3. Anti Nutrisi Pada Pakan

December 6, 2017 | Author: Terry Selvy | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Anti Nutrisi Pada Pakan...

Description

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman

yang

dapat

dijadikan

sumber

bahan

pakan

umumnya memiliki potensi untuk memproduksi senyawa kimia tertentu yang digunakan untuk mempertahankan diri dari gangguan infeksi oleh jamur, bakteri dan insekta ataupun predator lainnya. Akan tetapi senyawa tersebut jika terkonsumsi oleh manusia atau ternak

dapat

mengakibatkan

gangguan

penampilan

seperti

pertumbuhan, kesehatan, produksi, penurunan Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH), pernafasan bahkan dapat menyebabkan kematian pada waktu dan dosis tertentu. Hal ini dikarenakan terhambatnya kerja enzim pencernaan tertentu. Senyawa-senyawa tersebut dikenal dengan istilah anti nutrisi. Janssen (1996) menjelaskan bahwa, senyawa yang terdapat dalam bahan makanan yang dapat menyebabkan keracunan walaupun tidak menjadi media atau senyawa aktif. Jurgens (1997) menyatakan bahwa, didalam tanaman terkandung ribuan macam senyawa,

tergantung

dari

situasi

mereka,

yang

dapat

menguntungkan atau mengurangi pengaruh dari organisma yang mengkonsumsi mereka. Senyawa-senyawa ini, kecuali zat makanan, diartikan

sebagai

“allelochemicals”

atau

senyawa

yang

menyebabkan kematian. Peneliti lain menyatakan hal yang senada bahwa didalam tanaman terdapat senyawa yang merupakan produksi sekunder dari proses metabolisme zat makanan. Senyawa-senyawa anti nutrisi tersebut untuk tanaman itu sendiri berfungsi sebagai pencegah dari serangan predator. Akan tetapi,

bila

terkonsumsi

maka

1

akan

mengganggu

proses

metabolisme zat makanan di dalam tubuh hewan, ternak atau manusia

yang

mengkonsumsinya.

Oleh

karena

itu

senyawa

metabolit sekunder juga merupakan kelompok senyawa antinutrisi. Akan tetapi sampai saat ini belum begitu dimengerti bagaimana mekanisme dari senyawa metabolit sekunder dalam tanaman yang sebenarnya. Menurut beberapa ahli terdahulu (Culvenor, 1970; Rosenthal dan Janzen, 1979) yang dipahami sampai saat ini adalah bahwa senyawa metabolit sekunder yang terdapat di dalam tanaman dapat mencegah atau membatasi serangan dari herbivora. Anti nutrisi dapat mempengaruhi komponen pakan sebelum dikonsumsi,

selama

proses

pencernaan

di

dalam

saluran

pencernaan dan setelah penyerapan di dalam tubuh dengan cara menghambat proses pemanfaatan atau fungsi dari zat makanan, khususnya protein, mineral dan vitamin. Pengaruh negatif dari antinutrisi biasanya tidak mencerminkan senyawa antinutrisi itu sendiri sebagaimana pengaruh langsung dari racun dalam bahan makanan. Dampak dari adanya anti nutrisi di dalam bahan makanan atau pakan adalah terjadinya malnutrisi atau kekurangan gizi atau kondisi gizi yang berada pada batas bawah kebutuhan. Berdasarkan uraian diatas, maka makalah ini akan membahas tentang anti nutrisi pada pakan ternak. 1.2. Tujuan Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa mengetahui dan memahami tentang anti nutrisi, efek anti nutris pada tubuh ternak, dan macam-macam senyawa yang termasuk kedalam anti nutrisi pada pakan ternak.

2

BAB II PEMBAHASAN 2.1. Pengertian Anti Nutrisi Kumar (2003) mendefinisikan anti nutrisi sebagai senyawa yang

dihasilkan

di

dalam

bahan

pakan

alami

oleh

proses

metabolisme normal dan oleh perbedaan mekanisme seperti pengtidakaktifan beberapa zat makanan, interfensi dalam proses pencernaan atau pemanfaatan produk dari proses metabolisme bahan makanan tersebut dengan memberikan pengaruh yang bertentangan terhadap zat makanan secara optimum. Menjadi faktor anti nutrisi bukanlah sesuatu yang hakiki dari senyawasenyawa tersebut melainkan tergantung kepada proses pencernaan zat makanan yang dikonsumsi oleh ternak. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata antinutrisi terdiri dari dua kata dasar yaitu anti dan nutrisi. Anti berarti tidak setuju,

tidak

suka,

tidak

senang.

Nutrisi

memiliki

beberapa

pengertian yaitu, proses pemasukan dan pengolahan zat makanan oleh tubuh, makanan bergizi, ilmu tentang gizi. Oleh karena itu, anti nutrisi dapat diartikan sebagai senyawa bersifat racun yang dapat menghambat proses pemasukan dan pengolahan zat makanan yang ada di dalam tubuh. Anti nutrisi tidak memberikan pengaruh keracunan tersebut secara langsung melainkan dengan cara mengakibatkan

defisiensi

zat

makanan

atau

dengan

cara

mengganggu fungsi dan pemanfaatan zat makanan di dalam tubuh. 2.2. Efek dari Anti nutrisi Komponen makanan yang bisa menyebabkan efek racun tanpa menjadi agen penyebab efek racun itu sendiri. Anti nutrisi bisa mengganggu komponen makanan

3

sebelum diserap selama proses pencernaan didalam saluran makanan, dan setelah diabsorpsi oleh tubuh. Anti nutrisi juga menimbulkan efek toksik secara tidak langsung denganjalan menyebabkan kekurangan nutrisi atau mengganggu kegunaan dan penggunaan nutrisi oleh tubuh kita. Antinutrisi bisa mengganggu penyerapan nutrisi makanan serta menimbulkan efek toksik secara tidak langsung. Anti nutrisi adalah Komponen makanan yang bisa menyebabkan efek racun tanpa menjadi agen penyebab efek racun itu sendiri. Pada akhirnya dapat dinyatakan bahwa anti nutrisi: 1. Bersifat racun tetapi bukan racun sehingga dapat melindungi tanaman dari predator dan sebagai pencegah dari serangan predator. 2. Dapat menyebabkan kematian dan allelochemical. 3. Jika terkonsumsi dapat mengganggu proses metabolisme, pencernaan, penyerapan dan pemanfaatn zat makanan. 4. Dapat mempengaruhi komponen pakan sebelum dikonsumsi, selama proses pencernaan di dalam saluran pencernaan dan setelah

penyerapan

menghambat proses

di

dalam

tubuh

dengan

cara

pemanfaatan atau fungsi dari zat

makanan, khususnya protein, mineral dan vitamin 5. Saat dikonsumsi maka pengaruhnya tidak langsung, berbeda dengan pengaruh racun yang langsung terlihat. 6. Dampak akibat mengkonsumsi anti nutrisi adalah malnutrisi atau

status

nutrisi

berada

dibatas

bawah

kebutuhan

(defesiensi). 2.3. Macam-Macam Senyawa Anti Nutrisi Berdasarkan asal senyawa maka anti nutrisi dapat dibedakan menjadi dua yaitu anti nutrisi alami dan anti nutrisi sintetis (buatan). Janssen (1996) menyatakan bahwa berdasarkan zat makanan yang terganggu proses pencernaan, penyerapan dan atau pemanfaatannya maka anti nutrisi dikelompokkan menjadi 3 macam yaitu anti 4

nutrisi tipe A (anti protein), anti nutrisi tipe B (anti mineral) dan anti nutrisi tipe C (anti vitamin).

Tabel 1. Faktor Antinutrisi yang terdapat di dalam Daun Pohon dan Semak Belukar yang Umum digunakan sebagai Pakan Ternak Senyawa Antinutrisi A. Asam Amino non Protein 1. Mimosin 2. Indospesin B. Glikosida 1. Cyanogen

Spesies Leucaena leucocephala Indigofera spicta Acacia giraffae Acacia cunninghamii Acacia sieberiana Bambusa bambos Barteria fistulosa Manihot esculenta Albizia stipulata Bassia latifolia Sesbania sesban

2. Saponin

C. Phytohemagglutinins 1. Ricin

Bauhinia purpurea Ricinus communis Robinia pseudoacacia

2. Robin D. Senyawa pholypenolik 1. Tannin 2. Lignin E. Alkaloid

Semua tanaman vaskular Semua tanaman vaskular

5

Senyawa Antinutrisi 1. N-methyl-B-phenetylamin 2. Sesbanin

Spesies Acacia berlandieri Sesbania vesicaria Sesbania drummondii Sesbania punicea

F. Triterpen 1. Azadiracthin 2. Limonin G. Oksalat Sumber: Kumar (2003).

Azadirachta indica Azadirachta indica Acacia aneura

2.3.1. Anti nutrisi tipe A (anti protein) Anti nutrisi tipe A adalah senyawa antinutrisi yang terutama sekali mengganggu proses pencernaan protein atau penyerapan asam amino dan pemanfaatan asam amino. Oleh karena itu disebut juga antiprotein. Anti protein pada umumnya terdapat didalam tanaman. Akan tetapi pada beberapa kasus, antiprotein juga terdeteksi ada di dalam obat-obatan, antibiotik dan pestisida. Manusia yang cenderung vegetarian atau hanya tergantung pada protein nabati sebagai sumber protein dalam tubuhnya, umumnya mengalami masalah antiprotein. Hal ini paling banyak terjadi pada masyarakat di negara berkembang. Di negara maju yang kesadaran masyarakat akan pentingnya protein nabati dan hewani cenderung tidak mengalami masalah antiprotein. Mereka mengkonsumsi protein nabati dan hewani dalam keadaan seimbang untuk memenuhi kebutuhan akan protein setiap harinya. Di negara negara Amerika, Eropa dan Australia, masyarakat mempunyai kebiasaan mengkonsumsi telur rebus saat sarapan pagi sebagai sumber protein. Contoh antiprotein yang paling terkenal adalah protease inhibitors dan lectins, keduanya merupakan

protein.

Protease

inhibitor

6

menghambat

enzim

proteolitik

(enzim

pemecah

protein).

Lectins

selain

sebagai

antiprotein juga sebagai antimineral dan antivitamin. 2.3.1.1.

Protease inhibitors

Protease inhibitors atau senyawa-senyawa penghambat kerja enzim protease yaitu enzim yang bertugas dalam penguraian protein melalui pengikatan bagian aktif dari enzim tersebut. Antinutrisi jenis ini lebih banyak dijumpai dalam tanaman dan sangat sedikit dijumpai dalam jaringan tubuh hewan. Walaupun penghambat protease lebih banyak dijumpai dalam tanaman, tetapi penghambat enzim proteolitik pertama kali dijumpai di dalam telur yang kemudian dikenal sebagai ovomucoid dan ovoinhibitor, kedua duanya mengakibatkan ketidak aktifan asam amino trypsin. Selain itu di dalam telur khususnya putih telur dijumpai chymotrypsin inhibitor. Bahan pakan lain yang juga mengandung trypsin dan/atau chymotrypsin inhibitor adalah jenis kacang kacangan (legum seperti kacang kedele), sayur-sayuran seperti alfafa, susu, sereal seperti gandum dan umbi-umbian seperti kentang dan ubi jalar. Penghambat enzim protease yang terdapat di dalam kacang kedelai, kacang merah dan kentang ternyata juga mampu menghambat enzim elastase yaitu enzim yang dihasilkan oleh kelenjar pankreas. Enzim elastase merupakan enzim yang bekerja pada elastin, suatu protein yang tidak larut yang terdapat di dalam daging. Oleh karena penghambat protein adalah juga protein, maka penghambat protein juga tidak tahan terdapat panas, umumnya sensitif pada panas lembab sedangkan pada panas kering biasanya kurang efektif. Pemanasan kacang kedelai menggunakan autoclave selama 20 menit pada suhu 115 oC atau 40 menit pada suhu 107 sampai 108 oC merupakan titik yang 7

tepat untuk menghancurkan penghambat ini secara maksimal. Perendaman awal di dalam air selama 12 sampai 24 jam membuat

perlakuan

pemanasan

ini

menjadi

lebih

efektif.

Mendidihkan pada suhu 100oC selama 15 sampai 30 menit sudah cukup untuk meningkatkan nilai nutrisi kacang kedelai yang direndam. Walaupun demikian, ada beberapa penghambat enzim protease yang relatif tahan terhadap panas. Sebagai contoh adalah penghambat tripsin pada susu. Pada susu murni yang belum mendapat perlakuan apapun, aktivitas tripsin dapat diturunkan 75 sampai 99%. Penghambatnya tidak terpengaruh jika dipanaskan pada suhu sampai 70oC. Proses pasteurisasi selama 40 detik pada suhu 72 oC hanya mampu menghancurkan penghambatnya 3 sampai 4%, pemanasan pada suhu 85 oC selama 3 detik menghancurkan 44 sampai 45% dan pemanasan pada suhu 95oC selama 1 jam mampu menghancurkan sampai 73%. Penghambat enzim protease lainnya yang juga relatif tahan terhadap panas adalah penghambat trypsin pada alfafa dan kacang serendeng dan penghambat chymotrypsin pada kentang. 2.3.1.2.

Lectins (Hemaglutinin)

Lektin adalah istilah yang umum digunakan untuk protein tanaman yang mempunyai sisi yang sangat kuat terikat dengan karbohidrat.

Lektin

paling

banyak

dijumpai

dalam

bentuk

glycoprotein. Lektin yang terdapat di dalam kacang merah kemungkinan berupa lipoprotein. Cara kerja lektin berhubungan erat dengan kemampuannya mengikat sel reseptor. Lektin dapat menggumpalkan

sel

darah

merah

sehingga

disebut

juga

hemagglutinin. Lektin juga dapat mempengaruhi penyerapan asam amino, lemak, vitamin dan thyroxine dari usus. Oleh karena 8

itu lektin yang terdapat di dalam tanaman khususnya di dalam legum selain termasuk antiprotein (antinutrisi tipe A), juga termasuk antinutrisi tipe B (antimineral) dan C (antivitamin). Lektin selain terdapat di dalam legum, juga terdapat di dalam kentang, mangga dan gandum. Beberapa hasil penelitian memperlihatkan adanya gangguan penyerapan zat makanan dan senyawa esensial lainnya di dalam usus. Hasil penelitian in vitro memperlihatkan bahwa lektin di dalam kacang kacangan nyata mengikat sel-sel mukosa usus pada tikus. Ternak yang mengkonsumsi kacang kedelai mentah memperlihatkan terjadinya penurunan penyerapan asam amino, thyroksin kebutuhan

dan

lemak

lipophilic

sementara

vitamin

A

itu

dan

terjadi D.

peningkatan

Gangguan

dalam

penyerapan thyroksin dapat menjelaskan adanya pengaruh goitrogenic dari kacang kedelai. Akan tetapi, pengaruh ini mungkin dapat juga disebabkan oleh adanya gangguan dalam penyerapan yodium, sebagaimana suplementasi mineral yodium dalam ransum mempunyai pengaruh positif pada penyakit gondok. Antinutrisi lektin sangat nyata terdapat di dalam kacang merah, sementara itu yang paling toksik ditemukan dalam biji jarak yang mengandung ricin penyebab nekrosis sel usus halus. Sebagaimana protein pada umumnya, lektin juga tidak tahan terhadap panas dan dapat ditidakaktifkan melalui panas lembab. Pengtidakaktifan menggunakan panas kering ternyata kurang efektif. Aktivitas hemagglutinin pada beberapa varitas pea dan spesies kacang kacangan menurun pada saat pembenihan. Contohnya aktivitas lektin pada kacang kedelai menurun sebesar 92% selama hari pertama pembenihan.

9

2.3.2. Antinutrisi tipe B (anti mineral) Anti nutrisi tipe B adalah senyawa anti nutrisi yang terutama sekali mengganggu penyerapan atau metabolisme pemanfaatan mineral.

Oleh

karena

itu

disebut

juga

sebagai

antimineral.

Antimineral banyak terdapat didalam sayur sayuran, buah buahan dan biji bijian. Level mineral dalam bahan makanan jarang yang menyebabkan pengaruh akut jika ransum atau pakan atau makanan dalam keadaan seimbang zat makanannya. Yang termasuk kedalam antinutrisi tipe B adalah Asam pitat, asam oksalat, glucosinolat, serat dalam makanan, gossypol. 2.3.2.1.

Asam Pitat

Asam pitat adalah sejenis asam kuat yang dapat membentuk garam tidak terlarut dengan berbagai jenis bivalent dan tervalent ion metal berat. Dengan cara itu asam pitat akan menurunkan ketersediaan berbagai mineral dan unsur esensial lainnya. Asam pitat pada manusia terbukti mempunyai pengaruh negatif dalam penyerapan zat besi. Sebagaimana diketahui bahwa penyerapan zat besi tergantung terutama sekali oleh level zat besi dalam pakan, jumlah dan bentuk kimia zat yang diserap dan keberadaan asam askorbat. Asam pitat mencegah kompleksasi antara zat besi dan gastroferrium, zat besi yang terikat protein disekresikan dalam lambung. Hasil penelitian pada ternak dan manusia menunjukkan adanya interfensi asam pitat dalam penyerapan magnesium, zinc, tembaga dan mangan. Pada berbagai bahan makanan aktivitas enzim pitase dapat menurunkan level asam pitat. Pitase adalah enzim yang terdapat di dalam tanaman yang mengkatalisis defosforilasi asam pitat. Kacang kedelai memperlihatkan aktivitas pitase yang lemah. Rye

10

mengandung paling banyak enzim pitase aktif dibandingkan semua jenis biji-bijian sereal. Aktivitas enzim pitase drastis menurunkan

kandungan

pitat

selama

pembuatan

roti.

Defosforilasi asam pitat difasilitasi oleh peningkatan keasaman roti yang mengakibatkan reaktivitas yeast. Enzim Pitase yang ditambahkan kedalam ransum mengakibatkan tidak perlu ada penambahan fosfat ke dalam ransum. Dengan cara ini juga ternak akan mengekskresikan sedikit fosfat yang mungkin berkontribusi dalam menurunkan polusi lingkungan.

Tabel 2. Kandungan Asam Pitat pada Berbagai Bahan Makanan Bahan Makanan Biji-bijian a. Gandum b. Jagung c. Barley d. Sorghum e. Millet

Asam pitat (mgBahan %) Makanan 170 – 280 146 – 353 70 – 300 206 – 280 83

Rye Beras Oats Buckwheat Dedak gandum

Legum dan sayur-sayuran Kacang hijau ((Phaseolus vulgaris) Kacang (Phaseolus vulgaris) Kacang (Phaseolus lunatus) Green pea (Pisum sativum)

11

Asam pitat (mg%) 247 157 – 240 208 – 355 322 1170 – 1439

52 269 152 12

Bahan Makanan

Asam pitat (mgBahan Asam pitat %) Makanan (mg%) Pea (Pisum sativum) 117 Pea (Lathyrus sativum) 82 Kentang 14 Wortel 0–4 Kacang kedelai 402 Lentil 295 Chick pea 140 – 354 Vetch 500 Kacang dan biji-bijian Walnut 120 Hazelnut 104 Almond 189 Peanut 205 Cocoa bean 169 Pistachio nut 176 Rapeseed 795 Cottonseed 368 Bumbu dan penyedap rasa Millet 83 Caraway 297 Coriander 320 Cumin 153 Mustard 392 Nutmeg 162 Black pepper 115 Pepper 56 Paprika 71 Sumber: Janssen (1996) 2.3.2.2.

Asam oksalat

Asam oksalat (HOOC–COOH) dapat menyebabkan keracunan sebagaimana senyawa antinutrisi lainnya bahkan pada manusia dapat

menyebabkan

keracunan

yang

akut.

Akan

tetapi

dibutuhkan dosis yang tinggi untuk menyebabkan keracunan tersebut yaitu 4 – 5 g. Asam oksalat umumnya dijumpai pada makanan tetapi jarang menjadi perhatian. Keberadaan asam oksalat sebagaimana asam pitat dapat menurunkan ketersediaan kation bivalent yang esensial. Asam oksalat merupakan asam kuat dan dengan alkali tanah, atau ion divalent lainnya dapat membentuk garam yang sangat sulit larut di dalam air. Kalsium oksalat tidak larut dalam air pada ph netral atau basa dan dapat dilarutkan dengan mudah pada medium asam. Penelitian pada ternak dan manusia memperlihatkan adanya 12

pengaruh negatif dari pakan yang kaya oksalat terhadap penyerapan kalsium. Sayuran yang kaya oksalat seperti bayam, seledri dan juga coklat memperlihatkan adanya gangguan kesimbangan kalsium pada manusia yang mengkonsumsinya. Pengaruh negatif dari asam oksalat terhadap penyerapan kalsium dapa diprediksi dari rasio oksalat/kalsium dalam bahan makanan (Tabel 3). Bahan pakan yang rasionya lebih dari 1 dapat menurunkan

ketersediaan

kalsium,

rendah

dari

1

belum

mempengaruhi penyerapan kalsium. Kalsium berikatan secara permanen dengan asam oksalat oleh karena itu makanan dengan rasio oksalat/Ca2+ sama dengan 1 bukanlah sumber kalsium yang baik walaupun bahan tersebut kaya akan kalsium. Pengaruh oksalat dapat dipengaruhi oleh status gizi ternak atau manusia, lama penelitian dan level konsumsi kalsium. sebagai contoh, tikus tidak terpengaruh oleh oksalat setelah mengkonsumsi pakan mengandung 2,5% oksalat tetapi pakan tersebut defisien akan kalsium, fosfor dan vitamin D. Oleh karena itu penurunan penyerapan kalsium yang disebabkan oleh oksalat tidak akan berbeda nyata sepanjang ketersediaan kalsium mendekati habis. Konsumsi pakan yang kaya kalsium seperti susu sapi dan makanan

laut

sebagaimana

pakan

yang

kaya

vitamin

D

direkomendasikan hanya jika sejumlah besar pakan kaya oksalat terkonsumsi. Tabel 3. Daftar Bahan Makanan dengan Rasio oksalat/kalsium lebih dari 1 Bahan Makanan

Bayam Bit (tanaman sumber

Kandungan oksalat (mg/100 g bahan) 970

13

Rasio oksalat/kalsium (meq/meq) 4,3

Bahan Makanan

gula) Daun Akar Coklat Kopi The 2.3.2.3.

Rasio oksalat/kalsium (meq/meq)

Kandungan oksalat (mg/100 g bahan) 610 275 700 100 1150

2,5 5,1 2,6 3,9 1,1

Glucosinolat

Glukosinolat

terkandung

merupakan

kelas

dari

glukosinolat

adalah

pada

berbagai

thioglukosida.

goitrogenik

tanaman,

Sebahagian

(penyebab

besar

gondok

atau

pembengkakan kelenjar). Ada tiga jenis gondok yaitu cabbage goiter (struma), brassica seed goiter, and legume goiter. Cabbage goiter

atau

gondok

yang

disebabkan

oleh

kelebihan

mengkonsumsi sayur kubis dimana goitrogen kubis menghambat penyerapan kelenjar

yodium

tiroid.

suplementasi mengkonsumsi

dengan

Cabbage

yodium. biji

cara goiter

brassica

tanaman

langsung dapat

seed brassica

goiter

mempengaruhi diobati

dengan

muncul

seperti

kubis

akibat yang

mengandung senyawa pencegah sintesis tiroksin. Gondok jenis ini dapat diobati dengan pemberian hormon tiroid Legume goiter adalah akibat dari goitrogen yang terdapat pada legum seperti kacang kedelai dan kacang tanah. Berbeda dengan cabbage goiter, legume goiter bukan dikarenakan keterlibatan langsung kelenjar tiroid melainkan adanya penghambatan penyerapan yodium di usus atau penyerapan kembali tiroksin. Legume goier dapat diatasi dengan terapi yodium. Ada 50 glukosinolat yang berhasil diidentifikasi dari tanaman. Kubis, strawberi, bayam dan

14

wortel

terbukti

nyata

menurunkan

konsumsi

yodium

pada

kelenjar tiroid manusia. 2.3.2.4.

Serat dalam pakan

Serat dalam makanan atau pakan adalah komponen dinding sel tanaman yang tidak dapat dicerna oleh sekresi endogenus pada saluran pencernaan manusia dan unggas. Serat dalam

makanan

terdiri

dari

komponen

senyawa

pektat,

hemiselulosa, polisakarida, selulosa dan lignin. Selanjutnya, Tannin, protein tidak tercerna, pigmen tanaman, wax/lilin, bahan silika dan asam pitat dapat dikelompokkan dalam matrik serat. Bahan bahan ini bersifat bulky atau pengeyang. Jumlah air terikat dapat menjadi 4 – 6 kali berat kering serat. Bahan makanan yang mengandung 15% selulosa akan menurunkan penyerapan nitrogen sebanyak 8 %. Interaksi antara serat dan gula tidak menghasilkan reduksi penyerapan gula tetapi secara perlahan melepas gula ke dalam aliran darah. 2.3.2.5.

Gossypol

Gossipol

adalah

pigmen

kuning

yang

terdapat

pada

tanaman katun dan kandungan tertinggi terdapat di dalam biji katun. Gossipol ada dalam 3 bentuk tautometrik yaitu phenolic quinoid tautomer (I), aldehyde (II), dan hemiacetal (III). Gossipol adalah antimineral dan juga antiprotein yang membentuk kelat tidak terlarut dengan berbagai mineral esensial seperti zat besi dan mengikat asam amino khususnya lisin sehingga gossipol dapat menurunkan ketersediaan protein dalam bahan makanan dan mentidakaktifkan enzim-enzim yang penting. Pengolahan terbukti

dapat

menghilangkan

gosipol

80



99%.

Pigmen

diekstraksi dengan minyak dan selanjutnya dihilangkan dengan penghalusan dan pencucian. Sekitar 0,5 – 1,2% dari total gosipol

15

umumnya tertinggal dalam pakan yang sudah diolah. Kurang dari 0,06% adalah gosipol bebas. Penggunaan additif seperti FeSO 4 dan Ca(OH)2 mencegah reaksi gosipol dengan lisisn selama perlakuan panas. Saat ini di Amerika berhasil dibudidayakan tanaman katun yang bebas dari gosipol. Level gosipol yang diperkenankan dalam makanan manusia adalah 0.045%. 2.3.3. Anti nutrisi tipe C (anti vitamin) Anti

nutrisi

tipe

C

adalah

senyawa

anti

nutrisi

yang

mengakibatkan ketidak aktifan atau merusak vitamin atau yang dapat meningkatkan kebutuhan vitamin. Oleh karena itu disebut juga antivitamin. Antivitamin adalah kelompok senyawa yang terjadi secara alami yang dapat mendekomposisi vitamin, membentuk senyawa

kompleks

yang

tidak

dapat

diserap

atau

yang

mempengaruhi pencernaan vitamin atau pemanfaatan produk metabolisme. Yang termasuk kedalam antinutrisi tipe C adalah asam askorbat oksidase, faktor Anti thiamin, faktor Anti pyridoksin. Subtansi alami atau sintetis yang menghambat penyerapan suatu vitamin dalam diet. Sebagian besar antivitamin bekerja dengan cara kompetisi langsung dengan vitamin. Sifat ini disebabkan karena rumus bangun kimiawi yang hampir sama, sehingga ada kompetisi antara vitamin dan anti-vitaminnya atau karena reaksi anti-vitamin dengan vitamin itu. Seperti, anti riboflavin yaitu kandungan hipoglisina dari ackec fruit menghambat aktivitas riboflavin yang menghambat pertumbuhan pd tikus percobaan. Anti Niasin yaitu antagonis niasin diperkirakan ada pada jagung dan cantle (millet).Pada manusia dan binatang yang konsumsi utamanya terdiri dari jagung, menunjukkan gejala defisiensi niasin berupa pellagra. 2.3.3.1.

Anti Biotin (Avidin)

avidin merupakan zat anti gizi yang dapat mengikat biotin sehingga vitamin yang penting itu tidak lagi tersedia, meskipun demikian ini tidak menyebabkan

16

kekurangan vitamin itu pada manusia. Hal ini disebabkan biotin banyak terdapat pada makanan-makanan biasa. Avidin mampu mengikat biotin, sehingga tak dapat diserap melalui pencernaan. Di samping itu ditemukan adanya penurunan kadar hemoglobin dan biotin dalam urine hingga sepersepuluh dari normal, serta kenaikan kadar kolesterol. Avidin terdapat pada albumin (putih telur) dengan pemanasan daya racun avidin akan hilang. 2.3.3.2.

Asam askorbat oksidase

Asam askorbat oksidase adalah enzim yang mengandung tembaga yang memediasi oksidasi asam askorbat bebas pertama menjadi asam dehidroaskorbat dan selanjutnya menjadi asam diketogulonit, asam oksalit dan produk oksidasi lainnya. Asam askorbat oksidase terdapat pada berbagai buah-buahan dan sayur-sayuran kentang,

seperti

wortel

dan

ketimun, kacang

labu, hijau.

letus,

pisang,

Aktivitasnya

tomat,

bervariasi

tergantung jenis buah dan sayurannya. Enzim ini aktif pada pH 4 – 7 dan temperatur optimum pada 38oC. Ketika sel tanaman diganggu atau dipotong dan enzimnya dibuang maka kandungan vitamin C nya akan menurun sangat nyata. Pada jus segar, 50% kandungan vitamin C nya akan hilang kurang dari satu jam. Aktivitas enzim asam askorbat oksidase dapat dihambat secara efektif dengan cara memutihkan warna buah-buahan dan sayursayuran. Asam askorbat dapat juga dilindungi dari aktivitas enzim asam arkorbat oksidase melalui komponen aktif yang terdapat dalam tanaman seperti flavonoid. 2.3.3.3.

Faktor Anti thiamin

Anti tiamin adalah kelompok kedua antivitamin setelah asam askorbat oksidase. Antitiamin berinteraksi dengan vitamin B 1 atau

tiamin.

Antitiamin

faktor

dapat

dibedakan

sebagai

tiaminase, tannin dan katekol. Interaksi dengan vitamin B1 dapat 17

mengakibatkan neurotoksik yang serius sebagai akibat dari defisiensi vitamin B1. Secara normal manusia dan ternak tidak akan mengalami masalah dengan antitiamin kecuali bila sudah terjadi defisiensi tiamin dan ransum yang dikonsumsi rendah kandungan tiaminnya. Antagonis thiamin (thiaminase) dapat merusak molekul thiamin, ditemukan pada banyak macam ikan segar terutama di limpa, hati, jantung dan usus, kerang, khamir, linseed, mustard . Juga pada tumbuh-tumbuhan seperti bracken fern (Pteridium aquillinum). Tiaminase dijumpai pada berbagai jenis ikan baik ikan air tawar maupun ikan laut, kepiting dan kerang. Enzim antitiaminase akan memilah tiamin pada ikatan metil. Tiaminase mengandung coenzim non protein, strukturnya mirip hemin, terdapat komponen pigmen merah dari hemoglobin. Pemasakan akan merusak enzim tiaminase pada ikan dan sumber-sumber lainnya. Faktor Antitiamin juga terdapat pada tanaman. Tannin, terdapat pada berbagai tanaman termasuk teh dipercaya dapat menghambat pertumbuhan ternak dan menghambat kerja enzim pencernaan. Tannin terbukti nyata dapat menghancurkan atau merusak tiamin. Salah satu komponen tannin adalah asam gallat. 2.3.3.4.

Faktor Anti pyridoksin

Tanaman dan jamur yang dapat dikonsumsi mengandung antagonis

piridoksin

(sebuah

bentuk

dari

vitamin

B 6).

Antagonis : linatine. Terdapat pada linseed (Limun usitatissimun) dan biji flax tdp 1-amino D-prolin yg bergabung dg asam glutamat yang dapat menghambat piridoksin. Faktor anti piridoksin teridentifikasi sebagai turunan dari hidrazin. Faktor antipiridoksin juga dijumpai pada jamur liar, jamur yang dijual dan dapat dikonsumsi oleh manusia dan jamur Jepang Shiitake. Jamur-jamur tersebut mengandung agaritin. Hidrolisis agaritin diakselerasikan jika sel-sel jamur

18

diganggu. Penanganan secara hati-hati pada jamur dan segera diputihkan setelah pencucian dan pemotongan dapat mencegah proses hidrolisis. 2.4. Macam-Macam Senyawa Anti Nutrisi Non-Tipe

Selain ketiga macam senyawa anti nutrisi pada tipe diatas, ada beberapa macam senyawa anti nutrisi lainya dalam bahan pakan yang dapat mengganggu proses pencernaan, penyerapan dan atau pemanfaatannya dari zat makanan atau pakan pada ternak, yaitu: 2.4.1. Tanin Tannin adalah senyawa phenolic yang larut dalam air. Dengan berat molekul antara 500-3000 dapat mengendapkan protein dari larutan. Secara kimia tannin sangat komplek dan biasanya dibagi kedalam dua grup, yaitu hydrolizable tannin dan condensed tannin. Hydrolizable tannin mudah dihidrolisa secara kimia atau oleh enzim dan terdapat di beberapa legume tropika seperti Acacia Spp. Condensed tannin atau tannin terkondensasi paling banyak menyebar di tanaman dan dianggap sebagai tannin tanaman. Sebagian besar biji legume mengandung tannin terkondensasi terutama pada testanya. Warna testa makin gelap menandakan kandungan tannin makain tinggi. Beberapa bahan pakan yang digunakan dalam ransum unggas mengandung sejumlah condensed tannin seperti biji sorgum, millet, rapeseed , fava bean dan beberap biji yang mengandung minyak. Bungkil biji kapas mengandung tannin terkondensasi 1,6% BK sedangkan barley, triticale dan bungkil kedelai mengandung tannin 0,1% BK. Diantara bahan pakan unggas yang paling tinggi kandungan tannin terlihat pada biji sorgum (Sorghum bicolor). Kandungan tannin pada varietas sorgum tannin tinggi sebesar 2,7 dan 10,2% catechin equivalent. Dari 24 varietas sorgum kandungan tannin berkisar dari0,05-3,67% (catechin equivalent). Kandungan tannin sorgum sering dihubungkan dengan warnakulit luar yang 19

gelap. Peranan tannin pada tanaman yaitu untuk melindungi biji dari predator burung, melindungi perkecambahan setelah panen, melindungi dari jamur dan cuaca.Sorgum bertannin tinggi bila digunakan pada ternak akan memperlihatkan penurunan kecepatan pertumbuhan dan menurunkan efisiensi ransum pada broiler, menurunkan produksi telur pada layer dan meningkatnya kejadian leg abnormalitas. Cara mengatasi pengaruh dari tannin dalam ransum yaitu dengan mensuplementasi DL-metionin dan suplementasi agen pengikat tannin, yaitu gelatin, polyvinylpyrrolidone (PVP) dan polyethyleneglycol yang mempunyai kemampuan mengikat dan merusak tannin. Selain itu kandungan tannin pada bahan pakan dapat diturunkan dengan berbagai cara seperti perendaman, perebusan, fermentasi, dan penyosohan kulit luar biji.

2.4.2. Saponin Sebagian besar saponin ditemukan pada biji-bijian dan tanaman makanan ternak seperti alfalfa, bunga matahari, kedelai, kacang tanah . Saponin umumnya mempunyai karakteristik yaitu rasa pahit, sifat iritasi mucosal, sifat penyabunan, dan sifat hemolitik dan sifat membentuk komplek dengan asam empedu dan kolesterol. Saponin mempunyai efek menurunkan konsumsi ransum karena rasa pahit dan terjadinya iritasi pada oral mucosa dan saluran pencernaan. Pada anak ayam yang diberi 0,9 % triterpenoid saponin

bisa

menurunkan

pertambahan

berat

badan,

meningkatkan

ekskresi

konsumsi

ransum,

menurunkan

cholesterol

vitamin A dan D.

20

dan

menurunkan

kecernaan

menurunkan

lemak, absorpsi

2.4.3. Mimosin Tepung daun lamtoro (Leucaena leucocephala) kering sama dengan tepung biji kapuk sebagai sumber protein. Penggunaan lamtoro bisa menekan pertumbuhan broiler dan produksi telur pada layer. Nilai nutrisi yang rendah dari lamtoro karena adanya mimosin. Lamtoro mengandung mimosin sebesar 3-5 % BK, tetapi juga mengandung senyawa antinutrisi lain termasuk protease inhibitor, tannin dan galactomannan. Karena adanya mimosin ini penggunaan lamtoro dalam ransum non ruminansia sebesar 5-10 % tanpa menimbulkan gejala toxicosis. Efek yang merugikan dari mimosin, yaitu menurunkan pertumbuhan dan menurunkan produksi telur. Ayam muda lebih sensitif dari pada ayam dewasa.

2.4.4. Cyanogenic glycoside (Cyanogen) Cyanogenic glycoside, cyanoglycosida atau cyanogen adalah senyawa yang apabila diperlakukan asam dan diikuti dengan hidrolisis oleh enzim tertentu akan melepaskan hydrogen cyanida (HCN). Cyanoglycosida terdapat lebih dari 2000 spesies tanaman. Singkong (cassava) adalah hasil panen utama yang mengandung cyanogen dalam jumlah tinggi. Pengolahan singkong secara tradisional yaitu umbi dipotongpotong dibawah air mengalir untuk mencuci cyanogen. Alternatif lain

yaitu

umbi

singkong

dipotong-potong,

dihancurkan

dan

dikeringkan dibawah sinar matahari sampai HCN menguap. HCN

21

setelah dilepas dengan cepat diabsorpsi dari saluran gastro intestinal masuk ke dalam darah. Ion Cianida (CN-) berikatan dengan Fe heme dan beraksi dengan ferric (oxidasi) dalam mitokondria membentuk cytochrome oxidase di dalam mitokondria, membentuk

komplek

stabil

dan

menahan

jalur

pernafasan.

Akibatnya hemoglobin tidak bisa melepas oxygen dalam system transport electron dan terjadi kematian akibat hypoxia seluler. Beberapa cara mengurangi cyanogenic glycoside yaitu proses pembuatan

pati

menghilangkan

cyanogens,

dan

pencacahan,

dikeringkan atau sebelumnya disimpan lebih dulu dalam keadaan basah bisa mengurangi 2/3 cyanogen dari segar.

2.3.5. NSP (Non- starch Polysaccharide) Non-starch polysaccharide (NSP) adalah karbohidrat komplek yang terlihat di endosperm dinding sel dari biji cereal. Karbohidrat ini sukar dicerna sehingga lolos dari saluran pencernaan dan mengikat air sehingga viscositas cairan di saluran pencernaan tinggi. Viscositas di saluran pencernaan meningkat menyebabkan transport

nutrient

menurun

dan

absorpsi

menurun.

Kedelai

mengandung NSP dalam bentuk oligosaccharide. Kedelai yang berasal dari berbagai negara mengandung oligosaccharida berbeda-beda. Pengaruh negatif dari NSP yaitu, excreta lengket dan kadar air tinggi sehingga menimbulkan masalah

litter,

menurunkan

energi

tersedia

mempengaruhi mikroflora di saluran pencernaan.

22

pada

burung,

2.3.6. Solanin Solanin termasuk dalam famili solanaceae yang merupakan kelompok tanaman yang penting artinya bagi kehidupan manusia, diantaranya adalah: kentang, tomat dan cabe. Akan tetapi banyak diantara tanaman ini yang mengandung glikoalkaloid yang dapat bersifat racun bagi yang mengonsumsinya. Hal ini disebabkan karena seringkali senyawa ini berada dalam konsentrasi yang tinggi, misalnya dalam kentang yang berwarna hijau atau pada tomat hijau yang masih muda. Hampir semua kasus keracunan yang pernah terjadi pada manusia disebabkan oleh glikoalkaloid yang terdapat pada kentang, yaitu α-solanin dan α-cakonin. 2.3.7. Sianogenik Glukosida (HCN) Sianogenik glukosida merupakan salah satu bentuk sianida yang dalam jumlah kecil banyak tersebar luas dalam berbagai tanaman. Konsentrasi yang tinggi ditemukan di dalam rumput-rumputan tertentu, umbi-umbian dan kacangkacangan. Diantara tanaman sumber sianogenik glukosida yang banyak dikonsumsi manusia adalah ubi kayu, ubi jalar, jagung, sorgum, bambu (rebung), tebu, kacang-kacangan, biji almond, jeruk, appel, aprikot serta biji dari buah-buahan lainnya. Diantara sekian banyak jenis sianogenik glukosida yang paling banyak terkait dengan toksisitas pada manusia hanya ada 4 (empat) jenis, yaitu: amigladin, dhurrin, linamarin dan lotaustralin. Amigladin diidentifikasi dari biji almond pahit dan biji buah-buahan lainnya. Dhurrin terdapat dalam sorgum dan rumput-rumputan lainnya. Linamarin (phaseoulunatin) dan lotaustralin (metillinamarin) adalah glukosida yang terdapat dalam kacang-kacangan, linseed (flax) dan ubi kayu. 2.5. Anti Nutrisi dalam Bahan Pakan Di dalam tanaman selain terkandung senyawa yang esensial yaitu protein, karbohidrat, lemak, beberapa vitamin dan mineral juga terkandung senyawa lain yang disebut senyawa metabolit sekunder. Senyawa metabolit sekunder terkandung dalam tanaman dengan struktur kimia yang berbeda dan tidak sama antar genus dan spesies

23

tanaman. Senyawa tersebut paling banyak dijumpai pada tanaman atau hijauan di daerah tropis dibandingkan dengan hijauan yang tumbuh di daerah temperate atau daerah beriklim sedang dan lebih banyak dijumpai pada tanaman berbentuk pohon atau kayu dibandingkan dengan yang berupa herba atau berupa rerumputan (Jones dan Lowry, 1990). Senyawa metabolit sekunder pada umumnya bersifat sebagai anti nutrisi. Beberapa bahan pakan yang mengandung anti nutrisi dapat dibedakan sebagai berikut: 1. Biji-bijian atau sereal seperti gandum, rye dan oat 2. Umbi-umbian seperti kentang, ubi jalar, bengkuang dan singkong. 3. Hijauan / rumput seperti rumput pahit dan rumput gajah. 4. Leguminosa herba seperti kalopo (Calopogonium muconoides) 5. Leguminosa pohon seperti pohon gamal, lamtoro, kapuk 6. Tanaman berkhasiat obat seperti daun cabe-cabe, rumput mutiara dan mengkudu. 2.6. Cara Menurunkan Pengaruh Senyawa Anti Nutrisi Berbagai cara dapat dilakukan untuk mencegah atau menurunkan pengaruh senyawa anti nutrisi yang terdapat di dalam tanaman atau hijauan terhadap ternak yang mengkonsumsi pakan mengandung tanaman atau hijauan tersebut. Cara yang dapat dilakukan diantaranya: 1. Menghindari penggunaan tanaman yang mengandung antinutrisi atau pakan yang bermasalah. Cara ini merupakan cara yang paling sederhana untuk mencegah terkonsumsinya senyawa antinutrisi. 2. Memberikan supplemen yang dapat mengatasi dampak senyawa antinutrisi. Ketika ternak menkonsumsi pakan yang tinggi kandungan tannin yang sulit terurai (condensed tannin) maka konsumsi ransum akan menurun. Kandungan condensed tannin yang tinggi dapat menurunkan nilai pakan karena terjadinya penurunan ketersediaan zat makanan khususnya protein dan penurunan kecernaan dinding sel (Barry dan Blaney, 1987). Jika kondisi ini terjadi maka suplementasi Na, S, Ca dan N (urea) akan memperbaiki

24

penampilan ternak. Sebagaimana dilaporkan oleh Gartner dan Niven (1978), Elliott dan McMeniman (1987) bahwa pertumbuhan wool dan pertambahan bobot badan pada domba yang mengkonsumsi mulga (Acacia aneura) meningkat dengan suplementasi Na, S, Ca dan N (urea) walaupun hasil analisis proksimat daun mulga menunjukkan bahwa zat makanan dalam daun hanya cukup untuk pertumbuhan. Hal ini diduga karena kalsium dalam bentuk kalsium oksalat dan tannin (yang mengikat protein dan membutuhkan ekskresi sulfur sebagai sulfat) merespon suplementasi mineral tersebut (Gartner dan Hurwood, 1976). Kandungan tannin dalam legum herba juga dapat diturunkan melalui peningkatan kandungan zat makanan dalam tanah khususnya mineral P dan S dengan cara pemupukan seperti yang terdeteksi pada tanaman Lotus spp., sainfoin (Onobrychis sativa) dan Desmodium ovalifolium (Barry dan Blaney, 1987; Lascano dan Salinas 1982). Untuk legum pohon, pemupukan belum dapat menurunkan kandungan condenses tanninnya. 3. Memberikan Bahan Pakan yang Rendah Kandungan Anti nutrisinya. Cara ini dapat dilakukan untuk memperkecil pengaruh antinutrisi terhadap ternak. Pemberian pakan di dalam kandang dilakukan hanya jika bahan pakan tersebut rendah kandungan antinutrisinya. Membiarkan ternak menggembala di padangan akan memberi peluang lebih banyak pakan yang mengandung antinutrisi terkonsumsi. 4. Menggunakan mikroba rumen untuk mengurangi atau menghilangkan sifat racun yang terdapat di dalam anti nutrisi. Mikroorganisma rumen akan mengkonversi produk metabolit yang bersifat racun menjadi tidak racun. Dalam kondisi normal oksalat terlarut yang terdapat di dalam rumput tidak akan mempengaruhi ternak ruminansia, akan tetapi jika sapi mengkonsumsi pakan kering yang tanpa sengaja terdapat pada lahan pastur yang subur dan kaya oksalat maka sapi tersebut akan matin karena terakumulasinya oksalat di dalam ginjal (Jones et al., 1970). Bakteri anaerobik seperti Oxalobacter formigenes dapat menkonversikan oksalat tersebut menjadi

25

CO2 dan format tergantung hanya pada sumber energinya (Allison, 1985). Mikroorganisma tersebut mengkonversikan senyawa racun atau bersifat racun menjadi senyawa yang berguna untuk meningkatkan aktivitas ternak misalnya merobah isoflavones formononetin dan daidzein, yang terdapat didalam oestrogenic clover menjadi equol dan O-methylequol melalui dimetilasi dan reduksi (Cox, 1985). Isoflavones formononetin dan daidzein merupakan senyawa yang dapat menurunkan kesuburan pada domba betina.

26

BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan Anti

nutrisi

merupakan

senyawa

yang

terdapat

dalam

makanan atau pakan tertentu yang bersifat dapat menghambat proses pemasukan (absobsi) dan pengolahan zat makanan yang ada di dalam tubuh ternak. Anti nutrisi tidak memberikan pengaruh keracunan secara langsung melainkan dengan cara mengakibatkan defisiensi zat makanan atau dengan cara mengganggu fungsi dan pemanfaatan zat makanan di dalam tubuh ternak. Janssen (1996) menyatakan bahwa berdasarkan zat makanan yang terganggu proses pencernaan, penyerapan dan atau pemanfaatannya maka anti nutrisi dikelompokkan menjadi 3 macam yaitu anti nutrisi tipe A (anti protein), anti nutrisi tipe B (anti mineral) dan anti nutrisi tipe C (anti vitamin), dan beberapa senyawa lainya yang terdapat pada bahan pakan ternak. Cara mencegah atau menurunkan pengaruh senyawa anti nutrisi yang terdapat di dalam pakan ternak yaitu, menghindari penggunaan tanaman yang mengandung anti nutrisi atau pakan yang bermasalah, memberikan supplemen yang dapat mengatasi dampak senyawa anti nutrisi, memberikan bahan pakan yang rendah kandungan anti nutrisinya, dan menggunakan mikroba rumen untuk mengurangi atau menghilangkan sifat racun yang terdapat di dalam anti nutrisi.

27

DAFTAR PUSTAKA Allison, M.J. 1985. Anaerobic oxalate-degrading bacteria of the gastrointestinal tract. in: Plant Toxicology - Proceedings of the Australia-USA Poisonous Plants Symposium, Brisbane, Australia, May 14-18, 1984, pp. 120-126. Allison, M.J. Mayberry, W.R., McSweeney, C.S. and Stahl, D.A. 1992. Synergistes jonesii, gen. nov., sp. nov.: a rumen bacterium that degrades toxic pyridinediols. Systematic and Applied Microbiology 15, 522-529. Anggorodi, R. 1985. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Anonim, 2003. Bandotan (Ageratum conyzoides L.). Leaflet BPPT, Jakarta. Artikel internet. http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?id=203 22k Downloaded 10 – 11 – 2008. Anonimous. 2002. Rumput Mutiara (Hedyotis corymbosa (L) Lamk.). Leaflet BPPT, Jakarta. _________. 2004. Rumput mutiara mengaktifkan sirkulasi darah. Republika 14 September 2004. _________. 2010. Mengenal Beberapa Antinutrisi pada Bahan Pakan. http ://www.fapetipb.com. diakses tanggal 1 November 2010 Asam fitat pada bahan pangan (http://alimyameen.blogspot.com/2008/11/asam-fitatpada-bahan-pakan.html) Bamualim, A. 1984. The nutritive value of Leucaena leucocephala as a feed for ruminants. PhD thesis, James Cook University of North Queensland, 167 pp. Bangun, A.P. dan Sarwono, B. 2002. Khasiat dan Manfaat Mengkudu. AgroMedia Pustaka, Jakarta. Barry, T.N. and Blaney, B.J. 1987. Secondary compounds of forages. In: Hacker, J.B. and Ternouth, J.H. (eds), Nutrition of Herbivores. Academic Press, Australia, pp. 91-119. Belitz, H.-D. and W. Grosch, (Eds.). 1987. Food Chemistry. Springer Verlag, Berlin. Berdanier,Carolyn D. 2002 .Handbook of Nutrition and Food . CRC Press. USA Blunt,

C.G.

1976.

Preliminary

28

cattle

grazing

trials

on

irrigated Leucaena leucocephala and pangola grass in the Ord Valley N.W. Australia. Proceedings of the Australian Society of Animal Production 11, 10. Blunt, C.G. and Jones, R.J. 1977. Steer liveweight gains in relation to the proportion of time on Leucaena leucocephala pastures. Tropical Grasslands 11, 159-164. Bray, R.A., Hutton, E.M. and Beattie, W.M. 1984. Breeding leucaena for low-mimosine: field evaluation of selections. Tropical Grasslands, 18, 194-198. Cheeke, P.R. 1989. Toxicants of Plant Origin Volume I Alkaloids. Florida: CRC Press, Inc. ________________. Toxicants of Plant Origin Volume IV Phenolic. Florida: CRC Press, Inc. Concorn, J.M., (Ed.). 1988. Food Toxicology, Part A and Part B. Marcel Dekker Inc., New York. Cox, R.I. 1985. Immuno physiological control of phyto-oestrogen toxicity. In: Plant Toxicology - Proceedings of the AustraliaUSA Poisonous Plants Symposium, Brisbane, Australia, May 14-18, 1984, pp. 98-108. CTAHR (College of Tropical Agriculture and Human Resources). 2003. Nutritional analysis of Hawaiian Noni (Noni fruit powder). Internet article downloaded on September 15, 2004. http://www.ctahr.hawaii.edu/noni/Research/nutritional_analys is.asp Culvenor, C.C.J. 1970. Toxic plants - a re-evaluation. Search 1, 103110. Dalimartha, S. 2002. Tumbuhan obat untuk mengatasi keputihan. Cetakan II. Trubus Agriwidya, Jakarta. Djauhari, E. dan Hernani. 2004. Gulma berkhasiat obat. Seri Agrisehat. Penebar Swadaya, Jakarta. Dominguez-Bello, M.G. and Stewart, C.S. 1990. Degradation of mimosine, 2,3-dihydroxy pyridine and 3 hydroxy-4(1H) pyridone by bacteria from the rumen of sheep in Venezuela. FEMS Microbial Ecology 73, 283-289. Elliott, R. and McMeniman, N.P. 1987. Supplementation of ruminant diets with forage. In: Hacker, J.B. and Ternouth, J.H. (eds), The Nutrition of Herbivores. Academic Press, Australia, pp. 409-428. 29

Everist, S.L. 1974. Poisonous Plants Robertson, Sydney, 684 pp.

of

Australia. Angus

and

Fennema, O.R., (Ed.). 1985. Food Chemistry. Marcel Dekker Inc., New York. Furusawa, E. 2003. Anti-cancer activity of Noni fruit juice against tumors in mice. Proceedings of the 2002 Hawai’I Noni Conference. University of Hawaii at Manoa, College of Tropical Agriculture and Human Resources : 23 – 24. Gartner, R.J.W. and Hurwood, I.S. 1976. The tannin and oxalic acid content of Acacia aneura (mulga) and their possible effects on sulphur and calcium availability. Australian Veterinary Journal 52, 194-196. Gartner, R.J.W. and Niven, D.R. 1978. Studies on the supplementary feeding of sheep consuming mulga (Acacia aneura). 4. Effect of sulphur on intake and digestibility and growth and sulphur content of wool. Australian Journal of Experimental Agriculture and Animal Husbandry 18, 768-772. Gibson, G.G. and R. Walker, (Eds.). 1985. Food Toxicology — Real or imaginary problems?. Taylor and Francis, London. Gosting, D.C., (Ed.). 1991. Food safety 1990; an annotated bibliography of the literature. Butterworth-Heinemann, London. Handoko, H., Nelwida, dan Nurhayati. 2005. Pengaruh penggunaan gulma obat dalam ransum ayam pedaging terhadap kandungan lemak abdomen. Seminar hasil penelitian dosen Fakultas Peternakan Universitas Jambi, Jambi. Haroen, U., Nurhayati, Insulistyowati, A., Berliana, S., dan Nelwida. 2009. Pemanfaatan Limbah Penetasan Telur dan Bandotan (Ageratum conyzoides L) untuk Meningkatkan Daya Tahan Tubuh dan Performans Ayam Buras. Laporan Penelitian Hibah Strategis Nasional, Universitas Jambi. Jambi. Hathcock, J.N., (Ed.). 1982. Nutritional Toxicology, Vol. I. Academic Press, London. Hegarty, M.P. 1982. Deleterious factors in forages affecting animal production. In: Hacker, J.B. (ed.), Nutritional Limits to Animal Production from Pastures. Commonwealth Agricultural Bureaux, Farnham Royal, UK, pp. 133-150. Hegarty, M.P., Lee, C.P., Christie, G.S., Court, R.D. and Haydock, K.P. 1979. The goitrogen 3-hydroxy-4(1H)-pyridone, a ruminal

30

metabolite from Leucaena leucocephala: Effects in mice and rats. Australian Journal of Biological Science 32, 27-40. Hegarty, M.P., Schinckel, P.G. and Court, R.D. 1964. Reaction of sheep to the consumption of Leucaena glauca and to its toxic principle mimosine. Australian Journal of Agricultural Research 15, 153-167. Holmes, J.H.G., Humphrey, J.D., Walton, E.A. and O'Shea, J.D. 1981. Cataracts, goitre and infertility in cattle grazed on an exclusive diet of Leucaena leucocephala. Australian Veterinary Journal 57, 257-261. Hsu, H.Y. 1998. Tumor inhibition by several components extracted from Hedyotis corymbosa and Hedyotis diffusa. The International Symposium on the Impact of Biotechnology on Prediction, Prevention and Treatment of Cancer. Nice, France. October 24 - 27, 1998. Johnson, A., Hemscheidt, S.T. dan Csiszar, W.K. 2003. Cytotoxicity of water and ethanol extracts of Morinda citrifolia (L) against normal epithelial and breast cancer cell lines. Proceedings of the 2002 Hawai’I Noni Conference. University of Hawaii at Manoa, College of Tropical Agriculture and Human Resources : 22. Jones, R.J. 1981. Does ruminal metabolism of mimosine explain the absence of Leucaena toxicity in Hawaii? Australian Veterinary Journal 57, 55-56. _________. 1985. Leucaena toxicity and the ruminal degradation of mimosine. In: Plant Toxicology - Proceedings of the AustraliaUSA Poisonous Plants Symposium, Brisbane, Australia, May 14-18, 1984, pp. 111-119. Jones, R.J. and Bray, R.A. 1983. Agronomic Research in the Development of Leucaena as a Pasture Legume in Australia. In: Leucaena Research in the Asian-Pacific Region. Proceedings of a workshop, Singapore, November 1982, pp. 41-48. Jones, R.J. and Jons, R.M. 1982. Observations on the persistence and potential for beef production of pastures based on Trifolium semipilosum and Leucaena leucocephala in subtropical coastal Queensland. Tropical Grasslands 16, 24-29. Jones, R.J. and Lowry, J.B. 1984. Australian goats detoxify the goitrogen 3-hydroxy-4(1H) pyridone (DHP) after rumen infusion from an Indonesian goat. Experientia 40, 1435-1436.

31

Jones, R.J. and Lowry, J.B. 1990. Overcoming problems of fodder quality in agroforestry systems. In: Avery, M.E., Cannell, M.G.R. and Ong, C.K. (eds), Applications of Biological Research in Asian Agroforestry. Winrock International, Morrilton, Arkansas, USA, pp. 259-275. Jones, R.J. and Megarrity, R.G. 1983. Comparative toxicity responses of goats fed on Leucaena leucocephala in Australia and Hawaii. Australian Journal of Agricultural Research 34, 781790. Jones, R.J. and Winter, W.H. 1982. Serum thyroxine levels and liveweight gain of steers grazing Leucaena pastures. Leucaena Research Reports 3, 2-3. Jones, R.J., Blunt, C.G. and Nurnberg. 1978. Toxicity of Leucaena leucocephala. The effect of iodine and mineral supplements on penned steers fed a sole diet of Leucaena. Australian Veterinary Journal 54, 387-392. Jones, R.J., Seawright, A.A. and Little, D.A. 1970. Oxalate poisoning in animals grazing the tropical grass Setaria sphacelata. Journal of the Australian Institute of Agricultural Science 36, 41-43. Jurgens, M. H., 1997. Animal feeding and Nutrition. 8th edition. Kendall/Hunt publishing company. Dubuque, Iowa, USA. Kumar, R., 2003. Anti-nutritive factors, the potential risks of toxicity and methods to alleviate them. http://www.fao.org/DOCREP/003/T0632E/T0632E10.htm. Leach, A.J., Leach, D.N. dan Leach, G.J. 1988. Antibacterial activity of some medicinal plants of Papua New Guinea. Sci. New Guinea 14 : 1 – 7. Li, Y-F., Yuan, L., Xu, Y-K., Yang, M., Zhao, Y-M. and Luo, Z-P. 2001. Antistress effect of oligosaccharides extracted from Morinda officinalis in mice and rats. Acta Pharmacol. Sin. 22 (12) : 1084 – 1088. Lowry, J.B., Maryanto, N. and Tangendjaja, B. 1983. Autolysis of mimosine to 3-hydroxy-4(1H) pyridone in green tissues of Leucaena leucocephala. Journal of the Science of Food and Agriculture 34, 529-533. Lu, C,F. 1985. Basic Toxicology: Fundamentals, Terget Organs and Risk Assessment. Toronto: McGraw-Hill International Book Company

32

Magdalena, E. 1993. Tanaman Obat Keluarga. Penebar Swadaya, Jakarta. Matthew, J., Brooker, J.D., Clark, K., Lum, D.K. and Miller, S.M. 1991. Isolation of a ruminal bacterium capable of growth on tannic acid. Australian Society for Microbiology. Annual Scientific Meeting, Gold Coast, Australia Poster No. 59. Metode Evaluasi Efek Negatif Komponen Non Gizi: Komponen alami pangan yang dapat bersifat sebagai anti nutrisi (http://xa.yimg.com/kq/groups/20875559/1361454264/name/Topik61ppt.pdf) Nelson, S.C. 2003. Morinda citrifolia L. Internet article version 2003.11.29 of Permanent Agriculture Resources (PAR) Holualoa, Hawaii. http://www.agroforestry.net NS Palupi, FR Zakaria dan E Prangdimurti. Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu & Teknologi Pangan-Fateta-IPB 2007 : Topik 6 Metode Evaluasi Efek Negatif Komponen Non Gizi. (Online) 2007 (diakses 10 Desember 2012) dari (http://xa.yimg.com/kq/groups/20875559/783642276/name/TOPIK_6.pdf) Nurhayai dan Nelwida. 2010. Broiler chicken response on the ration containing Noni (Morinda citrifolia) Meal. Jurnal Penelitian Universitas Jambi seri Sains. Vol 12 No. 2 Juli 2010 Hal. 35 41. ISSN : 0852-8349. Nurhayati dan M. Latief. 2008. Pemanfaatan Rumput Mutiara (Hedyotis corymbosa (L) Lamk) sebagai Feed Additive dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Escherichia coli di Dalam Saluran Pencernaan Ayam Pedaging. Laporan Penelitian Fundamental. Dibiayai oleh Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional dengan Surat Perjanjian Nomor 007/SP2H/PP/DP2M/III/2008 Tanggal 6 Maret 2008. Nurhayati dan M. Latief. 2009. Isolasi Senyawa dan Uji Antibakteri Ekstrak Etil Asetat Rumput Mutiara (Hedyotis corymbosa L (Lamk)) Terhadap Bakteri Escherichia. Jurnal Bahan Alam Indonesia 6 (6) : 243 – 246. Nurhayati, M. Latief dan H. Handoko, 2006. Uji Antimikroba Rumput Mutiara (Hedyotis corymbosa) terhadap Bakteri dan Jamur Penyebab Penyakit pada Ternak Unggas. Journal Biosfera 23 (3) : 137 – 143. Nurhayati. 2008. Pengaruh pemberian jus buah mengkudu (Morinda

33

citrifolia) dalam air minum terhadap penampilan ayam broiler jantan. Jurnal Agripet Vol. 8 No. 1 April 2008. Hal. 39 – 44. ISSN : 1411 – 4623. Pratchett, D., Jones, R.J. and Syrch, F.X. 1991. Use of DHP-degrading rumen bacteria to overcome toxicity in cattle grazing irrigated leucaena pastures. Tropical Grasslands 25, 268-274. Quirk, M.F., Bushell, J.J., Jones, R.J., Megarrity, R.G. and Butler, K.L. 1988. Live-weight gains on leucaena and native grass pastures after dosing cattle with rumen bacteria capable of degrading DHP, a ruminal metabolite from leucaena.Journal of Agricultural Science (Cambridge) 111, 165-170. Raurela, M. and Jones, R.J. 1985. Degradation of DHP in cattle in Papua New Guinea. Leucaena Research Reports 6, 68-69. Reddy, N.R., M.D. Pierson. 1994. Reduction in antinutritional and toxic components in plant foods by fermentation, Food Res. Int., 27, 281–290. Rosenthal, G.A. and Janzen, D.H. 1979. Herbivores: their Interaction with Secondary Plant Metabolites. Academic Press, New York 718 pp. Sukria, AH dan Krisnan, R. 1999. Sumber dan Ketersediaan Bahan Baku Pakan di Indonesia. Bogor: IPB Press. Tannenbaum, S.R., (Ed.). 1979. Nutritional and safety aspects of food processing. Marcel Dekker Inc., New York. Vries, John de. 1997. Food Safety and Toxicity. CRC Press. USA Wang, J., Yang, J.H. and Jones, R.J. 1987. Chinese cattle detoxify the leucaena toxin after Australian rumen fluid infusion. In: Proceedings 4th Annual Conference of Chinese Grassland Association, Nanning, Guangxi, November 12-17, 1987. Wang, M.Y., West, B.J., Jensen, C.J., Nawicki, D., Su, C., Palu, A.K. dan Anderson, G. 2002. Morinda citrifolia (Noni) : A literature review and research advances in Noni research. Acta Pharmacol. Sin. 23 (12): 1127 – 1141. Wildin,

J.H. 1985. Tree Leucaena - Permanent High Quality Pastures. Queensland Department of Primary Industries, Rockhampton, 8 pp.

Wina, E., Muetzel, S., Hoffman, E., Makkar, H.P.S. and Becker, K. 2002. Inclusion of several Indonesian medicinal plants in in vitro rumen fermentation and their effects on microbial population structure and fermentation products. Deutscher 34

Tropentag October 2002, Witzenhausen, Germany. Yatno. 1993. Penggunaan kacang kedelai hasil dari beberapa cara pemanasan terhadap bobot organ pencernaan ayam broiler fase awal [skripsi]. Jambi: Fakultas Peternakan Unversitas Jambi.

35

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF