantai Bumbulan Indah. Ciputra kecil hidup dengan keindahan pantai itu. Sebuah peristiwa menyedihkan terjadi pada ke­ luarganya saat Ciputra menginjak 12 tahun. Orangorang pribumi suruhan tentara Jepang tanpa penjelas­an menyeret ayahnya dari rumah ke pantai, atas tuduhan sebagai mata-mata Belanda. Anak kecil itu ketakutan dan terguncang, ibunya histeris mengejar laju para penculik, tetapi gagal. “Ketika ayah akhirnya diseret ke kapal dia tidak melihat ke laut, tetapi ke arah kami. Itu lambaian tangan terakhir,” kenang Ciputra. Delapan bulan kemudian, beberapa orang yang juga diciduk kembali dan mengabarkan. Tjie Sim Poe telah meninggal beberapa bulan sebelumnya. Kisah ini membekas dan memengaruhi hidup Ciputra. Ciputra kecil sempat diasuh oleh tantenya dan mencatatkan kisah hidupnya seperti dongeng “bawah putih dan bawang merah”. Dia selalu kebagian pekerjaan yang berat atau menjijikkan, seperti membersihkan tempat ludah. Tetapi, ketika tiba menikmati es gundul— hancuran es diberi sirop—dia harus mengantre keluar­ ga tantenya kenyang. Kisah getir itu tidak membuat Ciputra kehilangan semangat menimba ilmu, dan malah keranjingan sekolah meski harus melewati dua kali du­ duk di kelas dua sekolah setingkat SD. Pertama pada za­ man Belanda, Ciputra yang nakal tidak naik kelas tiga, dan kedua saat Jepang menguasai Indonesia dirinya ha­nya boleh belajar di sekolah khusus untuk anak ke­ turunan Tionghoa mulai kelas dua. Ciputra satu-satunya murid berumur 12 tahun di kelas dua kala itu. Ciputra menempuh puluhan kilometer berjalan dengan telanjang kaki ke sekolah. Pagi buta memper­

153

M. MA’RUF 154

siapkan makanan untuk semua ternaknya, dan tiba di rumah pukul 14.00. Bila langit menangis, bertam­bah pula kesialan Ciputra. Agar baju sekolah itu tidak basah, dia menepi, melepas dan membungkusnya dengan daun woku—semacam daun palem yang besar. Kira-kira re­ maja, Ciputra sudah biasa berlomba lari dengan 17 ekor anjing miliknya untuk berburu babi dan rusa di hutan. Otot-ototnya kekar, dan tubuh itu menjadi atletis oleh didikan alam. Alhasil ketika SMA dengan mudahnya dia terpilih menjadi pelari 800 dan 1.500 meter, mewakili Sulawesi Utara dalam ajang Pekan Olah Raga Nasional ke II di Jakarta, Oktober 1951. Sementara, ratusan kilometer dari pantai Bumbul­ an yang indah. Pada masa pergolakan kemerdekaan, sekitar tahun 1940-an, Budi Brasali yang lahir dengan nama Lie Toan Hong dan seisi rumahnya di sebuah desa daerah Purwokerto, Jawa Tengah, lolos dari jemputan malaikat maut. Sebuah bom meledak hebat tidak jauh dari rumahnya dan memanggang beberapa rumah te­ tangga beserta isinya. “Saya merasa, jiwa saya adalah hasil saringan yang diselamatkan Tuhan,’’ tutur Budi. Mungkin kesamaan nasib itulah yang menjebol se­ kat identitas daerah ketiga pria rantau ini; Ciputra, Budi, dan Ismail Sofyan yang kelahiran Sigli, Aceh, menjadi te­man karib di bangku kuliah. Keterbatasan dana mem­ buat ketiga mahasiswa ITB tingkat empat itu memutar otak untuk mengais rezeki di zaman kelangkaan uang. Mereka lalu menggagas sebuah perusahaan konsultan perencanaan bernama PT Perentjana Djaja pada 1959— berkantor di sebuah garasi. Pak Ci—panggilan Ciputra sekarang, Budi, dan Sofyan mencari order perencanaan pembuatan gedung, rumah, dan semacamnya. Pak Ci tampak paling lihai, dia bekerja penuh di perusahaan baru itu, dan setahun kemudian, nyambi di sebuah per­ usahaan kontraktor. Perusahaan PT Perentjana Djaja itu masih ada sampai sekarang

Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk

Saat itu, Presiden Soekarno tengah gencar-gencar­ nya membangun pelbagai monumen bersejarah. Berba­ gai mega proyek yang diprakarsai Soekarno menarik tiga lulusan ITB tahun 1960 itu merantau ke ibukota. Ciputra beserta istrinya, Dian Sumeler, tinggal di Kebayoran Baru. “Kami belum punya rumah. Kami berpindah-pindah dari losmen ke losmen,” tutur Dian. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana kemudian arsitek baru lulus itu bisa bertemu dengan pejabat sekaliber Gubernur DKI Jakarta, Soemarno, untuk ikut tender proyek pembangunan Pasar Senen. Tetapi dengan berbagai cara, akhirnya sebuah proposal proyek ber­ hasil melewati meja birokrasi untuk dibaca Soemarno. Pak Gubernur setuju, setelah terlebih dahulu dirapat­ kan dengan Presiden Soekarno. Syaratnya, Ciputra yang masih hijau bisa mengerjakan proyek itu bersamasama pengusaha ternama kala itu, Hasyim Ning dan AM Dasaat—Hasyim waktu itu dijuluki Henry Ford dari Indonesia. Selain itu, ada pula syarat menyertakan sejumlah saham atas nama milik pemerintah DKI, untuk kemudian mendirikan perusahaan patungan bernama PT Pembangunan Jaya dan menunjuk Ciputra sebagai pelaksana. Selesai membangun Pasar Senen, nama Ciputra mu­ lai dikenal sebagai kontraktor, tetapi mulai benar-benar melambung setelah mampu mengubah kawasan rawarawa di kawasan utara Jakarta menjadi salah satu dari 10 besar theme park di dunia. Pada mulanya, Ciputra hanyalah kontraktor kesekian yang mencoba mena­war­ kan diri melanjutkan proyek pembangunan taman hi­ buran lengkap di Ancol yang sudah terbengkalai be­berapa tahun. Proyek ini tersendat gara-gara manajemen taman hiburan impian terlengkap di dunia, Disneyland, tidak kunjung menyetujui permintaan untuk membangun satu theme park-nya di Jakarta. Niatnya, Soekarno ingin segera menonjolkan Indonesia di Asia lewat bangunan

155

M. MA’RUF 156

megah—melengkapi Stadion Gelora Bung Karno, dan Monumen Nasional. Tetapi, jangankan investasi, pihak Disneyland tidak pula mengizinkan pemakaian nama untuk mega proyek itu. Ciputra mengambil tantangan tersebut dan pada akhirnya bisa menyulap rawa-rawa itu menjadi sebuah kawasan yang luas dan menjadi pusat hiburan terintegrasi pertama di Indonesia, Taman Impian Jaya Ancol. Sekarang, Ancol memiliki jumlah pengunjung yang lebih banyak dibandingkan theme park Disneyland yang dibangun di Hong Kong. Sejak proyek fenomenal itu—setiap warga Jakarta dan orang Indonesia pastinya mengenal Ancol— Ciputra mulai merambah bisnis properti residensial. Ini me­nempatkan dirinya sebagai pionir dalam bis­ nis pengembang di nusantara. Bekasnya sampai seka­ rang antara lain kawasan Pondok Indah, Bintaro Ja­ ya, dan Bumi Serpong Damai. Ciputra tidak hanya dikembangkan dengan fisik semata, tetapi meniupkan ruh yang membuat setiap bekas proyeknya itu punya karakteristik yang khas. Pondok Indah adalah kawasan elit, Bintaro Jaya dikenal sebagai perumahan dan ko­ mersial menengah atas yang terpadu, sementara Bumi Serpong Damai sebagai sebuah kota mandiri. Dia kembali merangkul Sofyan dan Budi dengan mendirikan PT Metropolitan Development—dan se­ jumlah konglomerat untuk memasok modal. Selain Pondok Indah—dibangun oleh Metropolitan Kencana yang kemudian mendirikan Puri Indah—Metropolitan Development juga menggarap beberapa proyek pro­ perti, seperti Wisma Metropolitan dan Wisma World Trade Centre, Mal Metropolitan, dan Hotel Horison. Megapolitan Jakarta adalah buah tangan orang-orang ini. Mengutip resep Purdi E. Chandra pendiri Entre­ preneur University, tampaknya resep BOBOL—berani optimistis bisnis orang lain—yang ditemukannya bela­

Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk

kangan ini, sudah dilakukan Ciputra waktu itu. Modal dengkul—yang penting—otak kreatif. Ciputra hanya menjual ide bahwa kawasan itu di masa depan adalah ikon perumahan mewah dengan segala kelengkapan kehidupan manusia seperti pusat belanja, perkantoran, fasilitas rekreasi, lapangan olahraga, hotel, fasilitas pendidikan, dan tempat ibadah. Inspirasi dan imajinasi ini ditawarkan kepada pemodal seperti Sudono Salim. Ini membuatnya bisa menjadi pemegang saham tanpa modal yang harus disetor di depan. Catatan minus Ciputra sebagai kontraktor salah satunya seperti diberitakan Majalah Berita Mingguan Tempo Edisi 05/XXXI 01 April 2002 yang menulis ju­dul besar, Janji-Janji Kosong Ciputra. Ini lantaran, Pantai Indah Kapuk (PIK) dituding sebagai salahsatu penyebab banjir di Jakarta awal 2002. Majalah yang didirikan atas modal Ciputra itu—sekarang dia masih memilikinya—menulis kembali ucapan Ciputra 10 tahun sebelumnya. “Monyet tak akan berkurang. Saya akan lebih banyak menanam bakau, ketapang .... Jika kelak kerusakan lingkungan terbukti, saya siap dihadapkan ke meja hijau. Saya mempertaruhkan se­ gala­nya: nama baik, moral, bank guarantee,” ujar Ciputra. Majalah itu mewawancarai Ciputra kembali pada April dan memperoleh jawaban. “Saya tak pernah mengatakannya,” aku dia. Kasus PIK adalah salah sa­tu cacat yang tidak lepas hingga usia senja Ciputra. Dia mengaku capek mengomentari tudingan orang ten­ tang PIK, dan sekarang lebih memilih mencurahkan waktunya dalam kegiatan sosial dan keagamaan. Salah satunya, aktif sebagai ‘guru’ tentang kewirausahaan di Universitas Ciputra. Pada kerusuhan Mei 1998, dia menemukan dirinya adalah pebisnis yang terlalu serakah. Pengalaman krisis moneter yang hampir membuat bangkrut itu—Ciputra masuk 50 besar pengutang kakap di negeri ini—menurut

157

M. MA’RUF

para karyawannya, membuat Ciputra sekarang memi­ liki karakter-karakter yang makin menyenangkan. Lebih sa­bar, lebih ramah. “Sekarang saya tetap bekerja keras namun bedanya saya meminta pimpinan dan berkat Tuhan,” kata dia. Sebuah proyek amal pembangun­ an patung Kristus tertinggi di Asia di kota Manado, Sulawesi Utara dengan dana miliaran rupiah adalah bukti ia telah bertaubat. Patung setinggi 30 meter itu dibangun di kawasan pemukiman Citraland. Musium Rekor Indonesia mengakui tugu itu sebagai patung Kristus tertinggi di Asia—melampaui Patung Cristo Rei di ibukota Timor Leste, Dili—yang menjulang 27 meter itu.[]

158

TEMPO

Bersatu Kita Teguh, Bercerai Tetap Utuh

P

embaca tidak hanya butuh berita terbaru, tetapi apa yang sebenarnya terjadi di balik peristiwa tersebut. Mereka akan rewel pada perwajahan yang buruk, dan menginginkan sebuah tulisan yang enak dibaca tiba tepat waktu di depan pintu—tidak peduli sedang apa suasana batin wartawan. Majalah Tempo edisi perdana pasca pembredelan, Oktober 1998, tampil ngejreng dan tampak lebih muda. Meski petinggi dan pemodal tidak berubah—diperkirakan investasi awal sekitar Rp 6 miliar—hanya tampilan luarnya saja yang berubah. Logotype di sampul depan berganti dengan huruf Baeurbodoni, dan teks judul memakai keluarga huruf Franklin Gothic yang tampak lebih modern. Sementara garis merah di sekeliling halaman depan yang menjadi ciri khas majalah Time dan ditiru oleh Tempo lama, dihapus. Setelah beberapa tahun terbit dengan wujud se­ perti hantu—lewat dunia maya di www.tempo.co.id karena dibredel—majalah Tempo versi cetak edisi per­ dana pasca pembredelan mengangkat laporan utama mengenai pemerkosaan perempuan Tionghoa pada 159

M. MA’RUF 160

kerusuhan yang membakar Jakarta pada Mei 1998. Sampul depan menampilkan close-up gambar “mata yang menangis”—mata itu sengaja dibikin agak sipit untuk menggambarkan kaum perempuan dari etnis China di Indonesia. Edisi perdana itu laku 100.000 eksemplar, serta memicu empati atas etnis Tionghoa yang banyak menjadi korban kerusuhan Mei dan men­ dorong munculnya tim-tim pencari fakta. Pada edisi kedua, Tempo tampak bersemangat membalaskan den­ dam dengan mengangkat kembali liputan panjang soal skandal 39 kapal perang eks Jerman Timur. Ini terbit di saat BJ Habibie menjadi Presiden—satu versi menyebut pembredelan Tempo karena Habibie yang anak emas Soeharto itu marah besar dengan judul Tempo edisi 11 Juni 1994, yang menulis di sampul depan kalimat; Habibie dan Kapal itu. Majalah Tempo edisi sekarang masih memper­ tahankan jurnalisme investigasi yang dalam sejarah mereka harus dibayar mahal. Bahkan, sampai sekarang, ada lelucon; mengapa produk liputan yang bagusbagus itu tidak kunjung membuat Tempo kaya? Tidak lain karena habis dipakai untuk membayar pengacara. Prospek kinerja keuangan Tempo dengan berbagai ka­ sus itu, menjadi lebih sulit ditebak—bisa saja mereka mendapat beban tambahan akibat kalah di pengadilan. Pengusaha Tommy Winata, Sukanto Tanoto, dan Menteri Aburizal Bakrie pernah menggugat ke pengadilan, karena kecewa dan marah dengan pemberitaan Tempo. Tempo sendiri lahir dari orang-orang yang kecewa pada zamannya. Mulanya, Gunawan Muhammad yang seniman mulai jenuh dengan rutinitas di harian KAMI dan menginginkan sebuah media yang lebih substansial. dan penting. Kegelisahan ini juga dirasakan Fikri Jufri yang mantan aktivis antirezim Soekarno dan memiliki cita-cita menjadi ekonom. Kala itu Fikri bekerja di harian Pedoman—dipimpin oleh Rosihan Anwar. Mereka ber­

Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk

dua dan sejumlah seniman macam penyair Taufiq Ismail membayangkan memiliki majalah mingguan yang isi­ nya lebih ‘dalam’ seperti Time di Amerika Serikat atau i’Express di Prancis. Majalah-majalah itu memberikan kualitas dan sudut pandang pemberitaaan yang lebih baik. Gagasan meniru ini bukan hal baru, karena PK Ojong dan Jakob Utama juga mengutip konsep Reader’s Digest di Amerika Serikat dalam menerbitkan majalah Intisari yang terbit perdana pada Agustus 1963 Pada 1969, Gunawan dan Fikri mengundurkan diri dan merealisasikan gagasan-gagasan itu dengan me­ nerbitkan majalah Ekspres yang dimodali BM Diah. Majalah ini seperti diperkirakan tidak berumur pan­ jang, setelah BM Diah yang pro-Soeharto memecat Gunawan. Pemecatan ini gara-gara surat pernyataan Gunawan yang tidak mendukung keputusan Ali Moertopo—asisten Pribadi Soeharto—yang menunjuk BM Diah sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia. Faktanya, Kongres PWI justru mengangkat Rosihan Anwar. Sekelompok bekas wartawan dan seniman itu kemudian lebih banyak menghabiskan waktu di Balai Budaya, kawasan Menteng. Sampai kemudian ditawari pengusaha properti Ciputra, untuk membuat media baru. Sebuah negosiasi alot terjadi, meski kemudian maja­ lah Tempo dengan modal Rp 20 juta bisa terbit perdana tahun 1971. Majalah ini bisa terbit setelah proses berliku mendapatkan Surat Izin Terbit (SIT)—Gunawan saat itu sudah masuk daftar hitam penguasa. Sejumlah nama yang sekarang tenar ada di jajaran redaksi Tempo waktu itu. Gunawan menjabat sebagai ketua dewan direksi, Bur Rasuanto sebagai wakil, dan Fikri Jufri masuk dalam anggota. Putu Wijaya, Lukman Setiawan—bekas wartawan Kompas, Syub’ah Asa ada bersama Fikri dalam dewan redaksi. Adapun Ciputra menempatkan Eric Samola untuk mengontrol dengan jabatan direktur

161

M. MA’RUF 162

perusahaan. Gagasan segar dan baru yang diklaim Gunawan rupanya tidak mudah diterima, terutama oleh bagian pemasaran. Mungkin karena banyak dikerjakan oleh seniman, sehingga pemilihan sudut penulisan berita pada edisi perdana itu berbeda. Di luar dugaan, edisi perdana laku 10.000 eksemplar. Konfik pertama muncul ketika majalah itu semakin laris. Pada 1974 Grafiti Pers yang didirikan sebagai perusahaan penerbit majalah Tempo adalah gabungan dari Yayasan Jaya Raya milik Ciputra dan Pikatan yang merupakan perusahaan kertas—tidak memiliki usaha dan hanya representasi 17 pendiri Tempo, di antaranya Gunawan Muhammad, Fikri Jufri, Lukman Setiawan, dan Harjono Trisnadi. Pendirian Pikatan mulanya ada­ lah sebagai gagasan untuk menempatkan karyawan da­ lam struktur permodalan, agar pangalaman buruk di Ekspres tidak terulang. Alhasil, komposisi pemilik sa­ ham Tempo waktu itu adalah Pikatan dan Ciputra. Tidak lama, beberapa kekecewaan mengenai kesejahteraan memicu masalah dan karyawan menuntut pembagian saham Pikatan secara lebih adil. Para wartawan muda itu marah dengan status kepemilikan karyawan yang dimiliki orang-orang di jajaran direksi secara pribadi. Konflik ini selesai begitu saja, tetapi menjadi bara ter­ pendam. Masalah kembali terjadi. Kali itu, Bur Rasuanto yang wakil pemimpin redaksi terlibat pertikaian secara pribadi dengan Gunawan. Kasus ini berakhir dengan keluarnya Bur dari Tempo, setelah konflik itu memuncak dan terkenal dalam sejarah internal Tempo sebagai peristiwa lempar gelas—Bur melemparkan secangkir kopi ke arah Gunawan. Tidak lama, masalah kesejahteraan kembali muncul dan menjadi guncangan paling hebat. Pada 1987, sebanyak 33 karyawan yang dikomandoi Saur Hutabarat, Syu’bah Asa, Eddy Herwanto, dan Marah Sakti hengkang akibat masalah gaji yang terlalu kecil. Para wartawan tidak puas dengan penghasilan yang

Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk

diterima, dan menuding manajemen ter­lalu pelit un­­tuk Tempo yang sedang berada di zaman keemas­ an. Eksodus kedua kem­ bali terjadi empat tahun sebelum pembredelan. Se­ kitar 20 wartawan hijrah ke majalah Prospek dan Berita Buana. Ini dipicu oleh rayuan gaji yang le­ bih tinggi di media lain, dan isu kristenisasi di internal Tempo, menyusul diangkatnya seorang ber­­ agama Katolik di sa­ lah satu posisi redaksi yang penting—ini dibantah oleh Gunawan. Kelompok eksodus itu kemudian mendirikan majalah Editor dan langsung terlibat persaingan secara head to head merebut hati pembaca yang sama. Namun, eksodus ini dianggap oleh manajemen Tempo murni soal gaji, karena tawaran gaji di Editor memang jauh lebih tinggi dibandingkan di Tempo. Masalah-masalah kesejahteraan ini memang selalu timbul di tubuh Tempo sampai sekarang. Terbaru adalah hengkangnya sejumlah awak Koran Tempo ke harian Kontan dan situs berita vivanews.com. Gunawan yang seniman mengakui kewalahan menge­lola manajerial. Konflik itu lambat laun membuatnya mau belajar membentuk sistem kerja yang mapan, dan secara gradual mengubah organisasi—ini mendapat banyak tentangan. Sampai-sampai dia ikut Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen. “Kami sama sekali tidak mengerti bagaimana organisasi redaksi diatur. Rapat saja tidak tahu,” katanya.

163

M. MA’RUF 164

Di luaran konflik internal dan tekanan orde baru, Tempo menjelma menjadi media mingguan yang amat populer. Liputan-liputan investigasinya sering membuat merah kuping penguasa, dan menggemparkan publik. Tahun 1975, investigasi yang dipimpin Fikri Jufri meng­ gegerkan semua orang setelah membeberkan skandal keuangan Pertamina yang terbelit utang USD10 miliar. Dengan utang sebesar itu, negara bahkan bisa bang­krut sehingga laporan itu dikutip oleh media lain hingga ke luar negeri. Awal 1981, Tempo menggegerkan publik setelah mengungkap mark up pembelian kapal penum­ pang Tampomas II. Ini menjadi sorotan, karena bebe­ rapa bulan sebelumnya kapal itu tenggelam di kepulau­ an Masalembo dan menewaskan 142 penumpangnya. Tahun 1980-an oplah Tempo sudah tembus 100.000 eksemplar. Berkat pemberitaan itu pula, untuk pertama kali­ nya pemerintah membekukan Tempo gara-gara li­ putan seputar kampanye Golkar, pada April 1982. Na­ mun, pembekuan ini bisa dicairkan setelah Gunawan menyampaikan permohonan maaf, dan bersedia dibina oleh pemerintah. Tetapi versi lain menceritakan, pem­ bekuan ini adalah ide Harmoko—dari harian Pos Kota— ketua PWI yang tidak senang dengan Tempo. Akhirnya, laporan mengenai pembelian kapal bekas dari Jerman Timur itu menyebabkan mereka dibredel pada 26 Juni 1994 bersamaan dengan Editor, dan tabloid DeTIK, yang merupakan anak yang lahir dari peristiwa ekso­ dus 1987. Peristiwa ini mengundang protes di seluruh Tanah Air, dan mendorong lahirnya Aliansi Jurnalis Independen (AJI) saingan PWI. Sebagian wartawan Tempo pascapembredelan bergabung dengan Majalah Gatra yang dimodali Bob Hasan. Sementara sebagain lagi, pada 1996 tetap menerbitkan Tempo dalam versi online dan menjadi majalah berita di internet pertama di Indonesia.

Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk

Baik karena eksodus maupun pembredelan, kon­ flik di tubuh Tempo sendiri justru membuatnya sebagai ibu dari media-media baru yang menyemarakkan in­ dustri media Tanah Air. Awak-awak mereka bertebar­ an di pelbagai majalah dan harian baru seperti Prospek, Buana, Editor, Republika, dan sebagainya. Grafiti Press juga beranak pinak, dan memodali sejumlah me­ dia baru, seperti Jawa Pos, majalah Matra, majalah Swasembada—sekarang SWA—dan usaha lain. Sampai sekarang, citra Tempo sulit dilepaskan dari Gunawan Muhammad. Tempo tahun 1971, selalu identik dengan duet maut Gunawan-Fikri. Gunawan melepaskan ja­bat­an pemimpin redaksi setahun setelah Tempo kembali terbit dan menyerahkan estafet kepemimpinan kepada bekas kepala Biro di Washington DC, Bambang Harymurti yang sudah lama dipersiapkan. Tempo sekarang tengah berupaya melepas perlahan bayang-bayang Gunawan. Dia yang lahir di Karangasem Batang, Jawa Tengah, pada 29 Juli 1941 itu memiliki nama lengkap Goenawan Susatyo Mohamad. Pada masa mudanya lebih dikenal sebagai seorang penyair dan pernah ikut menanda­tangani Manifesto Kebudayaan 1964 yang mengakibatkan­nya dilarang menulis di berbagai media umum. Gunawan sudah menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson di usia 19 tahun. Setelah lepas dari keredaksian, Gunawan memiliki rubrik wajib yang tak tergantikan, Catatan Pinggir, dan aktif kembali kepada minat lamanya, seniman. Sementara koleganya, Fikri Jufri, yang lahir di Jakarta, 25 Maret 1936 adalah orang yang selalu menganggap dirinya seorang reporter, tak peduli jabatan yang sudah disandangnya. Mungkin, keterlibatannya dalam jurnalistik adalah sebuah ketidaksengajaan. Suatu ketika Fikri memergoki sebuah kerusuhan di kawasan Kota, Jakarta dan menelepon kantor redaksi harian KAMI. Esok harinya laporan kerusuhan itu menjadi head line dan dia ditawari kartu pers.

165

M. MA’RUF

Sementara pilihan Ciputra untuk tidak ikut cam­ pur urusan redaksi pada akhirnya justru membuat media yang dimodalinya ini berkembang—meskipun tidak banyak memberinya keuntungan, dibanding bis­ nis propertinya. Malah dia kerap dihajar balik oleh awak Tempo yang menurunkan berita pedas seputar proyek-proyeknya—majalah Tempo edisi April pernah menulis; Janji-Janji Kosong Ciputra yang mengumbar aib pengusaha itu dalam proyek Pantai Indah Kapuk. Malah, Ciputra pernah terjepit pada kasus pertikaian Tempo dengan Tomy. Pada September 2000, Arsa Raya Perdana yang menaungi majalah Tempo berubah menjadi Tempo Inti Media, dan menawarkan sahamnya ke publik. Ini di­ lakukan sebagian besar untuk memodali pendirian Ko­ ran Tempo, yang oleh sebagian kritikus media dianggap sebagai kesalahan karena menciptakan perang produk dengan majalah Tempo. Sejauh ini, nama besar Tempo tidak berbanding lurus dengan kinerja keuangannya. Koran Tempo masih membebani keuangan dan berba­ gai gugatan hukum terus membayangi proyeksi keun­ tungan. Setidaknya pada 2003 perseroan masih merugi Rp 10 miliar, dan Rp 6 miliar pada 2006. Mereka baru mencetak laba pada 2007 sebesar Rp 2,5 miliar, namun kembali merugi di awal 2009. Selembar saham mereka di pasar modal juga tak pernah lebih dari setengah harga sebungkus korek api kayu.[]

166

ABC

Anak Muda Selalu Bisa Diandalkan

P

engusaha Chandra Djojonegoro asal Medan tampak kesal dengan sikap Husain yang tidak pernah mau serius di sekolah. Dia sebenarnya memiliki harapan besar agar anaknya ini lebih pintar dalam urusan manajemen bisnis. Kekesalan itu memuncak dan ia menghukum anak keempat dari tujuh orang anaknya itu bekerja sebagai salesman di sebuah pabrik sandal di Jakarta selepas SMA. Husain hendak diberi pelajaran hidup yang le­ bih keras sebagai penjual sandal, tetapi justru di situlah bakat penjualannya terasah. Dia kembali ke Medan setelah melihat adanya peluang bisnis dari kegilaan baru masyarakat terhadap kotak ajaib yang sedang booming, setelah Thayeb Muhammad Gobel memproduksi radio lokal buatan dalam negeri pertama merek Cawang pada 1954 di Jakarta. Di lokasi seluas empat hektar di Medan, dia menggandeng pamannya mendirikan Everbright Battery Factory yang memproduksi baterai kering. Nama batere itu ABC, yang dikenang Husain sebagai ide sederhana agar mudah dihafal oleh orang-orang.

167

M. MA’RUF 168

Chandra masih tampak sibuk mengurusi bisnis anggur (wine) merek Orang Tua miliknya dan mem­ biarkan Husain melayani permintaan baterai yang terus melonjak. Pada waktu itu, dia masih menikmati sukses penjualan anggur tradisional yang dikemas dalam botolbotol. Dia mendirikan bisnis ini pada pada 14 Februari 1950 bersama tiga orang keturunan Tionghoa asal Semarang. Baru pada 1968, Chandra merasakan bisnis anak­ nya lebih menggiurkan dan mulai ikut-ikutan terjun dengan memodali pendirian usaha pemasok bahanbahan pembuat baterai kering, International Chemical Industrial Co. Ltd yang pengelolaannya diserahkan ke­ pada Husain. Kolaborasi bapak dan anak ini kemudian membuat ABC menguasai pasar baterai-baterai setelah aksi-aksi korporasi miliaran rupiah dari hasil akumulasi bisnis anggur. Terakhir waktu itu adalah membeli saham

Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk

saingan beratnya yang mengganjal penjualan ABC di kawasan pulau Jawa bagian timur, Hari Terang Industrial Co. Ltd pada 1982. Akuisisi ini melengkapi pencaplokan dua produsen baterai sebelumnya sehingga mencatatkan Chandra dan Husain sebagai konglomerat baru. Tanpa banyak publikasi, ABC menguasai hingga 70% pasar baterai nasional. Melalui sistem toll manufacturing, orang-orang di luar sana tidak akan tahu bahwa baterebatere buatan Husain kini ada di lebih dari 50 negara. Bisnis keluarga ini menggurita dalam keheningan media. Sebelum Chandra meninggal pada 1988, ia men­ dirikan ABC Central Food Industry sebagai jabang bayi pada bisnis makanan dan minuman yang saat itu dikuasai Indofood. Pria bertinggi tubuh 180 centimeter ini dengan cepat membesarkan bisnis itu dengan cara yang sudah-sudah, dimulai awal 1990-an. Husain membeli sejumlah perusahaan-perusahaan kecil yang potensial untuk disatukan dalam satu atap. Misalnya. membeli mayoritas saham produsen mi instan Asiatic Union Perdana dan produsen makanan ringan Ultra Prima Pangan Makmur, serta membeli pabrik Rajuli Reksa yang awalnya memproduksi shampoo. Pabrik-pabrik kecil itu kemudian disulap sebagai embrio-embrio untuk bersaing pada segmen produk yang diincar, seperti Indofood pada makanan dan Unilever untuk produk toiletries. Hasilnya, Ultra Prima Pangan Makmur kini adalah tambang uang Husain dengan omzet lebih dari Rp 1 triliun setelah memproduksi bis­ kuit wafer Tango yang menghebohkan itu. Tango yang sukses besar karena disajikan dalam potongan-potongan yang lebih kecil sehingga memudahkan untuk dikudap konsumen, mampu menggusur wafer-wafer impor. Pada bisnis minuman, Husain dengan sigap menggaet mitra asing TC Pharmaceutical Ltd asal Thailand untuk menjual Red Bull yang diganti dengan nama Kratingdaeng di Indonesia.

169

M. MA’RUF 170

Di balik nama besar Husain, grup Orang Tua dan ABC memiliki tokoh-tokoh independen. Husain yang tampak lebih akur dengan sepupunya, Kogan Djojonegoro, mampu menjalin kemitraan dengan pro­ dusen besar asal Amerika Serikat, HJ Heinz, untuk meleburkan bisnis makanan dan minumannya menjadi Heinz ABC Indonesia. Heinz adalah perusahaan multi­ nasional dan pemilik merek kecap terkemuka di dunia yang omzetnya mencapai USD1,5 miliar. Bisnis ini ba­ nyak dipercayakan kepada Kogan yang ligat menyasar pasar dengan menyediakan saus dan kecap tanpa merek untuk McDonald’s, Pizza Hut, KFC, dan Hoka-Hoka Bento. Sementara kecap dan saus ABC merajai pasaran sebelum kemudian menemukan saingan berat Kecap Bango milik Unilever. Adapun adik Husain, Hamid Djojonegoro, lebih enjoy mengurusi bisnisnya sendiri tanpa banyak campur tangan dari kakaknya. Hamid yang kerap tidak sejalan dengan Husain memiliki pabrik permen dan minuman kesehatan, seperti Kiranti, larutan penyegar Panjang Jiwo, dan larutan penyegar Orang Tua, serta permen Tango. Tahun 1984, ayah dua putra dan satu putri ini mendirikan Brushindo Cemerlang yang memproduksi sikat gigi dan pasta gigi merek Durodont, ABC, dan Formula Junior. Di samping itu, Hamid-lah di balik distribusi-distribusi kuat segala produk ABC dan Orang Tua. Ketegangan antara bisnis keluarga itu menjadi ton­ tonan sekaligus kengerian para karyawannya. Husain yang temperamental, bila sudah tidak bisa lagi menahan kemarahannya tidak akan segan-segan membanting LCD seharga 40 juta hancur berkeping-keping. Dia dika­barkan langsung memecat 25 manajer ketika pe­ masaran perdana mi ABC gagal. Pernah suatu waktu, Husain membatalkan iklan komersial yang sudah selesai dibuat dan siap tayang di televisi. Alasannya sepele, dia mendadak merasa kurang sreg dengan iklan tadi. Lucunya, seminggu sesudahnya, dia berbalik arah dan

Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk

meminta iklan itu ditayangkan. Akibatnya, terbuanglah uang ratusan juta, dan sialnya, di akhir tahun bagian keuangan kena damprat gara-gara ada pembengkakan biaya. Para manajer ABC juga tidak berani menginte­ rupsi keputusan Hamid mengeluarkan biaya-biaya me­s­ ki itu tanpa sepengetahuan Husain. Sebab, Hamid juga memiliki saham di perusahaan kakaknya itu. Tetapi semua kisah itu tidak pernah bisa dikonfirmasi media, dan hanya menjadi gosip-gosip semata. Dari Medan, keluarga ini sekarang memiliki pu­ luhan bisnis tanpa banyak diketahui orang. Mungkin ini karena Chandra melakukannya tanpa banyak ber­ hubungan dengan keluarga Cendana, sehingga ketika Soeharto jatuh mereka tidak mengalami kebangkrut­ an seperti pengusaha karbitan di zaman itu. Demikian pula serangkaian akuisi terhadap perusahaan tertutup membuat keluarga ini nyaris tidak tersentuh oleh kuli tinta. Tetapi satu alasan paling kuat mengapa kemudian keluarga ini masuk keluar daftar orang paling kaya seNusantara adalah konsistensinya membangun merek. Husain dan Hamid adalah tipe pengusaha indus­ trialis yang low profile atau lebih tepat disebut tertutup. Keduanya menciptakan produk-produk baru untuk ke­­ mudian diserahkan kepada para manajer untuk dipa­ sarkan dengan baik. Mereka hanya memasang targettarget tertentu untuk dicapai. Tetapi dalam keseharian, Husain tidak tampak mewah di hadapan karyawan dan lebih menyukai mengendarai kijang ke kantor. Dia lebih senang menghabiskan kekayaannya secara diam-diam di Singapura dengan mengendarai Porsche dan meleng­ kapi rumah mewahnya dengan pelbagai koleksi porselen mahal.[]

171

CNI

Empat Sekawan

A

gung Handaya adalah satu dari jutaan agen penjual­ an langsung CNI (Centra Nusa Insancemerlang), pionir bisnis multi-level marketing (MLM) di Tanah Air. Pria kelahiran Bantul Yogyakarta, dan alumnus Fakultas Geologi Universitas Gadjah Mada, ini banyak dijadikan contoh sebagai sales penjualan langsung yang sukses. Kisah kariernya yang dramatis, dengan keputusan tidak masuk akal, membuat motivasinya meresap pada agenagen MLM. Dia telah meraih gelar Master of Science dan kemudian bekerja sebagai dosen Fakultas Teknik Universitas Trisakti, Jakarta. Kariernya tidak buruk, karena diberi jabatan pembantu dekan, sehingga banyak yang menyebutnya gila ketika banting setir menjadi agen CNI. Baru pada Juni 1999 orang-orang terkagumkagum setelah Agung meraih Double Diamond Agency Manager dan menikmati bonus mobil mewah. Sejak saat itu Agung laris manis disewa sebagai pembicara pelatihan kepemimpinan dan seminar motivasi. Ada lagi cerita tukang sol, Mat Zeni yang menjadi anggota CNI pada 1995 dan delapan tahun kemudi­ an ke mana-mana sudah mengendarai mobil mewah 172

Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk

baru, memiliki rumah dan berpendapatan Rp 55 juta sebulan. Atau, kisah Pek Keng Leong salah satu top agen distributor CNI di Malaysia yang menikmati hari tua dengan Baby Benz dan Mitsubishi Pajero setelah bergabung kurang dari tiga tahun. Tiga cerita itu satu dari sekian banyak sukses bisnis MLM yang mengubah orang dari “bukan siapa-siapa” menjadi “siapa-siapa”, yang selalu menarik disimak— meski kadang dilebih-lebihkan dan pastinya lebih ba­ nyak yang gagal daripada berhasil. Kisah agen-agen men­dapatkan kekayaan dari CNI justru lebih menarik dibandingkan bagaimana empat sekawan di Bandung bersepakat meniru cara-cara Sun chlorella dari Jepang menjual healty food-nya di Malaysia. Adalah S. Abrian Natan, pebisnis otodidak sejak SMA dengan menjadi makelar mobil bekas untuk membiayai sekolah dan melanjutkan kuliah di Kota Kembang. Ketika mahasiswa, pria kelahiran Bandung, Oktober 1962 ini sudah memiliki show room mobil dan memulai bisnis sampingan menjual minuman ringan dan makanan kecil. “Boleh jadi saya pencetus pertama jual minuman ringan pakai gerobak saat itu. Saya menjadi agen untuk ritel tradisional dan agen es jolly,” kata dia. Sementara itu, Ginawan Chondro sedang terheranheran dan takjub dengan bisnis baru yang diperkenal­ kan teman asal Malaysia-nya, Yanky Regan. Ginawan ditawari untuk menjual produk-produk makanan kese­hatan atau healthy food merek Sun chlorella dari Jepang secara langsung di Indonesia. Ginawan tertarik dengan model penjualan langsung yang belum pernah dijumpainya di Bandung, apalagi pada target-target penjualan tertentu akan disertai bonus-bonus menarik, dan tentu saja janji-janji pensiun dini—meskipun dia yakin ada orang lain yang bakal lebih antusias dan bisa menjual produk itu ketimbang dirinya. Setelah masuk pada 1985, Ginawan merekrut Abrian, yang tidak lain

173

M. MA’RUF 174

adalah adik iparnya. Dia juga menawarkan kepada kakak kandungnya, Wirawan Chondro yang rupanya berminat. Tiga bersaudara dan satu kawan dari Malaysia itu memilih untuk mendirikan Nusantara Sun Chlorella Tama di Bandung sebagai agen untuk memasarkan produk-produk asal Jepang itu. Modal didapat dari Chondro bersaudara, yang menye­diakan beberapa ruangan di tokonya sebagai kantor dan Regan yang pada akhirnya menikah dengan gadis setempat mengurusi bagian keuangan, dan mentor MLM. Sementara ope­ rasional secara penuh dilimpahkan kepada Abrian, yang diberi enam karyawan, bagian administrasi, dan gudang. Menjual Sun chlorella tidak lebih mudah daripada menjual mobil bekas atau es jolly. Tidak ada yang mengenali produk itu, lagi pula kenapa ada makanan kesehatan, bukankah selama ini orang-orang sudah tahu makanan yang sehat? Produk ini adalah hasil makanan kesehatan alami berasal dari ganggang hijau yang dapat dikonsumsi untuk segala umur, membantu memper­kuat daya tahan tubuh. Ini sesuatu yang baru bagi konsu­men, termasuk Departemen Kesehatan yang kebingung­an mengeluarkan izin, karena tidak ada kategori untuk Sun Chlorella sebagai healthy food. Ada juga kategori obat atau vitamin. “Saya harus berargumentasi lebih dulu dengan pihak Badan POM,” kenang Abrian. Lima tahun Abrian dicurigai oleh konsumennya sen­diri. Sangat aneh misalnya menawarkan bisnis baru dengan harus membeli dulu barang sebagai tanda mendaftar. Lebih lagi orang baru akan memandang dari mana datangnya biaya untuk iming-iming bonus, sepeda motor hingga kapal pesiar mewah. Abrian menawarkan dua hal. Pertama, menawarkan produk yang bernutrisi tinggi sehingga orang akan menjadi lebih sehat. Kedua, dengan bisnis ini, orang yang tidak sekadar meminum tetapi mau menjadi agen bisa meningkatkan taraf

Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk

hidupnya. Dia memulai gerilya secara door to door, mengumpulkan beberapa orang untuk mendengarkan ceramahnya hingga ke luar Pulau Jawa dan meninggalkan resep getok tular. Usaha ini cukup berhasil dengan adanya agen-agen setiap di setiap daerah, yang sekaligus sebagai simpulsimpul untuk merekrut orang-orang baru. Pada 1987 kantor pindah dari Bandung ke kawasan niaga Duta Merlin, Jakarta Pusat dan nama perusahaan diubah menjadi PT Citra Nusa Insancemerlang (CNI). Setidaknya ada enam produk yang dijual selain makanan kesehatan, seperti Sun Chlorella tablet dari Jepang, dan Ester-C vitamin C dari Amerika—yang belakangan membayar mahal artis terkenal Luna Maya untuk iklan. CNI mulai memperkenalkan produk perawatan diri, dan kebutuhan rumah tangga seperti serbuk cuci consentrate detergent, multi purpose cleaner, softener and brightener. Karena banyak konsumennya di desa, mereka juga menjual produk obat untuk pertanian dan perikanan. Beberapa program penjualan dibuat menarik, seperti penerapan jaminan mutu dan 100% money back guarantee mempercanggih fasilitas kantor, dan pelebaran jalur distribusi barang melalui sistem point operator (tempat distributor dapat memperoleh suplai produk.). Termasuk membiayai berbagai penelitian un­tuk mendapatkan pernyataan para ahli guna memi­ kat konsumen. Misalnya penelitian dari Universitas Padjadjaran, RS Cipto Mangunkusumo, atau Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi). Kutipan seperti ini lazim dicantumkan pada brosur atau menjadi senjata ampuh setiap kali agen menjajakan produk. “Pengalaman pri­ badi mengonsumsi 10 tablet Sun Chlorella per hari seki­ tar dua bulan menurunkan tekanan darah tinggi mende­ kati normal dan membuat tubuh mencapai kondisi yang optimal”. Selain kutipan dari pernyataan Dr. Muhilal, Ketua Persagi ini, mereka juga rajin menampilkan kutipan pendapat ahli dari luar negeri.

175

M. MA’RUF 176

Ledakan bisnis CNI justru terjadi ketika banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) pada 1997. Meski­ pun nilai tukar rupiah ambrol, pertumbuhan penjual­ an CNI waktu itu malah tercatat paling tinggi dalam sejarah perusahaan, mencapai 70%, dua kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya. Jumlah agen pun meledak sama besarnya. Sudah lebih dari satu dekade CNI merambah luar negeri, Malaysia, Singapura, Hong Kong, Brunei Darussalam, dan India. Ini membuat produsen Sun Chlorella, YSK International Corp mau menginvestasikan dana untuk membangun kolam seluas 50 hektare untuk membiakan bahan baku Chlorella di Pasuruan, Jawa Timur meskipun pengolahan tetap ada di Jepang. Pada 2003, CNI membangun gedung kantor pusat yang dimiliki sendiri di Kompleks Green Garden, Arteri Kedoya, Jakarta Barat yang megah. Seiring menjamurnya MLM, persaingan antaragen pun tidak terhindarkan. Antar MLM mulai saling menge­ luhkan tren pembajakan agen-agen yang sudah memiliki banyak anak buah. CNI pernah digugat salah seorang distributornya, Arif Wirawan, sebesar Rp 43,3 miliar pada 2004, karena dianggap mencabut keanggotaan semena-mena. Sementara pihak manajemen sendiri ber­ alasan Arif telah melanggar kode etik. CNI sekarang memiliki ratusan perusahaan penjualan langsung dengan bonus-bonus yang lebih menarik. Empat sekawan pendiri CNI, Ginawan, Wirawan, Regan, dan Abrian sudah menikmati hasilnya dan ber­ giliran memangku jabatan tertinggi di sana. Mereka tidak hanya berhasil menjual produk-produk yang awalnya tidak dikenal menjadi amat familiar. Pun, men­ ciptakan “artis-artis” baru bidang pemasaran. Pakar ma­najemen Universitas Indonesia, Rhenald Kasali dalam buku berjudul River Company, Apa yang Mem­beda­ kan CNI dengan Perusahaan Kubangan, menuturkan sejarah perjalanan dan filosofi bisnis CNI, sebagai se­

Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk

buah perusahaan pelopor MLM di Indonesia. River Company adalah perusahaan yang didirikan bukan semata-mata untuk mencari keuntungan, melainkan untuk memperbarui dan menyejahterakan kehidupan. Tiga yang masuk kategori ini adalah produsen mobil asal Amerika Ford, produsen telepon genggam Nokia, dan DuPont, sebuah perusahaan science-chemical di Negeri Paman Sam. Selanjutnya, kata Rhenald, CNI dari Indonesia masuk kategori ini.[]

177

Cinta Itu Dampaknya Luar Biasa

bagian

6

Susi Air

Nurani Bisa Menuntun pada Jalan Bisnis Baru

S

usi Pudjiastuti pertama kali dikenal publik bukan sebagai pengusaha yang mengundang decak kagum karena kegigihannya merintis ekspor lobster dari Pangandaran menggunakan pesawat pribadi ke Jepang. Perokok berat dan penyuka kopi pahit itu justru amat populer sebagai orang berhati emas saat bencana gempa dan tsunami meluluhlantakkan Aceh pada 26 Desember 2004. Harian Kompas edisi Jumat, 14 Januari 2005 menulis dengan judul Perempuan Pemberani Itu Susi Namanya. Majalah Gatra di hari yang sama menulis Nekat, dalam rubrik Apa dan Siapa. Beberapa media lain juga menurunkan artikel feature yang tidak begitu berbeda. Susi dan suaminya Christian von Strombeck, di­ kenal sebagai pahlawan karena kebaikan hati dan ke­be­ raniannya, sebagai orang yang pertama kali men­darat­ kan pesawatnya di Aceh untuk memberikan bantuan pribadi. Mereka berdua membuka isolasi Aceh yang porak-poranda oleh air bah dengan mendaratkan pesa­ wat Cessna di Bandara Tjut Nyak Dien, Meulaboh, pada 28 Desember 2004. Kisah ini mengharu biru, menyebar 180

Bagian 6 – Cinta Itu Dampaknya Luar Biasa

dengan cepat ke dunia maya dan menjadi inspirasi ba­ nyak orang. Keberhasilannya mengilhami pesawat ber­ badan kecil milik Polri dan TNI-AL untuk melakukan hal sama. Bahkan, Mike dan Joe, warga Amerika Serikat juga menerbangkan pesawat mereka dari Guam, AS ke Meulaboh untuk mengirimkan bantuan. Karyawan pesawat Cessna di AS juga menitipkan bantuan dana USD 50.000 untuk disalurkan ke korban lewat Susi. “Saya katakan bahwa kami jauh-jauh datang tidak mau bunuh diri, apalagi mengorbankan pesawat seharga Rp20 miliar, kami mau membantu orang,” kata Susi saat mencoba meyakinkan Dirjen Perhubungan Udara yang semula tak memberikan izin mendarat. Susi dan suaminya akhirnya nekat dan berhasil mendarat di landasan sepanjang 550 meter dan lebar 10 meter, dengan sisi kanan-kiri yang retak akibat gempa. Kisah berani ini kemudian membuat banyak pihak mempercayakan penerbangan ke Aceh lewat pesawat Susi. Susi sama sekali tidak bermaksud menjadikan pe­ nerbangan Tsunami di Aceh sebagai operasi bisnisnya. Meskipun, ASI Pudjiastuti Aviation, sebuah perusahaan pesawat carteran yang menaungi dua pesawat Cessna Grand Caravan telah didirikan sebulan sebelum tragedi itu terjadi. Awalnya adalah murni memberikan bantuan pribadi, kemudian membantu menerbangkan bantuan pihak lain dan relawan, tetapi selanjutnya banyak yang membayar untuk bantuannya ini. Bagi Susi, peristiwa ini membukakan peluang bisnis pesawat carteran yang masih perawan untuk geografis Indonesia yang berkepulauan. Dia makin serius dengan menyediakan 15 pesawat yang melayani jasa carteran dan tujuh rute penerbangan komuter. Di Sumatera, dia membuka rute Medan ke Simeuleu, Medan-Meulaboh, Medan-Aek Godang dan Medan-Blang Pidie. Lalu di Kalimantan, Susie Air me­ layani rute Banjarmasin-Muara Teweh, Muara Teweh-

181

M. MA’RUF 182

Palangkaraya dan Balikpapan-Sebuku. Pada 2006, Susi membuka cabang di Jayapura, dan kemudian Balik­ papan. Dalam waktu singkat, omzet Susi Air sudah Rp 40 miliar. Susi adalah perempuan kampung yang tak ta­ mat SMA, namun sukses berbisnis hasil laut hingga m­ampu membeli pesawat. Perempuan Jawa kelahiran Pangandaran 15 Januari 1965 itu memutuskan berhenti dari sekolah SMA Negeri I Yogyakarta untuk menekuni dagang, bermodal Rp 750.000 dari hasil menjual gelang, kalung, dan cincin miliknya. Ia memulai dengan berjual­ an bed cover. “Saya sempat tidak disapa oleh almarhum ayah selama dua tahun, gara-gara kecewa karena saya memilih berhenti sekolah waktu itu,” ungkap Susi. Dia kembali ke Pangandaran setelah melihat ba­ nyak tangkapan laut dijual sangat murah oleh para ne­ layan. Susi mengumpulkan ikan, cumi, dan udang itu dari nelayan langsung untuk dijual ke pasar. Waktu itu dia baru sanggup membeli 1 kg, besoknya 2 kg, lusa 5 kg. Dalam tempo setahun, produk ikan segar Susi sudah memasuki pasar Cilacap dan Jakarta, dari semula hanya Cirebon. Lama-kelamaan, dia dikenali sebagai Susi Gila dari Pangandaran karena aktivitasnya ikut dalam truk pengangkut lobster dari Pangandaran ke Cirebon, Cilacap, dan Jakarta, hingga kembali lagi ke Pangandaran. Tiap hari, aktivitas Susi dimulai pukul 15.00, di mana dia harus sudah siap berangkat ke Jakarta untuk menyetorkan ikan dan lobster ke restoranrestoran. Di tengah jalan, dia mampir ke Cikampek untuk mengambil kodok. Sampai di Jakarta sudah malam. Setelah mandi, langsung balik ke Pangandaran. Susi pun kemudian menjadi penyalur tetap hasil laut ke beberapa pabrik besar dan restoran di Jakarta. Dia mulai membina nelayannya sendiri dengan menyewakan perahu untuk mencari ikan dan mobil untuk pengiriman.

Bagian 6 – Cinta Itu Dampaknya Luar Biasa

Lambat laun Susi kesal dengan konsumen pabrik yang seenaknya mengendalikan harga. Akhirnya dia mencari konsumen yang mau membayar dengan harga lebih tinggi. Pada 1996, dia mendirikan Andhika Sa­ mudra International (ASI) Pudjiastuti di atas tanah warisan untuk lokasi pabrik pengolahan ikan. Krisis ekonomi 1997 sempat membuat pembangunan pabrik ini sempat terbengkalai. Di lain sisi, bisnis ekspor Susi justru meroket karena nilai tukar rupiah yang turun hingga empat kali lipat. Hasilnya, dia bisa membangun pabrik kedua dengan investasi tak kurang dari Rp 35 miliar. Pabrik ini bisa memproses dan menyimpan stok ikan maupun udang 15-20 ton per hari. Teknologi yang digunakan semuanya modern dan impor agar ikan, udang, dan lobster yang dikirim tetap segar. Ini membuatnya sangat dikenal oleh pembeli-pembeli dari Jepang yang selalu menginginkan ikan dengan tingkat kesegaran tertentu, dan tentu saja ramah lingkungan. Bagaimana Susi mempraktikkan pengolahan ikan yang ramah lingkungan pernah disadur majalah perikan­ an terbesar dari Autralia, Austasia Aquaculture. Saat itu, merek dagang Susi Brand mampu menguasai 56% impor lobster di Jepang, dan mulai merambah Singapura serta Hongkong. Untuk hasil laut yang lebih segar dan ramah lingkungan, para konsumennya di luar negeri rela membayar tiga kali lebih mahal dari harga ikan segar yang ditetapkan Organisasi Pangan Dunia (FAO). Isu pemanasan global juga membuat Susi Brand direkomendasikan, karena semua proses pengolahan ramah lingkungan, bebas kimia, dan pemakaian amo­ niak untuk pendingin, bukan freon yang merusak ozon. Pada 2000, Susi menemukan ide yang cukup gila didengarkan oleh bankir. “Saya dibilang gila saat meng­ ajukan kredit beli pesawat untuk mengangkut ikan dan lobster dari Pangandaran ke Jepang,” ungkap Susi.

183

M. MA’RUF 184

Menurut dia, meski ikan dan lobsternya masih segar ketika keluar dari pabrik, proses pengangkutan dengan kapal yang lama membuat harga produknya turun di Jepang. Padahal, jika sampai ke Jepang kurang dari 24 jam, harganya bisa dua kali lipat lebih mahal. Misalnya, ikan laut yang biasanya dihargai USD 3 per kilogram (kg) menjadi USD 8. Berulang kali Susi memberi penjelasan itu kepada bank, tetapi sesering itu pula dianggap aneh dan bukan ide brilian. Baru setelah empat tahun bergerilya, ada bank yang akhirnya mau memberinya kredit. Akhirnya, lobster Susi terjual USD 7,8 per kg, mendekati harga tertinggi di Australia. Saat ini setiap bulan perusahaannya mampu men­ jual hasil laut ke beberapa negara di Asia, Eropa, dan Amerika, antara 50-60 ton dan melonjak hampir dua kali lipat sejak merebaknya wabah daging sapi gila dan flu burung. Ekspor via pesawat ini dengan bangga di­ sebutnya mampu mendongkrak omzet dari USD 2 juta menjadi USD 5 juta dolar per tahun. Dengan alasanalasan harga dan penghargaan, sampai sekarang Susi lebih memilih menjual produknya ke luar negeri dengan porsi hingga 95% dari total produksi dengan produk utama lobster, udang, kakap, dan tuna. Susi menikah dengan pria berkebangsaan Jerman, Christian, pada 1997. Pernikahan seolah takdir menuju bisnis penerbangan, karena suaminya adalah seorang pilot. Pasangan ini dikaruniai tiga anak, Panji Hilmansyah, Nadine Pascale, dan Alvy Xavier. Susi dan Christian, sedang menghitung hari, membesarkan anakanaknya dan mengumpulkan uang pensiun sembari mengelola restoran sea food di kota mode Milan.[]

Java Musikindo

Hobi dan Bisnis adalah Kombinasi yang Dahsyat

A

drie Nurmianto Subono sangat menikmati masamasa tinggal bersama pamannya, BJ Habibie, di Jerman Barat antara 1970-1978. Pamannya itu telah menetap di sana sejak kuliah hingga bekerja di sebuah perusahaan pesawat terbang. Adrie begitu menikmati dinginnya salju Eropa bukan karena bisa lebih bebas, tetapi karena bisa sering menonton konser-konser musik kesukaannya di sana. Hobi itu tidak bisa hilang meski dia kemudian kembali ke Indonesia untuk menekuni bisnis alat transportasi laut dan properti. Sialnya, amat mustahil menyaksikan konser-konser penyanyi dan band top dunia manggung di Indonesia. Alhasil, setiap perjalanan ke luar negeri, Adrie pasti mencuri waktu, menyelinap untuk menonton konser-konser. Almarhum King of Pop Michael Jackson adalah salah satu penyanyi favoritnya. Keinginan yang menggebu-gebu pada konser itu lambat laun mendorong Adrie pada peluang bisnis, yaitu menggelar konser musisi asing di Indonesia. Tetapi dia sama sekali tidak memiliki seluk-beluk bisnis ini. Promotor-promotor pertunjukan yang ada, baru sekelas lokal, dan tidak ada buku-buku manual untuk memulai sebuah konser. 185

M. MA’RUF 186

Hasrat ini terpendam sekian lama sampai pada 1994, seorang teman dari radio Prambors mengajaknya untuk mendatangkan band rock asal Amerika Serikat yang sedang naik daun, Saigon Kick. Tanpa pikir pan­ jang Adrie bergabung untuk konser yang langsung di­ selenggarakan di empat kota itu, Jakarta, Bandung, Surabaya dan Bali. Konser itu dapat dibilang tidak gagal, tetapi Adrie merugi dalam jumlah besar. Banyak hal yang masih belum diketahuinya, mulai pemilihan gedung yang salah, penjualan tiket, dan lemahnya promosi. Dia tidak kapok dan berselang setahun kemudian mendatangkan Supergroove. Dia kembali merugi namun justru nekat menanggalkan bisnis perkapalan yang sudah 23 tahun dilakoni untuk mendirikan Java Musikindo. Bagi Adrie profesi ini lebih menjanjikan dan menye­ nangkan. Kerugian di awal-awal dianggapnya sebagai ongkos belajar karena dia memang tidak pernah belajar dan memiliki guru kecuali pengetahuan secara otodidak. Lagi pula, dengan menjadi promotor pertunjukan dia bisa melepas jas dan dasi untuk berganti dengan sera­ gam yang lebih membuatnya nyaman; jins, kaos oblong, dan topi yang kesemuanya berwarna hitam. Style-nya ini entah kapan akan berubah. Selepas Supergroove yang digelar di M Club, di lantai paling atas Blok M Plaza, Adrie sempat menggelar konser musisi lokal, Pas Band dan Nugie. Tetapi sejak Foo Fighter pada Januari 1996, dan menyusul lima bulan kemudian Mr Big, Java makin sering mengundang artis asing ke Tanah Air. Sejak saat itu hingga sekarang hampir tidak ada artis beken luar negeri yang tidak dikontrak Java untuk manggung di Indonesia. Lambat laun dia mulai mengerti bagaimana mengelola konser bintang-bintang dengan profesional dan hemat. Banyak kerugian itu rupanya karena semua ongkos kedatangan musisi asing ditanggung sendiri.

Bagian 6 – Cinta Itu Dampaknya Luar Biasa

Adrie lalu menemukan cara lebih hemat melalui kongsi dengan promotor di negara tetangga, seperti dari Malaysia, Singapura, dan Filipina. Cara ini sangat berguna untuk mengontrak artis-artis yang berharga mahal. Soalnya, hanya untuk bayaran artis saja, tarifnya bisa seharga satu mobil BMW terbaru, be­lum termasuk tetek bengek yang lain. Misalnya, biaya permintaan yang aneh-aneh atau yang sering di­sebut sebagai riders, baik dari musisi maupun manajemen artis. Adrie kenyang pengalaman seperti ketika artis seksi Mariah Carey datang ke Indonesia pada 2004. Penyanyi bertubuh molek itu mengajukan banyak se­kali permintaan, seperti ada tangga di tengah-tengah panggung seharga Rp 50 juta—yang dipakai oleh Mariah tak lebih dari lima menit, sampai warna kamar menginap Mariah di president suite Hotel Mulia yang harus diubah menjadi pink. Banyak keruwetan dalam bisnis ini sehingga ke­ mudian muncul ujar-ujaran, there’s no business like showbiz. Tetapi semua itu mampu ditangani dengan tangan dingin Adrie, yang mempekerjakan delapan staf di kantor mungil di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Jumlah itu membengkak hingga ratusan bila Java sedang menggelar konser. Sekarang Andrie mulai bangga dengan kemunculan para promotor baru yang mengikuti jejaknya. Di selasela absen pertunjukan, Adrie kini justru membagibagikan rahasia dengan menerbitkan buku berjudul WOW, mengenai kisah suksesnya sebagai promotor. Waktu luangnya kini lebih banyak dihabiskan untuk menghadiri undangan seminar-seminar kewirausahaan karena kisah kesuksesan dan statusnya yang tidak lulus SMA itu.[]

187

Maspion

Membeli Produk Lokal Juga Sebuah Sikap Nasionalisme, Bung!

S

eorang pria berumur kira-kira 19 tahun meninggal­ kan kampung halamannya di Desa Xi Jiang, Kecamatan Gao Shan, Kota Fuqing, Provinsi Fujian, China dan me­nyeberangi lautan selama 40 hari menuju kota Pasuruan, Jawa Timur. Mungkin, anak muda yang kemudian mengganti namanya menjadi Alim Husin itu terinspirasi oleh Laksanama Ceng Ho yang datang ke Nusantara abad 14 Masehi. Di Pasuruan, Alim bertahan hidup dari berjualan kain. Pria pemilik banyak ide ini lalu merintis pembuatan lampu teplok dengan teknologi baru pada 1954 bersama rekannya, Gunardi. Lampu buatan Alim dan Gunardi tidak mudah padam karena sekeliling sumbu api ditutupi kaca. Din­ ding rumah para pembeli juga tidak hitam karena bagian pengaitnya dilapisi seng. Orang-orang era 1970-an tentu akan paham lampu ini, karena di lempengan seng itu ada gambar artis-artis mandarin yang tersenyum manis, tetapi panas membara bila disentuh. Dengan delapan orang karyawan, Alim mampu memproduksi 300 lusin lampu teplok, mulai dari jenis rumahan sampai lampu badai untuk para nelayan. 188

Bagian 6 – Cinta Itu Dampaknya Luar Biasa

Pada 1971, Alim mulai mengalihkan usahanya untuk memproduksi perabotan dapur seperti ember, baskom, dan loyang berbahan plastik. Produk itu laris dengan merek Maspioneer. Namun, sekitar 1966, ada produk lain yang juga memakai merek Pioneer se­ hingga mengajukan komplain. Maspioneer kemudian dipotong ekornya menjadi hanya Maspion. “Sekarang nama Maspion malah jadi hoki. Oleh karena buntutnya dipotong, malah jadi manusia sempurna ... hahaha,” kata si sulung, Alim Markus yang panjang akal kemu­ dian sangat bangga menemukan makna yang pas untuk Maspion. M=Mengajak A=Anda S=Selalu P=Percaya I=Industri O=Olahan N=Nasional. Hoki keluarga Alim tampak dimulai dari tangan Markus yang pada 1971 diberi jabatan sebagai Direktur Utama sampai sekarang. Pria tidak tamat SMP ini me­ mang sudah terlibat sejak remaja, mulai dari cleaning services, administrasi, bagian keuangan, hingga menjual lampu-lampu itu. Di angannya, Maspion Group ber­ ekspansi ke segala lini, beranak pinak menjadi lusinan perusahaan yang terbagi atas lima hingga tujuh bisnis andalan. Mulai dari bisnis utama produk kebutuhan ibu rumah tangga, seperti panci teflon, termos plastik, kulkas, kompor gas, pompa air, dan kipas angin sam­ pai bidang konstruksi material, properti hingga sebuah Kawasan Industri Maspion di Surabaya seluas 100 hek­ tar. Ini belum termasuk sejumlah bisnis jasa keuangan dan perusahaan patungan dengan investor asing. Di luar urusan bisnis ini, Markus yang masih suka bermain tenis meja sejak muda menjadikan olahraga sebagai program wajib bagi para pekerja Maspion. Pada 2007, keluarganya sudah menikmati status baru sebagai satu dari 40 orang kaya di Indonesia dengan taksiran ke­ kayaan USD 100 juta dolar. Menonjolnya Maspion sebagai merek lokal domi­ nan untuk perkakas rumah tangga adalah buah cerdik

189

M. MA’RUF 190

Markus seperti dikatakan pakar pemasaran AB Sutanto. Markus merangkul sejumlah produsen top asing un­ tuk membangun pabrik di Indonesia dengan tujuan awal sebagai strategi co-branding. Alih-alih menutupi kekurangan dalam teknologi, cara ini kemudian juga ampuh untuk mengatasi masalah akut orang Indonesia yang lebih “lupa daratan” dengan produk asal luar negeri. Misalnya, Teflon by Dupont, stiker ini menem­ pel di peralatan rumah tangga produksinya. Markus sering bepergian ke luar negeri mendekati manufakturmanufaktur besar macam Samsung, Marubeni, dari Jepang, Dupont, dan Ishizuka. Mereka-mereka ini di­ ajak membangun pabrik baru dengan pembagian porsi saham yang sama. Karenanya, sampai sekarang Markus masih enggan menjadi agen penjual bagi produk asing, dan lebih memilih pola patungan itu. Produk-produk semi asing itu dibungkus oleh slogan “Cintailah Produk-Produk Indonesia” yang sejak lama dipakai Markus mengampanyekan Maspion. Dia kerap kali memerankan sendiri iklan-iklan produk-produk Maspion di televisi—terakhir dengan Titiek Puspa. Berbagai masalah justru banyak dijumpai pria yang selalu menjadi inspektur upacara peringatan 17 Agustus di kantornya ini setelah reformasi. Imbas pertama kali dirasakan saat Markus berada di China pada 13 Mei 1998, ketika sentimen rasis antiwarga keturunan Tionghoa memuncak dengan aksi penjarahan mulai dari Jakarta, Surabaya hingga kota kecil di Solo. Keluarga dan pabrik-pabriknya di Jawa Timur ikut terancam. “Saya satu-satunya konglomerat yang kembali (dari luar negeri) saat kerusuhan Mei 1998” kata dia. Demikian pula dengan 30.000 karyawan, sejak reformasi Markus kerap menyantap sarapan pagi dengan pemandangan demonstrasi buruh yang menuntut kenaikan upah minimum. Para buruh semakin rajin menggelar demo untuk menuntut kenaikan upah setiap

Bagian 6 – Cinta Itu Dampaknya Luar Biasa

tahun—kadang berlangsung ricuh. Markus pernah di­ kepung 15.000 karyawannya yang menuntut kenaikan gaji, dengan hanya dikawal empat polisi. Akibat krisis 1998, Markus menutup 5 dari 63 pabrik Maspion. Se­ telah itu, banjir produk-produk China yang lebih murah dengan cepat membenamkan produk Maspion di pasar internasional, bahkan di dalam negeri. Sepeninggalan Alim pada 2003, Maspion seperti ayam kehilangan induk. Tiga adik Markus, yakni Alim Mulia Sastra, Alim Satria, dan Alim Prakarsa konon kerap dilaporkan pasang kuda-kuda terhadap kakak tertuanya itu. Mereka acap membuat pembagian kekuasaan di sejumlah perusahaan sehingga aliran kebijakan yang digariskan Markus menjadi macet. Atas masalah ini, Markus memperketat keputusan soal pengeluaran dana hanya melalui dirinya. Pasca wafatnya Alim, sebanyak 90% saham perusahaan dibagikan kepada anak-anak­ nya dan sisanya milik kolega Alim, Gunardi. Markus pernah dijadikan tersangka dan dijeblos­ kan ke penjara pada kasus bank gelap, gara-gara dia meminta jaminan atas barang yang dibeli distributor. Dua belas orang pejabat dan tokoh masyarakat mulai dari CEO Jawa Pos Dahlan Iskan hingga Wakil Presiden Jusuf Kalla ikut menjamin agar penahanan dirinya di­ tangguhkan. Kasus selesai dengan dakwaan yang gugur. Markus yang kelahiran Surabaya, 24 September 1951 ini menikahi Sriyanti dan dikaruniai tujuh anak. Pada waktu Abdurahman Wahid menjadi presiden, dia mulai menyukai politik. Dalam masa kepemimpinan tokoh NU ini, dia pernah diminta menjadi penasihat pre­siden. Sekarang, dia bersama konglomerat Liem S. Liong (Indofood Grup), keluarga Eka Cipta (Indah Kiat Grup), disebut-sebut menjadi penyokong dana Susilo Bam­bang Yudhoyono dalam pemilihan presiden 2009.[]

191

Log Zhelebour Production

Idealisme dan Komersialisme Rupanya Bisa Akur

R

ock never die! Ong Oen Log memiliki cara unik mewujudkan musik rock sebagai mata rantai uta­ ma sejarah perkembangan industri musik Tanah Air. Bukan dengan kemampuannya bermusik cadas—dia bukan vokalis bersuara emas, dan bahkan tidak begitu mahir alat musik—melainkan dengan sebuah mesin tik tua, sepeda motor butut, dan sebuah idealisme rock. Kecintaan musik rock itu diperoleh secara amatiran oleh Ong muda ketika duduk di bangku SMP Pirngadi urabaya. Tetapi, pria yang lebih memilih bermain saham ketika order perhelatan musik rock sepi ini memulai kariernya sebagai promotor kecil-kecilan setelah mena­ matkan seragam abu-abu di St Louis Surabaya, pada 1977. Mula-mula adalah promotor kecil-kecilan untuk musik disko yang sedang populer pada awal 1970-an. Sukses di situ, dia semakin bergairah ketika musik cadas mulai meredupkan pamor disko. Log mendirikan Log Zhelebour Production, sesuai dengan nama barunya. Sebuah nama julukan oleh orang-orang yang melihat penampilannya cukup selebor—dalam berbagai kesem­ patan cenderung cuek dengan kaos dan celana pendek. 192

Bagian 6 – Cinta Itu Dampaknya Luar Biasa

Dengan penampilan seperti itu, Log tetaplah tipe orang yang bisa meyakinkan orang lain. Termasuk sponsor, tentang usahanya mementaskan musik rock yang digandrungi anak muda tetapi rawan kerusuhan. Promosi berbagai produk yang waktu itu dilakukan hanya sebatas melalui radio dan spanduk. Tetapi ideide segar bisa menyulap keterbatasan media promosi— waktu itu TVRI tidak memiliki jam tayang iklan—dengan pelbagai desain iklan dan cara berpromosi yang heboh dan gila. Di belakang gemerlap panggung, dia memiliki ide-ide brilian menyusun konsep pagelaran, menguasai seluk-beluk pertunjukan mulai dari tata panggung, sound system, lighting, hingga keluwesan melobi semua lapisan, mulai dari pejabat untuk izin keamanan sampai perusahaan besar sebagai sponsor. Pengamat musik Remy Soetansyah yang pernah diundang Log sebagai juri Festival Rock Indonesia, menyebut Log adalah pria yang bisa melakukan apa yang tidak bisa dilakukan promotor musik rock lain. Dia single fighter yang punya kemampuannya komplet dan karenanya tidak terlalu bergantung kepada orang lain, pun tidak memedulikan apa kata orang. Bakat Log adalah intuisinya yang sangat tajam mengenai calon-calon rocker yang bisa diterima penggila musik cadas. Awal sukses karier profesional Log dimulai ketika menjadi promotor festival rock bertajuk Rock Power pada 1979 yang menampilkan grup rock papan atas waktu itu, seperti SAS asal Surabaya dan Super Kid dari Bandung. Sesekali dia menyeponsori penyanyi rock wanita seperti Euis Darliah, Sylvia Saartje, dan melambungkan nama Farid Harja. Cara-cara sporadis ini kurang greget, karena hanya memberi peluang pada calon-calon rocker potensial yang dia kenal. Log kemudian menemukan gagasan yang lebih besar, setelah mengetahui banyak suara emas dan band-band tanggung di daerah-daerah yang tidak terangkat sebab

193

M. MA’RUF 194

tidak diketahui orang. Diusunglah Festival Music Rock, yang bisa menyatukan bisnis pertunjukan sekaligus idealisme musik rock. Konsep itu sangat matang dan bervisi panjang. Ajang itu didesain bagi grup rock pe­ mula yang belum sempat mendapat kesempatan tampil ke permukaan dalam skala nasional. Mereka itulah nanti yang menjadi pendatang baru, dan lalu menjadi objek bisnis yang lebih besar. Semacam kawah candra dimuka. Festival perdana itu cukup megah, dengan dukung­ an sound-system Lasika—waktu itu sudah paling keren. Log berhasil menggaet sponsor utama produsen rokok Djarum. Meyakinkan bahwa produk rokok itu sangat cocok dengan imej pagelaran. Sebagai kompromi, panitia mewajibkan peserta membawa sebuah lagu pilihan dan lagu wajib jingle Djarum Super. Perhelatan ini sukses besar dan berlanjut dengan seri festival berikutnya di lo­ kasi yang berbeda. Ini mengundang berbagai promotor baru menyelenggarakan festival serupa, entah itu rock, dangdut atau pop. Tetapi, Log tampak paling konsis­ ten di jalur rock dan secara berkala menggelar konser itu, sementara yang lain, timbul tenggelam. Berbagai penghargaan disematkan sejak pertama kali diadakan, seperti durasi 15 jam konser nonstop, dan panggung terbesar sepanjang sejarah pertunjukan musik rock di Indonesia waktu itu, 50 x 12 meter. Festival itu amat menjanjikan dengan iming-iming hadiah, kontrak album rekaman dan album kom­ pilasi 12 finalis, serta kontrak tur 20 kota dan masuk dalam manajemen Log selama lima tahun. Pada penye­ lenggaraan 2004, ada 800 peserta yang ma­suk kualifikasi dari pelbagai provinsi. Namun, ajang ini sempat vakum karena krisis ekonomi 1997, dan dukungan dana Djarum terhenti setelah festival 2004. “Aku sudah tua, sudah capek. Ini festival rock yang terakhir,” kata Log kala itu. Tetapi rock never die, dan Log menjilat ludahnya

Bagian 6 – Cinta Itu Dampaknya Luar Biasa

sendiri ketika disodori saingan Djarum, Gudang Garam menggelar festival rock pada 2007. Dia kembali menggagas kompetisi rock dengan titel “Gudang Garam Rock Competition” di 15 kota dengan format yang masih sama seperti ketika disponsori Djarum. Tetapi Log yang semakin tua dan munculnya genre musik baru, lambat laun menenggelamkan festi­val rock. Dalam perjalanan konser-konser itu, lahirlah bisnis kedua Log sebagai produser musik-musik cadas. Dapur rekaman Log sendiri sudah mengepul sejak 1987 ketika bertindak sebagai executive producer rekaman group rock ternama dan melegenda, God Bless, dengan album Semut Hitam. Setahun berselang Log mendirikan Logiss Record yang didirikannya bersama rekannya dari Indo Semar Sakti. Contoh nyata pertama adalah grup band Elpamas yang di kemudian hari populer dengan hit Pak Tua. Grup itu awalnya adalah sekumpulan anak muda pemusik dangdut tingkat rukun tetangga di Kabupaten Malang pada 1983. Ketika Log menyelenggarakan festi­ val perdananya ini di lapangan sepakbola 10 November, Tambaksari, Surabaya, pada 1984, Elpamas cukup ter­ giur dengan hadiah Rp 3 juta. Hasilnya mereka hanya menyabet juara ketiga, tetapi belakangan justru lebih terkenal. Setelah Elpamas, para penggila rock era 1990an akan sulit menemukan band-band cadas yang tidak keluar dari school of rock ala Log itu. Tentunya hampir sulit mengingat band-band yang kemudian meraih sukses di blantika musika tanpa peran Log. Sebut saja Power Metal, Boomerang, Elpamas, Kobe, Jamrud, Slank, dan rocker wanita Mel Shandy, serta Nicky Astria. Beberapa di antaranya ada yang hingga kini berada di bawah manajemen Log, tetapi banyak yang memilih berdiri sendiri.[]

195

Sedikit Rahasia itu Perlu bagian

7

Wings

Stt... Ada Katuari di Dalam Sabunmu

B

ila ada lomba konglomerat Indonesia yang paling pintar menyembunyikan diri, pastilah keluarga Katuari masuk di dalamnya. Untung saja ada majalah Forbes yang memberitakan bahwa pundi-pundi kekaya­ an keluarga Eddy William Katuari pada 2008 sudah cukup mengganti separuh dana belanja Pemda DKI Jakarta tahun ini. Dan meskipun tsunami finansial telah membuat banyak aset-aset orang tajir di negeri ini mengerut, nama Eddy—generasi kedua Grup Wings— malah naik ke peringkat tujuh orang paling berduit di negeri ini pada 2009 dengan jumlah kekayaan lebih dari USD1 miliar, setingkat di bawah Menteri Aburizal Bakrie. Bak sebuah misteri, hanya publikasi aset-aset dan aksi-aksi korporasi Grup Wings yang menjadi moncong berita bagaimana kisah sukses ayah Eddy, Johannes Ferdinand Katuari alias Oen Yon Khing dan koleganya Harjo Sutanto menjadi juragan sabun. Lebih-lebih, baik Katuari maupun Harjo sama sama luput dari media waktu krisis moneter 1997. Tidak seperti taipan-taipan lain yang silih berganti menjadi selebriti media, karena 198

Bagian 7 – Sedikit Rahasia itu Perlu

terlilit utang segunung BLBI (Bantuan Likuditas Bank Indonesia). Yang diketahui adalah informasi sangat standar bahwa brangkas uang Katuari itu mulai diisi dengan susah payah pada 1984. Usaha patungan Katuari dan Harjo itu adalah pabrik skala rumahan yang tidak diketahui banyak orang memproduksi sabun colek yang dipakai warga Surabaya waktu itu. Tidak heran, karena memang lokasi pabrik FA Wings itu begitu terpencil, di daerah pinggiran kota Surabaya. Kisah yang masih menjadi misteri sampai sekarang adalah cara kedua orang itu mengetahui proses ilmu mengolah sodium carbonate atau soda abu itu menjadi barang berharga lebih mahal. Tampaknya, mereka ber­ sepakat konsumen hanya perlu tahu bahwa sabun cuci baru itu diproduksi oleh FA Wings, titik. Mula-mula sabun colek itu dijual dari pintu rumah satu ke pintu yang lain, warung-warung kecil di pinggir jalan dan kemudian diterima oleh agen-agen pasar. Sabun cuci itu laku keras dan segera diterima oleh konsumen Kota Pahlawan. Kesuksesan ini membuat Katuari dan Harjo bersemangat membuat jenis-jenis sabun baru. Tiba-tiba, pada 1950, Wings mengagetkan raksasa di bidang produk konsumen, Unilever, setelah merilis sabun mandi merek GIV. Sabun itu langsung populer untuk kalangan masyarakat berkantong tipis, lantaran harga yang lebih murah. Sampai-sampai kalau orang mandi, yang diingat adalah GIV. Meski sampul kotak sabun itu bergambar gadis cantik yang tersenyum, lam­ bat laun orang-orang tua tidak peduli bahwa itu adalah sabun kecantikan. Anda tentu pasti ingat, bagaimana dulu Lidya Kandau dan kemudian Sophia Latjuba di televisi mengaku kecantikan kulitnya karena mandi dengan sabun itu. Berbagai gebrakan promosi lewat iklan oleh artis-artis yang menggoda, serta konteskontes kecantikan digelar oleh manajemen Wings untuk menaikkan imej sabunnya.

199

M. MA’RUF 200

Bagi Zeepfabrieken N.V Lever—Unilever Indonesia yang didirikan pada 5 Desember 1933—tindakan itu seperti undangan untuk berperang. Tak rela para gadis direnggut GIV, Unilever belakangan membayar mahal Tamara Bleszynski dan Dian Sastro sebagai bintang iklan sabun Lux. Menyusul kemudian, sejumlah artis cantik yang sedang naik daun. Berbagai varian produk sabun Lux mulai dari sabun yang tampak belang-belang oleh daun mawar, sampai sabun Lux versi cair diluncurkan. GIV pun kelabakan. Tetapi sesungguhnya ini adalah pertempuran sabun mandi antara David dan Goliath. Unilever Indonesia adalah anak usaha Unilever Internasional, sebuah per­ usahaan raksasa pembuat sabun dari daratan Ratu Elizabeth, Inggris. Sabun Lux itu sudah diperkenalkan oleh Lever bersaudara di Inggris pada 1925. Empat tahun berselang, mereka juga sudah memperkenalkan selebritis nan aduhai Leela Chitnis sebagai duta Lux di India. Malah di Amerika, sejak 30-an, sudah lebih dari 400 aktris ternama Hollywood seperti Jennifer Lopez,

Bagian 7 – Sedikit Rahasia itu Perlu

Elizabeth Taylor, Demi Moore, sampai Marilyn Monroe yang dibayar untuk memeragakan mandi dengan sabun Lux di televisi dan koran. Namun, tidak sedikit pun kebesaran Unilever itu membuat ciut nyali pengusaha nusantara ini. Adu ke­ cantikan dalam iklan antara Sophia dengan Tamara bahkan tidak berlangsung hanya di layar gelas Indonesia saja. Arena perang bergeser sampai ke negeri Vietkong, di mana Anda akan menjumpai “Miss GIV”. Sementara deterjen-deterjen Wings merek Glu beredar Filipina, Kamerun, dan Gabon. Wings memang telah menjual produknya ke puluhan negara melawan gurita Univeler yang mungkin ada di seluruh planet bumi. Seperti memiliki napas yang panjang, Wings berani mengajak Unilever berlari maraton. Setelah GIV versus Lux, Nuvo diadu dengan Lifebuoy, deterjen So Klin menantang Rinso, serta Daia berhadapan dengan Surf, atau So Klin Pewangi menggerogoti Molto. Untuk barisan pasta gigi, Wings meluncurkan Smile-Up guna merebut pasar pasta gigi anak muda yang diawali Close Up, serta Kodomo versus Pepsodent Junior. Di mana ada Unilever di situ Wings siap mengadang. Bagi Unilever, keberadaan Wings tampak seperti seranganserangan tidak kenal lelah yang dialaminya di tanah hindustan India. Yaitu sebuah perusahaan lokal Nirma Ltd. yang sering membuyarkan penetrasi produk-produk Hindustan Lever di sana. Kedigjayaan Wings sendiri tidak diperoleh dari langit dan ilmu-ilmu manajemen yang canggih, tetapi lebih tampak karena keluarga Katuari memakai taktik dan strategi perang dalam melawan Unilever. Dengan diam-diam Wings menyergap segala macam peluang untuk menguasai sumber-sumber bahan baku dan me­ miliki jalur distribusi sendiri. Bila perlu sama sekali tidak bergantung kepada orang lain, termasuk urusan pembuatan kotak sabun. Taktik ini telah dimulai pada

201

M. MA’RUF 202

1983, ketika Ferdinand dan konglomerat Sudono Salim beserta sejumlah investor mendirikan pabrik Unggul Indah Cahaya, satu-satunya produsen alkylbenzene— bahan baku aktif pembuat deterjen. Kongsi antartaipan ini dilanjutkan oleh generasi berikutnya, antara anak Ferdinand dan anak Salim yang membeli Ecogreen Oleochemical, produsen bahan baku industri perawatan tubuh, sabun dan deterjen, makanan, plastik, farmasi, dan berbagai industri lain yang terbesar di dunia. Ketika Orde Baru masih jaya, keluarga Ferdinand seperti tenggelam di bawah pamor Salim yang menguasai hampir semua bisnis. Tetapi, waktu berjalan dan balon Orde Baru yang meledak pada 1997 merontokkan buah durian untuk jatuh ke pangkuan keluarga Katuari. Kris­ mon memorakporandakan bisnis keluarga Salim, yang kemudian hanya mampu menyelamatkan Indofood. Setelah Salim ambruk, Wings sigap menubruk peluang itu dengan merangkul Grup Lautan Luas dan produsen rokok Djarum—milik keluarga Hartono—menguasai Ecogreen Oleochemical. Tampak sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari strategi perang itu, keluarga Hartono dan Katuari kemudian disatukan oleh pertalian darah. Belum lama putri Eddy, Grace L. Katuari meni­ kah dengan Martin B. Hartono, generasi ketiga pemilik Djarum. Suatu pernikahan yang oleh media waktu itu dilukiskan bukan hanya sekadar urusan cinta, melainkan kolaborasi imperium sabun dan rokok kretek. Ferdinand meninggal pada awal 2004 pada usia 90 tahun, setelah merayakan pesta perkawinan intan—60 tahun—dengan istri tercintanya, Lanny Hartati. Dia meninggalkan lima anak, dengan Eddy sebagai putra mahkota. Uniknya, dunia boleh berubah tetapi sikap diam seribu bahasa tetaplah menjadi tradisi Wings yang dipegang erat oleh Eddy sampai sekarang. Ketertutupan itu tidak hanya ditunjukkan oleh sikap Eddy yang meng­ hindari ingar bingar publisitas, tetapi sampai pada lokasi pabrik Wings yang dirahasiakan.

Bagian 7 – Sedikit Rahasia itu Perlu

Siapa nyana kalau se­buah pabrik di daerah Kebraon Surabaya itu adalah home base PT Karunia Alam Semesta, anak usaha Wingfood yang memproduksi mi instan me­ rek Mie Sedap yang meng­ hebohkan itu? Orang-orang di luar daerah itu tidak akan tahu bahwa pabrik yang hanya bertuliskan KAS28 itu adalah tempat meracik mi baru penantang raja mi Indofood. Menutut Eddy, yang lu­ lusan Fakultas Teknik Mesin Institut Teknologi Surabaya, soal pabrik yang hanya memasang papan nama itu memang sengaja ditulis dengan singkatannya saja; KAS kepanjangan dari Karunia Alam Semesta. Ini agar tamu yang datang memang benar-benar tetamu Wings. “Ini karena amanat dari almarhum Papa saya, tidak perlu publikasi,” papar Eddy membuka teka-teki di balik pu­ luhan tahun kerahasiaan Wings. Kerahasiaan itu memiliki banyak dampak positif. Dalam perjalanannya, keretakan dapur Wings, mulai dari pabrik hingga ruang-ruang keluarga tidak pernah diketahui publik. Kalau ada masalah, semuanya dise­ lesaikan dengan cara-cara kekeluargaan tanpa perlu pihak berwajib, apalagi ikut campur kuli tinta. Sebuah contoh adalah kasus yang tidak terungkap ke publik, dikenang oleh mereka sebagai So Klin Gate pada 1996. Waktu itu berpalet-palet So Klin—satu palet berisi 125 dos—hilang dari gudang yang tidak ditutup permanen. Kehilangan ini tidak diketahui berbulan-bulan, karena sistem pengecekan stok barang belum dilakukan secara real time. Setelah diketahui ada kehilangan, usut punya

203

M. MA’RUF

usut pelakunya adalah karyawan pabrik sendiri yang memanfaatkan sebuah lubang di tembok gudang yang ditutup tidak permanen. Tetapi manajemen tidak lang­ sung memecat pelaku, tetapi menyelesaikan secara ke­ keluargaan. Hasilnya; tidak banyak yang tahu. Sampai sejauh ini, hampir tidak ada gosip miring mengenai keretakan antarkeluarga, termasuk dengan keluarga Harjo. Mungkin pesta pernikahan Grace saja yang pernah menjadi berita paling besar dari keluarga ini. Semuanya tampak damai dan tenteram, tanpa persoal­ an. Amanah untuk diam ini pula yang mungkin justru menyelamatkan keluarga Katuari dari sentimen antiTionghoa pada Mei 1998 yang mengakibatkan banyak aset-aset taipan Tionghoa dijarah massa. Selebihnya, si­ kap diam itu pula yang sering membuat para konglome­ rat lain tidak bisa tidur nyenyak dan sering kelabakan bila ada produk baru Wings. Terakhir, mereka membuat jantung keluarga Salim Group berdegup kencang, se­ telah Mie Sedap lambat laun menggerogoti penjualan Indomie, Sarimi, dan Supermi milik Indofood.[]

204

Mitra Adiperkasa

Siapa Kami, Bukan Urusan Anda

K

etika pertama kali mencoba bisnis ritel modern, Boyke Gozali tidak langsung ber­hasil. Gerai Lotus Department Store miliknya yang dibuka pertama kali tahun 1990-an di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat— terletak di gedung dengan Grup Gajah Tunggal—ti­dak laku, dan akhirnya ditutup. Boyke kemudian bang­ kit dengan mengibarkan bisnis ritelnya lewat Java Retailindo. Tetapi, prestasi penjualan gerai barunya ini juga biasa-biasa saja. Loncatan be­sar dimulai ketika Boyke membangun Plaza Indonesia, tem­­pat belanja ber­gengsi untuk orangorang berduit Jakarta, di bundaran Hotel Indonesia, tepat di jantung Ibu Kota. Pusat perbelanjaan mewah ini menempati area mahal seluas 62.747 meter persegi dengan empat lantai area ritel, satu lantai perkantoran dan lantai parkir di bawah 205

M. MA’RUF 206

gedung. Plaza Indonesia itu terhubung dengan Hotel Grand Hyatt Jakarta. Sejak dibuka, pusat perbelanjaan ini mempunyai dagangan dari berbagai label fesyen internasional, dan restoran kelas atas. Penyewa pertama adalah ritel waralaba kelas premium dari Jepang, Sogo Department Store, yang lisensinya tidak lain dimiliki paman­nya sendiri, Sjamsul Nursalim, si konglomerat pemilik pabrik ban Gajah Tunggal. Mula-mula ini sebe­narnya adalah usaha menyi­ nergikan bisnis antara ke­ponak­an yang me­nye­wakan tempat untuk bisnis ritel milik pamannya. Sjamsul dan istrinya, Itjih Nursalim waktu itu sudah menggenggam lisensi Sogo ketika Boyke mulai merintis bisnisnya. Sogo adalah gerai belanja paling dicari karena menyediakan pelbagai sandang merek-merek premium, pembawa tren baru. Separuh dagangannya adalah pakaian-pakaian jadi orisinal bermerek yang didatangkan langsung dari luar negeri. Gerai-gerai eksklusif dengan interior modern menjadi tempat wanita-wanita shopaholic memuaskan nafsu belanja. Lebih dari 500.000 orang wira-wiri setiap bulan di setiap gerai Sogo yang membuatnya mampu menjadi anchor tenant di sejumlah mal dan pusat perbelanjaan yang ditempati. Sementara itu, keluarga Gozali diketahui mendirikan perusahaan ritel baru yang dinamai Mitra Adiperkasa (MAP) pada 23 Januari 1995. Perusahaan ini adalah kendaraan yang dipakai Boyke yang tampak meniru kesuksesan pamannya membesut Sogo, tetapi lebih mengkhususkan diri sebagai pembeli hak distribusi merek-merek premiun dari luar negeri. Awalnya barangbarang yang sudah dibeli lisensinya dititipkan di Sogo, dan ketika sudah memiliki pelanggan fanatik, melepaskan diri menjadi gerai-gerai khusus yang terpisah. Cara-cara ini dipakai MAP untuk mendirikan gerai khusus produkproduk seperti Mark & Spencer dan Nautica, yang dulu hanya “dititipkan” di Sogo dan Sports Station.

Bagian 7 – Sedikit Rahasia itu Perlu

Beberapa lisensi merek fesyen terkenal, seperti Giorgio Armani, Mark & Spencer, Zara dibeli. Jaring­ an ritel produk anak-anak OshKosh B’Gosh juga di­kendalikan MAP, termasuk di antaranya memegang lisensi karakter Barbie, Batman dan Superman (Warner Brothers) dan Baby Looney. Tidak luput, merekmerek terkenal seperti Bandai, Konamu, LeapFrog, Mega Bloks, MGA Entertainment, Nikko, Smoby, Takara, Tomy, Toybiz, dan Wild Planet. Kehadiran Debenhams adalah bukti kejelian MAP. Ketika jaringan department store asal Inggris itu mengumumkan ekspansi ke ber­­ba­gai penjuru dunia yang ekonominya sedang tumbuh—Indonesia masuk dalam daftar itu—MAP langsung mengajukan diri. Seperti di negeri asalnya, gerai Deben­hams di Indonesia ini juga menjajakan merek eksklusif desainer Debenhams. Misalnya, J besutan Jasper Conran, Star buatan Julien Macdonald dan Antoni+Alison. Lain lagi cerita jaringan ritel sport MAP yang merajalela tanpa saingan; Planet Sports, Athlete’s Foot, dan Sports Station. Divisi ini menjual berbagai kebutuhan olahra­ga kelas premium, seperti Reebok, Nike, Puma, Speedo, Adidas, Guess, Elesse, Converse, Casio’, G-Shock, Eastpack, Jansport, dan Kipling (adventure bag dan rucksack). Bahkan, mereka mendirikan gerai khusus untuk perlengkapan golf. Namun, yang tak bisa dikesampingkan adalah jaringan kafe asal Amerika Serikat yang kini digilai penikmat kopi, Starbucks. Konon, MAP harus merogoh kocek hingga USD 2 juta sebagai biaya di muka untuk membeli hak ekslusif penjualan kopi Starbucks di

207

M. MA’RUF 208

Indonesia. Ide menggaet kedai kopi modern ini bermula ketika Boyke masih berada di Amerika. Tetapi, itu tidak didapat dengan mudah karena Boyke dan koleganya, Matheus Rukmasaleh Arif butuh lima tahun untuk merayu kantor pusat Starbucks merelakan gerainya dibuka di Indonesia. Sejumlah prosedur dan persyaratan berat dilalui. Mulai dari mempresentasikan rencana bisnis, hingga menyekolahkan sejumlah karyawannya untuk menimba ilmu kopi. Meski sulit, tidak lama setelah dibuka, gerai kopi itu sudah menjamur di sejumlah kota besar di Indonesia, dan beromzet puluhan miliar rupiah. Pada akhir Mei 2009, total gerai MAP sudah men­capai 683 yang tersebar di seluruh Indonesia dan melenggang sendirian untuk gerai-gerai fashion & lifestyle (194 gerai), sports (305 gerai), kids (51 gerai), Starbucks Coffee (74 gerai), department stores kelas atas (10 Sogo, 2 Debenhams, satu Seibu, dan satu Harvey Nichols). Seabrek gerai itu telah memosisikan MAP sebagai agen bisnis di balik layar trendsetter di Tanah Air. Mulai dari tren memilih sandang, menikmati waktu dengan secangkir kopi, menikmati makanan cepat saji, mencari perlengkapan olahraga, sampai menemukan stick golf yang dipakai pegolf dunia Tiger Woods. Gurita bisnis dengan omzet triliunan rupiah ini terbagi menjadi tiga lini utama, yaitu ritel, distribusi, dan manufaktur yang sedikitnya melibatkan 30 manajer andal. Bagaimana keluarga Gozali memiliki supermarket khusus terbesar ini masih simpang siur sampai seka­rang, dan lebih banyak diketahui dari sepak terjang Sjamsul dan Itjih Nursalim. Kontroversi oleh media-media tidak pernah lepas, karena sosok Sjamsul yang menjadi pesakitan akibat krisis moneter 1997. Taipan pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI)—yang ter­ kena likuidasi saat krisis 1997—itu adalah debitor besar Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Bagian 7 – Sedikit Rahasia itu Perlu

Utangnya pada negara mencapai Rp 27,4 triliun— sejumlah sum­ber menyatakan jumlahnya membengkak dua kali lipat karena tidak kunjung dibayar. Banyak yang percaya, MAP adalah muslihat Sjamsul menyimpan harta karunnya dari sitaan negara. Walaupun Boyke Gozali adalah aktor utama yang menggelembungkan bisnis ini, tetapi jejak pamannya itu tidak pernah bisa dihapus bahkan sejak tahun pertama MAP berdiri. Dokumen-dokumen kepemilikan yang tebal seperti telah diupayakan untuk menghapus jejak Sjamsul dengan serangkaian peralihan nama pemilik. Setelah setahun berdiri, MAP dilaporkan telah dibeli oleh perusahaan yang mengusung Sogo Departemen Store milik Sjamsul dan istrinya, bernama Panen Lestari Internusa. Dalam perusahaan itu, Itjih tercantum sebagai Direktur Utama, Juliana Gozali sebagai Direktur, dan Sjamsul sebagai Komisaris Utama. Baik ketika mengusung bendera Sogo Lestari Indonesia maupun Panen Lestari Internusa, dokumen perusahaan menyebutkan alamat pendirian perusahaan itu sama. Yaitu sebuah rumah mewah milik Sjamsul di kawasan Simprug, Jakarta Selatan. Hal ini kemudian berulang kali diumbar media masa setelah Artalita Suryani alias Ayin dan Jaksa Urip Tri Gunawan ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), awal tahun lalu. Seiring santer berita mengenai BLBI, sejak awal milenium, nama Sjamsul dan Itjih perlahan-lahan dicuci dari dokumen legal perusahaan. Mula-mula MAP dijual kepada Aghadana Sentosa dan Satya Mulia Gema Gemilang pada 2001 yang tidak menyisakan nama Sjamsul dan Itjih. Tetapi dalam daftar pemilik baru itu muncul nama keluarga Kolonas yang pernah tercatat sebagai pendiri MAP. Hany saja, kepemilikan saham yang dipecah-pecah seperti kepingan puzzle ini lambat laun terangkai utuh setelah Boyke membeli saham Aghadana Sentosa pada 2002. Lalu dia menjualnya kembali tahun

209

M. MA’RUF

2004 pada PT Map Primier Indonesia. Penjualan ini adalah pat gulipat kepemilikan dalam kertas, karena sebelum menjualnya, Boyke adalah pejabat eksekutif di Map Primier dan Satya Mulia. Setali tiga uang, dua perusahaan itu disebut-sebut sudah dipersiapkan Sjamsul dan Itjih untuk menampung saham yang digelontorkan dari MAP. Bolak-balik kepemilikan ini menjadi santapan empuk media. Setiap kali MAP membeli lisensi baru, selalu saja dikait-kaitkan utang-utang Sjamsul. Majalah Tempo mungkin satu di antara media investigasi yang berulangkali membuat taipan ini gerah. Salah satunya ketika MAP membuka gerai Starbucks di salah satu sudut Plaza Indonesia. Tempo Edisi 05/XXXI, 1 April 2002 menelusuri berita harian Singapura The Straits Times yang menulis “Taipan ban Sjamsul Nursalim tengah tercekik utang, tapi itu tak menyetop rencana pembelian franchise Starbucks di Indonesia. Berita serupa dilansir keesokan harinya oleh kantor berita Bloomberg dan terjadi heboh di Tanah Air. Kuping orang Indonesia te­ rasa panas, karena pada saat yang sama Sjamsul tak kun­ jung melunasi utang-utangnya kepada negara. Sjamsul yang telah lama di Singapura menjadi bulan-bulanan media. Tetapi pelbagai kontroversi seputar kepemilikan MAP itu tidak lantas membuat buruk penjualan. Anjing menggonggong kafilah tetap berlalu, bisnis ritel itu malah maju pesat.[]

210

Ceres

Darah Kami Cokelat

M

C Chuang mungkin salah satu orang pa­ling beruntung ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942 dan membuat ribuan orang Belanda yang lahir dan besar di sini lari tunggang langgang ke negeri asalnya. Mereka yang tidak ingin ditawan secepatnya pergi tanpa memedulikan lagi jutaan gulden pundipundi kekayaan yang telah dikumpulkan dalam ratusan tahun. Salah satunya adalah seorang belanda yang tidak diketahui namanya, pemilik pabrik cokelat skala rumahan di Garut bernama NV Ceres, yang menjual pabriknya dengan diskon besar kepada Chuang. Chuang, tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Kisah jual beli itu adalah awal bagi keluarganya menjadi produsen cokelat nomor tiga di dunia, hanya kalah dari Mars Group dan Hershey. Tetapi bagaimana Chuang dari Garut menjadi konglomerat cokelat dunia adalah sebuah ikhtiar unik tanpa henti dan keberuntungan. Sampai sekarang, masih ada yang memperdebat­ kan apakah Chuang merupakan taipan keturunan Thionghoa atau Burma. Dia memang tidak diketahui asal-usulnya dan sampai akhir hayat—tidak diketahui 211

M. MA’RUF 212

pasti kapan dia meninggal kecuali disebut-sebut tahun 1990-an—Chuang nyaris tidak tampil di depan media. Para karyawan hanya bisa mengenang Cuang dengan menatap patungnya yang terpaku menghadap tangga di lobi gedung kantor Ceres di Bandung. Tetapi, bagi orang-orang lama, sosok Chuang adalah bos besar yang paling ramah dan bersedia menganggap buruh lapang­an sekalipun sebagai keluarga. Orang ini low profile dan dikenang selalu lebih dulu menegur sapa ketika ber­ papasan dengan karyawannya. Setelah perang kemerdekaan usai, Chuang mengganti nama NV Ceres menjadi Perusahaan Industri Ceres. Saat Konferensi Asia-Afrika 1955, dia mendapat order cokelat cukup banyak untuk dihidangkan dalam acara akbar itu dan kemudian memindahkan pabriknya dari Garut ke Bandung. Konon, saking lezatnya, Presiden Soekarno hanya mau memakan cokelat buatan Chuang. Cokelat racikan itu sebenarnya sederhana, berbahan kakao, gula, dan susu yang diaduk-aduk. Tidak ada yang istimewa dari cara Chuang membuat cokelat yang lezat, kecuali memainkan temperatur pada alat-alat pe­ manas cokelat. Hanya saja, konon dia memiliki indra perasa pada lidah yang sangat istimewa sehingga tahu betul meracik sebuah cokelat yang lezat. Bagaimana kecerdikan Chuang sudah terlihat ke­ tika menemukan oplosan bahan untuk membuat cokelat batangan pertamanya, Silver Queen, yang dipasarkan sejak 1950-an. Gagasan menjual cokelat dalam bentuk batangan sebetulnya mustahil waktu itu. Sebab, belum ada teknologi untuk membuatnya tidak meleleh ketika dipajang di toko karena iklim tropis Indonesia yang panas. Chuang tidak kekurangan akal. Dia mencampur adonan cokelatnya dengan kacang mede yang membuat cokelat batangan seperti beton bertulang yang kuat dan pada akhirnya justru membuat Silver Queen unik.

Bagian 7 – Sedikit Rahasia itu Perlu

Selebihnya, Chuang membutuhkan waktu puluhan tahun untuk mengetahui cara-cara modern membuat sebuah adonan cokelat yang sempurna dan mengubah Silver Queen agar berasa lebih enak. Dia melancong ke Amsterdam, Belanda, belajar ke pabrik cokelat CJ Van Houten yang sudah memproses kakao menjadi cokelat jadi sejak 1828. Dia merayu manajemen Van Houten agar memberinya hak untuk menjual merek itu. Lobi ini sukses dan hasilnya adalah bukan hanya cokelat Van Houten yang mulai dipasarkan pada 1986, tetapi ber­ bagai ilmu mengenai pengolahan kakao menjadi cokelat lezat. Ilmu-ilmu itulah yang kemudian dipakai untuk memperbaiki rasa Silver Queen yang di kemudian hari justru lebih populer. Silver Queen adalah produk cokelat pertama yang mengiklankan diri di televisi Indonesia dengan jingle “Santai belum lengkap tanpa Silver Queen.” Cokelat batangan yang dijual lebih murah dari produk impor itu digandrungi remaja dan sekarang sudah memiliki pembeli fanatik. Silver Queen sekarang sudah beranak pinak dengan varian-varian baru yang dibuat sesuai tren muda mudi, mulai dari versi original yang berwarna cokelat, putih, sampai dengan warna lain yang anehaneh. Chuang dan anak-anaknya juga memiliki cara yang lebih santai untuk menciptakan varian cokelat-cokelat baru. Mereka tidak memanfaatkan liburan ke luar negeri hanya untuk berleha-leha, tetapi menyempatkan waktu memburu makanan-makanan berbahan cokelat di mana pun mereka berada. Cokelat-cokelat itu diborong sebagai oleh-oleh dan sebagian diserahkan pada bagian riset perusahaan untuk dibedah komposisinya. Ini membuat Ceres bisa menelurkan ratusan merek makanan cokelat baru untuk segala usia dan kelas konsumen. Produk meises misalnya, meski sama-sama berbentuk butiranbutiran cokelat kecil, tetapi memiliki varian paling

213

M. MA’RUF 214

lengkap yang dipisahkan berdasarkan kelas pembelinya. Bagi pembuat martabak, mereka akan membeli meises kalengan besar, sementara pembeli rumahan umumnya membeli merek Ceres dan untuk orang-orang kaya dise­ diakan meises merek Ritz. Uniknya, karena kesamaan nama, orang-orang justru mengenali pabrik Chuang hanya sebagai produsen meises Ceres. Padahal, sampai 2001, mereka sudah memiliki 500 lebih varian produk konsumen berbahan cokelat. Sepeninggalan Chuang, pabrik Ceres diteruskan oleh anak-anaknya yang kuliah di luar negeri. Di tangan generasi kedua, John, Joseph, dan William Chuang, omzet bisnis keluarga ini mendunia, menembus Rp 8 triliun pada 2008. John Chuang Tiong Choon yang lahir beberapa tahun setelah ayahnya merintis Ceres, mulai membantu usaha itu pada 1984 dengan mendirikan Petra Foods untuk menjual cokelat Ceres pada pasar ekspor. Ayahnya yang semakin menua memanggil pulang John yang bekerja sebagai bankir dan telah menjabat Vice Chairman Bank of California dan Presiden Wardley Development Inc., California. Adapun adiknya, Joseph, yang sempat menjadi pebisnis cokelat di Filipina, di­ panggil pulang untuk membantu distribusi cokelat di dalam negeri. Pada awalnya, dengan modal enam kar­ yawan dan ruko sewaan di Pulo Mas, Jakarta Timur, dia hanya memasarkan cokelat Ceres ke supermarket Gelael dan Golden Truly. Joseph memasarkan cokelat Ceres sehingga ter­ distribusi sampai ke pelosok Tanah Air. Dia membangun armada distribusi yang dilengkapi teknologi pendingin. Sekurang-kurangnya ada 500 truk berpendingin yang tersebar dari Banda Aceh sampai Jayapura untuk men­ distribusikan cokelat Ceres ke berbagai pasar modern, besar maupun kecil. Ada Silver Queen, Ritz, Delfi, Chunky, wafer Briko, Top, hingga biskuit Selamat. Sementara itu dari Singapura, John membangun aliansi

Bagian 7 – Sedikit Rahasia itu Perlu

dan gebrakan akuisisi sejumlah produsen cokelat di Asia Tenggara, memotong jalur distribusi para saingan di Filipina dengan membeli fasilitas produksi dan distribusi milik Nestle Filipina. Dia mengakuisisi merek Hudson, dan membeli merek Delfi dari Swiss pada 2001. Ini juga dilakukan terhadap Nestle di Amerika Selatan. Petra Foods juga berkongsi dengan konglomerasi terkemuka di Malaysia, Sime Darby Group, mendirikan Ceres Sime Confectionery Sdn Bhd, dan membentuk usaha patungan dengan Armajaro Holdings untuk menguasai Eropa. Cokelat, cokelat dan cokelat. Itulah konsensus peng­ amat manajemen memandang bagaimana cokelat asal Garut itu bisa merajai penjualan cokelat di 17 negara dan terjual di lebih dari 30 negara. Konsistensi itu di­ bangun sejak Chuang memproduksi cokelat batangan Silver Queen, hingga memanggil pulang anak-anaknya untuk berbisnis cokelat. Kepiawaian John soal banking kemudian dimanfaatkan untuk menguasai bisnis hulu kakao di level dunia—sekarang 70% pendapatan mereka dari pengolahan kakao. Pun ketiga anak Chuang yang terjun dalam bisnis ini, setali tiga uang soal publikasi. Dalam setiap kesempatan bertemu para kuli tinta, mereka lebih suka mengumbar produknya daripada kehidupan atau kisah sukses, karenanya banyak media yang kesal menyebut keluarga ini terlalu low profile dan yang ekstrem menjulukinya sebagai pengusaha ortodoks. “Ketika bangun pagi, dalam benak saya hanya kakao; siang dan malam hari, cuma memikirkan kakao dan cokelat,” kata John ketika Forbes, yang menobatkannya sebagai salah satu orang terkaya di Singapura pada 2006, mewawancarainya. Sayang, Ceres saat ini sudah menjadi tamu di negerinya sendiri karena sejak krisis moneter 1997, John dan adik-adiknya mengubah status Ceres di Indonesia menjadi perusahaan penanaman modal asing (PMA) dan mengalihkan usahanya ke Singapura. Mereka juga

215

M. MA’RUF

sudah tidak mengandalkan Indonesia lagi sebagai basis pengolahan kakao utama, setelah memiliki pabrik di Malaysia, Thailand, Brasil, Meksiko, dan Filipina. Petra kemudian mencatatkan sahamnya di Bursa Singapura dengan mempertahankan porsi kepemilikan keluarga sampai 60%. Kabar suram juga menggelayuti masa depan Ceres, setelah generasi ketiga anak-anak Chuang bersaudara ini kabarnya tidak ingin meneruskan usaha cokelat. Cucu-cucu Chuang yang juga tanpa kabar berita ini lebih asyik dengan bisnis di sektor berteknologi tinggi. Alhasil, sejak go public, John banyak membawa masuk orang-orang luar untuk duduk di jajaran direksi.[]

216

Selalu Ada Jalan untuk Berubah bagian

8

Harvest

Periksa Kembali Diary-mu, Mereka Menyukainya

S

ikap ini mungkin naif—atau lebih tepatnya meng­ gelikan—untuk orang-orang sekarang. Tetapi bagi Andrie Wongso tingkah para aktor laga Taiwan saat dia muda sudah benar-benar memalukan. Bertahun-tahun, sejak kecil hingga remaja Andrie mengira aktor-aktor itu berkelahi dengan sepenuh hati di layar lebar, nyatanya tiga tahun Andrie menjadi aktor Kung Fu di Taiwan, semuanya itu cuma tipuan kamera. Dia mengetahui seluk beluk akting kung fu saat menjalani kontrak selama tiga tahun dengan rumah produksi film laga di Taiwan, untuk memerankan peran figuran film laga di sana mulai 1980. Bagi guru padepokan kung fu Hap Kun Do, ke­ nyataan di Taiwan itu amat menyedihkan. Andrie lalu memutuskan untuk tidak memperpanjang kontraknya dengan dan memilih pulang ke Indonesia. Meski banyak orang menyatakan alasan kepulangan ini karena dia telah gagal, lantaran tidak ada satu pun film yang dibintanginya booming, tetapi dia tidak ambil pusing. Andrie mengaku, hal positif waktu itu adalah hasrat dan rasa penasaran menjadi jagoan kung fu di depan kamera sudah terbayar. 218

Bagian 8 – Selalu Ada Jalan untuk Berubah

Tanpa pekerjaan dan status artis gagal membuat hari-hari pendekar itu terasa berat dan dia kembali me­ nekuni pekerjaan serabutannya seperti ketika pertama kali menginjak Jakarta pada 1976. Untungnya Andrie punya satu resep untuk memompa semangat diri me­ lewati hari-hari penuh tekanan itu dengan membaca berulang-ulang kata-kata mutiara di buku hariannya. Kalimat mutiara itu adalah intisari perjalanan kehidup­ an Andrie yang dirangkum dalam kalimat-kalimat pen­ dek dan berbobot. Tetapi, di balik sebuah kalimat yang pendek, ada pengalaman jatuh bangun kehidupannya yang cukup luar biasa. Unik memang, seorang pendekar kung fu dengan sebuah buku diary tentang kehidupan. Kata-kata mu­ tiara itu sudah dikumpulkan dan ditulis sejak dia belum menjadi artis. Ini pada mulanya adalah salah satu ke­ gemaran yang tidak diketahui orang lain, dan banyak dipakai untuk bahan ceramah-ceramah filosofi kung fu kepada para murid padepokan Hap Kun Do. Katakata mutiara itu cukup banyak karena setiap penemuan baru lekas ditulis, baik soal kegagalan, kesedihan, hingga refleksi sebuah kejadian. Terkadang itu muncul dari kontemplasi saat menjadi pendekar kung fu, atau sekadar terlintas di benak begitu saja. Kata-kata itu kemudian sanggup menemani Andrie dalam beberapa tahun mencari pekerjaan yang benar-benar sesuai dengan jati dirinya. Sampai suatu hari, teman kos Andrie iseng mem­ baca buku diary-nya yang penuh dengan kata-kata mutiara itu dan terkagum-kagum. Sekilas membaca, kata-kata mutiara yang sebenarnya klise rupanya mampu membakar semangat temannya yang sedang luluh dan menyarankan agar kata-kata itu jangan di­ simpan saja, tetapi ditunjukkan pada banyak orangorang yang membutuhkan. Dari saran itulah muncul ide membisniskan kalimat-kalimat pendek. Satu yang

219

M. MA’RUF 220

terpikirkan saat itu adalah menuliskannya di sehelai kertas pembatas buku. Sialnya, Andrie sama sekali tidak mengetahui seluk-beluk percetakan, karena menjual kata mutiara tampaknya tidak bisa dengan hanya selembar pamflet. Dalam sebuah peruntungan dia bertemu pengusaha King Yuwono di Jakarta yang berasal dari kampung halamannya—King Yuwono waktu itu pemilik Plaza King—yang lebih paham mengenai bidang percetakan. “Waktu itu saya belum kenal dekat dengan beliau, ta­ pi beliau mau mengenalkan saya pada perusahaan percetakan,” kata dia. Pada 1985, berbekal beberapa ratus ribu rupiah, Andrie pergi ke percetakan dan mulai memesan sebuah cetakan. Kertas persegi panjang itu dilabeli dengan Harvest—mencuplik gedung ketika melamar aktor di Hong Kong yang bernama Golden Harvest, artinya panen. Dia menjual kartu perdananya dalam bentuk pembatas buku seharga Rp 100 per lembar, tetapi dikemas dalam bundelan 240 lembar seharga Rp 24.000. Pembatas buku itu dipasarkan door to door, dari satu toko ke toko. Hasilnya, tidak satu pun pemilik toko yang percaya bahwa sebuah pembatas buku, dengan alasan memiliki beberapa baris kata mutiara bisa laku dijual dengan harga semahal itu. Lama cetakan itu menumpuk di kamar kos, sampai akhirnya Andrie menemukan pembeli pertamanya, seorang pemilik toko di daerah Lokasari, bilangan Jakarta Kota. “Nama toko itu Toko Peacock, terus saya ingat karena menjadi pembeli pertama hasil karya saya,” kenang dia. Andrie semakin giat menggali inspirasi di kamarnya, dan bagi dirinya yang telah kenyang penderitaan sejak kecil itu adalah hal yang tidak begitu menyulitkan. Dia menulis soal kegagalan itu adalah bagian sukses yang tertunda, hingga kalimat klise yang kerap dilupakan orang tetapi bisa menggugah orang pada waktu tepat untuk tetap berpikir positif. Ada pula kata-kata mutiara tentang cinta.

Bagian 8 – Selalu Ada Jalan untuk Berubah

Penampilan Andrie yang macho, six pack, dengan otot lengan yang kekar—waktu itu mirip dengan Bruce Lee, mungkin lebih tampan—menarik hati seorang mahasiswi fakultas hukum semester tiga di sebuah per­ guruan tinggi yang indekos di sebelah rumah Andrie. Pribadinya yang ramah dengan senyum manis mengem­ bang, plus tampak dewasa dengan kata-kata mutiara itu merekahkan bunga-bunga cinta gadis bernama Haryanti Leni Y. Soeharto itu. Sebaliknya, Heni kemudian men­ jadi kata-kata mutiara hidup yang memompa inspirasi Andrie. Setelah hubungan asmara semakin dekat, Heni turut membantu proses pembuatan sampai pemasaran pembatas buku itu. Mereka menikah—Leni bertugas mengelola keuangan—dan bisnis kartu semakin ber­ kembang dengan berbagai inovasi. Bentuknya mulai meng­ikuti kartu pos, tetapi dengan desain lebih me­ narik. Tren jejaring sosial ala Majalah Sahabat Pena yang diterbitkan Pos Indonesia pada 1948 mungkin banyak membantu permintaan kartu-kartu itu. Jejaring ini lantas berkembang menjadi tren yang sempat meng­ gila, sehingga membuat “Pak Pos” kelimpungan setelah kartu ucapan Lebaran, Natal, dan Tahun Baru menjadi booming selama bertahun-tahun. Berbagai ungkapan mutiara, dikutip dari kitab suci atau orang bijak ditulis berulang-ulang di atas kartu ucapan. Jejaring itu juga membuat para remaja rela berjam-jam memilah kartu yang menuliskan kata mutiara paling pas untuk mengungkapkan selamat ulang tahun, rasa rindu, cinta dan persahabatan. Pada 2003, data Pos Indonesia me­ nunjukkan, produksi kartu ucapan tahun itu lebih dari seperempat populasi penduduk Indonesia. Pemain baru muncul satu per satu mengikuti jejak Andrie. Sekarang ada Pulau Angsa Matra, Athenindo Perkasa, Ono Card, Magenta, Dwi Karya Mandiri, Doco Grafics, Happy Card, Edwin Galery, dan Harvindo Perkasa. Nama yang terakhir itu, Harvindo adalah perusahaan Andrie yang

221

M. MA’RUF 222

pada masa keemasannya antara 1980-1990 bisa menjual sampai 10 juta lembar hanya pada saat Lebaran dan Natal. Dia menjual kartu berlabel Harvest dan Vicky. Kejayaan itu tidak berkelanjutkan karena teknologi telekomunikasi seluler yang mulai pesat setelah krisis ekonomi merenggut penjualan kartu ucapan. Masuk akal sekali, dengan memencet keypad dan menuliskan sendiri kata itu akan langsung sampai kepada si penerima dalam hitungan detik, tanpa perlu ke kantor pos. Booming SMS, pulsa seluler yang semakin murah dan lebih gila lagi, jejaring sosial dunia maya benar-benar telah mematikan bisnis kartu ucapan. Mula-mula para pebisnis kartu ini bertahan dengan diversifikasi produk dan konsumen yang kini menyasar korporat. Kartu-kartu yang tadinya plug and play dibuat kosong sehingga bisa ditulis sendiri oleh pembeli. Konsumen korporat pun ditawari sesuai kebutuhan membuat brosur-brosur untuk promosi— bisnis yang lebih mirip dengan percetakan. Pada akhirnya mereka merangsek masuk ke bisnis percetakan, setelah ide kata-kata mutiara mulai tidak diminati. Harvindo sendiri melompat jauh dari produk awal dengan berbisnis stationery—segala macam perleng­ kapan kantor—dan perusahaan mainan, dan pengelola beberapa foodcourt. Andrie juga mencoba mengenalkan tren baru berupa kartu-kartu hologram yang disukai anak-anak. “Kami malah mendapat lisensi untuk memproduksi karakter Power Puff Girl, Smiley, Magical Doremi yang disukai anak-anak dan remaja,” kata dia. Walaupun bisnis kartu telah senja, tetapi belum untuk Andrie. Saat itu dia menemukan kisah hidupnya adalah kata-kata mutiara yang tidak cukup dikemas hanya dengan selembar kartu. Andrie lahir sebagai anak kedua dari tiga bersauda­ ra pada Desember 1954 dari keluarga miskin di kota Malang. Sentimen anti-Tionghoa membuatnya putus se­ kolah dasar pada usia 11 dan tak pernah bisa memiliki

Bagian 8 – Selalu Ada Jalan untuk Berubah

ijazah apa pun. Dia memiliki bakat dagang sejak dini. Kegiatannya sampai remaja adalah membantu orangtua membuat dan berkeliling menjual kue ke toko-toko dan pasar. Ketika menyusul kakaknya di Jakarta, dia mendapati pekerjaan yang ada sebagai salesman pabrik sabun. Pada 1989, mungkin Andrie sudah tahu bahwa industri kartu ucapannya mendapat sinyal sunset. Masamasa ini adalah fase transformasi personal Andrie dari penyampaian motivasi menggunakan kartu menjadi ceramah-ceramah motivasi. Mula-mula di Harvest Fans Club yang tersebar di berbagai kota. Sejak itu, perlahan orang melupakan Andrie sebagai pembuat kartu, me­ lainkan motivator ulung yang kini sejajar dengan Tung Desem Waringin, atau Mario Teguh. Pada 1992 Andrie mengubah dirinya dengan mulai lebih serius dalam bidang motivasi, dari hasil “pencerahan” yang didapatkannya setelah mempelajari Buddhisme secara lebih mendalam. Dia menggagas sebuah pemikiran filosofis Action and Wisdom Motivation Training yang bersumber dari ajaran Buddha, yakni hukum ten­tang pikiran, hukum tentang perubahan, dan hukum ten­ tang sebab akibat, yang kemudian diperkenalkan­nya dengan kalimat “Success is My Right”. Jutaan orang dan ratusan perusahaan telah mengikuti pelatihan moti­ vasinya. Bisnis baru ini dijalankannya di bawah ben­ dera AW Motivation Training dan AW Publishing. Dia juga membuka beberapa outlet AW Success Shop, toko pertama di Indonesia yang khusus menjual produkproduk motivasi. Salah satu yang dikenang adalah ketika dia disewa untuk memotivasi tim bulu tangkis Indonesia pada ajang Thomas & Uber Cup 2000. Taufik Hidayat dan kawankawan kemudian menggunduli Ji Xinpeng (China) 3-0 dalam final piala Thomas di Stadium Putra Bukit Jalil Kuala Lumpur. Sementara Tim Uber melampaui target

223

M. MA’RUF

semi final. “Sukses bukan milik orang-orang tertentu, kesuksesan milik Anda, milik saya, dan milik siapa saja yang benar-benar menyadari, menginginkan, dan memperjuangkan dengan sepenuh hati,” kata Andrie.[]

224

Tung Desem Waringin

Belajarlah dari yang Terbaik

T

ung Desem Waringin sudah merasa dalam posisi terbaik sepanjang kariernya, waktu menjabat seba­ gai Kepala Cabang Kantor Bank Central Asia (BCA) Surabaya pada tahun 2000. Tidak ada yang meragukan rekam jejak lulusan terbaik Management Development Program—pendidikan untuk karyawan baru BCA— tahun 1992 itu. Seketika ditempatkan, dia mengubah reputasi Kantor BCA Cabang Surabaya dari posisi no­ mor 20 menjadi nomor satu. Hanya dalam empat bulan Tung muda yang dikirim dari Jakarta—tanpa jabatan, anak buah dan kewenangan—mampu membenahi 22 kantor cabang pembantu di sana yang berkinerja ter­ buruk se-Indonesia. Dia hanya memakai empat bulan dari dua tahun target maksimal untuk membalikkan reputasi itu. Tung menerapkan sistem hukuman dan hadiah secara ketat. Kesalahan oleh salah satu staf tidak ditanggung sendiri melainkan semua karyawan di unit, sehingga memicu para bawahannya bekerja dengan kompak dan mampu meminimalisasi kesalahan. Setelah cabang Kupang, Nusa Tenggara Timur, kisah itu terulang enam 225

M. MA’RUF 226

tahun kemudian di Kantor Cabang Utama Malang, Jawa Timur. Pada 1998, BCA kolaps akibat penarikan dana besar-besaran (rush) dan diambil alih pemerintah. Tetapi, krisis tidak terjadi di wilayahnya, karena berbeda dengan cabang lain yang kehabisan dana, cabang Malang justru surplus. Karena prestasi itu, dia memperoleh bonus tiga kali dalam setahun—hal yang tidak lazim di BCA yang biasa memberi bonus sekali setahun. Namanya mulai populer di kalangan bankir, dan ada sekurangnya 12 perusahaan menginginkannya dengan berbagai imingiming gaji besar. Tapi, Tung belum menginginkannya. Dia masih merasa di atas awan sampai kemudian peristiwa menyedihkan mengubah drastis hidupnya. Ayahnya, Tatang Sutikno, jatuh sakit oleh liver dan di­ diagnosis terkena virus meticillin resistant stapelococus aerus yang menurut dokter belum ada obatnya. Tung bertambah depresi setelah menyadari gajinya selama setahun sebagai manajer bank tidak cukup membayar biaya rumah sakit ayahnya di bangsal kelas III Rumah Sakit Mount Elizabeth selama sehari. Nilai tukar rupiah yang jebol membuat puluhan juta rupiah simpanannya tidak berarti. “Bayangkan, saya memiliki karier sangat bagus di bank terbesar di Indonesia. Saya anak paling pintar di keluarga kami dan lulus dari univesitas negeri dengan predikat terbaik,” kata Tung. Secara tidak sengaja, di ruang tunggu rumah sakit, Tung membaca selembar pamflet pelatihan Anthony Robbins, motivator bertarif termahal sedunia—USD 1 juta per seminar—asal Amerika Serikat, yang akan menggelar seminar di sana. Entah karena apa, Tung merasa selembar kertas promosi itu mampu menjawab kegelisahannya. Dia bangkrut, tetapi keinginan itu tak terbendung. Tung menghubungi temannya, Leo Chandra, pemilik Columbia Furniture untuk meminjam USD 5.000. Ditambah hasil penjualan sebidang tanah di Malang dan bantuan dari saudara, kemudian terkumpul dana untuk

Bagian 8 – Selalu Ada Jalan untuk Berubah

menebus tiket seminar seharga USD 10.000. Mei 2000, dia mengundurkan diri dari BCA setelah berhari-hari mendengarkan seri VCD rekaman Anthony. VCD yang semahal gaji bulanannya itu menyadarkan Tung bahwa pekerjaan monoton tidak akan menghasilkan buah yang tumbuh. Tung akhirnya menerima pinangan Grup Lippo— satu dari 12 perusahaan yang mengincarnya—sebagai Senior Vice Presiden pada Lippo Shop, anak usaha Lippo yang bergerak di bidang perdagangan online. Gajinya yang berlipat rupanya tidak menyelesaikan masalah, karena “pasak“ turut membesar mengikuti ‘tiangnya’ dan dia mengundurkan diri pada Februari 2001. Kala itu tekad Tung sudah bulat mengikuti jejak Anthony dan mulai mengkhususkan diri menjadi konsultan dan motivator. Ini keputusan yang dalam berbagai kesempatan disebut Tung sebagai breakthrough atau terobosan yang gila seumur hidupnya. Tujuh kali Tung mengikuti seminar-seminar moti­ vasi di luar negeri, salah satunya di Hawaii, Amerika, dengan biaya yang tak kurang sama mahalnya. Tidak hanya Anthony, Tung juga menjadi langganan seminar motivator macam Robert T. Kiyosaki, Bob Proctor, dan Robert G. Allen. Dia berhasil menjadi salah satu murid terbaik Anthony dan terpilih sebagai Exclusive Indonesia Anthony Robbins Authorized Consultant. Predikat serupa diperolehnya pula dari Kiyosaki. Salah satu usahanya adalah mendatangkan Anthony ke Pekan Raya Jakarta (PRJ) dalam seminar bertajuk “Unleash The Power Within”. Tiket termurah seminar itu seharga Rp 5,3 juta! Penampilan perdana Tung di Gedung KONI Jakarta berantakan. Tata suara (sound system) yang buruk dan pendingin udara mati membuatnya diteriaki untuk turun oleh seribuan karyawan Columbia Furniture. Waktu itu dia diundang sebagai pembicara tamu. Tapi, kejadian

227

M. MA’RUF 228

ini dibalas Tung dengan sukses menggelar seminar yang dihadiri 4.300 peserta dari perusahaan yang sama, di Gedung Sarbini. Hasilnya, sebulan kemudian penjual­ an barang-barang kreditan elektronik dan furniture Columbia melonjak 40%. Lunas sudah utang Tung kepada pemilik Columbia, Leo Chandra. Ini adalah proyek barter karena kesulitan keuangan yang dialami Tung sebelumnya. Kinerja moncer Columbia setelah satu dua jam bersama Tung membuat popularitasnya meroket. Salam dahsyat yang tampak seperti motto Tung mulai dikenal, dan permintaan menjadi penyemangat karyawan mulai datang satu per satu. Dia mengklaim penjualan Darmapersadaraya Motor Industri, produsen helm merek DNI naik berlipat-lipat, dan penjualan sampo merek Selsun naik 200%, setelah ia berceramah. Sementara Presiden Direktur Bentoel Daryoto Setiawan mengabari Tung bahwa penjualan Bentoel Prima naik 59%. Tung memasang tarif USD4.500 per tiga jam unuk mengisi sebuah acara motivasi, dan memasang tarif cu­ kup mahal pada seminar yang digelarnya sendiri. Saking sibuknya, karena pernah sampai 52 kali diundang dalam sebulan, dia menyiasati bepergian dengan Helipad— salah satu gaya berkendara yang masih jarang untuk pebisnis lokal—hasil pakai bersama dengan perusahaan Lippo. Jauh dari kendaraannya sembilan tahun lalu yang Panther Miyabi. Sentuhan-sentuhan nyeleneh Tung bisa terlihat saat menjadi konsultan Bank Rakyat Indonesia yang berhasil meningkatkan saldo tabungan nasabah. Program Untung Beliung memasang iklannya dengan menampilkan sebuah mobil Honda Jazz nyangkut di atap halte bus di Jalan Sudirman—tentu saja ini tipuan grafis. Hasilnya, imej BRI yang sebelumnya bank milik orang-orang di desa sedikit terangkat dan dana terserap semakin banyak.

Bagian 8 – Selalu Ada Jalan untuk Berubah

Tung mengaku tidak hanya cuap-cuap, karena dia memakai jurus marketing untuk produknya sendiri. Misalnya, menjual mobil Panther Miyabi 1996 miliknya yang terbakar hangus seharga Rp 12 juta dengan hanya memasang iklan baris bertuliskan “Dijual, Panther Miyabi 1996, dengan cara lelang, harga awal lima juta”. Yang mungkin paling populer adalah “Hujan Duit” di Stadion Sepak Bola Baladika Kesatrian, Serang Banten, awal Juni 2008. Minggu pagi itu, Tung benar-benar me­ naburkan uang dan tiket seminarnya senilai total Rp 100 juta melalui pesawat. Promosi ini untuk menjual buku keduanya berjudul “Marketing Revolution”. Peristiwa ini tidak hanya membuat heboh seluruh surat kabar di dalam negeri. Di Amerika Serikat, New York Times menulis It’s Raining Rupiah. Sementara The Guardian, koran ternama di Inggris memberi judul Author Drops Cash From Plane. Meski terkagum dan salut, banyak pula kalangan yang menganggap cara Tung berlebihan. “Tung Desem tidak memiliki sense of crisis .... Sudah jelas ‘hujan uang’ lebih rendah memperlakukan bangsa ini ketimbang BLT,” ujar Sosiolog Universitas Indonesia, Imam Prasodjo. Promosi gila juga dilakukan sebelumnya untuk buku Financial Revolution yang berhasil mencatat rekor Museum Rekor Indonesia (Muri) karena terjual 10.115 eksemplar pada hari pertama peluncuran. Mengalahkan peredaran hari pertama buku Harry Potter edisi Indonesia. Dengan menunggang kuda sambil melambai-lambaikan poster sampul buku karangannya, Tung Desem menyusuri Jalan Sudirman yang padat, dan membuat jalanan macet. Lebih unik lagi, kala itu Tung juga mengenakan baju ala Pangeran Diponegoro berupa jubah dan berblankon. Buku yang dijual seharga Rp 70.000 untuk soft cover dan Rp 120.000 untuk hard cover itu masuk dalam sejarah buku terlaris di Indonesia.

229

M. MA’RUF 230

Banyak kalangan yang menganggap jurus marketing Tung termasuk hard sell. Yakni merujuk pada cara ber­ promosi yang menyampaikan pesan marketing secara langsung. Tung tidak peduli, karena dalam marke­ting yang penting laku dan terjual dengan harga mahal. Te­tapi dia yakin tidak ada yang benar-benar baru di dunia ini. Tung adalah pelajar yang baik, dan tahu betul bagaimana cara belajar yang tepat. Dia sendiri mengaku, untuk melakukan terobosan, belajarlah ke­ pada yang terbaik. Oleh karenanya, dia percaya untuk pemula, sebagaimana dilakukannya adalah dengan ju­ rus mencontek!! ATM = Amati, Tiru, Modifikasi. Dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, pada Desember 1967, Tung adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Dia lahir waktu ayahnya mengalami kebangkrutan luar biasa, diceritakan uang sumbangan handai taulan justru dipakai ayahnya membayar utang dan bukan dipakai untuk menebus pulang dirinya dari rumah sakit. Di sekolah dasar, predikatnya lebih dekat dengan kelompok murid bodoh daripada rata-rata. Sampai dengan SMP, dia bukan kumpulan “sepuluh besar”. Tetapi Tung ingin pintar dan dia berjuang untuk masuk satu kelas les kimia beserta murid-murid paling pintar. Satu kali, dari 100 soal yang harus dikerjakan, Tung hanya mampu menyelesaikan 20 soal. Hasilnya, cuma dua yang benar. Pengajar memintanya datang lebih awal untuk belajar lebih dulu, supaya bisa mengejar teman sekelasnya. Tetapi hasilnya tak berubah, dan gurunya yang kehabisan akal bertanya. “Tung, kamu dulu waktu kecil pernah setep ya?” Tung bukan tipikal orang pintar dari bakat, tetapi dia tahu bagaimana menjadi cerdas. Hasrat menjadi pintar baru tersulut ketika dia berada di kelas tiga SMA dan takut tidak lulus. Dia ikut les bersama murid-murid pintar lainnya tetapi baru berhasil setelah mengulang empat kali. Dia berhasil memperoleh nilai bagus karena

Bagian 8 – Selalu Ada Jalan untuk Berubah

hafal. Ketika kuliah, dia lebih memilih bergaul dengan mahasiswa terbaik di bidangnya, entah itu lembaga kemahasiswaan maupun mata kuliah. Hasilnya, tidak kurang 32 piagam penghargaan diraihnya, dan pernah mendapat gelar mahasiswa teladan. Menjelang akhir kuliah, Tung mulai belajar men­ jadi pedagang emas. Dia mengambil barang dari toko kakaknya di Jakarta, dan mengampil selisih harga ke­ tika mengedarkannya di Jepara, Semarang, Salatiga, Ambarawa, hingga Pekalongan. Dia melamar ke BCA pada 1992 setelah lulus Universitas Sebelas Maret, Solo dan mengalahkan 200 orang pelamar terpilih. Dari 20 orang yang akhirnya diterima, dia satu-satunya lulusan universitas dari dalam negeri. Kini Tung memasang tarif USD 8.000 sekali tampil, dan rata-rata mengisi 30 kali seminar atau pelatihan dalam sebulan. Masih sisa untuk membeli mobil BMW seri terbaru 740Li seharga Rp 2,3 miliar. Sekarang dia masih menerapkan alokasi yang sama untuk semua hasil jerih payahnya itu, seperti waktu masih bergaji Rp 600.000 di BCA. Rinciannya, 10% untuk investasi yang aman, 20% untuk cadangan biaya hidup enam bulan ke depan, dan maksimal 70% untuk kebutuhan sehari-hari. Semakin tua, dia mengurangi porsi cadangan menjadi 10%, untuk menyisakan 10% persen lainnya sebagai amal. Dia membenamkan investasinya di saham, reksa dana, surat utang, dan beberapa apartemen di Singapura. Tung juga punya pabrik motor Torindo, pengembang 1.000 rumah anti-peluru milik TNI Angkatan Udara di Mekarsari, Bogor, mendirikan BPR di Tangerang, dan membangun pabrik batik bermerek Duplex di Solo. Di luar negeri dia membuka resor baru di La Paz, sebuah kota di Meksiko yang dekat dengan negara bagian California, Amerika Serikat. “Luasnya 500 hektare.

231

M. MA’RUF

Saya berbagi saham dengan Michael Hammer, sutradara film Shakespeare in Love,” ungkapnya. Sehari-hari Tung menjadi direktur pelaksana TDW Resources yang berdiri pada 2002 dan tercatat sebagai event organizer terbesar di Indonesia untuk bidang acara seminar atau workshop. Dia pria yang hangat dengan keluarga, dan tidak sulit untuk mengajak pergi anak-anaknya dari kediamannya di perumahan elite di kawasan Boulevard Palem Raya, Lippo Karawaci, untuk berlibur di beberapa resor pribadinya. Misal­ nya, di Tanjung Lesung yang terletak di lereng Gunung Krakatau atau di kepulauan Belitung. “Saya sangat bersyukur dengan perubahan hidup ini, sehingga (saya) bisa membelikan ibu mobil Previa, kado ulang tahun istri mobil SLK 200K, serta ajak anak-anak ke mana saja mereka mau,” ujar dia.[]

232

Mustika Ratu

Alam adalah Sumber Kesehatan dan Bisnis

G

agal menjadi ratu keraton Surakarta telah me­ remukkan hati gadis cantik Mooryati Soedibyo. Setelah menunggu berbulan-bulan, pertunangannya dengan putra mahkota, Sunan Paku Buwono XII—Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat 1945–2004—tak kunjung berlanjut ke pelaminan. Mooryati memutuskan pertunangan itu, dan memilih keluar dari lingkungan keraton dengan setumpuk malu, kesal, serta kecewa. Mooryati adalah putri keraton, cucu Paku Buwono X yang memerintah pada 1893-1939. Ibunya, Gusti Raden Ayu Kussalbiyah adalah anak raja yang dinikahi bupati daerah pesisir, Kanjeng Raden Mas Tumenggung Ario Poernomo Hadiningrat, di Brebes Jawa Tengah. Darah RA. Kartini mengalir dari sang ayah, sehingga Moeryati tidak pernah mempersoalkan keberadaannya yang tidak diinginkan (ayahnya menginginkan anak ketiganya lahir sebagai laki-laki). Setelah keluar dari istana, perang membuatnya lupa dengan sang pangeran. Mooryati aktif terlibat per­ lawanan melawan agresi pertama Belanda pada 1947, sebagai Relawan Putri Surakarta, dan tercatat sebagai 233

M. MA’RUF 234

anggota Palang Merah Indonesia. Suster can­tik itu bertugas di Rumah Sakit Keraton Kadipolo. Di situ dia mengeluarkan sege­nap ilmu penge­tahu­an tentang reramuan jamu yang dipakai sebagai pengganti ke­ tiadaan obat-obatan dan perangkat medis. Air kunyit rupanya manjur mengobati lu­ka pejuang yang ter­ kena peluru, dan daun pisang muda bisa menggantikan kapas. Ilmu jejamuan itu sebetulnya adalah satu dari puluhan daftar kemampuan yang wajib dimiliki seorang putri. Pada masa kecil, Mooryati menghafal ramuan kecantikannya sendiri seperti bedak buatan dari bahan tepung beras, masker dari parutan bengkuang, dan lulur dengan campuran saripati beras, kunyit, daun pandan, dan temugiring. Untuk perawatan rambut, mereka men­

Bagian 8 – Selalu Ada Jalan untuk Berubah

cuci rambut dengan bubuk merang yang dibakar, ser­ta conditioner dari air asam. Setiap kali keraton menye­ lenggarakan pesta, dia tidak hanya sibuk sebagai penari, tapi juga sebagai juru rias. Pertemuan tidak sengaja seusai perang dengan Soedibyo—alumnus Universitas Gadjah Mada, yang baru pulang dari Amerika Serikat untuk meraih gelar magister—di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta, meng­ ubah arah hidupnya secara drastis. Mooryati menemukan jalan atas ramalan eyang putrinya bahwa kelak, dia akan menjadi kaya raya—satu visi yang bertentangan, karena berbisnis adalah hal terlarang bagi putri keraton. Keduanya menikah pada saat Mooryati cukup tua; 28 tahun. Setelah menikah, Mooryati diboyong suaminya yang menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah Departe­ men Perindustrian Provinsi Sumatra Utara dan Aceh. Awalnya ide membuat jamu itu untuk menunaikan kewajibannya sebagai ketua perkumpulan istri pejabat anak buah suaminya dengan program-program ber­ manfaat. Antara lain membuat lulur dan jamu yang dibagikan secara gratis kepada para istri sejawat suami­ nya. Dengan senang hati, Mooryati memamerkan jamu Komajaya, Komaratih, Lulur, Mangir, dan Parem Leng­ kap. Ini berhasil memikat para istri-istri yang dituntut tampil cantik meskipun bertambah usia. Setelah me­ nikmati gratis, mereka bersedia membeli. Sampai dengan 17 tahun kemudian, Mooryati belum menyadari bahwa jamu buatannya adalah ladang bisnis yang luar biasa. Setelah kelima anaknya besar, dia baru tahu bahwa kecantikan yang memudar di usia tua adalah ancaman serius dalam rumah tangga. Mooryati sendiri adalah iklan berjalan yang nyaris sempurna untuk produknya. Sulit memercayai tubuhnya yang singset, kulit nan kuning mulus itu ternyata milik ibu rumah tangga berumur 45 tahun dengan lima anak. Ketika orang bertanya jawabannya cuma satu, ramuan jamu beras kencur buatan sendiri.

235

M. MA’RUF 236

Pada 1968, suaminya dipindahkan ke pusat dan sekeluarga pindah ke Jalan Sawo, Menteng. Menghadapi masa pensiun di depan mata, dan kebutuhan pendi­ dikan kelima anaknya yang membengkak meyakinkan Mooryati untuk benar-benar mengomersilkan jamu ke­ cantikannya yang sudah terkenal di kalangan istri-istri pejabat. Di garasi rumah, uang Rp 2.500 dia belikan sekarung kencur, kunyit, dan kayu manis. Jamu-jamu ramuannya dimasukkan dalam botol-botol bekas dan dijual seharga Rp 100. Ibu lima anak ini menangani­ nya sendiri, mulai keluar kota naik kereta api hingga meramu. Dia menangani penjualan door to door lewat arisan. Tetapi Mooryati akan sangat tersiksa bila disuruh menghitung seberapa banyak keuntungan yang sudah diperoleh. Dia bercerita bagaimana neraca keuangan itu justru membuatnya sakit, sehingga lebih suka menaruh semua uangnya entah itu modal atau untung dalam satu rekening. Tahun 1973, jamu-jamu itu dilabeli Mustika Ratu untuk memayungi usaha pembuatan jamunya. Dia membagi produknya menjadi lima, perawatan wanita, perawatan remaja putri, sedet saliro (pelangsing tubuh), sepetan sari (keputihan), kesepuhan (menopause), di­ tambah beberapa macam kosmetik tradisional leluhur, seperti Mangir, Bedak Dingin, dan Air Mawar. Di sam­ ping memproduksi, Mooryati juga mengajarkan ilmu kecantikan tradisional kepada para ahli kecantikan, pemilik salon, dan sanggar-sanggar. Ini sekaligus men­ jadi jalan besar bagi penjualan produknya yang segera booming, karena setelah dilatih mereka menjadi agen penjual yang loyal. Murid-muridnya adalah pelanggan setia jamu kecantikan, selain sebagai iklan efektif dari mulut ke mulut. Di tempat yang lebih luas, daerah Ciracas, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Mooryati mendirikan pabrik pertamanya. Tahun 1981, resmilah pabrik PT Mustika

Bagian 8 – Selalu Ada Jalan untuk Berubah

Ratu beroperasi dengan 150 karyawan. Ini adalah pabrik kosmetika terbesar dan terlengkap pertama di Indonesia ketika itu. Lama-kelamaan imej juga digeser menjadi tidak sekadar jamu kecantikan, melainkan kosmetik yang berbahan ramuan tradisional. Penjualan meroket setelah dia mampu merangkul berbagai kontes kecantikan. Yayasan Putri Indonesia yang didirikannya dan setiap tahun menggelar pemilihan Putri Indonesia, berperan penting mempromosikan produk-produk ke­ cantikan Mustika Ratu. Lebih lagi, dengan cepat dia mendapatkan hak waralaba Miss Universe, Miss World, dan Miss World University. Setidaknya butuh 10 tahun untuk mempersiapkan generasi kedua bisnis ini. Hanya satu dari lima anaknya yang bisa mengikuti jalan ibunya. Dua dari tiga yang dikader rontok di tengah jalan. Setelah tiga tahun ber­ gabung Dewi Nurhandayani dan Haryo Tejo Baskoro memilih jalan hidupnya masing-masing, Dewi menjadi ibu rumah tangga dan Haryo hanya memilih anggota komisaris perusahaan. Sementara calon putra mahkota, si sulung Djoko Ramiadji hanya bertahan setahun dan lebih memilih pekerjaan sesuai latar belakang pendidikannya sebagai insinyur. Hanya Putri Kuswisnu Wardani yang bisa mengikuti jejak ibunya. Dia bergabung sebagai staf junior setelah merampungkan kuliah S-1 (under graduate)-nya di Strayer College, American University, jurusan business administration, pada 1985. Betapa sulitnya mencari penerus sampai-sampai diungkapkan Mooryati dalam disertasi doktoralnya. Karya ilmiah ini mengantarkannya meraih gelar doktor pada usia 80 tahun di Universitas Indonesia. Mooryati dikenal keunikannya sebagai pebisnis yang menerus­ kan sekolah di usia senja. Setelah serangkaian kursus bahasa asing, antara 1954-1977, Mooryati mengikuti kursus Ilmu Ahli Kecantikan Internasional Cidesco di Vancouver, Kanada. Pada 1995, dia berhasil memperoleh

237

M. MA’RUF

gelar doktor kehormatan (honoris causa) dari Pacific Western University, Los Angeles, Amerika Serikat. Putri adalah sosok yang menjadi bukti disertasi Mooryati, bahwa perusahaan keluarga rentan kegagalan saat berpindah generasi, masih bisa diatasi. Kepercayaan atas Putri muncul ketika dia mampu menciptakan merek khu­sus untuk produk-produk kosmetik remaja, Puteri, yang sukses luar biasa. Ide merek khusus ini sebelumnya berkali-kali ditolak manajer senior dan ibunya, karena me­mang dilontarkan ketika Putri baru masuk kerja. Dia menyimpan idenya sampai 1992 ketika sudah menjadi mana­jer di Mustika Ratu dan meski ditentang, produk ini dipaksakan muncul. Hasilnya ternyata luar biasa dan seka­rang justru menjadi merek terbesar Mustika Ratu.[]

238

Rudy Hadisuwarno

Tandailah Keberhasilan Sejak Awal

T

anyakanlah segala hal tentang rambut kepada orang ini. Mulai dari potongan rambut yang pas dengan kepala dan jenis rambut, style terbaru, tren pewarnaan, sampai bagaimana cara-cara sehat merawat atau mengobati rambut rusak telah didedikasikan Rudy Hadisuwarno kepada perempuan-perempuan Indonesa sejak 1970. Tetapi, bagaimana pria low profile ini be­ rangkat dari sebuah barber shop menuju gelar maestro penata rambut Indonesia adalah kisah sebuah keluarga perantau miskin asal Pekalongan, Jawa Tengah, yang ingin mengubah nasib di ibu kota. Ketika suami istri Iskandar Hadisuwarno dan Lestari tiba di Jalan Kemakmuran—kini Jalan Hasyim Asyari, Jakarta Pusat—tahun 1963, situasi ekonomi sedang kacau balau. Ini menimbulkan dilema, karena pasangan itu sudah memboyong anak-anaknya, meninggalkan usaha salon kecil di Pekalongan untuk memulai usaha baru berdagang kulit di Jakarta. Dua tahun kemudian, usaha keluarga ini bangkrut. Pemberontakan PKI pecah pada 1965 dan segera membuat ekonomi semakin sulit dan inflasi membubung tinggi. Kisah orang-orang tua 239

M. MA’RUF 240

yang masih hidup sekarang mengenangnya dengan pahit, tidak ada lagi beras dan orang miskin harus memakan bulgur—seperti gandum tapi agak merah dan kasar yang setelah dimasak akan mengembang seperti balon. Di negeri asalnya Amerika Serikat, konon bulgur ini adalah makanan ternak, khususnya babi, yang didatangkan ke Indonesia untuk bantuan kemanusiaan. Situasi serba sulit dirasakan seisi rumah, terutama si sulung Rudy yang sudah beranjak remaja. Siswa Sekolah menengah kejuruan ini melamar ke beberapa salon ber­ bekal keahlian menata rambut hasil membantu ibunya saat masih di Pekalongan. “Saya lihat tangan Rudy begitu luwes mengerjakan rambut,” kata ayah Rudy. Selain untuk membantu keuangan keluarga, ini adalah bekal untuk mengejar cita-cita menjadi arsitek. Rudy berpikir bagaimana dia dapat memperoleh uang untuk biaya kuliah, sekaligus mengurangi beban keluarga. Setelah menamatkan Remaja Hairdress School di Jakarta tahun 1967, dan magang di salah satu salon di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, Rudy membuka salonnya sendiri di rumah pada 1978. Dimulai dengan satu meja dan satu kursi, lalu iklan dari mulut ke mulut. Salonnya semakin menyita waktu, dan Rudy ha­rus memilih antara kuliah semester tiga di Jurusan Arsitek­ tur, Universitas Trisakti, atau keluar mengurusi pelang­ gan. Sampai sekarang, dia mengatakan alasan ekonomi keluarga membuatnya mengambil pilihan kedua, meski dia memiliki keyakinan di masa mendatang profesi penata rambut tidak bisa dikerjakan sekadar sambilan (waktu itu, penata rambut dianggap pekerjaan sampingan untuk ibu-ibu yang ingin membantu penghasilan suami). Dia mendalami ilmu menata rambut kepada orang bernama Robby—sekarang berkewarganegaraan Aus­ tralia—setidaknya sampai 1971. Rudy mungkin orang yang tidak begitu yakin pengalaman bisa membuat seseorang terampil dan ahli begitu saja. Mulai 1974,

Bagian 8 – Selalu Ada Jalan untuk Berubah

berbekal tabungan, dia terbang ke London, Inggris, hingga San Fransico Amerika Serikat untuk belajar tata rambut dari tiga tempat berbeda: Alan International untuk belajar menggunting rambut yang umum, Vidal Sasson untuk belajar seni penataan rambut, dan Morris School of Hair Design guna memperdalam teknik sang­ gul. Keahlian dan ide-ide segar tata rambut ini membuat Rudy bisa memasang tarif tiga kali lebih mahal dari rata-rata salon lain, yakni Rp 6.000. Karenanya, banyak pelanggan yang mampir adalah mereka yang menginginkan model baru dari Rudy. Style rambut hasil kreasi Rudy memaksa tahu para perempuan muda dan ibu-ibu bahwa salon bukan hanya tempat untuk menggunting rambut dan mengeriting saja. Gaya-gaya baru dikembangkan lewat perbandingan metode pengguntingan rambut dari mancanegara, ke­ mudian diubah sesuai dengan jenis rambut dan kultur lokal. Kaum perempuan juga diberi tahu bahwa mode yang senantiasa berubah seperti pelurusan atau pe­ warnaan kerap kali membuat kondisi rambut rentan sehingga butuh perawatan ekstra seperti halnya wajah. Solusi-solusi mulai tren, perawatan hingga pengobatan itu menjadi paket komplet dari salon-salon Rudy, dan produk yang dijual terpisah. Rudy membuka salon mewahnya pertama kali pada 1977 di komplek Duta Merlin, dan beberapa tempat di Jakarta. Dari sini gerainya menyebar ke Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Balikpapan. Nama salon Rudy dengan logo huruf R yang senantia­ sa berubah, telah dipakai sejak membuka cabang di Duta Merlin sebagai merek dagang. Sekarang tidak kurang ada 150 jaringan salon milik Rudy di seluruh Indonesia hasil mewaralabakan sejak 1980-an. Salon Rudy Hadisuwarno untuk segmen orang-orang kaya, Salon Rudy untuk kelas menengah, Brown Salon, bagi para pelanggan remaja, dan Kiddy’s Cut untuk anak-

241

M. MA’RUF 242

anak. Segmentasi ini tampak sebagai diversifikasi yang menyisakan ruang sempit bagi kompetitor baru. Ada­ nya varian-varian berdasarkan kemampuan konsumen ini kemudian juga bisa menyelamatkannya dari krisis ekonomi 1997. Apa yang disebut kunci kesukesan adalah buah dari perencanaan yang matang. Dalam kamus Rudy, perencanaan bukanlah potongan-potongan rencana ta­ hunan tetapi menyangkut perjalanan hidup sejak per­ tama kali membuka salon. Perencanaan-perencanaan bisnis itu mirip perencanaan pembangunan sebuah ne­ gara. Sepuluh tahun pertama antara 1968-1978 adalah upaya meletakkan dasar yang kuat dalam bisnis dengan hanya mengelola satu salon. Sepuluh tahun kedua adalah ekspansi, membuka cabang-cabang, baik untuk salon maupun sekolah tata rambut. Sepuluh tahun ketiga adalah realisasi rencana-rencana besar melalui bisnis franchise untuk salon dan sekolah tata rambut, dan 10 tahun keempat adalah pengembangan produkproduk eksklusif, seperti shampoo, conditioner, produk penataan, perawatan, dan pewarnaan rambut. Bagaimana rencana itu dijalankan digambarkannya sebagai kerja sebuah tim dan tidak ada istilah one man show. Sesekali dia mengatakan inovasi-inovasi sangat penting dalam bisnis ini, tetapi perlu dipagari dengan konsistensi. “Sampai sekarang ini, saya tidak beralih ke mana-mana, tetap pada dunia tata rambut,” kata dia. Dengan fokus akan lebih mudah menemukan ide-ide baru yang dipercaya orang. Orang-orang akan banyak berterima kasih pada inovasi penting yang diciptakan­ nya. Misalnya, creambath memakai minyak cem-ceman atau minyak kelapa yang ditemukan Rudy pada 1974 sebagai inovasi untuk merawat rambut perempuan. Di luar negeri, cara ini memakai minyak zaitun yang dipanaskan. Masalahnya, dua metode ini membuat rambut menjadi lengket—temuan ini hingga sekarang

Bagian 8 – Selalu Ada Jalan untuk Berubah

adalah menu wajib salon baik di dalam maupun luar negeri. “Sayangnya, saya masih sangat naïf waktu itu. Jadi, tidak didaftarkan ke hak cipta,” kata Rudy. Pengalaman itu memberi pelajaran agar reramuan kosmetik itu dibuat lebih komersial setelah menggan­ deng Kalbe Farma, sekitar 1990-an. Rudy memasarkan shampoo, conditioner, dan sabun muka dengan merek Rudy Hadisuwarno. Dalam joint venture itu, Rudy menjadi pemasarnya. Namun, serangkaian pembelian saham oleh Martha Tilaar Group—yang membeli semua saham Kalbe di Martina Berto—membuat Rudy tersingkir. “Mereka beli lisensi untuk merek saja,” ucap Rudy. Rudy telah mendapat pengakuan internasional pada 1980 ketika diangkat sebagai anggota Intercoiffure— sebuah perhimpunan ahli-ahli tata rambut profesio­nal sedunia yang berpusat di Paris. Tahun-tahun berikut­nya, satu per satu medali diperoleh untuk kompetensinya, dan pemerintah mengadopsi kurikulum sekolahnya men­jadi standar nasional sekolah kejuruan. Sejak 1998 hingga kini, nama Rudy tercatat dalam buku “Who’s Who in the World” sebagai satu dari sekian orang terkemuka dan berhasil di bidangnya masing-masing. Dia pernah menata rambut Nyonya Mondali, istri wakil presiden Amerika Serikat, dan Putri Lilian dari Swedia.[]

243

Sahid Hotel

Menjadi Pegawai Negeri Sipil Tak Akan Membuatmu Kaya

S

ukamdani Sahid Gitosardjono mulai tertarik me­ miliki usaha perhotelan setelah mendapatkan penga­ laman betapa sulitnya mencari sebuah penginapan di Medan, Sumatera Utara, pada 1961. Orang solo yang sudah beberapa tahun merantau ke Jakarta dan memiliki usaha percetakan ini diundang ke sana untuk menerima tanda jasa kepahlawanan dari pemerintahan Indonesia berkat jasa-jasanya sebagai pejuang tentara pelajar zaman kemerdekaan. Setibanya di kota terbesar di Sumatera itu, Sukamdani baru menyadari banyak orang seperti dirinya; kesulitan berlama-lama bepergian ke luar daerah. Karena selama ini tinggal di Jakarta, dia belum pernah memikirkan peluang itu. Sukamdani baru merealisasikan idenya empat tahun kemudian di Jalan Gajah Mada, Solo, dengan mendirikan Hotel Sahid Raya Solo—sekarang menjadi Hotel Sahid Jaya. Ini menjadi hotel pertama yang dibangun di Solo setelah kemerdekaan. Sampai sekarang, arsitektur hotel itu masih tampak seperti keraton yang menyuguhkan sensasi bangsawan. Kamar nomor 105 adalah salah satu kamar yang pernah dipakai Raja Solo Pakoe Boewono 244

Bagian 8 – Selalu Ada Jalan untuk Berubah

XII sebelum meninggal pada 2004. Kamar itu adalah satu dari tiga tempat yang disegel sepeninggalnya, selain Dalem Brotodiningrat, dan Nganjras—kabarnya termasuk batu bekas renovasi yang tidak dibuang karena belum selesai tetapi ditinggal wafat Sinuhun. Dari Solo, jaringan hotel Sahid meluas ke daerahdaerah seperti Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Manado, dan Jakarta. Dia belajar mengelola manaje­ men perusahaan modern hingga ke Amerika Serikat. Lima tahun kemudian, Sukamdani membangun hotel pertamanya di Jakarta di atas tanah bekas rumah kontrakan ketika pertama kali menginjakkan kaki di ibu kota. “Dulu, rumah saya di sini,” kata dia. Jaringan hotel Sahid berkembang di tengah gem­ puran hotel-hotel asing dan sempat mengalami pukul­ an telak pada saat krisis ekonomi 1997, yang membuat Sahid Group terpuruk oleh utang. Bagaimana tidak, krisis itu datang di saat sejumlah megaproyek tengah dikembangkan, seperti proyek Apartemen Istana Sahid, Hotel Sahid Makassar, Hotel Sahid Raya Solo, dan Me­ nara Sahid sehingga menanggung utang macet hingga USD 40 juta dari bank investasi Schroder. “Kami saat itu sempat mengalami kesulitan untuk membayar sehing­ga terpaksa meminta perpanjangan waktu pembayaran, keringanan pembayaran, tukar saham, dan tukar aset,” kata Sukamdani. Sukamdani juga sempat diduga tersangkut kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) se­ besar Rp 218 miliar, namun pemeriksaannya dihentikan karena tidak ada bukti. Tahun 2008 adalah kebangkitan kembali Sahid Group dengan sebuah rencana besar; membangun 50 hotel berbintang pada 2013. Rencana tersebut diper­ kirakan membutuhkan dana investasi tidak kurang dari Rp 2 triliun. Tetapi, rencana-rencana itu telah diserahkan kepada lima anaknya yang mengelola jaringan bisnis

245

M. MA’RUF 246

sebuah universitas dan sekolah pariwisata, bisnis travel, properti dan surat kabar ekonomi paling populer ber­ nilai triliunan rupiah, sementara Sukamdani menikmati masa pensiunnya dengan mengelola sebuah bisnis yang disebutnya sebagai investasi akhirat. Sebuah akhir yang manis untuk anak manusia yang melawan kelaziman. Sukamdani menginjakkan kaki pertama kali di Jakarta pada 1952. Menenteng sebuah koper dan sepeda, Sukamdani muda hendak memperbaiki nasib setelah dinyatakan lolos tes menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di Kementerian Dalam Negeri. Orang-orang sampai sekarang mengenang keputusan nekat Sukamdani muda sebagai kegilaan yang sulit dibayangkan pada zaman sulit Orde Lama. Ceritanya, baru dua bulan menjadi pegawai, Sukamdani menikahi gadis pujaannya, Juliah, Putri Mangkunagaran, Keraton Solo, dan memilih meng­ undurkan diri dari PNS. Seperti dikatakan menteri dan pengusaha Aburizal Bakrie saat menghadiri perayaan ulang tahun Sukamdani ke-75 yang meriah. “Kalau umur saya baru 25 tahun, tidak mungkin saya berani menikah dengan gadis berusia 19 tahun. Minta keluar dari pegawai negeri, kawin, dan mendirikan usaha berdua ....” Setelah menikah, Sukamdani diketahui lebih memilih meminjam uang kepada mertuanya sebesar 25 perak untuk membeli mesin cetak tangan (hand press) dan memulai usaha percetakannya tanpa tahu sedikit pun mengenai kertas, tinta, dan sablon. Di Jakarta, Sukamdani mengontrak sebuah rumah sempit berlantai tanah di pinggir Jalan Sudirman, yang dipakai sebagai kantor percetakan sekaligus tempat tinggal. Pengantin baru itu berbulan madu di rumah saja sambil mengerjakan orderan cetak yang diperoleh secara serabutan. Mas Kam—panggilan pelanggannya— membeli kertas ke Jalan Tiang Bendera, mengantar dan menjemput pesanan cetak, termasuk menagih ongkos

Bagian 8 – Selalu Ada Jalan untuk Berubah

cetak. “Naik turun opelet, tak heran, saya banyak ke­ nalan nonpri,” katanya mengenang. Usahanya itu se­ makin berkembang ketika dia melanjutkan sekolah ke Akademi Perniagaan Indonesia, Jakarta. Di situ dia memanfaatkan order pencetakan makalah atau tugastugas kuliah temannya. Pada 1958, order cetakan se­ makin banyak, terutama dari Departemen Dalam Negeri, dan Departemen Keuangan. Empat tahun kemudian, Sukamdani sudah memiliki tiga percetakan di Jakarta, serta satu di Solo. Dilahirkan di Solo pada tahun Sumpah Pemuda, Sukamdani adalah putra pasangan Raden Sahid Djogo­ sentono dan Sadinah yang lahir dengan nama Sugito di Desa Jetis, Sukoharjo, 10 kilometer arah selatan kota Solo. Ayahnya yang bangsawan pernah hidup terhor­ mat sebagai lurah, namun kemudian jatuh miskin. Dia dibesarkan dengan usaha jahitan dan warung kecilkecil­an yang dikelola ibunya. Setelah menamatkan Sekolah Rakyat, Sukamdani bekerja sebagai pembantu juru tulis di kantor Kaonderan—kecamatan—Sukoharjo pada pagi hari, dan menjadi siswa sekolah menengah pertama pada sore hari. Ketika tamat SMA, pangkatnya dinaikkan menjadi juru tulis kepala. Namun, situasi pe­ rang kemerdekaan mendorongnya bergabung dengan tentara pelajar, di mana kemudian dia menemukan ide membuka usaha hotel. Apa yang membuat Hotel Sahid mampu bertahan dari krisis dan keberadaan hotel-hotel berbintang merek jaringan asing adalah kemampuannya membangun stafstaf hotel yang terampil. Dia menyiapkan sendiri sarjanasarjana perhotelan yang bisa memasok pekerja yang murah dan modern. Ini adalah terobosan penting untuk mengatasai masalah karyawan perhotelan yang masih amat terbatas, ketika merintis usaha ini. Sukamdani mem­bawa ilmu hotel dan mendirikan Yayasan Sahid Jaya. Ini, katanya, memenuhi keinginannya pada prinsip

247

M. MA’RUF 248

yang disebut keseimbangan bisa terjadi dalam bisnis dengan membuka sekolah. Pada 23 Maret 1983 didirikan lem­baga pendidikan tinggi yang diberi nama Akademi Perhotelan dan Pariwisata Sahid, yang kemudian dime­ karkan menjadi Universitas Sahid. Sejumlah hotel di Indonesia berutang SDM padanya. Sekarang, dengan bangga dia menyebut hanya membayar sedikit ekspatriat, itu pun hanya untuk mengelola Hotel Sahid-nya di Jakarta. Selebihnya adalah orang-orang pribumi yang memulai karier dari doorman, office boy, dan room boy, dan kini menjadi general manager. General Manager Hotel Sahid Raya Yogyakarta Purwanto mengalami ini ketika pertama kali masuk diterima sebagai karyawan front office hotel Sahid di Solo pada 1987 dengan gaji Rp 52.000 per bulan. Sukamdani mengaku tidak memiliki rumus khusus membangun jaringan hotel itu kecuali petuah-petuah usang. Dalam berbagai kesempatan, dia lebih sering mengeluarkan tiga hal yang diajarkan bapaknya, menge­ nai nilai-nilai luhur Jawa. Pitutur (nasihat), pitedah (petunjuk), dan wulang warah (pendidikan) dari orang tuanya. Toh, banyak yang berpendapat, kesuksesan Sukamdani disebabkan oleh relasi bisnis yang cukup luas pada zaman Orde Baru, dan mencapai puncaknya saat menjabat sebagai Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) 1982-1987, mengalahkan adik tiri Presiden Soeharto, Probosutedjo. Saat itu dia makin sibuk—pukul lima pagi hingga setengah delapan, menyiapkan pembagian kerja, yang mana untuk Sahid Group, dan yang mana untuk Kadin. Pukul delapan berangkat ke kantor dan bekerja hingga pukul enam petang. Tetapi dia membayarnya dengan golf untuk menenteramkan pikiran. Saat menjadi Ke­ tua Umum Kadin 1985, Sukamdani berjasa besar me­ mulihkan hubungan antara pengusaha pribumi dan

Bagian 8 – Selalu Ada Jalan untuk Berubah

keturunan Tionghoa. Salah satu prestasinya adalah mem­ buka kembali hubungan dagang langsung dengan China, yang ditandatangani di Hotel Shangrila, Singapura, Juli 1985. Hasilnya, volume dagang RI-China melonjak lima kali lipat. Karena posisi itu, dia mendapat banyak keperca­ yaan oleh keluarga presiden. Dari sekadar menjadi ke­ tua panitia penyelenggara pernikahan anggota keluar­ ga Cendana, membangun makam keluarga Istana Giri Bangun, dan mendapat proyek pembangunan Pasar Klewer Solo dan, karya impian ibu negara, Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Kendati demikian, Sukamdani selalu menepis kedekatan itu sebagai jalan tol memba­ ngun imperium bisnisnya. “Silakan ditunjukkan, mana proyek yang saya dapat dan mendatangkan keuntungan pribadi karena semua kedekatan itu,” tantangnya. Orang ini kemudian dikenal dengan wawasan na­ sionalisme dalam berbisnis. Sukamdani pernah begitu jengkel dengan investor asing karena sering mendapat­ kan ketidakcocokan, saat membuat rencana membangun pabrik semen di Palimanan, Cirebon. Dia kemudian me­ mutuskan kerjasama itu dan berpaling kepada taipan Liem Sioe Liong—Sudono Salim—pemilik Indocement, yang waktu itu menguasai pasar semen, sehingga dengan segera pabrik Tridaya Manunggal Perkasa Semen yang seharga USD 300 juta dolar bisa berdiri pada 1985. Ber­ sama pengusaha properti Ciputra, anak Liem—Anthony Salim—Sukamdani mendirikan Jurnalindo Aksara Gra­ fika yang menerbitkan harian ekonomi Bisnis Indonesia pada 1986. Sukamdani adalah orang langka macam Jakob Oetama, pemimpin umum Kompas yang sukses tidak hanya sebagai pengusaha tetapi juga konsisten sejak muda sebagai intelektual. Oleh pemikir Komaruddin Hidayat, Sukamdani, sudah dianggap sebagai the li­ ving book. Selain mengacu kepada kisah hidup yang

249

M. MA’RUF

mengacu falsafah urip iku nguripi—hidup itu adalah menghidupi— Sukamdani memang penulis buku. Di hari tuanya, Sukamdani memusatkan diri kepada investasi akhirat dengan mendirikan sekolah agama terpadu, mulai dari pondok pesantren modern hingga sekolah tinggi agama di Gunung Menyan, Bogor.[]

250

Martha Tilaar

Ada Hal-hal Positif yang Bisa Dikerjakan

K

isah bagaimana seorang ibu rumah tangga me­ mulai bisnis kosmetiknya ini mirip dengan berbagai cerita penemuan di dunia teknologi, yaitu dari garasi rumah. Larry Page dan Sergey Brin pada mulanya mengerjakan tugas kuliah dan menemukan fitur pencari google dari garasi rumah mereka di Menlo Park, California pada 1998. Puluhan tahun sebelumnya William Hewlett dan David Packard merakit Hewlett Packard pada bagian ruangan rumah yang sama tahun 1938. Bill Gate dan Paul Allen juga menempati ruang­ an yang sama untuk menemukan Microsoft. Apakah bisnis sukses memang harus dari garasi rumah, sembari menunggu kehamilan? Di balik semua pencapaian itu—Martha menyebut­ nya sebagai keajaiban Tuhan—pergulatan yang tidak kalah beratnya adalah memiliki anak. Vonis dokter ke­ dua diterimanya ketika lebih dari 12 tahun berkeluar­ ga tidak kunjung dikaruniai momongan—dia menikah di usia 28 tahun. Para ahli obstetri dan ginekologi dari dalam negeri hingga Skotlandia, Belanda, dan Amerika Serikat memvonisnya mandul. Pada akhirnya vonis itu 251

M. MA’RUF 252

gugur, ketika usaha keras dan telaten selama lima tahun meminum jamu penyubur peranakan yang diberikan neneknya membuahkan hasil. Pada mulanya, dokter yang memeriksa kandungan Martha menganggap mens­ truasinya yang terhenti justru sinyal dia telah memasuki masa menopause, sebab usianya sudah memasuki kepala empat. “Sesampainya di rumah saya langsung katakan pada suami bahwa saya sudah mandul, kalau mau kawin lagi silakan, tapi dengan hati hancur,” kenang Martha. Tetapi Martha yang tidak kunjung haid, memeriksakan diri ke laboratorium, dan hasilnya diketahui positif ha­ mil. Istri Prof. Dr. Henry A. Rudolf Tilaar, yang lahir di Kebumen, Jawa Tengah, 4 September 1937 ini dikaruniai empat orang anak: Bryan Emil Tilaar, Pinkan Tilaar, Wulan Tilaar, Kilala Tilaar. Martha remaja adalah gadis yang tomboy dan nakal. Di usia tujuh tahun, Martha yang sering sakit-sakitan divonis dokter akan tumbuh sebagai gadis slow learner alias telmi—ini mungkin perbedaan kontras Martha dengan para penemu teknologi yang cerdas-cerdas itu. Vonis itu mendorong ibunya memberi stimulanstimulan mengembangkan otak sebelah kanan Martha. Kerajinan pertama yang dikuasai Martha kecil adalah membuat kalung dan gelang dari jali-jali dan soko telik. “Tindakan ibu itu merupakan bentuk pendidikan untuk membuat saya kreatif, meskipun saya bukan anak yang pinter,” jelas Martha. Nasib baik membawa Martha yang tumbuh men­ jadi gadis cantik ke Negeri Paman Sam, setelah menikah dengan Henry A. Rudolf Tilaar. Martha menemani tugas belajar Henry di Indiana University, dan memanfaatkan waktu kosong dengan mengambil kuliah kecantikan di Academy of Beauty Culture, Bloomington, Indiana. Dia bertemu seorang dosen berkebangsaan Belanda, Van Der Hoo yang memperlihatkan sebuah buku kuno mengenai Mangkunegara, terbitan 1856. Buku itu

Bagian 8 – Selalu Ada Jalan untuk Berubah

berisi gambar-gambar cantik wanita Indonesia tem­po dulu dan sejumlah reramuan kecantikan rahasia seba­ gai harta karun terpendam yang tidak disadari oleh kebanyakan orang Indonesia. ‘’Lihatlah, betapa cantik wanita Indonesia,’’ kata Van der Hoo kepada Martha. Sejak pertemuan itu, obsesi-obsesi mengenai seni pe­ rawatan tubuh tradisional mulai bermunculan. “Saya membayangkan, bagaimana rupa wanita Indonesia bila dirias menurut budaya Eropa,’’ tuturnya. “Rambut bisa dicat pirang, hidung bisa dioperasi menjadi mancung, tetapi mata tetap hitam. Lucu sekali,’’ ujar dia. Baru setelah lulus, Martha yang kesepian—dia be­lum diberi momongan—memulai praktik salon ke­ cantikan untuk mengisi waktu. Dia menawarkan jasa salon ala tradisional Indonesia tetapi dengan teknikteknik modern lewat brosur sederhana, door to door ke rumah-rumah mantan dosen. Keahlian itu sebelumnya juga diperoleh dari pekerjaan sebagai sales girl produk kosmetika Avon yang membuat Martha setiap sore mengetuk pintu rumah warga untuk berteriak lantang, “Avon calling!” Sepulang dari Amerika, Martha dan suaminya yang belum punya rumah sendiri mendirikan Martha Salon, menempati garasi rumah ayah Martha, Yakob Handana di Jalan Kusuma Atmaja No. 47, Menteng, Jakarta Pusat. Salon yang mulai dibuka Januari 1970 itu menempati ruangan garasi berukuran 6 x 4 meter. Salon itu laku keras. Mungkin ilmu kuno yang dibalut gaya modern ala Amerika seperti yang dia cita-citakan membuat Martha mampu menciptakan tren tata rias baru. Dia memadukan ilmu dari akademi dengan ilmu kecan­tikan kuno yang diajarkan Titi Poerwosoenoe, ahli kecantik­an tradisional di Yogyakarta. “Ibu Titi guru pertama yang mengajar saya bersolek,” kata Martha, yang mengaku kursus itu diberikan ibunya setelah tingkah tomboy Martha semakin mengkhawatirkan.

253

M. MA’RUF 254

Martha yang beberapa tahun tidak kunjung di­ karuniai anak, melupakan kerinduan tangis bayi dengan kesibukan-kesibukan baru dengan mengikuti kursuskursus kecantikan, mulai dari Bangkok, Hong Kong, Tokyo, London, Paris, New York. Pada 1972, dia ke Eropa untuk belajar ramu-ramuan di pabrik Yves Rocher di Prancis, Mary Quant di Inggris, dan Hartleben di Jerman Barat. Saat kembali ke Indonesia empat tahun kemudian, dia mendirikan Martha Griya Salon yang mem­perkenalkan perawatan tradisional dengan sentuh­ an modern. Hasilnya adalah tren-tren tata rias. Pada 1987 Martha secara cerdik memopulerkan Senja di Sriwedari sebagai tren warna baru dalam tata rias yang diilhami oleh kekayaan alam dan budaya Indonesia. Era-90-an, setiap penata rias pastinya mengenal konsep Gaya Warna Disainer (1998) yang mengambil unsur budaya Jawa Barat dan Kalimantan, Sumatera Bergaya (1989) dari Sumatera. Lantas Puri Prameswari (1990) mengambil dari etnik Cirebon dan Bali, Senandung Nyiur (1991) dari Pantai Indonesia, Riwayat Asmat (1992) dari Irian Jaya/Papua, Rama-Rama Toraja (1993), serta konsep-konsep dari berbagai daerah lain seperti Banda/ Ambon, Jakarta, Aceh. Dan, puncaknya adalah tren warna Pusako Minang dari Minangkabau. Lahirnya sebuah tren tidak jarang diilhami oleh situasi atau peristiwa tertentu seperti Pusako Minang yang mendongkrak penjualan Sariayu sampai empat kali lipat. Tata rias tersebut diluncurkan pada 1998 di tengah masa paceklik akibat krisis ekonomi. Pemulas bibir pada tren ini sengaja diciptakan untuk kepraktis­an si pemakai sesuai dengan waktu dan kesempatan. Da­ lam satu kemasan terdapat dua paduan warna. Pusako Minang rupanya membawa berkah bagi perusahaan yang dipimpin Martha di tengah amukan topan krisis yang merontokkan banyak perusahaan lain hingga gulung tikar. Tren ini menyelamatkan sejumlah karyawannya dari ancaman hantu PHK.

Bagian 8 – Selalu Ada Jalan untuk Berubah

Lompatan besar bisnis Martha bisa dibilang baru terjadi setelah kerja sama dengan Theresia Harsini Setiady, pemilik Kalbe Farma pada 1977. Dua perem­ puan itu mendirikan perusahaan patungan Martina Berto yang memproduksi secara masal kosmetik Sariayu Martha Tilaar yang mengusung produk kosmetik ber­ basis tradisional, sebagai produk pertama. Produk ini meledak di pasaran. Pada 1999, Martha membeli seluruh saham Theresia di Martina Berto. Akuisisi ini sekaligus mempersempit ruang gerak pesaingnya. Semua usaha ini dikendalikan Martha lewat induk usaha Martha Tilaar Group. Pada mulanya, menjual produk lokal itu tidak mudah. Martha sering ditolak sejumlah pemilik mall dan plaza ketika hendak menyewa tempat untuk membuka gerai jamu dan kosmetika, karena takut standar tempat tersebut turun. “Saya kemudian menggebrak meja. Saya tanya dia, kamu orang apa? Kamu hidup di mana? I’m your tenant. Kalau tidak boleh, saya akan lapor ke Presiden,” ancam Martha kepada salah seorang yang menolaknya. Krisis moneter yang melambungkan ni­lai tu­­kar rupiah nya­ris membuat Martha Tilaar Group bang­krut pada Desember 1997. Namun, setelah har­­ ga produk-produk kosme­ tik impor rupanya men­jadi jauh lebih mahal, konsu­ men mulai beralih kepada kosmetiknya. “Keuntungan dari Rp 15 juta rupiah se­ bulan menjadi Rp 225 juta,” ujarnya. Berbagai krisis berhasil dilewati dan

255

M. MA’RUF 256

produk-produk Sariayu mulai leluasa mendapat tempat di gerai-gerai milik sendiri, pasar modern, tradisional, dan sekarang secara online di internet. Sepanjang ta­ hun lalu, penjualan kosmetik Martha Tilaar Group mencapai Rp 820 miliar. April 2009, setelah 39 tahun berdiri, mereka memperoleh penghargaan tertinggi di bidang inovasi dari ASEAN Business Advisory Council (ABAC), mengalahkan ratusan perusahaan besar di Asia Tenggara. Kini, usaha ini dipimpin putra pertama Martha, Bryan Emil Tilaar sebagai Presiden Direktur. Martha mengaku resep utama kosmetiknya adalah mengambil latar belakang warisan tradisional tetapi membalutnya dengan riset dan pengembangan teknologi. Dia membayar mahal doktor-doktor kecantikan dari luar negeri untuk menemukan komposisi kosmetik yang cocok untuk kulit Asia. Dia sendiri sudah menerima gelar Doktor Kehormatan dalam bidang fashion and artistry dari World University Tuscon, Arizona, AS, pada 1984. Satu di antara 150-an produk yang dihasilkan setiap tahun dan menjadi fenomenal adalah Sariayu Putih Langsat. Produk ini booming karena menyediakan impian bagi gadis-gadis melayu yang berkulit gelap men­jadi putih—mayoritas lelaki Indonesia menyukai ini. Produk kecantikan ini dihasilkan dari buah langsat asal Kalimantan Selatan yang dapat mencerahkan kulit. Setelah dilakukan penelitian, ternyata memang mengan­ dung enzim thyrosinace yang dapat mencegah pigmen­ tasi atau penggelapan kulit. Setelah menyerahkan segala macam urusan kepada ahli warisnya, maestro kecantikan Indonesia ini men­ jalani hari tuanya dengan membagi pengalaman. Dia juga lebih tampak sering hadir dalam acara-acara amal. Dua tahun lalu, dia menerbitkan buku biografi berjudul “Dr Martha Tilaar bagi Indonesia: Perjalanan Seorang Perempuan Entrepreneur Mengubah Mimpi Menjadi Nyata”.[]

Tidak Ada Pemenang Abadi

bagian

9

Matahari

Ada Orang yang Ditakdirkan Hanya untuk Mencipta

S

eberapa besar intuisi dan keberuntungan menyer­tai Anda? Baca cerita berikut. Hari Darmawan dan Anna Janti adalah salah satu pemilik toko di Passer Baroe— sekarang disebut sebagai Pasar Baru—yang terletak di bibir Kali Ciliwung, dekat Jalan Veteran dan Jalan Juanda, Jakarta Pusat. Pasutri itu menyaksikan Passer Baroe hancur saat pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tetapi keduanya berhasil selamat, meskipun chaos sosial akibat pemberontakan G-30 S PKI 1965 tak akan pernah hilang dari ingatan mereka. Trauma yang pada saatnya nanti menyelamatkan mereka dari situasi serupa. Toko yang dibuka lima tahun sebelum pembe­ rontakan PKI itu memiliki nama yang lucu; Mickey Mouse. Hari jelas-jelas mencomotnya dari tokoh komik karya kartunis asal Chicago, Amerika Serikat, Walter Elias. Disney yang menggemparkan dunia sejak dirilis 1928. Toko Mickey Mouse yang menjual baju impor dan merek MM Fashion, buatan tangan istrinya yang pandai menjahit itu adalah hadiah pernikahan bersyarat dari mertua Hari. Hari menikahi Anna saat berusia 18 258

Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

tahun, memiliki tokonya secara mencicil seharga Rp 1 juta. Sebagaimana umumnya anak keluarga keturunan China yang pedagang, sejak kecil hingga SMA Hari sudah terbiasa naik turun truk mengangkut barang dagangan. Hari adalah anak Tan A Siong pemilik toko bahan makanan, seperti, beras, gula, ikan asin, dan hasil bumi lainnya di Jakarta. Penjualan Mickey Mouse tidak buruk, karena bajubaju MM Fashion itu memiliki konsumen tersendiri. Tapi, semenjak toko itu dibuka, hingga Hari berumur 28 tahun, dia tidak pernah bisa menghilangkan perasa­ an iri dengan toko yang terletak di sebelah Mickey Mouse. Selama satu dasawarsa tak henti-hentinya Hari memikirkan bagaimana caranya memiliki toko yang namanya lebih keren itu, De Zion. Setiap hari, Hari melirik toko itu dan tampak kesulitan menemukan cara De Zion memiliki pelanggan-pelanggan fanatik, yang rata-rata pejabat dan orang kaya. Pucuk di cinta ulam tiba. Pada 1968 datang kabar dari mulut ke mulut yang sampai ke telinga Hari. Pemilik De Zion mengalami kesulitan keuangan dan hendak menjual tokonya. Tak lama, De Zion berpindah tangan dan segera diubah namanya menjadi Toko Matahari. “De Zion artinya kan matahari,” kata Hari Hari muda adalah orang yang enerjik, ambisius, berani atau lebih tepatnya kurang perhitungan dan le­ bih memercayai intuisi. Pada toko barunya itu, dia me­ nemukan cara yang lebih baik untuk menjual barang, yaitu dengan memajang semua barang selengkap mung­ kin agar memudahkan konsumen memilih barang yang terbaik dan termurah. Orang-orang sekarang akan mengenang konsep toko itu sebagai department store pertama di Indonesia. Matahari menjual berbagai macam kebutuhan sandang dan bukan kebutuhan sembilan bahan pokok, yang disusun dalam bagian yang terpisahpisah dalam bentuk counter.

259

M. MA’RUF 260

Matahari diserbu pengunjung setiap waktu, ter­ utama akhir pekan sebagai wahana baru belanja yang nyaman nan modern bagi orang-orang kaya Jakarta. Delapan tahun kemudian, Hari mulai membuka gerai Sinar Matahari di luar Jakarta disertai pasokan produk dagangan lebih beraneka ragam, mulai dari pakaian, perhiasan, tas, sepatu, kosmetik, peralatan elektronik, mainan, alat tulis, buku, obat-obatan hingga kebutuhan sehari-hari. Sampai dengan dekade 1990-an, Matahari Department Store amat populer dan merajalela, nyaris tanpa saingan sebagai toko serbaada yang komplet. Meski begitu, ini tidak sampai menimbulkan isu perang pasar modern versus pasar tradisional—seperti kasus-kasus belakangan ini, karena sikap bersahabat Hari pada mereka yang kurang beruntung. Lebih dari 50% pemasok barang Matahari adalah produsen skala kecil dan menengah. Matahari mulai mendapat ancaman serius setelah Paulus Tumewu mengikuti jejaknya—membesarkan se­buah toko di daerah jalan Sabang, Jakarta Pusat— menjadi lebih modern; Ramayana Department Store. Pesaing-pesaing membuat Hari semakin agresif, salah satunya dengan pergi ke Australia menggandeng Leisure & Allied Industries (LAI) untuk memperkenalkan gerai bermain Timezone pada 1994. Hari mengakui, terobosan itu penting agar bisa bertahan dari serangan-serangan frontal para pemain anyar. Adanya Timezone tampak efektif merebut hati orang-orang tua yang tidak ingin sekadar berbelanja, tetapi juga menyenangkan anak. Masa-masa keemasan Matahari hadir pada awal 1990-an, seiring pembangunan pusat-pusat pertokoan, mal-mal di Jakarta dan sekitarnya secara masif. Geraigerai baru dibangun di pusat perbelanjaan menyambut kelas masyarakat berdompet tebal yang mulai bertambah banyak. Matahari yang tampak kalap mencari dana segar membiayai investasi gerai baru, mula-mula dengan

Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

melepaskan sejumlah saham di lantai bursa untuk meraup dana segar tak kurang dari Rp 400 miliar—memakai kurs sekarang pastinya tidak kurang dari Rp 1,6 triliun. Hari merasa dana itu tidak cukup, lebih-lebih untuk memenuhi ambisi pembangunan 1.000 gerai Matahari. James T. Riady, bankir muda lulusan luar negeri anak konglomerat Mochtar Riady—pemilik usaha group Lippo—mungkin orang yang tahu betul nafsu Hari un­ tuk 1.000 gerai itu. James lalu menawarkan pinjaman lunak agar mimpi-mimpi itu menjadi kenyataan. Tanpa berpikir panjang, Hari menerima kucuran pinjaman dari Bank Lippo. Entah tidak tahu atau khilaf dengan imingiming bunga murah, di saat yang sama, James sedang tergila-gila dengan Wal-Mart dan JC Penney di Amerika Serikat. Dengan dukungan modal kuat sebuah bank milik ayahnya, James berangan-angan menerjuni bisnis ritel yang gurih. Malah, ketika pinjaman itu akhirnya cair, di sejumlah mal, gerai-gerai Wal-Mart milik James memasang lokasinya secara head to head dengan gerai Matahari. Hari sudah memikirkan cara menahan seranganserangan frontal ritel milik Lippo dengan membuka Mega Matahari (Mega M). Dalam beberapa tahun, Hari tampak lebih menguasai keadaan dengan bisnisnya yang mulai beromzet dua triliun itu. Akhir 1996, Hari membuat publik tercengang sete­ lah menerima proposal pembelian oleh James melalui salah satu anak usaha Grup Lippo. Orang-orang terke­ jut, bagaimana Matahari yang sedang bersinar terang bisa dijual kepada James. Ini memicu berbagai speku­ lasi liar mengenai cara-cara Lippo menguasai bisnis ritel, setelah Wal-Mart tidak kunjung bisa menguasai keadaan. Tersiar kabar keberadaan Mega Matahari telah membuat Wal-Mart terus merugi, dan di pihak lain Hari terpaksa menerima akuisisi karena terdesak utang kepada Lippo yang nyaris mencapai Rp 1 triliun.

261

M. MA’RUF 262

Sejumlah analis malah menuding akuisisi itu adalah akal-akalan James mencaplok Matahari, dengan bahasa halus aliansi strategis karena Hari masih diberi sejumlah saham. Setelah akuisisi, Hari masih menjabat sebagai Presiden Direktur hingga 2001. Sampai sekarang tidak pernah ada kata penyesalan dari mulut Hari karena dia mengaku memiliki alasan­ nya sendiri. “Saya punya pengalaman waktu ada pem­ berontakan PKI, tahun 60-an, saya melihat kejadian itu di Pasar Baru. Saya percaya ini sinyal dari Tuhan. Kalau Matahari tidak cepat-cepat dijual, bisa mati saya,” kenangnya. Trauma Gestapo 1965 itu disebut Hari te­ lah memberinya kemampuan intuisi di atas rata-rata, membaca tanda-tanda zaman, dimulai saat peristiwa penyerbuan kantor Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro Jakarta, pada 27 Juli 1996. Peristiwa itu menurutnya adalah sinyal jatuhnya Rezim Soeharto, yang akan diakhiri kerusuhan persis seperti pengalaman

Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

buruk Toko Micky Mouse kala itu. Intuisi itu sendiri kemudian terbukti ketika Jakarta diguncang prahara pada Mei 1998. Puluhan mal, plaza, dan ribuan toko hangus terbakar dan Indonesia terjerembap krisis ekonomi paling dalam hingga beberapa tahun kemudian. Penjualan ritel anjlok tak terbilang, dan banyak konglomerat jatuh miskin, terjerat utang ke negara. Wal-Mart milik James sendiri kemudian tutup setelah peristiwa itu. Bila kesempatan baik itu adalah sebuah kesuksesan, maka dia hanya datang sekali. Sejak 1997, Hari dan keluarganya tinggal di kawasan Cisarua, Puncak, Bogor, di atas tanah yang cukup luas dan ditumbuhi pohonpohon dan bunga-bunga. Hari-harinya kini disibuk­ kan untuk membantu tetangga sekitar dan berdakwah sabda-sabda Yesus, serta meyakini kekayaan itu tidak lebih baik dan sangat mudah didapatkan dibandingkan hidup tenteram dan tenang. “Kalau dulu mencari uang hanya untuk berbelanja, main perempuan, dan hidup bermewah-mewah, tapi sekarang kita merasa malu sekali, jika hanya bisa mencari uang untuk diri sendiri tanpa melihat kehidupan sosial,” ungkap Hari.[]

263

Astra Internasional

Ada yang Lebih Bernilai daripada Angka-angka Triliunan

W

illiam Soeryadjaya menemukan cinta pertama dan terakhirnya di Bandung dengan anggota Chinese Red Cross, Lily Anwar, dan langsung jatuh hati pada pandangan pertama. Dia berpacaran sampai usia 24 tahun dan menikahi gadis Tionghoa pujaannya itu dalam masa-masa agresi Belanda, tanpa pesta. “Kami ke kantor catatan sipil naik becak dan menikah tanpa dihadiri tamu undangan. Setelah selesai nikah, kami pulang ke Jalan Merdeka naik becak lagi,” kenang William. Beberapa minggu kemudian, William berangkat ke Belanda untuk kuliah di Leder & Schoenindustrie, di mana dia menemukan cara penyamakan kulit. Lily menyusul dan melahirkan putra pertamanya, Edward Soeryadjaya di Amsterdam pada 21 Mei 1948. Mereka bertiga hidup dari berjualan kacang dan rokok paket kiriman dari Bandung. Pulang ke Indonesia tahun 1949, William mendirikan pabrik kulit, yang pengelolaannya diserahkan kepada salah satu temannya dan selang dua tahun kemudian, merintis usaha perdagangan dan ekspor-impor, namun 264

Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

merugi jutaan Deutsche Mark karena ditipu rekannya. Baru enam tahun kemudian William bisa bangkit dan bersama adiknya, Benjamin Soeryadjaya, Tjia Kian Tie dan kawannya, Lim Peng Hong mendirikan Astra International Incorporated sebagai usaha yang lebih mirip seperti toko kelontong. Mula-mula memasarkan minuman ringan, merk Prem Club, dan kembali berke­ cimpung dengan mengekspor hasil bumi, dan mema­sok konstruksi baja untuk proyek Jatiluhur. Selama sepuluh tahun pertama, Astra bertahan sebagai perusahaan limun, dan berdagang hasil bumi. Karakter William yang progresif dan Benjamin yang konservatif berperan sebagai rem di perusahaan mem­buat Astra dapat berjalan seimbang. Bisnis me­ laju kencang dan kesemapatan emas datang setelah Soeharto melengserkan Soekarno dan diangkat menjadi pejabat presiden pada 1968. Gebrakan pembangunan infrastruktur Orde Baru membuat kebutuhan alat ang­ kutan meningkat. Pemerintah membutuhkan ratusan traktor dan ribuan mobil truk untuk mengangkut mate­ rial bahan bangunan jembatan dan jalan. Sebuah kesalahan pencatatan kredit ekspor mence­ burkan Astra pada bisnis automotif. Setahun sebelum Soekarno lengser, tepatnya 1967, Astra mendapat tender pengadaan generator listrik buatan General Motors pada Perusahaan Listrik Negara. Entah mengapa terjadi kesalahan pencatatan, sehingga proyek genset itu justru jatuh kepada Garuda Diesel. Astra, yang terlanjur membayar kepada General Motors, meminta ganti 800 truk Chevrolet. “Waktu itu kami mendapatkan ke­ untungan dan bunga sekitar USD 400.000. Truk sangat dibutuhkan waktu itu, sehingga larisnya seperti pisang goreng,” kata William. William tampak ketagihan pada bisnis ini dan awal­nya pontang-panting mencari lisensi agen penjual mobil impor. Dia gagal mendapatkan izin dari General

265

M. MA’RUF 266

Motors untuk mendatangkan mobil Chevrolet, begitu pula Nissan dari Jepang yang tidak mau menanggapi proposal penawaran, karena Astra tidak memiliki latar belakang berjualan mobil. Kesuksesan Astra mulai tampak setelah keluar per­ aturan impor mobil yang memakai sistem agen tung­ gal pemegang merek (ATPM) agar secara bertahap pem­belian langsung secara lengkap atau built up bisa dikurangi dengan perakitan lokal. William mengambil peluang ini melalui pembelian pabrik bekas perakitan Gaya Motor milik General Motors yang dinasionalisasi setelah perang kemerdekaan. Rekomendasi pemerin­ tah kemudian membuat Astra bisa mendapat izin agen penjual mobil-mobil Toyota Motor Company. Dari sini, barulah Astra mampu mendapat kontrak ATPM untuk merek mobil lain, termasuk PT Federal Motor yang sudah mendirikan pabrik perakitan pada 1971. Sejak itu, Astra menjadi rekanan pemerintah untuk berba­ gai kebutuhan alat berat merek Komatsu asal Jepang, Forklifts dan Timberjack dan alat teknik pendingin seperti Westinghouse. Astra kemudian menjadi ATPM untuk mobil Toyota dan Daihatsu, dan sepeda motor Honda, serta mesin kopi Xerox. Menurut William, inilah tulang punggung Astra. William mengumpamakan Astra sebagai pohon beringin yang mampu menaungi segala macam bisnisnya—seperti lambang Partai Golkar. Pembicara Publik A.M. Lilik Agung menyebut ada tiga karakter moral pemim­pin yang dimiliki William sehingga bisa membesarkan Astra. Pertama, ethos yaitu sumber kekuatan untuk dapat memunculkan suatu keyakinan. Kedua, pathos, merupakan kemampuan untuk menyentuh perasaan dan menggerakkan emosi para pengikutnya. Ketiga, logos, yakni kemampuan untuk bisa memberikan landasan rasional bagi suatu tindakan ataupun pengambilan ke­putusan. Dalam

Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

bahasa psikologi, ethos memerlukan kecerdasan spiritual, pathos bersinggungan dengan kecerdasan emosional, dan logos berdasar kecerdasan intelektual. Namun, bagi William, Astra adalah berkah dari Tuhan, sehingga dalam manajemen benar-benar memerhatikan kesejahteraan karyawan. Jatuh, tumbuh dan bangun menyertai perjalanan Astra, terutama saat pecah kerusuhan Januari 1974 (Pe­ ristiwa Malari). Salah satu gedung Astra Motor di Jalan Sudirman dibakar massa karena mobil Toyota dianggap sebagai antek Jepang. Keresahan sosial karena jurang kasta ekonomi yang makin lebar adalah pemicu peristiwa itu. Kejadian genting itu cukup membekas pada hati William sehingga menggerakkan nurani bisnisnya untuk mencari ladang usaha baru yang bisa merangkul orangorang kecil. Setidaknya, untuk mengimbangi bisnis mobil yang masih dijadikan simbol antek neoliberal waktu itu. Tanpa persetujuan direksi Astra, konon me­makai uang pribadi, William mendirikan Multi Agro pada Juli 1973 yang bergerak di bidang perkebunan. Dia mengenalkan sistem Perkebunan Inti Rakyat (PIR) untuk mengelola jutaan hektare perkebunan karet. Gagasan itu mengubah wajah William sebagai konglomerat yang lebih peduli dengan rakyat, di samping menikmati gurihnya booming harga komoditas pada rentang waktu 1973-1987 yang melecut keuntungan Astra menjadi berlipat-lipat. Pada 1987, ekspor karet Astra ke Amerika serikat, antara lain memasok pabrik ban Goodyear, ikut mengumpulkan devisa USD 97 juta. Astra dengan bisnis automotif dan komoditas benar-benar menjadi bintang lapangan yang patut mengundang iri. Tidak ada kawan abadi dalam politik, begitu pula dalam berbisnis. Orang-orang akan bersikap manis ke­ tika kita sedang berjaya, tetapi di balik topeng wajah ramah itu selalu saja ada nafsu, iri dengki, keserakahan dan kekejaman. Setiap bantuan ada kalkulasi untung

267

M. MA’RUF 268

dan rugi, disertai niat-niat menguasai. Suatu malam di pengujung 1992, William mengalami itu ketika disodori secarik surat bantuan pinjaman triliunan rupiah yang disampaikan utusan dari empat konglomerat koleganya. Surat itu bisa menyelamatkan anak emasnya dari jeruji besi, tetapi dengan syarat ditukar dengan kepemilikan kapal induk bisnisnya, Astra International, yang telah beranak-pinak ratusan perusahaan. Itu adalah pilihan simalakama. Mendung meng­ gelayuti hari-hari taipan itu, karena Bank Summa harus segera disuntik modal baru, atau anak kesayangan­ nya akan dipenjara. Sementara jalan alternatif melalui Menteri Sumitro Djojohadikusumo mencari investor di Jepang, yang mau membeli saham Astra tanpa menggusur kepemilikan tidak kunjung menuai hasil. Sang maestro bisnis automotif dan pedagang komoditas William du­ duk dikelilingi para direktur Astra International untuk memutuskan sebuah keputusan yang amat pahit, pada masa-masa kelangkaan uang. Dalam sekejap Astra ber­ pindah dalam genggaman konglomerat yang disebutsebut waktu itu sebagai The Big Five: Putra Sampoerna, Bob Hasan, Prajogo Pangestu, dan Sudono Salim. “Teman-teman yang saya kira mau menolong ternyata iktikadnya sejelek itu .... Yang diincar sebenarnya Astra,” kenang William. Caranya adalah dengan terlebih dahulu melumpuhkan Bank Summa, milik anak kesayangannya, Edward Soeryadjaya. Kemalangan datang bertubi-tubi menimpa William, karena bank itu pun akhirnya tidak bisa diselamat­kan. Setelah menggambil alih kepemilikan dari Edward, ke­ sehatan Bank Summa yang terlilit kredit macet Rp 1,7 triliun terus memburuk. Berita-berita buruk di korankoran mengundang ribuan nasabah berbondongbondong menarik dananya, membuat ratusan miliar suntikan modal dari penjualan Astra seperti menggarami air laut. Klimaksnya, Bank Indonesia (BI) yang ketakutan

Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

akan terjadi krisis, melikuidasi bank itu pada Desember 1992. Nasabah-nasabah yang kecewa berdemo, mendu­ duki rumah mewah William dengan keranda mayat. Sementara media mencaci-maki keluarga itu sebagai koruptor. Hubungan keluarga taipan itu retak. Majalah Tempo merekam ketegangan di keluarga William masih terasa panas 10 tahun setelah kejatuhan dramatis itu berlangsung. Sorot kemarahan adiknya (adik Edward) masih menyala ketika membahas soal sebabmusabab kejatuhan Astra pada buku biografi William yang ditulis Ramadhan KH. Adik-adik Edward masih tidak sepaham mengenai bagaimana kisah kejatuhan Astra itu diceritakan kepada orang-orang, masingmasing berupaya mendesakkan pendapat ihwal detikdetik keputusan itu diambil. Buku biografi itu sendiri akhirnya diterbitkan setelah tiga tahun sengketa 20 lembar halaman mengenai topik itu diedit berulangulang. Kemarahan itu sulit pudar karena kejatuhan Astra dituding akibat tindakan sembrono Edward saat awal-awal merasakan euforia menjadi bankir—bisnis yang sejak awal dijauhi oleh William. Edward yang dikuliahkan di Jerman diberi modal untuk mencari ladang usahanya sendiri. Pada 1984, dia membeli Summa Handelsbank Ag, Dusseldorf, Jerman Barat. Konon, putra sulungnya itu dikucuri USD 25 juta untuk mendirikan Summa Internasional Bank Ltd. pada 1979 di Port Vila, Vanuatu, dan dengan cepat berekspan­ si ke Hong Kong dan Jerman. Edward yang mewarisi sifat agresif bapaknya adalah pria cekatan yang suka me­ makai dana-dana kilat untuk cepat menggelembungkan aset Bank Summa. Ini ditunjang Paket Oktober 88— kebijakan pemerintah mempermudah membuat bank— yang hanya menyaratkan modal Rp 10 miliar untuk memiliki sebuah bank. Sebagai bankir, Edward kurang pengalaman, dan cukup ceroboh di samping dikenal

269

M. MA’RUF 270

royal memberikan pinjaman modal untuk teman-teman dekat. Banknya karam setelah mendekati 1990-an BI menerapkan kebijakan uang ketat. Alih-alih bangkrut, pilihan William menyelamatkan Edward waktu itu, sekarang telah menjadi legenda teladan sikap kesatria bagaimana seharusnya konglo­ merat bertanggung jawab bila dirundung masalah. Terlebih rakyat jelata bangsa ini sangat muak setelah kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pasca krisis 1998, mempertontonkan sikap pengecut banyak konglomerat yang terjerat utang, seperti pura-pura sakit atau lari tunggang langgang ke Singapura dan Hong Kong. William mengakui keputusan itu adalah bisikan nurani, sebagaimana seorang ayah melihat anaknya menderita—tetapi kemudian dimanfaatkan oleh orang lain. Bagaimana William mau memasang badan atas kebangkrutan Edward itu tampaknya terbentuk oleh penderitaan sejak di usia dini. William yang lahir di Kabupaten Majalengka Provinsi Jawa Barat pada 20 Desember 1922 adalah anak yang tekun dan mandiri. Dia pernah tidak naik sekolah dua kali, tetapi akhir­ nya bisa menamatkan sekolah Meer Ultgebreid Lager Onderwijs (MULO), atau setingkat SMP. Di sekolah, bakat dagang ditunjukkannya lewat kesukaan meng­ ikuti dengan khidmat jam-jam pelajaran ekonomi dan tata buku. Kegetiran hidup dimulai saat menjadi yatim piatu hanya berselang dalam tempo dua bulan, ketika ayahnya meninggal pada Oktober 1934 dan disusul ibunya. William yang masih berumur 12 tahun harus menjadi kepala keluarga dan melakukan apa saja untuk hidup. Mula-mula adalah kecerdikannya membaca peluang saat kelangkaan kertas terjadi di Cirebon, Jawa Barat. “Saya mencarinya di daerah Bandung, dan saya mengangkut kertas itu ke Cirebon dengan truk,” kata dia. Bisnis itu berjalan beberapa bulan, dan warisan

Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

orangtua itu kemudian dipakai untuk memasok benang untuk pabrik tenun di Majalaya, lalu beralih ke hasil bumi, seperti minyak, kacang, beras, dan gula. Sepeninggalan William, Astra tumbuh semakin pesat dengan masuknya orang-orang hebat seperti Juwono Sudarsono, Sri Mulyani Indrawati, Rini MS Soewandi, dalam dewan komisaris. Tetapi sampai beberapa tahun setelah kehilangan, hubungan William dengan dan Astra terus memburuk. Seperti sebuah karma, Astra tumbang oleh krisis moneter 1997. Adalah cerita heroik srikandi Rini Soewandi menyelamatkan kapal besar ini dari ba­ dai kerugian hingga Rp 7,36 trilliun, yang membuat har­ ga saham Astra jatuh ke titik paling rendah sepanjang sejarah. Rini memotong gaji para eksekutif, menutup dealer yang tidak laku dan merumahkan 20.000 karya­ wan. Dalam setahun, posisi rugi Astra menjadi untung Rp 800 miliar, dan mampu memperpanjang pembayaran utang perusahaan yang mencapai USD 1 miliar. Fondasi manajemen yang ditanam William ketika masih menguasai kini membuat tata kelola Astra men­ jadi yang terbaik. Hampir semua kajian manajemen di Indonesia memakai Astra sebagai rujukan, seperti soal kualitas, dan pelayanan yang perlu dilakukan untuk meningkatkan performa perusahaan. Tahun lalu misalnya, Astra meraup laba bersih sebesar Rp 9,1 triliun, dan membagi-bagikan Rp 3,5 triliun kepada peme­gang sahamnya. Charlotte Butler pernah melakukan peneliti­an selama 10 tahun tentang Astra, dan dibukukan dengan judul Dare to Do: The Story of William Soeryadjaya and PT Astra International. Dia adalah peneliti Euro-Asia Centre, sebuah sekolah manajemen bisnis yang terdapat di Prancis dan Singapura. Penelitian ini, khusus meneliti bagaimana gaya manajemen yang dilakukan William membesarkan Astra, dan dijadikan referensi. Seperti akhir film-film Holywood, William is back. Ke­hilangan Astra rupanya tidak mengikis habis keka­

271

M. MA’RUF

yaannya. Keluarga ini mencuat kembali di panggung konglomerasi mulai tahun 2000, setelah menggusur ke­ pemilikan Bambang Trihatmodjo dan Johannes Kotjo pada Van Der Horst Indonesia. Dia mengumpulkan kembali satu per satu asetnya yang masih tercecer pada anak-anak usaha Astra. Setelah dibeli, nama Van Der Host diubah kembali menjadi Siwani Makmur, William masih memberikan Edward jabatan sebagai direktur utama sementara dirinya mengawasi dari bilik komisaris utama. Terakhir, Siwani berencana mengakuisisi Bank IFI, milik Bambang Rachmadi namun gagal karena akhirnya dilikuidasi. Dana-dana pembelian adalah sisa-sisa kepemilik­ an pada anak usaha Astra yang tak tersentuh dalam peristiwa akuisisi itu. Beberapa sumber menyebut aset William rupanya mencapai 300 lebih perusahaan dengan omzet hampir mencapai Rp 7 triliun. “Saya pertaruh­kan nama bersih saya, nama bersih orang-orang kepercayaan saya, untuk merealisasikan impian saya mulai dari bawah lagi,” kata William. Sekarang, aset-aset itu telah dibagikan secara lebih merata kepada anak-anaknya. Putri bungsunya, Judith, bekerja sama dengan Singapore Airlines berbisnis hotel berbintang dan memulai sektor properti sejak 1995. Sementara Edwin, adik Edward yang pernah membuka gerai makanan di Lantai II Gedung Bursa Efek Jakarta pada 1995, mendapatkan Van der Horst Ltd. (Singapura) yang kemudian diubah menjadi Interra Resources Ltd.[]

272

MQ Corp

Sebuah Bisnis Berbasis Figur itu Seperti Mode

B

agaimana agama dan bisnis adalah unsur yang saling melengkapi dijelaskan orang ini. Yan Gymnastiar lahir di Bandung pada 29 Januari 1962 dari pasangan Letkol H. Engkus Kuswara dan Hj. Yeti Rohayati—Yan diambil dari kata Januari dan Gymnastiar dari kata gymnastic (senam), olahraga yang sangat disukai Engkus Kuswara. Meski tidak memiliki riwayat pendidikan agama secara khusus, pada umurnya di kepala tiga, nama pria berwajah teduh dan murah senyum ini amat populer sebagai da’i di awal 1990-an. Popularitas da’i muda yang kemudian terkenal dengan nama KH. Abdullah Gymnastiar atau sering disingkat Aa Gym disebutsebut menyamai Buya Hamka pada 1970-an dan setara dengan “Da’i Sejuta Umat”, Zainudin MZ, era 1980an. Aa Gym menggeser popularitas Zainudin seiring keterlibatan da’i itu dengan dunia politik, selain karena bahasa dakwah orang sunda ini yang menyentuh kalbu. Saking populernya, aktivis islam liberal, Ulil AbsharAbdalla menemukan julukan bernada sinis; “Britney Spears dalam Islam”. 273

M. MA’RUF 274

Aa Gym mulai tampil berdakwah di layar televisi nasional dalam program Hikmah Fajar di RCTI sekitar tahun 2000. Tahun berikutnya, rumah produksi MQ Corp membuat program mandiri ber­judul “Manajemen Qolbu”. Magnet pemirsa yang luar biasa membuat para pemilik televisi seperti antre meminta waktu untuk menyiarkan ceramah-ceramah yang menyejukkan se­ mua pihak—SCTV tampak paling sering—lepas dari pendengarnya muslim, dan non-muslim. Aa Gym mem­ bawa angin segar dalam syiar islam yang lebih santun dan bersahabat. Pada tabligh akbar yang diikuti lebih 10.000 jemaah—termasuk warga Kristiani—di Masjid Agung Darussalam Palu, saat kerusuhan antara agama terjadi, Aa Gym mungkin satu-satunya da’i Islam yang mampu menyejukkan suasana daerah timur Indonesia yang sedang tercabik-cabik kerusuhan antar etnis. Pandangan toleran dan bersahabat ini membuat Aa Gym tampil di sejumlah acara televisi di Amerika Serikat. Orang-orang barat terheran-heran Aa Gym bisa menghadirkan sebuah nuansa Islam yang sejuk dan damai, dalam situasi yang carut-marut di Maluku. Bagi dunia, dan Indonesia khususnya, Aa Gym membawa obat jiwa bagi banyak orang yang sedang merasakan dahaga spiritual. Sudah tidak terhitung lagi berapa kali media lokal mengangkat profil da’i muda ini, dari semua sisi kehidupannya. Koran New York Times dan majalah Time—menghabiskan empat halaman, dengan tulisan berjudul “Holy Man”, edisi November 2002— khusus menyajikan profil Aa Gym, dan pandanganpandangannya. Dalam berbagai kesempatan, Aa Gym mengaku guru agama pertamanya adalah adik kandungnya, Agung Gunmartin. Adiknya itu cacat sejak lahir dengan tubuh yang lumpuh, mata juling, dan kurang pen­ dengaran. Namun, Agung tetap meminta kakaknya itu menggendongnya untuk menghadiri kuliah dan shalat

Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

berjamaah di masjid. “Sampai akhirnya dia meninggal di pangkuan saya, “ kata Aa Gym. Kebersamaan dengan adiknya memercikkan getar-getar spiritual di sanubari Aa Gym. Dia terkenang oleh wajah adiknya yang selalu dihiasi senyum dan tak pernah mengeluh. Sikap gigih, tegar dan tidak kenal menyerah, serta nasihat-nasihat sang adik membekas padanya. Sejumlah peristiwa spiritual datang silih berganti seperti mendorongnya mendekat kepada Tuhan. Dia pernah bermimpi salat berjamaah bersama Rasulullah Saw. dan empat khalifah, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. “Saya ber­ diri di samping Sayidina Ali, sementara Rasulullah bertindak sebagai imam,” ungkap dia. Pada mimpi yang lain, Aa Gym merasa didatangi seorang tua berjubah putih bersih, yang mencuci mukanya dengan ekor bulu merak bersaput madu. Dalam pelbagai kitab kuning, mimpi bertemu dengan Nabi sendiri adalah sebuah keistimewaan, karena dalam sebuah hadis disebutkan, ini berarti sama dengan bertemu secara nyata dengan beliau. Orang-orang pemimpi itu, kelak akan menjadi orang yang mulia. Ini mendorong Aa Gym mulai men­ cari guru untuk menemukan jawaban-jawaban atas teka-teki itu. Dia berguru kepada Ajengan Junaedi di Garut, Jawa Barat. Hanya dalam tempo tiga hari, sang ajengan me­ nyatakan anak muda ini telah dikaruniai ilmu laduni— ilmu yang langsung diperoleh dari Allah yang membuat seseorang mampu memahami sesuatu tanpa melalui proses belajar. Aa Gym yang masih belum begitu yakin kemudian mengikuti nasihat Ajengan untuk berguru ke­pada KH. Choer Affandi, ulama karismatik pemim­ pin Pondok Pesantren Miftahul Huda, Manonjaya, Tasikmalaya. Kesimpulannya sama, anak muda ini telah dikarunia ma’rifatullah, suatu ilmu yang tidak bisa di­ turunkan kepada sembarang orang. “Berkat ilmu itu,

275

M. MA’RUF 276

saya bisa tiba-tiba tanpa sengaja mengetahui hal-hal baru saat berceramah,” kata Aa Gym. Dakwah itu diawali dari diri sendiri. Aa Gym menikahi Ninih Muthmainnah, cucu KH. Mohamad Tasdiqin, pengasuh Pondok Pesantren Kalangsari, Cijulang, Ciamis Selatan, Jawa Barat, pada 1987. Pesta pernikahan digelar dengan jamuan ala kadar, kabarnya untuk menghemat, dipakai nampan lebar berisi penganan untuk setiap delapan orang tamu. Aa Gym memboyong istrinya tinggal bersama orangtuanya di Kompleks Perumahan Angkatan Darat (KPAD) Gegerkalong, Bandung. Pernikahan ini menjadi titik balik bagi kehi­ dupan da’i muda itu. Aa Gym yang sejak kuliah lebih dikenal sebagai pedagang daripada mahasiswa mulamula bekerja serabutan. Dia berjualan buku-buku agama di Masjid Al-Furqon, menjual kerajinan tangan buah tangan murid-muridnya di madrasah KPAD, dan bermitra dengan pamannya menjual bakso di Pe­ rumnas Sarijadi. Aa Gym juga merangkul anak-anak muda dengan organisasi Keluarga Mahasiswa Islam Wiraswasta (KMIW). Organisasi yang diisi para rekan kuliahnya ini membuat dan menjajakan stiker, kaos oblong, gantungan kunci, dan alat tulis-menulis yang dibubuhi slogan-slogan religius. Usaha-usaha itu terus berkembang dan mampu menopang biaya dakwah Aa Gym yang semakin sibuk dengan sejumlah undangan ceramah. Dia mendirikan Yayasan Pondok Pesantren Daarut Tauhiid (DT) pada 1990, terinspirasi oleh organisasi dakwah Al-Arqam di Malaysia, yang berhasil secara mandiri memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ini tampaknya cocok dengan gaya dakwahnya yang tidak menggantungkan hidup dari tarif ceramah. “Saya ingin mendobrak pandangan bahwa bisnis itu urusan duniawi,” kata Aa Gym. Lokasi pondok kemudian bergeser ke sebuah ru­ mah indekos di Jalan Gegerkalong Girang 67, sebuah

Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

kawasan “bronx” di bagian utara kota Bandung. Aa Gym kemudian membeli rumah indekos yang memiliki 20 kamar tersebut seharga Rp 100 juta, dari hasil bisnis. Yang unik—mungkin karena bisnis adalah dak­ wah—Aa Gym menjadikan bisnisnya itu sebagai tela­ dan bagi para santrinya, tidak pernah memonopoli, dan justru mendorong para santrinya memiliki bisnis sendiri. Pada September 1994, sekitar 50 santrinya bermu­ fakat mendirikan koperasi pesantren dengan modal Rp 500.000. Sebuah ruang kecil di bawah Masjid Daarut Tauhiid dipakai memajang kebutuhan seharihari para santri. Dua tahun kemudian, warung kecil itu disulap menjadi sebuah minimarket setelah pondok itu mendapatkan bantuan lunak dari perusahaan otomotif PT Astra Internasional Tbk. Koperasi itu berkembang dengan sistem konsinyasi yang menggelembungkan omzetnya hingga Rp 350 juta per bulan. Bisnis koperasi santri ini meluas ke sektor keuangan seperti baitul maal wa-tamsil (BMT), kafetaria, cottage, hingga lembaga pelatihan ekonomi syariah. Omzetnya mencapai ratusan miliar per tahun. Sukses-sukses koperasi santri itu kemudian melecut pihak yayasan mendirikan usaha sendiri radio umat, Lembaga Pelatihan Manajemen Qalbu, dan Pesantren Daarut Tauhiid. Bisnis menggiurkan yayasan salah satu­nya adalah paket-paket pelatihan motivasi dan spiritual yang laris manis oleh peserta dari perusahaanperusahaan. Omzet lembaga pelatihan ini mencapai Rp 800 juta per bulan. Agama membuat aroma persaingan ala kapitalis benar-benar tidak tercium pada bisnis komunal ini. Bisnis koperasi dan yayasan ini unik karena meski dalam satu wilayah, tidak saling memakan satu sama lain. Sebagaimana konsepnya, unit usaha yayasan dan koperasi pesantren ini tidak murni mencari

277

M. MA’RUF 278

keuntungan, melainkan menopang kesejahteraan penghuni pondok pesantren. Keuntungan dibagi secara merata kepada anggota-anggotanya. Termasuk pemimpin pondok, Aa Gym, yang menyandang status pelindung untuk yayasan. Sebagai entitas bisnis, Manajemen Qalbu (MQ) Corporation justru terlahir sebagai bungsu pada akhir 2000. Perusahaan ini sepenuhnya dimiliki oleh Aa Gym dan dikelola oleh orang-orang terdekat, seperti Dudung Abdul Ghany, Iwan Supriadi, Feri Susanto, Rozak dan adik kandung Aa Gym, Abdurrahman Yuri. Lain dari keduanya, perusahaan ini murni berorienta­ si keuntungan. “Saya ingin berkhidmat kepada umat tanpa jadi beban mereka,” katanya. Awalnya, MQ Corp adalah sebuah usaha pribadi Aa Gym yang mempro­duk­si karya-karyanya berlabel Mutiara Qalbun Saliim (MQS) pada Juli 2000. Seiring ketenaran sang da’i, banyak permintaan akan semua hal berbau Aa Gym mulai dari buku, rekaman ceramah dalam berbagai bentuk, kaset dan cakram video (VCD). Konsumen mereka adalah ribuan santri-santri musiman yang kerap datang untuk sesi-sesi pesantren kilat, dan para aktivis muslim di pelbagai perguruan tinggi. Hanya dalam tempo satu setengah tahun, unit bisnis MQ Corp berkembang pesat hingga memiliki 19 unit usaha. Mulai dari distribusi kaset dan buku, televisi dan radio, travel, penerbitan buku, cafe, hingga rumah produksi. Pada 2001, pendapatan MQ Corp mencapai Rp 27 miliar dengan laba bersih Rp 3 miliar. Meski memiliki 100% saham dan menjabat presiden direktur, Aa Gym menyerahkan urusan operasional kepada orang-orang dekatnya. Dia hanya mengontrol operasional perusahaan sebulan sekali dan menggelar rapat-rapat rutin, yang tampak seperti pemaparan petunjuk-petunjuk pokok saja. Operasional dilakukan sepenuhnya oleh orang-orang seperti Dudung (Direktur

Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

MQ TV), Iwan (Direktur Pengelola MQ FM), Rozak (Manajer MQ Cafe) dan Fery (Direktur MQS). Unit-unit bisnis MQ Corp itu melesat seperti roket yang meluncur ke angkasa. Mendompleng sayap-sayap popularitas Aa Gym yang tidak lagi sekadar pen­ ceramah agama semata, melainkan sudah pada level idola sempurna bagi semua lapisan masyarakat. Topik ceramahnya membumi, ringan, sederhana, bernas, di­ selingi humor segar dan disampaikan dengan cara yang lembut. Di luar itu, Aa Gym tetaplah manusia kaya raya yang memiliki banyak sisi unik, seperti hobinya meng­ ikuti pelajaran menjadi pilot dengan memasang pemu­ tar DVD seharga USD 2.000 pada salah satu mobilnya, sehingga dapat menonton pelajaran-pelajaran terbang­ nya. Dia juga tidak risih media memasang fotonya dengan gaya pembalap mengendarai motor besar Kawasaki Eliminator hitamnya. Termasuk aktivitas kesenangan menyelam, menembak, terjun payung, menyanyi lagu country, dan berkuda. Benar-benar sosok muslim yang komplet, beriman, berilmu dan tentu saja, kaya raya. Tetapi, kalender kesibukan Aa Gym seperti ber­­ gan­ti tinta merah seketika, saat isu pernikahan kedua­ nya benar-benar terbukti. Pada Desember 2006, Aa Gym meng­gelar jumpa pers di kantor MQ Corp meng­ umum­kan bahwa dia berpoligami dengan mantan model, Alfarini Eridani, janda beranak tiga sebagai istri keduanya. Dia meminta maaf untuk itu dan tidak menganjurkan para lelaki mengikuti jejaknya. Ini seper­ ti petir di siang bolong setelah beberapa pekan isu itu meresahkan para pengidola, ibu-ibu dan remaja putri— Presiden sampai angkat bicara soal ini. Sehari setelah jumpa pers itu, para pemirsa yang kecewa menyebarkan pesan singkat (SMS) berisi kutipan dakwah Aa Gym yang tidak menganjurkan poligami. Aa Gym tidak me­ nyangka, perbuatannya itu begitu menyakiti hati kaum hawa yang kini berbalik menghujat, sampai-sampai dengan kata-kata kasar dan jorok.

279

M. MA’RUF

Poligami ini menjadikan kerajaan bisnis MQ Corp seperti rumah kartu, ambruk dalam sekali tiupan angin. Para pengunjung pondok pesantren Daarut Tauhiid te­ rus tergerus dari waktu-ke waktu, hingga menyisakan 30% saja dari angka normal. Produk dan jasa yang ber­ singgungan dengan banyak lapisan masyarakat seperti terkena boikot massal. Bisnis air dalam kemasan berme­ rek MQ Jernih nyaris bangkrut, setelah serangkaian pembatalan order. Terukur pula dari jumlah infaq dan shadaqah yang turun drastis. Yang terjadi kemudian adalah menghilangnya Aa Gym dari publik, berganti dengan berita-berita pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan. Walaupun, sampai sekarang manajemen selalu membantah, dan lebih menunjuk kelemahan ma­ najemen internal sebagai biang keladi kemunduran ini. Dalam kemunculan pertamanya sejak menghilang dari publik, di acara talk show Aa Gym mengakui sejumlah unit bisnisnya yang menuai masalah adalah yang masih mengandalkan figuritas. Sementara, dirinya merasa, se­ karang lebih bisa menikmati hidup.[]

280

Bakrie & Brothers

Dari Krisis ke Krisis; Bisnis adalah Komidi Putar Kawan

K

isah tumbuh, berkembang, jatuh, bangkit, lalu menguasai dalam sebuah perjalanan usaha adalah siklus klise. Namun, ketika roda takdir itu adalah milik konglomerasi tiga generasi yang bergerak seperti roller coaster, akan menjadi cerita menarik untuk disimak. Inilah lika-liku laki-laki yang terjerembap oleh triliunan utang tetapi selalu mampu bangkit lagi; Bakrie Bersaudara. Salah satu anak perusahaannya, Bumi Resources, di bursa saham memiliki julukan saham sejuta umat—gelar plesetan yang pernah disematkan pada da’i kondang KH. Zaenuddin MZ. Hampir semua manajer investasi, masyarakat biasa, hingga pejabat negara senang mengoleksi sahamnya, karena setiap saham Bumi bergerak, grafik indeks harga saham gabungan (IHSG) selalu bergeser hebat. Lahir pada 1916, Achmad Bakrie menumpuk ke­ kayaannya dari berjualan kopi pada 1936. Masa rema­ janya dihabiskan untuk mengumpulkan karet, lada, kopi, dan hasil bumi yang banyak dijumpai di tanah kelahirannya Kalianda, Provinsi Lampung. Sebuah dae­ rah berjulukan Bumi Rua Jurai, terletak di ujung Pulau 281

M. MA’RUF 282

Sumatera, yang memiliki hamparan lahan pertanian kering di sela-sela bukit-bukit menjulang tinggi. Setelah tamat dari Hollandsche Inlandsche School (HIS), Atuk— panggilan akrabnya—langsung bekerja sebagai penjaja keliling di NV Van Gorkom, sebuah perusahaan dagang Belanda. Meski hanya dua tahun di sana, dia dengan cepat menyerap ilmu orang-orang modern itu dan mampu menjual barang-barang pertanian jauh lebih mahal pada orang yang membutuhkan. Dia mengundurkan diri setelah mengetahui jalur-jalur sutra bagi komoditas dan mendirikan Bakrie & Brothers General Merchant and Commission Agent di Teluk Betung, Lampung. Semasa pendudukan Jepang, Bakrie memindahkan usahanya ke Jakarta dan memulai ekspansi merintis ekspor karet, lada, dan kopi ke Singapura yang kemudi­ an memberinya gelar pionir untuk eksportir komodi­ tas. Usaha ini dengan cepat memupuk modal lantaran Bakrie tampak mewarisi bisnis VOC yang ratusan ta­ hun memonopoli perdagangan hasil bumi nusantara. Miliaran uang terkumpul sedemikian cepat mendorong ekspansi usaha secara masif seperti pembelian sebuah pabrik kawat yang disulap menjadi pabrik pipa baja, pabrik cor logam, dan pabrik karet remah. Dari sini bisnisnya meluas hingga proyek-proyek infrastruktur. Namun, komoditas yang kembali booming seiring lon­ jakan harga minyak dunia membuatnya kembali ber­pa­ ling ke agribisnis dan tambang. Pada 1986, Bakrie de­ ngan bangga membeli Uniroyal Sumatera Plantations— perusahaan perkebunan milik imperialis Amerika Serikat, Uniroyal Inc. lalu mengubahnya menjadi Bakrie Sumatera Plantations. Bakrie meninggal pada 15 Februari 1988 di Tokyo dan mewariskan usahanya kepada empat anaknya, Aburizal Bakrie, Roosmania Kusmulyono, Nirwan D. Bakrie, dan Indra Usmansyah Bakrie. Istrinya, Roosniah Bakrie, adalah wanita berdarah Batak dengan marga

Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

Nasution. Ketika Bakrie meninggal, usahanya sudah meng­gurita, mulai dari agribisnis, pertambangan, indus­ tri baja, hingga konstruksi. Usaha keluarga itu kemu­ dian dikelola si sulung, Aburizal Bakrie—sebagaimana ke­biasaan adat Lampung. Lahir di Jakarta, November 1946, Aburizal sebenarnya adalah insinyur lulusan Teknik Elektro, Institut Teknologi Bandung, yang diwisuda pada 1973. Ical—panggilannya—tampak lebih agresif diban­ ding­kan ayahnya. Mulai 1989, dia memasuki bisnis perbankan, telekomunikasi dan lima tahun kemudian mendirikan stasiun televisi Andalas Televisi (ANTV). Tapi, generasi kedua memiliki cara berbeda membesar­ kan bisnis keluarga ini. Ical, orang yang jarang berbasabasi ini membesarkan usahanya dengan utang. Dia berani membayar mahal manajer seperti Tanri Abeng yang dibajak satu miliar dari Multi Bintang Indonesia— produsen bir Bintang. Bekas Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu bercerita, bagaimana Ical sangat pintar dan berani bermain dengan uang orang. “Jadi, kalau dia awalnya punya aset 100, dijadikan jaminan untuk meminjam 400. Tapi, hasil dari 400 itu untungnya sangat besar. Itu yang digunakan untuk membayar,” ujar Tanri. Tak lebih dari sepuluh tahun Ical berjaya. Tetapi, hanya dalam semalam, krisis ekonomi yang menghantam pada 1997 menempatkannya sebagai salah satu pesakitan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Kurs rupiah menggelembung, utang-utang perusahaan dalam bentuk dolar membengkak hingga Rp 9,7 triliun. Sejum­ lah perusahaan di sektor perbankan, asuransi, tambang, dan properti satu per satu tumbang untuk melunasi utang Bank Nusa Nasional yang menikmati dana ta­ langan dari pemerintah sebesar Rp 3,6 triliun—bank itu kemudian dilikuidasi dengan sisa utang Rp 3 triliun. Saham-saham Bakrie Sumatera Plantations, Bakrie

283

M. MA’RUF 284

Electronics Company, Bakrie Kasei Corp, Arutmin Indonesia, dan Iridium LLC tergadai. Saham-saham keluarga Bakrie & Brothers susut tinggal 2,5%. Harihari itu, Ical tampak kesulitan mencari kata dan waktu yang paling tepat untuk mengatakan kepada ibundanya bah­ wa warisan itu di tubir jurang kebangkrutan. “Kalau kepada sauda­ ra saya gampang men­ jelaskan. Namun, ke­ pada ibu, itu cukup sulit. Bayangkan, barang yang semula begitu besar tiba-tiba habis,” kenang Ical. Kebangkrutan Bakrie Group membuat negara ikut pusing. Serangkaian lobi-lobi tingkat tinggi nan melelahkan melibatkan Menteri Keuangan Marie Muhammad dilaksanakan di Amerika Serikat. Pada akhirnya, mau tidak mau, Bakrie kehilangan warisan karena penyelesaiannya adalah menukar utang menjadi saham, di mana pemberi utang sepakat membentuk sebuah perusahaan khusus atau master special purpose vehicle (MSPV) yang mengambil alih 80% aset lima bisnis andalan Bakrie. Bisnis Bakrie tenggelam bersama puluhan konglomerat yang kabur ke luar negeri, tetapi Ical lebih memilih masuk dunia intrik politik pada partai berlogo pohon beringin rindang. Mungkin ini pula yang turut memberinya kekuatan mengembalikan kejayaan Bakrie & Brothers yang dalam hitungan kurang dari lima tahun bisa kembali berjaya. Dia kembali ke jalur sebagaimana ayahnya merintis usaha; barang-barang

Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

hasil bumi. Kekayaannya naik mengikuti harga-harga batu bara dan minyak kelapa sawit yang terus meroket. Pada 2004, Bakrie & Brothers bisa kembali mengambil alih Bakrie Sumatera Plantation dari tangan kreditor. Pada tahun itu juga, Ical melepas urusan bisnis setelah diangkat menjadi Menteri Koordinator Pereko­nomian, dan memberikan kursi direksi kepada adiknya, Nirwan dan anaknya Anindya Novyan Bakrie. Ini perpisahan manis, tetapi tidak bisa membuatnya terlepas dari bulanbulanan media ketika Bakrie & Brothers tersandung masalah. Pada kasus semburan lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur—ini tampak membuatnya kerepotan dengan posisinya yang menteri kesejahteraan—nama Ical nyaris tidak pernah absen dari berita-berita utama media. Pun, kekisruhan di pasar modal Oktober 2008, berulang kali dia berkelit dari tudingan memengaruhi otoritas bursa saham. Orang-orang waktu itu menyebut, dia adalah ‘orangnya Kalla’—Wakil Presiden dan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla. Walau begitu, Ical adalah birokrat yang paling sepi dari gunjingan korupsi, mungkin karena dia satusatunya menteri yang punya pesawat jet pribadi— Wakil Presiden Jusuf Kalla adalah orang yang pernah merasakan nyamannya kabin mewah pesawat seharga setengah triliun, dengan kursi kulit warna pastel di kabin utamanya itu. Wapres meminjam Boeing Business Jet itu dalam lawatan ke Eropa, karena Garuda Indonesia dikenai sanksi larangan terbang ke sana. Anindya Bakrie yang dilahirkan pada November 1974 selalu teringat oleh pesan kakeknya; semakin tinggi pohon, semakin keras pula empasan angin yang menerpa. Bapaknya memberinya jabatan Presiden Direktur ANTV di tengah benang kusut belitan utang Rp 1,4 triliun. Tetapi, jebolan Stanford Graduate School of Business, California, yang sejak balita sudah sering mendengarkan obrolan-obrolan bisnis kakek dan

285

M. MA’RUF 286

ayahnya itu dengan cepat menyelesaikan PR-nya. Masa remajanya dihabiskan di negeri Paman Sam, dan setelah lulus sarjana bekerja di Wall Street. Bayang-bayang he­ bat Ical mulai hilang setelah Anindya mampu menye­ lesaikan setumpuk utang di ANTV. Namanya mulai santer di kalangan bisnis setelah serangkaian ekspansi besar-besaran Bakrie & Brothers ke semua sektor bisnis, mulai dari perkebunan, tambang, telekomunikasi, dan properti. Sebuah misi besar adalah mengembalikan kejaya­ an keluarga dengan mengembalikan porsi-porsi kepemi­ likan keluarga di lima bisnis utama yang sudah lama hilang. Pada 2008, publik dibuat geger oleh rencana Bakrie & Brothers menggelontorkan dana Rp 48,4 triliun untuk mengumpulkan aset-aset keluarga yang sudah lama hi­ lang. Hasilnya, generasi ketiga ini mampu menyatu­kan anak-anak perusahaan paling potensial setelah membeli 35% saham Bumi Resources, 40% saham Energi Mega Persada, dan 40% saham Bakrieland Development. Bumi Resources memiliki reputasi cemerlang dengan prestasi pengekspor batu bara terbesar kedua di dunia. Sementara Energi amat potensial karena memiliki 80% cadangan migas di wilayah konsesi yang ada di Tanah Air. Adapun Bakrieland adalah pemilik kawasan-kawasan elite di Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia, seperti apartemen mewah Rasuna Epicentrum di Kuningan, Jakarta. Mega akuisisi dengan cepat mengatrol indeks saham menembus rekor tertinggi sepanjang sejarah. Orangorang berebut saham-saham Bakrie seperti membeli pop corn di bioskop. Hampir separuh nilai transaksi di pasar saham tahun itu milik Bakrie—menggeser nilai pasar PT Telekomunikasi Indonesia yang 13 tahun tidak pernah bergeser dari peringkat pertama. Pada mulanya ini dianggap sebagai sukses besar setelah ke­

Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

luarga Bakrie didaulat sebagai konglomerat paling kaya se-Asia Tenggara. Dengan harta USD 9,2 miliar, dia mengalahkan orang paling kaya di Malaysia, Robert Kuok, versi majalah Globe Asia. Kembali, kekayaan orang Lampung itu meroket dengan bahan bakar hargaharga komoditas yang membumbung tinggi. Walaupun begitu, jalur roller coaster rupanya dengan cepat berbalik. Seperti de javu, triliunan keka­ yaan keluarga Bakrie terjun bebas hanya dalam hitung­ an bulan. Krisis global datang mengempas setelah ge­ lembung ekonomi di pusat kemakmuran dunia pecah. Setelah liburan panjang lebaran Idul Fitri 2008, orangorang pasar modal panik, lantas menyudahi cerita manis lantai bursa. Apa yang kemudian membuat keluarga itu mengulangi sejarah sepuluh tahun silam adalah generasi ketiga ini tidak belajar dari kesalahan, dan tampak melupakan petuah bapaknya sendiri, ketika keluar dari jeratan-jeratan utang. Keluarga itu nyaris bangkrut setelah media memuat besar-besar di halaman utama mengenai skandal gadai saham. Rupanya, Rp 10 triliun dana yang dipakai membeli balik anak-anak usaha itu di awal tahun diperoleh dari utang dengan jaminan saham perusahaan yang akan dibelinya. Ketika harga saham-saham Bakrie jatuh— harga saham Bumi merosot sampai Rp 470 dari Rp 8.000 per lembar—dalam sekejap membuat mereka menanggung utang Rp 11 triliun. Tragis. Orang-orang kembali mengingat-ingat nama Ical. Cerita kejatuhan raksasa pasar modal itu mengundang spekulasi-spekulasi nakal dan diwarnai perdebatan hingga ke jalur politik, terutama setelah tidak satu pun pejabat pemerintah dan otoritas bursa bisa menjelaskan alasan di balik penghentian perdagangan saham-saham kelompok Bakrie, saat IHSG terjun bebas. Bagaimana panasnya suasana meja kabinet saat itu digambarkan oleh isu ancaman pengunduran diri Menteri Keuangan

287

M. MA’RUF

Sri Mulyani Indrawati karena tekanan-tekanan yang disebut-sebut datang dari kubu Ical. Menteri Sri dilapor­ kan mendapat tekanan untuk penghentian perdagangan saham itu—spekulasi beredar Bakrie menekan otoritas pasar modal untuk menghentikan perdagangan sahamsaham Grup Bakrie agar tidak terus jatuh. Sementara, kejatuhan Bakrie itu oleh para korban Lumpur Lapindo di Sidoarjo yang kecewa dianggap sebagai karma Tuhan. Isu ini hilang dengan sendirinya. Namun, Bakrie tetaplah Bakrie. Tak lebih dari se­ tahun, keluarga ini bangkit mengumpulkan kembali aset-asetnya. Perlahan namun pasti, mereka kembali ke puncak, dan utang-utang bisa kembali dipulangkan dengan sejumlah restrukturisasi. Seperti kutipan yang disenangi mendiang Bakrie, dalam situasi apa pun, anakanaknya harus merasa bebas dan karenanya bisa sela­ lu bebas. Freedom makes opportunities, opportunities makes hope, hope makes life and future.[]

288

Alfamart

Tunggulah Saat yang Tepat untuk Lepas dari Bayang-bayang

P

ada 1989, Djoko Susanto harus memikirkan cara yang tepat memasarkan Sampoerna A Mild, rokok andalan Sampoerna kategori sigaret kretek mesin (SKM) low tar low nicotine. Rokok dengan kandungan 14 mg Tar dan 1,0 mg nikotin per bungkus itu benar-benar jenis rokok baru—bentuknya cukup aneh, dengan kemasan keliling lingkaran perbatang hanya 22 milimeter dan panjang 90 milimeter. Biasanya, rokok jenis baru selalu sulit dijual, karena loyalitas perokok amat kuat terhadap merek yang sudah disukai. Tetapi, tugas mahaberat itu berhasil dilakukan dengan nyaris sempurna oleh Djoko dari sisi distribusi yang kuat—selain tentunya dukungan iklan yang kreatif, unik, dan tak lazim. Pergulatan memasarkan dan mendistribusikan ro­ kok A Mild itu menuntunnya pada dunia baru yang kemudian menjadi kehidupannya. “Ritel dan distribusi sudah menyatu dengan hidup saya,” kata Djoko ber­ cerita. Keahlian ritel itu sebetulnya diawali ketika Djoko mendirikan pusat belanja berkonsep grosir, Alfa Gu­ dang Rabat pada tahun yang sama dengan A Mild di­ 289

M. MA’RUF 290

rilis. Grosir itu adalah hypermarket yang pada masa keemasannya memiliki 32 gerai. Pendirian hypermarket ini juga merupakan sumbangsih ide Poetra Sampoerna, di mana Djoko diberi kesempatan menanam kepemilikan. Bisnis supermarket itu tidak bertahan lama, dan mulai menampakkan tanda-tanda kejatuhan setelah peritel asing berbondong-bondong masuk Indonesia. Terutama oleh kehadiran peritel asal Prancis, Carrefour pada 1998 yang langsung menghajar Alfa hingga babak belur. Satu per satu gerai ditutup dan secara dramatis bertekuk lutut kepada Carrefour lewat akuisisi pada 2008. Kejatuhan itu seolah sudah disadari sejak Carrefour masuk. Djoko mengaku Carrefour adalah raksasa de­ ngan modal tak terbatas sehingga sangat tidak mungkin dikalahkan dengan sekadar strategi-strategi manaje­men standar. Dia lantas memikirkan sebuah toko ritel mo­dern yang berukuran lebih mini, seperti warung kelontong te­ tapi lebih kinclong. Toko mini pertamanya itu didirikan pada 18 Oktober 1999 dengan nama Alfa Minimart, di sebuah sisi Jalan Beringin Raya, Karawaci, Tangerang. Dari sini, satu per satu gerai dibuka menggunakan dana ekspansi kas perusahaan. Tetapi, langkah ini bisa dibi­ lang terlambat karena bisnis minimarket sejak 1988 telah dikuasai Indomaret, milik konglomerat Sudono Salim pemilik Indofood. Beberapa peritel lokal seperti Hero juga sudah mendirikan minimarket. Tetapi, dukungan besar Poetra menjadikan Djoko yang sudah paham jalur distribusi dan ritel tidak gentar. Minimarketnya memang berhasil dan berkembang cukup pesat. Hubungan bisnis antara Djoko dan gurunya—begitu dia menyebut Poetra Sampoerna—tidak putus, dan lebih dalam lagi telah menjadi ikatan emosi yang kuat. Djoko tidak pernah melupakan jasa Poetra memberikan ba­ nyak ilmu pemasaran dan dukungan permodalan. Seba­ gai balasannya, produk-produk rokok HM Sampoerna selalu menjadi prioritas di gerai Alfa. Sinergi guru dan

Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

murid ini menjadi kekuatan dahsyat, terutama setelah pada 1 Januari 2003, nama Alfa Minimart diganti men­ jadi Alfamart—setelah Poetra menyuntikkan modal. Itu sekaligus menandai pemakaian sistem waralaba un­ tuk menganakpinakkan gerai Alfamart guna bersaing dengan Indomaret. Keputusan berganti nama memang tampak jelas mengusung keinginan Sampoerna untuk mempertahankan jalur distribusi. Sebab, selain rokok, konglomerat tembakau itu memiliki bisnis makanan dan minuman olahan. Dalam tempo singkat, Alfamart justru menjadi ba­ yi raksasa dengan perkembangan gerai sangat masif. Waralaba itu menyebarkan Alfamart ke berbagai daerah seiring dengan perubahan orientasi konsumen dalam pola berbelanja kebutuhan sehari-hari. Dulu, konsumen hanya mengejar harga murah. Sekarang, itu saja tidak cukup tanpa disertai kenyamanan berbelanja. Inilah yang ditawarkan oleh Alfamart. Pada bagian lain, orangorang kaya tanggung di daerah-daerah mulai berebut mengajukan proposal waralaba. Dalam dua tahun sete­ lah diwaralabakan, berdiri 800 gerai Alfamart, dan se­ karang mendekati 3.000 gerai.

291

M. MA’RUF 292

Persaingan ritel menjadi semakin sengit dan ter­ konsentrasi antara Alfamart versus Indomaret. Yang mungkin sangat sengit adalah perebutan lokasi, di ma­ na hampir di setiap komplek perumahan, pasti berdiri salah satu gerai atau bahkan keduanya. Dulu, masih ada semacam etika persaingan dengan menjaga radius kilometer antargerai, tetapi kini dua gerai lain pemilik itu sering hanya berbatas tembok bangunan saja. Perang lokasi berlanjut pada harga-harga barang dan promosi gila-gilaan—beli dua dapat tiga, empat dan seterusnya. Malah, baik Alfamart dan Indomaret sama-sama me­ nawarkan pembayaran via debit bank, dan kartu-kartu club seperti halnya pada supermarket. Pertarungan antar dua gajah ritel kecil itu pada akhirnya menelan korban pedagang eceran kecil atau toko tradisional. Pukulan telak bagi Djoko pada akhirnya justru bu­ kan dari Indomaret, melainkan peristiwa mega akuisisi HM Sampoerna oleh raksasa produsen rokok asal negeri Paman Sam, Phillips Morris. Transaksi pembelian seni­lai Rp 45 triliun pada Maret 2005—terbesar dalam seja­rah di Indonesia—itu membuat sikap Sampoerna kepadanya menjadi jauh berbeda. Komunikasi mulai tidak searah. Jaringan minimarket Alfamart sejak saat itu tidak lagi memperoleh hak eksklusif produk-produk Sampoerna, dan dari waktu-ke waktu kuota barang yang diterima semakin menyusut. Sebagai balasannya, manajemen Alfamart tidak lagi memberikan ruang istimewa seperti logo-logo Sampoerna di depan kasir dan Djoko mulai berpaling pada musuh-musuh Sampoerna seperti Bentoel dan Gudang Garam. Masa-masa pascakehilangan induk itu adalah masamasa pahit dan penuh debar-debar kecemasan. Djoko gelisah dengan statusnya yang rawan didepak karena hanya memiliki 30% saham Alfamart—seperti halnya nasib pucuk-pucuk pimpinan HM Sampoerna setelah masuknya Phillips Morris. Dia tampak gegabah dengan

Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

langsung mendirikan ritel sendiri untuk berjaga-jaga, dan bersiap-siap melawan ritel yang dilahirkan dari rahimnya sendiri. “Kehadiran Alex untuk mengantisipasi kalau ternyata Phillips Morris Indonesia meminta pengelola Alfamart mundur,” ungkap Djoko. Alex adalah Alfa Express, gerai mini market baru yang didirikan hanya beberapa bulan setelah akuisisi HM Sampoerna. Akhir bahagia bagi Djoko didapat setelah Phillips Morris rupanya tidak ikut-ikutan tergiur bisnis ritel, dan malah satu per satu melepas anak usaha yang didirikan Poetra Sampoerna. Pada akhir 2006, mayoritas saham Alfamart ditawarkan seluruhnya kepada Djoko. Setelah itu, dia benar-benar bebas dari bayang-bayang pemodal besar. Sekarang, Alfamart yang beromzet Rp 8 triliun ini diwariskan kepada anak ketiga dari lima anaknya, sementara Djoko kembali menekuni hobi lamanya, mengedarkan rokok mild merek baru.[]

293

Blue Bird

Jangan Remehkan Seorang Janda Sekalipun dalam Sebuah Kompetisi

P

ara karyawan di Jakarta, terutama perempuan, akan lebih memilih meluangkan beberapa pu­ luh menit un­tuk menunggu taksi Blue Bird lewat. Bagi mereka, ini lebih melegakan daripada menumpangi taksi-taksi bermerek tak jelas, yang lebih murah tetapi membuat gelisah—Anda pasti memakai trik ini—sibuk menghubungi teman-teman melalui ponsel, dan terus berbicara hal-hal penting agar si sopir tahu Anda itu orang penting, seraya berharap pengemudi tidak berpikir macam-macam. Burung Biru itu memang taksi bertarif lebih mahal dari rata-rata, tetapi para penumpangnnya akan menda­ pati pengendara yang mengemudikan sedan Vios dengan lebih sopan. Sopir Blue Bird tidak segan-segan turun untuk mengangkat koper-koper calon penumpang ke bagasi belakang, dan tidak menggerutu bila penumpang membayar dengan uang pas, tanpa tip. Ini adalah empat kompensasi bagi pelanggan Blue Bird; aman, nyaman, mudah diakses, dan personalize, atas enam kali kenaik­ an tarif antara tahun 2000-2008 lantaran kenaikan har­ ga bensin—saat ini tarif buka pintu Rp 6.000 dan Rp 294

Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

3.000 per kilometer. Hasilnya, kenaikan tidak membuat penurunan drastis penumpang-penumpang, dan orangorang tetap merekomendasikan Blue Bird pada kenalan dan saudaranya bila pertama kali datang ke Jakarta. Bagaimana dua bersaudara Chandra Suharto dan Purnomo Prawiro bersaudara memberikan pengertian sopir-sopir taksinya untuk lebih sopan tidak terpisahkan dari masa lalunya sebagai sopir. “Itu membuat saya tahu cara berpikir dan kesulitan mereka,” kata Purnomo yang menjabat sebagai Presiden Direktur Blue Bird Group. Orang-orang, demikian Purnomo menyesalkan, sering salah memandang sopir sebagai warga negara kelas dua, sehingga sangat wajar mereka bertingkah polah se­ maunya. Keduanya menemukan sistem kerja operator taksi yang lebih modern, dan efektif mengerem perilakuperilaku nakal para sopir. Berkat sistem baru itu pula, Blue Bird yang pada 1970-an dianggap anak bawang oleh operator taksi mapan, mampu memberi kejutankejutan. Itu semua berkat kegigihan Mutiara Siti Fatimah, ibunda Chandra dan Purnomo yang tampak antusias ketika Gubernur Ali Sadikin mengutarakan rencananya agar Jakarta memiliki armada taksi yang tidak memalu­ kan bagi para tamu asing. Gubernur mengundang selu­ ruh operator taksi mengikuti kursus singkat mengenai manajemen pertaksian, meniru standar internasional oleh tutor yang didatangkan langsung dari Australia. Mutiara yang tidak memilik latar belakang ilmu itu— tetapi dia adalah seorang ilmuwan—menyambut baik gagasan tersebut. Sementara pengusaha taksi yang lain, tampak kurang antusias. Mungkin karena merasa sudah nyaman dengan sistem borongan yang ada. Mutiara mengadopsi model baru pembayaran so­ pir taksi lewat sistem komisi 100% dari kursus singkat itu. “Perbedaan itu ternyata penting dan membawa dam­pak besar,” kata Purnomo. Sementara sistem bo­

295

M. MA’RUF

rongan yang banyak dipakai operator lain mulai me­ nimbulkan masalah. Sistem borongan adalah setoran wajib dalam jumlah tertentu, tetapi memberikan semua sisa pendapatan menjadi milik sopir. Jeleknya, sopir akan menganggap dirinya subkontraktor, karena itu dengan mudah tergoda untuk menghalalkan segala ca­ ra memperoleh penghasilan besar setiap hari. Kadang mempercepat, dan bahkan mematikan taximeter, mem­ bo­hongi penumpang yang tidak paham jalanan Jakarta —berputar-putar untuk jarak yang jauh—sampai me­ maksa tip lebih. Sistem itu memang menguntungkan bagi sopir bila musim ramai penumpang, tetapi akan membuatnya tekor di hari-hari biasa. Sebaliknya, sistem komisi tidak akan membuat mereka nombok, dan lebih tenang mengejar penumpang. Kebijakan ini kemudian berjalan dengan sangat baik.

296

Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

Blue Bird muda cengan cepat mengalahkan taksi yang lain, dan lebih buruk lagi, membuat mereka bang­ krut. Sejumlah inovasi baru dilahirkan, seperti mema­ sang taximeter, membekali kontak radio dan mema­ sang mesin pendingin untuk Jakarta yang mulai panas. Inovasi-inovasi itu pada mulanya langsung menimbul­ kan kesan kuno pada taksi yang lain. Belakangan, Blue Bird menjadi operator taksi pertama yang memasang alat global positioning system (GPS) untuk melacak keberadaan taksi. Alat seharga Rp 15 juta per unit ini dipasang agar penumpang bisa menemukan taksinya bila lupa meninggalkan barang. Blue Bird memperkenalkan layanan baru Big Bird sebagai bus sewaan pada 1979 dan Silver Bird untuk konsumen premium pada 1993. Merek Golden Bird juga dipakai untuk kendaraan taksi mahal, limousine, dan merek mobil rentalan. Dari 24 armada taksi, kini Blue Bird Group mengelola lebih dari 17.000 unit kendaraan dan 24.000 karyawan. Bisnis-bisnis lain bermuncul­an, seperti logistik kargo dengan 300 armada truk Volvo, serta bisnis pengapalan. Pada 1982, Mutiara mendiri­kan PT Restu Ibu Pusaka, yang memiliki pabrik karoseri bus, dan bekerja sama dengan Albert Ziegler GmbH & Co asal Jerman, merakit kendaraan pemadam kebakaran di pabrik Cikarang, Bekasi. Kehidupan menjadi serba terbalik, dan Mutiara ber­ hasil menghantarkan ketiga anaknya menjadi dokter. Sebab, masa-masa awal pendirian bisnis Blue Bird ada­ lah kisah pilu, bagaimana seorang janda bertahan hidup dengan menjadi pengusaha taksi “gelap”. Untuk keluarga sekaliber pendiri sekaligus Dekan Fakultas Hukum pertama Universitas Indonesia, perintis Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), dan beberapa fakultas hukum di Indonesia, kekayaan Prof. R Djoko Soetono, S.H. tidak sepadan. Kehidupan ekonomi ke­ luarga ini pas-pasan, mungkin karena dia terlalu jujur.

297

M. MA’RUF 298

Ketika meninggal pada 1965, almarhum mewariskan dua sedan bekas, hibah dari Universitas Indonesia dan sekolah kepolisian itu. Tetapi Djoko meninggalkan istri yang tegar, Mutiara, dan tiga anak yang kompak; Chandra, Mintarsih A. Latief, dan Purnomo. Setelah suaminya meninggal, Mutiara, perempuan kelahiran Jawa Timur, Oktober 1923, pindah mengajar, dari sebelumnya di UI, ke Perguruan Tinggi Ilmu Kepo­ lisian. Awalnya ini adalah pasangan akademis, Mutiara lulus Fakultas Hukum pada 1953 dan langsung men­jadi staf dosen di sana, dia pernah kuliah di Rechtshogeschol, Utrecht, Belanda. Keluarga yatim ini berjuang untuk biaya hidup dan pendidikan untuk ketiga generasinya. Mula-mula si sulung dan bungsu narik bemo jurusan Harmoni-Kota. Selanjutnya, bertahun-tahun berope­ rasi sebagai taksi tanpa izin. Keduanya berbagi tugas. Chandra sebagai operator telepon, dan Purnomo sebagai pengemudi. Jumlah armada taksi ditambah perlahan lewat lo­ bi Mutiara di acara-acara arisan yang dihadiri jandajanda para pahlawan dengan skema investasi hak pakai memanfaatkan mobil-mobil mereka. Taksi itu namanya Golden Bird meski kemudian lebih dikenal dengan nama sopirnya, Chandra Taksi, sebagai mobil sewaan untuk mengantar katering makanan wartawan dan tamu dari luar negeri. Izin taksi resmi beberapa kali ditolak lan­ taran latar belakang Mutiara yang tidak meyakinkan. Janda dan dosen, plus tanpa pengalaman bidang trans­ portasi sama sekali, kecuali taksi gelap itu. Dia baru bi­ sa mencairkan izin setelah mengumpulkan puluhan re­ komendasi dari hotel dan sejumlah pelanggan ternama. Gubernur DKI Ali Sadikin kemudian memberinya izin. Dengan selembar izin, masalah tidak langsung ter­ pecahkan. Izin itu tidak bisa “disekolahkan” ke bank karena reputasi Mutiara yang masih nihil. Dia lalu ne­ kat menggadaikan sertifikat tanah dan rumahnya di ja­

Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

lan HOS Cokroaminoto nomor 7, Jakarta Pusat, seba­ gai jaminan—kemudian dijadikan kantor. Kabarnya, Mutiara akhirnya bisa menemukan kerja sama yang lebih menguntungkan dengan Udamex, importir mobil Holden dari Australia untuk mendapatkan 25 unit mo­ bil Holden Torana. Pada 1 Mei 1972, PT Sewindu Taksi milik Mutiara mulai beroperasi, bersaing melawan lima perusahaan otobus yang sudah resmi ada. Chandra dan Purnomo mengaku sering dianaktirikan dari perusahaan taksi yang sudah ternama waktu itu, macam Gamya dan Morante. Tetapi, pelayanan yang memuaskan membuat mereka disukai oleh hotel-hotel. Mutiara mengisahkan bagaimana dirinya senang dengan cerita khayali. Di antaranya, adalah cerita ten­ tang seorang gadis yang kekurangan. Ketika gadis itu ber­ doa, Tuhan mengirim padanya seekor burung biru, blue bird. Ketika dia akhirnya mendapatkan izin, Mutiara memakai Blue Bird untuk taksinya. “Karena saat itu kondisi saya seperti gadis dalam dongeng tersebut,” kata dia. Setelah 28 tahun membangun dan meninggalkan jauh para pengusaha taksi itu, Mutiara tutup usia pada tahun 2000. Perempuan yang murah senyum ini pernah menduduki jabatan di Kamar Dagang dan Industri DKI Jakarta, Ikatan Penguasa Wanita Indonesia, dan konseptor polisi wanita di Indonesia. Sepeninggalnya, Chandra menjabat sebagai presiden komisaris dan Purnomo diberi jabatan presiden direktur. Kini mereka tengah menyiapkan generasi ketiga—anak-anak Chandra dan Purnomo. Dengan pelbagai tantangan yang ber­ beda, seperti soal tarif taksi dan munculnya pesaing baru beberapa tahun belakangan ini, macam Express, Putra, Kosti Jaya, Golden, KPI, dan Tifanni.[]

299

Indofood

Selalu Ada Kesempatan untuk Berubah

L

iem Sioe Liong adalah legenda hidup seorang pe­ rantau asal China yang pernah kemudian menjadi orang terkaya di Asia dan masuk 100 besar dunia. “Liem botak”—dia dikenali dengan kepalanya yang plontos mengilap—kemudian mengganti namanya de­ ngan Sudono Salim dan kini menikmati hari tuanya di Singapura dengan kekayaan keluarga tak kurang dari USD1,3 miliar. Bagaimana dia mengumpulkan pundipundi kekayaannya adalah sebuah pelajaran penting mengenai bisnis yang selalu penuh bumbu-bumbu intrik dan kolusi dengan penguasa orde baru. The Gang of Four. Itulah sebutan empat konglome­ rat yang disatukan Soeharto untuk mengelola banyak proyek-proyek pemerintah. Salim adalah salah satu anggotanya. Bersama-sama Djuhar Sutanto, Ibrahim Risjad, dan Sudwikatmono, geng ini mendirikan Waringin Kentjana untuk memasok beragam perleng­ kapan pa­sukan Angkatan Darat. Masing-masing juga memiliki bisnis sendiri, seperti Ibrahim yang setidak­ nya memiliki Bank Risjad, dan Sudwikatmono yang mendirikan Bank Subentra dan Bank Surya. Liem tam­ 300

Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

paknya lulusan paling sukses, dengan ratusan perusaha­ an yang disatukan dalam “kapal induk” Salim Economic Development Corporation (SEDC) yang didirikan awal 1970-an. Untuk basis bisnisnya di luar negeri, Liem mengontrolnya dengan Liem Investors di Hong Kong. Bagaimana restu-restu Cendana itu bekerja tampak pada saat Salim kemudian bisa memenangkan per­ saingan bisnis mi instan. Sejarahnya, mi instan itu di­ ciptakan Momofuku Ando—pendiri Nissin—pada 1958 di Jepang. Pembuatan mi instan di Indonesia dimulai oleh investor asal Jepang yang mendirikan perusaha­an patungan dengan pengusaha lokal untuk memproduk­ si Supermie. Mungkin sentimen anti-Jepang membuat gambar kemasan yang terpampang adalah Aladin di atas karpet terbang, seperti ingin menunjukkan produk ini dari Timur Tengah. Produk itu laris luar biasa ka­ rena praktis, cepat, lezat, dan murah. Ini menarik bagi pebisnis lain dan muncullah Indomie, yang diproduksi Sanmaru Food Manufacturing, anak usaha Grup Jang­ kar Jati. Liem sendiri adalah pemain terakhir yang memperkenalkan Sarimi, dengan mendirikan Sarimi Asli Jaya yang mengolahnya di Tangerang tahun 1982. Cikal bakal Indofood adalah ketika Salim meng­ geser Supermie dengan cara membangun aliansi ber­ sama pemilik Indomie, mendirikan Indofood Interna Corporation pada 1984. Dua tahun kemudian, Supermie dicaplok. Aliansi Indomie-Sarimi akhirnya juga bubar dengan kemenangan Salim yang membeli semua saham Jangkar Jati. Serangkaian aksi pencaplokan ini bisa berlangsung mulus karena jauh hari sebelumnya, Salim menjadi pemasok bahan baku mi itu setelah diberikan katebelece untuk bersama-sama dengan adik tiri Presiden, Sudwikatmono yang kala itu masih berbisnis karung goni mendirikan Bogasari Flour Mills pada 1971. Bogasari adalah perusahaan swasta paling unik yang pernah ada di Indonesia. Bogasari mendapat hak

301

M. MA’RUF 302

monopoli mengimpor gandum, bahan baku tepung. Pada zaman keemasannya, Bogasari diberi privilege memiliki pelabuhan sendiri, tempat kapal-kapal rak­ sasa pengangkut terigu atau gandum impor bisa lang­ sung merapat ke pabrik. Begitu perkasanya, majalah Insight, Asia’s Business Mountly terbitan Hong Kong menampilkan lukisan karikatural Salim berpakaian gaya Napoleon Bonaparte, dengan pangkat berderet di dada, simbol ratusan perusahaannya. Salim sendiri tidak pe­ duli dengan berbagai kabar media itu. “Jika Anda hanya mendengarkan apa yang dikatakan orang, Anda akan gila. Anda harus melakukan apa yang Anda yakini,” katanya. Setelah memiliki Sarimi, Supermie, dan Indomie, orang-orang pantas berterima kasih atas pelbagai krea­ si Indofood. Salim tidak berpuas dengan sejumlah kudapan-kudapan baru seperti Chiki Snack pada 1983 dan mendatangkan kentang goreng Chitato, Cheetos, dan Chikita. Menyusul varian mi instan baru seperti mi seduh atau cup noodle merek Pop Mie yang pada masamasa awal kurang laku. Indofood kemudian merang­ sek ke food seasonings dengan kecap dan bumbu, yang dilanjutkan dengan saus tomat dan sambal. Kemudian mengakuisisi produsen makanan balita Sari Pangan Nusantara, yang memproduksi susu bayi merek SUN. Kabarnya, pada 1984 kekayaan pribadi Salim su­­ dah mencapai Rp 7 triliun, setara dengan jumlah uang beredar di Indonesia ketika itu. Tiga bisnis lain Salim yang konon menempatkannya sebagai orang ter­ kaya nomor enam sedunia—mengalahkan keluarga dinasti Yahudi Rothschild dan pebisnis Rockefeller— adalah perbankan, semen, dan automotif. Pada masa keemasannya, dengan mudah Salim memonopoli perse­ diaan semen lewat Indocement Tunggal Perkasa, dan Indomobil yang membayangi Astra Internasional untuk memasok mobil-mobil ke Indonesia. Paling spektakuler

Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

adalah dominasi Bank Central Asia (BCA) yang awal pendiriannya dibantu bankir Mochtar Riyadi. Itu semua belum termasuk bisnis di luar negeri yang telah dirintis bersamaan dengan dimulainya bisnis di dalam negeri yang berpusat di Hong Kong. Salim selalu menganggap orang-orang melebihlebihkan tentang dirinya. Mungkin itu salah satu akibat dari kegemarannya berada di balik layar, dan tidak membayar konsultan pengubah citra. Demikian pula publikasi tentang sumbangan-sumbangannya tidak per­ nah dimunculkan. Majalah Tempo adalah media massa Indonesia pertama yang bisa mewawancarainya pada Maret 1984. ”Orang suka bilang ini-itu punya Liem Sioe Liong. Gila apa? Tapi kalau orang lain suka pakai nama Liem, bisa bilang apa?” kata dia. Sebab, bagaimanapun juga, restu Cendana tidaklah murah. Dari beberapa perusahaan, Salim harus menyertakan saudara Soeharto dan anak-anaknya yang sudah mulai beranjak besar. Pun, sumbangan rutin kepada yayasan milik presiden yang berkisar 2-20% dari pendapatan. Tidak perlu diketahui apa hubungan Indofood Interna Corporation dengan kemunculan Panganjaya Intikusuma yang didirikan pada 14 Agustus 1990. Mungkin, sekadar pengalihan sementara, namun induk usaha makanan Salim itu kemudian mengubah nama­ nya menjadi Indofood Sukses Makmur, setelah terlebih dulu mengakuisisi Panganjaya pada Februari 1994. Pengalihan-pengalihan menandai dimulainya berbagai trik bisnis Salim yang lebih rumit untuk mengamankan aset-asetnya. Dia mungkin sudah bisa membaca tandatanda zaman, sehingga mulai tahun-tahun itu muncul kebijakan akuisisi-akuisisi internal dengan mengalihkan mayoritas saham Indofood ke Indocement Tunggal Pra­ karsa, yang juga masih dimilikinya. Beberapa peng­­amat mengatakan itu adalah upaya konsolidasi bisnis, karena sebelumnya Bogasari telah dibeli oleh Indocement.

303

M. MA’RUF 304

Bencana bagi Salim kemudian datang seperti malai­ kat maut yang merenggut satu per satu kekayaannya. Orang-orang yang marah kepada Soeharto turut mem­ benci semua orang yang pernah dekat, apalagi mendapat berkah dari kekuasaan Orde Baru. Media mengupas habis taipan-taipan yang dalam sekejap menjadi pesa­ kitan. Triliunan bisnis Salim amblas seperti ditelan bumi, dan sebuah rumah megahnya di bilangan Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat, dibakar massa. BCA kolaps setelah menanggung utang ke negara hingga Rp 52 triliun dan baru bisa lunas setelah melego Indoce­ ment Tunggal Perkasa dan Indomobil. Tinggal Indofood dan Bogasari, itu pun dengan porsi kepemilikan yang terus tergerus. Ini menimbulkan trauma mendalam bagi

Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

Salim yang kemudian mengungsi ke Singapura beserta aset-asetnya. Adalah istri seorang Deputi Senior Bank Indonesia, Bunbunan Hutapea, yang dalam sejarah bisnis Indo­ food pascakrisis memiliki peran besar menyelamatkan Indofood dari jurang kebangkrutan. Ibu tiga anak kela­ hiran Jakarta bernama Eva Riyanti Hutapea diangkat menjadi CEO itu menata ulang, menyatukan aset-aset Salim yang berserakan. Atas perintah pemilik, Salim yang dikabarkan tengah sakit, menjual separuh lebih saham Indofood kepada perusahaan roti QAF Limited yang bermarkas di Singapura. Berbagai pihak mengatakan, itu adalah upaya pelarian modal ke luar negeri, namun Eva menyebutnya sebagai tidak ada perpindahan karena QAF yang memproduksi roti merek Gardenia itu sebagi­ an besar sahamnya juga dimiliki Liem. Tangan dingin Eva menyelamatkan Indofood yang merugi hingga Rp 1,2 triliun pada 1997 menjadi untung setahun kemu­ dian. Sampai dengan 2003, Eva membuat Indofood sangat sehat dengan pendapatan Rp 17,9 triliun. Kiprah Eva hanya seumur jagung. Sejumlah pihak dan media kemudian menyebut peralihan ini sebagai habis manis sepah dibuang setelah apa yang dilakukan Eva pada Indofood. Dalam sebuah rapat umum peme­ gang saham tahun 2004, posisi Eva digantikan putra mahkota Anthoni Salim. Eva—yang tidak mau meng­ akui kekecewaannya ke publik—membacakan laporan ke­uangan dengan nada yang tersendat-sendat, wajah me­ merah, dan ketika selesai rapat mengucurkan air mata. Inilah awal kebangkitan Grup Salim setelah krisis, yang dibantu oleh menantunya Franciscus Welirang— pria berpenampilan sederhana dengan rambut dikun­ cir kuda. Di tangan duo Anthoni-Welirang, Grup Salim kembali berkibar. Mereka mengakuisisi perusahaan per­ kebunan kelapa sawit PP London Sumatera Indonesia di Sumatera Utara. Berbagai ekspansi ke luar negeri juga

305

M. MA’RUF 306

dilanjutkan, dan hampir sulit mengingat berapa pasti jumlah perusahaan mereka sekarang. Meski dalam enam tahun terakhir pangsa pasar Indofood mulai tergerogoti dua produk mi baru, Mie Sedap keluaran Wings Food dan Mie Kari milik Orang Tua Grup, Indofood tetap menjadi raksasa. Pakar mar­ keting Hermawan Kartajaya menyebutnya sebagai A Giant Integrated Food Company. Pada era persaingan yang lebih sehat, Anthoni dan Welirang bisa beradaptasi dengan baik melalui pengorganisasian bisnis, menge­ lola merek-merek penganan yang sudah mendapat tem­ pat utama di mata konsumen. Mereka mendirikan apa yang disebut sebagai Central Marketing Unit untuk mengembangkan anak-anak usaha, menciptakan sinergi dalam media, riset, dan pemasaran. Indofood sekarang menerapkan prinsip tata kelola dan tidak lagi memakai cara-cara kotor kolusi untuk membesarkan diri. Mereka mengorganisir bisnisnya menjadi empat ba­ gian besar yang saling melengkapi satu sama lain. Per­ tama, Consumer Branded Products (CBP) Group, yang mencakup berbagai divisi makanan kemasan. Kedua, Bogasari Group, yang bisnis utamanya menghasilkan tepung terigu, dan juga pasta dan didukung oleh unit perkapalan. Ketiga, Agribusiness Group, yang aktivitas utamanya mulai dari pembibitan, penanaman, dan pengolahan kelapa sawit, pemasaran minyak goreng, margarin, dan shortening, hingga perkebunan karet, teh, dan kokoa. Keempat, Distribution Group, yang merupakan salah satu jaringan distribusi terbesar Indonesia dan menangani baik produk Indofood mau­ pun pihak ketiga.[]

Penulis

Never Too Old to Learn

M

uhammad Ma’ruf baru bisa menyelesaikan ke­ sarjanaannya strata satu pada Jurusan Ilmu Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Lampung, pada umur 25 tahun setelah menempuh 14 semester—di bawah ancaman drop out. Masa-masa ku­ liahnya yang panjang lebih banyak dihabiskan menim­ ba ilmu jurnalistik pada organisasi pers mahasiswa Teknokra antara 1998-2002 dengan jabatan terakhir sebagai pemimpin redaksi. Selepas dari Teknokra, dia ikut mendirikan sebuah majalah remaja pertama di Lampung yang hanya bertahan selama satu tahun. Setelah lulus kuliah pada 2004, dia melanjutkan pendidikan pascasarjana di IAIN Raden Intan Bandar Lampung di bidang ilmu ekonomi Islam (tidak selesai) sambil bekerja paruh waktu untuk sebuah majalah investigasi korupsi milik LSM dan desain grafis untuk percetakan lokal. Mulai 2006, dia tinggal di Jakarta dan bekerja sebagai wartawan di Harian Seputar Indonesia untuk peliputan berita keuangan dan pasar modal. Pengalaman pertama menulis buku bagi pria kelahiran 30 tahun silam di Lampung ini adalah Tsunami Finansial 307

M. MA’RUF

(Hikmah, Januari 2009), dan anggota tim penyunting buku Etos Kita: Moralitas Kaum Intelektual (TeknokraGamma Media 2002). Alamat email dia: muhruf@gmail. com[]

308

Catatan-Catatan

Edward Forrer Henni T Soelaeman. “Dari Bandung, Mengepak Sampai ke Negeri Kanguru”, Majalah SWA, Edisi Januari 2007.

Lion Air , “Memulai Bisnis dari Khayalan”, Sinar Harapan, 2002. Teguh S Pambudi dan Darandono. “Singa Belia Bernama Lion Air”, Majalah SWA, Agustus 2004.

Bloop, Bloopaka, Endorse Astrid Isnawati. “Ilmu Nenek Jadi Bekal Dirikan Distro”, Wawancara dengan Theresia Alit Widyasari, Tabloid Nova, Mei 2009. Eva Martha Rahayu. “Merajut Bisnis di Sepanjang Tebet Utara Dalam”, Majalah SWA, April 2008.

309

Sosro Anwar Khumaini. “Mampu Saingi Coca Cola, Sosro Cetak Pendapatan Rp 1,8 Triliun”, detikFinance, www.detik. com, 5 Februari 2009. Apa dan Siapa, “Surjanto SosroDjojo”, Pusat Data dan Analisa Tempo, www.pdat.co.id, 2004.

Multivision Plus Frans Sartono dan Bre Redana. “Panggung Hidup Raam Punjabi”, Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005. Apa & Siapa, “Raam Punjabi Bantah Buat Sinetron Pe­rusak Moral”, Majalah GATRA, Juni 2005. Rusman Widodo. “Raam Jethmal Punjabi: Juragan Si­netron Prime Time”, figurpublik.com.

Kapal Api Yuyun Manopol, Firdanianty, dan Henni T Soelaeman. “Beginilah Jago-jago Daerah Merajut Sukses”, Ma­jalah SWA, April 2004. Eva Martha Rahayu/Suhariyanto. “Soedomo Mergonoto: Menahkodai Kapal Api Hingga ke Mancanegara” , Majalah SWA, Juni 2003.

M. MA’RUF

Aqua

310

Apa dan Siapa, “Tirto Utomo”, Pusat Data dan Analisa TEMPO, www.pdat.co.id, 20 Maret 2006 Willy Sidharta. “Keputusan Tepat Meniti Karier di Aqua”, http://willysidharta.blogspot.com, 9 Januari 2007, “Willy dalam Mengubah Air Menjadi Duit”, Sinar Harapan, Senin, 24 Januari 2005.

Detikcom “Membidik Pasar Sempit”, Koran Tempo, Jum’at, 1 Februari 2008. Budiono Darsono. “Pemahaman Akan Konteks Indo­nesia”, Kompas, 25 Agustus 2003.

Kem Chicks Nyurian Barasa. “Bambang Mustari ‘Bob’ Sadino”, nyu­rian. wordpress.com, April 2009. , “Bob Sadino: Hidup Tidak Linier”, wawan­cara dengan Bob Sadino di Kolom Enterpreneur cyberMQ, 29 Mei 2007 , “Bob Sadino: Pengusaha Berdinas Celana Pendek”, TokohIndonesia. com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia), 31 Oktober 2004

National Gobel , “Suksesnya Sinergi” Majalah Mitra Pana­sonic, Edisi Juli-September 2006. , “Bukan Gobel Biasa: Sebuah Romantika Bermarga Beken”, Blog, http://www.daengbattala.com.

4848 , “Mungkin Ini Saat Kami Melihat ke Luar”, Harian Republika, 23 Februari 2009.

Catatan-Catatan

Sigit Wibowo dan Danang JM. “Ichiro Suganuma: Kami Akan Bermain di Semua Produk Elektronik,” Rubrik CEO, Sinar Harapan, 9 Desember 2005.

311

C59 , “Kreativitas Jangan Pernah Mati”, Harian Sriwijaya Post, 1 November 2008. Ema Nur Arifah. “Wisata ke Pabrik Kaos C59”, de­tikBandung, www.detik.com, 24 Februari 2009. Dyah Hasto Palupi. “Menjadi Entrepreneur Kreatif”, Majalah SWA, November 2008.

Olympic Furniture , “25 Tahun Perjalanan Olympic Furniture”, www.imjakarta.com Muhammad Ridwan. “Kisah Sukses Au Bintoro, Pence­tus Furnitur Olympic (2-Habis): Semakin Eksis, Ber­kibar Bersama 20 Anak Perusahaan Grup Olympic,” Radar Bogor, 19 Desember 2008. Rani Badrie Kalianda. “Au Bintoro Merentang Masa: Jejak Langkah Sang Heartpreneur”, www.sumbawa­news. com, 7 Desember 2008.

Primagama Edy Zaqeus dan David S Simatupang. “Kalau Ingin Ka­ ya, Ngapain Sekolah!?”, wawancara dalam Majalah Berwirausaha, September 2004.

, “Tentang Purdi”, www.purdiechandra.net.

M. MA’RUF

, “Transformasi Zikir Seorang Pengusaha”, Harian Lampung Post, 19 Agustus 2005.

312

Es Teler 77 Mega Christina. “Presiden Komisaris PT Top Food In­donesia Sukyatno Nugroho; Mengangkat Makan­an Jalanan Sejajar Waralaba Asing”, Sinar Harapan.

Bondan Winarno. “Jurus Sukses Juragan Es Teler”, Kompas, 28 Mei 2007.

Sido Muncul Erfandi Putra. “Melanggenggkan Usaha Leluhur,” Surabaya Post, 6 Juli 2009. , “Irwan Hidayat, Membangun Keperca­yaan terhadap Jamu,” TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia), 4 Oktober 2004.

Jawa Pos Grup Henni T. Soelaeman. “Leadership Grooming ala Dahlan Iskan”, Majalah SWA, Juli 2004. Dahlan Iskan. “Buang Miliaran Ongkos Belajar”, Ca­tatan Dahlan Iskan, Harian Jawa Pos, 1 Juli 2009. Basuki Sudjatmiko.”The Chung Sen: Pendiri Jawa Pos”, Ensiklopedi Tokoh Indonesia, www.tokohIndo­nesia. com.

Ayam Bakar Wong Solo Heru Cn. “Sinta Nuriyah Protes Hidangan Muktamar NU”, Tempo Interaktif, 28 November 2004.

Uka Fahrurosid “Sukses Berbisnis dengan Manajemen Konflik, http://www.ukafahrurosid.blogspot.com, Februari 2009. Buletin Wongsolo. “Sekilas Perjalanan Hidup dan Usa­ha Puspo Wardoyo”, www.wongsolo.com, 2 Juni 2003.

Catatan-Catatan

Taufik Alwie Dkk, “Poligami Bukan Sekadar Melepas Hasrat Seks”, Majalah GATRA, Nomor 23, April 2003.

313

Bagteria Yuyun Manopol & Rias Andriati. “Nancy Go: Go Glo­bal dengan Bagteria”, Majalah SWA, April 2008. Dian Kuswandini. “V is For Vintage”, The Jakarta Post, 6 Juni 2009.

J.CO Rustika Herlambang. “Harumnya Aroma Kesuksesan”, Majalah Dewi, Edisi September 2007. Henni T Soelaeman. “Di Balik Digdaya Merek-merek Lokal”, Majalah SWA, Mei 2009.

NCS Yuyun Manopol dan Dedi Humaedi Budiyanto Darmas­ tono. “Mantan Profesional Kartu Kredit Sukses di Bisnis Kurir”, Majalah SWA, Juni 2006. Andy F. Noya. “From Zero to Hero”, talk show Metro TV, Maret 2008.

Hotline Advertising Oktamandjaya. “Kuncinya: Mudah Diingat dan Awet”, Koran Tempo, 2 November 2008.

M. MA’RUF

Rikando Somba.”Perselingkuhan yang Membawa Suk­ses”, Harian Sinar Harapan, 21 Januari 2008.

314

Henni T Soelaeman. “Lebih Intens Membangun Keber­ samaan”, Majalah SWA, 4 September 2003. Suli H Murwani. “Hidup Ini Seperti Tumpeng”, Harian Bisnis Indonesia, 24 Desember 2006.

B&B Inc Dwi Wiyana. “Mental Baja Wajah Stainless”, Majalah Tempo, April 2004.

Mizan “Ketika ke Yogya, saya ditunjukkan....” Ninuk Mardiana Pambudy & Bre Redana, “Haidar Bagir: Di­perlukan Perubahan Paradigma” Kompas, 12 Oktober 2008. “Kami tidak tertarik menerbitkan buku....” Ninuk Mardiana Pambudy & Bre Redana, “Haidar Bagir: Di­perlukan Perubahan Paradigma” Kompas, 12 Oktober 2008. “Akhirnya, hampir-hampir tak perlu ditegaskan,” Haidar Bagir dalam “20 Tahun Mazhab Mizan” Mizan Pustaka, 2003.

Purwacaraka Music Studio

, “Sik, Sik, Musik!”, Republika, 21 Mei 2006.

Yandhrie Arvian. “Jadilah Musik Bergerai-gerai”, Ma­jalah Tempo, Edisi 48, Januari 2007. Eva Martha Rahayu, “Lika-liku Memburu Brand yang Layak Di-franchise-kan”, Majalah SWA, November 2005.

, “Kompas” di Mata Para Pembacanya” Kompas, 28 Juni 2009. Muhammad Sulhi. “PK Ojong (1920-1980) Nukilan Kisah Klasik Buat Wartawan”, dipetik dari Inisari dan Suara Tionghoa Indonesia, http://www.madina-sk.com. , “Lahirnya Intisari dan Kompas”, Majalah Intisari, November 2001. Carry Nadeak. “PK Ojong dan Jakob Oetama: Mem­buka

Catatan-Catatan

Kompas

315

Isolasi Mencerdaskan Bangsa”, Gatra Edisi Khusus, Agustus 2008. , Apa dan Siapa. “Jakob Oetama”, Pusat Data dan Analisa Tempo, www.pdat.co.id, 2004. Ignatius Haryanto. “Jurnalisme Kepiting Jakob Oetama”, Majalah Pantau, Edisi Juni 2002.

Ciputra Development Universitas Negeri Bangka Belitung. “Ciputra, Pengusa­ha asal Sulawesi Tengah,” http://www.ubb.ac.id. Talk show Kick Andy, Metro TV, Jumat, 24 Oktober 2008. , Apa dan Siapa. “Budi Brasali (Lie Toan Hong),” www.pdat.co.id, 2004. , “Janji-Janji Kosong Ciputra”, Majalah Tempo Edisi 05/XXXI, 1 April 2002. , “Keputusan 7: GOD has more in STORE!”, http://www.ciputra.org.

TEMPO

M. MA’RUF

Coen Husain Pontoh, “Konflik Nan Tak Kunjung Padam, dalam Andreas Harsono Dkk. Jurnalisme Sastra­wi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat”. Temprint, 2005

316

CNI Yuyun Manopol & S Ruslina. “Sosok Sang Perintis di Balik Sukses CNI”, Majalah SWA, April 2006. , “Menaklukkan Pasar dengan Langkah Kreatif”, Majalah Eksekutif, Edisi 31/XXIII, Oktober 1993.

Susi Air Elly Roosita. “Perempuan Pemberani Itu Susi Nama­nya”, Harian Kompas, 14 Januari 2005. Yuyun Manopol & Sigit A Nugroho. “Susi Pudjiastuti Terbang Makin Tinggi”, Majalah SWA, Maret 2009. , “Susi Pudjiastuti, Pengusaha Tangguh dari Pangandaran” , Indofamily.net, 3 Juni 2008. Andi F Noya. “From Zero to Hero”, Talk Show Kick Andy, Metro TV, 30 Maret 2008. “Danang J. Murdono dan Layana Susapto. “Susi Pudji­astutri: Hanya Akan Berinvestasi di Daerah dengan Perda Ramah Lingkungan”, Sinar Harapan, 3 Juni 2006.

Maspion , “Saya Satu-Satunya Konglomerat yang Kembali Saat Kerusuhan Mei 1998” Warta Eko­nomi, September 2007. , “Ada Kerisauan yang Mendalam di Hati Pengusaha Terkemuka di Jawa Timur Ini”, Sinar Harapan, 4 April 2002.

Log Zhelebour Production

Aguslia Hidayah. “Gairah Usia Senja Log Zhelebour”, tempointreaktif.com, 5 April 2009.

Ceres Teguh S Pambudi. “Tiga Menguak Cokelat”, Majalah SWA, Oktober 2008.

Catatan-Catatan

, “Festival Rock Indonesia versi Log Zhelebour”, www.liveconnector.com, 9 Juli 2009.

317

Harvest Firdanianty dan Rias Andriati. “Geliat King di Pasar Baru”, Majalah SWA, Desember 2007. Hilda Sabri Sulistyo. “Sukses Bangun ‘Pabrik’ Kata Mutiara,” Wawancara dalam rubrik entrepreneur CBN, www.cbn. co.id, 20 November 2002.

Tung Desem Waringin Hermawan Aksan. “Ide Gila Marketing Tung Desem Waringin” Penerbit Hikmah (Mizan Group), 2008. Ridwan Habib, “Tahun Depan Lahirkan Dua Juta Orang Kaya Baru”, Harian Jawa Pos, 13 Juli 2007. Djony Edward. “Tebar duit, Tung Desem”, Bisnis Indo­nesia, 3 Juni 2008.

Rudy Hadisuwarno Dudi Rahman dan Dudun Parwanto. “Dari Garasi Mematut Rambut,” Majalah GATRA, Desember 2002. , “Pria-Pria Sukses berkat Rambut”, Harian Radar Jogja, 29 Juni 2009.

M. MA’RUF

, “Rahasia Sukses Rudy Hadisuwarno: Pe­ rencanaan, Inovasi, Konsistensi, & Team Work”, vibizlife.com.

318

Sahid Hotel , “Apa yang Anda Lakukan di Bulan Madu?” Kompas, 4 Juni 2003. , “Si Raja Hotel yang Ambisius”, www. rumahebook.com. Ridwan Anshori. “Awal Karier Bekerja sebagai Bell Boy” Harian Seputar Indonesia, 13 Juni 2009.

, “Buku yang Hidup untuk Sukamdani Sahid”, Harian Jawa Pos, 12 Maret 2008. Nur Hidayati. “Sukamdani, Berbisnis Saja Tak Cukup”, Kompas, 1 April 2008.

Martha Tilaar Wiratmadinata dan Jayani. Suplemen GATRA, Nomor 23, 21 April 2003. , “Apa dan Siapa. Martha Tilaar”, Pusat Data dan Analisa Tempo, www.pdat.co.id, 2004 Haposan Tampubolon. “Sariayu Bermula dari Garasi”, Ensiklopedi Tokoh Indonesia, www.tokohindone­sia. com Nieke Indrietta. “Martha Tilaar Kesal Produk Nasional Ditolak di Negeri Sendiri,” tempointeraktif.com, 16 Juni 2009. Hadi Suprapto, Elly Setyo Rini. “Martha Tilaar Hampir Kolaps Saat Krisis 1997”, www.vivanews.com, 17 Juni 2009.

Matahari Audrey G. Tangkudung. “Bisnis Ritel Nasional Tetap Penuh Harapan”, Sinar Harapan, 21 Februari 2002.

, “Kesaksian Juragan Ritel Indonesia: Ber­tobat Karena Anaknya”, http://www.gsn-soeki.com.

Astra Internasional , “Apa dan Siapa, William Soeryadjaya”, Pusat Data dan Analisa Tempo, www.pdat.co.id, 2004

Catatan-Catatan

Setri Yasra dan Metta Dharmasaputra. “Tidak Pernah Menyesal Melepas Matahari”, Wawancara, Maja­lah Tempo, Oktober 2004.

319

Arif

Zulkifli Dkk. “Malam yang Menenggelamkan Soeryadjaya”, Majalah Tempo, Edisi 26/XXXI, Agustus 2002.

Unggul Wirawan dan Willy Hangguman. “William Soerjadjaja: Andalkan Resep Saling Memberi”, Suara Pembaruan, Edisi 15 Januari 2007. AM Lilik Agung. ”Karakter Moral Pemimpin”, Bisnis Indonesia, 19 Desember 2008. Sen Tjiauw. ”Imperium Soeryadjaya Masih Berjaya”, Majalah Trust, Desember 2002.

MQ Corp , “K.H. Abdullah Gymnastiar: Sosok Kyai-nya Kawula Muda,” dudung.net, 22 Maret 2005. Hidayat Gunadi dan Ida Farida. “Abdullah Gymnastiar: Meracik LimaMu Menuai Sukses,” Gatra, Desem­ber 2002.

Bakrie & Brothers , “Tentang Haji Achmad Bakrie (1916-1988)”. Freedom Institute, www.freedom-institute.org. , “Aburizal Bakrie: Terkaya Se-Asia Tengga­ra”. Tokoh Indonesia, www.tokohindonesia.com.

M. MA’RUF

Abraham Runga Mali. “Bakrie & Brothers, dari Krisis ke Krisis”, Bisnis Indonesia, 28 Oktober 2008.

320

Alfamart S. Ruslina dan Dede Suryadi, “Kembalinya Djoko Susanto ke Bisnis Rokok”, Majalah SWA, Februari 2009.

Blue Bird , “Apa dan Siapa, Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono”. Pusat Data dan Analisa Tempo, www. pdat.co.id, 2004. Darmawan Sepriyossa Dkk. “Kami Punya Pilot, Bukan Sekadar Sopir” Harian Republika, 10 Juni 2007.

Indofood , “Membangun Kerajaan Dagang”, Blog, http:// ukafahrurosid.blogspot.com. , “Apa dan Siapa, Sudono Salim”, Pusat Data dan Analisa Tempo, www.pdat.co.id, 2004.

Catatan-Catatan

Bayu Asmara. “A Giant Integrated Food Company. Riset MarkPlus Consulting” www.kompas.com, 15 Mei 2009.

321

Indeks

A Abdillah Toha, 131 Abdullah Gymnastiar, 273 Abdul Rahman, 44 Abdurrahman Wahid, 89 Abi Thalib, Ali bin, 275 Aburizal Bakrie, 160, 198, 246, 282, 283 Achmad Bakrie, 281 Achmad Sujudi, 92 Ada Band, 17 Adang Daradjatun, 122 Addie Muljadi Sumaatma­dja, 139 Ade Rai, 94 Adrie Nurmianto Subono, 185 Affan, Usman bin, 275 Afrika, 40, 53, 112 Agnes Monica, 94 Agung Gunmartin, 274 Agung Handaya, 172 Ahmad Syafii Maarif, 134 Ahmad Yani, 143, 146 Air Asia, 8 A Kardjono, 13 Ali Abdullah, 131

Alie Yafie, 134 Ali Sadikin, 295, 298 Allen, Paul, 251 Allen, Robert G., 227 Amerika Serikat, 8, 20, 34, 37, 48, 65, 84, 85, 110, 115, 116, 127, 133, 139, 145, 161, 181, 186, 207, 226, 229, 231, 234, 237, 240, 241, 243, 245, 251, 258, 261, 274, 284 Amien Rais, 134 Andrea Hirata, 130 Andrie Wongso, 218 Anggun C. Sasmi, 110 Anindya Bakrie, 285 Anisa Nasution, 106 Anis Baswedan, 142 Anis Hadi, 131 Annie Nento, 60 Artalita Suryani, 209 Asia, 8, 42, 74, 95, 155, 158, 184, 214, 256, 287, 300 Asma Nadia, 134 Au Bintoro, 70 Australia, 6, 7, 14, 40, 87, 184, 240, 260, 295, 299

322

B babi, 154, 240 Bahtiar Effendi, 134 Bakar, Abu, 275 Bali, 6, 67, 107, 126, 149, 186 Balikpapan, 67, 96, 241 Bambang Mustari “Bob” Sadino, 50 Bandara Adi Sucipto, 234 Bandara Soekarno Hatta, 10, 64 Bandara Supadio, 10 Bandara Tjut Nyak Dien, 180 bandeng, 14 Bandung, 2, 4, 5, 7, 14, 15, 33, 62, 63, 64, 66, 67, 68, 69, 79, 81, 126, 128, 131, 139, 140, 149, 173, 174, 175, 186, 212, 241, 264, 270, 273, 276, 277 Belanda, 51, 52, 55, 146, 213, 251, 264, 282, 298 Bertolomeus Saksono Jati, 14 BJ Habibie, 160, 185 Bob Hasan, 164, 268 Bondan Winarno, 86 box speaker, 71, 72, 75 Boyke Gozali, 205, 208 Budiono Darsono, 43, 44 Budiyanto Darmastono, 118 Buya Hamka, 273

C Cabra College, 14 Carey, Mariah, 187 Chandra Djojonegoro, 167 Chandra Suharto, 295 Chitnis, Leela, 200 Chris John, 94 climbing, 129

cumi, 182 customized, 4

D D’Massive, 17 Dahlan Iskan, 95, 97, 150, 191 Deliar Noer, 134 demand created own supply, 132 Dhammoo Punjabi, 26 distribution outlet, 5, 14, 67 Djoko Susanto, 289 Djuhar Sutanto, 300 door to door, 3, 27, 40, 175, 220, 235, 253

E e-commerce, 44 EasyJet, 8 Edy Zaqeus, 55 Elfa Secioria Hasbullah, 139 Elizabeth, 200 Elma Theana, 123 Emha Ainun Nadjib, 133 enterpreneurship, 81 Eric Samola, 95, 161 Eropa, 8, 32, 52, 53, 58, 61, 69, 74, 112, 117, 184, 185, 215, 254, 285

F Fachry Ali, 134 fashion marketing, 14 Fatmawati Soekarno, 59 Fauzi Bowo, 122 Fernandes, Tony, 8 Fikri Jufri, 95, 160, 161, 162, 164, 165 Filipina, 40, 129, 187, 201, 214, 215, 216 franchise, 65, 84, 87, 88, 210, 242 Frans Seda, 146

Indeks

Auw Jong, Peng Koen, 143 ayam, 23, 51, 52, 56, 103, 105, 106

323

FR Siwi, 14

G gajah, 112, 292 Gan, Adrian, 112 Gate, Bill, 251 global positioning system, 297 Go, Nancy, 110 Gobel, Thayeb Mohammad, 57 Gobind Punjabi, 26 Goenawan Muhammad, 95 go international, 65 google, 251 Go Soe Loet, 30, 31 GS Fame Institute of Bu­siness, 14 Gunawan Muhammad, 160, 162, 165

H Haji-Ioannu, Stelios, 8 hard sell, 230 Hari Darmawan, 258 Hari Dharmawan, 54 Harjono Trisnadi, 162 Harun Nasution, 133 head to head, 163, 261 Helvy Tiana Rossa, 134 Hermana Yusuf, 6 Hoan, Tjie Tjin, 152 holding company, 79 human interest, 148

M. MA’RUF

I

324

Ibrahim Risjad, 300 ikan, 112, 182, 183, 184, 259 ilmu laduni, 275 Imam Prasodjo, 229 Imam Sukarto, 63 Imelda Fransisca, 75 Incredibles, The, 14 Inggris, 18, 52, 111, 146, 200, 207, 229, 241, 254

Institut Kepariwisataan Nusantara, 6 Institut Teknologi Bandung, 63, 74, 131, 138, 283 Institut Teknologi Suraba­ya, 203 Intan Ratih, 106 Iran, 133 Irawan Hidayat, 90 Irawan Sarpingi, 62, 65 Israel, 85 Italia, 5, 25, 117

J Jackson, Michael, 185 Jakarta Pusat, 10, 21, 83, 175, 205, 239, 253, 260, 299, 304 Jakarta Selatan, 13, 50, 55, 60, 187, 209, 240 Jakob Oetama, 144, 150, 249 Jalaluddin Rakhmat, 134 Jawa, 6, 31, 40, 42, 53, 58, 93, 100, 101, 168, 175, 248, 270, 317 Jawa Barat, 2, 22, 62, 73, 126, 144, 275, 276 Jawa Tengah, 19, 22, 42, 84, 106, 154, 165, 230, 233, 239, 252 Jawa Timur, 31, 40, 58, 95, 176, 188, 190, 226, 285, 298 Jepang, 53, 58, 59, 61, 65, 111, 117, 124, 129, 176, 180, 183, 184, 205, 266, 268, 301 Jerman, 20, 32, 52, 74, 111, 185, 254, 269, 297 Jhonny Andrean, 114 Jimmy Gideon, 27 Johannes Ferdinand Katua­ri, 198 Jusuf Kalla, 65, 121, 191, 285 Juwono Sudarsono, 271

Kalimantan Timur,, 100 Kelleher, Herb, 8 Khattab, Umar bin, 275 Kiyosaki, Robert T., 227 Koma Untoro, 140 Korea, 61 Kotler, Philip, 86 kuda, 62, 126, 229, 305 Kuok, Robert, 287 Kusnan Kirana, 8

L Lampung, 52, 67, 78, 281, 282, 307 Lee, Bruce, 221 Lever, Zeepfabrieken N.V,. 200 Liem Sioe Liong, 249, 300, 303 lobster, 180, 182, 183, 184 London, 14, 241, 254 low cost carrier, 8, 11, 12 Lukman Setiawan, 161, 162 Luna Maya, 175 Lydia Kandou, 27

M M. Riva’i, 63 Makassar, 33, 57, 58, 60, 141, 245 Maladi, 59 Malaysia, 6, 16, 33, 40, 62, 65, 69, 87, 138, 173, 176, 187, 215, 216, 276, 287 Mamay S. Salim, 129 Maria Goreti Murniati, 66 Marie Muhammad, 284 Marius Widyarto, 66 Martin Sunu Susetyo, 14 Masdar F Mas’ud, 134 Matsushita, Konosuke, 58 maverick style, 96 Mbah Maridjan, 94 MC Chuang, 211

McCutcheon, Martine, 110 Medan, 11, 33, 67, 104, 105, 106, 107, 141, 167, 244 meeting point, 18 meticillin resistant stape­lococus aerus, 226 Microsoft, 251 Mohamad Rizal Chatib, 102 Monroe, Marilyn, 201 Moore, Demi, 201 Mooryati Soedibyo, 233 Morris, Phillips, 292, 293 mountainering, 129 multi-level marketing, 172 Murtadha Muthahari, 131 Murdoch, Rupert, 100 Murniati Widjaja, 83

N Naif, 17 Natalie Sarah, 17 Nidji, 17 Ninih Muthmainnah, 276 Nipkow, Paul, 57 Nirina Zubir, 17 Nurcholish Madjid, 101, 133

O Okky Lukman, 17 on line, 6, 46 Onni Syahrial, 27

P Padang, 67 Pahlevi, Syah, 133 Paku Buwono X, 233 Palang Merah Indonesia, 234 Pattiasina, 36 Patung Liberty, 66 Peggy Melati Sukma, 17 Peterpan, 17 Petrus Kanisius Ojong, 144 Phillips, Zara, 110

Indeks

K

325

politic marketing, 122 Pontianak, 10, 33 Prajogo Pangestu, 268 Prancis, 39, 42, 110, 111, 116, 130, 146, 161, 254, 271, 290 Prijanto, 122 Probosutedjo, 248 Bob Proctor, 227 production house, 17, 135 Purdi E Chandra, 78, 140 pure artesia water, 38 Purnomo Prawiro, 295 Puspo Wardoyo, 102, 106 Putu Wijaya, 95, 161

R Raam Punjabi, 26, 28 Rahkmat Sulistio, 90 Rahman, Fazlur, 132 Rasulullah Saw., 275 rating, 28, 141 Rengasdengklok, 14 Rhenald Kasali, 80, 94, 176 Rini MS Soewandi, 271 Robbie Djohan, 67 Robbins, Anthony, 226 Ronny Lukito, 126 Rosihan Anwar, 150, 160, 161 rusa, 112, 154 Rusdi, 8, 9, 10, 11

M. MA’RUF

S

326

S Abrian Natan, 173 Sagunama, Ichiro, 61 Said, Edward, 132 Sandra Dewi, 17 sapi, 14, 184 Saudi Arabia, 62 self flowing spring, 38 Semarang, 33, 63, 81, 83, 84, 91, 92, 104, 106, 142, 149, 231, 245 Setiawan Djodi, 94

Seventeen, 17 show room, 4, 74, 173 Singapura, 16, 38, 40, 62, 65, 69, 87, 101, 115, 116, 129, 138, 171, 176, 183, 187, 210, 214, 215, 216, 231, 249, 270, 271, 282, 300, 304 Sinta Nuriyah, 102 Sjamsoe’oed Sadjad, 55 Slamet Utomo, 37 Soedjono Atmotenojo, 138 Soedomo Margonoto, 30 Soeharto, 43, 44, 46, 60, 149, 160, 170, 262, 265, 300, 304 Soekarno, 58, 143, 145, 146, 147, 155, 160, 212, 265 Soemarno, 155 Soeseno Tedjo, 95 Sofjan Wanandi, 142 Sophia Latjuba, 94, 199 Sosrodjojo, 19, 20, 21, 23 Southwest Airlines, 8 Spanyol, 18, 111 Sri Mulyani Indrawati, 142, 271, 288 Sri Mulyono Herlambang, 56 Subiakto Priosoedarsono, 121 Sudono Salim, 157, 202, 249, 268, 290, 300 Sudwikatmono, 300, 301 Sukamdani Sahid Gitosar­djono, 244 Sukanto Tanoto, 160 suku Asmat, 68 Sukyatno Nugroho, 83 Sulawesi, 6, 152 Sumatera, 6, 9, 16, 81, 143, 181, 244, 282 Sumatera Utara, 11, 104, 105, 244, 305 Sumitro Djojohadikusumo, 268 Sunan Paku Buwono XII, 233 Supiyati, 106 Surabaya, 25, 31, 32, 33, 57,

95, 107, 186, 189, 190, 192, 195, 241, 245 Susilo Bambang Yudhoyo­no, 121, 191 Susi Pudjiastuti, 180 Sutiyoso, 122 Suzy Dharmawan, 54 Syamsul Arifin, 123 Syariati, Ali, 131

T Taiwan, 33, 34, 61, 143, 218 Tanri Abeng, 283 Taufiq Ismail, 161 Tautou, Audrey, 110 Taylor, Elizabeth, 201 Thabathai, Muhammad Husain, 131 Thailand, 37, 169, 216 Theresia Alit Widyasari, 14 Thomas, Benjamin, 20 Thompson, Emma, 110 Timur Tengah, 33, 40, 69, 85, 133, 301 Tirto Utomo, 36, 42 Tommy Winata, 160 Too Goan Cuan, 30 Tora Sudiro, 17 Tornatore, Giuseppe, 25 travel agent, 9 Trie Utami, 139 trust management, 74 Tukiman Darmowijono, 83 Tung Desem Waringin, 223, 225

Universitas Krisnadwipa­yana, 57 Universitas Padjadjaran, 175 Universitas Pancasila, 9 Universitas Parahyangan, 66 Universitas Sebelas Maret, 103 Universitas Sorbonne, 130 Universitas Trisakti, 172, 240 UPN Veteran, 80 Urip Tri Gunawan, 209

W Warner Music Group, 8 Widjojo Hartono, 97 Wien Widjanarko, 80 Wim Umboh, 26 Witehead, Josephe, 20

Y Yayan Sopyan, 44 Yenny Setia Widjaja, 83 Yogyakarta, 18, 63, 67, 79, 90, 130, 132, 133, 144, 234, 241, 245, 248, 253

Z Zaenal Abidin, 131 Zainudin MZ, 273 Zidane, Zinedine, 39

udang, 14, 182, 183, 184 Ujung Pandang, 67 Universitas Gadjah Mada,, 78, 132, 172, 234 Universitas Indonesia, 52, 176, 229, 237, 297, 298

Indeks

U

327

MILIKI! BUKU MENARIK LAINNYA ...

101 IDE BISNIS TANPA KANTOR Penulis : Sulistyawati N Tebal : 208 halaman Harga : Rp 34.000,-

100 GREAT BUSINESS IDEAS Penulis : Emily Ross dan Angus Holland Tebal : 344 halaman Harga : Rp 69.000,-

Apabila Anda menemukan cacat produksi—berupa halaman terbalik, halaman tak berurut, halaman tidak lengkap, halaman terlepas-lepas, tulisan tidak terbaca, atau kombinasi dari hal-hal di atas— silakan kirimkan buku tersebut beserta alamat lengkap Anda kepada: Bagian Promosi, Penerbit Hikmah (PT Mizan Publika) Gedung MP Book Point Jln. Puri Mutiara Raya No. 72, Cilandak Barat, Jakarta Selatan, 12430 Untuk informasi, saran, kritik, dan keluhan, silakan hubungi: Telp.: 021-75915762/63, Faks.: 021-75915759 Email: [email protected], [email protected] * Selain buku yang cacat, sertakan juga bukti pembelian, fotokopi biaya kirim buku, dan buku yang dibeli adalah yang terbit tidak lebih dari 6 bulan. Penerbit Hikmah akan mengganti buku Anda dengan buku baru (dengan judul yang sama) plus bonus buku lain sebagai hadiah serta mengganti ongkos kirimnya.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF