(4)Referat - Afasia - Dr. Fenny, Sp.S (K) (Autosaved)
September 25, 2017 | Author: gisnamartha | Category: N/A
Short Description
afasia saraf...
Description
REFERAT Afasia
Oleh : Florensiana O. P. Manafe (11-2013-146)
Pembimbing: dr. Fenny L. Yudiarto, SpS (K)
KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI PERIODE 18 AGUSTUS 2014 – 20 SEPTEMBER 2014 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA RUMAH SAKIT MARDI RAHAYU KUDUS 1
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas kasih dan kemurahan-Nya penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Afasia”. Penyusun menyadari dalam penulisan dan pembahasan referat ini masih banyak kekurangan dan masih banyak yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna menambah ilmu dan pengetahuan penyusun dalam ruang lingkup Ilmu Penyakit Saraf, khususnya yang berhubungan dengan referat ini. Tak lupa penyusun ucapkan terima kasih pada dokter pembimbing di Departemen Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus, atas ilmu dan bimbingannya selama ini selaku pembimbing dalam penyusunan referat. Semoga referat ini bermanfaat bagi para pembaca. Kudus, September 2014 Penyusun
DAFTAR ISI Cover........................................................................................................................................1 Kata Pengantar..................................................................................................................... 2 Daftar Isi............................................................................................................................. 3 BAB I
Pendahuluan................................................................................................ 4
BAB II
Insidensi Afasia............................................................................................. 5 Jenis-jenis Afasia..........................................................................................5 2
Cara Pemeriksaan Afasia................................................................................8 Penatalaksanaan Afasia..................................................................................10 Prognosis Afasia.............................................................................................11 BAB III
Penutup......................................................................................................... 12
Daftar Pustaka....................................................................................................................... 13
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Afasia adalah gangguan neurologis yang disebabkan oleh kerusakan pada bagian otak yang bertanggung jawab untuk fungsi bahasa. Tanda-tanda utama dari gangguan ini termasuk kesulitan dalam mengekspresikan diri ketika berbicara, kesulitan memahami pembicaraan, dan kesulitan dalam membaca dan menulis. Afasia bukanlah penyakit, tetapi merupakan gejala kerusakan otak.1 Afasia dapat terjadi pada berbagai kondisi serebrovaskular, trauma, dan degeneratif. Di Amerika Serikat, jumlah pasien dengan gangguan bahasa sekunder untuk trauma otak, tumor otak, dan lesi otak lain seperti malformasi arteriovenosa belum diketahui secara pasti. Pasien dengan gangguan neurodegeneratif seperti penyakit Alzheimer dan 3
demensia frontotemporal sering menyebabkan defisit bahasa. Prevalensi penyakit Alzheimer di Amerika Serikat adalah sekitar 5 juta kasus.1
BAB II PEMBAHASAN
Fungsi Bahasa Afasia terjadi ketika lesi pada otak menyerang bagian korteks primer yang menyebabkan defisit refleks daerah yang bersangkutan (misalnya hemiparesis yang menyerang lobus fronalis posterior, atau kelainan lapang pandang yang disebabkan karena lesi di oksipital) Insidensi Afasia Berdasarkan National Stroke Association (2008), insidens afasia di Amerika Serikat adalah 80.000 kasus baru per tahun. Sedangkan prevalensinya, menurut National Institute of
4
Neurological Disorders and Stroke (NINDS) memperkirakan mendekati 1 juta orang, atau 1 dari 250 di Amerika Serikat saat ini, sembuh dari afasia. Engelter dkk (2006) menyatakan bahwa 15% individu di bawah umur 65 tahun bisa mengalami afasia; presentase ini meningkat 43% untuk individu yang berusia 85 tahun atau lebih. Tidak ada perbedaan yang bermakna dalam insidens antara pria dan wanita. Tetapi ada penelitian oleh National Aphasia Association (2011) yang menyatakan bahwa afasia Wernicke dan afasia global biasanya lebih sering diderita oleh wanita. Sedangkan, afasia Broca lebih sering diderita oleh pria.2 Jenis-jenis Afasia 1. Afasia Wernicke (Afasia Sensoris) Kerusakan pada lobus temporal (gyrus temporalis superior). Biasanya dijumpai pada pasien dengan stroke non hemoragik yang mempengaruhi bagian inferior dari arteri serebri media yang memperdarahi lobus temporalis. Pasien dengan afasia jenis ini bisa berbicara dengan kalimat yang panjang dan lancar namun tidak ada artinya, ia dapat menambahkan kata-kata yang tidak penting (neologisme), bahkan dapat menciptakan istilah-istilah baru yang tidak mempunyai arti pula. Hasilnya, kita akan sulit mengerti apa yang coba disampaikan olehnya. Pada afasia Wernicke, penamaan dan pengulangan bisa terganggu, tetapi masalah yang paling signifikan adalah gangguan pada pemahaman bahasa. Selain itu fungsi membaca dan menulis pun dapat ikut terganggu.3,4 2. Afasia Brocka Kerusakan di daerah gyrus frontalis inferior/operculum frontal (area 44). Gejala yang dialami yaitu berbicara dengan frase yang pendek-pendek (terdiri dari kata benda dan kata kerja, tanpa penghubung), berbicara tanpa intonasi dan akan mengalami kesulitan dalam berbicara spontan, penamaan dan pengulangan. Orang dengan afasia Brocka bisa menjadi pendiam, disartria bahkan hipofonik. Gangguan menulis biasanya sebanding dengan gangguan bahasa yang dialami. Dan gangguan membaca biasanya lebih sering terganggu daripada pemahaman pendengaran. Pasien selalu memiliki defisit pemahaman. Tanda-tanda lain yang dapat dijumpai yaitu buccofacial apraxia atau apraxia pada anggota badan. 3. Afasia Global Jenis afasia ini, pasien memiliki defisit dalam semua aspek bahasa: pidato spontan, penamaan, pengulangan, pemahaman pendengaran, membaca, dan menulis. Afasia global mungkin hasil dari stroke, tumor, demensia, atau penyebab lainnya. 5
Afasia global sering terlihat pada pasien dengan infark besar belahan otak kiri, biasanya melibatkan oklusi pada arteri karotis interna atau arteri serebri dan menghasilkan infark besar yang berbentuk baji dari frontal, temporal, parietal, dan bagian-bagian yang mendalami wilayah arteri serebri.3,4 4. Afasia Transkortikal a. Motorik Afasia transkortikal motorik adalah afasia dengan lesi primer yang tidak melibatkan korteks bahasa tetapi melibatkan daerah korteks asosiasi. Menurut definisi, pasien dengan afasia transkortikal bisa mengulang, tetapi mereka memiliki kesulitan penamaan atau berbicara spontan atau memahami pembicaraan lisan. Pasien dengan afasia transkortikal motorik dapat memahami pidato, tetapi ia mengalami hipofonik dan gangguan pada penamaan benda. Kadang-kadang mereka berbicara hanya dalam satu kata, setelah penundaan, atau dengan suara yang lembut. Afasia transkortikal motorik melibatkan defisit dalam inisiasi pidato, mengurangi panjang frase, dan tata bahasa yang abnormal. Sifat bisu mungkin ada pada awal timbulnya afasia. Fungsi pengulangan baik, dan ini yang bisa digunakan untuk membedakan pasien dengan afasia Broca yang tidak bisa mengulang dengan lancar. Pada beberapa pasien, stroke di wilayah arteri serebral anterior adalah penyebabnya. b. Sensorik Dalam afasia transkortikal sensoris, pasien dapat berbicara dengan lancar, tetapi sering kosong atau tidak ada artinya. Pasien juga mengalami defisit yang parah dalam pemahaman berbicara. Penamaan mereka sering tidak normal. Secara umum, mereka bertindak seperti pasien dengan afasia Wernicke, kecuali fungsi pengulangan pasien ini lebih baik. Biasanya dijumpai pada penyakit Alzheimer dan demensia progresif lainnya, serta pada pasien dengan stroke dengan lesi bilateral di korteks parieto-oksipital atau lesi pada temporo-oksipital korteks kiri. c. Campuran Pada afasia transkortikal campuran, juga disebut sindrom isolasi daerah berbicara, melibatkan kemampuan untuk mengulang tapi tidak dapat menghasilkan bahasa spontan atau memahami bahasa. Pasien dapat mengulang dan dapat menyelesaikan frase umum yang dikatakan oleh 6
pemeriksa. Fungsi mambaca dan menulisnya terganggu. Afasia ini menyerupai afasia global, kecuali pada fungsi pengulangannya yang baik. 5. Afasia Konduktif Kerusakan pada gyrus supramarginal dan gangguan pada hubungan subkortikal dalam fasciculus arcuata. Bahasa yang dikeluarkan lancar, meskipun terkadang pasien
sering membuat
kesalahan
dan berhenti sejenak
untuk
memperbaikinya. Dalam hal penamaan, membaca dan menulis biasanya tidak terganggu. Sedangkan yang khas pada pasien dengan afasia konduktif adalah fungsi repetitifnya dapat terganggu.3,4 6. Afasia Anomik Afasia anomik kurang spesifik dalam lokalisasi lesi, jika dibandingkan dengan afasia jenis lain yang telah disebutkan sebelumnya. Afasia anomik dapat terjadi dengan lesi di korteks frontal dorsolateral, temporal atau temporo-oksipital korteks, atau thalamus. Tumor lobus temporal kiri dan pada penyakit Alzheimer dini bisa menyebabakan afasia anomik. Pasien dengan afasia anomik biasanya berbicara dengan lancar, fungsi bahasa seperti : pengulangan, pemahaman, membaca, dan menulis dalam keadaan baik, tetapi terdapat ketidakmampuan untuk menamai benda dan bagian tubuh.3,4 7. Afasia Subkortikal Lesi terkait pada nucleus caudatus, putamen anterior, dan kapsula interna dengan sindrom afasia non-fluent, sering dengan disartria dan dengan pengulangan dan pemahaman yang lebih baik daripada afasia Broca. Sindrom ini disebut sindrom afasia subkortikal anterior. Bila lesi meluas ke daerah temporal dan bagian subkortikal dari Wernicke maka afasia global dapat terjadi. Diagnosis afasia subkortikal lebih didasarkan pada pencitraan lesi subkortikal dari pada karakteristik bahasa tertentu dari sindrom afasia yang bisa ditemukan pada bedside examination.4 Cara Pemeriksaan Penilaian ini harus cukup luas untuk mendeteksi kelainan bahasa pada pasien yang diduga menderita afasia. Setiap komponen bahasa harus diuji secara individu dan secara menyeluruh. Komponen pemeriksaan bahasa tersebut mencakup penilaian dari pembicaraan spontan, penamaan, pengulangan, pemahaman, membaca, dan menulis. 1. Kelancaran Berbahasa Kelancaran berbicara verbal merupakan refleksi dari efisiensi menemukan kata. Bila kemampuan ini diperiksa secara khusus dapat dideteksi masalah berbahasa yang 7
ringan pada lesi otak yang ringan atau pada demensia dini. Misalnya dengan menyebutkan nama hewan sebanyak mungkin dalam waktu 1 menit. Skor : orang normal umumnya mampu menyebutkan 18-20 hewan selama 1 menit dengan variasi +/- 5-7. Usia pun merupakan faktor yang berpengaruh. Orang normal di bawah 69 tahun akan mampu menyebutkan 20 nama hewan dengan simpang baku 4,5. Dan akan menurun seiring dengan bertambahnya usia. Atau dengan tes yang lain yaitu dengan menyebutkan kata yang dimulai dengan huruf tertentu, yaitu A, S, dan P. Tidak termasuk nama orang atau kota. Skor : orang normal menyebutkan 36-60 kata sesuai tingkat usia, pendidikan dan intelegensinya. Jika < 12 kata menunjukkan adanya defisit neurologis. 2. Pemeriksaan Pemahaman Konversasi : dengan mengajak pasien bercakap-cakap Suruhan : memberikan suruhan mulai dari yang sederhana sampai ke yang kompleks, disesuaikan dengan tingkat usia, pendidikan dan intelegensinya. Dapat pula dengan mengeluarkan beberapa benda, lalu menyuruh pasien menunjuk benda pertama, kemudian benda kedua, ketiga dan seterusnya. Pasien dengan afasia, mungkin hanya bisa menunjuk 1-2 benda saja secara berurutan sesuai dengan yang diperintahkan. “Ya atau tidak” : memberikan pertanyaan tertutup paling banyak 6, lalu meminta pasien untuk menjawabnya dengan ya atau tidak. Menunjuk : meminta pasien menunjuk, mulai dari yang sederhana misalnya “tunjuk lampu!” sampai “tunjuk orang yang disamping pintu!” 3. Pemeriksaan Repetisi Pasien disuruh mengulang kata-kata yang diucapkan oleh pemeriksa. Mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks, dari 1 kata sampai 5-6 kata. Orang normal mampu mengulang sampai 19 suku kata. 4. Pemeriksaan Menamai dan Menemukan Kata Menyuruh pasien untuk menyebutkan objek yang ada di ruangan : meja, kursi, lampu, TV. Dan bagian dari tubuh : mata, hidung, gigi, jari. Warna : merah jingga kuning. Bagian dari objek : jarum jam, lensa kaca mata, sol sepatu. Gunakan 20 objek. Lihat apakah pasien sama sekali tidak bisa menamai, atau pasien tahu fungsi atau karakteristik objek tersebut namun tidak bisa menamainya. 5. Pemeriksaan Membaca dan Menulis Pada lesi di frontal, pemahaman terhadap bahasa lisan dan tulisan kurang terganggu dibandingkan dengan kemampuan mengemukakan isi pikiran. Menulis sering tidak mungkin atau sangat terganggu, baik motorik menulis maupun isi tulisan. 8
Sedangkan pada lesi di temporo-parietal : bahasa lisan dan tulisan tidak atau kurang difahami, dan menulis secara motorik baik. Namun isi tulisannya tidak menentu.5,6 Selain dengan pemeriksaan fungsi bahasa di atas maka dapat dilakukan pencitraan, yang biasa dilakukan untuk menilai tingkat kerusakan otak. Dua jenis pencitraan yang paling banyak digunakan dalam mendiagnosis afasia adalah: 1. Computerized Tomography (CT) Scan 2. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Adapun cara yang kurang umum dikerjakan, yaitu Positron Emission Tomography (PET) Scan dapat digunakan untuk menilai keadaan dan fungsi otak. PET Scan biasanya hanya digunakan untuk melakukan penelitian klinis di pusat-pusat spesialis. PET scan bekerja dengan mendeteksi energi yang dihasilkan oleh positron (partikel bermuatan positif). Hal ini memungkinkan peneliti untuk mempelajari sejumlah proses di dalam otak, seperti aliran darah, peradangan, dan pelepasan dopamin (zat kimia yang terkait dengan kenikmatan fisik). Oleh karena itu, PET scan dapat memberikan wawasan tentang bagaimana otak berfungsi, serta hanya melihat apa yang tampak seperti. Jenis informasi dapat berguna dalam mendiagnosa afasia yang terkait dengan kerusakan progresif pada otak, seperti kerusakan yang disebabkan oleh penyakit Alzheimer.7 Penatalaksanaan Pengobatan pasien dengan afasia tergantung pada penyebab dari sindrom afasia. Misalnya lakukan pengobatan stroke akut terlebih dahulu dengan intervesi pengobatan (tergantung pada patofisiologinya). Bedah untuk hematoma subdural atau tumor otak mungkin bermanfaat. Dalam infeksi seperti herpes simpleks ensefalitis, terapi antivirus dapat membantu pasien sembuh. Adapun setelah underlying diseases telah teratasi, maka terapi afasia dapat dilakukan, yaitu dengan cara : Medikamentosa 1. Pengobatan afasia yang dianggap eksperimental; dopaminergik, kolinergik, dan obat perangsang telah dicoba, tetapi dalam penelitian besar menyatakan bahwa tidak ada manfaat yang jelas. Dalam afasia progresif primer, obat yang digunakan untuk penyakit Alzheimer belum terbukti bermanfaat (dan kekurangan kolinergik tidak jelas seperti pada penyakit Alzheimer). 9
2. Pemberian obat antidepresan SSRI telah terbukti membantu masalah emosional dan perilaku. Uji klinis skala kecil dari pengobatan untuk afasia telah dilaporkan dan menunjukkan manfaat. 3. Adapula dalam penelitian double-blind, placebo-controlled, studi kelompok paralel, Berthier et al mengamati pengaruh memantine dan constraint-induced aphasia therapy (CIAT) pada afasia pasca stroke kronis dan menunjukkan efek yang menguntungkan. Non-Medikamentosa 1. Terapi bicara adalah perawatan andalan untuk pasien dengan afasia. Waktu dan sifat dari intervensi untuk afasia sangat bervariasi. Namun beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa terapi bicara ini tidak meningkatkan hasil klinis pada pasien dengan afasia. 2. Teknologi baru sedang diterapkan untuk aphasia. Beberapa uji coba awal menunjukkan manfaat dari stimulasi magnetik transkranial pada pasien dengan afasia. 3. Dukungan psikologis penting. Banyak pasien dengan afasia menderita depresi.4 Prognosis Prognosis dari afasia sulit untuk diprediksi mengingat berbagai variasi kondisi. Umumnya, orang yang lebih muda atau memiliki kerusakan otak yang relatif kecil, prognosis lebih baik. Lokasi cedera juga penting sebagai petunjuk lain untuk prognosis. Secara umum, pasien cenderung untuk memulihkan keterampilan dalam pemahaman bahasa lebih lengkap dibandingkan keterampilan yang melibatkan ekspresi.7
10
BAB III PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan data yang diperoleh di atas, maka dapat disimpulkan bahwa afasia bukanlah suatu penyakit, tetapi sekumpulan gejala penurunan fungsi bahasa. Afasia bisa menyertai penyakit-penyakit yang menyerang otak, seperti penyakit serebrovaskular, tumor otak dan trauma otak yang menyerang pusat bahasa di otak. Afasia dapat didiagnosa dengan 2 cara yaitu pemeriksaan di samping ranjang (bedside examination) dan pencitraan untuk memastikan letak dan luasnya kerusakan otak yang menyebabkan seseorang menjadi afasia. Afasia sendiri dapat diobati, baik dengan farmakologis maupun dengan menggunakan terapi non farmakologis yang sering dilakukan, yaitu SLT (Speech-Language Therapy).
11
DAFTAR PUSTAKA 1. National Aphasia Association (2011). Diambil dari : http://www.aphasia.org/content/aphasia-definitions 2. American Speech Language Hearing Association (2012). Diambil dari : http://www.asha.org/PRPSpecificTopic.aspx?folderid=8589934663 3. Mardjono M, Sidharta P. Tata pemeriksaan klinis dalam neurologi. Jakarta : Dian Rakyat;2012.h.571-2. 4. Kirshner SR, et al. Aphasia clinical precentation. Update : 27 Maret 2014. Diambil dari : http://emedicine.medscape.com/article/1135944-clinical#a0217 5. Lumbantobing, SM. Neurologi klinik. Jakarta : Balai Penerbit FK UI;2005.h.156-75. 6. Brust JCM. Current diagnosis and treatment neurology. USA : The McGraw-Hill Companies,Inc;p.35. 7. National Institute of Health NIH Pub. No. 97-4257 (2008). National Institute on Deafness and Other Communication Disorders. Diambil dari : http://www.nidcd.nih.gov/health/voice/pages/aphasia.aspx#types
12
View more...
Comments