2pandangan Eskatologi Mulla Sadra

February 17, 2017 | Author: Moh Hamdi | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download 2pandangan Eskatologi Mulla Sadra...

Description

PANDANGAN ESKATOLOGI MULLA SADRA Kholid Al-Walid

Abstract: This article discusses Mulla Sadra‟s notion of eschatology and the principles underlying this idea, as well as his attempt at resolving eschatological issues that have brought about a sharp conflict between the philosophers and theologians. Based on his al-Hikmat al-Muta„âliyat fî al-Asfâr al-„Aqlîyyat alArba„at, this study concludes that Sadra‟s view of eschatology relies on rational arguments and is relevant to the theological doctrines and „irfânî intuition so that it can be a solution to the conflicting ideas. The conclusion runs against Sibawaihi‟s opinion that eschatological thought in Islam ends with al-Ghâzâlî‟s attack to eschatological concept of philosophers. In addition, this conclusion challenges the view of Jane I. Smith and Yvonne Yazbeck that eschatological study after al-Ghâzâlî merely literal in manner. Finally, this result argues against Fazlur Rahman‟s idea that although Sadra criticizes al-Ghâzâlî, the solution the former promotes is not different from, but identical to, that of the latter. Kata-kata Kunci: Eskatologi (ma„âd), Jiwa, Reinkarnasi

Kekeliruan utama pandangan pemikir Muslim modern yang beranggapan bahwa kajian eskatologi merupakan kajian yang telah baku dan berakhir di tangan tokoh besar Abû Hâmid al-Ghâzâlî1 (450-505 H) adalah kekeliruan yang telah berdampak pada hilangnya kajian yang serius terhadap metafisika akhirat di dunia modern. Secara umum, kajian eskatologi pada Abad Pertengahan terintegrasi ke dalam filsafat, sebagai bagian dari upaya para filosof Muslim untuk membuktikan keberlangsungan eksistensi jiwa setelah kematian dan keberadaan kehidupan akhirat secara filosofis. Sumbangan besar yang diberikan para filosof Muslim tersebut bukan hanya terbatas pada wilayah keyakinan keagamaan, tetapi juga pada pengetahuan yang lebih mendalam berkaitan dengan substansi jiwa. Ibn Sînâ (370-428 H), yang merupakan tokoh pendiri madrasah filsafat Peripatetik (Masysyâiyyat), maupun Syaykh

1

Lihat Sibawaihi, Eskatologi al-Ghâzâlî dan Fazlur Rahman: Studi Komparatif Epistemologi KlasikKontemporer (Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2004), hlm. 13.

Isyrâq (549-587 H), tokoh utama pendiri filsafat Iluminasi (Isyrâqiyyat), telah mencurahkan perhatian serius dalam bidang ini sehingga melahirkan pandangan-pandangan yang mendalam berkaitan dengan keadaan jiwa setelah kematian. Anggapan akan kebakuan kajian eskatologi dan dimasukkannya eskatologi hanya pada wilayah sempit teologi adalah sebuah reduksi terhadap salah satu di antara warisan ilmiah yang spekulatif. Sedikitnya sumbangan pemikir Muslim modern terhadap psikologi modern yang cenderung materialistis adalah karena rendahnya kajian ilmiah di dunia Islam berkaitan dengan persoalan jiwa dan keabadian jiwa pasca-kehancuran raga. Di dunia modern, menurut Mulyadhi Kartanegara, jiwa baru berada hanya pada tataran neurologis. Bahkan Mulyadhi memberikan kritik dengan menyebut psikologi modern sebagai “brain based psychology.” Menurutnya, jika jiwa tidak lebih sebagai bagian dari neurologi dan suatu saat otak manusia tersebut mengalami kehancuran, maka tidak akan ada bagian yang survive dari kehidupan

Kholid al-Walid, Pandangan Eskatologi Mulla Sadra

manusia.2 Pandangan psikologis modern seperti ini bertentangan sekali dengan apa yang ditawarkan agama bagi kehidupan manusia. Agama tidak hanya sebuah rangkaian peribadatan, tetapi juga merupakan pandangan dan keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada dalam materi memiliki dimensi ruhaniah, bahkan dimensi ruhaniah inilah yang paling dominan dan hakiki dalam memengaruhi realitas material. Agama memberikan keyakinan kepada manusia bahwa keselamatan kehidupan manusia dalam tahap jangka panjang hanya terjadi jika manusia memiliki kesadaran terhadap kehidupan ruhaniahnya dan mengolah alam semesta dalam upaya untuk meningkatkan kualitas ruhaniah, bukan mengekploitasi semesta hanya untuk kepentingan material sesaat. Kesadaran seperti ini hanya akan dapat diapresiasi sekiranya kajian eskatologi yang jauh lebih luas dari pemaknaan terhadap doktrin-doktrin agama yang bersifat literal3 dihidupkan kembali sehingga mampu memberikan sumbangan mendasar bagi pandangan psikologi modern. Eskatologi sendiri berasal dari kata escaton yang secara harfiah berarti doktrin tentang akhirat, sebuah doktrin yang membahas tentang keyakinan yang berhubungan dengan kejadian-kejadian akhir hidup manusia, seperti kematian, hari kiamat, berakhirnya dunia, kebangkitan kembali, pangadilan akhir, surga-neraka dan lain sebagainya.4 Karenanya, dalam membicarakan persoalan eskatologi, 2

Mulyadhi Kartanegara, Psikologi Islam (sedang dalam proses terbit), hlm. 2. 3 Dalam studi yang dilakukan Smith dan Haddad diperoleh kesimpulan bahwa pada umumnya kajian eskatologi pasca serangan al-Ghâzâlî hanya bersifat penjelasan literal dan tidak sebagaimana kajian yang dilakukan para filosof Abad Pertengahan. Lihat Jane Idelman Smith and Yvonne Yazbeck Haddad, The Islamic Understanding of Death and Resurretion (Oxford: Oxford University Press, 2002), hlm. 62. 4 Lihat Peter A. Angeles, Dictionary of Philosophy (New York: Harper & Row Publisher, 1981) dan H.P. Owen, “Eschatology,” dalam The Encyclopedia of Philosophy, ed. Paul Edwards (New York-London: Macmillan, 1965), vol. 3.

persoalan mendasar yang juga harus dimasukkan adalah keberadaan ruh atau jiwa pada diri manusia dan bagaimana ruh atau jiwa dapat terus ada selama kematian terjadi. Hal ini merupakan doktrin prinsip pada semua agama yang sama sekali tidak disentuh oleh psikologi modern. Dalam Islam, eskatologi dikenal dengan sebutan ma„âd, yang secara khusus diartikan oleh al-Taftâzânî sebagai “sumber atau tempat, dan hakikat kebangkitan adalah kembalinya sesuatu kepada apa yang ada sebelumnya.” Yang dimaksud di sini adalah kembalinya keberadaan setelah kehancuran, atau kembalinya bagian-bagian tubuh untuk bersatu setelah keterpisahan, kepada kehidupan setelah kematian, ruh kepada tubuh setelah terpisah. Adapun kebangkitan ruhani murni, seperti dalam pandangan para filosof, bermakna kembalinya ruh kepada asalnya yang non-material akibat keterikatannya dengan tubuh material dan penggunaan alat-alat fisik atau keterlepasan terhadap kegelapan yang menyelimutinya.5 Al-Quran sebagai sumber utama Islam menegaskan prinsip keyakinan, antara lain, dalam QS 22: 57. Prinsip eskatologi ini menjadi satu bagian dari prinsip keimanan di dalam Islam, yang tanpa keyakinan terhadapnya keimanan seseorang terhadap Islam menjadi batal. Namun demikian, prinsip ini menjadi sebuah diskursus yang sangat panjang di dalam Islam, bukan berkaitan dengan dasar keberadaannya, akan tetapi berkaitan dengan pembuktian filosofis terhadap pandangan eskatologi ini serta bagaimana bentuk kehidupan yang akan muncul pasca-kematian. Diskursus tentang pandangan ini terjadi terutama pada dua wilayah kajian ilmiah Islam: ilmu kalam dan filsafat.6 5

Al-Taftâzânî, Syarh al-Maqâshid (Iran: Mansyûrât Syarîf al-Râdhî, 1409), juz 5, hlm. 82. 6 Dalam Tasawuf pembicaraan tentang eskatologi didasarkan pada proses intuitif dan tidak sebagaimana pembicaraan eskatologi di dalam ilmu kalam dan filsafat yang menggunakan argumentasi-argumentasi

Jurnal Khazanah, Volume: , Nomor: , Hal:

Dalam ilmu kalam, pembicaraan tentang masalah ini umumnya berkisar pada argumentasi tentang kebangkitan, kematian, barzakh, surga-neraka, kebahagiaan dan penderitaan, keabadian di akhirat, kebangkitan jasmani dan syafaat. Adapun dalam filsafat, pembicaraan tentang kebangkitan meliputi ruang yang lebih luas, bukan hanya dalam persoalan yang telah disebutkan di atas, akan tetapi juga meliputi masalah ruh, jiwa dan jasmani, bentuk keterikatan antara ruh, jiwa dan jasmani, kemustahilan kebangkitan setelah ketiadaan (i„âdat al-ma„dûm) dan sebagainya.7 Filsafat dan kalam telah menjadi dua khazanah Islam yang cukup signifikan dalam menopang peradaban Islam. Tidak jarang argumentasi filosofis digunakan kalam dalam upaya membuktikan kebenaran doktrin-doktrin Islam, dan tidak jarang pula filsafat, khususnya filsafat Islam, mendapatkan inspirasi dari ilmu kalam dalam menjawab persoalan filsafat. Akan tetapi, kedua cabang ilmu ini seringkali melahirkan dua kebenaran yang berbeda, dan tentu saja pada akhirnya menimbulkan konflik. Sebagian teolog beranggapan bahwa kebenaran yang bertentangan dengan doktrin-doktrin wahyu adalah kesesatan, sedangkan sebagian filosof beranggapan bahwa kebenaran yang tidak rasional perlu diinterpretasi ulang. Dua khazanah ilmiah yang berbeda ini pada satu masa mengalami benturan yang cukup dahsyat terutama dalam membicarakan persoalan eskatologi. Puncak benturan tersebut terjadi ketika secara terbuka al-Ghâzâlî menyerang keyakinan para filosof lewat bukunya Tahâfut al-Falâsifat8 dan Ibn Rusyd (520untuk membuktikan kebenaran prinsip eskatologi tersebut. 7 Pembicaraan secara lebih khusus akan dikemukakan dalam bagian berikutnya. 8 Tahâfut al-Falâsifat merupakan karya yang ditulis al-Ghâzâlî setelah karyanya yang hampir mirip, yaitu Maqâshid al-Falâsifat. Dalam karya ini, al-Ghâzâlî mengkritik para filosof bahkan mengkafirkan mereka. Ada dua puluh persoalan utama yang dikritik alGhâzâlî, antara lain kekadiman alam, keabadian alam, masa dan gerakan, Allah sebagai subjek bagi alam, kelemahan argumentasi filosof tentang adanya Allah,

595 H) menyerang balik al-Ghâzâlî dengan bukunya Tahâfut al-Tahâfut.9 Di antara persoalan mendasar yang menjadi target serangan al-Ghâzâlî adalah persoalan keyakinan para filosof tentang kebangkitan ruhaniah, terutama seperti yang diyakini oleh Ibn Sînâ. Bagi al-Ghâzâlî, keyakinan seperti ini sangat bertentangan dengan prinsip alQuran yang secara khusus menyebutkan bahwa kebangkitan manusia tidak hanya melalui jiwa, tetapi juga meliputi fisik. Pandangan eskatologi para filosof ini dianggap menegasikan kekuasaan Tuhan. Bukankah Tuhan itu Maha Kuasa atas segala sesuatu, termasuk sekadar menampilkan kembali fisik yang telah hancur ataupun mewujudkan yang baru? Namun demikian, terlepas dari serangan terhadap filsafat sangat luar biasa ini, di sebagian wilayah Islam filsafat terus hidup, bahkan melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Suhrawardî yang mendirikan aliran filsafat Isyrâqiyyat dan filsafat pada akhirnya melahirkan filosof besar Mulla Sadra, yang mendirikan aliran filsafat al-Hikmat alMuta„âliyyat.10 Kebesaran dan keagungan filsafat alHikmat al-Muta„âliyyat ini dinyatakan oleh Hossein Nasr sebagai berikut:

kelemahan filosof terhadap pembuktian keesaan Allah, penafian sifat-sifat Allah, Dzat pertama yang tidak terkomposisi oleh genus dan partikular, kesederhanaan wujud pertama, imaterialitas Yang Pertama, alam memiliki pencipta dan sebab, pengetahuan yang pertama bersifat general, pengetahuan Dzat Pertama tentang dirinya, ketidak tahuan Allah tentang partikular, langit merupakan hewan yang tunduk pada Allah, tujuan penggerak langit, jiwa-jiwa langit mengetahui yang partikular, ketidakmungkinan mukjizat, ketidakmampuan filosof membuktikan keruhanian jiwa, keberalngsungan jiwa manusia, Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani. 9 Tahâfut al-Tahâfut merupakan karya Ibn Rusyd yang memberikana jawaban terhadap kritik-kritik alGhâzâlî dengan menjelaskan argumentasi-argumentasi para filosof tentang persoalan yang dikritik al-Ghâzâlî dan menunjukkan kelemahan pemahaman al-Ghâzâlî tentang pandangan para filosof tersebut. 10 Jalaluddin Rakhmat, “Hikmah Muta„aliyah: Filsafat Islam pasca-Ibn Rusyd,” dalam Mulla Sadra, Kearifan Puncak, terj. Dimitri Mahayana (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. vii.

Kholid al-Walid, Pandangan Eskatologi Mulla Sadra

The particular genius of Mulla Sadra was to synthesize and unify the three paths lead to the truth, viz., reveleation, rational demonstration, and purification of soul, which lats in turn leads to illumination. For him gnosis, philosophy, and revealed religion were elements of a harmonious assemble the harmony of which he sought to reveal in his own life as well as in his writing. He formulated a perspective in which rational demonstration of philosophy, although not necessarily limited to that of the Greeks, became closely tied to the Quran and the saying of the prophet and the Imams, and these in turn became unified with the gnosis doctrine which result from the illumination received by a purified soul. That is why Mullah Sadra‟s writing are combination of logical statements, gnostic intuition, traditions of prophet, and the Quranic verses.11 Sintesis yang dilakukan oleh Mulla Sadra atas ketiga aliran pemikiran ditambah dengan bimbingan hadis-hadis „Alî ibn Abî Thâlib di atas telah melahirkan sebuah bangunan filsafat yang kokoh yang dinyatakan oleh para ahli tidak semata-mata aksidental, tetapi juga menawarkan metode alternatif, konseptual dan ontologis.12 Tulisan ini akan membahas dasardasar eskatologi Mulla Sadra dan prinsipprinsip yang menopangnya, dengan perhatian khusus pada persoalan jiwa, reinkarnasi dan kebangkitan jasmani. Sesuai dengan karakter tulisannya, tulisan ini menggunakan analisis filosofis, yang bertumpu pada konsistensi argumen yang mendasarinya. B. Dasar-dasar Eskatologi Sadra Tujuan utama filsafat bagi Mulla Sadra adalah upaya mencapai kesempurnaan hakiki manusia, bukan hanya dalam konteks kehidupan sosial masyarakat sebagaimana 11

S.H. Nasr, “Sadr al-Din Shirazi (Mulla Sadra),” dalam M.M. Sharif (ed.), A History of Muslim Philosophy (Pakistan: Pakistan Philosophical Congress, 1969), vol. 1, hlm. 939. 12 S.H. Nasr, Three Muslim Sages (New York: Delmar, 1964), hlm. 67.

yang terjadi pada filsafat Barat. Karena itu, di dalam filsafatnya, Mulla Sadra menjelaskan secara spesifik pandangan teodesi dan eskatologi sebagai sebuah bagian dari perjalanan ruhani yang harus dilewati oleh setiap manusia yang hendak menggapai kesempurnaan. Al-Hikmat al-Muta„âliyyat sebagai madrasah filsafat yang dikembangkan Mulla Sadra diangkat dari kitab utamanya alHikmat al-Muta„âliyyat fi al-Asfâr al„Aqlîyyat al-Arba„at (Kearifan Puncak tentang Empat Tahap Perjalanan Intelek). Mulla Sadra menggambarkan bahwa manusia yang mencapai kearifan tertinggi haruslah melewati empat tahap perjalanan ruhani,13 yang semuanya terangkum dalam rangkaian filsafat yang dikembangkannya. Empat tahap perjalanan tersebut adalah: 1. Perjalanan pertama, min al-khalq ilâ alhaqq (dari makhluk menuju Tuhan). Pada tingkat ini, perjalanan yang dilakukan manusia adalah mengangkat hijab kegelapan dan hijab cahaya yang membatasi antara seorang hamba dan Tuhannya. Seorang sâlik harus melewati stasiun-stasiun, mulai dari stasiun jiwa, stasiun qalb, stasiun ruh dan berakhir pada maqshad al-aqshâ. Pada tahap ini, perjalanan ruhani baru dimulai dari pelepasan diri dan bergabung menuju Tuhan. Dalam kajian filsafatnya, perjalanan pertama ini adalah gambaran dari upaya sâlik mengangkat kesadarannya dari realitas makhluk lewat pembahasan wujud dalam makna yang umum dan juga tentang hukum-hukum ketiadaan, entitas, gerakan material dan sustansial serta intelek. 2. Perjalanan kedua, bi al-haqq fî al-haqq (bersama Tuhan di dalam Tuhan). Pada tahap ini, seorang sâlik memulai tahap kewaliannya, karena wujudnya telah menjadi diri-Nya dan dengan begitu dia melakukan penyempurnaan dalam nama13

Lihat Mulla Sadra, al-Hikmat al-Muta„âliyat fî alAsfâr al-„Aqliyyat al-Arba„at (Beirut: Dâr Ihyâ‟ alTurâts al-„Arabî, 1981), jilid 1, hlm. 13-18.

Jurnal Khazanah, Volume: , Nomor: , Hal:

nama agung Tuhan. Tingkat ini adalah tingkat penyempurnaan teologis seorang sâlik. Dalam konteks ini, Mulla Sadra membicarakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan ketuhanan. 3. Perjalanan ketiga, min al-haqq ilâ alkhalq bi al-haqq (dari Tuhan menuju makhluk bersama Tuhan). Dalam stasiun ini, seorang sâlik menempuh perjalanan dalam af„âl Tuhan, kesadaran Tuhan telah menjadi kesadarannya dan menempuh perjalanan di antara alam jabarût, malakût dan nâsût serta menyaksikan segala sesuatu yang ada pada alam tersebut melalui pandangan Tuhan. Pembicaraan pada tingkat ini meliputi proses penciptaan dan emanasi yang terjadi pada intelek-intelek. 4. Perjalanan keempat, min al-khalq ilâ alkhalq bi al-haqq (dari makhluk menuju makhluk bersama Tuhan). Pada tahap ini, sâlik menyaksikan seluruh makhluk dan apa yang terjadi padanya di dunia dan akhirat serta mengetahui perjalanan kembali menuju Allah, dan bentuk kembalinya serta azab dan nikmat yang akan diberikan Allah pada mereka. Karena itu, pembicaraan Mulla Sadra pada tingkat ini adalah pembicaraan yang berkaitan dengan eskatologi atau ma„âd yang akan terjadi pada diri manusia setelah kematiannya dan dengan bukti serta argumentasi rasional.14 Di antara persoalan yang dibicarakan Mulla Sadra dalam filsafatnya adalah persoalan eskatologi yang merupakan substansi perjalanan keempat dari filsafatnya. Mengingat persoalan ini merupakan persoalan yang telah melahirkan skisme yang cukup mendalam antara teologi dan filsafat, dan juga dihadapi manusia modern saat ini seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, maka pandangan eskatologi yang dikemukakan Mulla Sadra ini tentulah sangat menarik untuk dikaji. Lebih jauh, mengingat filsafatnya merupakan sintesis dari berbagai pemikiran, terutama antara 14

Lihat penjelasan Muhammad Husayn Thabâthabâ‟î dalam Mulla Sadra, al-Asfâr, jilid 1, hlm. 14.

teologi dan filsafat, kajian ini paling tidak akan memberikan jawaban yang lebih akumulatif terhadap keyakinan umat Islam tentang prinsip ma„âd atau kebangkitan kembali sekaligus menjadi bukti argumentatif bagi persoalan yang dihadapi manusia modern. C. Jiwa dalam Kebaharuannya sebagai Jasmani dan Keabadiannya sebagai Ruhani (nafs al-jasmâniyat al-hudûts rûhâniyyat al-baqâ‟). Pandangan ini sangat bertentangan dengan para pendahulu Mulla Sadra pada umumnya yang meyakini bahwa jiwa telah tercipta sebelum tubuh diciptakan yang kemudian bergabung dengan fisik yang baru diciptakan.15 Bagi Mulla Sadra, jiwa ada secara bersamaan dengan adanya fisik dan sama-sama berasal dari materi. Ketika materi pertama terbentuk, ada dua unsur utama yang membentuknya, yaitu forma dan dasar materi (hayyûlat). Perkembangan forma inilah yang kemudian teraktualisasi menjadi jiwa, sedangkan materi dasar teraktualisasi menjadi raga. Menurut Mulla Sadra, jiwa merupakan forma manusia yang muncul secara fisik dan abadi menjadi ruhani (jasmâniyat al-hudûts rûhâniyyat albaqâ‟).16 Intelek affektif (al-„aql al-munfa„il) 15

Ada beberapa pandangan sebelum Mulla Sadra yang berkaitan bagaimana hadirnya jiwa pada raga. Pertama, jiwa merupakan hakikat yang riil, sedangkan raga adalah hakikat relatif. Seperti wujud dan kuiditas, keberadaan jiwa dengan sendirinya menghadirkan forma materi. Kedua, dua bentuk substansi, namun yang pertama merupakan penyebab dan kedua sebagai akibat, atau seperti wujud yang mungkin dengan wujud niscaya. Dengan demikian, jiwa sebagai sebab bagi raga. Ketiga, jiwa terlebih dahulu ada dan posisinya sebagai substansi, sedangkan raga datang kemudian dengan posisi sebagai aksiden bagi jiwa. Keempat, raga sebagai substansi dan jiwa sebagai aksiden, raga hadir terelebih dahulu baru kemudian jiwa dan akan hancur bersama hancurnya raga. Untuk lebih jelas, lihat Hadi Rastegori, “Ma„ad az Didgohe Hukamo‟ va Sadra Muta‟alihin Syirozi,” dalam Kherad Nomeh Sadro, vol. 15 (1420), hlm. 68. 16 Prinsip ini jelas mengacu pada akar filsafatnya yang dibangun di atas dasar gerak trans-substansial, bahwa segala elemen wujud mengalami proses gerakan. Jiwa

Kholid al-Walid, Pandangan Eskatologi Mulla Sadra

merupakan akhir dari makna fisik dan permulaan dari makna ruhani, sedangkan manusia merupakan jalan penghubung (alshirâth al-mamdûd) antara dua alam. Dia sederhana melalui ruhnya dan terkomposisi melalui fisiknya. Tabiat fisiknya merupakan yang paling murni di antara forma-forma materi bumi dan jiwanya menempati tingkat yang paling tinggi di antara jiwa yang utama.17 Untuk membuktikan pandangannya ini, Mulla Sadra mengemukakan argumen sebagai berikut:18 a. Setiap yang terlepas dari materi tidak akan bersatu dengannya dan menjadi aksiden yang dekat („aradh al-qarîb) dengan dasar bahwa sesungguhnya dimensi potensial dan kesiapan kembali kepada persoalan bahwa dirinya secara substansial merupakan potensi semata yang terhasilkan dari forma yang membentuknya (muqawwimat) dan tidaklah dirinya melainkan hanyalah bagian dari materi dasar utama (hayyûlat al-jurmâniyyat) maka pastilah barangsiapa yang beranggapan bahwa jiwa terlepas dari materi kemudian bergabung bersamanya maka pandangan ini akan menyebabkan terjadinya reinkarnasi.19 b. Sekiranya jiwa ada sebelum fisik diciptakan, maka jiwa tidak mungkin plural ataupun satu. Yang pertama, yakni plural, tidak mungkin karena perbedaan hanya terjadi pada sesuatu yang memiliki batasan spesies (naw„) baik melalui materi-materinya, aksiden-aksidennya, yang berawal sebagai unsur materi terendah dalam wujud berkembang ke arah yang lebih tinggi, yaitu tingkat ruhaniah. Karenanya, bagi Mulla Sadra, semua jiwa, sekalipun jiwa tumbuh-tumbuhan, akan bergerak menuju tingkat ruhaniah. Baca Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, hlm. 267. 17 Mulla Sadra, al-Syawâhid al-Rubûbîyyat fî alManâhij al-Sulûkîyyat (Masyhad: Markaze Nasyr Donesgohi, 1360), hlm. 223. (Selanjutnya disebut alSyawâhid). 18 Lihat Mulla Sadra, al-Syawâhid, hlm. 220-228. 19 Pandangan tentang kekeliruan reinkarnasi akan dijelaskan kemudian.

aktivitas-aktivitasnya atau tujuantujuannya atau sebab-sebab yang berpengaruh pada jiwa ini. Sedangkan forma jiwa, sekaligus substansinya karena kesatuannya dalam spesiesnya dan aktivitasnya, merupakan hal yang satu, tujuannya tersambung padanya dan menyerupainya maka pluralitasnya hanya akan terjadi baik melalui materi atau sebagaimana dia dalam ketetapannya (identitasnya) seperti tubuh padahal realitasnya jiwa terpisah dari tubuh hal ini jelas inkonsistensi. Sedangkan yang kedua (satu) karena diterimanya pluralitas setelah kesatuan dari spesifikasi ukuran-ukuran dan aksidenaksidennya sedangkan jiwa tidaklah demikian. Meskipun demikian, ada juga beberapa filosof sebelum Mulla Sadra yang berpandangan bahwa jiwa tidak mendahului raga. Al-Fârâbî dan al-Ghâzâlî meyakini bahwa jiwa belum ada sebelum adanya raga, hanya saja keduanya tidak memberikan penjelasan secara terperinci bagaimana jiwa dan raga tersebut muncul bersamaan. AlGhâzâlî hanya menyatakan secara sekilas bahwa jiwa diciptakan Allah di „âlam alamr, ketika janin telah siap untuk menerima kehadiran jiwa.20 D. Keabadian Jiwa setelah Kehancuran Raga Para filosof Muslim berpandangan bahwa jiwa akan tetap ada setelah kehancuran raga mengingat jiwa bersifat transenden dan tidak bergantung kepada raga kecuali sebagai identitas bagi dirinya. Keberadaannya justru menjadi korpus bagi keberadaan raga, tidak sebaliknya. Ibn Sînâ menyatakan, “Sesungguhnya jiwa tidaklah mengalami kematian dengan kematian raga dan bahkan tidak akan mengalami kehancuran sama sekali.”21 20

Lihat Majid Fakhry, Tarikh Falsafe dar Jihone Islom, hlm. 421. 21 Hadi Rastgori, “Ma‟ad,” hlm. 69. Teks aslinya sebagai berikut :

Jurnal Khazanah, Volume: , Nomor: , Hal:

Pandangan ini tentu menjadi pandangan yang sangat mendasar mengingat kebangkitan hanya bisa terjadi jika jiwa tetap ada. Untuk menjelaskan persoalan ini Mulla Sadra terlebih dahulu menjelaskan keterikatan jiwa dengan raga. Mulla Sadra menolak pandangan yang menyatakan bahwa kebersamaan antara jiwa dengan raga hanyalah kebersamaan kebetulan dan di antara keduanya tidak terjadi ikatan fundamental (dzâtiyyat). Baginya, ikatan antara keduanya adalah ikatan keharusan (luzûmiyyat), bukan kebersamaan kesetaraan (mutadhâ‟ifayn) dan bukan pula kebersamaan dua akibat untuk satu sebab dalam wujud. Keterikatan antara keduanya tidak lain kecuali kebersamaan keharusan secara utuh seperti antara materi dengan forma. Bagi Mulla Sadra, raga membutuhkan jiwa tidak dalam kekhususannya, akan tetapi secara mutlak dalam aktualisasinya, sedangkan jiwa membutuhkan raga bukan dari segi hakikat mutlak rasional, akan tetapi dari segi keberadaan personalitas dan identitasnya serta kebaharuan kedirian jiwa. Dengan penjelasan tersebut, Mulla Sadra mendudukkan posisi raga hanyalah sebagai reseptif semata, di mana ketergantungan raga adalah ketergantungan mutlak yang tidak akan lenyap selama adanya jiwa bersamanya dan tidak akan ada dengan ketiadaan jiwa.22 Dalam logika Mulla Sadra, tidaklah mungkin jiwa mengalami kehancuran, karena jika kehancuran dapat terjadi pada jiwa pastilah terdapat potensi pada jiwa untuk menerima kehancuran, padahal potensi tersebut bukanlah substansi jiwa. Sesuatu yang memiliki potensi kehancuran haruslah bersama dengan sesuatu yang hancur dan itu adalah materi, sedangkan jiwa adalah substansi yang transenden yang reseptif terhadap forma-forma rasional. Karena itu, menurut Mulla Sadra, tidaklah mungkin jiwa mengalami kehancuran.23 Hal ini bertolak belakang dengan pandangan al-Fârâbî, yang ‫إن انىفض ال حمُث بمُث انبذن َال حقبم انفظاد أصال‬ 22 23

Lihat Mulla Sadra, al-Asfâr, jilid 8, hlm. 382. Lihat Mulla Sadra, al-Asfâr, jilid 8, hlm. 388.

menganggap jiwa-jiwa yang tidak mengalami kesempurnaan akan tetap pada tingkatnya sebagai materi, bahkan dapat hancur bersamaan dengan kehancuran materi tersebut.24 Dengan argumentasi ini Mulla Sadra ingin menunjukkan bahwa keterikatan yang terjadi antara jiwa dan badan adalah keterikatan keharusan, yang secara eksternal tidak mungkin ada raga tanpa jiwa seperti halnya tidak mungkinnya materi ada tanpa keberadaan forma. Jiwa membutuhkan raga dalam kebaharuan dirinya serta dalam identitasnya. Tanpa raga, tentu saja jiwa tidak akan memiliki identitas, akan tetapi keberadaan jiwa selanjutnya tidak lagi bergantung kepada raga, justru ragalah yang bergantung kepada jiwa, seperti antara aksiden dan substansi, di mana keberadaan aksiden secara eksternal akan selalu bergantung kepada keberadaan substansi, tetapi tidak sebaliknya. Kehancuran atau kematian raga sama sekali tidak menyebabkan kehancuran atau kematian jiwa. Kehancuran atau kematian hanya terjadi pada materi, sedangkan jiwa adalah substansi non-materi yang terbebas dari ruang dan waktu sehingga terbebas dari kehancuran. Seperti dinyatakan juga oleh Khwaja Nashir al-Dîn Thûsî, “Jiwa hidup melalui zatnya sendiri dan menghidupkan yang lain dan segala sesuatu yang hidup 24

Pandangan al-Fârâbî seperti ini dapat kita lihat dalam pernyataannya sebagai berikut: “Sedang para penduduk negeri jahiliyyah, sesungguhnya jiwa mereka akan tetap dan tidak mengalami penyempurnaan, dan untuk tetap ada membutuhkan materi sebagai keharusan, yaitu tidak tergambarkan padanya (penduduk jahiliyyah) gambaran dari objekobjek intelek pertama sama sekali. Jika materinya hancur yang selama ini menjadi dasar fundamental keberadaan mereka, maka hancur pulalah daya-daya yang selama ini merupakan personalitas dirinya yang menjadikan dirinya sebagai sebuah identitas. Tinggallah padanya daya-daya yang tersisa, dan jika materi ini hancur maka berubahlah dirinya menjadi sesuatu yang lain dengan forma materi tersebut dan berubah dari forma sebelumnya…hingga berubah menjadi materi padat dan tetap sebagai materi padat tersebut sebagai forma akhirnya.” Lihat al-Fârâbî, Kitâb Ara‟ Ahl al-Madînat al-Fâdhilat (Beirut: Dâr al-Masyriq, 2002), hlm. 142.

Kholid al-Walid, Pandangan Eskatologi Mulla Sadra

karena zatnya mustahil baginya kematian selama-lamanya.”25

E. Persoalan Reinkarnasi26 Reinkarnasi merupakan pandangan yang berkaitan dengan kehidupan pascakematian dan muncul jauh sebelum Islam. Hindu dan Budha merupakan dua agama yang menjadikan reinkarnasi sebagai keyakinan dasar pemeluknya,27 dalam peristiwa kehidupan pasca-kematian. Sebagian besar pemikir Islam, baik teolog maupun filosof, menolak keyakinan ini,28 mengingat reinkarnasi bertolak belakang dengan prinsip kebangkitan yang diyakini Islam. Mulla Sadra, seperti Ibn Sina, dalam upaya menegakkan pandangannya tentang eskatologi, mengemukakan argumentasi kekeliruan reinkarnasi. Namun, agar lebih jelas ada baiknya diketahui terlebih dahulu makna, jenis dan pandangan berkaitan dengan prinsip reinkarnasi tersebut.

25

Khwaja Nâshir al-Dîn al-Thûsî, Tahshîl alMuhashshal (Qom: Intisyarat Bidor, 1373), hlm. 524. Teks aslinya sebagai berikut: ‫َانىفض ّحيت بذاحٍا َ ي ّحيّ بٍا‬ "‫غيزٌا َكم ما كان حياحً نذاحً يظخحيم عهيً انمُث دائ ًما‬ 26 Konsep reinkarnasi juga diistilahkan dengan metempsychosis atau juga palingenesis. Konsep ini pada umumnya dianut oleh agama-agama India seperti Hindu, Budha, Jainis, dan Sikh. Konsep ini sendiri telah ada sejak Mesir Kuno di zaman Firaun, bahkan di Yunani konsep ini sudah dikenal sejak Pherecydes, guru dari Pythagoras (582-507 S.M.). Lihat Mercia Eliade, The Encyclopedia of Religion (London-New York: Macmillan, 1989), vol. 11, hlm. 265-269. 27 Abdul Rahim Guwahi, Rahnamoye Adyone Zendeh (Qom: Bustane Kitob, 1385), hlm. 779. 28 Kecuali al-Fârâbî karena, menurut Majid Fakhry dalam Sir Falsafeh, hlm. 144, al-Fârâbî mempercayai terjadinya reinkarnasi. Ia mengutip pernyataan alFârâbî dalam al-Madînat al-Fâdhilat sebagai berikut:

‫ اسآوجا كً طعا د‬,‫شٍز َوذا ِن مذ يىً ٌاِ عارِ اس فضيهج‬ ‫ث آوان درحياث دويُِ مىحصز در ارضا ِ اميال غز‬ ّ‫ ٌز كش اس سوذأن جظم ر ٌا ي‬,‫يشِ جظماوّ بُدي اطج‬ ‫ وفُص آوان ٌمُاري اسيكصُرث‬,‫ بهكً بً عكض‬,‫ومّ يا بىذ‬ ‫ يا انّ اآل بذ – ا َكز‬,‫مادِ بً صُرحّ ديكز مىخقم مّ شُوذ‬ ‫ يا حذريجا‬,‫مق ّذ ر با شذ – در جظذ اوظان حىا طخ مّ يا بىذ‬ ‫بً مز حبً حيُاوّ اوحطاط ييذا مّ كىىذ َبً حما مّ اس ميا‬ ‫ن مّ رَوذ‬

1. Makna dan Jenis Reinkarnasi Makna umum reinkarnasi adalah “kelahiran kembali jiwa atau diri dalam rangkaian fisik atau penjelmaan di luar kebiasaan, yang biasanya (kelahiran tersebut) terjadi pada manusia atau binatang di alam semesta, tetapi kadangkala juga pada beberapa bentuk ruhaniah, seperti malaikat, setan, tumbuh-tumbuhan atau astrologi.”29 Kyosamsaki memberikan makna reinkarnasi sebagai “perpindahan jiwa—manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan—dari raga aktualnya kepada raga selainnya.”30 Makna ini jelas meliputi segala jenis perpindahan jiwa baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal, yaitu perpindahan jiwa dari raga yang lebih rendah kepada raga yang lebih tinggi secara kualitas, baik dalam kehidupan di dunia ini maupun kehidupan berikutnya. Sedangkan secara horizontal, yaitu perpindahan jiwa di antara raga di dunia dalam tingkat dan kualitas yang sama atau lebih rendah. Dari makna ini juga muncul beragam jenis pembagian reinkarnasi. Pertama, perpindahan jiwa dari satu raga kepada raga yang lain dengan adanya keterikatan antara raga yang satu dengan lainnya. Reinkarnasi jenis ini disebut reinkarnasi bersambung (ittishâlî). Kedua, perpindahan jiwa dari satu raga kepada raga yang lain tanpa keterikatan antara satu dengan lainnya disebut reinkarnasi terpisah (infishâlî). Ketiga, perpindahan jiwa kepada raga astrologis yang terbentuk dari materi duniawi disebut reinkarnasi penguasaan (mulkî). Keempat, perpindahan raga kepada raga imajinal dan ukhrawi disebut reinkarnasi kemalaikatan (malakûtî). Kelima, jika raga berikutnya lebih mulia dan utama dari raga sebelumnya

29

Mercia Eliade, The Encyclopedia of Religion, vol. 11, hlm. 265. 30 Kyosamsaki Rozee, hlm. 232. Teks aslinya sebagai berikut:

– ّ‫اوخقال وفض – اعم اس وفض اوظان يا حيُان َيا وفض وباح‬ .‫اسبذن فعهّ خُيش بً بذوّ د ي َكز‬

Jurnal Khazanah, Volume: , Nomor: , Hal:

seperti perpindahan jiwa hewan kepada manusia, maka reinkarnasi jenis ini disebut reinkarnasi menaik (shu„ûdî). Keenam, jika raga yang kedua secara kualitas lebih rendah dari raga pertama, jenis reinkarnasi seperti ini disebut reinkarnasi menurun (nuzûlî).31 Mulla Sadra menambahkan pembagian lain, yakni jika jiwa mengalami perpindahan dari raga materi yang berbeda dari sebelumnya dan terjadi pada raga manusia disebut nasakh, jika pada raga hewan disebut masakh, jika pada raga tumbuh-tumbuhan disebut fasakh, jika pada raga materi keras disebut rasakh.32 2. Penolakan Mulla Sadra terhadap Reinkarnasi Reinkarnasi bagi Mulla Sadra merupakan pandangan yang berasal dari kekeliruan pemahaman terhadap apa yang dibawa para filosof terdahulu maupun para Nabi. Mulla Sadra secara mutlak menolak prinsip reinkarnasi, baik yang bersifat menaik (shu„ûdî) maupun menurun (nuzûlî), dengan mengemukakan berbagai argumentasi penolakan,33 di antaranya sebagai berikut: a. Jiwa memiliki keterikatan substantif dengan raga, komposisi keduanya adalah komposisi kesatuan alamiah, sekalipun satu dengan yang lainnya secara substantif memiliki gerakan transsubstansial. Jiwa pada awal kehadirannya merupakan potensi dalam segala keadaannya begitu pula dengan raga. Keduanya secara bersama keluar dari potensi kepada aktualitas dan derajat potensi dan aksi pada setiap bagian jiwa tertentu dihadapan keadaan raga yang khusus selama keterikatan dengan raga tersebut. Jiwa selalu berada dalam kondisi aktualisasi potensi selama fase kehidupannya bersama raga. Jiwa berdasarkan amal perbuatannya baik itu perbuatan baik ataupun perbuatan buruk 31

Mulla Hadi Sabziwari, Asrâr al-Hikam (Qom: Intisyarat Bidor, 1374), hlm. 291. 32 Mulla Sadra, al-Asfâr, jilid 9, hlm. 4. 33 Lihat Mulla Sadra, al-Asfar, jilid 9, hlm. 112.

merupakan aktualitas yang menghasilkan peringkat wujud.34 Ketika jiwa telah berada pada aktualitas tertentu maka mustahil baginya untuk kembali lagi pada tingkat potensi murni pada bentuk tersebut, sebagaimana mustahilnya kembalinya binatang yang telah mencapai derajat aktualitasnya sebagai binatang untuk kembali lagi pada awal penciptaannya sebagai nuthfat atau „alaqat, karena gerakan trans-substansial terjadi dan tidak mungkin berbalik, baik itu dipaksakan, alamiah, keinginan ataupun ketidaksengajaan. Sekiranya keterikatan jiwa berpindah kepada raga lain yang masih dalam bentuk janin atau selainnya, misalnya, maka akan mengakibatkan yang satu wujudnya sebagai potensi sedangkan yang lain dalam wujudnya secara aktual. Dalam ungkapan lain, suatu bentuk yang satu pada saat yang sama sebagai potensi dan aktual, dan ini jelas tidak mungkin karena komposisi antara keduanya adalah kesatuan alamiah. Pada komposisi alamiah mustahil terjadi dua hal yang menyatu satu bagiannya, yakni potensi dan yang lain aktual. b. Jiwa manusia adalah sesuatu yang baharu melalui kebaharuan campuran manusia melalui tingkat nuthfat, janin hingga mencapai derajat manusia. Pada saat yang sama manusia tersebut telah melalui proses penyempurnaan alami melewati derajat tumbuh-tumbuhan, hewan yang terhasilkan pada setiap bagian dari materi, forma, raga dan jiwa. Penyempurnaan nuthfat manusia haruslah dalam proses perubahan ciptaan mulai dari bebatuan, tumbuh-tumbuhan, binatang kemudian manusia dan tidak seperti pandangan sebagian orang yang menyatakan bahwa kejadian terjadi pasca-kehancuran dan kehancuran terjadi pasca-kejadian (al-kawn wa al-fasâd). Terbentuknya dari satu forma kepada forma lain yang berbeda wujud (mutabâ‟inah al-wujûd). Yang seperti ini 34

Dengan dasar prinsip tasykîk al-wujûd.

Kholid al-Walid, Pandangan Eskatologi Mulla Sadra

keliru mengingat ketidakmungkinan perubahan subjek alami yang melakukan pengendalian terhadap materi menjadi subjek alami yang lain sehingga menjadikan dua subjek dalam satu tempat proses perbuatan yang dilakukan, sebagaimana kemustahilan perpindahan aktivitas alami dari salah satu subjek alami kepada yang lainnya. Demikian pula, kemustahilan yang terjadi pada perpindahan subjek yang satu dari perbuatan alami kepada perbuatan alami yang tidak berkaitan dengan yang pertama tanpa kesatuan dimensional antara keduanya, maka reinkarnasi dengan logika seperti ini adalah keliru. c. Argumentasi berikut ini adalah argumentasi Mulla Sadra yang paling kuat, namun argumentasi ini membutuhkan beberapa premis, antara lain: Pertama, keterikatan jiwa dengan raga adalah keterikatan fundamental (dzâtî).35 Kedua, komposisi jiwa dan raga adalah komposisi alami.36 Ketiga, komposisi jiwa dan raga adalah komposisi kesatuan.37 Keempat, pada 35

Selain keterikatan fundamental (dzâtî), ada lagi keterikatan aksidensial („aradhi). Perbedaan antara keduanya, jika pada keterikatan dzâtî kita tidak dapat memisahkan antara keduanya, menghilangkan yang satu berarti juga menghilangkan yang lain, sedangkan pada keterikatan aksidental tidak berarti menghilangkan yang satu akan menghilangkan yang lain, seperti halnya warna yang menempel pada satu materi. Jika warnanya kita hilangkan dari materi tersebut, maka materi tetap sebagaimana adanya. Prinsip ini di dasarkan pada argumen bahwa jiwa merupakan hasil dari kebaharuan fisik, yaitu pada awalnya jiwa tidak lain adalah raga itu sendiri, yang kemudian setelah terjadi gerakan transsubstansial berkembang menjadi jiwa. 36 Komposisi alami adalah komposisi yang terjadi secara alami mulai dari awal keberadaannya dalam sebuah komposisi yang satu dan tanpa adanya intervensi yang menyebabkan terjadinya komposisi tersebut. Perkembangan keduanya berasal dari sesuatu yang satu dan membentuk satu identitas. Berbeda halnya dengan komposisi buatan (shinâ„i), di mana intervensi dari luar menyatukan unsur-unsur menjadi satu komposisi. 37 Komposisi kesatuan adalah komposisi yang keduanya pada hakikatnya adalah satu dan tidak

saat melakukan persepsi, jiwa dalam identitasnya sebagai yang non materi melakukan aktivitas tersebut, namun hubungan jiwa dengan raga tetap terpelihara. Kelima, dalam fase-fase perkembangannya, jiwa bersamaan dengan keluarnya raga dari potensi menjadi aktual, tetap melakukan aktivitas spesifiknya dan ketika terjadi kematian— raga tidak lagi dapat melakukan aktivitasnya—jiwa berkembang pada tingkat kesempurnaan aktualitassnya dan ini menyebabkan keterputusan hubungan antara jiwa dengan raga.38 Dengan lima pendahuluan ini, Mulla Sadra menolak konsep reinkarnasi, yang menurutnya, jika jiwa pasca kematiannya berpindah pada raga lain yang terpisah dan bebeda dengan raga sebelumnya, perpindahan ini baik tanpa membawa aktualitas raga sebelumnya dan berkesesuaian dengan aktualitas raga kedua atau jiwa dengan tetap menjaga aktualitasnya dalam kehidupan sebelumnya mengalami perpindahan pada raga kedua. Akan tetapi, menurut Mulla Sadra, kedua pengandaian kaidah bersyarat yang berkesinambungan di atas keliru. Kekeliruan tersebut dipicu oleh dasar pijakan utama yang menyatakan jika jiwa terlepas dari beragam aktualitas sebelumnya yang pernah ada, kemudian dibentuk dari dua unsur yang berbeda satu sama lain dan membentuk satu kesatuan, seperti komposisi H2O yang terkomposisi dari dua unsur independen yang membentuk kesatuan, akan tetapi seperti komposisi yang terjadi antara forma dan materi. Ini merupakan komposisi hakiki dan kesatuan yang didasarkan pada prinsip kesatuan wujud. Namun, perbedaan utama dengan kesatuan antara forma dan materi keduaduanya materi, sedangkan raga dan jiwa adalah yang satu materi sedangkan yang lain non-materi setelah mengalami gerakan trans-substansial. 38 Dapat dianalogikan dengan buah dan pohonnya, di mana ketika buah tersebut terlepas dari keterikatannya dengan pohon yang selama ini menjadi tempat tumbuh dan bergantung, ia memulai aktivitasnya sendiri dan pohon pun demikian. Jiwa pun demikian, ia membutuhkan raga untuk tumbuh dan berkembang dan ketika jiwa dalam perkembangannya tidak lagi membutuhkan raga, maka ia akan melepaskan diri dari raga dan memulai aktivitasnya sendiri.

Jurnal Khazanah, Volume: , Nomor: , Hal:

kembali lagi pada tingkat potensial, maka pertama, perubahan ini adalah perubahan kemunduran dan seluruh pengetahuan baik filsafat maupun sains menolak hal ini. Kedua, tidak bisa dikatakan bahwa personalitas berikutnya setelah berpindahnya jiwa dari raga pertama pada raga kedua adalah personalitas diri sebelumnya.39 Semangat Mulla Sadra dalam menolak reinkarnasi jelas berangkat dari prinsip-prinsip filsafat yang dikembangkannya, terutama gerakan transsubstansial sebagai gerak progresif, di samping tentu saja tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Ibn Sînâ. Hal ini terlihat dari pembelaan Mulla Sadra terhadap argumentasi penolakan reinkarnasi yang digunakan Ibn Sînâ.40 Selain itu, dalam upayanya untuk memberikan landasan bagi pandangan eskatologi yang dikembangkannya, karena sekiranya masih ada kemungkinan terjadinya reinkarnasi, hal itu akan menjadi kesulitan besar bagi Mulla Sadra untuk dapat menetapkan kebenaran 39

Lihat Kyosamsaki, Rozee, hlm. 241-242. Lihat Mulla Sadra, al-Asfâr, jilid 9, hlm. 11. Argumentasi yang dikemukakan Ibn Sînâ dalam penolakannya terhadap reinkarnasi adalah: “Jika demikian (terjadinya reinkarnasi), maka tidaklah mungkin terjadi jiwa yang telah terpisah dari raga kembali dan masuk ke dalam raga manusia yang lain. Karena raga yang baru memunculkan jiwa yang baru bersamanya, maka (jika terjadi reinkarnasi) akan terjadi pada raga baru jiwa yang lain sehingga menyebabkan seorang manusia memiliki dua jiwa sekaligus. Akan tetapi, seluruh manusia sesungguhnya hanyalah memiliki satu jiwa semata, tidak dapat terpikirkan kecuali jiwa yang satu semata. Sekalipun ada jiwa yang lain pada sebuah raga, ia tidaklah berfungsi bersamanya dan tidak juga memunculkan manfaat bagi raga sehingga jiwa tersebut bukanlah jiwa dirinya, karena jiwa di dalam raga tidaklah menempati hanya satu bagian tertentu saja atau menempel sebagai zat bagi bagian tertentu dari raga. Akan tetapi jiwa merupakan pengendali dan terfungsikan melalui raga. Maka jelas dan benderanglah bahwa jiwa-jiwa manusia adalah sesuatu yang baharu dan tetap setelah (kehancuran) materi dan tidak tinggal di dalam raga-raga tersebut dan tidak juga terjadi reinkarnasi. Lihat Ibn Sînâ, alMabda, hlm. 108-109. Kita dapat melihat argumen yang sama digunakan Mulla Sadra untuk menolak reinkarnasi, hanya di tangan Mulla Sadra argumentasi Ibn Sînâ ini mendapatkan perluasan makna. 40

pandangan eskatologinya, mengingat kritik Mulla Sadra terhadap pandangan eskatologi pemikir Muslim sebelum dirinya, sebagaimana yang akan dijelaskan kemudian bertumpu pada persoalan reinkarnasi, sehingga wajar jika Mulla Sadra dengan semangatnya yang luar biasa melakukan penolakan terhadap konsep reinkarnasi. F. Kebangkitan Jasmani dan Fisikalisasi Perbuatan Persoalan mendasar yang memicu ketegangan antara filosof dan teolog berkisar pada persoalan seperti apa bentuk kebangkitan tersebut terjadi, apakah kebangkitan ruhani semata atau jasmani semata41 atau ruhani-jasmani. Para filosof, khususnya filosof Peripatetik, meyakini kebangkitan ruhani atau intelektif, yakni setelah keterpisahan jiwa dari raga maka jiwa akan bersifat ruhani dan tidak mungkin lagi dibangkitkan bersama raga karena akan menyebabkan terjadinya reinkarnasi.42 Namun, bagi al-Ghâzâlî, hal ini sama saja dengan menegasikan kekuasaan Tuhan, tidak ada sesuatu yang mustahil bagi Tuhan apalagi sekedar mengembalikan kehidupan yang pernah ada sebelumnya. Tuhan adalah Zat yang Maha Kuasa, sehingga pertanyaan apakah Allah akan membangkitkan manusia dalam bentuk ruhaninya ataukah jasmaninya bukanlah sebuah persoalan bagi Tuhan.43 41

Pandangan ini berasal dari Asy„ariyyah dan filosof Skolastik yang menyatakan bahwa jiwa tidaklah memiliki karakter spiritual, akan tetapi bergantung pada raga. Teori atom yang dikembangkan Asy„ari menyatakan bahwa kehidupan tetap kontinum dalam atom-atom tersebut sekalipun telah terurai dan kebangkitan terjadi dengan tersusunnya kembali atom-atom yang telah terpisah tersebut. Lihat Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, hlm. 335. 42 Ibn Sînâ, al-Mabda‟ wa al-Ma„âd, hlm. 108-109. 43 Al-Ghâzâlî mengemukakan argumentasinya sebagai berikut: “Ketika kehidupan dan raga telah hancur, penciptaan kembalinya akan merupakan penciptaan yang semisal dengan apa yang ada sebelumnya. Namun, makna „kembali‟ sebagaiamana yang kami pahami mengimplikasikan pengandaiaan keabadian sesuatu dan baharunya sesuatu yang lain. Sebagaimana jika dikatakan bahwa seseorang kembali pada kenikmatan yang dimaksud tidak lain adalah bahwa orang tersebut kembali menemukan

Kholid al-Walid, Pandangan Eskatologi Mulla Sadra

Pandangan para filosof ini, menurut alGhâzâlî, keliru dan sesat. Polemik tentang persoalan inilah yang telah memicu „pengkafiran‟ terhadap filsafat, khususnya kajian eskatologi, sehingga kemudian memunculkan anggapan bahwa kajian eskatologi sudah final dan menurut Jane Idelman44 kajian-kajian eskatologi pasca-Ghâzâlî lebih bersifat penjelasan literal terhadap doktrin-doktrin eskatologi ketimbang filosofis.45 Mulla Sadra secara khusus mencurahkan kajian eskatologinya dalam usahanya untuk menyelesaikan persoalan eskatologis tersebut. Sebelas prinsip yang dikemukakan Mulla Sadra tampaknya merupakan upayanya untuk menjelaskan persoalan ini. Tugas ini menjadi sangat penting bagi Mulla Sadra karena berkaitan karakter yang dibangun dalam aliran filsafatnya sebagai filsafat yang melintasi filsafat Peripatetik, Iluminasi, „irfân dan teologi. Karena itu, dalam bagian ini, Mulla Sadra berusaha memberikan jawaban solutif bagi persoalan tersebut. Usaha Mulla Sadra dalam hal ini dilakukan dalam beberapa langkah utama, antara lain: Pertama, Mulla Sadra mengkritik pandangan al-Ghâzâlî dan Fakhr al-Râzî, yang menyatakan bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu dan bukanlah persoalan bagi Allah untuk membangkitkan manusia secara ruhaniah atau ragawi. Bagi Mulla Sadra, dasar ini sangat tidak rasional dan kenikmatan yang bersifat tetap dan abadi; dia telah meninggalkan kenikmatan tersebut kemudian kembali merasakannya; yaitu dia kembali pada apa yang secara jenerik sama dengan apa yang dia rasakan sebelumnya, meskipun berbeda dalam kuantitasnya. Maka, makna kembali tidak lain adalah kembali kepada yang semisalnya.” Al-Ghâzâlî, Tahâfut alFalâsifat (Beirut: Dâr al-Maktabat al-Hilâl), hlm. 289290. 44 Jane Idelman Smith adalah Profesor studi Islam dan Wakil Direktur Pusat Studi Islam dan Hubungan Muslim-Kristen Macdonald pada Hartford Seminary, juga penulis The Islamic Understanding of Death and Resurrection. 45 Jane Idelman Smith, The Islamic Understanding, hlm. 62.

tidak tepat untuk digunakan. Mulla Sadra sama sekali tidak menolak kemahakuasaan Tuhan. Namun, baginya, apa yang dilakukan Allah adalah persoalan yang mumkîn alwujûd, bukan persoalan yang mustahîl alwujûd. Menurutnya, bagaimana sesuatu dapat terjadi pada sesuatu yang tidak mungkin (mustahîl). Mungkin tidaknya sesuatu dapat dijelaskan secara rasional. Karena itu, bagi Mulla Sadra, tindakan Allah meliputi hal-hal yang mumkîn al-wujûd dan hal ini merupakan sunnat Allâh.46 Kedua, Mulla Sadra, seperti telah dijelaskan pada bagian kritik Mulla Sadra terhadap para pemikir Muslim sebelumnya, dengan argumentasi filosofis yang dikemukakannya menolak secara mutlak konsep reinkarnasi. Bagi Mulla Sadra, perpindahan jiwa pada raga apapun, baik raga materi, raga astrologis atau imajinal maupun raga ukhrawi, merupakan reinkarnasi. Karena itu, Mulla Sadra menolak solusi yang diberikan oleh Syaykh Isyrâq atau pun al-Ghâzâlî karena solusi tersebut baginya masuk dalam kategori reinkarnasi.47 Ketiga, Mulla Sadra mengemukakan sebelas prinsip eskatologi yang menghasilkan kesimpulan bahwa kebangkitan terjadi meliputi jiwa dan raga. Namun, tidak mungkin raga materi duniawi yang dibangkitkan juga raga yang terbentuk di luar jiwa manusia tersebut.48 Hal ini dimungkinkan mengingat bahwa wujud akan terus mengalami perkembangan pada tingkat-tingkat yang lebih tinggi kualitasnya melalui proses gerakan trans-substansial. Dengan tiga dasar utama tersebut Mulla Sadra menarik kesimpulan bahwa raga dengan kediriannya akan dibangkitkan kembali pada hari kiamat melalui forma 46

Lihat Mulla Sadra, al-Asfar, jilid 9. Baca Bab IV disertasi kami, Pandangan Eskatologi Mulla Sadra (Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah, 2008). 48 Karena bagaimanapun dan dari jenis apapun raga yang terbentuk secara eksternal dari jiwa manusia dalam pandangan Mulla Sadra masuk kategori reinkarnasi. 47

Jurnal Khazanah, Volume: , Nomor: , Hal:

fisik. Dan kebangkitan tidak lain meliputi seluruh jiwa dan raga dengan kedirian dan keterpeliharaan identitasnya. Namun, raga yang dibangkitkan tersebut bukanlah raga yang tersusun dari unsur yang berbeda sebagaimana pandangan sebagian tokoh Islam, atau raga imajinal sebagaimana yang diyakini oleh pengikut Iluminasi.49 Kesimpulan yang digambarkan Mulla Sadra didasarkan pada prinsip-prinsip yang telah dikemukakan terdahulu, namun untuk menguatkan pandangannya, Mulla Sadra mengharuskan adanya prinsip lain, yaitu adanya ikatan alamiah dan fundamental (dzâtî) antara raga dan jiwa, dan kemudian raga ikut melakukan proses penyempurnaan diri sebagaimana jiwa, mulai dari tingkat alam materi kemudian berkembang menuju alam imajinal dan alam rasional. Berdasarkan kesimpulan dan prinsipprinsip yang dikemukakan Mulla Sadra dapat dijelaskan bahwa raga yang dimaksud Mulla Sadra yang akan dibangkitkan kelak bukanlah raga rasional seperti pandangan Ibn Sînâ dan para filosof Peripatetik. Juga bukan raga imajinal terpisah (munfashîl)50 seperti yang dikemukakan oleh Syaykh Isyrâq, karena pada keduanya tidaklah terjadi ikatan alamiah dan juga tidak lepas dari wilayah reinkarnasi. Kemungkinan ketiga yang dimaksudkan Mulla Sadra adalah raga imajinal, yaitu imajinal bersambung (muttashîl) yang muncul dari daya imajinasi jiwa yang sejak kehadiran manusia di dunia sudah ada bersamanya dan terus bersamanya ketika terjadi kematian, karena daya tersebut tidak lain adalah daya sempurna yang ada pada diri manusia. Ini berbeda dengan imajinal terpisah yang hanya hadir secara 49

Lihat Mulla Sadra, al-Asfar, jilid 9, hlm. 197. Alam imajinal mutlak atau terpisah (munfashil) adalah alam imajinal independen dan hakiki yang merupakan forma dari segala sesuatu yang terwujud dalam satu kondisi yang sama di antara kehalusan ruhaniah dan kepadatan materi. Sedangkan alam imajinal tidak mutlak atau bersambung (muttashil) merupakan alam imajinal yang tidak terpisah dari jiwa seseorang dan menampilkan beragam forma yang berasal dari alam imajinal mutlak atau terpisah. Lihat Malikeh Sobiri, “Alam Mitsal va Tajarude Khiyol,” dalam Kherad Nomeh Sadra, vol. 15, hlm. 72-73. 50

aksidental. Kesimpulan yang sama juga dikemukakan Kyosamsaki, seorang peneliti Mulla Sadra, sebagai berikut: Berdasarkan bukti pandangan— Mulla Sadra—raga tersebut tidak akan mungkin raga materi ataupun raga rasional, karenanya tidak bisa tidak bahwa—raga yang dimaksud—adalah wujud imajinal. Namun demikian, ini bukanlah akhir dari perjalanan, mengingat bahwa jika raga akhirat merupakan bentuk wujud imajinal dan terikat pada alam imajinal munfashîl karena tidak akan mungkin terjadi ikatan alami (takwînî) khusus dengan jiwa khusus manapun sehingga dapat menjadi raga manusia tersebut (juga karena ketidakadaan bentuk wujud yang seperti ini). Karenanya, tidak ada jalan lain kecuali menerima bahwa raga di akhirat adalah raga imajinal, bukan imajinal mutlak terpisah (munfashîl) akan tetapi raga imajinal tidak mutlak (muqayyad) dan bersambung (muttashîl) yang tidak lain merupakan daya imajinasi itu sendiri.51 Mulla Sadra sendiri memberikan gambaran bahwa raga akhirat berada di antara dua alam dan meliputi keduanya, yaitu alam immaterial dan material. Dirinya terliputi oleh banyak elemen raga duniawi. Sesungguhnya raga akhirat seperti bayangbayang, perumpamaan, imajinasi bagi ruh. Bahkan antara raga dan ruh atau jiwa bersatu dalam wujud.52 Sifat dari raga tersebut, menurut Mulla Sadra, serupa dengan formaforma yang disaksikan manusia di dalam tidurnya atau dalam sebagian penyaksian, akan tetapi terpisah baik secara zat maupun hakikat. Kemiripan antara keduanya adalah bahwa keduanya tidak berada pada korpus materi, ruang dan dimensi seperti materi duniawi ini. Juga tidak terjadi pergesekan di antara beragam forma tersebut. Satu bentuk tidak akan menghalangi bentuk yang lain, baik berdasarkan ruang atau waktu seperti halnya di alam ini.53 Solusi Mulla Sadra tentang raga imajinal ini kemudian mendapat kritik Fazlur 51

Kyosamsaki, Rozee, 261. Mulla Sadra, al-Asfâr, jilid 9, hlm. 183. 53 Lihat Mulla Sadra, al-Asfâr, jilid 9, hlm. 176. 52

Kholid al-Walid, Pandangan Eskatologi Mulla Sadra

Rahman karena, menurut Rahman, solusi yang ditawarkan Mulla Sadra tidak berbeda dengan apa yang ditawarkan al-Ghâzâlî tentang tatanan badan citra, padahal sebelumnya Mulla Sadra menolak solusi alGhâzâlî ini. Namun, Rahman tidak menyadari bahwa kritiknya tersebut sangat tidak tepat, mengingat al-Ghâzâlî sendiri tidak pernah menawarkan solusi tentang raga imajinal atau raga citra dalam bahasa Rahman. Yang dimaksud al-Ghâzâlî adalah raga ukhrawi yang terbentuk dari unsurunsur akhirat, sedangkan yang memberikan tawaran raga imajinal dalam konteks ini hanyalah Syaykh Isyrâq dan Rahman mengabaikan fakta adanya beragam jenis alam imajinal. Raga imajinal bersambung yang akan menjadi raga manusia di akhirat sebagaimana yang ditawarkan Mulla Sadra adalah gagasan yang sepanjang pengetahuan penulis belum pernah ada sebelumnya dan gagasan ini menarik mengingat persoalan yang terjadi dalam diskursus kebangkitan berkisar pada persoalan kebangkitan ruhani atau ragawi, jika raga yang dibangkitkan maka dari jenis raga yang mana, raga materi duniawi, raga ukhrawi atau raga imajinal? Diskursus inilah yang telah memutuskan studi eskatologi di kalangan filosof dan menjadi salah satu alasan yang menyebabkan terjadinya pengkafiran terhadap para filosof.54 Apa yang menjadi tawaran Mulla Sadra ini dapat menjembatani semua persoalan tersebut, di mana dengan argumentasi rasional dapat diterima bahwa kebangkitan tidak berarti kembalinya raga materi duniawi, juga terhindar dari persoalan reinkarnasi yang ditolak oleh para filosof, terutama oleh Mulla Sadra sendiri, sekaligus juga berkesesuaian dengan doktrin-doktrin nash yang juga menjadi dasar para teolog untuk menunjukkan adanya kebangkitan ragawi. 54

Tentang pengkafiran para filosof ini dapat dilihat dalam Fazlur Rahman, Islam (Chicago-London: University of Chicago Press, 1979), hlm. 120.

gagasan lain Mulla Sadra dalam eskatologi adalah fisikalisasi perbuatan. Bagi Mulla Sadra, setiap tindakan yang dilakukan oleh seorang manusia di dunia ini, apakah tindakan tersebut baik atau buruk, memberikan warna tersendiri bagi jiwa (tajawhur), dan tindakan-tindakan yang telah tersubstansi dalam diri seseorang akan menciptakan beragam forma yang akan muncul pada kehidupan berikutnya. Sekiranya jiwa manusia tersebut adalah jiwa yang baik maka forma-forma yang akan muncul adalah forma-forma yang baik dan menyenangkan, termasuk tentunya forma ragawi yang menjadi raga bagi jiwa tersebut. Berbeda halnya jika jiwa tersebut adalah jiwa yang buruk, yang cenderung pada sesuatu yang rendah, maka dia akan turun pada tingkat barzakh para binatang. Imajinasi-imajinasi yang muncul pada mereka terbatas hanya pada tujuan-tujuan pemenuhan hawa nafsu kebinatangan dan kebuasan binatang buas, sehingga raga yang akan dibangkitkan bersama mereka adalah raga dengan forma-forma binatang tersebut. Pandangan Mulla Sadra seperti ini sebenarnya telah berkembang sebelumnya di dunia tasawuf. Para sufi mengemukakan pandangan tentang efek perbuatan terhadap rupa yang akan muncul pada diri seorang manusia dalam kehidupannya baik di dunia ini maupun di akhirat.55 Pandangan ini dalam

55

Banyak kisah sufi yang menunjukkan bahwa para sufi tersebut dapat menyaksikan raga batin seseorang di balik raga materinya yang terbentuk dari perilaku manusia tersebut. Apa yang terjadi pada Abu Basyir dapat menjadi contoh. “Suatu saat aku menunaikan ibadah haji bersama Muhammad al-Baqir kemudian Imam al-Baqir berkata: „Sungguh banyak talbiyah yang terucap tapi sedikit sekali yang haji.‟ Kemudian yang mulia mengusapkan tangannya ke wajahku dan aku melihat sebuah pemandangan ajaib, sebagian besar manusia yang aku saksikan berbentuk binatang yang bermacam-macam, sebagian berbentuk monyet dan sebagian lagi berbentuk babi dan aku melihat orang-orang yang beriman di antara mereka seperti gemintang yang menerangi kegelapan.” Faydh alKâsyânî, Mahajjat al-Baydhâ‟ (Qom: Muasasat Nasyr al-Islâmî, 1383), jilid 1, hlm. 132.

Jurnal Khazanah, Volume: , Nomor: , Hal:

khazanah tasawuf dikenal dengan istilah tajassum al-a„mâl atau tajassud al-a„mâl.56 Husain Mazahiri menjelaskan maksud tajassum al-a„mâl sebagai “Karakter yang melekat tersebut, baik yang utama maupun yang rendah, memiliki efek yang sampai pada identitas dan hakikat manusia. Hakikat manusia dan identitasnya tergambar dalam bentuk yang sesuai dengan karakter tersebut. Siapa yang berakhlak mulia, derajatnya akan sampai pada tingkat manusia sempurna…dan siapa yang berakhlak binatang buas (bahîmat wa sab‟iyyat), derajatnya akan turun dan keluar dari tingkat manusia, dan terbentuk dengan bentuk binatang-binatang buas atau selainnya dari bentuk yang berkesesuaian dengan karakter tersebut.”57 Mulla Sadra menggambarkan bahwa manusia akan dibangkitkan dalam forma yang berkesesuain dengan orientasi hidupnya masing-masing. Baginya, jiwa adalah korpus bagi ragam karakter manusia dan ragam imajinal yang diciptakan jiwa berdasarkan karakter yang melekat pada dirinya. Karenanya, kelak ketika dibangkitkan, manusia akan dibangkitkan dengan aneka ragam forma baik dalam bentuk manusia ataupun binatang sesuai dengan dominasi karakter pada korpus jiwanya tersebut. Hal ini, menurut Mulla Sadra, karena setiap manusia bertujuan pada apa yang selama ini dia usahakan dan kepada apa yang dia cintai. Setiap kontinyuitas perbuatan akan menyebabkan kebaharuan dalam karakter yang melekat dan setiap karakter yang melekat yang meliputi jiwa manusia akan membentuk forma-forma pada hari kiamat sesuai dengan karakternya. Raga di akhirat, bagi Mulla Sadra, akan membentuk formaforma yang sesuai dengan karakter jiwa dan sifat manusia tersebut.58 Mulla Sadra menunjukkan isyarat tentang hal ini baik dalam al-Quran maupun Hadis, antara lain, 56

Lihat „Abd al-Razzâq al-Kasyâni, Istilâhât alShûfiyyat (Tehran: Hauzehye Hunar, 1376), hlm. 79. 57 Husain Mazahiri, Dirâsât fî al-Akhlâq (Qom: Dâr al-Syafaq, 1413), hlm. 47. 58 Lihat Mulla Sadra, al-Asfâr, jilid 9, hlm. 176.

“Dan pada hari dibangkitkan binatangbinatang buas,”59 juga “Akan dibangkitkan sebagian manusia dalam bentuk monyet dan babi.”60 Pandangan eskatologi Mulla Sadra di atas memberikan kekuatan argumentasi bagi penyaksian ruhaniah oleh para sufi yang seringkali menggambarkan diri manusia dengan aneka bentuk yang aneh. Pandangan ini jelas merupakan pandangan yang baru di kalangan pemikir Islam, dan justru menjadi solusi yang dapat menjembatani konflik antara filosof yang berpegang pada argumentasi rasional dengan para teolog yang bersandar pada teks-teks al-Quran dan Hadis. Sekalipun demikian, pandangan ini tidak dapat diterima oleh semua pemikir Muslim, seperti Fazlur Rahman, yang menyebut gagasan ini sebagai pengaruh agama Persia kuno.61 G. Penutup Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Mulla Sadra berusaha membangun eskatologi yang didasarkan pada teks suci, argumen filosofis dan pengalaman mistis, seperti tercermin dalam pembahasannya tentang keabadian jiwa, kemustahilan reinkarnasi dan kebangkitan jasmani dan fisikalisasi perbuatan. Ini memperkuat pandangan para sarjana bahwa filsafat Mulla Sadra merupakan sintesis dari berbagai sumber pemikiran yang ada dalam Islam.

DAFTAR RUJUKAN Angeles, Peter A. Dictionary of Philosophy. New York: Harper & Row Publisher, 1981. Eliade, Mercia (ed.). The Encyclopedia of Religion. London-New York: Macmillan, 1989), vol. 11.

59 60

QS 8: 5. Hadis tersebut berbunyi sebagai berikut:

َ ‫يحشز بعض انىاص عهّ صُة ححظه عىذ ٌا انقز دة‬ " ‫انخىاسيز‬ 61

Lihat Fazlur Rahman, Health and Medicine in Medieval Islam, hlm. 172.

Kholid al-Walid, Pandangan Eskatologi Mulla Sadra

Fakhry, Majid. Tarikh Falsafe dar Jihone Islom. Qom: t.p., t.th. Al-Fârâbî. Kitâb Ara‟ Ahl al-Madînat alFâdhilat. Beirut: Dâr al-Masyriq, 2002. Al-Ghâzâlî. Tahâfut al-Falâsifah. Beirut: Dâr al-Maktabat al-Hilâl, t.th. Guwahi, Abdul Rahim. Rahnamoye Adyone Zendeh. Qom: Bustane Kitob, 1385. Kartanegara, Mulyadhi. Psikologi Islam. Segera Terbit. Al-Kâsyâni, „Abd al-Razzâq. Istilâhât alShûfîyyat. Tehran: Hauzehye Hunar, 1376. Al-Kâsyânî, Fayd. Mahajjat al-Baydhâ‟. Qom: Muassasat al-Nasyr al-Islâmî, 1383, jilid 1. Mazahiri, Husain. Dirâsât fî al-Akhlâq. Qom: Dâr al-Syafaq, 1413. Mulla Sadra. Al-Hikmat al-Muta„âliyyat fî al-Asfâr al-„Aqliyyat al-Arba„at. Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabî, 1981. ---------. Al-Syawâhid al-Rubûbîyyat fî alManâhij al-Sulûkiyyat. Masyhad: Markaze Nasyr Donesgohi, 1360. Nasr. S.H. “Sadr al-Dîn Shirazi (Mulla Sadra),” dalam M.M. Sharif (ed.), A History of Muslim Philosophy. Pakistan: Pakistan Philosophical Congress, 1969, vol. 1. ---------. Three Muslim Sages. New York: Delmar, 1964. Owen, H.P. “Eschatology,” dalam The Encyclopedia of Philosophy, ed. Paul Edwards. New York-London: Macmillan, 1965, vol. 3. Rahman, Fazlur. The Philosophy of Mulla Sadra. Albany, NY: SUNY Press, 1975. ---------. Islam. Chicago-London: The University of Chicago Press, 1979. ---------. Health and Medicine in Medieval Islam. Chicago: The University of Chicago Press, 1982 Rakhmat, Jalaluddin. “Hikmah Muta„aliyah: Filsafat Islam pasca-Ibn Rusyd,” dalam Mulla Sadra, Kearifan Puncak,

terj. Dimitri Mahayana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Rastegori, Hadi. “Ma„ad az Didgohe Hukamo‟ va Sadra Muta‟alihin Syirozi,” dalam Kherad Nomeh Sadro, vol. 15 (1420). Sabziwari, Mulla Hadi. Asrâr al-Hikâm. Qom: Intisyarat Bidor, 1374. Sibawaihi. Eskatologi al-Gazali dan Fazlur Rahman: Studi Komparatif Epistemologi Klasik-Kontemporer. Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2004. Smith, Jane Idelman and Haddad, Yvonne Yazbeck. The Islamic Understanding of Death and Resurretion. Oxford: Oxford University Press, 2002. Sobiri, Malikeh. “„Alam Mitsal va Tajarude Khiyol,” dalam Kherad Nomeh Sadra, vol. 15 (1420). Al-Taftâzânî. Syarh al-Maqâshid. Iran: Mansyurat Syarif al-Radi, 1409 H, juz 5. Al-Thûsî, Khwaja Nâshir al-Dîn. Tahshîl alMuhashshal. Qom: Intisyarat Bidor, 1373. Al-Walid, Kholid. Pandangan Eskatologi Mulla Sadra, Disertasi Doktor. Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah, 2008.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF